Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Negara Jepang dikenal sebagai bangsa yang sangat menghargai alam. Masyarakat Jepang memiliki suatu kebudayaan yang mendasar dalam memandang alam sebagai segala sesuatu yang hidup dan humanis. Menurut Brahmantyo (2008), masyarakat Jepang adalah masyarakat yang selalu menghargai leluhur, termasuk leluhur alam. Bagi mereka, semua makhluk memiliki jiwa yang patut dikenang, semua tidak terkecuali, baik itu yang hidup dan bergerak, seperti manusia dan hewan, yang hidup dan yang tidak bergerak, seperti tumbuhan, maupun yang tidak hidup dan tidak bergerak, seperti gunung, sungai, laut, air terjun, batu, semua memiliki jiwa. Wicaksono (2005), menyatakan bahwa bangsa Jepang memandang alam seperti halnya manusia. Mereka “hidup”, mempunyai “perasaan”, serta “bahasa”. Hal ini sangat berkaitan erat dengan sistem kepercayaan masyarakat Jepang. Dikatakan bahwa tidak ada negara lain di dunia ini yang memiliki sistem kepercayaan primitif sekuat yang dimiliki oleh masyarakat Jepang. Hal ini dapat dipahami dari masih kuatnya nilai-nilai tradisional kepercayaan Shinto dalam masyarakat. Menurut Temples in Japan dalam People All Over the World Irasshai (2007), Shinto ( 神道 ), yang secara harafiah berarti “Jalan Dewa”, merupakan kepercayaan asli masyarakat Jepang. Shinto didasarkan pada pemikiran yang percaya dengan banyak dewa (politheisme) dan kekuatan alam (matahari, bulan, gunung, laut, angin, ombak, petir, dan sebagainya), sehingga hal ini berpengaruh pada sikap masyarakat Jepang yang menaruh hormat sangat tinggi terhadap
1
alam. Bukan hanya dalam kepercayaan Shinto saja, dalam agama Buddha yang juga merupakan kepercayaan masyarakat Jepang selain Shinto dan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan masyarakat Jepang pun mempunyai konsep ajaran yang hampir serupa, yaitu bahwa alam adalah pusat kehidupan. Mengenai ajaran Buddha dalam hubungan antara alam dan masyarakat Jepang, Seidensticker (1990:1), menyatakan bahwa kedekatan manusia Jepang dengan alam yang merupakan pola dari kepercayaan Buddha Zen yang merujuk kepada konsep kealamian dan kesederhanaan, merupakan salah satu hal yang paling kental dan paling mencolok dalam kehidupan di Jepang. Dalam keseharian masyarakat Jepang, sikap menghargai dan merawat alam sudah mendarah daging dalam pribadi setiap masyarakat Jepang. Oleh karena masyarakat Jepang begitu menghargai alam, maka timbul suatu kecintaan terhadap alam dan sikap menyatu dengan alam. Hal ini dapat terlihat dari kehidupan keseharian masyarakat Jepang yang dekat dengan alam. Perayaan dan matsuri tertentu pun biasanya berhubungan dengan alam. Kegiatan sekolah bahkan perkantoran juga banyak yang berhubungan dengan alam. Begitu juga dalam karya sastra dan seni Jepang. Tidak terhitung kesusastraan dan kesenian Jepang yang berhubungan dengan alam. Hinder (1992:77), menyatakan bahwa masyarakat Jepang menganggap bahwa mereka memiliki suatu “hubungan spesial” dengan alam. Berkaitan dengan hal tersebut, Seidensticker (1990:24), menyatakan bahwa sejak zaman dahulu hingga sekarang, rasa penyatuan terhadap alam terwujud dalam kebudayaan, kesusastraan, maupun kesenian tradisional Jepang dan juga membawa pengaruh besar dalam banyak aspek kehidupan. Dengan sensitifitas masyarakat Jepang terhadap perubahan musim dan gaya hidup mereka dalam merespon perubahan tersebut, tidak terhitung banyaknya sastrawan dan seniman Jepang yang 2
menjadikan gunung, danau, sungai, hewan, tanaman, dan berbagai objek alam serta fenomena alam lainnya, sebagai sumber inspirasi bagi karya-karya mereka. Salah satu objek alam yang kerapkali ditemukan dalam kesusastraan dan kesenian Jepang adalah bunga sakura .
