ANALISIS TATANIAGA BERAS DI DESA KENDUREN, KECAMATAN WEDUNG, KABUPATEN DEMAK
SKRIPSI
PANDU ADITAMA H34070095
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
RINGKASAN PANDU ADITAMA Analisis Tataniaga Beras di Desa Kenuren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan SUPREHATIN). Bidang pertanian merupakan aset besar dan menjadi sektor yang dapat diandalkan dalam pembangunan khususnya untuk menunjang ketahanan pangan. Kebutuhan terhadap pangan merupakan kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi karena hal ini berkaitan dengan hajat hidup manusia. Salah satu produk pertanian yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat adalah beras. Beras masih menjadi bahan pangan utama yang di konsumsi masyarakat Indonesia saat ini. Hal ini dikarenakan beras masih dipandang sebagai produk pangan yang mudah didapat, ketersediaannya melimpah, dan bergizi. Selain pandangan tentang beras tersebut, beberapa lapisan masyarakat menganggap bahwa dengan mengonsumsi beras memiliki value lebih dibandingkan bahan pangan lainnya. Pandangan-pandangan itulah yang menyebabkan masyarakat Indonesia tidak dapat lepas dari ketergantungan terhadap beras, sehingga kebutuhan beras nasional terus mengalami peningkatan. Kabupaten Demak merupakan salah satu sentra produksi beras di Provinsi Jawa Tengah. Kontribusi Kabupaten Demak dalam menjaga ketahanan pangan nasional terbukti dengan diberikannya beberapa penghargaan oleh Presiden Republik Indonesia dalam kurun waktu dua tahun terakhir yaitu tahun 2009 dan 2010 yaitu Penghargaan Peningkatan Produksi Padi dan Penghargaan Ketahanan Pangan. Namun di tengah prestasi tersebut, masih terdapat permasalahan pada tataniaga beras di kabupaten ini. Salah satu permasalahan yang muncul adalah rendahnya harga GKP (gabah kering panen) pada tingkat petani. Diduga permasalahan ini diakibatkan oleh ketergantungan petani terhadap tengkulak dalam memasarkan hasil panennya pada saat panen raya. Selain itu, adanya gap harga yang tinggi di tingkat petani dan konsumen juga menjadikan suatu masalah pada saluran tataniaga dimana petani dapat dikatakan belum tersejahterakan. Naik turunnya harga beras pada tingkat konsumen tidak banyak mempengaruhi harga di tingkat petani. Petani harus mengikuti mekanisme pasar dimana hal ini lebih banyak merugikan petani. Peran BULOG seharusnya dapat menyelamatkan petani jika BULOG mampu menyerap beras langsung dari petani di saat terjadi panen raya. Namun fakta yang terjadi di lapang adalah BULOG membeli sebagian besar beras yang beredar di pasar dari lembaga grosir dan Rice Milling Unit (RMU) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk 1) mengidentifikasi saluran, lembaga, fungsi, serta menganalisis struktur dan perilaku pasar tataniaga beras di Kabupaten Demak, Jawa Tengah dan 2) menganalisis efisiensi tataniaga beras pada setiap saluran tataniaga di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan, dan biaya. Penelitian ini menggunakan motode snowball dimana informasi yang diperoleh tidak terputus dari satu lembaga ke lembaga tataniaga yang lain. Wawancara dilakukan kepada 30 responden petani, 5 responden tengkulak, 3 responden RMU, 2 responden grosir, 5 responden ritel, dan 30 responden konsumen individu. Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan tabulasi untuk menjelaskan
karakteristik petani, saluran tataniaga beras, lembaga dan fungsi tataniaga beras, serta struktur dan perilaku pasar beras. Analisis biaya tataniaga, margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya digunakan untuk melihat efisiensi harga dan operasional tataniaga beras di lokasi penelitian. Hasil yang didapatkan dari penelitian di lapangan menunjukkan bahwa secara umum, ada enam saluran tataniaga beras di Kabupaten Demak. Lembagalembaga yang terlibat dalam alur pemasaran tersebut yaitu petani, tengkulak, RMU, grosir, dan ritel. Tengkulak masih menjadi pihak yang dominan yang menerima penjualan gabah hasil panen petani. Sebagian besar tengkulak membeli hasil panen dengan sistem tebas. Sistem tebas ini banyak dipilih sebagian besar petani karena petani membutuhkan uang cepat dan kemudahan fasilitas untuk panen. Berdasarkan fungsi BULOG sebagai lembaga yang memberikan jaminan harga dan pasar bagi produsen atau petani, BULOG dinilai belum berfungsi. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas BULOG yang hanya menyerap beras dari grosir dan RMU. Seharusnya BULOG mampu menyerap gabah hasil panen petani yang harganya cenderung rendah ketika panen raya. Berdasarkan pendekatan analisis marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya, saluran tataniaga 1B adalah saluran yang lebih efisien dibandingkan saluran yang lain sehingga saluran ini layak untuk dipilih petani dan layak untuk terus dikembangkan. Saluran tersebut memiliki total marjin yang terkecil yaitu sebesar Rp 1.464,00. Berdasarkan analisis farmer’s share, saluran 1B memiliki nilai terbesar yaitu sebesar 71 persen. Sedangkan melalui analisis rasio keuntungan dan biaya, saluran yang paling efisien adalah saluran 3A dengan rata-rata rasio sebesar 3,64. Namun dari keenam saluran tersebut, saluran IB merupakan saluran yang memiliki volume perdagangan terbesar yaitu 2.581,9 ton atau 21,22 persen dari total pangsa pasar perdagangan beras yang berarti paling memberikan prospek kepada petani dan seluruh lembaga untuk memasarkan produknya.
ANALISIS TATANIAGA BERAS DI DESA KENDUREN, KECAMATAN WEDUNG, KABUPATEN DEMAK
PANDU ADITAMA H34070095
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Analisis Tataniaga Beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak
Nama
: Pandu Aditama
NIM
: H34070095
Menyetujui, Pembimbing
Suprehatin, SP, MAB NIP. 19800107 200501 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Tataniaga Beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2011
Pandu Aditama H34070095
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karanganyar pada tanggal 9 Agustus 1988. Penulis adalah anak ke tiga dari tiga bersaudara dari pasangan Ayahanda (Alm.) Joko Wiyono Priyohatmojo dan Ibunda Endang Ekawatie Harnaningsih. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Bejen 3 pada tahun 2001 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP Negeri 1 Karanganyar. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Negeri 1 Karanganyar diselesaikan pada tahun 2007. Semua lembaga pendidikan tersebut berada di Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan tinggi pada Program Mayor Agribisnis di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Untuk melengkapi pemahaman tentang keilmuan komunikasi, penulis juga mengikuti Program Minor Komunikasi pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif mengikuti beberapa organisasi di dalam kampus, seperti Ketua Lorong Lima Asrama C2 Tingkat Persiapan Bersama tahun 2007-2008, Ketua Organisasi Mahasiswa Daerah Solo dan sekitarnya pada tahun 2009-2010, Ketua Unit Kegiatan Mahasiwa Center of Entrepreneurship Development for Youth (UKM CENTURY) pada tahun 20092010, dan Ketua Departemen Money Hunting Department, Himpunan Mahasiswa Peminat Agribisnis (MHD HIPMA) pada tahun 2010-2011. Selama punyusunan skripsi, penulis juga aktif berkontribusi di Gugus Bisnis dan Kewirausahaan (GBIKE) FEM IPB sebagai Asisten Peneliti di tahun 2011. Prestasi yang pernah diraih penulis antara lain Juara 1 Bola Basket dalam Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) tahun 2011, Finalis Lomba Business Plan Wirausaha Muda Mandiri (WMM) tahun 2010 dengan judul “Pengembangan Budidaya Ikan Nila Merah Melalui Sistem Agribisnis”, dan Finalis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Ambassador (FEM Ambassador) tahun 2010. Saat ini penulis juga sedang mengelola sebuah bisnis kuliner dengan nama usaha “Petjel Madioen Mbak Ika” dan berstatus sebagai owner.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Sistem Tataniaga Beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak”. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai uswatun hasanah dan pemimpin terbaik bagi umat manusia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis saluran tataniaga beras yang ada di Desa Kenduren; mengidentifikasi dan menganalisis lembaga-lembaga yang terlibat beserta fungsinya dalam tataniaga beras di Desa Kenduren; mengidentifikasi dan menganalisis struktur dan perilaku pasar beras di Desa Kenduren; dan menganalisis keragaan pasar beras yang ada di wilayah Desa Kenduren dengan pendekatan biaya tataniaga, marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya. Skripsi ini diharapkan dapat berguna dan memberikan manfaat kepada semua pihak baik mahasiswa, akademisi, pelaku usahatani padi dan lembaga tataniaga beras, dan pemerintah selaku pembuat kebijakan.
Bogor, November 2011
Pandu Aditama
viii
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi tidak terlepas dari bantuan, motivasi, doa, dan kerjasama dari berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada: 1.
Ayahanda (Alm.) Joko Wiyono Priyohatmojo dan Ibunda Endang Ekawatie Harnaningsih, orang tua tercinta sekaligus motivator hidup yang telah mencurahkan segalanya hingga penulis mampu menyelesaikan pendidikan di IPB dengan baik. Semoga Ananda dapat menjadi manusia yang bermanfaat seperti yang diharapkan.
2.
Suprehatin, SP, MAB, selaku dosen pembimbing skripsi atas waktu, bimbingan, masukan, dan perhatian kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
3.
Dr. Ratna Winandi, MM, selaku dosen penguji utama pada ujian sidang penulis yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
4.
Yanti Nuraeni M, SP, MAgribuss, selaku dosen penguji komisi pendidikan Departemen Agribisnis pada sidang penulis yang telah meluangkan waktu untuk memberikan kritik dan saran kepada penulis untuk perbaikan skripsi
5.
Ir. Narni Farmayanti, M.Sc, yang senantiasa mengarahkan dan membantu penulis dalam menjalani masa-masa perkuliahan sebagai Wali Akademik di Departemen Agribisnis FEM IPB.
6.
Seluruh dosen dan staf kependidikan Departemen Agribisnis FEM IPB
7.
Yeka Hendra Fatika, SP dan Arif Karyadi Uswandi, SP yang telah memberikan banyak kesempatan kepada penulis untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman berharga selama bergabung di G-BIKE (Gugus Bisnis dan Kewirausahaan)
8.
Kakanda Tunjungsih Priyaningrum, SE, MM, dan Kakanda Pilar Krisnadi, S.sos serta seluruh keluarga besar yang telah membantu penulis secara moral dan meterial selama menuntut ilmu di IPB.
9.
Keluarga Bapak Lurah H. Farid di Grobogan, yang telah berkenan memberikan tempat untuk tinggal selama penulis menjalani penelitian.
ix
Terima kasih atas kehangatan yang diberikan. Keluarga Bapak Nurhadi di Ciampea Udik, yang menjadikan Gladikarya menjadi penuh makna. Semoga tali silaturahim terus terjaga. 10. Dini Amrilla Utomo, SE atas waktu dan kesetiaannya mendampingi penulis dalam menjalani suka duka di Bogor. 11. Jendral (Septian Chandra Pamungkas, A.Md; Thomas Hendratno, A.Md; Faizal Rachman, S.Pi; dan Kurniawan Wahyu N, Ahli Pratama atas kebersamaan dalam mencari “Sebuah Arti Hidup”. Pondok Slenge’an (Rendra Eka Ardhya, Parubahan Harahap, Aulia Bahadori M., Baskoro Sukoco, Alfarizi, dan Dimas F.K.) yang selama ini menjadi pelipur lara bagi penulis. G-BIKEmania (Riska Pujiati, SE; Hata Madia Kusumah; Yahya Hendriana, SE; Sigit Sutrinso; Anten Rahmith, SE; Octiasari, SE; dan Ana Zufrida) yang telah bersama-sama berpetualang ke tempat-tempat luar biasa. Okky Pandu Dewanata, SE; Hasanudin, SE; M. Rizqiadi; Randy Hazemi; Dede Juliandar; dan Ginda Pramana P. atas semua canda tawa yang akan selalu terkenang oleh penulis serta POKRAW Babakan Lio yang menjadi tempat mencurahkan keluh kesah kami. 12. Nugroho Bagus Utomo, SE dan Nia Ertin Pratika, SE ”PMMI” atas semangat dan ide-ide briliannya yang mampu menyemangati penulis selama di Bogor. Petjel Madioen Mbak Ika yang menjadi harapan bagi penulis dan Teh Yeni ”PMMI” yang telah bekerja keras dengan tulus. 13. Keluarga Besar UKM CENTURY dan HIPMA IPB yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk bekerja sama dengan orang-orang hebat. Keluarga Besar Agribisnis FEM IPB khususnya angkatan 44, teman-teman seperjuangan yang telah berjuang bersama demi kehidupan yang lebih baik. Teman-teman Lorong Lima Asrama Putra C2 dan TPB B25/26 yang telah memberikan banyak kenangan indah dari sebuah kebersamaan. 14. Semua pihak yang telah bersedia membantu penulis semasa penulis menyelesaikan pendidikan di IPB yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Bogor, November 2011
Pandu Aditama
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xvi
I
PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1. Latar Belakang ................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ........................................................... 1.3. Tujuan Penelitian ............................................................... 1.4. Manfaat Penelitian ............................................................. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian .................................................
1 1 5 9 9 10
II
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 2.1. Gambaran Umum Beras ..................................................... 2.2. Penelitian Terdahulu .......................................................... 2.2.1 Studi Empirik Saluran Tataniaga Beras ..................... 2.2.2. Studi Empirik Lembaga dan Fungsi Tataniaga ........ 2.2.3. Studi Empirik Struktur dan Perilaku Pasar Beras .... 2.2.4. Studi Empirik Biaya dan Marjin Tataniaga Beras .... 2.2.5. Studi Empirik Farmer’s Share ................................ 2.2.6. Rasio Keuntungan dan Biaya ...................................
11 11 12 12 13 14 16 17 17
III
KERANGKA PEMIKIRAN ....................................................... 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................. 3.1.1 Konsep Tataniaga ...................................................... 3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga .............................. 3.1.3. Konsep Efisiensi Tataniaga ..................................... 3.1.3.1. Konsep Margin Tataniaga ........................... 3.1.3.2. Konsep Farmer’s Share pada Tataniaga ...... 3.1.3.3. Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya ........... 3.1.4. Konsep Struktur Pasar ............................................. 3.1.5. Konsep Perilaku Pasar ............................................. 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ......................................
19 19 19 19 23 24 26 27 27 28 29
IV
METODE PENELITIAN ............................................................ 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................. 4.2. Jenis dan Sumber Data ....................................................... 4.3. Metode Pengumpulan Data ................................................ 4.4. Metode Pengolahan Data ................................................... 4.4.1. Analisis Saluran Tataniaga ...................................... 4.4.2. Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga ................. 4.4.3. Analisis Struktur Pasar ............................................. 4.4.4. Analisis Perilaku Pasar .......................................... 4.4.5. Analisis Efisiensi Tataniaga ..................................... 4.4.5.1 Analisis Margin Tataniaga ...........................
32 32 32 33 33 34 34 34 35 35 35
4.4.5.2 Analisis Farmer’s Share .............................. 4.4.5.3 Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya ......... Definisi Operasional Penelitian ........................................
36 37 37
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ....................... 5.1. Wilayah dan Topografi ...................................................... 5.2. Deskripsi Karakteristik Petani Responden ........................ 5.2.1. Kategori Umur Petani ............................................... 5.2.2. Kategori Pendidikan Formal Petani Responden ...... 5.2.3. Kategori Pengalaman Usahatani Petani Responden .. 5.2.4. Kategori Luas Lahan yang Diusahakan Petani Responden ..................................................... 5.2.5. Kategori Status Penguasaan Petani Responden ....... 5.2.6. Kategori Sifat Usahatani Petani Responden ............ 5.3. Deskripsi Karakteristik Pedagang Responden ..................... 5.3.1. Responden Tengkulak ............................................... 5.3.2. Responden Rice Milling Unit (RMU) ........................ 5.3.3. Responden Grosir .................................................... 5.3.4. Responden Ritel .......................................................
39 39 42 42 42 43
4.5. V
VI
ANALISIS TATANIAGA BERAS .............................................. 6.1. Analisis Saluran Tataniaga Beras Kabupaten Demak ...... 6.1.1. Analisis Saluran Tataniaga dengan Konsumen Individu sebagai Konsumen Akhir ........................... 6.1.2. Analisis Saluran Tataniaga dengan Subdivre BULOG sebagai Konsumen Akhir ......................................... 6.2. Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga Beras Kabupaten Demak ............................................................... 6.3. Analisis Struktur Pasar Tataniaga Beras Kabupaten Demak ............................................................... 6.4. Perilaku Pasar Tataniaga Beras di Kabupaten Demak ........ 6.4.1. Praktik Pembelian dan Penjualan ............................ 6.4.2. Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi ............... 6.4.3. Sistem Pembayaran yang Digunakan dalam Transaksi ....................................................... 6.4.4. Kerjasama antar Lembaga Tataniaga Beras ............. 6.5. Analisis Biaya dan Margin Tataniaga ................................ 6.5.1. Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga Saluran A ..... 6.5.2. Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga Saluran B ...... 6.6. Analisis Farmer’s Share .................................................... 6.7. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya ............................... 6.7.1. Analisis Keuntungan Saluran A ............................... 6.7.2. Analisis Keuntungan Tataniaga Saluran B ..............
VII KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 7.1. Kesimpulan ........................................................................ 7.2. Saran ..................................................................................
43 43 44 44 44 45 45 46 47 47 48 50 53 58 61 62 64 64 65 66 66 67 68 69 70 71 73 73 74
xii
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
75
LAMPIRAN ..........................................................................................
77
xiii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram .........................
1
2. Data Konsumsi Pangan per Kapita Indonesia Tahun 2010 .........
1
3. Jumlah Penduduk, Produksi, Konsumsi, dan Impor Beras Indonesia Tahun 2000-2010 ........................................................
2
4. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi Sawah Kabupaten Demak Tahun 2005-2009 .........................................
4
5. Rata-rata Harga GKP, GKG, dan Beras di Wilayah Sentra Produksi Padi Pulau Jawa Tahun 2011 .......................................
7
6. Karakteristik dan Struktur Pasar .................................................
28
7. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Padi Kabupaten Demak Tahun 2005-2009 ............................................................
39
8. Luas Wilayah, Luas Sawah, dan Total Produksi Padi Kabupaten Demak per Kecamatan Tahun 2009 ..........................
40
9. Farmer’s Share pada Setiap Saluran Tataniaga A di Desa Kenduren Tahun 2011 ........................................................
69
10. Farmer’s Share pada Setiap Saluran Tataniaga B di Desa Kenduren Tahun 2011 ........................................................
69
xiv
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Pola Panen Padi di Indonesia Tahun 2008-2010 ........................
3
2. Kurva Margin Tataniaga .............................................................
25
3. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional ....................................
31
4. Saluran Tataniaga Beras A Desa Kenduren Tahun 2011 ............
48
5. Saluran Tataniaga Beras B Desa Kenduren Tahun 2011 ............
50
xv
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi per Provinsi di Indonesia Tahun 2010 .............................................................
78
2. Kategori Karakteristik Responden Petani Kecamatan Wedung 2010 ..............................................................................
79
3. Data Responden Petani Kecamatan Wedung 2010 ...................
80
4. Data Responden Pedagang Desa Kenduren 2010 ......................
82
5. Lembaga dan Fungsi Tataniaga Beras di Kabupaten Demak Jawa Tengah Tahun 2011 ............................................................
83
6. Biaya-biaya Tataniaga pada Setiap Lembaga Tataniaga ............
84
7. Analisis Marjin Tataniaga pada Setiap Lembaga Tataniaga .......
85
8. Tabel Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga Beras .................
86
xvi
I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan
keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset besar dan menjadi sektor yang dapat diandalkan dalam pembangunan untuk menunjang ketahanan pangan. Kebutuhan terhadap pemenuhan pangan merupakan kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi karena hal ini berkaitan dengan hajat hidup manusia. Salah satu produk pertanian yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat adalah beras.
Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram Nutrisi Karbohidrat Protein Lemak Kalori Vitamin B1 Serat Air
Satuan Gram Gram Gram Gram Mg -
Beras 78,9 6,8 6,8 360,0 -
Gandum 74,1 11,8 1,2 0,4 12
Sorgum 73,0 11,0 73,0 332,0 0,4 -
Jagung 72,4 10,0 10,0 361,0 2,3 2,3 13,5
Sumber: Badan Pusat Statistik 2010(a) Keterangan: - tidak terdapat data
Beras masih menjadi bahan pangan utama yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia hingga saat ini. Hal ini dikarenakan beras dipandang sebagai produk pangan yang mudah didapat, ketersediaannya melimpah, dan bergizi. Beras dikatakan bergizi karena kandungan karbohidrat dalam beras merupakan yang tertinggi di atas bahan pangan lainnya (Tabel 1). Tabel 2. Data Konsumsi Pangan per Kapita Indonesia Tahun 2010 Komoditas Pangan Beras Gandum Jagung Kedelai
Konsumsi per Kapita (kg/orang/tahun) 139 17 70 40
Sumber: Badan Pusat Statistik 2010(a)
Konsumsi beras di Indonesia berada pada peringkat pertama pada konsumsi komoditas pangan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2 dimana konsumsi
beras per kapita Indonesia lebih tinggi dibandingkan bahan pangan lainnya. Hal ini membuktikan betapa pentingnya ketersediaan beras bagi masyarakat. Jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat menjadikan ketersediaan beras sebagai suatu hal yang perlu mendapat perhatian khusus. Dalam hal ini, petani lokal masih menjadi tulang punggung dalam penyediaan beras secara nasional. Meskipun demikian, pertumbuhan produksi beras nasional belum mampu memenuhi pertumbuhan konsumsi setiap tahunnya yang cenderung meningkat dan lebih besar dari produksi sehingga pemerintah harus melakukan impor untuk menjaga ketersediaan beras (Tabel 3).
