ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT MASYARAKAT TERHADAP PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN DAS CIDANAU (Studi Kasus Desa Citaman Kabupaten Serang)
ANI TRIANI
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN ANI TRIANI. Analisis Willingness To Accept Masyarakat terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau Studi Kasus Desa Citaman Kecamatan Ciomas Kabupaten Serang. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI Model hubungan hulu-hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau dilaksanakan terhitung sejak tahun 2005. Perumusan nilai pembayaran jasa lingkungan atas usaha masyarakat mengkonservasi hulu DAS Cidanau dilakukan dengan jalan negosiasi yang dalam proses pengambilan keputusannya masyarakat diwakili oleh tokoh setempat. Nilai yang didapat dari hasil negosiasi boleh jadi tidak mencerminkan nilai pembayaran yang sebenarnya diinginkan masyarakat akibat diharuskannya upaya konservasi terhadap lahan miliknya. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengetahui besarnya nilai pembayaran yang bersedia masyarakat terima akibat diharuskannya upaya konservasi. Penelitian ini memiliki tiga tujuan yaitu: (1) mendeskripsikan mekanisme pembayaran jasa lingkungan (payment environment services) di DAS Cidanau, (2) Mengkaji persepsi masyarakat terhadap program pembayaran jasa lingkungan yang telah berlangsung di DAS Cidanau (3) Mengkaji kesediaan atau ketidaksediaan masyarakat dalam menerima dana kompensasi sesuai skenario yang ditawarkan dalam pasar hipotetis (4) Mengkaji besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima masyarakat (WTA) serta faktor yang mempengaruhi nilai WTA. Penelitian ini dilakukan di Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan kuisioner. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari instansi-instansi terkait dan studi literatur. Analisis WTA menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method dengan alat pengolah data Microsoft Excel 2003 dan SPSS 15. Model hulu-hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau melibatkan Forum Komunikasi DAS Cidanau; Desa Citaman, Desa Cikumbueun dan Desa Kadu Agung sebagai penyedia jasa lingkungan (seller); dan PT. Krakatau Tirta Industri sebagai pemanfaat jasa lingkungan (buyer). Mekanisme transaksi dilakukan secara tidak langsung (indirect payment) dengan menempatkan FKDC sebagai mediator transaksi. FKDC sebagai mediator transaksi bertugas untuk mengelola hasil transaksi pembelian jasa lingkungan dari PT. KTI untuk selanjutnya disalurkan melalui transaksi pembayaran kepada Kelompok Tani Karya Muda II. Penilaian terhadap program pembayaran jasa lingkungan didapat hasil responden menilai kualitas lingkungan semakin baik setelah adanya upaya konservasi. Sebagian besar responden menilai baik terhadap program pembayaran jasa lingkungan yang sedang berjalan. Cara penetapan nilai pembayaran dinilai buruk oleh sebagian besar responden. Sebanyak 43 responden yang dimintai pendapatnya mengenai kesediaan menerima nilai pembayaran sesuai skenario yang ditawarkan diperoleh hasil bahwa 41 responden bersedia menerima dan dua responden tidak bersedia menerima nilai pembayaran. Alasan responden bersedia menerima nilai pembayaran sesuai skenario
yang diusulkan adalah: 1) Tidak puas terhadap nilai pembayaran jasa lingkungan yang ditetapkan dengan jalan negosiasi, 2) Biaya kebutuhan hidup semakin tinggi, sehingga nilai pembayaran jasa lingkungan yang pada awalnya diharapkan dapat membantu masyarakat menutupi kebutuhan hidup sudah tidak dapat menutupinya lagi, 3) Nilai kayu di lokasi model pembayaran jasa lingkungan semakin tinggi, sehingga diperlukan peningkatan nilai pembayaran jasa lingkungan, sebagai insentif agar masyarakat tetap menjaga tegakan pohon di atas lahan miliknya. Adapun alasan responden menyatakan tidak bersedia menerima nilai pembayaran sesuai skenario yang ditawarkan adalah bahwa program tidak membuat anggota kelompok kehilangan tegakan pohon yang ada di atas lahan miliknya. Hasil analis Willingness To Accept didapat nilai dugaan rataan WTA sebesar Rp 5.056,98 untuk setiap pohon yang terikat kontrak pembayaran jasa lingkungan per tahun. Jika dilakukan penyesuaian nilai pembayaran terkait nilai rata-rata WTA masyarakat, dengan jumlah pohon sebanyak 500 pohon per ha, maka nilai pembayaran yang harus diserahkan kepada penyedia jasa lingkungan adalah Rp 2.528.490,00 per ha per tahun. Nilai ini merupakan nilai pembayaran yang ingin diterima oleh masyarakat. Total WTA responden diperoleh nilai sebesar Rp 217.450,00 per pohon per tahun. Mengacu pada jumlah pohon yang terdapat di lokasi penyedia jasa lingkungan, maka diperoleh nilai sebesar Rp 2.718.125.000,00. Nilai tersebut merupakan nilai perbaikan kualitas lingkungan hutan terhadap jasa hidrologi di lokasi model pembayaran jasa lingkungan Desa Citaman.
ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT MASYARAKAT TERHADAP PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN DAS CIDANAU (Studi Kasus Desa Citaman Kabupaten Serang)
ANI TRIANI H44051970
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 Judul Skripsi : Analisis Willingness To Accept Masyarakat terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan Studi Kasus Desa Citaman Kabupaten Serang Nama : Ani Triani NRP : H44051970
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS 19650212 199003 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc NIP. 19620421 198603 1 003
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS
WILLINGNESS
TO
ACCEPT
MASYARAKAT
TERHADAP
PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN DAS CIDANAU (STUDI KASUS DESA CITAMAN KABUPATEN SERANG)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Agustus 2009
Ani Triani H44051970
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 09 Mei 1987. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Tatang Sukardi dan Maesaroh. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Kartini Bogor pada tahun 1993, lalu melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri Cibalagung III Bogor. Pada Tahun 1999, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Bogor dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Bogor dan masuk dalam program IPA pada tahun 2004. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Pada tahun 2006, dengan sistem mayor-minor penulis diterima di program studi Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama
mengikuti
perkuliahan,
penulis
aktif
di
berbagai
kegiatan
kemahasiswaan sebagai anggota Himpunan Profesi Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan periode 2006/2007, staf divisi Coorporate Social Responsibility Resources Environmental and Economic Student Association (REESA) periode 2007/2008 dan sebagai sekretaris umum Unit Kegiatan Mahasiswa Music Agriculture Expression (MAX!!) periode 2006/2007.
KATA PENGANTAR Segala puji senantiasa dipanjatkan ke khadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Model hubungan hulu-hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau dilaksanakan terhitung sejak tahun 2005. Perumusan nilai pembayaran jasa lingkungan atas usaha masyarakat mengkonservasi hulu DAS Cidanau dilakukan dengan jalan negosiasi yang dalam proses pengambilan keputusannya masyarakat diwakili oleh tokoh setempat. Nilai yang didapat dari hasil negosiasi boleh jadi tidak mencerminkan nilai pembayaran yang sebenarnya diinginkan masyarakat akibat diharuskannya upaya konservasi. Diperlukan instrumen ekonomi yang dapat mendekati nilai kesediaan masyarakat untuk menerima pembayaran akibat upaya konservasi yang harus dilakukan terhadap lahan miliknya. Hal ini salah satunya dapat didekati dengan analisis Willingness To Accept (WTA). Tidak ada gading yang tak retak. Skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kritik dan saran konstruktif diperlukan untuk hal yang lebih baik. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemaslahatan umat dan bernilai ibadah dalam pandangan ALLAH SWT. Bogor, September 2009 Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Penyusunan skripsi ini banyak dibantu oleh berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS sebagai dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran, motivasi dan pengarahan kepada penulis. 2. Prof. Dr. Ir Akhmad Fauzi, M.Sc sebagai dosen penguji utama. 3. Adi Hadianto, SP sebagai dosen penguji wakil departemen. 4. Ibunda dan ayahanda tercinta atas perjuangan, pengorbanan, doa, inspirasi hidup dan kasih sayang yang tiada terkira. Skripsi ini aku persembahkan untuk kalian. 5. Kakakku, Andriansyah, Ari Supriatna berserta istri dan keponakanku yang selalu setia mendukung dan menjadi inspirasi hidupku. 6. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, FEM IPB. 7. Bapak Nana Pra Rahadian atas waktu, bimbingan dan bantuannya selama penelitian. 8. PT. KTI, BLHD Banten, Pak Bachrani, seluruh Staf Rekonvasi Bhumi (Mba Tati, A Iwan, A Irvan dan Yepi), Elli, masyarakat Citaman, keluarga Meita dan pihak-pihak lainnya yang telah membantu selama penelitian. 9. Ade Fahrizal dan Annisa Merryna atas kebersamaan dan bantuannya selama penelitian.
10. Mba Nuva dan Bu Meilanie yang turut serta memberikan bimbingan dan pemecahan masalah terhadap skripsi ini. 11. Sahabat-sahabatku, Rani, Meita, Danti, Asri, Gita, Utha, Ade, Andita, Hans, Rendy, Aditya, Gian, Buja, Maya, Fina serta teman-teman seperjuangan di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan 42 untuk kebersamaan selama ini. 12. Semua pihak yang telah membantu dalam membantu penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan pahala atas kebaikannya.
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN.............................................................................................. . i KATA PENGANTAR..................................................................................
vii
DAFTAR ISI.................................................................................................
x
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xv
I.
1
PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5
II.
Latar Belakang ....................................................................... Perumusan Masalah ............................................................... Tujuan Penelitian ................................................................... Manfaat Penelitian ................................................................. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1
1 5 8 9 9 11
Jasa Lingkungan .................................................................... 2.1.1 Jasa Lingkungan Hutan untuk Perlindungan dan Pemanfaatan Air .................................................. Mekanisme Berbasis Pasar (Market-Based Mechanisms) untuk Konservasi Hutan ........................................................ Pembayaran Jasa Lingkungan ............................................... 3.1.1 Pengertian Pembayaran Jasa Lingkungan ........... 3.1.2 Prinsip Pembayaran Jasa Lingkungan ................. Persepsi ................................................................................ Teori Ekonomi Mengenai Barang-Barang Lingkungan ........ Metode Estimasi Penilaian Lingkungan................................ 2.6.1 Konsep Contingent Valuation Method ................ 2.6.2 Tahapan Pekerjaan dalam CVM ......................... Penelitian Terdahulu .............................................................
13 14 14 14 17 18 20 21 22 25
III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................
27
3.1 Kerangka Teoritis .................................................................. 3.1.1 Asumsi dalam Pendekatan Willingness to Accept (WTA) Masyarakat ............................................ 3.1.2 Metode Mempertanyakan Nilai Willingness to Accept (Elicitation Method) ................................ 3.1.3 Langkah-Langkah untuk Mengetahui Nilai Willingness to Accept Masyarakat ......................
27
2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7
11 11
27 27 29
3.1.4 Analisis Regresi Linier Berganda ....................... Kerangka Operasional ...........................................................
33 35
IV. METODE PENELITIAN .....................................................................
38
3.2 4.1 4.2 4.3 4.4
Tempat dan Waktu Penelitian ................................................ Metode Pengambilan Sampel................................................. Jenis dan Sumber Data ........................................................... Metode Pengolahan dan Analisis Data .................................. 4.4.1 Analisis Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan ......................................................... 4.4.2 Analisis Persepsi Masyarakat terhadap Program Pembayaran Jasa Lingkungan .............. 4.4.3 Analisis Kesediaan Menerima............................. 4.4.4 Analisis Fungsi Willingness to Accept ................ 4.5 Hipotesa ................................................................................ 4.6 Pengujian Parameter..............................................................
V.
38 38 38 39 40 40 41 41 44 44
GAMBARAN UMUM .......................................................................
47
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ..................................... 5.2 Kependudukan ...................................................................... 5.3 Karakteristik Sosio Ekonomi Responden ............................. 5.3.1 Jenis Kelamin ...................................................... 5.3.2 Usia ..................................................................... 5.3.3 Lama Pendidikan Formal .................................... 5.3.4 Jumlah Tanggungan ............................................ 5.3.5 Tingkat Pendapatan ............................................. 5.3.6 Lama Tinggal ...................................................... 5.3.7 Status Kepemilikan Lahan ..................................
47 49 50 51 51 52 53 54 55 56
VI. MEKANISME PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN ..................
57
6.1
Pihak yang Terlibat dalam Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan ............................................... Proses Perumusan Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan ........ Skema Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan yang Sedang Berjalan .................................................................... Skema Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan di Masa Depan...........................................................................
71
VII. PENILAIAN PROGRAM PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN ...................................................................................
74
6.2 6.3 6.4
Penilaian Responden terhadap Perubahan Kualitas Lingkungan setelah Adanya Program Pembayaran Jasa Lingkungan .................................................................... 7.2 Pengetahuan Responden Mengenai Peran Penting DAS Cidanau .................................................................................
57 63 69
7.1
74 76
7.3 7.4 7.5 7.6 7.7
Penilaian Responden terhadap Pentingnya Usaha Konservasi DAS Cidanau ........................................................................ Pengetahuan Responden Mengenai Program Pembayaran Jasa Lingkungan .................................................................... Penilaian Responden terhadap Program Pembayaran Jasa Lingkungan .................................................................... Penilaian Responden terhadap Cara Penetapan Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan ............................................... Kepuasan terhadap Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan Hasil Negosiasi .....................................................................
VIII. ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT .........................................
77 79 83 84 86 88
8.1
Analisis Kesediaan Menerima Responden terhadap Nilai Pembayaran Sesuai Skenario yang Ditawarkan .................... 8.2 Analisis Willingness To Accept dengan Pendekatan Contingent Valuation Method ............................................... 8.3 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai WTA Responden ...................................................................
97
IX. KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
106
9.1 9.2
88 91
Kesimpulan .............................................................................. Saran.........................................................................................
106 107
X. DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
108
LAMPIRAN ..................................................................................................
110
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1
Matriks Metode Analisis Data ................................................................
40
2
Indikator Pengukuran Nilai WTA ...........................................................
43
3
Struktur Mata Pencaharian Penduduk Citaman Tahun 2006 ..................
49
4
Perubahan Kualitas Lingkungan di Desa Citaman..................................
76
5
Peran Penting DAS Cidanau ...................................................................
77
6
Alasan Menganggap Usaha Konservasi Tidak Penting ..........................
78
7
Alasan Perusahaan Membayarkan Dana PJL..........................................
81
8
Alasan Responden Menerima Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan Hasil Negosiasi .......................................................................................
87
Frekuensi Observasi dan Harapan Peluang Responden Bersedia atau TidakBersedia Menerima Peningkatan Nilai Pembayaran .....................
90
10 Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Peluang Responden Bersedia atau Tidak Bersedia Menerima Peningkatan Nilai Pembayaran .............
90
9
11 Distribusi WTA Responden Kelompok Tani Karya Muda II .................
92
12 Besaran Nilai WTA Responden ..............................................................
95
13 Total WTA (TWTA) Responden ............................................................
96
14 Hasil Analisis Nilai WTA Responden ....................................................
98
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1
Logika Sederhana Payments For Environmental Services .....................
16
2
Skema Model Valuasi Kontingensi.........................................................
22
3
Diagram Alur Kerangka Berpikir............................................................
37
4
Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin...........................................
51
5
Sebaran Responden Menurut Usia ..........................................................
52
6
Sebaran Responden Menurut Lama Pendidikan Formal .........................
53
7
Sebaran Responden Menurut Jumlah Tanggungan .................................
54
8
Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendapatan .................................
55
9
Sebaran Responden Menurut Lama Tinggal ...........................................
55
10 Sebaran Responden Menurut Status Kepemilikan Lahan .......................
56
11 Skema Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau yang Sedang Berjalan..............................................................................
69
12 Skema Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan di Masa Depan ........
71
13 Penilaian Responden terhadap Perubahan Kualitas Lingkungan setelah Adanya Program Pembayaran Jasa Lingkungan .........................
76
14 Penilaian Responden Mengenai Pentingnya Usaha Konservasi .............
78
15 Pengetahuan Responden Mengenai Pihak yang Membayarkan Pembayaran Jasa Lingkungan .................................................................
80
16 Pengetahuan Responden Mengenai Perannya dalam Program Pembayaran Jasa Lingkungan .................................................................
82
17 Penilaian Responden terhadap Program Pembayaran Jasa Lingkungan yang Sedang Berjalan.............................................................................
83
18 Pengetahuan Responden Mengenai Cara Penetapan Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan .................................................................
84
19 Penilaian Responden Mengenai Cara Penetapan Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan ......................................................................................
85
20 Kepuasan Responden terhadap Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan Hasil Negosiasi .......................................................................................
86
21 Kesediaan Responden dalam Menerima Nilai Pembayaran Sesuai Skenario yang Ditawarkan ......................................................................
88
22 Dugaan Kurva Tawaran WTA Kelompok Tani Karya Muda II .............
96
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1
Halaman
Tabulasi Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Kelompok Tani Karya Muda II, Desa Citaman, Kabupaten Serang Tahun 2009 .............
110
Tabulasi Penilaian Program Pembayaran Jasa Lingkungan Kelompok Tani Karya Muda II, Desa Citaman, Kabupaten Serang Tahun 2009 ....
112
3
Kuisioner Penelitian ................................................................................
114
4
Hasil Analisis Data..................................................................................
119
5
Hasil Uji Statistika ..................................................................................
120
2
I. 1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam terbaharukan yang memiliki
peran penting dalam menopang kehidupan manusia. Sumber daya ini memiliki aset multiguna (Fauzi, 2006). Multiguna dalam menghasilkan produk ekonomi hasil hutan seperti kayu dan turunannya juga sebagai penghasil jasa lingkungan. Jasa lingkungan adalah produk sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berupa manfaat langsung (tangible) dan atau manfaat tidak langsung (intangible), yang meliputi jasa wisata alam atau rekreasi; jasa perlindungan tata air atau hidrologi; kesuburan
tanah,
pengendalian
erosi
dan
banjir;
keindahan,
keunikan,
keanekaragaman hayati; penyerapan dan penyimpanan karbon (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten, 2006). Salah satu jasa lingkungan yang keberadaannya menyangkut hajat hidup orang banyak adalah jasa perlindungan tata air atau hidrologi. Fungsi hidrologi hutan antara lain berupa (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten, 2006): 1) pengendalian curah hujan yang jatuh di permukaan tanah sehingga mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi air permukaan, 2) penyerapan sebagian air hujan untuk kemudian disimpan dan dialirkan kembali sebagai air permukaan dan air tanah
3) pengendalian intrusi air laut ke
daratan sehingga mencegah salinitas air tanah, 4) proses air hujan dengan berbagai bahan polutan yang dikandungnya untuk kemudian dikeluarkan sebagai air baku yang layak digunakan bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup, dan 5) pengendalian banjir dan kekeringan serta mengatur sumber air untuk dapat tersedia sepanjang tahun.
Fungsi hidrologi tersebut menjadi penting karena isu yang menyertainya menyangkut masalah ketersediaan air. Air merupakan kebutuhan vital bagi kelangsungan hidup manusia, tanpa air manusia tidak mungkin dapat bertahan hidup. Kontribusi air terhadap pembangunan ekonomi pun sangat vital, awal peradaban manusia dan lahirnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dimulai dari sumber-sumber air, seperti sungai dan mata air (Fauzi, 2006). Menurut keberadaannya, air dapat dibedakan menjadi air permukaan dan air tanah. Air permukaan (surface water) dapat diperoleh langsung dari sungai, danau atau laut, yang alurnya (surface flow) kita kenal dengan istilah Daerah Aliran Sungai (DAS). Ekosistem suatu DAS biasanya terbagi ke dalam tiga bagian yaitu hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu sebagai penyedia air pada umumnya merupakan kawasan hutan. Oleh karena itu, stabilitas pemanfaatan sumber air akan sangat ditentukan oleh keutuhan dan kemampuan ekosistem serta pemeliharaan masyarakat sekitar hutan terhadap fungsi hidrologis hutan. Hal tersebut berhubungan erat dengan pola aktivitas ekonomi masyarakat yang berlangsung di daerah hulu. Kondisi masyarakat sekitar hutan yang umumnya berada pada kondisi miskin dan tertinggal cenderung akan mengorbankan hutannya untuk mempertahankan hidup. Akibatnya hutan mengalami degradasi dan pada akhirnya akan mengganggu fungsi hidrologi. Gangguan fungsi hidrologi ini berimplikasi pada menurunnya ketersediaan air baku yang secara langsung maupun tidak langsung akan dirasakan oleh pemanfaat air di bagian hilir. Berangkat dari masalah tersebut, maka diperlukan pengaturan dalam hubungan hulu dan hilir dalam hal pemanfaatan jasa lingkungan serta penerapan
pembayaran jasa lingkungan antara pemanfaat jasa (buyer) maupun penyedia jasa (seller). Hal ini bertujuan agar masyarakat hulu sebagai penyedia jasa lingkungan mendapat dukungan dana untuk kegiatan pengentasan kemiskinan dan ketertinggalan, serta mendapat insentif atas upaya konservasi hutan dan upaya tata guna lahan bagi kepentingan tata air di bagian hulu. Selain itu, agar pemanfaat jasa lingkungan di bagian hilir dapat merasakan ketersediaan air secara berkelanjutan guna mendukung berbagai aktivitas ekonomi. Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) salah satunya telah diterapkan di Provinsi Banten, khususnya pada kawasan DAS Cidanau. DAS Cidanau memiliki peran penting bagi kelangsungan aktivitas ekonomi Kota Cilegon. Kota Cilegon yang berada di bagian hilir DAS Cidanau memberikan kontribusi besar bagi perekonomian negara karena perannya sebagai pusat perindustrian. Peran tersebut tidak akan berjalan lancar apabila tidak didukung oleh kondusifnya kondisi sumber daya alam di hulu DAS Cidanau. Ketergantungan sektor-sektor industri terhadap sumber daya alam DAS Cidanau terletak pada jasa lingkungan yang dihasilkan, terutama pada jasa perlindungan tata air atau hidrologi. Hal ini disebabkan fungsi vital air bagi semua aspek kehidupan, tidak terkecuali bagi sektor industri. Peran penting DAS Cidanau lainnya adalah keberadaan Cagar Alam Rawa Danau yang merupakan merupakan kawasan endemik dan satu-satunya situs konservasi rawa pegunungan di Pulau Jawa. Diterapkannya mekanisme PJL berawal dari kekhawatiran akan kelangsungan fungsi DAS Cidanau akibat pola aktivitas ekonomi masyarakat yang telah menyebabkan terjadinya perambahan Cagar Alam Rawa Danau. Perambahan ini berimplikasi pada penurunan debit air yang signifikan dari 8.000-10.000 liter per
detik menjadi 1.700 liter per detik dan diperkirakan akan mencapai angka 1.690 liter per detik pada tahun 2006 (Forum Komunikasi DAS Cidanau, 2007). Debit air menunjukkan angka yang cenderung terus menurun, sehingga dirasa perlu untuk menerapkan model hubungan hulu-hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau telah berlangsung selama lima tahun, terhitung sejak tahun 2005. Komponen penting dari mekanisme ini adalah keterlibatan pemanfaat jasa lingkungan dan penyedia jasa lingkungan. Pemanfaat jasa lingkungan dalam hal ini adalah PT. Krakatau Tirta Industri (PT. KTI) sebagai perusahaan yang memanfaatkan air baku dari Sungai Cidanau untuk tujuan komersil. Desa Citaman, Desa Cikumbueun dan Desa Kadu Agung merupakan penyedia jasa lingkungan. Lama keterlibatan masing-masing desa dalam mengikuti kontrak pembayaran jasa lingkungan berbeda satu sama lain. Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang terikat kontrak sejak awal dibangunnya mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, yaitu pada tahun 2005. Dua desa lainnya baru terikat kontrak pada tahun 2008. Perumusan nilai pembayaran jasa lingkungan atas usaha masyarakat mengkonservasi hulu DAS Cidanau dilakukan dengan jalan negosiasi yang dalam proses pengambilan keputusannya masyarakat diwakili oleh tokoh setempat. Nilai yang didapat dari hasil negosiasi boleh jadi tidak mencerminkan nilai pembayaran yang sebenarnya diinginkan masyarakat akibat diharuskannya upaya konservasi terhadap lahan miliknya. Cara penetapan nilai pembayaran dengan jalan negosiasi ini disadari betul oleh pengelola program sebagai suatu kelemahan.
Program pembayaran jasa lingkungan di Desa Citaman telah berlangsung selama lima tahun. Tahun 2009 merupakan tahun terakhir kontrak pembayaran jasa lingkungan. Terkait rencana akan dilanjutkannya program pembayaran jasa lingkungan di lokasi model Desa Citaman, maka diperlukan perbaikan di segala bidang. Salah satunya adalah penentuan besarnya nilai pembayaran yang selama ini dirasa sebagai suatu kelemahan dalam program. Berdasarkan keadaan tersebut, peneliti menganggap perlu adanya studi yang mengkaji tentang besarnya nilai pembayaran yang bersedia diterima oleh masyarakat sebagai penyedia jasa lingkungan, terkait dengan konsep WTA masing-masing kepala keluarga. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM), salah satu metode ekonomi yang digunakan untuk menentukan nilai atau harga dari suatu barang lingkungan. Penggunaan metode tersebut akan memberikan informasi mengenai nilai ekonomi dari perbaikan kualitas jasa lingkungan hutan terhadap perlindungan tata hidrologi dengan didasarkan pada besarnya jumlah nominal yang bersedia diterima masyarakat sebagai nilai pembayaran akibat adanya upaya konservasi hutan. 1.2.
