STATUS KUALITAS AIR DAN PENATAGUNAAN LAHAN DI DAS CITARUM HULU KABUPATEN BANDUNG
MUHAMMAD WIDYAR RAHMAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Status Kualitas Air dan Penatagunaan Lahan di DAS Citarum Hulu Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Muhammad Widyar Rahman NIM P052100261
RINGKASAN MUHAMMAD WIDYAR RAHMAN. Status Kualitas Air dan Penatagunaan Lahan di DAS Citarum Hulu Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh MUHAMMAD YANUAR JARWADI PURWANTO dan SUPRIHATIN. Wilayah DAS Citarum hulu merupakan wilayah sungai strategis nasional yang berada di kabupaten Bandung dengan luas 799.22 km2. Peran vital wilayah DAS Citarum hulu dalam kaitannya dengan sumberdaya air permukaan baik di tingkat lokal maupun regional memerlukan upaya kontinuitas perbaikan dengan mengintegrasikan konservasi sumberdaya lahan dan air dalam perencanaannya. Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis karakteristik hidrologi dan tata guna lahan (2) menentukan status kualitas air (3) menentukan indikator parameter kualitas air yang dipengaruhi oleh aktifitas tata guna lahan menggunakan hubungan statistik. Karakteristik hidrologi diwakili oleh koefisien rejim sungai (KRS) dan aliran limpasan yang ditentukan menggunakan metode Rasional. Hasil analisis hidrologi tersebut menunjukkan status KRS berdasarkan 3 sungai utama di DAS Citarum hulu berada pada kondisi baik hingga sedang. Koefisien limpasan tertimbang berada direntang 0.20-0.37 dengan karakteristik debit puncak berada direntang 18.496-112.092 m3/s. Karakteristik tata guna lahan diwakili oleh Indeks Penggunaan Lahan (IPL) dan matriks perubahan tata guna lahan. Status IPL secara umum berada pada kondisi sedang hingga baik. Namun, matriks perubahan lahan mengindikasikan terjadinya perubahan selama periode 10 tahun. Perubahan tersebut menghasilkan peningkatan debit puncak limpasan sebesar 1.84 m3/detik. Stasiun pemantauan berjumlah lima belas berdasarkan batas DAS terpilih yang ditentukan untuk analisis kualitas air menggunakan metode STORET. Hasil penentuan status kualitas air menunjukkan bahwa status cemar berat pada sungaisungai utama dipengaruhi oleh anak-anak sungainya dan mengindikasikan tidak adanya peningkatan status kualitas air dalam rentang tahun 2008 hingga 2011. Tren status kualitas air yang tercemar berat tersebut dapat menjadi indikator adanya kesalahan penatagunaan lahan di DAS Citarum hulu. Keterkaitan proporsi aktifitas tata guna lahan terhadap kualitas air menggunakan metode stepwise regression. Hasil analisis regresi mengindikasikan keterkaitan proporsi pertanian dan permukiman dapat dijelaskan oleh nilai STORET. Parameter fisika-kimia kualitas air dapat diprediksi menggunakan satu jenis aktifitas tata guna lahan. Hasil analisis berdasarkan parameter fisika-kimia menunjukkan keterkaitan proporsi sawah terhadap parameter pH, DO, BOD dan COD. Proporsi hutan terhadap parameter TDS dan temperatur air pada musim kemarau. Pada musim penghujan, keterkaitan tersebut meliputi proporsi pertanian terhadap parameter temperatur air, BOD, COD, TP dan H2S. Proporsi permukiman terhadap NO2- dan TDS serta proporsi sawah terhadap pH dan TSS. Kemudian, hanya proporsi hutan yang memiliki keterkaitan terhadap parameter DO. Keterkaitan proporsi aktifitas tata guna lahan terhadap kualitas air secara keseluruhan signifikan pada p value < 0.05. Penentuan kalibrasi dan validasi model keterkaitan tata guna lahan dan kualitas air berdasarkan metode PBIAS. Hasil analisis regresi pada musim penghujan mengindikasikan korelasi individual parameter kualitas air pH dan TSS
dapat dijelaskan oleh proporsi lahan sawah dengan nilai PBIAS sebesar 1.87% dan 21.72%. Parameter temperatur, BOD, COD dan H2S dapat dijelaskan oleh proporsi lahan pertanian dengan nilai PBIAS sebesar 11.22%, 0.66%, 11.80% dan 2.00%. Pengujian model tersebut pada skala luas dan lokasi yang berbeda menunjukkan hanya pH dan temperatur yang memberikan hasil baik dengan nilai PBIAS sebesar 21.43% dan 18.59%. Hasil analisis regresi pada musim kemarau mengindikasikan parameter pH dan COD dapat dijelaskan oleh proporsi lahan sawah dengan nilai PBIAS sebesar 4.33% dan 22.55%. Parameter TDS dan temperatur dapat dijelaskan oleh proporsi lahan hutan dengan nilai PBIAS sebesar 28.14% dan 12.05%. Pengujian model tersebut pada skala luas dan lokasi yang berbeda menunjukkan hanya pH dan temperatur yang memberikan hasil baik dengan nilai PBIAS sebesar 0.72% dan 0.79%. Keterkaitan tata guna lahan terhadap status kualitas air menunjukkan bahwa meskipun model regresi STORET memberikan hasil baik dengan nilai PBIAS sebesar 28.45%, namun ketika diuji pada skala luas dan lokasi yang berbeda memberikan hasil yang kurang memuaskan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam mengendalikan pencemaran nonpoint source, pengelolaan kualitas air perlu ditekankan pada setiap jenis tata guna lahan dengan mengoptimalkan fungsi dan tujuannya melalui keseimbangan proporsi dan praktek pengelolaan lahan yang berwawasan lingkungan. Model keterkaitan yang dibangun dapat berfungsi sebagai alat pengelolaan dan evaluasi pengelolaan sumberdaya air di DAS bagian hulu. Hal ini dapat membantu mengajukan suatu strategi pengelolaan daerah aliran sungai yang berkelanjutan serta dampak potensial yang ditimbulkan dari aktifitas tata guna lahan terhadap penurunan kualitas lingkungan. Kata kunci: kualitas air, tata guna lahan, aliran limpasan, analisis regresi, pengelolaan sumberdaya air
SUMMARY MUHAMMAD WIDYAR RAHMAN. Water Quality Status and Land Use Arrangement in the Upper Citarum Watershed, Bandung Regency. Supervised by MUHAMMAD YANUAR JARWADI PURWANTO and SUPRIHATIN. Region Upstream Citarum river basin is one of the main national strategic river basin located in Bandung district with an area of 799.22 km2. Vital role Citarum upstream region in relation to surface water resources both local and regional that required continuity improvement efforts by integrating conservation of land and water resources planning. This study has three main objectives that include the following: (1) to analyze hydrology and land use/cover characteristics (2) to determine water quality status (3) to determine indicators of water quality parameters that were influenced by land use/cover types. Hydrologic characteristics represented by the streamflow regime (KRS) and streamflow runoff determined using Rational method. The results indicated that status of KRS based on three major rivers in the upper Citarum are good to moderate condition. Weighted runoff coefficient in the range of 0.20-0.37 and peak flow characteristics in the range of 18.496-139.037 m3/s. Land use characteristics represented by the Land Use Index (IPL) and matrix changes in land use. IPL status generally are in moderate to good condition. However, matrix changes indicated that there has been a vast change in individual land use in the meantime. The vast change of land use totally increase peakflow runoff 1.84 m3/s. A total of 15 monitoring stations selected based on catchment boundaries were analyzed for water quality analysis using STORET methods. The results showed that the status of heavy polluted in each river were affected by their tributaries and indicated no improvement in the range of 2008 to 2011. Trends in the status of the heavily polluted water could be an indicator of the presence of faults land use management in the region upstream Citarum. The regression model was evaluated to demonstrate the relationship between both variables. Stepwise multiple linear regressions demonstrated that the relationship of agriculture and settlement land cover type was able to describe the overall water quality status. Physico-chemicals of water quality parameters could be sufficiently predicted using one land cover type. The results showed that paddy field related significantly to pH, DO, BOD and COD. Forest related significantly to TDS and temperature in dry periods. Water quality parameters over the period of the rainy seasons including agricultural related significantly to temperature, BOD, COD, TP and H2S. Nitrite and TDS had relationship with settlement and paddy field had relationship with pH and TSS. Moreover, only forest had relationship with DO in wet periods. The overall statistically relationships were significant in p < 0.05. Determination of calibration and validation of the relationship land use and water quality models based on PBIAS method. The results in the wet periods indicated the correlation of individual pH and TSS could be explained by the proportion of paddy field with PBIAS value of 1.87% and 21.72%. Temperature, BOD, COD and H2S parameters could be explained by the proportion of agricultural land with PBIAS value of 11.22%, 0.66%, 11.80% and 2.00%. Testing the model on a large scale and the different locations showed only pH and
temperature that gives good results with PBIAS value of 21.43% and 18.59%. The results in the dry periods indicated that pH and COD parameters could be explained by the proportion of paddy field with PBIAS value of 4.33% and 22.55%. TDS and temperature parameters could be explained by the proportion of forest land with PBIAS value of 28.14% and 12.05%. Testing the model on a large scale and the different locations showed only pH and temperature that gives good results with PBIAS value of 0.72% and 0.79%. The linkage of land use on water quality status indicated that although STORET models give good results with PBIAS value of 28.45%, but when tested on a large scale and different locations gives unsatisfactory results. This indicated that water quality management needs to be emphasized in any type of land use to optimize the functions and objectives through the balance of proportions and environmental land management practices in control of nonpoint source pollution. Linkage models were built to provide as a management and evaluation tools of water resources management in the upstream watershed. These could help submit a sustainable watershed management strategy and the potential impact arising from activities in land use against environmental degradation. Keywords: water quality, land use, surface runoff, analysis of regression, water resources management
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STATUS KUALITAS AIR DAN PENATAGUNAAN LAHAN DI DAS CITARUM HULU KABUPATEN BANDUNG
MUHAMMAD WIDYAR RAHMAN
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Etty Riani, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah “Status Kualitas Air dan Penatagunaan Lahan di DAS Citarum Hulu, Kabupaten Bandung.” Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS dan Prof. Dr. Ir. Suprihatin selaku pembimbing yang telah memberikan saran, arahan dan motivasinya. Selain itu penghargaan penulis sampaikan kepada instansi-instansi terkait yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayahanda, ibunda serta seluruh keluarga atas dukungan doa, semangat dan kasih sayangnya selama menempuh pendidikan ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Muhammad Widyar Rahman
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR LAMPIRAN
v
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Penelitian
1 1 3 4 4 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Sub DAS sebagai Bagian dari Sistem Sungai Pencemaran Perairan Hidromodifikasi Kerangka Pengelolaan DAS
6 6 7 8 8
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Pengumpulan Data Diagram Alir Penelitian Prosedur Analisis Data Penentuan status kualitas air Analisis hidrologi sungai Analisis spasial tata guna lahan Analisis statistik keterkaitan tata guna lahan terhadap kualitas air
11 11 11 11 12 13 13 14 16 17
4 Gambaran Umum Daerah Penelitian Kondisi Fisik Wilayah Topografi Wilayah Aspek Tata Guna Lahan Hidrologi dan Sumberdaya Air Kualitas Aliran
22 22 23 24 25 26
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik hidrologi sungai Karakteristik spasial tata guna lahan Status kualitas air Keterkaitan kualitas air terhadap aktifitas tata guna lahan Kalibrasi dan Validasi Model Tata Guna Lahan dan Hidrologi DAS Keterkaitan Tata Guna Lahan dan Kualitas Air Implikasi Keterkaitan Tata Guna Lahan dan Kualitas Air
27 27 30 35 41 43 50 51 53
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
59 59
Saran
59
DAFTAR PUSTAKA
60
LAMPIRAN
66
RIWAYAT HIDUP
70
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11 12 13 14
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini Penentuan sistem nilai status mutu air Luas jenis tata guna lahan (km2) setiap batas DAS Karakteristik tata air sungai utama pada skala Sub DAS Koefisien dan debit limpasan untuk setiap batas DAS Persentase Indeks Tata guna lahan (IPL) berdasarkan batas DAS Matrik perubahan tata guna lahan (km2) di DAS Citarum hulu tahun 2003 dan 2006 Matrik perubahan tata guna lahan (km2) di DAS Citarum hulu tahun 2006 dan 2011 Persentase perubahan tata guna lahan Jumlah dan kepadatan penduduk tahun 2008-2011 di tujuhbelas kecamatan yang menjadi bagian dari wilayah studi di kabupaten Bandung Model regresi linear berganda kualitas air terhadap proporsi luas jenis tata guna lahan (%) Persentase kalibrasi model kualitas air terhadap proporsi luas jenis tata guna lahan (%) Jumlah dan kepadatan penduduk Sub DAS Ciliwung hulu berdasarkan administrasi kecamatan Validasi model keterkaitan kualitas air terhadap jenis tata guna lahan di Sub DAS Ciliwung hulu
12 13 25 27 29 30 32 33 34
34 41 44 49 49
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kerangka pemikiran Lokasi penelitian DAS Citarum hulu Diagram alir penelitian Skema analisis statistik keterkaitan kualitas air terhadap jenis tata guna lahan Peta batas DAS wilayah studi Peta kemiringan lahan di DAS Citarum hulu Peta tata guna lahan di wilayah studi Peta koefisien limpasan di DAS Citarum hulu Status mutu air kelas II Sungai Citarik dan anak-anak sungainya Status mutu air kelas III Sungai Citarik dan anak-anak sungainya Status mutu air kelas IV Sungai Citarik dan anak-anak sungainya Status mutu air kelas II Sungai Cikeruh dan anak sungainya Status mutu air kelas III Sungai Cikeruh dan anak sungainya Status mutu air kelas IV Sungai Cikeruh dan anak sungainya Status mutu air kelas II anak-anak sungai di Sub DAS Citarum hulu Status mutu air kelas III anak-anak sungai di Sub DAS Citarum hulu Status mutu air kelas IV anak-anak sungai di Sub DAS Citarum hulu
5 11 12 21 22 23 24 28 36 36 36 37 38 38 39 39 40
18 Status mutu air Sungai Citarum di stasiun pemantauan Sapan dan Wangisagara 19 Kalibrasi model keterkaitan STORET terhadap jenis tata guna lahan 20 Kalibrasi model keterkaitan parameter kualitas air terhadap jenis tata guna lahan periode musim penghujan 21 Kalibrasi model keterkaitan parameter kualitas air terhadap jenis tata guna lahan periode musim kemarau 22 Peta tata guna lahan Sub DAS Ciliwung hulu
40 45 45 47 48
DAFTAR LAMPIRAN 1 Nilai koefisien limpasan permukaan (C) untuk persamaan Rational 2 Hasil diagnostik analisis regresi 3 Rangkuman hasil analisis regresi
66 67 68
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya air merupakan kegiatan yang meliputi upaya keberlanjutan terkait keberadaan air untuk dimanfaatkan seoptimal mungkin bagi kehidupan. Sungai sebagai salahsatu sumberdaya air kondisinya semakin mengkhawatirkan akibat dari meningkatnya jumlah penduduk dan pembangunan yang terjadi di segala sektor. Sejalan dengan perkembangan tersebut terjadi perubahan fungsi lingkungan yang berdampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya air dan meningkatnya daya rusak air. Pada dasarnya kebutuhan manusia akan air harus memadai dari aspek kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya. Konsep keseimbangan antara ketersediaan air dan kebutuhan dalam pengembangan sumberdaya air sebagai upaya untuk meningkatkan kegunaan air. Prioritas pemanfaatannya harus didasarkan pada aspek kemakmuran dan kelestarian sumberdaya air. Sungai secara umum dikenal memiliki beberapa kegunaan dalam setiap sektor pembangunan seperti pertanian, industri, transportasi, pasokan air untuk publik dan sebagainya. Sebaliknya, sungai digunakan sebagai lokasi untuk pembuangan limbah baik limbah yang berasal dari industri dan domestik maupun aktifitas pertanian yang mengakibatkan kerusakan skala besar dari kualitas air (Anhwange et al. 2012). Karakteristik sungai yang terus mengalami perubahan baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya berdampak pada ketidakmampuan memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat dan industri yang terus meningkat serta berdampak pada ekosistem di sekitar daerah aliran sungai. Hal ini menjadi perhatian khusus dalam peningkatan dampak tersebut terhadap ekosistem karena efek gabungan dari variasi curah hujan, topografi, vegetasi yang terbatas, dan tanah dangkal dapat mempengaruhi kualitas aliran di sepanjang ruas sungai. Pengelolaan kualitas air sebagai bagian dari pengendalian sumberdaya air dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu lingkungan. Pengendalian zat pencemar yang berasal dari berbagai sumber pencemar dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi intrinsik sumber air dan baku mutu air yang ditetapkan. Pencemaran sungai dapat terjadi langsung dari outfalls saluran pembuangan atau limbah industri sebagai point source dan limpasan dari pertanian atau perkotaan sebagai non-point source. Dampak polutan pada kualitas air sungai bergantung pada jenis polutan, beban maksimum harian dan karakteristik sungai (Karamouz et al. 2003). Pencemaran air dominan dapat terjadi di daerah dengan aktifitas pertanian yang telah dilakukan secara intensif. Pencemaran nonpoint-source yang berasal dari pertanian sebagian besar dari pelarutan bahan kimia pertanian atau terjadi secara alami. Meskipun peningkatan produksi pangan dapat dilakukan melalui intensifikasi, namun kecenderungan alih fungsi lahan terjadi pada ekspansi peningkatan luas satuan lahannya (Banadda et al. 2009). Hal tersebut dilakukan tanpa memperhatikan praktek pengelolaan lahan terutama yang berbasis konservasi. Dampak yang terjadi dalam jangka panjang mempengaruhi kualitas aliran sungai sebagai pencemaran nonpoint-source.
2 Pencemaran non-point source merupakan tantangan besar karena sumber yang tersebar dan bervariasi terhadap musim dan cuaca, serta sumber ini sering diabaikan oleh manusia (Zhang dan Wang 2012). Kesulitan pencemaran nonpointsource karena sifat dispersinya sehingga faktor penyebab tidak bisa teridentifikasi dengan jelas. Limpasan permukaan bertanggung jawab terhadap hubungan antara tata guna lahan dan kualitas air sebagai sumber utama pencemaran non-point source. Limpasan yang berasal dari berbagai jenis tata guna lahan berpotensi menjadi sumber berbagai jenis pencemar. Perubahan tata guna lahan dan praktek pengelolaannya telah dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi kunci di balik perubahan sistem hidrologi, yang mengarah pada perubahan limpasan serta kualitas air (Tong dan Chen 2002). Permasalahan yang terjadi didorong oleh tekanan faktor aktifitas antropogenik melalui pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produksi sumber pangan. Hal tersebut menjadi dasar faktor antropogenik mengabaikan kualitas lingkungan dalam aktifitasnya. Dilema perubahan proporsi luas dan jenis tata guna lahan di suatu daerah aliran sungai akan mempengaruhi kualitas air. Beberapa fungsi lanskap memiliki manfaat yang benar-benar penting bagi manusia terutama terkait ketersediaan sumber daya alam dan jasa ekosistem, seperti sumber pangan, tempat tinggal, dan sumberdaya air. Beberapa fungsi tersebut dapat sinergis, dan beberapa fungsi tersebut juga dapat merugikan atau bahkan menjadi sumber konflik. Beberapa fungsi yang secara spasial dan temporal terpisah dapat menjadi efektif di lokasi yang sama pada waktu yang sama. (Bolliger et al. 2011). Pendekatan permasalahan nonpoint-source membutuhkan pemahaman pengaruh setiap satuan lahan terhadap kualitas air. Pemilihan skala pengelolaan yang sesuai dalam memahami pola hubungan satuan lahan dan kualitas air tersebut sangat penting dalam mengembangkan indikator yang memadai dari dampak aktifitas manusia terhadap kondisi sungai dan konsekuensinya (Uriarte et al. 2011). Pendekatan analisis statistik dalam studi terkait saat ini masuk pada generasi ketiga menggunakan GIS dan analisis multivariat untuk mengeksplorasi tutupan lahan dan sedimen tersuspensi (Allan et al. 1997; Bolstad dan Swank 1997; Ahearn et al. 2005), nutrien (Allan et al. 1997; Sliva dan Williams 2001; Tong dan Chen 2002; Ngoye dan Machiwa 2004; Ahearn et al. 2005), parameter DO, pH dan total fosfat (Amiri dan Nakane 2008). Pendekatan analisis statistik dalam studi terkait berdasarkan musim (Sliva dan Williams 2001; Ngoye dan Machiwa 2004; Ahearn et al. 2005; Maillard dan Pinheiro Santos 2008; Anhwange et al. 2012; Zhang dan Wang 2012). Penelitian terkait lainnya yang spesifik di daerah tropis (Uriarte et al. 2011; Firdaus dan Nakagoshi 2013). Penelitian ini membangun target indikator berdasarkan keterkaitan dampak aktifitas tata guna lahan terhadap polutan yang dilakukan menggunakan hubungan statistik dan penetapan kriteria kualitas air. Studi ini juga membahas signifikansi hasil analisis empiris terhadap pengelolaan setiap satuan jenis tata guna lahan. Meskipun ketersediaan data dapat membatasi ukuran set data yang digunakan dalam penelitian ini, namun signifikansi hasil dapat membantu memberikan arah dalam pengelolaan kualitas air sehingga dapat membantu mengajukan suatu strategi pengelolaan daerah aliran sungai yang berkelanjutan serta dampak potensial yang ditimbulkan dari aktifitas tata guna lahan terhadap penurunan kualitas lingkungan.
3 Perumusan Masalah Pertambahan jumlah penduduk dan pembangunan yang terus meningkat di DAS Citarum hulu menyebabkan kebutuhan pemanfaatan lahan menjadi semakin meningkat. Aktifitas manusia memberikan respon yang tidak berwawasan lingkungan terhadap setiap jenis tata guna lahan. Kesalahan pola aktifitas tata guna lahan dalam jangka panjang berdampak negatif pada ekosistem perairan dan kesehatan manusia terutama di sekitar daerah aliran sungai tersebut. Dilema perubahan proporsi luas dan jenis tata guna lahan yang terjadi di DAS bagian hulu menyebabkan meningkatnya lahan kritis dan menurunnya kualitas air sebagai akibat dari pencemaran non-point source. Padahal produktifitas lahan sangat diperlukan dalam rangka mendukung ketahanan pangan di daerah, sektor produksi serta pengembangan wilayah. Dampak permasalahan tata guna lahan menyebabkan ketersediaan air yang semakin terbatas dalam menunjang kegiatan manusia. Secara hidrologis, apabila keadaan ini terus menerus terjadi akan berdampak terhadap kualitas, kuantitas dan kontinuitas sumberdaya air di bagian tengah dan hilir. Sungai Citarum memiliki fungsi penting di bagian tengah dan hilir diantaranya mengairi ratusan ribu hektar sawah melalui jaringan irigasi Jatiluhur, sumber air bagi penduduk kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Total potensi air di wilayah Sungai Citarum adalah sebesar 13 milyar m3/tahun. Potensi air yang sudah dimanfaatkan sebanyak 7.5 milyar m3/tahun (57.9%) dan yang belum dimanfaatkan 5.45 milyar m3/tahun (42.1%) (RCMU 2011). Isu permasalahan yang terjadi mengarah pada perlunya kesesuaian proporsi jenis tata guna lahan dan peningkatan kualitas air. Aspek perencanaan menjadi sangat penting terkait dengan isu permasalahan yang terjadi sehingga pola spasial dan alat pengelolaan yang prediktif diperlukan sebagai pendekatan terhadap permasalahan tersebut. Salahsatu alternatif pendekatan terhadap isu peningkatan kualitas air melalui kesesuaian proporsi tata guna lahan. Asdak (2007) menjelaskan bahwa pendekatan penyelesaian terkait pengelolaan kualitas air, ada pertimbangan yang perlu dilaksanakan yaitu mengembangkan metode praktis yang dapat dimanfaatkan untuk pengumpulan data/informasi yang berkaitan dengan masalah kualitas air, identifikasi mekanisme yang mampu mengaitkan antara data/informasi tersebut, mencari jalan keluar yang memungkinkan kebijakan pengendalian penurunan kualitas air dapat dikaitkan dan diaplikasikan secara efektif dengan program aksi pada tingkat lokal. Pertimbangan tersebut memberikan dasar pemahaman tentang isu pengelolaan terkait degradasi kualitas air karena arah alternatif pendekatan terhadap isu yang terjadi mempersyaratkan pemahaman yang memadai tentang keterkaitan tata guna lahan terhadap kualitas air di wilayah hulu. Oleh karena itu, indikator target diperlukan sebagai bentuk keterkaitan antara tata guna lahan dan kualitas air sehingga dapat memberikan usulan alternatif pengelolaan dalam rangka meningkatkan kualitas air di wilayah hulu. 1. Bagaimana karakteristik hidrologi dan tata guna lahan di DAS Citarum Hulu? 2. Bagaimana status mutu sungai di DAS Citarum hulu? 3. Bagaimana korelasi tata guna lahan terhadap kualitas air dan implikasinya terhadap pengelolaan sumberdaya air di DAS Citarum hulu?