Tabel 3. Jumlah Penduduk, Produksi, Konsumsi, dan Impor Beras Indonesia Tahun 2000-2010 Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Penduduk (jiwa) 206.264.595 237.556.363
Produksi (juta ton) 32,96 32,96 33,41 35,02 34,83 34,96 35,30 37,00 38,31 36,37 38,00
Konsumsi (juta ton) 35,88 36,38 36,50 36,00 35,85 35,74 35,90 36,35 37,10 38,00 38,55
Impor (juta ton) 1,50 3,50 2,75 0,65 0,50 0,54 2,00 0,35 0,25 1,15 0,95
Sumber : USDA (2011)1 Keterangan: - tidak terdapat data
Rata-rata dana pengadaan dalam negeri dalam 4 – 5 bulan periode pengadaan mencapai 5 -7 triliun per tahun yang mengalir langsung ke petani pedesaan, dan bahkan selama satu tahun bisa mencapai lebih dari 11 triliun. Dan tersebut semakin meningkat seiring dengan besarnya serapan pengadaan dalam negeri sehingga memberikan multiplier effects yang mendorong pembangunan pedesaan dengan peningkatan pendapatan dan perluasan lapangan kerja. Tidak semua daerah di Indonesia mampu memenuhi jumlah kebutuhan beras penduduk karena berbagai keterbatasan, terutama aspek kesesuaian iklim dan lahan. Hal ini berimplikasi pada adanya daerah yang mengalami defisit dan 1
[USDA] www.indexmundi.com [ Diakses 30 April 2011]
2
ada daerah yang menjadi daerah surplus produksi beras. Daerah yang mengalami defisit tersebut membutuhkan pasokan beras dari daerah dengan surplus beras. Kondisi ini menciptakan kegiatan tataniaga beras dari satu daerah ke daerah lain. Dalam industri beras di Indonesia, aspek tataniaga memiliki peran yang penting. Beras merupakan komoditi yang dipengaruhi faktor musim dalam penyediaannya. Adanya lag dalam penyediaan beras disebabkan oleh produksi padi yang sangat tergantung pada musim tanam dan hal ini secara tidak langsung telah terpola dengan sendirinya.
Gambar 1.
Pola Panen Padi di Indonesia Tahun 2008-2010 Sumber: Data Strategis Indonesia BPS (2010)
Gambar 1 menggambarkan pola musim padi dimana terjadi panen raya pada selang waktu Januari – Mei. Pada selang waktu tersebut terjadi pasokan beras yang melimpah. Sedangkan pada musim paceklik yang terjadi pada selang waktu September-Desember, pasokan beras akan berkurang. Tidak lancarnya aspek tataniaga dapat menghambat pasokan beras ke daerah dengan produksi padi yang defisit. BULOG memiliki peran penting dalam keadaan suatu daerah yang sedang dalam defisit ketersediaan beras. Berdasarkan prinsip ekonomi, kurangnya stok suatu barang pada sebuah pasar sedangkan permintaan tetap atau bertambah maka akan menaikkan harga barang tersebut. Tidak semua kalangan masyarakat mampu membeli beras ketika harga tinggi, sehingga peran BULOG adalah dengan
3
menyalurkan Raskin (Beras untuk Rumah Tangga Miskin) untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin2. Terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang menjadi wilayah surplus produksi beras. Provinsi-provinsi sebagai wilayah penghasil beras dengan produksi yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Lampung, Banten, Kalimantan Selatan, dan Nusa Tenggara Barat. Pulau Jawa merupakan wilayah yang memiliki produksi beras tertinggi di Indonesia. Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur adalah tiga provinsi penghasil beras terbesar di Indonesia dengan jumlah berturut-turut 11.322.681 ton, 9.600.415 ton, dan 11.259.085 ton (Badan Pusat Statistik 2010) (Lampiran 1).
Tabel 4. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi Sawah Kabupaten Demak Tahun 2005-2009 Tahun
Total Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas (Kw/Ha)
2005 2006 2007 2008 2009
284.390 276.230 288.934 287.481 299.614
520.109 500.649 517.463 563.737 571.330
58,53 60,90 56,54 54,24 55,82
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Demak (2010)(b)
Kabupaten Demak adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki peran penting dalam rangka menjaga ketahanan pangan nasional. Hal ini terbukti dengan diberikannya dua penghargaan nasional oleh Presiden Republik Indonesia yaitu Penghargaan Peningkatan Produksi Padi dan Penghargaan Ketahanan Pangan pada tahun 2010. Untuk penghargaan peningkatan produksi padi, Kabupaten Demak telah memperolehnya dua tahun berturut-turut3. Penghargaan pada tahun 2009 diberikan karena produksi padi Demak tahun 2007 sebesar 517.463 ton, meningkat pada 2008 menjadi 563.737 ton atau naik 5,03 persen. Kemudian penghargaan berikutnya diperoleh karena produksi padi Demak di tahun 2008 sebesar 563.737 ton, meningkat pada tahun 2009 mencapai jumlah 571.330 ton. Prestasi dalam peningkatan produksi padi 2 3
http://www.bulog.co.id [diakses 22 Desember 2011] http://www.demakkab.go.id/pemerintahan [diakses 8 Maret 2011]
4
yang dicapai Kabupaten Demak tersebut merupakan keberhasilan yang searah dengan gerakan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) yang diusung pemerintah.
1.2.
Perumusan Masalah
Secara umum, tataniaga beras belum dapat terlepas dari kendala-kendala dalam proses menyalurkan beras dari petani hingga konsumen. Masalah utama yang sering kali terjadi adalah rendahnya harga gabah yang diterima petani, terutama pada saat panen raya dan tingginya harga beras yang terjadi di tingkat konsumen akhir. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa pasar beras tidak simetris dan kurang terintegrasi. Artinya, jika harga beras di tingkat konsumen naik, kenaikan tersebut tidak tersampaikan ke tingkat petani. Namun jika harga beras di kota turun, penurunan tersebut akan segera menyebabkan turunnya harga gabah di tingkat petani sehingga petani selalu berada pada posisi yang tidak diuntungkan oleh mekanisme pasar. Dalam kebijakan perberasan, peran BULOG sebagai penyeimbang harga di pasar seharusnya dapat melindungi harga pada tingkat petani. Inpres tersebut dengan jelas menugaskan BULOG untuk menjaga harga di tingkat produsen melalui pengadaan dalam negeri. Pengadaan tersebut dilakukan dengan menyerap surplus yang dipasarkan petani selama periode panen berdasarkan HPP. Selain untuk melindungi petani, pengadaan dalam negeri juga berperan sebagai jaminan pasar atas produksi petani. Jumlah pengadaan dalam negeri setiap tahunnya berkisar antara 1,5 – 2 juta ton setara beras, sekitar 5 – 7 persen dari total produksi per tahun atau sekitar 20 – 25 persen dari surplus yang dipasarkan petani selama bulan Maret – Mei. Pengadaan gabah BULOG mengikuti pola produksi tersebut dimana karakteristik produksi gabah tidak sama antar waktu dan antar tempat. Jumlah pengadaan BULOG sebagian besar (70 persen) dilakukan di daerah produsen (Jawa dan Sulawesi Selatan) dan sebagian besar (60 persen) dilakukan selama panen raya (Januari – Mei). Produksi beras yang terus meningkat merupakan sebuah prestasi bagi bangsa Indonesia. Namun dengan meningkatnya produksi dalam negeri, akan menimbulkan sebuah kendala bagi harga di tingkat produsen. Permintaan gabah
5
dan beras yang bersifat inelastis, keterbatasan gudang swasta, relatif lemahnya industri penggilingan padi, dan iklim yang basah terutama saat panen raya, menjadi faktor yang juga berpengaruh terhadap harga di tingkat produsen. Jika hal ini tidak ditangani dengan baik maka stabilitas gabah atau beras dalam negeri di masa yang akan datang akan tergantung. Jaminan harga di tingkat produsen memiliki posisi yang sangat penting dalam menjaga keberlanjutan produksi karena sangat berkaitan langsung dengan kesejahteraan petani. Jaminan harga ini diberikan pemerintah melalui kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang dicantumkan pada Instruksi Presiden (Inpres) No. 7/2009 tentang Kebijakan Perberasan dimana telah ditetapkan bahwa HPP gabah dan beras untuk GKP di petani sebesar Rp 2.640,- per kilogram, GKG di penggilingan sebesar Rp 3.300,per kilogram, dan beras di gudang BULOG sebesar Rp 5.060,- per kilogram. Berdasarkan laporan penelitian Kementrian Pertanian dengan judul Kajian Stok Beras Nasional Tahun 2011, jika dibandingkan dengan harga gabah yang berasal dari kabupaten-kabupaten sentra produksi yang lain di Pulau Jawa, harga gabah di Kabupaten Demak merupakan yang terendah. Kabupaten-kabupaten tersebut antara lain Kabupaten Cianjur dan Karawang untuk Provinsi Jawa Barat serta Kabupaten Tuban dan Lamongan untuk Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan Tabel 5, rata-rata harga gabah tertinggi adalah di Kabupaten Karawang dengan harga gabah kering panen (GKP) mencapai Rp 4.000,00 per kilogram dan gabah kering giling (GKG) sebesar Rp 4.200,00 per kilogram. Tingginya harga gabah di Kabupaten Karawang disebabkan oleh dua faktor, yang pertama karena rendemen GKP ke beras di Kabupaten Karawang yang tinggi yaitu mencapai 65-70 persen. Rendemen gabah di Kabupaten Demak sebesar 50-60 persen masih rendah jika dibandingkan dengan Kabupaten Karawang. Faktor yang ke dua adalah banyaknya Rice Milling Unit (RMU) yang tersebar di setiap desa. Hal ini menyebabkan tingginya persaingan antar pelaku usaha dan menyebabkan tingginya permintaan akan gabah.
6
Tabel 5. Rata-rata Harga GKP, GKG, dan Beras di Wilayah Sentra Produksi Padi Pulau Jawa Tahun 2011. Harga Beras di Wilayah Sentra Produksi Padi (Rp) Jawa Jawa Barat Jawa Timur Tengah Cianjur Karawang Tuban Lamongan Demak
Tingkat Lembaga
Produk
Petani
GKP
3.100
4.000
2.500
2.600
2.000
GKG
3.300
4.200
2.800
2.700
2.020
Beras
6.600
6.700
6.500
6.700
6.700
Konsumen Individu
Sumber: Kementrian Pertanian
Jika dibandingkan dengan HPP, harga jual di pasar GKG dan GKP di Kabupaten Demak lebih rendah dari harga dasar pemerintah kecuali harga beras. Sedangkan harga GKP, GKG, dan beras di kabupaten yang lain secara keseluruhan setara bahkan lebih besar dari HPP. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi suatu masalah di Kabupaten Demak dimana harga GKP dan GKG jauh lebih rendah namun harga beras jauh di atas HPP. Berdasarkan observasi yang telah dilakukan BPS Distribusi Jawa Tengah, gabah didominasi kelompok kualitas rendah yaitu 52,09 persen, disusul GKP 39,07 persen dan GKG sebanyak 8,84 persen4. Dari hasil survei tersebut terlihat harga gabah tertinggi di tingkat petani mencapai Rp 3.630,00 per kilogram berasal dari kelompok kualitas GKP di Kabupaten Semarang, sedangkan harga terendah sebesar Rp 2.000,00 per kilogram berasal dari Kabupaten Demak. Pada tingkat RMU, harga gabah tertinggi mencapai Rp 3.700,00 per kilogram yang juga berasal dari kualitas GKP di Kabupaten Semarang, sedangkan harga terendah sebesar Rp 2.020,00 per kilogram juga berada di Kabupaten Demak. Selain masalah harga, ketersediaan beras di Kabupaten Demak juga dinilai menjadi kendala ketika aliran produk dari petani hingga konsumen akhir tidak berjalan lancar. Sering kali penggilingan kekurangan stok karena gabah di daerah panen justru dipasarkan ke luar daerah oleh tengkulak melalui pedagang-pedagang besar. Selain itu, penggilingan yang tidak memiliki akses permodalan yang baik, tidak mampu menjalankan usahanya secara kontinyu sehingga banyak gabah yang 4
http://www.gresnews.com [diakses 8 Maret 2011]
7
tidak tersalurkan ke daerah setempat. Kendala lain yang muncul adalah semakin banyaknya RMU keliling yang menyediakan jasa giling bagi petani-petani yang memiliki gabah. RMU keliling tersebut secara legalitas tidak mempunyai izin operasi, namun pemerintah daerah tidak dapat melakukan kontrol atas keberadaan RMU keliling tersebut yang semakin bertambah banyak jumlahnya. Pada tingkat konsumen, terjadi kenaikan harga beras sepanjang bulan Januari hingga Februari 2011. Harga beras golongan beras medium mencapai harga Rp 6.700,00 per kilogram, sedangkan beras super sudah mencapai harga Rp 7.100,00 per kilogram dari harga normal Rp 5.200,00 per kilogram5. Kondisi tersebut membuat masyarakat merasa sulit karena meskipun memiliki uang namun warga tetap mengalami kesulitan dalam membeli beras dikarenakan stok beras yang berada di petani maupun RMU sudah kosong. Konsumen yang ingin membeli beras dengan harga murah kalah bersaing dengan pedagang beras lokal yang juga kesulitan untuk membeli beras dalam jumlah besar. Bahkan raskin yang banyak dicari oleh warga kelas bawah juga sulit ditemukan. Raskin dijual sesuai harga pemerintah yaitu Rp 1.600,00 per kilogram. Penjualan raskin tersebut tentunya tidak dapat menurunkan harga beras di pasaran karena stoknya yang terbatas. Fakta yang telah diuraikan tersebut mengindikasikan adanya permasalahan yang muncul pada lembaga-lembaga yang ada pada saluran tataniaga beras di Kabupaten Demak. Permasalahan tersebut terjadi dalam hal harga dimana terjadi gap yang besar pada tingkat harga petani dan konsumen akhir. Selain masalah pada harga, ketersediaan beras bagi konsumen juga terdapat kendala dimana terjadi hambatan dalam penyaluran beras sehingga konsumen merasakan kesulitan dalam membeli beras. Besarnya gap harga mengindikasikan adanya rantai tataniaga yang panjang pada komoditi tersebut. Banyaknya lembaga yang terdapat dalam sebuah tataniaga beras yang panjang menggambarkan bagaimana perilaku dan karakteristik pasar pada komoditi tersebut serta proses pembentukan harga yang terjadi. Sebagai salah satu sentra produksi beras, tingginya harga beras di tingkat konsumen dan kurangnya stok beras di tingkat produsen merupakan
5
http://www.travel.kompas.com [diakses 8 Maret 2011]
8
kontradiksi yang layak untuk diketahui pada keadaan yang sebenarnya di lapang. Permasalahan tersebut mendorong peneliti untuk mengkaji lebih jauh tentang fungsi
masing-masing lembaga dalam setiap saluran tataniaga,
proses
pembentukan harga dalam rantai tataniaga, bagian harga yang diterima petani, tingkat harga dari satu tingkat pasar ke tingkat pasar lainnya, serta kegiatan penambahan nilai dan marjin yang diperoleh berbagai pelaku pasar dalam tataniaga beras di Kabupaten Demak. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: 1)
Bagaimana saluran, lembaga, fungsi, struktur, dan perilaku pasar tataniaga beras di Desa Kenduren?
2)
Bagaimana efisiensi tataniaga beras pada setiap saluran tataniaga di Desa Kenduren melalui pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini adalah: 1)
Mengidentifikasi saluran, lembaga, fungsi, serta menganalisis struktur dan perilaku pasar tataniaga beras di Desa Kenduren.
2)
Menganalisis efisiensi tataniaga beras pada setiap saluran tataniaga di Desa Kenduren dengan pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan, dan biaya.
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-
pihak yang berkepentingan, yaitu: 1)
Bagi Penulis Sebagai
sarana
dalam
meningkatkan
kemampuan
penulis
untuk
mengidentifikasi dan memecahkankan masalah yang ada serta wujud pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan selama kuliah melalui kegiatan turun lapang.
9
2)
Bagi Lembaga-Lembaga Terkait Penelitian ini dapat memberikan evaluasi dan rekomendasi mengenai sistem tataniaga beras. Selain itu, lembaga yang terkait dapat menjadikan penelitian ini sebagai sumber informasi terbaru terkait tataniaga beras yang ada di Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah.
3)
Bagi Kalangan Akademisi Sebagai salah satu sumber informasi dan referensi mengenai kajian tataniaga beras yang dapat digunakan untuk literatur penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencakup kajian tataniaga beras pada tingkat kabupaten.
Pengambilan data dilakukan dari tingkat petani, tengkulak, RMU, Subdrive BULOG, grosir, ritel, dan konsumen individu. Batasan responden petani adalah petani yang berada di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, dimana desa tersebut memiliki produksi padi terbesar di Demak pada tahun 2011 sehingga diharapkan mampu merepresentasikan kegiatan tataniaga beras yang terjadi di Desa Kenduren. Periode pengamatan yang digunakan adalah pada musim tanam padi tahun 2011. Cakupan penelitian ini adalah saluran tataniaga beras kelas medium yang dipasarkan di tingkat kabupaten karena beras kualitas medium merupakan beras yang sebagian besar di produksi oleh petani dan dikonsumsi masyarakat Kabupaten Demak.
10
II 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Beras Beras adalah produk dari proses pengolahan gabah yang merupakan hasil
utama tanaman padi. Untuk menjadi beras, gabah perlu diolah sedemikian rupa melewati beberapa tahapan. Setelah proses panen, tanaman padi harus dirontokkan terlebih dahulu malainya sehingga didapatkan GKP. GKP kemudian dijemur hingga kering dan menjadi GKG. Proses berikutnya adalah melakukan penggilingan GKG sehingga caryopsis terlepas dari pericarpus dan lapisan aleuron-nya. Bagian caryopsis itulah yang disebut sebagai beras (Siregar 1987). Menurut Sawit dan Lakollo (2007), beras tidak hanya merupakan komoditas ekonomi, melainkan juga sebagai komoditas sosial politik. Hal ini karena beras dibutuhkan oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia sehingga berperan penting terhadap kondisi ekonomi makro, inflasi, risiko ketahanan pangan, pengangguran, dan kemiskinan. Beras juga merupakan komoditas yang unik, karena telah menjadi bahan pangan utama bagi negara-negara berkembang. Menurut Dawe (1997) dan Tsuji (1998), dalam Ammang dan Sawit (2001) karakteristik beras adalah: 1) Produksi dan konsumsi beras 90 persen dilakukan di Asia. Hal ini berbeda dengan gandum dan jagung yang diproduksi oleh banyak negara di dunia. 2) Harga beras sangat tidak stabil dibandingkan komoditas pangan lainnya, misalnya gandum. Selama tahun 1954 sampai 1994 harga beras mencapai harga tertinggi 600 dolar AS per ton dan terendah 200 dolar AS/ton. 3) Sebesar 80 persen perdagangan beras dikuasai oleh enam negara yaitu; Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, Pakistan, China, dan India. Oleh karena itu pasar beras internasional tidak sempurna, harga beras akan ditentukan oleh kekuatan oligopoli tersebut. 4) Pada tahun 1998 misalnya, Indonesia mengimpor sekitar 31persen dari total beras yang diperdagangkan di dunia. 5) Banyak negara Asia, memperlakukan beras sebagai wage goods dan political goods. Pemerintahan di banyak negara Asia akan terganggu stabilitasnya apabila harga beras tidak stabil/tinggi.
6) Sejak lama masyarakat Indonesia menempatkan padi dan beras sebagai lambang
kesejahteraan.
Misalnya
masyarakat
Pulau
Jawa
yang
menggambarkan padi sebagai jelmaan dari Dewi Sri yang merupakan perlambang kesejahteraan.
2.2.
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai topik tataniaga yang membahas komoditi beras bukan
menjadi sebuah topik yang baru. Oleh karena itu, penyusunan skripsi ini mengacu pada hasil penelitian-penelitian sebelumnya sebagai sumber informasi dan referensi. Hasil penelitian terdahulu yang digunakan sebagai sumber referensi yaitu jurnal, laporan penelitian, dan skripsi.
2.2.1. Studi Empirik Saluran Tataniaga Beras Saluran tataniaga beras yang telah dikaji dalam penelitian terdahulu umumnya memiliki saluran yang panjang. Panjangnya saluran tersebut disebabkan karena banyaknya lembaga-lembaga perantara dari petani hingga konsumen akhir. Penelitian terdahulu pada umumnya menggunakan metode tabulasi dan deskriptif dalam mengidentifikasi lembaga dan fungsi tataniaga dalam sebuah saluran. Untuk mengetahui pola saluran tataniaga, digunakan metode snowball dengan petani sebagai titik awal penelitian. Titik akhir beberapa saluran tataniaga beras berada di pasar kecamatan atau kabupaten. Namun pada umumnya para pedagang beras dan penggilingan beroperasi pada cakupan pasar yang lebih luas dan melintasi batas kabupaten bahkan antar provinsi dan antar pulau. Saluran tataniaga tersebut tidak hanya menunjukan aliran produk tetapi juga memperlihatkan bagaimana aliran modal yang berlangsung (Supriatna 2002 dan Ellis et al. 1992). Aliran perdagangan tersebut terjadi dikarenakan lokasi sentra produksi tidak sama dengan lokasi pusat konsumsinya (Wiboonpongse et al. 2001). Penelitian Nafis (2010) membahas mengenai sistem tataniaga beras organik tersertifikasi yang terdiri dari lima saluran tataniaga. Pada salah satu saluran teridentifikasi bahwa terdapat kebocoran pada saluran tersebut. Kebocoran yang dimaksud di sini adalah karena adanya peran tunggal tengkulak pada saluran
12
tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa peran tengkulak dapat menyebabkan tidak efisiennya saluran tersebut karena berpengaruh pada nilai yang diterima petani yang cenderung bernilai kecil. Pada penelitian Aniro (2009), penelusuran yang dilakukan terhadap saluran pemasaran juga telah mengidentifikasikan bahwa untuk padi pandan wangi terdapat dua saluran yaitu (1) petani pedagang di Pasar Tani Departemen Pertanian konsumen dan (2) petani Gapoktan Citra Sawargi CV Quasindo retail konsumen. Pemasaran beras varietas unggul baru terdiri dari tiga saluran yaitu (1) petani pedagang pengumpul konsumen; (2) petani pedagang pengumpul pedagang besar (grosir) konsumen; dan (3) petani pedagang pengumpul pedagang pengecer konsumen.