Perumusan Masalah Model hubungan hulu-hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan
(payment environment services) di DAS Cidanau dilaksanakan terhitung sejak tahun 2005. Diperlukan waktu sekitar tiga tahun untuk membangun dan mengembangkan model hubungan hulu-hilir (FKDC, 2007). Proses pembangunan dan pengembangan model hubungan hulu-hilir ini banyak dibantu oleh keberadaan Forum Komunikasi
DAS Cidanau (FKDC), organisasi yang dibangun untuk tujuan pelestarian DAS Cidanau. Komponen penting dalam implementasi model hubungan hulu-hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan, yaitu adanya penyedia jasa lingkungan (seller) dan pemanfaat jasa lingkungan (buyer). Hasil identifikasi awal menetapkan bahwa Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang dan Desa Cibojong, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang sebagai penyedia jasa lingkungan. Luas lahan yang mendapat pembayaran jasa lingkungan masing-masing sebesar 25 ha. Namun, pada tahun 2008 kontrak terhadap Desa Cibojong dicabut dan digantikan oleh dua desa, yaitu Desa Cikumbueun, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang dan Desa Kadu Agung, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Serang. Pemanfaat jasa lingkungan dalam mekanisme ini adalah PT. Krakatau Tirta Industri (PT. KTI). Nilai pembayaran jasa lingkungan yang dibayarkan oleh PT. KTI adalah sebesar Rp 175.000.000,00 untuk 25 ha per tahun. Di sisi lain dana kompensasi yang diterima oleh masyarakat hanya Rp 1.200.000,00 ha per tahun setara dengan nilai Rp. 2.400,00 per pohon per tahun (mengacu pada persyaratan PJL bahwa lahan masyarakat yang berhak menerima PJL memiliki jumlah tanaman tidak kurang dari 500 batang pohon pada tahun pertama). Nilai pembayaran jasa lingkungan kepada penyedia jasa lingkungan ditentukan dengan proses tawar-menawar antara penyedia jasa lingkungan dengan FKDC. Proses ini terjadi di awal tahun implementasi pembayaran jasa lingkungan dan penyedia jasa lingkungan yang terlibat adalah masyarakat Desa Citaman dan Desa Cibojong.
Nilai hasil negosiasi yang hingga kini digunakan sebagai dasar nilai pembayaran jasa lingkungan dirasa terlalu kecil (under estimate) bila dibandingkan dengan fungsi ekologis serta hidrologi yang dihasilkan dari upaya masyarakat untuk mengkonservasi DAS Cidanau. Penetapan nilai kompensasi yang pada prosesnya hanya diwakili oleh tokoh masyarakat, boleh jadi tidak betul-betul mencerminkan keinginan masyarakat untuk menerima kompensasi akibat diharuskannya upaya konservasi terhadap lahan mereka. Upaya konservasi memberikan konsekuensi bagi masyarakat
untuk
tidak
melakukan
aktivitas
ekonomi
yang
mengancam
keberlangsungan fungsi pohon, seperti menebang pohon. Nilai yang tidak mencerminkan keinginan masyarakat untuk menerima kompensasi dikhawatirkan akan memicu kemungkinan masyarakat kembali menebang pohon di atas lahan miliknya karena nilai ekonomi kayu lebih besar dari nilai kompensasi yang diberikan. Disadari atau tidak, mungkin faktor ini juga yang salah satunya
melatar belakangi tindakan masyarakat Desa Cibojong untuk
menebang pohon di atas lahan miliknya. Keuntungan yang diperoleh dari menebang pohon mungkin dirasa lebih besar daripada nilai kompensasi yang diterima, sehingga pada akhirnya memberikan insentif kepada masyarakat untuk kembali menebang pohon daripada melakukan upaya konservasi. Selain itu, Desa Citaman yang telah menjalani kontrak pembayaran jasa lingkungan selama lima tahun telah mencapai akhir kontraknya di tahun ini. Terkait hal tersebut, pengelola (FKDC) merasa perlu adanya perpanjangan kontrak pembayaran jasa lingkungan untuk Desa Citaman. Hal ini disebabkan pihak pengelola merasa bahwa Kelompok Tani Karya Muda II yang merupakan masyarakat penyedia
jasa sangat kooperatif terhadap program Rencana ini disambut baik oleh masyarakat penyedia jasa, namun dibutuhkan perumusan nilai pembayaran baru untuk program. Hal ini karena ketidakpuasan masyarakat akan nilai pembayaran sebelumnya dan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Hal tersebut disadari pula oleh pengelola, dan karenanya pengelola berencana untuk meningkatkan nilai pembayaran. Rencana tersebut terganjal oleh masalah berapa besar nilai pembayaran yang sesuai dan diinginkan oleh masyarakat untuk perpanjangan kontrak agar masyarakat terus bersedia melakukan usaha konservasi di atas lahan miliknya. Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian meliputi: 1.
Bagaimana mekanisme pembayaran jasa lingkungan (payment environment services) di DAS Cidanau?
2.
Bagaimana persepsi masyarakat terhadap program pembayaran jasa lingkungan yang telah berjalan di DAS Cidanau?
3.
Bagaimana kesediaan atau ketidaksediaan masyarakat dalam menerima dana kompensasi sesuai skenario yang diusulkan dalam pasar hipotetis?
4.
Berapa besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima masyarakat (WTA) serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya?
1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mendeskripsikan mekanisme pembayaran jasa lingkungan (payment environment services) di DAS Cidanau.
2.
Mengkaji persepsi masyarakat terhadap program pembayaran jasa lingkungan yang telah berlangsung di DAS Cidanau.
3.
Mengkaji kesediaan atau ketidaksediaan masyarakat dalam menerima dana kompensasi sesuai skenario yang ditawarkandalam pasar hipotetis.
4.
Mengkaji besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima masyarakat (WTA) serta faktor yang mempengaruhi nilai WTA.
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1.
Pengelola mekanisme pembayaran jasa lingkungan (FKDC), sebagai masukan untuk penentuan besarnya dana kompensasi yang ingin diterima (WTA) penyedia jasa lingkungan. Metode ini mencerminkan keinginan masyarakat untuk menerima kompensasi agar melakukan upaya konservasi sehingga diharapkan resiko kemungkinan penyedia jasa kembali menebang pohon di atas lahan miliknya karena persoalan-persoalan ekonomi tidak akan terjadi.
2.
PT. Krakatau Tirta Industri (KTI), sebagai masukan untuk melakukan penyesuaian antara keinginan membayar (WTP) PT. KTI sebagai pemanfaat jasa lingkungan dengan keinginan menerima (WTA) masyarakat sebagai penyedia jasa lingkungan.
3.
Pemerintah Daerah Provinsi Banten, sebagai masukan mengenai kebijakan yang seharusnya diambil dalam mendukung program pembayaran jasa lingkungan
4.
Bagi akademisi dan peneliti lain sebagai bahan studi litelatur bagi penelitianpenelitian selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah: 1.
Wilayah penelitian dilakukan di Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang.
2.
Objek penelitian adalah program pembayaran jasa lingkungan dan masyarakat yang tinggal di wilayah penelitian.
3.
Pasar hipotetis hanya dibangun oleh satu skenario karena peneliti ingin membuat penyedia jasa fokus terhadap permasalahan yang diangkat (nilai pembayaran yang ingin diterima masyarakat akibat diharuskannya upaya konservasi terhadap pohon yang berada di atas lahan miliknya).
4.
Penelitian hanya dilakukan pada sisi hulu dari pembayaran jasa lingkungan karena ingin melihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam program pembayaran jasa lingkungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Jasa Lingkungan Jasa lingkungan adalah produk sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
yang berupa manfaat langsung (tangible) dan/atau manfaat tidak langsung (intangible), yang meliputi antara lain jasa wisata alam atau rekreasi, jasa perlindungan tata air atau hidrologi, kesuburan tanah, pengendalian erosi dan banjir, keindahan, keunikan, keanekaragaman hayati, penyerapan dan penyimpanan karbon (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten, 2006). Wunder (2005) mengidentifikasi 4 (empat) tipe jasa lingkungan yang saat ini mengemuka, yaitu: 1.
Penyerap dan penyimpan karbon dan (carbon sequestration and storage),
2.
Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection),
3.
Perlindungan Daerah Aliran Sungai (watershed protection), dan
4.
Pelestarian keindahan bentang alam (protection of landscape beauty).
2.1.1
Jasa Lingkungan Hutan untuk Perlindungan dan Pemanfaatan Air Salah satu bentuk jasa lingkungan yang dihasilkan dari kawasan hutan adalah
jasa lingkungan terhadap sumberdaya air. Eksistensi sumberdaya air erat kaitannya dengan fungsi hidrologi. Hidrologi adalah ilmu mengenai air dan fenomena yang berkaitan dengan air (Lee, 1990). Ekosistem hutan alami umumnya merupakan sistem yang berperan penting di dalam pengaturan dan perlindungan fungsi tata air (hidrologis). Ekosistem hutan tersebut umumnya mempunyai fungsi penting dalam mengatur ketersediaan sumber daya air yang dikenal sebagai fungsi hidrologis hutan.
Fungsi hidrologis hutan tersebut antara lain berupa (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten, 2006): 1.
Pengendalian curah hujan yang jatuh di permukaan tanah sehingga mencegah terjadinya erosi dan sedimentasi air permukaan.
2.
Penyerapan sebagian air hujan untuk kemudian disimpan dan dialirkan kembali sebagai air permukaan dan air tanah.
3.
Pengendalian intrusi air laut ke daratan sehingga mencegah salinitas air tanah.
4.
Proses air hujan dengan berbagai bahan polutan yang dikandungnya untuk kemudian dikeluarkan sebagai air baku yang layak digunakan bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup.
5.
Pengendalian banjir dan kekeringan serta mengatur sumber air untuk dapat tersedia sepanjang tahun. Menurut Pagiola et al. (2002) jasa perlindungan Daerah Aliran Sungai
mencakup: 1.
Pengaturan aliran air (water flow), pemeliharaan aliran musim kering dan mengontrol banjir.
2.
Pemeliharaan kualitas air, meminimalisir beban endapan (sediment load), beban nutrient (misalnya, phosphorous dan nitrogen), beban kimia, dan kadar garam.
3.
Kontrol terhadap erosi tanah dan sedimentasi.
4.
Penurunan salinitas tanah dan/atau pengaturan level air tanah.
5.
Pemeliharaan habitat akuatik.
2.2.
Mekanisme Berbasis Konservasi Hutan
Pasar
(Market-Based
Mechanisms)
untuk
Tujuan mendasar dari mekanisme berbasis pasar adalah untuk memperbaiki kegagalan pasar. Mekanisme dengan menjual jasa yang disediakan oleh hutan, baik secara perorangan atau dalam suatu kelompok bertujuan untuk menyebabkan timbulnya dana yang kemudian bisa dipakai baik untuk (Pagiola et al, 2002) : 1.
Meningkatkan keuntungan konservasi secara pribadi menuju pengelolaan hutan perseorangan, dan juga mengubah insentif mereka; atau
2.
Menyebabkan timbulnya sumber penghasilan yang bisa digunakan untuk membiayai usaha konservasi oleh publik atau privat conservation groups. Pembayaran ini pada hakekatnya mentransfer beberapa keuntungan yang
diterima oleh pemanfaat jasa lingkungan kepada pengelola hutan lokal. Akibatnya, total keuntungan dari mengkonservasi hutan dirasa meningkat oleh pengelola hutan lokal. Dengan asumsi bahwa keuntungan mengubah hutan untuk penggunaan lain tidak mengalami perubahan, pengelola hutan lokal akan memilih untuk memelihara hutan. Lebih lanjut, pendukung dari pasar jasa lingkungan hutan pada kebanyakan kasus memperdebatkan, bahwa yang menyediakan jasa (sebagian besar pengguna tanah di pedesaan atau mainly rural land users) lebih miskin daripada penerima atau konsumen jasa lingkungan. Pada kenyataannya klaim terhadap hal tersebut benar, dan mekanisme keuangan baru sebenarnya memindahkan sumber penghasilan dari konsumen jasa lingkungan hutan yang relatif kaya kepada penyedia jasa yang relatif miskin.
2.3.
Pembayaran Jasa Lingkungan
2.3.1. Pengertian Pembayaran Jasa Lingkungan Secara umum, pembayaran jasa lingkungan (payment environment services) didefinisikan sebagai mekanisme kompensasi di mana penyedia jasa (service providers) dibayar oleh penerima jasa (service users) (The Regional Forum on Payment Schemes for Environmental Services in Watersheds, the Third Latin American Congress on Watershed Management, 2003)1. Menurut Wunder (2005), pembayaran jasa lingkungan didefinisikan sebagai sebuah transaksi sukarela (voluntary) yang melibatkan paling tidak satu penjual (one seller), satu pembeli (one buyer) dan jasa lingkungan yang terdifinisi dengan baik (well-defined environmental service), di mana di sini berlaku pula prinsip-prinsip bisnis “hanya membayar bila jasa telah diterima”. Sebuah pembayaran jasa lingkungan bisa didefinisikan sebagai sebuah transaksi yang sukarela atau mengikat secara hukum di mana sebuah jasa lingkungan yang jelas dan bisa teridentifikasi dibeli oleh pembeli dari penyedia jasa lingkungan2. 2.3.2
Prinsip Pembayaran Jasa Lingkungan Bentuk penggunaan lahan yang berbeda bisa menyebabkan timbulnya
berbagai jenis jasa lingkungan (Pagiola dan Platais, 2002). Penggunaan lahan dengan level perlindungan pohon yang tinggi, misalnya, bisa menolong dalam hal pengaturan aliran air di DAS dan mengurangi risiko banjir atau longsor. Namun pemilik lahan biasanya tidak mendapat kompensasi apa pun untuk jasa lingkungan seperti itu.
1 2
http://www.esp.or.id/wp-content/uploads/pdf/fs/esf-en.pdf. Diakses pada 24 Agustus 2009 pukul 04.26 http://www.esp.or.id/index.php/program/sf/sf-3/sf-3-1/. Diakses pada 24 Agustus 2009 pukul 04.30
Akibatnya, mereka biasanya mengabaikan masyarakat hilir dalam membuat keputusan terhadap penggunaan lahan miliknya. Sering kali, hal ini dapat menyebabkan keputusan penggunaan lahan yang secara sosial sub-optimal. Respon terhadap masalah ini cenderung sering mengandalkan usaha perbaikan, seperti memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh banjir atau pembuatan yang dimaksudkan untuk melindungi daerah hilir terhadap banjir, atau atas regulasi yang ditujukan untuk menentukan pola khusus penggunaan lahan. Pendekatan ini pada kenyataannya tidak ada satu pun yang terbukti efektif. Usaha perbaikan sering tidak sempurna dan mahal, bahkan lebih mahal daripada tindakan pencegahan. Pendekatan regulasi menjadi sulit dalam hal enforcement dan memaksakan biaya tinggi pada pemilik lahan miskin dengan mencegah mereka untuk tidak melakukan aktivitas yang menguntungkan secara pribadi (Pagiola dan Platais, 2002). Beberapa tahun belakangan ini, pengakuan masalah ini dan kegagalan pendekatan sebelumnya untuk menangani masalah ini menyebabkan timbulnya usaha untuk mengembangkan sistem pemberian ganti rugi (payment of environmental services) kepada pemilik lahan untuk jasa lingkungan
yang dihasilkan. Dengan
begitu, pemilik lahan akan mempunyai insentif langsung untuk mempertimbangkan jasa lingkungan tersebut dalam menentukan keputusan terhadap penggunaan lahan miliknya, dan hal tersebut menghasilkan lebih banyak penggunaan lahan secara sosial-optimal (Pagiola dan Platais, 2002). Prinsip penting dari payment of environmental services adalah bahwa yang menyediakan jasa lingkungan sebaiknya menerima kompensasi atas usaha konservasi
yang dilakukan dan bahwa yang menerima jasa lingkungan sebaiknya membayar penyediaan mereka (Pagiola dan Platais, 2002). Pendekatan ini lebih lanjut memberikan keuntungan dalam hal menyediakan tambahan sumber pendapatan bagi pemilik lahan miskin, dan menolong untuk memperbaiki mata pencaharian mereka. Gambar 2 menjelaskan ilmu ekonomi mengenai metode ini.
Conversion to pasture
Conservation with service payment
$/ha Keuntungan bagi pemilik lahan
conservation
Payment of services
Biaya bagi masyarakat hilir
Sumber: Pagiola dan Platais, 2002
Gambar 1. Logika Sederhana Payments for Environmental Services Seperti yang terlihat pada gambar, pemilik lahan mendapat sedikit keuntungan dari usaha konservasi hutan (forest conservation), bahkan kurang dari keuntungan yang akan mereka terima dari alternatif penggunaan lahan lain, seperti konversi untuk lahan gembala (conversion to pasture). Di lain pihak, deforestasi dapatmembebankan biaya terhadap penduduk hilir, bagi siapa yang tidak mendapat keuntungan dari jasa ekologi seperti water filtration. Pembayaran oleh penduduk hilir dapat membuat
usaha konservasi menjadi pilihan yang lebih menarik bagi pemilik lahan. Pembayaran secara nyata harus lebih dari tambahan keuntungan yeng diterima pemilik lahan dari penggunaan alternatif penggunaan lain (atau pemilik lahan tidak akan merubah prilaku mereka) dan kurang dari nilai keuntungan untuk penduduk hilir (atau penduduk hilir tidak akan bersedia membayarnya). 2.4.
Persepsi Persepsi dalam arti sempit merupakan penglihatan, bagaimana cara seseorang
melihat sesuatu. Sedangkan dalam arti luas, persepsi merupakan pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavitt, 1978). Persepsi seseorang ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan mereka. Orang-orang akan melihat sesuatu secara berbeda satu sama lain. Oleh karena itu persepsi merupakan faktor penentu yang utama dari perilaku. Menurut Sarwono (1999), persepsi adalah proses pencarian informasi untuk dipahami. Selanjutnya Sarwono (1999) juga menyatakan bahwa persepsi seseorang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat dalam individu, seperti jenis kelamin, perbedaan generasi (umur), motif, tingkat pendidikan, dan tingkat pengetahuan. Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari lingkungan di luar yang mempengaruhi persepsi seseorang, seperti lingkungan sosial budaya (misalnya suku bangsa) dan media komunikasi dimana seseorang memperoleh informasi tentang sesuatu. Menurut Atkinson (1983), persepsi merupakan proses dimana kita mengorganisasi dan menafsirkan pola stimulus dalam lingkungan. Studi tentang persepsi sangat berkaitan dengan studi tentang proses kognitif, seperti ingatan dan
pikiran. Fenomena persepsi berhubungan dengan bagaimana satu bagian dari stimulus muncul sehubungan dengan stimulus lainnya. 2.5.
Teori Ekonomi Mengenai Barang-Barang Lingkungan Barang publik merupakan suatu jenis barang dimana setiap orang dapat
menikmati utilitas yang diberikannya dan orang tersebut tidak dapat dikeluarkan dari komunitas pengguna, dengan kata lain barang publik dapat juga diartikan sebagai barang yang tidak ada seorang pun dapat dikecualikan dalam pemakaiannya. Berdasarkan ciri-cirinya barang publik memiliki dua sifat dominan, diantaranya sebagai berikut (Fauzi, 2006): 1.
Non-Rivalry (tidak ada ketersaingan atau non-divisible). Barang publik memiliki sifat non-rivalry dalam hal mengkonsumsinya. Artinya, konsumsi seseorang terhadap barang publik tidak akan mengurangi konsumsi orang lain terhadap barang yang sama. Seperti udara yang kita hirup, dalam derajat tertentu tidak berkurang bagi orang lain untuk menghirupnya.
2.
Non-Excludable (tidak ada larangan). Sifat kedua dari barang publik adalah non-excludable, artinya sulit untuk melarang pihak lain untuk mengkonsumsi barang yang sama. Seperti pada saat kita menikmati pemandangan laut yang indah di pantai misalnya, kita tidak bisa atau sulit melarang orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama karena pemandangan adalah public goods.
Berdasarkan sifat diatas, dapat kita simpulkan bahwa kebanyakan barang publik adalah berupa barang lingkungan. Nilai manfaat perubahan suatu barang publik dapat diketahui dengan memasukkan seluruh unsur manfaat yang ada padanya, inilah yang
disebut sebagai “nilai total”. Berikut ini akan dijelaskan komponen-komponen dari nilai total ekonomi, diantaranya adalah : 1. Nilai kegunaan konsumtif (use value) Merupakan nilai yang diperoleh atas pemanfaatan dari sumber daya alam. Use value, seperti terlihat dalam gambar 1. terdiri dari: a. Nilai guna langsung (direct use) merupakan nilai yang diperoleh individu dari pemanfaatan
langsung
sumberdaya
alam
dimana
individu
tersebut
berhubungan langsung dengan sumberdaya alam dan lingkungan. b. Nilai guna tak langsung (indirect use) merupakan nilai yang didapat atau dirasakan secara tidak langsung dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. 2. Nilai kegunaan non konsumtif ( non-use value) Merupakan nilai sumberdaya alam dan lingkungan yang muncul karena keberadaannya meskipun tidak dikonsumsi secara langsung. Nilai ini lebih sulit untuk diukur karena didasarkan pada preferensi individual terhadap sumberdaya alam dan lingkungan daripada pemanfaatan langsung. Non-use value, seperti terlihat dalam gambar terdiri dari: a. Nilai keberadaan (existence value) merupakan nilai yang didasarkan pada terpeliharanya SDA tanpa menghiraukan manfaat dari keberadaan SDAL tersebut. b. Nilai warisan (bequest value) merupakan nilai yang diberikan oleh generasi saat ini terhadap SDAL agar dapat diwariskan pada generasi mendatang.
Selain kedua manfaat tersebut ada juga nilai lain yaitu nilai pilihan (option value), yaitu nilai pemeliharaan SDAL untuk kemungkinan dimanfaatkan pada masa yang akan datang. 2.6.
Metode Estimasi Penilaian Lingkungan Barang dan jasa lingkungan merupakan barang non market value. Terdapat
dua kelompok utama pendekatan untuk menilai dan mengukur barang tersebut, yaitu : (1) revealed preference approaches (revealed preference techniques), dan (2) stated preference approaches (expressed preference techniques) (Garrod dan Willis, 1999). Pendekatan revealed preference merupakan pendekatan untuk melihat bagaimana masyarakat membuat keputusan atas aktivitas-aktivitas yang ’menghormati’ dan ramah terhadap kegunaan atau dampak lingkungan. Fokus pendekatan ini mengukur nilai kegunaan langsung (direct use value) dan nilai kegunaan tidak langsung (indirect use value). Sedangkan pendekatan stated preference merupakan pendekatan yang menggunakan pertanyaan nilai kegunaan langsung dari individu-individu, melalui teknik pengambilan sampel dengan survey. Teknik ini juga dapat digunakan untuk mengukur nilai kegunaan langsung (direct use) dan nilai kegunaan tidak langsung (indirect use values). Metode valuasi kontingensi (CVM) merupakan salah satu metode yang termasuk kedalam pendekatan stated preference approaches (expressed preference techniques), disamping metode discrete choice dan conjoint analysis. CVM dapat digunakan untuk menghitung nilai-nilai (harga) manfaat dan kerugian (kerusakan) dari barang-barang yang tidak memiliki pasar (public goods), seperti barang lingkungan. Menghitung nilai CVM ini dapat dilakukan dengan menanyakan
langsung kepada individu atau masyarakat sejauh mana masyarakat bersedia membayar untuk perubahan kualitas lingkungan, seperti pengurangan polusi udara, melindungi spesies tertentu, pencadangan area hutan, kontaminasi dari kotoran aliran air sungai, dan sebagainya. 2.6.1. Konsep Contingent Valuation Method (CVM) Berbagai definisi dan pengertian tentang CVM ini dinyatakan oleh berbagai ahli ekonomi sumberdaya dan lingkungan. Hanley dan Spash (1993) menyatakan bahwa: “CVM is enables economic values to be estimated for a wide range of commodities not traded ini markets”. Yakin (1997) dalam Intan et al. (2008) menyatakan bahwa CVM adalah metode teknik survei untuk menanyakan penduduk tentang nilai atau harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki pasar, seperti barang lingkungan, jika pasarnya betul-betul tersedia atau jika ada cara-cara pembayaran lain seperti pajak diterapkan. Berdasarkan pernyataan diatas jelas bahwa CVM menggunakan pendekatan secara langsung yang pada dasarnya menanyakan kepada masyarakat berapa besar maksimum WTP untuk manfaat tambahan dan/atau berapa besarnya minimum WTA sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan. Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai (harga) atau penawaran yang mendekati keadaan yang sebenarnya jika pasar dari barang tersebut benar-benar ada. Oleh karena itu, pasar hipotetik (kuesioner dan responden) harus sebisa mungkin mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus mengenal dengan baik ’barang’ yang ditanyakan dalam kuesioner dan alat hipotetik yang digunakan untuk
pembayaran, seperti pajak dan biaya masuk (retribusi) secara langsung yang dikenal sebagai alat pembayaran. 2.6.2. Tahapan Pekerjaan Dalam CVM Skema pelaksanaan perhitungan barang atau jasa lingkungan dengan menggunakan metode CVM dapat dilihat pada Gambar 2. CVM
Mendesain instrumen 1. Penjelasan produk 2. Pertanyaan mengenai WTP/WTA 3. Pertanyaan karakteristik Sumber:
Administrasi survei 1. Menetapkan metode pengambilan sampel 2. Memperhatikan efektivitas penyebaran
Interpretasi hasil survei 1. Analisis deskriptif 2. Analisis ekonometrika
Widayanto (2001) dalam Intan et al. (2008)
Gambar 2. Skema Metode Valuasi Kontingensi Gambar 2 menunjukkan bahwa untuk mendapatkan penilaian CVM yang terbaik maka harus dilakukan minimal tiga tahapan pekerjaan, yaitu: 1.
