BAB 2 DATA DAN ANALISA
2.1
Sumber Data Adapun data dan informasi yang digunakan guna mendukung proyek Tugas Akhir ini diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, antara lain: 1. Data elektronik maupun non-elektronik yang berupa artikel yang terdapat pada media cetak maupun internet. 2. Wawancara khusus dengan nara sumber yang dapat dipercaya yang berasal dari pihak terkait antara lain cucu dari Tjong A Fie, dan peneliti yang pernah melakukan riset mengenai hal ini. 3. Data-data yang didapat dari buku “Tionghoa dalam Pusaran Politik” terbitan Transmedia Pustaka dan “Pelangi Cina Indonesia” terbitan Intisari yang ada mengangkat kisahnya dalam salah satu bab.
2.2
Data Buku publikasi tentang Tjong A Fie ini merupakan sebuah buku otobiografi yang dimana isinya bercerita tentang bagaimana perjalanan hidup sang perantau yang dermawan dalam meraih cita-citanya, mulai dari masa awalnya beliau lahir di Cina, hidup sederhana namun memiliki impian untuk merantau di negeri orang untuk mencari kekayaan dan menjadi orang 3
terpandang, kehidupan awalnya semasa di Labuhan Deli, Hindia-Belanda, Pangkat Mayor yang diterima, Peranannya dalam pembangunan di beberapa kota di Sumatera Timur seperti Medan, Pulau Sicanang, Belawan, bahkan hingga ke daratan Cina, kampung halamannya sendiri, hingga ia meninggal dunia dan dia menjadi seorang tokoh multikulturalisme yang sangat dihormati dan disayangi karena kedermawanannya yang tidak memandang suku, agama ataupun ras. Buku biografi ini akan menceritakan dari awal hingga akhir perjalanan hidup sang perantau Cina yang sukses nan dermawan di kota Medan. Dengan data dan informasi potongan cerita sebagai berikut: Kota Medan, sebuah kota yang terbentuk melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang. Mulai dari saat pertama kalinya ditemukan oleh Guru Patimpus hingga pindahnya pusat pemerintahan Kesultanan Deli dari Labuhan Deli ke Medan. Sejarah nama kota Medan itu sendiri memiliki beberapa versi, ada yang menyebutnya berasal dari kata “Medan Peperangan” karena posisinya berada di daerah peperangan saat kerajaan Aceh berperang dengan kesultanan Deli dikarenakan pinangan raja Aceh kepada putri dari Raja Deli yang terkenal akan kecantikannya ditolak, sehingga pecahlah peperangan antara kedua belah pihak dan lokasinya tersebut berada diantara Deli Tua dan Labuhan Deli. Ada juga sumber yang mengatakan bahwa kata “Medan” berasal dari kata “Maiden” dalam bahasa India yang artinya tanah datar, dimana Raja Deli yang pertama adalah tuanku Zulkarnaen Segh yang berasal dari daerah 4
Hindustan. Nama “Deli” berasal dari kata “Delhi” ibukota Negara India sekarang. Pada tahun 1863, Jacob Nienhuys yang merupakan seorang pengusaha perkebunan di Jawa mengunjungi daerah pantai pesisir timur laut Sumatera dan mengawali negosiasi dengan Sultan Deli, Sultan Mahmud Perkasa Alam dengan maksud untuk mendapatkan tanah untuk perkebunan. Perkebunan tersebut diawali di Labuhan Deli, kemudian dilanjutkan lagi di Martubung, Sunggal, Sungai Beras dan Kelumpang. Setahun kemudian, hasil dari panen tembakau tersebut diekspor pertama kali ke Rotterdam, dan hasilnya memuaskan dan akhirnya hal ini menjadikan tembakau Deli ini menjadi sangat terkenal. Inilah awal proses dimana eksploitasi besar-besaran dilakukan oleh perusahaan perusahaan Eropa disepanjang pesisir timur laut Sumatera khususnya didaerah Deli. Karena begitu pesatnya pertumbuhan perkebunan-perkebunan yang ada didaerah Deli, Pusat pemerintahan Sultan Deli yang ada di Labuhan Deli lambat laun menjadi pusat administrasi, perdagangan bahan pokok dan fasilitas pelabuhan yang ramai dikunjungi. Pusat Pemerintahan Kesultanan Deli pun akhirnya dipindahkan ke Medan dan pada tanggal 18 Mei 1891, Sultan Deli, Mahmud Al Rasyid Perkasa Alamsyah pindah ke Istana Maimon, Medan. Dikarenakan perkembangan perkebunan yang begitu pesat didaerah Deli, maka dibangunlah kantor-kantor, dan gudang untuk menyimpan hasil-hasil panen di Medan karena Medan menjadi makin penting sebagai pusat jaringan 5