2.2.2. Studi Empirik Lembaga dan Fungsi pada Tataniaga Beras Lembaga pada saluran tataniaga menunjukkan pelaku pasar yang beroperasi dalam kegiatan jual beli. Untuk mengetahui siapa saja pelaku pasar yang terlibat dapat ditinjau dari beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait komoditas padi. Saluran tataniaga yang panjang biasanya dicirikan dengan benyaknya lembaga tataniaga. Dalam kegiatan jual beli tersebut setiap lembaga melakukan fungsinya. Menurut Kohls dan Uhls (1990), fungsi tataniaga dikelompokkan kedalam tiga fungsi utama yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi pelancar. Melalui penelitian Gandhi (2008) dapat diketahui bahwa lembaga-lembaga yang terlibat dalam perdagangan beras pandan wangi dari petani hingga konsumen akhir adalah terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang besar daerah, pedagang besar luar daerah, pasar swalayan, pedagang pengecer daerah, dan pedagang pengecer luar daerah. Penelitian Aniro (2009) menunjukkan bahwa terdapat tujuh lembaga tataniaga dalam sistem tataniaga beras pandan wangi yaitu petani, tengkulak, Gapoktan Sawargi, RMU beras, pabrik beras, distributor, dan retail. Menurut fungsinya, petani hanya melakukan fungsi pertukaran saja yaitu dengan menjual gabah kepada pembeli. Sedangkan tengkulak, Gapoktan Sawargi, RMU beras, dan pabrik beras selain melakukan fungsi pertukaran dan fungsi fisik (pengeringan, penggilingan/pengolahan, dan transportasi), juga melakukan fungsi
13
pelancar yaitu permodalan, penanggungan risiko, dan informasi. Untuk distributor dan retail juga melakukan ketiga fungsi tersebut kecuali fungsi pengeringan dan penggilingan. Kategorisasi ditemukan pada penelitian Ellis et al. (1992) yang membagi lembaga tataniaga berdasarkan fungsinya menjadi pedagang gabah-gabah, pedagang gabah-beras, penggilingan, dan pedagang beras-beras. Namun kategorisasi tersebut perlu memperhatikan fleksibilitas pada masing-masing lembaga tataniaga yang memiliki kemampuan melewati batasan kategori dimana lembaga tataniaga mungkin dapat melakukan fungsi penjualan beras dan gabah dalam waktu bersamaan. Suatu lembaga tataniaga juga mungkin berganti fungsi dari satu musim ke musim lainnya. Proses pengkategorian lembaga tataniaga juga menggunakan pendekatan fungsi yang dijalankan dan atau skala usaha. Lembaga tataniaga yang umumnya terlibat dapat dikategorikan menjadi petani, pedagang pengumpul, kelompok tani, pengumpul luar daerah, pedagang grosir, pedagang ritel
(Zalukhu
2009,
Murdani
2008,
dan
Mardianto
et
al.
2005),
komisioner/broker, dan eksportir (Wiboonpongse et al. 2001).
2.2.3. Studi Empirik Struktur dan Perilaku Pasar Beras Efisiensi pasar pada sebuah saluran tataniaga dapat dilihat dari kondisi struktur dan perilaku pasar. Dalam melihat efisiensi kondisi sebuah pasar dilakukan melalui identifikasi komponen biaya tataniaga, marjin tataniaga, rasio keuntungan dan biaya, serta farmer’s share yang diperoleh petani. Secara umum struktur pasar beras merupakan suatu pasar yang termasuk dalam pasar persaingan tidak sempurna yang cenderung pada pasar oligopoli. Hal ini diindikasikan dengan rendahnya hambatan keluar masuk pasar, konsentrasi petani yang lebih banyak dari pedagang beras, tidak adanya diferensiasi dalam kualitas produk, dan informasi pasar yang mudah diperoleh semua lembaga tataniaga (Ministry of Agriculture and Rural Development of Vietnam 1999, Rusastra et al. 2001, dan Bank Indonesia 2009). Perilaku pasar beras merupakan sikap lembaga tataniaga dalam mengambil keputusan. Perilaku pasar beras di tingkat petani merupakan turunan akumulatif dari perilaku pasar di atasnya. Perilaku pasar beras dianalisis dengan melihat
14
bagaimana mekanisme pembentukan harga di setiap lembaga. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme pembentukan harga maka analisis dilakukan melalui pendekatan lokasi penjualan, pembeli dominan, cara pembayaran, dan ikatan dengan pembelinya (Rusastra et al. 2001). Lokasi penjualan di tingkat petani umumnya dilakukan di sawah atau bukan di sawah. Sekitar 80 persen petani di Indonesia menjual hasil panennya di sawah. Petani yang menjual hasil panennya di sawah pada umumnya menjual dengan sistem tebasan. Hal ini tidak menunjukan lemahnya data tawar petani tetapi karena petani melihat adanya kelebihan dari sistem tebasan dan menguntungkan pada kedua belah pihak (Rusastra et al. 2001). Namun pernyataan ini perlu dikaji kembali karena sistem tebas di sisi lain dapat merugikan petani. Petani secara umum adalah petani kecil yang memiliki akses permodalan lemah sehingga terkadang sistem panen tebas merupakan jalan pintas untuk segera mendapatkan uang. Pembeli hasil panen yang dominan di tingkat petani adalah pedagang pengumpul meskipun pada dasarnya petani telah memiliki banyak pilihan dalam menjual hasil panennya (Rusastra et al. 2001 dan Sutawi 2009). Hasil penelitian yang berbeda ditemukan di daerah Karawang dimana petani lebih dominan menjual langsung hasil panennya kepada pedagang/penggilingan (Sidik dan Purnomo 1991, dalam Mardianto 2005). Sistem pembayaran yang biasanya ditemui dalam praktik tataniaga beras yaitu sistem pembayaran tunai dan sistem tunda bayar. Rusastra et al. (2001) menyatakan bahwa 73,3 persen petani menerima pembayaran secara tunai. Sedangkan sisanya sebanyak 26,7 persen menerima pembayaran sekitar satu hingga dua minggu setelah penjualan hasil panen. Mekanisme tunda bayar ini terkait dengan adanya ikatan antara petani dan pedagang berupa ikatan langganan, ikatan kekeluargaan, dan ikatan modal. Dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam konsep struktur dan perilaku pasar pada lembaga yang terlibat dalam tataniaga beras. Secara umum petani menghadapi pasar persaingan tidak sempurna dan cenderung bersifat oligopoli. Petani yang menjual hasil panennya melalui sistem tebas karena ada pengaruh dari peran tengkulak atau
15
pedagang pengumpul yang dominan. Hal ini dapat dikaitkan dengan keinginan petani dalam mendapatkan uang dalam waktu yang cepat dan ikatan dengan tengkulak tersebut. Sistem pembayaran yang berlaku pada umumnya adalah tunai dan tunda bayar.
2.2.4. Studi Empirik Biaya dan Marjin Tataniaga Beras Biaya tataniaga merupakan komponen yang tidak dapat dihindarkan dalam proses penyampaian produk dari petani hingga ke konsumen. Besarnya biaya yang ditanggung oleh lembaga tataniaga berbeda-beda. Hal ini berkaitan dengan fungsifungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga tersebut. Biaya tataniaga tersebut termasuk biaya transportasi, biaya buruh angkut, biaya pengeringan, biaya pengemasan, biaya overhead, biaya penggilingan, dan biaya bunga (Ellis etial. 1992, Wiboonpongse et al. 2001, dan Sutawi 2009). Pada umumnya biaya pengolahan dan transportasi merupakan komponen biaya yang memiliki proporsi terbesar terhadap biaya total (Sutawi 2009). Marjin tataniaga merupakan selisih antara harga jual dengan harga beli yang dikeluarkan. Marjin tataniaga dihitung dengan data harga pembelian dan penjualan terakhir responden. Hidayat (2010) melakukan analisis pendapatan usahatani dan tataniaga padi organik di Kelurahan Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. Saluran tataniaga padi organik yang dapat dikatakan paling efisien adalah saluran tataniaga III karena memiliki total margin tataniaga yang terkecil. Hal ini sesuai dengan Dahl dan Hammond (1977) yang menyatakan bahwa marjin tataniaga menggambarkan perbedaan harga di tingkat konsumen dengan harga di tingkat produsen. Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsifungsi tataniaga yang berbeda sehingga menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan yang lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat, semakin besar perbedaan harga antar produsen dengan harga di tingkat konsumen sehingga tingkat marjin yang kecil mengindikasikan bahwa tidak terdapat gap harga yang ekstrim yang membuat sebuah saluran tidak efisien. Penggilingan merupakan lembaga tataniaga yang mendapatkan marjin terbesar dalam tataniaga beras di Indonesia. Hal ini terkait fungsi pengolahan
16
gabah menjadi beras yang dilakukan oleh penggilingan (Ellis et al. 1992). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian tataniaga beras yang dilakukan Wiboonpongse et al. (2001) di Thailand.
2.2.5. Studi Empirik Farmer’s Share Dalam penelitian Nafis (2010) saluran tataniaga padi organik tersertifikasi di Kabupaten Tasikmalaya dapat dikatakan paling efisien adalah saluran tataniaga IV karena memiliki total marjin tataniaga terkecil dan nilai farmer’share terbesar yaitu 95 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa biasanya saluran dengan jumlah lembaga terkecil akan memiki nilai farmer’s share besar. Namun saluran ini bukanlah saluran tataniaga yang potensial untuk dikembangkan untuk saat ini karena hanya ada satu lembaga tataniaga yang ada pada saluran ini yaitu Gapoktan Simpatik. Oleh karena itu peneliti tidak dapat secara langsung menentukan sebuah saluran yang efisien hanya berdasarkan pada farmer’s share saja, akan tetapi perlu melihat aspek lain seperti persebaran rasio keuntungan dan biaya, dan analisis marjin.
2.2.6. Rasio Keuntungan dan Biaya Nafis (2010) menganalisis bahwa meskipun total marjin tataniaga dan farmer’s share terkecil, namun rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga pada saluran I lebih merata di setiap lembaga tataniaga. Selain itu saluran I merupakan saluran dengan volume beras organik terbesar yaitu 70 persen dari beras yang dihasilkan oleh Gapoktan Simpatik. Sehingga saluran I merupakan saluran yang perlu dikembangkan. Pada penelitian Hidayat (2010) juga menunjukkan bahwa meskipun rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga pada saluran III bukan merupakan rasio terbesar tetapi penyebaran rasio pada setiap lembaga tataniaga lebih merata dibandingkan dengan saluran tataniaga lainnya. Disamping itu, saluran tataniaga III paling banyak digunakan oleh petani sehingga volume penditribusian padi organik paling banyak dilakukan melalui saluran III. Dilihat dari rasio keuntungan terhadap biaya pedagang pengumpul merupakan lembaga yang memiliki rasio terbesar. Meskipun marjin tataniaga
17
kecil tapi rasio keuntungan dan biaya yang diperoleh setiap lembaga relatif besar, di atas suku bunga di pasar modal. Rasio keuntungan dan biaya pedagang pengumpul yaitu 10,9 persen, penggilingan 10,9 persen, pedagang grosir 51,2 persen, dan pedagang ritel 98,4 persen. Sehingga tataniaga beras dinilai cukup efisien, dikarenakan farmer’s share yang diterima petani cukup tinggi antara 80 persen hingga 85 persen (Rusastra et al. 2001). Besarnya rasio keuntungan dan biaya yang merata pada setiap lembaga menunjukkan tingkat efisiensi sebuah saluran. Karena semakin meratanya rasio keuntungan dan biaya berarti mengindikasikan bagian keuntungan yang merata bagi setiap lembaga.
18
III 3.1.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis penelitian ini didasari oleh teori-teori
mengenai konsep sistem tataniaga; konsep fungsi tataniaga; konsep saluran dan lembaga tataniaga; konsep struktur, perilaku, dan keragaan tataniaga; konsep efisiensi tataniaga; konsep biaya dan marjin tataniaga; konsep farmer’s share; dan konsep rasio keuntungan dan biaya.
3.1.1. Konsep Tataniaga Kotler (2006) mendefinisikan bahwa pemasaran sebagai proses sosial dimana individu-individu dan kelompok-kelompok mendapatkan apa yang mereka inginkan melalui penciptaan, penawaran, dan pertukaran produk-produk yang bernilai. Pengertian tataniaga juga diturunkan dari definisi tataniaga di atas yang diterapkan pada sistem tataniaga produk-produk pertanian. Definisi tataniaga menurut Limbong dan Sitorus (1987) adalah segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari produsen ke tangan konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang manghasilkan perubahan bentuk dari barang yang dimaksud untuk lebih memudahkan penyalurannya dan memberikan kepuasan lainnya kepada konsumennya. Dikaji dari segi ekonomi, tataniaga merupakan kegiatan yang produktif karena memberikan kegunaan benda, waktu, tempat, dan hak milik.
3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga Menurut Limbong dan Sitorus (1987), lembaga tataniaga merupakan badan-badan atau lembaga yang berusaha dalam bidang tataniaga, menggerakkan barang dari produsen ke konsumen melalui penjualan. Lembaga tataniaga pada dasarnya harus berfungsi dalam memberikan pelayanan kepada pembeli maupun komoditas itu sendiri. Produsen mempunyai peran utama dalam menghasilkan barang-barang dan sering melakukan kegiatan tataniaga. Sementara itu pedagang
19
menyalurkan komoditas dalam waktu, bentuk, dan tempat yang diinginkan konsumen. Adanya jarak antara produsen dan konsumen menyebabkan penyaluran produk dari produsen ke konsumen sering melibatkan beberapa lembaga perantara, dimulai dari produsen itu sendiri, lalu lembaga-lembaga perantara sampai ke konsumen akhir. Di dalam proses penyaluran selalu mengikutsertakan keterlibatan berbagai pihak. Keterlibatan tersebut dapat dalam bentuk perorangan maupun kelembagaan, perserikatan, atau perseroan (Limbong & Sitorus 1987). Lembaga-lembaga tersebut akan melakukan fungsi-fungsi tataniaga seperti fungsi pertukaran, fisik, maupun fasilitas. Lembaga ini melakukan pengangkutan barang dari tingkat produsen ke konsumen, juga fungsi sebagai sumber informasi mengenai barang atau jasa. Limbong dan Sitorus (1987) menjelaskan bahwa fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh lembaga perantara di dalam sistem tataniaga. Saluran tataniaga atau saluran distribusi adalah saluran yang digunakan produsen dan lembaga tataniaga lainnya untuk menyalurkan produknya dari produsen sampai konsumen. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan untuk memilih pola saluran tataniaga (Limbong & Sitorus 1987), yaitu: 1)
Pertimbangan pasar yang meluputi konsumen sasaran akhir yang mencakup potensi pembeli, geografi pasar, kebiasaan pembeli, dan volume pesanan.
2)
Pertimbangan barang yang meliputi nilai barang per unit, besar, dan berat barang, tingkat kerusakan, sifat teknis barang, apakah barang tersebut untuk memenuhi pesanan atau pasar.
3)
Pertimbangan internal yang meliputi besarnya modal dan sumber permodalan, pengalaman manajemen, pengawasan, penyaluran, dan pelayanan.
4)
Pertimbangan terhadap lembaga dalam rantai tataniaga yang meliputi segi kemampuan lembaga perantara dan kesesuaian lembaga perantara dengan kebijaksanaan perusahaan. Lembaga pemasaran atau lembaga tataniaga merupakan lembaga perantara
yang melakukan aktivitas bisnis dalam suatu sistem pemasaran. Menurut Khols dan Uhls (1990), lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran digolongkan menjadi lima kelompok diantaranya:
20
1)
Merchant Middlemen adalah perantara atau pihak-pihak yang mempunyai hak atas suatu produk yang mereka tangani. Mereka menjual dan membeli produk tersebut untuk memperoleh keuntungan.
2)
Agent Middlemen adalah perwakilan dari suatu lembaga atau institusi. Mereka hanya sebagai perwakilan dan tidak mengambil alih apapun dan tidak memiliki hak atas produk yang mereka tangani.
3)
Speculative Middlemen adalah pihak-pihak atau perantara yang mengambil keuntungan dari suatu produk akibat perubahan harga.
4)
Processors and Manufactures adalah lembaga yang bertugas untuk mengubah produk yang dihasilkan menjadi barang jadi.
5)
Fasilitative organizations adalah lembaga yang berfungsi sebagai penyedia sarana bagi lembaga lain. Khols dan Uhls (1990), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah
badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen akhir. Lembaga tataniaga ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa. Limbong dan Sitorus (1987), menjelaskan lembaga pemasaran yang merupakan suatu badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tataniaga atau pemasaran yang menurut fungsinya dapat dibedakan atas: 1)
Lembaga fisik tataniaga yaitu lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi fisik, misalnya badan pengakut/transportasi.
2)
Lembaga perantara tataniaga ialah suatu lembaga yang khusus mengadakan funsi pertukaran.
3)
Lembaga fasilitas tataniaga ialah lembaga-lembaga yang melaksankan fungsifungsi fasilitas seperti Bank Desa, Kredit, dan KUD. Lembaga-lembaga pemasaran menurut penguasaan terhadap barang dan
jasa terdiri dari: 1)
Lembaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, misalnya: agen, perantara, dan broker.
2)
Lembaga pemasaran yang memiliki dan menguasai barang. Contohnya pedagang pengumpul, pedagang pengecer, grosir, eksportir, dan importir.
21
Umumnya lembaga pemasaran komoditi pertanian terdiri dari petani, pedagang pengumpul di tingkat lokal, pedagang antar daerah, pedagang besar, pengecer, dan agen-agen penunjang. Agen penunjang seperti perusahaan pengankutan, perusahaan penyimpanan, pengolahan biro-biro periklanan, lembaga keuangan dan lain sebagainya. Lembaga ini penting dalam proses penyampaian komoditi pertanian yang bersifat musiman, volume produk besar dengan nilai yang kecil (bulky), dan tidak tahan disimpan lama. Sehingga pelaku pemasaran harus memasok barang dengan jumlah yang cukup untuk mencapai jumlah yang dibutuhkan konsumen dan teredia secara kontiniu. Semakin efisien sistem tataniaga hasil pertanian, semakin sederhana pula jumlah rantai pemasarannya. Produsen adalah golongan yang menghasilkan produk, di samping sebagai pelaku penjualan yang merupakan salah satu dari fungsi pemasaran. Salah satu dari bagian dari fungsi pemasaran adalah pedagang perantara yang merupakan badan-badan yang berusaha dalam bidang pemasaran, mengatur fasilitas yang menggerakkan barang dari produsen sampai ke konsumen. Mereka yang memberi jasa dan fasilitas yang memperlancar fungsi pemasaran yang dilakukan produsen atau pedagang perantara adalah pihak bank, usaha pengangkutan dan sebagainya yang dikategorikan dalam lembaga pemberi jasa. Dengan mengetahui saluran pemasaran suatu komoditas maka dapat diketahui jalur mana yang lebih efisien dari semua kemungkinan jalur-jalur dapat ditempuh, serta dapat mempermudah mencari besarnya marjin yang diterima setiap lembaga yang terlibat. Menurut Kohls dan Uhls (1990), fungsi tataniaga dikelompokkan menjadi tiga fungsi utama yaitu: 1.
Fungsi Pertukaran, meliputi : a)
Fungsi Pembelian Sebagian besar adalah pencarian sumber persediaan bahan baku, perakitan produk serta segala aktifitas yang berhubungan dengan pembelian.
b)
Fungsi Penjualan Produk Segala sesuatu yang berhubungan dengan penjualan termasuk pengiklanan dan penciptaan tehadap permintaan produk.
22
2.
Fungsi Fisik, meliputi : a)
Fungsi Penyimpanan Fokus utama pada membuat kondisi barang tetap baik sampai waktu yang diinginkan.
b)
Fungsi Pengangkutan Fokus utama pada menjadikan barang berada pada tempat yang tepat.
c)
Fungsi Pengolahan Produk Segala sesuatu yang berhubungan pada aktifitas manufaktur yang merubah bahan mentah menjadi produk yang diinginkan.
d)
Fungsi Fasilitas Berperan dalam memudahkan terjadinya fungsi pertukaran dan fungsi fisik.
e)
Fungsi Standardisasi Keseragaman ukuran dalam penentuan dan perawatan produk. Ukuran termasuk dalam kuantitas maupun kualitas.
3.
Fungsi Pelancar, meliputi : a)
Fungsi Permodalan Melibatkan penggunaan uang untuk melakukan berbagai aspek dalam tataniaga.
b)
Fungsi Penanggungan Risiko Penerimaan kemungkinan kerugian dalam pemasaran produk.
c)
Fungsi informasi pasar. Pekerjaan dalam mengkumpulkan, menginterpretasikan, dan memilah variasi data penting dalam pelaksanaan proses pemasaran.
3.1.3. Konsep Efisiensi Tataniaga Efisiensi tataniaga dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional. Menurut Dahl dan Hammond (1977), efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar tataniaga, yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan dan pengolahan, distribusi dan aktivitas fisik, serta fasilitas. Pendekatan efisiensi harga adalah melalui analisis tingkat keterpaduan pasar, sedangkan pendekatan efisiensi
23
operasional melalui marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio biaya dan keuntungan tataniaga. Efisiensi sistem tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem pemasaran. Efisiensi pemasaran/tataniaga dapat tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kupuasan pihak-pihak yang terlibat yaitu produsen, konsumen akhir dan lembaga-lembaga pemasaran. Sistem tataniaga yang efisien akan tercipta apabila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut (Limbong & Sitorus 1987). Penurunan biaya input dari pelaksanaan pekerjaan tertentu tanpa mengurangi kepuasan konsumen akan output barang dan jasa, menunjukkan efisiensi. Setiap fungsi kegiatan tataniaga memerlukan biaya yang selanjutnya diperhitungkan ke dalam harga produk. Lembaga tataniaga menaikkan harga persatuan kepada konsumen atau menekan harga pada tingkat produsen. Sehingga efisiensi tataniaga perlu dilakukan melalui penurunan biaya tataniaga.
3.1.3.1.
Konsep Margin Tataniaga
Menurut Limbong dan Sitorus (1987), marjin tataniaga dapat didefenisikan sebagai perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen. Marjin tataniaga dapat juga diartikan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen hingga ke tingkat konsumen akhir. Marjin tataniga merupakan perbedaan harga atau selisih harga yang dibayarkan konsumen akhir dengan harga yang diterima petani produsen. Dapat dikatakan juga sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga mulai dari tingakt produsen hingga tingkat konsumen akhir yang dilakukan oleh lembaga-lemabga tataniaga. Margin tataniaga sebagai bagian dari harga konsumen yang tersebar pada setiap lembaga pemasaran yang terlibat (Kohls and Uhls 1990). Kohls and Uhls (1990), menyatakan bahwa marjin tataniaga sering dipergunakan sebagai perbedaan antara harga di berbagai tingkat lembaga pemasaran di dalam sistem pemasaran. Pengertian marjin pemasaran ini sering dipergunakan untuk
menjelaskan fenomena
yang menjembatani
adanya
24
kesenjangan (gap) antara pasar di tingkat petani dengan pasar di tingkat pengecer. Dua alternatif dari marjin pemasaran, yaitu: 1.
Perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen
2.
Merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasarn sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran jasa-jasa tersebut. Secara teoritis hal tersebut dapat digambarkan pada Gambar 2.
Perpotongan antara kuva permintaan tingkat petani (Df) dengan kurva penawaran tingkat petani (Sf) membentuk suatu titik yang merupakan harga pada tingkat petani, yaitu harga pada tingkat Pf. Hal ini berarti bahwa harga tersebut (Pf) merupakan harga riil yang diterima oleh petani untuk pembayaran hasil panen usahataninya. Perpotongan antara kurva permintaan tingkat pengecer (Dr) dengan kurva penawaran tingkat pengecer (Sr) membentuk suatu titik yang merupakan harga pada tingkat pengecer, yaitu harga pada tingkat Pr. Sehingga, harga yang terbentuk (Pr) merupakan harga riil yang harus dibayarkan oleh konsumen akhir untuk memperoleh produk tersebut.
Sr Sf Pr Pf Dr Df Q Gambar 2. Kurva Margin Tataniaga Sumber: Kohls dan Uhls (1990)
25
Keterangan : Q = jumlah barang (Pr – Pf) Pr = harga tingkat eceran (Pr – Pf)Q Pf = harga tingkat petani Sr = kurva penawaran tingkat pasar eceran Sf = kurva penawaran tingkat petani Dr = kurva permintaan tingkat pasar eceran Df = kurva permintaan tingkat petani
= margin tataniaga = nilai margin tataniaga
Selisih antara tingkat harga yang diterima oleh petani (Pf) dengan harga yang harus dibayarkan konsumen akhir (Pr) adalah margin tataniaga. Margin tataniaga yang terbentuk ini adalah cakupan total dari keuntungan yang diterima oleh seluruh lembaga tataniaga dan biaya pemasaran yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga. Biaya pemasaran yang terbentuk merupakan sebuah biaya yang dikeluarkan dalam usaha-usaha untuk memberikan nilai tambah pada produk yang diperdagangkan, maupun biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk memberikan kegunaan tempat kepada produk yang diperdagangkan.
3.1.3.2. Konsep Farmer’s Share pada Tataniaga Bagian yang diterima petani (farmer’s share) merupakan perbandingan harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar konsumen. Bagian yang diterima lembaga pemasaran ini dinyatakan dalam persentase (Limbong & Sitorus 1987). Farmer’s share didapatkan dari hasil bagi antara harga di tingkat petani dan adalah harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Besarnya farmer’s share biasanya dipengaruhi oleh: (1) tingkat pemprosesan, (2) biaya transportasi, (3) keawetan, dan (4) jumlah produk. Farmer’s share sering digunakan sebagai indikator dalam mengukur kinerja suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan bahwa pemasaran berjalan dengan efisien. Hal ini berkaitan dengan besar kecilnya manfaat yang ditambahkan pada produk (value added) yang dilakukan lembaga perantara atau pengolahan untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Faktor yang penting diperhatikan adalah bukan besar kecilnya share,
26
melainkan total penerimaan yang didapat oleh produsen dari hasil penjualan produknya. Farmer’s Share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan petani. Kohls dan Uhls (1990) mendefinisikan farmer’s share sebagai persentase harga yang diterima oleh petani sebagai bagian dari kegiatan usahatani yang dilakukannya dalam menghasilkan suatu komoditas. Nilai farmer’s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima produsen dan harga yang dibayarkan konsumen. Saluran tataniaga yang tidak efisien secara kuantitatif akan relatif memberikan marjin dan biaya tataniaga yang lebih besar. Biaya tataniaga ini biasanya dibebankan kepada petani melalui harga beli sehingga harga yang diterima petani lebih rendah. Biaya tataniaga yang tinggi menyebabkan besarnya perbedaan harga di tingkat petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen sehingga akan menurunkan nilai farmer’s share. Sebaliknya pada saluran tataniaga yang efektif dan efisien, marjin tataniaga dan biaya tataniaga menjadi lebih rendah sehingga perbedaan harga petani dengan konsumen lebih kecil dan nilai farmer’s share akan meningkat.
3.1.3.3.
Konsep Rasio Keuntungan dan Biaya
Tingkat efisiensi suatu sistem pemasaran dapat dilihat dari penyebaran rasio keuntungan dan biaya. Persebaran rasio keuntungan dan biaya yang merata dan rendahnya marjin pemasaran terhadap biaya pemasaran menunjukkan bahwa secara teknis sistem pemasaran tersebut semakin efisien.
3.1.4. Konsep Struktur Pasar Dalam melakukan analisis tataniaga maka analisis sturktur pasar menjadi salah satu elemen yang paling penting untuk diamati. Ada tiga hal yang perlu diketahui agar produsen dan konsumen dapat melakukan sistem tataniaga yang efisien, yaitu: (1) konsentrasi pasar dan jumlah produsen, (2) sistem keluar masuk barang yang terjadi di pasar, dan (3) diferensiasi produk (Limbong & Sitorus 1987).
27
Menurut Dahl dan Hammond (1977), struktur pasar menggambarkan fisik dari industri atau pasar. Terdapat empat faktor penentu dari karakteristik struktur pasar, yaitu (1) jumlah atau ukuran perusahaan atau usahatani di dalam pasar, (2) kondisi atau keadaan produk yang diperjualbelikan, (3) pengetahuan informasi pasar, dan (4) hambatan keluar masuk pasar bagi pelaku tataniaga, misalnya biaya, harga, dan kondisi pasar antara partisipan. Pasar tidak bersaing sempurna dapat dilihat dari dua sisi yaitu produsen dan konsumen. Dilihat dari sisi produsen terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopoli, duopoli, dan oligopoli, sedangkan dari sisi pembeli (konsumen) terdiri atas pasar persaingan monopolistik, monopsoni, dan oligopsoni (Dahl & Hammond 1977). Karakteristik masing-masing struktur pasar dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik dan Struktur Pasar Karakteristik No Jumlah Jumlah Pembeli Penjual
Sifat Produk
Struktur Pasar
Pengetahuan Informasi Pasar
Hambatan Keluar Masuk Pasar
1
Banyak
Banyak Homogen
Sedikit
Rendah
2
Banyak
Banyak Diferensiasi
Sedikit
Tinggi
3
Sedikit
Sedikit Homogen
Banyak
Tinggi
4
Sedikit
Sedikit Diferensiasi
Banyak
Tinggi
5 Satu Satu Unik Sumber: Dahl dan Hammond (1977)
Banyak
Tinggi
Sisi Pembeli
Sisi Penjual
Persaingan Persaingan murni murni Persaingan Persaingan monopolistik monopolistik Oligopsoni Oligopoli murni murni Oligopsoni Oligopoli diferensiasi diferensiasi Monopsoni Monopoli
3.1.5. Konsep Perilaku Pasar Dahl dan Hammond (1977) menyatakan bahwa perilaku pasar sebagai suatu pola atau tingkah laku dari lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penjualan dan pembelian serta menentukan bentuk-bentuk keputusan yang harus diambil dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Perilaku pasar adalah strategi produksi dan konsumsi dari lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang
28
meliputi kegiatan pembelian, penjualan, penentuan harga serta kerjasama antar lembaga tataniaga. Para pelaku tataniaga perlu mengetahui perilaku pasar sehingga
mampu
merencanakan
kegiatan
tataniaga
secara
efisien
dan
terkoordinasi. Selanjutnya akan tercipta kinerja keuangan yang memadai di sektor pertanian dan berbagai sektor komersial lainnya.
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Kabupaten Demak sebagai salah satu daerah yang menjadi sentra produksi
beras di Provinsi Jawa Tengah memiliki peran penting dalam rangka menjaga stabilitas persediaan beras nasional. Penghargaan Nasional tentang ketahanan pangan yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia atas keberhasilan Kabupaten Demak dalam meningkatkan produksi padi pada tahun 2007-2009 merupakan salah satu bukti bahwa Kabupaten Demak masih menjadi daerah yang perlu mendapatkan perhatian khusus terkait komoditi pangan, khususnya beras. Namun pada bulan Februari 2011, terjadi sebuah kekhawatiran pada masyarakat Demak yang disebabkan oleh tingginya harga beras. Masyarakat berada dalam keadaan yang kurang diuntungkan karena kondisi ini, terutama masyarakat golongan bawah. Kondisi tersebut membuat warga kesulitan membeli beras dikarenakan stok beras di petani maupun RMU padi sudah sangat menipis. Bahkan raskin yang banyak dicari masyarakat miskin juga sulit didapatkan karena stoknya sangat terbatas. BULOG sebagai lembaga yang menjaga stabilitas harga beras di pasar, seharusnya mampu berperan dalam keadaan tersebut. Namun jika dilihat pada keadaan di lapang, maka BULOG seakan belum menjalankan fungsinya untuk memperkuat ketahanan pangan terutama pada rumah tangga miskin. Permasalahan berikutnya adalah rendahnya harga GKP di Kabupaten Demak sepanjang bulan Februari 2011 yang lalu. Penurunan terjadi baik di tingkat petani maupun RMU yaitu pada kisaran 17-20 persen. Survei harga produsen gabah yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah ini mencatat bahwa harga GKP terendah terdapat di Kabupaten Demak pada harga Rp 2.000,00 per kilogram dan Rp 2.020,00 per kilogram untuk harga GKG.
29
Sebagai kabupaten yang memiliki produksi padi yang tinggi, terdapat banyak pihak-pihak yang berkepentingan pada perdagangan komoditi tersebut. Pihak-pihak tersebut yang disebut sebagai lembaga-lembaga tataniaga yang memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Hal yang perlu dikaji kemudian adalah apa yang menjadi penyebab adanya kesenjagan harga yang jauh antara petani dan konsumen; terbatasnya stok beras; dan permasalahan pemasaran lainnya karena salah satu indikator tercapainya kondisi ketahanan pangan ialah terciptanya aksesibilitas masyarakat terhadap beras yang mencakup aspek ketersediaan, aspek distribusi dan harga yang terjangkau. Untuk mengetahui permasalahan tersebut maka perlu dilakukan analisis tataniaga pada perdagangan beras yang ada. Analisis yang dilakukan terdiri identifikasi tentang lembaga dan saluran tataniaga beras, marjin tataniaga, farmer’s share, dan struktur pasar pada setiap rantai tataniaga. Dengan penelitian ini diharapkan akan diketahui seperti apa tataniaga beras di Desa Kenduren.
30
Beras menjadi bahan pangan utama penduduk Indonesia Pertumbuhan penduduk meningkatkan permintaan akan beras
Permintaan yang tinggi menimbulkan peluang untuk peningkatan ekonomi petani dan pihak yang terlibat dalam industri beras.
Peningkatan produksi padi dari tahun 2007-2009 di Kabupaten Demak.
Kabupaten Demak sebagai salah satu daerah penyangga ketahanan pangan nasional.
Adanya gap harga yang besar di tingkat produsen dan konsumen beras di Kabupaten Demak Permasalahan dalam ketersediaan beras di Kabupaten Demak Fungsi BULOG yang belum optimal Demak ANALISIS TATANIAGA BERAS DI DESA KENDUREN
Analisis Kualitatif
Analisis saluran tataniaga Analisis lembaga dan fungsi
tataniaga yang dilakukan Analisis struktur pasar
Analisis perilaku pasar
Analisis Kuantitatif
Analisis efisiensi tataniaga
Analisis marjin tataniaga Analisis farmer’s share tataniaga Analisis rasio keuntungan dan biaya
Gambaran tataniaga komoditi beras di Desa Kenduren
Rekomendasi solusi kepada petani dan lembaga yang terlibat dalam sistem tataniaga beras di Desa Kenduren
Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
31
IV 4.1.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung,
Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan tempat dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa Kecamatan Wedung merupakan kecamatan dengan produksi padi terbesar di Kabupaten Demak pada tahun 2009. Tujuan dipilihnya Desa Kenduren adalah diharapkan akan ditemukan dinamika aktivitas tataniaga beras yang mampu merepresentasikan keadaan secara umum di Kabupaten Demak. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga April tahun 2011.
4.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data hasil wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder bersumber dari studi literatur buku-buku yang relevan dan hasil penelitian, artikel yang terkait dengan topik penelitian, data dan informasi dari Badan
Pusat
Statistik
Indonesia,
Kementerian
Pertanian,
Kementerian
Perdagangan, United State Departement of Agriculture (USDA), Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Badan Penyuluh Pertanian, Perpustakaan IPB, dan lainlain. Pengambilan responden dalam penelitian ini dilakukan pada tiga tahap. Tahap pertama terdiri atas petani sebanyak 30 responden. Sedangkan, responden untuk analisis pemasaran ditentukan dengan metode snowball sampling dengan mengikuti alur tataniaga mulai dari petani padi sampai ke tingkat konsumen. Dari tingkat produsen atau petani akan diketahui kemana aliran produk dan lembagalembaga apa saja yang terlibat dalam pemasaran produk sampai ke konsumen. Metode ini digunakan berdasarkan kepada informasi dari responden sebelumnya sehingga responden yang terpilih di saluran pemasaran akan disesuaikan dengan pola pemasaran yang terjadi di lokasi penelitian. Responden pemasaran terdiri atas pedagang pengumpul sebanyak lima responden, penggilingan sebanyak tiga responden, satu Subdivre BULOG, dua
responden sebagai distributor dan lima retail. Tingkat ketiga terdiri atas konsumen individu sebanyak 30 orang yang berada wilayah kota. Pemilihan responden petani dilakukan dengan metode snowball sampling dan jumlah sebanyak 30 sampel berdasarkan kaidah uji statistika yang mensyaratkan jumlah sampel minimum agar data menyebar normal.
4.3.
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan selama bulan Maret hingga April tahun 2011.
Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode observasi langsung, wawancara, kuesioner, internet, penggunaan literatur dari jurnal, skripsi, buku, dan lain sebagainya. Penentuan responden petani padi dilakukan secara purposive sampling berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Sedangkan pengumpulan informasi tataniaga beras menggunakan teknik snowball sampling dari petani padi hingga konsumen akhir dengan tujuan tidak akan ada saluran tataniaga yang terputus. Observasi merupakan pengamatan langsung di lapangan untuk mengamati, memahami, dan menganalisis kondisi petani, tengkulak, RMU, subdrive BULOG, grosir, ritel, dan konsumen individu. Wawancara yang dilakukan berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang ada di kuesioner. Browsing data sekunder dilakukan pada situs-situs di internet yang berkaitan dengan isu-isu terkini terkait penelitian, jurnal, artikel, dan tulisan ilmiah yang dapat mendukung penelitian.
4.4.
Metode Pengolahan Data Metode pengolahan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan
analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif bertujuan untuk menganalisis saluran tataniaga, sturktur pasar, dan perilaku pasar. Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk analisis margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya.
33
4.4.1. Analisis Saluran Tataniaga Saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung dan terlibat dalam proses penyampaian produk dari produsen kepada konsumen akhir. Analisis saluran tataniaga beras di Kabupaten Demak ini dapat dilakukan dengan mengamati lembaga-lembaga tataniaga yang membentuk saluran tataniaga tersebut. Pengamatan dan analisis dilakukan mulai dari petani produsen sampai ke konsumen akhir. Perbedaan saluran tataniaga yang dilalui oleh jenis barang akan berpengaruh pada pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat didalamnya. Semakin panjang rantai saluran tataniaga, maka saluran tersebut semakin tidak efisien karena marjin tataniaga yang tercipta antara produsen dan konsumen akan semakin besar (Limbong & Sitorus 1987).
4.4.2. Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga Menurut Limbong dan Sitorus (1987), analisis ini dilakukan untuk mengetahui lembaga-lembaga tataniaga yang melakukan fungsi-fungsi tataniaga, baik fungsi pertukaran, fungsi fisik, maupun fungsi fasilitas. Lembaga-lembaga ini melakukan pengangkutan barang dari tingkat produsen sampai tingkat konsumen, juga berfungsi sebagai sumber informasi pasar. Analisis fungsi-fungsi tataniaga diperlukan antara lain untuk mengetahui fungsi-fungsi atau kegiatan yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat serta mengetahui kebutuhan biaya dan fasilitas yang dibutuhkan. Lebih lanjut, dari analisis lembaga dan fungsi tataniaga ini akan dapat dihitung besarnya marjin tataniaga.
4.4.3. Analisis Struktur Pasar Menurut Dahl dan Hammond (1977), analisis ini diperlukan untuk mengetahui struktur pasar yang cenderung mendekati persaingan sempurna atau persaingan tidak sempurna. Struktur pasar dapat diketahui dengan melihat jumlah pembeli dan penjual, heterogenitas produk yang dipasarkan, kondisi atau keadaan produk, mudah tidaknya keluar masuk pasar, serta informasi perubahan harga pasar. Semakin banyak jumlah penjual dan pembeli dan semakin kecilnya jumlah yang diperjualbelikan oleh setiap lembaga tataniaga, maka struktur pasar tersebut
34
semakin mendekati kesempurnaan dalam persaingan. Adanya kesepakatan dalam sesama pelaku tataniaga menunjukkan struktur pasar yang cenderung tidak bersaing sempurna.
4.4.4. Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar didefinisikan bagaimana pelaku pasar dari petani hingga konsumen akhir dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan penjualan dan pembelian pada pasar. Tingkah laku pasar dapat diamati dengan melihat praktik penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh pelaku pasar, sistem penentuan, dan pembayaran harga, serta bagaimana kerjasama yang dilakukan diantara lembaga tataniaga (Dahl & Hammond 1977).
4.4.5. Analisis Efisiensi Tataniaga Dalam kajian analisis efisiensi tataniaga beras di Kabupaten Demak ini digunakan tiga pendekatan yaitu analisis marjin tataniaga, analisis farmer’s share, dan analisis rasio keuntungan dan biaya. Namun dalam penentuan saluran yang paling efisien terkadang ketiga pendekatan tersebut tidak menunjukkan hasil yang sama. Oleh karena itu dalam menganalisis diperlukan pandangan lain yang dapat mendukung hasil akhir.
4.4.5.1. Analisis Marjin Tataniaga Tingkat efisiensi operasional suatu tataniaga dapat dilihat dari penyebaran marjin tataniaga, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya. Melalui marjin tataniaga dapat diketahui besarnya biaya dan keuntungan dalam tataniaga tersebut. Bersamaan dengan penelusuran saluran tataniaga diharapkan dapat diperoleh informasi tentang marjin tataniaga pada tiap lembaga tataniaga. Perhitungan marjin tataniaga diperoleh dari selisih harga di satu titik rantai tataniaga dengan harga di titik lainnya.
Selain itu, besarnya nilai marjin tataniaga juga dapat
diperoleh dari penjumlahan biaya dan keuntungan pada masing-masing lembaga tataniaga. Menurut Limbong dan Sitorus (1987), secara matematik akan diperoleh perhitungan sebagai berikut:
35
Mi = Pi – Pi-1 ..................................................(1) Mi = Bi + πI ..................................................(2) Dengan demikian, Pi – Pi-1 = Bi + πI Maka besarnya marjin tataniaga dengan menggunakan (1) dan (2) adalah sebagai berikut: mi = Σ Mi ……………………………………(3) Dengan demikian keuntungan lembaga tataniaga pada tingkat ke-i adalah : πi = Pi – Pi-1 + Bi Keterangan: Mi Pi Pi-1 Bi πI mi
= Marjin pada lembaga tataniaga ke-i = Harga penjualan pada lembaga tataniaga ke-i = Harga penjualan pada lembaga tataniaga ke-i atau harga pembelian pada lembaga tataniaga ke-i = Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i = Keuntungan yang diperoleh pada lembaga tataniaga ke-i = Total marjin tataniaga Dalam pasar persaingan sempurna, perjalanan suatu produk selalu
melibatkan banyak lembaga tataniaga. Marjin tataniaga total yang terjadi merupakan penjumlahan marjin tataniaga dari setiap lembaga tataniaga.
4.4.5.2. Analisis Farmer’s Share Indikator lain untuk menentukan efisiensi operasional tataniaga suatu komoditas adalah melalui perhitungan farmer’s share. Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga. Farmer’s share dipengaruhi oleh tingkat pengolahan, keawetan produk, ukuran produk, jumlah produk, dan biaya produksi. Nilai farmer’s share ditentukan oleh besarnya rasio harga yang diterima produsen (Pf) dan harga yang dibayarkan oleh konsumen (Pr). Secara matematik dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut (Dahl & Hammond 1977):
Keterangan : Fs = Farmer’s share Pf = Harga di tingkat petani Pr = Harga di tingkat konsumen
36
4.4.5.3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Tingkat efisiensi suatu sistem tataniaga juga dapat dilihat dari rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga. Dengan semakin meratanya rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga, maka secara teknis (operasional) sistem tataniaga tersebut semakin efisien. Untuk mengetahui penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut (Dahl & Hammond 1977):
Keterangan : πi = keuntungan lembaga tataniaga Ci = biaya tataniaga
4.5.
Definisi Operasional Penelitian Definisi operasional ini ditujukan unutk membatasi ruang lingkup
penelitian yang akan dilakukan. Selain itu, definisi oprasional ini digunakan untuk menjelaskan setiap variabel yang akan dianalisis dalam penelitian. a)
Tataniaga adalah semua kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen;
b) Padi adalah tumbuhan padi termasuk dalam golongan tumbuhan Graminae yang memiliki ciri khusus berupa batang yang tersusun dari beberapa ruas yang dapat menghasilkan gabah yang menjadi bahan dasar untuk menghasilkan beras; c)
Beras adalah produk hasil pengolahan gabah yang merupakan hasil utama tanaman padi;
d) Hasil produksi adalah hasil produksi fisik berupa gabah kering panen (GKP) dalam satuan kg/ha/musim atau kg/ha/tahun; e)
Harga jual petani dalam analisis pemasaran adalah harga malai gabah kering panen (GKP) yang telah dikonversikan untuk menghasilkan satu kilogram beras dalam satuan Rp/kg;
37
f)
Harga beli pedagang pengumpul adalah harga gabah kering panen (GKP) yang telah dikonversikan untuk menghasilkan satu kilogram beras dalam satuan Rp/kg.
