BAB 2 DATA DAN ANALISA
2.1 Sumber Data 2.1.1 Referensi Buku - Warna-warni Homeschooling - Mengapa Siswa Gagal - Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela - Deschooling Society - Majalah Tempo edisi 20-26 Februari 2012, “Liputan Khusus Kelas Konsumen Baru” - Advertising by Design 2.1.2 Literatur Internet - blog ayahkita.com - marthachristianti.wordpress.com - meilanikasim.wordpress.com - www.thejakartapost.com - www.akhmadsudrajat.wordpress.com - www.okezone.com - www.rakyatmerdekaonline.com - www.radiosmartfm.com - www.successful-homeschooling.com - www.custom-homeschool-curriculum.com
Topik utama iklan adalah mengenai pendidikan. Oleh karena itu, data-data dari internet dan studi pustaka dikumpulkan, terutama mengenai masalah-masalah di sekolah Indonesia maupun negara lain. Masalah-masalah yang dialami pendidikan dibagi menjadi tiga sesuai pelaku pendidikan formal, yaitu lembaga pendidikan formal (sekolah), peserta pendidikan (pelajar), dan pihak yang mengirim peserta ke lembaga pendidikan formal (orangtua).
2.2 Definisi Homeschooling
Homeschooling adalah suatu gaya hidup pendidikan yang berlangsung terpisah dari sekolah formal negeri atau swasta, dan orangtua menjadi pengajar anak-anak. Pelaksanaan homeschooling berarti menghilangkan tekanan belajar, nilai, dan ranking yang
ditimbulkan oleh sekolah. Menurut data yang didapat dari blog ayahkita.com milik Ayah Edy, pelaksanaan homeschooling menawarkan beberapa hal yang tidak dimiliki sekolah, antara lain: 1.) belajar dengan lingkungan yang santai dan bersahabat dengan anak, 2.) pendidik adalah orangtua, yaitu orang yang paling mengenal anak sejak kelahiran, 3.) banyak waktu bagi pengembangan potensi dan minat anak, 4.) materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan profesi anak kelak, 5.) memelihara semangat belajar anak serta membiasakannya bertanya, 6.) menghindari tekanan kelompok (peer pressure) sehingga anak terhindar dari perilaku buruk remaja seperti bullying dan tawuran, serta 7.) keluarga bebas menanamkan nilai-nilai yang dianggap penting.
Walaupun pendidikan alternatif seperti homeschooling dikatakan memperbaiki kekurangan sekolah, teknik pendidikan informal ini juga memiliki beberapa kelemahan. Adapun menurut buku Warna-warni Homeschooling, dan artikel Jakarta Post berjudul “Parents Take Education by The Horns”, beberapa hal yang menghalangi homeschooling menjadi alternatif pendidikan yang populer antara lain: 1.) Orangtua bertanggung jawab penuh atas pendidikan. Artinya orangtua harus memiliki komitmen jangka panjang dalam mendidik, menyiapkan tenaga, serta menetapkan tujuan pendidikan, 2.) Orangtua perlu menemukan cara sendiri untuk memperluas kehidupan sosial anak, 3.) Masih ada sekolah dan perguruan tinggi yang tidak menerima ijazah homeschooling, 4.) Pandangan miring masyarakat.
Selain itu terdapat juga rumor-rumor tak sedap yang membayang-bayangi homeschooling, antara lain status hukumnya, sosialisasi yang terbatas, dan ketiadaan rapor sebagai bukti perkembangan anak. Berbagai media cetak maupun elektronik (blog Ayah Edy dan buku Warnawarni Homeschooling) membeberkan fakta sebagai berikut: 1.) Homeschooling adalah legal dan termasuk pendidikan informal. Para pelaku homeschooling dapat melanjutkan ke sekolah formal melalui ujian persamaan dan ijazah Paket A, B, atau C. (Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 2010, pasal 115-117). 2.) Sosialisasi anak adalah tanggung jawab orangtua selaku pendidik utama dalam homeschooling. Anak dapat diikutkan dalam komunitas sesuai minatnya atau kompetisi. 3.) Biaya homeschooling tidak terbatas, bisa murah atau mahal tergantung kreativitas orangtua dalam menemukan hal-hal yang dapat dijadikan sarana belajar anak.
4.) Rapor tidak diperlukan dalam homeschooling, karena salah satu tujuan homeschooling adalah meniadakan tekanan belajar yang dilakukan oleh sistem ranking dan nilai di sekolah. Anak akan belajar sesuai kapasitasnya, dan melalui cara yang paling cocok dengannya. Homeschooler tidak memiliki rapor tapi memiliki portofolio, yaitu rekam jejak ketrampilan yang pernah dipelajari anak. Contohnya gambar, foto, jurnal, prakarya, dan lain-lain. 5.) Belajar di rumah bukan berarti bersantai. Melainkan peserta dituntut untuk bertanggung jawab atas jadwal mereka sendiri. Belajar di rumah tujuannya untuk memperluas akses pendidikan kepada yang tidak dapat memenuhi jadwal sekolah formal.
2.2.1 Inspirasi Homeschooling 2.2.1.1
Review
buku
‘Totto-chan,
Gadis
Cilik
di
Jendela’
oleh
Dina
A.S.
