ANALISIS POLA PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PELAKSANAAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SUMEDANG
ARIF JUNAEDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Pola Perubahan Pemanfatan Ruang dan Implikasinya terhadap Penyimpangan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
RINGKASAN ARIF JUNAEDI. Analisis Pola Perubahan Pemanfaatan Ruang dan Implikasinya terhadap Pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang. Dibimbing oleh MUHAMMAD ARDIANSYAH dan YAYAT SUPRIATNA Sebagai penyangga perkembangan wilayah Bandung, Kabupaten Sumedang telah menjadi daerah perluasan kawasan perkotaan untuk sektor pemukiman, sehingga mendorong pertumbuhan penduduk.
Perkembangan
Kabupaten Sumedang menyebabkan kebutuhan akan ruang meningkat, sedangkan ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap.
Sehingga terjadi perubahan
penggunaan lahan (Land Use). Perubahan penutupan/penggunaan lahan akan mendorong penyimpangan terhadap pelaksanaan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah).
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengidentifikasi
perubahan
penutupan/penggunaan lahan dari tahun 2002-2006, mengidentifikasi pusat-pusat perubahan ppenggunaan lahan, menentukan konsistensi/inkonsistensi pelaksanaan RTRW
Kabupaten
Sumedang
dan
mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi inkonsistensi pelaksanaan RTRW. Penutupan/Penggunaan lahan dianalisis melalui pengolahan citra landsat 7 ETM tahun 2002 dan 2006, dan perubahan penggunaan lahan diidentifikasi dengan menumpangtindihkan peta penggunaan lahan tahun 2002 dengan tahun 2006 hasil pengolahan citra. Peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2006 ditumpangtindihkan
dengan
konsistensi/inkonsistensi
peta
pelaksanaan
RTRW RTRW.
2012
untuk
Pusat-pusat
mengetahui perubahan
penutupan/penggunaan lahan dianalisis menggunakan analisis Locational Quotient (LQ). Faktor penentu inkonsistensi, dianalisis berdasarkan peubah penduga yang berasal dari data Podes Kabupaten Sumedang Tahun 2006 yang diolah dengan metode Principal Component Analysis (PCA), selanjutnya dilakukan analisis regresi berganda (multiple regression analysis) dengan factor scores hasil PCA sebagai variabel bebas (x), dan luas inkonsistensi sebagai variabel tak bebas (y). Hasil penelitian menunjukan bahwa dari tahun 2002 – 2006 terjadi penurunan luas hutan lindung seluas 4.389 ha (2,88 %), sedangkan kawasan budidaya meningkat. Budidaya pertanian secara umum meningkat 2.811 ha (1,85%). Peningkatan ini terjadi karena pertanian lahan kering mengalami
peningkatan 2.811 ha (1,85 %), sementara pertanian lahan basah menurun 819 ha (0,54 %). Areal pemukiman meningkat 1.724 ha (1,13 %). Kecamatan yang memiliki luas hutan lindung relatif lebih luas menjadi pusat penurunan luas hutan lindung dan peningkatan luas pertanian lahan kering. Sedangkan penurunan luas pertanian lahan basah sejalan dengan peningkatan luas pemukiman, dan umunya terjadi pada kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk relatif tinggi. Luas hutan lindung tahun 2006 sudah dibawah luas target pada RTRW tahun 2012, sedangkan pertanian lahan basah, walaupun luasannya masih di atas luas rencana tahun 2012 dan pemukiman masih di bawah luas rencana tahun 2012, tapi perubahan per tahunnya sudah melebihi rencana perubahan per tahun. Faktor yang mempengaruhi penyimpangan antara lain Kepadatan penduduk, Rendahnya rasio luas lahan sawah dan ladang, mudahnya akses ke pusat pemerintahan, akse ke sarana prasaran kesehatan dan jumlah rumah di pemukiman kumuh. Kata Kunci : Perubahan Penggunaan Lahan, Inkonsistensi RTRW, Metode GIS
ABSTRACT ARIF JUNAEDI. The Analysis of Spatial Use Change and its Implication on Spatial Planning in Sumedang Regency. Under Direction MUHAMMAD ARDIANSYAH and YAYAT SUPRIATNA The development of Sumedang Regency has the implication on the need of spatial which is increase from time to time. In the other side, spatial condition relatively constant, thus it will force the change of land use. The aim of this research are to identifie the change of land use and its centre of land use change from 20022006, to determine the consistency/inconsistency of Sumedang Regency spatial planning (RTRW) implementation and other factors determining its inconsistency. The method of this research base on geographical information system (GIS), that is used to determine land use change and the inconcistency of spatial planning implementation. The centre of land use change is analysed by using Locational Quotient (LQ) analysis. The main factor determining inconsistency of spatial planning implementation is analysed based on certain variable from profile of villages data in Sumedang regency in 2006 by using Principal Component Analysis Method and multiple regression analysis. The result of the research indicate that in 2002-2006, natural reserve decreases in line with increasing of upland farming area, and the centre of land use change in general is located in certain sub district that has relatvely wide of natural reserve. Wet land farming decrease in line with the increasing of housing area, it happen in certain sub district that has high people dencity. The area of natural reserve in 2006 is below the area that is targeted on spatial planning in 2012. Wet land farming and housing area is over yearly target, although the total area still below the 2012 target. The factors that influence inconcistency of spatial planning are : population dencity, ratio of wetland farming, ratio of upland farming, acces to governmental centre, acces to health infrastructure, and the number of house dirty settlement. Keyword : land use changing, inconsistency of spatial planning, GIS method
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB .
ANALISIS POLA PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PELAKSANAAN RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SUMEDANG
ARIF JUNAEDI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan Wilayah (PWL)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Dosen Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis :
Dr. Ir. Iskandar
Judul Tesis
: Analisis Pola Perubahan Pemanfaatan Ruang dan Implikasinya Terhadap Penyimpangan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang
Nama
:
ARIF JUNAEDI
NRP
:
A.353060224
Program Studi
:
Ilmu Perencanaan Wilayah
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah Ketua
Yayat Supriatna, MSP Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr
Tanggal Ujian : 19 Maret 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus : 26 Maret 2008
PRAKATA Bismillaah, Alhamdulillaah, wash Shalaatu was sakaamu ‘alaa rasuulillaah!, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT, atas ridho dan pertolongan-Nya akhirnya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak September – Desember 2007 ini adalah Penyimpangan Pemanfaatan Ruang dengan judul Analisis Pola Perubahan Pemanfatan Ruang dan Implikasinya terhadap Penyimpangan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang. Banyak bantuan, dukungan, dan dorongan dari berbagai pihak dalam penyelesaian tesis ini, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Bapak Dr. Ir. Muhammad Ardiansyah dan Bapak Yayat Supriatna, MSP selaku pembimbing atas segala bimbingan dan arahannya. Bapak Dr. Ir. Iskandar selaku penguji luar atas segala saran dan masukannya, Bapak Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr sebagai Ketua program studi Perencanaan Wilayah beserta seluruh jajaran manajemen. Terima kasih pula kami sampaikan kepada pimpinan dan staf Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan kepada penulis. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang, khususnya kepada Bapak Drs. H. Osin Herlianto selaku Wakil Bupati Sumedang atas ijin, nasehat, dukungan dan segala bentuk perhatian yang selalu diberikan. Kepala Bapeda Kabupaten Sumedang, Kepala BPS Kabupaten Sumedang atas segala bantuan datanya, serta rekan-rekan sekpri dan ajudan Wakil Bupati dan staf Subag Protokol Setda Kabupaten Sumedang atas segala dorongan dan kerjasamanya. Kepada staf pengajar Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, tak lupa kepada Ibu Tuti, Sdri Yuli, Bu Tini, Kang Suratman dan seluruh staf administrasi Departemen Tanah dan Sumberdaya Lahan atas segala bantuannya. Kepada rekan-rekan mahasiswa PWL angkatan 2006 khusus dan reguler atas, bantuan, dukungan dan kerjasamanya, semoga kekompakan dan silaturahmi di antara kita tetap terjaga walau sudah tidak bersama-sama lagi. Akhirnya penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua serta ibu mertua atas segala doa, dorongan dan dukungannya. Juga kepada istri tercinta Idah Khoeriyah yang demikian tulus menemani dengan penuh pengertian. Terima kasih juga kepada buah hati tersayang kedua putri cantik Syntia Fitriyani Layinah dan Luthfiya A’yuni yang mengkayakan jiwa dan menyalakan api semangat berkarya. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi siapa pun yang membacanya Bogor, Maret 2008
Arif Junaedi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 25 Desember 1972 dari pasangan D. Suharma dan Arnasih. Penulis merupakan putra kelima dari delapan bersaudara. Sekolah dasar diselesaikan di SDN Nyalindung 2 Sumedang tahun 1985, SMP Negeri 2 Cimalaka Sumedang tahun 1988, SMA Negeri 2 Sumedang tahun 1991 dan kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Penulis mengambil Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, dan lulus pada tahun 1996. Penulis bekerja pada PT Galasari Gunung Swadaya (Perkebunan) tahun 1997-1998, dan pada Januari 1999 diterima sebagai PNS di lingkungan Pemda Kabupaten Sumedang, dan ditempatkan pada Kantor Kecamatan Paseh sampai dengan Oktober 2001. Selanjutnya pada Kantor Pemberdayaan Masyarakat sampai Pebruari 2002 serta pada Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial sampai Juni 2003. Dari Juni 2003 sampai mengikuti tugas belajar penulis bekerja pada Subag Protokol Bagian Umum Setda Kabupaten Sumedang. Pada tahun 2007, ketika penulis mengikuti pendidikan di PWL penulis ditugaskan sebagai staf pada Bagian Perekonomian Setda Kabupaten Sumedang. Pada tahun 2006, penulis memperoleh beasiswa program 13 bulan dari Pusat Pembinaan Pendidikan dan Latihan Perencanaan Bappenas untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Saat ini penulis telah menikah dengan Idah Khoeriyah, dan kini telah dianugrahi permata hati dua orang putri cantik, Syntia Fitriyani Layinah dan Luthfiya A’yuni.
DAFTAR ISI hal DAFTAR TABEL…............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR........................................................................................... . v DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vi PENDAHULUAN............................................................................................... . 1 Latar Belakang ............................................................................................ 1 Perumusan Masalah .................................................................................... 4 Tujuan ......................................................................................................... 6 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 6 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 8 Perencanaan Pengembangan Wilayah ........................................................ 8 Penutupan dan Penggunaan Lahan ............................................................. 8 Sumberdaya Lahan dan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan ........... 9 Ruang ......................................................................................................... 14 Penataan Ruang ......................................................................................... 15 Penataan Ruang Wilayah Kabupaten ......................................................... 16 Penyimpangan Penataan Ruang ................................................................. 20 Analisis Spasial ........................................................................................... 21 Sistem Informasi Geografis ........................................................................ 23 METODE PENELITIAN...................................................................................... 25 Kerangka Pemikiran.................................................................................... 25 Jenis Data dan Alat ..................................................................................... 27 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................... 28 Analisis dan Pengolahan data...................................................................... 28 Ekstraksi Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra........................... 31 Deteksi Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan ........................... 31 Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan.. 31 Analisis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang terhadap RTRW …... 32 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi P enyimpangan Pemanfaatan Ruang ……………….…………………..................... 33
i
hal GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .............................................. 35 Letak Geografis dan Wilayah Administrasi .............................................. 35 Transportasi .............................................................................................
36
Kondisi Demografi ..................................................................................
37
Kondisi Ekonomi .....................................................................................
38
Rencana Alokasi Pemanfaatan Ruang .....................................................
40
Rencana Struktur Tata Ruang Wilayah ...................................................
41
HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................
44
Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002-2006....................................
44
Perubahan Penutupan /Penggunaan Lahan................................................ 48 Pemanfaatan Ruang Tahun 2002-2006...................................................... 49 Perubahan Pemanfaatan Ruang.................................................................. 52 Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Pemanfaatan Ruang........................... 59 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumedang................ 62 Analisis Penyimpangan RTRW Kabupaten Sumedang............................
66
Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang per Tahun .................................. 68 Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang Setiap Wilayah Pengembangan . 73 Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyimpangan RTRW Kabupaten Sumedang.............................................................................. 91 KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................... 100 Kesimpulan ................................................................................................ 100 Saran .......................................................................................................... 101 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 102 LAMPIRAN ...................................................................................................... 105
ii
DAFTAR TABEL No
Teks
hal
1. Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten SumedangTahun 1996 dan 2002......................................................................................................
5
2. Matriks Penelitian…………………………………............................
30
3. Jumlah, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sumedang Tahun 2006.........................................................................
38
4. Kontribusi Setiap Sektor terhadap PDRB Kabupaten Sumedang.........
39
5.
Pendapatan Per Kapita Kabupaten Sumedang Tahun 2002-2006 ........
40
6.
Luas dan Perubahan Penutupan/ Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan 2006. .....................................................................................................
44
7. Matriks Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002 -2006
48
8. Padanan Data Pemanfaatan Ruang dengan Peta Penutupan/ Penggunaan Lahan................................................................................
50
9.
Luas dan Perubahan Pemanfaatan Ruang Tahun 2002 dan 2006.........
51
10.
Luas Perubahan Pemanfaatan Ruang Tahun 2002-2006 per Kecamatan.............................................................................................
53
11. Data Kependudukan Kabupaten Sumedang Tahun 2006......................
54
12. Hasil Perhitungan LQ...........................................................................
60
13.
Rencana Pemanfaatan Ruang menurut RTRW 2002-2012..................
63
14. Perbandingan Kawasan Hutan Menurut TGHK dan RTRW................
66
15. Pemanfaatan Ruang berdasar RTRW dan Kondisi Tahun 2006...........
67
16. Rencana Perubahan Pemanfaatan Ruang menurut RTRW..................
69
17. Klasifikasi Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang............................
70
18. Tingkat Perubahan Pemanfatan Ruang Per Tahun ..............................
71
19. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Sumedang Kota..
74
20. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Sumedang Kota......
77
21. Proyeksi Penduduk Wilayah Sumedang Kota 2002-2012....................
78
22. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Tanjungsari........
79
iii
No
Teks
hal
23. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Tanjungsari.............
80
24. Proyeksi Penduduk Wilayah Tanjungsari 2002-2012..........................
80
25. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Darmaraja..........
82
26. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Darmaraja...............
83
27. Proyeksi Penduduk Wilayah Darmaraja 2002-2012.............................
84
28. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Tomo..................
85
29. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Tomo.......................
87
30. Proyeksi Penduduk Wilayah Tomo 2002-2012....................................
87
31. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Buahdua.............
88
32. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Buahdua..................
89
33. Proyeksi Penduduk Wilayah Buahdua 2002-2012...............................
89
34.
Hasil Perhitungan LQ Perubahan Land Use di Tiap WP .....................
90
35. Peubah Asal Penduga Penentu Konsistensi RTRW Kabupaten Sumedang.........................................................................................
92
36.
Hasil Pengolahan Regresi untuk Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Tutupan Hutan Lindung .......................................................................
94
Hasil Pengolahan Regresi untuk Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Pertanian Lahan Kering.........................................................................
95
Hasil Pengolahan Regresi untuk Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Pertanian Lahan Basah ........................................................................
96
39. Hasil Pengolahan Regresi untuk Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Pemukiman............................................................................................
98
40. Hasil Pengolahan Regresi untuk Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Industri..................................................................................................
99
37 38.
iv
DAFTAR GAMBAR
No
Teks
Hal
1.
Diagram Kerangka Pemikiran .............................................................
27
2. Diagram Tahapan Penelitian ................................................................
29
3. Peta Wilayah Administrasi Kabupaten Sumedang................................
35
4. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Sumedang Tahun 2002.......................................................................................................
45
5.
Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Sumedang Tahun 2006.......................................................................................................
46
6. Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan menjadi Pemukiman di Lereng Gunung Geulis Kecamatan Tanjungsari....................................
57
7. Pertambangan Galian C di Lereng Gunung Tampomas........................
58
8. Peta Rencana Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang 2002-2012..............................................................................................
64
9. Peta TGHK Kabupaten Sumedang........................................................
65
10.
Bekas Pertambangan Galian Ciletuh Kecamatan Jatigede yang tidak beroperasi lagi........................................................................................
v
86
DAFTAR LAMPIRAN
No
Teks
Hal
1.
Daftar Kecamatan dan Desa di Kabupaten Sumedang .........................
106
2.
Citra Landsat Tahun 2002 Kabupaten Sumedang ...............................
113
3.
Citra Landsat Tahun 2006Kabupaten Sumedang..................................
114
4.
Penduga Awal Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi RTRW....................................................................................................
115
5.
Nilai Eigenvalue Hasil Pengolahan PCA..............................................
120
6.
Loading Factor Hasil Pengolahan PCA................................................
121
7.
Score Factor Hasil Pengolahan PCA....................................................
123
vi
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Lokasi Kabupaten Sumedang berada pada jalur lalu lintas Bandung dan Cirebon,
sehingga perkembangan Kabupaten Sumedang dipengaruhi oleh
perkembangan Bandung dan Cirebon. Kabupaten Sumedang memiliki arti penting bagi wilayah Bandung. Sebagai penyangga perkembangan wilayah Bandung Kabupaten Sumedang telah menjadi daerah perluasan kawasan perkotaan untuk sektor pemukiman dan industri. Berpindahnya lokasi Universitas Padjadjaran ke Kabupaten Sumedang tepatnya Kecamatan Jatinangor, yang diikuti oleh berdirinya beberapa Perguruan Tinggi lain di Kecamatan Jatinangor (IPDN, IKOPIN, UNWIM), menjadikan Jatinangor sebagai kawasan pendidikan berimplikasi pula terhadap perkembangan Kabupaten Sumedang. Perkembangan Kabupaten Sumedang diikuti pertumbuhan penduduk, menyebabkan kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Sementara itu, ruang terbatas dan jumlahnya relatif tetap, sehingga terjadi persaingan pemanfaatan lahan dan konsekuensinya terjadi alih fungsi lahan. Perubahan penggunaan lahan menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari dari
sebagai akibat
pergeseran alokasi dan distribusi sumberdaya menuju keseimbangan-
keseimbangan baru (Andriyani, 2007). Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di wilayah perkotaan menuntut ruang yang lebih luas ke arah luar kota untuk berbagai aktivitas ekonomi dan permukiman. Menurut data dari Bapeda Kabupaten Sumedang (2002), terjadi perubahan struktur penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang dalam kurun waktu antara 1996-2002. Lahan-lahan untuk pemukiman, perdagangan, jasa, dan industri bertambah sekitar 487 hektar, sedangkan sawah menurun 75 hektar. Penyusutan lahan sawah umumnya terjadi pada sawah-sawah beririgasi teknis, karena pada umumnya terletak di sekitar ruas jalan atau memiliki akses yang mudah dijangkau sehingga lebih mendorong untuk dikonversi. Fenomena ini menunjukan bahwa selaras kegiatan pembangunan terjadi peningkatan kebutuhan lahan, yang akan mengakibatkan perubahan penggunaan lahan.
2
Kegiatan manusia dan mahluk hidup membutuhkan ruang sebagai lokasi berbagai kegiatan atau sebaliknya suatu ruang dapat mewadahi berbagai kegiatan sesuai dengan kondisi alam setempat dan teknologi yang diterapkan. Oleh karena itu, pemanfaatan ruang yang baik memerlukan suatu penataan yang komprehensif. Penataan ruang harus mempertimbangkan berbagai aspek yang
mencakup
perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Bila suatu penataan ruang tidak didasari pertimbangan rasional sesuai dengan potensi wilayah tersebut, maka dapat terjadi inefisiensi ruang atau penurunan kualitas ruang. Hal ini dapat berdampak pada rusaknya
lingkungan dan beresiko
mengalami bencana yang dapat muncul secara tak terduga. Agar kegiatan masyarakat dapat berlangsung secara efisien dan dapat menciptakan keterpaduan dalam pencapaian tujuan pembangunan, perlu dilakukan pengaturan alokasi lahan (Dardak, 2005). Penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam pola alokasi investasi yang bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Menurut Rustiadi et al. (2006), penataan ruang memiliki tiga urgensi, yaitu (a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi); (b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan), dan (c) keberlanjutan (prinsip sustainability). Tujuan lain dari penataan ruang adalah untuk mengatur hubungan antara berbagai kegiatan dengan fungsi ruang guna tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Dengan kata lain penataan ruang diharapkan dapat mengefisienkan pembangunan dan meminimalisasi konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginkan (Budiharjo, 1997). Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan wujud dari upaya pemerintah untuk menyelaraskan aspek fisik lahan dengan aspek sosial ekonomi. Namun demikian, kompleksitas permasalahan sosial ekonomi masyarakat dan upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) seringkali melahirkan
3
kebijakan-kebijakan baru yang kurang memperhatikan aspek fisik lahan sehingga dapat mengganggu ekosistem. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya degradasi lahan (Marisan, 2006). Sebagai upaya penataan ruang pemerintah Kabupaten Sumedang telah menyusun RTRW 2002-2012 yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 33 Tahun 2003. Menurut RTRW 2002 – 2012, pada tahun 2012 pemanfaatan ruang di Kabupaten Sumedang direncanakan meliputi kawasan lindung 25,84% yang terdiri dari hutan lindung/konservasi seluas 23.025 ha (15,13%) dan sempadan sungai 16.304 ha (10,71 %). Kawasan budidaya 74,16% meliputi budidaya pertanian seluas 93.808 ha (61,63%) dan budidaya non pertanian 19.082 ha (12,54 %). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kesesuaian pemanfaatan ruang pada tahun 2006 dengan RTRW 2012. Izin pembangunan yang direkomendasikan Pemerintah Daerah sering tidak sesuai dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan, seperti daerah hijau (sebagai penyangga) diijinkan untuk daerah permukiman. Tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran
rencana tata ruang kota
menunjukkan
adanya
ketidakpastian dari rencana tata ruang kota. Ketidakterpaduan rekomendasi Pemerintah Daerah dengan Perda yang telah ditetapkan dan tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang menunjukan adanya inkonsistensi dalam penataan ruang kabupaten. Inkonsistensi yang dimaksud dalam hal ini adalah adanya penyimpangan penggunaan ruang dari RTRW yang telah ditetapkan. Pada umumnya penyimpangan terhadap rencana tata ruang kota justru berawal dari kebijaksanaan pemerintah. Hal ini berarti pemerintah daerah sebagai penanggung jawab rencana tata ruang kota belum benar-benar mengacu pada RTRW yang telah ditetapkan dalam melaksanakan pembangunan. Sebagai penyebab utama kurang efektifnya rencana tata ruang adalah selain kurang adanya koordinasi antar dinas/instansi, juga kurang dilibatkannya unsur masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat kurang terakomodasikan di dalam rencana tata ruang kota (Sunardi, 2001). Penyimpangan tata ruang juga dirasakan di Kabupaten Sumedang. Sebagaimana yang dimuat dalam Koran Sumedang nomor 33 Tahun ke -1 minggu ke-1 Desember 2007, yang menyatakan bahwa lahan pesawahan menjadi
4
berkurang akibat arah pembangunan dan kebijakan tidak jelas. Menurut Kasie Penyuluhan Pertanian, Kantor Penyuluhan Pertanian, Kehutanan dan Ketahanan Pangan, secara visual, lahan pesawahan di Kabupaten Sumedang sudah banyak beralih fungsi menjadi bangunan, sebagai salah satu contoh, areal pesawahan di Kecamatan Sumedang Selatan yang merupakan sawah beririgasi teknis, sudah beralih ke perumahan dan pekarangan. Padahal menurut ketentuan dan peraturan, sawah irigasi tidak boleh dikonversi, kecuali pemerintah melakukan konversi dengan mengganti dengan sawah baru. Perumusan Masalah Perkembangan Kabupaten Sumedang yangdiikuti pertumbuhan penduduk, menyebabkan kebutuhan akan lahan semakin meningkat sehingga konsekuensinya terjadi alih fungsi lahan. Perubahan penggunaan lahan menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari
sebagai akibat dari pergeseran alokasi dan distribusi
sumberdaya menuju keseimbangan-keseimbangan baru (Andriyani, 2007). Alih fungsi lahan sebagai konsekuensi dari perkembangan wilayah yang diperparah dengan inkonsistensi penataan ruang wilayah akan mengakibatkan berbagai dampak negatif seperti degradasi lahan yang bahkan pada akhirnya bisa menimbulkan bencana. Pada Tabel 1 disajikan struktur penggunaan lahan di Kabupaten Sumedang untuk tahun 1996 dan 2002. Dari Tabel 1 terlihat bahwa terjadi perubahan struktur penggunaan lahan dalam kurun waktu antara 1996-2002. Lahan-lahan untuk pemukiman, perdagangan, jasa, dan industri bertambah sekitar 487 hektar, sedangkan sawah menurun 75 hektar dan perkebunan menurun 453 hektar. Penyusutan lahan sawah juga umumnya terjadi pada sawah-sawah kelas 1, yakni sawah beririgasi teknis, karena pada umumnya sawah-sawah yang beririgasi teknis terletak di sekitar ruas jalan atau memiliki akses yang mudah dijangkau sehingga lebih mendorong untuk dikonversi. Fenomena ini menunjukkan bahwa selaras dengan aktivitas sosial ekonomi dan prioritas kegiatan pembangunan terjadi peningkatan kebutuhan penggunaan lahan dari waktu ke waktu. Bila tidak dilakukan pengaturan tata guna lahan berupa RTRW,
peningkatan kebutuhan lahan akan mengakibatkan
perubahan penggunaan lahan dari satu penggunaan lain yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan.
5
Tabel 1. Struktur Penggunaan Lahan Kabupaten Sumedang Tahun 1996 dan 2002 No
Penggunaan Lahan
2002 Luas (ha)
1996 Luas (ha)
%
Perubahan Luas (ha)
%
1 Permukiman
10.060
6,61
9.699
6,37
361
- Perumahan
943
0,62
654
0,43
289
- Perkampungan
9.054
5,95
9.045
5,94
9
- Lap Olah Raga
63
0,04
1
0,00
3 Jasa
228
0,15
185
0,12
43
4 Pariwisata
152
0,10
5 Kawasan Perguruan Tinggi
534
0,35
534
0,35
0
6 Padang Golf
170
0,11
140
0,09
30
7 Industri
469
0,31
395
0,26
74
- Kawasan Industri
201
0,13
- Zona Industri
268
0,18
34.412
22,61
34.487
22,66
-75
- Irigasi Teknis
17.427
11,45
17.427
11,45
- Tadah Hujan
16.985
11,16
17.060
11,21
-75
50.413
33,12
49.771
32,70
642
- Tegalan
11.325
7,44
11.744
7,72
-419
- Kebun Campuran
39.088
25,68
38.026
24,98
1.062
1.599
1,05
2.052
1,35
-453
- Perkebunan Rakyat
810
0,53
810
0,53
0
- Perkebunan Besar
789
0,52
1.242
0,82
-453
445
0,29
445
0,29
0
60
0,04
48.780
32,05
46.112
30,29
2.668
15.796
10,38
- Hutan Belukar
7.995
5,25
- Hutan Sejenis
24.989
16,42
1.878
1,23
1.644
1,08
1.663
1,09
-19
234
0,15
370
0,24
364
0,24
6
2.649
1,74
6.373
4,19
-3.724
152.220
100,00
152.220
100,00
0,00
2 Perdagangan
8 Sawah
9 Pertanian Lahan Kering
10 Perkebunan
11 Perikanan/ Kolam 12 Peternakan 13 Hutan - Hutan Lebat
14 Padang - Semak Belukar - Padang rumput/Alang-alang 15 Tanah Galian C 16 Lain-lain Jumlah Sumber: Bapeda Sumedang, 2002
6
Untuk meminimalisir dampak-dampak negatif tersebut perlu diketahui sejauh mana penyimpangan penataan ruang terjadi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat sejauh mana perubahan pemanfaatan/peruntukan lahan, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya sehingga bisa memberikan arahan bagi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang ke depan untuk meminimalkan dampak negatif dari alih konversi lahan. Berdasarkan latar belakang, maka perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pola perubahan penggunaan lahan dari tahun 2002-2006 ? 2. Di mana pusat-pusat terjadinya perubahan penggunaan lahan? 3. Apakah terjadi penyimpangan pola ruang terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang? 4. Faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi penyimpangan pola ruang
terhadap RTRW tersebut? Tujuan Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui pola perubahan penggunaan lahan dari tahun 2002-2006; 2. Mengidentifikasi pusat-pusat perubahan penggunaan lahan; 3. Mengevaluasi/menilai penyimpangan pola ruang terhadap RTRW; 4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW. Manfaat Penelitian Pemahaman terhadap inkonsistensi Rencana Tata Ruang Wilayah dan faktor-faktor penyebabnya diharapkan
dapat memberikan manfaat sebagai
berikut : 1. Sebagai informasi untuk menentukan langkah-langkah perbaikan yang perlu dilakukan guna mengantisipasi dampak buruk dari inkonsistensi RTRW; 2. Memberikan arahan bagi Pemerintah Kabupaten Sumedang dalam melakukan evaluasi dan revisi terhadap RTRW Kabupaten Sumedang;
7
3. Memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada masyarakat agar dalam memanfaatkan ruang benar-benar memperhatikan RTRW dan menghindari alih fungsi lahan yang tidak terkontrol sehingga dampak buruk dari inkonsistensi dapat dihindari.
8
TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan Pengembangan Wilayah Bidang kajian pengembangan wilayah mempunyai ruang lingkup dari berbagai disiplin ilmu, yaitu ilmu-ilmu fisik (geografi dan geofisik), ilmu sosial ekonomi (sosiologi, ekonomi) dan ilmu manajemen. Menurut Rustiadi et al. (2006) perencanaan pengembangan wilayah merupakan bidang kajian yang mengintegrasikan berbagai cabang ilmu untuk memecahkan masalah-masalah pembangunan serta aspek-aspek proses politik, manajemen dan administrasi perencanaan pembangunan yang berdimensi ruang atau wilayah. Perencanaan pengembangan wilayah adalah konsep yang utuh dan menyatu dengan pembangunan wilayah. Secara luas perencanaan pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan
ekonomi
dan
program
pembangunan
yang
di
dalamnya
mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal (Nugroho dan Dahuri, 2004). Dari sisi proses, Rustiadi et al. (2006) mengemukakan bahwa perencanaan dan pembangunan wilayah memerlukan pendekatan-pendekatan yang mencakup : (1) aspek pemahaman, yaitu aspek yang menekankan pada upaya memahami fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi di dalam dan antar wilayah. Oleh karena itu diperlukan pemahaman pengetahuan mengenai teknik-teknik analisis dan model-model sistem sebagai alat (tools) untuk mengenal potensi dan memahami permasalahan pembangunan wilayah. Selanjutnya (2) aspek perencanaan, mencakup proses formulasi masalah, teknik-teknik desain dan pemetaan hingga teknis perencanaan dan (3) aspek kebijakan, mencakup pendekatan evaluasi, perumusan tujuan pembangunan dan proses pelaksanaan pembangunan seperti proses politik, administrasi dan manajerial pembangunan. Penutupan dan Penggunaan Lahan Definisi mengenai penutupan lahan (land cover) dan penggunaan lahan (land use) pada hakekatnya berbeda walaupun sama-sama menggambarkan keadaan fisik permukaan bumi. Lillesand dan Kiefer (1993) mendefinisikan penggunaan lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada bidang
9
lahan, sedangkan penutupan lahan lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objekobjek tersebut. Sementara Rustiadi et al. (2006) menyatakan bahwa penutupan lahan dan penggunaan lahan dapat memiliki pengertian yang sama untuk hal-hal tertentu, tetapi sebenarnya mengandung pengertian yang berbeda. Penggunaan lahan menyangkut aspek aktivitas pemanfaatan lahan oleh manusia sedangkan penutupan lahan lebih bernuansa fisik. Rustiadi (1996) mendefinisikan penggunaan lahan sebagai setiap bentuk campur tangan manusia terhadap sumberdaya lahan baik yang bersifat permanen atau cyclic dalam rangka memenuhi kepuasan dan kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Arsyad (1989) mengelompokan penggunaan lahan ke dalam dua bentuk yaitu (1) penggunaan lahan pertanian yang dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di atas lahan tersebut; (2) penggunaan lahan non-pertanian seperti penggunaan lahan pemukiman kota atau desa, industri, rekreasi dan sebagainya. Sebagai wujud dari kegiatan manusia, maka di lapangan sering dijumpai penggunaan lahan baik bersifat tunggal (satu penggunaan) maupun kombinasi dari dua atau lebih penggunaan. Dengan demikian sebagai keputusan manusia untuk memperlakukan lahan ke suatu penggunaan tertentu selain sisebabkan oleh faktor permintaan dan ketersediaan lahan demi meningkatkan kebutuhan dan kepuasan hidup, juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik fisik lahan, perilaku manusia, teknologi maupun modal, faktor ekonomi yang dipengaruhi oleh lokasi, aksesibilitas, sarana dan prasarana, faktor budaya masyarakat dan faktor kebijakan pemerintah. Sumberdaya Lahan dan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensi akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976).
Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001)
mendefinisikan lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat bersifat siklik yang berbeda di atas dan di bawah
10
wilayah tersebut termasuk atmosfir serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa yang akan datang. Pemanfatan lahan merupakan proses yang dinamis dari pola dan aktivitas manusia.
Manusia memerlukan bahan pangan, air, energi dan minyak serta
infrastruktur perumahan dan fasilitas publik. Kegiatan pemenuhan kebutuhan tersebut menuntut tersedianya lahan. Namun karena ketersediaan tanah relatif tetap, kelangkaan lahan akan terjadi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsinya, sehingga perubahan tidak bisa dihindari. Perubahan penggunaan lahan dapat diartikan sebagai suatu proses pilihan pemanfaatan ruang guna memperoleh manfaat yang optimum, baik untuk pertanian maupun non pertanian. Menurut Winoto et al. (1996), perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian bukanlah semata-mata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Struktur yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan menurut Saefulhakim (1999) secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu : (1) struktur permintaan atau kebutuhan lahan, (2) struktur penawaran atau ketersediaan lahan, dan (3) struktur penguasaan teknologi yang berdampak pada produktivitas sumber daya alam. Fenomena alih fungsi lahan adalah bagian dari transformasi struktur ekonomi nasional.
Pertumbuhan ekonomi dan penduduk yang memusat di
wilayah perkotaan membutuhkan ruang yang lebih luas ke arah luar kota untuk berbagai aktivitas ekonomi dan permukiman. Sebagai akibatnya wilayah pinggir yang sebagian besar adalah lahan pertanian sawah beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian dengan tingkat peralihan yang beragam antar periode dan wilayah. Lahan pertanian yang berpeluang untuk terkonversi lebih besar adalah lahan sawah dibandingkan lahan kering. Sawah secara spasial memiliki alasan yang kuat untuk dikonversi menjadi kegiatan non-pertanian karena (1) kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian lebih menguntungkan di lahan yang datar dimana sawah pada umumnya ada, (2) infrastruktur. seperti jalan lebih tersedia di daerah
11
persawahan, (3) daerah persawahan pada umumnya lebih mendekati wilayah konsumen yang relatif padat penduduk dibandingkan lahan kering yang sebagian besar terdapat di daerah bergelombang, perbukitan dan pegunungan (Nofarianty, 2006). Rustiadi et.al. (2006) mengemukakan bahwa alih fungsi lahan seringkali memiliki permasalahan-permasalahan yang saling terkait satu sama lain, sehingga tidak bersifat independen dan tidak dapat dipecahkan dengan pendekatanpendekatan yang parsial namun memerlukan pendekatan-pendekatan yang integratif. Permasalahan-permasalahan tersebut berupa : (1) efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut ekonomi, (2) keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan penguasaan sumberdaya, dan (3) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Proses alih fungsi lahan sudah merupakan pemandangan yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Winoto (1995) alih fungsi lahan merupakan suatu fenomena dinamik yang menyangkut aspek fisik dan aspek kehidupan masyarakat. Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian, disamping merupakan berubahnya fenomena fisik luasan tanah pertanian, juga berkaitan erat dengan berubahnya orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat. Sementara Sumaryanto et al. (1994) menjelaskan alih guna lahan dari segi pengembangan sumberdaya merupakan suatu bentuk dari perubahan alokasi sumber daya antar sektor penggunaan. Akibat struktur perekonomian yang mengarah
pada semakin meningkatnya peranan sektor non pertanian,
menyebabkan terjadinya perubahan komposisi besaran dan laju penggunaan sumber daya (tenaga kerja,modal dan tanah) antar sektor. Lazimnya, sektor-sektor ekonomi dengan pertumbuhan yang tinggi akan diikuti dengan laju penggunaan sumber daya yang lebih tinggi. Akibatnya realokasi sumber daya dari sektor pertaniaan ke non pertaniaan sangat sulit dihindari. Menurut Rustiadi et al. (2006), konversi lahan pertanian merupakan konsekuensi perluasan kota yang membutuhkan lahan untuk pertumbuhan ekonomi kota. Lahan pertanian, meskipun lebih lestari kemampuannya dalam menjamin kehidupan petani, tetapi hanya dapat memberikan sedikit keuntungan materi atau finansial dibanding sektor industri. Sesuai dengan hukum ekonomi
12
bahwa lahan akan digunakan sesuai dengan nilai ekonomi (land rent) yang dapat memberikan nilai tertinggi, maka konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya tidak dapat dicegah. Irawan (2005) mengemukakan bahwa, konversi
lahan pertanian pada
dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antar sektor pertanian dan sector non-pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu : (a) keterbatasan sumberdaya lahan, (b) pertumbuhan penduduk, dan (c) pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian pada tingkat yang lebih tinggi di bandingkan permintaan lahan untuk kegiatan pertanian. Ini disebabkan karena permintaan produk nonpertanian lebih elastis terhadap pendapatan. (akibat
pertumbuhan
penduduk),
yang
Meningkatnya kelangkaan lahan dibarengi
dengan
meningkatnya
permintaan lahan untuk kegiatan non-pertanian (akibat pertumbuhan Penduduk) mendorong terjadinya konversi lahan pertanian. Konversi lahan pertanian terkait pada beberapa faktor antara lain disebabkan oleh : (1) nature atau instritic sumberdaya lahan, sesuai prinsip hukum ekonomi supply-demad yang mengalami struktur kelangkaan sebagai akibat meningkatnya permintaan lahan sawah irigási ke non pertanian, sementara secara kuantitas sumberdaya lahan yang tersedia tetap, (2) berkaitan dengan market failure pergeseran struktural dalam perekonomian, dan dinamika pembangunan yang cenderung mendorong petani untuk alih profesi dengan menjual aset lahan sawah yang dimilikinya, (3) berkaitan goverment failure yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang memberikan peluang investasi yang lebar kepada sektor industri namun laju investasi di sektor belum diikuti dengan laju penetapan peraturan dan perundang-undangan yang bisa dipakai sebagai rujukan dalam mengendalikan konversi lahan (Rustiadi et al. 2006). Sementara menurut Saefulhakim dan Nasution (1995), ada beberapa faktor yang sangat berperan penting dalam proses alih guna lahan pertanian ke non pertanian, yaitu: 1. Perkembangan standar tuntunan hidup. Hal ini berhubungan dengan nilai land rent yang mampu memberikan perkembangan standar tuntunan hidup sang petani;
13
2. Fluktuasi harga pertaniaan menyangkut aspek fluktuasi harga-harga komoditi yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah (misalnya padi dan palawija); 3. Stuktur biaya produksi pertaniaan. Biaya produksi dan aktifitas budidaya tanah sawah yang semakin mahal akan cenderung memperkuat proses pengalihgunaan tanah. Salah satu faktor pendorong meningkatnya biaya produksi ini adalah berkaitan dengan skala usaha; 4. Teknologi.
Terhambatnya
perkembangan
teknologi
intensifikasi
pada
penggunaan tanah yang memiliki tingkat permintaan yang terus meningkat, akan mengakibatkan proses ekstensifikasi yang lebih dominan. Proses ekstentsfikasi dari penggunaan tanah yang demikian akan terus mendorong proses alih guna lahan; 5. Aksesibilitas. Perubahan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi terhadap
meningkatnya
aksesibilitas
lokasi,
akan
lebih
mendorong
perkembangan penggunaan pertanian ke non pertanian; 6. Resiko dan ketidakpastian. Aktivitas pertanian dengan tingkat resiko dan ketidakpastian yang tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat produksi, harga dan keuntungan. Hal ini menimbulkan nilai land rent menjadi lebih rendah. Dengan demikian, penggunaan lahan yang mempunyai resiko dan ketidakpastian lebih tinggi akan cenderung dialihfungsikan ke penggunaan lain yang tingkat resiko dan ketidakpastiannya lebih rendah; 7. Tanah sebagai aset.
Walaupun tanpa pemanfaatan, pandangan ini
memperumit permasalahan sebagai akibat potensi produksi, kelangkaan dan aksesibilitasnya, sama sekali tidak melibatkan usaha manusia secara pribadi (milik pribadi penguasa tanah). Sistem kepemilikan atas dasar keperansertaan untuk saat ini “tidak ada”, maka terjadi fenomena spekulan tanah yang mengalihgunakan tanah pertanian ke penggunaan lain yang tidak jelas peruntukannya. Adapun Winoto (1995) menyimpulkan secara umum, ada dua faktor yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi pula proses alih guna lahan, yaitu : (1) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan
14
pemerintah, (2) sistem non-kelembagaan yang kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya lahan. Kedua faktor tersebut diperkuat pula dengan adanya dua kebijakan dari luar sistem pertanian yang berimplikasi tidak senantiasa kondusif terhadap perkembangan pertanian. Kebijakan yang dimaksud adalah : 1. Strategi pembangunan yang bias terhadap pembangnan perkotaan (urban bias) yang bertmpu pada sektor industri 2. Urbanisasi, yaitu satu proses alamiah yang menyertai terjadinya pusat transformasi struktur perekonomian nasional dan wilayah. Ruang Menurut Undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.Menurut istilah geografi secara umum ruang adalah seluruh permukaan bumi yang merupakan biosfer, tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Menurut istilah geografi regional ruang sering diartikan sebagai suatu wilayah yang mempunyai batas geografi, yaitu batas menurut keadaan fisik, sosial atau pemerintahan yang terjadi dari sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah di bawahnya serta lapisan udara di atasnya (Jayadinata, 1999). Tata ruang adalah wujud struktural dan pola ruang (UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Dalam paradigma perencanaan tata ruang yang modern, perencanaan ruang diartikan sebagai bentuk pengkajian yang sistematis dari aspek fisik, sosial dan ekonomi untuk mendukung dan mengarahkan pemanfaatan ruang di dalam memilih cara yang terbaik untuk meningkatkan produktivitas agar memenuhi kebutuhan masyarakat (publik) secara berkelanjutan (Rustiadi et al. 2006). Menurut Maryudi dan Napitupulu (2001), rencana tata ruang digambarkan dalam peta wilayah negara Indonesia, peta wilayah Propoinsi, peta wilayah Kabupaten/Kota, yang tingkat ketelitiannya diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam konteks pembangunan wilayah, perencanaan penataan ruang dapat dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah perencanaan,
untuk
menuju
pemanfaatan
keterpaduan dan
pembangunan
pengendalian
melalui
pemanfaatan
kegiatan
ruang
guna
15
menstimulasi
sekaligus
mengendalikan
pertumbuhan
dan
perkembangan
pemanfaatan ruang suatu wilayah. Penataan Ruang Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai suatu proses yang ketiganya tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya (UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri terbatas. Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terjadi inefisiensi dalam pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang serta dapat mendorong kearah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang dan estetika lingkungan. Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Seiring dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan, baik ditingkat pusat maupun tingkat daerah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan rencana tata ruang yang sudah ditetapkan (Sastrowihardjo et al., 2001). Dalam konteks pembangunan wilayah, perencanaan penataan ruang dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah untuk menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang guna menstimulasi sekaligus mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan pemanfaatan ruang suatu wilayah. Hal ini dipandang strategis mengingat bahwa kondisi aktual pemanfaatan ruang di suatu wilayah pada dasarnya merupakan gambaran hasil akhir dari interaksi antara aktivitas kehidupan manusia dengan alam lingkungannya, baik direncanakan maupun tidak direncanakan. Jika tidak direncanakan, maka sejalan dengan pertumbuhan pembangunan, laju pertumbuhan penduduk, serta aktivitas masyarakat yang semakin dinamis, pemanfaatan sumberdaya akan cenderung
16
mengikuti suatu mekanisme yang secara alamiah akan mengejar maksimalisasi ekonomi, namun eksploitatif dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Mekanisme tersebut menciptakan iklim kompetisi yang pada akhirnya akan menggeser aktivitas yang intensitas pemanfaatan ruangnya lebih rendah dengan aktivitas lain yang lebih produktif. Meskipun mekanisme alamiah tersebut dapat saja menciptakan efisiensi secara ekonomi, namun belum tentu sejalan dengan pencapaian tujuan dari pembangunan. Belum lagi jika harus dikaitkan dengan masalah polarisasi kemampuan yang berkembang di masyarakat dalam menikmati pemerataan manfaat pembangunan (Sastrowihardjo et al., 2001). Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Menurut UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Hal ini menjelaskan bahwa sumber daya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan/infrastruktur wilayah, dan kegiatan usaha merupakan unsur pembentuk ruang wilayah dan sekaligus unsur bagi pembangunan wilayah. Sementara itu wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Lebih lanjut pengertian wilayah terbagi menjadi dua, yaitu wilayah yang batas dan sistemnya
ditentukan
berdasarkan
aspek
administratif
disebut
wilayah
pemerintahan dan wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan. Dengan demikian penyusunan RTRW harus memperhatikan aspek administratif dan kawasan fungsional. Berdasarkan aspek fungsional, kawasan terbagi dua yakni kawasan lindung dan kawasan budidaya, sebagaimana tercantum dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan lindung ini meliputi hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan
17
pantai, sempadan kawasan sekitar waduk/danau, sungai, sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dan kawasan rawan bencana. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Kawasan ini meliputi hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan pariwisata, kawasan tempat pertahanan keamanan. Pemanfaatan ruang adalah rangkaian program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang memanfaatkan ruang menurut jangka waktu yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Dengan kata lain pemanfaatan ruang merupakan usaha memanifestasikan rencana tata ruang ke dalam bentuk programprogram pemanfaatan ruang oleh sektor-sektor pembangunan yang secara teknis didasarkan pada pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumberdaya alam lainnya, misalnya hutan, perkebunan dan pertambangan. Di dalam pemanfaatan ruang tersebut, batas-batas fisik tanah diatur dan dimanfaatkan secara jelas oleh penatagunaan tanah. Dari usaha pemanfaatan ruang ini diharapkan dapat tercapai keseimbangan lingkungan serta mencerminkan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Tujuan pemanfaatan ruang adalah pemanfaatan ruang secara berdaya guna dan berhasil guna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan secara berkelanjutan melalui upaya-upaya pemanfaatan sumberdaya alam didalamnya secara berdaya guna dan berhasil guna, keseimbangan antar wilayah dan antar sektor, pencegahan kerusakan fungsi dan tatanan serta peningkatan kualitas lingkungan hidup (PP 47 Tahun 1997). Pemanfaatan ruang diselenggarakan secara bertahap melalui penyiapan program kegiatan pelaksanaan pembangunan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang akan dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, baik secara sendirisendiri maupun bersama-sama, sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan agar pemanfaatan ruang
18
sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang. Ruang itu terbatas dan jumlahnya relatif tetap, sementara aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan ketersediaan ruang senantiasa berkembang sehingga menimbulkan terjadinya persaingan pemanfaatan ruang. Agar pemanfaatan ruang bisa efisien dan menciptakan keterpaduan guna mencapai ruang kehidupan yang nyaman, produktif dan berkelanjutan diperlukan suatu penataan ruang. Penataan ruang adalah suatu system proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Penataan ruang merupakan kebijakan dinamis yang mengakomodasikan aspek kehidupan pada suatu kawasan, dimana setiap keputusan merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak sebagai bentuk kesinergian kepentingan. Menurut UU tersebut, penataan ruang disusun berasaskan : (a) keterpaduan; (b) keserasian, keselarasan dan keseimbangan; (c) keberlanjutan; (d) keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; (e) keterbukaan; (f) kebersamaan dan kemitraan; (g) perlindungan kepentingan umum; (h) kepastian hukum dan keadilan; dan (i) akuntabilitas. Menurut Permana (2004), penataan ruang adalah suatu proses
yang
mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang melalui serangkaian program pelaksanaan pembangunan yang sesuai rencana, dan pengendalian pelaksanaan pembangunan agar sesuai dengan rencana tata ruang. Perencanaan tata ruang merupakan perumusan tata ruang yang optimal dengan orientasi produksi dan konservasi bagi kelestarian lingkungan.
Perencanaan ini
mengarahkan dan mengatur alokasi pemanfaatan ruang, alokasi kegiatan, keterkaitan antar fungsi kegiatan, serta program dan kegiatan pembangunan. Sedangkan menurut Rustiadi et al. (2006), penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang merupakan bagian dari proses pembangunan.
Urgensi
keberadaan tata ruang adalah : a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi); b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip
19
pemerataan,
keberimbangan,
dan
keadilan);
c)
keberlanjutan
(prinsip
sustainability). Menurut UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang (UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Adapun yang dimaksud struktur ruang adalah susunan pusat-pusat pemukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Rencana tata ruang merupakan produk kebijakan koordinatif dari berbagai pihak yang berkepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat, sehingga penyusunannya harus bertolak pada data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku (Sastrowihardjo et al., 2001). Hasil dari proses perencanaan tata ruang wilayah adalah berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). actions juga merupakan
RTRW selain merupakan guidance of future
bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi
manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras dan seimbang untuk mencapai kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (Dirjen Penataan Ruang, 2003). Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang juga menyatakan setiap daerah kabupaten perlu menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten sebagai arahan pelaksanaan pembangunan. Sejalan dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 13/2004 yang menitikberatkan kewenangan pelaksanaan pembangunan pada pemerintah kabupaten, dalam hal ini termasuk pelaksanaan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten. Penataan ruang dilakukan secara berjenjang dari penataan ruang wilayah nasional,
penataan
ruang
wilayah
provinsi,
penataan
ruang
wilayah
kabupaten/kota. Penyusunan RTRW kabupaten mengacu kepada RTRW nasional
20
dan RTRW provinsi; pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan rencana pembangunan jangka panjang daerah (UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang). RTRW kabupaten menurut UU 26 Tahun 2007 merupakan pedoman yang digunakan untuk penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah; penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah; pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten; mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan antar sektor; penetapan fungsi ruang untuk investasi; dan penataan ruang kawasan strategis kabupaten. Penatagunaan tanah merupakan bagian dari penataan ruang yang meliputi pengaturan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dengan mengacu pada RTRW, maka langkah-langkah dalam penatagunaan tanah meliputi kegiatankegiatan penyerasian penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan RTRW yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Sastrowihardjo et al., 2001). Oleh karena itu, kebijakan yang harus dirumuskan adalah bagaimana mewujudkan penggunaan tanah yang pada saat ini tidak sesuai dengan rencana tata ruang menjadi sesuai dan serasi dengan rencana tata ruang. Terkait dengan perencanaan, penyusunan RTRW diharapkan dapat mengakomodasikan perencanaan.
berbagai
RTRW
perubahan
kabupaten/kota
dan
perkembangan
disusun
berdasarkan
di
wilayah perkiraan
kecenderungan dan arahan perkembangannya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa depan sesuai dengan jangka waktu perencanaannya. Tujuan dari perencanaan tata ruang wilayah adalah mewujudkan ruang wilayah yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam alokasi investasi, bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Penyimpangan Penataan Ruang Menurut Sondakh (2002), selama ini Rencana Tata Ruang masih merupakan suatu yang rahasia bagi masyarakat, kurang transparant, dan penegakan hukum yang lemah sehingga rencana tata ruang belum bisa ditegakan dengan baik. Selanjutnya Sondakh juga mengatakan hal-hal lain yang bisa mendorong penyimpangan RTRW seperti kurangnya tenaga profesional perencana, rendahnya akurasi dan up date data dan kurangnya dana pendukung,
21
serta kurangnya keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan. Selain itu, dalam pelaksanaannya juga sering dijumpai tumpang tindih dalam pengaturannya dengan sektor lain. Menurut
Dirjen
Penatan
Ruang
Depkimpraswil
(2003),
upaya
pengembangan wilayah ditempuh melalui proses penataan ruang (spatial planning process), yang terdiri atas 3 (tiga) hal : (a) proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Disamping sebagai “guidance of future actions” RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability). (b) proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionaliasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri, (c) proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Dalam pelaksanaannya pemanfaatan lahan belum seluruhnya mengacu kepada RTRW karena beberapa kendala sebagai berikut : 1.
Pelaksanaan atau pengarahan kesesuaian penggunaan lahan hanya terbatas pada perorangan atau Badan Hukum yang mengajukan izin lokasi atau hak atas tanah, sedang masyarakat pada umumnya belum banyak berpartisipasi bahkan banyak yang tidak mengetahui keberadaan dan fungsi RTRW .
2.
Penyusunan RTRW belum banyak melibatkan partisipasi masyarakat antara lain dalam pemberian informasi tentang potensi wilayahnya.
3.
RTRW disusun berdasarkan potensi fisik dan ekonomi wilayah yang di dalam fungsi-fungsi kawasan terdapat bidang-bidang lahan yang telah digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat yang penggunaannnya tidak sesuai dengan arahan RTRW. Analisis Spasial Berbeda dengan ahli geografi yang memandang spasial sebagai segala
hal yang menyangkut lokasi atau tempat dan menekankan pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial yang dikaji tanpa harus mendalami permasalahan sosial ekonomi yang ada di dalamnya.
Analisis spasial lebih
22
terfokus pada kegiatan investigasi pola-pola dan berbagai atribut atau gambaran di dalam studi kewilayahan dan dengan menggunakan permodelan berbagai keterkaitan untuk meningkatkan pemahaman dan prediksi atau peramalan. Haining dalam (Rustiadi et al., 2006) mendefinisikan analisa spasial sebagai sekumpulan teknik-teknik untuk pengaturan spasial dari kejadian-kejadian tersebut. Kejadian geografis (geographical event) dapat berupa sekumpulan obyek-obyek titik, garis atau areal yang berlokasi di ruang geografis dimana melekat suatu gugus nilai-nilai atribut. Dengan demikian, analisis spasial membutuhkan informasi, baik berupa nilai-nilai atribut maupun lokasi-lokasi geografis obyek-obyek dimana atribut-atribut melekat di dalamnya. Berdasarkan proses pengumpulan informasi kuantitatif yang sistematis, tujuan analisis spasial adalah : 1. Mendeskripsikan kejadian-kejadian di dalam ruangan geografis (termasuk deskripsi pola) secara cermat dan akurat. 2. Menjelaskan secara sistematik pola kejadian dan asosiasi antar kejadian atau obyek di dalam ruang, sebagai upaya meningkatkan pemahaman proses yang menentukan distribusi kejadian yang terobservasi. 3. Meningkatkan kemampuan melakukan prediksi atau pengendalian kejadiankejadian di dalam ruang geografis. Para perencana dapat menggunakan sebuah model sebagai alat untuk mempermudah melakukan analisis spasial. Dengan pendekatan sebuah model akan mempermudah penggambaran dalam menganalisis suatu obyek serta kejadian untuk tujuan diskripsi, penjelasan, peramalan dan untuk keperluan perencanaan. Model spasial adalah model yang digunakan untuk mengolah data spasial dan data atribut/variabel. Menurut Wegener (2001), terdapat tiga kategori model spasial, yaitu model skala, model konseptual dan model matematik. Model skala adalah model yang merepresentasikan kondisi fisik yang sebenarnya, seperti data ketinggian. Model konseptual adalah model yang menggunakan pola-pola aliran dari komponen-komponen sistem yang diteliti dan menggambarkan hubungan antar kedua komponen tersebut. Model matematik digunakan dalam model konseptual yang merepresentasikan beberapa komponen dan interaksinya dengan hubungan matematik (Wegener, 2001).
23
Sistem Informasi Geografis Menurut Star dan Ester dalam Barus dan Wiradisastra (2000), Sistem Informasi Geografis (SIG) didefinisikan sebagai suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Dengan kata lain SIG adalah suatu sistem basis dengan kemampuan khusus untuk data yang bereferensi spasial bersamaan dengan seperangkat operasi
kerja.
SIG
dinyatakan
juga
mempunyai
kehandalan
untuk
mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisa dan menampilkan data spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi. Aronoff dalam Wahyuni (2006) membuat pernyataan yang hampir sama dengan Star dan Ester yaitu SIG merupakan sistem informasi yang dirancang menggunakan basis data yang memiliki referensi spasial atau berkoordinat geografi.
Sebagai suatu sistem yang berbasis komputer SIG mempunyai
kemampuan untuk menangani data spasial dan non spasial yang mencakup pemasukan data, manajemen data, manipulasi data dan pengembangan produk dan pencetakan. SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu dengan SIG pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data yang menjadi miliknya sendiri kedalam sebuah bentuk (model) representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara tekstual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta, 2005). Teknologi SIG akan mempermudah para perencana dalam mengakses data, menampilkan informasi-informasi geografis terkait dengan substansi perencanaan dan meningkatkan keahlian para perencana serta masyarakat dalam menggunakan sistem informasi spasial melalui komputer. SIG dapat membantu para perencana dan pengambil keputusan dalam memecahkan masalah-masalah spasial yang sangat kompleks. Salah satu contoh aplikasi SIG adalah dalam Sistem Pendukung Keputusan (DSS).
24
Menurut Lioubimstseva dan Defourney dalam Elfida (2007), peran SIG semakin besar dalam kajian sumberdaya ekologi termasuk perencanaan penggunaan lahan.
Secara umum SIG sangat bermanfaat baik untuk pemetaan,
evaluasi sumberdaya lahan, permodelan atau aplikasi model. Peran SIG secara spesifik antara lain: 1. Menyediakan struktur data untuk penyimpanan dan pengolahan data yang lebih efisien termasuk untuk luasan yang besar. 2. Memungkinkan pengumpulan atau pemisahan data dengan skala yang berbeda. 3. Mendukung analisis statistik spasial dari distribusi ekologi. 4. Menyediakan masukan data/parameter dalam permodelan atau aplikasi model. 5. Meningkatkan kemampuan ekstraksi informasi dari penginderaan jauh. Pellika et al. (2004) mengatakan bahwa SIG telah terbukti dapat menghasilkan penelitian yang akurat dan potensial tentang perubahan penggunaan lahan di perbukitan Taita Kenya bagian Tenggara. Salah satu metode dalam SIG adalah teknik tumpang tindih (overlay). Jika pengolahan data dilakukan secara manual, pengguna harus bekerja dengan beberapa peta analog dan beberapa informasi atribut yang diperlukan. Selanjutnya pengguna dapat menganalisis kedua data (peta dan data atribut) untuk kemudian memplotkan hasil akhirnya ke dalam peta. Beberapa kelemahan dari proses tersebut adalah selain membutuhkan waktu yang relatif lama, tingkat ketelitian dan akurasinya sangat bergantung pada kemampuan dan ketelitian penggunanya dalam melakukan proses olah data tersebut. Dengan teknologi SIG, pengguna memerlukan data spasial dan atribut dalam bentuk digital, sehingga prosesnya dapat dilakukan dengan cepat dengan tingkat ketelitian cukup baik dan prosesnya dapat diulang kapan saja, oleh siapa saja, dan hasilnya dapat disajikan dalam berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna.
25
METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penyusunan RTRW dan Peraturan-peraturan Daerah merupakan upaya pemerintah kabupaten untuk memajukan daerahnya, melalui berbagai aktivitas pembangunan. Dalam pelaksanaannya sering terjadi suatu penyimpangan terhadap RTRW yang diakibatkan ketidaktahuan masyarakat mengenai RTRW, kurangnya koordinasi antar Satuan Kerja Pemerintahan, dan ketidakkonsistenan pemberian ijin pembangunan dengan peraturan yang berlaku, yang mendorong perubahan fungsi lahan yang dapat berakibat dalam penurunan kualitas lingkungan. RTRW pada dasarnya telah mengatur arahan pemanfaatan ruang secara umum. Agar penggunaan dapat memberikan manfaat yang optimal dan berkesinambungan, setiap ruang dalam suatu wilayah dengan batasan administrasi pemerintahan (Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota) dialokasikan penggunaannya dalam kawasan-kawasan tertentu. Peta RTRW pada tingkat Kabupaten/Kota merupakan gambaran mengenai kondisi atau bentuk tata ruang pada 10 tahun mendatang sejak RTRW ditetapkan dengan asumsi pertambahan penduduk dan kebutuhan infrastruktur wilayah sesuai dengan prediksi yang dibuat. Peningkatan aktivitas sosial ekonomi masyarakat dipengaruhi pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pula kebutuhan lahan (ruang), baik pada lahan pertanian maupun lahan non pertanian. Sementara itu, total luasan lahan dan lokasi lahan tetap. Meningkatnya kebutuhan lahan seiring perkembangan suatu wilayah bisa menimbulkan penyimpangan pemanfaatan lahan dari RTRW yang sudah direncanakan. Penyimpangan ini juga bisa terjadi karena beberapa hal antara lain : tidak adanya perangkat hukum pendukung RTRW, proses perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat, ijin yang diberikan tidak sejalan dengan rencana tata ruang (kadang hal ini dipicu pula oleh upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah), ketidaktahuan masyarakat akan rencana tata ruang akibat kurangnya sosialisasi dari pemerintah sehingga masyarakat menggunakan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, dan kurangnya pengendalian.
26
Kondisi penggunaan lahan yang merupakan gambaran dari pemanfaatan ruang suatu wilayah dapat dipantau melalui data penginderaan jauh, sedangkan perubahan dan perkembangannya dapat disintesis dari SIG. Sistem ini merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan untuk berbagai analisis yang menyangkut aspek spasial. Pada pengertian lebih luas SIG mencakup juga pengertian sebagai suatu sistem yang berorientasi operasi secara manual, yang berkaitan dengan operasi pengumpulan, penyimpanan dan manipulasi data yang bereferensi geografi secara konvensional (Barus dan Wiradisastra, 2000). Pengolahan data berupa peta-peta tematik digital dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan perangkat lunak Arc View 3.2., dengan menggunakan fungsi analisis tumpang tindih.
Dari hasil overlay tersebut
diperoleh polygon-polygon baru yang memiliki informasi tentang kombinasi atribut dari peta-peta tematik. Informasi tersebut kemudian dijadikan sebagai data basis untuk analisis yang diperlukan seperti konsistensi dan inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW dan perubahan penutupan lahan. Analisis dilakukan dengan membandingkan peta penggunaan lahan tahun 2002 dan tahun 2006 dan menumpangtindihkan peta RTRW dengan peta citra kondisi terakhir. Hasil perbandingan berupa luas perubahan penutupan lahan dan inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW yang kemudian dijadikan sebagai basis data untuk analisis lanjutan untuk mengidentifikasi pusat-pusat perubahan penutupan lahan dalam unit kecamatan dengan menggunakan metode Location Quotient (LQ). Selain itu, data tersebut juga dipakai dalam analisis regresi guna mengetahui keeratan hubungan antara luas area inkonsistensi pemanfaatan ruang terhadap RTRW dengan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW dalam unit desa. Faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi diperoleh dari hasil pengolahan data potensi desa dengan menggunakan analisis Principal Component Analysis (PCA). Secara garis besar kerangka pemikiran di atas dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
27
Pergeseran Aktivitas Sosial Ekonomi
Pertumbuhan Penduduk
Peningkatan Kebutuhan Lahan/Ruang
Kompetisi Pemanfaatan Lahan/Ruang
Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2006 Rencana Tata Ruang Wilayah
Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002-2006
Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002
Perubahan Penutupan/ Penggunaan per Tahun Rencana Perubahan Penutupan/ Penggunaan per Tahun
Penyimpangan Pemanfaatan Ruang
Tingkat Perubahan Penutupan/ Penggunaan per Tahun Kesimpulan/ Arahan RTRW Kabupaten Sumedang Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran Jenis Data dan Alat Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder berupa data spasial digital,data Potensi Desa (Podes) Kabupaten Sumedang Tahun 2006 dan dokumen RTRW Kabupaten Sumedang tahun 2002-2012. Data spasial digital yang digunakan meliputi : peta Wilayah Administrasi, peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang tahun 2002-2012. Data primer berupa citra landsat ETM 7 tahun 2002 dan 2006. Alat
28
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Personal Computer PentiumIV yang dilengkapi oleh software Arc View versi 3,3, Erdas Imagine versi 8,6, Statistica versi 6,o Waktu dan Tempat Penelitian Lokasi penelitian adalah wilayah Kabupaten Sumedang. Penelitian dimulai pada minggu keempat bulan Agustus sampai Oktober 2007. Analisis dan Pengolahan Data Metode penelitian terdiri dari lima tahap yakni : 1) ekstraksi data spasial, 2) deteksi perubahan penggunaan lahan, 3) identifikasi pusat-pusat perubahan penggunaan lahan, 4) analisis inkonsistensi RTRW, dan 5) analisis faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW. Diagram tahapan penelitian disajikan pada Gambar 2, sedangkan matriks penelitian disajikan pada Tabel 2.