transportasi didaerah Sumatera Timur. Pegawai-pegawai perkebunan yang dibutuhkan pun semakin banyak, namun karena pada mulanya penduduk asli enggan bekerja sebagai buruh perkebunan, maka banyak dimasukkan buruhburuh berdarah China dari Swatow, dan semenanjung Malaya (Penang) dan sejak tahun 1875, juga didatangkan para buruh dari pulau Jawa. Dan hal ini jugalah yang menjadi salah satu faktor pendorong dari orangorang China untuk datang ke Indonesia, yakni untuk memperoleh pekerjaan dan memulai kehidupan baru dikarenakan situasi China disaat itu sendiri tidaklah bagus. Di China sendiri terjadi pergolakan sosial ekonomi karena pergantian dinasti yang memegang kekuasaan di China, selain itu juga dikarenakan penguasaan tanah yang dimana lahan pertanian tidak memadai lagi bagi penduduk. Salah satu dari ribuan orang yang datang dari China itu adalah Tjong Fung Nam, seorang anak dari pemilik kedai sampah (toko kelontong) di provinsi Kwantung bagian selatan daratan Tiongkok dan berasal dari suku “Khe” atau Hakka. Tjong Fung Nam atau yang kelak lebih populer dengan nama Tjong A Fie lahir pada tahun 1860 di desa Sungkow daerah Moyan atau Meixien. Bersama dengan abangnya, Tjong Yong Hian, Tjong A Fie meninggalkan bangku sekolah dan membantu ayahnya menjaga toko, dalam setiap urusan dagang, abangnya selalu mengharuskan ia mempertimbangkan dengan masakmasak terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Sejak kecil ia dididik 6
untuk selalu berhemat dan hidup sederhana karena keluarganya selalu menghindari sifat boros dan tidak akan mengeluarkan uang untuk hal-hal yang tidak berguna dan tidak perlu. Walaupun hanya mendapatkan pendidikan yang seadanya, namun Tjong A Fie merupakan seorang yang sangat cerdas dan hanya dalam waktu yang singkat dapat menguasai kiat-kiat dagang dan usaha keluarganya pun dapat dikelola dengan baik dan mendapat kemajuan. Tetapi ternyata Tjong A Fie memiliki suatu cita-cita lain, yakni ingin mengadu nasib di perantauan untuk mencari kekayaan dan ingin menjadi orang yang terpandang. Dan tekad inilah yang menyertai dia ketika dia meninggalkan kampung halamannya untuk pergi ke Hindia Belanda setelah ayahnya meninggal dan mengikuti jejak abangnya, Tjong Yong Hian yang telah terlebih dahulu merantau ke Hindia Belanda. Di usianya yang baru 18 tahun, Tjong A Fie memulai perjalanannya dengan hanya berbekal 10 dolar perak uang Manchu meninggalkan kampung halamannya untuk menyusul kakaknya yang telah 5 tahun menetap di Sumatera. Setelah berbulan - bulan berlayar, akhirnya pada tahun 1880, Tjong A Fie tiba di Labuhan Deli, sebuah kota kecil di pantai timur Sumatera. Dan disana dia mendapati kakaknya telah berhasil menjadi pemuka masyarakat Tionghoa sekitar dengan pangkat Letnan (Liutenant der Chineze). Tjong Yong Hian memulai usahanya dengan membuka toko untuk memenuhi berbagai kebutuhan perkebunan tembakau dan kelapa sawit kepunyaan orang-orang Belanda yang seperti diketahui pada masa tersebut, 7