Totto Chan, Gadis Cilik di Jendela, merupakan cerita kenang-kenangan masa kecil dari Tetsuko Kuroyonagi di suatu sekolah dasar. Totto Chan gadis kecil berumur 7 tahun, sulit diterima di sekolah umum karena hiperaktif. Sejak dikeluarkan dari sekolah lamanya, ia kemudian bersekolah di Tomoe Gakuen, sekolah dengan kelas-kelas gerbong kereta, dan di sanalah ia berjumpa dengan Sassaku Kobayashi. Latar belakang cerita adalah awal Perang Dunia II. Sekolah itu selesai riwayatnya bersamaan dengan peristiwa pemboman Amerika atas Jepang. Buku ini ia persembahkan untuk seorang pendidik, Sassaku Kobayashi, pendiri dan Kepala Sekolah Tomoe Gakuen. Buku tersebut telah menginspirasi banyak pendidik sampai sekarang, hingga menjadi acuan wajib
sekolah-sekolah
dasar
di
Jepang.
Makna yang dapat ditafsirkan dari cerita Tetsuko tentang sistem pendidikan yang ia terima di sekolah dasar adalah suatu pembebasan. Tepatnya, pendidikan yang membebaskan. Kobayashi lebih dulu memikirkan dan sudah mempraktikkan suatu sistem pendidikan yang membebaskan itu, ketika Paulo Freire, seorang tokoh terkenal dalam
pendidikan
yang
membebaskan,
mungkin
masih
menggelisahkannya.
Sebelum mendirikan sekolah dasar Tomoe Gakuen, Kobayashi melakukan studi dengan mengunjungi berbagai sekolah di Eropa selama dua tahun. Ia juga belajar euritmik dari Emile Jaques Dalcroze di Paris. Sebelumnya ia telah menamatkan sekolah musiknya di Departemen Pendidikan Musik di Universitas Seni dan Musik di Tokyo. Persahabatannya dengan komposer Dalcroze, melahirkan Asosiasi Euritmik Jepang selain sekolah Tomoe Gakuen yang ia dirikan tahun 1937 itu. Euritmik adalah semacam
pendidikan tentang ritme. Ketika anak-anak mendengar ritme musik ini, mereka tidak hanya berhenti pada indra pendengaran, tapi juga belajar mengolahrasakan. Dalcroze menciptakan euritmik setelah melihat bagaimana anak-anak berlarian dan berloncatloncatan.
Irama
musik
ini
khusus
untuk
olahraga.
Bagi
Kobayashi:
Euritmik adalah olahraga yang menghaluskan mekanisme tubuh; olahraga yang mengajari otak cara menggunakan dan mengendalikan tubuh; olahraga yang memungkinkan raga dan pikiran memahami irama. Mempraktikkan euritmik membuat kepribadian anak-anak bersifat ritmik; kuat, indah, selaras dengan alam, dan mematuhi hukum-hukumnya.
Kobayashi sangat yakin, euritmik yang diciptakan oleh Dalcroze adalah salah satu cara mengembangkan kepribadian anak-anak secara alamiah, tanpa terlalu dipengaruhi oleh orang
dewasa.
Sekolah Tomoe yang didirikan Kobayashi mempunyai lambang dua tanda koma berwarna hitam dan putih yang berpadu membentuk lingkaran sempurna. Lambang itu mempunyai arti keselarasan tubuh dan pikiran, atau keseimbangan tubuh dan pikiran. Menurut
Tetsuko:
Kobayashi tidak menerapkan sistem pendidikan yang berlaku umum saat itu. Yaitu sistem pendidikan yang menekankan pada kata-kata tertulis dan cenderung menyempitkan persepsi indrawi anak-anak terhadap alam. Sistem itu juga menghilangkan kepekaan intuitif mereka akan suara Tuhan yang pelan dan menenangkan,
yaitu
inspirasi.
Konsep berpikir tentang perkembangan alamiah anak juga sudah diterapkannya ketika ia mendirikan taman kanak-kanak sebelum Tomoe berdiri. Baginya, ia tidak ingin memaksa anak-anak tumbuh sesuai bentuk kepribadian yang sudah digambarkan. Dalam praktiknya di sekolah Tomoe, guru memberikan semua mata pelajaran yang ditulis di papan, dan setiap anak dapat memilih mana dulu yang ingin dikerjakan. Guru tinggal
membantu,
jika
anak-anak
mengalami
kesulitan.
Kobayashi menekankan kepercayaan pada anak-anak untuk dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, coba kau baca, apa yang kau pikirkan jika seorang anak kecil membuka tutup kakus [pada masa itu wc masih berbentuk kakus], lalu mengeluarkan seluruh kotoran ke permukaan tanah dengan gayung. Ia memang mempunyai alasan,
mengambil dompetnya yang terjatuh di dalam bak penampungan kotoran, saat ia ingin tahu dan mengintip ke dalam lubang gelap bak kakus tersebut. Bagiku sulit dibayangkan, ada orang dewasa seperti Kobayashi yang bisa berkata dengan tenang: “Kau akan memasukkan kembali, kalau sudah selesai kan?” Mendapatkan respon seperti itu, Totto Chan pun memasukkan kembali kotoran dalam lubangnya, juga memasukkan tanah yang basah, kemudian meratakan tanah, menutup kembali lubang itu dengan rapi lalu mengembalikan gayung yang dipinjamnya dari gudang tukang kebun.
