ANALISIS SISTEM TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat)
SKRIPSI
MAIDA YULIANDARI H34096059
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
i
RINGKASAN MAIDA YULIANDARI. Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. (Di bawah bimbingan LUKMAN MOHAMMAD BAGA).
Salah satu komoditas hortikultura yang memiliki potensi usaha yang baik adalah komoditas jamur konsumsi. Produk jamur memiliki nilai ekonomis cukup tinggi, kandungan gizi yang tinggi, bercitarasa lezat dan disamping itu berkhasiat pula sebagai obat. Jenis jamur konsumsi yang banyak dibudidayakan adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) atau dikenal pula dengan nama Shimeji White. Desa Kertawangi yang terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat adalah salah satu desa sentra penghasil jamur tiram putih di Propinsi Jawa Barat dengan total produksi mencapai sekitar tiga ton jamur tiram putih per hari. Jamur tiram putih merupakan produk hortikultura yang dijual dalam bentuk segar, bersifat mudah rusak (perishable) dan tidak tahan lama, sehingga diperlukan penanganan pascapanen yang tepat dan cepat, termasuk proses tataniaganya agar produk tidak rusak hingga sampai ke tangan konsumen. Oleh karena itu, diperlukan peran lembaga tataniaga yang berfungsi memasarkan jamur tiram putih dari produsen hingga ke tangan konsumen akhir. Kurangnya informasi dan akses pasar menjadi kendala petani dalam memasarkan produknya. Petani pun tidak memiliki posisi tawar yang kuat terhada lembaga tataniaga, sehingga petani hanya menjadi price taker. Terdapat perbedaan harga jual antara harga yang diterima petani dengan harga jamur tiram putih di tingkat konsumen akhir. Harga di tingkat petani sekitar Rp 7.000 per kilogram, sedangkan harga jamur tiram putih di tingkat konsumen akhir mencapai Rp 12.000 per kilogram. Dengan adanya marjin tataniaga yang mencapai Rp 5.000 tanpa ada pengolahan produk, mengindikasikan bahwa marjin tataniaga tersebut terbentuk dari rantai tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi yang cukup panjang dan saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi kurang efisien. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2012 di Desa Kertawangi yang dijadikan sebagai studi kasus. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengidentifikasi dan menganalisis sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, 2) Menganalisis bagian pendapatan yang diperoleh petani jamur tiram putih (farmer’s share), dan 3) Menganalisis efisiensi saluran tataniaga jamur tiram putih melalui besarnya marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga di setiap lembaga tataniaga yang terkait dalam proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan para petani dan lembaga tataniaga responden, sedangkan data sekunder diperoleh melalui literatur ataupun studi pustaka yang mendukung penelitian. Data sekunder bersumber dari
ii
data laporan desa, majalah, internet, Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Hortikultura, buku teks tataniaga, perpustakaan IPB, dan data-data dari beberapa instansi terkait lainnya. Penelitian ini melibatkan delapan petani responden yang dipilih secara sengaja (purposive) menurut arahan narasumber dan sepuluh lembaga tataniaga responden yang dipilih menggunakan teknik snowball sampling dari petani responden. Proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi dimulai dari petani sebagai produsen hingga konsumen akhir, melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Petani responden dibagi ke dalam tiga kelompok menurut skala usahanya. Petani skala kecil dengan kepemilikan bag log kurang dari 20.000 buah. Petani skala usaha sedang/menengah memiliki jumlah bag log antara 20.000 hingga 100.000 buah. Petani skala besar memiliki bag log lebih dari 100.000. Lembaga tataniaga yang terlibat adalah pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir, dan pedagang pengecer. Terdapat empat pola saluran tataniaga jamur tiram putih yang terbentuk dengan total volume penjualan 1.145 kilogram per hari. Pola saluran I: Petani-Pedagang pengumpul-Pedagang grosir-Pedagang pengecer-Konsumen akhir. Pola saluran II: Petani–Bandar-Pedagang grosirPedagang pengecer-Konsumen akhir. Pola saluran III: Petani-Pedagang pengumpul–Bandar-Pedagang grosir- Pedagang pengecer-Konsumen akhir. Pola saluran IV: Petani-Pedagang grosir-Pedagang pengecer-Konsumen akhir. Saluran yang paling banyak digunakan oleh petani responden adalah saluran I dengan jumlah petani responden sebanyak tiga orang dan total volume penjualan sebanyak 105 kg per hari. Saluran III merupakan saluran yang paling sedikit digunakan oleh petani responden dengan jumlah petani responden sebanyak satu orang dan total volume penjualannya pun paling sedikit yaitu hanya 40 kg per hari. Saluran IV merupakan saluran dengan volume penjualan tertinggi, yaitu mencapai 850 kilogram per hari, namun hanya dua petani responden yang menggunakan saluran ini. Fungsi-fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Struktur pasar yang dihadapi cenderung mengarah pada pasar persaingan sempurna. Berdasarkan perilaku pasar yang dihadapi dalam praktek penjualan dan pembelian, telah terjalin kerjasama yang cukup baik antar lembaga tataniaga. Pembentukan harga ditentukan oleh supply dan demand jamur tiram putih di Pasar Induk Kramat Jati. Hasil analisis tataniaga menunjukkan bahwa masing-masing lembaga tataniaga mengeluarkan biaya tataniaga dan memperoleh keuntungan tataniaga. Berdasarkan hasil analisis marjin pemasaran, farmer’s share, rasio keuntungan atas biaya dan volume jamur tiram yang terjual, diketahui bahwa saluran tataniaga IV merupakan saluran yang paling efisien karena memiliki nilai marjin tataniaga terendah (37,5 persen), farmer’s share tertinggi (62,5 persen), volume penjualan per hari tertinggi (850 kilogram) dengan harga jual jamur tiram tertinggi diantara keempat saluran tataniaga, yaitu Rp 7.500 per kilogram. Saluran tiga merupakan saluran tataniaga yang paling tidak efisien karena pada saluran tiga petani mendapatkan harga jual terendah dibanding saluran tataniaga lainnya dan memiliki nilai marjin tataniaga terbesar (43,34 persen), farmer’s share terendah (56,67 persen) dan volume penjualan terendah (40 kilogram).
iii
ANALISIS SISTEM TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat)
MAIDA YULIANDARI H34096059
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
iv
Judul Skripsi
: Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat)
Nama
: Maida Yuliandari
NRP
: H34096059
Menyetujui, Pembimbing
Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec NIP. 19640220 198903 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus :
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2012
Maida Yuliandari H34096059
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 23 Juli 1988 dengan nama lengkap Maida Yuliandari. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Mohammad B. Djaelani dan Ibu Sri Wahyuni (Almh.). Penulis memulai pendidikan dasar di SD Kartika III-I Kota Bandung dan menyelesaikannya pada tahun 2000. Kemudian pada tahun 2003 penulis lulus dari SMP Negeri 7 Bandung dan langsung melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas di SMA Negeri 14 Bandung dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2009 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Diploma III (D3) Jurusan Budidaya Tanaman Hortikultura, Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Bandung. Saat menempuh pendidikan
Diploma
III,
penulis
aktif
mengikuti
sejumlah
kegiatan
kemahasiswaan yaitu sebagai Ketua Angkatan 2006 Himpunan Mahasiswa Budidaya Tanaman Hortikultura (HIMA BUTAHORT), Sekretaris HIMA BUTAHORT periode 2007-2008, dan menjadi anggota Senat Mahasiswa Agribisnis Divisi Humas Eksternal 2008-2009. Penulis juga berkesempatan memperoleh beasiswa prestasi pada tahun 2008. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan pendidikan S1 (Ekstensi) di Program Penyelenggaraan Khusus, Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat serta ridho-Nya lah skripsi ini dapat diselesaikan, serta tidak lupa sholawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Skripsi dengan judul “Analisis Sistem Tataniaga Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) (Studi Kasus Petani di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat)” ini disusun sebagai syarat kelulusan dalam menyelesaikan studi dan untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis sistem dan pola saluran tataniaga, fungsi lembaga tataniaga, struktur dan perilaku pasar, serta keragaan pasar jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Namun demikian, sangat penulis sadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk penyempurnaan skripsi ini sehingga dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2012
Maida Yuliandari
viii
UCAPAN TERIMAKASH
Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ir. Lukman M. Baga, MA.Ec selaku dosen pembimbing dalam pelaksanaan penelitian atas bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi hingga skripsi ini selesai. 2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji pada ujian sidang penulis yang telah bersedia meluangkan waktunya serta memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Ir. Narni Farmayanti, M.Sc selaku dosen penguji komdik pada ujian sidang penulis yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini, khususnya dalam hal penulisan skripsi. 4. Ir. Juniar Atmakusuma, MS selaku dosen evaluator pada kolokium penulis yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan saran dan masukan dalam perbaikan proposal penelitian penulis. 5. Ir. Netti Tinaprilla, MM selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama masa kuliah di Departemen Agribisnis. 6. Ayahanda, adikku Rayhan Asfahani, dan Embah Putri tercinta, serta Keluarga Besar Supardi yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan moril dan materiil, serta doa tulus yang selalu dipanjatkan menjadi sumber semangat dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 7. Bapak Ajang Taryana, Bapak Tisna Wardhana, Bapak Nandang, Bapak Beni, Pemerintah Desa Kertawangi, para responden, dan seluruh pihak di Desa Kertawangi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang terlibat dalam penelitian ini dan telah membantu penulis dalam memberikan data dan seluruh informasi yang dibutuhkan dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Seluruh staf Sekretariat Ekstensi Agribisnis, Institut Pertanian Bogor atas bantuan dan informasinya dalam mengurus dan menyelesaikan berbagai urusan akademik.
ix
9. Teman-teman seperjuangan penelitian dan bimbingan skripsi yaitu Kak Andry, Wawan, Meidina, dan Yulius yang telah memberikan semangat, saling mendukung dan saling membantu dalam proses penyelesaian skripsi, terima kasih atas semua kritik dan sarannya. 10. Sahabatku Siti Heryani dan teman-teman di Kostan Bale Bandung Teh Fitriani dan Teh Wiwit yang selalu memberi hiburan dan dukungan moral serta bantuan untuk mengoreksi tulisan penulis. 11. Teman-teman seperjuangan Ekstensi Agribisnis Angkatan 7, Mas Nurdin, Ade, Riena, atas bantuan, semangat, dukungan dan sharing selama proses penelitian dan penulisan skripsi serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut membantu dalam proses penelitian dan penulisan skripsi, terima kasih atas bantuannya.
Bogor, Juni 2012
Maida Yuliandari
x
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………….….
xiii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………..…...
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………......
xv
I
PENDAHULUAN …………………………………………………... 1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 1.3. Tujuan Penelitian …………………........................................... 1.4. Manfaat Penelitian …………..................................................... 1.5. Ruang Lingkup Penelitian ……………………………………...
1 1 6 8 8 9
II
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………. 2.1. Karakteristik Jamur Tiram Putih ............................................... 2.1.1. Lingkungan dan Syarat Tumbuh ………..…….………. 2.1.2. Kandungan Nutrisi dan Manfaat Jamur Tiram …..…… 2.2. Tahapan Budidaya Jamur Tiram Putih ...................................... 2.3. Bisnis Jamur Tiram Putih ………………….............................. 2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ..................................................
10 10 12 13 15 17 18
III
KERANGKA PEMIKIRAN ……………………………………….. 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis …………………………………... 3.1.1. Konsep Tataniaga Pertanian …..……..………...……… 3.1.2. Pendekatan Komoditi Tataniaga …..……….………….. 3.1.3. Pendekatan Lembaga Tataniaga ….....…....................... 3.1.4. Pendekatan Fungsi Tataniaga ……….........……..…….. 3.1.5. Pendekatan Sistem dan Struktur Pasar ……..………..… 3.1.6. Pendekatan Teori Ekonomi ……………..….………..… 3.1.7. Efisiensi Tataniaga ……………………………………... 3.1.7.1. Rasio Keuntungan Atas Biaya ....……..……... 3.1.7.2. Marjin Tataniaga ……………...……………… 3.1.7.3. Farmer’s Share ………………….....………… 3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ………………………………
23 23 23 25 25 26 28 29 29 31 31 34 34
IV
METODE PENELITIAN ………………………………………….. 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………... 4.2. Jenis Data dan Sumber Data ……………...………………..….. 4.3. Metode Penentuan Responden ………………………………… 4.4. Metode Pengolahan Data dan Analisis Data …………………... 4.4.1. Analisis Deskriptif …..…………………………………. 4.4.2. Analisis Sistem Tataniaga …..…………………………. 4.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar ………..…………. 4.4.4. Analisis Marjin Tataniaga ………..……………………..
37 37 37 37 38 38 38 39 39
xi
4.4.5. Analisis Rasio Keuntungan Atas Biaya ……..…………. 4.4.6. Analisis Farmer’s Share ……..………………………....
40 41
V
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Geografi Lokasi Penelitian …………………………………….. 5.2. Keadaan Alam ………………………………………………….. 5.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat …………………………... 5.4. Gambaran Umum Usahatani Jamur Tiram Putih ………………. 5.5. Karakteristik Petani Responden ………………………………... 5.6. Karakteristik Lembaga Tataniaga Responden ………………….
42 42 42 43 44 46 48
VI
ANALISIS SALURAN TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH .. 6.1. Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga ………………………. 6.1.1. Petani …………………………………..………………. 6.1.2. Pedagang Pengumpul (Pengepul) ………..…………….. 6.1.3. Bandar …………..……………………………………… 6.1.4. Pedagang Grosir …………..……………………………. 6.1.5. Pedagang Pengecer ………..…………………………… 6.2. Analisis Saluran Tataniaga …………………………………….. 6.2.1. Saluran Tataniaga I ………..…………………………... 6.2.2. Saluran Tataniaga II …………..………………………... 6.2.3. Saluran Tataniaga III …………..………………………. 6.2.4. Saluran Tataniaga IV ………..…………………….…... 6.3. Analisis Struktur Pasar ………………………………………… 6.3.1. Petani ………..…………………………………………. 6.3.2. Pedagang Pengumpul (Pengepul) …………….……….. 6.3.3. Bandar ………..………………………………………… 6.3.4. Pedagang Grosir ………..………………………………. 6.3.5. Pedagang Pengecer ………..…………………………… 6.4. Analisis Perilaku Pasar ………………………………………… 6.4.1. Praktik Pembelian dan Penjualan ……..……………….. 6.4.2. Sistem Penentuan Harga ……..………………………… 6.4.3. Sistem Pembayaran ……..……………………………… 6.4.4. Kerjasama antar Lembaga Tataniaga ………..………… 6.5. Analisis Keragaan Pasar ……………………………………….. 6.5.1. Analisis Marjin Tataniaga ………..……………………. 6.5.2. Analisis Rasio Keuntungan Atas Biaya ……..………… 6.5.3. Analisis Farmer’s Share …………………..………..….
50 50 50 52 53 54 55 57 57 59 61 62 64 64 65 66 66 66 67 67 67 68 69 69 69 77 79
VII
KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………... 7.1. Kesimpulan …………………………………………………….. 7.2. Saran ……………………………………………………………
81 81 82
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………
83
LAMPIRAN ………………………………………………………………...
85
xii
DAFTAR TABEL
Nomor 1
Halaman
Nilai Produk Domestik Bruto Hortikultura, Pertanian, dan Nasional Tahun 2010 …………................................................................
1
2
Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jamur di Indonesia Tahun 2005-2010 ……………………………...
2
3
Kebutuhan Masyarakat Terhadap Jamur di Beberapa Kota di Indonesia ……………………………………………………………
4
4
Luas Kumbung dan Jumlah Produksi Jamur per Tahun Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, 2010 ……………………
5
5
Kandungan Gizi Setiap 100 Gram Jamur Tiram …………………...
13
6
Perbandingan Kandungan Gizi Jamur dengan Bahan Makanan Lainnya ……………………………………………………………..
14
7
Komposisi Media untuk Pembuatan 80 Bag Log Ukuran Sedang………………………………………………………………….
15
8
Hasil Penelitian Terdahulu ………………………………………….
22
9
Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat …………………….
29
10
Pengaplikasian Metode Penelitian ………………………………….
41
11
Luas Tanam dan Produksi Tanaman Pangan dan Sayuran di Desa Kertawangi pada Tahun 2011 ………………………………..........
43
12
Persentase Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan Terakhir, Pekerjaan Utama, Lama Bertani Jamur Tiram Putih dan Jumlah Bag Log Jamur Tiram di Desa Kertawangi Tahun 2012 ………………………………………
48
13
Karakteristik Lembaga Tataniaga Responden Komoditas Jamur Tiram Putih …………………………………………………………
49
14
Aktivitas Fungsi Tataniaga yang Dilakukan oleh Lembaga Tataniaga Jamur Tiram Putih ……………………………………….
56
15
Volume dan Harga Jual Jamur Tiram Putih di Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga I …………………………………………………
58
16
Volume dan Harga Jual Jamur Tiram Putih di Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga II …………………..……………………………
60
17
Volume dan Harga Jual Jamur Tiram Putih di Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga III ………………………………………………
61
18
Volume dan Harga Jual Jamur Tiram Putih di Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga IV …………….…………………………………
63
xiii
19
Biaya Tataniaga Masing-masing Lembaga Tataniaga …………….
70
20
Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga Beli, dan Harga Jual Jamur Tiram Putih pada Saluran Tataniaga I ………….
72
21
Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga Beli, dan Harga Jual Jamur Tiram Putih pada Saluran Tataniaga II ………….
73
22
Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga Beli, dan Harga Jual Jamur Tiram Putih pada Saluran Tataniaga III …….….
75
23
Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga Beli, dan Harga Jual Jamur Tiram Putih pada Saluran Tataniaga VI …….….
76
24
Analisis Rasio Keuntungan Atas Biaya pada Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi …………………………………...
78
25
Analisis Farmer’s Share pada Saluran Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi …………………………………………..
79
xiv
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1
Jamur Tiram Putih Varietas Florida …………………………..…...
12
2
Konsep Marjin Tataniaga …………………………………………...
32
3
Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian …………..
36
4
Saluran Tataniaga I pada Jamur Tiram Putih ………………………
58
5
Saluran Tataniaga II pada Jamur Tiram Putih …………………...…
60
6
Saluran Tataniaga III pada Jamur Tiram Putih ………………….…
61
7
Saluran Tataniaga IV pada Jamur Tiram Putih ……………………..
62
8
Alur Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi Tahun 2012
64
9
Alternatif Saluran Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi ………………………………………………………….
80
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Luas Panen, Produksi dan Hasil per Hektar Sayuran di Indonesia Tahun 2010 …………………………………………………………
86
2
Produksi Jamur di Indonesia Tahun 2004-2008 (Dalam Kilogram) ..
87
3
Data Petani Responden ……………………………………………..
89
4
Data Lembaga Tataniaga Responden ………...…………………….
90
5
Peta Desa Kertawangi ………………………………………………
91
xvi
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang memiliki peluang besar
dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah untuk memajukan sektor pertanian. Salah satu subsektor dari sektor pertanian adalah hortikultura. Hortikultura merupakan suatu cabang dari ilmu pertanian yang mempelajari tentang budidaya buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan biofarmaka. Pembangunan subsektor hortikultura telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan sektor pertanian dan perekonomian nasional, salah satunya dapat dilihat dari kontribusi subsektor hortikultura terhadap nilai Produk Domestik Bruto (PDB). PDB adalah salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu negara dalam suatu periode tertentu. Kontribusi subsektor hortikultura terhadap PDB pertanian dan PDB nasional dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto Hortikultura, Pertanian dan Nasional Tahun 2010 Tahun 2010 Sektor/Subsektor Nilai PDB (Milyar Rp.) Hortikultura 86.565,46 Pertanian Total PDB Nasional
737.874,10 6.422.918,20
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)
Subsektor hortikultura memberikan kontribusi sebesar 11,73 persen terhadap PDB sektor pertanian dan sebesar 1,35 persen terhadap PDB Nasional pada tahun 2010. Prospek pengembangan agribisnis hortikultura saat ini sangat besar mengingat ketersediaan sumberdaya alam, keanekaragaman agroekosistem, sumberdaya manusia, ketersediaan teknologi, keanekaragaman komoditas, serta serapan pasar di dalam negeri dan pasar internasional yang terus meningkat.
1
Salah satu komoditas dari subsektor hortikultura adalah tanaman sayuran. Sayuran memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap total PBD Hortikultura tahun 2010, yaitu sebesar Rp 31.244,16 Milyar atau 36,09 persen (Direktorat Jenderal Hortikultura 2011). Salah satu komoditas sayuran yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah jamur konsumsi (edible mushroom). Jamur konsumsi saat ini menjadi salah satu sayuran yang cukup diminati, baik sebagai bahan konsumsi maupun komoditas perdagangan dalam dan luar negeri. Produk jamur konsumsi memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, kandungan gizi tinggi, bercitarasa lezat dan disamping itu berkhasiat pula sebagai obat. Hal ini didukung dengan adanya proses budidaya jamur konsumsi yang sebagian besar tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia yang dapat membahayakan kesehatan, sehingga jamur aman untuk dikonsumsi. Proses budidaya jamur konsumsi pun tergolong mudah, waktu budidaya yang relatif singkat, dan dapat dilakukan di sebagian besar tempat di Indonesia yang umumnya bersuhu hangat. Hal tersebut ditunjang pula oleh mudahnya pengadaan bibit dan media tanamnya. Budidaya jamur konsumsi tidak memerlukan lahan yang luas dan memiliki tingkat produktivitas tertinggi bila dibandingakan dengan tanaman sayuran lain yang dibudidayakan di Indonesia (Lampiran 1). Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki tersebut menjadikan jamur konsumsi semakin diminati untuk dibudidayakan dari tahun ke tahun, baik sebagai usaha sampingan berskala rumah tangga hingga usaha berskala besar. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukan tingkat perkembangan produksi jamur di Indonesia.
Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jamur di Indonesia Tahun 2005-2010 Luas Panen Produksi Produktivitas Tahun (Ha) (Ton) (Ton/Ha) 2005 254 30.854 121,47
Tabel 2.
2006
298
23.559
79,06
2007
377
48.247
127,98
2008
637
43.047
67,58
2009
700
38.465
54,93
2010
684
61.376
89,76
2
Sumber : Direktorat Jenderal Hortikultura (2011)
Berdasarkan data pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa produksi jamur di Indonesia mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun, sedangkan luas panen jamur dari tahun 2005 hingga tahun 2009 terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2008 mengalami peningkatan paling pesat, yakni sebesar 68,97 persen dari total luas panen tahun 2007. Namun, pada tahun 2010 luas panen jamur justru
mengalami
penurunan
sebesar
2,32
persen.
