Kekeliruan tentang Penghakiman
O
rang Kristen dikenal sebagai orang yang sangat
yakin akan keselamatan. Sejumlah gelar atau sebutan diberikan kepada mereka berkaitan dengan hal tersebut… seperti: anakanak Allah, ahli waris, warga Kerajaan Allah, lebih dari pemenang, orang-orang pilihan, dan lain sebagainya. Nama atau gelar yang seperti itu memberikan rasa percaya diri yang tinggi dalam diri orang-orang Kriten pada umumnya. Hal ini tentu saja tidak salah secara ajaran atau doktrin. Akan tetapi, menyandang gelar atau sebutan yang istimewa tanpa benar-benar mengerti arti atau maksudnya, akan membuat kita keliru bahkan salah kaprah, dan mungkin akan menjadi salah seorang yang heran atau terkejut pada hari terakhir. Yesus sendiri memberikan gambaran bahwa pada hari terakhir akan ada orang-orang yang keliru tentang penghakiman. Mereka begitu percaya diri bahwa mereka akan bebas dari penghakiman Tuhan dan akan disambut dengan
karpet merah menuju pintu gerbang surga. Namun akhirnya, mereka terkejut karena ternyata bukan saja menemukan diri tidak dapat masuk tetapi juga disebut sebagai pembuat kejahatan (band. Mat 7:20-23). Orang-orang yang digambarkan oleh Yesus tersebut memiliki kepercayaan diri karena sejumlah dasar atau alasan. Dasar atau alasan-alasan tersebut adalah…yang pertama, mereka mengira bahwa mereka telah memiliki kemampuan secara spiritual dalam melakukan tindakan-tindakan istimewa atau supranatural seperti bernubuat, mengusir setan, dan mengadakan mujizat. Kemudian, yang kedua adalah…mereka mengira bahwa mereka memiliki pelayanan rohani, dan yang ketiga adalah…mereka mengira bahwa mereka telah mengabdi dan menjadi representasi yang membanggakan bagi Tuhan. Perkataan Yesus tentunya dapat kita jadikan dasar atau patokan bahwa peristiwa atau kejadian yang seperti ini bukanlah hal yang mengada-ada ataupun bersifat negativisme terhadap orang lain, sebaliknya, memberikan visualisasi yang jauh di depan tentang kepastian akan adanya peristiwa atau kejadian yang patut untuk diantisipasi. Hal yang seperti ini tentunya tidak kita harapkan terjadi pada diri kita dan orang-orang yang kita kasihi. Kabar baiknya, kita dapat memelajari kebenaran, mengantisipasi, dan memersiapkan diri kita, sehingga terbebas dari kekeliruan yang semacam itu.
Kekeliruan Orang Yahudi tentang Penghakiman Dalam suratnya kepada jemaat Roma, rasul Paulus menjelaskan tentang kekeliruan orang-orang Yahudi tentang penghakiman dan keselamatan. Ada 4 hal pokok yang sangat diyakini oleh orang Yahudi tentang diri mereka dan apa yang mereka miliki sebagai sesuatu seperti modal atau yang dapat diandalkan sehingga mempunyai jaminan atau kepastian untuk dapat diterima oleh Allah. Empat hal tersebut adalah kebangsaan mereka sebagai orang Yahudi, pemegang hukum Taurat, pengajar, dan sunat. Kebangsaan sebagai Orang Yahudi… Orang Yahudi begitu bangga disebut sebagai anak-anak Abraham. Mereka merasakan adanya keistimewaaan atau superioritas yang tinggi dan luar biasa tentang hal itu (band. Yoh 8:33-34).1 Akan tetapi, penilaian orang-orang Yahudi tampaknya cenderung bersifat lahiriah dan jasmaniah. Tidak demikian halnya dengan Yesus. Yesus menilai secara rohaniah dan batiniah. 1
Yohanes Pembaptis menyebut orang Farisi dan orang Saduki yang datang untuk dibaptis sebagai keturunan ular beludak bukan keturunan Abraham. Dia berkata bahwa mereka juga tidak akan luput dari penghakiman. Yohanes Pembaptis menantang mereka untuk menghasilkan buah-buah pertobatan (band. Mat 3:7-8)
Bacalah dan perhatikanlah pembicaraan antara Yesus dan orang-orang Yahudi di kitab Yohanes (band. Yoh 8:30-47). Di sana, Yesus berkata kepada orang-orang Yahudi, bahwa meskipun mereka adalah keturunan Abraham secara lahiriah, mereka adalah hamba dosa, yang tidak memiliki kualitaskualitas seperti Abraham, dan bahkan sebaliknya, berniat untuk membunuh (band. Yoh 8:33-40). Perbedaan yang Mendasar Ada perbedaan yang mendasar tentang bagaimana orang-orang Yahudi melihat dan menilai diri mereka dibandingkan dengan Tuhan. Perbedaan yang mendasar tersebut adalah…orangorang Yahudi melihat dan menilai secara lahiriah dan jasmaniah, sedangkan Tuhan melihat hati atau secara rohaniah (band. 1 Sam 16:7; Rom 2:28-29). Hal ini tampaknya terpatri dalam pemikiran orang Yahudi sejak dulu. Contohnya, Yunus tidak begitu antusias dalam menyampaikan pesan Tuhan kepada bangsa Niniwe karena bangsa tersebut bukanlah bangsa Yahudi. Di era Perjanjian Baru juga demikian. Sebelum peristiwa Petrus dan Kornelius, sebagian besar murid-murid Yesus juga masih mem-fokuskan pemberitaan mereka kepada orang-orang Yahudi saja (band. Kisah 10).2 2
PL mengisahkan bahwa Tuhan menerima pertobatan orang Niniwe yang adalah bukan orang Yahudi. PB mencatat dua wanita yaitu Rahab dan Rut sebagai nenek moyang Yesus dalam silsilah yang adalah orang non-Yahudi.
