ANALISIS TATANIAGA TEBU (Studi Kasus : Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur)
SKRIPSI
ANGGRIANI PUTRI SOETRISNIATI H34070117
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN
ANGGRIANI PUTRI SOETRISNIATI. Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (Di bawah bimbingan RACHMAT PAMBUDY)
Tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan yang turut berperan dalam pembangunan ekonomi nasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar pada subsektor perkebunan. Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai produsen gula tebu dilihat dari sisi sumber daya alam dan iklim. Produksi tebu ini ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar akan produk olahan tebu ini. Salah satu daerah yang menjadi sentra tebu di Kabupaten Jombang adalah Kecamatan Ngoro. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis saluran tataniaga yang ada di Desa Pulorejo, menganalisis fungsi-fungsi tataniaga tebu, struktur pasar, perilaku pasar yang terjadi dan menganalisis saluran mana yang lebih efisien berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Penelitian dilakukan di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Waktu penelitian dilakukan dari bulan Februari hingga Maret 2011. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Pengambilan responden petani dilakukan berdasarkan secara sengaja (purposive) dan lembaga tataniaga dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling. Jumlah petani responden adalah sebesar 20 orang petani. Terdapat empat saluran tataniaga tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, yaitu saluran tataniaga I: petani, Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) dan pabrik gula; saluran II: petani, kelompok tani dan pabrik gula; saluran III: petani, kontraktor tebu dan pabrik gula; saluran IV: petani, pedagang sari tebu dan konsumen. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga dalam tataniaga tebu ini adalah fungsi pertukaran dilakukan oleh lembaga tataniaga dan petani tidak melakukan kegiatan pembelian. Pada saluran I dan II petani melakukan fungsi fisik yaitu pegangkutan. Fungsi fisik penyimpanan dilakukan APTRI dan pedagang sari tebu. Fungsi fasilitas penanggungan risiko, pembiayaan dan informasi pasar dilakukan pada setiap lembaga tataniaga. Fungsi sortasi dilakukan petani dan kontraktor tebu. Fungsi pengolahan dilakukan oleh pedagang sari tebu yang mengolah tebu menjadi minuman sari tebu. Struktur pasar yang dihadapi petani, kontraktor tebu dan pedagang sari tebu mendekati pasar persaingan karena terdapat banyak penjual, barang yang homogen dan tidak adanya hambatan untuk keluar dan masuk pasar. Pasar oligopoli dihadapi oleh APTRI dan kelompok tani karena sedikitnya penjual, sifat produk homogen dan ada kesulitan untuk keluar masuk pasar. Perilaku pasar dapat dilihat dari praktek pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga dan pembayaran harga dan kerjasama antara lembaga tataniaga.
Praktek pembelian dan penjualan dilakukan secara borongan dan secara langsung. Penentuan harga tebu di tingkat petani adalah melalui tawar menawar antara petani dan lembaga tataniaga. Penentuan harga bagi APTRI dan kontraktor tebu berdasarkan harga lelang gula tertinggi dan ketetapan pemerintah. Pembayaran hasil penjualan dilakukan secara tunai dan nota penjualan. Kerjasama antar lembaga tataniaga dijalankan petani dengan APTRI dalam hal penyediaan kredit bagi petani untuk usahatani tebu. Saluran tataniaga yang efisien dalam sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur adalah saluran tataniaga I. Hal ini dapat dilihat dari nilai margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Namun, slauran tataniaga III yangpaling digemari oleh petani dan memiliki volume penjualan paling besar.
ANALISIS TATANIAGA TEBU (Studi Kasus : Desa Pulorejo, KecamatanNgoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur)
ANGGRIANI PUTRI SOETRISNIATI H34070117
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus: Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur)
Nama
: Anggriani Putri Soetrisniati
NIM
: H34070117
Disetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS NIP. 19591223 198903 1 002
Diketahui Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus: Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
Anggriani Putri Soetrisniati H34070117
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 1989. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan (Alm) Bapak Hadi Soetrisno dan Ibu Sri Soenari. Penulis mengawali jenjang pendidikan pada Taman Kanak-kanak (TK) Cendrawasih XI-4 pada tahun 1993. Kemudian penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Swasta Kartika XI-6 Jakarta pada tahun 1995 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 189 Jakarta. Penulis melanjutkan pendidikan menegah atas dan diselesaikan pada tahun 2007 di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 78 Jakarta. Penulis diterima pada Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai pengurus Organisasi Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) periode 2009-2010 sebagai bendahara divisi D’soul (Departement of Social and Our Environment Life).
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Tataniaga Tebu (Studi Kasus : Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur)”.
Penulisan skipsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saluran tataniaga tebu yang tercipta di Desa Pulorejo, menganalisis fungsi-fungsi tataniaga tebu, struktur pasar, perilaku pasar yang terjadi, dan menganalisis saluran mana yang lebih efisien berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis berharap adanya masukan sehingga dapat memperbaiki dan mengembangkan penelitian ini. Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya.
Bogor, Juli 2011
Anggriani Putri S
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji Tuhan, atas segala kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak atas bimbingan, bantuan dan kerjasamanya, kepada : 1. Papa dan Mama tercinta, Alm. Hadi Soetrisno dan Sri Soenari, dan keluarga yang selalu memberikan kasih sayang, cinta, doa dan dukungan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik untuk kedua orang tua. 2. Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan, dan kesabarannya salam membimbing penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 3. Ir. Wahyu Budi Priatna, M.Si selaku dosen penguji utama dalam ujian skripsi. Terima kasih atas segala saran dan kritik untuk perbaikan skripsi. 4. Suprehatin, SP, MAB selaku dosen penguji komisi pendidikan dalam ujian skripsi. Terima kasih atas segala saran dan kritik untuk perbaikan skripsi. 5. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS yang telah memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam penulisan skripsi. 6. Febriantina Dewi, SE. Msc selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas masukan dan saran selama menjadi dosen pembimbig akademik. 7. Direksi PT. Perkebunan Nusantara X yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Pabrik Gula Tjoekir, Pak Gufron selaku ketua bagian tanaman dan Pak Aziz selaku ketua bagian pengolahan di PG Tjoekir yang telah membantu mengumpulkan data. 8. Yayasan Karya Salemba Empat dan PT. Indofood Sukses Makmur Tbk atas beasiswa yang telah diberikan kepada penulis. 9. Bulek Win, Bulek Mi, Budeh Kekes, Om Thomas, Pakdeh Darman, Vindy, Cia, Octa, Abi, Ara terima kasih atas dukungannya. 10. Om Sunendro Widianto, Om Jalal, Pak Robet, Pak Zaenal, Pak Yatimin, Ibu Sus dan petani tebu yang telah membantu dalam pengumpulan data skripsi ini.
11. Ibu Erma Rahmawati, Pak Heru Widanarko, Pak Asmanu Jose dan Kevin yang telah menjadi keluarga baru selama penelitian di Jombang. 12. Tommy Budiutomo Sigarlaki terima kasih atas kasih sayang, semangat, dukungan, doa yang tulus, bantuan dan kesabaran kepada penulis. Thank’s a lot!! 13. Sahabat-sahabatku Amelia Kartika Yustiarni, Dini Amrilla Utomo, Indah Soekma terima kasih atas semangat, dorongan, pengalaman, petualangan dan persahabatan yang telah kita lalui. 14. Dini Damayanti yang telah menjadi pembahas dalam seminar penulis. 15. Ajul, Aline dan Ade yang telah memberikan semangat dan dukungan. Terima kasih mau mendengarkan keluh kesah dan membagi keceriaan. 16. Teman-teman “Qwaziorchor” Mala, Meity, Shela, Karina, Debby, Megi, Iin, Thio dan Arien. Terima kasih atas dukungannya. 17. Eni, Gita, Ririn terima kasih semangatnya 18. Teman-teman
agribisnis
44
yang
telah
menjadi
keluarga
dan
“kebersamaan” kita tak terkalahkan lah pokoknya. Senang bisa mengenal dan bersama-sama kalian semua.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
xvii
I
PENDAHULUAN ..................................................................... 1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ............................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................. 1.4. Manfaat penelitian ............................................................... 1.5. Ruang Lingkup . ...................................................................
1 1 7 7 8 8
II
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 2.1. Botani Tanaman Tebu ........................................................ 2.2. Syarat Tumbuh Tebu ........................................................... 2.3. Manfaat Tebu ..................................................................... 2.4. Budidaya dan Perbanyakan Tebu ....................................... 2.5. Panen dan Pascapanen Tebu .............................................. 2.6. Penelitian Mengenai Tataniaga Tanaman Perkebunan .......................................................................... 2.6. Penelitian Mengenai Komoditas Tebu .................................
9 9 11 13 14 15
KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................... 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................... 3.1.1. Sistem Tataniaga ...................................................... 3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga .............................. 3.1.3. Fungsi-fungsi Pemasaran ........................................ 3.1.4. Struktur Pasar .......................................................... 3.1.5. Perilaku Pasar .......................................................... 3.1.6. Margin Pemasaran .................................................... 3.1.7. Farmer’s Share .......................................................... 3.1.8. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya ......................... 3.1.9. Efisiensi Pemasaran ................................................ 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ........................................
20 20 20 22 23 24 26 27 29 30 30 31
IV METODE PENELITIAN.......................................................... 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... 4.2. Jenis dan Sumber Data ....................................................... 4.3. Metode Pengumpulan Data ................................................. 4.4. Metode Analisis Data .......................................................... 4.4.1. Analisis Saluran Tataniaga dan Lembaga Tataniaga .................................................................... 4.4.2. Analisis Fungsi-fungsi Pemasaran ............................ 4.4.3. Analisis Struktur Pasar ............................................. 4.4.4. Analisis Perilaku Pasar ..............................................
34 34 34 34 35
III
15 17
36 36 37 37
4.4.5. Analisis Efisiensi Pemasaran ................................... 4.5. Definisi Operasional ............................................................
37 39
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN.....................
41
5.1.Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian .................. 5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ................................. 5.3. Karakteristik Petani Responden .........................................
41 42 43
VI PEMBAHASAN ..........................................................................
47
6.1. Sistem Tataniaga .................................................................. 6.2. Saluran Tataniaga ................................................................ 6.2.1. Saluran Tataniaga 1 ................................................... 6.2.2. Saluran Tataniaga 2 ................................................... 6.2.3. Saluran Tataniaga 3 ................................................... 6.2.4. Saluran Tataniaga 4 .................................................... 6.3. Analisis Fungsi-fungsi Tataniaga ....................................... 6.3.1. Petani ......................................................................... 6.3.2. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) .................................................................... 6.3.3. Kelompok Tani .......................................................... 6.3.4. Kontraktor Tebu ........................................................ 6.3.5. Pedagang Sari Tebu .................................................. 6.4. Analisis Struktur Pasar ....................................................... 6.4.1. Struktur Pasar di Tingkat Petani ............................... 6.4.2. Struktur Pasar di Tingkat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) .............................. 6.4.3. Struktur Pasar di Tingkat Kelompok Tani ................ 6.4.4. Struktur Pasar di Tingkat Kontraktor Tebu ............... 6.4.5. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Sari Tebu ......... 6.5. Analisis Perilaku Pasar ....................................................... 6.5.1. Praktek Pembelian dan Penjualan ............................ 6.5.2. Sistem Penentuan Harga dan Pembayaran Harga .................................................... 6.5.3. Kerjasama Antara Lembaga Tataniaga .................... 6.6. Analisis Margin Tataniaga ................................................. 6.7. Farmer’s Share ................................................................... 6.8. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya .................................... 6.9. Efisiensi Saluran Tataniaga ................................................
47 48 49 50 52 53 54 54
VII KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................
79
7.1.Kesimpulan .......................................................................... 7.2.Saran .....................................................................................
79 80
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
81
LAMPIRAN ........................................................................................
83
VI
56 57 58 60 61 61 62 62 63 63 64 64 66 68 69 74 75 77
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1.
Luas Areal Tanaman Perkebunan Indonesia..........................
2
2.
Produksi Tanaman Perkebunan Indonesia............................
3
3.
Produksi Tebu Berdasarkan Provinsi di Indonesia ...........................................................................
4
Data Statistik Tebu Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 ............................................................................
5
Varietas dan Karakteristik Tebu di Indonesia ...........................................................................
9
6.
Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu ..................................
18
7.
Perbandingan Struktur Pasar .................................................
26
8.
Komposisi Sebaran Penduduk berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin di Desa Pulorejo Tahun 2009 .................................
42
Mata Pencaharian Penduduk menurut Jenis Kelamin di Desa Pulorejo Tahun 2009 ................................................
43
Karakteristik Petani Responden berdasarkan Usia di Desa Pulorejo Tahun 2011 ..............................................................
44
Karakteristik Petani Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Pulorejo Tahun 2011 .............................
45
Status Usahatani Petani Responden di Desa Pulorejo Tahun 2011 ............................................................................
45
Karakteristik Petani Responden berdasarkan Luas Lahan yang Digunakan Usahatani Tebu Tahun 2011 .....................
46
Karakteristik Petani berdasarkan Status Kepemilikan Tahun 2011 ............................................................................
46
Biaya Tataniaga Tebu Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga 1 ...............................................................
70
Biaya Tataniaga Tebu Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga 2 ...............................................................
71
Biaya Tataniaga Tebu Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga 3 ...............................................................
72
Biaya Tataniaga Tebu Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga 4 ...............................................................
72
Margin Tataniaga Tebu Setiap Saluran Tataniaga di Desa Pulorejo Tahun 2011 .............................................................
74
4. 5.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
20. 21.
Analisis Farmer’s Share Pada Saluran Tataniaga Tebu di Desa Pulorejo Tahun 2011 ...............................................
75
Analisis Keuntungan terhadap Biaya pada Lembaga Tataniaga Tebu di Desa Puorejo Tahun 2011 ......................
76
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Kurva Marjin Pemasaran ........................................................
28
2.
Kerangka Pemikiran Operasional Sistem Tataniaga Tebu ...........................................................
33
Sistem Tataniaga Tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang Tahun 2011 ...........................................
48
3.
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Data Petani Tebu di Desa Pulorejo Tahun 2011 ..................
2.
Harga Tebu, Tetes dan Natura di Desa Pulorejo Tahun 2011 ...............................................
3.
84
85
Margin Tataniaga Berdasarkan Harga Tebu di Desa Pulorejo Tahun 2011 ...................... .........................
86
4.
Kuisioner Petani Tebu ...........................................................
87
5.
Kuisioner Lembaga Tataniaga ...............................................
89
I. PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia pada pertengahan tahun
1997 telah menimbulkan berbagai dampak yang serius. Dampak yang timbul akibat krisis ekonomi di Indonesia adalah penurunan secara drastis nilai tukar rupiah terhadap dollar, penyerapan tenaga kerja melambat, inflasi yang tidak terkendali, jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan meningkat drastis, dan kejahatan meningkat. Indonesia mencoba keluar dari krisis yang melanda saat itu dengan berbagai langkah. Langkah keluar didasarkan pada beberapa aspek: kebijakan makro, moneter dan fiskal untuk mengatasi masalah nilai tukar, inflasi dan memburuknya perekonomian, kebijaksanaan restrukturisasi sektor riil dan penanggulangan dampak sosial. Salah satu subsektor penting yang dapat mengurangi dampak krisis ekonomi yang melanda Indonesia adalah subsektor perkebunan. Subsektor perkebunan memiliki kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Peran subsektor perkebunan dalam pembangunan nasional akan memecahkan masalahmasalah ekonomi nasional. Selain meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB), subsektor perkebunan akan memperluas kesempatan kerja. Penyerapan tenaga kerja di bidang perkebunan mengalami peningkatan dari tahun 2004 sebesar 18,6 juta tenaga kerja menjadi 19 juta tenaga kerja pada tahun 2005. Peningkatan penyerapan tenaga kerja akan mengurangi jumlah pengangguran dan arus urbanisasi. Subsektor perkebunan juga memberikan kontribusi pada peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB). Berdasarkan harga yang berlaku PDB perkebunan terus mengalami peningkatan dari Rp. 49,630.9 miliar pada tahun 2004 menjadi Rp. 81,664 miliar pada tahun 2007. Peningkatan PDB Bruto sekitar 21.5% per tahun. Kontribusi PDB perkebunan terhadap PDB tanpa migas adalah sekitar 2.2% dan 2.0% terhadap total PDB (Direktorat Jendral Perkebunan, 2009). Peran subsektor perkebunan dalam pembangunan ekonomi nasional diperkuat dengan peningkatan luas areal dan produksi. Data Tabel 1 dapat dilihat pertumbuhan areal perkebunan meningkat 5.3 % per tahun dari total area perkebunan pada tahun 2005-2009. Komoditi yang mengalami pertumbuhan 1
adalah kelapa sawit, kopi dan tebu. Peningkatan luas areal perkebunan akan berpengaruh kepada penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak pada subsektor perkebunan. Penyerapan tenaga kerja yang baik akan berdampak kepada pengurangan angka pengangguran di Indonesia dan menekan angka urbanisasi karena di pedesaan telah tercipta lapangan pekerjaan yang mampu menyerap tenaga kerja dengan baik. Tabel 1. Luas Areal Tanaman Perkebunan di Indonesia (1000 Ha) Komoditi Karet Kelapa Sawit Tembakau Kopi Tebu Teh Total
Tahun 2005 512.4 3593.4 4.8 52.9 381.8 81.7 4627.0
2009* 514.0 4520.6 4.5 58.3 443.8 67.1 5608.3
Pertumbuhan (%) per tahun 0.07 6.4 -1.5 5.4 4.1 -4.4 5.30
*: Angka Sementara Sumber : BPS Republik Indonesia (2010)
Selain luas areal yang mengalami peningkatan, produksi perkebunan juga mengalami kenaikan sebesar 7.1% per tahun dalam periode empat tahun. Komoditi perkebunan yang mengalami peningkatan paling besar adalah kelapa sawit sebesar 7.4% per tahun dan tembakau yang mengalami penurunan paling besar sebesar 6.8% per tahun.
2
Tabel 2. Produksi Tanaman Perkebunan di Indonesia (Ribu Ton) Komoditi
Tahun
Pertumbuhan (%)
2005
2009*
per tahun
432.2
529.6
5.6
12258.7
15892.1
7.4
Tembakau
4.0
2.9
-6.8
Kopi
24.8
28.4
3.6
Tebu
2241.7
2849.8
6.7
Teh
128.2
114.9
-2.6
Total
15.090
19.418
7.1
Karet Kelapa Sawit
*: Angka Sementara Sumber : BPS Republik Indonesia (2010)
Tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan yang turut berperan dalam pembangunan ekonomi nasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar pada subsektor perkebunan. Indonesia mempunyai keunggulan komparatif sebagai produsen gula tebu dilihat dari sisi sumber daya alam dan iklim. Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan semusim, yang mempunyai sifat tersendiri sebab didalam batangnya terdapat zat gula. Tebu hasil panen dari petani dapat dijual kepada pabrik gula yang akan diolah menjadi gula ataupun kepada tengkulak dan makelar. Produksi tebu ini ditujukan untuk memenuhi permintaan pasar akan produk olahan tebu ini. Permintaan akan gula sebagai produk olahan tebu ini makin meningkat sedangkan produksi dalam negeri belum dapat memenuhi permintaan pasar yang semakin besar. Pengembangan perlu dilakukan pada usaha tebu ini agar produksinya semakin meningkat dan dapat memenuhi permintaan pasar dalam negeri. Tebu dapat dikonsumsi dalam bentuk segar, diambil sari tebu kemudian menjadi minuman dan olahan tebu menjadi gula. Pada tabel 1 terlihat bahwa tanaman tebu memiliki pertumbuhan luas areal yang besar sekitar 4.1% sedangkan pertumbuhan produksi tebu mengalami peningkatan sekitar 6.7%. Indonesia memiliki sentra-sentra produksi tebu yang selama ini menghasilkan tebu untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat akan gula. Salah satu 3
sentra tebu di Indonesia adalah Provinsi Jawa Timur. Menurut data statistik areal perkebunan yang paling luas adalah Jawa Timur dengan pertumbuhan luas areal sekitar 8.78 % per tahun pada tahun 2005 sebesar 169.338 Ha menjadi 213.944 tahun 2008. Pertumbuhan areal perkebunan tebu di Indonesia sekitar 9.5% per tahun dari total areal perkebunan tebu menurut provinsi di Indonesia (Direktorat Jendral Perkebunan, 2009). Produksi tebu dapat berpengaruh terhadap pengembangan ekonomi nasional. Makin banyak tebu yang dihasilkan maka kontribusi subsektor perkebunan terhadap pengembangan ekonomi nasional akan meningkat. Produksi tebu di beberapa provinsi mengalami fluktuasi pada tahun 2006-2009. Provinsi Jawa Timur mengalami peningkatan produksi sebesar 273.618 ton dari tahun 2006-2007 dan mengalami penurunan di tahun 2008 sebesar 38.195 ton. Kemudian mengalami peningkatan kembali di tahun 2009 sebesar 4.385 ton.
