ANALISIS PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN INDUSTRI KERTAS (Studi Kasus: PT Aspex Kumbong, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor)
Oleh: RETNO DAMAYANTI A14304065
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN RETNO DAMAYANTI. Analisis Penetapan Nilai Pajak Lingkungan Industri Kertas (Studi Kasus: PT Aspex Kumbong, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor). Dibawah bimbingan ACENG HIDAYAT. Pada masa sekarang, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan. Sektor yang memberikan kontribusi besar dalam peningkatan PDB Indonesia adalah industri pengolahan atau industri manufaktur. Salah satu industri pengolahan yang sangat berperan dalam peningkatan perekonomian nasional adalah industri pulp dan kertas. Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, industri kertas banyak terdapat di Jawa Timur dan Jawa Barat. Di Jawa Barat, industri kertas salah satunya terdapat di Kabupaten Bogor. Jumlah industri kertas dan pengolahan kertas di kabupaten ini sebanyak 14 industri pada tahun 2006. Jumlah industri kertas sendiri sebanyak dua perusahaan yaitu PT. Aspex Kumbong yang berlokasi di Desa Dayeuh, Kecamatan Cileungsi dan PT. Parisindo Pratama yang berlokasi di Desa Gunung Putri, Kecamatan Gunung Putri. Limbah cair yang dihasilkan kedua industri ini sangat besar. PT. Aspex Kumbong menghasilkan limbah cair kurang lebih 275.000 m3 dan PT. Parisindo Pratama menghasilkan sekitar 36.500 m3 (DTRLH Kabupaten Bogor, 2007). Limbah cair pada industri kertas dihasilkan pada bermacam-macam proses. Air limbah pada industri kertas biasanya menimbulkan masalah warna, bau, pH, zat padat tersuspensi, BOD, COD, dan toksisitas. Kedua perusahaan ini membuang limbah cairnya ke Sungai Cileungsi. Sungai ini termasuk salah satu sungai yang tingkat pencemarannya sangat tinggi. Dalam revisi Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi akan memasukkan pajak lingkungan. Pajak lingkungan ini akan dikenakan pada industri manufaktur yang mempunyai omzet di atas 300 juta per tahun, dan besarnya 0,5 persen dari omzet tersebut. Hal ini masih menimbulkan pro dan kontra antara pihak pemerintah dengan pihak perusahaan. Perusahaan menganggap pemerintah tidak seharusnya menyamaratakan semua industri karena industri manufaktur yang mempunyai omzet di atas 300 juta per tahun belum tentu limbahnya mencemari lingkungan. Jika pengelolaan limbahnya baik maka industri tersebut seharusnya tidak dikenakan pajak lingkungan. Pemerintah seharusnya menerapkan polluter pays principle dalam penerapan pajak lingkungan. Tujuan penelitian ini mengestimasi besarnya biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan kertas untuk mengurangi kadar pencemaran pada setiap parameter pencemar dan merumuskan persamaan tambahan tersebut; mengestimasi besarnya tambahan kerusakan yang diterima oleh masyarakat akibat pencemaran air yang disebabkan oleh limbah cair industri kertas dan merumuskan fungsi dari tambahan kerusakan tersebut; mengestimasi besarnya pajak lingkungan yang dibebankan kepada industri kertas berdasarkan polluter pays principle. Studi kasus dalam penelitian ini adalah PT. Aspex Kumbong yang berlokasi di Desa Dayeuh dan masyarakat Desa Cileungsi Kidul, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor. Pemilihan objek dan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive). Sebagian dari data yang digunakan untuk menghitung
Marginal Abatemen Cost didapatkan dari PT. Unitex sebagai referensi karena adanya kesamaan karakteristik limbah cair dan teknik pengolahannya. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode simple random sampling. Masyarakat yang diambil sebagai responden adalah masyarakat Desa Cileungsi Kidul yang tinggal di pinggiran Sungai Cileungsi yaitu RW 07/RT 02 dan RW 08/RT 01. Masyarakat yang dijadikan responden sebanyak 40 orang. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Marginal Abatemen Cost dapat dicari dengan menggunakan analisis deskriptif. Marginal Damage dicari menggunakan metode WTA dengan pendekatan CVM, sedangkan pajak lingkungan dicari menggunakan persamaan garis lurus. Hasil penelitian ini adalah besarnya biaya yang dikeluarkan oleh PT. Aspex Kumbong untuk mengurangi kadar pencemarannya adalah Rp. 406.451,43 per mg/l dan Rp. 433.405,52 per mg/l untuk parameter BOD dan COD. MAC untuk mengurangi kadar pencemaan BOD sampai tingkat outlet yang memenuhi baku mutu atau di bawah standar baku mutu yaitu rata-rata 36,94 mg/l adalah Rp. 310.146.828,18. MAC perusahaan untuk mengurangi kadar pencemaran COD sampai dengan outlet yang dikeluarkan yaitu rata-rata 114,69 mg/l adalah Rp. 2.550.725.840,91. Fungsi persamaan MAC untuk BOD adalah MAC = 325.161.144 – 406.451,43 BOD, untuk parameter COD adalah MAC = 2.600.433.120 – 433.405,52 COD Marginal damage untuk kualitas air Sungai Cileungsi kelas 3 rata-rata sebesar Rp. 135.000,00 dan MD masyarakat sebesar Rp. 34.425.000,00. Fungsi MD masyarakat untuk BOD adalah MD = -22.801.788,38 + 11.400.894,19 BOD dan fungsi MD masyarakat untuk COD adalah MD = -10.381.483,72 + 1.038.148,37 COD. Pajak lingkungan yang efisien untuk BOD adalah sebesar Rp. 313.183.004,63 pada tingkat pencemaran 29,4700387012 mg/l. Pada tingkat pencemaran COD sebesar 1.774,18891789 mg/l, pajak yang harus dibayarkan sebesar Rp.1.831.489.849,45. Pajak per milligram untuk tiap-tiap parameter adalah Rp. 10.627.166,39 dan Rp. 1.032.296,97 untuk parameter BOD dan COD. Pajak yang seharusnya dibayar oleh PT. Aspex Kumbong sebesar Rp. 510.961.665,57. Hasil ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan retribusi yang dibayarkan PT. Aspek Kumbong yaitu Rp.138.850.000,00. Hal ini disebabkan dalam penghitungan retribusi belum memasukkan besarnya tambahan kerusakan yang diterima masyarakat. Pemerintah dalam menetapkan pajak lingkungan seharusnya mempertimbangkan seberapa besar dampak yang diterima oleh masyarakat. Sebaiknya pemerintah membuat semacam IPAL yang secara khusus mengolah air sungai, agar masyarakat dapat memanfaatkan kembali air sungai ini. Saran untuk penelitian lanjutan adalah perusahaan yang diteliti sebaiknya melibatkan beberapa perusahaan yang sejenis yang berada di satu aliran sungai. Pengujian air sungai sebaiknya dilakukan secara periodik pada musim penghujan dan musim kemarau, jadi bisa diambil rata-rata tingkat pencemaran sungai.
ANALISIS PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN INDUSTRI KERTAS (Studi Kasus: PT Aspex Kumbong, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor)
Oleh: RETNO DAMAYANTI A14304065
Skripsi Sebagai Bagian Pernyataan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul
: Analisis Penetapan Nilai Pajak Lingkungan Industri Kertas (Studi Kasus: PT Aspex Kumbong, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor)
Nama Mahasiswa : Retno Damayanti NRP
: A14304065
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 132 007 049
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131124019
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS
PENETAPAN
NILAI
PAJAK
LINGKUNGAN INDUSTRI
KERTAS (Studi Kasus: PT Aspex Kumbong, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA.
Bogor,
Januari 2009
Retno Damayanti A14304065
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Purworejo, 11 Agustus 1986 sebagai anak kedua dari dua bersaudara pasangan Mardjono dan Djumirah. Penulis menyelesaikan sekolah menengah atas pada SMUN 2 Purworejo pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama menjadi mahasiswa penulis aktif menjadi pengurus OMDA Purworejo pada tahun 2005-2006. Penulis juga pernah menjadi asisten MK. Ekonomi Umum selama satu semester.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi ini yang berjudul “Analisis Penetapan Nilai Pajak Lingkungan Industri Kertas (Studi Kasus: PT Aspex Kumbong, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor)” dapat terselesaikan. Skripsi ini merupakan hasil laporan penelitian yang dilakukan oleh penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis berusaha mengerjakan dan menyajikan skripsi ini dengan sebaikbaiknya. Namun, penulis tetap mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penelitian selanjutnya. Penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, Januari 2009
Retno Damayanti
UCAPAN TERIMAKASIH Penulisan skripsi merupakan tahap akhir dari proses pendidikan yang dijalani oleh penulis di Institut Pertanian Bogor. Dalam proses penulisan skripsi ini tidak lepas dari kerjasama dan bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku dosen pembimbing skripsi atas masukan, arahan dan kerjasamanya selama penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku dosen penguji utama pada ujian skripsi. 3. Adi Hadianto, SP selaku dosen penguji departemen pada ujian skripsi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 4. Bapak Dodi selaku pihak DTRLH dan Bapak Syamsudin selaku pihak dari perusahaan atas bantuan dan kerjasamanya. 5. Mbak Pini atas dukungan, bantuan, bimbingannya dan masukannya. 6. Kedua orang tua, mbak rini, dan mas try yang selalu memberi perhatian dan kasih sayangnya kepada penulis. 7. Mbah uti, om maryadi, mbak yanti, mbak anis, om edi, bulik erni, om yadi dan bulik endang atas doanya untuk penulis. 8. Mas Gigin atas bantuan, dukungan, dan masukan dari awal penyusunan skripsi sampai akhir. 9. An Dwi atas perhatian dan kasih sayangnya kepada penulis. 10. Teman-teman seperjuangan: cita, vina, nunung atas kebersamaan, semangat dan dukungannya selama ini.
11. Teman-teman EPS’41: pipit, cian, chan-chan, nia, mute, teh fitri, emil, asti, rira, erna, uli, zakia, owin, risti, mayang, ida, wida, rahma, uchie, ngkong, budi, dan lainnya
yang tidak
bisa
disebutkan
satu
persatu atas
kebersamaannya selama ini. 12. Teman-teman KKP : Gita, icha, riris, Chika, Alie atas kenangan manis di Brebes. 13. Dan pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...........................................................................................
x
DAFTAR TABEL ...................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xv
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2 Perumusan masalah .......................................................................
6
1.3 Tujuan Penelitian ...........................................................................
8
1.4 Manfaat penelitian ..........................................................................
8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ..............................................................
9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Mutu Air ...................................
10
2.2 Dampak Pencemaran Air ...............................................................
12
2.3 Industri Pulp dan Kertas .................................................................
12
2.4 Limbah Cair Industri Pulp dan Kertas .............................................
15
2.5 Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Industri Kertas ...............
18
2.6 Pajak .............................................................................................
19
2.6.1 Pengertian Pajak ....................................................................
19
2.6.2 Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas .....................................
20
2.7 Penelitian Terdahulu ......................................................................
22
2.7.1 Penelitian Mengenai Industri Kertas ......................................
22
2.7.2 Penelitian tentang Willingness to Accept (WTA) ...................
23
2.7.3 Penelitian tentang Sungai Cileungsi .......................................
25
III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis ..........................................................................
26
3.1.1 Pajak Lingkungan .................................................................
26
3.1.2 Willingness to Accept .............................................................
30
3.1.3 Metode Valuasi Kontingensi (Contingent Valuation Method) .
32
3.2 Kerangka Operasional ....................................................................
39
IV. METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian .........................................................
40
4.2 Metode Pengambilan Sampel .........................................................
40
4.3 Jenis dan Sumber Data ...................................................................
40
4.4 Metode Analisis Data ....................................................................
41
4.4.1 Analisis Marginal Abatemen Cost (MAC) PT. Aspex Kumbong ...............................................................................
42
4.4.2 Analisis Besarnya Kompensasi (WTA) yang Ingin Diterima Oleh Masyarakat ...................................................................
42
4.4.3 Pengujian Parameter .............................................................
48
4.4.4 Analisis Besarnya Pajak Lingkungan .....................................
52
V. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum PT. Aspex Kumbong .........................................
53
5.1.1 Sejarah Singkat Perusahaan ...................................................
53
5.1.2 Lokasi dan Tata Letak Pabrik ................................................
55
5.1.3 Tenaga Kerja .........................................................................
57
5.2 Gambaran Umum Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PT. Aspex Kumbong ......................................................................
58
5.3 Gambaran Umum Desa Cileungsi Kidul .........................................
63
5.4 Karakteristik Responden ................................................................
64
VI. MARGINAL ABATEMENT COST 6.1 Marginal Abatement Cost PT. Aspex Kumbong .............................
72
6.1.1 Parameter BOD .....................................................................
72
6.1.2 Parameter COD .....................................................................
74
VII. MARGINAL DAMAGE 7.1 Marginal Damage ........................................................................
76
VIII. PAJAK LINGKUNGAN 8.1 Pajak Lingkungan untuk Parameter BOD .....................................
83
8.2 Pajak Lingkungan untuk Parameter COD .....................................
84
8.3 Retribusi Kabupaten Bogor ...........................................................
86
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan ...................................................................................
87
9.2 Saran ..............................................................................................
88
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
89
LAMPIRAN ............................................................................................
92
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1. Nilai PDB Indonesia pada Tahun 2008 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000 ........................
2
2. Data Perkembangan Industri Kabupaten Bogor Tahun 2003-2006 ....
3
3. Baku Mutu Limbah Cair Industri Kertas ..........................................
18
4. Matriks dan Metode Analisis Data ....................................................
41
5. Perbandingan Inlet Limbah Cair PT. Aspex Kumbong dengan PT. Unitex ..............................................................................................
42
6. WTA Responden Desa Cileungsi Kidul ............................................
77
7. Total WTA (TWTA) Responden untuk Kualitas Air Kelas 3 ..........
80
8. Hasil Analisis Nilai WTA Responden pada Kualitas Air Kelas 3 .....
82
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1.
Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas ............................................
21
2.
Pajak Lingkungan yang Efisien ...................................................
27
3.
Pajak Emisi dan Insentif untuk R&D (Research and Development) .......................................................
29
4.
PT Aspex Kumbong Tampak Depan.............................................
53
5.
Salah satu Instalasi Pengolahan Air Limbah PT. Aspex Kumbong ...................................................................
58
6.
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ....................
65
7.
Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Umur ...............
66
8.
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ...........
67
9.
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaannya ...........
67
10.
Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ..........
68
11.
Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan .........
69
12.
Karakteristik Responden Berdasarkan Jarak Rumah ke Sungai ....
70
13.
Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Tinggal di Desa Cileungsi Kidul ................................................................
14.
70
Karakteristik Responden Berdasarkan Pengetahuan tantang Pencemaran Sungai dan Dampak yang Ditimbulkan .....................
71
15.
Marginal Abatement Cost untuk Parameter BOD .........................
74
16.
Marginal Abatement Cost untuk Parameter COD .........................
75
17.
Dugaan Kurva MD untuk parameter BOD ...................................
78
18.
Dugaan Kurva MD untuk Parameter COD ...................................
79
19.
Pajak Lingkungan untuk Parameter BOD ....................................
84
20.
Pajak Lingkungan untuk Parameter COD ....................................
85
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Teks
Halaman
1.
Data Inlet dan Outlet Limbah PT. Aspex Kumbong .....................
93
2.
Data Inlet dan Outlet Parameter BOD dan COD pada PT. Unitex .
94
3.
Data Perbandingan Biaya PT. Aspex Kumbong dengan PT. Unitex dan MAC PT. Aspex Kumbong ................................
4.
Hasil Olahan Minitab dengan Metode Quadratik untuk Peramalan BOD ............................................................................................
5.
95
96
Hasil Olahan Minitab dengan Metode Quadratik untuk Peramalan COD .............................................................................................
97
6.
Cara Penghitungan MAC, MD dan Pajak Lingkungan yang Efisien 98
7.
Hasil Analisis Regresi Berganda ..................................................
8.
Uji Normalitas, Uji Heteroskedastisitas, dan Uji Multikolinearity WTA Masyarakat Cileungsi Kidul ...............................................
9.
12.
103
Indeks Gangguan pada Perda No. 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Izin Pembuangan Air Limbah ......................................................
11.
102
Indeks Lokasi pada Perda No. 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Izin Pembuangan Air Limbah ......................................................
10.
101
103
Tarif Retribusi pada Perda No. 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Izin Pembuangan Air Limbah ......................................................
103
Kondisi Aktual Sungai Cileungsi di Cileungsi Kidul ...................
104
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang, terutama di bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi merupakan bagian penting dari pembangunan nasional. Tujuan pembangunan ekonomi yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat diukur dari tingkat pendapatan perkapita. Pembangunan merupakan upaya untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu negara, semakin tinggi pula taraf hidup masyarakat di negara tersebut. Pada masa sekarang, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada triwulan II tahun 2008 mencapai 2,4 persen jika dibandingkan dengan triwulan I tahun yang sama. Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I tahun 2008 dibandingkan dengan semester I tahun 2007 naik sebesar 6,4 persen. Besaran PDB atas dasar harga berlaku pada triwulan II 2008 mencapai Rp. 1.230,9 triliun, sedangkan PDB atas dasar harga konstan 2000 pada triwulan yang sama adalah Rp. 518,2 triliun (BPS, 2008). Sektor yang memberikan kontribusi besar dalam peningkatan PDB Indonesia adalah industri pengolahan atau industri manufaktur. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1, dimana industri pengolahan pada tahun 2008 triwulan II,
berdasarkan harga yang berlaku menyumbang sebesar 335,9 triliyun rupiah atau sebesar 27,1 persen dari total PDB dan jika berdasarkan harga konstan, industri pengolahan menyumbang sebesar 138,4 triliyun rupiah atau sebesar 26,7 persen pada tahun dan triwulan yang sama. Tabel 1. Nilai PDB Indonesia pada Tahun 2008 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000. (triliun) Lapangan usaha
Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik, gas dan air bersih Bangunan Perdagangan, hotel, restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan, jasa perusahaan Jasa-jasa PDB PDB Tanpa Migas Sumber : BPS (2008).
