ANALISIS USAHATANI CABAI MERAH ORGANIK (Studi Kasus Kelompok Tani ”Kaliwung Kalimuncar” Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Bogor)
Oleh: FRISTIANA MERLIZA SIREGAR A14105550
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ANALISIS USAHATANI CABAI MERAH ORGANIK (Studi Kasus Kelompok Tani ”Kaliwung Kalimuncar” Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Bogor)
Oleh: FRISTIANA MERLIZA SIREGAR A14105550
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
Nama NRP
: Analisis Usahatani Cabai Merah Organik (Studi Kasus Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Bogor) : Fristiana Merliza Siregar : A 14105550
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Ir. Anita Ristianingrum, MSi NIP. 132 046 437
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI DENGAN JUDUL “ANALISIS USAHATANI CABAI MERAH ORGANIK (STUDI KASUS KELOMPOK TANI KALIWUNG KALIMUNCAR, DESA TUGU UTARA, KECAMATAN
CISARUA,
BOGOR”
BELUM
PERNAH
DIAJUKAN
SEBAGAI KARYA TULIS ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA
MANAPUN
UNTUK
TUJUAN
MEMPEROLEH
GELAR
AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI
BENAR-
BENAR
HASIL
KARYA
SENDIRI
DAN
TIDAK
MENGANDUNG BAHAN- BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Januari 2008
Fristiana Merliza Siregar A14105550
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan putri kedua dari pasangan Bapak Drs. H. M. Sjam Rhiza Siregar, MPd dan Ibu Atiek Suwarti yang lahir pada tanggal 05 Februari 1984 di Yogyakarta. Pada tahun 1990 penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak- kanak di TK An-Nur Dilli, Timor- Timur dan pada tahun 1996 penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN 10 Perumnas Bairopite Dilli, TimorTimur. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan menegah pertama di SLTPN 1 Dilli, Timor- Timur selama satu tahun yang kemudian dilanjutkan di SLTPN 2 Palangkaraya, Kalimantan Tengah, serta menamatkan pendidikan SMU di SMUN 2 Palangkaraya pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis juga diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) di Departemen Ilmu- Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian dengan Program Studi Diploma III Manajemen Agribisnis angkatan 39, melalui program USMI. Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 pada Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi robbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan kasih, sayang, anugerah dan melimpahkan rahmat dan berkahNya kepada penulis yang tiada habis- habisnya. Maka atas izin Allah SWT pula penulis dapat menyelesaikan skripsi dalam waktu yang telah ditentukan. Skripsi ini menganalisis bagaimana tingkat pendapatan petani cabai merah organik dalam satu musim tanam, sehingga bila dibandingkan dengan petani yang mengusahakan secara konvensional dapat terlihat seberapa besar tingkat perbedaannya dan dapat dibandingkan mana yang lebih baik diusahakan dengan keuntungan yang dapat meningkatkan pendapatan petani pula. Akhirnya, penulis berharap semoga karya ilmiah atau skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukan sebagai bahan referensi dan dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai salah satu produk hortikultura bagi siapa saja yang membaca. Penelitian ini merupakan hasil maksimal yang dapat dikerjakan oleh penulis, walaupun masih banyak yang perlu diperbaiki.
Bogor, Januari 2008
Fristiana Merliza Siregar A14105550
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahi robbil ’alamin atas rahmat dan karunia Allah SWT akhirnya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Penyelesaian skripsi ini tidaklah terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada bagian ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar- besarnya kepada : 1. Ir. Anita Ristianingrum, MSi. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, ilmu, arahan dan masukan-masukan untuk skripsi ini. 2. Tanti Noviyanti, SP. MSi selaku dosen evaluator pada kolokium yang telah memberikan masukan-masukan dan arahan untuk kemajuan skripsi ini. 3. Kedua orang tua penulis, yang tidak ada hentinya mendoakan dan memberi
semangat
dalam
bentuk
apapun
agar
penulis
dapat
menyelesaikan pendidikan. 4. Frista Erliza Siregar dan Ellan Syah Noorizal Siregar, terima kasih atas perhatian dan doanya. 5. Zulyan Firdaus Afif, atas semangat, doa, kasih sayang, perhatian dan pengertian selama ini. 6. Bapak Badri selaku Ketua Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” beserta seluruh petani cabai merah yang ada di Desa Tugu Utara yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian penulis. Terima kasih telah menerima penulis dengan baik dan terima kasih pula atas informasi dan ilmunya.
7. Pihak Pemda Bogor dan Kecamatan Cisarua yang telah mengijinkan penulis untuk penelitian di Desa Tugu Utara dan atas informasi dan datadata yang dibutuhkan penulis. 8. M15 : Angra, Evi, Ayang, Irma, Yanti, Zee, Nova, Duna, Choti, Dede, Puspita, Andra, Asti, dan Krisnatalia. Terima kasih atas kebersaamaan yang indah selama menjadi anak kos. 9. Sahabat-sahabat yang selalu mendukung : Cici, Nina, Resti, Caca, Mela, dan Putri. 10. Teman-teman Ekstensi MAB 13 dan DIII MAB Angkatan 39. Kebersamaan yang indah selama di IPB. 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................ iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iv DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... v I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Perumusan Masalah ......................................................................... 9 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 12 II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2.1 Pertanian Non Organik..................................................................... 2.2 Pertanian Organik............................................................................. 2.2.1 Definisi Pertanian Organik...................................................... 2.2.2 Prinsip dan Tujuan Pertanian Organik .................................... 2.3 Definisi Sayuran ............................................................................... 2.3.1 Karakteristik Cabai Merah ..................................................... 2.3.2 Budidaya Tanaman Cabai Merah Non Organik ...................... 2.3.3 Budidaya Tanaman Cabai Merah Organik .............................. 2.4 Penelitian Terdahulu ........................................................................
13 13 14 14 15 17 18 19 21 24
III. KERANGKA PEMIKIRAN ..................................................................... 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ................................................................ 3.1.1 Konsep Usahatani ....................................................................... 3.1.2 Penerimaan Usahatani................................................................. 3.1.3 Pendapatan Usahatani ................................................................ 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ........................................................
29 29 29 32 33 35
IV. METODE PENELITIAN .......................................................................... 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 4.2 Metode Pengumpulan Data .................................................................. 4.3 Metode Penarikan Contoh ................................................................... 4.4 Metode Pengolahan dan Anaisis Data ................................................. 4.4.1 Analisis Pendapatan Usahatani ................................................. 4.4.2 Analisis Perbandingan Penerimaan dan Biaya (R/C Ratio)......
38 38 38 39 39 40 41
V. KERAGAAN USAHATANI CABAI MERAH ORGANIK .................... 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................................... 5.2 Karakteristik Petani Cabai Merah .......................................................... 5.2.1 Usia Petani Responden ............................................................... 5.2.2 Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Petani Responden ............
42 42 44 44 46
5.3.2 Luas dan Status Pengelolaan Lahan ........................................... 5.3 Keragaan Usahatani Petani Responden Cabai Merah Organik ............. 5.3.1 Pengolahan Lahan....................................................................... 5.3.2 Pembenihan ................................................................................ 5.3.2.1 Penyiapan Benih ............................................................ 5.3.2.2 Penyimpanan Benih ....................................................... 5.3.2.3 Penyemaian Benih ......................................................... 5.3.2.4 Perawatan Semaian ........................................................ 5.3.3 Penanaman .................................................................................. 5.3.3.1 Penentuan Jarak Tanam ................................................. 5.3.3.2 Penentuan Lubang Tanam ............................................. 5.3.3.3 Penanaman Bibit ............................................................ 5.3.3.4 Pemupukan Tanaman ..................................................... 5.3.4 Perawatan.................................................................................... 5.3.4.1 Penyulaman .................................................................... 5.3.4.2 Pengontrolan (Logging) ................................................. 5.3.5 Panen .......................................................................................... 5.5.6 Pemasaran Hasil Panen ...............................................................
47 49 49 50 50 52 52 53 53 54 54 55 57 58 58 58 58 59
VI. ANALISIS USAHATANI CABAI MERAH ........................................... 6.1 Sistem Usahatani Cabai Merah .............................................................. 6.1.1 Bibit ............................................................................................ 6.1.2 Lahan .......................................................................................... 6.1.3 Tenaga Kerja............................................................................... 6.1.4 Alat- alat Pertanian ..................................................................... 6.2 Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Merah ........................................ 6.2.1 Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Merah Non Organik ....... 6.2.2 Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Merah Organik ............... 6.3 Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Cabai Merah Organik dan Non Organik ................................................
61 61 61 62 63 68 69 70 72 75
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 78 7.1 Kesimpulan ........................................................................................... 78 7.2 Saran ................................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 80 LAMPIRAN .............................................................................................. 82
DAFTAR TABEL Nomor 1.
Halaman Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Sayuran Utama di Indonesia Tahun 2001- 2005. ............................................... 2
2.
Nilai dan Volume Ekspor Sayuran Indonesia Tahun 2002- 2004 ……. 4
3.
Konsumsi dan Pengeluaran Rata- rata Perkapita Seminggu Komoditi Cabai Merah di Indonesia Tahun 2002-005............................ 6
4.
Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabai di Indonesia Tahun 2001- 2005 ……………………………….. 7
5.
Produksi Cabai Merah per Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2004- 2007 ………………………………………...............…… 8
6.
Pemanfaatan Lahan Desa Tugu Utara, 2006…………………………... 43
7.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Umur pada Usahatani Cabai Merah Organik dan Non Organik di Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar”, Tahun 2007............................................ 45
8.
Lama Bertani Petani Responden pada Usahatani Cabai Merah Organik dan Non Organik di Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” Tahun 2007..................................................... 46
9.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada Usahatani Cabai Merah Organik di Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” Tahun 2007...................................................... 47
10.
Sebaran Petani Responden Berdasarkan Luasan Lahan di Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” Tahun 2007............................ 48
11.
Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabai Merah Organik Per Hektar Untuk Masa Produksi Satu Setengah Tahun Di Desa Tugu Utara Tahun 2007................................................................. 64
12.
Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabai Merah Organik Per 0,4 Hektar Untuk Masa Produksi Satu Tahun Di Desa Tugu Utara Tahun 2007.......................................................................... 65
13.
Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabai Merah Non Organik Per Hektar Untuk Masa Produksi Satu Setengah Tahun Di Desa Tugu Utara Tahun 2007................................................................. 66
14.
Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabe Merah Non Organik Per 0,2 Hektar Untuk Masa Produksi Satu Tahun Di Desa Tugu Utara Tahun 2007.......................................................................... 67 Penggunaan Peralatan Usahatani Cabe Merah Untuk Satu Musim Tanam di Desa Tugu Utara per Hektar per Rata-rata Luasan Lahan .... 68 Penggunaan Peralatan Usahatani Cabe Merah Untuk Satu Musim Tanam di Desa Tugu Utara per Hektar per Hektar ............................... 69 Analisis pendapatan usahatani Cabai Merah Organik dan Non Organik per Hektar di Desa Tugu Utara ....................................... 70 Analisis pendapatan usahatani Cabai Merah Organik dan Non Organik per Rata-rata Luasan Lahan di Desa Tugu Utara ............ 74
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Alur Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian ....................................... 38 2. Pola Tanam Cabai Merah Organik di Desa Tugu Utara ............................. 54
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Kuisioner Penelitian Analisis Usahatani Cabai Merah Organik ................. 82 2. Karakteristik Petani Responden Cabai Merah Organik .............................. 89 3. Karakteristik Petani Responden Cabai Merah Non Organik ....................... 90 4. Penetapan Standar Harga Jual Cabai Merah ................................................ 91
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Salah satu sektor yang sangat berperan dalam pembangunan Indonesia di masa depan adalah sektor agribisnis. Peranan agribisnis terutama di bidang hortikultura mengalami perkembangan cukup pesat, baik dalam usaha produksi, industri olahan dan pangsa pasar. Sektor hortikultura merupakan salah satu sektor yang sangat perlu dikembangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan kontribusi dibidang pertanian dan juga dapat menunjang usaha pemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi impor dan melestarikan sumber daya alam. Tanaman hortikultura mempunyai fungsi dalam pemenuhan kebutuhan vitamin, mineral, penyegar, pemenuhan kebutuhan akan serat dan kesehatan lingkungan. Salah satu komoditi hortikultura yang sangat dibutuhkan manusia dan merupakan salah satu pangan yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat hampir setiap hari adalah sayuran. Banyaknya manfaat sayuran ini menyebabkan sayuran menjadi bagian dari komoditas hortikultura yang terus diproduksi. Perkembangan tanaman hortikultura terutama sayuran dari tahun ke tahun terus meningkat, baik dari segi luasan lahan panen, produktivitas dan produksi setiap tahun di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup baik. Tabel 1 menunjukkan luas panen, produktivitas, dan produksi sayur di Indonesia tahun 2001- 2005.
Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Sayuran Utama di Indonesia Tahun 2001- 2005 Produktivitas (ton/ha) 2001 794.033 8,71 2002 824.361 8,67 2003 913.445 9,39 2004 977.552 9,27 2005 944.695 9,63 Sumber : Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2006 Tahun
Luas Panen (ha)
Produksi (ton) 6.919.624 7.144.745 8.574.870 9.059.676 9.101.986
Dari Tabel 1 diketahui bahwa produksi sayuran di Indonesia dari tahun 2001- 2005 mengalami peningkatan terus menerus. Peningkatan produksi tersebut disebabkan oleh peningkatan luas panen yang cukup besar (rataan 14 persen per tahun) dan produktivitas. (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2006) Saat ini masyarakat sudah banyak yang mulai menyadari untuk hidup lebih sehat dan kembali ke alam atau “back to nature” karena akhir- akhir ini banyak sekali ditemukan kasus- kasus yang menyebutkan bahwa banyak produk pangan yang mengandung zat kimia, seperti bahan pewarna sampai bahan pengawet. Pemakaian pestisida kimia yang kurang bijak juga bisa merusak keseimbangan ekosistem, yakni memutus salah satu rantai ekosistem di sekitar kebun. Misalnya dengan pemakaian insektisida, tidak hanya serangga- serangga perusak tanaman yang mati, namun semua serangga yang ada di kebun ikut terbunuh, termasuk serangga penyerbuk bunga dan musuh alami hama. Bahkan hewan ternak dan petani juga bisa terkena gangguan kesehatan yang mematikan dari penggunaan pestisida. Dampak lain dari penggunaan bahan- bahan kimia misalnya dalam penggunaan pupuk yang berkadar N (nitrogen) tinggi seperti urea dan ZA mengakibatkan tanah menjadi keras, kering, dan asam (pH rendah). Jika pH tanah
rendah, beberapa unsur hara menjadi tidak bisa diserap oleh akar tanaman. Pemakaian pupuk NPK yang tidak berimbang akan merusak struktur tanah dan membuat tanah menjadi jenuh. Dengan banyaknya pengaruh negatif seperti ini mendorong para petani mengubah pola bertaninya menjadi pola yang lama, yaitu tanpa menggunakan bahan kimia. Pola tanam seperti itu biasa disebut dengan pertanian organik. Di Indonesia pertanian organik sebenarnya sudah kita kenal sejak ilmu bercocok tanam pertama kali dikenal. Pada saat itu semua bentuk pertanian dilakukan secara tradisional dan hanya menggunakan bahan- bahan alamiah. Saat ini, trend pertanian organik di Indonesia mulai diperkenalkan oleh beberapa petani yang sudah mapan dan memahami keunggulan sistem pertanian organik tersebut. Meskipun beberapa petani sudah mulai mengembangkan dan bertani secara organik sejak lama, namun perkembangan pertanian organik di Indonesia baru di mulai empat sampai lima tahun yang lalu.1 Lahan pertanian yang dikelola secara organik lebih dari 31 juta hektar seluruh dunia saat ini. Dalam satu tahun bertambah sekitar 5 juta hektar. Minou Yussefi dari Foundation Ecology & Agriculture (SOEL) dan Helga Willer dari Research of Organic Agriculture (FiBL) mencatat bahwa penambahan terus menerus area pertanian organik beberapa tahun lalu bukan hanya karena besarnya ketertarikan pada pertanian organik, tetapi juga sebagai hasil meningkatnya akses informasi dan koleksi data studi yang up to date setiap saat.2
1 2
Beritabumi.2004.Pertanian Organik.www.beritabumi.go.id diakses Tanggal 28 Mei 2007. Minou Yussefi.2004.Pertanian Organik.http://www.organicnutrition.co.uk/whyorganic/whyorganic.htm. diakses Tanggal 28 Mei 2007
Produk pertanian organik Indonesia hampir semuanya adalah produk pertanian belum diolah (fresh product). Salah satu produk pertanian organik yang sangat digemari masyarakat Indonesia adalah sayuran. Pasar domestik produk organik masih terpusat di kota- kota besar, khususnya di Pulau Jawa dan di kalangan kelas menengah ke atas. Tetapi tingkat konsumsi sebenarnya, lebih banyak produk organik yang dikonsumsi di desa atau yang tidak diperdagangkan antar kota. Menurut Indro Surono (2004) peneliti Elsspat dan Biocert3, pertanian organik berpeluang berkembang dengan baik ke depan karena adanya kritik terhadap asupan kimia yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan pertanian membawa pada praktek bertani ke arah organik, kesadaran konsumen untuk memperoleh produk yang sehat dan ramah lingkungan juga semakin tinggi, peluang ekspor produk organik terutama sayuran juga besar karena tingginya permintaan dari negara maju. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2. Terdapat juga peluang untuk meningkatkan pendapatan petani karena produk pertanian organik memiliki harga jual di atas produk pertanian konvensional. Tabel 2. Nilai dan Volume Ekspor Sayuran Indonesia Tahun 2002- 2004 Ekspor
Sayuran - Segar - Olahan Total
2002 Volume (ton)
2003 Nilai (US $)
Volume (ton)
2004 Nilai (US $)
Volume (ton)
134 038 33 921 714
109 368 33 717 642
89 026 31 172 397
21 441 22 208 061
22 865 25 351 455
25 817 28 277 121
155 479 56 129 775
132 233 59 069 097
114 843 59 449 518
Sumber : Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2005
3
Nilai (US $)
Indro Surono.2004.Peluang Pasar Organik.http://www.pasartani.com/file/BeritaDetail.asp diakses Tanggal 2 Juni 2007
Peluang pasar dalam negeri untuk produk organik di Indonesia masih sangat terbuka lebar, sebab masih sangat jarang perusahaan Agribisnis yang benar- benar mengusahakan produk organik. Indonesia juga masih memiliki peluang pasar untuk ekspor komoditi organik, khususnya sayuran organik, karena Indonesia sangat kaya dengan hasil- hasil hortikulturanya. Menurut Indro Surono (2004) produksi pertanian organik Indonesia diperkirakan tumbuh kurang lebih 10 persen per tahun. Perkembangan produksi dan pemasaran produk pertanian organik di Indonesia cukup pesat. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya supermarket, outlet, dan model pemasaran alternatif di berbagai kota yang menjual produk organik. Perkembangan juga tergambar dari semakin banyak organisasi non pemerintah pendamping petani yang mengembangkan pertanian organik, kelompok petani atau perusahaan swasta yang bergerak di bidang organik.4 Pada umumnya semua tanaman dapat diusahakan secara organik karena pada mulanya tanaman tumbuh secara alami, tanpa tambahan (pemupukan) dari luar. Hanya saja, tanaman peka terhadap hama dan penyakit sehingga perlu penanganan dan pemeliharaan yang intensif. Namun, pemilihan jenis tanaman yang diarahkan untuk bisnis harus mempertimbangkan jenis yang laku di pasar. Jenis sayuran yang memiliki prospek bagus untuk dikembangkan secara organik diantaranya: bawang merah, tomat, wortel, selada, dan cabai (Pracaya, 2006). Indonesia merupakan penghasil cabai dengan produksi dan konsumsi besar, karena sebagian penduduk Indonesia adalah penggemar makanan pedas. Beberapa propinsi yang menjadi sentra produksi cabai adalah NAD, Sumatera
4
Indro Surono.2004.http://www.pasartani.com/file/BeritaDetail.asp diakses Tanggal 2 Juni 2007
Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, NTB, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Daerah- daerah inilah terkenal dengan panganan yang berbahan baku cabai (Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2006). Konsumsi cabai merah per kapita di Indonesia dari tahun ke tahun berfluktuasi dalam kisaran yang relatif kecil baik itu secara kuantitas maupun nilainya. Hal ini terjadi karena permintaan terhadap cabai akan dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya harga dan tingkat pendapatan. Dari Tabel 3 dapat dilihat permintaan terhadap komoditi cabai merah lebih banyak di perkotaan dan setiap tahunnya terus meningkat dengan nilai yang sangat berfluktuasi mengikuti keaadaan di pasar. Tabel 3. Konsumsi dan Pengeluaran Rata- rata Perkapita Seminggu Komoditi Cabai Merah di Indonesia Tahun 2002- 2005 Perkotaan Jumlah (Ons) Nilai (Rp) 2002 0,138 314 2003 0,298 346 2004 0,295 332 2005 0,340 317 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2006 Tahun
Pedesaan Jumlah (ons) Nilai (Rp) 0,238 235 0,231 256 0,234 265 0,265 258
Di sisi lain perkembangan produksi cabai dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan terus menerus, terlihat mulai tahun 2001 hingga 2004 mengalami peningkatan yang cukup bagus. Namun, pada tahun 2005 pernah terjadi penurunan produksi sebesar 42.491 ton dari tahun 2004. Penurunan produksi tersebut disebabkan karena penurunan luas panen cabai sehingga produktivitasnya juga ikut mengalami penurunan. Sedangkan peningkatan produksi cabai biasanya disebabkan oleh peningkatan luas panen dan produktivitas. Perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas cabai di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabai di Indonesia Tahun 2001- 2005 Tahun
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
2001 142.556 580.464 2002 150.598 635.089 2003 176.264 1.066.722 2004 194.588 1.100.514 2005 187.236 1.058.023 Sumber : Ditjen Bina Produksi Hortikultura, 2006.
