ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus Ostreatus) DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR
Oleh : ROMBER JUANTO SITANGGANG A 14105700
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN ROMBER JUANTO SITANGGANG. Analisis Usahatani dan Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Dibawah bimbingan PARULIAN HUTAGAOL) Jamur mempunyai keunggulan antara lain nilai gizinya yang tinggi (40 persen protein), rendah kalori dan lemak serta mempunyai khasiat untuk kesehatan manusia sebagai protein nabati yang tidak mengandung kolesterol, sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit darah tinggi, penyakit jantung, untuk mengurangi berat badan dan diabetes serta dapat menyembuhkan anemia dan sebagai obat anti tumor. Prospek pengembangan jamur di Indonesia cukup potensial baik untuk pasar domestik maupun pasar internasional. Pengembangan penelitian jamur juga perlu ditingkatkan terutama bagi negara-negara berkembang yang masih melakukan sistim budidaya secara tradisional, seiring dengan semakin berkembangnya usaha jamur. Di Kecamatan Tamansari terdapat 7 orang petani jamur tiram putih, yang sebagian besar kemampuan dalam melakukan usahatani masih rendah, modal yang kecil sehingga sulit untuk mengembangkan usahanya, penguasaan teknologi yang terbatas, skala usaha yang relatif kecil sehingga produktivitasnya masih rendah, kualitas rendah dan produksi tidak kontiniu. Efisien atau tidaknya saluran tataniaga, dipengaruhi oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terkait di dalamnya. Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam memasarkan jamur tiram dari produsen ke konsumen akhir adalah petani (produsen), supplier dan pedagang pengecer. Dari permasalahan tersebut, maka dilakukan analisis pendapatan usahatani jamur tiram. Selain itu, perlu juga dilakukan analisis saluran tataniaga untuk mengetahui bagaimana bentuk saluran tataniaga jamur tiram yang ada di lokasi penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi usahatani jamur tiram putih dan menganalisis pendapatan usahatani jamur tiram putih berdasarkan skala usaha. Selain pendapatan, juga menganalisis pelaksanaan tataniaga jamur tiram putih di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara langsung dengan petani, sedangkan data sekunder diperoleh dari BPS, Dinas Pertanian dan sumber lain yang relevan. Data yang diperoleh disusun dalam bentuk tabulasi. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program excel dan hasil keluarannya dianalisis secara deskriptif. Analisis yang digunakan yaitu analisis pendapatan usahatani, R/C rasio, Return to Family Labor dan Return to Total Capital. Analisis pendapatan usahatani digunakan untuk mengetahui tingkat keuntungan usahatani jamur tiram putih yang dilakukan, R/C rasio digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi usahatani jamur tiram putih, dan Return to Family Labor serta Return to Total Capital digunakan untuk mengetahui imbalan terhadap tenaga kerja keluarga dan modal keseluruhan. Berdasarkan proses produksi yang terjadi di lapangan, proses produksi usahatani jamur tiram putih di di Kecamatan Tamansari masih menggunakan
teknologi drum (tidak ada yang menggunakan teknologi autoklaf), dengan penggunaan log rata-rata 12.571 log. Keuntungan (pendapatan) usahatani jamur tiram putih lebih ditentukan oleh jumlah log. Berdasarkan analisis pendapatan, maka diperoleh nilai imbangan dan biaya atau (R/C rasio) total sebesar 1,43, yang artinya untuk setiap rupiah biaya total yang dikeluarkan petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,43. Sedangkan untuk R/C raso atas biaya tunai adalah sebesar 1,63, artinya untuk setiap rupiah biaya tunai yang dikeluarkan petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,61. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa usahatani jamur tiram tersebut menguntungkan dan layak untuk dikembangkan Berdasarkan pendekatan Return to Family Labor sebesar Rp 61.418, yang artinya lebih besar dibandingkan dengan upah yang berlaku (Rp 15.000 per HOK). Sedangkan berdasarkan pendekatan Return to Total Capital sebesar 36,91%, yang artinya lebih besar dari bunga bank berlaku (15 persen). Melalui kedua pendekatan tersebut, dapat dikatakan bahwa usahatani jamur tiram di Kecamatan Tamansari sangat menguntungkan. Walaupun usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Tamansari menguntungkan, akan tetapi produksi belum dapat memenuhi permintaan pasar. Hal ini dikarenakan petani masih kekurangan modal untuk menambah produksi. Hal ini dikarenakan walaupun harga jamur tiram putih meningkat, tetapi harga faktor produksi pun meningkat. Pada saluran tataniaga jamur tiram putih, terdapat tiga saluran tataniaga jamur tiram putih. Pada saluran 1 dan saluran 2 jamur yang dihasilkan petani dijual di sekitar wilayah Bogor , sedangkan pada saluran 3 jamur dijual ke luar wilayah Bogor. Dari ketiga saluran tersebut pola saluran 1 lebih efisien berdasarkan alokasi penjualan per hari sebesar 65,51 persen. Dimana pada saluran 3, petani menjual jamur kepada supplier, kemudian ke pedagang pengecer dan terakhir konsumen akhir.
ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus Ostreatus) DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR
Oleh : ROMBER JUANTO SITANGGANG A 14105700
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor SSSSss
PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Skripsi
: Analisis Usahatani dan Tataniaga Jamur tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor
Nama
: Romber Juanto Sitanggang
NRP
: A14105700
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS NIP. 131 284 623
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
Juli 2008
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENGATAKAN BAHWA SKRIPSI SAYA YANG BERJUDUL ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus Ostreatus) DI KECAMATAN TAMANSARI KABUPATEN BOGOR BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH
PADA
SUATU
PERGURUAN
TINGGI
ATAU
LEMBAGA
MANAPUN.
Bogor,
Juli 2008
ROMBER JUANTO SITANGGANG (A14105700)
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Limbong, Samosir Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 12 Juni 1982, merupakan anak ketiga dari sembilan bersaudara dari pasangan bapak J. Sitanggang dan ibu S. Limbong. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Limbong pada tahun 1994, kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Limbong Sagala dan lulus pada tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Sianjur Mula-Mula Samosir dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Diploma III Manajemen Bisnis Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Memasuki IPB dan lulus pada tahun 2003. Setelah lulus dari Program Diploma III IPB, penulis bekerja sebagai staf di salah satu perusahaan swasta PT Hendesan Multi Konsultan Jakarta selama periode Januari 2004 sampai Oktober 2005. Kemudian pada bulan Mei 2006, penulis melanjutkan pendidikan di Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan kasih karunia-Nya yang begitu besar dan luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Analisis Usahatani dan Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor. Skripsi ini menganalisis tentang pendapatan usahatani jamur tiram putih yang ada di Kecamatan Tamansari, serta menganalisis sistem tataniaganya. Melalui skripsi ini, penulis mencoba memberikan gambaran dalam mencari alternatif untuk mengambil keputusan dalam melakukan kegiatan usahatani jamur tiram putih melalui pendekatan teori usahatani dan tataniaga. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dalam penyajian materi maupun ide-ide pokok yang penulis sampaikan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan selanjutnya pada masa yang akan datang. Akhirnya, penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi para pembacanya.
Bogor,
Juli 2008
Penulis
UCAPAN TERIMAKASIH Penulisan skipsi ini tidak dapat selesai tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Bapak Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, arahan dan dorongan kepada saya dalam penyelesaian skripsi ini.
2.
Bapa dan Oma tercinta dan bapatua saya selaku orangtua atas kasih sayang yang selalu tercurah, do’a dan dukungan secara moril maupun materil. Buat abangku (Pak Nency), kakakku (mama alek) dan juga adik-adikku yang selalu memberikan motivasi, semangat dan juga do’a. Juga buat Keluarga Besar Op. Jubel yang senantiasa memberikan dukungan yang sangat besar kepada studi saya.
3.
Ibu Ir. Juaniar Atmakusuma, MS atas kesediaannya sebagai dosen evaluator pada saat kolokium.
4.
Ibu Dr. Ir. Heny K. Daryanto, MEc atas kesediaannya sebagai dosen penguji utama.
5.
Bapak Arif Karyadi Uswandi, SP atas kesediaannya sebagai dosen penguji Komisi Pendidikan.
6.
Ebrinedy Haloho atas kesediaannya sebagai pembahas dalam seminar.
7.
Ibu cucu komalasari, pak Nyilun, ibu endah hodyati, pak mu’min sholeh, pak narta, pak dayat, dan pak joko selaku responden. Terimakasih juga kepada pegawai pemerintahan Kecamatan Tamansari dan Kades yang telah
memberikan kesempatan dan informasi yang saya butuhkan dalam penyelesaian skripsi ini. 8.
Anata Novelin, Amd terkasih atas bantuan, motivasi, perhatian dan kasih sayangnya selama ini
9.
Keluarga besar wisma borobudur (david, andri, majus, eric, vandam, ilham, julianto, yeyen, dan dwi), klub sembilan (budi, thomson), binharto selaku penyedia transportasi.
10. Keluarga besar staf dan mahasiswa ekstensi manajemen agribisnis mahasiwa IPB. 11. Semua pihak yang belum dapat disebutkan satu persatu, yang telah turut membantu saya dalam penyelesaian studi saya ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pihak yang membacanya dan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan tuntunan dalam pelaksanaan penelitian selanjutnya.
Bogor,
Juli 2008
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................... xi DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR........................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1 1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 8 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 10 1.4. Kegunaan Penelitian ............................................................................. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 11 2.1. Karakteristik Jamur tiram Putih ............................................................ 11 2.1.1. Sarana Produksi Usahatani Jamur Tiram ..................................... 14 2.1.2. Budidaya Jamur Tiram................................................................. 19 2.1.3. Ukuran Pendapatan dan Keuntungan Usahatani .......................... 23 2.2. Konsep Tataniaga.................................................................................. 27 2.2.1. Lembaga dan Saluran Tataniaga .................................................. 29 2.2.2. Fungsi – fungsi Tataniaga ............................................................ 30 2.2.3. Struktur Pasar ............................................................................... 31 2.2.4. Keragaan Pasar............................................................................. 32 2.2.5. Margin Tataniaga ......................................................................... 32 2.2.6. Farmer’s Share ............................................................................. 34 2.2.7. Rasio Keuntungan dan Biaya ....................................................... 35 2.2.8. Efisiensi Tataniaga ....................................................................... 35 2.3. Tinjauan Empiris Usahatani dan Tataniaga Jamur Tiram..................... 37 BAB III KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................... 40 3.1. Teori Usahatani ..................................................................................... 40 3.2. Kelembagaan Tataniaga ........................................................................ 42 BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 45 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................ 45 4.2. Jenis dan Sumber Data .......................................................................... 45 4.3. Pengambilan Responden ....................................................................... 46 4.4. Metode Analisis Data............................................................................ 46 4.4.1.Analisis Pendapatan Usahatani ..................................................... 47 4.4.2. Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga .................................... 48 4.4.3. Analisis Efisiensi Tataniaga......................................................... 49 4.4.3.1. Analisis Farmer’s Share .................................................. 49 4.4.3.2. Marjin Tataniaga .............................................................. 50 4.4.3.3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya............................. 51
BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN .............................. 52 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelititan .................................................... 52 5.1.1. Letak Geografis dan Pembagian Administrasi............................. 52 5.1.2. Keadaan Sosial Ekonomi ............................................................. 53 5.2. Karakteristik Petani Responden ............................................................ 54 5.2.1. Usia Petani ................................................................................... 54 5.2.2. Tingkat Pendidikan Petani ........................................................... 54 5.2.3. Pengalaman Bertani ..................................................................... 55 5.3. Keragaan Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari...... 56 5.3.1. Gambaran Umum Pelaksanaan Budidaya Jamur Tiram di Kecamatan Tamansari ................................................................. 56 BAB VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI....................................... 62 6.1. Proses Produksi Usahatani Jamur Tiram Putih ..................................... 62 6.2. Analisis Biaya Usahatani Jamur Tiram Putih ....................................... 65 6.3. Penerimaan Usahatani Jamur Tiram ..................................................... 67 6.4. Analisis Pendapatan Usahatani Jamur Tiram Putih .............................. 68 6.5. Analisis Imbalan Terhadap Tenaga Kerja Keluarga dan Total Modal .................................................................................. 70 BAB VII ANALISIS TATANIAGA JAMUR TIRAM .................................... 72 7.1. Pendekatan Tataniaga ........................................................................... 72 7.1.1. Pendekatan Kelembagaan ............................................................ 73 7.1.2. Pendekatan Fungsi ....................................................................... 74 7.2. Analisis Efisiensi Saluran Tataniaga Jamur Tiram Putih...................... 76 7.2.1. Saluran Tataniaga Jamur Tiram ................................................... 76 7.2.2. Marjin Tataniaga .......................................................................... 79 7.2.3. Farmer’s Share Petani Jamur Tiram............................................ 81 7.3. Pendekatan SCP .................................................................................... 82 7.3.1. Struktur Pasar (Market Structure)................................................ 82 7.3.2. Perilaku Pasar (Market Conduct) ................................................. 83 7.3.3. Keragaan Pasar (Market Performance)........................................ 84 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 85 8.1. Kesimpulan ........................................................................................... 85 8.2. Saran...................................................................................................... 86 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 87 LAMPIRAN......................................................................................................... 89
DAFTAR TABEL
No Hal Tabel 1 Nilai Gizi Beberapa Jenis Jamur Dibandingkan dengan Bahan Makanan Lain dalam satuan Berat Segar..................................................2 Tabel 2 Perbandingan Volume Ekspor dan Impor Jamur (1999-2005) ................ 3 Tabel 3 Harga Beberapa Jamur Unggulan di Jakarta............................................. 5 Tabel 4 Harga Jamur tiram segar di Bogor ............................................................ 6 Tabel 5 Produksi Jamur dalam Ton (2002-2005) .................................................. 8 Tabel 6 Kebutuhan Bahan – bahan dalam Budidaya Jamur tiram ........................ 19 Tabel 7 Jenis – jenis Struktur Pasar Berdasarkan Jumlah Perusahaan dan Sifat Produk............................................................................................ 32 Tabel 8 Pembagian Wilayah Kecamatan Tamansari Berdasarkan Jumlah Desa, Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk................................ 53 Tabel 9 Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Tamansari Tahun 2006 ............................................................................................. 53 Tabel 10 Sebaran Petani Responden Menurut Usia di Kecamatan Tamansari Tahun 2008........................................................................... 54 Tabel 11 Sebaran Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Tamansari Tahun 2008.................................................... 55 Tabel 12 Sebaran Petani Responden Menurut Pengalaman Bertani di Kecamatan Tamansari Tahun 2008.................................................... 55 Tabel 13 Penggunaan Input Produksi Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari selama 1 Periode (3 bulan)............................ 64 Tabel 14 Analisis Biaya Rata-rata Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari Selama Satu Periode.......................................... 66 Tabel 15 Penerimaan Petani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari Selama Satu Periode (3 bulan) ............................................. 68 Tabel 16 Rata-rata Pendapatan dan R/C Rasio Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari Satu Periode (3 bulan) ........................ 69
Tabel 17 Perhitungan Return to Family Labor Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari Selama 1 Periode (3 bulan)2008 ......................................................................................... 70 Tabel 18 Perhitungan Return to Total Capital Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari selama 1 Periode (3 bulan) ................. 71 Tabel 19 Fungsi Tataniaga yang Dilakukan Masing – Masing Lembaga Tataniaga Jamur Tiram .......................................................................... 74 Tabel 20 Alokasi Penjualan Jamur Tiram pada Masing-Masing Saluran Tataniaga Pada Periode Amatan Terakhir.............................................. 79 Tabel 21 Rasio Keuntungan dan Biaya Lembaga Tataniaga Jamur Tiram di Kecamatan Tamansari ........................................................................... 80 Tabel 22 Besarnya Farmer’s Share Pada Masing-Masing Saluran Tataniaga Jamur Tiram di Kecamatan Tamansari .................................................. 82
DAFTAR GAMBAR No
Hal
Gambar 1 Gambar Jamur Tiram Siap Dipanen..................................................... 11 Gambar 2 Hubungan Antara Margin Tataniaga, Nilai Margin Tataniaga serta Marketing Cost and Charge ..................................... 34 Gambar 3 Kerangka Pemikiran Operasional........................................................ 44 Gambar 4 Saluran Tataniaga Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari............................................................................................ 76
DAFTAR LAMPIRAN No
Hal
1. Penjabaran Tentang Biaya Variabel yang Dikeluarkan Oleh Masing-masing Petani Responden.................................................................. 89 2. Perbandingan biaya tunai dan tidak tunai pada masing-masing petani responden selama satu periode ........................................................... 93 3.
Rata-Rata Nilai Penyusutan Peralatan Usahatani Jamur Tiram di Kecamatan Tamansari Selama Satu Periode .................................................. 96
4.
Kuisioner Penelitian ....................................................................................... 95
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tanpa disadari, jamur atau cendawan turut memberikan andil besar dalam memenuhi aneka ragam menu makanan khas Indonesia seperti tempe, tape, oncom, tauco, roti, minuman fermentasi serta berbagai macam makanan lainnya. Dari sekian banyak jamur yang dapat dikonsumsi (edible mushroom) dan sudah dibudidayakan di Indonesia salah satunya adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Keunggulan yang spesifik dari jamur bila dibandingkan dengan tanaman lain maupun hewan adalah kemampuan dalam mengubah celulose atau lignin menjadi polisakarida dan protein yang bebas kolesterol (Pasaribu, et.al. 2002). Menu makanan yang rendah garam, gula, lemak dan kolesterol semakin banyak dicari orang. Trend tersebut turut mendorong popularitas jamur sebagai menu sehat. Jamur tiram mempunyai khasiat untuk kesehatan manusia sebagai protein nabati yang tidak mengandung kolesterol, sehingga dapat mencegah timbulnya penyakit darah tinggi, penyakit jantung, untuk mengurangi berat badan, obat diabetes, obat anemia dan sebagai obat anti tumor. Aspek keuntungan lain bila dibandingkan antara bahan pangan dan makanan lain dengan beberapa jenis jamur yang dapat dikonsumsi adalah nilai gizinya. Protein nabati yang terdapat dalam jamur hampir sebanding atau relatif lebih tinggi dibandingkan protein sayuran berdaun, sayuran berumbi, dan memiliki kandungan lemak yang rendah dibandingkan daging sapi demikian juga kalorinya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Nilai Gizi Beberapa Jenis Jamur Dibandingkan dengan Bahan Makanan Lain dalam Satuan Berat Segar Jenis Makanan Protein(%) Lemak(%) Karbohidrat(%) Jamur tiram 40.0 Jamur campignon 4.8 0.2 3.5 Jamur Shitake 13.4-17.5 4.9-8.9 9.5-70.7* Jamur Merang 1.8 0.3 4-48* Kentang 2.0 0.1 20.9 Buncis 2.4 0.2 7.7 Kubis 1.5 0.1 4.2 Seledri 1.3 0.2 3.7 Bayam 2.2 0.3 1.7 Daging sapi 21.0 5.5 0.5 Keterangan : *) Berdasarkan berat kering (-) Tidak ada data Sumber : Pasaribu, et.al (2002) Budaya untuk mengkonsumsi jamur pada masyarakat di waktu yang akan datang dapat menjadi dasar kebutuhan pasar domestik maupun pasar internasional dan mendorong kekuatan dengan memberikan kontribusi pada pertumbuhan bisnis. Usaha jamur merupakan ladang bisnis yang menjanjikan, karena manfaat jamur yang sangat banyak (sebagai makanan dan obat) sehingga banyak pemodal kecil dan besar yang tertarik untuk terjun ke usaha jamur. Perbedaan harga antara pasar internasional dengan pasar domestik merupakan peluang bagi pengusaha memenuhi permintaan ekspor sekaligus masuk ke dalam kompetisi pasar internasional. Sebagai potensi pasar yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan pasar di masa mendatang adalah masih rendahnya volume ekspor sebagai mana tercermin pada Tabel 2.