Atas dasar harga berlaku Triw I/2008
Triw 2/2008
Atas dasar harga konstan 2000 Triw I/2008 Triw 2/2008
164,7
180,6
69,8
73,3
125,6 304,1 9,5 87,5 163,2 73,3
142,1 335,9 10,1 97,8 175,8 73,6
42,3 136,7 3,6 31,5 87,2 39,5
42,6 138,4 3,7 32,2 89,6 41,1
85,1
89,1
48,4
49,2
109,1 1.122,1 1.001,0
125,9 1.230,9 1.090,9
46,9 505,9 470,4
48,1 518,2 482,8
Salah satu industri pengolahan yang sangat berperan dalam peningkatan perekonomian nasional adalah industri pulp dan kertas. Di Indonesia, jumlah industri pulp sebanyak 14 dengan kapasitas produksi sebesar 6,7 juta ton dan industri kertas sebanyak 79 dengan kapasitas produksi sebesar 10,36 juta ton per tahunnya. Nilai investasi industri ini mencapai 16,00 milyar dolar AS dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung sebanyak 178.624 orang serta menghasilkan devisa sebesar 2,817 milyar dolar AS. Industri ini juga mengalami peningkatan yang pesat pada beberapa dekade terakhir, yaitu merupakan salah satu dari sepuluh komoditas ekspor utama sektor industri. Pada tahun 2006, nilai ekspor industri pulp dan kertas mencapai 3,98 miliar dolar AS dan industri sektor ini memberikan kontribusi sebesar 6,05 persen dari total ekspor industri
manufaktur nasional. Jika dilihat dari produksinya, industri ini telah menyumbang sebesar 1,56 persen dari total output nonmigas. Industri pulp Indonesia menempati peringkat kesembilan di dunia dengan pangsa pasar sebesar 2,4 persen dari total produksi dunia yang mencapai 179,4 juta ton per tahun. Sedangkan industri kertas berada pada peringkat ke dua belas dengan menguasai 2,2 persen dari total produksi kertas dunia 318,2 juta ton per tahun. Konsumsi kertas Indonesia juga meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2003, konsumsi kertas sebesar 5,31 juta ton, sedangkan pada tahun 2004, konsumsi kertas meningkat menjadi 5,40 juta ton. Pada tahun 2005 mencapai 5,61 juta ton (Disperindag Jawa Barat, 2006). Di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, industri kertas banyak terdapat di Jawa Timur dan Jawa Barat. Di Jawa Barat, industri kertas salah satunya terdapat di Kabupaten Bogor. Jumlah industri kertas dan pengolahan kertas di kabupaten ini sebanyak 14 industri pada tahun 2006 (Tabel 2). Jumlah industri kertas sendiri sebanyak dua perusahaan (Disperindag Kabupaten Bogor, 2007). Tabel 2. Data Perkembangan Industri Kabupaten Bogor Tahun 2003-2006 No.
Jenis Industri
Industri menengah-besar 2003 2004 2005 1 Industri logam 87 90 92 2 Industri mesin 24 29 29 3 Industri alat angkut 31 32 33 4 Industri elektronika 9 13 14 5 Industri tekstil dan produk tekstil 59 61 64 6 Industri aneka 2 4 2 7 Industri barang dari kulit 9 9 9 8 Industri kimia dan barang kimia 42 46 53 9 Industri plastik dan barang plastic 28 32 39 10 Industri karet dan barang karet 7 8 9 11 Industri kertas dan barang kertas 7 10 13 12 Industri bahan bangunan dan barang galian 13 15 17 13 Industri agro 58 68 81 14 Industri hasil hutan 79 80 83 Jumlah 455 497 538 Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Bogor (2007)
2006 98 31 35 14 65 3 10 56 43 11 14 22 91 85 578
Jumlah industri kertas di Kabupaten Bogor hanya ada dua industri yaitu PT. Aspex Kumbong yang berlokasi di Desa Dayeuh, Kecamatan Cileungsi dan PT. Parisindo Pratama yang berlokasi di Desa Gunung Putri, Kecamatan Gunung Putri. Limbah cair yang dihasilkan kedua industri ini sangat besar. PT. Aspex Kumbong menghasilkan limbah cair kurang lebih 275.000 m3 dan PT. Parisindo Pratama menghasilkan limbah cair sekitar 36.500 m3 (DTRLH Kabupaten Bogor, 2007). Limbah cair pada industri kertas dihasilkan pada bermacam-macam proses. Jumlah air yang dikeluarkan sesuai dengan jumlah air yang dipakai, karena selisihnya hanya sekitar 5 – 10 persen. Air limbah pada industri kertas biasanya menimbulkan masalah warna, bau, pH, zat padat tersuspensi, BOD, COD, dan toksisitas. Industri kertas di Kabupaten Bogor terletak di sekitar aliran Sungai Cileungsi (Kali Bekasi), dan kedua industri ini membuang limbah cairnya ke sungai ini. Sungai Cileungsi termasuk salah satu sungai yang tingkat pencemarannya sangat tinggi. Sungai ini mulai mendekati titik ambang batas. Unsur BOD (Biological Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) hampir mencapai batas toleransi maksimal yaitu 10 ppm untuk BOD dan 30 ppm untuk COD. Pemerintah telah berupaya untuk melindungi dan memperbaiki kualitas air serta melakukan pencegahan terhadap pencemaran air, yaitu melalui pengaturan perijinan pembuangan limbah cair. Hal ini dilakukan karena air merupakan sumber daya alam yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Salah satu upaya pemerintah adalah dengan mengeluarkan PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, yang isinya
antara lain mengalihkan wewenang pengaturan perijinan pembuangan limbah cair dari Gubernur kepada Bupati/Walikota. Mengingat Peraturan Pemerintah tersebut, pemerintah Kabupaten Bogor telah menerapkan peraturan daerah yaitu perda No.4 Tahun 2003 tentang izin pembuangan air limbah dan perda No. 5 Tahun 2003 tentang retribusi izin pembuangan air limbah. Perda ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2003. Subjek retribusi adalah perusahaan atau industri-industri yang menghasilkan limbah cair. Struktur tarif retribusi berdasarkan rencana jumlah volume air limbah yang dibuang ke air atau sumber air tiap bulannya dari outlet IPAL. Volume air limbah sampai dengan 100 m3/bulan (V1) dikenakan tarif Rp 250,00, diatas 101-1000 m3/bulan (V2) tarif yang dikenakan sebesar Rp 75,00 dan untuk volume limbah diatas 1000 m3/bulan (V3) sebesar Rp 25,00. Semakin banyak limbah cair yang dihasilkan, maka semakin besar jumlah retribusi yang harus dibayar oleh industri tersebut. Dalam perhitungannya juga memasukkan indeks lokasi dan indeks gangguan (penggolongan proses air limbah dalam IPAL). Upaya pemerintah yang lain yaitu dengan menerapkan pajak dan subsidi. Pada sistem ini, para pencemar diberi kebebasan untuk membuang limbah. Akan tetapi, mereka harus membayar sesuai dengan jumlah limbah yang dikeluarkan. Pajak dapat memberikan insentif kepada para pencemar untuk mencari sendiri cara terbaik untuk mengurangi jumlah limbahnya, sedangkan subsidi merupakan pembayaran kepada industri atau badan usaha agar tidak membuang limbah ke lingkungan.
Pemerintah
lebih
cenderung
memberlakukan
sistem
pajak
dibandingkan dengan sistem subsidi untuk mengatasi masalah pencemaran ini. Hal ini terbukti dengan direvisinya Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang
pajak dan retribusi yang akan memasukkan pajak lingkungan. Pajak lingkungan ini akan dikenakan pada industri manufaktur yang mempunyai omzet di atas 300 juta per tahun, dan besarnya 0,5 persen dari omzet tersebut.
1.2 Perumusan Masalah Saat ini pajak lingkungan masih menjadi kontroversi antara pemerintah dengan industri. Menurut pandangan pemerintah, pajak lingkungan ini dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas lingkungan dan juga dapat digunakan untuk meningkatkan pendapatan negara atau pendapatan asli daerah jika dipungut oleh daerah yang bersangkutan. Pandangan ini berbeda dengan pandangan para pengusaha yang menganggap pajak lingkungan hanya akan memberatkan industri karena selama ini industri sudah terbebani dengan biaya produksi dan pungutanpungutan yang lain. Mereka menganggap pemerintah tidak seharusnya menyamaratakan semua industri karena industri manufaktur yang mempunyai omzet di atas 300 juta per tahun belum tentu limbahnya mencemari lingkungan. Jika pengelolaan limbahnya baik maka industri tersebut seharusnya tidak dikenakan pajak lingkungan. Pemerintah seharusnya menerapkan polluter pays principle dalam penerapan pajak lingkungan. Prinsip ini mengandung pengertian bahwa pihak yang mencemari lingkungan yang seharusnya menanggung pengeluaran atau dengan kata lain yang seharusnya membayar. Pengeluaran ini menyangkut
penyelenggaraan
langkah-langkah
untuk
menjamin
bahwa
lingkungan berada dalam keadaan baik atau tidak tercemar. Biaya dari barang dan jasa yang menyebabkan pencemaran dalam produksi atau konsumsi harus mencerminkan biaya ini. Prinsip ini merupakan prinsip yang menyangkut
pengalokasian
biaya-biaya
pencegahan
pencemaran
dan
langkah-langkah
pengendalian yang diinternalisasikan dalam biaya dari barang dan jasa yang diproduksi. Industri kertas merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah cair relatif besar dan berpotensi mencemari lingkungan. Industri ini juga termasuk salah satu industri yang berpotensi menghasilkan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), yaitu mengandung pelarut organik, fenol dan logam. Pada perusahaan kertas yang diteliti, debit air limbahnya cukup tinggi yaitu sekitar 275.000 m3 per bulan. Air limbah yang dihasilkan berasal dari beberapa proses produksi diantaranya pada proses screening, deinking cell, fine screen, dan cleaner. Perusahaan ini membuang limbah cair yang dihasilkan ke Sungai Cileungsi. Air sungai ini menjadi tidak bermanfaat lagi yaitu tidak dapat digunakan untuk kegiatan rumah tangga dan pertanian, juga dapat menjadi penyebab penyakit. Berdasarkan uraian di atas dan mengingat betapa pentingnya kualitas lingkungan dan air bagi kehidupan manusia, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu: 1.
Berapa tambahan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan kertas untuk mengurangi kadar pencemaran pada setiap parameter pencemar dan bagaimana persamaan dari tambahan biaya tersebut?
2.
Berapa tambahan kerusakan yang diterima olah masyarakat akibat pencemaran air yang disebabkan oleh limbah cair industri kertas dan bagaimana persamaan dari tambahan kerusakan tersebut tersebut?
3.
Berapa nilai pajak lingkungan yang seharusnya dibebankan kepada industri kertas jika berdasarkan polluter pays principle?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah : 1.
Mengestimasi besarnya biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan kertas untuk mengurangi kadar pencemaran pada setiap parameter pencemar dan merumuskan persamaan biaya tambahan tersebut;
2.
Mengestimasi besarnya tambahan kerusakan yang diterima oleh masyarakat akibat pencemaran air yang disebabkan oleh limbah cair industri kertas dan merumuskan persamaan dari tambahan kerusakan tersebut;
3.
Mengestimasi besarnya pajak lingkungan yang dibebankan kepada industri kertas berdasarkan polluter pays principle.
1.4 Manfaat Penelitian 1.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti sebagai proses belajar, untuk meningkatkan kemampuan berfikir, daya nalar, dan daya analitis dalam mengidentifikasi dan menganalisis masalah yang berkaitan dengan lingkungan.
2.
Sebagai bahan pertimbangan baik bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam menetapkan besarnya pajak lingkungan yang akan dibebankan kepada industri.
3.
Bagi industri, dapat sebagai pertimbangan dalam menentukan besarnya produksi dan teknologi pengolahan limbah cair yang dihasilkan, agar limbah yang dikeluarkan tidak mencemari lingkungan dan sesuai dengan baku mutu limbah industri yang telah ditetapkan.
4.
Menjadi bahan literatur bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengelolaan dan penanggulangan pencemaran lingkungan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Fokus penelitian ini yaitu limbah cair pada perusahaan kertas yang terdapat di Kabupaten Bogor, tidak termasuk industri barang-barang dari kertas yang tidak memproduksi kertasnya terlebih dahulu dan bukan pula industri percetakan atau penerbitan. Perusahaan ini berada di DAS Kali Bekasi (Sungai Cileungsi). Masyarakat yang diambil sebagai responden adalah masyarakat Desa Cileungsi Kidul yang memiliki ketergantungan pada jasa lingkungan yang disediakan Sungai Cileungsi. Penelitian ini hanya membahas dua parameter pencemar yaitu BOD dan COD.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daerah Aliran Sungai dan Mutu Air Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah daerah yang dianggap sebagai wilayah dari suatu titik tertentu pada suatu sungai dan dipisahkan dari DAS-DAS sebelumnya oleh suatu pembagi atau punggung bukit/gunung yang dapat ditelusuri pada peta topografi (Linsley dan Franzini, 1991). Kualitas/sifat air sungai adalah sebagai berikut: a.
Pada umumnya mengandung zat organik maupun anorganik, dimana jenis dan konsentrasinya tergantung dari tingkat pencemaran, jenis tanah yang dilalui sepanjang DAS.
b.
Biasanya membawa zat-zat padat yang berasal dari erosi (penyebab kekeruhan air), sisa penghancuran zat-zat organik, garam-garam mineral sesuai dengan jenis tanah yang dilaluinya.
c.
Kontaminan berasal dari limbah domestik (garam-garam Na, K, P; sulfat; klorida; deterjen; dan lain-lain) maupun limbah pabrik (logam/logam berat, sianida, dan lain-lain).
d.
Kandungan O2 terlarut (DO) relatif besar, karena penetrasi udara terhadap air dan hasil proses fotosintesis memproduksi O2.
e.
Pada umumnya kandungan mikroorganisme patogenik relatif tinggi, baik jenis maupun jumlahnya. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan
parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (PP No. 82 tahun 2001). Menurut PP ini, mutu air dapat diklasifikasikan menjadi empat kelas,yaitu: a.
Kelas I, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk bahan baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
b.
Kelas II, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
c.
Kelas III, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
d.
Kelas IV, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertamanan dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Peruntukan air di atas mempunyai beberapa kesamaan, namun semakin
kecil tingkatan kelas, semakin banyak peruntukan air tersebut. Hal ini dapat dibuktikan pada mutu air kelas IV. Air pada kelas ini hanya memiliki satu peruntukan yaitu untuk mengairi pertamanan saja. Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
2.2 Dampak Pencemaran Air Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya (PP No. 82 tahun 2001). Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya perubahan yang dapat diamati melalui perubahan suhu air; perubahan pH; perubahan warna, bau, dan rasa air; timbulnya endapan, koloidal, dan bahan terlarut; adanya mikroorganisme; dan meningkatnya radioaktivitas air lingkungan. Air yang telah tercemar dapat mengakibatkan kerugian, antara lain: air menjadi tidak bermanfaat lagi yaitu tidak dapat digunakan untuk kegiatan rumah tangga, industri, dan pertanian; dan juga air dapat menjadi penyebab penyakit. Penyakit yang ditimbulkan oleh pencemaran air ini dapat berupa penyakit menular dan tidak menular. Penyakit menular seperti Hepatitis A, Polliomyelitis, Cholera, Thypus Abdominalis, Dysentri Amoeba, dan Ascariaris (penyakit cacingan). Penyakit tidak menular seperti keracunan Kadmium, keracunan Kobalt, keracunan air raksa, keracunan bahan insektisida, dan lain-lain (Wardhana, 2001).
2.3 Industri Pulp dan Kertas Industri pengolahan adalah industri yang mengubah bahan dasar (bahan mentah) menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, baik secara mekanis, kimiawi, dengan mesin ataupun dengan tangan (BKPM, 2006). Jadi Industri kertas adalah industri yang terdiri dari kumpulan perusahaan-perusahaan yang mengolah bahan
baku kertas menjadi barang jadi yaitu produk kertas yang dapat langsung digunakan ataupun barang setengah jadi yang akan digunakan sebagai input oleh industri yang lain. Proses produksi pada industri kertas pada umumnya adalah sebagai berikut (Mastuti, 2006): 1.
Persiapan stock, dilakukan untuk memperoleh keseragaman furnish (campuran pulp, air, dan bahan kimia) yang secara seragam diperiksa sebelum akhirnya dikirimkan ke mesin kertas. Keuntungan dari keseragaman proses, yaitu menjaga kontinuitas produksi tetap terjaga, mengurangi terjadinya variasi produk, dan menghasilkan produk yang berkualitas.
2.
Pulping, merupakan proses penguraian bahan baku kertas bekas dengan media air di dalam hidropulper agar dapat dialirkan atau dipompakan untuk proses selanjutnya. Tujuan pulping adalah menyeragamkan stok dalam konsistensi dan kualitas, membantu menghilangkan kotoran untuk menjaga kualitas dan kelancaran proses.
3.
High Density Cleaning (HDC), dilakukan untuk membersihkan kontaminan yang ukuran dan dimensinya sudah tidak dapat dipisahkan dalam proses penyaringan konvensional. Pengotor yang terdapat dalam HDC seperti potongan besi, pecahan kaca, staples, dan lain-lain.
4.
Pre-screening, merupakan proses penyaringan awal. Proses ini dilakukan untuk memisahkan serat dari pengotor, sehingga bahan yang terbuang hanya pengotornya saja.
5.
Thickening adalah proses pengentalan stok yang dilakukan pada screw press yang bertujuan untuk mengendalikan pada tahap bleaching.
6.
Bleaching (pemutihan) pulp, dilakukan untuk meningkatkan sifat optik terutama brightness. Tujuan dari proses ini yaitu untuk mengubah struktur yang berwarna menjadi putih.
7.
Deflaking merupakan proses penguraian gumpalan-gumpalan stok yang masih tersisa akibat proses pengentalan stok yang keluar dari proses bleaching.
8.
Flotation merupakan bagian dari proses deinking (penghilangan tinta) yang bertujuan untuk menghilangkan partikel tinta agar menghasilkan brightness yang lebih tinggi.
9.
Fine-screening digunakan sebagai penyaring, tahap ini dilakukan untuk menghilangkan pengotor agar pulp menjadi lebih bersih.
10. Cleaning untuk memisahkan kotoran yang ukurannya mendekati ukuran serat. 11. Washing merupakan proses pencucian stok dan pengentalan stok. 12. Unit paper machine merupakan buburan kertas yang berasal dari stock akan diubah menjadi lembaran kertas. Unit ini pada prinsipnya dapat dibagi dalam 3 bagian utama, yaitu bagian pembentukan (cylinder part), bagian pengepresan (press part), dan bagian pengeringan (dryer part). Cylinder part merupakan rangkaian alat pembentukan kertas. Setelah kertas dibentuk, proses selajutnya adalah proses pengepresan pada press part. Pengepresan dilakukan dengan menjepit lembaran dengan dua rol berputar. Penekanan ini akan memberikan pengaruh pada pengeluaran air, mengkompakkan, dan meningkatkan kekuatan lembaran. Proses yang terakhir yaitu proses pengeringan pada dryer part. Proses ini berfungsi untuk menghilangkan air
dari lembaran tanpa merusak struktur serat atau sifat kertas yang lain dengan cara penguapan. Ada 3 (tiga) produk yang dihasilkan pada industri kertas, yaitu : 1.
Kertas halus merupakan produksi kertas halus yang dikelantang seperti kertas cetak, kertas tulis dan kertas rokok.
2.
Kertas kasar merupakan produksi kertas berwarna coklat seperti linerboart, kertas kantong berwarna coklat atau karton.
3.
Kertas lain merupakan produksi kertas yang dikelantang selain sisa yang tercantum dalam golongan “halus” seperti kertas koran.
2.4 Limbah Cair Industri Pulp dan Kertas Limbah cair adalah buangan cair yang sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk jenis kegiatan penghasilnya (BPLH Jawa Barat, 2006). Air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair (PP No. 82 Tahun 2001). Limbah cair bersumber dari pabrik/industri yang biasanya banyak menggunakan air dalam proses produksinya. Di samping itu adapula bahan baku yang mengandung air, sehingga dalam proses pengolahannya air tersebut harus dibuang (Kristanto, 2002). Air dari pabrik membawa sejumlah padatan dan partikel, baik yang larut maupun yang mengendap. Bahan ini ada yang kasar dan ada yang halus. Air buangan pabrik biasanya berwarna keruh dan bersuhu tinggi. Air limbah yang telah tercemar mempunyai ciri yang dapat diidentifikasikan secara visual dari kekeruhan, warna, rasa, bau yang ditimbulkan dan indikasi lainnya. Identifikasi secara laboratorium ditandai dengan perubahan sifat kimia air (Kristanto, 2002).
