ANALISIS TATANIAGA NENAS PALEMBANG (Kasus Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan)
SKRIPSI
HERAWATI H34080037
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
RINGKASAN HERAWATI. Analisis Tataniaga Nenas Palembang (Kasus Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Di bawah bimbingan AMZUL RIFIN. Hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan. Subsektor hortikultura memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Nenas merupakan komoditas hortikultura unggulan Indonesia. Permintaan ekspor terhadap nenas cukup tinggi. Sumatera Selatan dikenal sebagai salah satu provinsi yang memproduksi nenas terbesar di Indonesia. Tanaman nenas mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan di Sumatera Selatan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi saluran dan fungsi lembaga tataniaga nenas Palembang yang terbentuk di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, mengidentifikasi struktur, perilaku dan keragaan pasar nenas di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, dan menganalisis efisiensi pada setiap saluran tataniaga nenas di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir. Penelitian ini dilakukan dalam lingkup wilayah Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Analisis penelitian dibatasi untuk melihat dan mengkaji sistem tataniaga nenas Palembang di daerah penelitian. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan saluran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Selain itu, digunakan juga analisis kuantitatif untuk menganalisis keragaan pasar dengan menggunakan perhitungan margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga nenas Palembang. Hasil penelitian tataniaga nenas di Desa Paya Besar memiliki tiga pola saluran tataniaga dan melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya pedagang pengumpul desa, pedangan besar dan pedagang pengecer. Adapun pola saluran tataniaga nenas yang terbentuk adalah: (1) Pola I: Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Besar Lokal – Pedagang Pengecer Lokal – Konsumen Lokal, (2) Pola II: Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Pengecer Lokal – Konsumen Lokal, (3) Pola III: Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Besar Non-lokal – Pedagang Pengecer Non-lokal – Konsumen Non-lokal. Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda-beda. Fungsi-fungsi yang dilakukan meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani di Desa Paya Besar cenderung mengarah kepada struktur oligopoli, pedagang pengumpul cenderung menghadapi struktur pasar oligopoli, struktur pasar yang dihadapi pedagang besar cenderung oligopsoni, sedangkan pedagang pengecer cenderung mengarah ke struktur pasar bersaing murni. Berdasarkan perilaku pasar yang dihadapi, praktik penjualan dan pembelian telah terjadin kerjasama yang cukup baik antar lembaga tataniaga. hubungan ini dapat menjamin pasokan nenas bagi masing-masing lembaga tataniaga. Hasil analisis marjin bahwa marjin tataniaga terbesar terdapat pada saluran dua yaitu sebesar Rp. 3.500,00. Untuk saluran satu dan tiga marjin tataniaga yang dihasilkan yaitu masing-masing sebesar Rp. 2090,44 dan Rp. 2817,54. Hal ini
disebabkan pada saluran satu dan dua volume penjualan nenas cukup tinggi dan memiliki saluran yang cukup panjang. Bagian terbesar yang diterima petani terdapat pada saluran tiga yaitu sebesar 41,71 persen. Saluran tiga merupakan saluran dengan total marjin tataniaga terendah kedua dan biaya tataniaga tertinggi. Saluran satu dan dua memiliki nilai farmer’s share yaitu masing-masing sebesar 35,35 persen dan 36,36 persen. Saluran dua memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 2,80 yang berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 2,80. Nilai rasio pada saluran dua merupakan nilai rasio terbesar. Namun, saluran tiga memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup merata. Nilai rasio dan keuntungan saluran tiga pada pedagang pengumpul sebesar 1,09, pada pedagang besar sebesar 2,46 dan pada pedagang pengecer sebesar 3,74. Saluran tataniaga tiga dapat digunakan petani untuk pemasaran nenas. Saluran ini relatif lebi efisien dibandingkan kedua saluran lainnya. Petani memerlukan wadah untuk dapat memberikan informasi sekaligus pembinaan dalam hal pemasaran maupun budidaya nenas. Untuk meningkatkan efisiensi operasional, petani perlu melakukan sortasi/grading agar petani memperoleh nilai tambah dari kegiatan tersebut. Selain itu juga peningkatan nilai tambah bisa dilakukan dengan mengolah nenas menjadi produk olahan agar petani mendapatkan keuntungan yang lebih besar dan risiko kerugian produk tidak terjual bisa dikurangi.
ANALISIS TATANIAGA NENAS PALEMBANG (Kasus Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan)
HERAWATI H34080037
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi
: Analisis Tataniaga Nenas Palembang (Kasus Desa Paya Besar, Kecamatan Parayaman, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan)
Nama
: Herawati
NIM
: H34080037
Disetujui, Pembimbing
Dr. Amzul Rifin, SP. MA NIP. 19750921200012 1 001
Diketahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Tataniaga Nenas Palembang (Kasus Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2012
Herawati H34080037
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Palembang pada tanggal 13 Oktober 1990 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Saring Ahmad Nursan dan Ngatinem. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Negeri 143 pada tahun 2002. Kemudian penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama pada tahun 2005 di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 12 Palembang. Pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2008 di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Palembang. Penulis diterima pada Depertemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Mananjemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Udangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Selama mengikuti pendidikan, penulis tercatat sebagai pengurus Organisasi Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) periode 2009 – 2010 dan periode 2010 – 2011 sebagai sekretaris 2 dan sekretaris 1. Selain itu penulis juga tercatat sebagai pengurus Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Mahasiswa Bumi Sriwijaya IPB sebagai sekretaris periode 2009 – 2010. Penulis juga tercatat sebagai salah satu peraih beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik IPB tahun 2010 – 2011. Prestasi yang pernah diraih penulis yaitu sebagai Delegasi Mahasiswa IPB dalam 14th Asian Forum on Business Education – PERHEPI International Conference di Bogor tahun 2010, Juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) Ekonomi Gula – PERHEPI di UPN “Veteran” Jawa Timur tahun 2012, Delegasi Mahasiswa IPB dalam Sugar Thai Tour – PERHEPI di Thailand pada tahun 2012.
KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa dipanjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat
dan
karunia-Nya
kepada
penulis
sehingga
dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Tataniaga Nenas Palembang (Kasus Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan)”. Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui saluran tataniaga nenas yang ada di Desa Paya Besar, menganalisis fungsi-fungsi tataniaga nenas, serta efisiensi saluran tataniaga dengan pendekatan struktur, perilaku dan keragaan pasar. Keragaan pasar dianalisis dengan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi pelaku bisnis yang berminat mengembangkan usaha nenas di lokasi penelitian. Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan peneliti selanjutnya. Bogor, Juni 2012 Herawati
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, memberi dukungan, serta doa yang diberikan selama menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Amzul Rifin, SP.MA selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, menuntun, mengarahkan dan sabar selama membimbing penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS dan Etriya, SP.MM selaku selaku dosen penguji utama dan dosen penguji Departemen Agribisnis pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah menjadi pembimbing akademik dan telah memberikan bimbingan serta masukan dalam penulisan skripsi. 4. Orangtua tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, doa dan dukungan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik untuk Ibu dan Bapak. 5. Dosen dan staf Departemen Agribisnis yang telah membantu, membimbing dan medukung penulis selama menjadi mahasiswa Departemen Agribisnis. 6. Kepala Desa Paya Besar (Bapak Abu Qori dan Ibu) dan keluarga, Kak Riswanda (PPL Desa Paya Besar), Kak Fery, Wak Leman, Cale dan Ayen atas bimbingan dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian di lapangan. 7. Petani dan pedagang pengumpul di Desa Paya Besar atas kesempatan, informasi yang telah dberikan untuk membantu menyelesaikan skripsi. 8. Saudara tersayang Rahmat Novianto, A.md, Dwi Rahmawati, Siti Nurjannah serta seluruh keluarga besar Sarkowi dan Karyo Rejo atas semua dukungan dan doanya yang terus menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi. 9. Sahabat seperjuangan tataniaga Arini Prihatin, SE, Ni Putu Ayuning WPM, SE, Gebri Ayu Diwandani atas semua diskusi, ilmu dan masukan yang sangat membantu.
10. Sahabat berbagi suka dan duka Andi Facino, Akbar Zaenal Mutaqin, SE, Syifa Maulia, Syajaroh Duri, Haris Fatori Aldila, Farisah Firas dan khususnya Amelia dan Farah Ratih terima kasih atas kebersamaan, perhatian dan kenangan terindah selama di Agribisnis. 11. Sahabat seperjuangan di HIPMA selama dua tahun kepengurusan Emil Fatmala, SE, Risty Puspitasari, SE, Rendi Seftian, Jauhar Samudera N, Vaudhan Fuady, Anggarini Dianing Safitri, Listia Nur Isma, Joko Novianto, SE, Tommy Gunanta Ginting, Nezi Hidayani atas semangat dan pelajaran yang diberikan dalam berorganisasi, Sukses untuk kita semua. 12. Sahabat belajar Agribisnis Wisma Wina Asmayanti, Arifah Qurratu Aina, Amelia, Mizani Adlina, Shafiyatul Ghina, Stevi Pebriani dan Arini Intan Nurdin atas ilmu, diskusi serta dukungan dalam menghadapi ujian-ujian selama perkuliahan di Departemen Agribisnis. 13. Teman seperjuangan selama di IPB (Vininta Ayudiana Fitriani, Abdul Hafizd), Ksatria GK (Frandy Taqwa Subachtiar, Steffi Fikri, SE, Junita Elisabeth Manik, Risty Puspitasari, SE), AGB Sumsel (Rizki Amelia, SE, Rara June Azni), teman sebimbingan (Liska Andrini Tatilu, Hanny Stephanie, Nursahaldin Sam) atas semangat dan kebersamaannya. 14. Kakak dan adik kelas di Agribisnis Hata Madia Kusumah, SE, Lika Oktaviani, SE, Siti Nurmaryam, SE, Cynthia Mawarnita, Nora Asfia, Novita Ratna Dewi, Chairunissa, M. Yunus dan Akhmad Raihan R terima kasih atas dukungan dan semangatnya. 15. Restika Raditia Aulia yang telah menjadi pembahas dalam seminar penulis. 16. Teman-teman FEM IPB, IKAMUSI IPB, Lolima d’Cute, Agribisnis 43, Agribisnis 44, Agribisnis 45, Agribisnis 46 dan penghuni Wisma Wina yang tidak dapat disebutkan satu-persatu terima kasih atas semangat dan dukungannya. Bogor, Juni 2012 Herawati
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xv
I PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1.2. Perumusan Masalah .................................................................. 1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 1.5. Ruang Lingkup ..........................................................................
1 1 8 13 13 14
II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 2.1. Gambaran Umum Nenas ........................................................... 2.1.1. Budidaya Nenas .............................................................. 2.1.2. Pemeliharaan ................................................................... 2.1.3. Hama dan Penyakit ......................................................... 2.1.4. Panen dan Pasca Panen ................................................... 2.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Tataniaga ............................... 2.2.1. Kajian Mengenai Saluran dan Fungsi-Fungsi Tataniaga .. 2.2.2. Kajian Mengenai Struktur Pasar ..................................... 2.2.3. Kajian Mengenai Perilaku Pasar ..................................... 2.2.4. Kajian Mengenai Keragaan Pasar ................................... 2.3. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu ...................................
15 15 15 16 16 17 17 17 18 19 20 21
III KERANGKA PEMIKIRAN ........................................................... 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................... 3.1.1. Konsep Sistem Tataniaga ................................................ 3.1.2. Saluran dan Lembaga Tataniaga .................................... 3.1.3. Fungsi Tataniaga ............................................................ 3.1.4. Pendekatan Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar ....... 3.1.5. Efisiensi Tataniaga ......................................................... 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .............................................
22 22 22 24 25 28 34 35
IV METODE PENELITIAN ................................................................ 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 4.2. Jenis dan Sumber Data .............................................................. 4.3. Metode Pengumpulan Data ....................................................... 4.4. Data dan Instrumentasi .............................................................. 4.4.1. Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga ....................... 4.4.2. Analisis Fungsi Tataniaga ............................................... 4.4.3. Analisis Pendekatan Struktur, Perilaku, Keragaan Pasar ..
38 38 38 38 39 39 40 40
V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN .......................... 5.1. Karakteristik Wilayah dan Keadaan Alam ................................ 5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ........................................ 5.3. Karakteristik Petani Responden ................................................ 5.4. Karakteristik Pedagang Responden ..........................................
44 44 45 47 50
5.5. Gambaran Umum Usahatani Nenas .......................................... 5.5.1. Pembibitan ...................................................................... 5.5.2. Pengolahan Lahan ........................................................... 5.5.3. Penanaman ...................................................................... 5.5.4. Pemeliharaan ................................................................... 5.5.5. Pemanenan ......................................................................
51 51 51 52 52 53
VI ANALISIS SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA ................. 6.1. Lembaga Tataniaga ................................................................... 6.2. Sistem Tataniaga ................................................................ 6.2.1. Saluran Tataniaga ............................................................ 6.3. Fungsi-Fungsi Tataniaga Pada Setiap Lembaga Tataniaga ...... 6.3.1. Fungsi Tataniaga di Tingkat Petani ................................ 6.3.2. Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul Desa 6.3.3. Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Besar ................. 6.3.4. Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer ...........
56 56 56 57 64 65 66 68 69
VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR ............................................................................................ 7.1. Analisis Struktur Pasar .............................................................. 7.1.1. Struktur Pasar di Tingkat Petani ..................................... 7.1.2. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Desa ... 7.1.3. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Besar ...................... 7.1.4. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer ................ 7.2. Analisis Perilaku Pasar ............................................................. 7.2.1. Praktik Pembelian dan Penjualan .................................... 7.2.2. Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi ...................... 7.2.3. Sistem Pembayaran dalam Transaksi .............................. 7.2.4. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga ............................. 7.3. Analisis Keragaan Pasar ........................................................... 7.3.1. Analisis Marjin Tataniaga ............................................... 7.3.2. Analisis Farmer’s Share ................................................. 7.3.3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya ............................ 7.4. Efisiensi Tataniaga ....................................................................
71 71 71 72 72 72 74 74 74 76 77 78 78 81 82 84
VIII KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 8.1. Kesimpulan ............................................................................... 8.2. Saran ..........................................................................................
88 88 89
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
90
LAMPIRAN ...........................................................................................
93
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman
Nilai Produk Domestik Bruto Berdasarkan Harga Berlaku pada Tahun 2007 – 2010 ...........................................................................
1
Kontribusi PDB Komoditas Buah Terhadap Total PDB Nasional Tahun 2010 ........................................................................................
2
Perkembangan Volume Ekspor Nenas dan Komoditi Buah Indonesia Lainnya Tahun 2008 – 2011 .............................................................
3
4.
Produksi Buah-Buahan Indonesia Tahun 2009 – 2010 .....................
4
5.
Produksi Nenas di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2006 – 2010 ..
6
6.
Produksi dan Luas Panen Komoditas Buah-Buahan Potensial Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2010 ………………………………..…
6
Luas Panen dan Produksi Nenas di Kecamatan Payaraman Tahun 2007 – 2009 …………………………….……………….…..
7
Potensi Lahan untuk Pengembangan Nenas di Sumatera Selatan Tahun 2010 …………………………………………………………
9
Harga Rata-rata Nenas Palembang di Pasar Induk Kramat Jati Tahun 2009 – 2011 ............................................................................
11
10. Lima Jenis Pasar untuk Pemasaran Produk Pertanian ......................
29
11. Jumlah Luas Lahan Tanaman Nenas Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir .........................................................................
44
12. Jumlah Penduduk Desa Paya Besar Berdasarkan Usia Tahun 2011 .
46
13. Jumlah Penduduk Desa Paya Besar Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2011 .......................................................................................
46
14. Karakteristik Responden Petani Berdasarkan Usia di Desa Paya Besar Tahun 2012 .............................................................................
47
15. Karakteristik Petani Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Paya Besar Tahun 2011 ...........................................................
48
16. Karakteristik Kepemilikan Luas Lahan Petani Responden di Desa Paya Besar Tahun 2012 ....................................................................
49
2. 3.
7. 8. 9.
17. Karakteristik Pengalaman Petani Responden dalam Usahatani Nenas di Desa Paya Besar ........................................................................... 50 18. Indikator Penentuan Buah Induk, Anak dan Catok ..........................
54
19. Fungsi-Fungsi Pemasaran yang Dijalankan Oleh Lembaga Pemasaran Nenas di Desa Paya Besar ................................................................ 65 20. Analisis Marjin Tataniaga Nenas pada Saluran I, II dan III di Desa
Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir ...............
80
21. Farmer’s Share Saluran Tataniaga Nenas di Desa Paya Besar ........
81
22. Rasio Keuntungan dan Biaya Untuk Setiap Saluran Tataniaga Nenas di Desa Paya Besar ........................................................................... 83 23. Nilai Efisiensi Tataniaga pada Masing-Masing Saluran Tataniaga Nenas Palembang di Desa Paya Besar ..............................................
84
24. Perbandingan Efisiensi Saluran Nenas Palembang, Nenas Bogor dan Nenas Blitar........................................................................................ 85
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Tanaman Nenas yang Menghasilkan Tahun 2009 – 2010 ……....
5
2. Marjin Harga Nenas di Produsen dengan Pedagang Besar Pasar Induk Kramat Jati Tahun 2009 – 2010 …………………………..
11
Kurva Marjin Tataniaga ………………………………………….
31
4. Skema Kerangka Operasional Analisis Tataniaga Nenas Palembang .....................................................................................
37
3.
5. 6.
Buah nenas yang telah dipanen: A). Buah anak induk, B). Buah anakan, C). Buah catok ………………………………....
54
Skema Saluran Tataniaga Nenas Palembang di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir ...…………………..
55
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman Petani Responden di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2012 ………………………………
94
2.
Produksi Nenas Berdasarkan Provinsi Tahun 2009 – 2011 ……
95
3.
Analisis Marjin Tataniaga Nenas padaSaluran I, II dan III di Desa Paya Besar ……………………………………………….
96
Rincian Biaya Tataniaga Masing-Masing Lembaga Pada Setiap Saluran Tataniaga ……………………………………………...
97
5.
Karakteristik Pedagang Responden …………………..……….
97
6.
Dokumentasi ………………………………………………….
98
7.
Kuisioner Responden Petani …………………………………..
100
8.
Kuisioner Responden Lembaga Tataniaga ……………………
103
1.
4.
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu komoditas pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan. Pengembangan hortikuktura diharapkan mampu menambah pangsa pasar serta berdaya saing sehingga dapat berperan sebagai salah satu upaya dalam peningkatkan ekonomi nasional. Subsektor hortikultura memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Besarnya nilai kontribusi subsektor hortikultura terhadap PDB atas harga berlaku pada tahun 2007 yaitu sebesar Rp. 76.795 milyar dan terus meningkat hingga tahun 2009 yaitu sebesar Rp. 88.334 milyar atau meningkat sebesar 15 persen. Nilai PDB hortikultura Tahun 2010 mengalami penurunan sebesar dua persen, yaitu dari Rp. 88.334 milyar menjadi sekitar Rp. 86.565 milyar. Penurunan ini disebabkan karena adanya penurunan jumlah produksi dari komoditas buah-buahan dan tanaman biofarmaka. Nilai PDB hortikultura berdasarkan harga berlaku terdapat pada Tabel 1. Namun, nilai pasar hortikultura nasional tahun 2012 diperkirakan akan mengalami pertumbuhan sebesar 10 – 15 persen atau Rp. 600 milyar – Rp. 700 milyar dari tahun sebelumnya (Subagyo 2011)1. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Pada Tahun 2007 – 2010 Nilai PDB (Milyar Rupiah) Kelompok No
Komoditas
2007
2008
2009
2010
1
Buah-buahan
42.362
47.060
48.437
45.482
2
Sayuran
25.587
28.205
30.506
31.244
3
Tanaman Hias
4.741
5.085
5.494
6.174
4
Tanaman Biofarmaka
4.105
3.853
3.897
3.665
76.795
84.203
88.334
86.565
Total Hortikultura
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)
1
http://www.indonesiafinancetoday.com/read/16655/Pasar-Benih-Hortikultura-Diprediksi Tumbuh-10-15 [diakses tanggal 10 Januari 2012]
Buah-buahan memberikan kontribusi terbesar setiap tahunnya terhadap PDB hortikutura. Persentase kontribusi PDB buah terhadap PDB hortikultura adalah sebesar 52,54 persen atau Rp. 45.481 milyar dari PDB hortikultura sebesar Rp. 86.656 milyar. Persentase beberapa komoditas buah terhadap PDB total buah dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kontribusi PDB Komoditas Buah Terhadap Total PDB Buah Nasional Tahun 2010 No Komoditas Nilai PDB Kontribusi (Milyar Rp) 1
Pisang
2
(%)
12.987,67
28,56
Jeruk Siam
8.616,64
18,95
3
Mangga
4.561,72
10,03
4
Nenas
3.546,26
7,80
5
Salak
2.603,95
5,73
6
Durian
2.476,61
5,45
7
Rambutan
2.246,82
4,94
8
Buah Lainnya
8.442,23
18,56
45.481,89
100,00
Total Buah Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)
Komoditas buah-buahan sudah menjadi komoditas dalam perdagangan internasional. Hal ini terlihat dari meningkatnya permintaan pasar luar negeri terhadap buah-buahan Indonesia. Tahun 2010 permintaan pasar internasional terhadap buah-buahan tropika sebesar 3,8 juta ton atau meningkat sebesar 87 persen. Namun, permintaan tersebut belum dapat sepenuhnya terpenuhi oleh produksi dalam negeri. Berdasarkan data global perdagangan dunia, negara pengimpor buah terbesar adalah negara-negara Uni Eropa (43%), Amerika Serikat (16%), negara di sekitar Uni Eropa (6%), Rusia (5%), Jepang (4%) dan negara lainnya (24 %)2. Direktorat Jenderal Hortikultura menyatakan bahwa nenas merupakan salah satu komoditas hortikultura unggulan Indonesia. Nenas juga merupakan 2
http://mediadata.co.id/MCS-Indonesia-Edition/prospek-ekspor-buah-buahan-indonesia-dan bahan-baku-food-industry.html [diakses tanggal 10 Januari 2012]
salah satu komoditas binaan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 511/Kpts/PD.310/9/2006. Permintaan ekspor terhadap nenas cukup tinggi. Hal ini dapat terlihat dari tingginya volume ekspor nenas setiap tahunnya. Nenas asal Indonesia tidak hanya diekspor dalam bentuk segar, tetapi juga dalam bentuk nenas olahan. Perkembangan volume ekspor nenas dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Perkembangan Volume Ekspor Nenas dan Komoditi Buah Indonesia Lainnya Tahun 2008 – 2011 Volume Ekspor/Tahun (Kg) No Komoditas 2008 2009 2010 2011 1
Nenas
269.663.512
179.309.580
159.008.677
189.223.310
2
Manggis
9.465.665
11.318.628
11.387.696
12.603.043
3
Jeruk
1.443.210
1.108.181
1.338.961
1.004.723
4
Mangga
1.908.001
1.615.788
998.545
1.485.429
5
Pisang
1.969.871
700.700
13.578
1.734.655
38.043.385
28.115.043
22.018.867
14.817.713
323.888.910
224.332.465
196.341.373
223.010.929
6
Buah lainnya Total
Sumber: Badan Pusat Statistik (2012)
Jika dilihat pada Tabel 3 bahwa ekspor nenas menduduki peringkat pertama dibandingkan ekspor buah lainnya. Perkembangan volume ekspor nenas Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2008 – 2010. Namun pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi sebesar 189.223.310 kg. Peningkatan ekspor ini menunjukkan peningkatan permintaan nenas di pasar luar negeri, sehingga terdapat peluang pasar bagi Indonesia. Nenas ekspor Indonesia banyak dimanfaatkan untuk konsumsi, bidang kesehatan dan bidang kecantikan 3. Negara pengimpor nenas dari Indonesia antara lain Amerika Serikat, Belanda, Singapura, Jerman dan Spanyol. Tanaman nenas menempati urutan ketiga terbesar produksi buah-buahan tahunan. Tahun 2010 total produksi nenas mencapai 1.406.445 ton dimana 3
http://www.medanbisnisdaily.com/news/search/?key=Ekspor+Jus+Nanas&Hal=44 tanggal 11 Juni 2012]
[diakses
mengalami penurunan sebesar 9,74 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tabel 4 menunjukkan produksi buah-buahan Indonesia Tahun 2009 – 2010. Tabel 4. Produksi Buah-buahan Indonesia Tahun 2009 – 2010 Produksi (ton) No Jenis Buah 2009 2010 1
Durian
2
797.798
492.139
Jeruk
2.025.840
1.937.773
3
Mangga
2.243.440
1.287.287
4
Manggis
105.558
84.538
5
Nenas
1.558.196
1.406.445
6
Pisang
6.373.533
5.755.073
Sumber: Badan Pusat Statistik (2010)
Tanaman nenas sangat banyak dikembangan di Indonesia. Kultivar utama nenas yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah Smooth Cayenne dan Queen. Kultivar Smooth Cayenne lebih dikenal dengan sebutan nenas Subang. Nenas ini bentuknya bulat dan besar, sari buahnya banyak, daging buah berserat kasar, daunnya tidak berduri dan warna kulit buah tidak kuning merata jika sudah matang. Nenas Bogor, Palembang, Pemalang dan Blitar termasuk dalam kultivar Queen. Jika dilihat dari sebaran per pulaunya, Pulau Sumatera merupakan pulau penghasil nenas terbesar yaitu sebesar 753.032 ton atau 53,54 persen. Daerah penghasil nenas terbesar yaitu Lampung (469.034 ton), Jawa Barat (385.640 ton), Sumatera Selatan (114.305 ton) dan Jawa Timur (72.404 ton) dapat dilihat pada lampiran 1. Salah satu sentra produksi nenas Indonesia terdapat di Provinsi Sumatera Selatan. Sumatera Selatan merupakan penghasil nenas terbesar ketiga setelah Lampung dan Jawa Barat pada Tahun 2010, dengan nilai kontribusi sebesar 8,13 persen terhadap produksi nenas nasional (Lampiran 1). Komoditi buah-buahan di Sumatera Selatan tahun 2010 yang mempunyai nilai produksi kumulatif menyumbang produksi sebesar 92,06 persen dari total produksi buah-buahan Sumatera Selatan meliputi duku, durian, rambutan, nangka, pisang, nenas dan
jeruk. Hal ini merupakan potensi untuk menjadikan komoditi buah-buahan tersebut sebagai komoditi unggulan daerah. Dibandingkan dengan tahun 2009, nenas masih merupakan tanaman yang memberikan kontribusi terbesar terhadap total produksi buah-buahan di Sumatera Selatan. Nenas mengalami peningkatan kontribusi dibandingkan tahun 2009 yaitu sebesar 114.300 ton atau 23,63 persen. Nenas banyak dihasilkan di Kabupaten Ogan Ilir, Muara Enim dan Prabumulih. Dimana hampir sebesar 98,65 persen produksi nenas berasal dari ketiga kabupaten tersebut. Berikut ditunjukkan pada Gambar 1 mengenai sebaran banyaknya tanaman nenas yang menghasilkan menurut triwulan pada tahun 2009 dan 2010.
