xxvi
BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Perilaku Konsumen Definisi perilaku konsumen menurut Kotler dan Keller (2009:166) adalah sebagai studi tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi dalam memilih, membeli, menggunakan barang, jasa, ide, atau pengalaman untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka. Perilaku konsumen terfokus pada bagaimana cara individu mengambil keputusan dalam memanfaatkan sumber daya mereka yang tersedia, seperti waktu, uang, dan usaha guna membeli atau mengkonsumsi barang dan jasa. Hal senada juga dijelaskan oleh Engel et.al (1994:3), bahwa perilaku konsumen
sebagai
tindakan
yang
langsung
terlibat
dalam
mendapatkan,
mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa termasuk proses yang mendahului dan menyusuli tindakan ini. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2007:72) teori perilaku konsumen merupakan
deskripsi
tentang
bagaimana
konsumen
dalam
mengalokasikan
pendapatan antara barang dan jasa yang berbeda-beda untuk memaksimalkan kesejahteraan konsumen tersebut. 2.1.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen Perilaku konsumen dapat dipengaruhi oleh keadaan dan situasi lapisan masyarakat. Hal ini berarti konsumen berasal dari lapisan masyarakat atau lingkungan 9 xxvi
10 xxvii
yang berbeda tentu akan mempunyai penilaian, kebutuhan, pendapat, sikap, dan selera yang berbeda pula. Sehingga pengambilan keputusan dalam pembelian yang dilakukan konsumen dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Kotler (2008:25), faktor yang mempengaruhi perilaku kosnumen terdiri dari : 1. Faktor Kebudayaan, dimana faktor ini berpengaruh luas dan mendalam terhadap perilaku konsumen. Faktor kebudayaan terdiri dari: budaya, subbudaya, dan kelas sosial. 2. Faktor Sosial, yaitu perilaku seorang konsumen yang dipengaruhi oleh faktorfaktor sosial seperti kelompok acuan, keluarga serta status sosial. 3. Faktor Pribadi, dimana faktor yang memberikan kontribusi terhadap perilaku konsumen terdiri dari: usia dan tahap siklus hidup, pekerjaan dan lingkungan ekonomi, gaya hidup, kepribadian dan konsep diri. 4. Faktor Psikologis, dimana dalam melakukan pembelian seseorang dipengaruhi oleh empat faktor psikologi utama yaitu motivasi, persepsi, pembelajaran, serta keyakinan dan pendirian. 2.1.2 Motivasi Konsumen Menurut Schiffman dan Kanuk (2008:72), motivasi adalah kekuatan dalam individu yang mendorong seseorang untuk melakukan seuatu, dorongan tersebut dihasilkan oleh keadaan tertekan, yang timbul sebagai akibat kebutuhan yang tidak terpenuhi. Setiap aktivitas yang dilakukan oleh konsumen pasti terdapat motif yang mendasari dibaliknya.
xxvii
11 xxviii
Motif adalah kekuata dari dalam diri seseorang yang mengarahkan pada kegiatan pemenuhan kebutuhan (Kotel dan Mowen, 2006:174). Kebutuhan akan menjadi suatu motif (motive) ketika kebutuhan itu meningkat sampai tingkat intensitas yang cukup sehingga mendorong kita bertindak. Sedangkan motivasi adalah sekelompok mekanisme untuk mengejar kepuasan kebutuhan. Hal ini juga diungkapkan oleh Mowen dan Minor (2002:205), dimana motivasi didefinisikan sebagai keadaan yang diaktivasi atau digerakkan yang membuat seseorang mengarahkan perilaku berdasarkan tujuan. Motif merupakan variabel yang sangat penting bagi pemasar yang tujuannya agar mampu mempengaruhi konsumen. Namun, pemahaman mengenai motivasi bukan merupakan hal yang mudah karena motivasi seseorang akan terlihat melalui perilaku seseorang yang nampak atau diamati (Setiadi, 2003:94). Masih menurut Setiadi (2003:100) terdapat beberapa tujuan bagi pemasar dalam memahami motivasi konsumen yaitu untuk meningkatkan kepuasan konsumen, mempertahankan loyalitas konsumen, serta menciptakan suatu hubungan yang harmonis antara produsen atau penjual dengan pembeli atau konsumen. 2.1.2.1 Model Motivasi Motivasi menurut Mowen dan Minor (2002:206) secara sederhana dapat digambarkan dengan model berikut ini, yaitu:
xxviii
12 xxix
Keterlibatan & Afeksi
Keadaan Aktual Pengenalan Kebutuhan
Rangsangan
Dorongan
Perilaku berdasar tujuan
Obyek Insentif
Keadaan yang diinginkan Sumber: Mowen dan Minor., 2002.