Semua proses dalam industri kertas mengandung air. Hasilnya adalah debit buangan yang tinggi dengan kadar BOD dan padatan tersuspensi yang relatif rendah, yaitu antara 400-700 mg/L. Pada proses pembuatan pulp, pencucian pulp setelah pemasakan dan pemisahan serat secara mekanis merupakan salah satu bagian yang paling banyak menggunakan air. Pengelantang konvensional dengan chlor dan penghilangan lignin pada pembuatan pulp secara kimia menghasilkan paling banyak bahan yang memerlukan oksigen. Apabila ada proses perolehan kembali bahan kimia, kadar jumlah zat padat yang terlarut, COD dan BOD akan menjadi tinggi. Proses pembuatan kertas secara konvensional menghasilkan banyak air dengan kandungan zat padat tersuspensi yang tinggi dan kadar COD yang cukup penting (Santi, 2004). Parameter utama limbah cair pada industri kertas yang perlu diperhatikan adalah BOD5, TSS, COD. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand) adalah banyaknya oksigen dalam ppm atau miligram/liter (mg/l) yang diperlukan untuk menguraikan benda organik dalam air limbah oleh bakteri. BOD5 digunakan sebagai indikator dari banyaknya senyawa organik terurai yang terkandung dalam limbah cair. Di dalam pengujiannya membutuhkan waktu 5 hari pada suhu 20oC sehingga dikenal sebagai BOD5. Nilai BOD5 untuk industri kertas sebelum masuk IPAL adalah 400-800 mg/l (SNI 19-2875-1992). Air dengan kadar BOD tinggi tidak sesuai bagi kegunaan irigasi karena BOD membatasi pertumbuhan tanaman. Parameter COD digunakan untuk memberikan indikasi jumlah seluruh senyawa organik yang terkandung dalam limbah cair. Parameter ini sebenarnya menunjukkan jumlah oksigen (mg O2) yang ada dalam senyawa oksidan yang dibutuhkan untuk menguraikan seluruh senyawa organik yang terkandung dalam
satu liter limbah cair. Nilai COD selalu lebih besar dari nilai BOD5 karena hampir semua senyawa organik yang dapat didegradasi mikroba dapat pula dioksidasi secara kimia. Rata-rata nilai COD untuk industri kertas sebelum masuk ke IPAL yaitu antara 1500-2000 mg/l (SNI 06-6989.2-2004). Penggunaan air dengan kandungan COD yang tinggi bagi irigasi juga akan membatasi pertumbuhan tanaman, khususnya bagi drainase tanah yang jelek. Total Suspended Solids (TSS) menunjukkan berat padatan yang berukuran lebih besar dari dua mikron di dalam satu liter limbah cair. Rata-rata nilai TSS untuk industri kertas sebelum masuk IPAL, berdasarkan SNI 06-6989.3-2004 yaitu antara 700-2500 mg/l (BPLHD Propinsi Jawa Barat,2006). Pencemaran lain yang perlu diperhatikan adalah inlet dari pengoperasian pulp dan kertas melalui pemasakan atau pengelantangan dengan bahan kimia banyak mengandung zat padat terlarut (terutama natrium dan sulfat). Senyawa sulfur yang lebih rendah, merkaptan dan senyawa asam resin juga terdapat dalam buangan pabrik yang menggunakan pemisah serat kimiawi. Nutrien (nitrogen dan carbon organik) dan logam (seng dan aluminium) telah menimbulkan masalah lingkungan dalam pabrik pulp dan kertas. Hidrokarbon chlor juga harus diperhatikan dalam pabrik yang menggunakan kelang pengelantangan berbasis chlor (Santi, 2004). Jadi, zat pencemar dalam industri kertas adalah BOD, COD, TSS, natrium dan sulfat. Baku mutu limbah cair industri kertas, dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Baku Mutu Limbah Cair Industri Kertas Parameter Proses Kertas 1.Halus (dikelantang) 2.Kasar 3.Kertas lain yang dikelantang
Debit (m3/t)
40 20 35
BOD5
TSS
COD
(mg/l)
(kg/t)
(mg/l)
(kg/t)
(mg/l)
(kg/t)
90 70 75
3,6 1,4 2,6
80 80 80
3,2 1,6 2,8
190 170 160
7,6 3,4 5,6
2.5 Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Industri Kertas Upaya pengolahan air limbah dilakukan di suatu Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). IPAL terdiri dari beberapa unit pengolahan yang secara bersamasama berfungsi untuk mengolah air limbah sampai mencapai karakteristik effluent yang diinginkan. Kegagalan di salah satu unit pengolahan dapat mempengaruhi kinerja keseluruhan IPAL. Pengolahan air limbah ini bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan kandungan pencemar sampai setidaknya memenuhi konsentrasi yang ditetapkan dalam baku mutu limbah cair. Pada dasarnya proses pengolahan air limbah yang dihasilkan pada industri kertas terdiri dari proses fisika, kimia, dan biologi. Proses fisika dilakukan untuk memisahkan pengotor berat dan kasat mata yang terbawa bersama inffluent. Pengotor ini dipisahkan dengan cara penyaringan dan ekualisasi. Penyaringan dilakukan untuk mencegah penyumbatan katup dan pipa penyalur serta mengoptimalkan kerja mikroba pada pengolahan biologi. Setelah disaring, inffluent kemudian dialirkan ke kolam netralisasi untuk mendapatkan perlakuan secara kimia. Proses kimia dilakukan untuk mendapatkan pH sekitar 6,8 – 7 dengan penambahan bahan kimia (alumunium sulfat) agar limbah cair sesuai dengan baku mutu yang telah ditentukan. Inffluent kemudian mengalir ke kolam pengendap primer dan terjadi proses fisika kembali. Air limbah keluar dari bagian
tengah kolam dan mengalir ke bagian tepi kolam yang dilengkapi gerigi sebagai luapan sehingga flok akan mengendap di dasar kolam dan air akan mengalir ke parit di samping kolam. Pengaduk dipasang di dasar kolam. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah pembentukan endapan flok menjadi keras dan mendorong lumpur di bagian tengah untuk dikeluarkan melalui lubang saringan. Proses selanjutnya yaitu proses biologi. Proses ini melibatkan mikroorganisme untuk mengurangi senyawa organik terlarut dalam limbah cair. Pada proses ini biasanya menggunakan urea dan asam fosfat. Effluent yang dihasilkan dari proses ini kemudian ditampung di kolam pengedap sekunder. Setelah itu effluent akan dialirkan ke sungai setelah ditambahkan antibuih (Abadi dan Yuliawati, 2000).
2.6 Pajak 2.6.1 Pengertian Pajak Pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat prestasi kembali (balas jasa) secara langsung, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pajak mempunyai ciriciri sebagai berikut (Siahaan, 2006): a.
Pajak dipungut oleh negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
b.
Pembayaran pajak harus masuk ke kas negara, yaitu kas pemerintah pusat atau kas pemerintah daerah (sesuai dengan jenis pajak yang dipungut).
c.
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individu oleh pemerintah (tidak ada imbalan langsung yang diperoleh si pembayar pajak). Dengan kata lain, tidak ada hubungan langsung antara jumlah pembayaran pajak dengan kontra prestasi secara individu.
d.
Penyelenggaraan pemerintahan secara umum merupakan manifestasi kontra prestasi dari negara kepada para pembayar pajak.
e.
Pajak dipungut karena adanya suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang menurut peraturan perundang-undangan pajak dikenakan pajak.
f.
Pajak memiliki sifat dapat dipaksakan. Artinya wajib pajak yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran pajak, dapat dikenakan sanksi, baik sanksi pidana maupun denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2.6.2 Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas Pemerintah dapat mengalokasikan sumberdaya lebih efisien dengan menerapkan pajak kepada pihak penyebab polusi, dimana pajak tersebut merupakan pajak per unit. Efisiensi perusahaan ketika tidak memperhitungkan biaya eksternalitas akan memproduksi barang sebesar Q1 dengan harga sebesar F yaitu ketika Privat Marginal Cost sama dengan Marginal Benefit (PMC = MB). Jika dalam produksinya, perusahaan menimbulkan eksternalitas negatif (MD>0), maka pemerintah akan mengenakan pajak pada perusahaan tersebut sebesar tax = ED untuk setiap unit barang yang diproduksi oleh perusahaan tersebut. Perusahaan akan menurunkan produksinya sampai dengan titik E (Q0) dimana biaya marginal perusahaan termasuk pajak sama dengan keuntungan marginal (MB = PMC + tax). Pada titik E tercapai alokasi sumber-sumber ekonomi
berdasarkan efisiensi masyarakat karena pada titik E tersebut SMC = PMC + MD. Penerimaan pemerintah dari pajak sebesar AFDE yang dapat digunakan untuk memberikan kompensasi pada pihak yang terkena polusi atau untuk menyediakan fasilitas kesehatan bagi orang-orang sakit karena menggunakan air sungai yang tercemar. Keuntungan bagi seluruh masyarakat adalah kerugian pengusaha karena pengurangan produksi dan keuntungan masyarakat karena berkurangnya polusi. Hal tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 1.
Rp SMC=PMC+MD C
E
PMC+tax tax
A PMC+MD
F D
B
PM C MD
MB
0
Keterangan:
Q0 Q1
SMC = Social Marginal Cost PMC = Privat Marginal Cost MD = Marginal Damage MB = Marginal Benefit Gambar 1. Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas
Sumber: Mangkoesoebroto (1993).
Jumlah produksi
2.7 Penelitian Terdahulu 2.7.1 Penelitian Mengenai Industri Kertas Ramli (2006) melakukan penelitian tentang peranan industri kertas dalam perekonomian Indonesia. Kesimpulan dalam penelitiannya adalah kontribusi industri kertas terhadap permintaan sebesar Rp 10.800.775 juta, dan permintaan akhir sebesar Rp 13.970.847 juta. Dalam struktur nilai tambah bruto, kontribusinya
sebesar
Rp
7.895.327
juta.
Jika
dilihat
dari
struktur
ketenagakerjaan, industri ini mampu menyerap tenaga kerja sebesar 118.454 jiwa. Industri kertas melakukan ekspor sebesar Rp 13.125.385 juta dan mengimpor sebesar Rp 8.507.854 juta. Industri ini juga berkontribusi terhadap struktur output sektoral sebesar Rp 24.771.622 juta. Industri kertas memiliki keterkaitan yang tinggi terhadap sektor hulu dan hilirnya (keterkaitan industri kertas terhadap sektor-sektor perekonomian). Namun, industri ini kurang memiliki kemampuan untuk menarik pertumbuhan sektor hulunya karena sektor ini memiliki indeks koefisien penyebaran kurang dari satu (0,9611). Akan tetapi, kemampuannya kuat dalam mendorong pertumbuhan sektor hilirnya. Industri kertas termasuk salah satu dari sepuluh sektor kunci perekonomian Indonesia (peringkat keenam) berdasarkan ranking elastisitas. Ekonomi industri pulp dan kertas Indonesia, suatu analisis simulasi kebijakan dan tekanan internasional diteliti oleh Widyantoro (2005). Kesimpulan dari penelitian ini adalah harga bahan baku serpih naik, harga pulp turun dan kombinasinya menurunkan ekonomi domestik dan kesejahteraan mayarakat, dengan menggunakan kriteria distribusi pendapatan dan kesejahteraan. Kebijakan ini akan menghindarkan perilaku monopsoni atau monopoli/oligopoli industri
pulp. Jika kebijakan ini dikombinasikan dengan kenaikan produksi bahan baku serpih melalui perluasan area panenan, dengan atau tanpa penyaluran dana reboisasi, hasilnya akan memperbaiki ekonomi domestik dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Jika penyaluran dana reboisasi dihentikan, kilang pulp menderita kerugian dan transfer pendapatan tertinggi diterima oleh produsen bahan baku serpih. Penurunan suku bunga secara keseluruhan menghasilkan pertumbuhan ekonomi domestik dan menyejahterakan masyarakat Indonesia. Sedangkan kenaikan suku bunga, embargo impor, dan pendiktean persediaan pulp dan kertas menyebabkan Indonesia kehilangan devisa. Kesejahteraan masyarakat masih meningkat walaupun terjadi embargo impor, sedangkan kenaikan suku bunga dan pendiktean persediaan menurunkan kesejahteraan. Ekonomi domestik akan menurun akibat kebijakan dan tekanan internasional tersebut. Kesimpulan dari dua penelitian tentang kertas yang telah dilakukan adalah bahwa industri kertas mempunyai keterkaitan yang tinggi terhadap industri percetakan dan penerbitan (sektor hilir). Industri ini mampu menyerap banyak tenaga kerja. Ekspor dan impor juga sangat besar. Hal ini membuat industri kertas menjadi salah satu dari sepuluh sektor kunci perekonomian Indonesia. Kebijakan pada industri ini yaitu peningkatan harga bahan baku serpih dan penurunan harga pulp akan menyebabkan turunnya ekonomi domestik dan kesejahteraan masyarakat, dan sebaliknya.
2.7.2 Penelitian tentang Willingness to Accept (WTA) Qomariyah (2005) menganalisis WTP dan WTA masyarakat terhadap pengelolaan sampah di TPA Galuga, Cibungbulang. Kesimpulan dari penelitian
ini adalah nilai WTP rumah tangga di Kota Bogor berdasarkan WTP agregat sebesar Rp 3.572.500 per bulan. Besarnya nilai WTP pedagang di tujuh unit pasar tradisional di Kota Bogor berdasarkan WTP agregat adalah sebesar Rp 231.795.000 per bulan. Nilai WTA masyarakat di Desa Galuga berdasarkan WTA agregat adalah sebesar Rp 114.950.000 per bulan. Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP rumah tangga di Kota Bogor terhadap peningkatan pelayanan dan pengangkutan sampah rumah tangga secara positif adalah tingkat pendidikan dan jumlah anggota keluarga. Faktor-faktor yang mempengaruhi WTP pedagang secara positif adalah tingkat pendapatan, jumlah tanggungan keluarga dan kategori pedagang. Faktor-faktor yang mempengaruhi WTA masyarakat Galuga terhadap peningkatan kesejahteraan secara positif adalah jarak tempat tinggal dengan lokasi TPA. Harianja (2006), menganalisis tentang WTA masyarakat terhadap TPA sampah Bantargebang. Penelitian ini menggunakan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). Hasil penelitian menyatakan bahwa nilai dana kompensasi yang diinginkan masyarakat lebih tinggi daripada yang diberikan oleh pemerintah. Dana kompensasi yang seharusnya diserahkan kepada pemkot Bekasi sebesar Rp 52.488.000.000,00 untuk periode satu tahun. Berdasarkan kedua penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mengukur kualitas lingkungan dapat menggunakan Willingness To Accept (WTA). Metode penilaian barang dan jasa lingkungan adalah menggunakan metode Contingent Valuation Method (CVM).
2.7.3 Penelitian tentang Sungai Cileungsi Analisis mengenai kualitas Sungai Citeureup-Cileungsi dan kaitannya dengan pembuangan limbah cair industri dilakukan oleh Puspita (2003). Kesimpulan dalam penelitian ini adalah bahwa kondisi Sungai CiteureupCileungsi tidak jauh berbeda untuk parameter suhu, pH, NO2-N, dan MBAS jika dibandingkan dengan sungai-sungai lain di Propinsi Jawa Barat. Untuk parameter DO, minyak dan lemak, fecal coliform, serta total coli, kondisi pada Sungai Citeureup-Cileungsi masih lebih baik daripada Sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum. Namun, untuk konsentrasi logam berat, kondisi Sungai CiteureupCileungsi lebih buruk daripada Sungai Citarum.
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Pajak Lingkungan Dalam sistem pajak, pencemar diberi kebebasan untuk membuang limbah, tetapi mereka akan dikenai sangsi membayar pajak untuk setiap unit effluent limbah yang mereka buang. Esensi dari pendekatan pajak adalah untuk menyediakan insentif untuk para pencemar agar mereka mencari sendiri cara terbaik untuk mengurangi limbahnya. Dengan pajak, pencemar memiliki insentif untuk melestarikan penggunaan jasa-jasa lingkungan, sebagaimana mereka melestarikan penggunaan input-input konvensional seperti tenaga kerja, modal, dan lain-lain. 1. Dasar Ekonomi Asumsi program pajak effluent harus ada tekanan kompetitif/iklim ekonomi kompetitif yang memaksa perusahaan untuk melakukan apa saja yang dapat meminimalisir biaya. Asumsi ini tidak berlaku untuk perusahaan monopoli (biasanya dikuasai negara). Pada perusahaan-perusahaan yang kompetitif, respon terhadap pajak bergantung pada dua faktor yaitu tingginya pajak dan kecuraman fungsi MAC. Semakin tinggi pajak, semakin besar pengurangan effluent, dan sebaliknya. Faktor lainnya yaitu semakin curam fungsi MAC (Marginal Abatemen Cost), semakin sedikit pengurangan effluent dalam merespon suatu tingkat pajak tertentu.
2. Tingkat Besaran Pajak Besarnya tingkat pajak dapat ditentukan dengan mengetahui fungsi MAC dan MD (Marginal Damage). Abatemen cost merupakan biaya pengurangan jumlah limbah yang dibuang ke lingkungan atau pengurangan konsentrasi ambient (kuantitas polutan di lingkungan sekitar). MAC pencemaran menggambarkan biaya tambahan untuk mencapai pengurangan tingkat pencemaran sebanyak satu satuan, atau bisa juga dilihat sebagai biaya yang dihemat ketika pencemaran meningkat sebesar satu satuan. Sedangkan MD menggambarkan berapa banyak kerusakan total dapat berubah melalui perubahan jumlah limbah yang sedikit. Pajak ditetapkan pada tingkat effluent efisien (MD=MAC), yaitu pada e*, sehingga tingkat pajak adalah t* (Gambar 2).