Tabel 3. Produksi Tebu Berdasarkan Provinsi di Indonesia (Ton) Provinsi
Tahun 2006
2007
2008
2009*
Sumatera Utara
50.620
48.689
40.585
31.008
Sumatera
58.978
56.318
58.861
79.560
Lampung
693.550
714.641
810.681
934.244
Jawa Barat
113.338
127.470
111.781
124.470
Jawa Tengah
260.796
249.526
266.891
278.874
DI. Yogyakarta
13.423
15.785
15.648
26.756
1.067.301
1.340.919
1.302.724
1.307.109
Gorontalo
30.729
51.462
25.736
25.794
Sulawesi
18.242
19.149
35.521
41.954
2.306.977
2.623.959
2.668.428
2.849.769
Selatan
Jawa Timur
Selatan Total
*: Angka Sementara Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (2010)
4
Kabupaten Jombang merupakan
salah satu wilayah penghasil tebu di
Provinsi Jawa Timur. Luas areal yang ditanami tebu pada tahun 2008 sebesar 13.207 Ha dari 25.060 Ha wilayah perkebunan di Kabupaten Jombang dan produksinya mencapai 74.493 Ton. Tabel 4 akan memperlihatkan data luas areal dan produksi tebu di Provinsi Jawa Timur. Tabel 4. Data Statistik Tebu Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 Kabupaten / Kota Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)
Produktivitas (Kg/Ha)
Gresik
2.280
13.412
6.356
Sidoarjo
6.768
35.286
5.794
Mojokerto
11.272
69.119
6.435
Jombang
13.207
74.943
5.878
Bojonegoro
1.304
7.378
6.128
Lamongan
2.655
15.928
7.286
Madiun
6.508
31.628
5.042
Magetan
6.875
41.820
7.689
Ngawi
6.857
39.478
6.857
Ponorogo
2.838
17.900
6.824
Kediri
17.115
120.560
8.471
Nganjuk
4.113
30.793
7.487
Blitar
9.443
58.220
6.651
Tulungagung
5.957
42.434
7.123
Trenggalek
1.065
9.451
8.874
Malang
28.500
172.947
6.505
Pasuruan
5.914
32.416
6.928
Probolinggo
2.730
21.324
8.892
Lumajang
16.949
102.791
6.355
Bondowoso
6.590
35.507
5.852
Jember
8.045
45.811
5.915
Banyuwangi
2.745
14.102
7.521
Kota Kediri
3.496
20.397
6.424
Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan, (2010)
5
Kecamatan Ngoro merupakan salah satu sentra penghasil tebu di Kabupaten Jombang. Luas areal yang ditanami tebu pada tahun 2007 sebesar 971,070 Ha dari 1278.18 Ha wilayah perkebunan kecamatan Ngoro. Tebu yang dihasilkan di wilayah kecamatan Ngoro pada tahun 2007 sebesar 771.126,69 ton. Hasil tebu dari kecamatan Ngoro akan berkontribusi untuk memenuhi permintaan masyarakat akan gula. Salah satu desa yang berada pada Kecamatan Ngoro sebagai penghasil tebu adalah Desa Pulorejo. Mayoritas penduduknya memiliki lahan yang ditanami tebu dan bekerja sebagai petani tebu. Semakin besar permintaan masyarakat akan gula maka petani penghasil tebu harus meningkatkan hasil produksinya agar permintaan tersebut terpenuhi. Kecamatan Ngoro sebagai salah satu daerah penghasil tebu akan berusaha mengoptimalkan hasil produksinya agar dapat berkontribusi dalam pemenuhan permintaan gula di Indonesia. Peningkatan hasil produksi yang dilakukan oleh petani juga akan mendapatkan tantangan. Salah satu tantangan yang akan dihadapi oleh petani dalam meningkatkan hasil produksinya adalah mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar yang telah ada. Cara untuk mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar dapat melalui peningkatan kualitas tebu yang dihasilkan oleh petani, peranan lembaga-lembaga dalam tataniaga dan peningkatan produksi yang dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kinerja kerja petani dan cara budidaya yang baik. Kendala yang terjadi pada petani tebu yaitu semakin banyak petani yang menjual secara bebas tebu miliknya kepada kontraktor tebu. Petani yang menjual tebu ke kontraktor tidak ingin sulit dalam mengurus hasil tebu dan biaya-biaya pemanenan dan pengangkutan dibayarkan oleh kontraktor. Masih banyak juga petani yang menjual tebunya melalui Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia dan biaya-biaya pemanenan di tanggung oleh petani. Petani tidak mengetahui saluran mana yang lebih efisien dalam menjual tebu hasil perkebunannya. Ketidaktahuan petani ini memaksa petani menjual tebunya sesuai kebutuhan petani. Selain mekanisme pemasaran yang belum efisien, teknik budidaya tebu akan menentukan kualitas tebu tersebut. Sebagai contoh, jika petani tidak mengelupas batang yang telah mengering, hal ini akan menghambat tebu untuk mengubah zat-
6
zat unsur hara menjadi gula. Sehingga tebu yang dihasilkan memiliki rendemen yang rendah. 1.2.
Perumusan Masalah Kualitas tebu yang dihasilkan petani tidak sesuai dengan rencana
rendemen pabrik mengindikasikan bahwa budidaya yang dilakukan oleh petani tebu belum sesuai dengan prosedur. Banyaknya saluran yang tercipta pada pemasaran tebu dan ketidaktahuan petani dalam menetukan saluran yang lebih efisein mengindikasikan sistem tataniaga tebu yang ada pada Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang tidak efisien. Selain itu, keuntungan yang diterima petani bila dibandingkan dengan biayayang akan dikeluarkan sangat kecil. Sistem tataniaga tebu yang tidak efisien akan mengakibatkan terciptanya marjin tataniaga yang cukup besar dan adanya kesenjangan harga antar lembaga tataniaga. Posisi tawar petani tebu (bargaining position) sangat rendah karena petani tidak dapat menentukan harga dari tebu yang dihasilkannya dan kurangnya informasi pasar yang tersedia bagi petani sehingga bagian yang diterima oleh petani sedikit. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana saluran tataniaga tebu yang terbentuk di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang?
2.
Bagaimana fungsi, struktur dan perilaku pasar tataniaga tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang?
3.
Bagaimana efisiensi tataniaga tebu pada setiap saluran tataniaga di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang dengan pendekatan marjin tataniaga , farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan.
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
tujuan penelitian ini adalah: 1.
Mengidentifikasi saluran tataniaga tebu yang terbentuk di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang. 7
2.
Mengidentifikasi fungsi, struktur dan perilaku pasar tataniaga tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang.
3.
Mengidentifikasi efisiensi tataniaga tebu pada setiap saluran tataniaga di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah:
1.
Bagi petani, sebagai informasi dalam upaya melakukan efisiensi jalur tataniaga tebu sehingga kesejahteraan petani meningkat.
2.
Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan untuk mengefisiensikan tataniaga tebu.
3.
Bagi pihak lain, sebagai bahan referensi dalam upaya penyempurnaan masalah penelitian
4.
Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan baru bagi penulis dan meningkatkan kompetensi dalam menerapkan ilmu yang diperoleh dalam proses perkuliahan agribisnis.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten
Jombang. Petani yang dijadikan contoh dalam penelitian ini adalah petani yang berada di desa Pulorejo yang melakukan usahatani tebu. Selain itu, lembaga pemasaran yang menjadi responden adalah lembaga yang terlibat langsung dalam proses tataniaga tebu di Desa Pulorejo. Analisis penelitian ini dibatasi untuk melihat dan mengkaji saluran pemasaran tebu di daerah penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio biaya dan keuntungan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga tebu.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Botani Tanaman Tebu Tebu (Saccharum officinarum) telah dikenal sejak beberapa abad yang lalu
oleh bangsa Persia, Cina, India dan kemudian menyusul bangsa Eropa. Penanaman tebu di Indonesia dimulai pada saat sistem Tanam Paksa (Tahun 1870) yang memberikan keuntungan besar untuk kas negara pemerintah kolonial Belanda. Setelah sistem Tanam Paksa dihentikan, usaha perkebunan tebu dilakukan oleh pengusaha-pengusaha swasta perluasan perkebunan tebu tidak pernah melampaui Pulau Jawa karena memang jenis tanaman dan pola pertanian di Pulau Jawa lebih sesuai untuk penanaman tebu. Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan semusin yang mempunyai sifat tersendiri sebab didalam batangnya terdapat zat gula. Tebu berkembang biak di daerah beriklim udara sedang sampai panas. Berbagai varietas tebu telah diluncurkan oleh Kementrian Pertanian untuk meningkatkan produksi petani. Kualitas bibit tebu merupakan salah satu faktor yang sangat menetukan keberhasilan pengusahaan tanaman tebu. Bibit tebu yang baik adalah bibit yang cukup (5 – 6 bulan), murni (tidak tercampur varietas lain), bebas dari penyakit dan tidak mengalami kerusakan fisik. Pada tabel 5 dapat dilihat beberapa varietas tebu beserta ciri-cirinya.
Tabel 5. Varietas dan Karakteristik Tebu yang terdapat di Indonesia Varietas
Diameter batang
Kemasakan
Rendemen
PS 851
Sedang
Awal – tengah
10,74
PS 862
Besar
Awal – tengah
10,87
PS 863
Sedang
Awal – tengah
11,75
PS864
Sedang
Tengahan - lambat
8,34
PS 865
Sedang
Awal – tengah
9,38
PS 881
Sedang
Awal
10,22
PS 882
Sedang
Awal – tengah
10,19 9
PS 921
Sedang
Tengahan
8,53
PSBM 901
Sedang
Awal – tengah
9,93
PSCO 902
Sedang
Sangat awal
10,99
PSJT 941
Sedang
Tengahan
10,18
Bululawang
Sedang - besar
Tengah - lambat
7,51
Kentung
Sedang
Awal – tengah
8,33
Kidang
Sedang - besar
Tengah - lambat
9,51
Kencana Sumber : Kementerian Pertanian, 2009
Varietas tebu yang terdapat di Kabupaten Jombang / Kecamatan Ngoro adalah varietas PS 864. Varietas ini dikeluarkan Menteri Pertanian 16 Januari 2004. Varietas ini hasil persilangan PR 1117 Polycross pada tahun 1986. Varietas ini termasuk ke dalam varietas unggul yang dikeluarkan Menteri Pertanian. Perkecambahan varietas ini sangat baik dengan anakan yang serempak, klentekan mudah. Rendemen varietas ini mencapai 8,34 pada lahan sawah dan 9,19 pada lahan tegalan. Varietas ini agak tahan terhadap hama penggerek pucuk dan tahan terhadap penyakit-penyakit pokkahbung, blendok dan mosaik Tanaman tebu mempunyai batang yang tinggi dan kurus, tidak bercabang dan tumbuh tegak. Tebu yang tumbuh baik batangnya dapat mencapai 3 -5 meter atau lebih. Batang tebu beruas-ruas dengan panjang ruas 10 – 30 cm. Daun berpangkal pada buku batang dengan kedudukan yang berseling. 2.2.
Syarat Tumbuh Tebu Tanaman tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan. Hasil dari
tanaman tebu ini berupa batang tebu yang terdapat zat gula. Batang tebu ini yang akan digiling sehingga menghasilkan gula. Masa kemasakan tebu adalah gejala bahwa pada akhir dari pertumbuhannya terdapat timbunan sakrosa di dalam batang tebu. Tebu dapat hidup dengan baik pada ketinggian 5 – 500 meter di atas permukaan laut, daerah beriklim panas dan lembab dengan kelembaban lebih dari
10
70%, hujan yang merata setelah tanaman berumur 8 bulan dan suhu udara berkisar antara 28 – 340c (Slamet, 2004).
2.2.1. Tanah Faktor tanah yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tebu adalah fisik tanah, drainase, kimia tanah dan jenis tanah.
Fisik tanah Struktur tanah yang ideal adalah tanah yang gembur sehingga aerasi udara
dan perakaran berkembang sempurna. Tekstur tanah ringan sampaiagak berat dengan berkemampuan menahan air cukup dan porositas 30% merupakan tekstur tanah yang ideal bagi pertumbuhan tanaman tebu. Kedalaman tanah untuk pertumbuhan tebu minimal 50 cm dengan tidak ada lapisan kedap air dan permukaan air 40 cm.
Drainase Tanaman tebu akan tumbuh baik pada tanah dengan kedalaman yang
cukup dengan drainase yang baik dan dalam, lebih kurang satu meter dalamnya. Tanah dengan sistem drainase yang baik dapat menyalurkan pembuangan air selama musim penghujan. Kelebihan air pada daerah perakaran juga dapat dikurangi.
Kimia tanah Kimia tanah meliputi kandungan unsur hara, PH tanah dan bahan racun
dalam tanah. PH tanah untuk pertumbuhan tanaman tebu yang paling optimal berkisar antara 6,0 – 7,5. Bahan racun dalam tanah utamanya adalah unsur Clor (Cl), Fe dan Al. Kadar Cl 0,06 - ),1 % telah bersifat racun bagi akar tanaman.
Jenis tanah Tanaman tebu dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah seperti tanah
alluvial, grumosol, latosol dan regusol. Tanah yang baik untuk ditanami tebu adalah tanah endapan abu kepulan seperti yang terdapat di Yogyakarta, Surakarta, Kediri, Jombang dan Jember.
11
2.2.2. Lahan Tanaman tebu dapat tumbuh baik dipantai sampai dataran tinggi antara 0 – 1400 m diatas permukaan laut, tetapi mulai ketinggian 1200 m diatas permukaan laut pertumbuhan tanaman relatif lambat. Lahan terbaik bagi tanaman tebu dilahan kering/tegalan adalah lahan dengan kemiringan kurang dari 8% sampai 10% dapat juga digunakan untuk areal yang dilokalisir. Syarat lahan tebu adalah berlereng panjang, rata dan melandai sampai 2% apabila tanahnya ringan dan sampai 5% apabila tanahnya lebih berat.
2.2.3. Iklim Faktor iklim yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman tebu adalah curah hujan, temperatur, sinar matahari, angin dan kelembaban udara.
Curah hujan Tanaman tebu memerlukan curah hujan yang berkisar antara 1.000 – 1.300
mm pertahun dengan sekurang-kurangnya tiga bulan kering. Daerah dengan curah hujan tahun terbesar 1500 – 3000 mm diikuti dengan penyebaran sesuai dengan kebutuhan tanaman tebu merupakan daerah yang baik untuk pengembangan tebu. Daerah dengan jumlah curah hujan terbesar 1200 – 1300 mm dengan bulan kering 6-7 bulan masih dapat dikembangkan asalkan kelembaban tanah cukup tinggi dan dapat diusahakan pengairan. Selama periode pemanasan tebu dibutuhkan bulan kering, curah hujan diatas evapotranspirasi mengakibatkan kemasakan tebu terlambat dan kadar gula rendah.
Temperatur Suhu udara minimum yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman tebu
adalah 240 C dan maksimum adalah 340 C sedangkan temperatur optimum adalah 300 C. Pertumbuhan tanaman akan terhenti apabila suhu dibawah 150 C. Pembentukan sukrosa terjadi disiang hari dan berjalan secara optimal pada suhu 300 C. Sukrosa yang terbentuk pada malam hari akan ditimbun/disimpan pada batang dimulai dari ruas yang paling bawah. Penyimpanan sukrosa yang paling efektif dan optimal pada suhu 150 C.
12
Sinar matahari Tanaman tebu merupakan tanaman tropik yang membutuhkan penyinaran
12 – 14 jam setiap harinya. Pada kondisi seperti itu tanaman akan tumbuh baik dan dapat menghasilkan bunga. Cuaca yang berawan pada malam hari menaikkan suhu udara, karena panas yang dilepas oleh bumi tertahan oleh awan. Suhu yang meningkat dimalam hari akan mengakibatkan pernafasan dan menurunkan pennimbunan sukrosa pada batang tebu.
Angin Angin berperan untuk kelancaran pertukaran udara didalam kebun tebu,
keseimbangan kelembaban udara dan mengatur kadar zat asam arang (CO2) disekitar tajuk untuk proses fotosintesa. Angin dengan kecepatan kurang dari 10 km/jam disiang hari akan berdampak positif bagi pertumbuhan tebu, angin keras atau angin dengan kecepatan melebihi 10 km/jam disertai hujan lebat akan menggangu perumbuhan tanaman tebu. Tanaman tebu yang tinggi dapat patah dan roboh sehingga mengganggu fotosintesa dan penebangan.
Kelembaban udara Kelembaban udara ralatif tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan
vegetatif tanaman tebu asal tersedia air yang cukup. Kelembaban yang rendah (45 – 65%) sangat baik untuk pemasakan karena tebu sangat cepat kering.
2.3.
Manfaat Tebu Tebu digunakan sebagai bahan baku gula, selain itu tebu juga banyak
khasiat sebagai obat. Batang tebu mengandung air gula yang berkadar sampai 20%. Manfaat tebu dapat digunakan untuk dikonsumsi langsung dengan cara dibuat jus, dibuat tetes rum dan dibuat menjadi ethanol yang nantinya digunakan sebagai bahan bakar. Ekstrak sari tebu dapat memberikan kekuatan gigi dan gusi. Air tebu dapat dimanfaatkan sebagai penyembuh sakit tenggorokan, mencegah sakit flu, menjaga badan kita sehat, sebagai pemanis untuk penderita diabetes karena kadar gula rendah dan menjaga metabolisme tubuh.
13
2.4.
Budidaya dan Perbanyakan Tebu Perbanyakan tanaman tebu dilakukan secara vegetatif, baik dalam bentuk
stek atau batang tebu yang mempunyai ruas dengan bakal tunasnya. Perbanyakan melalui vegetatif akan mempunyai konsekuensi diperolehnya karakteristik keturunan yang identik dengan tetuanya. Pada dasarnya bibit yang digunakan harus baik, yakni harus sehat dan segar. Kemurnian varietas harus di atas 99% dan daya tumbuh 95%. Usaha budidaya tebu bergantung pada kualitas bibit yang digunakan. Komposisi varietas masak awal, tengah,dan akhir perlu diperhatikan agar rendemen tebu giling dapat diperoleh hasil yang terbaik. Idealnya bibit dipanen pada umur tujuh bulan agar hasil yang diperoleh maksimal. bibit tebu tidak memerlukan rendemen yang tinggi sehingga dosis nitrogen dan penggunaan komposnya dapat ditingkatkan, sehingga pertumbuhannya lebih baik dan produktivitas tebu meningkat. Pembukaan dan penanaman dimulai dengan pembuatan got-got. Ukuran got standar untuk got got keliling atau mujur lebar 60 cm dan dalam 70 cm sedangkan untuk got malang atau palang lebar 50 cm dan dalam 60 cm. Tanah yang akan digunakan untuk menanam diberikan TSP sebanyak 1 kuintal/ha. Tanah digaris menggunakan alat yang runcing dengan kedalaman 5-10 cm kemudian bibit dimasukan ke dalam bekas garisan dengan mata bibit menghadap ke samping. Bibit tersebut ditimbun dengan tanah. Waktu tanam yang tepat di lahan kering atau tegalan pada periode I adalah awal musim bulan Mei-Agustus sedangkan periode II adalah awal musim hujan bulan September-November. Sulam dilakukan 5-7 hari setelah tanam untuk mengetahui bibit yang mati. Memasuki
minggu
3-4
dilakukan
pembumbunan
tanah
dengan
cara
membersihkan rumput dan membalik tanah. Pelepasan daun kering dari ruas-ruas tebu dilakukan selama tiga kali agar ruas-ruas tebu bersih dan akar-akar baru segera tumbuh dari ruas-ruas yang paling bawah. Batang-batang tebu yang roboh atau miring perlu diikat, baik silang dua maupun silang empat. Pemupukan dengan memberikan pupuk ZA dengan ketentuan standar tebang I 0,5-1 kuintal/ha dan tebang II (tebu tunas) 1,5-2 kuintal/ha.
14
2.5.
Panen dan Pascapanen tebu Panen tebu dilakukan pada tingkat kemasakan optimum, yaitu pada saat
tebu dalam kondisi mengandung gula tertinggi. Umur panen tanaman tebu berbeda-beda tergantung jenis tebu. Varietas genjah masak optimal pada umur lebih dari 12 bulan, varietas sedang masak optimal pada umur 12-14 bulan,dan varietas dalam masak optimal pada umur lebih dari 14 bulan. Panen dilakukan pada bulan Agustus saat rendemen maksimal dicapai. Tanaman tebu yang telah memasuki umur cukup untuk panen kemudian dilakukan tebang angkut. Kegiatan tebang angkut harus tepat karena penanganan yang tidak tepat dapat menimbulkan kerugian cukup besar. Panen tebu dilakukan dengan menebang batang-batang tebu yang sehat, mengumpulkan dan mengangkut ke pabrik gula untuk digiling. Penebangan dapat dilakukan secara manual maupun secara mekanis atau tenaga mesin. Penebangan tebu secara manual dilakukan dengan caramembongkar guludan tebu dan mencabut batangbatang tebu secara utuh kemudian dibersihkan dari akar, pucuk, daun kering, dan kotoran lainnya. Tebangan yang baik harus memenuhi standar kebersihan tertentu yaitu kotoran tidak lebih dari 5%. Hasil utama pengolahan tebu adalah gula pasir yang diproduksi sesuai dengan proses pengolahan tertentu untuk memperoleh mutu yang dikehendaki dan memenuhi standar pasar. Produk utama yang dihasilkan berupa gula kristal putih yang dikenal pasar dengan sebutan SHS (Superieure Hoofd Suiker). Selain gula kristal pengolahan tebu juga menghasilkan tetes (mosale) yang digunakan sebagai bahan baku pabrik alkohol atau spiritus dan MSG didalam negeri atau ekspor. Limbah pengolahan tebu dapat dimanfaatkan. Blotong atau filtercake dapat dimanfaatkan untuk pupuk dan sebagian lain perlu penangan khusus agar tidak mencemarkan lingkungan.
2.6.