Keadaan
tersebut
mengindikasikan bahwa peningkatan luas panen ternyata tidak diiringi oleh peningkatan hasil produksi jamur. Selama tiga tahun berturut-turut (tahun 2007, 2008, dan 2009) produksi jamur nasional terus mengalami penurunan jumlah produksi, rata-rata sebesar 10 persen per tahunnya. Namun, pada tahun 2010 produksi jamur nasional kembali meningkat dimana hal ini terlihat dengan adanya peningkatan produksi sebesar 59,56 persen dari tahun sebelumnya. Menurut data dari Masyarakat Agribisnis Jamur Indonesia (MAJI), pada tahun 2004 tingkat konsumsi jamur di Indonesia baru mencapai 0,05 kilogram per kapita per tahun (Chazali dan Pratiwi 2010). Kebutuhan konsumsi jamur di dunia, termasuk Indonesia, terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan pertambahan pendapatan serta perubahan pola konsumsi makanan penduduk dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha pembudidayaan jamur konsumsi dapat menjadi salah satu peluang usaha yang memiliki potensi untuk berkembang. Pada awalnya, pemenuhan kebutuhan manusia terhadap jamur konsumsi hanya mengandalkan alam. Dengan cara seperti ini, jumlah jamur yang didapat sangat terbatas dan hanya pada musim tertentu bisa diperoleh. Di Indonesia, jamur hanya tumbuh secara alami pada musim hujan karena tingkat kelembaban udara yang cukup tinggi. Inisiatif membudidayakan jamur konsumsi dilakukan karena adanya kebutuhan yang terus meningkat, sedangkan persediaan di alam semakin menipis. Tabel 3 menunjukkan tingkat kebutuhan konsumsi masyarakat per harinya akan jamur di beberapa kota besar di Indonesia pada tahun 2007.
3
Tabel 3. Kebutuhan Masyarakat Terhadap Jamur di Beberapa Kota di Indonesia No. Kota Kebutuhan (kg/per hari) 1. Bekasi 3.000 2.
Bogor
150
3.
Semarang
350
4.
Tangerang
3.000
5.
Tasikmalaya
300
6.
Yogyakarta
200
Sumber : Parjimo dan Andoko (2007)
Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa kebutuhan masyarakat akan jamur konsumsi di beberapa kota besar di Pulau Jawa pada tahun 2007 cukup tinggi. Dengan tingginya kebutuhan akan jamur konsumsi tersebut maka menjadikan budidaya jamur konsumsi di Indonesia sebagai peluang usaha yang memiliki potensi yang besar. Di berbagai daerah di Indonesia, kegiatan pembudidayaan/ produksi jamur konsumsi sebagai mata pencaharian sudah cukup banyak dilakukan, namun kegiatan produksi jamur konsumsi tersebut masih terkonsentrasi di Pulau Jawa (Lampiran 2). Menurut MAJI (2007), jenis jamur yang diminati konsumen adalah jamur merang (Volvariella volvaceae), jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus), jamur kuping (Auricularia polytricha), jamur champignon (Agaricus bisporus), dan jamur shiitake (Lentinus edodes). Jamur merang mendominasi 55–60 persen dari total produksi jamur nasional. Peringkat berikutnya adalah jamur tiram putih atau dikenal pula dengan nama Shimeji White. Produksi jamur tiram putih mulai dirintis pengembangannya sejak tahun 1997 dan kini mengisi sekitar 30 persen dari total produksi jamur Indonesia. Jamur kayu yang banyak dibudidayakan di daerah berketinggian 800-1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl) mempunyai siklus hidup lima bulan dengan masa panen empat bulan1. Berdasarkan data MAJI, Jawa Barat memproduksi sepuluh ton jamur tiram per hari. Sebagian besar produksi jamur dipasarkan dalam bentuk segar. Pasar jamur tiram untuk Jakarta dipasok dari Karawang, Bandung, Bogor, Cianjur, dan 1
Dadang W. dan Selamet R. 2007. Bisnis Jamur Bikin Tergiur. http://www.agrinaonline.com/show_article.php?rid=7&aid=1009 [4 Desember 2011].
4
Sukabumi. Dari Cisarua Kabupaten Bandung, setiap hari tidak kurang dari tiga ton jamur tiram masuk ke Jakarta2. Salah satu sentra penghasil komoditas jamur konsumsi di Jawa Barat adalah Kabupaten Bandung Barat. Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Barat (2010), pada tahun 2009 Kabupaten Bandung Barat memiliki total produksi jamur konsumsi sebanyak 1.735.033 kwintal. Jamur yang diproduksi di Kabupaten Bandung Barat adalah komoditas jamur tiram putih. Namun, tidak seluruh kecamatan di Kabupaten Bandung Barat memproduksi jamur tiram putih, hanya kecamatan yang terletak di dataran tinggi saja. Tabel 4, menunjukkan kecamatan-kecamatan di Kabupaten Bandung Barat
yang
memproduksi jamur beserta jumlah produksinya.
Tabel 4. No.
Luas Kumbung dan Jumlah Produksi Jamur per Tahun Menurut Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, 2010 Luas Kumbung Produksi Kecamatan 2 (m ) (Kg/Tahun)
1.
Rongga
-
-
2.
Gununghalu
-
-
3.
Sindangkerta
-
-
4.
Cililin
60
1.223
5.
Cihampelas
-
-
6.
Cipongkor
-
-
7.
Batujajar
-
-
8.
Cipatat
-
-
9.
Padalarang
-
-
10.
Ngamprah
20.000
108.100
11.
Parongpong
2.210
98.381
12.
Lembang
35.200
195.380
13.
Cisarua
347.000
4.015.200
14.
Cikalongwetan
-
-
15.
Cipeundeuy
-
-
404.470
4.418.284
Jumlah/ Total Sumber : BPS Kabupaten Bandung Barat (2011)
2
berbisnisjamur.com. 2011. Bisnis Jamur! Peluang Bisnis Rumahan yang Gak Murahan!. http://berbisnisjamur.com/ [30 November 2011]
5
Kecamatan Cisarua merupakan salah satu sentra penghasil komoditas jamur tiram putih yang memiliki luas lahan produksi jamur tiram terluas, yaitu 347.000 m2. Dengan jumlah hasil produksi jamur tiram yang mencapai 4.015.200 kilogram per tahun, artinya pada tahun 2010 setiap harinya Kecamatan Cisarua mampu menghasilkan kurang lebih 11 ton jamur tiram putih. Bila dibandingkan dengan kecamatan lain, Kecamatan Cisarua merupakan daerah terbesar penghasil jamur tiram putih di Kabupaten Bandung karena letaknya di dataran tinggi yang memiliki iklim sejuk yang cocok untuk lokasi pembudidayaan jamur tiram putih, oleh karena itu sebagian besar penduduknya membudidayakan jamur tiram putih baik sebagai mata pencaharian utama maupun hanya sekedar usaha sampingan.
1.2.
Perumusan Masalah Jamur tiram merupakan komoditas pertanian yang memiliki nilai
ekonomis cukup tinggi. Salah satu jenis jamur tiram yang banyak dibudidayakan adalah jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Jamur tiram putih merupakan produk hortikultura yang dijual dalam bentuk segar. Seperti sifat umum pada produk hortikultura lainnya, jamur pun bersifat mudah rusak (perishable) sehingga diperlukan penanganan pascapanen yang tepat dan cepat. Proses tataniaga yang dilakukan pun harus cepat agar produk tidak rusak dan layu saat sampai ke tangan konsumen, karena produk yang rusak akan menurunkan harga jual atau bahkan tidak akan laku dijual. Oleh karena itu, diperlukan peran lembaga tataniaga yang berfungsi memasarkan hasil-hasil produksi dengan cepat dari produsen hingga ke tangan konsumen. Salah satu desa di Kecamatan Cisarua yang merupakan sentra jamur tiram putih adalah Desa Kertawangi. Petani di Desa Kertawangi memiliki karakteristik yang cenderung homogen, yaitu menghasilkan jamur tiram putih segar sebagai produk utama. Petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi sangat bergantung pada lembaga tataniaga untuk memasarkan produknya karena keterbatasan informasi dan akses pasar. Petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi sebagian besar adalah petani kecil yang menjual produknya secara individual. Tidak adanya organisasi seperti koperasi yang membantu petani, khususnya dalam hal memasarkan produknya menjadi sebuah kendala dan kelemahan bagi petani dalam
6
proses pemasaran jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Oleh karena itu, petani tidak memiliki kekuatan tawar terhadap pedagang ketika menjual produknya. Petani jamur tiram putih hanya mampu berperan sebagai penerima harga (price taker) terhadap harga yang ditawarkan oleh pedagang. Padahal dengan adanya organisasi seperti koperasi akan memberikan keuntungan bagi petani terutama untuk memasarkan produknya. Saat penelitian berlangsung, harga jamur tiram putih di tingkat petani berkisar antara Rp 6.800 hingga Rp 7.000 per kilogram, sedangkan harga jamur tiram putih di tingkat konsumen akhir yaitu sekitar Rp 12.000 per kilogram. Terdapat selisih harga jual yang cukup tinggi antara harga yang diterima petani dengan harga eceran di tingkat konsumen akhir, yaitu sebesar Rp 5.000. Besarnya selisih harga atau disebut marjin tataniaga tidak selalu mengindikasikan keuntungan yang tinggi, tergantung berapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi tataniaga (Sudiyono 2002). Marjin tataniaga jamur tiram putih ini dianggap cukup tinggi karena dalam proses tataniaga ini tidak terdapat penanganan khusus yang dilakukan oleh lembaga tataniaga dan juga tidak terjadi penambahan nilai (value added) terhadap produk. Selisih harga tersebut diindikasikan murni sebagai penggantian atas biaya tataniaga yang telah dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga tanpa adanya fungsi pengolahan dan ditambah dengan imbalan (keuntungan) yang diambil oleh lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses tataniaga jamur tiram putih. Semakin besar nilai marjin tataniaga maka akan semakin besar pula harga yang ditanggung oleh konsumen akhir untuk membeli jamur tiram putih segar ini. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi? 2) Berapa farmer’s share dan rasio keuntungan biaya yang diperoleh petani jamur tiram putih dari hasil penjualan jamur tiram putih segar? 3) Apakah saluran tataniaga tersebut sudah efisien dilihat dari nilai marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga?
7
Tujuan Penelitian
1.3.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan: 1)
Mengidentifikasi dan menganalisis sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.
2)
Menganalisis bagian pendapatan yang diperoleh petani dari keseluruhan harga yang dibayarkan oleh konsumen (farmer’s share).
3)
Menganalisis efisiensi saluran tataniaga jamur tiram putih melalui besarnya marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga di setiap lembaga tataniaga yang terkait dalam proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi.
1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan
bagi: 1)
Seluruh pihak yang terlibat dalam saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi, terutama untuk petani produsen jamur tiram putih agar terjadi peningkatan pendapatan.
2)
Dinas Pertanian, terutama bidang hortikultura, sebagai bahan informasi dan kajian ilmiah dalam melakukan pembinaan dan penyuluhan terhadap petani jamur tiram tentang prosedur budidaya jamur tiram yang benar.
3)
Dinas Koperasi dan UKM, sebagai bahan informasi dalam melakukan pembinaan tentang pentingnya berkoperasi terhadap petani jamur tiram agar mereka memiliki posisi tawar yang kuat dan tidak lagi bergantung pada pengumpul dan bandar dalam memasarkan hasil produksinya serta adanya bantuan dalam pembentukan koperasi.
4)
Pembaca hasil penelitian ini, sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya sekaligus memberikan gambaran tentang usaha serta tataniaga jamur tiram putih di lokasi penelitian.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mengkaji tentang saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa
Kertawangi melalui analisis lembaga dan fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar,
8
dan perilaku pasar yang dilakukan oleh lembaga tataniaga jamur tiram putih, serta menganalisis efisiensinya menggunakan marjin tataniaga, biaya tataniaga, farmer’s share, dan volume penjualan. Ruang lingkup lokasi penelitian meliputi Desa Kertawangi sebagai daerah penghasil jamur tiram putih, Pasar Induk Caringin Bandung sebagai tujuan utama pemasaran jamur tiram putih dari Desa Kertawangi untuk Kota Bandung, dan beberapa pasar kecil di Kota Bandung. Dalam hasil analisis tersebut dapat diidentifikasi bagaimana efisiensi tataniaga komoditas jamur tiram putih yang terjadi dan kemudian dapat memberikan gambaran secara umum mengenai kegiatan tataniaga jamur tiram putih di lokasi penelitian.
9
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Jamur Tiram Putih Jamur merupakan tanaman yang berinti, berspora, dan tidak memiliki
klorofil sehingga tidak bisa melakukan proses fotosintesis untuk menghasilkan makanan sendiri. Jamur hidup dengan cara mengambil zat-zat makanan, seperti selulosa, glukosa, lignin, protein, dan senyawa pati dari organisme lain. Dengan bantuan enzim yang diproduksi oleh hifa (bagian jamur yang bentuknya seperti benang halus, panjang, bercabang-cabang, dan dapat berkembang secara vegetatif), bahan makanan tersebut diuraikan menjadi senyawa yang dapat diserap untuk pertumbuhan. Oleh karena itu, jamur digolongkan sebagai tanaman heterotrofik, yaitu tanaman yang kehidupannya tergantung pada organisme lain (Parjimo dan Andoko 2007). Jamur
konsumsi
yang
dibudidayakan
umumnya
dari
Subclassis
Basidiomycetes. Ukuran tubuh buahnya cukup besar dan banyak bagian yang dapat dimakan. Di lapangan hanya dikenal dua kelompok besar jamur yang dapat dikonsumsi (edible mushroom) dan dibudidayakan, yaitu jamur merang dan jamur kayu. Sebutan ini lebih didasarkan atas media tumbuhnya daripada ciri morfologinya. Disebut jamur merang karena media tumbuhnya berupa merang, meskipun sebenarnya tidak mutlak memerlukan merang. Jamur kayu biasa tumbuh pada batang kayu lapuk atau serbuk gergaji sehingga disebut jamur kayu. Jenis jamur yang termasuk jamur kayu, diantaranya adalah jamur kuping, jamur payung/ jamur shiitake, dan jamur tiram3. Jamur tiram terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu jamur tiram putih, tiram pink, tiram abu-abu, tiram kuning, dan tiram coklat/ abalon. Salah satu komoditas jamur tiram yang paling banyak dibudidayakan adalah jenis jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Nama jamur tiram putih diberikan karena bentuk tudung jamur ini agak membulat, lonjong, dan melengkung menyerupai cangkang tiram dengan bagian tengah agak cekung dan berwarna putih hingga krem. Tubuh buah memiliki batang atau tangkai jamur yang berada dipinggir (bahasa Latin:
3
Tim Redaksi Trubus. 1992. Jamur Konsumsi. Majalah Trubus 271. Hal. 7-9.
10
pleurotus) dan bentuknya seperti tiram (ostreatus), sehingga jamur tiram mempunyai nama binomial Pleurotus ostreatus4. Parjimo dan Andoko (2007) menyebutkan jika permukaan tudung jamur tiram licin, agak berminyak jika lembab, dan tepiannya bergelombang. Diameternya berukuran tiga hingga 15 centimeter. Tubuh buahnya membentuk rumpun yang memiliki banyak percabangan dan menyatu dalam satu media tanam. Jika sudah tua, daging buahnya akan menjadi liat dan keras. Jamur tiram memiliki inti plasma dan spora yang berbentuk sel-sel lepas atau bersambungan membentuk hifa dan miselium (sekumpulan hifa yang tumbuh bersama-sama menjadi satu). Pada titik-titik pertemuan percabangan miselium akan terbentuk bintik kecil yang disebut pin head atau calon tubuh buah jamur yang akan berkembang menjadi tubuh buah jamur. Jenis jamur tiram putih yang paling banyak dibudidayakan di Desa Kertawangi adalah jamur tiram putih varietas Florida. Penampang fisik jamur tiram putih varietas Florida dapat dilihat pada Gambar 1. Adapun ciri-ciri umum dari jamur tiram putih varietas Florida menurut Satriyanto (2009)5 adalah : 1)
Bentuk jamur tiram putih seperti tudung/payung. Beberapa dari jenis ini dalam pertumbuhannya bergerombol atau berkelompok, namun ada pula yang merupakan tangkai tunggal.
2)
Kisi-kisi bawah tudung relatif lebar.
3)
Warna jamur putih bersih, terkadang seperti ada warna kecoklatan (seperti tiram coklat atau tiram kelabu), hal tersebut disebabkan karena cuaca. Terkadang jika siang hari suhu agak panas dengan kelembaban rendah, lalu pada sore harinya disiram dan mengenai tubuh buah, ini yang menyebabkan jamur menjadi berwarna sedikit kecoklatan.
4)
Kadar air optimal pada jamur tiram jenis Florida cenderung tinggi. Ciri umum jamur yang memiliki kadar air baik adalah warna jamur tetap putih bersih. Jika memiliki kadar air berlebihan, jamur tiram cenderung berwarna kekuningan dan lebih cepat membusuk.
4 5
Stamets and Chilton. 1983. The Mushroom Cultivator. www.wikipedia.com. [20 Mei 2009]. Satriyanto, F. 2009. Jenis Jamur Tiram Putih. www.agronusamushroom.com [20 Mei 2009].
11
5)
Karakteristik panen jamur tiram jenis ini cenderung stabil (panen bertahap dan jamur tidak langsung habis dalam sekali panen). Dalam 100 hari pertama, panen masih cenderung stabil dan baik.
6)
Jamur tiram jenis Florida sangat cocok untuk jenis sayuran, untuk usaha jenis kripik jamur, dan juga jamur goreng. Strukturnya masih cukup kuat walaupun telah disimpan dalam lemari es.
Gambar 1. Jamur Tiram Putih Varietas Florida Sumber : Dok. pribadi
2.1.1. Lingkungan dan Syarat Tumbuh Secara alami jamur tiram banyak ditemukan tumbuh di batang-batang kayu lunak yang telah lapuk seperti pohon karet, damar atau sengon yang tergeletak di lokasi yang sangat lembab dan terlindung dari cahaya matahari. Jamur tiram dapat tumbuh di ketinggian minimal sekitar 500 m diatas permukaan laut di lokasi yang memiliki kadar air minimal 60 persen (Parjimo dan Andoko 2007). Tingkat keasaman media sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan jamur tiram. Derajat keasaman atau pH media tanam yang optimal untuk pertumbuhan jamur tiram putih adalah enam hingga tujuh. Apabila pH terlalu rendah atau terlalu tinggi maka pertumbuhan jamur akan terhambat, bahkan mungkin akan tumbuh jamur lain yang akan mengganggu pertumbuhan jamur tiram itu sendiri. Keasaman pH media diatur dengan menggunakan kapur/ Calsium carbonat (Dinas
12
Pertanian Jawa Timur 2007). Syarat tumbuh jamur tiram sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Oleh karena itu, faktor lingkungan harus benar-benar dikelola secara baik, seperti temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, dan cahaya.
2.1.2. Kandungan Nutrisi dan Manfaat Jamur Tiram Jamur merupakan sumber mineral yang baik, kandungan mineral utama yang tertinggi adalah kalium (K), kemudian fosfor (P), natrium (Na), kalsium (Ca), dan magnesium (Mg). Jamur juga merupakan sumber mineral minor yang baik karena mengandung seng, besi, mangan, molibdenum, kadmium, dan tembaga. Oleh karena itu jamur tiram baik dan aman untuk dikonsumsi setiap hari. Jamur tiram mengandung sembilan asam amino esensial yang tidak bisa disintesis dalam tubuh, yaitu lisin, metionin, triptofan, threonin, valin, leusin, isoleusin, histidin dan fenilalanin. Setidaknya 72 persen dari total asam lemak jamur tiram berupa asam lemak tidak jenuh (Isnawan 2003)6. Tabel 5 menunjukkan besarnya kandungan gizi pada 100 gram jamur tiram.
Tabel 5. Kandungan Gizi Setiap 100 Gram Jamur Tiram Kandungan Kadar Protein
5,94%
Serat
1,56%
Lemak
0,17%
Karbohidrat
50,59%
Kalori
45,65 kj
Zat Besi
1,9 mg
Kalsium
8,9 mg
Vitamin B1
0,75 mg
Vitamin B2
0,75 mg
Vitamin C
12,4 mg
Fosfor
17 mg
Sumber: Chazali dan Pratiwi (2010)
6
Isnawan, H. 2003. Teknologi Bioproses Pembibitan dan Produksi Jamur Tiram untuk Peningkatan Nilai Tambah Pertanian. www.iptek.net.id. [20 Mei 2009].
13
Jamur tiram memiliki kandungan gizi dan nutrisi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jamur kayu lainnya. Berikut perbandingan kandungan nutrisi pada jamur tiram dengan jamur lain dan bahan makanan lain dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perbandingan Kandungan Gizi Jamur dengan Bahan Makanan Lainnya Bahan Makanan Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Jamur tiram 27 1,6 58 Jamur merang 1,8 0,3 4 Jamur kuping 8,4 0,5 82,8 Daging sapi 21 5,5 0,5 Bayam 2,2 1,7 Kentang 2 20,9 Kubis 1,5 0,1 4,2 Seledri 1,3 0,2 Buncis 2,4 0,2 Sumber: Martawijaya dan Nurjayadi (2010)
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa kandungan lemak pada jamur konsumsi lebih rendah daripada lemak daging sehingga jamur lebih sehat untuk dikonsumsi. Kandungan protein pada jamur tiram ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi dan bahan makanan lain yang juga berasal dari tanaman. Dilihat dari segi harga, harga jamur konsumsi jauh lebih murah bila dibandingkan dengan daging. Hal tersebut menunjukkan bahwa jamur dapat dijadikan sebagai alternatif pangan yang mampu memenuhi kebutuhan gizi dan protein untuk berbagai kalangan masyarakat. Jamur tiram rendah kolesterol dan kandungan lemaknya merupakan lemak tidak jenuh sehingga dapat mencegah penyakit darah tinggi dan aman bagi mereka yang rentan terhadap serangan jantung (Parjimo dan Andoko 2007). Dari hasil penelitian kedokteran secara klinis, diketahui bahwa kandungan senyawa kimia khas jamur tiram berkhasiat mengobati berbagai penyakit manusia seperti tekanan darah tinggi, diabetes, kelebihan kolesterol, anemia, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap serangan polio, dan influenza, serta kekurangan gizi7. 7
Dinas Pertanian Jawa Timur. 2007. Budidaya Jamur Tiram. www.diperta-jatim.go.id. [9 Mei 2009].
14
Tahapan Budidaya Jamur Tiram Putih
2.2.
Beberapa tahapan dalam budidaya jamur tiram putih menurut Ganjar8, yaitu: 1)
Persiapan Bahan Bahan yang harus dipersiapkan diantaranya serbuk gergaji, dedak atau bekatul, dan kapur. Bisa juga diberi tambahan gips, tepung jagung, dan glukosa. Berikut perbandingan bahan baku pembuatan bag log jamur tiram putih.
Tabel 7. Komposisi Media untuk Pembuatan 80 Buah Bag Log Ukuran Sedang Bahan Media Takaran Serbuk kayu 100 kg Tepung jagung 10 kg Dedak atau bekatul 10 kg Kompos 0,5 kg Kapur (CaCO3) 0,5 kg Air 50-60% Sumber: Chazali dan Pratiwi (2010)
2)
Pengayakan Serbuk kayu yang diperoleh dari penggergajian mempunyai tingkat keseragaman yang kurang baik, hal ini dapat menyebabkan tingkat pertumbuhan miselia kurang merata dan kurang baik. Untuk itu, serbuk gergaji perlu diayak.
