ANALISIS NILAI EKONOMI TAMAN WISATA ALAM LAUT PULAU WEH DI KOTA SABANG
MUHAMMAD IQBAL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Nilai Ekonomi Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh di Kota Sabang” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip, baik dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Dafar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, April 2006
Muhammad Iqbal
ABSTRAK MUHAMMAD IQBAL . Analisis Nilai Ekonomi Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh di Kota Sabang. Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan MOCH. PRIHATNA SOBARI Penelitian ini bertujuan untuk menghitung nilai ekonomi Taman Wisata Alam (TWA) Laut Pulau Weh di Kota Sabang dan merumuskan sekaligus menetapkan priortas kebijakan pengelolaan kawasan tersebut. Pengembangan TWA Laut Pulau Weh dihadapkan dan dipengaruhi oleh beberapa aspek, antara lain ekonomi, sosial, ekologi, geografis, dan teknis. Penelitian ini menggunakan metode survai yag mengacu kepada penilaian terhadap pariwisata yang berlangsung di alam. Untuk menganalisis nilai ekonomi menggunakan metode biaya perjalanan dengan pendekatan individual dan zonasi. Penetapan prioritas kebijakan pengelolaan kawasan dilakukan dengan analisis multikriteria. Terdapat tiga alternatif kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh, yaitu status quo, marine protected area, dan pengembangan pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai ekonomi kawasan dengan pendekatan individual lebih akurat dibandingkan dengan pendekatan zonasi. Pada saat ini, kebijakan terbaik pengelolaan TWA Laut Pulau Weh adalah menetapkannya sebagai marine protected area yang didasarkan pada manfaat ekonomi yang diperoleh dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaannya. Selain itu, kebijakan tersebut juga akan menjamin kelestarian sumberdaya alam yang ada di kawasan tersebut. Kata kunci : TWA Laut Pulau Weh, nilai ekonomi, biaya perjalanan, analisis multikriteria, kebijakan pengelolaan.
ABSTRACT MUHAMMAD IQBAL . Economic Value Analysis of Weh Island Marine Tourism Park in Sabang City. Under the supervision of AKHMAD FAUZI and MOCH. PRIHATNA SOBARI The aim of the research is to analyze the economic value of Weh Island Marine Tourism Park (TWA Laut Pulau Weh) in Sabang City and to formulate and assign the policy of its management. The development of TWA Laut Pulau Weh faces some aspects such as economic, social, ecology, politic, geografic, and technical. To analyze this area, the method of area survey is used; it refers to standard criteria of assessing the object and the interest of natural tourism. To analysis economic value, techniques of travel cost is used. This research uses two approach of travel cost techniques (individual and zonation) including strategic plan of tourism development through multicriteria decision making analysis. There are three policy alternative to manage TWA Laut Pulau Weh which is status quo, marine protected area, and market development. The result of this research shows that the economic value of TWA Laut Pulau Weh with individual approach is more accurate than zonation approach. At present, the best policy alternative is assignment TWA Laut Pulau Weh as marine protected area on bases the economic benefit and utilization of the area for protection that involves active participation of the community and that serves educational products and learning activities, and also minimizes the negative impact of the activities in this area. Keywords : Weh Island Marine Tourism Park, economic value, travel cost, multicriteria decision making, policy of management.
© Hak cipta milik Muhammad Iqbal, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
ANALISIS NILAI EKONOMI TAMAN WISATA ALAM LAUT PULAU WEH DI KOTA SABANG
MUHAMMAD IQBAL
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Tesis
: Analisis Nilai Ekonomi Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh di Kota Sabang
Nama
: Muhammad Iqbal
NRP
: C451020021
Program Studi
: Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc. Ketua
Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S. Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, M.S.
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian : 15 Februari 2006
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada Agustus 2005 ini adalah valuasi ekonomi sumberdaya alam dengan judul “Analisis Nilai Ekonomi Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh di Kota Sabang”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc., dan Ir. Moch. Prihatna Sobari, M.S., selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Kepada Dr. Ir. H. Achmad Fahrudin selaku penguji luar komisi, penulis ucapkan terima kasih atas saran dan koreksi terhadap tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Abulyatama Banda Aceh, Dekan Fakultas Perikanan Universitas Abulyatama Banda Aceh, Teuku Ridwan, S.Pi., M.Si., Kepala Bappekot Sabang, dan Kepala Dinas Pariwisata Kota Sabang. Khusus kepada Dr. Ir. H. Mustafa Abubakar, M.Si. dan Ir. Iskandar Jafar, M.M., penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dorongan, semangat, dan harapan yang diberikan sehingga memacu penulis untuk menyelesaikan pendidikan secepat mungkin. Ungkapan terima kasih yang tulus dan penghormatan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada kedua orang tua, kakak-kakak, dan adik-adik tercinta, serta sahabat-sahabat terdekat atas doa, dukungan, cita-cita, dan kasih sayangnya. Kepada Mawardi Jalil yang membantu selama penelitian dan Fauziah Alhasanah yang telah mendampingi dan banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini, penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga. Terakhir, kepada semua pihak yang telah membantu, baik pada saat penelitian maupun dalam tahap analisis dan pengelolahan data, penulis ucapakan terima kasih yang tak terhingga.
Bogor, April 2006
Muhammad Iqbal
RIWAYAT HIDUP Muhammad Iqbal dilahirkan di Jurong Mesjid (Aceh) pada 24 Juli 1979, putra kelima dari delapan bersaudara dari pasangan Muhammad Gade Ali dan Rosmiati Sabi. Pada tahun 1997, penulis menamatkan pendidikan tingkat menengah atas pada SMU Negeri 1 Kembang Tanjong. Selanjutnya, pada tahun yang sama, penulis diterima pada Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk Institut (USMI) dan lulus pada tahun 2002. Sejak Maret 2002 sampai dengan sekarang, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Perikanan Universitas Abulyatama Banda Aceh. Pada Agustus 2002, penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor atas biaya dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional melalui Program Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.............................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... ix I.
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 6 1.3. Tujuan Penelitian............................................................................ 9 1.4. Kegunaan Penelitian ...................................................................... 9 1.5. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 10
II.
TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 2.1. Pengertian-pengertian.................................................................... 2.1.1. Pariwisata........................................................................... 2.1.2. Wisatawan.......................................................................... 2.1.3. Pariwisata Bahari ............................................................... 2.1.4. Taman Laut ........................................................................ 2.2. Pariwisata Bahari sebagai Ekoturisme.......................................... 2.3. Pembangunan Berkelanjutan......................................................... 2.4. Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam ..................................... 2.5. Jenis-jenis Nilai Ekonomi............................................................... 2.6. Konsep dan Teknik Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam ............. 2.7. Tingkat Keinginan Membayar (Willingness to Pay)....................... 2.8. Analisis Biaya Perjalanan .............................................................. 2.9. Model Pengambilan Keputusan dengan Analisis Multikriteria ......
12 12 12 14 14 15 15 16 17 18 20 22 25 28
III.
METODOLOGI PENELITIAN ................................................................. 3.1. Waktu Penelitian ............................................................................ 3.2. Lokasi Penelitian ............................................................................ 3.3. Metode Penelitian........................................................................... 3.4. Jenis dan Sumber Data.................................................................. 3.5. Metode Pengambilan Responden ................................................. 3.6. Teknik Pengumpulan Data............................................................. 3.7. Teknik Analisis Data....................................................................... 3.7.1. Travel Cost Methode.......................................................... 3.7.2. Weight Sum Methode......................................................... 3.8. Konsep dan Batasan......................................................................
32 32 32 32 33 35 36 36 36 39 40
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 4.1. Hasil................................................................................................ 4.1.1. Sejarah Kota Sabang......................................................... 4.1.2. Gambaran Umum Wilayah Kota Sabang .......................... 4.1.2.1. Keadaan Penduduk............................................. 4.1.2.2. Pekerjaan dan Mata Pencaharian ...................... 4.1.2.3. Tingkat Pendidikan.............................................. 4.1.3. Keragaan Ekonomi Kota Sabang ...................................... 4.1.4. Gambaran Umum TWA Laut Pulau Weh .......................... 4.1.4.1. Letak Geografis ................................................... 4.1.4.2. Sejarah dan Institusi Pengelola ..........................
42 42 42 44 45 46 47 47 50 50 50
Halaman 4.1.4.3. Topografi ............................................................. 4.1.4.4. Geologi dan Tanah.............................................. 4.1.4.5. Hidrologi .............................................................. 4.1.4.6. Aksesibilitas ......................................................... 4.1.4.7. Daerah Tujuan Wisata Utama............................. 4.1.4.8. Potensi Pariwisata............................................... 4.1.5. Karakteristik Responden .................................................... 4.1.5.1. Karakteristik Sosial Ekonomi .............................. 4.1.5.1.1. Umur.................................................. 4.1.5.1.2. Jenis Kelamin .................................... 4.1.5.1.3. Status Perkawinan ............................ 4.1.5.1.4. Tingkat Pendidikan............................ 4.1.5.1.5. Pekerjaan dan Tingkat Pendapatan . 4.1.5.1.6. Daerah Asal Responden ................... 4.1.5.1.7. Alat Transportasi ke Lokasi............... 4.1.5.2. Persepsi Responden........................................... 4.1.5.2.1. Kelebihan dan Keunggulan ............... 4.1.5.2.2. Kekurangan dan Kelemahan ............ 4.1.5.2.3. Peluang dan Tantangan.................... 4.1.5.2.4. Ancaman ........................................... 4.2. Pembahasan .................................................................................. 4.2.1. Jumlah Kunjungan ............................................................. 4.2.2. Biaya Perjalanan ................................................................ 4.2.3. Fungsi Permintaan Wisatawan TWA Laut Pulau Weh...... 4.2.3.1. Pendekatan Individual ......................................... 4.2.3.2. Pendekatan Zonasi ............................................. 4.2.4. Ukuran Kebaikan Model..................................................... 4.2.5. Surplus Konsumen dan Tingkat Keinginan Membayar ..... 4.2.6. Nilai Ekonomi TWA Laut Pulau Weh ................................. 4.2.7. Nilai Ekonomi TWA Laut Pulau Weh dan PDRB Sektor Pariwisata........................................................................... 4.2.8. Distribusi Nilai Ekonomi ..................................................... 4.2.9. Penerimaan TWA Laut Pulau Weh.................................... 4.2.9.1. Nilai Aktual........................................................... 4.2.9.2. Nilai Potensial...................................................... 4.2.10. Analisis Alternatif Kebijakan............................................... 4.2.11. Analisis Penentuan Skor untuk Masing-masing Kriteria ... 4.2.11.1. Produk Domestik Regional Bruto........................ 4.2.11.2. Penyerapan Tenaga Kerja .................................. 4.2.11.3. Konflik Pemanfaatan ........................................... 4.2.11.4. Persepsi Masyarakat........................................... 4.2.11.5. Partisipasi Masyarakat ........................................ 4.2.11.6. Illegal Fishing ...................................................... 4.2.11.7. Fenomena Alam .................................................. 4.2.11.8. Keamanan ........................................................... 4.2.11.9. Kebijakan Pemerintah ......................................... 4.2.11.10. Aksesibilitas ...................................................... 4.2.11.11. Objek Daya Tarik Wisata ................................. 4.2.11.12. Sarana dan Prasarana ..................................... 4.2.12. Prioritas Kebijakan ............................................................. 4.2.13. Analisis Sensitivitas............................................................
50 51 51 52 52 53 56 56 56 57 58 58 59 61 62 64 64 65 65 66 68 68 69 71 72 74 75 77 79 80 82 84 84 85 85 87 88 90 91 93 94 96 98 100 101 103 104 106 108 110
Halaman 4.2.14. Implikasi Kebijakan ............................................................ 4.2.14.1. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat.................. 4.2.14.2. Nilai Ekonomi Kawasan ...................................... 4.2.14.3. Pengelolaan Wilayah Pesisir .............................. 4.2.14.4. Pengembangan Wilayah ..................................... 4.2.14.5. Institusi Pengelola ............................................... 4.2.14.6. Pendanaan .......................................................... V.
112 113 114 115 115 116 118
SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 123 5.1. Simpulan......................................................................................... 123 5.2. Saran .............................................................................................. 124
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 126 LAMPIRAN....................................................................................................... 132
DAFTAR TABEL Halaman 1. Jumlah Kunjungan Wisatawan Domestik dan Mancanegara ke Kota Sabang pada Tahun 2000-2005 ................................................................ 3 2. Penyebaran Wisatawan Mancanegara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Berdasarkan Daerah Kunjungan Tahun 1999-2003 ............. 4 3. Matrik Keputusan MCDM........................................................................... 29 4. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Sex Ratio, dan Perkembangan Jumlah Penduduk di Kota Sabang Tahun 1985-2003..... 46 5. Jumlah Rumah Tangga Menurut Mata Pencaharian di Kota Sabang Tahun 2003 ................................................................................................ 47 6. Klasifikasi Umur Responden Tahun 2005 ................................................. 57 7. Jumlah Responden Menurut Jenis Kelamin Tahun 2005 ......................... 57 8. Status Perkawinan Responden Tahun 2005 ............................................. 58 9. Tingkat Pendidikan Responden Tahun 2005 ............................................ 59 10. Jenis Pekerjaan Responden Tahun 2005 ................................................. 60 11. Tingkat Pendapatan Responden Tahun 2005........................................... 60 12. Jumlah Responden Berdasarkan Daerah Asal Tahun 2005..................... 61 13. Alat Trasportasi yang Digunakan Responden dari Banda Aceh ke Kota Sabang dan dari Kota Sabang ke Lokasi TWA Laut Pulau Weh Tahun 2005 ................................................................................................ 63 14. Frekuensi Kunjungan Responden ke TWA Laut Pulau Weh Tahun 2005 ................................................................................................ 68 15. Total Biaya Perjalanan Wisatawan TWA Laut Pulau Weh Berdasarkan Daerah Asal Tahun 2005 ........................................................................... 70 16. Jumlah Kunjungan dan Biaya Rata-rata yang Dikeluarkan Pengunjung TWA Laut Pulau Weh Berdasarkan Zona Tahun 2005 ............................. 74 17. Ukuran Kebaikan Model (Fungsi Permintaan Wisatawan TWA Laut Pulau Weh) Berdasarkan Pendekatan Individual dan Zonasi................... 76 18. Perkiraan Jumlah Hari Kunjungan Efektif dan Biasa serta Jumlah Pengunjung TWA Laut Pulau Weh dalam Setahun .................................. 85 19. Atribut dan Skor dari Setiap Kriteria untuk Analisis MCDM Tahun 2005.. 88 20. Kriteria Objek Daya Tarik Wisata Berbentuk Perairan Tahun 2005 ......... 105 21. Standar Sarana dan Prasarana Pariwisata Alam Tahun 2005 ................. 107 22. Data Masukan (Input) untuk Analisis MCDM Tahun 2005 ........................ 109 23. Utilitas Alternatif Kebijakan Pengelolaan TWA Laut Pulau Weh Tahun 2005 ................................................................................................ 110 24. Analisis Sensitivitas dengan Merubah Bobot Lima Variabel Penting Tahun 2005 ................................................................................................ 111
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kategori Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam................................................ 8 2. Diagram Alir Kerangka Penelitian .............................................................. 11 3. Klasifikasi Teknik Valuasi Non-Market Sumberdaya Alam ....................... 21 4. Kurva Permintaan, Surplus Konsumen, dan WTP.................................... 24 5. Klasifikasi dan Jenis MCDM...................................................................... 28 6. Tahapan Proses Pengambilan Keputusan dengan Metode MCDM......... 30 7. Kurva Permintaan dan Surplus Konsumen ............................................... 38 8. Distribusi Persentase PDRB Kota Sabang Tahun 2003 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993 .................................. 49 9. Kurva Permintaan Pengujung (Pendekatan Individual) ............................ 78 10. Perbandingan Hasil Perhitungan Nilai Ekonomi TWA Laut Pulau Weh dengan PDRB Sektor Pariwisata............................................................... 82 11. Grafik Hasil Analisis Sensitivitas dengan Merubah Bobot Lima Variabel Penting ......................................................................................... 112 12. Pola Pendanaan Kawasan Konservasi ..................................................... 120
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Distribusi Persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Sabang Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993 Tahun 1999-2003 ............................................................ 131 2. Peta Wilayah Administrasi Kota Sabang dan Lokasi Penelitian ............ 132 3. Data Jumlah Kunjungan dan Biaya Perjalanan Responden Berdasarkan Pendekatan Individual dan Zonasi.................................... 133 4. Contoh Perhitungan Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Pulau TWA Laut Pulau Weh Berdasarkan Pendekatan Zonasi ................................ 135 5. Hasil Analisis Regresi Fungsi Permintaan Berdasarkan Pendekatan Individual dengan Menggunakan Software SPSS 11.0 for Windows .... 136 6. Hasil Analisis Regresi Fungsi Permintaan Berdasarkan Pendekatan Zonasi dengan Menggunakan Software SPSS 11.0 for Windows ......... 140 7. Teknik Perhitungan Besaran CS dari Fungsi Permintaan Berdasarkan Pendekatan Individual dengan Menggunakan Software Maple 9,5....... 144 8. Kesesuaian Kondisi Alam TWA Laut Pulau Weh dengan Kriteria Objek Wisata Alam Berbentuk Kawasan Perairan ................................. 145 9. Kesesuaian Kondisi Sarana dan Prasarana di TWA Laut Pulau Weh dengan Standar Sarana dan Prasarana Parawisata Alam .................... 147 10. Hasil Perhitungan Nilai Utilitas dari Berbagai Alternatif Kebijakan Pengelolaan TWA Laut Pulau Weh dengan Menggunakan software Sanna ....................................................................................... 148 11. Pemandangan Alam di Kawasan TWA Laut Pulau Weh ....................... 150
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sabang merupakan salah satu daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang wilayahnya berbentuk kepulauan dan berada di wilayah paling barat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Posisi geografis Kota Sabang berada pada jalur perdagangan dunia dari Samudera Hindia menuju Selat Malaka, sekaligus sebagai pintu gerbang masuk wilayah Indonesia di wilayah barat. Sebagai wilayah kepulauan, Kota Sabang memiliki lima pulau, yaitu Pulau Weh, Seulako, Rondo, Klah, dan Rubiah. Dari kelima pulau tersebut, Pulau Weh merupakan pulau terbesar dengan luasan sekitar 118,72 km 2 dan menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan Kota Sabang. Dengan luas wilayah 153 km 2, secara administrasi pemerintahan Kota Sabang terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sukakarya dan Sukajaya yang meliputi 18 kelurahan dengan jumlah penduduk sebanyak 29.564 jiwa pada 2003. Dengan wilayah yang berbentuk kepulauan dan topografi wilayah yang berbukit, menjadikan Kota Sabang sebagai daerah yang indah dan menarik. Hal ini ditandai dengan tersebarnya objek wisata alam di hampir seluruh sudut Kota Sabang.
Di samping itu, Kota Sabang juga memiliki banyak objek wisata
sejarah/budaya, karena daerah ini memiliki sejarah yang panjang sebagai pusat perdagangan pada masa kolonial Belanda. Secara rinci, potensi objek wisata alam dan objek wisata sejarah/budaya di Kota Sabang terdiri atas Taman Wisata Alam (TWA) Laut Pulau Weh, Hutan Wisata Iboih, Pantai Pasir Putih, Pantai Gapang, Pantai Sumur Tiga, Pantai Kasih, Pantai Paradiso, Pantai Anoi Itam, Sumber Air Panas Keuneukai, Tugu Kilometer Nol, Bunker Perang Dunia Kedua, Terowongan Bawah Tanah, Benteng, dan Pondasi Karantina Haji di Pulau Rubiah. Keseluruhan objek wisata tersebut selama ini telah menjadi andalan bagi Pemerintah Kota Sabang dalam menggalakkan pembangunan sektor pariwisata Kota Sabang.
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam juga telah
menjadikan sekaligus menetapkan Kota Sabang sebagai kota pariwisata sekaligus icon pariwisata provinsi tersebut. Pada masa kolonial Belanda, Kota Sabang merupakan pusat perdagangan yang ramai dan banyak disinggahi oleh kapal-kapal dagang yang melintas dari
2
kawasan Timur Tengah munuju Selat Malaka. Setelah Indonesia merdeka atau tepatnya pada tahun 1970, status Kota Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas diberlakukan oleh pemerintah. Sektor perdagangan merupakan penggerak utama perekonomian Kota Sabang dan daerah Aceh daratan pada masa itu. Status tersebut kemudian dicabut oleh pemerintah pada tahun 1985 karena alasan ekonomi, politik, pertahanan, dan keamanan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1985. Pembangunan Kota Sabang mulai menggeliat kembali pada era tahun 1990-an seiring dengan ditetapkannya Sabang sebagai salah satu Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) untuk wilayah barat Indonesia sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 171 Tahun 1998 tentang KAPET Sabang.
