ANALISIS SISTEM TATANIAGA KOMODITAS BROKOLI DI DESA TUGU UTARA, KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BOGOR
SKRIPSI
BATAHI WASTIN HUTABARAT H34076032
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
RINGKASAN BATAHI WASTIN HUTABARAT. Analisis Sistem Tataniaga Komoditas Brokoli di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi Dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan RATNA WINANDI) Kontribusi hortikultura terhadap manusia dan lingkungan memberikan banyak manfaat. Beberapa manfaat produk hortikultura bagi manusia diantaranya adalah sebagai sumber pangan dan gizi, pendapatan keluarga, pendapatan negara, sedangkan bagi lingkungan adalah rasa, estetika, konservasi genetik sekaligus sebagai penyangga kelestarian alam. Salah satu jenis produk hortikultura yang berperan penting dalam perekonomian negara adalah sayuran. Pada berbagai jenis sayuran unggulan yang ada, diketahui bahwa salah satu sayur unggulan adalah brokoli (Brassicae oleraceae L). Brokoli memiliki banyak manfaat dalam aspek kesehatan diantaranya : memperkecil resiko terjadinya kanker kerongkongan, perut, usus besar, paru, larynx, parynx, prostat, mulut, dan payudara, membantu menurunkan resiko gangguan jantung dan stroke, mengurangi resiko terkena katarak, membantu melawan anemia, dan membantu mengurangi resiko terkena spina bifida (gangguan pada tulang belakang). Kelompok tani Suka Tani merupakan salah satu anggota gabungan kelompok tani Tugu Utara yang menjadikan brokoli menjadi salah satu komoditas usahatani anggotanya. Terdapat beberapa kendala yang membuat kelompok tani ini tidak dapat memasarkan produknya secara langsung kepada konsumen sehingga kelompok tani ini harus berhubungan dengan pedagang yang dapat membantu menyalurkan produk tersebut. Kendala yang dihadapi oleh petani adalah harga yang fluktuatif dimana harga seringkali ditentukan oleh pihak pedagang dan petani cenderung bertindak sebagai penerima harga (price taker). Di samping itu terjadi juga perbedaan marjin yang diterima dari tingkat petani kepada pedagang dan pada tingkat sesama pedagang. Dalam hal ini petani mendapatkan bagian yang paling sedikit dari total penerimaan pemasaran brokoli tersebut. Penelitian dilakukan pada kelompok tani Suka Tani yang terletak di jalan Kampung Suka Tani, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Kemudian lokasi penelitian dilanjutkan ke pasar TU Kemang, pasar penampungan Cipanas, pasar induk Cipanas, pasar Cisarua, pasar Tangerang, dan pasar Parung. Waktu penelitian dilakukan selama bulan Juli sampai dengan Agustus 2011. Responden penelitian adalah anggota kelompok tani Suka Tani sebanyak delapan responden, pedagang pengumpul desa sebanyak satu responden, pedagang besar sebanyak dua responden, dan pedagang pengecer sebanyak 13 responden. Penelitian ini menggunakan alat analis marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan dan biaya. Terdapat tiga pola saluran tataniaga brokoli di Desa Tugu Utara. Adapun saluran tersebut adalah sebagai berikut : saluran satu: Petani - Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir, saluran dua : Petani – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir, dan saluran tiga : Petani – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir. Fungsi-fungsi
tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas sudah berjalan relatif baik. Pada umumnya semua lembaga yang terkait dalam tataniaga brokoli di desa Tugu Utara sudah melakukan berbagai fungsi tataniaga dengan baik. Struktur dan perilaku pasar berpengaruh terhadap kinerja keseluruhan sistem tataniaga brokoli di Desa Tugu Utara. saluran tataniaga brokoli yang paling efisien adalah saluran satu. Hal ini dapat dilihat berdasarkan sebaran harga yang tidak berbeda secara signifikan yaitu sebesar Rp 12.000,- per kg, total keuntungan sebesar Rp 5.465,38 per kg, dan rasio keuntungan terhadap biaya yaitu sebesar 2,16. Berdasarkan pengamatan pada saat penelitian disimpulkan bahwa saluran tataniaga brokoli yang terjadi di desa Tugu Utara belum optimal. Hal ini dikarenakan oleh : harga cenderung ditentukan oleh pedagang sehingga petani menjadi penerima harga (price taker), informasi yang diperoleh anggota kelompok tani masih terbatas, dan skala usaha petani masih kecil. Saran yang dapat diberikan pada hasil penelitian ini diantaranya: 1. Saluran satu merupakan saluran yang paling efisien di antara ketiga saluran yang terbentuk. Akan tetapi pada saluran satu masih perlu dilakukan upaya dalam memperkecil biaya tataniaga khususnya di tingkat pedagang pengecer. 2. Pada saluran dua diharapkan adanya upaya untuk meningkatkan keuntungan atau mengurangi biaya dalam meningkatkan rasio keuntungan dan biaya. 3. Pada saluran tiga masih perlu dilakukan peningkatan volume penjualan. 4. Mengharapkan adanya penelitian lanjutan dalam melengkapi informasi yang tidak terdapat dalam penelitian ini.
ANALISIS SISTEM TATANIAGA KOMODITAS BROKOLI DI DESA TUGU UTARA, KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BOGOR
BATAHI WASTIN HUTABARAT H34076032
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul Skripsi : Analisis Sistem Tataniaga Komoditas Brokoli di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Nama
: Batahi Wastin Hutabarat
NIM
: H34076032
Menyetujui, Pembimbing
Dr.Ir. Ratna Winandi, MS NIP. 195307181978032001
Mengetahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 195809081984031002
Tanggal lulus :
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Sistem Tataniaga Komoditas Brokoli di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Maret 2012
Batahi Wastin Hutabarat H34076032
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Balige pada tanggal 4 Agustus 1985. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Sabam Hutabarat dan Ibu Rosida Simanjuntak. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 02 Balige pada tahun 1992 dan pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP Budhi Dharma Balige. Pendidikan lanjutan menengah atas di SMU Bintang Timur 1 Balige diselesaikan pada tahun 2004. Setelah itu, penulis menyelesaikan pendidikan di Diploma 3 Teknologi Industri Kayu, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Penulis diterima pada program Alih Jenis Agribisnis, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007.
KATA PENGANTAR Segala puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena kasih, berkat dan anugerah, kekuatan, dan penyertaanNya dalam hidup penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Sistem Tataniaga Komoditas Brokoli di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi dari Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pemilihan topik dan judul penelitian ini didasari bahwa brokoli (Brassicae oleraceae L) memiliki peranan yang penting dalam perekonomian negara. Di samping itu brokoli memiliki banyak kandungan kimia yang baik untuk kesehatan. Salah satu wilayah yang baru mengembangkan kegiatan usaha tani brokoli adalah kabupaten Bogor. Usahatani brokoli di kabupaten Bogor dimulai pada tahun 2008. Adapun wilayah yang merupakan sentra produksi komoditas brokoli terdapat di kecamatan Cisarua. Desa Tugu Utara menjadi salah satu wilayah bagian di Kecamatan Cisarua yang memiliki kontribusi produksi yang relatif besar dalam menghasilkan komoditas brokoli. Kelompok tani Suka Tani merupakan salah satu penghasil komoditas brokoli yang terdapat di Desa Tugu Utara. Kelompok tani Suka Tani mulai memulai usahatani brokoli pada tahun 2009. Pada tahun 2009, kelompok tani ini mampu memperoleh tingkat produksi sebesar 59,52 persen dari total produksi brokoli yang ada di wilayah Cisarua, dan pada tahun 2010 mampu memperoleh tingkat produksi sebesar 54,11 persen dari total produksi di wilayah Cisarua tersebut. Aspek potensi produksi tersebut seharusnya dapat menjadi salah satu kekuatan bagi anggota kelompok tani dalam memasarkan komoditas brokoli tersebut. Namun harga seringkali ditentukan oleh pedagang sehingga petani menjadi penerima harga (price taker). Harga yang diperoleh petani juga cenderung fluktuatif karena harga ditentukan oleh pedagang. Di samping itu, terbentuk juga marjin penjualan yang besar antara petani dengan pedagang pengecer sebagai penjual akhir. Kondisi marjin tersebut pada akhirnya
berdampak pada kesejahteraan petani dikarenakan penerimaan atas penjualan yang relatif kecil. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sistem tataniaga brokoli yang dilakukan pada kelompok tani Suka Tani di Desa Tugu Utara. Namun demikian, sangat disadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan pada skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Maret 2012
Batahi Wastin Hutabarat
UCAPAN TERIMA KASIH Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada :
1.
Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
2.
Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen evaluator pada kolokium yang telah meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3.
Ir. Yuniar Atmakusuma, MS selaku dosen penguji utama pada ujian sidang penulis atas segala kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
4.
Ir. Harmini, M.Si selaku dosen penguji dari komisi pendidik pada ujian sidang penulis dalam memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
5.
Orangtua dan keluarga tercinta untuk setiap dukungan cinta kasih dan doa yang diberikan. Semoga ini bisa menjadi persembahan yang terbaik.
6.
Pihak kelompok Tani Suka Tani dan para pedagang yang dijadikan oleh penulis sebagai responden atas waktu, kesempatan, informasi, dan dukungan yang diberikan.
7.
Enrico T.N. Doloksaribu, Ivan Stanley Siregar, Yohan Wahyudi, Adi Christiyanto, dan Rosida Aritonang, atas setiap waktu untuk bertukar pikiran, khususnya dalam perkembangan penulisan tugas akhir ini.
8.
Nicholas De Surya Tenglewier, Vicki Risky, dan Yusman Syah, untuk segala kebersamaan, dukungan dan kesediaan waktu untuk mendampingi selama di lapangan.
9.
Bhanu Dono dan Johanes Wiharto untuk dukungan dan motivasi selama penulisan tugas akhir ini berlangsung.
10. Sri Susanti Siahaan dan Conny Evelina Tampubolon setiap waktu untuk bertukar pikiran dan motivasi yang diberikan khususnya pada masa penulisan tugas akhir ini.
11. Desi Natalis Singarimbun, Ribkha Dumiris Sinaga, Verawati Ambarita, dan Reni Tilova Siagian atas bantuannya dalam mempersiapkan segala kebutuhan seminar hasil penelitian. 12. Komisi Kesenian Persekutuan Mahasiswa Kristen yang menjadi salah satu wadah pembentukan karakter penulis selama melakukan studi di kampus tercinta. 13. Bapak Sri Bawono dan Ibu Esther Bawono Simanjuntak atas segala masukan dan dukungan semangat dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 14. Teman-teman terdekat di ekstensi Agribisnis : Pamela Situmorang, Heri Eko Wira Marpaung, Felix Bob Siregar, Lustri Sembiring, Kinza Laura, Erik Siregar, Ance Trio Marta, Agus Sutrisno Sihombing, dan Ignaz Charles Simanjuntak atas kebersamaan yang telah dijalani bersama selama melakukan studi di kampus tercinta. 15. Rekan-rekan di Keluarga Mahasiswa Kristen Ekstensi (KMKE). 16. Rekan-rekan di Departemen Profetik GSJA Betlehem atas dukungan yang selalu mengingatkan dan memberi perhatian terhadap proses penulisan tugas akhir yang sedang dijalani oleh penulis. 17. Teman-teman satu kos di perwira 19 Darmaga atas segala kebersamaan, motivasi, dukungan, dan doa yang diberikan. 18. Teman-teman seperjuangan dan teman-teman ekstensi Agribisnis angkatan tiga, empat, dan lima atas semangat dan sharing selama penelitian hingga penulisan skripsi, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.
Bogor, Maret 2012
Batahi Wastin Hutabarat
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .......................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................. DAFTAR GAMBAR ............................................................................. DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... I PENDAHULUAN ........................................................................ 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 II
III
Latar Belakang ..................................................................... Perumusan Masalah ............................................................. Tujuan .................................................................................. Manfaat Penelitian ............................................................... Ruang Lingkup Penelitian ....................................................
1 7 11 11 12
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................
13
2.1 2.2 2.3
Brokoli (Brassicae oleraceae L) ......................................... Penelitian Terdahulu ........................................................... Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu ....
13 15 22
KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................
23
3.1
23 23 23 25 25 27
Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................... 3.1.1 Tataniaga Pertanian .................................................. 3.1.2 Fungsi Tataniaga ....................................................... 3.1.3 Lembaga Tataniaga .................................................. 3.1.4 Saluran Tataniaga ..................................................... 3.1.5 Fungsi Saluran Tataniaga ........................................ 3.1.6 Pendekatan Structure-Conduct-Perfromance (S-C-P) ...................................................................... 3.1.7 Efisiensi Tataniaga ................................................... 3.1.8 Marjin Tataniaga ...................................................... 3.1.9 Farmer’s Share ......................................................... 3.1.10 Peran Kelompok Tani ............................................... Kerangka Pemikiran Operasional ........................................
27 34 35 38 38 40
METODE PENELITIAN ............................................................
43
4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10
43 43 43 44 44 44 45 45 46 46
3.2 IV
iii v vi vii 1
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................... Metode Pengumpulan Data .................................................. Metode Penarikan Responden .............................................. Metode Pengolahan dan Analisis Data ................................ Analisis Saluran Tataniaga ................................................... Analisis Lembaga Tataniaga ................................................ Analisis Struktur dan Perilaku Pasar .................................... Analisis Marjin Tataniaga .................................................... Analisis Farmer’s Share ...................................................... Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya .................................
V
VI
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .......................
47
5.1 5.2 5.3 5.4 5.5 5.6
Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................... Kelompok Tani Suka Tani ................................................... Gambaran Umum Usaha Tani Brokoli ................................ Karaktertistik Petani Responden .......................................... Pengalaman Usahatani Brokoli ............................................ Karakteristik Pedagang Responden ......................................
47 48 50 52 54 54
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................
57
6.1 6.2
57 57 61 63 64 65 69 70 70 72 73 73
6.3
6.4
6.5
6.6
Sistem Tataniaga .................................................................. Saluran Tataniaga ................................................................. 6.2.1 Saluran Tataniaga Satu ............................................. 6.2.2 Saluran Tataniaga Dua ............................................. 6.2.3 Saluran Tataniaga Tiga ............................................. Fungsi Tataniaga pada setiap Lembaga Tataniaga ............... 6.3.1 Petani ........................................................................ 6.3.2 Pedagang Pengumpul Desa ...................................... 6.3.3 Pedagang Besar/ Grosir ............................................ 6.3.4 Pedagang Pengecer ................................................... Analisis Struktur Pasar ......................................................... 6.4.1 Struktur Pasar di Tingkat Petani ............................... 6.4.2 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Desa ....................................................... 6.4.3 Strukur Pasar di Tingkat Pedagang Besar ................ 6.4.4 Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer ......... Analisis Perilaku Pasar ......................................................... 6.5.1 Praktek Pembelian dan Penjualan serta Sistem Penentuan Harga di Tingkat Petani ......................... 6.5.2 Praktek Pembelian dan Penjualan serta Sistem Penentuan Harga di Tingkat Pedagang Pengumpul Desa ....................................................... 6.5.3 Praktek Pembelian dan Penjualan serta Sistem Penentuan Harga di Tingkat Pedagang Besar 6.5.4 Praktek Pembelian dan Penjualan serta Sistem Penentuan Harga di Tingkat Pengecer .................... 6.5.5 Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga ...................... Keragaan Pasar ..................................................................... 6.6.1 Analisis Marjin Tataniaga ........................................ 6.6.2 Farmer’s share ......................................................... 6.6.3 Rasio Keuntungan dan Biaya ................................... 6.6.4 Efisiensi Tataniaga ...................................................
VII KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 7.1 7.2
74 74 75 75 76
77 78 79 81 82 82 84 86 88 91
Kesimpulan .......................................................................... Saran .....................................................................................
91 92
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
93
iv
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Produksi Sayuran Indonesia (2004-2009) ................................................. 3 2. Data Konsumsi Sayuran Indonesia (2004-2010) ...................................... 5 3. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Brokoli di kecamatan Cisarua (2008-2010)............................................................................................... 6 4. Daftar Kelompok Tani di desa Tugu Utara ............................................... 7 5. Harga Brokoli di Tingkat Petani...............................................................
9
6. Harga Brokoli di Tingkat Pedagang Pengecer di Pasar Bogor................. 10 7. Komposisi Nutrisi per 100 gram Brokoli................................................. 14 8. Penelitian Terdahulu tentang Tataniaga................................................... 21 9. Lima Jenis Pasar Sistem Pangan dan Serat.............................................. 29 10. Sifat-sifat Utama Bentuk Pasar Bersaing Murni (Atomistik) dan Oligopolistik dikembangkan dengan Sistem Tataniaga.................................................................................................. 30 11. Pemanfaatan Lahan Desa Tugu Utara Tahun 2010.................................
48
12. Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Usia, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengalaman dan Luas Lahan Usahatani Brokoli pada Tahun2011......................................................................................
53
13. Karakteristik Pedagang Perantara...........................................................
56
14. Fungsi- Fungsi Lembaga-Lembaga Brokoli di Desa Tugu Utara...........
67
15. Tingkat Harga rata-rata Brokoli Pada Lembaga Tataniaga di desa Tugu Utara tahun 2011............................................................................
77
16. Analisis Marjin Tataniaga Brokoli Pada Saluran Satu, Dua, dan Tiga, di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.................... 83 17. Farmer’s Share Pada Saluran Brokoli di Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.................................................................................. 85 18. Rasio Keuntungan dan Biaya untuk Setiap Saluran Tataniaga Brokoli yang ada di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor..
87
19. Sebaran Harga pada Masing-Masing Pola Saluran Tataniaga Brokoli di Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor............................. 89
DAFTAR GAMBAR
Nomor
.
Halaman
1. Contoh Saluran Tataniaga dengan Beberapa Tingkat.....................
26
2. Marketing Margin............................................................................
37
3. Kerangka Pemikiran Operasional....................................................
42
4. Saluran Tataniaga Brokoli di Desa Tugu Utara..............................
59
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1 Karakteristik Petani Brokoli pada Kelompok Tani Suka Tani di Desa Tugu Utara ............................................................................. 2 Biaya Produksi Petani Brokoli di Desa Tugu Utara per Musim Panen...................................................................................
97
3 Pendapatan Petani Brokoli di Desa Tugu Utara..............................
98
4 π/C Rasio Petani Brokoli di Desa Tugu Utara ................................
99
96
5 Biaya Pedagang Pengumpul............................................................ 100 6 Pendapatan Biaya Pengumpul ......................................................... 100 7 Biaya Pedagang Besar ..................................................................... 101 8 Pendapatan Pedagang Besar............................................................ 102 9 Biaya Pedagang Pengecer ............................................................... 103 10 Pendapatan Pedagang Pengecer ...................................................... 104
I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pertumbuhan jasmani yang normal membutuhkan pangan yang cukup
bergizi. Pangan yang bergizi terdiri dari zat pembakar seperti karbohidrat, zat pembangun misalnya protein, dan zat pelindung seperti vitamin serta mineral. Karbohidrat banyak terdapat pada pangan beras, jagung, ketela pohon, dan sebagainya, sedangkan pangan protein dapat diperoleh dari hewan (protein hewani) atau dari tanaman (protein nabati). Buah-buahan dan sayuran memiliki kandungan protein maupun vitamin serta mineral yang cukup banyak untuk menopang keseimbangan metabolisme dalam tubuh. Kontribusi hortikultura terhadap manusia dan lingkungan memberikan banyak manfaat. Beberapa manfaat produk hortikultura bagi manusia diantaranya adalah sebagai sumber pangan dan gizi, pendapatan keluarga, dan pendapatan negara. Sedangkan manfaatnya bagi lingkungan adalah menambah citra dalam rasa dan estetika, konservasi genetik dan sekaligus sebagai penyangga kelestarian alam. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman jenis buah-buahan dan sayur-sayuran yang sangat banyak. Komoditas sayuran memegang peranan penting dalam perekonomian negara. Salah satu produk sayuran unggulan adalah brokoli. Brokoli (Brassicae oleraceae L) merupakan tanaman sayuran yang termasuk dalam kelompok kubis-kubisan (Brassicaceae). Bagian brokoli yang dapat dimakan adalah kepala bunga berwarna hijau yang tersusun rapat seperti cabang pohon dan batang tebal. Brokoli dikenal memiliki berbagai kandungan kimia yang baik bagi kesehatan tubuh manusia. Adapun kandungan dalam brokoli antara lain protein, lemak, karbohidrat, serat, kalsium, zat besi, vitamin A, C, E, tiamin, riboflavin, nikotinamide, kalsium, beta karoten dan glutation, senyawa sianohidroksibutena (CHB), sulforafan dan iberin yang merangsang pembentukan glutation. Hal ini menjadikan brokoli menjadi salah satu sayuran yang diminati banyak orang. Brokoli juga dapat digunakan sebagai obat untuk menjinakkan bakteri H. pylori yang mengendap di dalam lambung dan
usus dua belas jari yang dapat menyebabkan penyakit tukak lambung dan gangguan usus dua belas jari. 1 Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 1. produktivitas sayuran secara umum cenderung fluktuatif terhitung mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2009. Dari 18 komoditas sayuran unggulan pada tahun 2009, produktivitas brokoli berada pada peringkat sepuluh. Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa produktivitas brokoli cenderung fluktuatif. Produktivitas brokoli pada tahun 2004 mampu mencapai angka 94,77 kuintal/Ha. Brokoli mengalami peningkatan produktivitas pada tahun 2005 yaitu sebesar 100,71 kuintal/Ha. Tingkat produktivitas brokoli pada tahun 2005
merupakan tingkat produktivitas terbesar dari tahun 2004
sampai pada tahun 2009. Pada tahun 2006 terjadi penurunan produktivitas yang sangat drastis yakni sebesar 9,882 kuintal/Ha. Tingkat produktivitas brokoli pada tahun 2006 merupakan tingkat produktivitas terendah dari tahun 2004 sampai pada tahun 2009. Pada tahun 2007, komoditas brokoli mengalami peningkatan produktivitas menjadi 95,35 kuintal/Ha. Pada akhirnya pada tahun 2009, komoditas brokoli kembali mengalami penurunan produktivitas menjadi 90,135 kuintal/Ha.
1
Tim Info Tempo.2009.Khasiat si Kecambah Brokoli.www.tempointeraktif.com.3 November 2010
2
Tabel 1. Produktivitas Sayuran Indonesia (2004-2009) Tahun Jenis sayuran
Satuan 2004
2005
2006
2007
2008
2009
Bunga Kol
ton/ha
14,44
14,53
13,63
13,37
12,31
11,87
Buncis
ku/ha
81,4
87,9
7,75
85,2
85,2
94,8
Brokoli
Ku/ha
94,77
100,71
9,882
95,535
96,795
90,135
Cabe
ku/ha
56,6
0
0
0
0
0
Jamur
ku/ha
400,9
1.213,60
790,7
1.279,80
675,8
549,3
Kacang Merah
ku/ha
3,2
38,3
3,82
45,1
47,8
48,6
Kacang Panjang
ku/ha
53,4
55
5,44
57,2
54,6
57,7
Kangkung
ku/ha
56,4
63,6
6,6
71,3
68
73,8
Kentang
ku/ha
163,9
164
169,4
160,9
167
165,1
Ketimun
ku/ha
94,9
104,1
10,21
102,6
96,8
103,9
Kol
ku/ha
115,83
123,09
12,078
116,765
118,305
110,165
Lobak
ku/ha
124,1
164,6
135,1
133,2
210,6
156,9
Petai
ton/ha
7,01
7,47
7,58
6,99
8,19
6,92
Petsai / Sawi
ku/ha
9,43
105,9
103
102,8
103,6
99,8
Terung
ku/ha
69
73,5
7,26
82,1
88,2
93,8
Tomat
ku/ha
118,9
126,4
11,77
123,3
136,6
152,7
Wortel
ku/ha
175,3
178,5
167,1
147,8
149
148,6
Jahe
kg/m2
1,7
1,82
1,77
2,66
1,93
1,69
Sumber : Susenas diolah (2011)
Sementara itu, dari Tabel 2. dapat diketahui bahwa tingkat konsumsi per kapita sayuran di Indonesia dari tahun 2004 hingga tahun 2010 cenderung fluktuatif. Konsumsi per kapita untuk komoditas brokoli pada tahun 2004 mencapai 0,91 kg/tahun. Konsumsi per kapita brokoli pada tahun 2005 meningkat menjadi 0,94 kg/tahun. Tingkat konsumsi per kapita pada tahun 2005 tersebut merupakan tingkat konsumsi per kapita tertinggi dari tahun 2004 sampai pada tahun 2010. Pada tahun 2006, konsumsi per kapita brokoli mengalami penurunan
3
menjadi 0,82 kg/tahun. Tingkat konsumsi per kapita pada tahun 2006 tersebut merupakan tingkat konsumsi per kapita terendah dari tahun 2004 sampai pada tahun 2010. Setelah itu, pada tahun 2007 konsumsi per kapita untuk komoditas brokoli mengalami peningkatan sampai pada tahun 2008. Penurunan konsumsi per kapita untuk komoditas brokoli pada tahun 2006 diperkirakan sejalan dengan penurunan tingkat produktivitas komoditas brokoli pada tahun 2006 yang mencapai 9,882 kuintal/Ha (Tabel 1.). Adapun tingkat konsumsi per kapita brokoli akan terus meningkat pada tahun 2009 dan tahun 2010 yaitu sebesar 0,89 kg/tahun dan 0,92/tahun.
