ANALISIS TATANIAGA BUAH JERNANG ROTAN (STUDI KASUS: HUTAN DESA LAMBAN SIGATAL, KECAMATAN PAUH, KABUPATEN SOROLANGUN, PROVINSI JAMBI)
BAGAS WICAKSONO
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus : Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi) benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Bagas Wicaksono NIM H34100051
ABSTRAK BAGAS WICAKSONO. Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus: Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi) Dibimbing oleh ANDRIYONO KILAT ADHI. Jernang rotan merupakan buah rotan yang berasal dari genus rotan Daemonorops. Daerah penghasil buah jernang rotan di provinsi Jambi adalah Desa Lamban Sigatal Kecamatan Pauh Kabuapaten Sorolangun. Pencari jernang berperan dalam memanen dan mengumpulkan buah jernang yang terdapat di hutan desa Lamban Sigatal dan kawasan sekitar. Perolehan hasil panen akan dijual kepada pedagang pengumpul (tauke), mulai dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Permasalahan yang dihadapi dalam rantai tataniaga buah jernang rotan adalah ketersediaan buah yang terbatas sehingga membuat fluktuasi harga yang cukup tinggi. Hal ini tidak terlepas dari deforestasi hutan yang disebabkan konversi lahan dan illegal loging. Harga jernang rotan yang tinggi tidak dirasakan manfaatnya oleh pencari, namun sebaliknya dimana umumnya yang merasakan penerimaan lebih besar adalah para pedagang. Penelitiaan ini bertujuan untuk menganalisis tingkat efisiensi tataniaga buah jernang rotan berdasarkan analisis margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Kata kunci: deforestasi hutan, efisiensi rantai tataniaga, jernang, farmer’s share
ABSTRACT BAGAS WICAKSONO .Analysis of business administration Jernang Rattan Fruit (Case Study: Lamban Sigatal Forest Village, District Pauh, Sorolangun District, Province Jambi) Supervised by ANDRIYONO KILAT ADHI. Jernang rattan cane is a fruit which comes from the rattan Daemonorops genus. Jernang rattan fruit producing area in the Jambi province is Lamban Sigtal village, Pauh district, Sorolangun regency. Jernang Searcher has role in harvesting and collecting fruit jernang contained in Lamban Sigatal village forest and surrounding area. The result of the crop will be sold to a collector (tauke), start from the village level, district to regency. The Problem faced in trading system chain of jernang rattan fruit is fruit availability which limited so make a high price fluctuations. It has relation with deforestation which caused by illegal logging and land conversion. High price of Jernang rattan does not give the benefit for searcher, but instead where the general sense is a greater acceptance of the traders. The purpose of this study is to analyze the efficiency trading system level of jernang rattan fruit based on margin trading system analysis, the farmer's share and the ratio of benefit to cost. Keywords: deforestation, efficiency of trading system chain, farmer's share, jernang
ANALISIS TATANIAGA BUAH JERNANG ROTAN (STUDI KASUS: HUTAN DESA LAMBAN SIGATAL, KECAMATAN PAUH, KABUPATEN SOROLANGUN, PROVINSI JAMBI)
BAGAS WICAKSONO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus: Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi) Nama : Bagas Wicaksono NIM : H34100051
Disetujui oleh
Dr Ir Andriyono Kilat Adhi Dosen Pembimbing
Diketahui oleh,
Dr Ir Dwi Rachmina. MSi Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 ini ialah pemasaran, dengan judul Analisis Tataniaga Buah Jernang Rotan (Studi Kasus: Hutan Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolongun, Provinsi Jambi). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Andriyono Kilat Adhi selaku dosen pembimbing. Penghargaan penulis juga ditujukkan kepada International Centre For Research in Agroforestry (ICRAF) atas kesempatan yang diberikan berupa bantuan dana penelitian sehingga penelitian ini dapat terlaksana. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Dr. Suyanto dan Ibu Dr. Ratna Winandi Asmarantaka atas arahan dan bimbingannya. Disamping itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak H. Luqman Hakim selaku Kepada Desa Lamban Sigatal, Hamdi serta Yayasan Gita Buana yang telah memberikan bantuan selama penulis berada di lokasi penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, serta seluruh keluarga dan teman-teman Agribisnis 47 (Suhartini, Fairus Maulida, Novita Permatasari, Andina Aditya, Resti Yanuar Akhir, Luqman addinirwan, Ivan Noor Setyo, Yanuar Yoga Kartika, dan Miken Desvi), serta Novia Trisnawulan yang senantiasa memberikan doa serta dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Bagas Wicaksono
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
Gambaran Umum Jernang Rotan
5
Deforestasi Hutan
7
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka Pemikiran Operasional METODE PENELITIAN
8 8 13 15
Lokasi dan Waktu Penelitian
15
Jenis dan Sumber Data
15
Metode Analisis
15
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
17
Karakteristik Pencari Buah Jernang Rotan Responden
19
Karakteristik Pedagang Pengumpul (Tauke)
21
Gambaran Umum Usahatani Jernang
21
HASIL DAN PEMBAHASAN
25
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
25
Analisis Saluran dan Fungsi Tataniaga
28
Analisis Stuktur, Perilaku dan Keragaan Pasar
33
Analisis Margin dan Efisiensi Pemasaran
35
Farmer’s Share Antara Pencari Buah Jernang Rotan Dengan Tauke Kabupaten 37
Rasio Keuntungan terhadap biaya
37
Efisiensi Pemasaran
38
SIMPULAN DAN SARAN
39
Simpulan
39
Saran
40
DAFTAR PUSTAKA
41
LAMPIRAN
44
RIWAYAT HIDUP
56
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Prediksi hasil perkebunan getah (lulun) tahun 2009 Karakteristik struktur pasar Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin Tingkat pendidikan penduduk Jenis tanaman yang ditanam pada rumah tangga Jumlah penduduk berdasarkan pekerjaan Karakteristik pencari responden berdasarkan usia Karakteristik pencari responden berdasarkan pendidikan Karakteristik pencari responden berdasarkan pengalaman pencari responden Perbandingan return to labor antara pencari jernang dengan upah ratarata buruh sadap karet di Desa Lamban Sigatal tahun 1998-2013 Perbandingan return to labor berdasarkan bentuk jual jernang rotan tahun 2013 Jumlah Produksi Jernang Pada Panen Besar (Juli-Agustus) dan Panen Sela (November-Desember) 2013 Fungsi yang dijalankan pada masing-masing lembaga tataniaga Margin tataniaga jernang rotan Farmer’s share Rasio Keuntungan terhadap biaya Efisiensi pemasaran
2 10 18 18 19 19 20 20 20 26 27 30 31 35 37 38 39
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Margin tataniaga Kerangka Operasional Tahap pembersihan benih Tahap pemberian zat perangsang tumbuh Perendaman biji Bibit yang telah dipindahkan ke polybag Pemeliharan bibit yang telah dipindahkan ke lahan tanam Grafik perbandingan return to labor antara pencari jernang dengan penyadap karet di Desa Lamban Sigatal tahun 1998-2013 9 Perbandingan Return to labor berdasarkan bentuk jual jernang rotan tahun 2013 10 Saluran tataniaga jernang rotan di Desa Lamban Sigatal
11 14 21 22 22 22 22 26 27 29
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Produksi pencari jernang rotan Desa Lamban Sigatal harga rata-rata hasil produksi jernang rotan tahun 2013 Kisaran kebutuhan pencari jernang Dokumentasi Kuesioner pencari jernang rotan Kuesioner pedagang pengumpul
43 44 45 46 47 52
PENDAHULUAN Latar Belakang Kondisi kehutanan Indonesia hingga saat ini terus mengalami kerusakan. Salah satu faktor yang yang mengakibatkan kondisi tersebut adalah penyusutan tutupan hutan (deforestasi) akibat pembalakan liar (illegal logging), perambahan dan berbagai alih fungsi hutan lainnya. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kementrian Kehutanan mencatat bahwa deforestasi di Indonesia mencapai 1.17 juta hektar per tahun. Dari data laju tersebut, penebangan liar memberikan kontribusi yang signifikan bagi terjadinya deforestasi secara nasional. Dalam periode waktu 2004-2009, diperkirakan penebangan kayu secara ilegal mencapai 23.32 juta meter kubik per tahun dan kerugian negara mencapai 27 trilyun rupiah per tahun. Pada dasarnya deforestasi terjadi sebagai akibat pemenuhan kebutuhan manusia. Sektor industri hasil hutan skala besar dalam memenuhi kebutuhan pasar tidak bisa terlepas dari kegiatan penebangan hutan, karena kebutuhan bahan baku yang diharapkan tersedia setiap saat dan dalam jumlah besar. Bagi pihak terkait seperti pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan tersebut mendapatkan keuntungan ekonomi yakni mendapatkan pajak dari kompensasi pemanfatan hasil hutan. Namun disisi lain, bagi masyarakat pedalaman yang telah menempati kawasan hutan secara turun-temurun memberikan dampak yang sangat besar bagi kelangsungan hidup dan adat-istiadat setempat, ekonomi masyarakat, serta terganggunya habitat flora dan fauna pada kawasan hutan tersebut. Dalam upaya menekan laju deforestasi di Indonesia, Kemenhut menerbitkan SK Menhut dalam Renstra tahun 2010 hingga 2014 yang memuat Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Hutan Desa (HD) sebagai solusi dalam pengelolaan hutan negara secara lestari. Pendekatan Hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa tertuang dalam UU tahun 1999 pasal 5 ayat 41 tentang Kehutanan. Penyelenggaraan hutan desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Produk hasil hutan terbagi menjadi dua jenis, yaitu hasil hutan berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Hasil hutan bukan kayu diantaranya madu, tanaman obat, dammar, hewan buruan, dan buah jernang rotan. Salah satu produk hasil hutan bukan kayu (HBBK) yang belum banyak dimanfaatkan adalah buah jernang rotan. Buah jernang rotan berbeda dengan rotan pada umumnya, baik dari segi bentuk tanaman dan pemanfaatannya. Pada buah jernang rotan, hanya hasil getah pada kulit buah yang disebut lulun meson atau getah (lulun) yang dapat dimanfaatkan sedangkan pada bagian batang maupun akar hingga saat ini belum dapat dimanfaatkan. Jernang rotan diketahui terdapat di tiga negara dunia yaitu Indonesia, Malaysia dan India, tetapi penghasil jernang terbesar berada di Indonesia, khususnya di daerah Jambi, Aceh dan Kalimantan (Arifin 2005). Indonesia merupakan negara pengekspor getah jernang terbesar di dunia. Permintaan getah jernang dari Cina kepada Indonesia setiap tahunnya 400-500 ton (Januminro 2000), akan tetapi Indonesia hanya mampu mengekspor getah jernang
2 27 ton per tahun (Soemarna 2009). Menurut Soemarna (2009), getah jernang memberikan devisa negara sebesar US$ 10 125 000 per tahun. Penjualan getah (lulun) dalam perkembangannya mengalami perubahan kualitas. Periode tahun 1990-1997 getah (lulun) yang dijual kualitasnya sangat baik, karena hasil ekstrasi jernang menjadi getah (lulun) tidak menggunakan bahan campuran seperti damar, serbuk kayu maupun biji buah jernang. Akan tetapi sejak tahun 1997, terjadi kebakaran besar di provinsi Jambi termasuk wilayah Lamban Sigatal sehingga jumlah tanaman jernang mengalami penurunan jumlah populasi yang signifikan. Periode tahun 2000-2010, kualitas penjualan mengalami perubahan yaitu kualitas 1 yang dianggap paling baik dan kualitas 2 yang dianggap kurang baik, dimana terdapat perbedaan dalam segi kemurnian getah (lulun) (Ardi 2011). Harga jernang di desa Sungai Telang Kecamatan Rantau Pandan di Provinsi Jambi dapat mencapai sebesar Rp 70 000 -75 000/Kg. Tahun 2007 melalui website Health Vision diperoleh informasi harga jual jernang mencapai Rp 1 200 000/Kg (Aliadi dan Djatmiko 1998). Sejak tahun 2012 hingga kini penjualan buah jernang rotan terbagi kedalam kualitas dan bentuk yaitu getah (lulun) meson, getah (lulun) campuran, dan buah jernang, hal ini tidak terlepas dari segi permintaan yang semakin besar namun jumlah ketersediaan getah (lulun) yang terbatas. Adapun di bawah ini disajikan prediksi hasil produksi perkebunan getah (lulun) buah jernang rotan per hektar. Tabel 1 Prediksi hasil perkebunan getah (lulun) tahun 2009 Umur (thn)
Batang
Jumlah Rumpun Cabang
Ke 611 Ke 1216 Diatas 17 tahun
300
Total
Jumlah Tandan
Lulun/Getah (lulun) (kg) Panen Panen Total Raya Selang
Hasil Pertahun Rp 2 000 000/kg
300
1 500
30
15
45
90 000 000
3
900
4 500
90
45
135
270 000 000
9
2700
13 000
270
135
405
810 000 000
Sumber : Yayasan Gita Buana (2009)
Dalam satu tahun, buah jernang rotan dipanen 2 kali yaitu panen raya pada bulan Juli hingga Agustus dan panen selang pada bulan Desember. Pada panen raya getah (lulun) yang diproduksi mencapai 30 kg saat umur tanaman 6 – 11 tahun dan terus meningkat tiga kali lipat seiring bertambahnya umur tanaman, sedangkan panen selang hanya menghasilkan setengah jumlah dari panen raya (YGB, 2009). Seiring semakin berkurangnya tutupan hutan dan kelangkaan tanaman buah jernang rotan, maka di masyarakat mulai muncul inisiasi untuk membudidayakan dan menanam buah jernang rotan di dalam kebun-kebun karet masyarakat yang biasa disebut dengan pola agroforestry, dimana umumnya telah dilakukan masyarakat Desa Lamban Sigatal atas bimbingan Yayasan Gita Buana. Agroforesty dilakukan dengan tujuan memperoleh hasil panen yang tetap dan tidak hanya bergantung pada hasil buah jernang rotan di hutan.
3 Pada sisi lain, sistem tataniaga jernang sejak dahulu menimbulkan permasalahan yang tak kunjung usai, yaitu sistem tataniaga yang masih tertutup. Pedagang yang terlibat, enggan memberikan informasi berkaitan seputar alur transaksi penjualan, harga, maupun jumlah produksi penjualan. Hal ini diduga karena sistem tataniaga jernang belum sepenuhnya diatur oleh pemerintah sedangkan jernang rotan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Disamping itu, adanya oknum yang disinyalir mengeluarkan pernyataan bahwa perdagangan jernang merupakan perbuatan ilegal yang dapat menimbulkan konsekuensi kesalahan dimata hukum (YGB, 2008). Oleh karena itu, dirasa perlu untuk melihat bagaimana rantai tataniaga buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal dengan tujuan untuk mengetahui tingkat pendapatan yang diterima dari pemasaran buah jernang rotan. Dalam peranan meningkatkan kesejahteraan pencari buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal, diperlukan analisis efisiensi tataniaga buah jernang rotan, baik dimulai dari tingkat pencari hingga pedagang besar.
Perumusan Masalah Sistem tataniaga agribisnis yang efisien berpengaruh pada penerimaan tingkat pendapatan yang lebih baik, begitu juga sebaliknya dimana sistem tataniaga yang tidak efisien akan mengakibatkan terciptanya margin tataniaga yang cukup besar sehingga menimbulkan kesenjangan harga antar lembaga tataniaga. Disamping itu, dalam pemanfaatan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan manusia seringkali tidak diimbangi dengan menjaga kelestarian hutan seperti pembukaan area hutan untuk perkebunan dengan melakukan penebangan liar. Hutan Desa Lamban Sigatal berperan berperan penting dalam menunjang perekonomian masyarakat desa dimana jernang rotan sebagai komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai ekonomi tinggi sehingga memberikan pendapatan bagi masyarakat desa. Untuk mendapatkan jernang rotan masyarakat desa harus mencari di hutan desa ataupun wilayah sekitar yang saat ini sulit ditemukan. Harga yang diterima pencari jernang rotan sangat penting untuk keberlanjutan kegiatan pencarian. Selain harga, produksi berpengaruh pada kegiatan pencarian jernang, dimana produksi akan mempengaruhi tingkat pendapatan pencari. Semakin banyak produksi yang dihasilkan oleh pencari, maka semakin banyak pendapatan yang diterima pencari. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi penyebab deforestasi hutan dan upaya pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa jernang rotan serta mengetahui analisis return to labor kegiatan pencarian jernang rotan di Desa Lamban Sigatal? 2. Bagaimana karakteristik, struktur, dan perilaku pasar buah jernang rotan yang mempengaruhi pembentukan harga buah jernang rotan dan tingkat efisiensi tataniga buah jernang rotan berdasarkan analasis farmer’s share?