GAMBAR 2.1 Model Motivasi Konsumen Gambar model motivasi di atas mengidentifikasi lima konsep pokok dari studi tentang motivasi yaitu pengenalan kebutuhan, dorongan, perilaku berdasarkan tujuan, objek insentif, dan afeksi. Motivasi dimulai dari timbulnya rangsangan yang mengacu pada pengenalan kebutuhan. Rangsangan ini dapat berasal dari dalam diri konsumen, misalnya perasaan lapar. Namun, rangsangan juga dapat berasal dari luar konsumen, misalnya iklan. Jika rangsangan tersebut menimbulkan perbedaan antara keadaan yang diinginkan oleh seseorang dan keadaan aktual orang tersebut, maka akan timbul kebutuhan. Sehingga pengenalan kebutuhan (need recognition) terjadi apabila seseorang merasa bahwa terdapat ketidaksesuaian antara keadaan aktual dengan keadaan yang diinginkan. Saat suatu kebutuhan muncul, maka hal ini akan menghasilkan sebuah dorongan. Dorongan adalah keadaan afektif dimana seseorang mengalami dorongan emosi atau fisiologis. Apabila individu mengalami dorongan, maka akan terlibat dalam perilaku berdasarkan tujuan yang terdiri dari tindakan yang
xxix
13 xxx
dilakukan untuk meringankan keadaan kebutuhan seseorang dalam konteks konsumen misalnya pencarian informasi tentang produk. Sedangkan insentif konsumen adalah produk, jasa, informasi, dan bahkan orang lain yang diperkirakan oleh konsumen akan memuaskan kebutuhan. Objek insentif ini hampir sama dengan penguatan, dimana konsumen akan mengarahkan perilaku mereka untuk memperoleh objek tersebut guna memenuhi kebutuhan. 2.1.2.2 Jenis Motivasi Konsumen Motivasi yang ada pada dalam diri konsumen akan sangat berpengaruh terhadap keputusan yang akan diambil. Menurut Sciffman dan Kanuk (2004:88), motivasi dalam diri konsumen dibagi menjadi dua kelompok yaitu: 1. Motivasi berdasarkan rasional (Rational Motives) Konsumen yang membeli suatu produk berdasarkan motivasi rasional lebih mengutamakan pertimbangan ekonomis seperti kualitas produk, harga, efisiensi, pelayanan, dan tersedianya barang. Konsumen bertindak secara rasional, ketika mempertimbangkan semua alternatif serta pilihan yang ada guna memberikan manfaat terbesar bagi dirinya, dengan kata lain konsumen mendasarkan putusannya pada kriteria objektif. 2. Motivasi berdasarkan emosional (Emotional Motives), Konsumen
memutuskan
suatu
pembelian
produk
tanpa
mempertimbangkan kemungkinan yang akan terjadi untuk jangka panjang. Secara singkat motivasi yang berdasarkan emosional dapat didefinisikan sebagai motif
xxx
xxxi 14
pembelian berdasarkan kriteria selektif yang subjektif, dan motif yang dipengaruhi oleh perasaan. 2.1.2.3 Motivasi Belanja Belanja merupakan salah satu aktivitas untuk memperoleh produk yang dibutuhkan oleh konsumen. Aktivitas belanja juga dipandang sebagai suatu aktivitas yang menyenangkan dimana konsumen melakukan belanja dengan berbagai motif yang melandasi. Tauber (1972) menjelaskan bahwa motif belanja merupakan fungsi dari motif pembelian dengan landasan pemikiran bahwa konsumen termotivasi oleh beraneka ragam kebutuhan psiko-sosial yang lain daripada hanya sekedar proses untuk mendapatkan produk atau jasa. Motif berbelanja terdiri dari dua yaitu utilitarian shopping motives dan hedonic shopping motives. Utilitarian shopping motives dan hedonic shopping motives umumnya berfungsi secara serentak di dalam keputusan pembelian (Setiadi, 2003:94-95). 1. Utilitarian Shopping Motives Utilitarian Shopping motives yaitu motif yang mendorong konsumen membeli produk karena manfaat fungsional dan karakteristik objektif dari produk tersebut dan disebut juga motif rasional (Setiadi, 2003:96). Usaha untuk menarik konsumen yang memiliki utilitarian shopping motives maka perusahaan dapat menyediakan ragam kebutuhan sehari – hari berdasarkan manfaat produk tersebut secara lebih variatif, baik dari segi harga maupun pilihan ataupun kelengkapan produknya.
