1
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor pertanian mempunyai peranan atau kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan ekonomi suatu negara yang bercorak agraris seperti Indonesia. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumberdaya alam, yang memiliki luas lahan dan agroklimat yang potensial untuk dikembangkan sebagai usaha pertanian. Indonesia negara agraris yang mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dan penompang pembangunan nasional (Mardikanto, 2007). Sumbangan sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) terus mengalami peningkatan setiap tahun. Secara nominal, Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian, kehutanan dan perikanan atas dasar harga konstan (ADHK) pada kuartal II 2016 mencapai Rp 322 triliun, naik 11,90 persen dibandingkan kuartal I 2016 yang sebesar Rp 287,7 triliun. Pertumbuhan tinggi ini disebabkan pergeseran masa panen akibat El Nino yang harusnya panen raya jatuh pada kuartal I menjadi di kuartal II. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartalan untuk lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan tercatat lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang hanya mencapai 10,33 persen (Badan Pusat
2
Statistik, 2016). Hal ini mengindikasikan besarnya peranan pertanian dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Peranan sektor pertanian sebagai menyumbang pembentukan produk domestik bruto (PBD) penyedia sumber devisa melalui ekspor, penyedia pangan dan bahan baku industri, pengentasan kemiskinan, penyedia lapangan kerja dan perbaikan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian sendiri terdiri dari beberapa sub sektor, yaitu sub sektor tanaman pangan, sub sektor hortikultura, sub sektor peternakan, sub sektor perkebunan dan sub sektor perikanan. Sub sektor tanaman pangan sebagai bagian dari sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting dalam pembangunan perekonomian nasional, untuk mewujudkan ketahanan pangan, pembangunan wilayah, pengentasan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja, penerimaan devisa, dan menjadi penarik bagi pertumbuhan industri hulu dan pendorong pertumbuhan untuk industri hilir yang memberikan kontribusi cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Peranan tanaman pangan telah terbukti secara empiris, baik dikala kondisi ekonomi normal maupun saat menghadapi krisis, begitu juga dengan sub sektor hortikultura yang sama pentingnya dalam pembangunan ekonomi nasional. Sub
sektor
hortikultura
merupakan
komoditas
yang
cukup
potensial
dikembangkan secara agribisnis, karena punya nilai ekonomis dan nilai tambah cukup tinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya. Selain fungsi ekonomi tersebut tanaman hortikultura mempunyai nilai kalori cukup tinggi, merupakan sumber vitamin, mineral, serat alami dan anti-oksidan, sehingga selalu diperlukan oleh tubuh sebagai sumber pangan maupun nutrisi serta berpengaruh terhadap
3
pendapatan dan kesejahteraan petani. Melihat manfaat dan fungsinya dapat dikatakan hortikultura dapat diandalkan untuk memajukan perekonomian Indonesia. Hortikultura memegang peran penting yang strategis karena perannya sebagai komponen utama pada pola pangan harapan. Komoditas hortikultura khususnya sayuran dan buah-buahan memegang bagian terpenting dari keseimbangan pangan, sehingga harus tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup, mutu yang baik, aman konsumsi, harga yang terjangkau, serta dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Jumlah penduduk Indonesia yang besar sebagai konsumen produk hortikultura yang dihasilkan petani, merupakan pasar yang sangat potensial dari tahun ke tahun menunjukkan kecenderungan semakin meningkat dalam jumlah dan persyaratan mutu yang diinginkan. Hal ini dapat dilihat dari tabel konsumsi per kapita komoditas jagung dan cabai di Indonesia Tahun 2010-2014. Tabel 1. Konsumsi jagung dan cabai perkapita di Indonesia tahun 2010-2014 Tahun
Konsumsi (Kg/kapita/tahun) Jagung Cabai 1763 1528 1365 1497 1677 1653 1469 1424 1553 1460
Pertumbuhan (%) Jagung Cabai
2010 2011 2012 2013 2014 Rata-rata pertumbuhan (%/ tahun) 2010-2014 Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah pusdatin. 2014
-22,60 22,92 -12,43 5,71
-3,72 10,19 -11,48 1,40
-0,26%
1,29%
Berdasarkan tabel 1 menunjukan bahwa konsumsi per kapita jagung lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun. Selama kurun waktu tersebut terjadi penurunan cukup signifikan pada tahun 2011 sebesar - 22,60%. Pada tahun
4
2012 konsumsi per kapita jagung kembali meningkat 23%, tahun 2013 kembali menurun sebesar -12,43% dan tahun 2014 kembali meningkat 5,71%. Penurunan konsumsi ini terjadi karena semakin sedikit masyarakat mengkonsumsi jagung sebagai subtitusi bahan pangan pokok, sedangkan permintaan jagung untuk industri terutama industri pakan cenderung semakin meningkat.
Program penganekaragaman pangan pengganti beras sampai saat ini belum berhasil, sehingga perlu upaya yang lebih keras agar konsumsi beras menurun dan konsumsi sumber karbohidrat lainnya termasuk jagung meningkat begitu juga dengan konsumsi perkapita cabai lima tahun terakhir menunjukan kecenderungan menurun. Selama kurun waktu tersebut terjadi penurunan cukup signifikan pada tahun 2011 sebesar -3,72%. Pada tahun 2012 konsumsi per kapita cabai kembali meningkat 10,19%, tahun 2013 kembali menurun sebesar -11,48% dan tahun 2014 kembali meningkat 1,4%. Semakin bervariasinya jumlah konsumsi baik itu komoditas jagung atau pun cabai dapat mempengaruhi produksi, luas penen dan produktifitas setiap komoditas hal ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Produksi, Luas Panen, Dan Produkivitas Komoditas Jagung Dan Cabai di Indonesia Tahun 2010-2014 Komoditas
2010 2011 Produksi Jagung 18.328 17.643 Cabai 807.160 888.852 Luas panen Jagung 4.132 3.864 Cabai 122.755 121.063 Produktivitas Jagung 44,36 45,65 Cabai 6,58 7,34 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2015
Tahun 2012 2013 2014 19.387 18.512 19.033 954.310 1.012.879 926.000 3.957 3.821 3.838 120.275 124.110 113.078 48,99 48,44 49,59 7,93 8,16 8,19
5
Tabel 2 menunjukan bahwa tingkat produksi jagung dan cabai terus mengalami peningkatan, hal ini terjadi karena semakin semakin tingginya tingkat adopsi petani terhadap teknologi. Disisi lain terlihat semakin menurunya luas panen jagung dan cabai pada satu dekade terakhir yang diduga karena jagung dan cabai harus bersaing dengan tanaman tadah hujan lainnya seperti tanaman pangan padi, kedelai, kacang tanah, maupun tanaman non pangan seperti tembakau. Disamping itu luas baku sawah yang diduga mengalami penyusutan karena konversi lahan untuk kepentingan lain seperti infrastruktur, perumahan, dan lain-lain, faktor lain yang diduga menurunkan luas panen jagung dan cabai adalah perubahan iklim global, dimana batas antara musim hujan dan musim kemarau menjadi kurang jelas, sehingga petani harus memutuskan jenis tanaman yang akan ditanam, antara tetap menanam padi yang membutuhkan banyak air atau beralih ke palawija. Provinsi Lampung adalah daerah yang sebagian wilayahnya merupakan lahan kering dimana keadaan lahan tersebut sangat cocok untuk menanam tanaman jagung maupun cabai. Selain itu, Provinsi Lampung merupakan salah satu daerah penghasil tanaman jagung dan cabai yang merupakan pemasok jagung untuk memenuhi kebutuhan kosumsi di Provinsi Lampung, bahkan dapat memenuhi untuk kebutuhan diluar Provinsi Lampung. Hal ini dapat dilihat dari tabel 3.
6
Tabel 3. Luas panen, produksi dan produktivitas tanaman jagung dan cabai, di Provinsi Lampung tahun 2011-2015 Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 Jagung 1817 906 1760275 1760278 1719386 1503800 Produksi (ton) Cabai 44.370 42.437 35.233 32.260 31.272 Jagung 380.917 360.264 346.315 338.885 293.521 Luas panen (ha) Cabai 6.105 5.640 5.500 4.905 4.229 Jagung 47,72 48,86 50,83 50,70 51,20 Produktivitas (ku/ha) Cabai 6,41 72,70 75,20 6,58 7,40 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2015 Komoditas
Berdasarkan tabel 3 menunjukan bahwa produksi jagung ataupun cabai yang mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Hal ini terjadikarena penurunan luas panen akibat lahan dipergunakan untuk menanam komoditas lain (padi) menyusul pencapaian tambahan produksi lain (padi). Namun dari tabel di atas juga dapat dilihat bahwa produktivitas jagung dan cabai mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan produktivitas jagung dan cabai antara lain sebagai dampak dari penerapan paket teknologi dalam penggunaan varietas jagung hibrida secara menyeluruh, adanya program SLPTT (Sekolah Lapang Pertanian Tanaman Terpadu) serta penerapan tekhnologi lainya yang mampu meningkatkan produktivitas komoditas. Selain produksi, harga tanaman pangan jagung atau pun tanaman hortikultura cabai yang sangat berpengaruh terhadap pendapatan petani. Sedangkan untuk harga dua komoditas jagung dan cabai relatif stabil, namun pada saat panen raya tiba harga jagung dan cabai menjadi rendah atau murah. Hal ini dapat dilihat pada tabel 3 tentang harga jagung dan cabai di tingkat Provinsi Lampung
7
Tabel 4. Harga komoditas jagung dan cabai di Provinsi Lampung tahun 2015
2011-
Harga 2011 (Rp) 2012 (Rp) 2013 (Rp) 2014 (Rp) 2015 (Rp) Cabai 22.527 19.691 38.684 38.025 10.519 Jagung 3.918 4.459 4.310 4.000 4.067 Sumber : Statistik Harga Pertanian Lampung, 2015 Komoditas
Berdasarkan tabel 4 menyatakan bahwa harga untuk setiap komoditas tanaman pertanian jagung dan cabai dari tahun 2011-2015 mengalami fluktuasi harga pada harga komoditi hortikultura cabai dan untuk harga jagung sendiri cukup konstan. Hal ini yang menyebabkan petani mengalami risiko harga disetiap musim. Kemudian yang paling tidak diinginkan oleh petani jagung dan cabai yaitu turunya harga setiap komoditas di pasaran, hal ini biasanya terjadi akibat panen raya yang dapat mengakibatkan harga menjadi turun karena pasokan tiap komoditas yang melimpah baik itu dipasaran atau pun di gudang. Karena pada kenyataanya pasarlah yang menguasai harga dimana petani tidak mampu mengubahnya sehingga mengalami fluktuasi harga yang dapat merugikan pihak petani. Di Provinsi Lampung terdapat sentra produksi jagung dan cabai di setiap kabupaten. Hal ini dapat terlihat dari tabel 5.
8
Tabel 5. Produksi jagung dan cabai di Provinsi Lampung tahun 2014 Kabupaten/Kota
Komoditas Cabai Jagung
01 Lampung Barat 13.841 02 Tanggamus 2.592 03 Lampung Selatan 8.397 04 Lampung Timur 390 05 Lampung Tengah 3.610 06 Lampung Utara 2.252 07 Way Kanan 390 08 Tulang Bawang 710 09 Pesawaran 4.899 10 Pringsewu 583 11 Mesuji 84 12 Tulang Bawang Barat 769 13 Pesisir Barat 2.330 14 Bandar Lampung 43 15 Metro 33 Lampung 40.923 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung, 2015.
962 17.651 632.137 516.412 268.949 103.243 49.418 6.448 71.645 31.403 447 2.492 13.488 231 4.460 1719386
Berdasarkan tabel 5 menyatakan bahwa pada tahun 2014 untuk produksi cabai tertinggi adalah di Kabupaten Lampung Barat dimana keadaan wilayah yang sesuai karena kabupaten tersebut merupakan daerah pegunungan yang sesuai untuk pertumbuhan cabai. Namun untuk produksi jagung terhitung rendah. Hal ini karena setiap komoditas memiliki habitatnya masing-masing.
Sedangkan produksi untuk komoditas cabai di Kabupaten Lampung Timur yang terhitung cukup rendah namun untuk komoditas jagung produksinya tertinggi ke 2 setelah Kabupaten Lampung Selatan. Terlihat bahwa salah satu kabupaten yang memproduksi jagung yang cukup tinggi dan cabai yang cukup menjanjikan bagi petaninya. Bahkan tidak hanya pada tahun 2014 saja, produksi jagung dan cabai
9
pada tahun sebelumnya juga cukup tinggi, mengingat sudah banyak alih fungsi lahan yang dilakuhkan masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Luas panen, produksi, dan produktivitas komoditas jagung dan cabai di Kabupaten Lampung Timur tahun 2011-2015 Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 Jagung 442.579 481.635 522.776 516.412 433.330 Produksi (ton) Cabai 31.223 32.347 33.754 37.052 32.165 Jagung 90.202 96.220 100.026 99.025 82.205 Luas panen (ha) Cabai 650 662 681 716 613 Jagung 4,91 5,01 5,23 5,21 5,27 Produktivitas (ku/ha) Cabai 48,04 48,86 49,57 51,75 52,47 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lampung Timur, 2015 Komoditas
Berdasarkan tabel 6 menyatakan bahwa produksi jagung atau pun cabai yang mengalami fluktuasi. Masalah produksi ini berkenaan dengan sifat usahataniyang selalu tergantung pada perubahan iklim dan ketidaakpastian. Pada tahun 2015 produksi jagung sebesar 433.330 ton, dengan luas panen 82.205ha, dan produktivitas jagung 5,27 ku/ha. Sedangkan produksi cabai sebesar 32.165 ton, dengan luas panen 613 ha, dan produktivitas 52,47ku/ha. Kondisi produktivitas ini dapat ditingkatkan melalui upaya intensifikasi atau perbaikan teknologi. Upaya ini lebih memungkinkan mengingat produksi melalui ektensifikasi atau perluasan lahan membutuhkan biaya yang besar. Untuk pengairan pada lahan peladangan yang digunakan dalam usahatani tumpang gilir jagung dan cabai hanya bergantung pada curah hujan yang turun.