Produktivitas (Ton/Ha) 4,07 4,22 6,05 5,66 5,65
Indonesia pernah tercatat sebagai salah satu negara pengeskpor cabai kering. Sampai dekade 1970-an, jumlah ekspor cabai kering mencapai hampir 7.000 ton dengan nilai lebih dari US$ 3 juta. Namun sejak 1974 ekspor ini terus menurun karena ketidakmampuan dalam menjaga mutu cabai kering. Sebagai gambaran, tahun 1977 volume ekspor cabai Indonesia masih mencapai lebih dari 2.000 ton dengan nilai lebih dari US$ 1 juta. Namun, tahun 1980-an jumlah ekspornya hanya 250 ton lebih dengan nilai hanya US$ 200 ribu saja (Santika, 2006). Salah satu daerah yang menghasilkan cabai merah di Propinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Bogor. Data Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2007) menyebutkan bahwa terdapat tujuh Kecamatan yang memproduksi cabai merah. Luas lahan yang digunakan untuk usahatani cabai merah di Kabupaten Bogor seluas 13.875 hektar. Salah satu kecamatan yang memproduksi cabai merah dengan jumlah yang cukup banyak adalah Kecamatan Cisarua. Produksi cabai merah per kecamatan di Kabupaten Bogor dari tahun 2004- 2007 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Produksi Cabai Merah per Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 20042007. No. 1 2 3 4 5 6 7 Sumber
Produksi (Ton) 2004 2005 2006 2007 Sukajaya 2.230 1.692 1.418 1.308 Rumpin 2.041 2.000 1.001 839 Pamijahan 2.666 1.065 6.120 5.878 Taman Sari 2.628 3.525 6.852 3.562 Mg. Mendung 5.157 4.810 6.335 8.210 Cisarua 3.811 1.275 3.697 1.781 Sk. Makmur 3.504 3.430 1.069 1.705 TOTAL 22.037 17.797 26.492 23.283 : Monografi Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor Tahun 2004, 2005, 2006 dan 2007. Kecamatan
Dari Tabel 5 dapat dilihat pada tahun 2004 produksi cabai merah di Kecamatan Cisarua mencapai 3.811 ton. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun berikutnya produksi cabai merah di Kecamatan Cisarua mulai menurun, hal ini disebabkan mulai berkurangnya petani cabai di Kecamatan Cisarua karena sudah beralih ke komoditi lain yang lebih tidak banyak resiko dalam pembudidayaannya, misalnya kol, selada, dan bawang daun. Berbudidaya cabai merah khususnya dengan sistem organik memiliki resiko, antara lain resiko penyakit, resiko terserang hama, pangsa pasar, dan tingkat harga. Saat ini petani cabai di Kecamatan Cisarua untuk terus membangkitkan usahatani cabai merah. Agar bisa terus mempertahankan kebersihan lingkungan dan bebas dari bahan-bahan kimia, para petani di Kecamatan Cisarua juga terus membudidayakan tanaman sayuran lainnya selain cabai merah dengan budidaya organik. Diharapkan dengan membudidayakan cabai secara organik dapat meningkatkan penghasilan petani, karena cabai merupakan salah satu komoditi pertanian yang sangat potensial untuk terus dibudidayakan dan memiliki nilai jual yang tinggi.
1.2 Perumusan Masalah Naiknya pemintaan produk pertanian organik dunia mendorong keinginan pemerintah Indonesia untuk menjadi salah satu negara produsen produk pertanian organic terbesar di dunia. Untuk itu Departemen Pertanian meluncurkan program “Go Organic 2010”. Untuk mendukung program ini perlu dikembangkan standar produksi, pelabelan, dan juga pemasaran pertanian organik. 5 Salah satu kelompok tani yang bergerak di bidang oganik adalah Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar”. Kelompok Tani ini berada di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Usahatani sayuran organik sudah sejak tahun 1995 dibudidayakan di desa ini, termasuk untuk cabai merah. Walaupun sudah 10 tahun lebih mengusahakan pertanian organik, para petani masih saja ragu dengan hasil yang diperoleh, khususnya untuk komoditi cabai. Keraguan itu muncul karena membudidayakan sayuran secara organik membutuhkan ketelitian dalam merawatnya, agar hasil yang diperoleh dapat maksimal sehingga ketika dijual tidak menimbulkan kerugian. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua kelompoknya, untuk membudidayakan tanaman cabai perlu modal keberanian yang besar, karena harga di pasar yang selalu tidak menentu. Total seluruh petani yang ada di Kelompok Tani tersebut 120 orang, tetapi yang mengusahakan komoditi cabai merah hanya 57 orang dengan perincian non organik sebanyak 35 orang (61,40%) dan organik sebanyak 22 orang (38,60%). Desa Tugu Utara termasuk salah satu sentra produksi tanaman organik, mulai dari kol, lotus, cabai, jamur, dan lainnya. Desa ini juga sebagai salah satu
5
Dinas Pertanian.2005.”Go Organic”www.deptan.go.id diakses Tanggal 2 Juni 2007.
tempat tujuan penelitian bagi mahasiswa, maupun bagi peneliti ilmiah. Dilihat dari segi pangsa pasar, untuk produk organik ini masih sangat sedikit, hanya terdapat di hotel- hotel ataupun restaurant yang khusus menyediakan makanan berbahan baku organik. Karena hal tersebut, maka memberikan motivasi kepada para petani untuk terus membudidayakan sayuran organik, khususnya cabai organik, karena potensi yang dimiliki desa tersebut sangat baik. Sayuran organik termasuk komoditi mahal, sebab dibutuhkan perawatan yang sangat teliti. Harga yang diterima petani cabai organik saat ini sebesar Rp 20.000,00 sampai Rp 35.000,00 per kilogram, sedangkan harga di petani cabai non organik saat ini sebesar Rp 4.000,00 sampai Rp 8.000,00 per kilogram. Menurut para petani, harga cabai di pasar sangat berfluktuatif, bahkan sangat sensitif. Hal ini disebabkan karena, jika harga sembako meningkat maka harga cabai, baik organik maupun non organik akan ikut naik, apalagi menjelang harihari besar keagamaan, seperti puasa dan Idul Fitri. Cabai dengan budidaya organik merupakan salah satu komoditas yang sangat potensial untuk dikembangkan, karena cabai juga merupakan salah satu sayuran buah yang digemari masyarakat Indonesia, bahkan sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi cabai, baik dalam bentuk segar maupun yang sudah diolah. Walaupun produk dari cabai organik tidak sebaik yang dihasilkan oleh produk cabai yang dibudidayakan secara konvensional, tetapi memiliki banyak kelebihan seperti membatasi kemungkinan dampak negatif budidaya kimiawi dalam hal kesehatan dan lingkungan. Dengan budidaya secara organik diharapkan petani dapat meningkatkan pendapatan, selain itu dapat menjadi
contoh untuk petani- petani lain dan masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan dari bahan- bahan kimia yang berbahaya agar dapat hidup lebih sehat. Permasalahan yang terjadi di Desa Tugu Utara petani lebih memilih untuk berbudidya secara non organik, sebab : 1) Terdapat perbedaan jalur distribusi antara organik dan non organik, dimana jika cabai merah non organik bisa dipasarkan secara cepat melalui tengkulak (pengumpul) atau pasar lokal di Kecamatan tersebut. Sedangkan distribusi non organik tergantung pesanan dan permintaan dari konsumen tertentu 2) Terdapat perbedaan pola pemeliharaan tanaman. Budidaya cabai secara organik harus dilakukan perawatan yang teliti dan kontinyu tanpa menggunakan obat- obatan kimia, sedangkan budidaya secara non organik perawatan/ pemeliharaan hama da penyakit dapat dibasmi dengan menggunakan pestisida berbahan kimia. Dua hal inilah yang menjadi dasar petani untuk tidak memilih bertani secara organik, sehingga sampai sekarang terdapat 35 orang petani yang masih tetap dengan non organik. Menurut Ketua Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar”, setelah 10 tahun adanya pertanian organik di desa ini, walaupun hanya 22 orang yang mau mengusahakan secara organik sudah terlihat adanya dampak positif yang ditimbulkan dari pertanian organik bahwa secara finansial lebih banyak mendapatkan keuntungan dibandingkan bila mengusahakan secara non organik, walaupun dengan produksi yang lebih sedikit karena cabai organik harganya lebih mahal. Dampak positif lainnya adalah dapat memperbaiki dan mempertahankan keadaan alam disekitar desa tersebut, karena banyaknya kerusakan alam yang diakibatkan penggunaan bahan- bahan kimia terhadap tanaman lainnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa adanya keinginan masyarakat untuk kembali ke alam atau back to nature dengan mengkonsumsi bahan makanan yang bebas bahan kimia, sehingga perlu adanya penelitian untuk menganalisis mengenai produk- produk pertanian organik untuk melihat tingkat pendapatan usahatani cabai merah organik sehingga dapat diketahui juga tingkat produktivitas dan biaya produksi yang dikeluarkan sebagai bandingan dengan pertanian non organik, sehingga hasil analisis tersebut bisa dijadikan bahan masukan untuk para petani yang mengusahakan komoditas yang sama. Maka rumusan untuk penelitian ini bila dilihat dari permasalahan yang ada, yaitu : 1. Bagaimana keragaan usahatani cabai organik Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” di Desa Tugu Utara? 2. Bagaimana tingkat pendapatan usahatani petani cabai organik bila dibandingkan dengan petani cabai non organik pada Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” di Desa Tugu Utara?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasakan permasalahan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis keragaan usahatani cabai organik di Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” Desa Tugu Utara. 2. Menganilisis tingkat pendapatan dari kegiatan usahatani cabai, baik organik maupun non organik di Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” Desa Tugu Utara.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pertanian Non Organik (Konvensional) Pertanian non organik atau biasa disebut pertanian konvensional merupakan sistem pertanian yang menggunakan faktor- faktor pendukung pada saat produksinya, yang biasanya terbuat dari bahan- bahan kimia, seperti pupuk kimia, pestisida, dan bahan- bahan lainnya yang dapat mendapatkan hasil yang tinggi, baik, dan menarik untuk konsumen. Sistem pertanian yang seperti ini telah ada dari tahun 1960-an, sebagai pilihan kondisi saat itu dimana Indonesia mengalami kekurangan pangan akibat situasi ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan ditambah dengan adanya ledakan penduduk yang luar biasa. Sejak saat itulah terjadi perubahan besar-besaran di tingkat petani dan lingkungannya, dimana saat itu petani yang tidak pernah menggunakan benih hybrida, pupuk kimia dan pestisida, dipaksa menggunakannya. Lahan yang biasa diolah dengan menggunakan ternak, dipaksa diolah dengan traktor dan mesin lainnya. Waduk-waduk dibangun untuk mencukupi kebutuhan air sepanjang tahun. Infrastruktur desa seperti jalan, pasar, KUD juga dibangun untuk mempermudah penjualan produk pertanian mereka serta dalam rangka penyaluran kredit. Kerusakan-kerusakan struktur tanah, polusi air, pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk dan pestisida buatan pabrik menghasilkan produkproduk pertaniannya mengandung racun. Kesehatan manusia (konsumen) terancam. Berbagai penyakit yang ditengarai sebagai akibat penggunaan pupuk dan pestisida pabrik adalah munculnya penyakit-penyakit baru yang dulu tidak
ada, misalnya kanker, bayi lahir mati (infant mortality) atau lahir cacat, dan sebagainya. Kenyataan ini memicu kesadaran orang untuk mencari alternatif pangan yang lebih sehat.
2.2 Pertanian Organik 2.2.1 Definisi Pertanian Organik Pertanian
organik
merupakan
sistem pertanian
yang
mendorong
terbentuknya tanah, tanaman, dan hewan yang sehat dengan melakukan praktekpraktek budidaya seperti daur ulang hara pada bahan bakar organik, rotasi tanaman, pengolahan tanah yang tepat, serta menghindarkan bahan kimia, baik berupa pupuk maupun pestisida. Sistem pertanian organik ini berpijak pada kesuburan tanah sebagai kunci keberhasilan produksi dengan memperhatikan kemampuan alami dari tanah, tanaman, dan hewan untuk menghasilkan kualitas yang baik bagi hasil pertanian maupun lingkungan (Dirjen Bina Produksi Hortikultura, 2001). United States Departement of Agriculture (USDA) dalam Dirjen Bina Produksi Hortikultura, 2001 mendefinisikan pertanian organik sebagai sistem produksi yang menghindarkan penggunaan senyawa- senyawa sintetik pupuk, pestisida, zat pengatur tumbuh, bahan aktif dan pakan ternak. Sistem pertanian organik tergantung kepada rotasi tanaman, residu tanaman, pupuk kandang, pupuk hijau, limbah organik, di luar pertanian dan aspek- aspek pengendalian hama secara biologis untuk memelihara produktivitas dan pengolahan tanah, menyediakan hara tanaman dan mengendalikan serangga, gulma, organisme pengganggu tanaman lain.
Pracaya (2006) mendefinisikan pertanian organik sebagai sistem pertanian (dalam hal bercocok tanam) yang tidak mempergunakan bahan kimia, tetapi menggunakan bahan organik. Bahan kimia tersebut dapat berupa pupuk, pestisida, hormon pertumbuhan dan lain sebagainya. Prinsip pertanian organik yaitu berteman akrab dengan lingkungan, tidak mencemarkan dan merusak lingkungan hidup. Pengusaha Agribisnis terkenal di Indonesia, Bob Sadino (2005) mengatakan pertanian organik sebagai pembaruan dari sistem budidaya pertanian konvensional yang berpihak pada kelestarian lingkungan serta aspek kesehatan konsumennya. Gerakan pembaruan ini berawal dari keprihatinan dalam menyikapi dampak negatif revolusi hijau. Masukan teknologi dalam budidaya pertanian seperti kimia pertanian, pupuk buatan, mekanisasi dan system budidaya monokultur yang dilakukan secara kurang berhati- hati telah mengakibatkan penurunan kualitas dan daya dukung alam untuk budidaya pertanian yang berkelanjutan.