(Triwulan)
Gambar 1. Tanaman Nenas yang Menghasilkan Tahun 2009 – 2010 Sumber: Badan Pusat Statistik Sumsel , 2010
Gambar 1 menjelaskan bahwa tanaman nenas di Sumatera Selatan yang menghasilkan pada tahun 2010 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Potensi pengembangan lahan nenas di Sumatera Selatan mencapai 12.332 ha. Salah satu Kabupaten yang terdapat di Sumatera Selatan yang memproduksi nenas terbesar adalah Kabupaten Ogan Ilir. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi nenas Kabupaten Ogan Ilir terbesar diantara kabupaten lainnya. Produksi nenas di Sumatera Selatan dijelaskan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 produksi nenas di Kabupaten Ogan Ilir selama Tahun 2006 – 2010 mengalami fluktuasi. Produksi tertinggi pada tahun 2009 yaitu sebesar 108.552 ton. Tahun 2010 jumlah produksi nenas di kabupaten Ogan Ilir menurun dan hanya mampu memproduksi sebesar 67.441 ton. Namun jumlah produksi ini adalah tertinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya.
Tabel 5. Produksi Nenas di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2006 – 2010 No.
Kabupaten/Kota 2006
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Palembang Musi Banyuasin OKI Ogan Ilir OKU OKU Timur OKU Selatan Muara Enim Lahat Musi Rawas Banyuasin Prabumulih Pagaralam Lubuk Linggau Empat Lawang
127 1.317 73.263 129 205 46.480 268 1.662 18.091 -
Jumlah Produksi (Ton) 2007 2008 2009 6 9 21 26 173 236 1.109 1.109 216 43.710 58.823 108.552 23 9 55 27 315 228 2 3 8.409 25.871 17.576 43 37 56 305 2.297 77 2.796 301 1.000 8.195 11.251 3 5 2 2
2010 18 142 361 67.441 144 108 4 42.578 51 598 100 2.744 10 5
Sumber: Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel (2011)
Jika dilihat dari produksi lima komoditas buah-buahan potensial di Kabupaten Ogan Ilir, nenas merupakan buah-buahan yang paling potensial untuk dikembangkan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah produksi nenas dan luas lahan panennya. Berikut produksi dan luas panen komoditas buah-buahan di Kabupaten Ogan Ilir pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel 6 produksi nenas di Kabupaten Ogan Ilir pada Tahun 2010 sebesar 674.412 ton dengan luas panen sebesar 37.280.068 ha. Jumlah ini merupakan terbesar diantara komoditi buah lainnya yang dikembangkan di Kabupaten Ogan Ilir. Tabel 6. Produksi dan Luas Panen Komoditas Buah-buahan Potensial di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2010 No Komoditi Luas Panen Produksi (Ha) (Ton) 1 Duku 49.619 50.905 2 Jeruk Siam 177.488 51.519 3 Mangga 16.503 15.537 4 Nenas 37.280.068 674.412 5 Pisang 493.436 62.214 6 Buah Lainnya 106.015 56.759 Total 38.123.129 911.346 Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel (2011)
Produksi nenas tersebar di tujuh kecamatan Kabupaten Ogan Ilir. Tiga kecamatan yang memiliki luas areal dan tanaman nenas yang tinggi adalah Kecamatan Lubuk Keliat, Tanjung Batu dan Payaraman. Kecamatan Payaraman memproduksi nenas dalam jumlah yang cukup besar. Sedangkan desa yang memproduksi nenas terbesar di Kecamatan Payaraman diantaranya Desa Paya Besar dan Desa Seleman. Berikut Tabel 7 menjelaskan luas panen dan produksi nenas di Kecamatan Payaraman Tahun 2007 – 2010. Tabel 7. Luas Panen dan Produksi Nenas di Kecamatan Payaraman Tahun 2007 – 2009 Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) 2007
440
11.670
2008
689
15.402
2009
671
25.408
2010
513
24.674
2011
314
21.300
Sumber: Dinas Perbuntan Kabupaten Ogan Ilir (2012)
Berdasarkan Tabel 7 luas panen dan produksi nenas di Kecamatan Payaraman relatif menurun. Namun, produksi nenas di Kecamatan Payaraman merupakan produksi tertinggi diantara kecamatan lainnya. Hal ini berdasarkan informasi dari Dinas Perbuntan Kabupaten Ogan Ilir. Kondisi kebun nenas di Kecamatan Payaraman bukan merupakan kebun yang bersifat monokultur melainkan tumpang sari. Tanaman nenas biasanya dijadikan sebagai tanaman sela untuk tanaman karet (Hevea braziliensis). Hal ini tentunya menyebabkan penurunan produksi buah nenas dan berdampak pada pendapatan yang diterima petani dari usahatani nenas. Nenas yang berasal dari Sumatera Selatan dikenal dengan nama nenas Palembang. Nenas ini sangat terkenal karena memiliki rasa buah manis, tidak berserat dan buahnya besar. Sistem penanaman dilakukan dengan monokultur atau sebagai tanaman sela diantara tanaman utama yaitu tanaman karet. Bibit yang ditanam diperoleh dari perbanyakan sendiri. Nenas ini sangat disukai masyarakat
dalam bentuk segar dan kandungan vitaminnya banyak serta nilai kalorinya tinggi sehingga sangat baik untuk kesehatan4. Provinsi Sumatera Selatan sebagai salah satu provinsi penghasil nenas terbesar di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan produksi nenas untuk meningkatkan kesejahteraan sumberdaya manusia di lingkungan tersebut. Akan tetapi hal ini belum berjalan dengan baik. Keadaan ini disebabkan karena masih terdapat perbedaan marjin di tingkat petani dengan harga di tingkat pedagang besar. Perbedaan harga ini mengindikasikan bahwa petani memiliki bargaining position yang lemah dibanding dengan lembaga tataniaga lainnya. 1.2. Perumusan Masalah Pemerintah mendorong pengembangan kawasan hortikultura yang mengintegrasikan penanaman, pengemasan dan memiliki rantai pasok hingga ke konsumen. Berdasarkan Renstra Kemtan tahun 2010 – 2014 bahwa nenas termasuk menjadi salah satu komoditas unggulan nasional yang perlu dikembangkan. Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang diprioritaskan dalam pengembangan kawasan hortikultura sepuluh komoditas unggulan nasional, dua diantaranya adalah kentang dan nenas. Akan tetapi pengembangan ini terhambat permasalahan yang ada. Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi, baik kualitas maupun kuantitas diperlukan pendampingan penerapan paket teknologi, bimbingan dan pelatihan untuk petugas lapang maupun untuk petani. Pendampingan Program Strategis Departemen Pertanian Pengembangan Kawasan Hortikultura yang dilaksanakan pada tahun 2011. Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan pendampingan dan pengawalan teknologi budidaya nenas dan teknologi pengolahan pasca panen nenas yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas serta pendapatan petani dengan target peningkatan produksi lebih besar dari sepuluh persen5. Sumatera Selatan dikenal sebagai salah satu provinsi yang memproduksi nenas terbesar di Indonesia. Sebagian besar perkebunan nenas di Sumatera 4
5
http://sumsel.litbang.deptan.go.id/index.php/plasma-nutfah/nanas [diakses tanggal 10 Januari 2012] http://sumsel.litbang.deptan.go.id/index.php/program/kawasan-hortikultura [diakses tanggal 10 Januari 2012]
Selatan dimiliki oleh rakyat dan ditanam secara tradisional. Tanaman nenas mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan di Sumatera Selatan. Berdasarkan kesesuaian lahan dan agroklimat, potensi lahan yang tersedia untuk pengembangan nenas di Sumatera Selatan masih cukup besar. Hal tersebut tergambar pada Tabel 8. Tabel 8. Potensi Lahan untuk Pengembangan Nenas di Sumatera Selatan Tahun 2010. No Kabupaten/Kota Potensi Lahan (ha) 1
Ogan Ilir
7.727
2
Prabumulih
1.505
3
Muara Enim
3.100
Jumlah
12.332
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan ortikultura Sumsel (2011)
Berdasarkan Tabel 8 bahwa Kabupaten Ogan Ilir memiliki potensi lahan terbesar untuk pengembangan nenas yaitu sebesar 7.727 ha. Namun potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Petani melakukan kegiatan usahatani nenas dengan luas pengusahaan relatif sempit mulai 0,25 – 2,0 ha. Komoditi ini belum diusahakan secara besar-besaran dengan penggunaan modal seperti komoditi perkebunan lainnya, sehingga pengelolaan tanaman nenas belum dilakukan secara intensif. Salah
satu
yang
menjadi
permasalahan
nenas
adalah
kegiatan
pemasarannya. Pemasaran nenas kebanyakan masih dalam bentuk buah segar dan masih sangat sedikit industri yang melakukan pengolahan nenas menjadi produk hasil olahan. Padahal produk hasil olahan ini dapat memberikan nilai tambah bagi petani nenas. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani nenas bahwa Desa Paya Besar sudah pernah mendapat bantuan alat untuk mengolah nenas menjadi kripik nenas pada tahun 2005. Namun usaha pengolahan tersebut tidak dapat bertahan lama karena mengalami keterbatasan bahan baku dan tingginya biaya produksi yang dikeluarkan. Adanya keterbatasan bahan baku tersebut karena petani lebih memilih untuk menjual nenasnya kepada pedagang pengumpul desa. Hal ini diakibatkan harga jual nenas ke pedagang pengumpul desa lebih tinggi
dibandingkan harga jual ke industri pengolahan tersebut. Sejak saat itu di Desa Paya Besar belum ada lagi industri pengolahan nenas. Pemasaran buah nenas dilakukan oleh petani di Desa Paya Besar kepada pedagang pengumpul desa, pedagang besar (Jakarta/Palembang) dan pedagang pengecer (Jakarta/Palembang). Harga di tingkat petani bervariasi tergantung pada musim buah lainnya dan juga tergantung pada ukuran buah nenas. Harga nenas pada bulan Januari hingga Maret 2012 untuk ukuran buah nenas pertama Rp. 2.000,00 per buah, ukuran buah nenas kedua Rp. 1.500,00 dan ukuran buah nenas ketiga Rp. 1.000,00. Penurunan jumlah produksi nenas di Kabupaten Ogan Ilir juga mempengaruhi jumlah produksi nenas secara nasional. Berdasarkan informasi yang diperoleh selama di lapangan, penurunan jumlah produksi ini berdampak pada kegiatan pemasaran nenas. Suplai nenas di Pasar Induk Kramat Jati menjadi berkurang sehingga mengakibatkan harga nenas meningkat di pasar. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati hampir sebagian besar nenas yang dijual di pasar tersebut adalah nenas Palembang yang berasal dari Kabupaten Ogan Ilir. Hal ini juga dinyatakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Selatan bahwa pemasaran nenas yang berasal dari Kabupaten Ogan Ilir banyak ke Pulau Jawa. Berikut harga data rata-rata per bulan nenas Palembang di Pasar Induk Kramat Jati pada Tahun 2009 – 2011 dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Harga Rata-rata Nenas Palembang di Pasar Induk Kramat Jati Tahun 2009 – 2011 Bulan Tahun (Rp/buah) 2009 2010 2011 Januari 2888,4 3034,2 3853,5 Februari 2832,3 3182,3 3950,0 Maret 2771,5 3282,0 3707,0 April 2599,8 3246,5 4100,0 Mei 2445,8 3071,4 4122,0 Juni 2514,5 3450,0 3918,0 Juli 2800,2 3414,0 4005,8 Agustus 2800,2 3608,0 4150,0 September 2830,0 3672,3 4222,0 Oktober 2828,4 3671,6 4320,0 November 2660,8 3657,3 3810,8 Desember 2912,0 3680,0 3405,8 Jumlah Rata-rata 2715,3 3414,1 3963,7 Sumber: Pasar Induk Kramat Jati, 2012 (diolah)
Berdasarkan data pada Tabel 9 bahwa harga nenas Palembang di Pasar Induk Kramat Jati cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Namun, peningkatan harga nenas di Pasar Induk Kramat Jati tidak diikuti dengan peningkatan harga jual nenas di tingkat petani khususnya di Desa Paya Besar. Harga jual nenas petani justru mengalami penurunan. Hal ini menyebabkan adanya selisih marjin yang relatif cukup besar antara produsen dengan pedagang. Besarnya marjin antara produsen nenas dengan pedagang besar pada tahun 2009 – 2010 dapat dilihat pada Gambar 2 berikut:
Gambar 2. Marjin Harga Rata-rata Nenas di Produsen Kabupaten Ogan Ilir dengan Konsumen PIKJ Tahun 2009 – 2010 Sumber: Pasar Induk Kramat Jati, 2012 (diolah)
Berdasarkan Gambar 2 harga nenas di tingkat produsen Kabupaten Ogan Ilir mengalami peningkatan pada bulan April 2009. Namun, pada bulan-bulan selanjutnya harga nenas cenderung stabil sepanjang tahun 2009 – 2010 dan bahkan menurun pada tahun 2011 menurut informasi yang diperoleh dari petani di Desa Paya Besar. Jika dilihat pada gambar maka marjin pemasaran nenas mengalami fluktuasi dan cenderung meningkat. Wilayah Palembang juga sering mengalami kekurangan pasokan nenas. Kurangnya pasokan nenas ini diduga karena alasan yang sama yaitu terjadinya penurunan produksi nenas. Penurunan produksi ini disebabkan oleh berkurangnya lahan produksi nenas. Kelangkaan nenas ini berimbas pada kenaikan harga jualnya. Harga nenas di pasar tradisional Kota Palembang mencapai Rp. 4.000 – Rp. 4.500 per buah yang berukuran sedang. Padahal saat kondisi normal harga nenas berkisar Rp. 2.500 – Rp. 3.000 per buah6. Namun, kenaikan harga ini tidak sepenuhnya dinikmati oleh petani nenas di Sumatera Selatan. Hal ini dikarenakan kurangnya transparansi harga dari pedagang yang biasa membeli nenas dari petani. Selain itu, petani menjual semua nenas hasil panennya kepada pedagang pengumpul desa yang harganya ditentukan oleh para pedagang. Kondisi ini disebabkan karena kurangnya informasi yang dimiliki petani mengenai perkembangan harga nenas di pasar. Petani juga tidak memiliki alternatif pemasaran nenas sehingga memposisikan petani sebagai penerima harga (price taker). Posisi ini membuat peran pedagang lebih tinggi dalam menentukan harga dan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Adanya marjin tataniaga menyebabkan perlunya melakukan pengkajian sistem tataniaga nenas Palembang yang efisien dengan mengidentifikasi saluran tataniaga yang terlibat, pola saluran tataniaga tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan serta struktur, perilaku dan keragaan pasar. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang diteliti sebagai berikut: 1. Bagaimana sistem tataniaga nenas Palembang yang terbentuk di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir?
6
http://regional.kompas.com/ [Diakses tanggal 19 Maret 2011]
2. Apakah saluran tataniaga nenas di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir sudah efisien? 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengaalisis sistem tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir. Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi saluran dan fungsi lembaga tataniaga nenas Palembang yang terbentuk di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir. 2. Mengidentifikasi struktur, perilaku dan keragaan pasar nenas Palembang di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kanupaten Ogan Ilir. 3. Menganalisis efisiensi pada setiap saluran tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi: 1. Bagi petani, sebagai informasi dan rekomendasi dalam upaya melakukan efisiensi jalur tataniaga nenas Palembang sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. 2. Bagi Pemerintah, sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan untuk mengefisiensikan tataniaga nenas Palembang. 3. Bagi penulis, sebagai bahan referensi dalam meningkatkan kemampuan penulis dalam mengidentifikasi masalah, menganalisis dan merumuskan solusi atas permasalahan yang terjadi sebagai perwujudan penerapan ilmu yang diperoleh di bangku kuliah. 4. Bagi pihak lain, sebagai salah satu referensi mengenai tataniaga nenas Palembang yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan dalam lingkup wilayah Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan dengan nenas
Palembang yang dijadikan komoditi yang diteliti. Petani yang dijadikan responden dalam penelitian ini adalah petani yang berada di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir yang melakukan usahatani dan pemanenan nenas Palembang. Lembaga pemasaran yang menjadi responden adalah lembaga yang terlibat langsung dalam kegiatan tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir. Analisis penelitian dibatasi untuk melihat dan mengkaji sistem tataniaga nenas Palembang di daerah penelitian. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan saluran tataniaga, fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Selain itu, digunakan juga analisis kuantitatif untuk menganalisis keragaan pasar dengan menggunakan perhitungan margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga nenas Palembang.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Nenas Nenas memiliki nama ilmiah Ananas cosmosus, dalam bahasa Inggris disebut Pineapple. Nenas dikenal sebagai King of The Fruit yang berasal dari Brazilia (Amerika Selatan) yang telah didomestikasi sebelum masa Colombus. Di Indonesia pada mulanya nenas hanya sebagai tanaman pekarangan selanjutnya meluas dan mulai dikebunkan di lahan kering (tegalan) di seluruh wilayah nusantara. Tanaman ini dapat dibudidayakan di daerah tropis dan sub tropis. Tanaman nenas diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Plantae (tumbuh-tumbuhan);
Divisi
Spermatophyta
(tumbuhan
berbiji);
Kelas
Angiospermae (berbiji tertutup); Spesies Anenas comosus. Tumbuhan ini memiliki 30 atau lebih daun yang panjang, berserat dan berduri tajam yang mengelilingi batangnya yang tebal. Kulit buahnya bersisik dan “bermata” banyak. Penyebaran tanaman nenas yang cukup cepat. Hal ini disebabkan karena tanaman nenas memiliki daya tahan tinggi selama dalam perjalanan. Untuk mendapatkan bibit nenas dapat dilakukan perbanyakan secara vegetatif dengan menggunakan tunas-tunasnya. Buah nenas selain dikonsumsi segar juga diolah menjadi berbagai macam makanan dan minuman, seperti selai, sirup, dodol dan lain-lain. Buah nenas juga mengandung gizi cukup tinggi dan lengkap. Buah nenas dimanfaatkan sebagai bahan pangan, bahan pakan ternak dan bahan baku industri. Pengolahan nenas dapat menjadi alternatif pada saat produksi buah melimpah, sehingga harga jual tetap stabil. 2.1.1. Budidaya Nenas Perbanyakan tanaman nenas dapat dilakukan dengan anakan yang keluar dari pangkal batang. Perbanyakan juga dapat dilakukan sucker atau slips dan mahkotanya. Batang dan mahkota bunga dapat dipotong dan dibelah untuk dijadikan bibit. Umur tanaman berbunga tidak menjadi persoalan karena pembungaan tanaman nenas dapat diatur dengan memberikan zat tumbuh, diantara karbid dan ethrel 40 PGR. Anakan (mahkota) bunga yang baru dipotong dapat ditanam langsung tanpa disemaikan dahulu. Namun, sebaiknya dibiarkan
dulu selama beberapa hari sebelum ditanam. Perlakuan ini dimaksudkan agar lukanya tertutup kalus lebih dulu sehingga cepat berakar. Nenas ditanam dengan sistem dua-dua baris. Tiap baris pada jarak 60 cm x 60 cm dan jarak antara 30 – 40 cm. Semakin rapat jarak tanamnya, buah yang dihasilkan semakin kecil. Untuk kebutuhan industri pengalengan (canning) biasanya diperlukan buah dengan ukuran kecil dan bentuk silindris. Pupuk kandang yang diperlukan 5 – 10 kg per lubang tanam. Sedangkan pupuk buatan yang digunakan yaitu 300 kg urea, 600 kg TSP, dan 300 kg KCL per hektar per tahun. 2.1.2. Pemeliharaan Pemberian pupuk dilakukan dua kali, yakni pada umur empat minggu dan delapan minggu setelah tanam. Pemberian pupuk urea yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya mahkota ganda (multiple crown) dalam satu buah sehingga menyebabkan buah menjadi kecil dan berbentuk buah ganda. Pemeliharaan berikutnya adalah pembersihan rumput atau gulma. Gulma pada pertanaman nenas dapat menurunkan hasil buah antara 20 – 42 %. Pembuatan drainase yang baik sangat dianjurkan untuk mencegah serangan penyakit busuk akar dan busuk hati (titik tumbuh). Pembungaan tanaman nenas dapat diatur untuk mengatur waktu panen. Bila tanaman nenas disemprot dengan ethrel 40 PGR dosis 70 – 200 ppm (1 ppm = 1 mg/liter air) pada titik tumbuhnya, maka satu bulan kemudian tanaman akan berbunga. Sebagai gantinya dapat digunakan karbid 200 – 300 mg yang dimasukkan ke titik tumbuh. 2.1.3. Hama dan Penyakit Hama yang sering menyerang tanaman nenas adalah kutu merah, kutu sisik (Diaspis bromeliae Kerner), kutu tepung atau kutu putih (Dysmicoccus breuipes), binatang kala seribu (Scutigerella immaculata Newp), dan Nematoda pratylenchus yang menyebabkan terjadinya bintil-bintil pada akar. Tanaman yang terserang kutu dicirikan dengan daun yang keriput dan pucat. Penyakit yang berbahaya adalah cendawan Phytophthora cinnamomi Rand yang menyebabkan busuk hati (titik tumbuh) dan busuk buah bakteri Erwinia chrysanthemi. Penyakit busuk akar dapat mengancam tanaman nenas jika drainase pada pertanaman tidak
baik atau tergenang air. Selain itu, ada penyakit virus yang menyebabkan daun nenas mengecil dan bergaris kuning disebut Emilia sonchifolia (L.) DC. Virus ini disebarluaskan oleh gurem Thrips tabaci Lind. Oleh sebab itu, hama dan penyakit perlu dicegah sebelum menyerang tanaman. Untuk pencegahan hama dapat diatasi dengan semprotan insektisida Bayrusil atau Kelthane 0,2%. Sementara penyakit cendawan dapat diatasi dengan semprotan fungisida sistemik. 2.1.4. Panen dan Pasca Panen Buah nenas bisa dipanen setelah tua atau matang pohon. Tanda buah dapat dipanen adalah matanya datar dan tampak jarang. Bila dipukul (diketuk) akan mengeluarkan suara menggema. Buah nenas yang mulai matang akan mengeluarkan aroma khas. Bulan panen besar biasanya pada bulan Desember. 1.2. Penelitian Terdahulu Mengenai Tataniaga Penelitian dengan topik tataniaga dan penelitian yang membaha komoditi nenas telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini juga menggunakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai referensi dan pedoman. Hasil penelitian terdahulu yang dijadikan referensi antara lain berasa dari skripsi, tesis, dan laporan penelitian. 2.2.1. Kajian Mengenai Saluran dan Fungsi-Fungsi Tataniaga Proses penyampaian produk pertanian dari produsen hingga ke konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Menurut Adnany (2008), Hermansyah (2008), dan Siregar (2010) lembaga tataniaga yang terlibat di dalam proses tataniaga produk pertanian diantaranya pedagang pengumpul, pedagang besar lokal dan luar daerah, pedagang pengecer lokal dan luar daerah. Sembiring (2010) menyatakan bahwa terdapat
juga lembaga tataniaga seperti pedagang
pengolah dalam saluran tataniaga produk pertanian. Saluran ini disesuaikan dengan kegiatan pemasaran di lokasi penelitian. Saluran tataniaga yang terbentuk bervariasi dan tentunya dipengaruhi oleh daerah tujuan pemasaran yang cukup luas. Hermansyah (2008) dan Sihombing (2010) melakukan analisis mengenai tataniaga nenas dan hasilnya terdapat tiga pola saluran tataniaga. Saluran tataniaga nenas Palembang yang dianalisis Hermansyah (2008) diantaranya Jalur I: Petani, Pedagang Pengumpul Desa
(PPD), Pedagang Pengecer, Konsumen Lokal dan Non Lokal, Jalur II: Petani Pedagang Pengumpul Desa (PPD), Pedagang Pengumpul Kota (PPK), Pedagang Besar, Pedagang Pengecer, Konsumen Pulau Jawa, Jalur III: Petani, Pedagang Pengumpul Kota (PPK), Pedagang Besar, Pedagang Pengecer, Konsumen Pulau Jawa. Berbeda dengan Sihombing (2010) yang menganalisis tataniaga nenas Bogor. Berdasarkan hasil analisis, daerah tujuan pemasaran nenas Bogor hanya sampai konsumen lokal. Pada saluran kedua nenas dari petani disalurkan ke pedagang pengumpul desa dan selanjutnya disalurkan kepada pedagang pengolah. Lembaga tataniaga yang terlibat menjalankan fungsi-fungsi pemasaran untuk memperlancar proses penyampaian barang yang menjadi perdagangannya. Pada dasarnya fungsi-fungsi dalam pemasaran dapat dikategorikan menjadi tiga fungsi yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Adnany (2008) dan Siregar (2008) menyatakan bahwa petani sangat jarang bahkan hampir tidak melakukan fungsi fasilitas sortasi dan grading pada hasil panennya. Namun kegiatan sortasi dan grading kadang-kadang dilakukan oleh petani khususnya yang telah mengikuti Standard Operational Procedure (SOP) dalam Sihombing (2010). Hal ini dilakukan untuk memberikan nilai tambah pada produk yang dihasilkan. Adnany (2008) menyatakan bahwa fungsi pengemasan umumnya dilakukan oleh petani, pedagang pengumpul, pedagang besar/pedagang pengirim, dan pedagang pengecer. Pengemasan ini dilakukan untuk memudahkan penimbangan dan pengangkutan saat penjualan. Terdapat tiga jenis kemasan yang digunakan yaitu kardus karton, keranjang bambu, dan peti kayu. Lestari (2006) menambahkan pengemasan dapat menggunakan karung yang terbuat dari plastik. Pengemasan bertujuan untuk melindungi fisik buah dari benturan saat proses pengangkutan. 2.2.2. Kajian Mengenai Struktur Pasar Struktur pasar yang terbentuk pada pemasaran komoditas pertanian berbeda-beda pada setiap lembaga tataniaga. Adnany (2008), Siregar (2008) dan Sihombing (2010) menganalisis struktur pasar dengan melihat jumlah penjual dan pembeli, sifat produk, informasi harga pasar dan hambatan masuk pasar. Struktur pasar yang dihadapi petani cenderung mengarah ke oligopsoni. Hal ini dilihat dari
jumlah petani lebih banyak dibandingkan jumlah pembeli, petani tidak dapat mempengaruhi tingkat harga pasar dan petani sebagai price taker. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul, pedagang besar serta pedagang pengecer cenderung mengarah ke pasar oligopoli. Hidayati (2009), Kusumah (2011), dan Rosiana (2012) melakukan analisis struktur pasar secara kuantitatif dengan mengetahui pangsa pasar, konsentrasi rasio pasar, dan hambatan keluar masuk pasar. Hambatan keluar masuk pasar dianalisis dengan menggunakan Minimum Efficiency Scale (MES) oleh Hidayati (2009) dan Rosiana (2012). Struktur pasar bersaing ditunjukkan dengan nilai konsentrasi pasar sebesar ≤ 33%, 33 – 50% untuk struktur pasar oligopsoni lemah, dan > 50% untuk struktur pasar oligopsoni kuat. 2.2.3. Kajian Mengenai Perilaku Pasar Perilaku pasar dianalisis secara deskriptif dengan menganalisis sistem penetapan harga dan pembayaran, kegiatan pemasaran, dan kerjasama antar lembaga pemasaran. Umumnya, penentuan harga dilakukan dengan sistem tawarmenawar dan ditentukan oleh lembaga pemasaran yang tingkatannya lebih tinggi. Harga di tingkat petani lebih ditentukan oleh pedagang pengumpul desa. Sedangkan harga di tingkat lembaga tataniaga lainnya didasarkan atas harga yang berlaku umum di pasar dalam Sihombing (2010) dan Hermansyah (2008). Sistem pembayaran yang dilakukan oleh lembaga tataniaga diantaranya sistem pembayaran tunai, sistem pembayaran kemudian, dan sistem pembayaran uang muka. Adnany (2008) dan Sihombing (2010) menjelaskan bahwa sistem pembayaran yang berlangsung tergantung pada tingkat kepercayaan dan perjanjian antara kedua belah pihak. Adnany (2008) mengatakan bahwa kerjasama antar lembaga tataniaga didasarkan pada lamanya hubungan dagang dan rasa saling percaya yang terbentuk. Berbeda dengan Adnany (2008), Sihombing (2010) mengatakan bahwa kerjasama yang terjalin antar lembaga umumnya karena ikatan kekeluargaan. Kerjasama ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan posisi tawar dan penentuan harga.