4 Tujuan Penelitian 1. Menganalisis karakteristik hidrologi dan tata guna lahan DAS Citarum hulu. 2. Menentukan status kualitas sungai di DAS Citarum hulu. 3. Menentukan korelasi indikator parameter kualitas air yang dipengaruhi oleh tata guna lahan di DAS Citarum hulu.
Manfaat Penelitian 1. Bahan masukan bagi pihak terkait baik pemerintah daerah, industri dan masyarakat dalam rangka konservasi sumberdaya air 2. Memberikan wawasan dalam mengeksplorasi beragam alternatif strategi pengelolaan sumberdaya air di DAS Citarum Hulu, Kabupaten Bandung.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup pada penelitian terbatas pada kajian upaya penatagunaan sumberdaya lahan melalui pendekatan empiris berdasarkan parameter kualitas air, hidrologi dan jenis tata guna lahan tahun 2000 hingga 2011. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari instansi-instansi terkait dan berbagai referensi untuk melakukan pengamatan. Parameter kualitas air yang ditentukan pada penelitian ini berjumlah 13 parameter, meskipun pada pemantauan yang dilakukan oleh BLHD baik di tingkat provinsi maupun kabupaten lebih dari 13 parameter. Analisis karakteristik DAS menggunakan pendekatan karakteristik hidrologi yang meliputi aliran permukaan dan koefisien rejim sungai. Selain itu, pendekatan kedua menggunakan spasial tata guna lahan yang meliputi Indeks Penggunaan Lahan dan matriks perubahannya. Pada analisis statistik, model yang terpilih melalui evaluasi pada setiap tahapan analisis statistik dengan diberlakukan asumsi-asumsi pokok dalam analisis regresi. Model keterkaitan parameter kualitas air dan proporsi jenis tata guna lahan yang dibangun merupakan fenomena yang dapat dijelaskan secara statistik dan bersifat prediktif.
Kerangka Penelitian Kualitas air merupakan salah satu komponen lingkungan yang sangat penting dan sebagai indikator sehatnya suatu daerah aliran sungai. Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan masyarakat dan industri mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan. Hal ini berdampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya air yang diindikasikan dengan semakin meningkatnya daya rusak air. Degradasi yang terjadi di daerah aliran sungai berdampak pada perubahan aktifitas tata guna lahan dan ekosistem yang termasuk di dalamnya. Pemanfaatan fungsi sungai yang tercemar setara dengan kondisi kelangkaan air. Tingkat penurunan kualitas air akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya air yang tersedia untuk penggunaan yang bermanfaat, dan pada gilirannya akan membatasi tata guna lahan produktif. Padahal fungsi sungai
5 sebagai sumberdaya air berperan besar dalam pemenuhan baik untuk kebutuhan masyarakat maupun kebutuhan industri, irigasi dan aktifitas pertanian lainnya. Pada kondisi sebaliknya, perubahan tata guna lahan dengan praktek pengelolaan lahan yang tidak mengikuti kaidah konservasi berdampak pada meningkatnya aliran limpasan dan akhirnya mempengaruhi rejim aliran alami sungai. Hal ini diindikasikan dengan aliran yang sangat tinggi pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Investigasi keterkaitan jenis tata guna lahan terhadap kualitas air sangat penting dalam memprediksi potensi pencemaran di wilayah DAS bagian hulu. Ketika peningkatan kualitas air dapat dicapai melalui penatagunaan lahan maka dalam perencanaannya memerlukan target indikator sebagai tonggak pada periode tertentu. Prinsip keseimbangan lingkungan dilakukan dengan menerapkan kontrol setiap jenis tata guna lahan terhadap potensi pencemaran yang dapat ditimbulkannya. Proses tersebut harus diorientasikan pada perbaikan faktor aktifitas tata guna lahan sebagai fungsi dari antropogenik. Perencanaan tata guna lahan merupakan suatu proses bagaimana lahan dapat dialokasikan terhadap kondisi saat ini dan sebagai antisipasi kondisi masa depan. Aspek pemantauan dan evaluasi sebagai input perencanaan dalam membangun faktor-faktor terkait sebagai respon dari potensi dampak yang terjadi. Oleh karena itu, peranan konservasi sumberdaya air yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan melalui upaya pengelolaan sumberdaya air. Upaya tersebut sangat diperlukan dalam memenuhi kebutuhan manusia dengan mengintegrasikan konservasi sumberdaya air dalam perencanaannya dan menyelidiki faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas aliran sungai agar air memadai baik dari aspek kualitas, kuantitas maupun kontinuitasnya. Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Kualitas aliran sungai
Perubahan perilaku tata guna lahan
Degradasi sumberdaya air
Lahan
Tata guna lahan
AIR
Kualitas air
Keterkaitan tata guna lahan dan kualitas air
Manusia
Kuantitas air
Koefisien Rejim Sungai dan limpasan permukaan
Evaluasi kinerja DAS
Pengembangan sumberdaya air
Gambar 1 Kerangka pemikiran Gambar 1 Kerangka pemikiran
Populasi manusia
6
2 TINJAUAN PUSTAKA Sub DAS sebagai Bagian dari Sistem Sungai Daerah aliran sungai merupakan suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa, sehingga merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari air hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanan serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut. Wilayah DAS sebagai suatu sistem memiliki berbagai komponen yang saling berkaitan antara satu dan lainnya. Komponen DAS dapat dibedakan menjadi 2, yaitu (1) komponen biofisik alamiah yang menunjukkan karakteristik setiap DAS dan (2) komponen nonbiofisik yang menunjukkan manusia dengan berbagai ragam persoalannya, latar belakang budaya, sosial ekonomi, sikap politik, kelembagaan serta tatanannya. Sistem sungai yang komplek dapat dilihat dari berbagai komponen penyusunnya, misalnya bentuk alur dan percabangan sungai, formasi dasar sungai, morfologi sungai dan ekosistem sungai (Maryono 2003). Sistem dinamikanya dibentuk oleh aliran dengan ketergantungan pada fluktuasi aliran setiap tahun terhadap berbagai fitur saluran dan melengkapi siklus hidup tumbuhan dan hewan. Sungai memberikan respon baik gangguan alam (seperti kekeringan) maupun antropogenik (seperti bendungan) untuk mengalirkan air. Dampak manipulasi aliran tidak hanya tercermin dari bentuk saluran sungai. Lahan basah, danau, delta, cadangan air tanah dan laut pedalaman semua menjadi terdegradasi karena gangguan pola alami gerakan air. Siklus air yang terjadi pada suatu DAS melalui salah satu dari empat proses seperti intersepsi, evaporasi, infiltrasi, dan limpasan. Jumlah air yang terkumpul dan mengalir di sungai berasal dari curah hujan baik langsung ke saluran air atau dari aliran limpasan permukaan, bawah permukaan dan air tanah. Limpasan permukaan adalah kedalaman air yang mengalir secara bebas di atas permukaan tanah setelah hujan. Limpasan permukaan bergantung pada intensitas curah hujan dan kapasitasnya untuk jenuh secara cepat beberapa sentimeter di atas permukaan tanah sebelum infiltrasi dan perkolasi (Musy dan Higy 2011). Air hujan yang diintersep oleh vegetasi kemudian curah hujan yang mencapai permukaan tanah tersebut baik bergabung dengan air yang terinfiltrasi maupun bergerak perlahan-lahan melalui lapisan tanah ke aquifer menjadi aliran dasar, atau bergabung dengan aliran permukaan untuk satu kali intensitas hujan yang telah melampaui kapasitas infiltrasi tanah (bergantung pada kandungan air tanah). Air yang mengalir mencapai sungai tersebut merupakan hasil dari curah hujan langsung atau melalui permukaan dan limpasan bawah permukaan menuju outlet DAS (Musy dan Higy 2011). Nilai koefisien limpasan menjadi sangat penting sebagai salahsatu indikator untuk menentukan apakah suatu DAS telah mengalami gangguan (fisik). Nilai koefisien yang besar menunjukkan lebih banyak air hujan yang menjadi aliran limpasan. Hal ini kurang menguntungkan bagi konservasi sumberdaya air karena ketersediaan air tanah yang semakin berkurang dan berpotensi terjadinya erosi dan banjir (Asdak 2007). Musy dan Higy (2011) menjelaskan bahwa respon hidrologis
7 DAS dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang terkait dengan (1) Kondisi iklim (2) Curah hujan (distribusi spasial dan temporal, intensitas dan durasi) (3) Morfologi DAS (bentuk, dimensi, altimetri, orientasi lereng) (4) Sifat fisik DAS (sifat tanah, tutupan lahan) (5) Struktur jaringan drainase (ekstensi hidrolik, dimensi, sifat hidrolik) (6) Kelembaban tanah.
Pencemaran Perairan Kualitas air permukaan bergantung pada lingkungan sekitarnya sehingga diharapkan dapat mendukung ekosistem perairan dan memiliki nilai estetis. Kualitas air yang menurun disebabkan sumber pencemar sebagai akibat dari perubahan faktor-faktor lingkungan (Asdak 2007). Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Beban pencemar adalah istilah yang dikaitkan dengan jumlah total bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai hasil dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada areal tertentu dalam kurun waktu tertentu. Besarnya beban pencemar yang masuk ke perairan tergantung aktivitas manusia di sekitar daerah aliran sungai yang masuk perairan tersebut. Sumber pencemar terdiri atas 2 bentuk, yaitu: 1. Point sources, sumber pencemar yang membuang limbah cair ke dalam badan air pada lokasi tertentu. 2. Nonpoint sources, terdiri atas banyak sumber yang tersebar, baik ke badan air maupun ke air tanah pada suatu daerah yang luas. Pencemaran air dapat menjadi makin luas, tergantung dari kemampuan badan air penerima polutan untuk mengurangi kadar polutan secara alami. Apabila kemampuan badan air tersebut rendah dalam mereduksi kadar polutan, maka akan terjadi akumulasi polutan dalam air sehingga badan air akan menjadi trofik. Kategorisasi dari polutan air dengan melihat dampaknya terhadap sistem sungai sehingga dapat dibedakan menjadi tiga jenis polutan utama (Davie 2008) yaitu: Senyawa beracun, yang menyebabkan gangguan pada aktivitas biologis lingkungan akuatik. Oksigen mempengaruhi keseimbangan senyawa, baik konsumsi oksigen atau menghambat transfer oksigen antara udara dan air. Hal ini juga termasuk polusi termal pada kondisi kelarutan oksigen dalam air akan berkurang dengan semakin meningkatnya temperatur. Padatan tersuspensi, partikel padat tersuspensi dalam air. Kecepatan tiga kategori tersebut mengalami proses bergantung pada beban polutan yang telah ada di sungai, temperatur dan pH air, jumlah air yang mengalir di sungai dan potensi pencampuran sungai. Karakteristik aliran sungai yang pada gilirannya dipengaruhi oleh waktu, sifat aliran di sungai (misalnya bentuk dari kurva durasi aliran), serta kecepatan dan turbulensi aliran. Hal ini menunjukkan keterkaitan yang kuat antara kualitas air dan kuantitas air dalam sistem sungai (Davie 2008).
8 Hidromodifikasi Hidromodifikasi merupakan perubahan karakteristik hidrologi dari perairan pesisir dan nonpesisir, yang dapat menyebabkan degradasi sumber daya air. Hidromodifikasi terdiri atas penyaluran dan modifikasi saluran, pembangunan bendungan, dan erosi atau hidromodifikasi juga dapat didefinisikan sebagai modifikasi hidrograf (Mohamoud et al. 2009). Secara luas, hidromodifikasi mencakup urbanisasi, perubahan iklim, pengambilan air, dan transfer antar-daerah aliran sungai. Istilah ini digunakan terhadap gangguan antropogenik pada suatu daerah aliran sungai yang mengubah rejim aliran alami dan juga menurunkan kualitas air. Pada penelitian ini spesifik hidromodifikasi untuk perubahan tata guna lahan. Pola perubahan keseimbangan air suatu daerah aliran sungai dapat berubah ketika perubahan vegetasi mengubah intersepsi curah hujan dan evapotranspirasi, air permukaan atau air tanah yang digunakan secara konsumtif, atau air yang dialirkan ke saluran irigasi (Mohamoud et al. 2009). Perubahan rejim aliran alami mempengaruhi distribusi air permukaan dan komponen aliran dasar dari debit sungai menyebabkan ketidakseimbangan hidrologi, sehingga memiliki konsekuensi serius bagi ketersediaan air. Konrad dan Booth (2005) mengidentifikasi empat perubahan hidrologi yang dihasilkan dari suatu pembangunan yang berpotensi signifikan terhadap aliran ekosistem yaitu peningkatan frekuensi debit yang tinggi, redistribusi air dari aliran dasar ke aliran puncak, peningkatan variasi debit sungai harian, dan pengurangan aliran minimum. Poff et al. (1997) menjelaskan bahwa aktifitas tata guna lahan merupakan penyebab utama yang mengubah rejim aliran. Modifikasi rejim aliran alami secara dramatis mempengaruhi spesies air maupun riparian di sungai. Respon ekologis yang mengubah rejim aliran bergantung pada bagaimana komponen aliran telah berubah relatif terhadap rejim aliran alami dan bagaimana proses geomorfik dan ekologi akan merespon perubahan relatif tersebut. Hasil dari variasi rejim aliran sungai, aktivitas manusia yang sama di lokasi yang berbeda dapat menyebabkan berbagai tingkat perubahan relatif terhadap kondisi yang tidak berubah sehingga memiliki konsekuensi ekologi yang berbeda. Allan (2004) menambahkan bahwa faktor alam mungkin penting ketika pengaruh manusia itu kecil, atau ketika pengaruh manusia tersebar luas dan cukup seragam di seluruh wilayah studi.
Kerangka Pengelolaan DAS Pengelolaan Sumber Daya Air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi penyelengaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air (UU No. 7/2004 Pasal 1 pasal 7). Proses perencanaan DAS berfungsi dalam suatu kerangka dengan menggunakan serangkaian keterkaitan, langkah-langkah untuk mengkarakterisasi kondisi yang ada, mengidentifikasi dan memprioritaskan masalah, menentukan tujuan pengelolaan, mengembangkan strategi perlindungan atau pemulihan, dan implementasi dan adaptasi dari tindakan yang dipilih. Hasil dari proses ini didokumentasikan atau dirujuk dalam rencana DAS. Perencanaan DAS
9 merupakan strategi yang memberikan penilaian dan pengelolaan informasi terhadap DAS yang didefinisikan secara geografis, termasuk analisis, tindakan, pemangku kepentingan, dan sumber daya yang terkait untuk mengembangkan dan mengimplementasikan rencana (USEPA 2008). Pengelolaan sumberdaya air mengikuti prinsip lahan, air dan manusia yang terhubung didalamnya. Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air mengikuti kerangka kebijakan Indonesia yang lebih luas sebagaimana tertuang dalam UU Sumber Daya Air. Undang-Undang ini menekankan bahwa pembangunan daerah sangat penting bagi pembangunan nasional secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan stabilitas, kesetaraan dan pertumbuhan bersama dengan kesejahteraan rakyat. Reformasi diarahkan untuk bergeser dari kebijakan sektoral sempit menuju pendekatan Pengelolaan Sumber Daya Air.yang lebih holistik dan terintegrasi, melalui tindakan-tindakan struktural (kostruksi) dan non-struktural yang dilakukan secara efektif dan efisien (Hernowo 2011). Misi dari kebijakan nasional pengelolaan sumber daya air meliputi: (i) Konservasi sumber daya air yang berkelanjutan, (ii) Pendayagunaan sumber daya air untuk tujuan memenuhi kebutuhan, baik kualitas dan kuantitas, (iii) Pengendalian daya rusak air, (iv) Pemberdayaan dan intensitas peran masyarakat, swasta dan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air, (v) Peningkatan ketersediaan dan kebutuhan sistem data dan informasi sumber daya air (Hernowo 2011). Pengelolaan yang dilakukan di setiap DAS harus sesuai dengan misi dari kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya air. Pemantauan dan evaluasi berbasis-hasil diperlukan dalam rangka melaksanakan misi kebijakan nasional tersebut dan implementasinya. Pemantauan berbasis hasil adalah proses secara terus-menerus mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang indikator kunci dan membandingkan hasil aktual dengan hasil yang diharapkan dalam rangka mengukur seberapa baik program atau kebijakan yang sedang dilaksanakan. Hal ini merupakan proses yang berkesinambungan mengukur kemajuan menuju pencapaian jangka pendek, menengah, dan panjang dengan melacak bukti pergerakan menuju pencapaian tertentu dan penentuan target dengan menggunakan indikator. Pemantauan berbasis hasil dapat memberikan umpan balik mengenai kemajuan atau ketiadaan pengambil keputusan agar dapat menggunakan informasi dalam berbagai cara untuk meningkatkan kinerja (MorraImas dan Rist 2009). Evaluasi berbasis hasil merupakan penilaian kinerja yang direncanakan, sedang berlangsung, atau telah selesai untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektivitas, dampak, dan keberlanjutan. Evaluasi berbasis hasil bertujuan memberikan informasi yang nyata dan berguna, memberikan pembelajaran yang dimasukkan ke proses pengambilan keputusan dari penerima. Evaluasi mengambil pandangan yang lebih luas dari suatu intervensi, menanyakan apakah pencapaian sasaran atau hasil disebabkan oleh intervensi atau jika ada beberapa penjelasan lain untuk perubahan yang diperoleh melalui sistem pemantauan (Morra-Imas dan Rist 2009). Morra-Imas dan Rist (2009) juga menjelaskan bahwa sebuah sistem evaluasi memberikan fungsi yang saling melengkapi tetapi berbeda dalam kerangka manajemen berbasis hasil. Tujuan sebuah sistem evaluasi yaitu Studi yang lebih mendalam dari keluaran dan dampak yang berbasis hasil.
10 Penggunaan sumber data terkait indikator yang ditelusuri. Pemeriksaan faktor-faktor yang terlalu sulit atau mahal untuk pemantauan secara terus menerus. Investigasi mengapa dan bagaimana kecenderungan dilacak dengan data pemantauan yang menuju kearah tertentu. Evaluasi dapat memberikan berbagai tujuan dan kegunaan, dintarannya: Membantu menganalisis pencapaian tujuan. Mengeksplorasi mengapa mungkin ada hasil yang tidak diinginkan. Menilai bagaimana dan mengapa hasilnya dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan tertentu. Menjelaskan proses pelaksanaan, kegagalan, atau kesuksesan yang terjadi di berbagai tingkatan. Membantu memberikan pelajaran, menekankan pada wilayah pencapaian dan potensi, dan menawarkan rekomendasi spesifik untuk perbaikan. Pengelolaan strategis dan evaluasi merupakan proses serupa dan masingmasing memiliki keunggulan tersendiri. Keunggulan memanfaatkan kedua konsep ini menunjukkan suatu kerangka terpadu yang menggabungkan keuntungan kontekstual manajemen strategi dengan kedalaman analisis evaluasi. Proses pemetaan berawal dari asumsi bahwa semua studi evaluasi harus berasal dari konteks. Konteks ini ditentukan oleh strategi, keberhasilan strategis diidentifikasi oleh pencapaian terkait dengan tujuan tertentu. Fokus dari kinerja strategi harus diarahkan menuju tujuannya daripada program atau inisiatif yang dilakukan untuk mendukungnya (Rist et al. 2011). Darby dan Sear (2008) menjelaskan bahwa potensi penggunaan jangka panjang dan informasi pada skala DTA dalam perencanaan perbaikan untuk mengakomodasi ketidakpastian secara luas harus memberikan keuntungan pada semua skema perbaikan yang tujuannya meliputi fungsi ekosistem yang lebih baik dalam membantu pelestarian dan konservasi habitat dan biota, pendekatan berkelanjutan terhadap kekhawatiran masyarakat tentang manajemen banjir, abstraksi dan augmentasi aliran, serta meminimalkan bahaya erosi dan deposisi. Hal ini dimungkinkan untuk membagi setidaknya menjadi enam kategori aplikasi yaitu aliran, transportasi sedimen, bentuk saluran, dinamika saluran, pengaruh antropogenik, dan model konseptual dari sistem operasi. Keuntungan manajemen generik mengadopsi perspektif jangka waktu tertentu meliputi: 1. Menghindari impulsif atau tanggapan “spontan” individu kejadian banjir dengan melihat kejadian tersebut sebagai bagian dari catatan jangka panjang aliran dan sedimen (misalnya mengadopsi perspektif berbasis risiko pada bahaya yang berasal dari sensitivitas alur sungai yang berubah); 2. Menekankan perencanaan pencegahan untuk mengakomodasi aspek ketidakpastian perubahan (misalnya meningkatkan fleksibilitas manajemen dalam kaitannya terhadap perubahan saluran jangka panjang dengan fokus pada langkah-langkah pemulihan non-struktural dan memberikan koridor sungai yang sesuai dalam desain perbaikannya); 3. Menghindari kesalahan rekayasa yang mahal pada kondisi “solusi” struktural tidak sesuai dengan masalah yang dihadapi, “over-engineered” dalam kaitannya dengan bahaya, atau kesalahan lokasi (misalnya mencoba untuk membuat perbaikan berkelanjutan dengan menggunakan penilaian terintegrasi dari urutan jangka panjang perubahan saluran).
11
3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret 2013 sampai dengan bulan Agustus 2013. Lokasi penelitian berada di wilayah DAS Citarum Hulu Kabupaten Bandung, lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Lokasi penelitian DAS Citarum hulu
Bahan dan Alat Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu: data primer dan data sekunder yang meliputi data curah hujan, data debit air, data pemantauan kualitas air, peta rupa bumi, peta administrasi, peta DEM (Digital Elevation Model), peta tata guna lahan (land use). Alat yang digunakan adalah komputer dengan perangkat lunak ArcGIS 10.0/Arcview 3.3, Global Mapper v13.00, MINITAB 16, GPS.
Metode Pengumpulan Data Data utama terkait pengelolaan daerah aliran sungai meliputi data kualitas air tahun 2008-2011, data tata guna lahan tahun 2003-2011, data debit air sungai dan curah hujan tahun 2002-2011. Data pendukung lainnya dikumpulkan melalui studi pustaka baik berupa buku, laporan penelitian, jurnal dan data lainnya yang berasal dari instansi-instansi terkait. Lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.
12 Tabel 1 Data yang digunakan dalam penelitian ini .No.
Jenis Data
Sumber Data
Tujuan
1.
Peta dasar
BAKOSURTANAL
Referensi untuk penentuan wilayah studi
2.
Topografi
SRTM resolusi 30 meter
Menentukan daerah aliran sungai dan arah alirannya, kelerengan
3.
Peta tata guna lahan
BAPLAN
Membangun peta aktifitas tata guna lahan
4.
Kualitas air
BLHD Prop. Jawa Barat Memahami parameter-parameter pencemar BLHD Kab.Bandung dominan yang berkontribusi signifikan BLHD Kab. Bogor terhadap dampak pencemaran air
5.