1.1.1 Tinjauan Umum Tentang Sakura Sakura ( 桜; 櫻 ) adalah bunga nasional negara Jepang (bersama-sama dengan bunga seruni (bunga krisan atau kiku; kikuchi) yang merupakan bunga lambang kekaisaran Jepang). Menurut Short (2000:190), sakura, bukan hanya sebagai bunga nasional kecintaan bangsa Jepang, tapi juga merupakan simbol negara Jepang yang familiar di seantero dunia. Kartu pos yang menggambarkan pohon-pohon sakura sedang mekar penuh, dengan latar belakang gunung Fuji, mungkin merupakan imej yang paling dikenal secara umum mengenai landscape negara Jepang. Menurut Gill (2007:21), ada seorang sastrawan yang mengatakan seperti berikut; “Negeri Jepang merupakan Negeri Sakura. Seperti halnya Peoni di Lo Yang, dan Aronia di Sechuan, yang disinonimkan dengan kata “bunga”, begitupun juga orang Jepang yang menyebut sakura sebagai “hana” (bunga).” Menurut Burke (2005:180-181), pohon sakura (Prunus Serrulata) tergolong anggota familia Rosaceae, dari genus Prunus, yang sejenis dengan pohon plum (ume; Prunus Mume), dan pohon persik (momo; Prunus Persica). Dalam bahasa Inggris, bunga sakura disebut Cherry blossoms. Jepang merupakan rumah dari jenis-jenis spesies asli sakura, dan ilmu perkebunan yang dikembangkan sejak beratus-ratus tahun lalu telah menghasilkan sekitar tiga ratus jenis varietas ornamental sakura. Beberapa spesies
3
yang paling umum di Jepang antara lain jenis Somei Yoshino (Prunus Xyedoensis), jenis Yamazakura (Prunus Jamasakura / Prunus Serrulata var. Spontanea), dan jenis Shidarezakura / Itozakura (Prunus Subhirtella Pendula). Warna bunga sakura tergantung pada golongan spesiesnya. Ada yang berwarna putih dengan sedikit warna merah jambu, kuning muda, merah jambu, hijau muda sampai merah menyala. Spring in Japan! dalam The Japanese Connection (2008), mengemukakan bahwa di Jepang, dalam setiap tahunnya bunga sakura hanya dapat berbunga pada waktu musim semi dan membutuhkan waktu sekitar enam sampai delapan minggu untuk mencapai kondisi mekar sempurna. Sakura memiliki sistem berbunga yang unik karena secara perlahan-lahan pohon sakura berbunga terlebih dahulu dari daerah selatan Jepang (Pulau Okinawa), baru mulai berbunga ke arah daerah utara Jepang (Pulau Hokkaido), sehingga masing-masing perfektur memiliki tanggal waktu mekar yang berbeda-beda. Menurut Gill (2007:20) kata “sakura” terdiri dari kata “saku” ( 咲く) yang berarti mekar, ditambah akhiran bentuk jamak (plural suffix) ra “ら”. Sakura memiliki sejarah yang panjang dengan bangsa Jepang. Kurano dan Sakamoto dalam Linhart et al. (1998:216), menyatakan bahwa dalam legenda cerita dewa, Kojiki dan Nihonshoki, ada sebuah bagian mengenai tokoh Ninigi no Mikoto, cucu dari dewi matahari Amaterasu, yang mempunyai istri bernama Sakuya Hime. Para cendekiawan menginterpretasikan nama sakuya ini sebagai bunga sakura. Menurut Short (2000:190-191), apresiasi masyarakat Jepang terhadap sakura diperkirakan mulai muncul sejak sekitar abad kesembilan atau abad kesepuluh, atau mungkin lebih lama dari itu. Pada saat itu, bunga plum Jepang yang disebut bunga ume, yang mekar pada awal bulan Februari, merupakan bunga yang sangat populer di Jepang.