3)
Pencampuran Bahan-bahan yang telah ditimbang sesuai dengan kebutuhan dicampur dengan serbuk gergaji selanjutnya disiram dengan air sekitar 50-60 persen atau bila kita kepal serbuk tersebut menggumpal tapi tidak keluar air. Hal ini menandakan kadar air sudah cukup.
4)
Pengomposan Pengomposan adalah proses pelapukan bahan baku media yang akan digunakan agar nutrisi yang terkandung dalam media dapat diserap dengan mudah oleh jamur. Pengomposan dilakukan dengan cara menimbun
8
Ganjar. 2008. Budidaya Jamur Tiram. www.bbpp-lembang.info.htm. [9 Mei 2009].
15
campuran serbuk gergaji kemudian menutupinya dengan plastik selama semalam. 5)
Sterilisasi Sterilisasi dilakukan dengan mempergunakan alat sterilisasi seperti drum atau steamer yang bertujuan untuk menonaktifkan mikroba, bakteri, kapang, maupun khamir yang dapat mengganggu pertumbuhan jamur yang ditanam. Sterilisasi dilakukan pada suhu 90-1000C selama 12 jam.
6)
Pembungkusan (pembuatan bag log) Pembungkusan media menggunakan plastik polypropilen (PP) dengan ukuran yang dibutuhkan. Cara membungkus yaitu dengan memasukkan media ke dalam plastik kemudian dipukul/ditumbuk sampai padat dengan botol atau tangan. Cara yang modern adalah dengan menggunakan filler (alat pemadat).
7)
Inokulasi (pemberian bibit) Inokulasi adalah kegiatan memasukan bibit jamur ke dalam media jamur yang telah disterilisasi. Bag log ditiriskan selama satu malam setelah sterilisasi, kemudian diberi bibit di atasnya dengan menggunakan sendok spatula sekitar tiga sendok kemudian diikat dengan karet dan ditutup dengan kapas. Bibit yang baik yaitu: i) Varitas unggul ii) Umur bibit optimal 30-45 hari iii) Miselium bibit tumbuh merata iv) Tidak terkontaminasi
8)
Inkubasi (masa pertumbuhan miselium) Inkubasi dilakukan dengan cara menyimpan di ruang inkubasi dengan kondisi tertentu. Inkubasi dilakukan hingga seluruh media berwarna putih merata, biasanya media akan tampak putih merata antara 40-60 hari.
9)
Panen Panen dilakukan setelah pertumbuhan jamur mencapai tingkat yang optimal, yaitu sekitar lima hingga tujuh hari setelah tumbuh calon jamur (pin head). Pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari untuk mempertahankan kesegarannya dan mempermudah pemasaran.
16
2.3.
Bisnis Jamur Tiram Putih Usaha pembudidayaan jamur tiram putih merupakan usaha yang memiliki
potensi untuk berkembang karena permintaan pasar yang terus meningkat. Berapa pun jamur tiram yang diproduksi oleh petani akan habis terserap oleh pasar. Kenaikan permintaan jamur tiram sekitar 20-25 persen per tahun. Di Indonesia, produksi jamur tiram putih pengembangannya mulai dirintis sejak tahun 1997. Sentra budidaya jamur tiram putih di Jawa Barat berada di Kabupaten Bandung (Cisarua, Lembang, Ciwidey, Pangalengan), Bogor, Sukabumi, Garut, Cianjur dan Tasikmalaya. Di luar Jawa Barat, terdapat di Sleman, Yogyakarta, dan Solo9. Jamur tiram putih ditinjau dari aspek biologinya relatif lebih mudah dibudidayakan daripada jenis jamur lainnya. Pembudidayaan jamur tiram putih tidak memerlukan lahan yang luas. Masa produksi jamur tiram putih pun relatif lebih cepat sehingga periode dan waktu panen lebih singkat dan kontinyu. Budidaya jamur tiram putih dapat dikelola sebagai usaha sampingan ataupun usaha ekonomis skala kecil, menengah, dan besar (industri). Sebagian besar pembudidayaan jamur tiram putih dilakukan sebagai usaha rumahan/sampingan. Usaha ini diorientasikan sebagai usaha kecil, namun menurut banyak pakar ekonomi, usaha tersebut dipandang sebagai tulang punggung
dalam
salah
satu
pemulihan
ekonomi
Indonesia.
Afuuza10
menyebutkan bahwa pengembangan usaha budidaya jamur tiram dibagi dalam tiga tahap skala usaha, yaitu: 1)
Tahap Industri Kecil Awal Tahap industri kecil awal ini merupakan jembatan menuju berdirinya industri kecil yang kokoh. Pada tahap industri kecil awal, jumlah bag log yang digunakan minimal 5.000 buah hingga 25.000 buah. Beberapa hal yang perlu diketahui saat memulai usaha ini: i) Menerapkan standar produksi yang tepat untuk mengoptimalkan hasil budidaya jamur ii) Penyempurnaan sistem produksi, keuangan dan distribusi
9
10
Dadang W., Selamet R. op.cit. Afuuza T. 2010. Peluang Agrobisnis Jamur Tiram. 2506-2759-1-PB.pdf. [4 Desember 2011].
17
iii) Penambahan tenaga kerja iv) Pencarian investor 2)
Tahap Industri Kecil Lanjut Tahap ini merupakan pengembangan dari tahap industri kecil awal. Setelah kebutuhan dana mencukupi, dan seluruh kekurangan telah dapat diatasi, maka dimulailah industri kecil lanjut yang ditargetkan untuk memiliki perijinan dan pembentukan badan usaha. Industri ini diharapkan mampu menyerap banyak tenaga kerja, mulai dari pekerja kasar di bagian produksi hingga profesional di bidang pemasaran, research and development, dan administrasi. Tahap industri kecil lanjut ini merupakan jembatan menuju berdirinya industri menengah nasional yang produksinya diperkirakan mencapai sekitar 100.000 bag log produksi per musim. Tahap industri kecil lanjut itu sendiri diharapkan mampu memproduksi hingga sembilan ton jamur per bulan.
3)
Tahap Industri Menengah Nasional (industri skala besar) Secara umum, tahap industri menengah adalah perluasan dari industri kecil, mulai
dari
sistem
produksi,
kapasitas
produksi
hingga
ekspansi
distribusinya. Tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan ekspor. Tahap ini diharapkan mampu menyerap sedikitnya 50 orang tenaga kerja. Pada tahap industri menengah nasional ini jumlah bag log jamur tiram yang digunakan lebih dari 100.000 buah.
2.4.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Pengkajian tehadap penelitian terdahulu penting dilakukan untuk
mendalami pemahaman terhadap metode analisis yang akan digunakan dan komoditi yang akan diteliti. Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penelitian yang terkait dengan usaha jamur tiram. Berikut merupakan hasil dari pengkajian beberapa penelitian terdahulu tentang komoditi jamur tiram putih. Nugraha (2006), melakukan penelitian tentang Analisis Efisiensi Saluran Pemasaran Jamur Tiram Segar di Bogor, Propinsi Jawa Barat. Saluran pemasaran jamur tiram putih di Bogor melibatkan enam lembaga pemasaran, yaitu produsen,
18
pengumpul, pedagang besar, pedagang menengah, pedagang pengecer dan supplier. Terdapat delapan saluran pemasaran jamur tiram putih di Bogor. Saluran pemasaran terpendek adalah antara produsen dan konsumen merupakan saluran dengan tingkat efisiensi tertinggi dengan farmer’s share mencapai 100 persen dan nilai marjin pemasarannya sebesar 63,73 persen dari harga beli konsumen. Saluran terpanjang terdiri dari produsen – pengumpul - pedagang besar - pedagang menengah - pedagang pengecer – konsumen, merupakan saluran pemasaran dengan tingkat efisiensi terendah dengan nilai farmer’s share sebesar 52,38 persen dan nilai marjin pemasarannya sebesar 65,87 persen dari harga beli konsumen. Ruillah (2006), melakukan penelitian tentang Analisis Usahatani Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung. Ruillah membagi petani sampel ke dalam tiga skala usaha, yaitu Skala I adalah petani yang memiliki luas kumbung kurang dari 76,5 m2. Skala II adalah petani dengan luas kumbung antara 76,5-135,5 m2. Skala III adalah petani dengan luas kumbung lebih dari 135,5 m2. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pendapatan atas biaya tunai petani skala I paling besar dibanding skala II dan skala III, maka usahatani yang paling menguntungkan adalah usahatani skala I. Namun, usahatani skala III ternyata memiliki nilai R/C rasio paling besar yaitu sebesar 3,75 maka usahatani jamur tiram putih skala III adalah yang paling efisien. Faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi jamur tiram putih adalah tenaga kerja, bibit, serbuk kayu, kapur, bekatul dan gips. Usahatani jamur tiram putih di Desa Kertawangi berada pada kondisi increasing return to scale atau berada pada tahap kenaikan hasil yang meningkat. Sari (2008), melakukan penelitian tentang Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Usahatani Jamur Tiram Putih (Studi Kasus Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor). Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jamur tiram putih pada skala usaha rata-rata 2.000 log pada kelompok tani Kaliwung Kalimuncar. Diketahui bahwa faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi jamur tiram putih adalah serbuk kayu, bekatul, kapur, plastik dan cincin paralon. Nilai R/C rasio atas biaya tunai sebesar 1,70 dan nilai R/C
19
rasio atas biaya total sebesar 1,06. Saluran pemasaran di lokasi penelitian melibatkan petani-bandar/tengkulak-pasar-konsumen. Noviana (2011), melakukan penelitian tentang Analisis Tataniaga Jamur Tiram Putih (Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat). Pola pemasaran jamur tiram putih terdiri dari dua buah saluran tataniaga. Saluran tataniaga I terdiri dari Petani – Pedagang Pengumpul Desa – Pedagang Besar/Grosir – Pedagang Pengecer – Konsumen Akhir. Saluran tataniaga II hanya terdiri dari Petani – Konsumen Akhir. Volume penjualan jamur tiram putih sebanyak 430 kg per harinya. Pasar tujuan akhir pemasaran adalah Pasar Induk Tangerang. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh kedua saluran tataniaga ini di masing-masing pelaku tataniaga dilakukan dengan sistem tunai. Penentuan harga beli di tingkat petani oleh pedagang pengumpul desa ditentukan oleh pedagang besar. Penentuan harga antara pedagang besar dengan pedagang pengumpul desa sesuai dengan mekanisme pasar yang terjadi atau berdasarkan pada harga yang berlaku di pasar. Penentuan harga antara pedagang besar dengan pedagang pengecer mengikuti mekanisme harga pasar yang berlaku saat itu. Untuk penentuan harga di saluran II, yaitu antara petani langsung dengan konsumen akhir, dilakukan dengan cara tawar-menawar hingga tercapai kesepakatan harga antara kedua belah pihak. Menurut Noviana, struktur pasar yang terjadi antara petani jamur tiram putih dan pedagang pengumpul desa cenderung mengarah pada pasar monopsoni karena jumlah petani lebih banyak daripada jumlah pedagang pengumpul desa dan harga ditentukan oleh pedagang pengumpul desa. Struktur pasar yang terjadi antara pedagang pengumpul desa dengan pedagang besar cenderung bersifat pasar monopsoni. Namun menurut penulis, struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengumpul desa dan pedagang besar dari sisi pembeli adalah struktur pasar oligopsoni murni, karena pedagang pengumpul desa dan pedagang besar masing-masing berjumlah lebih dari satu lembaga, walaupun tidak banyak. Struktur pasar yang terjadi antara pedagang besar dengan pedagang pengecer cenderung mengarah pada pasar persaingan murni. Struktur pasar yang terjadi antara pedagang pengecer dengan konsumen akhir cenderung pada pasar persaingan murni. Rasio keuntungan tertinggi diraih oleh pedagang pengecer.
20
Saluran tataniaga yang lebih menguntungkan petani adalah saluran tataniaga II, yaitu petani langsung memasarkan produknya ke konsumen akhir. Risiko produksi yang teridentifikasi pada usaha jamur tiram putih adalah akibat serangan hama sebesar 20,90 persen, akibat perubahan cuaca sebesar 17,90 persen, akibat teknologi sterilisasi sebesar 9,30 persen, akibat kurangnya keterampilan tenaga kerja sebesar 4,60 persen dan akibat teknologi inkubasi yang kurang tepat sebesar 7,10 persen. Serangan hama adalah faktor kegagalan terbesar pada usaha jamur tiram putih. Penelitian tentang risiko produksi tersebut dilakukan oleh Sumpena (2011) melalui penelitian berjudul Analisis Risiko Produksi Jamur Tiram Putih di CV Mushroom Production House Kota Bogor, Jawa Barat. Dari hasil peninjauan terhadap penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa secara umum (melalui perhitungan kuantitatif), pengusahaan jamur tiram di daerah Bogor, Cianjur dan Bandung sama-sama memberikan keuntungan terhadap
petani
pengusahanya.
Peninjauan
penelitian
sebelumnya
juga
memberikan masukan dan informasi mengenai metode penelitian yang penulis gunakan. Pada dua penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang saluran tataniaga jamur tiram putih, yaitu penelitian Nugraha (2006) dan Noviana (2011) dapat terlihat bahwa saluran tataniaga komoditas jamur tiram putih rata-rata melibatkan lebih dari dua lembaga tataniaga, artinya saluran tataniaga jamur tiram putih cukup panjang hingga akhirnya sampai ke tangan konsumen akhir.
21
Tabel 8. Hasil Penelitian Terdahulu No.
1.
2.
3.
4.
5.
Nama
Nugraha
Ruillah
Sari
Noviana
Sumpena
Tahun
Judul
2006
Analisis Efisiensi Saluran Pemasaran Jamur Tiram Segar di Bogor, Propinsi Jawa Barat
2006
Analisis Usahatani Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung
2008
Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Usahatani Jamur Tiram Putih (Studi Kasus Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor)
2011
Analisis Tataniaga Jamur Tiram Putih (Kasus Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat)
2011
Analisis Risiko Produksi Jamur Tiram Putih di CV Mushroom Production House Bogor, Jawa Barat
Alat Analisis Analisis lembaga pemasaran, saluran pemasaran, struktur dan perilaku pasar, marjin pemasaran, farmer’s share, R/C rasio. Analisis pendapatan, analisis fungsi produksi (CobbDouglas), R/C rasio.
Analisis fungsi produksi (CobbDouglas) dan R/C rasio.
Analisis saluran tataniaga, fungsifungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar, marjin tataniaga, farmer’s share, serta R/C rasio Analisis metode nilai standar (Zscore) dan Value at Risk (VaR).
Hasil Saluran pemasaran antara petani dan konsumen memiliki nilai efisiensi tertinggi
Petani jamur tiram dengan skala usaha besar (> 135,5 m2) adalah yang paling efisien bila dilihat dari Nilai R/C rasio Faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi jamur tiram putih adalah serbuk kayu, bekatul, kapur, plastik dan cincin paralon Saluran pemasaran antara petani dan konsumen memiliki nilai efisiensi tertinggi
Risiko produksi tertinggi pada usahatani jamur tiram putih disebabkan oleh serangan hama.
22
III.
3.1.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan rangkaian teori-teori yang
digunakan dalam penelitian untuk menjawab tujuan penelitian. Teori-teori yang digunakan adalah teori mengenai sistem tataniaga dan pendekatan-pendekatan analisis tataniaga seperti pendekatan komoditi, pendekatan lembaga dan saluran tataniaga, pendekatan fungsi tataniaga, pendekatan sistem dan struktur pasar, perilaku pasar, efisiensi tataniaga, marjin tataniaga, rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga, dan farmer’s share.
3.1.1. Konsep Tataniaga Pertanian Istilah tataniaga saat ini lebih dikenal dengan istilah pemasaran atau marketing. Definisi dari tataniaga pertanian adalah proses aliran pemasaran suatu komoditi pertanian dari tangan produsen ke pihak konsumen yang disertai dengan perpindahan hak milik dan penciptaan guna waktu, guna tempat, dan guna bentuk yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dengan melakukan satu atau lebih fungsi-fungsi tataniaga, oleh karena itu tataniaga merupakan suatu kegiatan yang produktif (Hanafiah dan Saefuddin 1983; Limbong dan Sitorus 1987; Sudiyono 2002). Hanafiah dan Saefuddin (1983) menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuan dari tataniaga, yaitu menyampaikan suatu produk dari produsen hingga ke tangan konsumen akhir, perlu dilaksanakan kegiatan-kegiatan tataniaga yang dibangun berdasarkan arus barang yang meliputi proses pengumpulan (konsentrasi), proses pengembangan (equalisasi) dan proses penyebaran (dispersi). Proses konsentrasi merupakan tahap awal dari pergerakan arus tataniaga suatu barang. Barang-barang yang dihasilkan dalam jumlah kecil dikumpulkan menjadi jumlah yang lebih besar agar dapat disalurkan ke pasarpasar eceran secara lebih efisien. Kemudian dilanjutkan dengan proses equalisasi, yaitu berupa tindakan penyesuaian permintaan dan penawaran berdasarkan tempat, waktu, jumlah, dan kualitas. Tahap terakhir adalah proses dispersi dimana
23
barang-barang yang telah terkumpul disebarkan ke arah konsumen atau pihak yang menggunakannya. Tataniaga hasil pertanian memiliki perbedaan dengan tataniaga produk non pertanian. Perbedaan yang paling mendasar terletak pada ciri dan sifat khusus yang dimiliki oleh produk pertanian. Soekartawi (1989) menyebutkan ciri produk pertanian yang membedakan dengan produk non pertanian, yaitu: 1)
Produk pertanian adalah musiman. Artinya, produk pertanian tidak mungkin tersedia setiap saat bila tanpa diikuti dengan manajemen stok yang baik.
2)
Produk pertanian bersifat segar dan mudah rusak. Artinya, produk pertanian diperoleh dalam keadaan segar sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Jika diinginkan penyimpanan dalam waktu yang relatif lama, maka diperlukan perlakuan tambahan.
3)
Produk pertanian bersifat bulky. Artinya, volumenya besar tetapi nilainya relatif kecil, akibatnya dalam proses pengelolaannya diperlukan tempat yang luas.
4)
Produk pertanian lebih mudah terserang hama dan penyakit.
5)
Produk pertanian tidak selalu mudah didistribusikan ke tempat lain.
6)
Produk pertanian bersifat lokal atau kondisional. Artinya, tidak semua produk pertanian dapat dihasilkan dari satu lokasi, melainkan dari berbagai tempat.
7)
Produk pertanian mempunyai kegunaan yang beragam dari satu bahan baku yang sama.
8)
Produk pertanian kadang memerlukan keterampilan khusus yang tenaga ahlinya sulit disediakan.
9)
Produk pertanian dapat digunakan sebagai bahan baku produk lain, disamping juga dapat dikonsumsi langsung.
10) Produk pertanian tertentu dapat berfungsi sebagai “produk sosial”, seperti beras di Indonesia. Untuk menganalisis sistem tataniaga suatu komoditas pertanian dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan sudut pandang yang dikenal dengan pendekatan Structure-Conduct-Performance (S-C-P). Terdapat lima pendekatan pada pendekatan S-C-P yang sering dilakukan, yaitu pendekatan barang/komoditi
24
(commodity approach), pendekatan fungsi (functional approach), pendekatan lembaga (institusional approach), pendekatan sistem (system approach), dan pendekatan permintaan-penawaran/pendekatan teori ilmu ekonomi (economics theoritical approach) (Limbong dan Sitorus 1987; Sudiyono 2002; Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009).
3.1.2. Pendekatan Komoditi Tataniaga Sudiyono (2002) mengemukakan bahwa pendekatan komoditi (commodity approach) dilakukan dengan cara menetapkan komoditi apa yang akan diteliti dan kemudian mengikuti aliran komoditi tersebut dari produsen sampai ke tangan konsumen akhir serta menekankan dengan penggambaran mengenai apa yang dilakukan terhadap komoditi pertanian dan bagaimana suatu komoditi pertanian dipasarkan secara efisien. Dengan pendekatan ini, secara deskriptif mampu menggambarkan apa yang terjadi pada proses pemasaran suatu komoditi pertanian yang mengalir dari produsen sampai ke tangan konsumen akhir. Masalah-masalah pemasaran komoditi pertanian seperti kerusakan karena lama proses pemasaran, kesalahan penanganan, kontrol kualitas yang rendah, penanganan pascapanen berlebihan yang semestinya tidak penting dilakukan, dapat diteliti secara seksama dengan mengikuti saluran-saluran pemasaran komoditi pertanian ini.
3.1.3. Pendekatan Lembaga Tataniaga Aliran barang dalam suatu sistem tataniaga dapat terjadi karena peranan perantara (middlemen) yang disebut lembaga tataniaga. Dalam tataniaga komoditi pertanian terdapat pelaku-pelaku ekonomi yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara melaksanakan fungsi-fungsi tataniaga. Lembaga tataniaga adalah organisasi atau kelompok bisnis yang turut serta atau terkait dalam pelaksanaan kegiatan penyampaian barang dari produsen sampai ke titik konsumen atau melakukan fungsi tataniaga (Hanafiah dan Saefuddin 1983; Limbong dan Sitorus 1987; Sudiyono 2002). Lembaga tataniaga berperan dalam melakukan proses pengambilan keputusan dalam proses tataniaga suatu komoditi. Pendekatan ini mempertimbangkan sifat dan karakter dari
25
pedagang perantara, hubungan agen dan susunan/perlengkapan organisasi (Asmarantaka 2009). Lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pemasaran digolongkan menjadi lima kelompok, yaitu: 1)
Merchant middlemen adalah perantara atau pihak-pihak yang mempunyai hak (menguasai dan memiliki) atas suatu produk yang mereka tangani. Mereka menjual dan membeli produk tersebut untuk memperoleh keuntungan. Yang termasuk kedalam kelompok ini adalah pedagang eceran (retailers) dan pedagang grosir (wholesalers).
2)
Agent middlemen adalah perwakilan dari suatu lembaga atau institusi. Mereka hanya sebagai perwakilan dan tidak mengambil alih apapun dan tidak memiliki hak atas produk yang mereka tangani. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah komisioner dan broker.
3)
Speculative middlemen atau spekulator adalah pihak-pihak atau perantara yang mengambil keuntungan dari suatu produk akibat perubahan harga.
4)
Processors and manufactures adalah lembaga yang bertugas untuk mengubah produk yang dihasilkan menjadi barang setengah jadi dan barang jadi.
5)
Facilitative organization adalah lembaga yang berfungsi sebagai penyedia sarana bagi lembaga lain yang membantu memperlancar aktivitas tataniaga (Kohls dan Uhl 2002; Asmarantaka 2009).
3.1.4. Pendekatan Fungsi Tataniaga Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1983), fungsi tataniaga adalah serangkaian kegiatan yang tertuju untuk memindahkan barang atau jasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi. Fungsi tataniaga bekerja melalui lembaga tataniaga atau dengan kata lain, fungsi tataniaga ini harus ditampung dan dipecahkan oleh lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses tataniaga. Pada prinsipnya terdapat tiga tipe fungsi tataniaga, yaitu fungsi pertukaran (exchange function), fungsi fisik (physical function), dan fungsi penyediaan fasilitas (facilitating function).