38
V 5.1.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Wilayah dan Topografi Kabupaten Demak berada di bagian utara Propinsi Jawa Tengah yang
terletak antara 6º43'26" - 7º09'43" LS dan 110º48'47" BT dan terletak sekitar 25 kilometer di sebelah timur Kota Semarang. Kabupaten Demak memiliki luas 897,43 km2. Secara administratif Kabupaten Demak terbagi menjadi 14 kecamatan dan 247 desa. Kabupaten Demak mempunyai batas wilayah secara administratif sebagai berikut: 1)
Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Jepara,
2)
sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kudus,
3)
sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Grobogan,
4)
sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Semarang, dan
5)
sebelah barat dengan Laut Jawa dan Kota Semarang. Kabupaten Demak merupakan daerah dengan produksi padi terbesar di
Propinsi Jawa Tengah, dengan produksi padi pada tahun 2009 sebesar 571,330 ton dengan produktivitas sebesar 5,85 ton per hektar. Produksi, luas panen, dan produktifitas padi Kabupaten Demak per Kecamatan dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel 7. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Padi Kabupaten Demak Tahun 2005-2009 Produksi (ton) Luas Panen (ha) Produktifitas (ton/ha)
2005
2006
2007
2008
2009
520,109
500,649
517,463
563,737
571,330
93,184
92,304
91,516
92,575
97,610
5,58
5,42
5,65
6,09
5,85
Sumber : Badan Pusat Statistik Demak 2010(b)
Tabel 7 menunjukkan produksi padi di Kabupaten Demak selama tahun 2005 sampai tahun 2009 mengalami kenaikan sebesar 9,84 persen dari 520,109 ton pada tahun 2005 menjadi 571,330 ton pada tahun 2009. Luas panen padi di Kabupaten Demak mengalami kenaikan sebesar 4,7 persen dari tahun 2005 sebesar 93,184 ha menjadi 97,610 ha pada tahun 2009. Produktifitas mengalami
kenaikan sebesar 4,8 persen selama kurun waktu lima tahun terakhir dari 5,5 ton/ha pada tahun 2005 menjadi 5.8 ton/ha pada tahun 2009. Sedangkan data luas wilayah, luas sawah, dan produksi padi, menurut kecamatan di Kabupaten Demak dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8.
Luas Wilayah, Luas Sawah, dan Total Produksi Padi Kabupaten Demak per Kecamatan Tahun 2009
Kecamatan Mranggen Karangaen Guntur Sayung Karangtengah Bonang Demak Wonosalam Dempet Gajah Karanganyar Mijen Wedung Kebonagung Jumlah
Luas Wilayah (km2) 7.222 6.695 5.753 7.869 5.155 8.324 6.113 5.788 6.161 4.783 6.776 5.029 9.876 4.199 89.743
Luas Sawah (ha) 854 786 3.218 3.379 3.572 5.349 4.057 3.773 4.562 3.438 4.945 3.634 5.457 3.315 50.360
Produksi (ton) 9.673 20.011 37.609 29.387 36.109 56.452 51.594 38.925 51.591 47.391 56.698 34.310 63.269 38.530 571.330
Sumber : Badan Pusat Statistik Demak 2010(b)
Kecamatan Wedung merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Demak. Sebelah utara wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Jepara, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Mijen, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bonang, serta sebelah barat berbatasan dengan Laut Jawa. Secara administratif luas wilayah Kecamatan Wedung adalah 98,76 km 2 yang terdiri atas 20 desa dan seluruhnya telah termasuk dalam klasifikasi desa swasembada. Sebagai daerah agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian, wilayah Kecamatan Wedung terdiri atas lahan sawah yang mencapai luas 5.580 ha dan selebihnya adalah lahan kering. Menurut penggunaannya, sebagian besar lahan sawah yang digunakan berpengairan tadah hujan dengan luas 3.883,99 ha dan setengah teknis 70 ha. Sedang untuk lahan kering, 138,40 ha digunakan untuk tegal/kebun, 454,30 ha digunakan untuk bangunan dan halaman, selebihnya digunakan untuk lainnya (jalan, sungai, dll).
40
Jumlah penduduk Kecamatan Wedung berdasarkan hasil Registrasi Penduduk 2009 adalah sebanyak 80.109 orang yang terdiri atas 38.924 laki-laki dan 41.185 perempuan. Jumlah penduduk ini berkurang sebanyak 718 orang atau sekitar 0,88 persen dari tahun sebelumnya. Secara berurutan, penduduk terbanyak berada di Desa Wedung dengan jumlah penduduk 9.952 orang. Sedang jumlah penduduk terkecil terdapat di Desa Kendalasem sebanyak 1.541 orang. Menurut kelompok umur, sebagian besar penduduk Kecamatan Wedung termasuk dalam usia produktif (15-64 tahun) sebanyak 49.219 orang (61,44 persen), dan selebihnya 27.647 orang (34,51) berusia di bawah 15 tahun dan 3.243 orang (4,05 persen) berusia 65 tahun keatas. Dilihat dari mata pencaharian penduduk Kecamatan Wedung di atas 10 tahun 2009, buruh tani merupakan mata pencaharian utama dengan jumlah terbanyak yaitu 11.974 orang. Urutan ke dua dan tiga adalah petani sendiri dengan jumlah 9.947 orang dan 5.871 orang sebagai nelayan. Kemudian disusul secara berurutan yaitu pedagang dengan jumlah 2.564 jiwa, buruh bangunan sebanyak 695 orang, buruh industri sebanyak 558 orang, pegawai negeri / ABRI sebanyak 370 orang, pensiunan 84 orang, dan 20.004 lainnya. Dari sisi sosial, data tahun 2009 menunjukkan penduduk usia 10 tahun ke atas menurut pendidikan yang ditamatkan. Data tersebut meliputi 9.955 orang tidak/belum sekolah, 6.651 belum tamat SD, 9.098 tidak tamat SD, 25.948 SD, 6.404 SLTP, 3.981 SLTA, dan 744 akademi/PT. Terdapat 49 Sekolah Dasar (SD)/sederajat, 15 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)/sederajat, dan 9 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)/sederajat. Sedang jumlah guru berturutturut adalah 544 orang untuk SD, 318 untuk SLTP, dan 183 untuk SLTA. Sarana kesehatan yang terdapat di Kecamatan Wedung terdiri dari 2 Puskesmas, 5 Puskesmas pembantu, 2 poliklinik desa, dan 2 rumah bersalin serta tenaga medis yaitu 3 dokter, 14 paramedis, 12 bidan, dan 26 dukun bayi. Sektor pertanian masih memberikan kontribusi terbesar bagi Produk Domestik Regional Bruto dalam kurun waktu 2008-2009 yaitu sebesar 48,65 persen pada tahun 2008 dan 48,82 persen pada tahun 2009. Sektor perdagangan memberikan kontribusi berturut-turut sebesar 21,39 persen dan 21,45 persen. Sektor yang lainnya adalah jasa-jasa sebesar 8,37 persen pada kurun waktu
41
tersebut, pengangkutan dan komunikasi sebesar 6,55 persen dan 6,35 persen, bangunan sebesar 5,54 persen dan 5,59 persen, industri pengolahan sebesar 3,87 persen dan 3,74 persen, lembaga keuangan dan persewaan sebesar 2,86 persen dan 2,89 persen, pertambangan dan penggalian sebesar 1,53 persen dan 1,57 persen, dan listrik, gas, dan air bersih sebesar 1,24 persen dan 1,23 persen.
5.2.
Deskripsi Karakteristik Petani Responden Dalam penelitian ini, petani yang diambil menjadi sampel berjumlah 30
orang. Semua petani merupakan penduduk Desa Kenduren yang merupakan desa dengan produksi padi terbesar di Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak. Responden petani dikategorikan dalam beberapa variabel karakteristik petani. Karakteristik yang ada pada responden petani meliputi kelompok umur, status usahatani, lama usahatani, pendidikan terakhir, dan luas lahan yang dikuasai. Karakteristik tersebut disertakan karena diperlukan untuk mengetahui korelasi antar karakteristik dan dianggap perlu untuk dikaji (Lampiran 2).
5.2.1. Kategori Umur Petani Responden Rata-rata usia petani responden dikategorikan dalam empat kelompok besar yaitu 15-29 tahun, 30-44 tahun, 45-59 tahun, dan >60 tahun. Jumlah responden petani pada rentang usia 45-59 tahun memiliki jumlah terbesar yaitu 13 orang atau 43,33 persen dan enam orang berusia di atas 60 tahun dengan persentase 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani di lokasi penelitian berusia lanjut. Tidak adanya regenerasi dikarenakan rendahnya minat dan motivasi pemuda di lokasi penelitian untuk bekerja sebagai petani.
5.2.2. Kategori Pendidikan Formal Petani Responden Persebaran tingkat pendidikan responden terbesar adalah pada tingkat SD dimana terdapat 22 orang petani responden atau sebesar 73,33 persen dari total responden. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani tidak memiliki pendidikan yang tinggi dan rata-rata hanya berpendidikan terakhir di tingkat sekolah dasar. Tingkat pendidikan yang masih rendah diakibatkan dari banyaknya
42
jumlah petani di lokasi penelitian yang sudah berusia lanjut dimana sebagian besar dari mereka tidak berlatar belakang pendidikan tinggi.
5.2.3. Kategori Pengalaman Usahatani Petani Responden Kategori lama usahatani ≤10 tahun memiliki sebaran terbesar yaitu 11 orang petani atau dengan persentase sebesar 36,67 persen. Rendahnya pengalaman menyebabkan sulitnya petani untuk mendapatkan akses menjual hasil panen sehingga hanya tergantung pada tengkulak.
5.2.4. Kategori Luas Lahan yang Diusahakan Petani Responden Sebaran responden terbesar terdapat pada kategori 1-1,99 ha yaitu sebanyak 17 orang responden petani dengan persentase 56,67 persen. Sebaran responden pada rentang tersebut menunjukkan bahwa petani cukup memiliki peran besar dalam penggunaan lahan pertanian. Hal ini didukung dari luasnya lahan pertanian di lokasi penelitian dan posisi pekerjaan petani yang masih menjadi prioritas.
5.2.5. Kategori Status Penguasaan Lahan Petani Responden Dengan mengetahui status penguasaan lahan, maka dapat diketahui pula berapa volume perdagangan beras dari petani ke lembaga di atasnya. Ketiga status yaitu hak milik, sewa, dan sakap hampir memiliki sebaran responden yang sama besar yaitu masing-masing 11, 11, dan 10 orang. Pada status hak milik dan sewa memiki persentase yang sama besar yaitu 34,375 persen. Sedangkan pada status sakap terdapat persentase 31,250 persen. Tidak ada petani yang memiliki status gadai pada lahannya. Jumlah 32 orang yang ada pada sebaran dikarenakan ada dua responden petani yang memiliki dua status pada dua persil lahan sawahnya. Sebaran responden
yang hampir merata
ini
dikarenakan keberagaman
karakteristik petani dalam kepemilikan modal. Hal ini berarti bahwa kekuatan permodalan menentukan bagaimana status penguasaan lahan oleh petani. Petani yang memiliki modal kecil biasanya lebih memilih untuk menggunakan sistem bagi hasil atau sakap.
43
5.2.6. Kategori Sifat Usahatani Petani Responden Terdapat 29 responden petani menjadikan usahatani sebagai mata pencaharian utama dengan persentase sebesar 96,67 persen. Hal ini membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat di lokasi penelitian adalah petani. Luasnya lahan pertanian dan aspek histori bahwa bertani merupakan mata pencaharian yang diturunkan dari generasi ke generasi menjadikan usahatani padi sebagai pekerjaan utama masyarakat.
5.3.
Deskripsi Karakteristik Pedagang Responden Responden pedagang yang ada dalam penelitian ini meliputi tengkulak,
RMU, Subdivre BULOG, grosir, dan ritel. Masing-masing pedagang memiliki besar sebaran yang berbeda. Pada responden pedagang diketahui karakteristik yang terdiri dari lama usaha dan volume perdagangan. Dua variabel ini dapat menunjukkan bagaimana aktivitas tataniaga yang terjadi pada masing-masing pedagang. Berikut telah disajikan data mengenai sebaran responden berdasarkan lama usaha dan volume perdagangan.
5.3.1. Responden Tengkulak Responden tengkulak terdiri dari lima orang. Kelima tengkulak memiliki pengalaman yang sama dan pada rentang waktu yang terlama yaitu di atas 20 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa 100 persen tengkulak yang ada di lokasi penelitian memiliki pengalaman usaha yang sudah cukup lama sehingga volume perdagangan yang dilakukan dapat mencapai kuantitas yang cukup besar. Responden tengkulak menunjukkan dua orang responden atau 40 persen dari jumlah responden berada pada rentang 301-400 ton. Volume ini tergolong besar pada kategori volume perdagangan. Volume perdagangan berkorelasi positif dengan pengalaman usaha pedagang. Semakin lama pengalaman usaha akan berpengaruh pada akses perdagangan dan pengalaman dalam melakukan jual beli gabah.
44
5.3.2. Responden Rice Milling Unit (RMU) Responden RMU berjumlah tiga orang. Pada kategori lama usaha kurang dari lima tahun, 5-10 tahun, dan 11-15 tahun masing-masing satu orang dengan persentase 33,33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa RMU di lokasi penelitian memiliki sebaran yang merata dan rata-rata belum memiliki pengalaman usaha yang lama. Berdasakan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa selain terdapat RMU yang telah lama berdiri, juga terdapat RMU yang belum lama didirikan. Namun aktivitas dari masing-masing RMU berbeda. Aktif tidaknya RMU dalam beroperasi ditentukan oleh kekuatan permodalan dan akses pada ketersediaan produk. Pada RMU yang memiliki kemampuan akses terhadap produk, mereka tetap dapat beroperasi meskipun gabah langka akibat panen raya karena RMU tersebut dapat mencari gabah ke lain daerah untuk tetap menjaga keberlanjutan usahanya. Untuk responden RMU, terdapat dua orang responden dengan persentase 66,67 persen memiliki volume perdagangan di bawah 100 ton dan angka ini merupakan rentang yang terkecil. Kecilnya volume perdagangan RMU berhubungan dengan pengalaman usaha RMU dan akses terhadap produk yang diperjualbelikan.
5.3.3. Responden Grosir Untuk responden grosir, terdapat dua responden grosir yang masingmasing memiliki sebaran dengan persentase 50 persen. Sebaran tersebut terdapat pada rentang 5-10 tahun dan 16-20 tahun. Grosir di lokasi penelitian tidak terdapat dalam jumlah banyak. Hal ini dikarenakan grosir melakukan perdagangan dalam volume yang besar dan membutuhkan perputaran modal yang besar setiap harinya. Responden terletak pada rentang 10-50 ton dan >50 ton per hari. Besarnya volume perdagangan dipengaruhi oleh pengalaman usaha. Hal ini berhubungan dengan pasar yang dimiliki grosir.
45
5.3.4. Responden Ritel Sebaran responden terbesar berada pada rentang 5-10 tahun yaitu sebesar 60 persen. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar ritel belum memiliki pengalaman usaha yang lama. Hal ini berpengaruh pada besarnya volume perdagangan. Besarnya volume perdagangan pada ritel setiap harinya tidak besar. Ritel di lokasi penelitian merupakan toko yang menjual produknya tidak hanya beras. Di lokasi penelitian banyak bermunculan pedagang ritel baru. Sehingga hal ini dapat mempengaruhi juga volume penjualan karena terdapat banyak pesaing sejenis. Tiga orang responden berada pada rentang terkecil. Hal ini membuktikan bahwa volume perdagangan berkorelasi posotif dengan lama usaha.
46
VI
ANALISIS TATANIAGA BERAS
Tataniaga beras yang ada di Indonesia melibatkan beberapa lembaga tataniaga yang saling berhubungan. Berdasarkan hasil pengamatan, lembagalembaga tataniaga yang ditemui di lokasi penelitian pada umumnya terdiri atas petani, tengkulak, RMU, pedagang grosir, pedagang ritel, dan Subdivre BULOG. Keberadaan lembaga-lembaga tataniaga tersebut beragam antar satu lokasi dengan lokasi penelitian lainnya. Hal ini mengakibatkan setiap lokasi penelitian memiliki saluran tataniaga, struktur, dan perilaku pasar yang berbeda-beda.
6.1.
Analisis Saluran Tataniaga Beras Desa Kenduren Tataniaga beras di Desa Kenduren berawal dari gabah hasil panen petani
yang kemudian ditebas oleh tengkulak daerah setempat dan menjualnya ke RMU. Dari RMU-RMU tersebut, beras kemudian dipasarkan melalui beberapa lembaga hingga konsumen akhir. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa 100 persen dari 30 responden petani menjual padi hasil panennya ke tengkulak atau pedagang pengumpul. Hal ini sesuai dengan Rusastra et al. (2001) dan Sutawi (2009) yang menyatakan bahwa pedagang pengumpul merupakan pembeli dominan dari hasil panen padi milik petani. Alasan utama mengapa petani menjual seluruh padinya kepada tengkulak adalah karena kebutuhan akan uang tunai dengan segera. Hal inilah yang menyebabkan harga gabah pada tingkat petani rendah dikarenakan posisi tawar mereka yang rendah dibandingkan dengan tengkulak. Setelah itu, gabah dijual kepada RMU setempat. Beras hasil giling dijual kepada grosir dan ritel. Grosir banyak menjual berasnya ke pedagang besar baik di dalam kota maupun luar kota. Biasanya banyak pembeli dari luar daerah yang mendatangi grosir Demak. Ritel menjual beras kepada konsumen akhir yang ada di daerah setempat. Secara umum saluran tataniaga di Desa Kenduren identik dengan saluran tataniaga dalam penelitian Aniro (2009) yang dilakukan di Kabupaten Cianjur yaitu terdiri dari petani, tengkulak, Gapoktan Sawargi, RMU beras, pabrik beras, distributor, dan retail. Perbedaan yang ada adalah dalam penelitian ini tidak
ditemukan peran Gapoktan atau Poktan yang memberikan fasilitas bagi petani. Dari sisi kelembagaan, tidak ada kelompok yang aktif dan mengoordinir petani dalam memasarkan hasil panennya.
6.1.1. Analisis Saluran Tataniaga dengan Konsumen Individu sebagai Konsumen Akhir
Petani
100%
Tengkulak
100%
RMU
5,81%
Konsumen Individu
65,12% 3,80% Grosir 10,90%
18,99% Ritel
Keterangan:
100%
=Aliran gabah =Aliran beras
Gambar 4. Saluran Tataniaga Beras A Desa Kenduren Tahun 2011 Terdapat empat saluran tataniaga pada analisis saluran tataniaga dengan konsumen individu sebagai konsumen akhir. Analisis keempat saluran tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Saluran 1A: Petani Tengkulak RMU Grosir Ritel Konsumen Individu Saluran 1A menunjukkan penjualan gabah dalam bentuk GKP yang
berasal dari petani kepada tengkulak. Petani menyalurkan 100 persen (227,7 ton) GKP kepada tengkulak. Tengkulak menjual 100 persen (1.565 ton) GKP yang diserap dari petani kepada RMU. Dari RMU, beras kemudian disalurkan sebesar 65,12 persen (179,2 ton) ke grosir yang menjadi pelanggan. Pada tingkat grosir, 18,99 persen (150 ton) beras dijual kepada ritel yang terdapat di pasar kabupaten
48
dan kecamatan. Ritel menjual seluruh beras atau 100 persen (16,70 ton) kepada konsumen individu. Dari penelusuran tersebut, secara keseluruhan volume perdagangan yang dapat diketahui memiliki pangsa pasar sebesar 17,58 persen dari total perdangan beras. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada saluran 1A adalah sebesar 2.138,6 ton.
2)
Saluran 2A: Petani Tengkulak RMU Grosir Konsumen Individu Pada saluran 2A, petani masih memilih untuk menjual padi dalam bentuk
GKP kepada tengkulak. Petani menjual 100 persen GKP (227,7 ton) kepada tengkulak. Tengkulak kemudian menjual gabah dalam bentuk GKP kepada RMU sebesar 100 persen (1.565 ton). RMU menjual beras kepada grosir sebesar 65,12 persen (179,2 ton). Dari grosir, 3,80 persen (30 ton), beras disalurkan kepada konsumen individu. Berdasarkan penelusuran pada saluran 2A, secara keseluruhan pangsa pasar perdagangan beras pada saluran ini adalah sebesar 16,24 persen dengan total kuantitas beras yang diperdagangkan sebesar 2.001,9 ton dari total perdagangan beras.
3)
Saluran 3A: Petani Tengkulak RMU Ritel Konsumen Individu Pada saluran 3A, aliran perdagangan menunjukkan gabah dalam bentuk
GKP yang berasal dari petani dijual kepada tengkulak. Petani menjual 100 persen beras (227,7 ton) kepada tengkulak. GKP dari tengkulak kemudian dijual kepada RMU sebesar 100 persen (1.565 ton). Di saluran ini, RMU menjual beras langsung kepada ritel sebesar 10,90 persen (30 ton). Dari RMU, ritel kemudian menjual beras sebesar 100 persen (16,70 ton) kepada konsumen individu. Secara keseluruhan, pada saluran 3A meraih pangsa pasar sebesar 15,17 persen dari total perdagangan yang ada. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada saluran 3A adalah sebesar 1.839,4 ton.
49
4)
Saluran 4A: Petani tengkulak RMU Konsumen Individu Pada saluran 4A, GKP dari petani dijual kepada tengkulak dari daerah
setempat. GKP dari tengkulak kemudian dijual keapada RMU dan RMU langsung menjual beras kepada konsumen individu. Beberapa warga yang tempat tinggalnya berdekatan dengan RMU lebih memilih membeli beras langsung kapada RMU tersebut karena harga beras di RMU lebih murah dari beras yang sudah sampai di pasar setempat. Petani menjual 100 persen (227,7 ton) GKP kepada tengkulak. Dari tengkulak, 100 persen (1.565 ton) gabah disalurkan kepada RMU. Beras dari RMU langsung disalurkan kepada konsumen individu sebesar 5,81 persen (16 ton). Secara keseluruhan, pangsa pasar beras yang mengalir melalui saluran 4A sebesar 14,78 persen dari total perdagangan. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada saluran 4A adalah sebesar 1.808,7 ton.