Mendesain dan membangun instrumen survei (kuesioner) Tahap ini terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1)
Penjelasan tentang barang atau jasa lingkungan yang akan dinilai. Penjelasan harus dilakukan secara nyata, detail dan informatif. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan persepsi individu terhadap barang atau jasa yang akan dinilainya. Informasi yang disampaikan secara detail termasuk di dalamnya jenis dan perbedaan kualitas dari berbagai jenis barang atau jasa lingkungan. Penjelasan yang disampaikan dapat secara
deskriptif tulisan ataupun disertai dengan bantuan foto, diagram, peta dan skema dengan bahasa yang sederhana. 2)
Penjelasan tentang WTP atau WTA individu. Setelah adanya pemahaman individu terhadap barang atau jasa lingkungan maka individu juga harus paham mengenai WTP atau WTA yang akan dikeluarkannya. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah individu tersebut bersedia membayar ataukah bersedia menerima kompensasi atas kerugian yang dideritanya serta pertanyaan berapa besar WTP atau WTA yang akan dikeluarkan atau diterimanya.
3)
Penjelasan tentang karakteristik maupun kondisi sosio demografi individu. Hal ini sangat dibutuhkan guna mengenai alasan dari setiap individu menerima maupun menolak membayar atau menerima kompensasi serta alasan yang melatarbelakangi besar kecilnya nilai WTP atau WTA tersebut. Karakteristik individu misalnya menyangkut jenis kelamin, umur, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, jumlah tanggungan dalam rumahtangga, tingkat pendidikan, lama bekerja, pengalaman bekerja di bidang yang bersangkutan, dan lain-lain. Sedangkan kondisi sosio demografi misalnya ketersediaan fasilitas umum, kondisi jalan, letak rumah, kondisi lingkungan, yang dinilai, jarak desa-kota, jarak ke tempat bekerja, dan sebagainya. Faktor-faktor tersebut diduga mempengaruhi kesediaan membayar atau menerima kompensasi maupun besar kecilnya nilai WTP/WTA.
2.
Administrasi Survei Hal yang perlu diperhatikan dalam administrasi survey adalah:
1)
Metode dalam pengambilan sampel Harus ditentukan secara jelas populasi yang diteliti serta sampel yang akan diambil.
Kesalahan
dalam
penentuan
sampel
dapat
menyebabkan
interpretasi yang salah terhadap populasi yang diteliti. Demikian juga kesalahan dalam menentukan jumlah sampel yang diambil (sampel terlalu sedikit) dapat menyebabkan kekurangtepatan dalam menggambarkan populasi yang diteliti. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa semakin besar jumlah sampel maka akan menghasilkan interpretasi yang lebih baik. Namun, penentuan sampel harus meliputi jumlah serta cara pengambilannya yang tepat. 2)
Tingkat efektivitas teknik penyebaran kuesioner (response rate), Yaitu suatu indeks rasio antara jumlah kuesioner yang dibagikan kepada individu-individu dengan jumlah kuesioner yang dikirim kembali, jika pengisian kuesioner dilakukan melalui surat-menyurat. Penyebaran
dan
pengembalian kuesioner yang telah diisi dapat juga dilakukan melalui email atau internet. Untuk itu, response rate juga dapat dilakukan dengan menghitung jumlah kuesioner yang dikirim kembali. 3. Interpretasi Hasil Survei Interpretasi ini meliputi deskripsi ukuran populasi yang ada, jumlah sampel yang akan diambil dan sedapat mungkin mewakili dari populasi yang ada, nilai tengah atau nilai rata-rata WTP atau WTA serta informasi-informasi lain dari berbagai dimensi yang lebih luas dari survei valuasi kontingensi ini. Sebagian besar referensi menyebutkan khusus untuk penelitian yang
menggunakan metode kontingensi ini, bahwa semakin besar jumlah sampel yang mewakili populasi diambil (dirandom) maka semakin baik hasil penelitian yang diperolehnya karena semakin mendekati kondisi yang sesungguhnya. Umumnya jumlah sampel yang dapat menghasilkan hasil dengan baik berkisar antara 500 responden hingga 1.000 responden, yang mewakili unit rumah tangga. 2.7.
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau masih
sedikit ditemukan. Salah satu peneliti yang melakukan penelitian mengenai pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau yaitu Agus Suryawan dari Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Suryawan (2005) melakukan penelitian dengan judul “Penentuan Dasar Biaya Kompensasi untuk Pembayaran Jasa Lingkungan dengan Memanfaatkan Tekhnologi Inderaja (Studi Kasus: DAS Cidanau, Banten). Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besar perubahan lahan yang terjadi dengan membandingkan manfaat kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat DAS Cidanau beserta berapa besar dasar penentuan biaya kegiatan yang harus dibayarkan untuk kegiatan rehabilitasi dengan penanaman kebun campuran. Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa ekonomi untuk kegiatan penggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat dan perbandingan hasil klasifikasi terbimbing (supervised classification). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan kebun campuran memiliki kelayakan lebih baik dibandingkan pertanian monokultur padi. Hal ini ditandai dengan besarnya nilai Net Present Value
(NPV) yang dihasilkan mencapai RP 40.584.168,00
(BCR 6,624) berbeda
jauh dengan kegiatan monokultur padi yang hanya menghasilkan NPV Rp 1.382.639,00 (BCR 1,04). Diketahui dari hasil citra satelit bahwa perubahan luas cukup besar pada wilayah padang rumput rawa di Cagar Alam Rawa Danau yang berubah menjadi areal persawahan mencapai 1.404,54 ha, sedangkan luas hutan relatif satabil. Penentuan biaya kompensasi didasarkan atas matriks perubahan penggunaan lahan yang dikalikan dengan biaya rehabilitasi per ha. Besar biaya rehabilitasi yang dipergunakan dalam penelitian ini sama untuk berbagai perubahan lahan, yaitu sebesar Rp 23.709.600,00/ha. Akan tetapi besar biaya kompensasi sesungguhnya akan sangat tergantung dari jenis perubahan lahan yang terjadi serta biaya rehabilitasi untuk jenis tersebut. Penelitian ini pada intinya membahas hal yang sama dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Adapun penelitian yang dimaksud adalah mengenai penentuan dasar nilai pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau. Hal yang membedakan penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan penulis terletak pada metode penelitian. Metode penelitian yang digunakan oleh penulis untuk menentukan nilai pembayaran jasa lingkungan adalah tahapan Contingent Valuation Method (CVM).
III. 3.1.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Teoritis
3.1.1. Asumsi dalam Pendekatan Willingness to Accept (WTA) Masyarakat Asumsi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengumpulan nilai WTA dari masing-masing responden adalah: 1. Responden merupakan masyarakat yang terletak di lokasi model penyedia jasa lingkungan dan menerima pembayaran jasa lingkungan. 2. PT. KTI sebagai pemanfaat jasa lingkungan bersedia memberikan dana kompensasi atas upaya konservasi yang harus dilakukan Kelompok Tani Karya Muda II. 3. Responden dipilih dari penduduk yang relevan dan merupakan kepala keluarga dari masing-masing rumah tangga. 4. Harga yang ditawarkan kepada masyarakat dalam penentuan harga penawaran dimulai dari Rp 2.400,00 3.1.2. Metode Mempertanyakan Nilai Willingness to Accept (Elicitation Method) Terdapat lima metode bertanya yang digunakan untuk memperoleh penawaran besarnya nilai WTP/WTA responden (Hanley dan Spash,1993), yaitu: 1. Metode tawar-menawar (Bidding game) Metode mempertanyakan nilai WTA atau WTP dimana kepada konsumen ditawarkan harga yang semakin meningkat sampai nilai maksimum yang mampu dibayarnya. 2.
Metode Pertanyaan Terbuka (Open-ended question)
Metode ini dilakukan dengan menanyakan langsung kepada responden berapa jumlah maksimum uang yang ingin dibayarkan atau jumlah minimal uang yang ingin diterima akibat perubahan kualitas lingkungan. Kelebihan metode ini responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa mempengaruhi nilai awal yang ditawarkan sehingga tidak akan menimbulkan bias titik awal. Kelemahan metode ini terletak pada kurangnya akurasi nilai yang diberikan dan terlalu besar variasinya, selain itu responden seringkali menemukan kesulitan untuk menjawab pertanyaan yang diberikan terutama bagi mereka yang tidak memiliki pengalaman mengenai pertanyaan yang ada dalam kuesioner. 3.
Metode Pertanyaan Tertutup (Close-ended question) Metode pertanyaan tidak jauh berbeda dengan Open-ended question hanya saja bentuk pertanyaannya tertutup. Setiap individu ditanyakan nilai maksimum WTP dengan beberapa nilai yang disarankan kepada mereka, sehingga responden tinggal memberi jawaban sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka.
4. Metode Kartu Pembayaran (Payment card) Metode pertanyaan melalui kartu pembayaran, dimana pada metode ini peneliti menawarkan kepada responden suatu kartu yang terdiri dari berbagai kemampuan untuk membayar atau kesediaan untuk menerima. Responden dapat memilih nilai maksimal atau nilai minimal yang sesuai dengan preferensinya. Tujuan awal dikembangkannya metode ini adalah untuk mengatasi bias titik awal dari metode tawar-menawar. Untuk mengembangkan kualitas metode ini terkadang diberikan semacam nilai patokan (benchmark) yang menggambarkan nilai yang dikeluarkan oleh seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu bagi
barang lingkungan yang lain. Kelebihan metode ini adalah memberikan semacam stimulan untuk membantu responden berpikir lebih leluasa tentang nilai maksimum atau nilai minimum yang akan diberikan tanpa harus terintimidasi dengan nilai tertentu, seperti pada metode tawar menawar. 5.
Referendum Metode yang menggunakan sebuah alat pembayaran yang disarankan kepada responden, baik responden tersebut setuju maupun tidak setuju (ya/tidak). Setiap jawaban yang diberikan harus dianalisis dengan menggunakan teknik respon biner. Selain keempat metode tersebut, terdapat pula metode bertanya Contingent
Ranking. Dengan metode ini responden tidak ditanya secara langsung berapa nilai yang ingin dibayarkan atau diterima, tetapi responden diberi pilihan rangking dari kombinasi kualitas lingkungan yang berbeda dengan nilai moneter yang berbeda. Responden diminta mengurut beberapa pilihan dari yang paling disukai. Metode ini menggunakan skala ordinal sehingga diperlukan pengetahuan statistik yang sangat baik dan jumlah sampel yang besar. 3.1.3. Langkah-Langkah untuk Mengetahui Nilai Willingness to Accept Masyarakat Nilai WTA masyarakat dalam penelitian ini dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan CVM. Pendekatan CVM terdiri dari enam tahap pekerjaan (Hanley and Spash, 1993), yaitu: 1.
Membangun Pasar Hipotetis
Pasar hipotetis dalam penelitian ini dibangun atas dasar rendahnya nilai kompensasi yang dibayarkan dalam mekanisme PJL bila dibandingkan dengan nilai fungsi jasa lingkungan akibat adanya usaha konservasi yang dilakukan masyarakat. Pengelola DAS Cidanau telah menerapkan mekanisme PJL terhitung sejak tahun 2005 di Desa Citaman. Mekanisme ini bertujuan untuk menjaga fungsi DAS Cidanau, terutama fungsinya dalam menjamin ketersediaan air. Konsekuensi dari tujuan tersebut, masyarakat diharuskan untuk melakukan upaya konservasi terhadap pohon yang berada di atas lahan miliknya. Sebagai bentuk pertanggungjawaban
atas
hal
tersebut,
masyarakat
mendapatkan
dana
kompensasi sebesar Rp 1.200.000,00 per ha per tahun atau setara dengan Rp 2.400,00 per pohon per tahun (mengacu pada persyaratan persyaratan program PJL, bahwa lahan masyarakat yang berhak menerima PJL memiliki jumlah tanaman tidak kurang dari 500 batang pohon pada tahun pertama). Nilai kompensasi tersebut dirasa terlalu rendah dan tidak mewakili keinginan seluruh masyarakat karena dalam proses penetapannya masyarakat hanya diwakili oleh tokoh setempat bukan didasarkan atas keinginan masyarakat. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memicu keinginan masyarakat untuk kembali pada pola kehidupan mereka sebelumnya yang berpotensi mengancam kelestarian hutan sepanjang DAS Cidanau. Oleh karena itu, kebijakan peningkatkan nilai kompensasi yang didasarkan pada keinginan masyarakat menjadi penting untuk dilakukan dalam rangka pengelolaan DAS Cidanau yang lebih baik. Selanjutnya, pasar hipotetis dibentuk dalam skenario sebagai berikut, Skenario:
Agar pengelolaan DAS Cidanau lebih baik, akan diajukan suatu kebijakan baru untuk meningkatkan dana kompensasi pembayaran jasa lingkungan berdasarkan keinginan masyarakat dengan persyaratan bahwa masyarakat harus meningkatkan upaya konservasi terhadap lahan mereka di lokasi model penyedia jasa lingkungan. Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan insentif masyarakat dalam usaha mengkonservasi pohon yang berada di atas lahan miliknya sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lokasi model penyedia jasa lingkungan. Sehubungan dengan hal itu akan ditanyakan apakah masyarakat bersedia untuk menerima kebijakan tersebut dan berapa besar dana kompensasi yang sebenarnya bersedia diterima masyarakat. 2. Memperoleh Nilai Tawaran Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode referendum tertutup (dishotomous
choice).
Metode
ini
dipilih
karena
dapat
memudahkan
pengklasifikasian responden yang memiliki kecenderungan bersedia menerima pembayaran jasa lingkungan dengan yang tidak bersedia, sehingga dari kemungkinan jawaban “ya” untuk setiap nilai yang diberikan dapat diestimasi. 3. Menghitung Dugaan Nilai Rataan WTA (Estimating Mean WTA) Dugaan rataan WTA dihitung dengan rumus: n
EWTA = dimana: EWTA
∑WTAx
i
t =0
n = Dugaan rataan WTA
= Jumlah tiap data = Jumlah responden = Responden ke-i yang bersedia menerima dan kompensasi (i = 1, 2, …, k)
xi n i 4.
Menduga Kurva Penawaran Pendugaan kurva penawaran akan dilakukan menggunakan persamaan berikut ini: WTA
=
f(PDD, PDPT, PJL, TANG, LMTG, POHON, SKL, BIAYA, DAKOM, PUAS, ε)
dimana: WTA PDD PDPT PJL TANG LMTG POHON SKL BIAYA DAKOM PUAS 5.
= = = = = = = =
Nilai WTA responden Tingkat pendidikan (tahun) Tingkat pendapatan rumah tangga(rupiah/bulan) Nilai pembayaran jasa lingkungan yang diterima (rupiah/tahun) Jumlah tanggungan (orang) Lama tinggal (tahun) Jumlah pohon yang dilibatkan dalam program PJL (batang) Status kepemilikan lahan yang digunakan untuk berpartisipasi dalam program PJL (bernilai 1 untuk ”milik pribadi” dan bernilai 0 untuk ”bagi hasil”) = Ada tidaknya biaya yang harus dikeluarkan responden untuk mengkonservasi pohon yang berada di atas lahan miliknya (bernilai 1 untuk “ada” dan bernilai 0 untuk “tidak ada”) = Penilaian responden terhadap cara penetapan nilai pembayaran (bernilai 1 untuk “baik” dan bernilai 0 untuk “buruk”) = Kepuasan responden terhadap besarnya nilai pembayaran (bernilai 1 untuk ”puas” dan bernilai 0 untuk ”tidak puas”)
Menjumlahkan Data Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai rata-rata penawaran dikonversikan terhadap populasi yang dimaksud. Setelah menduga nilai tengah WTA maka dapat diduga nilai total WTA dari masyarakat dengan menggunakan rumus:
n
TWTA =
∑WTA n i
t =0
dimana: TWTA WTAi ni i
= = = =
i
Total WTA WTA individu ke-i Jumlah sampel ke-i yang bersedia menerima sebesar WTA Responden ke-i yang bersedia menerima dana kompensasi (i = 1, 2, 3, …, k)
6. Mengevalusi Penggunaaan CVM Evalusi penggunaan CVM merupakan penilaian sejauh mana penggunaan CVM telah berhasil. Tahap ini memerlukan pendekatan seberapa besar tingkat keberhasilan dalam pengaplikasian CVM. Pelaksanaan model CVM dapat dievaluasi dengan melihat tingkat keandalan (reliability) fungsi WTA. Uji dapat dilakukan dengan uji keandalan yang melihat nilai R-squares (R2) dari model OLS (Ordinary Least Square) WTA. 3.1.4. Analisis Regresi Linier Berganda Terdapat hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat pada regresi berganda. Hubungan kedua variabel memungkinkan seseorang untuk memprediksi secara akurat variabel terikat berdasarkan pengetahuan variabel bebas. Namun situasi peramalan di kehidupan nyata tidaklah begitu sederhana, diperlukan lebih dari satu variabel secara akurat. Model regresi yang terdiri lebih dari satu variabel bebas disebut model regresi berganda. Metode analisis berganda merupakan metode analisis yang didasarkan pada metode Ordinary Least Square (OLS). Adapun sifat-sifat OLS adalah (Gujarati, 2003): (1) penaksir OLS tidak bias, (2) penaksir OLS mempunyai varian yang
minimum, (3) konsisten, (4) efisien, dan (5) linier. Menurut Gujarati (2003) analisis regresi berganda digunakan untuk membuat model pendugaan terhadap nilai suatu parameter (variabel penjelas yang diamati). Model yang dihasilkan dapat digunakan sebagai penduga yang baik jika asumsi-asumsi berikut dapat dipenuhi: 1.
E (ui) = 0, untuk setiap i, dimana i= 1,2,….,n. artinya rata-rata galat adalah nol, artinya nilai yang diharapkan bersyarat dari ui tergantung pada variabel bebas tertentu adalah nol.
2.
Cov (ui,uj) = 0, i ≠ j. artinya covarian (Ui,Uj) = 0, dengan kata lain tidak ada autokorelasi antara galat yang satu dengan yang lain.
3.
Var (ui) = σ2, untuk setiap i, dimana i = 1,2,…., n. artinya setiap galat memiliki varian yang sama (asumsi homoskedastisitas).
4.
Cov (ui, X1i) = cov (ui, X2i) = 0. Artinya kovarian setiap galat memiliki varian yang sama. Setiap variabel bebas tercakup dalam persamaan linier berganda.
5.
Tidak ada multikolineritas, yang berarti tidak terdapat hubungan linier yang pasti antara variabel yang menjelaskan, atau variabel penjelas harus saling bebas. Variabel terikat dalam regresi berganda dapat diwakili oleh Y dan variabel
bebas oleh X. Variabel terikatnya dinyatakan dengan Y, dan variabel bebasnya dinyatakan dengan X1, X2 ,. . ., Xk. Hubungan antara X dan Y dapat disebut sebagai model regresi berganda. Pada model regresi berganda, model mean WTA dibuat menjadi fungsi linier dari variabel penjelas (explanatory). Regresi berganda yang menghubungkan variabel dependen Y dengan beberapa variabel X1, X2 ,. . ., Xk memiliki formula secara umum (Ramanathan, 1997):
Yi = α+β1Xt1 + β 2Xt2 + ... + β kXtk + ui Tanda ’i’ merupakan jumlah observasi dan bervariasi dari satu sampai n. Pada regresi ini diasumsikan terdapat term gangguan berupa ui atau biasa dikenal sebagai komponen galat. Komponen ini merupakan variabel acak yang tidak teramati, dihitung sebagai akibat dampak faktor lain pada respon dengan masing-masingnya terdistribusi normal. Koefisien regresi dari masing-masing variabel independen dan akan mempengaruhi variabel dependennya secara positif maupun negatif. 3.2.
Kerangka Operasional DAS Cidanau mempunyai peran penting bagi pembangunan ekonomi di
wilayah barat Provinsi Banten, khususnya Kota Cilegon. Dua hal yang menjadikannya penting adalah perannya sebagai penyedia air baku bagi berbagai industri di Kota Cilegon dan keberadaan Cagar Alam Rawa Danau yang merupakan situs konservasi rawa pegunungan satu-satunya yang masih tersisa di Pulau Jawa. Pola aktivitas ekonomi masyarakat yang menyebabkan terjadinya perambahan hutan di daerah hulu telah mengakibatkan penurunan debit air secara signifikan setiap tahunnya, sehingga ketersediaan air menunjukkan kecenderungan yang terus menurun. Padahal di sisi lain kebutuhan industri akan ketersediaan air terus mengalami peningkatan. Berangkat dari masalah tersebut muncul gagasan mengenai hubungan hulu-hilir dengan program pembayaran jasa lingkungan yang diharapkan menjadi solusi untuk pengelolaan DAS Cidanau secara umum, khususnya untuk keberlanjutan ketersediaan air. Program pembayaran jasa lingkungan ini telah berjalan selama lima tahun, terhitung sejak tahun 2005. Nilai kompensasi yang dibayarkan kepada masyarakat
didasarkan pada hasil negosiasi antara tim ad hoc FKDC dengan tokoh masyarakat setempat. Pengambilan keputusan nilai kompensasi yang diwakilkan oleh tokoh setempat bukan masyarakat secara keseluruhaan boleh jadi hasilnya tidak mencerminkan keinginan sebenarnya dari masyarakat untuk menerima kompensasi akibat diharuskannya upaya konservasi terhadap pohon yang berada di atas lahan miliknya. Apabila hal itu terjadi dikhawatirkan masyarakat akan kembali menebang pohon di atas lahan miliknya karena nilai ekonomi kayu lebih besar dari nilai kompensasi yang diberikan. Berdasarkan masalah tersebut dilakukan serangkaian penelitian untuk mengkaji mekanisme pembayaran jasa lingkungan, persepsi masyarakat sebagai penyedia jasa lingkungan terhadap program pembayaran jasa lingkungan yang ada, kesediaan masyarakat menerima nilai pembayaran sesuai skenario yang diusulkan, estimasi nilai WTA dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai WTA. Kajian mengenai mekanisme pembayaran jasa lingkungan akan dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Analisis mengenai persepsi penyedia jasa lingkungan terhadap program pembayaran jasa lingkungan yang ada akan dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Analisis mengenai kesediaan masyarakat menerima nilai pembayaran sesuai skenario yang dibuat akan dilakukan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Analisis mengenai nilai keinginan masyarakat untuk menerima kompensasi (WTA) dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut akan dilakukan menggunakan tahapan-tahapan dalam pendekatan CVM dan analisis regresi berganda. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kebijakan apa yang sebaiknya diterapkan dalam
mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Alur penelitian yang lebih jelas dapat dilihat pada diagram alur kerangka berpikir yang dapat dilihat dalam Gambar 3.
Peran penting DAS Cidanau
Penyedia air baku bagi industri
Keberadaan cagar alam
Penurunan debit air
Perambahan hutan
Mekanisme pembayaran jasa lingkungan
Analisis Deskriptif
Nilai kompensasi berdasarkan negosiasi
Persepsi penyedia jasa lingkungan
Analisis Deskriptif Kuantitatif
Analisis kesediaan dan ketidaksediaan menerima nilai pembayaran sesuai skenario yang dibuat
Analisis Deskriptif
Estimasi nilai WTA
Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA
Tahapan CVM
Rekomendasi kebijakan mekanisme pembayaran jasa lingkungan
Gambar 3. Diagram Alur Kerangka Berpikir
Analisis Regresi berganda
IV. 4.1.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten
Serang. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa desa tersebut merupakan desa yang ditetapkan sebagai lokasi model penyedia jasa lingkungan, terjadi proses negosiasi dalam penentuan nilai pembayaran jasa lingkungan, dan memasuki tahun terakhir kontrak pada tahun ini. Pengumpulan data primer dilaksanakan dari bulan Maret hingga April 2009.
4.2.
Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode sensus. Jumlah populasi
dalam penelitian ini adalah 43 kepala keluarga. Teknik sensus digunakan karena jumlah populasi yang menjadi responden dapat dijangkau untuk dilakukan wawancara. Responden dalam penelitian ini adalah kepala keluarga dari tiap-tiap rumah tangga.
4.3.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer yang dibutuhkan meliputi: karakteristik seluruh responden, respon responden mengenai peran penting DAS Cidanau, respon responden terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan, respon responden terhadap cara penetapan nilai kompensasi yang telah ada, respon responden mengenai seberapa besar nilai WTA responden akibat adanya program pembayaran jasa lingkungan yang mengharuskan upaya konservasi terhadap pohon di atas lahan miliknya. Data primer ini diperoleh melalui kuisioner dan wawancara langsung secara mendalam (indepth
interview) dengan responden dan diharapkan dapat menjadi pendukung dalam penggunaan metode valuasi kontingensi. Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi data mengenai semua hal menyangkut informasi mengenai program pembayaran jasa lingkungan, data sosial–demografis penduduk Desa Citaman, data mengenai banyaknya rumah tangga yang mendapat dana kompensasi dari program pembayaran jasa lingkungan, dan data potensi Desa Citaman. Data-data tersebut dapat diperoleh dari wawancara dengan Balai Lingkungan Hidup Daerah (BLHD); Pemerintah Daerah (PEMDA) Serang; Kepala Tani, Kepala Desa, Ketua RT, Ketua RW, tokoh masyarakat Desa Citaman; PT. Krakatau Tirta Industri, Forum Komunikasi DAS Cidanau; serta lembaga dan litelatur lainnya yang relevan.