Tabel 2 Perbandingan Volume Ekspor dan Impor Jamur (1999 – 2005) Tahun
Bentuk Produk Jamur
1999 Jamur segar Jamur olahan 2000 Jamur segar Jamur olahan 2001 Jamur segar Jamur olahan 2002 Jamur segar Jamur olahan 2003 Jamur segar Jamur olahan 2004 Jamur segar Jamur olahan 2005 Jamur segar Jamur olahan
Ekspor Impor Volume (kg) Persentase (%) Volume (kg) Persentase (%) 2.070.702 22.958.627 3.096.307 26.283.791 3.743.308 22.687.013 4.185.662 14.043.614 1.633.399 14.506.045 3.489.922 18.093.778 3.505.870 18.884.226
49,53 14,48 80,77 (1,18) 102,14 (38,83) (21,12) (36,82) 68,54 (21,19) 69,31 (17,75)
656.623 835.132 492.489 980.294 403.490 1.028.538 479.412 849.618 490.157 1.049.162 778.191 1.542.528 923.989 1.948.493
(25,00) 17,38 (38,55) 23,16 (26,99) 1,73 (25,35) 25,63 18,51 84,70 40,72 133,32
Sumber : Direktorat Tanaman Pangan Tahun, 2006 Berdasarkan Tabel 2 bahwa perkembangan ekspor jamur segar mengalami peningkatan yang cukup drastis selama tiga tahun yaitu (2000-2002) yang kemudian menurun kembali pada tahun 2003, akan tetapi tahun berikutnya terjadi kenaikan. Berdasarkan tabel di atas, volume ekspor dari tahun 2000 sampai 2005 memiliki trend positif (meningkat) sebesar 69,31 persen. Perkembangan impor terlihat fluktuatif, khususnya untuk jamur segar, tetapi untuk jamur olahan cenderung meningkat. Fenomena tersebut perlu diantisipasi melalui berbagai upaya penanganan yang lebih profesional, sehingga pada gilirannya ekspor akan cenderung meningkat dan impor akan semakin menurun. Perkembangan industri jamur yang ditandai dengan semakin banyaknya petani dan pengusaha jamur di Indonesia, diharapkan dapat meningkatkan nilai ekspor jamur pada masa yang akan datang. Petani dan pengusaha jamur yang ada di Indonesia antara lain terdapat di Propinsi Jawa Barat, DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di Propinsi Jawa Barat petani dan pengusaha jamur antara lain PT. Inti Mekar Sejati di Cipanas, PT Jamur Raya di Bandung, PT Betafarm di Lembang, PT Cibodas Mandiri di Cianjur, memproduksi jamur shitake rata – rata produksi satu ton per hari. Perusahaan tersebut mengekspor 50 persen jamurnya ke Australia, Singapura, Inggris, Jerman, Perancis dan Belanda selebihnya dipasarkan di dalam negeri. Sentra jamur tiram terdapat di Kabupaten Bandung, di Lembang dan Cisarua ada 40 pekebun yang telah memproduksi 300 kg per hari seluruhnya masuk pasar tradisional di Bandung, di Bogor koperasi Supa Fajar Mas memproduksi 50 kg per hari, produknya selain masuk pasar Ramayana dan pasar Anyar juga masuk pasar swalayan seperti Hero, Mega M, Mawar. Khusus Jamur Merang terdapat di Karawang dan Subang (Redaksi Trubus, 2002). Berdasarkan Berdasarkan data dari Redaksi Trubus (2002) bahwa peluang pasar domestik masih potensial. Contohnya untuk wilayah Bandung, Bogor dan Sukabumi, daya serap pasar sekitar tiga ton per hari dan baru terpenuhi sekitar 600 sampai 1000 kg per hari. Ditinjau dari populasi penduduk Indonesia yang demikian besar dan tersebar di beberapa propinsi disertai dengan berkembangnya industri pengolahan, pariwisata, terkait di dalamnya industri perhotelan, penginapan serta rumah makan, maka peluang tataniaga produk jamur di dalam negeri memberikan prospek yang cerah. Sebagai gambaran pada Tabel 3 dapat dilihat beberapa jamur unggulan di Indonesia.
Tabel 3 Harga Beberapa Jamur Unggulan di Jakarta (Indonesia) Harga Jamur (Rp/kg) Jenis Jamur Segar Kering Jamur merang 6.000-9.000 Jamur tiram 6.000-8.000 250.000 Jamur kuping 7.000-8.000 21.00-35.000 Jamur Shitake 23.000-35.000 130.000 Keterangan : (-) Tidak ada data Sumber : Pasaribu, et.al. (2002) Berdasarkan Tabel 3 bahwa jamur shitake merupakan jamur yang paling mahal harganya bila dijual dalam bentuk segar. Apabila dijual dalam bentuk kering maka jamur tiram harganya paling mahal, sehingga prospeknya cukup baik. Jamur tiram putih yang dikenal juga dengan Shimeji White, selain memiliki keunggulan dari segi nilai gizinya dan nilai ekonominya yang cukup baik bila dibandingkan dengan jenis jamur kayu yang lainnya juga memiliki rasa yang enak dan khas, dari segi teknik budidayanya yang lebih mudah dan dapat diproduksi sepanjang tahun. Harga komoditi jamur tiram pada tahun 2005 sangat bervariasi pada masing–masing tingkat kelembagaan yang terlibat dalam jalur distribusi jamur tiram. Pada tingkat produsen harga jamur tiram segar hanya Rp 5.500 per kilogram, sedangkan ditingkat konsumen akhir harga jamur tiram dapat mencapai Rp 10.500. Secara rinci hal ini disajikan pada Tabel 4. Dengan kondisi demikian maka bagian yang diterima petani (farmer share) 52,38 persen. Bahkan berdasarkan pengamatan awal di supermarket Giant Botani Square Bogor pada bulan Desember 2007, menunjukkan bahwa harga jamur tiram adalah Rp 4.500 per 200 gr. Dengan demikian harga jamur tiram di supermarket dapat mencapai Rp 22.500 per kilogram. Kondisi pasar jamur tiram memang agak berbeda dengan komoditas lainnya. Jika komoditas pertanian lainnya dapat disimpan lebih dari
satu hari, berbeda dengan jamur tiram karena komoditi ini setelah dipanen harus segera masuk pasar. Jika lebih dari dua hari, harga jamur tiram dapat turun setengah harga dan bahkan tidak laku. Sehingga panjangnya jalur distribusi jamur tiram, akan memperbesar kemungkinan resiko kerusakan pada jamur tiram. Tabel 4 Harga Jamur Tiram Segar di Bogor Tahun 2005, pada Saluran V Kelembagaan Harga (Rp/kg) Marjin Tataniaga Produsen 5.500 Pengumpul 6.000 500 Pedagang besar 7.500 1.500 Pedagang menengah 8.500 1.000 Pedagang pengecer 10.500 2.000 Sumber : Nugraha, 2006 (diolah)
Jamur tiram lebih banyak dipasarkan dalam bentuk segar, dengan kandungan air jamur tiram berkisar 85–95 persen. Tingginya kandungan air tersebut menyebabkan laju respirasi jamur tiram meningkat dengan cepat setelah dipanen. Perubahan awal yang terjadi pada kondisi demikian yaitu kelayuan, warna menjadi coklat, tekstur lunak, aroma dan flavour berubah. Kerusakan tersebut terjadi disebabkan karena tidak tepatnya perlakuan pengangkutan jamur tiram. Jamur tiram yang akan didistribusikan pada umumnya dikirim bersamaan dengan sayuran menggunakan truk. Jamur tiram tersebut hanya dikemas dalam plastik, dan ditumpuk dengan sayuran lainnya. Akibat kondisi jamur tiram yang lunak, dapat menyebabkan rusaknya jamur tiram sebelum sampai ke tangan konsumen. Kesegaran jamur tiram akan berkurang dan pada akhirnya mengakibatkan tekstur jamur menjadi pucat dan berwarna kuning. Melihat kondisi demikian, maka fungsi sarana penunjang dalam proses distribusi menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Selain diduga mekanisme pendistribusian yang tidak sesuai, teknik budidaya jamur tiram pun akan menentukan kualitas jamur tiram tersebut. Pelaksanaan
budidaya yang tidak sesuai akan menyebabkan kualitas jamur tiram kurang bagus. Sebagai contoh, jika petani menyiram jamur tiram langsung mengenai tubuh buahnya (fruiting body), maka kadar air jamur tiram menjadi tinggi. Tidak sedikit petani yang mengalami kerugian akibat kegagalan dalam melaksanakan usahatani jamur tiram ini. Bahkan banyak petani yang kumbung (bangunan budidaya) produksinya tidak penuh dikarenakan modal yang sudah habis akibat sebelumnya gagal panen1). Budidaya jamur tiram memang berbeda dengan komoditas pertanian lainnya, karena jamur tiram memerlukan ruang khusus dengan suhu tertentu untuk pertumbuhannya. Dari data sentra produksi yang ada bahwa baru perusahaan – perusahaan besar yang produk jamurnya bisa memenuhi permintaan pasar swalayan dan pasar internasional, sedangkan produk – produk jamur dari petani kecil baru bisa memenuhi pasar – pasar tradisional yang ada. Salah satu penyebabnya adalah kualitas produknya yang rendah. Seiring dengan semakin berkembangnya usaha jamur, maka pengembangan penelitian jamur juga perlu ditingkatkan terutama bagi negara–negara berkembang yang
masih
melakukan
sistem
budidaya
secara
tradisional,
termasuk
berkepentingan dalam upaya peningkatan produksi, padahal ketersediaan bahan baku untuk substrat media tumbuh cukup melimpah khususnya di Sukabumi. Kemajuan akan tercapai apabila teknik budidaya jamur secara modern dan skala usaha yang lebih besar yang menghasilkan kapasitas produksi lebih besar.
1.2. Perumusan Masalah Selain memiliki banyak keunggulan terutama karena kandungan gizinya yang tinggi, jamur tiram juga memiliki prospek bisnis yang sangat menguntungkan. Hal ini terbukti dengan kondisi perdagangan jamur tiram yang mengalami net ekspor sejak tahun 1999 hingga tahun 2005 (Tabel 2), ini menunjukkan bahwa peluang pasar untuk komoditi jamur tiram di luar negeri masih cukup tinggi. Walaupun demikian, untuk pasar lokal permintaan jamur tiram masih belum dapat terpenuhi setiap harinya. Kekurangan pasokan ini diduga karena banyak petani yang mengalami kerugian akibat gagal panen, terutama petani di Kecamatan Tamansari. Seperti pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa produksi jamur tiram di Kabupaten Bogor menurun pada tahun 2005. Tabel 5 Produksi Jamur dalam ton ( 2002 – 2005 ) Produksi Propinsi Kabupaten Jamur Jawa barat Bogor 2002 2003 9.306 31 2004 9.500 38 2005 12.932 26 Sumber : Dinas Tanaman Pangan Jawa Barat, 2006
Kotamadya Bogor 80 -
Selain akibat kegagalan panen, teknik budidaya yang dilakukan oleh sebagian petani jamur tiram di wilayah ini berasal dari mencoba–coba, oleh karena itu banyak pelaksanaan budidaya jamur tiram yang tidak sesuai dengan prosedurnya. Petani jamur tiram di Kabupaten Bogor khususnya di Kecamatan Tamansari juga masih tergolong usahatani kecil. Mereka belum mampu bersaing dengan pengusaha–pengusaha besar, karena produk jamur tiram putih yang dihasilkan dari usahatani kecil produktivitasnya masih rendah, dan produksi tidak kontiniu. Oleh karena itu produk jamur tiram putih hanya mampu dipasarkan di
pasar–pasar tradisional saja dan belum bisa memenuhi permintaan dari pasar swalayan dan pasar internasional 2). Walaupun harga jamur tiram putih naik, tetapi harga faktor produksi pun meningkat. Sehingga dengan adanya kenaikan harga-harga faktor produksi perlu dilihat apakah usahatani jamur tiram putih yang dikembangkan di daerah ini masih menguntungkan. Oleh karena itu, perlu dianalisa pendapatan usahataninya. Selain itu diduga juga karena petani di wilayah ini kurang respon terhadap harga yang diterimanya (terlalu rendah), sedangkan harga ditingkat konsumen akhir cukup tinggi. Terkait dengan karakteristik jamur tiram yang tidak tahan lama, maka kondisi ini juga memungkinkan adanya masalah dalam penanganan pasca panen dan proses distribusi jamur tiram dari produsen hingga konsumen akhir. Jarak antara produsen ke konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga diantaranya pengumpul, pedagang besar, pedagang kecil, dan pengecer. Setiap lembaga tataniaga yang terlibat akan memperoleh nilai tambah dari marjin tataniaga. Besarnya marjin tataniaga ini tidak selalu mengindikasikan keuntungan yang tinggi, tergantung berapa besar biaya yang harus dikeluarkan lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi tataniaga. Biaya yang dikeluarkan tersebut sangat erat kaitannya dengan biaya penanganan pasca panen jamur tiram. Sehingga semakin besar marjin tataniaga, maka akan semakin besar pula harga yang ditanggung konsumen untuk membeli jamur tiram. Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah pelaksanaan usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Tamansari sudah efisien?
2. Bagaimana efisiensi sistem tataniaga jamur tiram di Kecamatan Tamansari?
1.3. Tujuan Penelitian Atas dasar permasalahan tersebut di atas, maka penelitian bertujuan untuk: 1. Menganalisis pendapatan usahatani jamur tiram Kecamatan Tamansari 2. Menganalisis efisiensi pelaksanaan sistem tataniaga jamur tiram di Kecamatan Tamansari. 1.4. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini antara lain : 1. Sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi petani jamur tiram putih tentang usahatani jamur tiram putih yang efisien yang dapat memberikan keuntungan maksimum. 2. Sebagai masukan bagi pengambil kebijakan agar dapat menuangkan kebijakan yang tepat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani. 3. Memberikan tambahan informasi dan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Jamur Tiram Putih Jamur merupakan tumbuhan yang mudah dijumpai dan banyak terdapat di alam bebas, misalnya di hutan atau kebun. Jamur dapat tumbuh dimana – mana terutama pada musim hujan. Jamur merupakan organisme yang tidak berklorofil, sehingga jamur tidak dapat menyediakan makanan sendiri dengan cara fotosintesis seperti pada tanaman yang berklorofil. Oleh karena itu, jamur mengambil zat – zat makanan yang sudah jadi yang dihasilkan oleh organisme lain untuk kebutuhan hidupnya. Karena ketergantungannya terhadap organisme lain inilah maka jamur digolongkan sebagai tanaman heterotrofik. Selain itu jamur mempunyai tubuh buah berbentuk seperti payung. Jamur tiram merupakan salah satu jenis jamur kayu. Biasanya orang menyebut jamur tiram sebagai jamur kayu karena jamur ini banyak tumbuh pada media kayu yang sudah lapuk. Disebut jamur tiram atau oyster mushroom karena bentuk tudungnya agak membulat, lonjong, dan melengkung seperti cangkang tiram. Batang atau tangkai tanaman ini tidak tepat berada pada tengah tudung, tetapi agak ke pinggir (Cahyana et.al 1999).
Gambar 1 Gambar Jamur Tiram Putih Siap Dipanen
Di alam, jamur tiram banyak ditemukan tumbuh pada pokok – pokok kayu yang sudah lapuk. Berdasarkan sifat tumbuh jamur tiram di alam tersebut maka dapat disimpulkan bahwa budidaya jamur tiram dapat dilakukan pada media buatan yang mempunyai kandungan hara menyerupai kayu yang sudah lapuk. Media bagi pertumbuhan jamur tiram sebaiknya dibuat menyerupai kondisi tumbuh jamur tiram di alam. Nutrisi media sangat berperan dalam proses budidaya jamur tiram. Nutrisi bahan baku atau bahan yang ditambahkan harus sesuai dengan kebutuhan hidup jamur tiram. Bahan baku yang digunakan sebagai media dalam budidaya jamur tiram dapat berupa batang kayu yang sudah kering, jerami, serbuk kayu, campuran antara serbuk kayu dan jerami, atau bahkan alang– alang. Selain bahan baku tersebut, masih perlu ditambahkan beberapa bahan tambahan antara lain bekatul sebagai sumber karbohidrat, lemak, dan protein ; kapur sebagai sumber mineral dan pengatur pH media ; serta gips sebagai bahan penambah mineral dan sebagai bahan untuk mengokohkan media. Kadar air media diatur hingga 50 persen – 65 persen dengan menambahkan air bersih. Air perlu ditambahkan sebagai bahan pengencer agar miselia jamur dapat tumbuh dan menyerap makanan dari media/substrat dengan baik. Apabila pH terlalu rendah atau terlalu tinggi maka pertumbuhan jamur tiram akan terhambat. Keasaman atau pH media perlu diatur antara pH 6 – 7 dengan menggunakan kapur (Cahyana et.al 1999). Disamping media tumbuh, faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur. Faktor lingkungan tersebut antara lain suhu, kelembaban ruangan, cahaya dan sirkulasi udara. Suhu pertumbuhan jamur tiram pada saat inkubasi lebih tinggi dibandingkan suhu pada saat pertumbuhan (pembentukan
tubuh buah jamur). Suhu inkubasi jamur berkisar antara 22–280 C dengan kelembaban 60 persen –80 persen, sedangkan suhu pada saat pembentukan tubuh buah (fruiting body) berkisar antara 16–220 C dengan kelembaban 80 persen -90 persen. Pengaturan suhu dan kelembaban tersebut di dalam ruangan dapat dilakukan dengan menyemprotkan air bersih ke dalam ruangan. Apabila suhu terlalu tinggi sedangkan kelembaban terlalu rendah maka primordia (bakal jamur) akan kering dan mati. Disamping suhu dan kelembaban, faktor cahaya dan sirkulasi udara perlu diperhatikan dalam budidaya jamur tiram. Sirkulasi udara harus cukup, tidak terlalu besar tetapi tidak pula terlalu kecil (Cahyana et. al 1999). Jamur tiram memiliki berbagai nama, di Jepang jamur tiram dikenal dengan nama shimeji, sedangkan di Eropa dan Amerika dikenal denngan nama abalone mushroom atau oyster mushroom, dan di Indonesia populer dengan nama jamur tiram karena tudungnya yang menyerupai cangkang tiram. Di Indonesia jamur tiram sebagian besar dikonsumsi sebagai bahan makanan. Jamur tiram dapat diolah segar atau dapat diolah menjadi makanan kering seperti keripik (tiram chips) dan kerupuk. Menurut Cahyana et. al (1999), jenis jamur tiram (Pleurotus sp.) yang mulai banyak dibudidayakan antara lain sebagai berikut. a. Jamur tiram putih, dikenal pula dengan nama shimeji white (varietas florida). Jamur tiram putih tumbuh membentuk rumpun dalam satu media, warna tudungnya putih susu sampai putih kekuningan dengan garis tengah 3-14 cm. Setiap rumpun mempunyai percabangan yang cukup banyak. Daya simpannya
lebih lama dibandingkan dengan jamur tiram abu–abu, meskipun tudungnya lebih tipis dibandingkan dengan jamur tiram cokelat dan jamur tiram abu–abu. b. Jamur tiram abu–abu, dikenal pula dengan nama shimeji grey (varietas sajor caju). Jamur tiram abu–abu mempunyai rumpun paling banyak dibandingkan dengan jamur tiram coklat maupun jamur tiram putih. Warna tudungnya abu kecoklatan sampai kuning kehitaman dengan lebar 6–14 cm. Daya simpannya paling pendek. c. Jamur tiram coklat, dikenal pula dengan nama jamur
abalon (varietas
cystidiosus), warna tudungnya keputihan atau sedikit keabu–abuan sampai abu–abu kecoklatan dengan lebar 5–12 cm. Jamur tiram coklat mempunyai rumpun yang paling sedikit dibandingkan dengan jamur tiram putih dan jamur tiram abu–abu, tetapi tudungnya lebih tebal dan daya simpannya lebih lama. d. Jamur tiram merah/pink, dikenal pula dengan nama shakura (varietas flabellatus), tudunnya berwarna kemerahan.
2.1.1. Sarana Produksi Usahatani Jamur Tiram Putih Menurut Cahyana et.al (1999), sarana produksi yang diperlukan sebaiknya dipersiapkan dahulu sebelum melakukan kegiatan produksi. Sarana produksi itu antara lain bangunan, peralatan, dan bahan – bahan induk. Bangunan Kumbung Budidaya jamur secara komersial memerlukan beberapa bangunan yang diperlukan dalam kegiatan usahanya. Bangunan yang diperlukan terdiri dari ruang persiapan, ruang inokulasi, ruang inkubasi, ruang penanaman, dan ruang pembibitan.
a. Ruang persiapan Ruang atau bangunan persiapan digunakan untuk persiapan pembuatan media tanam. Kegiatan yang dilakukan pada ruang persiapan antara lain kegiatan pengayakan, pencampuran, pewadahan, dan sterilisasi. Ruang persiapan dapat digunakan pula sebagai tempat untuk menyimpan bahan–bahan seperti bekatul dan kapur apabila skala produksi usaha itu tidak terlalu besar. Namun, bila skala produksi sudah besar maka bahan–bahan itu sebaiknya ditempatkan dalam ruang terpisah (gudang bahan). b. Ruang inokulasi Ruang inokulasi adalah ruang untuk menanam bibit pada media tanam. Ruang inokulasi harus mudah dibersihkan dan disterilkan untuk menghindari terjadinya kontaminasi oleh mikroba lain. Pada ruang inokulasi diusahakan tidak banyak terdapat ventilasi yang terbuka lebar. Ventilasi sebaiknya dipasangi filter atau saringan dari kawat kassa atau kassa plastik. Hal ini untuk menghindari serangga dan debu yang terlalu banyak yang dapat meningkatkan kontaminan (adanya mikroba lain). Pada perusahaan–perusahaan budidaya jamur skala besar, biasanya ruang inokulasi dilengkapi dengan alat pendingin udara (air conditioning). Sterilisasi ruang inokulasi dapat dilakukan dengan menyemprotkan larutan formalin 2 persen ke dalam ruangan. c. Ruang inkubasi Ruang inkubasi adalah ruang yang digunakan untuk menumbuhkan miselium jamur tiram putih pada media tanam yang sudah diinokulasi. Ruang inkubasi biasa disebut dengan ruang spawning. Ruang ini tidak boleh terlalu lembab, kondisi ruang sebaiknya diatur pada suhu 22–280 C dengan kelembaban 60
persen – 80 persen. Ruang ini dilengkapi dengan rak–rak inkubasi untuk mendapatkan media tanam yang sudah diinokulasi. d. Ruang penanaman Ruang penanaman atau sering disebut juga ruang growing digunakan untuk menumbuhkan jamur. Ruang ini dilengkapi pula dengan rak–rak penanaman dan alat penyemprot/ pengabut yang dipasang pada rak penanaman ataupun pengabut yang terpisah dari rak. Pengabut tersebut berfungsi untuk menyemprotkan air sehingga ruangan bisa diatur dalam kondisi yang optimal (suhu 16 – 220 C dengan kelembaban 80 persen – 90 persen). e. Ruang pembibitan Ruang pembibitan adalah ruang yang khusus digunakan untuk proses produksi bibit. Ruang ini diperlukan bila produksi sudah besar. Namun, bila bibit yang digunakan masih sedikit maka lebih efektif bibit dibeli dari produsen bibit sehingga ruang pembibitan tidak diperlukan lagi. Peralatan Budidaya jamur tiram secara sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan alat – alat yang mudah diperoleh seperti cangkul, sekop, botol atau kayu (untuk memadatkan media tanam), alat pensteril, lampu spiritus. Untuk kapasitas produksi yang cukup besar diperlukan peralatan yang cukup besar seperti ayakan, mixer, filler, boiler, dan chamber sterilizer. Mixer digunakan sebagai alat pencampur ; filler digunakan sebagai alat pengisi media ke dalam kantong plastik dengan jumlah tertentu; boiler digunakan sebagai sumber pemanas (uap); chamber sterilizer digunakan sebagai alat untuk sterilisasi dalam jumlah yang besar.