4
Tabel 2. Data Konsumsi per Kapita Sayuran Indonesia (2004-2010) Konsumsi per Kapita (kg/tahun) Jenis sayur-sayuran 2004
2005
2006
2007
2008
2009#
2010#
Bawang Merah
2,19
2,21
2,08
3,01
2,74
2,82
2,90
Ketimun
1,92
1,92
1,98
2,08
2,08
2,14
2,21
-
-
-
-
-
0,00
0,00
Kacang Panjang
3,43
3,69
4,00
3,80
3,80
3,91
4,03
Kentang
1,82
1,92
1,66
2,08
2,03
2,09
2,15
Kol
1,12
1,09
1,00
1,03
1,06
1,09
1,12
Tomat
1,52
1,34
1,17
2,09
2,23
2,29
2,36
Wortel
0,73
1,09
0,94
1,14
1,14
1,18
1,21
Brokoli
0,91
0,94
0,82
0,84
0,86
0,89
0,92
Cabe Merah
1,36
1,51
1,38
1,47
1,54
1,59
1,64
Cabe Hijau
0,24
0,24
0,23
0,30
0,27
0,27
0,28
Cabe Rawit
1,14
1,16
1,16
1,51
1,44
1,48
1,53
Terung
2,55
2,55
2,65
3,48
2,91
3,00
3,09
Petsai / Sawi
0,47
0,78
0,47
0,73
0,88
0,91
0,94
Kangkung
4,52
4,94
4,99
4,94
4,78
4,93
5,08
Labu Siam
0,83
0,94
1,09
1,46
1,46
1,50
1,54
Buncis
0,94
0,94
0,94
0,88
0,94
0,96
0,99
Bayam
4,42
4,78
4,37
4,47
4,00
4,13
4,25
Bawang Putih
1,15
1,21
1,09
1,51
1,71
1,76
1,82
Jamur
0,05
0,05
0,04
0,07
0,06
0,06
0,06
Petai
-
-
0,15
0,84
0,30
0,31
0,32
Jengkol
-
-
0,62
0,68
0,47
0,48
0,50
Lainnya
2,18
2,03
1,72
2,50
2,76
2,84
2,92
Kacang Merah
Sumber : Susenas diolah (2011) Keterangan : # = Angka ramalan
5
Dataran tinggi Jawa Barat (Bandung, Garut, Bogor, Cianjur, dan Tasikmalaya) terletak pada daerah agroklimat basah dengan rata-rata bulan basah delapan sampai dengan sepuluh bulan dengan curah hujan rata-rata tahunannya lebih dari 2000 mm. Daerah ini cocok untuk pertumbuhan dan produksi sayuran dataran tinggi seperti brokoli, paprika, selada, sawi, kentang, wortel, kubis, dan lain-lain (Nugraha, 2010). Berdasarkan informasi melalui komunikasi lisan dengan pihak Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, diperoleh informasi bahwa sayuran brokoli merupakan salah satu jenis sayuran yang belum lama dibudidayakan dan untuk wilayah Bogor hanya dihasilkan di kecamatan Cisarua – Puncak. Daerah ini dipilih untuk usahatani brokoli karena sesuai dengan persyaratan tumbuh dari sayuran brokoli tersebut ditinjau dari aspek geografisnya, yaitu wilayah dengan ketinggian 800 - 900 mdpl. Pihak Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor menyampaikan bahwa sampai saat ini wilayah sentra produksi brokoli untuk wilayah Bogor hanya terdapat di kecamatan Cisarua. Laporan pihak Unit Pelaksana Teknis Pengembangan Teknologi Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan dan Kehutanan VII (UPT PTTPHPK VII) menginformasikan bahwa di kecamatan Cisarua brokoli baru dibudidayakan pada tahun 2008. Laju pertumbuhan brokoli dari aspek luas panen, produktivitas, dan produksi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Brokoli di Kecamatan Cisarua (2008-2010) Tahun Luas panen (ha) Produktivitas Produksi (ton) (ton/ha) 2008 40 6,75 270 2009 40 6,75 270 2010 44 6,75 297 Sumber : UPT PTTPHPK VII wilayah Ciawi (2011)
Berdasarkan Tabel 3. produksi brokoli dari tahun 2008 sampai pada tahun 2009 adalah tetap yaitu sebesar 270 ton, kemudian mengalami peningkatan produksi sebesar 10 persen pada tahun 2010. Usahatani brokoli di kecamatan Cisarua terpusat di desa Tugu yang masih terbagi pada dua wilayah pedesaan yaitu desa Tugu Utara dan desa Tugu Selatan.
6
Salah satu kelompok tani yang mengusahakan brokoli di desa Tugu Utara yaitu kelompok tani Suka Tani. Kelompok tani Suka Tani merupakan bagian dari gabungan kelompok tani Tugu Utara. Gapoktan Tugu Utara terdiri dari beberapa kelompok tani yang bergerak dalam beberapa bidang budidaya komoditas yang dapat dilihat pada Tabel 4. Kelompok tani Suka Tani bergerak dalam usahatani sayuran non organik. Berdasarkan luas lahan, kelompok tani Suka Tani memiliki luas lahan yang paling besar jika dibandingkan dengan kelompok tani sayuran non organik lainnya di Gapoktan Tugu Utara, yaitu sekitar 70 Ha. Usahatani brokoli yang dijalankan oleh kelompok tani Suka Tani baru dimulai pada tahun 2009. Adapun dari 20 anggota petani kelompok tani Suka Tani, baru ada delapan petani yang berkecimpung dalam usahatani brokoli sampai pada saat ini. Tabel 4. Daftar Kelompok Tani di Desa Tugu Utara Nama Kelompok Tani Pemuda Sampang
Alamat
Nama Ketua
Kampung Sampang Aang Zaenal Rt 01/03 Gadong Organik Kampung Cisuren Rt Soemadi STP 04/04 Wijaya Tani Kampung Cisuren Rt Asep Ruhiyat 04/04 Puncak Sejati Kampung Pondok Henda Budiman Rawa Rt 03/04 Tunas Kaliwung Kampung Pondok Rudi Sanjaya Caringin Rt 02/04 Kaliwung Kalimuncar Kampung Pondok Dedi Damhudi Caringin Rt 02/04 Suka Tani Kampung Suka Tani Ujang Yahya Rt 06/04 Halimun Kampung Tugu Rt H.Topik 02/01 Hijau Lestari Kampung Cisuren Rt H. Mamat Karyana 04/04 Sumber : Kantor Kelurahan desa Tugu Utara (2011)
1.2
Komoditas Budidaya Ikan Nila Sayuran Organik Sayuran Non Organik Kambing Kelinci Jamur Tiram Sayuran Non Organik Sayuran Non Organik Sayuran Non Organik
Perumusan Masalah Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1983), perekonomian yang menyangkut
persoalan dalam hal mata pencaharian dan cara hidup bermasyarakat terbagi atas tiga bagian, yaitu produksi, pemasaran, dan konsumsi. Produksi dan pemasaran adalah kegiatan yang mempunyai hubungan dengan penciptaan atau penambahan kegunaan atas barang dan jasa, sedangkan konsumsi adalah kegiatan yang
7
memiliki hubungan dengan penurunan atas kegunaan barang dan jasa. Sementara pemasaran atau yang sering disebut sebagai tataniaga merupakan tindakan yang berhubungan dengan pergerakan barang-barang dan jasa dari pihak produsen ke pihak konsumen. Kelompok tani Suka Tani merupakan salah satu anggota gabungan kelompok tani Tugu Utara yang berada di jalan Kampung Suka Tani, desa Tugu Utara, kecamatan Cisarua, kabupaten Bogor. Kelompok tani Suka Tani memiliki anggota sebanyak 20 orang dengan seorang ketua yang bernama bapak Ujang Yahya. Usahatani brokoli di Suka Tani baru dimulai dari tahun 2009. Pada kelompok tani ini, baru terdapat delapan orang petani dalam menjalankan usahatani brokoli. Adapun total luas lahan petani brokoli pada kelompok tani ini seluas 27,6 Ha (Lampiran 1). Masa tanam jenis sayuran ini adalah selama 2,5 bulan dari tahap penyemaian sampai masa panen. Kelompok tani Suka Tani telah mampu menjalankan usahatani brokoli dengan memperoleh hasil panen yang besarnya sama dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2010 . Hasil panen rata-rata petani dapat mencapai 5,93 ton brokoli per tahun. Dengan demikian total hasil panen yang didapatkan oleh delapan anggota kelompok tani tersebut adalah sebesar 160,70 ton per tahun pada total luas panen sebesar 27,6 Ha. Data pada Tabel 3. dapat menunjukkan bahwa hasil produksi brokoli di Kecamatan Cisarua sebagian besar diperoleh dari kelompok tani Suka Tani. Pada tahun 2009, kelompok tani ini mampu memperoleh tingkat produksi sebesar 59,52 persen dari total produksi brokoli yang ada di wilayah Cisarua, dan pada tahun 2010 mampu memperoleh tingkat produksi sebesar 54,11 persen dari total produksi di wilayah Cisarua tersebut. Proporsi produksi yang besar pada kelompok tani ini seharusnya membuat kelompok tani tersebut mampu memasarkan brokoli dengan lebih baik. Akan tetapi kelompok tani ini harus mampu menciptakan aktivitas tataniaga yang baik untuk menjaga kestabilan produksinya. Tingkat produksi yang tinggi dapat menjadi salah satu kekuatan bagi kelompok tani ini untuk memasarkan produk brokoli yang dihasilkannya. Oleh karena itu, cukup menarik untuk melakukan suatu penelitian pada kelompok tani ini.
8
Kelompok tani Suka Tani sebenarnya mampu memasarkan produknya secara langsung kepada konsumen. Akan tetapi terdapat beberapa kendala yang membuat kelompok tani ini tidak dapat memasarkan produknya secara langsung kepada konsumen sehingga membuat kelompok tani ini harus berhubungan dengan pedagang yang dapat membantu menyalurkan produk tersebut. Kendala yang dihadapi oleh kelompok tani tersebut adalah produk yang dijual sifatnya mudah rusak (bulky) dan cepat busuk (perishable). Kendala lain yang dihadapi adalah jarak lokasi pemasaran dari areal usahatani yang dimiliki oleh kelompok tani, sehingga memerlukan penanganan, mulai dari penyimpanan, pengangkutan dan bongkar muat. Hal tersebut dapat mengakibatkan biaya yang dikeluarkan oleh kelompok tani tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperolehnya. Dalam memasarkan brokoli, petani belum dapat menentukan harga jual. Dengan demikian penentuan harga seringkali dilakukan oleh pihak pedagang, sehingga status petani hanya sebagai penerima harga saja (price taker). Hal inilah yang mengakibatkan petani cenderung tergantung pada pihak pedagang. Pada Tabel 5. dapat dilihat bahwa harga rata-rata per bulan yang diterima oleh petani dari bulan Oktober tahun 2010 sampai pada bulan Juni tahun 2011 berfluktuasi. Tabel 5. Harga Rata-rata Brokoli di Tingkat Petani Tahun Bulan 2010 Oktober 2010 November 2010 Desember 2011 Januari 2011 Februari 2011 Maret 2011 April 2011 Mei 2011 Juni Keterangan : - : petani tidak melakukan penanaman brokoli Sumber : Ketua Kelompok Tani Suka Tani (2011)
Harga per kg (Rp) 4.500 3.000 5.000 4.000 4.000
9
Pada Tabel 5. dapat terlihat bahwa petani memperoleh harga rata-rata yang fluktuatif dari mulai bulan Oktober 2010 sampai pada bulan Juni 2011. Petani memperoleh harga rata-rata tertinggi pada bulan Desember tahun 2010 sebesar Rp 5.000,- per kg dan harga rata-rata terendah diperoleh pada bulan November 2010, yaitu sebesar Rp 3.000,- per kg. Dalam hal ini, penulis juga melakukan suatu kegiatan peninjauan harga jual di tingkat pedagang pengecer di pasar Bogor, yang dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Harga Rata-rata Brokoli di Tingkat Pedagang Pengecer di Pasar Bogor Tahun Bulan 2010 Oktober 2010 November 2010 Desember 2011 Januari 2011 Februari 2011 Maret 2011 April 2011 Mei 2011 Juni Sumber : Pedagang Pengecer di Pasar Bogor (2011)
Harga per kg 11.000 12.000 12.000 15.000 9.000 9.000 8.000 8.000 12.000
Pada Tabel 6. dapat diketahui bahwa harga yang terbentuk di tingkat pedagang pengecer berfluktuasi. Pedagang pengecer memperoleh harga rata-rata tertinggi pada bulan Januari tahun 2011, yaitu sebesar Rp 15.000,- per kg dan harga rata-rata terendah diperoleh pada bulan April dan Mei tahun 2011 yaitu sebesar Rp 8.000,- per kg. Jika dilakukan pengamatan pada Tabel 5. dan Tabel 6., dapat disimpulkan bahwa telah terbentuk suatu marjin pemasaran yang relatif besar diantara petani sampai ke pedagang pengecer. Dalam hal ini petani mendapatkan bagian yang relatif paling sedikit dari total penerimaan pemasaran brokoli tersebut. Dengan memperhatikan fakta-fakta tersebut, penulis memiliki suatu ketertarikan dalam melakukan penelitian tentang sistem tataniaga brokoli pada kelompok tani ini. Sistem tataniaga brokoli berkaitan dengan peran lembaga tataniaga dalam menyampaikan brokoli dari tangan produsen ke tangan konsumen. Oleh karena itu, hal ini memiliki keterkaitan pada perbedaan lokasi dan kegiatan lembaga tataniaga yang mengakibatkan penyebaran harga dan keuntungan antar lembaga tataniaga menjadi tidak merata. Adanya lembaga tataniaga akan menyebabkan harga brokoli berubah setelah sampai di konsumen, di mana yang menjadi
10
penyebab hal tersebut adalah setiap lembaga tataniaga berusaha melakukan fungsi tataniaga yang menambah nilai guna (utilitas) dari brokoli tersebut sehingga memperbesar biaya tataniaga. Besarnya biaya tataniaga biasanya dibebankan kepada pihak produsen dan konsumen dengan cara meningkatkan harga konsumen atau menekan harga produsen. Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat suatu perumusan masalah yang terwujud dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut : 1.
Bagaimana sistem tataniaga yang dilakukan oleh kelompok tani Suka Tani, di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua – Puncak, Kabupaten Bogor ?
2. 1.3
Apakah sistem tataniaga yang berlangsung sudah efisien ? Tujuan Berdasarkan pemaparan permasalahan tersebut, maka tujuan dari
penelitian ini adalah menganalisis sistem tataniaga brokoli yang dilakukan pada kelompok tani Suka Tani di Desa Tugu Utara. 1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :
1.
Anggota kelompok tani dan lembaga tataniaga terkait dalam membantu menambah informasi dan masukan dalam hal pengambilan keputusan pemasaran produk secara umum dan pemasaran brokoli secara khusus.
2.
Masyarakat secara umum untuk dapat menambah pengetahuan dalam menjalankan bisnis untuk komoditas brokoli.
3.
Pembaca, dalam menambah informasi, literatur, dan bahan tambahan untuk keperluan penelitian selanjutnya.
11
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penulis melakukan batasan dalam melakukan kegiatan penelitian, yang
mencakup : 1.
Produk yang dikaji adalah komoditas brokoli yang merupakan salah satu komoditas unggulan yang dihasilkan oleh kelompok tani Suka Tani.
2.
Penelitian hanya terfokus tentang sistem tataniaga sayur brokoli pada kelompok tani Suka Tani.
3.
Penelitian berlangsung pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2011.
4.
Penelitian dilakukan pada kelompok tani Suka Tani yang terletak di jalan Kampung Suka Tani, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.
12
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Brokoli (Brassicae oleraceae L) Brokoli (Brassicae oleraceae L) adalah tanaman sayuran yang termasuk
dalam suku kubis-kubisan (Brassicaceae). Brokoli diperkirakan didomestikasi di wilayah Mediterania dan mungkin di sekitar Siprus atau Crete. Ada tiga tipe brokoli yang ditanam, yaitu tipe umur genjah, tipe umur sedang, dan tipe umur dalam. Bagian tanaman yang dapat dimakan adalah perbungaan yang terdiri atas bunga muda yang telah terdiferensiasi sempurna dan bagian atas batang yang lembut. Berikut taksonomi dari brokoli : Kelas
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi
: Spermathophyta (tumbuhan berbiji) atau Embryophyta Siphonogomo
Kelas
: Angiospermae (berbiji tertutup)
Ordo
: Brassicalaes (Rhoedales)
Famili
: Brassicaceae (Cruciferae)
Genus
: Brassisca
Species
: Oleraceae L
Kisaran temperatur optimum untuk pertumbuhan dan produksi brokoli adalah 15,5-18,00C. Brokoli merupakan tanaman yang sangat peka terhadap temperatur, terutama pada periode pembentukan bunga. Keadaan tanah untuk lahan penanaman brokoli harus subur, gembur, kaya bahan organik, dan tidak mudah tergenang air, kisaran pH tanah pada kisaran 5,5-6,5 dan harus memiliki pengairan yang cukup. Beberapa manfaat brokoli bagi kesehatan tubuh diantaranya : 1.
Memperkecil resiko terjadinya kanker kerongkongan, perut, usus besar, paru, larynx, parynx, prostat, mulut, dan payudara.
2.
Membantu menurunkan resiko gangguan jantung dan stroke.
3.
Mengurangi resiko terkena katarak.
4.
Membantu melawan anemia.
5.
Mengurangi resiko terkena spina bifida (salah satu jenis gangguan kelainan tulang belakang).
Komposisi nutrisi yang terkandung dalam 100 gram brokoli dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi Nutrisi per 100 gram Brokoli Nutrisi Jumlah Mineral Jumlah Kalsium Air 90,69 g 48 mg (Ca) 28 0,88 Energi Besi (Fe) Kcal mg Magnesium Energi 117 kj 25 mg (Mg) Protein 2,98 g Phospor (P) 66 mg Potassium Total lemak 0,35 g 325 mg (K) Sodium Karbohidrat 5,24 g 7 mg (Na) Serat 3g Seng (Zn) 0,4 mg Tembaga 0,045 Ampas 0,92 g (Cu) mg Mangan 0,229 Vitamin Jumlah (Mn) mg Selenium Vitamin C 93,2 mg 3 mcg (Se) 0,065 Thiamin Lemak Jumlah mg Asam 0,119 Riboflavin Lemak 0,054 g mg Jenuh Asam 0,638 Niacin Lemak Tak 0,191 g mg Jenuh Asam 0,535 Kolesterol 0 mg Pantothenic mg Vitamin B0,159 6 mg Folat 71 mcg Vitamin A 1542 UI 1,66 Vitamin E mg
Asam Amino
Jumlah
Tryptophan
0,029 g
Threonine
0,091 g
Isoleucine
0,109 g
Leucine
0,131 g
Lysine
0,141 g
Methionine
0,034 g
Cystine
0,02 g
Phenylalanine
0,084 g
Tyrosine
0,063 g
Valine
0,128 g
Arginine
0,145 g
Histidine
0,05 g
Alanine
0,118 g
Aspartic acid
0,213 g
Glutamic acid
0,375 g
Glycine Proline
0,095 g 0,114 g
Serine
0,1 g
Sumber : Rubatzky dan Yamaguchi (1997)
Tipe brokoli yang penting meliputi tunas ungu (tipe bercabang lewat musim dingin), tanjung bunga ungu (tanaman dua musim berkepala tunggal, lewat musim dingin), sisilia ungu (tanaman setahun berkepala tunggal berwarna ungu
14
pucat, kadang-kadang dikenal sebagai kubis bunga ungu), tunas putih (tanaman dua tahunan bercabang, lewat musim dingin), dan calabrase (tunas hijau, sebagian besar berkepala tunggal dengan bentuk setahun dan dua tahunan). Tipe calabrase adalah yang paling banyak ditanam, dengan banyak hibrida yang sangat baik yang menggantikan kultivar menyerbuk terbuka. Sifat yang penting meliputi kepadatan dan bentuk kepala, tingkat percabangan, ukuran individu tunas bunga, panjang batang, jumlah dan panjang ruas, dan perkembangan bunga aksilar/samping. 2.2
Penelitian Terdahulu Pada waktu sebelumnya telah banyak dilakukan penelitian tentang
tataniaga suatu produk. Masing-masing peneliti melakukan penelitian pada produk yang berbeda-beda. Ariyanto (2008) meneliti tentang tataniaga sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk menganalisis saluran tataniaga dan fungsifungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga pada komoditas sayuran bayam, menganalisis struktur dan perilaku pasar pada masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat, dan menganalisis efisisensi saluran tataniaga bayam berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan dan biaya. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui pembagian daftar pertanyaan lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Sistem tataniaga sayuran bayam di Desa Ciaruten Ilir terdiri dari tiga buah saluran tataniaga yaitu ; saluran tataniaga satu : petani - pedagang pengumpul pedagang pengecer - konsumen ; saluran tataniaga dua : petani - pedagang pengecer – konsumen ; saluran tataniaga tiga : petani - konsumen. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani adalah fungsi penjualan, fungsi fisik berupa kegiatan pengemasan, pengangkutan dan fungsi fasilitas berupa informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan. Struktur pasar yang dihadapi petani bersifat pasar bersaing sempurna karena jumlah petani yang banyak, tidak dapat mempengaruhi harga dan petani bebas untuk keluar masuk pasar.
15
Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengumpul adalah fungsi pertukaran berupa fungsi pembelian dan penjualan, fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan, fungsi fasilitas berupa informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul adalah oligopsoni. Terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengumpul. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah fungsi pertukaran berupa fungsi pembeli dan penjualan, fungsi fisik berupa fungsi pengangkutan, fungsi fasilitas berupa informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer cukup banyak, produk yang diperjualbelikan bersifat homogen dan pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi pasar sehingga bertindak sebagai price taker. Perilaku pasar yang dilakukan oleh pedagang pengumpul berupa praktek pembelian sayuran bayam dan kemudian menjualnya kepada pedagang pengecer. Secara umum sistem pembayaran antar lembaga tataniaga dan petani dilakukan secara tunai dan harga produk ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Kerjasama antara petani dan pedagang pengumpul terjalin dengan baik melalui kegiatan jual beli produk sayuran bayam. Hal yang sama juga terjadi diantara pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Berdasarkan analisis marjin tataniaga diketahui bahwa saluran tataniaga tiga petani yang paling efisien, karena hasil produksi sayuran bayam langsung dibawa ke pasar dan dijual langsung ke konsumen dalam bentuk ikat dan petani bertindak sebagai pedagang pengecer. Petani memperoleh keuntungan terbesar yaitu sebesar Rp 368,- per ikat, rasio keuntungan dan biaya yaitu sebesar 9,43 dan bagian harga yang terbesar (farmer’s share) diterima oleh petani berprofesi sebagai pedagang pengecer dan produk yang dijual sedikit sehingga keuntungan secara total yang diperoleh tidak begitu besar dan hanya sebagian kecil dari jumlah petani yang melakukan kegiatan tataniaga. Hasniah (2005), meneliti tentang analisis sistem dan efisiensi tataniaga komoditas pepaya sayur di Desa Sukamaju, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Adapun tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk menganalisis saluran tataniaga dan fungsi-fungsi tataniaga yang
16
dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga pepaya sayur di Desa Sukamaju, menganalisis struktur dan perilaku pasar yang dihadapi oleh pepaya sayur produksi Desa Sukamaju, dan menganalisis efisiensi tataniaga pepaya sayur Desa Sukamaju dilihat dari segi operasional dan harga. Metode penelitian yang digunakan meliputi analisis kualititatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif bertujuan untuk menganalisis saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar serta perilaku pasar. Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis marjin tataniaga, farmer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya. Salah satu hasil analisis yang didapatkan adalah pola saluran tataniaga. Pola saluran tataniaga tersebut adalah sebagai berikut: saluran tataniaga yaitu saluran tataniaga saluran satu (petani-pedagang pengumpul-pedagang grosirpedagang pengumpul-
pengecer-konsumen),
saluran
tataniaga
dua
(petani-pedagang
pedagang pengecer-konsumen), dan saluran tataniaga tiga (petani-
pedagang pengecer-konsumen). Saluran tataniaga satu merupakan tataniaga pepaya sayur terpanjang dan digunakan oleh 6,04 persen dari total petani responden. Sedangkan saluran tataniaga dua merupakan saluran tataniaga yang digunakan oleh 35,17 persen dari total petani responden. Saluran tataniaga tiga dipergunakan oleh 58,79 persen petani responden. Pada saluran tiga, petani langsung menjual produknya ke pedagang pengecer di pasar. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani pepaya sayur yaitu fungsi pertukaran berupa kegiatan penjualan kepada pedagang perantara. Fungsi fisik dilakukan petani yang menjual produk pertaniannya langsung ke pasar yaitu kegiatan pengemasan dan pengangkutan. Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang grosir berupa kegiatan pengemasan. Fungsi fasilitas yang dilakukan pedagang grosir berupa penanggungan resiko, pembiayaan dan informasi pasar. Struktur pasar yang dihadapi petani cenderung bersifat pasar bersaing sempurna karena jumlah petani yang banyak, dan petani bebas untuk keluar masuk pasar. Selain itu produk petani bersifat homogen. Sistem penentuan harga dilakukan oleh pedagang berdasarkan harga yang berlaku di pasar sehingga kedudukan petani dalam sistem tataniaga sangat lemah. Petani bertindak sebagai price taker. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengumpul adalah oligopsoni. Hal ini terlihat melalui adanya hambatan bagi pedagang dari daerah lain untuk
17
keluar masuk pasar. Struktur pasar yang dihadapi pedagang pengecer adalah pasar persaingan sempurna, karena jumlah pedagang pengecer cukup banyak, produk bersifat homogen, harga berdasarkan mekanisme pasar dan pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi harga pasar. Selain itu pedagang pengecer dapat dengan bebas keluar masuk pasar. Perilaku pasar yang dilakukan oleh pedagang pengumpul berupa praktek pembelian pepaya sayur dari petani dan menjual kepada pedagang grosir dan pedagang pengecer. Sistem penentuan harga di setiap tingkat lembaga tataniaga berdasarkan mekanisme pasar. Sedangkan sistem pembayaran di setiap lembaga tataniaga dilakukan secara tunai. Berdasarkan analisis marjin tataniaga diketahui bahwa saluran tataniaga tiga yang paling efisien karena memiliki marjin tataniaga terkecil, yaitu sebesar Rp 400,- per kg. Farmer’s share tertinggi juga terdapat pada saluran tiga yaitu sebesar 60 persen. Namun rasio keuntungan dan biaya tataniaga pepaya sayur tertinggi terdapat pada saluran dua yaitu sebesar 1,24. Efisiensi tataniaga pepaya sayur tercapai jika saluran tataniaga yang digunakan adalah saluran tataniaga tiga. Selain itu saluran tataniaga tiga juga menghasilkan keuntungan terbesar bagi petani. Faisal (2010), meneliti tentang analisis tataniaga sapi potong di PT. Kariyana Gita Utama (PT. KGU) di Cicurug, Sukabumi. Tujuan penelitian yang dilakukan di antaranya mengidentifikasi dan menganalisis pola saluran tataniaga sapi potong di PT. KGU, mengidentifikasi dan meganalisis lembaga dan fungsi tataniaga sapi potong di PT. KGU, menganalisis marjin tataniaga, producer’s share, rasio keuntungan dan biaya tataniaga sapi potong di PT. KGU, dan mengidentifikasi dan menganalisis struktur pasar tataniaga sapi potong di PT. KGU. Pengolahan data digunakan secara kuantitatif dan kualitatif. Data kualitatif menjabarkan secara deskriptif tentang gambaran umum dan kondisi perusahaan, menganalisis saluran tataniaga dan fungsi tataniaga serta struktur dan perilaku pasar. Sedangkan data kuantitatif digunakan untuk menganalisis marjin tataniaga, producer’s share, serta rasio keuntungan dan biaya. Hasil yang diperoleh bahwa di PT. KGU terdapat empat lembaga tataniaga yaitu pedagang pengumpul, pedagang pemotong, pedagang pengecer, dan rumah potong hewan (RPH). Fungsi tataniaga yang dilakukan adalah fungsi pertukaran,
18
fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Lembaga-lembaga tataniaga tidak melakukan seluruh fungsi tataniaga tersebut. Masing-masing lembaga tataniaga hanya melakukan fungsi tataniaga yang dibutuhkannya untuk memperlancar aktivitas tataniaga untuk memperlancar aktivitas tataniaga yang dilakukannya. Di PT. KGU terdapat enam saluran tataniaga, yaitu : (1) PT. KGU - pedagang pengumpul pedagang pemotong - konsumen, (2) PT. KGU - pedagang pengumpul - pedagang pemotong - pedagang pengecer - konsumen, (3) PT. KGU - pedagang pemotong konsumen, (4) PT. KGU - pedagang pemotong - pedagang pengecer – konsumen, (5) PT. KGU – pedagang pengumpul – konsumen, (6) PT. KGU – pedagang pengumpul – pedagang pengecer – konsumen. Saluran dua merupakan jalur distribusi sapi potong terbesar diantara saluran lain yaitu sebesar 39,7 persen. Saluran tataniaga sapi potong di PT. KGU yang paling efisien adalah pada saluran tiga, berdasarkan nilai marjin tataniaga terendah (23,55 persen) dan memberikan nilai producer’s share terendah (73,53 persen). Struktur pasar yang dihadapi hampir seluruh lembaga tataniaga sapi potong di PT. KGU cenderung bersifat oligopoli. Hal ini dilihat dari kemampuan lembaga tataniaga dalam menentukan harga, produk yang diperdagangkan bersifat homogen, dan hambatan keluar masuk pasar yang cukup tinggi. Purba (2010) meneliti tentang analisis tataniaga ubi jalar di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk menganalisis lembaga dan fungsi tataniaga, saluran tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar, dan menganalisis efisiensi tataniaga ubi jalar di Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Metode pengolahan data menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif bertujuan untuk menganalisis saluran tataniaga, lembaga dan fungsi-fungsi tataniaga, serta struktur dan perilaku pasar. Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis marjin tataniaga,
farmer’s
share, serta rasio keuntungan dan biaya. Hasil yang didapatkan adalah sebagai berikut : terdapat lima lembaga dalam sistem tataniaga ubi jalar di Desa Gunung Malang, yaitu petani selaku produsen ubi jalar, pedagang pengumpul tingkat pertama, pedagang pengumpul tingkat kedua, pedagang grosir, dan pedagang pengecer. Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi yang berbeda-beda, yaitu
19
saluran tataniaga satu (petani – pedagang pengumpul tingkat pertama – konsumen/pabrik keripik) ; saluran tataniaga dua (petani – pedagang pengumpul tingkat pertama – pedagang pengumpul tingkat kedua – pedagang grosir – pedagang pengecer – konsumen) ; saluran tataniaga tiga (petani – pedagang pengumpul tingkat pertama – pedagang pengumpul tingkat kedua – pedagang grosir – konsumen). Struktur pasar yang dihadapi setiap lembaga tataniaga berbeda, di mana petani dan pedagang grosir cenderung mendekati pasar persaingan sempurna, sedangkan pedagang pengumpul tingkat pertama, pedagang pengumpul tingkat kedua, dan pedagang pengecer cenderung mendekati pasar oligopoli. Saluran tataniaga satu merupakan saluran yang relatif lebih efisien karena memiliki marjin tataniaga terkecil yaitu sebesar Rp 325,- per kg dan persentase farmer’s share terbesar yaitu 74,51 persen. Sementara saluran tataniaga yang relatif kurang efisien adalah saluran tataniaga kedua karena memiliki marjin tataniaga terbesar yaitu sebesar Rp 1.550,- per kg dan persentase farmer’s share terkecil yaitu sebesar 38 persen. Purba memberi kesimpulan agar petani ubi jalar yang terdapat di desa Malang membentuk kelompok tani agar dapat menjual hasil panennya secara bersama-sama dan mencari alternatif tujuan penjualan sehingga meningkatkan posisi tawar (bargaining position) petani. Manfaat lainnya adalah untuk dapat menghasilkan produk-produk turunan seperti tepung, saos, keripik, untuk dapat memberi nilai tambah (added value) yang dapat menambah penghasilan petani di desa tersebut.