perkebunan di daerah tersebut sangatlah ternama dan berkembang begitu pesat. Disamping itu, ia juga menjadi pemasok “koeli” (buruh perkebunan) yang didatangkan dari daratan Tiongkok, yang disaat sekarang ini mungkin lebih kita kenal sebagai penyalur TKI yang dikirimkan ke negara - negara yang membutuhkan. Tetapi seperti opsir Tionghoa lainnya, kekayaan Tjong Yong Hian juga diperoleh dari keuntungan perdagangan candu (pachter candu) dan rumah judi. Ketika itu, para buruh telah menjadi sangat bergantung kepada candu, mereka kehilangan gairah dan tidak mau bekerja apabila tidak memperoleh candu. Para pemilik perkebunan sengaja membuat mereka bergantung kepada candu dan perjudian, sehingga seluruh penghasilan buruhburuh perkebunan tersebut habis tidak bersisa dan ketika kontrak kerja mereka selesai (3 tahun) mereka tidak dapat kembali ke tempat asal mereka sehingga para pemilik perkebunan tidak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk mendatangkan tenaga kerja baru. Tjong A Fie sendiri merupakan orang yang berwatak mandiri dan tidak mau menggantungkan dirinya kepada siapapun termasuk abangnya yang telah berhasil memupuk kekayaan dan menjadi pimpinan orang Tionghoa setempat yang dihormati. Oleh sebab itu, kakaknya merekomendasikannya untuk bekerja dengan Tjong Sui Fo, seorang pemilik kedai sampah (toko kelontong). Tjong Sui Fo melihat dia sebagai sosok yang jujur dan pemberani, oleh sebab itu dia menerima Tjong A Fie untuk bekerja di tempatnya. Disamping itu, Tjong Sui Fo juga percaya bahwa orang yang memiliki kulit kecoklatan seperti Tjong A Fie membawa rezeki yang besar. 8
Tjong A Fie bekerja serabutan mulai dari mengurusi pembukuan, melayani para pelanggan di toko hingga menagih rekening dan melakukan tugastugas lain. Karena kecakapannya dalam bergaul, seluruh langganan yang mempunyai hutang bisa ditagih dan diselesaikan dengan baik, majikannya menjadi sangat puas dengan hasil kerjanya tersebut. Tjong A Fie sangatlah pandai bergaul, dengan orang Melayu, orang Arab, India bahkan dengan orang Belanda yang menjajah negeri ini. Ia kemudian belajar bahasa Melayu, bahasa yang digunakan oleh berbagai kalangan dimasa tersebut. Tjong Sui Fo merupakan pemasok barang untuk penjara setempat, sehingga Tjong A Fie sering mengantarkan barang kesana dan sempat mendengar keluhan dari beberapa tahanan, banyak dari mereka yang ditahan bukan karena melakukan kejahatan tetapi karena bergabung dengan serikat rahasia. Tjong A Fie bersimpati kepada mereka, tetapi ia coba menjelaskan kepada mereka bahwa keanggotaan dalam perserikatan tersebut dilarang oleh hukum dimasa tersebut. Setelah bekerja cukup lama dengan Tjong Sui Fo, akhirnya Tjong A Fie memulai usaha sendiri dan membuka kedai sampah (toko kelontong) yang bernama “Ban Yun Tjong”. Usahanya tersebut terus berkembang karena relasinya yang sangat baik dengan para pelanggan. Disamping itu, dia juga menjalin hubungan yang baik dengan adik dari Sultan Deli, karena hubungan baiknya tersebut jugalah, Tjong A Fie dikenalkan kepada Sultan Deli, Sultan 9
Ma’moen Al Rasyid. Kedua orang ini berteman sangat baik dan benar-benar atas dasar prinsip dari Tjong A Fie itu sendiri, yakni keadilan, kepercayaan, dan kesetiaan. Hal itulah yang melandasi kedua hubungan orang tersebut. Tjong A Fie berhasil menjadi orang kepercayaan dari Sultan Deli dalam menangani beberapa urusan bisnis dan ia pun memanfaatkannya dengan baik dan berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan oleh Sultan. Hubungan yang baik dengan Sultan Deli ini menjadi awal sukses dari Tjong A Fie dalam dunia bisnis. Tjong A Fie mendapat kepercayaan yang begitu besar dari berbagai pihak dan disegani di Labuhan Deli. Hingga akhirnya masyarakat Tionghoa sekitar menginginkan ia dijadikan sebagai Wijkmeester (Kepala Distrik) bagi orangorang China dan permintaan tersebut pun dikabulkan oleh pihak Belanda. Dan ia akhirnya berkantor di Medan. Karena hubungan mereka yang erat pula, Sultan Ma’moen Al Rasyid memberi tanah di Seruway untuk dikelola olehnya. Dia juga berhasil menjadi pachter candu (pemasok candu) untuk daerah Deli dan dari keuntungan monopoli perdagangan candu tersebut, ia mengembangkan usahanya. Dengan menggunakan intuisinya, ia membeli perkebunan karet si Boelan yang memberinya banyak keuntungan. Padahal pada saat itu, yang menjadi primadona adalah perkebunan tembakau yang dimana tembakau Deli sangatlah terkenal didunia dan khususnya di Amerika Serikat. Tetapi pada tahun 1891, bisnis tembakau mengalami krisis. Panen dunia melimpah ruah, Amerika Serikat 10
selaku konsumen utama tembakau Deli memberlakukan ”tarif McKinley” yakni, menaikkan bea masuk tembakau dan dengan sendirinya harga tembakau anjilok dan orang mulai beralih ke bisnis karet. Kejadian inilah yang memberi untung yang sangat besar kepada Tjong A Fie. Di masa tersebut, sebenarnya Tjong A Fie telah memiliki Istri, yakni nona Lee yang berada di China dan merupakan gadis yang dijodohkan oleh orang tua mereka saat masih kecil. Nona Lee tetap berada di China dan menjaga ibunda dari Tjong A Fie. Saat di Labuhan Deli, Tjong A Fie juga menikah dengan putri dari keluarga Chew, yakni salah satu keluarga yang terpandang di Penang dan merupakan pionir pula seperti Tjong A Fie. Dari istri keduanya ini, dia memiliki 3 orang anak, Tjong Kong Liong, Tjong Song Jin, dan Tjong Kwei Jin. Dan pada saat melahirkan anak ketiganya, nona Chew meninggal dunia. Untuk ketiga kalinya, ia menikah dengan Lim Kui Yap yang merupakan anak dari seorang mandor perkebunan tembakau di sungai Mencirim yang mengepalai ratusan kuli kontrak. Lim Kui Yap di lahirkan di Binjai tahun 1880, merupakan keturunan Cina peranakan dari orang Tionghoa dengan orang Melayu. Pada saat Tjong A Fie ingin meminangnya sebagai istri, Lim Kui Yap menerima pinangannya tersebut karena menghargai kejujuran dari Tjong A Fie dalam mengakui dirinya sudah pernah menikah namun dengan syarat ia tidak boleh lagi menikah dengan orang lain setelah menikahi dirinya dan Tjong A Fie pun menerima syarat tersebut.
11
Beberapa bulan setelah pernikahan mereka, Tjong A Fie naik pangkat sehingga Lim Kui Yap dianggap membawa rezeki. Dari istrinya, Tjong A Fie dikaruniai 7 orang anak, Tjong Fuk Yin (Queeny Chang), Tjong Fa Liong, Tjong Kian Liong (Djamboel), Tjong Kwe Liong (Munchong), Tjong Sze Yin, Tjong Lee Liong, Tjong Tseong Liong (Adek). Dari seluruh anaknya hanya Lim Fuk Yin (Queeny Chang) yang terkenal dikarenakan diusianya yang telah senja, dia sempat membuat buku otobiografi yang berjudul Memories of Nonya dan sebuah buku lainnya yang berjudul Ancient Customs and Traditions of China. Dia menikah dengan Lim King Jin, putera dari Lim Nee Kar hartawan dari Amoy, Hokkian yang juga merupakan Gubernur Taiwan dan menjadi partner dagang dari Tjong bersaudara. Anak kedua dari Tjong A Fie yang bernama Tjong Fa Liong juga dinikahkan dengan anak dari Lim Nee Kar. Tjong A Fie menjadi orang Tionghoa pertama yang memiliki perkebunan tembakau. Ia juga mengembangkan usahanya di bidang perkebunan teh di Bandar Baroe disamping perkebunan karet si Boelan dan juga memiliki perkebunan sawit yang luas. Di Sumatera Barat ia menanamkan modalnya dalam bidang pertambangan. Dalam bisnisnya, Tjong A Fie tidak hanya menempatkan orang Melayu atau Tionghoa dalam mengurus perusahaannya, tetapi juga terhadap seorang Belanda bernama Adolf Kamerlingh Onnes. Adolf Kamerlingh Onnes adalah anak dari salah satu keluarga terpandang di Belanda, namun karena sifatnya yang 12