Rp MAC
t*
MD
f
c a
0
d
b e1
e e*
eo
Effluent
Gambar 2. Pajak lingkungan yang efisien Sumber : Field (1994)
Bila dilihat dari sisi perusahaan, kedua biaya (pajak dan abatemen cost) adalah real cost yang akan mengurangi penerimaan. Bila ditinjau dari sisi masyarakat pembayaran pajak tentunya berbeda dengan abatemen cost. Abatemen
cost melibatkan sumberdaya yang berarti melibatkan real social cost. Berbeda dengan pajak, pajak adalah transfer payment, yaitu pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan kepada sektor publik, yaitu kepada anggota masyarakat yang mendapat manfaat dari pengeluaran publik. Jadi biaya menurut perusahaan mengandung abatemen cost dan pajak; namun ketika social cost dari suatu program pajak dipertimbangkan, transfer payment harus dikeluarkan dari analisis. Reduksi effluent dari eo ke e* telah mengatasi biaya kerusakan sebesar e+f. Biaya kerusakan yang tersisa yaitu (b+d) jumlahnya lebih kecil daripada pembayaran pajak perusahaan. Flat tax banyak dikritik karena pembayaran pajak perusahaan dapat melebihi biaya kerusakan yang tersisa. Jika tidak diketahui fungsi MD, pajak dapat ditetapkan dengan mengobservasi kualitas ambang. Secara umum, makin rendah effluent, maka makin rendah konsentrasi ambang dari suatu polutan. Jadi strateginya adalah dengan menetapkan pajak pada besaran tertentu, dan mengamati apakah tingkat pajak tersebut dapat memperbaiki kualitas ambang. Jika kualitas ambang tidak membaik, maka pajak dinaikkan dan sebaliknya. 3. Pajak Lingkungan dan Insentif untuk Berinovasi Sebagai
alternatif
kebijakan
lingkungan,
pajak
effluent
mampu
menciptakan insentif untuk mendorong kemajuan teknologi dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan. Gambar 3 memperlihatkan hubungan antara pajak dan inovasi taknologi pengurangan pencemaran. MAC1 adalah MAC perusahaan X sebelum mengadopsi teknologi baru. Jika pajak ditetapkan sebesar Rp ton/tahun, maka perusahaan X akan mengurangi tingkat effluent ke tingkat e1, dimana TAC = (d+e) dan total tagihan pajak = (a+b+c). MAC2 adalah MAC
perusahaan X setelah mengadopsi teknologi baru. Dengan pajak t, effluent menjadi e2, TAC = (b+e), tagihan pajak = a, cost saving = (c+d). Jika standar yang ditetapkan sebesar e1, cost saving dengan teknologi baru sebesar d. MAC1
MAC2
Rp
t c c
a 0
b e2
d e
e1
Effluent
Gambar 3. Pajak Effluent dan Insentif untuk Research and Development Sumber : Field (1994)
Kebijakan pajak effluent membuat upaya-upaya perusahaan untuk mengembangkan teknologi baru sehingga dapat menghasilkan penghematan biaya-biaya pengendalian polusi (TAC + pajak) yang lebih besar dibandingkan kebijakan penetapan standar. Dengan sistem pajak, perusahaan secara otomatis akan mengurangi effluent saat telah menemukan cara untuk menurunkan fungsi MAC, sedang sistem standar tidak dapat otomatis menghasilkan hal yang sama. Perbedaan mendasar yaitu dengan sistem pajak, pencemar harus membayar abatemen cost dan tagihan pajak, sedangkan dengan sistem standar pencemar hanya membayar abatemen cost. Sehingga potensi cost saving dari teknik-teknik baru pengendalian polusi akan jauh lebih besar dibawah kebijakan sistem pajak.
3.1.2 Willingness to Accept (WTA) Metode yang digunakan adalah kebersediaan menerima (Willingness to Accept). Kompensasi yang nilainya tidak terkait dengan pendapatan. WTA merupakan suatu ukuran dalam konsep penilaian ekonomi dari barang/jasa lingkungan. Ukuran ini memberikan informasi tentang besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima masyarakat terhadap penurunan kualitas lingkungan di sekitarnya yang setara dengan biaya perbaikan kualitas lingkungan tersebut. Penilaian barang/jasa lingkungan dari sisi WTA mempertanyakan seberapa besar jumlah minimum uang yang bersedia diterima seseorang (rumah tangga) setiap bulan/tahun sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam perhitungan WTA, antara lain: 1.
Menghitung jumlah yang bersedia diterima oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan;
2.
Menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin menurunnya kualitas lingkungan;
3.
Melalui suatu survei untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat menerima dana kompensasi dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan. Asumsi
dalam
pendekatan
WTA
dari
masing-masing
penduduk
(responden), yaitu : 1.
Responden yang bersedia menerima kompensasi (WTA) benar-benar mengenal baik DAS Sungai Cileungsi maupun limbah cair industri kertas.
2.
Pemerintah Kabupaten Bogor memberikan perhatian terhadap peningkatan kualitas lingkungan Sungai Cileungsi.
3.
Pemerintah Kabupaten Bogor bersedia memberikan dana kompensasi atas perubahan kualitas lingkungan (air) sungai akibat pencemaran yang ditimbulkan karena limbah cair industri. Penghitungan WTA dapat dilakukan secara langsung melalui survei dan
wawancara dengan masyarakat, maupun secara tidak langsung dengan menghitung nilai dari penurunan kualitas lingkungan. Metode pertanyaan dalam WTA juga hampir sama dengan pertanyaan pada WTP. Metode pertanyaan yang digunakan, yaitu: 1.
Metode tawar menawar (bidding game), yaitu dengan menanyakan kepada responden apakah bersedia menerima sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai titik awal. Jika “ya” maka besarnya nilai uang dinaikkankan atau diturunkan sampai pada tingkat yang disepakati.
2.
Metode pertanyaan terbuka (open-ended question), yaitu menanyakan langsung kepada responden berapa jumlah minimal uang yang diterima akibat perubahan kualitas lingkungan. Kelebihan metode ini adalah responden tidak perlu diberikan petunjuk yang dapat mempengaruhi nilai yang diberikan dan tidak digunakannya nilai awal yang ditawarkan sehingga tidak menimbulkan bias titik awal. Namun, metode ini lemah dalam akurasi nilai dan terlalu besar variasinya.
3.
Metode kartu pembayaran (payment card). Metode ini menawarkan kepada responden suatu kartu yang terdiri dari berbagai nilai kemampuan untuk menerima sehingga responden dapat memilih nilai minimal yang sesuai
dengan preferensinya. Kelebihan dalam metode ini adalah memberikan stimulan untuk membantu responden berpikir lebih leluasa tentang nilai minimum yang akan diberikan tanpa harus terintimidasi dengan nilai tertentu, seperti pada metode tawar menawar. Penggunaan metode ini memerlukan pengetahuan statistik yang relatif baik. 4.
Metode pertanyaan pilihan dikotomi (close-ended referendum), yaitu menawarkan kepada responden jumlah uang tertentu dan menanyakan kepada responden apakah mau menerima atau tidak sejumlah uang tersebut akibat perubahan kualitas lingkungan. Selain metode yang telah disebutkan di atas, masih ada metode bertanya
contingent ranking. Metode ini tidak menanyakan secara langsung kepada responden berapa nilai yang ingin diterima, tetapi responden diberikan ranking dari kombinasi kualitas lingkungan yang berbeda dan nilai moneternya kemudian responden diminta untuk mengurutkan beberapa pilihan dari yang paling disukai sampai kepada yang paling tidak disukai. Metode ini menggunakan skala ordinal sehingga diperlukan pengetahuan statistik yang sangat baik dan jumlah sampel yang besar.
3.1.3 Metode Valuasi Kontingensi (Contingent Valuation Method) Pendekatan yang tepat untuk memperkirakan kesediaan membayar disebut “contingent valuation”. Berdasarkan ide sederhana bahwa jika ingin mengetahui berapa kesediaan seseorang untuk membayar untuk mencapai kondisi lingkungan tertentu, dapat langsung ditanyakan kepada orang tersebut. Metode ini disebut “contingent”
karena
metode
ini
mencoba
mendorong
orang
untuk
mengungkapkan ‘apa yang akan mereka lakukan’ jika mereka ditempatkan pada kondisi “contingent” tertentu. CVM
merupakan
suatu
metode
yang
memungkinkan
untuk
memperkirakan nilai ekonomi dari suatu komoditi yang tidak diperdagangkan dalam pasar. Studi CV telah digunakan untuk mempelajari banyak faktor lingkungan: kualitas udara, nilai keindahan alam, kualitas kondisi pantai, perlindungan spesies liar, kepadatan populasi alam liar. Namun, pada kenyataannya metode CV juga dimanfaatkan untuk hal-hal di luar permasalahan lingkungan, seperti: nilai program pengurangan resiko serangan jantung, nilai informasi harga supermarket, dan lain-lain. CVM menggunakan pendekatan secara langsung, yang pada dasarnya menanyakan kepada masyarakat mengenai berapa besar nilai maksimum dari WTP untuk manfaat tambahan atau berapa besar nilai maksimum dari WTA sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan. Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran barang publik yang mendekati nilai sebenarnya, jika pasar dari public goods benar-benar ada. Pasar hipotesis (kuesioner dan responden) sedapat mungkin mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Responden harus mengenal dengan baik barang yang ditanyakan dalam kuesioner dan alat analisis yang digunakan untuk pembayaran, seperti pajak dan biaya masuk secara langsung, yang juga dikenal sebagai alat pembayaran. Asumsi dasar dari metode CVM ini adalah bahwa individu-individu memahami benar pilihan mereka dan bahwa mereka cukup familiar atau tahu kondisi lingkungan yang dinilai, dan bahwa apa yang dikatakan orang adalah
sungguh-sungguh apa yang akan mereka lakukan jika pasar untuk public goods (lingkungan) benar-benar terjadi. Tahapan-tahapan dalam penerapan analisis CVM menurut Hanley dan Spash (1993) adalah sebagai berikut: a.
Membuat Pasar Hipotetik (Setting Up the Hypothetical Market) Pada awal proses pelaksanaan CVM, terlebih dahulu harus membuat pasar hipotetik terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi. Misalnya, pemerintah ingin memperbaiki kondisi pantai yang sudah tercemar. Dalam hal ini, kita bisa membuat suatu kuesioner yang berisi informasi lengkap mengenai bagaimana kondisi pantai yang bagus, manfaat dari perbaikan pantai tersebut serta kerugian jasa lingkungan yang hilang akibat dari kerusakan pantai tersebut. Kuesioner ini bisa diuji terlebih dahulu pada kelompok kecil untuk mengetahui reaksi masyarakat atas proyek yang akan dijalankan sebelum proyek tersebut benar-benar dilaksanakan.
b.
Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP/WTA (Obtaining Bids) Tahap ini dapat dilakukan dengan melakukan survei, baik survei langsung dengan kuesioner, wawancara melalui telepon, atau surat. Dari ketiga cara tersebut, survei langsung akan memperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan dari survei adalah untuk memperoleh nilai minimum keinginan menerima (WTA) dari responden terhadap kehilangan jasa lingkungan atau keinginan untuk membayar (WTP) terhadap upaya perbaikan kondisi lingkungan.
c.
Memperkirakan Nilai Rata-rata WTP dan atau Nilai Tengah WTA (Calculating Average WTP and/or WTA) Tahap selanjutnya adalah menghitung nilai rataan WTP/WTA setiap individu. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang/penawaran (bid) yang diperoleh pada tahap dua. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai tengah (median) dan rata-rata (mean) dari WTP/WTA. Akan tetapi, pada tahap ini kemungkinan timbul outlier (nilai yang sangat jauh menyimpang dari rata-rata). Misalnya ada 100 responden, 99 responden memiliki nilai penawaran Rp 10.000,00 tetapi ada satu responden yang memiliki nilai penawaran Rp. 100.000,00. Dalam perhitungan statistika, nilai ini disebut outlier dan biasanya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan.
d.
Memperkirakan Kurva Penawaran (Estimating Bid Curve) Kurva penawaran (Bid Curve) dapat diperoleh dengan nilai WTP/WTA sebagai variabel tak bebas (dependent) dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut sebagai variabel bebas (independent). Kurva ini dapat digunakan untuk memperkirakan perubahan nilai WTP/WTA karena perubahan sejumlah variabel bebas yang berhubungan dengan kualitas lingkungan.
e.
Mengagregatkan Data (Agregating Data) Tahap ini melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Cara mengkonversinya yaitu dengan mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam populasi.
f.
Mengevaluasi penggunaan CVM (Evaluating the CVM Exercise) Pada tahap ini dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan CVM. Evaluasi tersebut dilakukan dengan memberikan pertanyaan seperti apakah responden benar-benar mengerti pasar hipotetik, berapa banyak barang/jasa yang dimiliki oleh responden yang terdapat dalam pasar hipotetik, seberapa baik pasar hipotetik yang dibuat dapat mencakup semua aspek barang/jasa lingkungan, dan sebagainya. Keunggulan dan kelemahan CVM yang perlu diperhatikan dalam
penggunaanya. Keunggulan-keunggulan dari penggunaan CVM, yaitu: 1.
Sifatnya yang fleksibel dan dapat diterapkan pada beragam kekayaan lingkungan, tidak hanya terbatas pada benda atau kekayaan alam yang terukur secara nyata di pasar saja.
2.
Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting, yaitu: seringkali menjadi hanya satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat, dapat diaplikasikan pada berbagai konteks kebijakan lingkungan.
3.
Dapat digunakan dalam berbagai macam penilaian barang-barang lingkungan di sekitar masyarakat.
4.
Dibandingkan dengan teknik penilaian yang lain, CVM memiliki kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna. Dengan CVM, seseorang mungkin dapat mengukur utilitas dari penggunaan barang lingkungan bahkan jika digunakan secara langsung.
5.
Responden dapat dipisahkan ke dalam kelompok pengguna dan non pengguna sesuai dengan informasi yang didapatkan dari kegiatan wawancara, sehingga
memungkinkan perhitungan nilai tawaran pengguna dan non pengguna secara terpisah. Keterbatasan utama dari penggunaan CVM adalah timbulnya bias yang memungkinkan nilai WTP/WTA yang dihasilkan dari CVM lebih tinggi (overstate) atau lebih rendah (understate) dari nilai sebenarnya. Bias dapat disebabkan oleh hal-hal berikut: 1.
Bias Strategi (Strategic Bias) Yaitu bias yang terjadi karena barang lingkungan memiliki sifat nonexcludability dalam pemanfaatannya, sehingga akan mendorong terciptanya responden yang bertindak sebagai free rider dan tidak jujur dalam memberikan informasi. Alternatif untuk mengurangi bias ini adalah melalui penjelasan bahwa semua orang akan membayar nilai tawaran rata-rata.
2.
Bias Rancangan (Design Bias) Yaitu mencakup cara informasi disajikan, instruksi yang diberikan, format pertanyaan, dan jumlah serta tipe informasi yang disajikan kepada responden.
3.
Bias yang Berhubungan dengan Kondisi Kejiwaan Responden (Mental Account Bias) Yaitu bias yang terkait dengan langkah proses pembuatan keputusan seorang individu dalam memutuskan seberapa besar pendapatan, kekayaan, dan waktunya dihabiskan untuk barang lingkungan tertentu dalam periode waktu tertentu.
4.
Kesalahan Pasar Hipotesis (Hypothetical Market Error) Bias ini terjadi jika fakta yang ditanyakan kepada responden dalam pasar hipotesis membuat tanggapan responden berbeda dengan konsep yang diinginkan peneliti sehingga nilai WTP yang dihasilkan menjadi berbeda dengan nilai sebenarnya. Di samping itu, dalam penghitungan CVM banyak ditemui permasalahan
yang menyangkut: 1.
Permasalahan analisis CV, yaitu sifat dari analisis CV yang hipotetik dan pada sebuah kuisioner CV tidak dapat menggambarkan kondisi nyata dari permasalahan sesungguhnya.
2.
Permasalahan perkiraan manfaat, karena data yang baik selalu sulit didapat sehingga perlu dilakukan discounting yaitu mengurangi nilainya yang ada pada saat ini dan nilai di saat ini akan semakin rendah di masa yang akan datang. Pengurangan wajar dilakukan sepanjang hal itu tidak mengurangi nilai modal lingkungan bagi masyarakat pada jangka panjang.
3.2. Kerangka Operasional Pertumbuhan ekonomi Indonesia Isi pemberlakuan pajak/retribusi
Industri manufaktur
Industri kertas
Peningkatan
Pencemaran lingkungan
Peningkatan kesejahteraan
Limbah padat, gas, debu
Besarnya biaya perusahaan untuk mengurangi efluen per mg/l
WTA
Marginal Abatemen Cost
Limbah cair
Besarnya tambahan kerusakan yang diterima oleh masyarakat
Marginal Damage (MD)
Nilai pajak/retribusi
Keterangan : : Tidak termasuk objek penelitian
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai analisis penetapan nilai pajak lingkungan ini merupakan studi kasus pada PT. Aspex Kumbong. PT. Aspex Kumbong berlokasi di Desa Dayeuh dan masyarakat Desa Cileungsi Kidul, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor yang berada di daerah aliran Sungai Cileungsi. Pemilihan objek dan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), karena industri kertas merupakan industri yang paling banyak menghasilkan limbah cair, dan masyarakat Desa Cileungsi Kidul merupakan masyarakat yang terkena dampak dari pencemaran Sungai Cileungsi. Sebagian dari data yang digunakan untuk menghitung marginal abatemen cost didapatkan dari PT. Unitex sebagai referensi karena adanya kesamaan karakteristik limbah cair dan teknik pengolahannya. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari – September 2008.
4.2 Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan metode simple random sampling. Masyarakat yang diambil sebagai responden adalah warga Desa Cileungsi Kidul yaitu RW 07/RT 02 dan RW 08/RT 01 yang tinggal di pinggiran Sungai Cileungsi. Jumlah keseluruhan responden sebanyak 40 orang.
4.3 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari responden melalui wawancara secara
langsung dengan masyarakat yang tinggal di pinggiran sungai dan berpedoman pada kuesioner. Data primer yang digunakan meliputi karakteristik responden, dan respon responden mengenai seberapa besar nilai WTA terhadap dampak dari pencemaran yang disebabkan karena limbah cair perusahaan kertas. Data sekunder diperoleh dari laporan perusahaan, laporan penelitian, peraturan perundang-undangan, referensi dan dokumen lain yang menunjang.
4.4 Metode dan Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel, Eviews, dan Minitab 14. Pada Tabel 4 berikut ini ditampilkan matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan dalam penelitian ini. Tabel 4. Matriks dan Metode Analisis Data Tujuan Penelitian Sumber Data No. 1
2
3
Metode Analisis Data Mengestimasi besarnya tambahan Sekunder dari PT. Analisis Kumbong deskriptif biaya yang dikeluarkan oleh Aspex perusahaan kertas untuk dan PT. Unitex mengurangi beban pencemar pada setiap parameter dan merumuskan persamaan biaya tambahan tersebut. Mengestimasi besarnya kerusakan Wawancara dengan Metode WTA yang diterima olah masyarakat masyarakat yang dengan akibat pencemaran air yang menjadi responden pendekatan disebabkan oleh limbah cair dalam penelitian CVM. industri kertas dan merumuskan (menggunakan persamaan tambahan kerusakan kuesioner) tersebut Mengestimasi besarnya pajak Hasil perhitungan Persamaan lingkungan yang dibebankan dan perpotongan dari garis lurus kepada industri kertas kurva MAC dan MD berdasarkan polluter pays principle
4.4.1 Analisis Marginal Abatemen Cost (MAC) PT. Aspex Kumbong Besarnya MAC, secara umum dapat diketahui dengan mengggunakan rumus:
Dimana: MAC
= Marginal Abatemen Cost (Rp/mg/l)
TC
= Total Cost (Rp)
E
= Besarnya Effluent (mg/l)
Namun, karena adanya keterbatasan data, MAC dari PT. Aspex Kumbong dicari dengan menggunakan pendekatan MAC untuk tiap parameter per milligram dari PT. Unitex. Pendekatan ini digunakan dengan alasan adanya kesamaan karakteristik limbah cair kertas dan tekstil yaitu untuk parameter TSS, pH, warna, fenol, BOD, dan COD. Cara pengolahan limbah cair di kedua perusahaan itu juga mempunyai prinsip yang sama, yaitu secara fisika, kimia, dan biologi. Perbandingan inlet limbah cair PT. Aspex Kumbong dengan inlet PT. Unitex adalah sebagai berikut: Tabel 5. Perbandingan Inlet Limbah Cair PT. Aspex Kumbong dengan PT. Unitex Parameter PT. Aspex PT. Unitex Perbandingan Inlet PT. Kumbong Aspex Kumbong dan PT. Unitex BOD 800 147 5:1 COD 6000 375 16:1
MAC per miligram dari PT. Unitex kemudian dikalikan dengan perbandingan BOD dan COD dari perusahaan kertas dan tekstil. Hasil tersebut kemudian digunakan untuk mencari fungsi MAC yaitu dengan rumus persamaan garis.