20
Tabel 8. Penelitian Terdahulu tentang Tataniaga Nama Peneliti Ariyanto (2008)
Judul Analisis Tataniaga Sayuran Bayam
Tujuan 1.
2.
3.
Hasniah (2005)
Faisal (2010)
Purba (2010)
Analisis Sistem dan Efisiensi Tataniaga Komoditas Pepaya Sayur di Desa Sukamaju, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat Analisis Tataniaga Sapi Potong di PT. Kariyana Gita Utama (PT. KGU) di Cicurug Sukabumi
Analisis Tataniaga Ubi Jalar (Studi Kasus : Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat )
1.
2.
3.
1.
Menganalisis saluran tataniaga dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembagalembaga tataniaga pada komoditas sayuran bayam. Menganalisis struktur dan perilaku pasar pada masingmasing lembaga tataniaga yang terlibat Menganalisis efisisensi saluran tataniaga bayam berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan biaya Menganalisis saluran tataniaga dan fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh setiap lembaga tataniaga pepaya sayur di desa Sukamaju. Menganalisis struktur dan perilaku pasar yang dihadapi oleh pepaya sayur produksi desa Sukamaju. Menganalisis efisiensi tataniaga pepaya sayur desa Sukamaju dilihat dari segi operasional dan harga.
Mengidentifikasi dan menganalisis pola saluran tataniaga sapi potong di PT. KGU. 2. Mengidentifikasi dan meganalisis lembaga dan fungsi tataniaga sapi potong di PT. KGU. 3. Menganalisis marjin tataniaga, producer share, rasio keuntungan dan biaya tataniaga sapi potong di PT.KGU. Mengidentifikasi dan menganalisis struktur pasar tataniaga sapi potong di PT KGU. 1. Menganalisis lembaga dan fungsi tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar ubi jalar di desa Gunung Malang, kecamatan Tenjolaya, kabupaten Bogor. 2. Menganalisis efisiensi tataniaga ubi jalar di desa Gunung Malang, kecamatan Tenjolaya, kabupaten Bogor.
Alat Analisis 1. 2. 3.
Marjin tataniaga Farmer’s share Rasio keuntungan dan biaya
1. 2. 3.
Marjin tataniaga Farmer’s share Rasio keuntungan dan biaya
1. Marjin tataniaga 2. Farmer’s Share 3. Rasio keuntungan dan biaya
1. 2. 3.
Marjin tataniaga Producer’s Share Rasio keuntungan dan biaya
21
2.3
Persamaan dan Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu Persamaan dari penelitian yang akan dilakukan oleh penulis dengan
penelitian terdahulu terletak pada topik penelitian yaitu tentang sistem tataniaga suatu produk. Adapun perbedaan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada komoditi yang dipilih yaitu brokoli yang menjadi komoditas usaha tani kelompok tani Suka Tani yang terletak di Kampung Suka Tani Rt 06/04, desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua – Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat yang dimulai pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni 2011. Metode pengolahan dan analisis data menggunakan analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif bertujuan untuk menganalisis saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar serta perilaku pasar. Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis marjin tataniaga,
farmer’s
share, serta rasio dan keuntungan dan biaya. Pemilihan responden petani brokoli dilakukan dengan menggunakan teknik snowballing sampling. Responden pertama untuk petani brokoli pada kelompok tani ini adalah ketua dari kelompok tani tersebut, yang ditentukan secara sengaja (purpossive). Penentuan sampel lembaga-lembaga pemasaran selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling.
22
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1
Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1
Tataniaga Pertanian Menurut Limbong dan Sitorus (1985), tataniaga pertanian adalah segala
kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen, termasuk di dalamnya kegiatankegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk lebih mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya. Kegiatan pemasaran dapat dikatakan efisien apabila telah tercipta keadaan di mana pihak produsen, lembaga pemasaran, dan konsumen memperoleh kepuasan dengan adanya aktivitas pemasaran tersebut. 3.1.2
Fungsi Tataniaga Menurut Limbong dan Sitorus (1985), fungsi tataniaga terdiri atas tiga
fungsi yaitu : (1) fungsi pertukaran, (2) fungsi fisik, dan (3) fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran adalah kegiatan untuk memperlancar perpindahan milik atas barang dan jasa dari penjual kepada pembeli. Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi penjualan merupakan kegiatan untuk mencari tempat dan waktu yang tepat untuk melakukan penjualan barang sesuai dengan yang diinginkan konsumen baik dilihat dari jumlah, mutu bentuk, dan mutunya. Fungsi pembelian merupakan kegiatan untuk menentukan jenis barang yang akan dibeli yang sesuai dengan kebutuhan untuk dikonsumsi langsung atau untuk kebutuhan produksi. Kegiatan utama pada fungsi pembelian adalah menentukan jenis, jumlah, kualitas, tempat pembelian serta cara pembelian barang jasa yang akan dibeli. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan kegunaan waktu. Fungsi fisik meliputi fungsi penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan. Fungsi penyimpanan diperlukan untuk menyimpan barang selama
belum dikonsumsi atau menunggu diangkut ke daerah pemasaran atau menunggu sebelum diolah. Fungsi pengangkutan bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa di daerah konsumen sesuai dengan kebutuhan konsumen baik menurut waktu, jumlah, dan mutunya. Fungsi pengolahan bertujuan untuk meningkatkan kualitas barang bersangkutan baik dalam rangka memperkuat daya tahan barang tersebut maupun dalam rangka meningkatkan nilainya. Fungsi fasilitas merupakan semua tindakan yang memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari empat fungsi : (1) Fungsi standarisasi dan grading, (2) fungsi penanggungan resiko, (3) fungsi pembiayaan, dan (4) fungsi informasi pasar. Pada fungsi standarisasi dan grading, standarisasi merupakan suatu ukuran atau penentuan mutu suatu barang dengan menggunakan berbagai ukuran seperti warna, susunan kimia, ukuran bentuk, kekuatan atau ketahanan, kadar air, tingkat kematangan, rasa, dan kriteria-kriteria lainnya. Sedangkan grading adalah tindakan mengklasifikasikan hasil-hasil pertanian menurut suatu standarisasi yang diinginkan sehingga kelompok-kelompok barang yang terkumpul sudah menurut satu ukuran standar, masing-masing dengan nama dan etiket tertentu. Fungsi penanggungan resiko merupakan kegiatan penanggungan resiko yang mungkin terjadi pada saat proses pemasaran berlangsung. Resiko yang mungkin terjadi diantaranya : kerusakan, kehilangan, kebakaran, penurunan harga, dan lain-lain. Penanggungan resiko ini dapat ditanggung para produsen maupun lembaga pemasaran sendiri, tetapi dapat juga dialihkan kepada lembaga lain yaitu lembaga asuransi. Fungsi pembiayaan adalah penyediaan biaya untuk keperluan selama proses pemasaran dan juga kegiatan pengelolaan biaya tersebut. Pada fungsi informasi pasar, terdapat kegiatan pengumpulan informasi pasar serta menafsirkan data informasi pasar tersebut.
24
3.1.3
Lembaga Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1983), lembaga tataniaga adalah badan-
badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dengan mana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen. Badan perantara dibutuhkan keberadaannya untuk menggerakkan barang dan jasa dari titik produksi ke titik konsumsi, karena jarak antara produsen dan konsumen seringkali berjauhan. Limbong dan Sitorus (1985) menyatakan bahwa lembaga pemasaran dapat digolongkan pada : 1. Lembaga tataniaga menurut fungsi yang dilakukan : •
Lembaga fisik tataniaga, seperti badan pengangkut.
•
Lembaga perantara tataniaga, seperti pedagang pengecer dan grosir.
•
Lembaga fasilitas tataniaga, seperti bank desa, kredit desa, dan KUD.
2. Lembaga tataniaga menurut penguasaan terhadap barang •
Lembaga tataniaga yang tidak memiliki tetapi menguasai barang, seperti agen, perantara, dan broker.
•
Lembaga tataniaga yang memiliki dan menguasai barang, seperti pedagang pengumpul, pedagang pengecer, grosir, eksportir/importir.
•
Lembaga tataniaga yang tidak memiliki dan tidak menguasai barang, seperti pengangkutan, pergudangan, asuransi, dan lain-lain.
3.1.4
Saluran Tataniaga Komoditi pertanian pada umumnya mempunyai sifat-sifat mudah rusak
(perishable), mudah busuk, dan mempunyai bobot dan volume yang besar (bulky). Berdasarkan sifat-sifat komoditi tersebut, sistem penyalurannya harus mempunyai sifat mampu memberikan perlindungan dan keamanan bagi barang tersebut. Menurut Limbong dan Sitorus (1985), saluran tataniaga dapat diartikan sebagai himpunan perusahaan dan perorangan yang mengambil alih hak, atau membantu dalam pengalihan hak atas barang atau jasa tertentu selama barang atau jasa tersebut berpindah dari produsen ke konsumen. Saluran tataniaga dapat dicirikan dengan memperhatikan banyaknya tingkat saluran. Panjangnya suatu saluran tataniaga akan ditentukan oleh
25
banyaknya tingkat perantara yang dilalui oleh suatu barang dan jasa. Pada Gambar 1. dapat ditunjukkan beberapa saluran pemasaran yang panjangnya berbeda-beda.
Produsen
Konsumen Saluran nol tingkat Pengecer
Konsumen
Pengecer
Konsumen
Pengecer Jobber Saluran tiga tingkat
Konsumen
Produsen Saluran satu tingkat Produsen
Grosir Saluran dua tingkat
Produsen
Grosir
Gambar 1. Contoh Saluran Tataniaga dengan Beberapa Tingkat Sumber : Limbong dan Sitorus (1985)
Saluran nol tingkat (zero level channel) atau dinamakan juga sebagai saluran tataniaga langsung, adalah saluran yang di mana produsen dan atau pabrikan secara langsung menjual produknya kepada konsumen. Tiga cara utama dalam penjualan langsung adalah door to door, mail, order, dan toko milik pabrikan sendiri. Saluran satu tingkat (one level channel), adalah saluran yang menggunakan perantara. Dalam pasar konsumsi perantara ini adalah pengecer, dalam pasar industrial perantara tersebut adalah agen penjualan atau pialang. Saluran dua tingkat (two level channel) mencakup dua perantara. Dalam pasar konsumsi perantara ini adalah grosir dan pengecer, sedangkan dalam pasar industrial perantara tersebut adalah distributor dan dealer industrial. Pada saluran tingkat tiga (three level channel) terdapat tiga perantara. Dalam hal ini selain grosir dan pengecer terdapat pemborong (jobber). Pemborong tersebut membeli barang dari pedagang grosir dan menjualnya ke pedagang pengecer kecil, yang umumnya tidak dapat dilayani oleh pedagang grosir.
26
Pola saluran pemasaran yang terdapat pada Gambar 1. pada umumnya ditemui untuk barang industri dan barang atau komoditi pertanian. Penyaluran komoditi-komoditi pertanian biasanya dimulai dengan petani-petani yang menjual hasil-hasil pertaniannya kepada pedagang pengumpul di tingkat pedesaan, kemudian disalurkan ke grosir dan pengecer. 3.1.5
Fungsi Saluran Tataniaga Saluran tataniaga menjalankan pekerjaan memindahkan barang dari
produsen sampai pada konsumen. Saluran tataniaga membantu dalam mengatasi kesenjangan waktu, tempat, dan kepemilikan yang memisahkan barang dan jasa dari mereka yang akan menggunakan barang dan jasa tersebut. Beberapa fungsi pokok saluran tataniaga diantaranya : a.
Riset, yaitu pengumpulan informasi yang diperlukan untuk perencanaan dan memudahkan pemasaran akan pertukaran.
b.
Promosi, yaitu pengembangan dan penyebaran komunikasi yang persuasif mengenai tawaran.
c.
Hubungan, yaitu pencarian dan berkomunikasi dengan calon pembeli.
d.
Pemadanan, yaitu pembentukan dan penyesuaian tawaran dengan kebutuhan pembeli, yang berhubungan dengan kegiatan pengolahan, grading, perakitan dan pengemasan.
e.
Perundingan, yaitu usaha untuk mencapai persetujuan akhir atas harga dan ketentuan lainnya mengenai tawaran agar pengalihan pemilikan dapat terjadi.
f.
Distribusi fisik, yang meliputi pengangkutan dan penyimpanan barang.
g.
Pembiayaan, yaitu perolehan dan penyebaran dana untuk menutupi biaya pekerjaan saluran pemasaran.
h.
Pengambilan resiko, yaitu menerima adanya resiko dalam hubungan dengan pelaksanaan pekerjaan saluran pemasaran.
3.1.6 Pendekatan Structure-Conduct-Perfromance (S-C-P) Menurut Gonarsyah (1996/1997), untuk menganalisis sistem pemasaran dikenal dua pendekatan yang ekstrim yaitu: 1.
Pendekatan Structure-Conduct-Performance (S-C-P)
2.
Pendekatan Chicago School
27
Pendekatan S-C-P timbul dengan didasarkan pada kajian empiris, sedangkan pendekatan Chicago School umumnya bersifat agregasi, lebih bersifat kuantitatif, lebih menekankan price determination, lebih mudah melihat pengaruh pemerintahan dalam penentuan harga. Sedangkan pendekatan S-C-P lebih menekankan pada aspek deskriptif, bersifat kasus-kasus, pembahasan aspek kelembagaan secara detail dan lebih menekankan price discovery serta menjelaskan tindakan perusahaan yang melakukan market power. Menurut Philips dalam Asmarantaka (2009), studi-studi dalam pemasaran menggunakan beberapa pendekatan dimana tipe-tipe perbedaan dari pasar digolongkan
dalam
kelompok
market
structure.
Praktik-praktik
bisnis
dikelompokkan dalam market conduct, sedangkan pengaruh-pengaruh terhadap harga dan output, dan sebagainya digolongkan dalam market performance. Philips mengajukan konsep yang bersifat dinamis, keterkaitan hubungan dua arah yang bersifat timbal balik dan sifat hubungan endogenous diantara variabel-variabel
S-C-P
serta
memperhitungkan
waktu.
Pendekatannya
menunjukkan bahwa structure (S), conduct (C), dan performance (P) dalam suatu waktu berada pada sistem dimana S dan C adalah faktor penentu dari P; dilain waktu S dan C ditentukan oleh P. Hal ini menunjukkan suatu sistem dinamis yang mengembangkan respon penyesuaian dari perusahaan terhadap kondisi pasar dan keadaan yang memungkinkan. 1.
Struktur Pasar (Market Structure) Menurut
Asmarantaka
(2009),
struktur
pasar
(market
structure)
merupakan tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dengan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar. Mc Kie dalam Asmarantaka (2009), mengemukakan bahwa beberapa ukuran untuk melihat market structure antara lain: a. Market concentration (konsentrasi pasar); market concentration diukur berdasarkan persentase dari penjual/asset/pangsa pasar. b. Exit-entry (kebebasan keluar masuk calon penjual); perusahaan yang besar mempunyai kelebihan dalam melakukan tindakan price control, dalam rangka mempertahankan konsentrasinya didalam pasar. 28
c. Product
differentiation
(diferensiasi
produk);
pada
perusahaan
yang
mempunyai konsentrasi pasar yang tinggi mempunyai kelebihan untuk menentukan product differentiation dalam rangka usaha meningkatkan keuntungannya. Usaha ini dilakukan dengan jalan mengubah kurva permintaan yang elastik menjadi tidak elastik. Artinya dengan sejumlah produk tertentu dia akan menerima harga yang lebih tinggi. Dengan perkataan lain berusaha agar konsumen lebih loyal terhadap produk perusahaan tersebut. Hammond dan Dahl (1977), mengemukakan lima (5) jenis struktur pasar pangan dan serat dengan berbagai karakteristiknya, secara terinci dapat dilihat pada Tabel 9. di bawah. Tabel 9. Lima Jenis Pasar Sistem Pangan dan Serat Karakteristik Struktural Jumlah Perusahaan Sifat Produk Banyak Standarisasi Banyak
Diferensiasi
Sedikit
Standarisasi
Sedikit
Diferensiasi
Satu
Unik
Struktural Pasar dari Sisi Penjual Pembeli Persaingan Sempurna Persaingan Sempurna Persaingan Persaingan Monopolistik Monopsonistic Oligopoli Murni Oligopsoni Murni Oligopsoni Oligopoli Diferensiasi diferensiasi Monopoli Monopsoni
Sumber : Hammond dan Dahl (1977) Usaha product differentiation dilakukan dengan meningkatkan product differentiation sehingga banyak kelompok masyarakat yang menyenangi produk perusahaan tersebut. Usaha ini efektif pada barang dimana konsumen tidak punya keahlian untuk mengevaluasi barang tersebut. Selain itu tepat sekali untuk barangbarang yang jarang dibeli konsumen dan barang-barang yang secara teknis tidak sederhana namun dapat memenuhi berbagai kebutuhan personal baik secara fisik maupun kejiwaan. Usaha product differentiation dilakukan dengan cara: 1. Advertising: promosi-promosi sehingga menggugah konsumen untuk membeli. 2. Packaging: usaha pengemasan yang membuat konsumen berminat untuk membeli dikarenaka bentuk kemasannya yang menarik. 3. Perubahan bentuk produk itu sendiri. Kadangkala dengan mengubah bentuk sedikit saja yang disertai dengan modifikasi tertentu, membuat konsumen lebih tertarik untuk membeli.
29
Azzaino (1981) mengungkapkan perbedaan ekstrim antara pasar persaingan murni (atomistik) dengan struktur pasar bersaing tidak sempurna (monopsonistik/oligopolistik) seperti pada Tabel 10. Tabel 10. Sifat-sifat Utama Bentuk Pasar Bersaing Murni (Atomistik) dan Oligopolistik dikembangkan dengan Sistem Tataniaga Kriteria Atomistik Oligopolistik 1. Jumlah tataniaga Sangat banyak Sedikit sekali 2. Bersekongkol Tidak mungkin Pada umumnya dilakukan dalam menetukan secara terselubung harga (Collusive Pricing) 3. Hambatan masuk pasar (Entry barriers) a. Modal dasar Hanya sedikit yang Dibutuhkan modal yang diperlukan sangat besar b. Waktu yang Tidak begitu lama Diperlukan waktu yang diperlukan cukup c. Pola Tidak bisa dibedakan Sudah maju (well perdagangan developed) 4. Pengetahuan Tidak sempurna Hubungan antara harga terhadap input-output sudah permintaan diketahui 5. Penyesuaian “Sticky”, non adjusted Kegiatan pembelian dan terhadap penjualan terkontrol permintaan sehingga mudah disesuaikan 6. Mengurangi Sistem tataniaga dalam Hanya sedikit tenaga kerja pengangguran bentuk atomistik dan lembaga tataniaga yang merupakan dasar untuk dapat masuk dalam struktur mengurangi penganggur pasar oligopolistik 7. Marjin tataniaga Rendah pada setiap Tinggi pada setiap tingkat tingkat lembaga tataniaga lembaga tataniaga Sumber : Azzaino (1981) 2.
Perilaku Pasar (Market Conduct) Menurut Asmarantaka (2009), market conduct atau perilaku pasar adalah
seperangkat strategi dalam pemilihan yang ditempuh baik oleh penjual maupun pembeli untuk mencapai tujuannya masing-masing. Ada tiga (3) cara mengenal perilaku, yakni: a.
Penentuan harga dan setting level of output; penentuan harga adalah menetapkan harga dimana harga tersebut tidak berpengaruh terhadap
30
perusahaan lain, ditetapkan secara bersama-sama penjual atau penetapan harga berdasarkan pemimpin harga (price leadership). b.
Product promotion policy; melalui pameran dan iklan atas nama perusahaan.
c.
Predatory and exclusivenary tactics; strategi ini bersifat illegal karena bertujuan mendorong perusahaan pesaing untuk keluar dari pasar. Strategi ini antara lain menetapkan harga dibawah biaya marjinal sehingga perusahaan lain tidak dapat bersaing secara sehat. Cara lain adalah berusaha menguasai bahan baku (integrasi vertikal ke belakang) sehingga perusahaan pesaing tidak dapat berproduksi dengan menggunakan bahan baku yang sama secara persaingan sehat.
3.
Keragaan Pasar (Market Performance) Menurut Asmarantaka (2009), market performance atau keragaan pasar
dapat diukur dengan beberapa ukuran. Secara khusus ukuran tersebut diklasifikasikan sebagai berikut: a.
Pricing efficiency, ukurannya adalah seberapa jauh harga mendekati biaya total. Dapat dilakukan melalui beroperasi pada produksi yang efisien atau efisiensi output.
b.
Cost efficiency or productive efficiency, ukuran yang digunakan dapat dalam jangka pendek yaitu efisiensi pada fungsi produksi dan efisiensi alokasi sumber daya. Sedangkan ukuran dalam jangka panjang adalah excess capacity dan optimal size.
c.
Sales promotion cost, ukurannya dapat dilihat dari volume penjualan.
d.
Technical progressive (dynamic product efficiency); pengukuran ini dapat dilihat dari seberapa jauh menurunnya Long-run Average Total Cost.
e.
Rate of Product Development atau inovasi; pengukurannya bagaimana dapat memproduksi (how to produce) dengan kualitas, efisiensi dan higienitas sehingga dihasilkan produk yang memiliki keunggulan kompetitif.
f.
Exchange efficiency; meliputi efisiensi biaya dalam penentuan harga dan transportasi.
g.
Market externality; bagaimana dapat meminimalkan market externalities yang negatif dan meningkatkan yang positif.
31
h.
Conservation, berkaitan dengan isu-isu antara lain ekolabeling dan greenpeace.
i.
Price flexibility, dalam kaitan bagaimana penyesuaian atau perubahan harga dengan adanya perubahan biaya. Pada pendekatan S-C-P, dikenal lima (5) pendekatan dalam analisis
pemasaran yaitu Pendekatan Fungsi (Functional Approach), Kelembagaan (Institutional Approach), Pendekatan Komoditas, Pendekatan Sistem (System Approach), dan Pendekatan Permintaan-Penawaran (Purcell, 1977; Gonarsyah, 1996/1997; Kohls dan Uhl, 1990 dan 2002). Secara lebih rinci, kelima pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: a.
Pendekatan Fungsi terdiri dari tiga (3) kelompok utama yaitu: •
Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi pembelian atau pengumpulan dan fungsi penjualan.
•
Fungsi fisik tediri dari fungsi penyimpanan (gudang), pengangkutan, dan fungsi pengolahan.
•
Fungsi
fasilitas
terdiri
dari
fungsi
standarisasi,
pembiayaan,
penanggungan resiko, dan intelijen pemasaran. Kegunaan Functional Approach: •
Mempertimbangkan bagaimana pekerjaan harus dilakukan
•
Analisis fungsional dari berbagai pedagang perantara membantu mengevaluasi biaya pemasaran, misalnya biaya pemasaran di tingkat pengecer lebih besar daripada di tingkat pedagang besar (grosir).
•
Membantu mengerti perbedaan-perbedaan biaya pemasaran berbagai variasi komoditas, karena adanya perbedaan-perbedaan perlakuan.
b.
Pendekatan Institusi atau Kelembagaan Pemasaran Pendekatan ini mempertimbangkan sifat dan karakter dari pedagang
perantara (middleman), hubungan agen dan susunan/perlengkapan organisasi. Middleman adalah perantara individu-individu atau yang mengkonsentrasikan spesialisasi bisnis dalam pelaksanaan-pelaksanaan fungsi marketing, termasuk fungsi pembelian dan penjualan barang-barang dalam aliran produk dari produsen ke konsumen akhir.
32
Perantara di sini mengandung pengertian tidak harus organisasi. Dapat saja individu, gabungan (partnerhip atau koperasi atau non-koperasi). Macam-macam middleman of marketing: • Merchant middleman adalah perusahaan yang memiliki dan memperdagangkan produk (menguasai dan memiliki) yang terdiri dari retailers dan wholesalers. • Agent middleman adalah perusahaan yang mewakili pemilik dalam memperdagangkan produk yang terdiri dari brokers dan commission men. • Speculative middleman adalah perusahaan yang mencari untung dari penjualan atau pembelian produk dikarenakan fluktuasi harga dalam jangka pendek. • Processors and manufactures adalah organisasi yang melakukan aktivitas mengubah bentuk. • Facilitative organizations adalah organisasi yang tidak secara langsung berhubungan dengan proses pemasaran tetapi membantu kelancaran proses pemasaran. c.
Commodity Approach (pendekatan komoditas) Commodity Approach (pendekatan komoditas) menekankan kepada apa
yang diperbuat dan bagaimana penanganan terhadap komoditas sepanjang gap antara petani (the original point of production) dengan konsumen akhir. Dengan demikian, pendekatan ini menggambarkan “what is done and how to handle the commodity” agar penanganannya efisien. d.
System Approach (pendekatan sistem) System Approach (pendekatan sistem) menekankan kepada keseluruhan
sistem, efisiensi dan proses yang kontinu membentuk suatu sistem. Dengan demikian pendekatan ini menganalisa keterkaitan yang kontinu diantara subsistem-subsistem (misalnya subsistem pengumpulan atau penyediaan bahan baku, pengolahan dan distribusi) yang memberikan tingkat efisiensi tinggi. e.