4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efisiensi sistem tataniaga buah jernang rotan yang mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan hutan desa. Disamping itu juga untuk mengetahui pemanfaatan HHBK berupa jernang rotan di Desa Lamban Sigatal. Adapun tujuan umum yang hendak dicapai yaitu : 1. Mengidentifikasi pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagai upaya menanggulangi deforestasi hutan Desa Lamban Sigatal serta mengetahui analasis return to labor kegiatan pencari jernang rotan. 2. Mengidentifikasi fungsi-fungsi, struktur dan perilaku pasar serta mengkaji efisiensi tataniaga buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal dengan pendekatan margin tataniaga, farmer’s share, rasio biaya dan keuntungan. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah : 1. Sebagai informasi ilmiah bagi stakeholder yang berkepentingan. 2. Sebagai informasi dalam upaya melakukan efisiensi jalur tataniaga bagi masyarakat pembudidaya buah jernang rotan sehingga kesejahteraan meningkat. 3. Bahan masukan dalam merumuskan kebijakan pasar yang mendukung pengembangan buah jernang rotan bagi pemerintah daerah.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam ruang lingkup wilayah Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun. Bidang penelitian ini adalah menganalisis rantai tataniaga yang dilakukan oleh pencari buah jernang rotan dengan melihat koefisien rantai tataniaga dan farmer’s share yang akan diterima oleh pencari dan pedagang pengumpul dari semua rantai yang ada di Desa Lamban Sigatal hingga tingkat Kabupaten Sorolangun. Disamping itu untuk mengetahui patokan yang baik dalam menilai kegiatan pencarian jernang yang dilakukan selama ini juga digunakan analisis return to labor. Dalam penelitian ini, penulis hanya menganalisis rantai tataniaga dalam bentuk getah (lulun) meson, getah (lulun) campuran dan buah serta tidak termasuk dalam pengolahan produk turunan buah jernang rotan.
5
TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Jernang Rotan Jernang rotan dimanfaatkan dari pengambilan resin yang merupakan hasil sekresi buah jernang rotan (Daemonorops draco BL.). Resin tersebut menempel dan menutupi bagian luar buah rotan, di mana untuk mendapatkannya diperlukan proses ekstraksi. Menurut Risna (2006), getah (lulun) dari buah jernang rotan berwarna merah bata dan berbentuk serbuk (seperti tepung) ketika diekstrasi kemudian akan mengeras (membatu) sekitar 30 – 60 menit jika dimasukkan kedalam plastik sehingga menjadi padatan. Komponen utama getah (lulun) adalah draco getah (lulun) olanol (56 persen ), draoresen (11 persen ), drao-alban (2.5persen ), asam benzoat dan asam bensolaktat. Kegunaan jernang rotan adalah sebagai bahan pewarna vernis, keramik, marmer, alat dari batu, kayu, rotan, bambu, kertas, cat dan sebagainya. Selain itu juga digunakan sebagai bahan obatobatan seperti obat diare, disentri, obat luka, serbuk untuk gigi, asma, sipilis, berkhasiat aphrodisiac (meningkatkan libido) serta banyak kegunaan lainnya (Sumadiwangsa, 1973). Masyarakat sekitar hutan memanen jernang dari hutan alam, dengan cara berburu secara berkelompok maupun perorangan. Musim berburu jernang dilakukan pada bulan September–Desember (Elvidayanty dan Erwin 2006). Untuk mendapatkan resin jernang dilakukan ekstraksi buah rotan jernang. Teknik ekstraksi buah jernang rotanmenurut Januminro (2000) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu ekstraksi atau pengolahan basah dan kering. Ekstraksi basah menggunakan media air sedangkan ekstraksi kering tanpa menggunakan air. Ekstraksi ini biasanya dilakukan oleh masyarakat di dalam dan sekitar hutan seperti suku Anak Dalam, Melayu Jambi, Talang Mamak dan Melayu Tua. Pada mulanya jernang digunakan untuk keperluan mereka sendiri, tetapi akhir-akhir ini banyak diperjualbelikan di pasaran dengan harga cukup mahal yaitu Rp 700 000 sampai Rp 1 000 000/kg (Waluyo 2008). Menurut Yayasan Gita Buana (2008) membudidayakan jernang rotan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pencangkokan dan biji jernang. Tumbuhan rotan di Indonesia tumbuh di hutan dataran rendah sampai ke daerah pegunungan yaitu antara 0 sampai 2 900 meter diatas permukaan laut. Menyenangi habitat dengan curah hujan antara 2 000 sampai 4 000 mm per tahun, untuk marga Daemonorops lebih banyak ditemui pada daerah dengan ketinggian antara 800 sampai 1 500 meter diatas permukaan laut (Kalima 1996 dalam Sumarna 2004). Menurut Ardi (2011) dapat dijelaskan bahwa lembaga tata niaga jernang di Provinsi Jambi terdiri atas pengumpul jernang, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, pedagang pengumpul kabupaten dan pedagang besar di provinsi yang kemudian disalurkan ke pedagang ekspor, sedangkan lembaga tata niaga jernang dari Desa Lamban Sigatal adalah kelompok masyarakat pengumpul jernang, pedagang pengumpul desa (tauke desa), kabupaten (tauke kabupaten) dan pedagang besar di provinsi. Kelompok masyarakat pengumpul Jernang merupakan produsen, sedangkan pedagang pengumpul (tauke desa, kecamatan, kabupaten, provinsi) merupakan pedagang (agen) perantara.
6 Hasil Penelitian YGB (2008) menunjukkan harga transaksi jernang yang terendah adalah Rp 320 000/Kg yakni harga yang dibayarkan oleh Pedagang Antara I kepada pencari pengolah jernang pada saluran tataniaga 3 dan harga tertinggi adalah Rp 490 000/Kg yakni harga jual jernang oleh petani pengolah langsung kepada pedagang akhir jernang. Harga tertinggi yang diterima petani pengolah jernang dibayarkan oleh pedagang besar/pedagang akhir produk pada Saluran tataniaga 1 dimana pedagang besar/pedagang akhir jernang membeli jernang kepada petani pengolah secara langsung. Rata-rata volume penjualan jernang oleh pedagang antara I sebanyak 25 Kg/Bulan dan oleh pedagang antara II sebanyak 50 Kg/Bulan. Sementara di sisi lain, rata-rata volume penjualan jernang oleh pedagang besar sebesar 150 Kg/Bulan, bahkan ada salah seorang pedagang akhir produk yang menjual jernang mencapai 1 200 Kg/Bulan. Margin tataniaga jernang melalui dua saluran tataniaga yang melibatkan pedagang perantara bervariasi dari Rp125 000 per kilogram pada saluran tataniaga 2 hingga Rp 160 000 per kilogram pada saluran tataniaga 3. Margin tataniaga jernang pada saluran tataniaga 2 sebesar 26.32 persen dari harga pedagang akhir dan 33.33 persen dari harga pedagang akhir pada saluran tataniaga 3. Total biaya tataniaga jernang yang dikeluarkan oleh pedagang perantara berkisar antara Rp 25 000 pada saluran 2 hingga Rp 30 000 per kilogram pada saluran 3 atau 0.20 persen hingga 0.18 persen dari total margin tataniaga pada masing masing saluran. Perbandingan biaya dan margin tataniaga jernang hampir sama dengan perbandingan biaya dan margin pada tataniaga karet di Provinsi Jambi sebesar 0.10 persen dan 0.25 persen (Napitupulu et al, 2006). Sistem tataniaga jernang di Provinsi Jambi mampu memberikan keuntungan kepada pedagang perantara berkisar antara 4 hingga 4.33 kali biaya yang dikeluarkannya. Margin keuntungan pedagang perantara ini relatif kecil dibanding dengan tataniaga karet sebesar 38 hingga 52 kali biaya yang dikeluarkan (Napitupulu et a, 2006). Kondisi ini berbeda karena dalam tataniaga karet karena harga karet di tingkat petani produsen dapat dikatakan sepenuhnya berada dibawah kontrol pedagang perantara karena keterikatan petani dengan pedagang. Jernang merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu. Sebagai komoditi hasil hutan bukan kayu, berdasarkan kondisi habitat, maka jernang dapat dibagi kedalam dua kondisi. Pertama tanaman jernang yang tumbuh pada kawasan hutan produksi dan kedua jernang yang tumbuh pada kawasan area penggunaan lain atau milik masyarakat. Sesuai dengan peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1999 tentang pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan pada hutan produksi, pemungutan jernang sebagai hasil hutan bukan kayu harus mendapat izin dari bupati. Pasal 25, ayat 2 dalam PP No 6 Tahun 1999 tersebut juga menegaskan bahwa setiap pemegang hak pemungutan hasil hutan untuk hasil hutan bukan kayu wajib membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Di dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 124/KptsIi/2003, tentang petunjuk teknis tata cara pengenaan, pemungutan, pembayaran dan penyetoran provisi sumber daya hutan, pada BAB II Pasal 2 ayat 3, dinyatakan bahwa provisi sumber daya hutan dikenakan pada pemegang izin pemungutan hasil hutan kayu atau bukan kayu. Ditambahkan pada pasal 3 ayat 2 bahwa hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c terdiri dari antara lain rotan, madu, buah-buahan, getah-getahan, tanaman obatobatan dan lain sebagainya (YGB, 2008).
7 Dari aturan-aturan di atas dapat disimpulkan bahwa aturan mengenai pemanfaatan komoditi khususnya jernang rotan pada kawasan hutan belum dinyatakan secara eksplisit. Kondisi ini dapat berakibat pada situasi perdagangan jernang yang sampai saat ini masih sangat terselubung. Fakta lapangan juga menunjukkan bahwa petani pengolah jernang merasa tidak leluasa membawa komoditi jernang untuk dijual kepada pedagang antara karena adanya informasi bahwa perdagangan jernang yang dilakukan saat ini adalah illegal. Di bidang ekspor, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2005 tentang Pungutan Ekspor atas Barang Ekspor, juga tidak juga tidak mencantumkan komoditi jernang secara eksplisit sebagai objek pajak. Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa perdagangan jernang sebagai komoditi ekspor yang diekspor ke berbagai negara tujuan ekspor sering diindikasikan dengan perdagangan ilegal (YGB, 2008). Deforestasi Hutan Peraturan perundang‑undangan mendefinisikan deforestasi sebagai perubahan secara permanen dari kawasan berhutan menjadi tidak berhutan karena kegiatan manusia (Menhut 2009). Menurut definisi tata guna lahan yang digunakan oleh FAO dan diterima oleh pemerintah, lahan hutan yang telah ditebang, bahkan ditebang habis, tidak dianggap sebagai kawasan yang dibalak karena pada prinsipnya pohon-pohon mungkin akan tumbuh kembali atau ditanami kembali. Deforestasi dilaporkan hanya setelah lahan dikonversi secara permanen untuk kepentingan lain yang bukan hutan. Namun, citra penginderaan jauh digunakan dalam laporan ini untuk menentukan tutupan lahan (ada atau tidak adanya hutan) selama ini tidak memberikan perbedaan seperti ini dan lahan yang ditebang habis telah dilaporkan sebagai kawasan bukan hutan atau kawasan yang dibalak (FAO, 1998). Mengacu pada penjelasan UU 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal 5, tentang pemanfaatan hutan desa. Hutan desa adalah hutan negara yang berada di dalam wilayah suatu desa, dimanfaatkan oleh desa, untuk kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Selanjutnya di dalam PP 6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, hutan desa didefinisikan sebagai hutan negara yang belum dibebani izin atau hak yang dikelola oleh desa dan untuk kesejahteraan masyarakat desa. Sebagaimana diketahui, tak sedikit desa-desa berada di dalam atau sekitar kawasan hutan. Sudah selayaknya desadesa semacam ini mendapatkan akses terhadap sumberdaya hutan yang ada di wilayahnya, demi kesejahteraan masyarakat desa tersebut. Kriteria kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai area kerja hutan desa adalah hutan lindung dan hutan produksi yang : belum dibebani hak dan pengelolaan atau izin pemanfaatan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan hak-hak pengelolaan secara permanen diberikan oleh Menteri Kehutanan/Pemerintah Daerah kepada lembaga desa dengan waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang. Perizinan hutan desa dapat diberikan di area hutan lindung dan juga produksi yang berada di dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan. Penetapan areal kerja hutan desa dilakukan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan usulan Bupati/Walikota.
8 Dalam hal ini hak yang dapat diberikan adalah hak pemanfaatan Hutan Desa bukan hak milik dengan status tetap di hutan negara. Prinsip dasar dari Hutan Desa adalah untuk membuka akses bagi desa-desa tertentu, tepatnya desa hutan, terhadap hutan-hutan negara yang masuk dalam wilayahnya. Penelitian ini memiliki perbedaan dan persamaan dengan penelitian sebelumnya. Persamaan yang dapat diketahui yaitu sama-sama menganalisis sistem tataniaga seperti halnya YGB (2008). Persamaan lainnya terletak pada pendekatan analaisis yang digunakan yaitu struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis kuantitatif dan kualitatif. Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada tujuan penelitian yang berhubungan dengan topik kehutanan dimana menyangkut deforestasi hutan kaitannya terhadap sistem tataniaga jernang rotan. Selain itu terdapat juga perbedaan dalam metode penelitian yang digunakan.
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini dilandasi oleh teori-teori mengenai konsep sistem tataniaga meliputi konsep saluran dan lembaga tataniaga, konsep fungsi tataniaga, konsep struktur pasar, perilaku pasar, dan keragaan tataniaga serta konsep efisiensi tataniaga yang terdiri dari biaya dan margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya, serta analisis return to labor. Pengertian Sistem Tataniaga Tataniaga adalah suatu kegiatan mengalirkan produk dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) aktivitas tataniaga erat kaitannya dengan penciptaan atau penambahan nilai guna dari suatu produk baik barang atau jasa, sehingga tataniaga termasuk ke dalam kegiatan yang produktif. Kegunaan yang diciptakan oleh aktivitas tataniaga meliputi kegunaan tempat, kegunaan waktu dan kegunaan kepemilikan. Pengertian tataniaga dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek ekonomi dan aspek manajemen. Pengertian tataniaga dari aspek ilmu ekonomi adalah: 1. Tataniaga (pemasaran) produk agribisnis merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam mengalirkan barang atau jasa dari petani produsen (usahatani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga menjembatani jarak antara petani produsen dengan konsumen akhir (Kohls dan Uhl 1985). 2. Berdasarkan aspek manajemen, tataniaga merupakan suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu atau kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Schaffner et al (1998) dalam Asmarantaka (2009) mengatakan pendekatan Manajemen Tataniaga merupakan pendekatan dari aspek mikro merupakan proses dari
9 suatu perusahaan untuk perencanaan, penetapan harga, promosi dan distribusi dari produk atau jasa untuk memuaskan konsumen. Saluran dan Lembaga Tataniaga Proses penyampaian produk pertanian dari produsen hingga ke konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Menurut Adnany (2008), Hermansyah (2008), dan Siregar (2010) lembaga tataniaga yang terlibat di dalam proses tataniaga produk pertanian diantaranya pedagang pengumpul, pedagang besar lokal dan luar daerah, pedagang pengecer lokal dan luar daerah. Sembiring (2010) menyatakan bahwa terdapat juga lembaga tataniaga seperti pedagang pengolah dalam saluran tataniaga produk pertanian. Saluran ini disesuaikan dengan kegiatan pemasaran di lokasi penelitian. Saluran tataniaga yang terbentuk bervariasi dan tentunya dipengaruhi oleh daerah tujuan pemasaran yang cukup luas. Fungsi Tataniaga Dahl dan Hammond (1977) menyatakan bahwa serangkaian fungsi yang dipergunakan dalam menggerakan input dari titik produsen sampai konsumen akhir terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi-fungsi tataniaga tersebut adalah kegiatan produktif (meningkatkan nilai guna bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan), sedangkan pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh kelompok perusahaan atau individu yang disebut sebagai lembaga tataniaga. Limbong dan Sitorus (1987) menjelaskan fungsi-fungsi tataniaga yang ada sebagai berikut: 1. Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dari barang/jasa yang dipasarkan, meliputi kegiatan pembelian dan kegiatan penjualan. 2. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang berhubungan langsung dengan barang dan jasa yang menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu, meliputi kegiatan penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan. 3. Fungsi fasilitas adalah semua tindakan yang berhubungan dengan kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen, meliputi fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan resiko, fungsi pembayaran dan fungsi informasi pasar. Penggolongan lembaga tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1987) didasarkan pada fungsi, penguasaan terhadap suatu barang, kedudukan dalam suatu pasar serta bentuk usahanya yaitu: Berdasarkan fungsi yang dilakukan : Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan pertukaran, seperti pengecer, grosir dan lembaga perantara lainnya. Lembaga tataniaga yang melakukan kegiatan fisik seperti pengolahan, pengangkutan dan penyimpanan. Lembaga tataniaga yang menyediakan fasilitas-fasilitas tataniaga seperti informasi pasar, kredit desa, KUD, Bank Unit Desa dan lain-lain. Berdasarkan penguasaan terhadap suatu barang : Lembaga tataniaga yang menguasai dan memiliki barang yang dipasarkan, seperti pedagang pengecer, grosir, pedagang pengumpul dan lain-lain.