Bahan – Bahan Bahan – bahan untuk budidaya jamur tiram yang perlu dipersiapkan terdiri dari bahan baku dan bahan pelengkap. a. Bahan baku Kayu atau serbuk kayu yang digunakan sebagai tempat tumbuh jamur mengandung karbohidrat, serat lignin, dan lain–lain. Dari kandungan kayu tersebut ada yang berguna dan membantu pertumbuhan jamur, tetapi ada pula yang menghambat. Kandungan yang dibutuhkan bagi pertumbuhan jamur antara lain karbohidrat, lignin, dan serat, sedangkan faktor yang menghambat antara lain adanya getah dan zat ekstraktif (zat pengawet alami yang terdapat pada kayu). Oleh karena itu, kayu atau serbuk kayu yang digunakan untuk budidaya jamur sebaiknya berasal dari jenis kayu yang tidak banyak mengandung zat pengawet alami. Beberapa contoh kayu seperti itu antara lain kayu albasia, randu, dan meranti. Serbuk kayu dapat diperoleh secara melimpah pada pabrik–pabrik penggergajian kayu. Serbuk kayu hasil penggergajian dapat digunakan sebagai bahan baku papan partikel dan dapat pula digunakan sebagai bahan bakar. Jenis serbuk kayu yang digunakan dapat berasal dari berbagai macam kayu, baik kayu keras maupun kayu lunak. Pemilihan serbuk kayu sebagai bahan baku media penanaman jamur perlu memperhatikan kebersihan dan kekeringan. Selain itu, serbuk kayu yang digunakan tidak busuk dan tidak ditumbuhi oleh jamur atau kapang lain. Serbuk kayu yang terbaik adalah serbuk yang berasal dari kayu keras dan tidak banyak mengandung minyak ataupun getah. Namun demikian, serbuk
kayu yang banyak mengandung minyak maupun getah dapat pula digunakan sebagai media dengan cara merendamnya lebih lama sebelum proses lebih lanjut. Serbuk kayu yang terkena bahan bakar minyak tidak dapat digunakan sebagai media. Hal ini disebabkan minyak bersifat menghambat bahkan dapat mematikan pertumbuhan jamur tiram. b. Bahan tambahan Bahan – bahan lain yang digunakan dalam budidaya jamur kayu pada media plastik terdiri dari beberapa macam yaitu bekatul (dedak padi), kapur (CaCO3), gips (CaSO4). Dapat pula ditambahkan tepung tapioka atau tepung biji–bijian yang lain. 1) Bekatul Bekatul ditambahkan untuk meningkatkan nutrisi media tanam sebagai sumber karbohidrat, sumber karbon (C), dan nitrogen. Bekatul yang digunakan dapat berasal dari berbagai jenis padi, misalnya padi jenis IR, pandan wangi, rojo lele, ataupun jenis lainnya. Bekatul sebaiknya dipilih yang masih baru, belum tengik, dan tidak rusak. 2) Kapur Kapur merupakan bahan yang ditambahkan sebagai sumber kalsium (Ca). Disamping itu, kapur juga digunakan untuk mengatur pH media. Kapur yang digunakan adalah kapur pertanian yaitu kalsium karbonat (CaCO3). Unsur kalsium dan karbon digunakan untuk meningkatkan mineral yang dibutuhkan jamur bagi pertumbuhannya. Demikian juga dengan adanya unsur karbon.
3) Gips (CaSO4) Gips digunakan sebagai sumber kalsium dan sebagai bahan untuk memperkokoh media. Dengan kondisi yang kokoh maka diharapkan media tidak mudah rusak. 4) Kantong plastik Penggunaan kantong plastik bertujuan untuk mempermudah pengaturan kondisi (jumlah oksigen dan kelembaban media) dan penanganan media selama pertumbuhan. Kantong plastik yang digunakan adalah plastik yang kuat dan tahan panas sampai dengan suhu 1000 C. Jenis plastik biasanya dipilih dari jenis polipropilen (PP). Ukuran dan ketebalan plastik terdiri dari berbagai macam. Beberapa ukuran plastik yang biasa digunakan dalam budidaya jamur antara lain 20 x 30 cm, 17 x 35 cm, 14 x 25 cm dengan ketebalan 0,3 – 0,7 mm atau dapat juga lebih tebal.
2.1.2. Budidaya Jamur Tiram Menurut Cahyana et. al (1999), langkah – langkah dalam melakukan budidaya jamur tiram dengan menggunakan serbuk kayu adalah sebagai berikut : 1. Persiapan Serbuk kayu, bekatul, kapur dan gips disiapkan sesuai dengan kebutuhannya. Perbandingan kebutuhan bahan – bahan tersebut adalah seperti pada Tabel 6. Tabel 6 Kebutuhan Bahan – Bahan dalam Budidaya Jamur Tiram Formulasi I II III IV Sumber
Serbuk Kayu Tapioka Bekatul Kapur Gips (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) 1 5 15 100 0.5 2.5 5 100 0.5 2.5 10 100 1 5 10 5 100 : Cahyana et. al (1999)
TSP (kg) 0.5 0.5 0.5
Pada Tabel 6 terdapat berbagai formulasi media untuk pertumbuhan jamur tiram. Hal tersebut berdasarkan pengalaman masing – masing pengusaha yang dilakukan di tempat yang berbeda yang lebih menguntungkan. Berdasarkan Tabel 6 dapat dipilih salah satu formulasi yang sesuai dengan kondisi tempat budidaya. 2. Pengayakan Serbuk kayu yang diperoleh dari penggergajian mempunyai tingkat keseragaman yang kurang baik karena di dalamnya biasanya terdapat potongan–potongan yang cukup besar. Hal ini mengkibatkan tingkat pertumbuhan miselia kurang merata dan kurang baik. Untuk mengatasi hal tersebut maka serbuk gergaji kayu perlu diayak. 3. Perendaman Perendaman serbuk gergaji perlu dilakukan untuk menghilangkan getah dan minyak yang terdapat pada serbuk kayu. Disamping itu perendaman juga berfungsi untuk melunakkan serbuk kayu agar mudah diuraikan oleh jamur. Perendaman dilakukan selama 6 – 12 jam, kemudian serbuk kayu ditiriskan. 4. Pengukusan Pengukusan serbuk kayu yang telah direndam dilakukan pada suhu 80 – 900C selama 4 – 6 jam. Proses pengukusan ini bertujuan untuk mengurangi mikroba yang dapat menggangu pertumbuhan jamur tiram yang ditanam dan untuk melarutkan minyak/ getah yang terdapat pada kayu. 5. Pencampuran Bahan – bahan tambahan yang telah ditimbang sesuai dengan kebutuhan selanjutnya dicampur dengan serbuk gergaji yang telah dikukus. Pencampuran
harus dilakukan secara merata. Dalam proses pencampuran diusahakan tidak terdapat gumpalan, terutama serbuk gergaji dan kapur, karena dapat mengakibatkan komposisi media yang diperoleh tidak merata. 6. Pengomposan Proses pengomposan dimaksudkan untuk menguraikan senyawa – senyawa kompleks dalam bahan – bahan bantuan mikrobe sehingga diperoleh senyawa – senyawa yang lebih sederhana. Senyawa yang lebih sederhana akan lebih mudah dicerna oleh jamur sehingga memungkinkan pertumbuhan jamur akan lebih baik. Pengomposan dilakukan dengan cara membumbun campuran serbuk gergaji kemudian menutupnya secara rapat dengan menggunakan plastik selama 1 – 2 hari. Proses pengomposan yang baik ditandai dengan kenaikan suhu menjadi sekitar 500C. Kadar air campuran atau kompos harus diatur pada kondisi 50 persen – 65 persen dengan tingkat keasaman (pH) 6 – 7. Adonan yang baik adalah bila adonan itu dikepal membentuk gumpalan, tetapi mudah dihancurkan. 7. Pewadahan Dilakukan dengan menggunakan plastik polipropiline (PP) karena plastik ini relatif tahan panas. Pewadahan dilakukan dengan cara memasukkan adonan ke dalam plastik kemudian dipadatkan dengan menggunakan botol atau alat yang lain. Media yang kurang padat akan menyebabkan hasil panen yang tidak optimal karena media cepat busuk sehingga produktifitas akan rendah. 8. Sterilisasi Sterilisasi adalah suatu proses yang dilakukan untuk menginaktifkan mikroba baik bakteri, kapang, maupun khamir yang dapat mengganggu pertumbuhan
jamur yang ditanam. Sterilisasi dilakukan pada suhu 800 – 900C selama 6- 8 jam. 9. Inokulasi (pemberian bibit) Inokulasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan taburan dan tusukan. Inokulasi secara taburan adalah dengan menaburkan bibit ke dalam media tanam secara langsung. Sementara itu inokulasi secara tusukan dilakukan dengan cara membuat lubang di bagian tengah media melalui cincin sedalam tiga per empat dari tinggi media. Selanjutnya dalam lubang tersebut diisi bibit yang telah dihancurkan. 10. Inkubasi Inkubasi dilakukan dengan cara menyimpan media yang telah diisi dengan bibit pada kondisi tertentu agar miselia jamur tumbuh. Suhu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan miselia adalah antara 220–280C. Inkubasi dilakukan hingga seluruh media berwarna putih merata. Biasanya media akan tampak putih secara merata antara 40–60 hari sejak dilakukan inokulasi. Keberhasilan pertumbuhan miselia jamur dapat diketahui sejak 2 minggu setelah inkubasi. 11. Penumbuhan Media tumbuh jamur yang sudah putih oleh miselia jamur sudah siap untuk dilakukan penanaman (growing or farming). Penanaman dengan cara membuka plastik media tumbuh yang sudah penuh miselia tersebut. Satu sampai dua minggu setelah media dibuka biasanya akan tumbuh tubuh buah. Tubuh buah yang sudah tumbuh tersebut selanjutnya dibiarkan selama 2–3 hari atau sampai tercapainya pertumbuhan yang optimal. Kondisi yang
diperlukan untuk pertumbuhan tubuh buah adalah pada suhu 160 – 220C dengan kelembaban 80 – 90 persen. 12. Pemanenan Panen dilakukan setelah pertumbuhan jamur mencapai tingkat yang optimal, yaitu cukup besar tetapi belum mekar penuh. Pemanenan biasanya dilakukan 5 hari setelah tumbuh calon jamur. Ukuran jamur sudah cukup besar dengan diameter rata–rata 5 – 10 cm. Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari untuk mempertahankan kesegarannya dan untuk mempermudah tataniaganya. Jamur yang sudah dipanen tidak perlu dipotong hingga menjadi bagian per bagian tudung, tetapi hanya perlu dibersihkan kotoran yang menempel di bagian akarnya saja. Sehingga disamping kebersihannya lebih terjaga, daya simpan jamur pun akan lebih lama.
2.1.3. Ukuran Pendapatan dan Keuntungan Usahatani Menurut soekartawi (1986), banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan keuntungan pendapatan dan keuntungan usahatani yaitu : 1. Pendapatan kotor usahatani adalah ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usahatani. Istilah lain untuk pendapatan kotor usahatani adalah nilai produksi atau penerimaan kotor usahatani. 2. Pendapatan kotor tunai didefenisikan sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan produk usahatani. Pendapatan kotor usahatani tidak mencakup pinjaman uang untuk keperluan usahatani yang berbentuk benda dan yang dikonsumsi. 3. Pendapatan kotor tidak tunai merupakan pendapatan bukan dalam bentuk uang, seperti hasil panen yang dikonsumsi, digunakan untuk bibit atau
makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, disimpan di gudang, dan menerima pembayaran dalam bentuk benda. 4. Pengeluaran total usahatani didefenisikan sebagai nilai semua input yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani. Pengeluaran usahatani mencakup pengeluaran tunai dan tidak tunai. 5. Pengeluaran tunai adalah pengeluaran berdasarkan nilai uang. Jadi segala keluaran untuk keperluan usahatani yang dibayar dalam bentuk benda tidak termasuk dalam pengeluaran tunai. 6. Pengeluaran tidak tunai adalah nilai semua input yang digunakan namun tidak dalam bentuk uang. Contoh keluaran ini adalah nilai barang dan jasa untuk keperluan usahatani yang dibayar dengan benda atau berdasarkan kredit. 7. Selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran usahatani disebut pendapatan bersih usahatani (net farm income). Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani akibat penggunaan faktor – faktor produksi. 8. Untuk mengukur atau menilai penampilan usahatani kecil adalah dengan penghasilan bersih usahatani. Ukuran ini diperoleh dari hasil pengurangan antara pendapatan bersih dengan bunga yang dibayarkan kepada modal pinjaman, biaya yang diperhitungkan, dan penyusutan. 9. Imbalan terhadap tenaga kerja keluarga (return to family labor) yaitu pendapatan bersih dikurangi bunga modal dan dibagi jumlah HOK.
10. Imbalan kepada seluruh modal (return to total capital) yaitu pendapatan bersih dikurangi dengan nilai kerja keluarga dan dibagi modal rata – rata petani dikali seratus persen. Menurut Hernanto (1991), bentuk penerimaan tunai dapat menggambarkan tingkat kemajuan ekonomi usahatani dalam spesialisasi dan pembagian kerja. Besarnya pendapatan tunai atau proporsi penerimaan tunai dari total penerimaan yang masuk dapat digunakan untuk perbandingan keberhasilan petani satu terhadap yang lainnya. Untuk keperluan analisis pendapatan usahatani diperlukan 4 unsur, yaitu rata–rata
inventaris,
penerimaan
usahatani,
pengeluaran
usahatani,
dan
penerimaan dari berbagai sumber. Keadaan rata–rata inventaris adalah jumlah nilai inventaris awal ditambah nilai inventaris akhir dibagi dua. Untuk menilai aset benda pada usahatani dapat dilakukan dengan : harga pembelian, nilai penjualan setelah waktu tertentu, nilai penjualan pada saat pencatatan atau perhitungan, dan harga pembelian dikurangi dengan penyusutan. Penerimaan usahatani yaitu penerimaan dari semua sumber usahatani yang meliputi: jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan nilai penggunaan rumah, serta barang yang dikonsumsi. Pengeluaran usahatani adalah semua biaya operasional tanpa memperhitungkan bunga dari modal usahatani dan nilai kerja pengelolaan usahatani. Pengeluaran ini meliputi : pengeluaran tunai, penyusutan benda fisik, pengurangan benda inventaris, dan nilai tenaga kerja yang tidak dibayar. Dengan memperhatikan pengertian yang telah disebutkan, maka diharapkan dapat dikembangkan analisis terhadap usahatani. Analisis tersebut adalah analisis
pendapatan dan analisis R/C rasio. Adapun tujuan dari kegiatan usahatani ini adalah untuk mencapai produksi pertanian yang pada akhirnya akan dinilai dengan
uang.
Nilai
tersebut
diperoleh
setelah
mengurangkan
atau
memperhitungkan biaya yang telah dikeluarkan. Untuk menganalisis pendapatan usahatani diperlukan dua keterangan pokok yaitu keadaan penerimaan dan pengeluaran selama jangka waktu yang ditetapkan. Penerimaan usahatani adalah hasil perkalian dari jumlah produksi total dan harga satuan. Sedangkan biaya atau pengeluaran usahatani yang dimaksud adalah nilai penggunaan sarana produksi, upah, dan lain – lain yang dibebankan pada proses produksi. Menurut Hernanto (1991) biaya produksi dalam usahatani dapat dibedakan atas : A. Berdasarkan jumlah output yang dihasilkan, terdiri dari : 1. Biaya tetap, adalah biaya yang besar kecilnya tidak tergantung kepada besar kecilnya produksi, misalnya : pajak tanah, sewa tanah, penyusutan alat – alat pertanian, dan bunga pinjaman. 2. Biaya variabel, adalah biaya yang berhubungan langsung dengan jumlah produksi, misalnya : pengeluaran – pengeluaran untuk biaya sarana produksi seperti bibit dan tenaga kerja. B. Berdasarkan biaya yang langsung dikeluarkan dan diperhitungkan terdiri dari: 1. Biaya tunai , adalah biaya tetap dan biaya variabel yang dibayar tunai. Biaya tetap misalnya pajak tanah dan bunga pinjaman, sedangkan biaya variabel misalnya pengeluaran untuk bibit dan tenaga kerja luar keluarga.
Biaya tunai ini berguna untuk melihat pengalokasian modal yang dimiliki oleh petani. 2. Biaya tidak tunai adalah biaya penyusutan alat – alat pertanian, sewa lahan milik sendiri (biaya tetap), dan tenaga kerja dalam keluarga (biaya variabel).
2.2.
Konsep Tataniaga Adanya kebutuhan dan keinginan manusia menimbulkan permintaan
terhadap produk tertentu yang didukung oleh kemampuan membeli. Produk tersebut diciptakan untuk memuaskan kebutuhan atau keinginan manusia, sehingga timbul proses pertukaran untuk memperoleh produk yang diinginkan atau dibutuhkan dengan menawarkan sesuatu sebagai gantinya (Kotler, 1997). Tataniaga merupakan suatu kegiatan manusia yang diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan melalui proses pertukaran, yaitu meliputi kegiatan untuk memindahkan barang dan jasa dari produsen ke konsumen (Kotler, 1990). Pengertian tataniaga dapat dilihat dengan pendekatan manajerial (aspek pasar) dan aspek ekonomi. Berdasarkan aspek manajerial, tataniaga merupakan analisis perencanaan organisasi, pelaksanaan dan pengendalian tataniaga untuk menentukan kedudukan pasar. Ditinjau dari aspek ekonomi, tataniaga merupakan distribusi fisik dan aktivitas ekonomi yang memberikan fasilitas-fasilitas untuk bergerak, mengalir, dan pertukaran komponen barang dan jasa dari produsen ke konsumen.
Selain
itu,
tataniaga
merupakan
kegiatan
produksi
karena
meningkatkan, menciptakan nilai guna bentuk, waktu, tempat, dan kepemilikan. Tataniaga pertanian dapat diartikan sebagai semua bentuk kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang
hasil pertanian dan kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke konsumen, termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang untuk mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasaan yang lebih tinggi kepada konsumen (Limbong, 1997). Khols (1967) menggunakan beberapa pendekatan dalam menganalisis sistem tataniaga, yaitu : 1. Pendekatan Fungsi (the fungsional approach) Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui fungsi tataniaga apa saja yang dijalankan oleh pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik (penyimpanan, transportasi, dan pengolahan) dan fungsi fasilitas (standarisasi, resiko, pembiayaan, dan informasi pasar). 2. Pendekatan Kelembagaan (the institutional approach) Merupakan pendekatan yang digunakan untuk mengetahui berbagai macam lembaga atau pelaku yang terlibat dalam tataniaga. Pelaku-pelaku itu adalah pedagang perantara (merchant middleman) yang terdiri dari pedagang pengumpul, pedagang pengecer, pedagang spekulatif, agen, manufaktur, dan organisasi lainnya yang terlibat. 3. Pendekatan Sistem (the bahavior system approach) Merupakan pelengkap dari pendekatan fungsi kelembagaan, untuk mengetahui aktivitas-aktivitas yang ada dalam proses tataniaga, seperti perilaku lembaga yang terlibat dalam tataniaga dan kombinasi dari fungsi tataniaga. Pendekatan ini terdiri dari the input-output system, the power system, dan the communication system.
2.2.1. Lembaga dan Saluran Tataniaga Hanafiah dan Saefuddin (1983), menjelaskan bahwa lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang bergerak dari produsen sampai ke konsumen. Lembaga tataniaga ini bisa termasuk golongan produsen, pedagang perantara, dan lembaga pemberi jasa. Tugas lembaga tataniaga adalah menjalankan fungsi-fungsi tataniaga serta memenuhi keinginan konsumen semaksimal mungkin. Konsumen memberikan balas jasa kepada lembaga tataniaga berupa marjin tataniaga. Saluran tataniaga adalah usaha yang dilakukan untuk menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen yang didalamnya terlibat beberapa lembaga tataniaga yang menjalankan fungsi-fungsi tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987). Menurut Kotler (1997) saluran tataniaga adalah serangkaian organisasi yang saling bergantung serta terlibat dalam proses menjadikan produk atau jasa siap digunakan atau dikonsumsi. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih saluran tataniaga (Limbong dan Sitorus, 1987), yaitu : 1. Pertimbangan pasar, yang meliputi konsumen sasaran akhir mencakup pembeli potensial, konsentrasi pasar secara geografis, volume pesanan, dan kebiasaan pembeli. 2. Pertimbangan barang, yang meliputi nilai barang per unit, besar dan berat barang, tingkat kerusakan, sifat teknis barang, dan apakah barang tersebut untuk memenuhi pesanan atau pasar.
3. Pertimbangan internal perusahaan, yang meliputi sumber permodalan, kemampuan dan pengalaman manajemen, pengawasan penyaluran, dan pelayanan penjualan. 4. Pertimbangan terhadap lembaga perantara, yang meliputi pelayanan lembaga perantara, kesesuaian lembaga perantara dengan kebijaksanaan produsen, dan pertimbangan biaya.