4.4.
Metode Pengolahan dan Analisis Data Data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian akan dianalisis secara
kualitatif dan kuantitatif dengan metode deskriptif dan model kuantitatif. Pengolahan dan
analisis
data
kuantitatif
dilakukan
secara
bertahap
dimulai
dengan
pengelompokkan data, perhitungan penyesuaian dengan kalkulator, dan kemudian ditabelkan menurut keperluan. Data yang ditabelkan dipersiapkan sebagai input komputer sesuai dengan model yang digunakan. Perhitungan dengan model analisa dilakukan dengan bantuan komputer. Proses pengolahan data dilakukan dengan program dengan program Microsoft Office Excel dan SPSS 15. Matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan-tujuan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Matriks Metode Analisis Data No
Tujuan Penelitian
Sumber Data
Metode Analisis Data
1.
Deskripsi pembayaran lingkungan
mekanisme Data sekunder dan Analisis jasa wawancara mendalam kualitatif (indepth interview) dengan pihak-pihak yang erat kaitannya dengan masalah mekanisme pembayaran jasa lingkungan
deskriptif
2.
Kajian tentang persepsi dan masyarakat terhadap program pembayaran jasa lingkungan
Kuisioner dan wawancara Analisis mendalam (indepth kualitatif interview) dengan masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian
deskriptif
3
Kajian mengenai kesediaan menerima nilai pembayaran sesuai skenario yang ditawarkan
Kuisioner dan wawancara Analisis mendalam (indepth kualitatif interview) dengan masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian
deskriptif
3.
WTA masyarakat dan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut
Kuisioner dan wawancara mendalam (indepth interview) dengan masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian
Tahapan CVM dan analisis regresi linier berganda dengan SPSS 15.
4.4.1. Analisis Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Data yang diperlukan untuk analisis ini meliputi pihak-pihak yang terlibat dalam program PJL, proses perancangan program PJL, implementasi program PJL, skema mekanisme PJL saat ini, skema mekanisme PJL yang diharapkan dan hal lain menyangkut program PJL. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif.
4.4.2. Analisis Persepsi Masyarakat terhadap Program Pembayaran Jasa Lingkungan
Identifikasi karakteristik masyarakat yang menjadi responden di lokasi penelitian serta persepsinya terhadap program pembayaran jasa lingkungan yang telah berlangsung diperlukan analisis deskriptif kualitatif. Data responden meliputi pengetahuan responden mengenai peran penting DAS Cidanau, pengetahuan responden mengenai program pembayaran jasa lingkungan, pengetahuan responden mengenai cara penetapan kompensasi dari program pembayaran jasa lingkungan, penilaian responden mengenai perubahan kualitas lingkungan setelah adanya program pembayaran jasa lingkungan, penilaian responden terhadap upaya konservasi, kepuasan responden terhadap besarnya dana kompensasi yang diterima masyarakat selama ini, dan penilaian responden mengenai cara penetapan kompensasi program pembayaran jasa lingkungan yang ada akan dianalisis secara kualitatif.
4.4.3. Analisis Kesediaan Menerima Responden terhadap Nilai Pembayaran Sesuai Skenario yang Ditawarkan Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data mengenai proporsi kesediaan menerima responden terhadap nilai pembayaran sesuai skenario yang ditawarkan. Informasi ini diperoleh dari kuesioner penelitian. Alasan responden mengenai kesediaan menerima diperoleh dari wawancara secara mendalam (indepth
interview) terhadap responden. 4.4.4. Analisis Fungsi Willingness to Accept Analisis fungsi Willingness to Accept digunakan model regresi linier berganda. Fungsi persamaan sebagai berikut:
WTA
= f(PDDi, PDPTi, PJLi, TANGi, LMTGi, POHONi, SKLi, BIAYAi, DAKOMi, PUASi, εi)
dimana: WTA PDD PDPT PJL TANG LMTG POHON SKL
= = = = = = = =
BIAYA
=
DAKOM
=
PUAS
=
i
=
ε
=
Nilai WTA responden Tingkat pendidikan (tahun) Tingkat pendapatan rumah tangga(rupiah/bulan) Nilai pembayaran jasa lingkungan yang diterima (rupiah/tahun) Jumlah tanggungan (orang) Lama tinggal (tahun) Jumlah pohon yang dilibatkan dalam program PJL (batang) Status kepemilikan lahan yang digunakan untuk berpartisipasi dalam program PJL (bernilai 1 untuk ”milik pribadi” dan bernilai 0 untuk ”bagi hasil”) Ada tidaknya biaya yang harus dikeluarkan responden untuk mengkonservasi pohon yang berada di atas lahan miliknya (bernilai 0 untuk “ada” dan bernilai 1 untuk “tidak ada”) Penilaian responden terhadap cara penetapan nilai pembayaran (bernilai 1 untuk “baik” dan bernilai 0 untuk “buruk”) Kepuasan responden terhadap besarnya nilai pembayaran (bernilai 1 untuk ”puas” dan bernilai 0 untuk ”tidak puas”) Responden ke-i yang bersedia menerima dan kompensasi (i = 1, 2, …, k) Galat
Adapun indikator pengukuran dari fungsi Willingness To Accept disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Indikator Pengukuran Nilai WTA
No. Variabel
Keterangan Variabel
Cara Pengukuran
1.
PDDK
Tingkat pendidikan (tahun)
Dibedakan menjadi: a. Tidak sekolah b. SD, kelas 1 2 3 4 5 6 c. SMP, kelas 7 8 9 d. SMA, kelas 10 11 12 e. Perguruan tinggi Pendataan mengenai hasil panen responden selama satu tahun dan pemasukan lainnya selain dari lahan miliknya Pertanyaan terbuka, responden menjawab secara terbuka mengenai besarnya pendapatan responden dari program PJL Pertanyaan terbuka, responden menjawab secara terbuka mengenai jumlah tanggungan Didapat dari data jumlah pohon yang berada di lokasi model penyedia jasa lingkungan Pertanyaan terbuka, responden menjawab secara terbuka mengenai tahun lama tinggal Dibedakan menjadi: a. Milik pribadi b. Sewa c. Bagi-hasil d.Tanah garapan e. Lainnya…… Dibedakan menjadi: a. Ada b. Tidak ada
2.
PDPT
Tingkat pendapatan rumah tangga
3.
PJL
Tingkat pendapatan dari program PJL (rupiah/tahun)
4.
TANG
Jumlah tanggungan (orang)
5.
POHON
Jumlah pohon buah-buahan yang dilibatkan dalam program PJL (batang)
6.
LMTG
Lama tinggal (tahun)
7.
SKL
Status kepemilikan lahan yang digunakan untuk berpartisipasi dalam program PJL
8.
BIAYA
Ada tidaknya biaya yang harus dikeluarkan responden untuk mengkonservasi pohon yang berada di atas lahan miliknya (bernilai 0 untuk “ada” dan bernilai 1 untuk “tidak ada”)
9.
DAKOM
10.
PUAS
Penilaian responden terhadap cara Dibedakan menjadi: penetapan kompensasi yang ada a. Baik c. Buruk Kepuasan responden terhadap Dibedakan menjadi; besarnya dana kompensasi a. Puas b. Tidak puas
4.5.
Hipotesa Hipotesis penelitian ini adalah:
1. Nilai WTA masyarakat diduga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, nilai pembayaran jasa lingkungan yang selama ini diterima, jumlah tanggungan, lama tinggal, jumlah yang termasuk dalam program PJL, status kepemilikan lahan yang digunakan untuk berpartisipasi dalam program PJL, ada tidaknya biaya yang harus dikeluarkan responden untuk mengkonservasi pohon yang berada di atas lahan miliknya, penilaian responen terhadap cara penetapan nilai pembayaran, dan kepuasan responden terhadap besarnya dana kompensasi. 2. Jumlah tanggungan, status kepemilikan lahan yang digunakan untuk berpartisipasi dalam program PJL, lama tinggal, jumlah pohon yang termasuk dalam program PJL, ada tidaknya biaya yang harus dikeluarkan responden untuk mengkonservasi pohon yang berada di atas lahan miliknya diduga akan berkorelasi positif terhadap nilai WTA. 3. Tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, nilai pembayaran jasa lingkungan yang selama ini diterima, penilaian responden terhadap cara penetapan nilai pembayaran, dan kepuasan responden terhadap besarnya dana kompensasi yang diterima diduga akan berkorelasi negatif dengan nilai WTA..
4.6.
Pengujian Parameter Uji kebaikan dari model yang telah dibuat dapat dilakukan melalui pengujiian
secara statistik. Uji yang dilakukan adalah:
1. Uji Keandalan Uji ini dilakukan dalam evaluasi pelaksanaan CVM dilihat dengan nilai R-
squares (R2) dari OLS (Ordinary Least Square) WTA. 2. Uji Terhadap Kolinear Ganda (Multicolinearity) Model yang melibatkan banyak peubah bebas sering terjadi masalah
muticolinearity, yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar peubah-peubah bebas. Masalah multicollinearity dapat dilihat langsung melalui output komputer, dimana apabila nilai VIF (Varian Inflation factor) < 10 maka tidak ada masalah
multicollinearity. 3. Uji Heteroskedastisitas Salah satu asumsi metode pendugaan metode kuadrat terkecil adalah
homoskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan Pelanggaran atas
asumsi
homoskedastisitas
adalah
heteroskedastisitas.
Masalah
heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan uji glejser. Uji Glejser dilakukan dengan meregresikan variabel-variabel bebas terhadap nilai absolut residualnya (Gujarati, 2003). Sebagai pengertian dasar, residual adalah selisih antara nilai observasi dengan nilai prediksi; dan absolut adalah nilai mutlaknya. Jika nilai signifikan dari hasil uji glejser lebih besar dari α (5%) maka tidak terdapat heteroskedastisitas, dan sebaliknya jika lebih kecil dari α (5%) maka terdapat heteroskedastisitas.
4.
Uji Normalitas Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah error term dari data atau observasi yang jumlahnya kurang dari 30 mendekati sebaran normal sehingga
statistik t dapat dikatakan sah. Uji yang dapat dilakukan adalah uji KolmogorovSmirnov. Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat yang lain, yang sering terjadi pada uji normalitas dengan menggunakan grafik. Penerapan pada uji Kolmogorov Smirnov adalah bahwa jika signifikansi di bawah 5% berarti data yang akan diuji mempunyai perbedaan yang signifikan dengan data normal baku, artinya data tersebut tidak normal. Lebih lanjut, jika signifikansi di atas 5% berarti tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara data yang akan diuji dengan data normal baku, artinya data tersebut normal.
5.
Uji Autokorelasi Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan diantara galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Jika kita mengabaikan adanya autokorelasi, maka akan berdampak terhadap pengujian hipotesis dan proses peramalan. Autokerasi cenderung akan mengestimasi standar error lebih kecil dari pada nilai sebenarnya, sehingga nilai statistic-t akan lebih besar (overestimates). Walaupun demikian, hasil estimasi dan peramalannya masih bersifat konsisten dan tidak bias. Uji yang paling sering digunakan dalam mendeteksi adanya autorelasi dalam suatu model adalah uji DW (Durbin Watson test). Nilai statistik DW berada pada kisaran 0 sampai 4, dan jika hasilnya mendekati 2 maka menunjukkan tidak ada autokorelasi ordo kesatu (Juanda, 2009).
V. 5.1.
GAMBARAN UMUM
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Citaman secara administratif terletak di Kecamatan Ciomas, Kabupaten
Serang, Provinsi Banten. Desa ini berbatasan dengan Desa Pondok Kahuru dan Sungai Cibarugbug di sebelah utara, Desa Sukabares dan Sungai Cidanghian di sebelah barat, Kabupaten Pandeglang di sebelah selatan, dan Desa Cisitu, Lebak dan Sungai Cikempong di sebelah timur. Citaman merupakan daerah hulu DAS Cidanau dengan ketinggian berada pada 600 meter dpl. Luas area Desa Citaman sebesar 509 ha dan proporsi peruntukan lahannya terbagi ke dalam sawah tadah hujan sebesar tujuh ha, ladang sebesar 95 ha, pemukiman sebesar 100 ha, tanah perkebunan rakyat sebesar 200 ha, tanah fasilitas umum sebesar tujuh ha, hutan lindung dan hutan produksi masing-masing sebesar 50 ha (Potensi Desa Citaman, 2008). Orbitrasi Desa Citaman dari kantor kecamatan tiga km dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. Aksesibilitas menuju kantor kecamatan tergolong sulit karena jalan cenderung rusak dan transportasi umum yang ada hanyalah motor sewaan. Orbitrasi desa dari kantor Pemda 24 km dengan waktu tempuh sekitar satu jam dan dapat dilalui oleh angkutan umum. Desa Citaman merupakan desa sekitar hutan. Vegetasi didominasi oleh beraneka macam pepohonan. Kualitas udara tergolong baik karena tingkat polusi udara rendah. Aksesibilitas menuju desa tergolong sulit karena kondisi jalan utama menuju desa sebagian besar rusak. Kondisi ini disebabkan oleh buruknya drainase di sepanjang jalan. Keberadaannya yang dapat dikatakan terpencil dan jauh dari pusat perekonomian menyebabkan hal-hal yang bersifat mempermudah akses tidak terlalu
diperhatikan oleh pemerintah setempat. Menuju dataran yang lebih tinggi, kawasan didominasi oleh lebih banyak lagi pepohonan tanpa ada kawasan pemukiman. Jenis pepohonan terbagi menjadi pohon kayu-kayuan dan buah-buahan yang umurnya cenderung masih muda, hal ini terlihat dari ketinggian pohon yang masih rendah. Jenis pohon didominasi oleh jenis Gnetum gnemon atau lebih dikenal dengan pohon melinjo. Kawasan tersebut adalah lokasi model pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau atau masyarakat lokal menyebut kawasan tersebut dengan Blok Kajaroan. Blok kajaroan memiliki luas 25 ha dengan jumlah pohon sebanyak 14.835 batang (FKDC, 2005). Awalnya Blok Kajaroan merupakan kawasan hulu DAS Cidanau yang tergolong lahan kritis. Kondisi ini diakibatkan oleh perambahan hutan yang dilakukan masyarakat sekitar. Adanya program PJL membawa dampak positif terhadap perbaikan kualitas lingkungan di Desa Citaman. Program ini mengharuskan setiap anggota yang menerima dana pembayaran jasa lingkungan untuk menjaga kelestarian lahan. Usaha konservasi direalisasikan dalam bentuk tidak menebang sejumlah pohon di atas lahan milik anggota yang sudah terikat kontrak. Penebangan pohon yang dapat dicegah membawa dampak terhadap terjaganya kelestarian. Sarana pendidikan yang terdapat di Desa Citaman diantaranya, lima Sekolah Dasar (SD) atau sederajat dengan kondisi tiga SD baik dan dua SD dalam keadaan rusak serta 16 lembaga pendidikan agama. Selain itu di desa ini terdapat sarana kesehatan berupa lima buah posyandu dan sarana olahraga berupa satu buah lapangan sepak bola. Sementara itu, untuk sarana peribadatan terdapat empat unit masjid dan 12 unit mushola dengan enam unit mushola diantaranya dalam keadaan rusak.
5.2.
Kependudukan Menurut data yang diperoleh dari Desa Citaman (2006), jumlah penduduk
yang tercatat yaitu sebanyak 2.522 jiwa yang terdiri dari 514 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk laki-laki terdiri dari 1.310 jiwa dan jumlah penduduk perempuan terdiri dari 1.212 jiwa. Kepadatan penduduk di Citaman yaitu sebesar 496 jiwa per km2. Kepadatan penduduk Desa Citaman tergolong memiliki kepadatan yang cukup rendah bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk di perkotaan. Mata pencaharian pokok penduduk Citaman terdiri dari petani (68,48%), buruh tani (23,35%), buruh atau pegawai swasta (3,31%), pegawai negeri (0,58%), pengrajin (0,39%), pedagang (3,70%), dan peternak (0,19%). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa penduduk Citaman didominasi oleh golongan masyarakat yang bergerak dalam bidang pertanian hutan (91,83%) baik sebagai petani maupun buruh tani.
Tabel 3. Struktur Mata Pencaharian Penduduk Citaman Tahun 2006 Struktur Mata Pencaharian Jumlah (Orang) Persentase (%) Petani Buruh tani Buruh/swasta Pegawai negeri Pengrajin Pedagang Peternak
352 120 17 3 2 19 1
68,48 23,35 3,31 0,58 0,39 3,70 0,19
Jumlah
514
100
Sumber: Daftar Isian Potensi Desa Citaman (2006)
Jenis pekerjaan didominasi dengan petani. Hal ini berkaitan erat dengan tipologi desa sebagai desa sekitar hutan. Letaknya yang berada di sekitar hutan dan jauh dari pusat-pusat perekonomian menyebabkan kegiatan ekonomi bergantung pada
hasil hutan. Hal ini yang melatarbelakangi dominasi jenis pekerjaan sebagai petani di Desa Citaman.
5.3.
Karakteristik Sosial Ekonomi Responden Ditetapkannya lokasi model penyedia jasa lingkungan di desa Citaman untuk
menerima pembayaran jasa lingkungan, membuat dirasa perlu untuk membentuk suatu kelompok yang beranggotakan pemilik dari lahan tersebut. Pembentukan kelompok bertujuan untuk menyamakan visi dan misi yang ingin dicapai dari program pembayaran jasa lingkungan dan sikap yang diharapkan muncul dari penyedia jasa lingkungan terhadap lahan mereka yang telah dikontrak. Atas dasar tersebut dibentuklah Kelompok Tani Karya Muda II. Kelompok Tani Karya Muda II merupakan kelompok tani dimana seluruh anggota memiliki lahan di Blok Kajaroan dan menerima pembayaran jasa lingkungan. Jumlah anggota Kelompok Tani Karya Muda II sebanyak 43 kepala keluarga dari 514 kepala keluarga yang ada di Citaman. Keadaan sosial ekonomi anggota kelompok tani masih tergolong sederhana karena tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan yang tergolong rendah. Tingkat pendidikan terakhir cenderung sama, yaitu hingga Sekolah Dasar (SD). Jenis pekerjaan seragam, yaitu berprofesi sebagai petani hutan. Implikasinya, tingkat pendapatan tergantung pada hasil pertanian di lahan yang dimiliki. Anggota kelompok tani rata-rata memiliki sumber pendapatan tambahan untuk mengurangi biaya kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan anak. Sumber pendapatan tambahan cenderung didapat dari sumber yang sama, yaitu dari hasil pekerjaan sampingan mereka sebagai kuli.
Karakteristik sosial ekonomi responden diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan terhadap seluruh anggota Kelompok Tani Karya Muda II (43 orang). Karakteristik sosial ekonomi responden dinilai dari beberapa variabel diantaranya jenis kelamin, usia, lama tinggal, lama pendidikan formal yang pernah ditempuh, jumlah tanggungan, tingkat pendapatan rumah tangga per bulan, dan status kepemilikan lahan di lokasi model penyedia jasa lingkungan.
5.3.1. Jenis Kelamin Jumlah kelompok tani yang menjadi responden adalah 43 orang. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki karena target responden dalam penelitian ini adalah kepala keluarga. Pengambilan keputusan dalam suatu rumah tangga biasanya diambil alih oleh laki-laki sebagai kepala keluarga, sehingga dalam menjawab pertanyaan yang diajukan dalam survei laki-laki lebih berperan. Menurut survei, perbandingan responden laki-laki dan perempuan sebesar 95,35% dan 4,65% perempuan. Keterangan dapat dilihat pada Gambar 4.
4.65% Laki-laki Perempuan 95.35%
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 4. Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin
5.3.2. Usia Tingkat usia cenderung terkonsentrasi di dua sebaran usia, yaitu usia 33-45 dan 46-58 tahun. Jumlah responden tertinggi terdapat pada sebaran usia 33-45 tahun dengan presentase 37,21%. Responden dengan sebaran usia 46-58 tahun memiliki persentase 32,56%. Seluruh responden dalam penelitian ini merupakan responden yang telah menikah dan memiliki tanggungan. Hal ini yang menyebabkan tingkat usia yang didapat terbilang sudah tidak muda lagi. Perbandingan distribusi usia responden dapat dilihat pada Gambar 5.
13.95%
16.28%
<33 33-45 46-58
32.56%
37.21%
>58
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 5. Sebaran Responden Menurut Usia 5.3.3. Lama Pendidikan Formal Tingkat pendidikan diklasifikasikan menurut lama tahun menempuh pendidikan formal. Pengklasifikasian didasarkan atas alasan responden cenderung mempunyai latar belakang pendidikan yang sama, yaitu Sekolah Dasar (SD) atau sederajat. Sebagian besar responden memiliki latar belakang pendidikan 4-6 tahun dan lebih kecil dari satu tahun. Komposisi masing-masing tingkat pendidikan adalah 55,82% dan 20,93%.
Masih jarang sekali responden yang memiliki latar belakang pendidikan lebih tinggi dari SD atau sederajat. Sebanyak 4,65% responden yang mempunyai latar belakang pendidikan lebih besar dari enam tahun atau tepatnya hanya dua orang yang memiliki latar belakang pendidikan hingga kelas satu SMP (tujuh tahun). Hal itu berarti ditemukan hanya sedikit saja yang mempunyai latar belakang pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan tidak ditemukan responden yang mempunyai latar belakang Sekolah Menengah Atas (SMA) atau pun sarjana. Berdasarkan hasil survei dapat disimpulkan bahwa responden memiliki pengetahuan yang cenderung masih rendah. Dominasi latar belakang pendidikan hingga tingkat SD disebabkan saat responden berada pada usia sekolah kesadaran masyarakat Citaman terhadap pentingnya pendidikan tergolong rendah. Selain itu, kondisi perekonomian yang tergolong sulit mendorong masyarakat untuk tidak menyekolahkan anaknya pada tingkat yang lebih tinggi. Masyarakat menilai bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka biaya yang dikeluarkan akan semakin tinggi. Perbandingan distribusi lama pendidikan formal responden dapat dilihat pada Gambar 6.
4.65%
20.93% <1 1hingga 3 4 hingga 6
55.82%
18.60%
>6
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 6. Sebaran Responden Menurut Lama Pendidikan Formal
5.3.4. Jumlah Tanggungan Berdasarkan jumlah tanggungan setiap kepala keluarga, sebagian besar responden adalah kepala keluarga yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak 4-6 orang yaitu sebesar 44,19%. Sebanyak 32,56% responden memiliki jumlah tanggungan tujuh hingga sembilan orang. Sebagian besar jumlah tanggungan masyarakat Citaman menunjukkan bahwa tiap kepala keluarga minimal memiliki tiga orang anak. Hal itu menandakan tingkat kelahiran di antara anggota kelompok tani tergolong tinggi. Tingginya tingkat kelahiran di tiap kepala keluarga disebabkan program keluarga berencana masih ditakuti akan mendatangkan bahaya bagi diri sendiri. Keterbatasan tingkat pendapatan juga menjadi faktor penyebab anggota tani enggan mengikuti program keluarga berencana. Perbandingan distribusi jumlah tanggungan dapat dilihat pada Gambar 7.
6.97%
16.28% <4
32.56%
4 hingga 6 7 hingga 9 44.19%
>9
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 7. Sebaran Responden Menurut Jumlah Tanggungan 5.3.5. Tingkat Pendapatan Berdasarkan sebaran pendapatan, sebagian besar responden memiliki tingkat pendapatan per bulan pada kisaran Rp 200.001,00-400.000,00 dan Rp 400.001,00-
600.000,00. Komposisi masing-masing yaitu sebesar 30,23%. Berdasarkan hasil tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa responden memiliki tingkat pendapatan yang rendah. Hal ini terkait dengan jenis pekerjaan utamanya sebagai petani hutan. Jumlah pendapatan bergantung hasil panen dari luasan lahan yang dimiliki dan dari banyaknya pohon produktif. Perbandingan distribusi tingkat pendapatan setiap bulannya dapat dilihat pada Gambar 8.
2.34% 13.95%
9.30%
<200001
13.95%
200001-400000 400001-600000 30.23%
30.23%
600001-800000 800001-1000000 >1000000
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 8. Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendapatan 5.3.6. Lama Tinggal Lama tinggal responden di Desa Citaman sebagian besar berkisar antara 42-57 tahun dan 26-41 tahun. Komposisi masing-masing adalah 39,57% dan 25,57%. Masyarakat yang menjadi responden sebagian besar merupakan penduduk yang sejak lahir sudah berada di Desa Citaman. Hal ini yang menyebabkan sebagian besar responden cenderung mempunyai lama tinggal tergolong lama di Desa Citaman. Responden dengan lama tinggal lebih kecil dari 26 tahun memiliki persentase sebesar 20,92%. Persentase terkecil, sebanyak 13,94% responden mempunyai lama tinggal lebih besar dari 57 tahun. Perbandingan distribusi lama tinggal dapat dilihat pada Gambar 9.