Intinya, orang-orang Yahudi tidak melihat hal-hal yang lebih mendalam dan esensial tentang kebangsaan, pilihan, dan rancangan Tuhan. Mereka tidak mengerti dan menyadari bahwa mereka dipilih bukan semata-mata untuk menyandang gelar sebagai anak Abraham, bangsa Yahudi, dan umat pilihan Allah, tanpa kualitas-kualitas yang sesuai dengan rancangan dan kehendak Allah di dalam diri mereka. Pemegang Hukum Taurat… Hal kedua yang menjadi kebanggaan bagi bangsa Yahudi adalah karena mereka menganggap diri sebagai pemegang hukum Taurat. Mereka beranggapan bahwa dengan memiliki hukum Taurat berarti mempunyai pengetahuan tentang kehendak Allah, dan tahu mana yang baik dan mana yang tidak (band. Rom 2:18). Padahal, hukum Taurat diberikan Allah kepada bangsa Yahudi adalah supaya mereka semakin menyadari keberdosaan, semakin rendah hati, dan semakin bergantung dan semakin mengandalkan Allah dalam hidup dan keselamatan mereka. Ketidakberhasilan dalam merespon hal ini dengan benar tampak dalam bagian dari khotbah Yesus di bukit (band. Mat 5:1-12). Orang-orang Yahudi meleset dan menyimpang dari cita-cita dan harapan Tuhan. Dalam khotbah-Nya di bukit, Yesus memulai khotbah-Nya dengan berkata:”Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Artinya, orang-orang yang empunya Kerajaan Sorga adalah orang-orang yang menyadari keberdosaan yang besar dalam
diri mereka sehingga mereka tidak mampu atau tidak sanggup melayakkan diri jika tanpa Tuhan, tanpa kebaikan, kemurahan, dan pertolongan Tuhan (band. Rom 3:19-20). Realita tentang Agama Yahudi dan Kualitas Pribadi Para Agamawan di Zaman Yesus Kualitas rohani para agamawan di zaman Yesus dinilai sangat buruk atau bobrok. Mereka pada umumnya bersifat sombong, munafik, self-righteous, curang dan serakah. Hal ini jelas tampak dalam kecaman-kecaman Yesus yang ditujukan kepada mereka sehari setelah Yesus membersihkan Bait Allah (band. Mat 23). Dari sini tampak jelas kegagalan mereka sebagai pemegang hukum Taurat karena tidak menunjukkan sikap yang rendah hati, yang menyadari keberdosaan, yang bergantung dan berharap kepada kebaikan dan kemurahan Tuhan. Sebaliknya, mereka merasa layak, mampu, superior, dan lain sebagainya yang berbeda dari harapan dan kehendak Tuhan. Kualitas pribadi para pemimpin rohani yang seperti itu tentu saja tidak dapat membangun atau mengangkat iman dan kerohanian umat Tuhan ke tingkat yang tinggi sebagaimana yang dikehendaki oleh Dia. Pengajar Hukum Taurat… Hal ketiga yang menjadi kesalahan bangsa Yahudi adalah karena mereka mengira bahwa dengan menjadi pengajar dari hukum Taurat, itu berarti adalah suatu
keistimewaan yang patut diandalkan sehingga terbebas dari penghakiman Tuhan. Menjadi pengajar hukum Taurat tanpa menjadi pelaku dari hukum tersebut tidaklah dapat dibenarkan di hadapan Allah (band. Rom 2:13). Pengajar atau guru akan dihakimi dengan ukuran yang lebih berat (band. Yak 3:1). Karena itu, sebagai pengajar atau pemimpin rohani, haruslah kita mengawasi diri dan juga mengawasi ajaran yang kita sampaikan (band. 1 Tim 4:16). Orang-orang Yahudi dipilih Tuhan sebagai penerima dan pengajar hukum Taurat adalah supaya mereka mempunyai keterbebanan dan kasih terhadap orang-orang lain yang tidak seperti mereka bukannya malah menjadi angkuh ataupun sombong dan merasa lebih superior. Sunat… Hal ke-empat yang menjadi kebanggaan bangsa Yahudi adalah sunat. Mereka mengira bahwa sunat secara lahiriah adalah tanda atau jaminan keselamatan sehingga dengan hal tersebut mereka dapat terbebas dari penghakiman. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat Roma mengatakan bahwa sunat yang sejati adalah yang bersifat rohaniah yaitu sunat hati (band. Rom 2:29). Sunat hati artinya adalah pertobatan. Orang yang bersunat hati mengalami kesakitan di dalam hatinya di masa tertentu karena penyesalan terhadap dosa-dosa yang telah dia lakukan (band. 2 Kor 7:10). Purifikasi pun akan terjadi karena orang yang telah
