DAMPAK SOSIO-EKONOMIS DAN SOSIO-EKOLOGIS KONVERSI LAHAN PERTANIAN (Studi Kasus: Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor)
Astri Lestari I34070085
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
DAMPAK SOSIO-EKONOMIS DAN SOSIO-EKOLOGIS KONVERSI LAHAN PERTANIAN (Studi Kasus: Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor)
Astri Lestari I34070085
SKRIPSI Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ABSTRACT Conversion of agricultural land is one of the phenomena of change the agricultural land designated into non agricultural designated. The purposes of this study are 1) to know the types of land conversion at Desa Tugu Utara, 2) to know the social-economic impact of land conversion at Desa Tugu Utara, and 3) to know the social-ecological impact of land conversion at Desa Tugu Utara. This study uses a quantitative approach supported by the use of qualitative approach. The result of the study showed that the type of land conversion in the village (2000-2010) consists of three types of land conversion: 1) land conversion type by location (open/closed), 2) land conversion type by the speed of change of land utilization (fast/slow), and 3) land conversion type by the actors involved in the land conversion (local residents/non-local resident). In general, land conversion gives a negative impact on social-economics conditions of household in the region, either in the agricultural sector or in the non-agricultural sector and also brings a negative impact on social-ecological system because it causes many environmental degradation. Keywords: land conversion, the impact of socio-economic, the impact of socioecological.
RINGKASAN ASTRI LESTARI. Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio-Ekologis Konversi Lahan Pertanian: Studi Kasus Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. (dibawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN). Konversi lahan pertanian merupakan suatu fenomena perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian. Fenomena ini terjadi seiring dengan bertambahnya tekanan penduduk dan gencarnya pembangunan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia, sehingga mengakibatkan permintaan terhadap lahan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Konversi lahan pertanian merupakan salah satu akar dari permasalahan agraria di Indonesia karena dapat menyebabkan terjadinya situasi krisis yang berdampak luas bagi sektor pertanian. Lahan sebagai sumberdaya pertanian merupakan suatu potensi yang dimanfaatkan oleh masyarakat petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tipe perubahan peruntukkan lahan pertanian ke bentuk lain pada setiap kawasan berbeda-beda tergantung dari tujuan dilakukannya konversi. Oleh karena itu, dampak yang diterima bagi setiap kawasan juga berbeda. Perubahan peruntukkan lahan pertanian ini berdampak luas terhadap aspek ekologi dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konversi yang selanjutnya berdampak pada kehidupan sosial masyarakat yang memanfaatkan lahan pertanian sebagai sumber kehidupannya. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, tujuan dari penelitian ini terangkum dalam tiga pertanyaan. Pertama, untuk mengetahui tipe konversi lahan yang terjadi di lokasi penelitian. Kedua, untuk mengetahui dampak sosioekonomis konversi lahan pada rumah tangga setempat. Ketiga, untuk mengetahui dampak sosio-ekologis konversi lahan pada kawasan setempat. Penelitian ini dilakukan di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, dari bulan Oktober hingga November 2010. Data primer diperoleh melalui penyebaran kuesioner kepada responden dan wawancara mendalam kepada informan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Responden penelitian dipilih dengan menggunakan teknik kluster sampling dengan memilih 60 responden dari dua kampung berbeda yaitu Kampung Sampay dan Kampung
Sukatani. Lokasi Kampung Sampay berada dekat dengan jalan raya, sedangkan Kampung Sukatani berada jauh dari jalan raya. Data hasil penelitian dianalisis dengan manggunakan tabel frekuensi untuk data satu variabel dan tabel silang untuk data dua variabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe konversi lahan yang terjadi di Desa Tugu Utara terdiri dari tiga dimensi yaitu konversi lahan dilihat dari letak kawasan (terbuka atau tertutup), tingkat kecepatan terjadinya konversi (lambat atau cepat) dan pihak pelaku konversi (warga lokal dan atau pemilik modal). Ketiganya dirangkum menjadi dua tipe yaitu 1) Tipe I, konversi lahan yang terjadi secara terbuka dengan laju konversi yang cepat dan pelaku konversi lahan semua stakeholder (warga lokal, pemilik modal dan pemerintah) dan 2) Tipe II, konversi lahan yang terjadi secara tertutup dengan laju konversi yang lambat dan pelaku konversi sebagian besar dilakukan oleh pemilik modal. Kampung Sampay yang letak kawasannya berada dekat dengan jalan raya mengalami konversi lahan Tipe I, sedangkan Kampung Sukatani yang letak kawasannya berada jauh dari jalan raya mengalami konversi lahan Tipe II. Dampak konversi lahan terhadap kondisi sosio-ekonomis rumah tangga disekitar konversi antara lain perubahan struktur agraria, perubahan kesempatan kerja baik di sektor pertanian maupun diluar sektor pertanian, perubahan pola kerja, struktur pendapatan yang diperoleh, kondisi tempat tinggal, perubahan hubungan antar anggota keluarga dan hubungan antar warga. Terdapat perbedaan dampak yang diterima oleh Kampung Sampay dan Kampung Sukatani. Kampung Sampay yang mengalami konversi lahan Tipe I mengalami dampak lebih buruk dari keenam aspek di atas dibandingkan dengan Kampung Sukatani yang mengalami konversi lahan Tipe II. Akan tetapi secara umum dampak konversi lahan bagi kondisi sosio-ekonomis rumah tangga mengalami perubahan kearah negatif yaitu menjadi buruk. Pemetik manfaat utama dari kegiatan konversi lahan ini adalah pihak luar, sementara warga lokal kurang mendapat menfaat dari kegiatan konversi lahan. Hasil dari lapangan membuktikan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa “proses konversi lahan mengubah pola kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal”.
Dampak sosio-ekologis konversi lahan terhadap kawasan yang terkena konversi dilihat dari akses rumah tangga terhadap air, cara warga membuang limbah rumah tangga yang merupaan dampak tidak langsung dari konversi lahan pertanian, gangguan kebisingan dan kemacetan serta terjadinya degradasi lingkungan seperti banjir dan longsor. Seperti halnya dengan dampak sosioekonomis, dampak sosio-ekologis bagi kawasan Kampung Sampay juga lebih buruk dibandingkan Kampung Sukatani. Secara umum Desa Tugu Utara mengalami dampak buruk pada kondisi sosio-ekologis akibat konversi lahan, karena kondisi lingkungan yang semakin menurun sehingga menimbulkan adanya bencana banjir dan longsor di kawasan yang berada di bagian hulu DAS Ciliwung ini. Kondisi ini membuktikan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa “proses konversi lahan menimbulkan akibatakibat yang mengarah pada krisis ekologi di lokasi terjadinya konversi lahan”. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomena konversi lahan di Desa Tugu Utara memberikan dampak kearah negatif (buruk) baik bagi kondisi sosio-ekonomis maupun kondisi sosio-ekologis kawasan.
LEMBAR PENGESAHAN DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh : Nama Mahasiswa
: Astri Lestari
NRP
: I34070085
Judul
: Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio-Ekologis Konversi Lahan Pertanian (Studi Kasus Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M. Sc, Agr NIP. 19630914 199003 1 002 Mengetahui, Ketua Departemen
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal Lulus Ujian:
LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “DAMPAK SOSIO-EKONOMIS DAN SOSIO-EKOLOGIS KONVERSI LAHAN PERTANIAN: Studi Kasus Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kebupaten Bogor” INI BENAR-BENAR HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH
DIAJUKAN
SEBAGAI
KARYA
ILMIAH
PADA
SUATU
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH
GELAR
AKADEMIK
TERTENTU.
SAYA
JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Astri Lestari lahir di Cianjur 21 Oktober 1988. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, pasangan Bapak Asep Saepudin dan Ibu Atih Haryati. Penulis menempuh pendidikan dari mulai Taman Kanak-Kanak di TK. Assaidiyah Cipanas pada tahun1994-1995, lalu belajar di Sekolah Dasar Negeri Dewisartika pada tahun 1995-2001, SMP Negeri 1 Pacet tahun 2001-2004 dan SMA Negeri 1 Sukaresmi tahun 2004-2007. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Saringan Masuk IPB). Penulis telah memilih Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang berada di bawah naungan Fakultas Ekologi Manusia sebagai angkatan ketiga. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis mengikuti beberapa organisasi. Berawal pada tingkat 1 (satu), penulis telah diterima sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) (2007-sekarang) dengan menjabat sebagai sekretaris (2010) dan menjadi anggota di divisi Broadcast (2007sekarang). Penulis juga aktif di kegiatan seni tradisional IPB yaitu Gentra Kaheman (2009-sekarang), anggota basket putri Fakultas Ekologi Manusia (2008sekarang), anggota voli KPM (2008-sekarang), dan teater Up2date KPM (2008sekarang). Selain itu, penulis juga mengikuti beberapa kepanitiaan acara seperti, panitia ANTV Topic Citizen (2007), divisi Hubungan Masyarakat (HUMAS) Communication And Community Development Expo 2008 (COMMNEX’2008), Divisi Humas Indonesian Ecology Expo 2008 (INDEX’2008), Divisi Acara Malam Seni Long Night Withs Art Departemen SKPM (2009), Divisi Acara Masa Perkenalan Departemen (2009), Divisi Acara Malam Keakrabaan Departemen SKPM (2009), Penanggung Jawab Acara Pembukaan Pekan Ekologi Manusia (PEM’2009).
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skirpsi ini tepat pada waktunya. Adapun skripsi yang penulis beri judul “Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio-Ekologis Konversi Lahan Pertanian: Studi Kasus Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor” merupakan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui berbagai tipe konversi lahan dan dampak dari kegiatan konversi lahan yang berlangsung di Desa Tugu Utara. Konversi lahan merupakan suatu fenomena yang menjadi perhatian berbagai pihak apalagi untuk kegiatan konversi yang berlangsung di sekitar kawasan Puncak, termasuk Desa Tugu Utara. Desa Tugu Utara merupakan salah satu desa yang menjadi bagian paling hulu dari DAS Ciliwung. Kegiatan konversi lahan ini memberikan berbagai pengaruh dan perubahan pada wilayah disekitar konversi. Oleh karena itu, menjadi suatu kajian yang menarik jika dilakukan penelitian di kawasan ini. Penelitian ini dilakukan tidak semata-mata hanya untuk memperoleh gelar sarjana, melainkan juga untuk memperoleh pengetahuan terkait dengan kegiatan perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
Bogor, Februari 2011 Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan atas karunia dan rahmat dari Allah SWT, yang telah memberikan kelancaran bagi penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan ini tidak dapat diselesaikan tanpa mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M. Sc, Agr. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan dukungan, bimbingan, arahan, dan sarannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 2. Ir. Melani Abdulkadir-Sunito, M. Sc, Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, MSi dan Martua Sihaloho, SP, MSi. Selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan sarannya untuk penulisan skripsi ini; 3. Kedua orang tua penulis Mama Atih Haryati dan Bapak Asep Saepudin yang selalu memberikan dukungan dan doa yang terus menerus yang tak terhingga dari dulu hingga sekarang kepada anakmu; 4. Keluarga besar penulis yaitu Mila Linggawati, Rizza Maulana, Resya Erista, Rizky Nugraha, keponakan tersayang Arnesya Diva Azzahra yang selalu memberikan keceriaan; 5. Keluarga besar Heryadi Fardilah yang telah memberikan doa dan dukungannya baik materil maupun non materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini; 6. Kaur perekonomian Bapak Ym. Cheppy, PPL Kang Tirya Nugraha, Bapak Rw Dedi, dan Bapak Ujang Yahya yang telah memberikan berbagai informasi, bimbingan, arahan, dan mendampingi penulis selama penelitian di Desa Tugu Utara; 7. Sahabat-sahabat Maya, Dewi, Uty, Tiche, Oii dan Nayla terima kasih atas persahabatan yang telah terjalin selama penulis menempuh pendidikan di IPB; 8. Sahabat-sahabat Hary, Kea, Wiwi, Desi, Lia, dan Anggit terima kasih atas dukungan, doa serta kebersamaan yang telah terjalin dari semenjak duduk di bangku SMP hingga sekarang;
9. Teman-teman akselerasi SKPM 44 Nendy, Laila, Navalinesia, Bio, Frisca, Zuhaida, Nyimas, Dina, Syifa, Geidy, Yunita, Isma, Mv, Thresa, Dewi, Ummi, dan Manda; 10. Teman-teman HIMASIERA, UP2date, Tim Basket dan Tim voli FEMA IPB, yang memberikan banyak pengalaman dan pengetahuan baru yang sangat mengagumkan; 11. Teman-teman SKPM 44 Asih, Dimitra, Asri, Yoshinta, Karina, Rajib, Helmi, Arsyad, Acibo dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas suasana perkuliahan yang menyenangkan saat bersama-sama menempuh
pembelajaran
di
Departemen
Sains
Komunikasi
dan
Pengembangan Masyarakat; 12. Teman-teman SMA Firman, Indah, Wirfan, Nur, Reni, Lukman, Cepi, Prativi, Veni, Vera, Yolan, Adar, Irfan, Enda dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan doanya kepada penulis; dan 13. Berbagai pihak lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Bogor, Februari 2011 Penulis
xi
DAFTAR ISI DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................... 3 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian .................................................................... 4 1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................... 4 BAB II PENDEKATAN TEORITIS ................................................................... 5 2.1 Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 5 2.1.1 Konsep dan Struktur Agraria ............................................................. 5 2.1.2 Definisi dan Manfaat Lahan .............................................................. 6 2.1.3 Definisi, Faktor Penyebab dan Tipe Konversi Lahan ....................... 7 2.1.4 Dampak Konversi Lahan ................................................................. 13 2.1.4.1 Dampak Sosio-Ekonomis.................................................... 13 2.1.4.2 Dampak Sosio-Ekologis...................................................... 15 2.1.5 Peraturan Pemerintah Tentang Pengendalian Konversi Lahan ........ 17 2.2 Kerangka Pemikiran .................................................................................. 18 2.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................... 21 2.4 Definisi Konseptual ................................................................................... 21 2.5 Definisi Operasional .................................................................................. 23 BAB III METODOLOGI PENELITIAN.......................................................... 29 3.1 Metode Penelitian ...................................................................................... 29 3.2 Jenis Data, Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 29 3.3 Kerangka Sampling ................................................................................... 29 3.3 Pemilihan Responden ................................................................................ 30 3.4 Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 32 3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................. 32 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN................................ 33 4.1 Gambaran Umum Desa Tugu Utara .......................................................... 33 4.1.1 Sungai Ciliwung ............................................................................... 33 4.1.2 Asal Nama Desa Tugu Utara ............................................................ 34 4.1.3 Kondisi Geografis dan Infrastruktur Desa Tugu Utara .................... 34 4.1.4 Kependudukan Desa Tugu Utara ..................................................... 35 4.1.5 Tata Guna Tanah Desa Tugu Utara .................................................. 38 4.1.6 Kegiatan Pertanian ........................................................................... 39 4.2 Gambaran Umum Kampung Sampay dan Kampung Sukatani ................. 39 4.3 Sejarah dan Fakta Konversi Lahan di Desa Tugu Utara ........................... 41 4.4 Karakteristik Responden ........................................................................... 43 BAB V TIPE-TIPE KONVERSI LAHAN ........................................................ 46 5.1 Fenomena Konversi Lahan di Desa Tugu Utara ....................................... 46 5.2 Tipe-Tipe Konversi Lahan ........................................................................ 49 5.2.1 Kluster Konversi Lahan.................................................................... 49 5.2.2 Tipe Konversi Lahan Berdasarkan Letak Kawasan ......................... 50
xii
5.2.3 Tipe Konversi Lahan Berdasarkan Tingkat Kecepatan .................... 52 5.2.4 Tipe Konversi Lahan Berdasarkan Pelaku Konversi ....................... 53 5.2.4.1 Warga Lokal........................................................................ 53 5.2.4.1.1 Kebutuhan Tempat Tinggal ......................................... 53 5.2.4.1.2 Keterdesakan Ekonomi................................................ 54 5.2.4.2 Warga Luar Desa (Pemilik Modal/Investor)....................... 55 5.2.5 Fakta-Fakta Konversi Lahan Berdasarkan Tipe Konversi Lahan di Desa Tugu Utara .............................................................. 56 5.3 Peranan Pemerintah Terkait Konversi Lahan di Desa Tugu Utara ........ 59 5.4 Ikhtisar .................................................................................................... 60 BAB VI DAMPAK SOSIO-EKONOMIS KONVERSI LAHAN.................... 63 6.1 Struktur Agraria ...................................................................................... 63 6.1.1 Perubahan Penguasaan Lahan ......................................................... 63 6.1.2 Luas Lahan ...................................................................................... 66 6.2 Kesempatan Kerja .................................................................................. 68 6.3 Pola Kerja ............................................................................................... 72 6.4 Struktur Pendapatan ............................................................................... 76 6.5 Kondisi Tempat Tinggal ......................................................................... 79 6.5.1 Status Penguasaan Tempat Tinggal ................................................ 79 6.5.2 Kondisi Fisik Tempat Tinggal ........................................................ 81 6.6 Hubungan Antar Anggota Keluarga ....................................................... 83 6.6.1 Pengambilan Keputusan.................................................................. 83 6.7 Hubungan Antar Warga.......................................................................... 85 6.7.1 Prostitusi ......................................................................................... 88 6.8 Ikhtisar .................................................................................................... 89 BAB VII DAMPAK SOSIO-EKOLOGIS KONVERSI LAHAN ................... 93 7.1 Akses Warga Terhadap Sumberdaya Air ............................................... 93 7.2 Cara Warga Membuang Limbah Rumah Tangga................................... 95 7.3 Degradasi Lingkungan ........................................................................... 98 7.3.1 Banjir............................................................................................... 98 7.3.2 Longsor ........................................................................................... 99 7.3.3 Kebisingan dan Kemacetan........................................................... 101 7.4 Ikhtisar .................................................................................................. 102 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 105 8.1 Kesimpulan .............................................................................................. 105 8.2 Saran ........................................................................................................ 105 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 106 LAMPIRAN ....................................................................................................... 108
xiii
DAFTAR TABEL Tabel 1 Peraturan Pemerintah yang Terkait Upaya Pengendalian Konversi Lahan Sawah ......................................................................... 18 Tabel 2 Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur Desa Tugu Utara, 2009....................................................................................................... 36 Tabel 3 Tingkat Pendidikan Desa Tugu Utara, 2009 ......................................... 37 Tabel 4 Penggunaan dan Luas Lahan Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor .................................................................... 38 Tabel 5 Hubungan Dimensi Konversi Lahan Berdasarkan Tipe Konversi yang terjadi di Desa Tugu Utara, 2010 ................................................. 56 Tabel 6 Keterkaitan Dimensi Konversi dengan Kondisi dilapangan ................. 61 Tabel 7 Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan Kampung Sampay, 2010 ........................................................................................ 64 Tabel 8 Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan Kampung Sukatani, 2010....................................................................................... 65 Tabel 9 Perubahan Luas Lahan Pertanian Warga Kampung Sampay (2000-2010)........................................................................................... 66 Tabel 10 Perubahan Luas Lahan Pertanian Warga Kampung Sukatani (2000-2010)........................................................................................... 67 Tabel 11 Perubahan Pola Kerja Warga Kampung Sampay Selama 10 Tahun (2000-2010) ............................................................................... 73 Tabel 12 Perubahan Pola Kerja Warga Kampung Sukatani Selama 10 Tahun (2000-2010) ............................................................................... 74 Tabel 13 Dampak Sosio-Ekonomis Konversi Lahan Pertanian di Kampung Sampay dan Kampung Sukatani, 2010 ................................ 90 Tabel 14 Bencana Tanah Longsor dan Banjir di Wilayah Desa Tugu Utara, 2009 .......................................................................................... 100 Tabel 15 Dampak Sosio-Ekologis Konversi Lahan Pertanian di Kampung Sampay dan Kampung Sukatani, 2010 ............................................... 103 Tabel 16 Dampak Sosio-Ekonomi dan Sosio-Ekologis Berdasarkan Tipe Konversi Lahan ................................................................................... 104
xiv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12 Gambar 13 Gambar 14 Gambar 15 Gambar 16 Gambar 17 Gambar 18 Gambar 19
Kerangka Berpikir .............................................................................. 20 Teknik Sampling dalam Pengambilan Responden ............................ 31 Mata Pencaharian Penduduk Desa Tugu Utara Tahun 2009 ............. 37 Tingkat Pendidikan Responden Desa Tugu Utara ............................. 43 Jumlah Responden Desa Tugu Utara Berdasarkan Kategori Pekerjaan, 2010 .................................................................................. 45 Proses Terjadinya Konversi ............................................................... 47 Bentuk Perubahan Peruntukkan Lahan .............................................. 48 Perubahan Kesempatan kerja Sektor Pertanian Tahun 2000 dan 2010.................................................................................................... 69 Perubahan Kesempatan Kerja Non Pertanian Tahun 2000 dan 2010.................................................................................................... 71 Pendapatan Rata-Rata Warga Selama Satu Tahun Terakhir (Rupiah) ............................................................................................. 76 Lapisan Sosial Ekonomi Berdasarkan Struktur Pendapatan .............. 78 Status Kepemilikan Tempat Tinggal Tahun 2010 ............................. 79 Kondisi Fisik Tempat Tinggal Warga Tahun 2010 ........................... 81 Jumlah Alat Elektronik yang dimiliki Warga Desa Tugu Utara ........ 82 Perubahan Pengambilan Keputusan Rumah Tangga ......................... 84 Akses Warga Desa Tugu Utara Terhadap Sumberdaya Air .............. 93 Kualitas Air ........................................................................................ 94 Cara warga Desa Tugu Utara Membuang Limbah Rumah Tangga................................................................................................ 96 Pengaruh dan Waktu Kejadian Terjadinya Gangguan Kebisingan ....................................................................................... 101
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di pulau Jawa semakin lama semakin meningkat. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Pulau Jawa mencapai 125, 91 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk ini mengakibatkan tekanan penduduk di suatu kawasan mengalami peningkatan sehingga meningkat pula kebutuhan akan lahan, ditambah lagi dengan berbagai upaya pembangunan yang dilakukan hampir di setiap daerah menimbulkan permintaan terhadap lahan yang sifatnya terbatas semakin besar. Permintaan terhadap lahan ini memicu terjadinya konversi lahan khususnya lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Konversi lahan pertanian ke non pertanian menjadi salah satu akar dari permasalahan agraria di Indonesia karena dapat mengakibatkan terjadinya situasi krisis yang berdampak luas bagi sektor pertanian. Selama tahun 2000-2002 luas konversi lahan sawah yang ditujukan untuk pembangunan kegiatan non pertanian seperti kawasan perumahan, industri, perkantoran, jalan, dan sarana publik lainnya rata-rata sebesar 110, 16 ribu hektar per tahun atau 58, 68 persen dari total luas lahan sawah yang dikonversi. Konversi lahan sawah ke kegiatan non pertanian tersebut sangat dominan di pulau Jawa yang memiliki pangsa luas konversi lahan sebesar 78, 25 persen (Irawan, 2008). Perubahan peruntukkan lahan pertanian ke peruntukkan diluar pertanian dapat berpengaruh terhadap aspek ekologi dan ekonomi masyarakat di sekitar wilayah konversi yang selanjutnya berdampak pada kehidupan sosial masyarakat yang memanfaatkan lahan pertanian sebagai sumber kehidupannya. Pada aspek sosial ekonomi, konversi lahan pertanian dapat berdampak positif sekaligus berdampak negatif. Dampak positif dirasakan pada sektor non pertanian yang semakin maju karena dapat didirikan berbagai bangunan dan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, pendapatan yang diperoleh dari sektor non pertanian lebih besar dibanding sektor pertanian apalagi pada masa awal industrialisasi (Wiradi, 2009). Akan tetapi, konversi lahan pertanian berdampak negatif pada sektor pertanian karena dapat menyebabkan hilangnya kesempatan dan peluang kerja di sektor pertanian, hilangnya manfaat
2
investasi dari lahan yang terkonversi, perekonomian wilayah di bidang pertanian menurun, semakin bertambahnya pengangguran akibat petani beralih ke pekerjaan di luar sektor pertanian, terjadinya penurunan luas lahan usahatani rumah tangga pertanian, dan terancamnya ketersediaan pangan dan ketahanan pangan. Selain itu, pada aspek ekologi konversi lahan dapat menimbulkan terjadinya fenomena degradasi lingkungan, seperti longsor, erosi, penurunan penutupan lahan (vegetasi) dan sedimentasi. Salah satu kawasan yang mengalami konversi lahan adalah Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Bogor. Desa ini berada di bagian hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan merupakan kawasan wisata yang banyak dikunjungi wisatawan, baik wisatawan dalam negeri maupun luar negeri. Banyaknya wisatawan yang berkunjung menjadikan daerah ini sebagai tempat peristirahatan yang tepat dikala perkotaan tidak lagi memberikan keindahan panorama alam dan kenyamanan bagi penduduknya. Hal ini mendorong berbagai pihak melakukan perubahan peruntukkan lahan di kawasan itu ke bentuk diluar peruntukkan pertanian seperti bangunan-bangunan fasilitas wisata berupa villa dan restoran. Perubahan fungsi lahan di kawasan hulu dapat menimbulkan berbagai dampak yang tidak hanya berakibat pada kawasan sekitar konversi, melainkan juga berakibat pada kawasan yang ada di bagian hilir DAS Ciliwung. Hal ini terjadi karena adanya interkoneksitas kawasan hulu dan hilir. Salah satu bencana yang sering menjadi sorotan adalah bencana banjir di hilir DAS Ciliwung tepatnya di Jakarta yang terjadi akibat perubahan tata ruang di bagian hulu yaitu wilayah Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur). Jika terjadi banjir di kawasan hilir, kebanyakan orang menyebutnya sebagai “Banjir kiriman dari Bogor”. Istilah ini menandakan bahwa fungsi wilayah hulu sebagai wilayah resapan air tidak lagi berjalan dengan baik, sehingga berdampak pada ketidakmampuan daya dukung lingkungan untuk menopang berbagai bentuk aktivitas manusia. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, penulisan ini menitikberatkan pada kajian mengenai dampak konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian pada kehidupan sosial ekonomi rumah tangga dan sosial ekologi kawasan yang mengalami konversi lahan. Telaah yang dilakukan dalam
3
penulisan ini juga hendak mengetahui tipe konversi lahan yang terjadi di Desa Tugu Utara. 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan konversi lahan pertanian ke non pertanian tidak terlepas dari keterbatasan sumberdaya alam dalam memenuhi kebutuhan manusia yang terus berkembang. Seiring berjalannya waktu, jumlah manusia yang hidup di bumi semakin meningkat. Hal ini tidak diiringi dengan kemampuan sumberdaya alam yang bersifat tetap jumlahnya. Dengan demikian, fenomena tersebut akan memicu terjadinya persaingan antar berbagai aktor untuk memenuhi kepentingannya dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang terbatas ini, sehingga mengakibatkan terjadinya konversi lahan, khususnya lahan pertanian. Konversi lahan pertanian dalam konteks penelitian ini adalah perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian seperti villa, hotel, tempat tinggal, dan toko. Setiap wilayah mengalami tipe konversi yang berbeda-beda tergantung dari kebutuhan dilakukannya konversi, sehingga memberikan dampak yang berbeda pula bagi wilayah yang terkena konversi tersebut. Dampak yang ditimbulkan akibat konversi lahan dapat berupa dampak positif sekaligus dampak negatif. Namun yang lebih nyata terlihat adalah dampak negatif, khususnya untuk konversi lahan sawah yang dikemudian hari dapat menjadi suatu permasalahan yang bersifat permanen, kumulatif, dan progresif dibidang sosial ekonomi dan sosial ekologi (Irawan, 2005). Dampak konversi lahan pertanian ini menjadi permasalahan yang perlu mendapat perhatian besar karena dapat menimbulkan terjadinya berbagai perubahan bagi masyarakat dalam sisi sosial ekonomi seperti penguasaan lahan pertanian, kesempatan kerja, pola kerja, kondisi tempat tinggal, hubungan antar anggota rumah tangga dan hubungan antara warga. Konversi juga menimbulkan perubahan pada lingkungan karena dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan yang terkait dengan kemampuan daya dukung lingkungan hidup dalam memfasilitasi kebutuhan manusia. Terkait hal tersebut maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagaimana terangkum dalam tiga pertanyaan berikut ini:
4
1. Apa saja tipe konversi lahan yang terjadi di lokasi penelitian? 2. Bagaimana dampak sosio-ekonomis konversi lahan terhadap masyarakat lokal? 3. Bagaimana dampak sosio-ekologis konversi lahan terhadap masyarakat lokal? 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Mengetahui tipe konversi lahan yang terjadi di lokasi penelitian. 2. Mengetahui dampak sosio-ekonomis konversi lahan pada rumah tangga setempat. 3. Mengetahui dampak sosio-ekologis konversi lahan pada kawasan setempat. 1.4 Kegunaan Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain: 1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses pembelajaran dalam memahami fenomena kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh konversi lahan dan mempelajari kondisi masyarakat yang berada di sekitar wilayah konversi dilihat dari sisi sosial dan ekonomi. 2. Bagi civitas akademik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam melakukan penelitian-penelitian mengenai dampak konversi lahan. 3. Bagi masyarakat di tempat penelitian, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan tertulis mengenai situasi dan kondisi lingkungannya sendiri karena adanya konversi lahan. 4. Bagi pemerintah dan masyarakat luas, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman terkait konversi lahan serta dapat dijadikan suatu referensi untuk pembuatan program pengendalian konversi lahan.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1
Konsep dan Struktur Agraria Menurut UUPA 1960 (UU No.5 Tahun 1960) sebagaimana dikutip oleh
Sitorus (2002), pengertian dasar agraria adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Terdapat lima jenis sumber agraria menurut Sitorus (2002) yang meliputi: 1. Tanah atau permukaan bumi. Jenis sumber agraria ini merupakan modal alami utama dari kegiatan pertanian dan peternakan. 2. Perairan. Jenis sumber agraria ini merupakan modal alami dalam kegiatan perikanan, baik perikanan sungai maupun perikanan danau dan laut. 3. Hutan. Jenis sumber agraria ini merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas perhutanan. 4. Bahan tambang. Jenis sumber agraria ini merupakan sumber agraria yang terkandung di “tubuh bumi, seperti timah, bijih besi, emas, gas, minyak, dam lain sebagainya. 5. Udara.
Jenis sumber agraria ini merupakan sumber agraria yang
termasuk juga materi “udara” sendiri. Konsep agraria merujuk pada berbagai hubungan antara manusia dengan sumber-sumber agraria serta hubungan antar manusia dalam rangka penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria (Sitorus, 2002). Selanjutnya Sitorus (2002) juga menyatakan dalam pemanfaatan sumber-sumber agraria terdapat tiga subjek agraria yang dibedakan menjadi tiga yaitu komunitas, pemerintah dan swasta. Struktur agraria pada dasarnya menjelaskan bagaimana struktur akses pihak-pihak yang terkait dengan sumberdaya agraria. Dengan kata lain, hubunganhubungan sosio-agraria dapat menjelaskan bagaimana struktur agraria suatu masyarakat. Selanjutnya pada aras yang lebih luas struktur agraria merupakan
6
gambaran dari masyarakat (Sihaloho, 2004). Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sitorus, et.al (2008) mengenai perubahan struktur agraria dan diferensiasi kesejahteraan petani menyatakan bahwa struktur agraria yang dimaksud dalam penelitiannya adalah pola-pola hubungan sosial yang terkait dengan lahan, baik berupa penguasaan, struktur pengusahaan, dan kemudian diikuti oleh struktur distribusi hasil pengelolaan sumber-sumber agraria. Suatu struktur agraria bukanlah suatu struktur yang tetap atau kekal sepanjang masa, tetapi secara dinamis struktur tersebut akan berubah mengikuti perubahan yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, termasuk berlangsungnya perkembangan modal produksi yang dijalankan kaum tani (Sitorus, et.al, 2008). Konsep penguasaan lahan mencakup pengertian penguasaan tetap (pemilikan perorangan) dan penguasaan sementara (bagi hasil, sewa, buruh upah sadap, dan gadai). Misalnya jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain, maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya (Sitorus, et.al, 2008). Selain itu, menurut Wiradi, et.al (2009) masalah penguasaan tanah yang sering dipandang sebagai masalah “hubungan manusia dengan tanahnya” sebenarnya lebih menyangkut hubungan sosial ekonomi dan politik antar manusia. Pengertian hubungan antar manusia ini dapat diterangkan dengan suatu contoh yang sederhana. Kenyataan bahwa “aku memiliki tanah ini” bukan hanya menunjukkan adanya suatu hubungan atau ikatan diantara aku dan sebidang tanah tertentu, tetapi mengandung pula berbagai implikasi, misalnya: “Kamu tidak boleh memakai tanahku ini”, atau: “Jika kamu menggarap tanahku, separuh hasilnya harus kau serahkan padaku”. 2.1.2
Definisi dan Manfaat Lahan Berkaitan dengan sumberdaya alam dikenal istilah tanah dan lahan yang
pengertiannya seringkali rancu. Sesungguhnya pengertian lahan lebih luas daripada tanah, sebagaimana dalam pengertian berikut ini. Sumberdaya lahan merupakan suatu lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, topografi, hidrologi dan vegetasi dimana pada batas-batas tertentu mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan (FAO, 1976) sebagaimana dikutip Rayes (2007). Dengan demikian dalam pengertian lahan, tanah termasuk didalamnya. Arsyad (1989) sebagaimana dikutip Rayes (2007) mendefinisikan istilah tanah dengan memiliki tiga pengertian, yaitu:
7
1) Tanah sebagai media tumbuh tanaman; 2) Tanah sebagai benda alami tiga dimensi di permukaan bumi yang terbentuk dari interaksi antara bahan induk, iklim, organisme, topografi dalam kurun waktu tertentu; dan 3) Tanah sebagai ruangan atau tempat di permukaan bumi yang digunakan manusia untuk melakukan segala macam aktivitasnya. Pada pengertian pertama, perhatian lebih ditekankan
kepada
kualitas
tanah.