13.94%
20.92% <26 26-41 42-57
39.57%
25.57%
>57
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 9. Sebaran Responden Menurut Lama Tinggal 5.3.7. Status Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan di lokasi penyedia jasa lingkungan terbagi ke dalam dua kategori, lahan milik dan lahan garapan. Lahan milik merupakan lahan anggota di lokasi penyedia jasa lingkungan yang kepemilikannya bersifat pribadi. Lahan garapan merupakan lahan anggota di lokasi penyedia jasa lingkungan yang dimiliki oleh desa. Responden dengan status kepemilikan lahan berupa lahan garapan memiliki kewajiban untuk membagi hasil panen dari lahan kepada desa. Pembagian dilakukan berdasarkan proporsi empat banding satu dari hasil panen, empat bagian untuk masyarakat yang mengelola lahan dan satu bagian untuk desa. Sebanyak 53,49% responden merupakan responden dengan status kepemilikan lahan milik pribadi. Sebanyak 46,51% merupakan responden dengan status kepemilikan lahan garapan. Perbandingan distribusi status kepemilikan lahan dapat dilihat pada Gambar 10.
46.51%
Lahan milik
53.49%
Lahan garapan
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 10. Sebaran Responden Menurut Status Kepemilikan Lahan
VI. 6.1.
MEKANISME PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN
Pihak yang Terlibat dalam Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Model hulu-hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS
Cidanau melibatkan beberapa pihak sebagai pemeran utama dalam implementasi mekanisme. Pihak-pihak yang terlibat diantaranya lembaga pengelola DAS Cidanau (Forum Komunikasi DAS Cidanau), penyedia jasa lingkungan (seller), dan pemanfaat jasa lingkungan (buyer).
1.
Lembaga Pengelola DAS Cidanau Pengelolaan DAS Cidanau pada awalnya ditangani oleh berbagai instansi, baik oleh lembaga atau institusi pemerintah, swasta maupun masyarakat. Masingmasing instansi memiliki kepentingan berbeda dalam pengelolaan DAS Cidanau. Hal ini menyebabkan tidak adanya kesamaan visi dan misi dalam pengelolaan. Di lain pihak, pengelolaan DAS Cidanau dihadapkan pada permasalahan yang sangat kompleks, diantaranya (Forum Komunikasi DAS Cidanau, 2007): 1) Meningkatnya erosi, sedimentasi, dan suburnya pertumbuhan gulma di DAS Cidanau yang diakibatkan oleh pengelolaan lahan yang tidak seimbang dengan daya dukung lahan; penebangan hutan rakyat; dan penggunaan pupukpupuk kimia dalam pertanian yang dilakukan masyarakat. 2) Terjadinya trend penurunan debit permukaan air Sungai Cidanau. Hasil pengukuran debit rata-rata per bulan antara tahun 1922-1936 sebesar 11,29 m3 per detik, sedangkan antara tahun 1980-1992 sebesar 7,35 m3 per detik.
3) Terjadinya perambahan kawasan Cagar Alam Rawa Danau oleh masyarakat untuk kepentingan budidaya pertanian yang memberikan dampak negatif pada kelestarian Cagar Alam Rawa Danau. 4) Belum adanya perencanaan pengelolaan DAS Cidanau yang terpadu, yang bisa dijadikan acuan oleh seluruh dinas dan instansi teknis serta stakeholder lainnya dalam melakukan kegiatan pengelolaan (action plan). 5) Belum terkoordinasinya pelaksanaan pengelolaan DAS Cidanau, baik dari tingkat kabupaten, propinsi maupun pusat. 6) Kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat. Terutama masyarakat hulu DAS Cidanau tentang arti penting dan manfaat DAS Cidanau bagi keberlanjutan pembangunan. Kompleksnya
masalah tersebut tidak dapat diselesaikan apabila tidak ada
kesatuan visi dan misi dalam pengelolaan. Oleh karena itu, diperlukan satu lembaga dengan satu visi dan misi yang dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan. Hal ini bertujuan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul dalam pengelolaan DAS Cidanau. Atas alasan tersebut dibentuklah Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) sebagai lembaga pengelola DAS Cidanau. Organisasi ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Banten Nomor 124.3/Kep.64-Huk/2002. Struktur kepengurusan terdiri dari berbagai instansi, baik instansi pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun masyarakat. FKDC memiliki visi dan misi sebagai berikut (FKDC, 2007): 1) Visi FKDC yaitu membangun keseimbangan ekologi, sosial dan ekonomi dalam pemanfaatan sumber daya alam DAS Cidanau guna mendukung
keberlanjutan pembangunan dengan didasarkan pada konsep satu sungai, satu perencanaan dan satu pengelolaan (one river, one plan and one
management). 2) Misi FKDC: a. Melestarikan sumber daya alam DAS Cidanau b. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan DAS Cidanau c. Menjaga
keberlanjutan
tata
air
untuk
mendukung
keberlanjutan
pembangunan d. Menumbuhkan iklim investasi yang maju dan memiliki kemampuan bersaing. FKDC memiliki andil besar dalam proses implementasi model hubungan huluhilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Proses implementasi dilakukan selama kurang lebih tiga tahun terhitung dari tahun 2002 hingga mekanisme PJL dilaksanakan pada tahun 2005. Peran FKDC dalam mekanisme PJL sebagai berikut (FKDC, 2007): 1) Mengelola dana hasil pembayaran jasa lingkungan dari pemanfaat (buyer) jasa lingkungan DAS Cidanau untuk rehabilitasi dan konservasi lahan di DAS Cidanau melalui lembaga pengelola jasa lingkungan DAS Cidanau. 2) Mendorong pembangunan hutan secara lestari di lahan milik, oleh masyarakat dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan. 3) Menggalang dana dari potential buyer jasa lingkungan DAS Cidanau. 4) Mendorong pemerintah untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau.
2.
Penyedia Jasa lingkungan Model hulu-hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau menjadikan masyarakat di hulu DAS Cidanau sebagai penyedia jasa lingkungan (seller). Penyedia jasa lingkungan dalam program ini ditentukan dengan jalan identifikasi oleh tim Pusat Studi dan Pengembangan Sumberdaya Air dan Lahan – Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (PSDAL – LP3ES). Identifikasi ini menjadi penting agar pelaksanaan kegiatan berada di lokasi yang tepat. Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam proses identifikasi ini antara lain (FKDC, 2007): 1) Pemilihan lokasi model didasarkan pada pengaruh lokasi dengan semua aktivitas yang berada di atasnya pada kondisi lingkungan DAS Cidanau, terutama dengan fungsi hutan dan tata air. 2) Pemilihan lokasi model didasarkan pada kondisi sosio-kapital masyarakat yang tepat,
disamping dapat menjadi bahan dalam proses belajar, juga
menjadi faktor penentu agar kegiatan dapat berjalan dengan baik. Proses identifikasi awal menghasilkan ketetapan bahwa Desa Citaman dan Desa Cibojong, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang sebagai lokasi model penyedia jasa lingkungan. Lahan yang mendapat pembayaran jasa lingkungan masingmasing seluas 25 ha. Luasan lahan yang menjadi lokasi model penyedia jasa lingkungan termasuk dalam sebagian kecil lahan kritis yang terdapat di DAS Cidanau dari luas lahan kritis seluruhnya mencapai 2.000 ha3. Kontrak
3
Hasil wawancara dengan Sekjen FKDC, Nana P.R pada tanggal 13 Maret 2009
pembayaran terhadap lokasi model jasa lingkungan adalah selama lima tahun terhitung dari tahun 2005. Setelah program berjalan selama satu tahun, Desa Cibojong melanggar kesepakatan yang telah dibuat4. Ditemukan sisa-sisa penebangan yang dilakukan secara sengaja di lokasi model penyedia jasa lingkungan. Kasus tersebut menyebabkan diputusnya kontrak pembayaran jasa lingkungan di Desa Cibojong setelah sebelumnya diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan namun tidak
ada itikad
baik
dari peserta penyedia jasa lingkungan untuk
memperbaikinya 5. Pemutusan kontrak terhadap Desa Cibojong menyebabkan diperlukannya lokasi model penyedia jasa lingkungan yang baru. Lokasi baru ini dimaksudkan untuk meneruskan kontrak yang telah ada dengan pemanfaat jasa lingkungan. Guna mencari lokasi model baru dilakukan lagi proses identifikasi yang kali ini dilakukan oleh FKDC. Berdasarkan hasil identifikasi, pada tahun 2008 ditetapkan bahwa Desa Cikumbueun, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang dan Desa Kadu Agung, Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Serang sebagai lokasi model penyedia jasa lingkungan dan mendapat kontrak pembayaran selama lima tahun terhitung dari tahun 2008. Hingga saat ini lokasi model penyedia jasa berada di tiga titik lokasi, yaitu Desa Citaman Kecamatan Ciomas, Desa Kadu Agung Kecamatan Gunung Sari yang keduanya berada di
4 5
Hasil wawancara dengan Sekjen FKDC, Nana P.R pada tanggal 12 Maret 2009 Hasil wawancara dengan Koordinator Jasa Lingkungan FKDC, Hardono pada tanggal 23 Maret 2009
wilayah Kabupaten Serang dan Desa Cikumbueun, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang.
3.
Pemanfaat Jasa Lingkungan Model hulu-hilir dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau menempatkan pihak yang berada di wilayah hilir dan sekaligus memanfaatkan jasa lingkungan DAS Cidanau sebagai pemanfaat jasa lingkungan (potential
buyer). Dari proses identifikasi yang dilakukan oleh tim yang sama dengan proses identifikasi penyedia jasa lingkungan, ditetapkan bahwa PT. Krakatau Tirta Industri (PT. KTI) sebagai pemanfaat jasa lingkungan. Penetapan PT. KTI sebagai pemanfaat jasa lingkungan didasari atas alasan bahwa PT. KTI merupakan satu-satunya pemanfaat jasa lingkungan DAS Cidanau untuk tujuan komersil. Hal ini terkait dengan sektor usaha yang digelutinya, yaitu sebagai perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan air bersih. Kebutuhan air baku PT. KTI untuk penyediaan air bersih bagi pelanggannya adalah sebesar 1.130 liter per detik (FKDC, 2007). Sungai Cidanau merupakan Sungai utama DAS Cidanau yang menjadi sumber utama air baku PT. KTI untuk memproduksi air bersih. Degradasi yang terjadi di hulu DAS Cidanau membuat debit air Sungai Cidanau setiap tahunnya mengalami penurunan, sehingga dikhawatirkan apabila tidak ada usaha untuk menjaga kelestarian DAS Cidanau maka debit air untuk produksi tidak terpenuhi. Selain itu, degradasi karena pemakaian pupuk yang berlebihan juga menyebabkan kualitas air
rendah,
sehingga butuh biaya produksi yang tinggi untuk mengolah air baku menjadi air bersih. Dua hal tersebut disadari benar oleh PT. KTI sebagai penghambat
keberlanjutan usahanya. Sebagai solusi dibutuhkan usaha untuk menjaga kelestarian hulu DAS Cidanau yang jasa lingkungannya dimanfaatkan untuk bahan baku usaha. Kesadaran ini yang mendorong PT. KTI bersedia menjadi
buyer dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan. 6.2.
Proses Perumusan Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan Mekanisme pembayaran jasa lingkungan erat kaitannya dengan transaksi
antara penyedia jasa lingkungan sebagai seller dan pemanfaat jasa lingkungan sebagai buyer. Di dalam transaksi diperlukan adanya besaran nilai yang akan dibayarkan oleh buyer maupun yang ingin diterima oleh seller. Penentuan besaran nilai transaksi dalam implementasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau, dilakukan dengan jalan negosiasi yang prosesnya dilakukan oleh tim Ad
Hoc kepada seller dan buyer. Tim Ad Hoc adalah lembaga yang dibentuk oleh Ketua Pelaksana Harian FKDC dan terdiri dari wakil pemerintah kota, kabupaten dan provinsi, PT. KTI, dan masyarakat yang dalam proses negosiasi bertindak sebagai wakil dari FKDC6.
1.
Negosiasi di Tingkat Pemanfaat Jasa Lingkungan ’Buyer’ Proses negosiasi di tingkat pemanfaat jasa lingkungan membahas hal mengenai dasar penentuan besaran nilai uang untuk transaksi PT. KTI dan bagaimana mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang akan dilakukan PT. KTI dalam transaksi. Penentuan besaran nilai yang harus dibayarkan buyer mengadopsi pada biaya kehutanan dalam membuat hutan rakyat pada program Pembangunan dan Pengembangan Hutan Rakyat (P2HR) dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan
6
Hasil wawancara dengan Sekjen FKDC, Nana P.R pada tanggal 27 Maret 2009
Lahan (GNRHL). Besaran uang tersebut yaitu Rp 3.500.000,00/ha. Sehingga untuk 50 ha lokasi model penyedia jasa lingkungan, PT. KTI membayar jasa lingkungan sebesar Rp 175.000.000,00. Mengenai mekanisme transaksi jasa lingkungan, tim Ad Hoc menawarkan dua pilihan kepada PT. KTI. Pilihan tersebut yaitu melakukan transaksi secara langsung (direct payment) kepada penyedia jasa lingkungan di hulu atau dilakukan secara tidak langsung (indirect payment). PT. KTI memilih pelaksanaan transaksi kepada penyedia jasa lingkungan dilakukan secara tidak langsung dengan menempatkan FKDC sebagai mediator transaksi. Berikut hasil negosiasi yang dicapai antara PT. KTI dan FKDC (FKDC, 2007): 1) PT. KTI tidak bersedia untuk membayar jasa lingkungan secara langsung kepada penyedia jasa lingkungan dan meminta FKDC bertindak sebagai perantara yang menghubungkan kepentingan PT. KTI dengan penyedia jasa di hulu. 2) PT. KTI setuju membayar jasa lingkungan selama lima tahun, dengan ketentuan: a. Sebesar Rp 175.000.000,00 per tahun untuk dua tahun berturut-turut. b. Nilai transaksi untuk tahun ketiga sampai dengan kelima dinegosiasi ulang. c. Realisasi transaksi dilakukan dalam tiga tahapan transaksi . d. Nilai transaksi jasa lingkungan yang diterima dan dikelola oleh FKDC dibebankan pajak penghasilan sebesar 6%.
Dari besarnya nilai yang dibayarkan PT. KTI dibuat kesepakatan oleh tim Ad
Hoc bahwa 15% dari dana yang dikelola selama satu tahun dikenai biaya pengelolaan jasa lingkungan. Biaya ini digunakan untuk keperluan: 1) Perjalanan dinas 2) Insentif tim Ad Hoc 3) Laporan, dokumentasi dan publikasi 4) Rapat 5) Alat tulis kantor. Dapat dilihat bahwa terjadi dua kali pemotongan terhadap uang dibayarkan oleh PT. KTI, yaitu 6% untuk pajak penghasilan dan 15% untuk biaya administratif. Setelah melalui pemotongan tersebut, maka jumlah yang diterima FKDC untuk disalurkan kepada seller sebesar Rp 276.500.000,00. Besaran nilai tersebut digunakan untuk pembayaran dua tahun berturut-turut. Sehingga setiap tahunnya
seller berhak mendapat pembayaran sebesar Rp. 2.765.000,00 per ha per tahun. Sejak awal kontrak, PT. KTI konsisten dengan hasil kesepakatan yang telah dibuat. Besarnya pembayaran konsisten dengan hasil kesepakatan, namun pada tahun 2008 terjadi peningkatan jumlah pembayaran menjadi Rp 200.000.000,00. Peningkatan nilai pembayaran ini diduga terjadi akibat kepercayaan yang tinggi dari buyer kepada FKDC yang menjamin bahwa pengelolaan dana pembayaran jasa lingkungan didasarkan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparan, professional dan pemanfaatan dana yang sesuai dan tepat dengan sasaran. Selain itu, diduga bahwa biaya produksi PT. KTI menjadi berkurang akibat terjaganya kelestarian
hulu DAS Cidanau dan sikap penyedia jasa lingkungan yang kooperatif terhadap program.
2.
Negosiasi di Tingkat Penyedia Jasa Lingkungan ’Seller’ Proses negosiasi di tingkat penyedia jasa lingkungan membahas jumlah transaksi yang akan diterima, jadwal penerimaan transaksi, dan persyaratan-persyaratan lain yang harus dipenuhi berkaitan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Di Citaman, negosiasi besarnya jumlah transaksi yang akan diterima penyedia dilakukan dengan jalan musyawarah antara tim Ad Hoc dengan anggota Kelompok Tani Karya Muda. Jalannya negosiasi dipimpin oleh perwakilan dari tim Ad Hoc. Keputusan akhir masyarakat terhadap besar nilai pembayaran yang diinginkan diwakili oleh satu suara, yaitu suara ketua kelompok tani. Awal proses negosiasi, tim Ad Hoc membuka penawaran kepada masyarakat sebesar Rp 750.000,00 per ha per tahun. Masyarakat merasa nilai tersebut terlalu kecil untuk pembayaran satu hektar lahan miliknya yang dikontrak. Selama proses negosiasi, permintaan dari anggota kelompok akan besarnya nilai yang ingin diterima semakin beragam. Mulai dari kisaran Rp 2.500.000,00 per ha per tahun hingga Rp 5.000.000,00 per ha per tahun7. Proses tawar-menawar antara tim Ad Hoc dan kelompok tani mengalami titik temu pada nilai Rp 1.200.000,00. Tetapi timbul rasa keterpaksaan dari ketua kelompok sebagai pemegang keputusan untuk menerima pembayaran sebesar Rp 1.200.000,00 per ha per tahun8. Anggota kelompok berharap minimal
7 8
Hasil wawancara dengan Ketua Kelompok Tani Karya Muda II, Bachrani pada tanggal 21 Maret 2009 Hasil wawancara dengan Ketua Kelompok Tani Karya Muda II, Bachrani pada tanggal 21 Maret 2009
pembayaran yang diterima sebesar Rp. 2.500.000,per ha per tahun, namun tim Ad
Hoc tetap bertahan di nilai tersebut. Dengan alasan dapat sedikit memberikan pendapatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan membantu meringankan biaya sekolah, akhirnya kelompok tani memutuskan untuk menerima pembayaran sebesar Rp 1.200.000,00 per ha. Keputusan tim Ad Hoc untuk menetapkan besarnya pembayaran di harga Rp 1.200.000,00 per ha per tahun terasa janggal karena uang yang seharusnya disalurkan oleh FKDC kepada seller sebesar Rp. 2.765.000 per ha per tahun. Keputusan tersebut ternyata diambil karena faktor ketidakpercayaan tim kepada komitmen buyer untuk meneruskan pembayaran di tahun ketiga hingga kelima, sementara kontrak yang telah dibuat dengan seller selama lima tahun9. Ketidakpercayaan itu membuat tim berinisiatif merancang besarnya nilai pembayaran berdasarkan perhitungan kasar. Perhitungan dilakukan dengan membagi rata uang yang diterima di tahun pertama untuk 50 ha lahan selama lima tahun. Uang yang diterima di tahun pertama sebesar Rp 300.000.000,00, setelah diperkirakan mengalami penyusutan akibat biaya administrasi sebesar Rp 50.000.000,00 dari nilai awal Rp 350.000.000,00. Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh nilai pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp 1.200.000,00 per ha. Nilai ini yang sampai sekarang dipertahankan oleh FKDC sebagai nilai pembayaran jasa lingkungan kepada
seller.
9
Hasil wawancara dengan Koordinator Jasa Lingkungan FKDC, Hardono pada tanggal 23 Maret 2009
Selisih nilai transaksi pembelian dari buyer ke FKDC dan transaksi pembayaran dari FKDC kepada seller disimpan oleh Bendahara Koordinator Jasa Lingkungan. Uang ini akan dipakai untuk transaksi pembayaran kepada Desa Citaman hingga tahun 2009, Desa Cikumbueun dan Kadu Agung hingga tahun 201210. Perjanjian di awal dengan PT. KTI, model pembayaran jasa lingkungan yang akan mendapat pembayaran sebenarnya hanya seluas 50 ha. Pada kenyataannya forum menambah luasan lahan lokasi penyedia jasa lingkungan sebesar 50 ha di tahun 2008 setelah kontrak dengan Cibojong diputus, sehingga total luasan lahan yang mendapat pembayaran saat ini seluas 75 ha. Berikut hasil negosiasi yang dicapai Kelompok Tani Karya Muda dan FKDC (FKDC, 2007): 1) Penyedia jasa menerima untuk dibayar sebesar Rp 1.200.000,00 per ha per tahun 2) Jangka waktu perjanjian transaksi jasa lingkungan antara FKDC dengan penyedia selama lima tahun 3) Realisasi transaksi jasa lingkungan akan diterima penyedia dalam tiga tahapan dengan ketentuan sebagai berikut: a. 30% dari jumlah transaksi yang akan diterima penyedia dalam satu tahun pada saat penandatanganan kontrak, b. 30% dari jumlah transaksi yang akan diterima penyedia dalam satu tahun pada bulan ke enam setelah penandatanganan kontrak, c. 40% dari jumlah transaksi yang akan diterima penyedia dalam satu 10
Hasil wawancara dengan Sekjen FKDC, Nana P.R pada tanggal 17 Maret 2009
tahun pada bulan ke-12 setelah penandatanganan kontrak Selain kesepakatan di atas, Kelompok Tani Karya Muda II sepakat untuk 5% dari nilai pembayaran jasa lingkungan disisihkan untuk kas kelompok. Dana tersebut digunakan kelompok untuk membangun bisnis kelompok dan membenahi fasilitas air bersih.
6.3.
Skema Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan yang Sedang Berjalan Penyedia Jasa Lingkungan
Pemanfaat Jasa Lingkungan
FKDC
Jasa Lingkungan Transaksi Pembelian Transaksi Pembayaran Sumber: Forum Komunikasi DAS Cidanau, 2007
Gambar 11. Skema Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau yang Sedang Berjalan Skema mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau yang berjalan saat ini terjadi atas hasil kesepakatan antara FKDC dengan penyedia jasa lingkungan dan pemanfaat jasa lingkungan. Anggota kelompok Tani karya Muda II sebagai
penyedia jasa lingkungan bertindak sebagai seller. Kapasitasnya adalah sebagai penjual jasa lingkungan yang dihasilkan. Jasa lingkungan yang dimaksud adalah jasa perlindungan terhadap tata air atau hidrologi. Penyedia jasa menghasilkan jasa lingkungan karena usahanya untuk tidak menebang pohon di lokasi model penyedia jasa lingkungan. Tidak ditebangnya pohon berimplikasi pada terjaganya fungsi pohon dalam menjaga sistem hidrologi, sehingga terjaga pula debit air yang mengalir di hulu hingga hilir DAS Cidanau. Jasa perlindungan sistem tata air atau hidrologi yang dihasilkan kemudian dimanfaatkan untuk keperluan komersil PT. KTI. Jasa lingkungan menjadi penting bagi PT. KTI karena usahanya bergerak di bidang penyediaan air bersih. Air baku untuk proses produksi diambil dari Sungai Cidanau, dan keberlanjutannya dijamin oleh kelestarian DAS Cidanau. Kesadaran akan peran penting DAS Cidanau terhadap keberlanjutan usaha, membuat PT. KTI bersedia menjadi buyer. Negosiasi antara FKDC dengan PT. KTI didapat hasil bahwa PT. KTI memiliki keinginan membayar (willingness to pay) sebesar Rp 3.500.000 per ha per tahun (sebelum mengalami pemotongan). Nilai pembayaran ini akan digunakan sebagai insentif bagi penyedia jasa lingkungan untuk melakukan upaya konservasi terhadap pohon yang ada di atas lokasi model penyedia jasa lingkungan. Selanjutnya, mekanisme transaksi dari PT. KTI kepada penyedia jasa lingkungan diserahkan sepenuhnya kepada FKDC dengan berlandaskan prinsip
transparant, accountable dan professional. Mekanisme transaksi secara tidak langsung (indirect payment) dari PT. KTI kepada penyedia jasa lingkungan menempatkan FKDC sebagai mediator transaksi. FKDC sebagai mediator transaksi
bertugas untuk mengelola hasil transaksi pembelian jasa lingkungan dari PT. KTI untuk selanjutnya disalurkan melalui transaksi pembayaran kepada Kelompok Tani Karya Muda II. Dalam organisasi FKDC, dana pembayaran jasa lingkungan dikelola langsung oleh koordinator jasa lingkungan. Koordinator jasa lingkungan ini yang melakukan transaksi pembelian sekaligus transaksi pembayaran kepada kedua belah pihak secara langsung.
6.4
Skema Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan di Masa Depan Masyarakat Nasional dan Internasional
FKDC
PEMERINTAH
LPJL Pemanfaat JasaLingkungan Non-Pemerintah
Kelompok Penyedia Jasa Lingkungan
:Financial Flow :Carbon Credit :Benefits :Audit :Techical Assistance and monitoring
Sumber: Forum Komunikasi DAS Cidanau, 2007
Reforestation
Forest management
Forest protection
LSM/ KONSULTAN
Gambar 12. Skema Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan di Masa Depan Skema mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau memiliki bentuk yang lebih advance. Terdapat beberapa pihak baru yang terlibat dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Pihak-pihak tersebut adalah masyarakat nasional dan internasional, pemerintah, Lembaga Pengelola Jasa Lingkungan (LPJL) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau konsultan.