Penelitian Mengenai Efisiensi Tataniaga Tanaman Perkebunan Kertawati (2008) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Sistem
Tataniaga Tembakau Mole” (studi kasus : Desa Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitaif. Hasil penelitiannya mengenai sistem 15
tataniaga tembakau mole di Desa Ciburial dibagi menjadi empat saluran yaitu: Saluran Pemasaran I. Petani – Bandar/Supplier – Pabrik Rokok (PT Sampoerna dan PT Djarum). Saluran Pemasaran II. Petani – Pedagang Pengumpul – bandar/supplier -
Pabrik Rokok (PT Sampoerna dan PT Djarum). Saluran
Pemasaran III. Petani – pedagang pengumpul – pabrik guntingan – pedagang pengecer luar daerah. Saluran Pemasaran IV. Petani – pedagang pengecer – konsumen akhir. Saluran pemasaran yang paling efisien adalah saluran pemasaran I, hal ini dapat dilihat berdasarkan volume penjualan tembakau mole yang paling besar, merupakan saluran yang paling sering digunakan oleh petani, mempunyai marjin dan farmer’s share yang besar dan memiliki pola saluran tataniaga yang pendek. Hutzi (2009) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pendapatan Usahatani dan Saluran Pemasaran Teh Perkebunan Rakyat” (studi kasus : Perkebunan Teh Rakyat, Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitaif. Hasil penelitiannya mengenai saluran pemasaran teh di Kecamatan Sukanagara terbagi menjadi tiga saluran pemasaran yaitu : Saluran Pemasaran I. Petani – Tempat Pengumpulan Hasil (TPH) – pabrik pengolahan. Saluran Pemasaran II. Petani – pabrik pengolahan. Saluran Pemasaran III. Petani – pedagang pengumpul (tengkulak) – pabrik pengolahan. Saluran pemasaran yang paling efisien adalah saluran pemasaran II karena farmer’s share dan marjin yang besar dan jalur pemasarannya lebih pendek. Petani lebih banyak menggunakan saluran pemasaran III karena adanya ikatan utang piutang dengan tengkulak berupa pinjaman seperti biaya rumah tangga dan bahan input. Maimun (2009) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pendapatan Usahatani, Nilai Tambah dan Saluran Pemasaran Kopi Arabika Organik dan Non Organik Aceh Tengah” (studi kasus : pengolahan bubuk kopi ulee kareng di Banda Aceh). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitaif. Hasil penelitiannya mengenai saluran pemasaran kopi arabika organik dan non organik memiliki satu saluran pemasaran yaitu petani –
16
pedagang pengumpul desa – pedagang pengumpul kota (besar) – industri bubuk kopi ulee kareng. Saluran pemasaran yang lebih efisien adalah saluran pemasaran kopi arabika non organik karena memiliki marjin dan farmer’s share yang besar. Perbedaan marjin dan farmer’s share diantara kopi arabika organik dan non organik kecil sehingga marjin dan farmer’s share harus lebih ditingkatkan. Farmer’s share yang tinggi dapat dicapai jika petani mampu meningkatkan kualitas produknya. Persamaan penelitian Kertawati (2008) , Hutzi (2009) dan Maimun (2009) adalah menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitaif. Analisis secara kualitatif dilakukan untuk melihat saluran dan lembaga pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar, dan keragaan pasar serta permasalahanpermasalahan yang terjadi di lokasi penelitian. Analisis secara kuantitatif dilakukan untuk mengetahui keadaan marjin pemasaran, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah komoditi yang diteliti dan lokasi penelitian. Penelitian ini akan meneliti komoditi tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang.
2.7.
Penelitian Mengenai Komoditas Tebu Yenni (2005) mengenai “Optimalisasi Pengadaaan Tebu Sebagai Bahan
Baku Gula” (studi kasus : PT Gunung Madu Plantations, Lampung Tengah). Penelitian ini membahas mengenai perlunya optimalisasi sumber daya yang dimiliki oleh PT. GMT untuk meningkatkan keuntungan dan pengadaan tebu yang optimal. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis sensitivitas dan analisis post optimal. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah program liniear yang mengasumsikan model mempunyai sifat linearitas, proporsionalitas, additivitas, divisibilitas, dan deterministik. Persamaan penelitian ini adalah komoditi yang diteliti tebu. Perbedaannya adalah metode analisis yang digunakan dalam penelitian Yenny menggunakan program liniear sedangkan penelitian ini menggunakan marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya. 17
Lestari (2006) mengenai “Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor – Faktor Produksi dan Pendapaan Petani Tebu Lahan Kering” (studi kasus : kecamatan Trangkil wilayah kerja PG Trangkil Kabupaten Pati – Jawa Tengah). Penelitian ini membahas pengaruh faktor – faktor produksi terhadap pendapatan usahatani tebu tanam dan tebu keprasan. Alat analisis yang digunakan adalah fungsi produksi Cobb – Douglas dan analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio). Persamaan penelitian ini adalah komoditi yang diteliti tebu. Perbedaannya adalah penggunaan metode analisis yang digunakan dalam penelitian Sri Suci Purbo Lestari menggunakan fungsi produksi Cobb – Douglas dan analisis R/C rasio sedangkan penelitian ini menggunakan menggunakan marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya. Lokasi penelitian Lestari di Kabupaten Pati sedangkan penelitian ini dilakukan di Kabupaten Jombang.
Tabel 6. Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu Nama Peneliti Kertawati
Tahun 2008
Judul Penelitian
Persamaan
Sistem Alat analisis yang Jenis
Analisis Tataniaga
digunakan
Tembakau Mole di Kabupaten Garut Hutzi
2009
Perbedaan
komoditi Lokasi penelitian
Analisis Pendapatan Alat analisis yang Jenis Usahatani Saluran Teh
dan digunakan Pemasaran
Perkebunan
Rakyat
komoditi Lokasi penelitian
di
Kabupaten Cianjur Maimun
2009
Analisis Pendapatan Alat analisis yang Jenis Usahatani,
Nilai digunakan
Tambah dan Saluran Pemasaran
Kopi
komoditi Lokais penelitian 18
Arabika
Organik
dan Non Organik Aceh Tengah Yenny
2005
Optimalisasi Pengadaaan
Jenis komoditi
Alat
Tebu
analisis
Sebagai Bahan Baku
Lokasi
Gula
PT
Madu
Gunung
Lestari
penelitian
,
Lampung Tengah Lestari
2006
Analisis
Efisiensi Jenis komoditi
Alat
Penggunaan Faktor
analisis
– Faktor Produksi
Lokasi
dan
Pendapaan
penelitian
Petani Tebu Lahan Keringdi
PG
Trangkil Kabupaten Pati
19
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1.
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis digunakan untuk memberikan gambaran atau
batasan-batasan teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian yang akan dilakukan. Batsan-batasan tersebut terkait dengan variabel-variabel yang akan diteliti. Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah analisis pemasaran Tebu di Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang terdiri dari saluran pemasaran, lembaga pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar. Selain itu variabel yang akan diteliti meliputi marjin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya untuk menilai efisiensi pemasaran secara operasional.
3.1.1. Sistem Tataniaga Definisi
tataniaga adalah serangkaian fungsi yang diperlukan dalam
penanganan atau pergerakan input ataupun produk mulai dari titik produksi primer sampai ke konsumen akhir (Hammond dan Dahl, 1977). Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan bahwa tataniaga adalah seluruh aktivitas bisnis yang terlibat dalam arus produk dan pelayanan dari titik awal produk tersebut dihasilkan hingga produk tersebut sampai ke tangan konsumen. Menurut Kotler (2002), tataniaga adalah suatu proses sosial yang yang didalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Limbong dan Sitorus (1987) menyatakan bahwa tataniaga mencakup segala
aktivitas
yang
diperlukan
dalam
pemindahan
hak
milik
yang
menyelenggarakan saluran fisiknya termasuk jasa-jasa dan fungsi-fungsi dalam menjalankan distribusi barang dari produsen sampai ke konsumen termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan-perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk mempermudah penyaluran dan memberikan kepuasan yanng lebih tinggi kepada konsumen. Sehingga tataniaga
20
dapat didefinisikan sebagai fungsi yang digunakan untuk menggerakan produk jadi dari produsen hingga konsumen akhir. Sistem tataniaga merupakan keterkaitan antara sub-sub sistem dalam aliran tataniaga tersebut,mulai dari aliran produk atau jasa yang melibatkan semua perusahaan, industri dengan berbagai aktifitas bisnis (fungsi-fungsi tataniaga) yang sasarannya kepuasan konsumen (Asmarantaka, 2009). Menurut Kohl dan Uhl (1985) menggunakan beberapa pendekatan dalam menganalisis sistem tataniaga yaitu:
Pendekatan Fungsi (the functional approach), merupakan pendekatan yang mempelajari fungsi-fungsi yang ada dalam proses penyaluran barang dan jasa mulai dari produsen hingga ke konsumen. Pendekatan fungsi terdiri dari : fungsi pertukaran yang meliputi fungsi pembelian dan fungsi penjualan; fungsi fisik yang meliputi fungsi penyimpanan, fungsi pengolahan dan fungsi pengangkutan; dan fungsi fasilitas meliputi fungsi standarisasi dan grading, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko dan fungsi informasi pasar.
Pendekatan Kelembagaan (the institutional approach), mempelajari dan mengamati peranan lembaga-lembaga yang turut serta dalam proses penyaluran barang dan jasa mulai dari produsen hingga ke konsumen. Kelompok yang terlibat dalam kegiatan tataniaga atau tataniaga adalah pedagang perantara (merchant middlemen), agen perantara (agent middlemen), spekulator (speculative middlemen), pengolahan dan pabrikan (processors and manufactures) dan organisasi (fasilitative organization).
Pendekatan
Sistem
Perilaku
(the
behavioral
systems
approach),
menganalisis aktifitas-aktifitas yang ada dalam proses tataniaga seperti perubahan dan perilaku lembaga tataniaga. Terdapat empat pendekatan dalam sistem perilaku , yaitu input-output system, power system, communications system, dan the behavioral system for adapting to internal and external change.
21
3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses menjadikan produk atau jasa siap digunakan untuk dikonsumsi (Kotler, 2002). Saluran tataniaga dapat didefinisikan sebagai himpunan perusahaan atau perorangan atau serangkaian lembaga-lembaga tataniaga yang mengambil alih hak atas barang dan jasa tertentu selama barang dan jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen (Limbong dan Sitorus, 1987). Menurut Limbong dan Sitorus (1987) penyaluran produk yang dihasilkan oleh produsen tidak dapat dilakukan oleh produsen itu sendiri dikarenakan jarak antara produsen dengan konsumen berjauhan, maka fungsi lembaga tataniaga sangat diharapkan untuk menggerakkan produk dari produsen hingga ke konsumen. Perantara ini bisa dalam bentuk perseorangan, perserikatan ataupun perseroan. Fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas ini akan dilakukan oleh lembaga-lembaga perantara tersebut. Lembaga tataniaga ini harus tepat waktu dalam penyaluran barang dan jasa terutama produk pertanian karena sifat dari produk tersebut adalah mudah rusak, volume yang besar dan cepat busuk sehingga dibutuhkan penanganan khusus terhadap produk tersebut. Menurut Kohl dan Uhl (2002) lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses tataniaga digolongkan menjadi lima kelompok diantaranya :
Pedagang perantara (merchant middlemen) adalah perantara yang memiliki hak dan menguasai produk yang mereka tangani. Mereka membeli dan menjual produk tersebut untuk mendapatkan keuntungan sendiri. Yang termasuk ke dalam pedagang perantara ini adalah retail dan pedagang grosir.
Agen perantara (agent middlemen) adalah perwakilan dari institusi atau lembaga mereka tidak memiliki kekuasaan atas produk tersebut. Agen perantara mendapatkan keuntungan komisi dari penanganan atas produk yang dikehendaki oleh lembaga atau institusi. Agen perantara meliputi pencari komisi (commission men) dan broker.
22
Spekulator (speculative middlemen) adalah perantara yang melakukan pembelian dan penjualan atas produk dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari pergerakan harga.
Pengolahan dan pabrikan (processors and manufacture) adalah lembaga yang menangani produk dan merubah bentuk produk yaitu bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir.
Organisasi (facilitative organizations) adalah lembaga yang membantu agar aktivitas berjalan dengan lancar.
3.1.3. Fungsi-Fungsi Tataniaga Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan bahwa proses penyampaian barang dari tingkat produsen ke tingkat konsumen diperlukan tindakan-tindakan untuk memperlancar kegiatan tersebut, kegiatan tersebut dinamakan fungsi tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga dikelompokan menjadi tiga fungsi utama, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas (Kohl dan Uhl 2002). Fungsi pertukaran (exchange function) adalah kegiatan yang berhubungan dengan pemindahan kepemilikan barang dan jasa yang dipasarkan mulai dari produsen kepada konsumen. Fungsi pertukaran meliputi fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dimulai dengan pencarian pemasok kemudian mengubah bahan baku menjadi produk jadi yang akan dijual kepada konsumen untuk memenuhi permintaan akhir konsumen. Fungsi penjualan merupakan kegiatan yang meliputi pencarian tempat, waktu, pengemasan, saluran tataniaga yang tepat untuk melakukan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen. Fungsi fisik (physical function) adalah semua tindakan yang berhubungan dengan barang dan jasa sehingga proses tersebut menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan bentuk dan kegunaan waktu. Fungsi fisik terdiri dari (1) fungsi penyimpanan, merupakan kegiatan untuk membuat produk selalu tersedia pada waktu yang dibutuhkan; (2) fungsi pengangkutan, merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa di daerah konsumen sesuai dengan kebutuhan konsumen menurut waktu, jumlah dan mutu; (3) fungsi pengolahan, merupakan kegiatan untuk meningkatkan nilai tambah pada barang dan jasa 23
dengan cara mengolah bahan baku menjadi komoditi yang dibutuhkan oeh konsumen. Fungsi fasilitas (facilitating function) adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran barang dan jasa antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas meliputi (1) fungsi standarisasi merupakan suatu keseragaman dalam penentuan kualitas dan kuantitas produk yang akan diproduksi, sedangkan grading adalah pengelompokkan atau pengklasifikasian hasil-hasil produk menurut standarisasi yang diinginkan; (2) fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk berbagai keperluan produksi dan tataniaga; (3) fungsi penanggungan risiko adalah penerimaan kemungkinan kehilangan selama proses tataniaga produk akibat dari risiko fisik maupun risiko pasar; (4) fungsi informasi pasar merupakan kegiatan mengumpulkan informasi pasar dan menafsirkan informasi tersebut.
3.1.4. Struktur Pasar Struktur pasar adalah karakteristik dari produk maupun institusi yang terlibat pada pasar yang akan memperngaruhi perilaku pasar dan keragaan pasar. Struktur pasar merupakan tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategis mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar (Asmarantaka, 2009). Menurut Hammond dan Dahl (1997), ada empat karakteristik yang merupakan faktor yang menentukan struktur pasar yaitu (1) jumlah dan ukuran perusahaan; (2) kondisi dan keadaan produk; (3) kemudahan untuk keluar dan masuk pasar; (4) tingkat informasi harga. Kohl dan Dahl (2002) mengelompokkan pasar ke dalam empat struktur pasar yang berbeda, yaitu (1) pasar persaingan sempurna
(perfect
competition);
(monopoly/monopsony); (oligopoly/oligopsony);
(3) (4)
pasar
(2) pasar
pasar
monopoli
oligopoli
persaingan
atau
monopsoni
atau
oligopsoni
monopolistik
(monopolistic
competition). Struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar dimana terdapat banyak pembeli dan penjual yang memperdagangkan komoditi dimana output yang 24
dihasilkan merupakan sebagian kecil dari total komoditi di pasar oleh karena itu komoditi memiliki sifat homogen sehingga pembeli dan penjual tidak dapat mempengaruhi harga di pasar. Tidak ada hambatan untuk memasuki dan keluar pasar baik hambatan dari teknologi, hukum, keuangan maupun hambatan lainnya. Pengetahuan yang dimiliki oleh pembeli dan penjual relatif sempurna dan lengkap. Struktur pasar monopoli adalah keadaan pasar dimana hanya terdapat satu penjual atau satu pembeli. Seorang monopoli dapat menentukan harga dari ouput yang dihasilkan karena kurva permintaan dari perusahaan sama dengan kurva permintaan dari pasar selain itu penjual juga bebas untuk menentukan tingkatan output yang dihasilkan untuk memaksimalkan keuntungan. Penjual juga memiliki keterbatasan dalam menentukan harga jual dari produk mereka. Dilihat dari sisi permintaan jika harga yang ditetapkan terlalu tinggi maka konsumen akan mencari produk subtitusi. Dilihat dari sisi produksi jika profit yang didapat terlalu tinggi maka perusahaan lain akan mencoba masuk ke dalam pasar. Perusahaan monopoli mempunyai penguasaan terhadap bahan baku dan hak paten yang diberikan karena skala ekonomi yang besar dan tindakan pemerintah. Struktur pasar oligopoli adalah kondisi dimana pasar didominasi oleh beberapa perusahaan besar dalam suatu wilayah. Harga pasar berada di tangan beberapa perusahaan besar dan perusahaan – perusahaan kecil sebagai pengikutnya hanya mengikuti perubahan yang terjadi. Perusahaan besar dapat mempengaruhi harga melalui keputusan output yang dihasilkan oleh mereka. Setiap perusahaan yang berada dalam pasar tersebut dalam menetapkan jumlah produksinya dan harga harus mempertimbangkan dampaknya kepada harga pasar dan bagaimana reaksi pesaing. Struktur pasar persaingan monopolistik adalah keadaan pasar yang berada diantara pasar persaingan sempurna dan oligopoli. Setiap perusahaan berusaha membuat produk atau layanan yang unik dan berbeda dari perusahaan yang ada. Penjual mengajukan penawaran yang berbeda untuk segmen pembeli yang berbeda dan dengan bebas menggunakan merek, periklanan dan personal selling. Perilaku dari suatu perusahaan dipengaruhi oleh lingkungan dan struktur dari industri yang berlaku. Struktur industri dapat dijelaskan dengan besarnya 25
perusahaan, kesamaan penawaran dan kemudahan perusahaan lain untuk masuk dan keluar dari industri. Perilaku harga dan output dari perusahaan dalam struktur industri akan berbeda dengan keragaan industri. Pada tabel 7 akan dijelaskan perbedaannya.
Tabel 7. Perbandingan Struktur Pasar Karakter
Persaingan
Persaingan
Industri
Sempurna
Monopolistik
Jumlah
Sangat besar
Banyak
Oligopoli
Monopoly
Sedikit
Satu
penjual Kesamaan
Identik untuk Berbeda dan Mirip
produk
semua
-
bervariasi
perusahaan Kemudahan
Mudah
dan Relatif
Susah
untuk masuk
tidak
ada mudah
ada
hambatan Pengaruh
Tidak
perusahaan
untuk
bisa
masuk
hambatan ada Beberapa
, Besar,
Sedikit
dibatasi oleh
terbatas oleh menahan diri
produk
harga
tunggal
pengganti
pesaing
Beberapa
Rumah
Pengolahan
petani,
makan,
makanan dan
futures
perusahaan
pedagang
market
pemasok
grosir
terhadap harga perusahaan
Contoh
dan Tidak
kecuali diatur
Sarana umum
Sumber : Kohl dan Uhl (2002)
3.1.5. Perilaku Pasar Menurut Dahl dan Hammond (1977) perilaku pasar merupakan pola atau tingkah laku lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Perilaku pasar adalah 26
seperangkat strategi dalam pemilihan yang ditempuh baik oleh penjual maupun pembeli utnuk mencapai tujuannya masing-masing (Asmarantaka, 2009). Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan bahwa ada empat hal yang perlu yang diperhatikan dalam menggambarkan perilaku pasar, yaitu (1) Input-output system, digunakan untuk menerangkan bagaimana perusahaan mengembangkan input yang dimiliki untuk menghasilkan output bagi perusahaan; (2) Power system, menjelaskan bahwa perusahaan mengembangkan kualitas, pemimpin pasar, dan memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga dapat menentukan harga; (3) Communications system, menjelaskan bagaimana mendirikan saluran informasi yang efektif ; (4) System for adapting to internal and exsternal change, menerangkan bagaimana perusahaan beradaptasi dalam suatu sistem tataniaga dan dapat bertahan di pasar
3.1.7. Marjin Tataniaga Marjin tataniaga adalah perbedaan antara apa yang konsumen bayar untuk suatu barang dan jasa dan apa yang petani/produsen terima. Harga semua barang serta penambahan aktivitas dan fungsi keragaan dari tataniaga perusahaan. Harga tersebut termasuk biaya tataniaga dan juga keuntungan tataniaga perusahaan. Marjin tataniaga dapat juga merupakan perbedaan harga dari tingkat produsen dengan harga di tingkat lembaga pertama, atau perbedaan harga yang terjadi antara lembaga yang satu dengan lembaga tataniaga lainnya dalam saluran tataniaga komoditi yang sama (Limbong dan Sitorus, 1987).
27
Marjin (Pr-Pf)
pemasaran
Keterangan : Sd
: Derived supply (kurva penawaran turunan sama dengan penawaran produk di tingkat pedagang)
Sp
: Primary suppy (kurva penawaran primer atau penawaran produk di tingkat petani)
Dd
: Derived demand (kurva permintaan turunan atau permintaan pedagang)
Dp
: Primary demand (kurva permintaan primer atau kurva permintaan di tingkat konsumen akhir)
Pr
: Harga di tingkat pedagang pengecer
Pf
: Harga di tingkat petani
Q*
: Jumlah produk di tingkat petani dan pedagang pengecer.
Gambar 1. Kurva Marjin Pemasaran Sumber : Hammond dan Dahl, 1977
Gambar 1, menunjukkan marjin tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat pedagang dan petani (Pr-Pf). Nilai marjin tataniaga (value of marketing marjin) merupakan perbedaan harga di tingkat pedagang dan petani kemudian dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan. Nilai tersebut terdiri dari marketing cost dan marketing charge. Pendekatan marjin tataniaga dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu return to factor dan return to institution. Return to factor adalah penerimaan terhadap faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses tataniaga seperti wages, interest, tent, dan profit. Return to 28
institution adalah pengembalian (return) terhadap jasa atau aktivitas-aktivitas yang dilakukan setiap lembaga dalam proses tataniaga (Hammond dan Dahl, 1977). Terkadang tinggi atau rendahnya marjin tataniaga menjadi salah satu tolak ukur apakah kegiatan tataniaga tersebut sudah efisien atau belum. Menurut Limbong dan Sitorus (1987) tinggi atau rendahnya marjin tataniaga tidak selamanya dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi kegiatan tataniaga. Tingginya marjin tataniaga dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan tataniaga antara lain, ketersediaan fasilitas fisik tataniaga meliputi pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, risiko kerusakan dan lain-lain (Limbong dan Sitorus, 1987). Nilai marjin tataniaga merupakan hasil kali dari perbedaaan harga di tingkat pedagang dan harga di tingkat petani dengan jumlah yang diperdagangkan. Secara sistematis nilai marjin tataniaga dapat ditulis: VM = (Pr - Pf) x Qr,f Nilai dari perbedaan nilai marjin antara harga di tingkat pedagang dan di tingkat petani diukur berdasarkan komoditi per unit. Marjin tataniaga terdiri dari dua komponen yaitu biaya dan keuntungan tataniaga. Biaya tataniaga adalah semua jumlah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam tataniaga suatu komoditi mulai dari produsen hingga ke konsumen. Mi = Pri - Pfi Keterangan : Mi
: Marjin tataniaga pada lembaga ke-i
Pri
: Harga
Pfi
: Harga di tingkat petani pada lembaga ke-i
di tingkat pedagang pada lembaga ke-i
3.1.8. Farmer’s Share Farmer’s share adalah selisih antara harga retail dan marjin tataniaga. Hal ini digunakan untuk mengatahui porsi harga di tingkat konsumen yang dinikmati oleh petani (Kohl dan Uhl, 2002). Besarnya farmer’s share dipengaruhi oleh (1) tingkat pemrosesan; (2) biaya transportasi; (3) keawetan produk; dan (4) jumlah produk. Farmer’s share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak 29
menunjukkan bahwa suatu sistem tataniaga berjalan secara efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan dalam suatu produk (value added) yang dilakukan oleh lembaga perantara untuk memnuhi kebutuhan konsumen. Faktor penting yang perlu diperhatikan adalah total penerimaan yang didapatkan oleh produsen dari hasil penjualan produk yang mereka hasilkan. Farmer’s share merupakan suatu alat analisis untuk menentukan efisiensi tataniaga suatu komoditi selain marjin tataniaga dan analisis keuntungan atas biaya yang menunjukan bagian yang diterima oleh petani.