Sementara
pengertian
kedua,
tanah
diperlakukan sebagai bahan galian atau tambang dan bahan bangunan yang dinyatakan dalam berat (ton, kg) atau volume (m3), sedangkan pada pengertian ketiga tanah dinilai berdasarkan luas (ha, m2). Dalam bahasa Inggris, dua pengertian yang pertama setara dengan kata soil sedangkan pengertian yang ketiga setara dengan istilah land. Dengan demikian land atau lahan merupakan tanah yang dimanfaatkan manusia untuk melakukan segala macam
aktivitasnya.
Soetarto et. al., (2001) sebagaimana dikutip Sihaloho (2004) menyatakan bahwa tanah merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam usahatani pertanian. Sumberdaya ini termasuk sumberdaya yang “dekat” dengan petani dalam bentuk fisik tetapi “jauh” dalam bentuk akses di antara masyarakat. Lahan memiliki berbagai manfaat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Iqbal dan Soemaryanto (2007) menyatakan bahwa lahan difungsikan sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensi. Aktivitas yang pertama kali dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam (pertanian), selain itu lahan pertanian juga bermanfaat baik secara sosial dan ekonomi maupun lingkungan (Bappenas dan PSE-KP, 2006 sebagaimana dikutip oleh Iqbal, 2007). Secara sosial, eksistensi lahan pertanian terkait dengan tatanan kelembagaan masyarakat petani dan aspek budaya lainnya. Secara ekonomi, lahan pertanian adalah masukan paling esensial dalam keberlangsungan proses produksi. Sementara itu, secara lingkungan, aktivitas pertanian pada umumnya relatif lebih selaras dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan (Iqbal, 2007). 2.1.3
Definisi, Faktor Penyebab dan Tipe Konversi Lahan Iqbal dan Soemaryanto (2007) menyatakan bahwa istilah alih fungsi
(konversi) lahan merupakan perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi non pertanian. Konversi lahan merupakan suatu proses perubahan penggunaan lahan oleh manusia dari penggunaan tertentu menjadi
8
penggunaan lain yang dapat bersifat sementara dan permanen (Maftuchah, 2005). Menurut Winoto (1995) sebagaimana dikutip oleh Akib (2002) alih guna tanah merupakan suatu fenomena dinamik yang menyangkut aspek fisik dan aspek kehidupan masyarakat. Alih guna tanah pertanian ke non pertanian, disamping berubahnya fenomena fisik luasan tanah pertanian, juga berkaitan erat dengan berubahnya orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat. Konversi lahan adalah berubahnya satu penggunaan lahan ke penggunaan lainnya, sehingga permasalahan yang timbul akibat konversi lahan banyak terkait dengan kebijakan tataguna tanah (Ruswandi, 2005). Pengertian tersebut menunjukkan bahwa kebijakan tataguna tanah menjadi salah satu penyebab terjadinya konversi lahan, khususnya lahan pertanian. Faktor-faktor lain yang juga menjadi penyebab berlangsungnya kegiatan konversi lahan yaitu aksesbilitas lahan, lahan sebagai aset, persaingan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian serta penurunan produktivitas pertanian. 1. Kebijakan Pemanfaatan Lahan1 Kebijakan merupakan ketetapan pemerintah dalam berbagai hal termasuk menetapkan pengaturan pemanfaatan dan penggunaan lahan. Suatu kebijakan yang baik dapat menumbuhkan situasi atau keadaan yang kondusif. Hal ini harus didukung oleh lingkungan kebijakan itu sendiri (Irawan, 2008). Lingkungan kebijakan dapat berupa persepsi masyarakat tentang suatu kebijakan, kepedulian, dan dukungan masyarakat terhadap kebijakan yang telah dirumuskan, sistem sosial yang berlaku di masyarakat, tatanan politik, situasi ekonomi yang kondusif atau tidak kondusif, dan sistem hukum dan peradilan yang berlaku di masyarakat. Kebijakan-kebijakan dan peraturan pemerintah tentang pemanfaatan sumberdaya alam khususnya lahan masih menjadi wacana dimana terdapat ketidaksesuaian antara peraturan tertulis dengan implementasi di lapangan. Selain itu, konversi lahan pertanian juga terjadi karena kebijaksanaan pemerintah yang kurang memprioritaskan sektor pertanian (Utama, 2006). Padahal sektor pertanian memberikan kontribusi yang tinggi terhadap ketahanan pangan, namun kurangnya perhatian pemerintah terhadap lahan pertanian menimbulkan konversi lahan yang 1
Berdasarkan hasil penelitian (tesis) Martua Sihaloho (2004) yang berjudul Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria: Kasus Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat.
9
terjadi semakin meningkat. Selain itu, adanya persaingan antara berbagai stakeholder memicu terjadinya konversi lahan. Di pihak pemerintah, terdapat kepentingan
terhadap
pembangunan-pembangunan
seperti
perumahan,
pembangunan sarana dan prasarana, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Sementara itu di pihak swasta, terdapat kepentingan untuk menanam modal atau investasi terhadap usaha yang akan dibangun agar dapat mendatangkan keuntungan dimana erat kaitannya dengan kebijakan yang diberikan pemerintah. Salah satu investasi tertinggi adalah dengan pembangunan di lahan pertanian (Utama, 2006). Iqbal dan Soemaryanto (2007) menyatakan bahwa lahan pertanian yang menjadi tempat strategis untuk pembangunan adalah lahan sawah. Dari segi keuntungan bagi para investor untuk melakukan konversi lahan di areal sawah disebabkan oleh pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan. Sementara itu, masyarakat merupakan pihak yang juga memperoleh dampak dari kebijakan pemerintah. Menurut Widiatmaka (2007) kebijakan penggunaan lahan didasarkan pada berbagai aspek antara lain: 1) Aspek teknis yaitu menyangkut potensi sumberdaya lahan yang dapat diperoleh dengan cara melakukan evaluasi kesesuaian lahan; 2) Aspek lingkungan yaitu dampaknya terhadap lingkungan; 3) Aspek hukum yaitu harus sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku; 4) Aspek sosial yaitu menyangkut penggunaan lahan untuk kepentingan sosial; 5) Aspek ekonomi yaitu penggunaan lahan secara optimal yang memberi keuntungan setinggitingginya tanpa merusak lahannya sendiri serta lingkungannya; dan 6) Aspek politik yaitu kebijakan pemerintah. 2. Aksesbilitas Lahan2 Aksesbilitas menurut Saefulhakim dan Nasution (1995) sebagaimana dikutip oleh Akib (2002) terkait dengan adanya pembangunan-pembangunan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi terhadap meningkatnya aksesbilitas lokasi. Hal ini akan lebih mendorong perkembangan penggunaan 2
Ibid.
10
tanah pertanian ke non pertanian. Wilayah yang jauh dari pusat perekonomian cenderung mengalami konversi lahan dengan dibangunnya sarana dan prasarana transportasi, karena ketika terdapat sarana transportasi dapat mempermudah akses masyarakat untuk berbagai hal. Oleh karena itu, konversi lahan pertanian menjadi lahan peruntukkan lain akan akan semakin meningkat. Selain itu, lahan yang biasanya dijadikan untuk kegiatan konversi adalah lahan yang jaraknya dekat atau berbatasan dengan perkotaan. Saefulhakim dan Nasution (1995) sebagaimana dikutip oleh Akib (2002) menyatakan bahwa penyebab terjadinya konversi lahan di wilayah yang jaraknya dekat dengan perkotaan adalah memungkinkan berlangsungnya kegiatan perekonomian dimana lahan pertanian diubah menjadi bangunan-bangunan seperti industri, pabrik, pembangunan transportasi, dan sarana pemukiman penduduk. Oleh sebab itu, aksesbilitas terhadap lahan pertanian untuk dialihfungsikan ke non pertanian mempertimbangkan jarak dengan sarana dan prasarana. 3. Lahan Sebagai Aset3 Lahan merupakan aset yang berharga bagi kehidupan manusia. Dardak (2005) mengemukakan bahwa lahan memiliki dua karakteristik unik, diantaranya adalah (1) sediaan/luas relatif tetap karena perubahan luas akibat proses alami (sedimentasi) dan proses artifisial (reklamasi) sangat kecil; (2) lahan memiliki sifat fisik (jenis batuan, kandungan mineral, topografi, dsb.) dengan kesesuaian dalam menampung kegiatan masyarakat yang cenderung spesifik. Kedua karakteristik tersebut mengakibatkan lahan menjadi suatu komoditas yang memiliki nilai yang tinggi. Oleh sebab itu, berbagai stakeholder saling bersaing untuk memperoleh manfaat lahan karena menyadari pentingnya lahan. 4. Persaingan Sektor Pertanian dan Sektor Non Pertanian4 Sektor pertanian dengan sektor non pertanian saling bersaing untuk dapat memanfaatkan lahan seoptimal mungkin. Persaingan pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu keterbatasan
3
Berdasarkan hasil penelitian (tesis) Novi Akib Narlila (2002) Studi Keterkaitan Antara NIlai Manfaat Lahan (Land Rent) dan Konversi Lahan Pertanian di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. 4 Berdasarkan hasil penelitian (jurnal) yang dilakukan oleh Bambang Irawan yang berjudul Meningkatkan Efektivitas Kebijakan Konversi Lahan pada tahun 2008.
11
sumberdaya lahan, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi (Irawan, 2008). a. Keterbatasan Lahan Di setiap daerah luas lahan yang tersedia relatif tetap atau terbatas. Hal ini memicu terjadinya persaingan antara berbagai aktor agar dapat memanfaatkan lahan, ditambah lagi dengan sifatnya yang tidak tergantikan. b. Pertumbuhan penduduk Pertumbuhan penduduk
dunia
semakin
tinggi,
sehingga
akan
meningkatkan kelangkaan lahan yang berimplikasi pada terbatasnya sumberdaya lahan untuk mencukupi kebutuhan manusia (Anugerah, 2005). Pertumbuhan penduduk menimbulkan terjadinya kepadatan penduduk yang akan memicu berlangsungnya konversi lahan pertanian untuk sarana tempat tinggal, yaitu pemukiman. Setiap individu membutuhkan tempat untuk menetap, maka meningkatnya jumlah penduduk mengharuskan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan yang dimanfaatkan untuk tempat tinggal. Selain itu, terdapat interkoneksitas antara penduduk pedesaan dengan penduduk perkotaan. Bertambahnya jumlah penduduk pedesaan mengakibatkan berlangsungnya arus urbanisasi. Urbanisasi merupakan proses meningkatnya proporsi penduduk yang bermukim di daerah perkotaan (Rusli, 1995). Beberapa penyebab terjadinya urbanisasi dirumuskan menjadi tiga yaitu adanya pertambahan alami penduduk perkotaan (pertumbuhan penduduk perkotaan), terjadinya migrasi dari desa ke kota, dan perubahan daerah pedesaan menjadi perkotaan. Penyebab yang ketiga merupakan implikasi dari berlangsungnya konversi lahan pertanian menjadi non pertanian. c. Pertumbuhan ekonomi Utama (2006) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan non pertanian dengan laju lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian, karena permintaan produk non pertanian lebih elastis terhadap pendapatan. Meningkatnya kelangkaan lahan (akibat pertumbuhan penduduk), yang diiringi dengan meningkatnya permintaan lahan yang relatif tinggi untuk kegiatan non pertanian (akibat pertumbuhan ekonomi) pada akhirnya mengakibatkan konversi lahan pertanian. Selain itu, pertumbuhan ekonomi suatu daerah dicerminkan oleh
12
pertumbuhan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) daerah tersebut. Peningkatan PDRB suatu wilayah berarti terjadi peningkatan kegiatan pada sektor non pertanian, sehingga dapat menghasilkan nilai produk lebih tinggi yang dapat meningkatkan sumbangan sektor tersebut dalam pembentukan PDRB (Utama, 2006). Hal ini menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian untuk sektor di luar pertanian agar PDRB daerah tersebut meningkat. 5. Penurunan Produktivitas Pertanian Masyarakat petani menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, namun adanya berbagai pembangunan dan akibat dari persaingan antara sektor pertanian dengan sektor non pertanian menimbulkan keberlangsungan hidup petani di sektor pertanian terancam. Hal ini menurut Saefulhakim dan Nasution (1995) sebagaimana dikutip oleh Akib (2002) terkait dengan strukur biaya produksi pertanian dimana biaya produksi dan aktivitas budidaya tanah sawah yang semakin mahal akan cenderung memperkuat proses peralihgunaan tanah. Salah satu faktor pendorong meningkatnya biaya produksi ini adalah berkaitan dengan skala usaha. Selain itu, fluktuasi harga pertanian menyangkut aspek fluktuasi harga-harga komoditi yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah (misalnya palawija dan padi). Oleh sebab itu, tingginya biaya pengelolaan lahan pertanian memberi pengaruh pada keputusan petani untuk meninggalkan sektor pertanian dan beralih ke sektor non pertanian dengan menjual lahan mereka. Kegiatan konversi lahan memiliki beragam pola tertentu tergantung pada kebutuhan dari usaha konversi lahan itu sendiri. Menurut Soemaryanto, et.al. (2001) memaparkan bahwa pola konversi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek. Pertama, menurut pelaku konversi, yang dibedakan menjadi dua yaitu: 1. Alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan.
Lazimnya, motif tindakan ada tiga, yaitu: (a) Untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal. (b) Dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha. (c) Kombinasi dari (a) dan (b) seperti misalnya untuk membangun rumah tinggal yang sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola konversi seperti ini terjadi di sembarang tempat, kecil-kecil dan tersebar. Dampak konversi
13
terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya baru significant untuk jangka waktu lama. 2. Alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan. Pemilik menjual kepada
pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non sawah atau kepada makelar. Secara empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini terjadi dalam hamparan yang lebih luas, terkonsentrasi dan umumnya berkorelasi positif dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak konversi terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya berlangsung cepat dan nyata. Kedua, pola konversi lahan yang ditinjau menurut prosesnya. Menurut prosesnya kegiatan konversi lahan sawah dapat pula terjadi secara gradual dan seketika. Secara gradual, alih fungsi lazimnya disebabkan fungsi sawah tidak optimal. Umumnya hal seperti ini terjadi akibat degradasi mutu irigasi atau usaha tani
padi
di
lokasi
tersebut
tidak
dapat
berkembang
karena
kurang
menguntungkan. Sedangkan secara seketika (instant), alih fungsi yang umumnya berlangsung di wilayah sekitar urban, yakni berubah menjadi lokasi pemukiman atau kawasan industri. Berdasarkan faktor pokok konversi, pelaku, pemanfaat dan prosesnya, Sihaloho (2004) membedakan konversi lahan menjadi tujuh pola atau tipologi berdasarkan penelitian yang dilakukan di kelurahan Mulyaharja. Ketujuh pola tersebut antara lain: 1) Konversi Gradual-Berpola Sporadis; 2) Konversi Sistematik berpola “enclave”; 3) Konversi Lahan sebagai Respon Atas Pertumbuhan Penduduk (population growth driven land conversion); 4) Konversi yang disebabkan oleh Masalah Sosial (social problem driven land conversion); 5) Konversi “Tanpa Beban”; 6) Konversi Adaptasi Agraris; dan 7) Konversi Multi Bentuk atau Tanpa Bentuk/Pola. 2.1.4
Dampak Konversi Lahan
2.1.4.1 Dampak Sosial Ekonomi Konversi lahan pertanian memberikan dampak positif pada sektor non pertanian, seperti tersedianya sarana prasarana, berlangsungnya pembangunan, dan pendapatan yang diperoleh lebih besar dibandingkan sektor pertanian. Hal ini menyebabkan para petani beralih profesi ke sektor non pertanian agar standar hidup terpenuhi (Utama, 2006).
Ditambah lagi dengan terjadinya penurunan
14
produksi pertanian, maka petani pun semakin menjauh dari sektor pertanian. Saefulhakim dan Nasution (1995) sebagaimana dikutip oleh Akib (2002) menyatakan bahwa hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa pada kenyataannya masyarakat lokal (pemilik tanah semula dan buruh tani) banyak sekali yang tak dapat menikmati kesempatan kerja dan pendapatan dari aktivitas ekonomi yang baru. Pemetik manfaat umumnya justru pendatang. Hal ini disebabkan adanya senjang permintaan dan penawaran tenaga kerja maupun karena kalah bersaing dengan pendatang. Wiradi (2009) menyatakan bahwa pada keluarga miskin, cenderung akan mengorbankan harta berharga mereka agar dapat memenuhi kebutuhannya yaitu dengan menjual lahan. Dalam jangka pendek, uang hasil penjualan dapat memberikan keuntungan, namun untuk jangka panjang hanya menimbulkan permasalahan baru, seperti pendapatan dan kesempatan petani di bidang pertanian hilang, hilangnya manfaat investasi dari lahan yang terkonversi, perekonomian wilayah di bidang pertanian menurun, semakin bertambahnya pengangguran akibat petani beralih ke pekerjaan di luar sektor pertanian, karena tidak diiringi dengan keterampilan dan pendidikan yang memadai, dan terjadinya penurunan luas lahan usahatani rumah tangga petani. Lahan pertanian yang semakin sempit ini mengakibatkan terjadi ”situasi krisis” di kawasan berlangsungnya konversi lahan. Krisis tersebut pada gilirannya menyebabkan meledaknya urbanisasi karena petani tersingkir dari desanya, dan tertarik oleh sektor non pertanian di kota yang memberikan pendapatan lebih tinggi terutama pada masa awal industrialisasi (Wiradi, 2009). Akibatnya, luas lahan pertanian milik petani semakin menurun. Penurunan luas lahan milik ini mempunyai pengaruh positif terhadap penurunan tingkat kesejahteraan petani. Artinya, bila lahan milik seorang petani turun satu persen, maka akan meningkatkan resiko penurunan kesejahteraan sebesar 1,079 kali (Ruswandi et. al., 2007). Selain itu, hilangnya produksi pertanian akibat lahan pertanian yang dikonversi menyebabkan terancamnya ketahanan pangan nasional. Lahan pertanian yang terkonversi memiliki dampak yang bersifat permanen, kumulatif, dan progresif (Irawan, 2008). Hal ini disebabkan sifat lahan pertanian yang irreversible dan upaya pencetakkan lahan sawah baru dalam
15
rangka pemulihan produksi pangan membutuhkan waktu 5-15 tahun. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat konversi lahan pertanian akan menyebabkan semakin terancamnya ketahanan pangan karena luas lahan pertanian semakin berkurang. Disamping pengaruhnya pada aspek-aspek ekonomi tersebut, konversi lahan juga memberikan pengaruh pada kondisi sosial masyarakat. Masyarakat mengalami perubahan perilaku ataupun sikap mereka terhadap sektor pertanian dan sektor non pertanian yang berimplikasi pada kehidupan sehari-hari masyarakat itu sendiri. 2.1.4.2 Dampak Sosial Ekologi Istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani, oekos berarti rumah dan logi atau logos berarti ilmu. Sehingga secara harfiah ekologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang makhluk hidup dalam rumahnya atau dapat diartikan juga sebagai ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup (Adiwibowo, 2007). Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup berinteraksi timbal balik dengan lingkungan hidupnya baik yang bersifat hidup (biotik) maupun yang bersifat tak hidup (abiotik) (Adiwibowo, 2007). Konversi lahan pertanian ke non pertanian mengakibatkan terjadinya perubahan ekologis. Menurut Dharmawan (2007) dalam Adiwibowo (2007) perubahan ekologis merupakan dampak yang tidak dapat dielakkan dari interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam proses pertukaran (exchange). Proses pertukaran itu sendiri melibatkan energi, materi dan informasi yang saling diberikan oleh kedua belah pihak (kedua sistem yang saling berinteraksi). Sistem alam dan sistem manusia saling memberikan energi, materi, dan informasi dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain. Dharmawan (2007) menyatakan bahwa manusia meminta materi, energi dan informasi dari alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup (pangan-sandang-papan atau substance needs). Sementara alam, lebih banyak mendapatkan energi, materi, dan informasi dari manusia dalam bentuk waste and pollutant (termasuk radio-active waste) yang lebih banyak mendatangkan kerugian bagi kehidupan seluruh penghuni planet bumi. Oleh karena itu, pertukaran tersebut mengalami ketidakseimbangan yang disebabkan ketidaksesuaian hubungan timbal balik antara manusia dengan alam. Manusia memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sementara
16
alam memperoleh kerugian dari pemanfaatan tersebut karena mengalami eksploitasi, sehingga menimbulkan adanya krisis ekologi. Krisis ekologi dapat terjadi salah satunya karena salah urus pembangunan. Permasalahan tersebut berdampak pada terjadinya kelangkaan sumberdaya (khususnya pangan), terjadinya berbagai bencana lokal dan pembangunan, dan munculnya konflik wilayah hidup (Kartodihardjo, 2006). Kelangkaan pangan sudah pasti terjadi jika lahan pertanian terus menerus dialihkan penggunaannya, padahal lahan pertanian merupakan sektor terpenting dalam penyedia kebutuhan pangan
manusia.
Sementara
konflik
wilayah
muncul
akibat
semakin
meningkatnya persaingan antar berbagai aktor. Dilihat dari sudut pandang ekologi, adanya konversi lahan dapat berdampak pada terganggunya ketahanan daya dukung lingkungan dimana jika dilakukan secara terus menerus tanpa adanya pengendalian, dapat menyebabkan terjadinya fenomena degradasi lingkungan, seperti longsor, erosi, penurunan penutupan lahan (vegetasi), dan sedimentasi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia belakangan ini. Sebagai contoh terjadinya banjir di daerah Bogor-Jakarta pada bulan Februari 2010 merupakan bencana alam yang menurut Satria (2010)5 merupakan bencana alam akibat faktor alam dan faktor manusia (antropogenetik). Tingginya curah hujan merupakan bencana alam akibat faktor alam, sedangkan rendahnya resapan air ke tanah akibat perubahan alih fungsi lahan dan bangunan di sekitar kawasan Puncak, sehingga bencana ini termasuk bencana alam akibat faktor antropogenetik. Hal ini mengindikasikan bahwa konversi lahan termasuk pada penyebab bencana alam akibat faktor kedua yang juga dapat dikatakan sebagai “bencana buatan”6. Konversi lahan merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan. Kerusakan sumberdaya alam dapat berdampak pada kehidupan sosio-ekonomi-ekologi suatu sistem kemasyarakatan. Menurut Dharmawan (2007) sistem sosial masyarakat akan menghadapi tiga aspek terpenting kerusakan lingkungan dari perspektif ekologi politik. Ketiga aspek itu adalah: 1) marjinalitas atau peminggiran secara sosial-ekologi suatu kelompok 5 6
Arif, Satria. 2010. Ekologi-Politik Banjir. Bogor: Kompas. Bencana buatan merupakan bencana alam yang terjadi akibat tinglah laku manusia yang tidak selaras dengan alam.
17
masyarakat; 2) kerentanan secara sosial-ekonomi-ekologi dan fisik akibat berlangsungnya kehancuran secara terus menerus; dan 3) kehidupan yang penuh dengan resiko kehancuran taraf lanjut. 2.1.5
Peraturan Pemerintah Tentang Pengendalian Konversi Lahan Berdasarkan UUPA No.5 tahun 1960 ayat (2) yang menyatakan bahwa
Negara memiliki wewenang untuk: 1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa, 2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air, dan ruang angkasa, dan 3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkaitan dengan bumi, air, dan ruang angkasa (Irawan, 2008). Sementara itu, berdasarkan Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas selaku Ketua BKTRN No. 5417/MK/10/1994 Tahun 1994, Kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia perihal efisiensi pemanfaatan lahan bagi perumahan, membuat suatu ringkasan yaitu: 1) Tidak mengizinkan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaan di luar pertanian; 2) Meningkatkan upaya pembangunan perumahan bertingkat untuk semua golongan masyarakat; 3) Pembangunan perumahan baru, supaya diarahkan ke lahan yang telah berizin lokasi. Jika memang diperlukan lokasi baru maka diarahkan ke lahan di luar lahan beririgasi teknis. Pernyataan di atas diperkuat oleh Surat Menteri Dalam Negeri No.474/4263/S/Sj Tahun 1994, Kepada Gubernur KDH Tingkat I seluruh Indonesia perihal peninjauan kembali RTRW Provinsi Dati I dan RTRW Kabupaten/Kotamadya Dati yang berisi: 1) Tidak mengizinkan perubahan penggunaan lahan pertanian irigasi teknis menjadi penggunaan non pertanian; 2) Mengamankan jaringan irigasi teknis yang ada dan memanfaatkannya semaksimal mungkin; 3) Mengevaluasi kembali RTRW Dati II bila didalamnya tercantum rencana penggunaan lahan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan bukan pertanian. Kewenangan yang dimiliki Negara tersebut berpengaruh pada kebijakan pemerintah dalam kaitannya dengan sumberdaya alam. Oleh karena itu, terdapat peraturan
pemerintah
yang
secara
khusus
membahas
mengenai
upaya
18
pengendalian konversi lahan sawah. Berikut ini peraturan pemerintah tentang pengendalian konversi lahan sawah menurut Irawan (2008) yang dirumuskan pada Tabel 1. Tabel 1. Peraturan Pemerintah Terkait dengan Upaya Pengendalian Konversi Lahan Sawah Peraturan Pemerintah KEPRES No. 53/1989 KEPRES No. 33/1990 PERMENDAGRI No. 5/1974 SE MNA/KBPN No. 410-1851/1994 SE MNA/KBPN No. 410-2262/1994 SE KBAPENAS No. 5334 /MK/9/1994 SE MNA/KBPN No.5335/MK/1994
SE MNA/KBPN No. 5417/MK/10/1994 SE MNA/KBPN No. 460-1594/1996
Substansi Pembangunan kawasan industri tidak boleh mengurangi lahan pertanian dan tidak dilakukan di atas tanah yang memiliki fungsi utama untuk melindungi sumberdaya alam dan warisan budaya. Ijin pembebasan tanah untuk pembangunan kawasan industri tidak boleh meliputi kawasan pertanian tanaman pangan berupa sawah irigasi dan lahan yang dicadangkan untuk pembangunan sawah irigasi. Lokasi pembangunan kompleks perumahan oleh perusahaan sedapat mungkin menghindari lahan pertanian subur dan mengutamakan tanah yang kurang produktif. Dalam menyusun RTRW Dati I dan Dati II tidak memperuntukkan lahan sawah beririgasi teknis bagi penggunaan non pertanian. Pemberian ijin lokasi untuk penggunaan non pertanian tidak boleh meliputi lahan sawah beririgasi teknis. Pelarangan konversi lahan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian. Tidak mengijinkan perubahan pemanfaatan sawah beririgasi teknis untuk penggunan non pertanian dan RTRW Dati II yang didalamnya meliputi rencana penggunaan lahan sawah beririgasi teknis untuk penggunaan non pertanian, harus direvisi. Perubahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk keperluan non pertanian tidak diijinkan. Melarang perubahan status lahan sawah menjadi lahan kering dengan menutup saluran irigasi, mengeringkan lahan sawah, menimbun lahan sawah dan seterusnya.
Sumber: Irawan (2008)
2.2 Kerangka Pemikiran Konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian seperti industri, pemukiman, villa dan lain sebagainya diduga disebabkan oleh beberapa faktor yang dibagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang menyebabkan konversi lahan antara lain kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan lahan dan pengendalian konversi lahan, lahan sebagai aset, aksesbilitas terhadap sarana dan prasarana, dan persaingan antara sektor pertanian dengan sektor non pertanian (keterbatasan lahan, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi), sedangkan faktor internal yang berasal dari petani seperti
19
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, kepemilikan lahan, dan adanya penurunan produktivitas pertanian. Kedua faktor tersebut menyebabkan terjadinya konversi lahan, akan tetapi yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah fenomena perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian di kawasan hulu yaitu di Desa Tugu Utara dengan melihat tipe konversi lahan dan dampak yang didapat bagi kawasan tersebut. Tipe konversi lahan untuk setiap kawasan berbeda-beda tergantung kebutuhan dari dilakukannya konversi. Berdasarkan hasil wawancara dengan infoman dan merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Soemaryanto (2001) dan Sihaloho (2004), peneliti membuat tipe konversi lahan pertanian yang sesuai dengan proses konversi yang berlangsung di Desa Tugu Utara. Ketiga tipe tersebut dilihat berdasarkan tiga sudut pandang yaitu konversi lahan berdasarkan letak kawasan yang terdiri tipe terbuka dan tertutup, berdasarkan tingkat kecepatan konversi yang terdiri dari tipe konversi cepat dan lambat, dan konversi lahan berdasarkan pihak pelaku konversi yang terdiri dari warga lokal dan warga luar desa. Konversi lahan dapat mengakibatkan dampak pada aspek sosio-ekonomis dan aspek sosio-ekologis. Dampak sosio-ekonomis terdiri dari terjadinya perubahan penguasaan lahan akibat konversi, perubahan persepsi rumah tangga setempat terhadap kesempatan kerja, perubahan pola kerja, struktur pendapatan, kondisi tempat tinggal, hubungan antar anggota rumah tangga dan hubungan antar warga, sementara itu untuk dampak sosio-ekologis yaitu terjadinya degradasi lingkungan seperti banjir, longsor dan kebisiangan, akses terhadap sumberdaya air dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap sikap warga dalam membuang limbah rumah tangga.
20
Gambar 1. Kerangka Berpikir
• • • •
Faktor-Faktor Penyebab Konversi Lahan Faktor Eksternal Faktor Internal Kebijakan Pembangunan • Pendidikan Lahan sebagai aset • Pekerjaan Aksesbilitas lahan • Pendapatan Persaingan antara Sektor Pertanian • Kepemilikan lahan dengan Non Pertanian (Keterbatasan • Produktivitas pertanian Lahan, Pertumbuhan Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi)
KONVERSI LAHAN Pertanian
Non pertanian
Tipe Konversi Lahan Berdasarkan: Letak kawasan (terbuka/tertutup), tingkat kecepatan (lambat/agresif) dan pihak pelaku.
Dampak Konversi Lahan Sosio-Ekologis Sosio-Ekonomis • Degradasi lingkungan • Perubahan penguasaan lahan • Akses terhadap SD Air • Kesempatan kerja • Sikap Terhadap Lingkungan (cara • Perubahan pola pekerjaan Dampak Konversi Lahan membuang limbah rumahtangga) • Struktur pendapatan • Kondisi tempat tinggal • Hubungan antar anggota rumahtangga • Hubungan antar warga
Keterangan:
= Faktor penyebab
= Fokus aspek yang dikaji
= Masalah
= Hubungan
21
2.3 Hipotesis Penelitian 1. Proses konversi lahan mengubah pola kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal. 2. Proses konversi lahan menyebabkan krisis ekologi di lokasi terjadinya konversi lahan. 2.4
Definisi Konseptual 1. Konversi lahan pertanian adalah perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian, seperti villa, hotel, tempat tinggal, toko dan sebagainya. 2. Tipe konversi lahan adalah pola atau tipologi konversi lahan yang terjadi pada suatu wilayah. Tipe-tipe konversi lahan diperoleh berdasarkan karakteristik dan fenomena konversi lahan yang terjadi di lapangan. 3. Konversi berdasarkan letak kawasan adalah dimensi konversi lahan pertanian yang terdiri dari tipe konversi lahan terbuka dan tertutup. (i) Konversi lahan terbuka adalah tipe konversi lahan yang terjadi akibat perubahan
peruntukkan
lahan
pertanian
menjadi
perubahan
peruntukkan lahan non pertanian (villa, hotel, rumah, dsb) yang tinggi. (ii) Konversi lahan tertutup adalah tipe konversi lahan yang terjadi akibat perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian (villa, hotel, rumah, dsb) yang rendah. 4. Konversi lahan berdasarkan tingkat kecepatan adalah dimensi konversi lahan pertanian yang terdiri dari tipe konversi cepat dan lambat. (i) Konversi lahan cepat adalah tipe konversi lahan dimana suatu kawasan mengalami konversi lahan yang cepat pada periode waktu tertentu. (ii) Konversi lahan lambat adalah tipe konversi dimana suatu kawasan mengalami konversi lahan yang lambat pada periode waktu tertentu. 5. Konversi lahan berdasarkan pihak pelaku konversi adalah dimensi konversi lahan yang terdiri dari warga lokal dan warga luar desa. (i) Konversi oleh warga lokal adalah tipe konversi lahan dimana perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian dilakukan oleh warga lokal.