2.2.2 Prinsip dan Tujuan Pertanian Organik Sutanto (2002) menyebutkan tujuan jangka panjang yang akan dicapai melalui pengembangan pertanian organik adalah sebagai berikut : 1. Melindungi dan melestarikan keragaman hayati serta fungsi keragaman dalam bidang pertanian. 2. Memasyarakatkan kembali budidaya organik yang sangat bermanfaat dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas lahan sehingga menunjang kegiatan budidaya pertanian yang berkelanjutan.
3. Membatasi terjadinya pencemaran lingkungan hidup akibat residu pestisida dan pupuk, serta bahan kimia pertanian lainnya. 4. Mengurangi ketergantungan petani terhadap masukan dari luar yang berharga mahal dan menyebabkan pencemaran lingkungan. 5. Meningkatkan usaha konservasi tanah dan air serta mengurangi masalah erosi akibat pengolahan tanah yang intensif. 6. Mengembangkan dan mendorong kembali menculnya teknologi pertanian organik yang telah dimiliki petani secara turun- temurun, dan merangsang kegiatan penelitian pertanian organik oleh lembaga penelitian dan universitas. 7. Membantu
meningkatkan
kesehatan
masyarakat
dengan
cara
menyediakan produk- produk pertanian bebas pestisida, residu pupuk, dan bahan kimia pertanian lainnya. 8. Meningkatkan peluang pasar produk organik, baik domestik maupun global dengan jalan menjalin kemitraan antara petani dan pengusaha yang bergerak dalam bidang pertanian. International Federation Organic Agriculture Movement (1990) dalam Sutanto (2002) mempunyai prinsip- prinsip yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan pertanian organik, antara lain : 1. Melalui pertanian organik dihasilkan makanan dengan kualitas nutrisi yang tinggi dan dalam jumlah yang cukup. 2. Melaksanakan interaksi yang bersifat sinergisme dengan sistem daur ulang alami yang mendukung semua bentuk kehidupan yang ada.
3. Mendorong dan meningkatkan daur ulang dalam sistem usahatani dengan mengaktifkan kehidupan biologi (flora dan fauna), tanaman dan hewan. 4. Memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah secara keseluruhan. 5. Memanfaatkan sumber daya terbarukan (renewable resources) yang berasal dari sistem usahatani itu tersendiri. 6. Memanfaatkan barang- barang yang bisa didaur ulang, baik dari dalam maupun di luar usahatani. 7. Menciptakan keadaan yang memungkinkan ternak melaksanakan gatra dasar sesuai dengan habitatnya. 8. Membatasi terjadinya bentuk pencemaran akibat kegiatan pertanian. 9. Mempertahankan keanekaragaan hayati, termasuk pelestarian habitat tanaman dan hewan. 10. Memberikan jaminan pada produsen (petani) sesuai hak asasi manusia dalam memenuhi kebutuhan dasar serta memperoleh penghasilan dan kepuasan dari pekerjaannya, termasuk lingkungan bekerja yang aman. 11. Mempertimbangkan dampak yang lebih luas kegiatan usahatani terhadap kondisi lingkungan fisik dan sosial.
2.3 Definisi Sayuran Tanaman sayur dapat berbentuk perdu, rumput, semak, atau pohon. Bentuk pertumbuhannya tegak pendek, menjulang, atau menjalar dengan hasil berupa umbi, bunga, buah atau biji. Tanaman sayur dapat berperan penting dalam kehidupan sehari- hari. Awalnya tanaman sayuran ini dikenal sebagai tanaman
perkebunan rakyat, namun sekarang lebih dikenal dengan nama hortikultura (Sunarjono, 2006).
2.3.1 Karakteristik Cabai Merah (Capisicum annum L. var longum L. Sendt) Cabai atau lombok adalah tanaman semusim berbentuk perdu. Tanaman ini berakar tunggang dengan banyak akar samping yang dangkal. Batangnya tidak berbulu, tetapi banyak cabang. Daunnya panjang dengan ujung runcing (oblongus acutus). Cabai berbunga sempurna dengan benang sarinya tidak berlekatan (lepas). Umumnya bunga berwarna putih, namun ada pula yang ungu dan bunga cabai berbentuk terompet kecil. Buah yang masih muda berwarna hijau, tetapi ada pula yang putih kekuningan. Buah tua umumnya berwarna merah atau kuning. Banyak biji di dalam ruangan buah, daging buahnya berupa keping- keping tidak berair. Biji tersebut melekat pada placenta. Buah cabai mengandung zat capsicin yang pedas dan merangsang. Cabai mengandung minyak atheris yang memberi rasa pedas dan panas. Selain itu, buah cabai banyak mengandung vitamin A dan vitamin C. Ada dua golongan tanaman cabai yang terkenal yaitu cabai besar (Capisicum annuum L.) dan cabai kecil (Capisicum frutescens L.). Jenis cabai yang termasuk ke dalam golongan cabai besar adalah cabai merah (Capisicum annum L. var longum L. Sendt). Cabai tersebut buahnya panjang dengan ujungnya runcing dan posisinya menggantung pada ketiak daun. Ketika muda warna buahnya hijau, setelah tua berubah menjadi merah.
2.3.2 Budidaya Tanaman Cabai Merah Non Organik Cabai dapat dengan mudah ditanam, baik di dataran rendah maupun dataran tinggi. Syarat agar tanaman cabai tumbuh baik adalah tanah berhumus (subur), gembur, bersarang, dan pH tanahnya antara 5-6. Tanaman cabai tidak tahan hujan, terutama pada waktu berbunga, karena bunga- bunganya akan mudah gugur. Jika tanahnya kebanyakan air atau becek, tanaman mudah terserang penyakit layu. Oleh karena itu, waktu tanam cabai yang baik ialah pada awal musim kemarau. Namun cabai juga dapat ditanam pada saat musim penghujan asalkan drainasenya baik. 1. Cara Tanam Cabai dikembangbiakkan dengan biji yang diambil dari buah tua atau yang berwarna merah. Biji tersebut disemaikan terlebih dahulu. Tanah persemaian ini sebaiknya dicampur dengan pupuk kandang supaya bibitnya lekas besar. Biji akan tumbuh setelah empat sampai tujuh hari kemudian. Untuk lahan seluas 1 hektar diperlukan 500 gram biji dengan daya kecambah 75 persen. Sebelum ditanam, tanah yang akan ditanami cabai dicangkul dan diberi pupuk kandang. Pupuk kandang ini sebaiknya diletakkan di dalam lubang kecil yang dibuat lurus dengan jarak antar lubang 50-60 cm dan jarak antar baris 60-70 cm, tergantung kepada jenis yang akan ditanam. Setelah bibit berumur 1-1,5 bulan (kira-kira tingginya 10-15 cm), bibit dipindahkan ke lubang tersedia. Satu bulan setelah tanam, tanaman diberi pupuk buatan. Pupuk tersebut merupakan campuran urea, TSP, dan KCL dengan perbandingan 1: 2: 1 sebanyak 10 gram tiap tanaman. Oleh karena itu,
diperlukan 150 kg urea, 300 kg TSP dan 150 kg KCL. Pada tanah tandus, pupuk urea dapat diberikan sampai 200 kg per hektar. Pupuk buatan ini diberikan di sekeliling tanaman sejauh 5 cm dari batangnya. Saat tanaman berumur dua bulan sebaiknya diberi urea susulan 150 kg/ ha. 2. Pemeliharaan Tanaman Pemeliharaan tanaman cabai tidak terlalu sulit, dengan cara membersihkan rumput pengganggu, menjaga ketersediaan air, dan memberantas hama serta penyakit. Hama yang sering menyerang tanaman cabai ialah lalat buah (Dacus ferrugineus), kutu daun (Myzus persicae), dan tungu merah (Tetranycus sp.). Lalat buah merusak dengan menusuk buah cabai hingga berguguran. Pemberantasan hama ini dengan penyemprotan Kelthane 0,10,2%. Penyakit yang sering mengancam tanaman cabai adalah penyakit busuk buah. Penyakit ini disebabkan cendawan Collectrichum nigrum. Cendawan Oeidium sp. menyebabkan penyakit gugur daun, sedangkan cendawan Phytophthora capsici penyebab terjadinya penyakit busuk daun. Penyakit busuk daun dan busuk buah tersebut dapat dicegah dengan disemprotkan Dithane M-45 atau Anthracol 0,2%. Penyakit utama yang sering menggagalkan tanaman cabai besar ialah penyakit yang disebabkan virus daun keriting (TMV). Virus TMV ditularkan kutu daun. Virus tersebut merusak daun muda sehingga menjadi keriting atau menggulung dan mengecil. Penyakit ini sampai kini belum dapat diberantas sehingga bila ada tanaman yang terserang lebih baik dicabut dan dibuang agar tidak menular ke tanaman yang lain.
3. Pemanenan Pemungutan buah pertama dapat dilakukan setelah tanaman berumur empat bulan. Tanaman yang baik dapat menghasilkan buah 4- 10 ton buah per hektar. Buah cabai mempunyai pasaran yang luas, baik dalam atau luar negeri. Dalam bentuk olahan (sambal atau tepung) telah dipasarkan sampai Eropa dan Amerika. Akan tetapi, harga cabai tidak stabil. Harga dapat berkisar antara Rp.1.000,- sampai Rp.15.000,- per kilogram tergantung musim panen dan hari besar.
2.3.3 Budidaya Tanaman Cabai Merah Organik Cabai merupakan komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan dapat tumbuh di berbagai jenis tanah, dengan ketinggian tempat 1-1.200 mdpl. Masalah utama dalam budidaya cabai adalah tingginya serangan hama/ penyakit yang secara ekonomis dapat menurunkan produkitifitas, penggunaan pestisida kimia yang kurang bijaksana berdampak pada lingkungan dan tidak aman untuk dikonsumsi.
Untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia
diperlukan teknologi inovasi penggunaan pupuk dan pestisida organik. Budidaya cabai organik tidak terlepas dari penggunaan pupuk organik dan pestisida organik, untuk itu kondisi lahan harus diketahui agar produktifitas dari cabai yang diusahakan tidak menurun.
Permasalahan utama dalam pengembangan cabai
organik adalah memiliki produktifitas sedikit lebih rendah, penampilan fisik yang kurang prima/ kurang bagus dibanding dengan tanaman yang dibudidayakan secara kimia. Untuk menghasilkan penampilan fisik yang prima perlu dilakukan sortiran.
Keunggulan produk cabai organik adalah aman dikonsumsi, tidak mengandung residu pestisida dan zat kimia yang beracun, rasa lebih enak dan tidak cepat busuk. 1. Cara Tanam Pemilihan lahan dan lokasi untuk tanaman cabai organik harus bebas dari bahan kimia sintetis, dan bila lahan yang ditanami berasal dari lahan non organik maka harus dikonversi ke lahan organik secara bertahap dengan cara diberi pupuk organik (kompos atau pupuk kandang). Benih yang digunakan sebaiknya tidak berasal dari produk hasil rekayasa genetik, menggunakan benih lokal atau produk cabai organik, untuk penyemaian juga dilakukan tanpa menggunakan bahan kimia. Agar tanaman tumbuh sehat, maka kesuburan tanah harus dijaga dengan selalu menambah bahan organik ke dalam tanah melalui pemberian pupuk alami atau kompos/pupuk kandang yang telah difermentasi. Agar kandungan hara pupuk organik yang diberikan banyak mengandung unsur hara yang cukup bagi tanaman, maka bahan-bahan pembuat pupuk tersebut harus diperkaya dengan bahan tambahan yang banyak mengandung unsur hara makro dan mikro seperti tepung ikan, tepung tulang, tepung darah, dan lain- lain. Agar tanaman cabai yang ditanam secara organik tidak nampak kekurangan unsur hara, pemupukan tambahan juga perlu diberikan pada periode perkembangan tanaman dengan tujuan untuk mencegah tanaman tidak kekurangan hara, organik interval 10 hari.
pemupukan susulan dengan menggunakan PPC
2.
Pemeliharaan Tanaman Secara umum pemeliharaan meliputi penyiangan, pengendalian hama penyakit, pemasangan ajir atau bambu untuk menghindari robohnya tanaman cabai. Penyiangan dilakukan minimal dua kali per musim tanam yaitu menjelang dilakukan pemupukan susulan. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan konsep PHT dengan pestisida nabati dan hayati (Organem, Mitol, Trichoderma) dan pemasangan ajir pada setiap tanaman. 3. Panen dan Pasca Panen Tanaman cabai dapat dipanen bila buah berukuran penuh dengan kulit matang awal dan berwarna merah., dengan umur panen sekitar 90-100 hari setelah tanam. Pemetikan buah hendaknya dilakukan dengan mengikutkan tangkai buahnya. Bila tangkai buahnya tidak diikutkan, biasanya buahnya tidak bisa bertahan lama setelah dipetik. Saat panen sebaiknya sekaligus dipilih tanaman yang sehat untuk dijadikan induk penghasil benih pada penanaman berikutnya. Tanaman yang terpilih kemudian dipelihara buahnya sampai benar- benar tua, setelah tua buah tersebut dipetik, dijemur, dan bijinya disortir untuk mendapatkan biji yang sehat. Pada pemrosesan hasil panen harus diusahakan sedemikian rupa agar terhindar dari kontaminasi dengan bahan kimia sintetis, untuk itu perlakuan penyimpanan harus diperhatikan dan diusahakan setelah cabai dipanen, disortir dan dikemas dengan baik.
2.4 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai Analisis Usahatani Cabai Organik belum pernah dilakukan sebagai topik penelitian di IPB. Tetapi, sebelumnya telah ada beberapa penelitian mengenai analisis usahatani sayuran, baik organik maupun non organik, diantaranya yang pernah dilakukan oleh Nurliah (2002), dengan judul Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Cabai Merah Keriting di Desa Sindangmekar, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut. Hasil pennelitian diperoleh bahwa hasil produksi cabai merah keriting petani dalam satu musim tanam untuk luasan satu hektar sebesar 10.714,3 kg, harga jual rata- rata yang terjadi di tingkat petani sebesar Rp. 3.000 sehingga total penerimaan sebesar Rp. 32.142.900. Biaya tunai terbesar yang dikeluarkan adalah untuk tenaga kerja luar keluarga sebesar Rp. 4.032.480 atau sebesar 26,86%. Biaya tunai terbesar kedua adalah pestisida sebesar Rp. 3.375.710 atau sebesar 22,49%. Selain biaya tunai, dihitung pula biaya yang diperhitungkan yang terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat dan sewa tanah. Petani memperoleh pendapatan atas biaya total sebesar Rp. 17.131.413 per hektar dengan R/C yang diperoleh sebesar 2,14. Sedangkan saluran pemasaran yang ada di Desa Sindangmekar berjumlah empat saluran. Saluran pemasaran ini melibatkan beberapa lembaga pemasaran yang meliputi pedagang pengumpul, pedagang grosir, dan pedagang pengecer. Penelitian lain dilakukan oleh Ramadhan (2004) dengan judul Analisis Pendapatan Usahatani Sayuran di Lahan Tidur (Studi Kasus di Kelurahan Ancol, Jakarta Utara). Hasil analisis pendapatan usahatani diperoleh penerimaan petani setiap tahun sebesar Rp. 10.488.000,- per ha atau Rp. 668.550,- per luas lahan rata-rata (637,5 m2) dengan biaya totalnya Rp.4.070.030,- per ha atau Rp.