Pada tahun 2001, KAPET Sabang berganti nama
menjadi KAPET Bandar Aceh Darussalam, karena cakupan wilayahnya juga meliputi Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, dan Kabupaten Pidie. Selanjutnya, pemberlakuan Kota Sabang dan gugusan Pulau Aceh (termasuk wilayah administratif Kabupaten Aceh Besar) sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. Dalam rencana pembangunan Kota Sabang, Pemerintah Kota Sabang bersama-sama dengan KAPET Bandar
Aceh
Darussalam
dan Badan
Pengusahaan Kawasan Sabang (selaku pelaksana pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang), telah menetapkan empat sektor ekonomi unggulan dalam pembangunan ekonomi Kota Sabang. Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi unggulan, di samping tiga sektor lainnya, yaitu jasa dan trasportasi, perikanan, dan industri. Langkah tersebut dalam indikator ekonomi sangat jelas terlihat, yaitu dengan maraknya kegiatan pariwisata di Kota Sabang. Kontribusi sektor pariwisata1 dalam perekonomian Kota Sabang selama tahun 1999-2003 sekitar 8,36% per tahun 2. Angka tersebut relatif lebih besar jumlahnya dari kontribusi sektor ekonomi unggulan lainnya seperti perikanan, sekitar 3,84% per tahun. 1
Dalam PDRB Kota Sabang merupakan gabungan dari beberapa sub lapangan usaha yang terdiri atas Hiburan/Rekreasi/Kebudayaan, Restoran/Rumah Makan, Hotel, Pengangkutan Jalan Raya/Darat, Pengangkutan Laut/Sungai/Danau, dan Angkutan Udara 2 Berdasarkan PDRB Kota Sabang Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993 Tahun 1999-2003
3
Distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Sabang Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993 Tahun 1999-2003 secara lengkap disajikan dalam Lampiran 1. Indikator lainnya dari kegiatan pariwisata di Kota Sabang dapat dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan (domestik dan mancanegara). Selama tahun 20002005 (Juni), jumlah kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke Kota Sabang disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Kunjungan Wisatawan Domestik dan Mancanegara ke Kota Sabang pada Tahun 2000-2005 Tahun
Jumlah Wisatawan (Orang) Domestik Mancanagera
Total (Orang)
2000
71.736
2.664
74.400
2001
87.217
4.747
91.964
2002
75.400
2.968
78.368
2003
81.532
1.659
83.191
2004
100.004
81
100.085
2005 (Juni)
30.378
754
31.132
Sumber : Dinas Pariwisata Kota Sabang, 2005
Wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kota Sabang pada umumnya berasal dari negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Adapun untuk wisatawan domestik pada umumnya merupakan wisatawan yang berasal dari daerah lain di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, seperti Banda Aceh, Sigli, Lhokseumawe, dan Langsa. Selama kurun waktu tersebut, Kota Sabang merupakan salah satu tujuan wisata favorit untuk dikunjungi di Nanggroe Aceh Darussalam, selain karena daya tarik wisatanya yang tinggi juga karena faktor keamanan yang kondusif. Di daerah lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, meskipun banyak terdapat daerah yang menjadi tujuan wisata (seperti dataran tinggi Gayo di Aceh Tengah dengan pesona dan panorama Danau Laut Tawar-nya yang menawan), tetapi kondisi keamanannya tidak kondusif akibat terjadinya konflik bersenjata antara Tentara Nasional Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.
4
Tingginya tingkat kunjungan wisatawan mancanegara ke Kota Sabang dibandingkan dengan daerah lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat dilihat berdasarkan data penyebaran wisatawan mancanegara ke Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menurut daerah kunjungan sebagaimana disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Penyebaran Wisatawan Mancanegara di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Berdasarkan Daerah Kunjungan Tahun 1999-2003 Jumlah Kunjungan per Tahun (Orang) Kabupaten/Kota 1999
2000
2001
2002
2003
Banda Aceh
1.425
749
1176
824
380
Sabang
3.698
2.428
9.510
2.457
1.644
Aceh Besar
1.072
602
202
142
45
77
290
160
112
49
Aceh Utara
5.775
2.958
1.808
1.266
570
Aceh Timur
117
131
184
129
62
Aceh Tengah
188
158
116
82
112
Aceh Tenggara
927
1.484
1.374
962
328
Aceh Barat
669
279
266
187
88
Aceh Selatan
821
199
400
280
159
Pidie
Sumber : Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2003
Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa potensi pariwisata di Kota Sabang memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan sebagai sektor penggerak utama (prime mover sector) dalam perekonomian Kota Sabang. Hal ini karena berdasarkan data di atas, adanya faktor permintaan terhadap kegiatan pariwisata yang tinggi di Kota Sabang dibandingkan dengan daerah lainnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di samping itu, sektor pariwisata Kota Sabang juga memiliki keunggulan kompetitif sekaligus keunggulan komparatif yang dapat menjadi modal dasar untuk dikembangkan. Beberapa keunggulan kompetitif yang dapat diandalkan antara lain memiliki banyak wisata objek yang menarik (wisata alam dan sejarah/budaya) serta ketersediaan infrastrukstur yang relatif lengkap dibandingkan dengan daerah lain. Adapun keunggulan komparatif yang dimiliki adalah letaknya yang sangat
5
strategis pada jalur perdagangan dunia, sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas serta kondisi keamanannya yang kondusif. Pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata Kota Sabang sebagai salah satu sektor unggulan kiranya perlu mendapat perhatian dan prioritas, karena kontribusinya yang signifikan dalam menggerakkan perekonomian daerah. Dibandingkan dengan ketiga sektor unggulan lainnya, sektor pariwisata dapat dikatakan lebih siap dan prospek untuk dikembangkan. Hal ini terlihat dari beberapa keunggulan yang dimiliki sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Berdasarkan realitas dan proses pembangunan Kota Sabang saat ini, keberadaan sektor pariwisata relatif tidak membutuhkan investasi dalam skala besar untuk mengembangkannya.
Kondisinya sangat berbeda dengan tiga
sektor ekonomi unggulan lainnya (sektor-sektor ekonomi unggulan lainnya seperti jasa dan perdagangan, perikanan, dan industri) yang membutuhkan infrastruktur lengkap, modal yang besar, kesiapan sumberdaya manusia, dan permasalahan tata ruang wilayah. Dengan demikian, pembangunan dan pengembangan sektor pariwisata dirasakan sangat realistis untuk dilakukan pada saat ini di Kota Sabang. Daya tarik wisata alam, situasi keamanan yang kondusif, promosi yang kuat, dan keanekaragaman sumberdaya alam yang dimiliki adalah tolok ukur besarnya prospek sektor pariwisata Kota Sabang. Upaya dalam pembangunan dan pengembangannya bukanlah pekerjaan yang mudah, karena tantangan yang dihadapi pada saat ini dan ke depan tidaklah kecil. Perencanaannya secara menyeluruh dan keterpaduan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya merupakan tantangan besar yang terlebih dahulu harus dikerjakan. Dalam pelaksanaannya, hendaknya mengacu kepada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, karena yang dijual dalam sektor pariwisata di Kota Sabang adalah sumberdaya alam, yang menjadi objek daya tarik wisata. Untuk itu, diperlukan analisis ilmiah yang meliputi aspek ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sistem nilai terhadap keberadaan objek-objek wisata yang mengandalkan sumberdaya alam tersebut. Dalam penelitian ini, akan mengkaji aspek ekonomi dari salah satu objek wisata alam di Kota Sabang yang selama ini telah menjadi tujuan utama kunjungan wisatawan, yaitu Taman Wisata Alam (TWA) Laut Pulau Weh. Keberadaan TWA Laut Pulau Weh dalam peta pariwisata Kota Sabang begitu
6
penting, karena pesona alam dan kekayaan sumberdaya hayatinya yang sangat besar. Bahkan, ada slogan yang menyatakan bahwa wisatawan yang berkunjung ke Kota Sabang belumlah dikatakan sudah pernah berwisata ke Kota Sabang apabila tidak melihat dan menikmati keindahan TWA Laut Pulau Weh. Secara lebih khusus, kajian ekonomi terhadap TWA Laut Pulau Weh dititikberatkan pada analisis nilai ekonomi berdasarkan biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh wisatawan untuk berkunjung ke lokasi wisata tersebut. Hal ini dibatasi untuk menghindari kesalahpahaman dalam mempersepsikan arti dari nilai ekonomi total yang ada di TWA Laut Pulau Weh tersebut. Selanjutnya, juga akan dilihat bagaimana rumusan kebijakan yang tepat dalam rangka pengelolaan TWA Laut Pulau Weh agar lebih banyak dikunjungi oleh wisatawan pada masa mendatang dan dapat meningkatkan kontribusi dalam perekonomian daerah serta menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya. 1.2. Rumusan Masalah Selama ini, aktivitas ekonomi dominan yang berlangsung di sekitar TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang adalah sektor pariwisata dengan mengandalkan daya tarik wisata bahari dan hutan lindung. TWA Laut Pulau Weh memiliki luas perairan 2.600 hektar dan ditambah dengan luas hutan lindung (Hutan Iboih) sekitar 1.200 hektar.
Perairan laut dan kawasan hutan lindung merupakan
kawasan berikat yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dalam rangka pengembangan TWA Laut Pulau Weh. Hal ini karena letak kawasan perairan laut berbatasan langsung dengan hutang lindung. Upaya pemanfaatan TWA Laut Pulau Weh melalui kegiatan pariwisata secara nyata dapat dikatakan belumlah dilakukan secara optimal. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya perencanaan dalam pengelolaan yang diakibatkan belum adanya kebijakan pengelolaan yang terpadu. Diantaranya, keragaan aktivitas ekonomi yang berlangsung dalam TWA Laut Pulau Weh belum diidentifikasikan secara jelas, terperinci, dan lengkap, misalnya, berapa nilai ekonomi setiap tahunnya yang dapat diperoleh dari pemanfaatan TWA tersebut sebagai daerah tujuan wisata. upaya
Selanjutnya, tindakan bagaimana yang mesti dilakukan agar
pemanfaatannya
dapat
berjalan
dengan
optimal
tanpa
harus
mengorbankan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada, sehingga dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang panjang.
7
Permasalahan-permasalahan tersebut di atas adalah tanda tanya besar yang harus dijawab, bukan saja oleh pengelola TWA tersebut dan Pemerintah Kota Sabang, tetapi oleh seluruh komponen masyarakat yang berkepentingan terhadap kelestarian dan kesinambungan wilayah perairan laut yang dilindungi tersebut. Manfaat dari jasa-jasa lingkungan yang dihasilkan nyatanya telah dinikmati oleh masyarakat yang berdomisili di sekitarnya dan pemerintah daerah setempat melalui geliat ekonomi kegiatan pariwisata. Selama ini, besarnya manfaat ekonomi yang diperoleh dari TWA Laut Pulau Weh belumlah diketahui.
Dengan demikian, upaya menghitung nilai
ekonomi sumberdaya alam yang ada di TWA Laut Pulau Weh mutlak harus dilakukan. Hal ini sangat relevan dengan kondisi dan keberadaan TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang, karena wilayah laut yang memiliki luasan perairan 2.600 hektar ini sarat dengan kepentingan sosial, ekonomi, dan ekologi. Dari sisi sosial, keberadaaan TWA Laut Pulau Weh ini merupakan salah satu identitas dari masyarakat yang hidup di sekitarnya. Kearifan masyarakat (local wisdom) dalam menjaga dan memelihara TWA Laut Pulau Weh telah menjadikannya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kelangsungan dan eksistensi dari TWA itu sendiri sampai dengan saat ini. Selanjutnya dari sisi ekonomi, terlihat dari banyaknya penduduk yang berdomisili di sekitar TWA Laut Pulau Weh yang menggantungkan hidupnya dari kegiatan pariwisata.
Dalam skala yang lebih luas, kegiatan pariwisata Kota
Sabang yang mengandalkan TWA Laut Pulau Weh sebagai daya tarik wisatanya telah memberikan kontribusi dalam perekonomian Kota Sabang. Adapun dari sisi ekologi, TWA Laut Pulau Weh merupakan wilayah perairan yang kaya dengan keanekaragaman hayati, sehingga menjadi modal utama dalam
mempromosikannya
sebagai
kawasan
pariwisata
bahari.
Keanekaragaman hayati meliputi keragaan fisik dan biota lautnya. Selama ini, pemanfaatan TWA Laut Pulau Weh dirasakan masih belum optimal yang diantaranya disebabkan oleh belum terpenuhinya seluruh aspek yang menjadi prasyarat dalam pengelolaannya. Salah satu aspeknya adalah belum diketahuinya nilai ekonomi secara menyeluruh yang ada di TWA ini. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diperlukan suatu studi dan kajian yang mendalam untuk mengetahui nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh. Nantinya, hasil kajian tersebut dapat dijadikan dasar dan pijakan ilmiah untuk menyusun rumusan kebijakan dalam rangka pengelolaan TWA Laut Pulau Weh
8
berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan khususnya untuk sektor pariwisata. Nilai ekonomi dari TWA Laut Pulau Weh merupakan jumlah keseluruhan dari keragaan ekonomi yang berada dalam wilayah tersebut, baik barang/jasa yang dimanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mengetahui jenis-jenis nilai ekonomi yang terdapat di TWA Laut Pulau Weh, dapat mengacu pada pembagian jenis nilai dari sumberdaya alam sebagaimana terlihat dalam Gambar 1.
Sumber
: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah : Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi (Darusman et al. 2003)
Gambar 1. Kategori Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam Berdasarkan Gambar 1, dapat terlihat bahwa untuk mendapatkan nilai ekonomi total dari TWA Laut Pulau Weh, meliputi banyak aspek yang harus dihitung, yaitu nilai pemanfaatan atau penggunaannya (baik langsung maupun tidak langsung) dan nilai non-pemanfaatan (seperti nilai pewarisan dan keberadaannya). Dalam penelitian ini, akan dilakukan analisis terhadap nilai ekonomi yang dihasilkan dari pemanfaatan tidak langsung (indirect use value), yaitu kegiatan pariwisata. Nilai ekonomi dari kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh dikategorikan dalam nilai ekonomi yang dimanfaatkan secara tidak langsung karena konsumen atau manusia tidak mengambil manfaat langsung dari TWA tersebut. Oleh karena itu, perhitungan-perhitungan yang dilakukan untuk memperoleh nilai ekonominya juga harus melalui metode tersendiri, karena tidak ada nilai pasarnya (non-market value).
Metode perhitungan yang digunakan
9
dalam pengukurannya berbeda dengan menghitung nilai pemanfaatan langsung yang memiliki nilai pasar (market value), seperti ikan, kayu, burung, dan beragan manfaat sumberdaya alam lainnya. Dengan demikian, untuk menghitung nilai ekonomi dari kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh, didekati dengan mengetahui tingkat keinginan membayar dari konsumen/wisatawan/pengunjung yang berkunjung ke kawasan tersebut.
Dengan kata lain, besaran biaya yang dikeluarkan oleh seorang
pengunjung untuk melakukan kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh dapat dijadikan sebagai proxy untuk mengetahui nilai ekonomi yang dimiliki oleh TWA Laut Pulau Weh tersebut. Berdasarkan gambaran dan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pemasalahan-permasalahan sebagai berikut : 1). Berapa nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh berdasarkan analisis biaya perjalanan pengunjung atau wisatawan yang berkunjung ke sana? 2). Selanjutnya, bagaimana rumusan dan prioritas kebijakan pengelolaan dalam rangka pengembangan TWA Laut Pulau Weh ke depan berdasarkan analisis nilai ekonomi yang ada? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian adalah : 1). Mengetahui nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh berdasarkan analisis biaya perjalanan yang dikeluarkan/dihabiskan pengunjung atau wisatawan selama berkunjung ke lokasi wisata tersebut. 2). Merumuskan sekaligus menentukan prioritas kebijakan pengelolaan dalam rangka pengembangan TWA Laut Pulau Weh agar wisatawan yang berkunjung dapat meningkat, baik dalam jumlah maupun frekuensinya pada masa mendatang. 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam : 1). Memberikan informasi mengenai karakteristik pengunjung dan objek daya tarik wisata yang ada di TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang. 2). Mendapatkan gambaran tentang adanya nilai ekonomi dari TWA Laut dari aspek perjalanan yang dilakukan oleh pengunjung atau wisatawan.
10
3). Memperkenalkan teknik valuasi tidak langsung terhadap nilai ekonomi sumberdaya alam. 4). Menghasilkan rumusan dan prioritas kebijakan pengelolaan dalam rangka pengembangan TWA Laut Pulau Weh secara berkelanjutan. 1.5. Kerangka Pemikiran Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi unggulan di Kota Sabang. Hal ini didasarkan pada potensi sumberdaya alam yang memiliki daya tarik wisata yang sangat tinggi berupa keindahan bawah laut, pantai, dan panorama alam pengunungan yang terdiri atas hutan lindung yang masih terjaga dengan baik.
Kegiatan pariwisata telah memberikan kontribusi yang nyata
terhadap perekonomian Kota Sabang yang dapat dilihat dari persentase kontribusi dalam PDRB Kota Sabang yang mencapai rata-rata 8,36% per tahun selama 1999-2003. Untuk jumlah kunjungan wisatawan, selama enam tahun terakhir (2000-2005), jumlah wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang berkunjung ke Kota Sabang rata-rata mencapai 76.523 orang per tahun. Salah satu objek wisata yang paling menarik dan ramai dikunjungi oleh wisatawan adalah TWA Laut Pulau Weh yang memiliki keindahan alam bawah laut dan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Selama ini, pengelolaan TWA Laut ini masih belum dilakukan secara profesional dan keragaan nilai ekonomi yang terkandung atau yang ada belum diketahui.
Oleh karena itu,
dalam penelitian ini dilakukan penghitungan nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh yang didekati dengan menganalisis biaya perjalanan yang dikeluarkan pengunjung atau wisatawan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Travel Cost Methode sebagai salah satu teknik pengukuran nilai ekonomi dari sumberdaya alam yang tidak memiliki nilai pasar. Dalam analisisnya, nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh diperoleh
melalui
proxy
tingkat
keinginan
membayar
dari
pengunjung
berdasarkan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk sampai ke TWA Laut Pulau Weh dan untuk kembali ke tempat tinggal tetap pengunjung serta seluruh biaya yang dihabiskan selama berada di lokasi kunjungan. Setelah diperoleh besaran nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh berdasarkan analisis biaya perjalanan, langkah selanjutnya adalah merumuskan kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh ke depan yang mengacu kepada prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan. Analisis kebijakan ini pada prinsipnya untuk
11
menentukan langkah-langkah pengelolaan TWA Laut Pulau Weh yang tepat berdasarkan berbagai kriteria (multikriteria), yang meliputi aspek ekonomi, sosial, ekologi, politik, geografi, dan teknis. Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan metode Multi Criteria Decision Making (MCDM). Dalam analisis MCDM, pendekatan yang digunakan sebagai fungsi agregasi dalam perhitungannya adalah Weighted Sum Methode (WSM) atau Metode Penjumlahan Bobot sebagai alat analisis (tool analyze) yang didasarkan pada keragaan fisik dan non-fisik serta permasalahan lainnya yang ada pada TWA Laut Pulau Weh. Kerangka pemikiran dari keseluruhan tahapan penelitian ini secara skematis digambarkan dalam diagram alir Gambar 2.
Gambar 2. Diagram Alir Kerangka Penelitian
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian-pengertian 2.1.1. Pariwisata Pariwisata pada dasarnya mengandung lima unsur pokok baik dalam sifat maupun kegiatannya, yaitu meliputi unsur manusia (wisatawan), unsur kegiatan (perjalanan), unsur motivasi (menikmati), unsur sasaran (objek dan daya tarik), dan unsur usaha.