22
(ii) Konversi oleh warga luar desa adalah tipe konversi lahan dimana perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian dilakukan oleh warga luar desa. 6. Dampak sosial ekonomi adalah dampak yang ditimbulkan oleh konversi lahan yang mengakibatkan terjadinya perubahan struktur ekonomi dan sosial rumah. 7. Dampak sosial ekologi adalah dampak yang ditimbulkan oleh konversi lahan karena adanya perubahan terhadap hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam di kawasan lahan yang terkena konversi serta adanya perubahan kondisi lingkungan akibat konversi lahan. 8. Krisis ekologi adalah kondisi lingkungan karena terjadinya degradasi lingkungan. 9. Degradasi lingkungan adalah kerusakan lingkungan yang mengakibatkan terjadinya berbagai bencana, seperti banjir, longsor, dan kebisingan. 10. Akses terhadap sumberdaya adalah cara masyarakat dalam memperoleh manfaat dari alam, berupa air dan lahan. 11. Sikap
terhadap
lingkungan
adalah
perilaku
masyarakat
terhadap
lingkungan, seperti cara membuang limbah rumah tangga. 12. Struktur pendapatan adalah jumlah uang yang diterima oleh seseorang sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan dalam kurun waktu satu tahun. 13. Tempat tinggal adalah tempat seseorang bernaung. 14. Hubungan antar warga adalah interaksi antara warga yang satu dengan warga yang lainnya setelah adanya konversi lahan, seperti kerjasama dan konflik sosial. 15. Hubungan antar anggota rumah tangga adalah interaksi antara anggota keluarga setelah adanya konversi lahan baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan hidup. 16. Derajat kuatnya penguasaan lahan adalah seberapa besar penguasaan yang dimiliki oleh suatu rumah tangga. Derajat paling kuat dimulai dari pemilik, penyewa, bagi hasil, tumpang sari kemudian tunakisma.
23
17. Derajat kuatnya penguasaan luas lahan adalah seberapa besar penguasaan luas lahan yang dimiliki oleh suatu rumah tangga. Derajat paling kuat dimulai dari luas lahan lebih dari 7500 meter persegi, antara 5000 sampai 7400 meter persegi, antara 2500 sampai 4900 meter persegi, antara 100 sampai 2400 meter persegi, kemudian tidak memiliki lahan. 2.5
Definisi Operasional
1. Konversi lahan adalah perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian. Konversi lahan diukur dari tingkatan perubahan yang sampai tingkatan yang preservatif. a. Paling eksploitatif: lahan pertanian berubah menjadi bangunan (restoran, villa, toko, rumah, hotel, jalan dll), skor 1 b. Eksploitatif: lahan pertanian berubah menjadi lahan kosong, skor 2 c. Netral: lahan pertanian berubah menjadi perkebunan, skor 3 d. Preservatif: lahan pertanian tetap terpelihara dengan baik, skor 4 e. Paling preservatif: lahan pertanian tetap terpelihara dengan baik dan menghasilkan pangan yang melimpah, skor 5 2. Pendidikan keluarga adalah kemampuan untuk dapat memenuhi pendidikan terakhir anggota keluarga. Pendidikan keluarga diukur dari tingkat pendidikan yang paling rendah sampai yang paling tinggi. a. Sangat rendah: tidak sekolah, skor 1 b. Rendah: tamat sampai SD/Sederajat, skor 2 c. Sedang: tamat sampai SMP/Sederajat, skor 3 d. Tinggi: tamat SMA/Sederajat, skor 4 e. Sangat tinggi: tamat Perguruan Tinggi (PT), skor 5 3. Persepsi tentang kesempatan kerja adalah persepsi rumah tangga terhadap peluangnya untuk memperoleh pekerjaan saat ini dibandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Kesempatan kerja ini dibedakan antara kesempatan kerja disektor pertanian dan kesempatan kerja diluar sektor pertanian. (i) Persepsi tentang kesempatan kerja sektor pertanian adalah persepsi rumah tangga terhadap peluangnya untuk memperoleh pekerjaan di sektor pertanian setelah adanya konversi lahan. Kesempatan kerja disektor
24
pertanian diukur dari kesempatan kerja paling mudah sampai kesempatan kerja paling sulit saat ini dibandingkan 10 tahun yang lalu. a. Sangat sulit: tidak ada lagi kesempatan kerja, skor 1 b. Sulit: pekerjaan sedikit dan terbatas, misal hanya sebagai buruh tani, skor 2 c. Netral: Sama saja, tidak ada perubahan kesempatan kerja, skor 3 d. Mudah: pekerjaan terbuka luas, skor 4 e. Sangat mudah: pekerjaan pertanian lebih besar dibandingkan pekerjaan diluar pertanian, skor 5 (ii) Kesempatan kerja sektor non pertanian adalah persepsi rumah tangga terhada peluangnya untuk memperoleh pekerjaan di sektor non pertanian setelah adanya konversi lahan. Kesempatan kerja sektor non pertanian diukur dari kesempatan kerja paling sulit sampai kesempatan kerja paling mudah saat ini dibandingkan 10 tahun yang lalu. a. Sangat sulit: tidak ada kesempatan kerja, skor 1 b. Sulit: pekerjaan sedikit dan terbatas, skor 2 c. Netral: Sama saja, tidak ada perubahan kesempatan kerja, skor 3 d. Mudah: pekerjaan terbuka luas, skor 4 e. Sangat mudah: pekerjaan diluar pertanian lebih besar dibanding sektor pertanian, skor 5 4. Perubahan pola kerja adalah perubahan kesibukan atau kegiatan responden yang dilakukan setiap hari untuk mencari nafkah akibat terfragmentasinya lahan. Pola kerja diukur dari perubahan pekerjaan dari yang paling diluar sektor pertanian sampai pekerjaan yang termasuk paling sektor pertanian saat ini dibandingkan 10 tahun yang lalu. a. Sangat buruk: dari petani (pemilik/penggarap) menjadi pengangguran, skor 1 b. Buruk: dari petani (pemilik/penggarap) menjadi pekerja sektor non pertanian, skor 2 c. Sedang: Pola nafkah ganda (bekerja di pertanian dan luar pertanian), skor 3 d. Baik: tetap bekerja sebagai petani, skor 4
25
e. Sangat baik: dari pekerja non pertanian menjadi bekerja sebagai petani, skor 5 5. Struktur pendapatan adalah jumlah pemasukan yang diterima seseorang sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan dalam kurun waktu satu tahun. Jumlah pendapatan dikategorikan berdasarkan rata-rata pendapatan rumah tangga di lokasi penelitian. a. Sangat rendah: Rp. 0,- , skor 1 b. Rendah: Rp. < 12.000.000, skor 2 c. Sedang: Rp. 12.000.000 ≤ x < 36.000.000, skor 3 d. Tinggi: Rp. 36.000.000 ≤ x < 60.000.000, skor 4 e. Sangat tinggi: Rp. ≥ 60.000.000, skor 5 6. Penguasaan lahan adalah perubahan status lahan yang dikuasai rumah tangga akibat konversi lahan. Status ini diukur dari yang status paling rendah (tunakisma) sampai paling tinggi (milik sendiri) yang diperoleh berdasarkan data di lapangan. a. Sangat rendah: tidak punya lahan, skor 1 b. Rendah: tumpang sari, skor 2 c. Sedang: bagi hasil, skor 3 d. Tinggi: sewa, skor 4 e. Sangat tinggi: milik, skor 5 7. Luas lahan pertanian adalah jumlah lahan pertanian yang dimiliki oleh setiap rumah tangga setelah adanya perubahan peruntukan lahan. Luas lahan pertanian diukur dari kepemilikan luas lahan pertanian paling sempit sampai paling luas. a. Tidak punya lahan: 0 ha skor 1 b. Lahan sempit: 0,01 ha – 0,24 ha, skor 2 c. Sedang: 0,25 ha – 0,49 ha, skor 3 d. Lahan luas: 0,50 ha – 0,74 ha, skor 4 e. Lahan sangat luas: + 0,75 ha, skor 5 8. Tempat tinggal adalah tempat seseorang bernaung. Tempat tinggal ini terdiri dari kondisi tempat tinggal, status tempat tinggal, dan kepemilikan alat elektronik serta alat transportasi.
26
(i) Kondisi tempat tinggal adalah keadaan fisik rumah yang ditempati oleh suatu keluarga. Kondisi tempat tinggal diukur dari kapasitas rumah dan kekuatan bangunan rumah dari yang paling rentan roboh hingga paling kokoh. a. Sangat tidak layak: dinding triplek/bambu, alas tanah, dan kapasitas tidak memadai untuk semua anggota keluarga, skor 1 b. Tidak layak: dinding tembok dan alas tanah atau dinding triplek/bambu dan alas semen, serta kapasitas tidak memadai untuk semua anggota keluarga, skor 2 c. Sedang: Dinding triplek/bambu dan alas semen atau dinding tembok dan alas tanah, serta kapasitas memadai untuk semua anggota keluarga, skor 3 d. Layak: dinding tembok, alas semen atau keramik dan kapasitas memadai untuk semua anggota keluarga, skor 4 e. Sangat layak: dinding tembok, alas semen atau keramik, kapasitas memadai untuk semua anggota keluarga dan memiliki fasilitas hiburan, seperti kolam berenang, taman, dan lain-lain, skor 5 (ii) Status tempat tinggal adalah status rumah yang ditempati seseorang. Status ini diukur dari status paling rendah sampai paling tinggi. a. Sangat buruk: tidak punya tempat tinggal, skor 1 b. Buruk: menumpang, skor 2 c. Sedang: gadai, skor 3 d. Baik: sewa, skor 4 e. Sangat baik: milik, skor 5 (iii) Kepemilikan aset adalah jumlah barang berharga yang dimiliki oleh suatu rumah tangga. Kepemililkan aset diukur dari status rumah dan kepemilikan alat elektronik dari yang paling sedikit sampai paling banyak. a. Sangat rendah: ≤ 4 buah, skor 1 b. Rendah: 5 buah - 8 buah, skor 2 c. Sedang: 9 buah - 12 buah, skor 3 d. Tinggi: 13 buah - 16 buah, skor 4
27
e. Sangat tinggi: ≥ 16 buah, skor 5 9. Hubungan antar anggota rumah tangga adalah interaksi antara anggota keluarga setelah adanya konversi lahan. Hubungan ini diukur dari tingkat kebersamaan dalam memutuskan sesuatu dari yang paling individual sampai yang paling kolektif. a. Sangat rendah: semua keputusan/pekerjaan/kegiatan dilakukan sendirisendiri tanpa adanya bantuan atau diskusi terlebih dahulu dengan anggota keluarga, skor 1 b. Rendah:
semua
keputusan/pekerjaan/kegiatan
hanya
dibicarakan
seperlunya saja dengan anggota keluarga, skor 2 c. Sedang: semua keputusan/pekerjaan/kegiatan dilakukan dengan diskusi dulu, skor 3 d. Tinggi: semua keputusan/pekerjaan/kegiatan dilakukan dengan adanya bantuan atau diskusi terlebih dahulu dengan anggota keluarga, skor 4 e. Sangat tinggi : semua keputusan/pekerjaan/kegiatan dilakukan dengan adanya bantuan atau diskusi terlebih dahulu dengan anggota keluarga serta memanfaatkan waktu luang untuk berkumpul bersama, skor 5 10. Degradasi lingkungan adalah kerusakan lingkungan yang mengakibatkan terjadinya berbagai bencana, seperti banjir, longsor, dan kebisingan. (i) Banjir adalah bencana alam yang terjadi karena adanya air yang meluap melebihi batas normal. Banjir ini diukur dari tingkat kejadian dalam setahun terakhir di lokasi penelitian. a. Pernah: terjadi banjir di dekat tempat tinggal, skor 0 b. Tidak pernah: tidak pernah terjadi banjir di dekat tempat tinggal, skor 1 (ii) Longsor adalah bencana alam akibat rusaknya tanah. Longsor ini diukur dari tingkat kejadian dalam setahun terakhir di lokasi penelitian. a. Pernah: terjadi longsor di dekat tempat tinggal, skor 0 b. Tidak pernah: tidak pernah ada longsor di dekat tempat tinggal, skor 1 11. Akses terhadap sumberdaya air adalah cara seseorang memperoleh air untuk kebutuhan hidup. Akses terhadap air diukur dari cara memperoleh air dari yang sulit sampai yang mudah. a. Sulit: tidak memiliki akses mendapatkan air, skor 0
28
b. Mudah: air tersedia dimana-mana, skor 1 12. Kualitas air minum merupakan keadaan air secara fisik dilihat dari warna, rasa, dan baunya. Kondisi air minum diukur dari keadaan fisiknya dari tingkatan paling buruk hingga paling baik. a. Buruk: Air berwarna, berasa dan berbau, skor 0 b. Baik: Air tidak berwarna, berasa, dan berbau, skor 1 13. Pembuangan limbah rumah tangga merupakan dampak tidak langsung akibat konversi lahan mengenai cara-cara individu dalam rumah tangga dalam membuang sisa hasil rumah tangga (plastik, kertas, dan
sampah dapur).
Pembuangan limbah rumah tangga diukur dari sikap individu dalam membuang limbah rumah tangga dari yang paling tidak ramah lingkungan sampai yang paling ramah lingkungan. a. Tidak ramah lingkungan: membuang sampah sembarangan, seperti ke sungai, skor 0 b. Ramah
lingkungan:
mengubah
sampah
menjadi
pupuk
organik/
memisahkan sampah organik dan anorganik/ membakar sampah, skor 1
29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh
pendekatan kualitatif. Dalam pendekatan kuantitatif, penelitian ini menggunakan metode penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok (Singarimbun, 1989). Pendekatan kuantitatif digunakan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi setiap rumah tangga yang menjadi sampel penelitian, sedangkan metode penelitian kualitatif digunakan untuk melihat proses konversi yang terungkap dari hasil penelitian kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan melalui studi kasus, observasi dan wawancara mendalam. 3.2
Jenis Data, Lokasi dan Waktu Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari kuesioner yang disebar kepada responden melalui wawancara dan pencarian informasi kepada informan (wawancara mendalam). Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang sumbernya berasal dari berbagai dokumen-dokumen pemerintah Desa Tugu Utara, data-data dari dinas-dinas terkait, makalah ilmiah, tesis, skripsi, internet, dan lain sebagainya. Penelitian dilakukan di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, sejak bulan Oktober sampai November 2010. Pemilihan tempat penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Desa ini dipilih karena merupakan salah satu desa yang menjadi kawasan hutan lindung daerah Puncak Bogor. Kawasan ini mengalami perubahan pada kondisi sosial ekologi dan sosial ekonomi akibat berlangsungnya konversi lahan pertanian menjadi pemukiman dan villa. Pengolahan data dan hasil penulisan laporan dilakukan pada bulan Desember sampai Januari 2010. 3.3
Kerangka Sampling Kerangka sampling dalam penelitian ini terdiri dari 20 kampung yang
terbagi menjadi dua kelompok dengan karakteristik yang sama. Kelompok
30
pertama sebanyak 8 kampung merupakan kampung yang berada dekat dengan jalan raya dan mudah akses perekonomian, sementara kelompok kedua sebanyak 12 kampung berada jauh dari jalan raya dan akses perekonomian. Dari kedua kelompok tersebut dipilih dua kampung secara purposif berdasarkan informasi dari informan yang terpercaya, kemudian dari kedua kampung dipilih masingmasing satu RT secara purposif yang akan dijadikan sampel kedua dimana terdapat empat RT dimasing-masing kampung. RT yang terpilih yaitu RT 01/ RW 03 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 121 rumah tangga, dan RT kedua yaitu RT 06/RW 04 dengan jumlah rumah tangga sebanyak 91 rumah tangga. Selanjutnya, dari RT tersebut baru diambil secara acak rumah tangga yang akan dijadikan responden penelitian. 3.4
Pemilihan Responden Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dengan aparat desa dan
tokoh-tokoh setempat untuk mengetahui tipe dan dampak sosial ekologi kawasan terjadinya konversi lahan, sedangkan untuk mengetahui dampak sosial ekonomi dan sosial ekologi ditingkat rumah tangga digunakan data primer yang dikumpulkan melalui kuesioner terhadap 60 responden dari dua RT (Rukun Tetangga) yang ditentukan secara purposif. Pemilihan RT ditentukan melalui teknik cluster sampling (Singarimbun, 1989). Seluruh kampung penelitian dibagi menjadi dua kluster yaitu kampung yang jauh dan kampung yang dekat jaraknya dengan pusat perekonomian dan transportasi di Desa Tugu Utara. Jumlah kampung sampel ditentukan secara purposif yaitu dua kampung. Kemudian dari dua kampung tersebut dipilih dua RT untuk menjadi sampel kedua. Pemillihan RT pada masing-masing kluster ditentukan secara sengaja (purposif) melalui konsultasi dan diskusi dengan beberapa aparat desa dan petugas Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) setempat. Kampung dan RT yang terpilih untuk dilakukan sebagai tempat penelitian antara lain: a. Kampung Sampay (kampung yang dekat dengan pusat perekonomian dan transportasi) yaitu RT 01 RW 03; dan b. Kampung Sukatani (kampung yang jauh dengan pusat perekonomian dan transportasi ) yaitu RT 06 RW 04.
31
Selanjutnya dibuat daftar seluruh keluarga yang ada dimasing-masing RT terpilih. Daftar keluarga tersebut merupakan kerangka sampling dari penelitian (Lampiran 1) dimana untuk RT 01 RW 03 jumlah rumah tangga sebanyak 121 rumah tangga dan RT 06 RW 04 jumlah rumah tangga sebanyak 91 rumah tangga. Dari sini dipilih secara acak 30 responden dimasing-masing RT untuk dijadikan sampel penelitian dengan tiga responden cadangan, sehingga jumlah total responden 60 rumah tangga. Teknik pengambilan responden dengan metode sampling diilustrasikan seperti pada Gambar 2. Desa Tugu Utara
Total kampung di Desa Tugu Utara sebanyak 20 Kampung
Kampung dekat jalan raya: 8 kampung. Penentuan kampung: purposif
Kampung yang jauh dari jalan raya: 12 kampung Penentuan kampung: purposif
Dipilih 1 kampung yaitu Kampung Sampay
Dipilih 1 kampung yaitu Kampung Sukatani
Total RT: 4 RT Penentuan RT: purposif
Total RT: 4 RT Penentuan RT: purposif
Dipilih 1 RT yaitu RT 01 RW 03 dengan jumlah KK sebanyak 121 KK
Dipilih 1 RT yaitu RT 06 RW
Secara acak dipilih 30 responden dengan 3 responden cadangan (10% dari 30)
Secara acak dipilih 30 responden dengan 3 responden cadangan (10% dari 30)
04 dengan jumlah KK sebanyak 91 KK
Total 60 responden dengan 6 responden cadangan Gambar 2. Teknik Sampling dalam Pengambilan Responden
32
3.5
Teknik Pengumpulan Data Terdapat dua subjek penelitian yaitu responden dan informan. Data dari
penelitian kuantitatif diperoleh melalui kuesioner dengan menggunakan teknik wawancara kepada responden7. Kemudian hasil dari kuesioner tersebut dicatat seperti apa adanya dan diolah dengan melakukan analisis serta interpretasi, baru selanjutnya dilakukan pembuatan kesimpulan tentang hasil kuesioner. Sedangkan data dari penelitian kualitatif diperoleh melalui observasi ke lapangan dan wawancara mendalam kepada informan8. Pedoman pengumpulan data penelitian dirumuskan pada Lampiran 2. 3.6
Teknik Analisis Data Data primer yang diperoleh melalui kuesioner diolah dan disajikan dalam
bentuk tabel frekuensi untuk melihat keterkaitan dari aspek-aspek yang menjadi dampak sosial ekonomi dan sosial ekologi konversi lahan masyarakat Desa Tugu Utara. Data primer tersebut selanjutnya dianalisis sesuai dengan tujuan penelitian. Selanjutnya digunakan tabel silang untuk mengetahui hubungan antara dua variabel. Sementara itu untuk pendekatan kualitatif digunakan metode triangulasi untuk memberikan penguatan dari data yang diperoleh melalui kuesioner dengan melibatkan wawancara mendalam dan observasi. Gabungan data tersebut diolah dan dianalisis dengan disajikan dalam bentuk teks naratif, matriks, atau bagan. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah.
7 8
Responden adalah orang yang memberikan informasi tentang dirinya sendiri. Informan adalah orang yang memberikan informasi tentang orang lain dan lingkungan disekitarnya.
33
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 4.1.1
Gambaran Umum Desa Tugu Utara Sungai Ciliwung Desa Tugu Utara merupakan salah satu desa yang terletak di kawasan hulu
Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Munaf (1992) DAS Ciliwung ini dibatasi oleh Sub DAS Cisadane hulu sebelah barat dan selatan, DAS Citarum sebelah timur serta DAS Cibeet sebelah Utara. Hulu sungai Ciliwung berada di Gunung Mandalawangi dan bermuara di Teluk Jakarta. Sungai ini mengalir dari selatan kearah utara melewati Kabupaten Bogor (Kecamatan Cisarua, Ciawi, Kedung Halang, Cibinong dan Cimanggis), Kota madya Bogor, Kota administrasi Depok dan wilayah DKI Jakarta. Luas DAS Ciliwung dari hulu sampai hilir sekitar 347 kilometer persegi. DAS Ciliwung dibagi menjadi tiga bagian yaitu: a) DAS Ciliwung Bagian I seluas 146 kilometer persegi, mulai dari hulu sampai stasiun pengamat Katulampa, meliputi Kecamatan Kedunghalang, Cisarua, dan Ciawi. b) DAS Ciliwung Bagian II seluas 94 kilometer persegi, mulai dari stasiun pengamat Katulampa sampai stasiun pengamat Ratujaya (Depok) meliputi Kecamatan Kedunghalang, Kota madya Bogor, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Depok, dan c) DAS Ciliwung bagian III seluas 82 kilometer persegi, mulai dari stasiun pengamat Ratujaya sampai stasiun pengamat Rawajati (Kalibata) meliputi kecamatan Depok, Kecamatan Cimanggis, dan DKI Jakarta. Desa Tugu Utara termasuk kedalam DAS Ciliwung Bagian I yang berada di daerah pegunungan dengan ketinggian ± 300 meter sampai ± 3000 meter di atas permukaan laut. Topografi DAS Ciliwung Bagian I yaitu datar, landai, agak curam sampai sangat curam. Dari segi pemanfaatan lahan di DAS Ciliwung Bagian I dibedakan menjadi dua kelompok yaitu: a) pertanian, perkebunan, dan kehutanan dan b) pemukiman dan industri. Sementara jenis tanaman budidaya yang termasuk bagian ini antara lain padi, palawija dan perkebunan teh.
34
4.1.2 Asal Nama Desa Tugu Utara Desa Tugu Utara merupakan desa yang terdapat di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan luas wilayah 1702 hektar. Desa ini terletak di kawasan yang menjadi pusat pariwisata yaitu Puncak. Ada berbagai pendapat mengenai asal usul nama Tugu. Pendapat pertama menyatakan bahwa nama Tugu diambil dari tugu sebagai tanda batas tempat atau wilayah. Kemudian pendapat kedua berpendapat bahwa tugu diambil dari kata Por-tugu-ese (Portugis). Dan pendapat yang ketiga, lebih mendekati latar belakang sejarah dimana nama Tugu ada kaitannya dengan prasasti (batu bertulis) yang ditemukan di daerah Bogor, Jakarta, dan Tangerang yang berasal dari raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara. 4.1.3
Kondisi Geografis dan Infrastuktur Desa Tugu Utara Desa Tugu Utara berada di ketinggian 650-1200 meter di atas permukaan
laut, dengan suhu maksimum sebesar 23,91oC dan suhu minimum sebesar 17,85oC. Sementara itu curah hujan terjadi sebanyak 3178 milimeter per tahun dengan jumlah hari curah hujan terbanyak selama 40 hari. Bentuk wilayah desa ini adalah berombak sampai berbukit sebesar 40 persen, datar sampai berombak sebesar 35 persen dan berbukit sampai bergunung sebesar 35 persen. Batas-batas wilayah Desa Tugu Utara sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Suka Makmur Jonggol, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Batu Layang, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tugu Selatan Jarak pusat pemerintahan Desa Tugu Utara dengan Kecamatan Cisarua sejauh 3,5 kilometer, jarak dengan ibukota Kabupaten Bogor sejauh 44 kilometer, jarak dengan provinsi Jawa Barat sejauh 95 kilometer dan jarak dengan ibukota Negara RI yaitu Jakarta sejauh 78 kilometer. Desa Tugu Utara terbagi dalam tiga dusun, enam Rukun Warga (RW) serta 24 Rukun Tetangga (RT). Prasarana umum yang terdapat di Desa Tugu Utara, meliputi: prasarana pemerintahan desa, sarana perekonomian, tempat parkir taksi, jembatan dan jalan aspal seluas 18 kilometer serta jalan kerikil seluas lima kilometer. Alat transportasi yang digunakan oleh warga setempat antara lain truk sebanyak empat buah, mobil sedan sebanyak 49 buah, angkutan kota sebanyak 14 buah, sepeda
35
motor sebanyak 3150 buah dan 4521 buah sepeda. Kemudian desa ini juga memiliki alat-alat komunikasi seperti telepon sebanyak 1216 buah, radio sebanyak 7442 buah, televisi sebanyak 2151, penyedia jasa wartel atau telekomunikasi sebanyak empat buah, dan tower (operator komunikasi) sebanyak lima buah. Sarana dan prasarana perekonomian di Desa Tugu Utara yang digunakan untuk memfasilitasi kegiatan pariwisata antara lain villa sebanyak 310 buah, warung atau kios sebanyak 245 buah, rumah makan dan restoran sebanyak 18 buah, , hotel sebanyak sepuluh buah, jasa tiket penerbangan/money changer/tour and travel sebanyak tiga buah, CV/perseroan sebanyak tiga buah, mini market sebanyak tiga buah, salon kecantikan sebanyak dua buah, dan terdapat satu buah SPBU. Sarana fasilitas pemerintahan desa meliputi: satu buah kantor desa, satu buah balai desa dan 24 buah pos hansip. Kemudian untuk fasilitas kesehatan, terdapat satu buah puskesmas, 14 buah posyandu, satu buah pos Keluarga Berencana (KB) dan satu buah balai pengobatan. Sementara itu, untuk kegiatan keagamaan Desa Tugu Utara memiliki 16 buah mesjid dan 24 buah langgar mushola. Desa ini memiliki salah satu mesjid yang dirancang khas Eropa yaitu mesjid Al Masih. Mesjid ini berada di dekat jalan raya depan kantor desa. Bentuk mesjid ini unik karena dirancang secara terbuka tanpa pintu. Hal ini dilakukan agar siapapun dapat masuk dan beristirahat di mesjid serta sebagai salah satu cara untuk menarik wisatawan. Selanjutnya untuk kegiatan pendidikan, desa ini memiliki gedung Sekolah Dasar Negeri (SDN) sebanyak empat buah dengan jumlah murid sebanyak 1295 jiwa dan tenaga pangajar (guru) sebanyak 33 jiwa. Di desa ini tidak terdapat gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). 4.1.4 Kependudukan Desa Tugu Utara Kepadatan Desa Tugu Utara sebesar 618 per kilometer persegi dengan jumlah warga sebanyak 10511 jiwa dimana rincian laki-laki sebanyak 5481 jiwa dan perempuan sebanyak 5030 jiwa. Jumlah kepala keluarga yaitu sebanyak 2685 KK. Berdasarkan kepercayaannya, sebagian besar penduduk desa ini beragama Islam yaitu sebanyak 10493 jiwa, beragama Kristen Katolik sebanyak enam jiwa,
36
Kristen Protestan sebanyak 8 jiwa, Hindu sebanyak dua jiwa dan beragama Budha sebanyak dua jiwa. Berdasarkan kewarganegaraannya, terdapat Warga Negara Asing (WNA) laki-laki sebanyak 22 jiwa dan perempuan sebanyak empat jiwa pada tahun 2009. Pada Tabel 2 di bawah ini diperlihatkan data kependudukan Desa Tugu Utara sampai Desember 2008 berdasarkan golongan umur. Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur Desa Tugu Utara, 2009 Umur
Jumlah (Jiwa)
0–4 1061 5–9 1004 10 – 14 1030 15 – 19 1070 20 – 24 1076 25 – 29 978 30 – 34 895 35 – 39 828 40 – 44 719 45 – 49 593 50 – 54 453 55+ 1198 Jumlah 10905 Sumber : Data BPS, Kecamatan Cisarua, 2009
Persentase (%) 9.73 9.21 9.45 9.8 9.87 8.97 8.2 7.6 6.6 5.44 4.15 10.98 100
Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa penduduk Desa Tugu Utara sebagian besar berada pada usia produktif yaitu kisaran antara umur 15 tahun sampai 64 tahun yaitu sebanyak 7810 jiwa. Untuk penduduk yang usianya belum produktif yaitu usia kurang dari 15 tahun sebanyak 3095 jiwa dari total jumlah penduduk. Angka ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk desa ini memiliki kemampuan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kemudian jumlah penduduk desa yang sudah memasuki usia sekolah sebanyak 9360 jiwa dari 10511 jiwa, untuk lebih jelasnya data pada Tabel 3 di bawah ini memaparkan mengenai tingkat pendidikan penduduk Desa Tugu Utara.
37
Tabel 3. Tingkat Pendidikan Desa Tugu Utara, 2009 No. Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) 1 Belum sekolah 1151 2 Tidak tamat sekolah 1852 3 Tamat SD/Sederajat 2496 4 Tamat SMP/Sederajat 2842 5 Tamat SMA/Sederajat 1995 6 Tamat Akademi 107 7 Tamat Universitas 68 Total 10511 Sumber : Data BPS, Kecamatan Cisarua, 2009
Persentase (%) 10.95 17.62 23.75 27.01 18.98 1.02 0.65 100
Tabel di atas menunjukkan bahwa penduduk desa yang tidak tamat sekolah
sebanyak 1852 jiwa dan hanya tamat Sekolah Dasar sebanyak 2496 jiwa. Penduduk yang hanya menyelesaikan sekolah hingga SMP sebanyak 2842 jiwa, sementara penduduk yang tamat SMA, akademi dan Perguruan Tinggi berturutturut sebanyak 1995 jiwa, 107 jiwa, dan 68 jiwa. Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tingkat pendidikan penduduk Desa Tugu Utara berada pada tingkatan yang rendah, sehingga rendahnya tingkat pendidikan ini dapat berpengaruh pada pengembangan desa dan tingkat kesejahteraan penduduk setempat.