6.1.2. Analisis Saluran Tataniaga dengan Subdivre BULOG sebagai Konsumen Akhir
Petani
100%
Tengkulak
100%
RMU
Subdivre BULOG
18,17%
65,12% 77,21% Grosir Keterangan:
=Aliran gabah =Aliran beras
Gambar 5. Saluran Tataniaga Beras B Desa Kenduren Tahun 2011 1) Saluran 1B: Petani Tengkulak RMU Grosir Subdivre BULOG Pada saluran 1B, gabah dari petani disalurkan kepada tengkulak, dari tengkulak kepada RMU, RMU kepada grosir, dan grosir kepada Subdivre BULOG. Petani menjual 100 persen beras (227,7 ton) kepada tengkulak. Dari
50
tengkulak, 100 persen (1.565 ton) gabah disalurkan kepada RMU. RMU menyalurkan beras kepada grosir sebesar 65,12 persen (179,2 ton) dari total produksi beras. Beras dari grosir disalurkan kepada BULOG selaku Mitra Kerja sebesar 77,21 persen (610 ton) dari total beras yang diperdagangkan. Secara keseluruhan, dapat diketahui bahwa pada saluran I telah mengalir perdagangan beras sebesar 21,22 persen dengan kuantitas perdagangan sebesar 2.581,9 ton. Berdasarkan aliran perdagangan tersebut, saluran 1B memiliki volume perdagangan yang terbesar. Kontribusi perdagangan yang besar berasal dari beras yang dijual oleh RMU kepada grosir dan grosir kepada Subdivre BULOG Semarang. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada saluran 1B adalah sebesar 2.581,9 ton. Oleh karena itu, saluran ini layak untuk terus dikembangkan karena memberikan prospek pasar yang baik dalam menyerap produk yang diperjualbelikan lembaga tataniaga. Jika dilihat dari pangsa pasar dari total perdagangan grosir, grosir menjual sebagian besar beras kepada Subdivre BULOG. Hubungan kerjasama grosir dan Subdivre BULOG disebut dengan Mitra Kerja. BULOG membeli beras dari grosir dengan harga Rp 5.100,00 per kilogram. Harga tersebut berada di atas HPP yang ditetapkan yaitu Rp 5.060,00 per kilogram di luar kualitas pasar. HPP tersebut merupakan kebijakan internal Subdivre BULOG Semarang dalam rangka memberikan subsidi agar Mitra Kerja bersedia menjual beras mereka ke BULOG. Hal ini merupakan usaha BULOG dalam menjaga jumlah stok beras pemerintah untuk konsumsi nasional. Pemberian subsidi tersebut dilakukan karena HPP BULOG selalu berada di bawah harga pasar yaitu berkisar pada harga Rp 5.500,00 per kilogram. Hubungan grosir dengan BULOG telah berjalan selama tiga tahun dan menimbulkan ikatan kerja yang baik. Hal ini terbukti dengan grosir terus memberikan suplai berasnya kepada BULOG meskipun HPP selalu di bawah harga pasar. Jika dicermati lebih jauh, fungsi BULOG sebagai lembaga yang memberikan jaminan harga dan pasar kepada produsen dan dalam hal ini petani, belum terlaksana. Padahal apa yang tertuang dalam Instruksi Presiden mengenai Kebijakan perberasan, Inpres tersebut dengan jelas menugaskan BULOG untuk menjaga harga di tingkat produsen melalui pengadaan dalam negeri dengan
51
menyerap surplus yang dipasarkan petani selama periode panen berdasarkan HPP. Disamping untuk melindungi petani, pengadaan dalam negeri juga berperan sebagai jaminan pasar atas produksi petani. Namun dengan melihat kinerja BULOG di Desa Kenduren, fungsi tersebut belum dilaksanakan karena BULOG tidak menyentuh produksi petani, sedangkan kondisi petani dalam sebuah tataniaga beras tidak memiliki posisi tawar kuat. Di sisi lain, BULOG memberikan persyaratan yang wajib dipenuhi bagi pihak yang ingin bergabung menjadi Mitra Kerja, persyaratan umum tersebut antara lain memiliki modal usaha, memiliki penggilingan, mampu memenuhi persyaratan teknis beras yang diminta, dan lain sebagainya. Petani tentu saja kesulitan jika harus memenuhi persyaratan tersebut. Sehingga langkah realistis yang dapat ditempuh adalah dengan mengoordinir petani melalui sebuah organisasi yang legal. Organisasi yang dimaksud dapat berupa kelompok tani, gabungan kelompok tani, dan koperasi. Dengan mengoordinir gabah produksi petani melalui organisasi, segala persyaratan yang di wajibkan BULOG diharapkan dapat dipenuhi. Permasalahan yang saat ini muncul di lokasi penelitian adalah peran kelompok tani yang tidak aktif dan tidak mampu memerikan nilai lebih bagi anggotanya. Tindakan pertama yang harus dilakukan saat ini adalah dengan menghidupkan kembali fungsi kelompok tani agar dapat memberikan manfaat kepada para anggota khususnya dalam hal penjualan gabah hasil panen.
2)
Saluran 2B: Petani Tengkulak RMU Subdivre BULOG Pada saluran 2B, GKP dari petani dijual kepada tengkulak, dari tengkulak
keapada RMU, dan RMU kepada Subdivre BULOG. Petani menjual 100 persen (227,7 ton) hasil panennya berupa GKP kepada tengkulak setempat. Dari pihak tengkulak, 100 persen (1.565 ton) GKP kemudian disalurkan kepada RMU. GKP yang berasal dari RMU sebesar 18,17 persen (50 ton) dijual kepada Subdivre BULOG Semarang yang menjadi Mitra Kerja RMU tersebut. Berdasarkan penelusuran pada saluran 2B, secara keseluruhan pangsa pasar beras yang mengalir sebanyak 15,14 persen. Total kuantitas beras yang diperdagangkan pada saluran 2B adalah sebesar 1842,7 ton.
52
Seperti pada pembahasan saluran 1B, RMU pada saluran 2B merupakan Mitra Kerja dari BULOG. Namun perdagangan beras dari RMU pada saluran 2B tidak memiliki persentase pangsa pasar sebesar beras dari grosir kepada BULOG. Hal ini dikarekan tidak banyak RMU yang aktif di lokasi penelitian. RMU yang kontinyu berproduksi hanyalah RMU yang memiliki akses permodalan yang baik. Selain itu, lumpuhnya kegiatan RMU tersebut juga dipengaruhi oleh semakin banyaknya RMU keliling. RMU keliling yang telah banyak beroperasi di lokasi penelitian cukup menjadi ancaman bagi RMU setempat.
6.2.
Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga Beras Desa Kenduren Dalam menyalurkan beras dari petani hingga konsumen, tataniaga di
Kabupaten Demak melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Adapun lembaga tataniaga beras di Desa Kenduren, Kecamatan Wedung, Kabupaten Demak yaitu petani, tengkulak, RMU, pedagang grosir, dan pedagang ritel. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut menjalankan fungsi-fungsi tataniaga untuk memperlancar proses penyampaian beras kepada konsumen. Setiap lembaga mempunyai fungsi yang berbeda dengan lembaga lainnya. Secara umum fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga beras di Desa Kenduren terdiri atas fungsi pertukaran (fungsi pembelian dan penjualan), fungsi fisik (fungsi penyimpanan, fungsi pengolahan, fungsi pengangkutan), dan fungsi fasilitas (fungsi sortasi, fungsi pembiayaan, fungsi penanggungan risiko, fungsi informasi pasar). Adapun lembaga dan fungsi tataniaga yang dilakukan dalam proses tataniaga beras di Desa Kenduren dapat dilihat pada Lampiran 3. Secara umum, petani hanya melakukan pertukaran saja yaitu dengan menjual beras kepada tengkulak. Tengkulak melakukan fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), fungsi fisik (angkut), dan fungsi fasilitas (penanggungan risiko dan informasi pasar). RMU melakukan fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), fungsi fisik (penyimpanan, pengolahan, pengangkutan), dan fungsi fasilitas (sortasi, penanggungan risiko, informasi pasar).
Grosir melakukan fungsi
pertukaran (penjualan dan pembelian), fungsi fisik (penyimpanan, pengangkutan), dan fungsi fasilitas (sortasi, penanggungan risiko, informasi pasar). Ritel melakukan fungsi pertukaran Hal ini sejalan dengan penelitian Aniro (2009)
53
dimana petani hanya melakukan fungsi pertukaran saja yaitu dengan menjual gabah kepada pembeli. Sedangkan tengkulak, Gapoktan Sawargi, RMU beras, dan pabrik beras selain melakukan fungsi pertukaran dan fungsi fisik (pengeringan, penggilingan/pengolahan, dan transportasi), juga melakukan fungsi pelancar yaitu permodalan, penanggungan risiko, dan informasi. Untuk distributor dan retail juga melakukan ketiga fungsi tersebut kecuali fungsi pengeringan dan penggilingan.
1)
Fungsi Tataniaga di Tingkat Petani Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh petani yaitu fungsi penjualan.
Fungsi tersebut dilakukan oleh petani dalam saluran A dan B. Seluruh petani menjual padinya kepada tengkulak. Petani tidak melakukan fisik seperti penyimpanan gabah yang ditujukan untuk dijual. Hanya sebagian kecil petani yang menyimpan padi untuk persediaan konsumsi dan kebutuhan sosial. Petani juga tidak melakukan funsgsi pengolahan karena semua padi ditebas sehingga fungsi pengangkutan juga tidak dilakukan karena tengkulak yang melakukan pengangkutan. Adapun fungsi fasilitas yang dilakukan petani yaitu fungsi penanggungan risiko dan fungsi informasi pasar. Risiko yang dihadapi oleh petani yaitu risiko penangguhan pembayaran oleh RMU, risiko penyusutan terhadap hasil panen, menurunnya harga jual beras di pasar, kualitas gabah yang rendah, dan adanya serangan hama/penyakit yang dapat menurunkan hasil panen. Sedangkan untuk fungsi insformasi pasar berupa informasi harga dan kualitas gabah yang diinginkan oleh konsumen dapat diketahui dari RMU yang berhubungan langsung dengan pedagang grosir di pasar. Namun informasi harga dan kualitas gabah tidak transparan, sehingga perubahan yang terjadi di pasar sering tidak tersampaikan dengan baik kepada petani. Fungsi fasilitas ini ditemukan pada petani di saluran A dan B.
2)
Fungsi Tataniaga di Tingkat Tengkulak Tengkulak pada fungsi pertukaran jual dan beli dari saluran A dan B.
Tengkulak membeli gabah seluruhnya dari petani dan menjual ke RMU. Semua tengkulak menggunakan sistem tebas untuk membeli gabah hasil panen petani.
54
Pada fungsi fisik, tengkulak hanya melakukan fungsi pengangkutan. Fungsi ini dilakukan pada saat membeli gabah ke sawah petani dan menjual ke RMU. Tidak ada tengkulak yang menyimpan maupun menggiling gabah. Pada fungsi fasilitas, tengkulak tidak melakukan sortasi. Tengkulak yang menebas sawah pada saat panen hanya menggunakan perkiraan mereka. Hal inilah yang membuat tengkulak juga menanggung risiko kerugian jika perkiraan mereka salah atau tidak sesuai kenyataan.
3)
Fungsi Tataniaga di Tingkat RMU Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh penggilinggan berupa fungsi
pembelian dan fungsi penjualan. Fungsi pembelian dilakukan dengan membeli gabah yang telah ditebas tengkulak. Fungsi penjualan dilakukan dengan menjual beras kepada grosir, ritel, Subdivre BULOG, dan konsumen individu. Kerja sama dengan BULOG berupa ikatan kerja yang disebut Mitra Kerja. Fungsi fisik yang dilakukan RMU berupa fungsi penyimpanan, fungsi pengolahan, dan fungsi pengangkutan. Fungsi penyimpanan dilakukan oleh RMU terhadap GKG yang disiapkan sebagai stok dan beras hasil olahan yang menunggu untuk dipasarkan. Fungsi penyimpanan dilakukan oleh RMU yang ada pada saluran A dan B. Fungsi pengangkutan yaitu berupa pembelian gabah ke tengkulak yang berada di daerah yang sedang panen. Setelah digiling, beras disalurkan ke pedagang grosir dan ritel. Fungsi fasilitas yang dilakukan RMU berupa fungsi sortasi, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi fasilitas dapat ditemui pada RMU yang ada di saluran A dan B. Fungsi sortasi yaitu kegiatan pemilahan yang dilakukan terhadap gabah yang dibeli dari petani. Konsekuensi adanya kegiatan sortasi ini adalah perbedaan harga GKP untuk masing-masing kategori penyortiran. RMU menyortir GKP dari petani berdasarkan kadar air, biji mati, kadar hampa, dan umur panen. RMU juga melakukan sortasi terhadap beras yang dihasilkan. RMU menyortir beras berdasarkan derajat sosoh, derajat keputihan beras, kadar patahan, kadar menir, dan biji mati. Penyortiran GKP dilakukan pada saluran A dan B sedangkan penyortiran dilakukan pada seluruh saluran kecuali saluran A1. Fungsi
55
penanggungan risiko yang dihadapi oleh RMU berupa risiko penyusutan, kerusakan gabah dan beras selama proses pengangkutan, kerusakan gabah dan beras selama proses pengolahan, dan risiko turunnya harga jual beras di pasar karena kualitas beras yang tidak sesuai dengan keinginan konsumen dan melonjaknya produksi beras di pasar akibat panen raya. Fungsi penanggungan risiko dilakukan RMU pada saluran A dan B. Fungsi informasi pasar berupa informasi yang dapat diperoleh RMU dari pedagang grosir di pasar mengenai perkembangan harga beras dan kualitas yang diinginkan oleh konsumen. Fungsi informasi pasar ada di RMU yang ditemui di saluran A dan B.
4)
Fungsi Tataniaga di Tingkat Grosir Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang grosir yaitu fungsi
pembelian dan fungsi penjualan. Pada saluran A1, A2, dan A3, pedagang grosir melakukan pembelian beras dari RMU. Fungsi penjualan dilakukan dengan menyalurkan beras kepada pedagang ritel, konsumen individu, dan BULOG. Fungsi fisik yang dilakukan pedagang grosir menyangkut fungsi pengangkutan dan penyimpanan. Fungsi pengangkutan dilakukan pada saat proses penjualan beras kepada pedagang ritel dan konsumen. Namun pada saat proses pembelian pedagang grosir tidak melakukan fungsi pengangkutan dikarenakan beras diantarkan langsung oleh RMU. Fungsi penyimpanan yaitu kegiatan penyimpanan beras oleh pedagang grosir di gudang atau tempat usahanya. Biasanya pedagang grosir menyimpan beras sebagai cadangan stok atau hanya sekedar singgah sebelum dijual kembali. Pedagang grosir tidak melakukan fungsi pengolahan lebih lanjut terhadap beras yang dibeli dari RMU. Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang grosir berupa fungsi sortasi, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi fasilitas dilakukan oleh pedagang grosir dapat ditemui pada saluran. Fungsi sortasi dilakukan pedagang grosir dengan melakukan pemilahan terhadap kualitas beras yang dibeli dari RMU. Hal ini berpengaruh terhadap harga beras pada masing-masing kategori kualitas. Fungsi penanggungan risiko pedagang grosir yaitu risiko penurunan kualitas beras yang disimpan dan risiko penurunan harga pasar. Namun fungsi penanggungan risiko oleh pedagang grosir dibebankan kepada RMU dengan
56
menekan harga beli beras. Fungsi informasi pasar berupa informasi yang dapat diperoleh RMU dari pedagang grosir di pasar mengenai perkembangan harga beras dan kualitas yang diinginkan oleh konsumen.
5)
Fungsi Tataniaga di Tingkat Ritel Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang ritel yaitu fungsi
pembelian dan penjualan. Pada saluran A, pedagang ritel melakukan pembelian beras dari pedagang grosir dan RMU. Fungsi penjualan dilakukan dengan menyalurkan beras langsung kepada konsumen individu. Fungsi fisik yang dilakukan pedagang ritel menyangkut fungsi pengangkutan dan penyimpanan. Proses pengangkutan dilakukan pada saat pembelian beras dari grosir. Namun pedagang ritel tidak melakukan fungsi pengangkutan ketika membeli beras dari RMU dikarenakan beras diantarkan langsung oleh RMU yaitu saluran A4. Fungsi penyimpanan menyangkut kegiatan penyimpanan beras oleh pedagang ritel di tempat usahanya. Fungsi penyimpanan dilakukan oleh pedagang ritel di setiap saluran tataniaga. Biasanya pedagang ritel menyimpan beras hanya sekedar singgah sebelum dijual kembali kepada konsumen. Pedagang ritel tidak melakukan fungsi pengolahan lebih lanjut terhadap beras yang dibeli dari pedagang grosir atau RMU. Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang ritel berupa fungsi sortasi, penanggungan risiko, dan informasi pasar. Fungsi fasilitas dilakukan oleh pedagang ritel di saluran A1 dan A4. Fungsi sortasi dilakukan pedagang ritel dengan melakukan pemilahan terhadap beras yang dibeli dari RMU berdasarkan harga. Fungsi penanggungan risiko pedagang ritel yaitu risiko penurunan kualitas beras yang disimpan dan risiko penurunan harga pasar. Fungsi informasi pasar berupa informasi yang dapat diperoleh RMU dari pedagang ritel di pasar mengenai perkembangan harga beras dan kualitas yang diinginkan oleh konsumen. 6.3.
Analisis Struktur Pasar Tataniaga Beras di Desa Kenduren Struktur pasar dapat diketahui dengan melihat antara jumlah penjual dan
pembeli, heterogenitas produk yang dipasarkan, kondisi atau keadaan produk, kemudahan keluar dan masuk pasar, serta informasi mengenai perubahan harga
57
pasar. Struktur pasar dapat menjelaskan pengambilan keputusan oleh suatu lembaga tataniaga. Secara umum kondisi struktur pasar yang terjadi pada sistem tataniaga beras di Desa Kenduren adalah persaingan tidak sempurna karena hanya terdapat satu lembaga tataniaga (tengkulak) yang membeli gabah hasil panen petani serta terdapat banyak penjual di setiap saluran dan tingkat lembaga tataniaga lainnya.
1)
Struktur Pasar di Tingkat Petani Struktur pasar yang dihadapi oleh petani di Desa Kenduren, Kecamatan
Wedung, Kabupaten Demak, Jawa Barat merupakan pasar persaingan tidak sempurna yaitu pasar oligopsoni murni karena hanya terdapat beberapa lembaga tataniaga yang menjadi pembeli gabah hasil panen sedangkan terdapat banyak petani padi yang ingin menjual hasil panennya. Diilihat dari aspek heterogenitas produk yang diperdagangkan, gabah hasil panen petani bersifat homogen karena petani hanya menjual dalam GKP kepada tengkulak. Kondisi hambatan masuk pasar dari sisi petani cukup rendah. Hal ini dikarenakan dalam memasarkan hasil panennya petani tidak terikat dengan RMU tertentu. Petani bebas menjual hasil panennya kepada RMU mana saja yang paling menguntungkan baginya. Selain itu, karena lahan pertanian yang masih luas membuat pertanian padi masih diandalkan menjadi mata pencaharian utama. Sedangkan hambatan keluar masuk pasar dari sisi petani tinggi. Kesulitan pertama adalah masalah teknis budidaya padi dimana petani sangat sulit untuk mengubah peruntukan sawah untuk padi menjadi lahan untuk komoditas lainnya. Selain itu, petani juga harus selalu menjual hasil panennya pada tengkulak untuk memenuhi biaya tanam musim berikutnya. Di tingkat petani, informasi perubahan harga biasanya diperoleh dari tengkulak yang membeli hasil panennya. Informasi tersebut akan dengan mudah menyebar di sesama petani. Sehingga harga di tingkat petani cenderung seragam dan tidak ada perbedaan yang signifikan.
58
2)
Struktur Pasar di Tingkat Tengkulak Di tingkat tengkulak atau penebas pada sistem tataniaga beras, struktur
pasar yang dihadapi bersifat pasar persaingan tidak sempurna. Jika dikaitkan antara tengkulak dengan petani maka struktur pasar di tingkat tengkulak cenderung bersifat oligopsoni dimana hanya terdapat beberapa pembeli gabah hasil panen padi dan begitu banyak petani. Apabila dikaitkan antara tengkulak dengan RMU maka struktur di tingkat tengkulak cenderung bersifat oligopoli diferensiasi. Hal ini ditunjukan dengan keberadaan jumlah penjual yaitu tengkulak lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pembeli yaitu RMU. Sedangkan, produk yang dipertukarkan bersifat berbeda yaitu GKP dan GKG.
3)
Struktur Pasar di Tingkat RMU Struktur pasar yang dihadapi oleh RMU cenderung bersifat pasar
persaingan tidak sempurna. Apabila dikaitkan antara RMU dengan petani maka struktur pasar di tingkat RMU cenderung bersifat oligopsoni dimana hanya terdapat beberapa pembeli gabah hasil panen padi. Struktur pasar ini digambarkan oleh beberapa pembeli gabah yaitu RMU dan banyak penjual gabah yaitu para petani padi. Kondisi ini juga ditunjang dengan produk gabah yang dipertukarkan bersifat homogen dan hambatan keluar masuk dari sisi RMU sebagai pembeli cukup rendah karena RMU bebas menentukan untuk membeli atau tidak hasil panen petani. Apabila dikaitkan antara RMU dengan pedagang grosir dan pedagang ritel di pasar maka struktur pasar di tingkat pedagang pengumpul cenderung bersifat oligopoli. Hal ini ditunjukkan dengan keberadaan jumlah penjual yaitu RMU lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pembeli yaitu pedagang grosir dan pedagang ritel. Hambatan keluar masuk RMU cukup tinggi. Hal ini dikarenakan RMU dan grosir sudah ada kepercayaan yang tinggi untuk memasarkan beras dari RMU. Produk yang dipertukarkan bersifat homogen yaitu beras yang telah disortir berdasarkan kualitasnya. Namun, RMU menghadapi struktur pasar yang monopsoni ketika dihadapkan dengan Subdivre BULOG Semarang. Hal ini dikarenakan Subdivre BULOG Semarang
merupakan satu-satunya lembaga
59
tataniaga yang bertujuan untuk menjaga kebutuhan cadangan beras pemerintah. Hambatan keluar masuk RMU tinggi karena RMU telah terikat kontrak dengan Subdivre BULOG Semarang untuk memasok gabah dengan jumlah tertentu ketika menjadi Mitra Kerja. RMU merupakan lembaga tataniaga yang dapat mempengaruhi harga pasar bersama dengan pedagang grosir. RMU memperoleh informasi harga melalui pihak grosir dan Subdivre BULOG Semarang. Informasi ini mudah diakses sehingga umumnya harga yang ditetapkan RMU terhadap petani dan tengkulak maupun grosir luar daerah seragam. Namun RMU tidak dapat mempengaruhi tingkat harga di Subdivre BULOG Semarang. Hal ini dikarenakan harga pembelian Subdivre BULOG Semarang bersifat tetap dan merupakan kebijakan dari pemerintah.
