Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Pada awalnya, Jepang lebih dikenal sebagai negara yang maju dalam bidang ekonomi, industri, dan teknologi. Namun di jaman modern sekarang ini, Jepang juga semakin dikenal sebagai negara yang kaya akan nilai seni dan budaya, khususnya budaya pop Jepang. Selain produk-produk hasil teknologi Jepang, mulai dari elektronik hingga kendaraan bermotor, yang banyak diekspor ke luar Jepang, budaya pop Jepang ini juga banyak masuk dan digemari khususnya oleh kalangan muda di berbagai negara, termasuk Indonesia. Budaya pop Jepang tersebut meliputi animasi, komik, drama, film, musik, dan gaya pakaian. Film Jepang diproduksi dalam berbagai kategori, misalnya drama, komedi, misteri, horor, sejarah, kisah detektif, dan sebagainya. Ceritanya dapat berasal dari skenario asli, adaptasi novel, komik, atau kisah nyata. Ide ceritanya yang unik dan bervariasi serta tidak hanya terfokus pada kisah percintaan, tetapi mampu menampilkan tematema kehidupan yang merupakan gambaran kehidupan nyata masyarakat Jepang itu sendiri, membuat film Jepang menjadi menarik dan layak untuk ditonton. Tidak hanya diputar di luar Jepang, film Jepang pun mampu meraih penghargaan di ajang festival film internasional sehingga dapat dikatakan bahwa perfilman Jepang sudah mulai dikenal dan diakui oleh dunia internasional. Dalam buku Jepang Dewasa Ini (International Society for Education Information, Inc, 1989, hal.154) dikatakan bahwa, dasawarsa 1950-an merupakan masa jaya film Jepang, dengan jumlah penonton per tahun di bioskop mencapai 1,1 milyar pada tahun 1958. Mutu seni periode ini terbukti dalam Shichinin no Samurai (Tujuh 1
Samurai), karya Kurosawa Akira, Tokyo Monogatari (Ceritera Tokyo), karya Ozu Yasujiro, dan Ugetsu Monogatari (Ugetsu), karya Mizoguchi Kenji, yang semuanya memenangkan penghargaan nasional maupun internasional. Menurut website Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, sejak Kurosawa Akira memenangkan Golden Lion Award di Festival Film Venice pada tahun 1951, dunia perfilman Jepang menjadi pusat perhatian dunia, dan karya-karya dari sutradara besar seperti Mizoguchi Kenji dan Ozu Yasujiro mendapat sambutan luas. Perkembangan berikutnya dari film Jepang adalah penyelenggaraan festival film internasional di Jepang pada dasawarsa 1980-an. Festival yang terbesar ialah Festival Film International Tokyo yang diadakan setiap dua tahun; pertama kali tahun 1985. Festival ini populer karena para penggemar film dapat melihat film penting dari seluruh dunia yang jarang dipertunjukkan pada peristiwa lain. Festival-festival ini cenderung dipusatkan di Tokyo dan kota besar lain, tetapi belakangan ini kota-kota yang lebih kecil juga turut mengambil bagian. Festival Film Yufuin yang diadakan setahun sekali di Prefektur Oita, menampilkan karya baru dari para sutradara Jepang kontemporer (International Society for Education Information, Inc, 1989, hal.154155). Pada tahun-tahun terakhir ini, Kitano Takeshi memenangkan Golden Lion Award pada Festival Film Venice 1997 dengan karyanya HANA-BI dan meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik pada festival tahun 2003 dengan karyanya Zatoichi (Website Kedutaan Besar Jepang di Indonesia). Film bukan hanya sekedar gambar hidup yang menjadi hiburan semata melainkan sebuah media seni dan budaya serta hadir sebagai media komunikasi untuk menyampaikan suatu pesan kepada penontonnya. Film Jepang juga biasanya menyimpan pesan moral yang membangun dan memberikan motivasi bagi penonton. 2