343.820,- per luas lahan rata- rata. Produksi setiap jenis sayuran rata- rata per ha/ tahun adalah 2.356 kg bayam, 2.337 kg kangkung, dan 2.299 kg sawi hijau. Pendapatan atas biaya tunai adalah sebesar Rp. 7.374.000,- per ha/ tahun, sehingga pendapatan bersih petani setelah dikurangi biaya yang diperhitungkan per tahun mencapai Rp 6.417.970,- per ha atau Rp. 324.720,- per luas lahan ratarata. R/C ratio atas biaya total untuk satuan ha/ tahun adalah 2,57 dan untuk satuan per luas rata- rata/ tahun diperoleh 1,94. Ini menunjukkan bahwa usahatani dengan memanfaatkan lahan tidur di Kelurahan Ancol layak untuk terus dijalankan. Pendapatan yang diperoleh petani hanya memberikan kontribusi ratarata 11 persen dari total pendapatan rumah tangga mereka. Selanjutnya penelitian yang pernah dilakukan oleh Ningsih (2005) dengan judul Analisis Usahatani Hidroponik Paprika di Desa Pasir Langu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa besar penyerapan tenaga kerja usahatani hidroponik paprika jika dihitung hari kerja selama satu musim tanam 240 hari yaitu Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) untuk petani golongan I (yang memiliki luas lahan <1.900 m2) adalah 202,9 HOK, sedangkan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) sekitar 65,5 HOK. Petani golongan II (yang memiliki luas lahan >1.900 m2) membutuhkan TKDK sekitar 180,2 HOK dan TKLK 85,5 HOK per musim tanam. Untuk setiap tanaman, pekerja tetap paprika dibayar sebesar Rp 100,- sampai Rp 150,- per tanaman dan gaji dibayarkan setiap bulan. Pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total yang dihasilkan usahatani paprika hidroponik golongan I adalah lebih besar daripada petani golongan II. Petani golongan I memiliki pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp. 11.753.567,90 dan pendapatan atas biaya totalnya sebesar
Rp. 8.612.819,20 per musim tanam, sedangkan besarnya pendapatan atas biaya tunai dan biaya total untuk golongan II adalah Rp 10.546.489,50 dan Rp 7.913.911,90 selama satu musim tanam. Dari perhitungan, diperoleh nilai rasio R/C atas biaya tunai petani paprika golongan I adalah sebesar 2,7, sedangkan petani golongan II memiliki nila rasio R/C atas biaya tunai sebesar 2,4. Rasio R/C atas biaya total untuk petani paprika golongan I adalah 1,9, sedangkan petani paprika golongan II memiiliki nilai rasio R/C atas biaya tunai sebesar 1,7. Iryanti (2005), melakukan penelitian dengan judul Analisis Usahatani Komoditas Tomat Organik dan Anorganik (Studi Kasus: Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Bogor). Dari analisis ini diperoleh bahwa sistem usahatani tomat organik yang dilakukan oleh petani di Desa Batulayang secara umum sama dengan sistem usahatani tomat secara konvensional/ anorganik. Perbedaan yang terdapat dalam usahatani tomat secara organik dan anorganik adalah tidak adanya penggunaan pupuk kimia dalam sistem usahatani organik. Rata- rata produksi tomat yang dihasilkan petani organik untuk luasan rata- rata lahan 0,18 ha sebanyak 4.589,24 kg dan untuk 1 ha yaitu sebanyak 25.495,75 kg, sedangkan produksi tomat yang dihasilkan petani anorganik untuk luasan rata- rata lahan 0,15 ha sebanyak 4.515,95 kg dan untuk 1 ha yaitu sebanyak 30.106,33 kg. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kimia dapat mempengaruhi produksi tomat. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa petani yang berusahatani tomat secara organik memperoleh pendapatan atas biaya tunai pada luasan lahan 0,18 ha sebesar Rp. 6.280.275,85 sedangkan pada luasan lahan 1 ha pendapatan atas biaya tunai sebesar Rp. 34.890.421,39. Pendapatan atas biaya total yang diperoleh pada luasan lahan 0,18 ha untuk tomat organik sebesar Rp. 5.728.221,46
sedangkan pendapatan total pada luas lahan 1 ha sebesar Rp. 31.823.452,55. Pendapatan atas biaya tunai yang diperoleh dari tomat anorganik untuk lahan 0,15 dan 1 ha masing-masing adalah Rp. 4.083.678,56 dan Rp. 27.224.490,96 sedangkan pendapatan atas biaya total yang diperoleh pada lahan 0,5 dan 1 ha masing-masing adalah Rp. 3.579.549,60 dan Rp. 23.863.631,23. Khairina (2006), juga melakukan penelitian mengenai Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Wortel dengan Budidaya Organik (Studi Kasus: Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Bogor), dengan hasil bahwa analisis pendapatan terbesar, baik atas biaya tunai maupun atas biaya total diterima oleh petani wortel organik sebesar Rp.8.577.806,08 per hektar dan Rp.6.715.338,37 per hektar. Besarnya nilai perbandingan R/C petani wortel organik atas biaya total dan biaya tunai adalah 2,28 dan 3,53. Artinya setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan oleh petani wortel organik menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2,28 untuk biaya total yang dikeluarkan dan Rp 3,53,- untuk biaya tunai yang dikeluarkan. Sedangkan nilai perbandingan R/C atas biaya total dan R/C atas biaya tunai petani wortel konvensional adalah 1,70 dan 2,48. Dari nilai perbandingan R/C atas biaya tunai dan biaya total petani responden wortel organik memiliki nilai perbandingan yang lebih tinggi dibandingkan petani wortel konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani wortel organik lebih menguntungkan dibandingkan usahatani wortel konvensional. Pada penelitian ini, dikarenakan tidak adanya pemasaran khusus untuk pemasaran wortel organik, maka pemasaran antara wortel organik dan wortel konvensional masih tergabung dalam satu jalur pemasaran wortel pada umumnya. Harga yang berlaku antara komoditas wortel organik dan wortel konvensional sama tanpa ada perbedaan.
Dari adanya penelitian terdahulu, maka dapat dilihat bahwa terdapat persamaan
dan
perbedaan
penelitian
terdahulu
dengan
penelitian
ini.
Persamaannya adalah sama-sama menganalisis tentang pendapatan yang dihasilkan oleh petani, baik pada komoditas cabai ataupun komoditas lainnya seperti tomat dan wortel yang juga dibudidayakan secara organik. Dari studi terdahulu, hasil analisis menggambarkan bahwa pendapatan petani organik lebih menguntungkan dibandingkan dengan petani anorganik. Untuk perbedaanya yaitu lokasi penelitian yang berbeda, komoditi yang berbeda dan responden/ petani yang digunakan juga berbeda, sehingga hasil yang diharapkan juga berbeda dengan penelitian lainnya.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Konsep Usahatani Beberapa definisi mengenai ilmu usahatani sudah banyak dikemukakan oleh mereka yang melakukan analisis usahatani diantaranya yang dikemukakan oleh Soeharjo dan Patong (1973), yaitu usahatani adalah kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa komponen dalam usahatani tersebut terdiri dari alam, tenaga kerja, modal dan manajemen atau pengelolaan (organisasi). Alam, tenaga kerja dan modal merupakan unsur usahatani yang mempunyai bentuk, sedangkan pengelolaan tidak, tetapi keberadaannya dalam proses produksi dapat dirasakan. Hernanto (1996) berpendapat bahwa keadaan usahatani yang satu dengan yang lain berbeda dari segi luas, kesuburan, tanaman yang ditanam serta hasilnya. Setiap bagian lahan berbeda kemampuan dan variasinya. Hal ini membuat usahatani yang ada di atasnya juga bervariasi. Demikian juga manusia yang beragam
menyebabkan
beragam
juga
putusan
yang
ditetapkan
untuk
usahataninya. Secara umum beragamnya usahatani dipengaruhi oleh aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik yang ada di lingkungan usahataninya.
Terdapat beberapa definisi usahatani yang diambil dari buku Suratiyah (2006), yaitu : 1. Menurut Daniel, ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari cara- cara petani mengkombinasikan dan mengoperasikan berbagai faktor produksi
seperti lahan, tenaga, dan modal sebagai dasar bagaimana petani memilih jenis dan besarnya cabang usahatani berupa tanaman atau ternak sehingga memberikan hasil maksimal dan kontinyu. 2. Menurut Efferson, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari caracara mengorganisasikan dan mengoperasikan unit usahatani dipandang dari sudut efisiensi dan pendapatan yang kontinyu. 3. Menurut Vink (1984), ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari norma- norma yang digunakan untuk mengatur
usahatani agar
memperoleh pendapatan yang setinggi- tingginya. 4. Menurut Prawirokusumo (1990), ilmu usahatani adalah ilmu terapan yang membahas atau mempelajari bagaimana membuat atau menggunakan sumberdaya secara efisien pada suatu usaha pertanian, peternakan, atau perikanan. Selain itu, juga dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana membuat dan melaksanakan keputusan pada usaha pertanian, peternakan atau perikanan untuk mencapai tujuan yang telah disepakati oleh petani/ peternak tersebut. Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan melalui produksi pertanian yang berlebih maka diharapkan memperoleh pendapatan tinggi. Dengan demikian harus dimulai dengan perencanaan untuk menentukan dan mengkoordinasikan penggunaan faktor- faktor produksi pada waktu yang akan datang secara efisien sehingga dapat diperoleh pendapatan yang maksimal. Faktor- faktor yang bekerja dalam usahatani adalah faktor alam, tenaga kerja dan modal. Alam merupakan faktor yang sangat menentukan usahatani. Yang termasuk dalam faktor alam dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor tanah dan
lingkungan alam sekitarnya. Faktor tanah misalnya jenis tanah dan kesuburannya. Faktor alam sekitar yakni iklim yang berkaitan dengan ketersediaan air, suhu dan lain sebagainya. (Suratiyah, 2006) Tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usahatani yang sangat tergantung dengan musim. Kelangkaan tenaga kerja berakibat mundurnya penanaman sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produktivitas, dan kualitas produk. Tenaga kerja dalam usahatani memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan tenaga kerja dalam usaha bidang lain yang bukan pertanian. Karakteristik tenaga kerja bidang usahatani menurut Tohir (1983) adalah sebagai berikut : 1. Keperluan akan tenaga kerja dalam usahatani tidak kontinyu dan tidak merata. 2. Penyerapan tenaga kerja dalam usahatani sangat terbatas. 3. Tidak mudah distandarkan, dirasionalkan, dan dispesialisasikan. 4. Beraneka ragam coraknya dan kadang kala tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Modal adalah syarat mutlak berlangsungnya suatu usaha, demikian pula dengan usahatani. Menurut Vink dalam Suratiyah (2006) benda- benda termasuk tanah yang dapat mendatangkan pendapatan dianggap sebagi modal. Dalam pengertian ekonomi, modal adalah barang atau uang yang bersamasama dengan faktor produksi lain dan tenaga kerja serta pengelolaan menghasilkan barang- barang baru, yaitu produksi pertanian. Pada usahatani yang dimaksud dengan modal adalah (Hernanto, 1996) : 1. Tanah
2. Bangunan- bangunan (gudang, kandang, pabrik, dan lain-lain) 3. Alat- alat pertanian (traktor, sprayer, cangkul, parang, dan lai-lain) 4. Tanaman, ternak dan ikan di kolam 5. Bahan- bahan pertanian (pupuk, bibit, obat- obatan) 6. Piutang di bank 7. Uang tunai. 3.1.2 Penerimaan Usahatani Menurut Soekartawi dkk (1986), penerimaan usahatani adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Penerimaan cabang usaha adalah jumlah salah satu produk usahatani dalam jangka waktu tertentu. Penerimaan ini mencakup produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan dalam usahatani untuk bibit, digunakan pembayaran, dan yang disimpan. Penerimaan ini dinilai berdasarkan perkalian antara total produksi dengan harga pasar yang berlaku.
Soeharjo dan Patong (1973) menyebutkan bahwa penerimaan usahatani berwujud tiga hal, yaitu : 1. Hasil penjualan tanaman, ternak, ikan atau produk yang akan dijual. Adakalanya yang dijual ialah hasil ternak, misalnya susu, daging dan telur. Adakalanya pula yang dijual adalah hasil dari pekarangan yaitu, pisang, kelapa, dan lain- lain. 2. Produk yang dikonsumsi pengusaha dan keluarganya selama melakukan kegiatan.
3. Kenaikan nilai inventaris. Nilai benda- benda inventaris yang dimiliki petani, berubah- ubah setiap tahun. Dengan demikian akan ada perhitungan. Jika terjadi kenaikan nilai benda- benda inventaris yang dimiliki petani, maka selisih nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun perhitungan merupakan penerimaan usahatani. 3.1.3 Pendapatan Usahatani Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Analisis pendapatan usahatani mempunyai kegunaan bagi petani maupun bagi pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang suatu kegiatan usaha, dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Bagi seorang petani analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau tidak. Pendapatan cabang usaha adalah selisih antara penerimaan cabang usaha yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Pendapatan usahatani akan berbeda untuk setiap petani, dimana perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan faktor produksi, tingkat produksi yang dihasilkan dan harga jual yang tidak sama hasilnya. Untuk mengukur pendapatan beberapa perhitungan dapat digunakan. Pilihan bergantung pada tingkat perkembangan usahataninya. Ada usahatani yang menggunakan tenaga kerja dari keluarga sehingga lebih tepat jika pendapatan itu dihitung sebagai pendapatan yang berasal dari kerja keluarga. Dalam hal yang demikian, kerja keluarga tidak usah dihitung sebagai pengeluaran. Ada pula usahatani yang menggunakan tenaga kerja yang diupah. Dalam hal yang demikian, upah kerja dihitung sebagai pengeluaran.
Prinsip penting yang perlu diketahui dalam menganalisis mengenai pendapatan pada usahatani adalah keterangan mengenai keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran. Penerimaan didapat dari hasil perkalian antara berapa besar produksi yang dicapai dan dapat dijual dengan harga satuan komoditi tersebut di pasar. Pengeluaran usahatani dapat diperoleh dari perolehan nilai penggunaan faktor produksi serta seberapa besar penggunaanya pada suatu proses produksi yang bersangkutan (Soekartawi dkk, 1986). Salah satu ukuran efisiensi usahatani adalah rasio imbangan penerimaan dan biaya (Return and Cost). Alat analisis ini dapat dipakai untuk melihat keuntungan relatif dari suatu kegiatan usahatani berdasarkan perhitungan finansial. Yang menjadi titik perhatian di sini adalah unsur biaya yang merupakan unsur modal. Dalam analisis ini akan dikaji seberapa jauh setiap nilai rupiah biaya yang digunakan dalam kegiatan usahataninya dapat memberikan sejumlah nilai penerimaan sebagai manfaatnya (Soeharjo dan Patong, 1973). 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Tumbuhnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dan untuk hidup dengan makanan yang sehat sudah mulai tumbuh beberapa tahun terakhir. Hal ini disebabkan, banyaknya media yang memberitakan kasus-kasus makanan yang memiliki kandungan kimiawi yang berbahaya untuk tubuh manusia, bahkan banyak yang menyebabkan kematian. Mulai tahun 2010 pemerintah Indonesia mencanangkan gerakan “Go Organic” dimana program ini bisa mengajak masyarakat Indonesia untuk kembali hidup sehat dan kembali sadar lingkungan, sebab dari tahun ke tahun semakin banyak penyakit yang ditimbulkan oleh manusia sendiri, yaitu dari makanan yang
mengandung bahan-bahan berbahaya, misalnya formalin, bahan pewarna, dan pengawet. Oleh karena itu, beberapa tahun belakangan permintaan terhadap produk-produk organik mulai dilirik baik dari konsumen maupun produsen (petani), walaupun biasanya yang mengkonsumsi produk organik hanya masyarakat ekonomi menengah keatas. Melalui budidaya organik diharapkan dapat terus menjaga kelestarian lingkungan, seperti dari polusi udara akibat terlalu banyak menggunakan pestisida, juga dapat memutus rantai ekosistem di sekitar kebun. Berusahatani secara organik juga diharapkan untuk petani dapat meningkatkan pendapatan mereka. Salah satu komoditi jenis sayuran yang dapat dibudidayakan secara organik adalah cabai merah. Cabai dengan budidaya organik merupakan salah satu komoditas yang sangat potensial untuk dikembangkan, karena cabai juga merupakan salah satu sayuran buah yang digemari masyarakat Indonesia, bahkan sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi cabai, baik dalam bentuk segar maupun yang sudah diolah. Salah satu sentra produksi cabai dan sayuran organik di Propinsi Jawa Barat adalah di Desa Tugu Utara, tepatnya di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor, tetapi belum semua petani di desa ini berbudidaya secara organik. Dikembangkannya kembali pertanian organik di desa ini adalah untuk dapat memperbaiki keadaan alam/ lingkungan sekitar yang sudah mulai rusak karena pengaruh penggunaan bahan-bahan kimia yang terus-menerus. Harapan lain dari pengembangan secara organik adalah untuk dapat meningkatkan pendapatan para petani di desa tersebut. Walaupun telah lebih dari 10 tahun mengusahakan organik, petani di desa tersebut belum semuanya menggunakan sistem budidaya
organik. Dari keseluruhan jumlah petani yang menanam cabai sebanyak 57 orang hanya 38,60 persen saja yang menggunakan sistem organik untuk budidaya cabai merah. Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Metode ini digunakan untuk mengetahui tingkat pendapatan yang akan diperoleh petani non organik maupun petani organik. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat pendapatan petani ada dua komponen yang harus diketahui, yaitu keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran yang terjadi pada dua sistem usahatani tersebut. Setelah dihitung dengan metode ini maka akan diperoleh besarnya pendapatan yang diterima petani, sehingga terlihat sistem mana yang bisa mendatangkan keuntungan lebih besar sehingga pendapatan petani meningkat. Salah satu ukuran efisiensi usahatani adalah rasio imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio). Dalam analisis ini akan dikaji seberapa jauh setiap nilai rupiah yang dikeluarkan dalam kegiatan usahataninya dapat memberikan sejumlah nilai dan penerimaan sebagai manfaatnya. Sehingga dapat diketahui sistem pertanian mana yang lebih efisien antara pertanian organik dan non organik. Dari hasil analisis pendapatan dan efisiensi maka penelitian dapat dijadikan bahan masukan untuk para petani dalam membudidayaka cabai merah, baik dengan sistem organik maupun sistem non organik. Bagan Alur kerangka pemikiran dari usahatani cabai organik dan cabai non organik dapat dilihat pada Gambar 1.
• • • •
Tumbuhnya Kesadaran Masyarakat untuk Hidup Sehat. Meningkatnya Permintaan Atas Komoditas Organik Menjaga Kelestarian Lingkungan. Peningkatan Pendapatan Petani
• Belum Banyak Petani yang Menggunakan Sistem Usahatani Organik • Keraguan dari Petani Terhadap Sistem Organik
Petani Non Organik
Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Non Organik
Petani Organik
Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Organik
Peningkatan Pendapatan Petani
Gambar 1. Bagan Kerangka Pemikiran Operasional
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Bogor merupakan salah satu penghasil cabai di wilayah Jawa Barat. Pemilihan Kecamatan Cisarua disebabkan karena wilayah tersebut merupakan daerah dengan produktivitas cabai organik dan non organik cukup banyak di Kabupaten Bogor. Dari kecamatan tersebut dipilih Desa Tugu Utara dengan kelompok tani “Kaliwung Kalimuncar”, karena kelompok tani tersebut memiliki petani anggota yang membudidayakan cabai organik dengan jumlah yang cukup banyak juga. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga bulan November 2007.