Kobayashi memahami, pendidikan adalah mengalami. Belajar tidak harus dalam ruangan seperti layaknya sekolah-sekolah lain. Gerbong kereta adalah ide yang sangat imajinatif, dan bersahaja. Sekolah tidak menggunakan seragam, dan bahkan dianjurkan dengan baju yang tidak bagus. Karena sekolah adalah main,dan memang main bagi anak-anak sangat intim dengan kotor dan kerusakan baju, sobek sana-sini.
Kobayahi juga memberikan afeksi dengan kedekatan emosianal pada anak-anak. Ia tidak berjarak. Ia pun memberikan peluang besar bagi anak-anak mengartikulasikan pikiran-pikirannya di depan banyak orang. Dan satu hal, ia mengajari bagaimana menghargai anak-anak perempuan. Ia juga memberi kesempatan bagi anak-anak yang secara umum dikatakan cacat tidak merasa rendah diri. Dalam suatu pelajaran renang, anak-anak dibiarkan telanjang, dengan tidak memaksa, ia menganjurkan itu. Ia menanamkan suatu pelajaran, supaya anak-anak yang mempunyai cacat tubuh sejak usia dini tidak minder dan berusaha menutupi kecacatannya dalam pakaian. Ia ingin anakanak merasakan penerimaan orang lain terhadap kecacatannya. Kobayashi pun yakin, dalam dunia anak-anak, yang wajar adalah anak-anak yang punya rasa keingintahuan sesuai
dengan
usianya
tentang
perbedaan
jenis
kelamin.
Sistem pendidikan yang dipikirkan dan dipraktikkan Kobayashi menurutku merupakan suatu perlawanan terhadap sistem pendidikan yang tengah ada. Waktu itu sistem pemerintahan di Jepang menganut fasisme. Ambisi Jepang untuk menjadi Negara terkuat di Asia, menyeretnya bersekutu dengan Musolini dan Hitler. Model pendidikan Kobayashi, meskipun kecil dan sangat marjinal tapi bertentangan dengan sistem pendidikan yang telah ada. Meskipun demikian pemerintahan Jepang secara resmi tetap mengizinkan praktik pendidikan model Kobayashi. Bahkan di lingkungan Departemen Pendidikan
Jepang,
Kobayashi
mendapat
tempat
dan
sangat
dihormati.
Menurut Tetsuko, diterimanya model pendidikan yang tidak konvensional itu, karena Kobayashi tidak mempublikasikan sistem pendidikannya, sehingga tidak mengundang perhatian banyak masyarakat. Setelah pemerintah Jepang yakin, bahwa model pendidikan Kobayashi, di tataran anak-anak itu tidak membawa akibat secara langsung bagi
kestabilan
politik
Jepang.
Bagaimanapun pendidikan adalah aparat yang paling penting dalam menanamkan ideologi menurut Althusserl. Apalagi dengan model pendidikan yang menyenangkan baik yang dirasakan keluarga dan anak-anaknya, yang ditawarkan Kobayashi: mengajarkan empati pada orang lain, rasa tanggung jawab, jiwa altruis, menghargai sesama, tidak rasialis [diajarkan oleh ibu Totto Chan pada putrinya, saat menghadapi diskriminasi orang korea di komplek rumahnya], mengajarkan open mind [saat kedatangan anak Jepang pindahan dari sekolah di Amerika, Kobayashi mengajarkan menerima dan memberi, sikap berbagi, meskipun suasana saat itu Jepang sedang memusuhi yang berbau Amerika]. Namun menurut Althusser, kebaikan guru yang langka ini tanpa disadari telah dimanfaatkan oleh sistem kapitalisme yang kelak tertancap kuat di Jepang setelah kekalahannya pada PD II, dan era restorasi. Hasil-hasil pendidikan Kobayashi toh pada akhirnya bermuara pada produksi; baik buruh maupun intelektual
buruh
kolektif,
agen-agen
eksploitasi,
dan
agen-agen
represi.
Alangkah skeptisnya Althusserl dalam hal ini. Andai pendidikan yang membebaskan pun pada akhirnya terikat suatu ketidakmerdekaan, alangkah sia-sianya orang memikirkan itu, baik Kobayashi maupun beberapa tahun sesudahnya, seperti halnya Paulo
Freire
di
Brazil.
Tetsuko sekarang sudah berusia kurang lebih 74 tahun. Tahun 1996, dia masih menjadi pemandu acara Talk Show di salah satu stasiun televisi Jepang, dan menjadi duta Unicef [berdasarkan surat balasannya pada The National Book Trust di India yang mengundangnya untuk datang ke India]. Bukunya memang membuat sejarah dalam dunia penerbitan Jepang waktu itu pada era 1980-an, yaitu terjual 4.500.000 kopi dalam setahun setelah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Buku ini tidak hanya semata-mata menguntungkan secara ekonomi. Tapi aku melihat dampak yang luas, model pendidikan Kobayashi ini dibaca oleh orang-orang seantero dunia. Meskipun sistem pendidikan di
Jepang, masih juga sama dengan di Indonesia dengan memberikan beban begitu besar pada anak-anak dengan tugas, tapi buku ini telah sampai ke sekolah-sekolah Jepang. Di Jepang, buku ini juga dibaca oleh anak-anak berumur tujuh tahun, meskipun menurut Tetsuko,
masih
menggunakan
kamus
untuk
kata-kata
yang
sukar.