Hidrologi dan kuantitas air
PUSAIR Bandung PSDA Jawa Barat BBWS Citarum
Menentukan karakteristik hidrologi DAS
Diagram Alir Penelitian Metodologi penelitian ini mengarahkan pada proses untuk mencapai tujuan penelitian. Alur proses penelitian tersebut berdasarkan analisis spasial dan statistik. Alur ini sebagai panduan dalam proses penelitian ini. Diagram alir penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3. Akuisisi dan pembangkitan data Sub DAS
Data kualitas air
Data peta
Parameter kualitas air
Peta
dan nilai STORET
Tata guna lahan
Analisis statistik
Keterkaitan kualitas air dan perilaku tata guna lahan
Perubahan tata guna lahan Indeks Penggunaan Lahan
Data hidrologi dan meteorologi
Data topografi
Debit dan curah hujan Delineasi sub DAS Peta curah hujan Peta kelerengan Aliran limpasan
Upaya penatagunaan lahan DAS
Gambar 3 Diagram alir penelitian Gambar 2 Diagram alir penelitian
Koefisien Rejim Sungai
13 Prosedur Analisis Data Peningkatan kebutuhan setiap sektor terhadap sumberdaya air menyebabkan perubahan pola ketersediaan air. Disamping itu, adanya sumber pencemar yang tidak terkontrol dan cenderung tersebar menyebabkan ketidakseimbangan antara laju penurunan kualitas air dan laju penurunan beban pencemar air. Analisis di bawah ini mengarahkan pada suatu upaya yang diperlukan dalam pengelolaan kualitas air. Penentuan status kualitas air Penentuan status kualitas air dengan metode STORET atau indeks pencemaran air berdasarkan KepMen LH No. 115/2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Data pantauan kualitas air secara periodik dengan rentang tahun 2008-2011. Penentuan status mutu air dengan menggunakan metoda STORET dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Lakukan pengumpulan data kualitas air dan debit air secara periodik sehingga membentuk data dari waktu ke waktu (time series data). 2. Bandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air 3. Jika hasil pengukuran memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran < baku mutu) maka diberi skor 0. 4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi nilai baku mutu air (hasil pengukuran > baku mutu), maka diberi skor sesuai dengan Tabel 2. 5. Jumlah negatif dari seluruh parameter dihitung dan ditentukan status mutunya dari jumlah skor yang didapat dengan menggunakan sistem nilai. Nilai kriteria baku mutu parameter kualitas air berdasarkan PP No. 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Sistem nilai yang digunakan berdasarkan US-EPA (Environmental Protection Agency) dan mengklasifikasikan mutu air tersebut dalam empat kelas, yaitu: 1) Kelas A : baik sekali, skor = 0 → memenuhi baku mutu 2) Kelas B : baik, skor = -1 s/d -10 → cemar ringan 3) Kelas C : sedang, skor = -11 s/d -30 → cemar sedang 4) Kelas D : buruk, skor ≥ -31→ cemar berat Tabel 2 Penentuan sistem nilai status mutu air Jumlah parameter < 10 ≥ 10
Nilai Maksimum Minimum Rata-rata Maksimum Minimum Rata-rata
Fisika -1 -1 -3 -2 -2 -6
Parameter Kimia -2 -2 -6 -4 -4 -12
Biologi -3 -3 -9 -6 -6 -18
Analisis hidrologi sungai Penentuan rejim sungai Data debit sungai selama beberapa tahun mengungkapkan variasi musiman yang sistematis. Rejim hidrologi dari sungai merangkum semua karakteristik hidrologis dan variasinya, dan didefinisikan oleh variasi debit tersebut (Musy dan Higy, 2010). Data debit harian selama 10 tahun dari 3 stasiun yang mewakili
14 sungai utama pada masing-masing Sub DAS digunakan dalam penentuan rejim aliran ini. Stasiun-stasiun pemantau debit tersebut yaitu Majalaya (Sungai Citarum), Bendung Cangkuang (Sungai Citarik) dan Cikuda (Sungai Cikeruh). Adapun persamaan untuk menentukan koefisien rejim sungai berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai sebagai berikut:
Di mana: KRS Qmaks Qmin
= koefisien rejim sungai = debit harian rata-rata tahunan tertinggi (m3/detik) = debit rata-rata harian terendah (m3/detik)
Penentuan curah hujan wilayah Karakteristik kuantitas air sungai dihitung berdasarkan data curah hujan 5 stasiun yang mewakili wilayah Sub DAS. Data curah hujan harian yang digunakan selama 10 tahun terakhir. Curah hujan wilayah dibangun berdasarkan 5 stasiun menggunakan metode poligon Thiessen. Poligon yang dihasilkan merupakan luas wilayah curah hujan yang nilainya diwakili oleh masing-masing stasiun. Stasiun-stasiun tersebut yang dipilih sebagai keterwakilan curah hujan wilayah yaitu Cibeureum, Cipaku/Paseh, Cicalengka, Jatiroke dan Tanjungsari. Persentase luas wilayah curah hujan terhadap luas Sub DAS dijadikan persen bobot yang dikalikan dengan nilai curah hujan masing-masing stasiun sehingga diperoleh curah hujan wilayah DAS. Penentuan curah hujan wilayah ini berdasarkan persamaan:
Di mana: = curah hujan wilayah (mm/hari) Rn = curah hujan setiap stasiun (mm/hari) An = luas poligon curah hujan (km2) A = luas keseluruhan wilayah yang ditentukan (km2) Estimasi curah hujan maksimum Estimasi curah hujan maksimum menggunakan data curah hujan harian maksimum setiap tahun selama 10 tahun berdasarkan 5 stasiun curah hujan. Curah hujan setiap stasiun diberi bobot agar diperoh nilai curah hujan wilayah. Prosedur dilanjutkan berdasarkan metode distribusi Log Phearson Tipe III (McCuen 1998) untuk menentukan periode ulangan curah hujan T tahun. Parameter-parameter yang harus dihitung sebelumnya pada metode ini adalah harga rata-rata, standar deviasi dan koefisien kemencengan. Persamaan yang digunakan tersebut sebagai berikut:
15
Di mana: log Y = nilai logaritmik dengan jangka waktu ulang T tahun (mm/hari) = rata-rata logaritmik curah hujan (mm/hari) K = faktor frekuensi distribusi Log Pearson Tipe III S = standar deviasi Cs = koefisien kemencengan n = jumlah data X = nilai curah hujan dengan jangka waktu ulang T tahun (mm/hari) Kemudian, perhitungan intensitas curah hujan pada saat curah hujan maksimum menggunakan persamaan dari Dr. Mononobe:
Di mana: I = intensitas curah hujan (mm/jam) R24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm) t = lamanya curah hujan (jam) Penentuan waktu konsentrasi Untuk penentuan waktu konsentrasi menggunakan persamaan dari Kirpich (1940) sebagai berikut:
Di mana: Tc = waktu konsentrasi (jam) L = panjang sungai (m) S = kemiringan sungai (m) Estimasi debit limpasan Penentuan debit puncak menggunakan persamaan:
limpasan
berdasarkan
metode
Rational
16 Di mana: QR = aliran limpasan (m3/detik) C = koefisien limpasan I = intensitas hujan (mm/hari) A = wilayah terjadinya aliran limpasan (km2) McCuen (1998) menjelaskan bahwa ketika Sub DAS tidak homogen tetapi ditandai koefisien limpasan yang berbeda untuk setiap sub wilayahnya, bobot koefisien limpasan harus ditentukan. Pembobotan didasarkan pada daerah masingmasing jenis tata guna lahan berdasarkan persamaan berikut:
Di mana: Cw = bobot koefisien limpasan Cj = koefisien limpasan jenis tata guna lahan j Aj = luas wilayah tata guna lahan j n = jumlah jenis tata guna lahan Faktor reduksi wilayah ditentukan sebagai faktor koreksi dari curah hujan wilayah yang luas. Menurut Allen dan DeGaetano (2005) penentuan faktor reduksi wilayah berdasarkan US Weather Bureau (1957) yang mendefinisikannya sebagai berikut:
Di mana: ARF = faktor reduksi wilayah = curah hujan wilayah maksimum tahun j (mm/hari) Rij = curah hujan maksimum tahun j pada stasiun i (mm/hari) n = jumlah tahun curah hujan k = jumlah stasiun curah hujan Analisis spasial tata guna lahan Peta aktifitas tata guna lahan menggunakan peta tata guna lahan tahun 2003, 2006, 2009 dan 2011 yang bersumber dari BAPLAN. Klasifikasi satuan lahan berdasarkan kodefikasi dari BAPLAN tahun 2001. Analisis tata guna lahan meliputi: Analisis perubahan tata guna lahan Dalam penentuan perubahan tata guna lahan menggunakan metode Markov Chain. Metode ini memberikan suatu proses distribusi tata guna lahan pada t2 dihitung dari distribusi tata guna lahan sebelumnya t1 (Mubea et al. 2010). Analisis menggunakan toolbox spatial analyst pada perangkat lunak ArcGIS 10.0. Data yang digunakan untuk deteksi perubahan tata guna lahan menggunakan peta tata guna lahan tahun 2000 dan 2011. Metode Markov Chain berdasarkan persamaan:
17
Di mana: υt1 = input kolom vektor tata guna lahan υt2 = output kolom vektor tata guna lahan M = matriks m x m untuk interval waktu ∆t = t2t1 Penentuan Indeks tata guna lahan Indeks Penggunaan Lahan (IPL) ditentukan berdasarkan Permenhut No. 32 tahun 2009 tentang tata cara penyusunan rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan daerah aliran sungai (RTKRHL-DAS). Penentuan IPL menggunakan persamaan:
Di mana: IPL = indeks penggunaan lahan (%) LVP = luas lahan bervegetasi permanen L = luas DAS/Sub DAS Standar nilai dari IPL sebagai berikut: Baik; apabila IPL > 75% Sedang; apabila IPL 30-75% Buruk; apabila IPL < 30% Analisis Statistik keterkaitan tata guna lahan terhadap kualitas air Diagnostik Tahapan diagnostik pada analisis regresi merupakan bagian paling penting sebagai screening agar model yang dibangun dapat memenuhi kriteria-kriteria model sesuai dengan asumsi-asumsi yang ditetapkan. Asumsi-asumsi tersebut antara lain: 1. Linearitas merupakan asumsi keterkaitan antara variabel bebas dan tidak bebas adalah linear. Pelanggaran terhadap asumsi linearitas sangat serius berpengaruh pada kesalahan prediksi. Asumsi ini dapat dideteksi dengan plot yang diamati antara nilai residual terhadap nilai terprediksi sebagai bagian dari output regresi standar. Pola tertentu yang terbentuk terdistribusi tidak simetris menunjukkan bahwa model tersebut memiliki error sistematis ketika dilakukan prediksi (Helsel dan Hirsch 2002). 2. Pengujian normalitas residual merupakan asumsi baku untuk berbagai analisis statistik standar. Pengujian ini dilakukan untuk melihat residual suatu model regresi telah mengikuti asumsi distribusi normal. Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode Anderson-Darling. Model terdistribusi normal apabila nilai Anderson-Darling > 0.15 dengan nilai p value > 0.05 (Helsel dan Hirsch 2002). 3. Homoskedastisitas merupakan situasi di mana varians dari variabel dependen adalah sama untuk semua data. Homoskedastisitas memfasilitasi analisis karena sebagian besar metode analisis regresi didasarkan pada asumsi varians yang sama. Pelanggaran terkait hal tersebut ketika terjadi heteroskedastisitas. Situasi yang terjadi ketika varians dari variabel dependen bervariasi di seluruh
18 data sehingga dapat mempersulit analisis karena dasar asumsi varians yang sama dalam analisis regresi (Helsel dan Hirsch 2002). 4. Mulitkolinearitas merupakan pengujian model untuk melihat adanya saling korelasi antara variabel bebas. Hal ini merupakan salah satu kondisi yang harus dihindari dalam analisis regresi berganda. Multikolinearitas dalam persamaan regresi terjadi ketika terlalu banyak variabel yang dilibatkan dalam proses analisis. Pengujian gejala multikolinearitas dilakukan dengan melihat nilai Variance Inflation Power (VIF). Pedoman suatu model regresi yang bebas dari gejala multikolinearitas jika model tersebut memiliki nilai VIF < 10 (Helsel dan Hirsch 2002). Salah satu metode yang dilakukan agar memenuhi asumsi-asumsi tersebut menggunakan kekuatan transformasi model. Penelitian ini menggunakan kekuatan transformasi model sesuai dengan yang dikembangkan oleh Box dan Cox (1964). Berthouex dan Brown (2002) menjelaskan bahwa transformasi dilakukan untuk memenuhi asumsi linearitas dan distribusi normal pada residualnya, memperoleh model matematika yang lebih sederhana sehingga analisis dapat disederhanakan untuk menghindari kesalahan dalam penarikan kesimpulan, menghilangkan ketergantungan varians terhadap besarnya nilai rata-rata sehingga bersifat memantapkan varians. Metode ini berlaku untuk hampir semua jenis model statistik dan segala jenis transformasi. Nilai transformasi Yi(λ) dari variabel asli Yi adalah:
di mana Ȳ g rata-rata geometrik dari seri data asli dan λ mengungkapkan kekuatan transformasi. Rata-rata geometris diperoleh dengan rata-rata ln (y) dan mengambil eksponensial (antilog) dari hasil. Kriteria model yang dipilih dalam analisis statistik ini harus memenuhi (1) r2 terkoreksi yang merupakan indikator seberapa baiknya model fit terhadap sebaran data (2) koefisien regresi (3) p value, suatu variabel dinyatakan berperan dalam membangun suatu model jika variabel tersebut menghasilkan nilai p value < 0.05. Evaluasi model tahap akhir ditentukan agar memenuhi kriteria model tersebut sehingga tidak terjadi redundansi. Hal ini dilakukan dengan penentuan dasar signifikansi model secara keseluruhan melalui uji F dan setiap koefisien regresi melalui uji t. Evaluasi model berdasarkan kedua uji statistik tersebut sebagai berikut: 1. Uji F Uji F dilakukan untuk menguji pengaruh signifikan antara beberapa variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel tidak bebas dengan membandingkan F-hitung (p-value) dan signifikansi tingkat kepercayaan 95% (α = 5%). Jika p-value < 0.05 berarti variabel-variabel bebas tersebut berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas. Jika p-value > 0.05 berarti variabel-variabel bebas tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas. 2. Uji t Uji t dilakukan untuk menguji pengaruh variabel bebas secara parsial terhadap variabel tidak bebas. Pengujian dilakukan dengan membandingkan t hitung (p value) dan signifikansi tingkat kepercayaan 95% (α = 5%).
19 Jika p value < 0.05 berarti variabel bebas tersebut berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas. Jika p value > 0.05 berarti variabel bebas tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel tidak bebas. Pada tahap evaluasi model, apabila kriteria model yang telah ditentukan tidak terpenuhi maka salah satu metode yang dilakukan dengan memberikan nilai pembobotan terhadap setiap model. Berthouex dan Brown (2002) menjelaskan bahwa regresi tertimbang (weighted regression) digunakan untuk memenuhi asumsi homoskedastisitas. Hal ini digunakan untuk semua model, linear dan nonlinear, dan untuk varians konstan atau nonkonstan. Dengan regresi tertimbang, masing-masing kuadrat residual (Yi - Ŷi)2 diberi bobot oleh beberapa faktor bobot wi sedemikian rupa sehingga pengamatan dengan varians yang lebih besar memiliki bobot lebih rendah. Dengan demikian pengamatan yang "kurang handal" memiliki lebih sedikit pengaruh daripada persamaan linear yang dihasilkan dari pengamatan yang "lebih handal". Persamaan regresi tertimbang meminimalkan kuadrat residual tertimbang. Jika nilai-nilai respon dinyatakan sebagai y1, y2,…yn dan jika varians dari pengamatan ini σ12, σ22,…σn2, maka parameter mengestimasi bahwa secara individual dan unik memiliki varians terkecil yang diperoleh dengan meminimalkan jumlah kuadrat terboboti:
Di mana η adalah respon terhitung dari model yang diusulkan, yi adalah pengamatan dengan nilai tertentu dari xi, dan wi adalah bobot nilai untuk observasi yi. Nilai wi akan sebanding dengan 1/σi2. Jika varians adalah konstan, semua wi = 1, dan setiap pengamatan memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan kurva kalibrasi. Jika varians tidak konstan, besarnya nilai bobot mempengaruhi akurasi pengukuran. Jika regresi tertimbang tidak dapat memenuhi kriteria akhir model maka digunakan bobot jumlah sampel setiap variabel tidak bebas Y. Setiap variabel tidak bebas Y dan variabel bebas x memberikan hubungan yang khas sehingga penentuan penerapan transformasi model dan regresi tertimbang terhadap setiap model bergantung pada karakteristiknya agar dapat memenuhi asumsi-asumsi yang telah ditetapkan. Data pengembangan model Metode riegresi linear berganda digunakan untuk menganalisis keterkaitan 13 parameter kualitas air dan nilai STORET terhadap luas jenis aktifitas tata guna lahan. Data pengembangan model menggunakan data pemantauan kualitas air tahun 2009 untuk wilayah subdas Citarum hulu, Citarik dan Cikeruh. Data pemantauan yang masuk pada bulan Oktober-Maret dijadikan data pengembangan model musim penghujan, sedangkan data pemantauan yang masuk pada bulan April-September dijadikan data pengembangan model musim kemarau. Variabel bebas (X1, X2, X3, X4) merupakan proporsi luas jenis tata guna lahan yang berada di setiap wilayah batas DAS. Model regresi Analisis statistik untuk membangun model keterkaitan tata guna lahan terhadap kualitas air menggunakan metode regresi bertatar (stepwise regression). Prosedur bertatar merupakan metode pemilihan model menggunakan algoritma
20 komputer untuk menentukan model yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. KNLH (2009) menjelaskan prosedur dasar metode regresi bertatar melibatkan tahapan sebagai berikut: (1) mengidentifikasi model awal (2) pentahapan secara iteratif berulang menghentikan tahap pemodelan sebelumnya dengan menambahkan atau membuang variabel bebas berdasarkan kriteria pentahapan dan (3) menghentikan pencarian variabel jika tahap berikutnya tidak memungkinkan berdasarkan kriteria yang ditetapkan atau ketika jumlah maksimum tahapan telah dicapai. Prosedur ini menggunakan urutan parsial F atau uji t untuk mengevaluasi signifikansi variabel. Regresi bertatar menggabungkan forward dan backward. Hal ini bergantian antara menambahkan dan menghapus variabel, memeriksa signifikansi masing-masing variabel di dalam dan luar model. Variabel yang signifikan ketika terpilih sebagai model akan dihilangkan jika kemudian dalam pengujian tidak signifikan (Helsel dan Hirsch 2002). Regresi bertatar memberikan hasil regresi linear sederhana dan regresi linear berganda. Analisis regresi linear sederhana merupakan hubungan statistik diantara 2 variabel. Model regresi linear sebagai berikut untuk i = 1, 2, ..., n. Analisis regresi berganda merupakan teknik statistik multivariat yang digunakan untuk membangun suatu model korelasi linear antara satu variabel tidak bebas Y dan dua atau lebih variabel bebas (x1, x2, …, xn). Persamaan regresi linear secara umum dinotasikan sebagai berikut: untuk i = 1, 2, …, n. Model keterkaitan yang memiliki pola kecenderungan tidak linear pada kondisi hubungan linear menunjukkan tingkat perubahan konstan dan memungkinkan tidak mewakili hubungan yang nyata secara memadai maka model linear paling sederhana yang melibatkan satu variabel bebas dapat menggunakan model polinomial orde kedua (kuadratik) (Rawlings et al. 1998). Model polinomial orde kedua (kuadratik) sebagai berikut: Di mana b0 merupakan konstanta, Y merupakan parameter kualitas air, x merupakan proporsi jenis tata guna lahan dan notasi subskrip pada masing-masing x dan b merupakan identifikasi masing-masing variabel proporsi jenis tata guna lahan dan koefisien regresinya. Analisis model regresi ini selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4 dan proses analisis secara keseluruhan menggunakan perangkat lunak MINITAB 16. Data kalibrasi dan validasi model Hasil keluaran model keterkaitan kualitas air terhadap proporsi jenis tata guna lahan dilakukan kalibrasi untuk mengetahui tingkat keakuratan model. Data pemantauan kualitas air tahun 2011 di wilayah Citarum-Wangisagara digunakan sebagai titik kalibrasi model. Kalibrasi model tersebut menggunakan nilai ratarata diantara 13 parameter kualitas air yang terpilih sebagai model. Moriasi et al. (2007) menjelaskan bahwa salah satu metode kalibrasi model ditentukan berdasarkan nilai PBIAS antara nilai aktual dan model. Nilai PBIAS menggunakan persamaan berikut:
21
Prosedur kalibrasi juga dilakukan dengan membangun plot data pengembangan model kualitas air (observasi) terhadap nilai model (prediksi). Garis 1:1 sebagai acuan linearitas kemampuan prediktif model. Validasi model ditentukan di wilayah Sub DAS Ciliwung hulu untuk mengetahui tingkat keakuratan model pada skala luas dan lokasi yang berbeda. Validasi model tersebut menggunakan data pemantauan kualitas air tahun 2010 di stasiun pemantauan kualitas air jembatan tol Ciawi. Data kualitas air
Peta tata guna lahan
Parameter kualitas air dan nilai STORET
Delineasi batas DAS
Proporsi luas jenis tata guna lahan setiap batas DAS
Estimasi regresi linear Ya Absolute residual vs variabel x Uji: Linearitas Normalitas
Fits residual
tidak
Transformasi data Box Cox
Tidak
ya
Bobot varians
Menentukan model regresi
Estimasi regresi polinomial
Ya Evaluasi model
Evaluasi model
Tidak
Tidak terpilih sebagai model persamaan regresi
Tidak Bobot skor
Menentukan model regresi
Evaluasi model
Ya
Ya
Kalibrasi dan validasi
Model persamaan regresi
Tidak Menentukan model regresi tanpa bobot
Evaluasi model
Ya
Tidak Tidak terpilih sebagai model persamaan regresi
Gambar 4 Skema analisis statistik keterkaitan kualitas air terhadap jenis tata guna lahan Gambar 3 Skema analisis statistik keterkaitan kualitas air terhadap jenis tata guna lahan
22
4 Gambaran Umum Daerah Penelitian Kondisi Fisik Wilayah Penelitian ini dilakukan di DAS Citarum hulu yang meliputi 3 skala wilayah Sub DAS, yaitu Citarum hulu, Citarik dan Cikeruh. Daerah aliran Sungai Citarum hulu secara administratif meliputi 17 kecamatan di kabupaten Bandung (Kertasari, Pacet, Ibun, Paseh, Cikancung, Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Majalaya, Solokanjeruk, Ciparay, Baleendah, Arjasari, Bojongsoang, Cileunyi, Cilengkrang dan Cimenyan), 8 kecamatan di Kotamadya Bandung (Rancasari, Gedebage, Cibiru, Panyileukan, Ujung Berung, Cinambo, Arcamanik dan Mandalajati) serta 4 kecamatan di Kabupaten Sumedang (Jatinangor, Tanjungsari, Cimanggung dan Sukasari). Pembatasan wilayah DAS Citarum hulu dalam penelitian ini dengan menentukan aliran Sungai Citarum mulai dari hulu di Gunung Wayang hingga wilayah Sapan. Sungai Citarik dan Cikeruh mengalir mulai dari bagian hulu di wilayah Sumedang hingga bagian hilir pada pertemuan kedua anak sungai tersebut dengan Sungai Citarum di wilayah Sapan. Sub DAS ini berbatasan dengan kabupaten Sumedang di wilayah barat, Sub DAS Cisangkuy di wilayah timur, kabupaten Garut di wilayah selatan dan kotamadya Bandung di wilayah utara. Peta Batas DAS di Citarum hulu
Gambar 5 Peta batas DAS wilayah studi Wilayah DAS Citarum hulu berada pada koordinat 107o38’16.8’’107o56’42’’ BT dan 6o57’14.4’’-7o13’19.2’’ LS. Luas wilayah Sub DAS ini Gambar 4 Peta batas DAS wilayah studi adalah 79935.5 Ha. Aliran sungai yang menjadi kajian dalam penelitian ini (Gambar 5) adalah Sungai Citarum hingga ruas Sapan dan anak sungainya yaitu Cirasea, Cisangkan, Cikaro, Cikawao dan Cipadaulun. Sungai Citarik dan anak sungainya yaitu sungai Cikijing dan sungai Cimande serta Sungai Cikeruh dan anak sungainya yaitu sungai Cisaranten. Peran Sungai Citarik dan Cikeruh serta anak-anak sungainya dalam kontinuitas aliran terhadap Sungai Citarum sangat diperlukan sebagai kontrol hidrologi dalam menjaga kualitas dan kuantitas air.
23 Topografi Wilayah DAS Citarum hulu secara umum memiliki ketinggian yang bervariasi dari dataran menuju perbukitan (650 – 1800 mdpl). Topografi sebagian besar wilayah tengah hingga hilirnya berupa dataran dengan kelas kemiringan lahan <8% (Gambar 6). Proporsi kelas kemiringan lahan <8% tertinggi berada di wilayah Sub DAS Citarum hulu sebesar 16.5% dari total wilayah studi. Wilayah hulu hingga bagian tengah berada pada kelas kemiringan lereng yang bervariasi >8%. Dominasi kelas kemiringan lereng wilayah hulu hingga tengah berada pada sekitar 15-25%. Variasi persentase kemiringan lereng di wilayah ini sebagai salahsatu faktor yang mempengaruhi potensi sumberdaya air. Morfologi DAS Citarum bagian hulu dapat diklasifikasikan ke dalam 2 (dua) satuan utama yaitu Satuan vulkanik sebagian besar terletak di bagian Utara. Satuan vulkanik terdiri atas cone vulkanik, lereng, dan vulkanik-tektonik (Dataran Lembang). Relief dari unit geomorfologi vulkanik berkisar dari sangat datar (Dataran Lembang) hingga lereng sangat curam. satuan struktural terletak di bagian Selatan. Satuan struktural merupakan areal yang terbentuk dari patahan normal Lembang, yang tersebar dari arah timur hingga barat. Fisiografi lahan WS Citarum bagian hulu nampak seperti cekungan raksasa, yang lebih dikenal sebagai cekungan Bandung. WS Citarum bagian hulu dikelilingi oleh daerah pegunungan dan perbukitan antara lain (1) Bagian utara terdapat Gunung Tangkuban Perahu (2) Bagian timur terdapat Gunung Munggang dan Gunung Mandalawangi (3) Bagian selatan terdapat Gunung Malabar, Puncak Besar, Puntang, Haruman, Gunung Tilu, Gunung Tikukur, dan Gunung Guha (4) Bagian barat terdapat punggung-punggung gunung yang tidak beraturan (RCMU 2011).