Gambar 3. Mata Pencaharian Penduduk Desa Tugu Utara Tahun 2009
38
Dilihat dari mata pencahariannya berdasarkan data dari Gambar 3, Desa Tugu Utara didominasi oleh kegiatan di sektor perdagangan yaitu sebesar 5787 jiwa atau 44,31 persen, mata pencaharian terbesar kedua sebagai buruh perkebunan sebesar 2556 atau 19,57 persen dan sebesar 1138 atau 8,71 persen mata pencaharian masyarakat desa ini sebagai penjual jasa, baik jasa pengemudi maupun penjaga villa. Sementara itu, masyarakat yang berprofesi dibidang pertanian yaitu sebagai petani hanya sebanyak 844 orang atau hanya sekitar 6,46 persen dari dari jumlah total penduduk yang bekerja yaitu 13060 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil warga yang berada pada sektor pertanian. 4.1.5 Tata Guna Tanah di Desa Tugu Utara Ekologi Desa Tugu Utara identik dengan ekologi pegunungan. Udara desa terasa sejuk dan dingin baik pagi hari maupun malam hari. Saat memasuki kawasan Desa Tugu Utara, khususnya Puncak, orang yang datang akan disuguhi oleh bentangan kebun teh yang dapat memanjakan mata dan menyegarkan pikiran. Oleh karena itu, daerah ini menjadi pilihan para wisatawan lokal dan mancanegara untuk dikunjungi setiap hari, khususnya hari libur. Selain terdapat perkebunan teh, wilayah ini juga memiliki lahan pertanian sayuran yang berada di bagian dalam desa atau jauh dari pusat transportasi. Tabel 4. Penggunaan dan Luas Lahan Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, 2009. No. 1 2 3 4
Penggunaan Lahan Hutan Heterogen
Tegalan/Kebun Perkebunan Swasta Pekarangan/Bangunan/Emplasement 5 Sawah 6 Jalur Hijau 7 Sawah irigasi sederhana 8 Taman Rekreasi 9 Kuburan 10 Rawa-Rawa 11 Lapangan Olahraga 12 Balong/Empang/Kolam Jumlah Sumber: Monografi Desa Tugu Utara, 2009
Luas Lahan (hektar) 714 688 531 110 10 10 8 7.4 2.7 2.1 1.5 1 2099.3
Persentase (%) 34.01 33 25.65 5.24 0.50 0.50 0.4 0.35 0.13 0.1 0.07 0.05 100
39
Berdasarkan Tabel 4 di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penggunaan lahan di Desa Tugu Utara didominasi oleh hutan heterogen sebesar 714 hektar atau sekitar 34,01 persen dari total luas lahan yang ada di wilayah ini. Penggunaan lahan terbesar kedua digunakan sebagai kebun atau tegalan sebesar 688 hektar atau 33 persen. Kemudian penggunaan lahan sebesar 531 hektar atau 25,56 persen dimanfaatkan sebagai perkebunan swasta. Sementara untuk lahan pertanian hanya sebesar sepuluh hektar untuk lahan sawah dan delapan hektar untuk lahan sawah beririgasi atau sekitar 0,5 persen dan 0,4 persen dari luas total lahan. 4.1.6
Kegiatan Pertanian Desa Tugu Utara memiliki enam kelompok tani yang sebagian besar
mengusahakan pertanian sayur. Kelompok tani ini terdiri dari kelompok tani Suka Tani, kelompok tani Wijaya Tani, kelompok tani Kaliwung Kalimuncar, kelompok tani Puncak Sejati, kelompok tani Godong Organik dan kelompok tani Pemuda Sampay yang tergabung dalam sebuah Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan diketuai oleh Bapak Uyh dari Kelompok Tani Suka Tani. Pertanian sayur yang dihasilkan oleh warga Desa Tugu Utara melalui kelompok tani antara lain kubis, wortel, bawang daun, kacang merah, cabai dan tomat. Penguasaan lahan pertanian di Desa Tugu Utara terdiri dari lima bentuk penguasaan lahan yaitu: 1) Petani pemilik: petani yang memiliki lahan pertanian dan menggarap lahannya sendiri; 2) Petani dengan menggunakan sistem sewa: bentuk penguasaan lahan dengan menyewa lahan pertanian milik orang lain; 3) Petani dengan menggunakan sistem bagi hasil: bentuk penguasaan lahan dengan menggarap lahan milik orang lain tanpa mengeluarkan biaya, kemudian hasil pertaniannya dibagi setengah-setengah dengan pemilik lahan; 4) Petani dengan menggunakan
sistem
tumpang
sari:
bentuk
penguasaan
lahan
dengan
memanfaatkan lahan pertanian milik orang lain dan menikmati keuntungan yang dihasilkan dari lahan pertanian tersebut dengan syarat menjaga batas-batas lahan pertanian agar tidak dimanfaatkan orang lain; dan 5) Tunakisma: tidak memiliki lahan dan tidak mempunyai lahan garapan. 4.2
Gambaran Umum Kampung Sampay dan Kampung Sukatani Kampung Sampay merupakan kampung yang berada dekat pusat
pemerintahan, mudah dalam akses perekonomian, dan jarak antara kampung
40
dengan jalan raya hanya sejauh 500 meter. Nama Kampung Sampay merupakan nama yang diambil dari sebuah kali yaitu kali Sampay “Oooh nama Sampay itu asalnya dari kali neng, dulu ada kali yang namanya Sampay jadi kampung ini dinamakan Kampung Sampay “(Bapak Ddi, 50 tahun), sedangkan Kampung Sukatani merupakan kampung yang lokasinya jauh dari pusat pemerintahan Tugu Utara, pusat transportasi dan jauh dari pusat perekonomian. Jarak dari Kampung Sukatani menuju jalan raya sejauh dua kilometer. Jarak yang jauh ini ditambah lagi dengan perjalanan menuju kampung yang menanjak dan berliku-liku, sehingga membutuhkan waktu sekitar 15 menit menggunakan sepeda motor dan sekitar 45 menit dengan berjalan kaki untuk sampai ke kampung ini. Selain itu, Kampung Sampay adalah kampung yang padat dengan bangunan-bangunan baik rumah, villa, maupun toko-toko, sementara Kampung Sukatani adalah kampung yang berada di pegunungan dengan bentangan alam perkebunan teh dan lahan pertanian yang indah. Di Kampung Sampay rata-rata warganya bermatapencaharian sebagai sopir taksi, tukang ojeg, penjual jasa villa, dan pedagang, sementara di Kampung Sukatani sebagian besar warga bermatapencaharian sebagai buruh tani, petani penggarap, buruh bangunan dan penjaga villa. Kemudian dilihat dari ikatan kekeluargaannya, terdapat perbedaan antara Kampung Sampay dan Kampung Sukatani dimana ikatan kekeluargaan antar warga di Kampung Sampay cenderung kurang akrab dibandingkan dengan ikatan kekeluargaan di Kampung Sukatani. Warga Kampung Sampay sibuk dengan kegiatannya masing-masing seperti menjaga toko, menjaga villa, dan lain sebagainya, sementara di Kampung Sukatani hubungan antara warga yang satu dengan warga yang lainnya terjalin dengan baik, warga sering melakukan komunikasi satu sama lain karena tempat tinggal yang berdekatan dan memiliki waktu untuk bercengkerama, selain itu biasanya warga Kampung Sukatani memiliki hubungan persaudaraan seperti kakak atau adik, orang tua dan anak, menantu dan lain sebagainya. Dibidang pertanian, hanya sedikit warga Kampung Sampay yang berkecimpung di dunia pertanian. Hal ini terjadi karena sudah tidak ada lagi lahan pertanian yang dapat dimanfaatkan warga setempat. Lahan pertanian di kampung ini dikuasai oleh warga luar desa, selain itu juga biasanya warga luar desa ini
41
menggunakan tenaga kerja yang dibawanya dari kota untuk mengurus lahan pertanian miliknya, sehingga sulit bagi warga lokal untuk memperoleh manfaat dari lahan pertanian tersebut. Berbeda halnya dengan keadaan pertanian di Kampung Sukatani dimana lahan pertanian masih melimpah, walaupun sebagian besar lahan pertanian di kampung ini dimiliki warga luar desa, namun warga lokal memiliki kesempatan untuk bekerja di lahan tersebut. Di Kampung Sukatani terdapat dua kelompok tani dalam memproduksi hasil pertaniannya. Kelompok pertama menggunakan pertanian organik dan kelompok kedua menggunakan bahan-bahan kimia dalam memproduksi hasil pertaniannya. Kelompok yang bergelut dibidang pertanian organik terdiri dari sebagian warga yang menekuni pertanian organik dan bukan merupakan kelompok resmi, sementara kelompok yang bergelut dibidang pertanian kimia merupakan salah satu kelompok tani resmi di Desa Tugu Utara yakni Kelompok Tani Sukatani yang beranggotakan 18 orang. Kedua kelompok tani ini sebagian besar memproduksi sayur-sayuran seperti kubis, cabai, ceisin, dan lain sebagainya. 4.3
Sejarah dan Fakta Konversi Lahan di Desa Tugu Utara Desa Tugu Utara merupakan salah satu desa di kawasan wisata Puncak
yang mengalami perubahan peruntukkan lahan produktif, khususnya lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan di luar pertanian. Berdasarkan informasi dari informan, kasus konversi lahan mulai marak terjadi di desa ini setelah berakhirnya masa pemerintahan Soeharto. Lahan yang awalnya tidak dapat dimanfaatkan warga menjadi mudah untuk diakses, sehingga kawasan yang dulunya kaya akan lahan produktif semakin lama semakin penuh dengan bangunan-bangunan. Penyebab terjadinya konversi lahan di Desa Tugu utara antara lain: 1. Meningkatnya jumlah penduduk baik karena faktor kelahiran maupun migrasi penduduk yang masuk. 2. Pertumbuhan ekonomi dan pemandangan alam Puncak yang indah mendorong adanya penanaman modal berupa investasi baik untuk dibangun tempat peristirahatan berupa villa maupun untuk kegiatan perekonomian (hotel, restoran, toko, warung, dan sebagainya). Pertambahan jumlah penduduk memang sesuatu yang tidak dapat dielakkan bukan hanya di Desa Tugu Utara tetapi juga di kawasan lainnya.
42
Peningkatan jumlah penduduk tersebut menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan lahan sehingga baik lahan produktif maupun lahan non produktif mengalami perubahan peruntukkan lahan. Di Desa Tugu Utara lahan produktif yang digunakan untuk kegiatan pertanian berubah fungsinya menjadi pemukiman, padahal desa ini termasuk desa yang menjadi kawasan resapan air di wilayah Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur). Selain pertambahan jumlah penduduk, suguhan pemandangan Puncak yang eksotis mendorong para investor untuk melakukan penanaman modal seperti membangun hotel dan restoran, membangun villa baik untuk tempat peristirahatan pribadi maupun untuk disewakan, serta membangun tempat-tempat wisata. Pembangunan ini dilakukan di kawasan-kawasan sekitar Puncak termasuk di Desa Tugu Utara. Umumnya para investor berasal dari luar desa seperti warga ibukota atau dari luar negeri misalnya warga Arab. Bagi warga Arab kawasan wisata Puncak dianggap sebagai surga karena di negaranya sendiri jarang ada pemandangan seperti pemandangan yang disuguhkan oleh kawasan Puncak, sehingga di Desa Tugu Utara ada daerah yang menjadi tempat perkumpulan warga Arab yaitu di Warung Kaleng yang berada di wilayah Kampung Sampay. Di daerah ini terdapat sarana perekonomian yang menunjang aktivitas liburan warga Arab seperti tempat money changer, restoran Arab, toko yang menyediakan pernak-pernik khas Arab, taksi berupa mobil APV yang menjadi kendaraan warga Arab selama ada di daerah Puncak dan lain sebagainya. Kedatangan para wisatawasan lokal dan luar negeri, khususnya Timur Tengah memberikan dampak negatif pada lingkungan setempat karena di desa ini khususnya di Kampung Sampay terkenal dengan adanya pariwisata seks. Pariwisata seks yang dimaksud adalah adanya isu-isu “kawin kontrak” yang dilakukan warga Timur Tengah dengan warga di luar wilayah ini. Biasanya oknum-oknum yang menjadi pelaku kawin kontrak ini adalah seorang pekerja seks komersial (PSK) yang berasal dari Cianjur, Sukabumi, dan Indramayu. Prosedur kawin kontrak ini tidak sesuai dengan akidah islam. Para oknum tersebut menggunakan “wali gadungan” hanya untuk memenuhi syarat pernikahan Islam, walaupun dalam agama hal tersebut tidak diperkenankan. Pihak-pihak yang terlibat kawin kontrak memperoleh sejumlah uang dari warga Timur tengah
43
sebagai upah. Biasanya kawin kontrak terjadi pada bulan Juni dan dilakukan hanya beberapa bulan saja selama orang-orang Arab berada di Indonesia. 4.4
Karakteristik Responden Rata-rata umur responden penelitian dari dua kampung berbeda adalah 40
tahun dengan kisaran antara 35 tahun sampai 44 tahun, yang sebagian besar berumur 45 tahun keatas. Sementara itu, untuk tingkat pendidikan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi lima, yaitu kategori sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Pada Gambar 4 ditunjukkan tingkat pendidikan warga Desa Tugu Utara yang diambil dari 60 responden di dua tempat yang berbeda yaitu Kampung Sampay dan Kampung Sukatani.
Gambar 4. Tingkat Pendidikan Responden Desa Tugu Utara
Berdasarkan Gambar 4 di atas, terdapat responden Desa Tugu Utara yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah sebanyak sepuluh rumah tangga (17 persen) dari 60 orang responden. Sebagian besar responden ini hanya berpendidikan sampai Sekolah Dasar (SD) yaitu sebanyak 29 rumah tangga (48 persen). Kemudian hanya delapan rumahtangga (13 persen) saja yang pernah tamat sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP), 12 rumah tangga (20 persen) yang tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan hanya satu rumah tangga yang sampai pada tingkat pendidikan tertinggi yaitu Perguruan Tinggi atau sekitar dua
44
persen. Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden Desa Tugu Utara memiliki tingkat pendidikan yang rendah, apalagi bagi responden berusia tua yang secara umum hanya tamat Sekolah Dasar (SD). Rendahnya pendidikan responden berbanding lurus dengan umur responden. Oleh karena saat responden berusia sekolah dasar, di wilayah Desa Tugu Utara tidak terdapat sekolah. Sekolah hanya ada di kecamatan yang membutuhkan waktu satu jam dengan berjalan kaki, ditambah lagi tidak adanya alat transportasi dan adanya ketakutan “anak” untuk menyebrang jalan. Selain itu, sarana dan prasarana pendidikan belum memadai dimana warga tidak mengenakan baju seragam, sepatu ataupun alat tulis. Sehingga rendahnya tingkat pendidikan ini merupakan hal yang biasa pada saat itu. Rendahnya tingkat pendidikan dapat berimplikasi pada kondisi perekonomian responden dan perilaku responden terhadap lingkungan. Waktu dulu mah bu, mana ada kayak jaman sekarang, serba susah mau sakola teh. Da ka sakola teh jalan kaki jauh da aya di kecamatan, terus suka takut nyebrang dulu mah, jadi mending gak ke sekolah (Haji Plh, 60 tahun).
[Waktu zaman dulu untuk sekolah segalanya sulit. Berangkat sekolah harus dengan berjalan kaki, sementara letak sekolah ada di kecamatan. Selain itu, anak-anak zaman dulu memiliki rasa takut untuk menyebrang jalan, sehingga lebih memilih untuk tidak berangkat sekolah (Haji Plh, 60 tahun)]. Penyebab anak-anak pada saat itu tidak berangkat ke sekolah selain karena jarak tempuh yang jauh menuju sekolah juga disertai tidak adanya dukungan yang tinggi dari lingkungan dan kurangnya pemahaman mengenai pentingnya arti sekolah, sehingga rata-rata tingkat pendidikan repsonden rendah. Selain tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kondisi perekonomian. Dilihat dari rata-rata umur responden waktu pengambilan data (30 tahun), maka pada tahun diperkirakan sebagian besar anakanak responden masih dalam berada dibawah usia produktif. Sedangkan saat ini (2010) anak-anak responden sebagian besar sudah berada pada usia produktif, tetapi masih tetap menjadi tanggungan keluarga yang bersangkutan. Kondisi ini terjadi karena banyak anak yang sudah berusia produktif tetapi tidak punya pekerjaan atau pun bekerja serabutan. Selain itu, terlihat bahwa anak-anak yang berusia produktif dan telah memiliki keluarga sendiri tidak mampu untuk
45
membantu perekonomian keluarganya karena kondisi ekonominya yang paspasan. Responden penelitian adalah warga lokal (warga asli dan pendatang) dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda. Berdasarkan data yang diperoleh dilapangan terdapat tiga jenis pekerjaan yang ada di Desa Tugu Utara yang terbagi menjadi tiga yaitu pekerjaan di sektor pertanian, pekerjaan di non pertanian dan pekerjaan di sektor pertanian sekaligus sektor non pertanian (pola nafkah ganda). Berikut ini adalah daftar pekerjaan warga Kampung Sampay dan Kampung Sukatani berdasarkan kategori pekerjaannya yang dipaparkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Jumlah Responden Desa Tugu Utara Berdasarkan Kategori Pekerjaan, 2010
Berdasarkan data pada gambar di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar warga Desa Tugu Utara bekerja disektor non pertanian sebanyak 34 orang, warga yang berprofesi sebagai petani hanya sebanyak sepuluh orang, sedangkan warga yang bekerja disektor pertanian sekaligus sektor non pertanian sebanyak 16 orang. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan disektor non pertanian mendominasi kegiatan perekonomian warga Desa Tugu Utara.
46
BAB V TIPE-TIPE KONVERSI LAHAN DI DESA TUGU UTARA 5.1
Fenomena Konversi Lahan di Desa Tugu Utara Lahan pertanian yang dimaksud dalam konteks penelitian ini adalah lahan
sawah dan lahan kering yang umumnya produktif untuk dimanfaatkan di bidang pertanian seperti sayuran, palawija dan tanaman lainnya. Di desa penelitian yaitu Desa Tugu Utara secara umum penggunaan lahan diperuntukkan bagi lahan sawah, penggunaan lahan kering (perkebunan/kebun campuran), tempat tinggal, bangunan villa, hotel dan restoran, serta lahan kosong. Lahan sawah merupakan lahan darat yang digunakan untuk menanam padi. Lahan kering merupakan lahan yang digunakan untuk kebun campuran dimana didalamnya terdapat campuran berbagai tanaman seperti sayuran dan tanaman keras serta batas-batas antara tanaman tersebut tidak begitu jelas (Ruswandi, 2005). Tempat tinggal merupakan tempat seseorang bernaung berupa rumah. Bangunan villa dan hotel merupakan bangunan-bangunan yang dimanfaatkan untuk kegiatan perekonomian. Lahan kosong adalah lahan yang tidak digunakan untuk budidaya tanaman atau bangunan (Ruswandi, 2005). Lahan pertanian di Desa Tugu Utara semakin lama semakin mengalami penurunan. Hal ini terjadi akibat perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian. Apalagi di kampung yang dekat dengan jalan raya seperti di Kampung Sampay, kondisi ini mengakibatkan warga lokal yang awalnya berkecimpung di dunia pertanian baik sebagai pemilik lahan maupun petani penggarap rata-rata keluar dari kegiatan pertanian karena lahan pertanian yang tengah digarap, dijual oleh pemiliknya atau dikonversi ke penggunaan non pertanian. Saya sebenarnya lebih memilih menjadi petani dibandingkan menjadi tukang warung, karena jika menjadi petani dapat bekerja mandiri, tidak menjadi disuruh-suruh. Dari semenjak saya SD, saya sudah membantu orang tua bertani, tetapi apa boleh buat rezeki saya saat ini menjadi pedagang. Selain itu, disini (Kampung Sampay) sudah tidak ada lagi lahan pertanian, andai saja ada lahan, saya berminat untuk menjadi petani (Bapak Ujk, 32 tahun).
Sebenarnya warga lokal yang saat ini bekerja diluar sektor pertanian memiliki minat untuk bekerja dibidang pertanian, namun sulitnya akses pada
47
lahan pertanian mengakibatkan kebanyakan dari mereka memilih bekerja disektor non pertanian seperti pedagang, tukang ojeg dan sebagainya. Awalnya sebagian besar rumah tangga di desa ini memiliki lahan pertanian namun karena kondisi ekonomi yang semakin sulit, kebanyakan dari mereka akhirnya menjual lahan pada orang lain atau bahkan mengkonversinya ke peruntukkan diluar pertanian, sehingga mengakibatkan terjadi perpindahan penguasaan lahan. Data pada Gambar 6 di bawah ini menunjukkan latar belakang terjadinya konversi lahan yang berlangsung di Desa Tugu Utara.
Gambar 6. Proses Terjadinya Konversi9
Data pada Gambar 5 menunjukkan bahwa sebagian besar lahan milik rumah tangga setempat dijual kepada orang lain sehingga terjadi perubahan status kepemilikan lahan menjadi milik orang lain, namun sebagian besar lahan di desa ini juga mengalami konversi lahan yang dilakukan oleh pemiliknya sendiri (warga luar desa) yaitu sebesar 26,08 persen. Awalnya lahan yang dikuasai warga luar desa adalah lahan milik rumah tangga setempat namun karena tuntutan ekonomi atau ingin merubah kondisi ekonomi kearah yang lebih baik maka rumah tangga tersebut menjual lahannya. Dari transaksi jual beli tersebut, warga luar desa yang telah memiliki lahan melakukan konversi lahan pertanian ke peruntukkan lahan non pertanian, seperti membuat villa. Akan tetapi, ada juga warga luar desa yang tetap mempertahankan lahan sebagai lahan pertanian dengan menggunakan tenaga kerja rumah tangga setempat untuk mengolah lahan pertanian tersebut, hal ini 9
Jumlah responden diambil dari rumah tangga yang berkecimpung di dunia pertanian yaitu sebanyak 23 orang atau 23.33 persen dari 60 orang
48
seperti yang terjadi pada Bapak Uyh (46 tahun) yang dikemukakan oleh saudaranya bapak Ymc (42 tahun). Dulu, kakak saya memiliki lahan seluas tiga hektar, tetapi sekarang sudah dijual pada orang Jakarta seluas dua hektar, sehingga hanya sisa satu hektar. Kakak saya tetap mengelola lahan pertaniannya yang satu hektar tetapi juga mengelola lahan milik orang Jakarta yang membeli lahannya melalui tumpang sari. Sebagian lahan yang dibeli warga luar desa ada yang diubah menjadi villa. Kakak saya tidak berani bilang pada orang lain jika dia memiliki lahan, karena dia orangnya sederhana (Bapak Ymc, 42 tahun).
Di desa ini juga masih terdapat rumah tangga yang tetap mempertahankan lahan pertanian miliknya sendiri tanpa menjual atau melakukan konversi sebanyak delapan rumah tangga (34,78 persen). Rumah tangga ini tidak memiliki ketertarikan pada dunia non pertanian dan sudah merasa nyaman menjadi petani, sehingga lebih memilih tetap mempertahankan lahan pertanian disaat banyak tawaran pembelian lahan. Selain itu, ada pula rumah tangga yang menjual sebagian lahannya pada orang lain dan sebagian lagi dikonversi ke peruntukkan diluar pertanian sebanyak 8,69 persen. Biasanya rumah tangga yang menjual sekaligus mengkonversi lahan miliknya sendiri menggunakan uang hasil penjualannya untuk membuat bangunan disebagian lahannya yang akan dikonversi. Akan tetapi, ada juga rumah tangga yang langsung melakukan konversi lahan di lahan pertaniannya sendiri untuk membuka usaha, misalnya warung. Berikut ini adalah bentuk-bentuk konversi lahan yang terjadi di Desa Tugu Utara yang diuraikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Bentuk Perubahan Peruntukkan Lahan10 10
Jumlah responden diambil dari rumah tangga yang berkecimpung di dunia pertanian yaitu sebanyak 23 rumah tangga atau 23,33 persen dari 60 rumah tangga.
49
Berdasarkan data pada Gambar 6 dapat dilihat bahwa bentuk perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian di Desa Tugu Utara rata-rata dikonversi menjadi bangunan-bangunan seperti rumah, villa, hotel, mesjid dan toko/warung. Biasanya perubahan lahan pertanian menjadi rumah atau toko dilakukan oleh rumah tangga setempat karena adanya kebutuhan akan tempat tinggal dan kepentingan untuk usaha. Sementara untuk perubahan lahan pertanian menjadi villa dan hotel dilakukan oleh warga luar desa yang ingin mendapatkan keuntungan ekonomi dari usahanya tersebut. Selanjutnya ada pula lahan yang dijadikan untuk mesjid, salah satu contohnya adalah mesjid Al-Masih yang dibangun oleh warga asal Arab sebagai bentuk sumbangan kepada pemerintah desa. Bentuk lahan sebelum dijadikan mesjid adalah lapangan sepak bola, namun setelah ditelusuri lebih jauh ternyata sebelum dijadikan sebagai lapangan sepak bola, lahan ini adalah lahan pertanian yang masih produktif. Lahan yang dijual oleh rumah tangga setempat pada warga luar desa juga ada yang tidak termanfaatkan dalam artian tidak digunakan baik untuk kegiatan pertanian maupun dijadikan bangunan yaitu sebanyak empat persen. Biasanya lahan kosong ini dibeli oleh warga luar desa hanya sebagai investasi saja karena lahan memiliki nilai investasi yang cukup baik untuk jangka panjang, disamping harga lahan yang naik tiap tahunnya, lahan juga sifatnya tetap sehingga banyak orang yang tertarik untuk berinvestasi lahan. Namun ada pula lahan yang tetap terpelihara yaitu sebanyak empat persen sedangkan lahan yang terpelihara sekaligus menghasilkan lahan pertanian sebanyak 34,78 persen. Salah satu hasil dari fenomena konversi lahan di desa ini dapat dilihat dari kegiatan perekonomian yang terpusat di sepanjang jalan Raya Puncak. Ketika melewati kawasan Puncak, khususnya kawasan yang termasuk pemerintahan Desa Tugu Utara akan ditemui berbagai macam toko mulai dari toko makanan, oleholeh, warung kecil, mini market, restoran, tempat money changer dan lain sebagainya. 5.2 5.2.1
Tipe-Tipe Konversi Lahan Kluster Konversi Lahan Konversi lahan merupakan suatu fenomena terjadinya perubahan
peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian. Pada
50
penelitian terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh Sihaloho (2004) terdapat tujuh tipe konversi yang ditemukan di Kelurahan Mulyaharja. Ketujuh tipe tersebut merupakan hasil temuan lapang dimana telah terjadi perubahan kawasan pedesaan menjadi perkotaan. Sementara itu dalam penelitian ini, kawasan Desa Tugu Utara tidak mengalami perubahan kawasan menjadi perkotaan. Desa ini termasuk kedalam desa yang berada dipinggiran kota. Oleh karena itu, berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan informan yang ada di Desa Tugu Utara serta hasil rujukan dari penelitian Sihaloho (2004) dan Soemaryanto (2001), terdapat tiga sudut pandang (dimensi) tipe konversi lahan yang terjadi di kawasan ini. Ketiga sudut pandang tipe konversi lahan tersebut antara lain: 1. Tipe yang pertama dilihat dari letak kawasan terjadinya konversi yaitu kawasan yang berada di dekat jalan raya (terbuka) dan cenderung mudah dalam akses kegiatan ekonomi, kemudian kawasan yang berada jauh dari jalan raya (tertutup) dan cenderung sulit dalam akses kegiatan ekonomi. 2. Tipe kedua dilihat dari tingkat kecepatan terjadinya konversi (lambat dan cepat) 3. Tipe ketiga dilihat dari pihak pelaku kegiatan konversi lahan (warga lokal dan warga luar desa). 5.2.2
Tipe Konversi Lahan Berdasarkan Letak Kawasan Tipe konversi ini terjadi akibat besarnya akses pada jalan raya sehingga
mempermudah dalam melakukan kegiatan perekonomian serta terbukanya kesempatan kerja disektor non pertanian. Penelitian ini dilakukan di kawasan Desa Tugu Utara dengan menggunakan kluster yaitu dua kampung yang dapat mewakili fenomena konversi lahan yang terjadi di desa ini. Dua kampung yang terpilih memiliki perbedaan dalam hal akses pada jalan raya. Kampung pertama yaitu Kampung Sampay berada di bagian depan atau dekat dengan jalan raya dan kampung kedua yaitu Kampung Sukatani berada dibagian belakang atau jauh dari jalan raya. Di Kampung Sampay kegiatan konversi lahan secara besar-besaran untuk membangun rumah, villa dan hotel sudah menjadi suatu fenomena yang biasa karena kampung ini telah mengalami konversi lahan yang lebih terbuka
51
dibandingkan dengan Kampung Sukatani. Saat ini berbagai sarana dan prasarana umum mulai dari sarana pemerintahan desa dan sarana perekonomian ada di kampung ini seperti rumah makan dan restoran sebanyak tujuh buah, villa sebanyak 36 buah, 17 warung dan toko, dua mini market, satu depot isi ulang air mineral, tiga jasa tiket penerbangan/money changer dan dua salon kecantikan. Hal ini berbeda dengan lahan pertanian yang semakin lama semakin berkurang dan mengakibatkan konversi lahan yang terjadi di Kampung Sampay akhir-akhir ini tidak sebesar konversi di Kampung Sukatani karena sudah tidak ada lagi lahan yang dapat dikonversi11. Kemudian sebanyak lima responden melakukan konversi lahan pertanian ke peruntukkan lahan non pertanian seperti rumah, vila dan hotel. Kondisi ini juga didukung oleh sedikitnya rumah tangga yang berkecimpung di dunia pertanian karena dari 30 responden hanya tiga rumah tangga yang berprofesi sebagai petani yang menggarap lahan milik orang lain. Berbeda dengan Kampung Sukatani yang hanya mengalami perubahan peruntukkan lahan berupa bangunan villa dan green house yang tidak terlalu mencolok. Sarana dan prasarana yang ada di Kampung Sukatani antara lain lima villa, empat warung atau toko, satu mini market dan dua perseroan (CV) yang bergerak dibidang pertanian. Kegiatan konversi lahan di kampung ini jauh lebih tertutup karena letaknya yang jauh dari jalan raya dan sulitnya alat-alat transportasi untuk menjangkau kampung ini. Alat transportasi seperti mobil dan truk hanya dapat menjangkau bagian bawah kampung dan sulit menjangkau tempat-tempat yang berada di bagian atas karena jalannya sempit, menanjak dan penuh dengan bebatuan. Kampung ini masih penuh dengan pepohonan dan lahan pertanian serta jumlah warung yang sedikit dengan jarak antara warung yang satu dan warung yang lainnya sangat berjauhan. Di kampung ini kegiatan konversi lahan menjadi lebih besar dibandingkan Kampung Sampay karena masih banyaknya lahan pertanian yang dapat dialihfungsikan menjadi peruntukkan diluar pertanian. Dari 30 responden sebanyak sembilan orang melakukan konversi lahan pertanian menjadi penggunaan diluar pertanian. Namun walaupun konversi lahan di kampung ini lebih besar, lahan pertanian masih melimpah dan terpelihara dengan baik. 11
Konversi lahan yang sedikit di Kampung Sampay menunjukkan tidak ada lagi lahan yang dapat dikonversi karena sebagian besar lahan telah berubah menjadi bangunan-bangunan.
52
Uraian di atas menunjukkan terjadinya pergeseran kegiatan konversi lahan dari kawasan yang dekat jalan raya (konversi tinggi) ke kawasan yang jauh dari jalan raya (konversi rendah) sehingga di masa yang akan datang keadaan Kampung Sukatani yang kaya akan lahan pertanian dapat berubah menjadi seperti kondisi Kampung Sampay saat ini yang penuh dengan bangunan-bangunan. Secara ekologis kondisi Kampung Sampay yang sebagian besar lahannya telah beralih menjadi bangunan menunjukkan bahwa kampung ini sudah mengalami krisis lingkungan dimana alam memberikan manfaat kepada manusia sedangkan manusia sendiri memberikan kerugian pada alam (untuk lebih jelasnya akan dibahas pada Bab VII). 5.2.3
Tipe Konversi Lahan Berdasarkan Tingkat Kecepatan Tipe konversi ini merupakan sehamparan lahan yang terkonversi dengan
melihat tingkat kecepatan terjadinya perubahan peruntukkan lahan di kawasan tersebut. Konversi lahan berdasarkan tingkat kecepatan ini dibedakan menjadi dua yaitu konversi lahan yang berlangsung lambat dan konversi lahan yang berlangsung cepat. Dari hasil penelitian di Desa Tugu Utara dengan mengambil dua kluster yaitu Kampung Sampay dan Kampung Sukatani terdapat interkoneksitas antara letak kawasan dengan tingkat kecepatan terjadinya konversi lahan di dua kampung tersebut. Secara umum fenomena konversi lahan di Desa Tugu Utara melaju dengan cepat pada kisaran tahun 1995-2002 dan mulai melaju lambat dimulai tahun 2002. Terjadi perbedaan kecepatan laju konversi lahan tersebut karena sudah ada dampak yang dirasakan akibat konversi lahan terutama setelah sering terjadinya banjir, sehingga lahan pertanian yang sudah dialihfungsikan ke bentuk diluar pertanian secara perlahan mulai dialihfungsikan lagi ke pemanfaatan semula karena pihak pemerintah sedang melakukan upaya pembenahan kawasan Puncak agar tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai kawasan resapan air di wilayah Bopunjur (Bogor Puncak Cianjur). Antara tahun 1995 sampai 2002 konversi lahan melaju dengan cepat karena saat itu orang-orang Jakarta lebih tertarik untuk memiliki lahan di Puncak, dengan sering terjadi banjir di Jakarta makanya lebih tertarik tinggal di daerah Puncak. Dari segi waktu tempuh pun tidak lama (antara Jakarta dan Puncak), saya rasa alasannya begitu (Bapak Ymc, 42 tahun).