Pendekatan Analisa Permintaan dan Harga Titik tolak pendekatan analisa permintaan dan harga adalah pendekatan
analitis dari kegiatan ekonomi di bidang pemasaran antara petani dan konsumen.
33
Kegiatan ekonomi disini adalah berhubungan dengan proses transformasi komoditas usahatani menjadi bermacam-macam produk yang diinginkan oleh konsumen. Proses transformasi ini pada asasnya adalah penciptaan suatu komoditas lebih berguna bagi konsumen. Proses transformasi ini merupakan kegiatan produktif dalam sistem pemasaran karena menciptakan atau menambah nilai guna produk. Secara konseptual ada tiga (3) macam kegunaan: •
Kegunaan Tempat (space utility) Karena hasil-hasil komoditas pertanian biasanya terpencar di beberapa
daerah produksi dan konsumennya juga terpencar di daerah yang berlainan (antar kota, antar pulau, dan bahkan luar negeri), maka peranan transportasi, pergudangan, serta ongkos-ongkos yang menyangkut kegiatan ini akan berpengaruh terhadap kepuasan konsumen. •
Kegunaan Bentuk (form utility)
Perubahan atau pengolah suatu produk menjadi produk yang lebih berguna akan menambah kepuasan konsumen, seperti singkong menjadi tepung tapioca atau pellet. Dalam hal ini proses standarisasi dan grading akan mempengaruhi ongkos tataniaga serta margin pedagang dari produk tersebut. •
Kegunaan Waktu (time utility)
Karena produk pertanian dihasilkan secara musiman sedangkan konsumsinya sepanjang tahun, maka peranan penyimpanan (storage) antara musim panen adalah penting sekali. 3.1.7
Efisiensi Tataniaga Asmarantaka (2009) mengemukakan, secara teoritis tataniaga yang efisien
adalah pasar persaingan sempurna (perfect competition). Tetapi struktur pasar ini tidak dapat ditemukan. Ukuran efisiensi adalah kepuasan dari konsumen, produsen, maupun lembaga-lembaga yang terlibat di dalam mengalirkan barang dan jasa mulai dari petani sampai ke konsumen akhir. Ukuran untuk menentukan tingkat kepuasan tersebut sulit dan sangat relatif. Oleh sebab itu, efisiensi tataniaga pada umumnya dapat diukur dengan mempergunakan indikator efisiensi operasional (teknik) dan efisiensi harga.
34
Efisiensi operasional berhubungan dengan penanganan aktivitas-aktivitas yang dapat meningkatkan rasio dari output-input tataniaga. Rasio efisiensi tataniaga (operasional) dapat dilihat dari peningkatan dalam dua cara yaitu : (1) pada perubahan sistem tataniaga dengan mengurangi biaya perlakuan pada fungsifungsi tataniaga tanpa mengubah manfaat/kepuasan konsumen dan (2) meningkatkan kegunaan output dari proses tataniaga tanpa meningkatkan biaya tataniaga. Efisiensi harga adalah bentuk kedua dari efisiensi tataniaga. Efisiensi ini menekankan kepada kemampuan dari sistem tataniaga yang sesuai dengan keinginan konsumen. Sasaran dari efisiensi harga adalah efisiensi alokasi sumberdaya dan maksimum output (ekonomi). Efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat dengan kegiatan tataniaga memperoleh kepuasan atau memiliki sikap yang responsif terhadap harga yang berlaku. Efisiensi harga dapat dianalisis melalui ada tidaknya keterpaduan pasar (integrasi) antara pasar acuan dengan pasar pengikutnya. 3.1.8
Marjin Tataniaga Menurut Asmarantaka (2009), marjin tataniaga sering dipergunakan
sebagai perbedaan antara harga di berbagai tingkat lembaga tataniaga di dalam sistem tataniaga. Pengertian marjin tataniaga ini sering dipergunakan untuk menjelaskan fenomena yang menjembatani gap (bridging the gap) antara pasar di tingkat petani (farmer) dengan pasar di tingkat eceran (retailer). Menurut Tomek dan Robinson dalam Asmarantaka (2009), terdapat dua alternatif dari definisi marjin tataniaga yaitu : 1.
Perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen (petani).
2.
Merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas-aktivitas bisnis yang terjadi dalam sistem pemasaran tersebut. Definisi yang pertama menjelaskan secara sederhana bahwa marjin
tataniaga adalah perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga yang diterima petani (Pf) dengan demikian marjin tataniaga adalah M = Pr – Pf. Sedangkan pengertian yang kedua lebih bersifat ekonomi dan definisi ini lebih tepat, karena memberikan pengertian adanya nilai tambah (added value) dari 35
adanya kegiatan tataniaga dan juga mengandung pengertian dari konsep derived supply dan derived demand. Derived demand memiliki pengertian permintaan turunan dari primary demand yang dalam hal ini adalah permintaan dari konsumen akhir, sedangkan derived demand-nya adalah permintaan dari pedagang perantara (grosir atau eceran) ataupun dari perusahaan pengolah (processor) kepada petani, sedangkan derived supply adalah penawaran di tingkat pedagang eceran yaitu merupakan penawaran turunan dari penawaran di tingkat petani (primary supply). Dari kedua konsep marjin tataniaga tersebut, marjin tataniaga merupakan M = Pr – Pf atau marjin tataniaga terdiri dari biaya-biaya dan keuntungan perusahaan yang terlibat dalam sistem tataniaga tersebut. Dengan demikian, marjin tataniaga juga didefenisikan sebagai M = C + π, di mana C = biaya-biaya (input pemasaran) dan π = keuntungan perusahaan. Efisiensi operasional, lebih tepat mempergunakan rasio antara keuntungan dengan biaya karena pembanding opportunity cost dari biaya adalah keuntungan, sehingga indikatornya adalah π / C dan nilainya harus positif (> 0). Pengertian dari derived demand ini memiliki interpretasi dapat diperluas mencakup hubungan : (a) elastisitas antara berbagai tingkat pasar dan (b) elastisitas antara gabungan produk dan komoditas turunannya. Dari pengertian ini muncul konsep atau besaran elastisitas di tingkat petani (Ef), elastisitas di tingkat eceran atau di tingkat konsumen akhir (Er), dan elastisitas transmisi. Elastisitas transmisi adalah suatu ukuran seberapa jauh perubahan harga di tingkat pasar eceran ditransmisikan ke pasar di tingkat petani. Secara matematis elastisitas transmisi adalah sebagai berikut : ET = Keterangan dari persamaan tersebut adalah sebagai berikut δ Pr/Pr adalah perubahan harga di tingkat eceran (konsumen akhir) dan δ Pf/Pf adalah perubahan harga di tingkat petani. Untuk komoditas pertanian, umumnya nilai elastisitas transmisi diantara 0-1. Nilai ET = 1 menunjukkan bahwa sistem pemasaran produk tersebut efisien (pasar persaingan sempurna). Konsep primary dan derived demand dan supply dapat dilihat pada Gambar 2.
36
Sr = Derived Supply
Harga (P)
Sf = Primary Supply
Pr Marjin Pf
Dr = Primary Demand Dr = Derived Demand
Qr,f
Harga (P)
Gambar 2. Marketing Margin (Sumber : Asmarantaka, 2009)
Marjin tataniaga adalah selisih harga di tingkat konsumen dan petani dikalikan dengan jumlah produk yang dipasarkan (Asmarantaka, 2009). Secara matematik sederhana the value of the marketing margin (VMM) = (Pr-Pf) Q. Pandangan ini sama dengan konsep dari nilai tambah. Nilai dari marjin tataniaga adalah ukuran dari marketing bill dan the market basket statistics. Nilai dari marjin tataniaga (VMM) dapat dipandang secara agregat atau ke dalam dua aspek yang berbeda. Aspek pertama dari VMM adalah penerimaan dari input yang dipergunakan dalam proses pengolahan atau jasa pemasaran yang dipergunakan dari tingkat petani sampai konsumen, (marketing costs or returns to factors) ; termasuk ke dalam kelompok ini adalah upah, suku bunga, sewa, dan keuntungan. Aspek lain analisis VMM adalah returns to institutions or marketing charges yaitu retailers, wholesalers, processor, dan assemblers. Hubungan marjin tataniaga dengan perubahan jumlah kuantitas dapat absolute atau persentase. Marjin tataniaga yang absolute dapat menurun, konstan, ataupun meningkat searah dengan peningkatan jumlah yang dipasarkan. Demikian pula tipe marjin tataniaga dengan persentase tertentu yaitu menurun, konstan, dan meningkat persentasenya, searah dengan peningkatan jumlah produk yang
37
dipasarkan. Tetapi yang disarankan untuk marjin tataniaga produk pertanian adalah kombinasi dari marjin absolute dan marjin persentase. 3.1.9
Farmer’s Share Farmer’s share merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk
menentukan efisiensi tataniaga yang dilihat dari sisi pendapatan petani. Menurut Kohls dan Uhl (1985), farmer’s share merupakan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen dari kegiatan usahatani yang dilakukannya. Farmer’s share mempunyai hubungan negatif dengan marjin tataniaga. Marjin tataniaga yang semakin tinggi umumnya akan mengakibatkan farmer’s share akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya, semakin kecil marjin tataniaganya maka farmer’s share akan semakin besar. 3.1.10 Peran Kelompok Tani Menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani, kelompok tani adalah kumpulan
petani/peternak/pekebun
yang
dibentuk
atas
dasar
kesamaan
kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban
untuk
meningkatkan
serta
mengembangkan
usaha
anggota.
Berdasarkan batasan tersebut, maka fungsi dari kelompok tani adalah : 1.
Kelas belajar Sebagai kelas belajar, kelompok tani merupakan wadah belajar mengajar bagi anggotanya guna meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap (PKS) serta tumbuh dan berkembangnya kemandirian dalam berusahatani, sehingga produktivitasnya meningkat, pendapatannya bertambah, dan akhirnya berdampak pada kehidupan yang lebih sejahtera.
2.
Wahana kerjasama Sebagai wahana kerjasama, kelompok tani merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama petani dalam kelompok tani dan antar kelompok tani serta dengan pihak lain. Melalui kerjasama ini diharapkan kegiatan usahataninya akan lebih efisien serta lebih mampu menghadapi ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan.
38
3.
Unit produksi Sebagai unit produksi, usahatani yang dilaksanakan oleh masing-masing anggota kelompoktani, secara keseluruhan harus dipandang sebagai kesatuan usaha yang dapat dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi baik dipandang dari segi kuantitas, kualitas, maupun kontinuitas. Selain kelompok tani, dikenal pula istilah gabungan kelompok tani
(Gapoktan) yang didefenisikan sebagai kumpulan dari beberapa kelompok tani yang bergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi usaha. Di dalam Gapoktan setiap kelompok tani akan dikembangkan dan diarahkan untuk meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan fungsinya. Fungsi dari Gapoktan yang dimaksud adalah sebagai usahatani, unit usaha pengolahan, unit usaha sarana dan prasarana produksi, unit usaha pemasaran dan unit usaha keuangan mikro, serta unit jasa penunjang lainnya. Jika fungsi-fungsi tersebut berjalan dengan baik maka Gapoktan akan menjadi organisasi petani yang kuat dan mandiri. Sebagai unit usaha pemasaran, hendaknya Gapoktan mempunyai kemampuan sebagai berikut : 1.
Mengidentifikasi serta menganalisa potensi dan peluang pasar berdasarkan sumber daya yang dimiliki untuk mengembangkan komoditi yang dikembangkan/diusahakan guna memberikan keuntungan usaha yang lebih besar.
2.
Merencanakan kebutuhan pasar berdasarkan sumberdaya yang dimiliki dengan memperhatikan segmentasi pasar.
3.
Menjalin kerjasama/kemitraan usaha dengan pemasok-pemasok kebutuhan pasar.
4.
Mengembangkan penyediaan kebutuhan pasar akan produk pertanian.
5.
Mengembangkan kemampuan memasarkan produk-produk hasil pertanian.
6.
Menjalin kerjasama atau kemitraan usaha dengan pihak pemasok hasilhasil produksi pertanian.
7.
Meningkatkan kemampuan dalam menganalisis potensi usaha masingmasing anggota untuk dijadikan satu unit usaha yang menjamin pada permintaan pasar dilihat dari kuantitas, kualitas, serta kontinuitas.
39
3.2
Kerangka Pemikiran Operasional Kontribusi hortikultura terhadap manusia dan lingkungan cukup besar.
Salah satu jenis produk hortikultura yang memegang peranan penting dalam perekonomian negara adalah sayuran. Tahun 2004 sampai tahun 2006 ekspor sayuran mengalami peningkatan sebesar 30 persen. Akan tetapi pada tahun 2007 mengalami penurunan sebesar 17 persen dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2008 sebesar lima persen (dapat dilihat pada Tabel 1). Salah satu produk sayuran unggulan ekspor adalah brokoli (Brassicae oleraceae L). Brokoli dijadikan sebagai keperluan bahan pangan dan dapat berfungsi sebagai obat pada penyakit tertentu. Berdasarkan informasi melalui komunikasi lisan dengan pihak dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor, Kecamatan Cisarua Puncak menjadi daerah sentra produksi brokoli untuk wilayah Bogor. Kecamatan Cisarua Puncak memiliki ketinggian yang memenuhi kriteria bertumbuhnya brokoli, yaitu pada ketinggian 800 sampai dengan 900 mdpl. Usahatani brokoli di wilayah ini dimulai pada tahun 2008 (dapat dilihat pada Tabel 2). Usahatani brokoli terpusat di dua desa, yaitu Desa Tugu Utara dan Desa Tugu Selatan. Di Desa Tugu Utara terdapat satu kelompok tani yang menjalankan usaha tani brokoli, yaitu kelompok tani Suka Tani yang merupakan anggota gabungan kelompok Tani Tugu Utara. Kelompok tani ini memulai usahatani brokoli pada tahun 2009. Tingkat produksi yang dihasilkan, memberi sumbangsih yang besar untuk lingkungan Kecamatan Cisarua Puncak. Tahun 2009, kelompok tani ini mampu memperoleh tingkat produksi sebesar 59,52 persen dari total produksi brokoli yang ada di wilayah Cisarua, dan pada tahun 2010 mampu memperoleh tingkat produksi sebesar 54,11 persen dari total produksi di wilayah Cisarua tersebut. Kelompok tani ini sebenarnya mampu memasarkan produknya secara langsung kepada konsumen. Akan tetapi terdapat beberapa kendala yang membuat kelompok tani ini tidak dapat memasarkan produknya secara langsung ke konsumen, sehingga harus berhubungan dengan penyalur yang dapat membantu menyalurkan produk tersebut. Kendala yang dihadapi oleh kelompok tani tersebut adalah produk yang dijual sifatnya mudah rusak (bulky), dan cepat busuk
40
(perishable). Kendala lain yang dihadapi adalah jarak lokasi pemasaran dari areal usahatani yang dimiliki oleh setiap petani, sehingga memerlukan penanganan, mulai dari penyimpanan, pengangkutan dan bongkar muat. Hal tersebut dapat mengakibatkan biaya yang dikeluarkan oleh kelompok tani tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan keuntungan yang diperolehnya. Dalam memasarkan brokoli, petani juga belum dapat menentukan harga jual. Hal ini dikarenakan harga seringkali ditentukan oleh pihak pedagang, sehingga petani berstatus sebagai penerima harga saja (price taker). Jika dilakukan pengamatan pada Tabel 5. dan Tabel 6., dapat disimpulkan bahwa telah terbentuk suatu marjin pemasaran yang cukup besar diantara petani sampai ke pedangang pengecer. Dalam hal ini petani mendapatkan bagian yang paling sedikit dari total penerimaan pemasaran brokoli tersebut. Penguraian latar belakang dan permasalahan yang ada pada kelompok tani ini, menjadi dasar bagi penulis untuk melakukan suatu penelitian berupa analisis pada sistem tataniaga sayur brokoli yang dihasilkan oleh kelompok tani ini. Penelitian ini menggunakan alat analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif meliputi analisis fungsi-fungsi tataniaga, saluran tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar. Analisis kuantitatif meliputi marjin tataniaga, farmer’s share, dan analisis rasio keuntungan dan biaya.
41
Fakta usahatani brokoli yang dihadapi petani : 1. Marjin tataniaga tinggi. 2. Harga fluktuatif
1. Bagaimana sistem tataniaga brokoli yang dilakukan oleh kelompok tani Suka Tani, di desa Tugu Utara ? 2. Apakah proses tataniaga yang berlangsung sudah efisien ?
Analisis kualitatif
Analisis kuantitatif
1. Analisis saluran tataniaga 2. Analisis lembaga tataniaga 3. Analisis fungsi-fungsi tataniaga 4. Struktur pasar dan perilaku pasar
1. Marjin tataniaga 2. Farmer’s share 3. Rasio keuntungan dan biaya
Alternatif saluran tataniaga sayur brokoli yang paling efisien
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
42
IV METODE PENELITIAN 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada kelompok tani Suka Tani yang terletak di
Kampung Suka Tani Rt 06/04, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua – Puncak, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang dimulai pada bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2011. Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive, karena brokoli baru dibudidayakan pada tahun 2008 di wilayah Bogor, dan usahatani brokoli hanya terdapat di Kecamatan Cisarua – Puncak, tepatnya di Desa Tugu, karena memiliki syarat geografis tumbuh brokoli yaitu pada ketinggian 800 sampai dengan 900 mdpl. Kelompok tani Suka Tani dipilih sebagai objek yang diteliti karena kelompok tani ini memiliki proporsi produksi yang dapat dikatakan dominan dari total produksi brokoli yang dihasilkan di Kecamatan Cisarua Puncak pada tahun 2009 dan tahun 2010 yaitu sebesar 59,52 dan 54,11 persen. 4.2
Metode Pengumpulan Data Dalam melakukan penelitian ini data yang digunakan adalah data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui jawaban langsung dari responden, yaitu petani dan lembaga-lembaga tataniaga terkait, seperti pedagang pengumpul dan pedagang pengecer melalui penyebaran kuisioner serta observasi dan wawancara. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait seperti Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, buku-buku, internet, serta literatur-literatur dan sumber-sumber lain yang memiliki hubungan dengan topik penelitian. 4.3
Metode Penarikan Responden Pemilihan responden petani brokoli dilakukan dengan menggunakan
teknik snowballing. Responden pertama untuk petani brokoli pada kelompok tani ini adalah bapak Ujang Yahya (ketua kelompok tani Suka Tani), yang ditentukan secara sengaja (purpossive) berdasarkan pengalamannya dalam menjalankan usahatani brokoli. Adapun jumlah petani responden adalah sebanyak delapan orang. Penentuan responden lembaga-lembaga pemasaran selanjutnya dilakukan
dengan menggunakan teknik snowballing. Lembaga-lembaga pemasaran tersebut terdiri dari satu orang pedagang pengumpul desa, dua orang pedagang besar, dan 13 orang pedagang pengecer. 4.4
Metode Pengolahan dan Analisis Data Metode pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Proses analisis data kualitatif menggambarkan secara deskriptif saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga serta struktur dan perilaku pasar. Sedangkan analisis data kuantitatif dipergunakan untuk menganalisis besaran marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan dan biaya. Alat analisis data kuantitatif yang digunakan berupa kalkulator, Excel, dan sistem tabulasi data. 4.5
Analisis Saluran Tataniaga Analisis saluran tataniaga berfungsi untuk mengetahui saluran tataniaga
yang dilalui oleh komoditas sayur brokoli dari tangan petani sampai ke tangan konsumen. Melalui pengujian analisis saluran tataniaga, dapat diketahui berapa banyak jumlah lembaga tataniaga yang terlibat pada proses tataniaga sayur brokoli tersebut. Analisis saluran tataniaga juga dapat menunjukkan pola saluran tataniaga yang terjadi berdasarkan keberadaan pelaku tataniaga yang terlibat, sehingga membentuk peta saluran tataniaga. Semakin panjang saluran tataniaga, maka marjin yang terjadi antara petani (produsen) dengan konsumen akan semakin tinggi. 4.6
Analisis Lembaga Tataniaga Analisis lembaga tataniaga dilakukan untuk mengetahui fungsi-fungsi
tataniaga yang dilaksanakan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Analisis fungsi-fungsi tataniaga digunakan untuk mengevaluasi biaya tataniaga. Manfaat lain dari analisis fungsi tataniaga adalah sebagai bahan perbandingan biaya yang dihasilkan setiap lembaga tataniaga. Fungsi tataniaga merupakan kegiatan-kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam proses tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan lembaga tataniaga terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas.
44
4.7
Analisis Struktur dan Perilaku Pasar Metode analisis struktur pasar digunakan untuk mengetahui apakah
struktur pasar cenderung mendekati bentuk pasar persaingan sempurna atau tidak sempurna. Untuk mengetahui struktur pasar brokoli yang dilakukan oleh petani dapat diketahui dengan melakukan pengamatan dan penelusuran terhadap jumlah lembaga tataniaga, mudah tidaknya memasuki pasar, sifat produk dan sistem informasi pasar. Metode analisis perilaku pasar dilakukan melalui pengamatan terhadap praktek penjualan dan pembelian sistem penentuan. Selain itu perilaku pasar dapat dianalisis melalui penyebaran harga serta sistem kerjasama yang terjalin diantara lembaga-lembaga tataniaga. 4.8
Analisis Marjin Tataniaga Analisis marjin tataniaga digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi
tataniaga dari petani sampai konsumen. Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga di tingkat konsumen dengan harga yang diterima petani. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : M = Pr – Pf Di mana : M = marjin tataniaga Pr = harga di tingkat konsumen Pf = harga yang diterima oleh petani Analisis marjin tataniaga yang digunakan untuk mengetahui marjin tataniaga total, yang mencakup fungsi-fungsi, biaya-biaya, kelembagaan yang terlibat, dan keseluruhan sistem mulai dari petani (primary supply) sampai pada konsumen akhir (primary demand), dirumuskan sebagai berikut : M = Pr – Pf = C + π = ∑ Mi Di mana Mi = Pj i – Pb i Keterangan : M = marjin tataniaga Pr = harga di tingkat konsumen Pf = harga yang diterima petani C = biaya-biaya dari adanya pelaksanaan fungsi-fungsi tataniaga 45
π = keuntungan lembaga tataniaga Mi = marjin di tingkat tataniaga ke-i, di mana i = 1,2,....,n Pji = harga penjualan untuk lembaga tataniaga ke –i Pbi = harga pembelian untuk lembaga tataniaga ke-i 4.9
Analisis Farmer’s Share Farmer’s share digunakan untuk membandingkan harga yang dibayar
konsumen terhadap harga produk yang diterima petani. Besarnya nilai bagian petani dapat dihitung berdasarkan rumus :
Farmer’s share =
Pf x 100 % Pr
Keterangan : Pf = harga di tingkat petani Pr = harga yang dibayarkan konsumen akhir 4.10
Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya Rasio keuntungan dan biaya pemasaran merupakan besarnya yang
diterima lembaga pemasaran sebagai imbalan atas biaya pemasaran yang dikeluarkan. Rasio keuntungan dan biaya pemasaran setiap lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut : Rasio Keuntungan dan Biaya =
πi Ci
Keterangan : π i = keuntungan lembaga pemasaran pada tingkat lembaga ke-i C i = biaya tataniaga pada tingkat lembaga ke-i
46
V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian berlangsung pada kelompok tani Suka Tani yang merupakan
salah satu bagian dari gapoktan Tugu Utara yang terletak di desa Tugu Utara, kecamatan Cisarua – Puncak, kabupaten Bogor. Desa Tugu Utara berbatasan dengan beberapa wilayah. Adapun letak desa Tugu Utara adalah sebagai berikut : •
Sebelah Timur dan utara, berbatasan dengan kabupaten Cianjur.
•
Sebelah Barat, berbatasan dengan desa Batu Layang.
•
Sebelah Selatan, berbatasan dengan desa Tugu Selatan.
Fasilitas jalan untuk bisa mencapai desa Tugu Utara sudah baik, sehingga sarana transportasi sudah tersedia. Berdasarkan tingkat perkembangannya, desa Tugu Utara termasuk dalam kategori perkotaan dengan luas administrasi desa seluas 1.728 Ha dengan jumlah penduduk sebanyak 10.310 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 5.499 jiwa (53,34 persen) dan wanita sebanyak 4.811 jiwa (46,66 persen). Berdasarkan aspek geografisnya, desa Tugu Utara berada pada ketinggian 1.200 mdpl dengan suhu rata-rata per hari berkisar 260C dengan curah hujan 200 mm/bulan. Oleh karena itu desa Tugu Utara memenuhi persyaratan penanaman brokoli. Desa Tugu Utara memiliki luas lahan seluas 1.728 Ha. Lahan desa Tugu Utara terbagi pada beberapa fungsi lahan yang berbeda. Pemanfaatan lahan desa sebagian besar digunakan untuk areal perkebunan (47,45 persen), areal kehutanan (18,50 persen), jalur hijau (14,47 persen), dan lahan pertanian (12,20 persen). Areal yang tersisa digunakan untuk bangunan pemukiman dan fasilitas umum lainnya. Tabel 11. menunjukkan pemanfaatan lahan di Desa Tugu Utara secara keseluruhan. Pada Tabel 11. ditunjukkan bahwa penggunaan lahan terbesar adalah untuk lahan perkebunan teh, yaitu perkebunan teh “Ciliwung”. Desa Tugu Utara memiliki banyak areal kehutanan dan jalur hijau, karena desa ini termasuk salah satu wilayah resapan air di Bogor. Oleh karena itu banyak lahan yang dapat dimanfaatkan sebagai jalur hijau dan dilindungi oleh pemerintah, sehingga tidak ada pemberian izin untuk mendirikan bangunan dalam bentuk apapun. Sebagian
kecil lahan lainnya digunakan untuk fasilitas umum dan bangunan, seperti pemukiman penduduk dan bangunan sekolah. Pemanfaatan lahan sebagai lahan pertanian masih banyak karena sebagian besar penduduk di Desa Tugu Utara memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Tabel 11. Pemanfaatan Lahan Desa Tugu Utara Tahun 2010 Fungsi Lahan
Luas Lahan (Ha)
Persentase (%)
Lahan pertanian
210,8
12,20
Lahan perkebunan
820,0
47,45
Lahan kehutanan
320,0
18,50
Lahan keperluan fasilitas umum : •
Lapangan olah raga
1,5
0,09
•
Taman rekreasi
5,0
0,30
•
Jalur hijau
250,0
14,47
•
Pemakaman umum
2,7
0,16
118,0
6,83
Bagunan
1.728
Total
100
Sumber : Kecamatan Cisarua (2010)
5.2
Kelompok Tani Suka Tani Kelompok tani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk
atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan serta mengembangkan usaha anggota. Pada proses penelitian ini penelusuran tataniaga brokoli dimulai dari titik produsen sampai kepada konsumen akhir. Kelompok tani Suka Tani merupakan salah satu bagian dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tugu Utara. Kelompok tani ini diketuai oleh bapak Ujang Yahya yang juga sekaligus sebagai ketua gapoktan Tugu Utara. Kelompok tani Suka Tani berdiri pada tahun 2009, dengan jumlah anggota petani sebanyak 20 orang petani sayuran di desa Tugu Utara. Pendirian kelompok tani ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya memudahkan petani, khususnya petani yang sudah menjadi anggota dalam menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga tertentu yang dapat memberikan keuntungan dari aspek usahatani. Selain itu, dari sisi finansial petani dapat memperoleh keuntungan untuk memperoleh bantuan dana berupa uang tunai atau suatu fasilitas yang dapat memudahkan kegiatan usahatani yang berasal dari pihak
48
pemerintahan ataupun lembaga yang bukan dari pihak pemerintahan. Tujuan lain dibentuknya kelompok tani ini, adalah memberikan kemudahan akses dalam memperoleh informasi sehubungan adanya kegiatan penyuluhan pertanian yang berasal dari instansi terkait. Kelompok tani ini memiliki struktur organisasi yang masih sangat sederhana. Struktur organisasi tersebut menunjukkan bahwa ketua kelompok tani langsung membawahi anggota-anggotanya. Pembuatan suatu rumusan untuk kepentingan pada kelompok tani ini ditentukan langsung oleh ketua kelompok tani dan dikerjakan secara sendiri. Hasil kebijakan yang telah dikonsep dimusyawarahkan kembali untuk diputuskan secara bersama-sama. Anggota kelompok tani ini belum dapat merasakan fungsi keberadaan dari kelompok tani tersebut secara optimal. Beberapa fakta yang membuktikan adalah terdapat bantuan dari pemerintah berupa motor pengangkut roda tiga dan mesin pengolah pupuk kompos tidak dapat dipakai oleh anggota kelompok tani tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya pergantian ketua Gapoktan Tugu Utara, di mana sebelumnya diketuai oleh bapak Badri Ismaya. Ketua sebelumnya telah meninggal dunia dan kemudian dilakukan pemilihan ketua yang baru yaitu bapak Ujang Yahya. Bantuan fasilitas dari pemerintah tersebut masih berada di pihak keluarga ketua Gapoktan yang lama dan sudah mengalami kerusakan. Kelemahan lainnya adalah belum adanya suatu kebijakan kerjasama antara sesama anggota kelompok tani dalam menjual produk yang dihasilkannya. Pada setiap masa panen, petani anggota masih menjual hasil panennya secara sendiri-sendiri. Selama berdiri, kelompok tani ini pernah mendapat tawaran kerjasama oleh perusahan Indofood dan Hero untuk memasok kebutuhan produk pertanian perusahaan tersebut. Perusahaan Indofood meminta kelompok tani ini untuk memenuhi pasokan kentang dan tomat yang dibutuhkan. Perusahaan Hero meminta agar kelompok tani ini dapat memenuhi kebutuhan kembang kol dan brokoli yang dibutuhkannya. Tetapi terjadi suatu kendala, yaitu kemampuan kelompok tani ini masih sangat terbatas khususnya dalam membuat proposal pengajuan kerjasama dan perhitungan biaya produksi yang tidak dapat diterima oleh kedua perusahaan tersebut.