3.1.9. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Rasio keuntungan terhadap biaya dapat digunakan untuk melihat efisiensi suatu sistem tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga mendefinisikan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Dengan demikian, semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya, maka secara teknis (operasional) sistem tataniaga akan semakin efisien (Limbong dan Sitorus, 1987). Besarnnya rasio keuntungan dan biaya setiap lembaga dapat dirumuskan sebagai berikut: Rasio keuntungan dan biaya = Keterangan : Li
: Keuntungan Lembaga tataniaga ke-i
Ci
: Biaya tataniaga
3.1.10. Efisiensi Tataniaga Efisiensi digunakan untuk mengukur kinerja tataniaga. Peningkatan efisiensi meruapakan tujuan bersama bagi petani, lembaga tataniaga, dan konsumen. Efisiensi merupakan perbandingan (rasio) dari nilai output dengan nilai input. Nilai output merupakan penilaian konsumen terhadap barang atau jasa yang dikonsumsi termasuk waktu, tempat, bentuk dan kepemilikan. Nilai input adalah semua biaya tataniaga yang dipergunakan dalam proses tataniaga (Kohl dan Uhl, 2002)
30
Menurut Kohl dan Uhl (2002) pendekatan yang digunakan dalam efisiensi tataniaga ada dua cara, yaitu efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional berhubungan dengan penanganan aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan rasio output-input tataniaga. Peningkatan efisiensi operasional mengacu kepada situasi dimana biaya tataniaga menurun tanpa mempengaruhi sisi output dari efisiensi. Salah satu indikator efisiensi operasional adalah analisis marjin tataniaga dan farmer’s share. Efisiensi harga adalah bentuk kedua dari efisiensi tataniaga. Efisiensi harga merupakan suatu kondisi harga dimana konsumen inginkan, ada alternatif pilihan bagi konsumen maupun produsen. Efisiensi harga biasanya diukur dari korelasi harga untuk komoditi yang sama pada tingkat pasar yang berbeda. Efisiensi tataniaga dapat terjadi apabila : (1) biaya tataniaga dapat ditekan sehingga keuntungan tataniaga dapat lebih tinggi, (2) presentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi, (3) tersedianya fasilitas fisik tataniaga, (4) adanya kompetisi pasar yang sehat. Efisiensi tataniaga tidak terjadi apabila biaya tataniaga semakin besar dan nilai produk yang dipasarkan jumlahnya tidak terlalu besar (Soekartawi, 2002).
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Dasar penelitian ini adalah harga gula yang berfluktuasi di tingkat
konsumen namun peningkatan harga tersebut tidak dinimkati oleh petani tebu. Harga yang berlaku di tingkat petani tebu tidak mengalami peningkatan yang besar. Tebu merupakan bahan baku bagi pabrik tebu untuk kemudian menghasilkan gula. Tanaman tebu merupakan tanaman musiman sehingga dalam kurun waktu satu tahun tanaman tebu di panen sekali. Tebu merupakan kebutuhan yang dibutuhkan secara berkesinambungan. Tanaman tebu dapat dikonsumsi secara langsung ataupun diolah terlebih dahulu. Manfaat yang terkandung dalam tebu sangat banyak bagi tubuh manusia. Oleh karena itu, permintaan akan tebu semakin meningkat setiap tahunnya. Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur merupakan salah satu sentra penghasil tebu. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani tebu, walaupun ada penduduk yang menanam komoditi lainnya. 31
Kegiatan usahatani tebu ini membutuhkan sistem tataniaga yang baik untuk memasarkan produk hasil dari petani tebu. Lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat dalam sistem pemasaran ini adalah petani, tengkulak, Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI), kelompok tani dan pabrik gula. Petani tidak memiliki alternatif saluran tataniaga yang dapat memberikan keuntungan besar bagi petani. Apabila petani mendapatkan modal dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) maka petani harus menjual hasilnya ke Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTRI) walaupun ada alternatif lain yang memberikan keuntungan yang lebih besar. Informasi harga yang diterima oleh petani dan mengenai hasil rendemen yang dihasilkan oleh petani sangat terbatas, hal ini juga disebabkan oleh lemahnya posisi petani dalam sistem tataniaga. Oleh karena itu perlu analisis mengenai tataniaga tebu untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga tebu sehingga memberikan alternatif bagi petani untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Penelitian mengenai tataniaga tebu dilakukan analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan melalui pendekatan analisis mrjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya. Analisis kualitatif dilakukan dengan pendekatan analisis saluran tataniaga dan lembaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar. Efisiensi pemasaran dilihat dari analisis struktur pasar, perilau pasar, saluran pemasaran, marjin pemasaran, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat dari Gambar 2.
32
Sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang melibatkan lembaga-lembaga pemasaran dan melaksanakan fungsi-fungsi pemasaran. Bagaimana sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo? Apakah sistem pemasaran tersebut sudah efisien?
Analisis Kuantitatif 1. Marjin tataniaga 2. Farmer’s share 3. Risiko keuntungan dan biaya Analisis Kualitatif 1. Saluran tataniaga dan lembaga tataniaga 2. Fungsi-fungsi tataniaga 3. Struktur pasar 4. Perilaku pasar
Tataniaga yang Efisien
Alternatif saluran tataniaga yang efesien
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Operasioanl Sistem Tataniaga tebu Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang.
33
IV. METODE PENELITIAN
4.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten
Jombang, Jawa Timur. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangn Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro merupakan salah satu sentra penghasil tebu di Kabupaten Jombang selain itu jarak Desa Pulorejo dengan pabrik gula Tjoekir dekat. Hal ini penting karena salah satu syarat tebu layak giling adalah segar (kurang dari 36 jam) sehingga jarak kebun tebu dengan pabrik gula harus dekat. Penelitian ini dilakukan bulan Februari – Maret 2011 dengan pertimbangan pada bulan tersebut masa panen tebu di daerah tersebut sehingga akan terlihat saluran tataniaga yang ada di daerah tersebut.
4.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan secara langsung (observasi), wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) kepada pelaku saluran tataniaga. Pengamatan secara langsung juga dilakukan terhadap kegiatan pemasaran tebu yang terjadi dan penelusuran saluran pemasaran dan lembagalembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran tebu. Data sekunder diperoeh dari studi literatur, tinjauan pustaka dan beberapa penelitian terdahulu. Selain itu data sekunder yang berhubungan data produksi dan data tentang tebu didapat dari Badan Pusat Statistika, Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal perkebunan, Dinas Perkebunan Jawa Timur dan Kabupaten Jombang. Data sekunder dipergunakan sebagai pelengkap data primer yang bersumber dari literatur.
4.3.
Metode Pengumpulan Data Pada penelitian ini menggunakan dua kelompok responden, yaitu petani
(produsen) dan pedagang (lembaga pemasaran). Penarikan responden untuk petani 34
dilakukan dengan teknik purposive (sengaja) hal ini dilakukan dengan cara memilih petani yang mennggunakan saluran tataniaga yang berbeda. Pemilihan responden petani dengan sengaja bertujuan agar saluran tataniaga tebu yang berada di Desa Pulorejo terlihat. Pengambilan sampel lembaga tataniaga selain petani menggunakan teknik snowball sampling hal ini dilakukan karena penulis tidak mengetahui lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga tebu di Desa Pulorejo. Petani yang menjadi responden memberitahukan penulis lembaga tataniaga yang terlibat dan penulis akan mengikuti arahan dari petani responden. Lembaga tataniaga selanjutnya akan diketahui dari lembaga tataniaga sebelumnya yang telah menjadi reponden dalam penelitian ini. Penarikan responden untuk petani dilakukan berdasarkan data yang tersedia mengenai jumlah petani yang ada di Desa Pulorejo. Jumlah petani tebu yang berada pada daerah penelitian adalah 60 orang petani dan jumlah petani yang dijadikan responden pada penelitian ini adalah 20 orang petani tebu. Jumlah lembaga tataniaga yang menjadi responden akan diketahui berdaarkan informasi yang didapat dari lembaga tataniaga sebelumya. Pertama penelitian dilakukan terhadap petani yang melakukan penjualan tebu kemudian ke pedagang yang melakukan pembelian tebu dari petani. Penelitian dilanjutkan kepada pedagang yang melakukan pembelian dari pembeli pertama sampai akhirnya tebu yang telah dipanen petani siap untuk digiling untuk menghasilkan gula sehingga diketahui saluran pemasaran tebu yang ada dan lembaga-lembaga yang terlibat dalam sistem pemasaran tersebut. 4.4.
Metode Analisis Data Penelitian yang dilakukan menggunakan metode analisis kuantitatif dan
kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui marjin pemasaran, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya. Analisis kualitatif dijabarkan untuk
mengetahui
gambaran
umum
mengenai
daerah
penelitian
serta
mendeskripsikan saluran pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, struktur pasar, perilaku pasar dan permasalahan-permasalahan yang terjadi pada daerah penelitian.
35
4.4.1. Analisis Saluran Pemasaran dan Lembaga Pemasaran Analisis saluran pemasaran tebu di Desa Pulorejo dilakukan dengan menelusuri kegiatan pemsaran yang ada mulai dari petani hingga ke pembeli terakhir yang akan mengolah tebu. Penelusuran mengenai saluran pemasaran akan diketahui pola saluran pemasaran yang terjadi dan jumlah lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran tersebut. Perbedaan pada saluran pemasaran akan berpengaruh kepada tingkat pendapatan yang diterima oleh masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat.
4.4.2. Analisis Fungsi-fungsi Pemasaran Fungsi-fungsi dari setiap lembaga pemasaran dapat diketahui berdasarkan kegiatan yang dilakukan masing-masing lembaga pemasaran. Fungsi dari lembaga pemasaran adalah menyalurkan komoditi dari produsen sampai di tangan konsumen. Selain itu dari fungsi-fungsi pemasaran akan diketahui biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan pemasaran. Pendekatan fungsi-fungsi pemasaran yang akan dianalisis adalah: 1.
Fungsi pertukaran Fungsi pertukaran merupakan aktivitas pemindahan kepemilikan dari barang dan jasa. Fungsi pertukaran meliputi fungsi pembelian dan fungsi penjualan.
2.
Fungsi fisik Fungsi fisik merupakan tindakan yang berhubungan dengan barang dan jasa agar memiliki kegunaan waktu, tempat dan bentuk. Fungsi fisik meliputi fungsi penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan.
3.
Fungsi fasilitas Fungsi fasilitas merupakan kegiatan yang bertujuan memperlancar kegiatan pertukaran barang dan jasa dari produsen sampai ke konsumen. Fungsi fasilitas meliputi fungsi standarisai dan grading, pembiayaan, penanggunagn risiko dan informasi pasar.
36
4.4.3. Analisis Struktur Pasar Analisis struktur pasar dapat dilihat dari jumlah pembeli, jumlah penjual, sifat produk, pengetahuan akan informasi pasar dan hambatan untuk masuk dan keluar pasar. Dengan demikian akan diketahui struktur pasar yang dihadapi oleh pelaku pemasaran. Struktur pasar yang mungkin dihadapi oleh pelaku pemasaran adalah pasar persaingan sempurna, persaingan monopolistik, monopoli dan oligopoli. 4.4.4. Analisis Perilaku Pasar Tingkah laku dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam kegiatan pemasaran. Kegiatan pembelian, penjualan, penentuan harga, cara pembayaran dan kerjasama yang dilakukan mempengaruhi perilaku setiap lembaga pemasaran yang terlibat. Analisis perilaku pasar digunakan untuk mengetahui karakteristik konsumen.
4.4.5. Analisis Efisiensi Pemasaran Indikator terciptanya efisiensi pemasaran adalah menurunnya biaya pemasaran tanpa mempengaruhi output yang dipasarkan. Sistem pemasaran akan tercipta bila seluruh lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran memperoleh kepuasan dari adanya kegiatan tersebut. Efisiensi pemasaran tebu dapat dilihat dari beberapa faktor seperti marjin pemasaran, farmer’s share, serta analisis keuntungan biaya dan biaya. Selain dari faktor tersebut ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan seperti saluran pemasaran, fungsi-fungsi pemasaran, lembaga-lembaga pemasaran, struktur pasar dan perilaku pasar.
A. Analisis marjin Pemasaran Marjin pemasaran digunakan untuk mengetahu tingkat efisiensi sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo. Marjin pemasaran dihitung dari selisih antara harga penjualan dan harga pembelian di setiap tingkatan lembaga. Selain itu, marjin pemasaran digunakan untuk mengetahui perbedaan pendapatan yang diterima oleh masing-masing lembaga pemasaran yang terlibat dengan 37
membandingkan harga disetiap tingkatan lembaga pemasaran. Besarnya marjin pemasaran pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biaya-biaya pemasaran yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing lembaga pemsaran. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : MT = ∑ Mi ............................................................................................................. 1 Mi = Psi – Pbi ........................................................................................................ 2 Mi = Ci + π ............................................................................................................ 3 Dengan menggabungkan persamaan (2) dan (3) diperoleh : Psi- Pbi = Ci + π .................................................................................................... 4 Sehingga keuntungan lembaga di tingkat ke- i
Πi = Psi – Pbi – Ci ................................................................................................ 5 Keterangan : Mi
: Marjin tataniaga tingkat ke – i
Psi
: Harga jual pasar tingkat ke – i
Pbi
: Harga beli pasar tingkat ke – i
Ci
: Biaya lembaga pemasaran tingkat ke – i
Πi
: Keuntungan lembaga pemasaran tingkat ke – i
MT
: Marjin total
B. Anlisis farmer’s share Analisis farmer’s share digunakan untuk mengetahi persentase harga yang diterima oleh petani tebu terhadap harga di konsumen akhir. Farmer’s share menjadi salah satu indikator efisiensi pemasaran selain marjin pemasaran dan rasio keuntungan dan biaya. Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin pemasaran. Semakin tinggi marjin pemasaran maka semakin kecil bagian yang diperoleh petani. Secara sistematis farmer’s share dirumuskan sebagai berikut : FS =
x 100%
Keterangan : FS
: farmer’s share
Pf
: harga di tingkat petani
Pr
: harga yang dibayarkan konsumen akhir 38
C. Rasio Keuntungan dan Biaya Salah satu indikator efisiensi pemasaran adalah rasio keuntungan dan biaya. Penyebaran rasio keuntungan dan biaya yang merata maka sistem pemasaran akan semakin efisien. Rasio keuntungan dan biaya pemasaran mendefinisikan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya pemasaran yang dikeluarkan. Rasio keuntungan dan biaya setiap lembaga pemasaran
dapat
dirumuskan sebagai berikut : Rasio keuntungan dan biaya = Keterangan : Li : Keuntungan lembaga pemasaran Ci : Biaya pemasaran
4.5.
Definisi Operasional 1. Hasil produksi merupakan hasil produksi dari tanaman tebu yang dihasilkan dalam periode waktu tertentu (dalam kuintal). 2. Kontraktor tebu adalah pedagang pengumpul yang mendapat surat kontrak tebang tebu dari pabrik gula kemudian membeli hasil tebu dari petani yang tidak memiliki surat kontrak tebang tebu dan digiling di pabrik. 3. Kelompok tani adalah kelompok yang dibentuk oleh petani tebu didaerah desa Pulorejo dan bertugas untuk mengumpulkan hasil produksi tebu dari petai untuk kemudian digiling ke pabrik. 4. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia adalah asosiasi yang membawahi petani tebu di daerah Jombang, memberikan kredit kepada petani tebu untuk menjalankan usahatani dan hasil produksi diserahkan kepada APTRI dan digilingkan oleh pabrik gula kemudian gula akan dijual melalui sistem lelang yang diikuti oleh APTRI. 5. Pedagang sari tebu adalah pedagang yang membeli ataupun menanam sendiri tebu untuk diolah dan dijual dalam bentuk sari tebu kepada konsumen. 6. Pabrik gula adalah lembaga terakhir dalam sistem tataniaga tebu, tebu yang didapatkan oleh pabrik gula kemudian akan digiling dan dijual melalui sistem lelang. 39
7. Marjin tataniaga adalah perbedaan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir dengan harga yang diterima petani yang dinyatakan dalam Rp/kuintal atau presentase.
40
V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1.
Letak dan Keadaan Geografi Daerah Penelitian Desa Pulorejo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Batas-batas wilayah Desa Pulorejo secara administratif adalah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Desa Banyuarang, Kecamatan Ngoro
Sebelah Selatan
: Desa Jombok, Kecamatan Ngoro
Sebelah Barat
: Desa Puncangro,Kecamatan Gudo
Sebelah Timur
: Desa Badang, Kecamatan Ngoro
Luas wilayah Desa Pulorejo 511.000 hektar dengan ketinggian 110 Mdl di atas permukaan laut. Jarak dari Pusat Pemerintahan Kecamatan Ngoro adalah 5 Km, sedangkan jarak dari Kabupaten Jombang adalah 17 Km. Jumlah dusun yang dimiliki oleh Desa Pulorejo sebanyak tujuh dusun yaitu: Dusun Kwagen, Dusun Pulorejo, Dusun Santer, Dusun Banjar Poh, Dusun Bodo, Dusun Katerban dan Dusun Bakalan. Keadaan alam Desa Pulorejo adalah kering dan panas serta berdebu. Desa Pulorejo memiliki dua jenis tanah yakni tanah sawah dan tanah kering. Tanah sawah terdiri dari dua kategori yaitu irigasi teknis seluas 235,421 Ha dan irigasi semi teknis seluas 19,000 Ha. Tanah kering terbagi menjadi dua kategori yaitu tegal atau ladang seluas 140,070 Ha dan pemukiman seluas 106,579 Ha. Penggunaan lahan terbesar di Desa Pulorejo adalah persawahan yang digunakan untuk menanam tanaman pangan, buah-buahan dan perkebunan seluas 254,421 hektar. Luas wilayah yang dipergunakan untuk pemukiman seluas 106,579 hektar; luas tegal atau ladang sebesar 140,070 hektar; pemakaman seluas 3,450 hektar; perkantoran seluas 0,235 hektar; dan untuk prasarana umum lainnya seluas 6.245 hektar. Iklim di Desa Pulorejo terbagi atas dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Jumlah bulan hujan di Desa Pulorejo adalah lima bulan dengan curah hujan 5 Mm/bulan. Suhu udara rata-rata desa yaitu 20-310C.
41
5.2.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Jumlah penduduk Desa Pulorejo sebesar 5.378 jiwa dengan jumlah
penduduk laki-laki sebanyak 2.633 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 2.745 jiwa. Jumlah kepala keluarga di Desa Pulorejo sebanyak 1.737 kepala keluarga dan kepadatan penduduk di Desa Pulorejo sebesar 105 jiwa per kilometer. Faktor usia mempengaruhi tingkat produktivitas seseorang karena termasuk ke dalam golongan usia angkatan kerja. Komposisi sebaran penduduk berdasarkan jenis kelamin dan usia di Desa Pulorejo dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Komposisi Sebaran Penduduk Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin Di Desa Pulorejo Tahun 2009 Usia (tahun)
Jumlah Penduduk (jiwa) Laki-laki
< 15 15 – 49 >50 Jumlah
Persentase (%)
perempuan 700
749
26,55
1.477
1.521
54,93
536
473
18,52
2.713
2.745
100,00
Sumber : Kelurahan Pulorejo, 2009
Berdasarkan tabel 8 dapat terlihat presentase terendah pada golongan usia lebih dari 15 tahun sebesar 18,52% dan golongan usia kurang dari 15% sebesar 26.55%. usia antara 15-49 tahun memiliki presentase tertinggi sebesar 54,93% dan pada golongan usia ini termasuk ke dalam golongan angkatan kerja dan masih produktiv. Mata pencaharian penduduk Desa Pulorejo beragam mulai dari petani, buruh tani, Pegawai Negeri Sipil (PNS), pedagang, peternak, montir, pembantu rumah tangga, TNI, POLRI, pensiunan PNS/POLRI/TNI, dosen , perajin industri rmah tangga dan karyawan swasta. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani. Hal ini yang menjadi salah satu pertimbangan pemilihan lokai penelitian. Tabel 9 menunjukkan keberagaman mata pencaharian berdasarkan jenis kelamin di Desa Pulorejo.
42
Tabel 9. Mata Pencaharian Penduduk Menurut Jenis Kelamin Di Desa Pulorejo Tahun 2009 No.
Jenis pekerjaan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1.
Petani
816
601
1.417
2.
Buruh tani
299
319
618
3.
PNS
37
39
76
4.
Perajin
-
65
65
122
215
337
industri
rumah
tangga 5.
Pedagang
6.
Peternak
1
1
2
7.
Montir
9
-
9
8.
Pembantu rumah tangga
39
77
116
9.
TNI
8
-
8
10.
POLRI
4
-
4
11.
Pensiunan
13
8
21
-
1
1
151
179
330
1.499
1.505
3.004
TNI/PNS/POLRI 12.
Dosen
13.
Karyawan swasta Jumlah
Sumber : Kelurahan Pulorejo 2009
Berdasarkan data potensi Desa Pulorejo tahun 2009, tanaman tebu memiliki luas panen yang terbesar dibandingkan dengan tanaman pangan dan tanaman buah yaitu sebesar 98 hektar. Luas ini dibandingkan juga dengan luas panen padi sawah, jagung, pisang dan mangga yang masing-masing memmiliki luas panen sebesar 93 hektar, 25 hektar, 6 hektar dan 5 hektar. Hasil produksi dari tebu 1.100 kuintal/hektar. Hal ini membuat banyak penduduk yang memilih menjadi petani. 5.3.