Aku juga berpikir sama dengan Tetsuko, memimpikan suatu model pendidikan yang membebaskan. Tidak rasis, tidak seksis, tidak membunuh potensi alamiah pada diri manusia. Totto Chan yang hiperaktif, yang pernah dikeluarkan dari sekolah konvensional, dengan model pendidikan Kobayashi, ia telah menjadi sosok yang dapat mengembangkan kemanusiaannya. Kepercayaan yang ditanamkan Kobayashi seperti; “Kau itu anak yang benar-benar baik, kau tahu itu kan?,” terinternalisasi dalam dirinya sehingga menjadi semacam mantra bagi diri sendiri untuk mewujudkannya.
Untuk Akira Takahashi, seorang anak yang punya cacat tubuh yang tidak bisa berkembang normal, ketika di Tomoe, Kobayashi selalu merancang olahraga yang pasti dapat dimenangkan Takahashi dan membuatnya mempunyai kebanggaan pada dirinya. Setelah dewasa Takahashi bekerja sebagai manajer Personalia di perusahaan elektronik. Tapi tidak berhenti pada skeptisisme Althusser, ketika menjadi manajer Personalia, ia mampu mendengar keluhan-keluhan orang lain, dia bertanggung jawab atas hubungan harmonis di antara sesama pekerja .Ia sendiri tumbuh menjadi pribadi periang dan tidak bermasalah
dengan
cacat
tubuhnya.
Bagi Kunio Oe, anak laki-laki yang waktu kecil pernah dinasehati Kobayashi untuk menghargai perempuan, setelah menarik kepang Totto Chan, setelah dewasa menjadi ahli anggrek spesies Timur Jauh, ia sangat disegani di seluruh Jepang. Tapi yang menarik adalah, setelah sekolah dasar Tomoe terbakar, ia tidak melanjutkan sekolah ke manapun. Ia menekuni bidang yang digeluti orang tuanya sebagai petani anggrek. Keuletannya adalah jawaban bagi Althusserl, bahwa jerih payah pemikiran dan kerja keras Kobayashi selama menanamkan pendidikan yang membebaskan, tidak bisa dipandang dengan belas kasihan, terjebak pada suatu sistem. Keuletan, kedaulatan pada pilihan hidupnya sendiri, dan empati yang mendalam pada lingkungannya, adalah kemerdekaan
yang
tak
terbahas
2.2.1.2 “Deschooling Society” oleh Ivan Illich, 1971
dalam
ideologi
Althusser.
Buku yang membawa nama Ivan Illich ke permukaan adalah Deschooling Society (1971), sebuah kritik formal dan mendetail mengenai pendidikan yang dipraktekkan instansi ekonomi modern. Memberi contoh dari apa yang dia anggap sebagai sifat inefektual dari pendidikan berinstitusi, Illich mempostulasi pendidikan yang diarahkan pada diri sendiri, didukung oleh relasi sosial yang disengaja, dalam keadaan informal yang tidak kaku: “Universal education through schooling is not feasible. It would be no more feasible if it were attempted by means of alternative institutions built on the style of present schools. Neither new attitudes of teachers toward their pupils nor the proliferation of educational hardware or software (in classroom or bedroom), nor finally the attempt to expand the pedagogue's responsibility until it engulfs his pupils' lifetimes will deliver universal education. The current search for new educational funnels must be reversed into the search for their institutional inverse: educational webs which heighten the opportunity for each one to transform each moment of his living into one of learning, sharing, and caring. We hope to contribute concepts needed by those who conduct such counterfoil research on education--and also to those who seek alternatives to other established service industries.” —Ivan Illich
Kalimat terakhir menjelaskan apa yang disampaikan oleh judul buku- bahwa institusionalisasi
pendidikan
punya
kecenderungan
menginstitusionalisasi
masyarakat dan bahwa ide untuk mengeluarkan pendidikan dari institusi mungkin adalah suatu permulaan bagi masyarakat yang tidak terinstitusi. Buku ini lebih dari sekedar kritik- ia juga menyarankan penemuan kembali cara belajar di sepanjang usia dan masyarakat. Ia juga menyebut penggunaan teknologi tinggi untuk mendukung ‘jaringan pembelajaran’ (learning webs). “The operation of a peer-matching network would be simple. The user would identify himself by name and address and describe the activity for which he sought a peer. A computer would send him back the names and
addresses of all those who had inserted the same description. It is amazing that such a simple utility has never been used on a broad scale for publicly valued activity.” —Ivan Illich
2.2.1.3 Metode Homeschooling 2.2.1.3.1
Textbook/Workbook Metode homeschooling ini menyerupai metode di sekolah formal publik/privat. Menggunakan buku cetak sebagai panduan, sehingga pengajar tidak perlu merencanakan materi pelajaran lagi. Terdapat tes dan kuis untuk menguji pemahaman murid.