bersunat hati akan membuang atau meninggalkan segala sesuatu yang kotor dari hati dan pikirannya. Dia juga akan mengakui kesalahan dan dosa-dosa yang telah dia lakukan (band. Yak 1:21-22; 1 Yoh 1:9). Implikasi dan Konklusi Secara prinsip, kita dapat mengambil implikasi dan konklusi dari pandangan orang-orang Yahudi terhadap penghakiman dan keselamatan. Mereka mengira bahwa hal-hal yang bersifat nationalitas, posisi sebagai penerima dan pengajar hukum Taurat, dan juga sunat yang dapat dikategorikan sebagai sakramen, akan dapat menjamin keselamatan dan terbebas dari penghakiman. Hal ini adalah kekeliruan dalam melihat kehendak dan rancangan Allah. Tuhan menghendaki perubahan yang nyata sebagai refleksi atau verifikasi iman yang terdapat di dalam diri kita. Perubahan-perubahan tersebut timbul atau terjadi karena dimotivasi dan diinspirasi oleh kebenaran firman Tuhan, teladan, kasih dan pengorbanan Kristus di kayu salib. Patutlah kita belajar dari kekeliruan yang digambarkan oleh rasul Paulus tentang orang-orang Yahudi di zaman dahulu. Mereka bangga dan yakin akan nasionalitas, karunia, dan sakramen sebagai tanda atau jaminan keselamatan yang bebas penghakiman.
Kita sebagai orang Kristen pun juga berpotensi untuk menjadi seperti itu. Kita dapat saja menjadi bangga dan yakin akan posisi atau jabatan kita sebagai orang Kristen, anak-anak Allah, dan umat pilihan Allah. Kita bangga dan yakin karena Alkitab yang telah dikaruniakan kepada kita, dan menjadi pengajar bagi orang-orang lain. Kita pun juga mungkin telah banyak menerima, melakukan, atau mengadakan sakramen demi sakramen. Akan tetapi, apalah artinya semua itu jika kita tidak semakin menjadi sama seperti Kristus (band. 1 Yoh 2:6). Kristus adalah gambaran, kehendak, dan cita-cita Allah terhadap kita. Dia ingin agar kita menjadi seperti Dia dalam segala kualitas pribadi yang dimiliki oleh-Nya. Dia pun ingin kita mempunyai hubungan yang dekat dengan Dia di dalam ikatan persekutuan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Kristus adalah acuan. Dia adalah batu penjuru… contoh, teladan, dan inspirasi, yang seharusnya kita ikuti. Dialah arah, wujud, dan arti yang sebenarnya dari bayang-bayang PL tentang nasionalitas, hukum, dan sakramen (band. Kol 2:17). Karena itu, tidak ada pilihan dan keputusan yang paling tepat selain bertobat, berhenti melakukan dosa, berbalik, dan menjadi semakin mirip dengan Dia. Hal inilah yang paling penting dan esensial dari semua.
Pesan untuk Pembaca Jika Anda merasa diberkati dengan tulisan ini dan ingin memberikan donasi untuk mendukung pelayanan beritakanfirman.com, Anda dapat menyalurkannya melalui BCA 7660207371. Donasi Anda akan kami salurkan sepenuhnya untuk pelayanan, pengembangan, dan peningkatan beritakanfirman.com Terima kasih. Tuhan memberkati.
Tentang Penulis Naek R. Sijabat adalah Gembala Jemaat GKDI Jambi dan juga Dosen Pendidikan Agama Kristen di Universitas Jambi. Pernah bekerja dan melayani Tuhan di bidang multi media Kristen – menjadi editor sejumlah buku, menulis, dan menjadi manager dan produser sejumlah album rohani Kristen. Secara akademis pernah menyelesaikan study Alkitab dan meraih gelar Master di bidang Biblical Studies. Sudah menikah dan dikarunia dua orang anak.
Copyright ©2013 ©2013. beritakanfirman.com