Kelima unsur tersebut selaras dengan ketentuan tentang
pariwisata sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Menurut Kodyat dan Ramaini (1992:85), pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek wisata dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dalam bidang tersebut. Selanjutnya, Yoeti (1996:177-178) memberikan pengertian pariwisata sebagai suatu perjalanan yang dilakukan sementara dari suatu tempat tinggal ke tempat tinggal lain yang dimaksud bukan untuk berusaha mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut. Tujuan perjalanan tersebut adalah untuk bertamasya dan rekreasi dalam memenuhi keinginan-keinginannya. Selain kelima unsur di atas, kegiatan pariwisata itu sendiri terdiri atas tiga unsur sebagaimana dikemukakan oleh Munasef (1995:10-11), yaitu : 1). Manusia (man), adalah orang yang melakukan perjalanan dengan maksud menikmati keindahan suatu tempat (alam). 2). Ruang (space), adalah daerah atau ruang lingkup tempat melakukan perjalanan. 3). Waktu (time), adalah waktu yang digunakan selama dalam perjalanan dan tinggal di daerah tujuan wisata. Lebih lanjut, Munasef (1995) mengatakan bahwa pengertian tentang pariwisata akan semakin jelas dipahami jika didekati dari jasa atau produk yang dihasilkan atau pelayanan yang diharapkan oleh wisatawan dalam perjalanannya. Dengan pendekatan ini, akan diketahui jenis-jenis pelayanan (services) yang diperlukan konsumen (wisatawan). Perkembangan pariwisata dewasa ini telah tumbuh menjadi salah satu sektor ekonomi penting di Indonesia. Hal ini terlihat dari kontribusinya dalam perekonomian nasional, bahkan telah menjadi sektor ekonomi unggulan dalam
13
menggerakkan perekonomian di suatu daerah. Fenomena sangat jelas terlihat di Provinsi Bali yang telah terkenal di seluruh dunia dengan industri pariwisatanya yang sudah demikian maju dan mendapat pengakuan dari sebuah lembaga internasional sebagai daerah tujuan wisata yang paling disukai oleh wisatawan mancanegara (Anonim 2005). Menurut Yoeti (1996), industri pariwisata merupakan kumpulan dari bermacam -macam perusahaan yang secara bersama-sama menghasilkan barang atau jasa yang dibutuhkan oleh wisatawan selama dalam perjalanan, misalnya, perusahan transportasi, perhotelan, rumah makan dan restoran, serta industri rumah tangga dan sektor ekonomi informal lainnya. Di samping itu, keberadaan industri pariwisata juga sangat tergantung dari regulasi pemerintah, seperti imigrasi, visa dan fiskal, serta pajak dan retribusi. Pengembangan pariwisata sebagai suatu industri secara ideal harus berlandaskan pada empat prinsip dasar, sebagaimana dikemukakan Purwanto (2002:86), yaitu : 1). Kelangsungan ekologi, yaitu bahwa pengembangan pariwisata harus menjamin terciptanya pemeliharaan dan proteksi terhadap sumberdaya alam yang menjadi daya tarik wisata, seperti lingkungan laut, hutan, pantai, danau, dan sungai. 2). Kelangsungan kehidupan sosial dan budaya, yaitu bahwa pengembangan pariwisata
harus
mampu
meningkatkan
peran
masyarakat
dalam
pengawasan tata kehidupan melalui sistem nilai yang dianut masyarakat setempat sebagai identitas masyarakat tersebut. 3). Kelangsungan ekonomi, yaitu bahwa pengembangan pariwisata harus dapat menciptakan kesempatan kerja bagi semua pihak untuk terlibat dalam aktivitas ekonomi melalui suatu sistem ekonomi yang sehat dan kompetitif. 4). Memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat melalui pemberian kesempatan kepada mereka untuk terlibat dalam pengembangan pariwisata. Dengan demikian, menurut (Meutia 2004), pengembangan pariwisata (yang berkelanjutan) perlu didukung dengan perencanaan yang matang dan harus mencerminkan tiga dimensi kepentingan, yaitu industri pariwisata, daya dukung lingkungan (sumberdaya alam), dan masyarakat setempat dengan sasaran untuk peningkatan kualitas hidup. Konsekuensi dari ketiga kepentingan tersebut, pengembangan pariwisata yang berbasiskan lingkungan (sumberdaya alam)
14
harus mampu mendukung terciptanya dua keuntungan sekaligus secara berimbang dan proporsional, yaitu : 1). Keuntungan bagi penduduk lokal (setempat) untuk terlibat dalam usaha pariwisata guna memperoleh penghasilan (multiplier effect-nya adalah memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah). 2). Pelestarian terhadap aset wisata yang dimiliki (terpeliharanya kualitas lingkungan sumberdaya alam yang menjadi daya tarik wisata). Selain itu, pengembangan pariwisata dari sisi ekonomi sebagaimana dikemukakan Saifullah (2000) bermanfaat bagi : 1). Peningkatan kesempatan kerja dan berusaha, baik secara langsung maupun tidak. 2). Peningkatan devisa negara sehingga mendukung pembangunan sektorsektor ekonomi lainnya. 3). Peningkatkan dan pemerataan pendapatan masyarakat. 4). Penyerapan produk lokal di pasar ekspor melalui promosi kepada wisatawan. 5). Peningkatan pembangunan di daerah yang menjadi tujuan wisata. 2.1.2. Wisatawan Wisatawan adalah setiap pengunjung yang tinggal lebih dari 24 jam dan kurang dari enam bulan di tempat yang dikunjunginya dengan maksud kunjungan untuk berlibur, rekreasi, olah raga, bisnis, mengunjungi teman/keluarga, menghadiri pertemuan, konferensi, kunjungan dengan alasan kesehatan, belajar dan atau kegiatan keagamaan (Kusmayadi dan Sugiarto 2000:4). Menurut Yoeti (1996:184), wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan sementara waktu ke tempat atau daerah yang sama sekali masih asing baginya. Spillane (2001) juga memasukkan individu atau perorangan yang mengadakan perjalanan dengan tujuan usaha atau untuk urusan bisnis ke dalam kategori wisatawan. Dasarnya adalah mengacu kepada jenis-jenis pariwisata sebagaimana ditetapkan dalam Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB Nomor 870 tahun 1963, yang salah satu jenisnya adalah pariwisata untuk urusan usaha dagang (business tourism). 2.1.3. Pariwisata Bahari Ditjen Pariwisata (1998) memberikan pengertian pariwisata bahari sebagai kegiatan wisata yang berkaitan langsung dengan sumberdaya kelautan, baik di
15
atas permukaan laut maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan laut. Jenis-jenis kegiatan yang termasuk didalamnya berdasarkan pengertian tersebut adalah memancing atau sport fishing, snorkling, diving, dan lain-lain. 2.1.4. Taman Laut Taman laut didefinisikan sebagai kawasan perairan (lautan) yang diperuntukkan sebagai ”showroom” keindahan alam bawah air dan habitat satwa air serta dipelihara dan dilindungi untuk kepentingan ilmu pengetahuan (penelitian) dan rekreasi (pariwisata). Adapun Munasef (1995:200) memberikan pengertian taman laut sebagai wilayah laut yang memiliki ciri khas berupa keindahan atau keunikan yang diperuntukkan secara khusus sebagai kawasan konservasi laut, untuk dibina dan dipelihara yang berguna bagi perlindungan plasma nutfah, rekreasi, pariwisata, pendidikan, dan kebudayaan. 2.2. Pariwisata Bahari sebagai Ekoturisme Ekoturisme dalam teori dan prakteknya tumbuh dari kritik terhadap kegiatan pariwisata yang dipandang cenderung merusak sumberdaya alam dan nilai-nilai budaya serta tradisi masyarakat yang menjadi objek wisata. Kritik ini melahirkan berbagai istilah baru dengan beragam konsep yang ditawarkan, antara lain pariwisata alternatif, pariwisata yang bertanggung jawab, pariwisata berbasis komunitas, dan ekoturisme.
Alasan-alasan penggunaan konsep ini adalah
karena dapat mengambarkan kegiatan pariwisata yang termasuk bukan pariwisata
berskala
besar
atau
massal
dan
mengikuti
prinsip-prinsip
keberlanjutan sumberdaya alam (Dephutbun 2000). Diantara konsep-konsep tersebut, ekoturisme dianggap paling populer, karena dapat mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan dari gerakan konservasi lingkungan dan menerjemahkan prinsip-prinsip ekologi ke dalam praktik pengelolaan kegiatan pariwisata yang berkelanjutan. Di samping itu, didukung dengan adanya trend pasar terbaru seperti perjalanan pertualangan (adventure travel) dan gaya hidup “kembali ke alam” (back to nature). Oleh karena itu, menurut (Dephutbun 2000), gerakan konservasi lingkungan menganggap konsep ekoturisme ini sebagai suatu instrumen konservasi yang bersifat mandiri karena beberapa alasan, yaitu : 1). Dapat memodali sendiri kegiatan usahanya. 2). Menciptakan suatu alternatif untuk menghadapi eksploitasi sumberdaya alam.
16
3). Sarana pendidikan bagi masyarakat dalam menjaga dan memelihara kelestarian sumberdaya alam. Dalam perkembangannya, beberapa kriteria standar tentang bagaimana seharusnya ekoturisme digalakkan agar dapat memenuhi tujuan dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang diterapkan. Kriteria-kriteria tersebut sebagaimana ditetapkan (Dephutbun 2000) adalah harus : 1). Melestarikan lingkungan; karena apabila ekoturisme bukan merupakan suatu instrumen konservasi maka hancurlah landasan sumberdayanya. 2). Menguntungkan secara ekonomis; jika tidak menguntungkan, maka tidak akan ada modal yang kembali untuk kepentingan konservasi dan tidak akan ada insentif bagi pemanfaatan sumberdaya alternatif. 3). Memberikan manfaat bagi masyarakat; karena akan berdampak pada bergulirnya kegiatan ekonomi masyarakat yang pada akhirnya dapat mensejahterakannya. 2.3. Pembangunan Berkelanjutan TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang ditetapkan sebagai salah kawasan pelestarian alam yang utamanya dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Dalam ilmu ekonomi sumberdaya alam, kawasan konservasi berupa
perairan laut lebih dikenal dengan istilah marine protected area atau daerah laut yang dilindungi.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Gubbay (1995) yang
mengatakan bahwa pada pada prinsipnya, penetapan kawasan konservasi laut ini dimaksudkan untuk menjaga, memelihara, dan melestarikannya untuk keberlanjutan keanekaragaman hayati sumberdaya alam laut tersebut. Dengan demikian, sumberdaya alam tidak hanya untuk dinikmati dan dimanfaatkan pada saat sekarang ini, tetapi juga untuk masa mendatang. Prinsip
di
atas
sangat
terkait
dengan
paradigma
pembangunan
berkelanjutan dimana aspek keberlanjutan sumberdaya alam merupakan tujuan utama yang hendak diwujudkan.
Prinsip dasar dari konsep pembangunan
berkelanjutan adalah dicapainya alokasi optimum dari pemanfaatan sumberdaya alam pada saat ini tanpa mengurangi dan atau menghilangkan manfaatnya pada masa yang akan datang (Fauzi dan Anna 2002). Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pembangunan dan Lingkungan diacu dalam Conrad (1999) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pada masa sekarang tanpa mengabaikan
17
ketersediaannya untuk generasi yang akan datang.
Dengan demikian, isu
pembangunan berkelanjutan sudah menjadi permasalahan di seluruh dunia karena ancaman terhadap lingkungan sudah sedemikian besar akibat setiap negera berpacu mencapai kemajuannya dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan secara berlebihan. 2.4. Konsep Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam TWA Laut Pulau Weh menghasilkan barang atau jasa yang dapat dimanfaatkan atau dikonsumsi baik secara langsung maupun tidak langsung serta menghasilkan jasa-jasa (services) lingkungan. Adapun jenis barang atau jasa yang terdapat di wilayah perairan TWA Laut Pulau Weh adalah terumbu karang, ikan (hias dan konsumsi), mangrove, dan lain-lain (Saifullah 2005). Selain menghasilkan nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan secara langsung, juga memiliki nilai non-ekonomi yang memberikan manfaat terhadap keberlanjutan wilayah perairan laut tersebut. Manfaat tersebut, diklasifikasikan sebagai manfaat fungsi ekologis (ecological function) yang sering tidak terkuantifikasikan dalam perhitungan nilai ekonomi total dari sumberdaya alam dan lingkungan (Saifullah 2005). Secara umum, nilai ekonomi didefiniskan sebagai pengukuran jumlah maksimun seseorang untuk mengorbankan barang atau jasa guna memperoleh barang atau jasa lainnya. Secara formal, konsep ini disebut sebagai keinginan membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan (Djijono 2002). Dengan menggunakan pengukuran ini, nilai ekologis dari ekosistem atau sumberdaya alam akan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai monoter dari barang atau jasa.
Misalnya, apabila suatu
ekosistem pantai atau perairan mengalami kerusakan akibat polusi, maka nilai yang hilang akibat degradasi lingkungan dapat diukur dari keinginan seseorang untuk membayar agar lingkungan tersebut kembali menjadi seperti semula atau kondisi sebelum terjadinya pencemaran (Fauzi 2004). Konsep dan teknik pengukuran nilai ekonomi seperti yang diuraikan di atas dalam implementasi dan aplikasinya tetap masih mengandung kelemahan dan kendala. Untuk barang atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan, maka nilainya akan dengan mudah dapat diukur dengan melihat harga pasar (market price).
Sebaliknya, untuk menilai dan memberikan nilai ekonomi terhadap
18
barang dan jasa yang tidak diperdagangkan, maka akan kesulitan dalam mengatahui nilainya (Fauzi 2002a). Jenis-jenis barang atau jasa yang termasuk dalam kelompok ini adalah keindahan pantai atau perairan laut, kebersihan, keaslian dari alam, tradisi dan budaya masyarakat setempat, dan lain-lain yang abstrak sifatnya.
Hal ini
disebabkan, pengguna atau konsumen tidak membayar secara langsung untuk menikmatinya. Di samping itu, dalam sistem dan praktek ekonomi yang ada, konsumen tidak familiar bahkan tidak mengetahui terhadap harus adanya pembayaran untuk jasa seperti itu (Fauzi 2002b). Untuk menjawab besaran nilai ekonomi sumberdaya alam yang berasal dari jasa-jasa lingkungan seperti yang disebutkan di atas, Fauzi (2000) mengemukakan bahwa dalam pengukuran nilai monoter sumberdaya alam tidak selalu bahwa nilai dari barang atau jasa sumberdaya alam tersebut harus diperdagangkan. Untuk menghitungnya, yang diperlukan adalah mengukur seberapa besar keinginan dan kemampuan membayar (purchasing power) dari konsumen atau pengguna untuk memperoleh barang atau jasa dari sumberdaya alam. Selain itu, dapat pula diukur dari sisi seberapa besar pengguna/konsumen harus diberikan kompensasai untuk menerima pengorbanan atas hilangnya barang atau jasa dari sumberdaya alam. 2.5. Jenis-jenis Nilai Ekonomi Menurut Darusman et al. (2003), secara umum nilai ekonomi sumberdaya alam dibagi ke dalam dua komponen, yaitu nilai kegunaan atau pemanfaatan (use values) dan nilai non-kegunaan (non-use values). Use values adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan aktual dari barang atau jasa, seperti menangkap ikan, menebang kayu, dan lain-lain. Nilai kegunaan ini juga terdiri atas pemanfaatan secara komersial terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, seperti ikan dan kayu yang dapat dijual atau untuk konsumsi langsung.
Dalam pengukurannya, nilai ini lebih mudah dilihat
(tangible).
Berikut ini akan diuraikan dan dijelaskan secara lebih terperinci
klasifikasi
dan
pengertian
jenis-jenis
nilai
ekonomi
sumberdaya
alam
sebagaimana dijelaskan Darusman et al. (2003) dalam buku Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Ekonomi).
Daerah (Perspektif Kebijakan dan Valuasi
19
Pertama, use values diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu nilai pemanfaatan langsung (direct use value) dan nilai pemanfaatan tidak langsung (indirect use values). Direct use value merujuk pada kegunaan langsung dari konsumsi sumberdaya alam, seperti penangkapan ikan, pertanian, kayu sebagai bahan baker, dan lain-lain, baik secara komersial maupun non-komersial. Indirect use value merujuk pada nilai yang dirasakan atau dimanfaatkan secara tidak langsung terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Keberadaan sumberdaya alam untuk fungsi-fungsi seperti pencegahan banjir dan nursery ground dari ekosisitem juga termasuk dalam kategori indirect use value (Darusman et al. 2003). Kedua, non-use values merupakan nilai yang tidak berhubungan dengan pemanfaatan aktual dari barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan dalam perhitungannya lebih bersifat sulit diukur (less tangible). Hal ini karena lebih didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan dibandingkan dengan pemanfaatan langsung. Secara lebih rinci, kategori non-use value ini dibagi lagi ke dalam beberapa subkelas, yaitu existence value, bequest value, dan option value (Darusman et al. 2003). Existence value atau nilai keberadaan adalah penilaian yang diberikan atas keberadaan atau terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan, meskipun masyarakat atau komsumen tidak memanfaatkannya atau mengunjunginya. Nilai keberadaan ini juga sering dikenal sebagai intrinsic value atau nilai intrinsik dari sumberdaya alam atau nilai yang memang sudah melekat pada sumberdaya alam tersebut (Darusman et al. 2003). Bequest value atau nilai pewarisan didefinisikan sebagai nilai yang berkaitan
dengan
perlindungan
atau
pengawetan
(preservation)
suatu
sumberdaya alam agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang dari generasi sekarang. Dengan demikian, generasi mendatang dapat mengambil, memanfaatkan, menggunakan sumberdaya alam tersebut sebagai manfaat yang telah diambil/dimanfaatkan oleh generasi sebelumnya (Darusman et al. 2003). Option value atau nilai manfaat pilihan adalah potensi langsung atau tidak langsung dari suatu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan di waktu mendatang dengan asumsi bahwa sumberdaya alam tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanent. Nilai ini merupakan kesanggupan individu untuk membayar atau mengeluarkan sejumlah uang agar dapat
20
memanfaatkan potensi sumberdaya alam tersebut di waktu mendatang (Darusman et al. 2003). 2.6. Konsep dan Teknik Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Konsep valuasi ekonomi konvensional mendefiniskan nilai ekonomi sebagai nilai ekonomi total yang merupakan penjumlahan dari nilai-nilai pemanfaatan (use values) dan nilai-nilai non-pemanfaatan (non-use values). Secara umum, memang sulit mengukur dengan pasti konsep use value dan non-use value di atas, sehingga valuasi ekonomi dengan menggunakan pendekatan di atas sering menjadi perdebatan menyangkut akurasi atau ketepatan dari pengukuran nilai ekonomi sumberdaya alam (Fauzi 2000). Salah satu kesulitan dalam mengukur nilai dari barang atau jasa yang dihasilkan sumberdaya alam adalah terdapat barang atau jasa dari sumberdaya alam yang tidak memiliki harga pasar dan tidak dapat diobservasi, sehingga nilai riil-nya tidak dapat diukur dengan baik. Menyikapi permasalahan tersebut, Krutila (1967) memperkenalkan konsep valuasi ekonomi total, yaitu sebuah usaha untuk memasukkan seluruh nilai dari kedua komponen nilai ekonomi sumberdaya alam, yaitu use value dan non-use value. Banyak metode yang tersedia untuk melakukan teknik valuasi ekonomi sumberdaya alam.
Dixon et al. (1988) diacu dalam Fauzi (2000), telah
menjelaskan secara detail tentang konsep ini. Teknik valuasi ini disempurnakan oleh Turner et al. (1993) diacu dalam Fauzi (2000) yang mengklasifikasikannya ke dalam dua kategori, yaitu nilai barang atau jasa melalui sebuah kurva permintaan dan tanpa melalui kurva permintaan. Untuk kategori pertama, Garrod dan Willis (1999) mengklasifikasikannya dengan
menggunakan
dua
metode,
yaitu
revealed
preference
dan
expressed/state preference. Revealed preference adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana willingness to pay (WTP) terungkap melalui model yang dikembangkan. Beberapa teknik valuasi yang termasuk dalam revealed preference ini adalah : (i) travel cost methode yang diperkenalkan oleh Hotelling (1941) yang selanjutnya dikembangkan oleh Wood dan Trice (1958); dan (ii) hedonic price methode yang didasarkan pada teori atribut yang dikembangkan oleh Lancaster (1966) diacu dalam (Fauzi 2000). Menurut Garrod dan Willis (1999), expressed atau state preference adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survai dimana keinginan membayar atau
21
WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang cukup popular dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Methode (CVM) atau Metode Valuasi Kontingensi. CVM adalah motede teknik survai untuk menanyakan tentang nilai atau harga yang diberikan terhadap komoditas yang tidak memiliki nilai pasar (non-market). Dari uraian kedua teknik penilaian ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market valuation) tersebut di atas, terdapat perbedaan paling mendasar antara keduanya. Revealed preference bekerja secara tidak langsung dalam pengukuran nilai ekonomi yang tidak dipasarkan. Adapun expressed/state preference merupakan teknik pengukuran langsung. Menurut Fauzi (2004), secara skematis teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat dalam diagram alir Gambar 3.