49
5.3
Gambaran Umum Usaha Tani Brokoli Proses penanaman brokoli dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai
berikut : 1) Pencangkulan dan persemaian, 2) Persiapan lahan dan penanaman, 3) Pemeliharaan, dan 4) Pemanenan. 1)
Pencangkulan dan Persemaian Pada proses pencangkulan, tanah untuk persemaian dicangkul, diratakan,
dan disiram dengan menggunakan emrat. Setelah itu, bibit ditaburkan pada tanah yang telah disiapkan. Bibit yang digunakan berupa biji yang ditanam sedalam 1-2 cm. Bibit yang telah ditabur ditutup dengan pupuk kandang, tanah tipis, daun pisang, dan plastik. Penutupan dengan menggunakan daun pisang bertujuan untuk mengurangi panas matahari yang langsung mempengaruhi bibit yang telah disemai. Sementara itu, penutupan dengan plastik bertujuan untuk menghindari gangguan dari hewan atau hama yang dapat mengganggu pertumbuhan dari bibit tersebut. Setelah tiga sampai dengan empat hari masa penyemaian, dilakukan pemeriksaan kembali. Setelah diketahui terdapat bibit yang sudah berkecambah, penutup (daun pisang dan plastik) dibuka, dan dibentuk sebuah wuwungan di atas tanah persemaian dengan ketinggian 70 cm. Wuwungan adalah penutup berupa tenda dengan menggunakan plastik yang membentuk bidang setengah tabung. Adapun kegunaan wuwungan ini adalah untuk menahan air hujan agar tidak masuk ke dalam tanah persemaian. Kecambah yang berada dalam wuwungan dibiarkan selama dua minggu. Selama dua minggu tersebut, setiap pagi hari wuwungan dibuka dan ditutup pada sore harinya. Pada waktu tersebut dilakukan penyiraman rutin sebanyak satu kali penyiraman untuk setiap harinya. Setelah dua minggu, wuwungan dibuka dan kecambah dibiarkan selama delapan hari. Jika hujan tidak turun dalam waktu tersebut, maka dilakukan penyiraman dengan jadwal satu kali dalam dua hari. 2)
Persiapan Lahan dan Penanaman Setelah kecambah dibiarkan selama delapan hari, kecambah akan
menghasilkan benih. Benih dipilih untuk dipindahkan ke lahan penanaman. Sebelum penanaman, tanah diolah terlebih dahulu untuk mencukupi kebutuhan bahan organik. Benih yang memiliki akar berumbi (akar gada) harus disisihkan.
50
Kemudian benih yang dipilih ditanam pada lahan penanaman yang telah disiapkan. Pada penanaman brokoli, terdapat jarak tanam benih yang satu dengan benih lainnya. Adapun jarak tanam brokoli maksimal 50 cm dan dilanjutkan dengan pembuatan bedengan selebar 1,20 m dan tinggi sekitar 30 – 50 cm. Setelah itu, benih ditanam pada lubang tanam berdiameter 25 cm dengan kedalaman kurang lebih 10 cm dan dibiarkan selama 10 hari. 3)
Pemeliharaan Apabila masa penanaman benih sudah 10 hari lamanya, tahap yang
dilakukan selanjutnya adalah tahap pemupukan. Proses pemupukan berlangsung sampai dua tahap. Pupuk yang digunakan adalah pupuk buatan jenis NPK. Adapun jarak peletakan pupuk dengan tanaman selebar 10 cm. Pada pemupukan tahap pertama, pupuk NPK yang dibutuhkan untuk setiap pohon brokoli sebesar tiga gram. Penyemprotan pestisida dilakukan setelah benih dibiarkan selama tiga hari dari proses pemupukan tahap pertama. Jadwal penyemprotan pestisida dilakukan satu kali dalam waktu empat hari sampai pada masa panen. Selanjutnya adalah pemupukan tahap kedua. Pemupukan tahap kedua dilakukan setelah 20 hari lamanya dari pemupukan tahap pertama. Banyaknya pupuk NPK yang dibutuhkan pada pemupukan tahap kedua sebesar enam gram untuk setiap pohonnya. Jarak peletakan pupuk dengan tanaman adalah sama seperti pada pada proses pemupukan tahap pertama. Tahap yang dilakukan selanjutnya adalah tahap penyiangan dan penutupan batang oleh tanah. Kegiatan ini berlangsung setelah dua hari dari proses pemupukan tahap kedua. Proses penyiangan dilakukan sesuai dengan kebutuhan, jika gulma terlihat sudah banyak. Sementara itu, proses penutupan batang oleh tanah perlu dilakukan, karena dalam proses pertumbuhan batang akan semakin tinggi dan berbuah sehingga dapat mengakibatkan beban berat bagi permukaan batang brokoli tersebut.
51
4)
Pemanenan Pada umumnya usia panen brokoli adalah 2 bulan dan 15 hari (65 hari).
Biasanya proses pemanenan berlangsung setelah 15 hari dari proses pemupukan tahap kedua. Pemanenan brokoli dilakukan ketika kuntum bunga belum membuka dan kepala bunga belum kompak. Apabila panen terlambat maka kuntum bunga akan berwarna kuning dan kepala bunga menjadi longgar sehingga mutu dan harga dapat merosot. Saat yang tepat untuk pemanenan adalah pada pagi hari setelah embun menguap atau sore hari sebelum embun jatuh. Pemanenan dilakukan dengan cara memotong tangkai kepala bunga. 5.4
Karaktertistik Petani Responden
Jumlah petani responden yang diketahui adalah sebanyak delapan orang. Pada proses penelitian ini, karakteristik petani responden mencakup beberapa aspek, diantaranya jenis kelamin, umur, pekerjaan utama, pekerjaan sampingan, tingkat pendidikan, luas total lahan, luas lahan yang digunakan untuk usahatani brokoli, status pengusahaan lahan, dan jumlah produksi panen brokoli. Petani responden menjalankan usahatani dengan menggunakan sistem tumpangsari, sehingga seluruh petani responden tidak hanya menanam brokoli saja. Status lahan yang digunakan oleh petani responden adalah sewa, dipinjamkan, dan milik sendiri. Pada lahan sewa terdiri dari dua orang petani (25 persen), lahan yang dipinjamkan terdiri dari lima petani (63 persen), dan lahan yang merupakan milik sendiri terdiri dari satu orang petani (12 persen). Pengalaman petani responden dalam menjalankan usahatani brokoli pada umumnya berkisar dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011. Tingkat pendidikan petani responden adalah SD sebanyak enam orang (75 persen), SLTP sebanyak satu orang (12,5 persen), dan tidak sekolah sebanyak satu orang (12,5 persen). Jenis kelamin seluruh petani responden adalah laki-laki dengan umur pada kisaran 31 tahun sampai dengan 59 tahun. Penjelasan secara umum tentang karakteristik petani responden dapat dilihat pada Tabel 12. dan penejelasan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1.
52
Tabel 12. Sebaran Jumlah Petani Responden Berdasarkan Usia, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengalaman dan Luas Lahan Usahatani Brokoli pada Tahun 2011 Umur (Tahun) 31 – 39 40 – 50 > 50
Jumlah Responden (Orang)
Persentase (%)
2 4 2 8
25 50 25 100
6
75
1 1 8
12,5 12,5 100
1 2 4 1 8
12,5 25 50 12,5 100
1 1 2 2 1 1 8
12,5 12,5 25 25 12,5 12,5 100
Total Tingkat pendidikan Tamat SD Tamat SLTP Tidak sekolah Total Tingkat pengalaman bertani brokoli Dari tahun 2008 Dari tahun 2009 Dari tahun 2010 Dari tahun 2011 Total Luas lahan (m2) 600 1000 2000 5000 5500 6000 Total
Pada Tabel 12. dapat diketahui bahwa hampir seluruh petani responden memiliki tingkat pendidikan sampai pada tingkat SD saja. Terdapat satu orang responden yang sampai pada tahap SLTP dan satu orang responden yang tidak pernah sekolah. Pada situasi tersebut diketahui bahwa keadaan ekonomi dalam keluarga petani masih kurang mampu untuk membiayai kelanjutan proses pendidikan yang sudah dijalaninya. Petani responden secara keseluruhan berjenis kelamin laki-laki. Pada lahan yang luasnya tidak terlalu besar (600 m2 – 2000 m2), petani biasanya bekerja sendiri dan dibantu oleh istrinya. Pada lahan yang memiliki luas pada kisaran 5000 m2 – 6000 m2 , petani mengupah tenaga kerja sebanyak 1-3 orang pada tahap pencangkulan dan pada tahap pemanenan, dengan upah satu HOK (Hari Orang Kerja) sebesar Rp 30.000,-. Status pengolahan lahan petani responden adalah sewa, dipinjamkan, dan milik sendiri. Pada lahan berstatus sewa dan dipinjamkan, petani menggunakan lahan kepemilikan beberapa warga Jakarta. Pada status lahan dipinjamkan, petani ditugaskan untuk memelihara villa orang-orang yang berasal dari Jakarta tersebut
53
dan lahan sisa yang belum digunakan dipinjamkan untuk kegiatan usahatani. Pada status lahan sewa, petani membayar sewa pada pemilik lahan yang pada umumnya juga orang yang berasal dari Jakarta. Besarnya sewa lahan beragam dimulai dari dua juta rupiah sampai dengan empat juta untuk satu Ha selama satu tahun. Jika ditinjau dari segi pengalaman, petani responden pada umumnya belum lama membudidayakan brokoli. Komoditas brokoli menjadi suatu komoditas yang baru dikembangkan oleh anggota kelompok tani ini. Petani memiliki beberapa kendala dalam menghasilkan brokoli. Beberapa masalah yang dihadapi petani diantaranya adalah jumlah petani yang menanam brokoli masih sedikit dan volume produksi yang dihasilkan juga masih sedikit. Keberadaan kelompok tani juga belum memberi pengaruh nyata, karena masing – masing petani masih memasarkan hasil panen brokoli secara sendiri. Hal tersebut mangakibatkan petani memiliki ketergantungan yang besar untuk menjual brokoli pada pedagang perantara dan mengakibatkan posisi tawar petani menjadi rendah. Selain itu, petani memiliki kendala dalam hal permodalan. Petani menjalankan usahataninya dengan menggunakan modal sendiri. Keterbatasan modal tersebut mengakibatkan petani belum dapat melakukan usahatani brokoli dalam skala yang lebih besar. 5.5
Pengalaman Usahatani Brokoli Petani brokoli di desa Tugu Utara pada umumnya menjalankan usahatani
brokoli dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2011. Brokoli menjadi suatu komoditas yang belum lama dan sedang dikembangkan di wilayah ini. Berdasarkan informasi lisan dari ketua kelompok tani Suka Tani, sistem budidaya brokoli sudah mulai diperkenalkan pada seluruh anggota kelompok tani. Namun saat ini baru terdapat delapan orang petani yang baru menjalankan usahatani untuk komoditas brokoli. 5.6
Karakteristik Pedagang Responden Pedagang responden yang didapatkan pada proses penelitian ini berjumlah
16 orang. Penentuan pedagang responden menggunakan teknik snowballing. Pedagang responden tersebut terdiri dari satu orang pedagang pengumpul desa, dua orang pedagang besar, dan 13 orang pedagang pengecer. Pedagang
54
pengumpul desa berasal dari Desa Bojong Murni, Cisarua Puncak. Pedagang pengumpul desa melakukan pembelian brokoli dari petani dan menjualnya di pasar TU Kemang. Pasar TU Kemang merupakan pasar penampungan sayuran untuk wilayah Bogor. Salah satu responden pedagang besar berasal dari daerah Cipanas. Pedagang besar tersebut melakukan pembelian brokoli langsung di tempat petani dan kemudian menjualnya di pasar penampungan Cipanas. Sementara itu, satu orang responden lain berasal dari daerah Cibatok – Bogor, melakukan pembelian dari pedagang pengumpul desa di pasar TU Kemang – Bogor. Jumlah responden pedagang pengecer berjumlah delapan orang. Tiga orang responden melakukan pembelian brokoli di pasar TU Kemang – Bogor dan memasarkan kembali di pasar Parung dan Tangerang. Tiga orang responden pedagang pengecer berikutnya berada di wilayah Cipanas. Responden pedagang pengecer tersebut melakukan pembelian brokoli di pasar penampungan Cipanas dan memasarkan kembali di pasar Cipanas. Dua orang responden pedagang pengecer lainnya berada di pasar Cisarua. Kedua responden tersebut melakukan pembelian dari petani yang mengantarkan brokoli tersebut ke pasar Cisarua dan memasarkan kembali di pasar Cisarua tersebut. Pada Tabel 13. dapat dilihat karakteristik dari responden pedagang brokoli yang berasal dari Desa Tugu Utara. Dari Tabel 13. dapat diketahui bahwa pedagang responden memiliki cakupan usia yang beragam. Pada usia antara 20 – 30 tahun terdiri dari sembilan orang pedagang pengecer, pada usia 31- 40 tahun terdiri dari satu orang pedagang pengumpul desa dan dua orang pedagang pengecer, dan pada usia 41- 50 tahun terdiri dari dua orang pedagang besar serta dua orang pedagang pengecer. Tingkat pendidikan pedagang responden pada umumnya pada tingkat SD, SLTP, dan SMA. Jumlah pedagang responden yang memiliki tingkat pendidikan SD terdiri dari satu orang pedagang pengumpul desa, satu orang pedagang besar, dan tujuh orang pedagang pengecer. Jumlah pedagang responden yang memiliki tingkat pendidikan SLTP terdiri dari empat orang pedagang pengecer dan pada tingkat pendidikan SMA terdiri dari satu orang pedagang besar serta dua orang pedagang pengecer. Sementara itu pengalaman berdagang pedagang responden untuk waktu kurang atau tepat lamanya selama lima tahun terdiri dari sembilan orang. Bagi pedagang responden yang memiliki
55
pengalaman selama enam tahun atau lebih dari enam tahun terdiri dari tujuh orang. Tabel 13. Karakteristik Pedagang Perantara Pedagang Responden Karakteristik
PPD
Pedagang Besar/Grosir
Pengecer
Orang
%
Orang
%
Orang
%
20-30 tahun
-
-
-
-
9
69,23
31-40 tahun
1
100
-
-
2
15,385
41-50 tahun
-
-
2
100
2
15,385
> 50 tahun
-
-
-
-
-
-
Tidak tamat SD
-
-
-
-
-
-
Tamat SD
1
100
1
50
7
53,84
Tamat SLTP
-
-
-
-
4
30,76
Tamat SMA
-
-
1
50
2
15,40
≤ 5 tahun
-
-
-
-
9
69,23
≥ 6 tahun
1
100
2
100
4
30,77
Umur
Pendidikan
Pengalaman
56
VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1
Sistem Tataniaga Tataniaga merupakan suatu proses pertukaran yang mencakup serangkaian
kegiatan yang tertuju untuk memindahkan barang tertentu dari sektor produksi ke sektor konsumsi. Proses tataniaga brokoli di Desa Tugu Utara melibatkan beberapa lembaga tataniaga dari petani sampai ke tangan konsumen akhir. Pada proses berlangsungnya penelitian, didapatkan bahwa lembaga tataniaga yang terlibat antara lain petani, pedagang pengumpul desa atau sering disebut tengkulak, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Pemasaran komoditas brokoli yang berasal dari Desa Tugu Utara memasuki pasar yang berbeda-beda. Pasar yang dimasuki diantaranya terletak di daerah Cipanas, Cisarua, Bogor, Parung, dan Tangerang. 6.2
Saluran Tataniaga Brokoli merupakan salah satu komoditas pertanian. Pada dasarnya
komoditas pertanian memiliki sifat mudah rusak (perishable), mudah busuk, dan mempunyai bobot dan volume yang besar (bulky). Oleh karena itu, komoditas brokoli tersebut membutuhkan penanganan yang baik sehingga dapat sampai ke tangan konsumen akhir sesuai dengan yang diinginkannya. Atas sifat dasar tersebut, maka sistem penyaluran akan memiliki sifat yang mampu memberi perlindungan dan keamanan bagi brokoli tersebut. Pada proses penelitian ini penelusuran tataniaga brokoli dimulai dari titik produsen sampai kepada konsumen akhir. Berdasarkan wawancara dengan menggunakan kuisioner, diketahui bahwa sistem tataniaga brokoli di desa Tugu Utara membentuk tiga pola saluran tataniaga yang melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga yang terlibat adalah pedagang pengumpul desa, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Total produksi delapan petani brokoli dalam satu musim panen adalah 5.000 kg, sehingga rata-rata produksi seluruh petani responden sebesar 625 kg dalam satu musim tanam. Musim tanam brokoli memerlukan waktu sekitar 65 hari. Kegiatan pemanenan berlangsung kira-kira satu kali dalam tiga hari. Petani memperoleh harga yang beragam dari masingmasing saluran. Harga brokoli pada saluran satu sebesar Rp 4.000,- per kg, harga
pada saluran dua sebesar Rp 5.000,- per kg, dan harga pada saluran dua sebesar Rp 10.000,- per kg. Oleh karena itu harga rata-rata yang diperoleh petani adalah Rp 6.700 per kg. Adapun saluran tataniaga brokoli yang terbentuk adalah sebagai berikut : 1. Saluran satu : Petani - Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir. 2. Saluran dua : Petani – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir. 3. Saluran tiga : Petani – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir.
58
Petani (8 orang) 1.540 kg (30,80 %)
Pedagang pengumpul desa (1 orang)
3.360 kg (67,2 %) 100 kg (2 %)
1.463 kg (29,26 %) Pedagang besar (1 orang)
Pedagang besar (1 orang) 3.192,67 kg (63,85 %)
1.463 kg (29,26 %) Pedagang pengecer (6 orang)
Pedagang pengecer (2 orang)
1.316 kg (26,32 %)
Konsumen akhir
Keterangan :
Pedagang pengecer (3 orang)
Pedagang pengecer (2 orang)
3.033,68 kg (60,67 %)
Konsumen akhir
Konsumen akhir
95 kg (1,9 %)
Konsumen akhir
: Saluran satu : Saluran dua : Saluran tiga
Gambar 4. Saluran Tataniaga Brokoli di Desa Tugu Utara Sistem tataniaga brokoli di Desa Tugu Utara dimulai dari petani kepada pengumpul pedagang desa, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Jumlah petani responden yang menjalankan usahatani brokoli sebanyak delapan orang. Pada saluran satu, tujuh orang petani melakukan proses penjualan kepada pedagang pengumpul desa (PPD). Pedagang pengumpul desa yang ada selama proses penelitian berjumlah satu orang. Pedagang pengumpul desa tersebut 59
berasal dari Desa Bojong Murni, Cisarua. Pada saluran dua, tujuh orang petani melakukan proses penjualan kepada pedagang besar. Diketahui jumlah pedagang besar yang melakukan pembelian kepada petani selama proses penelitian adalah satu orang. Pedagang besar tersebut berasal dari daerah Cipanas. Pada saluran tiga, satu orang petani melakukan penjualan kepada pedagang pengecer yang berada di pasar Cisarua. Pada proses penelitian, diketahui bahwa massa brokoli yang dipasarkan secara keseluruhan dalam satu kali masa panen dari Desa Tugu Utara sebanyak 5.000 kg (100 persen) untuk tiga saluran yang ada. Pada saluran satu, brokoli yang didistribusikan melalui pedagang pengumpul desa sebanyak 1.540 kg (30,80 persen). Massa rata-rata brokoli dalam satu periode penjualan dari petani ke pedagang pengumpul desa sebesar 100,72 kg. Pada saluran dua, brokoli yang didistribusikan oleh petani kepada pedagang besar sebanyak 3.360 kg (67,2 persen), dengan massa rata-rata untuk satu periode penjualan sebesar 480 kg. Pada saluran tiga, brokoli yang dijual oleh petani kepada pedagang pengecer sebanyak 100 kg (dua persen) dengan massa rata-rata untuk satu periode penjualan sebesar 14,29 kg. Pemanenan yang dilakukan oleh petani adalah secara bertahap. Hasil panen yang didapatkan langsung dijual oleh petani. Adapun alur lengkap penjualan yang dilakukan oleh petani di Desa Tugu Utara dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan tiga saluran tataniaga yang ada, brokoli yang dihasilkan petani relatif banyak terdistribusi melalui pedagang perantara dan tidak ada saluran tataniaga brokoli dari petani langsung ke konsumen akhir. Hal ini dikarenakan oleh beberapa alasan sebagai berikut : 1. Pada saluran satu dan saluran dua jarak antara petani dengan konsumen akhir berjauhan sehingga membutuhkan biaya tambahan berupa biaya transportasi. Biaya tersebut dapat mempengaruhi pendapatan petani sehingga petani melakukan penjualan kepada perantara. Namun pada saluran tiga terdapat biaya tataniaga yang terbentuk berupa biaya transportasi dan biaya pengemasan. Petani mau mengeluarkan biaya tersebut karena jarak dari tempat tinggal petani relatif tidak jauh ke pasar Cisarua. 2. Volume produksi petani yang sedikit pada setiap masa panennya.