xxxi
15 xxxii
2. Hedonic Shopping Motives Hedonic shopping motives yaitu kebutuhan yang bersifat psikologis seperti rasa puas, gengsi, emosi, dan perasaan subjektif lainnya. Kebutuhan ini seringkali muncul untuk memenuhi tuntutan sosial dan estetika dan disebut juga motif emosional (Setiadi,2003:96). Usaha untuk menarik konsumen yang memilik hedonic shopping motives, perusahaan lebih memfokuskan lagi pada produk-produk apa yang biasanya motif pembeliannya berdasarkan motif ini, seperti uasana toko yang bersih, nyaman, pelayanan yang baik, serta pengadakan diskon penjualan merupakan hal yang termasuk dalam motif ini. 2.1.3
Sisi Hedonik Konsumen Aktivitas belanja bagi konsumen dapat memberikan rasa senang dan perasaan
yang lebih baik. Pengertian hedonism (hedonisme) merujuk pada perolehan kesenangan melalui perasaan (Mowen dan Minor, 2001:221). Hal ini juga diungkapkan oleh Sherry (1993), dimana hedonisme dideskripsikan sebagai kemeriahan, menyenangkan, atau kadang refleksi dari sisi kegemaran orang dari aktivitas belanjanya. Konteks perilaku konsumen istilah hedonisme ini lebih kompleks, yaitu dimana perasaan senang yang dicari oleh konsumen bukanlah suatu kesenangan yang seragam (Mowen dan Minor, 2001:221) Menurut Babin, Darden, dan Griffin, (1994) nilai berbelanja berorientasi pada dua motivasi, yaitu motivasi utilitarian dan motivasi hedonic. Motivasi hedonic merupakan aktivitas berbelanja yang didorong oleh kesenangan, dimana ketika
xxxii
16 xxxiii
berbelanja dengan teman atau keluarga sangat dihargai sebagai pengalaman untuk bersosialisasi. Hal ini juga diungkapkan oleh Mac Innis dan Price (1987), yaitu nilai hedonic dapat diciptakan dengan cara memperbolehkan konsumen untuk menikmati keunggulan produk, bahkan tanpa harus membelinya. Konsumen menyadari bahwa nilai hedonik (hedonic value) ketika berbelanja terlepas dari pengambilan rencana dalam pembelian. Menurut Hausman (2000) menyatakan bahwa nilai hedonik adalah salah satu aspek dari perilaku konsumen yang berhubungan dengan aspek multi sensori, fantasi, dan emosi dalam pengalaman yang dikendalikan oleh berbagai manfaat seperti kesenangan dalam menggunakan produk. Nilai hedonik dapat dipuaskan dengan perasaan emosional yang timbul dari interaksi sosial yang didapatkan saat berbelanja. Konsumen yang berbelanja untuk rekreasi mengharapkan nilai hedonik yang tingkatannya lebih tinggi. Menurut Carrol (2004) nilai hedonik yang tinggi mempengaruhi kepuasan konsemen. Nilai hedonik dikarakteristikkan dengan tujuan diri (self purposeful) dan orientasi diri (self oriented), dimana sifat dari nilai hedonic lebih abstrak (Babin et al,1994; Holbrook,1999). Hiburan (entertainment) dan eksplorasi (exploration) juga disadari berkontribusi pada nilai hedonik.
xxxiii
17 xxxiv
Ekspresi motivasi dalam pembelian dan pemakaian produk menurut Setiadi (2003:97), dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Utilitarian 3. Objektif) ( Sifat Produk Kebutuhan
Evaluasi alternatif pembelian dan pemakaian Hedonik/Pengalaman 4. Emosional) ( Subyek atau
Sumber: Setiadi., 2003.
Gambar 2.2 Ekspresi Motivasi Pembelian dan Pemakaian Produk 2.1.4 Motivasi Belanja Hedonik Menurut Utami (2010:49) motivasi untuk berbelanja, antara lain untuk menghilangkan kesepian, menghilangkan kebosanan, menganggap berbelanja sebagai olahraga, memburu penawaran terbaik, memenuhi fantasi, dan menekan depresi. Seseorang yang memiliki sifat konsumsi hedonis menghasilkan respons penting seperti multisensori, fantasi atau khayalan, dan aspek emosional dari interaksi konsumen dengan produk. Hal itu diperuat oleh Kim (2006) bahwa hedonic shopping motivation identik dengan pemenuhan aspek non fungsional konsumen. Menurut Hausman (2000), motivasi belanja hedonik secara signifikan berpengaruh terhadap pembelian impulsif. Dawson, Bloch dan Ridgway (1990) juga menegaskan bahwa konsumen yang ketika berbelanja dikendalikan oleh hedonic motivation yang besar akan menaruh perhatian yang tinggi terhadap atribut-atribut di
xxxiv
18 xxxv