29
Citra Landsat
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2002
Tahun 1992 Klasifikasi
Konsistensi RTRW
Konsisten
Overlay
Peta Penggunaan Lahan Tahun 2006
Citra Landsat Tahun 2005
Basis Data Spasial Perubahan Land Use terhadap RTRW
Rencana Perubahan Land Use per tahun
Klasifikasi Perubahan Land Use per tahun
Inkonsisten
Peta RTRW Peta Batas Administrasi
Basis Data Spasial Perubahan Land Use 2002-2006
Perubahan Land Use per tahun
Data Atribut Luas Perubahan Land Use
Peta Inkonsistensi RTRW
Data Potensi Desa Tahun 2006
Data Atribut Luas Inkonsistensi RTRW
Eigenvalue s Analisis PCA
Perubahan Land Use per tahun
Variabel Tak Bebas (y)
Pengolahan data
Analisis Location Quotient (LQ)
Peta Perubahan Land Use
Data Pusat Perubahan Land Use
Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression Analysis)
Factor Lodings Factor Score
Faktor-faktor Penentu Inkonsistensi
Kesimpulan, dan Rekomendasi
29
Gambar 2. Diagram Tahapan Penelitian
Variabel Bebas (x)
30
Tabel 2. Matriks Penelitian
No
Masalah
Tujuan
1
Bagaimanakah pola perubahan penggunaan lahan tahun 2002-2006
Mengetahui Pola Perubahan penggunaan lahan
2
Di manakah pusatpusat terjadinya perubahan penutupan/ penggunaan lahan
Mengidentifkasi Pusatpusat perubahan penggunaan lahan
Analisis Location Quotient (LQ)
- Data Peta Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan
3
Apakah terjadi inkonsistensi penataan ruang wilayah di Kabupaten Sumedang
Menentukan RTRW
Analisis SIG (Overlay Peta Penggunaan Lahan tahun 2005 dengan Peta RTRW)
- Peta Panggunaan Lahan Tahun 2006
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW
Mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW
- Analisis Principal Component Analysis (PCA)
- PODES Tahun 2006
4
konsistensi
Analisis
Analisis SIG
- Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression Analysis)
Data yang dibutuhkan
- Citra Land Sat Tahun 2002 dan 2006
Sumber Data
BTIC Biotrop
Bapeda Kabupaten Sumedang
- Peta RTRW Badan Pusat Statistik
- Data Atribut Luas Inkonsistensi RTRW
30
31
Ekstraksi Penutupan/Penggunaan Lahan dari Citra Perubahan
penggunaan
lahan
dilakukan
melalui
analisis
citra
penginderaan jauh, dengan ekstraksi citra untuk memperoleh informasi penggunaan/penutupan
lahan.
Ekstraksi
dilakukan
dengan
klasifikasi
multispektral citra land sat tahun 2002 dan 2006. Klasifikasi
merupakan
proses
pengelompokan
piksel-piksel
yang
mempunyai ciri yang sama ke dalam kelas penutupan/penggunaan lahan. Metode klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing dengan pendekatan Maximum Likelihood Classification (MLC). Klasifikasi terbimbing dilakukan berdasarkan area contoh (training area) terhadap obyek-obyek yang mudah dikenali dan representatif pada citra dengan cara menggambarkan poligonpoligon. Tahap klasifikasi dimulai dengan menentukan training area, yang merupakan lokasi contoh representatif dari tipe penutupan lahan yang diketahui, yang digunakan untuk mengkompilasi kunci interpretasi numerik yang mendeskripsikan atribut spektral untuk setiap tipe kenampakan yang dipilih. Semua area yang penampakannya berbeda diambil, dan diusahakan training area yang
didapat
warnanya
homogen.
Pengklasifikasian
dilakukan
dengan
mengelompokan setiap pixel pada citra ke dalam kelas penutupan lahan yang paling dekat kemiripannya. Deteksi Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Analisis deteksi perubahan penutupan/penggunaan lahan dilakukan dengan cara menumpangtindihkan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2002 dengan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2006. Hasil proses ini dapat diinterpretasi secara deskriptif pada peta output (peta overlay), sedangkan data atributnya akan digunakan untuk analisis lanjutan. Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Data yang digunakan untuk identifikasi pusat-pusat perubahan lahan adalah data luas perubahan penutupan lahan. Data tersebut ditabulasikan dan kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis LQ. Menurut Warpani (1984),
32
analisis LQ merupakan cara permulaan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam sektor kegiatan tertentu. Jika dari hasil perhitungan LQ tersebut didapatkan nilai Indeks LQ (LQij 1) diartikan bahwa terjadi konsentrasi suatu aktivitas tertentu di sub wilayah ke-i yang secara relatif dibandingkan dengan total wilayah. Dengan demikian dapat diketahui bahwa suatu wilayah administratif terkecil yang dianalisis (desa tertentu) merupakan wilayah yang menjadi pusat perubahan penggunaan lahan jenis pemanfaatan tertentu. Analisis Penyimpangan Pemanfaatan Ruang terhadap RTRW Tujuan analisis ini adalah untuk melihat seberapa jauh tingkat penyimpangan pemanfaatan ruang terhadap RTRW. Analisis dilakukan dengan membandingkan peta RTRW dengan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2006
dengan
cara
menumpangtindihkan
peta
RTRW
dengan
peta
penutupan/penggunaan lahan. Tumpangtindih akan menghasilkan sebuah peta yang menjadi masukan, yang dijadikan sebagai basis data dalam analisis SIG selanjutnya untuk analisis konsistensi/inkonsistensi RTRW. Basis data SIG yang menyangkut data atribut RTRW dan penutupan lahan tahun 2005 dieksport ke microsoft excel dan diolah. Pengolahan dilakukan dengan cara membuat kolom baru yang memberikan informasi mengenai jenis penutupan lahan yang berada pada kawasan-kawasan yang telah ditetapkan dalam RTRW. Selanjutnya hasil pengolahan data tersebut dikembalikan ke dalam basis data SIG, agar dapat dimanipulasi untuk menampilkan data spasial yang konsisten atau inkonsisten terhadap RTRW. Penentuan konsisten dan inkonsistens dilakukan berdasarkan model logika efektivitas tata ruang. Hal yang paling penting untuk dimengerti dari model logika ini adalah, bahwa alih fungsi lahan menjadi ruang terbangun memiliki sifat irreversible, dimana ruang yang telah digunakan untuk ruang terbangun tidak mungkin dikembalikan kepada pemanfaatan ruang sebelumnya. Data luas inkonsistensi RTRW kemudian dijadikan sebagai variabel bebas dalam analisis regresi berganda untuk mengetahui keeratan hubungan antara luas inkonsistensi dengan faktor-faktor yang mempengaruhi inkonsistensi RTRW pada tahap selanjutnya.
33
Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Untuk
mengetahui
variabel
penduga
penentu
perubahan
penutupan/penggunaan lahan, digunakan data Potensi Desa Kabupaten Sumedang Tahun 2006, meliputi : data kependudukan, struktur penutupan lahan, struktur aktifitas perekonomian masyarakat, struktur pendidikan dan ketersediaan fasilitas umum. Penduga awal
faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpangan
pemanfaatan ruang disajikan pada Lampiran 4. Sebelum data tersebut diolah dengan metode PCA, terlebih dahulu dilakukan seleksi dan standarisasi data. Seleksi data dilakukan untuk memperoleh data kuantitatif yang terkait dengan penggunaan. Selanjutnya, data hasil seleksi tersebut dilakukan standarisasi untuk memperoleh keseragaman satuan data, misalnya : data luas lahan sawah dibagi dengan total luas desa tersebut. Untuk data jarak dilakukan invers data jarak (1/km), misalnya : data jarak dari desa ke rumah sakit adalah 2 km, maka data tersebut menjadi ½ km. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam menginterpretasikan hasil analisis data. Dasar pemikirannya adalah, bahwa semakin besar nilai data jarak maka semakin jauh jarak tersebut dari obyek atau dengan kata lain aksesibilitasnya semakin rendah. Hasil seleksi data yang telah dirasiokan disusun dalam suatu tabel sebagai database untuk analisis PCA, dengan unit analisis terkecil kecamatan., Analisis ini
merupakan salah satu teknik analisis untuk mereduksi suatu set
data/peubah dengan jumlah yang banyak menjadi set data baru yang lebih sederhana dengan jumlah data/peubah lebih sedikit dan saling orthogonal (tidak saling berkorelasi) (Rustiadi et. Al. 2002). Format data untuk analisis PCA disusun membentuk matriks ukuran n x p, di mana n : unit sampel dan p : jumlah peubah (jumlah kolom). Hasil analisis PCA antara lain : akar ciri (eigenvalues), Faktor Loading dan Factor Scores. Eigenvalue merupakan suatu nilai yang menunjukan keragaman dari peubah komponen utama yang dihasilkan dari analisis, semakin besar total kumulatif Eigenvalue maka semakin besar pula keragaman data awal yang
dapat
diterangkan.
Faktor
Eksternal
merupakan
parameter
yang
menggambarkan besarnya titik-titik data baru dari hasil analisis komponen utama,
34
nilai ini yang akan digunakan dalam analisis selanjutnya (Analisis Regresi Berganda/ Multiple Regression Analysis). Analisis Regresi dilakukan untuk mengetahui keeratan hubungan antara faktor-faktor penduga penentu konsistensi RTRW dengan luas inkonsistensi RTRW dari atribut Peta inkonsistensi dengan analisis desa. Factor Scores hasil analisis PCA dijadikan sebagai variabel bebas (x), sedangkan luas inkonsistensi RTRW dijadikan sebagai variabel tak bebas (y). Secara umum hubungan antara variabel-variabel tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :
Dimana :
Yi
= a + b1X 1i+ b2X2i + .... +bjXji + …. + bnXni
Yi a b Xji
= = = =
Luas Area Inkonsistensi pada Desa ke –i (%) Intercept Koefisien variabel j (Xj) Variabel penduga faktor-faktor yang mempengaruhi Inkonsistensi ke – j di Desa ke –i
35
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Sumedang adalah salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang mempunyai letak strategis dimana kabupaten ini berbatasan langsung dengan Ibukota Provinsi, Bandung. Jarak Ibukota Kabupaten Sumedang dari Ibukota Provinsi ± 45 km dan berada di antara jalur dua jalan tujuan wisata yakni Bandung dan Cirebon. Secara geografis letak daerah berada pada posisi 6o40’ – 7o83’ Lintang Selatan dan 107o44’- 108o13’ Bujur Timur. Sementara batas-batas wilayah Kabupaten Sumedang adalah Kabupaten Indramayu disebelah utara, Kabupaten Garut di sebelah selatan, Kabupaten Bandung di sebelah barat, dan Kabupaten Majalengka di sebelah timur. Kabupaten Sumedang memiliki luas wilayah 152.220 ha yang merupakan daerah berbukit hingga daerah pegunungan dengan ketinggian bervariasi mulai dari 25 sampai 1001 m di atas permukaan laut. Keadaan curah hujan di Kabupaten Sumedang termasuk pada iklim agak basah sedang dengan curah hujan rata-rata sekitar 2430 mm.
Gambar 3. Peta Wilayah Adminitrasi Kabupaten Sumedang
36
Wilayah ini secara administrasi terdiri dari 26 kecamatan, yang mencakup 18 Kecamatan merupakan kecamatan lama dan 8 Kecamatan merupakan hasil pemekaran. Daftar kecamatan dan desa diuraikan dalam Lampiran 1. Jarak ibukota Kabupaten Sumedang ke Ibukota Propinsi Jawa Barat lebih kurang 45 km. Dengan jarak yang relatif dekat terhadap pusat kegiatan propinsi, maka segala aktivitas yang berlangsung pada daerah bersangkutan satu sama lain akan saling mempengaruhi perkembangan daerahnya. Begitu pula halnya dengan faktor lokasi Kota Sumedang yang dilalui oleh jaringan jalan negara yang menghubungkan kota-kota di bagian timur seperti Cirebon dan Majalengka. Transportasi Posisi Kabupaten Sumedang secara geografis ditunjang dengan Jalan Negara yang melintasinya, menyebabkan Sumedang menjadi kota lintasan terutama pergerakan barat-timur (Bandung-Cirebon). Di samping pergerakan arah Barat – Timur, Kota Sumedang dapat menjadi jalur alternatif pergerakan dari arah utara ke selatan, ke utara ke arah seperti Subang Purwarkarta, Cikampek, dan Karawang dan ke arah selatan menuju Garut, Malangbong Tasikmalaya dan Ciamis. Pada saat hari Raya atau liburan, jalur utara atau selatan ini menjadi alternatif pilihan. Hingga saat ini arus pergerakan ke arah utara masih memperlihatkan frekwensi lintasan yang relatif
kecil bila dibanding arah
pergerakan ke barat begitu pula halnya dengan frekwensi pergerakan pergerakan ke arah selatan Kota Sumedang, dimana akan menghubungkan Kota Sumedang dengan kota-kota seperti Malangbong, Ciawi, dan Tasikmalaya juga masih relatif kecil. Untuk mendukung sistem transportasi regional, direncanakan pula pembangunan jalan tol Cisumdawu yang akan menghubungkan jalan tol Cileunyi dengan Dawuan menuju Cirebon. Kabupaten Sumedang akan menjadi wilayah yang dilewati oleh trase rencana jalan tol tersebut. Keberadaan jalan tol ini akan mempengaruhi pengembangan wilayah terutama pada outlet jalan tol. Ditinjau dari panjang jalan, Kabupaten Sumedang termasuk dalam kelompok wilayah dengan ratio panjang jalan terhadap luas wilayah
rendah yaitu hanya 0,35
37
sedangkan ratio rata-rata Jawa Barat mencapai 0,70. Dibandingkan kabupaten tetangga, ratio Sumedang lebih rendah, hal ini menunjukan bahwa akses internal Kabupaten Sumedang belum baik dan perlu ditingkatkan agar pengembangan wilayah yang terjadi tidak mengalami ketimpangan. Kondisi Demografi Jumlah penduduk Kabupaten Sumedang berdasarkan hasil registrasi akhir 2006, tercatat sebanyak 1.091.674 jiwa dengan rincian 545.740 jiwa berjenis kelamin
laki dan 545.934 jiwa berjenis kelamin perempuan sehingga
menghasilkan rasio jenis kelamin sebesar 99,96. Kecamatan Jatinangor merupakan kecamatan dengan jumlah penduduk terbesar yaitu 95.517 jiwa, sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Surian sebesar 12.240 jiwa. Dari tahun 2005 -2006 perkembangan jumlah penduduk yang terbesar ada di Kecamatan Cisitu 4,96% dan yang terendah Kecamatan Cisarua 0,15% (rata-rata Kabupaten Sumedang adalah sebesar 4,38 persen). Penyebaran dan kepadatan penduduk masih terkonsentrasi di beberapa Kecamatan seperti : Kecamatan Jatinangor,
Cimanggung, Tanjungsari dan Sumedang Utara.
Kecamatan Jatinangor, Cimanggung dan Tanjungsari memiliki karakteristik yang sama yaitu berorientasi ke wilayah Bandung Metropolitan Area (BMA). Dengan karakteristik seperti itu maka tingkat kepadatan penduduk pun menjadi tinggi dibandingkan kecamatan lain di Kabupaten Sumedang. Disamping itu kawasan ini merupakan kawasan perguruan tinggi yang menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Jatinangor mencapai 3.646 jiwa /km2, dengan rata-rata rumah tangga 3,35 jiwa/rumah tangga. Kepadatan terendah berada di Kecamatan Jatigede yaitu sebesar 229 jiwa/ km2, dengan rata-rata 3,34 jiwa/rumah tangga. Kepadatan penduduk Kabupaten Sumedang mengalami peningkatan menjadi 717 jiwa/km2 dibanding tahun 2005 sebesar 687 jiwa/ km2
38
Tabel 3. Jumlah, Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Sumedang Tahun 2006 NO
1
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Jumlah Penduduk 2005 2006 (Jiwa) (Jiwa)
Kecamatan
Buahdua Cibugel Cimalaka Cimanggung Cisarua Cisitu Conggeang Darmaraja Ganeas Jatigede
Luas (km2)
Kepadatan Penduduk (Jiwa/ km2)
32.324 20.352 55.613 70.455 20.159 26.399 29.952 37.905 23.172 24.607 90.431 41.591 37.349 36.658 49.528 35.631 29.639 80.359 72.220 11.361 33.129 24.017 65.931 23.326 30.195 43.520
33.592 21.330 56.918 74.020 20.190 27.962 31.431 39.897 24.255 25.675 95.517 43.446 38.675 37.856 51.930 37.282 30.956 84.087 75.268 12.240 34.350 25.311 67.992 24.329 31.457 45.708
3,92 4,81 2,35 5,06 0,15 5,92 4,94 5,26 4,67 4,34 5,62 4,46 3,55 3,27 4,85 4,63 4,44 4,64 4,22 7,74 3,69 5,39 3,13 4,30 4,18 5,03
131,37 48,81 41,61 40,76 18,92 53,31 105,31 54,94 21,36 111,97 26,2 61,49 52,28 34,37 57,85 54,03 47,12 28,26 117,37 50,74 40,14 65,14 35,62 66,26 80,56 76,42
256 437 1.368 1.816 1.067 525 298 726 1.136 229 3.646 707 740 1.101 898 690 657 2.975 641 241 856 389 1.909 367 390 598
1.045.823
1.091.674
4,38
1522,2
717
Jatinangor
Jatinunggal Pamulihan Paseh Rancakalong Situraja Sukasari Sumedang Utara Sumedang Selatan Surian Tanjungkerta Tanjungmedar Tanjungsari Tomo Ujungjaya Wado Kab. Sumedang
Laju Pertumbuhan (%)
Sumber : Kabupaten Sumedang dalam angka Tahun 2007 Kondisi Ekonomi Pertumbuhan perekonomian Kabupaten Sumedang digerakkan oleh pertumbuhan beberapa sektor. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa ada tiga sektor yang peranannya cukup besar, yaitu sektor pertanian, perdagangan hotel dan restoran dan sektor industri pengolahan. Dari ketiga sektor tersebut pertanian mempunyai kontribusi yang besar terhadap pembentukan nilai tambah mencapai 29,92 % pada tahun 2002.
39
Indikator yang sering digunakan untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat secara makro adalah pendapatan per kapita. Semakin tinggi pendapatan yang diterima penduduk di suatu wilayah maka tingkat kesejahteraan di wilayah yang bersangkutan dapat dikatakan bertambah baik. Penghitungan pendapatan yang benar-benar diterima oleh penduduk Kabupaten Sumedang sulit dilakukan karena masih belum tersedianya data arus pendapatan yang mengalir antar Kabupaten yang menjadi komponen penghitungan pendapatan regional, maka pendekatan pendapatan per kapita menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita yakni pembagian PDRB dengan jumlah penduduk tengah tahun (BPS Kabupaten Sumedang, 2007). Tabel 4. Kontribusi Setiap Sektor Terhadap PDRB Kabupaten Sumedang NO
Sektor
2002
2003
2004
2005
2006
1
Pertanian
29,92
29,00
29,00
29,14
29,02
2
Pertambangan dan Galian
0,11
0,12
0,13
0,13
0,14
3
Industri Pengolahan
24,56
24,57
24,07
23,56
23,58
4
Listrik Gas & Air Bersih
2,23
2,39
2,56
2,57
2,66
5
Bangunan
2,06
2,15
2,14
2,15
2,15
6
Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
26,04
26,03
26,00
26,04
26,04
3,24
3,44
3,49
4,00
4,10
3,84
4,23
4,57
4,39
4,28
8,00
8,06
8,06
8,03
8,03
100
100
100
100
100
7 8 9
PDRB
&
Sumber : BPS Kabupaten Sumedang Tahun 2007
Tabel 5 menunjukkan bahwa pendapatan per kapita Kabupaten Sumedang mengalami peningkatan selama periode tahun 2002 – 2006. Tahun 2002, PDRB per kapita atas dasar harga berlaku masyarakat Kabupaten Sumedang mencapai Rp. 4.888.694,84 meningkat sampai tahun 2006 mencapai Rp. 7.667.460,03, atau rata-rata naik 11,37 % selama lima tahun terakhir.
40
Tabel 5. Pendapatan Perkapita Kabupaten Sumedang Tahun 2002-2006 Tahun
ADH Berlaku (Rp)
Pertumbuhan (%)
ADH Konstan 2000 (Rp)
Pertumbuhan (%)
2002
4.888.694,84
12,92
3.999.839,81
2,57
2003
5.291.182,20
8,23
4.096.141,74
2,41
2004
5.807.468,76
9,76
4.212.797,78
2,85
2005
6.790.962,32
16,93
4.341.731,43
3,06
2006
7.667.460,03
12,91
4.461.976,78
2,77
Sumber : BPS Kabupaten Sumedang
Rencana Alokasi Pemanfaatan Ruang Rencana alokasi pemanfaatan ruang Kabupaten Sumedang didasarkan kepada strategi pemanfaatan kawasan lindung dan strategi pemanfaatan kawasan budidaya. Kedua strategi tersebut saling terkait untuk membentuk suatu pemanfaatan ruang yang optimal. Adapun strategi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Strategi penetapan kawasan lindung -
Mempertahankan/menambah kawasan lindung yang terdapat di wilayah Kabupaten Sumedang;
-
Mengalihfungsikan hutan produksi yang ada di kawasan lindung
-
Mengendalikan kawasan lindung dengan mengembangkan kawasan penyangga/buffer zone di sekitar hutan
-
Menetapkan kawasan berfungsi lindung yang juga mencakup perlindungan terhadap kawasan rawan bencana dan kawasan lindung setempat
2. Strategi penetapan kawasan budidaya Secara umum kawasan budidaya diarahkan dengan mengakomodasikan kegiatan secara optimal, berdayaguna dan berhasil guna serta tentunya harus berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka kawasan budidaya yang diarahkan pengembangannya meliputi kawasan pedesaan/ budidaya pertanian dan kawasan perkotaan/ budidaya non pertanian (tanaman lahan basah, tanaman lahan kering, tanaman tahunan, permukiman, industri, pariwisata dan pertambangan/ penggalian).
41
Berdasarkan UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditetapkan bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, serta nilai budaya, dan sejarah bangsa guna kepentingan pembangunan yang berkelanjutan.
Kawasan lindung sendiri terbagi menjadi
kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam, dan cagar budaya, serta kawasan rawan bencana. Kawasan budidaya merupakan kawasan di luar kawasan lindung yang kondisi fisik dan potensi sumberdaya alamnya dapat dan perlu dimanfaatkan baik bagi kepentingan produksi (kegiatan usaha) maupun pemenuhan kebutuhan penduduk. Oleh karena itu penetapan kawasan ini dititikberatkan pada usaha untuk memberikan dan menunjang pengembangan berbagai kegiatan budidaya sesuai dengan potensi sumber daya yang ada dengan optimasi pemafaatannya. Kawasan budidaya yang direncanakan berdasarkan RTRW Kabupaten Sumedang 2000-2012 terbagi menjadi: -
kegiatan budidaya pertanian, terdiri dari pertanian lahan basah, pertaniaan lahan kering, tanaman tahunan/ perkebunan serta
-
kegiatan budidaya non pertanian, terdiri dari pemukiman, industri, bendungan jatigede, pendidikan tinggi, pariwisata, pertambangan / bahan galian, tempat pemakaman bukan umum dan kawasan pemerintahan. Rencana Struktur Tata Ruang Wilayah Rencana pengembangan struktur tata ruang Kabupaten Sumedang secara
umum dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kota Sumedang, sebagai Ibukota Kabupaten Sumedang, merupakan pusat yang berfungsi melayani lingkup regional seluruh wilayah Kabupaten, sub regional dan lokal. 2. Kota Tanjungsari, Darmaraja, Buahdua, Tomo yang merupakan Ibukota Kecamatan, merupakan pusat yang berfungsi melayani lingkup sub regional dan lokal. Khusus untuk kota Tanjungsari disamping fungsi di atas juga diarahkan untuk kegiatan tertentu yaitu Perguruan Tinggi dengan skala pelayanan regional.
42
3. Kota-kota lainnya berfungsi melayani pelayanan lokal serta merupakan wilayah belakang dari kota-kota pusat pengembangan di atas.
Untuk memudahkan dalam pelaksanaan kebijaksanaan spasialnya maka Wilayah Kabupaten Sumedang dibagi menjadi 5 sub wilayah pengembangan (WP) yaitu: 1. Sub WP Tanjungsari, terdiri dari 4 wilayah Kecamatan, yakni Kecamatan Tanjungsari, Cikeruh, Rancakalong, dan Cimanggung dengan pusatnya Tanjungsari. 2. Sub WP Darmaraja, terdiri dari 3 wilayah Kecamatan yakni Kecamatan Darmaraja, Wado dan Cibugel dengan pusatnya di Darmaraja. 3. Sub WP Sumedang Kota terdiri dari 6 wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Sumedang Utara, Sumedang Selatan, Tanjungkerta, Cimalaka, Paseh, dan Situraja dengan pusat di Sumedang Kota. 4. Sub WP Buahdua terdiri dari 2 wilayah Kecamatan yakni Kecamatan Buahdua dan Conggeang dengan pusatnya di Buahdua. 5. Sub WP Tomo terdiri dari 3 wilayah kecamatan yakni Kecamatan Tomo, Ujungjaya dan Cadasngampar dengan pusatnya di Tomo. Adapun arahan pengembangan fungsi kota di kabupaten ini adalah sebagai berikut: -
Pusat pengembangan yang berskala pelayanan regional adalah Kota Sumedang, sehubungan dengan perannya sebagai pusat pertumbuhan utama wilayah Kabupaten Sumedang, fungsi pelayanan regional diberikan oleh Kota Sumedang untuk memberikan pelayanan terhadap kota yang merupakan pusat sub wilayah pengembangan (sub WP) antara lain meliputi Sub WP Buahdua, Darmaraja, Tanjungsari/Cikeruh dan Tomo.
-
Disamping
memberikan
pelayanan
regional,
Kota
Sumedang
juga
memberikan pelayanan sub regional terhadap kota-kota yang memberikan pelayanan sub regional terhadap kota-kota yang merupakan pusat pengembangan (pelayanan) yang terdapat di lingkungan Sub WP Sumedang Kota.
43
-
Pusat pengembangan yang berskala sub regional adalah Kota Buahdua, Darmaraja, Tanjungsari, dan Tomo sehubungan perannya sebagai pusat Sub WP, fungsi pelayanan sub regional diberikan secara langsung kepada kota masing-masing yang merupakan pusat pengembangan.
44
HASIL DAN PEMBAHASAN Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002-2006 Dari hasil analisis citra diperoleh informasi penggunaan/penutupan lahan. Interpretasi dan klasifikasi terhadap citra, menghasilkan kelas-kelas penggunaan/penutupan lahan sementara, dan setelah diverifikasi di lapangan menjadi kelas penggunaan/penutupan lahan. Post klasifikasi menghasilkan peta penggunaan/penutupan lahan dua titik tahun dengan nilai akurasi > 85%. Untuk mendapatkan nilai perubahan penggunaan/penutupan lahan dua titik tahun, dilakukan perbandingan terhadap penggunaan tahun 2002 dan 2006, dengan proses tumpang tindih antara kedua peta tersebut. Jenis, luas dan masing-masing perubahan penutupan/penggunan lahan di wilayah Kabupaten Sumedang tahun 2002 dan 2006 disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Luas dan Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002 dan 2006
No
Kelas Penggunaan Lahan
Tahun 2002 Luas % (ha)
Tahun 2006 Luas (ha)
Perubahan
%
(ha)
%*)
1
Hutan
28.124
18,48
23.569
15,48
-4569
-3,00
2
Kebun Campuran
38.825
25,51
36.997
24,31
-1842
-1,20
3
Ladang
26.849
17,64
34.226
22,48
7354
4,84
4
Lahan Terbuka
2.114
1,39
3.058
2,01
220
0,62
5
Permukiman
10.737
7,05
12.591
8,27
2154
1,22
6
Sawah
35.761
23,49
34.897
22,93
-869
-0,56
7
Semak Belukar
7.906
5,19
4.995
3,28
-2401
-1,91
8
Air
1.904
1,25
1.887
1,24
-47
-0,01
152.220
100
152.220
100
0
0,00
Keterangan : *) per Luas Total
Peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2002 dan tahun 2006 disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5.
PETA PENUTUPAN / PENGGUNAAN LAHAN KABUPATEN SUMEDANG PROPINSI JAWA BARAT TAHUN 2002
Gambar 4. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan Kabupaten Sumedang Tahun 2002 45
Gambar 5. Peta Penutupan /Penggunaan Lahan Kabupaten Sumedang Tahun 2006 46
47
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa pada tahun 2002 penggunaan lahan pertanian memilki porsi terbesar yakni kebun campuran sebesar 38.815 ha (25,50%), sawah seluas 35.761 hektar ( 23,49%), dan ladang/tegalan seluas 26.839 hektar (17,63%). Sementara hutan memiliki porsi luas 28.114 hektar (18,47%). Penggunaan sawah banyak terdapat di Kecamatan Ujungjaya, yang merupakan daerah dataran rendah. Untuk penggunaan lahan non-pertanian, penutupan/penggunaan lahan untuk pemukiman sebesar 11,751 hektar (7,72%). Penggunaan untuk pemukiman secara umum tersebar di semua wilayah Kabupaten Sumedang namun dalam luasan yang kecil. Kawasan terbangun terkonsentrasi di Sumedang Kota dan di wilayah barat. Sumedang Kota yang meliputi Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan merupakan pusat pemerintahan dan pusat perdagangan dan jasa. Wilayah Kabupaten Sumedang Bagian Barat yakni di Kecamatan Jatinangor, Cimanggung dan Tanjungsari. Ketiga kecamatan ini merupakan wilayah yang mempunyai jarak terdekat dengan pusat propinsi dibanding kecamatan lain, sehingga menjadi penyangga dari perkembangan Bandung. Selain itu, di wilayah barat Kabupaten Sumedang berdiri kawasan Perguruan Tinggi tepatnya di Kecamatan Jatinangor dan kawasan industri di Kecamatan Cimanggung dan Jatinangor. Penutupan/penggunaan lahan berupa semak belukar mempunyai porsi cukup besar yakni seluas 7.072 hektar (4,65%), dan tersebar di seluruh wilayah. Sementara penutupan/penggunaan lahan berupa lahan terbuka dan tubuh air masing-masing seluas 1.964 hektar (1,29%) dan 1.904 hektar (1,25%). Penutupan/penggunaan lahan pada tahun 2006, masih didominasi lahan pertanian yakni kebun campuran seluas 36.973 hektar (24,29%), sawah 34.892 hektar (22,92%) dan ladang/tegalan seluas 34.193 hektar (22,46%). Sementara hutan memiliki porsi luas 23.545 hektar (15,47%). Pemukiman dengan penggunaan sebesar 13.905 ha (9,13%) terkonsentrasi di wilayah Kabupaten Sumedang Bagian Barat. Lahan terbuka memiliki luas 2.154 hektar (1,42%), semak belukar 4.672 hektar (3,07%) dan tubuh air 1.887 hektar (1,24%).