Perubahan iklim yang tidak menentu memiliki risiko yang tinggi bagi usahatani tumpang gilir jagung dan cabai. Risiko usahatani ini akan berpengaruh terhadap pendapatan petani itu tumpang gilir jagung dan cabai. Keputusan petani dalam
10
mengambil usahatani tumpang gilir jagung dan cabai disebabkan karena adanya tambahan pengeluaran dan kemungkinan pendapatan bagi petani usahataninya. Harga sarana produksi yang mahal dihadapkan pada risiko kenaikan harga input sehingga menambah biaya yang dikeluarkan oleh petani dan terjadinya kesenjangan antara penerimaan dan pengeluaran.
Pada kenyataanya harga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah mampu berubah dipasar daerah khususnya komoditas hortikultura cabai. Dimana harga komoditi sangat mudah sekali berubah-ubah (berfluktuasi) sehingga berpengaruh terhadap pendapatan petani. Sedangkan untuk harga jagung bebarapa tahun ini tergolong stabil, namun ketika panen raya tiba harga komoditi terutama cabai menjadi rendah. Perkembangan harga jagung dan cabai di Kecamatan Batanghari dapat dilihat pada tabel 6.
Gambar 1. Perkembangan harga komoditas jagung dan cabai di Kecamatan Batanghari dari tahun 2013-2016 grafik perubahan harga 60.000 50.000
50.000
46.000
40.000 30.000
Cabai Jagung
20.000 12.000
10.000 0
2.700 2013
2.100 2014
15.000 3.000 2015
2.300 2016
Sumber: Gapoktan Buanajaya, Batanghari Lampung Timur, 2016.
11
Berdasarkan gambar 1 dapat dilihat bahwa harga komoditi cabai dari tahun 20132016 mengalami fluktuasi harga. Harga naik dan turun dikisaran harga sampai 5 kali lipat. Hal ini dipengaruhi oleh produksi ditiap musim tanam. Ketika panen raya harga cabai turun, sebaliknya jika produksi atau panen berkurang maka harga di pasar naik. Berbeda dengan harga jagung yang stabil. Namun pada dasarnya komoditas cabailah yang menjadi andalan bagi daerah tersebut. Walaupun harga jagung tetap stabil hal itu hanyalah pelengkap untuk menambah modal bagi usahatani cabai.
Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur, merupakan wilayah yang menerapkan sistem tanam tumpang gilir karena keinginan para petani memperoleh hasil yang maksimal dengan memanfaatkan tanaman pertama sebagai tiang penyangga serta perbedaan varietas sehingga mampu memutus mata rantai hama dan penyakit serta dapat menekan biaya, mendapatan keuntungan hasil jual yang lebih, menekan terjadinya risiko kerugian, dengan komoditas utamanya yaitu jagung dan cabai. Namun, walau bagaimana pun usahatani tumpang gilir jagung dan cabai juga mengalami risiko usahatani yang dihadapi petani, yakni risiko produksi, risiko harga, dan risiko pendapatan. Setiap aktivitas manusia selalu mengandung risiko yang tidak pernah diketahui petani yang selalu menjadi tantangan dan bahan pertimbangan petani untuk melakukan suatu usahatani.
12
1.2 Identifikasi Masalah
Petani di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur, yang menanam dengan sistem tanam tumpang giir komoditi jagung dan cabai pada saat musim penghujan sangat dominan terkena hama dan penyakit dan dampak risiko yang mungkin didapat lebih kecil dibanding musim kemarau, karena ketika musim kemarau tanaman tidak mampu untuk tumbuh secara optimal sebab terbatasnya kandungan air. Masalah tersebut dapat dilihat di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur yang termasuk pertanian lahan kering, dimana ketersediaan air bergantung pada air hujan yang turun ke daerah tersebut karena tidak adanya aliran air irigasi. Risiko produksi lain yang dihadapi yaitu serangan hama dan penyakit, serta iklim yang berubah-ubah atau tidak menentu, sehingga dapat membuat pertumbuhan tanaman atau bahkan buah yang dihasilkan tidak optimal. Selain itu dalam penyemaian tanaman cabai dan pengajiran jagung menggunakan benih yang unggul guna memperoleh hasil yang maksimal dan mengurangi penyerangan hama sebelum tanam. Penanaman dua komoditas pada satu lahan memerlukan biaya produksi yang lebih besar dibandingkan monokultur dengan harapan sistem tumpangsari akan lebih menguntungkan dari segi produksi, pendapatan, dan faktor risiko gagal panen dari penanaman secara monokultur. Tetapi dalam satu pihak petani tumpang gilir perlu juga mengamati faktor risiko yang perlu dihadapi karena setiap aktivitas manusia selalu mengandung risiko yang tidak pernah diketahui oleh petani yang menjadi tantangan dan bahan pertimbangan petani untuk melakuhkan usahatani.
13
Kebutuhan modal biasanya didapat melalui dana pinjaman dari kelompok tani, ada juga petani yang mandiri atau menggunakan modal sendiri. Produksi jagung dan cabai semakin bertambah belum tentu menghasilkan pendapatan yang besar, karena harga setiap komoditas berpengaruh terhadap penerimaan. Harga setiap komoditas jagung pada saat hari biasa masih stabil, namun jika saat panen raya harga komoditas jagung menjadi murah/rendah, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan petani jagung, begitu juga dengan komoditas cabai, bahan pertimbangan bagi petani dalam mengambil keputusan untuk melaksanakan kegiatan usahatani tumpang gilir jagung dan cabai selain aspek teknis tentang bagaimana cara petani mengalokasikan faktor produksi untuk menghasilkan produk yang tinggi, juga aspek ekonomi yaitu tentang biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Tingginya hasil produksi belum tentu menghasilkan peningkatan pendapatan, sehingga dengan pemilihan alternatif usahatani tumpangsari jagung dan cabai tersebut petani mengharapkan pendapatan yang lebih tinggi. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diidentifikasi masalah sebagai besikut: 1. Bagaimana risiko usahatani yang dihadapi petani tumpang gilir jagung dan cabai di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur. 2. Bagaimana pendapatan petani tumpang gilir jagung dan cabai di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur.
14
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui risiko usahatani yang dihadapi oleh petani tumpang gilir jagung dan cabai di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur.
2.
Untuk mengetahui pendapatan yang didapat dalam usahatani tumpang gilir jagung dan cabai di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur.
1.4 Keguanaan dan Manfaat
Hasil penelitian ini diharapan dapat berguna bagi: 1.
Dinas atau instansi sebagai masukan dalam rangka kebijakan peningkatan produksi jagung dan cabai dan mengurangi risiko usahatani tumpang gilir jagung dan cabai.
2.
Peneliti sebagai bahan tambahan referensi yang berkaitan dengan risiko usahatani untuk penelitian selanjutnya.
3.
Petani sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam pengelolaan dan perencanaan usahatani tumpang gilir jagung dan cabai di masa yang akan datang.
15
II.
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Tanaman jagung Jagung atau biasa disebut dengan Maize adalah makanan serta pakan terpenting di belahan bumi bagian barat. Jagung dapat tumbuh diberbagai kondisi iklim. Sejak zaman prasejarah, jagung telah menjadi makanan pokok bangsa Meksiko dan Amerika Latin. Dalam perdagangan global, kata maize lebih sering digunkan dari pada jagung. Meksiko merupakan negara tempat jagung berasal. Meksiko memiliki banyak varietas jagung yaitu sebanyak 65. Tanaman jagung merupakan tanaman biji-bijian yang jumlah produksi setiap tahunya terbesar
dibanding
tanaman biji-bijian yang lain (Malti et al., 2011). Jagung merupakan bahan pangan yang memiliki kandungan karbohidrat sangat besar. Di Indonesia, kebutuhan jagung sangat besar, untuk jagung pipil kering kebutuhan per tahun lebih dari 10 juta ton konsumsi bahan pangan ini paling besar digunakan dalam industri pakan ternak. Memang, sebagian besar bahan baku pembuatan pakan ternak adalah jagung kurang lebih sekitar 51% dari komposisi pakan ternak menggunakan bahan dasar jagung.
16
Jagung merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan yang mempunyai peranan strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian Indonesia, mengingat komoditas ini mempunyai fungsi multiguna, baik untuk konsumsi langsung maupun sebagai bahan baku utama industri pakan. Selain itu, pentingnya peranan jagung terhadap perekonomian nasional telah menempatkan jagung sebagai kontributor terbesar kedua setelah padi dalam subsektor tanaman pangan (Zubachtirodin et al, 2007). Jagung juga merupakan salah satu komoditas pertanian yang memiliki karakter berfluktuatif dalam hasil karena dipengaruhi oleh lingkungan. Hal tersebut mempengaruhi permintaan dan penawarannya secara langsung. Apabila penawaran dan permintaan jagung fluktuatif maka akan membentuk harga yang fluktuatif pula (Syamsi, 2012). Permintaan suatu komoditas pertanian pada umumnya terdiri dari permintaan langsung (dikonsumsi) dan permintaan tidak langsung (diolah lebih lanjut menjadi produk konsumsi atau lainnya) (Departemen Pertanian, 2006). Pada dasarnya konsumsi jagung dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sebagai bahan pangan, bahan baku industri olahan, dan bahan baku pakan (Purwono dan Hartono, 2006). Kebutuhan jagung untuk bahan pangan pokok, bahan baku pakan serta bahan baku industri olahan terus meningkat. Kebutuhan jagung untuk bahan baku pakan semakin meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan industri peternakan yang menuntut kontinuitas pasokan bahan baku. Oleh karena itu, volume impor jagung terus meningkat mengingat harga jagung di pasar dunia relatif lebih murah
17
dibanding harga jagung lokal serta kualitas produk lebih terjamin (Rachman, 2003). Sebagian besar negara berkembang mempunyai masalah yang sama dalam pertanian jagung di dalam negerinya. Indonesia yang masih dapat dikatakan sebagai negara berkembang meskipun kontribusi sektor pertanian terhadap Universitas Sumatera Utara perekonomian nasional mulai digantikan oleh sektor industri juga menghadapi masalah tersebut. Masalah utama pertanian jagung negara berkembang adalah peningkatan produksi jagung yang relatif rendah dibandingkan dengan konsumsi jagung secara nasional. 2.1.2 Tanaman cabai
Cabai menjadi salah satu komoditas sayuran yang banyak dibutuhkan masyarakat, baik masyarakat lokal maupun internasional. Setiap harinya permintaan akan cabai, semakin bertambah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di berbagai negara. Sehingga budidaya sayur ini menjadi peluang usaha yang masih sangat menjanjikan, bukan hanya untuk pasar lokal saja namun juga berpeluang untuk memenuhi pasar ekspor.
Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditi hortikultura yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia, karena selain sebagai penghasil gizi, juga sebagai bahan campuran makanan dan obat-obatan. Di Indonesia tanaman cabai mempunyai nilai ekonomi penting dan menduduki tempat kedua setelah kacang-kacangan (Rompas, 2001). Di “Benua baru” itu dia menemukan penduduk asli yang banyak menggunakan buah merah menyala berasa pedas sebagai bumbu masakannya (Tarigan dan Wiryanto, 2003).
18
Tanaman cabai termasuk ke dalam famili solanaceae. Tanaman cabai sekerabat dengan kentang (Solanum tuberosum L.), terung (Solanum melongena L.), leunca 7 (Solanum nigrum L.), takokak (Solanum torvum), dan tomat (Lycopersicon esculentum) (Tarigan dan Wiryanta, 2003).
Tanaman cabai memiliki batang yang dapat dibedakan menjadi 2 macam yaitu batang utama dan percabangan (batang skunder). Batang utama berwarna coklat hijau dengan panjang antara 20-28 cm. Percabangan berwarna hijau dengan panjang antara 5-7 cm. Daun tanaman ini terdiri dari alas tangkai, tulang dan helaian daun. Panjang tangkai daun antara 2-5 cm, berwarna hijau tua. Helaian daun bagian bawah berwarna hijau terang, sedangkan permukaan atasnya berwarna hijau tua. Daun mencapai panjang 10-15 cm, lebar 4-5 cm. Bagian ujung dan pangkal daun meruncing dengan tepi rata (Nawangsih, 2003).