Karakteristik Petani Responden Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini sebanyak 20 orang.
Responden dalam penelitian ini adalah petani tebu di Desa Pulorejo. Petani tebu di 43
Desa Pulorejo memiliki berbagai karakterisrik yang berbeda-beda. Beberapa karakteristik yang dinilai penting mencakup usia, pendidikan, luas lahan dan kepemilikan lahan. Usia Usia responden berkisar antara 36 – 70 tahun dengan rata-rata usia 51 tahun. Presentase usia tertinggi berada pada kelompok usia 31-40 tahun dan 61-70 tahun sebesar 30%. Penyebaran usia responden cukup beragam dan dapat mewakili petani tebu di Desa Pulorejo. Perbedaan presentase antar kelompok usia dinilai tidak begitu jauh. Kelompok usia dapat mempengaruhi kinerja usahatani petani. Kelompok usia tertinggi terdapat pada usia 31-40 tahun, kelompok usia ini termasuk ke dalam angkatan kerja. Hal ini dapat dilihat dari tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Usia Di Desa Pulorejo Tahun 2011 Kelompok Umur
Jumlah Responden
Presentase
(Tahun)
(Orang)
(%)
31-40
6
30,00
41-50
5
25,00
51-60
3
15,00
61-70
6
30,00
Total
20
100,00
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan petani responden di Desa Pulorejo cukup bervariasi dan cukup tergolong tinggi mulai dari tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga tamatan Perguruan Tinggi (PT). tingkat pendidikan yang dimiliki petani dapat digunakan untuk memperoleh informasi pasar dan cara budidaya yang baik. Tingkat pendidikan yang tinggi dapat dijadikan untuk mencari pekerjaan utama karena petani tebu merupakan pekejaan sampingan. Tabel 11 menunjukkan karakteristik petani berdasarkan tingkat pendidikannya.
44
Tabel 11. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Di Desa Pulorejo Tahun 2011 Tingkat Pendidikan
Petani (orang)
Presentase (%)
Tamatan SMA
8
40,00
Tamatan PT
12
60,00
Total
20
100,00
Status Usahatani Tebu Pekerjaan petani yang mengganggap usahatani tebu sebagai pekerjaan sampingan umumnya memiliki pekerjaan lain sebagai peternak, pedagang dan guru. Hal ini dikarenakan hasil yang didapatkan dari usahatani tebu dapat dinikmati setelah satu tahun masa tanam. Oleh karena itu petani tebu memiliki pekerjaan utama untuk membiayai kebutuhan sehari-hari dan biaya usahatani tebu. Tabel 12. Status Usahatani Petani Responden Di Desa Pulorejo Tahun 2011 Status Usahatani
Petani (orang)
Presentase (%)
Pekerjaan Utama
8
40,00
Pekerjaan Sampingan
12
60,00
20
100,00
Total
Luas Lahan Semakin besar lahan yang digunakan maka hasil yang akan diperoleh juga akan semakin besar. petani yang memiliki lahan yang luas akan mendapatkan hasil tebu yang besar jika petani tebu menjalankan budidaya tebu dengan baik dan benar. Selain itu cuaca juga mempengaruhi hasil yang didapatkan oleh petani jika hujan deras disertai dengan angin kencang dapat membuat tanaman tebu roboh dan mati.
45
Tabel 13. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan Yang Digunakan Untuk Usahatani Tebu Tahun 2011 Luas Lahan (hektar)
Petani (orang)
Presentase (%)
< 10
5
25,00
10-20
8
40,00
>20
7
35,00
Total
20
100,00
Status Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan responden di Desa Pulorejo terbagi atas tiga kategori, yaitu milik sendiri, menyewa dan milik sendiri beserta menyewa. Petani yang tidak memiliki lahan akan menyewa lahan milik warga lain selama satu tahun. Banyak petani yang telah memiliki lahan sendiri namun masih menyewa karena petani memiliki surat kontrak dari pabrik. Petani yang selalu menyetorkan tebu kepada pabrik gula akan mendapatkan surat kontrak baru dan harus memenuhi kontrak terebut oleh karena itu petani memilih menyewa lahan atau menjadi kontraktor tebu untuk memenuhi surat kontrak tersebut. Tabel 14. Karakteristik petani berdasarkan status kepemilikan lahan tahun 2011 Status Kepemilikan Lahan
Petani (orang)
Presentase (%)
Milik sendiri
4
20,00
Menyewa
5
25,00
Milik sendiri dan menyewa
11
55,00
20
100,00
Total
Karakteristik petani tebu di Desa Pulorejo yang dijadikan responden sebagian besar berada pada usia produktif dan memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi. Sebagian petani menjadikan usahatani tebu ini sebagai pekerjaan sampingan. Luas lahan yang digunakan untuk usahatani tebu dapat dikatakan relatif besar dan sebagian besar lahan tersebut adalah milik sendiri dan menyewa. 46
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1.
Sistem Tataniaga Tataniaga tebu dari petani hingga ke konsumen melibatkan beberapa
lembaga tataniaga. Petani responden yang berjumlah 20 petani tersebut menjual hasil panen tebu kepada lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga tebu adalah petani, kontraktor tebu, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Kelompok Tani, Pedagang sari tebu dan pabrik gula. 1. Petani merupakan lembaga yang berperan dalam memproduksi tebu. 2. Kontraktor tebu merupakan lembaga yang berperan sebagai pedagang yang membeli tebu hasil petani dan mengiling hasil tebu petani ke pabrik gula. Lembaga ini biasa disebut tengkulak. 3. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) merupakan lembaga yang memberikan kredit kepada petani dan menjual hasil gilingan tebu petani melalui sistem lelang. 4. Kelompok Tani merupakan lembaga perkumpulan petani tebu dimana petani menitipkan tebunya kepada kelompok tani untuk digiling atas nama kelompok tani dan ketua kelompok tani akan mendapatkan 1,5% dari hasil gilingan petani sebagai imbalan giling tebu. 5. Pedagang sari tebu merupakan lembaga yang membeli hasil tebu petani dan mengolahnya menjadi minuman sari tebu dan dijual kepada konsumen. 6. Pabrik gula merupakan lembaga yang memiliki tugas untuk menggiling tebu hasil petani dan melakukan sistem bagi hasil melalui rendemen. Hasil gilingan tebu tersebut dijual oleh pabrik gula melalui sistem lelang dengan para investor (agen). Sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang dapat dilihat pada Gambar 3.
47
Petani 356.450 Kuintal
Saluran 1 APTRI 73.000 kw (20,5%)
Saluran 2 Kelompok Tani 53.000kw (14,9%)
Saluran 3 Kontraktor tebu 227.000 kw(63,7%)
Saluran 4 Pedagang sari tebu 3.450 kw (0,9%)
Konsumen
Pabrik gula
Gambar 3. Sistem Tataniaga Tebu Di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang Tahun 2011
6.2.
Saluran Tataniaga Saluran tataniaga tebu yang terdapat di Desa Pulorejo adalah empat
saluran. Saluran pertama dilakukan oleh empat orang petani responden dan memiliki presentase sebesar 20%. Volume penjualan saluran pertama adalah 73.000 kuintal tebu dan memiliki presentase sebesar 20,5% dari seluruh volume penjualan. Petani yang menjual tebu kepada kelompok tani sebanyak enam orang dan memiliki presentase sebesar 30% dari seluruh jumlah petani responden. Volume penjualan pada saluran kedua adalah 53.000 kuintal dan memiliki presentase sebesar 14,9% dari seluruh volume penjualan. Jumlah petani yang menjual tebu kepada kontraktor tebu sebanyak sepuluh orang dan memiliki presentase sebesar 50% dari seluruh jumlah petani responden. Tebu yang dijual dalam saluran ini sebesar 227.000 kuintal dan memiliki presentase sebesar 63,7% dari jumlah seluruh penjualan. Petani yang menjual hasil tebu kepada pedagang sari tebu berjumlah empat orang, petani yang melakukan penjualan kepada pedagang sari tebu merupakan petani yang terlibat dalam saluran satu, saluran dua 48
dan saluran ketiga. Penjualan kepada pedagang sari tebu ini dilakukan apabila tebu yang akan digiling ke pabrik tidak memenuhi persyaratan pabrik gula. Volume tebu yang dijual kepada pedagang sari tebu sebesar 3.450 kuintal dan memiliki presentase sebesar 0,9% dari total volume penjualan tebu. Hasil pengamatan menunjukan presentase petani responden yang menjual tebu kepada kontraktor tebu pada saluran satu paling besar bila dibandingkan dengan saluran lainnya. Selain itu volume penjualan pada saluran ketiga paling besar yaitu sebesar 227.000 kuintal. Hal ini dikarenakan petani tidak memiliki surat kontrak dengan pabrik gula. Selain itu, petani merasa cara seperti ini lebih mudah dan cepat karena semua biaya tebang dan angkut akan ditanggung oleh kontraktor tebu. Biaya tebang dan angkut merupakan biaya pemanenan yang cukup tinggi terlebih jika dalam cuaca yang buruk dan jarak kebun yang jauh dari pabrik gula.
6.2.1. Saluran Tataniaga 1 Saluran tataniaga satu terdiri dari petani, Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) dan pabrik gula. Jumlah petani responden yang melakukan saluran tataniaga satu adalah empat orang atau sebesar 20% dari jumlah petani responden di Desa Pulorejo. Volume penjualan tebu pada saluran ini sebesar 73.000 kuintal dan memiliki presentase sebesar 20,5% dari total volume penjualan tebu. Petani melakukan saluran tataniaga ini dikarenakan petani mendapatkan pinjaman modal untuk melakukan usahatani tebu. Pinjaman ini sesuai dengan besarnya lahan yang diusahakan oleh petani. Pinjaman dari APTRI berasal dari pinjaman bank dan dikembalikan saat petani telah mendapatkan hasil dari panennya. Kemungkinan kredit ini mengalami macet bayar sangat kecil, hal ini dikarenakan oleh hasil giling tebu petani diserahkan kepada APTRI untuk kemudian diikutkan dalam lelang. Petani yang terlibat dalam saluran satu ini memiliki ikatan kemitraan dengan APTRI. Alasan jumlah petani yang menggunakan saluran ini hanya sedikit adalah jauhnya letak APTRI dari Desa Pulorejo. Petani mendatangi APTRI untuk mengajukan kredit usahatani tebu kemudian mengambil uang kredit yang diberikan dari APTRI. Selain itu untuk 49
mengambil uang hasil penjualan tebu petani harus datang ke APTRI. Menurut petani letak APTRI yang jauh dan petani harus mengeluarkan biaya trasportasi membuat saluran ini kurang diminati oleh petani dalam menjual hasil tebu milik petani. Tebu petani dibeli oleh APTRI dengan harga Rp. 37.000/kuintal tebu. Tebu dititip giling ke pabrik gula, kemudian melakukan bagi hasil dengan pabrik gula melalui hasil rendemen yang dihasilkan. Tebu yang dipanen dibawa dengan menggunakan mobil pick-up menuju pabrik gula. Biasanya hasil yang didapatkan oleh petani adalah 60% dari seluruh hasil giling. Hasil giling tebu tersebut diambil oleh APTRI kemudian diikutkan dalam lelang yang diikuti oleh APTRI. Hasil lelang tersebut kemudian dipotong oleh pinjaman petani dan biaya pemanenan seperti tebang dan angkut. Harga lelang hasil giling tebu tidak menentu. Kisaran harga lelang hasil giling adalah Rp. 7000 sampai Rp. 9000. Biaya yang dikeluarkan oleh APTRI adalah biaya karung yaitu sebesar Rp. 328 per kuintal tebu. Pada saluran satu harga gula ditentukan oleh APTRI berdasarkan harga lelang. Sistem pembelian dilakukan secara tunai. Sistem pembayaran dilakukan secara tunai setelah tebu hasil giling dilelang oleh APTRI, hal ini dipengaruhi oleh rasa kepercayaan petani dengan APTRI. Dengan demikian pada saluran ini petani mengeluarkan biaya tataniaga seperti biaya tebang dan angkut. APTRI mengeluarkan biaya pengemasan seperti karung. Pabrik gula mengeluarkan biaya pengolahan untuk menggiling tebu.
6.2.2. Saluran Tataniaga 2 Saluran tataniaga dua ini dilakukan oleh enam orang petani responden. Lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran tataniaga ini adalah petani, kelompok tani dan pabrik gula. Volume penjualan tebu pada saluran ini sebesar 53.000 kuintal dan memiliki presentase penjualan sebesar 14,9% dari total volume penjualan tebu. Kelompok tani berperan dalam mengumpulkan tebu dari anggota kelompok tani dan menggiling tebu di pabrik gula. Petani menitipkan tebunya kepada kelompok tani untuk digiling. Petani yang melakukan saluran tataniaga ini 50
tidak memiliki surat kontrak dari pabrik tebu. Kelompok tani memiliki surat kontrak untuk menggilingkan hasil tebu para anggotanya dengan menggunakan nama kelompok taninya. Ketua kelompok tani mendapatkan imbalan sebesar 1,5% dari hasil giling tebu milik anggotanya. Kelompok tani tidak memiliki hak atas tebu milik petani. Kelompok tani hanya sebagai broker bagi petani yang tidak memiliki surat kontrak. Saluran ini kurang diminati oleh petani karena keengganan petani untuk mengeluarkan uang untuk memberikan komisi kepada ketua kelompok tani. Petani beranggapan hasil yang didapat dari usahatani tebu belum bisa menutupi kebutuhan pateni sehari-hari terlebih bila lahan yang digunakan oleh petani kecil. Pelayanan yang diberikan oleh kelompok tani adalah mengurus tebu milik petani dari giling hingga mendapatkan hasil dari gilingan tebu. Petani tidak perlu ke pabrik gula untuk mengikuti tebu miliknya dan kembali ke pabrik gula untuk mengambil hasil dari gilingan tebu miliknya. Semua itu dikerjakan oleh kelompok tani. Bagi beberapa petani yang menggunakan saluran ini mengeluarkan uang sebesar 1.5% untuk ketua kelompok tani sebanding dengan pelayanan yang diberikan. Hasil giling tebu diikutkan dalam lelang yang dilakukan oleh pabrik gula. Petani yang telah memanen hasil tebunya mengeluarkan biaya pemanenan seperti biaya tebang dan angkut. Hasil panen tersebut dikumpulkan langsung ke pabrik gula untuk digiling. Hasil giling tebu tersebut akan dilakukan bagi hasil dengan pabrik gula sesuai dengan rendemen yang dihasillkan oleh petani. Hasil tersebut diikutkan dalam lelang yang diadakan pabrik gula. Setelah lelang dilakukan maka kelompok tani akan mendapatkan surat hasil giling tebu yang memuat hasil giling tebu dan harga yang diterima oleh petani. Uang hasil giling tebu petani akan diberikan melalui kelompok tani. Kelompok tani akan membagi uang tersebut kepada masing-masing petani sesuai dengan tebu yang disetorkan kepada kelompok tani. Harga tebu ditentukan dari hasil lelang yang dilakukan pabrik gula. sistem pembelian dilakukan secara tunai. Sistem pembayaran dilakukan tunai setelah lelang dilakukan. Petani dalam saluran tataniaga dua mendapatkan informasi dari ketua kelompok tani. Informasi yang diterima adalah harga, kisaran rendemen,
51
harga pupuk dan harga bibit tebu. Petani memiliki posisi tawar yang rendah karena petani hanya menerima harga dari lelang pabrik gula dengan investor.
6.2.3. Saluran Tataniaga 3 Petani responden yang menggunakan saluran tataniaga tiga adalah 10 orang. Lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga tiga ini adalah petani, kontraktor tebu dan pabrik gula. Volume tebu yang dijual pada saluran tataniaga tiga sebesar 227.000 kuintal atau sebesar 63,7% dari total volume penjualan tebu. Rata-rata petani yang menggunakan saluran tataniaga tiga adalah petani yang tidak memiliki surat kontrak dengan pabrik gula. Selain itu alasan petani menggunakan saluran tataniaga tiga adalah petani lebih mudah dalam menjual hasil tebu, cepat dan biaya pemanenan ditanggung oleh kontraktor tebu. Kondisi seperti ini dianggap menguntungkan oleh petani yang menggunakan saluran tataniaga tiga. Saluran ini paling diminati oleh petani karena memberikan kemudahan bagi petani dan petani tidak perlu menanggung risiko atas hasil usahatani tebunya. Risiko akan ditanggung oleh kontraktor tebu yang membeli hasil panen tebu miliknya. Kontraktor tebu memiliki surat kontrak dengan pabrik gula dan akan membawa tebu hasil pembeliannya dengan petani ke pabrik untuk gilingkan. Kontraktor tebu membeli tebu milik petani untuk memenuhi surat kontrak yang sudah ditandatangani dengan pabrik tebu. Kontraktor tebu akan mendatangi pemilik tebu untuk membeli tebu yang telah siap panen. Kontraktor dan petani akan melakukan kegiatan tawar menawar harga tebu. Kontraktor tebu membeli tebu milik petani sebesar Rp. 36.900/kuintal tebu. Setelah harga disepakati oleh kedua pihak, maka kontraktor tebu akan melakukan penebangan dan pengangkutan tebu yang telah dibeli dari petani. Tebu yang telah di tebang di bawa ke pabrik tebu untuk digiling. Hasil tebu yang digiling oleh pabrik tebu akan diikutkan dalam lelang yang diadakan pabrik gula dengan investor. Harga gula yang diikutkan dalam lelang pabrik gula sebesar Rp.8.000-Rp.10.000/kg gula. Harga tebu ditentukan melalui kesepakatan antara kontraktor tebu dengan petani tebu. Sisem pembelian dilakukan dengan tunai dan sistem pembayaran dilakukan dengan kredit, 50% dibayarkan saat tebang dan sisanya dibayarkan 52
setelah dilakukan lelang. Petani tebu mendapatkan informasi pasar dari kontraktor tebu dan petani tebu lainnya. Petani memiliki posisi tawar yang tinggi karena dapat menentukan harga melalui negosiasi dengan kontraktor tebu. 6.2.4. Saluran Tataniaga 4 Terdapat empat orang petani yang melakukan penjualan tebu dalam saluran empat. Petani yang terlibat dalam saluran tataniaga empat ini merupakan bagian dari petani yang melakukan saluran tataniaga satu, dua atau tiga. Lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran tataniaga ini adalah petani, pedagang sari tebu dan konsumen. Volume penjualan tebu dalam saluran tataniaga empat adalah 3.450 kuintal atau sebesar 0,9% dari total volume penjualan tebu. Alasan petani menggunakan saluran ini adalah untuk meminimalkan kerugian akibat tebu hasil panen tidak memenuhi syarat giling pabrik gula. Pabrik gula melakukan gradding pada hasil tebu petani sebelum dilakukan penggilingan. Tebu yang tidak memenuhi syarat giling pabrik akan dikembalikan kepada petani. Tebu ini akan digunakan pedagang sari tebu untuk dijual kembali dengan melakukan pengolahan terhadap tebu tersebut. Adanya saluran ini menguntungkan bagi petani karena petani dapat meminimalkan risiko yang ditanggungnya. Namun, hasil tebu yang dijual pada asaluran ini tidak banyak karena tujuan utama petani melakukan usahatani tebu adalah untuk digiling menjadi tebu. Tebu ini dibeli pedagang sari tebu di rumah petani. Pengangkutan tebu ini menggunakan motor milik pedagang. Petani tidak mengeluarkan biaya transportasi dalam saluran tataniaga ini. Tebu yang dipanen oleh petani akan dibeli oleh pedagang sari tebu dengan melakukan tawar menawar. Harga yang dibeli pedagang sari tebu dari petani adalah Rp.2000/kg tebu. Setelah harga disepakati oleh petani dan pedagang maka pedagang akan membawa tebu tersebut. Tebu akan dibersihkan untuk kemudian diolah oleh pedagang menjadi minuman sari tebu dan akan dijual kepada konsumen. Harga sari tebu yang dijual oleh pedagang sari tebu adalah Rp.2500/gelas. Pada saluran tataniaga empat, harga tebu ditentukan melalui kesepakatan antara petani dan pedagang tebu. Sistem pembelian dilakukan secara tunai dan sistem pembayaran dilakukan secara tunai. Petani yang menjual produknya 53
mendapatkan informasi pasar dari petani tebu lainnya. Petani memiliki posisi tawar yang tinggi karena petani dapat menentukan harga jual kepada pedagang. 6.3.
Analisis Fungsi-fungsi Tataniaga Setiap lembaga tataniaga memiliki fungsi-fungsi yang berbeda dalam
penyampaian tebu dari petani hingga pabrik gula. Fungsi-fungsi dari setiap lembaga tataniaga bertujuan untuk memperlancar prosesn tataniaga dari tebu. Fungsi-fungsi tataniaga dapat dikelompokkan menjadi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas.
6.3.1. Petani Fungsi tataniaga yang dilakukan petani tebu di Desa Pulorejo adalah fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan adalah fungsi penjualan. Fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan sedangkan fungsi fasilitias berupa pembiayaan, sortasi, penganggungan risiko dan informasi pasar. a. Fungsi Pertukaran Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh petani adalah fungsi penjualan. Pada saluran satu terdapat empat orang petani yang menjual tebunya kepada (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesai) APTRI, enam orang petani melakukan penjualan tebunya melalui kelompok tani, sepuluh orang petani menjual tebu kepada kontraktor tebu dan empat orang menjual kepada pedagang sari tebu. Penjualan tebu dilakukan di kebun tebu milik petani. Lembaga tataniaga akan mendatangi petani untuk membeli tebu hasil panen petani. APRI dan kelompok tani memiliki data mengenai data tanam dan data panen tebu petani. Sehingga lembaga tataniaga tersebut akan mendatangi petani yang telah siap panen. Kontraktor tebu merupakan langganan dari petani yang menjual tebu kepada kontraktor tebu. Pada saluran empat petani akan mencari padagang sari tebu yang akan mau membeli tebu miliknya.
