ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu)
ANHAR DRAKEL
SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, Lahan dan Air (Studi Kasus DAS Citarum) adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2008
Anhar Drakel A155040071
ABSTRAK ANHAR DRAKEL. Analisis Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, Lahan dan Air (Studi Kasus DAS Citarum). (AKHMAD FAUZI sebagai Ketua dan SETIA HADI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Mengingat krusialnya peran kawasan daerah hulu DAS, termasuk DAS Citarum, dalam mengkonservasi air, maka upaya perbaikan lingkungan kawasan itu menjadi suatu keharusan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis persepsi dan kemauan membayar masyarakat (WTP) untuk jasa perbaikan lingkungan, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTP tersebut, serta menganalisis pilihan sumber air masyarakat. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, Contingent Valuation Method (CVM), dan regresi. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa ketersediaan air makin memburuk, sehingga perlu adanya upaya perbaikan lingkungan untuk memperbaiki kondisi air, namun WTP saat ini relatif masih rendah.. Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP untuk jasa perbaikan lingkungan adalah pendapatan, umur, tanggungan keluarga, ketersediaan air, keluhan air, dan status rumah. Sebagian besar Masyarakat masih cenderung menggunakan air sumur daripada air PDAM, atau kedua-duanya, dengan dengan berbagai alasan dan kekhawatiran. Kata kunci: Jasa perbaikan lingkungan, Contingent Valuation Methods, regresi, dan ketersediaan sumberdaya air.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam Bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm dan sebagainya
ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR (Studi Kasus DAS Citarum Hulu)
ANHAR DRAKEL
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan
SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Judul Tesis
: Analisis Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, Lahan dan Air (Suatu Kasus DAS Citarum Hulu)
Nama Mahasiswa
: Anhar Drakel
Nomor Pokok
: A155040071
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Ir. Akhmad Fauzi, Ph.D Ketua
Dr. Ir. Setia Hadi, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D
Tanggal Ujian : 22 Juni 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji Syukur penulis ucapkan kehadirat Allah swt karena hanya dengan limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Penelitian berjudul “Analisis Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, Lahan dan Air (Suatu Kasus DAS Citarum Hulu)”. ini membahas tentang aspek sosial ekonomi dalam kemauan membayar untuk jasa perbaikan lingkungan, dan akan dilaksanakan di wilayah kota Jakarta Timur, dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih disampaikan kepada : Prof. Ir. Akhmad Fauzi, Ph.D dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS selaku pembimbing. Dan kepada Bapak Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D sebagai Ketua Program Studi dan Prof. Affendi Anwar MSc yang telah banyak memberi arahan dan saran. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada teman-teman mahasiswa Program Studi PWD Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya teman-teman PWD 2004 dan semua pihak yang telah mendorong serta membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak (almarhum), ibu serta seluruh keluarga, atas doa dan kasih sayangnya. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2008
ANHAR DRAKEL
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ternate pada tanggal 29 September 1974. sebagai anak kelima dari delapan bersaudara dari Ayah Hi Umar Ali Drakel dan lbu Hj. Salma Saban. Menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1992, Sekolah Menengah Pertama pada tahun 1995 dan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1998 di Ternate. Pada tahun yang sama penulis Universitas Ibnu Chaldun Jakarta dan terdaftar pada Program Studi Ekonomi, Jurusan Management Fakultas Ekonomi. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di Perhimpunan Mahasiswa Ekonomi dan berbagai organisasi. Pada tahun 2004 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan program pascasarjana IPB, pada Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Pada tahun 2003 penulis bekerja di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STIKIP) Kie Raha Ternate.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR..................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xiii
I
PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...........................................................
II
TINJAUAN MENGENAI BERBAGAI KONSEP TERKAIT DAN PUSTAKA ........................................................... 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Air Berkelanjutan................................ 2.2 Sumberdaya Air dalam Perspektif Etika Lingkungan ................. 2.3 Konsep Ekonomi Sumberdaya Air............................................... 2.4 Penilaian Sumberdaya Alam ....................................................... 2.5 Kerusakan Lingkungan dan Tata Air .......................................... 2.6 Faktor Pendorong Kerusakan Lingkungan dan Tata Air.............. 2.7 DAS dan Hutan Sebagai Pengatur Tata Air ................................ 2.8 DAS sebagai Suatu Kesatuan Ekosistem ..................................... 2.9 DAS Sebagai Satuan Unit Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya .................................................................................. 2.10 Alih Fungsi Lahan ...................................................................... 2.11 Dampak Perubahan Tata Guna Lahan dan Kerusakan Hutan Terhadap Sumberdaya Air.......................................................... 2.12 Jasa Lingkungan ....................................................................... 2.13 Definisi Pembayaran Jasa Lingkungan ...................................... 2.14 Jasa Ekosistem dan Masyarakat ................................................. 2.15 Perspektif tentang Jasa Ekosistem dan Kompensasinya ............ 2.16 Fokus pada Masyarakat Miskin Pedesaan.................................. 2.17 Jasa Lingkungan Ekowisata ....................................................... 2.18 Pengembangan Sumberdaya Hutan melalui Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan.................................................... 2.19 Hubungan Masyarakat Hulu dan Hilir ...................................... 2.20 Konsep Nilai untuk Sumberdaya dan WTP................................ 2.21 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu ..............................................
III
METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 3.1 Kerangka Pemikiran .................................................................... 3.2 Hipotesis ...................................................................................... 3.3 Metode Penelitian ........................................................................ 3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 3.5 Data dan Sumber Data .................................................................
1 1 5 7 7 7 9 9 10 12 15 16 18 19 21 22 24 25 28 30 31 32 34 35 36 40 42 46 52 52 55 55 55 55
IV
3.6 Metode Pengambilan Sampel ....................................................... 3.7 Variabel dalam Penelitian ............................................................ 3.8 Metode Analisis Data ................................................................... 3.8.1 Analisis Persepsi Masyarakat tentang Jasa Perbaikan Lingkungan.......................................................................... 3.8.3 Analisis Kemauan Membayar (Willingness To Pay)........... 3.8.4 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi WTP ............. 3.8.5 Analisis Persepsi Masyarakat tentang Kondisi Sumber Air yang tersedia.........................................................................
56 58 58
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ....................... 4.1 Kondisi Lingkungan DAS Citarum Hulu secara Umum .............. 4.2 Kondisi Umum Kerusakan Lingkungan di DAS Citarum Hulu .............................................................................................. 4.3 Status Kualitas DAS Citarum ...................................................... 4.4 Karateristik dan Permasalahan DAS Citarum .............................. 4.4.1 Jenis Tanah ......................................................................... 4.4.2 Iklim..................................................................................... 4.4.3 Penggunaan Lahan............................................................... 4.4.4 Hidrologi.............................................................................. 4.5 Sosial Ekonomi.............................................................................. 4.5.1 Jumlah Penduduk................................................................. 4.5.2 Tingkat Pendidikan.............................................................. 4.5.3 Mata Pencaharian................................................................. 4.5.4 Kelembagaan ....................................................................... 4.6 Kondisi Fisik DAS Citarum Hilir ................................................. 4.6.1 Kondisi Geologi DAS Citarum Hilir ................................... 4.7 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................ 4.7.1 Daerah Hilir DAS Citarum .................................................. 4.7.2 DKI Jakarta .......................................................................... 4.7.2.1 Kependudukan .......................................................... 4.7.2.2 Pertumbuhan Penduduk ........................................... 4.7.2.3 Kondisi dan Kebutuhan Air Bersih di Wilayah DKI Jakarta ...................................................................... 4.7.3 Jakarta Timur ....................................................................... 4.7.3.1 Keadaan Administrasi............................................... 4.7.3.2 Geografi ................................................................... 4.7.3.3 Iklim dan Cuaca .......................................................
64 64
V HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 5.1 Karateristik Responden ................................................................ 5.1.1 Jenis Kelamin Responden..................................................... 5.1.2 Umur Responden .................................................................. 5.1.3 Tanggungan Keluarga Responden ........................................ 5.1.4 Tingkat Pendidikan Responden ............................................ 5.1.5 Pekerjaan Reponden ............................................................. 5.1.6 Pendapatan Responden ......................................................... 5.1.7 Pengeluaran Responden........................................................
59 60 62 63
64 71 71 71 72 73 74 76 76 76 76 76 77 77 78 78 78 80 81 84 86 86 86 87 88 88 89 89 90 91 91 92 93
5.2 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat tentang Jasa Perbaikan Lingkungan ................................................................................... 5.2.1 Persepsi Responden terhadap Ketersediaan Air .................. 5.2.2 Persepsi Responden terhadap Keluhan Air.......................... 5.2.3 Persepsi Responden terhadap Peranan ................................ 5.2.4 Persepsi Responden terhadap Kesetujuan ........................... 5.3 Hasil Analisis Kemauan Membayar Masyarakat (WTP) ............ 5.3.1 Deskriptif Kemauan Membayar dan WTP .......................... 5.3.2 Hasil Analisis Pelaksanaan CVM ........................................ 5.3.2.1 Pembentukan Pasar Hipotetik ................................. 5.3.2.2 Memperoleh Nilai Penawaran................................. 5.3.2.3 Menghitung Dugaan Rataan WTP .......................... 5.3.2.4 Menentukan WTP Agregat atau WTP Total ........... 5.3.2.5 Menduga Kurva Penawaran Total........................... 5.3.2.6 Mengevaluasi CVM ............................................ 5.4 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi WTP...................... 5.4.1 Deskripsi Variabel Penelitian pada fungsi WTP ................ 5.5 Hasil Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP ............ 5.6 Hasil Analisis Persepsi tentang Kondisi Sumber Air yang tersedia......................................................................................... 5.6.1 Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kualitas Air PDAM ......................................................................... 5.6.2 Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kuantitas Air PDAM ..........................................................................
94 94 95 96 96 98 98 100 100 100 101 102 102 103 103 103 105 109 111 113
VI KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 6.1 Kesimpulan ................................................................................... 6.2 Saran .............................................................................................
115 115 115
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
116
LAMPIRAN ...............................................................................................
122
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1. Kriteria alokasi sumberdaya air ...................................................... 14 2. Neraca kebutuhan air dan pemenuhan sumber air dari DAS Citarum............................................................................................ 27 3. Jenis data dan metode pengumpulan data ....................................... 56 4. Jumlah sampel berdasarkan jumlah rumah tangga di Kecamatan Pulo Gadung .................................................................................... 58 5. Variabel penelitian yang mempengaruhi WTP ............................... 58 6. Matriks pendekatan studi ................................................................ 59 7. Penggunaan lahan di wilayah das citarum ...................................... 66 8. Perubahan penggunaan lahan di DAS Citarum hulu 1989-2001 .... 68 9. Luas satuan tanah menurut kepekaannya terhadap erosi di DAS Citarum ........................................................................................... 72 10. Curah hujan dan type iklim di DAS Citarum ................................. 73 11. Jenis penggunaan lahan di DAS Citarum ....................................... 74 12. Letak dan luas masing-masing sub das di DAS Citarum ............... 75 13. Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta per tahun menurut Kabupaten/Kota ............................................................................. 81 14. Jumlah dan pertumbuhan penduduk DKI Jakarta tahun 2003 ....... 82 15. Perkembangan penduduk DKI Jakarta periode sensus penduduk (dalam 000) .................................................................................... 85 16. Luas wilayah dan jumlah kelurahan ............................................... 87 17. Hasil perhitungan statistik variabel analisis kemauan membayar (WTP) sampel penelitian................................................................. 101 18. Distribusi wtp sampel diatas harga air yang berlaku....................... 101 19. Menentukan wtp agregat (TWTP) populasi .................................... 102 20. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTP tentang jasa perbaikan lingkungan ..................................................................... 106
xii
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Skema Pemanfaatan dan Pembayaran Jasa Lingkungan................. 36 2. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian ........................................ 54 3. Penggunaan Lahan di DAS Citarum .............................................. 66 4. Penurunan Debit Air di Waduk Cirata ............................................ 68 5. Fluktuasi Air Masuk dan Keluar Jatiluhur, 2003 ............................ 70 6. Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ....................... 89 7. Persentase Responden Berdasarkan Umur ..................................... 90 8. Persentase Responden Berdasarkan Tanggungan Keluarga .......... 90 9. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ............... 91 10. Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan ............................... 92 11. Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan ............................ 93 12. Persentase Responden Berdasarkan Pengeluaran .................. ........ 93 13. Persentase Persepsi Responden terhadap Ketersediaan Air ........... 94 14. Persentase Persepsi Responden terhadap Keluhan Air Minum ...... 95 15. Persentase Persepsi Responden terhadap Peranan Untuk Perbaikan lingkungan ..................................................................... 96 16. Persentase Persepsi terhadap Kesetujuan Untuk Perbaikan Lingkungan .................................................................................... 97 17. Persentase Responden Berdasarkan Peranan Masyarakat Hulu...... 97 18. Persentase Responden Berdasarkan Kesetujuan Masyarakat Hulu 98 19. Persentase Responden yang Mau/Bersedia Membayar .................. 99 20. Persentase Sebaran WTP ................................................................ 99 21. Grafik Penawaran/Permintaan Total untuk Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Air Berdasarkan Kemauan Membayar (WTP)......... 103 22. Persentase Tingkat Pendidikan ...................................................... 103 23. Persentase Umur ............................................................................ 104 24. Persentase Pekerjaan ...................................................................... 104 25. Persentase Bentuk Pilihan Sumber Air Bersih................................ 109 26. Persentase Persepsi Tentang Kualitas dan Kuantitas Air PDAM ... 109 27. Persentase Persepsi Tentang Kualitas dan Kuantitas Air Sumur .... 111 28. Persentase Harapan Akan Adanya Perbaikan Oleh Pemerintah ..... 111 29. Persentase Alasan Responden yang menyatakan Kualitas Air PDAM Rendah ................................................................................ 112 30. Persentase Akibat yang Dirasakan Responden karena Rendahnya Kualitas Air PDAM......................................................................... 112 31. Persentase Jenis kekhawatiran yang dikemukakan responden atas Rendahnya Kualitas Air .................................................................. 113 32. Persentase Alasan responden menyatakan kuantitas Air PDAM rendah.............................................................................................. 113 33. Persentase Akibat yang dirasakan Responden karena Rendahnya Kuantitas Air PDAM ......................................................................
114
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Halaman
Peta Lokasi Penelitian .......................................................................... Peta Penggunaan Lahan Das Citarum .................................................. Peta Kajian Konservasi di Hulu DAS Citarum .................................... Kuesioner ............................................................................................. Data Analisis Responden ..................................................................... Ouput Hasil Analisis Regresi ...............................................................
121 122 123 124 125 126
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Arahan pembangunan nasional jangka panjang sebagaimana tersirat dalam program pembangunan nasional (Propenas) tahun 2000-2005 menekankan keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa aktivitas-aktivitas manusia dalam pembangunan yang dilaksanakan selain mampu membawa perubahan, juga mempengaruhi struktur dan fungsi dasar ekosistem. Kegiatan pembangunan yang tidak mengindahkan asas-asas ekologi akan menimbulkan masalah lingkungan hidup. Era otonomi yang ditandai dengan desentralisasi kegiatan pembangunan berdasarkan wilayah administratif, sering kali berdampak pada konflik pemanfaatan sumberdaya alam. Pengelolaan sumberdaya alam tidak dibatasi oleh wilayah administratif, melainkan terintegrasi secara biofisik maupun sosial eknomi. Ramdan, et al. 2003 mengatakan bahwa pengelolaan sumberdaya alam tidak mengenal batas administrasi, melainkan integrasi secara ekosistem maupun sosial ekonomi. Pelaksanaan otonomi daerah memiliki konsekuensi terhadap pengelolaan sumberdaya alam khususnya sumberdaya air, terutama sumberdaya milik bersama seperti daerah aliran sungai (DAS). Batas daerah otonom (Provinsi/Kabupaten/Kota) secara umum paradoksial dengan batas DAS. Perubahan lingkungan akibat dari meningkatnya pembangunan diberbagai sektor dan pertumbuhan penduduk yang begitu cepat, sehingga menyebabkan luas kawasan lahan hutan sebagai area tangkapan air ini terus berkurang, dimana tahun 2001 luas lahan hutan berkurang sebesar 235,819.82 ha (48%) dan sawah berkurang sebesar 167,525.32 ha. Berkurangnya luas lahan hutan ini disebabkan oleh karena adanya alih fungsi lahan ke industri dan pemukiman, sawah dan tegalan, tetapi yang lebih penting lagi penyebabnya, karena semakin marak penebangan liar semenjak terjadinya krisis ekonomi, sehingga luas lahan kritis semakin bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin di wilayah DAS Citarum, dimana jumlah keluarga miskin di Jawa Barat, mencapai 2,37 juta keluarga atau sekitar 9,5 juta orang (26,59% dari seluruh penduduk Jawa Barat) pada tahun 2000. Terjadinya kerusakan lingkungan di bagian Hulu DAS
2
Citarum yang ada sebagian besar disebabkan oleh adanya proses degradasi hutan dan lahan. Degradasi hutan dan lahan tersebut mengakibatkan kemunduran produktivitas secara perlahan atau cepat, baik sementara maupun tetap sehingga pada suatu saat sampai pada tingkat kekritisan tertentu. Proses degradasi lahan yang sering mengakibatkan suatu lahan menjadi kritis adalah erosi oleh air (dapat dilihat secara visual) dan pemasaman tanah pada kasus ini hanya justifikasi penulis, tidak didasarkan dari hasil analisis laboratorium. Secara umum faktorfaktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan adalah pergerakkan penduduk dan terjadi pergerakkan diberbagai sektor ekonomi sehingga penggunaan lahan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan maupun pengelolaan lahan yang tidak sesuai kaidah konservasi yang menyebabkan terjadi erosi. (hujan yang tinggi terletak pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl), jenis tanah yang sangat remah sehingga jika dibuka peluang terjadinya erosi semakin tinggi), topografi dengan rata-rata kecuraman lereng diatas 25%, vegetasi (tipe penggunaan lahan, sistim pertanian yang kurang memperhatikan kaidah konservasi), dan manusia (sosial, ekonomi, teknologi/agroteknologi). Gejala perubahan lingkungan tersebut di atas mempunyai dampak terhadap ketersediaan air, misalnya terjadi penurunan sumberdaya air pada wilayah DAS sebagai satu kesatuan ekosistem hulu dan hilir, oleh karena aktivitas alih fungsi lahan dan kerusakan hutan di wilayah hulu dapat memberi dampak pada daerah hilir, misalnya bentuk perubahan fluktuasi debit air, banjir, transpor sedimen serta material terlarut lainnya, demikian pula erosi yang terjadi pada lahan di wilayah hulu yang berlansung intensif menyebabkan terangkutnya lapisan tanah yang subur pada saat musim hujan. Kondisi ini dapat mengakibatkan lahan kering berubah menjadi lahan kritis, sehingga menyebabkan produktivitas lahan maupun pendapatan petani akan menurun, serta terjadi kelangkaan air untuk pertanian dan konsumsi rumah tangga pada musim kemarau. Penurunan ketersediaan air dari DAS Citarum Hulu sebagai akibat dari perubahan lahan dan air akan diperparah dengan rusaknya kondisi lingkungan pada wilayah tersebut. Perubahan penggunaan lahan telah terjadi dengan adanya pengurangan areal hutan. Sumberdaya air merupakan sumberdaya terpenting bagi kehidupan manusia dalam melakukan berbagai kegiatannya. Meningkatnya jumlah penduduk dan
3
kegiatan untuk pembangunan, telah meningkatnya sumberdaya air. Dilain pihak, ketersediaan sumberdaya air dirasakan semakin terbatas, di beberapa tempat bahkan sudah dikategorikan berada dalam kondisi kritis. Kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi dalam tiga kelompok besar, yaitu kebutuhan domestik, pertanian (irigasi) dan industri. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan maka kebutuhan air akan meningkat pula baik di perkotaan maupun dipedesaan. Untuk kebutuhan air dari PJT II Jatiluhur dengan sumber mata air utama dari DAS Citarum Hulu, diproyeksikan tidak akan dapat lagi memenuhi kebutuhan dari berbagai sektor pada tahun 2025. hal ini juga sebagaimana diungkapkan oleh Ansofino (2005) bahwa apabila dalam mempertimbangkan semua bentuk kompensasi penggunaan air oleh pengguna di hilir ke pengguna di hulu terutama pemilik lahan beririgasi, maka penentuan harga yang optimal, ternyata lebih menjamin kelestarian sumberdaya air kedepan. Hal ini dibuktikan dengan hasil optimasi pengambilan sumberdaya air di wilayah DAS Citarum dengan mempertimbangkan nilai lahan beririgasi, menunjukan bahwa ketersediaan air tanah maupun air permukaan masih mencukupi sampai periode perencanaan sampai 2013. yang ditandai dengan ketinggian air tanah tidak mengalami penurunan sampai pada tahun 2008, dan tetap relatif stabil sampai pada tahun 2029. Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan data tersebut bahwa akan terjadi pola pengembangan sumberdaya air dengan semakin banyaknya tingkat kebutuhan masyarakat terhadap air tidak diimbangi dengan konservasi terhadap wilayah hulu maka akan terjadi penurunan terhadap ketersediaan air. Daerah hulu suatu DAS merupakan bagian yang terpenting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap daerah di bawahnya (hilir), antara lain sebagai daerah resapan air. Oleh karena itu, perencanaan DAS Hulu menjadi fokus perenacanaan. Perencanaan yang terpadu dari daerah hulu sampai hilir diharapkan dapat menghasilkan suatu pengelolaan DAS yang lebih baik dan terpadu sehingga dapat mengurangi bencana banjir akibat dari musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Perkembangan pembangunan diberbagai sektor dan pertumbuhan penduduk yang pesat, yang ditandai dengan peningkatan permintaan terhadap lahan, juga
4
terjadi di kawasan DAS yang diperuntukannya sebagai kawasan konservasi. Perubahan kawan hutan dan lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman mengakibatkan terjadi kerusakan lingkungan dan semakin berkurangnya daerah resapan air hujan, sebaliknya daerah kedap air semakin bertambah. Banyaknya lahan kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menyebabkan semakin meningkatnya sedimen dan terjadi penurunan tanah pada saat musim hujan akan menyebabkan terjadi kedangkalan di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan terjadi banjir pada wilayah hilir, hal ini juga menyebabkan terjadi kerusakan lingkungan akibat meningkatnya jumlah limbah yang dibuang ke sungai yang semakin meningkat. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap semakin menurunnya fungsi kawasan DAS sebagai kawasan konservasi. Berkaitan dengan itu, kebijakan pengelolaan sumberdaya air ke depan tidak akan terlepas dari pemeliharaan fungsi hidrologi wilayah tangkapan air di hulu DAS Citarum, karena ada keterkaitan antara ketersediaan air di hilir dengan luasan lahan kritis di luar kawasan hutan maupun di dalam kawasan hutan di wilayah DAS Citarum. Jika luas lahan kritis semakin meningkat maka akan menyebabkan fluktuasi penawaran menjadi tinggi. Ketersediaan air akan semakin tinggi, tetapi tidak bertahan lama, karena seiring dengan itu sedimentasi juga semakin tinggi karena adanya erosi tanah. Di musim kering akan mengalami kekurangan air karena berkurangnya luas areal hutan sebagai tangkapan air. Sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap berfluktuasinya jumlah penawaran air di hilir. Oleh karena salah satu karakteristik DAS adalah adanya keterkaitan yang kuat atau dapat dikatakan sebagai suatu hubungan sebab akibat antara wilayah hulu dengan wilayah hilir, yang diikat sistem tata air berupa sungai. Sehingga apabila aktivitas di wilayah hulu berupa penebangan hutan akan menyebabkan sedimentasi dan banjir di wilayah hilir. Sebaliknya upaya konservasi dan rehablitasi hutan di wilayah hulu akan memperbaiki tata air di hulu sampai hilir. Jadi, pengelolaan sumberdaya air di wilayah DAS akan dikendalikan oleh sistem perekonomian yang ada di wilayah hulu, karena pengelolaan air di hulu berkaitan dengan kehilangan wilayah tangkapan air akibat kerusakan hutan, kehilangan keindahan hutan yang beragam, dan gangguan fungsi fungsi hidrologi hutan sebagai akibat dari penebangan hutan di areal konservasi dan hutan lindung,
5
baik oleh masyarakat setempat yang miskin maupun oleh pemerintah yang memberikan izin pengelolaan hutan kepihak pengusaha tetapi tanpa kendali. Berbagai perubahan lingkungan dalam pembangunan memberikan isyarat untuk pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karena perilaku manusia dalam pembangunan berdampak terhadap sumberdaya alam dan ekosistem global, oleh karenanya diperlukan strategi dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya kedepan, sehingga dapat menciptakan keselarasan dalam pembangunan ekonomi. 1.2 Perumusan Masalah Air adalah sumberdaya yang dinamik sebagai sumber kehidupan segala mahluk di dunia, sehingga memberikan implikasi yang relatif pelik dan khas dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatannya. Pada setiap titik pada daerah alirannya, potensi daya yang dimiliki baik dalam kuantitas ataupun kualitasnya berfluktuasi menurut waktu. Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki arti penting dalam upaya konservasi tanah dan air. Badan Pengelolaan Sumberdaya Air mendefinisikan DAS sebagai suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh pembatas alam topografi dimana semua air yang jatuh di daerah tersebut diterima, ditampung dan dialirkan melalui satu outlet tertentu. Disis lain DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem dimana semua komponen penyusunnya saling berinteraksi satu sama lain khususnya hubungan antara hulu dan hilir. Keberlansungan pengelolaan DAS dan konservasi tanah dalam jangka panjang sangat ditentukan oleh keseimbangan tercapainya manfaat sosial ekonomi dan terpeliharanya fungsi lingkungan. Kondisi sosial ekonomi di daerah Gunung Wayang sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendapatan dan pendidikan yang rendah di daerah tersebut. Oleh karena itu, salah satu indikator kerusakan lingkungan, lahan dan air adalah kemiskinan, hal ini terlihat dari indek kemiskinan manusia di Jawa Barat tahun 1995 adalah 26,3% kemudian meningkat menjadi 26,9% (Bapenas, 2001). Petani yang miskin akan menggunakan lahan hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa memperhitungkan daya dukung sumberdaya lahan tersebut. Penurunan kualitas sumberdaya lahan dan tingkat hidup petani disebabkan kemiskinan yang merupakan sumber kerusakan lingkungan. Sehingga untuk memperbaiki kondisi lingkungan di daerah tersebut, terlebih dahulu harus
6
meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Oleh karena itu, memang ada keterkaitan antara berkurangnya jumlah lahan hutan dengan meningkatnya indeks kemiskinan manusia di Jawa Barat sebagaimana diungkapkan oleh Kramadibrata dan Kastaman (2003). Berkaitan dengan itu maka salah satu kebijakan pemulihan kerusakan di wilayah hulu DAS Citarum adalah dari aspek sosial dan ekonomi, dimana masyarakat harus diberikan insentif sebagai jasa lingkungan. Oleh karena berdasarkan data dan fakta yang ada, telah mengambarkan bahwa ada keterkaitan antara penyusutan penawaran air di hilir dengan berkurangnya luas hutan sebagai area tangkapan air di wilayah DAS yang disebabkan oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk miskin di wilayah hulu, dimana terjadi penebangan hutan lindung dan hutan konservasi. Akibat kegiatan konservasi lahan menurut Sumaryanto (1994) bahwa hilangnya kesempatan kerja petani dan pendapatan kerja yang dihasilkan, irigasi yang dibangun dengan biaya besar tidak difungsikan dengan semestinya, dan hancurnya beberapa kelembagaan lokal yang selama ini menunjang pembangunan pertanian. Dengan adanya akibat kegiatan konservasi tersebut maka petani alternatif lain untuk mencukupi kebutuhan mereka dengan cara menebang hutan, baik hutan konservasi maupun hutan produksi. Oleh karena peran kawasan daerah hulu DAS sangat besar dalam menkonservasi air, upaya perbaikan lingkungan khususnya mempertahankan dan meningkatkan luas kawasan dengan penutupan tajuk, harus mendapat perhatian yang serius dari semua pihak. Pada daerah DAS Citarum Hulu khususnya di Gunung Wayang, menurut studi yang telah dilakukan oleh Bina Mitra (2003) bantuan yang telah diberikan hanya berupa bantuan fisik seperti pelebaran aliran sungai yang tidak dirasakan manfaatnya oleh penduduk setempat. Perencanaan yang terpadu dari hulu sampai hilir diharapkan dapat menghasilkan suatu pengelolaan DAS yang lebih baik dan terpadu. Salah satu bentuk kajian yang diperlukan untuk mendukung penyusunan sistem pengelolaan DAS yang baik ialah mempelajari kemauan masyarakat pengguna jasa lingkungan dalam membayar kompensasi terhadap penyedia jasa lingkungan di hulu DAS Citarum yang bersedia melakukan perbaikan lingkungan.
7
Bertolak dari kondis aktual yang telah diuraikan di atas, maka dapat dihimpun beberapa masalah yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini, yaitu : 1. Menganalisis persepsi masyarakat tentang jasa perbaikan lingkungan. 2. Menganalisis kemauan membayar masyarakat (WTP) tentang jasa perbaikan lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Menganalisis persepsi masyarakat tentang kondisi sumber air yang tersedia. 1.3 Tujuan Penelitian Setelah memperhatikan kenyataan yang terdapat pada latar belakang dan perumusan masalah, maka dibuatlah beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu : 1. Menganalisis persepsi masyarakat tentang jasa perbaikan lingkungan. 2. Menganalisis kemauan membayar masyarakat (WTP) tentang jasa perbaikan lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Menganalisis persepsi masyarakat tentang kondisi sumber air yang tersedia. 1.4 Manfaat Penelitian Peneliti juga berharap agar penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi Pemerintah dan Stakeholder. Peneliti juga berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pembanding bagi peneliti lain untuk pengembangan penelitian yang lebih lanjut. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan suatu bentuk kemauan membayar masyarakat untuk jasa perbaikan lingkungan di DAS Citarum. Air yang dimaksudkan merupakan air permukaan yang berasal dari DAS Citarum yang pendistribusiannya melalui PDAM dan air tanah. Sedangkan ketersediaan air yang dimaksudkan merupakan bentuk ketersediaan air secara kualitas dan kuantitas air. Aspek ekonomi yang dikaji berdasarkan masyarakat yang menggunakan jasa air yang berasal dari DAS Citarum dan air tanah., dalam hal ini lebih ditekankan pada wilayah hilir (kota) sebagai pengguna air terbesar.
8
Analisis penelitian ini ditekankan pada analisis persepsi untuk jasa lingkungan dan analisis kemauan membayar (WTP) untuk jasa perbaikan lingkungan dan faktor-faktor yang yang mempengaruhinya, analisis persepsi terhadap kondis sumber air PDAM dan air tanah.
II TINJAUAN MENGENAI BERBAGAI KONSEP TERKAIT DAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan Anwar (1999), mengemukakan bahwa mengingat sifat-sifat yang melekat pada air sebagaimana yang telah diuraikan di depan, maka dipertanyakan bagaimanakah sebenarnya pengalokasian sumberdaya air tersebut agar dapat berdaya guna dan berhasil guna yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat. Sumber dari ketidakefisienan dalam alokasi sumberdaya air adalah karena secara fisik terjadi saling ketergantungan yang menjadi penyebab eksternalitas. Eksternalitas menyebabkan biaya yang dilihat pihak swasta berbeda dengan biaya sosial yang ditanggung masyarakat. Mengingat sifat sumberdaya air yang sebagian bersifat milik indifidu dan sebagian menunjukkan sifat barang umum serta untuk menghindari dan mengatasi inefisiensi pengelolaan sumberdaya air yang berupa kegagalan pasar dan kemubaziran dalam pemanfaatannya, maka campur tangan Pemerintah menjadi perlu. Lebih lanjut Anwar (1999), menjelaskan campur tangan Pemerintah tersebut antara lain : 1. Peraturan-peraturan, seperti pencegahan pembuangan limbah atau sampahsampah pertanian, rumah tangga dan industri kepada badan-badan air yang sekarang masih dianggap sebagai sumberdaya milik bersama. 2. Pembangunan proyek-proyek bagi kepentingan umum seperti proyek pencegahan banjir, bangunan irigasi, dan penggelontoran. 3. Memberi hak-hak penggunaan air yang jelas, dimana hak-hak tersebut dapat ditransfer, sehingga rentang dari dampak fisik yang ditimbulkannya dapat bertumpang tindih dengan tanggung jawab yang diakui secara hukum. Dengan demikian, seseorang yang diakui kepemilikannya dapat berhak menerima pembayaran kompensasi jika biaya yang ditanggungnya meningkat apabila terjadi pemompaan air oleh pihak lain. 4. Melaksanakan kebijaksanaan pajak atau subsidi, untuk mengoreksi agar biaya swasta akan tepat mencapai tingkat biaya sosial.
10
5. Melakukan pengendalian terhadap sumberdaya air yang mengandung eksternalitas secara terpusat, dengan harapan agar pengelolaan tunggal ini dapat menginternalisasikan dampak ekternal dalam penghitungan biayanya. 6. Mendirikan dan mengoperasikan pemanfaatan sumberdaya air oleh perusahaan air minum, perusahaan pembangkit tenaga listrik dan lain-lain. Pengalokasian sumberdaya air adalah bertujuan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, pemerataan, menyelesaikan konflik-konflik yang timbul, peran serta masyarakat, pengendalian air setempat yang banyak ditentukan oleh faktorfaktor yang bersifat sosio-kultural serta politik yang ada. Terjadinya ketidakpastian atas aspek yang bersifat legal, fisik dan hak pemakaian juga perlu diperbaiki. Demikian juga harus diusahakan agar terdapat fleksibilitas dalam mekanisme alokasi (baik secara teknis dan kelembagaan) sehingga penggunaan sumberdaya air dapat diubah-ubah sesuai dengan keperluan antar wilayah, antar berbagai penggunaan dan antar para pengguna dalam berbagai waktu dengan biaya rendah. Anwar (1999), menjelaskan bahwa peranan swasta dalam arti luas dalam pengembangan sumberdaya air pada masa yang akan datang sudah saatnya untuk tampil karena keberadaannya sudah dikehendaki oleh masyarakat. Peningkatan peran swasta ini memerlukan fasilitas dalam sebuah kerangka sistem legal (perundang-undangan)
dan
pengaturan,
sehingga
sumberdaya
air
dapat
didayagunakan secara lebih efisien dan konsumen tidak merasa dirugikan. Perubahan strategi pembangunan kearah berkelanjutan mengandung arti bahwa sumberdaya air harus dialokasikan kearah pemanfaatan air dengan efisiensi yang semakin lebih tinggi. Hal ini mengandung arti bahwa, dengan semakin langkanya sumberdaya air, maka air akan merupakan sumberdaya terpenting yang dapat menimbulkan berbagai konflik dalam penggunaannya. Oleh karena itu, sumberdaya air tersebut harus dipergunakan untuk menghasilkan sebesar-besarnya manfaat kepada masyarakat luas dengan mengurangi kemubaziran, serta alokasi sumberdaya tersebut kearah yang berkeadilan sosial. 2.2 Sumberdaya Air dalam Perspektif Etika Lingkungan Keberadaan air di Indonesia sebagai kebutuhan dasar dijamin oleh konstitusi sebagaimana dalam Pasal 33 UUD 1945. Penjaminan itu lebih dipertegas lagi
11
dalam RUU tentang Sumberdaya Air Pasal 5 yang menyatakan bahwa "negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok seharihari untuk memenuhi kebutuhannya yang sehat, bersih, dan produktif”. Secara Internasional perspektif air sebagai kebutuhan dasar ini dipertegas lagi oleh Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang mendeklarasikan akses terhadap air merupakan sebuah hak dasar. Dalam deklarasi ini disebutkan bahwa air adalah benda sosial dan budaya, dan bukan hanya sebagai komoditi ekonomi. Selain sebagai salah satu kebutuhan dasar bagi manusia, air juga dalam pandangan umum dipandang sebagai barang umum yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama yang dikelola secara kolektif bukan untuk diperdagangkan atau diperjualbelikan guna memperoleh keuntungan. Dengan adanya RUU Sumberdaya Air dan deklarasi PBB tentang pengelolaan sumberdaya air, agaknya pandangan umum tersebut sudah berubah dan ditinggalkan, karena air tidak hanya sekedar barang umum tetapi sudah menjadi komoditas ekonomi. Pergeseran paradigma pengelolaan sumberdaya air tersebut didasarkan pada nilai ekonomi intrinsik yang dimiliki oleh air, yang dilandasi pada asumsi adanya keterbatasan dan kelangkaan air serta dibutuhkannya investasi untuk penyediaan air bersih sebagai pemenuhan hak atas setiap warga negara. Hingga saat ini perdebatan mengenai pro dan kontra tentang paradigma pengelolaan sumberdaya air masih merupakan suatu diskusi yang panjang. Sulit untuk menyatakan secara terang-terangan bahwa air adalah barang umum atau air adalah barang ekonomi. Sanim (2003), menjelaskan bahwa penilaian terhadap air akan menjadi lebih kompleks jika cara pandang pemanfaatan sumberdaya air didasarkan atas filosofis yang melingkupinya. Lebih lanjut Sanim (2003), menjelaskan ada dua basis cara pandang dalam pemanfaatan sumberdaya air, yaitu: antropocentrisme dan ecocentrisme. Dalam cara pandang antropocentrisme manusia adalah pemilik semua yang ada dimuka bumi ini sehingga setiap keputusan ekonomi harus mengedepankan kepentingan manusia di atas kepentingan elemen alam lainnya. Sistem nilai ekonomi muncul dari kelangkaan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia semata, sehingga dalam memperlakukan sumberdaya alam
12
cenderung eksploitatif dan destruktif. Dalam cara pandang ecocentrisme dimana ekonomi setara dengan ekologi setiap elemen ekosistem (manusia, hewan, tumbuhan) memiliki kedudukan sederajat dalam mendapatkan kepentingannya. Sistem ekonomi yang diberlakukan terhadap benda-benda alam dikaitkan dengan intrinsic value yang tidak dapat dinilai secara konvensional oleh piranti ekonomi. Cara pandang mana yang akan dipegang dan dianut dalam pengelolaan sumberdaya air akan sangat tergantung pada kepentingan dari domain yang ada pada suatu negara. Selain itu, akan sangat tergantung pula pada bagaimana stakeholders memperlakukan sumberdaya air sebagai dasar bagi pembangunan secara keseluruhan, termasuk pembangunan untuk sumberdaya manusianya. Secara rinci Sanim (2003), juga menjelaskan bahwa kerangka pemanfaatan sumberdaya air, apakah akan menganut antropocentrisme atau ecocentrisme akan sangat tergantung pada tiga domain, yaitu : ruang sektor masyarakat, ruang sektor swasta, dan ruang sektor publik. Jika ruang sektor masyarakat dilandaskan pada antropocentrisme maka air akan dipandang sebagai public goods and global commons dengan konsekuensi pemanfaatan yang tidak efisien tanpa dilandasi perlunya keberlanjutan dan keberadaan sumberdaya air tersebut. Sebaliknya jika dilandaskan pada ecocentrisme maka efisiensi dan keberlanjutan menjadi pusat perhatiannya. Untuk ruang sektor swasta, pengelolaan sumberdaya air diserahkan melalui rekayasa kebijakan di sektor swasta, dimana desentralisasi kekuasaan dan manajemen dilakukan melalui privatisasi, dalam domain ini kerangka filosofis balik antropocentrisme maupun ecocentrisme jelas-jelas harus diperhatikan. Untuk ruang sektor publik, pengelolaan sumberdaya air diserahkan melalui rekayasa kebijakan publik, dimana desentralisasi kekuasaan dan manajemen dilakukan oleh Pemerintah daerah atau regionalisasi, dalam domain ini kerangka filosofis baik antropocentrisme maupun ecocentrisme juga tetap harus menjadi bahan pertimbangan. 2.3 Konsep Ekonomi Sumberdaya Air Air haruslah dipandang sebagai barang ekonomi sehingga untuk mendapatkannya
memerlukan
pengorbanan
baik
waktu
maupun
biaya.