48
Perubahan Penutupan/ Penggunaan Lahan Dengan menumpangtindihkan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2002 dengan 2006 diperoleh matriks perubahan penutupan/penggunaan lahan sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Matrik Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan Tahun 2002-2006 2006 Kebun Campuran
Hutan
Ladang
Lahan Terbu ka
Permu kiman
Sawah
Semak Belukar
Tubuh Air
Total
2002 Hutan
22.977
2.284
1.678
286
102
235
562
-
28.124
Kebun Campuran
452
33.647
3.538
297
336
93
462
-
38.825
Ladang
-
560
25.072
247
376
379
187
28
26.849
Lahan Terbuka
-
126
623
993
282
52
21
17
2.114
Permukiman
-
-
-
-
10.737
-
-
-
10.737
Sawah
-
132
494
525
574
33.861
61
114
35.761
140
248
2.803
696
178
135
3.702
4
7.906
-
-
18
14
6
142
-
1.724
1.904
23.569
36.997
34.226
3.058
12.591
34.897
4.995
1.887
152.220
Semak Belukar Tubuh Air Total
Berdasarkan Tabel 7 tersebut, penyusutan luas hutan sebagian besar berubah menjadi kebun campuran 2.309 hektar atau sekitar 8,21% dari luas asal dan menjadi ladang seluas 1.678 hektar atau sekitar 6% dari luas asal. Sementara yang berubah menjadi penutupan/penggunaan lain relatif kecil, yakni menjadi lahan terbuka 276 hektar (0,98%), permukiman 151 hektar (0,54%), sawah 245 hektar (0,87%) dan semak belukar 502 hektar (1,79%). Terjadi pula perubahan yang cukup berarti pada penggunaan lahan pertanian menjadi non-pertanian, pada kelas sawah menjadi permukiman, yakni sekitar 712 hektar. Perubahan Tegalan/Ladang menjadi permukiman sekitar 451 hektar, sementara perubahan kebun campuran menjadi permukiman sekitar 437 hektar.
49
Terjadi penambahan luas pada penutupan/penggunaan lahan permukiman dari 11.751 hektar pada tahun 2002 menjadi 13.905 pada tahun 2006 atau bertambah sekitar 2.154 hektar. Luasan ini sebagian besar berasal dari sawah seluas 712 hektar, juga dari hutan 151 hektar, kebun campuran 437 hektar, ladang 451 hektar, lahan terbuka 248 hektar dan semak belukar 149 hektar. Ladang bertambah dari 26.839 hektar pada tahun 2002 menjadi 34.193 hektar pada tahun 2006 atau bertambah 7.354 hektar. Sementara lahan terbuka bertambah sekitar 220 hektar yakni dari 1.964 hektar pada tahun 2002 menjadi 2.154 hektar pada tahun 2006, yang berasal dari hutan 1678 hektar, kebun campuran 3.543 hektar, semak belukar 2.742 hektar dan lahan terbuka 679 hektar. Peningkatan lahan permukiman banyak terjadi di daerah Kecamatan Jatinangor, Cimanggung dan Tanjungsari, yang merupakan daerah industri dan penyangga Bandung serta di Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan yang merupakan pusat pemerintahan. Peningkatan luas lahan terbuka terjadi di Kecamatan Cimalaka, Paseh, Conggeang, dan Buahdua. Dari data survey lapang diketahui bahwa kelas ini berada di kaki gunung Tampomas yang merupakan daerah pertambangan galian type-C yang terus dieksplorasi sejak tahun 2000 hingga saat ini. Sementara hutan, sawah, kebun campuran dan semak belukar mengalami penurunan, seiring dengan meningkatnya luas permukiman, ladang dan lahan terbuka. Hutan menyusut dari 28.114 hektar menjadi 23.545 hektar atau sekitar 5.569 hektar. Sementara kebun campuran, semak belukar dan sawah menyusut masing-masing seluas 1.842 hektar, 2.401 hektar dan 869 hektar. Pemanfaatan Ruang Tahun 2002-2006 Perubahan penutupan/penggunaan lahan akan berimplikasi terhadap pelaksanaan RTRW. Untuk mengetahui implikasi perubahan penutupan/ penggunaan lahan terhadap pelaksanaan RTRW, perlu diketahui terlebih dahulu struktur pemanfaatan ruang Kabupaten Sumedang tahun 2002 dan tahun 2006. Pemanfaatan ruang diperoleh dengan memadukan dan mengkompilasikan peta penutupan/penggunaan lahan tahun 2002 dan 2006 dengan RTRW, hasil survey lapang serta data penggunaan lahan dari Kabupaten Sumedang dalam Angka Tahun 2002 dan 2007. Pemaduan dan kompilasi pemanfaatan ruang disajikan
50
pada Tabel 8, sementar luas dan perubahan pemanfaatan ruang tahun 2002 dan 2006 disajikan pada Tabel 9 berikut ini. Tabel 8. Padanan Data Pemanfaatan Ruang dengan Peta Penutupan/Penggunaan Lahan
1.
Pemanfaatan Ruang Hutan Lindung
2.
Sempadan Sungai
- Dokumen RTRW 2002-2012
3.
Pertanian Lahan Kering
- Kelas Ladang dan Kebun Campuran dari Peta Penutupan/ Penggunaan Lahan - Dokumen RTRW 2002-2012
4.
Pertanian Lahan Basah
- Kelas Sawah dari Peta Penutupan/ Penggunaan Lahan - Dokumen RTRW 2002-2012
5.
Permukiman
- Kelas Permukiman dari Peta Penutupan/ Penggunaan Lahan - Dokumen RTRW 2002-2012
6.
Industri
- Kelas Permukiman dari Peta Penutupan/ Penggunaan Lahan - Survey Lapang - RTRW 2002-2012 - Kabupaten Sumedang dalam Angka 2002 dan 2007
7.
Galian-C
- Kelas Lahan Terbuka dari Peta Penutupan/ Penggunaan Lahan - Survey Lapang - RTRW 2002-2012 - Kabupaten Sumedang dalam Angka 2002 dan 2007
NO
Sumber Data - Kelas Hutan dari Peta Penutupan/ Penggunaan Lahan - Dokumen RTRW 2002-2012
Berdasarkan Tabel 9, pada tahun 2002, kawasan lindung di Kabupaten Sumedang seluas 41.293 hektar (27,13%), yang terdiri dari tutupan hutan lindung/konservasi seluas 24.989 hektar (16,42%) dan sempadan sungai seluas 16.304 hektar (10,71%). Hutan lindung tersebar hampir di seluruh kecamatan di Kabupaten Sumedang terutama di Kecamatan Cimalaka, Buahdua dan Conggeang sekitar gunung Tampomas, Kecamatan Sumedang Selatan, Cibugel, Cimanggung sekitar gunung Kareumbi dan Kecamatan Wado. Sementara itu, kawasan budidaya seluas 110.927 hektar (72,87%). Kawasan budidaya didominasi oleh kegiatan pertanian dengan luas 99.906 hektar (65,30%), dengan porsi terbesar sekitar 64,549 hektar (42,42%) merupakan pertanian lahan kering, sedangkan pertanian lahan basah sekitar 34.857 hektar (22,90%). Penggunaan pertanian
51
lahan basah banyak terdapat di Kecamatan Ujungjaya, Buahdua, Conggeang dan Darmaraja, sedangkan pertanian lahan kering banyak dijumpai di Kecamatan Cibugel, Tanjungmedar, Wado, Conggeang dan Buahdua. Tabel 9. Luas dan Perubahan Pemanfaatan Ruang Tahun 2002 dan 2006 No 1
2
2002 (ha) (%)
2006 (ha) (%)
41.293 27,13
36.904 24,24
-4.389
-2,88
Hutan Lindung/Konservasi
24.989 16,42
20.600 13,53
-4.389
-2,88
Sempadan Sungai
16.304 10,71
16.304 10,71
0
0
110.927 72,87
115.316 75,76
4.389
2,88
Budidaya Pertanian
99.406 65,30
101.539 66,71
2.133
1,4
Pertanian Lahan Kering
64.549 42,41
67.501 44,34
2.952
1,94
Pertanian Lahan Basah
34.857 22,90
34.038 22,36
-819
-0,54
11.521
7,57
13.777
9,05
2.256
1,48
10.683
7,02
12.407
8,15
1.724
1,13
Industri
468
0,31
683
0,45
215
0,14
Galian C
370
0,25
687
0,45
317
0,2
152.220
100
152.220
100
0
0
Pemanfaatan Ruang Kawasan Lindung
Kawasan Budidaya a
b
Non Pertanian Permukiman
Perubahan (ha) (%)
Kegiatan non-pertanian hanya memiliki porsi 11.521 hektar (7,57%). Untuk kegiatan budidaya non pertanian, penggunaan/penutupan lahan berupa permukiman memiliki porsi luas sekitar 10.683 hektar (7,02%), dan secara umum tersebar di semua wilayah Kabupaten Sumedang namun dalam luasan yang kecil. Kegiatan industri memiliki luas 468 hektar (0,31%), terdapat di Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung yang merupakan kawasan industri di Kabupaten Sumedang. Pada tahun 2006, tutupan kawasan lindung memiliki porsi luas sekitar 36.904 hektar (24,24%) meliputi tutupan hutan lindung/konservasi dengan porsi luas 20.600 hektar (13,53%), dan sempadan sungai 16.304 hektar (10,71%). Kawasan budidaya seluas 115,316 hektar (75,76%), dengan budidaya pertanian 101.539 hektar (66,71%) dan budidaya non pertanian seluas 13.777 hektar
52
(9,05%). Kegiatan
pertanian lahan kering mendomonasi kawasan budidaya
pertanian, dengan luas 67.501 hektar (44,34%). Sementara pertanian lahan basah memiliki porsi luas sekitar 34.038 hektar (22,36%). Kawasan budidaya non-pertanian memiliki porsi luas 13.777 hektar (9,05%). Permukiman mendominasi dengan penggunaan sebesar 12.407 hektar (8,15%) dan terkonsentrasi di wilayah Kabupaten Sumedang Bagian Barat. Kegiatan industri memiliki luas 683 hektar (0,45%), terkonsentrasi di Kecamatan Cimanggung dan Jatinangor. Perubahan Pemanfaatan Ruang Hasil analisis pemanfaatan ruang dari tahun 2002-2006, sebagaimana terlihat pada Tabel 9, menunjukkan bahwa terjadi perubahan pada berbagai pemanfaatan, baik peningkatan maupun penurunan. Perubahan pemanfaatan ruang ini terjadi di seluruh kecamatan di Kabupaten Sumedang, sebagaimana terlihat pada Tabel 10. Penurunan luas yang cukup berarti terjadi pada pemanfaatan ruang dari kawasan lindung menjadi kegiatan budidaya, yaitu seluas 4.389 hektar (2,88%). Penyusutan ini terjadi pada tutupan hutan lindung/konservasi, sementara untuk pemanfaatan ruang berupa sempadan sungai diasumsikan tetap. Peningkatan luas pemanfaatan ruang kawasan budidaya terbesar terjadi pada budidaya nonpertanian, yakni bertambah seluas 2.256 hektar (1,48%), sementara budidaya pertanian bertambah luasannya sekitar 1.991 hektar (1,31%). Perubahan tutupan lahan pada kawasan hutan lindung menjadi kawasan budidaya ini didorong oleh pertumbuhan penduduk, sehingga memerlukan lahan baik untuk tempat tinggal, lahan usaha maupun untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Peningkatan luas pemanfaatan ruang untuk kegiatan budidaya pertanian terjadi karena peningkatan luas lahan pertanian lahan kering seluas 2.952 hektar (1,94%). Peningkatan pertanian lahan kering ini sejalan dengan penurunan luas tutupan pada kawasan hutan lindung, yang banyak dijadikan ladang/huma oleh masyarakat. Sementara itu, penggunaan/penutupan lahan untuk pertanian lahan basah justru
mengalami penurunan seluas 819 hektar (0,54%). Penurunan
pertanian lahan basah terjadi karena banyaknya lahan sawah yang dikonversi menjadi kawasan terbangun terutama permukiman.
53
Tabel 10. Luas Perubahan Pemanfaatan Ruang Tahun 2002-2006 per Kecamatan No
Kecamatan
H.Ldg
PLK
PLB Pmkm
Indtr
Gal-C
1
Buahdua
-235
219
-16
20
0
12
2
Cibugel
-262
243
-1
20
0
0
3
Cimalaka
-153
-12
-49
149
0
65
4
Cimanggung
-115
-79
-65
141
118
0
5
Cisarua
0
-15
-32
47
0
0
6
Cisitu
-176
177
-21
20
0
0
7
Conggeang
-260
226
-3
23
0
14
8
Darmaraja
-276
223
-4
57
0
0
9
Ganeas
0
-12
-68
80
0
0
10
Jatigede
-264
251
-4
17
0
0
11
Jatinangor
-5
-151
-88
147
97
0
12
Jatinunggal
-244
234
-3
13
0
0
13
Pamulihan
-184
91
-49
142
0
0
14
Paseh
-8
-105
-75
103
0
85
15
Rancakalong
-260
224
0
36
0
0
16
Situraja
-238
208
-17
47
0
0
17
Sukasari
-222
154
-1
69
0
0
18
Sumedang Selatan
-259
180
-62
141
0
0
19
Sumedang Utara
0
-59
-83
142
0
0
20
Surian
-259
250
-1
10
0
0
21
Tanjungkerta
-1
15
-21
7
0
0
22
Tanjungmedar
-109
101
-5
13
0
0
23
Tanjungsari
-60
-43
-69
142
0
30
24
Tomo
-277
180
-39
36
0
100
25
Ujungjaya
-281
236
-42
76
0
11
26
Wado
-241
216
-1
26
0
0
Keterangan : H Ldg : Hutan Lindung PLB : Pertanian Lahan Basah Idtr : Industri
PLK : Pmk : Gal-C :
Pertanian Lahan Kering Pemukiman Pertambangan Galian C
54
Tabel 11. Data Kependudukan Kabupaten Sumedang Tahun 2006 NO
Kecamatan
Jumlah Penduduk 2005 2006 (Jiwa) (Jiwa)
Laju PertumBuhan
Luas (km2)
Kepadatan Penduduk (Jiwa/ km2)
1
Buahdua
32.324
33.592
3,92
131,37
256
2
Cibugel
20.352
21.330
4,81
48,8
437
3
Cimalaka
55.613
56.918
2,35
41,61
1.368
4
Cimanggung
70.455
74.020
5,06
40,76
1.816
5
Cisarua
20.159
20.190
0,15
18,92
1.067
6
Cisitu
26.399
27.962
5,92
53,31
525
7
Conggeang
29.952
31.431
4,94
105,31
298
8
Darmaraja
37.905
39.897
5,26
54,94
726
9
Ganeas
23.172
24.255
4,67
21,36
1.136
10 Jatigede
24.607
25.675
4,34
111,97
229
11 Jatinangor
90.431
95.517
5,62
26,2
3.646
12 Jatinunggal
41.591
43.446
4,46
61,49
707
13 Pamulihan
37.349
38.675
3,55
52,28
740
14 Paseh
36.658
37.856
3,27
34,37
1.101
15 Rancakalong
49.528
51.930
4,85
57,85
898
16 Situraja
35.631
37.282
4,63
54,03
690
17 Sukasari
29.639
30.956
4,44
47,12
657
18 Sumedang Selatan
72.220
75.268
4,22
117,37
641
19 Sumedang Utara
80.359
84.087
4,64
28,26
2.975
20 Surian
11.361
12.240
7,74
50,74
241
21 Tanjungkerta
33.129
34.350
3,69
40,14
856
22 Tanjungmedar
24.017
25.311
5,39
65,14
389
23 Tanjungsari
65.931
67.992
3,13
35,62
1.909
24 Tomo
23.326
24.329
4,30
66,26
367
25 Ujungjaya
30.195
31.457
4,18
80,56
390
26 Wado
43.520
45.708
5,03
76,42
598
1.045.823
1.091.674
4,38
1522,2
717
Kab. Sumedang
Sumber : Kabupaten Sumedang dalam angka Tahun 2007
55
Perubahan pemanfaatan ruang terkait dengan jumlah, pertumbuhan dan kepadatan penduduk. Dengan membandingkan luas perubahan pemanfaatan ruang tahun 2002-2006 pada Tabel 9 dengan data kependudukan pada Tabel 10, terlihat bahwa perubahan pemanfaatan ruang sejalan dengan pertumbuhan dan kepadatan penduduk. Penurunan luas tutupan pada kawasan hutan lindung dan peningkatan luas pertanian lahan kering terkait dengan pertumbuhan penduduk. Umumnya kecamatan-kecamatan yang tingkat penyusutan tutupan di kawasan hutan lindung dan peningkatan pertanian lahan keringnya relatif tinggi merupakan kecamatan dengan tingkat pertumbuhan penduduk di atas rata-rata pertumbuhan penduduk Kabupaten Sumedang. Kecamatan-kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Cibugel, Surian, Conggeang, Darmaraja, Rancakalong, Situraja dan Sukasari dan Wado. Sementara Kecamatan Sumedang Utara dan Kecamatan Jatinangor walaupun memiliki pertumbuhan penduduk relatif tinggi, penyusutan tutupan pada kawasan hutan lindungnya rendah, karena kedua kecamatan tersebut memiliki luas kawasan hutan lindung rendah. Sementara pertanian lahan kering di kedua kecamatan tersebut juga mengalami penurunan karena peningkatan luas permukiman di dua kecamatan tersebut lebih dominan. Pertumbuhan penduduk akan disertai oleh peningkatan kebutuhan ruang baik untuk keperluan tempat tinggal maupun untuk areal usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Persaingan pemanfaatan ruang mendorong terjadinya perubahan pemanfaatan ruang dari suatu pemanfaatan ke pemanfaatan lain. Guna memenuhi kebutuhan hidupnya, orang akan mencari pencaharian sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang ada, misalnya orang di perdesaan berusaha di bidang pertanian dan masyarakat perkotaan di bidang non-pertanian. Kecamatan-kecamatan yang tingkat penyusutan luas tutupan di kawasan hutan lindung sebagaimana disebutkan di atas, merupakan kecamatan-kecamatan yang umumnya berupa perdesaan, yang mempunyai jarak ke pusat pelayanan relatif jauh. Manakala pertumbuhan penduduk di kecamatan-kecamatan tersebut relatif tinggi, maka kebutuhan akan lahan pertanian meningkat sebagai upaya pemenuhan kebutuhannya. Sementara lahan pertanian yang tersedia sudah
56
terbatas, pada akhirnya mendorong orang untuk mencari lahan baru dengan membuka areal hutan untuk dijadikan areal pertanian, sehingga pada kecamatankecamatan tersebut terjadi penyusutan luas tutupan pada kawasan hutan lindung, sedangkan pertanian lahan kering mengalami peningkatan. Kecamatan-kecamatan yang peningkatan luas ruang permukimannya relatif tinggi seperti Kecamatan Jatinangor, Sumedang Utara, Cimanggung dan Tanjungsari merupakan kecamatan yang mempunyai laju pertumbuhan penduduk di atas rata-rata pertumbuhan penduduk Kabupaten Sumedang dan mempunyai kepadatan penduduk relatif tinggi jauh di atas rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten
Sumedang.
Kecamatan-kecamatan
tersebut
juga
mengalami
penyusutan luas pertanian lahan basah. Disamping terjadi penyusutan pertanian lahan basah, di kecamatan-kecamatan tersebut pertanian lahan keringpun mengalami penyusutan, berbeda dengan kecamatan-kecamatan lain yang umumnya mengalami peningkatan. Kecamatan-kecamatan tersebut di atas merupakan kecamatan perkotaan. Sumedang Utara merupakan pusat perdagangan dan pemerintahan, sementara Kecamatan Jatinangor dan Tanjungsari merupakan Kecamatan yang berbatasan dengan Bandung, sehingga menjadi kawasan penyangga Bandung. Di samping itu, Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung merupakan Kecamatan tempat berdirinya kawasan industri Kabupaten Sumedang, dan kawasan pendidikan di Kecamatan Jatinangor. Berbeda dengan kecamatan lain yang umumnya pertumbuhan penduduknya merupakan pertumbuhan alami yang dipengaruhi oleh kelahiran dan kematian, pada kecamatan ini, selain faktor kelahiran dan kematian, pertumbuhan penduduk yang dominan disebabkan oleh faktor migrasi, dengan berdatangannya pendatang dari luar kecamatan, sehingga pertumbuhan penduduk akan serta merta diikuti oleh kebutuhan lahan untuk tempat tinggal, maka pertumbuhan penduduk mendorong terjadinya peningkatan luas permukiman. Sebagai masyarakat perkotaan, umumnya mata pencaharian adalah nonpertanian. Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Jatinangor, Sumedang Utara, Tanjungsari dan Cimanggung, tidak serta merta meningkatkan areal pertanian sebagaimana kecamatan lain yang telah disebutkan di atas, bahkan lahan pertanian yang ada tergeser menjadi penggunaan lain, karena di wilayah perkotaan lahan
57
non-pertanian lebih menguntungkan (mempunyai nilai land rent yang lebih tinggi) dibanding lahan pertanian. Dengan kondisi tersebut, selain meningkatkan luas permukiman,
pertumbuhan
penduduk
di
kecamatan-kecamatan
tersebut
(kecamatan perkotaan) juga menyebabkan penurunan luas areal pertanian baik pertanian lahan kering maupun lahan basah. Luas areal industri di Kecamatan Cimanggung dan Jatinangor mengalami peningkatan.
Gambar 6. Perubahan Penutupan/ Penggunaan Lahan menjadi Pemukiman di Lereng Gunung Geulis Kecamatan Tanjungsari Untuk kegiatan budidaya non-pertanian, hampir semua jenis pemanfaatan ruang mengalami peningkatan. Peningkatan terbesar terjadi pada pemukiman yang bertambah seluas 1.724 hektar (1,13%). Peningkatan luas pemukiman ini mengakibatkan penurunan luas lahan pertanian lahan basah, dan terjadi karena pertumbuhan penduduk. Peningkatan lahan pemukiman banyak terjadi di wilayah Kabupaten Sumedang bagian barat yakni daerah Kecamatan Jatinangor, Cimanggung dan Tanjungsari, yang merupakan daerah industri, kawasan pendidikan dan penyangga Bandung. Selain itu, luas pemukiman juga meningkat di Kecamatan Sumedang Utara yang merupakan pusat pelayanan jasa dan perdagangan, serta Kecamatan Sumedang Selatan sebagai pusat pemerintahan dan Kecamatan Cimalaka yang mempunyai akses yang tinggi ke pusat pemerintahan dan pusat jasa perdagangan.
58
Disamping permukiman, industri dan pertambangan galian-C juga mengalami peningkatan masing-masing seluas 215 hektar (0,14%) dan 317 hektar (0,20%). Pertambangan galian-C banyak ditemukan di Kecamatan Cimalaka, Paseh dan Conggeang di kaki gunung Tampomas yang terus dieksplorasi sejak tahun 2000 hingga saat ini.
Gambar 7. Pertambangan Galian C di Lereng Gunung Tampomas Identifikasi Pusat-pusat Perubahan Pemanfaatan Ruang Penentuan
pusat-pusat
perubahan
pemanfaatan
ruang
dilakukan
berdasarkan kepada nilai LQ > 1, Hasil perhitungan LQ disajikan pada Tabel 12. Selain menunjukkan pusat-pusat perubahan pemanfaatan ruang, dengan mengelompokkan
kecamatan-kecamatan
yang
menjadi
pusat
perubahan
penutupan/penggunaan lahan, Tabel 12 juga memperlihatkan keterkaitan antar perubahan suatu pemanfaatan ruang dengan pemanfaatan ruang lainnya. Hasil analisis spasial dan perhitungan indeks LQ, menunjukkan bahwa terjadi pemusatan perubahan pemanfaatan ruang di beberapa kecamatan. Pusat penurunan luas tutupan pada kawasan hutan lindung, terjadi hampir di seluruh kecamatan di
Kabupaten Sumedang kecuali Kecamatan Cimalaka, Paseh
59
Tanjungsari, Cimanggung, Jatinangor, Sumedang Utara, Ganeas, Cisarua, Tanjungkerta. Kecamatan-kecamatan tersebut merupakan kecamatan yang terletak di wilayah Sumedang Kota (sekitar pusat pemerintahan) dan wilayah barat Kabupaten Sumedang, yang umumnya mempunyai luas hutan lindung rendah. Kecamatan di wilayah Sumedang Kota yang mempunyai hutan lindung relatif luas hanya Kecamatan Sumedang Selatan, sementara kecamatan di wilayah barat yang menjadi pusat penyusutan hutan lindung adalah Kecamatan Sukasari dan Pamulihan. Penurunan luas tutupan hutan lindung, umumnya sejalan dengan peningkatan luas pertanian lahan kering. Kecuali Kecamatan Tomo, Sumedang Selatan dan Pamulihan, kecamatan yang menjadi pusat penurunan luas tutupan hutan lindung merupakan pusat peningkatan pertanian lahan kering. Kecamatankecamatan pusat peningkatan areal pertanian lahan kering adalah Kecamatan Jatigede, Cibugel, Jatinunggal, Surian, Wado, Buahdua, Tanjungmedar, Rancakalong, Situraja, Sukasari, Conggeang, Ujungjaya, Cisitu dan Darmaraja. Kecamatan-kecamatan yang menjadi pusat penurunan tutupan di kawasan hutan lindung dan peningkatan pertanian lahan kering, merupakan kecamatan yang lokasinya relatif jauh dengan pusat pemerintahan dan dengan pusat perdagangan dan jasa kecuali Kecamatan Sumedang Selatan. Walaupun berada di pusat pemerintahan kabupaten, namun wilayah Kecamatan Sumedang Selatan pada umumnya berupa wilayah perdesaan, dan memiliki areal hutan lindung yang luas. Banyak desa yang relatif rendah aksesibilitasnya dibanding desa-desa di kecamatan kota seperti Kecamatan Sumedang Utara. Pusat peningkatan luas permukiman adalah Kecamatan Jatinangor, Sumedang Utara, Sumedang Selatan, Cimanggung, Tanjungsari, Ganeas, Cisarua, Cimalaka, Pamulihan Tanjungkerta dan Paseh. Kecamatan-kecamatan tersebut umunya adalah kecamatan yang terletak di wilayah kota atau yang mempunyai aksesibilitas yang tinggi ke pusat pemerintahan seperti Kecamatan Sumedang Utara, Sumedang Selatan, Cimalaka, Ganeas dan Cisarua. Selain kecamatan di wilayah kota, pusat peningkatan pemukiman terjadi di kecamatan wilayah barat, yang merupakan kecamatan yang mempunyai jarak ke pusat propinsi relatif dekat yakni Kecamatan Jatinangor, Cimanggung, Tanjungsari, Sukasari dan Pamuliha,
60
Selain itu, di wilayah barat juga berdiri kawasan industri tepatnya di Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung serta kawasan pendidikan di Kecamatan Jatinangor. Tabel 12. Hasil Perhitungan LQ NO
H. Ldg
PLK
PLB
Pmkm
Idtr
Gal-C
1 Buahdua
1,21
1,27
0,44
0,26
0,00
0,86
2 Cibugel
1,29
1,35
0,03
0,25
0,00
0,00
3 Cimalaka
0,93
0,08*)
1,59
2,30
0,00
5,45
4 Cimanggung
0,58
0,44*)
1,74
1,79
12,04
0,00
0,00
0,46*)
4,73
3,30
0,00
0,00
6 Cisitu
1,16
1,31
0,74
0,33
0,00
0,00
7 Conggeang
1,28
1,25
0,08
0,29
0,00
0,95
8 Darmaraja
1,28
1,16
0,10
0,67
0,00
0,00
9 Ganeas
0,00
0,22*)
5,90
3,30
0,00
0,00
10 Jatigede
1,28
1,36
0,10
0,21
0,00
0,00
11 Jatinangor
0,03
0,90*)
2,50
1,99
10,51
0,00
12 Jatinunggal
1,28
1,38
0,08
0,17
0,00
0,00
13 Pamulihan
1,02
0,57
1,46
2,01
0,00
0,00
14 Paseh
0,06
0,81*)
2,77
1,81
0,00
8,11
15 Rancakalong
1,30
1,25
0,00
0,46
0,00
0,00
16 Situraja
1,21
1,19
0,46
0,61
0,00
0,00
17 Sukasari
1,29
1,01
0,03
1,02
0,00
0,00
18 Sumedang Selatan
1,04
0,82
1,34
1,45
0,00
0,00
19 Sumedang Utara
0,00
0,60*)
4,06
3,30
0,00
0,00
20 Surian
1,29
1,40
0,03
0,13
0,00
0,00
21 Tanjungkerta
0,06
0,99
6,62
1,05
0,00
0,00
22 Tanjungmedar
1,24
1,29
0,30
0,38
0,00
0,00
23 Tanjungsari
0,45
0,36*)
2,78
2,72
0,00
3,13
24 Tomo
1,14
0,83
0,86
0,38
0,00
5,67
25 Ujung Jaya
1,13
1,06
0,90
0,78
0,00
0,61
26 Wado
1,29
1,30
0,03
0,35
0,00
0,00
5
Kecamatan
Cisarua
(-) Keterangan : H Ldg : PLB : Idtr : (-) : (+)
Hutan Lindung Pertanian Lahan Basah Industri Penyusutan
(+)
(-)
PLK : Pmk : Gal-C :
(+)
(+)
Pertanian Lahan Kering Pemukiman Pertambangan Galian C
: Peningkatan kecuali yang bertanda *) berdasarkan Tabel 10
(+)
61
Kecamatan-kecamatan
yang
merupakan
pusat
peningkatan
areal
permukiman umumnya juga merupakan pusat atau basis penyusutan areal pertanian lahan basah. Kecuali Kecamatan Sukasari, kecamatan yang menjadi pusat peningkatan permukiman adalah juga merupakan pusat penyusutan luas pertanian lahan basah. Letak kecamatan-kecamatan tersebut yang memiliki akses ke pusat pemerintahan dan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi mendorong terjadinya konversi lahan-lahan pertanian lahan basah, sehingga kecamatankecamatan tersebut menjadi pusat perubahan pertanian lahan basah. Disamping terkait dengan pertanian lahan basah, pusat peningkatan permukiman juga berhubungan dengan penyusutan pertanian lahan kering. Pusat peningkatan luas kawasan industri terjadi di Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung, yang merupakan kecamatan lokasi kawasan industri Kabupaten Sumedang. Peningkatan luas industri terkait dengan penurunan luas pertanian lahan kering dan pertanian lahan basah, dan diikuti dengan peningkatan luas pemukiman. Sedangkan pusat peningkatan lahan pertambangan Galian C adalah Kecamatan Tomo, Tanjungsari, Cimalaka, Paseh, Conggeang dan Buahdua. Lokasi pusat-pusat perubahan pemanfaatan ruang banyak terjadi di wilayah kecamatan, yang merupakan pusat-pusat jasa perdagangan dan kawasan pendidikan dan industri, atau yang berdekatan dengan pusat-pusat pertumbuhan misal kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan atau yang mempunyai jarak lebih dekat dengan ibukota Propinsi. Selain berbatasan dengan Kabupaten Bandung, Kecamatan Jatinangor juga merupakan kawasan Pendidikan di mana terdapat empat Perguruan Tinggi (Unpad, IPDN, Unwim dan Ikopin). Selain itu, di Jatinangor bagian selatan juga merupakan kawasan industri. Kondisi demikian mendorong pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk di Jatinangor relatif cepat sehingga menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan menjadi pemukiman. Hasil analisis LQ menunjukan kalau Jatinangor menjadi pusat peningkatan luas pemukiman. Peningkatan luas pemukiman di Kecamatan Jatinangor berkaitan dengan penurunan luas pertanian lahan basah dan pertanian lahan kering.
62
Demikian halnya dengan Kecamatan Cimanggung yang merupakan kawasan industri Kabupaten Sumedang. Kecamatan ini juga berbatasan dengan Kecamatan Rancaekek dan Cicalengka Kabupaten Bandung yang juga merupakan kawasan industri di Kabupaten Bandung. Sebagai kawasan industri, Kecamatan Cimanggung mempunyai tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif cepat, sehingga
mendorong
terjadinya
perubahan
penggunaan
lahan
menjadi
pemukiman/ruang terbangun. Berdasarkan hasil analisis LQ Kecamatan Cimanggung merupakan pusat peningkatan luas pemukiman, yang juga merupakan pusat penurunan luas pertanian lahan basah. Kecamatan Tanjungsari yang berbatasan dengan Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung dipengaruhi kedua kecamatan tersebut. Di samping itu posisi Kecamatan Tanjungsari yang berada pada jalur antara Jatinangor dan Sumedang kota menjadikannya sebagi Kecamatan yang memiliki lokasi yang strategis untuk bermukim karena kemudahan akses menuju Sumedang kota dan menuju Jatinangor atau Bandung. Hal ini menjadikan kondisi ideal bagi cepatnya pertumbuhan penduduk, sehingga Kecamatan Tanjungsari termasuk kecamatan pusat perubahan penggunaan lahan menjadi pemukiman. Kecamatan ini juga merupakan pusat penurunan luas pertanian lahan basah. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sumedang Wilayah Kabupaten Sumedang yang memiliki total luas 152.220 hektar, telah diarahkan pemanfaatannya dalam RTRW 2002-2012. Rencana pemanfaatan ruang Kabupaten Sumedang menurut RTRW 2002-2012 disajikan pada Tabel 13. Menurut Tabel 13, rencana pemanfaatan ruang di Kabupaten Sumedang berdasarakan RTRW 2002-2012 meliputi : kawasan lindung 39.329,04 hektar atau sekitar 25,84 % dan kawasan budidaya 112.891 hektar atau sekitar 74,16%. Kawasan lindung terdiri dari hutan lindung/konservasi 23.025 hektar (15,13%) dan sempadan sungai 16.304 hektar (10,71%). Kawasan budidya meliputi budidaya pertanian 96.886 hektar (63,65%) terdiri dari pertanian lahan kering 62.711 hektar (41,20%) dan pertanian lahan basah 34.175 hektar (22,45%), serta budidaya non-pertanian seluas 16.005 hektar (10,51%) yang terdiri dari pemukiman 13.889 hektar (7,02%), kawasan industri 991 hektar (0,31%) dan pertambangan galian-C 1.125 hektar (0,25%).