53
Pada tahun 1995-2002 konversi lahan di Kampung Sampay lebih cepat dibandingkan dengan konversi lahan di Kampung Sukatani karena mudahnya akses pada jalan raya dan sarana perekonomian. Hal ini menyebabkan semakin sedikit lahan pertanian yang ada di Kampung Sampay. Sementara kegiatan perubahan peruntukkan lahan di Kampung Sukatani berlangsung secara lambat karena saat ini masih banyak lahan pertanian yang dapat dimanfaatkan rumah tangga setempat. Seperti pada uraian sebelumnya yang menjelaskan tentang adanya pergeseran kegiatan konversi lahan ke daerah-daerah yang masih banyak lahannya dapat membuat Kampung Sukatani menjadi target dari kegiatan konversi lahan selanjutnya. 5.2.4
Tipe Konversi Lahan Berdasarkan Pelaku Konversi Kebutuhan akan tempat tinggal dan keterdesakan ekonomi bagi warga
lokal serta keinginan untuk melakukan investasi bagi warga luar desa (para pemilik modal/investor) menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan. 5.2.4.1 Warga Lokal 5.2.4.1.1
Kebutuhan Akan Tempat Tinggal
Kepadatan penduduk di Desa Tugu Utara semakin meningkat setiap tahunnya karena bertambahnya jumlah warga lokal atau pun karena jumlah migrasi warga yang semakin besar. Peningkatan tersebut mengakibatkan kebutuhan akan tempat tinggal semakin meningkat sehingga banyak warga yang melakukan konversi lahan di lahan produktif untuk dijadikan tempat tinggal. Berdasarkan hasil penelitian kepada 60 responden warga Desa Tugu Utara terdapat enam rumah tangga (10 persen) yang mengubah lahan pertanian menjadi tempat tinggal. Salah satu kasus perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi tempat tinggal yaitu kasus yang terjadi pada keluarga Bapak Haji Jpr. Awalnya tempat tinggal yang ditempati keluarga tersebut adalah lahan sawah yang digunakan untuk kegiatan pertanian. Dulu saya pernah memiliki lahan sawah seluas 5000 meter, tetapi sekarang sudah dijadikan rumah. Walaupun sayang lahan sawah harus dikonversi, tapi apa boleh buat, saya dan keluarga membutuhkan tempat tinggal dan alhamdulillah sekarang jadi memiliki rumah sendiri. Lahan yang dijadikan rumah seluas 4000 meter dan hanya sisa 1000
54 meter. Sekarang lahan yang 1000 meter menjadi lahan yang tidak terpakai (Haji Jpr, 60 tahun).
Bapak Haji Jpr merupakan salah satu warga Kampung Sampay yang terpaksa melakukan konversi lahan pertanian menjadi tempat tinggal. Saat itu beliau sudah menikah dan belum memiliki tempat tinggal sehingga berinisiatif untuk mengkonversi lahan pertanian miliknya karena tidak memiliki cukup uang untuk membeli rumah ditempat lain. Tidak ada penyesalan dari bapak Haji Jpr setelah lahannya terkonversi karena menurut beliau jika lahannya tidak dikonversi menjadi tempat tinggal, mungkin saat ini beliau dan keluarga tidur dijalanan. Uraian di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan tempat tinggal menjadi salah satu pendorong terjadinya konversi lahan pertanian di Desa Tugu Utara. 5.2.4.1.2
Keterdesakan Ekonomi
Sebagian besar rumah tangga Desa Tugu Utara sudah tidak lagi memiliki lahan milik sendiri baik lahan yang produktif maupun lahan yang kurang produktif. Hal ini terjadi karena kondisi ekonomi rumah tangga mengalami penurunan apalagi setelah terjadinya krisis ekonomi tahun 1998. Krisis ekonomi tersebut mengakibatkan lahan menjadi suatu komoditas yang layak untuk diperjualbelikan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup. Sebanyak 26,1 persen rumah tangga menjual lahan pertanian miliknya sendiri dimana 17,4 persen rumah tangga Kampung Sampay dan 8,7 persen rumah tangga Kampung Sukatani12. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya perubahan struktur agraria terkait penguasaan lahan pertanian. Selain itu, ada pula rumah tangga yang keluar dari kampung atau desanya sendiri untuk memperoleh keuntungan ekonomi diluar pertanian. Seiring dengan penjualan lahan dan berpindah tempatnya rumah tangga ke luar kampung atau desa menyebabkan rumah tangga beralih pekerjaan dari sektor pertanian menjadi bekerja diluar sektor pertanian. Banyak warga yang pindah keluar kampung atau desa. Ya, sebetulnya begitu mereka, berawal dari pola pikir mereka yang sangat pendek. Dia menjual lahan, kemudian pindah dengan kenyataan disini semua. Dia di tempat baru juga belum tentu mendapat lahan seperti diawal. Mereka jangan-jangan karena nafsu, mengejar emosi ingin membeli ini dan itu. Rata-rata mereka juga berubah pekerjannya menjadi kuli kasar, kuli bangunan (Bapak Ymc, 42 tahun). 12
Jumlah responden diambil dari rumah tangga yang berkecimpung di dunia pertanian yaitu sebanyak 23 rumah tangga atau 23,33 persen dari 60 rumah tangga.
55
Berdasarkan pernyataan bapak Ymc (42 tahun) rumah tangga Desa Tugu Utara banyak yang menjual lahan karena rendahnya tingkat pendidikan, sehingga pola
pikirnya
menjadi
pendek
dengan
menjual
lahannya
dan
tidak
mempertimbangkan kondisi jangka panjang. Rumah tangga tersebut mudah tergiur dengan keuntungan ekonomi sesaat seperti membeli barang-barang elektronik, kendaraan bermotor dan lain sebagainya. Keuntungan jangka pendek dapat dirasakan sesaat setelah lahan terjual, namun kebutuhan ekonomi semakin lama akan semakin meningkat sehingga rumah tangga tersebut tidak lagi memiliki aset berupa lahan untuk dimanfaatkan. 5.2.4.2 Warga Luar Desa (Pemilik Modal/Investor) Kawasan Desa Tugu Utara merupakan kawasan pinggiran kota yang sering dijadikan tempat peristirahatan bagi para pengunjung yang berasal dari luar kota, sehingga kawasan ini menjadi sasaran para pemilik modal untuk melakukan investasi baik berupa tempat perisitrahatan (villa pribadi) maupun untuk sarana perekonomian seperti penginapan, hotel, restoran, villa untuk disewakan dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil penelitian kepada 60 responden dan hanya 23 responden yang bergerak dibidang pertanian, sebanyak 26 persen rumah tangga melakukan konversi lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian seperti hotel sebesar empat persen, villa sebesar 17 persen dan mesjid sebesar empat persen. Kasus terbaru yang terjadi di desa ini yaitu alih fungsi lahan untuk digunakan sebagai kegiatan perekonomian berupa pembangunan sebuah hotel dan restoran besar di atas tanah produktif yang baru dipromosikan sekitar bulan Oktober tahun 2010. Bangunan tersebut sangat luas dan memiliki nilai estetika tersendiri bagi pengunjungnya, karena letak bangunan dipinggir jalan dan berada di ketinggian sehingga mampu menyuguhkan pemandangan yang indah. Nah, di atas itu ada restoran yang baru dibangun, punya orang Jakarta. Ya, kalau saya tidak keberatan ada bangunan itu, asalkan pakai tenaga kerja warga lokal sekitar 10%, khususnya RT 02 (Bapak Rzl, 29 tahun).
Para pemilik modal yang memanfaatkan lahan di Desa Tugu Utara cenderung kurang memberikan kesempatan kepada warga lokal untuk bekerja ditempat usahanya. Para pemilik modal ini biasanya menggunakan jasa profesional dengan kualifikasi tertentu yang sebagian besar tidak dimiliki warga lokal. Namun karena bangunannya berada di kawasan desa ini, khususnya
56
Kampung Sampay diharapkan pemilik modal tersebut memberikan kesempatan pada warga lokal untuk bekerja di tempat usahanya. Bapak Rzl merupakan salah satu orang yang mengusahakan agar pemilik modal yang membuka usaha di kampung ini dapat memberikan kesempatan kerja bagi warga lokal sekitar sepuluh persen. Disamping itu berdasarkan hasil penelitian pada 30 responden rumah tangga Kampung Sampay dan 30 responden rumah tangga Kampung Sukatani hanya terdapat 20 persen rumah tangga Kampung Sampay yang bekerja pada pemilik modal seperti sebagai karyawan toko, sedangkan rumah tangga Kampung Sukatani sebanyak 26,67 persen rumah tangga yang bekerja sebagai satpam, penjaga villa, dan security13. Rumah tangga yang bekerja pada pemilik modal ini bekerja pada usaha berskala kecil, sementara itu tidak ditemukan rumah tangga yang bekerja pada usaha berskala besar milik warga luar desa. 5.2.5
Fakta-Fakta Konversi Lahan Berdasarkan Tipe Konversi di Desa Tugu Utara Uraian-uraian sebelumnya telah membahas mengenai dimensi konversi
lahan dengan menguraikan tipe-tipe konversi lahan yang terjadi pada setiap kawasan baik itu Kampung Sampay maupun Kampung Sukatani. Ketiga dimensi konversi lahan saling terkait satu sama lain. Data pada Tabel 5 di bawah ini menunjukkan keterkaitan ketiga dimensi konversi lahan. Tabel 5. Hubungan Dimensi Konversi Lahan Berdasarkan Tipe Konversi yang Terjadi di Desa Tugu Utara, 2010. Tipe Dimensi Tingkat Kecepatan Pihak Pelaku Konversi Konversi Konversi Lambat Cepat Warga lokal Warga luar desa Lahan Lahan √ √ √ Terbuka Letak √ √ Kawasan Tertutup Keterangan : (√) = ada hubungan; (-) = tidak berhubungan Berdasarkan data pada Tabel 5 terdapat hubungan antara ketiga dimensi konversi lahan berdasarkan tipe-tipe konversi lahan yang terjadi di Desa Tugu Utara. Dimensi letak kawasan berada pada bagian vertikal14, sementara dimensi 13
Data diperoleh dari jenis pekerjaan rumah tangga Kampung Sampay dan Kampung Sukatani (Terlampir) 14 Dimensi letak kawasan berada di bagian vertikal karena merupakan dimensi yang menjadi tolak ukur bagi dimensi-dimensi lainnya. Dengan mengetahui letak kawasan terjadinya konversi
57
tingkat kecepatan dan pihak pelaku konversi berada pada bagian horizontal. Dengan melihat tabel di atas dapat ditarik beberapa interpretasi antara lain: 1) Letak kawasan yang berada dekat jalan raya yaitu Kampung Sampay mengalami konversi lahan dengan tipe yang terbuka. Artinya, kawasan ini lebih mudah mengalami konversi lahan karena lokasinya yang strategis dan mudah dalam melakukan transaksi ekonomi; 2) Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa tipe konversi lahan yang terbuka mengalami konversi lahan dengan laju yang cepat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bangunan-bangunan dan minimnya lahan pertanian. Berdasarkan data di lapangan, konversi lahan di Kampung Sampay sudah berlangsung lebih dari sepuluh tahun dan kegiatan konversi lahan gencar dilakukan pada masa-masa itu, sehingga pada saat ini (tahun 2010) lahan pertanian di Kampung Sampay sudah sedikit jumlahnya; 3) Konversi lahan yang terjadi secara terbuka dengan laju konversi lahan yang cepat biasanya dilakukan oleh semua subjek agraria (warga lokal, warga luar desa, dan pemerintah). Semua stakeholder membutuhkan lahan untuk melakukan berbagai aktivitasnya, sehingga permintaan terhadap lahan terus meningkat sementara lahan yang sifatnya terbatas sudah semakin berkurang; 4) Letak kawasan yang jauh dari jalan raya yaitu Kampung Sukatani mengalami konversi lahan secara tertutup. Tertutup dalam hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini tidak mengalami konversi lahan sebesar konversi lahan secara terbuka. Lokasi Kampung Sukatani yang jauh dari jalan mempersulit pihak-pihak yang ingin melakukan konversi lahan karena lokasinya kurang strategis dan terpencil; 5) Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa tipe konversi lahan yang tertutup mengalami konversi lahan dengan tingkat kecepatan lambat. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya lahan pertanian dan pepohonan yang mendominasi pemandangan kawasan setempat, walaupun terdapat bangunan-bangunan seperti villa, hanya saja jumlahnya tidak sebanyak di Kampung Sampay; 6) Konversi lahan yang terjadi secara tertutup dengan laju konversi lahan yang lambat biasanya hanya dilakukan oleh warga luar desa yang memang berkeinginan untuk membangun villa ditempat yang sunyi. Akan tetapi ada juga warga lokal yang melakukan konversi hanya saja jumlahnya sedikit dibandingkan warga luar desa. lahan baik di bagian dekat jalan raya atau jauh dari jalan raya, maka dapat dianalisis dimensi tingkat kecepatan dan pihak pelaku konversi dengan melihat letak kawasannya.
58
Berdasarkan keenam interpretasi di atas dapat disimpulkan bahwa letak kawasan mempengaruhi siapa yang melakukan konversi dan bagaimana tingkat kecepatan perubahan peruntukkan lahan yang terjadi. Hubungan antara berbagai tipe konversi lahan berdasarkan dimensi berpengaruh terhadap fenomena konversi lahan disuatu ka wasan. Hubungan dari ketiga dimensi konversi lahan berdasarkan tipe konversi lahan dapat dirangkum menjadi dua tipe yaitu Tipe I dan Tipe II. a. Tipe I (dekat dengan jalan raya) yaitu Kampung Sampay: Letak kawasan terbuka, laju konversi cepat dan pelaku konversi lahan adalah warga lokal dan warga luar desa. b. Tipe II (jauh dari jalan raya) yaitu Kampung Sukatani: Letak kawasan tertutup, laju konversi lambat dan pelaku konversi lahan adalah warga luar desa. Tipe I dan Tipe II memiliki perbedaan dilihat dari jumlah terjadinya konversi pada suatu lahan. Rata-rata lahan yang berada di Tipe I mengalami perubahan peruntukkan lahan lebih dari dua kali. Seperti pada kejadian pembangunan mesjid Al-masih yang telah dikemukakan ada uraian sebelumnya, sebelum menjadi mesjid lahan tersebut adalah lapangan sepak bola yang pada awalnya merupakan lahan pertanian produktif. Pihak pemerintah dan warga luar desa berperan dalam terjadinya perubahan peruntukkan lahan menjadi mesjid ini. Selain itu, adapula bangunan villa yang awalnya lahan pertanian kemudian beralih menjadi perkebunan dan terakhir berubah menjadi villa. Di kawasan dengan Tipe II sebagian besar lahan hanya mengalami satu kali perubahan peruntukkan lahan misalnya dari lahan pertanian menjadi villa, menjadi tempat tinggal atau berubah menjadi perkebunan. Penyebab dari perbedaan tersebut karena di kawasan Tipe I sudah jarang lahan pertanian yang dapat dikonversi, sehingga konversi lahan dilakukan pada lahan-lahan yang sudah mengalami perubahan peruntukkan lahan sebelumnya. Sementara di kawasan Tipe II masih banyak lahan pertanian yang dapat dikonversi, sehingga perubahan peruntukkan lahan dilakukan pada lahan-lahan yang masih dapat dibuat bangunan tanpa harus mengubah manfaat konversi sebelumnya. Pihak yang terlibat dalam frekuensi terjadinya konversi adalah semua stakeholder pemanfaat sumberdaya lahan seperti pemerintah, warga luar desa maupun warga lokal.
59
5.3 Peranan Pemerintah Terkait Konversi Lahan di Desa Tugu Utara Peranan pemerintah Desa Tugu Utara dalam menghadapi fenomena konversi lahan berada pada situasi yang dilematis, karena pihak pemerintah berada diantara usaha pertumbuhan ekonomi yang dekat dengan pembangunanpembangunan untuk meningkatkan pendapatan daerah sekaligus juga sebagai pihak yang harus mengendalikan kegiatan alih fungsi lahan, Bapak Ymc (42 tahun) menyatakan bahwa “Peranan pemerintah dalam upaya pembangunan desa sangat besar, berbagai fasilitas dibangun untuk menunjang peningkatan desa”.
Pernyataan yang dikemukakan oleh bapak Ymc (42 tahun) memang benar dan merupakan suatu kontribusi yang baik ketika pemerintah desa berupaya meningkatkan fasilitas desa diera pertumbuhan ekonomi saat ini, karena dengan meningkatkan sarana dan prasarana diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi warga desa, sementara itu dukungan warga desa sendiri terhadap pengendalian konversi lahan cenderung lemah, baik warga lokal maupun warga luar desa banyak melakukan pembangunan-pembangunan yang mengarah pada pelanggaran peraturan pemerintah. Pemandangan alam Puncak yang indah menjadi salah satu penyebab tidak kondusifnya lingkungan kebijakan di Desa Tugu Utara. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa dengan keindahan alam Puncak akan terbuka peluangpeluang usaha disektor non pertanian dan memberikan pemasukan bagi pelaku konversi. Para pelaku konversi (warga lokal dan warga dari luar desa) rata-rata melakukan pembangunan tanpa memperhatikan kebijakan penggunaan lahan. Mereka (pemilik villa) melakukan pembangunan di lahan hijau, bahkan ada yang dipinggir tebing dan kali. Padahal ada peraturan yang menyatakan untuk tidak membuat bangunan di dekat kali atau tebing beberapa meter. Hal ini dilakukan agar tanah terjaga. Namun aturan ini tidak dihiraukan oleh mereka. Bahkan sebagian besar atau hampir seluruhnya bangunan yang berdiri di daerah ini tidak memiliki IMB (Izin Membuat Bangunan) dan sertifikat, tetapi anehnya mereka ditarik SPP (pajak) (Bapak Rzl, 29 tahun).
Berdasarkan hal tersebut, pihak pemerintah membuat upaya pencegahan dampak yang akan ditimbulkan oleh kegiatan konversi lahan terhadap lingkungan fisik. Langkah pertama yang dilakukan pemerintah desa adalah membuat peraturan untuk warga yang melakukan konversi di kawasan ini khususnya yang membangun villa dan hotel agar membuat sumur resapan, menanam pohon dan
60
melakukan biovori agar air tidak meluap dan berakibat banjir. Namun sebagian besar para pelaku konversi lahan tidak menghiraukan peraturan ini dan kebanyakan melakukan pelanggaran. Bagi para pendatang yang melakukan pembangunan berupa villa atau yang lainnya, dianjurkan menanam pohon diwilayah sekitar konversi agar resapan air tetap terjaga dan juga menganjurkan melakukan biovori (Bapak Ymc, 42 tahun).
Langkah kedua yaitu memberikan surat teguran kepada pemilik villa dan hotel yang tidak taat aturan. Pemberian surat ini dilakukan karena pihak pemerintah kesulitan untuk melakukan komunikasi langsung dengan pemilik villa atau pemilik hotel, karena pelaku ini sebagian besar tidak berada di kawasan Desa Tugu Utara. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pihak pemerintah, sehingga akhirnya pihak pemerintah sendiri menjadi lemah menghadapi fenomena konversi lahan ini. 5.4 Ikhtisar Pemanfaatan lahan di Desa Tugu Utara digunakan sebagai lahan sawah, penggunaan lahan kering, tempat tinggal, bangunan villa, hotel dan restoran, serta lahan kosong. Awalnya lahan di kawasan desa ini didominasi oleh lahan produktif baik lahan perkebunan maupun lahan pertanian namun seiring dengan maraknya pembangunan, konversi lahan pun tidak dapat dapat dielakkan apalagi setelah masa pemerintahan Soeharto berakhir. Lahan yang awalnya sulit diakses oleh warga menjadi lebih mudah dimanfaatkan, selain itu konversi lahan di desa ini juga terjadi karena pertambahan jumlah penduduk dan penanaman modal yang dilakukan oleh para investor. Akibatnya, sebagian besar lahan mengalami perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian seperti toko, villa, hotel, restoran, rumah, dan lain sebagainya. Terdapat tiga dimensi konversi lahan yang terjadi di Desa Tugu Utara yaitu tipe konversi yang dilihat dari letak kawasan, tipe konversi yang dilihat dari tingkat kecepatan dan tipe konversi yang dilihat dari pelaku konversi lahan. Data pada Tabel 6 merangkum ketiga dimensi konversi lahan mulai dari pengertian, tipe konversi, pihak pelaku konversi, penerima manfaat dan bentuk konversi lahan.
61
Tabel 6. Keterkaitan Dimensi Konversi dengan Kondisi dilapangan
Pelaku
Tingkat Kecepatan
Letak Kawasan
Dimensi Tipe Konversi
Pengertian
Tipe Konversi
Pihak Pelaku
Bentuk Konversi dan Pihak Pemanfaat
Dilihat dari aksesbiitasnya, maka terdapat dua tipe konversi dalam hal ini yaitu terbuka dan tertutup. Tipe konversi ini terjadi akibat besarnya akses pada jalan raya yang mempermudah terjadinya transakasi ekonomi lahan untuk merespon peluang ekonomi disektor non pertanian (hotel, restoran, dll).
Terbuka (Kampung Sampay)
Warga • Tempat tinggal: warga lokal, luar lokal desa dan • Sarana ekonomi pemerintah (hotel, restoran, villa, setempat dsb): warga luar desa • Sarana pemerintahan (kantor): pemerintah
Tertutup (Kampung Sukatani)
Dilihat dari tingkat kecepatannya, maka terdapat dua tipe konversi dalam hal ini yaitu lambat dan cepat. Tipe konversi ini merupakan sehamparan lahan yang terkonversi dengan melihat tingkat kecepatan terjadinya perubahan peruntukkan lahan di kawasan tersebut.
Lambat (Kampung Sukatani)
Warga • Villa dan greenhouse: lokal dan warga luar desa Warga luar • Tempat tinggal: warga desa lokal • Warung kecil: warga lokal Warga • Villa dan greenhouse: lokal dan warga luar desa warga luar • Tempat tinggal: warga desa lokal • Warung kecil: warga lokal Warga • Tempat tinggal: warga lokal, lokal warga luar • Sarana ekonomi desa dan (hotel, restoran, villa, pemerintah dsb): warga luar desa setempat • Sarana pemerintahan (kantor): pemerintah
Dilihat dari pihak pelaku konversi, maka terdapat dua tipe konversi yaitu warga lokal dan warga luar desa. Tipe konversi ini terjadi karena adanya kebutuhan akan tempat tinggal dan keterdesakan ekonomi bagi warga lokal serta keinginan untuk melakukan investasi bagi warga luar desa (para pemilik modal/investor)
Cepat (Kampung Sampay)
Warga lokal Warga luar desa
Warga • Tempat tinggal dan lokal toko: warga lokal Warga luar • Hotel, villa, restoran, desa toko, dan lain sebagainya: warga lokal dan pemerintah.
Data pada Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa Kampung Sampay mengalami konversi lahan secara terbuka dengan laju konversi cepat dimana pihak pelaku konversi adalah semua stakeholder (warga lokal, warga luar desa dan pemerintah). Rata-rata bentuk perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian seperti tempat tinggal, sarana perekonomian
62
(villa, restoran, hotel, toko, dsb), dan sarana pemerintahan (kantor). Pihak yang memperoleh manfaat dari konversi lahan ini adalah semua stakeholder, akan tetapi pihak yang memperoleh manfaat lebih besar adalah warga luar desa. Kampung Sukatani mengalami konversi lahan secara tertutup dengan laju konversi lambat dimana pihak pelaku konversi sebagian besar adalah warga luar desa, akan tetapi warga lokal juga berperan dalam kegiatan konversi lahan hanya saja tidak sebesar warga luar desa. Rata-rata bentuk perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian seperti tempat tinggal, villa, warung kecil dan greenhouse. Pihak yang memperoleh manfaat dari konversi lahan pertanian di kampung ini adalah warga lokal dan warga luar desa, akan tetapi sama seperti di Kampung Sampay, manfaat yag diterima warga lokal lebih kecil dibandingkan warga luar desa.
63
BAB VI DAMPAK SOSIO-EKONOMIS KONVERSI LAHAN PERTANIAN Fenomena konversi lahan pertanian memberikan perubahan pada kehidupan sosial ekonomi rumah tangga Desa Tugu Utara. Semua rumah tangga yang tinggal dan menetap di desa ini telah beradaptasi dengan kondisi yang ditimbulkan dari kegiatan konversi lahan pertanian ke peruntukkan lahan diluar pertanian. Adapun dampak dari kegiatan konversi lahan tersebut antara lain perubahan struktur agraria, perubahan kesempatan kerja baik di sektor pertanian maupun diluar sektor pertanian, perubahan pola kerja, struktur pendapatan yang diperoleh, kondisi tempat tinggal dan perubahan hubungan antar anggota keluarga dan hubungan antar warga. Apabila dikaitkan dengan tiga dimensi konversi lahan yang terjadi di desa ini, terdapat perbedaan dampak yang diterima oleh rumah tangga di kawasan yang dekat dengan jalan raya dan rumah tangga di kawasan yang jauh dari jalan raya. 6.1 6.1.1
Struktur Agraria Perubahan Penguasaan Lahan Konversi lahan merupakan akibat dari perpindahan penguasaan lahan yang
pada akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan penguasaan lahan rumah tangga setempat. Pada penelitian ini penguasaan lahan pertanian dikategorikan menjadi lima yaitu kategori tidak punya lahan, tumpang sari, bagi hasil, sewa dan milik. Selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010) telah terjadi perpindahan penguasaan lahan di Desa Tugu Utara yang berimplikasi pada terjadinya perubahan derajat penguasaan lahan rumah tangga setempat. Data pada Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan perpindahan penguasaan lahan rumah tangga Kampung Sampay dan Kampung Sukatani selama kurun waktu sepuluh tahun.
64
Tabel 7. Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan Kampung Sampay, 2010. Perubahan Penguasaan Lahan
Derajat kuatnya akses terhadap penguasaan lahan I II III IV V
Total (rumah tangga)
Sebelum terjadi perpindahan 22 0 2 1 5 30 penguasaan lahan Setelah terjadi perpindahan 26 0 0 1 3 30 penguasaan lahan Keterangan: n = 30 rumah tangga I = tidak menguasai lahan II = tumpang sari (menjaga batas-batas lahan sambil menikmati manfaat) III = bagi hasil IV = sewa lahan V = milik sendiri
Berdasarkan data pada Tabel 7 di atas dapat ditarik interpretasi bahwa jumlah rumah tangga yang menjadi tunakisma (tidak bertanah)15 mengalami peningkatan menjadi 26 rumah tangga dari yang awalnya sebanyak 22 rumah tangga sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan. Distribusi perpindahan penguasaan lahan ini terjadi akibat dari kegiatan konversi lahan yang memaksa rumah tangga setempat untuk keluar dari sektor pertanian dan beralih ke sektor non pertanian sehingga menimbulkan terjadinya penurunan derajat penguasaan lahan rumah tangga setempat. Kemudian jumlah pemilik lahan sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan sebanyak lima rumah tangga, namun setelah terjadi perpindahan penguasaan lahan jumlah rumah tangga yang menguasai lahan milik sendiri mengalami penurunan menjadi tiga rumah tangga, sehingga terdapat dua rumah tangga yang mengalami penurunan derajat penguasaan lahan. Rumah tangga yang mengalami penurunan derajat penguasaan lahan terjadi karena rumah tangga tersebut menjual lahannya pada warga luar desa sehingga terjadi perubahan penguasaan lahan, kemudian lahan yang telah dibeli warga luar desa selaku pemilik yang baru dialihfungsikan peruntukkan lahannya menjadi hotel. Oleh karena itu dalam wacana ini terjadi perpindahan penguasaan lahan dari yang asalnya lahan milik rumah tangga lokal menjadi lahan milik warga luar desa dan terjadi perubahan pemanfaatan lahan dari yang awalnya lahan pertanian menjadi bangunan hotel. Selain terjadi perpindahan penguasaan lahan milik rumah tangga setempat menjadi lahan milik warga luar desa, terjadi pula perpindahan 15
Tunakisma berasal dari kata tuna yang artinya “tanpa” dan kisma yang artinya “tanah”, sehingga apabila digabungkan menjadi tanpa tanah.
65
penguasaan lahan untuk sistem pertanian melalui bagi hasil. Sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan, rumah tangga yang menggunakan sistem bagi hasil sebanyak dua orang, namun setelah terjadi perpindahan penguasaan jumlahnya menurun menjadi satu rumah tangga. Tabel 8. Perubahan Struktur Agraria Akibat Konversi Lahan Kampung Sukatani, 2010. Perubahan Penguasaan Lahan
Derajat kuatnya akses terhadap penguasaan lahan I II III IV V
Total (rumah tangga)
Sebelum terjadi perpindahan 15 5 0 2 8 30 penguasaan lahan Setelah terjadi perpindahan 16 5 0 4 5 30 penguasaan lahan Keterangan: n = 30 rumah tangga I = tidak menguasai lahan II = tumpang sari (menjaga batas-batas lahan sambil menikmati manfaat) III = bagi hasil IV = sewa lahan V = milik sendiri
Data pada Tabel 8 menunjukkan terjadinya perpindahan penguasaan lahan pada rumah tangga Kampung Sukatani, sehingga dari data tersebut dapat ditarik interpretasi bahwa jumlah rumah tangga yang menjadi tuna-kisma mengalami peningkatan dari yang awalnya sebanyak 15 rumah tangga namun setelah terjadi perpindahan penguaaan lahan jumlahnya meningkat menjadi 16 rumah tangga. Seperti halnya dengan perpindahan penguasaan di Kampung Sampay, di kampung ini juga tejadi penurunan derajat penguasaan lahan akibat dari kegiatan konversi lahan. Penurunan derajat penguasaan tersebut dapat dilihat dari sebelum adanya perpindahan penguasaan lahan rumah tangga yang memiliki lahan sebanyak delapan rumah tangga namun setelah terjadi perpindahan jumlahnya menurun menjadi lima rumah tangga. Sementara itu bagi rumah tangga yang bertani melalui sistem sewa mengalami peningkatan dari yang awalnya sebanyak dua rumah tangga, jumlahnya bertambah menjadi empat rumah tangga. Ketiga penguasaan lahan di atas mengalami perubahan penguasaan lahan akibat terjadinya konversi, namun hal ini berbeda dengan penguasaan lahan melalui sistem tumpang sari baik sebelum maupun setelah terjadi perpindahan penguasaan lahan, jumlah rumah tangga yang menguasai lahan melalui tumpang sari tidak mengalami perubahan yaitu tetap sebanyak lima rumah tangga.