Gambar 6 Peta kemiringan lahan di DAS Citarum hulu Gambar 5 Peta kemiringan lahan di DAS Citarum hulu
24 Aspek Tata Guna Lahan Wilayah studi di DAS Citarum hulu meliputi 9 kelas tata guna lahan. Klasifikasi tata guna lahan berdasarkan kriteria dari Badan Planologi (BAPLAN). Pola tata guna lahan di wilayah ini terdiri atas hutan (hutan lahan primer, hutan lahan sekunder dan hutan tanaman industri), pertanian (pertanian lahan kering, pertanian lahan kering bercampur semak), permukiman, sawah, semak/belukar, perkebunan dan tanah terbuka (Gambar 7). Luas hutan berdasarkan 3 kelas tata guna lahannya bervariasi untuk setiap wilayah dan secara keseluruhan berada di wilayah bagian hulu. Hutan lahan primer (HLP) hanya berada di wilayah Citarik hulu sebesar 1.02 km2 atau sekitar 0.13% dari total wilayah studi. Hutan Lahan Sekunder (HLS) relatif tersebar di setiap wilayah Sub DAS seperti Citarum hulu, Citarik hulu, Citarik tengah, Cimande dan Cikeruh hulu dengan proporsi wilayah yang bervariasi sekitar 0.06-4.27% dari total wilayah studi. Luas hutan lahan sekunder tertinggi berada di wilayah Citarum hulu. Luas permukiman dan sawah relatif berada di wilayah bagian hilir untuk setiap batas DAS. Proporsi tertinggi luas permukiman berada di wilayah Sub DAS Cisaranten sebesar 2.63%, sedangkan luas sawah proporsi tertinggi berada di wilayah Sub DAS Citarum hulu sebesar 11.8% dari total wilayah studi. Secara keseluruhan pertanian mendominasi wilayah ini sekitar 40% dari luas total wilayah studi. Luas pertanian lahan kering lebih dominan dibandingkan dengan pertanian lahan kering bercampur semak. Luas pertanian tertinggi berada di wilayah Sub DAS Citarum hulu dengan proporsi sebesar 18.23% dari total wilayah studi. Jenis tata guna lahan secara spesifik untuk wilayah Sub DAS ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Gambar 6 Peta tata guna lahan di wilayah studi
25 Tabel 3 Luas jenis tata guna lahan (km2) setiap batas DAS Batas DAS Citarum huluWangisagara Citarum hulu-Majalaya
Hutan
Permukiman
Pertanian
39.84
1.72
60.95
Sawah
Tanah Terbuka
Perkebunan
7.72
5.72
9.03
1.78
3.33
9.95
9.40
0.00
0.00
Citarum hulu-Cirasea
0.00
2.00
0.61
11.61
0.00
0.00
Citarum hulu-Sapan
10.34
7.97
54.55
52.63
0.00
0.00
Citarik hulu
10.71
7.05
45.56
9.89
1.27
0.00
Citarik hilir
12.05
16.08
56.49
60.41
0.47
0.00
Cimande
3.60
10.54
17.88
13.95
0.00
0.00
Cikijing
1.27
1.92
2.19
5.17
0.00
0.00
19.65
7.44
20.55
10.01
0.00
0.00
Cikeruh hulu Cikeruh hilir
2.45
13.16
13.44
23.52
0.00
0.00
Cisaranten
16.83
21.10
31.46
6.74
0.00
0.00
Cisangkan
1.35
0.06
7.03
2.80
0.00
0.00
Cikaro
5.39
0.04
7.07
0.39
0.27
0.00
Cikawao
4.62
0.00
6.27
2.96
0.00
0.00
Cipadaulun
0.00
2.08
0.00
6.89
0.00
0.00
129.88
94.49
334
224.09
7.73
9.03
Total
Hidrologi dan Sumberdaya Air Wilayah Sungai Citarum dapat dimasukkan ke dalam wilayah beriklim tropis dengan curah hujan dan kelembaban udara yang tinggi sepanjang tahun dan sedikit variasi suhu udara antara bulan satu dengan lainnya. Kondisi klimatologi wilayah Sungai Citarum dirinci berdasar topografinya yakni untuk dataran rendah dan dataran tinggi. Tinggi curah hujan tahunan di wilayah Sungai Citarum bervariasi sesuai lokasi dan kondisi topografinya. Curah hujan di DAS Citarum hulu yang berkisar 1000-3500 mm/tahun mempengaruhi tanah melalui limpasan permukaan dan bawah permukaan. Kecepatan angin rata-rata tahunan pada daerah dataran rendah sebesar 1.5 m/detik sedangkan pada daerah dataran tinggi sebesar 1.4 m/detik. Laju penguapan tahunan untuk daerah dataran rendah setinggi 1600 mm, sedangkan untuk dataran rendah setinggi 1400 mm (RCMU 2011). Sifat hidrologi suatu daerah aliran sungai secara umum merupakan respon dari suatu sistem hidrologi terhadap curah hujan. Respon ini ditentukan oleh pengamatan kuantitas air yang keluar melalui outlet sistem. Karakteristik fisiografik Sub DAS dipengaruhi oleh respon hidrologi seperti aliran limpasan pada debit maksimum dan minimum. Adanya perubahan secara hidromodifikasi di Sub DAS ini dengan sifat alami aliran limpasan dapat menurunkan infiltrasi dan mempercepat pergerakan air yang terkonsentrasi di bagian hilir sungai. Aliran Sungai Citarik dan Cikeruh mengalir dari cekungan Bandung bagian timur hingga bertemu pada hilir yang sama di wilayah Sapan. Fungsi Sungai Citarum sebagai Pembangkit Tenaga Listrik (PLTA) dan juga mengairi 3 (tiga) waduk yaitu Waduk Saguling (982 juta m3), Waduk Cirata (2165 juta m3) dan
26 Waduk Djuanda (3.000 juta m3) dengan menghasilkan daya listrik 1400 MW (RCMU 2011). Pertemuan kedua sungai tersebut dengan Sungai Citarum memberikan peran penting terhadap kuantitas air di bagian hilir Citarum.
Kualitas Aliran Respon suatu sistem hidrologi terhadap presipitasi mempengaruhi variabilitas aliran sungai. Variabilitas tersebut akan menurun ketika luasan suatu daerah aliran sungai semakin besar sehingga semakin kecil luasan maka variabilitas cenderung akan semakin besar. Kontrol proses perlu dilakukan pada variabel DAS yang dinamis. Kontrol proses konsentrasi terlarut dari aliran permukaan diantaranya vegetasi, hidrologi dan tata guna lahan. Fokus kualitas air harus mengarah pada keseluruhan ekosistem sungai. Kualitas air yang baik tidak hanya karena pentingnya ikan dan sumberdaya air sebagai sumber pangan dan ekonomi, tapi juga kondisi yang sehat, keberlimpahan dan keanekaragaman biota perairan merefleksikan ekosistem perairan secara keseluruhan (de la Cretaz dan Barten 2007). Lingkungan fisik suatu perairan dikontrol oleh debit sungai dan sedimen. Padatan tersuspensi (TSS) dan terlarut (TDS) dapat mewakili faktor fisik tersebut. Kedua parameter ini mempengaruhi kekeruhan sungai sebagai fungsi dari debit, beban sedimen dan ukuran pertikelnya. Peningkatan kecepatan aliran sungai akan mengurangi waktu tinggal sedimen di sungai sehingga mengakibatkan akumulasi di bagian hilir sungai. Parameter TSS dan TDS berdasarkan pemantauan BLHD kabupaten Bandung di Sungai Citarik hulu rata-rata 21 mg/L dan 170 mg/L. Adanya kontribusi dari sungai Cimande dan Cikijing rata-rata 89 mg/L dan 110 mg/L untuk TSS serta 4784 mg/L dan 4607 mg/L untuk TDS mengakibatkan peningkatan hingga rata-rata 61 mg/L dan 2732 mg/L di bagian hilir Sungai Citarik. Kemudian, parameter TSS dan TDS di Sungai Cikeruh hulu rata-rata 17 mg/L dan 218 mg/L. Pengaruh sungai Cisaranten terhadap Sungai Cikeruh dengan memberikan kontribusi TSS dan TDS rata-rata 27 mg/L dan 633 mg/L mengakibatkan peningkatan kedua parameter tersebut di bagian hilir Cikeruh ratarata 29 mg/L dan 376 mg/L. Akumulasi kedua parameter di bagian hilir Citarik dan Cikeruh memberikan kontribusi terhadap Sungai Citarum rata-rata 590 mg/L yang terukur di stasiun Sapan. Faktor lain yang mempengaruhi kondisi perairan yaitu temperatur air, oksigen terlarut dan karakteristik kimia air. Temperatur merupakan salahsatu faktor yang mempengaruhi laju metabolisme organisme perairan. Pada setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan organisme membutuhkan temperatur optimal yang spesifik. Fluktuasi temperatur juga dapat mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut. Temperatur yang tinggi akan menurunkan konsentrasi oksigen terlarut. Temperatur Sungai Citarik dan anak sungainya berdasarkan pemantauan BLHD kabupaten Bandung rata-rata 28 oC sedangkan Sungai Cikeruh dan anak sungainya memiliki temperatur rata-rata 26 oC. Kedua sungai ini dan anak-anak sungainya memiliki konsentrasi oksigen terlarut yang rendah. Parameterparameter kualitas air yang dapat merefleksikan kondisi perairan cukup banyak. Namun, dalam penelitian ini dipilih 13 parameter yang mewakili karakteristik kualitas air dalam kaitannya dengan variasi tata guna lahan dan aliran permukaan.
27
5 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Hidrologi Sungai Sistem hidrologi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam memahami kualitas aliran di suatu daerah aliran sungai. Tekanan perubahan tata guna lahan seiring dengan meningkatnya populasi penduduk mengarah pada terjadinya perubahan tata guna lahan di suatu daerah aliran sungai, sehingga memberikan variasi debit yang dipengaruhi oleh aliran limpasan. Nilai debit yang ditentukan berbanding lurus dengan luas area dan jenis aktifitas tata guna lahan sehingga tidak semua aliran akan memberikan respon yang sama. Kondisi fisik sungai dikontrol oleh debit dan sedimen karena keduanya sangat menentukan karakteristik suatu habitat. Keluaran komponen dari setiap jenis aktifitas tata guna lahan merupakan hasil langsung dari input dikurangi penyimpanan baik pada vegetasi, tanah maupun sedimen. Ketika input pencemar meningkat dan kapasitas penyimpan menurun, maka keluarannya sebagai aliran akan meningkat. Variabilitas aliran tersebut dapat menjelaskan adanya perubahan kualitas aliran. Kelas tata guna lahan mempengaruhi fluktuasi aliran sungai sehingga setiap sungai memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini, penentuan karakteristk tata air berdasarkan nilai Koefisien Rejim Sungai (KRS). Tiga sungai utama yang mewakili Sub DASnya masing-masing memberikan nilai KRS yang bervariasi. Musy dan Higy (2011) menjelaskan bahwa klasifikasi rejim hidrologi sungai merepresentasikan variasi musiman dari debitnya. Karakteristik rejim sederhana merupakan rasio debit maksimum/minimum dari suatu sungai dalam rentang waktu tertentu yang setara dengan KRS. Nilai KRS Sungai Citarum, CItarik dan Cikeruh menunjukkan hasil yang bervariasi sekitar 3.47 hingga 76.20. Hal ini berarti bahwa Sungai Citarum, Citarik dan Cikeruh memiliki status KRS baik (<50) hingga status sedang (50-120) (Tabel 4). Semakin tinggi nilai KRS menunjukkan bahwa kisaran nilai limpasan di musim hujan sangat besar sehingga menyebabkan terjadinya banjir, sedang pada musim kemarau aliran sungai sangat kecil atau bahkan menunjukkan kekeringan. Tabel 4 Karakteristik tata air sungai utama pada skala Sub DAS Tahun
Karakteristik
2003
2006
2011
Sungai Citarum
Citarik
Cikeruh
Qmaks
19.30
2.53
4.97
Qmin
0.61
0.63
0.06
KRS Status
31.64 Baik
3.47 Baik
82.83 Sedang
Qmaks
34.2
5.57
3.81
Qmin
0.51
0.17
0.05
KRS Status
67.06 Sedang
32.76 Baik
76.20 Sedang
Qmaks
32.4
1.66
4.46
Qmin
1.51
0.32
0.18
KRS
21.46
5.19
24.78
Status
Baik
Baik
Baik
28 Karakteristik DAS ditentukan juga berdasarkan aliran limpasan dengan menggunakan metode Rational. Lima titik stasiun curah hujan berada di wilayah studi dengan data deret waktu harian selama 10 tahun diketahui bahwa curah hujan di wilayah studi cukup tinggi dan relatif seragam yang ditandai dengan nilai ARF sebesar 0.999 sehingga diasumsikan mewakili distribusi curah hujan. Curah hujan wilayah ditentukan berdasarkan lima stasiun tersebut dengan menggunakan metode poligon Thiessen. Hasil luasan yang diperoleh berdasarkan poligon Thiessen digunakan sebagai bobot setiap stasiun untuk menentukan curah hujan wilayah. Intensitas curah hujan wilayah menggunakan periode ulang curah hujan harian maksimum 5 tahun terhadap 15 sungai yang ditentukan di wilayah studi. Hasil perhitungan memberikan waktu konsentrasi sekitar 0.4-5 jam dengan intensitas hujan saat waktu konsentrasi sekitar 10-20 mm/jam. Koefisien limpasan diasumsikan sebagai fungsi dari kondisi tata guna lahan. Setiap batas DAS memiliki variasi jenis dan luas tata guna lahan yang berbeda (Gambar 8). Hal ini memberikan nilai bobot koefisien limpasan yang karakteristik untuk setiap batas DAS. Tabel 5 menunjukkan debit limpasaan dengan bobot nilai koefisien limpasan yang bervariasi. Dominasi jenis tata guna lahan sangat mempengaruhi nilai bobot koefisien limpasan sehingga setiap batas DAS memiliki karakteristik koefisien yang berbeda. Peningkatan estimasi debit limpasan mengindikasikan perubahan dari kondisi lahan hutan menjadi nonhutan. Faktor jenis tanah menjadi pertimbangan dalam estimasi tersebut. Jenis tanah berat pada lahan bervegetasi memiliki estimasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis tanah berpasir. Estimasi ini dapat memberikan deskripsi yang jelas terkait dampak perubahan tata guna lahan yang terjadi.
Gambar 7 Peta koefisien limpasan di DAS Citarum hulu Gambar 7 Peta koefisien limpasan di DAS Citarum hulu Gambar 8 Peta koefisien limpasan di DAS Citarum hulu Gambar 8 Peta koefisien limpasan di DAS Citarum hulu
29 Tabel 5 Koefisien dan debit limpasan untuk setiap batas DAS 2003
2006
2011
Batas DAS
Luas (km2)
Cw
Citarum huluWangisagara
125.12
0.23
139.037
0.23
138.403
0.23
138.403
Citarum huluMajalaya
24.52
0.29
41.213
0.29
41.213
0.29
41.088
QR (m3/detik)
Cw
QR (m3/detik)
Cw
QR (m3/detik)
Cirasea Citarum huluSapan Citarik hulu
14.23
0.34
30.560
0.34
30.560
0.34
30.560
125.16
0.26
100.053
0.26
100.053
0.26
100.053
74.47
0.23
91.819
0.24
97.383
0.24
97.383
Citarik hilir
145.38
0.28
112.092
0.28
112.092
0.28
112.092
Cimande
46.08
0.33
61.802
0.31
59.663
0.31
59.663
Cikijing
10.56
0.34
19.935
0.31
18.496
0.31
18.496
Cikeruh hulu
57.57
0.23
74.454
0.23
74.855
0.23
74.855
Cikeruh hilir
52.91
0.34
63.567
0.34
63.567
0.34
63.567
Cisaranten
76.11
0.30
76.444
0.30
76.444
0.30
76.444
Cisangkan
11.26
0.22
25.847
0.22
25.847
0.22
25.847
Cikaro
13.25
0.21
41.641
0.21
41.641
0.21
41.984
Cikawao
13.82
0.22
31.862
0.22
31.862
0.22
31.726
8.93
0.37
21.241
0.37
21.241
0.37
21.241
Cipadaulun
Peningkatan debit limpasan terjadi di wilayah Citarik hulu dan Cikeruh hulu dalam rentang tahun 2003-2006. Kedua wilayah tersebut mengalami peningkatan sebesar 6.06% dan 0.54% dari debit limpasan sebelumnya. Disamping itu, penurunan debit limpasan terjadi di wilayah Cimande, Cikijing dan CitarumWangisagara. Ketiga wilayah tersebut mengalami penurunan sebesar 3.64%, 7.21% dan 0.46% dari debit limpasan sebelumnya. Dalam rentang tahun 20062011, perubahan debit limpasan terjadi di wilayah yang berbeda. Peningkatan debit limpasan sebesar 0.50% dan 0.83% dari debit sebelumnya di wilayah Citraum-Wangisagara dan Cikaro. Semenatar itu, penurunan debit limpasan terjadi di wilayah Citarum-Majalaya dan Cikawao. Kedua wilayah tersebut penurunan debit sebesar 0.30% dan 0.43% dari debit sebelumnya. Bobot koefisien limpasan menjadi faktor utama estimasi debit limpasan. Ketika aliran limpasan sebagai fungsi dari luas daerah aliran sungai maka besarnya luas daerah aliran sungai akan meningkatkan volume aliran limpasan. Koefisien limpasan merepresentasikan persentase curah hujan untuk menjadi limpasan. Semakin tinggi nilai koefisien limpasan menunjukkan karakteristik yang buruk karena nilai koefisien yang tinggi menunjukkan bahwa daya serap lahan di wilayah tersebut kurang mampu untuk menahan dan menyimpan air hujan. Hasil karakterisasi ini dibutuhkan terutama karena adanya faktor perubahan secara hidromodifikasi di Sub DAS yang dapat mempengaruhi sifat alami aliran limpasan yang ditandai dengan menurunnya infiltrasi sehingga mempercepat pergerakan air yang terkonsentrasi di bagian hilir sungai.
30 Karakteristik Spasial Tata Guna Lahan Perkembangan tata guna lahan di sejumlah daerah aliran sungai di Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir ini telah memberi dampak berupa peningkatan frekuensi, debit, dan volume banjir yang telah menggenangi wilayah permukiman dan infrastruktur umum hingga mengakibatkan kerusakan dan kerugian material dan non-material (Pawitan 2004). Interaksi alam dari vegetasi, tanah, dan air (hujan) disertai dengan intervensi manusia melalui penggunaan teknologi akhirnya membentuk berbagai karakteristik tata guna lahan baik berupa lahan hutan maupun lahan non hutan, seperti pertanian, perkebunan, permukiman, perikanan, tambang dan sebagainya. Setiap tata guna lahan tersebut memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan tanggapan terhadap air hujan yang jatuh di atasnya, sehingga menghasilkan keragaman hasil luarannya (Permenhut 23/2009). Salahsatu indikator dalam menentukan karakteristik tata guna lahan adalah Indeks Penggunaan Lahan (IPL) dan perubahannya dalam rangka mengetahui kecenderungan suatu lahan terdegradasi terhadap waktu. Nilai IPL ini didasarkan pada persentase luas vegetasi permanen terhadap luas wilayah batas DASnya. Luas vegetasi permanen merupakan jumlah luas hutan yang diwakili oleh HLP, HLS dan HTI dan luas pertanian yang diwakili oleh PLK, PLKS dan Semak/Belukar. Indikasi ini sebagaimana tercantum pada Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase IPL di setiap wilayah tidak mengalami perubahan yang berarti. Perubahan persentase IPL hanya terjadi di wilayah Cimande dan Cikijing. Dalam kurun waktu 10 tahun peningkatan IPL di wilayah Citarum-Sapan (0.01%), Cimande (3.22%), Cikijing (11%) dan Cikawao (1.85%). Penurunan IPL hanya terjadi di wilayah Cikaro sebesar 0.94% dari luas batas DASnya. Tabel 6 Persentase Indeks Penggunaan Lahan (IPL) berdasarkan batas DAS 2003 Batas DAS Citarum huluWangisagara Citarum huluMajalaya Cirasea Citarum huluSapan Citarik hulu
LVPa (km2)
2006 IPL (%)
LVPa (km2)
2011
IPL (%)
LVPa (km2)
IPL (%)
Status
100.66
80.45
100.66
80.45
100.68
80.46
Baik
11.70
47.70
11.70
47.70
11.70
47.70
Sedang
0.59
4.11
0.59
4.11
0.59
4.11
Buruk
64.66
51.66
64.66
51.66
64.69
51.67
Sedang
55.29
74.24
55.29
74.24
56.34
75.63
Baik
Citarik hilir
68.30
46.98
68.30
46.98
68.30
51.31
Sedang
Cimande
18.24
39.63
18.24
39.63
21.46
46.62
Sedang
Cikijing
2.24
21.20
3.52
33.32
3.52
33.32
Sedang
Cikeruh hulu
40.07
69.60
40.07
69.60
40.08
69.60
Baik
Cikeruh hilir
16.09
30.41
16.09
30.41
16.09
30.41
Sedang
Cisaranten
48.34
63.51
48.34
63.51
48.37
63.51
Sedang
Cisangkan
8.31
73.81
8.31
73.81
8.31
73.81
Sedang
Cikaro
12.52
94.51
12.52
94.51
9.83
93.57
Baik
Cikawao
10.66
77.10
10.66
77.10
10.91
78.95
Baik
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Cipadaulun
Buruk
31 Hal ini mengindikasikan bahwa persentase IPL di wilayah ini secara umum berada pada status sedang hingga baik apabila dilihat secara proporsi luas hutan dan pertanian. Wilayah-wilayah yang mengalami peningkatan IPL disebabkan adanya konversi lahan menjadi HTI. Wilayah-wilayah tersebut memiliki kecenderungan luas wilayah lebih besar dan berada di bagian hulu. Hasil ini mengindikasikan bahwa secara proporsi luas lahannya, wilayah bagian hulu memadai untuk mendukung kualitas aliran yang baik. Sementara itu, wilayah Cipadaulun yang berada pada status buruk disebabkan oleh dominasi daerah terbangun dan memang kecenderungan berada di wilayah bagian hilir. Lahan hutan dan pertanian lebih dominan hingga batas DAS majalaya bagian hulu dengan kondisi topografi > 8%. Wilayah Cipadaulun yang relatif datar aspek pengelolaan lahan cenderung pada lahan sawah. Hal ini mengindikasikan wilayah bagian hilir memerlukan pendekatan pengelolaan yang berbeda dengan wilayah bagian hulu. Pola perubahan tata guna lahan secara terperinci dapat diketahui melalui matrik perubahan tata guna lahan (Tabel 7 dan Tabel 8). Matrik tersebut dapat mengetahui proporsi wilayah dari 10 kelas tata guna lahan yang berpotensi untuk berubah. Meskipun secara persentase IPL tidak mengalami perubahan yang berarti, namun secara atribut tata guna lahan selama kurun waktu 2003 hingga 2011 telah terjadi perubahan tata guna lahan. Pemecahan matrik perubahan tata guna lahan menjadi 3 tahunan agar dapat diketahui dinamika perubahan lahan yang terjadi meskipun perubahan tersebut terdistribusi di setiap batas DAS. Hutan Lahan Primer (HLP) selama rentang 2003 hingga 2011 tidak mengalami perubahan. Hutan Lahan Sekunder (HLS) dikonversi menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan proporsi wilayah sebesar 4.86% dari luas batas DASnya atau 1.8% dari luas Sub DAS Citarum hulu. Hal ini terjadi dalam rentang tahun 2003-2006 di wilayah Citarum hulu-Wangisagara. Perubahan lahan HLS menjadi hutan HTI tersebut berpotensi dilatarbelakangi oleh tidak produktifnya hutan produksi (Kartodihardjo dan Supriono 2000). Konversi lahan HTI juga berasal dari jenis tata guna lahan semak/belukar dan tanah terbuka dalam rentang tahun 2003-2006. Konversi tersebut relatif bedampak positif mengingat pembanguan HTI dapat lebih diarahkan pada lahan yang kurang atau tidak produktif. Konversi tanah terbuka terhadap HTI dengan proporsi sebesar 4.56% dari luas batas DASnya di wilayah Cimande. Konversi yang berasal dari tanah terbuka juga terjadi di wilayah Cikijing dengan proporsi sebesar 12.06% dari luas batas DASnya. Perubahan proporsi tanah terbuka menjadi PLKS sebesar 2.17% di wilayah Cimande menyebabkan proporsi tanah terbuka di kedua wilayah tersebut seluruhnya terkonversi menjadi jenis lahan yang lain. Aktifitas pengelolaan pada lahan HTI berpotensi untuk berubah menjadi semak/belukar. Hal ini menyebabkan peningkatan luas proporsi satuan lahan PLKS yang berbatasan dengan HTI. Perubahan proporsi lahan HTI menjadi PLKS sebesar 13.70% dari luas batas DASnya di wilayah Citarik hulu. Perubahan lahan HTI dalam rentang tahun 2006-2011 berasal dari semak/belukar dengan proporsi sebesar 4.08% dari luas batas DASnya di wilayah Citarum-Majalaya. Perubahan HTI yang terjadi dalam rentang tahun 2003-2011 secara keseluruhan hanya meningkatkan luas 0.45 km2 atau 0.056% dari total wilayah studi. Kemudian, perubahan lahan non hutan menjadi daerah terbangun dalam rentang 2003-2011 sebesar 0.41% dari luas batas DASnya yang terjadi di Cikeruh hulu.