Buyer dalam skema mekanisme yang sedang berjalan hanya terdiri dari satu pemanfaat jasa lingkungan non-pemerintah (PT. KTI). Buyer dalam skema mekanisme pembayaran jasa lingkungan masa depan diharapkan tidak hanya terdiri dari satu pemanfaat jasa lingkungan, tetapi juga ada keterlibatan dari pemerintah, masyarakat nasional maupun internasional, dan lebih banyak lagi pemanfaat jasa lingkungan non-pemerintah. Isu yang diangkat dalam skema mekanisme ini pun lebih luas, tidak hanya menyangkut jasa lingkungan DAS Cidanau sebagai pelindung sistem tata air atau hidrologi tetapi juga menyangkut jasa lingkungan DAS Cidanau sebagai penyerap dan penyimpan karbon. Fungsi ini dapat dirasa tidak hanya oleh masyarakat sekitar DAS Cidanau tetapi juga oleh masyarakat luas. Hal ini yang menjadi alasan masyarakat lokal dan internasional diharapkan dapat menjadi pemanfaat jasa lingkungan dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Peran FKDC dalam skema ini tidak lagi sama seperti perannya dalam mekanisme yang sedang berjalan. Peran FKDC ke depan adalah membuat dan menerapkan strategi pemasaran perdagangan karbon untuk masyarakat internasional, tidak lagi mengurus masalah transaksi dan pengelolaan dana hasil transaksi. Transaksi dan pengelolaan dana hasil transaksi ditangani oleh Lembaga Pengelolaan
Jasa Lingkungan (LPJL). LPJL tidak berada di bawah payung FKDC. Semua hal yang berhubungan dengan marketing strategy carbon trade dan regulasi yang berlangsung di DAS Cidanau termasuk reforestration, forest management dan forest
protection berada dalam kepengurusan FKDC, namun seluruh hal yg berhubungan dengan transaksi berada dalam tanggung jawab LPJL. Bagi buyer
dari masyarakat internasional, penerapan marketing strategy
menjadi tanggung jawab FKDC. Apabila strategi tersebut berhasil dan target setuju untuk menjadi buyer, selanjutnya transaksi akan di ambil alih oleh LPJL. Atas usahanya memperoleh buyer, FKDC berhak mendapat transaction cost dari dana yang diterima dari buyer. Bagi pemanfaat lokal dan pemerintah, masalah penerapan strategi pemasaran hingga transaksi dilakukan oleh LPJL. Setelah itu, uang yang dikelola LPJL disalurkan kepada kelompok penyedia jasa lingkungan yang melakukan: 1.
Reforestration,
2. Forest management (pengelolaan hutan), dengan diberlakukannya tebang pilih (daur tebang) oleh kelompok sehingga kawasan hutan tidak pernah gundul, 3. Forest protection (perlindungan terhadap hutan), dengan dijadikannya kawasan hutan sebagai kawasan lindung oleh masyarakat. Selain itu, dalam mekanisme terlibat juga LSM dan konsultan yg bertindak sebagai lembaga yg melakukan pendampingan terhadap jalannya mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang ada.
VII. PENILAIAN TERHADAP PROGRAM PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN 7.1.
Penilaian Responden terhadap Perubahan Kualitas Lingkungan setelah Adanya Program Pembayaran Jasa Lingkungan Program Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) terbentuk sebagai respon akibat
adanya degradasi alam yang terjadi di hulu DAS Cidanau, dan Desa Citaman merupakan salah satu wilayah yang mengalami degradasi tersebut. Desa Citaman terutama lokasi yang menjadi model PJL saat itu tergolong lahan kritis. Di lahan tersebut hanya sedikit saja yang ditumbuhi pepohonan, sekalipun ada hanyalah pohon-pohon dalam ukuran rendah11. Hal ini terjadi akibat aktivitas ekonomi masyarakat sekitar hutan yang mengambil hasil hutan, terutama kayu yang di pasaran mempunyai nilai tinggi. Perambahan hutan secara langsung menyebabkan berkurangnya tegakan pohon (kayu) dan sekaligus menyebabkan hilangnya fungsi pohon tersebut sebagai penghasil jasa lingkungan. Hilangnya fungsi ini pada saat itu dirasakan dampaknya oleh masyarakat, yang sangat dirasakan adalah kekeringan yang selalu terjadi pada bulan kemarau12. Adanya program PJL mewajibkan seluruh penyedia jasa lingkungan mempertahankan tegakan pohon yang masuk dalam kontrak pembayaran jasa lingkungan. Program ini telah berjalan selama hampir lima tahun, tepatnya 59 bulan saat penelitian ini dilaksanakan. Selama kurun waktu yang sama pula, usaha konservasi telah dilakukan oleh penyedia jasa lingkungan. Selama hampir lima tahun tentu ada perubahan yang terjadi, yang jelas berubah adalah kondisi lokasi model
11 12
Hasil wawancara dengan Sekjen FKDC, Nana P.R pada tanggal 12 Maret 2009 Hasil wawancara dengan Ketua Kelompok Tani Karya Muda II, Bachrani pada tanggal 21 Maret 2009
penyedia jasa lingkungan. Lokasi yang semula tergolong lahan kritis, kini terlihat lebih terjaga. Hal ini dibuktikan dengan rimbunnya pepohonan di lokasi model. Terjaganya kondisi hutan di hulu mengembalikan fungsi hutan sebagai penghasil jasa lingkungan. Penilaian responden mengenai kondisi lingkungan di Desa Citaman didasarkan pada perubahan kualitas lingkungan yang dirasakan masyarakat setelah adanya program PJL. Hasil penelitian terhadap 43 responden anggota Kelompok Tani Karya Muda II menunjukkan bahwa perubahan kualitas lingkungan yang dirasakan setelah adanya upaya konservasi akibat program PJL adalah air menjadi lancar baik di musim hujan maupun di musim kemarau. Hampir seluruh responden merasa kondisi air menjadi lancar setelah adanya program PJL. Sebanyak 39,53% responden merasa selain air menjadi lancar, upaya konservasi juga mengakibatkan hasil panen meningkat. Hal ini dapat terjadi karena dengan adanya upaya konservasi, jumlah pohon yang ditanam meningkat atau tidak ada yang ditebang, sehingga hasil panen dirasa meningkat. Sebanyak 9,30% responden dari 39,53% responden, merasa udara menjadi lebih sejuk. Responden yang responden yang merasa udara menjadi lebih sejuk adalah responden dengan lama tinggal di Desa Citaman sekitar 55 hingga 79 tahun. Berbeda dengan responden dengan lama tinggal cenderung lebih lama, sebanyak 11,63% responden dengan lama tinggal terbilang baru merasa tidak ada perubahan kualitas lingkungan. Selain itu, sebanyak 2,33% menganggap dengan upaya konservasi akibat adanya program PJL merasa longsor menjadi berkurang. Keterangan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 4. Perubahan Kualitas Lingkungan di Desa Citaman Perubahan Kualitas Lingkungan
Jumlah (%)
Air menjadi lancar baik di musim hujan maupun kemarau Air menjadi lancar baik di musim hujan maupun kemarau dan hasil panen meningkat Air menjadi lancar baik di musim hujan maupun kemarau, hasil panen meningkat dan udara menjadi lebih sejuk Tidak ada perubahan Lainnya
Total
46,51 30,23 9,30 11,63 2,33
100
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Peniaian responden terhadap perubahan kualitas lingkungan setelah adanya program PJL dapat dilihat berdasarkan perubahan kualitas lingkungan yang dirasakan. Sebanyak 88,37% responden memberikan penilaian bahwa kualitas lingkungan semakin baik dan 11,63% responden menganggap kualitas lingkungan di Desa Citaman sama saja atau tidak ada perubahan. Keterangan dapat dilihat pada Gambar 13.
11.63% Semakin baik Sama saja 88.37%
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 13. Penilaian Responden terhadap Perubahan Kualitas Lingkungan setelah Adanya Program Pembayaran Jasa Lingkungan 7.2.Pengetahuan Responden Mengenai Peran Penting DAS Cidanau DAS Cidanau memiliki peran penting bagi keberlanjutan kehidupan hulu-hilir sehingga perlu ada upaya konservasi untuk menjaga kelestariannya. Hampir seluruh
masyarakat mengetahui peran penting DAS Cidanau untuk menjamin ketersediaan air, setidaknya ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebanyak 41,86% responden mengetahui peran penting DAS Cidanau untuk menopang aktivitas ekonomi Kota Cilegon. Hal ini disebabkan responden mengetahui bahwa pihak yang membayarakan PJL adalah pihak yang berasal dari Cilegon. Sebanyak 16,28% dari 41,86% responden mengetahui bahwa di DAS Cidanau terdapat Cagar Alam Rawa Danau sebagai satu-satunya situs konservasi rawa pegunungan di Pulau Jawa. Responden lainnya, sebanyak 18,60% menjawab secara bervariasi mengenai peran penting DAS Cidanau. Empat orang menjawab bahwa peran penting DAS Cidanau mempunyai daya tarik wisata dan empat orang lainnya menjawab tidak tahu. Keterangan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Peran Penting DAS Cidanau Peran Penting DAS Cidanau Menjamin ketersediaan air Menjamin ketersediaan air dan penopang aktivitas ekonomi Kota Cilegon Menjamin ketersediaan air, penopang aktivitas ekonomi Kota Cilegon dan terdapat Cagar Alam Rawa Danau sebagai satu-satunya situs konservasi rawa pegunungan di Pulau Jawa Lainnya
Total
Jumlah (%) 39,54 25,58 16,28 18,60
100
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
7.3.
Penilaian Responden terhadap Pentingnya Usaha Konservasi DAS Cidanau Penilaian akan pentingnya usaha konservasi melatarbelakangi motivasi
responden untuk menerima pembayaran jasa lingkungan. Responden yang menganggap usaha konservasi penting, menerima pembayaran jasa lingkungan tidak hanya semata-mata berorientasi pada nilai transaksi yang diterima. Responden yang
menganggap penting usaha konservasi mempunyai kesadaran akan pentingnya alam sekitar untuk dijaga dan bagaimana akibatnya apabila alam tidak dijaga. Sebanyak 41,86% responden menilai usaha konservasi penting dilakukan bagi kelestarian DAS Cidanau dan sebanyak 58,14% masyarakat menilai usaha konservasi tidak penting untuk dilakukan. Keterangan dapat dilihat pada Gambar 14.
41.86%
Penting Tidak penting
58.14%
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 14. Penilaian Responden Mengenai Pentingnya Usaha Konservasi Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa penyedia jasa lingkungan cenderung menerima pembayaran jasa lingkungan didasari atas motivasi nilai transaksi yang diterima. Responden yang menganggap konservasi tidak penting memberikan alasan yang berbeda-beda. Sebagian besar responden memberikan alasan menganggap usaha konservasi tidak penting karena tidak paham akan konservasi dan merasa upaya konservasi bukan merupakan kewajiban masyarakat. Keterangan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Alasan Menganggap Usaha Konservasi Tidak Penting Alasan Jumlah (%) Bukan merupakan kewajiban Merupakan kewajiban pemerintah Perkebunan)
40,00 (Dinas
Kehutanan
dan 16,00
Tuntutan ekonomi yang mengakibatkan semua tindakan yang dilakukan akhirnya tidak mengindahkan konservasi Tidak paham akan konservasi
Total
8,00 36,00
100
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Namun, selisih persentase antara responden yang menganggap usaha konservasi penting dan tidak penting sangat kecil. Hal ini terjadi karena sering diadakannya penyuluhan di desa ini mengenai pentingnya usaha konservasi, baik oleh pemerintah maupun lembaga yang berhubungan dengan program pembayaran jasa lingkungan. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat Desa Citaman akan pentingnya upaya konservasi lebih baik dari daerah lain di sekitar kawasan DAS Cidanau. Selain itu, perubahan lingkungan yang semakin baik akibat adanya upaya konservasi dari program pembayaran jasa lingkungan juga menyebabkan masyarakat merasa perlu untuk terus melakukan usaha konservasi.
7.4.
Pengetahuan Lingkungan
Responden
Mengenai
Program
Pembayaran
Jasa
Program PJL melibatkan PT. KTI sebagai konsumen jasa lingkungan (ketersediaan air) dan Kelompok Tani Karya Muda II sebagai penyedia jasa lingkungan. Guna mengidentifikasi pengetahuan responden mengenai program PJL, dirancang beberapa pertanyaan mengenai pengetahuan responden tentang pihak yang selama ini membayarkan jasa lingkungan, alasan pihak tersebut membayarkan jasa lingkungan dan peran responden dalam program. Mengenai pihak yang selama ini membayarkan pembayaran jasa lingkungan, sebanyak 32,56% responden mengetahui bahwa PT. KTI merupakan perusahaan yang selama ini membayarkan jasa lingkungan. Sebanyak 67,44% responden tidak
mengetahui secara pasti bahwa PT. KTI yang selama ini membayarkan jasa lingkungan. Terdapat jawaban beragam diantara responden yang tidak mengetahui pasti pihak yang membayarkan jasa lingkungan, yang responden tahu pasti adalah pihak tersebut berasal dari Cilegon. Sebagian besar dari mereka mengarah pada satu nama, yaitu Bapak Nana Pra Rahadian, Sekertaris Jenderal FKDC sekaligus Direktur Eksekutif LSM Rekonvasi Bhumi. Pendugaan ini dapat disebabkan LSM ini merupakan pihak yang sering terlibat langsung membina masyarakat. Selain itu, hal ini disebabkan pula oleh kurangnya intensitas pertemuan secara langsung antara pihak dari PT. KTI dengan masyarakat. Intensitas yang rendah ini terjadi akibat disepakatinya metode indirect
payment dalam pembayaran jasa lingkungan kepada penyedia jasa. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 15.
32.56% Tahu, PT.KTI Tidak tahu 67.44%
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 15. Pengetahuan Responden Mengenai Pihak yang Membayarkan Pembayaran Jasa Lingkungan Mengenai pertanyaan alasan pihak tersebut membayarkan jasa lingkungan, hampir seluruh responden menganggap bahwa alasannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebanyak
responden mengetahui bahwa alasan
perusahaan membayarkan pembayaran jasa lingkungan adalah karena usahanya bergantung pada kelestarian DAS Cidanau. Sebanyak 11,63% dari 41,86% responden mengetahui bahwa alasan perusahaan membayarkan pembayaran jasa lingkungan adalah karena masyarakat model penyedia jasa lingkungan merupakan produsen jasa lingkungan dan PT. KTI merupakan konsumen dari jasa lingkungan (ketersediaan air). Sebanyak 6,98 persen responden mengaku tidak tahu alasan perusahaan membayarkan pembayaran jasa lingkungan. Identifikasi mengenai pengetahuan responden menghasilkan kesimpulan bahwa masih sedikit masyarakat yang paham akan alasan sebenarnya dilakukan pembayaran jasa lingkungan. Hal ini terbukti hanya 11,63 persen responden yang mengetahui pasti bahwa alasan perusahaan membayarkan pembayaran jasa lingkungan adalah karena masyarakat model penyedia jasa lingkungan merupakan produsen jasa lingkungan dan PT. KTI merupakan konsumen dari jasa lingkungan (ketersediaan air). Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Alasan Perusahaan Membayarkan Jasa Lingkungan Alasan Perusahaan Membayarkan Jasa Lingkungan Jumlah (%) Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan karena sadar bahwa usahanya bergantung pada kelestarian DAS Cidanau Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena sadar bahwa usahanya bergantung pada kelestarian DAS Cidanau dan karena masyarakat model penyedia jasa lingkungan merupakan seller dan PT. KTI merupakan buyer dari jasa lingkungan (air) Lainnya
Total
51,16 30,23
11,63 6,98
100
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Mengenai pertanyaan peran responden dalam program pembayaran jasa lingkungan, sebanyak 79,07% responden mengetahui peran mereka dalam program.
Sebanyak 20,93% responden menjawab tidak tahu peran mereka dalam program . Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 16.
20.93% Tahu Tidak tahu 79.07%
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 16. Pengetahuan Responden Mengenai Perannya dalam Program Pembayaran Jasa Lingkungan Sebagian besar responden paham kewajiban mereka dalam program ini adalah untuk menjaga tegakan pohon yang temasuk ke dalam kontrak PJL. Pemahaman tersebut dibuktikan dengan pernyataan masyarakat bahwa solusi mereka ambil apabila sedang mengalami kekurangan finansial bukan dgn menebang kayu, tetapi lebih baik mereka tutupi dengan meminjam uang13. Masyarakat sangat mengerti bahwa pohon yg mereka miliki di lokasi model PJL telah dikontrak untuk tidak ditebang. Pemahaman responden mengenai kontrak didapat dari pendampingan oleh LSM yang berlangsung sekitar dua tahun sebelum berjalannya kontrak dan dari Ketua Tani. Peran Ketua Tani sangat besar dalam membentuk pemahaman masyarakat akan kontrak, karena sebagian besar responden mengaku kesulitan memahami bahasa yang dipakai penyuluh. Ketua Tani mengadakan pertemuan setiap satu minggu sekali 13
Hasil wawancara dengan anggota Kelompok Tani Karya Muda II, pada tanggal 19 Maret 2009
untuk menyampaikan berbagai informasi mengenai program PJL, berdiskusi apabila ada suatu masalah atau hal yang tidak dimengerti, dan untuk menjaga kerukunan antar anggota kelompok14.
7.5.
Penilaian Responden terhadap Program Pembayaran Jasa Lingkungan Program pembayaran jasa lingkungan di Desa Citaman telah berlangsung lima
tahun. Lamanya kontrak yang telah berlangsung diharapkan dapat membuat masyarakat dapat memberi penilaian akan jalannya program pembayaran jasa lingkungan yang telah berlangsung. Sebanyak 67,44% responden memberi penilaian baik untuk jalannya program pembayaran jasa lingkungan dan 32,56% responden responden menyatakan tidak baik. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 17.
32.56% Baik Buruk 67.44%
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 17. Penilaian Responden terhadap Program Pembayaran Jasa Lingkungan yang Sedang Berjalan Sebagian besar responden memberikan penilaian baik terhadap jalannya program pembayaran jasa lingkungan. Alasan responden dalam memberikan
14
Hasil wawancara dengan Ketua Kelompok Tani Karya Muda II, Bachrani pada tanggal 20 Maret 2009
penilaian baik terhadap jalannya program adalah karena hingga tahun terakhir kontrak nilai pembayaran sampai kepada kelompok sesuai dengan kesepakatan yang ada. Responden yang menilai buruk terhadap program memberi alasan bahwa terkadang terjadi keterlambatan dalam pembayaran jasa lingkungan.
7.6.
Penilaian Responden terhadap Cara Penetapan Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan Nilai pembayaran jasa lingkungan yang selama ini dibayarkan diperoleh
dengan jalan negosiasi. Saat proses penetapan, pengambilan keputusan hanya diwakili oleh Kepala Tani, bukan atas keinginan sebenarnya dari seluruh masyarakat untuk menerima pembayaran. Sebanyak 83,72% responden menjawab tahu cara penetapan tersebut dan sebanyak 16,28% menjawab tidak tahu. Keterangan dapat dilihat pada Gambar 18.
16.28% Tahu Tidak Tahu 83.72%
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 18. Pengetahuan Responden Mengenai Pembayaran Jasa Lingkungan
Cara
Penetapan
Nilai
Hampir seluruh responden mengetahui cara penetapan nilai pembayaran. Hal ini disebabkan hampir seluruh anggota Kelompok Tani Karya Muda II menghadiri
proses penetapan nilai pembayaran15. Sebanyak 60,47% responden memberi penilaian buruk terhadap cara penetapan nilai pembayaran jasa lingkungan dan sebanyak 39,53% responden memberikan penilaian baik. Keterangan dapat dilihat pada Gambar 19.
39.53% Baik Buruk 60.47%
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 19. Penilaian Responden Mengenai Cara Penetapan Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan Hasil survei memperlihatkan selisih jumlah responden yang memberikan penilaian baik dan buruk tidak terlalu jauh berbeda. Hal ini terjadi karena kepercayaan yang tinggi dari anggota kelompok terhadap ketua kelompok tani. Proses penetapan nilai pembayaran secara negosiasi dinilai oleh responden sebagai proses musyawarah. Musyawarah telah menjadi bagian dari budaya Kelompok Tani Karya Muda II dalam mencari solusi akan suatu permasalahan tertentu. Dalam setiap musyawarah, anggota kelompok selalu memberi kepercayaan kepada ketua kelompok tani untuk memimpin musyawarah dan mengambil keputusan terbaik. Tingginya kepercayaan 15
Hasil wawancara dengan Ketua Kelompok Tani Karya Muda II, Bachrani pada tanggal 19 Maret 2009
masyarakat terhadap ketua tani yang menjadikan banyak responden menilai cara penetapan nilai pembayaran jasa lingkungan tergolong baik. Responden yang memberikan penilaian buruk terhadap cara penetapan nilai pembayaran memberikan alasan, akibat cara penetapan nilai pembayaran yang seperti itu responden merasa tidak dapat mengungkapkan penawaran sesuai dengan keinginannya.
7.7.
Kepuasan terhadap Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan Hasil Negosiasi Negosiasi penetapan nilai pembayaran jasa lingkungan menghasilkan nilai
pembayaran yang disepakati sebesar Rp 1.200.000,00 per ha per tahun atau Rp 2.400,00 per pohon per tahun. Kepuasan terhadap nilai pembayaran jasa lingkungan hasil negosiasi didasarkan pada kesesuaian nilai pembayaran jasa lingkungan hasil negosiasi dengan keinginan sebenarnya responden untuk menerima nilai pembayaran dan tercukupinya kebutuhan pokok responden akibat adanya pendapatan tambahan dari pembayaran jasa lingkungan. Sebanyak 86,05% responden merasa tidak puas akan nilai pembayaran jasa lingkungan hasil negosiasi dan sebanyak 13,95% merasa puas. Keterangan dapat dilihat pada Gambar 20.
13.95% Puas Tidak puas 86.05%
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 20.
Kepuasan Responden terhadap Lingkungan Hasil Negosiasi
Nilai
Pembayaran
Jasa
Sebagian besar responden merasa tidak puas dengan nilai pembayaran hasil negosiasi. Hal ini terjadi karena sejak awal penetapan nilai pembayaran, masyarakat tidak setuju dengan nilai yang ditetapkan. Alasan masyarakat menerima nilai pembayaran jasa lingkungan hasil negosiasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8.
Alasan Responden Menerima Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan Hasil Negosiasi Alasan
Butuh pendapatan tambahan Butuh pendapatan tambahan dan sangat percaya pada tokoh setempat (Ketua Kelompok Tani Karya Muda II) Butuh pendapatan tambahan, sangat percaya pada tokoh setempat (Ketua Kelompok Tani Karya Muda II), dan tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima keputusan yang ada Lainnya
Total
Jumlah (%) 27,91 20,93 46,51 6,98
100
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Hampir seluruh responden memberikan alasan menerima nilai pembayaran hasil negosiasi karena butuh pendapatan tambahan. Hal ini terkait dengan tingkat pendapatan mereka yang rendah. Pendapatan yang rendah menyebabkan masyarakat sering mengalami kekurangan finansial dalam hal menutupi kebutuhan sehari-hari. Adanya pembayaran jasa lingkungan dianggap masyarakat sebagai kesempatan untuk mendapatkan sumber pendapatan tambahan, sehingga berapa pun besarnya nilai pembayaran akan mereka terima guna membantu menutupi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, sebanyak 67,44% responden merasa sangat percaya pada Ketua Kelompok Tani Karya Muda II sehingga berapa pun nilai hasil negosiasi, masyarakat bersedia menerimanya. Sebanyak 46,51% dari 67,44% responden memberikan alasan
tambahan bahwa responden bersedia menerima nilai hasil negosiasi karena merasa tidak dapat berbuat apa pun selain menerima keputusan yang ada.
VIII. ANALISIS WILLINGNESS TO ACCEPT 8.1.
Analisis Kesediaan Menerima Responden terhadap Nilai Pembayaran Sesuai Skenario yang Ditawarkan Ketidakpuasan responden akan nilai pembayaran jasa lingkungan yang ada
dikhawatirkan akan mendorong masyarakat untuk kembali pada pola aktivitas ekonomi yang tidak mengindahkan kelestarian hutan. Terkait rencana akan dilanjutkannya program pembayaran jasa lingkungan di lokasi model Desa Citaman, maka diperlukan instrumen ekonomi yang dapat mendekati nilai kesediaan masyarakat untuk menerima pembayaran akibat upaya konservasi yang harus dilakukan terhadap lahan miliknya. Hal ini salah satunya dapat didekati dengan analisis Willingness To Accept (WTA). Sebelum melakukan analisis Willingness To Accept perlu identifikasi terhadap kesediaan responden dalam menerima nilai pembayaran sesuai skenario yang ditawarkan. Sebanyak 43 responden yang dimintai pendapatnya mengenai kesediaan atau ketidaksediaan menerima nilai pembayaran sesuai skenario yang ditawarkan, terdapat 95,35% responden bersedia menerima dan 4,65% responden tidak bersedia menerima nilai pembayaran. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 21.
4.65%
Bersedia Tidak bersedia
95.35%
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 21.
Kesediaan Responden dalam Menerima Nilai Pembayaran Sesuai Skenario yang Ditawarkan
Hampir seluruh responden bersedia menerima nilai pembayaran sesuai skenario yang ditawarkan. Alasan responden menerima nilai pembayaran yang baru adalah: 1. Tidak puas terhadap nilai pembayaran jasa lingkungan yang ditetapkan dengan jalan negosiasi. 2. Biaya kebutuhan hidup semakin tinggi. Nilai pembayaran jasa lingkungan yang pada awalnya diharapkan dapat membantu masyarakat menutupi kebutuhan hidup sudah tidak dapat menutupinya lagi. 3. Nilai kayu di lokasi model pembayaran jasa lingkungan semakin tinggi, sehingga diperlukan peningkatan nilai pembayaran jasa lingkungan. Peningkatan nilai pembayaran ini sebagai insentif agar masyarakat tetap menjaga tegakan pohon di atas lahan miliknya. Terdapat dua orang responden yang tidak bersedia menerima nilai pembayaran sesuai skenario yang ditawarkan. Alasan dua responden tersebut adalah karena keduanya menganggap nilai pembayaran tersebut merupakan sesuatu yang harus disyukuri. Keduanya merasa tidak ada yang dikorbankan dalam mengikuti program PJL, program ini tidak membuat anggota kelompok kehilangan tegakan pohon yang ada di atas lahan miliknya. Kondisi frekuensi potensial dan aktual dari jumlah responden yang bersedia atau tidak bersedia menerima nilai pembayaran sesuai skenario yang ditawarkan dapat dilihat pada Tabel 9 dan koreksi nilai potensial dan aktual dapat dilihat pada
Tabel 10. Kondisi potensial ditunjukkan dengan nilai harapan (expectation) dan kondisi aktual persepsi responden ditunjukkan dengan nilai observasi (observation). Kedua tabel tersebut memberikan informasi mengenai jumlah responden yang secara aktual dan potensial akan bersedia atau tidak bersedia menerima peningkatan nilai pembayaran.