Sumber : Fauzi 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan : Teori dan Aplikasi
Gambar 3. Klasifikasi Teknik Valuasi Non-Market Sumberdaya Alam Untuk kategori kedua, yaitu teknik valuasi tanpa melalui kurva permintaan, salah satu teknik yang terkenal adalah effect on production (EOP) atau pendekatan opportunity cost. Teknik ini menguji efek produktivitas sumberdaya terhadap intervensi atau campur tangan manusia. Dengan demikian, teknik ini memandang kualitas sumberdaya alam sebagai salah satu faktor produksi, sehingga perubahan kualitas lingkungan akan mempengaruhi produktivitas sumberdaya dan biaya produksi yang pada akhirnya turut menentukan perubahan harga dan produk. Sebagai contoh, polusi yang dilepaskan ke sungai akan mempengaruhi kualitas lingkungan sungai tersebut menjadi buruk, sehingga akan menurunkan produksi perikanan (Turner et al. 1993 diacu dalam Fauzi 2000). Pendekatan
EOP
dalam
penggunaannya
dapat
mengukur
nilai
pemanfaatan langsung (direct use value). Banyak aplikasi dari teknik ini telah
22
digunakan dalam studi atau kajian sumberdaya pesisir di negara berkembang. Ruitenbeek (1991) diacu dalam Fauzi (2000) telah menggunakan pendekatan ini untuk menduga nilai mangrove dan hubungannya dengan perikanan di Irian Jaya (Papua), Indonesia. Menurut Fauzi (2000), metode lainnya yang termasuk dalam pendekatan non-marked based adalah preventinve expenditure dan replacement cost. Preventinve expenditure menempatkan nilai sumberdaya alam dan lingkungan dari seseorang atau individu yang memiliki keinginan membayar untuk mencegah degradasi lingkungan atau untuk mengurangi pengaruh buruk terhadap sumberdaya alam dan lingkungan. Adapun dalam teknik replacement cost, nilai sumberdaya alam didekati dari biaya atau pengeluaran untuk restorasi sumberdaya alam. Sebagai contoh, berkurangnya produktivitas sumberdaya perikanan dapat ditunjukkan dari hilangnya hutan mangrove, sehingga dalam teknik ini, biaya yang dibutuhkan untuk menanam kembali hutan mangrove yang hilang dapat dikonversikan sebagai sebuah pendugaan minimum dari manfaat yang dihasilkan sumberdaya (Fauzi 2000). 2.7. Tingkat Keinginan Membayar (Willingness to Pay) Munasinghe (1993) mengemukakan bahwa tersedia banyak macam teknik penilaian yang dapat dipergunakan untuk mengkuantifikasikan konsep dari nilai. Konsep dasar dalam penilaian ekonomi yang mendasari semua teknik yang ada adalah kesediaan membayar dari individu untuk jasa-jasa lingkungan atau sumberdaya alam. Teknik
penilaian
manfaat,
didasarkan
pada
kesediaan
konsumen
membayar perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar (Hufschmidt et al.1987). Kesediaan membayar atau kesediaan menerima merefleksikan preferensi individu terhadap pemanfaatan sumberdaya (alam). Selanjutnya, Pearce dan Moran (1994) mengemukakan bahwa kesediaan membayar dan kesediaan menerima adalah “bahan mentah” dalam penilaian ekonomi. Dalam memahami konsep nilai ekonomi untuk sumberdaya alam, tidak terlepas dari konsep keinginan membayar (Willingness to Pay/WTP) dan keinginan menerima (Willingness to Accept/WTA).
Hal ini berkaitan dengan
23
definisi nilai ekonomi itu sendiri sebagai pengukuran jumlah maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh barang/jasa. Menurut Fauzi (2004), dengan menggunakan pengukuran ini, maka nilai ekologis ekosistem akan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang/jasa yang dihasilkan sumberdaya alam dan lingkungan. Lebih lanjut, Fauzi (2004) mengemukakan bahwa keinginan membayar juga dapat diukur dalam bentuk kenaikan pendapatan yang menyebabkan seseorang berada dalam posisi indifferent terhadap perubahan eksogenous. Perubahan eksogenous ini terjadi karena perubahan harga atau perubahan kualitas sumberdaya alam. Dalam teori permintaan, konsep WTP ini terkait erat dengan Compensating Variation dan Equivalent Variation. Dalam pengukuran nilai ekonomi, juga dapat menggunakan WTA yang didefinisikan sebagai jumlah minimum pendapatan seseorang untuk mau menerima penurunan sesuatu. Dalam praktiknya, WTP lebih sering digunakan daripada WTA karena WTA merupakan bukan pengukuran yang lebih berdasarkan insentif, sehingga kurang tepat untuk dijadikan studi yang berbasis perilaku manusia (Fauzi 2004). Penggunaan WTP dan WTA juga ditentukan oleh ada tidaknya hak kepemilikan (property right) seseorang/individu terhadap sumberdaya alam. Apabila individu yang menjadi responden dalam penelitian tidak memiliki hak atas barang/jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan adalah keinginan membayar maksimum (maximum WTP) untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, apabila individu yang dijadikan responden memiliki hak atas barang/jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka penggunaan keinginan menerima (WTA) adalah yang sangat relevan, karena menghitung/mengukur kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya barang/jasa yang dimiliki (Fauzi 2004). Dengan menggunakan kurva permintaan, telaahan lebih lanjut mengenai WTP dan WTA dapat dilakukan. Menurut Djijono (2002), kurva permintaan dapat mengukur jumlah yang akan dibayar oleh konsumen untuk tiap unit yang dikonsumsi.
Selanjutnya, Djijono (2002) mengemukakan bahwa penetapan
kurva permintaan sebagai jadwal keinginan konsumen untuk membayar sejumlah sumberdaya yang dikonsumsi. Gambar 4 menggambarkan kurva permintaan dan hubungannya dengan keinginan membayar serta besarnya surplus konsumen.
24
Sumber
: Djijono (2002). Valuasi Ekonomi Menggunakan Metode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wan Abdul Rachman, Provinsi Lampung
Gambar 4. Kurva Permintaan, Surplus Konsumen, dan WTP Dari Gambar 4, terlihat bahwa total bidang di bawah kurva permintaan (OREM) menunjukan total utilitas yang diperoleh atas konsumsi suatu barang (Djijono 2000), atau merupakan ukuran keinginan membayar secara total (Hufschmidt 1987; James 1991). Hal ini karena jumlah tersebut adalah hasil penjumlahan nilai-nilai marginal Q dari 0 sampai M. Dengan mengurangkan biaya produksi dari suatu barang yang dibeli konsumen (ONEM), maka diperoleh nilai surplus konsumen ditunjukan sebagai bidang segitiga NRE (Djijono 2000) dan merupakan ukuran keinginan membayar di atas pengeluaran kas untuk konsumsi (Hufschmidt 1987). Dengan demikian, maka kesediaan membayar berada pada area di bawah kurva permintaan (Munangsihe 1993). Surplus konsumen merupakan perbedaan antara jumlah yang dibayarkan oleh pembeli untuk suatu barang/jasa dan kesediaan untuk membayar (Djijono 2000). Surplus konsumen timbul karena konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab timbulnya surplus konsumen, karena konsumen membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir. Surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat membeli semua unit barang pada tingkat harga rendah yang sama. Dengan demikian, maka secara sederhana surplus
25
konsumen dapat diukur sebagai bidang yang terletak diantara kurva permintaan dan garis harga (NRE). 2.8. Analisis Biaya Perjalanan Travel Cost Methode (TCM) dapat dikatakan sebagai metode yang tertua untuk pengukuran nilai ekonomi tidak langsung terhadap sumberdaya alam. Metode ini kebanyakan digunakan untuk menganalisis permintaaan terhadap rekreasi di alam terbuka, seperti memancing, berburu, dan hiking (Fauzi 2004). Secara prinsip, metode ini mengkaji biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempat rekreasi, misalnya untuk menyalurkan hobi memancing atau berekreasi di pantai, seseorang akan mengorbankan biaya dalam bentuk waktu dan uang untuk mendatangi tempat tersebut. Dengan mengetahui pola ekspenditure dari konsumen ini, maka akan dapat dikaji barapa nilai (value) yang diberikan konsumen kepada sumberdaya alam dan lingkungan. Dengan demikian, menurut Fauzi (2004) metode ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat dari : (i) perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi; (ii) penambahan tempat rekreasi baru; (iii) perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi; dan (iv) penutupan tempat rekreasi yang ada. Tujuan dasar TCM adalah ingin mengatahui nilai kegunaan dari sumberdaya alam melalui pendekatan proxy.
Dengan kata lain, biaya yang
dikeluarkan untuk mengkonsumsi jasa dari sumberdaya alam digunakan sebagai proxy untuk menentukan harga dari sumberdaya alam tersebut. Asumsi mendasar yang digunakan pada pendekatan TCM adalah bahwa utilitas dari setiap konsumen terhadap aktivitas, misalnya bersifat dapat dipisahkan (separable). Artinya, fungsi permintaan dari kegiatan-kegiatan yang berlangsung di lokasi yang menjadi obyek penelitian tidak dipengaruhi (independent) oleh permintaan kegiatan rileks lainnya, seperti menonton televisi, dan belanja atau shopping (Fauzi 2004). Secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM, yaitu : (i) pendekatan sederhana melalui zonasi; dan (ii) pendekatan individual. Pendekatan TCM melalui zonasi adalah pendekatan yang relatif simpel dan murah karena data yang diperlukan relatif lebih banyak mengandalkan data sekunder dan beberapa data sederhana dari responden pada saat survai. Dalam teknik ini, tempat rekreasi pantai dibagi dalam beberapa zona kunjungan dan diperlukan data jumlah pengunjung per
26
tahun untuk memperoleh data kunjungan per seribu penduduk. Dengan memperoleh data ini dan data jarak, waktu perjalanan, serta biaya setiap perjalanan per satuan jarak (per km), maka akan diperoleh biaya perjalanan secara keseluruhan dan kurva permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata (Fauzi 2004). TCM berdasarkan pendekatan individual menggunakan data yang sebagian besarnya berasal dari kegiatan survai di lapangan. Metodologi pendekatan individual TCM secara prinsip sama dengan sistem zonasi, namun pada pendekatan ini analisis lebih didasarkan pada data primer yang diperoleh melalui survai dan teknik statistika yang relatif kompleks. Kelebihan dari metode TCM dengan pendekatan individu adalah hasil yang diperoleh relatif akurat daripada metode zonasi (Fauzi 2004). Beberapa asumsi dasar yang harus dibangun agar penilaian terhadap sumberdaya alam tidak bias melalui TCM sebagaimana dikemukakan oleh Haab dan McConnel (2002) diacu dalam Fauzi (2004), antara lain : (i) biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga rekreasi; (ii) waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas; dan (iv) biaya perjalanan merupakan perjalanan tunggal (bukan multiple travel). Selain itu, menurut Fauzi (2004), TCM harus dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang dituju sehingga tidak menganalisis aspek kunjungan ganda (multipurpose visit). Selanjutnya, para pengunjung atau individu juga harus dibedakan tempat mereka berasal untuk memilah pengunjung yang datang dari wilayah setempat (penduduk di sekitar lokasi wisata). Untuk melihat total biaya yang dikeluarkan wisatawan dan selanjutnya untuk digunakan sebagai proxy dalam menentukan harga dari sumberdaya alam (TWA Laut Pulau Weh), dilakukan melalui penetapan fungsi permintaan. Fungsi permintaan ditentukan dengan menggunakan teknik ekonometrik, yaitu regresi sederhana (Ordinary Least Square/OLS). Hipotesis yang dibangun adalah bahwa kunjungan ke tempat wisata akan sangat dipengaruhi oleh biaya perjalanan dan diasumsikan berkorelasi negatif, sehingga diperoleh kurva permintaan yang memiliki kemiringan negatif (Fauzi 2004). berikut :
Secara sederhana, fungsi permintaan di atas dapat ditulis sebagai
27
Vij = f ( cij , Tij , Q ij , S ij , M ij ) .................................................(1) dimana : Vij c ij Tij Qij Sij M
= jumlah kunjungan oleh individu i ke tempat j = biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh individu i untuk mengunjungi lokasi j = biaya waktu yang dikeluarkan oleh individu i untuk mengunjungi lokasi j = persepsi responden terhadap kualitas lingkungan lokasi yang dikunjungi = karakteristik substitusi yang mungkin ada di tempat lain = pendapatan dari individu i Dari persamaan (1), dapat disimpulkan bahwa jumlah kunjungan ke suatu
lokasi wisata dipengaruhi oleh banyak faktor.
Faktor-faktor tersebut meliputi :
(i) biaya perjalanan; (ii) biaya waktu; (iii) persepsi terhadap kualitas lingkungan; (iii) karakteristik substitusi; dan (iv) pendapatan. Persamaan (1) merupakan model umum yang dipakai untuk menentukan jumlah kunjungan ke suatu lokasi wisata tertentu. Dalam aplikasinya, tidak semua faktor-faktor atau variabel perubah tersebut sesuai dengan lokasi yang diteliti. Selanjutnya, agar lebih operasional, maka persamaan (1) di atas dibuat dalam fungsi linear dan fungsi logaritma, masing-masing dituliskan sebagai berikut :
V = α 0 + α1c + α 2 S + α 3 M + α 4T + α 5Q ......................................(2) dan
ln V = α 0 + α 1 ln c + α 2 ln S + α 3 ln M + α 4 ln T + α 5 ln Q ............(3) atau
V = α 0c α1 S α2 M α3 t α 4 Q α5 ...............................................................(4) Setelah mengatahui fungsi permintaan, selanjutnya dapat diukur surplus konsumen yang merupakan proxy dari nilai WTP terhadap lokasi rekreasi. Surplus konsumen tersebut dapat diukur melalui formula :
WTP ≈ CS =
N2 (untuk fungsi permintaan linear) ......................(5) 2α1
WTP ≈ CS 2 =
N (untuk fungsi permintaan logaritma)..................(6) α1
dan
dimana : CS = Consumer Surplus atau surplus konsumen N = jumlah kunjungan yang dilakukan oleh individu i
28
Beberapa asumsi dasar yang harus dibangun agar penilaian terhadap sumberdaya alam tidak bias melalui TCM sebagaimana dikemukakan oleh Haad dan McConnel (2002) diacu dalam Fauzi (2004), yaitu : (i) biaya perjalanan dan biaya waktu digunakan sebagai proxy atas harga rekreasi; (ii) waktu perjalanan bersifat netral, artinya tidak menghasilkan utilitas maupun disutilitas; dan (iv) biaya perjalanan merupakan perjalanan tunggal (bukan multiple travel). Selain itu, Fauzi (2004) juga mengemukakan bahwa oleh karena TCM harus dibangun berdasarkan asumsi bahwa setiap individu hanya memiliki satu tujuan untuk mengunjungi tempat wisata yang dituju sehingga tidak menganalisis aspek kunjungan ganda (multipurpose visit). Selanjutnya, para pengunjung atau individu juga harus dibedakan tempat mereka berasal untuk memilah pengunjung yang datang dari wilayah setempat (penduduk di sekitar lokasi wisata). 2.9. Model Pengambilan Keputusan dengan Analisis Multikriteria Model Pengambilan Keputusan Berbasis Multikriteria atau Multi-Criteria Decision Making (MCDM) adalah teknik pengambilan keputusan multi-variabel berbasis non-parametrik. Dalam operasionalnya, model MCDM menempatkan pembobotan sebagai faktor kunci, karena didalamnya melibatkan beragam kriteria atau variabel.
Selain kriteria, MCDM juga melibatkan alternatif atau
pilihan yang dapat diambil. MCDM dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan karena dalam pemilihan alternatif terbaik mempertimbangkan setiap kriteria atau variabel dari alternatif-alternatif tersebut (Fauzi 2005b). MCDM terdiri atas beberapa jenis yang dibagi berdasarkan ada atau tidaknya informasi terhadap permasalahan yang dilihat. Secara skematis, pembagian MCDM disajikan dalam Gambar 5.
Sumber : Fauzi (2005b). Modeling with Multi-Criteria Decision Making
Gambar 5. Klasifikasi dan Jenis MCDM
29
MCDM merupakan alat analisis kebijakan yang menyangkut sumberdaya alam. Pendekatan MCDM mengakomodasikan berbagai kriteria yang dihadapi, namun relevan dalam mengambil keputusan tanpa harus mengkonversi ke pengukuran moneter dan proses normalisasi (Rahardjo 2003). Secara umum, struktur MCDM disusun berdasarkan matrik seperti Tabel 3 (Fauzi dan Anna 2001). Tabel 3. Matrik Keputusan MCDM C1 W1 a11 a21 a31 .. .. a m1
Alternatif A1 A2 A3 .. .. Am Keterangan : Ai (i=1,2,3,....m) Cj (j=1,2,3,....n) a12 (i=1...m; j=1...n)
C2 W2 a12 a22 a32 .. .. a m2
Kriteria C3 W3 a13 a23 a33 .. .. a m3
.. .. .. .. .. .. .. ..
Cn Wn a1n a2n a3n .. .. a mn
: alternatif pilihan yang ada : kriteria dengan bobot W j : pengukuran keragaan dari satu alternatif Ai berdasarkan kriteria Cj
Menurut Fauzi (2005b), operasionalisasi MCDM terdiri atas tiga tahapan berikut, yaitu : 1). Menentukan kriteria dan alternatif yang relevan atau sesuai 2). Menentukan pengukuran numerik (bobot) terhadap kriteria dan alternatif 3). Memproses nilai numerik menjadi alternatif terbaik Secara skematis, proses pengambilan keputusan dengan Metode MCDM digambarkan sebagai berikut :
30
Sumber : Rahardjo (2003). Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Budidaya Laut di Kepulauan Seribu
Gambar 6. Tahapan Proses Pengambilan Keputusan dengan Metode MCDM Berdasarkan Gambar 6, analisis MCDM dimulai dengan menetapkan alternatif keputusan yang mungkin akan diambil.
Selanjutnya, analisis
memerlukan penetapan kriteria yang dapat digunakan untuk menilai pemilihan alternatif tersebut di atas. Setiap kriteria pada alternatif keputusan tertentu akan mendapatkan nilai skor tertentu pula. Kemudian, pada setiap kriteria, seorang pengambil keputusan dapat memberikan bobot yang lebih atau kurang dibandingkan dengan kriteria yang lain berdasarkan pertimbangan penting atau tidaknya kriteria tersebut menjadi penilai di dalam pengambilan keputusan. Tahapan ini disebut juga sebagai tahapan preferensi kriteria atau pembobotan kriteria, yang mana jumlah bobot seluruh kriteria harus sama dengan satu (W 1, W 2, W 3,…., W n =1).
31
Tahapan pokok di dalam analisis MCDM disebut sebagai tahapan fungsi agregasi (aggregation function). Tahapan ini merupakan perhitungan matematis untuk memberikan penilaian akhir terhadap setiap alternatif keputusan dengan rumus matematis tertentu. Fungsi agregasi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Weighted Sum Methode (WSM). Dengan menggunakan WSM sebagai fungsi agregasi, akan diperoleh nilai akhir dari setiap alternatif keputusan. Besaran nilai akhir dari setiap alternatif keputusan tersebut merupakan dapat digunakan untuk menentukan prioritas dari berbagai alternatif yang ada.
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama dua minggu, mulai 6 sampai dengan 15 Agustus 2005. Waktu tersebut seluruhnya digunakan untuk pengumpulan data primer di lapangan atau lokasi TWA Laut Pulau Weh. Pengumpulan data sekunder dilakukan sebelum dan sesudahnya di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Bogor, dan Jakarta. 3.2. Lokasi Penelitian Lokasi yang menjadi obyek penelitian ini adalah TWA Laut Pulau Weh, berada di Kelurahan Iboih, Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Peta wilayah administrasi Kota Sabang dan lokasi penelitian disajikan dalam Lampiran 2. 3.3. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam melakukan penilaian ekonomi TWA Laut Pulau Weh adalah metode deskriptif. Digunakannya metode tersebut menurut Nazir (1983) adalah untuk mendapatkan realitas dan kebenaran pada kawasan tersebut, sehingga dapat memberikan gambaran dari kondisi kekiniannya (current condition). Nazir (1983) memberikan pengertian metode deskriptif sebagai suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Adapun tujuan penggunaannya adalah untuk memberikan deskripsi, gambaran atau fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Ditinjau dari jenis masalah yang diselidiki, teknik, dan alat yang digunakan dalam meneliti, serta tempat dan waktu penelitian dilakukan, penelitian deskriptif dibagi atas beberapa jenis, salah satunya adalah metode survai. Lebih lanjut, Nazir (1983) mendefinisikan metode survai sebagai kegiatan penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual. Metode ini membedah serta mengenal masalah-masalah serta mendapatkan pembenaran terhadap keadaan dan praktik-praktik yang sedang berlangsung.
33
Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan metode studi korelasi (correlation study) sebagai salah satu varian dari metode deskriptif sebagaimana dikemukakan Consuelo (1988) diacu dalam Umar (2004). Penggunaan metode ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini tidak hanya sekedar mendeskripsikan masalah semata, tetapi juga bertujuan memberikan gambaran adanya hubungan antarvariabel, yaitu tingkat keinginan membayar pengunjung terhadap lokasi wisata yang dikunjungi yang dapat digunakan untuk mengetahui besaran nilai ekonomi dari lokasi atau daerah tujuan wisata tersebut. Umar (2004) memberikan pengertian studi korelasi sebagai penelitian yang dirancang untuk menentukan tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi.
Dengan demikian, peneliti dapat mengetahui berapa
besar kontribusi atau pengaruh dari variabel yang satu terhadap variabel lainnya serta seberapa besar keterkaitannya. Dengan demikian, penelitian ini bersifat deskriptif korelasional, yaitu usaha untuk menggambarkan atau mendeskripsikan secara sistematis mengenai faktafakta serta hubungan antara fenomena yang diteliti (Nazir 1983). Dengan sifat pendekatan ini, diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh terhadap hubungan antara jumlah kunjungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3.4. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian ini terdiri atas data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif terdiri atas persepsi dan penilaian responden (wisatawan) terhadap kawasan TWA Laut Pulau Weh yang dituangkan dalam bentuk tulisan untuk menggambarkan kondisi sebenarnya. Data kuantitatif terdiri atas data biaya perjalanan (termasuk konsumsi, akomodasi, dan biaya lainnya) serta data pendukung lainnya dari pengunjung atau wisatawan selama berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh. Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder. Umar (2004) memberikan pengertian data primer sebagai data yang didapatkan dari sumber pertama, yaitu individu atau perseorangan melalui wawancara atau hasil pengisian kuesioner. Selain itu, data primer juga diartikan sebagai data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti di lapangan pada daerah atau wilayah yang menjadi obyek penelitian (Nazir 1983).