4.2 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung dengan petani responden dibantu dengan panduan daftar pertanyaan dalam bentuk kuisioner. Pengumpulan data responden petani, baik petani cabai organik maupun petani cabai non organik menggunakan kuisioner seperti yang ditampilkan pada Lampiran 1. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Pertanian Jakarta, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, Ditjen Bina Produksi Hortikultura Jakarta, penelitian sebelumnya dan literatur lainnya.
4.3 Metode Penarikan Contoh
Pengambilan responden untuk petani dipilih secara sengaja (purposive sampling), karena jumlah petani yang sangat terbatas. Adapun petani yang dipilih adalah petani yang memproduksi cabai, baik organik dan non organik. Jumlah petani anggota kelompok tani “Kaliwung Kalimuncar” adalah 120 orang dan terbagi dalam 4 sub kelompok tani. Sedangkan jumlah petani yang mengusahakan budidaya cabai secara organik sebanyak 22 orang petani dan sebanyak 35 orang petani yang mengusahakan cabai secara non organik.
4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang digunakan adalah data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan analisis pendapatan usahatani. Data kualitatif dianalisis secara deskriptif yaitu untuk analisis keragaan usahatani. Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini meliputi analisis keragaan usahatani dan analisis pendapatan usahatani dari komoditi cabai merah organik dan non organik.
4.4.1 Analisis Pendapatan Usahatani Pendapatan dalam penelitian ini akan dibedakan menjadi dua, pertama pendapatan atas biaya tunai (pendapatan tunai) yaitu biaya yang benar- benar dikeluarkan secara tunai oleh petani (explicit cost). Kedua, pendapatan atas biaya total (pendapatan total) dimana semua input milik keluarga juga diperhitungkan sebagai biaya. Secara umum pendapatan diperhitungkan sebagai penerimaan dikurangi dengan semua biaya yang telah dikeluarkan, baik biaya tunai maupun tidak tunai. Secara matematis tingkat pendapatan usahatani dapat ditulis sebagai berikut (Soekartawi, 2006) : I tunai = NP – BT
I total = NP – (BT + BD) Dimana : I tunai I total NP BT BD
= Pendapatan tunai = Pendapatan total = Nilai Produksi (jumlah produk x harga output) (Rp) = Biaya Tunai (Rp) = Biaya Diperhitungkan (Rp)
Biaya tunai terdiri dari sarana produksi, tenaga kerja luar keluarga, dan pajak lahan. Biaya yang diperhitungkan meliputi sewa lahan, penyusutan alat, dan tenaga kerja dalam keluarga, serta biaya bibit sendiri. Biaya penyusutan alat- alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya modal pakai. Metode yang digunakan ini adalah metode garis lurus. Metode ini digunakan karena jumlah penyusutan
alat tiap tahunnya dianggap sama dan
diasumsikan tidak laku bila dijual. Rumus yang digunakan yaitu (Soekartawi, 2006) : Biaya Penyusutan :
Nb – Ns n Dengan : Nb = Nilai pembelian (Rp) Ns = tafsiran nilai sisa (Rp) n = jangka usia ekonomis (Tahun) 4.4.4 Analisis Perbandingan Penerimaan dan Biaya (R/C-ratio) Analisis pendapatan usahatani selalu disertai dengan pengukuran efisiensi. Untuk mengukur efisiensi masing- masing usahatani terhadap setiap penggunaan satu satuan unit yang memberikan kelipatan atau ratio antara jumlah penerimaan dengan jumlah biaya yang merupakan perbandingan antara penerimaan kotor yang diterima usahatani dari setiap mata uang yang dikeluarkan dalam proses produksi. Perhitungan R/C ratio dapat dirumuskan sebagai berikut (Soekartawi, 2006) : Ratio R/C atas biaya tunai = Total Penerimaan Total Biaya Tunai
Jika nilai R/C > 1, maka penerimaan yang diperoleh lebih besar dari tiap unit biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh penerimaan tersebut dan usaha tersebut menguntungkan. Jika R/C < 1, berarti penerimaan yang diterima lebih kecil dari tiap unit yang dikeluarkan, maka usahatani tersebut tidak menguntungkan untuk dijalankan.
BAB V KERAGAAN USAHATANI CABAI MERAH ORGANIK
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. Jarak dari desa ke ibukota kecamatan adalah sejauh 3,5 km dan jarak ke ibukota kabupaten (Bogor) adalah sejauh 30 km yang dapat ditempuh selama 45 menit sampai 1 jam. Sarana transportasi untuk mencapai Desa Tugu Utara sudah sangat baik, baik dari fasilitas jalannya maupun kendaraan yang dapat digunakan untuk sampai di desa tersebut. Desa Tugu Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Cianjur di sebelah utara dan timur, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua. Berdasarkan tingkat perkembangannya, Desa Tugu Utara termasuk dalam kategori perkotaan dengan luas administrasi desa 1.728 ha dengan jumlah penduduk sebanyak 10.160 jiwa, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 5.361 jiwa (52,76%) dan jumlah perempuan sebanyak 4.799 jiwa (47,24%). Karakteristik geografis Desa Tugu Utara yaitu berada pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata- rata harian berkisar 26o C dengan banyaknya curah hujan 200 mm/ bulan. Dengan melihat kondisi yang demikian, Desa Tugu Utara merupakan lokasi yang cocok untuk mengembangkan tanaman sayuran khususnya tanaman cabai, baik yang dibudidayakan secara organik maupun yang bukan organik.
Tanaman cabai biasanya tumbuh pada daerah-daerah yang memiliki ketinggian berkisar dari 1--1.200 meter di atas permukaan laut. Temperatur optimum yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan cabai antara 15o - 27o C dengan kisaran suhu minimum 12o - 18o C, sedangkan tanah yang ideal untuk pertumbuhannya adalah tanah andosol, latosol, dan regosol dengan pH 5,56,8. Pemanfaatan lahan desa sebagian besar digunakan untuk areal perkebunan (47,45%), areal kehutanan (18,50%), jalur hijau (14,47%) dan lahan pertanian (12,20%). Sebagian lainnya digunakan untuk pemukiman dan fasilitas umum lainnya. Tabel 6 menunjukkan pemanfaatan lahan di Desa Tugu Utara secara keseluruhan. Tabel 6. Pemanfaatan Lahan Desa Tugu Utara Tahun 2006 Fungsi Lahan Luas Lahan (Ha) Persentase (%) Lahan Pertanian 210,8 12,20 Lahan Perkebunan 820,0 47,45 Lahan Kehutanan 320,0 18,50 Lahan Keperluan Fasilitas Umum : - Lapangan Olah Raga 1,5 0,09 - Taman Rekreasi 5,0 0,30 - Jalur Hijau 250,0 14,47 - Pemakaman Umum 2,7 0,16 Bangunan 118,0 6,83 Total 1.728 100 Sumber : Data Monografi Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, 2006. Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan di Desa Tugu Utara sebagian besar dipergunakan untuk penggunaan areal perkebunan, karena di Desa Tugu Utara ini terdapat satu perkebunan teh yaitu perkebunan “Ciliwung”. Desa Tugu Utara memiliki banyak areal kehutanan dan jalur hijau karena desa ini termasuk salah satu wilayah resapan air di Bogor, sehingga banyak lahan yang
dimanfaatkan sebagai jalur hijau dan dilindungi oleh Pemerintah, sehingga tidak ada pemberian izin untuk mendirikan bangunan dalam bentuk apapun. Sebagian kecil lahan lainnya digunakan untuk fasilitas umum dan bangunan, seperti pemukiman penduduk dan bangunan sekolah. Pemanfaatan lahan sebagai lahan pertanian masih sangat banyak digunakan oleh penduduk setempat, karena sebagian besar penduduk di Desa Tugu Utara memiliki mata pencaharian utama sebagai petani, sedangkan untuk pembangunan villa belum terlalu banyak.
5.2 Karakteristik Petani Cabai Merah Karakteristik petani yang akan diuraikan meliputi : usia dan pengalaman petani, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan dan luas lahan yang digarap. Karakteristik petani responden selengkapnya diuraikan sebagai berikut :
5.2.1 Usia dan Pengalaman Petani Responden Secara umum, rata- rata usia petani responden yang mengusahakan cabai merah dengan budidaya secara organik maupun secara non organik adalah antara 25 - 63 tahun. Sebaran umur petani ini dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu petani responden yang berusia muda dengan umur kurang dari 30 tahun, petani berusia sedang dengan umur 30 sampai 50 tahun, dan petani responden berusia tua dengan umur lebih dari 50 tahun. Jika dilihat dari sebaran umur petani responden, sebagian besar responden adalah petani yang usianya di atas 50 tahun (50%). Sebaran usia petani responden dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Umur pada Usahatani Cabai Merah Organik dan Non Organik di Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” Tahun 2007. Usia Responden < 30 tahun 30 - 50 tahun > 50 tahun Total
Organik Jumlah Persentase Responden (%) 3 13,63 8 36,37 11 50,00 22 100,00
Non Organik Jumlah Persentase Responden (%) 7 20,00 12 34,29 16 45,71 35 100,00
Menurut Nainggolan (2001) dalam Iryanti (2005) bahwa umur seseorang merupakan karakteristik individu yang dapat mempengaruhi fungsi biologis dan psikologis individu tersebut. Semakin muda umur petani diduga akan mempengaruhi kemampuan dan kemauan dalam mengadopsi inovasi. Para petani tersebut melakukan kegiatan usahatani sesuai dengan pengalaman dan pengetahuan sehingga tingkat adopsi mereka terhadap inovasi dan sistem yang baru tinggi. Berhubungan dengan usia petani responden yang mengusahakan budidaya cabai merah secara organik yang semakin tua maka pengalaman yang diperoleh petani tersebut semakin lama pula. Pengalaman petani responden pada usahatani cabai merah organik sudah cukup lama berkisar 5- 10 tahun. Responden yang memiliki pengalaman antara 5- 10 tahun sebanyak 12 orang petani (54,54%). Sedangkan untuk petani responden yang mengusahakan cabai merah secara non organik memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun sebanyak 2 orang petani responden (9,09%). Pengalaman petani yang mengusahakan tanaman cabai yang paling sedikit adalah kurang dari 5 tahun sebanyak 8 orang (36,36%) untuk petani organik dan sebanyak 7 orang petani non organik (20%). Sebaran petani responden menurut pengalaman dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Lama Bertani Petani Responden pada Usahatani Cabai Merah Organik dan Non Organik di Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” Tahun 2007 Organik Non Organik Lama Bertani Jumlah Persentase Jumlah Persentase Responden (%) Responden (%) <5 Tahun 8 36,36 7 20,00 5 – 10 Tahun 12 54,54 16 45,71 >10 Tahun 2 9,09 12 34,29 22 100,00 35 100 Total 5.2.2 Tingkat Pendidikan Petani Responden Tingkat pendidikan formal yang diperoleh petani memiliki pengaruh penting dalam memperoleh dan mengaplikasikan inovasi dan teknologi baru dalam usahatani yang dijalankan, mulai dari produksi, pemasaran, pengolahan, dan keuangan. Petani yang menjadi responden dalam penelitian ini memiliki pendidikan yang beragam. Pendidikan formal petani responden paling tinggi adalah tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak dua orang (9,10%) untuk petani yang mengusahakan secara organik, sedangkan untuk petani yang mengusahakan secara non organik yang menyelesaikan pendidikan SMA sebanyak 1 orang (2,86%). Petani responden kebanyakan hanya tamatan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 12 orang (54,55%) untuk petani cabai merah organik dan sebanyak 18 orang (51,43%) petani cabai merah non organik. Namun disamping itu masih juga ada petani yang tidak sekolah, baik dari petani organik maupun petani non organik. Hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden, menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak terlalu berpengaruh langsung terhadap kegiatan usahatani ini, karena pengetahuan yang mereka dapatkan berasal dari pengalaman bertani dan pengetahuan turun- temurun. Tingkat pendidikan formal petani responden dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan pada Usahatani Cabai Merah Organik dan Non Organik di Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” Tahun 2007 Organik Non Organik Tingkat Jumlah Persentase Jumlah Persentase Pendidikan Responden (%) Responden (%) Tidak Sekolah 3 13,63 7 20,00 Tamat SD 12 54,55 18 51,43 Tamat SMP 5 22,72 9 25,71 Tamat SMA 2 9,10 1 2,86 22 100,00 35 100,00 Total Menurut Soeharjo dan Patong (1973), tingkat pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi cara berpikir petani. Pendidikan yang relatif tinggi dan umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis. Faktor tingkat pendidikan di Desa Tugu Utara juga berpengaruh terhadap cepatnya mereka dalam mengadopsi inovasi baru. Walaupun hanya ada tiga orang yang berpendidikan hingga Menengah Atas , namun tiga orang tersebut dapat dengan mudah menerima dan mempengaruhi petani yang lain untuk menerima teknologi baru dalam hal ini teknologi pertanian organik. 5.2.3 Luas dan Status Pengelolaan Lahan Petani
responden
yang
mengusahakan
cabai
merah,
baik
yang
dibudidayakan secara organik maupun non organik pada Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” berstatus sebagai petani penggarap, karena lahan yang mereka garap bukan milik sendiri, tetapi milik orang lain. Petani tersebut diberi izin untuk mengolah lahannya untuk sesuatu yang bermanfaat, tanpa harus membayar uang sewa kepada pemilik. Luasan lahan yang biasa dikelola untuk lahan pertanian responden sangat beragam, namun sebagian besar mengelola pada lahan yang relatif sempit yaitu kurang dari 0,5 ha. Sebaran luas lahan yang
digunakan untuk usahatani cabai merah organik dan non organik dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Sebaran Petani Responden Berdasarkan Luasan Lahan di Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” Tahun 2007 Organik Non Organik Luasan Lahan Jumlah Persentase Jumlah Persentase (Ha) Responden (%) Responden (%) ≤ 0,4 9 40,91 30 85,71 0,4 – 0,6 11 50,00 4 11,43 0,6 – 1,0 2 9,09 1 2,86 22 100,00 35 100,00 Total Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat bahwa sebagian besar petani responden mengelola usahatani cabai merah organik pada lahan sempit, yaitu pada luasan antara 0,4 – 0,6 hektar (50%) dan terdapat 9 orang petani yang mengusahakan di lahan yang kurang dari 0,4 ha (40,91%). Petani non organik lebih banyak mengusahakan pada lahan kurang dari 0,4 ha sebanyak 30 orang (85,71%). Dengan luasan antara 0,4 - 0,6 ha biasanya petani menanami lahannya antara 10.000 - 15.000 pohon dengan hasil panen sebanyak 4.000-6.000 kg cabai merah organik sedangkan petani non organik dengan luasan 0,1 - 0,4 ha biasanya menanami sebanyak 2.500 – 10.000 pohon dengan hasil panen yang diperoleh sebanyak 1.500 - 6.000 kg. Menurut Hernanto (1989), pengaruh status kepemilikan lahan terutama lahan milik sendiri terhadap pengelolaan usahatani antara lain : a) Petani bebas mengelola lahan pertaniannya. b) Petani bebas merencanakan dan menentukan jenis tanaman yang akan ditanam. c) Petani bebas menggunakan teknologi dan cara budidaya. d) Petani bebas memperjualbelikan lahan yang dimilikinya.
e) Dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab petani terhadap apa yang dimilikinya.