Cabai dapat dengan mudah ditanam, baik di dataran rendah maupun tinggi. Syarat agar tanaman cabai tumbuh baik adalah tanah berhumus (subur), gembur, dan pH tanahnya antara 5-6. Cabai dikembangbiakkan dengan biji yang diambil dari buah tua atau yang berwarna merah. Biji tersebut disemaikan terlebih dahulu (Sunarjono, 2006). Temperatur yang sesuai untuk pertumbuhannya antara 1623oC. Temperatur malam di bawah 16oC dan temperatur siang di atas 23oC menghambat pembungan (Ashari, 2006).
2.1.3 Tumpang gilir
Tumpang gilir ( Multiple Cropping ), adalah teknik budidaya tanaman dengan menanam lebih dari satu tanaman pada satu musim, kemudian dilanjutkan
19
menanam lebih dari satu jenis tanaman pada musim berikutnya dengan lahan yang sama dalam waktu satu tahun. Tumpang gilir adalah penanaman yang dilakukan secara berurutan dan lebih dari satu periode tanam dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain untuk mendapat keuntungan maksimum (Thahir,1999). Faktorfaktor tersebut adalah : 1. Pengolahan yang bisa dilakukan dengan menghemat tenaga kerja, biaya pengolahan tanah dapat ditekan, dan kerusakan tanah sebagai akibat terlalu sering diolah dapat dihindari 2. Hasil panen secara beruntun dapat memperlancar penggunaan modal dan meningkatkan produktivitas lahan 3. Dapat mencegah serangan hama dan penyakit yang meluas 4. Kondisi lahan yang selalu tertutup tanaman, sangat membantu mencegah terjadinya erosi 5. Kondisi lahan yang selalu tertutup tanaman, sangat membantu mencegah terjadinya erosi 6. Sisa komoditi tanaman yang diusahakan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hijau.
Dengan demikian teknik bertanam dengan sistem monokultur atau pertanaman tunggal dan dengan sistem tumpang gilir atau menanam 2 jenis tanaman atau lebih pada satu tahun, sistem menanam monokultur ataupun tumpang gilir memiliki kelebihan serta kekurangan masing-masing baik dari sisi internal maupun eksternal. Adapun perbedaan tanaman monokultur dan tumpang gilir adalah sebagai berikut:
20
Tumpang gilir Akan terjadi peningkatan efisiensi (tenaga kerja, pemanfaatan lahan maupun penyerapan sinar matahari), Populasi tanaman (berbeda) dapat diatur sesuai yang dikehendaki Dalam satu areal diproduksi lebih dari satu komoditas Tetap mempunyai peluang mendapatkan hasil manakal satu jenis tanaman yang diusahakan gagal
Monokultur Tidak terjadi peningkatan efisiensi
Tidak dapat mengatur populasi, karena hanya terdapat satu jenis Hanya memproduksi satu komoditas Tidak ada peluang bial hanya satu jenis tanaman yang diusahakan gagal
2.1.4 Risiko Usahatani Analisis risiko dengan pendekatan kuantitatif dilakuhkan dengan menggunakan konsep simpangan baku dan ragam serta koefisien variasi. Simpangan baku merupakan akar dari variance (ragam). Secara matematis dapat dinyatakan: V=√
................................
Dimana : V adalah simpangan baku V2 adalah variance (ragam) Nilai V menunjukan besarnya fluktuasi keuntungan yang mungkin diperoleh atau besarnya risiko yang harus ditanggung pengusaha (Hernanto, 1989). Secara statistik nilai V ini diketahui setelah dihitung terlebih dahulu ukuran ragamnya (V2)darikeuntungan yang diharapkan. Ukuran variance (ragam) dapat dihitung sebagai berikut:
V2 =
∑
(
)
....................................
Dimana : E adalah nilai rata-rata Ei adalah hasil bersih pada tahun ke i N adalah jumlah pengamatan
21
Rata-rata hasil bersih yang diperoleh oleh pengusaha dalam setiap periode menggambarkan besarnya nilai keuntungan harapan pengusaha dimasa-masa akan datang. Menurut Hermanto (1989), produsen harus selalu mempertimbangkan besarnya risiko yang ditanggung dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dalam setiap proses produksi. Hubungan antara risiko dan keuntungan dalam suatu usaha biasanya diukur dengan koefisien variasi (CV) dan batas bawah keuntungan. Nilai koefisien variasi ditentukan dengan cara membagi risiko yang harus ditanggung pengusaha dengan jumlah keuntungan yang akan diperoleh sebagai hasil dari sejumlah modal yang ditanamkan dalam usaha. Secara sistematis risiko produksi, harga dan pendapatan dirumuskan sebagai berikut: a. Risiko produksi
: CV =
b. Risiko harga
: CV =
c. Risiko pendapatan
: CV =
Keterangan: CV
: Koevisien variasi : Standar deviasi
C
: Rata-rata produksi (kg)
Y
: Rata-rata pendapatan (Rp)
Q
: Rata-rata harga (Rp)
Jika nilai koefisien variasi (CV) diketahui, maka kita akan dapat mengetahui besarnya risiko yang harus ditanggung petani dalam usahatani tumpang gilir jagung dan cabai. Nilai CV berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi petani
22
tumpang gilir jagung dan cabai, artinya semakin besar nilai CV yang didapat maka semakin besar pula risiko yang harus ditanggung petani. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah nilai CV yang diperoleh maka risiko yang harus ditanggung petani akan semakin kecil.
Kegiatan pada sektor pertanian yang menyangkut proses produksi selalu dihadapkan dengan situasi risiko (risk) dan ketidakpastian (uncertainty). Risiko adalah peluang terjadinya kemungkinan merugi yang dapat diketahui terlebih dahulu. Ketidakpastian adalah sesuatu yang tidak bisa diramalkan sebelumnya, dan karenanya peluang terjadinya merugi belum diketahui sebelumnya. Sumber ketidakpastian yang penting di sektor pertanian adalah fluktuasi hasil pertanian dan fluktuasi harga. Ketidakpastian hasil pertanian disebabkan oleh faktor alam seperti iklim, hama dan penyakit serta kekeringan. Jadi produksi menjadi gagal dan berpengaruh terhadap keputusan petani untuk berusahatani berikutnya. Selain itu, ketidakpastian harga meyebabkan fluktuasi harga dimana keinginan pedagang memperoleh keuntungan besar dan rantai pemasaran yang panjang sehingga terjadi turun naiknya harga (Soekartawi dkk, 1993).
Adanya risiko menyebabkan petani yang pada hakekatnya bersifat rasional enggan menanggung risiko terlebih petani kecil. Dengan kata lain, petani sebagai subjek mengambil keputusan enggan meningkatkan dan memperluas usahataninya. Pada kenyataannya, petani dalam berusahatani ada yang berani terhadap risiko (risk lover), ada yang enggan terhadap risiko (risk averter), dan ada yang netral terhadap risiko (risk neutral) (Darmawi, 1996).
23
Penilaian risiko didasarkan pada pengukuran penyimpangan (deviation) terhadap return dari suatu aset. Menurut Elton dan Gruber (1995) terdapat beberapa ukuran risiko diantaranya adalah nilai varian (variance), standar deviasi (standard deviation) dan koefisien variasi (coefficient variation).
Penilaian risiko dengan menggunakan nilai variance dan standard deviation merupakan ukuran yang absolut dan tidak mempertimbangkan risiko dalam hubungannya dengan hasil yang diharapkan (expected return). Hasil keputusan yang tepat dalam menganalisis risiko suatu kegiatan usaha harus menggunakan perbandingan dengan satuan yang sama. Coefficient variation merupakan ukuran risiko yang dapat membandingkan dengan satuan yang sama dengan mempertimbangkan risiko yang dihadapi untuk setiap return yang diperoleh baik berupa pendapatan, produksi atau harga.
Menurut Kadarsan (1992) ada beberapa hal penyebab risiko, yaitu ketidakpastian produksi, tingkat produksi, tingkat harga, dan perkembangan teknologi sebagai berikut: a. Risiko produksi Risiko produksi pertanian lebih besar dibandingkan dengan sektor non pertanian karena pertanian sangat berpangaruh oleh alam seperti cuaca, hama penyakit, suhu, kekeringan, dan banjir. Risiko berubah secara regional dan tergantung pada jenis dan kualitas tanah, iklim dan penggunaan irigasi. b. Risiko biaya Risiko biaya terjadi akibat fluktuasi harga sarana-sarana produksi seperti benih, pupuk dan pestisida.
24
c. Risiko teknologi Risiko teknologi terjadi pada inovasi teknologi baru disektor pertanian karena petani belum paham, belum cukup terampil atau gagal dalam menerapkan teknologi baru. d. Risiko harga atau risiko pasar Output merupakan sumber penting dari risiko pasar dibidang pertanian. Harga pertanian cenderung berubah dan tidak memiliki kestabilan serta tidak adanya kepastian. e. Risiko institusi atau risiko kelembagaan risiko kelembagaan dihasilkan oleh hal yang tidak terduga seperti perubahan peraturan yang mempengaruhi aktivitas petani. Perubahan peraturan, jasa keuangan, tingkat pembayaran dukungan harga atau pendapatan dan subsidi secara signifikan dapat merubah profitabilitas kegiatan pertanian.
Risiko dan ketidakpastian tidak dianggap berbeda karena keduanya dapat dihitung probabilitasnya, hanya dibedakan jika risiko dihubungkan dengan peluang objektif, sedangkan ketidakpastian berhubungan dengan peluang subjektif. Peluang subjektif tergantung pada subjektifitas orang yang mengetahui berlangsungnya peristiwa yang terjadi pada suatu saat tertentu (Imelda, 2008).
2.1.5 Risiko Portofolio (Diversifikasi)
Portofolio adalah gabungan atau kombinasi dari berbagai instrumen atau aset investasi yang disusun untuk mencapai tujuan investasi investor (Tandelilin, 2001). Selain itu, kombinasi berbagai instrumen itu juga menentukan tinggi risiko dan potensi keuntungan yang diperoleh portofolio tersebut. Risiko portofolio tidak
25
merupakan rata-rata tertimbang dari seluruh risiko sekuritas tunggal. Risiko portofolio mungkin dapat lebih kecil dari risiko rata-rata tertimbang masingmasing sekuritas tunggal.
Risiko portofolio terdiri dari risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Risiko sistematis adalah risiko yang disebabkan oleh perubahan dalam pengembalian pasar secara keseluruhan. Risiko sistematis adalah faktor-faktor risiko yang mempengaruhi pasar (sekuritas) secara keseluruhan sehingga risiko ini tidak dapat didiversifikasi (dihilangkan). Diantaranya yaitu perubahan ekonomi suatu negara, kebijakan pajak, bencana alam, situasi politik, perubahan iklim. Risiko tidak sistematis adalah risiko dari petani atau pesaing tertentu. Risiko ini tidak terikat pada faktor ekonomi, politik dan faktor lainnya yang mempengaruhi semua sekuritas. Contoh pemogokan suatu perusahaan, pesaing baru, teknologi baru, melalui diversifikasi yang risiko ini dapat dihilangkan atau dikurangi.
2.1.6 Pendapatan Usahatani
Menurut Saparinto (2008), analisis usahatani dilakukan karena setiap kegiatan usahatani membutuhkan input, input tersebut diantaranya sumberdaya alam, sumber modal, keahlian, tanah/lokasi, dan input lain yang ketersediaanya sangat terbatas. Untuk mendapatkan output yang optimal dari input yang dimiliki, diperlukan adanya perhitungan yang matang agar kegiatan tersebut menghasilkan manfaat (benefit).
Besarnya pendapatan yang diperoleh dari suatu kegiatan usahatani tergantung dari beberapa faktor yang mempengaruhinya seperti luas lahan, tingkat produksi,
26
identitas pengusaha, pertanaman, dan efisiensi penggunaan tenaga kerja. Dalam melakukan kegiatan usahatani, petani berharap dapat meningkatkan pendapatanya sehingga kebutuhan hidup sehari-hari dapat terpenuhi (Hernanto, 1994).
Pendapatan usahatani diartikan sebagai pendapatan yang diperoleh petani dalam usahataninya selama satu kali produksi atau satu tahun yang diperhitungkan dari hasil penjualan atau perolehan produksi dalam usahataninya. Pendapatan bersih adalah hasil pendapatan keseluruhan atau pendapatan kotor yang dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan selama proses produksi (Sudarsono, 1994).