Hal ini dikarenakan film Jepang sering menampilkan kisah-kisah dengan tema-tema yang menyentuh kehidupan sosial masyarakat pada umumnya maupun masyarakat sosial dan budaya negara Jepang sendiri. Tema-tema yang sering muncul dalam film Jepang, misalnya : keluarga, kehidupan sekolah, persahabatan, dan tema lainnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang sendiri dikenal sebagai masyarakat yang hidup secara berkelompok. Masyarakat Jepang dalam menjalin hubungan sosial dengan sekitarnya biasanya membentuk kelompok-kelompok (Davies & Ikeno, 2002, hal. 195). Namun sebenarnya, tidak hanya masyarakat Jepang saja, tetapi masyarakat di negara lainnya pun, terkadang senang hidup dan berinteraksi dalam kelompok dengan orang-orang yang dirasanya lebih dekat dan akrab. Hal ini tidak terlepas dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri. Menurut Damon (dalam Dariyo, 2004, hal.128), masing-masing individu menyadari adanya kebutuhan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain karena manusia adalah makhluk sosial (sosio-politic zoon) yang tidak mungkin hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain. Menurut Sarwono (2009, hal.185), manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan sesamanya dalam kehidupannya sehari-hari. Oleh karena itu, tidak dapat dihindari bahwa manusia harus saling berhubungan dengan manusia lainnya. Hubungan manusia dengan manusia lainnya, atau hubungan manusia dengan kelompok, atau hubungan kelompok dan kelompok inilah yang disebut interaksi sosial. Manusia perlu berinteraksi, bergaul, bersosialisasi, dan berkomunikasi dengan orang lain di sekitarnya. Selain relasi dengan diri sendiri (relasi intrapersonal), manusia juga membutuhkan relasi dengan sesama (relasi interpersonal). 3
Sebagai interaksi awal dari manusia adalah keluarga, yakni dengan orang tuanya sendiri. Setelah anak memasuki usia sekolah, interaksi tahap berikutnya adalah interaksi dengan orang di luar anggota keluarganya, yakni dengan teman-teman sebaya di sekolahnya sebagai teman bermain. Menurut Santrock (2003, hal.219-220), salah satu fungsi utama dari kelompok teman sebaya adalah untuk menyediakan berbagai informasi mengenai dunia di luar keluarga. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Remaja belajar tentang apakah apa yang mereka lakukan lebih baik, sama baiknya, atau bahkan lebih buruk dari apa yang dilakukan remaja lain. Untuk mempelajari hal ini di rumah akan sangat sulit karena biasanya saudara kandung berusia lebih tua atau lebih muda. Menurut Santrock (2003, hal.220), anak-anak menghabiskan semakin banyak waktu dalam interaksi teman sebaya pada pertengahan masa anak-anak dan akhir masa anak-anak serta masa remaja. Dalam suatu penelitian, anak-anak berinteraksi dengan teman sebayanya 10% dari satu hari pada usia 2 tahun, 20% pada usia 4 tahun dan lebih dari 40% pada usia antara 7 dan 11 tahun (Barker & Wright, 1951). Pada hari sekolah, terjadi 299 episode bersama teman sebaya dalam tiap hari. Bagi remaja, hubungan teman sebaya merupakan bagian yang paling besar dalam kehidupannya. Pada penelitian yang lain, selama satu minggu, remaja muda laki-laki dan perempuan menghabiskan waktu 2 kali lebih banyak dengan teman sebaya daripada waktu dengan orang tuanya (Condry, Simon, & Bronffenbrenner, 1968). Harry Strack Sullivan (dalam Santrock, 2003, hal.228) berpendapat bahwa ada peningkatan yang dramatis dalam kadar kepentingan secara psikologis dan keakraban antar teman dekat pada masa awal remaja. Sullivan beranggapan bahwa teman juga memainkan peran yang penting dalam membentuk kesejahteraan dan perkembangan 4