34
Selanjutnya, data sekunder didefinisikan sebagai data primer yang sudah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pihak pengumpul data primer atau pihak lain (Umar 2004). Nazir (1983) memberikan pengertian data sekunder sebagai data yang telah dipublikasikan oleh instansi pemerintah dan atau swasta serta lembaga atau organisasi lainnya yang ada kaitannya dengan materi, permasalahan, tujuan, dan obyek penelitian. Data sekunder digunakan sebagai pendukung data primer untuk membantu tahap analisis tujuan penelitian. Data primer diperoleh melalui survai, observasi langsung ke lokasi penelitian, dan wawancara dengan responden.
Dalam hal ini, satu-satunya
sumber data primer berasal dari hasil survai, observasi langsung, dan wawancara dengan responden. Data primer yang dikumpulkan utamanya adalah motivasi kunjungan ke TWA Laut Pulau Weh dan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk sekali berkunjung dan selama berada di lokasi wisata. Data mengenai karakteristik sosial ekonomi seperti umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan daerah asal responden serta alat trasnsportasi yang digunakan untuk sampai ke lokasi TWA Laut Pulau Weh juga merupakan termasuk kategori data primer yang dikumpulkan. Selain itu, juga dikumpulkan data mengenai persepsi responden terhadap kondisi lingkungan TWA Pulau Weh, meliputi keunggulan atau kelebihan dan kelemahan atau kekurangan serta frekuensi responden berkunjung ke lokasi tersebut. Data sekunder yang dipakai bersumber dari kantor-kantor pemerintah dan lembaga terkait lainnya di Kota Sabang, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Bogor, dan Jakarta. Dari Dinas Pariwisata Kota Sabang, data yang dikumpulkan meliputi jumlah kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara ke Kota Sabang periode 2000 sampai dengan 2005 (Juni), hasil-hasil penelitian mengenai prospek pengembangan sektor pariwisata di Kota Sabang, jumlah dan nama lokasi wisata di seluruh wilayah dalam Kota Sabang, serta jumlah penginapan, hotel, dan restoran di Kota Sabang. Dari Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, data yang dikumpulkan meliputi analisis pasar sektor pariwisata di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada Tahun 2003, sebaran kunjungan wisatawan mancanegara ke kabupaten/kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam periode 1999-2003, dan beberapa buletin dan leaflet yang berisikan informasi sektor pariwisata di Kota Sabang dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Data PDRB Kota Sabang Tahun 1999-2003, Sejarah Kota Sabang, Sabang Dalam Angka Tahun 2003,
35
dan satu unit Compact Dish (CD) yang berisikan infomasi umum dan potensi Kota Sabang diperoleh dari Badan Perencanaan Pembangunan Kota Sabang. Data mengenai gambaran umum wilayah penelitian, yaitu TWA Laut Pulau Weh, yang meliputi sejarah TWA Laut Pulau Weh, letak geografis, topografi, geologi dan tanah, klimatologi, hidrologi, aksesibilitas, dan potensi pariwisata diperoleh dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan. Selain itu, data berbagai keragaan lingkungan dan sumberdaya alam di TWA Laut Pulau Weh, juga bersumber dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3.5. Metode Pengampilan Responden Teknik pengambilan responden yang dipakai dalam penelitian ini adalah purposive sampling (sengaja). Teknik ini termasuk dalam non-probability sampling, yaitu pengambilan sampel non-acak yang mana sampel (responden) yang diambil didasarkan pada pertimbangan pribadi dari peneliti, tidak tergantung pada aplikasi probabilitas atau kemungkinan. Dengan teknik ini, semua anggota dari populasi (pengunjung TWA Laut Pulau Weh) tidak ada yang memiliki peluang yang sama untuk dijadikan responden. Adapun kriteria yang dipakai untuk menentukan pengunjung atau wisatawan yang dapat dijadikan responden adalah : 1). Pengunjung TWA Laut Pulau Weh yang berada selama 24 jam atau lebih di lokasi yang dikunjungi dan atau menginap di Kota Sabang, tetapi lokasi tujuan wisata utamanya adalah TWA Laut Pulau Weh. 2). Tidak berasal dari wilayah dan atau berdomisili di sekitar kawasan TWA Laut Pulau Weh, sehingga tidak membutuhkan biaya transportasi untuk sampai ke lokasi. 3). Perjalanan yang dilakukannya adalah bersifat tunggal, artinya TWA Laut Pulau Weh merupakan satu-satunya daerah tujuan wisata yang dikunjungi. Jumlah responden yang diambil dalam penelitian ini sebanyak tiga puluh orang. Penentuan jumlah responden dalam penelitian ini disesuaikan sekaligus didasarkan pada metode penelitian yang digunakan. Menurut Umar (2004), ukuran minimum responden yang dapat diterima didasarkan pada desain (metode) penelitian yang digunakan. Untuk metode penelitian deskriptifkolerasional (deskriptif-studi kolerasi), jumlah minimum sampel (responden) yang diambil berjumlah 30 subjek (orang).
36
3.6. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data merupakan merupakan langkah yang sangat penting dalam penelitian ilmiah, karena data yang dikumpulkan merupakan bahan analisis untuk menjawab permasalahan yang telah rumuskan. Oleh karena itu, data yang dikumpulkan harus sangat valid, sehingga cukup reliable untuk digunakan. Teknik pengumpulan data akan selalu berkaitan erat dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Keduanya, saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya, karena masalah penelitian juga memberi semacam arah atau panduan terhadap penentuan teknik pengumpulan data yang digunakan. Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data primer meliputi observasi (pengamatan langsung), wawancara, dan kuesioner. Menurut Nazir (1983), pengamatan langsung merupakan cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar atau alat ukur lainnya dengan kriteria-kriteria tertentu. Adapun yang dimaksud dengan wawancara adalah proses memperoleh keterangan melalui tanya jawab dengan responden yang dilakukan dengan menggunakan panduan berupa daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan. Kuesioner merupakan daftar pertanyaan yang cukup terperinci dan lengkap mengenai materi yang berhubungan dengan masalah penelitian. Pengisian kuesioner dilakukan secara mandiri oleh responden berdasarkan penjelasan peneliti. 3.7. Teknik Analisis Data 3.7.1. Travel Cost Methode Sebagaimana dikemukakan Fauzi (2004), TCM dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat dari : (i) perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi; (ii) penambahan tempat rekreasi baru; (iii) perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi; dan (iv) penutupan tempat rekreasi yang ada. Untuk kasus pengukuran nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh, salah satu relevansi penggunaan TCM tercermin dari uraian pada butir (i) di atas, yaitu perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi. Perubahan biaya akses ini dapat dikembangkan lebih jauh, yaitu mencakup seluruh biaya yang dikeluarkan untuk mencapai suatu tempat rekreasi.
37
Terdapat dua teknik yang digunakan untuk menentukan nilai ekonomi berdasarkan TCM, yaitu : (i) pendekatan melalui zonasi; dan (ii) pendekatan individual. Dalam penelitian ini, kedua teknik tersebut dipakai yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang berbeda sekaligus sebagai pembanding terhadap hasil yang diperoleh. Pertimbangan penggunaan kedua teknik ini adalah untuk memperoleh hasil yang mendekati kenyataan mengingat akurasi dari masing-masing teknik berbeda. Menurut Fauzi (2004), metode TCM dengan pendekatan individual lebih akurat dibandingkan dengan pendekatan zonasi. Untuk melihat total biaya yang dikeluarkan wisatawan dan selanjutnya untuk digunakan sebagai proxy dalam menentukan harga dari sumberdaya alam (TWA Laut Pulau Weh), dilakukan melalui penetapan fungsi permintaan. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, jumlah kunjungan wisatawan (Q=quantity) ke TWA Laut Pulau Weh dipengaruhi oleh biaya yang dikeluarkan (c=cost). Fungsi permintaan ditentukan berdasarkan pendekatan kedua teknik TCM (zonasi dan individual) dengan menggunakan teknik ekonometrik, yaitu regresi sederhana (Ordinary Least Square/OLS). Secara sederhana, fungsi permintaan pengunjung TWA Laut Pulau Weh dapat ditulis sebagai berikut :
Qij = f (c ij ) ........................................................(7) dimana : Qij = jumlah kunjungan oleh individu i ke tempat j c ij = biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh individu i untuk mengunjungi lokasi j Selanjutnya, agar lebih operasional, maka persamaan (7) di atas dibuat dalam fungsi logaritma, yaitu :
ln Q = α 0 + α 1 ln c ...........................................(8) atau
Q = α 0 c α1 .........................................................(9) Setelah mengetahui fungsi permintaan, selanjutnya dapat diukur surplus konsumen yang merupakan proxy dari nilai WTP terhadap lokasi rekreasi. Surplus konsumen tersebut merupakan luas wilayah di bawah kurva permintaan
38
yang dibatasi oleh biaya perjalanan tertinggi (c 1) pada batas atas dan biaya perjalanan terendah (c 0) pada batas bawah, sehingga surplus konsumen diukur melalui formula : c1
∫ Q(c )dc ........................................................(10)
c0
Dalam bentuk grafik, kurva permintaan dan surplus konsumen dari wisatawan dapat digambarkan sebagai berikut :
c = α1
a Q
Gambar 7. Kurva Permintaan dan Surplus Konsumen Keterangan : c 1 = Jumlah biaya tertinggi c 0 = Jumlah biaya terendah Q1 = Jumlah kunjungan tertinggi Q0 = Jumlah kunjungan terendah Sebagaimana disebutkan di atas bahwa fungsi permintaan pengunjung ditentukan berdasarkan dua pendekatan, yaitu zonasi dan individual. Penentuan fungsi permintaan pengunjung dan surplus konsumen dari kedua pendekatan di atas adalah sama, yaitu mengacu pada persamaan (9) dan (10).
Adapun
perbedaan diantara keduanya adalah data yang digunakan. Untuk pendekatan individu, data yang digunakan adalah data jumlah kunjungan dan biaya yang dikeluarkan, yaitu 30 wisatawan (responden).
39
Untuk pendekatan zonasi, data yang digunakan adalah rata-rata jumlah kunjungan dan rata-rata biaya yang dikeluarkan. Data rata-rata tersebut diperoleh dari pembagian enam zonasi kunjungan berdasarkan asal daerah dan atau domisili responden. Data mengenai jumlah kunjungan dan biaya perjalanan wisatawan yang digunakan untuk menentukan fungsi permintaan berdasarkan kedua pendekatan (individual dan zonasi) disajikan dalam Lampiran 3. Khusus untuk pendekatan zonasi, data jumlah kunjungan yang digunakan adalah jumlah kunjungan per seribu penduduk dari setiap zona. Jumlah kunjungan per seribu penduduk dari setiap zona merupakan persentase pengunjung dari suatu zona dikali dengan tingkat kunjungan ke lokasi pada tahun tersebut. Kemudian, jumlah pengunjung dikonversikan menjadi kunjungan per seribu penduduk. Contoh perhitungan untuk memperoleh jumlah kunjungan per seribu penduduk secara rinci disajikan dalam Lampiran 4. 3.7.2. Weight Sum Methode Penggunaan Weight Sum Methode (WSM) ditujukan sebagai pendekatan untuk menentukan prioritas terhadap beberapa alternatif kebijakan atau permasalahan yang ada.
Dalam menentukan prioritas, alternatif atau pilihan
diberikan bobot berdasarkan kriteria tertentu. Oleh karena itu, pembobotan menjadi faktor yang sangat penting dan menentukan dalam proses pengambilan dan penetapan prioritasnya (Fauzi 2005b). WSM atau Metode Penjumlahan Bobot merupakan salah satu teknik pengambilan keputusan dengan analisis multikriteria yang berbasis nonparametrik (Fauzi 2005b). Dalam implementasinya, teknik ini menggunakan software Sanna Microsoft Office Excel 2003.
Di dalam pendekatan
WSM,
prioritas dari berbagai alternatif kebijakan (Pi) diukur berdasarkan formula sebagai berikut :
n
Pi = ∑ aijW j , untuk i = 1,2,3,..,n........................(11) j =1
dimana : Pi = nilai prioritas dari beberapa alternatif aij = berbagai alternatif atau pilihan W j = bobot dari beragam alternatif Berbagai alternatif atau pilihan (ai j) dalam persamaan (7) merupakan beberapa kebijakan yang diidentifikasi untuk pengelolaan TWA Laut Pulau Weh.
40
Beberapa kebijakan tersebut adalah : (i) kondisi status quo; (ii) penetapan TWA Laut Pulau Weh sebagai Marine Protected Area; dan (iii) pengembangan kawasan yang berorientasi pasar (lokal, domestik, dan luar negari). Bobot dari berbagai alternatif (W j), atau dalam hal ini bobot dari kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh ditentukan sama nilainya untuk masingmasing kriteria. Menurut Rahardjo (2003), jumlah bobot seluruh kriteria harus sama dengan satu. Pada setiap kriteria, pengambil keputusan dapat memberikan bobot yang lebih atau kurang dibandingkan dengan kriteria yang lain berdasarkan pertimbangan penting atau tidaknya kriteria tersebut menjadi penilai di dalam pengambilan keputusan. Formula di atas (persamaan (11)) secara matrik dapat ditulis sebagai berikut :
P1 a11 P a 2 = 21 ... .. Pi ai1
a12 a 22 .. ai 2
.. a ij W1 .. a 2 j W2 .. .. ... .. a ij W j
Pendekatan WSM ini memerlukan persyaratan bahwa nilai setiap kriteria mempunyai satuan yang sama atau tidak mempunyai satuan sama sekali (dimensionless). Pada perangkat lunak yang telah dikembangkan di beberapa tempat, proses menyamakan satuan ini dilakukan dengan cara pemberian bobot (pembobotan) pada setiap kriteria antara nol sampai dengan satu (0<x<1). 3.8. Konsep dan Batasan 1). Nilai ekonomi yang dihitung bukan merupakan nilai ekonomi total yang ada di TWA Laut Pulau Weh, tetapi hanya sebatas pada nilai ekonomi yang didekati berdasarkan biaya perjalanan yang keluarkan oleh wisatawan untuk mengunjungi kawasan tersebut. 2). TCM dengan dua pendekatan (individual dan zonasi) merupakan teknik penilaian ekonomi tidak langsung untuk nilai dari sumberdaya alam yang tidak dipasarkan. 3). Nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh diperoleh berdasarkan proxy dari tingkat keinginan membayar (WTP) konsumen atau wisatawan yang terungkap melalui model yang dikembangkan (fungsi permintaan).
41
4). Fungsi permintaan pengujung TWA Laut Pulau Weh ditentukan melalui teknik ekonometrik, yaitu regresi sederhana yang dibuat dalam bentuk fungsi logaritma. 5). Alternatif
kebijakan
pengelolaan
TWA
Laut
Pulau
Weh
ditentukan
berdasarkan kemungkinan penerapannya. 6). Prioritas kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh ditentukan dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan kriteria dan menggunakan metode penjumlahan bobot. 7). Dengan menggunakan metode penjumlahan bobot, setiap alternatif kebijakan akan memperoleh nilai utilitas berdasarkan skor dan bobot yang diberikan. Alternatif kebijakan yang memiliki nilai utilitas tertinggi merupakan altenatif kebijakan terbaik. 8). Kriteria-kriteria yang digunakan memiliki skor dan bobot. Skor ditentukan dengan mempertimbangkan kondisi riil di lapangan dan adjustment peneliti yang didasarkan pada kerangka teoritis yang ada. Bobot dari setiap kriteria diberikan nilai yang sama karena seluruh kriteria dianggap sama penting. Nilai total bobot dari seluruh kriteria harus sama dengan satu.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Sejarah Kota Sabang Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah, Kota Sabang merupakan wilayah otonom yang memiliki pemerintahan sendiri dan dipimpin oleh seorang walikota. Kota Sabang sebagai pusat perdangangan dan pemerintahan sejak zaman pra-kemerdekaan sampai dengan pasca-kemerdekaan memiliki sejarah yang panjang. Kota Sabang (di Pulau Weh) yang terletak di ujung paling barat Negara Republik Indonesia dengan luas 153 km 2, telah berkembang sebagai pelabuhan bebas sejak zaman penjajahan Belanda.
Sejarah Pelabuhan Bebas Sabang
dimulai tahun 1873 ketika Belanda berusaha untuk menjajah daerah Aceh. Dalam rangka usaha ini, pada tahun 1884, Belanda mulai merintis pendirian Pelabuhan Bebas Sabang dengan mendirikan sebuah “Kolen Station” di Balohan (Pulau Weh) yang selesai dibangun pada tahun 1895 oleh Firma “De Lange” yang berkedudukan di Batavia dengan konsesi dari Nederlansche Hendel Maatschappij (NHM) yang dilanjutkan dengan pendirian “Sabang Hoven”. Dalam tahun 1896 resmilah Pelabuhan Sabang diproklamirkan sebagai pelabuhan bebas (Vrij Haven/Freeport) yang pengurusan pertamanya dilakukan oleh Firma “De Lange” dan Coy dengan nama “Aceh Assosiatie” selanjutnya pengurusan dan pengaturan administrasi pelabuhan bebas dilaksanakan oleh sebuah badan yang bernama Maatschappij Zeehaven en Kolenstation yang lazim disebut Sabang Maatschappij. Dalam perkembangan selanjutnya pada tahun 1910, pemerintah Belanda memberi hak “pacht” atau kontrak kepada Sabang Maatschappij untuk mengelola Pelabuhan Bebas Sabang untuk jangka waktu 50 tahun.
Berdasarkan hak
kontrak tersebut, pada dasarnya jangka waktu Pelabuhan Bebas Sabang baru akan berakhir dalam tahun 1960.
Dengan pengertian lain, sesungguhnya
Pelabuhan Bebas Sabang itu belum pernah ditutup secara resmi oleh pemerintah Belanda. Dengan masuknya Jepang ke Aceh pada tahun 1942, maka Pelabuhan Bebas Sabang terpaksa ditutup, karena terjadinya perang dunia kedua. Keinginan masyarakat untuk menghidupkan kembali Sabang sebagai pelabuhan bebas telah timbul sejak adanya sistem perdagangan barter (19571962) antara daerah Aceh dengan Malaya (Malaysia), tetapi tidak diperkuat oleh
43
suatu perjanjian yang baku. Kemudian dalam tahun 1962, timbul inisiatif untuk mengadakan penelitian yang serius mengenai kemungkinan pembukaan kembali wilayah Sabang sebagai pelabuhan bebas.
Pada tahun 1963, Lembaga
Penyelidikan Ekonomi dan Sosial Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang bekerja sama dengan Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia
Sementara
(GPEIS)
melakukan
penelitian
dan
merumuskan
kemungkinan pemberlakuan Sabang sebagai suatu trade zone dan free port. Akhirnya pada tanggal 16 Oktober 1963 dengan Sabang kembali ditetapkan sebagai pelabuhan bebas berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1963 tentang Penetapan Sabang sebagai Pelabuhan Bebas.
Untuk mengelolanya dibentuk suatu badan yang disebut Komando
Pelaksana Pembangunan Proyek Pelabuhan Bebas Sabang (KP4BS). Sebagai kelanjutan dari penetapan Presiden ini maka pada tanggal 20 Juni 1964 dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1964 tentang Pembentukan Badan Pelaksana Proyek Pelabuhan Bebas yang bertugas
menyelenggarakan
pembangunan
dan
bertanggungjawab
atas
terlaksananya pembangunan Sabang sebagai pelabuhan bebas internasional. Kemudian dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1964 tanggal 20 Juni 1964 tentang Lalu Lintas Barang dan Uang di Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, dimana Pelabuhan Bebas Sabang merupakan daerah luar pabean Republik Indonesia, daerah di luar regime devisa Republik Indonesia, daerah transito barang ekspor dan impor dari dan ke Republik Indonesia, serta usaha lain yang dianggap perlu. Untuk dapat menunjang pengembangan Pelabuhan Bebas Sabang, maka pada tanggal 14 Juni 1965 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1965, pemerintah meningkatkan status pemerintah di Sabang dari tingkat kewedanaan menjadi kotamadya (sekarang kota). Melalui berbagai tinjauan dan penelitian oleh lembaga legislatif dan eksekutif akhirnya pada tanggal 23 Desember 1969, Presiden Republik Indoensia menandatangani Undang-undang Nomor 3 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Kemudian pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1970 tentang pembentukan Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang untuk jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang menurut kebutuhan.