4.4.2 Analisis Besarnya Kompensasi (WTA) yang Ingin Diterima oleh Masyarakat Besarnya MD yang diterima oleh masyarakat dapat dicari menggunakan metode Willingness to accept (WTA) yaitu dengan pendekatan CVM. Willingness to Accept memberikan informasi tentang besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima masyarakat terhadap penurunan kualitas lingkungan di sekitarnya yang setara dengan biaya perbaikan kualitas lingkungan tersebut. Penilaian barang/jasa lingkungan dari sisi WTA mempertanyakan seberapa jumlah minimum uang yang bersedia diterima seseorang (rumah tangga) setiap bulan/tahun sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan. Untuk mengidentifikasi besarnya kompensasi yang mau diterima oleh masyarakat akibat pencemaran air yang disebabkan oleh limbah cair dari PT. Aspex Kumbong (masyarakat di sekitar DAS Cileungsi, Desa Cileungsi Kidul) diperlukan analisis kuantitatif dan kualitatif. Data responden meliputi karakteristik responden akan dianalisis secara kualitatif dan respon responden mengenai seberapa besar nilai WTA terhadap dampak dari pencemaran yang disebabkan karena limbah cair yang dikeluarkan oleh perusahaan kertas ini akan dianalisis secara kuantitatif. Untuk mengetahui nilai WTA masyarakat dalam penelitian ini, akan digunakan pendekatan CVM dengan enam tahapan (Hanley dan Spash, 1993) sebagai berikut:
1. Membangun Pasar Hipotetis Pasar hipotetis dalam penelitian ini dibentuk atas dasar penurunan kualitas Sungai Cileungsi yang berada di Desa Cileungsi Kidul akibat pencemaran. Pencemaran sungai ini disebabkan karena banyaknya industri di sepanjang sungai yang membuang limbah cairnya. Salah satu industri yang membuang limbah cairnya ke sungai ini adalah industri kertas. Pencemaran ini membuat masyarakat di sekitar sungai sudah tidak bisa memanfaatkan air sungai ini untuk keperluan sehari-harinya seperti mandi, mencuci, dan lain-lain.
Salah satu cara untuk
mengurangi kerugian masyarakat adalah dengan memberikan kompensasi. Selanjutnya pasar hipotetis dibentuk dalam skenario sebagai berikut: “Banyaknya industri yang membuang limbah cair yang dihasilkannya ke sungai membuat air sungai menjadi tercemar. Hal ini menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitar sungai. Dampak negatif tersebut antara lain: masyarakat di sekitar sungai tidak bisa memanfaatkan air sungai tersebut untuk MCK, dan lain-lain. Jika masyarakat bersedia menerima kompensasi atas kehilangan jasa lingkungan tersebu, berapa besarnya kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat untuk setiap parameter pencemar.” 2. Memperoleh Nilai Tawaran Metode yang digunakan untuk memperoleh nilai tawaran pada penelitian ini adalah metode tawar menawar (bidding game), yaitu dengan menanyakan kepada responden apakah bersedia menerima sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai titik awal. Jika bersedia, maka besarnya nilai uang dinaikkan atau diturunkan sampai pada tingkat yang disepakati.
3. Menghitung Dugaan Nilai Rataan WTA WTA dapat diduga dengan menggunakan nilai tengah dari kelas atau interval WTA responden ke-i. Dari jawaban responden dapat diketahui bahwa WTA yang benar berada diantara jawaban yang dipilih (batas bawah kelas WTA) dengan WTA berikutnya (batas atas kelas WTA). Dugaan rataan WTA dihitung dengan rumus (Jordan dan Elnagheeb dalam Arianti, 1999):
Dimana: EWTA = Dugaan rataan WTA Wi
= Batas bawah kelas WTA pada kelas ke-i
Pfi
= Frekuensi relatif kelas yang bersangkutan
N
= Jumlah kelas interval
i
= Responden ke-i yang bersedia menerima dana kompensasi (i=1,2,…,k)
4. Menduga Kurva Penawaran WTA Pendugaan kurva penawaran dilakukan dengan menggunakan nilai WTA sebagai variabel Y dan tingkat konsentrasi air sungai sebagai variabel X. Dengan perubahan tingkat konsentrasi dapat dilihat seberapa besar kompensasi yang diinginkan oleh masyarakat. 5. Menjumlahkan Data Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai rataan penawaran dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Setelah menduga nilai rataan WTA maka dapat diduga nilai total WTA dari penduduk dengan menggunakan rumus (Pearce dan Turner dalam Arianti, 1999):
Dimana: TWTA = Total WTA WTAi
= WTA individu sampel ke-i
ni
= Jumlah sampel ke-i yang bersedia menerima sebesar WTA
N
= Jumlah sampel
i
= Responden ke-i yang bersedia menerima dana kompensasi (i=1,2,…,k)
P
= Jumlah populasi
6. Mengevaluasi Penggunaan CVM Hal ini merupakan penilaian sejauh mana penggunaan CVM telah berhasil. Pada tahap ini memerlukan pendekatan seberapa besar tingkat keberhasilan dalam pengaplikasian CVM. Pelaksanaan model CVM dapat dievaluasi dengan melihat tingkat keandalan (reliability) fungsi WTA. Uji yang dapat dilakukan dengan Uji Keandalan adalah melihat R2 dari model OLS (Ordinary Least Square). Bentuk model OLS yang digunakan dalam analisis ini adalah : Y = β0 - β1 X1 + β2 X2 + β4 X3 + β5 X4 + β6 X5 + β7 X6 + dummy1 + dummy2 + ε Dimana : Y
` = Besarnya kompensasi yang ingin diterima oleh masyarakat karena pencemaran air
β0
= Konstanta
β1,…β8
= Koefisien regresi
X1
= Jarak antara rumah dan sungai Cileungsi (meter)
X2
= Lama tinggal (tahun)
X3
= Pendidikan (tahun)
X4
= Jumlah tanggungan keluarga (orang)
X5
= umur (tahun)
X6
= pendapatan (rupiah)
Dummy1= pengetahuan tentang dampak negatif pencemaran sungai (1= tahu; 2 = tidak tahu) Dummy2= jenis kelamin (1 = laki-laki; 2 = perempuan) ε
= Galat
Kesediaan masyarakat dalam menerima kompensasi dipengaruhi oleh jarak antara rumah dengan sungai Cileungsi, lama tinggal di daerah tersebut, tingkat pendidikan, banyaknya jumlah tanggungan keluarga, umur, besarnya pendapatan, pengetahuan tentang dampak negatif pencemaran sungai , dan jenis kelamin. Jarak diduga berpengaruh negatif terhadap kesediaan menerima kompensasi, karena semakin dekat jarak rumah terhadap sungai maka semakin besar dampak yang dirasakan, sehingga kompensasi yang ingin didapatkan juga semakin besar. Lama atau tidaknya seseorang tinggal di daerah tersebut diduga berpengaruh positif terhadap kesediaan menerima kompensasi. Jika seseorang sudah lama tinggal di daerah tersebut, maka dampak yang diterima sebagai akibat dari pencemaran lingkungan juga semakin dirasakan, sehingga kompensasi yang ingin diterima juga semakin besar. Tingkat pendidikan diduga berpengaruh positif terhadap kesediaan menerima kompensasi. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, semakin tinggi pula pengetahuan tentang dampak dari pencemaran lingkungan, maka kompensasi yang ingin diterima juga semakin besar. Variabel jumlah tanggungan diduga berpengaruh positif terhadap kesediaan menerima kompensasi, karena semakin banyak jumlah tanggungan maka semakin besar kompensasi yang
ingin diterima. Variabel umur diduga berpengaruh positif. Hal ini berarti semakin banyak umur seseorang (semakin tua), kompensasi yang diinginkan akan semakin tinggi. Variabel pendapatan diduga berpengaruh negatif terhadap kesediaan menerima kompensasi. Semakin rendah tingkat pendapatannya, maka semakin tinggi kompensasi yang ingin didapatkan. Variabel pengetahuan responden terhadap dampak negatif dari pencemaran sungai diduga berpengaruh positif. Semakin seseorang mengetahui tentang dampak negatif dari pencemaran sungai, kompensasi yang diinginkan akan semakin besar, dan variabel jenis kelamin diduga berpengaruh positif. Responden laki-laki menginginkan kompensasi yang lebih besar jika dibandingkan dengan responden perempuan.
4.4.3 Pengujian Parameter Untuk memeriksa kebaikan dari model yang telah dibuat, perlu dilakukan pengujian secara statistika. Uji yang telah dilakukan adalah: 1. Uji Kesesuaian Model (Goodness of Fit) Goodness of Fit dihitung dengan nilai koefisien determinasi R2. Koefisien determinasi (R2) bertujuan untuk mengukur keragaman variabel dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. R2 menunjukkan besarnya pengaruh semua variabel independen terhadap variabel dependen. Koefisien determinasi dapat dirumuskan sebagai berikut: R2 =
=1-
Dimana: SSR = jumlah kuadrat regresi SSE = jumlah kuadrat sisa
SST = jumlah kuadrat total Selang R2 yang digunakan adalah 0 < R2 < 1. R2 sama dengan satu berarti semua variabel respon dari variabel dapat dijelaskan dengan fungsi regresi. Dalam kenyataannya R2 berada dalam selang 0 sampai 1 dengan interpretasi relatif terhadap ekstrim 0 dan 1. Nilai koefisien determinasi semakin mendekati 1, maka model tersebut semakin baik. 2. Uji Statistik t Uji ini dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh masing-masing variabel bebasnya (Xi) mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat setempat, sebagai peubah tidak bebas, prosedur pengujiannya (Ramanathan dalam Zulwahyuni, 2007) adalah sebagai berikut: H0 :
= 0 artinya variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel bebasnya (Yi)
H1 :
≠ 0 artinya variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel tak bebasnya (Yi)
, maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) tidak berpengaruh
Jika nyata terhadap (Yi). Jika
, maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata
terhadap (Yi). Pengujian juga dapat diketahui dari nilai probability masing-masing variabel yang merupakan hasil output. Jika nilai probability lebih kecil dari nilai α yang digunakan, maka variabel tersebut berpengaruh nyata secara individu terhadap variabel dependennya.
3. Uji statistik F Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel tak bebasnya (Yi). Prosedur pengujiannya (Ramanathan dalam Zulwahyuni, 2007) adalah: H0 : β0 = β1 = β2 = β3 =…. = βk = 0 H1 : β0 = β1 = β2 = β3 =…. = βk ≠ 0
Dimana :
Jika
JKK
= Jumlah Kuadrat untuk Nilai Tengah Kolom
JGK
= Jumlah Kuadrat Galat
N
= Jumlah Sampel
k
= Jumlah Peubah , maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) secara serentak tidak
berpengaruh nyata terhadap (Yi) Jika
, maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi) secara serentak
berpengaruh nyata terhadap (Yi) Pengujian juga dapat melihat nilai P-value dari model (seluruh variabel independen secara bersama). Jika P-value lebih kecil dari nilai α yang digunakan, maka H0 ditolak. Hal ini berarti variabel independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya. 4. Uji terhadap Multikoninearity Dalam model yang melibatkan banyak peubah bebas sering terjadi masalah multikolinearity, yaitu terjadi korelasi yang kuat antar variabel-variabel bebas. Deteksi adanya multikolinearity dalam sebuah model dapat dilakukan
dengan membandingkan besarnya nilai koefisien determinasi (R2) dengan koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas (Koutsoyiannis, 1977) dalam (Zulwahyuni, 2007). Multikolinearity dapat dianggap tidak masalah apabila koefisien determinasi parsial antar dua peubah bebas tidak melebihi nilai koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua peubah secara simultan. Masalah multikolinearity juga dapat dilihat langsung melalui output komputer, yaitu apabila nilai VIF < 10 maka tidak ada masalah multikolinearity. 5. Uji Autokorelasi dan Heteroskedastisitas Estimasi model regresi linier mengandung asumsi bahwa tidak dapat autokorelasi di antara error term, yaitu: Cov (µt, µs) = E (µt, µs) = 0, t ≠ s Jika terjadi autokorelasi maka pendugaan model tetap tidak bias dan konsisten tetapi tidak efisien. Pengujian hipotesis menjadi tidak valid, sehingga masalah autokorelasi akan menyesatkan dalam pengambilan kesimpulan (Ramanathan, 1998). Adanya autokorelasi dapat dideteksi dengan menggunakan uji d (Durbin Watson Statistic). Pengujian autokorelasi akan menggunakan statistik Durbin Watson sebagai berikut: d=
Prosedur pengujian adalah sebagai berikut: H0 : α = 0 H1 : α ≠ 0 Kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
1. Tolak H0 jika d < d1 atau d > 4 – d1 2. Terima H0 jika du < d < 4 - du 3. Tidak memberikan kesimpulan jika d1 ≤ d ≤ 4 - du, atau 4 - du ≤ d ≤ 4 – d1 Masalah
heteroskedastisitas
timbul
karena
pelanggaran
asumsi
homoskedastisitas yaitu ragam galat konstan di setiap pengamatan. Cov (µt) = E (µt2) = σ2 Jika masalah heteroskedastisitas diabaikan maka varian dan kovarian dari parameter dugaan akan bias dan tidak konsisten serta pengujian hipotesis menjadi tidak valid. Oleh karena itu, dilakukan uji heteroskedastisitas dengan White Heteroscedasticity Test. Langkah-langkah pengujiannya adalah sebagai berikut: Yt = β1 + β2Xt1 + β3Xt2 + µt µt = α1 + α2Xt1 + α3Xt2 + α4Xt12 + α5Xt22 + α6Xt1Xt2 Hipotesis: H0 : α2 = α3 = α4 = α5 = α6 = 0 H1 : minimal salah satu αi ≠ 0 Dengan kriteria uji sebagai berikut: Jika nilai nR2 > χ2db(α), maka tolak
H0, artinya bahwa persamaan tersebut
mengandung masalah heteroskedastisitas.
4.4.4 Analisis Besarnya Pajak Lingkungan Persamaan MAC dan MD dicari dengan rumus persamaan garis. Persamaan-persamaan tersebut dihitung per parameter. Kedua persamaan yaitu MAC dan MD masing-masing parameter kemudian digunakan untuk mencari besarnya pajak lingkungan yang efisien (MAC=MD).
V. GAMBARAN UMUM
5.1 Gambaran Umum PT. Aspex Kumbong 5.1.1 Sejarah Singkat Perusahaan PT. Aspex Kumbong merupakan perusahaan yang memproduksi kertas koran dengan menggunakan bahan baku yang berasal dari kertas bekas (Old News Paper). Perusahaan ini didirikan dari hasil kerjasama antara Panwell Industrial Ltd. (Korea berkedudukan di Hongkong) dengan PT. Aspex Paper (Indonesia). Izin pendirian PT. Aspex Kumbong diberikan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1983 dengan surat keputusan BKPM No. 40/I/PMA/1983, dengan status penanaman modal asing (PMA). Kemudian surat tersebut disempurnakan pada tanggal 12 Mei 1989 dengan SK BKPM No. 22/II/PMA/1989, dan terakhir BKPM mengeluarkan surat ijin pada tanggal 8 April 1995 dengan surat keputusan No. 87/III/PMA/1995.
Gambar 4. PT Aspex Kumbong Tampak Depan
Pada tahun 1992, PT. Aspex Kumbong menambah satu unit mesin kertas dengan proses produksi dan bahan baku yang sama dengan Paper Machine I (PM I). Mesin kedua ini memiliki kapasitas produksi terpasang 108.000 ton/tahun, yang dilengkapi pula dengan pengolahan Fresh Water Treatment dan Waste Water Treatment dengan proses yang sama tetapi berbeda kapasitasnya dengan PM I. Pada tahun 1996 mulai dioperasikan mesin ketiga (PM III) dengan kapasitas produksi 222.000 ton/tahun. Jadi total produksi PT. Aspex Kumbong adalah 420.000 ton/tahun. Tahap pengembangan PT. Aspex Kumbong untuk PM I 1.
Tahun 1983 Pada bulan Desember telah mendapatkan ijin BKPM No. 40/I/PMA/1983 disahkan di PT. Kertas Leces, tepatnya pada tanggal 31 Desember 1983.
2.
Tahun 1984 Januari
: Pembelian tanah
Februari : Penyiapan tanah Maret
: Penanaman pondasi utama
April
: Awal pembangunan konstruksi
Juli
: Konstruksi bangunan selesai
Agustus : Pemasangan unit dryer Oktober : Mesin utama tiba 3.
Tahun 1985 Januari
: Penyempurnaan Instalasi
Februari : Trial operation sampai bulan Maret Mei
: Mulai produksi secara komersiil
Tahap pengembangan PT. Aspex Kumbong PM II adalah sebagai berikut : 1.
Tahun 1990 Februari :Penandatanganan
kontrak
dengan
Mitsubishy
Heavy
Industries Ltd. 2.
Tahun 1991 Februari : Mesin utama tiba dan mulai pembangunan
3.
Tahun 1992 Agustus : Trial operation sampai bulan September Oktober : Mulai produksi secara komersiil
Tahap pembangunan PT. Aspex Kumbong untuk PM III adalah sebagai berikut: 1.
Tahun 1995 Pemasangan konstruksi dan instalasi berlangsung selama satu tahun.
2.
Tahun 1996 April
: Trial operation sampai dengan bulan September.
November: Mulai produksi secara komersiil.
5.1.2 Lokasi dan Tata Letak Pabrik 1. Lokasi PT. Aspex Kumbong terletak di kawasan Cileungsi Industrial Park, yaitu di Desa Dayeuh, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasinya berada di tepi jalan antara Bogor dan Bekasi. Pemilihan lokasi ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain :
-
Mengalirnya sebuah sungai yang cukup besar debit airnya, yaitu Sungai Cileungsi yang dapat digunakan untuk sumber air bagi kebutuhan produksi.
-
Jarak antara Bogor dengan Jakarta yang dekat, sehingga memudahkan informasi dengan kantor pusat dan pemasarannya pada konsumen di Jakarta.
2. Tata Letak Pabrik PT. Aspex Kumbong memiliki lahan seluas 90 hektar, dengan luas lahan yang digunakan untuk bangunan adalah 163.176 m2. Tata letak perusahaan dapat dikategorikan menjadi 3 bagian utama, yaitu: 1.
Wilayah pabrik PT. Aspex Kumbong memiliki beberapa unit produksi dan unit penunjang,
antara lain: a.
Unit produksi - 3 unit stock preparation - 3 unit paper machine - 3 unit fresh water treatment - 3 unit waste water treatment - 3 unit electrical substantion - 4 unit boiler
b.
Unit penunjang - Workshop - Laboratorium - Gudang bahan baku
- Gudang penyimpanan produksi 2.
Gedung perkantoran PT. Aspex Kumbong memiliki 2 buah kantor dimana letak dan fungsinya berbeda, yaitu: - Kantor umum terletak di lokasi pabrik - Kantor pusat terletak di gedung Wisma Korindo, lt. 2, jln. MT. Haryono Kav 62, Jakarta
3.
Wilayah mess Wilayah ini diperuntukkan bagi karyawan terutama tenaga kerja asing yang berasal dari Korea. Lokasi mess tersebut berada di lingkungan pabrik yang dilengkapi dengan kantin dan sarana olahraga.