66
Dari paparan di atas terlihat bahwa di Kampung Sampay dan Kampung Sukatani telah terjadi perubahan penguasaan lahan sebagai berikut: 1. Terjadi peningkatan rumah tangga yang tidak memiliki lahan (tunakisma) 2. Terjadi penurunan derajat penguasaan lahan dari pemilik menjadi penyewa, pemilik menjadi tunakisma serta bagi hasil menjadi tunakisma. Oleh karena itu, penurunan derajat penguasaan lahan memiliki hubungan dengan konversi lahan. Semakin tinggi tingkat konversi, maka semakin besar kemungkinan terjadinya penurunan derajat penguasaan lahan. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa konversi lahan di Desa Tugu Utara berdampak buruk pada penguasaan lahan rumah tangga setempat. 6.1.2
Luas lahan Terjadinya perubahan derajat penguasaan lahan berhubungan dengan
seberapa luas lahan pertanian yang dikuasai oleh rumah tangga dan bagaimana perubahan yang terjadi dari adanya penurunan derajat penguasaan lahan tersebut. Berikut ini adalah Tabel 9 dan Tabel 10 yang memaparkan perubahan luas lahan pertanian yang dikuasai warga Kampung Sampay dan Kampung Sukatani akibat adanya perpindahan penguasaan lahan. Perubahan luas lahan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi lima antara lain lahan tidak ada (0 hektar), lahan sempit (0,01 hektar – 0,24 hektar), sedang (0,25 hektar – 0,49 hektar), lahan luas (0,50 hektar- 0,74 hektar) dan lahan sangat luas (lebih dari 0,75 hektar). Tabel 9. Perubahan Luas Lahan Pertanian Rumah Tangga Kampung Sampay (2000-2010) Perubahan Luas Lahan
Derajat kuatnya akses terhadap luas lahan I II III IV V
Sebelum terjadi perpindahan 22 penguasaan lahan Setelah terjadi perpindahan 25 penguasaan lahan Keterangan: n = 30 rumah tanggga I = 0 hektar II = 0,01 hektar – 0,24 hektar III = 0,25 hektar - 0,49 hektar
Total (rumah tangga)
1
1
3
3
30
2
1
0
2
30
IV V
= 0,50 hektar - 0,74 hektar = + 0,75 hektar
Berdasarkan data pada Tabel 9 dapat ditarik interpretasi bahwa terjadi penurunan derajat luas lahan yang dikuasai rumah tangga Kampung Sampay. Hal
67
ini terlihat dari adanya peningkatan jumlah warga yang tidak memiliki lahan (0 hektar) sebelum dan setelah terjadinya perpindahan penguasaan lahan. Sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan jumlahnya sebanyak 22 rumah tangga namun setelah terjadi perpindahan penguasaan lahan jumlahnya meningkat menjadi 25 rumah tangga. Kondisi ini juga serupa dengan warga yang memiliki luas lahan pertanian sebesar 100 meter persegi sampai 2400 meter persegi dan 5000 meter persegi sampai 7400 meter persegi. Sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan jumlah rumah tangga yang termasuk kedalam dua kategori tersebut secara berturut-berturut berjumlah satu dan tiga rumah tangga, namun setelah terjadi perpindahan penguasaan lahan, warga yang memiliki lahan seluas 100 meter persegi sampai 2400 meter persegi meningkat menjadi dua orang dan warga yang memiliki lahan seluas 5000 meter persegi sampai 7400 meter persegi menjadi tidak ada. Hal ini membuktikan bahwa derajat luas lahan yang dikuasai rumah tangga setempat mengalami penurunan. Sementara itu, untuk rumah tangga yang menguasai lahan seluas 2500 meter persegi sampai 4900 meter persegi tidak mengalami perubahan baik sebelum maupun setelah terjadinya perpindahan penguasaan lahan. Tabel 10. Perubahan Luas Lahan Pertanian Rumah Tangga Kampung Sukatani (2000-2010) Perubahan Luas Lahan
Derajat kuatnya akses terhadap luas lahan I II III IV V
Sebelum terjadi perpindahan 15 penguasaan lahan Setelah terjadi perpindahan 17 penguasaan lahan Keterangan: n = 30 rumah tangga I = 0 hektar II = 0,01 hektar – 0,24 hektar III = 0,25 hektar – 0,49 hektar IV = 0,50 hektar - 0,74 hektar V = + 0,75 hektar
Total (rumah tangga)
6
1
1
7
30
5
2
2
4
30
Berdasarkan data pada Tabel 10 di atas ditunjukkan bahwa terjadi perubahan luas lahan karena adanya perpindahan penguasaan lahan. Kemudian dari data di atas juga dapat ditarik interpretasi bahwa rumah tangga Kampung Sukatani seperti halnya rumah tangga Kampung Sampay mengalami penurunan derajat luas lahan yang dikuasai rumah tangga. Hal ini terlihat dari adanya peningkatan jumlah rumah tangga yang tidak memiliki lahan (0 hektar) sebelum
68
dan setelah terjadinya perpindahan penguasaan lahan. Sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan jumlahnya sebanyak 15 rumah tangga, namun setelah terjadi perpindahan penguasaan lahan jumlahnya meningkat menjadi 17 rumah tangga. Kondisi ini serupa dengan kategori luas lahan sebesar 2500 meter persegi sampai 4900 meter persegi yang mengalami peningkatan dari yang awalnya sebanyak satu rumah tangga menjadi dua rumah tangga. Selain itu rumah tangga yang menguasai lahan seluas lebih dari 7500 meter persegi mengalami penurunan setelah terjadi perpindahan penguasaan lahan menjadi empat rumah tangga dari yang sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan sebanyak tujuh rumah tangga. Akan tetapi, berbeda dengan rumah tangga yang menguasai lahan seluas 100 meter persegi sampai 2400 meter persegi, sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan jumlahnya sebanyak enam rumah tangga namun setelah terjadi perpindahan penguasaan jumlahnya menurun menjadi lima rumah tangga. Sementara itu untuk rumah tangga yang menguasai lahan seluas 5000 meter persegi sampai 7400 meter persegi jumlahnya meningkat menjadi dua rumah tangga dari yang awalnya hanya berjumlah satu rumah tangga. Paparan di atas menunjukkan bahwa penurunan derajat penguasaan lahan diiringi dengan penurunan derajat luas lahan yang dikuasai rumah tangga di Kampung Sampay dan Kampung Sukatani. Perubahan derajat luas lahan tersebut antara lain: 1. Terjadi peningkatan rumah tangga yang tidak memiliki lahan. 2. Terjadi penurunan rumah tangga yang menguasai lahan sangat luas (lebih dari 7500 meter persegi) 6.2
Persepsi Atas Kesempatan Kerja Desa Tugu Utara pernah mengalami konversi lahan yang tinggi pada
periode tahun 1995-2002. Kondisi ini terjadi karena adanya ketertarikan warga ibukota untuk melakukan investasi berupa villa sebagai tempat beristirahat dikala libur menjelang. Selain itu, upaya pembangunan yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan sarana dan prasarana desa gencar dilakukan. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya perubahan dari berbagai aspek, termasuk kesempatan kerja. Adanya perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian memberikan dampak pada warga setempat dalam hal pencarian
69
kerja. Awalnya lahan pertanian di Desa Tugu Utara masih cukup banyak namun lambat laun semakin berkurang dan didominasi oleh bangunan-bangunan, baik untuk keperluan tempat tinggal maupun usaha. Hal ini mengakibatkan berubahnya kesempatan kerja yang ada di desa ini, khususnya kesempatan kerja di sektor pertanian. Data pada Gambar 8 menjelaskan tentang persepsi rumah tangga atas kesempatan kerja dibidang pertanian yang terjadi dalam rentang waktu sepuluh tahun (2000-2002) di dua kampung yaitu Kampung Sampay dan Kampung Sukatani.
Gambar 8. Persepsi Atas Kesempatan Kerja Sektor Pertanian Tahun 2000 dan 2010
Data pada Gambar 8 menunjukkan persepsi atas kesempatan kerja menurut 60 rumah tangga di dua kampung yang berbeda. Persepsi ini diukur dari perbedaan kesempatan kerja yang menghampiri rumah tangga responden di sektor pertanian tahun 2000 dan 2010. Di Kampung Sampay sebanyak sepuluh rumah tangga (33 persen) menyatakan kesempatan kerja terbatas, sementara Sukatani sebanyak 43 persen. Responden yang menyatakan bahwa tidak ada perubahan kesempatan kerja di Kampung Sampay dan Kampung Sukatani secara berturutturut sebanyak 30 persen dan tujuh persen. Proporsi ini juga sama dengan pilihan responden yang menyatakan bahwa tahun 2010 semakin tidak ada kesempatan kerja di sektor pertanian. Umumnya responden yang menyatakan tidak ada
70
perubahan kesempatan kerja disebabkan tidak adanya ketertarikan, minat, dan kurangnya pengetahuan terhadap pertanian karena tidak pernah terjun pada sektor pertanian baik pada tahun 2000 maupun 2010. Selanjutnya responden yang menyatakan bahwa kesempatan kerja bagi rumah tangganya pada tahun 2010 semakin terbuka luas hanya tujuh persen di Kampung Sampay dan 37 persen di Kampung Sukatani. Kesempatan kerja di sektor pertanian itu sendiri tidak mendominasi kesempatan kerja yang ada di Desa Tugu Utara. Dari kedua kampung itu sebanyak 38 persen responden menyatakan bahwa pekerjaan sektor pertanian tahun 2010 semakin terbatas dibanding tahun 2000 yang disebabkan oleh tidak adanya lahan pertanian yang dapat dikelola oleh warga setempat akibat konversi lahan. Sebanyak 22 persen menyatakan bahwa kesempatan kerja terbuka semakin luas dan 20 persen secara berturut-turut manyatakan bahwa kesempatan kerja pertanian sudah tidak ada lagi dan tidak ada perubahan kesempatan kerja sektor pertanian. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kesempatan kerja sektor pertanian di Desa Tugu Utara semakin menurun dan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian rumah tangga setempat. Dilihat dari tipe konversi lahan yang terjadi di Desa Tugu Utara, terdapat perbedaan kesempatan kerja sektor pertanian antara Kampung Sukatani dan Kampung Sampay dimana kesempatan kerja di Kampung Sukatani lebih besar dibanding dengan Kampung Sampay. Hal ini dikarenakan lokasi Kampung Sukatani yang jauh dari pusat transportasi dan pemerintahan serta tingkat kecepatan terjadinya konversi cenderung lambat, sehingga masih ada lahan pertanian yang dapat dikelola orang walaupun hanya sebagai buruh tani, sementara Kampung Sampay yang lokasinya dekat dengan jalan raya dan pusat pemerintahan serta tingkat kecepatan terjadinya konversi cenderung cepat, jumlah lahan pertanian sudah sangat sedikit dan sebagian besar telah beralih fungsi menjadi bangunan-bangunan sehingga kesempatan kerja di sektor pertanian lebih rendah. Berdasarkan pernyataan di atas dan keterangan dari data pada Gambar 14 dapat disimpulkan bahwa kesempatan kerja sektor pertanian di Desa Tugu Utara berada pada kategori terbatas, sementara itu untuk kesempatan kerja di luar sektor pertanian juga mengalami perubahan antara tahun 2000 dan tahun 2010. Data pada
71
Gambar 9 menunjukkan tentang persepsi rumah tangga atas kesempatan kerja di luar sektor pertanian untuk dua kampung yang berbeda.
Gambar 9. Persepsi Atas Kesempatan Kerja Non Pertanian Tahun 2000 dan 2010
Berdasarkan Gambar di atas ditunjukkan persepsi rumah tangga atas kesempatan kerja diluar sektor pertanian antara tahun 2000 dan 2010. Untuk kesempatan kerja yang terbatas di Kampung Sampay lebih kecil dibanding Kampung Sukatani yaitu sebanyak 30 persen, sementara Kampung Sukatani sebanyak 60 persen. Kemudian kesempatan kerja semakin terbuka luas tahun 2010 dibanding tahun 2000 lebih banyak di Kampung Sampay 17 persen, sementara Kampung Sukatani sepuluh persen. Selanjutnya responden yang menyatakan bahwa kesempatan kerja luar pertanian lebih mendominasi pekerjaan untuk Kampung Sampay sebanyak sepuluh persen, sementara Kampung Sukatani hanya tiga persen. Akan tetapi, terdapat responden yang menyatakan bahwa kesempatan kerja diluar pertanian tidak mengalami perubahan baik tahun 2000 maupun 2010 yaitu sebanyak 33 persen di Kampung Sampay dan di Kampung Sukatani 17 persen. Kemudian responden yang menyatakan sudah tidak ada lagi kesempatan kerja diluar pertanian tahun 2010 untuk kedua kampung sebanyak sepuluh persen saja.
72
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa kesempatan kerja non pertanian di Kampung Sampay dan Kampung Sukatani memiliki perbedaan dimana kesempatan kerja non pertanian di Kampung Sampay lebih besar dibanding Kampung Sukatani. Dari dua kampung tersebut, sebagian besar responden menyatakan bahwa kesempatan kerja disektor non pertanian lebih rendah dibanding sepuluh tahun yang lalu yaitu 45 persen. Kemudian untuk kesempatan kerja yang tidak mengalami perubahan hanya sebesar 25 persen. Selanjutnya 13 persen, sepuluh persen dan tujuh persen secara berturut-turut menyatakan bahwa kesempatan kerja semakin terbuka luas, kesempatan kerja luar pertanian menjadi tidak ada dan kesempatan kerja luar pertanian mendominasi sektor perekonomian orang setempat. Secara garis besar antara kesempatan kerja pertanian dan non pertanian baik di Kampung Sampay maupun di Kampung Sukatani adalah sebagai berikut: 1. Kesempatan kerja pertanian di dua kampung pada tahun 2010 semakin terbatas dibanding sepuluh tahun yang lalu (tahun 2000). Akan tetapi, jika diperbandingkan antara Kampung Sampay dan Kampung Sukatani, kesempatan kerja sektor pertanian di Kampung Sukatani lebih besar dibandingkan Kampung Sampay. 2. Kesempatan kerja sektor non pertanian di dua kampung pada tahun 2010 secara umum tidak mengalami perubahan yaitu mengarah pada kondisi “tetap sulit”. Hal ini terjadi karena persaingan disektor non pertanian semakin lama semakin tinggi. Akan tetapi, kesempatan kerja non pertanian di Kampung Sampay lebih besar dibandingkan Kampung Sukatani. 3. Arti dari dua poin di atas adalah konversi lahan memberikan dampak negatif pada sektor pertanian dan tidak memberikan dampak positif pada sektor non pertanian bagi rumah tangga setempat. 6.3 Pola Kerja Pola pekerjaan berubah seiring dengan perubahan kesempatan kerja di Desa Tugu Utara. Kebanyakan rumah tangga setempat bermatapencaharian dibidang luar pertanian. Hal ini terjadi karena sudah tidak ada lagi lahan pertanian yang dapat dimanfaatkan dan dikelola rumah tangga tersebut. Sebagian besar lahan merupakan milik warga luar desa sehingga rumah tangga setempat
73
mengalami kesulitan untuk masuk ke bidang pertanian, kalau pun ada lahan pertanian, rumah tangga tersebut hanya berperan sebagai petani penggarap atau buruh tani. Data pada Tabel 11 dan Tabel 12 menunjukkan perubahan pola kerja rumah tangga Kampung Sampay dan Kampung Sukatani dikaitkan dengan perpindahan penguasaan lahan yang mengakibatkan konversi lahan pertanian. Tabel 11. Perubahan Pola Kerja Rumah Tangga Kampung Sampay Selama 10 tahun (2000-2010) Perubahan pola kerja Perubahan Pola Kerja Sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan Setelah terjadi perpindahan penguasaan lahan
Total (rumah tangga)
Pengangguran
Luar Pertanian
Petani
Pertanian dan Non pertanian
0
22
8
0
30
4
23
3
0
30
Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa terjadi perubahan pola kerja pada rumah tangga Kampung Sampay karena adanya perpindahan penguasaan lahan. Rumah tangga yang mengalami penurunan derajat penguasaan lahan memilih untuk beralih pekerjaan dari sektor pertanian menjadi pekerjaan disektor non pertanian. Namun ada pula rumah tangga yang bahkan menjadi pengangguran atau kerja serabutan. Sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan tidak ada rumah tangga Kampung Sampay yang menjadi pengangguran atau bekerja serabutan, namun setelah terjadi perpindahan penguasaan lahan ada rumah tangga yang tidak bekerja (pengangguran) sebanyak empat rumah tangga. Kemudian terjadi peningkatan pekerjaan diluar sektor pertanian setelah terjadinya perpindahan pengusaan lahan dari yang awalnya sebanyak 22 rumah tangga menjadi 23 rumah tangga. Sementara rumah tangga yang bekerja disektor pertanian mengalami penurunan akibat terjadinya perpindahan penguasaan lahan dari yang awalnya sebanyak delapan rumah tangga menjadi tiga rumah tangga, dan tidak ada rumah tangga Kampung Sampay yang bekerja disektor pertanian sekaligus sektor non pertanian baik sebelum maupun setelah terjadi perpindahan penguasaan lahan. Pola nafkah ganda seperti ini tidak berlaku di Kampung Sampay karena lahan pertanian yang produktif sangat sedikit dan dikuasai rumah tangga luar, serta tidak adanya kesempatan bagi rumah tangga untuk bekerja dipertanian.
74 Kesempatan kerja sekarang makin rendah karena terlalu banyak persaingan dan sekarang bagian yang muda-muda yang banyak tawaran kerja, yang udah tua jarang dapat tawaran (Ibu Atg, 46 tahun).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa rumah tangga Kampung Sampay sebagian besar beralih pekerjaan dari yang awalnya bekerja disektor pertanian menjadi bekerja diluar sektor pertanian dan rumah tangga yang bekerja disektor pertanian semakin mengalami penurunan akibat terjadinya perpindahan penguasaan lahan yang timbul dari kegiatan konversi lahan. Hal ini sesuai dengan tipe konversi lahan yang terjadi di Kampung Sampay dimana terjadi konversi lahan secara terbuka, dengan laju konversi yang cepat dan dilakukan oleh semua subjek agraria (warga lokal, warga luar desa, dan pemerintah) yang berimplikasi pada berkurangnya aksesbilitas warga disektor pertanian. Tabel 12. Perubahan Pola Kerja Rumah Tangga Kampung Sukatani Selama 10 Tahun (2000-2010) Perubahan pola kerja Perubahan Pola Kerja Sebelum terjadi perpindahan penguasaan lahan Setelah terjadi perpindahan penguasaan lahan
Total (rumah tangga)
Pengangguran
Luar Pertanian
Petani
Pertanian dan Non pertanian
0
11
5
14
30
1
7
8
14
30
Data pada Tabel 12 menunjukkan adanya perubahan pola kerja rumah tangga Kampung Sukatani karena adanya perpindahan penguasaan lahan akibat konversi lahan. Perpindahan penguasaan lahan pada rumah tangga Kampung Sukatani tidak berimplikasi negatif pada pola kerja sektor pertanian rumah tangga setempat. Kebanyakan rumah tangga yang tinggal di Kampung Sukatani berasal dari luar daerah dan bekerja diluar sektor pertanian, namun setelah rumah tangga tersebut pindah ke Kampung Sukatani yang masih kaya akan lahan pertanian kebanyakan dari rumah tangga itu tertarik dan akhirnya menjadi petani sehingga jumlah petani di Kampung ini bertambah dari yang awalnya hanya lima rumah tangga meningkat menjadi delapan rumah tangga. Selain itu terjadi penurunan pada pola kerja sektor non pertanian dari yang awalnya sebelas rumah tangga menjadi tujuh rumah tangga. Peningkatan rumah tangga yang bekerja disektor pertanian terjadi karena melihat potensi di Kampung Sukatani yang sebagian besar
75
adalah lahan pertanian. Lahan pertanian yang ada di kampung ini sebagian besar milik warga luar desa, dan rumah tangga setempat hanya menjadi petani penggarap yang menggarap lahan orang lain. Terdapat rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian sekaligus bekerja disektor non pertanian dan jumlahnya tidak mengalami perubahan baik sebelum maupun setelah adanya perpindahan penguasaan lahan yaitu sebanyak 14 rumah tangga. Umumnya rumah tangga yang bekerja dengan pola nafkah ganda tidak dapat bekerja hanya disatu sektor saja, karena antara kedua sektor pekerjaan baik pertanian maupun luar pertanian saling melengkapi dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga hilangnya satu sektor pekerjaan dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangga tersebut. Berdasarkan data-data yang telah diperoleh tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Pola kerja di Kampung Sampay dan Kampung Sukatani memiliki perbedaan dimana di Kampung Sampay terjadi penurunan jumlah rumah tangga yang bekerja disektor pertanian, sementara di Kampung Sukatani terjadi peningkatan jumlah rumah tangga yang bekerja disektor pertanian. 2. Secara umum rumah tangga Desa Tugu Utara bermatapencaharian di luar pertanian. Penyebab utama adalah tidak adanya lahan produktif yang dapat dikelola rumah tangga setempat, karena sebagian besar lahan produktif dikuasai oleh warga perkotaan dan sebagian lagi sudah dialihfungsikan ke bentuk diluar pertanian. Konversi lahan mengakibatkan warga lokal tidak memiliki akses yang besar terhadap lahan pertanian, disamping itu terdapat perbedaan yang mencolok antar warga lokal (asli dan pendatang) dalam pencarian nafkah. Warga asli ternyata tidak menjadi rumah tangga yang mendominasi perekonomian yang ada di Desa Tugu Utara, walaupun desa ini menjadi tempat strategis dalam pencarian nafkah karena banyak tempat rekreasi yang dapat dikunjungi. Warga asli sebagian besar hanya bekerja sebagai buruh bangunan atau pekerja kasar lainnya, kebanyakan sektor pekerjaan dikuasai warga pendatang yang menetap di desa ini. Para pendatang ini membuka berbagai usaha baik usaha restoran, toko, jasa, dan lain sebagainya. Tempat-tempat usaha yang berada disepanjang jalan dekat jalan
76
raya umumnya merupakan milik para pendatang, sementara warga lokal berada dibagian dalam kampung dan menunggu adanya tawaran kerja sebagai buruh bangunan. 6.4 Struktur Pendapatan Salah satu alasan terjadinya perubahan pola pekerjaan rumah tangga Desa Tugu Utara yang sebagian besar beralih ke pekerjaan sektor non pertanian adalah keinginan rumah tangga untuk memperoleh keuntungan ekonomi yang lebih dari sektor non pertanian karena adanya anggapan bahwa pendapatan dari sektor non pertanian lebih elastis16. Struktur pendapatan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi lima yaitu: sangat rendah (Rp. 0), rendah (<12.000.000), sedang (Rp.12.000.000 ≤ x < Rp. 36.000.000), tinggi (Rp. 36.000.000 ≤ x < Rp. 60.000.000) dan sangat tinggi (≥ Rp. 60.000.000). Pengambilan data pendapatan responden dilakukan dengan merinci pendapatan per hari atau per bulan atau dalam satu tahun terakhir baik bagi rumah tangga yang bermatapencaharian disektor non pertanian atau pertanian atau juga berpola nafkah ganda. Data pada Gambar 10 di bawah ini menunjukkan pendapatan rata-rata rumah tangga selama satu tahun terakhir.
Gambar 10. Pendapatan Rata-Rata Rumah Tangga Desa Tugu Utara Selama Satu Tahun Terakhir (Rupiah)
Rata-rata pendapatan rumah tangga Desa Tugu Utara dari dua kampung penelitian selama satu tahun terakhir kurang dari Rp. 12.000.000,- atau memiliki 16
Lebih elastis maksudnya lebih mudah diperoleh dan pemasukan besar.
77
pendapatan kurang dari Rp. 1000.000,- per bulan dengan jumlah rumah tangga sebanyak 28 rumah tangga (47 persen) dari dua kampung dengan rincian rumah tangga Kampung Sukatani sebanyak 16 rumah tangga (53 persen), sementara Kampung Sampay berjumlah 12 rumah tangga (40 persen). Hal ini mengkhawatirkan mengingat lokasi desa yang berada disekitar tempat rekreasi tetapi sebagian besar pendapatan rumah tangga berada pada kategori rendah. Kemudian ada juga rumah tangga yang tidak memiliki pendapatan sama sekali selama satu tahun terakhir yaitu sebanyak dua rumah tangga Kampung Sampay. Saya tidak memiliki pemasukan sama sekali, tapi alhamdulilah suka ada saja rezek. Orang-orang juga suka memandang aneh pada saya, saya tidak punya kerja tapi anak-anak tiap hari bisa berangkat sekolah. Jadi kalau ditanya pendapatan saya berapa saya memang tidak punya pendapatan sama sekali. Asalkan niat kita lurus dan baik pasti ada jalannya, ada rezekinya (Haji Jpr, 54 tahun).
Bapak Haji Jpr merupakan salah satu rumah tangga Kampung Sampay yang bekerja serabutan, sehingga tidak memperoleh pendapatan yang pasti selama satu tahun terakhir. Tingkat pendidikan yang rendah dan daya saing yang tinggi disektor non pertanian menjadi salah satu penyebab tidak adanya pekerjaan tetap yang dapat beliau tekuni. Selain itu, tempat tinggal yang saat ini beliau dan keluarga tempati adalah lahan sawah yang dikonversi menjadi tempat tinggal. Selainnapak Haji Jpr (54 tahun), ada juga kasus yang menimpa Bapak Haji Tmm (83 tahun) beliau bekerja sebagai petani sayur, namun dalam setahun terakhir kemarin beliau tidak memperoleh pendapatan dari hasil pertaniannya karena mengalami gagal penen. Bekerja menjadi petani sayur setahun kemarin tidak memperoleh keuntungan, karena saya mengalami gagal panen. Kemarin saya mengeluarkan biaya untuk modal sebesar Rp. 500.000,- tetapi karena gagal panen jadinya rugi (Haji Tmm, 83 tahun).
Sebanyak 27 rumah tangga (45 persen) dari total keseluruhan responden memiliki pendapatan berkisar Rp. 36.000.000,- sampai kurang dari Rp. 60.000.000,- atau berada pada kategori sedang. Sementara rumah tangga yang memiliki pendapatan tinggi (Rp. 36.000.000,- sampai kurang dari Rp. 60.000.000,-) dan sangat tinggi (≥ 60.000.000) secara berturut-turut berjumlah satu rumah tangga dan dua rumah tangga Kampung Sampay, sementara untuk Kampung Sukatani tidak ada rumah tangga yang memiliki pendapatan yang tinggi atau sangat tinggi.
78
Berdasarkan data dari struktur pendapatan rumah tangga di dua kluster penelitian
yaitu
Kampung
Sampay
dan
Kampung
Sukatani
kemudian
dikategorisasikan lagi menurut lapisan sosial ekonomi yaitu lapisan sosial ekonomi bawah (sangat rendah dan rendah), lapisan sosial ekonomi menengah (sedang) dan lapisan sosial ekonomi atas (tinggi dan sangat tinggi). Berikut ini adalah Gambar 11 yang menunjukkan lapisan sosial ekonomi rumah tangga Kampung Sampay dan rumah tangga Kampung Sukatani.
Gambar 11. Lapisan Sosial Ekonomi Desa Tugu Utara Berdasarkan Struktur Pendapatan
Data pada Gambar 11 di atas menunjukkan adanya perbedaan lapisan sosial ekonomi rumah tangga Kampung Sampay dan rumah tangga Kampung Sukatani. Pada Kampung Sampay dan Kampung Sukatani sebagian besar rumah tangga berada pada lapisan sosial ekonomi bawah dimana persentase rumah tangga pada lapisan ini secara berturut-turut sebanyak 47 persen dan 53 persen. Persentase rumah tangga Kampung Sukatani masih lebih besar dibandingkan rumah tangga Kampung Sampay. Hal ini terjadi karena rendahnya pendapatan yang diperoleh rumah tangga Kampung Sukatani. Sementara itu, untuk rumah tangga yang berada pada kategori lapisan sosial ekonomi menengah untuk Kampung Sampay sebanyak 43 persen dan Kampung Sukatani sebanyak 47 persen. Selanjutnya di Kampung Sukatani tidak ditemukan rumah tangga yang berada pada kategori lapisan sosial ekonomi atas, sedangkan di Kampung Sampay masih ada rumah tangga yang berada pada lapisan sosial ekonomi atas sebanyak sepuluh persen. Hal ini terjadi karena rumah tangga yang berada pada kategori lapisan sosial ekonomi atas lebih memilih tinggal di Kampung Sampay dengan
79
alasan dekat dengan jalan raya, sarana dan prasarana tersedia serta mudah dalam aksesbilitas perekonomian, sedangkan jika berada di Kampung Sukatani rumah tangga yang termasuk kategori ini merasa tidak memiliki kemudahan dalam akses transportasi dan sarana perekonomian karena lokasinya yang terpencil. Secara umum dapat disimpulkan bahwa rumah tangga Desa Tugu Utara berada pada lapisan sosial ekonomi bawah yaitu sebanyak 50 persen dari total keseluruhan responden baik itu rumah tangga Kampung Sampay maupun Kampung Sukatani. Kemudian lapisan sosial ekonomi menengah mencapai 27 orang atau 45 persen, sementara rumah tangga yang berada pada lapian sosial ekonomi atas hanya lima persen saja. Keadaan ini menjelaskan bahwa konversi lahan di kawasan Desa Tugu Utara kurang memberikan dampak yang positif pada peningkatan pendapatan rumah tangga setempat baik rumah tangga yang bekerja di sektor pertanian, luar pertanian maupun pola nafkah ganda. 6.5 Kondisi Tempat Tinggal 6.5.1 Status Penguasaan Tempat Tinggal Status penguasaan tempat tinggal dalam penelitian ini dikategorikan menjadi lima yaitu tidak punya rumah, menumpang, gadai, sewa dan milik sendiri. Secara umum rumah tangga Desa Tugu Utara memiliki rumah milik sendiri untuk rumah tangganya, namun untuk lebih rinci data pada Gambar 12 dapat menjelaskan status penguasaan tempat tinggal rumah tangga setempat yang diambil dari 60 responden.
Gambar 12. Status Kepemilikan Tempat Tinggal Tahun 2010
80
Data pada Gambar 12 di atas menunjukkan bahwa rumah tangga Desa Tugu Utara sebagian besar memiliki rumah milik sendiri sebanyak 36 rumah tangga (60 persen) dimana 17 rumah tangga Kampung Sampay dan 19 rumah tangga Kampung Sukatani. Walaupun sebagian besar status penguasaan tempat tinggal rumah tangga adalah milik, masih ada rumah tangga yang menumpang pada orang lain seperti pada kerabat terdekat yaitu sebanyak 13 rumah tangga (22 persen) dengan masing-masing Kampung Sampay dan Sukatani sebanyak enam rumah tangga dan tujuh rumah tangga. Sementara itu masih ada juga rumah tangga yang menyewa rumah sebanyak sepuluh rumah tangga (17 persen) dengan jumlah rumah tangga Kampung Sampay sebanyak enam rumah tangga dan Sukatani sebanyak empat rumah tangga. Selain itu terdapat rumah tangga yang memiliki tempat tinggal dengan cara gadai yaitu satu rumah tangga Kampung Sampay. Rumah ini sebenarnya milik teman saya yang tinggal di Jakarta, tapi saya bayar ke dia dengan cara gadai. Dia punya rumah ini tapi tidak digunakan, jadi saya pinjam (Bapak Mhs, 45 tahun).
Kasus yang terjadi pada Bapak Mhs (45 tahun) merupakan salah satu kasus penguasaan tempat tinggal. Beliau menempati rumah milik temannya yang ada di Ibukota melalui sistem gadai, dengan harga yang tidak terlalu tinggi karena adanya asas pertemanan. Hubungan antara status penguasaan lahan dengan kegiatan konversi lahan terlihat dari semakin tingginya jumlah tempat tinggal maka semakin besar kemungkinan terjadinya konversi lahan di desa ini. Berdasarkan data mengenai status penguasaan tempat tinggal, sebagian besar warga memiliki tempat tinggal sendiri yang dulunya merupakan lahan produktif dan kemudian dilakukan konversi menjadi tempat tinggal. Hal ini terjadi karena tekanan penduduk yang meningkat setiap tahunnya. Jumlah keluarga Kampung Sampay untuk satu RT yaitu RT 01/RW 03 sebanyak 121 rumah tangga, sementara warga Kampung Sukatani untuk satu RT yaitu RT 06/RW 04 sebanyak 91 rumah tangga dan sebagian besar rumah tangga memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari dua orang.
81
6.5.2 Kondisi Fisik Tempat Tinggal Rumah tangga Desa Tugu Utara secara umum memiliki tempat tinggal milik sendiri, walaupun masih ada beberapa rumah tangga yang menumpang pada orang lain. Berdasarkan status penguasaan tempat tinggal kemudian ditelusuri kondisi fisik tempat tinggal rumah tangga yang dikategorikan menjadi lima yaitu kategori sangat tidak layak, tidak layak, sedang, layak dan sangat layak. Pada Gambar 13 berikut ini dipaparkan mengenai kondisi fisik tempat tinggal 60 responden.
Gambar 13. Kondisi Fisik Tempat Tinggal Rumah Tangga Tahun 2010
Pada Gambar 13 di atas ditunjukkan mengenai kondisi fisik tempat tinggal yang sebagian besar rumah tangga kuasai. Dapat dilihat bahwa rata-rata kondisi fisik tempat tinggal rumah tangga berada pada kondisi layak yaitu sebanyak 34 rumah tangga dimana 21 rumah tangga Kampung Sampay dan 13 rumah tangga Kampung Sukatani. Kemudian secara berturut-turut sebanyak tiga rumah tangga Kampung Sukatani berada pada kondisi tempat tinggal yang sangat tidak layak, 13 orang berada pada kondisi tempat tinggal yang tidak layak dan delapan orang menenpati rumah dalam kondisi yang biasa saja (sedang). Terdapat perbedaan antara Kampung Sampay dan Kampung Sukatani dimana kondisi tempat tinggal kampung Sukatani lebih memprihatinkan dibanding tempat tinggal yang berada di Kampung Sampay. Hal ini terjadi karena di Kampung Sukatani yang cenderung terpencil sebagian besar rumah tangga berada pada lapisan sosial ekonomi bawah,
82
sehingga kondisi fisik tempat tinggalnya menjadi sangat tidak layak karena ketidakmampuan untuk membangun ataupun memperbaiki tempat tinggal. Selain itu untuk mengetahui tingkat perekonomian rumah tangga berdasarkan tempat tinggal, dilihat pula kepemilikan suatu rumah tangga dilihat dari kepemilikan alat elektronik. Rumah tangga yang awalnya berkecimpung di dunia pertanian kemudian beralih pekerjaan menjadi pekerja diluar pertanian biasanya ingin mengubah hidup menjadi lebih baik secara ekonomi ketimbang menjadi petani yang dianggap “tidak modern”. Hasil keuntungan dari penjualan lahan biasanya dibelanjakan untuk pembelian alat-alat elektronik.