4
Setelah itu perlahan-lahan sakura mulai menggantikan kepopuleran bunga ume sebagai bunga musim semi yang paling digemari dan dipuja-puja. Apresiasi terhadap sakura menyebar dengan cepat, mulai dari kalangan ningrat bangsawan sampai golongan militer. Pada awal abad ketujuh belas, semua pohon sakura dari seantero Jepang dikumpulkan dan ditanam di Daimyo Yashiki, tempat tinggal kediaman penguasa feodal yang berlokasi di kota Edo. Berkat ilmu perkebunan yang mulai berkembang pada saat itu, pohon sakura dalam jumlah yang besar ditanam di berbagai tempat umum, dan demam bunga sakura pun menyebar luas sampai kalangan kaum pedagang dan rakyat jelata. Banyak sekali karya sastra dan seni pada saat itu yang terinspirasi dari sakura. Puisi, sajak, lukisan, lagu yang memuat tentang bunga sakura sangat terkenal pada masa itu. Pada musim semi, di tepi sungai Sumida dan kuil-kuil menjadi tempat yang sangat populer yang disebut dengan sakura meisho (titik lokasi Sakura), dimana orang-orang berkumpul dalam jumlah yang besar, untuk berpesta sambil makan-makan, minumminum, menari bergembira, dan menikmati keindahan bunga sakura. Kebiasaan ini terus berlanjut hingga sekarang dimana perayaan ini disebut dengan hanami. Dewasa ini, sakura masih tetap populer di kalangan masyarakat Jepang modern. Motif sakura dapat dengan mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang, yang diperlihatkan dalam beraneka ragam barang-barang konsumen termasuk kimono, alat-alat tulis, peralatan dapur, sampai desain grafis dalam berbagai media massa. Sakura juga kerapkali muncul pada lukisan, sajak, novel, cerpen, puisi, lagulagu, film, maupun pada makanan dan minuman khas Jepang, seperti contohnya sakuramochi, sejenis kue tradisional khas Jepang, es krim dan kue kering dengan rasa bunga sakura, dan teh bunga sakura, yang umumnya diminum dalam kesempatan 5
istimewa seperti pesta pernikahan. Di Jepang bahkan ada asosiasi yang bernama JCBA (Japanese Cherry Blossom Association) yang dalam bahasa Jepang disebut Nihon Sakura no Kai (日本さくらの会). Asosiasi ini didirikan pada tahun 1964 dan bertujuan untuk bersama-sama melindungi eksistensi pohon sakura serta menggalakkan gerakan penanaman pohon sakura di Jepang bahkan seluruh dunia, dikarenakan mulai ada kekhawatiran akan banyaknya pohon sakura yang akan rusak atau mati, disebabkan oleh pencemaran udara dan pembangunan industri. Setiap tahunnya, pengamat sakura mengeluarkan peta pergerakan mekarnya bunga sakura dari barat ke timur lalu utara yang disebut sakurazensen. Dengan menggunakan peta sakurazensen dapat diketahui lokasi bunga sakura yang sedang mekar pada saat tertentu. Untuk keperluan itu, radio dan televisi Jepang setiap hari akan melaporkan tempat dimana bunga sakura mulai mekar. Di Jepang terdapat standar untuk menyampaikan informasi tingkat mekar bunga sakura, mulai dari terbukanya kuncup bunga (kaika), mekarnya 10% dari kuncup bunga yang ada di pohon (ichibuzaki), sampai bunga mekar seluruhnya (mankai). Bunga yang rontok segera digantikan dengan keluarnya daun-daun muda. Pohon sakura yang bunganya mulai rontok dan mulai tumbuh daun-daun muda sebanyak 10% disebut ichibu hazakura. Sementara itu, pohon sakura yang seluruh bunganya sudah rontok dan hanya mempunyai daun-daun muda disebut hazakura. Ketika angin bertiup, kelopak-kelopak bunga akan rontok dan memencar, lalu berputar perlahan hingga jatuh ke tanah. Hal ini menciptakan fenomena sakurafubuki, badai kelopak bunga yang indah dan menakjubkan. Tidak diragukan lagi sakura adalah bunga kesayangan masyarakat Jepang. Menurut Keene (2002:20-21), bunga sakura merupakan bunga yang istimewa sehubungan dengan