5.1.3 Tenaga Kerja Pada saat ini tenaga kerja di PT. Aspex Kumbong secara keseluruhan berjumlah 1.357 orang. Tenaga kerja pada bagian IPAL sebanyak 48 orang, yang terbagi dalam 3 shift. Pembagian jam kerja pada PT ini adalah sebagai berikut: 1. Jam kerja biasa (Non shift/shift 1) Senin – Kamis, Sabtu : jam 07.00 – 15.00 WIB Istirahat
: jam 12.00 – 13.00 WIB
Jumat
: jam 07.00 – 15.00 WIB
Istirahat
: jam 11.30 – 13.30 WIB
Tenaga kerja asing
: jam 07.00 – 19.00 WIB
2. Jam kerja shift 2 Senin – Sabtu
: jam 15.00 – 23.00 WIB
Istirahat
: jam 18.00 – 19.00 WIB
3. Jam kerja shift 3 Senin – Sabtu
: jam 23.00 – 07.00 WIB
Istirahat
: jam 00.00 – 01.00 WIB
5.2 Gambaran Umum IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) PT. Aspex Kumbong PT. Aspex Kumbong menghasilkan limbah cair yang berasal dari proses stock preparation yaitu proses penyaringan, pembersihan, pencucian, dan penghilangan tinta. Sumber yang lain berasal dari unit paper machine (PM) pada proses pengepresan. Sistem pengolahan limbah disebut juga waste water treatment (WWT). Waste water treatment adalah sistem pengolahan limbah cair yang akan menghasilkan air limbah di bawah baku mutu sehingga dapat dibuang ke lingkungan.
Gambar 5. Salah satu Instalasi Pengolahan Air Limbah PT. Aspex Kumbong
PT. Aspex Kumbong memiliki sistem pengolahan yang terdiri dari tiga unit: 1.
WWT 1 berkapasitas 416,7 m3/h atau 10.000 m3/hari untuk limbah dari PM 1.
2.
WWT 2 berkapasitas 625 m3/h atau 13.200 m3/hari untuk limbah dari PM 2.
3.
WWT 3 berkapasitas 1250 m3/h atau 30.000 m3/hari untuk limbah dari PM 3. Setiap WWT mempunyai unit pengolahan yang sama terutama untuk
WWT 1 dan WWT 2. Unit WWT 3 mempunyai ukuran lebih besar dari WWT 1 dan 2. Prinsip kerja dari setiap unit WWT adalah sama. Pengolahan air limbah memiliki empat proses, yaitu proses pendahuluan, pertama, kedua, dan ketiga yang semuanya merupakan perpaduan dari proses fisika, kimia, dan biologi. Proses pengolahan air limbahnya adalah sebagai berikut: 1.
Bar screen Air limbah dari proses produksi akan masuk ke unit pengolahan melalui bar screen. Bar screen merupakan unit pengolahan dengan proses secara fisik, dan dikategorikan sebagai proses pengolahan pendahuluan yang bertujuan untuk menghilangkan atau menyaring limbah-limbah padat seperti plastik, tali, kayu, dan lain-lain yang terbawa air limbah. Selanjutnya air limbah yang sudah disaring secara fisik akan mengalir ke dalam reservoir.
2.
Reservoir Reservoir merupakan unit pengolahan pendahuluan yang disebut juga sebagai kolam atau bak equalisasi yang berfungsi untuk menyeragamkan beban air limbah yang masuk ke unit pengolahan selanjutnya. Fungsi reservoir adalah untuk menyamaratakan konsentrasi limbah cair pada setiap titik di bak equalisasi. Unit reservoir ditempatkan sebelum pengolahan primer (primary settling basin). Reservoir dilengkapi dengan sistem pengadukan
agar air limbah tidak mengalami pengendapan. Sistem pengaduk pada WWT 1 menggunakan pompa. Pompa akan mendorong air limbah pada bagian sudut bawah bak sehingga air limbah tersebut terdorong dan terjadilah perputaran yang mengakibatkan air limbah teraduk. Pada WWT 2 menggunakan tornado agitator. Tornado agitator adalah motor pengaduk yang menggunakan pelampung di atas permukaan air limbah pada bak reservoir. Pengaduk pada WWT 2 dan 3 masing-masing sebanyak 5 dan 6 unit. Air limbah selanjutnya mengalir ke unit primary basin. 3.
Primary Basin Primary basin bertujuan untuk mencampur air limbah dengan alum sehingga laju pengikatannya semakin cepat. Prinsip kerjanya adalah dengan pengadukan. Air limbah dari mixing basin masuk melewati dinding sekat ke unit coagulation basin.
4.
Coagulation Basin Coagulation basin termasuk pengolahan primer secara kimia dimana air limbah dari mixing basin mengalami penambahan kimia polimer (polyelektrolit). Polyelektrolit berfungsi sebagai flokulan yang sangat membantu pada saat pembentukan flok-flok berukuran besar dan berat sehingga mudah mengendap.
5.
Primary Settling Basin Air limbah dari coagulation basin kemudian dialirkan ke unit primary settling basin. Primary settling basin merupakan bak atau kolam sedimentasi primer berbentuk lingkaran. Air limbah masuk melalui bagian bawah tengah dari kolam dan mengalir ke bagian samping atau tepi kolam yang dilengkapi
dengan saluran berbentuk gerigi sebagai overflow. Unit ini termasuk pengolahan fisik. Flok-flok akan mengendap di dasar kolam dan air yang agak bersih akan mengalir ke bagian sekeliling samping kolam yang berbentuk parit. Pada bagian dasar kolam dipasang pengaduk untuk mencegah pengendapan flok-flok menjadi lebih besar. Pengaduk ini berputar dengan kecepatan tetap dan relatif lambat dan mendorong lumpur ke bagian tengah sedangkan aliran air dari tepi kolam atau overflow akan mengalir ke kolam aerasi sebagai accept. Lumpur yang mengalir ke bagian tengah dialirkan ke unit thickener sebagai reject. 6.
Aeration Basin Aeration basin adalah kolam tempat penambahan oksigen dari udara. Tahap ini merupakan tahap pengolahan biologi dimana terdapat penambahan nutrisi berupa urea dan asam pospat. Pengolahan biologi atau pengolahan sekunder bertujuan untuk mengurangi senyawa organik terlarut dengan memanfaatkan populasi mikroorganisme. Pada WWT 1, kolam aerasi dibuat secara tertutup, sedangkan pada WWT 2 dan WWT 3 dibuat terbuka dengan menggunakan pengadukan yang berupa motor tornado agitator untuk mensupply oksigen. Oksigen ini sangat diperlukan mikroorganisme untuk hidup, karena pengolahan biologi ini secara aerob. Selama pencampuran, lumpur aktif akan menyerap partikel-partikel dalam air limbah., kemudian mikroorganisme akan segera bereaksi menguraikan senyawa-senyawa organik yang telah terserap secara aerobik sehingga lama kelamaan menjadi bertambah banyak dan air limbah menjadi bersih. Sebagian lumpur yang mengendap akan disirkulasikan kembali ke dalam sistem, sedangkan cairan
yang sudah diproses dipompa ke kolam pengendapan sekunder untuk pengolahan selanjutnya. 7.
Secondary Settling Basin Air limbah selanjutnya masuk ke dalam secondary settling basin. Prinsip kerja unit ini sama dengan primary settling basin. Kolam ini merupakan kolam sedimentasi tahap kedua. Proses ini bertujuan untuk mengendapkan lumpur yang tidak mengendap di unit sedimentasi primer. Sehingga akan menghasilkan effluent yang memenuhi baku mutu. Selanjutnya lumpur akan dipompa ke unit thickener.
8.
Thickener Unit ini sudah termasuk pada tahap penanganan lumpur dimana lumpur dari reject primary dan secondary settling basin dipompa ke unit thickener pada bagian tengah, kemudian mengalir ke bagian samping sehingga terjadi proses pengendapan lumpur. Lumpur tersebut kemudian dipompa ke unit press, sedangkan overflow akan dikembalikan ke unit sedimentasi primer.
9.
Press Lumpur yang mengendap dipompa ke unit belt press untuk WWT 1 dan WWT 2, sedangkan untuk WWT 3 dipompa ke screw press untuk dikentalkan lebih lanjut sehingga mencapai konsistensi sekitar 30 persen, sebelumnya ditambah polimer kationik pada lumpur agar flok yang terbuka saling berikatan kuat, kemudian lumpur dibuang ke landfill. Air hasil perasan dari press ditampung dalam reservoir tank. Ada unit pengolahan tambahan pada WWT 3, yaitu:
- Grift chamber, unit ini menggunakan sistem penggaruk atau pembersih sampah pada limbah secara kontinu dengan menggunakan motor. - Drum screen, yaitu tempat penyaringan limbah cair dari bahan-bahan padatan yang masih lolos dari grift chamber. Drum screen berbentuk drum atau silinder berputar yang pinggirnya berupa filter-filter. Air limbah dimasukkan pada ujung drum yang berputar sehingga air limbah tersebut mengalami proses penyaringan, sebagai accept keluar pada bagian pinggir dan masuk pada unit selanjutnya, sedangkan sebagai reject berupa sampah padatan yang keluar melalui ujung drum dan langsung masuk pada belt conveyor untuk ditampung dan dibuang. Drum screen dapat mengurangi beban pengolahan untuk unit selanjutnya. Drum screen ini berjumlah 4 unit. - Clarifier, berfungsi untuk mengendapkan limbah cair yang pada dasarnya mempunyai prinsip kerja yang sama dengan settling basin, untuk unit lainnya mempunyai prinsip kerja yang sama dengan WWT 1 dan WWT 2. - Fenton clarifier, merupakan unit pengolahan setelah flokulan tank. Pada unit ini ada penambahan bahan kimia soda kaustik (NaOH) yang berfungsi untuk menjaga pH agar tetap normal.
5.3 Gambaran Umum Desa Cileungsi Kidul Desa Cileungsi Kidul merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 622,25 ha. Desa Cileungsi Kidul sebelah utara berbatasan dengan Desa Cileungsi dan Desa Cipenjo, sebelah timur berbatasan dengan Desa Mekarsari, sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Dayeuh, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Cileungsi, Desa Wanaherang (Kecamatan Gunung Putri). Desa ini terbagi dalam enam dusun, 15 rukun warga (RW), dan 91 rukun tetangga (RT). Penelitian difokuskan pada dua RW, yaitu RW 07 RT 01 dan RW 08 RT 02 karena di wilayah tersebut dilalui oleh Sungai Cileungsi. Sebagian
besar
lahan
dimanfaatkan
untuk
pemukiman
dan
perindustrian/perdagangan. Sarana pendidikan yang ada di desa ini yaitu SD Negeri yang berjumlah 6 dan 1 SD Swasta. Sedangkan sarana dan prasarana kesehatan seperti posyandu berjumlah 15 dan poliklinik berjumlah 8. Di desa ini juga ada 15 orang dokter praktek swasta, 2 orang bidan desa, 15 orang bidan praktek swasta, dan 75 orang kader posyandu. Mayoritas penduduk beragama Islam, sisanya beragama Khatolik, Kristen, Budha, dan Hindu. Jumlah penduduk di desa ini pada akhir bulan Nopember 2007 adalah sebanyak 25.120 jiwa yang terdiri dari 6.349 kepala keluarga, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 12.841 jiwa dan 12.279 jiwa penduduk perempuan. Warga RW 07 RT 02 berjumlah 153 KK dan warga RW 08 RT 01 berjumlah 102 KK.
5.4 Karakteristik Responden Karakteristik responden di Desa Cileungsi Kidul diperoleh berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap 40 penduduk. Karakteristik responden dilihat dari beberapa variabel yaitu jenis kelamin, umur, pendidikan formal yang pernah ditempuh, jenis pekerjaan, pendapatan per bulan, jumlah tanggungan, jarak rumah
ke sungai, dan lama tinggal di Desa Cileungsi Kidul. Variabel-variabel tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Jenis Kelamin Perbandingan responden yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan hampir sama. Responden laki-laki sebanyak 24 orang (60 persen) dan responden perempuan sebanyak 16 orang (40 persen). Banyaknya responden perempuan dikarenakan pada saat survei, kepala keluarga yang seharusnya diprioritaskan tidak ada di tempat atau sedang bekerja, sehingga peneliti menganggap penduduk tersebut layak untuk diwawancara. Perbandingan responden laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
2. Umur Jumlah responden tertinggi terdapat pada sebaran usia 41-50 tahun sebanyak 18 orang (45 persen dari keseluruhan responden). Responden yang berusia 31-40 tahun sebanyak 4 orang (10 persen). Responden yang berusia 51-60 tahun sebanyak 10 orang (25 persen), sedangkan responden yang berusia lebih
dari 60 tahun berjumlah 8 orang (20 persen). Perbandingan distribusi umur responden dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Karakteristik Responden Berdasarkan Distribusi Umur
3. Pendidikan Tingkat pendidikan responden bervariasi mulai dari tidak tamat sekolah dasar hingga memperoleh pendidikan di perguruan tinggi. Persentase terbesar dari responden, yakni sebesar 60 persen atau sebanyak 24 orang, tidak tamat SD. Hal ini disebabkan keadaan perekonomian keluarga yang tidak mencukupi untuk melanjutkan pendidikan. Responden yang tamat SD sebanyak 6 orang atau sebesar 15 persen. Persentase responden yang tamat SLTP sebesar 12,5 persen atau sebanyak 5 orang. Sedangkan responden yang tamat SLTA sebanyak 3 orang atau sebesar 7,5 persen. Responden yang lulus perguruan tinggi hanya sebesar 5 persen atau sebanyak 2 orang. Perbandingan persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
4. Jenis Pekerjaan Terdapat beragam jenis pekerjaan yang dilakukan oleh responden, diantaranya sebagai petani, buruh, wiraswasta, pegawai negeri sipil, dan lain-lain seperti ibu rumah tangga, pemulung, pembuat batu bata dan polisi. Ada juga responden yang tidak bekerja. Hal ini disebabkan karena responden sudah berusia lanjut. Perbandingan persentase responden berdasarkan jenis pekerjaannya dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaannya
5. Pendapatan per Bulan Jenis pekerjaan yang berbeda akan menunjukkan pendapatan yang berbeda pula bagi masing-masing responden. Prosentase pendapatan terbesar adalah kurang dari Rp. 500.000,00 per bulan, yakni sebanyak 22 orang atau sebesar 55 persen. Selang pendapatan ini didominasi oleh responden yang bekerja sebagai buruh dan petani. Responden yang memiliki pendapatan pada selang Rp. 500.001,00 – Rp. 1.000.000,00 per bulan adalah wiraswasta/pedagang yaitu sebesar 37,5 persen. Pendapatan pada selang Rp. 1.000.001,00 – Rp. 1.500.000,00 adalah wiraswasta. Responden yang bekerja sebagai PNS berada pada pendapatan selang Rp. 1.500.001,00 – Rp. 2.000.001,00. Sedangkan polisi termasuk responden yang berpendapatan lebih dari Rp. 2.000.001,00 per bulan. Distribusi tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
6. Jumlah Tanggungan Mayoritas jumlah tanggungan responden adalah 3-4 orang, yaitu sebanyak 25 orang atau 62,5 persen. Hal ini disebabkan responden mempunyai anak lebih dari dua orang, atau masih memiliki tanggungan yang bukan merupakan keluarga inti mereka. Perbandingan persentase responden menurut jumlah tanggungan dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan
7. Jarak Rumah ke Sungai Mayoritas jarak rumah responden dari sungai berada pada selang 101-200 meter yaitu sebanyak 22 orang atau sebesar 55 persen. Sedangkan rumah yang berjarak kurang dari 100 m sebanyak 14 orang atau sebesar 35 persen, dan hanya 4 orang responden yang jarak rumahnya dari sungai lebih dari 201 meter. Perbandingan persentase responden berdasarkan jarak rumah ke sungai dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Persentase Responden Berdasarkan Jarak Rumah ke Sungai
8. Lama Tinggal Responden yang diambil dalam penelitian ini adalah responden yang benar-benar mengetahui perubahan kondisi air di Sungai Cileungsi dan pernah memanfaatkan air sungai tersebut. Secara umum, responden adalah penduduk asli yang sejak lahir sudah tinggal di Desa Cileungsi Kidul. Perbandingan persentase responden sesuai dengan lama tinggal di Desa Cileungsi Kidul dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Tinggal di Desa Cileungsi Kidul.
9. Pengetahuan Responden tentang Dampak Negatif Pencemaran Sungai Sebagian besar responden mengetahui tentang pencemaran sungai dan dampak yang ditimbulkannya. Perbandingan responden yang mengetahui tentang pencemaran sungai dan dampak yang ditimbulkan dengan yang tidak mengetahui adalah 25 : 15 atau 62,5 persen : 37,5 persen. Hal ini dapat dilihat pada gambar 14.
Gambar 14. Karakteristik Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Dampak Negatif Pencemaran Sungai
VI. MARGINAL ABATEMENT COST
6.1 Marginal Abatemen Cost PT. Aspex Kumbong Biaya proses pengolahan air limbah pada PT. Aspex Kumbong diasumsikan 5 kali untuk parameter BOD dan 16 kali untuk parameter COD dari PT Unitex. Asumsi ini berdasarkan pada kesamaan karakteristik limbah cair yang dikeluarkan dan prinsip pengolahan antara kedua perusahaan tersebut. Kedua perusahaan tersebut menggunakan sistem pengolahan yang sama yaitu secara fisika, kimia, dan biologi. Besarnya Marginal Abatemen Cost yang dikeluarkan oleh PT. Aspex Kumbong untuk mengurangi kadar pencemarannya adalah Rp. 406.451,43 per mg/l; dan Rp.433.405,52 per mg/l untuk BOD dan COD. Hasil perhitungan ini didapat dari perbandingan BOD dan COD antara PT. Aspex Kumbong dan PT. Unitex.