2.2.2. Fungsi-Fungsi Tataniaga Limbong dan Sitorus (1987), mendefenisikan fungsi tataniaga sebagai kegiatan-kegiatan atau tindakan-tindakan yang dapat memperlancar proses penyampaian barang atau jasa. Fungsi-fungsi tataniaga dapat dikelompokkan atas tiga fungsi yaitu : 1. Fungsi pertukaran adalah kegiatan yang memperlancar perpindahan hak milik barang dan jasa yang dipasarkan. Fungsi pertukaran ini terdiri dari dua fungsi yaitu fungsi pembelian dan fungsi penjualan. 2. Fungsi fisik adalah semua tindakan yang langsung berhubungan dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk, dan waktu. Fungsi ini terdiri dari fungsi penyimpanan, fungsi pengangkutan, dan fungsi pengelolaan. 3. Fungsi fasilitas adalah semua tindakan yang bertujuan untuk memperlancar kegiatan pertukaran yang terjadi antara produsen dan konsumen. Fungsi fasilitas terdiri dari fungsi standarisasi dan grading, fungsi penanggungan resiko, fungsi pembiayaan, dan fungsi informasi pasar. Menurut Mubyarto (1994), fungsi-fungsi tataniaga adalah mengusahakan agar pembeli atau konsumen memperoleh barang yang diinginkan pada tempat,
waktu, dan harga yang tepat. Fungsi-fungsi tataniaga dalam pelaksanaan aktifitasnya dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga. Lembaga tataniaga ini yang akan terlibat dalam proses penyampaian barang dan jasa dari produsen sampai ke tangan konsumen.
2.2.3. Struktur Pasar Struktur pasar (market structure) adalah suatu dimensi yang menjelaskan pengambilan keputusan oleh perusahaan atau industri, jumlah perusahaan dalam suatu pasar, distribusi perusahaan menurut berbagai ukuran seperti size atau concentration, deskripsi dan diferensiasi produk, syarat-syarat entry dan sebagainya (Limbong, 1997). Pada struktur pasar dijelaskan bagaimana perilaku penjual dan pembeli yang terlibat (market conduct) dan selanjutnya akan menunjukkan keragaan yang terjadi dari struktur dan perilaku pasar (market performance) yang ada di dalam sistem tataniaga tersebut. Analisis struktur pasar mendorong studi tentang faktor teknik, motivasi, institusi, dan organisasi yang mempengaruhi kebiasaan perusahaan dalam pasar. Struktur pasar dicirikan oleh : (1) jumlah dan ukuran pasar, (2) diferensiasi produk, (3) kebebasan keluar masuk pasar, dan (4) pengetahuan partisipan tentang biaya, harga, dan kondisi pasar (Dahl dan Hammond, 1977). Tabel 7 menyajikan karakteristik struktur pasar.
Tabel 7 Jenis-jenis Struktur Pasar Berdasarkan Jumlah Perusahaan dan Sifat Produk Karakteristik Jumlah Sifat Produk Perusahaan Homogen Banyak Diferensiasi Banyak Homogen Sedikit Diferensiasi Sedikit Unik Satu
Struktur Pasar Dari Sudut Penjual Dari Sudut Pembeli Persaingan Murni Persaingan Monopolistik Oligopoli Murni Oligopoli diferensiasi Monopoli
Persaingan Murni Persaingan Monopolistik Oligopsoni Murni Oligopsoni Diferensiasi Monopsoni
Sumber : Dahl dan Hammond, 1977 2.2.4. Keragaan Pasar Keragaan pasar menunjukkan akibat dari keadaan struktur dan perilaku pasar dalam kenyataan sehari-hari yang ditunjukkan dengan harga, biaya, volume produksi, yang akhirnya memberikan penilaian baik atau tidaknya suatu sistem tataniaga (Dahl dan Hammond, 1977). Efisiensi tataniaga dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
efisiensi operasional (teknologi) dan efisiensi ekonomi
(harga). Analisis yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi operasional pada proses tataniaga suatu produk yaitu analisis marjin tataniaga, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya.
2.2.5. Marjin Tataniaga Marjin adalah perbedaan harga atau selisih harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima petani produsen, atau dapat juga dinyatakan sebagai nilai dari jasa-jasa pelaksanaan kegiatan tataniaga sejak dari tingkat produsen sampai ke titik konsumen akhir. Kegiatan untuk memindahkan barang dari titik produsen ke titik konsumen membutuhkan pengeluaran baik fisik maupun materi. Pengeluaran yang harus dilakukan untuk menyalurkan komoditi dari produsen ke konsumen disebut sebagai biaya tataniaga.
Menurut Dahl dan Hammond (1977), mendefenisikan marjin tataniaga sebagai perbedaan harga ditingkat petani (Pf) dengan harga pedagang pengecer (Pr). Marjin tataniaga menjelaskan perbedaan harga dan tidak memuat pernyataan mengenai jumlah produk yang dipasarkan. Nilai marjin tataniaga (value of marketing marjin) merupakan perkalian antara marjin tataniaga dengan volume produk yang terjual (Pr-Pf) x Qrf yang mengandung pengertian marketing cost dan marketing charge seperti yang terlihat pada Gambar 2. Pendekatan terhadap nilai marjin tataniaga dapat melalui return to factor (marketing cost) yaitu penjumlahan dari biaya tataniaga, yang merupakan balas jasa terhadap input yang digunakan seperti tenaga kerja, modal, investasi yang diberikan untuk lancarnya proses tataniaga dan input-input lainnya, serta dengan pendekatan return to institution (marketing charge), yaitu pendekatan melalui lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses penyaluran atau pengolahan komoditi yang dipasarkan (pedagang pengumpul, pengolah, grosir, agen, dan pengecer). Setiap lembaga tataniaga melakukan fungsi-fungsi tataniaga. Fungsi yang dilakukan antar lembaga biasanya berbeda-beda. Hal ini menyebabkan perbedaan harga jual dari lembaga satu dengan yang lainnya sampai ke tingkat konsumen akhir berbeda. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat, akan semakin besar perbedaan harga antar produsen dengan harga di tingkat konsumen. Secara grafis marjin tataniaga dapat digambarkan sebagai berikut :
Harga Sr Pr
Sf
C
A
Pf
Dr 0
Df
B Qr,f
Gambar 2 Hubungan Antara Marjin Tataniaga, Nilai Marjin Tataniaga serta Marketing Cost and Charge Sumber : Dahl dan Hammond (1977) Keterangan : A B C Pr Pf Sr Sf Dr Df Qr,f
= Nilai marjin tataniaga ((Pr-Pf).Qr,f) = Marketing cost and Marketing charge = Marjin tataniaga (Pr-Pf) = Harga di tingkat pedagang pengecer = Harga di tingkat petani = Supply di tingkat pengecer (derived supply) = Supply di tingkat petani (primary supply) = Demand di tingkat pengecer (derived demand) = Demand di tingkat petani (primary demand) = Jumlah keseimbangan di tingkat petani dan tingkat pengecer Besarnya marjin tataniaga pada suatu saluran tataniaga tertentu dapat
dinyatakan sebagai jumlah dari marjin pada masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat. Rendahnya biaya tataniaga suatu komoditi belum tentu dapat mencerminkan efisiensi yang tinggi.
2.2.6. Farmer’s Share Salah satu indikator yang berguna dalam melihat efisiensi kegiatan tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima petani (farmer’s share) terhadap harga yang dibayar konsumen akhir. Bagian yang diterima
lembaga tataniaga sering dinyatakan dalam bentuk persentase (Limbong dan Sitorus, 1987).
2.2.7.
Rasio Keuntungan dan Biaya Tingkat efisiensi tataniaga dapat juga diukur melalui besarnya rasio
keuntungan terhadap biaya tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga mendefenisikan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Dengan demikian semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya, maka dari segi operasional sistem tataniaga akan semakin efisien (Limbong dan Sitorus, 1987).
2.2.8. Efisiensi Tataniaga Memahami efisiensi tataniaga harus terlebih dahulu memahami tataniaga sebagai suatu aktivitas bisnis yang ditujukan untuk menyampaikan suatu produk kepada konsumen. Output dari aktivitas tataniaga adalah kepuasan konsumen terhadap suatu produk dan jasa, sedangkan inputnya adalah semua sumber daya usaha yang meliputi tenaga kerja, kapital, dan manajemen yang digunakan perusahaan dalam proses produksi. Sehingga efisiensi tataniaga dapat diartikan sebagai maksimisasi dari rasio input-output, atau efisiensi dapat diartikan sebagai suatu perubahan yang menyebabkan berkurangnya biaya input pada suatu pekerjaan tanpa mengurangi kepuasan konsumen dari keluaran suatu produk atau jasa (Kohls, 1967). Tataniaga disebut efisien apabila tercipta keadaan dimana pihak-pihak yang terlibat baik produsen, lembaga-lembaga tataniaga maupun konsumen memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut (Limbong dan Sitorus,
1987). Menurut Mubyarto (1991) sistem tataniaga dikatakan efisien apabila memenuhi dua syarat yaitu mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya, dan mampu mengadakan pembagian yang adil bagi seluruh harga yang dibayarkan oleh konsumen terakhir dalam kegiatan produksi. Indikator-indikator yang digunakan dalam menentukan efisiensi tataniaga adalah marjin tataniaga, harga tingkat konsumen, tersedianya fasilitas fisik tataniaga, dan intensitas persaingan pasar. Marjin tataniaga besar tidak selamanya menunjukkan saluran tidak efisien, maka perlu mempertimbangkan aspek-aspek berikut : 1. Penggunaan teknologi baru dalam proses produksi dapat menekan biaya produksi, sehingga marjin tataniaga menjadi lebih besar. 2. Adanya kecenderungan konsumen untuk mengkonsumsi yang lebih siap dinikmati, walaupun harga lebih mahal. 3. Adanya spesialisasi produksi dari suatu daerah sehingga membentuk daerahdaerah sentral produksi, sehingga akan menaikkan daerah tataniaga. 4. Adanya tambahan biaya pengolahan dan penyimpanan untuk meningkatkan kegunaan bentuk. 5. Meningkatkan upah buruh dan tenaga kerja. Kenaikan harga ditingkat konsumen sering digunakan sebagai ukuran ketidakefisienan proses tataniaga, harga tingkat konsumen sebenarnya merupakan fungsi dari pendapatan konsumen, musim, ketersediaan penawaran dibanding permintaan efektif, harga barang substitusi, dan harga barang komplementer. Sehingga dalam menyimpulkan bahwa harga komoditi dapat digunakan untuk
mengukur efisiensi tataniaga harus mempertimbangkan pengaruh variabelvariabel tersebut terhadap harga di tingkat konsumen. Penyediaan fasilitas untuk pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan dianggap dapat digunakan untuk melihat efisiensi tataniaga. Kurangnya ketersediaan
fasilitas
fisik
terutama
pengangkutan
diidentikkan
dengan
ketidakefisienan proses tataniaga.
2.3. Tinjauan Empiris Usahatani dan Tataniaga Jamur Tiram Putih Berdasarkan peneletian terdahulu, menunjukkan bahwa usahatani jamur tiram putih berada pada skala usaha yang menaik (increasing return to scale), ditunjukkan oleh jumlah nilai elastisitas faktor produksi > 1 yaitu 1,2 (Restuwati (2000). Berdasarkan analisis titik impas diperoleh nilai sebesar 1.065,72 kg per bulan. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani jamur tiram putih telah memperoleh keuntungan karena produksi yang dihasilkan melebihi produksi pada saat titik impas. Dengan melakukan pengolahan jamur tiram putih menjadi sayur instan dapat memberikan nilai tambah sebesar Rp 9.497.35 sehingga dapat meningkatkan pendapatan (Winda, 2001). Berdasarkan penelitian Nugraha (2006), Analisis Efisiensi Saluran Tataniaga Jamur Tiram Segar di Bogor, Propinsi Jawa Barat. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa saluran tataniaga jamur tiram segar di Bogor melibatkan 6 lembaga yaitu produsen, pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah, pengecer, dan suplier. Saluran tataniaga yang terjadi adalah :1) produsen, konsumen ; 2) produsen, pengumpul, dan konsumen; 3) produsen, pedagang besar, konsumen; 4) produsen, pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah, dan konsumen; 5) produsen, pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah,
pengecer, dan konsumen; 6) produsen, pengecer, konsumen. Hasil analisis menunjukkan bahwa saluran produsen langsung kepada konsumen memiliki indikasi tingkat efisiensi terbaik. Farmer’s Share pada saluran ini mencapai 100 persen, menunjukkan nilai Farmer’ Share maksimal. Faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi jamur tiram putih adalah tenaga kerja, bibit, serbuk kayu, bekatul, gips, dan kapur. Hasil penelitian lain menyatakan bahwa faktor produksi yang berpengaruh adalah serbuk gergaji, dedak, SP 36, gips, dan tenaga kerja (Windyastuti, 2000 dan Restuwati, 2000). Sementara itu, penelitian Ruillah (2006), menganalisis pendapatan usahatani dan faktor – faktor produksi yang berpengaruh terhadap usahatani jamur tiram putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa elastisitas produksi yang terbesar adalah bibit yaitu sebesar 0,22 persen. Adapun variabel dummy yaitu lahan (luas kumbung) tidak berpengaruh terhadap produksi, tetapi lebih ditentukan oleh jumlah log yang diproduksi petani. Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya (R/C rasio) diketahui bahwa R/C atas biaya tunai untuk petani skala III sebih besar dibandingkan skala I dan skala II yaitu sebesar 3,75. Hal ini berarti bahwa setiap rupiah biaya yang dikeluarkan oleh petani skala III akan memberikan penerimaan sebesar Rp 3,75 sehingga usahatani jamur tiram putih yang lebih efisien adalah petani skala III. Penelitian yang dilakukan oleh Reynold Pandapotan Sitompul (2007) mengenai Analisis usahatani dan tataniaga ikan hias maskoki oranda di Desa Parigi Mekar, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa saluran tataniaga melibatkan petani, pedagang pengumpul, supplier, dan konsumen akhir/hobis. Harga jual anakan Ikan Maskoki Oranda di
tingkat petani pembenihan ke petani pembesaran berkisar antara Rp 130 sampai dengan Rp 150 per ekor. Harga jual Ikan Maskoki Oranda di tingkat petani pembesaran ke pedagang pengumpul berkisar antara Rp 800 sampai dengan Rp 950 per ekor. Harga yang berlaku di tingkat supplier ke pedagang pengecer berkisar anatara Rp 1.400 sampai dengan Rp 1.500 per ekor, sedangkan di tingkat pedagang pengecer ke konsumen akhir berkisar antara Rp 2.000 sampai dengan Rp 2.500 per ekor. Farmer’s share yang diterima petani pada pola 1 dan 2 yaitu masing-masing sebesar 39,5 persen. Pada pola 3, rata-rata harga jual petani adalah sebesar Rp 1.116,7 per ekor, sedangkan rata-rata harga yang dibayar oleh konsumen akhir sebesar 1.250,00 per ekor. Farmer’s share yang diterima petani pada pola 3 adalah sebesar 89,3 persen, merupakan saluran tataniaga yang paling menguntungkan bagi petani, karena saluran tataniaga Ikan Hias Maskoki yang paling pendek dan efisien (Petani → pedagang pengecer → konsumen/hobis). (Farmer’s share yang tinggi dapat dicapai jika petani mampu mengefisienkan saluran tataniaga dan meningkatkan kualitas produknya. Penelitian yang dilakukan oleh Andri (2008) mengenai Analisis Pendapatan Usahatani dan Saluran Tataniaga Pepaya California di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pendapatan usahatani pepaya california dikelompokkan berdasarkan skala usaha yaitu skala kecil, skala menengah, dan skala besar. Dari analisis R/C yang dilakukan, diketahui bahwa petani responden skala menengah memiliki nilai R/C yang lebih besar untuk R/C atas biaya tunai dan R/C atas total biaya.
BAB III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Teori Usahatani Menurut Soeharjo dan Patong (1973), usahatani adalah kombinasi yang tersusun (organisasi) dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Ketatalaksanaan organisasi itu sendiri diusahakan oleh seorang atau sekumpulan orang. Mosher (1966) memberikan defenisi farm (yang diterjemahkan oleh Krisnadi menjadi usahatani) sebagai suatu tempat atau bagian dari permukaan bumi dimana pertanian diselenggarakan oleh seorang petani tertentu apakah ia seorang pemilik, penyakap, atau manajer yang digaji. Dalam suatu usahatani, tanaman yang diusahakan tidaklah terbatas pada suatu macam tanaman tertentu, tetapi dapat terdiri atas berbagai macam tanaman, ternak dan ikan. Berdasarkan dua defenisi di atas, maka terdapat empat unsur pokok dalam suatu usahatani yang saling terkait satu sama lain di dalam pelaksanannya. Unsur pokok tersebut adalah tanah atau tempat, tenaga kerja, modal dan pengelolaan atau manajemen. Tanah Menurut Hernanto (1991), tanah atau lahan merupakan faktor yang relatif langka bila dibandingkan dengan faktor produksi lainnya dan distribusi penguasaannya tidak merata. Perbedaan golongan petani berdasarkan luas tanah atau lahan tersebut akan berpengaruh terhadap sumber dan distribusi pendapatan. Adapun tanah itu sendiri memiliki beberapa sifat antara lain: luas relatif tetap atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dan dapat dipindahtangankan.
Tanah untuk usahatani jamur tiram putih fungsinya adalah untuk mendirikan bangunan kumbung sebagai tempat untuk menyimpan log atau media tanam. Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan faktor produksi kedua selain tanah, modal dan manajemen. Terdapat tiga jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani yaitu kerja manusia, hewan dan mesin atau mekanik. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak– anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan untuk pengangkutan. Tenaga mekanik bersifat substitusi pengganti tenaga ternak dan atau manusia. Jika kekurangan tenaga kerja petani dapat mempekerjakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan memberi balas jasa berupa upah. Modal Faktor produksi ketiga yang sama pentingnya modal. Modal adalah uang atau barang yang bersama – sama dengan faktor produksi lain menghasilkan barang – barang baru yaitu produksi pertanian. Menurut sifatnya modal dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Modal tetap, meliputi: tanah dan bangunan. Modal tetap dicirikan dengan modal yang tidak habis pada satu periode produksi. 2. Modal bergerak, meliputi: alat – alat, bahan, uang tunai, piutang di Bank, tanaman dan ternak.
Pengelolaan Manajemen atau pengelolaan usahatani sebagai faktor produksi yang terakhir
adalah
kemampuan
petani
menentukan,
mengorganisir
dan
mengkoordinasikan faktor – faktor produksi yang dikuasai sebaik – baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah produktifitas dari setiap faktor maupun produktifitas dari usahanya. Budidaya jamur tiram putih termasuk usahatani karena di dalamnya terdapat faktor–faktor dari usahatani seperti adanya tanaman yang diusahakan, petani sebagai pengelola atau pemilik, lahan sebagai tempat, tenaga kerja sebagai yang memproduksi, dan biaya sebagai modal yang dibutuhkan dalam usaha tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan.
3.2. Kelembagaan Tataniaga Tataniaga untuk menyalurkan jamur tiram dari produsen ke konsumen pada usahatani kecil masih merupakan masalah, hal ini dikarenakan kurang dikuasainya informasi pasar yang berkaitan dengan pola permintaan konsumen baik jenis, jumlah, mutu, harga produk, musim dan waktu penyerahan. Selain itu karena kurang kemampuan dalam strategi tataniaga. Kegiatan–kegiatan tataniaga membutuhkan biaya yang disebut biaya tataniaga. Ada berbagai tingkat lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses tataniaga yang menyebabkan terjadinya berbagai tingkat harga di tingkat perantara maupun tingkat konsumen. Perbedaan harga antara dua lembaga tataniaga disebut marjin tataniaga yang sebenarnya adalah harga dari jasa – jasa yang diberikan oleh lembaga – lembaga tataniaga (Dahl dan Hamond, 1977).
Penyaluran jamur tiram dari produsen ke konsumen dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) dengan menjual langsung ke pasar yang mana petani jamur tiram langsung menjual produknya ke konsumen, (2) melalui pedagang perantara. Sebagian besar petani jamur tiram memasarkan hasil produksinya melalui lembaga perantara. Sistem tataniaga seperti ini membutuhkan biaya tataniaga untuk sampai di lokasi tataniaga. Oleh karena itu nilai suatu produk dapat ditetapkan dengan menghitung jumlah total dari biaya produksi dan biaya tataniaga untuk satu satuan produk yang diproduksikan. Berdasarkan uraian – uraian tersebut di atas maka kerangka pemikiran analisis usahatani dan saluran tataniaga jamur tiram putih dapat dilihat pada Gambar 3.
• • •
Produktivitas jamur tiram rendah, kualitas rendah, dan produksi tidak kontiniu Harga input meningkat Mekanisme distribusi jamur tiram yang tidak sesuai
• •
Apakah pelaksanaan usahatani jamur tiram efisien Apakah pelaksanaan tataniaga jamur tiram efisien
Analisis Tataniaga
Analisis Usahatani • • • •
Pendapatan usahatani R/C rasio Return to Family Labor Return to Total Capital
Rugi
Untung
Kuantitatif • Marjin tataniaga • π/C rasio • Farmer’s Share
Evaluasi Kegiatan Usahatani
• • • • •
Struktur pasar Saluran tataniaga Fungsi tataniaga Struktur pasar Perilaku pasar
Kondisi Efisiensi Tataniaga
Pengambilan Keputusan Kegiatan Usahatani
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional
Kualitatif
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Tamansari memberikan sumbangan produksi jamur tiram yang cukup besar di Kabupaten Bogor, sekaligus sangat strategis untuk melakukan usaha budidaya jamur tiram. Penelitian juga dilakukan di sejumlah Pasar yang berlokasi di Bogor seperti Pasar Ciawi, Pasar Bogor, Pasar Kemang dan Pasar Anyar serta pasar lain sebagai tempat pedagang pengumpul dan pedagang pengecer bertemu. Penelitian ini diawali dengan survey atau penjajakan dan dilanjutkan dengan pengambilan data yang dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2007 sampai Maret tahun 2008.