Sebagaimana barang ekonomi yang lain, air mempunyai nilai bagi penggunanya.
13
Nilai air bagi pengguna adalah jumlah maksimum yang bersedia dibayarkan untuk penggunaan sumberdaya tersebut, dimana pengguna akan menggunakan air selama manfaat dari tambahan setiap meter kubik air yang digunakan melebihi biaya yang dikeluarkan (Briscoe, 1996). Sumberdaya air dapat dialokasikan secara efisien dengan menggunakan prinsip nilai guna batas yang sama bagi setiap penggunaan (Suparmoko, 1995). Secara ekonomi, sumberdaya air tergolong ke dalam sumberdaya milik bersama. Sumberdaya ini biasanya akan mengalami masalah apabila dieksploitasi secara tidak terkendali atau melebihi daya dukung regenerasinya. Munculnya berbagai masalah adalah akibat sulit ditegaskan hak-hak kepemilikan terhadap sumberdaya yang bersangkutan. Sedangkan syarat sumberdaya dapat dikelola secara efisien, yaitu jika sistem kepemilikan terhadap sumberdaya itu dibangun di atas sistem hak-hak kepemilikan yang efisien. Syarat-syarat hak-hak kepemilikan yang efisien, antara lain : (1) Universality, artinya semua sumberdaya memiliki secara privat dan semua entitlement terspesifikasikan dengan jelas. (2) Exclusivity, artinya semua manfaat dan biaya yang disebabkan oleh kepemilikan harus kembali kepada pemiliknya. (3) Transferability, artinya semua hak kepemilikan harus dapat dipindahtangankan secara sukarela. (4) Enforceability, artinya semua hak kepemilikan harus bebas dari gangguan pihak luar. Sumberdaya air sering menghadapi permasalahan seperti disebutkan diatas, sehingga sering mengarah kepada sumberdaya air yang bersifat akses terbuka (Fauzi, 2004). Sulit ditegaskan hak-hak atas sumberdaya air itu sendiri, antara lain terkait dengan : mobilitas air, skala ekonomi yang melekat, penawaran air yang berubah-ubah, kapasitas daya asimilasi dari badan air, dapat dilakukannya penggunaan secara beruntun, penggunaan yang serbaguna, berbobot besar dan memakan tempat, dan nilai kultural yang melekat pada sumberdaya air. Keadaan diatas, lebih lanjut menimbulkan gejala eksternalitas yang meluas. Yaitu terjadi, jika ada pihak lain yang menanggung manfaat atau biaya dari proses penggunaan sumberdaya oleh pemiliknya. Dengan perkataan lain, eksternalitas menimbulkan manfaat dan biaya yang dinilai oleh pihak swasta dengan manfaat dan biaya yang dinilai oleh masyarakat. Dengan adanya eksternalitas ini menurut Randal (1987), menjelaskan pada penentuan harga dari unit sumberdaya secara
14
tidak efisien. Artinya, harga-harga yang menjadi standar pertukaran tidak mencerminkan sifat kelangkaan dari sumberdaya tesebut. Untuk itu didalam ekonomi sumberdaya air ada beberapa alokasi sumberdaya air yang menjadi permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air adalah alokasi dan distribusi air. Alokasi air merupakan masalah ekonomi untuk menentukan bagaimana penawaran air yang tersedia harus dialokasikan kepada pengguna atau calon pengguna. Penggunaan air sendiri pada dasarnya terbagi dalam dua kelompok yaitu kelompok konsumtif, yakni mereka yang memanfaatkan suplai untuk konsumsi dan kelompok non konsumtif. Kelompok konsumtif antara lain rumah tangga, indsutri, pertanian, kehutanan, kelompok ini memanfaatkan air melalui proses yang disebut diversi, baik melalui transpormasi penguapan, penyerapan ke tanah, maupun pendegradasian kualitas air secara lansung (pencemaran). Kelompok pengguna ini memperlakukan sumberdaya air sebagai sumberdaya yang tidak terbarukan (Fauzi, 2004), Tabel 1, ada tiga kriteria alokasi sumberdaya air beserta tujuan yang dikemukakan oleh Fauzi, (2004). Tabel 1 Kriteria Alokasi Sumberdaya Air Kriteria Efficiensi
• • • •
Tujuan Biaya penyediaan air yang rendah Penerimaan per unit sumberdaya air yang tinggi Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Akses terhadap air bersih untuk semua masyarakat
Equity Sustainability
• Menghindari terjadinya deplesi pada air bawah tanah (ground water depletion) • Menyediakan cadangan air yang cukup untuk memelihara ekosistem dan meminimalkan pencemaran air
Sumber : Fauzi, 2004.
Selain kriteria pada Tabel 1, Howel et al., (1996) menambahkan kriteria alokasi sumberdaya air antara lain : 1. Fleksibilitas dalam penyediaan air sehingga sumberdaya air dapat digunakan pada periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perubahan permintaan. 2. Keterjaminan bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan sehingga mereka dapat memanfaatkan air seefisien mungkin. 3. Akseptabilitas politik dan publik sehingga tujuan pengelolaan bisa diterima oleh masyarakat.
15
Untuk itu lebih lanjut Fauzi (2004), menjelaskan beberapa kriteria pada Tabel 1, yaitu pengelolaan sumberdaya air, khususnya yang menyangkut alokasi, memang menjadi sangat kompleks. Namun secara umum ada beberapa mekanisme alokasi yang umum digunakan, yakni Queuing system, water pricing, alokasi public, dan user based allocation. Namun alokasi air yang cocok diterapkan terhadap kota-kota besar adalah water pricing dan Alokasi berbasis pasar (water market), berikut masing-masing mekanisme alokasi : 1. Queuing system : sistem antrian ini mengacu pada dua sistem alokasi yang cukup dominan, yakni Riparian Water Rights dan Prior Appropriation Water Rights. Istilah Riparian sebenarnya mengacu pada daerah yang berada atau berdekatan dengan sungai maupun danau. Tapi sistem riparian ini banyak memiliki kelemahan karena alokasi air tidak berdasarkan kriteria ekonomi, sehingga sering menimbulkan ekksternalitas pada sumberdaya yang bersifat common property. Kedua adalah Prior Appropriation Water Rights di dasarkan pada prinsip bahwa hak atas kepemilikan air diperoleh melalui penemuan maupun kepemilikan bersifat mutlak, artinya pemilik hak atas air diperbolehkan untuk tidak membagi pemanfaatan atas air kepada pihak lain. 2. Water Pricing : sebagaimana dikemukakan diatas, sistem alokasi yang berdasarkan pada antrian banyak menimbulkan inefisiensi dalam pemanfaatan air karena ketiadaan kriteria ekonomi. Maka melalui sistem penentuan harga yang tepat melalui water pricing yang mencerminkan biaya yang sebenarnya akan memberikan sinyal kepada pengguna mengenai nilai dari air dan dapat menjadi insentif untuk pemanfaatan air yang lebih bijaksana. 2.4 Penilaian Sumberdaya Alam 2.4.1 Persepsi Masyarakat terhadap Pengelolaan Sumberdaya Alam Persepsi adalah proses dimana seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungnnya melalui indera-indera yang dimilikinya, atau pengetahuan tentang lingkungannya yang diperoleh melalui interpretasi data indera (Saparinah, 1976). Persepsi adalah proses pemberian arti (kognisi) terhadap lingkungan oleh seseorang, dan karena aetiap orang memberi arti kepada stimulus, maka indifidu yang berbeda akan melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda, demikianlah terjadilah persepsi itu (Saparinah, 1976).
16
Berdasarkan batasa-batasan tersebut, dapat dipahami bahwa pengertian persepsi merupakan penilaian, penglihatan atau pandangan seseorang melalui proses psikologis yang selektif terhadap suatu obyek atau segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya. Saparinah (1976) mengemukakan ada 4 karakteristik dari faktor-faktor pribadi atau sosial yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu : 1. Faktor ciri khas dari obyek ransangan, faktor ini terdiri dari : a. Nilai, yaitu ciri-ciri dari stimulus (ransangan) seperti nilai bagi obyek yang mempengaruhi cara stimulus tersebut dipersepsi. b. Arti emosional, yaitu : sampai seberapa jauh stimulus tertentu merupakan sesuatu yang mempengaruhi persepsi indifidu yang bersangkutan. c. Familiaritas, yaitu pengenalan yang berkali-kali dari suatu stimulus yang mengakibatkan stimulus tersebut dipersepsi lebih akurat. d. Intensitas, yaitu ciri-ciri yang berhubungan dengan derajat kesadaran seseorang mengenai stimulus tersebut. 2. Faktor pribadi, termasuk dalam ciri khas indifidu seperti tingkat kecerdasan, minat, emosional dan lain-lain. 3. Faktor pengaruh kelompok, dalam suatu kelompok manusia, respon orang lain akan memberi arah terhadap tingkah laku seseorang. 4. Faktor latar belakang kultural, orang dapat memberikan suatu persepsi yang berbeda terhadap obyek yang sama karena latar belakang kultural yang saling berbeda. 2.5 Kerusakan Lingkungan dan Tata-Air Anwar (1999), mengatakan bahwa penyebab utama dari degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup terletak dari keterpisahan antara kelangkaan dan sistem penentuan harga, manfaat dan biaya, hak-hak dan tanggung jawab, tindakan dan akibat yang ditimbulkannya. Terlalu banyak sumberdaya alam yang tidak jelas hak-hak kepemilikannya dan tidak dihargai secara wajar dalam sistem pasar yang berlaku. Sedangkan sumberdaya lainnya dihargai terlalu rendah, dan pengurasannnya malah disubsidi. Mencegah terjadinya kenaikan harga karena bertambahnya kelangkaan sumberdaya akan meningkatkan biaya-biaya sosial yang timbul dari terjadinya distorsi terhadap
17
isyarat-isyarat pasar untuk bekerja dengan baik, yang sebenarnya dapat menghalangi terjadinya peningkatan efisiensi, subtitusi, konservasi dan inovasi untuk memulihkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Karenanya terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup bukan disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sendiri, melainkan karena terjadinya kekeliruan dan kegagalan dalam kebijaksanaan dan kegagalan pasar. Purwonugroho (2003), menjelaskan bahwa sesungguhnya kekeringan, banjir, dan tanah longsor merupakan potret dari buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia. Fenomena bencana yang terjadi itu hanyalah tanggapan-tanggapan alami dari adanya perubahan-perubahan keseimbangan sistem alam dalam skala DAS. Ketika komponen penyusun DAS mengalami perubahan, keseimbangan alamiah akan timpang, sehingga timbul fenomenafenomena alam yang seringkali merugikan manusia yang menghuni di dalam DAS. Saat ini kerusakan DAS di Indonesia sangat luar biasa. Jika pada tahun 1984 hanya terdapat 22 DAS kritis dan super kritis, pada tahun 1992 meningkat menjadi 29 DAS, tahun 1994 menjadi 39 DAS, tahun 1998 menjadi 42 DAS, tahun 2000 menjadi 58 DAS, dan tahun 2002 menjadi 60 DAS. Respon dari kerusakan DAS tersebut adalah semakin sensitifnya lingkungan terhadap komponen yang ada dalam sistem lingkungan.
Ketika hujan mudah banjir.
Namun sebaliknya, ketika kemarau, mudah terjadi kekeringan, sehingga menimbulkan kerugian yang luas biasa. Supriadi (2000), menjelaskan bahwa kawasan hulu mempunyai peranan penting yaitu sebagai tempat penyedia sumberdaya air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri, dan pemukiman, juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan. Dalam terminologi ekonomi, daerah hulu merupakan faktor produksi dominan yang sering mengalami konflik kepentingan penggunaan lahan untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, pemukiman, dan lain-lain. Di lain pihak kemampuan pemanfaatan lahan bagian hulu sangat terbatas, sehingga kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif ke daerah sumberdaya air yang ada di hilirnya. Oleh karena itu, konservasi daerah hulu perlu mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi air dan konservasi itu sendiri.
Secara
18
ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air yang merupakan rangkaian proses alami suatu siklus hidrologi yang memproduksi air permukaan dalam bentuk mata air, aliran air dan sungai. 2.6 Faktor Pendorong Kerusakan Lingkungan dan Tata-Air Faktor-faktor utama yang secara umum berdampak pada kerusakan alam dan lingkungan bersumber pada dua faktor utama, yaitu (1) faktor kelembagaan berupa kebijakan pemerintah dalam bentuk perundangan, dan kelembagaan masyarakat berupa konvensi dan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat, dan (2) faktor non-kelembagaan, termasuk di dalamnya aspek pasar (Saefulhakim, 1999). Kesimpulan tersebut diturunkan dari hasil penelitian terhadap fenomena konversi lahan di tujuh provinsi di Indonesia, yaitu : Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali dan Lampung, dan Sumatera Selatan. Ketujuh provinsi tersebut dianggap sebagai lumbung beras utama Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa secara umum faktor kelembagaan berkontribusi 70% dalam mendorong konversi lahan pertanian ke penggunaan non-pertanian yang berakibat pada kerusakan lahan pertanian (Winoto et al,. 1996). Kelembagaan berupa aturan perundangan memiliki rata-rata bobot yang lebih tinggi (60%) dalam mempengaruhi fenomena konversi lahan dibandingkan faktor non-kelembagaan. Dengan membuat penurunan lebih lanjut terhadap model Von Thuenen, Saefulhakim (1995), merumuskan beberapa faktor penting pendorong konversi penggunaan lahan dan perusakan lingkungan, antara lain sebagai berikut : 1. Perkembangan standar tuntunan hidup yang tidak seimbang dengan kemampuan masyarakat meningkatkan produktifitas, nilai tambah, dan pendapatan. 2. Struktur harga-harga yang timpang misalnya term of trade antara output sector pertanian dengan output sektor-sektor non-pertanian. 3. Struktur biaya produksi yang timpang dengan struktur harga-harga yang juga terkait
dengan
pola
spasial
kualitas
lahan,
struktur
skala
penguasaan/pengusahaan lahan, sistem infrastruktur, dan sistem kelembagaan 4. Kemandekan perkembangan teknologi intensifikasi yang tidak hanya terjadi di sektor pedesaan juga di sektor pertanian
19
5. Pola spasial aksesibilitas 6. Tingginya resiko dan ketidakpastian 7. Sistem nilai masyarakat tentang sumberdaya lahan Anwar (1999), mengemukakan bahwa penyebab utama dari degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup terletak dari keterpisahan antara kelangkaan dan sistem penentuan harga, manfaat dan biaya, hak-hak dan tanggungjawab, tindakan dan akibat yang ditimbulkannya. Terlalu banyak sumberdaya alam yang tidak jelas hak-hak kepemilikannya dan tidak dihargai secara wajar dalam sistem pasar yang berlaku. Sedangkan sumberdaya lainnya dihargai terlalu rendah, dan pengurasannnya malah disubsidi. Mencegah terjadinya kenaikan harga karena bertambahnya kelangkaan sumberdaya akan meningkatkan biaya-biaya sosial yang timbul dari terjadinya distorsi terhadap isyarat-isyarat pasar untuk bekerja dengan baik, yang sebenarnya dapat menghalangi terjadinya peningkatan efisiensi, substitusi, konservasi dan inovasi untuk memulihkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Karenanya terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup bukan disebabkan karena pertumbuhan ekonomi sendiri, melainkan karena terjadinya kekeliruan dan kegagalan dalam kebijaksanaan dan kegagalan pasar. Beberapa ketidakmampuan sistem pengorganisasian ekonomi tercermin diantaranya dalam bentuk kekeliruan kebijaksanaan yang membuat terjadinya distorsi dari bekerjanya sistem pasar yang efisien melalui subsidi kapital, batas pagu sukubunga, subsidi pestisida, subsidi enegi, pengurangan pajak, kuota dan beberapa hak-hak dan kemudahan-kemudahan yang diberikan pada segolongan penduduk. Kegagalan pasar dan kelangkaan sumberdaya alam tersebut tercermin dari terjadinya akses terbuka, tidak jelasnya hak-hak, terjadinya eksternalitas dan sifat-sifat dari barang bebas (publis good), pasar yang bersifat monopoli, tingginya biaya-biaya transaksi, konsesi-konsesi pengusahaan sumberdaya jangka pendek, keputusan sistem pasar yang bersifat jangka pendek dan banyaknya sumberdaya alam yang tidak dinilai. 2.7 DAS dan Hutan sebagai Pengatur Tata Air Manan (1985), mengemukakan bahwa DAS diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan, dan mengalirkan
20
air hujan yang jatuh diatasnya beserta sedimen dan bahan larut lainnya kedalam sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau ke laut. Kegiatan tataguna lahan yang merubah tipe atau jenis penutup lahan dalam suatu DAS seringkali dapat memperbesar atau memperkecil hasil air. Pada batas-batas tertentu kegiatan ini juga dapat mempengaruhi status kualitas air, akan tetapi perubahan vegetasi dari jenis vegetasi ke jenis vegetasi lain ialah hal yang umum dalam pengelolaan DAS atau pengelolaan sumberdaya alam (Asdak, 2002). Dalam pengelolaan DAS haruslah diorientasikan kepada segi-segi konservasi tanah dan air dengan titik berat kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat dirasakan oleh segenap lapisan masyarakat, baik dari kalangan petani industri dan lainnya.hasil akhir yang menjadi titik sentral perhatian dalam pengelolaan DAS ialah kondisi tata air yang stabil dari wilayah DAS tersebut. Penutupan hutan mempunyai pengaruh yang nyata terhadap perubahan iklim dan air. Hutan mengintersepsi butir hujan, mengurangi limpasan permukaan, meningkatkan kelembaban nisbi dan menghambat erosi tanah, serta pengeringan permukaan. Dari pengaruh-pengaruh hutan tersebut, yang terpenting adalah pengaruh pasokan air ke sungai-sungai dan keteraturan lainnya (Lee,1998). Asdak (2002), mengemukakan bahwa hutan memegang peranan penting dalam proses hidrologi dimana dengan adanya vegetasi maka ketika turun hujan akan meningkatkan infiltrasi sehingga mereduksi volume aliran air dan besarnya debit sungai pada saat banjir. Vegetasi ini memiliki sifat dapat merubah sifat fisika dan kimia tanah dalam hubungan dengan air, dapat mempengaruhi kondisi permukaan tanah dan pada akhirnya akan mempengaruhi besar kecilnya aliran permukaan tanah. Ada tiga pengaruh penting dari adanya hutan, yaitu : (1) Hutan menahan tanah di tempatnya, (2) Tanah hutan menyimpan air lebih banyak, (3) Hutan menyebabkan tingginya peresapan. Suparmoko (1989), mengemukakan bahwa air merupakan produk penting dari hutan. Tanah di hutan merupakan busa raksasa yang mampu menahan air hujan sehingga meresap perlahan-lahan ke dalam tanah. Banyak daerah yang menggantungkan diri terhadap persediaan air dari hutan dengan sungai-sungai yang mengalir sepanjang tahun. Tetapi bila pohon-pohon di hutan di tebang, maka
21
tanah lansung terbuka sehingga bila turun hujan, air hujan akan lansung mengalir ke sungai dan menyebabkan erosi serta banjir Sungai merupakan bagian dari siklus hidrologi yang mengalirkan air dari hasil penurunan dari tempat ketinggian ke laut. Dalam perjalanannya sungai dapat melewati berbagai daerah seperti daerah pertanian, permukiman, perkotaan dan industri. Dengan demikian sungai dapat berfungsi sebagai tempat penyimpan dan penyedia air, media transportasi, sumber makanan dan lain-lain, juga dapat berfungsi sebagai tempat pembuangan limbah. Indonesia, sebagian besar dari air yang mengalir ke sungai berasal dari daerah aliran sungai yang berhutan, khususnya hutan lindung. Oleh karena itu luas hutan dan perlakuan yang diberikan dalam pengelolaannya akan mempengaruhi jumlah dan kualitas air yang dihasilkannya (Manan, 1976). Selanjutnya Lee (1989), menjelaskan apabila daerah-daerah aliran sungai berhutan ditebang habis dan dimanfaatkan secara sembarangan tanpa memperhatikan nilai-nilai jangka panjang, maka biaya yang harus ditanggung oleh kawasan hilir dalam bentuk sedimentasi, pencemaran, kerusakan akibat banjir dan kekeringan, mungkin jauh melebihi nilai kayu yang dihasilkan. Oleh karena itu, penebangan yang dilakukan harus sesuai dengan kondisi daerah aliran sungai. Demikian pula pengkonversian lahan hutan menjadi lahan pertanian, perumahan, industri akan menyebabkan turunnya air tanah,s mata air dan sumur-sumur tidak berair sepanjang musim. 2.8 DAS sebagai Suatu Kesatuan Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah atau kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sediment, dan unsur hara dan mengalirkan melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik. Manan (1983), mengemukakan bahwa Daerah Aliran Sungai adalah sebuah kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan curah hujan yang jatuh ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Pemisah topografi adalah punggung bukit dan pemisah bawah berupa batuan. Daerah Aliran Sungai sebagai suatu ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan keluaran dan masukan dari material dan energi. Ekosistem
22
DAS, terutama DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS, seperti fungsi tata air, sehingga perencanaan DAS bagian hulu sering kali menjadi indikator karena mengingat bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Pasaribu, 1999). Aktivitas perubahan tataguna lahan atau berbagai aktivitas konversi lahan yang dilaksanakan didaerah hulu dapat memberikan dampak terhadap sumberdaya air dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air antar waktu dan transpor sedimen serta material terlarut lainnya. Adanya keterkaitan antara sumberdaya air dengan perubahan tataguna lahan merupakan suatu kesatuan sistem yang tidak bisa dipisahkan maka kondisi suatu DAS dapat digunakan sebagai satuan unit perencanaan sumberdaya alam. 2.9. DAS sebagai Satuan Unit Perencanaan dan Pengelolaan Sumberdaya Keberadaan DAS secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 tentang perencanaan hutan. Batasan DAS dalam PP tersebut adalah suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga berfungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanan serta pengaliran dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan sumberdaya alam tersebut (Syahrir, 2002). Pasaribu (1999), mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan pengelolaan DAS akan bertumpuh pada aktivitas-aktivitas yang berdimensi biofisik seperti pengendalian erosi, penghutanan kembali lahan-lahan kritis, pengelolaan lahan pertanian konservatif, serta berdimensi kelembagaan seperti insentif dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Dimensi ekonomi dan sosial dalam pengelolaan DAS lebih diarahkan pada pemahaman kondisi ekonomi dan sosial budaya setempat dan menggunakan kondisi tersebut sebagai pertimbangan untuk merencanakan strategi aktivitas pengelolaan DAS yang berdaya guna tinggi serta efektif. Keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut masih dalam kerangka kerja yang mengarah pada usaha-usaha tercapainya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan manusia dengan
23
kemampuan sumberdaya alam untuk mendukung kebutuhan manusia tersebut secara lestari. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka menurut Pasaribu (1999), DAS dapat dimanfaatkan secara penuh dan pengembangan ekosistem daerah Hulu dapat dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah preservasi, reservasi, dan konservasi. Pelaksanaan pengelolaan DAS umumnya melalui empat upaya pokok, yaitu : (1) pengelolaan tanah melalui konservasi dalam arti luas. (2) pengelolaan sumberdaya air melalui usaha-usaha pengembangan sumberdaya air. (3) pengelolaan huta. (4) pembinaan kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam melalui usaha penerangan dan penyuluhan (Syahrir, 2002). Berdasarkan rumusan yang dihasilkan dari lokakarya pengelolaan DAS yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tahun 1995, maka ada tiga hal yang dianggap penting untuk diperhatikan dalam upaya pengelolaan DAS, yaitu : 1. Bahwa
pengelolaan
DAS
merupakan
bagian
penting
dari
kegiatan
pembangunan di Indonesia, khususnya dalam rangka pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air, sehubungan dengan perlindungan lingkungan. 2. Pada dasarnya pengelolaan DAS bersifat multidisiplin dan lintas sektoral sehinggan keterpaduan mutlak diperlukan agar diperoleh hasil yang maksimal. 3. Dalam pelaksanaan sistem perencanaan pengelolaan DAS terpadu, perlu diterapkan asas ’Integrated Watershed Mangement Plan’, untuk itu dalam setiap rencana pemanfaatan DAS seharusnya diformulasikan dalam bentuk paket perencanaan terpadu dengan memperhatikan kejelasan keterkaitan antar sektor pada tingkat regional/wilayah dan nasional serta kesenambungannya (Pasaribu, 1999). Dalam menjabarkan konseptual perencanaan dan pengelolaan DAS pada prinsipnya sama aplikasinya untuk setiap unit DAS, namun demikian secara substansi dan strateginya, bentuk-bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perlu dilakukan karena bentuk DAS merupakan refleksi kondisi biofisik dan merupakan wujud dan merupakan wujud proses alamiah yang ada. Implikasi dari perencanaan dan pengelolaan DAS sebagai suatu sistem hidrologi dan sistem produksi adalah peluang terjadinya konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan komponen-komponen sistem DAS. Konflik
24
kepentingan terjadi, karena adanya perbedaan visi terhadap pengelolaan sumberdaya air sebagai proses dan sumberdaya air sebagai produk. Pengelolaan sumberdaya air sebagai proses akan melibatkan seluruh peubah yang ada dalam sistem DAS. Baik peubah masukan, peubah karakteristik DAS (proses) maupun peubah keluaran. Sedangkan pengelolaan sumberdaya air sebagai produk lebih banyak menekankan pengelolaan secara kualitatif dan kuantitatif terhadap peubah keluaran. Pandangan konseptual pengelolaan sumberdaya air oleh setiap instansi sebenarnya sangat dipengaruhi oleh jenis dan tingakat kepentingan antar sektor (Syahrir, 2002). 2.10 Alih Fungsi Lahan Sitorus
(2001), mengemukakan bahwa lahan merupakan bagian dari
bentang lahan yang mencakup pergertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Penggunaan lahan adalah hasil usaha manusia dalam mengelola sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Tipe penggunaan lahan secara umum meliputi pemukiman, kawasan budidaya pertanian, padang pengembalaan kawasan rekreasi dan lainnya. Badan Pertahanan Nasional mengelompokan jenis penggunaan lahan sebagai berikut : (1) Permukiman, berupa kombinasi antara jalan, bangunan, tegalan/pekarangan, dan bangunan itu sendiri (kampung dan emplasemen). (2) Kebun, kebun meliputi kebun campuran dan kebun sayuran merupakan daerah yang ditumbuhi vegetasi tahunan satu jenis maupun campura, baik dengan pola acak maupun teratur sebagai pembatas tegalan. (3) Tegalan merupakan daerah yang ditanami, umumnya tanaman semusim, namun pada sebagian lahan tak ditanami dimana vegetasi yang umum dijumpai adalah padi gogo, singkong, jagung, kentang, kedelai dan kacang tanah. (4) Sawah merupakan daerah pertanian yang ditanami padi sebagai tanaman utama dengan rotasi tertentu yang biasanya dialiri sejak saat penanaman hingga beberapa hari sebelum panen. (5) Hutan merupakan wilayah yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan, baik alami maupun dikelola, dengan tajuk rimbun dan tajuk yang besar serta lebar. (6) Lahan terbuka, merupakan daerah yang tidak terdapat vegetasi maupun penggunaan lain akibat aktivitas manusia. (7)
25
Semak belukar adalah daerah yang ditutupi oleh pohon baik alami maupun yang dikelola, dengan tajuk yang relatif kurang rimbun (Heikal, 2004). Saefulhakim dan Nasution (1995), menyatakan bahwa penggunaan lahan merupakan suatu proses yang dinamis, perubahan yang terus menerus sebagai hasil dari perubahan pola dan besarnya aktivitas manusia sepanjang waktu. Perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan ke penggunaan lainnya diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain pada suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada suatu daerah pada kurun waktu yang berbeda (Martin, 1993). Alih fungsi lahan dari segi pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi sumberdaya antar sektor penggunaan. Kondisi tersebut merupakan suatu fenomena dinamik yang menyangkut aspek fisik dan aspek kehidupan masyarakat (Winoto, 1995). Manuwoto (1992) menjelaskan secara umum pengalihan fungsi lahan dipengaruhi oleh faktor sosial atau kependudukan, pembangunan ekonomi, penggunaan jenis teknologi dan kebijakan pembangunan makro. Keempat faktor ini mempengaruhi peruntukan lahan bagi berbagai penggunaan. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi, pada dasarnya bersifat dinamis mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan wilayah. Akan tetapi perubahan pola penggunaan lahan yang tidak terkendali dan terencana dapat berpengaruh buruk terhadap pembangunan itu sendiri dan pembangunan semacam ini tidak akan berkelanjutan (Utomo, 1992). 2.11 Dampak Perubahan Tata Guna Lahan dan Kerusakan Hutan terhadap Sumberdaya Air Dalam dekade terakhir ini tekanan terhadap penggunaan lahan semakin besar baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Kekhawatiran yang timbul adalah karena semakin meningkatnya degradasi yang akan berpengaruh terhadap proses pembangunan yang berkelanjutan. Kekhawatiran yang timbul adalah wilayah DAS Citarum dan Subdas-subdas yang merupakan daerah tangkapan banjir rutin cekungan Bandung yang saat ini kondisi semakin memperihatinkan yang dicirikan dengan tingkat erosi yang semakin tinggi. Luasan banjir Bandung
26
melebihi 2,200 ha. Tinggi muka air yang semakin menurun. Dalam penyediaan air minum terdapat suatu bentuk yang tidak seimbang dengan ketersediaan air minum yang disuplai sungai citarum semakin menurun yaitu tahun 1992 sebesar 7,462.99 km3 dan pada tahun 2000 sebesar 4,996.58 km3. sedangkan kebutuhan air minum semakin besar yaitu dari tahun 1992 sebesar 9,77 km3 dan tahun 2005 sebesar 1,419.12 km3. hal ini sebagai akibat dari semakin pesatnya laju pertumbuhan penduduk, daya dukung lahan yang melebihi kapasitasnya. Kurangnya kesadaran masyarakat akan manfaat dan fungsi hutan dan lahan.serta, semakin merosotnya keadaan ekonomi masyarakat pada era reformasi. Karena itu wilayah daerah tangkapan air di Hulu merupakan prioritas utama yang perlu dilakukan rehablitasi lahan dan hutan agar proses degradasi dapat diperkecil sehingga tidak dapat membahayakan kelanjutan pembangunan serta mampu mempertahankan hutan dan tanah seoptimal mungkin sebagai fungsi produksi dan fungsi lindung. Berdasarkan hasil analisis Boer (2004), menunjukkan bahwa tahun 2000 dengan tingkat pengambilan air permukaan 10% dari total jumlah aliran pertahun, hampir semua Kecamatan yang ada di DAS Citarum mengalami kekurangan air. Pada tahun 2020, banyaknya Kecamatan yang mengalami kekurangan air akan semakin bertambah. Dengan meningkatnya tingkat pengambilan air permukaan 10% menjadi 25%, sebagian besar kebutuhan air Kecamatan dapat dipenuhi kecuali beberapa Kecamatan seperti Bandung, Karawang, Bekasi dan Sumedang. Namun demikian, tingkat pengambilan air 25% dari total sudah jauh melampaui debit sehingga resiko kekurangan air, khususnya musim kemarau akan tetap tinggi. Dampak perubahan yang terjadi secara dapat dilihat ketika terjadi musim hujan tiba dan ketika musim kemarau tiba, seperti beberapa Kecamatan di Kabupaten Bandung terjadi banjir dan ketika kemarau akan terjadi kekeringan, hal ini merupakan akibat dari perubahan tataguna lahan dan kerusakan hutan di wilayah hulu yang berdampak terhadap sumberdaya air di wilayah hilir. Berbagai fenomena yang terjadi merupakan ulah perilaku manusia yang tidak memperhitungkan daya dukung lahan dan hutan. Oleh karenanya perubahan harus diikuti dengan konservasi kembali sehingga ada keseimbangan dalam perubahan tesebut, bukan hanya sumberdaya alam bersifat eksploitatif.
27
Tabel 2 Neraca Kebutuhan Air dan Pemenuhan Sumber Air dari DAS Citarum, 1990-2005 Uraian I.Sumber Citarum Sungai Lain Jumlah II.Kebutuhan Irigasi Industri Air Minum Perikanan Pengelontoran Beban Puncak Listrik Jumlah III.Neraca Sumber Kebutuhan Jumlah Jumlah Total
m3/detik
1990 m3/detik
m3/detik
2005 m3/detik
m3/detik
2025 m3/detik
182.33 60.25
5,750.00 1,900.00 7,650.00
182.33 61.83
5,750.00 1,950.00 7,700.00
182.33 63.42
5,750.00 2,000.00 7,750.00
177.33 7.91 9.77 1.00 2.00 9.51
5,592 24,945 30,811 3,154 6,307 300.00 71,108.71
175.00 15.00 21.3 10.00 10.00 3.17
551,880 47,304 67,172 31,536 31,536 100.00 729,528
168 25 45 20 15 -
529,805 78,840 141,912 63,072 47,304 860,933
24,258 20,749
7,650.00 654,388 662,038.00 669,688.00
24,416 23,447
7,700.00 739,428 747,128.00 754,828.00
24,575 273,00
7,750.00 860,933.00 868,683.00 876,433.00
Sumber : PJT II Jatiluhur 2003.
Defisitnya air dari DAS Citarum dari tahun ke tahun telah di prediksi oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II Jatiluhur (Tabel 2). Sementara itu, berdasarkan data yang didapatkan dari DKI Jakarta terjadi peningkatan terhadap permintaan air minum mulai tahun 2006 sebanyak 7500 m3. Hal ini menunjukkan bahwa akan terjadi peningkatan permintaan air minum seiring dengan pertambahan waktu dan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini sangat jelas bahwa permintaan air untuk pertanian juga meningkat, sementara suplai air dari DAS Citarum tidak berubah. Pada kondisi ini konflik penggunaan air akan terjadi meningkat pula. Keadaan ini menunjukkan bahwa peningkatan permintaan air seiring dengan konflik antara pengguna air akan meningkat dan kelangkaan air akan menjadi permasalahan yang serius. Hernowo (2001) memperkirakan pada tahun 2010, DAS Citarum tidak akan lagi memenuhi permintaan air. Berdasarkan data yang didapatkan dari PJT II Jatiluhur didapatkan bahwa pada tahun 2025 secara umum akan terjadi defisit air untuk berbagai kebutuhan yang berasal dari DAS Citarum Hulu. Keadaan akan berkurangnya ketersediaan air pada masa yang akan datang dapat mulai diantisipasi dengan memperbaiki kondisi lingkungan di DAS Citarum Hulu.Berdasarkan skenario penurunan persentase penutupan lahan oleh hutan sebanyak 50% dan 75%
28
diperoleh bahwa keragaman debit aliran di Citarum Hulu akan meningkat antara 90% sampai 150% (Boer, 2004). Penurunan pasokan air karena semakin buruknya kualitas lingkungan di Hulu DAS Citarum dan diperparah dengan penggunaan lahan dan kerusakan hutan yang dirasakan oleh pengguna jasa lingkungan air minum. 2.12 Jasa Lingkungan Secara sederhana jasa lingkungan dapat diartikan sebagai keseluruhan konsep sistem alam yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan linkungan. Jasa lingkungan ini dihasilkan oleh proses yang terjadi pada ekosistem alam. Contoh, hutan sebagai ekosistem alam, selain menyediakan berbagai produk kayu dan non kayu, merupakan suatu reservoir besar yang dapat menampung air hujan, menyaring air tersebut dan kemudian melepaskannya secara gradual sehingga air tersebut bermanfaat bagi manusia. Fungsi hutan dalam siklus air tidak disadari sampai akhirnya terjadi pembabatan hutan yang menyebabkan banjir dan menurunnya kualitas air, meningkatkan kerentanan masyarakat hilir sehingga kualitas hidup mereka terancam. Keberadaan jasa lingkungan ini sering dianggap sebagai anugerah dari alam semesta. Jika dilihat lebih jauh, selain faktor alam terdapat pula peran manusia yang mempengaruhi keberadaan jasa lingkungan tersebut. Masyarakat yang berpenghidupan dari hasil alam atau mengelola lahan merupakan ujung tombak intervensi
terhadap
keberadaan
jasa
lingkungan.
Selanjutnya
kelompok
masyarakat ini diistillahkan dengan ”masyarakat penyedia jasa lingkungan”, yang atas usaha perlindunganm dan pengelolaan dapat dikategorikan sebagai pelindung dan pengelola. Adanya berbagai masalah dalam menjaga kelestarian lingkungan serta gagalnya pendekatan dimasa lalu, telah memicu berkembangnya suatu sistem dimana masyarakat penyedia jasa lingkungan diakui dan diberi imbalan atas usaha yang mereka lakukan. Prinsip dasar dari konsep ini adalah bahwa masyarakat penyedia jasa lingkungan perlu mendapat kompensasi terhadap usaha yang mereka lakukan, dilain pihak, pengguna jasa lingkungan perlu membayar atas jasa lingkungan yang mereka manfaatkan.