anak dan remaja. Sullivan percaya bahwa kebutuhan untuk kedekatan meningkat pada masa remaja awal dan hal ini mendorong para remaja untuk mencari teman dekat. Sullivan merasa bahwa jika remaja gagal untuk membentuk persahabatan yang akrab, mereka akan mengalami perasaan kesepian diikuti dengan rasa harga diri yang menurun. Meningkatnya kedekatan dan pentingnya persahabatan memberi tantangan kepada remaja untuk menguasai kemampuan sosial yang lebih baik. Penemuan dari berbagai penelitian mendukung pendapat Sullivan. Remaja menyatakan mereka lebih mengandalkan teman daripada orang tua untuk memenuhi kebutuhan untuk kebersamaan, untuk meyakinkan harga diri, dan keakraban (Furman & Buhrmester, dalam penerbitan). Dalam suatu penelitian, interview harian selama 5 hari dengan remaja yang berusia 13-16 tahun dilakukan untuk menemukan seberapa banyak waktu yang mereka habiskan dengan melibatkan diri dalam interaksi yang penuh arti dengan teman dan orang tua (Buhrmester & Carbery, 1992). Remaja menghasilkan waktu rata-rata 103 menit per hari untuk interaksi yang berarti dengan teman dibandingkan dengan hanya 28 menit per hari dengan orang tua. “Pada banyak remaja, bagaimana mereka dipandang oleh teman sebaya merupakan aspek yang terpenting dalam kehidupan mereka” (Santrock, 2003, hal.219). Menurut Santrock (2003, hal.219), hubungan teman sebaya mengalami berbagai perubahan penting pada masa remaja. Pada masa kanak-kanak, fokus dari hubungan teman sebaya adalah disukai oleh teman sekelas dan diikutkan pada permainanpermainan atau perbincangan pada saat makan siang. Tidak diperhatikan, atau bahkan lebih buruk, tidak disukai dan ditolak oleh teman sekelas, dapat memberi pengaruh yang buruk pada perkembangan psikologis anak, yang kadang terbawa hingga masa remaja. Pada masa awal remaja, para remaja lebih memilih untuk 5
memiliki persahabatan dalam jumlah sedikit, lebih mendalam, dan lebih akrab dibandingkan dengan anak-anak yang berusia lebih muda. “Kalau hubungan pergaulan semakin baik dan mendalam, akan berkembang menjadi hubungan persahabatan. Jadi persahabatan merupakan perkembangan dan kedekatan lebih lanjut dari hubungan pergaulan” (Gea, dkk ., 2005, hal.191). Melihat penjelasan di atas, kita dapat memahami betapa pentingnya jalinan persahabatan dalam kehidupan seorang manusia. Semua masyarakat di dunia pastinya menganggap penting arti sebuah persahabatan. Begitu juga dengan bangsa Jepang. Apalagi hal ini mengingat bahwa masyarakat Jepang senang hidup berkelompok. Untuk memahami bagaimana bangsa Jepang menghayati makna persahabatan dalam kehidupan mereka, kita dapat melihatnya melalui film-film Jepang. Seperti telah dikatakan pula di atas, film Jepang sering mengambil tema cerita yang merupakan cerminan kehidupan sosial masyarakat dan budaya Jepang. Salah satunya adalah film bertema persahabatan. sehingga tidak sedikit film Jepang dengan tema persahabatan atau unsur persahabatan di dalamnya yang dapat membawa penonton pada pemahaman akan pentingnya sebuah persahabatan dalam kehidupan manusia, khususnya orang Jepang. Dengan judul film Kimi no Tomodachi (
きみの友だち) dan tagline berbunyi
“tatoe inaku natta to shite mo, isshō wasurenai tomodachi ga, hitori, ireba ii” (“meski jika aku mati sekalipun, setidaknya ada satu orang sahabat yang tidak akan kulupakan seumur hidupku”) yang tertulis pada poster film dan menjadi kalimat pembuka yang diucapkan oleh tokoh utama pada trailer film, sudah dapat ditebak bahwa film ini mengusung tema persahabatan.