26
1) Fungsi pertukaran (exchange function) dalam tataniaga produk pertanian meliputi kegiatan yang menyangkut pengalihan hal pemilikan dalam sistem pemasaran. Fungsi pertukaran ini terdiri dari fungsi penjualan dan pembelian. Dalam melaksanakan fungsi penjualan, maka produsen atau lembaga pemasaran
yang berada
pada
rantai
pemasaran
sebelumnya
harus
memperhatikan kualitas, kuantitas, bentuk, dan waktu, serta harga yang diinginkan konsumen atau lembaga pemasaran yang berada pada rantai pemasaran berikutnya. Sedangkan, fungsi pembelian diperlukan untuk memiliki komoditi-komoditi pertanian yang akan dikonsumsi ataupun digunakan dalam proses produksi berikutnya. 2) Fungsi fisik (physical function) meliputi kegiatan-kegiatan yang secara langsung diperlakukan terhadap komoditi pertanian, sehingga komoditikomoditi pertanian tersebut mengalami tambahan guna tempat dan guna waktu. Fungsi fisik meliputi pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan. Fungsi pengangkutan meliputi perencanaan, pemilihan, dan pergerakan alatalat transportasi dalam pemasaran produk pertanian. Fungsi penyimpanan diperlukan karena produksi komoditi pertanian bersifat musiman, sedangkan pola konsumsi bersifat relatif tetap dari waktu ke waktu. Penyimpanan ini bertujuan
untuk mengurangi fluktuasi harga yang berlebihan dan
menghindari serangan hama dan penyakit selama proses pemasaran berlangsung. 3) Fungsi penyediaan fasilitas (facilitating function) adalah fungsi untuk memperlancar fungsi pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi penyediaan fasilitas merupakan usaha-usaha perbaikan sistem pemasaran untuk meningkatkan efisiensi operasional dan efisiensi penetapan harga. Fungsi penyediaan fasilitas ini meliputi standardisasi, pengurangan risiko, informasi harga, dan penyediaan dana. Standardisasi yaitu menetapkan grade/tingkatan kriteria kualitas suatu komoditi. Penetapan kualitas komoditi pertanian berdasarkan tingkatan tertentu berdasarkan salah satu atau beberapa sifat produk pertanian (misalnya ukuran, bentuk, warna, rasa, dan masakan) disebut grading. Selama pergerakan komoditi dari produsen ke konsumen akhir, komoditi mungkin menghadapi kerusakan, kehilangan, dan risiko lain. Untuk mengurangi risiko
27
ini, lembaga tataniaga berhubungan dengan lembaga asuransi yang menanggungnya. Risiko ini pada prinsipnya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu risiko fisik, seperti penyusutan berat dan volume komoditi pertanian, kehilangan dan kebakaran, dan risiko ekonomi, seperti fluktuasi harga dan kebijakan moneter. Fungsi lembaga penyediaan dana adalah untuk memperlancar fungsi pertukaran, terutama untuk proses pembelian. Lembaga penyedia dana bisa berupa bank atau lembaga perkreditan. Informasi pasar sangat penting mempertemukan potensial penawaran dan permintaan. Informasi pasar ini tidak hanya mencantumkan harga komoditi per satuan, tetapi juga menginformasikan persediaan dan kualitas komoditi di tingkat pasar pada tempat dan waktu tertentu.
3.1.5. Pendekatan Sistem dan Struktur Pasar Limbong dan Sitorus (1987) mengemukakan bahwa sistem adalah suatu kumpulan komponen yang bersama-sama dalam suatu kegiatan yang terorganisir. Pendekatan ini menekankan kepada keseluruhan sistem, efisiensi, dan proses yang kontinyu membentuk suatu sistem. Struktur pasar adalah tipe atau jenis pasar yang didefinisikan sebagai hubungan (korelasi) antara pembeli (calon pembeli) dan penjual (calon penjual) yang secara strategi mempengaruhi penentuan harga dan pengorganisasian pasar (Asmarantaka 2009). Secara umum, seperti yang dikemukakan oleh Limbong dan Sitorus (1987), berdasarkan strukturnya pasar dapat digolongkan menjadi dua yaitu pasar bersaing sempurna dan pasar tidak bersaing sempurna. Dalam Sudiyono (2002), disebutkan bahwa ada empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur pasar, yaitu: 1)
Jumlah dan besar penjual dan pembeli
2)
Keadaan produk yang diperjualbelikan
3)
Kemudahan masuk dan keluar pasar
4)
Pengetahuan konsumen terhadap harga dan struktur biaya produksi Pada umumnya karakteristik jumlah penjual dan keadaan komoditi yang
diperjualbelikan merupakan karakteristik utama dalam menentukan struktur pasar. Hammond dan Dahl (1977) dalam Asmarantaka (2009), mengemukakan
28
lima jenis struktur pasar pangan dan serat dengan berbagai karakteristiknya yang tercantum pada Tabel 9.
Tabel 9. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat Karakteristik No.
Struktur Pasar
1.
Jumlah Perusahaan Banyak
Standardisasi
Persaingan Sempurna
Persaingan Sempurna
2.
Banyak
Diferensiasi
Monopolistic Competition
Monopsonistic Competition
3.
Sedikit
Standardisasi
Oligopoli Murni
Oligopsoni Murni
4.
Sedikit
Diferensiasi
Oligopoli Diferensiasi
Oligopsoni Diferensiasi
5.
Satu
Unik
Monopoli
Monopsoni
Sifat Produk
Sisi Penjual
Sisi Pembeli
Sumber: Hammond dan Dahl (1977) dalam Asmarantaka (2009).
3.1.6. Pendekatan Teori Ekonomi Pendekatan tataniaga melalui teori ekonomi ditekankan kepada masalahmasalah
permintaan
dan
penawaran,
harga,
keseimbangan
pasar,
kompetisi/persaingan, dan lain sebagainya antara petani dan konsumen pada komoditi yang diteliti (Limbong dan Sitorus 1987).
3.1.7. Efisiensi Tataniaga Pemasaran/tataniaga sebagai kegiatan produktif mampu meningkatkan guna tempat, guna bentuk, dan guna waktu. Dalam menciptakan guna tempat, guna bentuk, dan guna waktu diperlukan biaya tataniaga. Biaya tataniaga diperlukan untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga oleh lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses tataniaga dari prodesen hingga sampai ke konsumen akhir. Pengukuran kinerja tataniaga ini memerlukan ukuran efisiensi tataniaga (Sudiyono 2002). Menurut Limbong dan Sitorus (1987), efisiensi sistem tataniaga merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai dalam suatu sistem tataniaga. Efisiensi tataniaga dapat tercapai jika sistem tersebut dapat memberikan kepuasan pihak-pihak yang terlibat, yaitu produsen, lembaga-lembaga perantara, dan
29
konsumen akhir. Sistem tataniaga yang efisien akan tercipta bila seluruh lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan memperoleh kepuasan dengan aktivitas tataniaga tersebut. Sudiyono (2002) menyebutkan bahwa konsep efisiensi didekati dengan rasio output-input. Suatu proses tataniaga dikatakan efisien apabila: 1)
Output tetap konstan dicapai dengan input yang lebih sedikit.
2)
Output meningkat sedangkan input yang digunakan tetap konstan.
3)
Output dan input sama-sama mengalami kenaikan, tetapi laju kenaikan output lebih cepat daripada laju input.
4)
Output dan input sama-sama mengalami penurunan, tetapi laju penurunan output lebih lambat daripada laju penurunan input. Output pemasaran ini berupa kepuasan konsumen akibat penambahan
utilitas terhadap output-output pertanian yang dikonsumsi konsumen tersebut. Tambahan utilitas terhadap output-output pertanian ditimbulkan karena adanya fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi penyediaan sarana pemasaran. Pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran ini membutuhkan biaya pemasaran. Indikator yang biasanya digunakan untuk menentukan efisiensi pemasaran adalah: marjin pemasaran, harga ditingkat konsumen, tersedianya fasilitas fisik pemasaran, dan intensitas persaingan pasar. Soekartawi (1989) mengemukakan bahwa efisiensi pemasaran akan terjadi jika: 1)
Biaya pemasaran bisa ditekan sehingga ada keuntungan.
2)
Pemasaran dapat lebih ditingkatkan.
3)
Persentase pembedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi.
4)
Tersedianya fasilitas fisik pemasaran. Menurut Kohl dan Uls (2002), efisiensi tataniaga pada produk pangan dan
serat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu efisiensi operasional atau teknis dan efisiensi harga. Efisiensi operasional berhubungan dengan penanganan aktivitasaktivitas yang dapat meningkatkan rasio dari output-input pemasaran. Efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi, dan aktivitas fisik dan fasilitas. Alat analisis yang sering
30
digunakan dalam menganalisis tingkat efisiensi operasional adalah analisis Marjin Tataniaga, analisis Farmer’s share, dan analisis rasio keuntungan atas biaya. Efisiensi harga menunjukkan pada kemampuan harga dan tanda-tanda harga untuk penjual serta memberikan tanda kepada konsumen sebagai panduan dari penggunaan sumber daya produksi dari sisi produksi dan tataniaga. Efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-masing pihak yang terlibat merasa puas atau responsif terhadap harga yang berlaku dan terjadi keterpaduan atau integrasi antara pasar acuan dengan pasar di tingkat petani.
3.1.7.1. Rasio Keuntungan Atas Biaya Tataniaga Efisiensi
operasional
menurut
Asmarantaka
(2009)
lebih
tepat
menggunakan rasio antara keuntungan (п) atas biaya (C) karena pembanding opportunity cost dari biaya adalah keuntungan sehingga indikatornya adalah п/C dan harus bernilai positif (> 0). Jika penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya merata pada setiap lembaga tataniaga, maka secara teknis saluran tataniaga tersebut semakin efisien. Rasio keuntungan terhadap biaya dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rasio Keuntungan Biaya =
пi Ci
Keterangan: пi Ci
: Keuntungan lembaga tataniaga ke-i : Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i
3.1.7.2. Marjin Tataniaga Marjin tataniaga dapat ditinjau melalui dua pendekatan yaitu pendekatan statis atau sudut pandang harga dan pendekatan dinamis atau sudut pandang biaya. Dari pendekatan statis, marjin tataniaga merupakan selisih antara harga yang dibayar konsumen akhir dengan harga yang diterima petani (produsen). Sedangkan dari pendekatan dinamis, margin tataniaga merupakan biaya dari balas jasa-jasa yang dibutuhkan sebagai akibat permintaan dan penawaran dari jasajasa tataniaga. Komponen marjin tataniaga terdiri dari:
31
1)
Biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga, yang disebut sebagai biaya tataniaga atau biaya fungsional (functional cost).
2)
Keuntungan/profit lembaga tataniaga. Harga yang dibayar konsumen akhir merupakan harga di tingkat pedagang
pengecer. Bila digambarkan dalam suatu kurva, maka keseimbangan harga ditingkat pengecer merupakan perpotongan antara kurva penawaran turunan (derived supply curve), dengan kurva permintaan primer (primary demand curve). Sedangkan keseimbangan harga di tingkat petani berada di perpotongan antara kurva penawaran primer (primary supply curve) dengan kurva permintaan turunan (derived demand curve). Dengan demikian marjin tataniaga dapat disusun oleh kurva penawaran permintaan yang digambarkan pada Gambar 2.
Marjin Tataniaga (Pr – Pf)
Gambar 2. Konsep Marjin Tataniaga Sumber : Sudiyono, 2002
Keterangan: Sd Sp Dd
= derived supply (kurva penawaran turunan = penawaran produk di tingkat pedagang) = primary supply (kurva penawaran primer = penawaran produk ditingkat petani) = derived demand (kurva permintaan turunan = permintaan pedagang atau pabrik)
32
Dp Pr Pf MM Q*
= = = = =
primary demand (kurva permintaan primer = permintaan konsumen akhir) harga ditingkat pedagang pengecer harga ditingkat petani marketing margin (marjin tataniaga = Pr – Pf) kuantitas (jumlah ) produk yang ditransaksikan, yaitu sama ditingkat petani dan ditingkat pengecer.
Gambar 2 menggambarkan kurva permintaan primer (Dp) yang berpotongan dengan kurva penawaran turunan (Sd) membentuk harga di tingkat pedagang pengecer (Pr). Sedangkan kurva permintaan turunan (Dd) berpotongan dengan kurva penawaran primer (Sp) membentuk harga di tingkat petani (Pf). Menurut pengertian statis, yaitu dari sudut pandang harga, perpotonganperpotongan tersebut membentuk marjin tataniaga atau sama dengan selisih harga di tingkat pedagang pengecer dengan harga di tingkat petani atau MT = Pr – Pf dengan asumsi bahwa jumlah produk yang ditransaksikan di tingkat petani sama dengan jumlah produk yang ditransaksikan di tingkat pedagang pengecer, yaitu sebesar Q* (Sudiyono 2002). Menurut pendekatan dinamis, yaitu dari sudut pandang biaya, marjin tataniaga merupakan harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai akibat adanya aktivitas produktif atau konsep nilai tambah (value added), maka marjin total atau MT = biaya-biaya tataniaga + keuntungan lembaga-lembaga tataniaga (MT = C + Π) (Tomek dan Robinson, dalam Asmarantaka 2009). Besar kecilnya marjin tataniaga ditentukan oleh besar kecilnya jasa atau pengeluaran yang diberikan ditambah dengan keuntungan yang diambil oleh setiap lembaga tataniaga yang terlibat. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat maka akan semakin besar pula perbedaan harga di tingkat pengecer dengan harga di tingkat petani. Perbedaan nilai marjin tataniaga dapat terjadi akibat adanya perbedaan fungsi yang dilakukan oleh masing-masing lembaga dan juga dapat terjadi akibat perbedaan tingkat efisiensi dalam pelaksanaan fungsi yang sama (Limbong dan Sitorus 1987).
33
3.1.7.3. Farmer’s Share Salah satu indikator yang berguna dalam melihat efisiensi operasional dalam kegiatan tataniaga adalah dengan menghitung bagian yang diterima oleh petani (farmer’s share). Farmer’s share merupakan perbandingan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir. Farmer’s share mempunyai nilai yang relatif rendah jika harga di tingkat konsumen akhir relatif lebih tinggi dibanding harga yang diterima oleh petani. Sebaliknya, farmer’s share mempunyai nilai yang relatif lebih tinggi jika harga di tingkat konsumen akhir tidak terpaut jauh dibanding harga yang diterima oleh petani. Secara matematis, farmer’s share dihitung sebagai berikut (Asmarantaka 2009):
Fsi =
Pf Pr
X 100%
Keterangan: Fsi Pf Pr
: Persentase yang Diterima Petani : Harga di Tingkat Petani : Harga di Tingkat Konsumen
3.2.
Kerangka Pemikiran Operasional Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, merupakan salah satu
sentra penghasil komoditi jamur tiram putih di Propinsi Jawa Barat. Tataniaga jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua, khususnya di Desa Kertawangi, melibatkan petani produsen jamur tiram putih dan lembaga-lembaga tataniaga dalam pendistribusian jamur tiram putih segar hingga mencapai tangan konsumen akhir. Salah satu permasalahan dalam tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi adalah adanya rendahnya harga di tingkat petani bila dibandingkan dengan harga di tingkat konsumen akhir dengan nilai marjin tataniaga sebesar Rp 5.000. Petani kecil tidak memiliki informasi pasar yang memadai dan aksesnya terhadap pasar pun terbatas. Sistem penjualan secara individual menjadikan petani tidak memiliki kekuatan tawar terhadap lembaga tataniaga. Hal tersebut
34
menjadikan petani kecil hanya mampu menjadi penerima harga (price taker) bagi lembaga tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Sifat produk jamur tiram putih segar yang mudah rusak dan tidak tahan lama, sedangkan konsumen menginginkan produk diterima dalam keadaan segar, maka petani harus dengan cepat memasarkan produknya. Satu-satunya cara pemasaran tercepat dan juga mudah adalah dengan menjual hasil produksi ke pedagang pengumpul, bandar atau lembaga tataniaga lainnya. Walaupun harga yang diberikan rendah, namun petani lebih memilihnya karena petani sangat bergantung pada lembaga tataniaga dalam memasarkan hasil produksi jamur tiram putihnya. Dengan demikian, peran lembaga tataniaga sangat dibutuhkan oleh petani. Hal ini menimbulkan pertanyaan, seperti apa kondisi sesungguhnya rantai tataniaga jamur tiram putih yang terjadi di Desa Kertawangi. Tiap lembaga tataniaga memiliki peranan masing-masing. Diperlukan analisis dan penelusuran seluruh lembaga tataniaga yang terlibat untuk melihat seberapa besar pengaruh keberadaan masing-masing lembaga tataniaga tersebut dalam menunjang proses tataniaga jamur tiram putih. Efisiensi tataniaga dapat dilihat melalui analisis struktur pasar, perilaku pasar, analisis saluran tataniaga, analisis marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan atas biaya tataniaga. Dari hasil analisis marjin tataniaga yang terdiri dari biaya tataniaga dan keuntungan tataniaga, dapat diketahui berapa besar biaya tataniaga yang dikeluarkan dan berapa keuntungan yang diambil oleh masing-masing lembaga tataniaga jamur tiram putih yang terlibat. Untuk mengetahui berapa bagian perolehan petani dari hasil tataniaga, digunakan analisis farmer’s share dengan cara membandingkan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 3.
35
Budidaya Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi
1. Keterbatasan informasi dan akses pasar menjadi kendala bagi petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi dalam memasarkan produknya, sehingga petani sangat bergantung pada lembaga tataniaga. 2. Rendahnya harga di tingkat petani bila dibandingkan dengan harga di tingkat konsumen akhir dengan nilai marjin tataniaga sebesar Rp 5.000. Diduga tataniaga jamur tiram putih belum efisien.
Analisis Kualitatif : 1. Saluran dan Lembaga Tataniaga 2. Fungsi Tataniaga 3. Struktur dan Perilaku Pasar
Analisis Kuantitatif : 1. Marjin Tataniaga 2. Farmer’s Share 3. Rasio Keuntungan / Biaya
Alternatif Saluran Tataniaga yang Efisien
Gambar 3. Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian
36
IV.
4.1.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten
Bandung Barat, Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Kertawangi merupakan salah satu desa sentra budidaya jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Pengumpulan data di lokasi penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2012.
4.2.
Jenis Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara dengan petani responden dan lembaga-lembaga tataniaga responden yang terlibat dalam proses tataniaga jamur tiram putih serta beberapa narasumber terkait. Data sekunder diperoleh dari berbagai literatur, majalah, internet, penelitian terdahulu, jurnal, serta instansi terkait seperti Perpustakaan LSI IPB, Badan Pusat Statistik, Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kantor Desa Kertawangi, dan sumber lainnya yang menunjang penelitian ini.
4.3.
Metode Penentuan Responden Pada penelitian ini digunakan dua kelompok responden, yaitu petani
(produsen) dan pedagang (lembaga tataniaga). Penentuan responden petani dilakukan secara sengaja (purposive) dengan memanfaatkan informasi yang didapat dari beberapa narasumber yang merupakan pionir usaha pembudidayaan jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Penentuan lembaga tataniaga responden dilakukan dengan menggunakan teknik Snowball Sampling, yaitu dengan cara mengikuti alur pemasaran dari produsen hingga mencapai tangan konsumen akhir berdasarkan informasi yang diperoleh dari petani responden dan kemudian berlanjut menuju lembaga tataniaga responden yang dirujuk oleh petani
37
responden. Langkah awal penentuan responden terhadap petani dilakukan berdasarkan informasi yang diperoleh dari Kantor Desa Kertawangi. Responden yang terpilih adalah delapan orang petani jamur tiram putih yang penulis anggap cukup untuk mewakili gambaran petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi dan sepuluh lembaga tataniaga jamur tiram putih yang terlibat dalam proses pendistribusian jamur tiram putih dari petani hingga mencapai konsumen akhir. Petani yang terpilih menjadi responden kemudian dibagi menurut skala usahanya berdasarkan jumlah baglog (media tanam) jamur tiram putih yang dimiliki dalam usahanya. Lembaga tataniaga yang menjadi responden meliputi pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir, dan pedagang pengecer. Data mengenai petani dan lembaga tataniaga responden dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Lampiran 4.
4.4
Metode Pengolahan Data dan Analisis Data
4.4.1. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif bertujuan untuk mendefinisikan secara kualitatif gambaran umum mengenai lokasi penelitian, objek penelitian, serta hal lain seperti interpretasi hasil perhitungan penelitian dari analisis kuantitatif. Hal-hal yang dianalisis berhubungan tentang marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan, dan biaya untuk menganalisis efisiensi tataniaga.
4.4.2. Analisis Sistem Tataniaga Pengamatan sistem tataniaga jamur tiram putih dimulai dari petani/ produsen dengan menghitung persentase pasokan sampai ke tangan konsumen akhir. Sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi dianalisis dengan cara mengamati lembaga-lembaga tataniaga yang berperan sebagai pihak perantara dalam proses penyampaian produk dari produsen ke konsumen. Jalur tataniaga tersebut kemudian menggambarkan peta saluran tataniaga.
38
4.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar Struktur pasar jamur tiram putih dianalisis berdasarkan saluran tataniaga yang didukung peranan fungsi-fungsinya, jumlah lembaga tataniaga yang terlibat (penjual dan pembeli), sifat produk, kebebasan keluar masuk pasar, dan informasi harga pasar yang terjadi. Perilaku pasar jamur tiram putih ini dianalisis dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian, kerjasama antar lembaga tataniaga, serta sistem penentuan dan pembayaran harga. Struktur pasar dilihat dengan mengetahui jumlah petani dan penjual yang terlibat, kondisi dan keadaan produk, mudah tidaknya keluar masuk pasar, serta perubahan informasi harga pasar. Oleh karena itu, akan diketahui struktur pasar yang dihadapi oleh pelaku tataniaga jamur tiram putih. Analisis perilaku pasar jamur tiram putih dapat dicirikan dengan tingkah laku lembaga tataniaga dalam struktur pasar tertentu yang meliputi kegiatan penjualan, pembelian, sistem penentuan harga, cara pembayaran, serta bentuk kerjasama yang dilakukan.