10
Lembaga tataniaga yang menguasai tetapi tidak memiliki barang yang dipasarkan seperti agen, broker, lembaga pelelangan dan lain-lain. Lembaga tataniaga yang tidak menguasai dan tidak memiliki barang yang dipasarkan seperti lembaga pengangkutan pengolahan dan perkreditan. Berdasarkan kedudukannya dalam suatu pasar : Lembaga tataniaga bersaing sempurna, seperti pengecer beras, pengecer rokok dan lain-lain. Lembaga tataniaga monopolistis seperti pedagang bibit dan benih. Lembaga tataniaga oligopolis, sepeti importir cengkeh dan lain-lain. Lembaga tataniaga monopolis, seperti perusahaan kereta api, perusahaan pos dan giro, dan lain-lain. Berdasarkan bentuk usahanya : Berdasarkan hukum seperti perseroan terbatas, firma, dan koperasi. Tidak berbadan hukum, seperti perusahaan perseorangan, pedagang pengecer, tengkulak dan sebagainya.
Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar Struktur pasar merupakan karakteristik organisasi pasar yang mempengaruhi sifat kompetisi dan harga di dalam pasar. Dalam struktur pasar, pasar dikelompokkan berdasarkan jenis yang berkorelasi dengan pembeli dan penjual yang mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar menurut Asmarantaka (2009). Tabel 2 Karakteristik struktur pasar Karakteristik Jumlah Penjual
Struktur Pasar
Jumlah Pembeli
Sifat produk
Pengetahuan Informasi Pasar
Hambatan Keluar Masuk Pasar
Banyak
Banyak
Homogen
Sedikit
Rendah
Banyak
Banyak
Diferensiasi
Sedikit
Tinggi
Sedikit
Sedikit
Homogen
Banyak
Tinggi
Sedikit
Sedikit
Diferensiasi
Banyak
Tinggi
Satu
Satu
Unik
Banyak
Tinggi
Sisi Penjual
Sisi Pembeli
Persaingan Murni Persaingan Monopolistik Oligopoli Murni Oligopoli Diferensiasi Monopoli
Persaingan Murni Persaingan Monopolistik Oligopsoni Murni Oligopsoni Diferensiasi Monopsoni
Sumber : Hammond dan Dahl (1977)
Perilaku pasar adalah tindakan atau strategi yang dilakukan penjual atau pembeli untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan lembaga tataniaga biasanya menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan. Menurut Kohls dan Uhl (2002) bahwa ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menggambarkan perilaku pasar, yaitu (1) Input-output system, digunakan untuk menerangkan bagaimana perusahaan mengembangkan input yang dimiliki untuk menghasilkan output bagi perusahaan; (2) Power system, menjelaskan bahwa perusahaan mengembangkan kualitas, pemimpin pasar, dan memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga dapat menentukan harga; (3) Communication system, menjelaskan bagaimana
11 mendirikan saluran informasi yang efektif; (4) System for adapting to internal and external change, menerangkan bagaimana perusahaan beradaptasi dalam suatu sistem tataniaga dan bertahan di pasar. Hammond dan Dahl (1977) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar meliputi kegiatan pembelian, penjualan penentuan harga dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Pelaku tataniaga perlu mengetahui perilaku tataniaga sehingga mampu merencanakan kegiatan tataniaga secara efisien. Hubungan yang terjadi pada SCP merupakan pengaruh struktur terhadap perilaku dimana perusahaan yang memiliki kekuatan pasar akan memanfaatkan kemampuan tersebut dengan meningkatkan harga di atas harga kompetitif. Keragaan pasar menurut Dahl dan Hammond (1977) adalah nilai akhir yang diperoleh sebagai akibat dari penyesuaian pasar yang dilakukan oleh lembaga pemasaran. Keragaan pasar timbul akibat adanya perilaku pasar dan tindakan yang tercermin dalam aktivitas pemasaran melalui beberapa variabel ekonomi, mulai dari biaya, harga, dan kapasitas output. Margin Tataniaga Margin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (Pf) dengan harga ditingkat konsumen akhir (Pr) dengan demikian margin tataniaga adalah M = Pr - Pf. Rendahnya nilai margin tataniaga tidak selalu mencerminkan bahwa suatu sistem tataniaga dinilai lebih efisien. Begitu juga sebaliknya, ketika nilai margin tataniaga tinggi sebagai akibat adanya pengolahan dan penanganan produk lebih lanjut dan berdampak pada peningkatan kepuasan konsumen maka tingginya margin tataniaga mengindikasikan sistem tataniaga tersebut berlangsung secara efisien. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat semakin besar perbedaan harga antar produsen dengan harga di tingkat konsumen. Secara grafis dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Margin tataniaga Sumber : Kohls dan Uhl (2002)
12 Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan lembaga lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir. Tingginya margin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan pemasaran antara lain ketersediaan fasilitas fisik pemasaran meliputi pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, risiko kerusakan dan lain-lain (Limbong dan Sitorus 1985). Menrurut Kohls dan Uhl (2002), terdapat dua hal penting dalam memperbaiki efisiensi tataniaga yaitu transportasi dan pencegahan kehilangan (Preventting loss). Transportasi memiliki peranan yang penting dalam menyalurkan jernang ke tangan konsumen. Umumnya transportasi yang digunakan untuk pengangkutan jernang rotan adalah sepeda motor dan mobil pick up. Famer’s Share Salah satu indikator yang dapat digunakan dalam menentukan efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima pencari jernang rotan (farmer’s share) terhadap harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir yang biasanya diukur dalam bentuk persentase. Farmer’s share merupakan rasio antara harga di tingkat pencari terhadap harga di tingkat retail (Hudson 2007). Kohls dan Uhl (2002) menambahkan bahwa besarnya nilai farmer’s share dipengaruhi oleh tingkat pemrosesan, biaya transportasi, keawetan produk dan jumlah produk. Farmer’s share merupakan alat analisis yang digunakan untuk menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan pencari jernang rotan. Margin atau biaya tataniaga biasanya dibebankan kepada pencari dan konsumen melalui penetapan harga di tingkat petani yang rendah dan harga di tingkat konsumen yang tinggi. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan nilai margin tataniaga. Semakin tinggi nilai margin tataniaga menunjukkan semakin kecil bagian yang diterima pencari jernang rotan dalam melaksanakan suatu aktivitas tataniaga. Farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa tataniaga berjalan efisisen. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga parantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga Tingkat efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga dapat pula diukur melalui besarnya rasio keuntungan dan biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga menunjukkan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan aktivitas tataniaga. Semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga, maka secara teknis sistem tataniaga akan semakin efisien (Limbong dan Sitorus 1985). Efisiensi Tataniaga Efisiensi suatu sistem tataniaga diukur dari kepuasan konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan suatu produk dari produsen primer (petani) hingga sampai ke tangan konsumen. Terdapat perbedaan pengertian efisiensi tataniaga di mata konsumen dan produsen. Produsen mengganggap suatu sistem tataniaga yang efisien adalah jika penjualan
13 produknya mampu mendatangkan keuntungan yang tinggi bagi produsen, sementara di mata konsumen suatu sistem tataniaga dinilai efisien jika konsumen bisa mendapatkan suatu produk dengan harga yang rendah. Dalam menentukan tingkat kepuasan dari para lembaga/pelaku tataniaga sangatlah sulit dan sifatnya relatif. Efisiensi merupakan rasio dari nilai output dengan input. Indikator dalam mengukur efisiensi tataniaga produk agribisnis dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis dalam Asmarantaka (2009) yaitu: 1. Efisiensi operasional atau teknis berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas tataniaga yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input tataniaga. Efisiensi operasional adalah ukuran frekuensi dari produktivitas penggunaan input-input tataniaga. Peningkatan efisiensi atau keuntungan dapat dilakukan melalui tiga kondisi menurut Kohls dan Uhl (2002) yaitu: a. Menurunkan biaya tanpa menurunkan kepuasan konsumen b. Meningkatkan kepuasan konsumen tan pa meningkatkan biaya c. Meningkatkan kepuasan konsumen dengan peningkatan biaya dimana tambahan nilai output lebih besar dari tambahan nilai input. 2. Efisiensi harga menekankan kemampuan sistem tataniaga dalam mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh produksi pertanian dan proses tataniaga sehingga efisien sesuai dengan keinginan konsumen. Efisiensi harga bertujuan untuk mencapai efisiensi alokasi sumberdaya antara apa yang diproduksi dan apa yang diinginkan konsumen serta memaksimumkan output ekonomi. Konsep Return to Labor Imbalan bagi tenaga kerja dihitung berdasarkan nilai total produksi atau penerimaan dari kegiatan pencarian dikurangi dengan semua biaya produksi kecuali biaya tenaga kerja (Hidayat, 2013). Sebagai pemilik tenaga kerja yang telah dicurahkan dalam kegiatan pencarian jernang rotan, pencari seyogyanya menerima upah sekurang-kurangnya sama besarnya dengan upah seandainya pencari tadi bekerja sebagai buruh perkebunan karet pada perusahaan setempat. Jika imbalan bagi tenaga kerja dan modal lebih tinggi daripada biaya imbangannya, berarti kegiatan pencarian jernang rotan secara ekonomis menguntungkan karena mampu memberikan imbalan yang wajar bagi faktor-faktor produksi yang telah dipergunakan dalam menyelenggarakan kegiatan pencarian tersebut. Sementara itu apabila imbalan bagi faktor-faktor produksi tersebut lebih rendah dari biaya imbangannya, berarti kegiatan pencarian tersebut secara ekonomis merugikan (Kamiliah W 2009). Jika keuntungan merupakan keberhasilan dalam kegiatan pencarian jernang rotan secara menyeluruh, maka untuk mengukur keberhasilan kegiatan pencarian secara parsial (per bagian) perlu dihitung imbalan bagi faktor-faktor produksi yaitu imbalan bagi tenaga kerja (return to labor) (Kamiliah W 2009). Kerangka Pemikiran Operasional Analisis tataniga jernang rotan di Desa Lamban Sigatal dilakukan dengan menggunakan analisis pemasaran dengan cara snowball. Jernang rotan yang di
14 dijual kepada pedagang pengumpul desa atau kecamatan diikuti alur pemasarannya hingga tingkat pedagang kabupaten. Tentunya, terdapat perbedaan saluran pemasaran jernang rotan hingga tingkat pedagang kabupaten. Perbedaan tersebut dapat dianalisis menggunakan analisis pemasaran yang mengidentifikasi saluran, fungsi, margin, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Untuk menghitung efisiensi pemasaran yang telah dilakukan oleh masing-masing saluran, perlu diidentifikasi terlebih dahulu lembaga-lembaga yang terlibat dalam setiap saluran, fungsi-fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran tersebut dan biaya yang dikeluarkan lembaga pemasaran terkait untuk melakukan fungsi pemasaran. Efisiensi pemasaran dapat dihitung menggunakan perhitungan margin pemasaran dan rasio profit terhadap biaya. Untuk memperoleh hubungan pemanfataan hutan desa dengan sistem tataniaga jernang, digunakan analisis return to labor yang mengidentifikasi tingkat pendapatan upah pencari dalam kegiatan pencarian selama ini telah telah dirasa sudah cukup baik atau belum. Deforestasi Hutan
Promosi Hasil Hutan Bukan Kayu
Pemanfaatan Hutan Desa Lamban Sigatal
Bagaimana sistem tataniaga jernang rotan di Desa Lamban Sigatal? Apakah sistem tataniaga atau pemasaran tersebut sudah efisien? Bagaimana korelasi antara peningkatan pendapatan pencarian dengan upaya melestarikan hutan desa?
Gambaran tataniaga getah jernang
1. 2. 3.
Analisis Kuantitatif Margin Tataniaga Farmer’s Share Risiko keuntungan dan biaya
Analisis Kualitatif 1. Saluran tataniaga dan lembaga tataniaga 2. Fungsi-fungsi tataniaga 3. Struktur Pasar 4. Perilaku Pasar
Rekomendasi solusi kepada pembudidaya serta lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat pada sistem tataniaga getah jernang di Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Soolangun, Provinsi Jambi
Gambar 2 Kerangka Operasional
15
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari - Februari 2014 di Desa Lamban Sigatal, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi. Pemilihan Desa Lamban Sigatal sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan bahwa desa tersebut merupakan salah satu sentra produksi buah jernang rotan di Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun. Pemilihan responden dilokasi penelitian dengan megikuti alur tataniaga berdasarkan informasi dari pencari buah jenang otan dan lembaga tataniaga menggunakan metode snowball sampling. Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan secara langsung serta melakukan wawancara kepada pencari buah jernang rotan dan lembaga-lembaga tataniaga buah jernang rotan yang terlibat dengan menggunakan kuesioner. Data sekunder diperoleh melalui literatur studi pustaka yang mendukung penelitian ini. Data-data tersebut bersumber dari laporan penelitian, buku teks, jurnal, dan data-data yang berasal dari instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Provinsi Jambi serta Perpustakaan LSI IPB. Metode Analisis Penelitian ini menggunakan dua kelompok responden, yaitu pencari dan pembudidaya (produsen) serta pedagang (lembaga pemasaran). Penarikan responden untuk pencari dan pembudidaya dilakukan dengan teknik purposive sampling. Hal ini dilakukan dengan cara memilih pencari dan pembudidaya yang menggunakan saluran tataniaga yang berbeda. Metode pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan panduan kuesioner kepada para responden. Pencari buah jernang rotan yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian ditentukan dengan sengaja (purposive) sebanyak 15 orang pencari aktif dimana termasuk 1 orang juga merupakan pembudidaya jernang. Wawancara dilakukan dengan cara mendatangi pencari dan petani langsung ke tempat tinggal mereka hingga ke ladang, karena pada saat penelitian dilakukan sebagian besar responden sedang menjaga hasil panen padi di ladang. Data yang digunakan merupakan data dari aktivitas penjualan buah jernang rotan selama bulan agustus hingga desember 2013. Selain aktivitas pengambilan data melalui wawancara, juga dilakukan pengamatan terhadap aktivitas budidaya, panen dan pascapanen yang dilakukan oleh pencari. Selain responden pencari dan petani, lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan pemasaran buah jernang rotan dari wilayah Desa Lamban Sigatal juga dijadikan responden dalam penelitian ini. Penarikan sample dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling yakni diambil
16 berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden sebelumnya yaitu pencari buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal dengan melakukan penelusuran saluran tataniaga hingga ke konsumen akhir. Berdasarkan hasil penelusuran dari 15 pencari jernang, diperoleh sabanyak 4 pedagang yang terdiri dari 2 pedagang pengumpul desa (tauke desa), 1 pedagang pengumpul kecamatan, dan 1 pedagang pengumpul kabupaten. Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif bertujuan untuk menganalisis saluran tataniaga, lembaga tataniaga, dan fungsi tataniaga, serta struktur dan perilaku pasar melalui wawancara dan kuesioner. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif. Analisis data kuantitatif digunakan untuk menganalisis margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pengolahan data analisis kuantitatif menggunakan kalkulator dan program microsoft excel. Metode analisis ini menggambarkan struktur pasar dan tingkah laku pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga. Untuk mengetahui struktur pasar buah jernang rotan dapat dilihat berdasarkan jumlah lembaga tataniaga, mudah tidaknya memasuki pasar, diferensiasi produk, dan informasi pasar. Untuk mengetahui tingkah laku pasar dapat dilakukan dengan mengamati transaksi penjualan dan pembelian melalui sistem penentuan dan pembayaran harga, dan kerjasama diantara lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Keragaan pasar buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal dianalisis menggunakan margin pemasaran, farmer’s share dan analisi rasio keuntungan terhadap biaya. Margin tataniaga merupakan perbedaan harga ditingkat produsen (Pf) dengan harga ditingkat konsumen akhir (Pr), dengan demikian margin tataniaga adalah MT=Pr-Pf. Ananlisis margin tataniaga digunakan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga buah jernang rotan. Menurut Limbong dan Sitorus (1985), perhitungan margin tataniaga secara matematis dapat dilihat sebagai berikut : MT = Pr – Pf= biaya-biaya + π lembaga = ΣMi Keterangan : MT Pr Pf π lembaga Mi
: margin total, : harga di tingkat konsumen akhir, : harga di tingkat petani produsen, : profit lembaga pemasaran akibat adanya sistem pemasaran, : margin pemasaran di tingkat lembaga ke-i, dimana i=1,2,3,.....,n
Selain menggunakan perhitungan margin, efisiensi dapat juga dihitung ⁄ atau profit dibagi dengan biaya. Dengan dihitung menggunakan rumus menghitung margin dan rasio profit terhadap biaya, maka saluran pemasaran buah jernang rotan dapat diketahui apakah sudah efisien atau belum efisien. Farmer’s share = x 100% Keterangan : Pr : harga di tingkat ritel Pf : harga di tingkat petani produsen
17 Tataniaga yang efisien dapat juga dilihat melalui sebaran nilai rasio terhadap biaya yang merata pada setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya setiap lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut: Rasio Keuntungan dan Biaya =
Keterangan: Keuntungan ke-i Biaya ke-i
: Keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Buah) : Biaya lembaga tataniaga (Rp/Buah)
Apabila π/c lebih dari nol (π/c > 0), maka usaha tersebut efisien, dan apabila π/c kurang dari nol (π/c < 0), maka usaha tersebut tidak efisien.