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1.019
Semak/Belukar
Perkebunan
Permukiman
Tanah terbuka
PLKd
PLKSe
Sawah
Jumlah (2006)
46.910
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
46.910
0.000
HLSb
80.737
0.000
0.000
0.000
4.368
0.000
0.000
0.000
70.297
6.072
0.000
HTIc
4.387
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
4.387
0.000
0.000
0.000
SEMAK BELUKAR
b
c HLP = hutan lahan primer HTI = hutan tanaman industri d HLS = hutan lahan sekunder PLK = pertanian lahan kering e PLKS = pertanian lahan kering bercampur semak
0.000
HTIc
a
0.000
HLSb
HLPa
1.019
2006
HLPa
2003
9.030
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
9.030
0.000
0.000
0.000
0.000
PERKEBUNAN
94.487
0.235
0.000
0.000
0.000
94.252
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
PERMUKIMAN
7.737
0.000
0.000
0.000
6.385
0.000
1.351
0.000
0.000
0.000
0.000
TANAH TERBUKA
Tabel 7 Matrik perubahan tata guna lahan (km2) di DAS Citarum hulu tahun 2003 dan 2006
236.413
0.000
0.000
236.413
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
PLKd
94.409
0.000
83.205
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
11.204
0.000
0.000
PLKSe
224.093
224.093
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
SAWAH
799.222
224.328
83.205
236.413
10.753
94.252
10.381
4.387
81.501
52.982
1.019
UMLAH (2003)
32
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1.019
Semak/Belukar
Perkebunan
Permukiman
Tanah terbuka
PLKd
PLKSe
Sawah
Jumlah (2011)
46.910
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
46.910
0.000
HLSb
81.951
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
1.214
80.737
0.000
0.000
HTIc
2.938
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
2.938
0.000
0.000
0.000
SEMAK BELUKAR
b
c HLP = hutan lahan primer HTI = hutan tanaman industri d HLS = hutan lahan sekunder PLK = pertanian lahan kering e PLKS = pertanian lahan kering bercampur semak
0.000
HTIc
a
0.000
HLSb
HLPa
1.019
2011
HLPa
2006
9.030
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
9.030
0.000
0.000
0.000
0.000
PERKEBUNAN
94.487
0.000
0.000
0.000
0.000
94.487
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
PERMUKIMAN
7.737
0.000
0.000
0.000
7.737
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
TANAH TERBUKA
Tabel 8 Matrik perubahan tata guna lahan (km2) di DAS Citarum hulu tahun 2006 dan 2011
236.648
0.000
0.000
236.413
0.000
0.000
0.000
0.235
0.000
0.000
0.000
PLKd
94.409
0.000
94.409
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
PLKSe
224.093
224.093
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
SAWAH
799.222
224.093
94.409
236.413
7.737
94.487
9.030
4.387
80.737
46.910
1.019
JUMLAH (2006)
33
34 Tabel 9 Persentase perubahan tata guna lahan Deskripsi
2003
2006
2011
% perubahan 2003-2006
% perubahan 2006-2011
HLP
1.019
1.019
1.019
0.00
0.00
HLS
52.982
46.910
46.910
-11.46
0.00
HTI
81.501
80.737
81.951
-0.94
1.50
4.387
4.387
2.938
0.00
-33.04
Semak/Belukar Perkebunan
10.381
9.030
9.030
-13.02
0.00
Permukiman
94.252
94.487
94.487
0.25
0.00
Tanah Terbuka
10.753
7.737
7.737
-28.05
0.00
236.413
236.413
236.648
0.00
0.10
PLK PLKS
83.205
94.409
94.409
13.47
0.00
Sawah
224.328
224.093
224.093
-0.10
0.00
Luas pertanian sebagai faktor yang mendominasi jenis tata guna lahan di wilayah studi lebih banyak dipengaruhi oleh peningkatan PLKS dibandingkan dengan Pertanian Lahan Kering (PLK) dengan proporsi wilayah sebesar 13.47% dari total wilayah studi. Peningkatan tersebut berasal dari jenis tata guna lahan HTI. Proporsi luas semak/belukar mengalami penurunan sekitar 33.04% dalam rentang tahun 2003-2011. Peningkatan tanah terbuka berasal dari lahan perkebunan sebesar 13.02% dari total luas perkebunan. Hal ini memberikan indikasi yang baik karena peningkatan proporsi luas pertanian mempengaruhi nilai persentase IPL. Peningkatan proporsi tata guna lahan dapat memberikan pengaruh baik terhadap sumberdaya air. Tabel 9 memberikan hasil lengkap persentase perubahan tata guna lahan terhadap total wilayah studi dalam rentang 10 tahun. Proporsi luas pertanian tidak dipengaruhi oleh peningkatan luas permukiman dan sawah. Jenis tata guna lahan permukiman mengalami peningkatan proporsi wilayah sebesar 0.235 km2 atau 0.25% dari total luas permukiman. Peningkatan tersebut terjadi pada rentang tahun 2003-2006 dan mengakibatkan proporsi sawah mengalami penurunan sebesar 0.10% dari total luas sawah. Peningkatan proporsi wilayah permukiman dalam rentang tahun 2006-2011 tidak terjadi peningkatan proporsi wilayah permukiman. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk yang terjadi untuk wilayah kecamatan yang berada di wilayah studi sejak tahun 2008 hanya meningkatkan kerapatan permukiman tanpa meningkatkan proporsi luasnya (Tabel 10). Tabel 10 Jumlah dan kepadatan penduduk tahun 2008-2011 di tujuhbelas kecamatan yang menjadi bagian dari wilayah studi di kabupaten Bandung Tahun 2008 2009 2010
Penduduk Jumlah Kepadatan (orang) (orang/km2) 1798286 2590 1824282
2628
1882217 2730 2011 1935325 2829 Sumber: BPS, kabupaten Bandung dalam angka 2012
35 Status Kualitas Air Penentuan status mutu kualitas air menggunakan data pemantauan kualitas air pada tahun 2008-2011 yang diperoleh dari Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Parameter kualitas air yang dipilih dalam penelitian ini terdiri atas 13 parameter yaitu pH, TDS, TSS, temperatur, DO, BOD, COD, Total Fosfat (TP), NO2-, NO3-, fenol, H2S dan Total Coliform (TC). Pada penentuan status mutu air, parameter-parameter kualitas air dibandingkan dengan baku mutu kelas II, III dan IV berdasarkan PP No. 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas air dan Pengendalian Pencemaran Air. Penentuan status mutu sungai dikelompokkan menjadi 3 Sub DAS yang tercakup dalam wilayah studi di DAS Citarum hulu. Sub DAS Citarik Sungai-sungai yang dipantau di wilayah Sub DAS Citarik apabila dibandingkan dengan baku mutu kelas II berada pada status tercemar berat mulai dari wilayah hulu hingga hilir sungai. Nilai status mutu tersebut memiliki kecenderungan menurun hingga tahun 2011 (Gambar 9). Parameter-parameter kualitas air secara keseluruhan berkontribusi terhadap menurunnya status mutu air. Beberapa parameter yang berkontribusi besar di wilayah hulu Citarik diantaranya TSS, BOD, COD, fenol, H2S dan total coliform. Parameter-parameter kualitas air yang berada diatas baku mutu mengindikasikan faktor aktifitas antropogenik telah mempengaruhi badan air di bagian hulu. Aktifitas antropogenik yang terjadi baik berasal dari permukiman maupun praktek pengelolaan lahan. Hal ini terutama bersumber dari anak Sungai Citarik yaitu Cimande dan Cikijing yang sangat berperan terhadap peningkatan konsentrasi parameter tersebut di wilayah tengah Sungai Citarik. Hasil pemantauan 13 parameter kualitas air di stasiun pantau bagian hilir Cimande dan Cikijing menunjukkan secara keseluruhan parameterparameter terkait berada diatas baku mutu yang ditetapkan. Hal ini menjadi salahsatu penyebab meningkatnya konsentrasi parameter-parameter kualitas air di wilayah hilir Citarik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sumber pencemaran terhadap sungai utama berasal dari anak-anak sungainya. Perbedaan nilai STORET bagian hilir yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian hulu dapat memberikan gambaran akumulasi sumber pencemar yang terjadi di wilayah ini. Penentuan status kualitas air dilakukan dengan membandingkan dengan baku mutu kelas III dan IV. Status kualitas air jika dibandingkan dengan baku mutu kelas III (Gambar 10), Sungai Citarik dan anak-anak sungainya juga berada pada status tercemar berat. Parameter-parameter yang berada diatas baku mutu menyebabkan status kualitas air masih berada pada kondisi cemar berat meskipun dibandingkan dengan baku mutu kelas III. Hal ini mengindikasikan bahwa sungaisungai di wilayah Sub DAS Citarik sudah tidak layak digunakan untuk pembudidayaan ikan tawar dan peternakan. Status kualitas air jika dibandingkan dengan baku mutu kelas IV (Gambar 11), parameter kualitas air di Sungai Citarik dan anak-anak sungainya sebagian besar masih tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan. Sungai Citarik dan anak-anak sungainya tersebut berada pada status cemar ringan dan cemar sedang. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Sungai Citarik dan anak-anak sungainya sudah tidak memenuhi kebutuhan peruntukkan baku mutu kelas IV untuk tanaman.
36
waktu (tahun)
0 2008
Skor STORET
-20 -40 -60
-31
2010
-31
-31
-46
-52
-80
2009
-70
-31
-55 -71
-72
-78
2011
-100
-58 -71 -73
-81 -77
-71 -89
CITARIK HULU CIKIJING BATAS CEMAR BERAT
-95
-87
CIMANDE CITARIK HILIR
Gambar 8 Status mutu air kelas II Sungai Citarik dan anak-anak sungainya Gambar 9 Status mutu air kelas II Sungai Citarik dan anak-anak sungainya waktu (tahun)
0 2008
2009
2010
2011
skor STORET
-20 -22
-31
-31
-40 -60 -80
-31
-38 -55
-43 -53
-56
-44
-48 -57
-59
-70 -69
-71
-100
-31
CITARIK HULU CIKIJING BATAS CEMAR BERAT
-65
-66 -88
CIMANDE CITARIK HILIR
Gambar 10 Status mutu air kelas III Sungai Citarik dan anak-anak sungainya Gambar Status mutu air kelas III Sungai Citarik dan anak-anak sungainya waktu (tahun) 0 0 2008
2009
2010
2011
skor STORET
-10 -20 -30
-9
-12
-14
-17 -25 -27 -31
-15 -20
-23
-40
-14
-30 -31
-24
-31
-24 -31 -32 -41
-50 CITARIK HULU CIKIJING BATAS CEMAR BERAT
CIMANDE CITARIK HILIR BATAS CEMAR SEDANG
Gambar 11 Status mutu air kelas IV Sungai Citarik dan anak-anak sungainya Gambar Status mutu air kelas IV Sungai Citarik dan anak-anak sungainya
37 Sub DAS Cikeruh Parameter-paramter kualitas air di wilayah Sub DAS Cikeruh apabila dibandingkan dengan baku mutu kelas II berada pada status tercemar berat. Parameter-parameter kualitas air di wilayah ini secara keseluruhan berkontribusi terhadap menurunnya status mutu air. Nilai status mutu tersebut relatif stabil pada kisaran nilai status mutu 65-90 hingga tahun 2011 (Gambar 12). Beberapa parameter yang berkontribusi besar di wilayah Cikeruh ini diantaranya TSS, BOD, COD dan total coliform. Kontribusi penurunan kualitas juga bersumber dari anak Sungai Cikeruh yaitu Cisaranten yang sangat berperan terhadap peningkatan konsentrasi parameter tersebut di wilayah tengah Sungai Cikeruh. Hasil pemantauan 13 parameter kualitas air di stasiun pantau bagian hilir Cikeruh menunjukkan secara keseluruhan parameter-parameter terkait berada diatas baku mutu yang ditetapkan. Hal ini menjadi salahsatu penyebab meningkatnya konsentrasi parameter-parameter kualitas air di wilayah hilir Cikeruh. Jika dibandingkan dengan baku mutu kelas III (Gambar 13), Sungai Cikeruh dan anak sungainya juga berada pada status tercemar berat. Hal ini mengindikasikan bahwa sungai-sungai di wilayah Sub DAS Cikeruh sudah tidak layak digunakan untuk pembudidayaan ikan tawar dan peternakan. Jika dibandingkan dengan baku mutu kelas IV (Gambar 14), parameter kualitas air Sungai Cikeruh dan anak sungainya sebagian besar memenuhi baku mutu yang ditetapkan. Sungai Cikeruh dan anak sungainya tersebut berada pada status cemar sedang meskipun di wilayah bagian hulu. Parameter-parameter kualitas air yang tidak memenuhi baku mutu tersebut menunjukkan faktor aktifitas antropogenik hingga ke wilayah bagian hulu. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Sungai Cikeruh dan anak sungainya sudah tidak memenuhi kebutuhan peruntukkan baku mutu kelas IV yang digunakan untuk tanaman. Hasil analisis status mutu berdasarkan kriteria keempat kelas yang ditentukan menunjukkan perbedaan skor STORET antara bagian hulu dan hilir. Hal ini mengindikasikan meskipun pencemaran terdeteksi mulai dari bagian hulu namun, akumulasi pencemaran menjadi salah satu penyebab tingginya pencemaran di bagian hilir. waktu (tahun) 0 2008
2009
2010
2011
Skor STORET
-20 -40 -60 -80 -100
-31
-31
-31
-31
-43
-48 -57
-65
-68 -66
-75
-71
-77 -79
-70
-89 CIKERUH HULU CIKERUH HILIR
CISARANTEN BATAS CEMAR BERAT
Gambar 10 Status mutu air kelas II Sungai Cikeruh dan anak sungainya Gambar 11 Grafik status mutu air Sungai Cikeruh dan anak sungainya
38
waktu (tahun)
0 2008
2009
2010
2011
skor STORET
-20 -31 -40
-31
-31
-31
-33
-34 -42
-60
-54 -54
-57 -57
-60
-80
-61 -61 -60
-75 CIKERUH HULU CIKERUH HILIR
CISARANTEN BATAS CEMAR BERAT
Gambar 12 Status mutu air kelas III Sungai Cikeruh dan anak sungainya (tahun) Gambar 12 Status 0 mutu air kelas III waktu Sungai Cikeruh dan anak sungainya skor STORET
0
-10
2008 -2 -11-8
-20 -30
-31
2009 -11 -12
-14 -27 -31
2010 -11 -12
-15 -17 -31
2011 -11 -12 -17 -23
-31
-40 CIKERUH HULU CIKERUH HILIR BATAS CEMAR SEDANG
CISARANTEN BATAS CEMAR BERAT
Gambar 11 Status mutu air kelas IV Sungai Cikeruh dan anak sungainya Sub DAS 13 Citarum Gambar Status Hulu mutu air kelas IV Sungai Cikeruh dan anak sungainya Sungai Citarik dan Cikeruh bermuara di Sungai Citarum sebagai sungai utama. Kedua sungai ini bermuara pada wilayah yang sangat berdekatan sehingga titik pantau di wilayah Sapan ini sangat berguna untuk mengetahui kontribusi kualitas air kedua sungai ini terhadap Sungai Citarum. Status mutu Sungai Citarum di wilayah Sapan berada pada status cemar berat. Kontribusi anak sungai di Sub DAS Citarum hulu yang ditentukan pada penelitian ini adalah Cirasea, Cikaro, Cikawao dan Cipadaulun. Status mutu anak-anak Sungai Citarum di Sub DAS Citarum hulu ini sebagaimana tercantum pada Gambar 15 menunjukkan berada pada kondisi cemar berat. Dalam rentang waktu 4 tahun, terlihat tidak menunjukkan kecenderungan kearah yang lebih baik. Sungai-sungai yang berada di Sub DAS Citarum hulu ini memberikan hasil yang sama ketika dibandingkan dengan baku mutu kelas III dan IV. Uji terhadap baku mutu kelas III (Gambar 16) menunjukkan anak-anak sungai Citarum hulu berada pada status cemar sedang dan berat. Uji terhadap baku mutu kelas IV (Gambar 17) memberikan hasil yang lebih baik. Sungai Cikaro, Cisangkan dan
39 Cikawao berada pada status cemar ringan dan sedang. Anak-anak Sungai Citarum hulu yang berada di bagian hulu memiliki nilai STORET lebih baik dibandingkan dengan anak-anak sungai yang berada di bagian hilir. Hasil ini mengindikasikan peningkatan pencemaran telah terjadi pada anak-anak sungai di bagian hulu. Parameter BOD, COD dan total coliform berperan besar terhadap skor STORET yang tinggi di bagian hulu. Hal ini menyebabkan konsentrasi parameter DO yang rendah di wilayah ini. Kontribusi anak-anak sungai yang tercemar berat terhadap sungai utama mengindikasikan permasalahan kualitas air di DAS Citarum hulu tidak hanya berada di sekitar aliran sungai utama sebagai faktor domestik dan industri. Namun, permasalahan tersebut telah berada pada jarak yang jauh dari aliran sungai utamanya. waktu (tahun) 0 2008
2009
2010
2011
Skor STORET
-20 -40
-35 -31
-60
-51
-80
-31
-36
-31 -34 -30 -29
-38 -38
-23 -36 -46
-48 -67
-68 -78 -78
-83
-100
-31
-82
-88 -100
-120 CIRASEA CISANGKAN CIKAWAO
CIPADAULUN CIKARO BATAS CEMAR BERAT
Gambar 15 Status mutu air kelas II anak-anak sungai di Sub DAS Citarum hulu
waktu (tahun) 0 2008
2009
2010
skor STORET
-20 -21 -40
-22 -33 -31
2011
-16 -28 -31-25
-31 -35 -33 -31
-20 -23 -31
-60 -59 -80
-36
-48 -71 -70
-78 -88
-100 CIRASEA CIKARO
-64
-83 CIPADAULUN CIKAWAO
CISANGKAN BATAS CEMAR BERAT
Gambar 13 Status mutu air kelas III anak-anak sungai di Sub DAS Citarum hulu Gambar 15 Status mutu air kelas III anak-anak sungai di Sub DAS Citarum hulu
40
waktu (tahun)
0 0 0
0
0 2008-11
2009-11 -15 -13 -13 -31
skor STORET
-20 -20 -40
-31 -36
2010-11 -4 -12 -15 -27
-31
-24
2011-11 -3 -12 -20 -31
-34
-43
-60 -80 -100
-88 CIRASEA CISANGKAN CIKAWAO BATAS CEMAR SEDANG
CIPADAULUN CIKARO BATAS CEMAR BERAT
Gambar 17 Status mutu air kelas IV anak-anak sungai di Sub DAS Citarum hulu
waktu (tahun) 0 2008
2009
2010
2011
skor STORET
-20 -40 -60 -80 -100 CITARUM-SAPAN
BATAS CEMAR BERAT
CITARUM-WANGISAGARA
Gambar 18 Status mutu air Sungai Citarum di stasiun pemantauan Sapan dan Wangisagara Kontribusi Sub DAS yang berasal dari Sungai Citarik di bagian hilir, nilai status mutunya berada pada kisaran 50-90. Sedangkan, Sungai Cikeruh di bagian hilir, nilai status mutunya berada pada kisaran 85-80. Hal ini memberikan nilai status mutu Sungai Citarum di wilayah Sapan sejak tahun 2008 berada pada kisaran 60-90 (Gambar 18). Pada stasiun pemantauan Wangisagara yang berada di wilayah hulu Sungai Citarum, nilai status mutu airnya relatif tidak menunjukkan ke arah yang lebih baik sejak tahun 2008. Faktor antropogenik sangat berperan terhadap pencemaran di kedua wilayah tersebut. Perbedaan nilai status mutu antara wilayah bagian hulu dan bagian hilir ini menunjukkan bahwa peningkatan status mutu berada di wilayah Majalaya. Anak sungai Cirasea dan Cipadaulun memberikan kontribusi terhadap akumulasi pencemaran di wilayah Sapan.
41 Keterkaitan Kualitas Air terhadap Aktifitas Tata Guna Lahan Regresi linear berganda digunakan untuk menentukan arah dan signifikansi yang mewakili hubungan variabel kualitas air dan aktifitas tata guna lahan yang spesifik. Parameter-parameter kualitas air ini sebagai indikator target dari dampak aktifitas tata guna lahan dan perubahannya yang spesifik terhadap parameter tertentu. Setiap parameter kualitas air sebelumnya harus memenuhi beberapa asumsi regresi linear diantaranya distribusi normal, uji normalitas memberikan nilai Anderson-Darling > 0.15, dan uji multikolinearitas dengan nilai VIF < 10. Evaluasi model dilakukan pada setiap tahapan model agar sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Model keterkaitan kualitas air terhadap jenis tata guna lahan dibangun berdasarkan musim penghujan dan musim kemarau. Peterson et al. (2010) menjelaskan bahwa kekuatan keterkaitan antara jenis lanskap dan kondisi aliran berubah sepanjang tahun karena adanya perbedaan musim dalam aktifitas hidrologis dan kategori indikator. Pada musim penghujan, jaringan sungai menyebar secara longitudinal dan lateral (Junk et al. 1989) sehingga mengakibatkan dampak pembilasan pada jalur aliran sebagai media transportasi material baik fisika maupun kimia ke aliran sungai (Olivie-Lauquet et al. 2001). Anak-anak sungai berperan terhadap distribusi pencemaran tersebut hingga terakumulasi pada sungai utamanya. Aktifitas tata guna lahan secara spesifik memberikan kontribusi baik jenis dan konsentrasi pencemar nonpointsource. Implikasi parameter-parameter pencemar terhadap kualitas air bergantung pada besarnya pencemar yang dihasilkan. Pola keterkaitan yang terbangun memberikan hasil yang spesifik terhadap satuan jenis tata guna lahan tertentu. Hasil regresi berganda parameter kualitas air terhadap persentase aktifitas tata guna lahan secara keseluruhan dapat dijelaskan oleh variabel hutan, sawah, pertanian dan permukiman. Tabel 11 Model regresi linear berganda kualitas air terhadap proporsi luas jenis tata guna lahan (%) Kualitas air Satuan STORET Musim Penghujan pH TDS mg/L TSS mg/L o Temperatur C DO mg/L BOD mg/L COD mg/L NO2mg/L TP mg/L H 2S mg/L Musim Kemarau pH TDS mg/L o Temperatur C DO mg/L BOD mg/L COD mg/L
Persamaan regresi storet = -79.4 - 0.603 pertanian + 0.834 pemukiman
r2(adj) 71.6%
p value 0.000
pH = 6.93 + 0.0263 sawah lnTDS = 4.33 + 0.110 pemukiman TSS = 42.31 - 0.6373 sawah + 0.01560 sawah2 temp = 31.4 - 0.104 pertanian DO = 1.77 + 0.0370 pertanian lnBOD = 4.29 - 0.0655 pertanian lnCOD = 5.61 - 0.0609 pertanian NO2- = (0.127078 + 0.0088814 pemukiman)2 TP = 0.520 - 0.00713 pertanian H2S = 0.143 - 0.00194 pertanian
67.2% 71.1% 61.4% 83.4% 54.0% 84.4% 78.7% 59.9% 61.4% 55.5%
0.000 0.000 0.002 0.000 0.003 0.000 0.000 0.000 0.001 0.002
pH = 6.86 + 0.0234 sawah lnTDS = 6.49 - 0.0490 hutan temp = 29.1 - 0.139 hutan DO = 4.04 - 0.0346 sawah BOD = 16.62 - 1.611 sawah + 0.04176 sawah2 COD = 37.19 - 3.529 sawah + 0.09704 sawah2
43.3% 66.6% 51.4% 29.0% 94.4% 94.1%
0.005 0.000 0.002 0.022 0.000 0.000
42 Keterkaitan kualitas air terhadap proporsi jenis tata guna lahan secara statistik pada periode musim penghujan memberikan indikator kategori yang bervariasi (Tabel 11). Jenis tata guna lahan permukiman memberikan hubungan positif terhadap STORET, TDS dan NO2-. Hubungan linear positif STORET terhadap permukiman dipengaruhi oleh parameter-parameter yang melebihi baku mutu yang diindikasikan dengan rendahnya parameter DO. Hubungan TDS terhadap proporsi jenis tata guna lahan permukiman menunjukkan bahwa proporsi permukiman yang semakin besar berpotensi meningkatkan nilai TDS secara logaritmik. Selain itu, hubungan NO2- terhadap proporsi jenis tata guna lahan permukiman menunjukkan peningkatan proporsi permukiman berpotensi meningkatkan nilai NO2- secara kuadratik. Proporsi jenis tata guna lahan permukiman terkait dengan input antropogenik terhadap tingginya aliran limpasan selama musim penghujan. Proporsi luas permukiman identik dengan domestik dan industri. Sumber pencemar yang berasal dari domestik dan industri menjadi fokus perhatian di DAS Citarum hulu karena dianggap sebagai sumber pencemar utama sungai. Kecenderungan nilai parameter-parameter terkait selama rentang waktu 5 tahun terakhir belum menunjukkan peningkatan kualitas dan sebagai salahsatu kontributor tingginya nilai STORET. Jenis tata guna lahan pertanian memberikan hubungan negatif terhadap beberapa parameter kualitas air antara lain nilai STORET, temperatur, BOD, COD, TP dan H2S. Hubungan negatif pertanian terhadap parameter kualitas air pada musim penghujan menunjukkan bahwa jenis tata guna lahan pertanian memiliki kapasitas infiltrasi yang tinggi dan adanya faktor vegetatif. Hal ini dapat memberikan indikasi positif terhadap konservasi karena fungsi vegetasi pada lahan pertanian dapat menjadi penyeimbang terhadap jenis tata guna lahan yang lain. Proporsi jenis tata guna lahan sawah mengindikasikan hubungan positif terhadap parameter pH dan TSS pada musim penghujan. Namun, pada musim kemarau proporsi jenis tata guna lahan sawah mengindikasikan hubungan positif terhadap parameter pH. Parameter padatan tersuspensi ini diasosiasikan dengan proses erosivitas yang dipengaruhi oleh curah hujan, kemiringan lereng, jenis tanah dan pola tata guna lahan. Pola aktifitas jenis tata guna lahan sawah memulai pengolahan sawah menjelang musim hujan. Lokasi dan topografi jenis tata guna lahan sawah mempengaruhi kedua parameter tersebut. Karakteristik sawah sebagian besar berada pada topografi yang relatif datar bahkan dekat dengan sungai. Aliran saat musim penghujan memobilisasi material baik organik maupun partikel tersuspensi lebih cepat dibandingkan dengan pada saat musim kemarau. Pada periode musim kemarau, proporsi luas jenis tata guna lahan sawah menjadi faktor paling penting dalam model regresi linear yang dibangun terhadap beberapa parameter kualitas air (Tabel 11). Proporsi sawah dapat menentukan peningkatan parameter pH sungai, kontrol oksigen terlarut dan jarak proporsi luas sawah terhadap sungai juga menentukan karakteristik BOD dan COD. Parameter BOD dan COD diasosiasikan dengan dekomposisi material organik yang terkandung dalam badan air. Pada periode musim kemarau, debit limpasan yang minimum menyebabkan lamanya waktu tinggal material organik. Sementara itu, ketika parameter BOD dan COD tinggi maka kandungan oksigen terlarut di badan air akan turun. Kandungan oksigen terlarut yang rendah berpotensi dapat meningkatkan temperatur badan air.