4.4.4
Analisis Marjin Tataniaga Analisis marjin tataniaga bertujuan untuk mengetahui tingkatan efisiensi
tataniaga jamur tiram putih. Marjin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga, atau perbedaan harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Besarnya marjin tataniaga pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh oleh lembaga tataniaga. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: 𝑛
MT = Pr − Pf =
𝑀𝑖 𝑖=1
Keterangan: MT Pr Pf Mi n
: Marjin Total (Rp/kg) : Harga pembelian oleh konsumen akhir (Rp/kg) : Harga penjualan di tingkat petani (Rp/kg) : Marjin tataniaga di tingkat ke-i (Rp/kg) : Jumlah tingkatan lembaga tataniaga yang terlibat
39
Marjin tataniaga untuk tiap lembaga tataniaga (Mi) dapat dihitung dengan dua cara yaitu pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada suatu lembaga tataniaga atau penjumlahan biaya dan keuntungan tataniaga pada suatu lembaga tataniaga. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: Mi
= Psi – Pbi = Ci + Πi, atau
Πi
= Psi – Pbi - Ci
Keterangan: Mi Psi Pbi Ci Πi
: Marjin tataniaga di tingkat ke-i (Rp/kg) : Harga jual pasar di tingkat ke-i (Rp/kg) : Harga beli pasar di tingkat ke-i (Rp/kg) : Biaya tataniaga yang dikeluarkan lembaga tataniaga tingkat ke-i (Rp/kg) : Keuntungan yang diperoleh lembaga tataniaga tingkat ke-i (Rp/kg)
4.4.5. Analisis Rasio Keuntungan Atas Biaya Tataniaga Rasio keuntungan atas biaya (Π/C) adalah persentase keuntungan tataniaga terhadap biaya tataniaga yang secara teknis (operasional) untuk mengetahui tingkat efisiensinya. Rasio keuntungan diperoleh dari pembagian keuntungan tataniaga (Π) dengan biaya tataniaga (C). Keuntungan tataniaga diperoleh dari selisih harga jual dengan harga beli pada masing-masing lembaga tataniaga dikurangi dengan biaya tataniaga. Hasil rasio keuntungan dan biaya menunjukkan seberapa besar setiap satuan biaya yang dikeluarkan selama tataniaga dapat memberikan besaran keuntungan tertentu selama proses penyaluran produk. Penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga tataniaga dapat dirumuskan sebagai berikut:
Rasio Keuntungan Biaya =
Πi Ci
Keterangan: Πi Ci
: Keuntungan lembaga tataniaga ke-i : Biaya tataniaga pada lembaga tataniaga ke-i
40
4.4.6. Analisis Farmer’s Share Pendapatan
yang
diterima
petani
(farmer’s
share)
merupakan
perbandingan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir. Dalam Asmarantaka (2009) disebutkan bahwa perhitungan farmer’s share adalah sebagai berikut:
Fsi =
Pf Pr
X 100%
Keterangan: Fsi Pf Pr
: Farmer’s share (persentase yang diterima petani) : Harga di tingkat petani : Harga di tingkat konsumen
Tabel 10. Pengaplikasian Metode Penelitian No. 1.
Tujuan Penelitian
Jenis Data dan Data primer
Sumber Data Pengamatan langsung dan wawancara dengan responden dan narasumber terkait
Analisis Data Analisis sistem tataniaga dan analisis struktur dan perilaku pasar
2.
Menganalisis bagian Data primer pendapatan yang diperoleh petani dari keseluruhan harga yang dibayarkan oleh konsumen (farmer’s share).
Wawancara dan kuisioner
Analisis farmer’s share
3.
Menganalisis efisiensi Data primer saluran tataniaga jamur tiram putih melalui besarnya marjin tataniaga dan nilai rasio keuntungan terhadap biaya tataniaga di setiap lembaga tataniaga yang terkait dalam proses tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi.
Wawancara dan kuisioner
Analisis marjin tataniaga dan analisis rasio keuntungan dan biaya
Mengidentifikasi menganalisis sistem tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.
41
V.
5.1.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Geografi Lokasi Penelitian Desa Kertawangi terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung
Barat, Provinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar 1.800 Ha. Desa Kertawangi terdiri 14 Rukun Warga (RW), 55 Rukun Tetangga (RT) dan empat Kedusunan/kampung, yaitu Kampung Cibadak, Kampung Cisarua, Kampung Cibolang, dan Kampung Cipeusing. Batas administratif wilayah Desa Kertawangi adalah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta
Sebelah Selatan
: Desa Jambudipa dan Desa Padaasih
Sebelah Timur
: Kecamatan Parongpong
Sebelah Barat
: Desa Tugumukti
5.2.
Keadaan Alam Desa Kertawangi berada di dataran tinggi pada ketinggian 1.300 meter
diatas permukaan laut (mdpl). Suhu di daerah ini berkisar antara 200-270C pada siang hari dan antara 150-180C pada malam hari dengan kelembaban rata-rata mencapai 80 persen. Rata-rata curah hujan tahunan adalah 1.800 mm/tahun. Keadaan tanah berjenis tanah andosol coklat kehitaman, bertekstur lempung dengan pH sekitar 5,5 ,dan tingkat kemiringan tanahnya 25 derajat. Dengan kondisi topografi desa yang berada di dataran tinggi dan beriklim sejuk, masyarakat Desa Kertawangi banyak mengusahakan tanaman pangan dan tanaman hortikultura berupa tanaman sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias berupa bunga potong. Tanaman buah-buahan yang paling banyak ditanam di Desa Kertawangi menurut luasan lahan yang digunakan berturut-turut adalah pisang, pepaya, dan jeruk. Tanaman sayuran yang paling banyak ditanam di Desa Kertawangi menurut luasan lahan yang digunakan berturut-turut adalah tomat, jamur tiram, bunga kol, dan brokoli. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 11.
42
Tabel 11. Luas Tanam dan Produksi Tanaman Pangan dan Sayuran di Desa Kertawangi Pada Tahun 2011 Jenis Tanaman Luas Tanam (Ha) Produksi (Ton) Jagung 9,1 8,2 Ubi kayu 3 6 Ubi jalar 4 13 Cabe 3,2 13 Tomat 30 120 Kentang 4 97 Kubis 8 90 Buncis 10 170 Brokoli 16 75 Terong 2,1 32 Selada 2,5 20 Talas 6 7,1 Wortel 6,7 23 Labu 9 123 Bunga kol 23,5 655,8 Jamur tiram 27 1.234 Sumber : Profil Desa Kertawangi, 2011
Jamur tiram merupakan tanaman sayuran yang memiliki luas tanam terbesar kedua setelah tomat di Desa Kertawangi, yaitu seluas 27 Ha. Pada tahun 2011, tercatat bahwa produktivitas jamur tiram di Desa Kertawangi mencapai 1.234 ton/ Ha, artinya pada tahun 2011 Desa Kertawangi mampu menghasilkan jamur tiram sebanyak 33.318 ton. Jamur tiram memiliki tingkat produktivitas yang tinggi dengan luas lahan pengusahaan yang tidak terlalu luas. Hal ini karena pembudidayaan jamur tiram dilakukan secara bertingkat di dalam kumbung, sehingga mampu menghemat penggunaan lahan.
5.3.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Penduduk Desa Kertawangi pada tahun 2011 berjumlah 11.165 orang,
yang terdiri dari 5.660 orang laki-laki dan 5.505 orang perempuan. Terdapat 3.176 Kepala Keluarga (KK) di Desa Kertawangi dengan kepadatan penduduk 50 jiwa per kilometer. Tingkat pendidikan penduduk Desa Kertawangi tergolong baik karena hampir seluruh penduduk mengenyam pendidikan formal walaupun dengan tingkatan yang berbeda. Sebanyak 5.201 orang (46,6 persen) dari total penduduk telah menamatkan Sekolah Dasar (SD), 1.450 orang (13 persen) telah
43
menamatkan SMP, 1.204 orang (10,8 persen) telah tamat SMA dan 306 orang (2,74 persen) melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi (tersebar mulai dari D1 hingga S3). Jenis mata pencaharian pokok penduduk Desa Kertawangi yang mendominasi, antara lain petani, Pegawai Negeri Sipil, karyawan swasta, pedagang, wiraswasta, dan buruh harian lepas. Jumlah penduduk dalam usia angkatan kerja (18-56 tahun) sebanyak 6.606 orang (59,17 persen) dari total penduduk, yang terdiri dari 3.333 orang laki-laki dan 3.273 orang perempuan. Jumlah rumah tangga tani berjumlah 2.550 keluarga dengan jumlah total anggota rumah tangga tani sebanyak 2.550 orang. Rumah tangga buruh tani berjumlah 1.531 keluarga dengan total anggota rumah tangga sebanyak 3.061 orang. Jumlah pendapatan per kapita dari sektor pertanian untuk setiap rumah tangga pertanian adalah Rp 3.000.000.
5.4.
Gambaran Umum Usahatani Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi Budidaya jamur tiram putih mulai dirintis dan diperkenalkan kepada petani
di Desa Kertawangi pada tahun 1988 oleh Bapak Ajang Taryana. Ketika itu mayoritas penduduk Desa Kertawangi bermatapencaharian sebagai peternak, petani bunga potong, dan petani sayuran. Masuknya teknologi budidaya jamur tiram diperkenalkan kepada para petani dan difasilitasi oleh Fakultas Biologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada awalnya perkembangan teknologi budidaya jamur tiram ini berjalan lambat dan mengalami hambatan karena saat itu produk jamur tiram belum dikenal luas dan masyarakat masih menganggap jamur sebagai tanaman beracun yang tidak dapat dikonsumsi. Akan tetapi, semenjak krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1996, mengakibatkan lebih tingginya biaya produksi daripada keuntungan pada bidang usaha ternak, terutama peternakan sapi perah, sehingga membuat peternak di Desa Kertawangi meninggalkan usaha ternak. Mereka mulai beralih menjadi petani jamur tiram meski masih dalam usaha skala rumah tangga. Dalam perkembangannya, beberapa industri berskala rumah tangga bergabung hingga terbentuk CV dan memiliki badan hukum. Berkelanjutannya pembudidayaan jamur tiram di kawasan
44
ini didukung oleh mudahnya mendapatkan serbuk kayu sebagai bahan baku media tanam dan sumberdaya alam yang mendukung. Pada awalnya bibit jamur tiram putih selalu didapat dari Badan Penelitian Sayuran (Balitsa) Lembang dengan harga yang cukup tinggi. Seiring berjalannya waktu, beberapa petani mulai mempelajari cara membuat bibit jamur tiram untuk mengurangi biaya produksi. Beberapa petani jamur tiram Desa Kertawangi berhasil membuat bibit jamur tiram putih tersebut dan kemudian menjualnya untuk petani jamur tiram putih lainnya. Selain menjual bibit, petani juga menjual bag log (media tumbuh jamur tiram), baik bag log yang belum diberi bibit, bag log yang sudah diberi bibit namun masih coklat (miselium jamur belum menyebar), maupun bag log yang sudah berwarna putih karena media tanam sudah dipenuhi miselium jamur. Petani dengan skala usaha kecil biasanya membeli bag log yang sudah diberi bibit dan bag log yang sudah putih karena mereka kesulitan untuk melakukan proses pengukusan. Mereka tidak memiliki alat pengukus (steamer) yang memadai sehingga persentase kegagalan cukup tinggi, akhirnya mereka lebih memilih untuk membeli bag log yang sudah siap pakai dan petani cukup melakukan perawatan dan pemanenan saja. Saat ini jumlah petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi telah mengalami penurunan. Penurunan tersebut dimulai ketika terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak, terutama minyak tanah, karena proses pengukusan membutuhkan minyak tanah sebagai bahan bakarnya. Hal tersebut menjadikan petani harus menambah pengeluaran untuk memproduksi bag log. Akan tetapi, walaupun demikian jumlah petani jamur tiram putih hingga saat ini masih banyak dan masih mencapai ratusan petani. Satu periode penanaman bag log jamur tiram memerlukan waktu empat bulan sehingga petani dapat melakukan tiga kali produksi dalam setahun. Namun karena terkendala modal, saat ini banyak petani yang hanya mengisi kumbung satu atau dua kali dalam setahun dan kumbung tersebut tidak terisi penuh sesuai dengan kapasitasnya. Sekitar tahun 2007 hingga 2010, setiap harinya Desa Kertawangi mampu menghasilkan sekitar 11 ton jamur tiram putih segar, namun saat ini total jamur tiram putih segar yang dihasilkan hanya empat hingga lima ton saja. Hal tersebut disebabkan perubahan cuaca yang tidak menentu dan turunnya kualitas bibit
45
jamur tiram putih yang digunakan para petani sehingga berdampak terhadap penurunan kuantitas hasil produksi jamur tiram. Pemasaran jamur tiram putih dari Desa Kertawangi sebagian besar ditujukan untuk pasar luar kota seperti Jakarta, Bekasi, Tangerang, Indramayu, Tegal dan Cirebon. Di Desa Kertawangi telah terbentuk sebuah kelompok tani yang mewadahi petani jamur tiram putih. Namun hingga saat ini, kelompok tani ini belum bisa memberikan manfaat nyata terhadap petani anggotanya karena kelompok tani ini belum bekerja maksimal.
5.5.
Karakteristik Petani Responden Petani jamur tiram putih yang dijadikan responden penelitian berjumlah
delapan orang yang dipilih dari ratusan petani jamur tiram yang berada di Desa Kertawangi. Data mengenai identitas petani responden dapat dilihat pada Lampiran 3. Identitas petani responden yang dikaji dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, status pekerjaan, dan lama bertani jamur tiram putih, serta jumlah bag log jamur tiram putih yang dimiliki saat penelitian berlangsung. Dari delapan orang petani responden tersebut, tiga orang petani berjenis kelamin perempuan (37,5 persen) dan lima orang lagi berjenis kelamin pria (62,5 persen). Berdasarkan usia, lima orang atau 62,5 persen dari total petani responden berusia sekitar 30 tahunan, dua orang atau 25 persen berusia sekitar 50 tahunan, dan satu orang atau 12,5 persen berusia 20 tahunan. Usia termuda petani responden adalah 28 tahun dan usia tertua adalah 59 tahun. Berdasarkan pendidikan terakhir, seluruh petani responden pernah mendapatkan pendidikan formal. Dua orang petani responden (25 persen) mengenyam pendidikan hingga Perguruan Tinggi, lima orang petani responden (62,5 persen) memiliki tingkat pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat, serta satu orang petani responden (12,5 persen) memiliki tingkat pendidikan hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal ini menunjukkan bahwa petani jamur tiram di Desa Kertawangi termasuk petani yang memiliki dasar pendidikan yang cukup tinggi. Berdasarkan status pekerjaan, empat orang petani responden (50 persen) menyatakan bahwa bertani jamur tiram putih adalah pekerjaan utama mereka dan
46
empat orang lagi menyatakan jika bertani jamur tiram putih adalah usaha sampingan. Petani yang membudidayakan jamur tiram putih sebagai usaha sampingan memiliki pekerjaan utama yang beragam, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS), pengusaha bunga potong, dan tour guide di salah satu tempat wisata sekitar lokasi penelitian, serta sales. Lama pengalaman bertani jamur tiram putih dari delapan orang petani responden bervariasi, mulai dari lima hingga 16 tahun. Petani responden yang terlama dalam menjalankan usaha jamur tiram ini memulai usahanya sejak tahun 1995. Jumlah bag log jamur tiram putih yang dimiliki oleh petani responden dijadikan acuan dalam membagi skala usaha petani responden. Untuk jumlah bag log kurang dari 20.000 buah termasuk ke dalam petani dengan skala usaha kecil. Skala usaha menengah/sedang adalah petani yang memiliki jumlah bag log antara 20.000 hingga 100.000 buah. Petani dengan jumlah bag log lebih dari 100.000 buah termasuk ke dalam petani dengan skala usaha besar. Dari keseluruhan petani responden, terdapat empat orang petani atau 50 persen yang termasuk ke dalam petani dengan skala usaha kecil, dua orang petani atau 25 persen termasuk ke dalam petani dengan skala usaha sedang dan dua orang petani atau 25 persen termasuk ke dalam petani dengan skala usaha besar. Untuk lebih jelasnya, pembagian karakteristik mengenai petani responden disajikan dalam Tabel 12 berikut. Dengan dasar pendidikan formal yang cukup dan pengalaman bertani jamur tiram yang rata-rata telah mencapai lebih dari sepuluh tahun, petani jamur tiram di Desa Kertawangi mampu mengadopsi dan menyerap teknologi dengan baik tentang pembudidayaan jamur tiram putih dan cukup mampu membaca peluang pasar. Selain itu, adanya rasa kekeluargaan dan kepercayaan yang terjalin cukup erat diantara petani memudahkan terjadinya transfer pengetahuan dan informasi baru yang berkaitan dengan teknik budidaya jamur tiram. Sebagian besar petani dengan skala usaha kecil menggunakan modal sendiri ketika memulai usaha jamur tiram dan untuk petani skala besar menggunakan sebagian modal sendiri dan sebagian modal lagi merupakan pinjaman yang diperoleh dari bank.
47
Tabel 12. Persentase Jumlah Petani Responden Berdasarkan Kriteria Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan Terakhir, Pekerjaan Utama, Lama Bertani Jamur Tiram dan Jumlah Bag Log Jamur Tiram di Desa Kertawangi Tahun 2012. Karakteristik Petani Jumlah Responden (Orang) Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-laki 5 62,5 Perempuan 3 37,5 Usia (Tahun) < 30 1 12,5 30-50 5 62,5 > 50 2 25 Pendidikan Terakhir Hingga Tamat SD Hingga Tamat SMP 1 12,5 Hingga Tamat SMA 5 62,5 Hingga Perguruan Tinggi 2 25 Pekerjaan Utama Bertani Jamur Tiram 4 50 Lainnya 4 50 Lama Bertani Jamur Tiram (Tahun) < 10 3 37,5 ≥ 10 5 62,5 Jumlah Log Jamur Tiram (Buah) < 20.000 4 50 20.000-100.000 2 25 > 100.000 2 25
5.6.
Karakteristik Lembaga Tataniaga Responden Lembaga tataniaga jamur tiram putih yang dijadikan responden berjumlah
sepuluh lembaga yang terdiri dari dua pedagang pengumpul (20 persen), satu bandar (10 persen), tiga pedagang grosir (30 persen), dan empat pedagang pengecer (40 persen). Pedagang pengumpul dan bandar berasal dari Desa Kertawangi, sedangkan pedagang grosir dan pedagang pengecer hanya dipilih yang berdagang di Kota Bandung saja. Data mengenai lembaga tataniaga responden dapat dilihat pada Lampiran 4. Keseluruhan pedagang grosir yang dijadikan responden adalah pedagang grosir jamur yang berada di Pasar Induk Caringin Bandung. Pedagang grosir responden tidak hanya menjual jamur tiram, tetapi juga menjual jenis jamur lainnya seperti jamur kuping dan jamur merang.
48
Empat orang pedagang pengecer yang menjadi responden memiliki tempat berdagang yang berbeda, yaitu Pasar Andir, Pasar Ciroyom, dan Kopo. Berdasarkan jenis kelamin, delapan orang (80 persen) pedagang adalah laki-laki dan dua orang (20 persen) adalah perempuan. Usia para pedagang ini berkisar antara 20-50 tahun. Tingkat pendidikan para pedagang responden ini beragam, sebanyak sembilan orang (90 persen) dari pedagang responden adalah lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat serta satu orang (10 persen) memiliki tingkat pendidikan hingga tamat perguruan tinggi. Lama pengalaman berdagang dari pedagang responden bervariasi antara dua hingga 16 tahun. Pada Tabel 13 dapat dilihat karakteristik lembaga tataniaga yang dijadikan responden dalam penelitian ini yang dibagi berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, dan lama pengalaman berdagang jamur tiram putih.
Tabel 13. Karakteristik Lembaga Tataniaga Responden Komoditas Jamur Tiram Putih Pedagang Responden Karakteristik Pengumpul Bandar Grosir Pengecer Pedagang Jmlh % Jmlh % Jmlh % Jmlh % Jenis Kelamin Laki-laki 2 20 1 10 2 20 3 30 Perempuan 1 10 1 10 Usia (Tahun) < 30 1 10 1 10 3 30 1 10 30-50 1 10 3 30 Pendidikan Terakhir Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA 2 20 1 10 2 20 4 40 Perguruan Tinggi 1 10 Pengalaman Berdagang Jamur Tiram (Tahun) < 10 1 10 2 20 3 30 ≥ 10 1 10 1 10 1 10 1 10
49
VI.
6.1.
ANALISIS SISTEM TATANIAGA JAMUR TIRAM PUTIH
Analisis Lembaga dan Fungsi Tataniaga Tataniaga jamur tiram putih merupakan serangkaian kegiatan bisnis dalam
menyalurkan jamur tiram putih segar mulai dari petani (produsen) hingga konsumen akhir. Proses distribusi produk tersebut melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Petani sangat bergantung kepada lembaga tataniaga dalam memasarkan hasil produksinya. Analisis lembaga tataniaga dilakukan untuk mengetahui lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses distribusi jamur tiram putih segar tersebut. Analisis fungsi tataniaga memperlihatkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga untuk menunjang kelancaran proses tataniaga jamur tiram putih. Fungsi-fungsi dalam tataniaga dapat dikategorikan menjadi tiga fungsi, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi penyediaan fasilitas. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diidentifikasi bahwa terdapat lima lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses tataniaga jamur tiram putih segar dari Desa Kertawangi, yaitu petani sebagai produsen jamur tiram putih segar, pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir, dan pedagang pengecer.
6.1.1. Petani Petani adalah produsen penghasil jamur tiram putih segar. Di Desa Kertawangi terdapat kurang lebih seratus petani jamur tiram putih yang terbagibagi ke dalam tiga skala usaha, yaitu skala usaha kecil (< 20.000 bag log), skala usaha sedang/menengah (20.000-100.000 bag log), dan skala usaha besar (> 100.000 bag log). Petani jamur tiram putih tidak seluruhnya penduduk asli Desa Kertawangi, tetapi ada pula petani pendatang yang menginvestasikan modalnya dengan menyewa kumbung jamur tiram milik petani yang sedang tidak digunakan atau memang khusus untuk disewakan, kemudian melakukan usaha budidaya jamur tiram putih disana. Namun, seluruh petani responden adalah petani jamur tiram putih yang merupakan penduduk asli Desa Kertawangi. Dari total delapan orang petani responden, sebagian besarnya adalah petani dengan skala usaha kecil
50
yaitu sebanyak empat orang atau 50 persen, petani dengan skala usaha sedang berjumlah dua orang (25 persen), dan petani dengan skala usaha besar sebanyak dua orang (25 persen). Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh petani jamur tiram putih ini meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi penyediaan fasilitas. 1)
Fungsi Pertukaran Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh petani adalah fungsi penjualan.
Tujuan penjualan jamur tiram putih adalah pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir, pedagang pengecer, dan konsumen akhir. Kegiatan penjualan ada yang dilakukan di tempat petani (jamur dijemput oleh pembeli) dan ada yang dilakukan di tempat pembeli (jamur diantarkan oleh petani ke tempat pembeli), tergantung dari kesepakatan antara petani dan pembeli. Seluruh petani responden telah memiliki pembeli tetap yang setiap harinya menampung hasil panen dari petani. Kegiatan penjualan ini dilakukan setiap hari setelah proses pemanenan dan pengemasan selesai. 2)
Fungsi Fisik Fungsi fisik yang pasti dilakukan oleh petani adalah kegiatan pengemasan.
Kegiatan pengemasan berupa mengemasi jamur tiram ke dalam plastik dengan bobot lima kilogram per plastiknya. Cara mengemas jamur dalam plastik yaitu dengan cara menghadapkan tudung jamur ke arah luar plastik dan disusun melingkar pada sisi plastik. Hal tersebut bertujuan untuk meminimalisasi terjadinya gesekan antar jamur dan gesekan antara jamur dengan plastik yang dapat mengakibatkan tudung jamur rusak atau terpotong karena tubuh jamur rentan terhadap gesekan dan mudah sobek. Ada petani yang melakukan kegiatan pengangkutan dan ada pula yang tidak. Kegiatan pengangkutan dilakukan oleh petani-petani yang memasarkan hasil produksinya kepada lembaga tataniaga yang tidak memberikan fasilitas angkut atau petani yang lokasi kumbungnya sangat dekat dengan lokasi pedagang pengumpul atau bandar langganannya. Namun, rata-rata lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul dan bandar memberikan fasilitas angkut kepada petani. Letak kumbung produksi petani tidak terlalu jauh dari tempat pedagang pengumpul tersebut.