4)
Struktur Pasar di Tingkat Grosir Pedagang grosir menghadapi strukur pasar yang cenderung oligopoli
ketika berhadapan dengan RMU dimana pedagang grosir berlaku sebagai pembeli dan RMU berlaku sebagai penjual. Hal ini terlihat dari banyaknya jumlah RMU yang menjual beras kepada pedagang grosir. Pedagang grosir ini memiliki kemampuan untuk mempengaruhi harga beras karena pedagang grosir mampu memprediksi harga beras berdasarkan jumlah pasokan setiap periode dengan banyaknya permintaan dari pedagang ritel dan konsumen. Pedagang grosir menghadapi strukur oligopoli ketika berhadapan dengan pedagang ritel dan konsumen dimana pedagang grosir berlaku sebagai penjual dan pedagang ritel dan konsumen berlaku sebagai pembeli. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa pedagang grosir yang menjual beras kepada banyak pedagang ritel dan konsumen. Disamping itu, produk yang dipertukarkan pun bersifat homogen yaitu berupa beras. Hambatan keluar masuk pasar bagi pedagang grosir tidak terlalu sulit. Hal ini dikarenakan dengan modal yang kuat dan kemampuan mengakses pasar seseorang dapat menjadi pedagang grosir. Grosir merupakan lembaga tataniaga yang dapat mempengaruhi harga pasar bersama dengan RMU. Grosir memperoleh informasi harga dengan memperhatikan harga dasar di Subdivre BULOG Semarang dan kondisi
60
permintaan dan penawaran beras di pasar. Informasi ini cukup sulit diperoleh karena membutuhkan perhitungan yang cermat. Namun grosir tidak dapat mempengaruhi tingkat harga di Subdivre BULOG Semarang. Hal ini dikarenakan harga pembelian Subdivre BULOG Semarang bersifat tetap dan merupakan kebijakan pemerintah.
5)
Struktur Pasar di Tingkat Ritel Struktur pasar yang terjadi di tingkat pedagang ritel adalah cenderung
bersaing sempurna baik saat menghadapi pedagang grosir maupun konsumen. Hal ini dikarenakan jumlah pedagang ritel yang berlaku sebagai penjual dan jumlah konsumen yang berlaku sebagai pembeli cukup banyak. Begitu pula pedagang grosir yang berperan sebagi penjual dan pedagang ritel sebagai pembeli cukup banyak jumlahnya. Selain itu, produk yang dipertukarkan cenderung bersifat homogen, dan pedagang ritel tidak dapat mempengaruhi harga. Informasi pasar mengenai harga yang terjadi di tingkat pedagang ritel diperoleh dari pedagang grosir dan pedagang ritel lainnya. Sehingga arus informasi dapat dengan mudah diperoleh pedagang ritel. Hambatan keluar masuk pasar cenderung rendah karena tidak adanya peraturan atau ikatan khusus untuk menjadi pedagang ritel.
6.4.
Perilaku Pasar Tataniaga Beras di Desa Kenduren Perilaku pasar merupakan sebagai suatu pola atau tingkah laku dari
lembaga-lembaga tataniaga yang menyesuaikan dengan struktur pasar dimana lembaga-lembaga tersebut melakukan aktivitas penjualan dan pembelian serta penentuan keputusan-keputusan dalam menghadapi struktur pasar tersebut. Selain itu, perilaku pasar juga diartikan sebagai strategi produksi dan konsumsi dari lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang meliputi praktik pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga, sistem pembayaran dalam transaksi, serta kerjasama antar lembaga tataniaga. Secara umum praktik pembelian dan penjualan di Kabupaten Demak dipengaruhi oleh ikatan antar lembaga yaitu ikatan pelanggan, ikatan kekeluargaan, dan ikatan modal.
61
6.4.1. Praktik Pembelian dan Penjualan 1)
Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat Petani Petani menjual gabah hasil panen mereka kepada tengkulak. Semua petani
yang menjual hasil panennya pada tengkulak menggunakan sistem tebas. Sistem ini jika dipahami sebenarnya akan merugikan petani. Hal ini karena tengkulak melakukan sistem tebas hanya dengan menggunakan perkiraan. Tidak ada perhitungan dengan pasti berapa berat padi yang ditebas. Sehingga jika perkiraan tengkulak lebih rendah dari berat sebenarnya, maka sistem ini telah merugikan petani. Namun tidak hanya merugikan petani saja. Terkadang tungkulak juga dapat mengalami kerugian jika perkiraan mereka yang salah dimana berat hasil sesungguhnya ternyata di bawah perkiraan. Hingga saat ini kebanyakan petani masih menggantungkan dirinya pada tengkulak untuk menjual hasil panennya. Penyebabnya masih berkutat pada masalah modal dimana petani ingin segera menjual padinya untuk mendapatkan uang tunai.
2)
Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat Tengkulak Tengkulak masih menempati posisi tawar yang labih tinggi di atas petani.
Artinya, petani masih tergantung pada tengkulak untuk menjual hasil panennya. Seperti yang telah diuraikan pada bagian praktik pembelian dan penjualan petani, tengkulak membeli padi hasil panen menggunakan sistem tebas. Tengkulak mendatangi sawah petani yang siap panen dan melakukan panen menggunakan fasilitas dari tengkulak. Kegiatan penjualan tengkulak dilakukan pada RMU.
3)
Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat RMU Praktik pembelian beras yang dilakukan RMU dilakukan dengan
tengkulak-tengkulak dan beberapa petani yang langsung menjual gabah panennya. Beberapa RMU memiliki mesin giling yang sudah terintegrasi dimana mesin ini dapat menjalankan beberapa tahap dalam RMU seperti pemecahan kulit hingga shinning (pemolesan) dalam satu kali proses giling. Sehingga produktivitas RMU yang memiliki mesin ini jauh lebih tinggi dibandingkan RMU dengan mesin yang tidak terintegrasi.
62
Praktik penjualan beras yang dilakukan RMU adalah menjual beras kepada grosir, ritel, BULOG, dan konsumen akhir. RMU yang menjadi Mitra Kerja BULOG adalah RMU yang memiliki kapasitas produksi yang besar dan produksi yang kontinyu. Kondisi RMU yang ada di lapang tidak semua baik. Dapat ditemukan beberapa RMU yang berhenti beroperasi karena kesulitan modal untuk membeli gabah.
4)
Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat Grosir Grosir melakukan pembelian beras melaui RMU. Beberapa grosir
memiliki mesin shinning (pemutih) dimana mesin tersebut digunakan untuk memutihkan beras yang dibeli dari RMU karena grosir juga menerima beras dari RMU dengan berkualitas rendah. Selain untuk memperbaiki kualitas beras, mesin tersebut juga ditujukan untuk menghasilkan beras kulaitas super dengan harga yang tinggi. Praktik penjualan beras yang dilakukan grosir adalah melalui ritel dan Subdivre BULOG. Grosir yang menyalurkan berasnya kepada Subdivre BULOG adalah grosir yang memiliki kapasitas gudang yang besar dimana perputaran perdangan beras setiap harinya sangat besar. Penjualan dari grosir kepada Subdivre BULOG Semarang dilakukan melalui suatu kontrak kerjasama pengadaan cadangan beras pemerintah yang disebut Mitra Kerja. Sehingga kuantitas, kualitas, dan harga GKG yang disalurkan sudah ditetapkan sebelumnya oleh Subdivre BULOG Semarang. Beras yang dibeli Subdivre BULOG adalah beras yang ditujukan sebagai stok pemerintah yang disebut Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
5)
Praktik Pembelian dan Penjualan di Tingkat Pedagang Ritel Praktik pembelian pada tingkat pedagang pengecer atau retail dilakukan
dengan grosir dan RMU. Penjualan yang dilakukan pedagang pengecer dilakukan dengan konsumen akhir. Ritel-ritel yang menjual beras merupakan pedagang kelontong yang tidak mengkhususkan beras sebagai produk utama.
63
6.4.2. Sistem Penentuan Harga dalam Transaksi Sistem penentuan harga dalam sistem tataniaga beras di Desa Kenduren sebagian besar dilakukan dengan cara tawar menawar. Namun, dalam sistem tataniaga beras yang melibatkan Subdivre BULOG keputusan penetapan harga oleh pemerintah. Prosedur ini dilakukan dengan melakukan kontrak pengadaan yang dibuat setiap satu tahun sekali. Di tingkat petani harga gabah hasil panen ditentukan oleh lembaga yang lebih tinggi (tengkulak, RMU, dan grosir), karena tengkulak, RMU, dan grosir lebih menguasai informasi pasar beras dibandingkan para petani. Penentuan harga antara RMU dan grosir dalam praktiknya melalui perhitungan dari masing-masing biaya pertahapan pengolahan gabah hingga beras dikemas, biaya pengiriman, ditambahkan besarnya insentif bagi RMU. Namun pada akhirnya harga yang terbentuk merupakan hasil dari tawar-menawar antara RMU dengan grosir dengan mempertimbangkan harga pasar. Sistem penetapan harga di tingkat grosir dilakukan dengan penetapan harga tetap per kilogram untuk beras. Pedagang grosir memiliki kemampuan untuk menentukan harga bagi pembelinya (ritel dan konsumen individu) yang diperoleh dari harga beli ditambah dengan biaya pemasaran dan keuntungan. Sistem penetapan harga di tingkat ritel dilakukan dengan penetapan harga tetap per kilogram untuk beras oleh pedagang ritel yang diperoleh dari harga beli ditambah dengan biaya pemasaran dan keuntungan.
6.4.3. Sistem Pembayaran yang Digunakan dalam Transaksi Sistem pembayaran yang digunakan oleh lembaga tataniaga beras di Kabupaten Demak antara lain sebagai berikut :
1) Sistem Pembayaran Tunai Sistem pembayaran tunai dilakukan pada sebagian besar transaksi oleh lembaga tataniaga. Sistem pembayaran ini akan lebih sering digunakan ketika musim paceklik karena jumlah pasokan yang sedikit sehingga semua lembaga bersaing untuk mendapatkannya. Lembaga tataniaga yang menggunakan sistem pembayaran ini antara lain: petani kepada tengkulak, konsumen individu kepada
64
pedagang ritel, grosir, dan RMU; pedagang ritel kepada grosir dan RMU; dan Subdivre BULOG kepada grosir dan RMU.
2) Sistem Tunda Bayar Sistem pembayaran tunda bayar dilakukan oleh beberapa lembaga tataniaga yang terlibat di Desa Kenduren. Sistem pembayaran ini disepakati antara kedua lembaga tataniaga. Mekanisme pembayarannya yaitu pembeli akan membayar setelah tiga hingga tujuh hari setelah bagah/beras diterima. Sistem pembayaran ini biasanya dilakukan pada saat musim panen raya yaitu ketika pasokan beras melimpah sehingga posisi penjual menjadi lebih lemah dibandingkan pembeli. Lembaga tataniaga yang menggunakan sistem pembayaran ini antara lain grosir kepada RMU; dan sebagian tengkulak kepada petani.
6.4.4. Kerjasama antar Lembaga Tataniaga Beras Meski telah dibentuk kelompok tani maupun gapoktan, bentuk kerjasama yang dilakukan oleh petani padi belum terkordinasi dengan baik. Hal ini terbukti dengan tidak adanya kordinasi ketika petani menjual hasil panennya. Petani menjualnya secara sendiri-sendiri kepada tengkulak. Sehingga besaran harga akan sangat dipengaruhi oleh tengkulak dan petani cenderung hanya sebagai penerima harga (price-taker). Selain itu, petani juga tidak memiliki kerjasama tertentu dengan lembaga-lembaga tataniaga lainnya. Kerjasama yang terjadi diantara sesama RMU biasanya terjadi ketika akan menentukan harga beli hasil panen petani. Para RMU biasanya akan saling menghubungi dan menentukan harga tertinggi untuk pembelian gabah. Hal ini mungkin dilakukan karena jumlah RMU yang lebih sedikit dibandingkan jumlah petani (pasar oligopsoni). Kemudian RMU dan grosir juga memiliki kerjasama dengan Subdivre BULOG sebagai Mitra Kerja.
6.5.
Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga Ukuran dan jenis biaya tataniaga yang dikeluarkan setiap lembaga
tataniaga berbeda-beda. Pada tingkat petani, tidak terdapat biaya tataniaga karena
65
petani menjual padi menggunakan sistem tebas. Sedangkan biaya yang dimiliki petani adalah biaya produksi usahatani padi dimana biaya ini digunakan untuk mengetahui keuntungan yang petani dapatkan. Biaya yang dikeluarkan oleh tengkulak antara lain meliputi biaya transportasi, kemasan, survei, dan penyusutan. Pada tingkat RMU biaya tataniaga lebih besar dan banyak jenisnya meliputi, biaya transportasi, pengeringan, RMU, kemsan, survei, dan penyusutan. Biaya tataniaga pada grosir antara lain biaya transportasi, tenaga kerja, dan kemasan. Selanjutnya, biaya transportasi dan pengemasan merupakan jenis biaya tataniaga pada ritel. Marjin tataniaga pada setiap saluran sistem tataniaga beras dapat dilihat pada Lampiran 5. Analisis marjin tataniaga beras di Kabupaten Demak digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi sistem tataniaga beras. Marjin tataniaga beras memiliki arti sebagai selisih harga antara harga yang diterima petani padi dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen beras. Perhitungan marjin tataniaga menggunakan komponen biaya tataniaga dan keuntungan.
6.5.1. Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga pada Saluran A 1)
Analisis Marjin Tataniaga Saluran 1A Total marjin tataniaga pada saluran 1A pada saluran tataniaga A adalah
sebesar Rp 2.364,00 per kilogram. Total marjin tataniaga tersebut berasal dari tengkulak sebesar Rp 1.091,00, RMU sebesar Rp 773,00 per kilogram, grosir sebesar Rp 300,00 per kilogram, dan ritel sebesar Rp 200,00 per kilogram. Keuntungan total sebesar Rp 3.442,00 berada pada saluran tataniaga 1A. Total keuntungan tersebut berasal dari petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 923,00 per kilogram, RMU Rp 443,00 per kilogram, grosir Rp 200,00, dan ritel Rp 185,00 per kilogram.
2)
Analisis Marjin Tataniaga 2A Total marjin tataniaga pada saluran 2A sebesar Rp 2.164,00. Adapun
kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 2A sebesar
66
sebesar Rp 1.091,00, RMU sebesar Rp 773,00 per kilogram, dan grosir sebesar Rp 300,00 per kilogram. Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 906,00 per kilogram, RMU Rp 435,00 per kilogram, dan grosir Rp 200,00. Sehingga pada saluran 2A terdapat total keuntungan Rp 3.232,00.
3)
Analisis Marjin Tataniaga Saluran 3A Total marjin tataniaga pada saluran 3A sebesar Rp 2.354,00. Adapun
kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 3A sebesar Rp 1.091,00, RMU sebesar Rp 973,00 per kilogram, dan ritel sebesar Rp 290,00 kilogram. Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 923,00 per kilogram, RMU Rp 643,00 per kilogram, dan ritel Rp 285,00. Sehingga pada saluran 3A terdapat total keuntungan Rp 3.542,00.
4)
Analisis Marjin Tataniaga Saluran 4A Total marjin tataniaga pada saluran 4A sebesar Rp 2.064. Adapun
kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 4 adalah sebesar Rp 1.091,00 per kilogram dan RMU sebesar Rp 973,00 per kilogram. Saluran 4A memiliki besar margin terkecil diantara yang lain, sehingga dapat disimpulkan bahwa saluran 4A merupakan saluran yang paling efisien. Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 933,00 per kilogram dan RMU Rp 643,00 per kilogram. Sehingga pada saluran 4A terdapat total keuntungan Rp 3.267,00.
6.5.2. Analisis Biaya dan Marjin Tataniaga pada Saluran B 1)
Analisis Marjin Tataniaga Saluran 1B Total marjin tataniaga pada saluran 1B sebesar Rp 1.464,00. Adapun
kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 1B sebesar sebesar Rp 1.091,00, RMU sebesar Rp 273,00 per kilogram, grosir sebesar Rp 100,00 per kilogram. Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 931,00 per kilogram, RMU Rp 83,00 per
67
kilogram, dan grosir Rp 100,00. Sehingga pada saluran 1B terdapat total keuntungan Rp 2.805,00.
2)
Analisis Marjin Tataniaga Saluran 2B Total marjin tataniaga pada saluran 2B sebesar Rp 1.464. Adapun
kontribusi marjin tataniaga yang diperoleh tengkulak pada saluran 2B sebesar sebesar Rp 1.091,00 per kilogram dan RMU sebesar Rp 373,00 per kilogram. Besarnya keuntungan yang diperoleh petani sebesar Rp 1.691,00 per kilogram, tengkulak Rp 923,00 per kilogram dan RMU Rp 35,00 per kilogram. Sehingga pada saluran 2 terdapat total keuntungan Rp 2.649,00. Marjin tataniaga pada saluran 2 sama besar seperti pada saluran 1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saluran 1B dan 2B merupakan saluran yang paling efisien secara keseluruhan.
Analisis Farmer’s Share
6.6.
Analisis farmer’s share merupakan perbandingan antara harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir. Analisis farmer’s share digunakan sebagai salah satu indikator untuk menentukan efisiensi operasional sistem tataniaga suatu produk atau komoditas. Biasanya analisis farmer’s share dinyatakan dalam bentuk presentase. Analisis farmer’s share berkebalikan dengan marjin tataniaga dalam besarnya nilai. Semakin tinggi marjin tataniaga suatu produk atau komoditi berarti bagian yang diterima petani semakin rendah.
68
Tabel 9. Farmer’s Share pada Setiap Saluran Tataniaga A di Desa Kenduren Tahun 2011 Saluran Pemasaran
Harga beras di tingkat petani (Rp/Kg)*
Harga di Tingkat Konsumen (Rp/kg)
Farmer’s share (%)
1
3.636
6.000
61
2
3.636
6.000
61
3
3.636
5.700
64
4
3.636
5.700
64
* Harga jual beras didapat dari harga gabah dibagi rendemen (55%).
Tabel 10. Farmer’s Share pada Setiap Saluran Tataniaga B di Desa Kenduren Tahun 2011 Saluran Pemasaran
Harga beras di tingkat petani (Rp/Kg)*
Harga di Tingkat Konsumen (Rp/kg)
Farmer’s share (%)
1
3.636
5.100
71
2
3.636
5.100
71
* Harga jual beras didapat dari harga gabah dibagi rendemen (55%).
Berdasarkan Tabel 9 dan Tabel 10, dapat diketahui bahwa saluran B memiliki farmer’s share terbesar sebesar 71 persen. Saluran B merupakan saluran dengan total margin terendah. Hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin kecil margin, akan membuat nilai farmer’s share semakin besar. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa saluran B memberikan manfaat terbesar bagi petani. Sehingga dapat disimpulkan bahwa saluran B adalah saluran yang paling efisien. BULOG secara tidak langsung memberikan nilai lebih bagi petani. Dalam hal ini BULOG bertindak sebagai lembaga yang menjadi penyeimbang harga di pasar. 6.7.
Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Biaya tataniaga memiliki pengertian sebagai biaya yang dikeluarkan oleh
lembaga tataniaga dalam sistem tataniaga beras yang menyalurkan gabah hasil panen petani padi organik hingga menjadi beras organik yang sampai kepada konsumen akhir. Sedangkan keuntungan tataniaga merupakan selisih harga jual dengan biaya yang dikeluarkan selama proses tataniaga beras berlangsung. Perbandingan atau rasio antara besarnya keuntungan dengan biaya tataniaga dapat menunjukan efesiensi operasional tataniaga dari suatu komoditas. Saluran
69
tataniaga dapat dinyatakan efisien apabila penyebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya di setiap lembaga tataniaga merata. Hal ini berarti setiap biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan yang tidak jauh berbeda antara masing-masing lembaga tataniaga yang ada pada saluran tataniaga tersebut. Adapun rasio keuntungan dan biaya tataniaga beras di Desa Kenduren dapat dilihat pada Lampiran 6. Pembahasan analisis rasio keuntungan terhadap biaya adalah sebagai berikut.
6.7.1. Analisis Keuntungan Terhadap Biaya Saluran A 1)
Analisis Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 1 Saluran 1A memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2,86 yang
berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 2,86. Rasio keuntungan dan biaya pada ritel yaitu sebesar 12,33. Nilai rasio keuntungan dengan biaya yang terdapat pada setiap lembaga dimana tengkulak memiliki nilai 5,49; RMU sebesar 1,34; dan grosir sebesar 2,00.
2) Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 2 Saluran 2A memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2,47 yang berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 2,47. Pada saluran 2A, rasio keuntungan terbesar dimiliki oleh tengkulak yaitu sebesar 5,49. Rasio pada RMU sebesar 1,29 dan grosir sebesar 2,00.
3)
Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 3 Saluran 3A memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 3,64 yang
berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 3,64. Nilai rasio ini adalah yang terbesar dibandingkan saluran yang lain. Tengkulak menghasilkan nilai rasio sebesar 5,49, RMU sebesar 1,95, dan ritel sebesar 28,50. Ritel menghasilkan nilai yang paling besar karena pada saluran 3A ritel membeli beras dari RMU dimana harga beras lebih murah dan biaya tataniaga ritel yang kecil.
70
Meskipun total rasio keuntungan terhadap biaya pada saluran 3A merupakan yang terbesar, namun jika dilihat dari persebaran nilai rasio tiap lembaga terdapat selisih yang jauh antara ritel dengan tengkulak dan RMU. Meski demikian dapat disimpulkan bahwa saluran pemasaran beras di Kabupaten Demak yang paling efisien adalah saluran 3A secara keseluruhan.
4)
Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 4 Saluran 4A memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 3,23 yang
berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 3,23. Tengkulak menghasilkan nilai rasio sebesar 5,90 dan RMU sebesar 1,95. Jika dilihat dari persebaran nilai rasio, saluran 4A dapat dikatakan cukup efisien. Nilai rasio yang dimiliki tengkulak dan RMU cukup merata jika dibandingkan dengan saluran 4A dimana terdapat ritel yang nilai rasionya terlampau jauh jika dibandingkan tengkulak dan RMU.
6.7.1. Analisis Keuntungan Terhadap Biaya Saluran B 1)
Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 1 Saluran 1B memiliki nilai rasio keuntungan dan biaya sebesar 2,90 yang
berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 2,90. Pada lembaga grosir, biaya tataniaganya tidak dapat diketahui karena beras dijual kepada Subdivre BULOG dimana seluruh kegiatan pada proses penjualan ditanggung Subdivre BULOG seperti transportasi dan kemasan. Jika dipandang dari ketiga pendekatan dalam menentukan saluran pemasaran yang efisien, diketahui bahwa saluran pemasaran 1 lebih efisien dibandingkan dengan saluran 2B.