2.2.1.3.2
Unit Studies Homeschooling Unit Studies berfokus pada satu topik (misalnya Sejarah) namun menggunakan beberapa subjek berbeda untuk menjelajahi topik tersebut. Misalnya seni, menulis, membaca, dan sebagainya. Beberapa gaya belajar yang berbeda bisa diakomodasi secara bersamaan menggunakan metode ini.
2.2.1.3.3
Charlotte Mason Homeschooling Charlotte adalah pendidik berkebangsaan Inggris di abad ke 19 yang percaya anak-anak dilahirkan sebagai seorang yang utuh dan harus dididik seperti demikian. Metode pengajarannya lembut dan fleksibel. Pagi hari untuk subyek akademis. Siang hari dihabiskan di luar ruangan, mengerjakan prakarya, atau mengejar minat pribadi perorangan. Anak-anak diajak untuk menjelajahi dunia mereka.
2.2.1.3.4
Classical Homeschooling Metode klasik dimulai di Yunani dan Roma dan berlanjut melalui Era Kolonial Amerika Serikat. Inti dari metode homeschooling ini adalah trivium. Pada Grammar stage (Kelas 1-6) pemikiran konkrit dan bahasa ditekankan. Fokusnya adalah menghafalkan fakta dari subyek. Pada Logic stage (kelas 7-9) pemikiran analitis, pemahaman, dan cara berpikir yang benar ditekankan. Akhirnya, pada Rhetoric stage (kelas 10-12) pemikiran abstrak dan artikulasi
(ekspresi verbal dan lisan) ditekankan. Tujuannya adalah memperlengkapi anak dengan kemampuan berpikir sendiri dan menjadi pembelajar independen seumur hidup. Proses menemukan fakta, menganalisa, tetap pada kebenaran, dan pemecahan masalah dibangun dengan baik.
2.2.1.3.5
Unschooling/Relaxed Homeschooling John Holt menjelaskan metode unschooling menggunakan kalimat sebagai berikut: "We can see that there is no difference between living and learning, that living is learning, that it is impossible, and misleading, and harmful to think of them as being separate." “Kita dapat lihat bahwa tidak ada bedanya antara belajar dan hidup, bahwa hidup adalah belajar, bahwa tidak mungkin, salah arah, dan mengganggu untuk memandang belajar dan hidup sebagai sesuatu yang terpisah.” Belajar terjadi di setiap peangalaman hidup. Anak-anak mengikuti minat mereka dan belajar seperti orang dewasa. Mereka bertanya, melakukan riset, eksperimen, dan meminta tolong saat membutuhkannya. Pelajaran formal tidak diwajibkan,
dan
sebagai
orangtua,
peranmu
adalah
mendukung
dan
mengarahkan anak sementara mereka menjelajahi minatnya.
2.2.1.3.6
Montessori Homeschooling Metode homeschooling Montessori berfokus pada persiapan lingkungan yang menstimulasi pembelajaran.
2.2.1.3.7
Computer-based Homeschooling Metode ini berkembang cukup populer di kalangan orangtua yang ingin anaknya bekerja secara independen melalui software edukasi atau program homeschool online.
2.2.1.3.8
Eclectic Homeschooling Metode ini adalah campuran dari metode homeschool lainnya, dan diperuntukkan bagi orangtua homeschooler yang belum memutuskan metode mana yang cocok dengan keluarganya.
2.3 Data Masalah Pendidikan Indonesia Masalah-masalah yang dialami pendidikan dibagi menjadi tiga sesuai pelaku pendidikan formal, yaitu lembaga pendidikan formal (sekolah), peserta pendidikan (pelajar), dan pihak yang mengirim pelajar ke lembaga pendidikan formal (orangtua).
2.3.1 Masalah Pendidikan pada Sekolah
2.3.1.1 Buku Warna-warni Homeschooling (Para pelaku Homeschooling, 2009) Dalam buku ini dijelaskan konsep Kecerdasan Majemuk, yaitu delapan jenis kecerdasan yang dimiliki manusia, antara lain kecerdasan linguistik, logika, spasial, interpersonal, intrapersonal, kinestetis-jasmani, musikal, dan naturalis. Sekolah formal umumnya fokus kepada kecerdasan linguistik dan logika. Pendidikan yang diberikan homeschooling hanyalah yang akan anak pakai di masa depannya kelak. Sementara sekolah formal memberikan banyak sekali mata pelajaran yang kelak malah tidak terpakai. Anak-anak lulusan sekolah umumnya kurang tahu akan cita-citanya. Hal ini terjadi karena mereka terbiasa mengikuti instruksi guru dan orangtua, jadi mereka tidak terbiasa berpikir mandiri. Pendidikan seharusnya mampu membekali anak dengan kemampuan yang dibutuhkannya untuk menjadi pengacara, dokter, ilmuwan, atau akuntan sukses, namun juga harus menanamkan nilai seperti keluhuran moral, tanggung jawab sosial, karya budaya, juga kecintaan terhadap proses belajar itu sendiri.