toko ritel, seperti penataan produk dan promosi dalam toko, dimana hal tersebut memiliki pengaruh besar pada proses pengambilan keputusan pembelian. Menurut Utami (2010) dalam studi eksploratoris kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan, mengidentifikasi variabel hedonic shopping motivation diantaranya yaitu: adventure shopping, social shopping,gratification shopping, idea shopping, role shopping, dan value shopping. 2.1.4.1 Adventure Shopping Adventure shopping adalah aktivitas belanja yang dapat membangkitkan gairah, merasakan bahwa belanja adalah suatu pengalaman, dan dengan berbelanja konsumen dapat merasakan bahwa mereka mimiliki dunia sendiri (Arnold dan Reynold, 2003:80). Kim (2006) juga menambahkan bahwa dalam adventure shopping, konsumen ingin merasakan suatu pengalaman belanja pada lingkungan yang berbeda yang mampu menstimulasi perasaan mereka. Sebuah pengalaman berbelanja dapat digolongkan sebagai petualangan apabila terdapat unsur sensasi, stimulasi, kegembiraan, dan fantasi memasuki dunia yang lain dengan memegang dan melihat barang, mencium bau harum di toko, serta mendengarkan bunyi-bunyian musik di toko. Babin et al., (1994) mengemukakan bahwa aspek petualangan sebagai faktor yang dapat menciptakan nilai belanja hedonik (hedonic shopping value). Aspek adventure shopping berorientasi eksternal dan kebutuhan untuk menstimulasi stress yang dialami oleh konsumen serta ekspresi diri (self-expression). Faktor ini juga sama
xxxv
xxxvi 19
dengan penemuan yang menunjukkan bahwa stimulasi sensorik untuk terus mencari ketika konsumen berbelanja. 2.1.4.2 Social Shopping Social shopping yaitu tujuan utama konsumen berbelanja untuk bersosialisasi dengan teman dan keluarga. Bersosialisasi sambil berbelanja guna mempererat hubungan dengan yang lainnya disaat berbelanja, mampu membuka kesempatan bagi pebelanja untuk berkomunikasi dengan pihak diluar tempat tinggalnya, serta berafiliasi dengan orang lain yang memiliki kesamaan tujuan atau minat (Arnold dan Reynold, 2003). Teori social shopping yang digali dari McGuire’s (1974) tentang afiliasi motivasi manusia seperti yang dikutip oleh Arnold
Reynold (2003). Teori ini
berfokus pada individu yang altruistic (mementingkan kepentingan orang lain), cohesive (suka berkumpul/bersatu), mencari penerimaan, dan perlindungan dalam hubungan interpersonal dengan orang lain (seeking acceptance and affection). Tauber (1972) menyadari bahwa keinginan konsumen untuk berinteraksi diluar rumah, berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki hobi yang sama, dan pertalian dengan kelompok acuan (reference group). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Westbrook dan Black (1985) yang mengidentifikasi affiliation sebagai motivasi dalam berbelanja serta motivasi sosial ketika berbelanja.
xxxvi
20 xxxvii
2.1.4.3 Gratification Shopping Gratification shopping yaitu kegiatan belanja ditujukan untuk melepaskan ketegangan, meringankan suasana hati yang sedang sedih, dan menghilangkan energi negatif (Arnold dan Reynold, 2003). Pengalaman belanja yang didapatkan oleh konsumen adalah sebuah cara untuk merilekskan diri, memperbaiki suasana hati yang sedih, atau bahkan hanya sekedar untuk menghibur diri. Motivasi gratification shopping berhubungan dengan diversi dan penghargaan pada diri (Tauber, 1972). Gratification shopping yang digali dari McGuire’s (1974) tentang teori mereduksi tekanan dari motivasi manusia yang menyatakan jika manusia akan termotivasi untuk melakukan berbagai cara tertentu untuk menurunkan tekanan, dengan cara menjaga keseimbangan dalam dirinya (inner equilibrium) dan mengembalikan kondisi diri pada keadaan yang terkendali. 2.1.4.4 Idea Shopping Idea shopping yaitu aktivitas belanja merupakan sarana untuk menambah dan memperbaharui pengetahuan mereka tentang trend dan mode baru yang sedang berkembang, serta untuk melihat inovasi dan produk baru yang tersedia dipasaran (Reynold dan Arnold, 2003). Menurut Tauber (1972) motivasi ini berhubungan dengan motif belanja personal tentang pembelajaran dari trend baru tentang dunia fashion, style dan innovation. Beberapa konsumen menikmati berbelanja dengan cara mencari guna
xxxvii
21 xxxviii