Menurut Soekartawi (1993) biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam usahatani. Biaya usahatani dibedakan menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang akan dihasilkan, sedangkan biaya tidak tetap adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh volume produksi. Secara matematis rumus pendapatan yaitu (Soekaratawi, 1995): π = Y. Py – ΣXi.Pxi - BTT Keterangan : π = Pendapatan (Rp) Y = Hasil produksi (Kg) Py = Harga hasil produksi (Rp) Xi = Faktor produksi variabel (i = 1,2,3,….,n) Pxi = Harga faktor produksi variabel ke-i (Rp) BTT = Biaya tetap total (Rp)
27
Pendapatan juga dapat dihitung menggunakan rumus (Soekartawi, 1995): π = TR-TC Keterangan : π = keuntungan/pendapatan TR = Total Revenue (total penerimaan) TC = Total Cost (total biaya) 2.1.7 Penelitian Terdahulu
Yamin (2012) melakukan penelitian Analisis Risiko Produksi Tomat Cherry Pada Pd. Pacet Segar Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Dengan menggunakan metode data deskriptif yang diperoleh dengan cara observasi, wawancara, diskusi, dan kuisioner dengan pihak perusahaan. Teknik Analisis Data menggunakan Analisis Kemungkinan Terjadinya Risiko dengan rumus s = =
+
∑
(
− ): − 1dan Analisis Dampak Risiko dengan rumus
( ) dan Analisis. Hasil penelitian kajian analisis risiko produksi budidaya √
tomat cherry pada PD Pacet Segar adalah sebagai berikut : 1) Berdasarkan pengamatan di lapangan terdapat lima sumber risiko produksi pada budidaya tomat cherry yaitu perubahan cuaca, serangan hama, penyakit, kualitas bibit, dan sumber daya manusia. 2) Sumber risiko yang disebabkan perubahan cuaca memiliki probabilitas dan dampak yang paling besar, yaitu 44 persen dan Rp 9.722.492 dan sumber risiko sumber daya manusia memiliki probabilitas dan dampak paling kecil, yaitu 6,8 persen dan Rp 198.339.
Dewiana (2011) melakukan penelitian Analisis Risiko Produksi Tanaman Hias Bromelia Pada Ciapus Bromel Desa Tamansari Kecamatan Tamansari Kabupaten
28
Bogor Jawa Barat. Dengan menggunakan metode Analisis Deskriptif, metode ini dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan diskusi dengan pihak perusahaan serta pengisian kuisioner dan metode aproksimasi. Hasil penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat ditarik demi menjawab tujuan penilitian adalah : 1) Sumber-sumber risiko dalam pembudidayaan tanaman hias bromelia yang terdapat di Ciapus Bromel adalah risiko serangan hama, risiko serangan penyakit, risiko serangan penyakit, risiko kesalahan mekanis dan risiko intensitas cahaya matahari. 2) Berdasarkan hasil analisis risiko, risiko yang memiliki dampak dan probabilitas besar adalah risiko serangan hama. Sementara itu, risiko yang memiliki dampak besar dan probabilitas kecil adalah risiko serangan penyakit dan risiko intensitas cahaya matahari. Sedangkan risiko kesalahan mekanis memiliki dampak kecil dan probabilitas kecil. 3) Penanganan risiko yang telah dilakukan oleh Ciapus Bromel dalam menghadapi risiko produksi bromelia diantaranya melalui penghindaran dan pengalihan risiko. Tindakan pengalihan risiko diantaranya dilakukan dengan pemeliharaan dan penyediaan media tanam, serta pemberian vitamin dan obatobatan. Penanganan risiko lainnya melalui strategi mitigasi risiko yang dapat dilakukan dengan cara pengendalian penyakit, pengendalian hama, penggunaan dan perawatan nethouse serta sistem diversifikasi tanaman. Selain itu perusahaan pun menerapkan pelatihan bagi karyawan baru sebagai bentuk strategi untuk mengatasi risiko kesalahan mekanis.
David (2013) melakukan penelitian Analisis Risiko Produksi Pada Peternakan Ayam Broiler Di Kampung Kandang Desa Tegal Kecamatan Kemang Kabupaten
29
Bogor Jawa Barat. Dengan menggunakan metode analisis deskriptif, metode ini dilakukan dengan cara berupa observasi, wawancara dan diskusi dengan pihak perusahaan. Metode yang digunakan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya risiko adalah metode nilai standar atau z-score. Mengukur dampak risiko adalah VaR (Value at Risk). Hasil penulisan kajian analisis risiko produksi pada peternakan ayam broiler di Kampung Kandang, Desa Tegal, Kecamatan Kemang, Kecamatan Kemang adalah sebagai berikut: 1) Terdapat 3 jenis sumber risiko produksi pada peternakan ayam broiler di Desa Tegal yaitu perubahan cuaca, predator dan penyakit. 2) Sumber risiko penyakit memiliki tingkat probablitas terbesar yaitu 91.62 dan yang terkecil adalah predator sebesar 69.14 persen. Sumber risiko produksi yang memberikan dampak terbesar adalah sumber risiko penyakit. 3) Terdapat dua alternatif strategi yang diusulkan adalah strategi preventif dan strategi mitigasi. 2.2 Kerangka Pemikiran Areal dan agroekologi pertanaman jagung dan cabai sangat bervariasi, dari dataran rendah sampai dataran tinggi, dan dengan bermacam pola tanam. Tanaman jagung dan cabai dapat ditanam pada lahan kering beriklim basah dan beriklim kering, sawah irigasi dan sawah tadah hujan, toleran terhadap kompetisi pada pola tanam tumpang gilir, sesuai untuk pertanian subsistem, pertanian komersial skala kecil, menengah, hingga skala sangat besar. Mengingat semakin sempitnya areal lahan yang dimiliki petani dan keinginan petani terhadap hasil yang tinggi serta tingginya tingkat adopsi petani terhadap teknologi pertanian.
30
Menjadikan tanaman jagung dan cabai dikembangkan dengan sistem tanam tumpang gilir. Tumpang gilir merupakan adalah teknik budidaya tanaman dengan menanam lebih dari satu tanaman pada satu musim, kemudian dilanjutkan menanam lebih dari satu jenis tanaman pada musim berikutnya dengan lahan yang sama dalam waktu satu tahun. Tumpang gilir adalah penanaman yang dilakukan secara berurutan dan lebih dari satu periode tanam dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain untuk mendapat keuntungan maksimum. Usahatani tumpang gilir jagung dan cabai tidak lepas dari masalah atau risiko yang dihadapi oleh para petani tumpang gilir jagung dan cabai. Menurut Kadarsan (1992) ada beberapa hal penyebab risiko, yaitu ketidakpastian produksi, tingkat produksi, tingkat harga, dan perkembangan teknologi. Usahatani tumpang gilir jagung dan cabai akan menghasilkan output berupa fisik dan ekonomi. Output fisik berupa produk jagung ataupun cabai, sedangkan output ekonominya berupa pendapatan. Besarnya input akan berpengaruh terhadap hasil output ekonominya. Dan suatu usahatani memerlukan proses analisis financial agar dapat mengetahui berhasil atau tidaknya usahatani dalam menjalankan usahanya. Unsur-unsur biaya terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak dipengaruhi oleh jumlah produksi seperti penyusutan peralatan. Biaya variabel adalah biaya yang jumlahnya selalu berubah sesuai dengan jumlah produksi.
Produk yang dihasilkan dari korbanan biaya tetap dan biaya variabel kemudian dijual. Hasil dari penjualan disebut penerimaan. Penerimaan adalah hasil perkalian antara jumlah produk yang terjual dengan harga jual produk. Setelah
31
diperoleh penerimaaan, dapat diketahui pendapatan yang diperoleh petani yaitu dari selisih antara penerimaan total dengan pengeluaran total. Pengeluaran total diperoleh dari hasil penjumlahan antara total biaya tetap dan biaya variabel.
32
Usahatani Tumpang gilir Jagung dan Cabai
Analisis Risiko
Risiko produksi CV =
Risiko pendapatan CV = Produksi Penerimaan Harga
Biaya Input Harga
Pendapatan π = TR – TC & R/C Ratio Gambar 2. Kerangka Pikir Analisis Risiko Usahatani Tumpang Gilir Tanaman Jagung dan Cabai di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur.
33
2.3 Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenaranya. Hipotesis yang diajukan : 1. Diduga terdapat risiko usahatani tumpang gilir jagung dan cabai di Desa Buanasakti Kabupaten Lampung Timur. 2. Diduga pendapatan petani tumpang gilir jagung dan cabai di Desa Buanasakti Kabupaten Lampung Timur menguntungkan setiap musimnya.
34
III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Definisi Operasional
Maka secara operasional akan mendefinisikan variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.
Usahatani adalah ilmu yang mempelajari tentang cara petani mengelola input atau faktor-faktor produksi (tanah, tenaga kerja, modal, tekhnologi, pupuk, benih, dan pestisida) dengan efektif, efisien dan kontinyu untuk menghasilkan produksi yang tinggi sehingga pendapatan usaha taninya meningkat.
2.
Tumpang gilir ( Multiple Cropping ), adalah teknik budidaya tanaman dengan menanam lebih dari satu tanaman pada satu musim, kemudian dilanjutkan menanam lebih dari satu jenis tanaman pada musim berikutnya dengan lahan yang sama dalam waktu satu tahun.
3.
Modal adalah segala sumberdaya hasil produksi yang tahan lama, yang dapat digunakan sebagai input produktif dalam proses produksi berikutnya.
4.
Tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usahatani yang diukur dalam satuan Harian Orang Kerja (HOK)
35
5.
Biaya adalah korbanan yang sesungguhnya dikeluarkan petani selama produksi jagung dan cabai untuk mendapatkan produksi hasil yang maksimal, dinyatakan dengan rupiah per hektar per periode (Rp/ha/periode)
6.
Pestisida adalah jumlah penggunaan pestisida untuk mengurangi serangan hama dan penyakit yang menyerang tanaman cabai ataupun jagung yang digunakan untuk memproduksi cabai ataupun jagung yang diukur dengan satuan rupiah per mililiter per hektar per periode tanam (Rp/liter/ha/periode)
7.
Pupuk adalah jumlah pupuk yang digunakan untuk menanam cabai dan jagung yang diukur dengan satuan kilogram per hektar per periode (kg/ha/periode)
8.
Benih adalah jumlah benih yang digunakan untuk memproduksi cabai ataupun jagung yang diukur dengan satuan kilogram per hektar per periode (kg/ha/periode)
9.
Pendapatan usahatani adalah selisih total penerimaan dengan total pengeluaran, yakni diukur dengan satuan rupiah per hektar (Rp/Ha)
10. Penerimaan adalah seluruh pemasukan yang diterima dari kegiatan ekonomi yang menghasilkan uang tanpa dikurangi dengan total biaya produksi yang dikeluarkan yang dinyatakan dalam satuan rupiah per hektar (Rp/Ha) 11. Risiko adalah besarnya penyimpangan biaya, produksi, dan pendapatan dari biaya, produksi, dan pendapatan yang diharapkan pada usahatani tumpang gilir jagung dan cabai. Risiko diukur dengan nilai koefisien variasi (CV) 12. Produksi merupakan suatu proses produksi dari tanam tumpang gilir jagung dan cabai dalam satuan rupiah per ton per periode (Rp/ton/periode).
36
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi pelaksanaan kegiatan penelitian dilakuhkan di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur. Pemilihan lokasi tersebut dilakuhkan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Buanasakti memiliki luas tanam palawija terkecil kedua di Kecamatan Batanghari. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016. 3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Sampling 3.3.1 Populasi Populasi adalah seluruh unit individu pada suatu area penelitian yang akan dijadikan objek penelitian, dalam hal ini adalah seluruh petani cabai dan jagung dengan sistem tumpang gilir di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur, yang berjumlah 251. 3.3.2 Sampel Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti, dipandang sebagai suatu pendugaan terhadap populasi, namun bukan populasi itu sendiri. Sampel dianggap sebagai perwakilan dari populasi yang hasilnya mewakili keseluruhan gejala yang diamati. Ukuran dan keragaman sampel menjadi penentu baik tidaknya sampel yang diambil. Pengambilan sampel ini dilakuhkan dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2006). Dengan jumlah sampel yang diambil sebanyak 38 orang.
37
3.4Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data menggunakan data primer dan sekunder. Data primer merupakan data diperoleh dan dikumpulkan sendiri secara langsung dengan melakukan wawancara kepada beberapa petani di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur. Hal ini untuk mendapatkan informasi mengenai Data yang diperlukan dari petani/produsen meliputi biaya usahatani, produktivitas usahatani, sistem dan struktur produksi, kendala yang dihadapi produsen dalam berproduksi, sistem penjualan produk, biaya-biaya pasca panen yang dikeluarkan, risiko usahatani, dan perilaku petani terhadap risiko. Data diperoleh dari responden yang dikumpulkan dengan cara memberi kuisioner (daftar pertanyaan) yang akan dijawab oleh responden/petani/produsen atas pertanyaan yang berkaitan dengan usahatani tumpang gilir jagung dan cabai. Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti bukan dari cara peneliti sendiri tetapi dikumpulkan oleh orang lain, seperti dari dokumen perusahaan, pemerintah, brosur, internet, dan dari riset kepustakaan yang dimaksud untuk mendapatkan informasi penting lainya, dasar pengaturan, serta dasar teoritis terhadap apa yang diteliti. Adapun tekhnik pengumpulan data yang dilakuhkan dengan cara: 1. Wawancara yaitu pengumpulan data dengan cara tanya jawab kepada responden dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan. 2. Dokumentasi yaitu mencatat data yang diperoleh dari beberapa instansi yang berhubungan dengan penelitian.