Return to Labor dan Return to Capital Perhitungan return to labor merupakan patokan yang baik untuk menilai penampilan usahatani (Soekartawi, 1986). Jika hasil return to labor lebih tinggi daripada upah rata-rata maka keputusan petani responden sudah tepat untuk mengusahakan sayuran daripada menjadi buruh tani. Adapun rumus return to labor adalah: Return to labor =
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lamban Sigatal, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sorolangun, Provinsi Jambi. Berdasarkan data monografi desa, wilayah desa Lamban Sigatal berbatasan langsung dengan empat desa yaitu : 1. Sebelah Utara : Desa Pamusiran 2. Sebelah Selatan : Desa Seko Besar (Trans Lubuk Napal) 3. Sebelah Barat : Desa Lubuk Napal 4. Sebelah Timur : Desa Sepintun Topografi Desa terletak pada ketinggian 50-150 meter dpl. Suhu harian ratarata diketahui mencapai 300 C. Jarak Desa Lamban Sigatal dengan ibukota Kabupaten (Sorolangun) adalah sekitar 60 kilometer. Alat transportasi yang digunakan pada umumnya yaitu motor dan mobil, dimana waktu tempuh perjalanan sekitar 1.5 jam saat musim kemarau dimana jalan tanah kering sedangkan saat musim hujan dapat mencapai 4-6 jam karena jalan berlumpur dan sulit dilalui oleh kendaraan. Penduduk Desa Lamban Sigatal pada tahun 2012 berjumlah 735 orang, dimana jumlah penduduk laki-laki mencapai 52.48 persen (296 orang) dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 48.22 persen (272 orang). Pada setiap
18 rentang kelompok umur antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan hampir berimbang. Adapun lebih lengkap dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 3 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin Kelompok Umur 0 – 9 tahun 10 – 19 tahun 20 – 29 tahun 30 – 39 tahun 40 – 49 tahun 50 – 59 tahun > tahun 60 Jumlah Presentase
Jumlah Penduduk (Jiwa) Laki-laki Perempuan 79 73 85 73 75 75 64 59 54 39 33 9 10 6 401 334 54.5% 45.5%
Sumber : Data Primer (2014), diolah
Infrastuktur jalan di Desa Lamban Sigatal sangat buruk. Akses jalan menuju Desa Lamban Sigatal sebagian besar merupakan jalan berbatu dan tanah menyebabkan aksesibilitas dari dan ke desa sangat terbatas. Pada musim hujan diperlukan waktu tempuh 4-6 jam menuju ke Desa Lamban Sigatal dari ibukota kecamatan Pauh. Sarana transportasi berupa kendaraan umum roda empat hanya beroperasi pada musim kemarau. Pada musim hujan, akses menuju desa terbatas pada kendaraan umum roda dua (ojeg). Desa Lamban Sigatal memiliki 1 unit Sekolah Dasar dan 1 unit Madrasah Tsanawiyah. Terdapat 6 orang pengajar di Sekolah Dasar. Mayoritas penduduk hanya berpendidikan tamat Sekolah Dasar dan program wajib belajar 9 tahun baru dirasakan oleh 9.9 persen dari total warga Desa Lamban Sigatal. Sedangkan penduduk yang merasakan pendidikan hingga perguruan tinggi tidak mencapai 5 persen. Tabel 4 Tingkat pendidikan penduduk Pendidikan SD SMP SMA Diploma Sarjana Tidak Sekolah Jumlah
Jumlah (jiwa) 509 73 33 0 4 116 735
Presentase (%) 69.2 9.9 4.5 0 0.5 15.8 100
Sumber : Data Primer (2014), diolah
Penduduk Desa Lamban Sigatal sebagian besar merupakan petani penyadap karet. Sebagian lainnya bekerja di perusahaan perkebunan sawit di sekitar wilayah desa. Penduduk tidak menjadikan mata pencaharian pencari buah jernang
19 rotan sebagai profesi utama karena buah jernang rotan hanya berbuah pada bulan tertentu. Tabel 5 Jenis tanaman yang ditanam pada rumah tangga Jenis Tanaman Karet Sawit Padi Jernang Total
Jumlah (jiwa) 380 7 4 3 394
Presentase (%) 96.45 1.77 1.02 0.76 100
Sumber : Data Primer (2014), diolah
Setiap awal tahun, yaitu pada bulan Januari dan Februari para penduduk memanen hasil tanam padi di ladang, disekitar kawasan hutan desa. Hasil panen padi yang diperoleh tidak untuk dijual melainkan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga selama satu tahun kedepan. Sedangkan sebagian kecil lainnya berprofesi sebagai pegawai negeri dan pedagang. Tabel 6 Jumlah penduduk berdasarkan pekerjaan Pekerjaan PNS TNI / Polri Wiraswasta Tani Dagang Buruh Pensiunan Karyawan Pelajar / Mahasiswa Total
Jumlah (jiwa) 0 0 2 191 8 0 0 4 0 205
Presentase (%) 0 0 0.98 93.71 3.90 0 0 1.95 0 100
Sumber : Laporan Kegiatan PT. Reki dan Pemkab Sarolangun (2012)
Karakteristik Pencari Buah Jernang Rotan Responden Responden dalam penelitian ini adalah pencari buah jernang rotan yang memanen hasil buah jernang rotan di daerah hutan Kapas, Palembang. Pencari buah jernang rotan yang dipilih sebanyak 15 orang dalam wilayah Desa Lamban Sigatal dengan menggunakan metode penarikan sampel Purposive. Pencari buah jernang rotan menjual langsung kepada pedagang pengumpul desa yang disebut tauke desa. Berdasarkan hasil wawancara dengan pencari diketahui bahwa pencarian buah jernang rotan biasanya dilakukan secara berkelompok. Jumlah anggota dalam satu kelompok umumnya terdiri dari 4,6 dan 8 orang dan tidak boleh ganjil. Hal ini didasari atas dasar kepercayaan masyarakat setempat bila melakukan pencarian dengan jumlah anggota ganjil akan mendapat musibah. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa umur petani responden di Desa Lamban Sigatal berkisar antara 28-54 tahun. Kelompok usia
20 tertinggi terdapat pada usia 31-40 tahun sebanyak 5 pencari atau 31.25 persen. Kelompok usia ini termasuk kedalam usia produktif atau usia kerja. Berikut karakteristik responden pencari berdasarkan usia. Tabel 7 Karakteristik pencari responden berdasarkan usia Kel.Umur ≤ 30 31 – 40 41 – 50 ≥ 51 Total
Jumlah (jiwa)
Presentase (%)
4 5 4 2 15
26.67% 33.33% 26.67% 13.33% 100.00%
Sumber : Data Primer (2014), diolah
Tingkat pendidikan pencari responden hanya sebatas Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sebanyak 13 orang pencari hanya menempuh pendidikan dasar sedangkan 2 orang lainnya menyelesaikan pendidikannnya pada Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tabel 8 Karakteristik pencari responden berdasarkan pendidikan Tingkat pendidikan Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Total
Jumlah (jiwa)
Presentase (%)
13 2 0 15
86.67% 13.33% 0.00% 100.00%
Sumber : Data Primer (2014), diolah
Pengalaman yang dimiliki oleh pencari dapat mempengaruhi keberhasilan dalam mencari dan memanen buah jernang rotan. Pencari yang sudah lama melakukan pencarian di hutan umumnya dapat membawa hasil buah jernang rotan yang lebih banyak dibandingkan pencari yang belum berpengalaman. Kegiatan mencari buah jernang rotan telah dilakukan secara turun-temurun, namun kondisi hutan yang semakin rusak mengakibatkan buah jernang yang dihasilkan semakin langka sehingga banyak pencari jernang yang beralih profesi menjadi penyadap karet. Tabel 9 Karakteristik pencari responden berdasarkan pengalaman pencari responden Pengalaman Pencari jernang (tahun) 6 – 10 11 – 15 16 – 20 > 20 Sumber : Data Primer (2014), diolah
Jumlah (jiwa) 0 5 3 7
Presentase (%) 6.25 31.25 18.75 43.75
21 Dari hasil wawancara didapatkan bahwa terdapat 7 orang pencari atau 43,75 persen yang melakukan pencarian buah jernang rotan selama lebih dari 20 tahun. Sebanyak 5 orang yang memiliki pengalaman pencarian jernang rotan selama 11 hingga 15 tahun, sebagian kecil lainnya berpengalaman 16 hingga 20 tahun terdapat 3 orang pencari. Karakteristik Pedagang Pengumpul (Tauke) Dalam sistem rantai tataniaga buah jernang rotan, orang yang bertindak sebagai pedagang pengumpul hasil panen pencari dikenal dengan sebutan “tauke”(dengan lafal penyebutan “toke”). Berdasarkan perolehan data hasil wawancara,diperoleh sebanyak empat orang pedagang responden yang terdiri dari dua pedagang pengumpul desa (tauke desa), satu orang pedagang pengumpul kecamatan (tauke kecamatan), dan satu orang pedagang pengumpul kabupaten (tauke kabupaten). Karakteristik yang diperhatikan terhadap pedagang responden diantaranya umur, tingkat pendidikan, dan pengalaman berdagang buah jernang rotan. Berdasarkan karakteristik umur, pedagang responden memiliki rentang umur 31-45 tahun. Tiga orang pedagang pengumpul (tauke) berumur 41-45 tahun sedangkan satu orang berumur 31 tahun. Untuk tingkat Pendidikan pedagang hanya, dua orang pedagang pengumpul merupakan tamatan Sekolah Dasar (SD) sedangkan dua orang lainnya menamatkan hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Berdasarkan tingkat pengalaman, dua orang pedagang pengumpul memiliki tingkat pengalaman 6-10 tahun sedangkan satu orang lainnya memiliki tingkat pengalaman hingga 15 tahun.
Gambaran Umum Usahatani Jernang Budidaya tanaman buah jernang rotan terdiri dari beberapa tahapan yaitu pembibitan, pengolahan, penanaman, pemeliharaan, penyiangan dan pemanenan. Pembibitan dilakukan dengan menggunakan biji, dengan presentase daya berkecambah mencapai 80 persen jika dilakukan dengan baik. Kendala dari proses ini adalah jenis biji jernang rotan jantan atau betina belum diketahui. Biji diperoleh dari buah yang telah masak baik berasal dari pembudidayaan atau daerah hutan kapas. Pembudidaya yang tidak melakukan kegiatan pencarian membeli biji jernang rotan seharga Rp1 000/biji Adapaun langkah-langkah pembibitan jernang rotan yang dilakukan sebagai berikut.
Gambar 3 Tahap pembersihan benih
22
Gambar 4 Tahap pemberian zat perangsang tumbuh
Gambar 5 Perendaman biji
Gambar 6 Bibit yang telah dipindahkan ke polybag
Gambar 7 Pemeliharan bibit yang telah dipindahkan ke lahan tanam
1.
Kulit (luluh) yang masih melekat di buah jernang rotan harus dibuang terlebih dahulu sampai bersih. Biji yang berwarna hitam adalah biji yang paling bagus untuk dijadikan bibit. Jika biji yang akan dijadikan bibit banyak, untuk membuang lulun dapat menggunakan pasir. Pasir dan biji
23
2. 3.
4.
5. 6. 7.
buah jenang rotan diremas-remas lalu dimasukkan kedalam ambung, kemudian disiram dengan air hingga biji benar-benar bersih dari lulun. Setelah lulun buah jernang rotan bersih, kemudian airnya dibuang dan biji dijemur sampai agak kering. Biji direndam dengan cairan atonik selama 24 jam (1 liter air ±10 cc cairan atonik 1 000 biji). Biji buah jernang rotan diambil lalu disiram dengan air dan ditiriskan serta dijemur 5 menit. Selain menggunakan atonik, bisa juga menggunakan air kelapa dengan direndam selama 24 jam. Air kelapa yang digunakan harus diganti pada 12 jam pertama dan diganti dengan air kelapa yang baru. Jadi dalam 24 jam perendaman disediakan 2 liter air kelapa. Biji yang telah selesai direndam kemudian dikeringkan dengan cara ditiriskan dan dijemur selama beberapa jam hingga biji kering dengan sendirinya. Setelah diperoleh biji kering kemudian lakukan pencungkilan pada penutup mata biji jernang, agar mempercepat proses perkecambahan biji. Pada proses ini diperlukan kehati-hatian karena bila mata biji ikut terpotong maka biji tidak akan berkecambah. Selanjutnya biji ditempatkan didalam wadah toples kapasitas 5 liter. Wadah toples terlebih dahulu diisi dengan media tanam serbuk gergaji yang sudah dilembabkan, kemudian biji di tempatkan secara mendatar dan tidak boleh saling tindih. untuk 1 buah toples maksimal jumlah biji yang dapat dimasukkan 200 biji. Toples ditutup rapat dan tidak boleh dibuka-buka selama 27 hari. Setelah berkecambah, buah jernang rotan dapat dipindahkan ke dalam polybag ukuran 25 x 30 cm. Untuk hasil yang lebih baik, ukuran bibit yang dipindahkan sebesar ibu jari dengan posisi kecambah yang berwarna putih diatas. Jika sudah dimasukkan ke dalam polybag, bibit harus dikontrol rutin hingga akar menyatu dengan tanah. Pada musim kemarau bibit disiram pagi dan sore, bila musim ujan penyiraman dapat ditiadakan. Bibit dapat dipindah tanam ke lahan ketika telah berumur 8 bulan.