Tabel 9.
Frekuensi Observasi dan Harapan Peluang Responden Bersedia atau Tidak Bersedia Menerima Peningkatan Nilai Pembayaran Group Total 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Value 1 Obs Exp Value 0 Obs Exp Total
2,0 2,0
4,0 4,0
4,0 4,0
5,0 5,0
4,0 4,0
4,0 4,0
5,0 5,0
4,0 4,0
4,0 4,0
5,0 5,0
41,0 41,0
2,0 0,0 0,0 0,0 2,0 0,0 0,0 0,0 4,0 4,0 4,0 5,0 Sumber: Data Primer Diolah, 2009
0,0 0,0 4,0
0,0 0,0 4,0
0,0 0,0 5,0
0,0 0,0 4,0
0,0 0,0 4,0
0,0 0,0 5,0
2,0 2,0 43,0
Tabel 9 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kondisi aktual dan kondisi potensial jumlah responden yang bersedia atau tidak bersedia menerima peningkatan nilai pembayaran.
Tabel 10. Koreksi Nilai Observasi dan Harapan Peluang Responden Bersedia atau Tidak Bersedia Menerima Peningkatan Nilai Pembayaran Harapan Koreksi Observasi
Bersedia Tidak bersedia Total
Bersedia 41 0 41
Tidak Bersedia 0 2 2
Total 41 2 43
Nilai Keseluruhan Terkoreksi
95,35% 4,65% 100% 100%
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Tabel 10 bersedia
menunjukkan nilai observasi dan harapan peluang responden
menerima
peningkatan
nilai
pembayaran
jasa
lingkungan
secara
keseluruhan. Berdasarkan tabel 10 terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan antara
nilai observasi dan nilai harapan responden dengan nilai koreksi sebesar 100%. Hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara responden yang secara aktual dan potensial akan bersedia atau tidak bersedia menerima peningkatan nilai pembayaran.
8.2.
Analisis Willingness To Accept dengan Pendekatan Contingent Valuation Method Pendekatan CVM dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis WTA
responden terhadap adanya program pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau. Hasil pelaksanaan enam langkah kerja adalah sebagai berikut:
1.
Membangun Pasar Hipotetis (Setting Up The Hypothetical Market) Seluruh responden diberi informasi bahwa sehubungan dengan peran penting DAS Cidanau, dibuatlah program pembayaran jasa lingkungan yang melibatkan PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) dan Kelompok Tani Karya Muda II. Anggota Kelompok Tani Karya Muda II diharuskan mengkonservasi atau menjaga setiap pohon yang terikat kontrak di atas lahan miliknya. Usaha konservasi tersebut mendapat pembayaran Rp 1.200.000,00 per ha per tahun atau Rp 2.400,00 per pohon per tahun. Besarnya nilai pembayaran ditetapkan melalui negosiasi. Proses pengambilan keputusan dalam negosiasi hanya diwakili oleh suara dari Kepala Tani bukan didasarkan pada keinginan masyarakat untuk menerima nilai pembayaran. Nilai pembayaran terlalu rendah bila dibandingkan dengan fungsi hidrologi yang dihasilkan. Hal ini dikhawatirkan akan memicu masyarakat untuk kembali pada pola aktivitas ekonomi sebelumnya yang tidak mengindahkan upaya konservasi terhadap pohon di atas lahan miliknya. Oleh karena itu, dalam rangka
pengelolaan DAS Cidanau yang lebih baik akan diajukan suatu kebijakan baru untuk meningkatkan nilai pembayaran program pembayaran jasa lingkungan berdasarkan
keinginan
masyarakat.
Kebijakan
tersebut
disertai
dengan
persyaratan bahwa masyarakat penyedia jasa harus meningkatkan upaya konservasi terhadap lahan dan tegakan pohon di atas lahan miliknya. Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan insentif serta kesadaran masyarakat dalam usaha mengkonservasi daerah hulu DAS Cidanau.
2.
Memperoleh Nilai WTA (Obtaining Bids) Besarnya nilai WTA didapatkan dari hasil wawancara (tatap muka) kepada responden dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam kuisioner. Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, maka didapat pilihan nilai pembayaran yang bersedia diterima responden. Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh ratarata nilai WTA responden sebesar Rp 5.056,98 per pohon per tahun.
3.
Menghitung Dugaan Nilai Rataan WTA (Estimating Mean WTA/EWTA) Dugaan nilai rataan WTA (EWTA) responden dihitung berdasarkan data distribusi WTA responden. Data distribusi WTA responden dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Distribusi WTA Responden Nilai WTA Frekuensi Frekuensi No (Rp/pohon/tahun) (Orang) relatif 1 2.400,00 2 0,05 2 3.650,00 1 0,02 3 3.900,00 1 0,02 4 4.150,00 2 0,05 5 4.650,00 4 0,09 6 4.900,00 7 0,16 7 5.150,00 6 0,14
Mean WTA (Rp) 111,63 84,88 90,70 193,02 432,56 797,67 718,60
8 5.400,00 9 5.650,00 10 5.900,00 Total
8 4 8 43
0,19 0,09 0,19 1,00
1.004,65 525,58 1.097,67 5.056,98
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Perhitungan terhadap dugaan nilai rataan WTA (EWTA) menghasilkan nilai sebesar Rp 5.056,98 per pohon per tahun. Nilai ini bila dikonversikan untuk pembayaran satu hektar lahan dengan jumlah pohon per hektar 500 pohon maka didapat nilai sebesar Rp 2.528.490,00 per ha per tahun. Nilai tersebut berada di atas nilai pembayaran jasa lingkungan yang selama ini diberikan kepada penyedia jasa lingkungan. Nilai pembayaran jasa lingkungan yang selama ini diberikan bersumber pada hasil negosiasi antara Kelompok Tani Karya Muda II dengan FKDC. Negosiasi menghasilkan nilai pembayaran sebesar Rp 1.200.000,00 per ha per tahun. Hasil penelitian terhadap Kelompok Tani Karya Muda II sebagian besar merasa tidak puas
terhadap
besarnya
dana
pembayaran
hasil
negosiasi.
Pangkal
permasalahannya adalah pada proses penetapan pembayaran jasa lingkungan secara negosiasi yang dinilai buruk oleh sebagian besar masyarakat. Masyarakat merasa dengan cara penetapan seperti itu masyarakat tidak dapat mengungkapkan secara terbuka nilai pembayaran yang diinginkan. Nilai pembayaran yang sesungguhnya diinginkan masyarakat saat proses negosiasi lebih tinggi dari yang berlaku saat ini. Dilatarbelakangi ketidakpercayaan tim Ad
hoc akan komitmen dari PT. KTI untuk menepati kesepakatan pembayaran yang telah dibuat, maka nilai pembayaran didasarkan pada perhitungan kasar yang
menghasilkan nilai sebesar Rp 1.200.000,00 per ha per tahun16. Terdapat unsur keterpaksaan dari masyarakat dalam menerima nilai pembayaran. Berdasarkan hasil penelitian diketahui faktor masyarakat menerima nilai pembayaran hasil negosiasi adalah karena masyarakat membutuhkan sumber pendapatan untuk menutupi biaya kebutuhan hidup, sehingga berapa pun besarnya terpaksa mereka terima. Nilai kompensasi dari hasil analisis WTA berbeda dengan nilai pembayaran hasil negosiasi. Nilai hasil analisis WTA mencerminkan nilai kompensasi yang sebenarnya ingin diterima masyarakat. Hasil perhitungan terhadap nilai WTA menunjukkan nilai yang lebih besar dari nilai pembayaran yang selama ini diterima. Ini menunjukkan keinginan masyarakat untuk menerima kompensasi akibat upaya konservasi yang harus dilakukan lebih besar daripada nilai kompensasi yang selama ini diterima. Hal ini selain disebabkan oleh faktor ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil pembayaran secara negosiasi juga disebabkan oleh kebutuhan hidup yang semakin tinggi17 Program pembayaran jasa lingkungan sudah berjalan selama hampir lima tahun di Citaman. Dalam kurun waktu lima tahun telah terjadi kenaikan harga barang termasuk harga kebutuhan sehari-hari. Sementara harga kebutuhan meningkat, di lain pihak kebutuhan masyarakat tetap bahkan cenderung meningkat. Hal ini menyebabkan besarnya pembayaran yang semula diharapkan menjadi sumber pendapatan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dirasa tidak banyak 16
Proses perumusan nilai pembayaran terhadap penyedia jasa lingkungan dapat dilihat pada Bab VI Subbab 6.2. 17 Hasil wawancara dengan masyarakat Desa Citaman selama penelitian
membantu. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan memacu masyarakat untuk kembali menebang pohon untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Berkaitan dengan hal tersebut, maka peningkatan pembayaran jasa lingkungan dirasa perlu dilakukan.
4.
Menduga Bid Curve Kurva WTA responden dibentuk berdasarkan nilai WTA responden terhadap dana kompensasi atau nilai pembayaran jasa lingkungan yang diinginkan. Kurva WTA ini menggambarkan hubungan tingkat WTA yang diinginkan (dalam Rp/pohon/tahun) dengan jumlah responden yang bersedia menerima pada tingkat WTA tersebut (orang). Berdasarkan jawaban yang diperoleh dari responden, maka nilai WTA dapat digolongkan menjadi sepuluh kelompok seperti dijelaskan pada Tabel 12 dan didapat kurva tawaran WTA yang dapat dilihat pada Gambar 22.
Tabel 12. Besaran Nilai WTA Responden Nilai WTA Frekuensi No (Rp/pohon/tahun) (Orang) 1 2.400,00 2 2 3.650,00 1 3 3.900,00 1 4 4.150,00 2 5 4.650,00 4 6 4.900,00 7 7 5.150,00 6 8 5.400,00 8 9 5.650,00 4 10 5.900,00 8 Total 43 Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Jumlah (Orang) 2 3 4 6 10 17 23 31 35 43 43
Responden
WTA (Rp/pohon/tahun)
7000 6000 5000 4000 WTA 3000 2000 1000 0 2
3
4
6
10
17
23
31
35
43
Jumlah Responden (Orang)
Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Gambar 22. Dugaan Kurva Tawaran WTA Responden 5.
Menentukan Total WTA (Agregating Data) Hasil perhitungan WTA total dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai total WTA Kelompok Tani Karya Muda II sebesar Rp 217.450,00 per pohon per tahun.
Tabel 13. Total WTA (TWTA) Responden Nilai WTA No (Rp/pohon/tahun) 1 2.400,00 2 3.650,00 3 3.900,00 4 4.150,00 5 4.650,00 6 4.900,00 7 5.150,00 8 5.400,00 9 5.650,00 10 5.900,00 Total Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Frekuensi (Orang) 2 1 1 2 4 7 6 8 4 8 43
Jumlah WTA (Rp/pohon/tahun) 4.800,00 3.650,00 3.900,00 8.300,00 18.600,00 34.300,00 30.900,00 43.200,00 22.600,00 47.200,00 21.7450,00
Lokasi model penyedia jasa lingkungan mempunyai luas lahan sebesar 25 ha dengan tiap ha lahan ditumbuhi pohon berjumlah 500 pohon, sehingga untuk 25 ha terdapat 12.500 pohon. Hasil perhitungan terhadap TWTA responden diperoleh nilai sebesar Rp 217.450,00 per pohon per tahun. Mengacu pada jumlah pohon yang terdapat di lokasi penyedia jasa lingkungan, maka diperoleh nilai sebesar Rp 2.718.125.000,00. Nilai tersebut merupakan nilai total kesediaan Kelompok Tani Karya Muda II untuk menerima kompensasi terhadap upaya konservasi yang harus dilakukan.
6.
Evaluasi Pelaksanaan CVM Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, diperoleh nilai R2 sebesar 89%. Penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir nilai R2 hingga 15% (Mitchell dan Carson, 1989 dalam Garrod dan Willis, 1999). Oleh karena itu, hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian mengenai WTA ini dapat diyakini kebenarannya atau keandalannya (reliable).
8.3.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Willingness To Accept Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA dilakukan dengan
menggunakan teknik regresi berganda. Variabel dependen yang digunakan adalah nilai WTA responden, sedangkan variabel independennya terdiri dari lama pendidikan, jumlah tanggungan, lama tinggal, tingkat pendapatan, nilai pembayaran jasa lingkungan yang selama ini diterima, status kepemilikan lahan di lokasi model penyedia jasa lingkungan, jumlah pohon yang berada di atas lokasi model penyedia jasa lingkungan, biaya pemeliharaan lahan, penilaian terhadap cara penetapan
kompensasi, dan kepuasan terhadap nilai kompensasi yang selama ini berlaku. Hasil analisis nilai WTA responden dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Hasil Analisis Nilai WTA Responden Variabel Bebas (constant) Pendidikan Jumlah Tanggungan
Notasi α PDD TANG
Koefisien
Sig.
VIF
4628.666
0.000
40.806
0.261
1.593
44.401
0.244
2.459
Keterangan Tidak berpengaruh Tidak berpengaruh
Lama Tinggal
LMTG
9.100
0.043
2.015
Nyata**
Tingkat Pendapatan
PDPT
-0.001
0.007
1.962
Nyata *
Pendapatan dari PJL
PJL
-0.001
0.001
2.101
Status Kepemilikan Lahan
SKL
62.607
0.577
1.368
Nyata* Tidak berpengaruh
Jumlah Pohon
POHON
1.453
0.022
2.835
Biaya Pemeliharaan Penilaian Cara Penetapan Nilai Pembayaran Kepuasan terhadap Nilai Pembayaran
BIAYA
0.485
0.996
1.244
Nyata** Tidak berpengaruh
DAKOM
-257.290
0.045
1.529
Nyata**
PUAS
-572.844
0.004
1.859
Nyata*
R-Squares
89.00%
85.50% Adjusted R-Squares Sumber: Data Primer Diolah, 2009
Keterangan: * pada taraf nyata 1% ** pada taraf nyata 5% Hasil dari pengolahan data diperoleh bahwa model yang dihasilkan dalam penelitian ini tergolong baik karena nilai R2 yang dihasilkan bernilai 89%. Nilai tersebut memiliki arti bahwa keragaman WTA responden 89% dapat dijelaskan oleh model, sisanya 11% dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Secara serentak, variabel-variabel bebas berpengaruh nyata terhadap model. Model regresi yang sesuai
dengan OLS harus memenuhi asumsi bebas dari masalah multikolinearitas, sisaan saling bebas (autocorrelation) sisaan menyebar normal, dan sisaan mempunyai ragam yang homogen (homoscedasticity). Pemeriksaan asumsi untuk menguji masalah multikolinearitas didasarkan pada nilai VIF. Tabel 14 menunjukkan nilai VIF masing-masing variabel bebas memiliki nilai kurang dari sepuluh (VIF<10). Hal ini mengindikasikan tidak ada indikasi terjadinya pelanggaran multikolinearitas Pemeriksaan asumsi untuk menguji ada atau tidak adanya autocorrelation dilakukan dengan menggunakan Uji Durbin-Watson (Lampiran 5). Nilai statistik DW yang dihasilkan pada penelitian ini sebesar 1,768. Nilai tersebut berada pada kisaran 0 sampai 4, dan hasilnya mendekati 2 maka menunjukkan tidak ada autokorelasi ordo kesatu (Juanda, 2009). Pemeriksaan asumsi sisaan menyebar normal dilakukan dengan uji Kolmogorov-Smirnov (Lampiran 5). Pada output komputer terlihat nilai Asymp. Sig.
(2-tailed) berada di atas 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi data dinyatakan memenuhi asumsi normalitas. Pemeriksaan asumsi homoscedasticity dilakukan dengan uji Glejser. Hasil uji glejser menunjukkan bahwa nilai signifikasi masingmasing variabel berada di atas taraf nyata (α) 5%. Hal ini berarti tidak terdapat pelanggaran asumsi homoskedastisitas (heteroskedastisitas). Pemenuhan asumsiasumsi analisis regresi menandakan bahwa model tersebut telah layak untuk digunakan. Model yang dihasilkan dalam analisis ini adalah:
WTA = 4628,666 + 40,806 PDD + 44,401 TANG + 9,100 LMTG - 0,001 PDPT – 0,001 PJL + 62,607 SKL + 1,453 POHON – 0,485 BIAYA – 257,290 DAKOM – 572,844 PUAS
Beberapa variabel yang secara nyata dan tidak nyata berpengaruh terhadap nilai WTA responden adalah sebagai berikut:
1.
Tingkat Pendapatan Variabel tingkat pendapatan memiliki nilai sig. 0,007. Artinya variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden pada taraf α = 0,01 (1%). Koefisien bertanda negatif (-) dengan nilai sebesar 0,007. Ini memiliki arti jika tingkat pendapatan meningkat sebesar satu satuan (rupiah), maka nilai WTA yang diberikan akan menurun sebesar Rp 0,007. Responden dengan pendapatan semakin rendah memerlukan pendapatan tambahan yang semakin tinggi untuk menutupi biaya kebutuhan sehari-hari. Nilai pembayaran jasa lingkungan dianggap dapat dijadikan sumber pendapatan tambahan. Oleh karena itu, semakin rendah tingkat pendapatan maka nilai WTA yang diberikan semakin tinggi.
2. Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan yang Diterima Variabel nilai pembayaran jasa lingkungan yang selama ini diterima memiliki nilai sig. sebesar 0,001. Artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA pada taraf α = 0,01 (1%). Koefisien bertanda negatif (-) dengan nilai sebesar 0,001. Hal ini memiliki arti jika nilai pembayaran jasa lingkungan meningkat sebesar satu satuan (rupiah), maka nilai WTA yang diberikan akan menurun sebesar Rp 0,001. Nilai pembayaran jasa lingkungan yang selama ini diterima dirasa sudah cukup memuaskan oleh penyedia jasa lingkungan yang mendapat nilai pembayaran dalam jumlah besar. Hal ini menyebabkan nilai
WTA (mencerminkan peningkatan pembayaran jasa lingkungan yang diinginkan) yang diberikan menjadi semakin menurun.
3. Kepuasan terhadap Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan yang Diterima Variabel kepuasan terhadap nilai pembayaran jasa lingkungan yang selama ini diterima memiliki nilai sig. 0,004. Artinya variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden pada taraf α = 0,01 (1%). Koefisien bertanda negatif (-) dengan nilai sebesar 572,844. Ini berarti bahwa responden yang merasa tidak puas terhadap nilai pembayaran jasa lingkungan yang selama ini diterima akan memberikan peningkatan nilai WTA sebesar Rp 572,844. Hal ini dapat disebabkan responden merasa nilai pembayaran jasa lingkungan yang selama ini diterima tidak cukup menutupi kebutuhan sehari-hari. Padahal sejak awal masyarakat berharap bahwa nilai dari pembayaran jasa lingkungan dapat dijadikan sumber pendapatan tambahan untuk menutupi biaya kebutuhan seharihari.
4.
Lama Tinggal Variabel lama tinggal memiliki nilai sig. 0,043 yang artinya variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden pada taraf α = 0,05 (5%). Koefisien bertanda positif (+) dengan nilai sebesar. Ini berarti jika lama tinggal responden meningkat satu satuan (tahun), maka nilai WTA yang diberikan akan meningkat sebesar Rp 9,100. Responden dengan lama tinggal lebih lama mempunyai rasa kepemilikan yang tinggi terhadap lingkungan sekitar. Rasa kepemilikan yang tinggi mendorong masyarakat merasa dapat memanfaatkan seluruh sumberdaya alam yang ada di
sekitarnya. Program PJL mengharuskan masyarakat untuk melakukan usaha konservasi terhadap pohon di atas lahan miliknya. Hal ini berarti bahwa dengan adanya program PJL maka terjadi pembatasan pemanfaatan sumberdaya hasil hutan. Adanya pembatasan tersebut membuat masyarakat dengan lama tinggal lebih lama merasa dirugikan. Kerugian ini timbul karena sebelumnya merasa dapat memanfaatkan seluruh sumberdaya tanpa ada pembatasan. Hal ini yang menjadikan masyarakat dengan lama tinggal lebih lama cenderung menginginkan nilai WTA yang lebih tinggi.
5.
Jumlah Pohon
Variabel jumlah pohon memiliki nilai sig. 0,022. Hal ini berarti variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden pada taraf
α = 0,05
(5%). Koefisien bertanda positif (+) dengan nilai sebesar 1,453. Ini berarti apabila jumlah pohon di lahan milik respoden meningkat satu satuan (pohon), maka nilai WTA responden meningkat sebesar Rp. 1,453. Semakin banyak pohon yang berada di atas lahan milik responden maka insentif yang dibutuhkan untuk mengkonservasi pohon tersebut semakin tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh biaya imbangannya bila pohon-pohon tersebut dijual. Semakin banyak pohon yang dimiliki masyarakat maka semakin besar pula pendapatan yang diperoleh apabila pohon tersebut dijual. Hal ini yang menyebabkan masyarakat yang mempunyai jumlah pohon lebih banyak di lokasi model penyedia jasa lingkungan memberikan penawaran yang semakin tinggi.
6.
Penilaian terhadap Cara Penetapan Nilai Pembayaran Variabel penilaian terhadap cara penetapan nilai pembayaran memiliki nilai sig. 0,045. Hal ini berarti variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden pada taraf α = 0,05 (5%). Koefisien bertanda negatif (-) dengan nilai sebesar 257,290. Artinya responden yang memberikan penilaian buruk terhadap cara penetapan nilai pembayaran akan memberikan peningkatan nilai WTA sebesar Rp 257,290. Penetapan nilai pembayaran dilakukan dengan cara negosiasi. Alasan responden yang memberikan penilaian buruk terhadap negosiasi yaitu karena dengan negosiasi masyarakat merasa tidak dapat secara bebas mengungkapkan penawaran sesuai dengan keinginannya. Hambatan tersebut membuat masyarakat terpaksa menerima pembayaran yang sudah ditetapkan padahal keinginan responden untuk menerima nilai pembayaran lebih besar dari nilai yang ditetapkan. Oleh karena itu, responden yang memberikan penilaian buruk terhadap cara penetapan nilai pembayaran memberikan nilai WTA yang semakin tinggi.
7.
Tingkat Pendidikan Pendidikan memiliki koefisien bertanda positif (+) dengan nilai sebesar 40,806. Artinya jika lama pendidikan meningkat satu satuan (tahun), maka nilai WTA yang diberikan akan meningkat sebesar Rp 40,806. Variabel pendidikan diduga tidak berpengaruh nyata terhadap model karena tingkat pendidikan cenderung homogen di antara responden. Hampir seluruh anggota Kelompok Tani Karya Muda II mempunyai latar belakang pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar
(SD). Hal ini menyebabkan tingkat pengetahuan yang dimiliki responden cenderung seragam sehingga dalam menanggapi sesuatu hal relatif sama. Keseragaman ini yang menyebabkan variabel pendidikan tidak berpengaruh terhadap model.
8.
Jumlah Tanggungan Pendidikan memiliki koefisien bertanda positif (+) dengan nilai sebesar 44,401. Artinya jika jumlah tanggungan meningkat satu satuan (orang), maka nilai WTA yang diberikan akan meningkat sebesar Rp 44,401. Jumlah tanggungan mencerminkan jumlah pengeluaran rumah tangga akan kebutuhan sehari-hari. Jumlah tanggungan diduga tidak berpengaruh nyata karena berdasarkan survei jumlah pengeluaran rumah tangga yang memiliki tanggungan lebih banyak tidak jauh berbeda dengan jumlah pengeluaran rumah tangga yang memiliki jumlah tanggungan sedikit. Hal ini yang menyebabkan jumlah tanggungan tidak berpengaruh nyata terhadap model.
9.
Status Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan memiliki koefisien bertanda positif (+) dengan nilai sebesar 62,607. Hal ini memiliki arti jika lahan di lokasi model pembayaran jasa lingkungan merupakan lahan milik maka nilai WTA yang diberikan akan meningkat sebesar Rp 62,607. Variabel status kepemilikan lahan diduga tidak berpengaruh nyata terhadap model karena meskipun status kepemilikan lahan di lokasi model merupakan milik desa namun masyarakat merasa layaknya milik pribadi. Perjanjian sistem bagi-hasil pada kenyataanya tidak bersifat memaksa, sehingga responden dengan status lahan milik desa merasa mempunyai rasa
kepemilikan yang sama dengan responden berstatus lahan milik pribadi. Hal ini yang menjadikan status kepemilikan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap model.