mendapatkan informasi bagi dirinya sendiri, bukan hanya untuk melakukan pembelian produk tertentu. 2.1.4.5 Role Shopping Role shopping yaitu merefleksikan kesenangan yang didapat ketika berbelanja untuk ornag lain, pengaruh dari aktivitas belanja pada perasaan dan suasana hati, serta kegembiraan yang dirasakan oleh pembelanja ketika menemukan sesuatu produk yang tepat untuk diberikan kepada orang lain. Sehingga konsumen ini merasakan perasaan positif yang mereka dapatkan dengan menemukan hadiah untuk seseorang (Arnold dan Reynold, 2003). Tauber (1962) menyatakan jika motif ini berhubungan dengan motif personal “role playing”, dimana aktivitas belanja menghasilkan efek yang positif untuk seseorang yang memandangnya sebagai bagian dari peran sosial. 2.1.4.6 Value Shopping Value shopping yaitu aktivitas berbelanja ditujukan untuk meraih nilai yang lebih baik dengan cara mendapatkan harga yang lebih murah, mencari potongan harga, dan berburu produk atau jasa yang memiliki harga yang paling murah (Arnold dan Reynolds, 2003). Bebin et a.l, (1994) menyatakan jika konsumen akan mendapatkan hedonic benefit dalam persepsinya ketika mencari penawaran terbaik dari produk (bargain perception), dimana hal ini dapat menimbulkan peningkatan keterlibatan sensorik dan kesenangan. Vakue shopping dapat dihubungkan dengan pilihan optimasi dimensi
xxxviii
22 xxxix
yang diidentifikasi oleh Westbrook dan Black (1985), yang menjelaskan jika dalam berbelanja konsumen menemukan potongan harga atau penawaran produk yang terbaik maka dapat menimbulkan kepuasan dalam pencapaian personal (personal achievement). 2.1.5 Pembelian Impulsif Menurut Piron (1993) konsekuensi pembelian impulsif adalah adanya rasa senang dan perasaan yang lebih baik. Hal ini disebabkan proses belanja yang dilakukan telah memberikan kesenangan tersendiri, sehingga pembelian impulsif dapat memberikan suatu hedonic reward bagi pelakunya. Terdapat beberapa definisi yang menyamakan antara pembelian impulsif sebagai pembelian yang tidak terencana seperti yang diungkapkan oleh Cobb dan Hoyer (1986) dimana mereka secara sederhana mendefinisikan pembelian impulsif sebagai suatu pembelian yang tidak terencana. Hal ini dijelaskan oleh Piron (1993:509) bahwa pembelian tidak terencana adalah perilaku pembelian yang dilakukan tanpa adanya permasalahan awal atau tanpa ada minat pembelian sebelum memasuki toko. Verplanken dan Herabadi (2001) mendefinisikan pembelian impulsif sebagai pembelian yang tidak rasional dan diasosiasikan sebagai pembelian yang dilakukan secara spontan dan tidak direncanakan, diikuti oleh adanya konflik fikiran dan dorongan emosional. Dorongan emosional tersebut terkait dengan adanya perasaan yang intens yang ditunjukkan dengan melakukan pembelian karena adanya dorongan untuk
membeli
suatu
produk
dengan
xxxix
segera,
mengabaikan
konsekuensi
xl 23
negatif,merasakan kepuasan dan mengalami konflik di dalam pemikiran (Rook dalamVerplanken, 2001). Pembelian impulsif merupakan pembelian yang dilakukan secara tiba-tiba dan dilakukan segera tanpa tujuan pra belanja untuk membeli suatu produk tertentu terlebih dahulu atau untuk memenuhi kebutuhan pembelian produk yang sudah direncanakan sebelumnya. Perilaku tersebut terjadi karena adanya dorongan untuk membeli secara spontan dan tanpa banyak pemikiran. Sehingga konsumen tidak memikirkan konsekuensi dari pembelian yang dilakukan, melainkan konsumen memikirkan konsekuensinya setelah terjadinya keputusan pembelian (pasca purchase). Pembelian impulsif memang sulit untuk dilawan, karena hal ini menimbulkan pengalaman yang menyenangkan ketika berbelanja (Rook, 1998:190). Pembelian impulsif cenderung mendekati model perilaku pembelian dengan keterlibatan rendah (low involvement) dibandingkan model pengambilan keputusan yang kompleks. 2.1.5.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif Terdapat sembilan faktor yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif yang dilakukan oleh konsumen. Hal ini ditujukkan pada tabel 2.1 berikut ini:
xl
xli24
TABEL 2.1 Faktor Pendorong Terjadinya Pembelian Impulsif No
Faktor Impulse Buying
1.
Low price
Keterangan Harga yang renda yaitu faktor yang paling mendorong konsumen untuk melakukan pembelian impulsif.
2.
Marginal of Item
sebagai derajat kebutuhan kosumen akan suatu produk, baik produk tersebut berpengaruh sebagai produk impuls atau tidak.
3
Mass distribution
apabila lebih banyak jumlah outlet dimana produk tersebut
tersedia,
maka
lebih
banyak
pula
kesempatan bagi konsumen untuk mendapatkan produk tersebut. 4.
Self service
dimana toko menyediakan layanan bagi konsumen untuk melayani dirinya sendiri, maka dari itu konsumen akan termotivasi untuk membeli lebih cepat
dengan
jumlah
yang
lebih
banyak
diabandingkan jika dilayani oleh pramuniaga. 5.