gemar membuat onar di keluarganya, dia dikirimkan ke Hindia Belanda untuk bekerja di perkebunan, tetapi selalu dipecat. Pada suatu hari, Tjong A Fie menemukannya sedang melamun melihat gelas kosong di hotel Medan. Dia tidak pernah melihat seorang kulit putih yang berpakaian compang camping dan bersepatu butut seperti yang dilihatnya tersebut. Ia menjadi sangat tertarik dan ingin mengetahui lebih jauh mengenai orang tersebut dan mengapa sampai bisa demikian malang. Setelah mendengar seluruh kisahnya, Tjong A Fie sangat terkesan akan kejujurannya dan menawarkan pekerjaan sebagai administrator perkebunan. Dan keduanya tidak pernah menyesal akan hal tersebut. Ketika usaha Tjong A Fie berkembang dengan pesat, Adolf Kamerlingh Onnes diangkat sebagai orang kepercayaannya dan menjadi kepala pengawas dan admistrasi seluruh perkebunannya, yaitu : perkebunan karet, kelapa sawit, tembakau, maupun teh. Ia juga menjadi pengawas dan konsultan untuk seluruh bank-bank kepunyaannya. Dalam mengembangkan bisnisnya, Tjong A Fie juga bekerja sama dengan para pengusaha dari Medan, Penang, Singapura, Tiongkok, dan Batavia dalam mengerjakan berbagai macam proyek. Bersama dengan kakaknya,Tjong Yong Hian, mereka bekerja sama dengan Chang Bi Shi, konsul tiongkok di Singapura yang juga merupakan paman mereka dan pernah menjabat sebagai menteri transportasi China di masa tersebut mendirikan perusahaan kereta api The Chao-Chow & Swatow Railway Co.ltd. di daerah Tiongkok selatan yang 13
menghubungkan kedua kota tersebut. Untuk jasanya ini, Kaisar Manchu memberi Tjong Yong Hian kehormatan sebagai menteri perkereta-apian dan ia juga sempat menghadap dan beraudiensi dengan ibu suri Hsu Hsi. Untuk mengenang jasanya, wajah kedua kakak beradik ini menghiasi uang lembaran kertas Tiongkok pecahan 20 sen. Setelah itu, dia kembali berkongsi dengan Chang Bi Shi mendirikan bank Deli yang memainkan peranan penting dalam pengembangan usaha Tjong A Fie. Menantunya, Lim King Jin diangkat menjadi manajer bank tersebut. Di Batavia, Tjong A Fie bersama sama dengan mayor Khouw Kim An , Kapiten Lie Tjian Tjoen dan kawan-kawan mendirikan Batavia Bank dan Tjong A Fie memiliki sepertiga dari 600 lembar saham yang ada. Ketika Tjong Yong Hian meninggal dunia pada tahun 1911, Tjong A Fie diangkat menjadi penggantinya dan pangkatnya menjadi mayor. Sepanjang hidupnya dia banyak berbuat sosial dan senang menolong orang susah serta miskin. Ia juga banyak membangun sarana-sarana untuk kepentingan umum dan menolong orang miskin tanpa memandang warna kulit, suku ataupun agama karena sifat kedermawanannya tersebut memang berasal dari lubuk hatinya yang terdalam. Salah satu hal yang pernah ia lakukan yakni lima persen dari seluruh hasil keuntungan dari perkebunannya tersebut, ia berikan kepada para buruhnya karena ia berpendapat ,”Bahwa tidak akan ada satu tetes getah yang datang ke 14
meja saya jika tidak ada buruh yang bekerja pada saya” yang dimana hal ini sangatlah antusias disambut oleh pekerjanya namun sebaliknya direspon negatif oleh pemilik perkebunan lain karena hal ini tidak dilakukan mereka dan dapat menimbulkan kesenjangan dan pemberontakan buruh pada perkebunan lain. Selain itu, Tjong A Fie juga menolak adanya poenale sanctie (sanksi pidana) yang dimana merupakan peraturan yang melindungi kepentingan para pemilik perkebunan dimana bila seorang kuli perkebunan melarikan diri sebelum masa berlaku kontrak kerjanya habis, maka ia akan dikejar dan ditangkap kemudian