6
masa mekarnya yang pendek. Bunga sakura memang indah, tetapi bunga ume (plum) dan bunga momo (persik), bahkan bunga apel juga tidak kalah indahnya. Hirosaki, sebuah daerah di sebelah utara Jepang, merupakan daerah yang sangat terkenal dengan perkebunan apelnya. Tetapi, apabila kita membeli kartu pos di Hirosaki, rata-rata kartu pos yang ada akan bergambar bunga sakura, bukan bunga apel, meskipun perkebunan apel adalah ciri khas dari daerah ini. Ada yang istimewa pada bunga sakura, bukan hanya kecantikannya saja. Bunga ume bertahan di dahan selama kurang lebih satu bulan setelah mekar, begitu juga dengan pohon buahan lain yang bunganya dapat bertahan lebih dari satu minggu. Tetapi bunga sakura pada umumnya akan berguguran setelah tiga hari yang singkat selepas masa mekar. Hal tersebut merupakan fakta yang selalu disesali dan diratapi oleh para penyair dalam puisi-puisi yang tak terhitung jumlahnya. Umumnya, buah dari pohon sakura lokal tidak dapat dikonsumsi. Selain itu, pohon sakura merupakan sarang yang disukai ulat dan serangga-serangga lain yang menyebabkan akan lebih baik menggunakan payung apabila lewat di bawah pohon sakura pada akhir musim panas. Tetapi meskipun begitu, orang Jepang secara antusias menanam pohon sakura di mana saja mereka bisa menanamnya, untuk tiga hari masa mekar yang singkat tersebut. Keindahannya serta keistimewaan kondisi mekar yang singkat dan kondisi gugur yang dramatis, membuat masyarakat Jepang memiliki bermacam-macam pemikiran yang berkaitan dengan sakura. Bagi masyarakat Jepang, sakura dijadikan simbol dari berbagai fenomena kehidupan. Banyak hal yang menjadi inspirasi dan dapat dipelajari dari filosofi sakura. Perasaan yang diwakilkan oleh sakura, seringkali dituangkan ke dalam puisi (Matsuda 2001:12).
7
1.1.2 Tinjauan Umum Tentang Sakura dan Haiku Menurut Gill (2007:8), haiku merupakan puisi tradisional Jepang yang di dalamnya memuat tentang fenomena-fenomena dalam perputaran musim mengenai kenaturalan, fenomena alam, dan manusia. Aturan penulisan haiku terdiri dari 17 silabus atau ketukan bunyi (dengan penghitungan 5 silabus + 7 silabus + 5 silabus = 17 silabus). Secara umum, di Jepang, haiku ditulis dalam satu baris secara vertikal (dikarenakan keberadaan nyata objek-objek yang tampilannya sejajar garis vertikal), atau dalam terjemahan bahasa Inggris, terdiri dari tiga baris. Di Jepang, satu haiku atau haiku secara tunggal disebut sebagai “ku”. Haiku yang ditulis dalam huruf kanji “ 俳句 ” merupakan jenis puisi Jepang yang pertama kali dikenal dengan sebutan tanka (sebutan baru pada waka). Pada zaman dahulu di Jepang, tanka dipergunakan untuk berbicara dengan dewa dalam rangka menyembah kekuasaan monarki. Tanka dengan perhitungan suku kata 5-7-5-7-7 (renga) ini begitu populer di Jepang dan berkembang di Jepang sejak abad kesembilan sampai abad kedua belas (Tsuruoka, 2006:295). Asal mula dari Haiku Jepang dimulai pada saat masuknya kebudayaan