63
Tabel 13. Rencana Pemanfaatan Ruang menurut RTRW 2002-2012 No 1
2
Pemanfaatan Ruang
RTRW 2002-2012 (ha)
Kawasan Lindung
39.329
25,84
Hutan Lindung/Konservasi
23.025
15,13
Sempadan Sungai
16.304
10,71
112.891
74,16
96.886
63,65
Pertanian Lahan Kering
62.711
41,20
Pertanian Lahan Basah
34.175
22,45
16.005
10,51
13.889
7,02
991
0,31
1.125
0,25
152.220
100
Kawasan Budidaya a
b
(%)
Budidaya Pertanian
Non Pertanian Pemukiman Industri Galian C
Terdapat perbedaan pemanfaatan ruang berdasarkan peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan RTRW. Berdasarkan peta TGHK, luas hutan di Kabupaten Sumedang sekitar 43.815 hektar yang meliputi kawasan lindung seluas 14.217 hektar, terdiri dari hutan lindung seluas 4.840 hektar dan suaka alam 9.377 hektar, serta hutan produksi seluas 29.599 hektar terdiri dari hutan produksi 24.545 hektar dan hutan produksi terbatas 5.054 hektar. Sementara menurut RTRW luas hutan lindung adalah 23.025 hektar. Perbandingan kawasan hutan menurut TGHK dan RTRW disajikan pada Tabel 14. Peta RTRW 2002-2012 disajikan pada Gambar 8. dan peta TGHK disajikan pada Gambar 9. Berdasarkan hasil tumpang tindih peta TGHK dengan peta RTRW, dari sekitar 14.217 hektar pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung (hutan lindung dan suaka alam) yang ditetapkan dalam TGHK, terdapat sekitar 4.884 hektar diperuntukkan untuk kegiatan budidaya dalam RTRW. Sebaliknya, dari 23.025 hektar yang diperuntukkan untuk areal hutan lindung berdasar RTRW, ternyata sekitar 18.702 hektar terletak di luar kawasan lindung yang ditetapkan dalam peta TGHK, yakni sekitar 10.904 hektar pada penggunaan lain, 7.187 hektar pada hutan produksi dan 611 hektar pada hutan produksi terbatas.
64
Gambar 8. Peta Rencana Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang 64
65
65
Gambar 9. Peta TGHK Kabupaten Sumedang
66
Tabel 14. Perbandingan Kawasan Hutan Menurut TGHK dan RTRW RTRW
Hutan Lindung
TGHK
Penggunaan Lain Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi Terbatas Hutan Suaka Alam Total
Sempadan Sungai
Pertanian Lahan Kering
Pertanian Lahan Basah
Permukiman
Indus tri
Galian C
50.169
29.736
13.218
991
686
108.405
Total
10.904
2.700
890
1.457
1,881
497
58
-
56
4.840
7.187
8.110
5.017
3.521
331
-
379
24.545
611
484
3.763
183
9
-
3
5.054
3.433
3.552
1.881
237
273
-
-
9.377
23.025
13.304
62.711
34.175
13.889
991
1.125
152.220
Analisis Penyimpangan RTRW Kabupaten Sumedang Perubahan pemanfaatan ruang yang disebabkan oleh berbagai sebab akan berimplikasi terhadap penyimpangan pelaksanaan RTRW yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan terhadap RTRW dilakukan analisis
penyimpangan
pemanfaatan
ruang
terhadap
RTRW,
dengan
membandingkan peta rencana RTRW 2002-2012 dengan kondisi pemanfaatan ruang tahun 2006 di wilayah Kabupaten Sumedang. Perbandingan pemanfaatan ruang antara RTRW dengan kondisi tahun 2006, disajikan pada Tabel 15. Dari Tabel 15 terlihat bahwa pada tahun 2006 kawasan lindung khususnya hutan lindung telah mengalami penurunan dibanding dengan RTRW 2002-2012. Luas tutupan hutan lindung pada tahun 2006, jauh
lebih rendah
dibanding luas hutan lindung yang direncanakan pada akhir tahun rencana (tahun 2012). Secara keseluruhan, sampai tahun 2006 luas kawasan lindung yang masih konsisten terhadap RTRW 2002-2012 seluas 36.904 hektar dari 39.329 hektar yang direncanakan atau sekitar 94%, artinya sekitar 6% sudah menunjukan penyimpangan. Khusus untuk hutan lindung, yang masih konsisten seluas 20.600 hektar dari 23.025 hektar yang direncanakan atau sekitar 89%, sedangkan sekitar 11% menyimpang terhadap RTRW. Kondisi ini menunjukan bahwa luas hutan lindung sudah tidak sesuai dengan RTRW, sebab menurut dokumen RTRW Kabupaten Sumedang, salah satu strategi penetapan kawasan lindung adalah
67
mempertahankan/menambah kawasan lindung
yang terdapat di wilayah
Kabupaten Sumedang, sedangkan kenyataan menunjukan bahwa telah terjadi penyusutan luas tutupan hutan lindung. Pemerintah harus memberikan perhatian lebih terhadap pelestarian hutan lindung, dengan mencegah terjadinya perubahan hutan lindung menjadi penggunaan lain. Lebih dari itu, harus dilakukan upaya untuk menghutankan kembali daerah-daerah yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung, tetapi telah berubah menjadi pemanfaatan lain. Tabel 15. Pemanfaatan Ruang berdasar RTRW dan Kondisi Tahun 2006 No 1
2
RTRW 2002-2012 (ha) (%)
(ha)
39.329
25,84
Hutan Lindung/Konservasi
23.025
Sempadan Sungai
Pemanfaatan Ruang
2006
Perubahan (ha)
(%)
36.904 24,24
-2.425
-1,59
15,13
20.600 13,53
-2.425
-1,59
16.304
10,71
16.304 10,71
0
0
112.891
74,16
115.316 75,76
2.425
1,59
Budidaya Pertanian
96.886
63,65
101.539 66,71
4.653
3,06
Pertanian Lahan Kering
62.711
41,20
67.501 44,34
4.790
3,15
Pertanian Lahan Basah
34.175
22,45
34.038 22,36
-137
-0,09
b Non Pertanian
16.005
10,51
13.777
9,05
-2.228
-1,46
Pemukiman
13.889
7,02
12.407
8,15
-1.482
-0,97
991
0,31
683
0,45
-308
-0,20
1.125
0,25
687
0,45
-438
-0,29
152.220
100
152.220
100
0
0
Kawasan Lindung
Kawasan Budidaya a
Industri Galian C
(%)
Penururunan luas tutupan pada kawasan lindung, disebabkan peningkatan luas kawasan budidaya. Secara keseluruhan kawasan budidaya mengalami peningkatan sekitar 2.425 hektar (1,59%). Peningkatan kawasan budidaya terjadi karena peningkatan kawasan budidaya pertanian sekitar 4.653 hektar (3,06%). Peningkatan budidaya pertanian terjadi karena peningkatan luas pertanian lahan kering sekitar 4.790 hektar (3,15%). Luas pertanian lahan kering pada tahun 2006
68
sudah di atas rencana luas pertanian lahan kering pada akhir tahun rencana yakni tahun 2012, yang berarti menunjukkan bahwa sebagian besar tutupan hutan lindung berubah menjadi pertanian lahan kering. Tingginya penyimpangan pemanfaatan ruang untuk hutan lindung pada tahun 2006 terhadap RTRW, disebabkan juga oleh ketidaksesuaian RTRW dengan TGHK. Sementara pertanian lahan basah mengalami penyusutan dibanding rencana sekitar 137 hektar (0,09%). Sebagaimana luas hutan lindung, pada tahun 2006 luas pertanian lahan basah sudah di bawah luas pertanian lahan basah pada akhir tahun rencana. Upaya pencegahan terjadinya konversi lahan harus dilakukan. Jika terpaksa harus melakukan perubahan pertanian lahan basah menjadi penggunaan lain, maka harus diganti dengan pencetakan pertanian lahan basah di tempat lain. Pemanfaatan ruang untuk budidaya non-pertanian sampai tahun 2006 luasannya masih di bawah luasan yang dialokasikan dalam RTRW. Namun walaupun demikian, mengingat peningkatan luasan terjadi setiap tahun, dikhawatirkan pada akhir tahun rencana luas kawasan budidaya akan melampaui luas yang direncanakan, sehingga perlu dihindari peningkatan pemanfaatan ruang untuk budidaya yang melampaui RTRW pada akhir tahun rencana. Untuk itu perlu diketahui seberapa besar tingkat perubahan per tahunnya. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang Per Tahun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang berlaku 10 tahun, yakni dari tahun 2002 sampai 2012. Dengan membandingkan pemanfatan ruang pada awal tahun rencana, yakni pemanfaatan ruang pada tahun 2002 dengan rencana pemanfaatan ruang pada akhir tahun rencana, yakni tahun 2012, dapat diketahui besarnya rencana (alokasi) tingkat perubahan pemanfaatan ruang (luas maksimal perubahan pemanfaatan ruang) Kabupaten Sumedang setiap tahunnya. Perubahan pemanfaatan ruang dari awal tahun rencana sampai akhir tahun rencana dijadikan acuan untuk mengklasifikasikan tingkat perubahan pemanfaatan ruang per tahun. Dengan demikian bisa diketahui sejauh mana kesesuaian perubahan pemanfaatan ruang selama kurun waktu 2002 -2006 dengan perubahan pemanfaatan ruang yang direncanakan. Rencana perubahan pemanfaatan ruang menurut RTRW disajikan pada Tabel 16.
69
Dari Tabel 16 diketahui perubahan pemanfaatan ruang per tahun yang dialokasikan atau direncanakan dalam RTRW. Pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung dialokasikan menyusut setiap tahun maksimal 196 hektar (0,13%/th), sedangkan kawasan budidaya meningkat dengan nilai yang sama dengan penyusutan kawasan lindung. Peningkatan luas kawasan budidaya, dialokasikan dari peningkatan budidaya non pertanian seluas maksimal 448 hektar per tahun (0,30%/th), sementara budidaya pertanian baik pertanian lahan kering maupun lahan basah direncanakan menurun seluas 252 hektar setiap tahun (0,17%/th). Tabel 16. Rencana Perubahan Pemanfaatan Ruang menurut RTRW Pemanfaatan Ruang No
1
2
Jenis Pemanfaatan Ruang
Kawasan Lindung
b
RTRW 2002-2012
Perubahan
(ha)
(%)
(ha)
(%)
(ha)
(%)
(ha/th)
(%/th)
41.293
27,13
39.329
25,84
-1.964
-1,29
-196
-0,13
Hutan Lindung/Konservasi
24.989
16,42
23.025
15,13
-1.964
-1,29
-196
-0,13
Sempadan Sungai
16.304
10,71
16.304
10,71
0
0,00
0
0,00
110.927
72,87
112.891
74,16
1.964
1,29
196
0,13
Kawasan Budidaya a
2002
Perubahan per Tahun
Budidaya Pertanian
99.406
65,30
96.886
63,65
-2.520
-1,66
-252
-0,17
Pertanian Lahan Kering
64.549
42,41
62.711
41,20
-1.838
-1,21
-184
-0,12
Pertanian Lahan Basah
34.857
22,90
34.175
22,45
-682
-0,45
-68
-0,04
11.521
7,57
16.005
10,51
4.484
2,95
448
0,30
10.683
7,02
13.889
9,12
3.206
2,11
321
0,21
Industri
468
0,31
991
0,65
523
0,34
52
0,03
Galian C
370
0,25
1.125
0,74
755
0,49
76
0,05
152.220
100
152.220
100
0
0
0
0
Non Pertanian Pemukiman
Selanjutnya dibuat klasifikasi perubahan pemanfaatan ruang per tahun. Perubahan pemanfaatan ruang diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yakni rendah (R), sedang (S) dan tinggi (T). Luas dan persentase perubahan pemanfaatan ruang per tahun dihitung dengan merasiokan luas pemanfaatan ruang tahun 2002 dengan luas pemanfaatan ruang pada akhir tahun rencana RTRW 2002-2012. Nilai ini merupakan luasan tertinggi suatu perubahan masih ditoleransi, dan dijadikan sebagai acuan penetapan selang klasifikasi.. Bila nilai peningkatan luas suatu pemanfaatan ruang per tahun lebih dari nilai ini atau penyusutan luas suatu pemanfatan ruang per tahun kurang dari nilai ini, maka peningkatan atau penyusutan per tahun pemanfaatan ruang tersebut termasuk kelas tinggi (T).
70
Nilai di atas juga menjadi acuan untuk penentuan kelas lainnya, dengan membagi nilai tersebut dengan 3. Bila perubahan pemanfatan ruang per tahun kurang dari 1/3 nilai, maka luas perubahan pemanfaatan ruang per tahun tadi termasuk kelas rendah (R). Dengan kata lain, bila luas peningkatan/penyusutan pemanfaatan ruang per tahun < 1/3 nilai atau >(-1/3 nilai) maka peningkatan atau penurunan luas per tahun pemanfaatan ruang tersebut termasuk kelas rendah (R). Sementara, kelas sedang merupakan selang antara rendah dan tinggi, atau selang antara R sampai dengan T. Klasifikasi perubahan pemanfaatan ruang disajikan pada pada Tabel 17. Tabel 17. Klasifikasi Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang Kelas Tingkat Pemanfaatan Ruang No
1
Jenis Pemanfaatan Ruang
(ha/th)
(%/th)
(ha/th)
(%/th)
< (-196)
< (-0,13)
(-196) - (-65)
(-0,13) - (-0,04)
> (-65)
> (-0,04)
< (-196)
< (-0,13)
(-196) - (-65)
(-0,13) - (-0,04)
> (-65)
> (-0,04)
-
-
-
-
-
-
> 196
> 0,13
65 - 196
0,04 - 0,13
< 65
< 0,04
< (-252)
< (-0,17)
(-252) - (-84)
(-0,17) - (-0,06)
> (-84)
> (-0,06)
Pertanian Lahan Kering
< (-184)
< (-0,12)
(-184) - (-61)
(-0,12) - (-0,04)
> (-84)
> (-0,06)
Pertanian Lahan Basah
< (-68)
< (-0,04)
(-68) - (-23)
(-0,04) - (-0,02)
> (-23)
> (-0,02)
> 448
> 0,30
149 -448
0,10- 0,30
<149
< 0,10
Pemukiman
> 320
> 0,21
107 - 320
0,07 - 0,21
< 107
< 0,07
Industri
> 52
> 0,03
17 - 52
0,01 - 0,03
<17
< 0,01
Galian C
> 75
> 0,05
25 - 75
0,02 - 0,05
< 25
< 0,02
Sempadan Sungai Kawasan Budidaya
b
Rendah
(%/th)
Kawasan Lindung
a
Sedang
(ha/Th)
Hutan Lindung
2
Tinggi
Budidaya Pertanian
Non Pertanian
Klasifikasi tingkat perubahan pemanfaatan ruang digunakan
untuk
menentukan sejauh mana tingkat perubahan pemanfaatan ruang per tahun selama kurun waktu antara tahun 2002 sampai 2006. Perubahan pemanfaatan ruang per tahun antara tahun 2002-2006 disajikan pada Tabel 18. Berdasarkan Tabel 18, tutupan kawasan lindung berupa hutan lindung/konservasi mengalami penurunan luas rata-rata sekitar 1.097 hektar setiap tahunnya atau turun 0,72 %/tahun. Penurunan luas tutupan kawasan lindung ini
71
mempunyai tingkat perubahan pemanfaatan ruang sangat tinggi karena sudah melampaui rencana alokasi perubahan pemanfaatan ruang yakni berubah maksimal 197 hektar setiap tahun (0,13%/tahun). Luas tutupan kawasan lindung tahun 2006 berada di bawah alokasi rencana pada RTRW 2012. Luas tutupan hutan lindung sudah tidak ada toleransi lagi untuk diturunkan. Perlu kebijakan pemerintah untuk menekan terjadinya penurunan luas tutupan hutan lindung. Bahkan lebih dari itu, perlu dilakukan upaya untuk menambah luas tutupan hutan lindung, dengan menghutankan kembali areal yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung tapi telah berubah menjadi pemanfaatan lain, agar pada akhir tahun rencana luas tutupan hutan lindung tidak terlalu menyimpang dari luas tutupan hutan lindung yang ditetapkan dalam RTRW. Tabel 18. Tingkat Perubahan Pemanfatan Ruang Per Tahun Jenis Pemanfaatan Ruang
No
1
2
Pemanfaatan Ruang 2002
2006
(ha)
(%)
(ha)
41.293
27,13
36.904
Hutan Lindung/Konservasi
24.989
16,42
Sempadan Sungai
16.304
Kawasan Budidaya
(%)
(ha/Th)
(%/Th)
24,24
-4.389
-2,88
-1.097
-0,72
20.600
13,53
-4389
-2,88
-1.097
-0,72
10,71
16.304
10,71
0
0
0
0,00
110.927
72,87
115.316
75,76
4389
2,88
1.097
0,72
99.406
65,30
101.539
66,71
2132,9
1,4
533
0,35
P. Lahan Kering
64.549
42,41
67.501
44,34
2952
1,94
738
0,49
P. Lahan Basah
34.857
22,90
34.038
22,36
-819
-0,54
-205
-0,14
b
11.521
7,57
13.777
9,05
2256
1,48
564
0,37
10.683
7,02
12.407
8,15
1724
1,13
431
0,28
Industri
468
0,31
683
0,45
215
0,14
54
0,04
Galian C
370
0,25
687
0,45
317
0,2
79
0,05
152.220
100
152.220
100
0
0
0
0
Budidaya Pertanian
Non -Pertanian Pemukiman
(%)
Per Tahun
(ha)
Kawasan Lindung
a
Perubahan Perubahan
Penurunan luas tutupan hutan lindung berimplikasi terhadap peningkatan pemanfaatan ruang kawasan budidaya. Secara keseluruhan, pada tahun 2006 luas pemanfaatan ruang untuk kawasan budidaya meningkat dengan luasan yang sama dengan penurunan kawasan lindung, yakni meningkat seluas 1.097 hektar setiap tahun (0,72%/tahun). Peningkatan luas kawasan budidaya ini telah melampaui
72
rencana peningkatan kawasan budidaya yakni maksimal meningkat 197 hektar (0,13%) per tahun. Peningkatan luas kawasan budidaya terjadi karena peningkatan luas kawasan budidaya pertanian dan non- pertanian yang meningkat hampir sama masing-masing 533 hektar (0,35%) setiap tahun untuk budidaya pertanian, sementara budidaya non-pertanian meningkat 564 hektar (0,37%) setiap tahun. Peningkatan luas budidaya pertanian sebenarnya berbeda dengan rencana perubahan yang direncanakan dalam RTRW. Berdasarkan klasifikasi perubahan pemanfaatan ruang, budidaya pertanian direncanakan akan mengalami penurunan sekitar 252 hektar (0,17%) setiap tahunnya. Hal ini menunjukan bahwa dari sisi upaya mempertahankan kawasan pertanian, perubahan pemanfaatan ruang di Kabupaten Sumedang masih dalam batas-batas toleransi, tapi di sisi lain juga menunjukan bahwa terjadi perubahan pemanfaatan ruang dari kawasan lindung menjadi areal pertanian. Tapi selama dalam budidaya pertanian, penanaman tanaman keras/tanaman tahunan masih dominan, maka pengaruh dari penyusutan hutan lindung relatif masih bisa diatasi, dibanding bila hutan lindung banyak berubah menjadi budidaya non pertanian seperti ruang terbangun. Peningkatan luas budidaya pertanian terjadi pada pertanian lahan kering yang meningkat 533 hektar (0,49%) setiap tahunnya. Pertanian lahan kering mengalami peningkatan lebih luas dibanding buidaya non pertanian. Hal ini menunjukan bahwa penyusutan luas hutan lindung sebagian besar menjadi pertanian lahan keriang. Sementara itu pertanian lahan basah mengalami penyusutan 205 hektar (0,14%) setiap tahun. Penyusutan pertanian lahan basah setiap tahunnya sudah berada pada level tinggi, karena penyusutannya jauh di atas alokasi rencana peyusutan yakni 68 ha/th (0,04%/th). Berdasarkan fakta ini, konversi pertanian lahan basah menjadi penanfaatan lain sudah tidak bisa dilakukan lagi. Perlu kebijakan atau peraturan daerah dan upaya penegakan dari peraturan tersebut, yang melarang terjadinya perubahan pemanfaatan ruang dari pertanian lahan basah ke penggunaan lain. Seandainya terpaksa harus merubah areal pertanian lahan basah ke penggunaan lain, pemerintah harus menggantinya dengan membuat sawah (pertanian lahan basah) baru dari pemanfaatan lain, namun perlu diingat agar pembuatan areal pertanian lahan basah yang baru tidak memanfaatkan kawasan yang merupakan kawasan lindung.
73
Budidaya non-pertanian mengalami peningkatan luas pada semua jenis pemanfaatan ruang untuk budidaya non pertanian. Pemanfaatan ruang untuk pemukiman
memberikan kontribusi terbesar pada peningkatan pemanfaatan
ruang untuk budidaya non-pertanian. Pemukiman mengalami peningkatan seluas 431 hektar setiap tahunnya atau sekitar 0,28%/tahun. Angka ini menunjukan tingkat perubahan yang tinggi karena berada di atas alokasi rencana peningkatan pemanfaatan ruang, yakni maksimal 320 hektar per tahun atau 0,21%/th. Sedangkan industri peningkatannya sedikit di atas alokasi rencana yakni 54 hektar setiap tahunnya (0,04%/th), sedangkan alokasi rencana perubahan adalah 52 hektar per tahun (0,0%/th). Pertambangan galian-C peningkatannya sudah pada batas maksimal dari rencana yakni meningkat 0,05%/tahun. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang setiap Wilayah Pengembangan Disamping mengidentifikasi tingkat perubahan pemanfaatan ruang di tingkat Kabupaten, dilakukan pula identifikasi tingkat perubahan pemanfaatan ruang di masing-masing wilayah pengembangan (WP). Wilayah pengembangan dimaksud meliputi Wilayah Pengembangan Sumedang Kota yang merupakan pusat pemerintahan, terdiri dari Kecamatan Sumedang Utara, Sumedang Selatan, Cimalaka, Ganeas dan Cisarua Wilayah Pengembangan Tanjungsari meliputi Kecamatan Jatinangor, Cimanggung, Tanjungsari, Sukasari, rancakalong dan Pamulihan, merupakan wilayah bagian barat Kabupaten Sumedang yang menjadi penyangga wilayah Bandung. Pada wilayah Tanjungsari ini juga terdapat kawasan industri yakni di Kecamatan Cimanggung dan Jatinangor dan kawasan pendidikan di Kecamatan Jatinangor. Selanjutnya wilayah Timur adalah wilayah Tomo yang meliputi Kecamatan Ujungjaya, Tomo dan Jatigede, yang berbatasan dengan Kabupaten Majalengka. Sementara di bagian utara merupakan wilayah pengembangan Buahdua yang berbatasan dengan Indramayu dan Subang, meliputi Kecamatan Buahdua, Conggeang, Surian, Tanjungkerta dan Tanjungmedar. Bagian Selatan merupakan daerah yang berbatasan dengan Garut adalah wilayah pengembangan Darmaraja, yang meliputi Kecamatan Darmaraja, Cisitu, Situraja, wado, Jatinunggal dan Cibugel.
74
1. Wilayah Pengembangan Sumedang Kota Tingkat perubahan pemanfaatan ruang di wilayah Sumedang Kota disajikan pada Tabel 19. Berdasarkan tabel tersebut, di wilayah pengembangan Sumedang Kota terjadi penurunan luas tutupan lahan hutan lindung seluas 105 hektar atau 0,40% setiap tahunnya. Penurunan ini sudah mencapai kelas tinggi, karena sudah melampaui alokasi rencana perubahan yakni maksimal menurun 0,13 % per tahunnya. Tingginya penurunan tutupan hutan ini terutama terjadi di Kecamatan Cimalaka dan Sumedang Selatan, dua kecamatan yang memiliki hutan lindung yang lebih luas dibanding kecamatan lain. Melihat kondisi ini, perlu pembatasan penurunan luas tutupan hutan lindung di wilayah Sumedang Kota terutama di Kecamatan Sumedang Selatan dan Cimalaka. Pada dua kecamatan ini luas tutupan hutan lindung harus ditingkatkan lagi terutama di sekitar gunung Tampomas dan Kareumbi yang banyak berubah menjadi areal pertanian, karena terdorong kebutuhan masyarakat akan areal pertanian. Tabel 19. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Sumedang Kota
1
2002
2006
Perubahan Perubahan
(ha)
(%)
(ha)
(%)
(ha)
(%)
6.401
24,52
5.981
22,91
-420
3.705
14,19
3.285
12,58
2.696
10,33
2.696
Kawasan Budidaya
19.707
75,48
a
17.132
Kawasan Lindung Hutan Lindung/Konservasi Sempadan Sungai
2
Pemanfaatan Ruang
Jenis Pemanfaatan Ruang
No
Budidaya Pertanian Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Basah
b
Non Pertanian Pemukiman Industri Galian C
Per Tahun (ha/th)
(%/th)
-1,61
-105
-0,40
-420
-1,61
-105
-0,40
10,33
0
0,00
0
0,00
20.127
77,09
420
1,61
105
0,40
65,62
16.740
64,12
-392
-1,50
-98
-0,38
10.959
41,98
10.936
41,89
-23
-0,09
-6
-0,02
6.173
23,64
5.804
22,23
-369
-1,41
-92
-0,35
2.575
9,86
3.387
12,97
812
3,11
203
0,78
2.448
9,38
3.110
11,91
662
2,54
166
0,63
-
-
-
-
0
0,00
0
0,00
127
0,49
277
1,06
150
0,57
38
0,14
26.108
100
26.108
100
0
0
0
0
75
Penurunan luas hutan tutupan lindung diakibatkan oleh peningkatan kawasan budidaya, terutama budidaya non-pertanian. Secara umum Sumedang Kota mengalami peningkatan luas kawasan budidaya seluas 105 hektar atau 0,40% setiap tahunnya. Sejalan dengan penyusutan luas tutupan hutan lindung, peningkatan kawasan budidaya ini tergolong tinggi, karena sudah melampaui alokasi rencana perubahan yakni maksimal menurun 0,13 % per tahunnya. Pemanfaatan ruang untuk budidaya non-pertanian, peningkatan luasnya sudah mencapai kelas tinggi, karena meningkat 203 hektar atau 0,78% per tahunnya sementara alokasi rencana perubahan yang ditoleransi maksimal 0,30% per tahun. Peningkatan luas pemukiman mencapai 166 hektar (0,63 %) per tahunnya, dan peningkatannya sudah melampaui rencana perubahan pemukiman di Kabupaten Sumedang yakni sekitar 0,21% per tahunnya. Berdasar data LQ, seluruh Kecamatan di wilayah pengembangan Sumedang Kota merupakan pusat peningkatan luas pemukiman. Hal ini disebabkan kecamatan-kecamatan di wilayah Sumedang Kota merupakan kecamatan yang mempunyai akses paling dekat/mudah ke pusat pemerintahan, ke pusat pelayanan jasa, perdagangan dan kesehatan. Data kependudukan juga menunjukan bahwa kecamatan-kecamatan di wilayah Sumedang Kota mempunyai tingkat kepadatan penduduk relatif tinggi. Jauh di atas rata-rata kepadatan penduduk Kabupaten Sumedang. Penutupan/penggunaan lahan untuk area pertambangan galian-C di Sumedang Kota juga mengalami peningkatan rata-rata 38 hektar (0,14%) per tahun. Tingkat perubahan per tahun dari luas pertambangan galian-C tergolong pada kelas tinggi, karena telah melampaui luas perubahan per tahun maksimal yakni sekitar 0,05%. Lahan pertambangan galian-C di wilayah Sumedang Kota banyak dijumapai di Kecamatan Cimalaka dan Paseh di sekitar lereng Gunung Tampomas bagian selatan dan timur. Sementara itu, pemanfaatan ruang untuk budidaya pertanian di Sumedang Kota mengalami penurunan 98 hektar atau 0,38% per tahunnya. Tingkat penyusutan luas budidaya pertanian di wilayah Sumedang Kota ini tergolong tinggi, karena berdasarkan rencana penyusutan budidaya pertanian yang masih ditoleransi maksimal 0,17% per tahun. Tingginya kepadatan penduduk di wilayah Sumedang kota mendorong mendorong konversi lahan pertanian ke non-
76
pertanian. Lokasi kecamatan-kecamatan di wilayah Sumedang Kota yang dekat dengan pusat pemerintahan dan pusat pelayanan jasa dan perdagangan turut mempengaruhi penurunan areal budidaya pertanian. Sebagai kecamatan yang berada di wilayah kota juga menyebabkan mata pencaharian penduduk relatif banyak di sektor non-pertanian dibanding wilayah lain, sehingga penggunaan lahan non-pertanian dianggap akan lebih menguntungkan dibanding pertanian. Pertanian lahan kering mengalami penyusutan 6 hektar (0,02 %) per tahun. Penurunan luas pertanian lahan kering masih dalam ambang toleransi karena masih berada pada kelas rendah, sedang batas toleransi pertanian lahan kering adalah 0,06% per tahun. Kecuali kecamatan Sumedang Selatan, semua kecamatan di wilayah Sumedang Kota mengalami penurunan luas pertanian lahan kering. Kecamatan Sumedang selatan mengalami peningkatan luas pertanian lahan kering seiring tingginya penyusutan luas tutupan hutan lindung di Kecamatan ini. Kontribusi terbesar terhadap penyusutan luas budidaya pertanian adalah pertanian lahan basah. Pertanian lahan basah mengalami penyusutan sekitar 92 hektar (0,35%) per tahunnya. Penyusutan ini sudah jauh melampaui rencana, yakni menyusut setiap tahun 0,04 persen. Penyusutan pertanian lahan basah umumnya terjadi pada sawah-sawah beririgasi teknis, karena umumnya terletak pada kawasan yang mudah diakses sehingga mudah dikonversi ke penggunaan lain khususnya menjadi kawasan terbangun. Perlu upaya pemerintah untuk menghentikan terjadi penyusutan pertanian lahan basah di Sumedang Kota, dengan mengeluarkan kebijakan atau peraturan daerah yang mengatur tentang konversi lahan pertanian ke non pertanian khususnya pertanian lahan basah, dan syarat-syarat melakukan konversi, sehingga laju penurunan lahan pertanian bisa dihambat. Selain dengan mengeluarkan peraturan tadi perlu juga ditunjang dengan kemauan dan kesungguhan dari pemerintah daerah untuk menegakan peraturan tadi. Sebagai wilayah yang mempunyai berada di sekitar pusat pemerintahn, jumlah dan laju pertumbuhan penduduk di wilayah Sumedang Kota cukup tinggi, sehingga mempengaruhi perubahan pemanfaatan ruang di wilayah ini. Pengaruh penduduk bisa dilihat dengan membandingkan jumlah dan pertumbuhan
77
penduduk di wilayah ini dengan proyeksi penduduk 2002-2012 berdasarkan RTRW. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk di wilayah pengembangan Sumedang Kota disajikan pada Tabel 20, sementara proyeksi penduduk disajikan pada Tabel 21. Berdasarkan Tabel 20 dan 21, terlihat bahwa jumlah penduduk tahun 2006 pada wilayah Sumedang Kota berjumlah 298.574 jiwa, sementara jumlah penduduk tahun 2006 yang direncanakan adalah 277.559 jiwa. Bahkan jumlah penduduk tahun 2006 di wilayah ini telah melampaui jumlah penduduk yang direncanakan pada akhir tahun rencana dari RTRW 2002-2012, yakni sebesar 296.627 jiwa. Jumlah penduduk yang telah jauh melampaui rencana ini, terjadi di seluruh kecamatan. Laju pertumbuhan pada wilayah ini juga telah jauh melebihi laju pertumbuhan yang diproyeksikan. Laju pertumbuhan yang diproyeksikan adalah 1,02%, namun kenyataan menunjukkan laju pertumbuhan di wilayah Tanjungsari telah mencapai Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk 3,61%. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk yang telah jauh melampaui rencana ini, dipastikan akan mempengaruhi pelaksanaan RTRW, sehingga mempengaruhi perubahan pemanfaatan ruang seperti peningkatan luas permukiman, maupun penyusutan pertanian lahan basah dan luas tutupan hutan lindung. Melihat kondisi penduduk yang sudah jauh meleset dari proyeksi RTRW, maka RTRW Kabupaten Sumedang sudah perlu dievaluasi untuk selanjutnya dilakukan revisi. Tabel 20. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Sumedang Kota Luas km2
Jumlah Penduduk 2005 2006
117,37
72.220
75.268
4,22
641
Sumedang Utara
28,26
80.359
84.087
4,64
2975
3
Ganeas
21,36
23.172
24.255
4,67
1136
4
Paseh
34,37
36.658
37.856
3,27
1101
5
Cimalaka
41,61
55.613
56.918
2,35
1368
6
Cisarua
18,92
20.159
20.190
0,15
1067
261,89
288.181
298.574
3,61
1140
No
Kecamatan
1
Sumedang Selatan
2
Sumber : Kabupaten Sumedang Dalam Angka
Laju Pertumbuhan
Kepadatan per km2
78
Tabel 21. Proyeksi Penduduk Wilayah Sumedang Kota 2002-2012 Laju Pertum buhan
Tahun No
Keacamatan 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
265.579
268.522
184.500
274.512
277.559
280.645
283.766
286.925
290.121
293.354
296.627
1
Smd Selatan
67.001
67.591
68.185
68.785
69.391
70.001
70.617
71.239
71.866
72.498
73.136
0,88
2
Smd. Utara
72.715
73.842
7.987
76.149
77.329
78.528
79.745
80.981
82.236
83.511
84.805
1,55
3
Ganeas
21.633
21.819
2.007
22.196
22.387
22.579
22.774
22.969
23.167
23.366
23.567
0,86
4
Paseh
34.301
34.596
34.894
35.194
35.496
35.802
36.109
36.420
36.733
37.049
37.368
0,86
5
Cimalaka
51.457
52.054
52.658
53.269
53.886
54.512
55.144
55.784
56.431
57.085
57.747
1,16
Cisarua
18.472
18.620
18.769
18.919
19.070
19.223
19.377
19.532
19.688
19.845
20.004
0,80
SWP Tanjungsari
6
Sumber : RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012
2. Wilayah Pengembangan Tanjungsari Wilayah Tanjungsari yang berada di bagian barat Kabupaten Sumedang mempunyai tingkat perubahan pemanfaatan ruang sebagaimana Tabel 21 berikut. Berdasarkan Tabel 22, luas tutupan hutan lindung di WP Tanjungsari mengalami perubahan yang tinggi yakni menurun rata-rata 212 hektar (0,81 %) persen setiap tahunnya, jauh melampaui rencana yakni menyusut sekitar 0,04 % setiap tahunnya.