Gambar 14. Jumlah Alat Elektronik yang dimiliki Rumah Tangga Desa Tugu Utara
Data pada Gambar 14 menunjukkan bahwa alat elektonik yang dimiliki oleh 60 rumah tangga responden rata-rata berjumlah lima sampai delapan buah. Ada perbedaan antara rumah tangga Kampung Sampay dan Kampung Sukatani dimana jumlah alat elektronik yang dimiliki rumah tangga Kampung Sukatani lebih sedikit dibandingkan jumlah alat elektronik yang dimiliki rumah tangga Kampung Sampay. Hal ini juga terjadi karena sebagian besar rumah tangga Kampung Sukatani berada pada lapisan sosial ekonomi bawah dengan pendapatan yang rendah untuk setiap rumah tangganya, sehingga tidak mampu untuk membeli alat-alat elektronik. Berdasarkan status penguasaan tempat tinggal, kondisi fisik tempat tinggal dan kepemilikan alat elektronik dapat disimpulkan bahwa:
83
1. Kondisi ekonomi rumah tangga Kampung Sukatani lebih memperihatinkan dibandingkan rumah tangga Kampung Sampay, walaupun sebagian besar rumah tangga dari kedua kampung tersebut berada pada kategori lapisan sosial ekonomi bawah (miskin). Tingkat kemiskinan antara Kampung Sampay dan Kampung Sukatani memiliki sedikit perbedaan. 2. Rumah tangga Kampung Sampay yang berada pada lapisan sosial ekonomi bawah masih memiliki tempat tinggal dalam kondisi yang layak, hanya saja jumlah pendapatan rumah tangga memang berada pada tingkat pendapatan yang rendah. 3. Rumah tangga Kampung Sukatani selain pendapatan rumah tangga yang sebagian besar rendah, ditambah lagi dengan kondisi tempat tinggal rumah tangga yang tidak layak. Hal ini menunjukkan bahwa rumah tangga Kampung Sukatani lebih miskin dibandingkan rumah tangga Kampung Sampay. 6.6 Hubungan Antara Anggota Keluarga 6.6.1 Pengambilan Keputusan Masuknya para pendatang baik pendatang yang menetap maupun pendatang musiman (pengunjung) dapat memberikan pengaruh bagi kehidupan rumah tangga setempat. Salah satu pengaruhnya yaitu perubahan dalam hubungan keluarga. Perubahan hubungan keluarga dapat dilihat dari seberapa besar keterlibatan anggota keluarga dalam membuat suatu keputusan untuk kepentingan bersama yang terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun yaitu tahun 2000 dan 2010. Perubahan pengambilan keputusan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi lima yang terdiri dari kategori sangat individual, individual, sama saja, kolektif dan sangat kolektif. Pada Gambar 15 dipaparkan mengenai perubahan pengambilan keputusan dalam suatu rumah tangga dengan melihat perubahan keterlibatan anggota keluarga antara tahun 2000 dan 2010.
84
Gambar 15. Perubahan Pengambilan Keputusan Rumah Tangga Desa Tugu Utara
Data pada Gambar 15 menunjukkan bahwa secara umum terjadi perubahan dalam pengambilan keputusan anggota keluarga yang terlihat dari adanya perubahan keterlibatan anggota yang awalnya memiliki intensitas hubungan yang tinggi menjadi individual atau sebaliknya. Perubahan pengambilan keputusan kearah yang semakin individual tidak terjadi pada rumah tangga Desa Tugu Utara. Kemudian hanya terdapat satu rumah tangga yang tidak memiliki perubahan dalam keterlibatan anggota keluarga untuk mengambil suatu keputusan yaitu rumah tangga yang berasal dari Kampung Sampay. Sementara rumah tangga yang mengalami perubahan kearah individual ada tiga rumah tangga yang masingmasing dua rumah tangga berasal dari Kampung Sampay dan satu rumah tangga berasal dari Kampung Sukatani. Selanjutnya perubahan keterlibatan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan kearah lebih baik yaitu menjadi kolektif atau semakin kolektif secara berturut-turut sebanyak dua rumah tangga yang berasal dari dua kampung berbeda dan 54 rumah tangga dimana masing-masing kampung yaitu Kampung Sampay sebanyak 26 rumah tangga dan Kampung Sukatani sebanyak 28 rumah tangga. Sekarang anak-anak sudah pada dewasa, jadi bisa diajak ngobrol dan pasti dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Khususnya sama istri pasti kalau ada apa-apa didiskusikan dulu (Bapak Ddr, 51 tahun).
Perubahan pengambilan keputusan kearah yang semakin kolektif salah satunya disebabkan oleh anak-anak yang ada dalam rumah tangga sudah tumbuh besar dan bisa diajak diskusi, sementara perubahan kearah individual disebabkan
85
anak-anak yang sudah tumbuh besar meninggalkan rumah karena memiliki keluarga baru. Selain itu, anak-anak yang menginjak remaja jarang berada dirumah karena pergi untuk main dan pulang menjelang malam hari. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antar angora keluarga dilihat dari keterlibatan anggota keluarga dalam mengambil keputusan menuju kearah yang semakin baik. Oleh karena itu, kegiatan konversi lahan tidak berdampak negatif pada hubungan antar anggota keluarga dalam mengambil keputusan. 6.7 Hubungan Antar Warga Hubungan yang terjalin antar warga baik di Kampung Sampay maupun Kampung Sukatani saat ini (2010) berbeda satu sama lain. Di Kampung Sukatani yang letaknya jauh dari jalan raya dengan tingkat konversi yang masih lebih rendah dibandingkan Kampung Sampay, hubungan yang terjalin antar warga saat ini (2010) cenderung memiliki ikatan kekerabatan yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh intensitas warga untuk berkomunikasi satu sama lain besar, karena lokasi tempat tinggal yang berdekatan dan aktivitas warga sebagian besar dihabiskan dirumah, khususnya ibu-ibu rumah tangga. Selain itu, pola kerja warga Kampung Sukatani mangalami perubahan yang lebih baik pada sektor pertanian dimana semakin banyak rumah tangga yang bekerja sebagai petani, walaupun hanya sebagai petani penggarap. Warga yang bekerja dibidang pertanian memiliki intensitas yang tinggi untuk berkomunikasi satu sama lain, baik untuk berkebun bersama, berdiskusi bersama mengenai kondisi pertanian dan lain sebagainya, sehingga hubungan yang terjalin antar warga di kampung ini masih bersifat horizontal yaitu sesama warga. Hubungan antar warga di Kampung Sampay yang terletak di dekat jalan raya saat ini cenderung bersifat individual. Kondisi ini terjadi akibat dari kegiatan konversi lahan. Sebelum tingkat konversi lahan semakin besar, hubungan antara warga yang satu dengan warga yang lainnya terjalin dengan baik dan ikatan kekerabatan diantara mereka juga tinggi. Warga sering berinteraksi satu sama lain. Akan tetapi, setelah terjadi konversi lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian, kampung ini menjadi padat oleh bangunan-bangunan berupa villa, hotel, restoran, toko dan sebagainya, sehingga mengakibatkan warga yang
86
awalnya memiliki waktu untuk bercengkerama satu sama lain menjadi sibuk dengan pelayanannya pada para pendatang (wisatawan) dan menjadi fokus untuk memfasilitasi kegiatan para wisatawan. Keadaan tersebut terjadi karena pola kerja yang berubah dimana warga di Kampung Sampay yang awalnya bekerja disektor pertanian beralih menjadi bekerja diluar sektor pertanian, seperti guide, sopir taksi, penjaga villa, penjaga toko, dan sebagainya. Akibatnya, terjalin hubungan yang bersifat vertikal yaitu antara warga lokal dengan wisatawan baik pemilik villa, hotel, restoran, maupun toko dan kondisi ini menyebabkan sebagian besar warga mengalami ketergantungan sosial pada para wisatawan. Hubungan vertikal antara warga lokal dan warga luar desa (wisatawan) menyebabkan interaksi diantara keduanya terjalin dengan baik. Warga Kampung Sampay menjadi terbiasa dengan warga luar desa yang datang silih berganti. Akan tetapi, kondisi ini membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang tidak bertanggun jawab untuk memperoleh keuntungan pribadi. Selama penelitian berlangsung ditemukan dua konflik antara warga lokal dengan warga luar desa. Konflik pertama terkait dengan keberadaan villa yang dijadikan sebagai peternakan anjing di kawasan Desa Tugu Utara. Peternakan anjing ini sudah lima tahun berjalan dan warga sendiri tidak mengetahui izin pembuatan peternakan tersebut dilakukan secara resmi ataukah melalui kesepakatan lisan dengan pengurus lingkungan. Warga yang berada di sekitar tempat tersebut keberatan dengan keberadaan peternakan karena mulai merasa dirugikan dengan segala aktivitas peternakan. Warga desa merasa terganggu dengan suara gonggongan anjing dan kotorannya. Suara gonggongan anjing menyebabkan kebisingan apalagi di pagi hari saat akan diberikan makan sementara warga lokal pada saat itu melaksanakan ibadah shalat shubuh. Selain itu, suaranya menganggu aktivitas warga yang sebagian besar beragama muslim ketika melakukan berbagai kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya seperti mengaji. Kotoran anjing dari peternakan tersebut dibuang ke sungai Ciliwung dan merugikan warga yang memanfaatkan sungai sebagai tempat untuk melakukan berbagai aktivitas seperti mandi dan mencuci. Selain itu dalam melaksanakan kegiatan ibadah, warga desa ketika melakukan wudhu untuk mensucikan diri dari
87
berbagai kotoran dikhawatirkan terkena najis, walaupun kemungkinannya sangat kecil karena warga yakin pemilik peternakan memiliki aturan-aturan sendiri misal dengan membuatkan spiteng. Namun tetap saja kenyamanan warga menjadi terganggu. Adanya peternakan tersebut menimbulkan kegaduhan dan menyebabkan terganggunya kenyamanan. Limbah yang dihasilkan dari peternakan tersebut dibuang ke Ciliwung sehingga meerugikan warga yang menggunakan air sungai Ciliwung untuk mandi dan sebagainya. Terus yang kedua terganggunya pelaksanaan ibadah seperti kekhawatiran adanya najis dari kotoran anjing, walaupun pihak peternakan mungkin membuat spiteng (Bapak Ddi, 50 tahun).
Warga desa mulai melakukan tindakan untuk mengatasi permasalahan dengan peternakan anjing tersebut seperti mengadakan musyawarah di tingkat RT dan RW, kemudian membuat perencanaan permohonan pengajuan ke pihak pemerintah agar dapat ditindaklanjuti. Namun yang menjadi permasalahan, warga belum mengetahui instansi yang pas untuk diajukan permohonan terkait persoalan ini. Akan tetapi, walaupun peternakan anjing tersebut merugikan warga, terdapat hal positif dari pihak pemilik peternakan kepada warga yaitu adanya pemberian sumbangan-sumbangan yang diberikan untuk dimanfaatkan warga setempat, sehingga hal ini juga menjadi pertimbangan bagi warga setempat. Konflik kedua yaitu adanya suatu bentuk penipuan yang dilakukan oleh warga luar desa yang berasal dari Ibukota kepada warga lokal. Penipuan ini sudah berlangsung selama satu tahun dan mencapai klimaks pada bulan Desember 2010. Awalnya St (nama penipu) datang ke daerah Desa Tugu Utara sebagai wisatawan yang menyewa taksi untuk berkeliling. Kemudian terjadi perbincangan antara St dengan sopir taksi tersebut. St menyatakan bahwa akan terjadi penggusuran rumahnya di Jakarta dan akan cair uang dari penggusuran tersebut sebanyak 40 miliar. Terjalin kepercayaan antara St dengan sopir dimana St sering mengajak sopir ke Bank, rumah dan tempat-tempat penting yang menunjukkan bahwa St benar-benar memiliki rumah yang akan digusur dan mencairkan uang sebanyak itu. St dan sopir tersebut berkeliling bersama untuk mencari dana sebagai modal operasional sebelum cairnya dana rumah. Sopir tersebut dijanjikan akan diberikan bonus lebih jika dana operasional terkumpul. Kemudian sopir tersebut mengajak dua orang warga lokal untuk bekerjasama dan memberikan dana kepada St. Akhirnya setelah satu tahun berjalan dan dana terkumpul sebanyak Rp. 300 juta,
88
St pun kabur membawa uang tersebut. Setelah ditelusuri ternyata pihak-pihak yang terkena penipuan, selain tiga orang warga lokal juga pihak Bank karena ternyata St memiliki nama yang sama dengan pemilik rumah sebenarnya tetapi telah meninggal dunia. Kedua konflik tersebut disebabkan oleh pihak luar dan mengakibatkan kerugian bagi warga Desa Tugu Utara secara sosial dan ekonomi. Akan tetapi tidak semua pihak luar desa yang berinvestasi dan berlibur di kawasan ini merugikan warga lokal. Seperti pada kasus berikut ini, ada pihak luar yang berasal dari Arab dan memiliki vila di kawasan Desa Tugu Utara. Beliau memberikan berbagai bentuk sumbangan kepada warga setempat seperti membangun mesjid dan memberikan sumbangan-sumbangan lainnya untuk kebutuhan warga. 6.7.1 Prostitusi Perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian di Desa Tugu Utara yang sebagian besar dialihkan menjadi villa, hotel, dan restoran mendukung kegiatan pariwisata di kawasan Puncak, sehingga menarik para wisatawan untuk menghabiskan liburannya di kawasan ini. Akan tetapi, kondisi ini dijadikan kesempatan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan kegiatan-kegiatan asusila. Kawasan Puncak selain terkenal dengan pemandangannya yang elok, juga terkenal dengan adanya kegiatan prostitusi khususnya kegiatan kawin kontrak yang dilakukan secara ilegal. Desa Tugu Utara menjadi sorotan publik untuk masalah ini karena di desa ini terdapat “Kampung Arab” yang penuh dengan orang-orang Arab. Biasanya orang Arab yang mengunjungi wilayah ini datang secara berkala, sehingga akrab dengan warga setempat seperti tukang salon dan pedagang-pedagang lainnya. Awalnya oknum-oknum yang menjadi pelaku kawin kontrak ini adalah seorang PSK (Pekerja Seks Komersial) yang berasal dari Cianjur, Sukabumi, dan Indramayu. Ketika dilakukan “penggrebekan” oleh aparat setempat, KTP (Kartu Tanda Penduduk) pelaku bukan berasal dari warga lokal dan tidak ada warga lokal yang mengenal para pelaku “biasanya PSK berasal dari luar desa, gak mungkin lah kalau warga asli sini, karena malu kalau ketahuan” (Bapak Ddi, 50 tahun). Prosedur kawin kontrak ini tidak sesuai dengan akidah islam, para oknum tersebut menggunakan “wali gadungan”. Hal ini dilakukan
89
asalkan menurut para pelaku sudah sah sebagai suami istri. Biasanya kawin kontrak ini terjadi pada bulan Juni dan dilakukan hanya beberapa bulan saja selama orang Arab itu berada di Indonesia. Setelah orang-orang Arab akan kembali ketanah airnya, kawin kontrak pun berakhir dan terjadilah perceraian. Pihak-pihak yang terlibat kawin kontrak memperoleh sejumlah uang sebagai upah. Selain orang-orang Arab tersebut, banyak pengunjung yang juga melakukan kegiatan yang melanggar aturan agama dan nilai-nilai sosial seperti ini. Akan tetapi kegiatan ini cenderung terjadi secara aman dan terselubung karena dilakukan di dalam villa bahkan mobil yang secara tidak langsung tidak mungkin dapat dijangkau oleh aparat. Akhirnya warga pribumi yang terpengaruh juga ada, karena situasi lingkungan yang acuh tak acuh sehingga berdampak ke anak-anak muda meniru-niru mereka (pengunjung) seperti gaya hidupnya. Warga pribumi juga ada yang pernah melakukan kawin kontrak (Bapak Rzl, 29 tahun).
Akan tetapi semakin lama kegiatan prostitusi menimbulkan pengaruh kepada warga lokal yang tidak memiliki nilai-nilai moral dan sosial untuk mengikuti jejak sebagai PSK. Kondisi lingkungan yang cenderung individualistik atau acuh tak acuh mengakibatkan warga khususnya anak-anak muda mudah mendapatkan pengaruh dari para pengunjung mulai dari gaya hidup sampai pada kegiatan asusila. Warga lokal yang memiliki kadar keimanan yang rendah dan terdesak oleh perekonomian yang rendah menjadi terpengaruh untuk melakukan kegiatan prostitusi karena menghasilkan uang yang banyak. 6.8 Ikhtisar Konversi
lahan
pertanian
ke
penggunaan
lahan
non
pertanian
menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek sosial ekonomi rumah tangga yang berada disekitar konversi seperti perubahan penguasaan lahan, kesempatan kerja, perubahan pola kerja, kondisi tempat tinggal, hubungan antar anggota rumah tangga dan hubungan antar warga. Data pada Tabel 13 merangkum dampak sosial ekonomi yang diterima oleh rumah tangga Desa Tugu Utara akibat konversi lahan selama kurun waktu sepuluh tahun (2000-2010).
90
Tabel 13. Dampak Sosio-Ekonomis Konversi Lahan Pertanian di Kampung Sampay dan Kampung Sukatani, 2010 No. Dampak Sosio-Ekonomis 1. Penguasaan lahan
2.
Luas lahan
3.
Persepsi atas kesempatan kerja pertanian Persepsi atas kesempatan kerja non pertanian Pola Kerja
4. 5. 6.
7. 8. 9. 10. 11.
Status tempat tinggal Kondisi fisik tempat tinggal Jumlah alat elektronik Pengambilan keputusan rumah tangga Hubungan antar warga Konflik antar warga lokal Konflik dengan warga luar desa Tingkat prostitusi
Kampung Sampay • Penurunan petani pemilik • Peningkatan rumah tangga yang menjadi tunakisma
Kampung Sukatani • Penurunan petani pemilik • Peningkatan rumah tangga yang menjadi tunakisma
• Penurunan petani dengan lahan luas • Peningkatan rumah tangga tanpa lahan Terbatas
• Penurunan petani dengan lahan luas • Peningkatan rumah tangga tanpa lahan Terbatas
Terbatas
Terbatas
Beralih ke sektor non pertanian Milik Layak
Beralih ke sektor pertanian Milik Layak
Sedang (5 buah-8 buah) Kolektif
Sedikit (≤ 4 buah) Kolektif
Individual, vertikal Tidak ada Ada
Kolektif, horizontal Tidak ada Tidak ada
Tinggi
Tinggi
Berdasarkan data pada tabel di atas terlihat bahwa selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010) telah terjadi perpindahan penguasaan lahan pada rumah tangga Desa Tugu Utara. Perpindahan penguasaan lahan ini mengakibatkan konversi lahan yang menyebabkan berubahnya status penguasaan lahan rumah tangga dari yang awalnya pemilik lahan menjadi penyewa, pemilik lahan menjadi tidak punya lahan, dan petani dengan sistem bagi hasil menjadi tidak menguasai lahan. Selain itu, terjadi pula perubahan luas lahan yang dikuasai rumah tangga menjadi lebih sempit atau bahkan menjadi tidak memiliki lahan. Persepsi rumah tangga atas kesempatan kerja akibat konversi lahan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa kesempatan kerja baik sektor pertanian maupun sektor non pertanian saat ini berada pada kategori terbatas. Terdapat perbedaan antara Kampung Sampay dan Kampung Sukatani dimana kesempatan kerja sektor pertanian lebih besar di Kampung Sukatani, sementara kesempatan kerja sektor
91
non pertanian lebih besar di Kampung Sampay. Kondisi ini terjadi karena di Kampung Sukatani masih kaya akan lahan pertanian, sementara di Kampung Sampay sudah padat oleh bangunan-bangunan. Di Desa Tugu Utara terjadi perubahan pola kerja rumah tangga selama kurun waktu sepuluh tahun (2000-2010) dimana untuk Kampung Sampay rata-rata rumah tangga beralih pekerjaan dari yang awalnya bekerja disektor pertanian menjadi bekerja disektor non pertanian atau bahkan ada yang menjadi pekerja serabutan (pengangguran), sementara di Kampung Sukatani pola kerja rumah tangga sebagian besar beralih ke sektor pertanian. Struktur pendapatan rumah tangga desa juga mengalami perubahan seiring dengan terjadinya perubahan persepsi atas kesempatan kerja dan perpindahan pola kerja. Rata-rata rumah tangga Kampung Sampay selama satu tahun terakhir memperoleh penghasilan antara Rp. 12.000.000 sampai Rp. 36.000.000 atau berada pada kategori sedang, sementara rumah tangga Kampung Sukatani rata-rata berpenghasilan kurang dari Rp. 12.000.000 atau berada pada kategori rendah. Konversi lahan juga berhubungan kondisi tempat tinggal dan perubahan hubungan antar anggota keluarga. Rata-rata rumah tangga setempat memiliki tempat tinggal milik sendiri walaupun ada sebagian rumah tangga yang masih menumpang pada kerabatnya. Terdapat perbedaan antara rumah tangga Kampung Sampay dan Kampung Sukatani dimana kondisi fisik tempat tinggal rumah tangga Kampung Sukatani lebih memprihatinkan dibanding kondisi fisik tempat tinggal rumah tangga Kampung Sampay. Sementara itu, unutk hubungan antar anggota keluarga dalam pengambilan keputusan untuk rumahtangga Kampung Sampay cenderung lebih individual dibandingkan rumah tangga Kampung Sukatani. Secara umum dapat disimpulkan bahwa uraian di atas membuktikan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa “proses konversi lahan mengubah pola kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal”. Konversi lahan telah memberikan dampak negatif pada aspek sosial ekonomi rumah tangga. Pemetik manfaat paling utama dari kegiatan konversi lahan adalah pihak luar, sementara warga lokal hanya menjadi korban dari kegiatan konversi lahan. Kondisi ini terjadi karena banyak rumah tangga lokal yang tidak memperoleh kesempatan kerja
92
diluar pertanian akibat adanya kesenjangan permintaan dan penawaran tenaga kerja serta karena kalah bersaing dengan pihak luar.
93
BAB VII DAMPAK SOSIO-EKOLOGIS KONVERSI LAHAN Konversi lahan pertanian di Desa Tugu Utara terjadi sebagai konsekuensi logis dari perkembangan pembangunan yang mengarah pada berkurangnya lahanlahan produktif, khususnya lahan pertanian. Lahan pertanian sebenarnya memberikan manfaat bagi lingkungan disekitarnya karena menjaga keutuhan lahan. Akan tetapi fenomena konversi lahan yang semakin lama semakin meningkat dan sulit untuk diatasi menyebabkan timbulnya berbagai dampak bagi sosial ekologi Desa Tugu Utara. Adapun dampak sosial ekologi konversi lahan tersebut antara lain dampak pada akses rumah tangga terhadap air, cara warga membuang limbah rumah tangga, dan yang paling utama adalah terjadinya degradasi lingkungan seperti banjir, longsor dan kebisingan. Terdapat keterkaitan antara dampak sosio-ekologis konversi lahan dengan tipe konversi lahan yang terjadi di Desa Tugu Utara dimana antara Kampung Sampay dan Kampung Sukatani mengalami perbedaan dalam memperoleh dampak tersebut. 7.1 Akses Rumah Tangga Terhadap Sumberdaya Air Akses rumah tangga terhadap sumberdaya air dapat dikatakan mudah dan terjangkau untuk semua kalangan karena sebagian besar warga memanfaatkan mata air Sungai Ciliwung sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan air. Berikut ini adalah data mengenai akses warga terhadap sumberdaya air yang divisualisasikan pada Gambar 16.
Gambar 16. Akses Rumah Tangga Desa Tugu Utara Terhadap Sumberdaya Air
94
Berdasarkan data pada Gambar 16 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar rumah tangga memperoleh air dari mata air Sungai Ciliwung sebanyak 40,00 persen dengan rincian rumah tangga yang kesulitan memperoleh air sebanyak lima persen dan yang tidak kesulitan memperoleh air sebanyak 35,00 persen17. Sementara itu rumah tangga yang menggunakan sumur di Desa Tugu Utara sebanyak 48,93 persen dengan rincian rumah tangga yang mengalami kesulitan air sebanyak 21,43 persen dan yang mudah memperoleh air sebanyak 27,50 persen. Air yang dimanfaatkan oleh rumah tangga Desa Tugu Utara sejauh ini memiliki kualitas yang baik karena sebagian besar rumah tangga memperoleh air langsung dari mata air Sungai Ciliwung. Kualitas yang baik ini merujuk pada kondisi air yang tidak berasa, tidak berbau dan tidak berwarna. Berikut ini adalah data mengenai kualitas air di Desa Tugu Utara yang diperoleh dari 60 responden baik rumah tangga Kampung Sampay maupun rumah tangga Kampung Sukatani.
Gambar 17. Kualitas Air di Kampung Sampay dan Kampung Sukatani
Data pada Gambar 17 menunjukkan bahwa secara umum air yang dimanfaatkan oleh rumah tangga untuk kebutuhan sehari-hari berada pada kondisi yang layak untuk dikonsumsi. Walaupun terdapat satu rumah tangga yang menyatakan bahwa air yang dimanfaatkan olehnya yaitu air yang berasal dari 17
Kesulitan memperoleh air artinya pada musim kemarau warga sulit memperoleh air karena terjadi kekeringan. Fenomena ini terjadi karena kawasan Puncak mengalami degradasi lingkungan yang mengakibatkan resapan air terganggu akibat konversi lahan. Sementara untuk warga yang tidak kesulitan memperoleh air tidak mengalami kekeringan, baik pada musim kemarau atau pun musim lainnya.
95
sumur berada pada kondisi tidak layak. Namun keadaan tidak layak ini terjadi hanya pada waktu-waktu tertentu saja, misal pada musim kemarau sehingga air terkadang menjadi kotor. Akan tetapi, walaupun sebagian besar air yang ada di desa ini berada pada kondisi layak konsumsi, rumah tangga di kampung yang dekat dengan jalan raya yaitu Kampung Sampay biasanya membeli air minum di tempat isi ulang, karena ada sebagian rumah tangga yang malas untuk memasak air. Hal ini dikemukakan oleh Bapak Rzl (29 tahun). Untuk masalah air di daerah ini masih melimpah dan kondisinya layak untuk digunakan kegiatan sehari-hari termasuk untuk minum. Kata “layak” bukan berarti higienis seutuhnya, kebanyakan di daerah ini membeli air minum dari tempat isi ulang (galon). Air minum isi ulang dikonsumsi sebagian besar warga karena harganya murah hanya sebesar Rp. 2500,- yang jika dibandingkan dengan memasak air sendiri akan lama dan malas. Jadi indikator layak yang seharusnya dihitung dari ph kondisi air, oleh warga indikator layak tersebut dilihat dari tidak adanya warga yang pernah mengeluh sakit gara-gara mengkonsumsi air isi ulang (Bapak Rzl, 29 tahun).
Berdasarkan fakta di atas dapat disimpulkan bahwa dampak konversi lahan terhadap ketersediaan sumberdaya air masih tergolong melimpah. Konversi lahan pertanian di Desa Tugu Utara, khususnya di kawasan yang dekat dengan jalan raya menyebabkan tersedianya sarana dan prasarana perekonomian. Hal ini berimplikasi pada kebiasaan hidup rumah tangga setempat. Rumah tangga Kampung Sampay yang berada dekat jalan raya dan pusat perekonomian desa lebih memilih untuk membeli air minum dari depot isi ulang yaitu sebanyak sepuluh persen, karena selain harganya yang murah dan terjangkau untuk semua kalangan tetapi juga karena adanya kemalasan rumah tangga untuk memasak air. Sementara bagi rumah tangga Kampung Sukatani memasak air sendiri lebih baik dibandingkan harus pergi terlebih dahulu ke tempat depot isi ulang yang jaraknya jauh. 7.2 Cara Warga Membuang Limbah Rumah Tangga Konversi lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian antara Kampung Sampay dan Kampung Sukatani mengalami perbedaan. Konversi lahan di Kampung Sampay berlangsung secara besar-besaran karena lokasinya yang dekat dengan jalan raya, sehingga terjadi peningkatan jumlah bangunan seperti villa, hotel, restoran dan toko. Seperti pada uraian sebelumnya mengenai perubahan pola kerja, warga Kampung Sampay rata-rata bermatapencaharian
96
dibidang non pertanian. Berbeda halnya dengan kondisi di Kampung Sukatani dimana konversi lahan pertanian masih tergolong rendah, sehingga di kampung ini masih kaya akan lahan pertanian, sehingga
warga setempat
rata-rata
bermatapencaharian dibidang pertanian. Perbedaan ini berpengaruh terhadap sikap warga terhadap lingkungan, salah satunya adalah kebiasaan warga setempat dalam mengelola limbah rumah tangga. Rumah tangga Kampung Sampay dan Kampung Sukatani memiliki cara sendiri dalam mengelola limbah rumah tangga, ada yang menjadikan sampah sebagai pupuk kompos, membakarnya, namun ada juga rumah tangga yang membuang sampah ke sungai dan lahan kosong milik orang lain. Di desa ini tidak tersedia fasilitas pembuangan sampah yang memadai, sehingga keterbatasan dalam hal penyediaan tempat pembuangan sampah menyebabkan rumah tangga membuang sampah sembarangan. Berikut ini adalah data mengenai cara rumah tangga desa membuang sampah limbah rumah tangga yang dipaparkan pada Gambar 18.
Gambar 18. Cara rumah tangga Desa Tugu Utara Membuang Limbah Rumah Tangga
Data pada Gambar 18 menunjukkan perbedaan antara rumah tangga Kampung Sampay dan rumah tangga Kampung Sukatani dalam mengelola limbah rumah tangga. Sebagian besar rumah tangga Kampung Sampay membuang sampah sembarangan dan rata-rata membuangnya ke kali atau sungai sebanyak 57 persen. Rumah tangga tersebut membuang sampah sembarangan karena tidak
97
tersedianya tempat pembuangan sampah yang layak untuk menampung limbah rumah tangga yang dihasilkan oleh rumah tangga setempat, selain itu hanya sedikit rumah tangga yang bergerak dibidang pertanian sehingga hanya 43 persen rumah tangga yang mengelola sampah menjadi pupuk ataupun membakarnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak Ddi (50 tahun). Warga kampung Sampay sebagian besar membuang sampah ke sungai atau membakarnya. Hal ini terjadi karena tidak adanya fasilitas pembuangan sampah yang memadai dan warga memilih untuk membuang sampah dengan cara yang praktis yaitu ke kali atau sungai. Pihak pemerintah bukannya tinggal diam dalam mengatasi masalah ini, namun mereka memiliki keterbatasan dalam hal penyediaan tempat pembuangan sampah. Sampah-sampah ini menumpuk di sungai dan mengakibatkan pemandangan yang tidak indah lagi. Akibat dari pembuangan sampah yang tidak ramah lingkungan ini akan berpengaruh terhadap wilayah yang ada dibawahnya, jadi sering terjadi banjir (Bapak Ddi, 50 tahun).
Kebiasaan rumah tangga membuang sampah ke sungai berpengaruh pada kondisi air sungai yang menjadi kotor. Pihak yang membuang sampah ke sungai, selain warga lokal juga warga luar desa yang berkunjung ke kawasan Puncak, sehingga keduanya berperan dalam tercemarnya air sungai, hal ini dinyatakan oleh Bapak Ymc (42 tahun). Kondisi sungai di desa ini kotor dan banyak sampah, karena sebagian besar masyarakat membuang sampah ke sungai. Walaupun begitu, pihak yang lebih memberikan kerugian berupa sampah paling banyak adalah para pendatang yang datang setiap minggunya untuk berwisata. Sementara itu, penduduk lokal berkontibusi lebih sedikit dalam mengotori sungai. Pihak pemerintah desa selalu memberikan peringatan dan anjuran agar tidak membuang sampah ke sungai, namun hal ini tidak menjadi perhatian masyarakat. Jenis sampah yang paling banyak adalah sampah plastik. Sampah ini sulit diurai dan dihilangkan. Oleh karena itu, agar tidak terjadi luapan sungai, pihak desa membuat penahan di sungai, agar aliran sungai tidak sampai ke daratan (Bapak Ymc, 42 tahun).