54
b. Fungsi fisik Fungsi fisik yang dilakukan petani adalah fungsi pengangkutan yang dilakukan oleh petani pada saluran satu dan dua. Proses pemanenan
dan
pengangkutan dilakukan oleh buruh yang disewa. Pada saluran satu dan saluran dua biaya pemanenan ditanggung oleh petani. Biaya pemanenan dan pengangkutan yang dikeluarkan oleh petani merupakan biaya pinjaman yang dikeluarkan oleh APTRI dan kelompok tani. Biaya tersebut akan dibayar oleh petani setelah petani mendapatkan hasil dari gilingan tebu. Pada saluran ketiga biaya pemanenan dan pengangkutan akan ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor tebu yang membeli tebu milik petani c. Fungsi fasilitas Fungsi fasilitas yang dilakukan petani adalah penanggungan risiko, sortasi, pembiayaan dan informasi pasar. Risiko yang mungkin dihadapi adalah tebu yang telah dipanen tidak sesuai dengan kriteria tebu siap giling. Kriteria tebu yang siap giling adalah manis, bersih dan segar. Jika kriteria itu tidak dipenuhi oleh petani maka tebu akan dikembalikan kepada petani. Selain itu, jika kotoran yang terdapat dalam tebu melebihi 5% dari seluruh tebu yang dikirimkan maka tebu akan dikembalikan kepada petani dan petani akan dikenakan peringatan. Kotoran tebu yang dimaksud adalah petani yang tidak memenuhi kriteria, batang tebu kering dan daun-daun kering. Musim hujan juga akan menimbulkan risiko pada tanaman tebu, hal ini dikarenakan batang tebu yang belum kuat akan roboh dan mati jika terkena angin kencang. Pembiayaan yang dilakukan petani adalah penyediaan modal yang digunakan untuk kegiatan produksi. Biaya produksi yang dikeluarkan petani adalah bibit, pupuk, tenaga kerja dan alat-alat pertanian. Pembiayaan ini bisa berasal dari modal pribadi petani atau mendapat pinjaman. Pada saluran satu petani mendapat kredit atau pinjaman dari APTRI untuk kegiatan produksi petani. Petani dalam menjual hasilnya mendapat informasi pasar dari APTRI, kelompok tani dan sesama petani. Informasi yang diberikan adalah informasi harga dan baiya produksi. Informasi mengenai rendemen tebu diberikan oleh pabrik gula yang dilakukan sebulan dua kali. Dalam pertemuan ini akan diinformasikan mengenai perhitungan rendemen termasuk cara menghitung 55
rendemen tebu petani. Petani akan diberikan undangan oleh pabrik tebu, namun tidak semua petani diundang. Hanya perwakilan dari beberapa petani dilihat dari wilayahnya. Petani yang mendapat informasi ini akan melanjutkan informasi ini kepada petani yang lain. Petani melakukan penyortiran tebu yang akan digiling di pabrik gula. Tebu dipilih berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh pabrik gula. Pabrik gula menetapkan bahwa kotoran yang terbawa tebu yang akan digiling tidak melebihi dari 5% dari berat total tebu yang dibawa. Kotoran yang dimaksud adalah daun kering, tebu yang masih muda dan tebu yang kering dan telah mati.
6.3.2. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) adalah fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh APTRI adalah pembelian dan penjualan; fungsi fisik yang dilakukan adalah pengemasan dan penyimpanan; fungsi fasilitas yang dilakukan adalah pembiayaan dan infomasi pasar. a. Fungsi pertukaran Asosiasi yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Nira Sejahtera. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh APTRI adalah fungsi pembelian dan penjualan. APTRI Nira Sejahtera melakukan pembelian di kebun petani. APTRI membeli tebu milik petani kemudian menggiling tebu milik petani di pabrik gula. Tenaga pemanenan dan pengangkutan disediakan oleh APTRI namun biaya di tanggung oleh petani. APTRI melakukan pembelian tebu milik petani yang mendapatkan dana pinjaman dari APTRI. Setelah tebu digiling dan telah diadakan bagi hasil dengan pabrik gula, APTRI kemudian menjual hasil gilingan tebu kepada agen atau investor secara lelang yang diadakan oleh beberapa asosiasi lain. Lelang dilakukan dalam kurun waktu 15 hari sekali sehingga lelang dilakukan sebulan dua kali. Jumlah yang diikutkan dalam lelang tidak menentu tergantung dari jumlah persediaan yang ada pada APTRI. Harga yang terbentuk juga tidak menentu tergantung pada penawaran investor yang akan membeli. b. Fungsi fisik 56
Fungsi fisik yang dilakukan oleh APTRI adalah pengemasan hasil gilingan tebu untuk diikutkan dalam lelang yang dilakukan oleh APTRI. Pengemasan menggunakan karung berukuran 50 kg. Harga satu karung gula sebesar Rp.1000Rp. 1650. Karung ini berbahan dasar plastik. Selain itu, APTRI melakukan penyimpanan hasil giling tebu dalam gudang sampai pelaksanaan lelang selesai dilaksanakan dan investor dengan penawaran tertinggi berhak mengambil hasil giling tebu di gudang milik APTRI. c. Fungsi fasilitas Fungsi pembiayaan yang dilakukan oleh APTRI adalah peminjaman modal untuk kegiatan produksi petani tebu. Modal yang dipinjamkan oleh APTRI mulai dari kegiatan usahatani hingga hasil gilingan siap dijual. Pinjaman yang diberikan oleh APTRI kepada petani untuk luas lahan dua hektar. Petani yang meminjam dana kepada APTRI memiliki luas lahan lebih dari dua hektar sehingga nama peminjam diambil dari nama keluarga petani. Sehingga seluruh luas lahan yang dimiliki petani mendapatkan dana pinjaman dari APTRI. Informasi pasar yang dicari oleh APTRI adalah informasi rendemen, harga yang berlaku di pasar dan permintaan dari para investor yang akan mengikuti sistem lelang yang dilakukan oleh APTRI.
6.3.3. Kelompok Tani Kelompok tani melakukan fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. a. Fungsi Pertukaran Fungsi
pertukaran
yang
dilakukan
oleh
kelompok
tani
adalah
pengumpulan tebu milik petani yang akan digilingkan ke pabrik gula dengan menggunakan surat kontrak kelompok tani . Kelompok tani mendapatkan 1,5% dari hasil yang didapatkan oleh petani. b. Fungsi fasilitas Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh kelompok tani adalah fungsi pembiayaan dalam hal membayarkan biaya administrasi yang harus dibayarkan kepada pabrik gula. kelompok tani melakukan fungsi penanggungan risiko. Anggota kelompok tani harus mengirimkan tebu yang benar-benar sesuai dengan 57
standar pabrik gula, yaitu jumlah kotoran yang terbawa dalam tebu tidak melebihi 5%. Jika jumlah kotoran melebihi 5% maka tebu milik petani akan dikembalikan dan akan dikenakan hukuman maka hukuman ini akan berlaku bagi seluruh anggota kelompok tani yang mengilingkan tebunya melalui kelompok tani. Selain itu kelompok tani memberikan informasi pasar kepada anggota kelompok tani mengenai harga yang berlaku di pasar, aturan-aturan pengiriman tebu kepada pabrik gula dan perhitungan rendemen.
6.3.4. Kontraktor Tebu Kontraktor tebu melakukan fungsi tataniaga seperti fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Kontraktor tebu ini dapat pula disebut tengkulak. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh kontraktor tebu adalah fungsi pembelian dan fungsi penjualan; fungsi fisik yang dilakukan adalah fungsi pengangkutan; fungsi fasilitas yang dilakukan oleh kontraktor tebu adalah sortasi, pembiayaan, penanggungan risiko dan informasi pasar. a. Fungsi pertukaran Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh kontraktor tebu adalah fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dilakukan di kebun petani secara langsung. Harga pembelian ditentukan bersama dengan petani melalui proses negosiasi. Pada saat panen tiba, kontraktor tebu akan mendatangi petani untuk melakukan pembelian tebu. Biaya penebangan dan pengangkutan dikeluarkan oleh kontraktor tebu. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh kontraktor tebu adalah secara kredit atau diangssur, 50% dibayarkan sebagai uang muka dan sisanya akan dibayar setelah kontraktor tebu mendapatkan uang dari pabrik gula. Fungsi penjualan yang dilakukan oleh kontraktor tebu adalah saat kontraktor tebu menjual tebu ke pabrik gula. Tebu yang telah dibeli dari petani dibawa ke pabrik gula untuk digiling. Tebu yang telah digiling akan diikutkan dalam lelang yang diadakan oleh pabrik gula. Harga penjualan ditentukan dari penawaran tertinggi peserta lelang. b. Fungsi fisik Fungsi fisik yang dilakukan oleh kontraktor tebu adalah pengangkutan tebu dari kebun petani hingga pabrik gula. pengangkutan dilakukan menggunakan 58
mobil pick-up. Biaya pengangkutan ditanggung oleh kontraktor tebu. Biaya pengangkutan dihitung per kuintal tebu yang diangkut. Biaya pengangkutan akan menjadi besar jika musim hujan tiba karena untuk mencapai kebun petani harus melewati jalanan yang dipenuhi genangan air. Hal ini akan membuat aktivitas pengangkutan menjadi terhambat dan sulit. c. Fungsi fasilitas Kontraktor tebu melakukan sortasi terhadap tebu yang dibelinya agar kotoran yang terbawa tidak melebihi 5%. Sortasi dilakukan di kebun milik petani dan dilaksanakan saat kegiatan penebangan berlangsung. Kontraktor tebu menyortasi tabu yang sesuai dengan kriteria tebu layak giling pabrik gula. Jika kotoran yang terbawa lebih dari 5% maka tebu ini akan dikembalikan kepada kontraktor tebu dan tidak akan digiling oleh pabrik gula. Fungsi pembiayaan yang dilakukan oleh kontraktor tebu adalah biaya penebangan, biaya pengangkutan, biaya pengemasan dan biaya administrasi. Seluruh biaya ini ditangggung oleh kontraktor tebu. Saat kesepakatan harga dicapai, kontraktor tebu akan membawa tenaga kerja yang akan menebang dan mengangkut tebu yang telah dibeli. Penanggungan risiko yang dilakukan oleh kontraktor tebu adalah jika tebu yang dibawa ke pabrik gula tidak memenuhi kriteria layak tebang dan kotoran yang terbawa tebu ke pabrik gula lebih 5% dari jumlah tebu secara keseluruhan. Jika jumlah kotoran yang terbawa melebihi 5% maka tebu akan dikembalikan kepada kontraktor tebu dan akan mendapat peringatan dari pebrik gula. Selain itu kontraktor tebu akan menanggung risiko jika saat penebangan dan pengangkutan tebu saat hujan. Saat hujan kegiatan penebangan dan pengangkutan akan terhambat. Jalanan menuju kebun petani menjadi tergenang dan berlumpur. Hal ini akan membuat biaya penebangan dan pengangkutan menjadi besar. Biaya akan meningkat karena adanya kesulitan dalam penebangan dan pengangkutan pada saat hujan. Informasi pasar yang dibutuhkan oleh kontraktor tebu adalah informasi harga beli tebu, biaya penebangan dan pengangkutan, harga jual tebu dan rendemen.
59
6.3.5. Pedagang Sari Tebu Fungsi pemsaran yang dilakukan oleh pedagang sari tebu adalah fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang sari tebu adalah fungsi pembelian dan fungsi penjualan sedangkan fungis fisik yang dilakukan adalah pengangkutan, penyimpanan dan pengolahan. Fungsi fasilitas yang dilakukan adalah pembiayaan, penanggungan risiko dan informasi pasar. a. Fungsi pertukaran Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang sari tebu adalah fungsi pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dilakukan di rumah petani yang akan menjual tebunya. Sistem pembelian dan pembayaran dilakukan secara tunai. Biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang yang menggunakan kendaran bermotor untuk mengangkut tebu yang telah dibeli dari petani. Setelah pedagang membeli tebu milik petani, mereka akan mengolah tebu menjadi minuman sari tebu. Minuman sari tebu ini menggunakan bahan baku tebu untuk diambil sarinya. Minuman sari tebu ini kemudian dijual kepada konsumen. Penjualan ini dilakukan setiap harinya. Pengolahan ini dilakukan di tempat pedagang ini menjual minumannya. b. Fungsi fisik Fungsi pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang sari tebu adalah mengangkut tebu dari rumah petani ke rumah pedagang . Pengangkutan dilakukan dengan menggunakan motor milik pedagang. Fungsi penyimpanan yang dilakukan oleh pedagang adalah tebu yang telah dibeli disimpan di rumah pedagang untuk dijual setiap harinya. Jika tebu yang dibawa ke tempat pedagang mengolah tebu tidak habis maka sisa tebu yang dibawa akan disimpan kembali. Fungsi pengolahan yang dilakukan oleh pedagang adalah mengolah tebu yang telah dibeli oleh petani menjadi minuman sari tebu yang dikonsumsi oleh konsumen atau masyarakat. Pengolahan tebu menjadi sari tebu dilakukan di tempat pedagang menjual minuman sari tebu. Pengolahan yang dilakukan di tempat berjualan akan menimbulkan rasa kepercayaan konsumen bahwa minuman yang dijual bersih. Pengemasan yang dilakukan pedagang sari tebu adalah
60
menggunakan gelas plastik untuk mengemas minuman sari tebu. Bagi konsumen yang ingin meminum langsung disediakan gelas oleh pedagang. c. Fungsi fasilitas Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang adalah pembiayaan.biaya yang dikeluarkan oleh pedagang adalah biaya pengangkutan, biaya pengolahan dan biaya pengemasan. Seluruh biaya tersebut ditanggung oleh pedagang. Risiko yang harus di tanggung oleh pedagang adalah minuman sari tebu yang tidak laku dijual, selera konsumen yang menurun dan tebu yang dibeli kurang bagus. Pedagang memiliki cara tersendiri memiliki strategi untuk mengatasi risiko yang mungkin terjadi. Informasi pasar yang didapatkan oleh pedagang berasal dari petani dan sesama pedagang. Informasi yang didapatkan oleh pedagang adalah mengenai harga beli tebu dan harga jual minuman sari tebu. 6.4.
Analisis Struktur Pasar Struktur pasar dapat dilihat dari jumlah pembeli dan penjual yang ada di
dalam pasar, kondisi dan keadaan produk, kemudahan untuk keluar masuk pasar dan tingkat informasi pasar. Setiap lembaga tataniaga perlu mengetahui struktur pasar yang ada agar dapat bertindak efisien dalam tataniaga suatu produk. Struktur pasar yang dihadapi oleh pelaku pasar dalam tataniaga tebu di Desa Pulorejo adalah sebagai berikut.
6.4.1. Struktur Pasar di Tingkat Petani Struktur pasar yang dihadapi oleh petani tebu mengarah kepada pasar persaingan sempurna. Hal ini dapat dilihat dari jumlah petani yang banyak dan jumlah penjual juga banyak. Adanya hambatan untuk keluar masuk pasar bagi petani karena adanya hubungan yang erat dengan beberapa penjual termasuk APTRI. Petani mendapatkan modal dari APTRI dan pembayaran dilakukan bila petani telah mendapatkan hasil dari kebunnya. Sulitnya mendapatkan modal menjadi hambatan petani untuk keluar dari pasar. Hambatan keluar dan masuk ini tergolong kecil sehingga masih dapat dengan mudah untuk keluar dan masuk pasar. Komoditi yang yang diperjualbelikan homogen atau sama di setiap petani yaitu tebu. Di beberapa saluran petani mudah mendapatkan informasi. Informasi 61
didapatkan dari setiap lembaga tataniaga ataupun dari sesama petani. Informasi yang didapatkan berupa harga pasar dan biaya produksi. Harga yang berlaku merupakan harga berdasarkan harga pasar, dimana petani bertindak sebagai price taker. 6.4.2. Struktur Pasar di Tingkat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Struktur pasar yang dihadapi oleh APTRI adalah pasar oligopoli. Hal ini dapat dilihat dari jumlah APTRI yang ada hanya dua. Petani dan APTRI memiliki hubungan yang erat karena setiap APTRI sudah memiliki petani masing-masing yang akan menjual tebu kepada APTRI. Petani yang menjual hasil tebunya kepada APTRI merupakan pelanggan tetap bagi APTRI. Namun hal ini, tidak menutup kemungkinan bagi petani untuk menjual hasil tebunya kepada non APTRI. Komoditas yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu tebu. Adanya hambatan untuk masuk ke pasar bagi APTRI adalah sulitnya mencari petani untuk menjual hasil tebu kepada APTRI, sulitnya mencari petani yang akan loyal kepada APTRI dan penyediaan modal bagi petani yang membutuhkan pinjaman modal untuk kegiatan produksinya. Hambatan untuk keluar dari pasar juga tinggi karena masih belum terpenuhinya permintaan gula, petani masih mengalami kesulitan dalam pengadaan modal dan telah memiliki petani yang loyal. Informasi pasar didapatkan dari investor yang akan mengikuti lelang yang akan diadakan oleh APTRI. 6.4.3. Struktur Pasar Kelompok Tani Kelompok tani menghadapi struktur pasar oligopoli. Hanya terdapat sedikit kelompok tani yang berada di wilayah petani. Adanya halangan untuk masuk pasar bagi kelompok tani yaitu memperoleh surat kontrak dari pabrik gula untuk menggilingkan tebu milik anggotanya, memiliki anggota kelompok yang akan menggiling tebu milik anggotanya melalui kelompok tani dan memiliki informasi yang dibutuhkan oleh petani. Hambatan keluar pasar yang dialami oleh kelompok tani adalah surat kontrak dari pabrik gula yang telah didapatkan mengharuskan kelompok tani untuk terus menggilingkan tebu kepada pabrik gula
62
sesuai kesepakatan dalam surat kontrak. Informasi pasar yang diberikan kepada petani didapatkan dari pabrik gula dan kelompok tani lainnya. 6.4.4. Struktur Pasar Kontraktor Tebu Struktur pasar yang dihadapi oleh kontraktor tebu adalah pasar persaingan sempurna, karena jumlah kontraktor tebu cukup banyak. Produk yang diperjualbelikan bersifat homogen yaitu tebu. Harga ditentukan melalui sistem tawar menawar dengan petani. Harga yang berlaku sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. Hambatan untuk keluar masuk pasar termasuk kecil karena kebanyakan kontraktor tebu merupakan petani tebu. Kontraktor tebu merupakan pekerjaan sampingan bagi petani tebu. Apabila kontraktor tebu keluar dari pasar maka kontraktor tebu dapat menjadi petani tebu. Hambatan untuk masuk ke dalam pasar adalah sulitnya mendapatkan surat kontrak bagi kontraktor tebu. Hambatan ini tergolong kecil karena surat kontrak dapat diajukan kepada pabrik gula dengan mengikuti tata cara dan persyaratan yang berlaku. Informasi mengenai pasar didapatkan kontraktor tebu dari pabrik gula dan sesama kontraktor tebu. Informasi yang didapatkan adalah informasi mengenai harga beli tebu, biaya pemanenan dan biaya pengangkutan, rendemen tebu dan permintaan tebu. Sistem pembayaran tebu dilakukan dengan diangsur, 50% sebagai uang muka dan sisanya dibayarkan setelah tebu digiling oleh pabrik gula. 6.4.5. Struktur Pasar Pedagang Sari Tebu Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang sari tebu mengarah kepada pasar persaingan sempurna. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penjual dan pembeli yang banyak. Hambatan untuk keluar masuk pasar tergolong rendah hal ini dipengaruhi oleh modal yang dikeluarkan untuk menjual minuman sari tebu, tempat berjualan dan mesin yang digunakan. Hambatan untuk keluar pasar adalah telah memiliki banyak pelanggan yang akan membeli sari tebu. Hambatan ini secara keseluruhan tergolog kecil. Produk yang dijual oleh pedagang telah diolah menjadi minuman sari tebu yang bisa langsung dikonsumsi oleh konsumen. Harga yang berlaku ditetapkan oleh pedagang sari tebu. Informasi pasar diperoleh dari petani dan sesama pedagang.
63
6.5.
Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar merupakan pola atau tingkah laku lembaga-lembaga
tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar. Analisis perilaku pasar dapat dilihat dari praktek pembelian dan penjualan yang dilakukan lembaga tataniaga, sistem penentuan harga dan pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Uraian dari perilaku pasar dalam tataniaga tebu di Desa Pulorejo adalah.