38
3. Study kepustakaan yaitu dengan mencatat dari beberapa literatur yang berkaitan dengan penelitian. 3.5 Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kuantitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui hasil produksi, harga hasil produksi, jumlah faktor produksi, dan harga faktor produksi. Analisis data menggunakan alat analisis koefisien variasi dan analisis pendapatan R/C ratio. Analisis risiko digunakan untuk mengukur besarnya risiko usahatani tumpang gilir. Analisis pendapatan R/C rasio digunakan untuk melihat pendapatan usahatani tumpang gilir efisien dan menguntungkan atau tidak.
3.5.1 Analisis risiko Analisis risiko dengan pendekatan kuantitatif dilakuhkan dengan menggunakan konsep simpangan baku dan ragam serta koefisien variasi. Simpangan baku merupakan akar dari variance (ragam). Secara matematis dapat dinyatakan: V=√
................................
Dimana : V adalah simpangan baku V2 adalah variance (ragam) Nilai V menunjukan besarnya fluktuasi keuntungan yang mungkin diperoleh atau besarnya risiko yang harus ditanggung pengusaha (hermanto,1989). Secara statistik nilai V ini diketahui setelah dihitung terlebih dahulu ukuran ragamnya
39
( V2 ) darikeuntungan yang diharapkan. Ukuran varian (ragam) dapat dihitung sebagai berikut:
V2 =
∑
(
)
Dimana : E adalah nilai rata-rata Ei adalah hasil bersih pada tahun ke i N adalah jumlah pengamatan Rata-rata hasil bersih yang diperoleh oleh pengusaha dalam setiap periode menggambarkan besarnya nilai keuntungan harapan pengusaha dimasa-masa akan datang. Menurut Hermanto (1989), produsen harus selalu mempertimbangkan besarnya risiko yang ditanggung dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dalam setiap proses produksi. Hubungan antara risiko dan keuntungan dalam suatu usaha biasanya diukur dengan koefisien variasi (CV) dan batas bawah keuntungan. Nilai koefisien variasi ditentukan dengan cara membagi risiko yang harus ditanggung pengusaha dengan jumlah keuntungan yang akan diperoleh sebagai hasil dari sejumlah modal yang ditanamkan dalam usaha. Secara sistematis risiko produksi, harga dan pendapatan dirumuskan sebagai berikut: a. Risiko produksi
: CV =
b. Risiko harga
: CV =
c. Risiko pendapatan
: CV =
40
Keterangan: CV : Koevisien variasi : Standar deviasi C
: Rata-rata produksi (kg)
Y
: Rata-rata pendapatan (Rp)
Q
: Rata-rata harga (Rp)
Jika nilai koefisien variasi (CV) diketahui, maka kita akan dapat mengetahui besarnya risiko yang harus ditanggung petani dalam usahatani tumpang gilir jagung dan cabai. Nilai CV berbanding lurus dengan risiko yang dihadapi petani tumpang gilir jagung dan cabai, artinya semakin besar nilai CV yang didapat maka semakin besar pula risiko yang harus ditanggung petani. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah nilai CV yang diperoleh maka risiko yang harus ditanggung petani akan semakin kecil.
Hal yang penting dalam pengambilan keputusan adalah perhitungan batas bawah hasil
tertinggi. Penentuan batas bawah (L) untuk mengetahui jumlah hasil
terbawah di bawah tingkat hasil yang diharapkan. Hal ini, dapat menjadi pertimbangan petani dalam mengambil keputusan untuk melanjutkan usahatani tumpang gilir atau tidak yang mempunyai tingkat risiko. Batas bawah (L) menunjukkan nilai nominal keuntungan terendah yang mungkin diterima oleh petani dan menunjukkan aman tidaknya modal/investasi yang ditanam dari kemungkinan kerugian. Rumus batas bawah (L) menurut Kadarsan (1995) adalah: L= E – 2V
41
Keterangan: L
: Batas bawah produksi
V
: Standar Deviasi
E
: Rata-rata produksi, harga, pendapatan yang diperoleh
Nilai batas bawah (L) tertinggi dapat diartikan bahwa usahatani dengan komoditi tersebut memberikan hasil terendah yang paling tinggi untuk diusahakan. Apabila nilai L>0, maka petani mengalami keuntungan, sebaliknya jika nilai L<0, maka petani akan mengalami kerugian, setiap proses produksi ada peluang kerugian yang diderita petani. Nilai batas bawah (L) digunakan dalam hal pengambilan keputusan investasi dan menunjukan nominal keuntungan terendah yang mungkin diterima petani.
3.5.2 Analisis pendapatan Metode untuk pengolahan data dengan menghitung pendapatan usahatani tumpang gilir jagung dan cabai. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan rumus π = TR – TC π = Y.Py – (xi.Pxi) dimana: π = adalah pendapatan petani Y = hasil produksi (kg) Py = harga hasil produksi (Rp) Xi = faktor produksi variabel ke-i Pxi = harga faktor produksi variabel ke-i (Rp/Kg)
42
Menurut Soekartawi (1995), R/C Ratio (Return Cost Ratio) merupakan perbandingan antara penerimaan dan biaya, yang secara matematik dapat dinyatakan sebagai berikut; R/C = PQ . Q / (TFC + TVC) Keterangan: R
= Penerimaan
C
= Biaya
PQ
= Harga output
TFC
= Biaya tetap (fixed cost)
TVC
= Biaya variabel (variable cost)
Ada tiga kriteria pengambilan keputusan dalam R/C ratio, yaitu: R/C ratio > 1, maka usahatani tersebut efisien dan menguntungkan R/C ratio = 1, maka usahatani tersebut BEP R/C ratio < 1, maka tidak efisien atau merugi.
43
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
4.1 Keadaan Wilayan Penelitian 4.1.1 Letak Geografis Letak dan Luas Desa Buanasakti berdiri pada tahun 1972 berdasarkan peraturan daerah Nomor 01 tahun 2001 dan Keputusan Bupati Lampung Timur Nomor 13 Tahun 2001 tentang pembentukan 11 Kecamatan di wilayah Kabupaten Lampung Timur yang terdiri dari 24 kecamatan definitif dan 246 desa. Desa Buanasakti memiliki luas wilayah kurang lebih 959,18 km. Secara administratif batas Desa Buanasakti adalah : a. Sebelah utara berbatasan dengan Way Sekampung b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Purwodadi Mekar atau Way Kandis c. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Margototo (Kecamatan Metro Kibang) d. Sebelah timur berbatasan dengan Way Sekampung. Desa Buanasakti mempunyai jarak tempuh (orbitasi) dengan wilayah lain adalah sebagai berikut: a. Jarak dari pusat Pemerintah Kecamatan
: 7,0 Km
b. Jarak dari pusat Pemerintah Kota
: 12 Km
c. Jarak dari pusat Pemerintah Kabupaten
: 30 Km
d. Jarak dari pusat Pemerintah Propinsi
: 45 Km
44
4.1.2. Kondisi Geografis Dari segi topografi, Desa Buanasakti termasuk kedalam dataran rendah dengan tipe daerah aliran Sungai, yaitu Way Seputih, Way Sekampung, dan Way Jepara, dengan ketinggian tempat 750 meter dpl. Sedangkan suhu udara maksimum rata– rata 30 ̊C, jumlah bulan basah dalam setahun dengan curah hujan yang tinggi kurang lebih 150mm/tahun. 4.1.3. Potensi Sumber Daya Alam Area Desa Buanasakati Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur seluas 949,18 Ha, yang secara rinci disajikan pada tabel 7 dibawah ini: Tabel 7. Luas Wilayah Desa Buanasakati dan Peruntukanya Tahun 2015 Luas wilayah Persentase(%) (ha) 1 Pemukiman 116,08 12,23 2 Pertanian Sawah 171,02 18,02 3 Pertanian Ladang 653,08 68,80 4 Tanah Fasilitas Umum 9 0,95 Jumlah 949,18 100 Sumber: Monografi Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari, 2015 No
Uraian
Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa luas keseluruhan Desa Buanasakti adalah 949,18 ha, yang diperuntukan untuk pemukiman 116,08 ha atau (12,23%), lahan pertanian sawah 171,02 ha atau (18,02%), lahan pertanian ladang 653,08 ha atau (68,80%), dan tanah fasilitas umum 9 ha atau (0,95%). Pada data yang ada menunjukan bahwa lahan pertanian ladang memiliki luasan yang tertinggi dimana sebagian petani Desa Buanasakti memperuntukan lahanya untuk tanam tumpang gilir jagung dan cabai.
45
4.2 Demografi
Jumlah penduduk Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2015 adalah 2.595 jiwa, yang terdiri dari 1321 pria dan 1274 wanita dengan jumlah kepala keluarga 767 KK.
4.2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur
Jumlah penduduk berdasarkan umur di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur secara rinci dapat dilihat pada tabel 8 dibawah ini:
Tabel 8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur di Desa Buanasakti Tahun 2015 No 1 2 3 4 5 6
Umur Jumlah (orang) Persentase (%) 0-<12 Bulan 27 1,04 >1-<5 Tahun 104 4,01 >6-<7 Tahun 217 8,36 >8-<15 Tahun 150 5,78 >15-<56 Tahun 1535 59,15 >56 Tahun 562 21,66 Jumlah 2595 100 Sumber: Monografi Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari, 2015
Berdasarkan tabel 8 menunjukan bahwa tingginya jumlah masyarakat Desa Buanasakti pada umur 15-56 tahun atau (59,15%) adalah 1535 jiwa, diikuti umur >56 tahun atau (21,66%) adalah 562 jiwa, 6-7 tahun atau (8,36%) adalah 217 jiwa, 8-15 tahun atau (5,78%) adalah jiwa, 1-5 tahun atau (4,01%) adalah 104 jiwa, dan 0-12 bulan atau (1,04%) adalah 27 jiwa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar (59,15%) masyarakat Desa Buanasakti berada pada tingkat umur 15-56 tahun atau termasuk dalam klasifikasi umur produktif untuk angkatan kerja (Monografi Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari, 2015).
46
4.2.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur secara rinci dapat dilihat pada tabel 9 dibawah ini: Tabel 9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan di Tahun 2015 No 1 2 3 4 5 6
Tingkat Pendidikan TK Sekolah Dasar SMP/SLTP SMA/SLTA Akademi/D1-D3 Sarjana (S1-S3)
Jumlah (orang) 27 1690 217 21 9
Persentase (%) 1,389 86,93 11,16 0,05 0,46
1964 100 Sumber: Monografi Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari, 2015 Berdasarkan tabel 9 diketahui bahwa Jumlah penduduk berdasarkan pendidikan di Desa Buanasakti adalah TK ada 27 jiwa atau (1,389%), Sekolah Dasar 1690 jiwa atau (86,93%), SMP/SLTP ada 217 jiwa atau (11,16%), SMA/SLTA ada 21 jiwa atau (0,05%), Akademi/D1-D3 ada 9 atau (0,46%). Data yang ada menunjukan sebagian besar masyarakat di Desa Buanasakti berpendidikan Sekolah Dasar, walau demikian antusias petani dalam pemahaman tentang teknologi pertanian terus berkembang pesat. Hal ini tampak dengan kegiatan pertanian usahatani yang dikembangkan didaerah tersebut yang rata-rata petani menggunakan sistem tanam tumpang gilir.