Penanaman sebaiknya dilakukan pada musim hujan, bibit yang telah berumur 8 bulan telah siap untuk dipindah tanam ke lahan budidaya. Pengangkutan bibit menggunakan mobil pick up dan dipindahkan secara perlahan. Lepas polybag dan usahakan media tidak hancur. Tanamkan bibit dengan pangkal calon batang sejajar dengan permukaan tanah. Bekas polybag tempatkan pada ujung ajir sebagai tanda bahwa lubang sudah ditanam. Pemeliharaan intensif hingga mencapai umur 2 tahun, yaitu : 1. Penyiangan Gulma dibersihkan sekitar radius 0.5 dari rumpun tanaman dan lakukan penggemburan tanah disekitar tanaman rotan agar diperoleh rangsang laju tumbuh yang optimal. 2. Pruning Pohon Perambat Pemangkasan cabang pohon perambat dapat dilakukan bila intensitas cahaya yang masuk kurang dari sekitar 80 persen. Setelah tanaman berumur 24 tahun tidak perlu memberikan perlakuan terhadap pohon perambat, biarkan rotan untuk mencari cahaya, karena laju tumbuh akan optimal bila penutupan tajuk pohon perambat tinggi dan rotan secara biologis akan mencari cahaya. 3. Proteksi Gangguan
24 Gangguan yang perlu diperhatikan adalah penyakit busuk leher batang pada semai dan bercak kecoklatan yang cukup serius. Maka dari itu perlu dilakukan proteksi dengan menghindari terjadinya genangan sekitar titik tanam atau lakukan penyemprotan fungisida interval 1 minggu. Hama yang perlu diwaspadai adalah hama penggerek batang (Rynhophorus dan Macrocyrus) dan penggerek pucuk (Artina Catoxantha) serta hama kumbang daun. Bila tanaman rotan Buah rotan Jernangmendapat gangguan penggerek pucuk, dipastikan tanaman akan mati dan atau terhambat tumbuh. Pemanenan Langkah – langkah pemanenan buah buah jernang rotan untuk mendapatkan biji adalah sebagai berikut : 1. Proses pengambilan buah jenang rotan adalah dengan menggunakan penyuluh (pengait) dan tidak menebang pohon jernang. Alat pengait yang digunakan terbuat dari batang rotan dengan panjang sekitar 20 cm yang dilitkan dengan tali rotan 2. Setelah buah buah jernang rotan didapat, untuk mendapatkan biji yang akan dijakdikan bibit harus melalui proses pengambilan getah terlebih dahulu. Bahan – bahan yang diperlukan yaitu : Ambung merupakan keranjang yang terbuat dari rotan Alat pengguncang yang terbuat dari kayu dan berbentuk bintang tiga dibagian bawahnya. Kayu pengganjal ambung pada saat proses pengguncangan atau proses pemisahaan getah (lulun) dan biji dari buah. Tahapan proses pemisahaan getah buah jernang rotan dengan biji sebagai berikut : Buah jernang rotan dimasukkan kedalam ambung. Ketika mengguncang, posisi ambung diatas kayu guncangan. Proses pengguncangan seperti halnya menumbuk, sebaiknya dilakukan didalam ruangan tertutup dan pada waktu shubuh dimana hembusan angin sedikit berhembus sehingga perolehan getah (lulun) maksimal. Getah (lulun) yang dihasilkan pada proses ini berupa serbuk, bukan dalam bentuk cairan. Sebaiknya sebelum dilakukan proses pengguncangan buah Buah rotan Jernangyang diambil dari pohon dijemur terlebih dahulu kemudian didinginkan semalam dengan tujuan getah mudah lepas dari biji. Warga Desa Lamban Sigatal menyebut proses ini lesu. Selanjutnya biji yang sudah bersih dari getah (lulun) direndam dengan cairan atonik selama 24 jam atau air kelapa 2x12 jam. 3. Untuk getah (lulun) yang diperoleh dimasukkan kedalam plastik ukuran 1 kg, kemudian plastik diikat rapat dan di jemur hingga mengeras
25
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Jernang rotan sebagai komoditi hasil hutan bukan kayu (HHBK) berdasarkan kondisi habitatnya terbagi kedalam dua kondisi. Pertama tanaman jernang rotan tumbuh pada kawasan hutan produksi dan kedua tanaman jernang rotan tumbuh pada kawasan area penggunaan lain atau milik pribadi. Hutan produksi merupakan hutan desa yang pemanfaatan dan pengelolaannya dilakukan secara swadaya masyarakat. Sedangkan lahan milik pribadi merupakan area yang dimiliki oleh perorangan atau perusahaan perkebunan setempat. Dalam mendukung promosi produk hasil hutan buka kayu (HHBK) berupa jernang rotan perlu diketahui terlebih dahulu analisis kelayakan usaha sebagai bentuk gambaran dalam upaya pengembangan jernang dijadikan komoditi unggulan masyarakat Desa Lamban Sigatal. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Efendi (2009) diketahui bahwa NPV, BCR, dan IRR dimana masingmasing untuk jernang rotan kualias 1 sebesar Rp 51 258 856/ha/tahun, 11.9 dan 49 persen pada tingkat suku bunga 12 persen, maka jernang rotan kualitas 1 (meson) di desa Lamban Sigatal layak dikembangkan. Sedangkan jernang rotan kualitas 2 diperoleh NPV, BCR, IRR masing-masing sebesar Rp 20 725 284/ha/tahun, 5.4 dan 32 persen. Dari informasi diatas, maka budidaya jernang rotan sangat layak dan menarik bagi investor dalam upaya pengembangan HHBK khususnya sebagai komoditi ekspor yang dapat mengimbangi laju pertumbuhan kelapa sawit di provinsi Jambi maupun provinsi Riau. Untuk memporeh jernang rotan, umumnya para pencari berburu hingga ke daerah Sungai Kapas yang terletak di Kecamatan Bangko, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi yang berjarak sekitar 135 km dari Desa Lamban Sigatal. Berdasarkan wawancara dengan para pencari, diketahui bahwa untuk menuju lokasi pemanenan jernang di Sungai Kapas membutuhkan waktu perjalanan selama 7 hari berjalan kaki. Apabila sedang beruntung, selama perjalanan para pencari juga dapat menemukan buah jernang yang siap panen. Pencarian dilakukan dengan jumlah anggota kelompok genap semisal 2 orang, 4 orang, atau 6 orang, hal ini berdasarkan kepercayaan masyarakat bila perjalanan pencarian dilakukan dengan jumlah anggota kelompok ganjil maka akan mendapat kesulitan atau musibah. Periode 1997-1998, Jambi mengalami kebakaran hutan yang hebat. Pada periode tersebut, untuk mendapatkan jernang rotan para pencari hanya berburu disekitar kawasan hutan desa dan hasilnya yang diperoleh cukup banyak. Saat ini untuk mendapatkan 1-2 kg getah perlu waktu 2-4 pekan pencarian. Bandingkan dengan 10-15 tahun silam, pencari jernang hanya perlu 1 pekan di hutan untuk memperoleh 7-10 kg getah (lulun), sedangkan untuk pendapatkan 1 kg getahnya diperlukan sekitar 10-12 kg buah jernang. Lulun campuran yang saat ini juga diperdagangkan merupakan campuran lulun (meson) dengan bahan-bahan lain seperti dammar, biji buah jernang dan pasir, adapun lulun (meson) 1 kg dapat menghasilkan 5 kg lulun campuran. Dalam upaya menilai kelayakan kegiatan pencarian seperti halnya pada usahatani, dipergunakan analisis nilai imbalan terhadap tenaga kerja (return to
26 labor). Penilaian hasil retun to labor pencari jernang akan dibandingkan dengan upah rata-rata buruh sadap karet yang bekerja diperusahaan perkebunan di kawasan sekitar hutan desa. Jika hasil return to labor pencari jernang lebih tinggi daripada upah rata-rata buruh sadap maka keputusan melakukan kegiatan pencarian sudah tepat bila dibandingkan menjadi buruh sadap karet. Selain itu adanya variasi bentuk jual jernang saat ini menjadi lulun (meson), lulun campuran dan buah jernang akan diperlihatkan manakah yang dapat dikatakan efisein dalam kegiatan pencarian jernang rotan yang dilakukan. Berikut disajikan pada tabel 10 perbandingan return to labor antara pencari jernang dengan upah rata-rata buruh sadap karet periode tahun 1998-2013. Tabel 10 Perbandingan return to labor antara pencari jernang dengan upah ratarata buruh sadap karet di Desa Lamban Sigatal tahun 1998-2013 Komponen
Satuan
Return to labor Upah rata-rata
Rp Rp
Periode (tahun) 2003 2008 6,688,333 850,000 478,333 1,003,333
1998 105,333 170,000
2013 2,954,000 1,980,000
Sumber : Data Primer (2014), diolah 8.000.000 7.000.000 6.000.000 5.000.000
Return to labor Pencari Jernang Upah rata-rata Buruh Karet
4.000.000 3.000.000 2.000.000 1.000.000 0 1998
2003
2008
2013
Gambar 8 Grafik perbandingan return to labor antara pencari jernang dengan penyadap karet di Desa Lamban Sigatal tahun 1998-2013
Penilaian return to labor berdasarkan periode dua kali periode pencarian jernang dalam satu tahun, yaitu pada panen sela dan panen besar. Berdasarkan informasi tabel 10 diketahui bahwa, return to labor dalam bentuk jual lulun (meson) pada rentang periode 1998-2013 mengalai fluktuasi. Sedangkan upah rata tenaga kerja karet di Desa Lamban Sigatal cenderung terus mengalami peningkatan. Tahun 1998, menunjukkan nilai upah rata tenaga kerja lebih besar yaitu Rp170 000 bila dibandingkan return to labor yang hanya sebesar Rp105 333. Berbeda pada tahun 2003, pada tahun ini transaksi penjualan jernang rotan cukup besar sehingga return to labor yang diperoleh mengalami puncaknya selama rentang periode tahun 1998-2013. Return to labor yakni mencapai Rp 6 688 333 dengan perbandingan nilai upah rata-rata Rp 478 333. Sedangkan pada tahun 2008, harga jernang rotan dipasaran anjlok dikisiran Rp 400 000-Rp 500 000, hal tersebut akibat dari menurunnya aktivitas kegiatan pencarian jernang rotan, hal tersebut berakibat pada penurunan jumlah hasil produksi jernang rotan. Tahun 2013, pencari jernang mengeluhkan hasil pencarian yang semakin jauh berkurang.
27 Akan tetapi, return to labor pencari jernang lebih baik yaitu sebesar Rp 2 954 000 bila dibandingkan dengan upah rata-rata yang diterima oleh buruh sadap karet sebesar Rp 1 980 000. Sulitnya dalam mendapatkan jernang rotan, membuat para pencari mulai melakukan pencampuran lulun (meson) dengan berbagai bahan tambahan lain sehingga tingkat kemurnian ekstraksi lulun (meson) jauh berkurang. Untuk mendapatkan lulun campur, diperoleh dari 1 kg lulun (meson) dan 4 kg bahan campuran lain seperti dammar, biji jernang rotan dan pasir. Sedangkan untuk mendapatkan 1kg lulun (meson) diperlukan 10 kg jernang rotan. Adapun disajikan pada tabel 10 yang menunjukkan perbedaan return to labor pencari jernang berdasarkan bentuk jual jernang rotan. Tabel 11 Perbandingan return to labor berdasarkan bentuk jual jernang rotan tahun 2013 Komponen
Satuan
Return to labor
Rp
lulun (meson) 2,954,000
Bentuk Jual Lulun campur -3,221,429
Buah -100,000
Sumber : Data Primer (201), diolah 4.000.000 3.000.000 2.000.000 Return to labor Pencari Jernang
1.000.000 0 -1.000.000
lulun (meson)
Lulun campur
Buah
Upah rata-rata Buruh Karet
-2.000.000 -3.000.000 -4.000.000 Gambar 9 Perbandingan Return to labor berdasarkan bentuk jual jernang rotan tahun 2013
Hasil perhitungan tabel dan grafik diatas menunjukkan, bahwa return to labor yang menjual jernang rotan dalam bentuk lulun (meson) dapat dikatakan tepat dan efisien, dan berbanding terbalik pada return to labor yang menjual jernang dalam bentuk lulun campuran dan buah. Hal ini didasari, perolehan pendapatan yang lebih sedikit sedangkan biaya pencarian yang dikeluarkan lebih besar sehingga adanya tuntutan nilai imbalan terhadap tenaga kerja yang juga semakin besar. Kegiatan pencarian jernang rotan dalam bentuk lulun (meson) dapat dikatakan sudah tepat dan efisien, namun hasil panen yang tidak menentu mengakibatkan para pencari tidak dapat menggantungkan dari kegiatan tersebut semata. Inisiasi pembudidayaan jernang rotan yang telah dilakukan sejak tahun 2010 merupakan salah satu solusi kedepan dalam mengatasi permasalahan tersebut. Budidaya jernang rotan juga sebagai bentuk upaya mengembalikan fungsi hutan desa sebagai penyangga kebutuhan ekonomi masyarakat Desa Lamban Sigatal dan melestarikan hutan.
28 Pada masa lalu, hutan Desa Lamban Sigatal adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun dan dikelola oleh rakyat dan umumnya berada di atas tanah adat atau tanah pemilik. Kondisi hutan Desa Lamban Sigatal kini memprihatinkan dan tengah mengalami kerusakan yang disebabkan oleh adanya kepentingan pengusahaan lahan menjadi area tanaman industri seperti perkebunan kelapa sawit. Masyarakat desa yang memiliki lahan, menjual lahan yang dimiliki kepada perusahaan perkebunan di kecamatan Pauh. Dampak dari kegiatan ini, adalah munculnya konflik lahan seperti batas kepemilikan area perusahaan perkebunan seringkali menjadi tidak jelas. Sedangkan masyarakat Desa Lamban Sigatal tidak diperkenankan mengambil hasil produksi di perusahaan perkebunan, sedangkan bagi masyarakat desa setempat masih merasa berhak mengambil hasil hutan di area tersebut. Namun berdasarkan hasil wawancara, sejauh ini tidak pernah terjadi bentrok fisik dengan perusahaan perkebunan tersebut. Dalam upaya pemanfaatan HHBK, desa Lamban Sigatal memiliki komoditi potensial yang dapat dikembangkan yaitu jernang rotan dan gaharu. Namun dalam perkembangannya jernang rotan lebih dikenal luas masyakarat sebagai komoditi asli desa Lamban Sigatal. Peranan penting tanaman jernang rotan dalam upaya pelestarian hutan desa karena tanaman jernang tidak dapat tumbuh tanpa bantu pohon inang yang menaunginya. Pohon inang sebagai penyangga umumnya seperti karet dan pohon buah-buahan yang berbatang besar dan tidak tinggi. Kelompok Bangko Kuning menjadi penggerak awal dalam pelaksanaan pembudidayan jernang rotan. Kelompok ini didirikan oleh dengan tujuan, sebagai wadah para pencari untuk bertukar informasi dalam upaya sistem budidaya jernang rotan yang dilakukan. Pembentukan kelompok Bangko Kuning Jaya di inisiasi oleh Yayasan Gita Buana. Analisis Saluran dan Fungsi Tataniaga Jernang yang berasal dari Desa Lamban Sigatal dipasarkan secara tertutup oleh tauke hingga sampai ditangan konsumen. Pada penelitian ini, konsumen tingkat akhir merupakan pedagang pengumpul (tauke) tingkat kabupaten, hal ini didasarkan keterbatasan informasi yang diperoleh peneliti di lapangan. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya pencari jernang, pembudidaya, tauke desa, tauke kecamatan, dan tauke kabupaten. a. Pencari jernang adalah pihak yang melakukan pencarian buah jernang di hutan sungai kapas yang berlokasi dikecamatan bangko, kabupaten Merangin. Lama pencarian berkisar 14 – 30 hari, tergantung buah yang diperoleh pencari. Dana pencarian jernang diperoleh dari tauke desa yang digunakan sebagian untuk logistik pencarian dan sebagian lagi digunakan untuk membiayai kebutuhan keluarga yang ditinggal selama beberapa waktu. b. Tauke Desa adalah lembaga tataniaga yang tinggal di desa Lamban Sigatal yang berperan dalam menyalurkan jernang ke lembaga tataniaga selanjutnya. Tauke desa juga berperan dalam memberikan biaya pencarian kepada kelompok pencari yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan logistic perjalanan dan kebutuhan keluarga yang ditinggal. c. Tauke Kecamatan adalah lembaga tataniaga yang tinggal di wiliyah kecamatan pauh dan kecamatan mandiangin, namun diluar desa Lamban
29 Sigatal yang berperan menyalurkan jernang ke tauke kabupaten tebo, tauke provinsi jambi dan luar provinsi Jambi. d. Tauke Kabupaten adalah lembaga tataniaga yang berasal dari kabupaten Tebo dan Muara Bungo yang berperan dalam menyalurkan jernang ke tauke provinsi jambi maupun luar jambi. Saluran tataniaga jernang di Desa Lamban Sigatal diawali dari tingkat pencari jernang sebagai produsen jernang hingga tauke kabupaten sebagai konsumen akhir. Alur tataniaga jernang melibatkan beberapa lembaga tataniaga seperti pembudidaya, tauke desa, tauke kecamatan, dan tauke kabupaten. Adapun skema saluran tataniaga jernang di Desa Lamban Sigatal disajiakan pada tabal berikut : Pencari Jernang
Pedagang pengumpul desa (Tauke Desa)
Pedagang pengumpul Kecamatan (Tauke Kecamatan)
Pedagang pengumpul Kabupaten (Tauke Kabupaten) Gambar 10 Saluran tataniaga jernang rotan di Desa Lamban Sigatal
Keterangan
: : Saluran Tataniaga I : Saluran Tataniaga II
Berkenanaan dengan saluran pemasaran buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal, dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Pola I : Pencari – Pedagang Pengumpul Desa - Pedagang Pengumpul Kecamatan – Pedagang Pengumpul Kabupaten 2) Pola II : Pencari – Pedagang Pengumpul Kecamatan – Pedagang Pengumpul Kabupaten Berdasarkan penelitian terdahulu, jumlah produksi jernang yang diperoleh para pencari dari Desa Lamban Sigatal belum dapat diketahui karena keterbatasan informasi yang diterima. Namun,saluran tataniaga telah diketahui sejak penelitian tataniaga jernang pertama oleh tim peneliti Yayasan Gita Buana pada tahun 2007. Informasi di lapangan menunjukkan alur tataniaga jernang juga sudah diekspor ke beberapa negara seperti China, Hongkong, dan Singapura. Adapun data jumlah produksi jernang sepanjang tahun 2013 disajikan pada tabel 12.