6.5.1. Praktek Pembelian dan Penjualan Petani tebu yang menjadi responden dalam penelitian ini menjual hasil tebunya kepada Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, kontraktor tebu, pabrik tebu melalui kelompok tani dan pedagang sari tebu. Tujuan utama petani tebu menjual tebunya kepada Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, kontraktor tebu dan pabrik tebu melalui kelompok tani. Jika ada tebu yang tidak layak giling maka petani akan menjual tebunya kepada pedagang sari tebu. Produksi tebu petani responden per panen adalah 356.450 kuintal. Rata-rata jumlah tebu yang dijual oleh petani kepada pedagang sari tebu adalah 5% dari hasil panen tebu dan tidak semua petani menjual tebu hasil panen kepada pedagang sari tebu. Sistem penjualan yang dilakukan oleh petani tebu adalah tunai dan menggunakan nota penjualan. Penjualan secara tunai dilakukan apabila petani menjual tebu kepada pedagang sari tebu. Penjualan secara nota penjualan dilakukan apabila petani menjual hasil tebunya kepada Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia, kontraktor tebu dan pabrik gula melalui kelompok tani. Biaya pemanenan dan biaya pengangkutan ditanggung oleh petani jika petani menjual hasil tebunya kepada Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia dan pabrik gula melalui kelompok tani. Apabila petani menjual hasil tebunya kepada kontraktor tebu dan pedagang sari tebu maka biaya tersebut akan ditanggung oleh pembeli atau lembaga tataniaga. Pada umumnya petani menjual tebu melakukan sistem jual secara bebas dan langganan. Petani bebas menjual tebunya kepada pedagang tujuannya dan akan menjual tebu kepada langganan pedagangnya. Kontraktor tebu akan membeli tebu milik petani secara borongan dan membayarnya secara diangsur. Pembayaran awal sebagai uang muka sebesar 50% dan sisanya akan dibayar jika kontraktor tebu telah mendapatkan hasil dari pabrik 64
gula. Biaya pemanenan dan biaya pengangkutan akan ditanggung oleh kontraktor tebu. Pembelian dilakukan di kebun milik petani, kontraktor tebu akan mendatangi petani yang akan siap panen. Komunikasi antara petani dan kontraktor tebu dilakukan secara langsung. Kontraktor tebu akan mendatangi petani yang sudah menjadi langganannya, namun petani masih bisa menjual tebu secara bebas. Selanjutnya kontraktor tebu akan menjual tebu kepada pabrik gula. penjualan dilakukan dengan nota penjualan. Kontraktor tebu akan menjual tebu kepada pabrik gula langganannya karena kontraktor tebu telah memiliki surat kontrak dari pabrik gula. Proses penjualan tebu dilakukan secara langganan dan memiliki keterikatan karena memiliki surat kontrak. Tebu yang telah digiling oleh pabrik gula akan diadakan bagi hasil dengan pabrik gula sesuai dengan rendemen yang dihasilkan oleh tebu milik kontraktor tebu. Kontraktor tebu akan mendatangi langsung pabrik gula tempat kontraktor akan menggiling tebu miliknya. Komunikasi antara pabrik gula dan kontraktor tebu dilakukan secara langsung. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Tebu Indonesia (APTRI) melakukan pembelian tebu milik petani secara borongan. Petani memperoleh pinjaman untuk melakukan budidaya tebu. Biaya pemanenan dan biaya pengangkutan ditanggung oleh petani. Biaya ini akan dipotong dari hasil penjualan tebu kepada APTRI. APTRI memiliki data-data mengenai masa tanam tebu dan masa panen tebu milik petani yang meminjam dana kepada APTRI. Sistem pembelian dilakukan dengan nota penjualan. Petani yang menjadi anggota APTRI akan secara rutin untuk menjual hasil tebu kepada APTRI. Kemudian APTRI menggilingkan tebu di pabrik gula, sistem bagi hasil akan dilakukan antara pabrik gula dan APTRI. Hasil gilingan tebu di ambil oleh APTRI dan akan dijual melalui sistem lelang dengan investor yang akan membeli. Proses penjualan dilakukan secara tunai. Investor yang membeli hasil gilingan tidak tetap hal ini berdasarkan dari penawaran tertinggi peserta lelang yang diadakan oleh APTRI. Setelah APTRI mendapatkan hasil penjualan dari sistem lelang maka mereka akan membayar tebu yang telah dibeli dari petani. Pabrik gula melakukan pembelian tebu milik petani melalui perantara kelompok tani. Kelompok tani memiliki anggota petani tebu, kelompok tani menyalurkan tebu milik petani kepada pabrik gula. Tebu milik petani digilingkan 65
ke pabrik gula menggunakan nama kelompok tani yang telah memiliki surat kontrak dari pabrik gula. Biaya pemanenan dan biaya pengangkutan ditanggung oleh petani. Sistem pembelian dengan menggunakan nota penjualan, pembayaran akan diberikan melalui kelompok tani dari pabrik gula. Petani yang menjual tebunya kepada pabrik gula melalui kelompok tani merupakan petani langganan dari kelompok tani. Petani akan mendatangi kelompok tani saat tebunya siap dipanen. Dalam hal ini kelompok tani mendapatkan komisi dari petani yaitu sebesar 1,5% dari hasil yang diperoleh petani. Kelompok tani yang akan mengurus tebu milik petani mulai dari pengangkutan hingga pembayaran diterima oleh petani. Pabrik gula akan memberlakukan sistem bagi hasil dengan petani sesuai dengan rendemen dari tebu yang dihasilkan. Tebu yang telah digiling oleh pabrik gula akan dijual melalui sistem lelang yang diadakan oleh pabrik gula. sistem lelang ini akan diikuti oleh beberapa investor. Investor tersebut merupakan agen besar yang akan menjual gula tersebut. Penjualan gula dilakukan pabrik dalam kurun waktu 15 hari sekali. Dalam waktu 15 hari akan dikumpulkan hasil gilingan tebu yang telah digiling oleh pabrik gula. Sistem penjualan yang dilakukan oleh pabrik gula secara tunai. Proses pembelian yang dilakukan oleh pedagang sari tebu adalah secara tunai dengan cara mendatangi langsung petani yang menjual tebu miliknya. Tebu yang dibeli oleh pedagang sari tebu dari petani rata-rata 3.450 kuintal. Biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang sari tebu. Tebu yang telah dibeli oleh pedagang ini kemudian diolah untuk dijual secara langsung kepada konsumen. Konsumen akan mudah menjumpai pedagang sari tebu ini karena jumlah pedagang sari tebu termasuk banyak. Penjualan yang dilakukan pedagang sari tebu kepada konsumen secara tunai dan saat transaksi berlangsung. 6.5.2. Sistem Penentuan Harga dan Pembayaran Harga Sistem penentuan harga yang berlaku pada sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo adalah tawar menawar antara pembeli dan penjual dan berdasarkan tawaran tertinggi dalam sistem lelang. Harga juga ditentukan dari keputusan pemerintah mengenai harga maksimal lelang gula. Bila harga telah tercapai maka proses pembelian dan penjualan akan dilakukan dan transaksi akan terjadi. 66
Sistem penentuan harga di tingkat petani dengan kontraktor tebu, kelompok tani,pedagang sari tebu dan APTRI dilakukan dengan cara tawar menawar di antara pembeli dan penjual. Namun petani tidak dapat sepenuhnya mempengaruhi harga jual tebu. Karena harga tebu dilihat berdasarkan ketetapan pemerintah. Maka harga yang diterima petani mengikuti harga yang telah ditetapkan pemerintah. Jika harga yang ditetapkan rendah maka harga yang diterima petani juga rendah. Petani memiliki posisi tawar yang rendah karena petani bertindak sebagai penerima harga (price taker). Sistem penentuan harga di tingkat kontraktor tebu mengikuti dari harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan pabrik gula. Selain itu penentuan harga di tingkat kontraktor tebu ditentukan oleh musim pada saat panen. Jika saat panen tiba yang terjadi musim hujan maka harga tebu akan turun atau rendah. Hal ini dikarenakan musim hujan membuat kadar air yang terdapat dalam tebu akan tinggi sehingga akan menyebabkan turunnya rendemen tebu. Sistem penentuan harga di tingkat APTRI dan pabrik gula mengikuti ketetapan pemerintah dan penawaran lelang tertinggi. Pemerintah berkewajiban untuk mengendalikan harga gula di tingkat konsumen. Salah satu bentuk pengendalian yang dilakukan oleh pemenrintah adalah mengeluarkan kebijakan mengenai harga maksimal pada lelang. Penentuan harga maksimal ini dimaksudkan agar harga yang diterima oleh konsumen tidak terlalu tinggi. Namun, kebijakan pemerinah ini terkadang belum dipatuhi sepenuhnya oleh pabrik gula. Terkadang pabrik gula menjual di atas harga maksimal yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Harga tersebut tetap merupakan penawaran tertinggi dari investor yang mengikuti lelang pabrik gula. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga tebu di Desa Pulorejo dapat secara tunai, diangsur dan nota penjualan. Sistem pembayaran dipengaruhi oleh perjanjian antara pembeli dan penjual. Sistem pembayaran secara tunai dilakukan antara petani dan pedagang sari tebu sesuai dengan harga yang telah disepakati. Pembayaran secara diangsur dilakukan petani dengan kontraktor tebu. Sebesar 50% dibayarkan sebagai uang muka dan sisanya dibayarkan setelah tebu digiling dan dijual oleh
67
pabrik gula. Sistem pembayaran dengan nota penjualan dilakukan antara petani dengan APTRI dan kelompok tani.
6.5.3. Kerjasama Antara Lembaga Tataniaga Kerjasama antara lembaga-lembaga tataniaga yang ada pada tataniaga tebu di Desa Pulorejo memungkinkan tataniaga tebu menjadi lebih lancar. Kerjasama yang tercipta diantara lembaga tataniaga telah lama terjalin sehingga telah mendapatkan kepercayaan satu sama lainnya. Kerjasama antar lembaga tataniaga terjalin karena adanya proses pembelian dan penjualan. Kerjasama antara petani dengan kontraktor tebu dilakukan dalam kegiatan pembelian dan penjualan. Kontraktor tebu yang membeli tebu pada petani meringankan biaya petani karena biaya pemanenan dan biaya pengangkutan ditanggung oleh kontraktor tebu. Kerjasama ini sudah terjalin bertahun-tahun dan petani telah memiliki langganan kontraktor tebu yang akan membeli tebu. kerjasama petani dengan pedagang sari tebu janya sebatas penyedian tebu sebagai bahan baku dari minuman sari tebu. Kerjasama antara petani dengan kelompok tani dilakukan dalam kegiatan mengirimkan tebu milik petani untuk digiling di pabrik gula. Petani mendapatkan kemudahan dalam menggilingkan tebu dipabrik gula karena kelompok tani akan mengurus segala sesuatu hingga tebu milik petani telah dijual melalui sistem lelang yang diadakan oleh pabrik gula. Biaya pemanenan dan biaya pengangkutan ditanggung oleh petani. Kelompok tani mendapatkan keuntungan dari penyaluran tebu milik petani kepada pabrik gula. Kelompok tani mendapatkan komisi sebesar 1,5% dari hasil yang didapatkan petani dari pabrik gula. Kerjasama antara petani dengan Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) lebih terorganisir. Petani yang menjadi anggota APTRI ini didata mengenai lahan dan akan mendapatkan dana berupa pinjaman untuk biaya produksi petani. Petani yang mendapatkan modal dari APTRI wajib menjual tebu miliknya kepada APTRI. Petani mendapatkan informasi mengenai pasar. Kerjasama ini telah terjalin selama bertahun-tahun dan kedekatan ini membuat petani enggan untuk menjual tebu miliknya kepada pihak lain.
68
Kerjasama antara kontraktor tebu dengan pabrik tebu adalah dalam hal pembelian dan penjualan tebu. Kontraktor tebu mendapatkan surat kontrak dari pabrik tebu dan diharuskan untuk menggilingkan tebu miliknya kepada pabrik gula tersebut. Jika kontraktor tebu tersebut secara kontinu atau terus menerus dapat memenuhi kapasitas giling yang tertera dalam surat kontrak maka kontraktor tebu akan mendapatkan surat kontrak lagi. Surat kontrak kontraktor tebu akan bertambah dan ia harus memenuhi kapasitas giling yang disebutkan dalam surat kontrak. Kerjasama ini membuat kontraktor tebu enggan untuk menjual tebu miliknya ke pabrik gula yang lain. Kerjasama kelompok tani dengan pabrik gula sama halnya dengan kerjasama kontraktor tebu dengan pabrik gula. kelompok tani mendapatkan kepercayaan dari pabrik gula untuk menggilingkan tebu milik anggotanya kepada pabrik gula tersebut. Kelompok tani yang menggilingkan tebu milik anggotanya senantiasa untuk menggilingnya kepada pabrik gula tersebut. Hubungan kerjasama antara lembaga tataniaga umumnya telah terjalin lama sehingga telah menimbulkan rasa percaya diantara lembaga tataniaga. Kontraktor tebu, kelompok tani, APTRI dan pabrik gula terus menjaga kepercayaan agar saluran tataniaga yang terjadi dapat terus dipertahankan.
6.6.
Analisis Margin Tataniaga Margin tataniaga merupakan selisih harga jual dan harga beli di tingkat
petani dan di tingkat pedagang pada lembaga tataniaga. Margin tataniaga meliputi biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam setiap lembaga tataniaga dan keuntungan yang didapat oleh lembaga tataniaga dalam menyalurkan produk pertanian dari produsen hingga ke tangan konsumen. Dalam penelitian ini, margin tataniaga yang akan dihitung menggunakan prinsip kesetaraan. Semua satuan dalam perhitungan margin tataniaga tebu ini adalah Rupiah per kuintal tebu. Perhitungan yang digunakan adalah rendemen yang dihasilkan petani 6,84%. Hal ini menunjukkan bahwa satu kuintal tebu menghasilkan 6,84 kilogram gula. Sehingga untuk menghasilkan satu kuintal gula membutuhkan 14 kuintal tebu. Hasil sampingan yang didapatkan petani adalah tetes dan gula natura yang diberikan kepada petani. Jumlah tetes yang diberikan kepada petani adalah 2,5% dari total 69
tebu yang digilingkan di pabrik gula dan harga tetes adalah Rp. 1.000-1.800/ kg tetes. Gula natura yang diberikan petani sebesar 10% dari gula milik petani yang telah melalui proses bagi hasil dengan pabrik gula. Gula natura ini bisa dijual oleh pabrik gula, petani menjual ke warung-warung dekat rumah, dan dikonsumsi oleh petani sendiri. Harga tetes dan natura yang diterimapetani dapat dilihat pada lampiran 2. Kesetaraan ini yang akan digunakan untuk menghitung margin tataniaga tebu. Pada saluran tataniaga satu, petani mengeluarkan biaya tataniaga yang terdiri dari biaya pemanenan Rp. 6.375/Kuintal tebu, biaya pengangkutan tebu Rp. 5.500/Kuintal tebu, dan biaya administrasi Rp. 326/Kuintal tebu. Total biaya tataniaga yang dikeluarkan petani adalah Rp. 12.201/Kuintal tebu. Sedangkan biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh Asosiasi Petani tebu Rakyat Indonesia (APTRI) adalah biaya pengemasan (karung gula) Rp. 328/Kuintal tebu, biaya administrasi Rp.1.200/Kuintal tebu, dan biaya penyimpanan Rp. 1.071/Kuintal tebu. Total biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh Asosiasi Petani tebu Rakyat Indonesia (APTRI) adalah Rp. 2.599/Kuintal tebu. Biaya tataniaga paling besar dikeluarkan oleh petani karena petani yang mengeluarkan biaya pemanenan dan pengangkutan yang merupakan biaya tertinggi dalam biaya tataniaga. Biaya tataniaga tebu yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pada saluran tataniaga satu dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Biaya Tataniaga Tebu Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga 1 Biaya
Rata-rata (Rp/Kuintal)
Petani Biaya pemanenan
6.375
Biaya pengangkutan
5.500
Biaya administrasi Jumlah
326 12.201
APTRI Biaya pengemasan
328
Biaya administrasi
1.200 70
Biaya penyimpanan
1.071
Jumlah
2.599
Pada saluran tataniaga kedua biaya yang dikeluarkan oleh petani adalah biaya pemanenan Rp. 7.000/Kuintal tebu, biaya pengangkutan Rp.6.500/Kuintal tebu, dan biaya administrasi Rp. 350/Kuintal tebu. Total biaya tataniaga yang harus dikeluarkan oleh petani dalam saluran tataniaga kedua sebesar Rp. 13.850/Kuintal tebu. Sedangkan biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh kelompok tani adalah biaya administrasi sebesar Rp. 1.000/Kuintal tebu. Biaya tataniaga terbesar dikeluarkan oleh petani karena petani yang melakukan pemanenan dan pengangkutan tebu. Biaya tataniaga tebu yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pada saluran tataniaga kedua dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Biaya Tataniaga Tebu Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga 2 Biaya
Rata-rata (Rp/Kuintal)
Petani Biaya pemanenan
7.000
Biaya pengangkutan
6.500
Biaya administrasi Jumlah
350 13.850
Kelompok Tani Biaya administrasi
1.000
Jumlah
1.000
Pada saluran ketiga, petani tidak mengeluarkan biaya tataniaga karena biaya pemanenan dan biaya pengangkutan yang biasanya ditanggung oleh petani menjadi tanggungan kontraktor tebu yang membeli tebu milik petani. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh kontraktor tebu adalah biaya pengangkutan Rp.6.600/Kuintal tebu, biaya pemanenan Rp. 8.000/Kuintal tebu, biaya pengemasan (biaya karung) Rp. 328/Kuintal tebu, dan biaya administrasi Rp.
71
1.500/Kuintal tebu. Biaya tataniaga tebu yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pada saluran tataniaga kedua dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Biaya Tataniaga Tebu Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga 3 Biaya
Rata-rata (Rp/Kuintal)
Petani -
Jumlah Kontraktor Tebu Biaya pemanenan
8.000
Biaya pengangkutan
6.600
Biaya pengemasan
328
Biaya administrasi
1.500
Jumlah
16.428
Pada saluran tataniaga keempat biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh petani adalah biaya pemanenan Rp.7.500/Kuintal tebu. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang sari tebu adalah biaya pengangkutan Rp. 8.000/Kuintal tebu, biaya pengemasan (gelas plastik) Rp. 400.000/Kuintal tebu, biaya pengolahan Rp.8.000/Kuintal tebu, dan biaya penyimpanan Rp. 60.000/Kuintal tebu. Biaya tataniaga tebu yang dikeluarkan oleh setiap lembaga pada saluran tataniaga kedua dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Biaya Tataniaga Tebu Setiap Lembaga Tataniaga pada Saluran Tataniaga 4 Biaya
Rata-rata (Rp/Kuintal)
Petani Biaya pemanenan
7.500
Jumlah
7.500
Pedagang Sari Tebu Biaya pengangkutan
8.000 72
Biaya pengemasan Biaya pengolahan Biaya penyimpanan Jumlah
400.000 8.000 60.000 476.000
Saluran tataniaga keempat yang mengeluarkan biaya tataniaga terbesar yaitu Rp. 483.500/Kuintal tebu. Margin di setiap saluran tataniaga berbeda-beda karena perbedaan biaya pemsaran yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh untuk setiap lembaga tataniaga. Hal ini juga akan menyebabkan perbedaan harga jual disetiap tingkatan lembaga tataniaga. Nilai margin tataniaga yang kecil menunjukkan bahwa saluran tataniaga tersebut efisien karena perbedaan harga jual di tingkat petani dan harga beli di lembaga tataniaga akhir kecil hal ini akan menguntungkan petani. Nilai margin tataniaga yang besar me nunjukkan bahwa saluran tataniaga tersebut tidak efisien karena perbedaan harga jual di tingkat petani dan harga beli di tingkat lembaga tataniaga terakhir besar hal ini akan merugikan petani. Berdasarkan analisis margin tataniaga tebu dapat dilihat bahwa saluran tataniaga keempat yang memiliki margin tataniaga yang terbesar dan saluran tataniaga pertama memiliki margin tataniaga terkecil dalam saluran tataniaga tataniaga tebu. Rincian mengenai margin tataniaga dan keuntungan yang diterima oleh setiap lembaga tataniaga setelah pendapatan petani ditambahkan dengan penerimaan harga tetes dan penerimaan gula natura dapat dilihat dari Tabel 19. Margin tataniaga dan keuntungan yang diterima setiap lembaga tataniaga berdasarkan pendapatan petani yang berasal dari harga tebu dapat dilihat di Lampiran 3.
73
Tabel 19. Margin tataniaga tebu setiap saluran tataniaga di Desa Pulorejo tahun 2011 1 Uraian
Petani Harga jual B.Tataniaga APTRI Harga Beli B.Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin Kontraktor Tebu Harga Beli B.Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin Kelompok tani Harga Dasar B.Tataniaga Fee Keuntungan Harga Jual Margin Pedagang Sari Tebu HargaBeli B.Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin Total B.tataniaga Total Keuntungan Total Margin
6.7.
Saluran Tataniaga 3 Nilai % Nilai % (Rp/Kw) (Rp/K w) 2
Nilai (Rp/K w)
%
48.340 12.201
84,60 21,35
48.340 2.599 6.203 57.142 8.802
84,60 4,55 10,86 100 15,40
47.173 13.850
47.173 1.000 964,275 15.148 64.285 17.112
73,38 21,54
46.240
71,93
46.240 16.428 1.617 64.285 18.045
71,93 25,55 2,52 100 28,07
4 Nilai (Rp/Kw)
%
200.000 7.500
20 0,75
20 47,6 32,4 100 80 48,4
73,4 1,56 1,5 23,56 100 26,62
14.800
25,90
14.850
23,10
16.428
25,5
200.000 476.000 324.000 1.000.000 800.000 483.500
6.023
10,86
15.148
23,56
1.617
2,52
324.000
32,4
8.802
15,40
17.112
26,62
18.045
28,1
800.000
80
Farmer’s Share Farmer’s share adalah selisih antara harga retail dan margin tataniaga. Hal
ini digunakan untuk mengatahui porsi harga di tingkat konsumen yang dinikmati oleh petani. Melalui farmer’s share dapat diketahui efisien atau tidaknya sebuah saluran tataniaga. Nilai farmer’s share yang besar berarti porsi atau bagian yang dinikmati petani besaar dan saluran tataniaga tersebut efisien. Nilai farmer’s share 74
yang kecil berarti porsi atau bagian yang dinikmati oleh petani kecil dan saluran tataniaga tersebut tidak efisien. Analisis farmer’s share dari tataniaga tebu di Desa Pulorejo dapat dilihat dari tabel 20. Tabel 20. Analisis Farrmer’s Share pada Saluran Tataniaga Tebu di Desa Pulorejo Tahun 2011 Saluran Tataniaga I II III IV
Harga di Tingkat Petani (Rp/Kuintal) 48.340 47.173 46.240 200.000
Harga di Tingkat Konsumen (Rp/Kuintal) 57.142 64.285 64.285 1.000.000
Farmer's Share (%) 84,60 73,38 71,93 20,00
Farmer’s share tertinggi terdapat pada saluran tataniaga satu sebesar 84,60%, hal ini menunjukkan bahwa petani menerima harga sebesar 84,60% dari harga yang dibayarkan oleh konsumen. Pada analisis margin tataniaga saluran tataniaga satu mendapatkan margin terkecil yaitu sebesar 15,40%. Sedangkan farmer’s share terkecil didapatkan oleh saluran tataniaga empat sebesar 20% dan mendapatkan margin tataniaga terbesar sebesar 80%. Pada saluran dua dan tiga harga di tingkat konsumen sama yaitu sebesar Rp. 64.285/Kuintal. Tetapi terdapat perbedaan dalam farmer’s share yang didapatkan oleh peetani. Hal ini dapat disebabkan oleh harga di tingkat petani pada saluran dua lebih besar bila dibandingkan dengan saluran tataniaga tiga. Selain itu hal ini dapat disebabkan oleh total biaya tataniaga pada saluran tataniaga dua lebih kecil daripada saluran tataniaga tiga. Jika dilihat dari analisis margin tataniaga dan farmer’s share maka saluran tataniaga satu dapat dikatakan paling efisien karena nilai margin saluran pemsaran satu terkecil dan farmer’s share yang didapatkan petani juga paling besar.
6.8.
Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Rasio keuntungan terhadap biaya dapat digunakan untuk melihat efisiensi
suatu sistem tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga mendefinisikan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya lebih dari satu hal ini berarti saluran tersebut 75
layak untuk dijalankan dan telah memberikan keuntungan kepada lembaga tataniaga yang terlibat didalamnya. Analisis rasio keuntungan dan biaya tataniaga tebu di Desa Pulorejo dapat dilihat dalam tabel 21.