6.2.1 Parameter BOD Marginal Abatemen Cost untuk BOD dapat diketahui dengan mengalikan besarnya pengurangan inlet dan outletnya dengan besarnya MAC untuk parameter BOD per milligram. MAC untuk BOD = MACbod/mg*(E1 – E2) Dimana: E1 = outlet limbah untuk parameter BOD (mg/l) E2 = inlet limbah untuk parameter BOD(mg/l) Besarnya BOD yang dikeluarkan oleh perusahaan rata-rata 36,94 mg/l, sedangkan inletnya sebesar 800 mg/l. Pengurangan antara inlet dengan outletnya adalah sebesar 763,06 mg/l. Nilai penurunan BOD per mg/l adalah Rp.406.451,43
sehingga biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan yaitu sebesar Rp. 310.146.828,18. Penghitungannya adalah sebagai berikut: MAC = 406.451,43*(800-36,94) = 406.451,43*763,06 = 310.146.828,18 Besarnya biaya yang dikeluarkan perusahaan jika ingin mengurangi kadar pencemaran sampai dengan 0 mg/l adalah sebesar Rp. 325.161.144,00. Hasil ini didapat dari perkalian antara MAC untuk BOD per milligram yaitu Rp. 406.451,43 dengan pengurangan kadar pencemaran yaitu sebesar 800 mg/l. Hal ini dapat dilihat pada perhitungan sebagai berikut: MAC = 406.451,43*(800-0) = 406.451,43*800 = 325.161.144 Persamaan MAC untuk parameter BOD adalah sebagai berikut: MAC = 325.161.144 – 406.451,43BOD Jika perusahaan ingin menurunkan tingkat pencemaran sampai dengan 0 mg/l, maka biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 325.161.144,00. Akan tetapi, jika perusahaan ingin mengurangi tingkat pencemarannya, per 1 mg/l, biaya yang dikeluarkan akan bertambah sebesar Rp. 406.451,43. Persamaan ini didapat dengan perhitungan persamaan garis dari dua titik yaitu titik (0;325.161.144) dan titik (800;0). Hal ini terlihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Marginal Abatement Cost untuk parameter BOD
6.2.2 Parameter COD Penghitungan MAC untuk COD sama dengan penghitungan MAC untuk BOD. Besarnya pengurangan inlet dan outlet dikalikan dengan besarnya MAC untuk parameter COD per milligram. MAC untuk COD = MACcod/mg*(E1 – E2) Dimana: E1 = outlet limbah untuk parameter COD (mg/l) E2 = inlet limbah untuk parameter COD(mg/l) Outlet limbah cair pada PT. Aspex Kumbong rata-rata mengandung COD sebesar 114,69 mg/l, sedangkan inletnya sebesar 6000 mg/l. MAC untuk COD per milligram adalah Rp 433.405,52. Jadi besarnya MAC PT. Aspex Kumbong adalah sebesar Rp. 2.550.725.840,91. MAC = 433.405,52*(6000-114,69) = 433.405,52*5885,31 = 2.550.725.840,91
Biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk mengurangi kadar pencemaran sampai dengan 0 mg/l adalah sebesar Rp. 2.600.433.120,00. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 16. Hasil ini didapat dari perkalian antara MAC untuk COD per milligram yaitu Rp. 433.405,52 dengan pengurangan kadar pencemaran yaitu sebesar 6000 mg/l. MAC = 433.405,52*(6000-0) = 433.405,52*6000 = 2.600.433.120 Persamaan MAC untuk COD adalah sebagai berikut: MAC = 2.600.433.120 - 433.405,52 COD Jika perusahaan ingin menurunkan tingkat pencemaran sampai dengan 0 mg/l, maka biaya yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 2.600.433.120,00. Akan tetapi, jika perusahaan ingin mengurangi tingkat pencemarannya, per 1 mg/l, biaya yang dikeluarkan akan bertambah sebesar Rp. 433.405,52. Hasil ini didapat dari persamaan garis dari titik (0;2.600.433.120) dan titik (6000;0).
Gambar 16. Marginal Abatement Cost untuk parameter COD
VII. MARGINAL DAMAGE
7.1 Marginal Damage Pendekatan
CVM
digunakan
untuk
menganalisis
besarnya
dana
kompensasi yang bersedia diterima masyarakat terhadap penurunan kualitas lingkungan (marginal damage) disekitarnya yang setara dengan biaya perbaikan kualitas lingkungan tersebut. Marginal damage didapat dari hasil wawancara dengan masyarakat, yaitu seberapa besar kesediaan masyarakat untuk menerima dampak pencemaran sungai Cileungsi. Hasil pelaksanaan tahapan penerapan CVM dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Membangun Pasar Hipotetis (Setting Up the Hypothetical Market) Responden yang diwawancara diberikan informasi tentang kualitas air yang belum tercemar (kelas 1) dan kondisi aktual Sungai Cileungsi bagian hilir (setelah industri kertas) yaitu di Desa Cileungsi Kidul. Menurut PP No. 82 tahun 2001, kualitas air kelas 1 mempunyai kriteria 2 mg/l untuk BOD dan 10 mg/l untuk COD. Air kelas 1 ini bisa digunakan untuk air minum, prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Responden juga diberikan informasi tentang kualitas air di daerah hilir. Sungai Cileungsi bagian hilir yaitu di Desa Cileungsi Kidul pada musim kemarau (Juli 2008) termasuk dalam kelas 3 yaitu dengan kadar BOD dan COD masingmasing adalah 5,0195 mg/l dan 43,16 mg/l. Pada kelas ini, air dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan,
dan atau peruntukan lain yang mensyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Akan tetapi, air ini sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi untuk bahan baku air minum dan prasarana/sarana rekreasi air. Dengan kondisi air seperti di atas, masyarakat sebetulnya berhak mendapat kompensasi sebagai ganti atas kerugian karena air tersebut sudah tidak bisa digunakan untuk air minum dan sarana/prasarana rekreasi air. Dengan demikian responden mengetahui gambaran tentang situasi hipotetik mengenai dana kompensasi yang akan diberikan sebagai ganti rugi karena adanya penurunan kualitas lingkungan (pencemaran sungai). 2. Nilai WTA (Obtaining Bids) Besarnya nilai WTA didapatkan dari hasil wawancara kepada responden dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam kuesioner. Berdasarkan penjelasan dan pertanyaan yang diajukan, didapat besarnya kompensasi yang bersedia diterima responden. Nilai WTA yang diberikan responden adalah mulai dari Rp. 80.000,00 hingga Rp. 200.000,00 per bulan. 3. Nilai Rataan WTA (Estimating Mean WTA) Nilai rataan WTA (EWTA) responden untuk kualitas air kelas 3 juga dihitung berdasarkan nilai WTA responden. Dari hasil perhitungan diperoleh dugaan nilai rataan WTA responden untuk air kualitas 3 adalah sebesar Rp. 135.000,00 per bulan. Perhitungan ini dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. WTA Responden Desa Cileungsi Kidul WTA Frekuensi Frekuensi No. Nilai (Rp./bln) (orang) Relatif 1. 80.000 3 0,075 2. 100.000 12 0,3 3. 120.000 1 0,025 4. 130.000 3 0,075 5. 150.000 15 0,375 6. 200.000 6 0,15 Jumlah Sampel 40 1
Jumlah (Rp./bln) 6.000 30.000 3.000 9.750 56.250 30.000 135.000
4. Menduga Bid Curve Kurva WTA ini menggambarkan hubungan tingkat WTA yang diinginkan dengan tingkat pencemaran. Dalam hal ini adalah tingkat konsentrasi air sungai per parameter. Nilai rataan WTA sebagai variabel Y dan tingkat konsentrasi air sungai per parameter sebagai variabel X. Dengan perubahan tingkat konsentrasi ingin dilihat seberapa besar kompensasi yang diinginkan oleh masyarakat. Kurva tawaran WTA yang dihasilkan untuk parameter BOD dapat dilihat pada Gambar 17. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001, batas BOD untuk kualitas air kelas satu adalah 2 mg/l sehingga pada gambar, BOD sebesar 2 mg/l tidak diberikan kompensasi karena belum ada kerugian yang ditimbulkan. Pada tingkat konsentrasi BOD sebesar 5,0195 mg/l, kompensasi yang diinginkan sebesar Rp.135.000,00. Marginal damage masyarakat dapat dicari dengan cara mengalikan rata-rata kompensasi yang bersedia diterima yaitu sebesar Rp.135.000,00 dengan jumlah masyarakat yang terkena dampak pencemaran, yaitu sebanyak 255 orang (RW 07/RT 02 dan RW 08/RT 01). Jadi besarnya MD masyarakat adalah sebesar Rp. 34.425.000,00.
Gambar 17. Dugaan Kurva MD untuk Parameter BOD
Kurva tawaran WTA yang dihasilkan untuk parameter COD dapat dilihat pada Gambar 18. Tingkat konsentrasi COD sebesar 10 mg/l, kompensasinya sebesar 0 rupiah, karena pada tingkat konsentrasi ini, air termasuk kelas satu yang berarti masih dapat digunakan untuk air minum. Pada tingkat konsentrasi COD sebesar 43,16 mg/l, kompensasi yang diinginkan sebesar Rp. 135.000,00. Marginal damage untuk parameter COD sebesar Rp. 34.425.000,00. Hasil ini didapat dari perkalian antara rata-rata kompensasi yang bersedia diterima yaitu sebesar Rp. 135.000,00 dengan jumlah masyarakat yang terkena dampak pencemaran, yaitu sebanyak 255 orang (RW 07/RT 02 dan RW 08/RT 01).
Gambar 18. Dugaan Kurva MD untuk Parameter COD 5. Menentukan WTA Total (Agregating Data) Populasi yang diambil adalah jumlah penduduk di daerah RW yang dilalui oleh Sungai Cileungsi yaitu RW 07 RT 02 dan RW 08 RT 01. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai total WTA responden sebesar Rp 34.425.000,00 untuk kualitas air kelas 3. Hasil perhitungan total WTA responden untuk kelas 3 dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Total WTA (TWTA) Responden untuk Kualitas Air Kelas 3 No. Nilai WTA Frekuensi Populasi Jumlah (Rp./bln) (Rp./bln) Sampel (KK) (KK) 1. 80.000 3 19 1.530.000 2. 100.000 12 77 7.650.000 3. 120.000 1 6 765.000 4. 130.000 3 19 2.486.250 5. 150.000 15 96 14.343.750 6. 200.000 6 38 7.650.000 Jumlah Sampel 40 255 34.425.000
Hasil di atas dapat digunakan untuk mencari fungsi MD masyarakat untuk masing-masing parameter pencemar. MD masyarakat dapat dicari dengan rumus persamaan garis. Parameter BOD menggunakan persamaan garis dari titik (2;0) dan (5,0195;34.435.000) dan parameter COD dicari dengan menggunakan titik (10;0) dan titik (43,16;34.425.000). Dari perhitungan tersebut didapat hasil sebagai berikut: 1. Marginal Damage masyarakat untuk parameter BOD MD = -22.801.788,38 + 11.400.894,19BOD Hal ini berarti, jika konsentrasi BOD meningkat sebesar 1 mg/l, kompensasi yang diinginkan masyarakat akan meningkat sebesar Rp. 11.400.894,19. 2. Marginal Damage masyarakat untuk parameter COD MD = -10.381.483,72 + 1.038.148,37COD Hal ini berarti, jika konsentrasi COD meningkat sebesar 1 mg/l, kompensasi yang diinginkan masyarakat akan meningkat sebesar Rp. 1.038.148,37
6. Evaluasi Penggunaan CVM Berdasarkan hasil analisis regresi berganda, diperoleh R2 sebesar 52,74 persen untuk kualitas air kelas 3. Hal ini menunjukkan bahwa variabel independen
dalam model dapat menjelaskan variasi dari nilai WTA sebesar 52,74 persen, sedangkan sisanya (47,26 persen) dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir nilai sampai dengan 15 persen (Mitchell dan Carson dalam Garrod dan Willis, 1999). Oleh karena itu, hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian ini masih dapat diyakini kebenarannya atau keandalannya (reliable). Berdasarkan tiga hasil uji asumsi klasik (normalitas, heteroskedastisitas, dan multikolinearity), model WTA ini sudah memenuhi persyaratan-persyaratan BLUE. Model hasil analisis regresi adalah sebagai berikut: KKLS3 = 181.5387945 - 0.1370159935*X1 - 0.1769829894*X2 + (0,0015) (0,1254) (0,7787) 12.60870901*X3 + 3.760480977*X4 – 0.813308882*X5 – (0.1696) (0,4322) (0,3712) 18.54882494*X6 +23.23046574*dummy1 + 3.809132584*dummy2 (0,2031) (0,0241) (0,7603)
Variabel independen yang berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 80 persen adalah variabel jarak, pendidikan dan dummy1 (pengetahuan responden tentang pencemaran sungai dan dampak yang ditimbulkan). Variabel jarak memiliki P-value sebesar 0,1254 dan koefisien bertanda negatif (-). Hal ini berarti semakin dekat jarak rumah dengan sungai maka semakin besar nilai WTA yang diinginkan. Variabel pendidikan memiliki P-value sebesar 0,1696 dan koefisien bertanda positif (+) yang berarti semakin tinggi pendidikannya maka semakin besar nilai WTA yang diinginkan. Variabel dummy1 (pengetahuan responden tentang pencemaran sungai) bertanda positif (+) dan memiliki P-value sebesar 0,0241. Hal ini berarti responden yang mengetahui tentang dampak negatif
pencemaran sungai menginginkan WTA yang lebih besar jika dibandingkan dengan responden yang tidak mengetahui hal tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Analisis Nilai WTA Responden untuk Kualitas Air Kelas 3 Variable C X1 (JRK) X2 (LT) X3 (PDDKN) X4 (TGGN) X5 (UMUR) X6 (PDPTN) Dummy1 (PNGTHUAN) Dummy2 (JK) R-squared Adjusted R-squared
Coefficient 181.5388 -0.137016 -0.176983 12.60871 3.760481 -0.813309 -18.54882 23.23047 3.809133 0.527436 0.405484
t-Statistic 3.481107 -1.575065 -0.283495 1.406221 0.795828 -0.907410 -1.300316 2.372181
Prob. 0.0015 0.1254 0.7787 0.1696 0.4322 0.3712 0.2031 0.0241
Keterangan Berpengaruh nyata** Tidak berpengaruh nyata Berpengaruh nyata*** Tidak berpengaruh nyata Tidak berpengaruh nyata Tidak berpengaruh nyata Berpengaruh nyata*
0.307758 0.7603 Tidak berpengaruh nyata Mean dependent var 135.0000 F-statistic 4.324948 Prob(F-statistic) 0.001387
Keterangan: *, **, *** = pada taraf nyata 5 %, 15%, 20%
VIII. PAJAK LINGKUNGAN
8.1 Pajak Lingkungan untuk Parameter BOD Besarnya beban pajak dapat ditentukan dengan mengetahui fungsi Marginal Abatemen Cost dan Marginal Damage. Fungsi MAC dan MD dapat diketahui dengan cara mencari persamaan garis masing-masing kurva. Pajak lingkungan yang efisien didapat dari perpotongan antara kurva Marginal Abatemen Cost dengan Marginal Damage (MAC = MD). Persamaan MAC untuk parameter BOD adalah MAC = 325.161.144 – 406.451,43 BOD. Sedangkan persamaan MD adalah MD = -22.801.788,38 + 11.400.894,19BOD. Dari hasil perpotongan kedua persamaan tersebut, didapatkan tingkat pajak yang efisien yaitu ketika tingkat konsentrasi BOD sebesar 29,4700387012 mg/l dan MAC atau MD adalah sebesar Rp. 313.183.004,63. Jadi ketika tingkat pencemaran untuk BOD sebesar 29,4700387012 mg/l maka perusahaan harus membayar pajak sebesar Rp. 313.183.004,63. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 19. Besarnya pajak untuk BOD per milligram adalah Rp. 10.627.166,38. Hasil ini didapat dari Rp. 313.183.004,63 dibagi dengan 29,4700387012 mg/l. Outlet PT. Aspex Kumbong untuk parameter BOD rata-rata besarnya 36,94 mg/l. Jadi pajak yang harus dibayarkan oleh PT. Aspex Kumbong untuk parameter BOD adalah 36,94 mg/l dikalikan dengan Rp. 10.627.166,38 yaitu sebesar Rp. 392.567.526,08 Pajak untuk parameter BOD = Rp. 10.627.166,38*36,94 mg/l = Rp. 392.567.526,08
Gambar 19. Pajak Lingkungan untuk Parameter BOD
8.2 Pajak Lingkungan untuk Parameter COD Persamaan MAC untuk parameter COD adalah MAC = 2.600.433.120 – 433.405,52 COD, dan persamaan MD = -10.381.483,72 + 1.038.148,37COD. Dari hasil perpotongan kedua persamaan tersebut, didapatkan tingkat pajak yang efisien
yaitu
ketika
tingkat
konsentrasi
untuk
COD
adalah
sebesar
1.774,18891789 mg/l dan MAC atau MD adalah sebesar Rp. 1.831.489.849,45. Jadi ketika tingkat pencemaran untuk COD sebesar 1.774,18891789 mg/l maka perusahaan harus membayar pajak sebesar Rp. 1.831.489.849,45. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 20. Besarnya pajak untuk COD per milligram adalah Rp. 1.032.296,97. Hasil ini didapat dari Rp. 1.831.489.849,45 dibagi dengan 1.774,18891789 mg/l. Outlet PT. Aspex Kumbong untuk parameter COD rata-rata besarnya 114,69 mg/l. Jadi
pajak yang harus dibayarkan oleh PT. Aspex Kumbong untuk parameter COD adalah 114,69 mg/l dikalikan dengan Rp. 1.032.296,97 yaitu sebesar Rp.118.394.139,49 Pajak untuk parameter COD = Rp. 1.032.296,97*114,69 mg/l = Rp. 118.394.139,49
Gambar 20. Pajak Lingkungan untuk Parameter COD Besarnya pajak lingkungan yang harus dibayar oleh PT. Aspek Kumbong untuk ketiga parameter adalah sebesar Rp. 510.961.665,57. Hasil ini didapat dari penjumlahan pajak masing-masing parameter.
= Rp. 392.567.526,08 + Rp. 118.394.139,49 = Rp. 510.961.665,57
9.3 Retribusi Kabupaten Bogor Pemerintah Kabupaten Bogor sudah menerapkan retribusi untuk limbah cair. Retribusi ini berdasarkan volume limbah yang dikeluarkan oleh perusahaan. Besarnya retribusi dapat dicari dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Limbah sampai dengan 100 m3/bulan
= V1 * IL * IG * Rp. 250,00
Limbah 101 sampai dengan 1000 m3/bulan = V2 * IL * IG * Rp. 75,00 Limbah di atas 1000 m3/bulan
= V3 * IL * IG * Rp. 25,00
Volume limbah cair yang dikeluarkan PT. Aspex Kumbong sebesar 275.000 m3/bulan. PT. Aspex Kumbong berlokasi di dekat pemukiman penduduk, sehingga untuk index lokasinya bernilai 5. Sementara indeks gangguan PT. Aspex Kumbong bernilai 4 karena air limbah yang diolah dalam IPAL bersifat non logam. Jadi, berdasarkan rumus di atas, maka perhitungan besarnya retribusi yang dibayarkan oleh PT. Aspex Kumbong sebesar RP. 138.850.000,00. Hasil ini didapat dari perhitungan sebagai berikut: 100 * 5 * 4 * Rp. 250,00
= Rp. 500.000,00
900 * 5 * 4 * Rp. 75,00
= Rp. 1.350.000,00
274.000 * 5 * 4 * Rp. 25,00 = Rp. 137.000.000,00 Besarnya retribusi
= Rp. 500.000,00 + Rp. 1.350.000,00 + Rp. 137.000.000,00 = Rp. 138.850.000,00
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut: 1.
Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh PT. Aspex Kumbong untuk mengurangi kadar pencemarannya adalah Rp. 406.451,43 per mg/l dan Rp.433.405,52 per mg/l untuk parameter BOD dan COD. MAC untuk mengurangi kadar pencemaan BOD sampai tingkat outlet yang memenuhi baku mutu atau di bawah standar baku mutu yaitu rata-rata 36,94 mg/l adalah Rp. 310.146.828,18. MAC perusahaan untuk mengurangi kadar pencemaran COD sampai dengan outlet yang dikeluarkan yaitu rata-rata 114,69 mg/l adalah Rp. 2.550.725.840,91. Fungsi persamaan MAC untuk BOD adalah MAC = 325.161.144 – 406.451,43 BOD, untuk parameter COD adalah MAC = 2.600.433.120 – 433.405,52 COD
2.
Marginal damage untuk kualitas air Sungai Cileungsi kelas 3 (kondisi actual) rata-rata sebesar Rp. 135.000,00 dan marginal damage masyarakat sebesar Rp.