30 Tabel 12 Jumlah Produksi Jernang Pada Panen Besar (Juli-Agustus) dan Panen Sela (November-Desember) 2013 Saluran Tataniaga
Bentuk Jual Jernang Rotan (kg) Lulun (Meson)
Lulun Campur
Buah
Saluran Tataniaga I
14.30
11.13
26.50
Saluran Tataniaga II
3.00
1.00
0.00
17.30
12.13
26.50
Total Sumber : Data Primer (201), diolah
Saluran tataniaga I Lembaga tataniaga buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal adalah kelompok pencari jernang, pedagang pengumpul desa (tauke desa), pedagang pengumpul kecamatan, dan pedagang pengumpul kabupaten (tauke kabupaten). Pola saluran ini digunakan oleh 13 orang pencari responden (87 persen). Kelompok pencari jernang merupakan produsen, sedangkan pedagang pengumpul (tauke desa,kecamatan,dan kabupaten) bertindak sebagai pedagang perantara. Pola saluran ini umumnya cukup banyak digunakan di lokasi penelitian, karena peran tauke desa sangat sentral dalam memberikan pembiayaan kepada para pencari. Pembiayaan digunakan oleh pencari buah jernang rotan untuk membeli kebutuhan logistik selama perjalanan dan memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan selama beberapa waktu. Pencari menjual buah jernang rotan kepada tauke desa berupa 3 jenis hasil panen yaitu dalam bentuk buah utuh tanpa diolah, buah diolah sehingga menjadi ekstrasi bubuk dan diberi campuran bahan lain seperti dammar, dan hasil ekstrasi asli yang disebut lulun. Harga jual ditentukan oleh para tauke dengan melihat kualitas jernang. Pada tahun 2013, 1 kg buah jernang dihargai Rp 300 000 sampai Rp 350 000 atau rata-rata Rp 325 000, untuk 1 kg lulun jernang campuran dihargai oleh tauke Rp 400 000,sedangkan untuk lulun jernang asli dihargai Rp 1 500 000 sampai Rp 2 000 000. Jumlah hasil panen yang dipasarkan sepanjang tahun 2013 khususnya pada panen besar di bulan juli-agustus dan panen sela di bulan November-desember dalam bentuk lulun asli sebanyak 14.30 kg, lulun campur 11.13 kg dan buah jernang rotan sebanyak 26.50 kg. Pada tingkat tauke desa, hasil panen buah jernang rotan tidak dilakukan olahan lebih lanjut untuk kemudian selanjutnya dipasarkan kepada tauke kecamatan. Transaksi dilakukan dirumah tauke dan tidak melibatkan pasar. Pada tingkat tauke kecamatan khusus untuk hasil panen yang masih berupa buah jernang akan diolah menjadi lulun campuran dengan tujuan untuk menghasilkan lulun yang lebih banyak bila dibandingkan dijadikan lulun asli. Selanjutnya tauke kecamatan akan mengantarkan hasil panen buah jernang rotan kepada tauke kabupaten. Pengangkutan barang menggunakan motor atau mobil pick up. Sistem pembayaran antara pencari dan tauke desa, akan dihitung berdasarkan hasil panen yang diterima dikurangi dengan jumlah pinjaman dana pencarian. Sedangkan sistem pembayaran antara diantara tauke (desa, kecamatan dan kabupaten) adalah sistem tunai dengan harga yang berlaku dan kesepakatan bersama mengingat tidak ada harga pasar yang dapat dijadikan patokan penentuan harga.
31
Saluran Tataniaga II Kelembagaan yang terlibat dalam pola saluran ini lebih ringkas, yaitu melibatkan pencari jernang, tauke kecamatan dan tauke kabupaten. Pola saluran ini digunakan oleh 2 orang pencari responden (13 persen), dimana jumlah transaksi hasil panen tidak begitu besar dalam sepanjang tahun khususnya pada panen besar dan panen sela. Hasil panen buah jernang rotan untuk lulun asli yang dipasarkan sebanyak 3 kg dan lulun jernang campuran hanya 1 kg. Harga jual yang diterima pencari diberikan langsung oleh tauke kecamatan tanpa melalui tauke desa,dimana harga Jual untuk 1 kg lulun asli Rp 1 700 000 dan lulun jernang campuran Rp 400 000. Pencari tidak menggunakan biaya pencarian dari tauke namun menggunakan biaya pribadi sehingga tidak ada potongan penerimaan ketika menjual hasil panen. Harga lulun jernang asli dan lulun jernang campuran lebih fluktuatif pada saluran ini, karena harga ditetapkan langsung oleh tauke luar desa dimana akses informasi dan koneksi berhubungan langsung dengan tauke kabupaten hingga tauke provinsi dapat dicapai. Transaksi penjualan terjadi, dimana pencari membawa langsung hasil panen berupa lulun jernang asli dan lulun jernang campuran ke rumah tauke kecamatan. Selanjutnya tauke kecamatan membawa hasil panen yang diterima kepada tauke kabupaten. Pengangkutan barang menggunakan motor atau mobil pick up. Penentuan harga atas dasar harga yang berlaku dan kesepakatan bersama. Fungsi Pemasaran Pada Setiap Lembaga Tataniaga Fungsi pemasaran pada saluran I yang dilakukan oleh lembaga tataniaga jernang rotan diantaranya, pencari umumnya melakukan fungsi pertukaran saja yaitu menjual dan mengangkut hasil panen buah jernang ke tauke desa. Sedangkan tauke desa, tauke kecamatan dan tauke kabupaten melakukan fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengangkutan, penyimpanan, dan pengemasan) dan fungsi fasilitas (sortasi, informasi pasar, biaya dan penanggungan resiko). Fungsi pemasaran yang terjadi pada saluran II relatif sama dengan yang terjadi pada saluran I Tabel 13 Fungsi yang dijalankan pada masing-masing lembaga tataniaga Saluran dan Lembaga Pemasaran Saluran I Pencari Tauke desa Tauke kecamatan Tauke kabupaten Saluran II Pencari Tauke desa Tauke kecamatan Tauke kabupaten
Keterangan
Fungsi-fungsi Pemasaran Pertukaran
Fisik
Fasilitas
Jual
Beli
Angkut
Simpan
Kemas
Sortasi, Grading
Risiko
Biaya
Informasi pasar
√ √ √
√ √
√ √ √
√ √
√ √
√ √
√ -
√ √
√ √
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√ √
√
√ √
√
√
√
√ -
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
32 √ -
= Melakukan fungsi tataniaga = Tidak melakukan fungsi tataniaga
Fungsi Tataniaga di Tingkat Pencari Pencari responden melakukan fungsi pertukaran yaitu penjualan. Umumnya seluruh pencari responden melaksanakannya pada dua saluran tataniaga. Pencari menjual seluruh hasil panen yang diperoleh dalam bentuk buah, lulun jernang campuran dan lulun (meson) jernang kepada tauke desa. Transaksi ini terjadi karena adanya ikatan peminjaman modal pencarian dan rasa saling percaya yang telah terjalin cukup lama antara pencari dengan tauke desa. Aturan dalam tranksasi antara pencari dan tauke desa, bila pencari menggunakan biaya pencarian dari tauke desa maka tidak boleh menjual hasil panen buah jernang rotan ke tauke lain. Hasil panen yang dijual ke tauke dikemas hanya menggunakan kantong plastik. Untuk fungsi fasilitas, yaitu berupa penanggungan risiko. Apabila pencarian telah dilakukan dan pencari tidak mendapatkan hasil panen sesuai yang diharapkan, pencari menanggung hutang atas pengembalian dana pinjaman yang tidak bisa dibayarkan sepenuhnya dan hutang ini akan terakumulasi ketika pencari nantinya akan meminjam dana kembali. Transaksi penjualan dilakukan dirumah tauke. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh Tauke Desa Tauke desa merupakan lembaga yang berhubungan dengan pencari dan berperan dalam kegiatan pemasaran serta pembiayaan modal pencarian. Fungsi pertukaran yang dilakukan pedagang pengumpul desa berupa kegiatan pembelian dan penjualan buah jernang rotan ke tauke kecamatan. Harga yang diterima pencari ditentukan secara sepihak oleh tauke desa, adapun proses tawar menawar hanya dilakukan sebagian pencari yang memiliki hasil panen yang besar. Pembayaran transaksi perdagangan dilakukan secara tunai. Bila pencari menjual hasil jernang rotan dalam bentuk buah maka tauke desa harus melakukan proses ekstrasi sebelum dijual kembali ke tauke kecamatan. Fungsi fisik yang dilakukan pedagang pengumpul berupa fungsi pengangkutan, penyimpanan dan pengemasan. Pengangkutan dilakukan dari rumah tauke desa ke rumah tauke kecamatan sebagai tempat transaksi. Fungsi fasilitas yang dilakukan tauke desa yaitu aktivitas sortasi, pembiayaan, dan informasi pasar. Fungsi Tataniaga di Tingkat Kecamatan Tauke kecamatan akan menampung penjualan hasil panen buah jernang rotan dari tauke desa. Umumnya tauke kecamatan akan menghubungi tauke desa jika membutuhkan jernang dalam jumlah tertentu, pemesanan dilakukan melalui telepon selular. Pada tingkat tauke kecamatan hasil panen yang didistribusikan hanya berupa lulun jernang asli dan lulun jernang campuran. Permintaan lulun seringkali lebih besar dibandingkan ketersediaan lulun yang ada, sehingga harga mengalami fluktuasi yang cukup tinggi. Pendistribusian dilakukan menggunakan motor atau mobil dengan sebelumnya tauke kabupaten menghubungi tauke kecamatan untuk menanyakan ketersediaan lulun. Tauke kecamatan melakukan fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengangkutan, penyimpanan, dan pengemasan) dan fungsi fasilitas (sortasi, informasi, pembiayaan dan penanggungan risiko). Fungsi pertukaran
33 terjadi pada saat pembelian lulun (meson) jernang dari tauke desa dan menjualnya ke tauke kabupaten. Penentuan harga didasarkan pada mekanisme kesepakatan bersama. Fungsi fisik seperti kegiatan penyimpanan dilakukan tauke kecamatan dengan tujuan menampung jumlah lulun yang lebih banyak untuk kemudian dijual, karena lulun jernang pada kondisi realnya masih sangat sulit didapatkan. Tidak ada biaya penyimpanan khusus. Biaya yang dikeluarkan pada transaksi ini terjadi pada saat pengolahan, pengemasan dan pengangkutan. Pada saat pengolahan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 100 000 /kg. Pengemasan umumnya hanya menggunakan plastik kiloan yang mudah didapatkan, dimana 1 pack = 36 pcs plastik dengan harga Rp 18 000. Biaya pengangkutan kerumah tauke kabupaten Rp 100 000. Fungsi Tataniaga di Tingkat Kabupaten Berdasarkan hasil wawancara, tauke kabupaten berhubungan langsung dengan konsumen akhir dan tauke provinsi. Namun tauke kabupaten tidak memberitahukan informasi secara jelas dan lengkap mengenai harga jual serta info konsumen akhir. Tauke kabupaten menjalankan fungsi pertukaran yaitu melakukan pembelian lulun dari tauke kecamatan dan menjualnya ke tauke provinsi atau konsumen akhir di Jakarta. Fungsi fisik terdiri dari pengangkutan, penyimpanan dan pengemasan. Biaya pengangkutan di tingkat kabupaten lebih besar karena lokasi transaksi penjualan diantar langsung ke pembeli menggunakan truck medium. Untuk biaya pengangkutan ke Jakarta mencapai sekitar Rp 500 000 – Rp 1 000 000 untuk satu kali perjalanan. Tauke kabupaten melakukan fungsi fasilitas berupa kegiatan sortasi/grading sesuai permintaan konsumen. Informasi harga diperoleh secara tertutup, didasarkan atas kesepakatan bersama dan ketersediaan lulu jernang. Sistem pembayaran yang diterapkan oleh tauke kabupaten terhadap konsumen akhir atau tauke provinsi secara tunai.
Analisis Stuktur, Perilaku dan Keragaan Pasar Struktur pasar yang dihadapi oleh pencari buah jernang rotan di Desa Lamban Sigatal cenderung mengarah ke Oligopsoni, dimana jumlah pencari (penjual) dan pedagang pengumpul (pembeli) relatif sedikit. Kondisi hambatan keluar masuk cukup besar, hal ini disebabkan karena sulitnya mendapatkan ketersediaan jernang rotan dan harga pasar yang tinggi sehingga pedagang pengumpul cenderung mempertahankan sumber-sumber perolehan pencari. Pencari tidak bebas menjual jernang rotan kepada pedagang pengumpul dikarenakan keterikatan biaya pencarian. Informasi harga yang diterima pencari ditentukan oleh pedagang pengumpul, sehingga dapat dikatakan posisi pencari adalah price taker. Bentuk penjualan jernang rotan terbagi atas tiga bentuk yaitu buah, lulun campuran, dan lulun murni. Struktur pasar pedagang pengumpul desa cenderung sama dengan pencari. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah penjual (pedagang pengumpul desa) dan jumlah pembeli (pedagang pengumpul kecamatan) sedikit. Ketika dihadapkan dengan pedagang besar maka hambatan keluar masuk pasar tingkat pedangang pengumpul cenderung tinggi. Hal ini dikarenakan pedagang pengumpul desa telah memiliki kepercayaan yang tinggi dalam memasarkan jernang rotan kepada pedagang pengumpul kecamatan. Pedagang pengumpul desa memperoleh
34 informasi harga dari rekan sesama pedagang pengumpul desa dan pedagang pungumpul kecamatan lain. Akan tetapi harga tetap ditentukan oleh pedagang pengumpul kecamatan. Pedagang Besar menghadapi stuktur pasar yang cenderung mengarah oligopsoni. Dimana pedagang pengumpul kecamatan sebagai penjual dan pedagang pengumpul kabupaten sebagai penjual jumlahnya sedikit. Informasi harga didapatkan dari sesama pedagang pengumpul kabupaten atau konsumen langsung. Praktik pembelian dan penjualan jernang rotan di Desa Lamban Sigatal melibatkan lembaga-lembaga tataniaga, terkecuali pencari yang hanya melakukan praktik penjualan. Kondisi dilokasi peneletian, sebenarnya masih ada pembudidaya jernang rotan. Terdapat tiga orang pembudidaya di Desa, namun jumlah hasil panen masih sangat sedikit karena tanaman yang berbuah seringkali dipanen sebelum masak oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Selain itu umur tanaman yang masih muda dan belum banyak berbuah. Proses transaksi penjualan dari pencari ke tauke desa melalui system pembiayan pencarian sudah dilakukan sejak lama, dan berlangsung hingga kini. Umumnya yang berperan sebagai tauke adalah orang yang memiliki dana besar. Sebelum terjadinya kebakaran besar di sebagian wilayah Jambi termasuk Kabupaten Sorolangun pada tahun 1997, dapat dikatakan pencari jernang sebagai mata pencaharian utama. Akan tetapi setelah kebakaran besar jumlah tanaman jernang rotang yang tersedia menurun. Pembelian hasil panen jernang rotan biasanya dilakukan di rumah pedagang pengumpul. Penjual akan mendatangi pembeli, sehingga menjadi beban tambahan bagi penjual. Praktik ini berlaku dari tingkat pencari hingga pedagang pengumpul kabupaten. Sistem penentuan harga dalam tataniaga jernag rotan melalui melalui proses tawar menawar. Namun harga ditingkat pencari biasanya ditentukan oleh pedagang pengumpul desa sebagai akibat pemberian biaya pencarian. Informasi mengenai harga sangat sulit diperoleh, karena masing-masing pelaku cenderung menutup rapat-rapat transaksi penjualan, baik menyangkut jumlah penjualan dan harga jual. Sistem pembayaran dilakukan secara tunai oleh para pelaku lembaga tataniaga jernang rotan. Akan tetapi berbeda pada transaksi antara pedagang pengumpul dengan pencari. Sebanyak 87 persen atau 13 orang pencari yang terikat secara pemberian dana pencarian, pendapatan bersih hasil panen diperoleh setelah dikurangi dengan biaya pinjaman, dan bila hasil panen tidak menutupi biaya pinjaman maka pedagang pengumpul akan menganggapnya sebagai hutan. Kerjasama antar lembaga tataniaga jernang rotan baik dari tingkat pencari hingga pedagang pengumpul kabupaten terjalin ketika terdapat transaksi pembelian dan penjualan, dimana penjual akan menghubungi pembeli. Namun tidak jarang juga sebaliknya, apabila ada permintaan dari konsumen. Pencari di Desa Lamban Sigatal saat ini sudah membentuk kelompok pencari yang di sebut Bangko Kuning Jaya dimana tujuannya adalah pencari nantinya diarahkan untuk menjadi pembudidaya, karena selain lokasi pencarian yang cukup jauh mencapai sekitar 100 km dari desa ke daerah Sungai Kapas juga kelak Desa Lamban Sigatal akan menjadi sentra penghasil Jernang rotan.