Mass advertising
kriteria dari impulse buying seperti remainder dan planned impuls buying terjadi karena tingginya tingkat pengetahuan konsumen akan suatu produk, dimana hal ini didapatkan dari iklan tentang produk yang berada dimana-mana.
6.
Prominent store display
penataan produk yang menarik sangat dibutuhkan untuk menarik konsumen melakukan pembelian impulsif.
xli
xlii25
7.
Short product life
produk yang memiliki daya tahan singkat ternyata menjadi sasaran pembelian dengan frekuensi yang lebih sering, daripada produk yang memiliki daya tahan lama.
8.
Small size or light
di dalam faktor ini harga, ukuran, atau berat dari
weight
item produk tertentu juga dapat berpengaruh terhadap pembelian impulsif.
9.
Ease of storage
kemudahan tempat atau ruang untuk menyimpan suatu produk dirumah setelah dibeli.
Sumber : Stern (1992)
2.1.5.2 Klasifikasi Pembelian Impuslsif Yu K. Hen et al., (1991) (dalam Solomon dan Rabolt, 2009), menyatakan klasifikasi impulse buying, terdiri dari 4 tipe yaitu: 1. Pembelian impuls murni (Pure Impulse Buying), yaitu pembelian yang terjadi tanpa adanya pemikiran atau rencana sebelumnya. Pembelian impuls murni merupakan pembelian yang berusaha keluar dari pola pembelian yang normal. 2. Pembelian impuls karena teringat (Remainder Impulse Buying), yaitu pembelian yang terjadi ketika konsumen melihat suatu produk dan teringat akan iklan suatu produk yang memicunya untuk membeli produk tersebut. 3. Pembelian impuls karena saran (Suggestion Impulse Buying), yaitu pembelian yang terjadi ketika konsumen melihat suatu produk untuk yang pertama kali dan memvisualisasi kebutuhan akan produk tersebut. Perbedaan dengan remainder adalah bahwa sebelumnya konsumen belum memiliki pengetahuan tentang produk tersebut, dengan kata lain produk tersebut baru bagi dirinya.
xlii
xliii 26
4. Pembelian impuls yang direncanakan (Planned Impulse Buying), yaitu pembelian yang terjadi ketika konsumen memasuki toko dengan tujuan untuk membeli sesuatu yang ada dalam benaknya, namun dengan harapan dan niat untuk membeli sesuatu berdasarkan adanya diskon, harga, dan hadiah. 2.1.6 Retailer Menurut Buchari Alma (2009:54) perdagangan eceran (retailer) adalah suatu kegiatan menjual barang dan jasa kepada konsumen akhir. Ini merupakan mata rantai terakhir dalam penyaluran barang dan jasa. Retailer berperan penting bagi produsen, karena melalui retailer produsen dapat memperoleh informasi berharga tentang produknya. Produsen dapat memperoleh data dari retailer, bagaimana pandangan konsumen mengenai bentuk, rasa, daya tahan, harga dan segala sesuatu mengenai produknya. Menurut Buchari Alma (2009:58) konsumen sekarang sangat manja, dan mereka dapat dilayani oleh berbagai tipe toko eceran dengan persediaan aneka macam barang, untuk memenuhi berbagai needs dan wants. Toko eceran tumbuh sangat cepat dalam bentuk: 1. Store retailers , bertumbuh pesat seperti specialty store, department store, supermarket, convience store, discount store, off-price retailers (factory outlets, independent off-price retailers, warehouse clubs/wholehouse club), superstore, catalog showroom. 2. Nonstore retailers terdiri dari empat macam, yaitu:
xliii
27 xliv
a. Direct sellling (penjualan pintu ke pintu), ada beberapa bentuk dirrect selling yaitu one-to-one selling, yaitu mengarahkan penjualannya ke satu pembeli potensial dan one to many/party selling, seorang wiraniaga mengunjungi suatu kelompok calon konsumen. b. Direct marketing, ini berasal dari kegiatan direct mail dan penyebaran katalog, termasuk kedalamnya telemarketing dengan menggunakan media televisi dan electronic shopping melalui internet. c. Automatic pending, digunakan untuk menjual barang-barangyang dibeli secara impulse atau emotional buying motive, seperti rokok, koran, permen, softdrink dan sebagainya. d. Buying services, usaha ini tidak memiliki toko, dan melayani anggota langganan khusus, seperti pelayan sebuah perkantoran, dan kelompok lainnya yang membeli dan mendapat diskon. 3. Retail organitation. Walaupun kebanyakan toko eceran ini milik perorangan yang mandiri, namun bertumbuh pula toko eceran yang dikelola oleh organisasi perusahaan. Perusahaan toko eceran ini memperoleh berbagai keuntungan secara ekonomis, daya belinya kuat, tenaga pelayanannya cukup terlatih. Bentuk utama dari corporate retailing ini ialah chain store, voluntary chain store, retailer cooperatives, waralaba, dan sebagainya.