47
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Identitas Responden Sebagai gambaran yang nyata tentang responden yang disajikan pada penelitian ini, maka berikut ini akan disajikan data mengenai identitas responden yang meliputi, umur responden, pendidikan responden, mata pencaharian responden, pengalaman usahatani, luas lahan, produksi jagung, dan produksi cabai. 5.1.2 Umur Responden Sebaran umur responden berkisar antara 25-65 tahun yang secara terperinci dapat dilihat pada tabel 10 berikut ini: Tabel 10. Sebaran Umur Responden No 1 2 3
Umur (th) Jumlah responden 26-39 15 >39-52 17 >52-65 6 Jumlah 38 Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2015
Persentase (%) 39,5 44,7 15,8 100
Berdasarkan data pada tabel 10 diketahui bahwa umur responden antara 26-39 tahun terdapat 15 responden atau (39,5%), umur >39-52 tahun terdapat 17 responden atau (44,7%), umur >52-65 tahun terdapat 6 responden atau (15,8%). Pada tabel ini tingkat umur responden yang paling banyak berumur >39-52 tahun
48
mencapai 44,7% yang artimya petani tumpang gilir jagung dan cabai berada pada usia produktif dan sudah mempunyai pengalaman yang cukup sebagai petani tumpangsari jagung dan cabai. 5.1.2 Pendidikan Responden Sebaran tingkat pendidikan responden berkisar antara Sekolah Dasar sampai dengan SLTA/SMA. Dengan perincian seperti disajikan pada tabel 11 berikut ini: Tabel 11. Tingkat Pendidikan Responden No 1 2 3
Pendidikan Jumlah Responden SD 16 SLTP/MTS 14 SLTA/SMA 8 Jumlah 38 Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016
Persentase (%) 42,1 36,8 21,1 100
Dari tabel 11 dapat diketahui bahwa sebaran pendidikan responden pada tingkat SD sebanyak 16 atau (42,1%), SLTP sebanyak 14 responden atau (36,8%). SLTA sebanyak 8 responden atau (21,1%). Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh pada kemampuan petani dalam mengadopsi teknologi dalam usahatani terkait dengan pola penanaman untuk meningkatkan pendapatan dan mensejahterakan keluarga petani itu sendiri. 5.1.3 Pengalaman Usahatani Sebaran usahatani tumpang gilir jagung dan cabai berkisar antara 1-7 tahun, yang secara rinci disajikan pada tabel 12 berikut ini:
49
Tabel 12. Sebaran Pengalaman Usahatani Tumpang Gilir Jagung dan Cabai Pengalam UT Jumlah Responden Tumpang Gilir 1 11 1-<3 Tahun 2 25 >3-5 Tahun 3 2 >5-7 Tahun Jumlah 38 Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016 No
Persentase (%) 28,9 65,8 5,3 100
Dari tabel 12 diketahui bahwa petani yang memiliki pengalaman usahatani tumpang gilir1<3 tahun sebanyak 11 responden atau (28,9%), >3-5 tahun sebanyak 25 responden atau (65,8%), >5-7 tahun sebanyak 2 responden atau (5,3%). Melihat belum lamanya pengalaman usahatani tumpang gilir jagung dan cabai di Desa Buanasakti yang mencapai 65,8% dari pengalaman yang ada dinilai petani walau belum berpengalaman namun mampu memperoleh pengetahuan dari seringnya mengadakan perkumpulan guna bertukar pengalaman sehingga dapat meningkatkan pengetahuan petani tumpang gilir itu sendiri. 5.1.4 Luas Lahan Penanaman Luas lahan penanaman petani yang ditanami tumpang gilir berkisara antara 0,250,75 hektar, lahan penanaman tersebut berupa lahan ladang. Secara rinci dapat dilihat pada tabel 13 berikut ini: Tabel 13. Luas Lahan Penanaman Tumpang GilirJagung dan Cabai Klasifikasi Luas Jumlah Responden Lahan 1 0,25 18 2 0,5 17 3 0,75 1 Jumlah 36 Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016 No
Persentase (%) 50,0 47,2 2,8 100
50
Dari tabel 13 menunjukan bahwa sebagian (50,0%) responden memiliki luas lahan tanam kurang dari 0,5 ha, hal ini dikarenakan tingginya modal yang dikeluarkan untuk penanaman sistem tumpang gilir jagung dan cabai. 5.2 Hasil Penelitian
5.2.1 Keragaman Usahatani Tumpang Gilir Tanaman Jagung dan Cabai
1. Pola Tanam
Penanaman jagung dan cabai yang dilakuhkan petani responden di daerah penelitian dilakuhkan secara polikultur. Petani responden jagung dan cabai umumnya menanam jagung dan cabai 1 kali dalam satu tahun. Jadwal penanaman jagung dan cabai di daerah penelitian sangat tergantung pada musim penghujan yang ada. Pola tanam yang dilakuhkan petani tumpang gilir jagung dan cabai adalah jagung-cabai-singkong atau jagung-cabai-palawija.
2. Budidaya Usahatani Tumpang Gilir Tanaman Jagung dan Cabai di Desa Buanasakti A. Budidaya Jagung Budidaya jagung oleh petani responden didahului dengan kegiatan pengolahan lahan yang dilakuhkan dengan tujuan untuk mengubah struktur tanah yang tadinya padat atau keras menjadi gembur. Tanaman jagung juga memerlukan aerasi dan drainase yang baik sehingga perlu penggemburan tanah. Pada umumnya persiapan lahan untuk tanaman jagung dilakukan dengan cara dibajak sedalam 15-20 cm, diikuti dengan pemupukan dengan pupuk kandang guna meningkatkan sumber hara yang ada di dalam tanah sehingga dapat mengoptimalkan pertumbuhan, dosis
51
pupuk yang di gunakan berkisar antara 80-100 sak per ½ ha. Ketika mempersiapkan lahan, sebaiknya tanah jangan terlampau basah tetapi cukup lembab sehingga mudah dikerjakan dan tidak lengket. Untuk jenis tanah berat dengan kelebihan, perlu dibuatkan saluran drainase. Untuk masa tunggu biasa dilakuhkan setelah 7-14 hari setelah pemupukan. Sebelum melakukan pengajiran, lahan harus di lubangi atau digejik dengan menggunakan kayu yang berdiameter 5 cm guna memberikan ruang untuk peletakaan bibit jagung nantinya. Dalam ajiran pada umunya berkisar antara 3-5 cm. Sebelum benih jagung ditanam ada perlakuan yang harus dilakukan yaitu mencapur benih dengan insektisida atau fungisida, supaya terhindar dari serangan jamur, ulat agrotis, dan lalat bibit. Obat yang biasa digunakan adalah furadan dan benlate. Pola tanam yang digunakan oleh petani responden didaerah penelitian yaitu jajar legowo dan tegel. Dengan jarak tanam yang digunakan yaitu 80 x 50 x 100 cm dan 80 x 50 cm baik untuk tanaman jagung. Pemeliharaan yang dilakukan pada petani jagung yaitu berupa penyulaman, pengendalian gulma, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit serta pengairan pada tanaman yang biasa dilakukan dengan bantuan curah hujan. Pada penyulaman dilakukan apabila terdapat bibit yang tumbuh dengan tidak baik atau mati, terserang hama seperti tikus, semut, ulat dan terserang penyakit tanaman. Umumnya petani responden melakukan pemupukan dalam 2-3 tahap. Pemupukan pertama dilakuhkan pada saat umur 15 hari dan 40 hari setelah bibit ditanam. Pemberian pupuk dilakukan dengan tujuan untuk melengkapi unsur hara yang tidak dapat diserap oleh akar. Pupuk yang digunakan di daerah penelitian adalah pupuk Kandang, UREA, SP 36, dan PONSKA.
52
Penyiangan jagung bertujuan untuk memberikan ruang agar cahaya matahari dapat langsung mengenai tanaman dibawahnya yaitu cabai. Penyiangan jagung dilakukan kisaran umur 80 – 90 hari sedangkan pada tanaman cabai kisaran umur 35 – 45 hari. Kegiatan penyiangan dilakukan dengan cara manual, yaitu dengan memotong bagian atas yang berbatasan dengan buah jagung. Dimana penyiangan ini buah jagung dibiarkan dipohon sementara menunggu masa panen tiba. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan penyemprotan dengan pestisida. Ratarata petani responden menggunakan pestisida sesuai dengan kondisi lahan masing-masing. Pemberantasan hama dilakuhkan ketika tanaman jagung atau pun cabai terindikasi oleh serangan hama penyakit menggunakan alat penyemprot (sprayer). Hama penyakit yang sering menyerang tanaman jagung petani responden adalah wereng, ulat, dan tikus. Pemanenan dilakukan saat umur tanaman jagung berusia 120-125 hari untuk panen yang disetor ke gudang dan 95-100 hari untuk panen yang disetor ke agen.Pemanenan jagung dilakukan dengan manual yaitu dengan memetik jagung dengan tangan petani langsung yang kemudian dilakukan pemisahan antara klobot jagung dengan jagung. Pada umunya hasil panen jagung berupa bonggolan yang belum digiling yang kemudian di jual langsung ke agen. B. Budidaya Cabai Budidaya cabai didahului dengan penyemaian terlebih dahulu yang biasa dilakukan di halaman atau pekarangan petani responden. Luas lahan yang digunakan untuk persemaian diukur dengan bedeng, untuk penyemaian lebar yaitu 120 cm x 10 m dengan jumlah 4 bedeng per 1/2ha. Penyemaian dilakukan dengan
53
cara benih disebar dipersemaian. Jarak semaian antar biji berkisar 7cm x 1cm. Hal ini dilakukan agar daya tumbuh benih cabai mencapai 94%. Benih cabai akan siap ditanam apabila umur benih cabai mencapai20-25 hari. Sedangkan pengolahan lahan untuk tanaman cabai dilakukan dengan cara pembuatan gulutan pada tiap barisan tanaman jagung, disertai dengan pemberian pupuk kandang. Dengan cara pupuk diletakan pada lubang yang telah siap untuk penanaman cabai dengan jarak penanaman 15 -20 hari setelah pemupukan. Pola tanam yang dilakukan pada tanaman cabai yaitu legowo. Dengan jarak tanam yang digunakan yaitu 80 x 50x 100 cm dan 80 x 50 x 160 cm. Tujuan dari penggunaan dari jajar legowo dan tegel agar sinar matahari dapat masuk secara merata pada tanaman, mempermudah dalam pemeliharaan, juga dapat meningkatkan produksi. Pemeliharaan yang dilakukan pada petani cabai yaitu berupa penyulaman, pengendalian gulma, pemupukan, dan pemberantasan hama dan penyakit serta untuk lebih ditekankan dalam pengairan. Penyulaman dilakukan apabila terdapat bibit yang tumbuh dengan tidak baik atau mati, terserang hama seperti semut, ulat dan terserang penyakit tanaman. Pemupukan susulanpun harus dilakukan petani secara rutin atau sesuai kebutuhan tanaman. Sedangkan umumnya pemupukan susulan petani cabai dilakukan pemupukan dalam 10-14 kali dimana pemupukan dilakukan dengan 2 cara yaitu pengocoran 8-10kali dan pemupukan
tabur
sebanyak 2-4 kali. Pupuk yang yang digunakan adalah pupuk Kandang, MUTIARA, SP-36, PONSKA, KCL, dan GROWER.
54
Pengairan pada tanaman cabai dilakukan dengan air hujan yang telah ditampung oleh petani itu sendiri yang kemudian digunakan untuk pengairan dan pemupukan tanaman cabai. Dalam hal ini peran pengairan sangat berpengaruh terhadap produksi panen cabai. Ketidakadaanya sumber air atau pun aliran irigasi menyebabkan curah hujan menjadi faktor utama dalam penentu pertumbuhan dan produksi tanaman. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan penyemprotan dengan pestisida. Ratarata petani responden menggunakan pestisida sesuai dengan kondisi lahan masing-masing. Pemberantasan hama dilakukan ketika tanaman jagung atau pun cabai terindikasi oleh serangan hama penyakit menggunakan alat penyemprot (sprayer). Hama penyakit yang sering menyerang tanaman cabai yaitu hama trip, kutu kebul, tungau, ulat, jamur dan krapyak. Pemanenan cabai dilakukan saat umur 90-120 hari untuk petik merah dan 80-85 hari untuk petik hijau. Pada umunya hasil panen cabai di jual kepada agen. 5.2.2 Penggunaan Sarana Produksi Sarana produksi yang digunakan oelh petani repsonden yaitu lahan, benih, pupuk, pupuk Kandang, UREA, SP-36, PONSKA, KCL, MUTIARA, dan GROWER. Sebagan besar sarana produksi tersebut didapat petani dengan cara membeli dan penggunaanya disesuaikan dengan luasan lahan jagung dan cabai dengan sistem tumpang gilir yang diusahakan oleh petani.