35
Analisis Margin dan Efisiensi Pemasaran Analisis Margin Pemasaran Saluran 1 Analisis margin tataniaga total merupakan perbedaan harga yang dibayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima oleh petani. Dalam hal ini tauke kabupaten bertindak sebagai konsumen akhir. Analisis margin dilakukan mulai dari pencari, tauke desa, tauke kecamatan dan tauke kabupaten. Analisis margin pemasaran bertujuan untuk mengetahui efisiensi tataniaga jernang rotan di Desa Lamban Sigatal. Tabel 14 Margin tataniaga jernang rotan
UNSUR MARGIN 1. Pencari Harga Jual Biaya Pencarian 2.Tauke Desa Harga beli Biaya Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin rasio 3.Tauke Kecamatan Harga beli Biaya Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin rasio 4.Tauke Kabupaten Harga beli Biaya Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin rasio Total Biaya Tataniaga Total Keuntungan Total Margin Tataniaga
SALURAN 1
1
2
2
1
Rp/kg Lulun (meson) 1 600 000 92 657
Rp/kg Lulun (meson) 1 700 000 166 667
Rp/kg Lulun campur 433 333 107 865
Rp/kg Lulun campur 400 000 1 000 000
Rp/kg
350 000 44 025
1 600 000 176 000 149 000 1 925 000 325 000 0.85
0 0 0 0 0 0
433 333 176 000 240 667 850 000 416 667 1.37
0 0 0 0 0 0
350 000 176 000 274 000 800 000 450 000 1.56
1 925 000 251 000 224 000 2 400 000 475 000 0.89
1 700 000 251 000 349 000 2 300 000 600 000 1.39
850 000 251 000 249 000 1 350 000 500 000 0.99
400 000 251 000 649 000 1 300 000 900 000 2.59
0 0 0 0 0 0
2 400 000 350 000 200 000 2 950 000 550 000 0.57
2 300 000 350 000 350 000 3 000 000 700 000 1
1 350 000 350 000 233 333 1 933 333 583 333 0.67
1 300 000 350 000 150 000 1 800 000 500 000 0.43
0 0 0 0 0 0
869 657 573 000 1 350 000
767,667 699 000 1 300 000
884 865 723 000 1 500 000
1 601 000 799 000 1 400 000
220 025 274 000 450 000
buah
36 Sum πi/Ci ber : Data Primer (201), diolah
0.66
0.91
0.82
0.49
Komponen biaya tataniaga meliputi biaya pencarian, biaya tenaga kerja, biaya pengangkutan, biaya pengolahan dan biaya pengemasan. Biaya tataniaga tertinggi berada pada saluran 1 dengan bentuk lulun (meson) sebesar Rp 869 657. Hal ini disebabkan jarak distribusi yang cukup jauh antara desa Lamban Sigatal dengan ibukota Kabupaten Sorolangun. Selain itu, juga disebabkan biaya pencarian yang besar tidak sebanding dengan perolehan hasil panen yang diterima. Margin tataniaga terbesar dimiliiki saluran 1 dengan bentuk penjualan lulun campuran sebesar Rp 1 500 000, hal ini dikarenakan akumulasi margin yang diperoleh pada setiap lembaga lebih besar dibandingkan pada saluran dan bentuk penjualan lain. Komponen biaya yang ditanggung oleh pencari digunakanan untuk membeli kebutuhan logistik selama perjalanan dan memenuhi kebutuhan keluarga yang ditinggalkan. Biaya pencarian pada saluran 1 rata-rata sebesar Rp 1 230 769. Tauke desa menanggung komponen pembiayaan untuk pemberian pinjaman kepada pencari, biaya olah, biaya pengemasan, dan biaya pengangkutan. Biaya olah hanya dikeluarkan bila panen yang diterima dari pencaari masih berupa buah sehingga tauke mengolahnya untuk dijual dalam bentuk lulun campuran atau lulun asli, biaya olah sebesar Rp 100 000 per malam. Biaya pengemasan digunakan untuk membungkus lulun yang sudah jadi, rata-rata biaya yang dikeluarkan Rp 1 000/kg. Untuk biaya pengangkutan ke tauke kecamatan tauke desa mengeluarkan biaya Rp 150 000. Komponen biaya yang ditanggung tauke kecamatan teridiri biaya olah, biaya pengemasan, dan biaya pengangkutan. Untuk biaya olah sebesar Rp 100 000 per malam. Biaya pengemasan digunakan untuk membungkus lulun yang sudah jadi, rata-rata biaya yang dikeluarkan Rp 1 000 /kg. Untuk biaya pengangkutan ke tauke kabupaten dikeluarkan biaya Rp 150 000. Tidak berbeda jauh dengan tauke kecamatan, tauke kabupaten hanya menambahkan biaya untuk sortir (grading)sedangkan untuk penjualan ke konsumen akhir di wilayah Jakarta beban biaya ditanggung oleh konsumen. Tapi Bila tauke kabupaten menjual ke tauke provinsi maka beban biaya sebesar Rp 200 000 harus dikeluarkan. Analisis Margin Pemasaran Saluran 2 Pemasaran jernang rotan dibedakan hanya kedalam dua bentuk penjualan yaitu berupa lulun dan lulun campuran. Umumnya hal ini dilakukan karena pencari secara langsung telah mengekstrasi jernang yang diperoleh. Komponen biaya yang ditanggung oleh pencari yaitu biaya tenaga kerja, biaya pencarian, dan biaya transportasi pengiriman barang kepada tauke kecamatan. Biaya tataniaga tertinggi berada pada saluran II dalam bentuk penjualan lulun campuran yaitu sebesar Rp 1 601 000. Berbeda dengan saluran satu dimana pencari diberikan modal pencarian, namun di saluran ini biaya pencarian sepenuhnya dikeluarkan oleh pencari. Komponen biaya yang dikeluarkan pada saluran II yakni untuk biaya tenaga pencarian sebesar Rp 1 000 000, biaya pengolahan tidak dikeluarkan karena pencari yang mengolah secara langsung. Untuk biaya pengangkutan ke tauke kecamatan sebesar Rp 150 000. Untuk beban biaya lain relatif sama dengan
1.25
37 saluran I. Biaya tataniaga tertinggi berada pada saluran II dalam bentuk penjualan lulun campuran yaitu sebesar Rp 1 600 000. Farmer’s Share Antara Pencari Buah Jernang Rotan Dengan Tauke Kabupaten Analisis Farmer’s share merupakan perbandingan harga yang diterima oleh pencari buah jernang rotan dengan harga yang dibayar oleh tauke kabupaten. Analisis farmer’s share digunakan sebagai indikator untuk menentukan efisiensi saluran tataniaga suatu produk, disajikan dalam bentuk presentase. Dalam menganalisa farmer’s share, bentuk penjualan masih diperhitungkan yaitu berupa buah, lulun jernang campuran, dan lulun jernang (meson). Tabel 15 Farmer’s share Lulun (meson) Saluran Ke -
Harga di Tingkat (Rp) Konsumen / Pencari tauke kabupaten 1 600 000 2 950 000 1 700 000 3000 000
1 2 Lulun campur 1 433 333 2 400 000 Buah 1 350 000 Sumber : Data Primer (201), diolah
Farmer’s share 54.24 % 56.67 %
1 933 333 1 800 000
22.41 % 22.22 %
1 933 333
18.10 %
Saluran pemasaran yang memiliki farmer’s share terbesar dimiliki oleh saluran 2 dalam bentuk lulun (meson) sebesar 56.67 persen dimana rantai tataniaga yang lebih pendek. Sedangkan untuk saluran 1 bentuk lulun (meson) sebesar 54.24 persen. Bentuk penjualan lulun jernang campuran pada saluran 1 dan 2 relatif sama yaitu 22 persen. Bentuk penjualan buah memiliki nilai farme’s share terkecil yaitu 18 persen.
Rasio Keuntungan terhadap biaya Efisiensi sistem tataniaga dari suatu komoditi dapat ditunjukkan dengan membandingkan antara besarnya keuntungan terhadap biaya. Berdasarkan tabel 15 pada saluran 1 yang memiliki rasio keuntungan terbesar berada pada bentuk jual buah dengan nilai sebesar 1.25 dimana berarti setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar 1.25 rupiah. Biaya yang ditanggung oleh masing-masing lembaga tataniaga di setiap saluran relative sama karena baik tingkat pencari maupun ditingkat tauke karena penggunanaan faktor produksi yang dapatk dikatakan sama. Pada saluran 2 nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 0.91 dalam bentuk jual lulun (meson). Biaya yang ditanggung oleh masing-masing lembaga tataniaga di setiap saluran relative sama karena baik tingkat pencari maupun ditingkat tauke karena
38 penggunanaan factor produksi yang dapat dikatakan sama. Pada saluran ini biaya tataniaga tataniaga terbesar ditanggung oleh tauke kabupaten yaitu sebesar Rp350 000 per kilo gram lulun. Jika dibandingnkan terhadap masing-masing bentuk jual jernang rotan, seperti lulun (meson) pada saluran 1 dan lulun (meson) pada saluran 2, menunjukkan saluran 2 lebih baik. Sedangkan pada saluran 1 bentuk lulun campur dengan saluran 2 bentuk lulun campur, saluran 1 dikatakan lebih baik. Dari uraian diatas disimpulkan bahwa rantai tataniaga jernang rotan memberikan nilai rasio keuntungan terhadap biaya pada setiap saluran yang berbeda berdasarkan bentuk jual jernang yang dilakukan.
Tabel 16 Rasio Keuntungan terhadap biaya
RASIO πi/Ci
1 Lulun (meson)
Saluran 1 Lulun campur
2 Lulun (meson)
Tauke Desa Ci 176 000 Πi 149 000 RASIO πi/Ci 0.85 Tauke Kecamatan Ci 251 000 Πi 224 000 RASIO πi/Ci 0.89 Tauke Kabupaten Ci 350 000 Πi 200 000 RASIO πi/Ci 0.57 Total Ci 869 657 Πi 573 000 RASIO πi/Ci 0.66
2 Lulun campur
1 Buah
0 0 0
176 000 240 667 1.37
0 0 0
176 000 274 000 1.56
251 000 349 000 1.39
251,000 249,000 0.99
251,000 649,000 2.59
0 0 0
350 000 350 000 1
350 000 233 333 0.67
350,000 150,000 0.43
0 0 0
767 667 699 000 0.91
884 865 723 000 0.82
1 601 000 799 000 0.50
220 025 274 000 1.25
Sumber : Data Primer (2014), diolah
Efisiensi Pemasaran Efisiensi tataniaga dapat tercapai apabila sistem tataniaga yang ada telah memberikan kepuasan pada pelaku-pelaku tataniaga yang terlibat mulai dari pencari hingga konsumen akhir. Efisiensi pemasaran dapat dikaji melalui analisis volume distribusi, margin pemasaran, farmer’s share dan rasio perbandingan keuntungan terhadap biaya. Berdasarkan hasil analisis tataniaga buah jernang rotan, diketahui volume penjualan (dikonversi menjadi bentuk buah) maka saluran 1 lulun (meson) memiliki nilai terbesar.
39
Tabel 17 Efisiensi pemasaran
Indikator Total margin Farmer's share Rasio Volume (dikorvensi dalam bentuk buah)
Saluran 1 Lulun (meson) 1 350 000 54.24 0.66
2 Lulun (meson) 1 300 000 56.67 0.91
1 Lulun campur 1 500 000 22.41 0.82
2 Lulun campur 1 400 000 22.22 0.50
450 000 18.10 1.25
143
30
22
2
26.50
1 Buah
Sumber : Data Primer (2014), diolah
Jika dilihat dari segi margin tataniaga lulun campur pada saluran 2 yang memiliki nilai terbesar. Jika melihat farmer’s share lulun (meson) saluran 2 terbesar, sedangkan bila melihat rasio keuntungan terhadap biaya, maka saluran 1 bentuk buah terbesar. Secara umum, saluran 2 dalam bentuk lulun (meson) memberikan nilai yang lebih baik bila dilihat dari penyebaran farmer’s share sebesar 56.67 persen, rasio keuntungan terhadap biaya 0,91 dan volume penjualan sebesar 30 kg buah atau 3 kg lulun jernang setiap tahunnya serta margin tataniaga sebesar Rp1 300 000. Sesuai uraian tersebut dapat diketahui bahwa saluran tataniaga jernang rotan yang yang relatif lebih efisien adalah saluran 2 bentuk lulun (meson). Namun pada kondisi lapang saluran ini belum optimal.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan uraian analisis tataniaga jernang rotan di Desa Lamban Sigatal diatas, maka dapat disimpulkan : 1. Dampak deforestasi hutan Desa Lamban Sigatal disebabkan pembakaran area hutan desa dan penjualan lahan yang dimiliki oleh sebagian masyarakat kepada perusahaan perkebunan setempat desa dengan tujuan konversi hutan menjadi tanaman industri seperti kelapa sawit. 2. Nilai imbalan terhadap tenaga kerja (return to labor) bentuk jual lulun (meson) mengalami fluktuasi selama periode 1998-2013. Nlai imbalan terhadap tenaga kerja pencari jernang rotang mengalami puncaknya pada tahun 2003. Sepanjang tahun 2013 keputusan pencarian jernang rotan dapat dikatakan telah tepat dilakukan, sedangkan bentuk jual jernang rotan yang masih layak diusahakan dalam pencarian berupa lulun (meson). 3. Saluran tataniaga jernang rotan terbagi kedalam dua saluran, saluran satu melibatkan pencari, pedagang pengumpul desa, pedagang pengumpul kecamatan, dan pedagang pengumpul kabupaten. Sedangkan saluran dua
40 melibatkan pencari, pedagang pengumpul kecamatan, dan pedagang pengumpul kabupaten. Efisiensi pemasaran dikaji melalui analisis volume distribusi, margin pemasaran, farmer’s share dan rasio perbandingan keuntungan terhadap biaya. Jika dilihat dari segi margin tataniaga lulun campur pada saluran 2 yang memiliki nilai terbesar. Jika melihat farmer’s share lulun (meson) saluran 2 terbesar, sedangkan bila melihat rasio keuntungan terhadap biaya, maka saluran 1 bentuk buah terbesar. Akan tetapi bila dilihat secara umum saluran 2 dalam bentuk lulun (meson) memberikan nilai yang lebih baik dilihat dari penyebaran farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya dan volume penjualan lulun jernang setiap tahunnya serta margin tataniaga sehingga dapat disimpulkan bahwa saluran 2 dalam bentuk jual lulun (meson) memiliki saluran yang paling efisien bila dibandingkan dengan saluran dan bentuk jual jernang lain. Saran Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk pengembangan sistem tataniaga jernang rotan di Desa Lamban Sigatal antara lain : 1. Promosi hasil hutan bukan kayu (HHBK) berupa jernang rotan melalui pembudidayaan diharapkan menjadi solusi dalam mengatasi deforestasi hutan. Perlu adanya peran serta masyarakat Desa Lamban Sigatal bekerjasama dengan Yayasan Gita Buana dan Instansi pemerintah terkait untuk mempercepat pelaksanaan kegiatan budidaya jernang rotan yang lebih intensif, sehingga diharapkan dalam beberapa tahun kedepan hutan Desa Lamban Sigatal dapat menunjang kebutuhan ekonomi dan upaya pelestarian hutan sekitar desa. 2. Sistem tataniaga jernag rotan yang telah memberikan gambaran bagaimana proses transaksi perdagangan dilakukan, perlu adanya pengontrolan sistem tataniaga berupa peraturan atau perundang-undagan yang jelas menyangkut harga dan informasi pasar lainnya sehingga diharapkan terjadinya peningkatan pendapatan pencari jernang. 3. Bentuk jual jernang rotan diharapkan berupa lulun (meson), artinya dalam bentuk ekstraksi murni guna menjaga kualiatas jernang yang dihasilkan. Meskipun dari segi total margin relatif lebih kecil dibandingkan penjualan dalan bentuk lulun campur, diharapkan dengan kualitas yang senantiasa terjaga dapat meningkatkan nilai jual serta promosi produk yang lebih baik. 4. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dalam pemanfataan hasil hutan desa melalui jernang rotan sebagai salah satu upaya menanggulangi deforestasi hutan serta kaitannya dalam kegiatan perekenomian masyarakat Desa Lamban Sigatal.