10. Biaya Pemeliharaan Biaya pemeliharaan memiliki koefisien bertanda positif (+) dengan nilai sebesar 0,485. Hal ini memiliki arti jika dalam melakukan upaya konservasi terdapat biaya pemeliharan maka nilai WTA yang diberikan akan meningkat sebesar Rp 0,485. Biaya pemeliharaan diduga tidak berpengaruh nyata terhadap model karena sebagian besar anggota Kelompok Tani Karya Muda II memelihara lahannya dengan tenaga sendiri. Pemeliharaan secara swadaya ini membuat responden merasa tidak mengeluarkan biaya dalam upaya konservasi. Ada hal yang tidak disadari oleh masyarakat dalam mengidentifikasi biaya pemeliharaan. Pemeliharaan lahan meskipun dilakukan secara swadaya seharusnya tetap dihitung sebagai biaya pemeliharaan. Tenaga kerja yang digunakan untuk pemeliharaan lahan milik pribadi sebenarnya memiliki nilai atau harga. Terkait dengan konsep opportunity cost, tenaga kerja yang digunakan untuk memelihara lahan milik pribadi dapat diukur dengan nilai atau harga tenaga kerja tersebut apabila melakukan kegiatan ekonomi lain. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat sekitar, dalam satu tahun biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan lahan apabila dilakukan oleh orang lain berkisar antara Rp 200.0000,00-600.000,00. Nilai tersebut merupakan nilai tenaga kerja yang seharusnya dimasukkan dalam biaya pemeliharaan.
Nilai pemeliharaan inilah yang selama ini hilang atau tidak diperhitungkan sebagai biaya dalam upaya konservasi terhadap program pembayaran jasa lingkungan. Hal ini berimplikasi pada kekurangtepatan perhitungan manfaatbiaya petani terhadap upaya konservasi dalam program pembayaran jasa lingkungan. Apabila komponen tenaga kerja ini dimasukkan dalam biaya pemeliharaan maka nilai pembayaran yang selama ini diberikan terasa lebih rendah. Oleh karena itu, kebijakan pembayaran jasa lingkungan ke depannya diharapkan komponen biaya pemeliharaan dipertimbangkan dalam perumusan nilai pembayaran jasa lingkungan.
XI.
KESIMPULAN DAN SARAN
9.1.Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau melibatkan Forum Komunikasi DAS Cidanau; Desa Citaman, Desa Cikumbueun dan Desa Kadu Agung sebagai penyedia jasa lingkungan (seller); dan PT. KTI sebagai pemanfaat jasa lingkungan (buyer) dengan metode transaksi secara tidak langsung (indirect
payment). 2.
Responden menilai kualitas lingkungan semakin baik setelah adanya upaya konservasi. Sebagian besar responden menilai baik terhadap program pembayaran jasa lingkungan yang sedang berjalan. Cara penetapan nilai pembayaran dinilai buruk oleh sebagian besar responden.
3.
Hanya dua responden dari 43 responden menyatakan tidak bersedia menerima nilai pembayaran sesuai skenario yang ditawarkan dengan alasan program tidak membuat anggota kelompok kehilangan tegakan pohon yang ada di atas lahan miliknya.
4.
Nilai dugaan rataan WTA responden adalah Rp 5.056,98 per pohon per tahun. Jika dilakukan penyesuaian nilai pembayaran terkait nilai rata-rata WTA masyarakat, dengan jumlah pohon sebanyak 500 pohon per ha, maka nilai pembayaran yang harus diserahkan kepada penyedia jasa lingkungan adalah Rp 2.528.490,00 per ha per tahun. Nilai total WTA responden sebesar
Rp
2.718.125.000,00. Nilai WTA responden Kelompok Tani Karya Muda II dipengaruhi oleh faktor nilai pendapatan dari pembayaran jasa lingkungan yang
selama ini diterima, kepuasan terhadap nilai pembayaran jasa lingkungan yang selama ini diterima, jumlah pohon, tingkat pendapatan rumah tangga, lama tinggal, dan penilaian terhadap cara penetapan nilai pembayaran.
9.2.
Saran Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian maka dapat disarankan:
1.
Penyedia
jasa
lingkungan
sebaiknya
terus
mempertahankan,
bahkan
meningkatkan upaya konservasi yang sudah dilakukan. 2.
Terkait dengan berakhirnya masa kontrak program PJL dengan Kelompok Tani Karya Muda II, FKDC sebaiknya mengeluarkan kebijakan untuk memperpanjang kontrak PJL untuk Desa Citaman dan melakukan penyesuaian nilai pembayaran terkait dengan WTA masyarakat. Adapun nilai pembayaran yang sebaiknya diberikan sebesar Rp. 2.528.490,00 per ha per tahun.
3.
Demi terciptanya keseimbangan hubungan hulu-hilir, perluasan lokasi model penyedia jasa lingkungan dan penambahan potential buyer sebaiknya dilakukan. Hal ini mengingat masih banyaknya lahan kritis di kawasan DAS Cidanau yang dapat mengganggu keseimbangan hulu hilir.
4.
Biaya pemeliharaan lahan sebaiknya dipertimbangkan dalam menentukan kebijakan nilai pembayaran jasa lingkungan.
X.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R. L. dan Richard C. 1983. Pengantar Psikologi Edisi Kedelapan. Erlangga. Jakarta. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Banten. 2006. Kajian Pembayaran Jasa Lingkungan di Provinsi Banten. Pemerintah Provinsi Banten. Banten [Dirjen BRLKT] Direktorat Jendral Reboisasi & Rehabilitasi Lahan. 1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Pehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Departemen Kehutanan Jakarta. Fauzi, Akhmad. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Garrod, G dan Kenneth G. Willis. 1999. Economics Valuation of The Environmental. Edward Elgar Publishing, Inc. Massachussetts. Gujarati, D. N. 2003. Basic Econometrics. Fourth Edition. Mc Graw Hill Book Company. Singapore Hanley, N dan C. L. Spash. 1993. Cost-Benefit Analysis and Environmental. Edward Elger Publishing Limited. England. Juanda, B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press. Bogor [KTI] Krakatau Tirta Industri. 2004. PT. Krakatau Tirta Industri as Supporting Environmental Services Payment Development Model on Cidanau Watershed. Cilegon. Leavit, H. J. 1978. Psikologi Manajemen. Gelora Aksara Pratama. Jakarta. Lee, R. Hidrologi Hutan. S Subagio, penerjemah; Yogyakarta; Gadjah Mada University Press. Pagiola, Stefano., J.Bishop dan N. Landell-Mills. 2002.Selling Fprest Environmental Services:Market Based Mechanisms for Conservation and Development. Earthscan Publications Ltd. London. Pagiola, S dan Platais, G. ‘Payments for Environmental Services’. 2002. http://siteresources.worldbank.org/INTEEI/Resources/EnvStrategyNote32002. pdf
Putri EIK, M. Buitenzorgy dan N. Avianto. 2008. Metode Valuasi Kontingensi Teori dan Empirik. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ramanathan, R. 1997. Introductory Econometrics With Application. The Dryden Press. Philadelpia. Rekonvasi Bhumi. 2007. Forum Komunikasi DAS Cidanau Menuju Pengelolaan Terpadu DAS Cidanau. Rekonvasi Bhumi. Serang. Sarwono, S. W. 1999. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Balai Pustaka. Jakarta. Suryawan, A. 2005. Penentuan Dasar Biaya Kompensasi untuk Pembayaran Jasa Lingkungan dengan Memanfaatkan Tekhnologi Inderaja (Studi Kasus: DAS Cidanau, Banten) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tim Studi PES RMI. ‘Laporan Studi PES untuk Mengembangkan Skema PES di DAS Deli, Sumatra Utara dan DAS Progo, Jawa Tengah’. http://www.esp.or.id/wpcontent/uploads/pdf/fs/esf-en.pdf.
Wunder, S. 2007. ‘The Efficiency of Payments for Environmental Services in Tropical Conservation’. Conservation Biologi.vol.21. CIFOR. Brazil.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabulasi Karakteristik Sosial Ekonomi Kelompok Tani Karya Muda II, Desa Citaman, Kabupaten Serang Tahun 2009 (%) Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Sumber: Data Primer Diolah
Jumlah 95,35 4,65 100 (%)
Usia (Tahun) <33 33-45 46-58 >58 Total Sumber: Data Primer Diolah
Jumlah 16,28 37,21 32,56 13,95 100 (%)
Pendidikan (Tahun)
Jumlah
<1 1hingga 3 4 hingga 6 >6 Total Sumber: Data Primer Diolah
20,93 18,60 55,82 4,65 100 (%)
Tingkat Pendapatan (Rp/bulan) <200001 200001-400000 400001-600000 600001-800000 800001-1000000 >1000000 Total Sumber: Data Primer Diolah
Jumlah 13,95 30,23 30,23 13,95 2,34 9,30 100 (%)
Lama tinggal (Tahun) <26 26-41 42-57 >57 Total
Jumlah 20,92 25,57 39,57 13,94 100
110
Sumber: Data Primer Diolah (%) Status kepemilikan lahan Lahan milik Lahan garapan Total Sumber: Data Primer Diolah
Jumlah 53,49 46,51 100
111
Lampiran 2. Tabulasi Penilaian Program Pembayaran Jasa Lingkungan oleh Kelompok Tani Karya Muda II, Desa Citaman, Kabupaten Serang Tahun 2009 (%) Penilaian Perubahan Kualitas Lingkungan Semakin baik Sama saja Total Sumber: Data Primer Diolah
Jumlah 88,37 11,63 100 (%)
Penilaian Pentingnya Usaha Konservasi Penting Tidak penting Total Sumber: Data Primer Diolah
Jumlah 41,86 58,14 100
(%) Pengetahuan Mengenai Pihak yang Membayarkan Jasa Lingkungan Tahu, PT. KTI Tidak tahu Total Sumber: Data Primer Diolah
Jumlah 32,56 67,44 100
(%) Peran Masyarakat Penyedia Jasa Lingkungan dalam Program Program Pembayaran Jasa Lingkungan Tahu Tidak tahu Total Sumber: Data Primer Diolah
Jumlah 79,07 20,93 100
(%) Penilaian Program Pembayaran Jasa Lingkungan yang Sedang Berjalan Baik Buruk Total Sumber: Data Primer Diolah
Jumlah 67,44 32,56 100
112
(%) Cara Penetapan Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan Tahu Tidak Tahu Total Sumber: Data Primer Diolah
Jumlah 83,72 16,28 100
(%) Penilaian Cara Penetapan Nilai Pembayaran Baik Buruk Total Sumber: Data Primer Diolah
Jumlah 39,53 60,47 100
(%) Kepuasan Nilai Pembayaran Jasa Lingkungan Hasil Negosiasi Puas Tidak puas Total Sumber: Data Primer Diolah
Jumlah 13,95 86,05 100
113
Lampiran 3. Kuisioner Penelitian KUISIONER PENELITIAN Nomor Responden Nama Alamat Tanggal Wawancara
: : : :
Kuisioner ini digunakan sebagai bahan skripsi mengenai “Analisis Willingness to Accept Masyarakat Terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau Kabupaten Serang”. Oleh karena itu, kami mohon partisipasi Bapak/Ibu untuk mengisi kuisioner ini dengan teliti dan lengkap sehingga dapat memberikan data yang sesuai. Informasi yang saudara berikan akan dijamin kerahasiaannya, tidak untuk dipublikasikan, dan tidak digunakan untuk kepentingan politis. Atas perhatian dan partisipasinya, kami ucapkan terima kasih. A. Karakteristik Responden 1. Jenis Kelamin: a. Laki-laki b. Perempuan 2. Usia: ………tahun 3. Status: a. Menikah b.Belum Menikah 4. Pendidikan formal terakhir: a. Tidak sekolah Kelas: 1 2 3 4 5 6 b. SD / sederajat Kelas: 1 2 3 c. SMP / sederajat Kelas: 1 2 3 d. SMA / sederajat Kelas: 1 2 3 e. Perguruan tinggi Diploma atau Sarjana 5. Apa pekerjaan Bapak/Ibu sehari-hari: a. Bekerja, sebagai: 1) Petani 2) Pegawai Negeri Sipil 3) Karyawan Swasta 4) Pedagang/Wiraswasta 5) Lainnya……………….. b. Tidak bekerja 6. Jumlah tanggungan:……………orang 7. Berapa rata-rata pendapatan Bapak/Ibu per bulan: a. Di lokasi model PJL Jenis Pohon Jumlah Hasil panen (kg) Harga Jual (Rp.) Buah-buahan panen/tahun min max min max
114
b. Di luar lokasi model penyedia jasa Jenis Pohon Jumlah Hasil panen (kg) Buah-buahan panen/tahun min max
Harga Jual (Rp.) min max
8. Berapa rata-rata pengeluaran anda sebulan untuk keperluan: a. Konsumsi keluarga :Rp. b. Biaya sekolah :Rp. c. Uang jajan anak :Rp. d. Listrik&telephon :Rp. e. Tabungan :Rp. f. Lainnya (arisan,dll) :Rp. 9. Tambahan sumber pendapatan lainnya yang Bapak/Ibu miliki: Sumber pendapatan : .………… Rp. B. Program Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) 1. Apakah Bapak/Ibu pernah/sedang mengikuti program PJL? a. Ya b. Tidak 2. Jika ya, lama Bapak/Ibu mengikuti program PJL:…………..bulan 3. Darimana Bapak/Ibu mendapatkan informasi mengenai adanya program PJL? a. Anggota keluarga b. Tetangga c. Kepala Tani d. Kepala Desa e. LSM 4. Dalam bentuk apa informasi tersebut diberikan: a. Penyuluhan b. Leaflet (langsung ke no. 8) c. Pengumuman (langsung ke no. 8) d. Pertemuan anggota kelompok tani (langsung ke no. 8) e. Lainnya……………………………………... (langsung ke no. 8) 5. Pengetahuan apa saja yang diberikan penyuluh saat kegiatan penyuluhan berlangsung? a. Pengetahuan mengenai fungsi hutan b. Pengetahuan mengenai peran penting DAS Cidanau baik bagi hulu maupun hilir c. Pengetahuan mengenai pentingnya usaha konservasi DAS Cidanau d. Pengetahuan mengenai tujuan, mekanisme, cara penetapan nilai pembayaran, dll yang menyangkut program PJL
115
e. Lainnya…………………………………….. 6. Berapa kali dalam satu bulan, penyuluhan mengenai program pembayaran jasa lingkungan diselenggarakan:……………………/bulan 7. Dalam satu bulan, berapa kali Bapak/Ibu mengikuti penyuluhan:………kali 8. Apa motivasi Bapak/Ibu untuk mengikuti program pembayaran jasa lingkungan a. Karena mempunyai lahan/tanah di lokasi PJL b. Karena menghasilkan pendapatan tambahan c. Karena peduli akan kelestarian DAS Cidanau d. Karena sudah diwajibkan oleh pihak-pihak yang terlibat untuk mengikuti program tersebut e. Lainnya……………………………………. 9. Luas lahan yang Bapak/Ibu miliki di luar lokasi model PJL:................ m2 10. Status lahan yang Bapak/Ibu miliki di lokasi model PJL: a. Milik pribadi b. Sewa c. Bagi-hasil d. Tanah garapan e. Lainnya…………………………………… 11. Luas lahan Bapak/Ibu miliki yang diikutsertakan dalam program PJL:…………m2 12. Jumlah pohon kayu-kayuan di atas lahan saudara yang diikutsertakan dalam program PJL:…………………pohon 13. Jumlah pohon buah-buahan di atas lahan saudara yang diikutsertakan dalam program PJL:…………………pohon 14. Adakah biaya yang dikeluarkan saudara untuk mengkonservasi/menjaga pohon di atas lahan milik saudara? a. Ada b. Tidak ada 15. Jika ada, biaya yang dikeluarkan akibat mengkonservasi pohon tersebut………………Rp/bulan C. Persepsi Responden Mengenai Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan yang Ada Sehubungan dengan peran penting DAS Cidanau, dibuatlah mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang melibatkan PT. Krakatau Tirta Industri (KTI) sebagai pemanfaat, masyarakat Desa Citaman dan Cikumbueun sebagai penyedia jasa lingkungan dan FKDC sebagai mediator keduanya. Sebagai penyedia jasa lingkungan, masyarakat diharuskan mengkonservasi atau menjaga setiap pohon yang ada di atas lahan miliknya. Atas usahanya tersebut, diberikan kompensasi Rp. 1.200.000,- per ha per tahun atau Rp. 2.400,- per pohon per tahun (untuk 500 pohon yang harus dikonservasi). Nilai pembayaran ini ditetapkan dengan cara negosiasi dimana dalam prosesnya masyarakat hanya diwakili oleh tokoh setempat, bukan atas keinginan sebenarnya dari masyarakat untuk menerima dana kompensasi. Nilai pembayaran yang terlalu rendah bila dibandingkan dengan fungsi hidrologi yang dihasilkan dan penetapan nilai pembayaran yang bukan didasarkan pada keinginan masyarakat untuk menerima dana, dikhawatirkan akan memicu masyarakat untuk kembali pada pola aktivitas ekonomi sebelumnya dan tidak mengindahkan upaya konservasi terhadap pohon di atas lahan miliknya.
116
1. Apa peran penting DAS Cidanau yang saudara ketahui? a. Menjamin ketersediaan air hingga hilir b. Keberadaan Cagar Alam DAS Cidanau sebagai satu-satunya situs konservasi rawa pegunungan yang harus dikonservasi c. Penopang aktivitas ekonomi Kota Cilegon d. Memiliki daya tarik wisata e. Lainnya … 2. Mengacu pada peran penting tersebut, menurut anda apakah upaya konservasi perlu dilakukan? a. Ya (langsung ke no. 4 ) b. Tidak 3. Jika tidak, apa alasan anda menganggap upaya konservasi tidak penting untuk dilakukan? a. Karena bukan merupakan kewajiban b. Karena merupakan kewajiban Pemerintah (Dinas Perkebunan atau Dinas Kehutanan) c. Karena tuntutan ekonomi yang mengakibatkan semua tindakan yang dilakukan pada akhirnya tidak mengindahkan konservasi (orientasi ekonomi) d. Karena tidak paham terhadap konservasi e. Lainnya…………………………………… 4. Apakah Bapak/Ibu tahu siapa/perusahaan apa yang membayarkan dana kompensasi PES? a. Ya, siapa ………………………………….. b. Tidak (langsung ke no. 6) 5. Menurut anda, mengapa perusahaan tersebut membayarkan dana kompensasi PES? a. Karena peduli terhadap kelestarian DAS Cidanau b. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat c. Karena sadar bahwa usahanya bergantung pada kelestarian DAS Cidanau d. Menghargai usaha konservasi yang dilakukan masyarakat e. Lainnya……………………………………. 6. Apakah anda mengetahui bagaimana cara penetapan dana kompensasi PES yang diberikan kepada anda? a. Ya, cara…………………………………… b. Tidak 7. Bagaimana penilaian anda mengenai cara penetapan dana kompensasi dengan sistem negosiasi yang dalam prosesnya hanya diwakili oleh tokoh setempat? a. Baik b. Buruk 8. Apakah besarnya dana kompensasi dari hasil negosiasi tersebut sesuai dengan keinginan sebenarnya dari Bapak/Ibu untuk menerima pembayaran jasa lingkungan? a. Ya (langsung ke no. 10) b. Tidak 9. Jika tidak, mengapa Bapak/Ibu bersedia menerima dana kompensasi tersebut?
117
a. Karena butuh pendapatan tambahan b. Karena sebelumnya sangat percaya pada tokoh setempat c. Karena lahan tersebut awalnya hanya lahan kosong d. Tidak dapat berbuat apa-apa selain menerima keputusan yang ada e. Lainnya………………………………… 10. Apakah Bapak/Ibu ingin program pembayaran jasa lingkungan ini dilanjutkan? a. Ya lanjut, dengan nilai kompensasi yang sama b. Ya lanjut, dengan nilai kompensasi yang didasarkan atas keinginan masyarakat (WTA) c. Tidak dilanjutkan D. Informasi Tentang Kesediaan Menerima Kompensasi (WTA) 1. Apakah Bapak/Ibu setuju dengan kebijakan baru tersebut? CARD 2 Dalam rangka pengelolaan DAS Cidanau yang lebih baik, akan diajukan suatu kebijakan baru untuk meningkatkan nilai pembayaran jasa lingkungan berdasarkan keinginan masyarakat. Peningkatan pembayaran harus diikuti dengan peningkatan usaha konservasi oleh masyarakat penyedia jasa lingkungan. Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan insentif masyarakat di lokasi model penyedia jasa lingkungan dalam usaha mengkonservasi pohon di atas lahan miliknya sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
a. Setuju b. Tidak setuju 2. Apakah Bapak/Ibu bersedia menerima peningkatan dana kompensasi yang akan diajukan? a. Setuju (langsung ke no.4) b. Tidak setuju 3. Apa alasan Bapak/Ibu tidak setuju dengan rencana tersebut? 4. Jika setuju, berapakah dana kompensasi yang bersedia saudara terima akibat diharuskannya upaya konservasi? a. 2400,-/pohon/tahun b. 2650,-/pohon/tahun c. 2900,-/pohon/tahun d. 3150,-/pohon/tahun e. 3400,-/pohon/tahun f. 3650,-/pohon/tahun g. 3900,-/pohon/tahun h. 4150,-/pohon/tahun i. 4400,-/pohon/tahun j. 4650,-/pohon/tahun k. 4900,-/pohon/tahun l. 5150,-/pohon/tahun m. 5400,-/pohon/tahun n. 5650,-/pohon/tahun o. 5900,-/pohon/tahun 118
Lampiran 4. Hasil Analisis Data Coefficientsa
Model 1
(Constant) Pendidikan Jumlah tanggungan Lama tinggal Pendapatan Nilai PJL Jumlah pohon Status kepemilikan lahan Biaya pemeliharaan Penilaian cara penetapan nilai pembayaran Kepuasan terhadap nilai PJL
Unstandardized Coefficients B Std. Error 4628.181 316.444 40.806 35.652 44.401 37.410 9.100 4.324 -.001 .000 -.001 .000 1.453 .605 62.607 111.169 .485 108.140
Standardized Coefficients Beta .085 .109 .176 -.237 -.304 .238 .039 .000
t 14.626 1.145 1.187 2.105 -2.882 -3.570 2.402 .563 .004
Sig. .000 .261 .244 .043 .007 .001 .022 .577 .996
95% Confidence Interval for B Lower Bound Upper Bound 3983.606 5272.756 -31.815 113.426 -31.801 120.603 .293 17.908 -.001 .000 -.001 .000 .221 2.685 -163.836 289.051 -219.790 220.760
Zero-order
Correlations Partial
-.149 .654 .295 -.586 -.738 .659 .151 -.157
.198 .205 .349 -.454 -.534 .391 .099 .001
.067 .070 .124 -.169 -.210 .141 .033 .000
.628 .407 .496 .510 .476 .353 .731 .804
1.593 2.459 2.015 1.962 2.101 2.835 1.368 1.244
Part
Collinearity Statistics Tolerance VIF
-257.290
123.016
-.152
-2.092
.045
-507.865
-6.715
-.596
-.347
-.123
.654
1.529
-572.844
186.566
-.246
-3.070
.004
-952.866
-192.823
-.661
-.477
-.180
.538
1.859
a. Dependent Variable: WTA
Lampiran 5. Hasil Uji Statistik
119
1.
Uji Durbin-Watson
Model Summaryb Change Statistics Model 1
R .943a
R Square .890
Adjusted R Square .855
Std. Error of the Estimate 310.90452
R Square Change .890
F Change 25.770
df1
df2 10
32
Sig. F Change .000
DurbinWatson 1.768
a. Predictors: (Constant), Kepuasan terhadap nilai PJL , Pendidikan, Biaya pemeliharaan, Status kepemilikan lahan, Penilaian cara penetapan nilai pembayaran, Jumlah tanggungan, Pendapatan, Lama tinggal, Nilai PJL, Jumlah pohon b. Dependent Variable: WTA
2.
Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardiz ed Residual N Normal Parameters
a,b
Most Extreme Differences
Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed)
3. Uji Heteroskedastisitas
43 .0000000 271.37971661 .100 .100 -.055 .655 .785
a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data.
120
Coefficientsa
Model 1
(Constant) Pendidikan Jumlah tanggungan Lama tinggal Pendapatan Nilai PJL Jumlah pohon Status kepemilikan lahan Biaya pemeliharaan Penilaian cara penetapan nilai pembayaran Kepuasan terhadap nilai PJL WTA
Unstandardized Coefficients B Std. Error 121.898 500.490 20.308 20.753 18.725 21.809 .739 2.632 -5.4E-005 .000 3.01E-006 .000 -.304 .375 -106.291 63.740 -89.160 61.699
Standardized Coefficients Beta
t
.202 .220 .068 -.093 .005 -.237 -.314 -.258
.244 .979 .859 .281 -.369 .019 -.811 -1.668 -1.445
Sig. .809 .335 .397 .781 .714 .985 .424 .105 .158
95% Confidence Interval for B Lower Bound Upper Bound -898.858 1142.653 -22.018 62.634 -25.755 63.204 -4.630 6.107 .000 .000 .000 .000 -1.068 .461 -236.289 23.708 -214.995 36.675
Zero-order
Correlations Partial
Collinearity Statistics Tolerance VIF
.079 .135 .000 -.206 -.161 .037 -.182 -.128
.173 .152 .050 -.066 .003 -.144 -.287 -.251
.157 .137 .045 -.059 .003 -.130 -.267 -.231
.603 .389 .436 .405 .340 .299 .724 .804
1.658 2.568 2.294 2.471 2.938 3.346 1.381 1.244
Part
-76.439
74.829
-.215
-1.022
.315
-229.054
76.176
-.201
-.180
-.163
.575
1.738
71.893
121.113
.147
.594
.557
-175.118
318.903
-.004
.106
.095
.415
2.407
.024
.101
.113
.234
.817
-.182
.229
.165
.042
.037
.110
9.053
a. Dependent Variable: Ut
121