Berbeda dengan kondisi di Kampung Sukatani dimana rata-rata rumah tangga setempat menjadikan sampah sebagai pupuk organik (kompos) sebanyak 77 persen, karena sebagian besar rumah tangga bekerja disektor pertanian sehingga dengan memanfaatkan limbah rumah tangga dapat memberikan keuntungan di bidang pertanian. Selain dijadikan pupuk, sebagian rumah tangga lainnya memilih untuk membakar limbah-limbah yang dihasilkan dari rumah tangganya agar lingkungan terlindungi. Walaupun begitu rumah tangga Kampung
98
Sukatani juga ada yang membuang limbah rumah tangga ke sungai sebanyak 23 persen. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konversi lahan memberikan dampak tidak langsung pada kebiasaan rumah tangga Desa Tugu Utara dalam mengelola limbah rumah tangga. Kampung yang dekat dengan jalan raya dan rata-rata bermata pencaharian dibidang non pertanian yaitu Kampung Sampay cenderung membuang limbah rumah tangga ke sungai, sementara Kampung Sukatani yang lokasinya jauh dari jalan raya dan mata pencaharian rumah tangga rata-rata dibidang pertanian cenderung memanfaatkan limbah rumah tangga sebagai pupuk atau membakarnya. 7.3 Degradasi Lingkungan Perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian di Desa Tugu Utara menyebabkan kawasan ini menjadi padat dengan pemukiman-pemukiman, sehingga terjadi penurunan daya dukung lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan banjir dan longsor. Desa Tugu Utara merupakan desa yang berada di bagian hulu DAS Ciliwung, walaupun berada di bagian paling hulu, tidak menutup kemungkinan kawasan ini mengalami bencana alam seperti banjir dan longsor akibat konversi lahan. 7.3.1
Banjir Alih fungsi lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian
antara tahun 2000 sampai 2010 mengalami perbedaan dimana kondisi saat ini (2010)
bangunan-bangunan
semakin
bertambah,
sementara
tahun
2000
pembangunan tidak sebesar sekarang. Kondisi ini mengakibatkan lahan untuk resapan air semakin berkurang, apalagi jika pembangunan yang dilakukan tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Seperti pada bahasan sebelumnya, banyak bangunan-bangunan yang menyalahi aturan misalnya dengan membuat bangunan di pinggir kali yang mengakibatkan menyempitnya lebar kali sehingga terjadi luapan air yang melebar ke jalan-jalan apalagi saat hujan sehingga berpotensi banjir. Berdasarkan hasil wawancara melalui kuesioner dengan rumah tangga setempat, rumah tangga yang menyatakan pernah ada kejadian banjir di dekat rumahnya berjumlah delapan rumah tangga pada tahun 2010, sementara tahun 2000 tidak ada rumah tangga yang menyatakan pernah terjadi banjir.
99 Dampak adanya bangunan-bangunan terhadap lingkungan yaitu setiap musim hujan mengalami banjir yang berasal dari sungai Cilliwung, karena saat terjadi hujan, air sungai meluap dan menyebar. Kejadian ini salah satunya diakibatkan karena adanya pembangunan green house yang tidak membuat palang untuk menampung air hujan. Selain itu, banjir juga terjadi salah satu penyebabnya adalah warga yang sebagian besar membuang sampah ke sungai, walaupun ada sebagian warga yang lain yang memanfaatkan limbah sampah menjadi pupuk kompos untuk lahan pertanian atau bahkan dibakar (Bapak Uyh, 46 tahun).
Kejadian banjir pernah dialami oleh keluarga Bapak Uyh (46 tahun) dan keluarga Bapak Wwn (41 tahun). Kasus banjir pada keluarga Bapak Uyh terjadi karena rumahnya berada dipinggir sungai Ciliwung. Hampir setiap ada hujan deras, air yang ada di kali Ciliwung meluap dan terkadang sampai masuk kerumahnya. Kasus kedua terjadi pada keluarga Bapak Wwn. Kejadian ini terjadi karena rumahnya berada dipinggir got, saat hujan besar air dari got masuk ke dalam rumah dan mengakibatkan barang-barang yang ada dirumah terkena banjir. Kejadian banjir tersebut terjadi di kawasan hulu DAS Ciliwung yang berada di atas ketinggian. Jika terjadi banjir di kawasan ini maka kawasan yang berada di bagian hilir DAS Ciliwung mengalami ancaman yang lebih besar terkena banjir, karena adanya interkoneksitas antara bagian hulu dan hilir DAS Ciliwung. Oleh karena itu, tata ruang yang ada di hulu perlu mendapat perhatian yang besar karena dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan tidak hanya di kawasan terjadinya konversi tetapi juga kawasan yang ada di bagian hilir. 7.3.2
Longsor Alih fungsi lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian
selain menimbulkan bencana banjir juga dapat menyebabkan terjadinya longsor. Kondisi yang berbeda juga terjadi antara tahun 2000 sampai 2010 dimana bencana longsor di tahun 2010 lebih sering terjadi dibandingkan tahun 2000. Terdapat 18 rumah tangga yang menyatakan pernah terjadi longsor di dekat rumahnya pada tahun 2010. Salah satu kasus longsor di Desa Tugu Utara terjadi pada keluarga Bapak Asp (40 tahun). Kami sudah tidak pernah lagi pergi ke rumah kami yang ada di bagian atas, karena khawatir terjadi longsor lagi. Saat ini di daerah tersebut menjadi rawan longsor karena banyak bangunan. Kami sebenarnya ingin melakukan pengecekan pada rumah kami, tapi kami sudah tidak ingin mengambil resiko. Sekarang rumah itu sudah tertutup tanah. Padahal rumahnya lumayan luas dan kamarnya banyak, juga ada musholanya (Istri Bapak Asp. 40 tahun).
100
Keluarga Bapak Asp (40 tahun) memiliki rumah kecil untuk beristirahat yang berada di atas gunung, namun ketika terjadi hujan besar rumahnya terkena longsor sehingga tidak dapat lagi dikunjungi. Untuk lebih rinci Tabel 14 di bawah ini menginformasikan mengenai kejadian-kejadian banjir dan longsor yang pernah terjadi di Desa Tugu Utara selama tahun 2009. Tabel 14. Bencana Tanah Longsor dan Banjir di Wilayah Desa Tugu Utara, 2009 No.
Kampung
Bencana
Longsor
Kerusakan 2 rumah, 6 tebing rumah, 1 bangunan mushola, jalan aspal rusak berat 5 tebing rumah, 1 jembatan lintas kampung (beton rusak total) 1 tebing rumah Jembatan lintas kampung (beton rusak berat), 3 rumah 3 rumah, jembatan bambu rusak, kebun sayuran Tebing rumah dan tebing bangunan
Banjir
1 rumah
Banjir
1 rumah, 1 jembatan beton rusak
Longsor
2 sawah
Banjir
1 sawah, 1 jembatan bambu rusak
1.
Neglasari Rt.01 Rw. 04
Longsor
2.
Pondok Caringin Rt. 02 Rw. 04
Longsor
3.
Neglasari Rt. 05 Rw. 04
4.
Sukatani Rt. 06 Rw. 04
5.
Tugu Utara Rt. 01 Rw. 01
6.
Tugu Utara Rt. 03 Rw. 01
7.
Ciburial Rt. 01 Rw. 05
Longsor Banjir Banjir
Sumber: Data Potensi Desa Tugu Utara (2009)
Data pada Tabel 14 di atas menunjukkan bahwa di Desa Tugu Utara telah terjadi bencana banjir dan longsor masing-masing sebanyak lima kali dalam kurun waktu satu tahun. Daerah ini juga pernah mengalami bencana banjir yang tingginya sampai di bawah lutut. Penyebab paling utama dari adanya bencana banjir dan longsor ini adalah masalah tata ruang. Masalah tata ruang menjadi suatu permasalahan ketika konversi lahan pertanian atau lahan produktif ke pemanfaatan diluar pertanian tidak sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Misalnya ada got yang lebarnya sebesar satu meter, kemudian dibangun villa di depan got tersebut dan mengakibatkan lebar got terambil menjadi setengah meter, sehingga kapasitas air untuk satu meter berubah menjadi setengah meter. Kemudian ketika ada hujan besar, air dalam got ikut membesar sehingga got yang sudah menyempit tidak mampu lagi menampung kapasitas air yang terus meningkat, maka terjadilah luapan air yang berakhir dengan bencana banjir. Intinya berbagai bencana baik banjir maupun longsor terjadi karena masalah resapan air yang terganggu oleh kegiatan konversi lahan di lahan hijau.
101
7.3.3
Kebisingan dan Kemacetan Konversi lahan pertanian telah memberikan perubahan ada kondisi
lingkungan Desa Tugu Utara. Banyaknya bangunan-bangunan seperti villa dan tersedianya sarana prasarana transportasi menyebabkan kawasan ini ramai didatangi pengunjung. Banyaknya pengunjung yang memadati kawasan Puncak dan melewati wilayah Desa Tugu Utara menyebabkan timbulnya polusi suara yang dihasilkan dari kendaraan bermotor atau pun dari hiruk pikuk para pengunjung yang beristirahat di villa. Polusi suara ini berupa kebisingan yang menimbulkan gangguan komunikasi bagi warga yang dekat jalan raya dan terganggunya ketenangan bagi warga yang tempat tinggalnya dekat dengan vilavila, karena para pengunjung membuat acara-acara yang menimbulkan kegaduhan. Berikut ini adalah data mengenai rumah tangga yang merasa terganggu oleh kebisingan yang ditimbulkan oleh para pengunjung.
Gambar 19. Pengaruh dan Waktu Kejadian Terjadinya Gangguan Kebisingan
Data pada Gambar 19 menunjukkan bahwa rumah tangga yang merasa terganggu oleh kebisingan yang ditimbulkan baik dari alat transportasi maupun dari hiruk pikuk para pendatang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan rumah tangga yang merasa tidak terganggu, yaitu sebanyak 40 persen dengan rincian setiap hari sebanyak 23 persen dan weekend sebanyak 17 persen.
102 Sudah menjadi hal yang biasa jika di daerah ini ramai oleh arus lalu lintas dan kedatangan wisatawasan, apalagi pada hari Sabtu dan Minggu. Saya senang jika banyak yang datang ke daerah ini, suasana menjadi ramai, jadi jika hari-hari biasa suasana menjadi sepi (Istri Bapak Uyh, 43 tahun).
Rumah tangga yang merasa tidak terganggu oleh kebisingan tersebut menyatakan sudah terbiasa dengan keadaan lingkungan yang seperti itu, sehingga adanya polusi suara bukan lagi masalah bagi rumah tangga setempat, selain kebisingan, kawasan Puncak juga terkenal dengan rawan kemacetan. Kemacetan yang terjadi menimbulkan keuntungan sekaligus kerugian bagi warga setempat dan pengguna jalan yang sebagian besar membawa kendaraan berplat nomor B yaitu Jakarta. Keuntungan yang diperoleh bagi warga setempat berupa larisnya dagangan yang dijual, sedangkan bagi para pengguna jalan yang bertujuan untuk bersantai dapat menghadapi kemacetan sambil menikmati keindahan panorama alam Puncak. Namun kerugian yang diperoleh baik oleh warga setempat maupun pengguna jalan adalah polusi suara dan polusi udara, serta bagi pengguna jalan lainnya yaitu terbuangnya waktu yang sia-sia. Kemacetan terjadi pada waktu-waktu tertentu seperti akhir pekan (weekend) yaitu hari Sabtu dan Minggu serta hari-hari liburan lainnya. Namun, tidak jarang juga kemacetan terjadi pada hari-hari biasa ketika lalu lintas padat. Oleh karena itu, pihak kepolisian lalu lintas memberlakukan arus satu arah untuk mengatasi kemacetan. Awalnya arus satu arah diberlakukan jika kendaraan dari satu sisi misal ke arah Puncak tingkat kepadatannya lebih besar, sehingga arah menuju Jakarta diberhentikan dahulu untuk beberapa jam. 7.4 Ikhtisar Masalah alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lahan non pertanian selain memberikan dampak buruk bagi lingkungan sosial ekonomi rumah tangga setempat juga memberikan dampak bagi lingkungan fisik yakni sosial ekologi kawasan desa. Dampak yang terjadi antara kawasan yang dekat jalan raya dan jauh dari jalan raya memiliki perbedaan sesuai dengan tipe konversi lahan yang terjadi di kawasan tersebut. Data pada Tabel 15 merangkum dampak sosioekologis akibat konversi lahan.
103
Tabel 15. Dampak Sosio-Ekologis Konversi Lahan di Kampung Sampay dan Kampung Sukatani, 2010 No Dampak Sosio-Ekologis Kampung Sampay Kampung Sukatani 1 Sumber Air Mata air sungai Mata air sungai Ciliwung Ciliwung 2 Akses terhadap Sedikit sulit saat Mudah sumberdaya air kemarau 3 Kualitas air Baik Baik 4 Cara membuang limbah Membuang sampah Menjadikan sampah rumah tangga (dampak ke sungai/kali/lahan sebagai pupuk/dibakar tidak langsung) kosong (57%) (77%) 5 Banjir 2 rumah tangga 6 rumah tangga 6 Longsor 3 rumah tangga 15 rumah tangga 7 Gangguan kebisingan 17 rumah tangga 7 rumah tangga Berdasarkan data ada Tabel diatas terlihat bahwa konversi lahan mengakibatkan terjadinya perubahan pada kondisi lingkungan fisik. Berkurangnya lahan pertanian dan bertambahnya bangunan di desa ini mengakibatkan terganggunya resapan air sehingga mengakibatkan bencana banjir dan longsor diberbagai lokasi Desa Tugu Utara. Banjir dan longsor di desa ini yang merupakan kawasan paling hulu DAS Ciliwung menunjukkan terjadinya krisis ekologi kawasan, sehingga tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada bagian hilir jika kawasan yang ada di bagian hulu saja sudah tidak mampu menopang berbagai bentuk aktivitas manusia yang diakibatkan oleh kegiatan konversi lahan. Selain itu, kondisi yang memprihatinkan juga terjadi pada rumah tangga yang mengalami kekurangan air ketika musim kemarau, walaupun jumlahnya hanya sedikit namun hal ini cukup membuktikan terjadinya degradasi lingkungan akibat konversi lahan. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa konversi lahan memberikan dampak yang buruk bagi kawasan Desa Tugu Utara dilihat dari kondisi lingkungan yang semakin menurun sehingga menimbulkan adanya bencana banjir dan longsor di kawasan yang berada di bagian paling hulu DAS Ciliwung. Hal ini membuktikan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa “proses konversi lahan menimbulkan akibat-akibat yang mengarah pada krisis ekologi di lokasi terjadinya konversi lahan. Secara garis besar keterkaitan konversi lahan dengan dampak sosio-ekonomis dan dampak sosio-ekologis dipaparkan pada Tabel 16 di bawah ini.
104
Tabel 16. Dampak Sosio-Ekonomis dan Sosio-Ekologis Berdasarkan Tipe Konversi Lahan Tipe Konversi Lahan Dampak SosioDampak SosioEkonomis Ekologis Tipe I --Tipe II --Keterangan: Tipe 1 : Letak kawasan terbuka, laju konversi cepat dan pelaku semua stakeholder Tipe 2 : Letak kawasan tertutup, laju konversi lambat dan pelaku pihak luar (--)
: Konversi lahan berdampak negatif sangat tinggi
Berdasarkan data pada Tabel di atas terlihat bahwa konversi lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanaian memberikan dampak negatif pada aspek sosio-ekonomis dan sosio-ekologis baik di Kampung Sampay yang mengalami konversi lahan Tipe I maupun di Kampung Sukatani yang mengalami konversi lahan Tipe II.
105
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Konversi lahan pertanian adalah perubahan peruntukkan lahan pertanian menjadi peruntukkan lahan non pertanian. Lahan potensial yang banyak terkonversi di Desa Tugu Utara selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010) adalah lahan sawah dan lahan kering yang mengalami perubahan peruntukkan lahan menjadi rumah, villa, hotel, restoran, toko, dan sebagainya. Terdapat perbedaan tipe konversi lahan antara Kampung Sampay yang lokasinya dekat dengan jalan raya dan Kampung Sukatani yang lokasinya jauh dari jalan raya. Kampung Sampay mengalami konversi lahan pertanian Tipe I, sementara Kampung Sukatani mengalami konversi lahan pertanian Tipe II. Secara umum, konversi lahan pertanian di Desa Tugu Utara baik di Kampung Sampay maupun Kampung Sukatani memberikan dampak negatif pada aspek sosio-ekonomis seperti perubahan penguasaan lahan, kesempatan kerja, perubahan pola kerja, kondisi tempat tinggal, dan hubungan antar warga (konflik dan prostitusi), serta memberikan dampak negatif pada aspek sosio-ekologis seperti akses terhadap sumberdaya air, cara warga membuang limbah rumah tangga yang merupakan dampak tidak langsung akibat konversi lahan pertanian, dan terjadinya degradasi lingkungan seperti banjir, longsor dan kebisingan. 8.2 Saran Beberapa saran yang dapat diajukan dari hasil penelitian ini, antara lain: 1. Pemerintah perlu mempertegas kebijakan pengendalian konversi lahan dengan menekankan pelarangan pembangunan di lahan pertanian. 2. Perlu adanya pengecekan ulang terhadap bangunan-bangunan yang tidak memiliki IMB (Izin Membuat Bangunan) dan memberikan sanksi tegas pada pihak-pihak yang melanggar peraturan. 3. Perlu
adanya
peningkatan
produktivitas
pertanian
baik
dengan
memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang pertanian maupun pengadaan teknologi yang dilakukan secara partisipatif. 4. Perlu ada pengelolaan DAS Ciliwung secara terpadu antara pihak pemerintah di bagian hulu, bagian tengah dan bagian hilir.
106
DAFTAR PUSTAKA Adiwibowo,S. 2007. Paradigma, Perspektif dan Etika Ekologi. dalam Adiwibowo (ed). 2007. Ekologi Manusia. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia. Akib, N.N. 2002. Studi Keterkaitan Antara Nilai Manfaat Lahan (Land Rent) dan Konversi Lahan Pertanian di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Tesis. Tidak dipublikasikan. Anugerah, F. 2005. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian di Kabupaten Tangerang”. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Badan Pusat Statistik. 2004. Survey Pertanian: Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Indonesia. Jakarta: PT. Rasokitama Lestari. ______. 2005. Survey Pertanian: Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Indonesia. Jakarta: PT. Rasokitama Lestari. Dharmawan, A.H. 2007. Antropologi Budaya, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik. dalam Adiwibowo (ed). 2007. Ekologi Manusia. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia. Kartodiharjo, H dan Jhamtani, H. 2006. Politik Lingkungan dan kekuasaan di Indonesia. Jakarta: PT. Equinox Publishing Indonesia. Maftuchah, I. 2005. Evaluasi Konversi Lahan Pertanian di Pinggiran Kota Surakarta Jawa Tengah. Tesis.Tidak dipublikasikan. Nugroho, W.W. 2004. Penguatan Kelembagaan Koperasi Panca Usaha Desa Bawahan Pasar Kecamatan Mataraman Kabupaten Banjar. Pascasarjana. Tidak dipublikasikan. Rahim, S.E. 2006. Pengendalian Erosi Tanah: Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Rusli, S. 1995. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3ES. Rayes, M.L. 2007. Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan. Yogyakarta: ANDI OFFSET. Ruswandi, A. 2005. Dampak Konversi Lahan Pertanian terhadap Perubahan Kesejahteraan Petani dan Perkembangan Wilayah. Tesis.Tidak dipublikasikan. Saefulhakim dan Nasution. 1995. Studi Keterkaitan Antara Nilai Manfaat Lahan (Land Rent) dan Konversi Lahan Pertanian di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. dalam. Akib Narilla, Novi. 2002. Studi Keterkaitan Antara Nilai Manfaat Lahan (Land Rent) dan Konversi Lahan Pertanian di Kecamatan Pancoran Mas Kota Depok. Tesis. Tidak dipublikasikan. Sihaloho, M. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria: Kasus Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat. Tesis. Tidak dipubllikasikan. Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES
107
Sitorus, MT. F. 2002. Lingkup Agraria. dalam Suhendar, E (ed). Menuju Keadilan Agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Yayasan AKATIGA. Sirotus, MT.F, dkk. 2008. Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani. Bogor: Institut Pertanian Bogor dan BPPP. Utama, D.F. 2006. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Sawah di Kabupaten Cirebon”. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Widiatmaka, S.H. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Wiradi, G. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian Agraria. Bogor: STPN dan SAINS. ______. 2009. Ranah Studi Agraria: Penguasaan Tanah dan Hubungan Agraria. Yogyakarta: STPN dan SAINS. Dardak, H. 2005. Pemanfaatan Lahan Berbasis Tata Ruang Sebagai Upaya Perwujudan Ruang Hidup yang Nyaman, Produktif, dan Berkelanjutan. http://www.penataanruang.net/taru/Makalah/051210.pdf. diakses tanggal 13 Maret 2010, pukul 15.00 WIB. Iqbal, M dan Soemaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. http pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART5-2c.pdf. diakses tanggal 29 Maret 20.15 WIB. Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah: Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. http:pse.litbang.deptan.go.id/ind /pdffiles/FAE231a.pdf. diakses tanggal 13 Maret 2010, pukul 14.00 WIB. ______. 2008. Meningkatkan Efektivitas Kebijakan Konversi Lahan. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/FAE26-2e.pdf. diakses tanggal 29 Maret 2010, pukul 20.32 WIB. Ruswandi, A, dkk. 2007. Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Kesejahteraan Petani dan Perkembangan Wilayah: Studi Kasus di Daerah Bandung Utara.http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/index.php?option. diakses tanggal 29 Maret 2010, pukul 20.55 WIB. Soemaryanto, dkk. 2001. Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian dan Dampak Negatifnya. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART52c.pdf . diakses tanggal 29 Maret 2010, pukul 20.24 WIB.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Kepala Keluarga Rt. 01/ Rw. 03, Kampung Sampay No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Nama EDI RAH HAR FRD YAT ATG FTR MAD UDK AJT TIE KIK POL KHA ZKR ALA GAN DYT GIA BNI STA TJD ANA TMM HNN YDI AMN ATG AHM DIA HMT
No. 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
Nama REY FHM DED ANJ AXD ESY KLM NUG RAH KIE WWN SUP HER GAT TOP RIZ ALS KSS PET ACK IYM MAM TOL ASH BEC EHO OLE JPR RAT DAB SUE
No. 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93
Nama MON SEL SAE ESA MUH ILY LTF YSF LIG NTI ERI PLH AGS MRY IBY ILY HUS DIR TFK AZH TUR GAR MHD MSL LES TJH MIL BSR BDA MAU YNI
No. 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121
Nama ATP WAT BOI IKH BEI WHR DIM HNF UJK GUN BAR TGR ASP RIS AST DDR SLH TAG LAM CEP BON ARN AZA ZHM MUJ LOM LAT ATH
Keterangan: = Responden
Daftar Kepala Keluarga Rt. 06/ Rw. 04, Kampung Sukatani No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Nama LAM UYH TIN TTG SEP IDR PAS LAT GUN WND KEN RHM OTG AHD PTR SHN DYT END SNN MSB SBN STS RHT ISL SMS KAM ANI HRI RNA SIN IFA AHT
Keterangan: = Responden
No. 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64
Nama MAF KAR ASP ZCK AGA RMS SIT DUN OND ALM CAM AGN WIL ISK STD SMI JDN UDI DKM ANG TRS DDE IHD AMI KAS TIP EKO HAT HNF ASA SUR MAN
No. 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91
Nama OLE BBN TIF SYK UDN BUU DDG RON IRF AMN WDM IKT HER WAR ARI DON ALI CEP KOS DKY DEN ILH EGY ANG SOP END SET
Daftar Responden Kampung Sampay (RT.01/RW.03) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama Responden (Rumah Tangga) FRD AJT ZKR TJD TMM ATG AHM FHM AXD WWN KSS IYM JPR YSF PLH AGS MRY IBY TFK MHD MSL BSR BDA BOI IKH WHR UJK DDR AZA MUJ
Daftar Responden Kampung Sukatani (RT.06/RW.04) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nama Responden (Rumah Tangga) UYH TTG IDR WND RHM AHD SHN DYT END SNN MSB STS RHT SMS HRI RNA MAF ASP ZCK RMS OND ISK STD UDI DKM IHD EKO HNF WDM UDN
Lampiran 2 Tabel 2.1 Pedoman Pengumpulan Data Berdasar Topik, Sub Topik, Metode, dan Sumber Informasi Topik
Subtopik Potensi Umum (batas wilayah, luas wilayah, jenis tanah, topografi) Potensi Pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan Potensi Sumberdaya Air
Potensi Wisata dan ruang publik/taman Potensi Kualitas Air Profil Desa Kebisingan Potensi Sumberdaya Manusia (jumlah penduduk, usia, pendidikan, mata pencaharian, dll) Pendapatan Potensi Kelembagaan (pemerintah, kemasyarakatan, ekonomi, pendidikan, dan keamanan
Konversi Lahan
Sumber Informasi
Studi dokumen dan observasi
Monografi desa
Studi dokumen dan observasi
Monografi desa
Studi dokumen, observasi, wawancara, dan kuesioner Studi dokumen, observasi, wawancara, dan kuesioner observasi, wawancara, dan kuesioner Studi dokumen, observasi, wawancara, dan kuesioner
Monografi desa, responden, informan, dan data pihak terkait Monografi desa, responden, informan, dan data pihak terkait Responden, informan, dan data pihak terkait Monografi desa, responden, informan, dan data pihak terkait
Studi dokumen dan kuesioner
Monografi desa dan responden
Kuesioner
Responden
Studi dokumen, wawancara, dan observasi
Monografi desa dan informan
Potensi sarana dan prasarana
Studi dokumen, observasi dan wawancara
Monografi desa dan informan
Status lahan dan akses terhadap lahan
Kuesioner
Responden
Jenis lahan yang dikonversi Bentuk konversi (pemukiman, villa, restoran, hotel,dll)
Dampak SosioEkonomis
Metode
Pendidikan, kondisi tempat tinggal, perubahan pola pekerjaan, struktur
Studi dokumen, kuesioner dan wawancara Studi dokumen, observasi, wawancara, dan kuesioner Wawancara dan kuesioner
Monografi desa, responden dan informan Monografi desa, responden, informan, dan data pihak terkait Informan dan Kuesioner
2 pendapatan, kesempatan kerja, kebersamaan, dll.
Dampak SosioEkologis
Stakholder
Penurunan daya dukung lingkungan, degradasi lingkungan, potensi bencana, dll. Pihak yang memperoleh manfaat dan pihak yang memperoleh kerugian (masyarakat, pemerintah, atau swasta)
Studi dokumen, wawancara dan kuesioner
Data pemerintah terkait, informan, dan responden
Wawancara dan observasi
Informan
Lampiran 3 JADWAL KERJA PENELITIAN
Kegiatan 7
8
Tahun 2010 Bulan Ke9 10
11
12
Tahun 2011 Bulan Ke1 2
Penyusunan proposal dan instrumen penelitian Perbaikan proposal Pengumpulan data Pengolahan data Penyusunan Skripsi Sidang Skripsi Revisi
Lampiran 4 PANDUAN PERTANYAAN STAF PEMERINTAH DESA A. DATA DIRI INFORMAN 1. Nama lengkap : 2. Jenis Kelamin : 3. Alamat : 4. Posisi Kerja : 5. Hari/Tanggal : 6. Waktu : B. PERTANYAAN PENELITIAN 1. Apa rata-rata jenis mata pencaharian utama masyarakat desa ini? 2. Mata pencaharian apa yang memberikan pendapatan paling tinggi di desa ini? 3. Kira-kira berapa jumlah petani saat ini? 4. Siapa saja petani yang memiiliki lahan sendiri? 5. Siapa saja petani yang mengubah lahannya menjadi ke luar sektor pertanian? 6. Mengapa masyarakat disini banyak yang mengkonversi lahan?Apa yang mendorong mereka melakukan konversi lahan? 7. Apakah ada pendatang atau pengusaha yang bergerak dibidang non pertanian yang membeli lahan-lahan petani dan mengubahnya menjadi bangunan-bangunan? 8. Sejak kapan fenomena konversi lahan terjadi di desa ini? 9. Apa tipe konversi lahan yang terjadi di desa ini? 10. Perubahan apa yang terjadi setelah lahan terkonversi? 11. Siapa aktor utama yang melakukan konversi lahan? Pendatang atau masyarakat setempat? 12. Apa peranan pemerintah dalam upaya pembangunan di desa ini? 13. Bagaimana reaksi pemerintah dalam menghadapi fenomena konversi lahan? 14. Bagaiman kondisi rumah sebagian besar penduduk disini? 15. Menurut anda, bagaimana dampak konversi lahan terhadap lingkungan? 16. Bagaimana kualitas air di wilayah ini? 17. Apakah sering terjadi banjir? Apa penyebabnya? 18. Seberapa besar kemungkinan terjadi longsor dan erosi di desa ini? 19. Bagaimana kondisi sungai di desa ini? Apakah mengalami pencemaran? 20. Apakah terjadi penurunan resapan air?
21. Apakah wilayah ini mengalami kebisingan akibat kendaraan bermotor? Apa efeknya? 22. Kemana penduduk membuang limbah rumah tangga? 23. Bagaimana hubungan antar penduduk yang tinggal diwilayah ini? 24. Apakah warga diwilayah ini selalu berkerjasama atau bergotong royong dalam melakukan berbagai kegiatan? 25. Apakah sering terjadi konflik atau percekcokan antar warga? 26. Bagaimana tingkat keamanan wilayah desa ini?Apakah sering terjadi pencurian? 27. Menurut anda, bagaimana tingkat prostitusi di wilayah ini?Apa pengaruhnya pada warga? 28. Tindakan apa yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan praktek ini?
TOKOH MASYARAKAT A. DATA DIRI INFORMAN 1. Nama lengkap : 2. Jenis Kelamin : 3. Alamat : 4. Posisi Kerja : 5. Hari/Tanggal : 6. Waktu : B. PERTANYAAN PENELITIAN 1. Apakah mata pencaharian utama penduduk wilayah ini? 2. Apa pendapat Saudara tentang konversi lahan? 3. Kira-kira kapan konversi lahan terjadi di Desa ini? 4. Siapa pelaku konversi lahan? pendatang atau penduduk asli? 5. Berubah menjadi apa lahan yang dikonversi? 6. Apa yang mendorong terjadinya konversi lahan? 7. Perubahan apa yang terjadi setelah lahan terkonversi? 8. Menurut Anda, bagaimana dampak konversi lahan terhadap lingkungan? 9. Bagaimana kualitas air di wilayah ini? 10. Apakah sering terjadi banjir? Apa penyebabnya? 11. Seberapa besar kemungkinan terjadi longsor dan erosi di desa ini? 12. Bagaimana kondisi sungai di desa ini? Apakah mengalami pencemaran? 13. Apakah wilayah ini mengalami kebisingan akibat kendaraan bermotor? 14. Kira-kira apa efeknya kepada masyarakat desa ini? 15. Apakah terjadi penurunan resapan air? 16. Kemana penduduk membuang limbah rumah tangga? 17. Bagaimana hubungan antar penduduk yang tinggal diwilayah ini? (masing-masingkah atau masih kental kekerabatannya)! 18. Apakah warga diwilayah ini selalu berkerjasama atau bergotong royong dalam melakukan berbagai kegiatan? 19. Apakah sering terjadi konflik atau percekcokan antar warga? Konflik seperti apa? 20. Bagaimana tingkat keamanan wilayah desa ini?Apakah sering terjadi pencurian? 21. Menurut anda, bagaimana tingkat prostitusi di wilayah ini? 22. Tindakan apa yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan praktek ini? 23. Bagaimana kondisi sungai yang ada diwilayah ini? Apakah mengalami pencemaran?
PETA DESA TUGU UTARA
Lampiran
Kantor Desa Tugu Utara
Mesjid Al Masih
Warung Kaleng (Kampung Sampay)
Kawasan Kampung Sampay
Sungai Ciliwung
Lahan yang Terkonversi
Saudi Arabian Airline
Tempat Parkir Taksi
Pabrik Jagung
Areal Sawah
Rumah Ketua Kelompk Tani Sutan
Lahan Pertanian di Kampung Sukatani
Villa di Kampung Sukatani
Sungai Ciliwung di Kampung Sukatani
Sungai yang Tercemar Sampah
Kondisi Sungai Saat Hujan