5.3 Keragaan Usahatani Petani Responden Cabai Merah Organik Usahatani cabai merah organik di Desa Tugu Utara selama ini diusahakan oleh rakyat dan sudah sekitar 10 tahun yang lalu yaitu pada tahun 1995 mulai dikembangkannya usaha secara organik ini. Pembudidayaan secara organik di Desa Tugu Utara sampai sekarang belum mendapatkan sertifikat dari pemerintah, namun dalam pelaksanaannya usahatani ini dalam pengawasan pemerintah yaitu di bawah Dinas Pertanian Kabupaten Bogor. Petani organik desa ini mengenal sistem pertanian organik melalui penyuluhan dari Dinas Pertanian. Namun selain dari penyuluhan, para petani juga sebelumnya telah memiliki pengalaman mengenai pertanian organik, karena pada dasarnya pada awal mulai berusahatani sebagian besar petani tidak menggunakan bahan kimia. Faktor produksi yang umum digunakan dalam usahatani cabai merah, baik organik maupun non organik adalah benih atau bibit, pupuk kandang, pupuk kimia, obat- obatan dan tenaga kerja. Keragaan sistem pertanian organik di Desa Tugu Utara diuraikan sebagai berikut : 5.3.1 Pengolahan Lahan Dalam kegiatan pengolahan lahan, petani di Desa Tugu Utara menggunakan cangkul. Tanah dicangkul hingga gembur. Kedalaman cangkul antara 20- 30 cm, agar akar tanaman dapat dengan leluasa memperoleh zat hara yang ada di dalam tanah. Bila tanah sudah gembur bedengan dapat langsung dibuat. Bedengan dibuat setinggi 30- 40 cm, lebar bedengan ± 100 cm, serta jarak antar bedengan ± 40 cm dengan tujuan agar bisa dilalui oleh petani. Selain itu,
perlu dibuatkan saluran air sebagai tempat untuk penampungan atau pembuangan air yang berlebihan. Ini perlu dibuat agar pada waktu musim kering, air pada saluran penampungan tersebut dapat dimanfaatkan. Biasanya penanaman cabai di lahan tegalan dilakukan pada akhir musim hujan. Dalam pengolahan lahan atau persiapan lahan petani yang memiliki luasan rata-rata lahan 0,4 ha melakukan pengolahan lahan sendiri dan dibantu oleh 1 orang tenaga kerja dalam keluarga dan 1 orang tenaga kerja luar keluarga. Sedangkan petani yang memiliki lahan 1 ha mengolah lahannya dibantu oleh 6 orang tenaga kerja, terdiri dari 1 orang tenaga kerja dalam keluarga dan 5 orang tenaga kerja luar keluarga, dengan upah sebesar Rp. 20.000,- per orang per hari. Pengolahan lahan untuk lahan 1 ha menghabiskan waktu 10 hari dan pada lahan 0,4 ha dikerjakan selama 5 hari. Terdapat perbedaan lamanya hari pada saat pengolahan lahan untuk sistem non organik. Pada lahan 1 ha petani mengolah lahan selama 8 hari dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 6 orang dan pada lahan 0,2 ha yang dikerjakan selama 2 hari dilakukan oleh 4 orang tenaga kerja. 5.3.2 Pembenihan 5.3.2.1 Penyiapan Benih Penyiapan benih dilakukan pada bedengan yang dibuat khusus untuk pembenihan. Pada umumnya petani menyemai benih cabai dalam bedengan yang ukurannya bervariasi. Petani responden umumnya berpedoman bahwa untuk bedengan pembenihan cabai yang luasnya 2 m2 dapat membenihkan cabai seluas 1.000 m2, jadi ukuran dan banyaknya bedengan yang akan dibuat tergantung pada areal pertanaman yang dimiliki petani. Dengan demikian, kebutuhan benih ± 500 g/ha. Setiap meter persegi luas bedengan diberi 5- 10 kg pupuk kandang dan
kompos. Di atas bedengan diberi naungan yang tingginya sekitar 1 m di bagian barat dan 1,5 m di bagian timur. Bila umur calon bibit sudah 2 minggu, sebagian naungannya dibuang. Sisa naungannya dapat dibuang setelah umur calon bibit tersebut sudah 3 minggu. Pengadaan benih untuk budidaya cabai merah dilakukan sendiri oleh petani responden di Desa Tugu Utara. Petani mengambil biji atau benih dari buah tanaman induk. Tanaman induk harus berasal dari tanaman yang sehat dan buah yang baik. Tanaman cabai yang dijadikan induk pun perlu dipilih yang berjenis murni. Jenis murni artinya tanaman yang tidak berbaur dengan tanaman yang sama atau dari jenis lain. Selain harus berasal dari tanaman induk pilihan, buah cabai yang akan diambil bijinya harus berbentuk sempurna, tidak cacat, bebas hama penyakit, dan umurnya cukup tua. Menurut pengalaman petani setempat syarat lainnya adalah kelopak buahnya tidak pecah. Buah yang memenuhi syarat dipotong menjadi tiga bagian yang setiap bagiannya harus sama panjang antara 2- 3 cm. Biji untuk benih diambil dari potongan bagian tengah. Potongan bagian tengah ini umumnya memiliki biji yang lebih padat, lebih banyak, lebih besar, dan kemungkinan sudah mengalami penyerbukan sempurna. Potogan yang dipilih dibelah, kemudian bijinya dikeluarkan untuk dijemur sampai kering. Setelah biji cabai untuk benih diperoleh, tahap berikutnya melakukan seleksi biji untuk mendapatkan benih cabai yang baik. Seleksi ini bertujuan agar diperoleh benih cabai dengan daya tumbuh yang baik. Penyeleksian dilakukan dengan cara biji calon benih dimasukkan ke dalam ember atau bak berisi air dan diaduk- aduk. Dengan cara ini tampak adanya biji yang mengambang dan yang tenggelam. Biji yang
mengambang merupakan biji yang kurang baik untuk benih. Biji ini merupakan biji yang tidak berisi (kosong). Sebaliknya, biji yang tenggelam merupakan biji yang berisi. 5.3.2.2 Penyimpanan Benih Bila tidak langsung digunakan, benih yang terpilih dapat disimpan, dengan cara benih ditebarkan merata di atas tampah dan dikeringkan dengan cara dijemur, tetapi tidak langsung di bawah sinar matahari. Lamanya penjemuran ini tergantung dari cuaca saat itu. Bila hari panas, lamanya pengeringan 3 hari. Sebaliknya bila hari hujan, lamanya pengeringan dapat dilakukan hingga seminggu. Benih yang sudah kering dimasukkan ke dalam botol hingga ¾ tinggi botol, sedangkan ruang sisanya diisi abu pembakaran. Dengan cara ini benih dapat disimpan hingga 2- 3 bulan tanpa mempengaruhi daya tumbuhnya. 5.3.2.3 Penyemaian Benih Sebelum disemai, benih yang terpilih direndam selama 1- 2 jam ke dalam air hangat. Cara ini agar dapat mempercepat perkecambahan dan juga dapat membantu menghilangkan sisa- sisa bakteri dan cendawan yang bisa mengganggu. Setelah itu, benih dapat langsung ditebarkan ke persemaian. Penyemaian benih di bedengan cukup dengan menebarkan benih di atas tanah persemaian. Jarak tebaran antara 3- 6 cm. Setelah benih ditebarkan di bedengan, di atas benih tersebut ditaburkan pupuk kandang dan kompos. Benih yang ditebarkan harus dilindungi dari terpaan sinar matahari langsung ataupun air hujan. 5.3.2.4 Perawatan Semaian
Biasanya 1- 2 minggu setelah penebaran, benih sudah mulai bertunas. Untuk mendapatkan bibit yang siap tanam, tentunya semaian harus dirawat dengan baik. Semaian siap tanam setelah berusia sekitar dua minggu. Secara umum, perawatan yang dilakukan antara lain penyiraman serta pengendalian serangan hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore bila di bedengan penyemaian sangat panas. Bila udara dingin atau terjadi hujan, penyiraman dapat ditiadakan atau hanya sekali penyiraman saja yaitu pada pagi hari saja. Persemaian perlu dijaga dari kemungkinan serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit yang sering mengganggu persemaian antara lain semut, cacing dan jamur. Biasanya petani responden melakukan pengendalian hama dan penyakit dengan menggunakan pengobatan secara alami, yaitu menggunakan daun sirsak, daun surai, ataupun bisa juga dengan daun sereh. 5.3.4 Penanaman Secara umum budidaya cabai merah organik dilakukan secara polikultur atau tumpang sari dengan tanaman kol dan bisa juga dengan tanaman sawi putih. Dalam budidaya tanaman cabai organik ini hanya dilakukan dalam satu musim tanam, yaitu hanya satu tahun sekali sampai habis masa pertumbuhannya. Penanaman ini dilakukan pada bedengan- bedengan yang sudah disiapkan.
5.3.4.1 Penentuan Jarak Tanam Berdasarkan pengalaman petani responden jarak tanam yang lebar akan lebih baik untuk kesehatan tanaman. Jarak tanam yang umumnya digunakan petani responden adalah 60 cm x 60 cm. Dengan jarak tanam yang lebar, selain memberikan dampak positif terhadap kesehatan tanaman, juga dapat memberikan
keuntungan lain bagi tanaman, yaitu agar masing- masing tanaman tidak saling berebut makanan, tidak berebut air, dan dapat memperoleh sinar matahari atau cahaya yang cukup karena tanaman akan tidak saling menaungi. 5.3.4.2 Pembuatan Lubang Tanam Lubang tanam dibuat berdasarkan larikan tanaman. Umumnya setiap bedengan terdapat dua larikan. Pembuatan lubang tanam ini pun harus berdasarkan sistem penanaman. Petani responden di Desa Tugu Utara memakai pola tanam polikultur atau tumpang sari dengan tanaman kol ataupun sawi putih. Berikut pola tanam yang dilakukan petani dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Pola Tanam Cabai Merah Organik di Desa Tugu Utara
5.3.4.3 Penanaman Bibit Bibit yang siap tanam merupakan bibit yang sudah berumur 1- 1,5 bulan setelah penyemaian benih. Sebelum penanaman, polibag tempat pembibitan harus dibuang terlebih dahulu. Setelah itu, tanah dan bibitnya ditanam di lubang tanam yang sudah disiapkan sebelumnya. Saat pembuangan polibag perlu dijaga agar akar tanamannya tidak rusak. Untuk itu, perlakuan ini harus dilakukan dengan hati- hati, maka sebaiknya menurut para petani responden hal ini dilakukan di dekat lubang tanam agar bibitnya dapat langsung dimasukkan ke dalam lubang tanam.
Bila penanaman dilakukan dengan cara polikultur atau tumpang sari jumlah tanaman yang akan ditanam berkisar 2.000 - 6.000 tanaman pada luasan lahan 0,4 – 0,6 ha dengan jarak tanam 60 cm x 60 cm. Setelah tanaman dimasukkan ke dalam lubang tanam, tanah bekas galiannya dimasukkan menyusul ke dalam lubang tanam sambil diuruk hingga batas pangkal batang atau menutupi tanah bekas pembibitan. Selanjutnya bagian tanah di sekitar tanaman ditekantekan atau diinjak-injak yang arahnya ke bagian akar agar tanah menjadi sedikit lebih padat. Cara ini bertujuan agar tanaman tidak mudah goyang. Waktu penanaman sebaiknya dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.0009.00 atau sore hari setelah pukul 15.00. Setelah penanaman, penyiraman dapat langsung dilakukan. Pelindung tanaman juga diperlukan untuk tanaman cabai merah ini, fungsinya untuk melindungi tanaman agar tanaman tidak terkena sengatan sinar matahari secara langsung serta terhindar dari terpaan air hujan dan angin kencang. Para petani responden membuat pelindung atau naungan dari pelepah daun pisang kering ataupun daun kelapa. Pelindung ini cukup ditopang dengan tiang bambu kecil atau ranting kayu asalkan cukup kuat untuk menahan air hujan ataupun terpaan angin kencang. Agar kelembaban tanah terjaga, di atas tanah biasanya diberikan mulsa atau penutup tanah, dan petani responden biasanya mmenggunakan daun kering, rumput kering atau plastik perak sebagai mulsa. Bila penanamannya diatur secara berselang-seling dengan tanaman kol maka penanaman cabai dilakukan maksimal 30 hari setelah penanaman kol. Pada proses penanaman tenaga kerja yang lebih banyak digunakan adalah tenaga kerja wanita. Tenaga kerja wanita yang digunakan pada lahan 1 ha sebanyak 5 orang yang diambil dari luar keluarga dan 1 orang dari dalam
keluarga, sedangkan tenaga kerja pria yang digunakan sebanyak 1 orang yang diambil dari dalam keluarga. Tenaga kerja yang digunakan pada lahan 0,4 ha yaitu 2 orang wanita dari luar keluarga dan dari dalam keluarga masing-masing hanya 1 orang. Kegiatan penanaman ini menghabiskan waktu masing-masing untuk lahan 1 ha dan 0,4 ha yaitu selama 3 hari dan 2 hari. Perbedaan penggunaan tenaga kerja antara sistem organik dengan non organik hanya terletak pada lahan 0,2 ha. Untuk lahan 1 ha jumlah tenaga kerja dan waktu penanaman adalah sama dengan tanaman organik, sedangkan pada lahan 0,2 ha jumlah tenaga kerja yang digunakan sebanyak 4 orang, yang terdiri dari 1 orang tenaga kerja pria dari luar keluarga, 1 orang tenaga pria dari dalam keluarga dan 1 orang wanita dari dalam keluarga, dengan waktu pengerjaan selama 1 hari.
5.3.4.4 Pemupukan Tanaman Seminggu setelah penanaman, dapat dilakukan pemupukan awal. Tujuan pemupukan ini adalah agar kol yang akan dipanen lebih dulu akan mendapat makanan yang cukup tanpa terjadi perebutan makanan antara cabai dan kol. Pupuk yang biasa digunakan petani responden adalah pupuk kandang dari kotoran sapi, domba dan kambing. Aturan pemberian pupuk yang dilakukan petani yaitu setiap satu lubang tanam diberi 1 kg pupuk kandang atau kompos sebelum tanaman ditanam, diaduk dan didiamkan selama 2 hari. Proses pemupukan awal ini dilakukan bersamaan saat proses pengolahan lahan, sehingga jumlah tenaga kerja yang digunakan adalah sama saja. Kemudian dilakukan pemupukan
susulan,dilakukan pada saat awal pertumbuhan, pembentukan bunga dan buah serta saat proses pematangan buah. Waktu pemberiannya adalah saat tanaman berumur 1, 3, dan 5 minggu. Pupuk yang biasa digunakan petani adalah pupuk cair organik yang terbuat dari kotoran ternak (urine kambing, domba dan sapi) atau bisa juga terbuat dari kulit udang, bulu ayam, ikan busuk (ikan teri, ikan peda dan lain- lain) atau bisa juga untuk pengendalian penyakit menggunakan “supergrow organic”. Proses pemupukan susulan pada lahan 1 ha dikerjakan oleh tiga orang tenaga kerja yang terdiri dari dua orang tenaga kerja pria masing-masing dari luar keluarga dan dalam keluarga mengerjakan kegiatan ini selama lima hari dan dibantu oleh 1 orang tenaga kerja wanita dari dalam keluarga dan dikerjakan selama 2 hari. Namun, pada proses pemupukan susulan untuk lahan 0,4 ha hanya dibutuhkan 2 orang tenaga pria masing-masing dari luar keluarga dan dalam keluarga, dan dikerjakan selama 2 hari. 5.3.5 Perawatan 5.3.5.1 Penyulaman Penyulaman tanaman pada cabai merah diperlukan untuk mengganti tanaman utama yang mengalami pelayuan tanaman atau mati. Proses penyulaman ini dilakukan sejak satu hingga dua minggu setelah tanam. Caranya adalah dengan mengganti tanaman yang mati dengan tanaman yang baru. Bibit yang digunakan untuk penyulaman adalah sisa bibit yang masih ada di polibag. Proses penyulaman pada lahan 1 ha dan 0,4 menggunakan tenaga kerja wanita sebanyak 2 orang dan masing-masing lahan dikerjakan dalam waktu 7 hari dan 3 hari. 5.3.5.2 Pengontrolan (“logging”)
Dalam pengontrolan petani responden melakukan pengamatan terhadap hama dan penyakit. Kegiatan ini dilakukan setiap hari dan biasanya yang mengerjakan adalah tenaga kerja perempuan. Hama yang sering menyerang cabai merah organik adalah ulat. Cara pembersihan hama ulat ini hanya diambil satusatu dari daunnya, tanpa menggunakan obat- obatan. Ketika melakukan pengamatan hama dan penyakit, bisa juga dilakukan pembersihan gulma di sekitar tanaman cabai. 5.3.6 Panen Bila tidak ada hambatan dan perawatan cukup intensif, tanaman cabai merah akan dapat dipanen pertama kalinya pada usia 70-75 hari. Selanjutnya, cabai merah dapat dipanen secara terus- menerus dengan selang waktu pemanenan 4 hari sekali, sampai maksimal umur tanaman cabai organik 1,5 tahun. Setelah umur 1,5 tahun tanaman sudah tidak dapat lagi menghasilkan buah. Cara panen untuk tanaman organik perlu diperhatikan, pemetikan buah hendaknya dilakukan dengan mengikutkan tangkai buahnya. Tujuannya agar buah bisa bertahan lama setelah dipetik, dan tingkat kematangan buah sewaktu panen bisa disesuaikan dengan kebutuhan, bila menghendaki cabai yang merah berarti waktu panennya bisa lebih lama. Menurut petani, saat pemanenan perlu diperhatikan pemilihan cabai yang sehat untuk dijadikan induk penghasil benih pada penanaman berikutnya. Tanaman yang terpilih kemudian dipelihara buahnya sampai benarbenar tua. Setelah tua, cabai tersebut dipetik, dijemur, dan bijinya disortir untuk mendapatkan biji yang sehat. Selama masa produktif tanaman yaitu 1,5 tahun cabai merah organik dapat dipanen sebanyak 117 kali pada lahan 1 ha, sedangkan pada lahan 0,4 ha untuk
satu musim tanam dapat dipanen sebanyak 58 kali panen. Setiap pemanenan hanya membutuhkan 2 orang tenaga kerja dari dalam keluarga, karena pemanenan ini tidak terlalu sulit dalam pelaksanaannya. 5.3.7 Pemasaran Hasil Panen Cabai merah organik yang telah dipanen langsung dijual oleh petani ke konsumen, yaitu pemilik restoran- restoran dengan produk organik dan juga pemilik kios/ toko sayuran organik yang ada di Jakarta, Bogor, Cianjur dan Cibinong dengan harga yang diterima petani antara Rp 20.000,00 sampai Rp 35.000,00 per kilogram. Proses pemasaran yang terjadi yaitu konsumen mengambil sendiri cabai merah organik tersebut ke tempat petani sesuai jumlah yang diminta sebelumnya. Jika ada kelebihan hasil panen saat itu baru petani menjual ke pasar tradisional yaitu di pasar “Cisarua” yang terletak di Kecamatan Cisarua. Cabai merah non organik yang telah dipanen biasanya langsung dijual ke pasar- pasar terdekat, selain itu juga dijual ke beberapa pengepul cabai yang ada di Kecamatan Cisarua. Harga yang diterima petani cabai non organik ini sangat jauh dari petani yang mengusahakan secara organik, yaitu antara Rp 4.000,00 sampai Rp. 8.000,00 per kilogram. Hal ini karena dari proses budidaya cabai dengan sistem organik membutuhkan ketelitian dan perawatan hampir setiap hari, berbeda dari yang menggunakan sistem non organik. Terdapat perbandingan hasil panen antara cabai merah dengan budidaya organik dan non organik adalah sebesar ± 1:1,5. Artinya jika dalam satu luasan lahan yang sama per musim panen, cabai merah dengan budidaya organik menghasilkan 100 kilogram, maka dengan budidaya non organik menghasilkan 150 kilogram.