2.3.1.2 Rangkuman buku Mengapa Siswa Gagal (John Holt, 1961) oleh Kah Ying Choo John Holt mengamati anak-anak di sekolah dan saat bermain untuk mengidentifikasi bagaimana cara pendidikan tradisional menggagalkan kehidupan para pemuda. Dari sana, ia menulis buku 'How Children Fail' yaitu kritik terhadap sistem pendidikan di sekolah AS pada tahun 1961. Ia juga adalah salah satu pelopor kegiatan homeschooling. Holt berargumen bahwa siswa-siswa gagal karena mereka takut, bosan, dan bingung. Keadaan ini ditambah dengan strategi pengajaran dan lingkungan sekolah yang terpisah dari kenyataan dan 'pembelajaran sesungguhnya', menghasilkan sistem sekolah yang menghapuskan keinginan belajar alami para muridnya. Kritik-kritik yang disampaikan sang penulis bagi sekolah antara lain:
a. Sekolah mendidik melalui ketakutan: takut gagal, takut dipermalukan, takut ditolak – yang berefek pada kapasitas pertumbuhan intelektual muridnya. Motivasi eksternal seperti hadiah-hadiah dan nilai membuat siswa makin takut gagal ujian dan menerima penolakan dari orangtuanya. Bukan mempelajari mata pelajaran, siswa belajar untuk menghindari rasa malu. b. Kebosanan; sekolah memaksa siswa untuk melakukan tugas-tugas yang berulang-ulang. Tak semua anak tertarik atau membutuhkan tugas-tugas itu.
c. Kebingungan; ketika masuk sekolah, anak diajarkan hal-hal yang berlawanan dengan apa yang dipelajarinya di rumah. Perlakuan orang dewasa di rumah dan sekolah pun berbeda. Contohnya jika di rumah boleh bertanya sepuasnya, di sekolah ia tidak dapat bertanya tanpa mendapat ejekan dari guru atau teman-temannya. Melalui risetnya, Holt menemukan sebagian besar anak-anak – terutama karena takut akan hal di atas – berhenti bertanya pada usia sepuluh tahun. d. Belajar yang sesungguhnya; maksudnya bukan hanya kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, melainkan saat si anak mengeksplorasi bakat dan minatnya. e. Strategi mengajar di sekolah mengembangkan rasa takut akan dipermalukan pada anak-anak, dan lebih menyakiti mereka daripada memenuhi kebutuhannya.
2.3.1.3 Blog berjudul Indonesia Strong From Home Penulis blog ini, yaitu Ayah Edy, adalah seorang praktisi kecerdasan majemuk dan pembelajaran holistik (menyeluruh). Ia berpendapat bahwa semua anak adalah cerdas dan baik, yang salah adalah cara mengajar si anak. Ia juga mengemukakan beberapa kritik terhadap sekolah-sekolah Indonesia, antara lain: a. Sistem yang tidak menghargai proses, b. Sekolah mengajari anak untuk menghafal, bukan belajar, c. Fokus pada nilai, d. Sistem pendidikan seragam bagi semua anak, e. Tidak pernah mendidik, karena mengajar tidak sama dengan mendidik, f. Berbasiskan kelas dan teori, g. Menghakimi anak dengan sistem ranking,
h. Pendidikan tidak punya tujuan jelas, i. Ujian masih berbasiskan tulisan, j. Merendahkan mata pelajaran non-eksakta, k. Sekolah unggulan yang tidak unggul. Sekolah unggulan hanya menerima anak-anak bernilai rata-rata NEM tinggi saja, padahal sistem belajarnya tidak beda dengan sekolah lainnya. Menurutnya yang dimaksud sekolah unggulan adalah sekolah yang menjadikan anak-anak yang biasa saja menjadi luar biasa.
2.3.1.4 Makalah Masalah Pendidikan di Indonesia (http://meilanikasim.wordpress.com) Menurut makalah elektronik ini, masalah pendidikan di Indonesia antara lain; 1.) Rendahnya kualitas sarana fisik. Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan secara keseluruhan terdapat 146.052 bangunan SD yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari jumlah kelas itu, 42.12 % berkondisi baik, 34.62 % mengalami kerusakan ringan, dan 23.26% mengalami kerusakan berat; 2.) Rendahnya kualitas guru. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan adalah sebagai berikut: untuk SD yang layak mengajar hanya 21.07 % (negeri) dan 28.94 % (swasta), untuk SMP 54.12 % (negeri) dan 60.99 % (swasta), untuk SMA 65.92 % (negeri) dan 64.73 % (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55.49 % (negeri) dan 58.26 % (swasta), 3.) Rendahnya kesejahteraan guru. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam, 4.) Kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa), 5.) Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, 6.) Mahalnya biaya pendidikan.
2.3.1.5 Artikel Jakarta Post Kamis, 09/29/2011, “Parents Take Eduction by The Horns”
Pada artikel ini narasumber adalah sepasang orangtua yang menerapkan homeschooling. Keduanya sepakat mensekolahkan Yudhistira, anak mereka di
rumah karena: a. jadwal sekolah formal teralu padat dan kaku bagi anak usia 10 tahun, b. menghindari bullying, pergaulan buruk, serta perkelahian, c. ingin anak berpikir kritis, aktif, dan tidak malu bertanya, serta memberi kesempatan bagi anaknya untuk mendalami bakat dan minat.