29
Ladell-Mills dan Porras (2002), mengemukakan beberapa mekanisme imbal jasa lingkungan yang populer didunia, seperti : 1. Direct Negotiation : transaksi lansung antara penyedia dan pengguna jasa lingkungan. Biasanya tercakup dalam suatu proyek pembangunan lingkungan dan sering kali menghasilkan proses negosiasi yang panjang. 2. Intermediary-based transction : Fasilitator berperan agar transaksi dalam hal mencari informasi, bernegosiasi, dan menyelesaikan proses transaksi menjadi rendah. Selain itu fasilitator juga berperan untuk mereduksi resiko kegagalan dengan membangun kapasitas masyarakat, mencari patner yang tepat serta mengidentifikasi masalah yang ada. Trust fund , LSM Lokal dan International merupakan bentuk fasilitator yang paling umum. 3. Pooled transaction : Pendekatan yang mengandung resiko transaksi dengan membagikan investasi melalui beberapa pengguna jasa lingkungan. Dana terkumpul biasanya cukup besar untuk mendifersifikasikan investasi. 4. Joint Venture : mekanisme yang melibatkan investor yang menawarkan input yang seimbang untuk memulai suatu perusahaan dan menyalurkan imbalan bagi lingkungan melalui perusahaan tersebut dalam bentuk bagi keuntungan, kosultasi teknis, dana lansung, dan lain-lain. 5. Retail based traders : Imbalan jasa lingkungan terlampir dalam produk pasar dan jasa, contoh : harga premium bagi produk ramah lingkungan. 6. Internal traiding : transaksi antar departemen dalam suatu organisasi, contoh : imbal jasa antar departemen dalam pemerintah. 7. Over the counter traders/user fees : Pada mekanisme ini jasa lingkungan dikemas terlebih dahulu untuk dijual, contoh : kredit kualitas air untuk perbaikan lingkungan. Kesatuan jasa lingkungan belum banyak mendapatkan perhatian dalam literatur. Namun demikian, pengalaman praktis menunjukkan bahwa berkembangnya permintaan suplai dari jasa ini dapat saling bersifat komplementer antar jasa. Terdapat dua perdekatan untuk pengembangan pasar ini, yaitu : (1). Menggabungkan jasa yaitu jasa tidak boleh di jual secara indifidual dan terbagi-bagi sehingga dapat memberikan kontrol yang baik terhadap biaya transaksi, dan (2). Menawarkan jasa tersebut. Pendekatan kedua lebih membuat penjual membagi paket jasa untuk dijual ke berbagai pembeli.
30
Hasilnya adalah alokasi sumberdaya yang lebih efisien dan pendapatan penjual yang lebih tinggi. Pasar melibatkan banyak stakeholder. Meskipun sektor privat merupakan pelaku utama, namun LSM Lokal, Komunitas, Pemerintah, NGO Internasional dan donor juga memegang peranan penting sebagai penjual, pembeli, perantara dan suplier jasa tersebut. Usaha untuk mempromosikan pasar untuk jasa lingkungan harus berusaha mengkapitalisasikan berbagai antusiasisme stakeholder dan menghindari alienasi group tertentu yang dapat menghambat perkembangan pasar. 2.13 Definisi Pembayaran Jasa Lingkungan Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan dinyatakan bahwa manfaat jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Herman Rosa (2005), seorang pakar pembayaran jasa lingkungan dari Amerika Tengah mendefinisikan sebagai kompensasi jasa ekosistem. Menurutnya ada 4 klasifikasi jasa ekosistem, yaitu : (1) Jasa Penyediaan: sumber bahan makanan, obat-obatan alamiah, sumberdaya genetik, kayu bakar, serat, air, mineral dan lain-lain. (2) Jasa Pengaturan: fungsi menjaga kualitas udara, pengaturan iklim, pengaturan air, kontrol erosi, penjernihan air, pengelolaan sampah, kontrol penyakit manusia, kontrol biologi, pengurangan resiko dan lainlain. (3) Jasa Kultural: identitas dan keragaman budaya, nilai-nilai religius dan spiritual, pengetahuan (tradisional dan formal), inspirasi nilai estetika, hubungan sosial, nilai peningkatan pustaka, rekreasi, dan lain-lain. (4) Jasa Pendukung: produksi utama, formasi tanah, produksi oksigen, ketahanan tanah, penyerbukan ketersediaan habitat, siklus gizi dan lain-lain. Dengan demikian masyarakat hendaknya memaknai suatu kondisi atau keadaan yang disediakan oleh ekosistem tergantung pada kemampuan ekosistem tersebut dalam menyediakan jasa yang diinginkan atau diharapkan oleh masyarakat. Jadi, untuk jasa lingkungan ekowisata hendaknya masyarakat dapat menggoptimalkan semua jasa ekosistem yang ada dilokasi tersebut.
31
Hingga saat ini pembayaran jasa lingkungan sudah dapat diimplementasikan namun perspektifnya masih beragam. Keberagaman terkait dengan elemen yang terlibat dalam skema pembayaran jasa lingkungan, yaitu jasa air/daerah aliran sungai, keanekaragaman hayati, landscape beauty dan carbon sequestration. Keberagaman tersebut juga berlaku dalam hal tingkatan implementasi dan bahkan pengertian mengenai konsepnya itu sendiri. Hal ini juga termasuk dalam mendefinisikan siapa sebenarnya provider atau seller merupakan masyarakat hulu dan buyer adalah masyarakat hilir. Negosiasi adalah entri point yang penting dalam pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan. Diperlukan adanya negosiasi karena mekanisme ini sebenarnya dapat dikatakan sebagai mekanisme hubungan bisnis antara buyer dan provider atau seller jasa lingkungan. Atau dapat juga dikatakan sebagai mekanisme imbal jasa dimana hendaknya ada kesetaraan secara ekonomi antara jasa yang diberikan oleh provider/seller dengan imbal yang diberikan oleh buyer. Acuan dari sisi teknis diperlukan untuk membentuk opini dan sebagai bahan masukan untuk negosiasi. Artinya penelitian dengan analisis mendalam sesuai dengan kebutuhan harus dilakukan terlebih dahulu sebelum diimplementasikan. 2.14 Jasa Ekosistem dan Masyarakat Millenium Ecosystem Assesment (MEA) membuat klasifikasi jasa ekosistem berdasarkan fungsi : Jasa Penyediaan : sumber bahan makanan, obat-obatan alamiah, sumberdaya genetik, kayu bakar, serat, air, mineral, dan lain-lain. Jasa Pengaturan : fungsi menjaga kualitas udara, pengaturan iklim, pengaturan air, kontrol erosi, penjernihan air, pengelolaan sampah, kontrol penyakit manusia, kontrol biologi, pengurangan resiko, dan lain-lain. Jasa Kultural : identitas dan keragaman budaya, nilai-nilai religius dan spritual, pengetahuan (tradisional dan formal), inspirasi, nilai estetika, hubungan sosial, nilai peninggalan pusaka, rekreasi, dan lain-lain. Jasa Pendukung : produksi utama, formasi tanah, produksi oksigen, ketahanan tanah penyerbukan, ketersediaan habitat, siklus gizi, dan lain-lain. Jasa-jasa tersebut berperan dalam pelestarian kondisi yang diperlukan kehidupan dan bermanfaat dalam penciptaaan jasa ekosistem lainnya. Jenis jasa
32
yang diperlukan serta besarnya ketergantungan setiap kelompok masyarakat terhadap jasa tersebut ternyata berbeda-beda. Jasa ekosistem tertentu seperti berbagai jenis kacang-kacangan atau umbi-umbian yang dapat dimakan, produksi kayu, dan penyeimbang iklim ekstrim merupakan jasa yang sangat penting bagi kehidupan dan ketahanan pangan masyarakat miskin. Sementara itu bagi kelompok masyarakat lain, jasa kultural dan religius dapat saja lebih bernilai dibanding dengan jasa lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat memaknai suatu kondisi atau keadaan yang disediakan oleh ekosistem tergantung pada kemampuan ekosistem tersebut dalam menyediakan jasa yang diinginkan.
Walaupun
kadang
kedekatan
sebagian
masyarakat
dengan
lingkungannya terhalang oleh berbagai faktor seperti kelembagaan sosial, budaya dan teknologinya, tidak dapat dipungkiri bahwa semua indifidu pada umumnya sangat tergantung pada keberadaan jasa ekosistem. Dari sudut pandang ekonomi, secara tradisional beberapa jasa ekosistem dianggap sebagai positive eksternalities atau keuntungan eksternal dari keputusankeputusan produksi dan managemen. Berdasarkan perspektif tersebut, atau secara lebih umum disebut pemanfaatan instrumen berbasis pasar, merupakan usaha untuk menginternalisasi atau memberi nilai ekonomi atas keuntungan yang dimaksud. Dengan demikian diharapkan ekosistem akan tetap terpelihara dan dapat diperbaiki untuk meningkatkan ketersediaan jasa ekosistem. Bila masyarakat pedesaan sudah mulai terlibat dalam pasar dan memberi nilai ekonomi atas jasa ekosistem yang turut mereka sediakan, maka sumber pendapatan baru tercipta. Untuk itu, diperlukan kerangka kerja yang luas untuk dapat mengakomodasi
perspektif
masyarakat
mengenai
jasa
ekosistem
dan
kompensasinya. 2.15 Perspektif tentang Jasa Ekosistem dan Kompensasinya Berbagai pandangan berikut mendukung perlunya pembayaran atau pemberian kompensasi bagi mereka yang memfasilitasi tersedianya jasa ekosistem 1. Pertama, program pembayaran jasa ekosistem (PJE) dapat menjadi instrumen finasial untuk pembiayaan kegiatan konservasi tradisional. 2. Kedua, berbagai progran PJE berusaha menjawab kebutuhan jasa ekosistem global, seperti penambatan karbon atau pengurangan dampak perubahan iklim.
33
Disini, ketimbang melindungi ekosistem tertentu, tujuan yang hendak dicapai adalah mencari alternatif biaya termurah untuk memperoleh suatu jasa dalam hal ini penambatan karbon. 3. Ketiga, beberapa skema kompensasi jasa ekosistem bertujuan untuk meningkat suplay jasa ekosistem yang menarik minat kalangan lokal dan regional, seperti regulasi daerah aliran sungai serta jaminan kualitas air. 4. Keempat, kompensasi jasa ekosistem dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat pedesaan sekaligus meningkatkan nilai lanscap pedesaan berikut segenap ragam praktek dan ekosistemnya. Walaupun persepktif yang diuraikan diatas tidak dapat dipisahkan satu sama lain, penekanan masing-masing perspektif tetaplah sangat penting. Pendekatan konservasi tradisional yang mengusur masyarakat setempat dari suatu wilayah ekosistem seringkali membuat masyarakat petani dan penduduk lokal terasing sehingga berdampak rusaknya pilihan hidup mereka dalam menjaga kelansungan hidup. Pada akhirnya, semua ini hanya akan mempermiskin mereka. Disamping itu, pemanfaatan sumberdaya dengan cara yang illegal dan tidak berkelanjutan juga akan dapat memperlemah upaya konservasi. Dilain pihak, persepktif konservasi yang menghargai pengetahuan dan praktek penduduk lokal akan dapat memastikan ketersediaan jasa lingkungan secara berkelanjutan. Hal ini juga akan memperluas hak-hak kesepatan masyarakat yang akhirnya akan meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sedangkan alternatif biaya terendah, seperti dalam beberapa inisiatif penambatan karbon, berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi sisi ekosistem dan sosial jika minimalisasi nilai jasa ekosistem dan efisiensi ekonomis lebih diutamakan ketimbang kesetaraan. Dilain pihak, untuk memastikan ketersediaan jasa dalam berbagai inisiatif yang terkait dengan air, keragaman pemanfaatan lahan maupun pemangku kepentingan yang terlibat perlu dipertimbangkan. Dengan demikian, skema kompensasi yang dinegosiasikan dan disepakati akan menjadi skema yang mendukung perbaikan ekosistem sekaligus memberikan keuntungan bagi konsumen di hili dan produsen di hulu. Dalam perspektif komunitas yang menghargai pengetahuan dan praktek penduduk lokal dan bertujuan memperluas akses dan hak guna atas lahan,
34
langkah-langkah yang diambil akan memberi hasil positif dalam arti pengentasan kemiskinan dan perbaikan pengelolaan ekosistem. Proses untuk menyiapkan skema kompensasi yang berdasarkan perspektif ini memang cenderung lebih kompleks dan sejauh ini belum merupakan perspektif yang dominan. 2.16 Fokus pada Masyarakat Miskin Perdesaan Argumen pertama menjadi landasan perlunya memberikan kompensasi bagi masyarakat petani atau masyarakat hulu dan penduduk lokal atas peran mereka dalam menjaga ketersediaan sumberdaya alam sebagai jasa lingkungan semata merupakan alasan pragmatis. Banyak kawasan yang harus dilindungi dan memiliki potensi penyediaan jasa lingkungan yang didiami, dikelola, dan dimanfaatkan oleh penduduk lokal. Dalam kasus seperti ini, mengabaikan penduduk lokal
bukan sesuatu yang dapat dilakukan. Perjuangan untuk
memperoleh perluasan hak akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam oleh berbagai kelompok masyarakat diberbagai belahan bumi sudah banyak dilakukan. Untuk itu, perlu dikembangkan skema kompensasi yang melibatkan masyarakat secara penuh. Bila sistem pengetahuan tradisonal dan praktek pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki penduduk lokal yang menghasilkan jasa tersebut tidak dijaga dan dilestarikan, maka beberapa jasa ekosistem tertentu seperti keragaman genetik spesies yang diperlukan, diantaranya sebagai sumber bahan makanan dan obat-obatan dapat hilang begitu saja. Argumen kedua didasarkan pada pertimbangan kesetaraan. Skema konservasi yang mengintegrasikan dengan tujuan sosial (memberikan keuntungan bagi masyarakat pedesaan) dengan tujuan lingkungan (menjamin ketersediaan sumberdaya alam sebagai jasa lingkungan) hanya akan menjamin instrumen yang timpang . jika tujuan perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam dipisahkan dari penguatan strategi kehidupan masyarakat pedesaan, maka tujuan lingkungan mungkin akan terwujud tetapi dengan ongkos sosial yang tinggi. Strategi kompensasi yang direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan perspektif masyarakat pedesaan, penduduk lokal, dan petani akan dapat memperkuat kehidupan mereka sekaligus memperbaiki pengelolaan lahan dikawasan pedesaan. Hubungan antara masyarakat dengan ekosistem yang dikelolanya dapat dikelompokkan dalam ke dalam tiga tingkatan. Pertama, hubungan yang lansung
35
yaitu pengelolaan ekosistem untuk pemenuhan kebutuhan subsisten (dasar) seperti bahan makanan, kayu, api, air dan kehidupan spritual. Kedua, hubungan yang terkait dengan masyarakat pengguna sumberdaya alam untuk melakukan kegiatan produksi sehingga menghasilkan kelebihan produksi. Kelebihan ini lalu dijual di pasar dalam upaya memperoleh pendapatan. Yang terakhir berkaitan dengan usaha penyediaan jasa lingkungan bagi kepentingan regional dan global (misalnya kualitas air, keanekaragaman hayati, dan penambatan karbon) yang saat ini merupakan fokus sejumlah inisiatif baru. Strategi masyarakat, dengan makin tersedianya jasa ekosistem, harus terintegrasi ke dalam tiga tingkatan tersebut dan mampu mengurai setiap hambatan dalam setiap tingkatan. 2.17 Jasa Lingkungan Ekowisata Dalam sistem katalog HHNK (hasil hutan non kayu) Internasional, jasa lingkungan termasuk dalam kategori HHNK yang terdiri atas Biophysycal Product (Water & Carbon) dan Physcological Product (Cultural & Amenities). Mengingat beragamnya jenis dan potensi yang ada. Ekowisata merupakan bagian dari wisata dan rekreasi yang memanfaatkan dan memperlakukan daya tarik alami dan kelestarian alam secara berimbang. Prinsip-prinsip yang menjadi rambu utama dalam ekowisata adalah : (i) berbasis watak alam, (ii) lingkungan lestari, (iii) mengandung nuansa pendidikan lingkungan. Dalam skema jasa lingkungan, masyarakat yang menjaga keindahan lokasi ekowisata dapat disebut sebagai provider dan masyarakat atau pihak-pihak yang menikmati keindahan alam disebut sebagai buyer atau user keindahan alam. Secara umum pasar jasa lingkungan dapat pula diartikan sebagai kesempatan bagi masyarakat yang hidup didalam dan sekitar kawasan konservasi serta kawasan hutan (lokasi ekowisata) untuk meningkatkan taraf hidup mereka (ICRAF et al., 2005). Selain itu, mekanisme ini juga ditujukan untuk meningkatkan modal sosial dan pengakuan atas hak masyarakat dalam mengelola dan mengakses sumberdaya alam atau hutan. Rezim pengelolaan sumberdaya dapat diberikan kepada masyarakat sebagai pemegang hak dalam pengelolaan. Agar terciptanya sumberdaya yang berkelanjutan maka hak-hak pengelolaan dapat diberikan kepada masyarakat, sehingga dapat memacu tingkat pendapatan masyarakat.
36
Landscape Beauty (Keindahan Alam)
Masy. Hulu (Produsen)
Jasa Lingkungan : Sumberdaya Air/DAS Keanekaragaman hayati Karbon sequestration Landscape ekowisata
Yayasan/lembaga/ Independent/ intermediaries
Rp Masy. Kota (Hilir)
Rp
Masy. Hilir (Konsumen)
Gambar 1 Skema Pemanfaatan dan Pembayaran Jasa Lingkungan Sumber : Fauzi, 2007.
Gambar 1 dideskripsikan bahwa keindahan alam atau landscape beauty umumnya terletak di bagian hulu menyediakan jasa lingkungan berupa keindahan yang kemudian bisa dimanfaatkan untuk ekowisata dan menghasilkan sumberdaya air. Jasa lingkungan ini di konservasi oleh masyarakat hulu dan dimanfaatkan oleh masyarakat hilir. Dengan dilaksanakan skema pembayaran jasa lingkungan. Maka diperlukan adanya yayasan atau lembaga masyarakat yang independen, yang dapat mengelola dana hasil skema pembayaran jasa linkungan .lembaga ini harus beranggotakan semua pemangku kepentingan (stakeholders) di daerah tersebut dan dapat diterima oleh semua pihak. Dana hasil skema ini kemudian dikelola dengan persetujuan para pemegang kepentingan dan hendaknya memberikan keuntungan bagi masyarakat hulu, hilir dan kelestarian sumberdaya alam. 2.18 Pengembangan Sumberdaya Hutan melalui Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Dalam 3 tahun terakir inisiatif pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di indonesia secara sistimatis telah dikembangkan oleh instansi pemerintah pusat dan daerah bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat nasional dan Internasional, seperti LP3ES, WWF, RUPES-ICRAF. Saat ini ada sekitar 84 lokasi yang dipandang sangat potensial sebagai wilayah pengembangan jasa lingkungan di Indonesia baik dalam bentuk biodiversity, watershed protection, landscape beauty maupun carbon sequestion (Review of the
37
development enviromental service market in Indonesia, World Agroforestry Centre, 2003). Dalam
sambutannya
ketika
resmi
membuka
lokakarya
"Strategi
Pengembangan Pembayaran dan Imbal Jasa Lingkungan di Indonesia", Dedi M. Riyadi (2005), mengemukakan bahwa isu mengenai jasa lingkungan di Indonesia sudah cukup lama dikenal, walaupun dalam bahasa yang berbeda (misalnya pada zaman kementrian lingkungan hidup dibawah pimpinan bapak Emil Salim pada tahun 1980-an) dikemukakannya bahwa saat ini sudah banyak terjadi peralihan pemanfaatan lahan kawasan hutan (dan bahkan lahan pertanian) untuk keperluan pemukiman dan industri. Ini terkait dengan pertambahan penduduk Indonesia yang tidak terkendali. Dengan demikian, sebagai bagian upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat disekitar kawasan hutan maka pengembangan fungsi penyediaan produksi dan jasa lingkungan diharapkan untuk searah dengan perwujudan Millenneum Development Goals (MDGs). Dalam sektor kehutanan, agar manfaat hutan dapat tetap dimanfaatkan dan terjaga dengan baik bagi kepentingan generasi selanjutnya (sustainable development), maka diperlukan pergeseran paradigma dalam pembangunan kehutanan. Saat ini sering kali hutan hanya dipandang dari sisi fungsi produksi kayu saja, yang menurut penelitian 7% dari seluruh hasil hutan. Padahal hasil produksi hutan non kayu termasuk jasa lingkungan mempunyai potensi sangat besar tetapi sampai saat ini belum optimal pemanfaatannya. Riyadi (2005), menjelaskan bahwa apa yang dilakukan terkait dengan pembayaran dan imbal jasa lingkungan di negara ini masih bersifat parsial. Diperlukan advokasi yang mengarah pada pengembangan kebijakan yang dapat dijadikan acuan bersama. Lebih lanjut diutarakannya, berdasarkan kriteria dan indikator pengelolaan hutan yang berkelanjutan, ada beberapa yang dapat dikembangkan terkait dengan pengembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Aspek pemanfaatan keanekaragaman hayati, hasil hutan non kayu, ekoturisme hutan, dan sumberdaya air. Berbagai inovasi teknis mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan terkait dengan keempat aspek tersebut diharapkan dapat menjadi dasar pengembangan kelembagaan dan hukum kebijakan pembayaran dan imbal jasa lingkungan di Indonesia.
38
Secara khusus, hingga saat ini kerangka kebijakan dan regulasi terkait aspek sumberdaya alam dan ekowisata yang ada di Indonesia belum mengakomodasi bentuk pendanaan yang bersumber dari pembayaran dan imbal jasa lingkungan. Mengingat keterbatasan sumber dana konvensional, maka mekanisme pembiayaan pembangunan dan investasi yang bersifat hijau ini dapat menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan pembangunan untuk jasa lingkungan. Namun pemikiran ini memerlukan pembahasan yang lebih detail. keterkaitan upaya pengembangan mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan dengan aspek hukum perlu diperhatikan mengingat pelaksanaan mekanisme pembayaran jasa lingkungan sangat erat kaitannya dengan pemahaman status kepemilikan lahan di lokasi proyek, seperti hutan adat, hutan produksi pemerintah dan lain-lain. Khusus untuk hutan produksi dan hutan lindung, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 telah disebutkan tentang pelaksanaan pembayaran jasa lingkungannya. Sedangkan implementasi pembayaran jasa lingkungan di kawasan pelestarian alam, kawasan suaka alam dan taman buru baru dalam daftar usulan untuk bisa dimasukan dalam Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 dan secara rinci akan dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah tentang pengelolaan jasa lingkungan. Masukan kebijakan ke tingkat nasional sangat diharapkan karena pada saat ini pembayaran dan imbal jasa lingkungan di Indonesia masih bersifat lokal dengan kasus-kasus spesifik lokasi. Perlu adanya advokasi kebijakan yang diangkat dari pengalamanpengalaman tingkat lokal tersebut. Intervensi pemerintah perlu ada namun perlu dipandang dengan kritis. Berbagai jenis kegiatan perlu dilakukan dalam upaya mewujudkan pelembagaan jasa lingkungan sebagai salah satu instrumen untuk mengurangi tingkat kerusakan kawasan hutan akibat kerusakan yang terjadi . Mulai dari penelitian, pendidikan hinggan promosi dan kampanye serta implementasi jasa lingkungan. Terwujudnya mekanisme transaksi antara buyer dengan seller jasa lingkungan boleh dikatakan diperkirakan masih cukup lama untuk dapat diaplikasikan karena Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1996 belum mengatur tentang hal ini, baik terkait dengan pelaku, lokasi, nilai dan jangka waktunya.
39
Implementasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di suatu wilayah perlu diintegrasikan dengan perencanaan spasial disertai dengan adanya kesepakatan lintas sektoral, provinsi dan nasional. Diperlukan pula adanya konsultasi dari bawah ke atas (masyarakat) dalam penyusunan proses dan besaran kompensasi atau insentif hingga didapatkan kesesuaian, kesetimbangan atau equilibrium willingness to accept dan willingness to pay antara provider dan user atau buyer. Implementasi
jasa
lingkungan
akan
juga
mencerminkan
adanya
penghormatan terhadap hak asasi masyarakat hulu untuk bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan strategi nasional penanggulangan
kemiskinan
(SNPK)
tahun
2005
yang
mendefinisikan
kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hal ini dapat dikatakan demikian karena jasa lingkungan (ekowisata) diharapkan akan membangun dan atau mengembangkan kewirausahaan endogen yang efektif ditingkat akar rumput. Dan, bila dilaksanakan dengan mekanisme jasa lingkungan maka pengembangan program ini dilaksanakan dengan dukungan dana dari masyarakat di hilir dan pengelolaan secara keseluruhan dilakukan dengan supervisi dari lembaga independen (antara buyer dan provider) sehingga diharapkan akan terjadi keberlanjutan program dan berdampak positif terhadap kehidupan masyarakat di hulu dan kelestarian alamnya. Berdasarkan hasil perkawinan data Podes (potensi desa) setelah tahun 2003 dengan data BKKN (Badan Keluarga Berencana Nasional) diketahui bahwa 43,98% masyarakat miskin ada di kawasan hutan (CESS, 2005). Data yang ditunjukkan oleh Renstra Kehutanan tahun 2005-2009 ada sebanyak 48,8 juta jiwa masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan (termasuk disekitar kawasan konservasi) dan sebanyak 10,2 juta jiwa dikategorikan sebagai masyarakat miskin. Dengan adanya data tersebut, maka implementasi jasa lingkungan diharapkan akan dapat meningkatkan kehidupan mereka yang dikategorikan miskin tersebut. Hal ini bila diasumsikan bahwa pada umumnya, di lokasi-lokasi tersebut sangat indah dan merupakan lokasi jasa lingkunga (ekowisata) yang potensial.
40
Dalam konteks yang lebih luas yaitu sustainable development and poverty implementasikan alleviation, pembayaran jasa lingkungan berpotensi untuk diimplementasikan dimanapun di Indonesia dengan memperhatikan preconditioning dari pembayaran dan imbal jasa lingkungan di lokasi tersebut, yaitu mulai dari program penguatan strategi peningkatan penghidupan masyarakat, modal sosial dan kepastian hukum atas kepemilikan lahan berdasarkan dari hasilhasil studi yang dilaksanakan diawal program jasa lingkungan. 2.19 Hubungan Masyarakat Hulu dan Hilir : Isu Sosial Sumberdaya Kualitas hubungan antara masyarakat hulu dan masyakat hilir sangat menentukan program imbal jasa yang ingin diwujudkan. Klasifikasi konseptual dari sosial kapital dapat mengambarkan analisis tersebut. Grootaert et al., (2004) berpendapat ada 3 konsep sosial kapital. Pertama bonding social capital yang merupakan ikatan antar anggota masyarakat yang memiliki kesamaan demografi, seperti anggota keluarga, tetangga, teman dekat dan rekan kerja. Kedua bridging social capital merupakan ikatan antar anggota yang tidak memiliki kesamaan demografi tetapi memiliki kesamaan persepsi dan ketertarikan isu tertentu. Ketiga linking sosial kapital dimana ikatan antara suatu anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya memiliki perbedaab posisi otoritas, seperti antara masyarakat umum dengan pejabat pemerintah, polisi, dan pekerja sosial. Terpinggirkannya masyarakat miskin didataran tinggi mengakibatkan hilangnya kepercayaan diri mereka dan tidak adanya koordinasi secara institusional dalam menyampaikan aspirasi untuk memperjuangkan kepentingan mereka. Kondisi ini merupakan titik awal dalam membangun suatu bonding sosial kapital dimana relasi antar anggota masyarakat terdapat keseimbangan ”kekuatan” dalam berinteraksi dengan komunitas dengan masyarakat hilir. Bukti dampak terhadap masyarakat miskin jarang ditemukan, meskipun ada tetapi
sering
kali
dibiaskan.
Dengan
membantu
kelompok
miskin
mentransformasikan modal alamnya yang terdapat pada hutan menjadi arus finansial, maka pasar dapat memberikan penduduk lokal fleksibilitas yang lebih besar dalam mengeksploitasi aset alamnya dan membantu menurunkan kerentanannya melalui diversifikasi pendapatan dasarnya. Pasar juga dapat menjadi mekanisme yang efektif dalam menjamin arus jasa yang berkelanjutan
41
untuk menghasilkan manfaat (Landell dan Porras, 2002). Ketidakpastian hak milik, kerangka kerja regulasi ad hoc yang tidak lengkap, terbatasnya keahlian dan pendidikan, tidak mencukupinya pembiayaan, lemahnya informasi dan kontak, tidak mencukupinya infrastruktur komunikasi, ketidaksesuaian dalam mendisain komoditas, tingginya biaya koordinasi dan lemahnya dukungan politis kesemuanya adalah kendala dalam pengembangan pasar. Tujuh tahapan dalam mempromosikan pasar yang mendukung komonitas miskin yaitu : 1. Memformalisasikan hak milik jasa hutan yang dimiliki penduduk miskin. Formalisasi hak-hak sumberdaya alam adalah penting untuk memberikan group marginal kontrol atas dan hak untuk mendapatkan penerimaan dari penjualan jasa lingkungan. 2. Mendefinisikan komoditas yang sesuai. Komoditas yang sederhana dan fleksibel yang dapat beroperasi dengan sendirinya, yang sesuai dengan legislasi yang ada dan sesuai dengan strategi nafkah hidup lokal perlu dikembangkan pada daerah miskin. 3. Membentuk mekanisme pembayaran yang efektif biaya. Pada daerah yang kapasitas regulasinya lemah, keahlian perdagangan akan berada dalam kondisi suplai jangka pendek dan infrastruktur pasarnya tidak berkembang. 4. Memperkuat institusi kerjasama. Kerjasama adalah masalah penting yang membuat pemilik lahan miskin dan manfaat jasa menanggung bersama-sama biaya yang terkait dengan partisipasi pasar. Juga penting untuk mencapai level minimum suplai dan permintaan sehingga partisipasi pasar dapat berjalan. 5. Investasi dalam pendidikan dan pelatihan. Pelatihan dalam hal pemasaran, negosiasi,
manajemen,
kalkulasi
finansial,
menyusun
kontrak
dan
menyelesaikan konflik adalah persyaratan penting untuk berpartisipasi yang efektif. Keahlian teknis yang berhubungan dengan manajemen kehutanan untuk jasa lingkungan juga diperlukan. 6. Membentuk pusat dukungan pasar. Informasi adalah kekuasaan untuk meningkatkan kemampuan penduduk miskin dalam berpartisipasi pada pasar ini. Dukungan pusat pasar dapat memberikan akses bebas terhadap informasi pasar, tempat bertemunya dengan penjual potensial pembeli dan perantara dan memberikan dukungan saran dalam menyusun dan melaksanakan kontrak.
42
7. Meningkatkan akses ke pembiayaan. Jika pembiayaan membutuhkan negosiasi dan kesimpulan jasa lingkungan disepakati, pemerintah memegang peranan penting dalam mendukung akses ke pendanaan. 2.20 Konsep Nilai untuk Sumberdaya dan WTP Fauzi (2004), mengemukakan bahwa pengertian nilai, khususnya yang menyangkut barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, memang bisa berbeda jika dipandang dari berbagai disiplin ilmu. Dari sisi ekologi, misalnya nilai dari hutan mangrove sebagai tempat reproduksi spesies ikan tertentu dan fungsi ekologis lainnya. Dari sisi teknis nilai dari hutan mangrove bisa sebagai pencegah abrasi atau banjir dan sebagainya. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan pemahaman akan penting suatu ekosistem. Karena itu, diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem tersebut. Tetapi menurut Pearce dan Moran (1994) pada umumnya metode penilaian ekonomi sumberdaya dapat dilakukan melalui 2 pendekatan yaitu pendekatan lansung dan tidak lansung. Pendekatan lansung mencakup teknik pengupayakan memperoleh penilaian secara lansung dengan menggunakan percobaan dan survei. Teknik survei (kuesioner) terdiri atas 2 tipe yaitu perolehan rangking dan perolehan nilai, berupa keinginan untuk membayar dan kesediaan untuk menerima kompensasi. Nilai adalah persepsi dari manusia dimana itu diberikan khusus oleh manusia pada waktu dan tempat tertentu. Kegunaan, kepuasan, dan kenikmatan merupakan kata yang diberikan kepada nilai yang telah diterima. Perhitungan nilai ini dilakukan pada waktu, barang dan uang dimana untuk proses atau penggunaan atau pelayanan yang diterima (Davis, 1997). Hufschmidt et al. (1987), memberikan resume mengenai metode dan teknik penilaian ekonomi sebagai berikut : a. Metode/Teknik Berorientasi Pasar, dalam metode ini dilakukan dengan cara : 1. Penilaian dengan menggunakan harga pasar, perubahan nilai produk dan hilangnya penghasilan. 2. Penilaian dengan menggunakan harga pasar bagi input : pengeluaran biaya pencegahan, biaya penggantian biaya proyek bayangan, analisis keefektifan biaya.
43
3. Penilaian keuntungan menggunakan pasar pengganti : barang yang dapat di pasarkan sebagai pengganti lingkungan, pendekatan nilai pemilikan, pendekatan lain terhadap nilai tanah, pendekatan biaya perjalanan, pendekatan perbedaan upah dan penerimaan kompensasi. b. Orientasi Survei, pada metode orientasi survei penilaian dilakukan dengan cara 1. Pertanyaan lansung mengenai kesediaan untuk membayar : permainan lelangan. 2. Pertanyaan lansung pilihan jumlah : metode pilihan tanpa biaya. Sementara sistem pasar yang ada saat ini belum mampu menilai manfaatmanfaat intangible dari hutan, dimana para ahli berusaha mengembangkan pendekatan baru, yaitu pendekatan teknik penilaian yang bertumpu pada teori permintaan indifidu dengan menggunakan kesediaan membayar dari konsumen yang bersangkutan. Konsep dasar bagi semua teknik penilaian ekonomi kesediaan membayar dari indifidu/masyarakat untuk sumberdaya alam atau jasa lingkungan yang diperolehnya (Hufschmidt et al. 1987), atau kesediaan untuk menerima kompensasi lingkungan akibat adanya kerusakan lingkungan dan sekitarnya. Kesediaan membayar atau menerima ini akan merefleksikan preferensi indifidu/masyarakat terhadap perubahan lingkungan dari keadaan awal menjadi kondisi lingkungan yang menjadi lebih baik. Fauzi (2004), mengemukakan bahwa perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut tentu saja akan menyulitkan pemahaman akan penting suatu ekosistem. Karena itu, diperlukan suatu
persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem
tersebut. Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi bersama berbagai disiplin ilmu tersebut adalah pemberian harga pada barang dan jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian, kita menggunakan apa yang disebut nilai ekonomi sumberdaya alam. Secara umum, nilai ekonomi didefinisikan sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang dan jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut kemauan membayar seseorang terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis bisa diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter barang
44
dan jasa. Sebagai contoh jika ekosistem pantai mengalami kerusakan akibat polusi dan lai-lain, nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya. Kemauan membayar juga dapat diukur dari kenaikan pendapatan yang menyebabkan seseorang dalam posisi indeferent terhadap perubahan eksogenous. Perubahan eksogenous ini bisa terjadi karena perubahan harga (misalnya akibat sumberdaya makin langka)atau karena perubahan kualitas sumberdaya, seperti yang terjadi pada sumberdaya air. Dengan demikian konsep WTP ini terkait erat dengan konsep Compensating Variation dan Equivalent Variation dalam teori permintaan, WTP dapat juga diartikan sebagai jumlah maksimal seseorang mau membayar untuk menghindari terjadinya penurunan terhadap sesuatu. Berdasarkan landasan konsep ekonomi, nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan dan kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat dengan tidak terbatas pada barang dan jasa. Barang dan jasa tersebut dapat diperoleh tidak hanya kegiatan jual beli saja tetapi juga semua barang dan jasa yang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia baik barang publik maupun privat dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian fungsi ekologis dalam hal ini penghargaan terhadap sumberdaya air pada hakekatnya juga merupakan nilai ekonomi karena jika fungsi ini terganggu maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan atau terjadi kerugian adanya bencana atau kerusakan. Pendekatan barang dan jasa secara ekonomi biasanya melalui pendekatan nilai pasar yaitu berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Namun para pemerhati lingkungan dan juga para ahli ekonomi percaya bahwa sumberdaya alam belum dapat dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Masih banyak masalah-masalah penilaian yang terjadi atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut, seperti manfaat hutan seperti nilai hidrologis, biologis, dan estetika yang masih luput dari penilaian pasar. Lebih lanjut Fauzi mengatakan bahwa sisi lain dari pengukuran nilai ekonomi dapat juga dilakukan melalui pengukuran Willingness to Accept (WTA) yang tidak lain adalah jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau
45
menerima penurunan terhadap sesuatu. Tetapi dalam prakteknya pengukuran nilai ekonomi, WTP lebih sering digunakan daripada WTA, karena WTA bukan pengukuran berdasarkan insentif sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia, (Fauzi, 2004). Lebih jauh Garrod dan Willis (1999), serta Hanley dan Splash (1993) menyatakan bahwa meskipun besaran WTP dan WTA sama, namun selalu terjadi perbedaan pengukuran, dimana umumnya besaran WTA berada pada kisaran 2 sampai 5 kali lebih besar daripada besaran WTP. Hal ini terjadi karena beberapa faktor : 1. Ketidaksempurnaan dalam rancangan kuesioner dan teknik wawancara 2. Pengukuran WTA terkait dampak pemilikan, dimana responden mungkin menolak untuk memberikan nilai terhadap sumberdaya yang ia miliki. Dengan kata lain, responden bisa saja mengatakan bahwa sumberdaya yang ia miliki tidak bisa tergantikan, sehingga mengakibatkan tingginya harga jual. Fenomena ini sering juga disebut loss aversion yaitu menghindari kerugian, dimana seseorang lebih cenderung memberikan nilai yang lebih besarterhadap kerugian. 3. Responden mungkin bersikap cermat terhadap jawaban WTP dengan mempertimbangkan pendapatan maupun preferensinya. Dalam pengukuran WTP, Haab dan McConnel (2002) menyatakan bahwa pengukuran WTP yang dapat diterima harus memenuhi syarat : 1. WTP tidak memiliki batas bawah yang negatif 2. Batas atas WTP tidak boleh melebihi pendapatan 3. Adanya konsintensi antara keacakan pendugaan dan keacakan perhitungan. Memang telah diakui bahwa ada kelemahan dalam keinginan membayar ini. Misalnya, meskipun sebagian barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dapat diukur nilainya karena diperdagangkan, sebagian yang lain, seperti keindahan pantai atau laut, kebersihan dan keaslian alam tidak diperdagangkan sehingga tidak atau sulit diketahui nilainya, karena masyarakat tidak membayarnya secara lansung. Selain itu, masyarakat tidak familier dengan cara pembayaran jasa seperti itu, keinginan membayar mereka juga sulit diketahui. Walaupupun demikian, dalam pengukuran nilai sumberdaya alam, nilai tersebut
46
tidak selalu harus diperdagangkan untuk mengukur nilai moneternya. Yang diperlukan disini adalah pengukuran seberapa besar kemampuan membayar masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa dari sumberdaya. Kita juga bisa mengukur dari sisi lain, yakni seberapa besar masyarakat harus diberi kompensasi atas hilangnya barang dan jasa dari sumberdaya dan lingkungan. Adapun secara umum, teknik valuasi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan, dapat digolongkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana Willinggness To Pay terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP (keinginan membayar yang terungkap). Teknik yang termasuk dalam kelompok ini adalah Travel Cost, Hedonic Pricing, Random Utility Models. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh lansung dari responden, yang lansung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Teknik yang termasuk dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method (CVM), Discrete Choice Method, Random Utility Models. Adapun teknik pengukuran yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengukuran langsung dimana pada pendekatan pengukuran secara langsung ini, nilai dari jasa lingkungan dapat diukur langsung dengan menanyakan kepada indifidu atau masyarakat mengenai kemauan mereka membayar terhadap perubahan atau kondisi air yang saat ini terjadi penurunan. Pendekatan atau metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Contingent Valuation Method (CVM), dimana CVM pada hakekatnya bertujuan untuk mengetahui kemauan membayar dari masyarakat mengenai jasa lingkungan yang dihasilkan dari sumberdaya air. Adapun tahap-tahap dalam metode CVM ini adalah sebagai berikut : membentuk pasar hipotetik, mendapatkan nilai penawaran, menghitung dugaan rataan WTP (expected WTP, EWTP), menentukan WTP agregat atau WTP total (TWTP), menduga kurva penawaran, dan mengevaluasi pelaksanaan CVM. 2.21 Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu Meningkatnya
pembangunan
diberbagai
dan
meningkatnya
jumlah
penduduk menyebabkan tekanan sosial ekonomi terhadap sumberdaya hutan dan
47
lahan sehingga penduduk melakukan pembukaan lahan ke arah yang berlereng dan merambah hutan lindung. Lahan-lahan pertanian teknis setiap tahun dikonversikan menjadi lahan non pertanian. Kerusakan DAS, khususnya DAS Citarum dari waktu ke waktu cukup meningkat. Hal ini terjadi akibat adanya perubahan pola penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian, berkurangnya areal hutan, semakin intensif pemanfaatan lahan dan berkurangnya usaha konservasi tanah dan air serta belum jelasnya arah implementasi pembangunan dalam mengatasi permasalahan sumberdaya alam yang secara berkelanjutan. Kondisi demikian menyebabkan semakin meningkatnya kerusakan sumberdaya alam khususnya sumberdaya air dan lingkungan, seperti banjir, kekeringan, pencemaran, erosi, sedimentasi, eutrofikasi, dan sebagainya. Untuk menyelamatkan sumberdaya hutan , tanah dan sumberdaya air maka pemerintah sesungguhnya telah membuat peraturan-peraturan dan kegiatan konservasi tanah dan air dalam bentuk kompensasi/insentif. Pada tahun 1961 diadakan gerakan penghijauan secara massal dalam bentuk pekan penghijauan I di Gunung Mas, Puncak Bogor. Pada tahun 1973 sampai 1981, FAO dan UNDP telah melakukan berbagai uji coba untuk memperoleh metoda yang tepat dalam merehablitasi lahan dan konservasi tanah yang ditinjau dari aspek fisik maupun sosial ekonomi di hulu DAS Bengawan Solo. Hasil-hasil pengujian ini antara lain diterapkan dalam proyek Inpres penghijauan dan rebaoisasi sejak tahun 1976 pada 36 DAS di Indonesia. Upaya pengelolaan DAS terpadu yang pertama dilaksanakan di DAS Citanduy pada tahun 1981, dimana berbagai kegiatan yang bersifat lintas sektoral dan lintas disiplin dilakukan. Selanjutnyan pengelolaan DAS terpadu dilakukan di DAS Brantas dan Jratunseluna. Namun proyek-proyek pengelolaan tersebut lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur fisik kegiatan konservasi tanah untuk mencegah erosi dan banjir dan hampir seluruhnya dibiayai oleh dana pemerintah. Mulai tahun 1994 konsep partisipasi mulai diterapkan dalam penyelenggaraan inpres penghijauan dan reboisasi, tapi dalam tahap perencanaan. Ada beberapa penelitian yang dilakukan di DAS Citarum terkait hubungan pengelolaan sumberdaya air dan pengelolaan DAS dengan variabel ekonomi.