55
1. Pengunaan Benih Benih merupakan salah satu faktor yang berperan dalam peningkatan produksi jagung ataupun cabai. Usaha peningkatan produksi akan berhasil apabila tersedianya benih yang bermutu baik dan dalam jumlah yang cukup. Penggunaan benih yang dianjurkan yaitu 16-20 kg/ha untuk jagung dan 18-22bungkus/ha. Benih yang bermutu yaitu benih yang asli, murni, bersih, memiliki viabilitas tinggi dan sehat. Petani responden tanaman jagung menggunakan benih jenis DK 85, NK Jumbo, BISI-18, Pioner Gajah. Sedangkan pada benih cabai biasanya menggunakan benih jenis Yosi, Kio, Lado, Belinda, dan Universal. 2. Pengunaan Pupuk Pupuk merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan produksi jagung dan cabai. Kegiatan pemupukan yang dilakukan oleh petani responden dan dosis pupuk yang diberikan sangat bergantung pada faktor keuangandan tingkat kesuburan tanaman, dan lahan yang dimiliki. Petani jagung rata-rata menggunakan empat jenis pupuk sebagai upaya meningkatkan produksi yaitu pupuk Kandang, Urea, SP-36, dan PONSKA. Harga pupuk kandang berkisar antara Rp400-Rp520/kg, SP-36 Rp2700/kg, pupuk UREA Rp2.100/kg, dan pupuk Ponska Rp3.000/kg. Petani responden tanaman cabai rata-rata menggunakan lima jenis pupuk sebagai upaya untuk meningkatkan produksi, yaitu pupuk Kandang, MUTIARA, SP-36, PONSKA, KCL, dan GROWER. Harga pupuk kandang berkisar antara Rp460Rp520/kg, pupuk SP-36 Rp2700/kg, pupuk Mutiara Rp8.400/kg, pupuk Ponska
56
Rp3.000/kg, pupuk Grower Rp9.600/kg. Penggunaan pupuk oleh petani responden tanaman jagung dan cabai dapat dilihat pada taebl 14. Tabel 14. Rata-rata penggunaan pupuk dalam satu kali musim tanamoleh petani responden, 2015 (dalam kg) Jenis
Jumlah fisik Jagung Cabai 47,4 148,7 0 63,5
Harga fisik (Rp) Jagung Cabai 2.700 2.700 0 5.400
Pupuk Sp36 Pupuk KCL Pupuk 0 66,2 0 MUTIARA Pupuk PONSKA 75 137,8 3.000 Pupuk Kandang 826 2039 447 Pupuk UREA 126 0 2.100 Pupuk Grower 0 64,5 0 Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016
Nilai (Rp) Jagung Cabai 127.895 401.447 0 333.947
8.400
0
556.216
3.000 432 0 9.600
225.000 372.789 265.263 0
402.631 878.947 0 618.947
Pupuk yang digunakan petani pada tanaman jagung lebih sedikit dibandingkan dengan petani cabai, karena pada tanaman jagung hama dan penyakit yang menyerang tidak banyak dan mudah dalam pengendalianya, berbeda dengan hama dan penyakit yang menyerang pada tanama cabai, sehingga petani perlu mengganti atau melakukan berbagai perlakuan terhadap tanaman agar hama dan penyakit tidak kebal terhadap pestisida yang digunakan. 3. Penggunaan Pestisida Penggunaan pestisida yang digunakan oleh petani responden di lokasi penelitian bertujuan untuk memberantas hama dan penyakit yang mengganggu tanaman, guna menghindari dari kehilangan hasil panen atau ancaman gagal panen. Penggunaan pestisida yang dilakukan oleh petani responden sangat tergantung pada keadaan permodalan yang mereka miliki dan kondisi tanaman yang mereka tanam. Pestisida yang digunakan petani untuk pengendalian hamadan penyakit
57
pada tanaman jagung berupa insektisida, fungisida, herbisida. Beberapa jenis diantaranya untuk insektidida adalah regen dan metindo, fungisida adalah skor, dan untuk herbisida adalah gramason. Sedangkan Pestisida yang digunakan petani untuk pengendalian hamadan penyakit pada tanaman cabai berupa insektisida, fungisida,
zat perangsang
pertumbuhan (ZPT), dan zat perangsang buah (ZPB). Pada insektisida yaitu dimolis, spadium, bespidor, samit, prepaton, lengset, dan abin. Pada fungisida yaitu amestartop, dakolin, bendas, kozep, ziflo. Pada zat perangsang pertumbuhan yaitu buto ijo dan dekamon. Pada zat perangsang buah yaitu gandapan, patensol, dan rezafit. Penggunaan pestisida jenis lain untuk membasmi hama dan penyakit tanaman jagung jarang dilakukan, hal ini dikarenakan terbatasnya modal petani sehingga dapat mengurangi pendapatan petani. Sebaran penggunaan pestisida petani responden jagung dan cabai dapat dilihat pada tabel 15.
58
Tabel 15. Rata-rata penggunaan pestisida pada usahatani jagung dan cabai tahun 2015 Komoditas Jenis
Jagung Jumlah (lt/kg)
Harga(Rp)
Biaya (Rp)
Dimolis Spadium Bespidor Samit Prepaton Lengset Abin Amestartop Dakolin Bendas Kozep Ziflo Zpt Zpb Regen 0,08 350.000 26.711 Metindo 0,19 160.000 29.895 Skor 0,1 600.000 25.263 Gramasan 2 65.000 56.447 Sumber: Pengolahan Data Penenlitian, 2016
Jumlah (lt/kg) 0,2 0,2 0,3 0,1 0,2 0,2 0,8 0,2 1,5 1,4 2,7 1,1 0,3 1,1
Cabai Harga (Rp) 950.000 450.000 250.000 500.000 750.000 350.000 140.000 880.000 170.000 140.000 80.000 85.000 102.631 107.158
Biaya (Rp) 221.667 93.214 82.857 48.648 113.571 53.000 110.000 134.588 248.462 202.222 215.758 97.143 19.737 112.737
Tabel 15 menunjukan bahwa total rata-rata pemakainan pestisida pada usahatani jagung dan cabai sangat berbeda. Terlihat bahwa penggunaan pestisida pada tanaman cabai lebih banyak digunakan. Hal ini terjadi karena tanaman cabai cenderung sensitif jika terkena hama atau penyakit, sehingga langkah pencegahanya atau pengendalianya menggunakan pestisida secara bergantian agar hama yang menyerang tidak resisiten terhadap pestisida yang digunakan.
59
4. Penggunaan Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam usahatani jagung dan cabai. Tenaga kerja yang diambil merupakan masyarakat sekitar tempat tinggal petani responden sendiri, dan biaya tenaga kerja diukur dengan satuan harian orang kerja (HOK) berdasarkan tingkat upah yang berlaku didaerah penelitian. Tingkat upah yang berlaku didaerah penelitian pada pria maupun wanita adalah Rp 70.000/harikecuali pemanenan yang dilakukan pada tanaman jagung yang dilakukan secara borongan dengan biaya sebesar Rp 5.000/karung. Penggunaan tenaga kerja rata-rata dalam usahatani jagung dan cabai di lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 16.
60
Tabel 16. Rata-rata biaya tenaga kerja pada usahatani jagung dan cabai tahun 2015 Rincian Kegiatan Jagung Pengolahan Lahan Pengajiran Pemupukan Pengendalian HPT Pemanenan
∑ Org
3
Upah Rp/HOK jagung ∑ Harian ∑ Boronga Har / jam n i Sak 2
4
70.000
-
Nilai Rp
Jumlah
152.434
220.263 128.947 121.053 5.000
437.368 1.060.066
Cabai Penyemaian Pengolahan Lahan Penanaman Pemupukan Pengendalian HPT Perawatan Pemanenan
200.789 4,7
1,29
6,5
70.000
-
305.098
367.368 353.947 353.947 3,6 11
3,5 14
4,3 6
70.000 70.000
Jumlah total Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016
-
493.684 2.732.994 4.456.582 5.516.647
Tabel 16 menunjukan bahwa total rata-rata pemakaian tenaga kerja per usahatani tanaman jagung (0,375ha) rata-rata sebesar Rp1.060.066/0,375ha. Sedangkan rata-rata tenaga kerja
per usahatani pada tanaman cabai (0,375ha) rata-rata
sebesar Rp4.456.582. Dewasa ini, petani didaerah penelitian lebih banyak menggunakan tenaga kerja dengan sistem gotong royong untuk menyelesaikan usahataninya seperti digunakan untuk pengajiran/penanaman, dan penyemaian. Pada kedua usahatani baik usahatani tanaman jagung ataupun usahatani tanaman cabai, penggunaan tenaga kerja paling banyak digunakan yaitu pada saat
61
pengolahan tanah, perawatan dan pemanenan yang dilakukan dalam bentuk HOK, sedangkan untuk panen jagung dilakukan dalam bentuk borongan. Upah HOK pengolahan tanah pada usahatani jagung sebesar Rp152.434/0,375ha, upah borongan
pemanenan sebesar Rp437.368/0,375ha. Sedangakan upah dalam
usahatani cabai untuk pengolahan tanah sebesar Rp305.098/0,375ha, untuk perawatan
sebesar
Rp493.684,
dan
untuk
pemanenan
sebesar
Rp2.732.994/0,375ha. 5. Penggunaan Peralatan Penggunaan peralatan merupakan salah satu sarana pendukung untuk suatu keberhasilan dalam berusahatani jagung dan cabai. Setiap peralatan memiliki harga dan umur ekonomis yang berbeda. Nilai harga dan umur ekonomis ini kemudian dapat digunakan untuk menghitung biaya penyusutan dari masingmasing alat tersebut. Nilai sisa pada masing-masing peralatan dianggap nol karena peralatan yang sudah tidak bisa digunakan oleh petani tidak dijual. Jenis peralatan yang digunakan dalam usahatani jagung dan cabai dan biaya penyusutan masingmasing peralatan di Desa Buanasakti dapat dilihat pada tabel 17.
62
Tabel 17. Rata-rata jumlah dan biaya penyusutan peralatan usahatani jagung dan cabai tahun 2015 Jenis
Jumlah
Harga
Peralatan (unit) (Rp) 1 421.316 Sprayer 1 52.184 Cangkul 2 44.747 Sabit 9 3.250 Benang 2 16.553 Rafia 2 5.368 Ember 2 79.868 Terpal 1 327.368 Waring 1 32.724 Plastik 1 122.895 Alat kocor 104 2.105 Karung Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016
UE (Tahun) 5 5 3 1 1 3 2 3 1 2 1
Biaya penyusutan (Rp) 21.112 3.036 3.687 46 866 528 1.345 7.719 1.845 9.956 395
Berdasarkan tabel 17 dapat diketahui bahwa peralatan yang digunakan oleh petani responden pada jagung dan cabai di Dea Buanasakti berupa mesin dan alat sederhana seperti sprayer, cangkul, sabit, benang, rafia, ember, terpal, waring, plastik, alat kocor, dan karung. Rata-rata peralatan dimiliki sendiri oleh petani responden karena mereka dalam melakukan usahatani memiliki peralatan tersendiri walaupun terbatas dan sederhana.
Tenaga
kerja
luar
keluarga
misalnya
mereka
membawa
peralatansendiri. Rata-rata umur ekonomis yang paling lama dari peralatan usahatani jagung dan cabai yang digunakan petani responden adalah sprayer dengan umur ekonomis 5 tahun dan cangkul dengan umur ekonomis 5 tahun. Nilai total penyusutan per usahatani sebesar Rp 49.970.
63
6. Produksi Usahatani Jagung Dan Cabai Produksi yang dihasilkan oleh petani didaerah penelitian sangat bervariasi, karena produksi yang dihasilkan tergantung pada luas lahan yang ditanam, modal yang dimiliki petani, dan cuaca. Produksi jagung dan cabai dapat dilihat pada tabel 18. Tabel 18. Rata-rata produksi usahatani jagung dan cabai di Desa Buanasakti tahun 2015 Uraian Luas lahan (ha) Produksi (kg) Harga (Rp) Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016
Komoditas Jagung 0,375 3.031 2.682
Cabai 0,375 2.143 12.171
Berdasarkan tabel 18 dapat diketahui bahwa rata-rata produksi usahatani jagung sebesar 3.031kg/0,375ha dan rata-rata produksi cabai 2.143 kg./0,375ha. Hal ini terlihat bahwa produksi usahatani jagung lebih besar. Harga jagung yang cenderung standar, namun tetap memberikan keuntungan bagi petani responden. Tingginya produksi setiap usahatani dipengaruhi oleh ketersediaan input produksi dan tingkat adopsi petani terhadap teknologi. Upaya petani dalam meningkatkan produksi pada usahatani jagung dan cabai juga perlu menyesuaikan dengan isu global yang lain, seperti upaya menyiapkan petani dalam mengatasi persoalan iklim global. Petani perlu dikenalkan dengan penggunaan sarana produksi yang efisien serta sarana produksi yang memiliki adaptasi tinggi terhadap goncangan iklim karena akan berpengaruh kepada rawan pangan dan pengurangan produktifitas. Sebagai bagian dari peran penyuluh pertanian.