2.3.1 Masalah Pendidikan pada Pelajar
2.3.2.1 Okezone.com 24 Juli 2011 “Kurikulum Pendidikan Dianggap Memberatkan Siswa” DEPOK - Banyaknya beban yang diberikan oleh pihak sekolah kepada para pelajar saat ini dinilai terlalu memberatkan anak. Siswa dituntut untuk mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, ulangan, hingga pekerjaan rumah dan proses belajar mengajar di
sekolah
yang
terlalu
lama.
“Kurikulum sekarang ini sangat memberatkan siswa. Tentunya, memberikan dampak pada mereka. Cuma, ini adalah bagian dari ketentuan yang harus dilewati,” ujar Staf Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan Agama Kementerian Agama Pusat, Agus M, di Depok,
Sabtu
(23/7/2011).
Agus mengungkapkan, kurikulum membebani siswa ditandai dengan banyaknya mata pelajaran. Ia mencontohkan, untuk siswa SMP terdapat 11 pelajaran, MTS 15 pelajaran, SMA 14 pelajaran, MA 20 pelajaran dan MI sebanyak 12 pelajaran.
“Dapat memberikan dampak secara psikologis dan lainnya. Pernah ada keluhan dari wali murid, mereka mengeluhkan anaknya harus mengerjakan PR sampai jam 2 malam. Tapi, tidak semuanya seperti itu. Sekarang juga sudah diberikan kebebasan dalam menjalankan
kurikulum,”paparnya.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI Asrorun Niam Sholeh mengatakan selama ini banyak guru yang memberikan pembelajaran berlebihan dalam menegakkan disiplin. Namun, bagi seorang anak adalah bagian dari bentuk kekerasan seperti
intimidasi
atau
teror.
“Dengan mengatakan kata-kata yang tidak pantas atau tidak mampu pada murid merupakan
bagian
bentuk
terror,”
ujar
Niam.
Ia meminta Kemenag dan Diknas agar serius dalam memenuhi hak anak di sekolah. “Pertama, aspek konsep dan pemahaman yang benar. Jangan sampai terpapar ajaran yang tidak benar dan melahirkan seorang anak yang ekstrimis dari sekolah. Kedua, KPAI meminta lembaga pendidikan agar bisa memenuhi hak agama bagi anak,” tandasnya.
2.3.1.6 Artikel akhmadsudrajat.wordpress.com (Penanganan Siswa Bermasalah di Sekolah) Siswa-siswa bermasalah di sekolah ditangani dengan dua cara, yaitu pemberian sanksi atau bimbingan konseling. Pemberian sanksi dilakukan dengan harapan penerima sanksi akan jera dan berhenti melakukannya. Siswa bermasalah maksudnya adalah siswa yang melakukan kesalahan ringan sampai berat seperti membolos, malas, hamil, kesulitan belajar, mencuri, minumminuman keras, sampai narkotika dan perkelahian.
2.3.1.7 Opini Ayah Edy (ayahkita.blogspot.com) Ayah Edy melihat bahwa anak-anak remaja di sekolah ditekan untuk bisa dalam segala hal. Bakat dan minat siswa tidak dipedulikan. Selain itu karena sistem pendidikan sekolah kita terpaku dan kaku pada buku pelajaran, para siswa tidak dididik untuk mampu berpikir secara analitis, kritis, dan kooperatif.
2.3.1.8 www.rakyatmerdekaonline.com (Mahfudz Siddiq Tidak Heran Tradisi Tawuran Anak Artis dan Pejabat di SMA 6) JAKARTA - Alumnus SMAN 6 Jakarta yang kini duduk sebagai Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq menyebut tawuran yang melibatkan sekolahnya sudah menjadi tradisi. Mahfudz pun pernah dipaksa seniornya untuk berkelahi dengan siswa sekolah lain saat masuk ke SMAN 6 tahun 1981.
“Tawuran disitu bagian dari tradisi yang terus ditradisikan. Dulu semester pertama saya
sudah dikondisikan tawuran dengan SMAN 70, itu chauvinisme, faktor solidaritas," kata Mahfudz bercerita kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Senin (19/9/2011).
Menurut Mahfudz, "ospek" terhadap siswa baru memang dilakukan dengan cara melibatkan para junior menguji nyali dengan berkelahi. Kebanyakan siswa baru yang masih polos pun, kata Mahfudz terpaksa harus mengikuti perintah para senior termasuk alumnus yang kerap berkunjung ke sekolah.
"Pernah waktu itu lagi belajar tiba-tiba di luar sudah ribut, siswa baru pun jadi ikut keluar tawuran. Biasanya mereka senior bikin ulah, nah juniornya yang diminta maju (tawuran)," tutur Wakil Sekjen Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Menurut Mahfudz, terus berulangnya tawuran antar pelajar khususnya SMAN 6 karena faktor lingkungan termasuk pendidikan preventif yang kurang mengena. "SMAN 6 itu kan sekolah elit, isinya artis dan anak pejabat. Jadi ada rasa sungkan untuk melakukan tindakan tegas dari pihak sekolah," pungkasnya.