51
3)
Fungsi Penyediaan Fasilitas Fungsi penyediaan fasilitas yang dilakukan oleh petani meliputi fungsi
penanggungan risiko, sortasi dan grading, pembiayaan, dan informasi pasar. Fungsi penanggungan risiko yang dilakukan oleh petani berupa penanggungan risiko terhadap penurunan harga jual jamur tiram putih di pasaran dan risiko penurunan volume hasil panen karena cuaca ataupun kualitas bibit yang kurang bagus. Fungsi sortasi dan grading dilakukan petani saat mengemas jamur tiram putih ke dalam plastik. Jamur tiram putih dikelompokkan ke dalam dua grade, yaitu super dan biasa. Jamur tiram putih yang tergolong dalam grade super adalah jamur tiram putih yang memiliki kondisi jamur kering (tidak terlalu basah dan tidak berat oleh kandungan air), berwarna putih bersih, dan ukuran diameter tudung belum terlalu lebar (6-8 cm). Jamur tiram grade super biasanya dihasilkan petani ketika usia produksi memasuki bulan kedua hingga bulan ketiga. Jamur tiram putih yang tergolong dalam grade biasa adalah jamur tiram putih yang kadar airnya cukup banyak/standar, berwarna putih kekuningan, dan ukuran diameter tudung sudah lebar (lebih dari 8 cm) atau yang terlalu kecil (kurang dari 6 cm). Perbedaan harga antara jamur tiram berkualitas super dengan yang berkualitas biasa mencapai Rp 1.000 per kilogramnya. Fungsi pembiayaan yang dilakukan oleh petani adalah penyediaan modal untuk membiayai usaha budidaya jamur tiram putih. Fungsi informasi harga diperoleh petani dari pedagang pengumpul, bandar, sesama petani jamur tiram, dan langsung dari pasar sehingga petani tetap mengetahui harga terbaru dari jamur tiram di pasaran.
6.1.2. Pedagang Pengumpul (Pengepul) Pedagang pengumpul atau biasa disebut pengepul oleh petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi adalah lembaga tataniaga yang skala usahanya (dalam menampung hasil produksi jamur tiram putih) tidak terlalu besar. Daya tampung pedagang pengumpul yang menjadi responden dalam penelitian ini kurang dari satu ton. Pengepul pada umumnya membeli dan mengumpulkan hasil produksi dari petani yang lokasi kumbungnya berada di dekat lokasi pengepul. Satu orang petani terkadang menjual hasil produksinya kepada dua orang pengepul. Terdapat puluhan pengepul jamur tiram putih di lokasi penelitian. Fungsi tataniaga yang
52
dilakukan oleh pengepul meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi penyediaan fasilitas. 1)
Fungsi Pertukaran Pengepul melakukan fungsi pertukaran berupa fungsi pembelian dan
fungsi penjualan. Fungsi pembelian jamur tiram putih dilakukan dari petani dan kemudian pengepul melakukan fungsi penjualan ke lembaga tataniaga selanjutnya, yaitu bandar dan pedagang grosir. 2)
Fungsi Fisik Fungsi fisik yang dilakukan oleh pengepul berupa kegiatan pengangkutan.
Namun, tidak seluruh pengepul melakukan kegiatan pengangkutan. Hal tersebut bergantung pada kemampuan pengepul itu sendiri. Pengepul yang menjadi responden penelitian ini seluruhnya memberikan fasilitas pengangkutan jamur tiram dari kumbung petani. Pengumpul memiliki tenaga kerja khusus yang bertugas mengambil hasil panen jamur tiram dari petani langganan dengan menggunakan motor. 3)
Fungsi Penyediaan Fasilitas Fungsi fasilitas yang dilakukan pengepul adalah fungsi pembiayaan dan
informasi harga. Fungsi pembiayaan yang dilakukan adalah dengan memberikan modal plastik Polypropilen ukuran lima kilogram untuk pengemasan jamur tiram kepada petani yang menjadi pelanggannya. Hal tersebut dimaksudkan untuk memudahkan petani dan agar petani langganannya tidak berpindah menjadi pelanggan pengepul lain. Fungsi informasi harga diperoleh dari pasar dan bandar yang kemudian disampaikan kepada petani.
6.1.3. Bandar Bandar adalah sebutan para petani jamur tiram putih untuk pedagang pengumpul skala besar. Bandar memiliki jaringan pemasaran yang lebih luas daripada pengepul. Bandar mampu menampung lebih dari satu ton jamur tiram putih setiap harinya. Bandar membeli jamur tiram putih dari petani dan pedagang pengumpul yang telah menjadi langganannya dan kemudian menjual kepada pedagang grosir. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh bandar meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi penyediaan fasilitas.
53
1)
Fungsi Pertukaran Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh bandar meliputi kegiatan
pembelian dan penjualan. Kegiatan pembelian berupa membeli jamur tiram putih dari petani dan pengepul yang telah menjadi langganannya. Kegiatan penjualan berupa menjual jamur tiram putih kepada pedagang grosir dari dalam dan luar kota. Setiap bandar telah memiliki pembeli langganan. 2)
Fungsi Fisik Fungsi fisik yang dilakukan oleh bandar adalah kegiatan pengangkutan
dari kumbung petani dan tempat pengepul ke tempat bandar. Bandar memiliki pekerja yang khusus bertugas menjemput jamur setiap harinya dengan menggunakan motor. Bandar melakukan pula pengemasan ulang jamur tiram setelah bandar melakukan proses sortasi dan grading ulang. 3)
Fungsi Penyediaan Fasilitas Fungsi fasilitas yang dilakukan oleh bandar berupa fungsi pembiayaan,
sortasi dan grading ulang, dan informasi harga. Fungsi pembiayaan yang dilakukan oleh bandar adalah berupa pemberian plastik Polypropilen ukuran lima kilogram kepada petani-petani yang menjadi pelanggannya untuk kemasan jamur tiram putih segar. Proses sortasi dan grading ulang adalah proses pemilahan ulang terhadap jamur tiram yang sudah dipilah oleh petani. Kegiatan sortasi dan grading ulang dilakukan bandar khusus untuk memilihkan jamur yang berkualitas super untuk pasar Jakarta karena harga untuk pasaran Jakarta lebih tinggi daripada pasar-pasar tujuan lainnya.
6.1.4. Pedagang Grosir Pedagang grosir adalah pedagang yang berada di pasar induk dan membeli jamur tiram putih dalam jumlah besar, baik kepada petani, pengumpul, maupun bandar. Pedagang grosir melakukan fungsi tataniaga berupa fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi penyediaan fasilitas. 1)
Fungsi Pertukaran Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang grosir adalah fungsi
pembelian dan penjualan. Fungsi pembelian dilakukan dari petani, pengepul, dan bandar dalam jumlah besar. Fungsi penjualan yang dilakukan adalah menjual
54
jamur tiram putih kepada pedagang pengecer dalam kota dan pedagang grosir lainnya yang berasal dari pasar luar kota seperti Cibitung, Tangerang, dan Jakarta. Pedagang grosir memiliki kios/tempat berjualan di pasar induk. Pedagang grosir di Pasar Induk Caringin tidak menjual jamur tiram secara eceran, tetapi menjual dengan batas minimal pembelian adalah lima kilogram (satu kemasan plastik Polypropilene). 2)
Fungsi Fisik Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang grosir adalah fungsi
pengangkutan. Dalam melakukan fungsi pembelian kepada petani, pengepul, dan bandar, pedagang grosir melakukan kegiatan pengangkutan dari Desa Kertawangi menuju pasar induk. Seluruh pedagang grosir yang menjadi responden memiliki alat angkut yaitu berupa kendaraan bak terbuka (mobil pick-up). 3)
Fungsi Penyediaan Fasilitas Fungsi penyediaan fasilitas yang dilakukan oleh pedagang grosir adalah
fungsi pembiayaan dan informasi harga. Fungsi pembiayaan yang dilakukan adalah berupa pengeluaran modal untuk biaya sewa kios di pasar dan biaya angkut jamur tiram putih. Pedagang grosir memiliki bargaining position yang kuat dalam pasar jamur tiram putih karena pedagang grosir sangat mengetahui harga jual jamur tiram putih dan bisa dikatakan bahwa harga jamur tiram putih cukup dikuasai oleh pedagang grosir.
6.1.5. Pedagang Pengecer Pedagang pengecer adalah lembaga tataniaga terakhir dalam proses tataniaga jamur tiram putih segar dan merupakan pihak yang bertemu langsung dengan konsumen akhir. Pedagang pengecer melakukan fungsi tataniaga berupa fungsi pertukaran dan fungsi fisik dan fungsi penyediaan fasilitas. 1)
Fungsi Pertukaran Fungsi pertukaran yang dilakukan oleh pedagang pengecer berupa fungsi
pembelian dan fungsi penjualan. Pedagang pengecer yang menjadi responden melakukan fungsi pembelian dari pedagang grosir di Pasar Induk Caringin. Fungsi penjualan yang dilakukan pedagang pengecer berupa penjualan jamur tiram putih segar ke konsumen akhir.
55
2)
Fungsi Fisik Fungsi fisik yang dilakukan oleh pedagang pengecer adalah fungsi
pengangkutan. Fungsi pengangkutan dilakukan dari pasar induk menuju tempat pedagang pengecer tersebut berjualan.
Tabel 14. Aktivitas Fungsi Tataniaga yang Dilakukan Oleh Lembaga Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi No. Lembaga Fungsi Aktivitas Tataniaga Tataniaga 1. Petani Pertukaran Penjualan Fisik Pengemasan Pengangkutan Fasilitas Pembiayaan Sortasi dan grading Penanggungan risiko Informasi harga. 2. Pedagang Pertukaran Pembelian Pengumpul Penjualan (pengepul) Fisik Pengangkutan Fasilitas Pembiayaan Informasi harga 3. Bandar Pertukaran Pembelian Penjualan Fisik Pengangkutan Pengemasan Fasilitas Pembiayaan Sortasi dan grading Informasi harga 4 Pedagang Grosir Pertukaran Pembelian Penjualan Fisik Pengangkutan Fasilitas Pembiayaan Informasi harga 5. Pedagang Pertukaran Pembelian Pengecer Penjualan Fisik Pengangkutan
56
6.2.
Analisis Saluran Tataniaga Petani jamur tiram putih sangat mengandalkan peran lembaga tataniaga
dalam memasarkan produknya. Oleh sebab itu, terdapat beberapa pola saluran tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat empat saluran tataniaga jamur tiram putih segar di Desa Kertawangi. Berikut adalah saluran tataniaga tersebut: Saluran tataniaga I
: Petani
Pedagang Pengumpul
Pedagang Pengecer Saluran tataniaga II
: Petani Pengecer
Saluran tataniaga III
: Petani
Bandar
Pedagang Grosir
Konsumen Akhir Pedagang Grosir
Pedagang
Konsumen Akhir Pedagang Pengumpul
Pedagang Grosir
Pedagang Pengecer
Bandar Konsumen
Akhir Saluran tataniaga IV
: Petani
Pedagang Grosir
Pedagang Pengecer
Konsumen Akhir
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap delapan orang petani responden, diketahui bahwa total volume jamur tiram yang dihasilkan oleh delapan orang petani responden tersebut berjumlah 1.145 kilogram per hari. Artinya, keempat saluran tataniaga tersebut dalam sehari paling tidak dapat menyalurkan 1.145 kg jamur tiram putih kepada konsumen akhir di berbagai kota tujuan.
6.2.1. Saluran Tataniaga I Saluran tataniaga satu terdiri dari petani, pedagang pengumpul/pengepul, pedagang grosir, pedagang pengecer dan konsumen. Volume penjualan jamur tiram putih pada saluran satu sebanyak 105 kg atau 9,17 persen dari total volume penjualan jamur tiram putih petani responden. Gambar 4 menggambarkan aliran saluran tataniaga satu.
57
Petani
Pedagang Pengumpul
Pedagang Grosir
Pedagang Pengecer
Konsumen Akhir
Gambar 4. Saluran Tataniaga I Jamur Tiram Putih
Saluran tataniaga ini adalah saluran tataniaga yang paling banyak digunakan oleh petani responden. Petani responden yang memilih saluran ini berjumlah tiga orang atau sebanyak 37,5 persen dari total petani responden (Tabel 15).
Tabel 15. Volume dan Harga Jual Jamur Tiram Putih di Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga I Volume Harga Jual No. Nama Petani Skala Usaha (Kg) (Rp/Kg) 1. Beni Kecil 50 7.000 2. Atikah Kecil 30 7.000 3. Agus Kecil 25 7.000
Petani responden di Saluran I ini menjual jamur tiram putihnya ke pedagang pengumpul yang merupakan petani jamur tiram putih juga, yaitu Bapak Beni. Alasan petani responden memilih saluran tataniaga ini adalah karena pada awalnya pedagang pengumpul menawarkan jasa pembelian kepada petani dan juga adanya kedekatan lokasi kumbung petani dengan lokasi pengepul sehingga memudahkan petani dalam memasarkan produknya. Selain itu, pengepul menjemput hasil panen dari kumbung petani dengan menggunakan motor. Petani telah menjadi langganan tetap pengepul dan antara kedua belah pihak telah terjalin suatu kerjasama yang berlandaskan kepercayaan. Petani melakukan kegiatan pemanenan sekitar pukul 06.00-08.00, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan pengemasan. Pengambilan jamur tiram oleh pengepul dilakukan sekitar pukul 10.00-11.00. Harga beli jamur tiram putih yang diterima petani dari pengepul adalah Rp 7.000 per kilogram. Selanjutnya proses tataniaga berlanjut dari pengepul ke pedagang grosir. Pengepul menjual jamur tiram putih yang telah dikumpulkannya ke pedagang grosir yang berasal
58
dari Bandung, Jakarta, Cibitung, Tangerang, dan Tegal. Volume penjualan jamur tiram putih untuk pedagang grosir Bandung, Jakarta, Cibitung, Tangerang, dan Tegal berjumlah masing-masing satu kwintal. Harga beli jamur tiram putih oleh pedagang grosir Bandung, Tangerang dan Cibitung disepakati sebesar Rp 7.500 per kilogram dan untuk harga grosir Jakarta dan Tegal sedikit lebih tinggi yaitu Rp 8.000 per kilogram karena di kedua kota tersebut tingkat permintaan akan jamur tiram putih lebih tinggi dibanding dengan kota tujuan pemasaran lainnya. Saluran tataniaga yang ditelusuri oleh peneliti adalah saluran tataniaga dengan lembaga tataniaga pedagang grosir untuk pasar Kota Bandung karena ruang lingkup penelitian ini hanya untuk pasar Kota Bandung. Pedagang grosir yang menjadi responden pada Saluran I ini adalah Ibu Brastyan yang menjual jamur tiram putih secara grosir di Pasar Induk Caringin Kota Bandung dengan volume penjualan jamur tiram putih per hari mencapai 500 kilogram. Pedagang grosir harus mengambil jamur tiram putih ke lokasi pengepul di Desa Kertawangi. Selanjutnya, pedagang grosir membawa jamur tiram putih yang telah dibeli dari pedagang pengumpul ke Pasar Induk Caringin. Di Pasar Induk Caringin harga jual jamur tiram adalah Rp 8.500 per kilogram. Konsumen dari pedagang grosir Ibu Brastyan rata-rata adalah para pedagang pengecer sayuran yang berjualan di pasar-pasar kecil Kota Bandung. Pedagang pengecer yang menjadi responden bernama Adi yang lokasi berjualannya di Pasar Andir Bandung. Pedagang pengecer menjual jamur tiram putih kepada konsumen akhir dengan harga Rp 12.000 per kilogram. Pada saluran ini, petani tidak mengeluarkan biaya tataniaga. Biaya tataniaga dikeluarkan oleh pengepul, pedagang grosir, dan pedagang pengecer.
6.2.2. Saluran Tataniaga II Saluran tataniaga yang kedua terdiri dari petani, bandar, pedagang grosir, pedagang pengecer, dan konsumen akhir (Gambar 5). Volume penjualan jamur tiram putih melalui saluran ini adalah sebanyak 150 kg atau sebesar 13,1 persen dari total volume jamur tiram putih yang dihasilkan oleh petani responden.
59
Petani
Bandar
Pedagang Grosir
Pedagang Pengecer
Konsumen Akhir
Gambar 5. Saluran Tataniaga II pada Jamur Tiram Putih
Saluran ini dipilih oleh dua orang petani responden atau sebesar 25 persen dari total petani responden (Tabel 16). Petani responden menjual jamur tiram putihnya langsung kepada bandar. Bandar yang menjadi responden pada Saluran II ini adalah Bapak Ahmad Rifa‟i.
Tabel 16. Volume dan Harga Jual Jamur Tiram Putih di Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga II Volume Harga Jual No. Nama Petani Skala Usaha (Kg) (Rp/Kg) 1. Eden Kecil 50 7.000 2. Ari Sedang 100 7.000
Alasan petani memilih saluran tataniaga ini adalah karena eratnya hubungan antara petani dan bandar serta lokasi kumbung yang tidak terlalu jauh dari lokasi bandar berada. Harga beli jamur tiram untuk petani dan pengepul, yaitu Rp 7.000 per kilogram. Bandar memberikan plastik untuk kemasan jamur tiram berupa plastik Polypropilen ukuran lima kilogram kepada petani. Bandar pun memberikan fasilitas pengangkutan dari kumbung petani dan tempat pengepul ke lokasi bandar yang dilakukan oleh pekerja dengan menggunakan motor. Proses pengangkutan dilakukan sekitar pukul 10.00-12.00 setiap harinya. Proses berikutnya adalah proses transaksi antara bandar dengan pedagang grosir. Pedagang grosir yang menjadi pelanggan bandar berasal dari Jakarta, Bandung, Cibitung, Tangerang, dan Indramayu. Pasar utama bandar responden adalah Jakarta dan Indramayu karena harga jual jamur tiram di dua kota tersebut lebih tinggi daripada harga pemasaran jamur tiram putih untuk kota-kota lainnya yaitu sekitar Rp 8.000 per kilogram, sedangkan harga di kota lainnya berkisar Rp 7.500 per kilogram. Pedagang grosir yang dijadikan responden dalam saluran tataniaga ini adalah pedagang grosir di Pasar Induk Caringin Bandung. Pedagang grosir yang menjadi responden pada Saluran II ini adalah Rudi. Setelah dari
60
pedagang grosir, proses tataniaga dilanjutkan ke pedagang pengecer. Harga jual jamur tiram dari pedagang grosir ke pedagang pengecer adalah Rp 8.500 per kilogramnya. Konsumen dari pedagang grosir Rudi adalah pedagang pengecer untuk pasar-pasar kecil dan pedagang sayur keliling. Responden pedagang pengecer di Saluran II ini adalah Ibu Asih, yaitu seorang pedagang sayuran di Pasar Kopo. Harga yang diberikan pedagang pengecer untuk konsumen akhir yaitu Rp 12.000. Biaya tataniaga pada saluran ini dikeluarkan oleh bandar, pedagang grosir, dan pedagang pengumpul.
6.2.3. Saluran Tataniaga III Saluran tataniaga III terdiri dari petani, pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir, pedagang pengecer, dan konsumen akhir (Gambar 6). Saluran tataniaga III ini merupakan saluran tataniaga terpanjang dalam rantai tataniaga jamur tiram putih segar dari Desa Kertawangi.
Petani
Pedagang Pengumpul
Bandar
Pedagang Grosir
Pedagang Pengecer
Konsumen Akhir
Gambar 6. Saluran Tataniaga III pada Jamur Tiram Putih
Petani responden yang menggunakan saluran tataniaga ini sebanyak satu orang atau sebesar 12,5 persen dengan volume penjualan sebanyak 40 kilogram per hari atau sebesar 3,49 persen dari total volume jamur tiram putih yang dihasilkan oleh petani responden (Tabel 17). Petani kemudian menjual jamur tiram putihnya kepada pedagang pengepul M. Sholeh.
Tabel 17. Volume dan Harga Jual Jamur Tiram Putih di Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga III Volume Harga Jual No. Nama Petani Skala Usaha (Kg) (Rp/Kg) 1. Tisna Sedang 40 6.800
61
Harga beli jamur tiram yang diberikan pengepul kepada petani adalah Rp 6.800 per kilogram. Harga tersebut lebih rendah daripada harga yang diberikan kepada petani pada dua rantai tataniaga sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan pengepul harus menjual lagi jamur tiramnya ke bandar dan bandar hanya memberi harga Rp 7.000 per kilogram sehingga pengepul memberikan harga beli yang lebih rendah kepada petani langganannya agar ia memperoleh keuntungan. Saluran tataniaga tiga ini kurang diminati oleh petani, terlihat dari sedikitnya petani responden yang memilih saluran tataniaga ini. Proses tataniaga kemudian berlanjut ke pedagang grosir. Pedagang grosir yang menjadi responden adalah Rizal. Harga jamur tiram putih di tingkat pedagang grosir responden memiliki kesamaan yaitu Rp 7.500. Selanjutnya pedagang grosir menjual jamur tiram putih kepada pedagang pengecer dengan harga Rp 8.500. Pedagang pengecer yang menjadi responden adalah Bapak Udung yang merupakan pedagang pengecer sayuran di Pasar Ciroyom. Harga yang diberikan pedagang pengecer kepada konsumen akhir di Saluran III ini sebesar Rp 12.000 per kilogram.
6.2.4. Saluran Tataniaga IV Saluran tataniaga empat terdiri dari petani, pedagang grosir, pedagang pengecer, dan konsumen. Volume penjualan pada Saluran IV ini sebesar 850 kilogram atau 74,2 persen dari total volume jamur tiram putih yang dihasilkan oleh petani responden. Alur kerja lembaga tataniaga saluran tataniaga empat dapat dilihat pada Gambar 7.
Petani
Pedagang Grosir
Pedagang Pengecer
Konsumen Akhir
Gambar 7. Saluran Tataniaga IV pada Jamur Tiram Putih
Saluran tataniaga ini dipilih oleh dua orang petani atau sebanyak 25 persen dari total petani responden (Tabel 18). Keduanya merupakan petani jamur tiram putih dengan skala usaha besar. Dengan skala usaha yang besar tentunya petani akan menghasilkan jamur tiram putih dalam jumlah banyak. Volume rata-rata
62
yang dihasilkan oleh dua petani responden ini adalah 425 kg jamur tiram per hari. Dengan volume panen yang besar tentu petani mampu mencari pasar untuk pemasaran jamur tiramnya. Petani langsung menjual jamur tiramnya kepada pedagang grosir langganannya yang berjumlah lebih dari satu pedagang grosir. Satu orang petani responden menjual jamur tiramnya ke tujuh pedagang grosir dan satu petani lainnya menjual ke dua pedagang grosir. Pedagang grosir yang menjadi langganan kedua petani ini sebagian besar adalah pedagang grosir yang berasal dari luar kota. Pedagang grosir datang setiap hari ke lokasi petani untuk menjemput jamur tiram yang hendak dibelinya.