di kembalikan atau dimasukkan dalam penjara. Dengan adanya poenale sanctie (sanksi pidana), maka nasib hidup kuli kontrak ini tidak akan ada bedanya dengan budak belian. Sebagai salah satu pemilik perkebunan, sikapnya tersebut dalam menentang poenale sanctie yang membela kepentingan kuli, menimbulkan sikap ketidak senangan dari para pemilik perkebunan lainnya yang menuduhnya sebagai pengkhianat. Semasa hidupnya banyak sarana kepentingan umum yang dibangun oleh beliau diantaranya, Jembatan Berlian (Jembatan Kebajikan) yang dibangun untuk menghormati kakaknya, Tjong Yong Hian. Selain itu juga ada membangun kelenteng, masing-masing di jalan Klingenstraat (Jl. Keling) dan di Pulo Brayan. Ia juga menyediakan tempat pemakaman di Pulo Brayan, membangun rumah sakit khusus penyakit lepra di pulau Sicanang. Sebagai rasa hormatnya terhadap Sultan Deli, Ma’moen Al Rasyid dan penduduk Islam medan, Ia menyumbang sepertiga dari seluruh biaya pembangunan Mesjid Raya Medan. 15
Tjong A Fie juga membiayai seluruh biaya pembangunan Mesjid Gang Bengkok yang terletak di dekat kediamannya di Kesawan (kini Jl. Jend. A. Yani), kecuali tanahnya yang merupakan tanah wakaf dari Datuk Haji M. Ali. Selain itu, ia juga menyediakan tanah untuk pembangunan sekolah Methodist di Medan. Tjong A Fie bukan hanya memberi sumbangan pada berbagai kelenteng, mesjid ataupun gereja, tetapi juga kuil-kuil Hindu tempat beribadah orang-orang India. Sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa, Tjong A Fie sangat dihormati dan disegani, karena ia sanggup memadukan kekuatan ekonomi dengan kekuatan politik. Kerajaan bisnisnya yang meliputi perkebunan, pabrik minyak sawit, pabrik gula, bank dan perusahaan kereta api. Ia mempekerjakan lebih dari 10.000 orang di berbagai perusahaannya. Dengan rekomendasi Sultan Deli, Tjong A Fie diangkat menjadi anggota gemeenteraad (dewan kota) dan cultuurraad (dewan kebudayaan) dan diangkat sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Tionghoa. Empat bulan sebelum meninggal dunia, dihadapan notaris Dirk Johan Focquin de Grave ia membuat surat wasiatnya yang isinya mewariskan seluruh harta kekayaannya di Sumatera maupun di luar Sumatera kepada yayasan Tan Moek Tong yang harus didirikan di Medan dan Sungkow pada saat ia meninggal dunia dan yayasan yang berada di Medan diminta untuk melakukan lima hal. Tiga diantaranya untuk memberikan bantuan keuangan kepada kaum muda yang berbakat dan berkelakuan baik serta ingin menyelesaikan 16
pendidikannya, tanpa membedaankan kebangsaan, suku, maupun ras. Yayasan ini juga harus membantu mereka yang tidak dapat bekerja dengan baik karena cacat fisik, buta, atau menderita penyakit berat. Juga yayasan diharapkan membantu para korban bencana alam tanpa memandang kebangsaan ataupun etnisnya. Dua hal khusus lainnya adalah menyangkut urusan keluarga. Semua keturunannya laki-laki maupun perempuan mendapat warisan. Demikian juga putera angkat dan cucu dari putera angkat. Istrinya ditunjuk sebagai satu-satunya executrix testamentaire (ahli waris) dan menjadi wali bagi anak-anaknya yang belum dewasa. Keturunannya laki-laki yang namanya disebut dalam surat wasiat menjadi executrix testamentaire (ahli waris) dari yayasan yang tidak dapat dibagi, dibubarkan ataupun dijual. Mereka mendapat bagian dari hasil yang diperoleh yayasan itu selama mereka hidup. Selain itu ada juga bagian dari keuntungan yayasan untuk mengurus rumah keluarga dan amal. Pada tanggal 8 Februari 1921, Tjong A Fie meninggal dunia di kediamannya Jl. Kesawan, Medan. Seluruh kota Medan gempar dan turut berkabung. Ribuan orang datang melayat baik itu dari Sumatera Timur, Aceh, Padang, Penang, Malaya, Singapura dan Pulau Jawa. Upacara pemakamannya berlangsung dengan megah dan penuh kebesaran sesuai dengan tradisi dan kedudukannya di masa tersebut. Seiring dengan perjalanan waktu, tidak lama setelah Tjong A Fie meninggal, sebagian besar harta peninggalannya, perkebunan, pertambangan, 17