4.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan petani jamur tiram putih (responden) di lokasi penelitian. Selain itu juga wawancara terhadap para pedagang dan para lembaga tataniaga lainnya dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data primer yang digunakan mencakup data keadaan usahatani berupa keadaan keluarga petani, kondisi usahatani, biaya produksi, harga jual, pola tataniaga, marjin tataniaga dan sebagainya. Sedangkan data sekunder diperoleh
dari Kantor Dinas Pertanian, Kantor Kecamatan setempat, Biro Pusat Statistik, Pusat Informasi Pasar setempat dan instansi – instansi lain yang terkait. Selain informasi dari instansi – instansi terkait di Kabupaten Bogor juga diperoleh dari studi literatur serta hasil – hasil penelitian yang pernah dilakukan. Data sekunder yang digunakan mencakup data ekspor dan impor, data produksi,data harga dan data monografi kecamatan.
4.3. Pengambilan Responden Pemilihan
responden
petani
jamur
tiram
dilakukan
dengan
cara
pengumpulan satu populasi atau disebut dengan sensus (somplete enumeration). Jumlah seluruh responden adalah sebanyak 16 responden yang terdiri dari 7 orang petani yang tersebar di Kecamatan Tamansari, 3 orang supplier, dan 6 orang pedagang pengecer. Adapun jumlah petani jamur tiram putih yang manjadi responden dalam penelitian ini adalah 7 orang petani. Dari ketujuh petani responden, penggunaan baglog terkecil adalah sebesar 5.000 log, sedangkan terbesar adalah 21.000 log Penentuan responden pada saluran tataniaga dilakukan dengan penelusuran saluran tataniaga mulai dari tingkat petani sampai ke tingkat konsumen akhir. Penentuan responden diambil berdasarkan informasi dari responden sebelumnya sehingga jalur tataniaga tersebut tidak terputus.
4.4. Metode Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis secara kualitatif dilakukan dengan mendeskripsikan keragaan usahatani jamur tiram di Kecamatan Tamansari, fungsi lembaga tataniaga yang terlibat dalam
tataniaga jamur tiram dan struktur pasar. Sedangkan analisis secara kuantitatif dilakukan dengan melihat tingkat efisiensi usahatani jamur tiram melalui analisis pendapatan usahatani, Analisis R/C rasio. Sedangkan untuk melihat efisiensi tataniaga jamur tiram melalui analisis marjin tataniaga dan farmer’s share. Pengolahan data ini menggunakan program microsoft excel.
4.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani Hal lain yang mendasar, pembagian analisis ini karena pada umumnya petani hanya memperhitungkan biaya yang benar–benar dikeluarkan dalam bentuk uang tunai. Secara umum pendapatan merupakan hasil pengurangan antara penerimaan dengan pengeluaran. Penerimaan usahatani merupakan nilai dari penjualan produksi total yang dihasilkan. Pendapatan dirumuskan secara matematis sebagai berikut : Y = NP – BT – BD....................................................................................(1) Keterangan
:Y
= Tingkat Pendapatan (rupiah)
NP
= Nilai Produksi (hasil kali produk dengan harga)
BT
= Biaya Tunai (rupiah)
BD
= Biaya Diperhitungkan (rupiah)
Sumber : Soekartawi,et. al. (1986)
Jadi pendapatan atas biaya tunai adalah NP – BT dan pendapatan atas biaya total adalah NP – (BT + BD). Sedangkan untuk mengetahui efisiensi usahatani dapat diketahui dari perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya, yang dapat dirumuskan sebagai berikut : R/C rasio =
Total Penerimaan NP = ........................................................(2) Total Biaya BT + BD
Sumber : Soekartawi,et. al. (1986)
Usahatani dikatakan efisien apabila nilai R/C rasio lebih besar dari satu, semakin besar nilai R/C rasio maka menunjukkan semakin tinggi keuntungan usahatani tersebut. Suatu metode dapat dikatakan lebih efisien dari metode lainnya, apabila mampu menghasilkan output yang lebih tinggi nilainya untuk biaya atau korbanan yang sama atau menghasilkan keuntungan yang sama dengan biaya yang lebih kecil. Menurut Soekartawi (1986) selain dengan R/C rasio, untuk melihat keberhasilan suatu usahatani dapat juga dengan cara menghitung Return to Family Labor (imbalan terhadap tenaga kerja keluarga) dan Return to Total Capital (imbalan kepada seluruh modal) Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
Return to Family Labor =
Pendapatan Bersih - Bunga Modal Petani .................(3) Jumlah HOK
Return to Total Capital =
Pendapatan Bersih - Nilai Kerja Keluarga X 100%.....(4) Total Modal Petani
Sumber :
Soekartawi, et. al. (1986)
4.4.2. Analisis Lembaga dan Saluran Tataniaga
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui lembaga
tataniaga yang
melakukan fungsi-fungsi tataniaga seperti fungsi pertukaran, fungsi fisik maupun fasilitas, serta saluran tataniaga yang digunakan produsen untuk menyalurkan produknya kepada konsumen. Saluran tataniaga jamur tiram putih diteliti dari produsen sampai ke konsumen akhir, dan pola tataniaganya didasarkan pada alur tataniaga yang terjadi di tempat penelitian.
4.4.3.
Analisis Efisiensi Tataniaga
Menurut Mubyarto (1989) sistem tataniaga dikatakan efisien apabila memenuhi dua syarat yaitu mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya, dan mampu mengadakan pembagian yang adil bagi seluruh harga yang dibayarkan oleh konsumen terakhir dalam kegiatan produksi. Efisiensi tataniaga dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
efisiensi operasional (teknologi) dan efisiensi
ekonomi (harga). Analisis yang dapat digunakan untuk menentukan efisiensi operasional pada proses tataniaga suatu produk yaitu analisis marjin tataniaga, farmer’s share serta rasio keuntungan dan biaya.
4.4.3.1. Analisis Farmer’s Share
Salah satu indikator yang berguna dalam melihat efisiensi kegiatan tataniaga adalah dengan membandingkan bagian yang diterima petani (farmer’s share) terhadap harga yang dibayar konsumen akhir. Bagian yang diterima
lembaga tataniaga sering dinyatakan dalam bentuk persentase (Limbong dan Sitorus, 1987). Farmer’s Share berhubungan negatif dengan marjin tataniaga, artinya semakin tinggi marjin tataniaga maka bagian yang akan diperoleh petani (Farmer’s Share) semakin rendah. Rumus untuk menghitung Farmer’s Share adalah:
Fs =
Pf x100% Pr
Dimana : Fs = Farmer’s Share Pf = Harga di tingkat petani Pr = Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir
4.4.3.2. Marjin Tataniaga
Analisis marjin tataniaga digunakan untuk melihat tingkat efisiensi tataniaga jamur tiram . Marjin tataniaga merupakan perbedaan harga yang terjadi di tingkat produsen (harga beli) dengan harga di tingkat konsumen (harga jual). Marjin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga. Limbong dan Sitorus (1987), perhitungan marjin tataniaga secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: Mi = Hji-Hbi dimana: Mi
= Marjin tataniaga pada tingkat ke-i
Hji = Harga jual pasar tingkat ke-i Hbi = Harga beli pasar tingkat ke-i Besarnya marjin tataniaga juga dapat diperoleh dengan menjumlahkan biaya-biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh dari setiap lembaga tataniaga, yaitu: Mi = Ci + πi dimana: Mi = Marjin tataniaga pada tingkat ke-i Ci = biaya lembaga tataniaga di tingkat ke-i πi = keuntungan lembaga tataniaga tingkat ke-i Sehingga: Hji – Hbi = Ci + πi Berdasarkan persamaan di atas, maka keuntungan pada tingkat ke-i adalah: πi = Hji – Hbi-Ci
Maka besarnya marjin tataniaga adalah: mi = ∑Mi dimana: i
= 1,2,3,.....,n
mi
= Total marjin tataniaga
4.4.3.3. Analisis Rasio Keuntungan dan Biaya
Tingkat efisiensi tataniaga dapat juga diukur melalui besarnya rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga mendefenisikan besarnya keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Dengan demikian semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan dan biaya, maka dari segi operasional sistem tataniaga akan semakin efisien (Limbong dan Sitorus, 1987). Rasio keuntungan dan biaya tataniaga merupakan besarnya keuntungan yang diterima lembaga tataniaga sebagai imbalan atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Rasio keuntungan dan biaya setiap lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut : Rasio Keuntungan dan Biaya =
TotalKeuntungan TotalBiaya
Dimana : Keuntungan ke-i = keuntungan lembaga tataniaga Biaya ke-i
= Biaya lembaga tataniaga
BAB V GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
5.1.1. Letak Geografis dan Pembagian Administrasi
Kecamatan Tamansari merupakan salah satu kawasan berbukit di kaki Gunung Salak, Kabupaten Bogor dengan batas wilayah sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ciomas (Bogor Selatan), sebelah selatan berbatasan dengan Gunung Salak, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tenjoloya/ dermaga. Kecamatan Tamansari terletak 40 km dari Ibukota Kabupaten Bogor, 120 km dari Ibukota Propinsi Jawa Barat dan 96 km dari Ibukota Negara RI Jakarta. Sedangkan jarak Pusat Pemerintahan Kecamatan dengan Desa/ Kelurahan yang terjauh adalah 7 km. Secara geografis permukaan tanah di Kecamatan Tamansari pada umumnya berombak, karena berada di kawasan berbukit dengan ketinggian 700 m dpl, sehingga kondisi udara di Kecamatan ini sejuk dengan suhu rata–rata 250 – 300 C. Berdasarkan ciri – ciri topografi di atas, Kecamatan Tamansari termasuk sebagai daerah dataran tinggi sehingga cukup baik untuk budidaya dan pengembangan komoditas jamur tiram putih. Adapun luas wilayah Kecamatan Tamansari adalah 26.309 km yang terdiri dari 1.364.711 ha Tanah Darat dan 1.266.225 ha Tanah Sawah. Secara administratif, Kecamatan Tamansari terbagi dalam 8 Desa yaitu seperti terlihat pada Tabel berikut :
Tabel 8 Pembagian Wilayah Kecamatan Tamansari Berdasarkan Jumlah Desa, Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Nama Desa Luas Wilayah (ha) Jumlah Penduduk (Jiwa) Sirnagalih Pasir Eurih Sukamantri Tamansari Sukaluyu Sukajaya Sukajadi Sukamanah Jumlah
200,59 210,88 639,00 181,20 301,00 288,65 503,30 306,31 2.630,93
12.760 10.736 13.380 11.183 7.343 8.297 7.623 10.580 81.902
Sumber : Profil Kecamatan Tamansari (2006) 5.1.2. Keadaan Sosial Ekonomi
Kecamatan Tamansari merupakan wilayah pemekaran dari Kecamatan Ciomas pada tahun 2001 dengan jumlah desa sebanyak 8 desa, meliputi 25 dusun, 88 RW dan 353 RT. Sedangkan klasifikasi desanya adalah desa swakarya. Menurut data sensus Kabupaten Bogor (2006), jumlah penduduk Kecamatan Tamansari sebanyak 81.902 jiwa yang terdiri dari 42.553 orang laki – laki dan 39.349 orang perempuan. Ditinjau dari segi mata pencahariannya, mayoritas penduduk Kecamatan Tamansari bekerja sebagai buruh sebanyak 11.380 orang atau sebanyak 41.83 persen. Sedangkan persentase terkecil (0.46 persen) adalah sebagai TNI/ POLRI (Tabel 9) Tabel 9 Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kecamatan Tamansari Tahun 2006 Jumlah (orang) Persentase (%) Mata Pencaharian Karyawan swasta 6.752 PNS 1.076 TNI/ POLRI 124 Wirausaha 2.073 Petani/peternak 5.803 Buruh 11.380 Jumlah 27.208 Sumber : Data Monografi Kecamatan Tamansari, 2006
24,82 3,95 0,46 7,62 21,33 41,83 100,00
5.2.
Karakteristik Petani Responden
5.2.1. Usia Petani
Secara umum usahatani jamur tiram putih dilakukan oleh responden dengan rata – rata usia 46,42 tahun dengan kisaran usia 31 tahun sampai 66 tahun. Jumlah petani yang berusia 31 – 42 tahun memiliki persentase terbesar yaitu 42,9 persen, kemudian yang berusia 43 – 54 tahun 28,6 persen dan responden yang berusia 55 – 66 tahun sebesar 28,6 persen (Tabel 10). Tabel 10 Sebaran Petani Responden Menurut Usia di Kecamatan Tamansari Tahun 2008 Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) 31-42 3 42,9 43-54 2 28,6 55-66 2 28,6 Jumlah 7 100
5.2.2. Tingkat Pendidikan Petani
Tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang akan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menyerap dan memahami informasi yang disampaikan. Pada umumnya keseluruhan responden telah terlepas dari buta huruf dan hitung, meskipun para petani responden tidak memiliki pendidikan formal yang tinggi. Pendidikan yang pernah ditempuh oleh responden adalah pendidikan formal seperti SD sampai SMA, dan belum ada responden yang sudah mendapat gelar sarjana ataupun yang sederajat. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa tingkat pendidikan formal yang dicapai umumnya masih relatif rendah. Sebanyak 7 orang petani responden terdiri dari 47,2 persen tamatan SD dan SMP, dan 42,9 persen yang tamatan SMA (Tabel 11).
Tabel 11 Sebaran Petani Responden Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Tamansari Tahun 2008 Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%) Tamat SD/SR 2 28,6 Tamat SMP 2 28,6 Tamat SMA 3 42,9 7 100,0 Jumlah
5.2.3. Pengalaman Bertani
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperoleh pengetahuan budidaya jamur tiram putih adalah dengan mengikuti pelatihan yang diadakan oleh instansi tertentu. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa petani responden belum pernah mengikuti pelatihan jamur tiram. Rata – rata pengetahuan cara budidaya jamur tiram diperoleh dengan cara belajar dari petani yang telah membuka usahatani jamur tiram putih, atau sebelumnya mereka menjadi tenaga kerja budidaya jamur tiram. Selain pendidikan, pengalaman usahatani juga mempunyai peranan yang sangat penting untuk mencapai keberhasilan usaha. Pada umumnya semakin lama pengalaman yang dimiliki oleh petani maka cenderung kemampuan budidaya dan mengelola usahatani jamur tiram juga semakin baik. Tabel 12 Sebaran Petani Responden Menurut Pengalaman Bertani di Kecamatan Tamansari Tahun 2008 Pengalaman Bertani (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) 0-4 4 57,1 5-9 1 14,3 10-14 2 28,6 Jumlah 7 100,0 Berdasarkan Tabel 12, dapat dilihat bahwa rata – rata petani mempunyai pengalaman bertani belum cukup lama. Dapat dilihat perbandingannya bahwa
57,1 persen petani memiliki pengalaman 0-4 tahun ; 14,3 persen memiliki pengalaman 5-9 tahun ; dan 28,6 persen petani memiliki pengalaman 10-14 tahun. Usaha budidaya jamur tiram putih pertama kali di Kecamatan Tamansari adalah pada tahun 1995 yang dipelopori oleh Ibu Endjah Hodyah. Kemudian seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai mengenal dan mengetahui cara budidaya jamur tiram dan prospek bisnisnya di masa yang akan datang. Bahkan menurut hasil wawancara dengan petani responden, semua petani jamur tiram yang ada di Kecamatan Tamansari
menjadikan usahatani jamur tiram putih
sebagai mata pencaharian pokok mereka.
5.3.
Keragaan Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari
Semua petani (kelompok tani) yang ada di Kecamatan Tamansari menggunakan teknologi drum (tidak ada yang menggunakan teknologi autoklaf). Pengertian kelompok tani yang dimaksud adalah hanya sebatas nama, bukan sebagai kelembagaan petani untuk melakukan kegiatan-kegiatan usahatani. Petani jamur tiram yang ada di Kecamatan Tamansari yaitu Ibu Cucu Komalasari skala usaha 11000 log, Nilyun skala usaha 5000 log, Ibu Endjah Hodyah skala usaha 21000 log, Mu’min Soleh 12000 log, Pak Narta 10000, Pak Dayat 14000 log, dan Pak Joko 15000 log.
5.3.1. Gambaran Umum Pelaksanaan Kecamatan Tamansari
Budidaya
Jamur
Tiram
di
Secara umum pelaksanaan budidaya jamur tiram di Kecamatan Tamansari terdiri dari pengadukan, pengomposan, pembungkusan, sterilisasi, pendinginan, pembibitan (inokulasi), inkubasi, produksi dan pemanenan.
A. Pengadukan
Bahan baku utama yang digunakan untuk pembuatan media jamur tiram yaitu serbuk kayu (gergaji), bekatul dan kapur. Semua petani responden pasti menggunakan ketiga jenis bahan ini, namun dengan komposisi yang berbedabeda. Keterangan mengenai komposisi bahan yang digunakan masing-masing responden disajikan pada Tabel 13. Bahan lain yang menjadi tambahan dalam membuat media jamur tiram ini adalah gipsum (CaSO4), tepung kanji, dan serbuk jagung. Namun tidak semua petani menggunakan bahan-bahan tersebut, bahkan ada petani yang sama sekali tidak menggunakannya. Sebelum bahan-bahan tersebut diaduk, serbuk gergaji terlebih dahulu disaring dengan menggunakan ayakan agar sisa kayu yang ada tidak ikut tercampur. Setelah itu bahan diaduk hingga merata dengan menggunakan cangkul. Bahan-bahan tersebut harus benar-benar merata agar pertumbuhan jamur seragam, dan dapat mengurangi kegagalan produksi.
B. Pengomposan
Bahan media jamur tiram yang telah merata, diberi air lalu diaduk kembali. Tidak ada takaran khusus mengenai jumlah kadar air yang diberikan, yang menjadi patokan adalah ketika bahan adukan tersebut dikepal dengan tangan, tidak ada air yang menetes dan bahan tersebut menyatu membentuk gumpalan. Lalu bahan didiamkan selama sehari. Tujuannya adalah untuk menguraikan bahan tersebut agar lebih mudah dicerna olah jamur sehingga pertumbuhan jamur akan lebih baik. Ada dua perlakuan yang berbeda dalam melakukan pengomposan ini, yaitu (1) menutupnya dengan terpal/karung dan (2) sama sekali tidak menutupnya.
C. Pembungkusan
Petani jamur tiram di wilayah ini menyebutnya dengan mendedel. Jenis plastik yang digunakan adalah polipropilen (PP), karena plastik ini relatif tahan panas. Sedangkan ukuran plastik yang digunakan adalah 18 x 30 cm. Bahan yang telah dikomposkan (selanjutnya disebut dengan adonan) tersebut dimasukkan ke dalam plastik dan dipadatkan dengan bantuan tangan atau botol. Setelah dipadatkan, ujung pastik diikat dengan karet dan bagian tengah karet tersebut diselipkan kapas (majun). Tujuannya adalah agar jamur dapat tetap memperoleh oksigen.
D. Sterilisasi
Semua media yang telah siap, disterilkan dengan menggunakan alat kukusan selama kurang lebih 12 jam. Tujuannya adalah untuk membunuh kuman/bakteri yang dapat mengganggu pertumbuhan jamur. Berdasarkan bahan pembuatannya, alat kukusan yang digunakan dapat terbagi menjadi tiga jenis, yaitu alat kukusan yang terbuat dari kayu,beton dan plat. Pemilihan bahan dan besarnya kapasitas alat kukusan tersebut disesuaikan dengan sumber daya keuangan yang dimiliki petani. Sebagian besar petani jamur tiram yang menjadi responden menggunakan kayu sebagai bahan untuk membuat alat kukusannya, karena biayanya yang paling murah, dan paling sedikit menggunakan plat karena biayanya paling mahal. Walaupun demikian, plat dapat menghantarkan panas lebih baik dan lebih merata jika dibandingkan dengan bahan lainnya. Peralatan penunjang lainnya yang digunakan untuk mengukus yaitu drum air, kompor semawar. Petani di Kecamatan Tamansari untuk sterilisasi biasanya menggunakan drum kapasitas 50 log yang dipanaskan dengan kompor minyak tanah
E. Pendinginan
Setelah disterilkan (dikukus), media jamur tiram tersebut harus didinginkan terlebih dahulu sebelum bibit jamur tiram dimasukkan (inokulasi). Tidak ada batasan waktu untuk pendinginan ini, yang penting adalah media sudah cukup dingin (hangat) ketika akan dilakukan pembibitan (inokulasi). Tujuannya adalah agar bibit jamur tiram tidak mati karena kepanasan.
F. Pembibitan (Inokulasi)
Pembibitan dilakukan setelah media didinginkan. Setiap ukuran satu log media jamur tiram diberikan 2-3 sendok makan bibit. Pada saat melakukan pembibitan, media jamur tiram tidak boleh dibuka terlalu lama, selain itu tangan dan sendok untuk membibit harus dalam keadaan bersih. Pada umumnya mereka mencucinya dengan alkohol. Hal ini dikarenakan untuk mengurangi kontaminasi bakteri yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan produksi.