41
DAFTAR PUSTAKA Adnany Z. 2008. Sistem Tataniaga Komoditi Salak Pondoh Di Kabupaten Bajarnegara Propinsi Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Aliadi A, Wibowo D. 1998. Hasil Hutan Non Kayu Ekstraktif di Desa Sungai Telang, Rantau Pandan, Jambi. [Internet]. [diunduh 2014 Jan 10]. Tesedia pada: http// www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/.../WP002304.PDF Ardi. 2011. Pengembangan Institusi Pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat Pola Agroforestri [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arifin W. 2005. Rotan Jernang: Tanaman Konservasi Bernilai Ekonomi [Internet]. [diunduh 2014 Jan 10]. Tersedia pada : http://www.4shared.com/get/6vVCvlUY/rotan_jernang_tanaman_konserva.ht ml Asmarantaka RW. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian (Marketing of Agriculture Produscts). Bogor (ID): IPB Press. Dahl DC dan Hammond JW. 1997. Market and Price Analysis The Agricultural Industries. New York (US): McGraw-Hill Book Company. Siswanto W. 2010. Strategi Penurunan Emisi Sektor Kehutanan [komunikasi singkat]. Ditjen Planologi Kemenhut. Jakarta, 15-18 Effendi R. 2009. Kelayakan Pengembangan Hutan Bambu Untuk Bahan Baku Industri Pengolahan Bambu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Iklim dan Kebijakan, siap terbit Elvidayanti, Erwin D. 2006. Berburu Jernang: Dari Masyarakat Desa Sampai Suku Pedalaman [editorial]. Gita Buana. Edisi 2 : 22-23. Hermansyah D. 2008. Analisis Tataniaga Nenas Palembang (Studi Kasus: Desa Sungai Medang, Kecamatan Cambai, Kotamadya Prabumulih, Sumatera Selatan) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Hidayat MT. 2013. Analisis Pendapatan Usahatani Mentimun di Desa Laladon, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hidayati W. 2009. Analisis struktur perilaku dan keragaan pasar rumput laut Euchema cottoni: studi kasus di Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Hudson D. 2007. Agricultural Markets And Prices. United Kingdom (UK): Blackwell Publishing. Januminro C.F.M. 2000. Rotan Indonesia [ulasan]. Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor: vi + 243 hlm. Kamiliah W. 2009. Imbalan bagi faktor-faktor produksi pada usahatani sayuran di Desa Batulicin Irigasi Kabupaten Tanah Laut. JIPI. 16(3):191-194 Kusumah HM. 2011. Analisis Tataniaga Beras Di Indonesia (Kasus: Jawa Barat dan Sulawesi Selatan) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Kohls RL dan Uhls JN. 1985. Marketing Of Agricultural Products. New York (US): MacMillian Publishing Company. Lestari M. 2006. Analisis Tataniaga Bengkuang (Pachyrrhizus erosus) (Kasus Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor
42 Limbong WH, Sitorus P. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian. Bahan Kualiah. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian [ulasan]. Fakultas Pertanian. Napitupulu, Dompak, Zulkifli, Elwamendri, 2006. Analisis Pemasaran Bokar: Suatu KajianTerhadap Upaya Peningkatan Kesejahteraan Petani Karet Melalui Pembenahan Tataniaga Bokar di Provinsi Jambi [ulasan]. Fakultas Pertanian. Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta (ID): Sekretariat Negara. Risna RA. 2006. Dragon's blood (BL.) Tumbuhan Obat yang Menjanjikan Dari Taman Nasional Bukit Tiga puluh [editorial]. Warta Kebun Raya. Vol. 6.No. 1 : 45 – 49. Bogor (ID): Rosiana N. 2012. Sistem Pemasaran Gula Tebu (Cane Sugar) Dengan Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP) (Kasus: Perusahaan Perseroan PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bungamayang) [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Sihombing AS. 2010. Analisis Sistem Tataniaga Nenas Bogor (Kasus Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Siregar EL. 2010. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Nenas Bogor (Kasus di Desa Sukaluyu, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Soemarna Y. 2009. Budidaya Rotan Jernang (Daemonorops draco Willd) [catatan penelitian]. Jurnal Litbang Kehutanan. 2(3): 5 – 10. Sumadiwangsa S. 1973. Klasifikasi dan Sifat Beberapa Hasil Hutan Bukan Kayu [catatan penelitian]. Jurnal Litbang Kehutanan. Laporan No. 28. Waluyo TK. 2008. Teknik Ekstraksi Tradisional dan Analisis Sifat-Sifat Jernang Asal Jambi (Tradisional Extraction Technique and Analysis Of Properties Of Jambi Dragon’s Blood) [catatan penelitian]. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 26(1): 30-40. [YGB] Yayasan Gita Buana. 2007. Laporan Kegiatan Survey Tataniaga Jernang di Provinsi Jambi. Kerjasama Sumatera Sustainable Support dan Gita Buana. Jambi (ID): Gita Buana [YGB] Yayasan Gita Buana. 2008. Laporan Kegiatan Kerjasama Sumatera Birdlife Indonesia dan Yayasan Gita Buana. Jambi (ID): Gita Buana [YGB] Yayasan Gita Buana. 2009. Laporan Kegiatan Kerjasama Sumatera Sustainable Support dan Yayasan Gita Buana. Jambi (ID): Gita Buana .
43 Lampiran 1 Produksi pencari jernang rotan Desa Lamban Sigatal
1.65
Total panen buah (kg/tahun) 4.15
Bentuk Jual (meson/lulun campur/buah) Lulun campur
400,000
400,000
2.50
1.60
4.10
Lulun campur
400,000
400,000
3
30.00
20.00
50.00
Lulun (meson)
2,000,000
2,000,000
4
4.00
0.00
4.00
Lulun campur
400,000
400,000
5
8.50
5.00
13.50
Buah
6
50.00
20.00
70.00
Lulun (meson)
7
10.00
0.00
10.00
8
8.00
5.00
9
1.00
1.00
10
2.50
11
Perolehan Buah (kg)
Nomor responden
Panen Besar
Panen Selang
1
2.50
2
Total Penjualan (kg / tahun)
Harga jual (Rp/kg)
300,000
300,000
2,000,000
2,000,000
Buah
400,000
400,000
13.00
Lulun (meson)
900,000
900,000
2.00
Lulun campur
400,000
400,000
1.50
4.00
Lulun campur
400,000
400,000
1.00
1.00
2.00
Lulun campur
400,000
400,000
12
1.50
1.50
3.00
Buah
350,000
350,000
13
3.00
0.00
3.00
Lulun (meson)
1,700,000
1,700,000
14
3.00
1.00
4.00
Lulun campur
600,000
600,000
15
6.00
4.00
10.00
Lulun (meson)
1,500,000
1,500,000
44 Lampiran 2 harga rata-rata hasil produksi jernang rotan tahun 2013 Harga Rata-rata (Rp/kg) Saluran Tataniaga
Lulun (Meson)
Lulun Campur
Buah
Saluran Tataniaga I
1,600,000
433,333
350,000
Saluran Tataniaga II
1,700,000
400,000
0
45 Lampiran 3 Kisaran kebutuhan pencari jernang No
Uraian
Satuan
Jumlah
1 2 3 4
Beras Gula Kopi Bumbu dapur Garam Bawang Minyak sayur Minyak tanah Rokok Perlengkapan mandi Sabun Pasta gigi Sampo Obat-obatan Batu baterai Ongkos ojek ke lokasi pencarian Total Biaya Selama Pencarian
Kg Kg bungkus Paket
10 3 3
Biaya satuan (Rp) 10.000 12.000 5.000
1
50.000
1 1 3
14.000 10.000 100.000
1
50.000
1 1 1
50.000 3.000 250.000
5 6 7 8
9 10 12
Kg Liter Slof Paket
Paket Buah Trip
Total Biaya (Rp) 100.000 36.000 15.000
50.000 14.000 10.000 300.000
50.000 50.000 3.000 250.000 878.000
46 Lampiran 4 Dokumentasi
47 Lampiran 5 Kuesioner pencari jernang rotan KUESIONER PENELITIAN ANALISIS TATANIAGA JERNANG ROTAN (STUDI KASUS: HUTAN DESA KABUPATEN MUARA BUNGO, JAMBI)
RESPONDEN PETANI PENCARI JERNANG NAMA TANGGAL WAWANCARA No. RESPONDEN
: : :
…………………………………………… …………………………………………… ……………………………………………
Peneliti Bagas Wicaksono H34100051
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
48 Karakteristik Petani Nama Petani : ………………………………………… Jenis Kelamin :L/P Umur : ……………………………………. tahun Pendidikan terakhir : …………………………………………… Jumlah Anggota Keluarga :………………………………………… Nama Desa/Kecamatan : …………………………………………… Kabupaten : …………………………………………… Tanggal Wawancara : …………………………………………… Petani Pencari / Petani : …………………………………………… pembudidaya Jernang Identifikasi Deforestasi Hutan 1. Bagaimana kondisi hutan desa saat ini yang biasa anda manfaatkan sebagai tempat pencarian jernang? apakah telah terjadi kerusakan atau berkurangnya luasan hutan? Dan apakah kondisinya sama atau berbeda setiap tahunnya? ………………………………………………………………………………… ……….................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. ...................................................................... 2. Bila telah terjadi kerusakan hutan (deforestasi), menurut anda apa penyebabnya? ………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………. 3. Dampak apa yang dirasakan pada kondisi hutan saat ini? ………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………………………… ………………………… Kegiatan Pencarian Jernang (Untuk Petani Pengumpul Jernang) 1. Sudah berapa lama menjadi petani pengumpul jernang? ………………tahun 2. Berapa jumlah petani pengumpul dalam satu kelompok anda? …………orang 3. Dimana lokasi pencarian jernang? hutan desa : Kecamatan: Kabupaten : 4. Jenis jernang apa yang biasa dicari oleh petani pengumpul?............................................. 5. Sebutkan ciri – ciri dan karakteristik jernang yang dapat dipanen dihutan desa? ………………………………………………………………………………… 6. Sebutkan alat-alat yang digunakan untuk pencarian dan pemanenan jernang? ………………………………………………………………………………… 7. Berapa kisaran perolehan hasil jernang pada sekali pencarian : Bulan musim : …………………………………………………… Bulan tidak musim : .……………………………………………………
49 Periode (bulan /minggu ke-) dalam 1 tahun Bulan Musim Bulan Tidak Musim
Lama Pencarian (Hari)
Biaya pencarian (Rp/orang)
Kuantitas (kg)
Jarak Pencarian (m)
Periode sebelumnya 1 tahun yang lalu 5 tahun yang lalu 10 tahun yang lalu 15 tahun yang lalu
8. Dari mana biaya pencarian diperoleh? dan bagaimana penentuan biaya pencarian jernang dilakukan? ……………..……………………………………. 9. Sebutkan rincian biaya pengeluaran pencarian jernang? No
Keperluan
Biaya Pencarian Jernang (Rp)
Total
10. Apakah menjadi petani pengumpul merupakan mata pencaharian utama? bila tidak, Selain jernang tanaman apa yang menjadi mata pencaharian utama petani?sebutkan,……………………………………………………………… Kegiatan Budidaya Jernang (Untuk Petani Pembudidaya Jernang) 1. Sudah berapa lama Anda melakukan budidaya jernang? ........................... tahun 2. Apakah anda hanya budidaya jernang di lahan anda? (Ya/Tidak). Jika tidak tanaman apa saja yang Anda tanam ........................ 3. Bagaiman Pola budidaya jernang dilakukan? sebutkan dan jelaskan Pembibitan, Pencangkokan, lainnya, sebutkan 4. Sebutkan ciri – ciri dan karakteristik jernang yang dapat dipanen ………………………………………………………………………………… …………… 5. Berapa luas lahan yang Anda miliki? ..................... hektar 6. Status lahan yang Anda kelola? milik sendiri/sewa/bagi hasil 7. Apakah Anda tergabung dalam kelompok tani atau koperasi? (Ya/Tidak). Jika ya, silahkan menuliskan peranan kelompok tersebut dalam kegiatan usahatani Anda ..................................................... 8. Berapa orang anggota keluarga Anda yang ikut terlibat langsung dalam kegiatan usahatani? ............................................... 9. Sebutkan biaya – biaya yang timbul dari kegiatan budidaya :
50 Kegiatan Pembibitan 1. Polybag 2. Biji 3. Pengisian ke Polybag 4. Plastik kaca 5. Pupuk ……………………. …………………… Biaya lain ……………………… ……………………… ……………………… Persiapan Lahan 1. Upah Pembersihan lahan 2. Upah Ajir & lobang tanam 3. Upah penanaman Pemeliharanan Tanaman 1. Penyiangan 2. Pupuk …………………… 3. Lainnya ……………….... Peralatan 1. Gerobak Dorong 2. Sprayer 3. Ambung 4. Lainnya…………………. ……………………………. ……………………………. …………………………….
Satuan
Jumlah
Harga (Rp)
Total (Rp)
Kegiatan Pasca Panen 1. Apakah ada standar kualitas jernang yang dijual? sebutkan ………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………. Kualitas
Harga / kg
2. Apakah Anda tetap melakukan pemanenan jika harga jual jernang rotan sangat rendah? (Ya/Tidak). Alasannya…..…………………………………………….. 3. Apakah jernang yang yang diperoleh dilakukan pengolahan sebelum dijual?(Ya,Tidak),jika Ya sebutkan Biaya-biaya yang timbul dari pengolahan : Biaya Ekstrasi : Rp...................................... Biaya penyimpanan : Rp...................................... Biaya penyusutan : Rp...................................... Biaya sortir : Rp...................................... Retribusi : Rp...................................... : Rp...................................... Biaya lain-lain
51 Kegiatan Pemasaran 1. Kepada siapa Anda biasanya menjual jernang? ................................................... Pedagang pengumpul kecil …………………………………………….. Pedagang pengumpul besar …………………………………………….. Lainnya …………………………………………………………………. Tujuan Penjualan
Kualitas
Kuantitas (kg)
Harga (Rp/kg)
Sistem Pembayaran
Pedagang kecil Pedagang besar Lainnya
2. Siapakah yang menentukan harga jual? ……………………………………….. 3. Bagaimana cara penentuan harga jual? ………………………………………... 4. Dimana lokasi penyerahan barang? Ditempat pembeli/di tempat penjual? ................................................................................................................ 5. Apa saja yang menjadi pertimbangan anda dalam menentukan kepada siapa hasil panen dijual? ……………………………………………………………... 6. Apakah Anda melakukan kerjasama atau kontrak tertentu dalam memasarkan jernang rotan? (Ya/Tidak) Jika ya, Tuliskan alasan anda melakukan kerjasama ………………………………………………………..………………………… …………………………………………………………………………………... 7. Apakah anda mempunyai informasi tentang pasar jernang rotan? (Ya/Tidak) Jika Ya, darimana anda memperoleh informasi tersebut? …………………………………………………………………………………... 8. Apa saja yang biasa dikeluhkan pembeli dalam proses jual beli jernang rotan? …………………………………………………………………………………... 9. Permasalahan apa yang Anda alami dalam kegiatan penjualan jernang rotan? ………………………………………………………………………………..… …………………………………………………………………………………... 10. Bagaimana cara Anda dalam mengatasi permasalahan yang anda alami tersebut ? ……………………………………………………………………….. 11. Apa yang menjadi harapan Anda mengenai pemasaran jernang rotan? ………………………………………………………………………………… …………………………………………………………………………………..
52 Lampiran 6 Kuesioner pedagang pengumpul KUESIONER PENELITIAN ANALISIS TATANIAGA JERNANG ROTAN (STUDI KASUS: HUTAN DESA KABUPATEN MUARA BUNGO, JAMBI)
RESPONDEN PEDAGANG /PENGUMPUL Tingkat ………………………. NAMA : …………………………………………………. TANGGAL : ………………………………………………… WAWANCARA No. RESPONDEN : …………………………………………………
Peneliti Bagas Wicaksono H34100051
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
53
Karakteristik Pedagang 1. Nama : ............................................................... 2. Nama Desa / Kecamatan : ............................................................... 3. Kabupaten/Propinsi : ............................................................... 4. Klasifikasi (1) Pengumpul Desa (2) Pengumpul Kecamatan (3) Pengumpul Kabupaten (4) Pedagang Besar (4) Industri (5) Lainnya ; ....................................... 5. Tahun mulai beroperasi : ............................................................... 6. Untuk pedagang pengumpul desa, pengumpul besar, industri, dll carilah informasi mengenai; a. Harga beli untuk jernang yang diperjualbelikan Sumber Pembelian
Kualitas
Harga Beli (Rp/kg)
Jumlah Pembelian (kg)
Sistim Pembayaran
Siapa yang menentukan harga beli di petani? …………………………… b. Biaya-biaya yang timbul dari proses jual-beli 1. Biaya Pencarian Jernang : Rp...................................... 2. Biaya Tenaga Kerja : Rp...................................... 3. Biaya pengangkutan : Rp...................................... 4. Biaya pengemasan : Rp...................................... 5. Biaya penyimpanan : Rp...................................... 6. Biaya penyusutan : Rp...................................... 7. Biaya sortir : Rp...................................... 8. Retribusi : Rp...................................... 9. Biaya lain-lain : Rp...................................... 7. Berapa jumlah pencari yang menjadi pelanggan anda saat ini? ……………….. 8. Apakah anda memberikan bantuan kredit kepada petani/pengumpul jernang? ……………………………………………………………………………........... 9. Apakah anda memiliki standarisasi dalam membeli? (Ya/Tidak), Jika Ya, sebutkan …………………………………………………………………………………... 10. Dari mana anda memperoleh informasi harga? ………………………………………..................................................................
54 11. Apakah terdapat kesulitan dalam pembelian dan penjualan? …………………………………………………………………………………... 12. Apakah anda menjual kembali jernang yang diperoleh dari petani? jika Ya, Sebutkan :………………………………………………………………………..
55
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 28 Mei 1992 dengan nama lengkap Bagas Wicaksono. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Supadi dan Ibu Sriyatmi. Penulis menamatkan sekolah dasar di SDN 01 Kampung Tengah Jakarta tahun 2004 kemudian melanjutkan ke SMPN 20 Jakarta dan lulus pada tahun 2007. Jenjang berikutnya penulis melanjutkan ke SMAN 104 Jakarta dan lulu tahun 2010. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Penulis juga menjadi salah satu mahasiswa penerima beasiswa Bidik Misi IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif berbagai organisasi internal kampus seperti Badan Ekskutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) IPB tahun 2010/2011 sebagai staff Kementrian Pertanian. Di tingkat departemen, penulis aktif di Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) 2011/2012 dan 2012/2013 sebagai staff divisi Departemen Sosial dan Lingkungan (D’Soul). Penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitian seperti training ESQ 165, Agribisnis Festival, MPD/MPF orange FEM 2012.