Tabel 21. Analisis Keuntungan Terhadap Biaya pada Lembaga Tataniaga Tebu di Desa Pulorejo Tahun 2011 Saluran Tataniaga Saluran I Petani Aptri Total Saluran II Petani Kelompok Tani Total Saluran III Petani Kontraktor Tebu Total Saluran IV Petani Pedagang Sari Tebu Total
Keuntungan Tataniaga (Rp/Kuintal)
Biaya Tataniaga (Rp/Kuintal)
Rasio Keuntungan Terhadap Biaya
36.139 6.203 42.342
12.201 2.599 14.800
2,96 2,39 2,86
33.323 15.148 48.471
13.850 1.000 14.850
2,41 15.15 3,26
46.240 1.617 47.857
16.428 16.428
0,10 2,91
192.500 324.000 516.500
7.500 467.000 474.500
25,67 0,69 1,09
Berdasarkan tabel di atas pada setiap saluran tataniaga memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya lebih dari satu, hal ini berarti kegiatan tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga masing-masing memberikan keuntungan. Rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran pertama adalah 2,86. Hal ini berarti setiap Rp. 1/kuinal tebu akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 2,86/kuintal tebu. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya terbesar berada pada saluran tataniaga dua yaitu sebesar 3,26. Hal ini berarti setiap Rp. 1/kuintal tebu akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 3,26/kuintal tebu. Rasio keuntungan terhadap biaya terbesar dalam saluran dua adalah kelompok tani. Rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran ketiga sebesar 2,91. Setiap Rp. 1/kuintal tebu akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 2,91/kuintal tebu. Sedangkan pada saluran 76
keempat memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 1,09. Setiap Rp. 1/kuintal tebu akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 1,09/kuintal tebu. Berdasarkan perhitungan rasio keuntungan terhadap biaya maka saluran tataniaga kedua yang relatif lebih efisien karena memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya paling besar. Sedangkan saluran tataniaga keempat relatif tidak efisien karena memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang paling kecil.
6.9.
Efisiensi Saluran Tataniaga Tujuan akhir yang ingin dicapai dari suatu sistem tataniaga adalah saluran
yang efisien. Efisiensi tataniaga dapat dilihat berdasarkan efisiensi operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional meliputi efisiensi dalam pengolahan, pengemasan, pengangkutan, dan fungsi lain dari sistem tataniaga. Efisiensi harga meliputi kegiatan pembelian, penjualan, dan aspek harga. Analisis yang digunakan untuk mengetahui efisiensi operasional adalah analisis margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Berdasarkan analisis margin tataniaga pada saluran tataniaga tebu yang paling efisien adalah saluran tataniaga pertama sebesar 15,40%. Saluran tataniaga pertama ini memiliki volume penjualan 73.000 kuintal dan memiliki presentase sebesar 20,5% dari total volume penjualan tebu. Analisis farmer’s share menunjukan bahwa saluran tataniaga pertama yang paling efisien. Nilai farmer’s share pada saluran pertama adalah 84,60%. Sedangkan analisis rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan bahwa saluran tataniaga pertama telah memberikan keuntungan pada setiap lembaga tataniaga yang terlibat didalamnya. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 2,86 yang artinya setiap Rp. 1/kuintal tebu akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 2,86/kuintal tebu. Keadaan yang sebenarnya terjadi adalah petani lebih banyak menjual tebunya kepada kontraktor tebu, hal ini disebabkan oleh petani tidak mengeluarkan biaya pemanenan dan biaya pengangkutan karena semua biaya tersebut ditanggung oleh kontraktor tebu. Selain itu, petani menganggap bahwa jika tebu miliknya dijual kepada kontraktor tebu petani akan lebih mudah dan lebih cepat mendapatkan hasil karena kontraktor tebu akan membayar 50% di awal sebagai DP dan sisanya akan dilunasi jika telah mendapatkan hasil dari 77
pabrik tebu. Petani tidak akan susah untuk mencari lembaga tataniaga karena kontraktor tebu akan mencari petani. Volume penjualan tebu pada saluran tiga paling besar dalam saluran tataniaga tebu. Volume penjualan pada saluran ketiga sebesar 227.000 kuintal atau sebesar 63,7% dari total volume penjualan tebu. Potensi petani untuk menjual tebu kepada Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia dan kelompok tani terbuka luas. Kelompok tani berada di masingmasing daerah petani tinggal. Kelompok tani akan menjadi perantara petani dengan pabrik gula. kelompok tani akan mengurus tebu milik petani di pabrik gula hingga uang hasil gilingan tebu diberikan. Namun ada keenganan dari petani untuk memberikan komisi kepada kelompok tani. Komisi yang dibayarkan petani kepada kelompok tani sebesar 1,5% dari hasil milik petani. Sedikitnya petani yang bergabung pada Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia disebabkan oleh jauhnya letak Asosasi Petani tebu Rakyat Indonesia. Pendaftaran dan pengambilan uang hasil petani dilakukan di Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia. Petani yang bergabung dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia bisa mendapatkan kredit untuk memberikan modal kepada petani. Ada beberapa petani yang memiliki modal sendiri untuk membiayai biaya usahatani tebu. Petani yang memiliki modal sendiri enggan untuk masuk ke dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia.
78
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1.
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari analisis sistem tataniaga Tebu di Desa
Pulorejo adalah sebagai berikut: 1.
Saluran tataniaga tebu yang terbentuk di Desa Pulorejo ada empat saluran yaitu: saluran tataniaga 1) Petani – Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) – Pabrik Gula. Saluran tataniaga 2) Petani – Kelompok Tani – Pabrik Gula. Saluran tataniaga 3) Petani – Kontraktor Tebu – Pabrik Gula. Saluran tataniaga 4) Petani – Pedagang Sari Tebu – Konsumen.
2.
Fungsi pemasaran yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga adalah fungsi pertukaran berupa pembelian dan penjualan, fungsi fisik berupa pengangkutan, pengemasan, penyimpanan, fungsi fasilitas berupa penanggungan risiko, sortasi, pembiayaan, pengolahan dan informasi pasar. Struktur pasar yang yang dihadapi oleh petani mengarah ke pasar persaingan sempurna. Pasar yang dihadapi oleh Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) adalah pasar oligopoli. Struktur pasar yang dilihat dari kelompok tani mengarah kepada pasar oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi oleh kontrkator tebu dan pedagang sari tebu adalah pasar persaingan sempurna. Perilaku pasar dapat diamati dari praktek pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, dan kerjasama antar lembaga tataniaga.
3.
Berdasarkan margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan saluran tataniaga satu merupakan saluran yang paling efisien. Hal ini dapat dilihat dari margin tataniaga yang terendah, farmer’s share yang tertinggi dan saluran tataniaga ini juga memberikan keuntungan kepada setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Volume penjualan dalam saluran tataniaga kesatu sebesar 73.000 kuintal atau sebesar 20,5% dari total volume penjualan tebu.
79
7.2.
Saran
1.
Petani lebih mempertimbangkan nilai margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya dalam memilih saluran tataniaga. Diharapkan petani tidak lagi memilih saluran tataniaga berdasarkan kebutuhan petani tetapi berdasarkan saluran tataniaga yanglebih efisien.
2.
Petani tebu dapat memilih saluran tataniaga yang efisien yang akan memberikan keuntungan kepada petani sehingga petani memperoleh bagian yang tinggi dalam sistem tataniaga. Dalam penelitian ini saluran tataniaga melalui Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). APTRI dapat berperan dalam pembinaan budidaya, penyediaan modal, penjualan tebu, dan penyediaan informasi kepada petani.
3.
APTRI dapat membuka sekretariat atau cabang yang akan membantu petani dalam saluran tataniaga. Sekretariat atau cabang dibuka dekat dengan lokasi petani sehingga petani tidak perlu datang ke kantor APTRI pusat untuk mengurus tebu dan uang milik petani.
4.
Pabrik gula dapat lebih mempermudah pengurusan surat kontrak yang digunakan petani untuk menggilingkan tebu ke pabrik gula sehingga lebih banyak lagi petani yang memiliki surat kontrak.
5.
Perluasan informasi diperlukan petani untuk mengetahui budidaya yang baik,perhitungan rendemen dan harga yang berlaku untuk setiap masa panen.
80
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Luas Areal Tanaman Perkebunan. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Produksi Tanaman Perkebunan. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Asmarantaka, Ratna W. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian dalam Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Editor Nunung Kusnadi,dkk. Bogor: IPB press. Dahl. D.C. dan I.Hammond. 1977. Market and Price Analysis The Agricultural Industry. United State: Mc. Graw-Hill, Inc. Direktorat Jendral Perkebunan. 2009. Data Statistik Tebu Provinsi Jawa Timur Tahun 2008. Jakarta: Direktorat Jendral Perkebunan. Direktorat Jendral Perkebunan. 2009. Produksi Tebu Berdasarkan Provinsi di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Perkebunan. Kementrian Pertanian. 2004. Varietas dan Karakteristik Tebu di Indonesia. Jakarta: Kementrian Pertanian.
Kotler, P. 2002. Manajemen Pemasaran. Edisi Ksepuluh. Jakarta: PT. Prenhalindo. Kohls, R.L dan J.N Uhl. 1985. Marketing of Agricultural Products. New York: The Macmillan Company. Kohls, R..L. dan J.N Uhl. 2002. Marketing of Agricultural Products. London: New York an Coller Macmillan Publishing. Limbong, W.H dan P. Sitorus. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian. Program Studi Manajer Koperasi Unit Desa (KUD). Bogor: Fakultas Politeknik Pertanian. IPB
81
Limbong, W.M. dan P. Sitorus. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Bahan Kuliah Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor: IPB. Pemerintah Kabupaten Jombang. 2008. Jombang Dalam Angka 2008. Jombang: Pemerintah Kabupaten Jombang. Rahim A, Hastuti Drd. 2008. Pengantar, Teori dan Kasus Ekonometrika Pertanian. Jakarta: Penebar Swadaya. Slamet. 2004. Tebu (Saccharum officinarum) http://warintek.progressio.or.id/tebu/perkebunan/warintek/merintibisnis/pro gressio.html. [29 November 2010] Soekartawi. 2002. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Sutardjo RM Edhi. 2009. Budidaya Tanaman Tebu. Jakarta : PT Bumi Aksara
82
LAMPIRAN
83
Lampiran 1. Data Petani tebu di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang
1
Sunendro W. S.Sos
40 ha
Tebu Yang Di Usia Pendidikan Hasilkan (kuintal) 36 tahun S1 30.000
2
Sawung AB
12 ha
46 tahun
SMA
16.000
3
H. Agus Salim Cokro
60 ha
66 tahun
SMA
60.000
4
H. Widarto Abdul
23 ha
53 tahun
S1
25.000
5
H. Sudarno Waluyo
20 ha
55 tahun
S1
18.000
6
Sri Mulyati W. SE
10 ha
40 tahun
S1
10.000
MM
3 ha
63 tahun
S2
7.000
8
M.Zamroni
10 ha
32 tahun
S1
10.000
9
Ibu Sus
2 ha
65 tahun
SMA
5.000
10
Yatimin
15 ha
70 tahun
SMA
15.000
11
Abdul Majid
20 ha
65 tahun
D3
20.000
12
M. Aldi Nugraha
10 ha
60 tahun
SMA
10.000
13
Dra. Dewi Mukti
15 ha
63 tahun
S1
13.000
14
Anggar Romansyah
25 ha
47 tahun
STM
20.000
15
Ir. Samsul Huda
20 ha
47 tahun
S1
18.000
16
H. Suratman
23 ha
50 tahun
D3
25.000
17
H. Abdul Sulton
30 ha
40 tahun
SMK
28.000
18
Jalal
8 ha
36 tahun
SMA
8.000
19
Robert
7 ha
40 tahun
D3
8.000
20
Erma Rahmawati
5 ha
45 tahun
D3
7.000
No
7
Nama
Luas Lahan
Drs. H. Zainal Arifin,
84
Lampiran 2. Harga Tebu, Tetes dan Natura yang Diterima Petani di Desa Pulorejo Tahun 2011.
Saluran Tataniaga
Harga Tebu (Rp/Kuintal Tebu)
Harga Tetes (Rp/Kuintal Tebu)
Harga Natura (Rp/Kuintal Tebu)
1
37.000
4.500
6.840
2
37.833
2.500
6.840
3
36.900
2.500
6.840
4
200.000
-
-
85
Lampiran 3. Margin Tataniaga Berdasarkan Pendapatan Petani yang Berasal dari Harga Tebu
1 Uraian
Petani Harga jual B.Tataniaga APTRI Harga Beli B.Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin Kontraktor Tebu Harga Beli B.Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin Kelompok tani Harga Dasar B.Tataniaga Fee Keuntungan Harga Jual Margin Pedagang Sari Tebu HargaBeli B.Tataniaga Keuntungan Harga Jual Margin Total B.tataniaga Total Keuntungan Total Margin
Saluran Tataniaga 3 Nilai % Nilai % (Rp/Kw) (Rp/K w) 2
Nilai (Rp/K w)
%
37.000 12.201
64,75 21,35
37.000 2.599 17.543 57.142 20.142
64,75 4,55 30,70 100 35,25
37.833 13.850
37.833 1.000 964,275 24.488 64.285 26.452
58,85 21,54
36.900
57.40
36.900 16.428 10.957 64.285 27.385
57,40 25,55 17,04 100 42,60
4 Nilai (Rp/Kw)
%
200.000 7.500
20 0,75
20 47,6 32,4 100 80 48,4
58,85 1,56 1,5 38,09 100 41,15
14.800
25,90
14.850
23,10
16.428
25,5
200.000 476.000 324.000 1.000.000 800.000 483.500
17.452
30,70
24.488
38,90
10.957
17,04
324.000
32,4
20.142
35,25
26.452
41,15
27.835
42,6
800.000
80
86
Lampiran 4. Kuisioner Petani Tebu
Kuisioner Penelitian Analisis Tataniaga Tebu Di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang, Jawa Timur Oleh : Anggriani Putri S (H34070117) Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor 2011 Kuisioner untuk Petani Tebu 1. Nama : .............................................................................................. 2. Jenis Kelamin : perempuan / laki-laki 3. Umur : ............................. tahun 4. Alamat rumah : ............................................................................................ 5. Status : menikah / belum menikah 6. Pendidikan terakhir : .......................................................................................... 7. Status lahan : a. Milik sendiri b. Menyewa c. lainnya ............................................................... 8. Luas lahan : ......................................................................................... 9. Berapa lama Anda melakukan kegiatan usahatani tebu? ..................................................................... 10. Alasan menjadi petani tebu?................................................................................................................. 11. Apakah usahatani tebu menjadi pekerjaan utama Anda? Ya / Tidak 12. Pola bertani ? ........................................................monokultur / tumpang sari 13. Apakah Anda tergabung ke dalam kelompok tani? Ya / Tidak. Jika ya, sebutkan ................................................................................................. 14. Jumlah produksi / panen? .................................................................................... 15. Berapa kali panen dalam setahun? ......................................................................... 16. Apakah kegiatan pemanenan dilakukan sendiri? Ya / Tidak Jika ya, siapa yang melakukan pemanenan? ........................................................... Biaya yang dikeluarkan untuk pemanenan ............................................................. 17. Apakah Anda melakukan pengelompokan tebu yang sudah di panen? Ya / Tidak 18. Hasil pengelompokan tebu yang kurang baik untuk apa? ............................. 19. Apakah Anda melakukan penyimpanan tebu sebelum di jual? Ya / Tidak 20. Apakah jika harga tebu di pasar turun, Anda tetap melakukan budidaya tebu? Ya / Tidak Jika ya, sebutkan alasannya ....................... 21. Berapa harga tebu per kuintal yang Anda terima? ............................................ 22. Kemana biasanya Anda menjual hasil panen? .................................................. Lembaga pemasaran
Kuantitas (kuintal)
Harga (Rp/kuintal)
23. Berapa rendemen yang dihasilkan? ......................................................................
84
24. Bagaimana teknik menjualnya? Kontrak / Langganan / Langsung / lainnya...................................... 25. Bagaimana teknik pembayarannya ? Tunai / Kredit / Lainnya........................................................... 26. Siapa yang menentukan harga jual? .................................................................. 27. Bagaimana cara menentukan harga jual ? ........................................................... 28. Apakah lembaga pemasaran memiliki standar khusus mengenai tebu yang dipanen? Ya / Tidak 29. Apakah Anda melakukan kerjasama atau kontrak dengan lembaga pemasaran tertentu? Ya / Tidak Jika ya, apa alasan Anda melakukan kerjasama?.................................................. 30. Apakah Anda mendapatkan informasi tentang pasar tebu? Ya / Tidak 31. Darimana Anda mendapatkan informasi tersebut ? ............................................ 32. Berapa jumlah biaya pemasaran yng dikeluaran setiap panen: a. Biaya pemanenan : Rp......................................................... b. Biaya pengangkutan : Rp......................................................... c. Biaya penyimpanan : Rp......................................................... d. Biaya penyusutan : Rp......................................................... e. Biaya bongkar muat : Rp......................................................... f. Biaya sortir : Rp......................................................... g. Retribusi : Rp......................................................... h. Lainnya : Rp......................................................... 33. Apakah ada kesulitan dalam menjual tebu? Ya / Tidak 34. Sumber modal : (modal sendiri / dapat bantuan / dapat pinjaman) a. Besarnya modal : Rp......................................................... b. Jika dapat bantuan dalam bentuk ........................................... jangka waktu................................. c. Apakah ada keterkaitan dengan pemilik modal? Ya / Tidak d. Jika ya, apakah hasil panen harus dijual ke lembaga tersebut?
85
Lampiran 5. Kuisioner Lembaga Pemasaran Tebu
Kuisioner Penelitian Analisis Tataniaga Tebu Di Desa Pulorejo, Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang, Jawa Timur Oleh : Anggriani Putri S (H34070117) Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor 2011 Kuisioner untuk Lembaga Pemasaran 1. Nama : .......................................................................................................................... 2. Jenis kelamin : perempuan / laki-laki 3. Umur : .................................. tahun 4. Alamat rumah : .......................................................................................................................... .......................................................................................................................... 5. Status : menikah / belum menikah 6. Pendidikan terakhir : .......................................................................................................................... 7. Klasifikasi lembaga pemasaran: .......................................................................................................... 8. Nama lembaga : .......................................................................................................................... 9. Bentuk lembaga : a. Perorangan c. Firma /CV b. koperasi d. Lainnya, sebutkan....................................... 10. Apakah menjadi salah satu lembaga pemasaran merupakan pekerjaan utama Anda? Ya / Tidak 11. Apakah Anda melakukan kerjasama? Ya / Tidak 12. Apakah Anda menetapkan standar / pengelompokan dari tebu yang Anda beli? Ya / Tidak 13. Apakah ada perbedaan harga berdasarkan perbedaan mutu? Ya / Tidak 14. Standar mutu apa yang Anda terapkan? ............................................................................................. 15. Apakah Anda selalu membeli dari orang tersebut? Ya / Tidak Jika tidak, pada sapa Anda membeli?................................................................................................... 16. Apa alasan Anda membeli tebu dari orang tersebut?.......................................................................... 17. Dimana tempat Anda membeli tebu tersebut? .................................................................................... 18. Berapa frekuensi Anda dalam melakukan pembelian tebu? ............................................................... 19. Berapa banyak tebu yang Anda beli setiap panennya? .......................................kuintal 20. Berapa harga pembelian tebu per kuintalnya? Rp............................................................................... 21. Bagaimana sistem pembelian tebu? a. Bebas c. Borongan b. kontrak d. Lainnya, sebutkan.......................... 22. Bagaimana cara pembayarannya? a. Tunai c. Dibayar dimuka b. dibayar sebagian d. Lainnya, sebutkan.......................... 23. Bagaimana cara penentuan harga? a. petani c. Tawar-menawar b. pedagang d. Lainnya, sebutkan ......................... 24. Bagaimana penyerahan barang? a. di tempat penjual b. Di tempat pembeli 25. Bagaimana mendapatkan informasi harga? ....................................................................................... 26. Apakah anda melakukan kegiatan penyimpanan? Ya / Tidak Jika ya, jumlah yang disimpan ............................................... kuintal Lama penyimpanan .................................................. kuintal Cara penyimpanan ................................................................ Lokasi penyimpanan ............................................................. Alasan penyimpanan ............................................................
89
27. Besarnya biaya yang dikeluarkan : a. Biaya pengangkutan : Rp......................................................... b. Biaya tenaga kerja : Rp......................................................... c. Biaya penyimpanan : Rp......................................................... d. Biaya penyusutan : Rp......................................................... e. Biaya bongkar muat : Rp......................................................... f. Biaya sortir : Rp......................................................... g. Retribusi : Rp......................................................... h. Lainnya : Rp......................................................... 28. Apakah Anda menanggung semua risiko dari kegiatan pembelian? Ya / Tidak 29. Apakah Anda melakukan pengelompokkan / standar mutu pada saat menjual tebu? Ya / Tidak 30. Apakah ada perbedaan harga berdasarkan perbedaan mutu? Ya / Tidak 31. Standar mutu apa yang Anda terapkan? ............................................................................................. 32. Kemana biasanya Anda melakukan kegiatan penjualan? .................................................................... 33. Bagaimana cara pembayarannya? a. Tunai c. Dibayar dimuka b. dibayar sebagian d. Lainnya, sebutkan.......................... 34. Bagaimana cara penentuan harga? a. anda c. Tawar-menawar b. pedagang d. Lainnya, sebutkan ......................... 35. Berapa banyak tebu yang Anda jual? ....................................kuintal 36. Berapa harga jual tebu per kuintal? Rp. ......................................................... 37. Adakah hambatan yang Anda alami dalam menjual tebu saat ini? Ya /Tidak\ Alasan : ................................................................................................................................................ 38. Manakah pernyataan yang sesuai dengan keadaan saat ini? a. Pembeli sedikit, penjual banyak b. Kualitas tebu kurang bagus c. Biaya yang dikeluarkan terlalu tinggi 39. Bagaimana Anda mendapat informasi mengenai jumlah, waktu, mutu tebu yang akan dijual? ..............................................................................................................................................................
90