Perubahan ini terutama terjadi di Kecamatan Sukasari dan
Rancakalong, yang merupakan kecamatan dengan kawasasan hutan lindung relatif luas, di sekitar lereng gunung Manglayang. Penurunan luas hutan lindung disebabkan peningkatan kawasan budidaya terutama budidaya non-pertanian. Kawasan budidaya meningkat seiring penurunan tutupan kawasan lindung seluas 212 hektar (0,81 %) persen setiap tahunnya. Peningkatan luas kawasan budidaya ini termasuk kelas tinggi, karena telah melampaui luas peningkatan kawasan budidaya yang direncanakan sekitar 0,04% per tahun. Peningkatan luas kawasan budidaya disebabkan meningkatnya luas budidaya nonpertanian, yang mengalami peningkatan per tahun sekitar 231 hektar (0,89%). Peningkatan luas budidaya non-pertanian ini jauh di atas rencana peningkatan kawasan budidaya pertanian, yang dialokasikan maksimal berubah 448 hektar (0,30%) per tahun, sehingga tingkat perubahan budidaya pertanian sudah tergolong tinggi. Permukiman merupakan budidaya non-pertanian yang mengalami peningkatan paling cepat dibanding pemanfaatan ruang sektor non-pertanian lainnya. Setiap tahun, pemukiman meningkat rata-rata yang men 169 hektar
1,02
79
(0,65%). Peningkatan ini sudah tergolong tinggi, karena peningkatan per tahun yang direncanakan sekitar 0,21%. Lokasi wilayah Tanjungsari yang berada di bagian barat dan berbatasan dengan Bandung, sehingga wilayah ini merupakan penyangga dari Bandung, dan merupakan kawasan perluasan perkotaan dari Bandung bagian timur. Adanya kawasan industri di Kecamatan Cimanggung dan Jatinangor serta kawasan pendidikan di Kecamatan Jatinangor mendorong pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, dan pada akhirnya memerlukan ruang untuk bermukim sehingga peningkatan areal permukiman di wilayah ini relatif cepat. Data kependudukan menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan penduduk di wilayah ini di atas rata-rata pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sumedang, terutama di Kecamatan
Jatinangor dan Cimanggung. Selain itu, kecuali di
Kecamatan Sukasari tingkat kepadatan penduduk di seluruh kecamatan wilayah Tanjungsari jauh di atas kepadatan penduduk Kabupaten Sumedang. Tabel 22. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Tanjungsari
1
2
Pemanfaatan Ruang
Jenis Pemanfaatan Ruang
No
2002
2006
Perubahan Perubahan
(ha)
(%)
(ha)
(%)
(ha)
(%)
5.025
19,34
4.179
16,08
-846
Hutan Lindung/Konservasi
3.742
14,40
2.896
11,15
Sempadan Sungai
1.283
4,94
1.283
Kawasan Budidaya
20.958
80,66
a
17.076
(ha/th)
(%/th)
-3,26
-212
-0,81
-846
-3,26
-212
-0,81
4,94
0
0,00
0
0,00
21.804
83,92
846
3,26
212
0,81
65,72
17.000
65,43
-76
-0,29
-19
-0,07
11.993
46,16
12.189
46,91
196
0,75
49
0,19
5.083
19,56
4.811
18,52
-272
-1,05
-68
-0,26
3.882
14,94
4.804
18,49
922
3,55
231
0,89
3.366
12,95
4.043
15,56
677
2,61
169
0,65
Industri
468
1,80
683
2,63
215
0,83
54
0,21
Galian C
48
0,18
78
0,30
30
0,12
8
0,03
25.983
100
25.983
100
0
0
0
0
Kawasan Lindung
b
Per Tahun
Budidaya Pertanian Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Basah Non Pertanian Pemukiman
Sebagai wilayah yang merupakan penyangga Bandung, jumlah dan pertumbuhan penduduk sangat mempengaruhi perubahan pemanfaatan ruang di wilayah ini. Pengaruh penduduk bisa dilihat dengan membandingkan jumlah dan
80
pertumbuhan penduduk di wilayah ini dengan proyeksi penduduk 2002-2012 berdasarkan RTRW. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk di wilayah pengembangan Tanjungsari disajikan pada Tabel 23, sementara proyeksi penduduk disajikan pada Tabel 24. Tabel 23. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Tanjungsari No
Kecamatan
Jumlah Penduduk 2005 2006 (jiwa) (jiwa)
Luas (Km2)
Laju Pertumbuhan
Kepadatan per km2
1
Jatinangor
26,2
90.431
95.517
5,62
3646
2
Cimanggung
40,8
70.455
74.020
5,06
1816
3
Tanjungsari
35,6
65.931
67.992
3,13
1909
4
Sukasari
47,1
29.639
30.956
4,44
657
5
Pamulihan
57,9
49.528
51.930
4,85
898
6
Rancakalong
52,3
37.349
38.675
3,55
740
260
343.333
4,59
1382
359.090
Sumber : Kabupaten Sumedang Dalam Angka
Tabel 24. Proyeksi Penduduk Wilayah Tanjunsari 2002-2012 Laju Pertum buhan
Tahun No
Keacamatan 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
314.628
321.668
328.923
311.264
343.995
351.818
359.843
374.158
376.513
385.172
394.052
2
1
Jatinangor
84.846
87.391
90.013
92.714
95.495
98.360
101.311
10.435
107.480
110.705
114.026
3
2
Cimanggung
64.060
65.982
67.961
70.000
72100
74.263
76.491
78.786
81.149
83.584
86.091
3
3
Tanjungsari
58.472
59.788
61.133
62.508
63.915
65.353
66.823
68.327
69.864
71.436
73.043
2,25
4
Sukasari
26.782
27.146
27.515
2.789
28.269
28.653
29.043
29.438
29.838
30.244
30.656
1,36
5
Pamulihan
45.762
46.183
46.645
47.112
47.583
48.058
48.539
49.024
49.515
50.010
50.510
1
6
Rancakalong
34.706
35.178
35.656
36.141
36.633
37.131
37.636
38.148
38.667
39.193
39.726
1,36
SWP Tanjungsari
Sumber : RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012
Berdasarkan Tabel 23 dan 24, terlihat bahwa jumlah penduduk tahun 2006
pada wilayah Tanjungsari berjumlah 359.090 jiwa, sementara jumlah
penduduk tahun 2006 yang direncanakan adalah 343.995. Jumlah penduduk tahun 2006 ini juga telah melampaui jumlah penduduk yang direncanakan pada tahun 2007. Jumlah penduduk tahun 2006 telah melampaui jumlah penduduk tahun 2006 yang diproyeksikan pada RTRW, dan terjadi di seluruh kecamatan. Laju pertumbuhan pada wilayah ini juga telah melebihi laju pertumbuhan yang diproyeksikan. Laju pertumbuhan yang diproyeksikan adalah 2%, namun
81
kenyataan menunjukkan laju pertumbuhan di wilayah Tanjungsari telah mencapai Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk 4,59%. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk yang telah melampaui rencana ini mempengaruhi perubahan pemanfaatan ruang seperti peningkatan luas permukiman, maupun penyusutan pertanian lahan basah dan luas tutupan hutan lindung. Kawasan industri juga mengalami peningkatan per tahun yang tinggi, yakni meningkat 468 hektar per tahun. Demikian halnya dengan pertambangan galian-C yang meningkat tinggi sekitar 48 hektar (0,18%) per tahun, jauh di atas rencana perubahan sekitar 0,05% per tahun. Sementara itu, budidaya pertanian mengalami penyusutan 19 hektar per tahunnya. Penyusutan ini masih berada pada tingkat rendah, karena di satu sisi pertanian lahan basah mengalami penyusutan tetapi di sisi lain pertanian lahan kering mengalami peningkatan. Pertanian lahan kering meningkat seluas 49 hektar (0,19%). Peningkatan pertanian lahan kering ini berbeda dengan dengan rencana, karena berdasarkan RTRW pertanian lahan kering direncanakan akan mengalami penyusutan. Peningkatan pertanian lahan kering ini sebenarnya tidak terjadi di seluruh kecamatan melainkan hanya terjadi di Kecamatan Sukasari, Rancakalong dan Pamulihan, sementara di Kecamatan Jatinangor, Cimanggung dan Tanjungsari mengalami penyusutan. Pertanian lahan basah mengalami penyusutan pada kelas tinggi, sekitar 68 hektar (0,26%) per tahun. Rencana penyusutan yang ditoleransi adalah maksimal 0,04% per tahun. Posisi wilayah Tanjungsari yang mempunyai jarak ke Bandung sebagai ibukota Propinsi, lebih dekat dibanding wilayah lain, menyebabkan pemanfaatan ruang cenderung berubah menjadi kegiatan nonpetanian. 3. Wilayah Pengembangan Darmaraja Wilayah selatan Kabupaten Sumedang yang meliputi Kecamatan Darmaraja, Situraja, Cisitu, Cibugel, Jatinunggal dan Wado merupakan wilayah pengembangan Darmaraja, menunjukan tingkat perubahan pemanfaatan ruang sebagaimana ditunjukan Tabel 25.
82
.Tabel 25. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Darmaraja No
1
2
Pemanfaatan Ruang
Jenis Pemanfaatan Ruang
2002
2006
(ha)
(%)
7.562
Hutan Lindung Sempadan Sungai
Perubahan Perubahan
Per Tahun
(ha)
(%)
(ha)
(%)
21,67
6.125
17,55
-1.437
-4,12
-359
-1,03
6.132
17,57
4.695
13,45
-1.437
-4,12
-359
-1,03
1.430
4,10
1.430
4,10
0
0,00
0
0,00
Kawasan Budidaya
27.333
78,33
28.770
82,45
1.437
4,12
359
1,03
a
Budidaya Pertanian
25.399
72,79
26.653
76,38
1.254
3,59
314
0,90
Pertanian Lahan Kering
16.858
48,31
18.159
52,04
1.301
3,73
325
0,93
Pertanian Lahan Basah
8.541
24,48
8.494
24,34
-47
-0,13
-12
-0,03
1.934
5,54
2.117
6,07
183
0,52
46
0,13
1.934
5,54
2.117
6,07
183
0,52
46
0,13
Industri
-
-
-
-
0
0,00
0
0,00
Galian C
-
-
-
-
0
0,00
0
0,00
34.895
100
34.895
100
0
0
0
0
Kawasan Lindung
b
Non Pertanian Pemukiman
(ha/th)
(%/th)
Tabel 25 menunjukkan bahwa, terjadi penurunan luas tutupan kawasan hutan lindung di wilayah pengembangan Darmaraja sebesar 359 hektar (1,03%) per tahun. Penurunan ini tergolong kelas tinggi, karena telah melampaui rencana penurunan yakni sekitar 0,13% per tahun. Hal ini sejalan dengan hasil perhitungan dengan metode LQ yang menunjukan bahwa seluruh Kecamatan di Wilayah Pengembangan Darmaraja merupakan daerah yang menjadi pusat perubahan luas tutupan hutan lindung di Kabupaten Sumedang. Kecamatan-kecamatan di wilayah ini mempunyai luas hutan lindung relatif lebih tinggi daripada kecamatan lain. Penurunan luas tutupan hutan lindung diikuti peningkatan luas kawasan budidaya pertanian. Kawasan budidaya meningkat seluas 359 hektar (1,03%) per tahun. Peningkatana ini tergolong kelas tinggi, karena telah melampaui rencana peningkatan yakni sekitar 0,13% per tahun. Budidaya pertanian mengalami peningkatan seluas 314 hektar atau 0,90% per tahun. Peningkatan ini bertolak belakang dengan rencana, karena menurut rencana budidaya pertanian akan mengalami penyusutan. Peningkatan terjadi pada areal pertanian lahan kering
83
yang meningkat 325 hektar (0,93%) per tahun. Peningkatan ini terjadi di seluruh kecamatan di wilayah Darmaraja. Sementara itu, pertanian lahan basah menyusut seluas 12 hektar (0,03%) per tahun. Penyusutan ini masih di bawah batas maksimal perubahan yang direncanakan dan termasuk pada kelas sedang. Perubahan yang direncanakan adalah 0,04% per tahun. Bila dikaitkan dengan data kependudukan, penyusutan luas tutupan hutan lindung yang diikuti oleh peningkatan luas pertanian lahan kering, sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk. Seluruh kecamatan di wilayah Darmaraja, memiliki laju pertumbuhan penduduk di atas rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Sumedang. Sebagai wilayah yang berada di wilayah perdesaan (relatif jauh dengan pusat pelayanan pemerintahan), umumnya mata pencaharian penduduk berupa pertanian, sehingga laju pertumbuhan penduduk diikuti dengan peningkatan kebutuhan lahan pertanian, sehingga mendorong terjadinya penyusutan tutupan hutan lindung yang berubah menjadi lahan pertanian. Perbandingan jumlah dan laju pertumbuhan penduduk wilayah Darmaraja tahun 2006 dengan proyeksi penduduk berdasarkan RTRW, menunjukkan bahwa jumlah pendudduk dan laju pertumbuhan penduduk di Darmaraja telah melampaui proyeksi penduduk menurut RTRW. Jumlah penduduk tahun 2006 sudah melampaui jumlah penduduk yang direncanakan pada tahun 2012, sehingga mempengaruhi perubahan pemanfaatan ruang seperti penyusutan luas tutupan hutan lindung. Tabel 26. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Darmaraja No
Kecamatan
Luas km2
Jumlah Penduduk 2005 2006
Laju Pertumbuhan
Kepadatan per km2
1
Situraja
54,03
35.631
37.282
4,63
690
2
Cisitu
53,31
26.399
27.962
5,92
525
3
Darmaraja
54,94
37.905
39.897
5,26
726
4
Cibugel
48,8
20.352
21.330
4,81
437
5
Wado
76,42
43.520
45.708
5,03
598
6
Jatinunggal
61,49
41.591
43.446
4,46
707
348,99
205.398
215.625
4,98
618
Sumber : Kabupaten Sumedang Dalam Angka
84
Tabel 27. Proyeksi Penduduk Wilayah Darmaraja 2002-2012 Tahun No
Keacamatan
Laju Per tum buh an
2010
2011
2012
206.580
208.800
211.048
213.329
1
34.931
35.232
35.535
35.840
36.149
1
25.654
25.834
26.015
26.197
26.380
26.565
1
38.355
38.965
39.585
40.214
40.854
41.503
42.163
2
20.291
20.472
20.654
20.838
21.023
21.210
21.399
21.590
1
41.453
42.178
42.916
43.667
44.431
45.209
46.000
46.805
47.624
1
38.309
38.424
38.539
38.655
38.771
38.887
39.004
39.121
39.238
0
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
SWP Darmaraja
191.845
193.867
195.916
197.992
200.096
202.229
204.390
1
Situraja
33.182
33.467
33.755
34.045
34.338
34.634
2
Cisitu
24.775
24.948
25.123
25.299
25.476
3
Darmaraja
36.010
36.583
37.164
37.755
4
Cibugel
19.759
19.935
20.112
5
Wado
40.039
40.740
6
Jatinunggal
38.080
38.194
2009
Sumber : RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012
Sementara itu, budidaya non-pertanian menunjukkan peningkatan pada tingkat sedang. Secara umum budidaya non-pertanian dalam hal ini permukiman, meningkat 46 hektar (0,13%) per tahun. Peningkatan luas permukiman meburut rencana 0,21 % per tahun. Posisi kecamatan-kecamatan di wilayah Darmaraja umumnya cukup jauh dari pusat pemerintahan, sehingga pertumbuhan penduduk yang terjadi berupa pertumbuhan alami dari faktor kelahiran dan kematian, dan pertumbuhan penduduk tidak serta merta diikuti dengan kebutuhan akan lahan yang tinggi sebagaimana pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh faktor migrasi. Rendahnya peningkatan areal pemukiman juga disebabkan adanya rencana beberapa desa dari wilayah ini terutama di kecamatan Wado, Jatinunggal dan Darmaraja akan dijadikan daerah rendaman waduk Jatigede, sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan berupa larangan mendirikan bangunanbangunan baru di desa-desa tersebut. 4. Wilayah Pengembangan Tomo Tingkat perubahan pemanfaatan ruang di wilayah Tomo disajikan pada Tabel 28. Tabel 28 menunjukkan bahwa, tutupan lahan pada kawasan hutan lindung di wilayah Tomo mengalami penurunan yang tinggi, rata-rata sekitar 206 hektar (0,79%) per tahun, melampaui rencana sekitar 0,13% per tahun. Wilayah Tomo memiliki kawasan hutan lindung relatif luas, sehingga penurunan yang terjadi juga relatif luas. Penurunan luas tutupan kawasan hutan lindung ini sejalan dengan peningkatan luas kawasan budidaya yang mengalami peningkatan yang sama dengan penurunan luas tutupan kawasan hutan lindung.
85
Tabel 28. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Tomo Jenis Pemanfaatan Ruang
No
1
2
2006 (%)
10.786
Hutan Lindung Sempadan Sungai
Perubahan Perubahan
(ha)
(%)
(ha)
(%)
41,68
9.964
38,50
-822
5.520
21,33
4.698
18,15
5.266
20,35
5.266
15.093
58,32
14.140
Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Basah
Kawasan Budidaya
b
2002 (ha)
Kawasan Lindung
a
Pemanfaatan Ruang
Budidaya Pertanian
Non Pertanian Pemukiman Industri Galian C
Per Tahun (ha/th)
(%/th)
-3,18
-206
-0,79
-822
-3,18
-206
-0,79
0,35
0
0,00
0
0,00
15.915
61,50
822
3,18
206
0,79
54,64
14.722
56,89
582
2,25
146
0,56
8.407
32,49
9.074
35,06
667
2,58
167
0,64
5.733
22,15
5.648
21,82
-85
-0,33
-21
-0,08
953
3,68
1.193
4,61
240
0,93
60
0,23
850
3,28
979
3,78
129
0,50
32
0,12
-
-
-
-
0
0,00
0
0,00
103
0,40
214
0,83
111
0,43
28
0,11
25.879
100
25.879
100
0
0
0
0
Budidaya pertanian mengalami peningkatan 146 hektar (0,56%) per tahun. Peningkatan luas budidaya pertanian ini sebagai akibat peningkatan pertanian lahan kering yang meningkat 167 hektar (0,64%) per tahun. Peningkatan terjadi di seluruh kecamatan, berdasarkan data pengolahan LQ seluruh kecamatan di wilayah Tomo merupakan pusat peningkatan areal pertanian lahan kering. Peningkatan ini sebenarnya bertolak belakang dengan rencana, karena berdasarkan rencana areal budidaya pertanian baik pertanian lahan kering maupun pertanian lahan basah akan menurun. Sementara, pertanian lahan basah sebagaimana yang direncanakan mengalami penurunan. Pertanian lahan basah menurun 21 hektar (0,08%) per tahun. Penurunan pertanian lahan basah ini tergolong klasifikasi tinggi karena telah melampaui maksimal penurunan yang direncanakan, yakni sekitar 0,04% per tahun. Penyusutan luas pertanian lahan basah terutama terjadi di Kecamatan Ujungjaya, yang merupakan kecamatan yang memiliki areal sawah paling luas di Kabupaten Sumedang.
86
Gambar 10. Bekas Pertambangan Galian Ciletuh Kecamatan Jatigede yang tidak beroperasi lagi. Budidaya non-pertanian untuk pertambangan galian-C mengalami peningkatan yang cukup tinggi sekitar 28 hektar (0,11%) setiap tahun. Peningkatan areal pertambangan galian-C sudah melampaui luas rencana peningkatan sekitar 0,05 % per tahun. Perubahan pemanfatan ruang di wilayah Tomo juga tidak terlepas dari jumlah dan laju pertumbuhan penduduk yang melampaui proyeksi penduduk berdasarkan RTRW, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 29 dan 30. Jumlah penduduk di wilayah Tomo pada tahun 2006 adalah 81.461 jiwa. Jumlah ini melampaui proyeksi penduduk untuk tahun 2006 yakni 75.142 jiwa, bahkan telah melampaui proyeksi penduduk pada akhir tahun rencana yakni 77.980 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk juga telah melampaui rencana, yakni 4,27%, sementara direncanakan hanya 0,65%.
87
Tabel 29. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Tomo Luas No
Jumlah Penduduk
Kepadatan per km2
Laju
Kecamatan Km2
2005
2006
Pertumbuhan
111,97
24.607
25.675
4,34
229
2 Tomo
66,26
23.326
24.329
4,30
367
3 Ujung Jaya
80,56
30.195
31.457
4,18
390
258,79
78.128
81.461
4,27
315
1 Jatigede
Sumber : Kabupaten Sumedang Dalam Angka
Tabel 30. Proyeksi Penduduk Wilayah Tomo 2002-2012 Tahun
No
Laju Pertumbuhan
Keacamatan 2002
2003
SWP Tomo
73.326
73.775
1
Jatigede
23.287
2
Tomo
3
Ujungjaya
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
74.227
48.683
75.142
75.606
76.073
76.543
77.019
77.496
77.980
0,60
23.310
23.334
23.357
23.380
23.404
23.427
23.450
23.474
23.497
23.521
0,1
21.976
22.163
22.351
22.541
22.733
22.926
23.121
23.317
23.516
23.715
23.917
0,85
28.063
28.302
28.542
2.785
29.029
29.276
29.525
29.776
30.029
30.284
30.542
0,85
Sumber : RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012
5. Wilayah Pengembangan Buahdua Wilayah pengembangan Buahdua
terdiri dari Kecamatan Buahdua,
Conggeang, Tanjungkerta, Tanjungmedar dan Surian. Sebagaimana pada wilayah pengembangan lain, di wilayah pengembangan Buahdua terjadi perubahan pemanfaatan ruang yakni penyusutan kawasan lindung dan peningkatan kawasan budidaya. Tingkat perubahan pemanfaatan ruang di wilayah pengembangan Buahdua disajikan pada Tabel 31. Berdasarkan Tabel 31, tutupan lahan hutan lindung mengalami penyusutan seluas 216 hektar (0,55%) per tahun, seiring dengan peningkatan luas kawasan budidaya yang meningkat dengan luas yang sama dengan penyusutan tutupan lahan hutan lindung. Penyusutan luas tutupan lahan hutan lindung terjadi di seluruh kecamatan di wilayah Buahdua. Kecuali Kecamatan Tanjungkerta, berdasarkan data LQ seluruh kecamatan merupakan pusat penyusutan hutan lindung. Kecamatan-kecamatan ini merupakan kecamatan yang memiliki hutan lindung relatif luas. Penyusutan ini melampaui rencana penyusutan yakni sekitar 0,13 persen per tahun.
88
Tabel 31. Tingkat Perubahan Pemanfaatan Ruang di Wilayah Buahdua Jenis Pemanfaatan Ruang
No
1
2
2006
Perubahan
(%)
(ha)
(%)
(ha)
(%)
11.519
29,27
10.655
27,07
-864
Hutan Lindung
5.890
14,97
5.026
12,77
Sempadan Sungai
5.629
14,30
5.629
27.836
70,73
25.659
Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Basah
Kawasan Budidaya
b
2002
Perubahan
(ha) Kawasan Lindung
a
Pemanfaatan Ruang
Budidaya Pertanian
Non Pertanian Pemukiman Industri Galian C
Per Tahun (ha/th)
(%/th)
-2,20
-216
-0,55
-864
-2,20
-216
-0,55
14,30
0
0,00
0
0,00
28.700
72,93
864
2,20
216
0,55
65,20
26.424
67,14
765
1,94
191
0,49
16.332
41,50
17.143
43,56
811
2,06
203
0,52
9.327
23,70
9.281
23,58
-46
-0,12
-12
-0,03
2.177
5,53
2.276
5,78
99
0,25
25
0,06
2.085
5,30
2.158
5,48
73
0,19
18
0,05
-
-
-
-
0
0,00
0
0,00
92
0,23
118
0,30
26
0,07
7
0,02
39.355
100
39.355
100
0
0
0
0
Budidaya pertanian mengalami peningkatan 191 hektar (0,49%) per tahun. Peningkatan ini berbeda dengan rencana, di mana menurut rencana budidaya pertanian direncanakan menurun sekitar 0,06% per tahun. Peningkatan budidaya pertanian disebabkan peningkatan luas budidaya pertanian lahan kering yang meningkat 203 hektar (0,52%) per tahun. Sementara, pertanian lahan basah menurun 12 hektar (0,03%) per tahun. Penurunan luas pertanian lahan basah masih dalam batas toleransi, karena penurunannya masih dalam tingkat sedang, di bawah batas maksimal penurunan yang direncanakan sekitar 0,04% per tahun. Sedmentara budidaya non pertanian mengalami peningkatan 25 hektar (0,06%) per tahun. Permukiman meningkat 18 hektar per tahun atau sekitar 0,05% per tahun. Peningkatan luas kawasan budidaya dan areal permukiman ini masih dalam tingkat rendah karena masih jauh dibawah peningkatan per tahun yang direncanakan. Rendahnya laju perubahan pemanfaatan ruang untuk kawasan budidaya ini disebabkan lokasi wilayah ini yang relatif jauh dari pusat
89
pemerintahan. Selain itu, tingkat kepadatan penduduk juga relatif rendah. Demikian halnya dengan peningkatan luas pertambangan galian-C, yang meningkat 7 hektar (0,02%) per tahun, masih dibawah rencana peningkatan maksimal sekitar 0,05% per tahun. Tabel 32. Jumlah, Laju dan Kepadatan Penduduk Wilayah Buahdua No
Luas Km2
Kecamatan
Jumlah Penduduk 2005 2006
Laju Ptbh
Kepadatan per km2
1
Tanjungkerta
40,14
33.129
34.350
3,69
856
2
Tanjungmedar
65,14
24.017
25.311
5,39
389
3
Buahdua
131,37
32.324
33.592
3,92
256
4
Surian
50,74
11.361
12.240
7,74
241
5
Conggeang
105,31
29.952
31.431
4,94
298
130.783 136.924
4,70
349
392,7 Sumber : Kabupaten Sumedang Dalam Angka
Perbandingan jumlah dan laju pertumbuhan penduduk 2006 dengan proyeksi penduduk menunjukkan bahwa, jumlah dan laju pertumbuhan penduduk tahun 2006 di wilayah Buahdua telah melampaui proyeksi penduduk tahun 2006 bahkan melampaui proyeksi penduduk tahun 2012. Hal ini akan mendorong perubahan pemanfaatan ruang di wilayah Buahdua. Tabel 33. Proyeksi Penduduk Wilayah Buahdua 2002-2012 Tahun No
Keacamatan SWP Buahdua
Laju Pertum buhan
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
125.083
125.745
126.410
127.082
127.754
128.432
129.117
129.803
130.494
131.191
131.892
0
1
Tanjungkerta
30.957
31.233
31.510
31.791
32.074
32.359
32.647
32.938
33.231
33.527
33.825
0,89
2
Tanjungmedar
22.730
22.866
23.004
23.142
23.280
23.420
23.561
23.702
23.844
23.987
24.131
0,60
3
Buahdua
31.157
31.297
31.438
31.580
31.722
31.864
32.008
32.152
32.296
32.442
32.588
0,45
4
Surian
11.250
11.273
11.295
11.318
11.340
11.363
11.386
11.408
11.431
11.454
11.477
0,20
5
Conggeang
28.989
29.076
29.163
29.251
29.338
29.426
29.515
29.603
29.692
29.781
29.871
0,30
Sumber : RTRW Kabupaten Sumedang 2002-2012
Pada umumnya perubahan pemanfaatan ruang di Kabupaten Sumedang telah melampaui rencana lima tahun pertama. Hal ini disebabkan jumlah dan laju pertumbuhan penduduk seluruh wilayah telah melampaui proyeksi penduduk 2002-2012. Kondisi ini juga menunjukan bahwa RTRW 2002-2012 sudah perlu dievaluasi lagi dan dilakukan revisi.
90
Selanjutnya untuk mengetahui wilayah mana yang menjadi pusat masingmasing perubahan pemanfaatan ruang, kembali dilakukan analisis dengan LQ . Hasil LQ ditunjukkan pada Tabel 34 Tabel 34. Hasil Perhitungan LQ Perubahan Land Use di Tiap WP Wilayah Pengembangan
Pemanfaatan Ruang H.Ldg
PLK
PLB
Pmk
Idtr
Gal-C
Buahdua
1,13
1,56
0,32
0,24
0,00
0,47
Darmaraja
1,15
1,53
0,20
0,37
0,00
0,00
Tomo
1,08
1,28
0,60
0,43
0,00
2,02
Tanjungsari
0,90
0,31
1,55
1,84
4,68
0,44
Sumedang Kota
0,62
0,05
2,90
2,47
0,00
3,05
Keterangan : H Ldg : PLb : Idtr :
Hutan Lindung Pertanian Lahan Basah Industri
PLK Pmk Gal-C
: : :
Pertanian Lahan Kering Pemukiman Pertambangan Galian C
Berdasarkan Tabel 34 di atas, perubahan pemanfaatan ruang hutan lindung memusat di Wilayah Pengembangan Darmaraja, Buahdua dan Tomo. Peningkatan ini terjadi karena wilayah-wilayah tersebut memiliki hutan lindung relatif luas. Dari tabel di atas juga terlihat bahwa terdapat hubungan antara penyusutan tutupan hutan lindung dengan peningkatan pertanian lahan kering. Pusat peningkatan areal pertanian lahan kering juga merupakan pusat penyusutan tutupan hutan lindung. Perubahan pemanfaatan ruang untuk pertanian lahan basah sejalan dengan peningkatan areal pemukiman. Wilayah yang menjadi pusat penyusutan pertanian lahan basah dan peningkatan areal pemukiman adalah wilayah Sumedang Kota dan Wilayah Tanjungsari. Kedua wilayah ini mempunyai kepadatan penduduk relatif tinggi karena kedua wilayah ini merupakan pusat perdagangan dan jasa. Wilayah Sumedang kota merupakan wilayah di mana terdapat pusat pemerintahan. Sementara itu, di wilayah Tanjungsari terdapat kawasan industri yakni di Kecamatan Cimanggung dan Jatinangor juga terdapat kawasan pendidikan yakni di Kecamatan Jatinangor. Wilayah Tanjungsari juga merupakan
wilayah
yang
paling
dekat
dengan
perkembangannya relati pesat dibanding wilayah lain.