34.425.000,00.
Fungsi
MD
masyarakat
untuk
BOD
adalah
MD = -22.801.788,38 + 11.400.894,19 BOD dan fungsi MD masyarakat untuk COD adalah MD = -10.381.483,72 + 1.038.148,37 COD. 3.
Pajak lingkungan yang efisien untuk BOD adalah sebesar Rp. 313.183.004,63 pada tingkat pencemaran 29,4700387012 mg/l. Pada tingkat pencemaran COD sebesar 1.774,18891789 mg/l, pajak yang harus dibayarkan sebesar Rp.1.831.489.849,45. Pajak per milligram untuk tiap-tiap parameter adalah
Rp. 10.627.166,39 dan Rp. 1.032.296,97 untuk parameter BOD dan COD. Pajak yang seharusnya dibayar oleh PT. Aspex Kumbong sebesar Rp. 510.961.665,57. Hasil ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan retribusi yang dibayarkan PT. Aspek Kumbong yaitu Rp.138.850.000,00. Hal ini disebabkan dalam penghitungan retribusi belum memasukkan besarnya tambahan kerusakan yang diterima masyarakat.
9.2 Saran 1.
Pemerintah dalam menetapkan pajak lingkungan harus mempertimbangkan seberapa besar dampak yang diterima oleh masyarakat.
2.
Sebaiknya pemerintah membuat semacam IPAL yang secara khusus mengolah air sungai, agar masyarakat dapat memanfaatkan kembali air sungai ini.
3.
Saran untuk penelitian lanjutan adalah perusahaan yang diteliti sebaiknya melibatkan beberapa perusahaan yang sejenis yang berada di satu aliran sungai. Pengujian air sungai sebaiknya dilakukan secara periodik pada musim penghujan dan musim kemarau, jadi bisa diambil rata-rata tingkat pencemaran sungai.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, M. Surya dan Yuliawati. 2000. Laporan Kerja Praktik di PT Aspex Kumbong Paper Mill. Jurusan Teknik Kimia. Politeknik Institut Teknologi Bandung. Bandung Arianti, M. N. 1999. Analisis Pilihan Sumber Air Bersih dan Kesediaan Membayar bagi Perbaikan Kualitas dan Kuantitas Lingkungan Air PDAM di Kodya Bengkulu. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor BKPM. 2006. Industri Pengolahan. BKPM. Jakarta BPLHD. 2006. Buku Pegangan Manajer Pengendalian Pencemaran Air. BPLHD Propinsi Jawa Barat. Jawa Barat BPS. 2008. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan II-2008. BPS. Jakarta Disperindag. 2007. Data Perkembangan Industri Kabupaten Bogor. Disperindag. Bogor DTRLH. 2004. Laporan Kegiatan Izin Pengolahan Limbah Cair dan Izin Pembuangan Air Limbah Tahun 2002 dan 2003. DTRLH. Kabupaten Bogor Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Teori dan Aplikasi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Field, B.C. 1994. Environmental Economics: An Introductory. McGraw-Hill, Inc. Singapura. Garrod, Guy ang Kenneth G . Wiilis. 1999. Economics Valuation of The Environment. Edward Elgar Publishing, Inc. Massachussetts. Geocities. Limbah Industri Cemari Sungai Cileungsi hingga Ambang Batas. 9 Desember 2003. http://www.geocities.com/apii-berlin/utama3_5.html. Hanley, N dan C. L Spash. 1993. Cost-Benefit Analysis and The Environment. Edward Elgar Publishing. England. Harianja, V.M. 2006. Analisis Willingness to Accept Masyarakat terhadap Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantargebang dengan Pendekatan Contingent Valuation Method (Kasus Kelurahan Ciketing Udik Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi). Skripsi. Jurusan Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
http://www.infopajak.com/berita/150906bi1.htm. Pajak Lingkungan. 25 Jan 2008. Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. ANDI Yogyakarta. Yogyakarta Latifa, H. 2007. Kebisingan Pemukiman Pinggiran Rel Kereta Api: Analisis Preferensi, Persepsi dan Willingness to Accept (Kasus Desa Cilebut Timur Kabupaten Bogor Jawa Barat). Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Linsley, R.K. and J.B. Franzini.1991. Teknik Sumberdaya Air. Terjemahan Sasongko, D. J. Erlangga. Jakarta. Maharani, Indri. 2005. Analisis Kebutuhan dan Ketersediaan Air di Sub DAS Cileungsi Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Mangkoesoebroto, C. 1993. Ekonomi Publik. BPFE Yogyakarta. Yogyakarta Mastuti, Sri. 2006. Sistem Pengendalian Bahan Berbahaya dan Beracun pada Instalasi Waste Water Treatment PT. Aspex Kumbong, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Respati Indonesia. Jakarta Puspita, Lani. 2003. Kualitas Air Sungai Citeureup-Cileungsi dan Kaitannya dengan Buangan Limbah Cair Industri. Skripsi. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Putri, E. I. K, Ahyar I, Meilanie B, Pini W. 2007. Modul Kuliah Ekonomi Lingkungan. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Qomariyah, S. 2005. Analisis Willingness to Pay dan Willingness to Accept Masyarakat terhadap Pengelolaan Sampah (Studi Kasus TPA Galuga, Cibungbulang, Bogor). Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor Ramli, R. 2006. Analisis Input-Output Peranan Industri Kertas dalam Perekonomian Indonesia. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Santi, D.N. 2004. Pengelolaan Limbah Cair pada Industri Penyamakan Kulit Industri Pulp dan Kertas Industri Kelapa Sawit. Bagian Kesehatan Lingkungan. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatra Utara. http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file =index&req=getit&lid=1182
Siahaan, P. Marihot. 2006. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Wardhana, Wisnu Arya. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. ANDI Yogyakarta. Yogyakarta Widyantoro, B. 2005. Ekonomi Industri Pulp dan Kertas di Indonesia: Suatu Analisis Simulasi Kebijakan dan Tekanan Internasional. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor Zulwahyuni, H. 2007. Analisis Relokasi Pemukiman Penduduk di Sempadan Sungai Ciliwung dengan Pendekatan Willingness to Accept (Kasus Kelurahan Kedunghalang Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor). Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Lampiran 1. Data Inlet dan Outlet Limbah PT. Aspex Kumbong inlet outlet selisih bulan COD BOD COD BOD COD BOD Jul-06 6000 800 204,7 30,12 5795,3 769,88 Agust-06 6000 800 182,5 69,58 5817,5 730,42 Sep-06 6000 800 173,7 75,03 5826,3 724,97 Okt-06 6000 800 158,5 34,07 5841,5 765,93 Nop-06 6000 800 161,4 70,1 5838,6 729,9 Des-06 6000 800 191,9 35,13 5808,1 764,87 Jan-07 6000 800 102 50 5898 750 Feb-07 6000 800 101 41 5899 759 Mar-07 6000 800 64 25 5936 775 Apr-07 6000 800 101 36 5899 764 Mei-07 6000 800 101 49 5899 751 Jun-07 6000 800 99 26 5901 774 Jul-07 6000 800 89 42 5911 758 Agust-07 6000 800 56 25 5944 775 Sep-07 6000 800 99 29 5901 771 Okt-07 6000 800 83 23 5917 777 Nop-07 6000 800 83 36 5917 764 Des-07 6000 800 76 35 5924 765 Jan-08 6000 800 85,945* 28,5219* 5914,055 771,4781 Feb-08 6000 800 90,555* 27,9973* 5909,445 772,0027 Mar-08 6000 800 96,365* 27,5848* 5903,635 772,4152 Apr-08 6000 800 103,375* 27,2846* 5896,625 772,7154 Mei-08 6000 800 111,585* 27,0966* 5888,415 772,9034 Jun-08 6000 800 120,995* 27,0208* 5879,005 772,9792 Jul-08 6000 800 131,605* 27,0572* 5868,395 772,9428 rata-rata 6000 800 114,685* 36,9437* 5885,315 763,0563 Keterangan: * = data hasil forecasting
Lampiran 2. Data Inlet dan Outlet Parameter BOD dan COD pada PT. Unitex Bulan/tahun Januari 2002 Mei 2002 Januari 2003 Maret 2003 Mei 2003 Juli 2003 Sep-03 Nop-03 Januari 2004 Maret 2004 Mei 2004 Juli 2004 Sep-04 Nop-04 Januari 2005 Maret 2005 Mei 2005 Juli 2005 Sep-05 Nop-05 Januari 2006 Maret 2006 Mei 2006 Juli 2006 Sep-06 Nop-06 Januari 2007 Maret 2007 Mei 2007 Juli 2007 Sep-07 Nop-07 Januari 2008* Maret 2008* Mei 2008* Juli 2008* rata-rata Jumlah pembulatan rata-rata persentase pembulatan persentase
198 163 158 165 158 142 165 148 152 147 163 168 136 146 142 138 140 125 156 142 132 128 128 128 158 168 128 142 119 134 210 125 136* 132* 132* 124*
COD inlet 466 198 392 420 398 362 438 382 395 378 420 440 352 380 368 360 364 324 406 369 340 330 337 330 416 446 334 376 310 360 578 332 358* 351* 353* 330*
146,556
374,806
40,8333
109,528
105,7222
265,278
5276
13493
1470
3943
3806
9550
147
375
41
110
106
265
0,28
0,72
28%
72%
BOD inlet
Keterangan: * = Hasil forecasting
BODoutlet
CODoutlet
BODin-out
CODin-out
56 45 49 42 41 42 42 43 45 46 46 39 44 37 46 42 48 36 42 45 40 41 42 40 39 37 40 35 30 28 40 38 38* 36* 37* 33*
148 119 130 110 108 110 115 116 118 124 122 103 114 98 120 110 125 95 114 124 108 110 112 102 106 102 106 96 82 76 124 102 104* 98* 103* 89*
142 118 109 123 117 100 123 105 107 101 117 129 92 109 96 96 92 89 114 97 92 87 86 88 119 131 88 107 89 106 170 87 98* 96* 95* 91*
318 79 262 310 290 252 323 266 277 254 298 337 238 282 248 250 239 229 292 245 232 220 225 228 310 344 228 280 228 284 454 230 254* 253* 250* 241*
Lampiran 3. Data Perbandingan Biaya PT. Aspex Kumbong dengan PT. Unitex dan MAC PT. Aspex Kumbong bulan
biaya unitex
perbandingan biaya
biaya Aspex
MAC per miligram
COD
BOD
COD
BOD
COD
BOD
COD
BOD
Jul-06
162583147
63226779
16
5
2601330350
316133896,7
448868,9714
410627,4961
Agust-06
162962677
63374374
16
5
2607402831
316871871,8
448199,885
433821,4614
Sep-06
173810645
67593029
16
5
2780970316
337965142,5
477313,2718
466178,1074
Okt-06
139587598
54284066
16
5
2233401567
271420329,4
382333,5731
354367,0171
Nop-06
141797766
55143576
16
5
2268764264
275717879,2
388580,1842
377747,4712
Des-06
155084683
60310710
16
5
2481354929
301553550,4
427223,176
394254,6451
Jan-07
171515325
66700404
16
5
2744245197
333502020,4
465284,0279
444669,3606
Feb-07
173073121
67306214
16
5
2769169938
336531068,9
469430,4015
443387,4425
Mar-07
137084738
53310731
16
5
2193355805
266553656,8
369500,641
343940,2024
Apr-07
135776781
52802081
16
5
2172428490
264010406,7
368270,6374
345563,3596
Mei-07
154975706
60268330
16
5
2479611302
301341651,3
420344,3469
401253,8632
Jun-07
161124936
62659697
16
5
2577998972
313298486,2
436874,9317
404778,4059
Jul-07
163750383
63680704
16
5
2620006122
318403521,7
443242,45
420057,4165
Agust-07
185151048
72003185
16
5
2962416770
360015926,9
498387,7473
464536,6799
Sep-07
162411579
63160059
16
5
2598585270
315800293,2
440363,5435
409598,3051
Okt-07
151665420
58980997
16
5
2426646717
294904983
410114,3682
379543,0926
Nop-07
158815214
61761472
16
5
2541043431
308807361,4
429447,9349
404198,117
Des-07
179021725
69619560
16
5
2864347603
348097799
483515,8007
455029,8027
Jan-08
184901045
71905962
16
5
2958416718
359529809,5
500234,9012
466027,2398
Feb-08
149654561
58198996
16
5
2394472974
290994979,4
405194,2227
376935,1835
Mar-08
152213404
59194101
16
5
2435414459
295970507,1
412527,9524
383175,405
Apr-08
144537951
56209203
16
5
2312607214
281046015,6
392191,6714
363712,1968
Mei-08
157231197
61145466
16
5
2515699158
305727328,2
427228,5764
395556,9715
Jun-08
162645535
63251041
16
5
2602328556
316255206,4
442647,7874
409138,0549
Jul-08
164247942
63874200
16
5
2627967076
319370998,8
447817,0055
rata-rata
159424965,1
61998597,53
16
5
2550799441
309992987,6
433405,5204
413188,4 406451,4279
95
96
Lampiran 4. Hasil Olahan Minitab dengan Metode Quadratik untuk Peramalan BOD ————— 26/01/2009 20:55:23 ————————————————— ——— Autocorrelation Function: BOD outlet Lag 1 2 3 4 5
ACF 0,094501 0,272381 0,247468 -0,048941 0,075281
T 0,40 1,15 0,97 -0,18 0,28
LBQ 0,19 1,86 3,33 3,39 3,55
Autocorrelation for BOD outlet Trend Analysis for BOD outlet Data Length NMissing
BOD outlet 18 0
Fitted Trend Equation Yt = 59,8103 - 2,71276*t + 0,0561055*t**2
Accuracy Measures MAPE MAD MSD
28,805 10,984 172,801
Forecasts Period 19 20 21 22 23 24 25
Forecast 28,5219 27,9973 27,5848 27,2846 27,0966 27,0208 27,0572
97
Lampiran 5. Hasil Olahan Minitab dengan Metode Quadratik untuk Peramalan COD ————— 26/01/2009 20:04:22 ————————————————— ——— Autocorrelation Function: COD outlet Lag 1 2 3 4 5
ACF 0,663647 0,529944 0,335137 0,298969 0,192583
T 2,82 1,64 0,91 0,78 0,48
LBQ 9,33 15,65 18,34 20,64 21,67
Autocorrelation for COD outlet Trend Analysis for COD outlet Data Length NMissing
COD outlet 18 0
Fitted Trend Equation Yt = 226,355 - 18,7900*t + 0,6*t**2
Accuracy Measures MAPE MAD MSD
14,287 13,895 402,433
Forecasts Period 19 20 21 22 23 24 25
Forecast 85,945 90,555 96,365 103,375 111,585 120,995 131,605
98
Lampiran 6. Cara Penghitungan MAC, MD dan Pajak Lingkungan yang Efisien Keterangan:
X = E = effluent (mg/l) Y = MAC = MD (Rupiah)
MAC untuk Parameter BOD (0; ), (800;0)
MAC untuk Parameter COD Titik (0;2.600.433.120), (6000;0)
99
MD untuk Parameter BOD Titik ((2;0), (5,0195;34.425.000)
MD untuk Parameter COD Titik ((10;0), (43,16;34.425.000)
100
Pajak Lingkungan yang Efisien untuk Parameter BOD
Pajak Lingkungan yang Efisien untuk Parameter COD
101
Lampiran 7. Hasil Analisis Regresi Berganda Dependent Variable: KKLS3 Method: Least Squares Date: 01/26/09 Time: 10:11 Sample: 1 40 Included observations: 40 Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C X1 (JRK) X2 (LT) X3 (PDDKN) X4 (TGGN) X5 (UMUR) X6 (PDPTN) Dummy1 (PNGTHUAN) Dummy2 (JK)
181.5388 -0.137016 -0.176983 12.60871 3.760481 -0.813309 -18.54882 23.23047 3.809133
52.14973 0.086991 0.624289 8.966378 4.725244 0.896297 14.26486 9.792871 12.37706
3.481107 -1.575065 -0.283495 1.406221 0.795828 -0.907410 -1.300316 2.372181 0.307758
0.0015 0.1254 0.7787 0.1696 0.4322 0.3712 0.2031 0.0241 0.7603
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.527436 0.405484 28.37046 24951.38 -185.4736 1.838017
Variable
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
135.0000 36.79465 9.723682 10.10368 4.324948 0.001387
102
Lampiran 8. Uji Normalitas, Uji Heteroskedastisitas dan Uji Multikolinearity WTA Masyarakat Cileungsi Kidul 1. Uji Normalitas 8 Series: Residuals Sample 1 40 Observations 40
7 6
Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis
5 4 3 2 1
Jarque-Bera Probability
0 -40
-20
0
20
40
9.59E-15 -3.804389 58.32854 -35.86653 25.29385 0.578910 2.656939 2.430399 0.296651
60
2. Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared
0.603865 10.10830
Probability Probability
0.836655 0.754223
3. Uji Multikolinearity JK JRK KKLS3 LT PDDK N PDPTN PENG TAHU AN TGGN UMUR
1.000000 0.136586 -0.112367 0.337957 0.263261
0.136586 -0.112367 0.337957 0.263261 0.113050 1.000000 -0.484909 0.396418 -0.211958 -0.137713 -0.484909 1.000000 -0.478433 0.415098 0.266765 0.396418 -0.478433 1.000000 -0.364610 -0.321881 -0.211958 0.415098 -0.364610 1.000000 0.782207
-0.105409 -0.137778 0.376655 -0.041632 0.187985
-0.375292 -0.371097 0.377146 -0.580749 0.080098
0.399312 0.422613 -0.558069 0.783662 -0.438525
0.113050 -0.105409
-0.137713 -0.137778
0.266765 -0.321881 0.782207 1.000000 0.376655 -0.041632 0.187985 0.234926
0.234926 1.000000
0.256620 0.098525
-0.342323 -0.090323
-0.375292 0.399312
-0.371097 0.422613
0.377146 -0.580749 0.080098 0.256620 -0.558069 0.793662 -0.438525 -0.342323
0.098525 -0.090323
1.000000 -0.606753
-0.606753 1.000000
103
Lampiran 9. Indeks Lokasi pada Perda No. 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Izin Pembuangan Air Limbah No. Peruntukan/Lokasi Indeks Lokasi (IL) 1. Kawasan Lindung 5 5 2. Kawasan pemukiman perkotaan 5 3. Kawasan pengembangan perkotaan 5 4. Kawasan pengembangan pedesaan 5 5. Kawasan pariwisata 5 6. Waduk/situ/danau 4 7. Kawasan lahan basah Kawasan lahan kering 4 8. 4 9. Kawasan tanaman tahunan 3 10. Zona tambang 3 11. Hutan produksi 3 12. Kawasan Industri
Lampiran 10. Indeks Gangguan pada Perda No. 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Izin Pembuangan Air Limbah No. Penggolongan Proses Air Limbah Indeks Gangguan (IG) 1. Kimia logam 5 2. Kimia non logam 4 3. Biologi 3 4 Fisika 2
Lampiran 11. Tarif Retribusi pada Perda No. 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Izin Pembuangan Air Limbah No. Volume Air Limbah (V) Tarif (Rp) 3 1. Sampai dengan 100 m /bln (V1) 250,2. Di atas 100 sampai dengan 1000 m3/bln (V2) 75,3. Di atas 1000 m3/bln (V3) 25,-
104
Lampiran 12. Kondisi Sungai Cileungsi Di Cileungsi Kidul (Hilir)