2.2.4. Kajian Mengenai Keragaan Pasar Keragaan pasar sebagai akibat dari struktur dan perilaku pasar yang terbentuk dalam kegiatan tataniaga yang ditunjukkan dengan harga, biaya dan volume produksi. Hermansyah (2008) dan Sihombing (2010) menggunakan tiga indikator dalam menganalisis keragaan pasar yaitu marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan dengan biaya. Sedangkan Lestari (2006) dan Adnany (2008) menggunakan empat indikator dalam menganalisis keragaan pasar dengan menambahkan satu indikator lagi yaitu keterpaduan pasar. Marjin pemasaran dihitung berdasarkan selisih harga yang dibayarkan oleh konsumen dengan harga yang diperoleh produsen. Hermansyah (2008) dan Sihombing (2010) mendapatkan bahwa marjin terbesar terdapat pada saluran II (petani, PPD, PPK, pedagang besar, pedagang pengecer) dan saluran I (petani, PPD, pedagang besar, pengecer), hal ini dikarenakan keduan saluran tersebut memiliki saluran tataniaga terpanjang dan harga penjualan yang ditetapkan cukup tinggi. Sebaran marjin pada setiap pola saluran tataniaga menurut Adnany (2008) dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya a) banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat pada setiap pola salurannya; b) besarnya biaya tataniaga yang dikeluarkan; c) besarnya keuntungan yang diperoleh setiap lembaga tataniaga dan d) besarnya harga pembelian dan penjualan yang ditetapkan oleh suatu lembaga tataniaga. Berdasarkan analisis marjin yang dilakukan oleh Adnany (2008), Hermansyah (2008) dan Sihombing (2010) saluran yang efisien adalah saluran yang memiliki marjin tataniaga yang paling kecil, biaya tataniaga kecil, serta keuntungan yang cukup besar jika dibandingkan dengan saluran tataniaga lainnya. Hermansyah (2008) menambahkan bahwa suatu saluran tataniaga dikatakan efisien jika volume penjualannya paling tinggi dibandingkan dengan saluran lainnya. Jika ditinjau dari segi marjin, saluran I lebih efisien. Namun, menurut Hermansyah (2008) saluran II paling efisien karena mampu menjual sebanyak 12.500 buah perharinya atau sekitar 56 persen dari total keseluruhan kepada pedagang besar di Jakarta. Farmer’s share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa pemasaran efisien. Lestari (2006), Adnany (2008) dan
Sihombing
(2010)
menyatakan
bahwa
saluran
yang
efisien
karena
menguntungkan petani adalah saluran yang memiliki nilai farmer’s share paling tinggi. Besar kecilnya nilai farmer’s share dipengaruhi oleh panjang pendeknya saluran tataniaga. Semakin pendek saluran tataniaga maka nilai farmer’s share tinggi. Adnany (2008) menambahkan bahwa perbedaan nilai farmer’s share pada setiap saluran tataniaga dipengaruhi oleh besar kecilnya marjin tataniaga dan tinggi rendahnya harga ditingkat konsumen atau harga jual pada tingkat lembaga tataniaga tertinggi. Rasio keuntungan dan biaya menunjukkan besarnya keuntungan yang diperoleh suatu lembaga tataniaga terhadap biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga. semakin tinggi nilai rasio yang diperoleh dapat menunjukkan bahwa
semakin
besar
keuntungan
yang
diperoleh.
Sihombing
(2010)
mendapatkan hasil bahwa saluran II lebih efisien karena memiliki nilai rasio tertinggi dibandingkan dengan saluran lainnya. Berbeda dengan Sihombing, Lestari (2006) melihat saluran efisien dari segi penyebaran rasio yang paling merata pada setiap lembaga tataniaga walaupun mempunyai rasio keuntungan dan biaya yang rendah dibandingkan saluran lainnya. 2.3. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Penelitian ini memiliki perbedaan dan persamaan dengan penelitian sebelumnya. Persamaan yang terlihat adalah penelitian ini sama-sama menganalisis sistem tataniaga, namun penelitian ini menganalisis tataniaga nenas seperti penelitian Hermansyah (2008) dan Sihombing (2010). Persamaan lainnya terletak pada pendekatan analisis yang digunakan yaitu pendekatan struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Perbedaan pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada komoditas yang diteliti yaitu nenas Palembang dan lokasi penelitian yaitu di Desa Paya Besar, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini dilandasi oleh teori-teori mengenai konsep sistem tataniaga meliputi konsep saluran dan lembaga tataniaga; konsep fungsi tataniaga; konsep struktur, perilaku, dan keragaan tataniaga; konsep efisiensi tataniaga yang terdiri dari biaya dan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya. 3.1.1. Konsep Sistem Tataniaga Tataniaga adalah suatu kegiatan dalam mengalirkan produk dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) aktivitas tataniaga erat kaitannya dengan penciptaan atau penambahan nilai guna dari suatu produk baik barang atau jasa, sehingga tataniaga termasuk ke dalam kegiatan yang produktif. Kegunaan yang diciptakan oleh aktivitas tataniaga meliputi kegunaan tempat, kegunaan waktu dan kegunaan kepemilikan. Pengertian tataniaga dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek ekonomi dan aspek manajemen. Pengertian tataniaga dari aspek ilmu ekonomi adalah: 1. Tataniaga (pemasaran) produk agribisnis merupakan keragaan dari semua aktivitas bisnis dalam mengalirkan barang atau jasa dari petani produsen (usahatani) sampai ke konsumen akhir. Tataniaga menjembatani jarak antara petani produsen dengan konsumen akhir (Kohls & Uhl 2002). 2. Tataniaga pertanian merupakan serangkaian fungsi yang diperlukan dalam menggerakkan input atau produk dari tingkat produksi primer hingga konsumen akhir. Tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari sub-sub sistem dari fungsi-fungsi tataniaga (fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas) yang pelaksana fungsi tersebut dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga (Hammond & Dahl 1977) 3. Rangkaian fungsi-fungsi tataniaga merupakan aktivitas bisnis dan merupakan kegiatan produktif sebagai proses meningkatkan atau menciptakan nilai (value added) yaitu nilai guna bentuk (form utility), tempat (place utility), waktu (time utility) dan kepemilikan (possession utility).
4. Tataniaga pertanian merupakan salah satu sub-sitem dari sistem agribisnis yaitu sub-sistem: sarana produksi pertanian, usahatani (produksi primer), tataniaga dan pengolahan hasil pertanian dan sub-sistem penunjang (penelitian, penyuluhan, pembiayaan, kebijakan tataniaga). Pelaksanaan aktivitas tataniaga merupakan faktor penentu efisiensi dan efektivitas dari pelaksanaan sistem agribisnis. Berdasarkan aspek manajemen, tataniaga merupakan suatu proses sosial dan manajerial yang didalamnya individu atau kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain. Schaffner et al (1998) dalam Asmarantaka (2009) mengatakan pendekatan Manajemen Tataniaga merupakan pendekatan dari aspek mikro merupakan proses dari suatu perusahaan untuk perencanaan, penetapan harga, promosi dan distribusi dari produk atau jasa untuk memuaskan konsumen. Kohls dan Uhl (2002) menyatakan bahwa untuk menganalisis suatu sistem tataniaga dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu: 1. Pendekatan fungsi (Functional Approach), menganalisis sistem tataniaga dengan menitikberatkan pada hal yang dilakukan dalam mengantarkan produk dari produsen hingga ke konsumen. Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui beragam fungsi tataniaga yang diterapkan dalam suatu sistem tataniaga dalam upaya menciptakan efisiensi tataniaga serta mencapai suatu tujuan yaitu meningkatkan kepuasan konsumen. Fungsi-fungsi tataniaga meliputi fungsi pertukaran yang meliputi fungsi pembelian, penjualan dan fungsi pengumpulan; fungsi fisik yang terdiri dari fungsi penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan; dan fungsi fasilitas yang merupakan fungsi yang memperlancar pelakasanaan fungsi pertukaran dan fungsi fisik, fungsi fasilitas
terdiri
dari
fungsi
standarisasi,
fungsi
keuangan,
fungsi
penanggungan risiko dan fungsi intelijen pemasaran. 2. Pendekatan
kelembagaan
(Institutional
Approach),
pendekatan
yang
memfokuskan pada orang maupun organisasi bisnis yang terlibat dalam proses tataniaga produk pertanian. Pelaku yang terlibat dalam aktivitas tataniaga dikelompokkan dalam kelembagaan tataniaga. Kelembagaan
tataniaga adalah berbagai organisasi bisnis atau kelompok bisnis yang melaksanakan aktivitas bisnis berupa kegiatan-kegiatan produktif yang diwujudkan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga. Para pelaku dalam aktivitas tataniaga terdiri dari pedagang perantara (merchant middlemen), agen perantara (agent middlemen), spekulator (speculative middlemen), pengolah dan pabrikan (processors and manufactures) dan organisasi (facilitative organization). 3. Pendekatan Perilaku (Behavioural-system Approach), pendekatan yang menganalisis aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga. Seperti yang telah dijelaskan pada pendekatan kelembagaan bahwa dalam suatu sistem tataniaga terdapat berbagai lembaga tataniaga yang terlibat. Para lembaga tataniaga dapat dipandang sebagai suatu sistem perilaku yang digunakan dalam membuat suatu keputusan khusunya yang terkait dengan kegiatan tataniaga dari suatu produk. Pendekatan ini terdiri dari input-output system, power system, communications system, dan the behavioral system for adapting to internal-external change. 3.1.2. Saluran dan Lembaga Tataniaga Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dengan mengalirkan barang-barang dari pihak produsen sampai pihak konsumen. Istilah lembaga tataniaga ini termasuk produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa (Hanafiah & Saeffudin 2006). Lembaga tataniaga juga diartikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak atau membantu dalam pengalihan hak atas barang dan jasa selama berpindah dari produsen ke konsumen dalam Limbong dan Sitorus (1985). Produsen merupakan pihak yang berperan sebagai penyedia produk baik produk sebagai bahan konsumsi ataupun produk yang digunakan sebagai bahan baku bagi industri terkait. Kemudian terdapat pedagang perantara yang fungsinya menyalurkan produk dari produsen ke konsumen apabila terdapat jarak dan ketiadaan akses bagi produsen untuk menyalurkan produknya secara langsung kepada konsumen. Menurut Kohls dan uhl (2002) yang termasuk kedalam kelompok
pedagang
perantara
(Merchant
middlemen)
adalah
pedagang
pengumpul (assembler), pedagang eceran (retailer) dan pedagang grosir (wholesalers). Pedagang grosir adalah pedagang yang menjual produknya kepada pedagang eceran dan pedagang antara lainnya. Biasanya volume usaha relatif besar daripada pedagang eceran. Pedagang eceran adalah pedagang yang menjual produknya langsung untuk konsumen akhir. Selain itu, adapula yang disebut dengan agen perantara (Agent middlemen).
Mereka
yang
tergolong
dalam
kelompok
agen
perantara
melaksanankan fungsi tataniaga tertentu dengan menerima komisi sebagai balas jasa. Sementara itu, ada juga yang disebut sebagai spekulator. Spekulator adalah pedagang perantara yang membeli/menjual suatu produk dan memanfaatkan serta mencari keuntungan dari adanya pergerakan harga pada komoditi tersebut. Lembaga lain yang berperan dalam aktivitas tataniaga adalah pengolah dan pabrikan (Processors and manufacturers). Kelompok ini berfungsi dalam merubah suatu produk yang merupakan bahan baku sehingga menjadi bahan setengah jadi atau produk akhir yang siap untuk dikonsumsi. Organisasi (Facilitative organization) juga bisa menjadi pelaku dalam tataniaga, misalnya pemerintah yang dalam hal ini berupaya menciptakan kebijakan serta peraturan yang terkait dengan aktivitas tataniaga dan perdagangan selain itu keterlibatan asosiasi eksportir dan importir juga dapat dikategorikan sebagai lembaga tataniaga. Penyaluran produk dari produsen hingga ke tangan konsumen yang telah melibatkan berbagai lembaga tataniaga akan membentuk suatu saluran tataniaga (marketing channel). Beberapa faktor penting yang menjadi pertimbangan produsen ketika memilih pola penyaluran dalam Limbong dan Sitorus (1985) diantaranya: a. Pertimbangan pasar meliputi siapa yang menjadi konsumen produknya (rumah tangga atau industri), berapa besar pembeli potensial, bagaimana konsentrasi pasar secara geografis, berapa besar jumlah pesanan, dan bagaimana kebiasaan konsumen dalam membeli. b. Pertimbangan dari segi perusahaan meliputi sumber permodalan, kemampuan dan pengalaman manajemen, pengawasan penyaluran dan pelayanan yang diberikan oleh penjual.
c. Pertimbangan barang meliputi berapa besar nilai per unit barang tersebut, berapa besar dan berat barang, apakah mudah rusak atau tidak, bagaimana sifat teknis dari barang tersebut, apakah berupa barang standar atau pesanan, dan bagaimana luasnya produk lain perusahaan tersebut. d. Pertimbangan terhadap lembaga perantara meliputi pelayan yang dapat diberikan lembaga perantara, kegunaan perantara, sikap perantara terhadap kebijaksanaan produsen serta volume penjualan dan pertimbangan biaya. 3.1.3. Fungsi Tataniaga Tataniaga merupakan suatu kegiatan yang mencakup proses pertukaran serta serangkaian kegiatan yang terkait pada proses pemindahan produk baik berupa barang ataupun jasa dari sektor produsen ke konsumen. Beragam kegiatan produktif yang terdapat di dalam sistem tataniaga disebut dengan fungsi tataniaga. Pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga akan menetukan efisiensi dari pelaksanaan suatu sitem tataniaga. Tujuan dari pelaksanaan fungsi tataniaga adalah untuk meningkatkan kepuasan konsumen. Kemampuan suatu produk untuk memuasakan keinginan konsumen dapat diukur dengan utilitas yang mampu diberikan oleh produk tersebut. Utilitas merupakan nilai guna suatu produk yang meliputi nilai guna bentuk, nilai guna tempat, nilai guna waktu dan nilai guna kepemilikan. Secara umum Kohls dan Uhl (2002) membagi fungsi tataniaga ke dalam tiga golongan sebagai berikut: 1. Fungsi pertukaran (exchange function) yang meliputi aktivitas menyangkut pertukaran kepemilikan secara hukum atas produk diantara pembeli dan penjual. Fungsi ini terbagi menjadi: a.
Penjualan (selling), merupakan pengalihan produk kepada pihak pembeli dengan tingkat harga tertentu sebagai akibat dari pemberian nilai tambah dari produk tersebut.
b.
Pembelian (buying) terhadap produk-produk pertanian dilatarbelakangi oleh beragam tujuan diantaranya pembelian untuk konsumsi, pembelian untuk bahan baku seperti pembelian yang dilakukan oleh pabrik yang mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi yang siap pakai.
2. Fungsi fisik (phisycal function) merupakan aktivitas penanganan, pergerakan dan perubahan fisik dari produk dan turunannya, fungsi ini meliputi: a. Pengangkutan (transportation), yaitu pemindahan barang-barang dari tempat produksi atau tempat penjualan ke tempat-tempat dimana barangbarang tersebut akan dipakai. Proses pengangkutan akan menciptakan nilai guna tempat. Dalam fungsi ini tentunya aspek terpenting yang perlu diperhatikan oleh pelaku tataniaga adalah biaya pengangkutan yang juga akan berdamapak pada penentuan dari harga produk tersebut ketika sampai di tangan konsumen. Proses pengangkutan juga sangat bergantung pada efektifitas dalam informasi dan komunikasi serta pemanfaatan teknologi yang ada sehingga efisiensi dalam proses pengangkutan dapat tercapai. b. Penyimpanan (storage), berarti menahan barang-barang selama jangka waktu tertentu sejak produk dihasilkan atau diterima hingga sampai ke proses penjualan. Kegiatan penyimpanan menciptakan nilai guna waktu pada produk. Proses penyimpanan pada produk pertanian dilakukan mengingat produk-produk pertanian memiliki karakteristik khusus yang bersifat musiman. c. Pengolahan (processing), merupakan suatu upaya mengubah bahan mentah menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi yang siap pakai. Fungsi ini menciptakan nilai guna bentuk pada suatu produk. Kegiatan pengolahan erat kaitannya dengan kegiatan penyimpanan khususnya pada produk yang sifatnya musiman. 3. Fungsi fasilitas (facilitating function) merupakan fungsi pendukung dari fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi ini meliputi kegiatan standarisasi dan grading
produk,
informasi
pasar,
fungsi
pembiayaan
serta
fungsi
penangulangan risiko. a. Standarisasi (standardization) dan grading Standarisasi merupakan penetapan suatu ukuran atau ketentuan umum yang diterima oleh umum sebagai sesuatu yang mempunyai nilai tetap serta membuat diferensiasi dari nilai produk yang diterima oleh konsumen. Grading adalah klasifikasi dari setiap atau sejumlah produk berdasarkan
standar kualitas tertentu dan pemilahan dari produk-produk yang kategorinya tidak seragam menjadi seragam. b. Informasi pasar (market intelligence) Informasi mengenai pasar erat kaitannya dengan keputusan yang akan diambil oleh pelaku tataniaga. Misalnya terkait dengan perubahan harga di pasar, bagaimana pendistribusian serta penanganan produk di mata konsumen. c. Penanggulangan risiko (risk bearing) Kegiatan
pemasaran
suatu
produk
khususnya
produk
pertanian,
kemungkinan dalam menghadapi risiko pada kegiatan bisnisnya cukup besar. Risiko-risiko tersebut diantaranya risiko kerusakan produk karena produk-produk pertanian bersifat bulky, voluminous dan perishable; risiko fluktuasi harga khususnya bagi komoditi yang bersifat musiman. Pengalihan risiko dapat dilakukan melalui kontrak pembelian dan penjualan serta melalui mekanisme hedging pada future market. d. Pembiayaan (financing) Fungsi yang menyangkut kegiatan penyediaan dana untuk membiayai proses produksi dan tataniaga sebuah produk ketika produsen harus menunggu untuk menerima pendapatan dari penjualan hasil panennnya. 3.1.4. Pendekatan Struktur, Perilaku, dan Keragaan Tataniaga Pendekatan struktur, perilaku, dan keragaan merupakan pendekatan organisasi pasar yang mencakup semua aspek dari sistem tataniaga. Struktur, perilaku, dan keragaan tataniaga merupakan kategori utama yang digunakan untuk melihat kondisi struktur pasar dan persaingan yang terjadi di pasar. Struktur pasar akan mempengaruhi perilaku pasar dalam pasar yang secara bersama-sama menentukan keragaan pasar secara keseluruhan. Untuk melakukan penelitian sistem pemasaran secara kompleks seringkali menimbulkan kerancuan, sehingga dasar pemikiran dan latar belakang tidak menjadi jelas (Hidayati 2009). Oleh karena itu pendekatan struktur, perilaku, dan keragaan pada dasarnya adalah pendekatan deskriptif yang digunakan untuk mengevaluasi sistem pemasaran.
3.1.4.1. Struktur Pasar Struktur
pasar
merupakan
karakteristik
organisasi
pasar
yang
mempengaruhi sifat kompetisi dan harga di dalam pasar. Dalam struktur pasar, pasar dikelompokkan berdasarkan jenis yang berkorelasi dengan pembeli dan penjual yang mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar menurut Asmarantaka (2009). Hammond dan Dahl (1977) menyatakan bahwa struktur pasar merupakan dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan atau industri, jumlah perusahaan suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran, tingkat diferensiasi produk, syarat-syarat keluar masuk dan penguasaan pasar. Hammond dan Dahl (1977) menggolongkan struktur pasar yang tercipta ke dalam lima jenis struktur pasar untuk pemasaran produk pertanian disajikan pada Tabel 6. Tabel 10. Lima Jenis Pasar Untuk Pemasaran Pangan dan Serat N
Karakteristik
Struktur pasar
o
Jumlah Perusahaan
Sifat produk
Informasi pasar
1
Banyak
Homogen
Sedikit
2
3
Banyak
Sedikit
Diferensiasi
Homogen
Sedikit
Banyak
Hambatan keluar/ masuk pasar Rendah
Tinggi
Tinggi
Sisi pembeli
Sisi penjual
Persaingan
Persaingan
Murni
murni
Persaingan
Persaingan
monopilistik
monopolistic
Oligopoli
Oligopoli murni
Murni 4
5
Sedikit
Satu
Diferensiasi
Unik
Banyak
Banyak
Tinggi
Tinggi
Oligopoli
Oligopoli
diferensiasi
Diferensiasi
Monopsoni
Monopoli
Sumber: Hammond dan Dahl (1977)
Struktur pasar persaingan sempurna adalah pasar dimana penjual dan pembeli memperdagangkan komoditi yang sama atau homogen, jumlah penjual dan pembeli sama banyaknya dan tidak dapat mepengaruhi harga di pasar. Tidak terdapat hambatan masuk atau keluar pasar. Informasi pasar yang didapat penjual dan pembeli relatif sempurna. Perusahaan dalam pasar persaingan sempurna tidak memiliki kekuatan pasar sehingga harga, kuantitas dan kualitas produk tidak dapat dipengaruhi oleh salah satu perusahaan Baye (2003).