Tabel 18. Volume dan Harga Jual Jamur Tiram Putih di Tingkat Petani pada Saluran Tataniaga IV Volume Harga Jual No. Nama Petani Skala Usaha (Kg) (Rp/Kg) 1. Sri Besar 350 7.500 2. Nandang Besar 500 7.500
Harga jual jamur tiram kepada pedagang grosir pada saluran tataniaga ini adalah Rp 7.500 per kilogram. Selanjutnya setelah dari pedagang grosir, proses tataniaga berlanjut ke pedagang pengecer lalu ke konsumen akhir dengan harga Rp 12.000 per kilogram. Pada saluran ini petani mengeluarkan biaya tataniaga berupa biaya pengemasan jamur tiram putih karena pedagang grosir tidak menyediakan fasilitas pengemasan.
63
Saluran IV
Petani 1.145 kg (100%) Saluran II
Saluran I Bandar
Saluran III
190 kg (16,59% )
Pedagang Pengumpul 145 kg (12,66% )
Pedagang Grosir 1.145 kg (100%)
Pedagang Pengecer 1.145 kg (100%)
Konsumen Akhir
Gambar 8. Alur Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi Tahun 2012
6.3.
Analisis Struktur Pasar Struktur pasar dalam suatu proses tataniaga dianalisis berdasarkan jumlah
produsen dan konsumen, sifat produk yang dipasarkan, kebebasan keluar-masuk pasar, dan informasi harga pasar dari produk tersebut. Struktur pasar sangat mempengaruhi dalam terciptanya perilaku pasar dari masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat dalam proses transaksi jual beli. Dalam tataniaga jamur tiram putih ini, produk yang diperjualbelikan bersifat homogen, yaitu jamur tiram putih segar.
6.3.1. Petani Petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi berjumlah kurang lebih seratus orang. Jumlah petani lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pedagang
64
dan produk yang dijual homogen. Petani sebagai pihak produsen dan penjual pertama memiliki tujuan pemasaran yang beragam, yaitu pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir, dan konsumen akhir. Petani bebas untuk keluar masuk pasar karena sebagian besar petani tidak selalu rutin melakukan produksi jamur tiram putih secara kontinyu. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan modal yang dihadapi oleh para petani. Jika petani sedang kesulitan modal, petani tidak akan mengisi kumbungnya dan menghentikan kegiatan produksi jamur tiram putih untuk sementara waktu, artinya petani keluar dari pasar jamur tiram putih. Namun, ketika petani sedang memiliki modal, petani akan mengisi kembali kumbungnya untuk memproduksi jamur tiram putih dan kembali lagi sebagai produsen jamur tiram putih. Petani dengan skala usaha kecil berperan sebagai price taker, menerima harga yang ditawarkan oleh pembelinya, karena petani ini hanya memiliki sedikit produk sehingga tidak cukup kuat untuk menjadi price maker. Sedangkan petani dengan skala usaha besar cukup memiliki peran dalam menentukan harga jual karena petani ini memiliki produk dengan jumlah besar dan mereka mengetahui kondisi pasar dan harga jamur tiram saat proses transaksi berlangsung. Jumlah petani yang banyak dengan produk yang homogen dan memiliki kebebasan dalam keluar masuk pasar menjadikan petani ketika menjual produknya kepada lembaga tataniaga (pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir dan pedagang pengecer) memiliki struktur pasar persaingan sempurna (competitive market).
6.3.2. Pedagang Pengumpul (Pengepul) Pedagang pengumpul atau pengepul membeli langsung jamur tiram putih dari petani. Pengepul jamur tiram putih di Desa Kertawangi berjumlah hingga puluhan orang. Pengepul tidak bebas menentukan harga, mereka mendapatkan informasi harga dari bandar, pedagang grosir, dan rekan sesama pengepul. Hambatan keluar masuk pasar bagi pengepul cukup mudah, pengepul hanya perlu mendatangi petani dan kemudian menawarkan jasanya. Dengan mudahnya hambatan pengepul untuk keluar masuk pasar dan homogennya produk yang diperjualbelikan maka struktur pasar yang dihadapi oleh pengepul cenderung mengarah pada pasar persaingan sempurna.
65
6.3.3. Bandar Bandar jamur tiram di Desa Kertawangi jumlahnya tidak terlalu banyak, yakni tidak mencapai sepuluh orang. Bandar mendapatkan jamur tiram dari petani dan pengepul yang sudah menjadi pelanggannya. Bandar menerima apabila ada petani baru yang ingin memasarkan produk kepadanya. Informasi harga diperoleh bandar dari pedagang grosir dan dari Pasar Induk. Struktur pasar yang dihadapi bandar cenderung mengarah pada pasar oligopoli murni karena jumlah bandar yang tidak banyak, produk yang diperjualbelikan homogen, dan hambatan yang dihadapi bandar untuk keluar masuk pasar cukup tinggi. Bandar tetap menjadi price taker karena grosir lebih mengetahui informasi permintaan pasar.
6.3.4. Pedagang Grosir Pedagang grosir mendapatkan jamur tiram dari petani, pengepul, dan bandar. Bagi pedagang grosir yang menginginkan keuntungan lebih banyak, mereka membeli jamur tiram langsung dari petani agar harga beli lebih murah, namun tidak serta merta mereka dapat menentukan harga karena tetap saja mereka harus bersaing dengan pedagang grosir lainnya dalam mendapatkan jamur tiram dari petani dan petani akan memilih menjual produknya kepada penawar harga yang paling tinggi (hal seperti ini terjadi pada petani berskala usaha besar). Sebagai pembeli, pedagang grosir menghadapi pasar persaingan sempurna dan sebagai penjual menghadapi kecenderungan pasar oligopoli murni karena jumlah pedagang grosir di pasar induk tidak banyak, sedangkan pembeli banyak dan berasal dari dalam dan luar kota.
6.3.5. Pedagang Pengecer Pedagang pengecer yang menjadi responden mendapatkan jamur tiram putih dari pedagang grosir di pasar induk. Sebagai pembeli, pedagang pengecer adalah price taker yang menerima harga pasar. Ketika melakukan penelitian, terlihat bahwa pengecer jarang melakukan proses tawar menawar ketika melakukan transaksi dengan pedagang grosir. Struktur pasar yang dihadapi oleh pengecer sebagai pembeli adalah pasar oligopsoni murni karena jumlah pedagang
66
grosir tidak banyak. Sebagai penjual di pasar-pasar kecil, pengecer menghadapi struktur pasar persaingan sempurna.
6.4.
Analisis Perilaku Pasar Analisis perilaku pasar jamur tiram putih dapat diketahui dengan
mengamati praktek penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh masing-masing lembaga tataniaga, sistem penentuan harga, serta kerjasama diantara lembaga tataniaga.
6.4.1. Praktek Pembelian dan Penjualan Saluran tataniaga jamur tiram putih diawali oleh petani sebagai produsen. Kemudian petani melakukan proses penjualan hasil produksinya ke lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir, dan langsung ke konsumen akhir. Melalui analisis yang dilakukan terhadap petani responden, dapat diketahui bahwa petani jamur tiram putih telah memiliki langganan dalam memasarkan produknya. Menurut seluruh petani responden, dalam mencari jalur pemasaran untuk jamur tiram putih hasil produksinya, petani pada awalnya didatangi oleh pedagang-pedagang yang saat ini menjadi langganannya. Kemudian petani dan pedagang tersebut menyepakati terjadinya kerjasama dalam jual beli jamur tiram putih ini. Dalam pemilihan lembaga tataniaga mana yang akan dipilih, petani mencari lembaga tataniaga yang memberikan harga beli yang tinggi untuk produknya. Setelah dilakukan proses pembelian dari petani, selanjutnya proses penjualan berlanjut ke lembaga tataniaga yang lebih besar yaitu pedagang grosir. Pedagang grosir yang membeli jamur tiram putih Desa Kertawangi terdiri dari pedagang grosir Bandung, Jakarta, Tangerang, Cibitung, Indramayu, Cirebon, dan Tegal.
6.4.2. Sistem Penentuan Harga Penentuan harga erat kaitannya dengan permintaan dan penawaran yang terjadi pada suatu komoditas. Penentuan harga pada jamur tiram putih dilakukan berdasarkan harga pasar yang sedang berlaku atau sering disebut nota pasar.
67
Apabila volume jamur tiram putih sedang sedikit maka petani adalah penentu harga, sedangkan jika volume melimpah maka pedagang yang menjadi penentu harga (price maker). Pencapaian harga jamur tiram yang paling tinggi adalah ketika bulan Ramadhan dimana harga jamur bisa mencapai Rp 15.000 per kilogram di tingkat pedagang grosir karena tingginya permintaan konsumen. Harga penjualan jamur tiram paling rendah adalah ketika hari-hari besar seperti Hari Raya Idul Adha, Hari Raya Idul Fitri, Natal dan tahun baru, yaitu Rp 5.000 per kilogram di tingkat pedagang grosir. Hal tersebut dikarenakan sedikitnya permintaan sedangkan supply dari petani melimpah dan karena ketika merayakan hari besar masyarakat cenderung memilih daging untuk dikonsumsi. Informasi harga dibawa oleh pedagang grosir dari Pasar Induk Caringin dan Pasar Induk Kramat Jati. Petani dengan skala usaha sedang dan besar biasanya memiliki informan yang setiap saat dapat menginformasikan apabila terjadi kenaikan atau penurunan harga komoditas jamur tiram putih di pasar induk. Pedagang grosir adalah pihak yang menawarkan harga pertama kali kepada bandar, pengepul, dan petani, dan untuk mencapai kesepakatan biasanya dilakukan juga sedikit proses tawar menawar. Walaupun demikian, keputusan terakhir ditentukan oleh lembaga dengan posisi tawar yang lebih tinggi sesuai dengan mekanisme pasar yang terjadi. Harga jamur tiram di tingkat petani sebagian besar adalah Rp 7.000 dan di tingkat pengecer Rp 12.000. Dalam penetapan harga beli dan harga jual jamur tiram antara pedagang satu dan lainnya (yang setingkat) tidak ada kesepakatan, artinya setiap pedagang menetapkan harga jual dan harga belinya masing-masing dengan berdasar pada nota pasar. Harga-harga tersebut tidak akan jauh berbeda, perbedaan harga hanya berkisar antara Rp 100 hingga Rp 200.
6.4.3. Sistem Pembayaran Penentuan sistem pembayaran pembelian disesuaikan dengan kehendak petani. Ada petani yang meminta pembayaran dengan sistem keluar-masuk harian, tiga harian, dan mingguan. Sebagian besar petani menggunakan sistem pembayaran keluar-masuk harian, maksudnya barang yang hari ini diambil oleh pembeli akan dibayarkan pada keesokan harinya ketika pembeli kembali lagi
68
untuk mengambil barang berikutnya. Ada pula sistem pembayaran tiga harian, yaitu pembayaran dilakukan setiap tiga hari serta sistem pembayaran mingguan adalah pembayaran yang dilakukan setiap tujuh hari sekali di akhir minggu. Sistem pembayaran seperti ini didasarkan atas rasa saling percaya antara kedua belah pihak. Sistem pembayaran penjualan antara pengepul, bandar, dan pedagang grosir menggunakan sistem keluar-masuk harian, tiga harian, dan mingguan, tergantung dari hasil kesepakatan. Sistem pembayaran penjualan antara pedagang grosir, pedagang pengecer, dan konsumen akhir dilakukan dengan pembayaran tunai. Sistem pembayaran pada saluran tataniaga lima (petani langsung bertemu konsumen) menggunakan sistem pembayaran tunai.
6.4.4. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga Kerjasama terjalin di antara petani dengan lembaga tataniaga dan antar lembaga tataniaga. Kerjasama antara petani dengan pedagang pengumpul dan bandar dilakukan berdasarkan kebutuhan petani akan lembaga yang akan memasarkan
produknya
dan
kebutuhan
pengumpul
dan
bandar
dalam
mendapatkan pasokan jamur tiram secara kontinyu. Kerjasama yang erat terjalin dengan berlandaskan kepercayaan antar kedua belah pihak, walaupun tanpa adanya pernyataan tertulis/kontrak kerjasama.
6.5.
Analisis Keragaan Pasar Analisis keragaan pasar bertujuan untuk mengetahui besarnya marjin
tataniaga, rasio antara keuntungan dan biaya, farmer’s share, dan efisiensi tataniaga pada saluran tataniaga jamur tiram putih.
6.5.1. Analisis Marjin Tataniaga Marjin tataniaga dihitung berdasarkan pengurangan harga penjualan dengan harga pembelian pada setiap tingkat lembaga tataniaga atau perbedaan harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayarkan oleh konsumen. Besarnya marjin tataniaga pada dasarnya merupakan penjumlahan dari biayabiaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh oleh lembaga
69
tataniaga. Biaya tataniaga yang dikeluarkan dalam proses tataniaga jamur tiram putih ini meliputi biaya pengemasan, pengangkutan/ transportasi, retribusi, bongkar muat, sewa tempat, dan tenaga kerja. Uraian biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19.
Biaya Tataniaga Masing-masing Lembaga Tataniaga Biaya (Rp/Kg) Keterangan Saluran I Saluran II Saluran III Petani Pedagang Pengumpul 1. Biaya Pengemasan 76,67 76,67 2. Biaya Pengangkutan 18 3. Biaya Tenaga Kerja 114,3 208,97 76,67 Jumlah Bandar 1. Biaya Pengemasan 76,67 76,67 2. Biaya Pengangkutan 9 9 3. Biaya Tenaga Kerja 57,14 57,14 142,81 142,81 Jumlah Pedagang Grosir 1. Biaya Pengangkutan 22,5 22,5 22,5 2. Biaya Tenaga Kerja 10 10 10 3. Biaya Retribusi Pasar 6 6 6 4. Biaya Sewa Kios 20 20 20 5. Biaya Bongkar Muat 100 100 100 158,5 158,5 158,5 Jumlah Pedagang Pengecer 1. Biaya Pengangkutan 100 100 100 2. Biaya Sewa Jongko 100 100 100 3. Biaya Retribusi Pasar Induk 60 60 60 260 260 260 Jumlah Total Biaya Tataniaga 627,47 561,31 637,98
Saluran IV 76,67 22,5 10 6 20 100 158,5 100 100 60 260 418,5
Biaya tataniaga terbesar dikeluarkan oleh saluran tataniaga tiga, yaitu sebesar 637,98. Hal tersebut disebabkan karena saluran tataniaga tiga adalah saluran tataniaga yang paling banyak melibatkan lembaga tataniaga didalamnya sehingga biaya tataniaga yang dikeluarkan pun lebih besar. Saluran tataniaga empat adalah saluran dengan biaya tataniaga terendah, yaitu sebesar 418,5. Saluran tataniaga empat adalah saluran terpendek diantara saluran tataniaga lainnya, yaitu hanya melibatkan pedagang grosir dan pedagang pengecer sebagai
70
lembaga tataniaga. Setelah menghitung biaya tataniaga, dapat diketahui marjin tataniaga masing-masing lembaga yang terlibat dalam setiap saluran tataniaga dan total marjin tataniaga tiap saluran tataniaga. 1) Marjin Tataniaga pada Saluran Tataniaga I Saluran tataniaga satu melibatkan petani, pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer, dan konsumen akhir. Petani responden yang menggunakan saluran satu ini berjumlah tiga orang petani atau sebesar 37,5 persen dari total petani responden. Volume jamur tiram putih yang dijual melalui saluran ini sebanyak 105 kilogram atau 9,17 persen dari total volume penjualan jamur tiram putih petani responden. Harga jual di tingkat petani adalah Rp 7.000/kg dan harga jual untuk konsumen akhir sebesar Rp 12.000/kg. Petani pada saluran ini tidak mengeluarkan biaya tataniaga. Biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga pada saluran tataniaga satu antara lain: biaya pengemasan, biaya pengangkutan/transportasi, biaya tenaga kerja, biaya retribusi pasar, biaya bongkar muat, dan biaya sewa kios. Total biaya tataniaga saluran satu sebesar Rp 627,47 per kilogram atau sebesar 5,23 persen dan total keuntungan sebesar Rp 4.372,53 per kilogram atau 36,44 persen, sehingga total marjin tataniaga saluran satu adalah sebesar Rp 5.000 per kilogram atau sebesar 41,67 persen. Untuk lebih jelasnya mengenai keuntungan tataniaga, marjin tataniaga, harga beli, dan harga jual jamur tiram putih di masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran tataniaga satu dapat dilihat pada Tabel 20.
71
Tabel 20. Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga Beli, dan Harga Jual Jamur Tiram Putih pada Saluran Tataniaga I Uraian Nilai (Rp/Kg) Persentase Petani Harga Jual 7.000 58,33 Biaya Tataniaga Pedagang Pengumpul Harga Beli 7.000 58,33 Biaya Tataniaga 208,97 1,74 Keuntungan 291,03 2,43 Marjin Tataniaga 500 4,17 Harga Jual 7.500 62,50 Pedagang Grosir Harga Beli 7.500 62,50 Biaya Tataniaga 158,50 1,32 Keuntungan 841,50 7,01 Marjin Tataniaga 1.000 8,33 Harga Jual 8.500 70,83 Pedagang Pengecer Harga Beli 8.500 70,83 Biaya Tataniaga 260 2,17 Keuntungan 3.240 27,00 Marjin Tataniaga 3.500 29,17 Harga Jual 12.000 100 627, 47 5,23 Total Biaya Tataniaga 4.372,53 36,44 Total Keuntungan 5.000 41,67 Total Marjin Tataniaga
2) Marjin Tataniaga pada Saluran Tataniaga II Saluran tataniaga dua melibatkan petani, bandar, pedagang grosir, pedagang pengecer, dan konsumen akhir. Petani responden yang menggunakan saluran dua ini berjumlah dua orang petani atau sebesar 25 persen dari total petani responden. Volume jamur tiram putih yang dijual melalui saluran ini sebanyak 150 kilogram atau 13,1 persen dari total volume penjualan jamur tiram putih petani responden. Harga jual di tingkat petani adalah Rp 7.000/kg dan harga jual untuk konsumen akhir sebesar Rp 12.000/kg. Petani pada saluran ini tidak mengeluarkan biaya tataniaga. Biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga pada saluran tataniaga dua sama dengan biaya yang dikeluarkan pada saluran satu, antara lain: biaya pengemasan, biaya pengangkutan/transportasi, biaya tenaga kerja, biaya retribusi pasar, biaya
72
bongkar muat, dan biaya sewa kios. Total biaya tataniaga saluran dua sebesar Rp 561,31 per kilogram atau sebesar 4,68 persen dan total keuntungan sebesar Rp 4.438,69 per kilogram atau 36,99 persen, sehingga total marjin tataniaga saluran satu adalah sebesar Rp 5.000 per kilogram atau sebesar 41,67 persen. Untuk lebih jelasnya mengenai keuntungan tataniaga, marjin tataniaga, harga beli, dan harga jual jamur tiram putih di masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran tataniaga dua dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga Beli, dan Harga Jual Jamur Tiram Putih pada Saluran Tataniaga II Uraian Nilai (Rp/Kg) Persentase Petani Harga Jual 7.000 58,33 Biaya Tataniaga Bandar Harga Beli 7.000 58,33 Biaya Tataniaga 142,81 1,19 Keuntungan 357,19 2,98 Marjin Tataniaga 500 4,17 Harga Jual 7.500 62,50 Pedagang Grosir Harga Beli 7.500 62,50 Biaya Tataniaga 158,50 1,32 Keuntungan 841,50 7,01 Marjin Tataniaga 1.000 8,33 Harga Jual 8.500 70,83 Pedagang Pengecer Harga Beli 8.500 70,83 Biaya Tataniaga 260 2,17 Keuntungan 3.240 27,00 Marjin Tataniaga 3.500 29,17 Harga Jual 12.000 100 561,31 4,68 Total Biaya Tataniaga 4.438,69 36,99 Total Keuntungan 5.000 41,67 Total Marjin Tataniaga
3) Marjin Tataniaga pada Saluran Tataniaga III Saluran tataniaga tiga melibatkan petani, pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir, pedagang pengecer, dan konsumen akhir. Saluran tataniaga tiga merupakan saluran terpanjang, artinya saluran tataniaga yang paling banyak
73
melibatkan lembaga tataniaga didalamnya. Petani responden yang menggunakan saluran tiga ini berjumlah satu orang petani atau sebesar 12,5 persen dari total petani responden. Volume jamur tiram putih yang dijual melalui saluran ini sebanyak 40 kilogram atau 3,49 persen dari total volume penjualan jamur tiram putih petani responden. Harga jual di tingkat petani adalah Rp 6.800/kg dan harga jual untuk konsumen akhir sebesar Rp 12.000/kg. Petani pada saluran ini tidak mengeluarkan biaya tataniaga. Biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga pada saluran tataniaga tiga hampir sama dengan biaya yang dikeluarkan pada saluran satu dan dua, antara lain: biaya pengemasan, biaya pengangkutan/transportasi, biaya tenaga kerja, biaya retribusi pasar, biaya bongkar muat, dan biaya sewa kios. Total biaya tataniaga saluran tiga sebesar Rp 637,98 per kilogram atau sebesar 5,32 persen dan total keuntungan sebesar Rp 4.562,02 per kilogram atau 38,02 persen, sehingga total marjin tataniaga saluran satu adalah sebesar Rp 5.200 per kilogram atau sebesar 43,34 persen. Untuk lebih jelasnya mengenai keuntungan tataniaga, marjin tataniaga, harga beli, dan harga jual jamur tiram putih di masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran tataniaga tiga dapat dilihat pada Tabel 22.