Setelah berjalan selama lima belas tahun a l manya, status Kota
44
Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang dicabut oleh pemerintah berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1985. 4.1.2. Gambaran Umum Wilayah Kota Sabang Dengan luas wilayah 153 km 2, Kota Sabang terdiri atas lima buah pulau, yaitu Pulau Weh, Klah, Rubiah, Rondo, dan Seulako. Dari kelima pulau tersebut, Pulau Weh merupakan pulau terbesar dengan luasnya 118,72 km 2. Secara administratif, Kota Sabang terdiri atas dua kecamatan yaitu, Kecamatan Sukajaya dan Sukakarya yang masing-masing memiliki 10 dan 8 kelurahan. Secara geografis, Kota Sabang terletak di ujung paling barat Negara Republik Indonesia, tepatnya diujung paling utara Pulau Sumatera atau antara garis Lintang Selatan 05’46’28’ dan 05’54’28’ Lintang Utara dan Garis Bujur 95’13’02’ sampai 95’22’56’ Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 28 meter di atas permukaan laut dan letaknya yang strategis pada jalur pelayaran dan internasional. Posisi geografis Kota Sabang adalah sebagai berikut: 1). Sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka. 2). Sebelah Selatan berbatas dengan Samudera Indonesia. 3). Sebelah Timur berbatas dengan Selat Malaka. 4). Sebelah Barat berbatas dengan Samudera Indonesia. Keadaan topografi Kota Sabang terdiri atas 3% dataran rendah, 10% dataran bergelombang, 35% berbukit, dan 52% sisanya merupakan daerah berbukit sampai bergunung. Luas wilayah sebesar lebih kurang 75% mempunyai kemiringan tanah diatas 8%. Pulau Weh sebagai pulau terbesar, terutama di bagian barat dan tengah-tengah pulau merupakan daerah dengan kemiringan tanah di atas 15%. Secara geologis, wilayah Kota Sabang terdiri atas 70% batuan vulkanis, 27% batuan sedimen, dan 3% endapan aluvial. Persediaan air bersih (tawar) di Kota Sabang tidak menjadi masalah meskipun wilayahnya dikelilingi oleh lautan, karena secara hidrografi di wilayah Kota Sabang memiliki lima buah danau yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber air minum, yaitu Danau Aneuk Laot, Paya Seunara, Paya Karieng, Paya Peutepen, dan Paya Seumeusi. Sumber air dari kelima danau tersebut juga dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian dan kepentingan lainnya. Danau terbesar di Kota Sabang adalah Danau Aneuk Laot yang letaknya berdekatan dengan laut dengan jarak sekitar 500 meter dari pinggir pantai.
45
Dilihat dari segi fisiografis, Kota Sabang termasuk daerah beriklim tropis dengan musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau tiap tahunnya berkisar antara Maret sampai dengan Agustus dan musim penghujan berkisar antara September sampai Februari.
Keadaan iklim di Kota Sabang sangat
dipengaruhi oleh arah angin karena letaknya pada wilayah paling ujung dari daratan dan berbatasan langsung dengan laut lepas, yaitu angin barat dan angin timur dengan kecepatan angin relatif besar antara 10-15 knot per jam. Menurut hasil pengukuran Stasiun Meteorologi Sabang, Kota Sabang, curah hujan yang tercatat rata-rata 1.745-2.232 mm per tahun, dengan angka terendah pada Maret sebesar 18 mm dan angka tertinggi pada September sebesar 276 mm dengan suhu rata-rata terendah berkisar antara 170-23 0C dan tertinggi berkisar antara 270-33 0C. Pada September dan Oktober terjadi peralihan dari musim kemarau ke musim penghujan. 4.1.2.1. Keadaan Penduduk Jumlah penduduk Kota Sabang pada 2003 (Oktober) berjumlah 29.564 jiwa. Jumlah tersebut mencakup seluruh penduduk yang berdomisili tetap di Kota Sabang dan yang tidak tetap, tetapi masih menjadi tanggungan keluarga (seperti sekolah dan kuliah) di luar Kota Sabang. Dengan luas wilayah 153 km 2, maka kepadatan penduduknya sekitar 193 orang per km 2. Penduduk Kota Sabang sebagian besar (60,52%) merupakan penduduk usia muda, yaitu berumur kurang dari 30 tahun. Komposisi penduduk Kota Sabang menurut jenis kelamin relatif cukup seimbang dengan perbandingan laki-laki (14.964 jiwa) dan perempuan (14.600 jiwa) yaitu 103 berbanding 100. Pertumbuhan penduduk di Kota Sabang dari tahun ke tahun sangat fluktuatif. Sejak tahun 1987, jumlah penduduk terus berkurang dari tahun sebelumnya yang dipicu oleh kemerosotan ekonomi Kota Sabang pascapencabutan status free port. Pertumbuhan negatif penduduk di Kota Sabang sejak tahun 1987 sampai dengan tahun 1998 sangat dipengaruhi oleh dicabutnya status Kota Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang pada tahun 1985.
Dengan pencabutan status tersebut, menyebabkan aktifitas ekonomi
menurun sehingga tidak adanya faktor yang menjadi alasan bagi pelaku ekonomi untuk tinggal dan menetap di Kota Sabang. Arus migrasi di Kota Sabang selama berlakunya Pelabuhan Bebas Sabang memperlihatkan kondisi yang cukup bergairah dengan tingkat mobilisasi yang tinggi. Secara lengkap dan terperinci,
46
perkembangan penduduk Kota Sabang sejak tahun 1985 sampai dengan 2003 disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Sex Ratio, dan Perkembangan Jumlah Penduduk di Kota Sabang Tahun 1985-2003 Tahun 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 Sumber
Jenis Kelamin Laki-Laki Wanita 14.017 12.604 13.761 12.951 13.506 12.855 14.167 12.711 13.244 12.573 12.589 12.827 12.651 12.233 12.649 12.227 12.646 12.114 12.610 12.095 12.570 12.128 11.617 11.447 11.512 11.366 11.507 11.337 11.498 11.381 12.012 11.642 12.394 11.982 12.870 12.392 14.964 14.600
Jumlah
Sex Ratio
Tingkat Pertumbuhan (%)
26.621 26.712 26.361 26.878 25.817 25.416 24.884 24.876 24.760 24.705 24.698 23.064 22.878 22.844 22.879 23.654 24.376 25.262 29.564
111,21 106,25 105,06 111,45 105,34 98,14 103,42 103,45 104,39 104,26 103,64 101,49 101,28 101,50 101,03 103,18 103,44 103,86 102,49
0,34 -1,31 1,96 -3,95 -1,55 -2,09 -0,03 -0,47 -0,22 -0,03 -6,62 -0,81 -0,15 0,15 3,39 3,05 3,63 17,03
: BPS Kota Sabang (2004); Bappekot Sabang (2003)
Dibukanya kembali akses ekonomi pada tahun 1998 seiring dengan penetapan Kota Sabang sebagai KAPET dan Kawasan Perdangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang pada tahun 2000 telah menghidupkan lagi aktivitas perekonomian di wilayah tersebut. Perkembangan jumlah penduduk pun dari tahun 1998 terus meningkat dan mengalami pertumbuhan positif sampai dengan tahun 2003. 4.1.2.2. Pekerjaan dan Mata Pencaharian Penduduk Kota Sabang pada 2003 yang berjumlah 26.505 jiwa terdiri atas 7.349 kepala keluarga atau rumah tangga.
Mata pencaharian rumah tangga
terbesar di Kota Sabang adalah pertanian, yaitu sebanyak 2.167 kepala keluarga atau sekitar 24,49% dari total kepala keluarga. Mata pencaharian terbesar kedua
47
dan ketiga masing-masing adalah pegawai (21,54%) dan lainnya (18,74%). Banyaknya rumah tangga menurut pekerjaan atau mata pencaharian di Kota Sabang disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Jumlah Rumah Tangga Menurut Mata Pencaharian di Kota Sabang Tahun 2003 No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Mata Pencaharian Pertanian Perikanan Buruh Perdagangan Jasa Angkutan Pegawai Lainnya Jumlah
Jumlah
Persentase (%)
2.167 706 528 434 251 303 1.583 1.377 7.349
29,49 9,61 7,18 5,91 3,42 4,12 21,54 18,74 100,00
Sumber: BPS Kota Sabang (2004)
4.1.2.3. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk di Kota Sabang pada tahun 2003 secara kuantitas cukup baik. Keadaan ini dapat dilihat dari banyaknya penduduk yang meneruskan pendidikannya, yaitu dari 14.069 jiwa usia sekolah hampir 61% dapat meneruskan sekolah.
Terdistribusi pada sekolah dasar (SD), sampai
tingkat menengah pertama (SLTP) mencapai 11.400 jiwa (49,43%) dari seluruh penduduk usia sekolah di Kota Sabang. Penduduk usia sekolah yang dapat meneruskan sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SLTA) mencapai
2.011
jiwa (8,72%). Sedangkan yang menamatkan sampai tingkat perguruan tinggi hanya 173 jiwa saja (BPS Kota Sabang 2004). 4.1.3. Keragaan Ekonomi Kota Sabang Sektor/subsektor ekonomi yang terdapat di Kota Sabang digolongkan dalam sembilan lapangan usaha yang mempengaruhi perekonomian Kota Sabang.
Kesembilan
lapangan
usaha
tersebut
adalah
(i)
pertanian;
(ii) pertambangan dan penggalian; (iii) industri pengolahan; (iv) listrik dan air bersih; (v) bangunan/konstruksi; (vi) perdagangan, hotel, dan restoran; (vii) pengangkutan dan komunikasi; (viii) keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan (ix) jasa-jasa.
48
Kegiatan perekonomian di Kota Sabang dalam tujuh tahun terakhir tidak terlepas
dari
pemberlakukan
kembali
Kota
Sabang
sebagai
Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sejak tahun 2000 berdasarkan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2000.
Di samping itu, Kota Sabang juga
berstatus Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 171 Tahun 1998, yang pada tahun 2001 berganti nama menjadi KAPET Bandar Aceh Darussalam. Status Kota Sabang sebagaimana disebutkan di atas secara ekonomi telah memberikan pengaruh yang signifikan dibandingkan dengan kondisi ekonomi sebelumnya. Oleh karena itu, maka dalam rangka melaksanakan pembangunan secara terpadu untuk seluruh kawasan Kota Sabang dan sekitarnya terkait dengan dua status tersebut, Pemerintah Kota Sabang bersama-sama dengan Badan Pelaksana Kawasan Sabang (selaku pelaksana Kawasan Perdagangan Bebasa dan Pelabuhan Bebas Sabang) dan Badan Pengelola KAPET Bandar Aceh Darussalam telah menetapkan empat sektor ekonomi unggulan di Kota Sabang. Keempat sektor tersebut adalah jasa perdagangan dan transportasi, perikanan, industri, dan pariwisata 3. Untuk memberikan gambaran lebih lanjut mengenai keragaan ekonomi Kota Sabang dapat dilihat dari dua indikator, yaitu kontribusinya terhadap pendapatan wilayah dan jumlah tenaga kerja yang terlibat dari masing-masing sektor.
Dalam penelitian ini, indikator ekonomi yang digunakan hanya dari
kontribusi terhadap pendapatan wilayah, sedangkan indikator tenaga kerja tidak digunakan karena keterbatasan data di lapangan. Untuk mengetahui kontribusi masing-masing sektor ekonomi terhadap pendapatan wilayah, digunakan data distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Sabang menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 1993, tahun 2003 sebagaimana disajikan dalam Gambar 8.
3
Sekretariat Daerah Kota Sabang, 2001. Sarana dan Prasarana Penunjang Kegiatan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang; Badan Pengusahaan Kawasan Sabang, 2001. Program Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Sabang; dan Hamid T. A., 2001. Strategi Pengembangan Badan Pengelola KAPET Bandar Aceh Darussalam Dalam Peningkatan Perekonomian Daerah. KAPET Bandar Aceh Darussalam.
49
Jasa-jasa (25,60%)
Pertanian (17,30%) Pertambangan dan Penggalian (1,20%)
Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan (2,48%)
Industri Pengolahan (9,35%)
Listrik dan Air Bersih (1,16%)
Pengangkutan & Komunikasi (7,73%)
Perdagangan, Hotel, & Restoran (13,34%)
Bangunan (21,84%)
Gambar 8. Distribusi Persentase PDRB Kota Sabang Tahun 2003 Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993 Dalam struktur perekonomian Kota Sabang berdasarkan lapangan usaha sebagaimana digambarkan di atas, kontribusi sektor pariwisata tidak terlihat secara jelas, karena tidak tertampung dalam satu jenis lapangan usaha tertentu, tetapi merupakan bagian atau sub dari beberapa jenis lapangan usaha. Beberapa sublapangan usaha yang dapat digolongkan sebagai kegiatan dari sektor pariwisata adalah Hiburan, Rekreasi, dan Kebudayaan (Lapangan Usaha Jasa-jasa), Restoran/Rumah Makan dan Hotel (Lapangan Usaha Perdagangan, Restoran, dan Hotel), Pengangkutan Jalan Raya/Darat, Pengangkutan Laut/ Sungai/Danau, dan Angkutan Udara (Lapangan Usaha Pengangkutan dan Komunikasi). Dengan menghitung total kontribusi dari masing-masing sublapangan usaha di atas dalam PDRB Kota Sabang, maka kontribusi sektor pariwisata dalam perekonomian Kota Sabang terhadap perekonomian wilayah pada tahun 2003 adalah sebesar 9,13%.
Apabila dibandingkan dengan kontribusi salah
sektor ekonomi unggulan lainnya, yaitu sektor perikanan (4,07%), maka kontribusi sektor pariwisata adalah melebihi dua kali lipat dari kontribusi sektor perikanan dalam struktur perekonomian Kota Sabang. Adapun bandingannya dengan sektor industri (9,35%), maka kontribusi sektor pariwisata hampir sama besarannya atau hanya selisih 0,22%.
50
4.1.4. Gambaran Umum TWA Laut Pulau Weh 4.1.4.1. Letak Geografis TWA Laut Pulau Weh terletak pada ujung paling barat wilayah Indonesia, tepatnya sebelah utara Pulau Weh dan sebelah Barat dari Kota Sabang serta berbatasan langsung dengan lautan lepas dari sebelah utara. Secara geografis, TWA Laut Pulau Weh terletak pada 5050’30’’-5054’15’’ Lintang Utara dan 95012’30’ ’-95015’4’’ Bujur Timur. Dalam administrasi pemerintahan, lokasi TWA Laut Pulau Weh berada di wilayah Kecamatan Sukakarya, Kota Sabang, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 4.1.4.2. Sejarah dan Institusi Pengelola Sejarah penetapan TWA Laut Pulau Weh dimulai dengan keluarnya Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 928/Kpts/Um/12/1982 tanggal 24 Desember 1982 tentang Penunjukan Gugusan Pulau Weh Beserta Perairan Laut di Sekitarnya Seluas 3.900 Hektar Termasuk Pulau Rubiah dan Pulau Seulako Menjadi Taman Wisata Alam dengan nama Taman Wisata Alam (Laut) Pulau Weh. Selain itu, juga terdapat Taman Wisata Alam Iboih yang merupakan kawasan hutan lindung yang secara ekosistem terintegrasi dengan TWA Laut Pulau Weh. Hal ini karena letak kawasan hutan lindung tersebut berbatasan langsung dengan kawasan perairan TWA Laut Pulau Weh. Pemberlakuan Taman Wisata Alam Iboih ditetapkan dalam Keputusan yang sama dengan penetapan TWA Laut Pulau Weh. Dari segi pengelolaannya, TWA Laut Pulau Weh sepenuhnya berada dalam kewenangan Resort Konservasi Sumber Daya Alam Iboih dan masuk pada Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam hierarki organisasi yang lebih tinggi, BKSDA Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 4.1.4.3. Topografi Keadaan lapangan pada TWA Laut Pulau Weh pada umumnya merupakan pungung-pungung gunung tak teratur di atas batuan vulkanik berbasal dengan kemiringan antara 41-60%.
Puncak tertingginya adalah Gunung Iboih yang
berada pada ketinggian 480 meter di atas permukaan laut.
51
Daerah-daerah yang keadaan datar merupakan bagian kecil dan kawasan umumnya berada di sekitar pantai antara lain daerah Ujung Campli Buta sampai Ujung Sirawan dan Ujung Bau, tepatnya di sekitar Tugu Nol Kilometer Indonesia. Topografi di Pulau Rubiah sebagai salah satu pulau yang termasuk dalam kawasan TWA Laut Pulau Weh, keadaan datar pada umumnya berada di sekitar punggung bukit yang memanjang dan pantai-pntai yang curam. 4.1.4.4. Geologi dan Tanah Keadaan jenis geologi batuan yang terdapat dalam kawasan TWA Laut Pulau Weh termasuk batuan beku basa yang terdiri atas andesit, basalt, tefra berbutit halus, dan tefra berbutir kasar. Adapun kelompok besar tanahnya terdiri atas humitropepts dengan tektur halus, dystrandepts dengan tektur cukup atau agak halus dan tropohumulus dengan tektur agak halus. Batasan sistem lahan pada kawasan TWA Laut Pulau Weh dan sekitarnya adalah sebagai berikut : 1). Mutu air tanah; kualitas air tanah berpengaruh terhadap air minum dan sifat tanah. 2). Sumber air minum; air yang dapat diminum merupakan sumber yang mungkin sekali dapat dimanfaatkan. 3). Karakteristik tanah; (a). Tektur; sangat kasar pada lapisan atas (0-30 cm) (b). Kedalaman; tanah non organik dangkal (<25 cm) (c). Drainase; lahan jenuh air, drainase tanah sangat jelek sepanjag tahun menghalangi tumbuhnya akar (d). Kesuburan; kekurangan unsur hara, kelebihan hara bisa meracuni keadaan asam sulfat yang kuat (e). Kemiringan; lereng-lereng curam yang menyulitkan pembangunan dan pemeliharaan jalan kecenderungan terkikisnya tanah yang dapat mengakibatkan degradasi tanah. 4.1.4.5. Hidrologi Secara umum, keadaan lapangan TWA Laut Pulau Weh dan sekitarnya merupakan daerah perbukitan berbatu yang ditumbuhi hutan alam campuran. Pada beberapa bagian kawasan, terdapat sumber-sumber air dan aliran sungai kecil yang berada di sekitar daerah tepian Iboih, Ujung Raya, dan Ujung Putro.
52
Di lokasi Pulau Rubiah yang merupakan bagian dari TWA Laut Weh, terdapat beberapa sumber air dan sumur yang digali pada masa lalu. 4.1.4.6. Aksesibilitas Lokasi TWA Laut Pulau Weh dari Kota Sabang sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan sekaligus sebagai orientasi dan pintu gerbang regional dapat dicapai melalui jalur laut atau darat. Perjalanan dari Kota Sabang ke TWA Laut Pualu Weh melalui jalur laut dapat ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit dengan menggunakan kapal motor 80 PK. Melalui jalur darat, dapat ditempuh dalam waktu lebih kurang satu jam dengan prasarana jalan yang beraspal.
Perjalanan melalui jalan darat harus melewati jalan di perbukitan
dengan panorama alam laut dari sisi kanan dan hutan lindung di sisi kiri. Sarana transportasi dari Kota Sabang ke lokasi TWA Laut Pulau Weh relatif sulit, karena tidak tersedia angkutan kota (umum) yang secara reguler melayani jalur tersebut. Alternatifnya, banyak tersedia kendaraan sewaan atau taksi di Pelabuhan Laut Balohan. Dari Kota Banda Aceh ke Kota Sabang dapat ditempuh melalui jalur laut dan udara. Lewat jalur laut, tersedia kapal cepat dari Pelabuhan Ulee Lheu (Kota Banda Aceh) dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Selain itu, juga tersedia kapal biasa yang diberangkatkan dari Pelabuhan Malahayati di Krueng Raya (Kabupaten Aceh Besar) dengan waktu tempuh sekitar dua jam tiga puluh menit. Sejak tahun 2002, telah tersedia jalur transportasi udara ke Kota Sabang yang menggunakan pesawat kecil (dilayani oleh maskapai penerbangan Sabang Merauke Air Charter atau SMAC) dengan kapasitas sepuluh orang penumpang yang berangkat dari Bandara Sultan Iskandar Muda di Kabupaten Aceh Besar. Dengan menggunakan pesawat udara, waktu tempuhnya sangat cepat, yaitu hanya sekitar 15 menit. 4.1.4.7. Daerah Tujuan Wisata Utama TWA Laut Pulau Weh merupakan lokasi tujuan utama wisatawan yang berkunjung ke Kota Sabang. Meskipun memiliki banyak objek wisata menarik lainnya, seperti Pantai Anoi Itam, Pantai Balek Gunong, Pantai Kasih, Sumur Tiga, dan lain-lain, TWA Laut Pulau Weh adalah tempat kunjungan favorit wisatawan. Selain karena namanya yang sudah terkenal, keistimewaan yang dimiliki TWA Laut Pulau Weh berupa panorama alam dan pemandangan bawah
53
laut yang menakjubkan menjadi alasan kuat dari wisatawan untuk berkunjung ke lokasi ini. Selama ini, TWA Laut Pulau Weh telah menjadi identitas pariwisata di Kota Sabang mengingat hampir tidak ada wisatawan yang berkunjung ke Kota Sabang luput untuk datang ke TWA Laut Pulau Weh. Bahkan, ada semacam anggapan di kalangan wisatawan sendiri bahwa melakukan kegiatan wisata dan rekreasi ke Kota Sabang belumlah terasa lengkap dan sempurna kalau belum menginjakkan kakinya di TWA Laut Pulau Weh merasakan keindahan alam bahwa lautnya. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, terdapat beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengenai pentingnya keberadaan TWA Laut Pulau Weh dalam peta pariwisata di Kota Sabang, antara lain : 1). Secara historis, lokasi TWA Laut Pulau Weh merupakan tempat dicanangkannya Jambore Nasional Ilmu Pengatahuan dan Teknologi (IPTEK) oleh Menteri Riset dan Teknologi pada tahun 1997, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung, telah membuat promosi gratis untuk lokasi ini. 2). Pemerintah Kota Sabang telah menetapkan lokasi TWA Laut Pulau Weh sebagai titik dan pusat kunjungan wisatawan di Kota Sabang dengan menggiatkan pembangunan infrastruktur (sarana dan prasara) guna mendukung perkembangan pariwisata. TWA Laut Pulau Weh merupakan lokasi wisata di Kota Sabang yang paling lengkap infrastrukturnya, terdiri atas hotel dan penginapan, rumah makan dan restoran, sarana komunikasi, dermaga khusus untuk Very Important Person (VIP), dan lain-lain. 3). Panorama alam yang sejuk dan teduh karena daratannya berbatasan langsung dengan hutan tropis yang masih perawan serta dan keindahan alam bawah lautnya yang terdiri dari hamparan terumbu karang yang indah serta dihuni oleh beragam jenis ikan hias. 4.1.4.8. Potensi Pariwisata TWA Laut Pulau Weh memiliki potensi wisata alam laut yang cukup beragam seperti berbagai jenis ikan karang yang berwarna-warni dan formasi terumbu karang yang sangat indah dan menarik. Selain itu, juga terdapat gejala alam seperti gua-gua di bawah laut. Selain potensi wisata alam laut, TWA Laut Pulau Weh yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan juga menyimpan potensi wisata hutan dengan beragam flora dan fauna yang ada didalamnya.