Mahfudz tak menolerir perilaku buruk pelajar. Dia meminta aparat kepolisian bertindak tegas terhadap pelaku tawuran apalagi pekan lalu siswa SMAN 6 kedapatan mengeroyok wartawan Trans 7 saat melakukan peliputan.
"Polisi harus tegas betul, jangan diciduk semalem kemudian dilobi dan ada campur tangan hukum, (pelaku) itu lepas lagi. Pengeroyokan wartawan itu kelewatan, itu sudah kriminal apalagi bawa senjata tajam," tegas dia. Dari artikel ini dapat disimpulkan bahwa pada sebagian pelajar, tawuran sudah menjadi budaya turun-temurun. Para senior menekan para juniornya untuk pergi tawuran dengan warga sekolah lainnya.
Masalah-masalah peserta pendidikan ini memiliki siklus seperti berikut:
SEKOLAH
SISWA
ORANGTUA
2.4 Referensi Target Audiens Majalah Tempo edisi 20-26 Februari 2012 berjudul Liputan Khusus Kelas Konsumen Baru secara kebetulan membahas target audiens yang cocok, yaitu kalangan menengah ke atas (pengeluaran harian antara US$ 2-20) dan pada usia produktif 15-64 tahun. Ciri-ciri konsumen menengah ke atas ini antara lain: 1.) Daya beli tinggi, sehingga pola konsumsi mulai berubah dari memenuhi kebutuhan menjadi memenuhi keinginan, misalnya keinginan akan hiburan, wisata, pendidikan, dan kesehatan, 2.) Melek pengetahuan karena setiap hari mengakses internet, 3.) Pembeli yang cerdas. Mereka sangat perhitungan soal perbandingan antara harga dan kualitas barang, 4.) Peduli pada peningkatan kualitas kepribadian, maka kursus kepribadian dan seminar motivasi mulai menjamur, 5.) Mengidolakan label-label internasional, 6.) Memprotes risiko dan revolusi, namun protes mereka hanya dilampiaskan di jejaring sosial (pelampiasan tanpa risiko).
2.5 Wawancara Homeschooler dan Polling Selera Konsumen 2.5.1 Wawancara Staf Fikar Homeschooling Fikar Homeschooling adalah institusi pendidikan informal yang menerapkan metode komunitas dalam pelaksanaan homeschoolingnya. Staf yang diwawancara adalah admin sekaligus customer service Fikar Homeschooling bernama Ema. Fokus dari komunitas ini adalah pembangunan bakat minat. Di samping itu mereka juga berusaha membangun karakter, budi pekerti, hingga entrepreneurship dan leadership anak. Jumlah total guru adalah 11 orang, dengan total keseluruhan murid 43 orang, dari SD hingga SMA (IPA dan IPS). Perbedaan cara mengajar homeschooling dengan schooling dapat terlihat dari jumlah mata pelajaran, dan peranan aktif orangtua dalam hal mendeteksi bakat dan minat anak. Pihak homeschooling juga mengadakan tes bakat dan minat. Setiap tahun, Depdiknas mendata peserta homeschooling, terutama untuk mengukur jumlah peserta ujian kesetaraan Paket A, B, dan C. Para peserta homeschooling dibantu menyiapkan ujian penyetaraan tersebut, sehingga kelak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi. Mata pelajaran yang diajarkan di homeschooling ini sangat terbatas, hanya sebatas yang diujikan di ujian kesetaraan tersebut dan agama Islam. Komunitas Fikar Homeschooling ini mengharuskan pesertanya hadir di tempat
homeschoolingnya 3 hari seminggu, namun mereka juga mengirim guru ke rumah bagi anakanak yang berkebutuhan khusus. Program kunjungan ke rumah ini disebut visiting. Menurut Ema, anak-anak peserta komunitas ini lebih menikmati belajar di homeschooling karena suasana yang nyaman, kebebasan, dan kelonggaran jumlah mata pelajarannya.
2.5.2 Polling Selera Konsumen Polling melalui media sosial Facebook diadakan untuk mengecek reaksi 20 orang ibu (30 tahun ke atas) dan mahasiswi (20-25 tahun) terhadap warna karakter. Berikut adalah dua alternatif karakter wanita yang disampaikan kepada audiens.
Berikut adalah hasil polling terhadap karakter wanita. Masing-masing alternatif dipilih sepuluh orang.
Polling juga diadakan untuk memilih warna karakter pria. Berikut adalah dua alternatif warna karakter yang disampaikan.
Hasil polling menunjukkan bahwa warna alternatif pertama lebih disukai. Lima orang memilih alternatif kedua, sementara 15 orang memilih alternatif pertama.
Dari data-data di atas, saya menarik kesimpulan bahwa: 1.) Masalah pendidikan berakar dari tekanan belajar yang diterapkan sekolah,
2.) Homeschooling mengkritik cara mengajar sekolah, serta menyumbangkan pemecahannya. 3.) Homeschooling membebaskan anak untuk bertumbuh sesuai bakat dan minatnya.