43 Parameter temperatur mengindikasikan hubungan negatif terhadap pertanian pada periode musim penghujan dan hutan pada periode musim kemarau. Temperatur yang tinggi pada titik-titik pantauan menunjukkan tingginya tingkat aktivitas metabolik di daerah tersebut yang mengakibatkan rendahnya tingkat oksigen terlarut. Temperatur tinggi yang tak terduga selama musim kemarau bisa disebabkan kedalaman air. Hal ini dapat diamati bahwa kondisi sungai yang kering pada saat musim kemarau menyebabkan sinar matahari dapat menembus air karena kedalaman yang lebih rendah sehingga temperatur air dapat meningkat (Anhwange et al. 2012). Meskipun model regresi linear tersebut merupakan pendekatan yang efektif untuk mengidentifikasi pengaruh signifikan dari input aktifitas tata guna lahan terhadap kualitas air dan menjelaskan hubungan antara intensitas aktifitas tata guna lahan dan kualitas air sungai. Namun, variabel-variabel tersebut tidak secara kuantitatif memperkirakan kontribusi intensitas setiap jenis aktifitas tata guna lahan terhadap kualitas air. Hal ini disebabkan variabel-variabel tersebut hanya didasarkan pada adanya signifikansi statistik dalam analisis data, daripada setiap hubungan mekanistik antara sumber dan penerima (Zhang et al. 2012).
Kalibrasi dan Validasi Model Kalibrasi model Kalibrasi keterkaitan perubahan aktifitas tata guna lahan terhadap kualitas air menggunakan data proporsi luas aktifitas tata guna lahan dan kualitas air setiap stasiun tahun 2011 di DAS Citarum hulu. Kalibrasi dilakukan berdasarkan selisih antara nilai aktual dan nilai model. Parameter-parameter terkait memberikan hasil overestimate dan underestimate dengan nilai error yang bervariasi (Tabel 12). Nilai selisih negatif parameter menunjukkan model prediktif underestimate, sedangkan nilai selisih positif parameter menunjukkan model prediktif overestimate terhadap nilai aktual validasi. Kriteria penetapan persentase kalibrasi dan validasi sebesar < 30% yang dapat diterima sebagai model yang baik. Strayer et al. (2003) menjelaskan bahwa kekuatan prediktif model yang memadai dapat dinilai salahsatunya dengan nilai r2 dari model. Kriteria r2 dari model merupakan ukuran berapa banyak variasi dalam variabel respon dapat dijelaskan oleh variabel prediktor. Hal ini berarti bahwa model tersebut relevan jika digunakan untuk memprediksi variabel lingkungan pada lokasi tertentu. Kriteria kedua terkait dengan keakuratan model. Beberapa faktor dapat mempengaruhi ketidakakuratan model diantaranya komposisi atribut jenis tata guna lahan yang tidak homogen dan asumsi pengaruh langsung variabel tata guna lahan terhadap variabel respon. Asumsi pengaruh langsung tersebut setidaknya ada dua masalah yang akan dihadapi, adanya lag time perubahan tata guna lahan terhadap respon ekosistem dan efek dari perubahan tata guna lahan tersebut terhadap respon ekosistem yang terjadi selama beberapa dekade. Istilah “hutan” pada penelitian ini terdiri atas Hutan lahan Primer (HLP), Hutan Lahan Sekunder (HLS) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Faktor HTI dalam rentang 10 tahun terakhir terindikasi mengkonversi sebagian wilayah HLS sebesar 11.48% dari total luas HLS pada tahun 2000 dan perubahan HTI menjadi Pertanian Lahan Kering campur Semak (PLKS) sebesar 13.78% dari total HTI
44 pada tahun 2000. Luas jenis tata guna lahan HTI secara proporsi relatif seimbang dalam rentang 10 tahun terakhir. Namun, pergeseran antar jenis tata guna lahan tersebut menimbulkan adanya lag time dalam aktifitas perubahannya dan dapat memberikan dampak terhadap kualitas air. Tabel 12 Persentase kalibrasi model kualitas air terhadap proporsi luas jenis tata guna lahan (%) Parameter STORET Musim penghujan pH TDS TSS Temperatur DO BOD COD NO2 TP H2S Musim kemarau pH TDS Temperatur DO BOD COD
Aktual -40
Model -51.38
∆ -11.38
% 28.45
6.96 148 32 23.7 8.8 3.04 12.8 0.004 0.07 0.05
7.09 88.73 38.95 26.36 3.56 3.06 14.31 0.0195 0.175 0.049
0.13 -59.27 6.95 2.66 -5.24 0.02 1.51 0.0155 0.105 -0.001
1.87 40.05 21.72 11.22 59.55 0.66 11.80 387.50 150.00 2.00
7.35 190.75 22 6.43 2.47 15.52
7.01 137.07 24.65 3.83 8.23 19.02
-0.34 -53.68 2.65 -2.6 5.76 3.5
4.63 28.14 12.05 40.44 233.20 22.55
Istilah kedua yang digunakan pada penelitian ini adalah “pertanian”. Istilah tersebut terdiri atas Pertanian Lahan Kering (PLK), PLKS dan semak/belukar. Jenis tata guna lahan PLKS di DAS Citarum hulu dalam rentang 10 tahun terakhir merupakan lahan konversi yang berasal dari HTI. Disamping itu, pola perubahan yang banyak terjadi berasal dari semak/belukar dan tanah terbuka hingga hampir 50% dari total luasnya pada tahun 2000. Hal ini berpotensi mempengaruhi respon ekosistem aliran yang bersifat jangka panjang. Ketika introduksi input bahan kimia baru baik pengggunaan pupuk atau pestisida maupun spesies tanaman baru berpotensi memberikan pengaruh langsung terhadap respon ekosistem. Faktor asumsi ini sangat diperlukan terkait dengan kemampuan prediktf model. Kalibrasi model STORET (Gambar 19) periode musim penghujan (Gambar 20) dan musim kemarau (Gambar 21) untuk mengetahui kedekatan nilai observasi terhadap nilai model. Data observasi dan prediksi parameter kualitas air dibandingkan menggunakan scatter plot. Hasil plot data menunjukkan bahwa parameter yang terdistribusi di garis 45o memiliki hubungan linear kuat diantara kedua parameter (Zhang dan Wang 2012). Strayer et al. (2003) menambahkan bahwa beberapa strategi untuk meningkatkan kekuatan prediktif model empiris yang menghubungkan tutupan lahan dan ekosistem sungai yaitu (1) penambahan data set yang lebih besar dapat meningkatkan ketepatan kemiringan regresi, meskipun tidak selalu dapat meningkatkan nilai r2 model, (2) membuat kelas tutupan lahan lebih homogen melalui disagregasi kelas yang sangat heterogen agar model empiris lebih prediktif dan memberikan wawasan tentang karakteristik tata guna lahan dalam pengaruhnya terhadap aliran (3) eksplorasi
45 lebih lanjut dari tata guna lahan pada berbagai skala temporal dapat meningkatkan model empiris secara signifikan pada berbagai situasi karena terkait faktor penting lag time yang berpengaruh secara temporal. prediksi STORET 0 -120
-90
-60
-30
0 observasi STORET
-30
-60
-90
-120
Gambar 19 Kalibrasi model keterkaitan STORET terhadap jenis tata guna lahan 1500 observasi TDS (mg/L)
10
observasi pH
9 8 7
1000
500
0
6 6
7
8
9
0
10
1000
1500
prediksi TDS (mg/L)
prediksi pH 100
32 observasi temperatur (oC)
observasi TSS (mg/L)
500
75 50 25 0 0
25
50
75
prediksi TSS (mg/L)
100
30 28 26 24 22 20 20
22
24
26
28
prediksi temperatur
30
32
(oC)
Gambar 20 Kalibrasi model keterkaitan parameter kualitas air terhadap jenis tata guna lahan periode musim penghujan
46 100
observasi BOD (mg/L)
observasi DO (mg/L)
6
4
2
75 50 25 0
0 0
2
4
0
6
75
100
0.20
observasi NO2 (mg/L)
300 observasi COD (mg/L)
50
prediksi BOD (mg/L)
prediksi DO (mg/L)
200
100
0
0.15 0.10 0.05 0.00
0
100
200
300
0.00
prediksi COD (mg/L)
0.05
0.10
0.15
0.20
prediksi NO2 (mg/L) 0.25 observasi H2S (mg/L)
0.800 observasi TP (mg/L)
25
0.600 0.400 0.200 0.000 0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 prediksi TP (mg/L)
0.20 0.15 0.10 0.05 0.00 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 prediksi H2S (mg/L)
Gambar 20 (Lanjutan) Kalibrasi model keterkaitan parameter kualitas air terhadap jenis tata guna lahan periode musim penghujan
47 800 observasi TDS (mg/L)
10
observasi pH
9
8
7
600 400 200 0
6 6
7
8
9
0
10
30
600
800
8
28 observasi DO (mg/L)
observasi temperatur (oC)
400
prediksi TDS (mg/L)
prediksi pH
26 24 22
6 4 2 0
20 20
22
24
26
28
0
30
2
4
6
8
prediksi DO (mg/L)
prediksi temperatur (oC) 400 observasi COD (mg/L)
180 observasi BOD (mg/L)
200
120
60
0
300 200 100 0
0
60
120
prediksi BOD (mg/L)
180
0
100
200
300
400
prediksi COD (mg/L)
Gambar 21 Kalibrasi model keterkaitan parameter kualitas air terhadap jenis tata guna lahan periode musim kemarau
48 Kemampuan prediktif akan menurun atau bahkan gagal jika tidak memperhatikan pertimbangan eksplisit yang merupakan batasan model. Model empiris setidaknya dapat digunakan untuk prediksi ketika model mekanistik memiliki ketidaksesuaian informasi untuk membangunnya. Model empiris ini juga berfungsi sebagai alternatif batasan dalam membangun model mekanistik (Strayer et al. 2003). Hubungan sebab-akibat umumnya dibangun dengan menggunakan model berbasis proses, di mana pertukaran materi atau energi secara matematis dimodelkan berdasarkan pengetahuan dan pemahaman ekologi. Pendekatan representasi eksplisit lanskap yang disajikan secara spasial akan memberikan informasi lebih lanjut tentang hubungan sebab-akibat daripada pendekatan lumped non spasial serta dapat dengan mudah diimplementasikan tanpa memperhatikan perbedaan regional (Peterson et al. 2010). Validasi model keterkaitan di Sub DAS Ciliwung hulu Sub DAS Ciliwung hulu terletak pada geografis 6° 36’ 45” - 6° 46’ 30” LS dan 106° 48’ 45” - 107° 00’ 30” BT dengan luas wilayah 147.98 km2. Wilayah ini berada di Kabupaten Bogor yang meliputi Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung (Gambar 22). Wilayah ini memiliki curah hujan yang berkisar 3000-4000 mm/tahun. Jumlah penduduk ketiga kecamatan tersebut cenderung mengikuti pola aliran sungai Ciliwung dengan proporsi luas permukiman sebesar 11.34% dari total luas wilayah Sub DASnya. Hal ini menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan menjadi daerah terbangun sehingga berpotensi meningkatkan aliran limpasannya. Tabel 13 menunjukkan jumlah dan kepadatan penduduk wilayah ini dalam rentang waktu 2009-2011.
Gambar 22 Peta tata guna lahan Sub DAS Ciliwung hulu
49 Tabel 13 Jumlah dan kepadatan penduduk Sub DAS Ciliwung hulu berdasarkan administrasi kecamatan No. 1 2 3
Kecamatan Ciawi Cisarua Megamendung Jumlah
2009 93749 110040 91518 295307
Jumlah Penduduk 2010 94719 110148 91377 296244
2011 94806 110148 90991 295945
Kepadatan (jiwa/km2) 36.73 17.28 22.82
Sumber: BPS, kabupaten Bogor dalam angka 2012
Faktor proporsi luas tata guna lahan hutan sudah menjadi kesepakatan umum bagaimana hutan memiliki peran yang sangat penting terhadap sumberdaya air di suatu DAS. Praktek konservasi hutan dengan mempertahankan luas vegetasi permanen harus bersinergi dengan jenis tata guna lahan yang lain. Model keterkaitan yang dibangun menunjukkan bahwa secara komposisi atribut pada skala DAS, konservasi hutan di wilayah hulu belum cukup, diperlukan sinergi tersebut tanpa menurunkan nilai dari setiap jenis tata guna lahannya. Hasil input proporsi luas tata guna lahan Sub DAS Ciliwung hulu terhadap model keterkaitan yang dibangun. Titik pantauan yang dipilih berada bagian paling hilir Sungai Ciliwung hulu di Jembatan Ciawi. Output model sebagaimana tercantum pada Tabel 14 menunjukkan bahwa secara statistik nilai input parameter pada musim penghujan di Sub DAS Ciliwung hulu untuk parameter TDS, TSS, temperatur, COD, NO2- dan H2S memberikan nilai overestimate tetapi parameter pH, DO, BOD, fosfat memberikan nilai underestimate. Parameter kualitas air memiliki karakteristik masing-masing di setiap wilayah. Input parameter pada musim kemarau di Sub DAS Ciliwung hulu untuk parameter pH, temperatur, DO, dan BOD memberikan nilai underestimate dan hanya parameter COD yang memberikan nilai overestimate. Tabel 14 Validasi model keterkaitan kualitas air terhadap jenis tata guna lahan di Sub DAS Ciliwung hulu Parameter Aktual STORET -30 Musim penghujan pH 8.82 TDS 54.6 TSS 8 Temperatur 22 DO 6.98 BOD 31 COD tda NO2 0.006 TP 0.31 H2S <0.005 Musim kemarau pH 6.91 TDS 44.15 Temperatur 24 DO 4.63 BOD 25.5 COD tda
Model -54.98
∆ -24.98
% 83.27
6.93 176.37 42.31 26.09 3.66 2.57 12.17 0.038 0.156 0.044
-1.89 121.77 34.31 4.09 -3.32 -28.43 0.032 -0.154 0.039
21.43 223.02 428.88 18.59 47.56 91.71 533.33 49.68 780.00
6.86 102.11 23.81 4.04 16.61 37.19
-0.05 57.96 -0.19 -0.59 -8.89 -
0.72 131.28 0.79 12.74 34.86 -
50 Implikasi hasil model keterkaitan kualitas air terhadap proporsi jenis tata guna lahan di Sub DAS Ciliwung hulu menunjukkan bahwa wilayah ini lebih dipengaruhi oleh faktor permukiman yang mengikuti pola sungai dan sebagian besarnya tidak sesuai dengan tata ruang daerah. Jenis tata guna lahan pertanian yang masih menerapkan pola pertanian konvensional juga memberikan efek kurang baik secara kuantitas maupun kualitas aliran sungai. Perbedaan pola ruang DAS Ciliwung hulu ini menyebabkan nilai selisih model lebih besar dibandingkan dengan DAS Citarum hulu untuk parameter tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa kesalahan pola ruang pada topografi dan jenis tanah yang berbeda akan memberikan output yang berbeda untuk parameter kualitas air tertentu. Parameter kunci terkait dengan input material organik di Sub DAS Ciliwung hulu perlu dijadikan fokus evaluasi baik yang bersumber dari permukiman maupun pertanian. Hal ini disebabkan kedua parameter tersebut memberikan kontribusi paling besar terhadap status mutu air secara keseluruhan. Sub DAS Ciliwung hulu memiliki potensi proporsi pertanian sebesar 51% dari luas wilayahnya. Potensi proporsi yang besar tersebut perlu meningkatkan peran sektor pertanian sebagai fungsi penyangga dalam rangka konservasi sumberdaya air. Yustika et al. (2012) menjelaskan bahwa kombinasi aplikasi teknik konservasi tanah di DAS Ciliwung hulu dapat menurunkan aliran limpasan sebesar 79.31%. Oleh karena itu, pengelolaan kualitas air dalam rangka pengelolaan sumberdaya air di wilayah ini harus ditekankan pada aspek soft engineering dan sosiohidrologi sebelum pendekatan sipil teknis diterapkan.
Tata Guna Lahan dan Hidrologi DAS Hasil analisis jenis tata guna lahan di setiap Sub DAS menunjukkan bahwa selama rentang waktu tahun 2000 hingga 2011 telah terjadi perubahan jenis tata guna lahan. Penurunan luas tata guna lahan terjadi pada jenis semak/belukar dan tanah terbuka. Dampak penurunan tersebut mengarah pada peningkatan luas pertanian dan HTI. Hal ini memberikan indikasi yang baik karena dapat meningkatkan luas tutupan bervegetasi. Penurunan proporsi wilayah juga terjadi pada sawah yang mengalami konversi terhadap permukiman sebesar 0.41% dari luas batas DASnya di Cikeruh hulu. Sutono et al. (2004) menjelaskan bahwa alih fungsi lahan terus berlangsung sesuai dengan kebutuhan, baik untuk mengembangkan permukiman ataupun untuk penggunaan lain. Peningkatan luas daerah permukiman ada yang perlahan-lahan mengikuti perkembangan penduduk setempat, tetapi ada juga yang menetapkan suatu areal tertentu dijadikan permukiman oleh pengembang. Perubahan tata guna lahan dari lahan sawah menjadi permukiman, dengan asumsi bahwa kepekaan tanahnya terhadap erosi tidak berubah, menyebabkan terjadinya penurunan jumlah erosi, sedangkan apabila perubahan tersebut menjadi kebun campuran akan meningkatkan jumlah erosi karena adanya penurunan tutupan lahan. Peningkatan dan penurunan jumlah erosi berpotensi terhadap penurunan kualitas air pada aliran sungai. Tipe tata guna lahan mempengaruhi sifat hidrologi dan fisik DAS. Pelaksanaan kebijakan tata guna lahan dapat membantu masyarakat dan daerah menyeimbangkan tuntutan pertumbuhan dengan kesehatan sumber daya lingkungan. Aktifitas tata guna lahan merupakan penyumbang utama terhadap
51 kualitas air. Peningkatan koordinasi perencanaan lingkungan dapat membantu mengurangi efek merugikan dari tata guna lahan dan curah hujan melalui limpasan terhadap kualitas air (Sipes 2010). Perubahan tata guna lahan yang satu terhadap yang lain berpotensi meningkatkan debit limpasan. Perubahan tata guna lahan yang berpotensi mengurangi daya serap lahan akan mempercepat aliran materi ke sungai. Setiap jenis tata guna lahan berpotensi mempercepat aliran materi tersebut karena bergantung pada curah hujan, topografi dan jenis tanah. Wilayah studi memiliki variasi curah hujan rata-rata 1000-3500 mm/tahun. Curah hujan tertinggi berada di Sub DAS Citarum hulu dan Cikeruh hulu hingga sekitar 3500 mm/tahun. Topografi wilayah bagian hulu memiliki kemiringan sekitar > 8% dengan jenis tanah yang bervariasi. Pola perubahan tata guna lahan berdasarkan karakteristik DAS harus sesuai dengan peruntukkannya dalam rangka menjaga proporsi luas setiap jenis tata guna lahan terhadap wilayah DAS secara keseluruhan. Setiap jenis tata guna lahan memiliki dampak penyeimbang antara satu dengan yang lain. Hasil perhitungan koefisien limpasan menunjukkan bahwa nilai koefisien wilayah studi bervariasi 0.21-0.37. Hal ini berarti bahwa persentase curah hujan sekitar 21-37% berubah menjadi limpasan. Apabila laju perubahan luas tata guna lahan terus meningkat tanpa mempertimbangkan proporsinya terhadap luas Sub DAS maka akan meningkatkan volume aliran limpasan. Hal tersebut terutama ketika terjadi konversi lahan bervegetasi menjadi non vegetasi. Peningkatan volume limpasan tersebut akan mempengaruhi aliran rejim alami sungai. Hal tersebut memberikan dampak buruk terhadap aliran Sungai Citarum mengingat Sungai Citarik dan Cikeruh dapat berfungsi sebagai kontrol hidrologi terhadap Sungai Citarum. Perubahan tata guna lahan di beberapa wilayah batas DAS berpotensi merubah debit aliran limpasannya. Peningkatan debit limpasan terjadi dalam rentang tahun 2003-2006 di Citarik hulu. Hal tersebut disebabkan adanya perubahan satuan lahan hutan menjadi non hutan. Peningkatan juga terjadi dalam rentang tahun yang sama di wilayah Cikeruh hulu. Peningkatan tersebut disebabkan adanya perubahan lahan sawah menjadi permukiman. Namun, dalam rentang tahun tersebut juga terjadi penurunan debit limpasan di wilayah CitarumWangisagara, Cimande dan Cikijing. Penurunan tersebut disebabkan adanya perubahan lahan non hutan menjadi HTI. Dalam rentang tahun 2006-2011, peningkatan debit limpasan terjadi di wilayah Cikaro. Hal ini disebabkan adanya perubahan lahan semak/belukar menjadi PLK. Disamping itu, penurunan debit limpasan terjadi di wilayah Cikawao dan Citarum-Majalaya. Hal ini disebabkan adanya perubahan lahan non hutan menjadi HTI.