Cina ke Jepang pada abad ketujuh (Periode awal zaman Heian), dimana pada saat itu, Jepang mengutus wakil-wakil untuk pergi ke Cina agar mendapat pengajaran akan ilmu pengetahuan yang tinggi seperti penulisan huruf kanji dan puisi Cina. Puisi Cina tersebut adalah waka dan kanshi, yang menjadi dasar dari ilmu pengetahuan dan perkembangan dalam sejarah puisi Jepang. Dari bentuk penulisan puisi Cina kuno, waka dan kanshi tersebut telah memberikan banyak ide-ide baru dalam bentuk penulisan puisi Jepang,
8
seperti haiku, renga, atau senryu yang sangat terkenal. Sampai saat ini, jenis penulisan bentuk haiku telah dikembangkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa negara-negara lain di dunia. Kata haiku sendiri pertama kali ditemukan oleh seorang penyair Jepang pada akhir abad kesembilan belas dekade ketiga Era Meiji, yang bernama Masaoka Shiki (1867-1902). Kata haiku merupakan kombinasi dari kata “hokku” dengan tulisan kanji “ 発句 ” yang berarti syair pembuka dalam renga (5-7-5) dan kata “haikai”, dengan tulisan kanji “ 俳諧 ” yang berarti syair lanjutan setelah renga (Tsuruoka, 2006:295). Sejak dulu hingga saat ini, orang Jepang mengelompokkan berbagai jenis bunga, burung, dan fenomena-fenomena alam ke dalam musim masing-masing untuk menulis haiku (Dalby, 2007:xxi). Salah satu objek alam yang paling umum ditemui dalam haiku tradisional Jepang adalah bunga sakura. Menurut Gill (2007:17), terdapat banyak sekali haiku dengan objek bunga sakura di dalamnya. Dalam Bunrui Haiku Zenshu (1929) yang merupakan pengkategorian haiku oleh Shiki (Masaoka Shiki, 1867-1902), terdapat kurang lebih delapan ribu haiku yang berhubungan dengan sakura. Didukung oleh fakta bahwa Shiki memasukkan delapan ratus haiku karya Issa (Kobayashi Issa, 1763-1827) yang kurang lebih hanya merupakan lima persen dari keseluruhan karya Issa, dan masih ada banyak penulis haiku yang terkenal selain Issa yang pastinya juga menulis ratusan haiku, maka diperkirakan terdapat ratusan ribu bahkan lebih haiku yang berhubungan dengan sakura. Di dalam antologi kuno kesusastraan puisi Jepang yaitu Manyoshu (abad kedelapan) yang merupakan kebudayaan serapan dari Cina, bunga ume merupakan objek yang sangat populer dengan perbandingan 110 sajak untuk objek bunga ume dan hanya 43 sajak untuk objek bunga sakura. Akan tetapi dalam antologi Kokinshu (abad kesepuluh),
9
setelah kebiasaan perayaan melihat bunga sakura atau hanami menjadi populer di kalangan masyarakat pada saat itu, sakura juga menjadi sangat populer dengan perbandingan 70 sajak untuk objek bunga sakura dan 18 sajak untuk bunga ume. Sedangkan dalam Shin Kokinshu (abad ketiga belas) kepopuleran bunga ume benarbenar telah dikalahkan dan digantikan oleh bunga sakura (Gill, 2007:21). Sakura dalam haiku mempunyai sub tema yang luas. Dapat tergantung dari lokasinya (misalnya region-region di Jepang, taman-taman, di gunung, di tepi sungai), jenis pohonnya (misalnya yamazakura, somei yoshino, shidarezakura), keadaan kuntumnya (misalnya berkelopak tunggal, berkelopak ganda, gugur, mekar), atau berbagai keadaan yang berhubungan dengan bunga sakura, seperti misalnya sakuramatsu (menunggu sakura mekar), hatsuzakura (sakura mekar untuk pertama kalinya), hanami (perayaan tahunan berpesta sambil melihat bunga sakura), sakuragari (kegiatan berjalan-jalan sambil menikmati keindahan bunga sakura di sepanjang perjalanan), hana no rusu (dimana seseorang menghabiskan waktu sendirian di rumah untuk menjaga rumah ketika anggota rumah yang lain pergi untuk merayakan hanami), dan masih banyak lagi yang lain (Gill, 2007:17). Merupakan hal yang diketahui secara luas bahwa apabila dalam puisi menyebut kata hana (bunga), yang dimaksud adalah sakura. Meskipun kata hana tidak selalu mengacu pada bunga sakura, dan terkadang menunjuk pada bunga ume, dimana kedua bunga ini merupakan bunga yang mendominasi pada musim semi, tetapi umumnya kata hana dalam mayoritas haiku yang dihubungkan dengan musim semi biasanya memang dimaksudkan pada sakura (Gill, 2007:17). Akhir-akhir ini dengan masuknya jenis tanaman-tanaman dari barat seperti mawar, terjadi sedikit persaingan dengan monopoli
10
bunga sakura di Jepang, tetapi bagaimanapun juga, dalam puisi tradisional Jepang, sakura tetaplah merupakan bunga dari semua bunga (Gill, 2007:21). Dari berbagai pernyataan di atas, diketahui bahwa sakura merupakan bunga istimewa kesayangan masyarakat Jepang, dimana melalui bunga ini banyak terkandung penyimbolan fenomena dan filosofi hidup masyarakat Jepang. Diketahui pula bahwa sakura merupakan salah satu dari objek alam yang paling banyak ditemui dalam haiku tradisional Jepang. Berdasarkan hal ini, penulis sangat tertarik untuk melakukan sebuah penelitian tentang analisis haiku yang didalamnya terdapat objek sakura. Penulis juga tertarik dengan tema ini dikarenakan keistimewaan bunga sakura, dimana bila di dalam haiku menyebut kata hana maka yang dimaksud adalah bunga sakura. Tetapi untuk lebih memperjelas objek sakura dan untuk menspesifikasi, maka penulis memutuskan untuk hanya akan menganalisis haiku yang di dalamnya terdapat kata sakura. Selain karena sakura merupakan salah satu objek alam yang paling banyak ditemui dalam haiku, alasan lain penulis menggunakan haiku sebagai bahan penelitian adalah dikarenakan penulisan haiku memiliki makna yang dalam dan rumit. Haiku tidak akan dipahami hanya dengan mengetahui bahasa atau menerjemahkan setiap kata dalam haiku tersebut ke dalam bahasa yang kita mengerti, tetapi harus memahami makna-makna yang terkandung pada setiap kata dalam haiku, karena setiap kata dalam haiku memiliki suatu hubungan, alasan, dan kerahasiaan seperti memecahkan suatu kata sandi. Melihat dari beberapa contoh sebelumnya tentang penelitian haiku, maka penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian korpus data haiku yang didalamnya terdapat objek yang sangat istimewa dan merupakan salah satu ciri khas negara Jepang, yaitu bunga sakura.
11
Dengan alasan-alasan tersebut penulis bermaksud untuk mengadakan penelitian skripsi dengan judul “Analisis Tiga Haiku yang Berhubungan Dengan Tiga Makna Simbol Sakura Ditinjau Dari Segitiga Makna Ogden dan Richards”.
1.2 Rumusan Permasalahan Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis haiku yang di dalamnya terdapat kata sakura, untuk mendapatkan makna keseluruhan dari haiku tersebut. Oleh karena makna keseluruhan haiku sangat berkaitan erat dengan makna simbol sakura dalam haiku tersebut, maka untuk mendapatkan makna keseluruhan haiku, penulis harus dapat memahami makna dari simbol sakura di dalam haiku tersebut.