6
Film arahan sutradara Hiroki Ryuichi yang dirilis pada tanggal 26 Juli 2008 ini merupakan adaptasi dari novel karya Shigematsu Kiyoshi. Film ini mengisahkan beberapa kisah persahabatan, namun yang menjadi fokus dari film ini adalah kisah persahabatan yang terjalin antara tokoh Emi dan Yuka. Dikisahkan Emi, yang mengalami cacat kaki akibat kecelakaan sehingga harus berjalan dengan tongkat dan mulai membuat dinding pembatas antara dirinya dan orang sekitarnya, bersahabat dengan tokoh Yuka, yang bertubuh lemah dan menderita penyakit ginjal sehingga harus menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya di rumah sakit. Mereka berkenalan saat masih kanak-kanak dan persahabatan keduanya terus berlanjut hingga dewasa. Film ini juga pernah diputar di 2008 (10th) Udine Far East Film - April 18th-26th, Udine, Italy dan 2011 (13th) Japanese Film Festival (Eiga Sai), July – August 2011, Cebu, Philippine. Aktris Ishibashi Anna yang memerankan tokoh Emi juga mendapat penghargaan kategori New Best Talent pada Yokohama Film Festival 2009.
1.2 Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang dari penelitian ini, maka penulis akan menganalisis fungsi persahabatan yang ditemukan dalam jalinan persahabatan pada tokoh utama dalam film Kimi no Tomodachi.
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan Ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini akan menganalisis fungsi persahabatan yang ditemukan dalam jalinan persahabatan di antara dua tokoh utama dalam film Kimi no Tomodachi yaitu, Izumi Emi dan Kusuhara Yuka. Permasalahan dalam penelitian ini khususnya terletak pada kedua tokoh utama dengan karakter 7
yang saling bertolak belakang namun sama-sama memiliki kelemahan fisik dan tidak memiliki teman.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi persahabatan dan menemukan fungsi tersebut dalam jalinan persahabatan antara tokoh Emi dan Yuka dalam film Kimi no Tomodachi. Manfaat dari penelitian ini adalah agar pembaca dapat memahami fungsi persahabatan melalui jalinan persahabatan antara tokoh Emi dan Yuka dalam film Kimi no Tomodachi dan diharapkan dapat menerapkannya dalam kehidupan seharihari.
1.5 Metode Penelitian Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai maksud, cara kerja sistematis untuk memudahkan pelaksanaan sebuah kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Dengan demikian, metode penelitian mengemukakan secara teknis tentang metode yang digunakan dalam penelitian (Basuki, 2010, hal.93). Kegiatan penelitian mencakup berbagai kegiatan seperti metode pengumpulan data, analisis data menurut rancangan metode ilmu yang bersangkutan serta penggunaan analisis kuantitatif dan kualitatif (Basuki, 2010, hal.147). Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan metode kepustakaan dengan sumber data utama berupa film Jepang berjudul Kimi no Tomodachi dan sumber data pendukung berupa buku, internet, dan jurnal. Apa yang disebut dengan riset kepustakaan atau sering juga disebut studi pustaka, ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, dan mencatat serta 8
mengolah bahan penelitian (Zed, 2004, hal.3). Riset pustaka memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya (Zed, 2004, hal.1). Setelah mengamati film Kimi no Tomodachi dengan seksama, penulis menemukan tema yang paling menonjol dalam film ini, yaitu tema persahabatan. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode analisa interpretatifdeskriptif (metode deskriptif analisis), di mana penulis akan menjabarkan kesimpulan dari setiap data yang dianalisis. Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2010, hal.53). Selain dua metode di atas, penulis juga menggunakan pendekatan kualitatif, di mana data-data dianalisis berdasarkan pemahaman (interpretasi). Penelitian kualitatif (Qualitative Research) adalah suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok (Sukmadinata, 2005, hal.60).
1.6 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab. Pada bab satu, pendahuluan, penulis akan memberikan penjelasan mengenai latar belakang, rumusan masalah, ruang lingkup masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, dan sistematika penulisan dari penulisan penelitian ini. Pada bab dua, landasan teori, penulis akan memberikan penjelasan mengenai konsep dan teori-teori yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas sebagai pendukung analisis penelitian ini.
9
Pada bab tiga, analisis data, penulis akan menganalisis data yang ada sesuai dengan rumusan masalah dan ruang lingkup masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Pada bab empat, simpulan dan saran, penulis akan mengambil simpulan berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dan memberikan saran yang berguna untuk penelitian selanjutnya. Pada bab lima, ringkasan, penulis akan memberikan ringkasan isi dari bab satu hingga bab empat.
10