54
Beberapa potensi kawasan yang menjadi objek dan daya tarik wisata di TWA Laut Pulau Weh diuraikan secara terperinci di bawah ini. 1). Flora dan Fauna Teresterial Keadaan flora dengan jenis vegetasi yang beraneka ragam merupakan panorama alam yang menarik, sehingga memungkinkan untuk dilakukan berbagai jenis kegiatan, seperti lintas gunung, berkemah, dan penelitian. TWA Laut Pulau Weh memiliki aneka ragam tumbuh-tumbuhan yang berbeda jenis dan bentuk fisiknya. Jenis tumbuhan (flora) yang ada dan dominan terdiri atas Avicenia alba, Soneratia sp., Rhizopora sp., Hibiscus tilliaceus (waru laut), Pandanus tectorius (pandan laut), Terminalia cattapa (ketapang), Tamarindus sp. (asam kandis), Baringtonia asiatica (keben), Ficus benyamina (beringin), Eugenia sp. (jeruk hutan), Pterospemum sp. (bayur), Lagestromia speciosa (bungur), Callamus sp. (rotan), dan Litsea sp. (medang). Jenis binatang (fauna) yang terdapat di TWA Laut Pulau Weh berdasarkan kenampakan jenis satwa yang ada terdiri atas Sus sp. (babi hutan), Macaca fascicularis (kera ekor panjang), Paradoxurus hermaphrodius (musang), Trachypithecus thomasi nubila Miller (lutung hitang), Varanus sp. (biawak), Prionailurus bengalensis (kucing hutan), Hystix banchyura banchyura Linnaeus (landak), dan Phyton sp. (ular). Adapun beberapa jenis burung yang sering terlihat adalah Egretta intermedia (bangau), Dicrurus aeneus (srigunting), Collacalia linchi (walet linci), Ardae sumatrana (cangak abu-abu), Haliastur indus (elang laut), Alcedo atthis (raja udang erasia), Cypsiurus balaciensis (walet palem asia), Microhierax frigillarius (alap-alap capung), dan Falco amaurensis (alap-alap). Terkadang, juga dijumpai jenis burung migran seperti layang-payang api (Hirundo rustica). Jenis burung yang terkenal di kawasan ini adalah Caloenas nicobarica (burung dara Nikobar) yang merupakan salah satu prestise bagi TWA Laut Pulau Weh. 2). Pantai TWA Laut Pulau Weh memiliki beberapa pantai yang tersebar di daratan Pulau Weh dan kedua pulau lainnya dalam kawasan tersebut, yaitu Pulau Rubiah dan Pulau Seulako. Beberapa kawasan pantai yang tempat berlangsungnya antraksi pariwisata pantai di dalam kawasan TWA Laut Pulau Weh adalah Pantai Gapang, Pantai Iboih, dan Pantai Lhong Angen.
Pantai Lhong Angen yang
terletak di sebelah selatan kawasan TWA merupakan pantai berpasir putih.
55
Kawasan pantai yang sangat terkenal dalam kawasan TWA Laut Pulau Weh ini adalah Pantai Gapang, dengan hamparan pasir putih sepanjang kira-kira 200 meter. Pantai ini terletak di daratan Pulau Weh yang berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Wisata Iboih yang merupakan kawasan hutan lindung dengan keanekaragaman flora dan fauna. Pantai Gapang ini merupakan pusat konsentrasi wisatawan yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh karena berbagai fasilitas dan infrastruktur penunjang terletak di pantai ini. Di Pantai Gapang, terdapat bangunan resort dan hotel, restoran dan rumah makan, dermaga kapal motor, dan tempat penyewaan alat selam. 3). Terumbu Karang dan Ikan Hias Keanekaragaman hayati yang dimiliki wilayah perairan TWA Laut Pulau Weh meliputi keragaan fisik dan biota lautnya.
Secara fisik, terdiri atas
hamparan terumbu karang yang luas dengan beragam spesies karang yang tumbuh, seperti karang meja (Acrophora sp.) yang merupakan jenis dominan. Selain itu, juga terdapat karang spesies Pocillopora vernicosa, Stylocheilus armata, Seriatopora hystrix, Stylophora pistillata dan Montipora socialis. Biota laut yang hidup dan berkembang dalam areal TWA Laut ini adalah beberapa spesies ikan hias (ornamental fish), seperti parrotfish (Scarus sp.), trumpetfish (Aulostomus chinensis). stingray (Manta sp.), saddleback butterflyfish (Chaetodon falcuta), mooris idol (Zanclus cenescens dan Zancolus corgurus). Ikan-ikan tersebut hidup dan berkembang di sekitar perairan TWA Laut Pulau Weh dan sebagian besarnya merupakan endemik di daerah ini. Selain itu juga banyak ditemukan jenis-jenis ikan ekonomis penting, seperti tuna, kakap, kerapu, bayan, pisang-pisangan, dan lain-lain. Biota laut lain yang ada di TWA Laut Pulau Weh dan tergolong langka adalah kima raksasa (Tridacna gigas). 4). Wisata Sejarah/Budaya Peninggalan sejarah semasa Perang Dunia ke-II dan bangunan bersejarah lainnya yang memiliki daya tarik wisata yang terdapat di kawasan TWA Laut Pulau Weh meliputi bekas karantina haji di Pulau Rubiah, bekas pemasang radar di puncak Gunung Iboih, benteng pertahanan Jepang, dan Tugu Nol Kilometer Indonesia sebagai titik awal pengukuran jarak wilayah Indonesia di wilayah paling barat.
56
Daya tarik Tugu Nol Kilometer bagi wisatawan sejak didirikannya sangat tinggi, salah satu motivasinya adalah karena Pemerintah Kota Sabang memberikan sertifikat bagi wisatawan yang berkunjung ke sana. Sertifikat ini sebagai pertanda bahwa wisatawan tersebut telah pernah menjelajah kawasan paling barat dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4.1.5. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah pengunjung atau wisatawan yang sedang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh, terdiri atas wisatawan domestik atau nusantara dan wisatawan mancanegara. Wisatawan domestik berasal dari daerah lain di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, seperti Banda Aceh, Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, dan Langsa. Selain itu, juga terdapat wisatawan yang berasal dari Kota Sabang. Wisatawan mancanegara yang juga dijadikan responden dalam penelitian ini tidak didasarkan pada asal negaranya karena kunjungannya bukan merupakan perjalanan tunggal ke TWA Laut Pulau Weh. Untuk jangka waktu sementara, wisatawan mancanegara ini berdomisili di Banda Aceh terkait dengan pekerjaan dan tugasnya sebagai pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sedang bertugas di Nanggroe Aceh Darussalam pasca terjadinya bencana alam gempa bumi dan tsunami. Dalam klasifikasinya, asal daerahnya dimasukkan berasal dari tempat domisili sementara yang sekarang, yaitu Banda Aceh.
Berikut ini diuraikan
secara rinci data mengenai karakteristik responden yang berkunjung atau melakukan kegiatan wisata di TWA Laut Pulau Weh berdasarkan aspek sosial ekonomi dan sosio-demografisnya. 4.1.5.1. Karakteristik Sosial Ekonomi 4.1.5.1.1. Umur Umur seseorang biasanya mencirikan tingkat kedewasaan dalam berpikir dan mengambil suatu kebijakan/keputusan yang berhubungan dengan dirinya sekaligus lingkungannya. Oleh karena itu, aspek umur menjadi sangat penting dalam turut menentukan pilihan seseorang termasuk dalam memilih tempat wisata yang akan dikunjunginya. Berdasarkan data umur yang diperoleh, responden yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh sebagian besar telah berusia dewasa. klasifikasi tingkat umur responden diperlihatkan pada Tabel 6.
Secara rinci,
57
Tabel 6. Klasifikasi Umur Responden Tahun 2005 Klasifikasi Umur (tahun) = 25 26 – 45 = 46 Jumlah
Jumlah Responden Orang % 8 26,7 21 70,0 1 3,3 30 100,0
Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)
Dari Tabel 6 terlihat bahwa sebagian besar responden, yaitu sebanyak 21 orang atau 70% berusia antara 26 s/d 45 tahun. Dari klasifikasi umur tersebut, dapat diketahui bahwa responden secara dominan adalah berada pada usia produktif. Artinya, tingkat aktivitas yang dilakukan sehari-harinya masih tinggi. Dengan demikian, responden kelompok umur ini perlu melakukan kegiatan wisata untuk menghilangkan kejenuhan dari aktivitas rutin sehari-hari, dan salah satu pilihannya adalah TWA Laut Pulau Weh yang memiliki daya tarik wisata. 4.1.5.1.2. Jenis Kelamin Jenis kelamin responden merupakan salah satu bagian dari karakteristik sosial ekonomi, karena jenis kelamin dalam kegiatan wisata cenderung berpengaruh terhadap jenis kegiatan yang dilakukan di lokasi yang menjadi tujuan wisata.
Klasifikasi responden menurut jenis kelamin disajikan dalam
Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Responden Menurut Jenis Kelamin Tahun 2005 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
Jumlah Orang 13 17 30
% 43,3 56,7 100,0
Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)
Dari Tabel 7, terlihat bahwa sebanyak 17 orang atau 56,7% responden adalah perempuan dan sisanya sebanyak 13 orang atau 43,3 % adalah laki-laki. Artinya, jumlah responden yang diambil dari wisatawan yang berkunjung ke TWA Laut Pulau menurut jenis kelamin hampir sebanding.
58
4.1.5.1.3. Status Perkawinan Jumlah responden yang diambil dengan status pernikahan sudah menikah berjumlah 18 orang (60%) dari total responden. Sisanya, sebanyak 12 orang atau 40% responden belum menikah.
Rincian status perkawinan responden
disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8. Status Perkawinan Responden Tahun 2005 Status Perkawinan Menikah Belum Menikah Jumlah
Jumlah Orang 12 18 30
% 40 60 100
Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)
Sekitar 15 orang atau 83% dari responden yang telah menikah, turut membawa anggota keluarganya dalam berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh, seperti anak, istri/suami, dan anggota keluarga lainnya. Dengan demikian, baik secara langsung maupun tidak langsung, responden yang telah menikah telah turut meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke TWA Laut Pulau Weh. Adapun responden yang belum menikah pada umumnya berkunjung dengan teman atau pasangan (pacar) masing-masing. 4.1.5.1.4. Tingkat Pendidikan Pendidikan sangat menentukan persepsi seseorang terhadap sesuatu. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan seseorang berbanding lurus terhadap pengetahuan yang dimiliki. Hal ini juga berlaku dalam penentuan lokasi wisata dan kegiatan wisata yang dilakukannya. Pengunjung TWA Laut Pulau Weh berdasarkan responden yang diambil sebagian besar berpendidikan sarjana, yaitu berjumlah 20 orang atau 66,7% dari jumlah responden. Sisanya lulusan diploma hanya sebanyak 4 orang atau 13,3% dan sekolah menengah atas sebanyak 6 orang (20%). Secara terperinci disajikan dalam Tabel 9.
59
Tabel 9. Tingkat Pendidikan Responden Tahun 2005 Jumlah
Tingkat Pendidikan
Orang 6 4 20 30
SMA Diploma Sarjana Jumlah
% 20,0 13,3 66,7 100,0
Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)
Dari Tabel 9, dapat diketahui bahwa wisatawan yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh berasal dari kalangan intelektual dan memiliki pengetahuan yang luas tentang keberadaan sumberdaya alam sebagai objek daya tarik wisata. Hal ini juga muncul dari wawancara yang dilakukan dengan responden bahwa pengunjung
menghendaki
agar
keasrian,
keaslian,
kealamiahan,
dan
keanekaragaman hayati yang ada di kawasan TWA Laut Pulau Weh tetap dijaga dan dilestarikan. 4.1.5.1.5. Jenis Peke rjaan dan Tingkat Pendapatan Jenis pekerjaan merupakan salah satu karakteristik sosial ekonomi yang menentukan tingkat pendapatan seseorang. Secara umum, jenis pekerjaan yang formal dan tetap menghasilkan tingkat pendapatan dalam jumlah tertentu yang stabil dan rutin diperoleh dalam jangka waktu tertentu (biasanya bulanan). Selanjutnya, tingkat pendapatan ini mempengaruhi pola pengeluaran dari seseorang untuk alokasi kepentingan yang telah dan atau akan direncanakan. Kegiatan wisata secara ekonomi juga memerlukan alokasi pengeluaran, sama dengan kepentingan alokasi untuk kegiatan-kegiatan lainnya, seperti makanan dan pakaian. Artinya, kegiatan wisata tidak secara serta merta dapat dilakukan dengan gratis, tetapi harus mengorbankan sejumlah uang untuk mendapatkan kepuasan yang diiginkan. Untuk responden dalam penelitian ini, jenis pekerjaannya didominasi oleh PNS dan TNI/Polri, yaitu sebanyak 13 orang atau 43,3% dari total responden. Selebihnya, mahasiswa sebanyak 5 orang (16,7%), dan wiraswasta serta jenis pekerjaan lain-lain masing-masing sebanyak 12 orang (40%). Jenis pekerjaan lain-lain merupakan pekerja LSM yang berkungjung ke TWA Laut Pulau Weh. Tabel 10 menyajikan jenis pekerjaan dari responden yang diambil.
60
Tabel 10. Jenis Pekerjaan Responden Tahun 2005 Jumlah
Jenis Pekerjaan
Orang 13 9 5 3 30
PNS dan TNI/Polri Wiraswasta Mahasiswa Lain-lain Jumlah
% 43,3 30,0 16,7 10,0 100.0
Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)
Dalam hal ini, jenis pekerjaan responden dapat menunjukkan tingkat kesibukan dan rutinitas sekaligus dapat digunakan sebagai tingkat kebutuhan responden untuk melakukan kegiatan wisata. Dengan demikian, informasi ini berguna dalam penyiapan konsep penawaran pariwisata yang didasarkan pada tingkat permintaan dari masyarakat. Selanjutnya, responden yang diambil juga dapat dilihat berdasarkan tingkat pendapatan yang diperoleh setiap bulannya. Informasi ini berguna untuk melihat pola penerimaan atau pendapatan dan pola pengeluaran individu yang kemudian dapat dihubungkan dengan tingkat kebutuhannya terhadap kegiatan wisata. Secara rinci, tingkat pendapatan responden disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11. Tingkat Pendapatan Responden Tahun 2005 Jumlah
Tingkat Pendapatan (Rp)
Orang 12 6 12 30
500.000,00 – 999.000,00 1.000.000,00 – 1.499.000,00 = 1.500.000,00 Jumlah
% 40 20 40 100
Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)
Data Tabel 11, menunjukkan bahwa 12 orang responden atau 40% diantaranya memiliki pendapatan di atas atau sama dengan Rp1.500.000,00 setiap bulannya. Jumlah dan persentase ini juga sama untuk responden yang berpendapatan Rp500.000,00 sampai dengan Rp999.000,00 per bulan. Sisanya, 20%
atau
enam
orang
responden
pendapatannya
Rp1.000.000,00 sampai dengan Rp1.499.000,00.
berkisar
antara
61
4.1.5.1.6. Daerah Asal Responden Seluruh responden dalam penelitian ini berasal dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang menurut Dinas Pariwisata Kota Sabang dikategorikan sebagai wisatawan domestik atau wisatawan nusantara, karena berasal dari daerah lain di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebenarnya, ada beberapa wisatawan mancanegara yang diwawancarai namun tidak dimasukkan sebagai responden, karena kunjungannya ke TWA Laut Pulau Weh bukan merupakan perjalanan tunggal. Artinya, TWA Sabang merupakan lokasi wisata yang terakhir dikunjungi setelah mengunjungi beberapa lokasi wisata lain di Indonesia, seperti Bali, dan Danau Toba di Sumatera Utara. Di samping itu, juga terdapat beberapa wisatawan asing yang dimasukkan sebagai responden dan asal daerahnya ditetapkan bukan dari negara asalnya, tetapi pada tempat domisilinya sekarang. Kelompok responden ini merupakan pekerja LSM dari luar negeri yang sekarang berdomisili sementara di Banda Aceh karena faktor pekerjaan dan tugas. Secara rinci, daerah asal responden dalam penelitian ini disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12. Jumlah Responden Berdasarkan Daerah Asal Tahun 2005 Daerah Asal Banda Aceh Sigli Bireuen Lhokseumawe Langsa Kota Sabang Jumlah
Jumlah Orang 16 5 1 3 4 1 30
% 53,3 16,7 3,3 10,0 13,3 3,3 100,0
Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)
Sebagaimana diketahui, pasca terjadinya bencana alam gempa bumi dan tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam banyak lembaga donor dan LSM internasional yang menyalurkan bantuan kemanusiaannya di Aceh dan untuk sementara menetap di Banda Aceh. Pada hari-hari libur dan akhir pekan, wisatawan ini berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh untuk tujuan rekreasi dan berlibur. Berdasarkan data dalam Tabel 12, terlihat bahwa sebagian besar responden berasal dari Banda Aceh, yaitu sebanyak 16 orang atau 53,3% dari total jumlah responden. Hal ini berarti bahwa secara umum, penduduk Banda
62
Aceh pada setiap akhir pekan atau hari libur banyak yang berkunjung ke Kota Sabang dengan pertimbangan jarak yang dekat, sehingga tidak menghabiskan waktu perjalanan yang relatif banyak untuk menuju ke lokasi wisata. Perhatian terhadap daerah asal responden dalam penelitian ini sangat penting, karena terkait dengan biaya perjalanan yang dikeluarkan untuk mencapai lokasi wisata dan biaya dari yang dihabiskan dalam perjalanan. Logikanya, semakin dekat daerah asal domisili responden dengan lokasi wisata yang dituju, maka semakin sedikit biaya yang dibutuhkan dan semakin sedikit waktu yang dihabiskan dalam perjalanannya. Hal tersebut tidak sepenuhnya benar, karena biaya dan waktu yang dihabiskan juga tergantung dari alat trasportasi yang digunakan ke lokasi. Hal ini disebabkan terdapat pilihan-pilihan alat transportasi dari Banda Aceh ke Sabang dan dari Sabang ke TWA Laut Pulau Weh. 4.1.5.1.7. Alat Trasportasi ke Lokasi Alat transportasi yang tersedia untuk mencapai lokasi TWA Laut Pulau Weh Kota Sabang tergantung dari daerah asal domisili. Dari daerah lain (kecuali Kota Banda Aceh), perjalanan ke lokasi TWA Laut Pulau Weh terlebih dahulu harus melalui Banda Aceh karena tidak ada jalur transportasi langsung dari daerahdaerah tersebut ke Kota Sabang. Dengan menggunakan transportasi umum, Kota Banda Aceh dapat dicapai dengan menggunakan bus atau angkutan antarkota lainnya. Selanjutnya, dari Kota Banda Aceh menuju Kota Sabang terdapat tiga pilihan alat transportasi, yaitu pesawat udara, kapal cepat, dan kapal biasa. Untuk sampai ke lokasi TWA Laut Pulau Weh, dari pelabuhan atau bandara di Kota Sabang, masih harus melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum (taksi) atau kendaraan pribadi selama sekitar 45 menit. Hal ini karena letak TWA Laut Pulau Weh berada di ujung barat sebelah utara dari pusat Kota Sabang. Data yang diperoleh pada saat penelitian menunjukkan bahwa rata-rata wisatawan yang berkunjung ke Kota Sabang menggunakan kapal cepat dan kapal biasa serta untuk transportasi darat menggunakan kendaraan sewa. Rincian secara lengkap alat transportasi yang digunakan responden disajikan dalam Tabel 13.