BAB VI ANALISIS USAHATANI CABAI MERAH 6.1 Sistem Usahatani Cabai Merah Sarana produksi merupakan faktor pengantar produksi usahatani. Sarana produksi pada usahatani cabai merah organik dan non organik terdiri dari bibit, lahan, tenaga kerja dan alat- alat pertanian yang digunakan pada saat budidaya berlangsung. Berikut dijelaskan sarana produksi yang terdapat dalam usahatani cabai merah. 6.1.1 Bibit Cabai merah yang ditanam oleh petani di Desa Tugu Utara adalah jenis Hot Chilli atau petani lebih sering menggunakan bibit lokal yang dibuat sendiri. Bibit jenis Hot Chilli diperoleh petani dengan membeli di toko pertanian sedangkan bila membuat sendiri bibit diperoleh dari buah yang sebelumnya telah dipanen, dimana buah tersebut dipilih yang bentuknya sempurna sehingga nantinya menghasilkan bibit yang baik kualitasnya. Jarak tanam yang umum digunakan petani di Desa Tugu Utara dalam usahatani cabai merah ini adalah 60 x 60 cm, maka untuk luasan lahan 1 hektar bibit yang dibutuhkan adalah 25.000 bibit cabai merah organik dengan hasil panen sebanyak 10.000 kg, sedangkan untuk luasan lahan 1 hektar cabai merah non organik bibit yang dibutuhkan sebanyak 25.000 dengan hasil panen sebanyak 15.000 kg cabai merah non organik dan ditambah dengan bibit cadangan yang digunakan untuk penyulaman sebanyak 20% dari bibit yang dibutuhkan. 6.1.2 Lahan Lahan yang digunakan petani untuk berusahatani cabai merah, baik secara organik maupun non organik merupakan lahan milik orang lain yang memberikan
izin kepada para petani untuk mengolahnya. Para pemilik tersebut bersedia meminjamkan tanah mereka kepada petani, alasannya bahwa pemilik ingin tanah mereka digunakan untuk sesuatu yang menghasilkan sehingga dapat saling menguntungkan kedua belah pihak. Pemilik tanah merasa aman dengan tanah yang mereka tinggal, sedangkan petani bisa menjaga tanah tanpa harus diupah tetapi dapat mencari nafkah dari kegiatan itu. Untuk mengolah lahan tersebut petani sama sekali tidak dibebani biaya sewa ataupun biaya lainnya, namun sekali waktu pemilik lahan berkunjung ke lahan mereka, para petani memberikan sebagian hasil panennya, jika pemilik lahan datang tepat pada panen. Oleh karena itu, biaya sewa lahan dimasukkan ke dalam biaya yang diperhitungkan. Nilai sewa lahan diasumsikan per hektar di Desa Tugu Utara sebesar Rp 500.000,00 per musim. Rata-rata kepemilikan lahan di Desa Tugu Utara berkisar antara 0,1 ha sampai 0,6 ha. Petani organik di desa tersebut memiliki rata-rata lahan seluas 0,4 ha. Lahan seluas ini biasanya hanya ditanami dengan satu jenis tanaman utama dan satu jenis tanaman sebagai tanaman pendamping untuk sistem polikultur. Petani non organik di desa tersebut rata-rata kepemilikan luasan lahannya adalah 0,2 ha, lahan ini hanya ditanami satu jenis tanaman yaitu cabai non organik. Sehingga dalam penghitungan analisis usahatani menggunakan luasan lahan ratarata (0,4 ha dan 0,2 ha) dan luasan lahan 1 ha. 6.1.3 Tenaga Kerja Kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani cabai merah, baik secara organik maupun non organik di lokasi penelitian mudah dipenuhi. Tenaga kerja untuk bidang pertanian dapat berupa tenaga kerja dalam keluarga yaitu tenaga kerja
yang berasal dari anggota keluarga petani dan tenaga kerja luar keluarga yaitu tenaga kerja yang merupakan tenaga upahan. Jadwal atau waktu kerja yang diberlakukan di Desa Tugu Utara adalah mulai pukul 07.00 sampai pukul 15.00 (8 jam kerja) untuk tenaga kerja laki- laki, sedangkan pukul 07.00 sampai pukul 13.00 (6 jam kerja) untuk tenaga kerja perempuan. Tingkat upah rata- rata yang dibayarkan untuk tenaga kerja laki- laki adalah Rp 20.000,-/ hari dan untuk perempuan adalah Rp 10.000,-/ hari. Jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam usahatani cabai merah rata- rata sebanyak dua orang yaitu istri dan anak petani. Kontribusi masing- masing tenaga kerja pada setiap proses usahatani cabai merah organik dapat dilihat pada Tabel 11. Tenaga kerja perempuan lebih banyak digunakan pada kegiatan pemanenan dan perawatan. Kontribusi tenaga kerja perempuan dalam usahatani ini sebesar 56 persen dari total pemakaian tenaga kerja atau sebesar 485,4 jam kerja. Total tenaga kerja yang digunakan dalam seluruh proses budidaya sejumlah 866 HKP dengan perincian jumlah tenaga kerja luar keluarga sebanyak 346 HKP (40%) dan dari dalam keluarga sebanyak 521 HKP (60%). Tenaga kerja wanita dikonversi ke dalam hari kerja pria dengan nilai konversi 0,8 HKP. Penggunaan tenaga kerja paling banyak digunakan dalam kegiatan perawatan yaitu sebanyak 63,62 persen dan pada saat panen sebanyak 24 persen. Tabel. 11 Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabe Merah Organik Per Hektar Untuk Masa Produksi Satu Setengah Tahun Di Desa Tugu Utara Tahun 2007 Penggunaan Tenaga Kerja Persentase Kegiatan Luar Dalam No. Total (%) Usahatani Keluarga Keluarga L P L P 1 Persiapan Lahan & 50,0 10 60,0 6,93
Pemupukan I Penanaman Penyulaman Perawatan Pemupukan II Pemanenan
2 3 4 5 6 Total Nilai Tenaga Kerja (000)
- 15,0 31,0 244,8 5,0 86,0 259,8 1.720 5.196
3,0 7,0 153,0 5,0 117,0 295,0 5.900
2,4 5,6 122,4 1,6 93,6 225,6 4.512
20,4 12,6 551,2 11,6 210,6 866,4 17.328
2,36 1,45 63,62 1,34 24,30 100,0
Kontribusi masing- masing tenaga kerja pada proses usahatani cabai merah organik yang dilakukan pada luasan rata- rata lahan (0,4 Ha) dapat dilihat pada Tabel 12. Tenaga kerja perempuan lebih banyak digunakan pada kegiatan pemanenan dan perawatan. Kontribusi tenaga kerja perempuan dalam usahatani ini sebesar 51,42 persen dari total pemakaian tenaga kerja atau sebesar 177,8 jam kerja. Total tenaga kerja yang digunakan dalam seluruh proses budidaya sejumlah 346 HKP dengan perincian jumlah tenaga kerja luar keluarga sebanyak 101 HKP (29,3%) dan dari dalam keluarga sebanyak 245 HKP (70,7%). Tenaga kerja wanita dikonversi kedalam hari kerja pria dengan nilai konversi 0,8 HKP. Penggunaan tenaga kerja paling banyak digunakan adalah dalam kegiatan perawatan yaitu sebanyak 61 persen dan pada saat panen sebanyak 30 persen. Tabel 12. Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabe Merah Organik Per Ratarata Luasan Lahan (0,4 Ha) Untuk Masa Produksi Satu Setengah Tahun di Desa Tugu Utara Tahun 2007 No. 1 2 3 4 5 6 Total
Kegiatan Usahatani Persiapan Lahan & Pemupukan I Penanaman Penyulaman Perawatan Pemupukan Pemanenan
Penggunaan Tenaga Kerja Luar Dalam Keluarga Keluarga L P L P
Total
Persentase (%)
5,0
-
5,0
4,0
14,0
4,05
31 2,0 38
3,2 60,0 63,2
2,0 3,0 60,0 2,0 58,0 130,0
1,8 2,4 60,0 46,4 114,6
7,0 5,4 211,0 4,0 104,4 345,8
2,02 1,56 61,02 1,15 30,20 100,0
Nilai Tenaga Kerja (000)
760 4.960
6.180
4.912
16.812
Dalam kegiatan budidaya cabai merah non organik tenaga kerja yang digunakan sebanyak 503 HKP dengan perincian jumlah tenaga kerja luar keluarga sebanyak 203,5 HKP dan jumlah tenaga kerja dalam keluarga sebanyak 300 HKP. Penggunaan tenaga kerja paling banyak pada saat kegiatan perawatan yaitu sebesar 44 persen dan pada kegiatan pemanenan sebesar 26 persen. Penggunaan tenaga kerja pada usahatani non organik pada lahan 1 hektar lebih banyak menggunakan tenaga kerja pria yaitu sebesar 55 persen atau sebanyak 276 HKP, sedangkan wanita sebesar 45 persen atau sebanyak 227 HKP. Perincian penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan budidaya tanaman cabai merah non organik untuk produksi satu tahun dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel. 13 Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabe Merah Non Organik Per Hektar Untuk Masa Produksi Satu Tahun Di Desa Tugu Utara Tahun 2007 Penggunaan Tenaga Kerja Persentase Kegiatan Luar Dalam No. Total (%) Usahatani Keluarga Keluarga L P L P 1 Persiapan Lahan 40,0 8,0 48,0 9,54 2 Penanaman 15,0 3,0 2,4 20,4 4,06 3 Penyulaman 7,0 5,6 12,6 2,50 4 Perawatan 20,0 96,0 60,0 48,0 224,0 44,53 5 Pemupukan 7,0 7,0 1,6 15,6 3,11 6 Penyemprotan 25,5 25,5 51,0 10,14 7 Pemanenan 73,0 58,4 131,4 26,12 Total 92,5 111,0 183,5 116,0 503,0 100,0 Nilai Tenaga Kerja(000) 1.850 2.220 3.670 2.320 10.060 Dalam kegiatan budidaya cabai merah non organik pada luasan rata- rata lahan (0,2 Ha) tenaga kerja yang digunakan sebanyak 163,2 HKP dengan
perincian jumlah tenaga kerja luar keluarga sebanyak 32,8 HKP dan jumlah tenaga kerja dalam keluarga sebanyak 130,4 HKP. Penggunaan tenaga kerja paling banyak pada saat kegiatan perawatan yaitu sebesar 53 persen dan pada kegiatan pemanenan sebesar 32 persen. Penggunaan tenaga kerja pada usahatani non organik ini lebih banyak menggunakan tenaga kerja wanita yaitu sebesar 50,5 persen atau sebanyak 82,4 HKP, sedangkan wanita sebesar 49,50 persen atau sebanyak 81 HKP. Perincian penggunaan tenaga kerja untuk kegiatan budidaya tanaman cabai merah non organik untuk produksi satu tahun dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Penggunaan Tenaga Kerja Usahatani Cabai Merah Non Organik Per Luasan Rata- rata Lahan (0,2 Ha) Untuk Masa Produksi Satu Tahun Di Desa Tugu Utara Tahun 2007 Penggunaan Tenaga Kerja Kegiatan Dalam Persentase No. Luar Keluarga Total Usahatani Keluarga (%) L P L P 1 Persiapan lahan 2,0 1,0 0,8 3,8 2,31 2 Penanaman 0,8 1,0 0,8 2,6 1,60 3 Penyulaman 1,0 0,8 1,8 1,10 4 Perawatan 28,0 30,0 28,0 86,0 52,70 5 Pemupukan 2,0 2,0 4,0 2,45 6 Pemanenan 29,0 23,2 52,2 32,00 7 Penyemprotan 12,8 12,8 7,84 Total 4,0 28,8 76,8 53,6 163,2 100,0 Nilai Tenaga Kerja (000) 80 576 1.536 1.072 3.264 Terdapat perbedaan penggunaan tenaga kerja antara usahatani cabai merah dengan budidaya secara organik dan non organik. Pada usahatani secara organik penggunaan tenaga kerja lebih banyak daripada usahatani secara non organik, yaitu sebesar 866,4 HKP dan non organik sebanyak 503 HKP pada luasan lahan
satu hektar. Penggunaan tenaga kerja perempuan pada budidaya secara organik lebih banyak daripada non organik, yaitu sebesar 485,4 HKP dan 227 HKP. Hal ini karena budidaya secara organik membutuhkan perawatan yang sangat teliti dan telaten agar tanaman yang dihasilkan memuaskan. Sehingga petani yang menggunakan budidaya secara organik harus mengeluarkan biaya untuk upah seluruh tenaga kerjanya lebih banyak dibandingkan dengan budidaya secara non organik.
6.1.4 Alat- Alat Pertanian Dalam usahatani ini jenis alat- alat pertanian yang digunakan meliputi cangkul, sprayer, kored, garpu, dan golok. Cangkul digunakan untuk menggemburkan tanah dan membuat selokan air. Kored dan golok digunakan petani untuk membersihkan/ menyiangi gulma, dan rumput ataupun semak- semak yang mengganggu tanaman. Garpu digunakan untuk menggemburkan tanah dan membalik- balikkan tanah pada saat pengolahan dan pemberian pupuk. Sprayer digunakan untuk menyemprotkan air dan untuk menyemprotkan pupuk cair organik, atau untuk budidaya non organik digunakan untuk menyemprotkan pestisida. Petani responden tidak selalu membeli alat- alat pertanian setiap kali musim tanam, sebab setiap alat yang digunakan memiliki umur teknis lebih dari dua tahun. Tabel. 15 Penggunaan Peralatan Usahatani Cabai Merah untuk Satu Musim Tanam di Desa Tugu Utara per Rata-rata Luasan Lahan No 1
Jenis Alat Cangkul
Jumlah (Buah)
Harga (Rp)
Nilai (Rp)
1
50.000
50.000
Umur Teknis (Tahun) 3
Penyusutan (Rp/Tahun) 16.666
2 3 4 5 6 7
Sprayer Kored Garpu Golok Sabit Linggis
1 2 1 1 1 1
175.000 25.000 15.000 30.000 17.000 100.000
175.000 50.000 15.000 30.000 17.000 100.000
5 3 3 3 3 5
Jumlah
35.000 16.666 5.000 10.000 5.666 20.000 159.998
Penggunaan alat- alat pertanian untuk setiap budidaya, baik secara organik maupun non organik adalah sama, hanya jumlah yang dimiliki petani adalah sama, tergantung kepemilikan luas lahan petani. Tabel 15 dan Tabel 16 menunjukkan nilai penyusutan peralatan pertanian yang digunakan dalam usahatani cabai merah baik yang digunakan secara organik maupun non organik yaitu pada luasan lahan rata-rata nilai penyusutan sebesar Rp 159.998,00 per tahun. Penyusutan dihitung dengan menggunakan metode garis lurus dengan asumsi peralatan tersebut tidak dapat digunakan lagi setelah melewati umur teknis. Nilai penyusutan untuk alatalat yang digunakan pada lahan 1 ha sebesar Rp. 316.666,Tabel. 16 Penggunaan Peralatan Usahatani Cabai Merah untuk Satu Musim Tanam di Desa Tugu Utara per Hektar No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Alat Cangkul Sprayer Kored Garpu Golok Sabit Linggis
Jumlah (Buah)
Harga (Rp)
Nilai (Rp)
Umur Teknis (Tahun)
6 3 4 3 3 5 2
50.000 175.000 25.000 15.000 30.000 17.000 100.000
300.000 350.000 100.000 45.000 90.000 85.000 200.000
3 5 3 3 3 3 5
Jumlah
Penyusutan (Rp/Tahun) 100.000 70.000 33.333 15.000 30.000 28.333 40.000 316.666
6.2 Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Merah Analisis usahatani cabai merah di Desa Tugu Utara menggambarkan besarnya penggunaan input- input produksi dan biaya- biaya yang harus
dikeluarkan selama proses usahatani berlangsung. Kegiatan usahatani ini bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang optimal, sebagai imbalan atas usaha dan kerja yang telah dijalankan oleh petani. Input produksi meliputi bibit, pupuk, tenaga kerja, dan peralatan pertanian yang digunakan selama kegiatan usahatani cabai merah baik budidaya secara organik dan non organik. Analisis usahatani cabai merah yang dilakukan dalam penelitian ini dibedakan berdasarkan cara budidaya, yaitu petani dengan budidaya cabai merah organik dan petani dengan budidaya cabai merah non organik. Perbedaan- perbedaan tersebut kemudian akan dianalisis apakah cara budidaya tersebut akan berpengaruh pada penggunaan input serta besarnya biaya- biaya yang harus dikeluarkan. 6.2.1 Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Merah Non Organik Pada usahatani cabai merah non organik, penerimaan total diperoleh petani dari produksi yang dihasilkan dikalikan dengan harga yang berlaku. Produksi ratarata cabai merah non organik per luasan rata-rata lahan per musim tanam adalah 3.000 kg, dengan luasan rata-rata lahan usahatani cabai merah non organik sebesar 0,2 hektar. Hasil panen ini selain dijual, juga dikonsumsi sendiri oleh petani ratarata sebanyak 1 persen (30 kg). Maka, produksi rata- rata cabai merah non organik per rata-rata luasan lahan per musim tanam setelah dikurangi dengan tingkat kegagalan panen sebesar 20 persen adalah 2.400 kg. Sehingga penerimaan petani yang diperoleh sebesar Rp. 15.600.000,- per luasan rata-rata lahan dan penerimaan yang diterima petani per hektar sebesar Rp. 78.000.000,- dengan asumsi perhitungan yang sama. Biaya yang dikeluarkan petani terdiri atas biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai untuk usahatani cabai merah non organik ini terdiri
dari biaya sarana produksi seperti biaya benih, pupuk kandang, pestisida, tenaga kerja luar keluarga, pembelian ajir (bambu) dan tali rafia. Sedangkan biaya yang termasuk biaya yang diperhitungkan adalah biaya tenaga kerja dalam keluarga, biaya penyusutan alat pertanian (cangkul, sprayer, kored, garpu dan golok) dan biaya sewa lahan. Hasil analisis pendapatan per luasan rata-rata lahan dan per luasan hektar per musim tanam petani cabai merah non organik di Desa Tugu Utara dapat dilihat di Tabel 17.