xliv
28 xlv
2.1.7 Hubungan Motivasi Belanja Hedonik dengan Pembelian Impuslif Keputusan pembelian yang bersifat impulse buying dapat didasari oleh faktor individu konsumen yang cenderung berperilaku afektif. Perilaku ini yang kemudian membuat pelanggan
memiliki pengalaman belanja. Pengalaman ini dapat
dikelompokkan menjadi hedonic shopping value. Menurut Sherry (1990) menyatakan bahwa tawar dan menawar adalah dua pengalaman berbelanja yang berhubungan dengan kenikmatan dalam berbelanja, oleh karena itu disarankan bahwa pengalaman pembelian mungkin adalah lebih penting dibanding memenuhi keinginan hedonis berhubungan dengan konsumsi hedonis (Hausman, 2000; Piron, 1991; Rook, 1987) (dalam Park; Kim; dan Forney, 2005). Peran ini mendukung hubungan konseptual antara hedonic shopping motivation dan perilaku impulse buying. Hal ini menunjukkan konsumen lebih mungkin terlibat dalam impulse buying ketika mereka termotivasi oleh keinginan hedonis, seperti kesenangan, fantasi, dan sosial atau kepuasan emosional. 2.1.8 Penelitian Terdahulu Ada beberapa penelitian yang telah mendahului penelitian ini dan penelitianpenelitian tersebut menjadi pijakan dan dasar bagi penelitian ini. 2.1.8.1 Kim (2006) Penelitian ini menjelaskan tentang perbandingan hedonic shopping motivation dan utilitarian shopping motivation yang digunakan sebagai dasar menguji perilaku “inner city consumer” ketika berbelanja. Inner city consumer adalah masyarakat yang
xlv
29 xlvi
tinggal di daerah pusat kota namun memiliki penghasilan rumah tangga yang relative rendah dan tingkat pengangguran yang tinggi. Kim menggunakan 6 (enam) dimensi kategori hedonic shopping motivation dalam penelitiannya selain 2 (dua) dimensi kategori utilitarian shopping motivation untuk membuat suatu klasifikasi baru pada jenis pembelanja (shopper). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim, menyebutkan jika gender memegang peranan dalam menentukan motivasi belanja konsumen, dimana wanita memiliki kecenderungan lebih tinggi pada hedonic shopping motivation dan sebaliknya pria memiliki kecenderungan lebih tinggi pada utilitarian shopping motivation. Sehingga penelitian ini menyarankan retailer yang ingin tetap mempertahankan konsumennya untuk lebih memperhatikan faktor kesenangan dan kenyamanan konsumen ketika berbelanja di toko mereka. 2.1.8.2 Rachmawati (2009) Penelitian ini mengangkat topik yang berkaitan dengan hubungan antara hedonic shopping value, positive emotion, dan perilaku impulse buying pada konsumen ritel. Populasi dalam penelitian ini yaitu pelanggan departemen strore yang berada di Surabaya seperti, Surabaya Plaza, Tunjungan Plaza, Super Mall, Royal Plaza, dan Cito. Jumlah responden dalam penelitian ini berjumlah 200 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Metode analisis data dengan menggunakan teknik analisis multiple regression dan hierarchical regression untuk melihat pengaruh dari variabel-variabel penelitian, dengan ini uji kausalitas juga dilakukan karena penelitian ini bermaksud untuk
xlvi
30 xlvii
menjelaskan hubungan sebab akibat antar variabel melalui pengujian hipotesis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hipotesis pertama variabel hedonic shopping value dan positive emotion mempunyai pengaruh terhadap variabel impulse buying, serta hipotesis kedua menyatakan bahwa variabel positive emotion merupakan variabel mediasi antara variabel hedonic shopping value terhadap impulse buying. 2.1.8.3 Kusuma, dkk (2013) Penelitian ini menjelaskan mengenai pengaruh hedonic shopping motivation terhadap buying decision with gender as dummy variable. Responden dalam penelitian ini adalah konsumen Hardy’s Mall Singaraja, dengan jumlah responden sebanyak 360 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu purposive sampling dengan kriteria konsumen yang pernah berbelanja di Hardy’s Mall Singaraja sebanyak dua kali, serta kriteria pendidikan paling rendah SMA/SMK sederajat. Hasil penelitiannya menujukkan bahwa hedonic shopping motivation yang memiliki pengaruh positif terhadap buying decision. Namun, pada faktor gratification shopping motivation tidak berpengaruh secara signifikan karena bagaimana pun konsumen merasa senang datang ke Hardy’s Mall tidak dapat memotivasi mereka untuk melakukan keputusan pembelian, hal ini disebabkan banyaknya konsumen yang datang ke Mall hanya untuk menghilangkan stress dengan cara berjalan-jalan disekitar window shopping di area Hardy’s Mall.