64
Di Desa Buanasakti peran penyuluh pertanian masih sangat minim, terlihat pada setiap kegiatan perkumpulan kelompok tani atau pun perkumpulan gapoktan tanpa didampingi penyuluh. Kurangnya peran penyuluh dalam usahatani tumpang gilir ini menyebabkan tingginya tingkat penggunaan faktor produksi sehingga biaya produksi yang dikeluarkan cukup tinggi serta dalam pemilihan tanaman lanjutan yang diambil berdasarkan pengalaman berusahatani para petani karna kurangnya inovasi yang seharusnya diperoleh dari penyuluh setempat. Semakin efisien penggunaan faktor produksi dan semakin sesuai tanaman lanjutan yang ditanam maka semakin tinggi produksi yang didapat petani sehingga mempengaruhi pendapatan petani itu sendiri. 5.3 Risiko Usahatani Tumpang Gilir Tanaman Jagung dan Cabai Risiko yang dihadapi petani dalam usahatani tumpang gilir pada tanaman jagung dan cabai di daerah penelitian sebagian besar disebabkan oleh cuaca dan hama penyakit tanaman. Hama penyakit tanaman yang mengganggu tanaman jagung seperti wereng, ulat, tikus, dan penyakit bule. Sedangkan hama dan penyakit yang menyerang tanaman cabai seperti hama trip, kutu kebul, tungau, ulat, krapayak, dan jamur yang akan mengurangi produksi jagung atau pun cabai. Selain itu cuaca yang ekstrim seperti hujan yang terus menerus akan menyebabkan lahan pertanian menjadi lembab sehingga dapat menjadikan tempat yang baik bagi pertumbuhan jamur serta mempercepat pertumbuhan gulma, serta kemarau panjang akan mengurangi ketersediaan air untuk pengairan jagung dan cabai. Cuaca sebagai salah satu penyebab risiko paling tinggi dikemukakan oleh Soekartawi,dkk (1993) yang menyatakan bahwa risiko dalam produksi pertanian diakibatkan oleh ketergantungan pada iklim dan alam, dimana pengaruh buruk alam telah banyak
65
mempengaruhi total hasil panen pertanian. Risiko usahatani jagung dan cabai dapat dianalisisdengan menggunakan analisis koefisien variasi (CV). Dimana jika nilai koefisien variasi yang dihadapi petani dalam memperoleh produksi kecil, maka menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani juga rendah, sebaliknya jika nilai koefisien variasi menunjukan nilai rata-rata produksi tinggi maka menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani besar. 5.3.1 Risiko Usahatani Tumpang Gilir pada Komoditas Jagung Pada usahatani tumpang gilirtanaman jagung terdapat risiko yang dialami oleh petani, risiko tersebut dianalisis menggunakan koefisien variasi (CV). Jika nilai koefisien variasi yang dihadapi petani dalam memperoleh produksi kecil, menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani lebih kecil sebaliknya jika nilai koefisien variasi menunjukan nilai rata-rata produksi tinggi maka menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani lebih besar. Risiko yang terjadi pada usahatani tumpang gilir tanaman jagung dapat dilihat pada tabel 19. Tabel 19. Risiko produksi dan risiko harga usahatani tumpang gilir pada tanaman jagung di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur tahun 2015. Uraian
Risiko Produksi (kg)
Risiko Harga(Rp)
Per Usahatani Nilai tengah (E) 3.031 Satndar deviasi (V) 1.391 L 249 CV 0,5 Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016
2.682 125 2.432 0,05
Risiko Pendapatan 4.483.653 2.547.478 (611.304) 0,6
Berdasarkan tabel 19 terlihat bahwa nilai tengah dari produksi jagung per usahatani yaitu sebesar 3.031kg/0,375 ha, dengan rata-rata produksi per usahatani
66
yang dihasilkan oleh petani selama satu musim tanam dengan standar deviasi (V) sebesar 1.391/0,375ha, dan CV sebesar 0,5 yang artinya bahwa risiko produksi yang dihadapi petani jagung selama satu musim sebesar 0,5kg. Dengan batas bawah (L) produksi sebesar 249 yang artinya kemungkinan risiko produksi terendah atau kerugian terendah yang dihadapi petani jagung pada masa akan datang sebesar 249kg/0,375 ha. Harga jagung (tabel 19) dapat dilihat bahwa petani jagung memiliki nilai tengah (E) sebesar Rp 2.682 per usahatani yang artinya bahwa rata-rata besarnya harga yang diperoleh petani jagung selama satu musim per usahatani, dengan standar deviasi (V) sebesar Rp 125. Sedangkan nilai untuk CV yaitu sebesar 0,05yang artinya bahwa risiko harga yang dihadapi petani jagung selama satu musim sebesar Rp0,05. Nilai batas bawah (L) harga yang diperoleh petani sebesar Rp 2.432 yang berarti kemungkinan risiko harga terendah atau kerugian terendah yang dihadapi petani jagung setiap musim pada masa yang akan datang sebesar Rp 2.432 per usahatani. Pendapatan jagung (tabel 19) dapat dilihat bahwa petani jagung memiliki nilai tengah (E) sebesar Rp 4.483.653 yang artinya bahwa rata-rata besarnya pendapatan yang diperoleh oleh petani jagung selama satu musim, dengan standar deviasi (V) sebesar Rp 2.547.478. Sedangkan untuk nilai CV yaitu sebesar Rp 0,6 yang artinya bahwa risiko pendapatanyang dihadapi petani jagung selama satu musim sebesar Rp 0,6. Nilai batas bawah (L) pendapatan yang diperoleh petani sebesar Rp611.304 yang berarti kemungkinan risiko pendapatan atau kerugian yang dihadapi petani jagung setiap musim pada masa yang akan datang sebesar Rp611.304 /0,375 ha
67
5.3.2 Risiko Usahatani Tumpang Gilir Pada Komoditas Cabai Pada usahatani tumpang gilir pada komoditas cabai juga terdapat risiko yang dialami oleh petani, risiko tersebut dianalisis menggunakan koefisien variasi (CV). Jika nilai koefisien variasi yang dihadapi petani dalam memperoleh produksi kecil, menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani lebih kecil sebaliknya jika nilai koefisien variasi menunjukan nilai rata-rata produksi tinggi maka menggambarkan risiko yang dihadapi oleh petani lebih besar. Risiko yang terjadi pada usahatani tumpang gilir tanaman jagung dapat dilihat pada tabel 20. Tabel 20. Risiko produksi, risiko harga, dan risiko pendapatanpada usahatani tumpang gilirtanaman cabai di Desa Buanasakti Kecamatan Batanghari Kabupaten Lampung Timur tahun 2015. Uraian
Risiko Produksi (Kg)
Risiko Harga (Rp)
Risiko Pendapatan
12.171 1.821 8.530 0,2
10.961.472 9.039.675 (7.117.878) 0,8
Per Usahatani Nilai tengah (E) 2.143 Satndar deviasi (V) 945 L 253,09 CV 0,4 Sumber: Pengolahan Data Penelitian, 2016
Berdasarkan tabel 20 terlihat bahwa nilai tengah dari produksi cabai per usahatani yaitu sebesar 2.143kg/0,375 ha, dengan rata-rata produksi per usahatani yang dihasilkan oleh petani selama satu musim tanam dengan standar deviasi (V) sebesar 945kg/0,375 ha, dan CV sebesar 0,4 yang menunjukan bahwa petani cabai memiliki kemungkinan atau peluang kehilangan sebesar 0,4 kg. Dengan batas bawah (L) produksi sebesar 253,09 yang artinya bahwa kemungkinan risiko produksi terendah atau kerugian terendah yang dihadapi oleh petani cabai pada masa yang akan datang sebesar 253,09kg/0,375.
68
Harga komoditas cabai (tabel 20) dapat dilihat bahwa petani cabai memiliki nilai tengah (E) sebesar Rp 12.171/0,375 ha yang artinya bahwa rata-rata besarnya harga yang diperoleh oleh petani cabai selama satu musim, dengan standar deviasi (V) sebesar Rp1.821. Sedangkan untuk nilai CV yaitu sebesar Rp 0,2 yang artinya bahwa risiko harga yang dihadapi petani cabai selama satu musim sebesar Rp 0,2. Dengan nilai batas bawah (L) harga yang diperoleh petani sebesar Rp 8.530 yang artinya bahwa kemungkinan risiko harga terendah atau kerugian terendah yang dihadapi petani cabai setiap musim pada masa yang akan datang sebesar Rp 12.171/0,375 ha. Pendapatancabai (tabel 20) dapat dilihat bahwa petani cabai memiliki nilai tengah (E) sebesar Rp10.961.472 yang artinya bahwa rata-rata besarnya pendapatan yang diperoleh oleh petani cabai selama satu musim, dengan standar deviasi (V) sebesar Rp 9.039.675. Sedangkan untuk nilai CV yaitu sebesar Rp 0,8 yang artinya bahwa risiko pendapatan yang dihadapi petani cabai selama satu musim sebesar Rp0,8. Nilai batas bawah (L) pendapatan yang diperoleh petani sebesar Rp -7.117.878 yang berarti kemungkinan risiko pendapatan atau kerugian yang dihadapi petani cabai setiap musim pada masa yang akan datang sebesar Rp7.117.878 /0,375 ha 5.4 Pendapatan Usahatani Tumpang Gilir Jagung dan Cabai Pendapatan yang diterima petani tidak akan terlepas dari besarnya penerimaan yang diperoleh. Hasil analisis pendapatan usahatani tumpang gilir tanaman jagung dan cabai yang dilakukan dapat menjadikan petunjuk apakah usahatani tumpang gilir jagung dan cabai yang diusahakan petani responden menguntungkan atau
69
tidak,biaya produksi yang dikeluarkan petani setiap musim tanam terdiri dari biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai berasal dari pembelian benih, pupuk, obat-obatan, biaya tenaga kerja luar keluarga, dan pajak lahan. Biaya diperhitungkan berasal dari biaya tenaga kerja dalam keluarga, sewa lahan, dan penyusutan alat pertanian. Penerimaan petani jagung dan cabai adalah perkalian antara harga jual dan jumlah produksi. Pendapatan usahatani tumpang gilir jagung dan cabai adalah selisih antara total nilai penerimaan dan total biaya produksi yang dikeluarkan dalam usahatani tumpang gilir jagung dan cabai. Analisis perbandingan pendapatan usahatani tumpang gilir jagung dan cabai berdasarka penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C ratio. Dapat dilihat pada tabel 21. Tabel 19. Rata-rata penerimaan, biaya, pendapatan, dan R/C usahatani tumpang gilir jagung dan cabai No
Komponen
1. Jumlah Penerimaan 2. Biaya Tunai a. Sarana Produksi Bibit Pupuk Sp36 Pupuk KCL Pupuk MUTIARA Pupuk PONSKA Pupuk Kandang Pupuk UREA Pupuk Grower Pestisida b. Tenaga kerja luar keluarga c. Pajak 3. jumlah total biaya tunai Biaya tidak tunai a. Penyusutan peralatan b. Tenaga kerja dalam keluarga 4. c. Sewa lahan 5. Jumlah total biaya 6. Pendapatan atas biaya total 7. Pendapatan atas biaya tunai R/C ratio a. R/C atas biaya total b. R/C atas biaya tunai
Jumlah fisik Jagung Cabai 3.031 2143
6,5 47,4 0 0 75 826 126 0
Harga fisik (Rp) Jagung Cabai 2.682 12.171
8,1 148,7 63,5 66,2 137,8 2039 0 64,5
Sumber: Pengolahan data penelitian, 2016
66.211 2.700 0 0 3.000 447 2.100 0
113.684,20 2.700 5.400 8.400 3.000 432 0 9.600
Nilai (Rp) Jagung Cabai 8.106.763 25.886.316
Total Rp 33.993.078
430.974 910.263 127.895 401.447 0 333.947 0 556.216 225.000 402.631 372.789 878.947 265.263 0 0 618.947 138.316 1.304.078 1.060.006 4.456.582 24.974 2.616.829 10.189.213
12.694.436
49.970 730.395 4.603.191 2.500.000 18.272.515 15.717.564 21.298.616 1,8 2,6
70
Berdasarkan tabel 21penerimaan yang diperoleh petani dari hasil usahatani tumpang gilir jagung dan cabai seluas 0,375 ha berdasarkan harga dan rata-rata tersebut adalah Rp33.993.078 dengan besarnya biaya yang dikeluarkan petani dalam satu kali musim tanam per 0,375 ha Rp 18.275.515. Pada perhitungan analisis struktur biaya usahatani tumpang gilir tanaman jagung dan cabai terbagi atas dua, yaitu biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Nilai biaya tunai yang dikeluarkan dalam usahatani tumpang gilir tanaman jagung dan cabai adalah sebesar Rp 12.694.463 per 0,375 ha dan untuk nilai biaya diperhitungkan adalah sebesar Rp 5.581.051 per 0,375 ha. Pada tabel 20 pendapatan usahatani tumpang gilir jagung dan cabai atas biaya total per usahatani sebesar Rp15.717.564dan pendapatan atas biaya tunai per usahatani Rp 21.298.616. Nisbah nilai pendapatanterhadap biaya tunai pada usahatani tumpang gilir jagung dan cabai yakni 2,6 artinya setiap Rp1,00 biaya tunai yang dikeluarkan akan menghasilkan pendapatan sebesar Rp2,6. Nisbah nilai pendapatan terhadap biaya total pada usahatani tumpang gilir jagung dan cabai yaitu sebesar Rp1,8 artinya setiap Rp1,00 yang dikeluarkan akan menghasilkan pendapatan biaya total sebesar Rp1,8 artinya bahwa usahatani tumpang gilir jagung dan cabai yang dilakukan oleh petani yang berada di Desa Buanasakti secara ekonomi menguntungkan.
71
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Risiko produksi, risiko harga, dan risiko pendapatan yang dihadapi petani tumpang gilir pada tanaman jagung dan tanaman cabai berbeda, dimana tingkat risiko harga dan risiko pendapatan usahatani tumpang gilir pada tanaman cabai lebih tinggi dibandingkan risiko yang dialami pada usahatani tumpang gilir tanaman jagung, namun risiko produksi lebih tinggi dialami pada usahatani jagung. 2. Pendapatan pada usahatani tumpang gilir jagung dan cabai yang dilakukan oleh petani
yang
berada
di
Desa
Buanasakti
secara
ekonomi
menguntungkan.Pendapatan pada usahatani tumpang gilir jagung dan cabai atas biaya total per usahatani sebesar Rp15.717.564 dan pendapatan atas biaya tunai per usahatani Rp 21.298.616. 6.2 Saran Dari kesimpulan yang diperoleh pada penelitian ini, maka dapat disarankan beberapa hal antara lain:
1. Untuk menekan tingkat risiko yang dialami petani cabai berkaitan dengan kebutuhan pengairan yang lebih tinggi dari pada jagung maka perlunya peran
72
petani itu sendiri dalam pembuatan sumur bor, sehingga pengairan dapat dilakukan petani tanpa bertumpu pada curah hujan yang turun.
2. Pentingnya peran penyuluh pertanian dalam penggunaan faktor produksi dan pemilihan tanaman lanjutan untuk meningkatkan pendapatan petani pada usahatani tumpang gilir.