G. Inkubasi
Inkubasi adalah pertumbuhan miselia jamur tiram, petani di wilayah ini menyebutnya dengan istilah pemutihan. Proses dilakukan dengan menyimpan media yang telah dibibit ke dalam kumbung yang suhunya lebih hangat. Biasanya untuk kumbung pemutihan, atap yang digunakan adalah yang terbuat dari asbes, atau ada juga yang memodifikasi kumbung pemutihan dengan membuatnya dari plastik berwarna hitam. Proses ini dilakukan selama sebulan, yaitu ditandai dengan telah memutihnya seluruh permukaan media jamur tiram. Banyak kegagalan dalam budidaya jamur tiram terjadi pada proses ini, dikarenakan suhunya terlalu dingin, terutama pada saat musim hujan. Selain itu tidak ada
pemisahan kumbung yang digunakan baik untuk pemutihan maupun untuk produksi, sehingga suhu ruangan tidak dapat dikontrol.
H. Produksi
Setelah kurang lebih sebulan dalam kumbung pemutihan, media jamur tiram yang permukaannya telah putih semua dipindahkan ke kumbung produksi. Pada ruang produksi ini suhu ruangan harus lebih rendah (dingin). Setelah 3-4 hari di ruang produksi, penutup (karet) plastik media tersebut dibuka agar jamur dapat tumbuh. Tetapi kapas yang menempel di media tersebut tidak boleh dibuang hingga pada akhirnya terlepas sendiri, karena kapas tersebut berfungsi sebagai tempat menyimpan air. Setelah beberapa hari di dalam ruang produksi, maka akan tumbuh tubuh buah (fruiting body)
I. Pemanenan
Pemanenan dapat dilakukan setelah tiga hingga empat hari tumbuh tubuh buah (fruiting body). Pada saat itu jamur sudah berada pada kondisi yang optimal. Ketika pemanenan, seluruh rumpun jamur tiram harus dicabut hingga akarnya walaupun ada jamur yang tampak masih muda. Karena dalam satu rumpun, jamur dipanen semua maka kemungkinan akan membusuk dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan jamur selanjutnya. Pemanenan umumnya tidak dapat dilakukan secara serentak walaupun medianya dibuat dalam waktu yang bersamaan. Salah satu penyebabnya karena faktor pengadukan yang tidak merata. Satu media jamur tiram dapat memiliki masa panen hingga empat bulan mulai dari plastik media tersebut dibuka.
Panen dilakukan setelah pertumbuhan jamur mencapai tingkat yang optimal yaitu cukup besar tetapi belum mekar penuh dengan diameter rata-rata 510 cm, karena jamur tiram akan rasanya enak pada waktu umur muda. Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut seluruh rumpun jamur tiram putih yang ada dalam log hingga ke akar-akarnya, sebab akar atau batang jamur yang tertinggal dapat mengakibatkan media menjadi busuk. Jamur tiram putih yang dihasilkan oleh petani Kecamatan Tamansari dipasarkan dalam bentuk segar. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kesegarannya hingga sampai ke tangan konsumen perlu dilakukan tataniaga sesegera mungkin. Dalam memasarkan produknya rata – rata petani di Kecamatan Tamansari menjualnya ke tengkulak yang mendatangi kumbung – kumbung petani tiap hari pada masa panen. Harga jamur tiram segar di tingkat petani saat ini adalah Rp 6.000 – 8.500 per kg.
BAB VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI
Analisis yang digunakan pada usahatani ini adalah analisis pendapatan usahatani. Hal ini dikarenakan pendapatan usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Tamansari dalam beberapa musim tanam terakhir besarnya tidak terlalu berfluktuatif. Bentuk analisis pendapatan ini mengacu kepada konsep pendapatan atas total biaya produksi yaitu biaya tunai dan biaya tidak tunai. Dalam usahatani jamur tiram putih yang termasuk ke dalam biaya tunai meliputi biaya sarana produksi (bibit, serbuk kayu, kapur, bekatul, gips), kapas, plastik, karet, minyak tanah, dan tenaga kerja luar keluarga. Suatu usahatani akan dikatakan menguntungkan jika selisih antara penerimaaan dengan pengeluaran bernilai positif. Semakin besar selisih antara penerimaan dan pengeluaran, maka semakin menguntungkan suatu usahatani. Selisih tersebut akan dinamakan pendapatan atas biaya tunai jika penerimaan totalnya dikurangkan dengan pengeluaran tunai. Sedangkan pendapatan total usahatani diperoleh dari selisih antara penerimaan hasil produksi dengan pengeluaran total uasahatani (total farm expense). Pengeluaran total usahatani usahatani jamur tiram ini terdiri dari pengeluaran tetap dan pengeluaran variabel (Soekarwati, 1986).
6.1.
Proses Produksi Usahatani Jamur Tiram Putih
Proses produksi usahatani jamur tiram putih dimulai dari penyediaan input usahatani yang terdiri dari bibit jamur, media tanam (serbuk gergaji, bekatul, kapur, gipsum, tepung kanji dan tepung jagung), sarana pendukung (minyak
tanah, spritus, kantong plastik, karet, kapas, alkohol, obat – obatan dan tenaga kerja). Bibit jamur tiram putih diperoleh dari petani (kelompok tani) jamur tiram itu sendiri yaitu untuk petani yang skala usaha 5000 dan 10000 mereka membeli bibit dari Ibu Cucu Komalasari atau Ibu Endjah Hodyah. Adapun alasan mereka adalah karena harga bibitnya lebih murah dibandingkan bibit petani (kelompok tani) lain. Untuk input lainnya diperoleh dari toko–toko sarana produksi yang ada di sekitar Pasar Bogor dan serbuk gergaji diperoleh dari pabrik–pabrik penggergajian kayu. Jarak antara sumber input dengan petani berbeda–beda sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan pada harga input tersebut. Input tenaga kerja diperoleh dari dalam keluarga dan dari luar keluarga. Sebagian dari tenaga kerja luar keluarga masih memiliki hubungan keluarga dengan petani jamur tiram putih tersebut, sedangkan tenaga kerja dalam keluarga umumnya mereka sekaligus sebagai pemilik. Berikut ini adalah tabel tentang ratarata penggunaan input produksi usahatani jamur tiram putih yang ada di Kecamatan Tamansari.
Tabel 13 Penggunaan Input Produksi Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari Selama Satu Periode (3 bulan) Input Produksi Bibit Jamur (btl) Media Tanam : Serbuk gergaji (kg) Bekatul (kg) Kapur (kg) Gipsum (kg)
Skala Usaha (log) Rata-rata 5.000 10.000 11.000 12.000 14.000 15.000 21.000 12.571 250
400
550
600
4.000 8.000 250 500
8.800 550
9.600 600
700
750
180 60
110 110
120 120
-
-
1.375 -
-
-
-
Sarana Pendukung : Minyak tanah (lt)
625 1.250
1.375
1.500
1.750
1.875
Spritus (lt) Kantong plastik (kg)
0,10 30
0,50 50
0,22 66
0,24 72
0,28 84
0,30 90
Karet (kg) Kapas (kg)
1,00 10
2,00 20
2,20 22
2,40 24
2,80 28
3,00 30
Cincin (buah) Alkohol (lt) Pestisida (lt)
5.000 10.000 11.000 12.000 1,00 1,00
2,00 0,50
2,20 2,20
2,40 2,40
614,29
11.200 12.000 16.800 10.057,14 700 750 1.050 628,57 140 150 210 137,14 140 150 210 120,00
50 50
Tepung Kanji (kg) Serbuk jagung (kg)
1.050
2.625
196,43 375,00
2.625 1.571,43 0,42 0,29 126 74,00 4,20 42
2,51 25,14
14.000 15.000 21.000 12.571,43 2,80 2,80
3,00 3,00
4,20 4,20
2,51 2,30
Berdasarkan Tabel 13, penggunaan input usahatani jamur tiram putih berbeda–beda tergantung dari penggunaan baglog dan formulasi media. Semakin besar jumlah log yang digunakan untuk budidaya jamur tiram, maka penggunaan inputnya cenderung lebih banyak dan sebaliknya. Hal ini dapat dilihat pada penggunaan bibit jamur, media tanam, dan sarana pendukung yang berbeda – beda pada setiap skala penggunaan log. Perbedaan pada penggunaan input disebabkan juga oleh formulasi media yang dipakai oleh masing – masing petani, contoh pada media tanam ada yang menggunakan tambahan tepung kanji dan tepung jagung pada campuran media tanamnya. Pemakaian formulasi media ini juga dipengaruhi oleh pengetahuan
yang dimiliki oleh masing–masing petani. Formulasi media ini dapat mempengaruhi tingkat produktivitas, pertimbangan efisiensi dan efektivitas produksi serta biaya bahan baku. Memaksakan penggunaan bahan baku yang mahal dan sulit haruslah dihindari dan formulasi yang cocok adalah murah dan mudah didapat tentunya dengan tetap memperhatikan standar hasil panen.
6.2.
Analisis Biaya Usahatani Jamur Tiram Putih
Besarnya biaya total yang dikeluarkan terkait dengan biaya tunai dan biaya tidak tunai. Namun dari kedua biaya tersebut yang sangat perlu diperhitungkan oleh petani adalah biaya tunai karena biaya ini merupakan modal operasional yang harus dimiliki oleh petani untuk menjalankan aktifitas usahataninya. Biaya tunai adalah biaya yang dibayar dengan uang, seperti biaya pembelian bibit, pembelian bahan baku dan pendukung serta upah tenaga kerja. Biaya yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenarnya pendapatan kerja petani, modal dan nilai kerja keluarga. Tenaga kerja keluarga dinilai berdasarkan upah yang berlaku. Biaya penyusutan peralatan /bangunan dan sewa lahan milik sendiri dapat dimasukkan dalam biaya yang diperhitungkan. Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa rata-rata biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani responden adalah Rp 22.949.359 (88,54 persen) dengan penggunaan log rata-rata 12.571 log. Persentase terbesar terhadap total biaya adalah penggunaan minyak tanah yaitu sebesar Rp 7.857.143 (30,31 persen) dengan jumlah penggunaan rata-rata sebanyak 1.571,43 liter. Hal tersebut disebabkan karena para petani lebih banyak menggunakan minyak tanah dibandingkan input yang lain. Minyak tanah digunakan untuk proses sterilisasi, yaitu untuk menginaktifkan mikroba (bakteri, kapang, maupun khamir yang dapat
mengganggu pertumbuhan jamur yang ditanam). Sedangkan persentase terkecil terhadap biaya total adalah penggunaan input spritus dan pestisida. Proporsi penggunaan biaya tunai terhadap total biaya produksi lebih besar dari biaya tidak tunai (Tabel 14). Tabel 14 Analisis Biaya Rata-rata Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari Selama Satu Periode (3 bulan) Pengeluaran Usahatani Nilai % terhadap (Rp) Total Biaya 1.Biaya Tunai bibit jamur(botol) serbuk kayu/ gergaji (kg) bekatul (kg) gipsum (kg) kapur (kg) kantong plastik (kg) kapas (kg) cincin bambu (biji) biaya pengemasan kayu bakar (mobil pickup) alkohol (lt) pestisida (lt) minyak tanah spritus (lt) karet (kg) TKLK Pajak lahan Total Biaya Tunai 2. Biaya Tidak Tunai Penyusutan alat Penyusutan bangunan TKDK Total Biaya Tidak Tunai Total Biaya
3.071.429 1.337.600 942.857 240.000 274.286 1.406.000 704.000 628.571 230.661 1.954.286 43.929 11.500 7.857.143 1.030 18.857 3.598.639 628.571 22.949.359 92.507 821.429 2.057.143 2.971.079 25.920.437
11,85 5,16 3,64 0,93 1,06 5,42 2,72 2,43 0,89 7,54 0,17 0,04 30,31 0,00 0,07 13,88 2,43 88,54 0,36 3,17 7,94 11,46 100,00
Keterangan : TKLK = Tenaga Kerja Luar Keluarga TKDK = Tenaga Kerja Dalam Keluarga
Biaya tenaga kerja terdiri dari biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) yang termasuk dalam biaya tunai dan biaya tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) yang termasuk dalam biaya yang diperhitungkan. Biaya yang dikeluarkan untuk
TKLK sebesar 13,88 persen terhadap biaya total (upah per HOK Rp 15.000), lebih besar dibandingkan biaya TKDK sebesar 7,94 persen terhadap biaya total. Biaya yang diperhitungkan yang digunakan oleh petani responden sebesar Rp 2.971.079 (11,46 persen) yang terdiri dari : biaya penyusutan alat, penyusutan bangunan, dan upah tenaga kerja dalam keluarga. Pada Tabel 14 dapat dilihat bahwa persentase penyusutan bangunan terhadap total biaya adalah sebesar 3,17 persen. Jenis peralatan yang digunakan oleh petani responden dalam melakukan kegiatan usahatani jamur tiram di lokasi penelitian adalah drum, kompor semawar, jirigen dan lain-lain seperti terlihat pada Lampiran 3. Metode yang digunakan dalam menghitung nilai penyusutan peralatan adalah metode garis lurus dengan asumsi bahwa peralatan tidak dapat digunakan lagi setelah melewati umur teknis. Peralatan-peralatan yang digunakan untuk kegiatan usahatani jamur tiram cukup banyak jenis dan jumlahnya, seperti terlihat pada Lampiran 3. Sedangkan persentase biaya peyusutan peralatan terhadap total biaya adalah sebesar 0,36 persen.
6.3.
Penerimaan Usahatani Jamur Tiram
Penerimaan merupakan hasil kali jumlah produksi total dan harga jual per satuan. Produksi rata-rata jamur tiram putih yang dihasilkan di Kecamatan Tamansari selama satu periode (3 bulan) adalah sebanyak 4.613 kg dengan penggunaan log rata-rata 12.571 log. Harga rata-rata jamur tiram putih yang dijual petani responden adalah Rp 8.000 per kg, sehingga rata-rata penerimaan yang diperoleh petani responden di daerah penelitian selama satu periode adalah
sebesar Rp 36.905.714 (Tabel 15). Jika dilihat produktivitasnya (jumlah produksi per log), dapat diketahui bahwa produktivitas rata-rata jamur tiram adalah sebesar 0,26 kg per log. Produk yang dihasilkan dari usahatani jamur tiram putih yang ada di Kecamatan Tamansari adalah berupa jamur tiram putih segar Tabel 15 Penerimaan Petani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari Selama Satu Periode (3 bulan) No
Skala Usaha 5.000 10.000 11.000 12.000 14.000 15.000 21.000
1 2 3 4 5 6 7 Ratarata 12.571
6.4.
Kerusakan
Produksi Produk yang Harga Rata-rata per log (kg) dihasilkan (kg) (Rp/kg) 10,00% 0,25 1.688 8.000 10,00% 0,25 3.375 8.000 7,00% 0,30 4.604 8.000 10,00% 0,25 4.050 8.000 10,00% 0,25 4.725 8.000 10,00% 0,25 5.063 8.000 7,00% 0,30 8.789 8.000 9,14%
0,26
4.613
8.000
TR Tunai (Rp) 13.504.000 27.000.000 36.828.000 32.400.000 37.800.000 40.500.000 70.308.000 36.905.714
Analisis Pendapatan Usahatani Jamur Tiram Putih
Hasil panen yang tidak dijual ke pasar yaitu untuk dikonsumsi keluarga petani hanya sebagian kecil saja, karena jamur tiram bukan merupakan makanan pokok. Adapun perbedaan jumlah konsumsi keluarga petani terhadap hasil panen yaitu dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga. Dalam penelitian ini dilihat berapa pendapatan rata-rata yang diterima oleh petani jamur tiram putih di Kecamatan Tamansari. Selain itu juga dilihat tingkat efisiensi usahataninya dengan menghitung R/C rasio. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 16 .
Tabel 16 Rata-rata Pendapatan dan R/C Rasio Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari Satu Periode (3 bulan) Uraian A.Penerimaan Usahatani 1.Tunai 2.Tidak Tunai Total Penerimaan B. Biaya Usahatani 1. Tunai 2. Tidak Tunai Total Biaya C. Pendapatan atas Biaya Tunai D. Pendapatan atas Biaya Total E. R/C atas Biaya Tunai F. R/C atas Biaya Total
Nilai (Rp)
Persentase (%)
36.905.714 148.114 37.053.829
99,60 0,40 100,00
22.949.359 2.971.079 25.920.437
88,54 11,46 100,00
13.956.356
-
11.133.391 1,61 1,43
-
Pendapatan atas total biaya untuk penggunaan log rata-rata 12.571 log dengan rata-rata produksi 4.613 kg dan jumlah total biaya Rp 25.920.437 adalah sebesar Rp 11.133.391. Sedangkan pendapatan atas biaya tunai adalah sebesar Rp 13.956.356 dari Rp 22.949.359 total biaya tunai yang digunakan. Berdasarkan informasi penerimaaan dan biaya tersebut, maka diperoleh nilai imbangan dan biaya atau (R/C rasio) total sebesar 1,43, yang artinya untuk setiap rupiah biaya total yang dikeluarkan petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,43. Sedangkan untuk R/C raso atas biaya tunai adalah sebesar 1,63, artinya untuk setiap rupiah biaya tunai yang dikeluarkan petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,61. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Tamansari adalah efisien karena kedua nilai R/C tersebut lebih dari satu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa usahatani jamur tiram tersebut menguntungkan dan layak untuk dikembangkan.
6.5.
Analisis Imbalan Terhadap Tenaga Kerja Keluarga dan Total Modal
Selain menghitung tingkat efisiensi usahatani jamur tiram putih dengan pendekatan R/C rasio, Keberhasilan suatu usahatani dapat diukur dengan menggunakan pendekatan Return to Family Labor (imbalan terhadap tenaga kerja keluarga). Hasil perhitungan tersebut dinyatakan dalam rupiah per HOK dan dibandingkan dengan upah tenaga kerja yang berlaku (UMR). Upah rata-rata tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) per hari adalah sebesar Rp 15 000. Adanya perbedaan upah TKDK tiap responden dipengaruhi oleh banyaknya anggota keluarga yang terlibat dalam kegiatan usahatani. Usahatani tersebut dikatakan berhasil apabila nilai imbalan terhadap tenaga kerja keluarga lebih besar dari nilai upah yang berlaku di tempat tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Perhitungan Return to Family Labor Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari Selama 1 Periode (3 bulan) No Skala usaha Pendapatan bersih Bunga modal Jumlah HOK Return to Family Labor 1 2 3 4 5 6 7 Rata-rata
5.000 10.000 11.000 12.000 14.000 15.000 21.000 12.571
(Rp) 1.892.617 5.755.067 17.154.658 8.113.600 9.131.582 9.644.737 29.669.525 11.623.112
(Rp) 1.767.628 3.221.300 3.482.488 3.660.240 4.326.183 4.654.209 6.104.411 3.888.066
(HOK) 90 180 90 90 180 90 180 129
(Rp/HOK) 1.389 14.076 151.913 49.482 26.697 55.450 130.917 61.418
Dari Tabel 17 diperoleh rata-rata nilai imbalan terhadap tenaga kerja keluarga adalah sebesar Rp 61.418 per HOK, artinya jika dibandingkan dengan upah yang berlaku sebesar Rp 15.000 per HOK maka usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Tamansari bisa dikatakan berhasil. Dengan pendekatan ini dapat
diambil kesimpulan bahwa usahatani jamur tiram di Kecamatan Tamansari cukup menguntungkan. Selain dengan Return to Family Labor, keberhasilan suatu usahatani bisa juga diukur dengan menggunakan pendekatan Return to Total Capital (imbalan terhadap modal keseluruhan). Nilai akhirnya dinyatakan dalam persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Perhitungan Return to Total Capital Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari selama 1 Periode (3 bulan) No Skala usaha Pendapatan bersih Nilai kerja Total Return to Keluarga Modal Petani Total Capital 1 2 3 4 5 6 7 Rata-rata
5.000 10.000 11.000 12.000 14.000 15.000 21.000 12.571
1.892.617 5.755.067 17.154.658 8.113.600 9.131.582 9.644.737 29.669.525 11.623.112
1.350.000 2.700.000 1.800.000 1.350.000 2.700.000 2.700.000 1.800.000 2.057.143
11.784.183 21.475.333 23.216.587 24.401.600 28.841.218 31.028.063 40.696.075 25.920.437
4,60% 14,23% 66,14% 27,72% 22,30% 22,38% 68,48% 36,91%
Dari Tabel 18 dapat dikatakan bahwa usahatani jamur tiram di Kecamatan Tamansari berhasil dalam menjalankan kegiatan usahataninya. Hal ini dapat dilihat bahwa imbalan terhadap total modal sebesar 36,91 persen (artinya lebih besar dari bunga pinjaman rata-rata sebesar 15 persen). Dari beberapa analisis atau pendekatan yang digunakan dalam penelitian usahatani jamur tiram putih tersebut di atas yaitu pendekatan R/C rasio, Return to Total Capital, pendekatan Return to Family Labor, maka dapat disimpulkan
bahwa usahatani jamur tiram di Kecamatan Tamansari berhasil.
BAB VII ANALISIS TATANIAGA JAMUR TIRAM
Tataniaga merupakan kegiatan distribusi barang atau jasa yang dihasilkan dari produsen kepada konsumen akhir, sehingga dalam aliran barang atau jasa tersebut akan secara otomatis terbentuk sistem tataniaga. Keberhasilan kegiatan usahatani tidak terlepas dari pelaksanaan tataniaganya. Selain itu, pasar yang jelas dari suatu komoditi akan menarik minat petani untuk berusahatani komoditi tersebut. Sama halnya dengan komoditi jamur tiram, ketika pertama kali jamur tiram diperkenalkan di wilayah ini, jarang yang mau mengusahakannya. Salah satu alasannya karena pada saat itu jamur tiram belum dikenal masyarakat, sehingga sistem tataniaganya belum terbentuk. Namun secara perlahan permintaan jamur mulai meningkat dan sistem tataniaganya pun sudah mulai jelas. Bahkan sistem tataniaga jamur tiram dari Kecamatan Tamansari telah sampai ke luar Pulau Jawa seperti Lampung dan Sumatera Barat, namun dalam bentuk log yang sudah siap ditumbuhi jamur.