48
Selain itu ada juga melihat kaitan dengan pertumbuhan penduduk dan pembangunan wilayah maupun penilaian jasa lingkungan dan penentuan prioritas bantuan perbaikan lingkungan. Penelitian yang melihat peranan kebijakan penentuan harga air bagi pemanfaatan sumberdaya air berkelanjutan di wilayah DKI Jakarta oleh Ansofino (2005). Dalam kaitan faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran air, faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan sumber-sumber air penduduk perkotaan, menentukan alokasi optimal penggunaan air tanah dan air sungai dengan
mengendalikan penyimpanaan dan harga, menjelaskan pengaruh
penggunaan sumberdaya air pada rumah tangga dan industri, menjelaskan implikasi pengelolaan sumberdaya air yang optimal bagi pembangunan wilayah dan perkotaan. Ansofino (2005), mengemukakan bahwa permintaan air di wilayah perkotaan lebih besar daripada penawarannya dan telah mengalami decreasing return to scale. Harga air yang ditetapkan adalah harga rata-rata, dan belum memperlihatkan
sifat
kelangkaan
air,
karena
belum
mengacu
kepada
pertimbangan ekonomi terutama pada penyesuaian antara biaya investasi, biaya operasi dan biaya pemeliharaan. Tetapi pada harga marginal telah memperlihatkan kelangkaan sumberdaya air. Apalagi jika dimasukan biaya eksternalitas ke hulu dan pajak air berupa nilai perolehan air (NPA). Selain itu Ansofino (2005), juga menjelaskan bahwa faktor yang sangat menentukan permintaan air di wilayah penelitian adalah jumlah penduduk pada tahun sekarang (2,6%), jumlah penduduk pada periode dua tahun lalu (t-2) (4,4%), jumlah sumur bor (3,5%), jumlah pelanggan rumah tangga (2,2%), dan nilai rumah pada tahun sebelumnya (1,13%). Faktor yang mempengaruhi penawaran air kepada penduduk di wilayah DKI Jakarta. adalah: harga marginal pada tahun sebelumnya, pengambilan air sungai waktu sekarang dan satu tahun sebelumnya, jumlah karyawan tehnis, nilai pajak perolehan air yang harus dibayar ke hulu, jumlah pengambilan air tanah, dan luas lahan kritis di wilayah DAS Citarum. Harga keseimbangan pasar ditentukan oleh harga permintaan karena penawaran air PAM Jaya bersifat inelastis terhadap harga. Harga keseimbangan air sekarang sebesar Rp 15 per m3 dengan jumlah permintaan dan penawaran sebesar 248 juta
49
m3 dan 155 juta m3/tahun. Sedangkan untuk harga penawaran yang mampu menutupi biaya produksi air minum PAM Jaya adalah Rp 185 per m3. Dan faktor yang sangat menentukan pilihan penggunaan sumber-sumber air penduduk di wilayah penelitian adalah faktor pendapatan, jumlah kamar mandi, jumlah mobil yang dimiliki, dan jumlah anggota keluarga. Rumahtangga yang berpendapatan tinggi memiliki kecenderungan untuk menggunakan semua sumber-sumber air yang ada, sebaliknya rumahtangga yang berpendapatan rendah cenderung untuk menggunakan sumber air dari pedagang jalanan, pada hal mereka membayar dua kali lipat lebih mahal dari rumahtangga yang berlangganan PAM. Alokasi optimal penggunaan sumberdaya air tanah dan air sungai pada baseline model diperoleh dengan benefit maksimum sebesar Rp. 141,128 milyar, pertumbuhan permintaan sebesar 20%, laju pengambilan air tanah sebesar 21 juta m3, dan nilai discount rate sebesar 5%, dengan mengasumsikan kemajuan tehnologi tetap. Sehingga ketersediaan sumberdaya air tanah hanya cukup untuk melayani permintaan air sampai tahun 2007, yang ditandai dengan menurunnya ketinggian permukaan tanah sebesar 106,012 mbt, laju pengambilan air tanah mencapai 18,3 persen dari laju precipitasi, dan meningkatnya biaya ekstraksi sebesar Rp. 10,342 juta. Setelah itu air sungai digunakan secara intensif, tetapi hanya cukup sampai tahun 2013. Jadi bila harga ditentukan dengan benar, maka konservasi sumberdaya air dapat dilakukan. Penggunaan sumberdaya air di wilayah perkotaan (DKI Jakarta) yang berlebihan berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya air irigasi; yang menunjukan bahwa secara lokal (DAS Citarum) mengakibatkan kemiskinan masyarakat di hulu, kehilangan biodiversity dan terganggunya fungsi hidrologi yang muncul secara bersamaan. Akibatnya fluktuasi debit air untuk penawaran semakin tajam. Sedangkan Suhendar (2005), mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi non pertanian mendorong meningkatnya areal terbangun, yang berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya air. Lebih lanjut Dadan Suhendar mengatakan bahwa dengan meningkatnya areal terbangun, Air hujan yg meresap kedalam tanah yang menjadi cadangan air tanah menurun dan aliran permukaan meningkat , untuk mengurangi resiko tersebut maka perlu
50
dilakukan
efisiensi
dalam
pemanfaatan
lahan,
serta
pembuatan
sumur
resapan,danau buatan komunal pada setiap kawasan perumahan dan industri. Studi Suciati (2005), mengemukakan bahwa secara umum kondisi penawaran sumberdaya air di daerah irigasi jatiluhur semakin menurun seiring bertambahnya permintaan terkait faktor ekonomi dan demografi. Alokasi air terbesar untuk irigasi berkompetisi dengan penggunaan air sektor non pertanian. Hal tersebut berpotensi menimbulkan konflik di masa mendatang. Secara khusus Keadaan penawaran sumberdaya air cenderung menurun baik di Kabupaten Cianjur maupun Kabupaten Karawang, namun di wilayah hulu (Cianjur) penawaran sumberdaya air relatif lebih banyak (rata-rata margin penawaranpermintaan 1,8 milyar m3) sedangkan di Kabupaten Karawang rata-rata margin supply-demand sekitar 274 juta m3. permintaan irigasi di Kabupaten Cianjur relatif stabil dengan kecenderungan adanya sedikit penurunan terutama pada 3 tahun terakhir akibat anomaly musim, demikian pula dengan demand irigasi di Kabupaten Karawang yang umumnya menerapkan pola tanam padi-padi menunjukkan sedikit penurunan. Lebih lanjut Luh Putu Suciati (2005), menjelaskan bahwa Kelembagaan pengelola sumberdaya air irigasi di tingkat petani walaupun memiliki badan hukum namun kurang memiliki posisi tawar baik di kalangan petani sendiri maupun di departemen yang terkait dengan irigasi. Sehingga penyerahan pengelolaan irigasi saja tanpa melibatkan petani secara nyata (partisipasi) akan menimbulkan apatisme dan pesimisme dalam menyikapi kebijakan. Sedangkan fenomena kelembagaan pemerintah adalah Belum ada wadah koordinasi yang memadai untuk kelembagaan pengelolan sumberdaya air irigasi di tingkat pemerintah, masing-masing lembaga memiliki tanggung jawab berbeda yang menyebabkan terjadinya kewenangan yang tumpang tindih. Hal ini juga dikatakan oleh Hariadi (2004) bahwa daur hidrologi dapat mengalami perubahan akibat kegiatan manusia, seperti perubahan pola infiltrasi dan evaporasi, berkaitan dengan adanya perubahan penggunaan lahan dan penurunan muka air tanah akibat pemompaan air tanah yang berlebihan. Perubahan pola penggunaan lahan di kawasan resapan, dari jenis penggunaan lahan yang meresapkan air hujan ke dalam tanah seperti hutan, perkebunan, atau
51
pertanian lainnya, menjadi penggunaan lahan yang mengurangi atau menghambat peresapan air hujan seperti perumahan dan bangunan lainnya, akan secara lansung menganggu keseimbangan siklus hidrologi. Berdasarkan hasil analisis Sulandari (2005) di hulu, didapatkan faktor utama masyarakat melakukan deforestasi adalah membuka lahan untuk kegiatan pertanian dan merambah hutan adalah untuk meningkatkan pendapatan. Mayoritas penduduk mempunyai kemauan dalam menghentikan perusakan hutan apabila mempunyai alternatif pekerjaan. Oleh karena itu harus diberikan kompensasi terhadap masyarakat hulu untuk peningkatan pendapatan masyarakat, sehingga masyarakat tidak melakukan deforestasi dan merambah hutan. Lebih lanjut Sulandari mengatakan bahwa apabila hal ini dibiarkan maka akan terjadi kerusakan hutan dan lahan, khususnya hutan lindung sebagai kawasan konservasi. Berkaitan dengan strategi penyelamatan sumberdaya alam selama ini tidak memberikan hasil yang baik keselamatan sumberdaya alam khususnya air yang sangat rentan kehidupan umat manusia. Dengan berbagai studi kasus dan permasalahan terlihat beberapa perbedaan signifikan disetiap studi kasus yang dibahas. Berdasarkan hasil analisis terdahulu, maka salah strategi pengelolaan lahan dan air yang ditawarkan adalah beberapa faktor pendukung yang kami anggap perlu diterapkan yaitu skema kompensasi yang dalam hal ini bertujuan ganda yaitu meningkatkan pengelolaan berbasis masyarakat lokal yang sekaligus memperkuat penghidupan masyarakat pedesaan.
III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Wilayah hulu DAS Citarum dengan fungsi utama sebagai daerah penyangga untuk daerah hilir dan sebagai penyedia jasa air sekarang ini kondisinya telah mengalami kerusakan yang cukup nyata. Berbagai data dan informasi mengatakan bahwa terjadi peningkatan pembangunan diberbagai sektor dan pertumbuhan penduduk yang menyebabkan kerusakan fisik maupun biofisik, hal ini menyebabkan berkurangnya fungsi kawasan tersebut sebagai daerah penyangga. Upaya kegiatan pelestarian telah dilaksanakan, salah satunya adalah pembayaran jasa lingkungan untuk perbaikan wilayah DAS Citarum Hulu tersebut. Pelaksanaan kegiatan ini adalah dengan melakukan kegiatan konservasi yang telah mengalami kerusakan. Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana persepsi PJL dan bagaimana kemauan/keinginan membayar maupun seberapa nilai kompensasi jasa lingkungan sehingga perlu dilakukan penelitian. Dari berbagai studi menunjukkan bahwa kerusakan lingkungan, hutan dan lahan di wilayah hulu akibat dari penggunaan yang memperhitungkan daya dukung lingkungan. Sehingga kerusakan dari waktu ke waktu semakin meningkat. Hal ini terjadi akibat juga perubahan pola penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian, berkurangnya areal hutan, semakin intensifnya pemanfaatan lahan dan kurangnya usaha konservasi tanah dan air serta belum jelasnya arah dan implementasi pembangunan dalam mengatasi permasalahan sumberdaya alam dan lingkungan seperti banjir, kekeringan, pencemaran, erosi, sediment dan sebagainya. Dan akibat kondisi sosial ekonomi, dimana kondisi sosial ekonomi masyarakat di bagian hulu DAS Citarum sangat memprihatinkan. Hal ini dilihat dari tingkat pencapaian dan pendidikan yang rendah di wilayah tersebut. Petani yang miskin akan menggunakan lahan dan menebang hutan hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa memperhitungkan daya dukung sumberdaya lahan tersebut. Penurunan kualitas sumberdaya lahan dan tingkat hidup petani merupakan sebab dan akibat dari kemiskinan petani, sebab kemiskinan merupakan sumber kerusakan lingkungan lahan dan air. Berkaiatn dengan kerusakan tersebut maka akan mempengaruhi ketersediaan air untuk kebutuhan pertanian, konsumsi
53
dan industri, dan hal terlihat ketika terjadi antar yaitu antara musim hujan ke musim kemarau. Meningkatnya pembangunan diberbagai sektor dan jumlah penduduk di DAS Citarum Hulu memberikan pengaruh terhadap perubahan tataguna lahan di daerah tersebut. Hal ini didorong juga oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah sehingga terdapat suatu bentuk pola penggunaan lahan dan perusakan hutan dan lingkungan yang lambat laun dapat mempengaruhi kondisi sumberdaya air, khususnya yang terjadi di kawasan DAS Citarum. Kondisi DAS Citarum Hulu sangat dipengaruhi oleh ekosistem yang ada sehingga dapat mempengaruhi kondisi sumberdaya air dan ketersediaan air, seperti ketika musim hujan terjadi banjir dan musim kemarau terjadi kekeringan. Penanganan permasalahan di wilayah DAS Citarum Hulu telah banyak melibatkan berbagai pihak. Terlebih lagi pihak pemerintah sebagai penentu arah kebijaksanaan pengelolaan DAS Citarum Hulu secara berkelanjutan. Penelitian yang dilakukan ini, lebih menekankan pada aspek sosial yaitu dengan mengidentifikasi berbagai permasalahan kondisi sumberdaya air yang ada saat ini. Selain itu penelitian ini juga menekankan pada aspek sosial ekonomi masyarakat hilir, yaitu bagaimana kemauan membayar dan besarnya membayar masyarakat sebagai pengguna jasa lingkungan untuk memberikan kompensasi/insentif bagi jasa perbaikan lingkungan di DAS Citarum Hulu. Diharapkan dengan mengkaji kedua aspek tersebut dapat memberikan solusi dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya air bagi perbaikan lingkungan di DAS Citarum Hulu. Selain itu, diharapkan dapat memberikan kebijakan pengelolaan mengenai insentif pembayaran kompensasi untuk perbaikan lingkungan di DAS Citarum Hulu. Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka disusun kerangka pemikiran sebagaimana pada Gambar 2 menjelaskan alur pemikiran penelitian tentang analisis kemauan membayar masyarakat perkotan bagi jasa perbaikan lingkungan, lahan dan air.
54
DAS CITARUM HULU
Kerusakan Hutan, Lahan dan Air
Kerusakan Lingkungan
Pertumbuhan Penduduk
Ketersediaan Air Makin Menurun
Air Pertanian
Upaya-Upaya Perbaikan Lingkungan di DAS Citarum Hulu
Supply dan Demand
Air Minum Air Industri Penentuan Harga Air
Harga Air
Kemauan Membayar Masyarakat Perkotaan (Willingness to Pay)
Persepsi–Persepsi untuk Jasa Perbaikan Lingkungan, dan Pilihan Air
Kebijakan Insentif/ DisInsentif
Variabel yang tidak diteliti Variabel yang diteliti
Gambar 2 Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian
-------------
55
3.2 Hipotesis Untuk lebih mengarahkan penelitian ini, dan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut : 1. Diduga persepsi masyarakat sebagai pengguna jasa lingkungan untuk jasa perbaikan lingkungan masih rendah. 2. Diduga jumlah anggota keluarga, pendapatan dan tingkat pendidikan, status rumah berpengaruh terhadap kemauan membayar (wiliingness to pay) untuk jasa perbaikan lingkungan. 3. Diduga kualitas dan kuantitas air telah berpengaruh positif terhadap terpilihnya sumber air lain. 3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di wilayah Kota Jakarta Timur meliputi 4 Kelurahan yaitu Kelurahan Rawamangun, Kelurahan Kayu Putih, Kelurahan Pulo Kelurahan Gadung, Kelurahan Cipinang. Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini selama 4 bulan mulai dari persiapan sampai dengan penulisan laporan,terhitung mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2006. 3.3.2 Data dan Sumber Data Data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua data, yaitu : data primer dan data sekunder. Data utama dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang diambil langsung dari responden dengan melalui wawancara lansung, dengan pedoman daftar pertanyaan yang telah dibuat (kuesioner). Sedangkan Data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian adalah data yang berasal dari PDAM Jaya, BP DAS, Bappeda, PJT II Purwakarta, Dinas Kehutanan Kabupaten Bandung, BPS Jakarta Timur serta instansi terkait. dan hasil penelitian lain yang ada kaitan dengan penelitian ini. Secara terperinci data dan sumber data ada di Tabel 3.
56
Tabel 3 Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data No I
II
Metode Pengumpulan Data Data Primer a). Kemauan membayar Kuisioner b). Persepsi thp ketersediaan air Kuisioner c). Persepsi peranan masyarakat hulu Kuisioner d). Persepsi thp Kesetujuan Kuisioner e). Persepsi thp kualitas dan kuantitas air kuisioner f).Jenis kelamin Kuisioner g).Usia Kuisioner h).Pekerjaan Kuisioner i). Pendapatan keluarga Kuisioner j). Pengeluaran keluarga Kuisioner k). Tingkat pendidikan Kuisioner l). Jumlah anggota keluarga Kuisioner m). Keluhan atas air Kuisioner n).Status rumah Kuisioner Data Sekunder a). Jumlah pelanggan Studi literatur b). Kebijakan-kebijakan Studi literatur c). Peta Studi literatur d). Jmlh Penduduk Jakarta Timur Studi literatur e). Jmlh Penduduk DKI Jakarta Studi literatur Jenis Data dan Informasi
Sumber Data Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden Responden PDAM Bapeda Bapeda BPS PJT II
3.3.3 Metode Pengambilan Sampel Populasi dalam penelitian adalah pelanggan atau konsumen air bersih PDAM Jaya di Kota Jakarta Timur yang tercatat sebagai pelanggan PDAM Jaya (kelompok I) yang bertempat tinggal di Kota Jakarta Timur, dan non pelangan rumah tangga (kelompok II) atau konsumen air yang memakai air tanah yang bertempat tinggal di Kota Jakarta Timur. Penentuan sampel dipilih secara Tehnik Acak Terlapis secara proporsional berdasarkan data pelanggan rumah tangga dan non rumah tangga berdasarkan data dari PDAM, BPS, Kecamatan dan Kelurahan setempat. Sampel dibagi 2 kelompok berdasarkan tempat kelurahan di wilayah penelitian. Proses pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang sudah dipersiapkan dan pengamatan lansung di lapangan. Target populasi/sampel dalam penelitian ini adalah pelanggan rumah tangga dan non pelanggan rumah tangga atau yang tidak memakai dari air PDAM Jaya yang berada di Kelurahan Rawamangun, Kelurahan Kayu Putih, Kelurahan Pulo Gadung, Kelurahan Cipinang.
57
Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan cara proportional stratifield random sampling dimana sampel ditentukan berdasarkan jumlah penduduk yang bertempat tinggal di empat kelurahan atau banyaknya jumlah penduduk yang bertempat tinggal di empat kelurahan sampel. Adapun alasan dilakukannya metode proportional stratifield random sampling adalah : 1. Populasi/sampel yang ada di Jakarta Timur tidak bersifat homogen tetapi bersifat heterogen, yaitu karakteristik populasi/sampel bervariasi. 2. Persepsi masyarakat terhadap kualitas dan kuantitas maupun ketersediaan air sama, baik air dari PDAM maupun air tanah. 3. Pemilihan Kecamatan Pulo Gadung
sebagai lokasi pengambilan sampel
karena kecamatan ini berdekatan dengan PDAM yang merupakan salah satu pemasok air dari Waduk Jatiluhur yang berasal dari DAS Citarum. Selain itu berdasarkan survei lokasi, di Kecamatan Pulo Gadung banyak ditemui keluhan tentang kualitas dan kuantitas air, baik air yang berasal dari PDAM maupun air tanah. Sehingga di harapakan lokasi tersebut dapat mewakili untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Untuk menentukkan banyaknya sampel secara keseluruhan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan ketentuan Slovin dalam Umar (2002), yaitu :
n=
N 1 + Ne 2
................................................................(1)
dimana n adalah banyaknya sampel, N adalah populasi dan e adalah batas kesalahan yang diinginkan (dalam penelitian 10%). Dengan jumlah pelanggan rumah tangga (laporan bagian pengolahan data PDAM) dan non pelanggan rumah tangga (laporan bagian data penduduk dari kecamatan dan data dari BPS tahun 2005), maka didapatlah jumlah keseluruhan sampel yang diperlukan untuk penelitian ini adalah sebanyak 99,50 atau dibulatkan 100 sampel yang tersebar dalam empat kelurahan sampel. Selanjutnya pembagian jumlah sampel berdasarkan kelurahan terbanyak jumlah rumah tangganya, ditentukkan secara proporsional. Tabel 4 menunjukan jumlah sampel berdasarkan jumlah rumah tangga pada kelurahan sampel.
58
Tabel 4 Jumlah Sampel Berdasarkan Jumlah Rumah Tangga di Kec. Pulo Gadung No 1 2 3 4 5 6 7
Kelurahan Rawamangun Kayu Putih Pulo Gadung Cipinang Jatinegara Kaum Pisangan Timur Kramat Jati Jumlah
Rukun Warga 15 17 10 18 8 15 9 92
Rukun Tetangga 167 181 108 184 79 168 135 1,022
Rumah Tangga 56,405 53,522 21,176 13,354 23,302 46,983 32,360 247,102
Sampel 39 37 15 9
100
Sumber : BPS DKI Jakarta, 2005.
3.3.4. Variabel dalam Penelitian Untuk menentukan dan menganalisis kemauan membayar (WTP) dan besarnya kemauan membayar bagi penyedia jasa lingkungan di DAS Citarum Hulu, dan juga untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan membayar dan besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, perlu ditentukan variabel-variabel yang akan dimasukkan ke dalam model ekonometrik. Tabel 5, menunjukkan variabel-variabel yang diduga berpengaruh di dalam model ekonometrik. Tabel 5 Variabel Penelitian yang Mempengaruhi WTP No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kelompok Variabel Kemauan membayar PJL Besarnya WTP Ketersediaan Air Keluhan Air Persepsi terhadap peranan Persepsi terhadap kesetujuan Pendapatan perkapita Pengeluaran keluarga Tanggungan keluarga Tingkat pendidikan Pekerjaan Usia Persepsi thdp Ketersediaan Air Persepsi terhadap Keluhan Air
Variabel dalam Model 1. Kemauan membayar 2. Jumlah Rp maksimal yg dibayarkan (WTP) 3. Persepsi terhadap peranan masyarakat hulu 4. Persepsi kesetujuan untuk perbaikan lingkungan 5. Jumlah anggota keluarga 6. Pendapatan perkapita 7. Tanggungan Keluarga 8. Pekerjaan 9. Pendidikan 10. Usia 11. Status Rumah 12. Persepsi terhadap Ketersediaan Air 13. Persepsi terhadap Keluhan Air
3.3.5 Metode Analisis Data Metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Tabel 6 menunjukan matriks pendekatan studi yang sesuai dengan tujuan penelitian.
59
Tabel 6 Matriks Pendekatan Studi No
1
2
3
Tujuan Menganalisis persepsi masyarakat tentang jasa perbaikan lingkungan.
Menganalisis kemauan membayar masyarakat (WTP) tentang jasa perbaikan lingkungan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Menganalisis persepsi masyarakat tentang kondisi sumber air yang tersedia
Metode Analisis Analisis Deskriptif/ Kualitatif
Analisis WTP dengan menggunakan Contingen Valuation Methode (CVM) dan Analisis Regresi Linear berganda
Analisis deskriptif/ kualitatif
Variabel -Persepsi Keluhan Air -Persepsi Ketrsediaan air -Persepsi peranan -persepsi kesetjuan -Nilai WTP -Persepsi Keluhan Air -Persepsi Ketrsediaan air -Persepsi peranan -persepsi kesetjuan -Usia -Pendidikan -Pendapatan -Tangungan keluarga -Pekerjaan -Pengeluaran -Status rumah -Pilihan sumber air -Kualitas dan kuantitas air PDAM -Kualitas dan kuantitas air sumur -Berbagai Alasan -Berbagai Akibat
Sumber Data
Responden/masyarakat
Responden/masyarakat dan studi literatur
Responden/masyarakat dan Studi Literatur
3.3.5.1 Analisis Persepsi Masyarakat tentang Jasa Perbaikan Lingkungan Penggalian informasi untuk penilaian persepsi masyarakat (responden) dilakukan melalui kuisioner dan wawancara lansung terhadap responden terpilih yang berkaitan dengan
karakteristik responden (jenis kelamin, usia, tingkat
pendidikan, pendapatan, tanggungan keluarga, pengeluaran, status rumah). Persepsi masyarakat terhadap ketersediaan air, keluhan air dan peranan masyarakat hulu maupun kesetujuan dalam perbaikan lingkungan, serta kemauan membayar masyarakat bagi perbaikan lingkungan di DAS Citarum Hulu. Data karakteristik responden akan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. 3.3.5.2 Analisis Kemauan Membayar Masyarakat (Willingness to Pay) Untuk menganalisis kemauan membayar (WTP) digunakan pendekatan contingent valuation method (CVM). Metode valuasi ini adalah perhitungan secara lansung (survei) dalam hal ini lansung menanyakan kemauan membayar (willingness to pay) kepada responden/masyarakat dengan menggunakan kuesioner. Dengan menggunakan metode ini, memungkinkan semua komoditas yang tidak diperdagangkan di pasar dapat diestimasi nilai ekonominya, dengan menggunakan tahap-tahap sebagai berikut :
60
1. Membentuk Pasar Hipotetik (Hypothetical Market) dari Jasa Lingkungan. Dalam penelitian ini pasar hipotetis yang dibentuk adalah suatu pasar dengan kualitas dan kuantitas air yang berbeda dengan kondisi air saat ini. Responden sebelumnya telah menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai persepsinya tentang pentingnya jasa lingkungan, faktor resiko serta kualitas air yang diterima. Untuk membentuk pasar hipotetis, terlebih dahulu responden diminta untuk mendengarkan atau membaca suatu pernyataan mengenai kondisi air saat ini, dimana secara kualitas dan kuantitas masih terbatas, intensitas air khususnya kegiatan untuk perbaikan atau konservasi masih kurang seperti kegiatan konservasi di wilayah hulu sebagai wilayah tangkapan air. Dijelaskan juga bahwa kondisi ini terjadi karena kemampuan pembiayaan konservasi oleh pemerintah terbatas bahkan cenderung menurun. Selanjutnya, responden diminta mendengarkan atau membaca pernyataan tentang kualitas dan kuantitas air dengan kondisi
yang lebih baik apabila
dilakukan kegiatan perbaikan lingkungan di wilayah hulu. Kondisi tersebut misalnya
adanya atau bertambahnya frekuensi kegiatan perbaikan kerusakan
lingkungan di wilayah hulu. sehingga kualitas dan kuantitas air meningkat. Akan tetapi, untuk itu pembayaran per-bulan akan dinaikkan. Berdasarkan pernyataan tersebut akan diperoleh ukuran perilaku konsumen dalam situasi hipotesis bukan dalam situasi riil. 2. Mendapatkan Nilai Penawaran (bids). Dalam penelitian ini, responden diberikan beberapa nilai tawaran berupa nominal diatas harga air saat ini dan meminta responden untuk memilih nilai tertinggi yang bersedia ia bayarkan untuk perbaikan kualitas dan kuantitas air. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa nilai WTP yang sebenarnya dari individu yang bersangkutan terletak dalam kelas atau interval antara nilai yang dipilih dengan nilai WTP berikutnya yang lebih tinggi. Disamping itu, responden dapat dengan mudah memilih nilai yang ingin ia bayarkan. Susunan nilai yang ditawarkan menggunakan range atau interval tertentu.
61
3. Menghitung Dugaan Rataan WTP (Expected WTP, EWTP) WTPi dapat diduga dengan menggunakan nilai tengah dari kelas atau interval WTP responden ke-i. Dari jawaban responden dapat diketahui bahwa WTPi yang benar adalah berada antara jawaban yang dipilih (batas bawah kelas WTP) dengan WTP berikutnya (batas atas kelas WTP). Selanjutnya dugaan rataan WTP dihitung dengan rumus : n EWTP = Σ WiPfi …………………………………………………...(2) i=1 dimana : EWTP W
= dugaan rataan WTP = batas bawah kelas WTP
Pf
= frekuensi relatif kelas yang bersangkutan
n
= jumlah kelas
i
= kelas ke-I
4. Menentukan WTP Agregat atau WTP Total (TWTP). WTP agregat atau WTP total dapat digunakan untuk menduga WTP populasi secara keseluruhan dengan rumus sebagai berikut : n TWTP = Σ WTPi [ ni / N ] P ……………………………………….(3) i=1 dimana : TWTP WTP
= kemauan populasi (PJL) untuk membayar = kemauan responden (sampel) untuk membayar
n
= jumlah sampel yang mau membayar sebesar WTP
N
= jumlah sampel
P
= jumlah populasi
I
= sampel ke-i
5. Menduga Kurva Penawaran (Bids Curve). Untuk barang publik murni kurva penawaran total adalah penjumlahan vertikal kurva penawaran individu yang diperoleh dari nilai TWTP. Kurva penawaran total ini adalah pengganti kurva permintaan.
62
6. Mengevaluasi Pelaksanaan CVM Untuk mengevaluasi pelaksanaan metode CVM dapat dilihat dari tingkat keandalan (Reliability) fungsi WTP untuk mengetahui apakah CVM yang dilakukan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya dari ukuran penilaian responden PJL. 4.5.4 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi WTP Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan membayar (WTP) membayar digunakan persamaan regresi sebagai berikut : WTP = b0 + b1X1+ b2X2+ b3X2 + b4D1i + b5D2i + b6D3i + b7D4i + b8D5i+b9D6i+ b10D7i+b11D8i+b12D9i+ei Dimana : WTP
= Nilai WTP (Rp/org/bln)
X1
= Pendapatan perkapita perbulan (Rp/kk/bln)
X2
= Umur (tahun)
X3
= Jumlah anggota keluarga (org)
D1
= Pendidikan (1 : SMP dan 0 : lainnya)
D2
= Persepsi masyarakat terhadap peranan untuk PJL (1 : berperan dan 0 : tidak berperan)
D3
= Persepsi masyarakat terhadap kesetujuan untuk PJL (1 : setuju dan 0 : tidak setuju)
D4
= Persepsi terhadap ketersediaan air (1 : baik dan 0 : tidak baik)
D5
= Persepsi terhadap keluhan air (1 : baik dan 0 : buruk)
D6
= Ekspektasi untuk perbaikan lingkungan (1: berharap lebih baik dan 0: tidak berharap)
D7
= Pekerjan (1 : Swasta dan 0 : lainnya)
D8
= Pilihan Air (1 : PDAM dan 0 : lainnya)
D9
= Status Rumah
63
(1 : Sendiri dan 0 : Kontrak/Sewa) b0 b1 – b12 e
4.5.5
= Intersep = Koefisien regresi = galat
Analisis Persepsi Masyarakat tentang Kondisi Air yang tersedia Berbagai informasi untuk persepsi masyarakat diambil melalui kuisioner
dan wawancara lansung terhadap responden. Persepsi responden tentang kondisi sumber air
yang tersedia serta apa yang dirasakan oleh masyarakat dalam
mengkonsumsi air, dengan berbagai alasan dan akibat. Dari data yang diperoleh akan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif, untuk persentase. persepsi masyarakat ditunjukkan oleh jawaban-jawaban masyarakat atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada kuisioner.
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden Masyarakat hilir merupakan pengguna jasa lingkungan dari hulu atau penerima manfaat dari hulu. Pada penelitian ini, jasa lingkungan yang dimaksud berupa air minum. Ketersediaan air dan kualitas, kuantitas air minum sangat tergantung oleh kondisi lingkungan, baik di hulu DAS Citarum maupun di hilir. Sehingga masyarakat hilir yang menggunakan jasa lingkungan atau menerima manfaat dari hulu secara tidak lansung mempunyai kewajiban dalam membayar kompensasi/insentif untuk masyarakat hulu. Menurut Leimona (2004) masyarakat yang berpenghidupan dari hasil alam atau dengan mengelola lahan merupakan unjuk tombak intervensi terhadap keberadaan jasa lingkungan. Selanjutnya kelompok masyarakat ini diistilahkan dengan “masyarakat penyedia jasa lingkungan, yang atas usaha perlindungan dan pengelolaannya dapat dikatagorikan sebagai pelindung dan pengelola. Adanya berbagai masalah dalam menjaga kelestarian lingkungan serta gagalnya pendekatan di masa lalu, telah memicu berkembangnya suatu sistem dimana masyarakat penyedia jasa lingkungan diakui dan diberi imbalan atas usaha yang mereka lakukan. Prinsip dasar dari konsep ini adalah
bahwa
masyarakat
penyedia
jasa
lingkungan
perlu
mendapat
kompensasi/insentif terhadap usaha yang mereka lakukan, dilain pihak, pengguna jasa lingkungan perlu membayar atas jasa lingkungan yang mereka manfaatkan. Masyarakat pengguna jasa lingkungan dalam penelitian ini terdiri atas masyarakat yang berasal dari Kota Jakarta Timur. Responden di Kota Jakarta Timur mewakili masyarakat hilir atau mewakili masyarakat Jakarta. Masing-masing kelurahan diambil responden sebanyak 30 orang dengan mewakili 1 Kecamatan. Masyarakat hilir yang menjadi responden merupakan masyarakat yang mengambil jasa lingkungan berupa air minum, baik dari DAS Citarum Hulu maupun dari hilir (non jasa lingkungan). Karaktristik responden dalam penelitian ini terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pengeluaran, jumlah tanggungan keluarga, dan umur. Dari karakteristik tersebut, diharapkan dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di Kota Jakarta Timur. Berikut ini pemaparan karakteristik responden dari masing-masing wilayah.
89
5.1.1 Jenis Kelamin Jenis kelamin responden disajikan dalam bentuk persentase, dan persentase jenis kelamin responden berdasarkan jenis kelamin. Persentase responden yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 86,67% dan berjenis kelamin perempuan sebesar 13,33%. Oleh kerena itu jenis kelamin rata-rata didominasi oleh laki-laki, hal ini dikarenakan responden pada umunya merupakan kepala keluarga atau yang mempunyai mata pencaharian. Berikut Gambar 6 menunjukkan persentase responden berdasarkan jenis kelamin. Dalam mengestimasi kemauan membayar besarnya membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, jenis kelamin tidak dimasukkan ke dalam variabel bebas. Jenis Kelamin Responden 13.33%
Laki-Laki
Perempuan
86.67%
Gambar 6 Persentase Responden Berdasarkan Jenis Jelamin
5.1.2 Umur Umur responden disajikan dalam bentuk persentase berdasarkan umur responden. Pada Gambar 7 menunjukkan umur responden berdasarkan kategori, umur terendah responden adalah 30 tahun dan usia tertinggi responden adalah 67 tahun atau diatas 50 tahun. Pada persentase untuk kategori umur ≤30 tahun sebesar 0,00%, umur 31-40 sebesar 42,63%, umur 41-50 sebesar 36,33% dan usia ≥50 sebesar 20,60%. Pada Gambar 7 menunjukkan persentase responden berdasarkan umur responden. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, umur tidak dimasukkan ke dalam variabel bebas.