74
Tabel 22. Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga Beli, dan Harga Jual Jamur Tiram Putih pada Saluran Tataniaga III Uraian Nilai (Rp/Kg) Persentase Petani Harga Jual 6.800 56,67 Biaya Tataniaga Pedagang Pengumpul Harga Beli 6.800 56,67 Biaya Tataniaga 76,67 0,64 Keuntungan 123,33 1,03 Marjin Tataniaga 200 1,67 Harga Jual 7.000 58,33 Bandar Harga Beli 7.000 58,33 Biaya Tataniaga 142,81 1,19 Keuntungan 357,19 2,98 Marjin Tataniaga 500 4,17 Harga Jual 7.500 62,50 Pedagang Grosir Harga Beli 7.500 62,50 Biaya Tataniaga 158,50 1,32 Keuntungan 841,50 7,01 Marjin Tataniaga 1.000 8,33 Harga Jual 8.500 70,83 Pedagang Pengecer Harga Beli 8.500 70,83 Biaya Tataniaga 260 2,17 Keuntungan 3.240 27,00 Marjin Tataniaga 3.500 29,17 Harga Jual 12.000 100 637,98 5,32 Total Biaya Tataniaga 4.562,02 38,02 Total Keuntungan 5.200 43,34 Total Marjin Tataniaga
4) Marjin Tataniaga pada Saluran Tataniaga IV Saluran tataniaga empat melibatkan petani, pedagang grosir, pedagang pengecer, dan konsumen akhir. Saluran tataniaga empat merupakan saluran tataniaga terpendek yang hanya melibatkan dua lembaga tataniaga. Petani responden yang menggunakan saluran empat ini berjumlah dua orang petani atau sebesar 25 persen dari total petani responden. Saluran tataniaga empat merupakan saluran dengan volume penjualan terbanyak, yaitu 850 kilogram atau 74,23 persen dari total volume penjualan jamur tiram putih petani responden. Saluran
75
empat memiliki harga jual di tingkat petani paling tinggi yaitu sebesar Rp 7.500/kg dan harga jual untuk konsumen akhir sebesar Rp 12.000/kg. Berbeda dengan petani pada saluran-saluran tataniaga sebelumnya, petani pada saluran empat ini mengeluarkan biaya tataniaga berupa biaya pengemasan. Biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga pada saluran tataniaga empat antara lain: biaya pengangkutan/transportasi, biaya tenaga kerja, biaya retribusi pasar, biaya bongkar muat, dan biaya sewa kios. Total biaya tataniaga saluran empat sebesar Rp 495,17 per kilogram atau sebesar 4,13 persen dan total keuntungan sebesar Rp 4.081,5 per kilogram atau 34,01 persen, sehingga total marjin tataniaga saluran satu adalah sebesar Rp 4.500 per kilogram atau sebesar 37,5 persen. Untuk lebih jelasnya mengenai keuntungan tataniaga, marjin tataniaga, harga beli, dan harga jual jamur tiram putih di masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat pada saluran tataniaga tiga dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Biaya Tataniaga, Keuntungan, Marjin Tataniaga, Harga Beli, dan Harga Jual Jamur Tiram Putih pada Saluran Tataniaga IV Uraian Nilai (Rp/Kg) Persentase Petani Harga Jual 7.500 62,50 Biaya Tataniaga 76,67 0,64 Pedagang Grosir Harga Beli 7.500 62,50 Biaya Tataniaga 158,50 1,32 Keuntungan 841,50 7,01 Marjin Tataniaga 1.000 8,33 Harga Jual 8.500 70,83 Pedagang Pengecer Harga Beli 8.500 70,83 Biaya Tataniaga 260 2,17 Keuntungan 3.240 27,00 Marjin Tataniaga 3.500 29,17 Harga Jual 12.000 100 495,17 4,13 Total Biaya Tataniaga 4.081,50 34,01 Total Keuntungan 4.500 37,50 Total Marjin Tataniaga
76
Saluran tataniaga tiga memiliki nilai marjin tataniaga tertinggi diantara keempat saluran tataniaga jamur tiram putih, yaitu sebesar Rp 5.200 per kilogram (43,34 persen) dan total biaya tataniaga tertinggi, yaitu Rp 637,98 per kilogram (5,32 persen). Saluran empat memiliki nilai marjin tataniaga terendah diantara keempat saluran tataniaga jamur tiram putih, yaitu sebesar Rp 4.500 per kilogram (37,5 persen) dan memiliki total biaya tataniaga terendah, yaitu Rp 495,17 per kilogram. Namun sayangnya saluran tataniaga empat ini hanya digunakan oleh petani dengan skala usaha besar.
6.5.2. Analisis Rasio Keuntungan atas Biaya Rasio keuntungan atas biaya (Π/C) adalah persentase keuntungan tataniaga terhadap biaya tataniaga teknis (operasional) untuk mengetahui tingkat efisiensinya. Rasio keuntungan diperoleh dari pembagian keuntungan tataniaga lembaga tataniaga tingkat ke-i (Πi) dengan biaya tataniaga di lembaga tataniaga tingkat ke-i (Ci). Keuntungan tataniaga diperoleh dari selisih harga jual dengan harga beli pada masing-masing lembaga tataniaga dikurangi dengan biaya tataniaga. Rasio keuntungan dan biaya ini digunakan untuk mengetahui apakah kegiatan tataniaga yang dilakukan memberikan keuntungan kepada para pelaku tataniaga. Jika Π/C bernilai positif (Π/C > 0), maka kegiatan tataniaga tersebut menguntungkan. Sebaliknya, jika Π/C bernilai negatif (Π/C < 0), maka kegiatan tersebut tidak memberikan keuntungan kepada pelaku tataniaga. Pada Tabel 24 dapat dilihat analisis rasio keuntungan terhadap biaya pada lembaga tataniaga jamur tiram putih di Desa Kertawangi.
77
Analisis Rasio Keuntungan atas Biaya pada Tataniaga Jamur Tiram Putih Di Desa Kertawangi Keuntungan Lembaga Tataniaga Biaya (Rp/Kg) Π/C (Rp/Kg) Saluran Tataniaga I
Tabel 24.
Pedagang Pengumpul
291,03
208,97
1,39
Pedagang Grosir
841,50
158,50
5,31
3.240,00
260,00
12,46
4.372,53
627,47
19,16
Bandar
357,19
142,81
2,50
Pedagang Grosir
841,50
158,50
5,31
3.240,00
260,00
12,46
4.438,69
561,31
20,27
Pedagang Pengumpul
123,33
76,67
1,61
Bandar
357,19
142,81
2,50
Pedagang Grosir
841,50
158,50
5,31
3.240,00
260,00
12,46
4.562,02
637,98
21,88
841,50
158,50
5,31
3.240,00
260,00
12,46
4.081,50
418,50
17,77
Pedagang Pengecer Total Saluran Tataniaga II
Pedagang Pengecer Total Saluran Tataniaga III
Pedagang Pengecer Total Saluran Tataniaga IV Pedagang Grosir Pedagang Pengecer Total
Suatu saluran tataniaga dikatakan efisien apabila penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya pada masing-masing lembaga tataniaga merata dan farmer’s share lebih besar dibanding dengan total marjin tataniaga. Pada saluran tataniaga satu hingga empat, terlihat bahwa pedagang pengecer adalah lembaga tataniaga yang memperoleh keuntungan paling besar, ditunjukkan dengan nilai Π/C sebesar 12,46 yang berarti setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pengecer akan menghasilkan keuntungan sebesar 12,46 satuan rupiah. Nilai Π/C terkecil diperoleh pedagang pengumpul pada saluran tataniaga satu,
78
yaitu sebesar 1,39. Seluruh saluran tataniaga jamur tiram putih memiliki nilai Π/C lebih besar dari satu, artinya bahwa kegiatan tataniaga yang dilakukan oleh lembaga tataniaga di masing-masing saluran sudah memberikan keuntungan.
6.5.3. Analisis Farmer’s Share Pendapatan
yang
diterima
petani
(farmer’s
share)
merupakan
perbandingan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar di tingkat konsumen akhir dan dinyatakan dalam bentuk persen. Besarnya bagian yang diterima petani jamur tiram putih dapat dilihat pada Tabel 25 berikut.
Analisis Farmer’s Share pada Saluran Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi Saluran Harga di Tingkat Harga di Tingkat Farmer’s Share Pemasaran Petani (Rp/Kg) Konsumen (Rp/Kg) (%) I 7.000 12.000 58,33
Tabel 25.
II
7.000
12.000
58,33
III
6.800
12.000
56,67
IV
7.500
12.000
62,50
Farmer’s share yang tertinggi adalah saluran tataniaga empat, yaitu sebesar 62,5 persen dengan volume penjualan 850 kilogram per hari. Dapat dikatakan bahwa saluran tataniaga empat ini memberikan bagian pendapatan yang cukup besar bagi petani hingga diatas 50 persen. Hal tersebut disebabkan karena saluran tataniaga empat tidak melibatkan banyak lembaga tataniaga dimana petani langsung berhubungan dengan pedagang grosir dalam memasarkan hasil produksinya. Namun sayangnya, saluran tataniaga empat hanya digunakan oleh dua orang petani responden yang mana kedua petani responden tersebut adalah petani berskala usaha besar. Petani yang berhubungan langsung dengan pedagang grosir sebagian besar adalah petani dengan skala usaha besar, sedangkan sebagian besar petani jamur tiram putih di Desa Kertawangi merupakan petani dengan skala usaha kecil, sehingga tidak bias langsung
79
berhubungan dengan pedagang grosir. Saluran tataniaga yang menghasilkan farmer’s share terkecil adalah saluran tataniaga tiga, yaitu sebesar 56,67 persen. Saluran tataniaga tiga tidak banyak dipilih oleh petani responden karena harga yang diberikan kepada petani rendah dan mengakibatkan farmer’s share yang rendah pula. Oleh karena itu, saluran tataniaga yang menghasilkan farmer,s share tertinggi untuk petani berskala kecil adalah saluran tataniaga satu dan dua dengan nilai 58,33 persen.
6.5.4. Alternatif Saluran Tataniaga Alternatif saluran tataniaga dapat dilakukan jika dapat dibentuk suatu organisasi yang berperan aktif sebagai lembaga tataniaga utama produk jamur tiram putih. Organisasi yang diharapkan terbentuk sebagai alternatif saluran penjualan jamur tiram putih adalah koperasi yang mampu membantu petani terutama dalam memasarkan jamur tiram putih hasil produksi petani. Koperasi selain dapat memperpendek rantai tataniaga juga dapat meningkatkan posisi tawar petani terhadap lembaga tataniaga. Dengan adanya koperasi akan dapat mengefisienkan rantai tataniaga jamur tiram putih dengan cara memperpendek alur perdagangan jamur tiram putih. Koperasi dapat menggantikan fungsi lembaga tataniaga yang berada di Desa Kertawangi, seperti pedagang pengumpul dan bandar. Melalui koperasi, baik petani kecil maupun petani besar dapat menjual hasil produksinya dengan harga yang seragam. Koperasi dapat meningkatkan daya tawar petani terhadap pasar karena petani bergabung dalam memasarkan
produknya
hanya
kepada
koperasi,
koperasi
menampung
keseluruhan hasil panen petani, sehingga lembaga tataniaga jamur tiram putih berikutnya seperti pedagang grosir akan membeli dari koperasi dengan harga yang seragam. Selain itu, koperasi dapat mencari peluang-peluang pasar yang baru yang dapat meningkatkan keuntungan petani anggotanya.
Petani
Koperasi
Pedagang Grosir
Pedagang Pengecer
Konsumen Akhir
Gambar 9. Alternatif Saluran Tataniaga Jamur Tiram Putih di Desa Kertawangi
80
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1.
Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari analisis sistem tataniaga jamur tiram
putih di Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat yaitu : 1.
Terdapat empat saluran pemasaran jamur tiram putih di Desa Kertawangi yang keseluruhannya melibatkan lembaga tataniaga sebelum sampai ke tangan konsumen akhir. Lembaga tataniaga yang terlibat adalah pedagang pengumpul, bandar, pedagang grosir dan pedagang pengecer. Saluran tataniaga terpanjang adalah saluran tataniaga tiga dan saluran tataniaga terpendek adalah saluran tataniaga empat. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga tersebut meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi penyediaan fasilitas. Struktur pasar yang terjadi di pasar jamur tiram adalah struktur pasar bersaing sempurna (competitive market) dan struktur pasar oligopoli. Penentu harga pada pasar jamur tiram adalah nota pasar induk yang dilihat berdasarkan permintaan dan penawaran jamur tiram yang terjadi saat itu. Kerjasama yang dilakukan antara petani dengan lembaga tataniaga dan antar lembaga tataniaga berdasarkan kepercayaan karena tidak adanya kontrak kerjasama tertulis. Sistem pembayaran sebagian besar menggunakan sistem keluarmasuk harian (baik petani maupun lembaga tataniaga).
2.
Nilai farmer’s share tertinggi terdapat pada saluran tataniaga empat, yaitu sebesar 62,5 persen dan memiliki volume penjualan tertinggi (850 kilogram) dengan harga jual jamur tiram tertinggi diantara keempat saluran tataniaga, yaitu Rp 7.500 per kilogram. Nilai farmer’s share terendah terdapat pada saluran tataniaga tiga, yaitu sebesar 56,67 persen dan volume penjualannya pun rendah (40 kilogram). Berdasarkan nilai farmer’s share tersebut, saluran tataniaga yang memberikan keuntungan paling besar kepada petani adalah saluran tataniaga empat.
3.
Berdasarkan hasil analisis marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan atas biaya dan volume jamur tiram yang terjual dengan volume penjualan 1.145 kilogram per hari, menunjukkan bahwa saluran
81
tataniaga empat merupakan saluran tataniaga yang paling efisien dan saluran tataniaga tiga merupakan saluran tataniaga yang paling tidak efisien.
7.2.
Saran
1.
Adanya pembentukan koperasi sebagai alternatif saluran tataniaga yang fungsinya dapat memfasilitasi para petani jamur tiram dari mulai produksi hingga menampung hasil panen petani dan memasarkannya, serta adanya fasilitas bantuan pinjaman modal bagi petani yang membutuhkan. Diharapkan dengan terbentuknya koperasi jamur tiram ini, akan mampu meningkatkan posisi tawar petani dalam memasarkan produk jamur tiram.
2.
Saat ini telah terdapat kelompok tani jamur tiram putih di Desa Kertawangi, namun keberadaannya belum mampu membantu petani anggotanya karena kelompok tani ini belum bekerja maksimal. Diharapkan kelompok tani ini akan lebih maksimal dalam melaksanakan fungsi-fungsinya dalam membantu petani anggotanya dan dapat memberi pangarahan dan pelatihan kepada petani skala kecil mengenai budidaya jamur tiram putih yang baik dan benar untuk mendukung jalannya kegiatan produksi jamur tiram putih yang lebih optimal dan diharapkan kelompok tani mampu memberikan pelatihan tentang pengolahan jamur tiram putih segar menjadi bentuk olahan lain seperti kripik jamur, nugget jamur, dodol jamur, dendeng jamur dan produk olahan lainnya yang mampu meningkatkan harga jual jamur tiram dan dapat disimpan lama serta menjadi alternatif produk apabila permintaan jamur tiram sedang rendah seperti saat hari raya.
82
DAFTAR PUSTAKA
Asmarantaka RW. 2009. Pemasaran Produk-Produk Pertanian. Di dalam Kusnadi N, Fariyanti A, Rachmina D, Jahroh S, tim editor. Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Bogor: IPB Press. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa. 2011. Laporan Profil Desa Kertawangi 2011. Kabupaten Bandung Barat. [BBPPK] Balai Besar Pengembangan dan Perluasan Kerja. 2009. Teknologi Tepat Guna Jamur Tiram. BBPPK:Kabupaten Bandung Barat. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Jawa Barat Dalam Angka 2010. Bandung : BPS Provinsi Jawa Barat. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Kabupaten Bandung Barat Dalam Angka 2011. Bandung : BPS Kabupaten Bandung Barat. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Tanaman Sayuran dan Buah-buahan Semusim Indonesia 2009. Bandung : BPS Provinsi Jawa Barat. Chazali S. dan P.S. Pratiwi. 2010. Usaha Jamur Tiram Skala Rumah Tangga. Penebar Swadaya: Jakarta. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2011. Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2010. Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian : Jakarta. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2011. Produk Domestik Bruto Hortikultura Tahun 2010. Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian : Jakarta. Hanafiah A.M. dan A.M. Saefuddin. 1983. Tata Niaga Hasil Perikanan. Universitas Indonesia Press: Jakarta. Kohls R. L. and J. N. Uhl. 2002. Marketing of Agricultural Products. A PrenticeHall Upper Saddle River, New Jersey: USA. Limbong W.H. dan P. Sitorus. 1987. Pengantar Tataniaga Pertanian. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor: Bogor. Lubis H.U. 2009. Analisis sistem pemasaran belimbing dewa (studi kasus: Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Maharany D. 2007. Analisis usahatani dan tataniaga jamur tiram putih (studi kasus: Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
83
Martawijaya E.I. dan M.Y. Nurjayadi. 2010. Bisnis Jamur Tiram di Rumah Sendiri. IPB Press: Bogor. Noviana Z. 2011. Analisis sistem tataniaga jamur tiram putih (Pleuratus Ostreatus) (studi kasus: Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Nugraha A.P. 2006. Analisis efisiensi saluran pemasaran jamur tiram segar di Bogor Propinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Parjimo H. dan A. Andoko. 2007. Budi Daya Jamur (Jamur Kuping, Jamur Tiram & Jamur Merang). AgroMedia Pustaka: Jakarta. Peranginangin B. 2011. Analisis tataniaga markisa ungu di Kabupaten Karo (studi kasus Desa Seberaya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara) [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Redaksi AgroMedia. 2009. Buku Pintar Bertanam Jamur konsumsi. AgroMedia Pustaka: Jakarta. Ruillah. 2006. Analisis usahatani jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) (kasus: Desa Kertawangi, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sari N.P. 2008. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi usahatani jamur tiram putih (studi kasus Kelompok Tani „Kaliwung Kalimuncar‟ Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-hasil Pertanian Teori dan Aplikasinya. Rajawali Pers : Jakarta. Sudiyono A. 2002. Pemasaran Pertanian. Universitas Muhammadiyah Malang: Malang. Sumpena M.R. 2011. Analisis risiko produksi jamur tiram putih pada CV Mushroom Production House Kota Bogor Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
84
LAMPIRAN
85
Lampiran 1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Sayuran di Indonesia Tahun 2010 Luas Panen Produksi Produktivitas Komoditas (Ha) (Ton) (Ton/Ha) Bawang Merah 109.634 1.048.934 9,57 Bawang Putih 1.816 12.295 6,77 Bawang Daun 57.593 541.374 9,40 Kentang 66.531 1.060.805 15,94 Kubis 67.531 1.385.044 20,51 Kembang Kol 8.728 101.205 11,60 Petsai/Sawi 59.450 583.770 9,82 Wortel 27.149 403.827 14,87 Lobak 2.083 32.381 15,55 Kacang Merah 22.251 116.397 5,23 Kacang Panjang 85.828 489.449 5,70 Cabai Besar 122.755 807.160 6,58 Cabai Rawit 114.350 521.704 4,56 Paprika 161 5.533 34,37 Jamur 648 61.376 89,78 Tomat 61.154 891.616 14,58 Terung 52.157 482.305 9,25 Buncis 36.483 336.494 9,22 Ketimun 56.921 547.141 9,61 Labu Siam 10.693 369.846 34,59 Kangkung 55.164 350.879 6,36 Bayam 48.844 152.334 3,12 Melinjo 14.905 214.355 14,38 Petai 20.778 139.927 6,73 Jengkol 6.943 50.235 7,24 Sumber : Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2010 (2011)
86
Lampiran 2. Produksi Jamur di Indonesia Tahun 2004 – 2008 (Dalam Kilogram) No.
PROPINSI
TAHUN 2006
1.
Aceh
0
0
0
2007 14.500
2008 3.418
2.
Sumatera Utara
-
-
-
-
-
3.
Sumatera Barat
0
0
0
0
2.645
4.
Riau
-
-
-
-
-
5.
Kep. Riau
-
-
-
-
-
6.
Jambi
-
-
-
-
-
7.
Sumatera Selatan
452
0
0
0
39
8.
Kep. Bangka Belitung
-
-
-
-
-
9.
Bengkulu
-
-
-
-
-
10.
Lampung
55.100
28.800
83.239
132.700
21.195
55.552
28.800
83.239
147.200
27.297
-
-
-
-
-
9.500.000
13.662.000
10.173.800
5.133.000
5.416.094
10.400
8.040
3.137
1.749
2.324
789.800
1.118.763
2.285.097
3.241.500
SUMATERA
2004
2005
11.
DKI Jakarta
12.
Jawa Barat
13.
Banten
14.
Jawa Tengah
15.
D.I. Yogyakarta
42.200
1.760.033
777.300
975.100
16.
Jawa Timur
94.200
14.274.590
10.231.606
18.295.000
35.378.681
10.436.600
30.823.426
23.470.940
27.646.349
42.992.346
JAWA 17.
Bali
0
0
0
0
2.421
18.
Nusa Tenggara Barat
0
190
0
0
78
19.
Nusa Tenggara Timur
-
-
-
-
-
0
190
0
0
2.499
-
-
-
-
-
BALI & NUSA TENGGARA 20.
Kalimantan Barat
21.
Kalimantan Tengah
5.500
774
0
1.700
4.095
22.
Kalimantan Selatan
0
300
4.913
968
20.714
23.
Kalimantan Timur
0
40
210
480
258
5.500
1.114
5.123
3.148
25.067
KALIMANTAN 24.
Sulawesi Utara
-
-
-
-
-
25.
Gorontalo
-
-
-
-
-
26.
Sulawesi Tengah
-
-
-
-
-
27.
Sulawesi Selatan
0
0
0
3.500
0
28.
Sulawesi Barat
-
-
-
-
-
29.
Sulawesi Tenggara
46.300
0
0
0
0
87
No.
PROPINSI
SULAWESI
TAHUN 2004 46.300
2005 0
2006 0
2007 3.500
2008 0
30.
Maluku
-
-
-
-
-
31.
Maluku Utara
-
-
-
-
-
32.
Papua
-
-
-
-
-
33.
Papua Barat
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
10.543.952
30.853.530
23.559.302
27.800.197
43.047.209
MALUKU & PAPUA INDONESIA
Sumber : BPS Propinsi Jawa Barat (2009)
88
Lampiran 3. Data Petani Responden Jenis Kelamin
Usia (Tahun)
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan Utama
Bpk. Beni
L
32
SMA
Bpk. Eden
L
39
SMA
Ibu Atikah
P
38
SMP
Bpk. Tisna
L
33
SMA
Ibu Sri
P
59
SMA
Bpk. Nandang Bpk. Agus
L L
51 28
S1 D3
Ibu Ari
P
38
SMA
Suplayer bunga potong Petani jamur tiram, pembuat bibit dan log jamur tiram Petani jamur tiram Tour guide dan peternak lele Petani jamur tiram PNS Petani jamur tiram Sales
Nama
Lama Bertani Jamur Tiram Putih (Tahun) 10
Jumlah Kepemilikan Bag Log (buah) 15.000
Jumlah Produksi per Hari (Kilogram)
Tujuan Penjualan
50 P. Pengumpul
16
5.000
50 Bandar
10
10.000
30 P. Pengumpul
5
20.000
40 P. Pengumpul
5
160.000
350 P. Grosir
15 11
360.000 4.000
500 P. Grosir 25 P. Pengumpul
8
75.000
100 Bandar
89
Lampiran 4. Data Lembaga Tataniaga Responden
Nama
Jenis Kelamin
Pendidikan Terakhir
Bpk. Ahmad Rifa‟i Bpk. M. Soleh Bpk. Beni
L L L
STM SMK SMA
Ibu Brastyan Rudi Rizal Bpk. Udung Bpk. Adi Ibu Asih Bpk. Kusnandar
P L L L L P L
S1 SMA SMA SMA SMA SMA SMA
Pekerjaan Utama
Pedagang jamur Pedagang jamur Pengusaha bunga potong Pedagang jamur Pedagang jamur Pedagang jamur Pedagang sayuran Pedagang jamur Pedagang sayur Pedagang sayur
Jenis Lembaga Tataniaga
Lama Pengalaman Berdagang (Tahun)
Bandar P. Pengumpul P. Pengumpul
12 2 10
P. Grosir P. Grosir P. Grosir P. Pengecer P. Pengecer P. Pengecer P. Pengecer
16 6 4 10 5 8 5
Jumlah Jamur Tiram yang Ditampung per Tempat Berdagang Hari (Kg) 1.500 Desa Kertawangi 600 Desa Kertawangi 500 Desa Kertawangi 500 1.000 200 150 150 5 100
Pasar Caringin Pasar Caringin Pasar Caringin Pasar Ciroyom Pasar Andir Kopo Pasar Ciro
90
Lampiran 5. Peta Desa Kertawangi
91