7.1.
Pendekatan Tataniaga
Adanya saling berkoordinasi satu sama lain pada setiap komponen yang terlibat di dalam tataniaga, akan menentukan keberhasilan pelaksanaan sistem tataniaga jamur tiram. Untuk menggambarkan pelaksanaan sistem tataniaga jamur tiram putih maka dilakukan beberapa pendekatan diantaranya pendekatan fungsi, pendekatan kelembagaan dan pendekatan sistem.
7.1.1. Pendekatan Kelembagaan
Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui lembaga–lembaga yang terlibat dalam distribusi jamur tiram dari tangan produsen hingga ke tangan konsumen akhir. Diantara titik produsen dan titik konsemen tersebut masing– masing lembaga tataniaga melaksanakan peranannya dalam rangka memperlancar distribusi jamur tiram. Lembaga tataniaga yang terlibat diantaranya adalah produsen, supplier, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Produsen adalah petani yang melakukan usahatani jamur tiram, sehingga produsen merupakan pihak utama yang menghasilkan jamur tiram untuk selanjutnya diperjualbelikan dalam pasar. Tanpa adanya produk jamur tiram yang dihasilkan maka sistem tataniaga ini tidak akan terbentuk. Diantara responden petani jamur tiram di Kecamatan Tamansari, tidak ada satu pun yang menjual jamur tiramnya secara langsung ke tangan konsumen akhir. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan jika pada suatu waktu tertentu mereka dapat menjual jamur tiramnya langsung ke konsumen akhir. Misalnya ketika ada pesanan dari para pengunjung yang sedang berlibur ke wilayah ini. Lembaga selanjutnya yang terlibat dalam sistem tataniaga jamur tiram ini adalah supplier. Supplier biasanya langsung membeli/ mengambil jamur tiram ke petani (kelompok tani) , dan selanjutnya terjadi transaksi jual beli. Jamur tiram segar di Kecamatan Tamansari tidak hanya dipasarkan ke Pasar yang berlokasi Bogor (seperti Pasar Bogor, Pasar Kemang, Pasar Anyar), namun juga keluar wilayah Bogor seperti Pasar Kemiri Depok.
Pengecer membeli jamur tiram dari supplier biasanya dalam jumlah yang tidak terlalu banyak. Kemudian pedagang pengecer hanya dapat menjual jamur tiram langsung ke konsumen akhir dengan sistem mengecer atau menjual satuan.
7.1.2. Pendekatan fungsi
Pendekatan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi tataniaga jamur tiram dari segi fungsi–fungsi yang dilakukan dalam proses penyaluran produk jamur tiram tersebut dari produsen ke konsemen. Fungsi yang dapat dilakukan diantaranya fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Gambaran umum terhadap fungsi–fungsi tataniaga yang dilakukan masing–masing lembaga tataniaga disajikan pada Tabel 19 . Tabel 19. Fungsi Tataniaga yang Dilakukan Masing – Masing Lembaga Tataniaga Jamur Tiram Fungsi Tataniaga Lembaga Tataniaga Petani Supplier Pengecer Fungsi Pertukaran √ √ o Pembelian √ √ √ o Penjualan Fungsi Fisik √ √ o Penyimpanan √ o Pengangkutan √ √ √ o Pengemasan Fungsi Fasilitas √ √ o Sortasi √ √ √ o Grading/standarisasi √ √ √ o Penanggungan resiko √ √ √ o Pembiayaan √ √ √ o Informasi pasar
1. Petani
Fungsi tataniaga yang umumnya dilakukan petani responden di lokasi penelitian adalah fungsi penjualan, pembiayaan dan informasi harga dimana petani tersebut merupakan produsen yang membudidayakan jamur dan menjual
hasil panennya. Fungsi pembiayaan, para petani membiayai sendiri seluruh modal yang dikeluarkannya untuk kegiatan produksi. Petani responden juga melakukan informasi harga yaitu dengan melakukan pengamatan harga yang berlaku di pasar. Harga yang diterima oleh supplier didasarkan atas kesepakatan sebelumnya dengan para petani. Dari tujuh orang responden, tidak ada satupun yang melakukan fungsi pengangkutan, artinya semua hasil panen diambil langsung oleh supplier. Sebelum dijual, petani tersebut terlebih dahulu melakukan pengemasan. Kemasan jamur tiram yang dijual mengunakan kemasan styrofoam dan ditutup dengan plastik. Selain itu, petani tersebut juga melakukan sortasi yaitu memisahkan jamur yang rusak dengan yang bagus. Petani tersebut juga akan menanggung resiko jika harga pasar jamur tiram mengalami penurunan.
2. Supplier
Kegiatan fungsi tataniaga yang dilakukan oleh supplier adalah melakukan pembelian jamur tiram secara langsung dari petani responden. Fungsi kerja yang dilakukan oleh supplier adalah mengumpulkan jamur dan mendistribusikan ke pasar (pengecer).Transaksi pembelian dan penjualan petani dan supplier dilakukan di lokasi pembudidayaan petani. Supplier memasarkan jamur tiram dari petani ke pengecer atau swalayan menggunakan mobil box L 300. Sebelum jamur tiram diangkut ke dalam mobil, terlebih dahulu dilakukan sortasi dan standarisasi yaitu dengan memisahkan (menyeleksi) jamur berdasarkan bentuk, ukuran, warna yang seragam dan bentuk potongan jamur. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa fungsi tataniaga yang dilakukan oleh supplier adalah fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi fisik
(pengangkutan dan pengemasan) dan fungsi fasilitas (sortasi, standarisasi, pembiayaan, informasi pasar, penanggungan resiko seperti penurunan harga pasar dan kerusakan produk).
3. Pedagang Pengecer
Pedagang pengecer yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lembaga tataniaga yang berhubungan langsung dengan pemakai (konsumen). Pengecer adalah lembaga yang membeli jamur dari supplier dan menjualnya kembali ke konsumen dalam bentuk segar. Penetapan harga yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah berdasarkan informasi harga yang berlaku di pasar.
7.2.
Analisis Efisiensi Saluran Tataniaga Jamur Tiram Putih
7.2.1. Saluran Tataniaga Jamur Tiram
Saluran tataniaga jamur tiram di Kecamatan Tamansari melibatkan empat lembaga tataniaga yaitu produsen, supplier, pedagang pengecer dan konsemen akhir. Berdasarkan hasil pengamatan di Wilayah Kecamatan Tamansari diketahui bahwa terdapat tiga saluran tataniaga jamur tiram (Gambar 4).
I = 65,5 % Produsen
Supplier
Pedagang Pengecer
Konsumen Akhir
II = 7,28 % III = 27,22 %
Luar Wilayah Bogor
Gambar 4 Saluran Tataniaga Jamur Tiram Putih di Kecamatan Tamansari Keterangan : Saluran 1 : Produsen → Supplier → Pedagang Pengecer → Konsumen Akhir
Saluran 2 : Produsen → Supplier →Konsumen Akhir Saluran 3 : Produsen → Ke Luar Wilayah Bogor Berdasarkan jumlah petani jamur tiram yang terlibat dalam tiap-tiap saluran tataniaga, dapat diperoleh persentase pengguna saluran tataniaga. Jumlah petani yang terlibat dalam saluran tataniaga yang ada yaitu sebesar 7 petani. Pada saluran tataniaga 1, petani yang memilih saluran tataniaga tersebut sebanyak empat orang atau sebesar 57,14 persen. Petani yang menggunakan saluran tataniaga 2 sebanyak dua orang atau sebesar 28,57 persen. Sedangkan petani yang menggunakan saluran tataniaga 3 adalah sebanyak satu orang atau 14,29 persen. Saluran tataniaga yang paling banyak dipilih petani jamur tiram di Kecamatan Tamansari adalah saluran tataniaga 1 yaitu sebanyak 4 orang atau sebesar 57,14 persen. Saluran tataniaga tersebut banyak dipilih disebabkan karena petani di Kecamatan Tamansari cenderung lebih pasif dalam memasarkan jamur tiramnya. Pada saluran tataniaga 1 volume penjualan jamur tiram lebih besar dan permintaannya berlangsung secara terus-menerus atau kontinu.
Perbandingan Saluran Tataniaga 1, 2, dan 3
Volume penjualan jamur tiram di Kecamatan Tamansari berbeda pada tiap saluran tataniaga. Sebagai gambaran adalah seperti terlihat pada Tabel 20, yaitu alokasi penjualan jamur tiram pada periode terakhir distribusi yang diamati.
I. Saluran Tataniaga 1
Saluran tataniaga melibatkan produsen jamur tiram, supplier, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Harga yang terbentuk tergantung kesepakatan bersama dan tergantung kondisi jamur tiram. Jika jamur tiram masih segar, maka
harganya dapat sangat tinggi, namun jika sudah kurang bagus (layu dan kuning) maka harganya akan sangat murah. Alokasi penjualan melalui saluran ini adalah sebanyak 235,05 kg atau 65,51 persen terhadap total hasil panen pada periode amatan terakhir.
II. Saluran Tataniaga 2
Saluran tataniaga 2 melibatkan produsen, supplier, dan konsumen akhir. Pada saluran ini, penyampaian produk dari produsen ke konsumen tanpa melalui pengecer (jamur tidak memasuki pasar). Harga yang terbentuk pun tergantung kesepakatan bersama dan tergantung kondisi jamur tiram. Alokasi penjualan melalui saluran ini adalah sebanyak 26,12 kg atau 7,28 persen terhadap total hasil panen pada periode amatan terakhir.
III. Saluran Tataniaga 3
Saluran tataniaga 3 merupakan saluran yang tidak diidentifikasi, karena di luar jangkauan penelitian. Petani yang berada pada saluran 3 adalah hanya berjumlah 1 responden dari seluruh total responden, hal itu dikarenakan sudah memiliki pelanggan yang tetap. Pada saluran ini jamur tiram didistribusikan ke luar wilayah Bogor (Pasar Kemiri Depok) dengan alokasi penjualan sebanyak 97,66 kg atau
27,22 persen terhadap total hasil panen pada periode amatan
terakhir. Rincian mengenai besarnya alokasi penjualan jamur tiram pada masingmasing saluran tataniaga pada periode amatan terakhir disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20. Alokasi Penjualan Jamur Tiram pada Masing-Masing Saluran Tataniaga Pada Periode Amatan Terakhir Saluran Tataniaga Volume (kg) Persentase (%) 1 235,05 65,50 2 26,12 7,28 3 97,66 27,22 Total 358,83 100,00
7.2.2. Marjin Tataniaga
Marjin tataniaga jamur tiram merupakan selisih harga yang diterima petani jamur tiram dengan harga yang dibayarkan konsumen untuk dapat mengkonsumsi jamur tiram. Besarnya marjin tataniaga pada suatu saluran tataniaga tidak menunjukkan bahwa saluran tataniaga tersebut efisien. Hal ini karena dalam marjin tataniaga terdapat dua komponen, yaitu biaya tataniaga dan keuntungan yang diperoleh masing-masing lembaga yang terlibat. Biaya tataniaga dalam distribusi jamur tiram meliputi biaya pengemasan, pengangkutan, tataniaga, biaya retribusi, dan biaya lapak. Keuntungan tataniaga merupakan kepuasan dari lembaga tataniaga yang diukur dari besarnya imbalan yang diterima atas biaya yang dikeluarkan dalam distribusi jamur tiram. Perhitungan marjin tataniaga tersebut disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Rasio Keuntungan dan Biaya Lembaga Tataniaga Jamur Tiram di Kecamatan Tamansari Pola Saluran Tataniaga 1
Keterangan Rp/kg Produsen Harga jual Biaya produksi Keuntungan Supplier Harga beli Biaya : pengangkutan tataniaga pengemasan Total Biaya Harga jual Keuntungan Marjin Pedagang pengecer Harga beli Biaya : retribusi lapak pengemasan Total Biaya Harga jual Keuntungan Marjin Konsumen Akhir Harga beli Total Biaya Tataniaga Total Keuntungan Total Marjin Rasio Keuntungan/Biaya
2 (%)
Rp/kg
(%)
8.000,00 2.527,18 5.472,82
59,26 18,72 40,54
8.000,00 2.527,18 5.472,82
69,57 21,98 47,59
8.000,00
59,26
8.000,00
69,57
765,79 250,00 200,00 1.215,79 10.500,00 1.284,21 2.500,00
5,67 1,85 1,48 9,01 77,78 9,51 18,52
765,79 250,00 200,00 1.215,79 11.500,00 2.284,21 3.500,00
6,66 2,17 1,74 10,57 100,00 19,86 30,43
10.500,00
77,78
-
-
478,62 430,76 200,00 1.109,38 13.500,00 1.890,62 3.000,00
3,55 3,19 1,48 8,22 100,00 14,00
-
-
13.500,00 2.325,17 3.174,83 5.500,00 1,37
100,00 17,22 23,52 40,74 1,37
11.500,00 1.215,79 2.284,21 3.500,00 1,88
100,00 10,57 19,86 30,43 1,88
Keterangan :% = Persentase dari harga jual pedagang di tingkat konsumen akhir Berdasarkan Tabel tersebut diketahui bahwa total marjin tataniaga terbesar terjadi pada saluran 1, yang melibatkan produsen jamur tiram, supplier, pedagang pengecer dan konsumen akhir. Besarnya marjin tataniaga tersebut adalah Rp5.500
(40,74%) terdiri dari biaya tataniaga sebesar Rp 2.325,17 (17,22%) dan total keuntungan yang diperoleh 3.174,83 (23,52%). Namun dengan marjin tataniaga yang besar tidak menunjukkan bahwa saluran ini lebih efisien daripada saluran lainnya. Hal ini karena nilai marjin tataniaga tersebut terdiri dari biaya dan keuntungan yang tersebar pada masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat. Rasio
keuntungan
dan
biaya
tataniaga
mendefenisikan
besarnya
keuntungan yang diterima atas biaya tataniaga yang dikeluarkan. Dari Tabel tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rasio keuntungan dan biaya petani pada pola saluran 1 lebih tinggi dari petani pada pola saluran 2. Rasio keuntungan dan biaya tataniaga pada saluran 2 adalah sebesar 1,88, artinya bahwa petani tersebut memperoleh keuntungan sebesar 1,88 untuk setiap satu rupiah biaya tataniaga yang dikeluarkan.
7.2.3. Farmer’s Share Petani Jamur Tiram Farmer’s share merupakan bagian harga yang diterima petani sebagai
imbalan kegiatan usahatani dalam rangka memproduksi jamur. Nilai ini dihitung dengan membandingkan harga yang diterima produsen dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir dan dinyatakan dalam persentase. Farmer’s Share
berhubungan negatif dengan marjin tataniaga, artinya semakin tinggi
marjin tataniaga maka bagian yang akan diperoleh petani (farmer’s share) semakin rendah.Hasil perhitungan farmer’s share disajikan pada Tabel 22.
Tabel 22. Besarnya Farmer’s Share Pada Masing-Masing Saluran Tataniaga Jamur Tiram di Kecamatan Tamansari Keterangan Farmer's share (%) Keuntungan petani (%) Biaya tataniaga (%) Keuntungan lembaga tataniaga (%) Harga di tingkat konsumen akhir (%) Alokasi penjualan
Saluran 1 59,26 40,54 17,22 23,52 100,00 65,50
Saluran 2 69,57 47,59 10,57 19,86 100,00 7,28
Pada Tabel 22 dapat disimpulkan bahwa sistem saluran tataniaga yang paling efisien adalah terdapat pada pola saluran tataniaga 2 karena petani tersebut memperoleh farmer’s share (bagian yang diterima petani) sebesar 69,57 persen, artinya lebih besar dibandingkan farmer’s share pola saluran 1 sebesar 59,26 persen. Begitu juga rasio keuntungan dan biaya yang diperoleh petani pada saluran 2 (1,88) lebih besar daripada rasio keuntungan dan biaya pada saluran 1 (1,37). Namun berdasarkan ukuran efisiensinya, maka dapat disimpulkan bahwa kedua pola saluran tataniaga tersebut sudah efisien karena nilai rasio keuntungan dan biaya yang diperoleh petani pada kedua pola saluran tersebut lebih besar dari satu.
7.3.
Pendekatan SCP
7.3.1. Struktur Pasar (Market Structure)
Struktur pasar merupakan karakteristik organisasi pasar. Ada empat komponen yang akan menjadi pertimbangan dalam menentukan struktur pasar jamur tiram. Pertama, adalah jumlah penjual dan pembeli dalam pasar jamur tiram sangat banyak. Hal ini terkait dengan permintaan jamur tiram yang terus mengalami peningkatan di beberapa wilayah. Peningkatan jumlah permintaan ini menunjukkan bahwa pembeli jamur tiram sangat banyak. Penjual jamur tiram pun
lumayan banyak, hal ini terbukti dari mudahnya kita menemukan jamur tiram mulai dari pasar tradisional hingga supermarket. Kedua adalah sifat produk, jamur tiram merupakan salah satu jenis jamur yang digemari masyarakat karena rasanya enak. Ketiga adalah kemudahan keluar dan masuk pasar, tidak ada hambatan yang cukup berarti dalam memasuki pasar jamur tiram. Keempat adalah pengaruh lembaga tataniaga dalam membentuk harga, setiap lembaga tataniaga yang terlibat dalam sistem tataniaga jamur tiram tidak memiliki kewenangan penuh dalam menentukan harga jamur tiram. Harga jamur tiram ini terbentuk karena mekanisme pasar yang berlangsung. Kecuali jika terjadi over supply, maka penjual dapat mempengaruhi harga jual jamur tiram dengan menaikkannya. Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka dapat disimpulkan bahwa struktur pasar jamur tiram adalah cenderung kompetitif.
7.3.2. Perilaku Pasar (Market Conduct)
Perilaku pasar melihat praktek penjualan dan pembelian serta proses penetapan harga jamur tiram. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terlihat bahwa setiap pelaku tataniaga dalam pasar jamur tiram ini melakukan praktek jual-belinya secara adil, yaitu tidak saling menjelekkan satu sama lain. Pada umumnya setiap pedagang sudah memiliki pelanggan yang tetap, sehingga praktek jual-beli dapat berlangsung secara sehat. Dalam rangka penetapan harga jamur tiram pun tidak ada kesepakatan bersama, setiap pedagang menetapkan harga jualnya masing-masing. Karena mekanisme ini telah berlangsung lama, maka walaupun para pedagang menetapkan harga jualnya masing-masing namun harganya tidak akan berbeda jauh satu dengan yang lainnya.
7.3.3. Keragaan Pasar (Market Performance)
Keragaaan pasar dapat digunakan untuk melihat seberapa jauh pengaruh struktur dan tingkah laku pasar dalam proses tataniaga. Proses tataniaga jamur tiram yang berlangsung selama ini belum mampu memenuhi tingginya permintaan jamur tiram. Sehingga beberapa konsumen masih sering merasa tidak puas dengan kualitas jamur tiram yang ada. Namun demikian untuk menjaga kualitas jamur tiram agar tetap segar, belum ada lembaga tataniaga yang berusaha untuk meningkatkan sarana penunjang dalam melaksanakan distribusi jamur tiram ini. Sarana penunjang yang dapat diupayakan untuk menjaga kualitas jamur tiram salah satunya yaitu kotak pendingin.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN
8.1. Kesimpulan
1. Berdasarkan proses produksi yang terjadi di lapangan, proses produksi usahatani jamur tiram putih di di Kecamatan Tamansari masih menggunakan teknologi drum (tidak ada yang menggunakan teknologi autoklaf), dengan penggunaan log rata-rata 12.571 log. 2. Keuntungan (pendapatan) usahatani jamur tiram putih lebih ditentukan oleh jumlah log. Berdasarkan analisis pendapatan, maka diperoleh nilai imbangan dan biaya atau (R/C rasio) total sebesar 1,43, yang artinya untuk setiap rupiah biaya total yang dikeluarkan petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,43. Sedangkan untuk R/C rasio atas biaya tunai adalah sebesar 1,63, artinya untuk setiap rupiah biaya tunai yang dikeluarkan petani akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,61. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa usahatani jamur tiram tersebut menguntungkan dan layak untuk dikembangkan 3. Berdasarkan pendekatan Return to Family Labor sebesar Rp 61.418, yang artinya lebih besar dibandingkan dengan upah yang berlaku (Rp 15.000 per HOK). Sedangkan berdasarkan pendekatan Return to Total Capital sebesar 36,91%, yang artinya lebih besar dari bunga bank
berlaku (15 persen). Melalui kedua pendekatan tersebut, dapat dikatakan bahwa usahatani jamur tiram di Kecamatan Tamansari sangat menguntungkan.