90
Umur Responden 10%
3%
46%
41%
≤ 30
31 - 40
41 - 50
≥ 50
Gambar 7 Persentase Responden Berdasarkan Usia
5.1.3 Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga responden disajikan dalam bentuk persentase. Persentase tanggungan keluarga responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga bersama responden. Pada Gambar 8 berdasarkan kategori tanggungan keluarga, jumlah tanggungan keluarga 1-3 sebesar 55%, 4-6 sebesar 45% dan 7-9 sebesar 0,00%. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, jumlah tanggungan keluarga dimasukkan ke dalam variabel bebas. Dan sesuai dengan hasil survei lapangan jumlah tanggungan keluarga dalam satu keluarga maksimum hanya sampai 6 orang. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, tanggungan keluarga dimasukkan ke dalam variabel bebas. Berikut jumlah responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga responden. Tanggungan Keluarga
45%
0%
55% 1-3 4-6 7-9
Gambar 8 Persentase Responden Berdasarkan Tanggungan Keluarga
91
5.1.4
Pendidikan Berdasarkan data yang didapatkan, pendidikan formal yang diamati dalam
penelitian ini dibedahkan menjadi empat, yaitu tamat SD, tamat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), tamat sekolah lanjutan atas (SMU) dan tamat perguruan tinggi (Sarjana/D3/S1/S2/S3). Berdasarkan hasil yang diperoleh selama dilapangan, untuk tingkat pendidikan kategori SD sebesar 0,00%, SMP sebesar 5,00%, SMU sebesar 63,33%, SARJANA sebesar 31,67%. Pada Gambar 9 menunjukkan
secara
lengkap
persentase
responden
berdasarkan
tingkat
pendidikan responden. Dari Gambar 9 diketahui juga ternyata tidak satupun dari responden yang ditemui dilapangan mengaku tidak sekolah dan tidak tamat sekolah dasar. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibukota negara yang lebih mengedepankan pendidikan.
Dalam mengestimasi besarnya kemauan
membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, pendidikan dimasukkan ke dalam variabel bebas. Tingkat Pendidikan Responden 5% 0%
32.00%
63.00% SD
SMP
SMA
SARJANA
Gambar 9 Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan
5.1.5
Pekerjaan Dalam penelitian ini pekerjaan responden dibedahkan menjadi tiga kategori,
yaitu : PNS/TNI/POLRI, Padagang/Pengusaha, dan Karyawan Swasta. Dari hasil yang ditemui dilapangan dapat diketahui bahwa pekerjaan responden untuk kategori pekerjaan sebagai karyawan swasta 65%, PNS/TNI/Polri sebesar 20,00%, dan 15,00%. Pada Gambar 10 menunjukkan secara lengkap pekerjaan responden dari masing-masing responden sampel.
92
Dari Gambar 10 juga diketahui bahwa tidak ada satupun responden yang ditemui dilapangan mengaku mempunyai mata pencaharian sebagai buruh, petani dan nelayan. Hal ini mungkin dikarenakan sampel yang diambil dipusat kota sehingga tidak ada responden yang mempunyai pekerjaan sebagai petani, buruh dan nelayan. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, pekerjaan tidak dimasukkan ke dalam variabel bebas. Pekerjaan Responden 20%
65%
15% PNS/TNI/POLRI
Pdgng/Pgusaha
K. Swasta
Gambar 10 Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan
5.1.6 Pendapatan Jumlah pendapatan responden disajikan dalam bentuk persentase dan jumlah pendapatan responden selama satu bulan berdasarkan wilayah tempat tinggal responden. Jumlah pendapatan responden di ketahui dengan bertanya lansung kepada responden berapa pendapatan responden selama sebulan. Dari hasil wawancara responden di lapangan, di ketahui bahwa pendapatan responden untuk kelompok pelanggan rumah tangga yang berpendapatan ≤500 sebesar 0,00%, 500-999 sebesar 8,33%, 1,000.000-1499,000 sebesar 18,33%, 1,500.0002,499,000 sebesar 38,33% dan ≥2,500.000 sebesar 35%. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, pendapatan dimasukkan ke dalam variabel bebas. Pada Gambar 11 dibawah ini menunjukkan
secara
lengkap
pendapatan responden per sampel.
jumlah
persentase
responden
berdasarkan
93
Tingkat Pendapatan Responden 0.00%
8.33%
35%
18.33%
38.33% ≤ 500
500 - 999
100 - 1499
1500 - 2499
≥ 2500
Gambar 11 Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
5.1.7
Pengeluaran Pengeluaran responden disajikan dalam bentuk persentase (Gambar 12).
Pengeluaran responden dalam penelitian diambil berdasarkan jumlah pengeluaran responden perbulan. Berdasarkan hasil yang didapat dilapangan jumlah pengeluaran responden kategori ≤500,000 sebesar 0,00%, 500,000-999,000 sebesar 0,00%, 1,000,000-1,499,000 sebesar 8,33%, 1,500.000-2,499.000 sebesar 78,33% dan ≥2,500.000 sebesar 13,33%. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, pengeluaran tidak dimasukkan ke dalam variabel bebas. Pada Gambar 12 menunjukkan secara lengkap persentase jumlah pengeluaran responden rata-rata per bulan. Tingkat Pendapatan Responden 0.00%
8.33%
35%
18.33%
38.33% ≤ 500
500 - 999
100 - 1499
1500 - 2499
≥ 2500
Gambar 12 Persentase Responden Berdasarkan Pengeluaran
94
5.2 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat tentang Jasa Perbaikan Lingkungan Pada analisis persepsi masyarakat ini merupakan jawaban dari tujuan penelitian yang pertama, yaitu analisis persepsi masyarakat untuk jasa perbaikan lingkungan dengan 4 variabel bebas, secara lengkap berbagai persepsi di bawah ini: 5.2.1 Persepsi Masyarakat terhadap Ketersediaan Air Pada persepsi masyarakat terhadap ketersediaan air dibagi menjadi dua golongan persepsi yaitu persepsi buruk dan baik. Berdasarkan Gambar 13 persepsi untuk katergori buruk sebesar 70%, persepsi baik sebesar 30%. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketersedian saat ini mengalami penurunan. Dimana ketersediaan air yang dikategorikan baik persentasenya sangat kecil dan persentase persepsi buruk lebih tinggi, oleh karena kondisi lingkungan mengalami penurunan sehingga diperlukan insentif atau kompensasi sebagai jasa perbaikan lingkungan untuk memulihkan ketersediaan air. Keadaan ini menunjukkan bahwa kurangnya penyampaian informasi kepada masyarakat bahwa air minum yang digunakan harus memperhatikan keadaan lingkungan sehingga akan memperbaiki kondisi air, baik yang berasal dari DAS Citarum dan kondisi air tanah. Masyarakat menganggap bahwa masih layak untuk dikonsumsi dan hal ini juga menunjukkan bahwa kurang informasi dari pemerintah tentang kualitas dan kuantitas air. Persepsi Terhadap Ketersediaan Air 30%
70% Baik
Buruk
Gambar 13 Persentase Persepsi Responden terhadap Ketersediaan Air.
Persentase persepsi terhadap ketersediaan air yang cenderung buruk, hal ini menunjukkan bahwa responden sebagai pengguna jasa lingkungan mulai merasa kurangnya ketersediaan air dan buruknya kualitas air. Kurangnya ketersediaan air minum dan buruknya kualitas air khususnya pada saat kemarau diasumsikan karena semakin buruknya kondisi lingkungan di Hulu DAS Citarum dan buruknya kondisi lingkungan di wilayah hilir sebagai daerah resapan air. Apabila kondisi ini dibiarkan,
95
maka akan terjadi defisit terhadap ketersediaan air baik yang berasal dari DAS Citarum (Jasa Tirta II) maupun dari air tanah (ground water). Sehingga jelaslah bahwa untuk mengantisipasi kekurangan terhadap ketersediaan air dan memperbaiki kondisi air, khususnya pada saat musim kemarau maka perlu dilakukan perbaikan lingkungan di Hulu DAS Citarum dan perbaikan lingkungan di wilayah hilir. 5.2.2 Persepsi Masyarakat terhadap Keluhan Air Pada persepsi terhadap keluhan air (Gambar 14), dibagi menjadi dua golongan persepsi yaitu persepsi berbau dan Keruh. Berdasarkan Gambar 14 persepsi untuk katergori Berbau sebesar 35% dan Keruh sebesar 65%. Keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi air tidak baik untuk dikonsumsi sehingga membuat persentase persepsi kedua kategori lebih tinggi. Dan untuk perbandingan dua persentase persepsi tersebut maka pada persepsi keruh lebih tinggi (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi air di wilayah hilir secara kualitas dan kuantitas sangat buruk. Namun demikian persentase persepsi keruh lebih tinggi. Keadaan ini juga menunjukkan bahwa kurangnya informasi kepada masyarakat bahwa air yang digunakan berasal dari DAS Citarum. Persentase persepsi tertinggi pada terletak pada persepsi keruh. Keadaan ini menunjukkan bahwa penyampaian informasi mengenai ketersediaan air dan kualitas air baik air yang berasal dari Hulu DAS Citarum maupun air tanah (ground water). Persepsi Terhadap Keluhan Air 35%
65% Berbau
Keruh
Gambar 14 Persentase Responden Persepsi terhadap Keluhan Air
Persentase persepsi terhadap keluhan air yang cenderung buruk, hal ini menunjukkan bahwa responden sebagai pengguna jasa lingkungan air minum mulai merasa buruknya kualitas air. Buruknya kualitas air bersih khususnya pada saat kemarau diasumsikan karena semakin buruknya kualitas lingkungan di Hulu
96
maupun di hilir sebagai daerah resapan air. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akan terjadi defisit terhadap ketersediaan air bersih, maupun akan terjadi kualitas air yang lebih buruk lagi. Sehingga jelaslah bahwa untuk mengantisipasi kekurangan terhadap ketersediaan air minum dan kualitas air yang lebih baik maka perlu dilakukan perbaikan lingkungan baik di Hulu DAS Citarum maupun di hilir sebagai daerah resapan air, khususnya pada saat musim kemarau. 5.2.3 Persepsi Masyarakat terhadap Peranan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan Persepsi Terhadap Peranan 30%
70% Berperan
Tidak Berperan
Gambar 15 Persentase Masyarakat Persepsi terhadap Peranan untuk Perbaikan Lingkungan.
Berdasarkan Gambar 15 persepsi untuk ketersediaan air maka responden lebih memandang bahwa masyarakat Hulu tidak berperan untuk perbaikan lingkungan sebesar 30% dan Berperan sebesar 70%. Keadaan ini diasumsikan karena kurangnya informasi tentang jasa perbaikan lingkungan terhadap peranan masyarakat hulu untuk perbaikan lingkungan. Selain itu responden lebih memandang bahwa pemerintah lebih berperan dalam perbaikan lingkungan, dibandingkan dengan masyarakat hulu (Gambar 15). Pada persepsi masyarakat hulu tidak berperan menduduki urutan ke kedua, hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat hilir sebagai pengguna air masih mengganggap jasa perbaikan lingkungan masih rendah, sehingga mereka menganggap masyarakat hulu tidak berperan dalam perbaikan lingkungan. 5.2.4
Persepsi terhadap Kesetujuan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan Setelah responden mengetahui peranan masyarakat hulu dalam kegiatan
perbaikan lingkungan di DAS Citarum Hulu, maka responden ditanyakan kesetujuan dilakukan kegiatan perbaikan lingkungan. Secara umum responden
97
setuju untuk dilakukannya kegiatan perbaikan lingkungan (Gambar 16). keadaan ini dikarenakan responden semakin merasakan kurangnya ketersediaan air dan buruknya kualitas dan kuantitas air yang didapatkan dari pemerintah dan melalui pelayanan PDAM. Realitas ini juga menunjukkan apabila para masyarakat mengetahui peranan masyarakat hulu melalui informasi yang diberikan, sebenarnya akan terdapat partisipasi berupa kesetujuan dilakukan kegiatan perbaikan lingkungan. Persepsi Terhadap Kesetujuan 30.55%
69.45% Setuju
Tidak Setuju
Gambar 16 Persentase Persepsi Responden terhadap Kesetujuan untuk Perbaikan Lingkungan
Responden lebih memandang bahwa masyarakat hulu berperan untuk perbaikan lingkungan sehingga mereka menyatakan setuju sebesar 69,45% dan tidak sebesar setuju 30,55% (Gambar 16), hal ini responden menganggap bahwa masyarakat hulu tidak berperan dalam perbaikan lingkungan. Hal ini diasumsikan juga karena kurangnya informasi mengenai jasa lingkungan terhadap peranan masyarakat Hulu dalam dalam perbaikan lingkungan. Selain itu responden lebih memandang bahwa pemerintah lebih berperan dalam perbaikan lingkungan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan membuat persentase persepsi lebih baik. Persepsi Terhadap Ketersediaan Air 33.70%
65.30% Buruk
Baik
Gambar 17 Persentase Responden Berdasarkan Peranan Masyarakat Hulu
Pada Gambar 17 dapat dilihat dua parameter untuk melihat peluang kemauan membayar, yaitu persepsi terhadap ketersediaan air dan persepsi
98
terhadap peranan masyarakat hulu dalam melakukan perbaikan lingkungan. Berdasarkan Gambar 17 didapatkan bahwa semakin baik persepsi responden terhadap perbaikan lingkungan baik di hulu maupun di hilir maka akan semakin baik pula peluang kemauan dalam membayar. Begitu juga halnya dengan keadaan persepsi terhadap kesetujuan peranan masyarakat hulu dalam melakukan perbaikan lingkungan. Responden yang menyatakan setuju terhadap peranan masyarakat hulu dalam melakukan perbaikan lingkungan mempunyai peluang kemauan membayar yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak setuju terhadap peranan masyarakat hulu. Persepsi Terhadap Ketersediaan Air 38.00%
62.00% Baik
Buruk
Gambar 18 Persentase Peluang Kemauan Membayar Berdasarkan Kesetujuan
Berdasarkan Gambar 18 menunjukkan bahwa semakin baik persepsi resoponden terhadap ketersediaan air untuk memperbaiki kualitas air dan kuantitas air maka peluang kemauan membayar akan semakin baik. Selanjutnya dapat diartikan juga bahwa masyarakat hilir yang memandang setuju dilakukan perbaikan lingkungan maka peluang kemauan membayarnya akan semakin baik. 5.3 Hasil Analisis Kemauan Membayar Masyarakat (Willingness to Pay) 5.3.1 Deskripsi Kemauan Membayar dan Nilai WTP Analisis kemauan membayar (WTP) untuk jasa perbaikan lingkungan pertama kali yang harus diketahui adalah jumlah responden yang mau membayar kompensasi atau mau memberikan insentif. Dalam penelitian ini, responden ditanyakan dan diberikan pilihan antara mau membayar atau tidak mau membayar konpensasi untuk perbaikan lingkungan baik.
99
Kemauan Membayar (WTP) 17%
83% Mau Membayar
Tidak Mau
Gambar 19 Persentase Responden yang Mau/Bersedia Membayar
Pada Gambar 19 didapatkan persentase responden yang lebih besar mau membayar dibandingkan dengan tidak mau membayar kompensasi (Gambar 19). Keadaan ini memperlihatkan bahwa secara umum mayoritas responden mempunyai kepedulian yang tinggi untuk perbaikan lingkungan. Persentase responden yang menyatakan mau membayar sebesar 83% dan tidak mau sebesar 17%. Keadaan ini dikarenakan perbedaan kondisi sosial ekonomi yang berbeda dari setiap responden baik pelanggan rumah tangga dan non pelanggan rumah tangga. Berdasarkan karakteristik responden, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkatan umur, strata pendidikan, status rumah . Selain itu, responden yang mau/bersedia membayar kompensasi untuk jasa perbaikan lingkungan. Hal ini menunjukkan tingkat kepedulian masyarakat khususnya masyarakat Jakarta Timur terhadap kerusakan lingkungan lebih tinggi baik di Hulu maupun di Hilir. Secara keseluruhan berdasarkan data yang ada nilai rata-rata kemauan membayar (WTP) responden sebesar Rp.652,08 Hal ini dikarenakan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggi.
Gambar 20 Persentase Sebaran WTP
100
Secara khusus sebaran WTP masyarakat yang mau/bersedia membayar seperti pada Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20 dapat dilihat bahwa pada tingkatan yang membayar untuk masyarakat pelanggan Rp.250,00 yang paling tinggi (18,33%), 500.00 (38,33%), 1000,00 (21,67%), 1500,00 (11,67%), 2000,00 (8,33%), 2500,00 (1,67%), dan 3000,00 (0%), sehingga kemauan membayar masyarakat pelanggan rata-rata mau membayar tetapi nilai WTPnya sangat kecil, hal ini mungkin karena kondisi sosial ekonomi yang saat ini sedang menurun karena dengan adanya krisis moneter. Sedangkan untuk masyarakat non pelanggan Rp.250,00 (26,67%), Rp.500,00 (20,33%), Rp.1000,00 (6,67%), Rp.1500,00 (3,33%) Rp.2000,00 (6,67%), dan Rp.2500,00 (0,00%). Sedangkan yang tidak mau/tidak bersedia membayar adalah sebesar 17%. Pada tingkatan pembayaran yang paling banyak adalah 500, hal ini menunjukkan tingkat perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang beragam. Mayoritas responden yang mau membayar kompensasi terbanyak Rp.500,00, oleh karena ukuran ini merupakan ukuran terbaik buat masyarakat dalam jasa lingkungan karena terkait dengan tingkat pendapatan dan pengeluaran masyarakat. 5.3.2 Hasil Analisis Pelaksanaan Contingent Valuation Method (CVM) Hasil pelaksanaan 5 (lima) langkah CVM dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 5.3.2.1 Pembentukan Pasar Hipotetik Berdasarkan pernyataan tentang kondisi air saat ini serta perbandingan kondisi air bila dilakukan peningkatan kualitas dan kuantitas air oleh jasa perbaikan lingkungan, maka Responden memperoleh gambaran tentang situasi hipotesis kondisi air. 5.3.2.2 Memperoleh Nilai Penawaran (Bids). Berdasarkan pertanyaan dan interval nilai yang ditawarkan dalam kuesioner, maka diperoleh jawaban atau pilihan responden tentang tawaran nilai berupa sejumlah uang yang mereka mau membayar (WTP) untuk peningkatan kualitas dan kuantitas air yang berlaku saat ini (lampiran). Tabel 17 menunjukkan hasil perhitungan statistik mengenai rata-rata, median dan standart deviasi dari nilai tengah WTP sampel dan variabel-variabel bebas lainnya di dalam fungsi.
101
Tabel 17 Hasil Perhitungan Statistik Variabel-Variabel Analisis Membayar(WTP) Sampel Penelitian Variabel
Mean
Nilai WTP (Y) (Rp/bln) Persepsi Peranan Masyarakat Hulu Pendidikan Tanggungan Keluarga Pendapatan perkapita(Rp/kk/bln) Jumlah Sampel (n) : 100 Sumber
Median
652,08 2,10 3,40 3,61 2,312,500.00
Std.Deviasi
500,00 2.00 3.00 4.00 2,300.000
582,75 0,69 0,59 1,21 613,854.40
: Data primer diolah, 2006.
Jika rata-rata nilai WTP ini ditambahkan dengan harga air saat ini maka WTP sebenarnya adalah Rp.1,602.08 /kk/bln atau 2 (dua) kali lebih besar. Bila jumlah ini dikalikan dengan rata-rata anggota keluarga yang berpartisipasi dalam jasa perbaikan lingkungan (2,07 orang) maka setiap keluarga keluarga sebenarnya memiliki WTP untuk jasa perbaikan lingkungan adalah Rp. 3,316.31/bulan. Jumlah ini ternyata masih besar jika pemerintah menaikan/memperhatikan kualitas dan kuantitas air berdasarkan hasil survei. 5.3.2.3 Menghitung Dugaan Rataan WTP (Expected WTP, EWTP) Dugaan rataan WTP (EWTP) dihitung dengan menggunakan rumus (1) berdasarkan data distribusi WTP sampel seperti pada Tabel 18. Tabel 18 Distribusi WTP Sampel di atas Harga Air yang Berlaku. No 1 2 3 4 5 6 7
Kelas WTP (Rp/Bln) 250-499 500-749 750-999 1000-1499 1500-1999 2000-2499 2500-2999 Jumlah
Frekuensi
Persentase (%)
27 37 17 9 9 1 0 100
27,00 37,00 17,00 9,00 9,00 1,00 0,00 100
WiPfi 6,750 18,500 12,750 9,000 13,500 2,000 0 62,500
Sumber : Data primer diolah, 2006.
Dari data di atas, maka diperoleh dugaan rataan WTP (EWTP) sampel sebesar Rp. 62,500.00/org/bulan di atas harga air yang berlaku saat ini.
102
5.3.2.4 Menentukan WTP Agregat atau WTP Total (TWTP) Tabel 19 menunjukkan hasil perhitungan WTP Agregat (TWTP) populasi masyarakat
dengan
menggunakan
rumus
(2)
ternyata
adalah
sebesar
Rp.36,080.618/bln dibawah total pengeluaran untuk pembayaran jasa perbaikan lingkungan perbulan.WTP Agregat masyarakat di atas harga air saat ini atau surplus konsumen ini sebenarnya merupakan potensi pembiayaan yang masih dapat digali untuk pengembangan sumber-sumber air dan peningkatan kualitas dan kuantitas air. Tabel 19 WTP Agregat (TWTP) Populasi No 1 2 3 4 5 6 7
Kelas WTP (Rp/org/Bln) 374,5 624,5 874,5 1249,5 1749,5 2249,5 2749,5 Jumlah
Sampel (n)a) 27 37 17 9 9 1 0 N=100
Populasib) 121,14 183,95 76,27 40,38 40,38 4,49 0,00 P=466.61
Jumlahc) (Rp/bln) 45,367 114,877 66,698 50,455 70,645 10,100 0 358,142
WTPi(ni/N)P 47,181.27 107,817.24 69,368.58 52,472.63 73,470.08 10,496.39 0.00 36,080,618
Sumber : Data primer diolah, 2006. Keterangan : a) Jumlah sampel ( 22,30% dari populasi PJL) b) Jumlah populasi masyarakat c) Populasi x titik tengah WTP
5.3.2.5 Menduga Kurva Penawaran Total (Bids Curve) Menurut Hufschmidt dalam Neti (1999) Kurva penawaran dapat digambarkan dari nilai Total WTP peserta. Maka WTP lebih tepat diukur berdasarkan permintaan Hicks (kurva permintaan terkompensasi) karena harga daerah dibawah kurva permintaan relevan untuk pengukuran kompensasi (Fauzi, 2004). Kurva penawaran total masyarakat berdasarkan data hasil survei kemauan membayar (WTP) di atas harga air yang berlaku dapat dilihat pada Gambar 21 di bawah ini. Dimana air sebagai salah satu bentuk barang publik maka kurva penawaran total yang diperoleh dari nilai WTP adalah merupakan pengganti kurva permintaan. Seluruh daerah di bawah kurva permintaan merupakan ukuran surplus konsumen atau manfaat total yang dirasakan konsumen dalam mengkonsumsi air sebagai jasa perbaikan lingkungan.
103
Gambar 21 Grafik Penawaran/Permintaan Total untuk Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Air Berdasarkan Kemauan Membayar (WTP) 5.3.2.6 Mengevaluasi Pelaksanaan CVM. Menurut Whittington et al. (1993) tingkat keandalan nilai tawaran WTP dapat ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R2) dari WTP. Nilai R2 untuk data cross section dari survei WTP dengan metode CVM seringkali tidak tinggi seperti penelitian dengan metode lainnya. Pelaksanaan CVM dianggap gagal bila nilai R2 hasil analisis kurang dari 0,150. Dari hasil analisis fungsi WTP diperoleh nilai R2 = 0,7054. Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian ini dapat diyakini kebenarannya atau keandalannya (reliable). 5.4 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap WTP 5.4.1 Deskripsi Variabel Penelitian Pada fungsi WTP Pada analisis ini merupakan jawaban dari tujuan penelitian ke dua (2), yaitu mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fungsi WTP digunakan sampel responden atau KK yang mau membayar untuk perbaikan lingkungan yaitu sebesar 100 KK seperti halnya pada metode Contingent Valuation Method (CVM). Gambaran karakteristik dari 100 sampel tersebut dilihat dari tingkat pendidikannya tampak pada Gambar 22. Tingkat Pendidikan Responden 5% 0%
32.00%
63.00% SD
SMP
SMA
SARJANA
Gambar 22 Persentase Tingkat Pendidikan
104
Dari Gambar 22, jika dilihat dari
tingkat pendidikan tampak bahwa
sampel/KK memiliki karakteristik yang berbeda dengan sampel secara keseluruhan atau total sampel yaitu sebagian besar sampel hanya berpendidikan Sekolah Dasar yaitu sebesar 0% dan yang paling sedikit adalah Perguruan Tinggi (sarjana) yaitu sebesar 32%. Tetapi jika dihitung dari total sampel yang berpendidikan maka ternyata sebagian besar 83% memilih mau membayar. Umur Responden 10%
3%
46%
41%
≤ 30
31 - 40
41 - 50
≥ 50
Gambar 23 Persentase Umur
Dari Gambar 23, ternyata karakteristik umur juga memiliki perbedaan yang berbeda dari keseluruhan sampel yaitu sebagian
besar adalah golongan usia
produktif (30-50 tahun) dengan jumlah terbesar golongan umur 30-40 tahun. Untuk range umur sampel adalah 31 tahun sampai dengan 50 tahun sehingga dapat dilihat bahwa sampel termuda 30 tahun ternyata tidak mau membayar sebesar 17%. Selanjutnya untuk jenis pekerjaan sampel pada Gambar 24. Pekerjaan Responden 20%
65%
15% PNS/TNI/POLRI
Pdgng/Pgusaha
K. Swasta
Gambar 24 Persentase Jenis Pekerjaan
Dari Gambar 24, ternyata untuk jenis pekerjaan sampel/ KK yang memilih mau membayar memiliki karakteristik yang berbeda dengan total sampel secara keseluruhan. Jenis pekerjaan terbanyak pada total 100 sampel adalah karyawan
105
swasta yaitu sebesar 65%, sedangkan jenis pekerjaan pedagang sebesar 15%. Sehingga hal ini dapat dlihat bahwa jenis pekerjaan yang punya kemauan membayar sangat besar adalah sebagai karyawan swasta yang diikuti dengn besarnya kemauan membayar. 5.5.
Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemauan Membayar (WTP) Masyarakat Perkotaan tentang Jasa Perbaikan Lingkungan. Pada bagian ini disajikan nilai-nilai hasil pendugaan parameter persamaan
regresi linear berganda willingness to pay untuk jasa perbaikan lingkungan. Penyajiannya diawali dengan interpretasi hasil pendugaan parameter secara keseluruhan, yaitu kinerja umum persamaan struktural berdasarkan besaran koefisien determinasi (R2), nilai uji F, Durbin Watson (DW), dan nilai uji t. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan interpretasi dan implikasi ekonomi tentang tanda dan besaran parameter dugaan serta nilai-nilai elastisitas. Sebelum pembahasan dilanjutkan, maka perlu diuji apakah terjadi penyimpangan dari asumsi persamaan regresi linear Gauss-Markov. Asumsiasumsi tersebut meliputi ada tidaknya multikolinieritas, homoskedastisitas, dan autokorelasi. Dari Tabel 23, ditunjukkan bahwa tidak ada peubah bebas yang mempunyai nilai VIF (Varian Inflation Factor) lebih besar dari 10, dan bahkan di bawah 5. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bila persamaan regresi linear berganda tersebut tidak mengalami multikolinieritas yang serius. Uji kedua dari asumsi Gauss-Markov adalah ada tidaknya autokorelasi dalam persamaan. Diperlukan uji DW untuk mendeteksi adanya autokorelasi. Berdasarkan perhitungan statistik, diketahui besarnya DW adalah 1,732. Nilai tersebut tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%, sehingga dapat disimpulkan bila persamaan regresi linear berganda tersebut tidak mengandung autokorelasi positif dan negatif. Untuk menguji apakah persamaan WTP melanggar asumsi homoskedastisitas atau tidak, maka dilakukan uji white test. Nilai uji white test sebesar 13,891, sedangkan nilai tabel chi-square sebesar 6,635. Oleh karena nilai uji white test lebih besar dari nilai Tabel Chi Square, maka asumsi homoskedastisitas tidak terpenuhi. Persamaan regresi linear berganda dalam penelitian tersebut terdapat
106
masalah heteroskedastisitas. Oleh sebab itu diperlukan perlakuan untuk mengoreksi pelanggaran asumsi homoskedastisitas. Pengkoreksian ini dilakukan dengan melakukan pembobotan, sehingga hasil pendugaan parameter yang terbebas dari heteroskedastisitas dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Willingness to Pay untuk Jasa Perbaikan Lingkungan. No.
Nama Peubah
Dugaan Parameter
Standard Error
-1099,960010
t-hitung
Sig.
267,284861
-4,115****
0,0001
Elas tisitas
1.
Intersep
2.
Pendapatan (X1)
0,001547
0,000209
7,386 ****
0,0001
1,996
3.
Umur (X2)
7,774882
4,615356
1,685***
0,0955
0,579
4.
Tanggungan keluarga (X3)
45,983971
28,503481
1,613**
0,1101
-0,286
5.
Pendidikan (D1)
104,672494
112,651544
0,929
0,3552
Persepsi terhadap kesetujuan (D2)
-63,416909
103,677602
-0,612
0,5423
Persepsi thdp ekspektasi (D3)
-51,600236
90,867761
-0,568
0,5715
Persepsi thdp ketrsdiaan air (D4)
-167,713078
81,508302
-2,058****
0,0425
9.
Persepsi keluhan air (D5)
-185,454675
92,531625
-2,004****
0,0480
10.
Ekspektasi (D6)
-27,499348
78,598610
-0,350
0,7272
11.
Pekerjaan (D7)
122,998865
91,554874
1,343*
0,1824
12.
Pilihan air (D8)
12,837937
70,649257
0,182
0,8562
13.
Status rumah (D9)
170,516432
64,326294
2,651****
0,0095
6. 7. 8.
R2 = 0,652, F-hitung = 17,250, DW = 1,716 Keterangan : **** : Berbeda nyata pada taraf α = 5 %. *** : Berbeda nyata pada taraf α = 10 %. ** : Berbeda nyata pada taraf α = 15 %. * : Berbeda nyata pada taraf α = 20 %.
Setelah persamaan regresi linear berganda willingness to pay untuk jasa perbaikan lingkungan memenuhi sebagai penduga paramater terbaik, maka selanjutkan dijelaskan goodness of fit persamaan. Dimulai dari besaran nilai uji statistik F yaitu 17,250 dan nyata pada taraf α = 0,0001. Artinya variasi peubahpeubah bebas dalam persamaan tersebut secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik variasi peubah masing-masing peubah tidak bebasnya. Sedangkan berdasarkan pendugaan parameter persamaan dalam penelitian ini memberikan hasil yang cukup baik. Nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 0,652. Dengan demikian secara umum peubah-peubah bebas yang dimasukkan dalam persamaan penelitian ini mampu menjelaskan dengan cukup baik keragaman peubah-peubah tidak bebasnya sebesar 65,22%. Dan sebesar
107
34,785% peubah-peubah bebas lainnya yang mempengaruhi peubah tidak bebasnya tapi tidak dimasukkan dalam persamaan tersebut. Hasil uji statistik t yang diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa peubah bebas yang tidak signifikan atau berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebasnya pada taraf α = 0,05. Dalam penelitian ini taraf α yang digunakan cukup fleksibel, sehingga sebagian besar peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebasnya. Adapun taraf nyata yang digunakan adalah (****) merupakan taraf nyata pada α sebesar 0,05, (***) merupakan taraf nyata pada α sebesar 0,1, (**) merupakan taraf nyata pada α sebesar 0.15, dan (*) untuk taraf nyata pada α sebesar 0.20. Berdasarkan hasil dugaan tersebut, maka dapat disimpulkan bila persamaan regresi linear berganda tersebut cukup representatif dalam menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi willingness to pay jasa perbaikan lingkungan. Dari 12 peubah-peubah yang diperkirakan dapat mempengaruhi peubah WTP, terdapat 7 peubah bebas yang mampu menjelaskan dan nyata secara statistik mempengaruhi WTP. Adapun peubah-peubah tersebut adalah pendapatan (X1), umur (X2), tanggungan keluarga (X3), persepsi terhadap ketersediaan air (D4), persepsi keluhan air (D5), pekerjaan (D7), dan status rumah (D9). Pendapatan rumah tangga menjadi faktor penentu dalam mempengaruhi WTP. Peubah ini mempunyai koefisien dugaan parameter sebesar 0,001 dengan hubungan yang positif. Artinya apabila pendapatan rumah tangga naik sebesar Rp.10,000 per bulan, maka akan meningkatkan willingness to pay untuk jasa perbaikan lingkungan sebesar Rp.15,47 per bulan, ceteris paribus. Dalam jangka pendek, peubah pendapatan rumah tangga responsif terhadap perubahan WTP untuk jasa perbaikan lingkunga, hal ini dikarenakan nilai elastisitas pendapatan terhadap WTP bersifat elastis. Sedangkan umur responden juga berpengaruh nyata secara statistik dan mempunyai hubungan yang positif. Artinya apabila ada pertambahan umur responden, maka akan meningkatkan kesadaran mereka dalam membayar jasa perbaikan lingkungan sebesar Rp.7,775 per bulan, ceteris paribus. Peubah umur tidak responsif terhadap perubahan WTP untuk jasa perbaikan lingkungan dalam jangka pendek.
108
Peubah lainnya adalah tanggungan keluarga. Walaupun secara statistik peubah ini adalah signifikan, dengan tanda parameter dugaan logis. Dengan bertambahnya tanggungan keluarga (orang), maka porsi pengeluaran rumah tangga akan difokuskan terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan dasar pertambahan tanggungan keluarga tersebut. Tingkat kesejahteraan setiap rumah tangga juga mempengaruhi alokasi biaya tanpa melihat bertambahnya tanggungan keluarga. Oleh sebab itu dalam persamaan regresi linear berganda di atas mempunyai keterbatasan dalam mendefinisikan kategori keluarga responden yang tidak dibagi ke dalam kelas-kelas tertentu. Dianggap kondisi keluarga responden adalah dalam batas sejahtera dan mempunyai kesadaran terhadap lingkungan, sehingga logis apabila bertambahnya keluarga juga akan meningkatkan WTP. Apabila tanggungan keluarga bertambah 1 orang, maka akan meningkatkan WTP jasa perbaikan lingkungan sebesar Rp.45,984 per bulan, ceteris paribus. Peubah tanggungan keluarga adalah elastis, oleh sebab itu WTP responsif terhadap tanggungan keluarga dalam jangka pendek. Persepsi responden terhadap ketersediaan air juga turut mempengaruhi WTP. Berdasarkan hasil dugaan parameter, maka bila responden merasakan kualitas air PDAM dan juga air tanah buruk, maka akan menurunkan WTP sebesar Rp.167,713 per bulan, ceteris paribus. Kualitas air yang baik adalah tidak berasa, berbau, dan berwarna. Peubah keluhan responden terhadap kualitas air yang ditawarkan PDAM. Berdasarkan hasil dugaan parameter, maka apabila ada responden yang mengaku memiliki keluhan mengenai kualitas air bersih PDAM dan air tanah, maka diduga akan menurunkan kemauan membayar untuk jasa perbaikan air bersih sebesar Rp.185,455 per bulan. Hal ini menjadi relevansi yang logis, dimana rendahya kualitas air bersih akan membuat responden menurunkan kemauan membayarnya untuk jasa perbaikan lingkungan tersebut. Pekerjaan juga berkontribusi secara nyata dalam mempengaruhi kesadaran masyarakat dalam kemauan membayar untuk jasa perbaikan lingkungan. Hal ini tidak terlepas dari pendapatan keluarga dari pekerjaan yang dilakukan tersebut. Berdasarkan hasil pendugaan parameter, maka apabila responden memiliki
109
pekerjaan sebagai PNS, maka kesadaran membayar untuk jasa perbaikan lingkungan akan meningkat sebesar Rp.122,999 per bulan, ceteris paribus. Peubah bebas yang terakhir yang berpengaruh terhadap WTP adalah status rumah. Apabila status rumah responden adalah milik sendiri dan bukan sewa, maka terdapat peningkatan WTP sebesar Rp.168,245 per bulan, ceteris paribus. Hal ini terjadi karena status rumah sendiri memungkinkan untuk menghemat biaya-biaya lain, termasuk biaya sewa rumah, sehingga dapat dialokasikan untuk WTP. 5.6
Hasil Analisis Persepsi Masyarakat tentang Kondisi Sumber Air yang tersedia. Analisis deskriptif ini, adalah perbandingan bentuk pilihan masyarakat akan
sumber air bersih. Bentuk-bentuk pilihan ke-100 responden di tuangkan pada Gambar 22. Pilihan yang paling dominan di pilih responden adalah pilihan ke-3 (PDAM dan Sumur) sebesar 53,33% , lalu pilihan ke-2 (Sumur) sebesar 36,67% dan yang terkecil persentasenya adalah pilihan ke-1 (PDAM) sebesar 10,00%. Hal ini berhubungan dengan persepsi responden tentang kualitas dan kuantitas air PDAM, air sumur dan berbagai alasan maupun akibat yang ditimbulkan. Persepsi Masyarakat Terhadap Pilihan Sumber Air 10%
53.33%
36.67%
PDAM
Sumur
PDAM/Sumur
Gambar 25 Persentase Responden terhadap Bentuk Pilihan Sumber Air Bersih Persepsi Terhadap Kuantitas Air PDAM
Persepsi Terhadap Kualitas Air PDAM
0.00%
8.33% 26.67%
37.50%
62.50%
65% Rendah
Baik
a
Tidak Tahu
Rendah
Baik
Tidak Tahu
b
Gambar 26 Persentase Responden Persepsi tentang Kualitas dan Kuantitas Air PDAM
110
Untuk variabel-variabel kualitatif yang digunakan, sebagian besar responden menyatakan bahwa kualitas air PDAM rendah sebesar 65,00%, sisanya menyatakan baik sebesar 26,67% dan tidak tahu sebesar 8,33% (Gambar 26a). Alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden yang menyatakan bahwa air PDAM berkuantitas keruh sebesar 62,5%, kotor sebesar 30,5% dan tidak tahu sebesar 0,00%, (Gambar 26b). Persepsi tentang kualitas air dalam penelitian ini hanya berdasarkan pada pandangan masyarakat dan dari data diperoleh bahwa tidak ada satupun responden atas kemauan sendiri untuk memeriksa air PDAM yang mereka terima atau pernah mengambil sampel air untuk di periksa. Dan perlu diketahui pula bahwa ada pelanggan PDAM yang menggunakan air PDAM untuk mencuci mobil dan menyiram maupun keperluan lain, hal ini terkait dengan kualitas dan kuantitas air PDAM. Sebagai informasi tambahan, hasil pemeriksaan kualitas air PDAM secara periodik (setiap triwulan) yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta selaku badan pengawasan pada struktur organisasi PDAM menunjukkan bahwa kualitas air pada reservoir PDAM sebelum didistribusikan ke pelanggan adalah baik. Secara periodik setiap triwulan Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga melakukan uji laboratorium tentang kualitas air PDAM yang diterima 373,034 pelanggan PDAM Jaya yang ditentukkan secara acak. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa air PDAM yang diterima pelanggan berkualitas baik, hanya sekitar 1 sampai 2% pelanggan yang memperoleh air tercemar kuman atau bakteri akibat dari sanitasi disekitar tempat tinggal pelanggan tersebut kurang baik. Untuk variabel kualitatif persepsi tentang kualitas air sumur rendah di lingkungan tempat tinggal sebesar 29,17% dan baik sebesar 70,83%, tidak tahu sebesar 0,00% (Gambar 27a), sedangkan untuk kuantitas air sumur sebagian besar responden juga menyatakan baik sebesar 62,5% dan rendah sebesar 37,5 %, tidak tahu 0,00% (Gambar 27b). Pada Gambar 28 mengenai harapan atau ekspektasi yang diungkapkan oleh responden tentang akan adanya perbaikan yang akan dilakukan pemerintah atau PDAM, sebesar 69,17% menyatakan mempunyai harapan bahwa pada suatu saat pemerintah akan melakukan perbaikan kualitas dan kuantitas air yang didistribusikan dan tidak ada harapan sebesar 30,83%.