Struktur pasar monopoli dicirikan dengan jumlah penjual satu yang memiliki pengaruh atas penawaran produk tertentu sehingga dapat menetapkan atau mempengaruhi harga pasar. Hambatan masuk dan keluar pasar sangat besar sehingga pendatang tidak memiliki kesempatan untuk masuk ke pasar. Produk yang diperdagangkan pada struktur pasar ini memiliki keunikan. Struktur pasar bersaing monopolistik dicirikan dengan banyak penjual dan pembeli. Perusahaan dalam pasar bersaing monopolistik dapat mempengaruhi harga produk. Penjual dapat melakukan penawaran yang berbeda kepada pembeli sebagai akibat adanya karakteristik masing-masing produk yang sesuai dengan keinginan konsumen. Perusahaan pasar monopolistik sering menggunakan iklan untuk meyakinkan konsumen bahwa merek mereka lebih baik dibandingkan merek lainnya. Baye (2003) mengungkapkan bahwa cara ini dilakukan untuk mengurangi sejumlah konsumen yang beralih ke merek lain ketika sebuah perusahaan menaikkan harga produk tersebut. Pasar oligopoli terdiri dari beberapa penjual yang sangat peka terhadap strategi pemasaran dan penetapan harga jual. Ketika sebuah perusahaan dalam pasar oligopoli mengubah harga atau strategi pemasaran maka tidak hanya berdampak pada keuntungan perusahaan tersebut tetapi keuntungan perusahaan lainnya juga. Produk yang dijual bersifar homogen atau standar. Hambatan masuk ke industri pasar oligopoli dapat dipengaruhi oleh paten, kebutuhan modal yang besar, pengendalian bahan baku dan pengetahuan yang dimiliki perorangan. 3.1.4.2. Perilaku Pasar Perilaku pasar adalah tindakan atau strategi yang dilakukan penjual atau pembeli untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan lembaga tataniaga biasanya menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan pembelian dan penjualan. Menurut Kohls dan Uhl (2002) bahwa ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menggambarkan perilaku pasar, yaitu (1) Input-output system, digunakan untuk menerangkan bagaimana perusahaan mengembangkan input yang dimiliki untuk menghasilkan output bagi perusahaan; (2) Power system, menjelaskan bahwa perusahaan mengembangkan kualitas, pemimpin pasar, dan memiliki pertumbuhan yang cepat sehingga dapat menentukan harga; (3) Communication system, menjelaskan bagaimana
mendirikan saluran informasi yang efektif; (4) System for adapting to internal and external change, menerangkan bagaimana perusahaan beradaptasi dalam suatu sistem tataniaga dan bertahan di pasar. Hammond dan Dahl (1977) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar meliputi kegiatan pembelian, penjualan penentuan harga dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Pelaku tataniaga perlu mengetahui perilaku tataniaga sehingga mampu merencanakan kegiatan tataniaga secara efisien. Hubungan yang terjadi pada SCP merupakan pengaruh struktur terhadap perilaku dimana perusahaan yang memiliki kekuatan pasar akan memanfaatkan kemampuan tersebut dengan meningkatkan harga di atas harga kompetitif. 3.1.4.3. Keragaan Pasar Keragaan pasar menurut Dahl dan Hammond (1977) adalah nilai akhir yang diperoleh sebagai akibat dari penyesuaian pasar yang dilakukan oleh lembaga pemasaran. Keragaan pasar timbul akibat adanya perilaku pasar dan tindakan yang tercermin dalam aktivitas pemasaran melalui beberapa variabel ekonomi, mulai dari biaya, harga, dan kapasitas output. a. Marjin Tataniaga Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (Pf) dengan harga ditingkat konsumen akhir (Pr) dengan demikian marjin tataniaga adalah M = Pr - Pf. Menurut Hammond dan Dahl (1977) marjin tataniaga diartikan sebagai perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen. Marjin diartikan sebagai balas jasa karena adanya kegiatan produktif berupa penambahan dan penciptaan nilai guna dalam mengalirkan produk-produk agribisnis dari tingkat petani sampai ke tangan konsumen akhir. Rendahnya nilai marjin tataniaga tidak selalu mencerminkan bahwa suatu sistem tataniaga dinilai lebih efisien. Begitu juga sebaliknya, ketika nilai marjin
tataniaga tinggi sebagai akibat adanya pengolahan dan penanganan produk lebih lanjut dan berdampak pada peningkatan kepuasan konsumen maka tingginya marjin tataniaga mengindikasikan sistem tataniaga tersebut berlangsung secara efisien. Tingginya marjin dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses kegiatan pemasaran antara lain ketersediaan fasilitas fisik pemasaran meliputi pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, risiko kerusakan dan lain-lain dalam (Limbong dan Sitorus 1985). Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsifungsi tataniaga yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan lembaga lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat semakin besar perbedaan harga antar produsen dengan harga di tingkat konsumen. Secara grafis terbentuknya biaya atau marjin tataniaga dapat dilihat pada Gambar 3. Sr
P Sf Pr
VM: (Pr-Pf)Qrf
Pf Dr Df
0
Qr/f
Keterangan: Pr : harga di tingkat pengecer Sr : penawaran di tingkat pengecer Dr : permintaan di tingkat pengecer Pf : harga di tingkat petani Sf : penawaran di tingkat petani Df : permintaan di tingkat petani Qr/f : jumlah keseimbangan di tingkat petani dan pengecer (Pr – Pf) : marjin tataniaga (Pr – Pf)Q : nilai marjin tataniaga
Gambar 3. Kurva Marjin Tataniaga Sumber: Hammond and Dahl, 1977
Q
Nilai marjin pemasaran (value of marketing margin) merupakan perbedaan harga pada dua tingkat sistem tataniaga dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan. Penentuan nilai marjin dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni melalui return to factor dan return to institution. Dimana return to factor merupakan terhadap faktor-faktor produksi yang digunakan dalam proses pemasaran seperti upah, bunga, dan keuntungan. Sedangkan return to institution merupakan pengembalian terhadap jasa atau aktivitas yang dilakukan setiap lembaga dalam proses pemasaran (Hammond dan Dahl 1977). b. Farmer’s Share Salah satu indikator yang dapat digunakan dalam menentukan efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima petani (farmer’s share) terhadap harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir yang biasanya diukur dalam bentuk persentase. Farmer’s share merupakan rasio antara harga di tingkat petani terhadap harga di tingkat retail (Hudson 2007). Kohls dan Uhl (2002) menambahkan bahwa besarnya nilai farmer’s share dipengaruhi oleh tingkat pemrosesan, biaya transportasi, keawetan produk dan jumlah produk. Farmer’s share merupakan alat analisis yang digunakan untuk menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan petani.marjin atau biaya tataniaga biasanya dibebankan kepada petani dan konsumen melalui penetapan harga di tingkat petani yang rendah dan harga di tingkat konsumen yang tinggi. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan nilai marjin tataniaga. Semakin tinggi nilai marjin tataniaga menunjukkan semakin kecil bagian yang diterima petani dalam melaksanakan suatu aktivitas tataniaga. Farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa tataniaga berjalan efisisen. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga parantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. c. Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga Tingkat efisiensi dari suatu aktivitas tataniaga dapat pula diukur melalui besarnya rasio keuntungan dan biaya yang dikeluarkan dalam aktivitas tataniaga.
Rasio keuntungan dan biaya tataniaga menunjukkan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya yang dikeluarkan dalam pelaksanaan aktivitas tataniaga. Semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga, maka secara teknis sistem tataniaga akan semakin efisien dalam Limbong & Sitorus (1985). 3.1.5. Efisiensi Tataniaga Efisiensi suatu sistem tataniaga diukur dari kepuasan konsumen, produsen maupun lembaga-lembaga yang terlibat dalam mengalirkan suatu produk dari produsen primer (petani) hingga sampai ke tangan konsumen. Terdapat perbedaan pengertian efisiensi tataniaga di mata konsumen dan produsen. Produsen mengganggap suatu sistem tataniaga yang efisien adalah jika penjualan produknya mampu mendatangkan keuntungan yang tinggi bagi produsen, sementara di mata konsumen suatu sistem tataniaga dinilai efisien jika konsumen bisa mendapatkan suatu produk dengan harga yang rendah. Dalam menentukan tingkat kepuasan dari para lembaga/pelaku tataniaga sangatlah sulit dan sifatnya relatif. Efisiensi merupakan rasio dari nilai output dengan input. Indikator dalam mengukur efisiensi tataniaga produk agribisnis dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis dalam Asmarantaka (2009) yaitu: 1. Efisiensi operasional atau teknis berhubungan dengan pelaksanaan aktivitas tataniaga yang dapat meningkatkan atau memaksimumkan rasio output-input tataniaga. Efisiensi operasional adalah ukuran frekuensi dari produktivitas penggunaan input-input tataniaga. Peningkatan efisiensi atau keuntungan dapat dilakukan melalui tiga kondisi diacu dalam Kohls and Uhl (2002) yaitu: a. Menurunkan biaya tanpa menurunkan kepuasan konsumen b. Meningkatkan kepuasan konsumen tan pa meningkatkan biaya c. Meningkatkan kepuasan konsumen dengan peningkatan biaya dimana tambahan nilai output lebih besar dari tambahan nilai input. 2.
Efisiensi
harga
menekankan
kemampuan
sistem
tataniaga
dalam
mengalokasikan sumberdaya dan mengkoordinasikan seluruh produksi pertanian dan proses tataniaga sehingga efisien sesuai dengan keinginan konsumen. Efisiensi harga bertujuan untuk mencapai efisiensi alokasi
sumberdaya antara apa yang diproduksi dan apa yang diinginkan konsumen serta memaksimumkan output ekonomi. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Kabupaten Ogan Ilir merupakan salah satu sentra nenas Palembang yang memproduksi nenas terbesar jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Namun, pada tahun 2010 terjadi penurunan jumlah produksi nenas. Penurunan jumlah produksi ini menyebabkan permasalahan pada kegiatan pemasaran nenas sehingga berpengaruh terhadap pendapatan yang diterima oleh petani. Terdapat beberapa bentuk saluran tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir. Banyaknya bentuk saluran tataniaga yang ada mengakibatkan perbedaan dalam hal harga jual, margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masingmasing lembaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga. Salah satu permasalahan yang terjadi dalam tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan ini adalah adanya marjin antara harga di tingkat produsen dengan harga di tingkat konsumen Pasar Induk Kramat Jati. Dimana harga jual petani lebih rendah dibandingkan harga di tingkat pedagang perantara/konsumen akhir. Selain itu, kurangnya informasi yang dimiliki petani mengakibatkan posisi petani sebagai price taker sehingga tidak dapat mempengaruhi harga jual nenas. Berangkat dari permasalahan yang ada maka penelitian ini dilakukan untuk menganalisis sistem tataniaga komoditas nenas Palembang mulai dari petani, lembaga pemasaran yang terlibat, serta lembaga-lembaga penunjang kegiatan pemasaran nenas Palembang. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi saluran pemasaran dan fungsi-fungsi lembaga pemasaran. Selanjutnya dilakukan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan pendekatan struktur, perilaku dan keragaan pasar. Hasil analisis yang dilakukan dari sistem tataniaga nenas Palembang yang ada, maka diketahui efisiensi sistem tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Dengan demikian, diperoleh perumusan mengenai upaya-upaya perbaikan yang dapat direkomendasikan kepada petani sebagai produsen, lembaga-lembaga pemasaran
yang terlibat sebagai penyalur, serta lembaga yang mengawasi dan memberikan kebijakan yang dapat mendukung pemasaran nenas Palembang. Berikut skema kerangka operasional analisis tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan pada Gambar 4.
Adanya marjin yang relatif tinggi di tingkat produsen dengan tingkat konsumen Kurangnya informasi harga yang dimiliki petani serta adanya ketergantungan petani kepada pedagang pengumpul desa menyebabkan petani sebagai price taker
Lembaga tataniaga Pengumpul Pd. Besar Pengecer
Petani
Konsumen
1. Saluran tataniaga 2. Fungsi tataniaga
1. 2. 3. 4.
Struktur pasar Banyaknya penjual dan pembeli Sifat produk Hambatan keluar masuk pasar Informasi pasar
Perilaku pasar 1. Kegiatan pemasaran 2. Sistem penentuan harga dan pembayaran 3. Praktek penjualan dan pembelian 4. Kerjasama antar lembaga pemasaran
Keragaan pasar 1. Margin tataniaga 2. Farmer’s share 3. Rasio keuntungan dan biaya
Gambaran tataniaga komoditi nenas di Desa Paya Besar
Rekomendasi solusi kepada petani, lembaga tataniaga serta lembaga yang mengawasi dan memberikan kebijakan dalam sistem tataniaga nenas di Desa Paya Besar
Keterangan: : Arus barang satu arah
Saling mempengaruhi
: Informasi dua arah Alur pemikiran
: Arus uang satu arah
Gambar 4. Skema Kerangka Pemikiran Operasional
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Operasional
IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – April 2012 di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan lokasi penelitian merupakan salah satu sentra produksi nenas di Provinsi Sumatera Selatan. 4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung dengan melakukan wawancara sekaligus melakukan pengisian kuisioner dengan petani responden serta lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga nenas Palembang dari Desa Paya Besar. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber pustaka dan literatur yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, seperti Badan Pusat Statistika (BPS), Kementrian Pertanian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Selatan, Dinas Perbuntan Kabupaten Ogan Ilir, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan, Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT), dan Perpustakaan LSI IPB. 4.3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara langsung kepada petani responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner). Penentuan responden petani dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan informasi yang diperoleh dari Perangkat Desa dan Petugas Penyuluh Lapang bidang Pertanian di Desa Paya Besar. Responden yang dijadikan populasi dalam penelitian ini adalah petani nenas yang sedang melakukan budidaya dan pemanenan nenas pada saat penelitian ini dilakukan. Jumlah petani yang tergabung dalam kelompok tani di Desa Paya Besar sebanyak 91 orang yang hampir 35 persen diantaranya sedang melakukan pemanenan nenas. Jumlah responden petani yang digunakan adalah 30 orang petani yang dianggap telah
mewakili keragaman saluran yang digunakan di Desa Paya Besar. Pemilihan ini bertujuan untuk melihat gambaran harga dan jumlah produksi yang terjadi pada saat penelitian. Selain responden petani, lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan pemasaran nenas dari wilayah Desa Paya Besar juga dijadikan responden dalam penelitian ini. Penarikan sampel dilakukan dengan metode snowball sampling yakni diambil berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden sebelumnya yaitu petani nenas di Desa Paya Besar dengan melakukan penelusuran saluran tataniaga dari petani hingga konsumen akhir. Berdasarkan hasil penelusuran dari 30 petani responden, diperoleh sebanyak 14 pedagang yang terdiri dari lima pedagang pengumpul desa, dua pedagang besar lokal, dua pedagang besar non lokal, empat pedagang pengecer lokal, dan satu pedagang pengecer luar non lokal. 4.4. Data dan Instrumentasi Penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif bertujuan untuk menganalisis saluran tataniaga, lembaga tataniaga dan fungsi-fungsi tataniaga, serta struktur dan perilaku pasar melalui wawancara dan pengisian kuisioner. Pengolahan data dilakukan secara deskriptif. Analisis data kuantitatif digunakan untuk menganalisis marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Pengolahan data analisis kuantitatif menggunakan kalkulator, program komputer Microsoft Excel, dan sistem tabulasi data. 4.4.1. Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga Analisis lembaga tataniaga digunakan untuk mengetahui lembaga-lembaga tataniaga yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan juga fungsi fasilitas. Lembaga-lembaga ini juga berfungsi sebagai sumber informasi mengenai suatu barang dan jasa. Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergatung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi. Analisis saluran tataniaga menggambarkan rantai distribusi yang terjadi antara titik produksi hingga titik konsumsi dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga yang terkait dalam saluran tataniaga tersebut. Alur tataniaga tersebut dijadikan dasar dalam menggambar pola saluran tataniaga. Analisis dilakukan secara deskriptif dan perbandingan. 4.4.2. Analisis Fungsi Tataniaga Analisis fungsi tataniaga digunakan untuk mengetahui kegiatan tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga dalam menyalurkan produk dari produsen sampai ke konsumen. Analisis fungsi tataniaga dapat dilihat dari fungsi pertukaran yang terdiri dari fungsi pembelian dan penjualan, fungsi fisik yang terdiri dari fungsi pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan, serta fungsi fasilitas yang terdiri dari standarisasi/grading, penanggungan risiko, pembiayaan dan informasi pasar. Data yang diperoleh tersebut disajikan dalam bentuk tabulasi data sederhana. Selain itu data tersebut juga akan dideskripsikan sehingga dapat melihat perubahan nilai guna, baik nilai guna bentuk, tempat, waktu, ataupun kepemilikan. 4.4.3. Analisis Pendekatan Struktur, Perilaku dan Keragaan Pasar Berikut ini penjelasan mengenai struktur pasar, perilaku pasar, dan keragaan pasar. a. Struktur Pasar Analisis struktur pasar digunakan untuk mengetahui apakah struktur pasar yang terbentuk cenderung mendekati persaingan sempurna atau persaingan tidak sempurna dengan memperhatikan komponen yang mengarah ke struktur pasar tertentu. Struktur pasar nenas Palembang dianalisis secara deskriptif berdasarkan jumlah penjual dan pembeli, sifat produk, hambatan masuk dan keluar pasar, dan kemudahan dalam mendapatkan informasi harga. b. Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar merupakan tingkah laku dalam menghadapi perubahan yang terjadi dalam kegiatan pemasaran. Perilaku pasar dianalisis secara deskriptif untuk memperoleh informasi perilaku lembaga pemasaran nenas Palembang. Kegiatan yang diamati dalam perilaku pasar diantaranya adalah (a) proses pembelian dan
penjualan, (b) penentuan harga pada tingkat lembaga yang dominan, (c) cara pembayaran yang dilakukan secara tunai atau kredit, dan (d) kerjasama yang dilakukan antar lembaga pemasaran apakah mempengaruhi perilaku setiap lembaga pemasaran yang terlibat. c. Keragaan Pasar Keragaan pasar nenas di Desa Paya Besar dianalisis dengan menggunakan marjin pemasaran, farmer’s share dan analisis rasio keuntungan terhadap biaya. Analisis ini dilakukan untuk melihat sistem pemasaran nenas di Desa Paya Besar. 1. Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat petani produsen (Pf) dengan harga ditingkat konsumen akhir (Pr) dengan demikian marjin tataniaga adalah MT = Pr - Pf. Melalui penelusuran saluran tataniaga, diharapkan dapat diperoleh informasi tentang marjin pada tiap lembaga tataniaga. Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga diantara lembaga tataniaga. Analisis marjin tataniaga digunakan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga nenas. Marjin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Besarnya marjin tataniaga pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biayabiaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh dari lembaga tataniaga. Analisis marjin tataniaga dapat dipakai untuk melihat keragaan pasar yang terjadi. Menurut Limbong dan Sitorus (1985), perhitungan marjin tataniaga secara matematis dapat dilihat sebagai berikut: Mi = Hji – Hbi
………. (1)
Mi = Ci + πi
………. (2)
Sehingga: Hji – Hbi = Ci + πi
………. (1) dan (2)
Berdasarkan persamaan di atas, maka keuntungan tataniaga pada tingkat ke-i adalah: πi = Hji – Hbi – Ci.......... (3)
Maka besarnya marjin tataniaga adalah:
MT = ΣMi, i = 1,2,3,……..n Sumber: Kohls dan uhl (2002) Keterangan: Mi
= Marjin tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
Hj
= Harga penjualan pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
Hbi
= Harga pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
Ci
= Biaya pembelian pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
πi
= Keuntungan tataniaga pada pasar tingkat ke-i (Rp/kg)
i
= 1,2,3,…….,n
MT
= Total marjin tataniaga
2. Analisis Farmer’s Share Farmer’s share adalah proporsi dari harga yang diterima petani produsen dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir yang dinyatakan dalam persentase. Farmer’s share dapat digunakan dalam menganalisis efisiensi saluran tataniaga dengan membandingkan seberapa besar bagian yang diterima oleh petani dari harga yang dibayarkan konsumen akhir. Jika harga yang ditawarkan pedagang/lembaga tataniaga semakin tinggi dan kemampuan konsumen dalam membayar harga semakin tinggi, maka bagian yang diterima oleh petani akan semakin sedikit. Hal ini dikarenakan petani menjual komoditinya dengan harga yang relatif rendah. Dengan demikian dapat diketahui Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga, artinya semakin tinggi marjin tataniaga maka bagian yang akan diperoleh petani (Farmer’s share) semakin rendah. Farmer’s share akan menunjukkan apakah tataniaga memberikan balas jasa yang seimbang kepada semua pihak yang terlibat dalam tataniaga. Secara matematis farmer’s share dapat dirumuskan dengan: Fs =
Pf x 100% Pr
Sumber: Asmarantaka (2009) Keterangan: Fs = Farmer’s share Pf = Harga di tingkat petani Pr = Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir
3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Rasio
keuntungan
dan
biaya
tataniaga
merupakan
besarnya
keuntungan yang diterima lembaga tataniaga sebagai imbalan atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Penyebaran marjin tataniaga dapat pula dilihat berdasarkan persentase keuntungan terhadap biaya tataniaga pada masingmasing lembaga tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya setiap lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut: Rasio Keuntungan dan Biaya = Keuntungan ke-i Biaya ke-i Sumber: Asmarantaka (2009)
Keterangan: Keuntungan ke-i = Keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Buah) Biaya ke-i = Biaya lembaga tataniaga (Rp/Buah) Apabila π/c lebih dari nol (π/c > 0), maka usaha tersebut efisien, dan apabila π/c kurang dari nol (π/c < 0), maka usaha tersebut tidak efisien. Tataniaga yang efisien dapat juga dilihat melalui sebaran nilai rasio terhadap biaya yang merata pada setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga.
V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Karakteristik Wilayah dan Keadaan Alam Penelitian ini dilaksanakan di Desa Paya Besar Kecamatan Payaraman Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan. Daerah ini memiliki potensi yang baik untuk pengembangan perkebunan nenas. Desa Paya Besar merupakan salah satu desa yang potensial dalam memproduksi nenas di Kecamatan Payaraman. Kecamatan Payaraman terdiri dari 13 desa seperti dalam Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Jumlah Wilayah Beserta Luas Lahan Tanaman Nenas Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan No. Nama Desa Luas Lahan Nenas Luas Wilayah (Km2)
(Ha) 1.
Payaraman Barat
25
18,16
2.
Payaraman Timur
-
14,27
3.
Seri Kembang I
5,5
4,70
4.
Seri Kembang II
30
7,14
5.
Seri Kembang III
36
11,41
6.
Tanjung Lalang
-
40,00
7.
Rengas I
-
16,33
8.
Rengas II
1000
9,70
9.
Tedebak I
-
5,78
10.
Tedebak II
-
7,80
11.
Lubuk Bandung
100
12,25
12.
Talang Seleman
103
7,95
13.