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan Penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini dengan hanya menggunakan tiga haiku saja, yang di dalam ketiga haiku tersebut memiliki objek sakura atau terdapat kata sakura didalamnya, sebagai korpus data. Ketiga haiku yang akan digunakan sebagai bahan analisis tersebut antara lain haiku pertama yang ditulis oleh Sakai Hoitsu (17611828), haiku kedua yang ditulis oleh Kawai Chigetsu (1634-1708), dan haiku ketiga yang ditulis oleh Rooka (1672-1703). Ketiga haiku ini terdapat dalam buku A History Of Haiku, cetakan ketujuh yang diterbitkan Hokuseido Press Japan pada tahun 1976. Buku ini merupakan kumpulan haiku Jepang tradisional karya para penyair ternama dari era Sogi (1421-1502) sampai era Issa (1763-1827) yang disusun oleh R. H. Blyth.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
12
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna secara keseluruhan dari haiku yang memuat kata sakura dalam lariknya dan membantu pembaca untuk memahami makna simbol sakura dalam haiku tersebut. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak untuk menambah pengetahuan pembaca, baik mengenai bunga sakura yang merupakan salah satu ciri khas negara Jepang, maupun mengenai konsep ajaran agama Buddha yang memiliki hubungan dengan makna keseluruhan haiku yang didapat dari analisis. Juga tidak ketinggalan diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan meningkatkan ketertarikan akan kesusastraan dan kebudayaan kuno Jepang dalam hal seni haiku, dan juga memberikan inspirasi dalam penelitian haiku, tidak hanya pada tema bunga sakura saja tetapi juga dapat pada tema haiku yang lainnya.
1.5 Metode Penelitian Metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kajian kepustakaan dan metode deskriptif analitis. Dalam metode kajian kepustakaan, penulis melakukan pencarian informasi dan pengumpulan data dari berbagai sumber data, diantaranya bukubuku, majalah, koran, internet dan media sejenis. Data-data ini akan digunakan sebagai sumber landasan teori dan pendukung analisis korpus data yang menunjang terbentuknya penulisan skripsi ini. Metode deskriptif analitis dilakukan dengan cara penulis langsung meneliti ketiga haiku yang dimaksudkan untuk dapat menjelaskan terjemahan dari masing-masing haiku, kemudian disusul dengan analisis makna yang berdasarkan pada landasan teori serta data-data pendukung yang menguatkan analisis. Metode ini tidak hanya
13
menguraikan makna haiku saja, tetapi juga bisa memberikan pemahaman dan penjelasan yang dapat dimengerti. Penulis memutuskan untuk menggunakan metode deskriptif analitis dan metode kepustakaan dalam penelitian ini karena kedua metode tersebut dianggap sebagai metode yang paling sesuai untuk mencapai tujuan penelitian.
1.6 Sistematika Penulisan Bab 1, Pendahuluan, berisi tentang pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, ruang lingkup permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab 2, Landasan Teori, berisi tentang uraian teori dan konsep yang akan digunakan untuk keperluan analisis korpus data. Dalam penelitian ini, landasan teori terdiri dari konsep filosofi masyarakat Jepang mengenai sakura, konsep mengenai agama Buddha, teori tentang haiku, teori semantik tentang makna, teori majas, serta teori pengkajian puisi. Bab 3, Analisis Data, bab ini berisi penjabaran analisis penulis terhadap ketiga haiku yang sudah dipilih untuk menjadi korpus data. Dalam analisis haiku ini, penulis akan menganalisis setiap kata, frase, dan klausa dalam haiku tersebut, lalu penulis juga akan menghubungkan makna simbol sakura dalam haiku tersebut dengan konsep makna simbol sakura dalam masyarakat Jepang untuk mendapatkan makna haiku secara keseluruhan. Pembuktian analisis makna didukung dengan penggunaan diagram segitiga makna Ogden dan Richards di dalam setiap sub babnya. Penelitian ini akan dibagi dalam tiga sub bab utama, yaitu bab 3.1 Analisis Haiku Pertama, bab 3.2 Analisis Haiku Kedua, serta bab.3.3 Analisis Haiku Ketiga.
14
Bab 4, Simpulan, berisi tentang simpulan dari hasil analisis secara singkat serta saran agar pembaca dapat mengambil manfaat dari penelitian ini. Bab 5, Ringkasan, dalam bab ini penulis akan menjelaskan secara singkat isi dari penelitian, mulai dari latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, serta simpulan sebagai jawaban yang diperoleh atas permasalahan yang dijadikan tema pada penulisan skripsi ini.
15