111
Persepsi Terhadap Kuantitas Air Sumur
Persepsi Terhadap Kualitas Air Sumur 0.00%
0.00%
29.17%
37.50%
2.50% 70.83% Rendah
Baik
Rendah
Tidak Tahu
a
Baik
Tidak Tahu
b
Gambar 27 Persentase Responden terhadap Persepsi Kualitas dan Kuantitas Air Sumur
Ekspektasi Untuk Perbaikan Lingkungan 30.83%
69.17% Tdk Ada Harapan
Ada Harapan
Gambar 28 Persentase Responden terhadap Harapan akan adanya Perbaikan oleh Pemerintah
Tingginya persentase responden yang punya harapan berhubungan dengan pilihan mereka terhadap sumber air bersih, karena walaupun mereka mempunyai sumber air lain (sumur) dengan kualitas dan kuantitas air yang lebih baik dari air PDAM tetapi mereka tetap menjadi pelanggan PDAM. Meskipun demikian, ada pula pelanggan PDAM yang memiliki sumur dengan kualitas air rendah. Untuk kasus seperti ini, air sumur terpaksa digunakan atau dijadikan cadangan kalau air PDAM mati atau tidak mengalir. Dan ada pula pelanggan yang memakai air sumur sebagai kebutuhan air bersih daripada air PDAM. 5.6.1 Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kualitas Air PDAM. Untuk responden yang menyatakan kualitas air PDAM rendah (59 orang dari 100 orang), alasan yang paling banyak dikemukakan adalah Keruh sebesar 66,67% dan disusul dengan alasan berbau sebesar17,5% dan kotor sebesar15,83% (Gambar 29).
112
Alasan Terhadap Kualitas Air PDAM 17.50%
15.83%
66.67% Berbau
Kotor
Keruh
Gambar 29 Persentase Responden terhadap Alasan yang Menyatakan Kualitas Air PDAM Rendah.
Akibat yang paling.sering dirasakan dan dikemukankan oleh responden adalah Wadah air cepat kotor sebesar 25,83% dan sebelum dipergunakan air harus didiamkan dulu sebesar 54,17% agar diperoleh air yang jernih dan zat yang menimbulkan kekeruhan mengendap di dasar wadah. Ada noda melekat pada wadah yang sulit dibersihhan 20,00% dan akibat lainnya adalah pemborosan waktu dan tenaga karena lebih sering membersihkan wadah air (Gambar 30). Akibat Rendahnya Kualitas Air PDAM 20%
54.17%
25.83% Hrs Diendapkan
Wdh Cpt Ktr
Noda Melekat
Gambar 30 Persentase Responden terhadap Akibat yang Dirasakan karena Rendahnya Kualitas Air PDAM
Sedangkan jenis kekhawatiran yang paling banyak dikemukakan responden 34,17% adalah lama-kelamaan wadah air akan semakin kotor dan semakin sulit dibersihkan, disusul dengan kekhawatiran bahwa untuk waktu yang lama mungkin akan berpengaruh juga bagi kesehatan sebesar 65,83% (Gambar 31). Menurut pihak PDAM sebagai produsen. kekeruhan air PDAM dapat disebabkan oleh beberapa faktor. yaitu (1) akumulasi kekeruhan di pipa transmisi berdiameter 300 mm. (2) kebocoran pipa yang disebabkan oleh korosi karena sebagian besar pipa terbuat dari besi dan sudah berusia tua maupun aktifitas penggalian atau kegiatan lain baik secara sengaja atau tidak disengaja yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar pipa yang menimbulkan kerusakan pada pipa
113
PDAM. (3) tingkat kekeruhan air baku yang sangat fluktuatif dan dapat terjadi sewaktu-waktu diluar kendali yang disebabkan oleh curah hujan dan berhubungan dengan aktifitas-aktifitas di bagian Hulu DAS Citarum. Berbagai Jenis Kekhawatiran Terhadapnya Kualitas Air PDAM 34.17%
65.83%
Bhy bg Kesehatan
Wdh Slt Dibrshkn
Gambar 31 Persentase Responden terhadap Jenis Kekhawatiran yang Dikemukakan Responden atas Rendahnya Kualitas Air PDAM.
5.6.2
Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kuantitas Air PDAM Untuk kualitas air PDAM terdapat 75 dari 100 responnden yang
menyatakan kuantitas air PDAM rendah. Alasan yang dikemukakan oleh responden yang berpendapat demikian dijelaskan dengan Gambar 32. Alasan yang paling banyak dikemukakan adalah karena debit air PDAM yang rendah sebesar 49,17%, lalu disusul dengan air yang tidak mengalir terus menerus dan jadwal mengalir tidak tentu sebesar 38,33% dan terkadang mati sebesar 12,50% (Gambar 32).
Berbagai Alasan Terhadap Kualitas Air PDAM 12.50%
49.17%
38.33% Debit Air Rendah
Air Mnglr Tdk Tnt
Jdwl Tdk Tntu
Gambar 32 Persentase Responden terhadap Alasan terhadap Kualitas Air PDAM
Akibat yang paling dirasakan responden adalah kekurangan air sebesar 41,67%, sehingga perlu melakukan penghematan dan membutuhkan sumber air alternatif (membuat sumur), seluruh responden yang menyatakan air PDAM berkuantitas rendah mengemukakan kedua hal tersebut (Gambar 33).
114
Berbagai Jenis Akibat yang Dirasakan Terhadap Rendahnya Kualitas Air PDAM
41.67%
58.33% Kekurangan Air
Mmrlkn Smbr Air Lain
Gambar 33 Persentase Responden terhadap Akibat yang Dirasakan karena Rendahnya Kuantitas Air PDAM
Dan kekhawatiran yang paling banyak dikemukakan adalah pada musim kemarau air PDAM akan makin sulit diperoleh, sehingga memerlukan sumber air lain sebesar 58,33%. Pihak PDAM menyatakan bahwa kuantitas air yang rendah disebabkan oleh (1). Masih rendahnya kapasitas produksi air. (2) Terbatasnya jaringan pipa distribusi dan (3). Distribusi air masih dengan sistem perpopaan sehingga air tidak mencapai tempat yang tinggi.
IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Lingkungan DAS Citarum Hulu Secara Umum DAS Citarum adalah DAS utama di Jawa Barat yang memiliki luas 6,080 km2 atau 608,000 ha, dengan sungai Citarum yang panjangnya 300 km. Sungai utama Citarum memiliki anak sungai berjumlah 36 dengan panjang sekitar 873 km, dan 3 Waduk besar yakni Saguling, Cirata dan Juanda (Kurniasi, 2002). Dalam perjalanannya sungai Citarum yang berhulu di Gunung Wayang Kabupaten Bandung dan bermuara di laut di laut Jawa, melewati 7 Kabupaten yakni Sumedang, Bandung, Cianjur, Bogor, Bekasi, Purwakarta dan Karawang, serta 2 kota yakni Bandung dan Cimahi yang kesemuanya berada dalam Propinsi Jawa Barat. DAS Ciatrum saat ini dihuni oleh sekitar 10 juta jiwa, dengan penyebaran 6 juta jiwa tinggal di bagian hulu DAS (dibagian atas waduk Saguling) dan sisanya tersebar di DAS bagian hilir. Sumberdaya lingkungan lahan DAS (SDLL-DAS) Citarum yang meliputi 6,080 km2 608,000 ha, saat ini dimanfaatkan untuk pertanian seluas 170,832 ha (27,5 %), perkebunan 59,657 ha (9,6%), permukiman 76,777 ha (12,3%), hutan 88,271 ha (14,2 %), perikanan/kolam/tambak 35,892 ha (5,8%), serta lain-lain yang berupa tanah kosong, padang rumput dan rawa 190.418 ha (30,6%). Sumberdaya lingkungan perairan DAS (SDLP-DAS) Citarum berupa (masa) air yang ada di sungai Citarum dan waduk-waduknya di manfaatkan sebagai sumber air untuk irigasi/pertanian, air baku, air minum, perikanan, air baku industri, pengendali banjir dan pembangkit listrik tenaga air (Sk Gubernur Jawa Barat No.39 Tahun 2001) SDLP-DAS Citarum tidak hanya dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah DAS Citarum saja, namun juga dimanfaatkan juga oleh masyarakat diluar DAS Citarum, seperti masyarakat DKI Jakarta sebagai bahan baku air minum, dan masyarakat Jawa dan Bali sebagai PLTA (Kurniasi, 2002). 4.2 Kondisi Umum Kerusakan Lingkungan di DAS Citarum Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) yang merupakan suatu kesatuan wilayah spesifik, dipengaruhi oleh faktor biofisik (relief, topografi, fisiografi, iklim, tanah. air, dan vegetasi/penggunaan lahan) dan faktor manusia (ditentukan oleh jumlah,
65
penyebaran, tingkat pertumbuhan/pertambahan, profesi, dan tingkat pendidikan). Hubungan timbal-balik antara kedua faktor tersebut akan menentukan tingkat keseimbangan ekologis di kawasan suatu DAS. Sumberdaya lahan di dalam suatu kawasan DAS merupakan sumberdaya alam yang terbatas ketersediannya; sedangkan laju pembangunan di semua sektor semakin meningkat dan akan berakibat terjadinya (perebutan) penggunaan sumberdaya lahan yang terbatas tersebut. Di samping itu, sebagian besar kawasan DAS di lndonesia saat ini telah atau mulai mengalami kerusakan/degradasi yang disebabkan oleh beberapa penyebab, khususnya : (1). Penggunaan dan pengelolaan sumberdaya lahan yang tidak sesuai dengan potensi dan tingkat kesesuaiannya, (2). Penggunaan sumberdaya lahan tidak/kurang mengindahkan kaidah-kaidah konservasi, dan (3). Ketidak seimbangan antara pemanfaatan sumberdaya lahan untuk berbagai tujuan dengan wilayah-wilayah yang harus dipertahankan sebagai daerah penyangga bagi ekologi
dan
hidrologi
kawasan
DAS
yang
bersangkutan.
Akibat
kerusakan/degradasi sumberdaya lahan tersebut antara lain : banjir periodik, erosi, kekeringan, lahan kritis, dan kelaparan/rawan pangan. DAS Citarum merupakan salah satu DAS di Pulau Jawa yang oleh Departemen Kehutanan (1985) tergolong dalam DAS prioritas yang perlu segera ditangani untuk konservasi dan rehabilitasinya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa pertimbangan keadaan di kawasan DAS tersebut, antara lain : 1. Di kawasan DAS Citarum banyak dijumpai lahan yang sudah tergolong kritis. 2. Di kawasan tersebut terdapat bendungan-bendungan vital untuk pengairan dan sumber
tenaga listrik (Bendungan Jatiluhur, Saguling, dan Cirata).
3. Kecepatan pembangunan non-pertanian yang sedikit banyak berpengaruh sekali terhadap makin menyempitnya. lahan-lahan pertanian produktif. Terjadinya kerusakan lingkungan di bagian Hulu DAS Citarum yang ada sebagian besar disebabkan oleh adanya proses degradasi lahan. Degradasi lahan tersebut mengakibatkan kemunduran produktivitas secara perlahan atau cepat, baik sementara maupun tetap sehingga pada suatu saat sampai pada tingkat kekritisan tertentu. Proses degradasi lahan yang sering mengakibatkan suatu lahan menjadi kritis adalah erosi oleh air (dapat dilihat secara visual) 16, dan pemasaman tanah pada kasus ini hanya justifikasi penulis, tidak didasarkan dari
66
hasil analisis laboratorium. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi proses degradasi lahan adalah pergerakkan penduduk sehingga penggunaan lahan tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan maupun pengelolaan lahan yang tidak sesuai kaidah konservasi yang menyebabkan terjadi erosi. (hujan yang tinggi terletak pada ketinggian lebih dari 1500 m dpl), jenis tanah (Andosol yang sangat remah sehingga jika dibuka peluang terjadinya erosi semakin tinggi), topografi dengan rata-rata kecuraman lereng diatas 25%, vegetasi (tipe penggunaan lahan, sistim pertanian yang kurang memperhatikan kaidah konservasi), dan manusia (sosial, ekonomi, teknologi/agroteknologi). Tabel 7 Penggunaan Lahan di Wilayah DAS No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis Penggunaan Lahan Hutan Primer Hutan Sekunder Kebun Campuran Ladang/Tegalan Perkebunan Sawah Sungai/waduk Tambak Tanah Kosong Luas
DAS Citarum (ha) 63,680.9 10,255.9 122,866.8 85,689.8 134,839.9 178,166.7 23,680.5 23.680.5 2,828,4 706,177.5
DAS Ciliwung (ha) 4,193.1 0 10,682.9 3,493.7 4,902.9 11,775.1 814.3 0 115,1 50,838.2
DAS Cisadane (ha) 21,661.4 107,01 20,268.9 10,975.7 19,618.3 24,141.7 1,001.8 0 140,3 107,483.2
Sumber: PJT II (2003)
Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa luas lahan hutan sebagai area tangkapan air di wilayah DAS Citarum hanya lebih kurang 73,935 ha atau 10,46 persen dari luas DAS Keseluruhan dan 12% dari luas hutan Jawa Barat (615,772 ha), sedangkan luas lahan kritisnya adalah 59,485.6 ha. Berarti sebesar 80,46 persen lahan hutan di wilayah DAS Citarum sudah tergolong kritis. Oleh karena terjadinya fluktuasi debit air yang tajam di aliran sungai Citarum, yang mengakibatkan terjadinya defisit penawaran air di hilir. Hal ini sejalan dengan penetapan DAS kritis oleh pemerintahan Jawa Barat yang mengkategorikan DAS Citarum sebagai DAS yang tergolong kritis di Jawa Barat.
Gambar 3 Penggunaan Tataguna Lahan di Hulu DAS Citarum.
67
Daerah tropika basah seperti Indonesia umumnya mempunyai hujan yang tinggi dengan erosivitas yang tinggi juga serta temperatur yang relatif tinggi sepanjang tahun. Hal ini menyebabkan proses degradasi lahan menjadi cepat, proses pencucian hara, dikomposisi bahan organik, dan mineral terjadi sangat cepat. Sesungguhnya ekosistem seperti ini, apabila ditumbuhi oleh hutan alami dan tidak terganggu oleh manusia akan mencapai suatu tingkat keseimbangan tertentu. Memang akan terjadi kerusakan secara alami oleh bencana alam atau kejadian alam tertentu tetapi akan terjadi juga pemulihan kembali secara alami dengan kecepatan yang normal. Namun apabila ekosistem hutan tersebut dirubah oleh manusia menjadi pertanian maka proses degradasi lahan tersebut akan menjadi lebih cepat dan pemulihan kembali secara alami menjadi lebih lambat. Hal inilah yang terjadi di pada areal yang terjadi di Citarum Hulu yang notabene merupakan areal konservasi tanah dan air, terlebih lagi dalam perubahan penggunaan lahan tersebut dilakukan dengan tidak memegang prinsip pembangunan berkelanjutan, sehingga tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi. Kerusakan tanah seperti rusak dan hilangnya lapisan atas tanah, pemadatan tanah. menurunnya infiltrasi, meningkatnya aliran permukaan, erosi yang tinggi adalah hal-hal yang terjadi pada pembukaan lahan untuk areal pertanian intensif khususnya yang terjadi pada kecamatan pengalengan berbatasan langsung dengan sumber mata air untuk Sungai Citarum. Pengetahuan petani yang masih terbatas juga menjadi kendala dalam penerapan agroteknologi sehingga keberhasilan teknologi tersebut dalam penanggulangan lahan kritis tidak sukses yang seperti diharapkan. Jumlah penyuluh dan pengetahuan (kualitas) penyuluh dilapangan yang diharapkan dapat membantu petani/masyarakat pun tidak cukup untuk meningkatkan kinerja petani dalam penanggulangan lahan kritis. Pemilikan lahan yang umumnya digunakan oleh petani adalah lahan milik Perhutani Wayang-Windu, juga sering tidak mendukung keamanan dan kegairahan petani menginvestasikan usaha yang berkaitan dengan penanggulangan lahan kritis. Dari uraian dan fakta-fakta tersebut di atas, suatu perencanaan penggunaan lahan dan pengelolaan DAS secara optimal dan rasional berdasarkan potensi daya dukung lahannya serta berwawasan keseimbangan ekologi (lingkungan), menjadi sangat penting dan perlu dilakukan. Untuk menyusun dan melaksanakan
68
perencanaan penggunaan dan pengelolaan DAS secara optimal/rasional tersebut perlu dilakukan penelitian-penelitian dan survei secara sistematis dan terarah. Penelitian-penelitian ini nantinya mampu menghasilkan informasi dan data yang berguna bagi perencanaan dan pelaksanaan dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan DAS secara optimal dan rasional. Berdasarkan hasil analisis Boer, 2003 dkk, laju perubahan penggunaan lahan di Citarum Hulu disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Perubahan Penggunaan Lahan Citarum Hulu 1989 - 2001 No
Jenis Penggunaan Lahan
Persentase Perubahan (%)
1
Hutan
- 11,4
2
Pertanian
+ 0,1
3
Pemukiman dan Industri
+ 47,3
4
Semak Belukar
+ 32,3
Keterangan : + dan – Menunjukkan Penambahan dan Pengurangan Pada Penggunaan Lahan
Gambar 4 Penurunan Debit Air di Waduk Cirata
Bertambahnya luas areal pemukiman dan industri sebesar 47,3% tersebut, sebagai akibat tekanan penduduk yang semakin meningkat di Citarum Hulu. Hal ini terlihat pada kerapatan penduduk di Kabupaten Bandung sebagai wilayah administrasi Citarum Hulu, yang cukup tinggi. Pada tahun 1997 kerapatan penduduk diwilayah ini sebesar 1,263.965 jiwa/km2, yang diperkirakan pada tahun 2020 akan meningkat sebesar 20,5%. Tingginya kebutuhan akan lahan berakibat secara langsung pada konversi lahan yang ada di areal tersebut sebagai konsekuensi
logis
terhadap
pemenuhuan
kebutuhan
hidup
masyarakat
menunjukkan semakin sedikitnya areal resapan air sebagai fungsi utama daerah hulu. Kondisi
Hidrologis
DAS
Citarum
Hulu
relatif
memprihatinkan.
Berdasarkan data debit bulanan tahun 1973-2001 menunjukkan bahwa perbandingan debit maksimum dengan minimum bulanan berbanding 86:1. Hal
69
ini dapat diartikan bahwa kondisi hidrologi DAS Citarum Hulu sangat buruk. Kondisi ini diperburuk dengan laju konversi lahan hutan menjadi penggunaan lainnya, seperti ditunjukan pada Tabel 8 yang berakibat pada semakin sedikitnya air yang mampu di tahan didalam tanah. Dengan kondisi semakin banyaknya areal terbuka maka hujan yang jatuh pada daerah tersebut lebih banyak menjadi aliran permukaan sehingga cadangan air pada musim kemarau semakin berkurang. Berkaitan dengan itu, kebijakan pengelolaan sumberdaya air ke depan tidak akan terlepas dari pemeliharaan fungsi hidrologi wilayah tangkapan air di hulu DAS Citarum, karena ada keterkaitan antara ketersediaan air di hilir dengan luasan lahan kritis di luar kawasan hutan maupun di dalam kawasan hutan di wilayah DAS Citarum. Jika luas lahan kritis semakin meningkat maka akan menyebabkan fluktuasi penawaran menjadi tinggi. Ketersediaan air akan semakin tinggi, tetapi tidak bertahan lama, karena seiring dengan itu sedimentasi juga semakin tinggi karena adanya erosi tanah. Di musim kering akan mengalami kekurangan air karena berkurangnya luas areal hutan sebagai tangkapan air. Sehingga hal ini akan berpengaruh terhadap berfluktuasinya jumlah penawaran air di hilir. Fluktuasi air masuk waduk yang tinggi disebabkan oleh semakin berkurangnya luas areal hutan sebagai areal tangkapan air, luas daerah tangkapan air dari DAS Citarum Hulu (dari waduk Ir. Juanda ke bagian hulu DAS Citarum) adalah kurang lebih 454,340 hektar atau 4,543.40 km2. Wilayah tangkapan mencakup sebagian Kabupaten Cianjur, sebagian Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bandung dan seluruh Kotamadya Bandung. Pada wilayah-wilayah ini luasan lahan kritisnya sangat mempengaruhi ketersediaan air sungai Citarum di hilir. (Gambar 6). Wilayah tangkapan area dari DAS Citarum hulu dibagi menjadi tiga yang terdiri dari : a) Daerah tangkapan dari area Waduk Saguling sampai ke bagian hulu mencakup 50% dari luas catchment area DAS Citarum Hulu (50% x 4,543.40 km2 = 2,271.70 km2)
70
b) Daerah tangkapan dari area Waduk Cirata ke arah hulu sampai outlet Waduk Saguling mencakup 42 persen dari luas catchment area DAS Citarum Hulu (42% x 4,543.40 km2 = 1,908.23 km2) c) Daerah tangkapan dari Waduk Ir. H. Juanda ke arah hulu sampai outlet Waduk Cirata mencakup 8% dari luas catchment area DAS Citarum Hulu (8% x 4,543.40 km2 = 364,47 km2). Jadi luas tangkapan air seluruhnya pada DAS Citarum ini yakni seluas 4,544.4 Km2, jika dibandingkan dengan luas kawasan hutan lindung yang ditetapkan di dalam rencana tata ruang wilayah Jawa Barat, yang menetapkan sebesar 40% (40% x 4,435.462 ha = 1,774.185 ha) dari Wilayah Jawa Barat sebagai kawasan lindung dan sisanya seluas 2,661.277 ha (60%) diarahkan sebagai kawasan budidaya. Maka luas lahan hutan sebagai areal tangkapan air DAS Citarum adalah sebesar 89,7% sedangkan terhadap luas hutan lindung yang ditetapkan oleh RTRW adalah sebesar 74,4%. Kenyataannya keadaan saat ini tidak tercapai karena luas hutan sebagai wilayah tangkapan air di DAS Citarum hanya mencapai 10% dari luas hutan di wilayah DAS Citarum dan 12% dari luas hutan di Jawa Barat. 80.000 75.000 70.000 65.000 60.000 55.000 50.000 45.000 40.000 35.000 1991
1992
1993
1994
1995
1996
Air masuk (m3)
1997
1998
1999
2000
2001
Air Keluar (m3)
Gambar 5. Fluktuasi Air Masuk dan Keluar di Bendungan Jatiluhur, 2003
Namun kemudian luas lahan hutan sebagai area tangkapan air ini terus berkurang, dimana tahun 2001 luas lahan hutan berkurang sebesar 235,819.82 ha,(48%) dan sawah berkurang sebesar 167,525.32 ha. Berkurangnya luas lahan hutan ini disebabkan oleh karena adanya alih fungsi lahan ke industri dan pemukiman, sawah dan tegalan, tetapi yang lebih penting itu penyebabnya adalah karena semakin marak penebangan liar semenjak terjadinya krisis ekonomi,
71
sehingga luas lahan kritis semakin bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk miskin di wilayah DAS Citarum, dimana jumlah keluarga miskin di Jawa Barat, mencapai 2,37 juta keluarga atau sekitar 9,5 juta orang (26,59% dari seluruh Penduduk Jawa Barat) pada tahun 2000. Indek kemiskinan manusia di Jawa Barat tahun 1995 adalah 26,3 kemudian meningkat menjadi 26,9 (Bapenas, 2001). Oleh karena itu, memang ada keterkaitan antara berkurangnya jumlah lahan hutan dengan meningkatnya indeks kemiskinan manusia di Jawa Barat sebagaimana diungkapkan oleh Kramadibrata dan Kastaman, 2003. 4.3 Status Kualitas DAS Citarum Secara umum limbah yang masuk ke badan air digolongkan ke dalam limbah anorganik dan organik. Masuknya limbah anorganik dan organik dari berbagai kegiatan yang ada di badan air seperti disebut diatas telah menimbulkan dampak negatif bagi SDLP-DAS Citarum, utamanya SDLP bagian hulu yang berakhir di waduk Saguling menimbulkan dampak negatif yang nyata yakni beberapa badan air di SDLP Citarum bagian hulu, seperti waduk Saguling, baik dilihat dari parameter organik maupun anorganiknya telah tidak memenuhi lagi peruntukannya. (Bukit dan Yusuf, 2002). Saat di bangun pada tahun 1985 waduk Saguling, berisi air yang berdasarkan baku mutu (BM) yang berlaku termasuk golongan B (sesuai untuk bahan baku air minum). Saat ini waduk Saguling yang berisi air yang hanya cocok dimasukan dalam golongan D (untuk pertanian, industri, tenaga listrik dan usaha perkotaan). Penurunan kualitas tersebut disebabkan oleh masuknya berbagai limbah organik dan anorganik dari kegiatan di hulu sungai yang telah berubah konsentrasi beberapa parameter kualitas air sampai melampui batas ambang atas yang diperbolehkan bagi peruntukannya (SK Gubernur Propinsi Jawa Barat No.39 Tahun 2001). 4.4 Karakteristik dan Permasalahan DAS Citarum 4.4.1 Jenis Tanah Berdasarkan kepekaan terdapat erosi jenis tanah di DAS Citarum mulai dari tanah terpeka yaitu kelompok alluvial, glei hidromorfik dan lateritik air tanah, latosol merah, latosol coklat dan kekuning-kuningan. Kelompok browen forest
72
soil dan mediteran, kelompok andosol, laterik grumusal, podsolik dan kelompok regosol, litosol, argosol dan renzina. Tanah alluvial mempunyai bahan induk endapan liat dan pasir, latosol terdiri dari bahan indik tuff, vulkan intermedier, bahan kapur dan napal. Sedangkan andosol, gramosol, podsolik berbahan induk abu/pasir tuff dan batuan volkan intermedier hingga basis. Rincian penyebaran dan luas satuan tanah menurut kepekaannya terdapat erosi di DAS Citarum dapat dilihat pada tabel 9 di bawah ini. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar tanah di DAS Citarum peka terhadap erosi pada DAS Citarum dapat dilihat pada Tabel 9. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar tanah di DAS Citarum peka terhadap erosi. Tabel 9 Luas Satuan Tanah Menurut Kepekaan terhadap Erosi di DAS Citarum Satuan Tanah
LUAS (HA) Citarum Hulu 3
Citarum Tengah 4
Tidak Peka
63,529
Agak Peka Peka
2
Sangat Peka Jumlah
Citarum Hilir
Jumlah
5
6
Presentase (%) 7
22,298
39,751.52
125,542.52
17,29
56,967
127,564
97,271.98
281,802.98
38,83
99,889
61,040
87,411.259
248,340.259
34,22
8,285
14,768
47,067.601
70,120.601
9,66
228,670
225,670
271,460.36
725,806.36
100
Sumber : Data Base SWP DAS Citarum, 2003.
4.4.2 Iklim DAS Citarum mempunyai iklim tropis yang dipengaruhi angin muzon, sehingga dapat dibedahkan adanya musim hujan pada umumnya pada saat terjadinya angin muzon barat dari April sampai November, sedangkan musim kemarau dari bulan Mei sampai Oktober yaitu saat angin muzon timur. Curah hujan tahunan yang terendah 187,2 mm/tahun dan tertinggi 287,5 mm/tahun, jumlah hari hujan setiap tahunnya berkisar antara 108 hari sampai dengan 130 hari. Dengan demikian rata-rata curah hujan harian berkisar antara 13 sampai 25 mm. Dengan mengacu pada pedoman penyusunan pola RLKT dari Ditjen RRL, sebagian besar intensitas hujan di DAS termasuk kedalam kelas II yaitu antara 13,6 hingga 20,7 mm/hari.
73
Bulan terkering sering terjadi pada bulan juni dengan rata-rata curah hujan 119 mm dan terbasah pada umumnya pada bulan November dengan curah hujan 325 mm. Suhu udara rata-rata berkisar antara 190 Celcius hingga 240 Celcius dengan penyimpanan hari dapat mencapai 50 Celcius. Kelembaban nisbi berkisar antara 59-85% dan lama penyinaran antar hari berkisar antara 38 hingga 84%. Data curah hujan di DAS Citarum dan type iklimp pada masing-masing Sub DAS disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Curah Hujan dan Type Iklim di DAS Citarum No I 1 2 3 4 5 6 7 II 1 2 3 4 5 III 1 2 3
DAS/Sub DAS Citarum Hulu Citarik Cirasea Cisangkuy Ciminyak Cihaur Cikapundung Ciwidey Citarum Tengah Cisokan Cikundul Cisomang Cidadap Cimeta Citarum Hilir Cikao Cibeet Citarum Hilir Jumlah
Curah Hujan (mm/tahun)
Hari Hujan (hari)
Type Iklim
1,950 21,413 2,048 2,029 1,757 1,949 2,132
108 134 132 140 130 145 129
B A A C A B A
2,653 2,554 2,500 2,875 2,614
128 126 137 143 122
A,B A,B A,B A A,B
1,993 1,985 1,872 2,222
127 129 122 130
A A,B A,B A,B,C
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), 2003.
4.4.3 Penggunaan Lahan Berdasarkan data Direktorat Tata Guna Tanah dan Peta Tata Guna Tanah yang di terbitkan di DAS Citarum yang termasuk Pola RLKT, jenis penggunaan lahan di DAS Citarum dapat dilihat pada Tabel 11. Dari Tabel 11 diketahui bahwa penutupan lahan di DAS Citarum, sangat berpengaruh terhadap ekosistem yang ada di DAS Citarum, baik di hulu, tengah, dan hilir, berbagai akibat yang ditimbulkan merupakan salah satu dari dampak perubahan tataguna lahan.
74
Tabel 11 Jenis Penggunaan Lahan di DAS Citarum No
Penutupan Lahan DAS/Sub DAS (ha)
I.
Luas Wlyh (ha)
Tegalan (ha)
Semak Belukar (ha)
Perkebunan (ha)
Kebun Campur ha)
Pemukiman (ha)
Hutan (ha)
Sawah (ha)
Citarum Hulu
1 2 3
Citarik Cirasea Cisangkuy
53,493 33,590 32,481
32,022 2,373 820
756 1,278 1,969
5,591 913 2,461
6,498 730 4,101
1,058 365 492
6,685 10,223 6,890
29,884 17,708 15,749
4 5
Ciminyak Cihaur
26,483 39,091
3,669 13,103
1,755 -
1,117 655
1,755 1,965
510 2,184
7,498 5,678
10,179 15,506
29,232 14,300
19,909 10,726
1,860 550
825
1,719 824
1,640 366
598 1,008
3,507 -
120,679
75,683
5,271
6,401
11,484
2,824
7,154
11,861
6 7 II. 1
C.pundung Ciwidey CitarumTengah Cisokan
2
Cikundul
21,067
6,252
815
4,892
4,893
408
2,582
1,223
3
Cisomang
22,920
7,333
820
2,544
3,855
410
1,887
6,071
4
Cidadap
39,160
22,180
5,270
-
4,038
862
6,810
-
5
Cimeta
15,65
5,842
761
-
2,520
415
3,585
2,521
III. Citarum Hilir 1 Cikao
47,813
5,980
3,032
920
9,048
1,840
4,141
22,850
2
89,175
32,427
3,378
676
14,862
1,351
21,393
15,088
Citarum hlr
134,796
1,813
1,813
-
5,822
25,553
4,043
83,439
Jumlah
719,606
211,134
41,324
26,994
74,116
40,278
90,175
235,585
3
Cibeet
Sumber : Data Base SWP DAS Citarum, 2002.
4.4.4 Hidrologi DAS Citarum DAS Citarum merupakan salah satu sungai utama dan cukup besar di jawa barat yang mempunyai percabangan sungai yang cukup banyak. Sungai Citarum bermata air di Gunung Wayang dengan ketinggian 2,180 meter di atas permukaan laut (Dpl), terletak di kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Di samping itu mata air anak-anak sungai Citarum tersebar di beberapa tempat antara lain Citarik di gunung Karembi (1,867 m Dpl), Cirasea di gunung Malabar (2,321 m Dpl), Cisangkuy di Gunung Buleud (1,517 m Dpl), Cihaur di kecamatan Cisarua (1,200 m Dpl), Cikapundung di Gunung Tangkuban Perahu (2,081 m Dpl), Cihideung di Gunung Parahu (2,078 m Dpl), Cisokan di Gunung Masigit (2,078 m Dpl dan Gunung Pangrango 3,019 m Dpl), Cikundul juga di Gunung Pangrango, Cidadap di Gunung Sangga Buana (1,291 m Dpl), Cisomang di Gunung Pangrango (3,019 m Dpl), dan Cimeta di Gunung Burangrang (2,064 m Dpl). DAS Citarum mengalir ke utara dan membelok ke barat setelah melalui dataran tinggi Bandung, kemudian ke Utara lagi sampai laut Jawa. Wilayah administrasi yang dilalui oleh sungai Citarum adalah Kabupaten Bandung, Sumedang, Cianjur, Purwakarta dan Karawang.
75
Meskipun anak-anak sungainya pada umunya dendritik, tetapi secara keseluruhan pola aliran sungai cenderung bertipe radial berbentuk kipas dimana anak-anak sungainya berkonsentrasi pada satu tempat radial. Dengan demikian pada titik-titik simpulnya mempermudah terjadi banjir, khususnya DAS Citarum bagian Hilir pada bagian dataran tinggi Bandung. Kerapan drainase (drainage densily) DAS Citarum dihitung di atas Dayeuh Kolot adalah 0,54 km/km2 dan jika diukur diatas Jati Luhur hanyahlah 0,49 km/km2, kerapatan drainase anak-anak sungai berkisar antara 0,41 hingga 0,48 km/km2. Karakteristik spesifik terdapat di dataran tinggi Bandung, yaitu anak-anak sungai bermuara ke Citarum dengan arah berlawanan tegak lurus dengan aliran sungai Citarum. Keadaan demikian dapat menghambat laju arus aliran DAS Citarum ke bagian hilir sehingga merupakan juga salah satu penyebab sering terjadinya banjir dan genangan. Sumberdaya Citarum telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan kegiatan seperti pembangkit tenaga listrik, perikanan, irigasi, industri, pariwisata, domestic dan lain-lain. Berikut kondisi DAS Citarum dari hulu ke hilir (Tabel 12). Tabel 12 Letak dan Luas Masing-Masing Sub DAS di DAS Citarum No
DAS/Sub DAS
1 I. 1 2 3 4 5 6 7
2 Citarum Hulu Citarik Cirasea Cisangkuy Ciminyak Cihaur Cikapundung Ciwidey Jumlah Citarum Tengah Cisokan Cikundul Cisomang Cidadap Cimeta Jumlah Citarum Hilir
II. 1 2 3 4 5 III. 1 2 3
Cikao Cibeet Citarum Hilir Jumlah Jumlah I s/d III
Kabupaten 3
Banyaknya Penduduk (orang) 4
Kepadatan Penduduk (orang) 5
Bandung,Sumedang Bandung Bandung Bandung Bandung Bandung Bandung
649,867 453,705 428,314 369,217 1 195,659 567,857 3,953,207
1,299 1,351 1,319 1,394 3,181 669 3,971 1,729
Cianjur Bandung Cianjjur, Purwakarta Purwakarta Cianjur, Purwakarta
837,061 3,359,423 282,579 297,243 245,645 2,021,951
694 17,706 1,233 759 1,570 921
Purwakarta, Karawang Karawang Karawang, Bekasi
286,718 215,320 696,835 1,198,873 7,174,031
600 241 518 422 1,031
Sumber : Data Base SWP DAS Citarum, 1994.
76
4.5 Sosial Ekonomi 4.5.1 Jumlah Penduduk Jumlah penduduk di wilayah DAS Citarum berjumlah 7,174.031 orang dengan kepadatan 1,031 orang/kilo meter persegi. Dari jumlah tersebut tersebar di Citarum Hulu 3,953.207 orang (1,729 orang/km2, Citarum Tengah 2,021.951 orang (921 orang/km2) dan Citarum Hilir 1,198.873 orang (442 orang/km2 ). Penyebaran jumlah dan kepadatan penduduk di DAS Citarum tidak merata. Tekanan penduduk terhadap lahan berkisar antara 3,00 hingga 3,50 jumlah penduduk di DAS Citarum dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 4.5.2 Tingkat Pendidikan Berdasarkan data tahun 2000 jumlah penduduk di wilayah DAS Citarum berdasarkan tingkat pendidikan sebanyak 511,590 orang yang berpendidikan, SD 220,932 orang, SLTP 156,603 orang, SLTA 128,903 orang dan perguruan tinggi 5,152 orang. 4.5.3 Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk di DAS Citarum adalah sebagai berikut : petani 1,696.633 orang (36,63%), mata pencaharian penduduk lainnya adalah pedagang 507,789 orang (10,67%), pegawai negeri/abri 474,277 orang (9,96%), buruh/swasta/pengrajin 2,082 orang (43,47%). Pendapatan tahunan rata-rata penduduk di DAS Citarum adalah sebesar Rp.750,000.-/orang/tahun. Mata pencaharian penduduk di DAS Citarum. 4.5.4 Kelembagaan Rehablitasi hutan dan lahan hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan DAS, sehingga kelembagaan pengelolaan DAS perlu di pahami. Organisasi yang dibentuk atau dikembangkan dalam pengelolaan DAS tidak mempunyai tugas dan fungsi yang sama bila karakteristik wilayah berlainan, sehingga perlu dibentuk wadah atau lembaga dalam pengelolaan DAS.