Paya Besar
450
3,80
1800,5
157,65
Jumlah Sumber : Data Monografi Kecamatan Payaraman (2011)
Untuk mencapai wilayah Desa Paya Besar dari pusat Kota Ogan Ilir dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor dengan jarak tempuh 40 Km (± 1,5 jam) sedangkan jarak dari ibukota Provinsi Sumatera Selatan 80 Km (± 3,5 jam). Desa Paya Besar secara administratif merupakan salah satu dari 13 desa yang terdapat di Kecamatan Payaraman dengan luas wilayah 3,80 Km 2. Tofografi
tanah di Desa Paya Besar pada umumnya berjenis tanah podsolik yang sebagian besar berwarna hitam atau abu-abu dengan tekstur pasiran. Desa Paya Besar berada pada ketinggian 140 mdpl dengan suhu rata-rata harian 27° C. Curah hujan di daerah ini sekitar 15 mm dengan jumlah bulan hujan 4 bulan. Sebagian besar lahan di Desa Paya Besar digunakan sebagai lahan perkebunan yaitu sebesar 1.800 Ha. Sedangkan sisa lahan lainnya digunakan untuk keperluan pemukiman, kuburan, perkantoran, sekolah dan hutan belantara. Jenis tanaman yang cocok dikembangkan di daerah ini adalah tanaman perkebunan seperti karet dan tanaman hortikultura seperti nenas, semangka dan sayuran. Secara geografis, wilayah Desa Paya Besar berbatasan dengan: Sebelah Utara
: Desa Menanti Selatan (Muara Enim)
Sebelah Selatan
: Desa Tedebak (Ogan Ilir)
Sebelah Timur
: Desa Talang Seleman (Ogan Ilir)
Sebelah Barat
: Desa Gaung Asam (Muara Enim)
Secara umum, Desa Paya Besar termasuk desa yang mudah dijangkau karena letaknya strategis dan kondisi jalan yang menghubungkan desa dengan Ibu Kota Kabupaten sudah beraspal. Sehingga mudah dijangkau oleh kendaraan besar maupun kecil. Hal ini sangat membantu petani dan lembaga pemasaran yang berada di Desa Paya Besar untuk mendistribusikan hasil panen ke daerah lain. Alat transportasi yang banyak digunakan masyarakat adalah sepeda motor, sedangkan alat angkut yang digunakan untuk mendistribusikan hasil panen adalah truk dan pick up. 5.2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Jumlah penduduk Desa Paya Besar pada tahun 2011 adalah 1.113 orang yang terdiri dari 552 orang laki-laki, 561 orang perempuan dan 300 kepala keluarga. Dari total jumlah penduduk tersebut, jumlah penduduk terbanyak yaitu berusia 31 – 40 tahun yaitu sebesar 271 jiwa. Komposisi penduduk berdasarkan usia di Desa Paya Besar secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Jumlah Penduduk Desa Paya Besar Berdasarkan Usia Tahun 2011 Kelompok Umur Jumlah Persentase (tahun)
(jiwa)
(%)
0 – 10
187
17
11 – 20
156
14
21 – 30
183
16
31 – 40
271
24
41 – 50
214
19
> 50
102
9
Jumlah
1113
100
Sumber: Monografi Desa Paya Besar, 2012
Jumlah penduduk yang berusia produktif atau usia kerja lebih banyak dibandingkan dengan penduduk yang tidak berada pada usia produktif. Penduduk yang berada pada usia produktif adalah 668 jiwa sedangkan yang berusia tidak produktif berjumlah 445 jiwa. Jumlah penduduk yang termasuk dalam usia produktif yakni berkisar antara usia 16 – 50 tahun. Tabel 13. Jumlah Penduduk Desa Paya Besar Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2011 Mata Pencaharian Jumlah Penduduk Persentase (jiwa)
(%)
Pertanian
780
70.08
Pedagang
22
1.98
Peternak
25
2.25
Pegawai Negeri Sipil
19
1.71
Polri
1
0.09
Montir
4
0.36
Bidan
2
0.18
Sumber : Monografi Desa Paya Besar, 2012
Berdasarkan mata pencahariannya, Desa Paya Besar didominasi oleh penduduk yang bekerja di bidang pertanian. Jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian yaitu sebesar 780 jiwa atau 70,08 persen dengan rata-rata
kepemilikan lahan sebesar 0,5 – 1 ha lebih. Penduduk Desa Paya Besar pada umumnya memilih bekerja sebagai petani pekebun yang mayoritas mengusahakan karet dan nenas serta tanaman hortikultura lainnya. 5.3. Karakteristik Petani Responden Reponden dalam penelitian ini adalah petani yang melakukan usahatani nenas dan sedang melakukan pemanenan nenas di Desa Paya Besar. Petani responden yang dipilih sebanyak 30 orang dalam satu desa dengan menggunakan metode penarikan sampel secara purposive. Sebanyak 91 orang petani di Desa Paya Besar merupakan anggota kelompok tani. Terdapat empat kelompok tani dan satu gabungan kelompok tani di Desa Paya Besar. Berdasarkan pengamatan di lapangan bahwa peranan kelompok ini belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebuah kelompok seharusnya dapat menjadi wadah bagi para petani untuk saling bertukar informasi baik mengenai kegiatan budidaya maupun pemasaran nenas. Namun, petani melakukan penjualan nenas langsung kepada pedagang pengumpul desa secara individu dan belum pernah ada kegiatan penyuluhan mengenai budidaya nenas. Dari wawancara yang dilakukan dengan dua orang ketua kelompok tani bahwa kegiatan kelompok tani di Desa Paya Besar baru difokuskan pada budidaya tanaman tahunan seperti karet. Kedepannya diharapkan kegiatan kelompok dapat difokuskan pada komoditi nenas terutama dalam kegiatan budidaya dan pemasaran. Petani menyadari bahwa nenas merupakan komoditas yang potensial sehingga perlu dilakukan peningkatan kualitas dan kuantitasnya. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan terdapat beberapa karakteristik yang dinilai penting diantaranya usia, luas lahan, kepemilikan lahan dan pengalaman. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa umur petani responden di Desa Paya Besar berkisar antara 28 – 55 tahun. Sebanyak dua orang petani berumur kurang dari 30 tahun atau sebesar 6,67 persen. Hal ini menggambarkan bahwa kurangnya petani yang berusia relatif muda ( ≤ 30 tahun). Pada umumnya pemuda Desa Paya Besar lebih memilih untuk bekerja di bidang lain dan menetap di luar desa setelah berkeluarga. Sedangkan kelompok usia tertinggi terdapat pada usia 31 – 40 tahun sebanyak 16 petani atau sebesar 53,33
persen. Kelompok usia ini termasuk ke dalam usia produktif atau usia kerja. Berikut karakteristik responden petani berdasarkan usia pada Tabel 14. Tabel 14. Karakteristik Petani Responden Berdasarkan Usia di Desa Paya Besar Tahun 2012 Kelompok Umur Jumlah Responden Persentase (tahun)
(orang)
(%)
≤ 30
2
6,67
31 - 40
16
53,33
41 - 50
10
33,33
≥ 51
2
6,67
Total
30
100,00
Tingkat pendidikan petani responden di Desa Paya Besar cukup bervariasi. Dari 30 orang petani responden, 12 petani diantaranya atau sebesar 40 persen hanya dapat menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), tiga orang tidak menyelesaikan pendidikan formalnya, sembilan petani berhasil menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar dan enam lainnya hingga sampai pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Tingkat pendidikan yang baik biasanya berpengaruh terhadap kemampuan petani dalam mendapatkan informasi dan mengembangkan komoditas ini. Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Paya Besar tahun 2012 dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Karakteristik Petani Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Paya Besar Tahun 2012 Tingkat Pendidikan Petani Persentase (orang)
(%)
Tidak tamat SD
3
10
Tamat SD
9
30
Tamat SMP
12
40
Tamat SMA
6
20
Perguruan Tinggi
-
-
30
100
Total
Luas penggunaan lahan usahatani nenas yang dimiliki petani responden beragam yakni mulai dari 0,5 ha atau lebih dari 0,5 ha. Status lahan yang dimiliki petani umumnya adalah milik sendiri. Kebanyakan petani mendapat lahan tersebut sebagai warisan atau sengaja dibeli dari orangtuanya. Hampir sebagian besar petani responden melakukan tumpang sari antara tanaman karet dan nenas. Nenas dijadikan tanaman sampingan oleh sebagian besar petani di Desa Paya Besar. Terdapat tujuh orang petani responden atau 23,33 persen yang tidak melakukan tumpang sari nenas dengan karet. Ketujuh petani ini melakukan budidaya nenas secara monokultur. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 23 petani atau sebesar 76,67 persen petani yang mengusahakan tanaman nenas pada luasan lahan 1 – 2 ha. Sedangkan untuk luasan lahan lebih dari dua ha dimiliki oleh lima petani dan luasan lahan kurang dari sama dengan 0,5 ha dimiliki oleh dua petani responden. Luasan lahan yang dimiliki petani memberikan gambaran terhadap jumlah produksi nenas yang dihasilkan petani. Semakin luas lahan yang dimiliki petani maka kapasitas produksi nenas diharapkan dapat tinggi pula. Karakteristik luas lahan yang dimiliki petani responden di Desa Paya Besar pada Tabel 16. Tabel 16. Karakteristik Kepemilikan Luas Lahan Petani Responden di Desa Paya Besar Tahun 2012 Luas Lahan Petani Persentase (ha)
(orang)
(%)
≤ 0.5
2
6,67
1–2
23
76,67
>2
5
16,66
Total
30
100,00
Rata-rata petani responden berjenis kelamin laki-laki dan hanya terdapat satu petani yang berjenis kelamin perempuan. Petani merupakan pekerjaan utama penduduk Desa Paya Besar. Hampir semua kepala keluarga melakukan kegiatan pertanian sedangkan istri membantu suami untuk merawat kebun dan mengumpulkan hasil panen. Kegiatan pertanian juga dilakukan bersama anggota keluarga lainnya.
Pengalaman bertani yang dimiliki oleh petani responden dapat mempengaruhi keberhasilan usahatani nenas. Petani yang sudah lama melakuan usahatani nenas biasanya memiliki pengalaman yang lebih dalam melakukan budidaya nenas. Kegiatan usahatani nenas ini dilakukan secara turun-temurun sehingga masih banyak petani di Desa Paya Besar yang melakukan kegiatan usahatani nenas secara tradisional. Karakteristik pengalaman petani responden dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Karakteristik Pengalaman Petani Responden dalam Usahatani Nenas di Desa Paya Besar Lama Bertani Nenas Petani Persentase (tahun)
(orang)
(%)
≤5
3
10,00
6 – 10
10
33,33
11 – 15
5
16,67
16 – 20
7
23,33
> 20
5
16,67
Total
30
100,00
Dari hasil wawancara didapatkan bahwa terdapat sepuluh petani atau sebesar 33,33 persen yang melakukan usahatani nenas selama 6 – 10 tahun. Terdapat tiga petani yang baru melakukan usahatani nenas selama kurang dari sama dengan lima tahun. 5.4. Karakteristik Pedagang Responden Berdasarkan hasil penelusuran terhadap responden pedagang, diperoleh sebanyak lima belas pedagang responden yang terdiri dari lima pedagang pengumpul desa (PPD), empat pedagang besar, dan lima pedagang pengecer di Palembang dan luar kota. Karakteristik yang diperhatikan terhadap pedagang responden diantaranya umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman berdagang nenas. Berdasarkan karakteristik umur, pedagang responden memiliki umur yang bervariasi dengan jumlah kelompok umur tebanyak adalah pedagang berumur antara 26 – 40 tahun yaitu sebanyak delapan pedagang atau 57,14 persen.
Sedangkan enam pedagang lainnya atau sebesar 42,86 persen berumur lebih dari 40 tahun. Pada umumnya pedagang responden berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 12 orang pedagang atau sebesar 85,71 persen. Untuk sebaran tingkat pendidikan pedagang nenas juga bervariasi didominasi oleh pedagang yang tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu sebanyak enam orang atau sebesar 42,86 persen. Dua diantaranya tidak tamat Sekolah Dasar (SD), satu orang pedagang merupakan tamatan pendidikan Diploma dan dua orang pedagang menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA). Berdasarkan tingkat pengalaman berdagang nenas, sebaran tingkat pengalaman berdagang pedagang responden cukup beragam dengan jumlah terbesar adalah tingkat pengalaman lebih dari 10 tahun atau sebesar 50 persen. Pengalaman pedagang dalam berdagang nenas akan berkaitan dengan jaringan perdagangan baik dengan petani maupun pedagang lainnya serta pengalaman dalam mengahadapi berbagai peluang dan risiko dalam berdagang nenas. 5.5. Gambaran Umum Usahatani Nenas Budidaya tanaman nenas terdiri dari beberapa tahapan yaitu pembibitan, pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, penyiangan dan pemanenan. 5.5.1. Pembibitan Pembibitan nenas biasanya dilakukan sendiri oleh petani Desa Paya Besar. Petani responden mendapatkan bibit dari tunas akar (anakan) atau slip yaitu tunas yang terdapat pada ujung pangkal buah nenas sebelumnya. Jenis varietas yang banyak dibudidayakan di Desa Paya Besar adalah jenis Queen atau lebih dikenal dengan sebutan Nenas Palembang. Perbanyakan untuk jenis nenas ini sangat dianjurkan dengan menggunakan tunas karena memiliki jumlah anakan dan slip banyak. Namun terdapat beberapa petani membeli bibit nenas kepada petani lainnya. Hal ini biasa dilakukan jika jumlah tunas dari tanaman sebelumnya belum mencukupi kebutuhan tanam di lahan. Petani membeli bibit nenas dengan harga Rp.100 per bibit. Begitu juga sebaliknya, petani yang memiliki bibit berlebih biasanya akan menjual bibit tersebut. Tunas yang dipilih menjadi bibit sebaiknya yang berukuran cukup besar dan masih muda. Jika tunas yang digunakan sudah
tua, maka akan berpengaruh tehadap ukuran buah nenas. Tunas yang baik memiliki diameter 4 – 5 cm dan tinggi lebih dari 30 cm. Untuk satu hektar lahan, petani menggunakan 15.000 – 40.000 bibit. Jumlah penggunaan bibit tergantung pada jarak tanam tanaman nenas. Rata-rata bibit yang digunakan oleh petani nenas di Desa Paya Besar yaitu 30.000 bibit per hektar. 5.5.2. Pengolahan Lahan Pengolahan lahan dilakukan petani sebelum penanaman agar lahan yang akan ditanami bersih dari alang-alang, rumput, atau sisa batang yang masih tertinggal di dalam tanah. Alat yang digunakan petani untuk mengolah lahan adalah cangkul. Tanah dicangkul sedalam ± 25 cm agar tanah gembur dan subur saat akan ditanami. Kemudian diratakan lalu dibuat bedengan. Bedengan yang dibuat biasanya dengan jarak 80 – 100 cm antar barisan dan 35 – 50 cm jarak dalam barisan. 5.5.3. Penanaman Setelah selesai pengolahan lahan maka selanjutnya kegiatan penanaman dilakukan. Bibit ditanam pada lubang tanam yang telah disediakan sedalam 5 – 10 cm atau ± ¼ panjang bagian bibit. Jika bibit ditanam terlalu dangkal maka perakaran tanaman nenas akan kurang kuat. Satu lubang tanam hanya dapat ditanami dengan satu bibit. Tanaman nenas sangat baik ditanam pada musim penghujan karena tananam ini membutuhkan tanah lembab dan basah. Dari total bibit yang ditanam pada satu hektar lahan biasanya akan terjadi kegagalan tanam sebesar 8 – 20 persen. Oleh karena itu, petani harus menyiapkan bibit cadangan untuk kebutuhan penyulaman sebesar kegagalan tanam. Kegiatan penyulaman dilakukan petani sejak minggu ketiga atau keempat setelah tanam. 5.5.4. Pemeliharaan Ada beberapa kegiatan yang dilakukan dalam proses pemeliharaan diantaranya penyiangan dan pemupukan. Penyiangan tidak rutin dilakukan oleh petani. Biasanya petani melakukan penyiangan setiap tiga bulan sekali tergantung kondisi gulma di lahan nenas. Jika gulma sudah mulai lebat dan panjang maka penyiangan harus dilakukan karena jika dibiarkan akan menghambat pertumbuhan tanaman nenas. Kegiatan penyiangan dilakukan secara manual dengan
menggunakan kored atau cangkul kecil. Kegiatan ini dilakukan oleh petani dan dibantu oleh anggota keluarganya yaitu istri. Petani tidak menggunakan zat kimia dalam pengendalian gulma. Tujuannya menghindari ketergantungan petani terhadap penggunaan zat kimia yang dianggap dapat menambah biaya produksi. Umumnya petani responden tidak menggunakan pupuk kimia bahkan beberapa petani tidak melakukan pemupukan pada tanaman nenasnya. Petani hanya mengandalkan pertumbuhan nenas pada kesuburan tanah. Sebagian besar petani menggunakan pupuk kompos yang berasal dari sisa daun-daun atau sampah tanaman yang berada disekitar lahan. Hanya sedikit sekali petani yang menggunakan pupuk kimia dan biasanya hanya petani yang memiliki skala usaha dan modal yang besar yang menggunakan pupuk kimia. Petani menghindari penggunaan pupuk kimia karena harga pupuk yang mahal dan takut ketergantungan terhadap pupuk kimia. Masalah yang sering dihadapi oleh petani adalah serangan hama dan penyakit antara lain sapi, babi hutan, dan daun muda memerah yang disebabkan oleh Thrips tabaci. Untuk menghindari serangan sapi yang sengaja diliarkan biasanya petani memberi pagar di sekitar lahannya untuk menghindari sapi tersebut masuk ke lahan nenas petani. Sedangkan untuk mengendalikan babi hutan yang sering memakan buah nenas, petani hanya memasang perangkap di sekitar lahan. Untuk mengatasi masalah penyakit daun muda memerah, petani mencabut tanaman yang terserang penyakit tersebut. Petani harus mengenali tanda-tanda serangan hama ini sebelum menyebar ke tanaman lainnya. 5.5.5. Pemanenan Pemanenan buah nenas di lokasi penelitian dapat dilakukan setelah tanaman berumur 17 – 18 bulan setelah tanam. Panen kedua dan ketiga dilakukan setelah berumur tanaman berumur 4 – 4,5 bulan setelah waktu panen pertama. Adapun sifat fisik buah nenas yang siap dipanen adalah mahkota lebih terbuka, tangkai buah keriput, warna kulit dasar buah menguning dan aroma buah mulai tercium. Waktu pemanenan dan jumlah buah yang akan dipanen dapat ditentukan sendiri oleh petani. Petani di Desa Paya Besar pada umumnya menggunakan zat perangsang
pembungaan.
Pembungaan
nenas
dapat
dirangsang
dengan
menggunakan gas ethylene, ethrel atau karbit. Penggunaan zat ini dilakukan dengan mencampurkan beberapa gram zat tersebut ke dalam air dan kemudian disemprot atau disiram ke pucuk tanaman atau titik tumbuh. Buah hasil panen pertama dikenal dengan buah induk. Sedangkan buah hasil panen kedua dan ketiga biasanya disebut buah anak dan buah catok. Hal yang membedakan ketiganya adalah ukuran dan posisi mahkota buah. Berikut indikator penentuan buah induk, anak dan catok pada Tabel 18. Tabel 18. Indikator Penentuan Buah Induk, Anak dan Catok Jenis Buah Induk Anak Catok
Jumlah Mata (buah)
Diameter (cm)
Berat per Buah (kg)
Mahkota (cm)
8 – 12
11 9 – 10 ≤9
2 – 1,5 1,5 – 1 0,5 – 1
8 – 10 8 – 10 8 – 10
5–7
Sumber: Pedagang Pengumpul Desa Paya Besar
Buah induk biasanya adalah buah yang memiliki ukuran buah besar, memiliki panjang sekitar 10 – 12 mata buah dan mahkota lurus. Sedangkan buah anak dan catok biasanya memiliki ukuran dan panjang buah lebih kecil dan pendek dari buah induk serta posisi mahkota yang tidak lurus.
A
B
C
A
Gambar 5. Buah nenas yang telah dipanen: A). Buah anak induk, B). Buah anakan, C). Buah catok A
Umur panen yang tidak seragam mengakibatkan petani tidak dapat memanen nenas serempak. Panen nenas dilakukan secara bertahap. Petani melakukan pemanenan sendiri atau diupahkan jika jumlah buah yang dipanen diatas 2000 buah. Biaya pemancungan buah nenas Rp. 100/buah. Cara panen yang biasa dilakukan oleh petani adalah secara manual. Buah yang sudah matang
dipotong menggunakan parang pada bagian tangkai buahnya. Kemudian buah yang telah dipotong dikumpulkan untuk selanjutnya dijual ke pedagang pengumpul desa. Petani di Desa Paya Besar tidak melakukan kegiatan sortasi/grading terhadap nenas yang dipanen. Padahal kegiatan tersebut dapat memberikan nilai tambah terhadap nenas yang dihasilkan oleh petani. Selama ini petani hanya menjual nenas utuh atau dalam keadaan segar kepada pedagang pengumpul desa. Harga yang diterima oleh petani ditentukan oleh pedagang pengumpul desa. Pedagang pengumpul desa menguasai informasi terkait perkembangan harga nenas serta kualitas nenas yang diinginkan oleh konsumen. Keadaan ini dimanfaatkan sortasi/grading.
oleh
pedagang
Berdasarkan
pengumpul
pengamatan
di
untuk
melakukan
lapangan
bahwa
kegiatan pedagang
pengumpul mendapatkan nilai tambah dari kegiatan tersebut. Pedagang pengumpul desa dapat menjual nenas dengan harga yang lebih tinggi sesuai dengan grade dan kualitas nenas. Masalah lain yang dihadapi petani responden di Desa Paya Besar adalah kerugian pada saat panen raya atau musim buah. Pada kondisi tersebut jumlah nenas yang dihasilkan sangat banyak sehingga menyebabkan harga jualnya murah dan bahkan tidak laku terjual. Petani tidak memiliki alternatif pemasaran lainnya sehingga tetap berusaha untuk menjual nenasnya kepada pedagang pengumpul desa meskipun harga yang diterima petani sangat murah. Petani di Desa Paya Besar tidak melakukan pengolahan nenas. Nenas yang dihasilkan hanya dijual dalam keadaan segar. Padahal nenas dapat diolah menjadi selai, sirup, keripik dan dodol nenas sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi petani. Namun, industri pengolahan nenas tidak terdapat di wilayah Desa Paya Besar. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Litbang Sumsel bahwa industri pengolahan nenas baru terdapat di wilayah Prabumulih. Kota Prabumulih memiliki beberapa industri pengolahan nenas skala rumah tangga. Nenas diolah menjadi berbagai produk olahan diantaranya selai, sirup, keripik dan dodol nenas.
VI SALURAN DAN FUNGSI TATANIAGA 6.1. Lembaga Tataniaga Nenas yang berasal dari Desa Paya Besar dipasarkan ke pasar lokal (Kota Palembang) dan ke pasar luar kota (Pasar Induk Kramat Jati). Tataniaga nenas di Desa Paya Besar dimulai dari petani sebagai produsen nenas hingga ke konsumen dengan melibatkan lembaga-lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya pedagang pengumpul desa, pedagang besar lokal, pedagang besar non-lokal, pedagang pengecer lokal dan pedagang pengecer non-lokal. a. Petani adalah pihak yang melakukan budidaya nenas dan berperass sebagai produsen di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir. b. Pedagang pengumpul desa adalah lembaga tataniaga yang tinggal di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman dan berperan menyalurkan nenas ke lembaga tataniaga selanjutnya. c. Pedagang besar lokal adalah lembaga tataniaga yang tinggal di wilayah Kota Palembang namun di luar Desa Paya Besar yang berperan menyalurkan nenas ke pedagang pengecer lokal. d. Pedagang besar non-lokal adalah lembaga tataniaga yang tinggal di luar Provinsi Sumatera Selatan yang berperan menyalurkan nenas ke pedagang pengecer di luar Provinsi Sumatera Selatan. e. Pedagang pengecer lokal adalah lembaga tataniaga yang tinggal di wilayah Kota Palembang namun di luar Desa Paya Besar yang berperan menyalurkan nenas ke konsumen akhir yang berada di wilayah Kota Palembang dan sekitarnya. f. Pedagang pengecer non-lokal adalah lembaga tataniaga yang tinggal di luar Provinsi Sumatera Selatan yang berperan dalam menyalurkan nenas ke konsumen akhir yang berada di luar Provinsi Sumatera Selatan. 6.2. Sistem Tataniaga Saluran tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar diawali dari petani sebagai produsen nenas hingga konsumen akhir. Proses tataniaga nenas Palembang melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Lembaga yang terlibat dalam
tataniaga nenas Palembang di lokasi penelitian yaitu pedagang pengumpul desa, pedagang besar dan pedagang pengecer. Berikut skema saluran tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar dapat dilihat pada bagan berikut: 16.800 buah (18,81%)
Petani 6.123 buah (6,86%)
66.368 buah (74.33%)
PPD 100%
100% 100%
Pengecer Lokal 100%
Pedagang Besar Non Lokal 100% 100%
Pedagang Besar 100%
Konsumen Lokal
Pengecer Non Lokal 100%
Konsumen Non Lokal
Gambar 6. Skema Saluran Tataniaga Nenas Palembang di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir Keterangan: : Saluran Tataniaga I : Saluran Tataniaga II : Saluran Tataniaga III 6.2.1. Saluran Tataniaga Saluran tataniaga merupakan serangkaian organisasi-organisasi yang terlibat dalam proses mengalirkan suatu produk barang atau jasa yang siap dikonsumsi oleh konsumen. Penelusuran pola tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar dimulai dari produsen sampai ke konsumen akhir dengan melibatkan lembaga-lembaga tataniaga lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, tataniaga nenas di Desa Paya Besar memiliki tiga pola saluran tataniaga dan melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya pedagang pengumpul desa, pedangan besar dan pedagang pengecer. Adapun pola saluran tataniaga nenas yang terbentuk adalah sebagai berikut: (1) Pola I: Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Besar Lokal – Pedagang Pengecer Lokal – Konsumen Lokal
(2) Pola II: Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Pengecer Lokal – Konsumen Lokal (3) Pola III: Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Besar Non-lokal – Pedagang Pengecer Non-lokal – Konsumen Non-lokal Berdasarkan ketiga pola saluran tataniaga yang ada, jumlah nenas yang diproduksi dari Desa Paya Besar mencapai 89.291 buah pada bulan Januari hingga Maret 2012. Semua nenas yang dihasilkan dijual melalui pedagang pengumpul desa dan selanjutnya disalurkan ke pedagang besar, pedagang pengecer hingga ke konsumen akhir. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, tidak ditemukan responden petani yang menjual nenas langsung ke pedagang besar atau ke pedagang pengecer. Hal ini disebabkan karena petani tidak memiliki alternatif pasar selain menjual ke pedagang pengumpul desa. Petani juga takut menanggung risiko kerugian yang timbul jika petani melakukan penjualan langsung ke pedagang besar atau pedagang pengecer. Mengingat produk yang dihasilkan mudah rusak dan jarak lokasi pemasaran cukup jauh dari sentra produksi serta adanya ikatan kekeluargaan antara petani dengan pedagang pengumpul desa. Sihombing (2010) mengidentifikasi saluran tataniaga nenas Bogor yang terbentuk di Desa Cipelang dan hasilnya terdapat tiga saluran tataniaga. Pola satu melibatkan petani – pedagang pengumpul desa – pedagang besar – pedagang pengecer – konsumen lokal. Pola dua terdiri dari petani – pedagang pengumpul desa – konsumen (pedagang pengolah). Pola tiga melibatkan petani – pedagang pengecer – konsumen lokal. Berbeda halnya dengan saluran yang terbentuk pada tataniaga nenas Blitar. Indhra (2007) mendapati bahwa terdapat dua saluran tataniaga nenas Blitar. Saluran satu melibatkan petani – pedagang pengumpul – pedagang grosir – pedagang pengecer. Saluran dua melalui petani – pedagang pengumpul – pedagang pengecer. Baik nenas Bogor maupun nenas Blitar pemasarannya hanya sampai di pasar lokal. Sedangkan nenas Palembang jangkauan pemasarannya hingga ke Jakarta. Berdasarkan informasi yang didapat dari pedagang pengumpul Desa Paya Besar bahwa permintaan pasar Jakarta terhadap nenas Palembang cukup tinggi dibandingkan dengan nenas jenis queen dari daerah lainnya. Hampir semua penyaluran nenas dari setiap saluran tataniaga yang terbentuk melibatkan
pedagang pengumpul desa. Hanya ada satu saluran pada tataniaga nenas Bogor dimana
petani
langsung
menjual
nenasnya
pada
pedagang
pengecer.
Ketergantungan petani terhadap pedagang pengumpul dalam pemasaran nenasnya sangat tinggi. Hal ini dikarenakan petani tidak memiliki alternatif pemasaran lain dan petani tidak memiliki informasi mengenai perkembangan harga nenas di pasar. Sihombing (2010) menambahkan bahwa jauhnya lokasi pemasaran dari sentra produksi memungkinkan timbulnya risiko pada petani berupa biaya transportasi. Selain itu, petani dapat menghemat waktu tanpa perlu mencari pasar lain untuk menjual nenas. a. Saluran Tataniaga I Pola saluran tataniaga satu merupakan salah satu pola saluran cukup panjang dalam rantai tataniaga nenas. Pola saluran satu digunakan oleh tujuh orang petani responden (23,33%). Petani menjual nenas langsung kepada pedagang pengumpul desa (PPD), kemudian PPD menjualnya kepada pedagang besar di wilayah Kota Palembang lalu disalurkan ke pedagang pengecer yang ada di pasar Lemabang, pasar 26 Ilir, pasar Palimo, dan pasar Simpang Sungki untuk dijual kembali kepada konsumen akhir. Nenas yang dijual pada saluran ini adalah nenas buah kedua dan ketiga yang hanya dapat dijual di wilayah Kota Palembang. Saluran ini digunakan petani karena lokasi lahan petani sulit diakses dengan kendaraan besar seperti truk atau pick up. Petani lebih memilih untuk menjual nenasnya kepada pedagang pengumpul desa. Biasanya pedagang pengumpul desa mengangkut nenas petani dengan menggunakan sepeda motor dilengkapi dengan keranjang pada bagian belakang motor. Sehingga petani tidak repot mengantarkan nenasnya ke tempat pedagang pengumpul desa. Petani juga menghindari adanya risiko yang mungkin timbul seandainya petani menjual langsung kepada konsumen akhir. Jumlah nenas yang dipasarkan rata-rata sebanyak 16.800 buah (18,81%). Nenas tersebut kemudian dipasarkan ke pedagang besar di kawasan Jakabaring. Seluruh nenas yang dibeli pedagang besar dijual ke pedagang pengecer untuk disalurkan ke konsumen akhir. Harga yang diterima petani dari pola tataniaga satu adalah Rp. 1.500,00 untuk buah kedua dan Rp. 1.000,00 untuk buah ketiga.