4. Pada saluran tataniaga jamur tiram putih, terdapat tiga saluran tataniaga jamur tiram putih. Pada saluran 1 dan saluran 2 jamur yang dihasilkan petani dijual di sekitar wilayah Bogor , sedangkan pada saluran 3 jamur dijual ke luar wilayah Bogor. Berdasarkan nilai rasio keuntungan dan biaya, maka saluran tataniaga yang paling efisien adalah pola saluran 2, yaitu sebesar 1,88. 8.2. Saran
1. Dalam memperoleh modal untuk pengembangan usahatani jamur tiram putih disarankan untuk bekerjasama dengan pihak-pihak yang terkait di bidang keuangan seperti Bank, Koperasi dan sebagainya. 2. Berdasarkan nilai rasio keuntungan dan biaya, bisa dikatakan bahwa masing-masing saluran tataniaga sudah efisien, sehingga disarankan untuk setiap petani agar mempertahankan pola salurannya. Agar proses tataniaga dapat berjalan dengan baik dan keuntungan yang diperoleh petani dapat lebih tinggi, maka perlu dianjurkan adanya suatu wadah (seperti: koperasi) yang bisa menampung hasil panen dari setiap petani, dengan tujuan agar harga jual yang diterima oleh petani lebih tinggi. 3. Agar produksi jamur tiram yang dihasilkan dapat masuk pasar swalayan, disarankan untuk meningkatkan teknik budidayanya, seperti mengurangi kadar airnya dengan mengatur penyiraman dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyana, Y.A, Muchrodji, dan M. Bakrun. 1999. Jamur Tiram (Pembibitan, Pembudidayaan, Analisis Usaha). Penebar Swadaya. Jakarta Dahl, C. D., Hammond, J. W., 1977. Market Place Analysis The Agryculture Industry. MC. Graw-Hill Book Company. New York. Direktorat Tanaman Pangan. 2006. Data Ekspor Jamur Olahan dan Segar. Departemen Pertanian. Jakarta. Direktorat Tanaman Pangan. 2006. Data Impor Jamur Olahan dan Segar. Departemen Pertanian. Jakarta. Hanafiah, A. M., Saefudin, A. M., 1983. Tataniaga Hasil Perikanan. Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Hernanto, F.1991. Usahatani. Penebar Swadaya. LP3ES. Jakarta. Khols, R. L., 1967. Marketing of Agriculture Product. The Macmillan Company. New York. Kotler, P., 1990. Dasar-Dasar Pemasaran. CV Intermedia. Jakarta. Kotler, P., 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Kontrol. Jilid 2. Edisi ke-9. PT Prenhalindo. Jakarta. Limbong, W. H., Sitorus, P., 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan IlmuIlmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Limbong, W. H., 1997. Tataniaga Pertanian. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mosher, AT. 1966. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. CV Sasaguna. Jakarta Mubyarto, 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Nugraha. 2006. Analisis Efisiensi Saluran Tataniaga Jamur Tiram Segar di Bogor, Propinsi Jawa Barat. Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Pasaribu, T, Permana,DR dan Alda, ER. 2002. Aneka Jamur Unggulan Yang Menembus Pasar. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Redaksi Trubus. 2002. Pengalaman Pakar dan Praktisi Budidaya Jamur. Penebar Swadaya. Jakarta Restuwati. 2000. Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor – Faktor Produksi dan Titik Impas Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Pada Unit Usaha Supa Tiram Mandiri di Kebun Percobaan Cikabayan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Darmaga Bogor. Skripsi. Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ruillah. 2006. Analisis Usahatani Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Bandung. Skripsi. Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Sitompul, R.P. 2007. Analisis Usahatani dan Tataniaga Ikan Hias Maskoki Oranda (Carrausius auratus) di Desa Parigi Mekar, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Brat. Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian Bogor. Bogor. Soeharjo dan Patong. 1973. Sendi – Sendi Pokok Ilmu Usahatani. Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soekartawi. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. Universitas Indonesia – Press. Jakarta. Soekartawi. 1990. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Khusus Fungsi Produksi Coob – Douglas. Grafindo Persada. Jakarta. Winda, O. 2001. Analisis Usahatani Pengolahan Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Pada Koperasi Petani dan Pengusaha Jamur Supa Fajar Mas di Bogor. Skripsi. Jurusan Ilmu – Ilmu sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Windyastuti, W. P. 2000. Analisis Pendapatan Usahatani dan Efisiensi Penggunaan Faktor – Faktor Produksi Usahatani Jamur Tiram Putih (Studi Kasus : Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Sripsi. Jurusan Ilmu – Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Penjabaran Tentang Biaya Variabel yang Dikeluarkan Oleh Masingmasing Petani Responden Responden 1 (5.000 log)
No
Komponen
jumlah harga satuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
bibit jamur(botol) serbuk kayu/ gergaji (kg) bekatul (kg) gipsum (kg) kapur (kg) kantong plastik (kg) kapas (kg) cincin bambu (biji) biaya pengemasan kayu bakar (mobil pickup) alkohol (lt) pestisida (lt) minyak tanah(lt) spritus (lt) karet (kg) upah TK Total biaya variabel
250 4.000 250 50 50 30 10 5.000 1.688 3 1,0 1,00 625 0,10 1,00
5.000 133 1.500 2.000 2.000 19.000 28.000 50 50 360.000 17.000 5.000 5.000 3.500 7.500
nilai 1.250.000 532.000 375.000 100.000 100.000 570.000 280.000 250.000 84.400 1.080.000 17.000 5.000 3.125.000 350 7.500 1.337.600 9.113.850
Biaya variabel per log 250,00 106,40 75,00 20,00 20,00 114,00 56,00 50,00 16,88 216,00 3,40 1,00 625,00 0,07 1,50 267,52 1.822,77
Responden 2 (10.000 log)
No
Komponen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
bibit jamur(botol) serbuk kayu/ gergaji (kg) bekatul (kg) gipsum (kg) kapur (kg) kantong plastik (kg) kapas (kg) cincin bambu (biji) biaya pengemasan kayu bakar (mobil pickup) alkohol (lt) pestisida (lt) minyak tanah(lt) spritus (lt) karet (kg) upah TK Total biaya variabel
jumlah harga satuan 400 8.000 500 60 180 50 20 10.000 3.375 5 2,00 0,50 1.250 0,50 2,00
5.000 133 1.500 2.000 2.000 19.000 28.000 50 50 360.000 17.500 5.000 5.000 3.500 7.500
nilai 2.000.000 1.064.000 750.000 120.000 360.000 950.000 560.000 500.000 168.750 1.800.000 35.000 2.500 6.250.000 1.750 15.000 2.675.000 17.252.000
Biaya variabel per log 200,00 106,40 75,00 12,00 36,00 95,00 56,00 50,00 16,88 180,00 3,50 0,25 625,00 0,18 1,50 267,50 1.725,20
Lanjutan Lampiran 1 Responden 3 (11.000 log)
No
Komponen
jumlah harga satuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
bibit jamur(botol) serbuk kayu/ gergaji (kg) bekatul (kg) gipsum (kg) kapur (kg) tepung kanji (kg) kantong plastik (kg) kapas (kg) cincin bambu (biji) biaya pengemasan kayu bakar (mobil pickup) alkohol (lt) pestisida (lt) minyak tanah spritus (lt) karet (kg) Upah TK Total biaya variabel
550 8.800 550 110 110 1.375 66 22 11.000 4.604 6 2,20 2,20 1.375 0,22 2,20
5.000 133 1.500 2.000 2.000 3.500 19.000 28.000 50 50 360.000 17.500 5.000 5.000 3.500 7.500
nilai 2.750.000 1.170.400 825.000 220.000 220.000 4.812.500 1.254.000 616.000 550.000 230.175 2.160.000 38.500 11.000 6.875.000 770 16.500 3.120.700 24.870.545
Biaya variabel per log 250,00 106,40 75,00 20,00 20,00 437,50 114,00 56,00 50,00 20,93 196,36 3,50 1,00 625,00 0,07 1,50 283,70 2.260,96
Responden 4 (12.000 log)
No
Komponen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
bibit jamur(botol) serbuk kayu/ gergaji (kg) bekatul (kg) gipsum (kg) kapur (kg) kantong plastik (kg) kapas (kg) cincin bambu (biji) biaya pengemasan kayu bakar (mobil pickup) alkohol (lt) pestisida (lt) minyak tanah spritus (lt) karet (kg) upah TK Total biaya variabel
jumlah harga satuan 600 9.600 600 120 120 72 24 12.000 4.050 6 2,40 2,40 1.500 0,24 2,40
5.000 133 1.500 2.000 2.000 19.000 28.000 50 50 360.000 17.500 5.000 5.000 3.500 7.500
nilai 3.000.000 1.276.800 900.000 240.000 240.000 1.368.000 672.000 600.000 202.500 2.160.000 42.000 12.000 7.500.000 840 18.000 3.210.000 21.442.140
Biaya variabel per log 250,00 106,40 75,00 20,00 20,00 114,00 56,00 50,00 16,88 180,00 3,50 1,00 625,00 0,07 1,50 267,50 1.786,85
Lanjutan Lampiran 1 Responden 5 (14.000 log)
No
Komponen
jumlah harga satuan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
bibit jamur(botol) serbuk kayu/ gergaji (kg) bekatul (kg) gipsum (kg) kapur (kg) kantong plastik (kg) kapas (kg) cincin bambu (biji) biaya pengemasan kayu bakar (mobil pickup) alkohol (lt) pestisida (lt) minyak tanah spritus (lt) karet (kg) upah TK Total biaya variabel
700 11.200 700 140 140 84 28 14.000 4.725 6 2,80 2,80 1.750 0,28 2,80
5.000 133 1.500 2.000 2.000 19.000 28.000 50 50 360.000 17.500 5.000 5.000 3.500 7.500
nilai 3.500.000 1.489.600 1.050.000 280.000 280.000 1.596.000 784.000 700.000 236.250 2.160.000 49.000 14.000 8.750.000 980 21.000 3.745.000 24.655.830
Biaya variabel per log 250,00 106,40 75,00 20,00 20,00 114,00 56,00 50,00 16,88 154,29 3,50 1,00 625,00 0,07 1,50 267,50 1.761,13
Responden 6 (15.000 log)
No
Komponen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
bibit jamur(botol) serbuk kayu/ gergaji (kg) bekatul (kg) gipsum (kg) kapur (kg) kantong plastik (kg) kapas (kg) cincin bambu (biji) biaya pengemasan kayu bakar (mobil pickup) alkohol (lt) pestisida (lt) minyak tanah spritus (lt) karet (kg) upah TK Total biaya variabel
jumlah harga satuan 750 12.000 750 150 150 90 30 15.000 5.063 6 3,00 3,00 1.875 0,30 3,00
5.000 133 1.500 2.000 2.000 19.000 28.000 50 50 360.000 17.500 5.000 5.000 3.500 7.500
nilai 3.750.000 1.596.000 1.125.000 300.000 300.000 1.710.000 840.000 750.000 253.125 2.160.000 52.500 15.000 9.375.000 1.050 22.500 4.265.625 26.515.800
Biaya variabel per log 250,00 106,40 75,00 20,00 20,00 114,00 56,00 50,00 16,88 144,00 3,50 1,00 625,00 0,07 1,50 284,38 1.767,72
Lanjutan Lampiran 1 Responden 7 (21.000 log)
No
Komponen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
bibit jamur(botol) serbuk kayu/ gergaji (kg) bekatul (kg) gipsum (kg) kapur (kg) serbuk jagung kantong plastik (kg) kapas (kg) cincin bambu (biji) biaya pengemasan kayu bakar (mobil pickup) alkohol (lt) pestisida (lt) minyak tanah spritus (lt) karet (kg) upah TK Total biaya variabel
jumlah harga satuan 1.050 16.800 1.050 210 210 2.625 126 42 21.000 8.789 6 4,20 4,20 2.625 0,42 4,20
5.000 133 1.500 2.000 2.000 1.000 19.000 28.000 50 50 360.000 17.500 5.000 5.000 3.500 7.500
nilai 5.250.000 2.234.400 1.575.000 420.000 420.000 2.625.000 2.394.000 1.176.000 1.050.000 439.425 2.160.000 73.500 21.000 13.125.000 1.470 31.500 6.836.550 39.832.845
Biaya variabel per log 250,00 106,40 75,00 20,00 20,00 125,00 114,00 56,00 50,00 20,93 102,86 3,50 1,00 625,00 0,07 1,50 325,55 1.896,80
Lampiran 2. Perbandingan biaya tunai dan tidak tunai pada masing-masing petani responden selama satu periode Pengeluaran Usahatani
5000
10000
11000
12000
1.Biaya Tunai bibit jamur(botol) serbuk kayu/ gergaji (kg) bekatul (kg) gipsum (kg) kapur (kg) kantong plastik (kg) kapas (kg) cincin bambu (biji) biaya pengemasan kayu bakar (mobil pickup) alkohol (lt) pestisida (lt) minyak tanah spritus (lt) karet (kg) TKLK Pajak lahan Total Biaya Tunai
1.250.000 532.000 375.000 100.000 100.000 570.000 280.000 250.000 84.400 1.080.000 17.000 5.000 3.125.000 350 7.500 1.337.600 400.000 9.513.850
2.000.000 1.064.000 750.000 120.000 360.000 950.000 560.000 500.000 168.750 1.800.000 35.000 2.500 6.250.000 1.750 15.000 2.675.000 600.000 17.852.000
2.750.000 1.170.400 825.000 220.000 220.000 1.254.000 616.000 550.000 230.175 2.160.000 38.500 11.000 6.875.000 770 16.500 3.120.700 600.000 20.658.045
3.000.000 1.276.800 900.000 240.000 240.000 1.368.000 672.000 600.000 202.500 2.160.000 42.000 12.000 7.500.000 840 18.000 3.210.000 600.000 22.042.140
2. Biaya Tidak Tunai Penyusutan alat Penyusutan bangunan TKDK Total Biaya Tidak Tunai
87.000 833.333 1350000 2.270.333
90000 833.333 2700000 3.623.333
91.875 666.667 1800000 2.558.542
92.794 916.667 1350000 2.359.460
11.784.183
21.475.333
23.216.587
24.401.600
Total Biaya
Lanjutan Lampiran 2 Pengeluaran Usahatani
14000
15000
21000
1.Biaya Tunai bibit jamur(botol) serbuk kayu/ gergaji (kg) bekatul (kg) gipsum (kg) kapur (kg) kantong plastik (kg) kapas (kg) cincin bambu (biji) biaya pengemasan kayu bakar (mobil pickup) alkohol (lt) pestisida (lt) minyak tanah spritus (lt) karet (kg) TKLK Pajak lahan Total Biaya Tunai
3.500.000 1.489.600 1.050.000 280.000 280.000 1.596.000 784.000 700.000 236.250 2.160.000 49.000 14.000 8.750.000 980 21.000 3.745.000 600.000 25.255.830
3.750.000 1.596.000 1.125.000 300.000 300.000 1.710.000 840.000 750.000 253.125 2.160.000 52.500 15.000 9.375.000 1.050 22.500 4.265.625 800.000 27.315.800
5.250.000 2.234.400 1.575.000 420.000 420.000 2.394.000 1.176.000 1.050.000 439.425 2.160.000 73.500 21.000 13.125.000 1.470 31.500 6.836.550 800.000 38.007.845
2. Biaya Tidak Tunai Penyusutan alat Penyusutan bangunan TKDK Total Biaya Tidak Tunai
93.722 791.667 2700000 3.585.388
95.596 916.667 2700000 3.712.263
96.563 791.667 1800000 2.688.230
28.841.218
31.028.063
40.696.075
Total Biaya
Lampiran 3. Rata-Rata Nilai Penyusutan Peralatan Usahatani Jamur Tiram di Kecamatan Tamansari Selama Satu Periode Uraian drum keranjang panen ember cutter gunting pisau sekop terpal cangkul saringan selang air stempel plastik kukus alat pompa timbangan sapu lantai masker tampah sepatu boot kompor semawar Total
umur tahun 8 8 2 2 2 8 8 8 4 2 2 4 1 5 8 2 2 2 4 4
jumlah harga satuan buah (Rp) 3 90.000 5 25.000 4 10.000 4 2.500 3 5.000 4 15.000 2 35.000 1 36.000 1 15.000 1 15.000 1 75.000 1 15.000 3 18.000 1 125.000 1 150.000 1 10.000 4 25.000 1 10.000 3 20.000 1 70.000
nilai (Rp) 270.000 125.000 40.000 10.000 15.000 60.000 70.000 36.000 15.000 15.000 75.000 15.000 54.000 125.000 150.000 10.000 100.000 10.000 60.000 70.000
penyusutan per tahun periode 11.250 5.625 3.125 1.563 5.000 2.500 1.250 625 2.500 1.250 1.875 938 4.375 2.188 4.500 2.250 3.750 1.875 7.500 3.750 37.500 18.750 3.750 1.875 18.000 9.000 25.000 12.500 18.750 9.375 5.000 2.500 12.500 6.250 5.000 2.500 5.000 2.500 17.500 8.750 92.507
Lampiran 4. Kuisioner Penelitian KUISIONER USAHATANI PETANI JAMUR TIRAM SEGAR Kecamatan Tamansari Kab. Bogor
Kuisioner ini digunakan sebagai sumber data primer dalam rangka penyusunan skripsi (penelitian) yang berjudul “Analisis Usahatani dan Tataniaga Jamur Tiram” Oleh Romber Juanto (A14105700) Program Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hari/Tanggal :__________________ Waktu :__________________ A. IDENTITAS DIRI No 1 2 3 4 5 6
Pertanyaan Nama Alamat No.Telepon Umur Jenis Kelamin Pendidikan
7 8
Jumlah tanggungan Jenis usaha yang dilakukan
9 10
Lama menjalankan usaha Alasan berusahatani jamur tiram Keterlibatan anggota keluarga dalam usahatani jamur tiram Jarak lokasi budidaya dengan rumah Perkiraan ketinggian lokasi budidaya Usaha sampingan
11 12 13 14 15
Pendapatan usaha sampingan
Jawaban
(1)Pria (1) Tidak Sekolah (2) SD (3) SMP/MTS
(2)Wanita (4) SMA/SMK (5) Diploma (6) Sarjana
(1) Budidaya jamur tiram segar (2) Pembuatan media jamur tiram (3) Pembuatan bibit jamur tiram
Lanjutan Lampiran 3 B. INVESTASI No 16 17
18 19 20 21 22 23
Pertanyaan Jawaban Modal awal Sumber kepemilikan modal (1) Pribadi (2) Pinjaman (3) Kerjasama (4) Lainnya Sumber peminjaman (1) Bank (2) Koperasi (3) Kelompok tani Bunga peminjaman/lainnya Luas lahan yang digunakan untuk budidaya jamur tiram ……………m2 Status kepemilikan lahan (1) Pribadi yang digunakan untuk (2) Sewa budidaya jamur tiram (3) Lainnya……………. Besarnya biaya sewa Jumlah kumbung produksi kumbung yang dimiliki …………………
(4) Pengumpul (5) Lainnya………
PROFIL KUMBUNG PRODUKSI (BUDIDAYA) Kumbung
Tahun Umur Biaya Pembuatan Produktif Pembuatan
Luas (m2)
Kapasitas (Log)
Biaya Perbaikan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
BANGUNAN YANG DIMILIKI KUMBUNG PRODUKSI (BUDIDAYA) No
Ruang
1
Pengolahan media (pengadukan,pengo mposan,pembuatan log) Pengukusan Pembibitan Pemutihan Produksi Gudang
2 3 4 5 6 7 8 9
Tahun Pembuatan
Umur Produktif
Biaya Pembuatan
Biaya Perbaikan
Luas (m2)
Lanjutan Lampiran 3 PERALATAN PENUNJANG PRODUKSI JAMUR TIRAM No
Peralatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Drum Kompor semawar Jirigen Tabung minyak Kompresor/Kompa Selang tembaga Sendok makan Sprayer Diesel air Keranjang panen Ember Cutter Gunting Gerobak Pisau Sekop Terpal Cangkul Saringan Centong kayu Nota bon Stempel Selang air Plastik kukus Alat ngukus Sarung tangan Masker Sepatu boot Alat pompa Timbangan Sapu lidi Sapu lantai Tampah Cerangkak Rotak
Tahun Umur Pembelian Produktif
Jumlah
Harga Satuan(Rp)
Nilai (Rp)
C. USAHATANI JAMUR TIRAM SEGAR
1. Berapa baglog jamur tiram yang dibudidayakan untuk satu kali musim tanam? ………………..baglog 2. Berapa baglog jamur tiram yang terkontaminasi dari total baglog yang dibuat untuk satu kali membuat adonan baglog jamur tiram?
Lanjutan Lampiran 3
3. Jumlah jam kerja dalam satu hari………………..HOK 4. Komponen biaya yang dibutuhkan untuk membuat satu adonan baglog jamur tiram :
KOMPONEN PENGELUARAN No Uraian
BIAYA VARIABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Bibit Serbuk kayu/gergaji Bekatul Gipsum Kapur Serbuk jagung TSP Urea SP 36 Kapas Minyak tanah Kantong plastik Alkohol Karet Plastik wrap Kertas Stereofoam Cincin bambu Bambu Spritus Formalin Stiker logo Penurunan nilai inventaris
Biaya pengemasan Biaya pengangkutan Biaya retribusi Biaya pemasaran
Total Biaya Variabel
Jumlah
Harga Satuan
Nilai (Rp)
Lanjutan Lampiran 3 BIAYA TETAP 34 Upah TK tetap (luar keluarga) 35 Upah TK tetap (dalam keluarga) 36 Biaya transportasi 37 Listrik 38 Air 40 41 42 43
Total Biaya Tetap
KOMPONEN PENERIMAAN No Uraian Jumlah 1 Jamur tiram 2 Jamur tiram yang dikonsumsi rumah tangga 3 Media tanam 4 Kompos bekas media tanam 5 Peningkatan nilai inventaris 6 7 8 9 10
Harga Satuan
Nilai (Rp)
D. PEMASARAN Jamur Tiram Segar No Tujuan Pemasaran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
Jumlah
Harga Satuan
Nilai (Rp)
Frekuensi memasok
Lanjutan Lampiran 3
MEDIA TANAM JAMUR TIRAM (LOG) No Tujuan Pemasaran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total
Jumlah
Harga Satuan
Nilai (Rp)
Frekuensi memasok