77
4.6 Kondisi Fisik DAS Citarum Hilir 4.6.1 Kondisi Geologi DAS Citarum Hilir Daerah survei memiliki topografi beragam, mulai dari dataran pantai di sebelah utara, hingga daerah berombak sampai berbukit di bagian Selatan. Keadaan ini mencerminkan variasi, baik relief mikro maupun iklim mikro. Hal yang sama terjadi pada bahan induk dan umur. Secara geologi, daerah bagian selatan cukup mempunyai formasi yang beragam, baik dalam hal susunan mineral maupun umurnya. Berdasarkan umur formasi geologi, daerah survei dapat dikelompokkan ke dalam formasi kuarter dan tersier yang berumur pleistosen atau lebih tua. Bahan-bahan tersebut karena posisi yang lebih tinggi dan melalui pelapukan serta erosi, sedikit banyak mempengaruhi komposisi mineral dan sifat bahan induk di daerah aluvial di bagian Tengah dan Utara daerah survei. Relief, bahan induk, iklim mikro, dan umur merupakan faktor pembentukan tanah utama di daerah survei. Relief datar hingga berbukit menciptakar, intensitas energi pembentuk tanah berbeda-beda, akibat dari keragaman jumlah air hujan yang masuk sebagai air infiltrasi maupun tinggi rendahnya air tanah. Namun, kecuali di lembah-lembah dan dataran rendah air tanahnya cukup dalam sehingga memungkinkan gerakan air perkolasi tidak terhambat oleh keadaan tersebut. Keadaan ini memberikan kemungkinan terjadinya proses oksidasi yang menonjol yang biasanya menghasilkan wama terang (kecoklatan hingga kemerahan) dengan kroma >2. Sebaliknya, di lembah-lembah atau tempat yang memungkinkan air perkolasi terhambat gerakannya sehingga keberadaan air cukup lama di suatu tempat, dapat menyebabkan terjadinya proses reduksi yang menghasilkan warna kelabu atau kroma ≤ 2. Kemiringan lereng menentukan besar kecilnya erosi beserta faktor lainnya seperti curah hujan, penutup lahan, erodibilitas tanah. Faktor bahan induk mempunyai peran sangat penting terhadap arah pembentukan tanah secara umum, sehubungan dengan adanya stratifikasi bahan yang kompleks, batuan induk berkapur, dan batuliat yang mengandung tipe lihat 2:1. Stratifikasi bahan sering menyebabkan terjadinya inklusi tanah tua di daerah yang lebih muda. Sedangkan bahan berkapur dan berlihat 2:1 berpengaruh terhadap jumlah basa dan pH yang relative tinggi, serta munculnya sifat vertik. Bahan induk berkapur pada kondisi
78
tertentu dapat menopang terbentuknya epipedon molik melalui proses pembentukan warna gelap yang kuat (kroma dan value lembab < 3,5) serta akumulasi basa. Proses pengangkutan basa khususnya Ca dari tempat yang tinggi dan diendapkan di daerah aluvial mengarahkan pembentukan tanah bersifat eutrik. 4.7 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.7.1 Daerah Hilir DAS Citarum Daerah hilir dalam penelitian ini adalah daerah yang menggunakan jasa lingkungan berupa air minum yang berasal dari DAS Citarum (pelanggan) dan bukan yang berasal dari DAS Citarum (non pelanggan). Kota yang menggunakan jasa lingkungan berupa air minum meliputi Bandung, Jakarta, Bekasi, Karawang dan Purwakarta. Penelitian ini berlokasi di DKI Jakarta dengan konsentrasi penelitian di Kota Jakarta Timur. Dalam penelitian akan dilakukan perbandingan antara responden yang menggunakan jasa lingkungan berupa air minum dari DAS Citarum (pelanggan) dan responden yang tidak menggunakan air minum yang berasal dari DAS Citarum (non pelanggan). 4.7.2 DKI Jakarta Kota Jakarta sebagai ibu kota Negara Republik Indonesia, semenjak dahulu dikenal sebagai kota yang terletak pada lalu lintas perdagangan melalui laut dan sungai. Sebagai kota perdagangan, dengan nama Sunda Kelapa, Jakarta merupakan sebuah kota pelabuhan dan dilewati sungai-sungai yang bisa dilayari, sehingga banyak pelaku perdagangan yang memilih untuk bertempat tinggal di wilayah ini, karena kemudahan untuk memperoleh akses terhadap kebutuhan air untuk keperluan minum dan sanitasi. Letaknya yang strategis dalam perdagangan insuler di wilayah Nusantara yang menghubungkan perdagangan dengan selat Malaka, sehingga semenjak zaman pemerintah Kolonial Belanda kota ini telah dihuni oleh berbagai penduduk yang berasal dari berbagai suku dan bangsa, bahkan telah dijadikan pusat pemerintahan dan administrasi, dengan nama Batavia, sebagai tempat kedudukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Seiring dengan pesatnya kemajuan perekonomian kota, terutama setelah kemerdekaan Indonesia, bertambah pula jumlah penduduk yang bermukim di kota ini, yang pada umumnya masih di sekitar wilayah daerah aliran sungai utama
79
seperti Ciliwung, Cisadane, dan Citarum, mereka terdiri dari berbagai golongan bangsa dan suku, sehingga keperluan akan persediaan air bersih untuk keperluan air minum dan sanitasi juga semakin meningkat. Sementara dengan semakin berkurangnya wilayah tangkapan air, terutama di daerah aliran sungai di hulu, karena pembukaan lahan untuk pemukiman, industri dan pertanian, maka sungaisungai yang ada mulai mengalami penyusutan debit airnya, air mulai tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga, sehingga kondisi saat sekarang ini, dari ketiga belas sungai yang ada di wilayah kota Jakarta, yang layak untuk dimanfaatkan untuk keperluan air minum dan sanitasi tinggal lagi hanya sungai Cisade, Ciliwung dan Citarum, itu pun kalau untuk minum harus melalui proses penjernihan oleh perusahaan air minum, sedangkan untuk keperluan sanitasi sudah tidak memenuhi standar kesehatan lagi. Maka persoalan yang dihadapi oleh kota Jakarta sekarang adalah pertambahan jumlah penduduk, diiringi dengan pertambahan wilayah pemukiman, sehingga meningkatkan permintaan terhadap kebutuhan air minum dan sanitasi. Sementara di sisi lain, berkembangnya pemukiman dan pembukaan lahan baru untuk keperluan industri di hulu wilayah daerah aliran sungai yang melewati Jakarta telah menyebabkan berkurangnya wilayah resapan air yang pada gilirnnya mengurangi penawaran terhadap air, akibatnya pada saat sekarang Jakarta mengalami kekurangan air, terutama air bersih untuk keperluan air minum dan sanitasi. Kota Jakarta terletak pada garis 60 Lintang Selatan sampai dengan 6,200 Lintang Selatan dan 106,420 Bujur Timur sampai 1070 Bujur Timur. Dengan luas wilayah seluruhnya adalah 661,52 Km2 yang terdiri dari derah dataran pantai dengan rata-rata ketinggian adalah 7 m dpl dataran pantai ini memanjang searah garis pantai dengan kisaran lebar lebih kurang 2,5 Km. Namun bagian ke Selatan merupakan daerah dengan topografi berbukit dengan ketinggian maksimum adalah 12 m dpl yang merupakan wilayah tangkapan air dan sebagai hulu dari sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta, dengan rata-rata curah hujan adalah 22,889 mm/tahun dan kelembaban udara rata-rata mencapai 76,4%, sehingga wilayah DKI Jakarta termasuk daerah yang beriklim panas dengan suhu rata-rata berkisar antara 28,70C pada siang hari dan 26,00C pada malam hari,
80
sehingga kota Jakarta memerlukan lahan hutan hijau untuk mengontrol suhu udara agar lebih sejuk dan nyaman Penggunaan tanah di wilayah Jakarta paling besar adalah untuk perumahan sebesar 43,475.09 ha (65,7%), industri sebesar 3,228.21 ha (4,9%), perkantoran dan pengudangan 7,898.54 ha (11,9 persen), untuk taman 1,270.11 ha (1,9%) dan keperluan lainnya sebesar 10,280.02 ha (15,5%). Sedangkan di sisi lain, penggunaan lahan untuk sektor pertanian terutama lahan sawah masih cukup besar proporsinya yakni 22,483.44 ha (34%) namun khusus untuk lahan sawah terus mengalami penurunan tajam
yakni dari 7,646 ha (11,6%) tahun 1983 turun
menjadi hanya 1,335.3 ha (0,2%) tahun 2003, hal ini mengindikasikan bahwa terjadi konversi lahan pertanian terutama lahan sawah ke lahan untuk pemukiman dan industri karena seiring dengan menurunnya luas lahan untuk pertanian, lahan untuk perumahan dan industri terus meningkat. Jakarta beriklim tropis, dengan suhu tahunan rata-rata 27C dengan kelembaban 80-90%. Karena terletak di dekat garis khatulistiwa, arah angin dipengaruhi oleh angin musim. Angin musim barat bertiup antara November dan April, sedang angin musim timur antara Mei dan Oktober. Suhu sehari-hari kota Jakarta dipengaruhi angin laut yang nyaman karena di sepanjang pantai. Curah hujan rata-rata 2,000 mm, curah hujan paling besar sekitar bulan Januari dan paling kecil pada bulan September. 4.7.2.1 Kependudukan Jumlah penduduk yang semakin besar dengan laju pertumbuhan yang relatif masih tinggi, struktur usia penduduk yang tidak seimbang, kesepatan kerja yang masih rendah, serta kualitas sumberdaya manusia merupakan masalah utama kependudukan yang dihadapi di DKI Jakarta. Jumlah penduduk DKI Jakarta di tahun 2000 adalah 7,578.701 jiwa. Sementara itu, pada tahun 1993 tercatat sebesar 7,309.395 jiwa. Berpangkal tolak dari kecenderungan penurunan komponen fertilitas, mortalitas dan migrasi maka perkiraan penduduk sampai dengan tahun 2005 dengan metode komponen dan memperhatikan pula potensi pengembangan ekonomi, kepadatan tanah perkotaan, dan kebijaksanaan pemerintahan yang berkaitan dengan pembangunan wilayah sekitarnya, maka jumlah penduduk DKI Jakarta sampai dengan 2005 dapat diprediksikan sebesar
81
9,041.605 jiwa. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta selama periode 2000-2005 sebesar 1,61% pertahun. Laju pertumbuhan penduduk tersebut sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan penduduk per tahun periode 1990-2000, yaitu sekitar 0,16%. Tabel 13 Laju Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta per Tahun Menurut Kab/Kota Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 1971-1980
1980-1990
1990-2000
2000-2005
Jakarta Selatan
4,60
1,92
-0,69
2,26
Jakarta Timur
6,80
3,54
1,35
3,88
Jakarta Pusat
-0,13
-1,35
-2,01
-0,30
Jakarta Barat
4,59
3,97
0,46
4,05
Jakarta Utara
5,32
3.39
0,55
3,87
DKI Jakarta
4,01
2,42
0,16
1,61
Kab/Kota
Sumber : Sensus Penduduk dan SUPAS, 2005.
4.7.2.2 Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 penduduk DKI Jakarta berjumlah 9,720, 40 juta jiwa, jika dibandingkan dengan angka sensus tahun 1990 yang berjumlah 8,222.50 juta jiwa berarti selama periode antar kedua sensus penduduk laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta adalah mencapai reitnya 0,16 persen (Tabel 13). Hal ini menunjukan angka penurunan jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk periode sensus tahun 1980 dan 1990 yakni 2,42%, tetapi dari periode sensus yang terakhir dengan jumlah penduduk tahun ini yang berjumlah 8,699.600 juta jiwa (Jakarta, 2005), maka pertumbuhan penduduk wilayah ini menjadi naik yakni 1,61 hal ini diduga karena semakin pulihnya keadaan perekonomian di Jakarta terutama pada sektor perdagangan, transportasi dan komunikasi, sehingga arus migran ke Jakarta mulai meningkat kembali setelah sempat menurun selama krisis ekonomi yang lalu. Dari hasil perhitungan pertumbuhan penduduk DKI Jakarta tersebut di atas, jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk Indonesia selama periode sensus tahun 1990 dan 2000 yang mencapai 0,16%, maka pertumbuhan penduduk DKI Jakarta, propinsi Maluku dan Maluku Utara termasuk yang paling rendah di Indonesia. Namun, jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk di wilayah Jakarta, Bogor, Tanggerang, dan Bekasi (Jabotabek) sebagai kawasan pusat
82
pertumbuhan maka pertumbuhan penduduknya selama periode sensus tahun 1990 dan sensus tahun 2000 adalah sebesar 4,1% yang termasuk pada pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Keadaan ini dapat dipahami mengingat pesatnya pertumbuhan wilayah Jabotabek ini sebagai kawasan pemukiman dan industri, sehingga penangganan terhadap penyediaan kebutuhan infrastruktur bagi keperluan penduduk perlu mendapat perhatian yang tinggi, terutama dalam masalah penyediaan air besih dan sanitasi yang sehat karena sebagai kota metropolitan Jakarta juga mengalami banyaknya timbul pemukiman kumuh, pembuangan sampah dan limbah ke sungai,
dan pemamfaatan bantaran sungai sebagai kawasan tempat tinggal
penduduk miskin. Oleh karena itu, terjadinya pencemaran sungai-sungai di wilayah Jakarta tidak terlepas dari faktor semakin bertambahnya jumlah penduduk yang sangat pesat belum diiringi dengan penyediaan dan penataan tata ruang untuk pemukiman bagi warganya. Kemudian, jika dilihat per wilayah kotamadya di propinsi DKI Jakarta, maka wilayah kotamadya yang pertumbuhan penduduknya paling tinggi tahun 2005 adalah Jakarta Barat dan Jakarta Timur dan Jakarta Utara yakni masingmasing mencapai 4,05%, 3,88% dan 3,87%. Keadaan ini sejalan dengan arah wilayah pusat pertumbuhan yang direncanakan di dalam RTRW DKI Jakarta; pengembangan kota Jakarta terutama untuk pusat bisnis dan pemukiman memang ke wilayah Barat dan Timur ini maupun Utara. Tabel 14 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta Tahun 2003 Luas (Km2)
1.
Jakarta Utara
142,30
1.428
0,39
Tingkat Kepadatan (jiwa/Km2) 9.376
2.
Jakarta Selatan
145,73
1.862
0,69
12.276
3.
Jakarta Barat
126,15
2.010
1,88
15.109
4.
Jakarta Timur
187,73
2.441
1,30
12.534
5.
Jakarta Pusat
47,90
881
-0,48
19.253
6.
Total DKI Jakarta
661, 52
8.622
0,99
67.938
No
Kotamadya
Jumlah (Ribuan Jiwa)
Laju Pertumbuhan (%)
Sumber: Jakarta, 2003 (Bappeda DKI Jakarta)
Jika dilihat dari Tabel 14, wilayah Jakarta pusat telah mengalami pertumbuhan penduduk yang negatif sebesar -0,48% yang berarti terjadi
83
pengurangan penduduk yang bermukim di wilayah ini karena wilayah Jakarta pusat merupakan wilayah yang menjadi pusat dari pengembangan wilayah bisnis dan wilayah hutan kota yang ditetapkan melalui arahan pengembangan kota Jakarta dalam RTRW tahun 2010. selain itu juga dimungkinkan karena pembangunan jalan tol ke pinggiran-pingiran kota seperti Bogor, Bekasi dan Tanggerang, sehingga lebih memudahkan akses jalan ke pusat kota, akibatnya penduduk yang tinggal di wilayah Jakarta pusat lebih memilih untuk tinggal di pinggiran kota (suburban) yang udaranya lebih bersih, nyaman dan tenang, sehingga muncul fenomena komuter, karena mereka tetap bekerja di wilayah Jakarta. Jumlah komuter yang paling besar itu adalah ke wilayah Bogor (25 juta jiwa/hari), wilayah Tanggerang (22,9 juta jiwa/hari), dan wilayah Bekasi (5,1 juta jiwa/hari) hal ini menandakan bahwa kedua wilayah ini menjadi pemukiman baru orang orang yang bekerja di Jakarta. Jadi ini adalah sebagai akibat dari pesatnya pertumbuhan penduduk Jakarta, terutama wilayah Jakarta yang menjadi pusat bisnis jasa dan industri. Pertambahan penduduk yang pesat ini juga menimbulkan fenomena semakin berkurangnya kemampuan perusahaan pelayanan air minum (PAM Jaya) di dalam menyediakan kebutuhan air minum penduduk yang diperkirakan kebutuhan perkapitanya per hari sesuai dengan standar badan kesehatan dunia (WHO) mencapai 125 liter/ jiwa sedangkan cakupan pelayanan PAM Jaya dengan standart kebutuhan air tersebut hanya mampu melayani sekitar 12% saja penduduk, tetapi jika standar yang ditetapkan pemerintahan DKI Jakarta dengan kebutuhan penduduk 80 liter/jiwa, maka cakupan pelayanan PAM Jaya hanya mencapai 44,5% saja. Faktor inilah yang mendorong penduduk lainnya untuk menggunakan air tanah sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan air mereka sehari-hari. Terjadinya peningkatan pemompaan dan pengambilan air tanah telah diperkuat oleh data yang dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan DKI Jakarta (2000) bahwa pengambilan dan pemompaan air tanah di DKI Jakarta tahun 2000 sebesar 17,50 juta m3/tahun dari 3224 buah sumur bor, maka tahun 2004 sampai dengan bulan Juni, jumlah pengambilan dan pemompaan air tanah di DKI Jakarta telah mencapai 19, 74 juta m3/tahun dari lebih kurang 3524 buah sumur bor.
84
Jadi peningkatan penduduk telah menyebabkan terjadinya peningkatan dalam pengambilan dan pemboran air tanah di DKI Jakarta sebagai alternatif pemanfaatan air untuk konsumsi penduduk sehari-hari yang tidak mampu dipenuhi oleh air permukaan yang tercemar, disamping faktor lainnya yang tidak kalah pentingnya yaitu peningkatan jumlah perusahaan industri yang melakukan pemompaan air tanah. Kemudian pada gilirannya peningkatan pengambilan dan pemboran air tanah ini menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah disamping penyebab lainnya yakni semakin beratnya beban bangunan, dan pergerakan struktur geologi di wilayah DKI Jakarta sehingga permukaan tanah menjadi sebesar 35 cm selama tahun 1950 sampai tahun 2000 terutama di bahagian Jakarta Barat dan Timur (LPM ITB, 2000:87). Itulah sebabnya diperlukan pengaturan dan pengolaan sumberdaya air di wilayah DKI Jakarta, terutama di dalam pengendalian penggunaan dan upaya konservasinya, maka strategi yang tepat hanyalah dengan merubah paradigma terhadap air dari cammond goods; yang berarti air sebagai anugrah Tuhan sebagai barang kebutuhan bebas, menjadi paradigma economic goods; dimana air sebagai kurnia Tuhan sebagai barang berharga yang harus dimanfaatkan sehemat mungkin tentu saja melalui pengaturan sistem ekonomi sumberdaya air, dimana penentuan hak atas air dan harga air itu sendiri menjadi ide sentral dalam pengelolaannya. 4.7.2.3 Kondisi dan Kebutuhan Air Bersih di Wilayah DKI Jakarta Pengkajian terhadap alokasi sumberdaya air pada saat sekarang telah menjadi sorotan dan mengundang perhatian para ekonom, karena air telah menjadi sumberdaya ekonomi sehingga air mulai dialirkan ke pengguna yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi, dalam hal ini adalah para pengguna air di wilayah perkotaan. Disadari atau tidak, penyediaan infrastruktur sumberdaya air di wilayah pedesaan dan perkotaan pada dasarnya lebih dimotivasi oleh usaha untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat perkotaan, walaupun sering dipoles dengan “demi kepentingan pengamanan pangan” melalui proyek irigasi, tetapi pada intinya pembangunan infrastruktur yang ada adalah untuk menyediakan keperluan air penduduk perkotaan terutama untuk keperluan air minum, pengelontoran perkotaan, pembangkit energi listrik yang dibutuhkan oleh industri dan sanitasi. Artinya, meningkatkan kebutuhan dan permintaan terhadap air lebih
85
banyak disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan penduduk, pembangunan ekonomi dan industri yang membutuhkan air sebagai pembangkit energi, sebagai input, dan bahan untuk keperluan pengelontoran dan floushing. Sehingga air terasa semakin penting bagi berdenyutnya aktifitas ekonomi di wilayah perkotaan. Tabel 15 Perkembangan Penduduk DKI Jakarta Menurut Periode Sensus Penduduk WILAYAH
SP 1961
SP 1971
SP 1980
SP 1990
SP 2000
(Ribuan/Jiwa)
(Ribuan/Jiwa)
(Ribuan/Jiwa)
(Ribuan/Jiwa)
(Ribuan/Jiwa)
Jakarta Pusat
1,002.10
1,260.30
1,236.90
1,074.80
948,2
Jakarta Utara
469,8
612,4
9764
1362.90
1,697.00
Jakarta Selatan
469,5
820,8
123,12
1,815.30
2,389.90
466, 40
1,050.90
1,579.80
1,905.00
2,090.30
498,7
802,1
1,456.70
2,064.50
2,595.00
2,906.50
4.546.492
6,071.748
8,222.50
9,720.40
Jakarta Barat Jakarta Timur DKI Jakarta Sumber: BPS DKI Jakarta, 2003.
Kondisi ini juga dialami oleh Jakarta sebagai kota Metropolitan, dengan pertumbuhan penduduknya yang pesat, terlihat di dalam periode antar sensus penduduk tahun 1971 dan sensus penduduk tahun 1980, laju pertumbuhan penduduk Jakarta antar kedua periode sensus ini adalah 3,3%, kemudian pada periode antar sensus penduduk berikutnya yakni antara sensus penduduk tahun 1980 dan sensus tahun 1990 masih tetap tinggi tetapi mengalami penurunan sebagai akibat dicanangkannya gerakan keluarga berencana Nasional, yakni dengan laju pertumbuhan 3,1%. Kemudian terus menurun menjadi 0,14% pada periode sensus tahun 1990 dengan sensus tahun 2003 (Tabel 15), penurunan ini disebabkan oleh perluasan pemukiman penduduk ke luar kota Jakarta pada sepuluh tahun terakhir dengan munculnya kota-kota pemukiman yang memberikan suasana lingkungan yang asri dan udara yang bersih seperti Bekasi, Tangerang, Depok dan Bogor, tetapi penduduk DKI Jakarta pada siang hari tetap tinggi karena penduduk yang bertempat tinggal di luar kota melakukan komuter. Jumlah penduduk DKI Jakarta saat ini adalah berjumlah lebih kurang 8,768.689 jiwa dengan 1,878.236 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar pada 267 kelurahan, 2637 RW dan 29,769 RT (BPS, 2002). Untuk itu daerah DKI Jakarta yang dipakai sebagai tempat pengambilan responden adalah daerah Jakarta Timur, daerah ini dipilih untuk penelitian ini karena mempunyai tingkat strata yang lengkap berdasarkan data dari Perusahaan
86
Daerah Air Minum (PDAM) dan lokasi yang memungkinkan diketahui sebagai daerah yang menggunakan air dari DAS Citarum dengan melalui PDAM Pulo Gadung. Berikut gambaran umum lokasi penelitian sebagai tempat pengambilan sampel. 4.8.3 Jakarta Timur Kotamadya Jakarta Timur adalah wilayah administrasi di bawah propinsi DKI Jakarta memiliki luas 187,73 Km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2002 adalah sebesar 2,397.980 jiwa dan pada tahun 2005 sebesar 2,161.176 jiwa. Dimana hal ini terlihat terjadi peningkatan setiap tahun. 4.8.3.1 Keadaan Administrasi Secara administratif wilayah Jakarta Timur dibagi menjadi 10 Kecamatan, 65 Kelurahan, 673 Rukun Warga dan 7,513 Rukun Tetangga serta dihuni oleh Penduduk sebanyak 1,959.022 jiwa terdiri dari 1,044.847 jiwa laki-laki dan 914,175 jiwa Perempuan sampai dengan akhir Maret 1997 atau sekitar 10% dari jumlah penduduk DKI Jakarta dengan kepadatan mencapai 10,445 jiwa per Km2. Pertumbuhan penduduk 2,4% per Tahun dengan pendapatan per Kapita sebesar Rp. 5,057.040. Kotamadya Jakarta Timur mempunyai beberapa karakteristik khusus antara lain memiliki beberapa kawasan industri, antara lain Pulo Gadung, Memiliki beberapa pasar jenis induk, antara lain Pasar Sayur-mayur Kramat Jati, Pasar Induk Cipinang, dan memiliki Bandara Halim Perdana Kusuma; Memiliki obyek wisata antara lain TMII dan Lubang Buaya. 4.8.3.2 Geografi Kategori Wilayah Jakarta Timur terdiri 95% daratan dan selebihnya rawa atau persawahan dengan ketinggian rata-rata 50 m dari permukaan air laut serta dilewati oleh beberapa sungai kanal antara lain : Cakung Drain, Kali Ciliwung, Kali Malang, Kali Sunter, Kali Cipinang. Letak geografis berada diantara 1060 49' 35'' Bujur Timur dan 060 10' 37'' Lintang Selatan. Posisi yang melengkapi wilayah ini dengan batas-batas: • Sebelah Utara Jakarta Pusat dan Jakarta Utara
87
• Sebelah Barat Jakarta Selatan • Sebelah Selatan Kab. Daerah Tk.II Bogor • Sebelah Selatan Kab. Daerah Tk.II Bekasi 4.8.4.3.3 Iklim dan Cuaca Beriklim Panas dengan suhu rata-rata sepanjang tahun sekitar 27 derajad celcius. Curah hujan rata-rata 2,000 mm per tahun sampai dengan maksimum bulan Januari. Tabel 16 Luas Wilayah dan Jumlah Kelurahan Kecamatan 1. Matraman 2. Jatinegara 3. Pasar Rebo 4. Kramat Jati 5. Pulo Gadung 6. Cakung Jumlah Sumber: BPS DKI Jakarta, 2006.
Luas Wilayah (Ha)
Jumlah Kelurahan
485,13 1,063.52 1,294.60 1.333,45 1,572.15 4,248.08 18,767.43
6 8 5 7 7 7 65
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden Masyarakat hilir merupakan pengguna jasa lingkungan dari hulu atau penerima manfaat dari hulu. Pada penelitian ini, jasa lingkungan yang dimaksud berupa air minum. Ketersediaan air dan kualitas, kuantitas air minum sangat tergantung oleh kondisi lingkungan, baik di hulu DAS Citarum maupun di hilir. Sehingga masyarakat hilir yang menggunakan jasa lingkungan atau menerima manfaat dari hulu secara tidak lansung mempunyai kewajiban dalam membayar kompensasi/insentif untuk masyarakat hulu. Menurut Leimona (2004) masyarakat yang berpenghidupan dari hasil alam atau dengan mengelola lahan merupakan unjuk tombak intervensi terhadap keberadaan jasa lingkungan. Selanjutnya kelompok masyarakat ini diistilahkan dengan “masyarakat penyedia jasa lingkungan, yang atas usaha perlindungan dan pengelolaannya dapat dikatagorikan sebagai pelindung dan pengelola. Adanya berbagai masalah dalam menjaga kelestarian lingkungan serta gagalnya pendekatan di masa lalu, telah memicu berkembangnya suatu sistem dimana masyarakat penyedia jasa lingkungan diakui dan diberi imbalan atas usaha yang mereka lakukan. Prinsip dasar dari konsep ini adalah
bahwa
masyarakat
penyedia
jasa
lingkungan
perlu
mendapat
kompensasi/insentif terhadap usaha yang mereka lakukan, dilain pihak, pengguna jasa lingkungan perlu membayar atas jasa lingkungan yang mereka manfaatkan. Masyarakat pengguna jasa lingkungan dalam penelitian ini terdiri atas masyarakat yang berasal dari Kota Jakarta Timur. Responden di Kota Jakarta Timur mewakili masyarakat hilir atau mewakili masyarakat Jakarta. Masing-masing kelurahan diambil responden sebanyak 30 orang dengan mewakili 1 Kecamatan. Masyarakat hilir yang menjadi responden merupakan masyarakat yang mengambil jasa lingkungan berupa air minum, baik dari DAS Citarum Hulu maupun dari hilir (non jasa lingkungan). Karaktristik responden dalam penelitian ini terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pengeluaran, jumlah tanggungan keluarga, dan umur. Dari karakteristik tersebut, diharapkan dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berada di Kota Jakarta Timur. Berikut ini pemaparan karakteristik responden dari masing-masing wilayah.
89
5.1.1 Jenis Kelamin Jenis kelamin responden disajikan dalam bentuk persentase, dan persentase jenis kelamin responden berdasarkan jenis kelamin. Persentase responden yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 86,67% dan berjenis kelamin perempuan sebesar 13,33%. Oleh kerena itu jenis kelamin rata-rata didominasi oleh laki-laki, hal ini dikarenakan responden pada umunya merupakan kepala keluarga atau yang mempunyai mata pencaharian. Berikut Gambar 6 menunjukkan persentase responden berdasarkan jenis kelamin. Dalam mengestimasi kemauan membayar besarnya membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, jenis kelamin tidak dimasukkan ke dalam variabel bebas. Jenis Kelamin Responden 13.33%
Laki-Laki
Perempuan
86.67%
Gambar 6 Persentase Responden Berdasarkan Jenis Jelamin
5.1.2 Umur Umur responden disajikan dalam bentuk persentase berdasarkan umur responden. Pada Gambar 7 menunjukkan umur responden berdasarkan kategori, umur terendah responden adalah 30 tahun dan usia tertinggi responden adalah 67 tahun atau diatas 50 tahun. Pada persentase untuk kategori umur ≤30 tahun sebesar 0,00%, umur 31-40 sebesar 42,63%, umur 41-50 sebesar 36,33% dan usia ≥50 sebesar 20,60%. Pada Gambar 7 menunjukkan persentase responden berdasarkan umur responden. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, umur tidak dimasukkan ke dalam variabel bebas.
90
Umur Responden 10%
3%
46%
41%
≤ 30
31 - 40
41 - 50
≥ 50
Gambar 7 Persentase Responden Berdasarkan Usia
5.1.3 Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan keluarga responden disajikan dalam bentuk persentase. Persentase tanggungan keluarga responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga bersama responden. Pada Gambar 8 berdasarkan kategori tanggungan keluarga, jumlah tanggungan keluarga 1-3 sebesar 55%, 4-6 sebesar 45% dan 7-9 sebesar 0,00%. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, jumlah tanggungan keluarga dimasukkan ke dalam variabel bebas. Dan sesuai dengan hasil survei lapangan jumlah tanggungan keluarga dalam satu keluarga maksimum hanya sampai 6 orang. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, tanggungan keluarga dimasukkan ke dalam variabel bebas. Berikut jumlah responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga responden. Tanggungan Keluarga
45%
0%
55% 1-3 4-6 7-9
Gambar 8 Persentase Responden Berdasarkan Tanggungan Keluarga
91
5.1.4
Pendidikan Berdasarkan data yang didapatkan, pendidikan formal yang diamati dalam
penelitian ini dibedahkan menjadi empat, yaitu tamat SD, tamat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), tamat sekolah lanjutan atas (SMU) dan tamat perguruan tinggi (Sarjana/D3/S1/S2/S3). Berdasarkan hasil yang diperoleh selama dilapangan, untuk tingkat pendidikan kategori SD sebesar 0,00%, SMP sebesar 5,00%, SMU sebesar 63,33%, SARJANA sebesar 31,67%. Pada Gambar 9 menunjukkan
secara
lengkap
persentase
responden
berdasarkan
tingkat
pendidikan responden. Dari Gambar 9 diketahui juga ternyata tidak satupun dari responden yang ditemui dilapangan mengaku tidak sekolah dan tidak tamat sekolah dasar. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan ibukota negara yang lebih mengedepankan pendidikan.
Dalam mengestimasi besarnya kemauan
membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, pendidikan dimasukkan ke dalam variabel bebas. Tingkat Pendidikan Responden 5% 0%
32.00%
63.00% SD
SMP
SMA
SARJANA
Gambar 9 Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan
5.1.5
Pekerjaan Dalam penelitian ini pekerjaan responden dibedahkan menjadi tiga kategori,
yaitu : PNS/TNI/POLRI, Padagang/Pengusaha, dan Karyawan Swasta. Dari hasil yang ditemui dilapangan dapat diketahui bahwa pekerjaan responden untuk kategori pekerjaan sebagai karyawan swasta 65%, PNS/TNI/Polri sebesar 20,00%, dan 15,00%. Pada Gambar 10 menunjukkan secara lengkap pekerjaan responden dari masing-masing responden sampel.
92
Dari Gambar 10 juga diketahui bahwa tidak ada satupun responden yang ditemui dilapangan mengaku mempunyai mata pencaharian sebagai buruh, petani dan nelayan. Hal ini mungkin dikarenakan sampel yang diambil dipusat kota sehingga tidak ada responden yang mempunyai pekerjaan sebagai petani, buruh dan nelayan. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, pekerjaan tidak dimasukkan ke dalam variabel bebas. Pekerjaan Responden 20%
65%
15% PNS/TNI/POLRI
Pdgng/Pgusaha
K. Swasta
Gambar 10 Persentase Responden Berdasarkan Pekerjaan
5.1.6 Pendapatan Jumlah pendapatan responden disajikan dalam bentuk persentase dan jumlah pendapatan responden selama satu bulan berdasarkan wilayah tempat tinggal responden. Jumlah pendapatan responden di ketahui dengan bertanya lansung kepada responden berapa pendapatan responden selama sebulan. Dari hasil wawancara responden di lapangan, di ketahui bahwa pendapatan responden untuk kelompok pelanggan rumah tangga yang berpendapatan ≤500 sebesar 0,00%, 500-999 sebesar 8,33%, 1,000.000-1499,000 sebesar 18,33%, 1,500.0002,499,000 sebesar 38,33% dan ≥2,500.000 sebesar 35%. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, pendapatan dimasukkan ke dalam variabel bebas. Pada Gambar 11 dibawah ini menunjukkan
secara
lengkap
pendapatan responden per sampel.
jumlah
persentase
responden
berdasarkan
93
Tingkat Pendapatan Responden 0.00%
8.33%
35%
18.33%
38.33% ≤ 500
500 - 999
100 - 1499
1500 - 2499
≥ 2500
Gambar 11 Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
5.1.7
Pengeluaran Pengeluaran responden disajikan dalam bentuk persentase (Gambar 12).
Pengeluaran responden dalam penelitian diambil berdasarkan jumlah pengeluaran responden perbulan. Berdasarkan hasil yang didapat dilapangan jumlah pengeluaran responden kategori ≤500,000 sebesar 0,00%, 500,000-999,000 sebesar 0,00%, 1,000,000-1,499,000 sebesar 8,33%, 1,500.000-2,499.000 sebesar 78,33% dan ≥2,500.000 sebesar 13,33%. Dalam mengestimasi besarnya kemauan membayar masyarakat bagi jasa perbaikan lingkungan, pengeluaran tidak dimasukkan ke dalam variabel bebas. Pada Gambar 12 menunjukkan secara lengkap persentase jumlah pengeluaran responden rata-rata per bulan. Tingkat Pendapatan Responden 0.00%
8.33%
35%
18.33%
38.33% ≤ 500
500 - 999
100 - 1499
1500 - 2499
≥ 2500
Gambar 12 Persentase Responden Berdasarkan Pengeluaran
94
5.2 Hasil Analisis Persepsi Masyarakat tentang Jasa Perbaikan Lingkungan Pada analisis persepsi masyarakat ini merupakan jawaban dari tujuan penelitian yang pertama, yaitu analisis persepsi masyarakat untuk jasa perbaikan lingkungan dengan 4 variabel bebas, secara lengkap berbagai persepsi di bawah ini: 5.2.1 Persepsi Masyarakat terhadap Ketersediaan Air Pada persepsi masyarakat terhadap ketersediaan air dibagi menjadi dua golongan persepsi yaitu persepsi buruk dan baik. Berdasarkan Gambar 13 persepsi untuk katergori buruk sebesar 70%, persepsi baik sebesar 30%. Keadaan ini menunjukkan bahwa ketersedian saat ini mengalami penurunan. Dimana ketersediaan air yang dikategorikan baik persentasenya sangat kecil dan persentase persepsi buruk lebih tinggi, oleh karena kondisi lingkungan mengalami penurunan sehingga diperlukan insentif atau kompensasi sebagai jasa perbaikan lingkungan untuk memulihkan ketersediaan air. Keadaan ini menunjukkan bahwa kurangnya penyampaian informasi kepada masyarakat bahwa air minum yang digunakan harus memperhatikan keadaan lingkungan sehingga akan memperbaiki kondisi air, baik yang berasal dari DAS Citarum dan kondisi air tanah. Masyarakat menganggap bahwa masih layak untuk dikonsumsi dan hal ini juga menunjukkan bahwa kurang informasi dari pemerintah tentang kualitas dan kuantitas air. Persepsi Terhadap Ketersediaan Air 30%
70% Baik
Buruk
Gambar 13 Persentase Persepsi Responden terhadap Ketersediaan Air.
Persentase persepsi terhadap ketersediaan air yang cenderung buruk, hal ini menunjukkan bahwa responden sebagai pengguna jasa lingkungan mulai merasa kurangnya ketersediaan air dan buruknya kualitas air. Kurangnya ketersediaan air minum dan buruknya kualitas air khususnya pada saat kemarau diasumsikan karena semakin buruknya kondisi lingkungan di Hulu DAS Citarum dan buruknya kondisi lingkungan di wilayah hilir sebagai daerah resapan air. Apabila kondisi ini dibiarkan,
95
maka akan terjadi defisit terhadap ketersediaan air baik yang berasal dari DAS Citarum (Jasa Tirta II) maupun dari air tanah (ground water). Sehingga jelaslah bahwa untuk mengantisipasi kekurangan terhadap ketersediaan air dan memperbaiki kondisi air, khususnya pada saat musim kemarau maka perlu dilakukan perbaikan lingkungan di Hulu DAS Citarum dan perbaikan lingkungan di wilayah hilir. 5.2.2 Persepsi Masyarakat terhadap Keluhan Air Pada persepsi terhadap keluhan air (Gambar 14), dibagi menjadi dua golongan persepsi yaitu persepsi berbau dan Keruh. Berdasarkan Gambar 14 persepsi untuk katergori Berbau sebesar 35% dan Keruh sebesar 65%. Keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi air tidak baik untuk dikonsumsi sehingga membuat persentase persepsi kedua kategori lebih tinggi. Dan untuk perbandingan dua persentase persepsi tersebut maka pada persepsi keruh lebih tinggi (Gambar 14). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi air di wilayah hilir secara kualitas dan kuantitas sangat buruk. Namun demikian persentase persepsi keruh lebih tinggi. Keadaan ini juga menunjukkan bahwa kurangnya informasi kepada masyarakat bahwa air yang digunakan berasal dari DAS Citarum. Persentase persepsi tertinggi pada terletak pada persepsi keruh. Keadaan ini menunjukkan bahwa penyampaian informasi mengenai ketersediaan air dan kualitas air baik air yang berasal dari Hulu DAS Citarum maupun air tanah (ground water). Persepsi Terhadap Keluhan Air 35%
65% Berbau
Keruh
Gambar 14 Persentase Responden Persepsi terhadap Keluhan Air
Persentase persepsi terhadap keluhan air yang cenderung buruk, hal ini menunjukkan bahwa responden sebagai pengguna jasa lingkungan air minum mulai merasa buruknya kualitas air. Buruknya kualitas air bersih khususnya pada saat kemarau diasumsikan karena semakin buruknya kualitas lingkungan di Hulu
96
maupun di hilir sebagai daerah resapan air. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akan terjadi defisit terhadap ketersediaan air bersih, maupun akan terjadi kualitas air yang lebih buruk lagi. Sehingga jelaslah bahwa untuk mengantisipasi kekurangan terhadap ketersediaan air minum dan kualitas air yang lebih baik maka perlu dilakukan perbaikan lingkungan baik di Hulu DAS Citarum maupun di hilir sebagai daerah resapan air, khususnya pada saat musim kemarau. 5.2.3 Persepsi Masyarakat terhadap Peranan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan Persepsi Terhadap Peranan 30%
70% Berperan
Tidak Berperan
Gambar 15 Persentase Masyarakat Persepsi terhadap Peranan untuk Perbaikan Lingkungan.