Pedagang besar pada saluran ini adalah pedagang yang menjual nenas di Pasar Induk Jakabaring dan Pasar Buah Jakabaring. Pengecer pada saluran ini biasanya menjual nenas di pasar tradisional seperti pedagang pengecer di pasar Lemabang, pasar 26 Ilir, pasar Palimo dan pasar Simpang Sungki. Sedangkan konsumen pada saluran satu adalah konsumen perorangan yang tinggal di Kota Palembang. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul adalah biaya pengangkutan nenas dari lahan petani ke rumah pedagang pengumpul serta biaya transportasi ke tempat pedagang besar. Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar adalah biaya masuk truk, biaya retribusi dan biaya bongkar muat. Biaya yang harus dikeluarkan oleh pedagang pengecer adalah biaya retribusi, biaya penyusutan dan biaya pengangkutan. Transaksi jual beli nenas biasanya dilakukan dengan memberi kabar terlebih dahulu kepada pedagang pengumpul desa melalui telepon atau langsung mendatangi rumah pedagang pengumpul desa ataupun sebaliknya. Pemberitahuan ini dilakukan sebelum nenas dipanen. Biasanya pedagang pengumpul mendatangi lahan petani untuk melihat kondisi nenas yang siap dipanen. Jika memenuhi standar pemasaran ke wilayah Palembang, maka pedagang pengumpul akan mengambil nenas langsung ke lahan petani. Nenas dikumpulkan di rumah pedagang pengumpul dan kemudian didistribusikan kepada pedagang besar yang ada di wilayah Kota Palembang. Nenas diangkut dengan menggunakan truk colt diesel atau mobil pick up sesuai dengan volume nenas. Jumlah maksimal nenas yang dapat diangkut dengan menggunakan pick up yaitu 1000 buah nenas berukuran sedang dan 2000 buah nenas berukuran kecil. Pedagang besar akan menjual nenas kepada pedagang pengecer. Umumnya pedagang pengecer langsung datang ke tempat pedagang besar untuk melakukan pembelian nenas. Namun, ketika terdapat pesanan dalam jumlah besar maka pedagang besar akan mengirimkan nenas ke tempat pemesan dengan menggunakan mobil pick up. Selanjutnya pedagang pengecer akan memasarkan nenas langsung ke konsumen akhir. Sistem pembayaran yang dilakukan petani dengan pedagang pengumpul desa adalah sistem tunai dan terkadang sistem bayar kemudian. Sedangkan, sistem pembayaran yang dilakukan pedagang pengumpul desa dengan pedagang besar
dan pedagang pengecer adalah sistem tunai dengan harga yang berlaku sesuai dengan harga pasar pada saat itu. b. Saluran Tataniaga II Saluran tataniaga dua digunakan oleh satu responden pedagang pengumpul desa dan empat petani responden. Saluran dua merupakan saluran terpendek pada tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar. Volume penjualan nenas pada saluran ini sebanyak 6.123 buah (6,86%). Nenas yang dijual pada saluran dua khusus nenas dengan kualitas super atau nenas buah pertama. Biasanya kualitas nenas lebih baik dan memiliki ukuran yang lebih besar jika dibandingkan dengan nenas buah kedua dan ketiga. Harga yang diterima petani adalah Rp. 2.000,00 per buahnya. Sedangkan, harga nenas di tingkat konsumen akhir adalah Rp. 5.500,00 per buah. Pedagang pengumpul desa membeli nenas secara langsung kepada petani dengan cara langsung mendatangi lahan petani. Pada saluran dua, petani mengeluarkan biaya
untuk
tenaga
pancung
ataupun upah pemanenan.
Pengangkutan biasanya dilakukan oleh pedagang pengumpul dari lahan petani ke rumah pedagang pengumpul. Sehingga biaya angkut dari lahan petani ditanggung oleh pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul desa juga menanggung biaya trasportasi dari desa ke tempat pedagang pengecer di Kota Palembang. Pedagang pengumpul desa menjual nenas langsung ke pedagang pengecer yang berada di kawasan pasar Cinde Palembang. Hal ini dilakukan karena adanya ikatan langganan yang terjalin antara pedagang pengumpul desa dengan pedagang pengecer di Pasar Cinde. Nenas diangkut dengan menggunakan mobil pick up dan diantar langsung ke tempat pedagang pengecer sesuai dengan jumlah pesanan. Jumlah nenas yang diminta pedagang pengecer rata-rata 700 hingga 800 buah per minggunya. Pedagang pengumpul desa dapat menjual nenas dengan harga yang lebih tinggi pada saluran dua mengingat kualitas nenas pada saluran dua sama seperti nenas yang dipasarkan ke wilayah Jakarta. Pedagang pengecer menjual nenas langsung kepada konsumen akhir. Biasanya pedagang pengecer menanggung biaya bongkar muat, biaya kuli, biaya retribusi, biaya sewa lapak dan biaya pengemasan. Pedagang pengecer menjual nenas utuh dan nenas yang telah dibersihkan dari kulitnya. Biasanya konsumen
yang membeli nenas dalam jumlah sedikit akan meminta agar nenas langsung dibersihkan dari kulitnya. Pedagang pengecer menjual nenas dengan harga yang tinggi kepada konsumen karena kualitas nenas dan nilai tambah yang diberikan. Pengemasan dilakukan pedagang pengecer dengan memasukkan nenas ke dalam kantong plastik putih untuk nenas yang telah dibersihkan. Sedangkan nenas yang masih utuh dikemas dengan cara diikat menggunakan tali plastik. Adapun sistem pembayaran yang dilakukan antara petani dengan pedagang pengumpul secara tunai. Hal ini disebabkan karena jumlah nenas yang dibeli kepada pedagang pengumpul lebih sedikit. Sehingga pedagang pengumpul memiliki cukup uang untuk membeli nenas petani secara tunai. Sama halnya dengan pembayaran ke petani, sistem pembayaran yang dilakukan pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan konsumen akhir juga dilakukan secara tunai. c. Saluran Tataniaga III Saluran tataniaga tiga digunakan oleh 19 petani responden atau sebesar 63,33 persen. Saluran ini merupakan saluran yang paling banyak digunakan oleh petani responden di Desa Paya Besar. Pada saluran ini petani menjual langsung hasil panennya ke pedagang pengumpul desa. Transaksi dilakukan berdasarkan ketersediaan nenas di petani serta permintaan nenas oleh pedagang pengumpul. Jika petani memiliki nenas atau sebaliknya pedagang pengumpul membutuhkan nenas maka keduanya akan saling memberitahu lewat pertemuan langsung atau melalui telepon. Nenas yang dijual pada saluran ini merupakan nenas dengan kualitas super ukurannya lebih besar. Nenas dengan kualitas baik biasanya dihasilkan dari hasil panen pertama. Panen pertama biasanya menghasilkan buah yang besar, panen kedua, ketiga dan seterusnya buah lebih kecil. Jumlah nenas yang dipasarkan pada saluran ini rata-rata sebanyak 66.368 buah atau 74,33 persen. Harga yang diterima oleh petani adalah Rp. 2.015,79 per buah. Sedangkan harga yang diterima konsumen yaitu Rp. 4.833,33 per buah. Apabila jumlah nenas yang dipanen di bawah 1000 buah maka petani tidak menggunakan tenaga kerja tambahan untuk kegiatan pemanenan. Namun, ketika panen raya jumlah nenas yang dipanen bisanya mencapai 4000 buah sehingga petani harus mempekerjakan tenaga kerja tambahan. Biaya tenaga kerja untuk kegiatan pemanenan sebesar Rp. 100 per
buah. Umumnya petani di Desa Paya Besar menyerahkan pengangkutan hasil panennya kepada pedagang pengumpul desa. Biasanya pedagang pengumpul desa langsung mendatangi lahan petani dan mengangkut hasil panen dengan menggunakan motor keranjang. Jumlah nenas yang mampu dibawa oleh motor keranjang sebanyak 100 hingga 150 buah nenas. Oleh karena itu, biaya angkut pemanenan dibebankan kepada pedagang pengumpul. Nenas yang telah dikumpulkan siap didistribusikan ke pedagang besar di Jakarta. Pasar tujuan saluran tiga adalah Pasar Induk Kramat Jati Jakarta Timur. Pedagang pengumpul telah menjadi pemasok tetap untuk para pedagang besar nenas Palembang yang berada di Pasar Induk Kramat Jati. Hal ini dilatarbelakangi karena kedua pedagang telah menjadi langganan. Hubungan ini terjalin karena kegiatan jual beli nenas sudah dilakukan dalam waktu yang cukup lama. Biasanya nenas diangkut dengan menggunakan truk colt diesel atau Fusso. Truk colt diesel dapat menampung 5000 – 6000 buah nenas, sedangkan Fusso dapat menampung nenas sebanyak 15.000 buah. Biasanya pedagang pengumpul melakukan pengiriman nenas kepada pedagang besar sebanyak tiga sampai empat kali dalam seminggu. Biaya sewa truk dan armadanya ditanggung oleh pedagang pengumpul desa. Jika terdapat biaya-biaya tambahan selama di perjalanan maka hal tersebut menjadi tanggungan supir. Sistem pembayaran yang dilakukan antara pedagang pengumpul dan pedagang besar adalah sistem tunai. Harga yang berlaku adalah harga yang sedang terjadi di pasar berdasarkan informasi yang diperoleh dari pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati. Pedagang besar melakukan sortasi/grading terhadap nenas yang dibeli dari pedagang pengumpul desa. Kegiatan sortasi/grading melibatkan tenaga kerja tambahan. Tenaga kerja ini sekaligus melakukan bongkar muat dan mengangkut nenas dari truk ke kios pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati. Jumlah tenaga kerja yang digunakan tergantung banyaknya nenas yang datang. Pengangkutan nenas dari truk ke kios pedagang besar dilakukan dengan menggunakan keranjang roda. Selanjutnya dilakukan pemisahan nenas berdasarkan besar kecilnya ukuran. Biasanya nenas dipisahkan berdasarkan tiga grade lagi yakni A, B dan C. Penentuan grade ini tidak memiliki ukuran yang pasti, hanya dikelompokkan berdasarkan ukuran yang sama. Pedagang besar melakukan pengemasan nenas
dengan menggunakan karung plastik dan tali plastik. Karung plastik digunakan untuk mengemas penjualan nenas dalam jumlah besar. Satu karung plastik ukuran 50 kg dapat memuat nenas sebanyak 40 – 50 buah. Sedangkan penjualan nenas dalam jumlah kecil cukup dikemas dengan cara diikat menggunakan tali plastik. Pedagang besar menanggung biaya retribusi, biaya bongkar muat, biaya sortasi/grading dan biaya pengemasan. Pedagang pengecer umumnya langsung melakukan pembelian di kios penjualan nenas Pasar Induk Kramat Jati. Pengecer bebas melakukan pembelian kepada pedagang besar yang menjual nenas. Pedagang pengecer menjual nenas kepada konsumen akhir yang berada di pasar tradisional yang ada di Jakarta Timur. Jumlah nenas yang dijual rata-rata sebanyak 50 hingga 100 buah per periode penjualan. Pedagang pengecer menanggung biaya retribusi dan biaya transportasi. Sistem pembayaran yang dilakukan secara tunai. 6.3. Fungsi-Fungsi Tataniaga Pada Setiap Lembaga Tataniaga Lembaga-lembaga yang terlibat dalam tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar adalah pedagang pengumpul desa (PPD), pedagang besar dan pedagang pengecer. Masing-masing lembaga menjalankan fungsi-fungsi tataniaga untuk menyampaikan nenas kepada konsumen akhir. Setiap lembaga mempunyai fungsi yang berbeda dengan lembaga lainnya. Umumnya fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar terdiri atas fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Secara umum petani hanya melakukan fungsi pertukaran saja yaitu menjual nenas ke pedagang pengumpul desa. Pedagang pengumpul desa melakukan
fungsi
pertukaran
(pembelian
dan
penjualan),
fungsi
fisik
(pengangkutan, penyimpanan dan pengemasan) dan fungsi fasilitas (sortasi, informasi pasar, biaya dan penanggungan risiko). Pedagang besar melakukan fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengangkutan, penyimpanan dan pengemasan) dan fungsi fasilitas (sortasi, informasi pasar, pembiayaan dan penanggungan risiko). Pedagang pengecer melakukan fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengangkutan, penyimpanan dan pengemasan) dan fungsi fasilitas (penanggungan risiko, sortasi/grading,
pembiayaan dan informasi pasar). Lembaga tataniaga nenas di Desa Paya Besar menjalankan fungsi-fungsi tataniaga yang dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Fungsi-Fungsi Tataniaga yang Dijalankan Oleh Lembaga Tataniaga Nenas di Desa Paya Besar. Saluran dan Lembaga Pemasaran Saluran I Petani PPD PB Pengecer Saluran II Petani PPD Pengecer Saluran III Petani PPD PB Pengecer Keterangan :
Pertukaran Jual Beli
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ PPD PB √ * -
Angkut
Fungsi-fungsi Pemasaran Fisik Simpan Kemas Sortasi, Grading
-
*
√ √ √
√ √ √
-
-
√ √
√
-
-
√
-
*
√ √ √
√
-
*
√
-
√ √
√ √
-
-
-
√ √ √
-
-
√
√ √
-
-
√ √
√ √ √
Fasilitas Risiko Biaya
Inform asi Pasar
√ √ √ √
√ √ √ √
* √ √ √
√ √ √
* √ √
* √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
*
√ √ √
= Pedagang Pengumpul Desa = Pedagang Besar = Melakukan fungsi tataniaga = Kegiatan kadang-kadang dilakukan = Tidak melakukan fungsi tataniaga
Secara umum dapat dilihat bahwa pada tataniaga nenas Bogor juga melakukan tiga fungsi utama dalam tataniaga diantaranya fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Namun, jika dilihat lebih spesifik terdapat perbedaan fungsi yang dijalankan pada tataniaga nenas Bogor dan nenas Palembang. Pada tataniaga nenas Bogor tidak dilakukan fungsi pengemasan sebagaimana yang dilakukan pada nenas Palembang. Sihombing (2010) mendapatkan bahwa fungsi sortasi/grading pada nenas Bogor dilakukan sejak di tingkat petani. Namun pada nenas Palembang kegiatan sortasi/grading dilakukan oleh lembaga tataniaga setelah petani. Sehingga petani tidak mendapat nilai tambah dari kegiatan tersebut. Fungsi pengolahan dilakukan pada nenas Bogor oleh pedagang asinan, selai dan sirup nenas Bogor. Sedangkan pada nenas Palembang, kegiatan ini tidak dilakukan karena nenas dijual dalam bentuk segar/utuh tanpa pengolahan.
6.3.1. Fungsi Tataniaga di Tingkat Petani Petani respoden melakukan fungsi pertukaran yaitu penjualan. Umumnya seluruh petani responden dari tiga pola saluran melakukan fungsi tersebut. Petani menjual seluruh nenasnya kepada pedagang pengumpul desa. Transaksi ini terjadi karena adanya ikatan kekeluargaan dan rasa saling percaya yang telah terjalin cukup lama antara petani dengan pedagang pengumpul desa. Proses penjualan nenas dilakukan secara bebas oleh petani. Petani bebas menjual nenas hasil panennya kepada pedagang pengumpul desa manapun yang membeli nenas petani dengan harga lebih tinggi. Ada petani yang membawa sendiri hasil panennya ke tempat pedagang pengumpul jika nenas yang dihasilkan dalam jumlah kecil. Jika hasil panen dalam jumlah besar biasanya pedagang pengumpul yang mendatangi lahan petani secara langsung untuk mengangkut nenas. Oleh sebab itu, fungsi fisik berupa pengangkutan kadang-kadang dilakukan oleh petani dan terkadang tidak dilakukan. Petani juga melakukan fungsi fasilitas yaitu berupa penanggungan risiko, pembiayaan dan informasi. Risiko yang dihadapi petani yaitu rendahnya harga jual nenas ketika terjadi panen raya atau musim buah lainnya. Selain itu juga petani menghadapi risiko penurunan produksi yang disebabkan oleh hama dan penyakit yang menyerang nenas. Terkadang petani juga menghadapi risiko penundaan
pembayaran
oleh
pedagang
pengumpul
desa.
Penangguhan
pembayaran terkadang dialami petani ketika permintaan nenas berkurang di pasar. Sehingga pedagang pengumpul tidak memiliki cukup uang untuk membayar petani secara tunai. Biasanya pedagang pengumpul akan membayar petani setelah penjualan nenas di pasar dilakukan. Fungsi pembiayaan yang dilakukan petani yaitu berupa penyediaan modal untuk melakukan budidaya nenas selanjutnya. Petani kadang-kadang melakukan fungsi informasi berupa perkembangan harga nenas yang diperoleh dari pedagang pengumpul desa. Namun informasi yang diterima petani tidak lengkap dan kurang transparan. Oleh karena itu, petani tidak dapat mempengaruhi harga jual nenas di pasar dan hanya berperan sebagai price taker.
6.3.2. Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengumpul Desa Pedagang pengumpul desa merupakan lembaga yang berhubungan dengan petani dan membantu petani dalam kegiatan pemasaran nenas. Adapun di Desa Paya Besar tidak ditemukan petani responden yang berperan sebagai pedagang pengumpul. Fungsi pertukaran yang dilakukan pedagang pengumpul desa berupa kegiatan pembelian dan penjualan nenas ke pedagang besar atau pedagang pengecer. Kegiatan transaksi ini dilakukan melalui proses tawar-menawar. Namun biasanya harga yang ditetapkan berdasarkan harga yang terbentuk di pasar. Fungsi fisik yang dilakukan pedagang pengumpul berupa fungsi pengangkutan. Pengangkutan dilakukan dari lahan petani ke tempat pengumpulan nenas di rumah pedagang pengumpul desa. Nenas diangkut dengan menggunakan sepeda motor yang dipasang keranjang pada bagian belakangnya. Jika telah memenuhi jumlah permintaan atau mencapai 5000 buah, nenas akan diangkut lagi dengan colt diesel menuju ke tempat pedagang besar di Pasar Induk Jakabaring Palembang maupun pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta. Nenas yang dijual kepada pedagang pengecer di Pasar Cinde diangkut dengan menggunakan mobil pick up. Hal ini dikarenakan volume permintaan pedagang pengecer biasanya lebih sedikit dibandingkan dengan pedagang besar. Pedagang pengumpul desa tidak melakukan fungsi penyimpanan karena karakteristik nenas yang mudah rusak sehingga membutuhkan penanganan yang cepat untuk disalurkan langsung ke pedagang besar. Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang pengumpul berupa fungsi sortasi/grading, penanggungan risiko, pembiayaan dan informasi pasar. Fungsi sortasi dan grading yang dilakukan yaitu berupa pemilahan terhadap nenas yang dibeli dari petani berdasarkan ukuran dan kualitas. Nenas dengan kondisi yang kurang baik atau mengalami kerusakan karena hama dan penyakit dipisahkan terlebih dahulu. Pedagang pengumpul juga melakukan penyortiran berdasarkan ukuran buah nenas. Kegiatan ini dapat menambah nilai buah nenas sehingga berpengaruh terhadap harga jual nenas kepada pedagang besar. Fungsi penanggungan risiko yang dihadapi oleh pedagang pengumpul yaitu risiko harga jual dan risiko kerusakan barang selama proses pengangkutan. Pedagang pengumpul tetap melakukan penjualan nenas jika harga jual rendah
karena nenas merupakan produk pertanian yang mudah rusak (perishable), sehingga tidak memiliki umur simpan yang lama. Fungsi pembiayaan yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah penyediaan modal untuk membeli nenas kepada petani. Informasi pasar mengenai perkembangan harga nenas diperoleh pedagang pengumpul dari pedagang besar. 6.3.3. Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Besar Pedagang besar menampung penjualan nenas dari pedagang pengumpul desa. Umumnya pedagang besar akan menghubungi pedagang pengumpul desa jika membutuhkan nenas dalam jumlah tertentu, pemesanan dilakukan melalui telepon selular. Setelah terjadi kesepakatan jumlah permintaan dan ketersediaan nenas, maka pedagang pengumpul akan melakukan pembelian nenas kepada petani sesuai dengan jumlah yang dipesan. Apabila nenas telah terkumpul maka selanjutnya didistribusikan ke pedagang besar yang ada di Kota Palembang dan pedagang besar di Jakarta. Pendistribusian nenas dilakukan dengan menggunakan truk colt diesel. Pedagang besar melakukan fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (pengangkutan, penyimpanan dan pengemasan) dan fungsi fasilitas (sortasi, informasi, dan penanggungan risiko). Fungsi pertukaran dilakukan saat pembelian nenas dari pedagang pengumpul desa dan penjualan kepada pedagang pengecer. Pedagang besar dengan pedagang pengumpul desa biasanya sudah menjadi langganan tetap. Hubungan telah terjalin dalam waktu yang cukup lama. Harga yang ditetapkan pedagang besar berbeda-beda tergantung dengan ukuran dan kualitas nenas. Penentuan harga didasarkan pada mekanisme pasar atau harga yang berlaku pada saat itu. Fungsi fisik seperti kegiatan penyimpanan dilakukan pedagang besar jika nenas tidak habis terjual pada hari yang sama. Nenas yang belum terjual biasanya disimpan di kios pedagang besar. Sehingga pedagang besar menanggung risiko biaya penyusutan nenas yang mengalami kerusakan selama penyimpanan. Pedagang besar yang berada di Pasar Induk Jakabaring dan Pasar Induk Kramat Jati menanggung biaya masuk atau biaya timbangan truk. Truk yang masuk ke Pasar Induk Jakabaring akan dikenakan biaya sebesar Rp.100,00 setiap satu
kilogram muatan yang dibawa. Sedangkan biaya masuk truk ke Pasar Induk Kramat Jati dikenakan biaya sebesar Rp. 70.000,00. Pedagang besar juga melakukan fungsi pengangkutan berupa biaya bongkar muat serta biaya transportasi untuk pembelian nenas dalam jumlah besar oleh pedagang pengecer. Fungsi pengemasan dilakukan oleh pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati. Pengemasan dilakukan dengan menggunakan karung plastik dan tali plastik. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang besar berupa kegiatan sortasi/grading. Kegiatan ini dilakukan untuk menggolongkan ukuran, tingkat kematangan dan pemisahan buah nenas yang mengalami kerusakan karena busuk. Fungsi pembiayaan yang dilakukan oleh pedagang besar diantaranya modal untuk pembelian nenas kepada pedagang pengumpul desa. Modal juga digunakan untuk pembiayaan lainnya berupa biaya retribusi, bongkar muat, sortasi/grading dan biaya penyimpanan (penyusutan). Informasi pasar berupa perkembangan harga beli dan harga jual nenas diperoleh dari sesama pedagang besar. Sistem pembayaran yang diterapkan oleh pedagang besar terhadap pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer adalah pembayaran dengan sistem pembayaran tunai. 6.3.4. Fungsi Tataniaga di Tingkat Pedagang Pengecer Pedagang pengecer adalah pedagang yang berhubungan langsung dengan konsumen akhir. Pedagang pengecer melakukan fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Pedagang pengecer membeli nenas dari pedagang besar ataupun langsung dari pedagang pengumpul desa. Nenas yang dibeli sesuai dengan jumlah pesanan. Fungsi pembelian terjadi pada saat adanya transaksi antara pedagang pengecer dengan pedagang besar atau pedagang pengecer dengan pedagang pengumpul desa. Pedagang pengecer lokal dan non-lokal biasanya langsung mendatangi pedagang besar untuk melakukan pembelian nenas. Sedangkan pedagang pengecer di Pasar Cinde Palembang menerima nenas dari pedagang pengumpul desa secara langsung di tempat pedagang pengecer. Fungsi fisik terdiri dari pengangkutan, penyimpanan dan pengemasan. Nenas yang dibeli dari pedagang besar biasanya diangkut sediri oleh pedagang pengecer. Berbeda halnya dengan pedagang pengecer yang membeli nenas
langsung dari pedagang pengumpul desa biasanya nenas langsung diantar ke tempat pedagang pengecer. Fungsi penyimpanan dilakukan oleh pedagang pengecer jika nenas tidak habis terjual. Penyimpanan biasanya akan menimbulkan penyusutan pada buah sehingga terdapat biaya penyusutan yang harus dikeluarkan oleh pedagang pengecer. Fungsi pengemasan dilakukan oleh pedagang pengecer di Pasar Cinde Palembang maupun pedagang pengecer di pasar Jakarta Timur berupa pengemasan dengan menggunakan kantong plastik. Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang pengecer adalah penanggungan risiko, pembiayaan, dan informasi pasar. Penanggungan risiko berupa penyusutan akibat penyimpanan, kerusakan nenas selama proses pengangkutan dan risiko nenas tidak terjual. Fungsi pembiayaan berupa modal untuk membeli nenas kepada pedagang besar, biaya retribusi, biaya bongkar muat dan penyimpanan. Sedangkan fungsi informasi berupa perkembangan harga beli dan jual yang diperoleh pedagang besar dan sesama pengecer dari pasar.