xlvii
31 xlviii
2.2 Rerangka Pemikiran Salah satu pemicu pertumbuhan ritel bisnis modern di bidang fashion yaitu masyarakat kota yang semakin modern. Maka tida heran jika perhatian para pelaku bisnis ritel modern seperti Matahari Departemen Store mulai memperhatikan aspek hedonis untuk menarik pelanggan dan membuat mereka (konsumen) puas, sehingga konsumen dapat betah berlama-lama di pusat perbelanjaan serta membelanjakan uangnya. Pendapat yang sama di kemukakan oleh Zhang et al., (2011) bahwa konsumen yang merasakan pengalaman berbelanja hedonik yang lebih besar cenderung meluangkan waktu lebih lama untuk mencari dan memeriksa produk, serta menikmati kegiatan berbelanjanya. Penelitian Park et al., (2006) menunjukkan bahwa nilai yang
bersifat emosional (hedonik) mendorong terjadinya pembelian impulsif. Semuel (2006) menemukan bahwa nilai emosional mempunyai dampak positif secara langsung terhadap kecenderungan perilaku pembelian impulsif. Silvera et al., (2008) menyatakan bahwa perilaku pembelian impulsif sering dilakukan untuk memuaskan motif yang bersifat hedonik atau yang disebut juga sebagai motivasi belanja hedonik. Motivasi belanja hedonik terdiri dari adventure shopping dimana belanja merupakan suatu petualangan dan sarana pembangkit semangat, social shopping dimana belanja dapat digunakan sebagai sarana untuk bersosialisasi baik dengan teman dan keluarga, gratification shopping dimana belanja dapat mengatasi dan mengurangi stress, idea shopping dimana berbelanja sebagi sarana untuk mengikuti trend terbaru, role shopping dimana berbelanja untuk orang lain merupakan sebuah kesenangan, dan value shopping dimana berbelanja sarana untuk mencari diskon. Harmancioglu et al., xlviii
32 xlix
(2009) menemukan bahwa nilai
emosional
konsumen seperti kesenangan
meningkatkan kecenderungan perilaku pembelian impulsif. Tirmizi et al. (2009) juga menemukan nilai yang bersifat emosional memiliki hubungan positif dengan perilaku pembelian impulsif. Ulasan tersebut dapat disusun rerangka pemikiran seperti pada gambar 2.3.
xlix
l 33
Latar Belakang
Pemicu pertumbuhan bisnis ritel modern dibidang fashion yaitu masyarakat kota yang semakin modern, sehingga para pelaku bisnis ritel modern seperti Matahari Departement Store mulai memperhatikan aspek hedonis.
Identifikasi Masalah
Aspek hedonis dalam strategi ritel modern dapat mempengaruhi motivasi belanja hedonik konsumen Matahari Departement Store dalam melakukan pembelian impulsif.
Teori
Motivasi belanja hedonik (Utami: 2010) Pembelian impulsif (Solomon dan Rabolt, 2009)
Rumusan Masalah
Penelitian Empiris
Apakah variabel motivasi belanja hedonik berpengaruh terhadap pembelian impulsif konsumen Matahari Departement Store cabang Delta Surabaya?
Penelitian oleh Rachmawati (2009) menyatakan bahwa Hedonic shopping value dan positive emotion berpengaruh terhadap impulse buying. Penelitian oleh Kusuma dkk (2013) menyatakan bahwa motivasi belanja hedonik berpengaruh terhadap keputusan pembelian.
Motivasi Belanja Hedonik 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Adveture Sopping Social Shopping Gratification Sopping Idea Shopping Role Shoping Value Shopping
Pembelian Impulsif
GAMBAR 2.3 Rerangka Pemikiran
l
34 li
Berdasarkan rerangka berpikir yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disusun model konseptual hubungan antara variabel yang tersaji pada Gambar 2.4
Adventure Shopping (X1) Social Shopping (X2) Gratification Shopping (X3)
Pembelian Impulsif (Y)
Idea Shopping (X4) Role Shopping (X5) Value Shopping (X6) Gambar 2.4 Model Konseptual 2.3 Perumusan Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan landasan teori yang diuraikan sebelumnya, serta untuk mengidentifikasi variabel motifasi belanja hedonik terhadap pembelian impulsif, maka dapat dirumuskan hipotesis untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Adventure sopping berpengaruh terhadap pembelian impulsif. 2. Social shopping berpengaruh terhadap pembelian impulsif.
li
lii 35
3. Gratification Shopping berpengaruh terhadap pembelian impulsif. 4. Idea sopping berpengaruh terhadap pembelian impulsif. 5. Role sopping berpengaruh terhadap pembelian impulsif. 6. Value sopping berpengaruh terhadap pembelian impulsif.
lii