60
3. Di lokasi sentra produksi belum terdapat sektor agroindustri yang dapat membantu petani dalam memudahkan pemasaran brokoli yang dihasilkannya. 6.2.1
Saluran Tataniaga Satu Pola saluran tataniaga satu, merupakan saluran terpanjang dalam rantai
tataniaga brokoli yang digunakan oleh tujuh orang petani responden. Para petani menjual ke pedagang pengumpul desa, kemudian pedagang pengumpul desa menjualnya kepada pedagang besar/grosir di pasar TU Kemang yang merupakan pasar penampungan sayuran yang ada di wilayah Bogor. Selanjutnya pedagang besar memasarkan brokoli tersebut kepada pedagang pengecer yang berasal dari pasar Parung dan pasar induk Tangerang. Adapun alasan petani menjual kepada pedagang pengumpul desa adalah jarak dari sentra produksi ke lokasi tataniaga relatif jauh. Jarak yang relatif jauh tersebut memungkinkan biaya transportasi tinggi di tingkat petani apabila petani memasarkan langsung ke lokasi tataniaga. Massa brokoli yang dijual dalam satu musim kepada pengumpul desa adalah sebesar 1.540 kg (30,80 persen). Pedagang pengumpul desa langsung mengantarkan komoditas brokoli tersebut ke tempat pedagang besar. Kemudian brokoli tersebut mengalami penyusutan sekitar 0,95 persen sehingga massa brokoli yang terjual kepada pedagang besar menjadi 1.463 kg (29,26 persen). Penyusutan terjadi karena adanya kerusakan pada saat proses bongkar muat, kerusakan pada saat proses pengemasan, dan kerusakan dalam perjalanan. Pedagang besar menjual brokoli kepada pedagang pengecer dengan massa 1.463 kg. Pedagang pengecer yang membeli brokoli kepada pedagang besar berasal dari pasar Parung dan pasar induk Tangerang. Kemudian pedagang pengecer tersebut menjual brokoli kepada konsumen akhir dengan massa 1.316 kg (26,32 persen). Penyusutan brokoli pada pedagang pengecer sebesar 2,94 persen. Penyusutan tersebut diperkirakan akibat komoditas brokoli tidak habis terjual dalam sehari sehingga brokoli tersebut sudah layu atau membusuk. Harga rata-rata yang diperoleh petani dari pedagang pengumpul desa adalah Rp 4.000,- per kg. Sementara itu, harga rata-rata yang diterima oleh pedagang pengumpul dari pedagang besar adalah Rp 6.000,- per kg. Harga ratarata yang diterima oleh pedagang besar dari pedagang pengecer sebesar Rp
61
8.750,- per kg. Harga rata-rata yang diterima oleh pedagang pengecer konsumen akhir di wilayah Tangerang dan pasar Parung sebesar Rp 12.000,- per kg. Jumlah pedagang pengecer pada saluran satu adalah sebanyak delapan orang. Adapun pedagang tersebut terdiri dari enam orang pedagang yang berasal dari pasar Parung dan dua orang pedagang yang berasal dari pasar induk Tangerang. Konsumen akhir yang ada pada saluran satu merupakan konsumen perorangan (konsumen rumah tangga). Pada saluran satu terdapat biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang perantara terkait. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul desa berupa biaya transportasi, biaya pengemasan, retribusi, biaya bongkar-muat, dan biaya penyusutan. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang besar berupa biaya transportasi, biaya pengemasan, biaya tenaga kerja, retribusi, biaya bongkar-muat, dan biaya penyusutan. Sementara itu, biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer berupa biaya transportasi, biaya pengemasan, retribusi, biaya penyusutan dan biaya bongkar muat. Sistem pembayaran dari tingkat pedagang pengumpul desa kepada petani adalah tunai. Pedagang pengumpul desa melakukan pembelian kepada petani karena petani di Desa Tugu Utara biasanya menghasilkan produk yang bagus dan sudah berlangganan. Petani melakukan tawar-menawar harga dengan pedagang pengumpul desa melalui telepon. Apabila kesepakatan harga telah ditetapkan, pedagang pengumpul desa mengambil hasil panen di tempat petani. Kegiatan pemanenan biasanya berlangsung pada sore hari yaitu sekitar pukul 16.00 WIB. Brokoli dikemas dengan menggunakan plastik polypropiline. Biaya pengemasan ditanggung oleh pedagang pengumpul desa tersebut. Setelah itu, brokoli tersebut diangkut dengan menggunakan mobil pick-up carry. Brokoli dibawa ke pasar penampungan TU Kemang untuk dijual ke pedagang besar. Pada saluran satu, sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang besar kepada pedagang pengumpul desa adalah sistem tunai, dibayar sebagian, dan hutang. Selanjutnya pedagang besar melakukan penjualan brokoli kepada pedagang pengecer yang datang langsung ke tempat pedagang besar. Pedagang pengecer biasanya membeli brokoli dan beberapa jenis sayuran lainnya kepada pedagang besar. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pengecer
62
kepada pedagang besar adalah sistem pembayaran tunai. Pedagang pengecer yang berasal dari Parung biasanya menggunakan angkot sewaan untuk mengangkut sayur yang dibelinya. Sementara itu, pedagang pengecer yang berasal dari Tangerang menggunakan sepeda motor untuk membawa sayur yang telah dibeli ke pasar induk Tangerang. 6.2.2
Saluran Tataniaga Dua Pada pola saluran dua, petani menjual brokoli hasil panennya kepada
pedagang besar yang berasal dari daerah Cipanas. Brokoli yang dibeli oleh pedagang besar dipasarkan kembali kepada pedagang pengecer di pasar penampungan Cipanas. Pedagang pengecer menjual brokoli kepada konsumen akhir di pasar induk Cipanas. Harga rata-rata yang diperoleh petani dari pedagang besar adalah sebesar Rp 5.000,- per kg. Harga yang ditawarkan oleh pedagang besar lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh pedagang pengumpul desa pada saluran satu. Hal ini dikarenakan pedagang besar pada saluran dua membeli komoditas brokoli secara langsung pada petani dan menjual langsung kepada pedagang pengecer. Sementara itu, pedagang pengumpul desa pada saluran satu komoditas brokoli yang dibeli dari petani dipasarkan kepada pedagang besar dan kemudian pedagang besar tersebut memasarkan kepada pedagang pengecer. Massa brokoli yang dijual petani kepada pedagang besar dalam satu musim tanam adalah sebanyak 3.360 kg (67,2 persen). Brokoli tersebut mengalami penyusutan sebesar 4,98 persen sehingga massa brokoli yang terjual kepada pedagang pengecer sebesar 3.192,67 kg (63,85 persen). Penyusutan yang terjadi diakibatkan terjadinya kesalahan dalam pengemasan, pada saat proses bongkar muat, dan pada saat perjalanan. Brokoli yang dijual oleh pedagang pengecer kepada konsumen akhir mengalami penyusutan sebanyak 4,98 persen. Massa brokoli yang terjual kepada konsumen akhir adalah sebesar 3.033,68 kg (60,67 persen). Penyusutan tersebut diakibatkan komoditas brokoli yang tidak habis terjual dalam sehari sehingga terjadi penyusutan atau layu. Harga rata-rata yang diterima oleh pedagang besar dari pedagang pengecer adalah sebesar Rp 7.750,- per kg. Sementara itu, harga yang diperoleh oleh pedagang pengecer dari konsumen akhir adalah sebesar Rp 12.000,- per kg. 63
Pedagang pengecer pada saluran dua berjumlah tiga orang. Konsumen yang membeli kepada pedagang pengecer merupakan konsumen perorangan (rumah tangga). Pada saluran dua terdapat beberapa biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga perantara terkait. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang besar antara lain : biaya transportasi, biaya pengemasan, biaya tenaga kerja, retribusi, biaya bongkar-muat, dan biaya penyusutan. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer mencakup : biaya pengemasan, retribusi, biaya penyusutan, dan biaya tenaga kerja. Sistem tawar-menawar harga antara petani dengan pedagang besar dilakukan melalui telepon. Apabila kesepakatan harga telah tercapai, pedagang besar mengambil hasil panen di tempat petani. Pengangkutan brokoli biasanya dilakukan pada sore hari dengan menggunakan mobil pick-up carry. Brokoli dikemas dengan menggunakan plastik polypropiline. Biaya pengemasan ditanggung oleh pedagang besar tersebut. Pada saluran dua sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang besar kepada pedagang pengumpul desa adalah sistem tunai, dibayar sebagian, dan hutang. Selanjutnya pedagang besar melakukan penjualan brokoli kepada pedagang pengecer yang datang langsung ke tempat pedagang besar. Pedagang pengecer biasanya membeli brokoli dan beberapa jenis sayuran lainnya kepada pedagang besar. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pengecer kepada pedagang besar adalah sistem pembayaran tunai. Brokoli yang telah dipesan oleh pedagang pengecer biasanya diantarkan oleh pihak pedagang besar dengan menggunakan sepeda motor. Adapun sistem pembayaran yang dilakukan oleh pedagang pengecer kepada pedagang besar adalah sistem pembayaran tunai. 6.2.3
Saluran Tataniaga Tiga Pada pola saluran tiga, satu orang petani menjual langsung hasil panennya
kepada pedagang pengecer di pasar Cisarua. Adapun alasan dari petani tersebut memasarkan langsung kepada pedagang pengecer diantaranya : hasil panen brokoli yang diperoleh tidak banyak sehingga tidak terlalu membutuhkan biaya operasional yang tinggi dan jenis tanaman brokoli merupakan jenis tanaman yang belum lama dijadikan sebagai komoditas untuk berusahatani. Petani tersebut mengangkut brokoli dengan menggunakan sepeda motor menuju pasar Cisarua. 64
Harga rata-rata yang diperoleh oleh petani dari pedagang pengecer adalah sebesar Rp 10.000,- per kg. Harga tersebut merupakan harga tertinggi yang diperoleh petani jika dibandingkan dengan saluran satu dan saluran dua. Sementara itu, harga rata-rata yang diperoleh oleh pedagang pengecer dari konsumen akhir adalah sebesar Rp 13.000,- per kg. Massa brokoli yang dijual petani kepada pedagang pengecer dalam satu musim tanam adalah 100 kg (dua persen). Brokoli mengalami penyusutan sebesar 0,1 persen pada pedagang pengecer, sehingga massa brokoli yang tersisa untuk dijual kepada konsumen akhir adalah sebesar 95 kg. Adapun jumlah pedagang pengecer yang terdapat pada saluran tiga adalah sebanyak dua orang. Pedagang tersebut merupakan pedagang yang memasarkan berbagai jenis sayuran di pasar Cisarua. Sistem tawar-menawar harga antara petani dengan pedagang pengecer adalah menggunakan sistem survei. Petani melakukan survei harga pada pedagang pengecer pada saat masa panen akan berlangsung. Setelah diperoleh kesepakatan harga dan banyaknya jumlah pesanan, petani akan mengantarkan brokoli tersebut ke tempat pedagang pengecer di pasar Cisarua. Pada saluran tiga terdapat beberapa jenis biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh petani dan pedagang pengecer. Biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh petani berupa biaya transportasi dan biaya pengemasan. Sementara itu, biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer berupa biaya pengemasan, biaya tenaga kerja, dan retribusi. Sistem pembayaran yang digunakan oleh pedagang pengecer kepada petani adalah sistem pembayaran tunai. 6.3
Fungsi Tataniaga pada setiap Lembaga Tataniaga Lembaga- lembaga yang terlibat dalam tataniaga brokoli di Desa Tugu
Utara adalah petani, pedagang pengumpul desa (PPD) atau lebih dikenal dengan tengkulak, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Dalam kegiatannya pihakpihak tersebut menjalankan fungsi- fungsi tataniaga untuk memperlancar proses penyampaian barang yang menjadi komoditas perdagangannya. Fungsi tataniaga tersebut terdiri atas tiga fungsi yaitu : (1) fungsi pertukaran, (2) fungsi fisik, dan (3) fungsi fasilitas.
65
Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi penjualan merupakan kegiatan untuk mencari tempat dan waktu yang tepat untuk melakukan penjualan barang sesuai dengan yang diinginkan konsumen baik dilihat dari jumlah, mutu bentuk, dan mutunya. Fungsi pembelian merupakan kegiatan untuk menentukan jenis barang yang akan dibeli yang sesuai dengan kebutuhan untuk dikonsumsi langsung atau untuk kebutuhan produksi. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan kegunaan waktu. Fungsi fisik meliputi fungsi penyimpanan, pengolahan, dan pengangkutan. Fungsi fasilitas merupakan semua tindakan yang memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari empat fungsi : (1) Fungsi standarisasi dan grading, (2) fungsi penanggungan resiko, (3) fungsi pembiayaan, dan (4) fungsi informasi pasar. Lembaga- lembaga tataniaga brokoli di Desa Tugu Utara menggunakan fungsi- fungsi tataniaga yang dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14. dapat dilihat bahwa fungsi pertukaran yaitu fungsi penjualan dan fungsi pembelian dilakukan oleh seluruh lembaga tataniaga yang terkait pada saluran tataniaga brokoli di Desa Tugu Utara. Pada tingkat petani fungsi pembelian yang dilakukan berupa pembelian bibit, pupuk, pestisida, dan peralatan yang digunakan untuk menanam komoditas brokoli tersebut. Sementara itu fungsi penjualan yang dilakukan oleh petani dan seluruh pedagang yang terdapat pada ketiga saluran adalah memasarkan komoditas brokoli tersebut.
66
Tabel 14. Fungsi- Fungsi Lembaga-Lembaga Brokoli di Desa Tugu Utara Saluran dan Lembaga Tataniaga
Fungsi- fungsi Tataniaga Pertukaran Jual Beli
Fisik Angkut Simpan
Sortasi, Grading
Fasilitas Resiko Biaya
Informasi pasar
Saluran Satu √ √ √ √
√ √ √ √
√ √
* √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √
- Petani √ - Pd. Besar √ -Pengecer √ Saluran Tiga
√ √ √
√ -
* √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √ √
√ √
√ √
√ -
√
√ √
√ √
√ √
√ √
- Petani - PPD - Pd. Besar - Pengecer Saluran Dua
- Petani - Pengecer
Keterangan : PPD = Pedagang Pengumpul Desa Pd = Pedagang √ = Melakukan fungsi tataniaga * = Kadang- kadang melakukan fungsi tataniaga - = Tidak melakukan fungsi tataniaga Fungsi fisik merupakan tindakan yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan bentuk, tempat dan waktu yang terdiri dari kegiatan pengangkutan, pengolahan dan penyimpanan. Fungsi pengangkutan meliputi kegiatan perencanaan jenis alat yang digunakan, volume yang diangkut dan waktu pengangkutan yang tepat. Petani pada saluran satu dan saluran dua tidak melakukan pengangkutan karena pedagang menjemput komoditas brokoli ke lokasi yang disepakati oleh petani dan pedagang. Pada saluran tiga, petani mengangkut komoditas brokoli dengan menggunakan sepeda motor. Pedagang pengumpul desa pada saluran satu dan pedagang besar pada saluran dua mengangkut komoditas brokoli dengan menggunakan kendaraan mobil carry jenis pick up. Pedagang besar pada saluran satu tidak melakukan fungsi pengangkutan karena komoditas brokoli tersebut diantarkan oleh pedagang pengumpul desa ke tempat pedagang besar. Sedangkan alat pengangkutan yang digunakan oleh pedagang pengecer pada saluran satu dan saluran dua menggunakan sepeda motor dan angkot. Pedagang pengecer pada saluran tiga 67
tidak melakukan fungsi pengangkutan karena petani mengantarkan komoditas brokoli tersebut ke tempat pedagang pengecer. Petani mengangkut komoditas brokoli dengan menggunakan sepeda motor. Fungsi penyimpanan diperlukan untuk menyimpan barang selama belum dikonsumsi atau menunggu diangkut ke daerah pemasaran atau menunggu sebelum diolah. Pada saluran satu dan saluran dua, petani kadang-kadang melakukan kegiatan penyimpanan. Hal ini disebabkan jika pedagang tidak dapat langsung mendatangi petani pada saat musim panen telah berlangsung. Pada saluran tataniaga tiga petani tidak menjalankan fungsi penyimpanan karena setelah panen, petani langsung mengantarkan pesanan brokoli kepada pedagang pengecer yang telah melakukan pemesanan sebelumnya. Sementara itu seluruh pedagang perantara pada ketiga saluran yang terbentuk melakukan fungsi penyimpanan apabila brokoli yang dipasarkan belum terdistribusi/terbeli secara keseluruhan. Fungsi fasilitas merupakan semua tindakan yang memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari empat fungsi : (1) Fungsi standarisasi dan grading, (2) fungsi penanggungan resiko, (3) fungsi pembiayaan, dan (4) fungsi informasi pasar. Fungsi standarisasi merupakan kegiatan pengelompokan barang sesuai dengan penentuan mutu yang diinginkan konsumen. Fungsi standarisasi yang dilakukan di tempat penelitian meliputi pemilahan brokoli yang busuk dan tidak busuk. Kegiatan standarisasi tersebut dilakukan oleh seluruh lembaga tataniaga yang terdapat pada tiga saluran tataniaga yang terbentuk. Petani dan pedagang perantara biasanya akan membuang brokoli yang busuk. Sementara itu brokoli yang tidak busuk dikemas untuk dipasarkan. Fungsi pembiayaan merupakan penyediaan sejumlah uang untuk kegiatan transaksi pembayaran. Fungsi penanggungan resiko adalah penerimaan atas kerugian yang mungkin terjadi. Resiko yang ditanggung oleh petani pada tiga saluran yang ada berupa kondisi kebusukan brokoli yang mengakibatkan tingkat penerimaan petani berkurang, unsur hara tanah di sekitar lokasi usahatani yang kurang baik, perubahan cuaca yang tidak menentu yang berdampak pada pertumbuhan brokoli, dan harga yang ditetapkan oleh pedagang rendah. Sementara itu, resiko yang dialami oleh pedagang perantara pada tiga
68
saluran yang terbentuk umumnya berupa : harga yang berfluktuasi, ketersediaan barang yang tidak kontinu, adanya pungutan liar, kualitas brokoli yang beragam, dan keterbatasan modal. Sedangkan untuk fungsi informasi pasar meliputi perkembangan harga yang berlaku. Pada penelitian ini, petani pada ketiga saluran yang terbentuk memperoleh informasi pasar dari pihak pedagang perantara. Sementara itu informasi pasar di tingkat pedagang perantara pada ketiga saluran diperoleh dari sesama pedagang perantara. 6.3.1
Petani Pada saluran satu, jumlah petani responden yang melakukan penjualan
kepada pedagang pengumpul desa sebanyak tujuh orang atau sebanyak 87,5 persen dari total petani responden. Massa brokoli yang dijual kepada pedagang pengumpul desa sebesar 1.540 kg atau sebanyak 30,80 persen dari total panen keseluruhan petani responden. Pedagang pengumpul desa biasanya langsung mendatangi petani untuk mengangkut brokoli yang telah dipanen. Pada saluran dua, petani responden yang melakukan penjualan kepada pedagang besar berjumlah tujuh orang atau sebanyak 87,5 persen dari total responden. Massa brokoli yang dijual kepada pedagang besar dalam satu musim tanam adalah sebesar 2.550 kg atau sebanyak 51 persen dari total panen secara keseluruhan. Pedagang besar biasanya langsung mendatangi petani untuk mengangkut brokoli yang telah dipanen. Petani responden melakukan penjualan langsung ke pedagang besar tanpa melalui pedagang pengumpul desa. Adapun harga yang ditawarkan oleh pedagang besar lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga yang ditawarkan oleh pedagang pengumpul desa. Pada saluran tiga, petani responden yang melakukan penjualan kepada pedagang pengecer adalah sebanyak satu orang atau sebanyak 12,5 persen dari total petani responden. Massa brokoli yang dijual kepada pedagang pengecer dalam satu musim tanam adalah sebesar 100 kg atau sebanyak dua persen dari total panen secara keseluruhan. Petani melakukan penjualan secara langsung kepada pedagang pengecer karena brokoli merupakan komoditas usahatani yang baru dijalankan, sehingga biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh petani tidak besar jumlahnya. Di samping itu, harga yang ditawarkan oleh pedagang pengecer lebih tinggi jika dibandingkan dengan pedagang pengumpul desa dan pedagang besar. 69
6.3.2
Pedagang Pengumpul Desa Pada kegiatan penelitian ini, pedagang pengumpul desa berjumlah satu
orang yang berasal dari Desa Bojong Murni, Cisarua. Pedagang pengumpul desa tersebut melakukan fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan pedagang pengumpul desa berupa kegiatan pembelian dan penjualan yang diawali dengan proses tawar-menawar. Pada proses pembelian, harga ditentukan oleh pedagang pengumpul desa. Sementara itu pada kegiatan penjualan, pedagang pengumpul desa menetapkan harga jual tertentu kepada pedagang besar. Namun pada kenyatannya pedagang besar lebih dominan dalam menentukan harga. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang pengumpul desa berupa pengangkutan brokoli dari tempat petani dengan menggunakan mobil pick up carry. Fungsi fasilitas yang dilakukan berupa sortasi/grading, penanggulangan resiko, pembiayaan, dan informasi pasar. Dalam hal sortasi/grading, pedagang pengumpul desa melakukan pengamatan dan pemilahan brokoli yang akan diangkut secara visual. Resiko yang biasa dihadapi oleh pedagang pengumpul desa : berupa harga beli yang terlalu mahal, harga yang berfluktuasi, ketersediaan barang yang tidak kontinu, dan adanya pungutan liar. Fungsi pembiayaan yang dilakukan pedagang pengumpul desa berupa penyediaan modal untuk membeli brokoli dari petani dan biaya-biaya yang berhubungan selama proses distribusi brokoli berlangsung. Adapun biaya tersebut diantaranya biaya pengangkutan, biaya pengemasan, retribusi, biaya bongkar muat, dan biaya penyusutan brokoli. Sementara itu fungsi informasi harga berupa pencarian informasi harga brokoli di pasar dan hal-hal yang berhubungan tentang produk (brokoli) yang diinginkan oleh konsumen pada umumnya. 6.3.3
Pedagang Besar/ Grosir Pedagang besar yang terdapat pada proses penelitian berjumlah dua orang.
Pada saluran satu diketahui bahwa pedagang besar tersebut berasal dari daerah Cibatok-Bogor. Pedagang besar ini melakukan proses penjualan di pasar TU Kemang. Pedagang besar melakukan pembelian dari pedagang pengumpul desa. Pada kegiatan penelitian ini, pedagang pengumpul desa membawa berbagai jenis sayuran termasuk brokoli. Setelah itu, pedagang besar melakukan penjualan 70
brokoli kepada pedagang pengecer yang berasal dari Parung dan Tangerang. Adapun fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang besar ini meliputi : fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan berupa fungsi pembelian brokoli dari pedagang pengumpul desa dan penjualan brokoli kepada pedagang pengecer. Penentuan harga antara pedagang besar dengan pedagang pengumpul desa berlangsung melalui proses tawar-menawar dan seringkali ditentukan oleh pedagang besar. Pada kegiatan penjualan, harga ditentukan dengan proses tawarmenawar. Namun harga jual juga seringkali ditentukan oleh pedagang besar. Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang besar berupa penyimpanan brokoli yang belum habis terjual. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang besar adalah fungsi sortasi/grading, fungsi penanggungan resiko, fungsi pembiayaan, dan fungsi informasi pasar. Fungsi sortasi/grading yang dilakukan oleh pedagang besar berupa pengamatan dan pemilahan brokoli yang diangkut oleh pedagang pengumpul desa ke tempat pedagang besar. Dalam hal ini, resiko yang sering dihadapi oleh pedagang besar berupa harga yang berfluktuasi dan kualitas brokoli yang beragam. Fungsi pembiayaan yang dilakukan berupa penyediaan modal untuk membeli brokoli dari pedagang pengumpul desa dan biaya-biaya yang berhubungan dengan kegiatan distribusi brokoli tersebut. Adapun biaya tersebut meliputi biaya tenaga kerja, retribusi, dan biaya penyusutan brokoli. Fungsi informasi pasar berhubungan dengan pengamatan perkembangan harga pembelian dan penjualan oleh sesama pedagang besar. Pada saluran dua, pedagang besar berasal dari daerah Cipanas. Pedagang besar ini melakukan pembelian brokoli secara langsung kepada petani. Brokoli yang dibeli diangkut dengan menggunakan mobil pick up carry. Setelah itu, brokoli dijual kepada pedagang pengecer yang juga berada di daerah Cipanas. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh pedagang besar ini berupa : fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Fungsi pertukaran yang dilakukan berupa pembelian brokoli dari petani yang berada di Desa Tugu Utara dan penjualan brokoli kepada pedagang pengecer yang berada di sekitar wilayah Cipanas. Penentuan harga pada saat pembelian melalui proses tawar-menawar dan seringkali ditentukan oleh pedagang besar.
71
Sementara itu, penentuan harga jual ditentukan oleh pedagang besar. Fungsi fisik yang dilakukan adalah kegiatan pengangkutan dan penyimpanan. Proses pengangkutan berlangsung dari tempat petani dengan menggunakan mobil pick up carry. Brokoli yang terjual kepada pedagang pengecer diantar dengan menggunakan sepeda motor. Dalam hal ini, biaya pengangkutan ditanggung oleh pedagang besar. Brokoli yang tidak habis terjual kemudian disimpan di tempat penyimpanan pedagang besar. Fungsi fasilitas yang dilakukan adalah fungsi sortasi/grading, fungsi penanggungan resiko, fungsi pembiayaan, dan fungsi informasi pasar. Dalam hal sortasi/grading, padagang besar melakukan pengamatan secara visual kemudian memisahkan brokoli yang layak dipasarkan untuk diangkut. Pada fungsi penanggulangan resiko, pedagang besar melakukan penanggulangan terhadap harga yang berfluktuasi, ketersediaan barang yang tidak kontinu, dan adanya pungutan liar. Fungsi pembiayaan yang dilakukan berupa penyediaan modal untuk membeli brokoli dari petani dan terhadap biaya-biaya yang terkait. Adapun biaya tersebut meliputi biaya transportasi, biaya pengemasan, biaya tenaga kerja, retribusi, biaya bongkar muat, dan biaya penyusutan. Fungsi informasi harga berupa pengamatan pada harga jual brokoli di tingkat petani dan harga jual dari tingkat pedagang besar kepada pedagang pengecer. 6.3.4
Pedagang Pengecer Pedagang pengecer adalah perantara yang menjual barang-barang dalam
jumlah kecil secara langsung kepada konsumen akhir (household-consumer). Pada proses penelitian ini pedagang pengecer berada di daerah yang berbeda, yaitu Parung, Tangerang, Cipanas, dan Cisarua. Semua fungsi tataniaga yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas dilakukan oleh pedagang pengecer. Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang pengecer pada saluran satu berupa pembelian brokoli dari pedagang besar dan pada saluran tiga berupa pembelian dari petani serta penjualan brokoli kepada konsumen akhir. Sementara itu fungsi fisik yang dilakukan pada setiap saluran tataniaga berbeda. Pada saluran satu, pedagang pengecer melakukan pengangkutan brokoli dengan menggunakan sepeda motor dan angkot. Pedagang pengecer pada saluran dua dan saluran tiga tidak melakukan kegiatan pengangkutan karena pihak penjual mengantar brokoli 72
yang telah dipesan oleh pedagang pegecer. Kegiatan penyimpanan dilakukan oleh semua pedagang pengecer pada ketiga saluran apabila brokoli yang dipasarkan tidak terjual habis. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh seluruh pedagang pengecer pada tiga saluran yang ada, yaitu fungsi penanggulangan resiko, fungsi pembiayaan, dan fungsi informasi pasar. Fungsi penanggulangan resiko dilakukan apabila terdapat beberapa masalah yang menjadi penghambat diantaranya : harga beli yang terlalu mahal, harga yang berfluktuasi, kualitas brokoli yang beragam, keterbatasan modal, adanya pungutan liar, dan ketersediaan brokoli yang tidak kontinu. Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh pedagang pengecer berupa sortasi/grading dan informasi pasar. Kegiatan sortasi dilakukan pada saat melakukan pembelian brokoli dari petani dan pedagang besar. Pedagang pengecer memilih brokoli yang memiliki kualitas yang baik untuk dipasarkan. Fungsi informasi pasar yang dilakukan oleh pedagang pengecer berupa pengamatan perkembangan harga beli dan harga jual dari sesama pedagang pengecer dan mekanisme pasar yang sedang terjadi. 6.4
Analisis Struktur Pasar Menurut Mc Kie dalam Asmarantaka (2009), struktur pasar adalah
hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar. Beberapa ukuran untuk melihat struktur pasar diantaranya : market concentration (konsentrasi pasar), exit-entry (kebebasan keluar-masuk calon penjual), dan product differentiation (diferensiasi produk). 6.4.1
Struktur Pasar di Tingkat Petani Jumlah petani (penjual) lebih banyak dibanding dengan jumlah pedagang
(pembeli), Harga ditentukan oleh pedagang sehingga petani menjadi penerima harga (price taker). Sementara itu petani mengalami hambatan dalam memasuki pasar berupa kemampuan dalam budidaya, modal, dan ketersediaan input. Sedangkan hambatan keluar yang dihadapi oleh petani relatif tidak ada. Petani melakukan usahatani pada jenis sayuran yang beragam. Petani memperoleh informasi harga dari pedagang dengan cara melakukan survei via telepon. Dari
73
beberapa karaktersitik tersebut dapat disimpulkan bahwa struktur pasar antara petani dengan pedagang pengumpul desa adalah pasar oligopsoni. 6.4.2
Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengumpul Desa Pada proses berlangsungnya kegiatan penelitian, pedagang pengumpul
desa hanya terdiri dari satu orang dan terdapat pada saluran satu. Pedagang pengumpul desa tersebut memasarkan komoditas brokoli ke pedagang besar yang berada di pasar TU Kemang. Jumlah pedagang pengumpul desa (penjual) lebih banyak jika dibanding dengan pedagang besar (pembeli). Pedagang pengumpul desa memperoleh informasi harga dari pedagang besar. Hambatan keluar masuk pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul desa adalah dalam hal permodalan. Harga ditentukan oleh pedagang besar, sehingga pedagang pengumpul desa berkedudukan sebagai penerima harga (price taker). Adapun komoditas sayuran yang ditawarkan oleh pedagang pengumpul desa beragam. Dari beberapa karaktersitik tersebut dapat disimpulkan bahwa struktur pasar antara petani dengan pedagang pengumpul desa juga cenderung mengarah pada pasar oligopsoni. 6.4.3
Strukur Pasar di Tingkat Pedagang Besar Pada hasil kegiatan penelitian diketahui terdapat dua orang pedagang besar
yaitu pada saluran satu dan saluran dua. Pedagang besar pada saluran satu melakukan pemasaran komoditas brokoli di pasar TU Kemang. Pedagang besar tersebut melakukan pembelian komoditas brokoli dari pedagang pengumpul desa. Sementara itu pedagang besar pada saluran dua memasarkan komoditas brokoli di pasar Cipanas. Pedagang besar tersebut melakukan pembelian komoditas brokoli langsung kepada petani yang berasal dari Desa Tugu Utara. Pada saluran satu jumlah pedagang besar (penjual) lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pedagang pengecer (pembeli). Adapun informasi harga didapatkan dari sesama pedagang besar. Pedagang besar mengalami hambatan keluar masuk pasar. Hambatan yang dialami berupa persaingan di antara sesama pedagang besar dalam memperoleh pasokan barang dagangan. Di samping itu pedagang besar membutuhkan modal yang besar dalam menjalankan usahanya. Penentuan harga yang dilakukan oleh pedagang besar adalah dengan
74
cara tawar-menawar, namun penentuan harga cenderung dipengaruhi oleh pedagang besar. Komoditas sayuran yang ditawarkan oleh pedagang besar beragam. Berdasarkan karaktersitik tersebut dapat disimpulkan bahwa struktur pasar antara pedagang besar dengan pedagang pengecer adalah oligopoli. Pada saluran dua, struktur pasar yang terbentuk di tingkat pedagang besar relatif sama dengan struktur pasar yang terbentuk antara pedagang besar pada saluran satu yaitu pasar oligopoli. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik pasar yang terbentuk relatif sama. Adapun perbedaan yang dapat dilihat adalah pada sisi lokasi pasar. 6.4.4
Struktur Pasar di Tingkat Pedagang Pengecer Pada saluran satu, dua, dan tiga, struktur pasar antara pedagang pengecer
dengan konsumen akhir relatif sama. Jumlah pengecer cukup banyak sehingga terjadi persaingan dalam mendapatkan konsumen. Konsumen juga berjumlah banyak sehingga terdapat persaingan untuk mendapatkan brokoli. Pedagang pengecer memperoleh informasi harga dari pedagang besar dan sesama pedagang pengecer. Hambatan keluar masuk yang dihadapi oleh pedagang pengecer relatif tidak ada. Hal ini disebabkan modal usaha yang dibutuhkan kecil dan skala usaha fleksibel. Penentuan harga antara pedagang pengecer dengan konsumen akhir dilakukan secara tawar menawar. Komoditas sayuran yang ditawarkan oleh pedagang
pengecer
beragam.