Bandung,
sehingga
91
Analisis Faktor-faktor Kabupaten Sumedang
yang
Mempengaruhi
Penyimpangan
RTRW
Hasil PCA menunjukkan, bahwa dari 81 peubah yang terkoleksi dari data potensi desa 2006 diperoleh set data baru sebanyak 22 peubah dasar dengan komponen utama sebanyak 6 faktor yang memenuhi syarat ( > 70%) sebagai penduga penentu konsistensi RTRW. Nilai prosentase total komulatif eigenvalue yang dihasilkan dari anlisis PCA adalah sebesar 93,03 %. Dengan lain perkataan, ke-6 faktor yang merupakan komponen utama dapat menerangkan 93,03 % keragaman data terkoleksi, sedangkan nilai factor loadings yang merupakan koefisien korelasi antar peubah asal penduga penentu konsistensi RTRW dapat dilihat pada Tabel 34. Berdasarkan Tabel 35 dapat dijelaskan bahwa, Faktor 1 menunjukan struktur hubungan kepadatan penduduk dimana tingginya kepadatan penduduk akan diikuti oleh tingginya rasio luas lahan non-pertanian (luas lahan nonpertanian per luas wilayah) yang diikuti pula dengan rendahnya rasio keluarga pertanian (jumlah keluarga non pertanian per jumlah seluruh keluarga). Disamping itu faktor ini juga menunjukan hubungan tingginya jumlah perguruan tinggi dengan kepadatan penduduk yang akan diikuti oleh tingginya jumlah usaha restoran/rumah makan, dan toko/warung kelontongan. Jumlah perguruan tinggi akan mendorong peningkatan kepadatan penduduk, yang akhirnya merangsang berdirinya usaha restoran/rumah makan, dan toko/warung kelontongan. Faktor 2 menunjukan struktur hubungan penggunaan lahan, dimana tingginya rasio jumlah bangunan rumah di permukiman kumuh (jumlah rumah di pemukiman kumuh per jumlah rumah total) dan rasio jumlah keluarga di pemukiman kumuh (jumlah keluarga di pemukiman kumuh per jumlah keluarga total) akan diikuti rasio jumlah rumah di bantaran sungai (jumlah rumah di bantaran sungai per jumlah rumahtotal) dan rasio jumlah keluarga yang tinggal di bantaran sungai (jumlah keluarga di bantaran sungai per jumlah keluarga total), yang akan meningkatkan rasio jumlah keluarga yang tinggal di daerah rawan bencana banjir (jumlah keluarga di daerah rawan banjir per jumlah keluarga total). Faktor ini sebagai penciri tingginya jumlah rumah dan keluarga di pemukiman kumuh dan rawan bencana.
92
Tabel 35. Peubah Asal Penduga Penentu Konsistensi RTRW Kabupaten Sumedang Komponen Utama
No
Peubah
F2
F3
F4
F5
F6
0,84
-0,10
0,02
0,06
0,35
-0,18
Rasio Keluarga Pertanian
-0,77
-0,05
-0,26
-0,24
-0,26
0,29
3
Rasio Jumlah bangunan rumah permukiman kumuh
-0,03
0,96
-0,03
-0,01
-0,13
0,06
4
Rasio Jumlah keluarga di permukiman kumuh
-0,03
0,96
-0,03
0,00
-0,12
0,07
5
Rasio Jumlah Keluarga yang bertempat tinggal di
-0,07
0,89
0,06
-0,02
0,33
0,06
1
Kepadatan Penduduk
2
bantaran sungai
F1
6
Rasio Jumlah bangunan rumah di bantaran/tepi sungai
-0,06
0,85
0,12
0,01
0,40
0,05
7
Rasio Jumlah keluarga yang tinggal di daerah rawan bencana banjir
-0,03
0,96
-0,07
0,00
-0,12
-0,04
8
Jumlah SMK (Unit)/1000 jiwa
0,16
0,04
0,06
-0,01
0,96
-0,03
9
Jumlah Akademi/PT /1000 jiwa
0,89
-0,01
0,04
0,13
-0,23
-0,03
10
Jumlah Rumah Sakit /jiwa
-0,06
0,00
0,97
0,06
0,07
0,08
11
Jarak Ke Rumah Sakit (Km)
0,03
-0,02
0,85
0,04
0,49
0,08
12
Invers Jarak ke Ibu Kota Kabupaten (km)
0,15
0,03
0,21
-0,03
0,95
0,00
13
Rasio Luas Lahan Sawah
-0,21
0,09
-0,06
-0,96
-0,01
-0,01
14
Rasio Luas Lahan sawah berpengairan yang diusahakan
-0,03
-0,18
0,02
-0,91
0,04
0,11
15
Rasio Luas lahan bukan sawah
0,21
-0,09
0,06
0,96
0,01
0,01
16
Rasio Luas Lahan pertanian ( Perkebunan/Tanaman Tahunan/Padang Rumput)
-0,39
0,10
0,09
0,25
-0,05
0,86
17
Rasio Luas Ladang yang diusahakan
-0,17
-0,09
-0,11
0,39
-0,04
-0,88
18
Rasio Luas Lahan untuk non pertanian
0,93
-0,11
0,12
0,04
0,13
-0,03
19
Super market/ pasar swalayan/toserba/mini market
0,38
0,73
0,53
0,07
-0,05
0,04
20
Restoran/rumah makan
0,87
0,31
0,03
0,12
0,00
0,09
21
Toko/Warung kelontong
0,90
-0,17
0,00
0,07
0,12
0,07
22
Hotel dan Penginapan
0,53
0,10
0,79
-0,03
-0,02
0,01
Expl.Var
5,28
5,03
2,77
3,01
2,67
1,70
Prp.Totl
0,24
0,23
0,13
0,14
0,12
0,08
Faktor 3 menunjukan hubungan fasilitas infrastruktur. Di mana tingginya jumlah Rumah Sakit sejalan dengan tingginya aksesibilitas ke Rumah Sakit, dan diikuti pula tingginya jumlah hotel/penginapan. Faktor 3 adalah penciri tingginya akses ke fasilitas kesehatan dan infrastruktur lain (hotel/penginapan).
93
Faktor 4 menunjukan struktur hubungan penggunaan lahan. Di mana rendahnya rasio luas lahan sawah (luas lahan sawah per luas wilayah) sejalan dengan rendahnya rasio luas lahan sawah beririgasi yang diusahakan. Rendahnya rasio luas lahan sawah akan diikuti oleh tingginya rasio luas lahan bukan sawah. Faktor 4 adalah penciri rendahnya rasio luas lahan sawah. Faktor 5 menunjukan struktur hubungan fasilitas aksesibilitas ke pusat pemerintahan. Dimana tingginya aksesibilitas ke kantor kabupaten akan diikuti oleh tingginya jumlah SMK, dengan kata lain daerah yang akses ke pusat pemerintahan kabupaten mempunyai jumlah SMK relatif tinggi. Faktor 5 adalah penciri tingginya akses ke pusat pemerintahan kabupaten. Faktor 6 menunjukan struktur hubungan penggunaan lahan. Dimana tingginya rasio luas lahan pertanian berupa
perkebunan/hutan rakyat/padang
rumput (luas lahan pertanian per luas wilayah) akan diikuti dengan rendahnya rasio luas ladang (luas ladang per luas wilayah) yang diusahakan. Faktor 6 sebagai penciri rendahnya rasio luas ladang . Pada tahap selanjutnya dilakukan analisis untuk mengkorelasikan secara langsung peubah
penduga penentu inkonsistensi dengan proporsi luas
inkonsistensi RTRW. Hasil regresi perubahan luas tutupan pada kawasan hutan lindung, disajikan pada Tabel 36 dan dinyatakan dalam bentuk persamaan : . Yi
= -168,808 + 48,833X 1 - 23,726 X 2+6,137 X 3+26,862 X 4 -42,721 X 5 -42,721X6
Dimana : Yi
= Luas Perubahan Tutupan Hutan Lindung (%)
X1 = Faktor 1 (Hubungan kepadatan penduduk dengan rasio lahan nonpertanian, keluarga pertanian) X2 = Faktor 2 (Rasio jumlah keluarga dan rumah di permukiman kumuh dan rawan bencana) X3 = Faktor 3 (Akses ke sarana kesehatan dan infrastruktur lain) X4 = Faktor 4 (Rasio luas lahan sawah) X5 = Faktor 5 (Akses ke pusat pemerintahan) X6 = Faktor 6 (Rasio Luas lahan ladang)
94
Tabel 36. Hasil Pengolahan Regresi untuk Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Tutupan Hutan Lindung Regression Summary for Dependent Variable: Hutan Lindung R= ,69207663 R²= ,47897006 Adjusted R²= ,31443429 F(6,19)=2,9110 p<,03471 Std.Error of estimate: 89,863 Beta N=26 Intercept
Std.Err. of Beta
B
t(19)
p-level
-168,808
Std.Err. of B 17,62359
-9,57851
0,000000
Factor 1
0,449946
0,165598
48,833
17,97260
2,71710
0,013675
Factor 2
-0,218608
0,165598
-23,726
17,97260
-1,32012
0,202481
Factor 3
-0,096591
0,165598
-10,483
17,97260
-0,58329
0,566560
Factor 4
0,056547
0,165598
6,137
17,97260
0,34147
0,736497
Factor 5
0,247501
0,165598
26,862
17,97260
1,49459
0,151445
Factor 6
-0,393631
0,165598
-42,721
17,97260
-2,37703
0,028115
Hasil analisis regresi menunjukan bahwa, faktor 1 yakni faktor kepadatan penduduk dan faktor 6 yakni faktor luas lahan ladang,
berpengaruh nyata
(mempunyai nilai p-level kurang dari 0,05) terhadap penurunan luas tutupan hutan lindung. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk, akan semakin mendorong terjadinya penyusutan luas kawasan lindung. Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk tempat tinggal dan lapangan usaha. Pertambahan jumlah penduduk mengakibatkan kawasan lindung banyak berubah menjadi lahan pertanian maupun pemukiman, sebagai konvensasi dari pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal dan lahan usaha. Luas ladang, berpengaruh terhadap penyusutan luas tutupan hutan lindung. Semakin berkurangnya luas ladang, mengakibatkan berkurangnya areal untuk usaha pertanian. Hal ini akan mendorong orang untuk mencari areal baru, dengan merubah tutupan hutan lindung menjadi areal pertanian. Seperti penurunan luas tutupan hutan, faktor 1 kepadatan penduduk dan faktor 6 luas lahan ladang berpengaruh terhadap peningkatan areal pertanian lahan kering. Meningkatnya penduduk akan mendorong kebutuhan akan areal untuk pencaharian. Rendahnya luas ladang, akan menyebabkan terjadinya upaya orang untuk mencari lahan baru dengan merubah tutupan hutan lindung menjadi areal pertanian lahan kering.
95
Hasil regresi perubahan pemanfaatan ruang untuk pertanian lahan kering disajikan pada Tabel 37, dan dinyatakan dengan persamaan berikut: Yi = 1113,539 – 83,463X 1 + 13,273 X 2 +4,227 X 3-15,104 X 4 -28,141X 5 +44,419X6 Dimana : Yi
= Luas Perubahan Tutupan Hutan Lindung (%)
X1 = Faktor 1 (Hubungan kepadatan penduduk dengan rasio lahan nonpertanian, keluarga pertanian) X2 = Faktor 2 (Rasio jumlah keluarga dan rumah di permukiman kumuh dan rawan bencana) X3 = Faktor 3 (Akses ke sarana kesehatan dan infrastruktur lain) X4 = Faktor 4 (Rasio luas lahan sawah) X5 = Faktor 5 (Akses ke pusat pemerintahan) X6 = Faktor 6 (Rasio Luas lahan ladang)
Tabel 37. Hasil Pengolahan Regresi untuk Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Pertanian Lahan Kering Regression Summary for Dependent Variable: Pertanian L. Kering R= ,76550644 R²= ,58600011 Adjusted R²= ,45526330 F(6,19)=4,4823 p<,00545 Std.Error of estimate: 97,151 Beta N=26
Std.Err. of Beta
Intercept
B
Std.Err. of B
t(19)
p-level
113,539
19,05290
5,95912
0,000010
Factor 1
-0,634077
0,147613
-83,463
19,43022
-4,29555
0,000390
Factor 2
0,100836
0,147613
13,273
19,43022
0,68311
0,502782
Factor 3
0,032112
0,147613
4,227
19,43022
0,21754
0,830107
Factor 4
-0,114749
0,147613
-15,104
19,43022
-0,77737
0,446513
Factor 5
-0,213792
0,147613
-28,141
19,43022
-1,44833
0,163827
Factor 6
0,337452
0,147613
44,419
19,43022
2,28606
0,033906
96
Sementara itu, hasil regresi perubahan pemanfaatan ruang untuk pertanian lahan basah disajikan pada Tabel 38. Tabel 38. Hasil Pengolahan Regresi untuk Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Pertanian Lahan Basah Regression Summary for Dependent Variable: Pertanian L. Basah R= ,76250792 R²= ,58141833 Adjusted R²= ,44923464 F(6,19)=4,3986 p<,00597 Std.Error of estimate: 22,279 Beta N=26 Intercept
Std.Err. of Beta
B -31,500
Std.Err. of B 4,369302
t(19)
p-level
-7,20939 0,000001
Factor 1
-0,619757
0,148427
-18,605
4,455831
-4,17550 0,000513
Factor 2
-0,114036
0,148427
-3,423
4,455831
-0,76829 0,451756
Factor 3
-0,242034
0,148427
-7,265
4,455831
-1,63066 0,119428
Factor 4
-0,084052
0,148427
-2,523
4,455831
-0,56628 0,577830
Factor 5
-0,319425
0,148427
-9,589
4,455831
-2,15207 0,044460
Factor 6
0,128986
0,148427
3,872
4,455831
0,86902 0,395683
Adapun persamaannya disajikan sebagai berikut : Yi = -31,500 – 18,605X 1 - 3,423X 2 -7,265X 3-2,523X 4 -9,589X 5 +3,872X6 Dimana : Yi
= Luas Perubahan Tutupan Hutan Lindung (%)
X1 = Faktor 1 (Hubungan kepadatan penduduk dengan rasio lahan nonpertanian, keluarga pertanian) X2 = Faktor 2 (Rasio jumlah keluarga dan rumah di permukiman kumuh dan rawan bencana) X3 = Faktor 3 (Akses ke sarana kesehatan dan infrastruktur lain) X4 = Faktor 4 (Rasio luas lahan sawah) X5 = Faktor 5 (Akses ke pusat pemerintahan) X6 = Faktor 6 (Rasio Luas lahan ladang)
Kepadatan penduduk dan akses ke pusat pemerintahan kabupaten, berpengaruh nyata terhadap penyusutan areal pertanian lahan basah. Peningkatan jumlah penduduk akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan akan lahan baik untuk pemukiman maupun untuk kegiatan perekonomian. Sementara luas lahan relatif tetap, sehingga terjadi persaingan pemanfaatan ruang dan akhirnya mendorong perubahan penutupan/pengunaan lahan satu ke penutupan/penggunaan lahan lainnya. Pertanian lahan basah tidak luput dari perubahan akibat bertambahnya penduduk.
97
Penyusutan pertanian lahan basah umumnya terjadi pada daerah-daerah yang mempunyai akses ke pusat pemerintahan yang sekaligus sebagai pusat pelayanan jasa. Daerah yang berdekatan dengan pusat pemerintahan akan ditunjang oleh sarana dan prasarana yang memadai, sehingga orang cenderung untuk tinggal di daerah yang dekat dengan pusat pelayanan. Selain sebagai tempat bermukim, di daerah yang dekat dengan pusat pemerintahan juga cenderung berdiri berbagai fasilitas dan pusat perdagangan. Banyaknya kecenderungan orang untuk tinggal di daerah sekitar pusat pemerintahan dan berdirinya sarana prasarana lain, akan membutuhkan lahan sehingga akan menggeser areal pertanian lahan basah yang ada di sekitarnya. Aksesibilitas ke pusat pemerintahan kabupaten akan mempengaruhi penyusutan pertanian lahan basah. Sejalan dengan penyusutan areal pertanian lahan basah, terjadi peningkatan luas pemukiman. Peningkatan luas pemanfaatan ruang untuk permukiman dipengaruhi secara nyata oleh faktor 1 yakni kepadatan penduduk dan faktor 5
yakni faktor aksesibilitas ke pusat pemerintahan kabupaten.
Sebagaimana diuraikan di atas, peningkatan jumlah penduduk akan membutuhkan ruang untuk bermukim, sehingga akan meningkatkan pemanfaatan ruang untuk pemukiman. Peningkatan luas permukiman ini, akan menggeser pemanfaatan ruang lain seperti pertanian lahan basah. Hasil regresi perubahan pemanfaatan ruang untuk permukiman disajikan pada Tabel 39, dengan persamaan sebagai berikut : Yi = 66,308 + 32,512X1 - 2,668X2 +14,273X3+8,718X 4 +18,696X5 +1,342X6 Dimana : Yi
= Luas Perubahan Tutupan Hutan Lindung (%)
X1 = Faktor 1 (Hubungan kepadatan penduduk dengan rasio lahan nonpertanian, keluarga pertanian) X2 = Faktor 2 (Rasio jumlah keluarga dan rumah di permukiman kumuh dan rawan bencana) X3 = Faktor 3 (Akses ke sarana kesehatan dan infrastruktur lain) X4 = Faktor 4 (Rasio luas lahan sawah) X5 = Faktor 5 (Akses ke pusat pemerintahan) X6 = Faktor 6 (Rasio Luas lahan ladang)
98
Tabel 39. Hasil Pengolahan Regresi untuk Penyimpangan Pemanfaatan Ruang Pemukiman Regression Summary for Dependent Variable: Pemukiman R= ,77404076 R²= ,59913910 Adjusted R²= ,47255145 F(6,19)=4,7330 p<,00416 Std.Error of estimate: 38,631 Beta N=26
Std.Err. of Beta
Intercept
B
Std.Err. of B
t(19)
p-level
66,308
7,576214
8,752089
0,000000
Factor 1
0,611221
0,145251
32,512
7,726252
4,208026
0,000477
Factor 2
-0,050157
0,145251
-2,668
7,726252
-0,345310
0,733655
Factor 3
0,268319
0,145251
14,273
7,726252
1,847273
0,080340
Factor 4
0,163901
0,145251
8,718
7,726252
1,128397
0,273199
Factor 5
0,351478
0,145251
18,696
7,726252
2,419793
0,025723
Factor 6
0,025230
0,145251
1,342
7,726252
0,173700
0,863938
Pergeseran pemanfaatan ruang dari pertanian lahan basah menjadi permukiman ini sejalan dengan teori lokasi. Sebagaimana tertuang dalam Rustiadi et. al. (2006), dinyatakan bahwa secara teoritis, penggunaan lahan yang paling efisien terletak pada tingkat penggunaanya yang dapat mencapai hasil manfaat maksimal yang dapat diperoleh dari lahan tersebut. Suatu penggunaan lahan akan bergeser menjadi penggunaan lahan yang mempunyai nilai (rent) lebih daripada nilai penggunaan lahan sebelumnya. Di wilayah perkotaan, atau wilayah yang mempunyai akses ke pusat pemerintahan, permukiman mempunyai rent yang lebih tinggi dibanding pertanian lahan basah, sehingga lahan pertanian lahan basah akan cenderung berubah menjadi permukiman. Faktor
kepadatan
penduduk
juga
berpengaruh
nyata
terhadap
peningkatan luas kawasan industri. Industri dan penduduk merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Berdirinya suatu industri akan mendorong terjadinya migrasi penduduk dari daerah lain ke daerah industri, sehingga industri meningkatkan jumlah penduduk. Sebaliknya industri membutuhkan penduduk sebagai pasar untuk produk-produk industri, dan untu sumberdaya dalam mendukung proses produksi. Hasil regresi perubahan luas kawasan industri disajikan pada Tabel 40, dengan persamaan sebagai berikut :
99
Yi = 8,269 + 18,643X1 + 0,393X2 -0,879X3+5,801X 4 -4,512X5 -9,106X6 Dimana : Yi
= Luas Perubahan Tutupan Hutan Lindung (%)
X1 = Faktor 1 (Hubungan kepadatan penduduk dengan rasio lahan nonpertanian, keluarga pertanian) X2 = Faktor 2 (Rasio jumlah keluarga dan rumah di permukiman kumuh dan rawan bencana) X3 = Faktor 3 (Akses ke sarana kesehatan dan infrastruktur lain) X4 = Faktor 4 (Rasio luas lahan sawah) X5 = Faktor 5 (Akses ke pusat pemerintahan)
Tabel 40.
Hasil Pengolahan Regresi untuk Kawasan Industri
Regression Summary for Dependent Variable: Industri R= ,75032163 R²= ,56298255 Adjusted R²= ,42497704 F(6,19)=4,0794 p<,00852 Std.Error of estimate: 22,266 Beta N=26
Std.Err. of Beta
Intercept
B
Std.Err. of B
t(19)
p-level
8,269
4,366778
1,89367 0,073599
Factor 1
0,634894
0,151661
18,643
4,453257
4,18629 0,000501
Factor 2
0,013369
0,151661
0,393
4,453257
0,08815 0,930680
Factor 3
-0,029921
0,151661
-0,879
4,453257
-0,19729 0,845698
Factor 4
0,197549
0,151661
5,801
4,453257
1,30258 0,208288
Factor 5
-0,153667
0,151661
-4,512
4,453257
-1,01323 0,323680
Factor 6
-0,310126
0,151661
-9,106
4,453257
-2,04487 0,054972
100
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil analisis citra menghasilkan informasi penutupan/penggunaan lahan tahun 2002 dan 2006, selanjutnya dipadukan dan dikompilasi dengan RTRW, hasil survey lapang dan data Kabupeten Sumedang dalam Angka sehingga diperoleh informasi pemanfaatan ruang tahun 2002 dan 2006. Dengan membandingkan pemanfaatan ruang tahun 2002 dengan 2006,
diketahui perubahan pemanfaatan
ruang selama periode 2002-2006. Pada periode 2002-2006 terjadi perubahan pemanfaatan ruang di Kabupaten Sumedang, terutama penurunan luas hutan lindung seluas 4.389 ha (2,88%) dan penurunan luas pertanian lahan basah seluas 819 ha (0,54%). Sementara itu areal pemukiman bertambah 1.724 ha (1,13 %). Penurunan luas hutan lindung sejalan dengan peningkatan luas pertanian lahan kering dan berpusat pada kecamatan-kecamatan yang mempunyai areal hutan lindung yang relatif luas, sedangkan penurunan luas pertanian lahan basah sejalan dengan peningkatan areal pemukiman, dan umumnya berpusat di kecamatankecamatan yang tingkat kepadatan penduduknya relatif tinggi. Terjadi penyimpangan beberapa pemanfaatan ruang terhadap RTRW. Penyimpangan pemanfaatan ruang terhadap RTRW terlihat dari luas tutupan hutan lindung pada tahun 2006 yang sudah jauh dibawah luas tutupan hutan lindung yang direncanakan pada akhir tahun rencana dalam RTRW. Penurunan luas juga terjadi pada areal pertanian lahan basah, sementara areal pertanian lahan kering justru mengalami peningkatan dibanding rencana. Indikasi penyimpangan pemanfaatan ruang terhadap RTRW juga terlihat dari tingkat perubahan pemanfaatan ruang per tahun. Umumnya perubahan tingkat pemanfaatan ruang per tahun telah melampaui
rencana, kecuali pada pemanfaatan ruang untuk pertanian lahan kering. Secara umum penyimpangan pemanfaatan ruang dipengaruhi oleh faktor penduduk. Kepadatan penduduk berpengaruh secara nyata terhadap penurunan luas hutan lindung, pertanian lahan basah,
serta peningkatan luas pemukiman dan
industri. Pertumbuhan penduduk Kabupaten Sumedang cukup tinggi, sehingga sampai tahun 2006 jumlah penduduk sudah melampaui rencana/proyeksi penduduk berdasarkan RTRW. Sampai tahun 2006 jumlah penduduk di wilayah Tanjungsari sudah melampaui proyeksi penduduk untuk tahun 2008, wilayah Sumedang Kota
101
sudah melampaui proyeksi penduduk tahun 2010 bahkan wilayah Darmaraja, Tomo dan Buahdua sudah melampaui proyeksi penduduk tahun 2012. Fasilitas infrastruktur kesehatan nyata berpengaruh terhadap peningkatan areal pemukiman dan penurunan luas pertanian lahan basah. Sementara, rasio luas ladang berpengaruh nyata terhadap penurunan luas tutupan hutan lindung dan peningkatan pertanian lahan kering. Saran Untuk menghindari penyimpangan lebih jauh perlu kebijakan pemerintah daerah untuk menekan terjadinya perubahan pemanfaatan ruang, terutama yang tingkat perubahan per tahunnya sudah melampaui rencana. Mengingat pertumbuhan penduduk yang tinggi merupakan faktor terjadinya penyimpangan, kebijakan yang diambil juga harus memperhatikan faktor penduduk. Pertumbuhan penduduk akan membutuhkan ruang untuk permukiman. Untuk daerah-daerah yang tingkat kepadatan penduduknya tinggi, seperti Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung, kebijakan yang bisa diambil untuk menghindari penyimpangan pemanfaatan ruang lebih jauh, diantaranya dengan membatasi pembuatan bangunan yang menghabiskan lahan lebih luas dengan kebijakan pebuatan permukiman ke arah atas misalnya dengan pembangunan rumah susun.
Perlu kebijakan pemerintah daerah untuk menekan terjadinya penurunan luas tutupan hutan lindung. Bahkan lebih dari itu, perlu dilakukan upaya untuk menambah luas tutupan hutan lindung, dengan menghutankan kembali areal yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung tapi telah berubah menjadi pemanfaatan lain. Selain itu diperlukan juga aturan mengenai konversi pertanian lahan basah (sawah), untuk membatasi penyusutan luas pertanian lahan basah. Untuk meminimalisir terjadinya penyimpangan
pemanfaatan ruang,
diperlukan evaluasi terhadap RTRW Kabupaten Sumedang, sebagai bahan untuk melakukan revisi RTRW. Perlu penelitian lebih lanjut, mengenai aspek kelembagaan yang mempengaruhi penyimpangan pemanfaatan ruang di Kabupaten Sumedang.
102
DAFTAR PUSTAKA Andriyani, 2007, Dinamika Spasial Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktorfaktor Penyebanya di Kabupaten Serang Provinsi Banten. (Tesis). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Barus, B. dan U.S. Wiradisastra. Sistem Informasi Geografi, Sarana Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bapeda Kabupaten Sumedang. 2002. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumedang 2002-2012. Sumedang.
Budiharjo, E. 1997. Tata Ruang Perkotaan. Bandung. PT Alumni. Dardak , H. 2005. Pemanfaatan Lahan Berbasis Rencana Tata Ruang Sebagai Upaya Perwujudan Ruang Hidup yang Nyaman, Produktif dan Berkelanjutan. Makalah, disampaikan dalam Seminar Nasional “Save Our Land” for The Better Environment, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, 10 Desember 2005 Direktur Jenderal Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Kebijakan Strategi dan Program Dirjen Penataan Ruang Depkimpraswil. Makalah, dalam Pertemuan dengan Para Widyaiswara Depkimpraswil, Pusdiklat Pegawai-BPSDM, Jakarta 23 Agustus 2003. Direktur Jendral Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Pengembangan Wilayah dan Penataan Ruang di Indonesia: Tinjauan Teoritis Praktis. Jakarta: Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah Direktur Penataan Ruang Nasional. 2004. Peranserta Masyarakat dalam Rangka Pembangunan Kawasan Bodebek dalam Konteks Penataan Ruang. Makalah dalam Acara Dialog Kebijakan Penyusunan Kajian Lingkungan Strategis Kawasan Andalan Bodebek Royal Corner Hotel-Bandung, 13-14 Juli 2004. Endang Wahyuni. 2006. Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang Dengan Kinerja Perkembangan Wilayah (Studi Kasus Kota Bandar Lampung). (Tesis). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Elfida. 2007. Analisis Pola Spasial Tambang Timah Rakyat Sebagai Masukan Dalam Penentuan Kebijakan Tata Ruang Di Kabupaten Bangka. (Tesis). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. [FAO] Food and Agriculture of Organization. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Bull. No. 32 FAO, Rome.
103
Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian – IPB, Bogor. Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 21 No.2 Oktober 2003. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Balitbang Pertanian Departemen Pertanian. hal : 145-174. Jayadinata, J.T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah. Edisi ketiga. ITB, Bandung. Lillesand, M.T. , R.W. Kiefer. 1993. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Marisan, M. 2006. Analisis Inkonsistensi Tata Ruang Dilihat dari Aspek Fisik Wilayah : Kasus Kabupaten Kota Bogor. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Marquez LO and S. Maheepala. 1996. An Object-Oriented Approach to the Integrated Planning of Urban Development and Utility Services. Environ. and Urban Systems Vol. 20 No 4/5:pp.303-312. Maryudi, S. dan H. Napitupulu. 2001. Kebijakan Pertanahan dan Pembangunan. Pusat Pendidikan dan Latihan Badan Pertanahan Nasional. Jakarta. Nofarianty. 2006. Analisa Potensi Lahan Sawah untuk Pencadangan Kawasan Produksi Beras di Kabupaten Agam - Sumatera Barat. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nugroho, I dan R. Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. LP3ES. Pellika,P., Clark P.H., A. Keskinen, M. Lane, K.Masalin, P.N. Ghezelbash and T.Sirvio. 2004. Land Use Change Monitoring Aplying GeographiC Information Systems in The Taita Hills, SE-Kenya. The Proceeding of 5th African Association of Remote Sensing of Environment Conference, Nairobi Kenya, 17-22 October 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Permana RDD. 2004. Rencana Penataan Ruang Jabodetabek-Punjur. Didalam: Prosiding Seminar Terbatas Penataan Ruang, Pemanfaatan Ruang, dan Permasalahan Lingkungan di Jabodetabek. Bogor, 2004. Bogor: Swara Darmaga-Fakultar Peternakan IPB. Prahasta, E. 2005. Sistem Informasi Geografis: Tutorial ArcView. Bandung. Informatika Bandung.
104
Rustiadi, E., S. Saefulhakim. & D.R. Panuju. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saefulhakim, R.S., dan L.I. Nasution. 1995. Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi Teknis. Makalah Seminar Pengembangan Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor 26-27 September 1995. Saefulhakim, R.S. 1999. Pengembangan Model Sistem Interaksi antar Aktivitas Sosial Ekonomi dan Perubahan Penggunaan Lahan. Lokakarya HDPLUCC. Jakarta. Sastrowihardjo, M dan H. Napitupulu. 2001. Kebijakan Pertanahan dan Pembangunan. Jakarta. Pusdiklat BPN. Sumaryanto. 1994. Analisis Kebijakan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Lahan non Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional. Sondakh, L. 2002. Menyiasati Dampak Degradasi Ekosistem dalam Penataan Ruang dan Pemukiman pada Otonomi Daerah. Prosiding Lokakarya Nasional Bidang Perumahan dan Permukiman. Jakarta 28-30 Oktober 2002. Sunardi. 2004. Reformasi Perencanaan Tata Ruang Kota. Bahan Diskusi pada Workshop dan Temu Alumni MPKD UGM, Yogyakarta. (http://mpkd.ugm.ac.id). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Utoyo S. B. 2000. Analisa Keterkaitan Antara Pertumbuhan Wilayah dengan Pola Perubahan Penggunaan Lahan.(Tesis) .Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Warpani, S. 1984. Analisis Kota dan Daerah. Cetakan kedua. ITB. Bandung. Wegener, M. 2001. New Spatial Planning Models. JAG Vol 3 issue 3. Winoto, J. 1995. Alih Guna Lahan Pertanian, Permasalahan dan Implikasinya. Jurusan Tanah. Faperta IPB. Bogor. Winoto, J., M. Selari, N.A. Achsani dan D.R. Panuju. 1996. Alih Guna Tanah : Studi Kasus Tujuh Propinsi.