Keterkaitan Tata Guna Lahan dan Kualitas Air Salahsatu evaluasi yang dilakukan berdasarkan karakteristik tata air dan tata guna lahan dengan membangun keterkaitan antara parameter kualitas air terhadap tata guna lahan. Keterkaitan secara statistik ini untuk membangun indikator target parameter kualitas air tertentu yang memiliki korelasi terhadap variabilitas jenis tata guna lahan. Setiap Sub DAS memiliki karakteristik aktifitas tata guna lahan yang berbeda-beda. Setiap jenis tersebut dapat mewakili parameter kualitas air tertentu terkait kontribusinya terhadap kualitas air sungai. Amiri dan Nakane
52 (2008) menjelaskan bahwa perubahan pola tutupan lahan akibat perubahan atribut komposisi dan luas tutupan lahan akan menyebabkan perubahan kualitas air sungai. Dalam rangka menghasilkan alat pengelolaan secara spasial berdasarkan penerapan luas lanskap sehingga dapat dijelaskan variasinya terhadap kualitas air sungai. Hal tersebut diperlukan untuk mengetahui bagaimana atribut komposisi dan luas tutupan lahan akan diubah melalui implementasi perencanaan tata guna lahan baik pada tingkat lokal ataupun regional. Evaluasi model diperlukan agar variasi luas lanskap dapat dijelaskan oleh parameter kualitas air. Moriasi et al. (2007) melaporkan evaluasi kinerja model menggunakan persen bias parameter kualitas air dalam rentang nilai hingga ±70% untuk predikat memuaskan. Rating kinerja harus mempertimbangkan kualitas ketersediaan data yang digunakan untuk membangun model. Kualitas data semakin baik maka rating kinerja modelpun harus lebih ketat yang diindikasikan dengan batasan rentang persentase lebih rendah. Hal ini disebabkan kualitas data yang kurang baik akan memberikan ketidakpastian yang tinggi. Meskipun tingkat keakuratan suatu model akan bervariasi bergantung pada tujuannya. Keterkaitan antara kualitas air dan aktifitas tata guna lahan secara keseluruhan signifikan pada (p value < 0.05) dengan koefisien variasi berada direntang 29-95%. Hasil ini sejalan dengan studi lain yang menemukan bahwa parameter kualitas air DAS bagian hulu dipengaruhi oleh proporsi dan luas jenis tata guna lahan (Amiri dan Nakane 2008) dominasi hutan dan pertanian (Firdaus dan Nakagoshi 2013), pertanian (Zhang et al. 2012) terutama di daerah tropis (Uriarte et al. 2011). Hasil ini memberikan dukungan bukti untuk studi sebelumnya sehingga dapat digunakan sebagai referensi pada studi terkait dalam mengestimasi respon kualitas air terhadap perubahan tata guna lahan (Zhang dan Wang 2012). Kriteria signifikansi yang ditetapkan menyebabkan beberapa parameter kualitas air tidak terpilih sebagai model pada tahap regresi bertatar. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun pada fakta di lapangan beberapa parameter terindikasi sebagai pencemar, namun dalam pengelolaannya, pengendalian terhadap parameter-parameter tersebut dapat dilakukan dengan metode lain yang lebih relevan. Parameter-parameter kualitas air yang memiliki bias pada tahapan validasi mengindikasikan adanya pengaruh pola ruang yang berbeda pada skala dan luas yang berbeda. Hal tersebut memerlukan validasi lebih lanjut dengan frekuensi pemantauan yang lebih besar. Zhang dan Wang (2012) melaporkan bahwa studi terkait menawarkan bukti yang mendukung penelitian sebelumnya sebagai referensi untuk penelitian serupa dalam memperkirakan respon kualitas air terhadap perubahan tata guna lahan. Model dapat membantu memeriksa sensitivitas relatif variabel kualitas air terhadap perubahan jenis tata guna lahan dalam suatu DAS. Nilai-nilai terprediksi merupakan kedekatan dengan nilai pantauan sebenarnya. Nilai tersebut menunjukkan bahwa dengan sedikit kalibrasi dan validasi, model regresi dapat diterapkan pada wilayah DAS lainnya dengan skala geografis dan variabel lanskap yang berbeda. Zhang dan Wang (2012) menambahkan pada penelitian terkait juga menunjukkan bahwa dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan, pengelolaan lahan harus mempertimbangkan potensi dampak tata guna lahan terhadap perubahan kualitas air dalam skala DAS. Hasilnya dapat memberikan wawasan tentang hubungan antara jenis tata guna lahan dan kualitas air sungai.
53 Model regresi telah digunakan dalam beberapa cara oleh para perencana lingkungan dan bidang lain yang tertarik dalam pengelolaan DAS. Jika pola tata guna lahan berubah, tingkat kontaminan pun akan berubah. Hanya dengan perencanaan tata guna lahan yang lebih baik akan mampu mengurangi penurunan kualitas air.
Implikasi Keterkaitan Tata Guna Lahan dan Kualitas Air Tata guna lahan terhadap status kualitas air Peningkatan parameter secara keseluruhan diindikasikan oleh nilai STORET yang menunjukkan hubungan negatif terhadap proporsi jenis tata guna lahan pertanian. Status mutu air secara keseluruhan menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu satuan proporsi luas pertanian akan berkontribusi menurunkan nilai STORET sebesar 0.6. Disamping itu, proporsi luas permukiman berkontribusi meningkatkan nilai STORET sebesar 0.83. Meski tanpa kontribusi pertanian dan permukiman nilai STORET berstatus cemar berat sebesar -79. Nilai STORET yang tinggi dipengaruhi oleh parameter-parameter pencemar yang melebihi baku mutu. Hasil ini mengindikasikan kesalahan penatagunaan lahan akibat dari aktifitas antropogenik yang berasal dari satuan lahan permukiman memberikan kontribusi lebih besar terhadap nilai STORET dibandingkan dengan peran keseimbangan dari satuan lahan pertanian. Nilai STORET batas DAS yang berada di bagian hilir cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan batas DAS bagian hulu. Hal ini terjadi pada wilayahwilayah seperti Cirasea dan Cipadaulun di Sub DAS Citarum hulu. Kedua wilayah tersebut berada pada status cemar berat meskipun dibandingkan dengan baku mutu kelas IV. Jenis tata guna lahan di wilayah tesebut sebagian besar terdiri atas permukiman dan sawah. Persentase Nilai IPL wilayah Cirasea hanya sebesar 4.11% sedangkan wilayah Cipadaulun tidak memiliki vegetasi permanen. Hal ini memberikan respon aliran limpasan sebesar 30.56 m3/detik (Cirasea) dan 21.24 m3/detik (Cipadaulun). Meskipun kecenderungan tidak berubah dalam 10 tahun terakhir, namun karakteristik hidrologi dan tata guna lahan memberikan kontribusi terhadap tingginya nilai STORET. Disamping itu, wilayah bagian hilir DAS Citarum hulu memiliki kawasan industri seperti wilayah Majalaya. Proporsi satuan lahan permukiman di ruas Sungai Citarum bagian hilir ini mengikuti pola ruang sungai sehingga berpotensi bias terhadap aliran limpasan yang berasal dari satuan lahan lainnya. Kestabilan nilai STORET dalam rentang tahun 2008 sampai 2011 mengindikasikan efek jangka panjang faktor antropogenik terhadap degradasi kualitas air di wilayah ini. Pada dasarnya peningkatan nilai STORET perlu didukung oleh berbagai jenis satuan tata guna lahan. Namun, satuan lahan yang bervariasi memerlukan kesesuaian proporsi pada setiap batas DAS. Kombinasi satuan lahan pertanian dan permukiman diperlukan pada wilayah dengan proporsi permukiman yang dominan. Distribusi spasial status kualitas air menunjukkan bahwa batas DAS bagian hulu yang didominasi oleh proporsi lahan hutan dan pertanian, memiliki status kualitas air lebih baik dibandingkan batas DAS bagian hilir yang didominasi oleh proporsi permukiman. Satuan lahan permukiman merupakan kombinasi antara domestik dan industri. Kerapatan penduduk dan menjadikan
54 wilayah hulu sebagai sentra industri memberikan keunikan tersendiri mengingat konsekuensinya terhadap degradasi lingkungan. Pola distribusi spasial cenderung lebih dekat dengan sungai dan memiliki topografi datar. Hal ini menyebabkan ekspansi peningkatan proporsi keduanya dalam 10 tahun terakhir berasal dari konversi lahan sawah yang berada pada topografi datar. Hal ini berpotensi meningkatkan degradasi kualitas air. Oleh karena itu, peran peningkatan kualitas air diperlukan melalui keseimbangan proporsi lahan permukiman dan pertanian. Tata guna lahan hutan Dalam suatu wilayah DAS, sudah menjadi pemahaman umum bagaimana peran penting jenis tata guna lahan hutan terhadap peningkatan kualitas air. Peningkatan satu satuan proporsi luas hutan pada musim kemarau maka temperatur sungai dan konsentrasi TDS akan menurun sebesar 0.14 oC dan 1.05 mg/L. Penurunan ini dapat terjadi karena curah hujan yang rendah mengakibatkan stabilitas tanah pada lahan-lahan non hutan menjadi lebih baik apabila dibandingkan pada musim penghujan sehingga potensi erosi berkurang. Disamping itu, tata guna lahan hutan yang baik dapat mempengaruhi iklim mikro di sekitarnya sehingga dapat menurunkan temperatur sungai karena potensi aliran sungai minimum yang terjadi pada musim kemarau. Faktor nilai manfaat menjadi salah satu penyebab benturan kepentingan dalam pengelolaan hutan. Hal tersebut berpotensi menimbulkan gangguan terhadap tata guna lahan hutan. Dessie dan Bredemeier (2013) menjelaskan bahwa faktor pertumbuhan penduduk di bagian hilir menjadikan tekanan kebutuhan lahan pertanian mengarah ke bagian hulu. Konversi satuan lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang terjadi di DAS Citarum hulu berasal dari satuan lahan Hutan Lahan Sekunder (HLS), Pertanian Lahan Kering (PLK) dan semak/belukar. Perubahan tata guna lahan menjadi tanaman budidaya dapat mempengaruhi aliran limpasan. Hal ini membutuhkan suatu pendekatan pengelolaan terkait dengan produksi tanaman komersial tanpa berpotensi menurunkan kualitas air. Satuan jenis Hutan Lahan Primer (HLP) dan HLS merupakan kawasan lindung yang harus dijaga proporsi luasnya karena fungsi kawasan lindung dari kedua jenis satuan lahan tersebut. Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden No. 33 tahun 2011 tentang kebijakan nasional pengelolaan sumberdaya air menjelaskan bahwa setiap wilayah DAS harus menetapkan dan mempertahankan luas kawasan hutannya minimal sebesar 30%. Pencapaian proporsi tersebut harus didukung dengan pengelolaan lahan yang dapat mencegah aliran limpasan berlebih dan bersifat menstabilkan tanah. Perbaikan dapat dilakukan terhadap kedua satuan jenis lahan tersebut melalui rehabilitasi lahan. Asdak (2007) menjelaskan bahwa rehabilitasi lahan hutan dapat dilakukan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Menghilangkan atau membatasi faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan sumberdaya hutan atau lahan hutan. 2. Memeperluas atau mempertahankan vegetasi, terutama pada lahan-lahan yang tidak atau kurang ditumbuhi vegetasi. 3. Memisahkan aliran air (hujan) dari jalan hutan dengan cara membuat sistem drainase pada jalan tersebut. 4. Menutup jalan-jalan hutan yang tidak direncanakan dengan baik atau tidak dilengkapi dengan saluran-saluran pembuangan air.
55 Dasar prinsip tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan fleksibilitas satuan jenis hutan tanaman industri (HTI) terhadap satuan jenis lahan pertanian dengan fungsi HTI sebagai penyangga agar gangguan ekspansi pertanian tidak mencapai lahan kawasan lindung. Salah satu alternatif praktek pengelolaan yang dapat dilakukan dengan cara agroforestri dalam rangka mencapai sasaran optimal proporsi luas kawasan hutan. Ong dan Swallow (2003) menjelaskan bahwa meskipun ada potensi besar sistem agroforestri untuk melestarikan dan meningkatkan sumber daya lahan, namun tidak berarti agroforestri secara otomatis dapat memberikan banyak manfaat. Sistem agroforestri harus sesuai dengan lingkungannya (iklim, tanah, dan lain-lain), dapat diterapkan, ekonomis dan dapat diterima oleh petani. Sistem agroforestri perlu dikelola dengan baik untuk mencapai nilai manfaatnya. Jika kondisi ini terpenuhi, ada potensi besar agroforestri untuk menggabungkan produksi dengan pengelolaan lahan berkelanjutan. Tata guna lahan pertanian Peningkatan satu satuan proporsi luas pertanian akan menurunkan parameter temperatur sungai, BOD, COD, TP dan H2S pada musim penghujan sebesar 0.1 o C, 1.07 mg/L, 1.06 mg/L, 0.00713 mg/L, dan 0.00194 mg/L. Sementara itu, pada musim kemarau peningkatan satu satuan proporsi luas pertanian akan menaikkan DO sungai sebesar 0.04 mg/L. Hasil ini mengindikasikan bahwa secara proporsi, satuan lahan pertanian dapat mengurangi berbagai jenis pencemar. Ekosistem perairan yang baik diindikasikan dengan nilai DO yang tinggi. Uriarte et al. (2011) menjelaskan bahwa konsentrasi DO lebih besar di DAS yang jenis tata guna lahannya didominasi oleh pertanian. Aliran pada wilayah pertanian biasanya tetap pada kondisi baik apabila luasnya relatif tinggi, biasanya 30-50% dari luas daerah tangkapan air wilayah hulu. Pada penelitian ini luas jenis tata guna lahan pertanian memiliki proporsi terbesar sekitar 41% dari total luas wilayah studi. Setiap batas DAS secara keseluruhan memiliki proporsi pertanian yang besar baik jenis lahan PLK maupun PLKS. Potensi proporsi luas pertanian DAS Citarum hulu yang besar tersebut seharusnya mampu menjadi penyeimbang terhadap degradasi kualitas air tersebut. Praktek pengelolaan lahan dengan merubah jenis vegetasi yang berakar dalam menjadi vegetasi berakar dangkal sebagai penyebab tidak efektifnya peran pertanian dalam menjaga keseimbangan kualitas air. Hal tersebut mengakibatkan aliran limpasan yang tinggi sehingga meningkatkan konsentrasi parameterparameter terkait pada musim penghujan. Pola pengelolaan lahan yang tidak berwawasan lingkungan tersebut berpotensi mempengaruhi keterkaitan antar parameter kualitas air. Faktor debit limpasan berperan dalam pelarutan material yang berasal dari lahan pertanian seperti unsur hara, residu pupuk dan pestisida. Aliran nutrien yang berasal dari lahan pertanian tersebut melalui limpasan ke badan air memiliki pengaruh sangat besar terhadap peningkatan konsentrasi BOD dan COD. Hasil pemantauan kualitas air setiap batas DAS mengindikasikan secara keseluruhan konsentrasi BOD dan COD berada di atas baku mutu yang ditetapkan meskipun dibandingkan dengan baku mutu kelas IV. Pada wilayah batas DAS yang memiliki proporsi PLK dan PLKS yang besar dengan kelerengan > 8%, pengaruh antar parameter
56 perlu dipertimbangkan karena peningkatan konsentrasi parameter TP dan H2S berpotensi mempengaruhi konsentrasi BOD dan COD di badan air. Penentuan pengelolaan pertanian berdasarkan indikator kategori kualitas air dengan memaksimalkan faktor non struktural. Pengelolaan jalur penyangga dapat memberikan manfaat yang besar terhadap kualitas lingkungan. Lovell et al. (2006) menjelaskan bahwa manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan jalur penyangga diantaranya mampu mengurangi laju sedimentasi, menahan laju aliran pencemar melalui limpasan, meningkatkan keanekaragaman flora dan fauna serta menjaga temperatur sungai. Prinsip pengelolaan lahan pertanian tersebut dilakukan dengan mengontrol potensi sumber pencemar agar dapat meminimalkan aliran limpasan yang berasal dari lahan pertanian. Praktek pengelolaan yang dapat dilakukan dengan mereduksi potensi erosi, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, aplikasi pemupukan yang tepat dan menjaga struktur tanah. Tutupan vegetasi berkayu dapat berperan penting dalam praktek pengelolaan tersebut. Rusdiana dan Ghufrona (2011) melaporkan bahwa rekomendasi pola penanaman berdasarkan Pedoman Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Dephut 2007) yang meliputi pembuatan sabuk hijau (green belt) di sekeliling area perairan dengan komposisi: min. 60% pohon kayu-kayuan dan maks. 40% MPTS (Multi Purpose Tree Species) serta jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi lapangan (1100 batang/ha). Pengelolaan kualitas air dalam rangka penatagunaan lahan tersebut perlu mempertimbangkan lag time baik pada aktifitas pengelolaan lahan maupun perubahan konversi lahan. Apalagi pola konversi lahan dalam rentang 10 tahun terakhir secara keseluruhan mengkonversi jenis tata guna lahan semak/belukar dan tanah terbuka. Hal tersebut perlu dipertimbangkan karena penatagunaan lahan berdasarkan musim. Sistem jalur penyangga dibutuhkan untuk perencanaan jangka panjang sehingga efektifitas pemantauan menjadi sangat penting untuk menelusur dan mengevaluasi implementasi sistem jalur penyangga tersebut. Helmers et al. (2008) menjelaskan bahwa lag time ini bergantung pada waktu yang dibutuhkan vegetasi untuk dapat terbentuk. Masa transisi dimungkinkan adanya pertumbuhan rumput yang banyak dalam satu musim pertumbuhan. Namun, untuk memastikan kinerja jangka panjang dari sistem adalah dengan membentuk vegetasi dan mempertahankan vegetatif tersebut. Tata guna lahan sawah Hasil analisis keterkaitan kualitas air terhadap jenis tata guna lahan menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara konsentrasi TSS terhadap proporsi luas sawah. Potensi erosi lahan sawah disebabkan oleh aktifitas sebelum tanam, terutama ketika pelumpuran sedang dilakukan (Sutono et al. 2001). Agus et al. (2004) menambahkan bahwa tata guna lahan sawah di lahan miring tidak menghasilkan sedimen, tetapi mendepositkan sedimen. Hanya tata guna lahan sawah di dekat sungai yang menghasilkan sedimentasi sungai. Lahan sawah memiliki luas proporsi sebesar 28% dari total wilayah studi. Sebagian besar proporsi tersebut berada di wilayah hilir yang relatif datar sehingga berpotensi sebagai kontrol terhadap sedimentasi lahan di DAS Citarum hulu. Keterkaitan lahan sawah dan parameter TSS mengindikasikan bahwa laju sedimentasi melalui indikator parameter TSS dapat dijelaskan oleh proporsi luas tata guna lahan sawah. Keterkaitan proporsi lahan sawah terhadap parameter pH tidak bergantung musim. Korelasi positif lahan sawah dan parameter pH tersebut mengindikasikan
57 potensi rendahnya kemampuan tanah dalam mengabsorbsi ion natrium (Na+) sehingga menyebabkan terjadinya salinisasi dan alkalisasi yang kemudian masuk ke badan air (Yasutake et al. 2003). Drainase berpotensi menjadi masalah karena akumulasi dan stagnasi curah hujan atau air irigasi yang berlebih di permukaan tanah. Masalah drainase permukaan biasanya timbul karena lereng yang terlalu datar atau untuk memperlambat penetrasi air karena ketidakstabilan struktural tanah atau tanah yang tidak rata (Abrol et al. 1988). Keterkaitan proporsi lahan sawah terhadap menurunnya nilai parameter DO pada musim kemarau disebabkan apabila terjadi peningkatan proporsi lahan sawah maka potensi temperatur udara lokal akan meningkat sehingga dapat mempengaruhi temperatur sungai karena debit sungai yang minimum pada musim kemarau. Kondisi temperatur sungai yang meningkat tersebut dapat menurunkan konsentrasi DO pada badan air. Disamping itu, Fan et al. (2012) menjelaskan bahwa fluktuasi DO dapat mempengaruhi keseimbangan karbonat pada badan air dan kemudian dapat mempengaruhi nilai pH. Hal ini sejalan dengan korelasi positif lahan sawah terhadap parameter pH pada musim kemarau karena kemampuan absorbsi tanah tidak didukung dengan sistem drainase yang memadai. Parameter COD dan BOD menunjukkan hubungan negatif terhadap sawah pada musim kemarau. Hal ini mengindikasikan adanya transportasi material yang bersumber dari pola tata guna lahan sawah terhadap sistem aliran dapat menurunkan nilai parameter tersebut. Keterkaitan jenis tata guna lahan sawah terhadap parameter BOD dan COD mengindikasikan pengaruh input bahan kimia dan aliran TSS pada kecepatan aliran minimum sehingga aliran nutrien tidak mencapai badan air. Hal tersebut disebabkan kapasitas retensi air yang sangat baik pada lahan sawah. Hal ini terutama pada lahan sawah yang berada pada kelerengan > 8%. Pola ruang yang tepat pada batas DAS yang memiliki proporsi lahan sawah yang besar dapat digunakan sebagai kontrol terhadap parameterparameter terkait. Luas lahan baku sawah sebagai pengguna air yang meliputi 7 kecamatan berdasarkan data dari Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) tahun 2012 sebesar 8763 Ha atau sekitar 39.1% dari total luas lahan sawah terhitung di wilayah studi. Potensi ini dapat menjadikan sistem irigasi sawah sebagai fungsi kontrol terhadap pengelolaan kualitas air seiring dengan meningkatnya petani pemakai air sehingga ketika peran tata guna lahan hutan di bagian hulu terkait kuantitas dan kontinuitas air maka peran tata guna lahan pertanian dan sawah di bagian tengah dan hilir sebagai kontrol kualitas air. Oleh karena itu, pengelolaan kualitas air terhadap lahan sawah perlu mengintegrasikan sistem irigasi yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan karakteristik alami lahan. Implikasi pengelolaan kualitas air dapat dilakukan dengan menerapkan budidaya campuran atau rotasi tanaman menggunakan tanaman yang akarnya memiliki kemampuan besar untuk menyerap Na+ (Yasutake et al. 2008). Selain itu, perlu dilakukan sistem irigasi rotasional dengan penjadwalan yang tepat, sistem aliran yang efisien, pemanfaatan dan penggunaan kembali tailwater dan aliran limpasan. Fungsi sistem irigasi tersebut diharapkan dapat menahan laju aliran pencemar sekaligus aliran air dengan waktu retensi yang lebih lama karena fungsi preservasi air pada lahan sawah tersebut. Scheierling et al. (2010) menjelaskan bahwa dengan pengelolaan yang baik, irigasi air limbahpun dapat berkontribusi secara signifikan terhadap keberlanjutan penghidupan, ketahanan pangan dan kualitas lingkungan.
58 Tata guna lahan permukiman Jenis tata guna lahan permukiman identik dengan domestik dan industri. Peningkatan satu satuan proporsi luas permukiman pada musim penghujan maka akan meningkatkan TDS dan NO2- sebesar 1.12 mg/L dan 0.00008 mg/L. Hasil ini sejalan dengan Anhwange et al. (2012) yang menjelaskan bahwa perubahan konsentrasi TDS pada aliran alami dihasilkan dari efluen industri atau intrusi airgaram. Webber-Scannel dan Duffy (2007) melaporkan bahwa konsentrasi dan komposisi TDS dalam air alami ditentukan oleh drainase, curah hujan dan neraca air (penguapan-curah hujan). Disamping itu, nitrit (NO2-) terbentuk oleh proses oksidasi amonia atau reduksi nitrat. Pada aliran alami, nitrat lebih banyak ditemukan dalam konsentrasi yang jauh lebih tinggi daripada nitrit. Hal ini disebabkan senyawa nitrat lebih stabil, namun bergantung pada faktor-faktor lingkungan seperti tingkat keasaman dan temperatur sungai. Nitrit dapat masuk ke badan air melalui proses industri, atau oksidasi dari amonia atau reduksi nitrat. Sementara itu, introduksi nitrat ke badan air melalui limbah manusia atau hewan yang kemudian terdekomposisi oleh bakteri di lingkungan, atau melalui limpasan dari lahan pertanian yang mengandung residu pupuk. Wilayah batas DAS yang terindikasi memiliki konsentrasi TDS dan nitrit yang tinggi berdasarkan pantauan kualitas air yaitu Citarik hilir, Cikijing, Cimande dan Cisaranten. Tingginya konsentrasi TDS di keempat wilayah tersebut sebagian besar terjadi pada awal musim hujan sedangkan nitrit terjadi pada puncak musim hujan. Potensi akumulasi TDS sangat besar karena meningkatnya aliran limpasan dibandingkan pada musim kemarau. Pada musim penghujan potensi aliran limpasan yang meningkat akan mempercepat aliran kedua parameter tersebut ke badan air sehingga mengakibatkan padatan terlarut tersebut terakumulasi di bagian hilir. Konsentrasi nitrit pada musim penghujan lebih tinggi dibandingkan dengan musim kemarau. Hal ini disebabkan pelarutan parameter tersebut akibat tingginya curah hujan. Disamping itu, faktor lingkungan yang memadai terhadap pembentukan senyawa tersebut. Faktor pertumbuhan penduduk dan sentra-sentra industri yang positif di DAS bagian hulu menjadi gambaran tekanan aktifitas manusia terhadap lingkungannya. Industri manufaktur yang terdata di BPLH kabupaten Bandung seluruhnya berjumlah 196. Namun, industri yang datanya telah ada dan telah menjadi obyek pembinaan dan pengawasan, termasuk 5 industri yang tidak beroperasi berjumlah 170. Jenis industri yang berada pada zona tersebut mayoritas merupakan industri tekstil dan produk tekstil berjumlah 138 (BPLH 2011). Zonasi wilayah yang menjadi kawasan industri di wilayah studi tersebar pada beberapa kecamatan seperti Majalaya, Solokanjeruk, Rancaekek dan Cikancung. Korelasi proporsi satuan lahan permukiman terhadap parameter TDS dan nitrit mengindikasikan kontribusi besar domestik dan industri terhadap pencemaran di wilayah Citarum hulu. Hal ini sejalan dengan Ahearn et al. (2005) yang melaporkan bahwa nitrat berkorelasi kuat dengan kerapatan penduduk dan adanya IPAL sehingga dengan kata lain, keterkaitan kedua parameter cenderung tidak memberikan pengaruh signifikan hingga IPAL sebagai point source dapat dikonstruksi. Oleh karena itu, pesatnya perkembangan penduduk dan industri di DAS Citarum hulu harus seimbang dengan kesiapan infrastrukturnya. Perencanaan pengelolaan dapat menjadi dasar untuk meminimalkan potensi dampak yang ditimbulkan oleh faktor antropogenik tersebut.