Berdasarkan
karaktersitik
tersebut
dapat
disimpulkan bahwa struktur pasar antara pedagang pengecer dengan konsumen akhir juga cenderung mengarah pada competitive market. 6.5
Analisis Perilaku Pasar Perilaku pasar dapat diketahui dengan melakukan pengamatan dalam
praktek pembelian dan penjualan, sistem penentuan harga serta kerjasama di antara lembaga tataniaga.
75
6.5.1
Praktek Pembelian dan Penjualan serta Sistem Penentuan Harga di Tingkat Petani Sistem tataniaga brokoli di Desa Tugu Utara membentuk tiga pola saluran
tataniaga. Dalam hal ini petani hanya melakukan kegiatan penjualan. Petani memasarkan komoditas brokoli kepada pedagang pengumpul desa, pedagang besar, dan pedagang pengecer. Pada saluran satu terdapat tujuh orang petani yang melakukan penjualan kepada pedagang pengumpul desa. Pada saluran dua terdapat tujuh orang petani yang melakukan penjualan kepada pedagang besar. Pada saluran tiga terdapat satu orang petani yang melakukan penjualan kepada pedagang pengecer. Adapun pedagang pengumpul desa berasal dari Desa Bojong Murni Cisarua, pedagang besar berasal dari daerah Cipanas, dan pedagang pengecer berasal dari Cisarua. Pada saluran satu dan saluran dua, petani akan menghubungi pedagang pengumpul desa atau pedagang besar via telepon. Setelah terjadi kesesuaian harga, pedagang pengumpul desa atau pedagang besar akan mendatangi petani untuk mengangkut brokoli yang telah dipanen. Pedagang pengumpul desa atau pedagang besar biasanya menjemput komoditas brokoli ke lokasi yang telah disepakati oleh petani dangan pedagang pengumpul desa atau pedagang besar. Sementara itu petani pada saluran tiga melakukan penjualan kepada pedagang pengecer dengan melakukan survei harga secara langsung ke pasar Cisarua. Hal ini dilakukan karena petani tersebut belum lama melakukan usahatani brokoli. Jumlah komoditas brokoli yang diusahakan tidak banyak. Apabila telah terjadi kesepakatan harga, petani akan mengantar komoditas brokoli tersebut ke tempat pedagang pengecer. Harga brokoli pada tingkat petani dengan harga di tingkat pedagang pengecer mengalami perbedaan yang signifikan. Penentuan harga komoditas brokoli ditentukan oleh pedagang perantara berdasarkan harga yang terjadi di pasar. Di samping itu, petani memasarkan komoditas brokoli secara sendirisendiri, sehingga petani hanya bertindak sebagai price taker. Berdasarkan Tabel 15., dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan harga yang signifikan di antara petani dengan pedagang pengecer.
76
Tabel 15. Tingkat Harga rata-rata Brokoli Pada Lembaga Tataniaga di desa Tugu Utara tahun 2011 Lembaga
Tingkat harga rata-rata pada saluran tataniaga (Rp/kg)
Marjin tataniaga pada saluran tataniaga (Rp/kg)
I
II
III
I
II
III
Petani
4.000
5.000
10.000
-
-
-
Pd. Pengumpul
6.000
-
-
2.000
-
-
Pd. Besar
8.750
7.750
-
2.750
2.750
-
Pd. Pengecer
12.000
12.000
13.000
3.250
4.250
3.000
Keterangan : Pd = pedagang
Pada saat penelitian dilakukan, harga jual komoditas brokoli per kg di tingkat petani ke tingkat pedagang perantara beragam. Pada saluran satu, harga rata-rata komoditas brokoli dari petani ke pedagang pengumpul desa adalah sebesar Rp 4.000,- per kg. Pada saluran dua, harga rata-rata komoditas brokoli dari petani ke pedagang besar adalah sebesar Rp 5.000,- per kg. Pada saluran tiga, harga rata-rata brokoli dari tingkat petani ke pedagang pengecer adalah sebesar Rp 10.000,- per kg. Adapun sistem pembayaran komoditas brokoli pada tiga saluran yang ada menggunakan sistem pembayaran tunai. 6.5.2
Praktek Pembelian dan Penjualan serta Sistem Penentuan Harga di Tingkat Pedagang Pengumpul Desa Pada hasil penelitian diketahui bahwa pedagang pengumpul desa hanya
berjumlah satu orang yaitu terdapat pada saluran satu. Pedagang pengumpul desa membeli brokoli tidak hanya dari Desa Tugu Utara. Pedagang pengumpul desa akan melakukan pembelian apabila petani telah melakukan komunikasi terlebih dahulu via telepon. Adapun jenis sayuran yang dibeli biasanya tidak hanya satu jenis. Setelah terjadi kesepakatan harga, pedagang pengumpul desa melakukan pengangkutan dengan menggunakan mobil pick up carry. Dalam melakukan kegiatan bongkar muat, pedagang pengumpul desa mengupah tenaga kerja. Komoditas brokoli dikemas dalam sebuah kantong plastik jenis polypropiline. Kemudian komoditas brokoli diangkut ke tempat pedagang besar yang terletak di pasar TU Kemang.
77
Pedagang pengumpul desa biasanya tiba diantara pukul 19.00 WIB sampai dengan pukul 21.00 WIB. Pedagang pengumpul desa melakukan tawar menawar harga dengan beberapa pedagang besar yang ada di pasar TU Kemang. Harga brokoli di tingkat pedagang pengumpul desa dipengaruhi oleh kekuatan pedagang pengumpul desa dalam mempengaruhi harga pasar. Pedagang pengumpul desa memiliki kebebasan dalam menentukan harga pada saat proses pembelian. Harga beli rata-rata komoditas brokoli dari petani adalah sebesar Rp 4.000,- per kg. Sementara itu harga penjualan ditentukan oleh pedagang besar dengan harga ratarata sebesar Rp 6.000,- per kg. Sistem pembayaran pada proses pembelian dan penjualan, menggunakan sistem pembayaran tunai. Pedagang pengumpul desa memperoleh informasi pasar melalui kegiatan survei pasar dan dari sesama pedagang. 6.5.3
Praktek Pembelian dan Penjualan serta Sistem Penentuan Harga di Tingkat Pedagang Besar Berdasarkan hasil penelitian diketahui terdapat dua orang pedagang besar
pada saluran satu dan saluran dua. Pada saluran satu, pedagang besar melakukan pembelian dari pedagang pengumpul desa yang telah membawa beberapa jenis sayuran ke tempat pedagang besar yaitu di pasar TU Kemang. Tawar-menawar harga dilakukan di tempat pedagang besar. Kemudian pedagang besar melakukan penjualan kepada pedagang pengecer yang berasal dari pasar Parung dan Pasar induk Tangerang. Pada saluran dua, pedagang besar berasal dari daerah Cipanas. Pedagang besar tersebut melakukan pembelian langsung dari petani. Aktivitas jual beli terjadi diawali oleh petani yang melakukan hubungan komunikasi via telepon. Kegiatan ini memiliki tujuan untuk melakukan survei dan penawaran harga. Setelah terjadi kesepakatan, pedagang besar melakukan pengangkutan dengan menggunakan mobil pick up carry. Pengangkutan brokoli biasanya dilakukan pada sore hari. Pedagang besar biasanya mengupah tenaga kerja untuk bongkar muat. Sayuran yang diangkut terkadang tidak hanya satu jenis saja. Sayuran tersebut diangkut ke pasar penampungan Cipanas. Adapun kegiatan penjualan kepada pedagang pengecer berlangsung mulai pukul 23.00 WIB sampai dengan
78
pukul 02.00 WIB. Pedagang pengecer yang melakukan pembelian komoditas brokoli berasal dari pasar Cipanas. Pada sistem tataniaga brokoli di Desa Tugu Utara, lembaga tataniaga yang memiliki kekuatan dalam menentukan harga adalah pedagang besar. Pada saluran satu, pedagang besar bebas menentukan harga beli kepada pedagang pengumpul desa. Harga beli rata-rata brokoli dari pedagang pengumpul desa adalah sebesar Rp 6.000,- per kg.
Sementara itu, harga dalam kegiatan penjualan kepada
pedagang pengecer juga ditentukan oleh pedagang besar. Harga yang diperoleh oleh pedagang pengecer beragam. Harga rata-rata yang diberikan kepada pengecer yang adalah sebesar Rp 8.750,- per kg Sistem pembayaran saat penjualan adalah secara tunai. Informasi harga diperoleh dari sesama pedagang besar. Pada saluran dua, pedagang besar bebas menentukan harga beli brokoli kepada petani. dalam kegiatan penelitian ini, harga rata-rata brokoli dari petani kepada pedagang besar adalah sebesar Rp 5.000 per kg,-. Pedagang besar juga memiliki kebebasan dalam menentukan harga jual kepada pedagang pengecer. Harga jual rata-rata komoditas brokoli kepada pedagang pengecer adalah sebesar Rp 7.750,- per kg. Sistem pembayaran pada saat melakukan pembelian dan penjualan menggunakan sistem tunai. Informasi harga diperoleh dari sesama pedagang besar. 6.5.4
Praktek Pembelian dan Penjualan serta Sistem Penentuan Harga di Tingkat Pengecer Pada saluran satu, pedagang pengecer berasal dari pasar Parung dan pasar
induk Tangerang. Pedagang pengecer tersebut melakukan pembelian komoditas brokoli dari pedagang besar di pasar TU Kemang. Kegiatan pembelian komoditas brokoli biasanya berlangsung dari mulai sore hari sampai pada malam hari. Adapun jenis sayuran yang dibeli oleh pedagang pengecer tidak hanya satu jenis saja. Pembelian komoditas brokoli dilakukan secara tunai. Pedagang pengecer yang berasal dari Parung mengangkut sayuran yang dibeli dengan menyewa angkot. Sementara itu pedagang yang berasal dari Tangerang biasanya mengangkut sayuran dengan menggunakan sepeda motor. Penjualan yang dilakukan oleh pedagang pengecer kepada konsumen akhir menggunakan sistem pembayaran tunai. 79
Pada saluran dua, pedagang pengecer berasal dari pasar induk Cipanas. Pembelian komoditas brokoli dilakukan di pasar penampungan Cipanas pada malam hari. Pedagang pengecer tidak hanya membeli satu jenis sayuran saja. Adapun sayuran tersebut diantarkan oleh pihak pedagang besar ke tempat pedagang pengecer dengan menggunakan sepeda motor. Hal itu dikarenakan pedagang pengecer yang menjadi pembeli merupakan pelanggan dari pedagang besar tersebut. Pada saluran tiga, pedagang pengecer berada di pasar Cisarua. Pada awalnya petani melakukan penawaran terhadap pedagang pengecer tersebut. Dalam hal ini, petani mendatangi pedagang besar secara langsung untuk melakukan survei harga, sekaligus menawarkan komoditas brokoli yang dimilikinya. Petani akan mengantarkan komoditas brokoli tersebut apabila telah terjadi kesepakatan harga dan jumlah massa yang diinginkan oleh pedagang pengecer. Dalam sistem penentuan harga, pedagang pengecer pada saluran satu dan saluran dua menjadi penerima harga (price taker) saat melakukan pembelian komoditas brokoli dari pedagang besar. Pada saluran satu, harga komoditas brokoli beragam. Harga rata-rata dari pedagang besar kepada pedagang pengecer yang berasal dari pasar Parung adalah sebesar Rp 8.750,- per kg. Hal ini diakibatkan karena pedagang besar menjadi penentu harga komoditas brokoli. Pada saat melakukan penjualan, pedagang pengecer memiliki kebebasan dalam menentukan harga kepada konsumen akhir. Harga rata-rata komoditas yang ditentukan oleh pedagang pengecer pada saluran satu dan saluran dua kepada konsumen akhir adalah sebesar Rp 12.000,- per kg. Dalam hal ini, konsumen akhir berperan sebagai penerima harga (price taker). Pada saluran tiga, pedagang pengecer memiliki kebebasan dalam menentukan harga beli komoditas brokoli terhadap petani. Harga beli rata-rata brokoli dari petani adalah sebesar Rp 10.000,- per kg. Demikian pula pada saat melakukan penjualan, pedagang pengecer menjadi penentu harga terhadap konsumen akhir. Harga jual brokoli yang ditentukan bagi konsumen akhir adalah sebesar Rp 13.000,- per kg. Dalam hal ini, konsumen akhir berperan sebagai penerima harga (price taker). Pada kegiatan penelitian ini diketahui bahwa
80
pedagang pengecer memperoleh informasi harga melalui survei pasar, sesama pedagang pengecer, dan pedagang besar. Sistem pembayaran yang dilakukan saat melakukan kegiatan pembelian dan penjualan komoditas brokoli menggunakan sistem tunai. 6.5.5
Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga Kerjasama antar lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga sangat
diperlukan untuk menunjang kelancaran dan kemudahan dalam memasarkan komoditas brokoli. Semakin besar biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga yang terlibat dapat mengakibatkan kerugian bagi lembaga tataniaga tersebut. Dengan melihat keadaan tersebut, diperlukan kerjasama antar lembaga yang baik. Hal ini dapat membantu setiap lembaga tataniaga dalam meminimalkan biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh setiap lembaga tataniaga tersebut. Dalam pengamatan pada saat penelitian, diketahui bahwa hubungan antar sesama petani terwujud dengan baik. Hal ini terjadi karena seluruh petani responden terikat dalam satu kelompok tani. Adapun peran kelompok tani Suka Tani, memberikan bantuan fasilitas dari pemerintah dalam mengembangkan kemampuan teknis dalam bertani sehingga dapat meningkatkan produktivitas hasil tani yang dijalankannya. Akan tetapi sesama anggota kelompok tani belum menjalin kerjasama dalam memasarkan komoditas usahataninya. Kerjasama antar lembaga tataniaga juga terjadi antara pedagang pengumpul desa dengan petani (pada saluran satu) dan antara pedagang besar dengan petani (pada saluran dua). Kerja sama yang terwujud berupa hubungan baik dalam menjalankan aktivitas pembelian dan penjualan. Pedagang pengumpul desa dan pengumpul besar sudah dikenal baik, sehingga kegiatan jual beli dapat dilakukan dengan lebih dari satu orang petani pada waktu yang sama. Hal ini dapat membantu pedagang pengumpul desa atau pedagang besar meminimalkan biaya transportasi apabila masih terjadi kekurangan muatan pada saat pengangkutan. Sementara itu, kerjasama yang terjadi di antara sesama pedagang besar berupa tukar menukar informasi perkembangan pasar. Kerjasama ini bertujuan untuk meningkatkan posisi tawar dan penentuan harga agar tidak terjadi perbedaan harga di tingkat pedagang yang sama.
81
6.6
Keragaan Pasar
6.6.1
Analisis Marjin Tataniaga Analisis marjin tataniaga bertujuan untuk mengetahui tingkat efisiensi
tataniaga brokoli di Desa Tugu Utara. Marjin tataniaga merupakan penjumlahan dari seluruh biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diambil oleh tiap-tiap lembaga tataniaga yang terkait dalam proses penyaluran brokoli sehingga brokoli tersebut sampai di tingkat konsumen akhir. Besarnya marjin tataniaga pada setiap saluran tataniaga dapat dilihat pada Tabel 16. Marjin tataniaga dapat dihitung melalui pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkatan lembaga tataniaga atau dapat diketahui dari adanya perbedaan harga yang diperoleh petani dengan harga yang harus dibayarkan oleh konsumen. Pada Tabel 16. terdapat komponen-komponen tataniaga yang terdiri dari biaya tataniaga dan keuntungan tataniaga. Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga untuk memasarkan komoditas brokoli dari Desa Tugu Utara sampai kepada konsumen akhir. Adapun biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tataniaga tersebut meliputi biaya transportasi, biaya pengemasan, biaya bongkar muat, biaya penyusutan, retribusi, dan biaya tenaga kerja. Keuntungan tataniaga merupakan selisih antara harga jual dan harga beli yang ditambahkan dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh setiap lembaga tataniaga.
82
Tabel 16. Analisis Marjin Tataniaga Brokoli Pada Saluran Satu, Dua, dan Tiga, di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Unsur marjin 1.Petani • Harga jual • Biaya tataniaga 2.Pedagang pengumpul desa (PPD) • Harga beli • Biaya tataniaga • Keuntungan • Harga jual • Marjin tataniaga 3.Pedagang Besar - Harga beli - Biaya tataniaga - Keuntungan - Harga jual - Marjin tataniaga 4.Pedagang Pengecer • Harga beli • Biaya tataniaga • Keuntungan • Harga jual • Marjin tataniaga Total biaya tataniaga Total keuntungan Total marjin tataniaga π/C
Saluran Satu Rp/kg % 4.000 -
Saluran Dua Rp/kg %
Saluran Tiga Rp/ kg %
33,33 -
5.000 -
41,67 -
10.000 105
76,92 0,81
4.000 688 1.312 6.000 2.000
33,33 5,73 10,93 50 16,66
-
-
-
-
6.000 350 2.400 8.750 2.750
50 2,92 20 72,92 22,92
5.000 547,5 2.202,5 7.750 2.750
41,67 4,56 18,35 64,58 25
-
-
8.750 1.496,62 1.753,38 12.000 3.250
72,92 12,47 14,61 100 27,08
7.750 1.883,67 2.366,33 12.000 4.250
64,58 15,70 19,72 100 35,42
10.000 943,5 2.056,5 13.000 3.000
76,92 7,26 15,82 100 23,08
2.534,62 5.465,38 8.000 2,16
21,13 45,54 66,67
2.431,17 4.568,83 7.000 1,88
20,26 38,07 58,33
1.048,5 2.056,5 3.000 1,96
8,06 15,82 23,08
Keterangan : persentase adalah terhadap harga jual di tingkat lembaga tataniaga akhir
Berdasarkan keterangan Tabel 16. dapat dilihat bahwa marjin tataniaga terbesar terdapat pada saluran satu yaitu sebesar Rp 8.000,- per kg. Hal ini diakibatkan karena biaya tataniaga yang dikeluarkan paling besar jika dibandingkan dengan saluran dua dan saluran tiga yaitu sebesar Rp 2.534,62,-. Sementara itu, marjin tataniaga terkecil terdapat pada saluran tiga yaitu sebesar Rp 3000,- per kg. Hal ini karena pada saluran tiga, lembaga pedagang perantara seperti pedagang pengumpul desa dan pedagang besar tidak terlibat di dalamnya dan biaya tataniaga yang dikeluarkan merupakan biaya yang paling kecil jika dibandingkan dengan saluran satu dan saluran dua, yaitu sebesar Rp 1.048,5,- per
83
kg. Pada saluran tiga, sistem tataniaga hanya melibatkan petani, pedagang pengecer, dan konsumen akhir. Pada penelitian ini diketahui bahwa biaya tataniaga pada setiap saluran berbeda-beda. Pada saluran satu besarnya biaya tataniaga adalah sebesar Rp 2.534,62,- per kg, pada saluran dua adalah sebesar Rp 2.431,17,- per kg, dan pada saluran tiga adalah sebesar Rp 1.048,5,- per kg. Biaya tataniaga terbesar terdapat pada saluran satu. Hal ini disebabkan oleh biaya tataniaga yang terakumulasi dari setiap lembaga tataniaga pada saluran satu paling besar jika dibandingkan dengan saluran dua dan saluran tiga. Biaya tataniaga terkecil terdapat pada saluran tiga. Hal ini disebabkan karena biaya tataniaga yang terakumulasi dari setiap lembaga tataniaga pada saluran tiga paling kecil jika dibandingkan dengan saluran satu dan saluran dua. Lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran ini diantaranya petani, pedagang pengecer, dan konsumen akhir. Di samping itu pada saluran ini, jarak lokasi penditribusian cukup dekat dari tempat tinggal petani. Diketahui bahwa keuntungan pada saluran satu sebesar Rp 5.465,38 per kg, pada saluran dua sebesar Rp 4.568,83 per kg, dan pada saluran tiga sebesar Rp 2.056,5 per kg. Harga tertinggi di tingkat petani terdapat pada saluran tiga yaitu sebesar Rp 10.000,- per kg. Namun total keuntungan terendah terdapat pada saluran ini. Hal ini dikarenakan kemampuan pembelian pedagang pengecer terbatas jika dilihat dari aspek permodalan sehingga tidak dapat menjamin kontinuitas dalam membeli brokoli dari petani. 6.6.2
Farmer’s share Farmer’s share adalah perbandingan yang diterima oleh petani brokoli di
Desa Tugu Utara dengan harga yang harus dibayarkan oleh konsumen. Bagian yang diterima oleh petani brokoli tersebut dinyatakan dalam persentase. Farmer’s share sering digunakan sebagai indikator kinerja dalam suatu sistem tataniaga, tetapi farmer’s share yang tinggi tidak mutlak menunjukkan sistem tataniaga tersebut berjalan dengan efisien. Hal tersebut berhubungan dengan sedikit banyaknya manfaat yang ditambahkan pada produk (added value) oleh pedagang perantara untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga yang artinya semakin tinggi marjin tataniaga maka bagian yang akan diterima oleh petani akan semakin rendah. Farmer’s 84
share yang diterima oleh petani pada sistem tataniaga brokoli di desa Tugu Utara dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Farmer’s Share Pada Saluran Brokoli di Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Saluran tataniaga Saluran satu
Harga ditingkat petani(Rp/kg) 4.000
Harga ditingkat konsumen (Rp/kg) 12.000
Farmer’s Share (%) 33,33
Saluran dua
5.000
12.000
41,67
Saluran tiga
10.000
13.000
76,92
Farmer’s share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga dimana hal tersebut memiliki pengertian semakin tinggi marjin tataniaga maka bagian yang akan diterima oleh petani akan semakin rendah. Pada Tabel 17. diketahui bahwa pada tiap saluran tataniaga, bagian yang diterima petani (farmer’s share) berbedabeda. Pada saluran satu, besarnya farmer’s share yang didapatkan sebesar 33,33 persen, pada saluran dua sebesar 41,67 persen, dan pada saluran tiga sebesar 76,92 persen. Farmer’s share terbesar terdapat pada saluran tiga, yaitu sebesar 76,92 persen. Hal ini disebabkan karena saluran tiga merupakan saluran terpendek jika dibandingkan dengan saluran satu dan saluran dua. Pada saluran tiga tidak melibatkan banyak lembaga tataniaga sehingga marjin tataniaga pada saluran tiga merupakan marjin tataniaga terkecil. Di samping itu, pasar yang dituju oleh petani pada saluran tiga tidak terlalu jauh dari tempat tinggal petani tersebut sehingga biaya tataniaga yang harus dikeluarkan relatif rendah. Farmer’s share terkecil terdapat pada saluran satu, yaitu sebesar 33,33 persen. Hal ini disebabkan karena pada saluran satu melibatkan banyak lembaga tataniaga sehingga menciptakan marjin tataniaga yang relatif besar. Di samping itu pasar akhir yang dituju pada saluran satu relatif jauh yaitu di pasar Parung dan pasar induk Tangerang, sehingga membuat biaya tataniaga yang harus dikeluarkan relatif besar. Walaupun tingkat farmer’s share pada saluran tiga mencapai 76,92 persen dan lebih tinggi dibandingkan saluran pertama, namun volume komoditas brokoli pada saluran ini sangat kecil yaitu sebesar 100 kg. Hal ini disebabkan tingkat permintaan pedagang pengecer di Cisarua relatif terbatas. Hal ini yang menjadi penyebab petani lebih memilih menjual komoditas brokoli kepada pedagang besar 85
yang terdapat pada saluran dua. Pedagang besar yang terdapat pada saluran dua memiliki kemampuan yang lebih besar dalam permodalan, daya beli dan daya tampung yang dimiliki lebih besar, dan kontinuitas pembelian lebih terjamin jika dibandingkan dengan pedagang pengumpul desa yang terdapat pada saluran satu dan pedagang pengecer yang terdapat pada saluran tiga. Berdasarkan hal tersebut, terbukti bahwa farmer’s share yang tinggi belum tentu berarti efisien, tetapi terdapat faktor-faktor lain yang turut menentukan tingkat efisiensi seperti tingkat permintaan, penawaran dan tingkat pembentukan harga di pasar. 6.6.3
Rasio Keuntungan dan Biaya Tingkat keuntungan pada setiap lembaga tataniaga tersebar tidak merata.
Penyebaran keuntungan pada setiap lembaga tataniaga dapat diukur melalui analisa rasio keuntungan dan biaya. Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terkait dalam tataniaga komoditas brokoli di Desa Tugu Utara. Sementara itu, keuntungan lembaga tataniaga adalah selisih antara marjin tataniaga dengan biaya yang dikeluarkan selama proses pendistribusian brokoli berlangsung. Rasio keuntungan dan biaya untuk setiap saluran tataniaga komoditas brokoli di Desa Tugu Utara dapat dilihat pada Tabel 18. Adapun rincian perhitungan komponen-komponen biaya dan pendapatan pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dilihat pada Lampiran 2. sampai dengan Lampiran 10. Berdasarkan Tabel 18. biaya tataniaga yang dikeluarkan pada saluran satu total adalah sebesar Rp 5.465,38 per kg. Dalam saluran ini, pedagang pengecer mengeluarkan biaya terbesar sebesar Rp 1.496,62 per kg. Biaya terkecil ditanggung oleh pedagang besar yaitu sebesar Rp 350,- per kg. Keuntungan terbesar diperoleh oleh pedagang besar, yaitu sebesar Rp 2.400,- per kg. Sedangkan keuntungan terkecil diperoleh oleh pedagang pengumpul desa, yaitu sebesar Rp 1.312,- per kg.