Alokasi biaya terbesar dalam saran produksi adalah untuk pupuk kandang. Rata-rata penggunaan pupuk kandang per luasan rata- rata lahan per musim tanam
adalah 3.000 kg, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk membeli pupuk kandang di Koperasi Tani yang ada di Desa tersebut sebesar Rp 1.800.000,00. Rata-rata penggunaan pupuk kandang per hektar per musim tanam sebesar 15.000 kg. Biaya yang dkeluarkan untuk pembelian pupuk kandang sebesar Rp 9.000.000.00. Penggunaan pupuk kandang pada budidaya non organik berbeda cara pemberiannya pada budidaya organik, dimana pemberian pupuk pada budidaya non organik dilakukan dengan menyebar pupuk tersebut secara merata di atas lubang tanam. Pupuk kimia yang digunakan dalam usahatani cabai merah non organik terdiri dari pupuk urea, SP36 dan KCL yang dibeli dengan harga masing- masing Rp. 1.200,- per kilogram, Rp 1.550,00 per kilogram dan Rp 1.460,00 per kilogram. Rata- rata penggunaan pupuk kimia per luasan 1 hektar lahan dalam 1 musim tanam adalah sebanyak pupuk urea 200 kg, SP36 150 kg dan KCL 100 kg. Sedangkan pada luasan rata- rata lahan (0,2 ha) pupuk yang digunakan sebanyak 40 kg untuk penggunaan urea, 30 kg untuk penggunaan SP36 dan 20 kg untuk penggunaan KCL. Biaya yang diperhitungkan terdiri dari biaya tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat-alat pertanian dan sewa lahan. Tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan dalam usahatani cabai non organik di Desa Tugu Utara adalah untuk luasan rata- rata lahan adalah sebesar 130,4 HKP dan untuk 1 hektar sebesar 300 HKP. Tenaga kerja dalam keluarga ini terdiri dari isteri atau anak- anak dari petani tersebut. Isteri atau anak- anak petani dianggap sebagai buruh tani, sehingga isteri petani juga diberi upah seperti tenaga kerja luar keluarga.
Biaya total yang dikeluarkan petani untuk usahatani cabai merah non organik per luasan lahan rata-rata per musim tanam adalah sebesar Rp 6.503.698,00 sedangkan per hektar per musim tanam sebesar Rp 25.707.499,00. Pada rata-rata luasan lahan, pendapatan yang diperoleh atas biaya tunai sebesar Rp 11.960.000,00 sedangkan pendapatan atas biaya total per luasan rata-rata lahan sebesar Rp. 9.096.302,00. Pada luasan lahan 1 hektar pendapatan yang diperoleh atas biaya tunai sebesar Rp 59.172.500,00 sedangkan pendapatan atas biaya total sebesar Rp 52.365.834,00 . 6.2.2 Analisis Pendapatan Usahatani Cabai Merah Organik Pendapatan usahatani diperoleh dengan cara penerimaan dikurangi dengan biaya total. Penerimaan didapatkan dari hasil kali antara jumlah produksi dengan harga yang berlaku. Biaya total terdiri atas biaya tunai dan biaya diperhitungkan, dimana biaya tunai terdiri dari komponen benih, pupuk kimia, pupuk kandang, kapur, pestisida, tenaga kerja luar keluarga, bambu, dan rafia. Sedangkan biaya yang diperhitungkan terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat dan sewa lahan. Produksi rata- rata cabai merah organik per luasan rata-rata lahan per musim tanam adalah 4.000 kg, dengan luasan rata-rata lahan usahatani cabai merah organik sebesar 0,4 hektar. Hasil panen ini selain dijual, juga dikonsumsi sendiri oleh petani rata-rata sebanyak 1 persen (40 kg). Maka, produksi rata- rata cabai merah organik per rata-rata luasan lahan per musim tanam setelah dikurangi dengan tingkat kegagalan panen sebesar 20% adalah 3.200 kg. Sehingga penerimaan petani yang diperoleh sebesar Rp 70.400.000,00 per luasan rata-rata
lahan dan penerimaan yang diterima petani per hektar sebesar Rp 176.000.000,00 dengan asumsi perhitungan yang sama. Rata- rata produksi cabai merah organik satu pohon adalah 0,4 kg dengan populasi satu hektar sebanyak 25.000 pohon. Sehingga total produksi usahatani cabai merah organik pada lahan 1 ha adalah 10.000 kg. Nilai ini adalah nilai optimal yang diperoleh petani bila tanaman yang ditanam tumbuh sebanyak 100 persen, tidak terjadi gagal panen, dan harga yang berlaku stabil. Namun, kondisi yang terjadi di Desa Tugu Utara rata-rata produktivitas mencapai 80 persen, sehingga total produksi yang digunakan dalam perhitungan penerimaan adalah 8.000 kg. Sehingga total penerimaan yang diperoleh petani pada luasan 1 hektar sebesar Rp. 176.000.000,- dengan harga jual per kilogram Rp. 22.000,Biaya yang dikeluarkan petani terdiri atas biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai untuk usahatani cabai merah organik ini terdiri dari biaya sarana produksi seperti biaya benih, pupuk kandang, pupuk cair organik, tenaga kerja luar keluarga, pembelian ajir (bambu) dan tali rafia. Sedangkan biaya yang termasuk biaya yang diperhitungkan adalah biaya tenaga kerja dalam keluarga, biaya penyusutan alat pertanian (cangkul, sprayer, kored, garpu dan golok) dan biaya sewa lahan. Hasil analisis pendapatan per luasan rata- rata lahan dan per luasan hektar per musim tanam petani organik di Desa Tugu Utara dapat dilihat di Tabel 18.
Alokasi biaya terbesar dalam saran produksi adalah untuk pupuk kandang. Rata- rata penggunaan pupuk kandang per luasan rata- rata lahan per musim tanam adalah 10.000 kg, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk membeli pupuk kandang di Koperasi Tani yang ada di Desa tersebut sebesar Rp. 6.000.000,-. Rata- rata penggunaan pupuk kandang per hektar per musim tanam sebesar 25.000 kg. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian pupuk kandang sebesar Rp. 15.000.000.- . Penggunaan pupuk kandang yang tinggi ini karena setiap 1 lubang tanam diberi pupuk kandang sebanyak 1 kg. Dengan luasan lahan 1 ha terdapat 25.000 lubang tanam, sehingga jumlah pupuk kandang yang digunakan sebanyak 25.000 kg.
Alokasi biaya terbesar kedua dalam sarana produksi adalah tenaga kerja. Tenaga kerja luar keluarga lebih banyak digunakan pada tahap persiapan lahan dan pemupukan tahap I. Tenaga kerja yang diperlukan untuk luasan rata-rata lahan (0,4 ha) per musim tanam cabai organik sebesar 503 HKP dan untuk 1 hektar usahatani cabai organik adalah sebesar 866,4 HKP. Upah per tenaga kerja untuk tenaga kerja pria sebesar Rp. 20.000,- sedangkan untuk upah tenaga kerja wanita adalah Rp. 10.000,- dengan jam kerja pria selama 8 jam dan wanita 6 jam kerja. Pupuk yang digunakan petani pada Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” ini dalam usahatani cabai organik terdiri dari pupuk kandang dan pupuk cair organik. Pupuk ini dibuat sendiri oleh salah seorang petani, kemudian dijual di Koperasi Tani sehingga dapat digunakan oleh petani lainnya, dengan harga jual Rp. 600,- per kilogram untuk pupuk kandang sedangkan pupuk cair organik dijual dengan harga Rp. 50.000,- per liter. Biaya yang diperhitungkan terdiri dari biaya tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat- alat pertanian dan sewa lahan. Tenaga kerja dalam keluarga yang digunakan dalam usahatani cabai organik di Desa Tugu Utara adalah untuk luasan rata-rata lahan adalah sebesar 244,6 HKP dan untuk 1 hektar sebesar 520,6 HKP. Tenaga kerja dalam keluarga ini terdiri dari isteri atau anak- anak dari petani tersebut. Isteri atau anak- anak petani dianggap sebagai buruh tani, sehingga isteri petani juga diberi upah seperti tenaga kerja luar keluarga. Biaya penyusutan alatalat pertanian selama satu musim tanam untuk luasan 1 hektar sebesar Rp 316.666,00 dan pada luasan lahan 0,4 ha sebesar Rp 159.998,00.
Biaya total yang dikeluarkan petani untuk usahatani cabai merah organik per luasan lahan rata-rata per musim tanam adalah sebesar Rp 15.560.998,00 sedangkan per hektar per musim tanam sebesar Rp. 38.069.666,00. Pada rata-rata luasan lahan, pendapatan yang diperoleh atas biaya tunai sebesar Rp 60.391.000,sedangkan pendapatan atas biaya total per luasan rata- rata lahan sebesar Rp 54.839.002,00. Pada luasan lahan 1 hektar pendapatan yang diperoleh atas biaya tunai sebesar Rp. 149.159.000,- sedangkan pendapatan atas biaya total sebesar Rp.137.930.334,00 . Cabai merah dengan budidaya organik lebih banyak mendatangkan keuntungan, baik dari segi ekonomi maupun non ekonomi. Setiap rupiah yang dikeluarkan sebagai biaya, mendapatkan imbalan atau penerimaan yang lebih besar jika dibandingkan cabai merah dengan budidaya non organik. Keuntungan atau manfaat dari segi non ekonomi yaitu, petani dapat menjadi contoh masyarakat sekitar karena telah melestarikan lingkungan dengan tidak menggunakan bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya. 6.3
Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Cabai Merah Organik dan Non Organik Usahatani cabai merah organik ini dikatakan menguntungkan juga dapat
dilihat dari nilai perbandingan antara jumlah penerimaan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan (R/C Rasio). Berdasarkan Tabel 17, R/C rasio atas biaya total yang diperoleh petani organik dengan luasan lahan satu hektar adalah sebesar 4,62 yang berarti setiap pengeluaran petani sebesar Rp 1,00 akan mendapatkan imbalan penerimaan sebesar Rp. 4,62. Nilai R/C yang lebih dari satu ini menunjukkan
bahwa usahatani cabai merah organik juga efisien diusahakan karena penerimaan yang dihasilkan lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan. Sedangkan R/C rasio atas biaya total yang diperoleh petani organik dengan luasan lahan 0,4 hektar adalah sebesar 4,52 yang berarti setiap pengeluaran petani sebesar Rp 1,00 akan mendapatkan imbalan penerimaan sebesar Rp. 4,52. Sementara itu nilai perbandingan atas biaya tunai pada lahan satu hektar petani organik adalah 6,56 yang berarti petani responden menghasilkan penerimaan sebesar Rp. 6,56 untuk setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan dan R/C rasio yang diperoleh pada lahan 0,4 hektar adalah 7,03 artinya petani responden menghasilkan penerimaan sebesar Rp 7,03 untuk setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan. Perbandingan nilai R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total petani cabai merah non organik pada lahan 1 hektar adalah 4,14 dan 3,04. Artinya setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan maka petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 4,14 untuk biaya tunai yang dikeluarkan dan Rp 3,04 untuk biaya total yang dikeluarkan. Perbandingan nilai R/C atas biaya tunai dan R/C atas biaya total petani cabai merah non organik pada lahan 0,2 hektar adalah 4,29 dan 2,40. Artinya setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan maka petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp. 4,18 untuk biaya tunai yang dikeluarkan dan Rp 2,31 untuk biaya total yang dikeluarkan. Perbedaan nilai perbandingan R/C atas biaya tunai yang diperoleh petani responden cabai merah organik untuk luasan satu hektar memiliki nilai perbandingan yang lebih tinggi daripada petani cabai merah non organik yaitu sebesar 6,56 berbanding 4,14. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani cabai merah organik lebih menguntungkan untuk diusahakan bila dibandingkan dengan
usahatani cabai merah non organik, yaitu dari setiap rupiah yang dikeluarkan akan menghasilkan Rp 6,56,00 untuk budidaya organik dan Rp 4,14,00 untuk budidaya non organik.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1. Usahatani cabai merah organik yang dilakukan para petani responden di Kelompok Tani “Kaliwung Kalimuncar” Desa Tugu Utara memiliki perbedaan dengan yang dilakukan secara non organik. Perbedaannya terdapat pada penggunaan input meliputi : jumlah pupuk yang digunakan, jenis pupuk yang digunakan, penggunaan tenaga kerja, kegiatan perawatan dan proses pemanenan. Penggunaan jenis dan jumlah bibit cenderung sama antara kedua sistem tersebut. Hasil produksi yang dihasilkan pada sistem organik lebih sedikit daripada yang dihasilkan oleh petani non organik. Jika dilihat dari
proses budidaya, sistem non organik lebih intensif, dapat dilihat dari jumlah produksi yang lebih banyak, resiko terserang penyakit lebih sedikit dan hasil produksinya baik. 2. Terdapat perbedaan harga yang diterima antara petani organik dan non organik. Harga cabai yang diterima petani cabai organik lebih tinggi dibandingkan petani cabai non organik. Hal inilah yang menyebabkan penerimaan yang diterima petani organik lebih tinggi dibandingkan petani non organik. Berdasarkan analisis pendapatan usahatani diperoleh bahwa petani dengan sistem organik memperoleh pendapatan atas biaya tunai dan biaya total lebih besar dibandingkan dengan yang diperoleh petani non organik. 3. Nilai R/C rasio usahatani cabai merah organik lebih tinggi jika dibandingkan nilai R/C rasio yang diperoleh pada usahatani cabai merah non organik, sehingga penerimaan yang diperoleh petani organik untuk setiap satu rupiah yang dikeluarkan lebih besar daripada petani non organik. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa usahatani cabai merah organik lebih menguntungkan dan dapat meningkatkan pendapatan petani di Desa Tugu Utara.
7.2 Saran 1. Perlu adanya peran pemerintah dalam hal pelatihan dalam pengenalan sistem organik, sehingga petani lebih sadar untuk mengusahakan usahatani secara organik. 2. Perlu adanya suatu kebijakan dari pemerintah mengenai standarisasi bagi produk- produk organik sehingga dapat meyakinkan masyarakat khususnya
konsumen sayuran organik bahwa sistem pertanian organik yang bebas dari bahan- bahan kimia lebih aman untuk dikonsumsi dan dibudidayakan. 3. Para petani di Desa Tugu Utara dapat terus menggunakan atau menjalankan sistem usahatani organik, karena telah diperlihatkan dari hasil analisis pendapatan bahwa sistem usahatani secara organik dapat menigkatkan pendapatan para petani. 4. adanya penelitian lebih lanjut mengenai usahatani cabai merah organik dan non organik untuk menghitung tingkat pendapatan dengan musim tanam yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Dewandana, Afif. M. 2006. Penerapan Audit Pemasaran dari Markplus 2000 pada Industri Sayur Organik di Jabotabek (Kasus pada PT Amani Mastra, Bekasi). Skripsi. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2004. Informasi Hortikultura tahun 1999- 2003. Departemen Pertanian. Jakarata. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2005. Statistik Tanaman Sayuran. Departemen Pertanian. Jakarata. Hernanto, Fadholi. 1996. Ilmu Usahatani. Penebar swadaya. Jakarta. Iryanti, Rina. 2005. Analisis Usahatani Komoditas Tomat Organik dan Anorganik (Studi Kasus: Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Bogor). Skripsi. Departemen Ilmu- Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Khairina, Yulia. 2006. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Wortel dengan Budidaya Organik (Studi Kasus: Desa Citeko, Kecamatan Cisarua, Bogor). Skripsi. Departemen Ilmu- Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mei, Theresia. M.H. 2006. Analisis Pendapatan Usahatani dan Pemasaran Sayuran Organik Yayasan Bina Sarana Bhakti. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nurliah, Elly. 2002. Analisis Pendapatan Usahatani Dan Pemasaran Cabai Merah Keriting di Desa Sindangmekar Kecamatan Wanaraja Kabupaten Garut, Jawa Barat. Jurusan Ilmu- Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Pracaya. 2006. Bertanam Sayuran Organik di Kebun, Pot dan Polibag. Penebar Swadaya. Jakarta. Promosiana, Anastasia dan Dessi Rahmaniar. Strategi dan Kebijakan Pengembangan Sayuran. 2005. Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. Departemen Pertanian. Jakarta. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Volume 5, Nomor 2. 2006. PDB Sektor Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Pusat Data dan Informasi Pertanian. Volume 5, Nomor 4. 2006. PDB Sektor Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Rachmat, Muchjidin dan Dessi Rahmaniar. Peranan Sayuran dalam Perekonomian Nasional. 2005. Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. Departemen Pertanian. Jakarta. Ramadhan, Fajar.2004. Analisis Pendapatan Usahatani Sayuran di Lahan Tidur (Studi Kasus: Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara). Skripsi. Departemen Ilmu- Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Santika, Adhi. 2006. Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. Setiadi. 2005. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. Soeharjo, A. Dahlan Patong. 1973. Sendi- Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Departemen Ilmu- Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Penerbit Universitas Indonesia. UI Press. Jakarta.
Soekartawi, et al. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Penerbit Universitas Indonesia. UI Press. Jakarta. Sundari, Winny Tri. 2005. Analisis Usahatani Sayuran Eksklusif di Perusahaan Agro Lestari, Ciawi, Bogor. Skripsi. Departemen Ilmu- Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suratiyah, Ken. 2006. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Tohir, K.A. 1983. Seuntai Pengetahuan tentang Usahatani Indonesia. Bagian Dua. PT. Bina Aksara. Jakarta. Yanti, Mayzar. 2006. Strategi Pengembangan Usaha Sayuran Organik di Pertanian Organik “Kebonku”. Program Studi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.