59
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Hasil analisis tata guna lahan mengindikasikan terjadinya perubahan tata guna lahan dalam rentang tahun 2003-2011 di DAS Citarum hulu menghasilkan total peningkatan debit puncak limpasan sebesar 1.84 m3/detik. 2. Status kualitas air Sub DAS Citarik, Cikeruh dan Citarum hulu mengindikasikan bahwa status cemar berat sungai-sungai utama diketiga Sub DAS tersebut dipengaruhi oleh anak-anak sungainya. Tren status kualitas air yang tercemar berat tersebut dapat menjadi indikator adanya kesalahan penatagunaan lahan di DAS Citarum hulu. 3. Hasil analisis regresi pada musim penghujan mengindikasikan korelasi individual parameter kualitas air pH dan TSS dapat dijelaskan oleh proporsi lahan sawah dengan nilai PBIAS sebesar 1.87% dan 21.72%. Parameter temperatur, BOD, COD dan H2S dapat dijelaskan oleh proporsi lahan pertanian dengan nilai PBIAS sebesar 11.22%, 0.66%, 11.80% dan 2.00%. Uji model tersebut pada skala luas dan lokasi yang berbeda menunjukkan hanya pH dan temperatur yang memberikan hasil baik dengan nilai PBIAS sebesar 21.43% dan 18.59%. 4. Hasil analisis regresi pada musim kemarau mengindikasikan parameter pH dan COD dapat dijelaskan oleh proporsi lahan sawah dengan nilai PBIAS sebesar 4.33% dan 22.55%. Parameter TDS dan temperatur dapat dijelaskan oleh proporsi lahan hutan dengan nilai PBIAS sebesar 28.14% dan 12.05%. Uji model tersebut pada skala luas dan lokasi yang berbeda menunjukkan hanya pH dan temperatur yang memberikan hasil baik dengan nilai PBIAS sebesar 0.72% dan 0.79%. 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun model regresi STORET memberikan hasil baik dengan nilai PBIAS sebesar 28.45%, namun ketika diuji pada skala luas dan lokasi yang berbeda memberikan hasil yang kurang memuaskan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam mengendalikan pencemaran nonpoint source, pengelolaan kualitas air perlu ditekankan pada setiap jenis tata guna lahan dengan mengoptimalkan fungsi dan tujuannya melalui keseimbangan proporsi dan praktek pengelolaan lahan yang berwawasan lingkungan. Saran 1. Keterkaitan kualitas air dan jenis tata guna lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu aspek sosial ekonomi dan kelembagaan. Studi lebih lanjut diperlukan terhadap kedua aspek tersebut agar diperoleh suatu model keterkaitan kualitas air dan jenis tata guna lahan yang lebih menyeluruh. 2. Pemantauan merupakan bagian paling esensial dalam pengelolaan kualitas air sehingga diperlukan peningkatan frekuensi pemantauan setiap tahun dengan mempertimbangkan fluktuasi debit berdasarkan musim sekaligus sebagai kontrol dari faktor lag time yang terjadi pada aktifitas pengelolaan lahan. 3. Efektifitas IPAL perlu ditingkatkan pada industri-industri yang ada di wilayah Citarum hulu. Peningkatan tersebut perlu dititikberatkan pada pembinaan
60 yang dapat dilakukan tidak hanya melalui inspeksi tetapi juga mewajibkan setiap industri melakukan unjuk kinerja IPAL setiap tahun, memberikan standar operasional dan pemeliharaan melalui pelatihan dan memberikan sertifikasi terhadap IPAL yang telah memenuhi standar yang telah ditetapkan untuk jangka waktu tertentu. 4. Studi lebih lanjut juga diperlukan terkait respon kualitas air terhadap jenis tata guna lahan secara spasial agar dapat memberikan informasi lebih bagi para pemangku kepentingan dalam perencanaan tata guna lahan beserta perubahannya sehingga jenis tata guna lahan berperan sebagai kontrol kualitas air pada skala DAS.
DAFTAR PUSTAKA Abrol IP, Yadav JSP, Massoud FI. 1988. Salt-Affected Soils and Their Management. FAO Soils Bulletin 39 [Internet]. Roma (IT); [diunduh 2014 Jun 29]. Tersedia pada: http://www.fao.org/docrep/x5871e/x5871e04.htm. Agus F, Watung RL, Suganda H, Tala’ohu SH, Wahyunto, Sutono S, Setiyanto A, Mayrowani H, Nurmanaf AR, Kundarto M. 2004. Assessment Of Environmental Multifunctions Of Paddy Farming In Citarum River Basin, West Java, Indonesia. Di dalam: Kurnia U, Agus F, Setyorini D, dan Setiyanto A, editor. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor, 2002 Okt 2 dan Jakarta, 2002 Okt 25 . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. hlm. 1-28. Ahearn DS, Sheibley RW, Dahlgren RA, Anderson M, Johnson J, Tate KW. 2005. Land Use and Land Cover Influence on Water Quality in The Last FreeFlowing River Draining The Western Sierra Nevada, California. Journal of Hydrology, 313: 234–247. Elsevier. Allan JD, Errickson DL, Fay J. 1997. The Influence of Catchment Land Use on Stream Integrity Across Multiple Spatial Scales. Freshwater Biology, 37: 149– 161. Blackwell Science Ltd. Allen RJ, deGaetano AT. 2005. Areal Reduction Factors for Two Eastern United States Regions with High Rain-Gauge Density. Journal of Hydrologic Engineering, 10 (4): 327-335. ASCE. Amiri BJ, Nakane K. 2009. Modeling the Linkage Between River Water Quality and Landscape Metrics in the Chugoku District of Japan. Water Resour. Manage., 23: 931-956. Spinger. Anhwange BA, Agbaji EB, Gimba EC. 2012. Impact Assessment of Human Activities and Seasonal Variation on River Benue, within Makurdi Metropolis. International Journal of Science and Technology, 2 (5): 248-254. Asdak, C. 2007. Hidrologi dan Penglolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Banadda EN, Kansiime F, Kigobe M, Kizza M, Nhapi I. 2009. Landuse-based Nonpoint Source Pollution: A Threat to Water Quality in Murchison Bay, Uganda. Water Policy 11 (1): 93–104. IWA Publishing.
61 [BPLH] Badan Pengendalian Lingkungan Hidup. 2011. Status Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung 2011. Bandung (ID): BPLH Kabupaten Bandung. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Kabupaten Bandung dalam Angka 2012. Bandung (ID): BPS Kabupaten Bandung. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Kabupaten Bogor dalam Angka 2012. Bogor (ID): BPS Kabupaten Bogor. Berthouex PM, Brown LC. 2002. Statistics for Environmental Engineers. 2nd Ed. Boca Raton (US): Lewis Publishers. Bolliger J, Battig M, Gallati J, Klay A, Stauffacher M, Kienast F. 2011. Landscape Multifunctionality: A Powerful Concept to Identify Effects of Environmental Change. Reg. Environ. Change, 11: 203–206. Spinger. Bolstad PV, Swank WT. 1997. Cumulative Impacts of Landuse on Water Quality in A Southern Appalachian Watershed. Journal of the American Water Resources Association, 33 (3): 519-533. American Water Resources Association. Darby S, Sear D, editor. 2008. River Restoration Managing the Uncertainty in Restoring Physical Habitat. Chichester (UK): John Wiley & Sons, Ltd. Davie T. 2008. Fundamentals of hydrology. 2nd Ed. Routledge Fundamentals of Physical Geography. NewYork (US): Taylor & Francis. De la Cretaz AL, Barten PK. 2007. Land Use Effects on Streamflow and Water Quality in the Northeastern United States. Boca Raton (US): CRC Press. Dessie A, Bredemeier M. 2013. The Effect of Deforestation on Water Quality: A Case Study in Cienda Micro Watershed, Leyte, Philippines. Resources and Environment, 3 (1): 1-9. Scientific & Academic Publishing. Fan X, Cui B, Zhang K, Zhang Z, Shao H. 2012. Water Quality Management Based on Division of Dry and Wet Seasons in Pearl River Delta, China. Clean – Soil, Air, Water, 40 (4): 381–393. WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. Helmers MJ, Isenhart TM, Dosskey MG, Dabney SM, Strock JS. 2008. Buffers and Vegetative Filter Strips. Di dalam: Final Report: Gulf Hypoxia and Local Water Quality Concerns Workshop. UMRSHNC (Upper Mississippi River Sub-basin Hypoxia Nutrient Committee).ASABE, Michigan. hlm. 43-58. Helsel DR, Hirsch RM. 2002. Statistical Methods in Water Resources. USA: US Geological Survey. Hernowo B. 2011. Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air. Prosiding Simposium Nasional Ekohidrologi. Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air. Jakarta (ID): Kementerian PPN/BAPPENAS. Junk WJ, Bayley PB, Sparks RE. 1989. The Flood Pulse Concept in River FloodPlain Systems. Di dalam: Dodge D P, editor. Proceedings of the International Large River Symposium. Can. Spec. Publ. Fish. Aquat. Sci. hlm. 110-127. Karamouz M, Szidarovszky F, Zahraie B. 2003. Water Resources Systems Analysis. Florida (US): Lewis Publishers. Kartodihardjo H, Supriono A. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. Occasional Paper, 26 (I): 1-14. Bogor (ID): CIFOR. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor P.04/VSET/2009 tentang Pedoman Monitoring dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai. Jakarta (ID): Kemenhut.
62 [Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTKRHL-DAS). Jakarta (ID): Kemenhut. [KNLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2003. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 115 tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Jakarta (ID): KNLH. [KNLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2009. Kajian Manajemen Data Spasial dalam Unit Kerja KNLH. Jakarta (ID): KNLH. Konrad CP, Booth DB. 2005. Hydrologic Changes in Urban Streams and Their Ecological Significance. American Fisheries Society Symposium, 47:157-177. Li S, Gu S, Liu W, Han H, Zhang Q. 2008. Water Quality in Relation to Land Use and Land Cover in the Upper Han River Basin, China. CATENA, 75, 216–222. Elsevier. Lovell ST, Sullivan WC. 2006. Environmental Benefits of Conservation Buffers in the United States: Evidence, Promise, and Open Questions. Agriculture, Ecosystems and Environment. 112: 249–260. Elsevier. Maillard P, Pinheiro Santos NA. 2008. A Spatial-Statistical Approach for Modeling the Effect of Non-point Source Pollution on Different Water Quality Parameters in the Velhas River Watershed – Brazil. J. Environmental Management, 86, 158-170. Elsevier. Massoud MA, Akram T, Joumana AN. 2009. Decentralized Approaches to Wastewater Treatment and Management: Applicability in Developing Countries. J. Environmental Management. 90: 652–659. Elsevier. McCuen RH. 1998. Hydrologic Analysis and Design. 2nd Ed. New Jersey (US): Prentice-Hall. Mohamoud YM, Sigleo AC, Parmar RS. 2009. Modeling the Impacts of Hydromodification on Water Quantity and Quality. Washington DC (US): United States Environmental Protection Agency. Moriasi DN, Arnold JG, Van Liew M W, Bingner RL, Harmel RD, Veith TL. 2007. Model Evaluation Guidelines For Systematic Quantification Of Accuracy In Watershed Simulations. Transactions of the ASABE, 50 (3): 885−900. Michigan (US): American Society of Agricultural and Biological Engineers. Morra-Imas LG, Rist RC. 2009. The Road to Results: Designing and Conducting Effective Development Evaluations. Washington DC (US): The World Bank. Mubea KW, Ngigi TG, Mundia CN. 2010. Assessing Application of Markov Chain Analysis in Predicting Land Cover Change: A Case Study of Nakuru Municipality. JAGST, 12 (2): 126-144. Jomo Kenyatta University of Agriculture and Technology. Musy A, Higy C. 2011. Hydrology: A Science of Nature. New York (US): CRC Press. Ngoye E, Machiwa JF. 2003. The Influence of Land Use Patterns in The Ruvu River Watershed on Water Quality in The River System. Di dalam: 4th WaterNet/Warfsa Symposium: Water, Science, Technology, Policy & Convergence and Action by All; 2003 Oct 15-17 [tempat tidak diketahui] [Internet] (tanggal diperbaharui, 24 Jan 2012, [diunduh 2014 Jun 25]). Tersedia pada: http://www.waternetonline.ihe.nl/waternetold/docs/Papers2003/Warfsa-
63 WaterNet%20Theme%202/The%20Influence%20Of%20Land-use%20 Patterns%20 in%20The%20Ruvu%20River%20Watersh.pdf. Olivie-lauquet G, Gruau G, Dia A, Riou C, Jaffrezic A, Henin O. 2001. Release Of Trace Elements In Wetlands: Role Of Seasonal Variability. Wat. Res. 35 (4): 943-952. Elsevier Science Ltd. Ong Ck, Swallow BM. 2003. Water Productivity in Forestry and Agroforestry. Di dalam: Kijne JW, Barker R, Molden D, editor. Water Productivity in Agriculture: Limits and Opportunities for Improvement [Internet]. CAB International. hlm. 217-228; [diunduh 2014 Jun 24]. Tersedia pada: http://publications.iwmi.org/pdf/H032644.pdf Pawitan H. 2004. Perubahan Tata guna lahan dan Pengaruhnya terhadap Hidrologi Daerah Aliran Sungai. Di dalam: Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung. 2011. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 7 Tahun 2011 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Bandung Tahun 2005-2025. Bandung (ID): Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung. Pemerintah Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2011. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2011 tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumberdaya Air. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Peterson EE, Sheldon F, Darnell R, Bunn SE, Harch BD. 2010. A Comparison of Spatially Explicit Lanscape Representation Methods and Their Relationship to Stream Condition. Freshwater Biology, 1-21. Blackwell Publishing Ltd. Poff NL, Allan JD, Bain MB, Karr JR, Prestegaard KL, Richter BD, Sparks RE, Stromberg JC. 1997. The Natural Flow Regime: A Paradigm for River Conservation and Restoration. Bioscience, 47: 769–784. Potter TD, Colman BR, editor. 2003. Handbook of weather, climate, and water: chemistry, hydrology, and societal impacts. New Jersey (US): John Wiley & Sons, Inc. Rawlings JO, Pentula SG, Dickey DA. 1998. Applied Regression Analysis: A Research Tool. 2nd Ed. New York (US): Spinger-Verlag New York, Inc. [RCMU] Roadmap Coordination and Management Unit. 2011. Atlas Citarum: Penanganan Terpadu Wilayah Sungai Citarum. 1st Draft Version [Internet]. Jakarta (ID): KemenPPN/BAPPENAS. [diunduh 2014 Mar 6] Tersedia pada: HTTP://www.sda.pu.go.id:5333/.../RCMU%20-%20Atlas%20Citarum%2020 11.pdf Rusdiana O, Ghufrona RR. 2011. Aplikasi Model Optimasi Linear Goals Programming dalam Menentukan Pola Penggunaan Lahan Optimal Di DAS Citarum Hulu. Jurnal Silvikultur Tropika [Internet]. [diunduh 2014 Jun 29]; 02, 26 – 34. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/ 54461/6.%20Omo%20Rusdiana.pdf?sequence=1.
64 Scheierling SM, Bartone C, Mara DD, Drechsel P. 2010. Improving Wastewater Use in Agriculture: An Emerging Priority. Policy Research Working Paper 5412. Washington DC (US): The World Bank. Sipes JL. 2010. Sustainable Solutions for Water Resources : Policies, Planning, Design, and Implementation. New Jersey (US): John Wiley & Sons, Inc. Sliva L, Williams DD. 2001. Buffer Zone Versus Whole Catchment Approaches to Studying Land Use Impact on River Water Quality. Wat. Res., 35 (14): 3462–3472. Elsevier Science Ltd. Strayer DL, Beighley RE, Thompson LC, Brooks S, Nilsson C, Pinay G, Naiman RJ. 2003. Effects of Land Cover on Stream Ecosystems: Roles of Empirical Models and Scaling Issues. Ecosystems 6: 407–423. Spinger-Verlag. Sutono S, Kusnadi H, Djunaedi MS. 2001. Pendugaan Erosi pada Lahan Sawah dan Lahan Kering Sub DAS Citarik dan DAS Kaligarang. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor, 2001 Mei 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. hlm. 79-92. Sutono S, Tala’ohu SH, Sopandi O, Agus F. 2004. Erosi Pada Berbagai Tata guna lahan Di DAS Citarum. Di dalam: Kurnia U, Agus A, Setyorini D, dan Setiyanto A, editor. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor, 2002 Okt 2 dan Jakarta, 2002 Okt 25. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. hlm. 113-133. Tong STY, Chen W. 2002. Modeling The Relationship between Land Use and Surface Water Quality. J. Environmental Management, 66: 377-393. Elsevier Science Ltd. Uriarte M, Yackulic CB, Lim Y, Arce-Nazario JA. 2011. Influence of Land Use on Water Quality in A Tropical Landscape: A Multi-Scale Analysis. Landscape Ecology, 26: 1151–1164. Spinger. [USEPA] United States Environmental Protection Agency. 2008. Handbook for Developing Watershed Plans to Restore and Protect Our Waters. Washington DC (US): Office of Water Nonpoint Source Control Branch. Watung RL, Tala’ohu SH, Agus F. 2004. Fungsi Lahan Sawah dalam Preservasi Air. Di dalam: Kurnia U, Agus F, Setyorini D, dan Setiyanto A, editor. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor, 2002 Okt 2 dan Jakarta, 2002 Okt 25. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Departemen Pertanian. hlm. 149-157. Webber-Scannel PK, Duffy LK. 2007. Effects of Total Dissolved Solids on Aquatic Organisms: A Review of Literature and Recommendation for Salmonid Species. American Journal of Environmental Sciences 3 (1): 1-6. Science Publications. Yasutake D, Araki T, Kitano M, Wang W, Urayama K, Cho H, Kobayashi T. 2008. Experiment on The Control of Salinity and Sodicity in Surface-Irrigated Fields in The Upper Yellow River Valley (III): The State of Salinization and Alkalization in and Around The Pingbu Experimental Field. J. Fac. Agr [Internet]. [diunduh 2014 Jun 30]; 53 (1), 265-270. Fukuoka (JP): Kyushu University. Tersedia pada: www.researchgate.net/publication/31905070_ Experiments_on_the_Control_of_Salinity_and_Sodicity_in_Surface__Irrigated
65 _Fields_in_the_Upper_Yellow_River_Valley_(III)/file/e0b49520995a839706. pdf. Yoshida K. 2001. An Economic Evaluation of the Multifunctional Roles of Agriculture and Rural Areas in Japan. Policy Research Institute. MAFF, Japan. Yustika RD, Tarigan SD, Hidayat Y, Sudadi U. 2012. Simulasi Manajemen Lahan Di DAS Ciliwung Hulu Menggunakan Model SWAT. Informatika Pertanian, 21 (2): 71 – 79. Zhang W, Li H, Sun D, Zhou L. 2012. A Statistical Assessment of the Impact of Agricultural Land Use Intensity on Regional Surface Water Quality at Multiple Scales. Int. J. Environ. Res. Public Health. 9: 4170-4186. Zhang Y, Wang Y. 2012. Assessment of the Impact of Land-Use Types on the Change of Water Quality in Wenyu River Watershed, Beijing, China. International Perspectives on Global Environmental Change. Stephen Young (Ed.).
66 Lampiran 1 Nilai koefisien limpasan permukaan (C) untuk persamaan Rational Karakteristik Permukaan Perkantoran Daerah pusat kota Daerah sekitar kota Perumahan Rumah tinggal Rumah susun terpisah Rumah susun, bersambung Pinggiran kota Daerah Industri Kurang padat industri Padat industri
C 0.70-0.95 0.50-0.70 0.30-0.50 0.40-0.60 0.60-0.75 0.25-0.40 0.50-0.80 0.60-0.90
Taman, Kuburan Tempat Bermain Daerah Stasiun KA Daerah Tidak Berkembang Jalan Raya Beraspal Berbeton Berbatu bata Trotoar
0.10-0.25 0.20-0.35 0.20-0.40 0.10-0.30
Daerah Beratap Sumber: (Asdak, 2007)
0.75-0.95
0.70-0.95 0.80-0.95 0.70-0.85 0.75-0.85
Karakteristik Permukaan Tanah Lapang Berpasir, datar, 2% Berpasir, agak rata 2-7% Berpasir, miring 7% Tanah berat, datar 2% Tanah berat, agak rata 2-7% Tanah berat, miring 7% Tanah Pertanian, 0-30% Tanah Kosong Rata Kasar Ladang Garapan Tanah berat, tanpa vegetasi Tanah berat, bervegetasi Berpasir, tanpa vegetasi Berpasir, bervegetasi Padang Rumput Tanah berat Berpasir Hutan/bervegetasi Tanah Tidak Produktif, >30% Rata, kedap air Kasar
C 0.05-0.10 0.10-0.15 0.15-0.20 0.13-0.17 0.18-0.22 0.25-0.35
0.30-0.60 0.20-0.50 0.30-0.60 0.20-0.50 0.20-0.25 0.10-0.25 0.15-0.45 0.05-0.25 0.05-0.25 0.70-0.90 0.50-0.70
Lampiran 2 Hasil diagnostik analisis regresi Variabel
-
Normalitas (sesudah transformasi) (p value Anderson-Darling) -
Normal Normal Nonnormal Normal Normal Normal Nonnormal Normal Normal Normal Normal -
0.473 <0.005 0.128 0.325 0.181 <0.005 0.637 0.327 0.872 0.190 -
Box-Cox (0) Box-Cox (0) Box-Cox (0) Box-Cox (0.5) -
0.581 0.638 0.352 0.939 -
Linear Linear Nonlinear Linear Linear Linear Linear Linear Linear Linear -
Polinomial -
Normal Normal Normal Normal Normal Nonnormal -
0.933 0.418 0.063 0.815 0.810 <0.005 -
Box-Cox (0) -
0.963 -
Linear Linear Linear Nonlinear Nonlinear Linear -
Polinomial Polinomial -
Transformasi
Linearitas
Keterangan
Linear
-
67
STORET Musim basah pH TDS TSS Temperatur DO BOD COD NO2 NO3 TP fenol H2S TC Musim kering pH Temperatur DO BOD COD TDS TSS NO2 NO3 TP fenol H2S TC
Normalitas (sebelum transformasi) (p value-Anderson-Darling) 0.479
Normalitas
Variabel Y
Koefisien regresi
Hutan (X1)
68
Lampiran 3 Rangkuman hasil analisis regresi Koefisien variabel X Pertanian Permukiman (X2) (X3)
Sawah (X4)
Multikolinearitas (VIF) Pertanian (1.35) Permukiman (1.35)
Autokorelasi Durbin-Watson
Bobot regresi
r2(adj)
Ket. **)
1.98
1/ σ 2
71.6%
Signifikan
STORET
79.4
-
-0.603
0.803
-
Musim basah pH TDS
6.93 4.33
-
-
0.110
1.00 1.00
2.00 2.10
W1 W1
67.2% 71.1%
Signifikan Signifikan
TSS
42.31
-
-
-
1.00
-
-
61.4%
Signifikan
-
0.104 0.0377 -0.0655 -0.0609 -0.00713 -0.00194 -
0.008814 -
0.263 -0.6373 0.01560 -
1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 -
1.65 0.97 2.88 2.12 2.62 2.32 2.63 -
1/ σ2 1/ σ2 W1 W1 W1 1/ σ2 -
83.4% 54.0% 84.4% 78.7% 59.9%
Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan *) Signifikan *) Signifikan *)
-0.139 -
-
-
0.0234 -0.0360 -1.611 0.04176 -3.529 0.09704 -
1.00 1.00 1.00
1.85 1.33 1.09
σ 1/ σ2
43.3% 51.4% 29.0%
Signifikan Signifikan Signifikan
-
-
-
94.4%
Signifikan
-
-
-
94.1%
Signifikan
1.00 -
2.50 -
W2 -
66.6%
Signifikan *) *) *) *) *) *) *)
Temperatur 31.4 DO 1.77 BOD 4.29 COD 5.61 NO2 0.127078 NO3 TP 0.520 fenol H2S 0.143 TC Musim kering pH 6.86 Temperatur 29.1 DO 4.04 BOD
16.62
-
-
-
COD
37.19
-
-
-
TDS TSS NO2 NO3 TP fenol H2S TC
6.49 -
0.0490 -
-
-
61.4% 55.5%
Keterangan: *) tidak signifikan sejak estimasi regresi pada tahap stepwise regression **) taraf signifikansi 5% σ = fits (varians) dari regresi absolut residual vs variabel x W1 = skor bobot berdasarkan jumlah sampel pada musim basah W2 = skor bobot berdasarkan jumlah sampel pada musim kering
69
70
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 April 1982 sebagai anak bungsu dari pasangan Zaenudin Arsyad dan Atikah. Pendidikan SMA ditempuh di SMA Plus YPHB Bogor (1997-2000). Pada tahun 2000, penulis diterima di Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unversitas Riau melalui jalur SPMB, lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2010, penulis melanjutkan ke Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Program Pascasarjana IPB. Karya ilmiah yang berjudul Status Kualitas Air dan Penatagunaan Lahan di DAS Citarum Hulu sebagai bagian dari program S-2 penulis.