86
Tabel 18. Rasio Keuntungan dan Biaya untuk Setiap Saluran Tataniaga Brokoli yang ada di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Lembaga Tataniaga
Saluran Tataniaga Satu
Pedagang Pengumpul Desa Ci Li Rasio Li/Ci Pedagang Besar Ci Li Rasio Li/Ci Pedagang pengecer Ci Li Rasio Li/ Ci Total Ci Li Rasio Li/Ci
Dua
Tiga
688 1.312 1,91
-
-
350 2.400 6,86
547,5 2.202,52 4,02
-
1.496,62 1.753,38 1,17
1.883,67 2.366,33 1,25
943,5 2.056,5 2,17
2.534,62 5.465,38 2,16
2.431,17 4.568,83 1,88
1.048,5 2.056,5 1,96
Keterangan : Ci : biaya tataniaga untuk setiap lembaga tataniaga Li : keuntungan untuk setiap lembaga tataniaga
Pada saluran dua, total biaya yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 2.431,17 per kg. Dalam saluran ini, biaya terbesar ditanggung oleh pedagang pengecer, yaitu sebesar Rp 1.883,67 per kg dan biaya terkecil ditanggung oleh pedagang besar, yaitu sebesar Rp 547,5,- per kg. Adapun keuntungan terbesar diperoleh oleh pedagang besar, yaitu sebesar Rp 2.202,5 per kg. Keuntungan terkecil diperoleh oleh pedagang pengecer, yaitu sebesar Rp 2.366,33 per kg. Pada saluran tiga, biaya tataniaga hanya ditanggung oleh pedagang pengecer yaitu sebesar Rp 943,5,- per kg. Pedagang pengecer memperoleh keuntungan sebesar Rp 2.056,5 per kg. Pada saluran tiga tidak dilakukan perhitungan rasio keuntungan dan biaya pada pedagang pengumpul desa dan pedagang besar, karena petani memasarkan langsung produk brokoli kepada pedagang pengecer. Dalam hal ini pedagang pengecer tidak mengeluarkan biaya transportasi, karena petani langsung mengantarkan komoditas brokoli kepada pedagang pengecer. Pada rasio keuntungan dan biaya, suatu saluran tataniaga dapat dikatakan efisien apabila penyebaran keuntungan nilai rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga merata. Hal ini memiliki pengertian bahwa 87
setiap satuan rupiah yang dikeluarkan oleh salah satu lembaga tataniaga akan memberikan keuntungan yang tidak jauh berbeda dengan lembaga tataniaga lainnya dalam saluran tersebut. Pada Tabel 18. dapat diketahui bahwa nilai total rasio keuntungan dan biaya pada saluran satu, yaitu sebesar 2,16. Hal ini memiliki pengertian bahwa setiap satu rupiah yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam saluran satu, akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 2,16,- . Adapun rasio keuntungan dan biaya terbesar pada saluran satu terdapat pada pedagang besar, yaitu sebesar 6,86 dan rasio keuntungan dan biaya terkecil terdapat pada pedagang pengecer, yaitu sebesar 1,17. Nilai total rasio keuntungan dan biaya pada saluran dua adalah sebesar 1,88. Hal ini memiliki pengertian bahwa setiap satu satuan rupiah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga pada saluran dua akan menghasilkan keuntungan sebesar 1,88. Pada saluran dua, nilai rasio keuntungan dan biaya terbesar terdapat pada pedagang besar, yaitu sebesar 4,02 dan nilai rasio keuntungan dan biaya terkecil terdapat pada pedagang pengecer, yaitu sebesar 1,25. Nilai rasio total keuntungan dan biaya pada saluran tiga adalah sebesar 2,17. Hal ini memiliki pengertian bahwa setiap satu satuan rupiah biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga pada saluran tiga akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 2,17. Pada saluran ini hanya terdapat nilai rasio keuntungan dan biaya pada pedagang pengecer. Hal ini dikarenakan petani langsung memasarkan komoditas brokoli kepada pedagang pengecer. 6.6.4 Efisiensi Tataniaga Efisiensi tataniaga adalah tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan suatu proses tataniaga. Efisiensi tataniaga dapat tercapai apabila sistem dalam kegiatan tataniaga tersebut mampu memberikan kepuasan bagi setiap lembaga tataniaga yang terlibat, seperti halnya petani dan lembaga perantara. Namun ada beberapa indikator atau alat analisis yang dapat digunakan untuk mengetahui efisiensi dalam suatu proses tataniaga, yang diantaranya : pola saluran tataniaga yang terbentuk, berjalannya fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar, perilaku pasar dan keragaan pasar.
88
Selain itu, efisiensi tataniaga komoditas brokoli dapat ditentukan dengan membandingkan total biaya tataniaga dengan nilai atau harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Efisiensi tataniaga dapat diketahui dengan membandingkan nilai-nilai yang terdapat pada Tabel 19. Tabel 19. Sebaran Harga pada Masing-Masing Pola Saluran Tataniaga Brokoli di Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor Saluran tataniaga
Saluran satu Saluran dua Saluran tiga
Marjin Farmer’s (%) Share (%)
π/C
Volume (kg)
5.465,38
66,67
33,33
2,16
1.540
2.431,17
4.568,83
58,33
41,67
1,88
3.360
1.048,5
2.056,5
23,08
76,92
1,96
100
Harga di tingkat konsumen akhir (Rp/kg) 12.000
Total biaya (Rp/kg)
Total keuntungan (Rp/kg)
2.534,62
12.000 13.000
Berdasarkan Tabel 19. marjin tataniaga terendah terdapat pada saluran tiga yaitu sebesar 23,08 persen dan marjin tataniaga tertinggi terdapat pada saluran satu. Pada saluran tiga biaya tataniaga yang terbentuk juga lebih kecil jika dibandingkan dengan saluran satu dan saluran dua yaitu sebesar Rp 1.048,5,- per kg. Biaya tataniaga tertinggi terdapat terdapat pada saluran satu yaitu sebesar Rp 2.534,62 per kg. Marjin tataniaga yang terbentuk pada saluran tiga merupakan marjin tataniaga terendah karena hanya melibatkan lembaga tataniaga mulai dari petani dan pedagang pengecer. Sementara itu pada saluran satu melibatkan lembaga tataniaga yang lebih banyak mulai dari petani, pedagang pengumpul desa, pedagang besar, dan pedagang pengecer sehingga membentuk marjin yang relatif lebih tinggi akibat pembentukan biaya tataniaga dan keuntungan yang diharapkan pada masing-masing lembaga yang terlibat. Tingkat farmer’s share tertinggi terdapat pada saluran tiga yaitu sebesar 76,92 persen dan farmer’s share terendah terdapat pada saluran satu yaitu sebesar 33,33 persen. Pada saluran satu farmer’s share yang diperoleh lebih rendah jika dibandingkan dengan saluran dua dan saluran tiga karena saluran satu merupakan saluran terpanjang diantara tiga saluran yang terbentuk. Sementara itu saluran tiga memperoleh farmer’s share yang paling tinggi jika dibandingkan dengan saluran satu dan saluran dua karena saluran tiga merupakan saluran terpendek dari tiga saluran yang terbentuk. 89
Sementara itu, rasio keuntungan dan biaya tertinggi juga terdapat pada saluran satu yaitu sebesar 2,16 dan rasio keuntungan dan biaya terendah terdapat pada saluran dua yaitu sebesar 1,88. Dalam hal ini massa atau volume penjualan terbesar terdapat pada saluran dua yaitu sebesar 3.360 kg. Pada saluran dua, petani memasarkan komoditas brokoli kepada pedagang besar dengan harga jual . Jika dilakukan pengamatan, pedagang besar yang terdapat pada saluran dua lebih memiliki keunggulan dalam hal permodalan, daya beli, daya tampung, dan menjamin kontinuitas dibanding dengan pedagang pengumpul desa yang terdapat pada saluran satu dan pedagang pengecer pada saluran tiga.
Sementara itu penjualan terendah terdapat pada
saluran tiga yaitu sebesar 100 kg. Hal tersebut disebabkan petani yang terdapat pada saluran tiga masih belum lama menjalankan usahatani brokoli. Maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa saluran tataniaga brokoli yang paling efisien adalah saluran satu. Hal ini dapat dilihat berdasarkan sebaran harga yang tidak berbeda secara signifikan yaitu sebesar Rp 12.000,- per kg, total keuntungan sebesar Rp 5.465,38 per kg, dan rasio keuntungan terhadap biaya yaitu sebesar 2,16. Namun pada kondisi lapangan yang terjadi belum optimal. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya: 1.
Petani masih pada posisi penerima harga (price taker), karena harga masih ditentukan oleh pihak pedagang.
2.
Informasi yang diperoleh anggota kelompok tani masih terbatas, sehingga diperlukan solidaritas diantara sesama anggota dalam membagikan informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan brokoli serta aktif mencari informasi dari luar kelompok tani.
3.
Skala usaha petani masih kecil, sehingga dibutuhkan upaya anggota kelompok tani untuk mencari alternatif pengembangan usahatani brokoli. Misalnya mencari kredit untuk tambahan modal.
90
VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan
1.
Sistem tataniaga brokoli di Desa Tugu Utara terdiri dari tiga saluran yaitu: saluran satu : Petani - Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir, saluran dua : Petani – Pedagang Besar – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir, dan saluran tiga : Petani – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir.
2.
Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas sudah berjalan relatif baik. Sementara itu fungsi kelompok tani dalam memasarkan komoditas brokoli belum terwujud. Hal ini dikarenakan tiap anggota lebih memilih untuk menjual sendiri hasil panennya kepada pedagang. Adapun manfaat kelompok tani yang dirasakan tiap anggota adalah untuk mempermudah jalinan kerjasama dengan lembaga tertentu yang dapat memberi keuntungan dari aspek usaha tani.
3.
Tingkat farmer’s share terendah dan marjin tataniaga tertinggi terdapat pada saluran satu yaitu sebesar 33,33 persen dan 66,67 persen. Hal ini dikarenakan saluran satu merupakan saluran terpanjang di antara tiga saluran yang terbentuk. Sementara itu tingkat farmer’s share tertinggi dan marjin tataniaga terendah terdapat pada saluran tiga yaitu sebesar 76,92 persen dan 23,08 persen. Hal ini dikarenakan saluran tiga merupakan saluran terpendek di antara tiga saluran yang terbentuk. Harga penjualan di tingkat konsumen akhir pada ketiga saluran yang terbentuk tidak berbeda secara signifikan. Pada saluran satu dan saluran dua sebesar Rp 12.000,- per kg dan pada saluran tiga sebesar Rp 13.000,- per kg. Rasio keuntungan dan biaya tertinggi terdapat pada saluran satu yaitu sebesar 2,16. Rasio keuntungan dan biaya terendah terdapat pada saluran dua yaitu sebesar 1,88. Total volume penjualan terbesar terdapat pada saluran dua yaitu sebesar 3.360 kg. Pada saluran dua petani melakukan penjualan brokoli kepada pedagang besar yang memiliki daya beli yang lebih besar. Total volume penjualan terendah terdapat pada saluran tiga yaitu sebesar 100 kg. Pada saluran tiga petani baru melakukan usahatani brokoli. Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa saluran satu merupakan saluran tataniaga komoditas brokoli yang paling efisien di Desa Tugu Utara. Hal ini dapat dilihat berdasarkan sebaran harga yang tidak berbeda secara signifikan yaitu sebesar Rp 12.000,- per kg, total keuntungan sebesar Rp 5.465,38 per kg, dan rasio keuntungan terhadap biaya yaitu sebesar 2,16.
7.2
Saran
1.
Saluran satu merupakan saluran yang paling efisien di antara ketiga saluran yang terbentuk. Oleh karena itu petani disarankan untuk memilih saluran satu dalam memasarkan komoditas brokoli. Akan tetapi pada saluran satu masih perlu dilakukan upaya dalam memperkecil biaya tataniaga khususnya di tingkat pedagang pengecer.
2.
Volume penjualan tetinggi terdapat pada saluran dua yaitu sebesar 3.360 kg. Akan tetapi rasio keuntungan dan biaya pada saluran dua sangat rendah jika dibandingkan dengan saluran satu dan saluran tiga. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya peningkatan keuntungan atau melakukan pengurangan atas biaya yang terbentuk.
3.
Tingkat harga jual tertinggi di tingkat konsumen akhir terdapat pada saluran tiga yaitu sebesar Rp 13.000,- per kg. Akan tetapi volume penjualan pada saluran ini sangat sedikit jika dibandingkan volume penjualan pada saluran satu dan saluran dua. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya peningkatan penjualan pada saluran ini.
4.
Mengharapkan adanya penelitian lanjutan dalam melengkapi informasi yang tidak terdapat dalam penelitian ini.
92
DAFTAR PUSTAKA Ariyanto. 2008. Analisis Tataniaga Bayam (Kasus Desa Ciaruten Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor) [Skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Asmarantaka, Ratna. W. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian. Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Bogor: IPB Press. Azzaino, Zulkifli. 1981. Pengantar Tataniaga Pertanian. Diktat Departemen Sosek, Fakultas Pertanian IPB. Dahl, Dale C dan Jerome W. Hammond. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. Mc Graw-Hill. USA. [Deptan] Departemen Pertanian. 2007. Pedoman Kelembagaan Petani. Jakarta : Departemen Pertanian Republik Indonesia. Faisal, M. 2010. Analisis Tataniaga Sapi Potong PT. Kariyana Gita Utama Cicurug Sukabumi [Skripsi]. Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Hanafiah, A.M dan Saefuddin, A.M. 1983. Tata Niaga Hasil Perikanan. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Hasniah. 2005. Analisis Sistem dan Efisiensi Tataniaga Komoditas Pepaya Sayur [Skripsi]. Bogor. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kohl, L.R. and Uhls, J.N. 2002. Marketing of Agriculture Products. New York: Macmillan Publishing Company. Limbong, W.H. dan Sitorus, P. 1985. Handout Bahan Kuliah Pengantar Tataniaga Pertanian. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Nazir Moh. 2005. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Bogor.
Nugraha, H. 2010. Analisis Efisiensi Produksi Usahatani Brokoli di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Purba, S. 2010. Analisis Tataniaga Ubi Jalar (Studi Kasus : Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) [Skripsi]. Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Purcell, Wayne D. 1979. Agricultural Marketing : System, Coordination, Cash and Future Prices. A Prentice-Hall Company-Reston Virginia USA Ravallion, Martin 1986. Testing Market Intergration. Copyright 1986 American Agricultural Economics Assosiciation. Rubatzky, V.E dan Yamaguchi, M. 1997. Sayuran Dunia 2 Prinsip, Produksi, Gizi. Penerbit ITB Bandung. Setiawan, A.I. 1993. Sayuran Dataran Tinggi Budi Daya dan Pengaturan Panen. Penebar Swadaya. Jakarta.
94
Lampiran 1. Karakteristik Petani Brokoli pada Kelompok Tani Suka Tani di Desa Tugu Utara Total Luas Lahan (m2)
Luas Lahan Brokoli (m2)
Pengalaman (Tahun)
Status Kepemilikan Lahan
Produksi Satu Musim Panen (Kg)
Nama Petani Responden
Jenis kelamin
Umur (Tahun)
1
Ujang Yahya
Laki-laki
47
SLTP
15.000
5.000
2
Dipinjamkan
900
PPD dan PB
2 3 4 5 6 7 8
Atang
Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
41
SD Tidak Sekolah SD SD SD SD SD
5.000 5.000 10.000 15.000 10.000 4.000 2.000
2.000 1.000 5.500 6.000 5.000 2.000 600
2 2 4 2 3 3 0,5
Sewa Milik Pribadi Sewa Dipinjamkan Dipinjamkan Dipinjamkan Dipinjamkan
390 200 990 1.000 950 370 100
PPD dan PB PPD dan PB PPD dan PB PPD dan PB PPD dan PB PPD dan PB PE
No
Ondi Jasman Enjang Endang Soleh Udin
38 50 59 47 55 31
Pendidikan
Saluran
Keterangan : •
PPD : Pedagang Pengumpul Desa
•
PB : Pedagang Besar/Grosir
•
PE : Pedagang Pengecer
96
Lampiran 2. Biaya Produksi Petani Brokoli di Desa Tugu Utara per Musim Panen Biaya Produksi (Rp) Petani
Pupuk Kandang
NPK
Ujang Soleh Endang Enjang Jasman Ondi Atang Udin
1.200.000 496.000 1.200.000 1.440.000 1.360.000 240.000 480.000 120.000
1.650.000 550.000 1.650.000 2.200.000 1.650.000 275.000 550.000 165.000
Total
Curacron
Poklem
Polarem
Supergrow
Dustik
Bibit
T.Kerja
Biaya Produksi (Rp)
92.000 36.800 92.000 110.400 92.000 18.400 36.800 11.000
180.000 72.000 180.000 216.000 180.000 36.000 72.000 18.000
270.000 90.000 270.000 315.000 270.000 54.000 90.000 32.400
62.500 25.000 62.500 75.000 75.000 12.500 25.000 75.000
55.000 22.000 55.000 66.000 66.000 11.000 22.000 6.600
390.000 130.000 390.000 455.000 455.000 65.000 13.000 65.000
255.000 102.000 255.000 300.000 280.500 51.000 255.000 30.600
4.154.500 1.523.800 4.154.500 5.177.400 4.428.500 762.900 1.543.800 523.600
97
Lampiran 3. Pendapatan Petani Brokoli di Desa Tugu Utara No. 1
2
3
4
5
6
7
8
Produksi Brokoli (Kg) 400
Harga Jual (Rp/Kg) 4.000
500
5.000
2.500.000
70
4.000
280.000
300
5.000
1.500.000
110
4.000
440.000
840
5.000
4.200.000
300
4.000
1.200.000
800
5.000
4.000.000
390
4.000
1.560.000
600
5.000
3.000.000
60
4.000
240.000
140
5.000
700.000
210
4.000
840.000
180
5.000
900.000
Udin
100
10.000
1.000.000
523.600
Total
5.000
73.000
23.960.000
22.269.000
Nama Ujang
Soleh
Endang
Enjang
Jasman
Ondi
Atang
Pendapatan Kotor 1.600.000
Biaya Produksi (Rp) 4.154.500
Biaya Tataniaga (Rp)
Biaya Total (Rp) 4.154.500
Pendapatan Bersih (Rp) -54.500
1.523.800
1.523.800
256.200
4.154.500
4.154.500
485.500
5.177.400
5.177.400
22.600
4.428.500
4.428.500
131.500
762.900
762.900
177.100
1.543.800
1.543.800
196.200
10.500
534.100
465.900
10.500
22.279.500
1.680.500
98
Lampiran 4. π/C Rasio Petani Brokoli di Desa Tugu Utara
No
Nama
1
Ujang
2
Soleh
3
Endang
4
Enjang
5
Jasman
6
Ondi
7
Atang
8
Udin
Harga Produksi Harga Pokok Penerimaan Brokoli Jual Produksi (Rp) (Kg) (Rp/Kg) (Rp/Kg) 500 400 300 70 840 110 800 300 600 390 140 60 180 210 100
5.000 4.000 5.000 4.000 5.000 4.000 5.000 4.000 5.000 4.000 5.000 4.000 5.000 4.000 10.000
4616,111 4118,378 4373,158 5177,4 4473,232 3814,5 3958,462 5236
2.500.000 1.600.000 1.500.000 280.000 4.200.000 440.000 4.000.000 1.200.000 3.000.000 1.560.000 700.000 240.000 900.000 840.000 1.000.000
Biaya Produksi (Rp)
Biaya Tataniaga (Rp)
Biaya Total (Rp)
Pendapatan Bersih (Rp)
π /C Rasio Atas Biaya Produksi
π /C Rasio Atas Biaya Total
4.154.500
4.154.500
-54.500 0,98688169
0,98688
1.523.800
1.523.800
256.200 1,1681323
1,16813
4.154.500
4.154.500
485.500 1,11686123
1,11686
5.177.400
5.177.400
22.600 1,00436513
1,00437
4.428.500
4.428.500
131.500 1,02969403
1,02969
762.900
762.900
177.100 1,23214
1,23214
1.543.800
1.543.800
196.200 1,1271
1,12709
534.100
465.900 1,9099
1,87231
523.600
10.500
99
Lampiran 5. Biaya Pedagang Pengumpul Nama
Awing
Keterangan
Biaya Tataniaga (Rp)
Satu-satunya Pedagang Pengumpul di Desa Tugu Utara
1. BiayaTransportasi 2. Biaya Pengemasan 3. Bongkar Muat 4. Penyusutan
Total
Jumlah (Rp)
Volume (kg)
172.480 77.000 194.040 616.000
Biaya Tataniaga per kg (Rp)
1.540 1.540 1.540 1.540
1.059.520
112 50 126 400
688
Lampiran 6. Pendapatan Biaya Pengumpul Volume Pendapatan Pendapatan Volume Harga Harga Biaya Penjualan Pembelian Kotor Bersih No Nama Penjualan Pembelian Jual Beli Tataniaga (Rp) (Rp) (Kg) (Rp/Kg) (Rp/Kg) (Rp) (kg) (Rp) (Rp) 1
Awing
1.463
1.540
6.000
4.000 8.778.000
6.160.000
2.618.000 1.059.520
1.558.480
100
Lampiran 7. Biaya Pedagang Besar Nama
Jujun
Keterangan
Satu-satunya Pedagang Besar yang Membeli Brokoli di desa Tugu Utara
Keterangan
Biaya Tataniaga per Kg (Rp)
100,800
3,360
30
16,800
3,360
5
168,000 84,000
3,360 3,360
50 25
126,000 1,344,000
3,360 3,360
37.5 400
Jumlah (Rp)
1.Biaya Transportasi 2.Biaya Pengemasan 3.Biaya Tenaga Kerja 4. Retribusi 5. Bongkar Muat 6. Penyusutan
Total
Nama
Volume (Kg)
Biaya Tataniaga (Rp)
1,839,600
Biaya Tataniaga (Rp)
547.5
Volume (Kg)
Biaya Tataniaga per Kg (Rp)
36.575 36.575
1.463 1.463
25 25
438.900
1.463
300
Jumlah (Rp)
1.Biaya Transportasi
Agus
Penampung dari Pedagang Pengumpul Desa (Awing)
Total
2.Biaya Pengemasan 3.Biaya Tenaga Kerja
4. Retribusi 5. Bongkar Muat 6. Penyusutan
512.050
350
101
Lampiran 8. Pendapatan Pedagang Besar No
Nama
1
Jujun
2
Agus
Volume Jual (kg)
Volume Beli (Kg)
Harga Jual (Rp/Kg)
Harga Beli (Rp/Kg)
1,799 1,394 505 958
3,360
8,000 7,500 9,000 8,500
5,000
1,540
Biaya Tataniaga (Rp)
Pendapatan Bersih (Rp)
14,389,760 16,800,000 8,043,935 1,839,600 10,454,175 6,000 4,545,000.00 9,240,000.00 3,448,000.00 512,050 8,143,000.00
6,204,335
Penjualan (Rp)
Pembelian (Rp)
Pendapatan Kotor (Rp)
2,935,950
102
Lampiran 9. Biaya Pedagang Pengecer Biaya tataniaga (Rp) No Saluran I
Saluran II
Saluran III
Nama 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Mulyadi Iwan Syarifuddin Hamid Dadang Malik Surya Arifin Adung Nana Hendi Rendi Hj. Agus
Transportasi
Pengemasan
Retribusi
Penyusutan
33,400 35,700 39,500 33,400 16,700 33,400 16,700 40,500 0 0 0 0 0
66,600 95,200 52,614 66,666 33,333 66,666 33,333 88,999 262,956 420,708 530,000 26,000 14,000
16,600 19,754 19,750 16,600 8,300 16,600 8,300 22,161 65,739 105,177 132,500 1,625 420
170,000 214,000 134,300 170,000 85,000 170,000 85,000 240,300 525,912 841,416 993,750 32,500 17,500
Bongkar Tenaga muat Kerja 50,000 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 525,912 0 525,885 0 662,500 0 0 0 1,750
Volume Pembelian (Kg) 200 238 158 200 100 200 100 267 657.39 1,051.77 1,325 65 35
Biaya Tataniaga per Kg (Rp) 1,683 1,532 1,558 1,433 1,433 1,433 1,433 1,468 2,100 1,800 1,751 925 962
Total Biaya Tataniaga (Rp) 336,600 364,654 246,164 286,666 143,333 286,666 143,333 391,960 1,380,519 1,893,186 2,318,750 60,125 33,670
103
Lampiran 10. Pendapatan Pedagang Pengecer
Saluran I
Saluran II
Saluran III
No
Nama
Volume Jual (kg)
Volume Beli (Kg)
Harga Jual (Rp/Kg)
Harga Beli (Rp/Kg)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Mulyadi Iwan Syarifuddin Hamid Dadang Malik Surya Arifin Adung Nana Hendi Rendi
180.00 214.00 142.00 180.00 90.00 180.00 90.00 240.00 660.13 1,054.81 1,318.74 62.00
200.00 238.00 158.00 200.00 100.00 200.00 100.00 267.00 657.39 1,051.77 1,324.50 65.00
12,000 12,000 12,000 12,000 12,000 12,000 12,000 12,000 12,000 12,000 12,000 13,000
8,500 9,000 8,500 8,500 8,500 8,500 8,500 9,000 8,000 8,000 7,500 10,000
2,160,000 2,568,000 1,704,000 2,160,000 1,080,000 2,160,000 1,080,000 2,880,000 7,921,560 12,657,720 15,824,880 806,000
1,700,000 2,142,000 1,343,000 1,700,000 850,000 1,700,000 850,000 2,403,000 5,259,120 8,414,160 9,933,750 650,000
460,000 426,000 361,000 460,000 230,000 460,000 230,000 477,000 2,662,440 4,243,560 5,891,130 156,000
336,600 364,654 246,164 286,666 143,333 286,666 143,333 391,960 1,380,519 1,893,186 2,318,750 60,125
123,400 61,346 114,836 173,334 86,667 173,334 86,667 85,040 1,281,921 2,350,374 3,572,380 95,875
13
Hj. Agus
33.00
35.00
13,000
10,000
429,000
350,000
79,000
33,670
45,330
Penjualan (Rp)
Pembelian (Rp)
Pendapatan Kotor (Rp)
Biaya Tataniaga (Rp)
Pendapatan Bersih (Rp)
104
Lampiran 11. Biaya Tataniaga Rata-rata
No.
Lembaga Tataniaga
Jumlah (Orang)
1
Petani
8
2
Pedagang Pengumpul
3
Pedagang Besar
Total 1
Total 2
Jenis Biaya Tataniaga Biaya Transportasi & Biaya Pengemasan 1.Biaya Transportasi 2.Biaya Pengemasan 3.Bongkar muat 4.Penyusutan
Total 13
1,312.50
625.00
2.10
1,312.50 172,480.00 77,000.00 194,040.00 616,000.00
625.00
2.10
1,540.00 1,540.00 1,540.00 1,540.00
112.00 50.00 126.00 400.00
1,540.00
688.00
50,400.00
2,411.50
20.90
2.Biaya Pengemasan
8,400.00
2,411.50
3.48
102,287.50
2,411.50
42.42
4. Retribusi
60,287.50
2,411.50
25.00
5. Bongkar Muat
63,000.00
2,411.50
26.12
891,450.00
2,411.50
369.67
1,175,825.00
2,411.50
487.59
1.Transportasi
19,177.00
354.00
54.17
2.Pengemasan
135,160.00
354.00
381.81
33,348.00
354.00
94.20
283,052.00
354.00
799.58
3,846.00
354.00
10.86
132,004.00
354.00
372.89
606,587.00
354.00
1,713.52
3.Retrbusi 4.Penyusutan 5.Bongkar Muat 6.Tenaga kerja Total
Biaya Tataniaga Rata-rata per Kg (Rp)
1,059,520.00
6. Penyusutan
Pedagang Pengecer
Volume Ratarata (Kg)
1.Biaya Transportasi 3.Biaya Tenaga Kerja
4
Biaya Tataniaga Rata-rata (Rp)
105