2)
Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya Saluran 2 Saluran 2B memiliki total rasio keuntungan dan biaya sebesar 1,89 yang
berarti setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan sebesar Rp 1,89. Tengkulak menghasilkan nilai rasio sebesar 5,49 dan RMU sebesar 0,10. Pada lembaga grosir, nilai rasio keuntungan terhadap biaya tidak dapat dihitung dikarenakan grosir di sini menyaluran
71
berasnya kepada Subdivre BULOG. Nilai rasio tidak diketahui karena pada grosir tidak mengeluarkan biaya-biaya pemasaran karena kegiatan ketika pembelian beras sepenuhnya ditanggung Subdivre BULOG seperti biaya transportasi dan kemasan.
72
VII 7.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, dapat diambil
beberapa kesimpulan, yaitu: 1)
Saluran tataniaga beras di Desa Kenduren terdiri dari beberapa lembaga tataniaga yaitu petani, tengkulak, RMU, grosir, dan ritel. Berdasarkan analisis yang dilakukan, terdapat enam saluran tataniaga di Kabupaten Demak. Tengkulak menjadi lembaga yang memiliki market share terbesar dalam setiap saluran tataniaga. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan petani pada tengkulak dalam memasarkan hasil panen mereka. Penelitian membuktikan bahwa 100 persen petani responden menjual padi mereka kepada tengkulak melalui sistem tebas. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut melakukan beberapa fungsi yaitu fungsi pertukaran, fisik, dan fasilitas. Struktur pasar tataniaga beras yang ada di Desa Kenduren adalah pasar persaingan tidak sempurna. Hal ini terjadi karena jumlah penjual dan pembeli tidak seimbang. Perilaku pasar yang dilakukan adalah jual beli padi dan beras. Jual beli padi dilakukan petani dengan tengkulak melalui sistem tebas dan penentuan harga melalui tawar-menawar. Sedangkan pedagang yang melakukan jual beli beras ada yang membayar dengan sistem tunai maupun tunda bayar. Sebagai lembaga yang memberikan jaminan harga dan pasar bagi produsen atau petani, BULOG dinilai belum berfungsi. Hal ini ditunjukkan dengan aktivitas BULOG yang hanya menyerap beras dari grosir dan RMU.
2)
Melalui pendekatan analisis marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya, terdapat saluran tataniaga yang paling efisien. Dari keenam saluran yang ada, saluran 1B merupakan saluran yang paling efisien dilihat melalui pendekatan analisis tersebut. Saluran tersebut memiliki total marjin terkecil yaitu sebesar Rp 1.464,00. Berdasarkan analisis farmer’s share, saluran 1B memiliki nilai terbesar yaitu sebesar 71 persen. Sedangkan melalui analisis rasio keuntungan dan biaya, saluran yang paling efisien adalah saluran 3A dengan rata-rata rasio sebesar 3,64. Namun dari keenam saluran tersebut, saluran 1B merupakan saluran yang memiliki
volume perdagangan terbesar yaitu 2.581,9 ton atau 21,22 persen dari total pangsa pasar perdagangan beras yang berarti paling memberikan prospek kepada petani dan seluruh lembaga untuk memasarkan produknya. Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa saluran IB merupakan saluran yang paling efisien dan layak untuk terus dikembangkan di Desa Kenduren.
7.2.
Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan, ada beberapa saran yang dapat
dilaksanakan antara lain: 1)
Memberikan insentif kepada petani adalah cara yang dapat ditempuh pemerintah agar menjual produknya dalam bentuk gabah kering giling atau beras. Hal ini perlu dilakukan agar petani tidak selalu mendapatkan harga gabah kering panen yang rendah saat menjual kepada tengkulak, sehingga petani juga mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik karena selama ini tengkulak selalu memberikan harga yang jauh lebih rendah dari standar harga gabah kering panen.
2)
BULOG seharusnya lebih peduli terhadap kondisi petani yang selalu dirugikan oleh mekanisme pasar. Perlu dilakukan perencanaan kedepan agar BULOG mampu menyerap gabah petani dan menjamin harga di tingkat petani agar petani mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik.
3)
Dari sisi kelembagaan, peran kelompok tani belum dapat dirasakan petani sehingga diharapkan kelompok tani di daerah setempat dapat dikembangkan labih baik. Kelompok tani dapat memberikan manfaat kepada petani jika dikelola dengan baik.
4)
Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan lebih mendalami tentang usahatani padi di Kabupaten Demak karena masih banyak permasalahan yang muncul di subsistem hulu tingkat petani terutama dalam proses produksi padi itu sendiri.
74
DAFTAR PUSTAKA Ammang B dan Sawit MH. 2001. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional: Pelajaran dari Orde Baru dan Orde Reformasi. Bogor: IPB Press Aniro N. 2009. Analisis Sistem Tataniaga Beras Pandan Wangi di Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bank Indonesia [BI]. 2009. Kajian Ekonomi Regional NTT: Survei Pembentukan Harga Beras di Kupang, Triwulan I. Kupang [BPS] Badan Pusat Statistik. Berbagai Tahun. Jumlah Penduduk Indonesia Sesuai Sensus Penduduk Nasional (1971-2005). Jakarta: Badan Pusat Statistik. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010(a). Data Strategis Indonesia. Jakarta: Badan Pusat Statistik [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010(b). Kabupaten Demak dalam Angka. Demak: Badan Pusat Statistik [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010(c). Kecamatan Wedung dalam Angka. Demak: Badan Pusat Statistik Dahl DC dan Hammond I. 1977. Market and Price Analysis the Agricultural Industries. New York: Mc Grow-Hill Company. Ellis F. 1992. Rice Marketing in Indonesia: Methodology, Results and Implications of a Reasearch Study. Marketing Series, 4. Catham. Natural Resources Institute Gandhi P. 2008. Analisis Usahatani dan Tataniaga Varietas Unggul (Studi Kasus Padi Pandan Wangi di Kecamatan Warung Kondang, Kabupaten Cianjur) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hidayat B. 2010. Analisis Pendapatan Usahatani Dan Tataniaga Padi Organik Di Kelurahan Sukaresmi Kecamatan Tanah Sareal Kota Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Kohls RL dan Uhls JN. 1990. Marketing of Agricultural Products Ninth Edition. New York: McMillan Publishing Company. Kotler P dan KL Keller. 2006. Marketing Management twelefth-e Edition. New Jersey: Pearson Education Inc. Limbong WH dan Sitorus P. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian.Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mardianto S. 2005. Dinamika Pola Pemasaran Gabah dan Beras di Indonesia. Bogor. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Ministry of Agriculture and Rural Development of Vietnam. 1999. The Organization of the Liberalized Rice Market in Vietnam. Hanoi Murdani D. 2008. Analisis Usahatani dan Pemasaran Beras Varietas Pandan Wangi dan Varietas Unggul Baru (Kasus Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor Nafis F. 2010. Analisis Usahatani Padi Organik Dan Sistem Tataniaga Beras Organik Di Kabupaten Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Rusastra IW. 2001. Struktur Pasar dan Pemasaran Gabah-Beras dan Komoditas Kompetitor Utama. Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Sawit MH dan Hariyadi H. 2010. Arsitektur Kebijakan Beras di Era Baru. Bogor: PT Penerbit IPB Press Sawit MH dan Lakollo. 2007. Rice Import Surge in Indonesia. Jakarta. ICASEPS & AAI. Siregar H. 1987. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta: Sastra Hudaya Supriatna A. 2002. Analisis Sitem Pemasaran Gabah dan Beras (Studi Kasus Petani Padi di Sumatera Utara). Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Sutawi. 2009. Tinjauan Distribusi Pangan [tesis]. Malang: Program Magister Agribisnis, Universitas Muhammadiyah Malang. [USDA] United State Departement of Agriculture. 2011. World’s Rice Consumer. New York. Amerika Serikat Wiboonpongse A. 2001. Rice Marketing System in Thailand. Chiang Mai: Multiple Cropping Centre. Chiang Mai University Zalukhu J. 2009. Analisis Usahatani dan Tataniaga Padi Varietas Unggul Nasional (Kasus Varietas Bondoyudo pada Gapoktan Tani Bersatu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
76
LAMPIRAN
Lampiran 1. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi per Provinsi di Indonesia Tahun 2010 Provinsi Indonesia Aceh Sumatera Utara Sumatera barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua
Luas Panen (Ha) 13.244.184 352.520 754.659 460.497 156.088 153.897 769.478 133.629 590.609 8.175 396 2.015 2.037.763 1.801.397 147.058 1.963.983 406.411 152.190 374.284 172.821 428.461 247.064 471.166 149.797 119.626 202.312 885.823 107.751 45.937 75.923 20.233 16.071 9.464 26.686
Produktivitas (Ku/Ha) 50,14 44,89 47,47 48,02 36,83 40,86 42,53 38,68 47,54 27,22 31,46 55,40 57,60 56,13 56,02 59,29 50,39 57,11 47,41 30,86 31,37 26,26 39,10 39,26 48,77 46,04 49,38 42,19 55,20 47,80 41,08 34,47 36,19 38,45
Produksi (Ton) 66.411.469 1.582468 3.582.432 2.211.248 574.864 628.828 3.272.451 516.869 2.807.791 22.249 1.246 11.164 11 737 683 10.110.830 823 .87 11.643.773 2.048.047 869.161 1.774.499 533.268 1.343.888 648.872 1.842.089 588.112 583.458 931.379 4.374.432 454.644 253.563 362.900 83.109 55.401 34.254 102.610
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)
78
Lampiran 2. Kategori Karakteristik Responden Petani Desa Kenduren 2011 Kategori Kategori Kelompok Umur (tahun) 10-29 30-44 45-59 ≥ 60 Total Kategori Pendidikan Formal SD SMP/MTS SMA/MA/SMK D3/S1 Total Kategori Lama Usahatani (tahun) <10 11-20 21-30 ≥31 Total Kategori Luas Lahan yang Dikuasai (ha) <0,49 0,5-0,99 1-1,99 2-4,99 ≥5 Total Kategori Status Penguasaan Lahan (ha) Hak Milik Sewa Sakap Gadai Total Kategori Status Usahatani Utama Sampingan Total
N
%
0 11 13 6 30
0 36,67 43,33 20,00 100,00
22 3 3 2 30
73,33 10,00 10,00 6,67 100,00
11 8 9 2 30
36,67 26,67 30,00 6,67 100,00
0 0 17 12 1 30
0 0 56,67 40,00 3,33 100,00
11 11 10 0 32
34,375 34,375 31,250 0 100,00
29 1 30
96,67 3,33 100,00
79
Lampiran 3. Data Responden Petani Desa Kenduren Kecamatan Wedung 2011
No.
Nama
1.
Muadhim
2.
Imron Abdillah, S.Pd
3.
Khamdan Daunan
4.
Usman
5.
Jazuli
6.
Jupri
7.
Khoirul Amri
8.
Akin
9.
Turmudi
10.
Ahmad Rusdi
11.
Sa'ruf
12.
Iklil
13.
Nukhin
14.
Mashadi
15.
Sholich
16.
Anis M
17.
Muzairi
Alamat Desa Kenduren, RT 2 RW 2, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 4 RW 5, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 3 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 3 RW 3, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 2 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 2 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 3 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 3 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 6 RW 7, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 2 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 2 RW 3, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 3 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 3 RW 3, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 7 RW 2, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 5 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 5 RW 3, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 1 RW 1, Wedung, Demak
Total Panen MT MT I II
Pendidikan
Status Usaha
Lama Usaha (Tahun)
Luas Lahan yang Dikuasai
SD
Sakap
12
1.00
5
5
Perguruan Tinggi
Sewa
10
1.50
8
7
SD
Sakap
7
1.00
5
5
SD
Sakap
20
3.00
15
13
SMA
Sewa
7
3.00
15
14
SD
Sewa
12
3.00
15
13
SMP
Hak Milik
8
1.00
5
5
SD
Hak Milik
20
1.00
5
4.5
SD
Sewa
16
1.00
4
4
SD
Sewa
30
2.00
6
6
SD
Hak Milik & Sewa
2
2.00
10
6
SD
Sakap
30
1.00
5
4
SD
Hak Milik
27
1.00
5
5
SD
Hak Milik
45
3.00
15
13
Perguruan Tinggi
Sewa
10
1.00
5
5
SMP
Hak Milik
22
4.50
22
21
SD
Hak Milik
25
1.00
5
4
80
18.
Afnan
19.
H. Muhtadi
20.
Salim
21.
Ahmad Anas
22.
Nadlirin
23.
Abdul Khafit
24.
Ahmad Toyib
25.
Shidiq Muin
26.
Masrukhan
27.
H. Mustaqim
28.
Musbikin
29.
Jumairi
30.
Soleh
Desa Kenduren, RT 3 RW 3, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 1 RW 3, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 2 RW 3, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 3 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 6 RW 4, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 3 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 4 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 4 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 3 RW 3, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 3 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 5 RW 4, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 1 RW 1, Wedung, Demak Desa Kenduren, RT 2 RW 1, Wedung, Demak
SD
Sewa
5
1.00
4
4
SD
Sakap
50
1.00
5
5
SD
Sakap
30
2.00
10
10
SD
Sewa
7
3.00
15
15
SD
Sewa
11
1.75
8
8
SD
Sakap
15
1.00
5
5
SD
Hak Milik
4
1.00
6
5.5
SMA
Hak Milik
29
2.00
12
10
SD
Sakap
11
2.00
11
10
SMA
Sakap
25
5.00
27
25
SMP
Sewa
6
2.80
16
15
SD
Hak Milik
30
1.00
5
4.5
SD
Hak Milik
10
1.00
5
3
81
Lampiran 4. Data Responden Pedagang Desa Kenduren, Kecamatan Wedung 2011
No.
Nama
Alamat
Total Gabah/Beras yang Dijual bulan terakhir (Ton)
Lama Usaha (Tahun)
Total Gabah/Beras yang Dibeli bulan terakhir (Ton)
2
240
240
5
350
320
25
400
400
20
500
450
10
75
75
3
30
30
10
40
40
15
360
350
20
3000
3000
6
600
560
9
0,1
0,1
10
9
9
25
6
5
10
0,4
0,4
20
0,5
0,5
Tengkulak 1.
Muhayun
2.
Fahirin
3.
Akih
4.
H. Safari
5.
Miati
Ds Kenduren Rt 07/ Rw 02, Kec. Wedung, Demak Ds Kenduren Rt 05/ Rw 02, Kec. Wedung, Demak Ds Kenduren Rt 06/ Rw 02, Kec. Wedung, Demak Ds Kenduren Rt 07/ Rw 02, Kec. Wedung, Demak Ds Kenduren Rt 07/ Rw 02, Kec. Wedung, Demak
RMU 1.
Cokro Kembang
2.
Rmk H. Safari
3.
Kamal I Bungo
Dusun Angin-Angin Buko Kecamatan Wedung Kab. Demak Desa Keduren Kec. Wedung Desa Bungo Kec. Wedung
Grosir 1.
Pahala Abadi
2.
Ud. Mustika
Jl. Raya Demak-Kudus Km 5, Kabupaten Demak Desa Mrawaki, Kec. Wonosalam
Ritel 1.
Toko Baru
2.
Toko Maya
3.
Toko Maju
4.
Sumber Hari Putro
5.
Toko Mesem
Jl. Raya Angin-Angin Buko Kecamatan Wedung Desa Wedung Kec. Wedung Jl. Raya Angin-Angin Desa Buko Kecamatan Wedung Jl. Raya Angin-Angin Desa Buko Kecamatan Wedung Jl. Raya Angin-Angin Desa Buko Kecamatan Wedung
82
Lampiran 5. Lembaga dan Fungsi Tataniaga Beras Desa Kenduren Tahun 2011 Fungsi-fungsi tataniaga Fungsi
Saluran dan lembaga
Fungsi fisik
pertukaran
Fungsi fasilitas
Tataniaga Beli
Jual
Simpan
Olah
Angkut
Sortasi
Biaya
Risiko
Info pasar
Saluran 1A Petani
V
Tengkulak
V
V
RMU
V
V
V
Grosir
V
V
V
Ritel
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V V
V
Saluran 2A Petani
V
Tengkulak
V
V
V
RMU
V
V
V
Grosir
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
Saluran 3A Petani
V
Tengkulak
V
V
V
RMU
V
V
V
Grosir
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
Saluran 4A Petani
V
Tengkulak
V
V
-
-
V
RMU
V
V
V
V
V
Ritel
V
V
Saluran 1B Petani
V
Tengkulak
V
V
RMU
V
V
V V
V
V
V
Saluran 2B Petani
V
Tengkulak
V
V
RMU
V
V
V V
V
V
V
83
Lampiran 6. Biaya-biaya Tataniaga pada Setiap Lembaga Tataniaga Beras di Desa Kenduren Tahun 2011 Konsumen Akhir Konsumen Individu Uraian
Saluran 1 Rp/kg
Konsumen Akhir BULOG
Saluran 2
Saluran 4
Saluran 5
Saluran 3
Saluran 6
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Rp/kg
Tengkulak Transportasi
100
115
100
90
90
100
Pengeringan
0
0
0
0
0
0
Penyimpanan
0
0
0
0
0
0
Fumigasi
0
0
0
0
0
0
Kemasan
48
50
48
48
50
48
Penyusutan
20
20
20
20
20
20
168
185
168
158
160
168
Transportasi
90
100
90
90
0
100
Pengeringan
60
50
60
60
50
50
Penyimpanan
0
0
0
0
0
0
Penggilingan
80
90
80
80
90
90
Fumigasi
0
0
0
0
0
0
Kemasan
50
48
50
50
0
48
Penyusutan
50
50
50
50
50
50
330
338
330
330
190
338
Transportasi
10
15
Tenaga kerja
40
50
Fumigasi
0
0
Kemasan
50
45
0
0
100
100
Total RMU
Total Grosir
Survei Total Ritel Transportasi
10
5
Penyimpanan
0
0
Fumigasi
0
0
Kemasan
5
5
Survei
0
0
Total
15
10
84
Lampiran 7. Analisis Marjin Tataniaga pada Setiap Lembaga Tataniaga Beras di Desa Kenduren Tahun 2011 Konsumen Akhir Konsumen Individu Saluran 1
Saluran 2
Konsumen Akhir BULOG
Saluran 3
Saluran 4
Saluran 1
Saluran 2
Uraian Rp/kg
%
Rp/kg
%
Rp/kg
%
Rp/kg
%
Rp/kg
%
Rp/kg
%
Petani Biaya produksi
1945
32,42
1945
32,42
1945
32,42
1945
32,42
1945
32,42
1945
32,42
Keuntungan
1691
28,18
1691
28,18
1691
28,18
1691
28,18
1691
28,18
1691
28,18
Harga jual*
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
3636
60,61
168
2,80
185
2,80
168
2,80
158
2,80
160
2,80
168
2,80
923
15,38
906
15,38
923
15,38
933
15,38
931
15,38
923
15,38
1091 4727
18,18 78,79
1091 4727
18,18 78,79
1091 4727
18,18 78,79
1091 4727
18,18 78,79
1091 4727
18,18 78,79
1091 4727
18,18 78,79
Harga beli Biaya tataniaga
4727
78,79
4727
78,79
4727
78,79
4727
78,79
4727
78,79
4727
78,79
330
4,89
338
4,89
330
4,89
330
4,89
190
4,89
338
4,89
Keuntungan Marjin tataniaga
443
7,99
435
7,99
643
11,32
643
11,32
83
6,32
35
7,99
773
12,88
773
12,88
973
16,21
973
16,21
273
11,21
373
12,88
Harga jual
5500
91,67
5500
91,67
5700
95,00
5700
95,00
5000
90,00
5100
91,67
5500
91,67
5500
91,67
5000
90,00
100 200
2,13 2,87
100 200
2,13 6,20
0,00 100
0,00 1,67
300 5800
5,00 96,67
300 6000
8,33 100,00
100 5100
1,67 91,67
100,00 7,70
6000 462
100,00 7,70
6000 462
100,00 7,70
54,88
2805
51,55
2649
51,55
34,39
1464
31,06
1464
31,06
Tengkulak Harga beli Biaya tataniaga Keuntungan Marjin tataniaga Harga jual
RMU
Grosir Harga beli Biaya tataniaga Keuntungan Marjin tataniaga Harga jual
Ritel Harga beli 5800 96,67 5700 95,00 Biaya tataniaga 15 0,25 10 0,25 Keuntungan 185 3,08 285 4,75 Marjin tataniaga 200 3,33 290 5,00 Harga jual 6000 100,00 6000 100,00 6000 100,00 6000 Total biaya 605 10,08 590 9,83 477 7,95 462 Total keuntungan 3442 57,50 3232 57,75 3542 59,63 3267 Total marjin 2364 39,39 2164 39,39 2354 39,39 2064 Keterangan: % = Persentase terhadap harga jual lembaga tataniaga terakhir *= Harga beras didapat melalui hasil bagi harga jual beras dan rendemen (55%)
85
Lampiran 8. Tabel Rasio Keuntungan dan Biaya Tataniaga Beras Desa Kenduren Tahun 2011 Lembaga Pemasaran
Tengkulak Biaya (c) (Rp/Kg) Keuntungan (π) (Rp/kg) Rasio π/c RMU Biaya (c) (Rp/Kg) Keuntungan (π) (Rp/kg) Rasio π/c Grosir Biaya (c) (Rp/Kg) Keuntungan (π) (Rp/kg)
Konsumen BULOG
Konsumen Individu Saluran 1
Saluran 2
Saluran 3
Saluran 4
Saluran 1
Saluran 2
168,00
185,00
168,00
158,00
160,00
168,00
923,00
906,00
923,00
933,00
931,00
923,00
5,49
4,90
5,49
5,90
5,81
5,49
330,00
338,00
330,00
330,00
190,00
338,00
443,00 1,34
435,00 1,29
643,00 1,95
643,00 1,95
83,00 0,44
35,00 0,10
100,00
100,00
0,00
200,00
200,00
0,00
Rasio π/c 2,00 2,00 0,00 Ritel Biaya (c) (Rp/Kg) 15,00 10,00 Keuntungan (π) (Rp/kg) 185,00 285,00 Rasio π/c 12,33 28,50 Total Biaya (c) (Rp/Kg) 613,00 623,00 508,00 488,00 350,00 Keuntungan (π) (Rp/kg) 1751,00 1541,00 1851,00 1576,00 1014,00 Rasio π/c 2,86 2,47 3,64 3,23 2,90
506,00 958,00 1,89
86