perusahaan dagang, bank dan rumah sebanyak dua ribu buah habis tidak berbekas karena dijual oleh Adolf Kamerlingh Onnes, disamping itu juga karena terjadinya maleise atau masa depresi yang melanda dunia, menghancurkan seluruh perusahaan peninggalan Tjong A Fie. Karena kedermawanannya, tanpa membeda-bedakan bangsa, ras, agama, suku, Tjong A Fie telah menjadi seorang legenda hidup penduduk kota Medan dan sekitarnya. Semasa hidupnya ada tiga hal penting yang dia lakukan, yakni: menciptakan budaya peranakan yang terlihat dari sifatnya yang tidak memandang agama, ras, ataupun suku dalam hidupnya dan dia menikah dengan seorang Cina peranakan juga. Yang kedua, dia ikut membantu perkembangan ekonomi kota Medan melalui perkebunannya, pabriknya dan propertipropertinya dan yang terakhir dia juga ikut serta dalam pembangunan sosial melalui pembangunan untuk umat-umat Buddha, Kristen, Islam maupun Hindu. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari kisah hidup Tjong A Fie ini, sepanjang hidupnya, dia berpedoman pada tiga hal yang senantiasa dia terapkan dalam hidupnya, yakni: jujur, setia, dan bersatu. Ketiga hal tersebut begitu tercermin dalam kehidupannya dan hal tersebut patut menjadi pedoman bagi masyarakat sekarang. Sifatnya yang multikulturalisme, dikarenakan prinsipnya “Dimana bumi kupijak, disitu langit kujunjung” dapat menjadi inspirasi hidup bagi banyak orang.
18
2.3
Spesifikasi Buku Size
: Letter Size (8,5” x 11”)
Penulis
: Harry Kurniawan
Desainer
: Harry Kurniawan
Tebal
: 90 halaman 2.3.1
Struktur Isi Buku Adapun struktur yang ada dalam buku tersebut antara lain : -
Kata Pengantar
-
Daftar Isi
-
Prolog
-
Tjong Fung Nam dari Desa Sungkow
-
Sepuluh Dolar Perak
-
Kulit Coklat Pembawa Rezeki
-
Hubungan dengan Sultan Deli
-
Pernikahan Ketiga
-
Tangan Kanan
-
Batavia hingga Tiongkok
-
Mayor yang Dermawan
-
Akhir Hidup
-
Penutup
-
Lampiran foto-foto Medan Tempo Doeloe
-
Daftar Pustaka 19
2.4
Target Audiens 2.4.1
2.4.2
2.4.3
Demografi Usia
: 25 tahun – 50 tahun
Jenis Kelamin
: Pria dan Wanita
Strata Ekonomi
: B – A+
Tingkat Pendidikan
: Tamatan Perguruan Tinggi
Etnis
: Pribumi dan Non-Pribumi
Geografi Wilayah
: Kota Besar dan Ibukota
Daerah
: Pusat kota hingga pinggiran kota
Psikografi Kepribadian
: - Dinamis - Intelektual
Rutinitas
: - Gemar membaca - Menyukai tokoh-tokoh historis - Menyukai koleksi buku-buku
Gaya Hidup
: - Tertarik dengan sesuatu yang bernilai historis
20
2.5
Analisa SWOT 2.5.1 -
Strength Buku ini akan banyak berisi foto-foto yang belum pernah ditemukan pada buku yang berisi kisah mengenai Tjong A Fie
-
Riwayat hidup Tjong A Fie sangatlah menarik dan dapat menjadi inspirasi bagi pembaca
2.5.2 -
Weakness Kisah mengenai Tjong A Fie merupakan kejadian di masa lampau sehingga masyarakat banyak yang cenderung kurang berminat
2.5.3 -
Opportunity Belum ada penerbit yang pernah menerbitkan buku biografi mengenai Tjong A Fie
-
Kisah tentang hidup Tjong A Fie ini nyaris tidak pernah terdengar oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, padahal beliau memiliki pengaruh yang cukup besar di Nusantara khususnya Sumatera diawal abad 20.
2.5.4 -
Threat Kurangnya minat dari masyarakat sekarang dalam mengetahui sesuatu yang bersifat historis
21