VII ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KERAGAAN PASAR 7.1. Analisis Struktur Pasar Struktur pasar nenas diketahui dengan melihat jumlah penjual dan pembeli, sifat produk, hambatan masuk dan keluar pasar, keadaan nenas di Desa Paya Besar dan informasi mengenai harga nenas di pasar. 7.1.1. Struktur Pasar di Tingkat Petani Struktur pasar yang dihadapi oleh petani di Desa Paya Besar cenderung mengarah kepada struktur bersaing murni. Kecenderungan struktur pasar oligopoli dilihat dari jumlah petani (penjual) banyak dari jumlah pedagang pengumpul (pembeli). Berdasarkan heterogenitas produk, nenas yang diperdagangkan petani bersifat homogen. Kondisi hambatan keluar masuk pasar relatif kecil. Hal ini diakibatkan tidak ada ikatan bagi petani untuk memasarkan nenasnya kepada pedagang pengumpul tertentu. Petani bebas menjual hasil panennya kepada pedagang pengumpul. Menurut informasi yang diperoleh dari petani, petani akan menjual nenas kepada pedagang pengumpul yang menetapkan harga beli tinggi dibandingkan pengumpul lainnya. Meskipun usahatani nenas bukan menjadi sumber utama pendapatan, petani di Desa Paya Besar masih menggantungkan penghasilannya terhadap tanaman sampingan selain nenas misalnya semangka dan tanaman hortikultura lainnya. Petani sangat tergantung kepada pedagang pengumpul dalam menjual hasil panennya. Hal ini dikarenakan petani tidak memiliki alternatif pasar lainnya. Selain itu petani juga membutuhkan modal secara cepat untuk musim tanam berikutnya. Posisi petani cenderung sebagai price taker dalam penentuan harga dan tidak memiliki kemampuan tawar yang kuat. Sehingga petani tidak dapat mempengaruhi harga pasar. Petani tidak menanggung risiko atas biaya pengangkutan dan risiko barang tidak terjual, karena semua hasil panennya dibeli oleh pedagang pengumpul yang mengambil langsung hasil panen ke tempat petani. Petani kadang-kadang memperoleh informasi pasar mengenai harga nenas dari pedagang pengumpul.
7.1.2. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Desa Struktur pasar pedagang pengumpul desa cenderung mengarah kepada pasar oligopoli. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah penjual (pedagang pengumpul desa) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pembeli (pedagang besar). Namun, produk yang dipertukarkan bersifat seragam atau homogen. Pedagang pengumpul bebas menentukan untuk membeli nenas dari petani manapun. Ketika dihadapkan dengan pedagang besar maka hambatan keluar masuk pasar tingkat pedagang pengumpul cenderung tinggi. Hal ini dikarenakan pedagang pengumpul telah memiliki kepercayaan yang tinggi untuk memasarkan nenas kepada pedagang besar. Sehingga pemain baru harus memiliki kemampuan lebih dalam mengakses pasar. Pedagang pengumpul desa tidak dapat mempengaruhi harga yang terjadi di pasar. Pedagang pengumpul memperoleh informasi harga melalui pedagang besar yang berada di Pasar Induk Kramat Jati maupun Pasar Induk Jakabaring. Informasi ini diakses dengan menghubungi pedagang besar secara langsung. 7.1.3. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Besar Pedagang besar menghadapi struktur pasar yang cenderung mengarah ke struktur pasar oligopsoni. Dimana pedagang besar sebagai penjual dan pedagang pengecer sebagai pembeli. Jumlah penjual lebih sedikit dibandingkan jumlah pembeli. Produk yang dipertukarkan bersifat homogen yaitu berupa nenas segar. Hambatan keluar masuk pasar bagi pedagang besar cukup tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh sulitnya mendapatkan izin berdagang di dalam pasar induk serta tingginya harga kios di dalam pasar induk. Pedagang besar dapat mempengaruhi harga pasar dengan memperoleh informasi dari Dinas Pasar Induk Kramat Jati. Pedagang besar di Pasar Induk Kramat Jati dapat melakukan prediksi harga nenas berdasarkan jumlah pasokan dan permintaan dari pedagang pengecer dan konsumen pada setiap periode. Sedangkan pedagang besar di Pasar Induk Jakabaring menentukan harga nenas dengan pertimbangan berdasarkan jumlah penawaran dan permintaan nenas pada saat itu. Informasi harga didapatkan dari sesama pedagang besar.
7.1.4. Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer Struktur pasar yang terjadi di tingkat pedagang pengecer cenderung mengarah ke struktur pasar bersaing murni. Hal ini dikarenakan jumlah pedagang pengecer sebagai penjual dan konsumen sebagai pembeli cukup banyak dan menyebar. Jumlah produk yang dipertukarkan bersifat homogen. Pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi harga pasar. Informasi harga yang terjadi di tingkat pedagang pengecer diperoleh dari pedagang besar dan sesama pedagang pengecer. Sehingga informasi dapat diperoleh pedagang pengecer dengan mudah. Sedangkan hambatan keluar masuk pasar cenderung rendah karena tidak ada ikatan khusus yang mengatur pedagang pengecer maupun konsumen. Sedangkan jika dihadapkan dengan pedagang besar, struktur pasar yang terjadi cenderung mengarah ke oligopsoni. Dimana jumlah pedagang pengecer (pembeli) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pedagang besar (penjual). Produk yang dipertukarkan bersifat homogen yaitu nenas segar. Dilihat secara keseluruhan struktur pasar yang dihadapi pada tataniaga nenas Bogor dan nenas Palembang di Prabumulih cenderung mengarah ke struktur pasar oligopoli menurut Sihombing (2010) dan Hermansyah (2008). Struktur pasar oligopoli ditandai dengan jumlah penjual lebih banyak dari jumlah pembeli, terdapat hambatan masuk dan keluar, barang yang dipertukarkan homogen, dan informasi pasar biasanya dikuasai oleh lembaga tataniaga yang lebih tinggi. 7.2. Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar merupakan pola atau tingkah laku lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga yang bersangkutan melakukan aktivitas penjualan dan pembelian serta menentukan keputusan-keputusan dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar dapat diketahui dengan mengamati praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dan kerjasama diantara lembaga tataniaga. 7.2.1. Praktik Pembelian dan Penjualan Praktik pembelian dan penjualan nenas di Desa Paya Besar melibatkan lembaga-lembaga tataniaga, terkecuali petani yang hanya melakukan praktik
penjualan dan konsumen yang hanya melakukan praktik pembelian. Petani menjual nenasnya kepada pedagang pengumpul desa. Sebagian besar petani di Desa Paya Besar menjual nenasnya langsung dari lahan petani. Terkadang petani melakukan sistem tebas dalam melakukan penjualan nenasnya. Sistem tebas dilakukan dengan menyerahkan proses pemanenan kepada pedagang pengumpul desa dengan menggunakan fasilitas pedagang pengumpul. Akan tetapi, sistem ini sering merugikan petani karena jumlah nenas yang dipanen seringkali tidak sesuai dengan jumlah yang seharusnya. Hampir seluruh petani masih menggantungkan pemasaran nenasnya kepada pedagang pengumpul desa. Hal ini disebabkan petani ingin cepat mendapatkan uang hasil panennya. Petani tidak memiliki alternatif pemasaran lain karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki oleh petani. Umumnya pedagang pengumpul melakukan praktik pembelian langsung di lahan petani. Nenas yang dipanen oleh petani biasanya dikumpulkan di pinggir lahan dan kemudian pedagang pengumpul akan mengambil nenas yang telah dipanen sendiri oleh petani. Artinya pedagang pengumpul mengeluarkan biaya pengangkutan. Beberapa pedagang pengumpul melakukan pembelian dengan sistem tebas, yakni pedagang pengumpul mendatangi lahan petani yang siap panen dan melakukan pemanenan dengan menggunakan fasilitas dari pedagang pengumpul. Posisi tawar pedagang pengumpul lebih tinggi dari petani sehingga petani sangat tergantung pada pedagang pengumpul. Kegiatan penjualan pedagang pengumpul dilakukan kepada pedagang besar baik di Palembang maupun di Jakarta serta pada pedagang pengecer. Pedagang besar melakukan pembelian nenas melalui pedagang pengumpul desa. Biasanya pedagang besar sudah memiliki langganan namun tidak terikat dengan pedagang pengumpul desa. Kegiatan pembelian oleh pedagang besar dilakukan di tempat pedagang besar. Selanjutnya dilakukan kegiatan penjualan kepada pedagang pengecer. Kegiatan penjualan juga berlangsung di tempat pedagang besar. Praktik pembelian pada tingkat pedagang pengecer dilakukan dengan pedagang pengumpul desa dan pedagang besar. Praktik pembelian dari pedagang pengumpul desa dilakukan di tempat pedagang pengecer. Penjualan dilakukan pedagang pengecer dengan konsumen akhir. Secara umum praktik pembelian dan
penjualan nenas di Desa Paya Besar dipengaruhi oleh ikatan pelanggan dan ikatan kekeluargaan. Jika membandingkan praktik pembelian dan penjualan yang dilakukan pada nenas Palembang dan nenas Bogor maka terdapat perbedaan pada lembaga pemasaran yang dituju. Hal ini menyesuaikan dengan saluran yang terbentuk pada masing-masing lokasi penelitian. Nenas Bogor dijual oleh petani melalui dua cara yaitu kepada pedagang pengumpul desa dan langsung kepada pedagang pengecer. Sedangkan nenas Palembang, seluruhnya dijual melalui pedagang pengumpul desa. Tujuan akhir pemasaran nenas Bogor yaitu konsumen yang ada di wilayah Bogor. Sedangkan tujuan akhir pemasaran nenas Palembang yaitu konsumen di Kota Palembang dan konsumen di wilayah Jakarta dan sekitarnya. 7.2.2. Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi Sistem penentuan harga dalam sistem tataniaga nenas di Desa Paya Besar pada umumnya melalui proses tawar-menawar. Namun, harga di tingkat petani biasanya ditentukan oleh pedagang pengumpul desa meskipun terdapat proses tawar-menawar sebelumnya. Hal ini dikarenakan pedagang pengumpul memiliki informasi harga yang lebih banyak. Pedagang pengumpul memiliki kekuatan untuk menentukan harga nenas di tingkat petani. Biasanya para pedagang pengumpul menentukan harga berdasarkan umur panen dan kualitas nenas petani. Penentuan harga antara pedagang pengumpul dan pedagang besar ditentukan oleh pedagang besar. Pedagang besar memiliki kemampuan untuk menentukan harga bagi pedagang pengecer atau konsumen (catering). Harga ditetapkan dari harga beli ditambah dengan biaya pemasaran dan keuntungan. Sedangkan sistem penetapan harga di tingkat pedagang pengecer dilakukan dengan penetapan harga per satuan buah nenas sesuai dengan ukuran tertentu atau grade. Harga diperoleh dari harga beli ditambah dengan biaya pemasaran dan keuntungan. Pada umumnya penetapan harga nenas di Desa Paya Besar dilakukan dengan cara tawar-menawar dengan mempertimbangkan harga beli, biaya pemasaran dan keuntungan yang diperoleh. Penetapan harga ini sama halnya dengan penetapan harga pada nenas Bogor dan nenas Blitar.
7.2.3. Sistem Pembayaran dalam Transaksi Sistem pembayaran yang digunakan oleh lembaga tataniaga nenas di Desa Paya Besar antara lain sebagai berikut: 1. Sistem Pembayaran Tunai Sistem pembayaran tunai dilakukan oleh 27 petani atau sebesar 90 persen dan semua lembaga tataniaga nenas. Lembaga tataniaga yang menggunakan sistem pembayaran ini diantaranya: pedagang pengumpul kepada petani, pedagang besar ke pedagang pengumpul, pengecer kepada pedagang pengumpul dan pedagang besar, serta konsumen kepada pedagang pengecer. 2. Sistem Pembayaran Kemudian Sistem pembayaran ini dilakukan oleh tiga petani atau sebesar 10 persen yang terlibat di Desa Paya Besar. Berdasarkan informasi di lapangan, sistem pembayaran ini merupakan kesepakatan antara kedua lembaga tataniaga (penjual dan pembeli). Sistem pembayaran ini dilakukan dengan cara pembayaran dimuka kemudian sisanya dibayarkan selanjutnya. Biasanya sisa pembayaran diberikan pada dua sampai tiga hari setelah nenas dijual. Sistem pembayaran ini dilakukan oleh pedagang pengumpul desa yang kekurangan modal untuk melakukan pembelian kepada petani secara tunai. Lembaga lain yang melakukan sistem pembayaran ini adalah pedagang besar dengan konsumen (catering) yang membeli nenas dalam jumlah besar. Biasanya pihak konsumen akan membayar sebagian uang pembelian nenas dan sisanya akan diberikan pada lima sampai tujuh hari setelah nenas dibeli. Namun, sistem pembayaran ini sangat jarang dilakukan karena pedagang besar merasa dirugikan. Pemasaran nenas Bogor juga melakukan sistem pembayaran tunai dan sistem pembayaran kemudian. Sistem pembayaran kemudian dilakukan dengan pembayaran dimuka dan sisanya dibayar kemudian. Sistem pembayaran ini dilakukan oleh pedagang pengolah dengan pedagang pengumpul desa. Pedagang pengolah sering berinisiatif memberikan uang terlebih dahulu pada pedagang pengumpul. Menurut Sihombing (2010) kesepakatan tersebut secara tidak langsung memberikan ikatan hubungan kepada keduanya dalam menjaga kontinuitas produk dan kelancaran usaha.
7.2.4. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga Kerjasama antar lembaga tataniaga terjadi antara pedagang pengumpul desa dengan pedagang besar atau dengan pedagang pengecer ketika akan membeli atau menjual nenasnya. Pedagang besar biasanya akan menghubungi pedagang pengumpul yang memiliki nenas dalam jumlah tertentu. Kedua lembaga tersebut akan saling menghubungi dan menentukan harga pembelian yang disesuaikan dengan harga yang berlaku di pasar. Kerjasama ini terjalin karena adanya ikatan antara penjual dan pembeli yang sudah terbangun cukup lama. Kerjasama ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga kontinuitas pasokan pembelian dan penjualan nenas dari pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Kerjasama yang terjadi di tingkat petani belum dilaksanakan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya kordinasi antar petani ketika akan menjual hasil panennya. Petani melakukan penjualan nenas secara individu atau sendirisendiri kepada pedagang pengumpul. Sehingga harga jual petani akan sangat dipengaruhi oleh pedagang pengumpul dan petani hanya berperan sebagai price taker. Padahal di Desa Paya Besar telah dibentuk empat kelompok tani dan satu gapoktan. Peranan kelompok tani ini baru dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya tanaman tahunan seperti karet. Selama terbentuk, belum ada kegiatan yang dilakukan untuk pengembangan agribisnis nenas baik dari sisi budidaya, pemasaran maupun pengolahan. Kerjasama yang dilakukan antar petani yaitu dalam hal penyediaan bibit nenas. Petani yang kekurangan bibit nenas dapat melakukan peminjaman bibit pada petani lainnya. Sedangkan kerjasama antara petani dengan pedagang pengumpul desa sudah cukup lama terjalin. Kerjasama ini dilatarbelakangi adanya hubungan kekeluargaan atau kekerabatan karena keduanya tinggal di desa yang sama. Terkadang pedagang pengumpul memberikan pinjaman modal kepada petani. Pinjaman modal ini dilakukan ketika petani membutuhkan uang cepat namun kebun nenasnya belum panen. Maka saat musim panen, pedagang pengumpul akan membayar nenas petani sejumlah harga nenas yang dipanen dan dikurangi dengan pinjaman yang dilakukan oleh petani.
7.3. Analisis Keragaan Pasar 7.3.1. Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga total merupakan perbedaan harga yang dibayarkan oleh konsumen dengan harga yang diterima oleh petani. Analisis marjin dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap lembaga tataniaga. Analisis marjin dilakukan mulai dari petani, pedagang pengumpul desa, pedagang besar dan pedagang pengecer. Analisis marjin pemasaran bertujuan untuk mengetahui efisiensi tataniaga nenas di Desa Paya Besar. Pada Tabel 20 dapat dilihat komponen-komponen dalam tataniaga diantaranya biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh. Biaya tataniaga merupakan biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam memasarkan nenas di Desa Paya Besar hingga ke konsumen akhir. Jenis biaya yang dikeluarkan setiap lembaga tataniaga berbeda-beda meliputi biaya transportasi, tenaga kerja, retribusi, dan penyusutan. Sedangkan keuntungan tataniaga merupakan selisih antara harga jual dengan harga beli yang telah ditambahkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga. marjin tataniaga pada setiap saluran sistem tataniaga nenas di Desa Paya Besar. Pedagang pengumpul desa membeli nenas dari petani di ketiga saluran tataniaga dengan harga yang berbeda yaitu Rp. 2.000,00 untuk buah pertama, Rp. 1.500,00 untuk buah kedua dan Rp. 1.000,00 untuk buah ketiga. Perbedaan harga ini didasarkan pada umur panen nenas, dimana untuk buah induk atau buah pertama harga jualnya lebih tinggi. Sedangkan untuk buah anakan dan buah catok (buah kedua dan ketiga) harga jualnya lebih murah. Hal ini dipengaruhi oleh ukuran buah dan kualitas buah yang dihasilkan. Tabel 20 mendapatkan bahwa harga jual nenas petani pada saluran pertama lebih rendah dibandingkan dengan harga jual nenas pada saluran kedua dan ketiga. Perbedaan harga ini dikarenakan setiap saluran tataniaga memiliki daerah pemasaran yang berbeda-beda dan permintaan ukuran nenas yang berbedabeda sehingga harga beli pedagang berbeda-beda disesuaikan dengan tingkat keuntungan yang ingin diperoleh. Harga pada saluran pertama merupakan ratarata harga nenas buah kedua dan buah ketiga yaitu Rp. 1.250,00.
Marjin tataniaga terbesar terdapat pada saluran dua yaitu sebesar Rp. 3.500,00. Hal ini dikarenakan pada saluran dua nenas yang dijual adalah nenas khusus kualitas super untuk memenuhi permintaan konsumen di Kota Palembang. Volume penjualannya lebih sedikit dibandingkan dengan saluran satu dan tiga. Untuk saluran satu dan tiga marjin tataniaga yang dihasilkan yaitu masing-masing sebesar Rp. 2090,44 dan Rp. 2817,54. Hal ini disebabkan pada saluran satu dan dua volume penjualan nenas cukup tinggi dan memiliki saluran yang cukup panjang. Nenas yang dijual pada saluran satu merupakan nenas buah kedua dan buah ketiga yang memiliki harga jual lebih rendah karena memiliki ukuran lebih kecil dari nenas buah pertama. Saluran satu merupakan salah satu saluran terpanjang karena melibatkan banyak lembaga tataniaga dalam mendistribusikan nenas hingga ke konsumen akhir. Khusus saluran tiga nenas yang didistribusikan adalah nenas yang memiliki kualitas super yang berukuran lebih besar. Kualitasnya sama dengan nenas yang dijual pada saluran kedua. Permintaan nenas buah pertama lebih banyak berasal dari konsumen non-lokal. Selain karena banyaknya permintaan, harga jual nenas pada saluran ini lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual pada saluran dua. Oleh sebab itu, nenas kualitas super biasanya langsung dipasarkan ke Jakarta. Besar marjin yang dihasilkan untuk tiap saluran tataniaga ditentukan oleh volume penjualan nenas dan jarak lokasi pemasaran. Dalam kasus ini panjang pendeknya saluran rantai tataniaga bukan merupakan penentu dari besar kecilnya marjin yang dihasilkan. Berdasarkan keterangan pada Tabel 20 biaya tataniaga tertinggi pada jalur tataniaga yang ada di Desa Paya Besar ditanggung oleh saluran tiga yaitu sebesar Rp. 1.048,12. Hal ini disebabkan jarak distribusi yang cukup jauh dari sentra produksi nenas. Biaya tataniaga terkecil terdapat pada saluran satu yaitu sebesar Rp. 845,33. Saluran satu ini jarak distribusinya cukup dekat dengan sentra produksi dan volume nenas yang dijual lebih besar dibandingkan pada saluran dua. Jika dibandingkan dengan saluran satu yang jarak distribusinya cukup dekat, biaya tataniaga pada saluran dua lebih tinggi karena volume nenas yang dijual jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan volume penjualan pada saluran satu dan tiga.
Tabel 20. Analisis Marjin Tataniaga Nenas pada Saluran I, II dan III di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir. Uraian Saluran Tataniaga (Rp/Buah) I II III 1. Petani a. Harga jual 1142,86 2000,00 2015,79 100,00 100,00 100,00 b. Biaya pemanenan 2. Pedagang Pengumpul Desa a. Harga Beli 1142,86 2000,00 2015,79 b. Biaya Tataniaga 270,00 683,33 550,00 c. Keuntungan 353,67 416,67 600,87 d. Harga Jual 1766,67 3100,00 3166,67 e. Marjin 623,81 1100,00 1150,87 3. Pedagang Besar a. Harga Beli 1766,67 3166,67 b. Biaya Tataniaga 247,00 173,12 c. Harga Jual 2266,70 3766,67 d. Keuntungan 253,03 426,88 e. Marjin 500,03 600,00 4. Pedagang Pengecer a. Harga Beli 2266,70 3100,00 3766,67 b. Biaya Tataniaga 228,33 163,33 225,00 c. Harga Jual 3233,30 5500 4833,33 d. Keuntungan 738,27 2236,67 841,67 e. Marjin 966,60 2400,00 1066,67 845,33 946,67 1048,12 Total biaya tataniaga 1345,11 2653,30 1869,42 Total keuntungan 2090,44 3500,00 2817,54 Total marjin Keuntungan tataniaga terbesar terdapat pada saluran dua sebesar Rp. 2653,33. Saluran ini khusus untuk penjualan nenas dengan kualitas super atau nenas buah pertama sesuai dengan permintaan konsumen lokal di wilayah Kota Palembang. Pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer memanfaatkan saluran untuk mengambil keuntungan yang besar dengan mematok harga tinggi pada nenas yang dijual. Keuntungan yang didapat pada saluran tiga yaitu sebesar Rp. 1.869,42. Hal ini dikarenakan rantai tataniaga yang cukup panjang dan konsumen akhir merupakan penduduk non-lokal. Selain itu jarak distribusi mempengaruhi biaya tataniaga sehingga pedagang menjual dengan harga yang cukup tinggi untuk mendapatkan keuntungan yang diharapkan. Sedangkan keuntungan terkecil terdapat pada saluran satu sebesar Rp. 1.345,11. Hal ini dikarenakan harga jualnya tidak terlalu tinggi namun rantai lembaga tataniaga
pada saluran ini cukup panjang sehingga keuntungan yang diperoleh tidak terlalu besar. Berdasarkan analisis marjin tataniaga nenas di Desa Paya Besar, maka saluran satu merupakan saluran yang efisien jika dibandingkan dengan saluran lainnya. Jika dibandingkan dengan analisis pemasaran nenas dari kota lainnya seperti nenas Bogor dan nenas Blitar maka nenas Palembang memiliki marjin paling besar. Besarnya marjin dipengaruhi oleh biaya tataniaga masing-masing nenas. Nenas Palembang dipasarkan hingga keluar Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini menyebabkan tingginya biaya transportasi karena jarak yang ditempuh cukup jauh. Sedangkan pemasaran nenas Bogor dan nenas Blitar hanya menjangkau pasar dalam kabupaten dan provinsi sehingga biaya transportasi tidak terlalu tinggi. 7.3.2. Analisis Farmer’s Share Analisis farmer’s share merupakan perbandingan harga yang diterima oleh petani nenas dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir. Analisis farmer’s share digunakan sebagai indikator untuk menentukan efisiensi saluran tataniaga suatu produk. Analisis farmer’s share berkebalikan dengan analisis marjin tataniaga. Namun, farmer’s share yang tinggi tidak selalu menunjukkan bahwa sebuah saluran tataniaga efisien. Farmer’s share yang diterima petani pada saluran tataniaga nenas di Desa Paya Besar dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Farmer’s Share pada Saluran Tataniaga Nenas di Desa Paya Besar Saluran Harga di tingkat Harga di tingkat Farmer’s Share Tataniaga petani konsumen (%) (Rp/Buah) (Rp/Buah) Saluran I 1142,86 3233,30 35,35 Saluran II
2000,00
5500,00
36,36
Saluran III
2015,79
4833,33
41,71
Tabel 21 menunjukkan bahwa bagian terbesar yang diterima petani terdapat pada saluran tiga yaitu sebesar 41,71 persen. Saluran tiga merupakan saluran dengan total marjin tataniaga terendah kedua dan biaya tataniaga tertinggi. Saluran satu dan dua memiliki nilai farmer’s share yaitu masing-masing sebesar
35,35 persen dan 36,36 persen. Hal ini dikarenakan marjin yang diambil pada saluran dua sangat tinggi jika dibandingkan dengan kedua saluran lainnya. Berdasarkan ketiga nilai farmer’s share pada masing-masing saluran tataniaga, maka dapat disimpulkan bahwa saluran yang paling menguntungkan bagi petani adalah saluran tiga. Berdasarkan hasil penelitian tataniaga nenas Bogor di Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor bahwa nilai farmer’s share tertinggi terdapat pada saluran dua sebesar 75 persen. Lembaga tataniaga yang dilibatkan pada saluran ini adalah petani, pedagang pengumpul desa dan langsung dijual ke pedagang pengolah. Sedangkan nilai farmer’s share terbesar pada tataniaga nenas Blitar sebesar 66,67 persen. Jika dilihat dari nilai farmer’s share tataniaga nenas dari masing-masing daerah, maka kedua saluran tersebut merupakan saluran terpendek dari tataniaga nenas yang ada di lokasi penelitian masing-masing dan jarak pemasaran pada kedua saluran tersebut cukup dekat dengan lokasi sentra produksi nenas di masing-masing tempat penelitian. Tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar memiliki nilai farmer’s share terendah dibandingkan nenas Bogor dan nenas Blitar. 7.3.3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Efisiensi sistem tataniaga dari suatu komoditas dapat ditunjukkan dengan membandingkan antara besarnya keuntungan terhadap biaya tataniaga. Saluran tataniaga dinyatakan efisien jika penyebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya di setiap lembaga tataniaga tersebar merata. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan yang tidak jauh berbeda pada masing-masing lembaga tataniaga yang terdapat dalam saluran tersebut. Rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga nenas di Desa Paya Besar dapat dilihat pada Tabel 22. Berdasarkan Tabel 22 saluran satu memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 1,59 yang berarti setiap satu satuan rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 1,59. Biaya terbesar ditanggung oleh pedagang pengumpul yaitu sebesar Rp. 270,00 per buah. Pada saluran ini petani mengeluarkan biaya angkut berupa biaya tenaga kerja yang ditugaskan mengangkut nenas dari lahan petani ke tempat
pedagang pengumpul desa. Keuntungan terbesar diperoleh oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp. 738,27 per buah. Tabel 22. Rasio Keuntungan dan Biaya Untuk Setiap Saluran Tataniaga Nenas di Desa Paya Besar. Lembaga Tataniaga Saluran Tataniaga I II III Pedagang Pengumpul Desa Ci 270,00 683,33 550,00 Πi 353,81 416,67 600,87 Rasio πi/Ci 1,31 0,61 1,09 Pedagang Besar Ci 247,00 173,12 Πi 253,03 426,88 Rasio πi/Ci 1,02 2,46 Pedagang Pengecer Ci 228,33 163,33 225,00 Πi 738,27 2236,67 841,67 Rasio πi/Ci 3,23 13,69 3,74 Total Ci 845,33 946,67 1048,12 Πi 1237,97 2653,33 1885,21 Rasio πi/Ci 1,59 2,80 1,78 Saluran dua memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 2,80 yang berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 2,80. Nilai rasio pada saluran dua merupakan nilai rasio terbesar. Biaya tataniaga terbesar ditanggung oleh pedagang pengumpul desa yaitu sebesar Rp. 683,33 per buah. Sedangkan keuntungan terbesar diperoleh oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp. 2.236,67 per buah. Pada saluran ini petani juga mengeluarkan biaya upah tenaga kerja untuk pengangkutan nenas sebesar Rp. 100 per buah. Saluran tiga memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 1,78 yang artinya setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp. 1,78. Nilai rasio pada saluran tiga merupakan nilai rasio terbesar kedua setelah nilai rasio saluran dua. Biaya tataniaga terbesar pada saluran ini ditanggung oleh pedagang pengumpul desa yaitu sebesar Rp. 550,00 per buah. Keuntungan terbesar diperoleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp. 841,67 per buah.