Berdasarkan Gambar 15 persepsi untuk ketersediaan air maka responden lebih memandang bahwa masyarakat Hulu tidak berperan untuk perbaikan lingkungan sebesar 30% dan Berperan sebesar 70%. Keadaan ini diasumsikan karena kurangnya informasi tentang jasa perbaikan lingkungan terhadap peranan masyarakat hulu untuk perbaikan lingkungan. Selain itu responden lebih memandang bahwa pemerintah lebih berperan dalam perbaikan lingkungan, dibandingkan dengan masyarakat hulu (Gambar 15). Pada persepsi masyarakat hulu tidak berperan menduduki urutan ke kedua, hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat hilir sebagai pengguna air masih mengganggap jasa perbaikan lingkungan masih rendah, sehingga mereka menganggap masyarakat hulu tidak berperan dalam perbaikan lingkungan. 5.2.4
Persepsi terhadap Kesetujuan untuk Jasa Perbaikan Lingkungan Setelah responden mengetahui peranan masyarakat hulu dalam kegiatan
perbaikan lingkungan di DAS Citarum Hulu, maka responden ditanyakan kesetujuan dilakukan kegiatan perbaikan lingkungan. Secara umum responden
97
setuju untuk dilakukannya kegiatan perbaikan lingkungan (Gambar 16). keadaan ini dikarenakan responden semakin merasakan kurangnya ketersediaan air dan buruknya kualitas dan kuantitas air yang didapatkan dari pemerintah dan melalui pelayanan PDAM. Realitas ini juga menunjukkan apabila para masyarakat mengetahui peranan masyarakat hulu melalui informasi yang diberikan, sebenarnya akan terdapat partisipasi berupa kesetujuan dilakukan kegiatan perbaikan lingkungan. Persepsi Terhadap Kesetujuan 30.55%
69.45% Setuju
Tidak Setuju
Gambar 16 Persentase Persepsi Responden terhadap Kesetujuan untuk Perbaikan Lingkungan
Responden lebih memandang bahwa masyarakat hulu berperan untuk perbaikan lingkungan sehingga mereka menyatakan setuju sebesar 69,45% dan tidak sebesar setuju 30,55% (Gambar 16), hal ini responden menganggap bahwa masyarakat hulu tidak berperan dalam perbaikan lingkungan. Hal ini diasumsikan juga karena kurangnya informasi mengenai jasa lingkungan terhadap peranan masyarakat Hulu dalam dalam perbaikan lingkungan. Selain itu responden lebih memandang bahwa pemerintah lebih berperan dalam perbaikan lingkungan. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan membuat persentase persepsi lebih baik. Persepsi Terhadap Ketersediaan Air 33.70%
65.30% Buruk
Baik
Gambar 17 Persentase Responden Berdasarkan Peranan Masyarakat Hulu
Pada Gambar 17 dapat dilihat dua parameter untuk melihat peluang kemauan membayar, yaitu persepsi terhadap ketersediaan air dan persepsi
98
terhadap peranan masyarakat hulu dalam melakukan perbaikan lingkungan. Berdasarkan Gambar 17 didapatkan bahwa semakin baik persepsi responden terhadap perbaikan lingkungan baik di hulu maupun di hilir maka akan semakin baik pula peluang kemauan dalam membayar. Begitu juga halnya dengan keadaan persepsi terhadap kesetujuan peranan masyarakat hulu dalam melakukan perbaikan lingkungan. Responden yang menyatakan setuju terhadap peranan masyarakat hulu dalam melakukan perbaikan lingkungan mempunyai peluang kemauan membayar yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang tidak setuju terhadap peranan masyarakat hulu. Persepsi Terhadap Ketersediaan Air 38.00%
62.00% Baik
Buruk
Gambar 18 Persentase Peluang Kemauan Membayar Berdasarkan Kesetujuan
Berdasarkan Gambar 18 menunjukkan bahwa semakin baik persepsi resoponden terhadap ketersediaan air untuk memperbaiki kualitas air dan kuantitas air maka peluang kemauan membayar akan semakin baik. Selanjutnya dapat diartikan juga bahwa masyarakat hilir yang memandang setuju dilakukan perbaikan lingkungan maka peluang kemauan membayarnya akan semakin baik. 5.3 Hasil Analisis Kemauan Membayar Masyarakat (Willingness to Pay) 5.3.1 Deskripsi Kemauan Membayar dan Nilai WTP Analisis kemauan membayar (WTP) untuk jasa perbaikan lingkungan pertama kali yang harus diketahui adalah jumlah responden yang mau membayar kompensasi atau mau memberikan insentif. Dalam penelitian ini, responden ditanyakan dan diberikan pilihan antara mau membayar atau tidak mau membayar konpensasi untuk perbaikan lingkungan baik.
99
Kemauan Membayar (WTP) 17%
83% Mau Membayar
Tidak Mau
Gambar 19 Persentase Responden yang Mau/Bersedia Membayar
Pada Gambar 19 didapatkan persentase responden yang lebih besar mau membayar dibandingkan dengan tidak mau membayar kompensasi (Gambar 19). Keadaan ini memperlihatkan bahwa secara umum mayoritas responden mempunyai kepedulian yang tinggi untuk perbaikan lingkungan. Persentase responden yang menyatakan mau membayar sebesar 83% dan tidak mau sebesar 17%. Keadaan ini dikarenakan perbedaan kondisi sosial ekonomi yang berbeda dari setiap responden baik pelanggan rumah tangga dan non pelanggan rumah tangga. Berdasarkan karakteristik responden, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkatan umur, strata pendidikan, status rumah . Selain itu, responden yang mau/bersedia membayar kompensasi untuk jasa perbaikan lingkungan. Hal ini menunjukkan tingkat kepedulian masyarakat khususnya masyarakat Jakarta Timur terhadap kerusakan lingkungan lebih tinggi baik di Hulu maupun di Hilir. Secara keseluruhan berdasarkan data yang ada nilai rata-rata kemauan membayar (WTP) responden sebesar Rp.652,08 Hal ini dikarenakan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggi.
Gambar 20 Persentase Sebaran WTP
100
Secara khusus sebaran WTP masyarakat yang mau/bersedia membayar seperti pada Gambar 20. Berdasarkan Gambar 20 dapat dilihat bahwa pada tingkatan yang membayar untuk masyarakat pelanggan Rp.250,00 yang paling tinggi (18,33%), 500.00 (38,33%), 1000,00 (21,67%), 1500,00 (11,67%), 2000,00 (8,33%), 2500,00 (1,67%), dan 3000,00 (0%), sehingga kemauan membayar masyarakat pelanggan rata-rata mau membayar tetapi nilai WTPnya sangat kecil, hal ini mungkin karena kondisi sosial ekonomi yang saat ini sedang menurun karena dengan adanya krisis moneter. Sedangkan untuk masyarakat non pelanggan Rp.250,00 (26,67%), Rp.500,00 (20,33%), Rp.1000,00 (6,67%), Rp.1500,00 (3,33%) Rp.2000,00 (6,67%), dan Rp.2500,00 (0,00%). Sedangkan yang tidak mau/tidak bersedia membayar adalah sebesar 17%. Pada tingkatan pembayaran yang paling banyak adalah 500, hal ini menunjukkan tingkat perbedaan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang beragam. Mayoritas responden yang mau membayar kompensasi terbanyak Rp.500,00, oleh karena ukuran ini merupakan ukuran terbaik buat masyarakat dalam jasa lingkungan karena terkait dengan tingkat pendapatan dan pengeluaran masyarakat. 5.3.2 Hasil Analisis Pelaksanaan Contingent Valuation Method (CVM) Hasil pelaksanaan 5 (lima) langkah CVM dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 5.3.2.1 Pembentukan Pasar Hipotetik Berdasarkan pernyataan tentang kondisi air saat ini serta perbandingan kondisi air bila dilakukan peningkatan kualitas dan kuantitas air oleh jasa perbaikan lingkungan, maka Responden memperoleh gambaran tentang situasi hipotesis kondisi air. 5.3.2.2 Memperoleh Nilai Penawaran (Bids). Berdasarkan pertanyaan dan interval nilai yang ditawarkan dalam kuesioner, maka diperoleh jawaban atau pilihan responden tentang tawaran nilai berupa sejumlah uang yang mereka mau membayar (WTP) untuk peningkatan kualitas dan kuantitas air yang berlaku saat ini (lampiran). Tabel 17 menunjukkan hasil perhitungan statistik mengenai rata-rata, median dan standart deviasi dari nilai tengah WTP sampel dan variabel-variabel bebas lainnya di dalam fungsi.
101
Tabel 17 Hasil Perhitungan Statistik Variabel-Variabel Analisis Membayar(WTP) Sampel Penelitian Variabel
Mean
Nilai WTP (Y) (Rp/bln) Persepsi Peranan Masyarakat Hulu Pendidikan Tanggungan Keluarga Pendapatan perkapita(Rp/kk/bln) Jumlah Sampel (n) : 100 Sumber
Median
652,08 2,10 3,40 3,61 2,312,500.00
Std.Deviasi
500,00 2.00 3.00 4.00 2,300.000
582,75 0,69 0,59 1,21 613,854.40
: Data primer diolah, 2006.
Jika rata-rata nilai WTP ini ditambahkan dengan harga air saat ini maka WTP sebenarnya adalah Rp.1,602.08 /kk/bln atau 2 (dua) kali lebih besar. Bila jumlah ini dikalikan dengan rata-rata anggota keluarga yang berpartisipasi dalam jasa perbaikan lingkungan (2,07 orang) maka setiap keluarga keluarga sebenarnya memiliki WTP untuk jasa perbaikan lingkungan adalah Rp. 3,316.31/bulan. Jumlah ini ternyata masih besar jika pemerintah menaikan/memperhatikan kualitas dan kuantitas air berdasarkan hasil survei. 5.3.2.3 Menghitung Dugaan Rataan WTP (Expected WTP, EWTP) Dugaan rataan WTP (EWTP) dihitung dengan menggunakan rumus (1) berdasarkan data distribusi WTP sampel seperti pada Tabel 18. Tabel 18 Distribusi WTP Sampel di atas Harga Air yang Berlaku. No 1 2 3 4 5 6 7
Kelas WTP (Rp/Bln) 250-499 500-749 750-999 1000-1499 1500-1999 2000-2499 2500-2999 Jumlah
Frekuensi
Persentase (%)
27 37 17 9 9 1 0 100
27,00 37,00 17,00 9,00 9,00 1,00 0,00 100
WiPfi 6,750 18,500 12,750 9,000 13,500 2,000 0 62,500
Sumber : Data primer diolah, 2006.
Dari data di atas, maka diperoleh dugaan rataan WTP (EWTP) sampel sebesar Rp. 62,500.00/org/bulan di atas harga air yang berlaku saat ini.
102
5.3.2.4 Menentukan WTP Agregat atau WTP Total (TWTP) Tabel 19 menunjukkan hasil perhitungan WTP Agregat (TWTP) populasi masyarakat
dengan
menggunakan
rumus
(2)
ternyata
adalah
sebesar
Rp.36,080.618/bln dibawah total pengeluaran untuk pembayaran jasa perbaikan lingkungan perbulan.WTP Agregat masyarakat di atas harga air saat ini atau surplus konsumen ini sebenarnya merupakan potensi pembiayaan yang masih dapat digali untuk pengembangan sumber-sumber air dan peningkatan kualitas dan kuantitas air. Tabel 19 WTP Agregat (TWTP) Populasi No 1 2 3 4 5 6 7
Kelas WTP (Rp/org/Bln) 374,5 624,5 874,5 1249,5 1749,5 2249,5 2749,5 Jumlah
Sampel (n)a) 27 37 17 9 9 1 0 N=100
Populasib) 121,14 183,95 76,27 40,38 40,38 4,49 0,00 P=466.61
Jumlahc) (Rp/bln) 45,367 114,877 66,698 50,455 70,645 10,100 0 358,142
WTPi(ni/N)P 47,181.27 107,817.24 69,368.58 52,472.63 73,470.08 10,496.39 0.00 36,080,618
Sumber : Data primer diolah, 2006. Keterangan : a) Jumlah sampel ( 22,30% dari populasi PJL) b) Jumlah populasi masyarakat c) Populasi x titik tengah WTP
5.3.2.5 Menduga Kurva Penawaran Total (Bids Curve) Menurut Hufschmidt dalam Neti (1999) Kurva penawaran dapat digambarkan dari nilai Total WTP peserta. Maka WTP lebih tepat diukur berdasarkan permintaan Hicks (kurva permintaan terkompensasi) karena harga daerah dibawah kurva permintaan relevan untuk pengukuran kompensasi (Fauzi, 2004). Kurva penawaran total masyarakat berdasarkan data hasil survei kemauan membayar (WTP) di atas harga air yang berlaku dapat dilihat pada Gambar 21 di bawah ini. Dimana air sebagai salah satu bentuk barang publik maka kurva penawaran total yang diperoleh dari nilai WTP adalah merupakan pengganti kurva permintaan. Seluruh daerah di bawah kurva permintaan merupakan ukuran surplus konsumen atau manfaat total yang dirasakan konsumen dalam mengkonsumsi air sebagai jasa perbaikan lingkungan.
103
Gambar 21 Grafik Penawaran/Permintaan Total untuk Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Air Berdasarkan Kemauan Membayar (WTP) 5.3.2.6 Mengevaluasi Pelaksanaan CVM. Menurut Whittington et al. (1993) tingkat keandalan nilai tawaran WTP dapat ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R2) dari WTP. Nilai R2 untuk data cross section dari survei WTP dengan metode CVM seringkali tidak tinggi seperti penelitian dengan metode lainnya. Pelaksanaan CVM dianggap gagal bila nilai R2 hasil analisis kurang dari 0,150. Dari hasil analisis fungsi WTP diperoleh nilai R2 = 0,7054. Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian ini dapat diyakini kebenarannya atau keandalannya (reliable). 5.4 Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap WTP 5.4.1 Deskripsi Variabel Penelitian Pada fungsi WTP Pada analisis ini merupakan jawaban dari tujuan penelitian ke dua (2), yaitu mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fungsi WTP digunakan sampel responden atau KK yang mau membayar untuk perbaikan lingkungan yaitu sebesar 100 KK seperti halnya pada metode Contingent Valuation Method (CVM). Gambaran karakteristik dari 100 sampel tersebut dilihat dari tingkat pendidikannya tampak pada Gambar 22. Tingkat Pendidikan Responden 5% 0%
32.00%
63.00% SD
SMP
SMA
SARJANA
Gambar 22 Persentase Tingkat Pendidikan
104
Dari Gambar 22, jika dilihat dari
tingkat pendidikan tampak bahwa
sampel/KK memiliki karakteristik yang berbeda dengan sampel secara keseluruhan atau total sampel yaitu sebagian besar sampel hanya berpendidikan Sekolah Dasar yaitu sebesar 0% dan yang paling sedikit adalah Perguruan Tinggi (sarjana) yaitu sebesar 32%. Tetapi jika dihitung dari total sampel yang berpendidikan maka ternyata sebagian besar 83% memilih mau membayar. Umur Responden 10%
3%
46%
41%
≤ 30
31 - 40
41 - 50
≥ 50
Gambar 23 Persentase Umur
Dari Gambar 23, ternyata karakteristik umur juga memiliki perbedaan yang berbeda dari keseluruhan sampel yaitu sebagian
besar adalah golongan usia
produktif (30-50 tahun) dengan jumlah terbesar golongan umur 30-40 tahun. Untuk range umur sampel adalah 31 tahun sampai dengan 50 tahun sehingga dapat dilihat bahwa sampel termuda 30 tahun ternyata tidak mau membayar sebesar 17%. Selanjutnya untuk jenis pekerjaan sampel pada Gambar 24. Pekerjaan Responden 20%
65%
15% PNS/TNI/POLRI
Pdgng/Pgusaha
K. Swasta
Gambar 24 Persentase Jenis Pekerjaan
Dari Gambar 24, ternyata untuk jenis pekerjaan sampel/ KK yang memilih mau membayar memiliki karakteristik yang berbeda dengan total sampel secara keseluruhan. Jenis pekerjaan terbanyak pada total 100 sampel adalah karyawan
105
swasta yaitu sebesar 65%, sedangkan jenis pekerjaan pedagang sebesar 15%. Sehingga hal ini dapat dlihat bahwa jenis pekerjaan yang punya kemauan membayar sangat besar adalah sebagai karyawan swasta yang diikuti dengn besarnya kemauan membayar. 5.5.
Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemauan Membayar (WTP) Masyarakat Perkotaan tentang Jasa Perbaikan Lingkungan. Pada bagian ini disajikan nilai-nilai hasil pendugaan parameter persamaan
regresi linear berganda willingness to pay untuk jasa perbaikan lingkungan. Penyajiannya diawali dengan interpretasi hasil pendugaan parameter secara keseluruhan, yaitu kinerja umum persamaan struktural berdasarkan besaran koefisien determinasi (R2), nilai uji F, Durbin Watson (DW), dan nilai uji t. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan interpretasi dan implikasi ekonomi tentang tanda dan besaran parameter dugaan serta nilai-nilai elastisitas. Sebelum pembahasan dilanjutkan, maka perlu diuji apakah terjadi penyimpangan dari asumsi persamaan regresi linear Gauss-Markov. Asumsiasumsi tersebut meliputi ada tidaknya multikolinieritas, homoskedastisitas, dan autokorelasi. Dari Tabel 23, ditunjukkan bahwa tidak ada peubah bebas yang mempunyai nilai VIF (Varian Inflation Factor) lebih besar dari 10, dan bahkan di bawah 5. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bila persamaan regresi linear berganda tersebut tidak mengalami multikolinieritas yang serius. Uji kedua dari asumsi Gauss-Markov adalah ada tidaknya autokorelasi dalam persamaan. Diperlukan uji DW untuk mendeteksi adanya autokorelasi. Berdasarkan perhitungan statistik, diketahui besarnya DW adalah 1,732. Nilai tersebut tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%, sehingga dapat disimpulkan bila persamaan regresi linear berganda tersebut tidak mengandung autokorelasi positif dan negatif. Untuk menguji apakah persamaan WTP melanggar asumsi homoskedastisitas atau tidak, maka dilakukan uji white test. Nilai uji white test sebesar 13,891, sedangkan nilai tabel chi-square sebesar 6,635. Oleh karena nilai uji white test lebih besar dari nilai Tabel Chi Square, maka asumsi homoskedastisitas tidak terpenuhi. Persamaan regresi linear berganda dalam penelitian tersebut terdapat
106
masalah heteroskedastisitas. Oleh sebab itu diperlukan perlakuan untuk mengoreksi pelanggaran asumsi homoskedastisitas. Pengkoreksian ini dilakukan dengan melakukan pembobotan, sehingga hasil pendugaan parameter yang terbebas dari heteroskedastisitas dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Willingness to Pay untuk Jasa Perbaikan Lingkungan. No.
Nama Peubah
Dugaan Parameter
Standard Error
-1099,960010
t-hitung
Sig.
267,284861
-4,115****
0,0001
Elas tisitas
1.
Intersep
2.
Pendapatan (X1)
0,001547
0,000209
7,386 ****
0,0001
1,996
3.
Umur (X2)
7,774882
4,615356
1,685***
0,0955
0,579
4.
Tanggungan keluarga (X3)
45,983971
28,503481
1,613**
0,1101
-0,286
5.
Pendidikan (D1)
104,672494
112,651544
0,929
0,3552
Persepsi terhadap kesetujuan (D2)
-63,416909
103,677602
-0,612
0,5423
Persepsi thdp ekspektasi (D3)
-51,600236
90,867761
-0,568
0,5715
Persepsi thdp ketrsdiaan air (D4)
-167,713078
81,508302
-2,058****
0,0425
9.
Persepsi keluhan air (D5)
-185,454675
92,531625
-2,004****
0,0480
10.
Ekspektasi (D6)
-27,499348
78,598610
-0,350
0,7272
11.
Pekerjaan (D7)
122,998865
91,554874
1,343*
0,1824
12.
Pilihan air (D8)
12,837937
70,649257
0,182
0,8562
13.
Status rumah (D9)
170,516432
64,326294
2,651****
0,0095
6. 7. 8.
R2 = 0,652, F-hitung = 17,250, DW = 1,716 Keterangan : **** : Berbeda nyata pada taraf α = 5 %. *** : Berbeda nyata pada taraf α = 10 %. ** : Berbeda nyata pada taraf α = 15 %. * : Berbeda nyata pada taraf α = 20 %.
Setelah persamaan regresi linear berganda willingness to pay untuk jasa perbaikan lingkungan memenuhi sebagai penduga paramater terbaik, maka selanjutkan dijelaskan goodness of fit persamaan. Dimulai dari besaran nilai uji statistik F yaitu 17,250 dan nyata pada taraf α = 0,0001. Artinya variasi peubahpeubah bebas dalam persamaan tersebut secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik variasi peubah masing-masing peubah tidak bebasnya. Sedangkan berdasarkan pendugaan parameter persamaan dalam penelitian ini memberikan hasil yang cukup baik. Nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 0,652. Dengan demikian secara umum peubah-peubah bebas yang dimasukkan dalam persamaan penelitian ini mampu menjelaskan dengan cukup baik keragaman peubah-peubah tidak bebasnya sebesar 65,22%. Dan sebesar
107
34,785% peubah-peubah bebas lainnya yang mempengaruhi peubah tidak bebasnya tapi tidak dimasukkan dalam persamaan tersebut. Hasil uji statistik t yang diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa peubah bebas yang tidak signifikan atau berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebasnya pada taraf α = 0,05. Dalam penelitian ini taraf α yang digunakan cukup fleksibel, sehingga sebagian besar peubah bebas berpengaruh nyata terhadap peubah tidak bebasnya. Adapun taraf nyata yang digunakan adalah (****) merupakan taraf nyata pada α sebesar 0,05, (***) merupakan taraf nyata pada α sebesar 0,1, (**) merupakan taraf nyata pada α sebesar 0.15, dan (*) untuk taraf nyata pada α sebesar 0.20. Berdasarkan hasil dugaan tersebut, maka dapat disimpulkan bila persamaan regresi linear berganda tersebut cukup representatif dalam menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi willingness to pay jasa perbaikan lingkungan. Dari 12 peubah-peubah yang diperkirakan dapat mempengaruhi peubah WTP, terdapat 7 peubah bebas yang mampu menjelaskan dan nyata secara statistik mempengaruhi WTP. Adapun peubah-peubah tersebut adalah pendapatan (X1), umur (X2), tanggungan keluarga (X3), persepsi terhadap ketersediaan air (D4), persepsi keluhan air (D5), pekerjaan (D7), dan status rumah (D9). Pendapatan rumah tangga menjadi faktor penentu dalam mempengaruhi WTP. Peubah ini mempunyai koefisien dugaan parameter sebesar 0,001 dengan hubungan yang positif. Artinya apabila pendapatan rumah tangga naik sebesar Rp.10,000 per bulan, maka akan meningkatkan willingness to pay untuk jasa perbaikan lingkungan sebesar Rp.15,47 per bulan, ceteris paribus. Dalam jangka pendek, peubah pendapatan rumah tangga responsif terhadap perubahan WTP untuk jasa perbaikan lingkunga, hal ini dikarenakan nilai elastisitas pendapatan terhadap WTP bersifat elastis. Sedangkan umur responden juga berpengaruh nyata secara statistik dan mempunyai hubungan yang positif. Artinya apabila ada pertambahan umur responden, maka akan meningkatkan kesadaran mereka dalam membayar jasa perbaikan lingkungan sebesar Rp.7,775 per bulan, ceteris paribus. Peubah umur tidak responsif terhadap perubahan WTP untuk jasa perbaikan lingkungan dalam jangka pendek.
108
Peubah lainnya adalah tanggungan keluarga. Walaupun secara statistik peubah ini adalah signifikan, dengan tanda parameter dugaan logis. Dengan bertambahnya tanggungan keluarga (orang), maka porsi pengeluaran rumah tangga akan difokuskan terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan dasar pertambahan tanggungan keluarga tersebut. Tingkat kesejahteraan setiap rumah tangga juga mempengaruhi alokasi biaya tanpa melihat bertambahnya tanggungan keluarga. Oleh sebab itu dalam persamaan regresi linear berganda di atas mempunyai keterbatasan dalam mendefinisikan kategori keluarga responden yang tidak dibagi ke dalam kelas-kelas tertentu. Dianggap kondisi keluarga responden adalah dalam batas sejahtera dan mempunyai kesadaran terhadap lingkungan, sehingga logis apabila bertambahnya keluarga juga akan meningkatkan WTP. Apabila tanggungan keluarga bertambah 1 orang, maka akan meningkatkan WTP jasa perbaikan lingkungan sebesar Rp.45,984 per bulan, ceteris paribus. Peubah tanggungan keluarga adalah elastis, oleh sebab itu WTP responsif terhadap tanggungan keluarga dalam jangka pendek. Persepsi responden terhadap ketersediaan air juga turut mempengaruhi WTP. Berdasarkan hasil dugaan parameter, maka bila responden merasakan kualitas air PDAM dan juga air tanah buruk, maka akan menurunkan WTP sebesar Rp.167,713 per bulan, ceteris paribus. Kualitas air yang baik adalah tidak berasa, berbau, dan berwarna. Peubah keluhan responden terhadap kualitas air yang ditawarkan PDAM. Berdasarkan hasil dugaan parameter, maka apabila ada responden yang mengaku memiliki keluhan mengenai kualitas air bersih PDAM dan air tanah, maka diduga akan menurunkan kemauan membayar untuk jasa perbaikan air bersih sebesar Rp.185,455 per bulan. Hal ini menjadi relevansi yang logis, dimana rendahya kualitas air bersih akan membuat responden menurunkan kemauan membayarnya untuk jasa perbaikan lingkungan tersebut. Pekerjaan juga berkontribusi secara nyata dalam mempengaruhi kesadaran masyarakat dalam kemauan membayar untuk jasa perbaikan lingkungan. Hal ini tidak terlepas dari pendapatan keluarga dari pekerjaan yang dilakukan tersebut. Berdasarkan hasil pendugaan parameter, maka apabila responden memiliki
109
pekerjaan sebagai PNS, maka kesadaran membayar untuk jasa perbaikan lingkungan akan meningkat sebesar Rp.122,999 per bulan, ceteris paribus. Peubah bebas yang terakhir yang berpengaruh terhadap WTP adalah status rumah. Apabila status rumah responden adalah milik sendiri dan bukan sewa, maka terdapat peningkatan WTP sebesar Rp.168,245 per bulan, ceteris paribus. Hal ini terjadi karena status rumah sendiri memungkinkan untuk menghemat biaya-biaya lain, termasuk biaya sewa rumah, sehingga dapat dialokasikan untuk WTP. 5.6
Hasil Analisis Persepsi Masyarakat tentang Kondisi Sumber Air yang tersedia. Analisis deskriptif ini, adalah perbandingan bentuk pilihan masyarakat akan
sumber air bersih. Bentuk-bentuk pilihan ke-100 responden di tuangkan pada Gambar 22. Pilihan yang paling dominan di pilih responden adalah pilihan ke-3 (PDAM dan Sumur) sebesar 53,33% , lalu pilihan ke-2 (Sumur) sebesar 36,67% dan yang terkecil persentasenya adalah pilihan ke-1 (PDAM) sebesar 10,00%. Hal ini berhubungan dengan persepsi responden tentang kualitas dan kuantitas air PDAM, air sumur dan berbagai alasan maupun akibat yang ditimbulkan. Persepsi Masyarakat Terhadap Pilihan Sumber Air 10%
53.33%
36.67%
PDAM
Sumur
PDAM/Sumur
Gambar 25 Persentase Responden terhadap Bentuk Pilihan Sumber Air Bersih Persepsi Terhadap Kuantitas Air PDAM
Persepsi Terhadap Kualitas Air PDAM
0.00%
8.33% 26.67%
37.50%
62.50%
65% Rendah
Baik
a
Tidak Tahu
Rendah
Baik
Tidak Tahu
b
Gambar 26 Persentase Responden Persepsi tentang Kualitas dan Kuantitas Air PDAM
110
Untuk variabel-variabel kualitatif yang digunakan, sebagian besar responden menyatakan bahwa kualitas air PDAM rendah sebesar 65,00%, sisanya menyatakan baik sebesar 26,67% dan tidak tahu sebesar 8,33% (Gambar 26a). Alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden yang menyatakan bahwa air PDAM berkuantitas keruh sebesar 62,5%, kotor sebesar 30,5% dan tidak tahu sebesar 0,00%, (Gambar 26b). Persepsi tentang kualitas air dalam penelitian ini hanya berdasarkan pada pandangan masyarakat dan dari data diperoleh bahwa tidak ada satupun responden atas kemauan sendiri untuk memeriksa air PDAM yang mereka terima atau pernah mengambil sampel air untuk di periksa. Dan perlu diketahui pula bahwa ada pelanggan PDAM yang menggunakan air PDAM untuk mencuci mobil dan menyiram maupun keperluan lain, hal ini terkait dengan kualitas dan kuantitas air PDAM. Sebagai informasi tambahan, hasil pemeriksaan kualitas air PDAM secara periodik (setiap triwulan) yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta selaku badan pengawasan pada struktur organisasi PDAM menunjukkan bahwa kualitas air pada reservoir PDAM sebelum didistribusikan ke pelanggan adalah baik. Secara periodik setiap triwulan Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga melakukan uji laboratorium tentang kualitas air PDAM yang diterima 373,034 pelanggan PDAM Jaya yang ditentukkan secara acak. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa air PDAM yang diterima pelanggan berkualitas baik, hanya sekitar 1 sampai 2% pelanggan yang memperoleh air tercemar kuman atau bakteri akibat dari sanitasi disekitar tempat tinggal pelanggan tersebut kurang baik. Untuk variabel kualitatif persepsi tentang kualitas air sumur rendah di lingkungan tempat tinggal sebesar 29,17% dan baik sebesar 70,83%, tidak tahu sebesar 0,00% (Gambar 27a), sedangkan untuk kuantitas air sumur sebagian besar responden juga menyatakan baik sebesar 62,5% dan rendah sebesar 37,5 %, tidak tahu 0,00% (Gambar 27b). Pada Gambar 28 mengenai harapan atau ekspektasi yang diungkapkan oleh responden tentang akan adanya perbaikan yang akan dilakukan pemerintah atau PDAM, sebesar 69,17% menyatakan mempunyai harapan bahwa pada suatu saat pemerintah akan melakukan perbaikan kualitas dan kuantitas air yang didistribusikan dan tidak ada harapan sebesar 30,83%.
111
Persepsi Terhadap Kuantitas Air Sumur
Persepsi Terhadap Kualitas Air Sumur 0.00%
0.00%
29.17%
37.50%
2.50% 70.83% Rendah
Baik
Rendah
Tidak Tahu
a
Baik
Tidak Tahu
b
Gambar 27 Persentase Responden terhadap Persepsi Kualitas dan Kuantitas Air Sumur
Ekspektasi Untuk Perbaikan Lingkungan 30.83%
69.17% Tdk Ada Harapan
Ada Harapan
Gambar 28 Persentase Responden terhadap Harapan akan adanya Perbaikan oleh Pemerintah
Tingginya persentase responden yang punya harapan berhubungan dengan pilihan mereka terhadap sumber air bersih, karena walaupun mereka mempunyai sumber air lain (sumur) dengan kualitas dan kuantitas air yang lebih baik dari air PDAM tetapi mereka tetap menjadi pelanggan PDAM. Meskipun demikian, ada pula pelanggan PDAM yang memiliki sumur dengan kualitas air rendah. Untuk kasus seperti ini, air sumur terpaksa digunakan atau dijadikan cadangan kalau air PDAM mati atau tidak mengalir. Dan ada pula pelanggan yang memakai air sumur sebagai kebutuhan air bersih daripada air PDAM. 5.6.1 Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kualitas Air PDAM. Untuk responden yang menyatakan kualitas air PDAM rendah (59 orang dari 100 orang), alasan yang paling banyak dikemukakan adalah Keruh sebesar 66,67% dan disusul dengan alasan berbau sebesar17,5% dan kotor sebesar15,83% (Gambar 29).
112
Alasan Terhadap Kualitas Air PDAM 17.50%
15.83%
66.67% Berbau
Kotor
Keruh
Gambar 29 Persentase Responden terhadap Alasan yang Menyatakan Kualitas Air PDAM Rendah.
Akibat yang paling.sering dirasakan dan dikemukankan oleh responden adalah Wadah air cepat kotor sebesar 25,83% dan sebelum dipergunakan air harus didiamkan dulu sebesar 54,17% agar diperoleh air yang jernih dan zat yang menimbulkan kekeruhan mengendap di dasar wadah. Ada noda melekat pada wadah yang sulit dibersihhan 20,00% dan akibat lainnya adalah pemborosan waktu dan tenaga karena lebih sering membersihkan wadah air (Gambar 30). Akibat Rendahnya Kualitas Air PDAM 20%
54.17%
25.83% Hrs Diendapkan
Wdh Cpt Ktr
Noda Melekat
Gambar 30 Persentase Responden terhadap Akibat yang Dirasakan karena Rendahnya Kualitas Air PDAM
Sedangkan jenis kekhawatiran yang paling banyak dikemukakan responden 34,17% adalah lama-kelamaan wadah air akan semakin kotor dan semakin sulit dibersihkan, disusul dengan kekhawatiran bahwa untuk waktu yang lama mungkin akan berpengaruh juga bagi kesehatan sebesar 65,83% (Gambar 31). Menurut pihak PDAM sebagai produsen. kekeruhan air PDAM dapat disebabkan oleh beberapa faktor. yaitu (1) akumulasi kekeruhan di pipa transmisi berdiameter 300 mm. (2) kebocoran pipa yang disebabkan oleh korosi karena sebagian besar pipa terbuat dari besi dan sudah berusia tua maupun aktifitas penggalian atau kegiatan lain baik secara sengaja atau tidak disengaja yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar pipa yang menimbulkan kerusakan pada pipa
113
PDAM. (3) tingkat kekeruhan air baku yang sangat fluktuatif dan dapat terjadi sewaktu-waktu diluar kendali yang disebabkan oleh curah hujan dan berhubungan dengan aktifitas-aktifitas di bagian Hulu DAS Citarum. Berbagai Jenis Kekhawatiran Terhadapnya Kualitas Air PDAM 34.17%
65.83%
Bhy bg Kesehatan
Wdh Slt Dibrshkn
Gambar 31 Persentase Responden terhadap Jenis Kekhawatiran yang Dikemukakan Responden atas Rendahnya Kualitas Air PDAM.
5.6.2
Alasan, Akibat dan Kekhawatiran atas Rendahnya Kuantitas Air PDAM Untuk kualitas air PDAM terdapat 75 dari 100 responnden yang
menyatakan kuantitas air PDAM rendah. Alasan yang dikemukakan oleh responden yang berpendapat demikian dijelaskan dengan Gambar 32. Alasan yang paling banyak dikemukakan adalah karena debit air PDAM yang rendah sebesar 49,17%, lalu disusul dengan air yang tidak mengalir terus menerus dan jadwal mengalir tidak tentu sebesar 38,33% dan terkadang mati sebesar 12,50% (Gambar 32).
Berbagai Alasan Terhadap Kualitas Air PDAM 12.50%
49.17%
38.33% Debit Air Rendah
Air Mnglr Tdk Tnt
Jdwl Tdk Tntu
Gambar 32 Persentase Responden terhadap Alasan terhadap Kualitas Air PDAM
Akibat yang paling dirasakan responden adalah kekurangan air sebesar 41,67%, sehingga perlu melakukan penghematan dan membutuhkan sumber air alternatif (membuat sumur), seluruh responden yang menyatakan air PDAM berkuantitas rendah mengemukakan kedua hal tersebut (Gambar 33).
114
Berbagai Jenis Akibat yang Dirasakan Terhadap Rendahnya Kualitas Air PDAM
41.67%
58.33% Kekurangan Air
Mmrlkn Smbr Air Lain
Gambar 33 Persentase Responden terhadap Akibat yang Dirasakan karena Rendahnya Kuantitas Air PDAM
Dan kekhawatiran yang paling banyak dikemukakan adalah pada musim kemarau air PDAM akan makin sulit diperoleh, sehingga memerlukan sumber air lain sebesar 58,33%. Pihak PDAM menyatakan bahwa kuantitas air yang rendah disebabkan oleh (1). Masih rendahnya kapasitas produksi air. (2) Terbatasnya jaringan pipa distribusi dan (3). Distribusi air masih dengan sistem perpopaan sehingga air tidak mencapai tempat yang tinggi.
VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan hasil kajian kemauan membayar masyarakat perkotaan untuk jasa perbaikan lingkungan dapat ditarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut : 1. Hasil analisis deskriptif persepsi masyarakat terhadap ketersediaan saat ini buruk 70%, sedangkan keluhan air 65% keruh dan 35% berbau. Sehingga responden menyatakan 70% masyarakat hulu berperan untuk perbaikan lingkungan dan setuju 69,45%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi air semakin buruk sehingga perlu untuk perbaikan lingkungan. 2. Kemauan membayar (WTP) dengan metode Contingent Valuation masyarakat yang dilihat dari dugaan rataan WTP di atas harga air yang berlaku saat ini masih rendah sebesar Rp.62,500/org/bln dan WTP agregat (total kemauan membayar) dari populasi adalah sebesar Rp.36,080.618/bln di bawah total harga air yang diterima pemerintah/PDAM per-bulan saat ini. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP adalah besar pendapatan, umur, tanggungan keluarga, ketersediaan air, keluhan air dan status rumah. 4. Analisis deskriptif persepsi masyarakat terhadap kondisi sumber air menunjukkan bahwa peluang terpilihnya sumber air sumur dibandingkan PDAM serta pilihan kedua-duanya PDAM dan air sumur secara signifikan dipengaruhi oleh faktor kualitas dan kuantitas air, kekhawatiran dan akibat-akibat yang dirasakan masyarakat . 6.2 Saran Berdasarkan hasil kajian kemauan membayar masyarakat perkotaan terhadap jasa perbaikan lingkungan, dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut : 1. Diperlukan sosialisasi terhadap masyarakat, khususnya pengguna air untuk jasa perbaikan lingkungan sehingga dapat meningkatkan insentif. 2. Diperlukan kajian dan studi kelembagaan terhadap sistem insentif dan didukung aturan-aturan untuk jasa lingkungan baik di pusat maupun daerah. 3. Diperlukan suatu bentuk penerapan kegiatan perbaikan lingkungan yang benarbenar diperlukan oleh masyarakat hulu sebagai penyedia jasa lingkungan di DAS Citarum Hulu.