105
Lampiran
106
Lampiran 1. Daftar Kecamatan dan Desa di Kabupaten Sumedang No.
Kecamatan
Desa
1
Jatinangor
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Cikeruh Hegarmanah Cibeusi Cipacing Sayang Mekargalih Cintamulya Jatimukti Cisempur Jatiroke Cileles Cilayung
2
Cimanggung
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Cimanggung Sindangpakuwon Tegalmanggung Sindulang Sindanggalih Sawahdadap Cikahuripan Sukadana Mangunarga Cihanjuang
3
Tanjungsari
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Gudang Tanjungsari Jatisari Margaluyu Kutamandiri Margajaya Raharja Cijambu Pasigaran Gunungmanik Kadakajaya Cinanjung
4
Rancakalong
1. Nagarawangi 2. Cibunar 3. Pangadegan 4. Sukahayu 5. Sukamaju 6. Pamekaran 7. Rancakalong 8. Sukasirnarasa 9. Cibungur 10. Pasarbiru
107
Lampiran 1 (lanjutan) No.
Kecamatan
Desa
5
Sukasari
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Sukasari Genteng Banyuresmi Nanggerang Mekarsari Sindangsari Sukarapih
6
Pamulihan
1. Cigendel 2. Cijeruk 3. Pamulihan 4. Haurngombong 5. Cilembu 6. Cimarias 7. Cinanggerang 8. Mekarbakti 9. Sukawangi 10. Ciptasari 11. Citali
7
Sumedang Selatan
1. Pasanggarahan 2. Kota kulon 3. Regol wetan 4. Cipameungpeuk 5. Sukagalih 6. Baginda 7. Cipancar 8. Citengah 9. Gunasari 10. Sukajaya 11. Margamekar 12. Ciherang
8
Sumedang Utara
1. Kotakaler 2. Situ 3. Talun 4. Padasuka 5. Mulyasari 6. Girimukti 7. Mekarjaya 8. Margamukti 9. Sirnamulya 10. Kebonjati 11. Jatihurip 12. Jatimulya 13. Rancamulya
108
Lampiran 1 (lanjutan) No.
Kecamatan
Desa
9
Ganeas
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ganeas Dayeuhluhur Cikoneng Sukaluyu Sukawening Tanjunghurip Cikondang
10
Cimalaka
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Cimalaka Galudra Cibeureum Kulon Naluk Tarunamanggala Cikole Cibeureum Wetan Mandalaherang Licin Citimun Serang Padasari Cimuja
11
Cisarua
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Cisarua Ciuyah Cimara Bantarmara Cipandanwangi Cisalak Kebonkalapa
12
Paseh
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Paseh kidul Paseh kulon Legok kidul Legok kaler Bongkok Padanaan Pasireungit Cijambe Haurkuning Citepok
13
Cibugel
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jayamekar Buanamekar Cibugel Sukaraja Cipasang Tamansari
109
Lampiran 1 (lanjutan) No.
Kecamatan
Desa
14
Jatinunggal
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sirnasari Tarikolot Pawenang Sarimekar Banjarsari Kirisik Sukamanah Cipeundeuy Cimanintin
15
Wado
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Cimungkal Ganjaresik Cilengkrang Cikareo Selatan Cikareo Utara Wado Mulyajaya Padajaya Sukajadi Cisurat Sukapura
16
Situraja
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Situraja Utara Situraja Mekarmulya Cikadu Bangbayang Kaduwulung Karangheuleut Cijeler Ambit Jatimekar Cijati Wanakerta Malaka Sukatali
17
Cisitu
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Cisitu Situmekar Pajagan Cigintung Sundamekar Linggajaya Ranjeng Cilopang Cimarga Cinangsi
110
Lampiran 1 (lanjutan) No.
Kecamatan
Desa
18
Darmaraja
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Darmaraja Darmajaya Sukamenak Leuwihideung Sukaratu Cikeusi Cipeuteuy Jatibungur Cieunteung Karangpakuan Pakualam Cibogo Neglasari Cipaku Tarunajaya
19
Ujungjaya
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Ujungjaya Palabuan Palasari Keboncau Sakurjaya Kudangwangi Sukamulya Cipelang Cibuluh
20
Tomo
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tomo Tolengas Damawangi Marongge Jembarwangi Bugel Cipeles Karyamukti Cicarimanah
21
Jatigede
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Cijeungjing Kadujaya Lebaksiuh Cintajaya Cipicung Mekarasih Sukakersa Ciranggem Cisampih Jemah Karedok Kadu
111
Lampiran 1 (lanjutan) No.
Kecamatan
Desa
22
Conggeang
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Conggeang kulon Conggeang wetan Cipamekar Cibeureuyeuh Jambu Babakan asem Padaasih Ungkal Karanglayung Cacaban Narimbang Cibubuan
23
Tanjungkerta
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Sukamantri Cipanas Gunturmekar Mulyamekar Banyuasih Kertamekar Kertaharja Cigentur Tanjungmekar Tanjungmulya Boros
24
Tanjungmedar
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Cikaramas Wargaluyu Jingkang Kamal Kertamukti Tanjungwangi Sukamukti Sukatani
25
Buahdua
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Buahdua Hariang Karangbungur Mekarmukti Citalcus Nagrak Cibitung Sekarwangi Gendereh Panyindangan Cilangkap Bojongloa Cikurubuk
112
Lampiran 1 (lanjutan) No. 26
Kecamatan Surian
Desa 1. 2. 3. 4. 5.
Wanasari Wanajaya Pamekarsari Tanjung Surian
113
113
Lampiran 2. Citra Landsat Tahun 2002 Kabupaten Sumedang
114
114
Lampiran 3. Citra Landsat Tahun 2006 Kabupaten Sumedang
115
Lampiran 4. Penduga Awal Faktor-faktor yang Mempengaruhi Inkonsistensi RTRW 2
1
3
4
5
6
7
8
2586
82.008
24220
9
10
15639
4.572
6189
17931
0
11
12
13
14
2913
1265
9905
5734
15
16
17
18
19
99
0
0
29
29
20
21
22
1
Jatinangor
0
16
2
Cimanggung
3333,2
69.336
19493
16320
9.458
4172
14724
0
662
10707
8076
8244
485
0
0
100
100
3
Tanjungsari
3765,8
64.238
18223
16825
8.786
3539
13794
0
1310
2975
8762
8063
182
0
0
0
0
769
40
13
0
0
4
Sukasari
1872,2
28.978
8830
7593
6.191
2113
6876
0
195
6309
2942
4651
5
15
15
0
0
25
0
34
7
5
Pamulihan
4211,5
48.486
14678
11536
10.064
5094
10900
55
6208
5478
6058
301
0
0
0
0
6
Rancakalong
4297,6
36.134
11661
9818
7.872
4241
9425
0
18
6269
5982
3836
0
0
0
0
0
0
299 956
6 4
7
Sumedang Selatan
6593,9
66.687
18813
15291
9.482
6410
16866
0
1746
3175
8198
7093
64
0
0
243
243
0
732
18
8
Sumedang Utara
3123,4
76.146
20006
17027
8.398
5701
18790
0
2682
12107
15214
1813
1029
0
0
522
588
5
63
14
9
Ganeas
2160,6
22.699
6242
5325
5.402
2196
6175
0
155
2385
4424
901
70
0
0
0
0
0
699
5
10
Situraja
4086,1
34.053
9608
8864
6.847
3352
7479
0
154
3329
6136
2728
0
0
0
1
2
1
78
13
11
Cisitu
6560,5
26.211
8244
6973
6.794
1730
5280
0
37
3497
5029
1944
0
0
0
25
26
0
54
5
12
Darmaraja
4835,2
37.343
9826
9239
7.631
1916
7976
0
31
2293
6371
2868
0
0
0
195
210
68
25
7
13
Cibugel
4324,8
20.203
5405
4996
4.571
1757
3035
37
8
1148
2184
2812
0
0
0
35
35
0
295
2
14
Wado
7555,8
41.070
10914
10911
8.775
4480
7720
0
285
3135
4905
6006
72
9
9
129
129
69
171
3
15
Jatinunggal
10
16
Jatigede
17
5183,7
40.229
11376
10363
9.037
5156
7233
0
289
4277
5610
4753
0
0
0
50
50
0
204
10362,1
24.457
8102
7658
6.749
2103
7280
0
7
2091
4825
2833
0
0
0
73
73
8
1087
4
Tomo
4967,4
22.412
6535
7348
4.636
2009
5261
0
127
2247
5729
1619
92
333
373
340
350
870
595
10
18
Ujung Jaya
5882,2
29.497
8749
8389
6.708
2851
6344
0
72
4958
8140
249
0
0
0
150
200
236
63
6
19
Conggeang
6254,8
30.273
10028
9122
8.011
1924
7778
0
48
4581
7160
1962
0
0
0
13
13
0
51
8
20
Paseh
3436,5
35.419
10522
8508
7.285
1221
8402
0
69
4015
7641
867
193
0
0
0
0
4
129
18
21
Cimalaka
4161
52.096
14551
12824
10.657
4907
13628
0
264
4991
9974
2850
0
0
0
0
0
0
0
16
22
Cisarua
1257,2
18.175
5468
4673
3.630
1125
3919
0
44
1656
3432
1241
0
0
0
0
0
0
0
8
23
Tanjungkerta
4043,3
32.503
10424
9183
8.240
3752
9767
0
86
2719
5830
3353
0
25
25
1
1
0
40
11
24
Tanjungmedar
6515,7
23.722
7557
6498
4.073
4447
4126
0
0
6289
3956
2542
0
0
0
0
0
1
314
9
25
Buahdua
7158,5
31.552
9785
8088
7.665
2774
9059
23
48
1929
6534
1554
0
0
0
0
0
20
80
26
Surian
5292,7
12.514
3511
3360
2.838
695
2535
0
0
1745
1793
1567
0
0
0
0
0
0
26
8 3
115
116
Lampiran 4 (Lanjutan) 1
2
23
24
25
Jatinangor
33
9
0,1
2
Cimanggung
31
6
0,1
3
Tanjungsari
29
9
0,1
4
Sukasari
12
2
0,1
5
Pamulihan
24
1
0,1
6
Rancakalong
29
5
0,1
7
Sumedang Selatan
45
10
0,1
8
Sumedang Utara
36
6
0,1
9
Ganeas
14
2
0,1
10
Situraja
25
5
0,1
11
Cisitu
22
3
0,1
12
Darmaraja
37
6
0,1
13
Cibugel
17
1
0,1
14
Wado
32
5
0,1
15
Jatinunggal
31
4
0,1
16
Jatigede
23
3
0,1
17
Tomo
18
4
0,1
18
Ujung Jaya
20
3
0,1
19
Conggeang
19
4
0,1
20
Paseh
19
5
0,1
21
Cimalaka
33
5
0,1
22
Cisarua
10
3
0,1
23
Tanjungkerta
26
4
0,1
24
Tanjungmedar
20
2
0,1
25
Buahdua
27
4
0,1
26
Surian
8
0
17
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
0,1 0,1 0,1 0,1 2 0,1 0,1 0,1 3 0,1 5 0,1 5 5 0,1 18 0,1 0,1 0,1 7 0,1 7 0,1 7 10 39
0 0 2 0 0 0 2 14 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
14 0,1 0,1 5 17 15 0,1 0,1 48 0,1 7 15 18 5 21 20 30 37 20 9 0,1 7 14 24 31 39
4 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0
18 0,1 0,1 5 17 15 0,1 8,1 48 0,1 7 15 18 5 21 20 30 37 20 9 1,1 7 14 24 31 39
4 1 1 0 0 0 2 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 1 3 0 0 0 5 6 0 2 0 2 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
1 2 3 0 0 0 4 7 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1
0 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
24 16 18 23 17 14 0 2 10 14 19 27 35 32 35 27 30 37 20 11 4 7 19 24 31 39
0 1 2 0 0 0 3 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0 1 0 0 0 0
24 0,01 0,01 5 17 14 0,01 0,01 10 0,01 19 27 35 6 10 27 30 0,01 20 7 4 7 19,7 23,5 31 39
39 4 1 5 1 0 0 3 1 4 2 0 0 1 2 1 4 0 0 1 1 1 1 1 0 0 2
40
0,01 0,01 0,01 0,01 17 14 0,01 0,01 0,01 0,01 1,5 4 0,01 0,01 0,01 0,01 30 37 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 23,5 31 0,01
41 3 5 4 2 5 2 4 5 3 6 6 3 3 4 4 7 4 4 4 4 4 3 7 4 10 3
42
43
44
45
46
47
48
7 3 12 2 1 2 14 18 1 5 0 6 0 2 2 2 1 2 5 1 4 1 4 2 2 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 25
18 10 19 7 13 10 15 19 7 13 1 9 2 10 9 8 7 10 19 13 14 3 10 6 2 3
6 2 5 0 0 0 9 3 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 1 3 0 0 0 0 0
0 0 0 0 4 14 0 0 0 0 5 12 18 0 4 14 3 37 0 0 0 3 16 24 9 39
2.951 3.164 3.183 1.593 3.125 2.200 3.883 5.283 1.048 3.114 1.560 1.944 1.100 2.327 3.055 1.357 1.498 2.118 1.536 1.317 2.189 906 1.971 1.514 1.551 491
287 152 790 177 399 261 643 895 255 348 194 343 1322 262 263 304 256 1556 600 418 588 772 255 263 129 195
116
1
26 4 2 5 0 0 0 1 4 0 2 0 2 0 0 2 0 1 1 1 0 4 0 1 0 0 0
117
Lampiran 4 (Lanjutan) 1
2
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
Jatinangor
24
27
135
7
356
310
45,5
0
2231
122
435
0
1674
9
7
0
193
17
343
0
0
19
393
0,01
2
Cimanggung
28
30
44
0
689
519,4
98,3
71
2645
284
1608
205
548
38
11
0
2
0
30
2
4
155
42
0,01
3
Tanjungsari
18
27
30
1
729
527,9
201
0
3037
1140
943
0
955
0
4
1
14
9
257
1
2
187
68
0,01
4
Sukasari
23
32
9
0
659
575,1
76,5
7
1214
325
526
0
363
0
0
0
6
0
1109
0
0
30
1054
2
5
Pamulihan
15
30
12
0
796
566,5
226
3,1
3416
2367
274
292
483
1
4
0
38
0
47
2
9
74
277
0,01
6
Rancakalong
14
35
9
0
1302
1231
71
0
2995
2326
0
0
669
0
0
0
297
13
53
0
12
677
0
15
7
Sumedang Selatan
3
42
28
2
1613
1286
270
57
4981
3005
673
0
1303
0
1
0
43
0
11
0
1
12
0
4
8
Sumedang Utara
1
45
59
4
978
676,2
302
0
2145
571
664
9,7
900
0
6
2
10
0
69
2
9
165
1
0,01
9
Ganeas
11
54
6
0
670
561,9
108
0
1491
376
724
0
391
0
1
0
5
0
518
0
0
125
20
0,01
10
Situraja
14
60
20
0
1495
798,8
671
25
2591
701
768
644
479
0
1
0
29
0
37
1
0
39
678
0,01
11
Cisitu
19
66
4
0
1383
703,9
644
35
5178
2841
1532
247
558
0
0
0
22
0
467
0
0
95
25
0,01
12
Darmaraja
27
57
10
0
1790
1452
304
34
3045
1358
1165
51
472
0
4
1
3
0
18
0
6
45
62
0,01
13
Cibugel
41
45
3
0
666
475
176
15
3659
2130
1141
65
322
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0,01
14
Wado
32
41
11
1
1580
1082
499
0
5975
2747
2317
0
912
0
0
1
37
0
122
0
0
367
0
0,01
15
Jatinunggal
35
50
19
0
2289
1548
740
0
2895
1224
897
0
774
0
0
0
32
0
58
0
6
209
19
0,01
16
Jatigede
47
30
8
0
1556
416
1080
60
8806
5406
2659
343
399
0
0
0
3
0
1
0
0
531
0
14
17
Tomo
30
20
9
0
1693
643
1025
25
3274
2187
582
129
377
0
4
0
28
0
6
0
0
23
0
3
18
Ujung Jaya
37
23
17
1
2853
1219
1608
26
3029
1569
592
1
867
0
0
0
48
0
4
0
0
64
0
0,01
19
Conggeang
20
45
12
0
3129
2612
506
10
3126
2071
355
85
615
0
0
0
287
0
89
0
0
505
0
0,01
20
Paseh
13
35
13
0
1349
748
601
0
2088
574
919
60
535
0
23
0
53
0
0
0
0
32
10
0,01
21
Cimalaka
5
56
23
0
940
866,3
73,5
0
3221
1621
208
0
1393
0
2
0
18
0
31
0
0
49
201
0,01
22
Cisarua
7
58
3
0
433
300,4
133
0
824
318
277
0
229
0
0
0
1
0
249
0
0
5
3
3
23
Tanjungkerta
19
73
12
0
1701
1079
622
0
2343
1050
724
141
428
0
0
1
32
0
58
0
0
209
7
0,01
24
Tanjungmedar
24
48
4
0
1000
161,9
825
13
5515
14,8
4767
226
507
0
0
0
20
0
20
0
0
14
3
0,01
25
Buahdua
31
57
18
0
3514
2446
1067
0
3645
1350
1633
0
662
0
0
0
25
0
41
0
7
123
26
26
Surian
39
89
2
0
1687
914
483
290
3606
2759
655
70
123
0
0
0
14
0
12
0
0
3
0
0,01 39
117
1
118
Lampiran 4 (Lanjutan) 1
2
2
74
75
76
11 2 3 0 0 0 14 3 0 0 0 3 0 1 0 0 19 0 1 4 2 0 0 0 1 0
70 12 25 3 34 0 11 23 1 4 1 5 0 7 14 0 31 12 6 13 10 0 0 0 7 0
1324 483 298 222 506 463 224 599 243 320 24 206 36 44 47 268 38 152 273 329 701 48 301 159 304 39
247 353 802 70 33 4 439 787 13 14 393 40 22 482 366 4 192 342 789 107 23 18 59 20 42 13
77
78
79
80
81
82
4 0 0 0 0 0 5 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 1 0 0 0 2 0
12 2 6 0 0 1 9 7 3 3 0 3 2 2 0 0 1 4 3 0 3 2 0 0 1 1
1 1 1 1 2 1 4 0 0 1 1 1 0 1 1 1 1 0 0 1 1 0 2 0 2 0
2 1 0 0 1 0 10 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1
2 12 8 3 2 5 26 27 1 6 3 34 2 2 2 0 2 7 2 0 1 4 5 3 1 2
14 5 12 3 1 0 7 3 1 4 1 6 2 0 4 3 0 1 2 0 1 0 8 2 1 0
83
74 24 43 16 34 16 30 51 10 18 28 21 4 33 24 7 12 28 21 20 16 6 36 18 25 7
84
85
86
87
88
89
90
19 23 24 11 27 7 13 21 4 17 8 9 5 14 17 1 15 15 13 8 16 4 9 6 18 7
68 5 10 0 1 6 13 11 0 3 2 3 1 3 2 2 1 3 3 4 7 2 4 2 1 1
0 2 0 0 0 0 1 1 0 0 0 7 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0
41 24 15 5 13 0 22 24 1 11 4 8 1 2 2 1 1 6 20 3 5 4 2 2 19 14
31 12 24 7 13 14 18 25 7 12 13 8 3 13 18 1 4 8 10 10 15 6 6 1 17 1
14 11 13 3 6 0 7 35 5 8 6 6 3 7 5 3 3 10 9 8 7 2 12 3 13 1
15 11 15 5 6 1 16 12 5 4 0 15 4 10 11 2 5 17 14 6 13 7 10 8 14 2
118
Jatinangor Cimanggung 3 Tanjungsari 4 Sukasari 5 Pamulihan 6 Rancakalong 7 Sumedang Selatan 8 Sumedang Utara 9 Ganeas 10 Situraja 11 Cisitu 12 Darmaraja 13 Cibugel 14 Wado 15 Jatinunggal 16 Jatigede 17 Tomo 18 Ujung Jaya 19 Conggeang 20 Paseh 21 Cimalaka 22 Cisarua 23 Tanjungkerta 24 Tanjungmedar 25 Buahdua 26 Surian Sumber : PODES 2005 1
73
119
Keterangan lampiran 4 1
=
Nomor Urut
46
=
Jarak ke Apotek
2
=
Nama Kecamatan
47
=
Keluarga Penerima Kartu Sehat
3
=
Nama Kecamatan
48
=
Jumlah Surat Miskinyang dikeluarkan
4
=
Luas Wilayah (Hektar)
49
=
Jarak keIbukota Kabupaten
5
=
Jumlah Penduduk (Jiwa)
50
=
Jarak ke Ibukota Kab Lain yang Terdekat
6
=
Jumlah Keluarga (Kk)
51
=
Jumlah Wartel
7
=
Jumlah Rumah
52
=
Jumlah Warnet
8
=
Jumlah Keluarga Pertanian (Kk)
53
=
Luas Lahan Sawah
9
=
Jumlah Keluarga Dengan Listrik PLN
54
=
Luas Sawah Beririgasi
10
=
Jumlah Keluarga Dengan Listrik Non-PLN
55
=
SawahTidak Beririgasi
11
=
Jumlah Keluarga Berlangganan Telephon (KK)
56
=
Sawah Tidak Diusahakan
12
=
Jumlah Penduduk Sebagai Buruh Tani
57
=
Luas LahanBukanSwah
13
=
Jumlah Rumah Permanen
58
=
Lahan Kolam/Hutan Rakyat/Padang Rumput
14
=
Jumlah Rumah Non Permanen
59
=
Luas Ladang Diusahakan
15
=
Jumlah Rumah di Bawah Jaringan Sutet
60
=
Luas Ladang Tidak Diusahakan
16
=
Jumlah Rumah di Permukiman Kumuh
61
=
Luas Lahan Non Pertanian
17
=
Jumlah Keluarga di Permukiman Kumuh
62
=
Jumlah Industri Besar
18
=
Jumlah Rumah di Tepi Sungai
63
=
Jumlah Industri Sedang
19
=
Jumlah Keluarga di Tepi Sungai
64
=
Industri Kecil Berupa Kerajinan Kulit
20
=
Jumlah Rumah di Daerah Rawan Longsor
65
=
Industri Kecil Berupa Kerajinan Kayu
21
=
Jumlah Keluarga di Daerah Rawanlongsor
66
=
Industri Kecil Berupa Kerajinan Logam
22
=
Jumlah TK
67
=
Industri Kecil Berupa Kerajinan Anyaman
23
=
Jumlah SD
68
=
Industri Kecil Berupa Kerajinan Gerabah
24
=
Jumlah SMP
69
=
Industri Kecil Berupa Kerajinan Kain/Tenun
25
=
Jarak Ke SMP
70
=
Industri Kecil Berupa Kerajinan Makanan
26
=
Jumlah SMU
71
=
Industri Kecil Berupa Kerajinan Lainnya
27
=
Jarak Ke SMA
72
=
Jarak Ke Pasar
28
=
Jumlah SMK
73
=
Jumlah Minimarket/Supermaket
29
=
Jarak Ke SMK
74
=
Jumlah Restoran
30
=
Jumlah Perguruan Tinggi
75
=
Jumlah Warung Kelontong
31
=
Jumlah SLB
76
=
Jumlah Warung/Kedai Makanan
32
=
Jumlah Lembaga Pendidikan Bahasa
77
=
Jumlah Hotel
33
=
Jumlah Lembaga Pendidikan Komputer
78
=
Jumlah Lembaga Perbankan
34
=
Jumlah Lembaga Pendidikan Menjahit
79
=
Jumlah KUD
35
=
Jumlah Rumah Sakit
80
=
Jumlah Koperasi Industri
36
=
Jarak Ke Rumah Sakit
81
=
Jumlah Koperasi Simpan Pinjam
37
=
Jumlah Rumah Sakit Bersalin
82
=
Jumlah Koperasi Lain
38
=
Jarak Ke Rumah Sakit Bersalin
83
=
Jumlah Bengkel Kendaraan
39
=
Jumlah Poliklinik/Balai Pengobatan
84
=
Jumlah Reparasi Elektronik
40
=
Jarak Ke Poliklinik/Balai Pengobatan
85
=
Jumlah Usaha Foto Copy
41
=
Jumlah Puskesmas
86
=
Jumlah Agen Perjalanan
42
=
Jumlah Dokter Praktek
87
=
Jumlah Pangkas Rambut
43
=
Jarak Ke Dokter Praktek
88
=
Jumlah Usaha Salon Kecantikan
44
=
Jumlah Bidan Praktek
89
=
Jumlah Bengkel Las
45
=
Jumlah Apotek
90
=
Jumlah Usaha Sewa Alat Pesta
120
Lampiran 5. Nilai Eigenvalue Hasil Pengolahan PCA Eigenvalues of correlation matrix, and related statistics Eigenvalue
% Total
Cumulative
Cumulative
variance
Eigenvalue
%
1
6,272527
28,51149
6,27253
28,5115
2
5,144228
23,38286
11,41676
51,8943
3
3,086227
14,02830
14,50298
65,9226
4
2,604743
11,83974
17,10772
77,7624
5
1,986351
9,02887
19,09408
86,7913
6
1,371511
6,23414
20,46559
93,0254
121
Lampiran 6. Loading Factor Hasil Pengolahan PCA Factor Loadings (Varimax normalized) (Spreadsheet3) Extraction: Principal components (Marked loadings are > ,700000) Variabel
Factor
Factor
Factor
Factor
Factor
Factor
1
2
3
4
5
6
1
0,838184
-0,095690
0,017205
0,060617
0,348981
-0,179823
2
-0,769011
-0,046999
-0,260637
-0,240429
-0,264733
0,292831
3
-0,031025
0,956579
-0,034772
-0,007268
-0,125779
0,064131
4
-0,029682
0,958609
-0,032895
-0,002334
-0,123972
0,066382
5
-0,069621
0,890605
0,057316
-0,020359
0,332313
0,056781
6
-0,061746
0,850396
0,119847
0,008465
0,400234
0,051362
7
-0,026295
0,957548
-0,067598
0,000990
-0,118519
-0,036654
8
0,159944
0,044392
0,063681
-0,007450
0,962798
-0,028784
9
0,892353
-0,011210
0,036104
0,128695
-0,225052
-0,025213
10
-0,064070
-0,000185
0,974477
0,060105
0,068692
0,084539
11
0,034423
-0,019119
0,853540
0,035232
0,490067
0,083620
12
0,148941
0,026060
0,213570
-0,032399
0,947533
0,003389
13
-0,206030
0,087773
-0,056264
-0,961283
-0,006669
-0,009511
14
-0,025198
-0,180992
0,018365
-0,913581
0,039537
0,111451
15
0,206030
-0,087773
0,056264
0,961283
0,006669
0,009511
16
-0,385706
0,104917
0,089457
0,254080
-0,051631
0,863400
17
-0,173116
-0,091051
-0,110732
0,390163
-0,035823
-0,879924
18
0,930943
-0,106278
0,116471
0,039305
0,132731
-0,028508
19
0,380919
0,733275
0,534826
0,066695
-0,051714
0,044937
20
0,870976
0,312427
0,026905
0,123458
0,002959
0,090404
21
0,901858
-0,169748
-0,002702
0,070065
0,120212
0,071604
22
0,530505
0,099954
0,787613
-0,025260
-0,019498
0,010704
Expl.Var
5,283879
5,034597
2,769446
3,010873
2,668791
1,698001
Prp.Totl
0,240176
0,228845
0,125884
0,136858
0,121309
0,077182
122
Keterangan Lampiran 6 NO
Variabel
1
Kepadatan Penduduk (Jumlah Penduduk/Luas Wilayah)
2
Rasio Keluarga Pertanian (Jumlah Keluarga/Jumlah Keluarga
3
RasioJumlah bangunan rumah permukiman kumuh permukiman kumuh dibagi jumlah seluruh rumah)
4
Rasio Jumlah keluarga di permukiman kumuh (Jumlah keluarga di permukiman kumuh dibagi jumlah keluarga)
5
Rasio Jumlah Keluarga yang bertempat tinggal di bantaran sungai (Jumlah keluarga di permukiman kumuh dibagi jumlah keluarga)
6
Rasio Jumlah bangunan rumah di bantaran/tepi sungai (Jumlah rumah di tepi sungai dibagi jumlah rumah)
7
Rasio Jumlah keluarga yang tinggal di daerah rawan bencana banjir (Jumlah keluarga di daerah rawan bamjir dibagi jumlah keluarga)
8
Jumlah SMK (Jumlah SMK/Jumlah Penduduk X 1000)
9
Jumlah Akademi/Perguruan Tinggi (Jumlah PT/Jumlah Penduduk X 1000)
10
Jumlah Rumah Sakit (Jumlah Rumah Sakit/Jumlah Penduduk
11
Jarak Ke Rumah Sakit (1/km)
12
Invers Jarak ke Ibu Kota Kabupaten (1/km)
13
Rasio Luas Lahan Sawah (luas lahan sawah/luas wilayah)
14
Rasio Luas Lahan sawah berpengairan yang diusahakan (Luas Lahan sawah berpengairan yang diusahakan/Luas wilayah)
15
Rasio Luas lahan bukan sawah (Luas lahan bukan sawah/luas wilayah)
16
Rasio Luas Lahan pertanian (Kolam/Tambak/Perkebunan/Hutan Rakyat/Padang Rumput) (Luas Lahan pertanian/Luas wilayah)
17
Rasio Luas Ladang yang diusahakan (Luas Ladang yang diusahakan/Luas Wilayah)
18
Rasio Luas Lahan untuk non pertanian ( pertanian/Luas Wilayah)
19
Super market/ pasar swalayan/toserba/mini market (unit)
20
Restoran/rumah makan (unit)
21
Toko/Warung kelontong (unit)
22
Hotel dan Penginapan (Unit)
(Jumlah rumah di
Luas Lahan untuk non
123
Lampiran 7. Score Factor Hasil Pengolahan PCA No
Factor 1
Factor 2
Factor 3
Factor 4
Factor 5
Factor 6
1
4,372899
-0,055573
0,177752
0,63121
-1,11346
-0,12351
2
0,355034
0,128851
-0,332256
0,71008
-0,04067
-1,82778
3
0,553830
-0,288905
-0,398180
0,88041
0,21714
-0,08246
4
0,046880
-0,354707
-0,270778
-0,72911
-0,20452
-0,72816
5
0,354985
-0,398630
-0,602412
1,03372
-0,11859
1,78347
6
0,035764
-0,550308
-0,343471
-0,21213
-0,09482
1,66097
7
-0,314128
-0,000906
4,777768
0,29469
0,33679
0,41449
8
0,716574
0,387297
-0,340895
-0,19066
4,65355
-0,27268
9
-0,294841
-0,442699
-0,180215
-0,30189
-0,17359
-0,71642
10
-0,162482
-0,371462
-0,303681
-0,45711
0,10678
-0,34930
11
-0,796584
-0,295360
-0,222440
1,01962
-0,22568
0,44975
12
-0,392398
0,343866
-0,224268
-0,69322
0,09363
-0,19434
13
-0,866806
-0,228414
-0,293190
1,41616
-0,18711
0,60744
14
-0,642579
0,073093
-0,280115
0,89170
-0,12339
-0,02762
15
-0,202133
-0,189589
-0,263087
-1,20984
-0,28977
-0,11338
16
-0,852736
-0,146074
-0,352525
1,70670
-0,13919
0,79561
17
-0,126153
4,712144
-0,138639
0,03790
-0,58578
0,34883
18
-0,268552
0,488052
-0,415456
-1,15750
0,00403
0,12943
19
-0,157908
-0,357352
-0,175757
-1,94498
-0,33807
0,64773
20
0,174504
-0,229848
0,414529
-0,74742
-0,48065
-0,74552
21
0,613129
-0,552115
-0,049142
0,28144
0,34842
1,25819
22
-0,187481
-0,425951
-0,085833
-0,40240
0,06800
-0,37093
23
-0,266087
-0,299967
-0,242674
-0,96381
-0,30665
-0,04707
24
-0,767184
-0,256543
0,021507
1,63914
-0,35539
-2,97795
25
-0,125868
-0,307997
0,334029
-1,72607
-0,65899
-0,53709
26
-0,799679
-0,380905
-0,210569
0,19338
-0,39201
1,01832