Uraian di atas menyimpulkan bahwa semakin panjang saluran tataniaga maka semakin kecil rasio keuntungan terhadap biaya yang diperoleh. Dilihat dari penyebaran nilai rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga dalam setiap saluran tataniaga maka saluran tiga memiliki nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang cukup merata. Nilai rasio dan keuntungan saluran tiga pada pedagang pengumpul sebesar 1,09, pada pedagang besar sebesar 2,46 dan pada pedagang pengecer sebesar 3,74. Berdasarkan analisis rasio keuntungan terhadap biaya dari penelitian tataniaga nenas Palembang sebelumnya disimpulkan bahwa pola saluran pemasaran yang terbentuk tidak memberikan keuntungan yang merata pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat karena cenderung terpusat pada salah satu lembaga tataniaga. Pedagang pengecer merupakan lembaga tataniaga yang hampir sering memperoleh nilai rasio keuntungan terhadap biaya tertinggi pada setiap saluran. Jika dibandingkan dengan nilai rasio keuntungan terhadap biaya dari nenas Bogor dan nenas Blitar maka nenas Blitar memiliki rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 12,75 sedangkan nenas Palembang sebesar 2,80 dan 1,5 untuk nenas Bogor. 7.4. Efisiensi Tataniaga Efisiensi tataniaga dapat tercapai apabila sistem tataniaga yang ada telah memberikan kepuasan pada pelaku-pelaku tataniaga yang terlibat mulai dari petani hingga konsumen akhir. Berdasarkan hasil analisis tataniaga nenas Palembang diperoleh nilai efisiensi tataniaga untuk masing-masing saluran tataniaga sebagai berikut ditunjukkan pada Tabel 23. Tabel 23. Nilai Efisiensi Tataniaga pada Masing-Masing Saluran Tataniaga Nenas Palembang di Desa Paya Besar. Indikator Saluran Tataniaga I Total Marjin (Rp/Buah) Farmer’s share (%) Rasio πi/Ci Volume (buah)
II
III
2090,44
3500,00
2817,54
35,35
36,36
41,70
1,59
2,80
1,78
16.800
6.123
66.368
Ada beberapa indikator untuk menentukan efisiensi saluran tataniaga nenas Palembang diantaranya nilai marjin, farmer’s share, sebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya dan volume penjualan nenas. Saluran tiga memiliki marjin tataniaga sebesar Rp. 2.817,54 per buah. Nilai marjin saluran tiga merupakan urutan kedua terkecil setelah nilai marjin pada saluran satu. Besarnya nilai farmer’s share pada saluran tiga yaitu 41,71 persen. Nilai farmer’s share saluran tiga merupakan nilai terbesar dibandingkan saluran lainnya. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya terbesar terdapat pada saluran kedua. Namun jika dibandingkan dengan saluran lainnya, nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang memiliki sebaran merata yaitu terdapat pada saluran tiga. Jika dilihat dari volume penjualan maka saluran tiga memiliki penjualan yang paling banyak yaitu 66.368 buah nenas. Kondisi ini dipengaruhi oleh adanya kontinuitas permintaan terhadap buah nenas dari pasar yang ada di Jakarta. Saluran tiga juga merupakan saluran yang paling banyak digunakan oleh lembaga tataniaga nenas di Desa Paya Besar. Maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa saluran tataniaga nenas yang relatif lebih efisien adalah saluran tiga. Namun pada kondisi lapang saluran ini belum optimal. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor dimana posisi petani masih sebagai penerima harga, informasi yang dikuasai petani relatif lebih sedikit (terbatas) dibandingkan pedagang lainnya dan kelompok tani yang ada belum dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya dan pemasaran nenas di Desa Paya Besar. Jika membandingkan efisiensi saluran tataniaga nenas Palembang dengan nenas dari kota lainnya diantaranya nenas Bogor dan nenas Blitar maka dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Efisiensi Saluran Tataniaga Nenas Palembang, Nenas Bogor dan Nenas Blitar Indikator Total Marjin Farmer’s Share Rasio πi/Ci (Rp/Buah) (%) Nenas Palembang Nenas Bogor Nenas Blitar
2817,54
41,71
1,78
500 400
75 66,67
1,5 8,55
Berdasarkan hasil analisis
perbandingan saluran tataniaga nenas
Palembang dengan nenas Bogor dan nenas Blitar yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sihombing (2010) dan Indhra (2007) bahwa dari ketiga saluran yang dinilai efisien secara operasional terdapat perbedaan marjin, farmers’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Saluran tataniaga nenas Palembang yang efisien memiliki marjin tataniaga sebesar Rp. 2.833,33 atau sebesar 58,29 persen, dengan farmer’s share sebesar 41,71 persen dan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 1,78. Saluran ini melibatkan petani, pedagang pengumpul desa, pedagang besar non-lokal dan pedagang pengecer non-lokal. Nenas Palembang pada saluran ini dipasarkan ke Pasar Induk Kramat Jati. Harga jual nenas ke Pasar Induk Kramat Jati lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga jual nenas ke pasar di wilayah Palembang untuk ukuran dan kualitas nenas yang relatif sama. Nenas yang dipasarkan melalui saluran ini merupakan nenas segar. Dilihat dari jumlah volume penjualan pada saluran ini maka jumlah nenas Palembang yang dialirkan melalui saluran tiga sebesar 66.368 (74,33%). Jumlah ini tertinggi dibandingkan dengan dua saluran lainnya. Saluran tataniaga nenas Bogor yang efisien memiliki marjin tataniaga sebesar Rp. 500,00 (25%), dengan nilai farmer’s share sebesar 75 persen dan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 1,5. Saluran ini melibatkan petani, pedagang pengumpul desa dan pedagang pengolah. Saluran ini merupakan saluran terpendek dari kedua saluran tataniaga nenas Bogor lainnya. Volume produksi nenas yang dijual pada saluran ini adalah 2100 buah (62,59%) untuk tiap minggunya. Tujuan penjualan nenas Bogor ini adalah pasar-pasar tradisional di sekitar Bogor. Pada saluran tataniaga nenas Bogor petani melakukan fungsi sortasi/grading. Hal ini memberikan nilai tambah kepada petani sehingga harga jual nenas di tingkat petani dapat lebih tinggi. Sihombing (2010) mengatakan bahwa sebagian petani nenas Bogor di Desa Cipelang telah menerapkan SOP pada usaha nenasnya. Saluran tataniaga nenas Blitar yang efisien memiliki marjin tataniaga sebesar Rp. 400,00 (33,33%), dengan nilai farmer’s share sebesar 66,67 persen dan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 8,55. Saluran tataniaga ini
melibatkan petani, pedagang pengumpul desa dan pedagang pengecer. Nenas Blitar dipasarkan dalam bentuk segar dan hanya dijual di wilayah Ponggok dan Blitar. Sehingga biaya tataniaga yang dikeluarkan pada saluran ini lebih rendah yaitu sebesar Rp. 41,87 per buah.
VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa terdapat tiga saluran tataniaga nenas yang di Desa Paya Besar. Kegiatan tataniaga nenas Palembang melibatkan beberapa lembaga untuk menyampaikan nenas dari petani hingga ke konsumen akhir diantaranya: pedagang pengumpul desa, pedagang besar lokal, pedagang besar non-lokal, pedagang pengecer lokal dan pedagang pengecer non lokal. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga pemasaran berbeda pada setiap saluran sesuai dengan kebutuhan. Struktur pasar yang terbentuk pada setiap tingkat lembaga tataniaga nenas Palembang berbeda. Struktur pasar yang dihadapi oleh petani cenderung oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul desa cenderung mengarah ke struktur pasar oligopoli. Struktur pasar yang dihadapi pedagang besar adalah oligopsoni. Sedangkan struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer cenderung mengarah ke struktur pasar bersaing murni. Perilaku pasar secara umum dapat terlihat dari praktik penjualan dan pembelian, sistem pembentukan harga dan pembayaran, dan adanya kerjasama antar lembaga tataniaga. Sistem pembentukan harga secara tawar-menawar, namun harga di tingkat petani sering ditentukan oleh pedagang pengumpul desa. Harga yang terbentuk di antara pedagang mengikuti harga pasar yang berlaku pada saat itu. Sistem pembayaran yang dilakukan berupa sistem pembayaran tunai dan sistem pembayaran kemudian. Kerjasama yang terbentuk antara petani dengan lembaga tataniaga lainnya sudah berlangsung cukup lama sehingga terjalin hubungan saling percaya. Keragaan pasar nenas dianalisis dengan analisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Marjin terbesar berada pada saluran dua. Sedangkan marjin terkecil berada pada saluran satu. Perbedaan besarnya marjin dipengaruhi oleh banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat, biaya tataniaga yang dikeluarkan, tingginya penetapan harga penjualan oleh suatu lembaga tataniaga sehingga keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing lembaga pada setiap saluran juga besar. Farmer’s share terbesar terdapat pada saluran tiga. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang penyebaran paling
merata terdapat pada saluran tiga. Dilihat dari efisiensi tataniaga, maka pola saluran yang dapat dikatakan relatif lebih efisien dibandingkan saluran lainnya adalah saluran tiga. Saluran ini dikatakan lebih efisien karena nilai farmer’s share tertinggi, penyebaran nilai rasio terhadap keuntungan relatif lebih merata, memiliki volume pemasaran paling besar dan paling sering digunakan dibandingkan dengan saluran tataniaga lainnya. 8.2. Saran Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk pengembangan sistem tataniaga nenas Palembang di Desa Paya Besar antara lain: 1. Petani sebaiknya menggunakan saluran tataniaga tiga untuk pemasaran nenas. Saluran ini memberikan bagian terbesar untuk petani. Untuk pengembangan pemasaran nenas Palembang di Desa Paya Besar diperlukan kordinasi yang baik antar petani sebagai produsen nenas. Petani memerlukan suatu wadah yang dapat memberikan informasi sekaligus pembinaan dalam hal pemasaran maupun budidaya nenas. Petani dapat memanfaatkan sarana kelembagaan yang ada seperti kelompok tani untuk melakukan pemasaran nenas secara bersama. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar petani terhadap pedagang pengumpul desa. 2. Petani diharapkan melakukan proses sortasi/grading terlebih dahulu sebelum melakukan penjualan nenas kepada pedagang pengumpul. Dengan memberikan value added diharapkan dapat meningkatkan harga jual sehingga keuntungan yang diperoleh petani dapat meningkat. 3. Pada saat musim panen raya atau musim buah lainnya biasanya volume nenas di pasar melimpah dan berakibat pada penurunan harga jual bahkan risiko tidak terjual.
Untuk
mengatasi
masalah
ini,
pemerintah
setempat
dapat
menghubungkan kelompok tani untuk menjalin kerjasama dalam penyediaan bahan baku nenas untuk kebutuhan industri pengolahan nenas yang sudah ada di Kota Prabumulih. 4. Untuk penelitian selanjutnya terkait dengan analisis tataniaga nenas Palembang, sebaiknya melakukan penelitian mengenai analisis efisiensi harga untuk mengetahui keterpaduan harga nenas di tingkat petani, pasar lokal dan pasar acuan.
DAFTAR PUSTAKA Adnany Z. 2008. Sistem Tataniaga Komoditi Salak Pondoh Di Kabupaten Bajarnegara Propinsi Jawa Tengah [skripsi]. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Asmarantaka RW. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian (Marketing of Agriculture Produscts). Di dalam Kusnadi N, Fariyanti A, Rachmina D, Jahroh S, editor. Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. IPB Press. Bogor. Asmarantaka RW. 2009. Tataniaga Produk Agribisnis. Bahan Kuliah. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Baye MR. 2003. Managerial Economics and Business Strategy. McGraw-Hill Irwin. New York. Bosena DT, Bekabil F, Berhanu G, Dirk H. 2011. Structure-conduct-performance of cotton market: the case of Metema District, Ethiopia. Journal of Agriculture, Biotechnology and Ecology 4(1): 1-12. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Volume Ekspor Buah-Buahan Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Produksi Hortikultura Indonesia. Badan Pusat Statistik. Jakarta. [BPS] Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan. 2011. Statistik Buah-Buahan dan Sayuran Tahunan 2010. Badan Pusat Statistik. Sumatera Selatan. Dahl DC dan Hammond JW. 1997. Market and Price Analysis The Agricultural Industries. McGraw-Hill Book Company. New York. Hermansyah D. 2008. Analisis Tataniaga Nenas Palembang (Studi Kasus: Desa Sungai Medang, Kecamatan Cambai, Kotamadya Prabumulih, Sumatera Selatan) [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dinas Pertanian Sumatera Selatan. 2009. Luas Lahan Tanam Nenas di Kabupaten Ogan Ilir. Dinas Pertanian Sumatera Selatan. Palembang. Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan. 2010. Luas Panen dan Rata-Rata Produksi Nenas di Kabupaten Ogan Ilir. Perbuntan Kabupaten Ogan Ilir. Ogan Ilir. Dinas Pertanian TPH. 2011. Statistik Tanaman Pangan dan Hortikultura. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Sumatera Selatan.
Direktorat Jenderal Hortikultura. 2011. Statistik Hortikultura Tahun 2010 (Angka Tetap). Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian. Jakarta. Hadiati Sri dan Ni Luh PI. 2008. Petunjuk Teknis Budidaya Nenas. Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika. Jakarta. Hanafiah AM dan Saefuddin. 2006. Tataniaga Hasil Pertanian. Universitas Indonesia (UI) Press. Jakarta. Hidayati W. 2009. Analisis struktur perilaku dan keragaan pasar rumput laut Euchema cottoni: studi kasus di Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hudson D. 2007. Agricultural Markets And Prices. Blackwell Publishing. United Kingdom. Hutabarat BW. 2012. Analisis Tataniaga Komoditas Brokoli di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Irawan B. 2005. Analisis Pemasaran dan Integrasi Pasar Komoditas Buah-Buahan dan Sayuran di DKI Jakarta [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Irawan B, Tarigan H, Wiryono B. 2007. Performance And Foresight of Pertanian. Horticulture Development. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan. Karomah AB. 2011. Analisis Daya Saing dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aliran Ekspor Nenas Indonesia di Pasar Internasional [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kohls RL dan Uhls JN. 1985. Marketing Of Agricultural Products. MacMillian Publishing Company. New York. Kusumah HM. 2011. Analisis Tataniaga Beras Di Indonesia (Kasus: Jawa Barat dan Sulawesi Selatan) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lestari M. 2006. Analisis Tataniaga Bengkuang (Pachyrrhizus erosus) (Kasus Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah) [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Limbong WH dan Sitorus P. 1985. Pengantar Tataniaga Pertanian. Bahan Kualiah. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Lubis SK. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor Nenas Segar Indonesia [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
[Pusdatin] Pusat Data dan Informasi Pertanian. 2010. Statistik Pertanian 2009. Pusat Data dan Informasi Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta. Rosiana N. 2012. Sistem Pemasaran Gula Tebu (Cane Sugar) Dengan Pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP) (Kasus: Perusahaan Perseroan PT. Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Bungamayang) [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indhra RP. 2007. Analisis Daya Saing dan Efisiensi Tataniaga Nenas di Kabupaten Blitar Jawa Timur (Studi Kasus: Desa Ponggok, Kecamatan Ponggok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur) [skripsi]. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Narulira S. 2008. Analisis Efisiensi Pemasaran Belimbing Dewa di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok Jawa Barat [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sihombing AS. 2010. Analisis Sistem Tataniaga Nenas Bogor (Kasus Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siregar EL. 2010. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Nenas Bogor (Kasus di Desa Sukaluyu, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Petani Responden di Desa Paya Besar, Kecamatan Payaraman, Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2012 No
Nama Petani
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Abu Manaf Syaidina Kailani Mustakim Suhadi Erli M. Hata Armadi Samhudi Bambang Hermanto Aliasan Yanto M. Nasir Latifah Abu Tholib Darwin Abdul Manap Suhaili Saharudin Mustofa Ardi Iskandar Sarmawi A.Bastari Tarsuki Abusama Sudarman Hazili Silahudin Abu Yazid
Jenis Kelamin
Umur (Tahun)
Pendidikan (Tahun)
Luas Lahan (Ha)
Pengalaman (Tahun)
L L L L L L L L L L L L L P L L L L L L L L L L L L L L L L
41 35 32 42 37 38 33 36 35 36 38 35 42 49 40 42 55 48 32 48 28 40 45 36 52 46 35 33 28 41
8 12 9 12 6 12 6 9 9 9 9 9 12 5 12 9 6 5 12 6 10 6 6 9 5 6 9 11 9 6
1 1,2 2 2 1 2 1 1,5 2 2 1 0,5 1,5 5 1 1 1 6 1 2,3 0,5 1,8 2,5 1 3 2 2 1 1 2
9 3 12 16 10 11 7 8 6 17 10 1,5 12 32 20 17 24 20 7 25 7 22 16 10 34 20 15 10 5 15
(*) Produksi panen selama bulan Januari – Maret 2012
Status Kepemilikan Lahan Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri Sendiri
Produksi (Buah)* 2700 1500 10000 3815 4000 2500 1500 2100 3500 4000 1000 700 5000 11000 600 740 1013 5000 423 3800 2000 1000 6000 2000 4300 900 1500 2500 1200 3000
Lampiran 2.Produksi Nenas Tahunan Indonesia Tahun 2009 – 2011* Produksi Nenas Berdasarkan Provinsi (Ton) Provinsi 2009 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa TenggaraTimur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia Sumber: Badan Pusat Statistik (2012) (*) angka sementara
973 134,077 983 66,422 75,008 140,850 625 442,431 9,266 2,726 0 465,802 21,363 542 44,275 369 1,089 50,105 7,298 34,874 34,444 3,667 10,762 5,125 761 1,915 1,110 210 469 144 79 201 231 1,558,196
2010 1,015 102,438 507 19,838 31,165 114,305 570 469,034 9,754 4,406 0 385,640 58,163 547 72,404 490 863 20,699 8,982 56,190 15,921 2,539 14,834 10,183 995 1,479 1,815 278 533 308 87 273 190 1,406,445
2011* 617 183,213 304 76,670 58,149 66,423 486 529,677 7,549 1,372 0 969,285 92,953 353 40,045 475 646 10,491 7,454 73,815 13,869 12,100 13,929 1,765 1,094 1,759 2,688 233 849 554 97 302 215 2,169,431
Lampiran 6. Dokumentasi
Lahan nenas setelah kegiatan pemanenan
Kendaraan bermotor yang digunakan untuk pengangkutan nenas dari lahan petani
Nenas dari lahan petani yang dikumpulkan di rumah PPD
Mobil pick up yang biasa digunakan untuk pengangkutan nenas
Pemisahan nenas berdasarkan ukuran di Pasar Induk Jakabaring
Nenas kualitas super di kios pedagang pengecer di Pasar Cinde
95
Proses pengangkutan dan grading di Pasar Induk Kramat Jati
Pengemasan nenas dengan menggunakan karung (kadangkadang)
Salah satu tenaga kerja bongkar muat di Pasar Induk Kramat Jati
Truk pengangkut nenas dari sentra produksi ke Pasar Induk Kramat Jati
96
Lampiran 7. Kuisioner Responden Petani KUISIONER PENELITIAN ANALISIS TATANIAGA NENAS PALEMBANG (Kasus Desa Paya Besar, Kecamatan Parayaman, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan)
RESPONDEN PETANI NAMA
:......................................................
TANGGAL PENGUJIAN :......................................................
Peneliti Herawati H34080037
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
97
Karakteristik Petani Nama Petani :........................................ Jenis Kelamin : L/P Umur :........................................ Pendidikan :........................................ tahun Status : Menikah/Tidak Menikah Jumlah Anggota Keluarga :........................................ Alamat :........................................ Pekerjaan selain bertani :………………………… Kegiatan Usahatani 1. Sudah berapa lama Anda bertani? ........................... tahun 2. Sudah berapa lama Anda menanam nenas? .............. tahun 3. Apakah anda hanya menanam nenas di lahan Anda? (Ya/Tidak). Jika tidak tanaman apa saja yang Anda tanam ........................ 4. Berapa luas lahan yang Anda miliki? ..................... hektar 5. Status lahan yang Anda kelola? milik sendiri/sewa/bagi hasil 6. Apakah Anda tergabung dalam kelompok tani atau koperasi? (Ya/Tidak). Jika ya, silahkan menuliskan peranan kelompok tersebut dalam kegiatan usahatani Anda ..................................................... 7. Berapa orang anggota keluarga Anda yang ikut terlibat langsung dalam kegiatan usahatani? ............................................... Kegiatan Pascapanen 1. Bagaimana pola pemanenan yang Anda lakukan? Sekali panen/panen bertahap dalam harian/mingguan/bulanan 2. Berapa banyak jumlah produksi dalam sekali musim panen? .............kg 3. Apakah kegiatan panen dilakukan sendiri? (Ya/Tidak) a. Jika tidak, siapa yang melakukan pemanenan? b. Jika ya, maka dalam satu kali musim panen, berapa banyak biaya yang Anda keluarkan untuk: c. Tenaga kerja pemanen............orang, dengan upah setiap orang Rp............. - Tenaga kerja sortasi/garding............orang, dengan upah setiap orang Rp............. - Biaya pengemasan Rp............... - Biaya Penyimpanan Rp............. - Biaya Pengangkutan Rp............ - Biaya Bongkar Muat Rp............ - Biaya Penyusutan Rp................ - Biaya lainnya (jika ada, misalnya restribusi) Rp........................... 4. Apakah Anda tetap melakukan pemanenan jika harga jual nenas sangat rendah? (Ya/Tidak). Alasannya...........................
98
Kegiatan Pemasaran 1. Kepada siapa Anda biasanya menjual hasil panen saat panen raya? Lembaga Tataniaga Kuantitas Harga Sistem Pasar yang (Buah) (Rp/Buah) Pembayaran dituju Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Pengecer Konsumen Akhir Lainnya, sebutkan .... 2. Kepada siapa Anda biasanya menjual hasil panen saat tidak panen raya? Lembaga Tataniaga Kuantitas Harga Sistem Pasar yang (Buah) (Rp/Buah) Pembayaran dituju Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Pengecer Konsumen Akhir Lainnya, sebutkan .... 3. 4. 5. 6.
Siapakah yang menentukan harga jual? ........................ Bagaimana cara penentuan harga jual? ......................... Dimana lokasi penyerahan barang? Di tempat pembeli/ di tempat penjual Apa saja yang menjadi pertimbangan Anda dalam menentukan kepada siapa hasil panen dijual? .............................................. 7. Apakah Anda melakukan kerjasama atau kontrak tertentu dalam memasarkan nenas? (Ya/ Tidak) Jika ya, tuliskan alasan Anda melakukan kerjasama ................................................................................. 8. Apakah Anda mempunyai informasi tentang pasar nenas? (Ya/Tidak) Jika ya, darimana Anda memperoleh informasi tersebut? .................... 9. Apakah Anda pernah menerima pinjaman atau bantuan modal dari pihak lain untuk usahatani nenas? (Ya/ Tidak) Jika ya, a. Dari siapa: ................................... b. Jenis kredit/bantuan: ..................... c. Jangka waktu pengembalian: ......... d. Syarat kredit/bantuan: ................... e. Jumlah kredit/bantuan: .................. 10. Apa saja yang biasanya dikeluhkan pembeli dalam proses jual beli nenas? ............................................. 11. Permasalahan apa yang Anda alami dalam kegiatan pemasaran nenas? ............................................. 12. Bagaimana cara Anda dalam mengatasi permasalahan yang Anda alami tersebut? ................................ 13. Apa yang menjadi harapan Anda mengenai usahatani dan pemasaran nenas? ..............................................
99