63
Tabel 13. Alat Trasportasi yang Digunakan Responden dari Banda Aceh ke Kota Sabang dan dari Kota Sabang ke Lokasi TWA Laut Pulau Weh Tahun 2005 Alat Trasportasi yang Digunakan
Banda Aceh ke Sabang Jumlah (orang)
%
2 20 7
6,9 69,0 24,1
Pesawat Kapal Cepat Kapal Biasa Angkutan Umum Kendaraan Pribadi Kendaraan Sewa Jumlah
29
100,0
Sabang ke Lokasi Jumlah (orang)
%
3 9 18 30
10,0 30,0 60,0 100,0
Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)
Berdasarkan data dalam Tabel 13, terlihat bahwa 20 orang responden atau 69% menggunakan kapal cepat untuk perjalanan dari Banda Aceh ke Kota Sabang.
Hal ini disebabkan faktor kenyamanan yang lebih baik dan waktu
tempuh yang lebih singkat bila dibandingkan dengan menggunakan kapal biasa. Responden yang memilih menggunakan kapal biasa dari Banda Aceh ke Kota Sabang adalah dengan pertimbangan dapat membawa serta kendaraan pribadinya, sedangkan kapal cepat tidak dibolehkan membawa kendaraan apapun. Dengan demikian, sesampainya di Kota Sabang tidak perlu lagi menyewa kendaraan untuk melanjutkan perjalanan ke TWA Laut Pulau Weh. Untuk responden yang menggunakan pesawat udara, hanya dua orang saja karena selain biayanya yang mahal juga karena jadwal penerbangannya yang terbatas hanya dua kali dalam seminggu, yaitu pada Selasa dan Kamis. Jumlah responden menurut alat transportasi yang digunakan dari Banda Aceh ke Kota Sabang yang seharusnya berjumlah 30 orang, tetapi karena terdapat satu responden yang berasal dari Kota Sabang, maka jumlahnya berkurang menjadi 29 responden. Selanjutnya, untuk penggunaan jenis alat transportasi dari Kota Sabang ke lokasi TWA Laut Pulau Weh, 18 orang atau 60% dari responden memanfaatkan kendaraan sewa yang banyak tersedia di
pelabuhan Kota Sabang. Jumlah
responden yang menggunakan kendaraan pribadi sebanyak 9 orang atau 30% dan angkutan umum hanya 3 orang (10%). Sedikitnya jumlah responden yang menggunakan kendaraan umum disebabkan terbatasnya jumlah dan frekuensi
64
trayek transportasi umum (seperti angkutan kota) dari Kota Sabang ke lokasi TWA Laut Pulau Weh. 4.1.5.2. Persepsi Responden terhadap TWA Laut Pulau Weh 4.1.5.2.1. Kelebihan dan Keunggulan TWA Laut Pulau Weh Beberapa keuggulan yang dimiliki TWA Laut Pulau Weh berdasarkan penilaian responden yang diwawancarai adalah sebagai berikut : 1). Keindahan alam berupa hamparan laut lepas. Dari kawasan Pantai Gapang di TWA Laut Pulau Weh, terlihat Kota Sabang dengan dihiasi pemandangan laut dengan latar (background) bangunan-bangunan dan perumahan. Keindahan tersebut semakin lengkap terlihat pada malam hari dimana kehidupan malam Kota Sabang penuh dengan kilauan lampu seperti hiasan lampu warna-warni. 2). Kesejukan hutan alam tropis (Hutan Iboih) yang masih perawan dan kehidupan
salah
satu
satwanya,
yaitu
monyet
atau
kera
yang
senantiasa ”menyambut” pengunjung sebelum memasuki kawasan TWA Laut Pulau Weh. 3). Keanekaragaman hayati berupa ikan ikan dan biota laut lainnya. 4). Pemandangan alam bawah laut berupa terumbu karang. Keindahan dan pesona bawah laut TWA Laut Pulau Weh dapat dinikmati pengunjung dengan menggunakan perahu sewaan yang dilengkapi dengan kaca tembus pandang di bagian tengah lantai perahu.
Dengan menggunakan perahu jenis ini,
wisatawan yang ingin melihat tidak harus menyelam ke bawah permukaan 5). Hamparan pantai pasir putih sepanjang Pantai Gapang. 6). Di salah satu pulau yang termasuk dalam kawasan TWA Laut Pulau Weh yaitu Pulau Rubiah, terdapat peninggalan sejarah berupa pondasi bangunan karantina haji. Konon pada zaman dahulu, jamaah haji dari Indonesia yang akan berangkat ke Mekkah terlebih dahulu dikarantina di pulau ini. 7). Terdapat bangunan yang memiliki nilai sejarah atau budaya, yaitu Tugu Nol Kilometer sebagai dasar atau titik awal penghitungan jarak wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari wilayah barat. 8). TWA Laut Pulau Weh yang terletak di Kota Sabang relatif lebih aman dan kondusif dibandingkan dengan daerah lain di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada masa konflik, sehingga Kota Sabang menjadi daerah tujuan wisata utama.
65
9). Sebanyak 15 orang atau 50% dari total responden berpendapat bahwa TWA Laut Pulau Weh relatif lebih murah biayanya dibandingkan dengan kenikmatan dan kepuasan yang diperoleh. 4.1.5.2.2. Kekurangan dan Kelemahan TWA Laut Pulau Weh Selain beragam kelebihan dan keunggulan yang dimiliki, TWA Laut Pulau Weh terdapat kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki pada masa mendatang, yaitu : 1). Pengelolaannya yang belum dilakukan secara profesional. Kondisi ini menjadi perhatian lebih dari 20 orang atau 67% dari total responden yang diwawancarai. 2). Bagi sekitar 10% responden, berpendapat bahwa untuk melakukan kegiatan wisata di TWA Laut Pulau Weh termasuk mahal, karena faktor sarana transportasi dan jarak tempuh dari lokasi domisili responden. 3). Lokasi TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang relatif sulit diakses bagi wisatawan. Pendapat ini dikemukakan oleh 12 responden atau 40% dari total responden. Hal ini karena ketersediaan sarana transportasi (angkutan umum) ke lokasi yang tidak memadai, terutama untuk frekuensinya. 4). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Saifullah (2005), dinyatakan bahwa salah satu kelemahan dalam pengembangan pariwisata di Kota Sabang (termasuk TWA laut Pulau Weh) adalah fasilitas (saran dan prasarana) pendukung kegiatan pariwisata yang tidak memadai dan pengelolaan kawasan wisata di Kota Sabang masih kurang memuaskan. 5). Sarana pendukung kegiatan pariwisata yang tidak memadai antara lain meliputi sarana trasportasi, penginapan, dan fasilitas kesehatan (puskesmas dan rumah sakit). 4.1.5.2.3. Peluang dan Tantangan Pengembangan TWA Laut Pulau Weh Beberapa peluang sekaligus sebagai tantangan dalam pengembangan TWA Laut Pulau yang berhasil diidentifikasi adalah sebagai berikut : 1). Sebagai bagian yang tak terpisahkan dan termasuk dalam rencana induk pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang serta Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Bandar Aceh Darussalam sebagai titik tujuan wisata utama di Kota Sabang. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian pendahuluan, Badan Pengelola Kawasan Sabang dan Badan Pengelola KAPET Bandar Aceh Darussalam
66
bersama-sama dengan Pemerintah Kota Sabang telah menetapkan empat sektor ekonomi unggulan yang akan dikembangkan untuk menggerakan perekonomian Kota Sabang, yaitu sektor perikanan, jasa dan transportasi, industri, dan parawisata. 2). Seluruh kawasan TWA Laut Pulau Weh dan daerah penyangganya, yaitu Hutan Wisata Iboih merupakan situs pelestarian sumberdaya alam sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 928/Kpts/Um/12/1982 tanggal 27 Desember 1982 tentang Penetapan Kawasan Perairan Pulau Rubiah dan Pulau Seulako sebagai Taman Wisata Alam Laut Pulau Weh. Dengan status tersebut, setidaknya menjadi
semacam
jaminan
bagi
pelestarian
dan
pemeliharaan
keanekaragaman sumberdaya alam yang ada di TWA Pulau Weh, sehingga daya tariknya tetap terjada untuk jangka waktu yang lama. 3). TWA Laut Pulau Weh telah dikenal secara luas di seluruh dunia sebagai salah satu kawasan yang memiliki keindahan alam bawah laut dengan keanekaragaman hayatinya yang tinggi. Promosi lokasi wisata ini termasuk gencar dilakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Banyak turis mancanegara yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh mendapatkan informasi kawasan ini dari internet atau teman dan keluarganya yang sudah terlebih dahulu berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh. Promosi tidak langsung lainnya dilakukan melalui informasi dari mulut ke mulut kepada temantemannya oleh salah seorang turis mancanegara yang dalam kurun waktu lima tahun terakhir telah menetap di Pantai Gapang dengan membuka usaha pelatihan dan penyewaan alat selam di sana. 4.1.5.2.4. Ancaman terhadap Keberadaan T WA Laut Pulau Weh Beberapa faktor yang dapat berpotensi menjadi ancaman terhadap pengembangan dan keberadaan TWA Laut Pulau Weh pada saat ini dan masa mendatang adalah sebagai berikut : 1). Terjadinya praktik penangkapan ikan dan biota laut lainnya yang ada dalam kawasan TWA Laut Pulau Weh secara diam-diam telah berlangsung dalam waktu yang lama. Kegiatan ilegal tersebut dilakukan oleh masyarakat di luar kawasan TWA Laut Pulau Weh.
Pada umumnya, para pelaku praktik
terlarang ini memburu jenis-jenis ikan hias dan ikan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis penting. Biasanya, praktik penangkapan dilakukan melalui penggunaan bahan peledak, racun sianida, dan alat tangkap yang sifatnya
67
merusak lainnya.
Kenyataan ini secara langsung berdampak pada
hancurnya keseimbangan ekosistem perairan TWA Laut Pulau Weh dan mengancam kelestariannya pada masa mendatang, sehingga daya tarik wisata lokasi ini yang mengandalkan keindahan alam bawah laut lambat laut akan hilang dengan sendirinya. 2). Kondisi keamanan dan eskalasi konflik bersenjata di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang relatif belum stabil berpotensi terjadinya penurunan jumlah wisatawan domestik atau nusantara yang berkunjung ke TWA Alam Laut Pulau Weh. Mulai 15 Agustus 2005, upaya penyelesaian konflik di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah memasuki babak baru dimana telah ditandatanganinya perjanjian damai antara RI dan GAM sebagai komitmen bersama untuk menghentikan permusuhan dan menciptakan keamaan yang lebih kondusif. Kondisi ini relatif masih mengambang karena dalam kurun waktu enam tahun terakhir, telah dilakukan berbagai upaya penyelesaian konflik, namun tetap terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan. Oleh karena itu, kondisi politik dan keamanan yang belum kondusif di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dapat menjadi ancaman tersendiri dalam upaya pengembangan TWA Laut Pulau Weh melalui peningkatan jumlah kunjungan wisatawan. 3). Regulasi pemerintah tentang kunjungan warga negara asing (wisatawan mancanegara) ke Aceh seiring pemberlakuan status darurat sipil/militer akibat gejolak keamanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah ancaman yang mungkin akan ada lagi di masa mendatang. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2004 Pemerintah Republik Indonesia c.q. Penguasa Darurat
Sipil
Daerah
Provinsi
Nanggroe
Aceh
Darussalam
yang
mengeluarkan maklumat tentang Pengaturan Kegiatan Warga Negara Asing (termasuk wisatawan mancanegara) berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1959 jo. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pernyataan Perubahan Status Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer menjadi Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Sipil di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 4). Partisipasi dan keterlibatan masyarakat setempat (local community) merupakan parasyarat mutlak dalam pengembangan kawasan TWA Laut Pulau Weh. Daya tarik wisata yang tinggi menimbulkan multiplier effect ekonomi di sekitar TWA Laut Pulau Weh yang secara terbuka telah melahirkan peluang investasi baru. Kondisi tersebut harus disikapi dengan
68
kebijakan Pemerintah Daerah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan pengelolaan kawasan ini. Keberadaan antara investor dari luar atau asing yang
ingin
berinvestasi
harus
diseimbangkan
dengan
keterlibatan
masyarakat setempat yang selama ini telah menikmati manfaat ekonomi dari adanya geliat perekonomian di TWA Laut Pulau Weh.
Apabila hal ini
diabaikan, secara lambat laun akan menimbulkan dampak sosial ekonomi di kawasan tersebut yang pada akhirnya dapat menyebabkan konflik sosial antara investor (pendatang) dengan masyarakat setempat. 5). Bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 merupakan salah satu ancaman keberlangsungan TWA Laut Pulau Weh.
Pada saat bencana tsunami tersebut berlangsung, secara umum
kerusakan TWA Laut Pulau Weh tidak terlalu signifikan. Meskipun demikian, fenomena alam tersebut tetap menjadi ancaman dalam jangka panjang, karena sampai saat ini belum diketahui berapa lama siklus tsunami tersebut terjadi di kawasan barat Pulau Sumatera. 4.2. Pembahasan 4.2.1. Jumlah Kunjungan Jumlah kunjungan pengunjung atau wisatawan ke suatu lokasi wisata mencerminkan tingkat kesukaannya terhadap objek wisata yang dikunjungi. Selain faktor tingkat kesukaan, juga menggambarkan tingkat kepuasan yang diperoleh atas kunjungan yang dilakukan sebelumnya. Artinya, semakin banyak frekuensi wisatawan berkunjung ke lokasi wisata, maka kondisi tersebut dapat menggambarkan kesukaan dan kepuasannya terhadap lokasi wisata tersebut. Jumlah kunjungan wisatawa ke lokasi wisata dipengaruhi banyak faktor, antara lain biaya yang dikeluarkan, tingkat pendapatan wisatawan, daya tarik objek wisata, kemudahan akses dari domisili wisatawan, dan faktor keamanan serta kenyamanan. Tabel 14 memperlihatkan frekuensi kunjungan responden. Tabel 14. Frekuensi Kunjungan ke TWA Laut Pulau Weh Tahun 2005 Frekuensi Kunjungan (kali) Kunjungan Pertama 2 3 =4 Jumlah Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)
Jumlah Orang 9 9 5 7 30
% 30,0 30,0 16,7 23,3 100,0
69
Data Tabel 14 menunjukkan bahwa responden yang baru pertama kali berkunjung TWA Pulau Weh adalah 9 orang (30%) dari total respondeh, sama dengan jumlah responden yang sudah berkunjung sebanyak dua kali. Selanjutnya, sebagian besar atau sebesar 40% dari keseluruhan jumlah responden menyatakan telah berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh lebih dari tiga kali, dengan rincian yaitu 5 orang telah berkunjung 3 kali dan 7 orang telah berkunjung sebanyak lebih dari atau sama dengan empat kali. Berdasarkan Tabel 13 juga dapat diketahui bahwa 70% responden telah berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh lebih dari satu kali. Frekuensi kunjungan responden di atas menunjukkan bahwa sebagian besar wisatawan yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh sudah mengetahui keberadaan lokasi wisata tersebut beserta daya tarik yang ada di dalamnya karena sudah pernah berkunjung ke sana sebelumnya. Hal ini sangat mendukung sebagai bahan rujukan atau preferensi dalam membuat atau menganalisis persepsi pengunjung bahwa TWA Laut Pulau Weh diminati oleh wisatawan karena daya tarik wisata yang dimilikinya. Selain itu, responden secara tidak langsung juga dapat menjadi sarana promosi gratis mengenai daya tarik wisata di TWA Laut Pulau Weh bagi teman, keluarga, dan orang lain. 4.2.2. Biaya Perjalanan Komponen biaya perjalanan merupakan kumulatif biaya yang dikeluarkan wisatawan untuk sampai ke dan kembali dari TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang.
Biaya perjalanan tersebut terdiri atas biaya transportasi (pergi dan
pulang), biaya akomodasi (penginapan) selama berada di lokasi, biaya konsumsi, tiket masuk, dan biaya lain-lain. Biaya lain-lain terdiri atas biaya tambahan seperti untuk sewa alat selam atau snorkling (Tabel 15). Komponen biaya transportasi dipengaruhi oleh jarak domisili responden dengan lokasi wisata dan sarana transportasi yang digunakan. Total biaya akomodasi dan konsumsi wisatawan diperoleh melalui perkalian jumlah hari (lama) kunjungan dengan biaya yang dikeluarkan untuk dua kebutuhan tersebut. Besar kecilnya komponen kedua biaya ini dipengaruhi oleh jenis kamar dan atau kelas penginapan yang digunakan oleh responden untuk menginap. Di kawasan TWA Laut Pulau Weh, terdapat beragam jenis dan kelas penginapan, yaitu bungalow, hotel bintang tiga. Untuk harga sewa bungalow per malam, berkisar antara Rp20.000,00 sampai dengan Rp50.000,00. Adapun untuk harga sewa
70
kamar hotel sekelas bintang tiga, berkisar antara Rp150.000,00 sampai dengan Rp250.000,00 per malamnya. Tabel 15. Total Biaya Perjalanan Wisatawan TWA Laut Pulau Weh Berdasarkan Daerah Asal Tahun 2005 N 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Biaya ke dan di Lokasi (Rp) Lama Trasportasi Tiket Konsumsi Akomodasi Lain-lain Kunjungan (PP) Masuk Banda Aceh 2 100. 000,00 100. 000,00 200. 000,00 1.000,00 20.000,00 1 Banda Aceh 200.000,00 40.000,00 250. 000,00 1.000,00 30.000,00 2 Lhokseumawe 150. 000,00 80.000,00 100. 000,00 1.000,00 50.000,00 3 Banda Aceh 200. 000,00 150. 000,00 300. 000,00 1.000,00 20.000,00 2 Banda Aceh 100. 000,00 80.000,00 160. 000,00 1.000,00 100. 000,00 1 Langsa 200. 000,00 50.000,00 - 1.000,00 50.000,00 1 Langsa 160. 000,00 150. 000,00 50.000,00 1.000,00 30.000,00 2 Banda Aceh 150. 000,00 200. 000,00 200. 000,00 1.000,00 20.000,00 2 Langsa 200. 000,00 100. 000,00 100. 000,00 1.000,00 35.000,00 2 Langsa 200. 000,00 100. 000,00 100. 000,00 1.000,00 1 Banda Aceh 200. 000,00 50.000,00 40.000,00 1.000,00 35.000,00 2 Banda Aceh 200. 000,00 200. 000,00 250. 000,00 1.000,00 100. 000,00 3 Banda Aceh 100. 000,00 300. 000,00 240.000,00 1.000,00 50.000,00 2 Banda Aceh 250. 000,00 200. 000,00 250. 000,00 1.000,00 100. 000,00 1 Lhokseumawe 160. 000,00 50.000,00 60.000,00 1.000,00 50.000,00 1 Sigli 90.000,00 50.000,00 40.000,00 1.000,00 50.000,00 1 Banda Aceh 60.000,00 30.000,00 65.000,00 1.000,00 30.000,00 2 Sigli 150.000,00 100. 000,00 100. 000,00 1.000,00 50.000,00 1 Banda Aceh 100. 000,00 30.000,00 40.000,00 1.000,00 30.000,00 1 Sabang 10.000,00 20.000,00 - 1.000,00 30.000,00 1 Banda Aceh 70.000,00 30.000,00 40.000,00 1.000,00 50.000,00 2 Sigli 100. 000,00 50.000,00 - 1.000,00 2 Sigli 100. 000,00 100. 000,00 - 1.000,00 100. 000,00 1 Bireun 130. 000,00 20.000,00 80.000,00 1.000,00 50.000,00 1 Banda Aceh 90.000,00 35.000,00 - 1.000,00 25.000,00 1 Banda Aceh 250. 000,00 50.000,00 125. 000,00 1.000,00 150. 000,00 1 Banda Aceh 250. 000,00 50.000,00 125. 000,00 1.000,00 100. 000,00 1 Sigli 150. 000,00 40.000,00 80.000,00 1.000,00 50.000,00 2 Banda Aceh 200. 000,00 100. 000,00 240. 000,00 - 100. 000,00 1 Lhokseumawe 200. 000,00 100. 000,00 65.000,00 1.000,00 46 Jumlah 4.520.000,00 2.655.000,00 3.300.000,00 29.000,00 1.505.000,00 1.53 Rata-rata 150. 667,00 88.500,00 110. 000,00 967,00 50.166,00 Asal Daerah
Persentase
37,64
22,11
27,48
0,24
12,53
Total (Rp) 421. 000,00 21.000,00 381. 000,00 671. 000,00 441. 000,00 301. 000,00 391. 000,00 571. 000,00 436. 000,00 401. 000,00 326. 000,00 751. 000,00 691. 000,00 801. 000,00 321. 000,00 231. 000,00 186. 000,00 401. 000,00 201. 000,00 61.000,00 191. 000,00 151. 000,00 301. 000,00 281. 000,00 151. 000,00 576. 000,00 526. 000,00 321. 000,00 640. 000,00 366. 000,00 12,009,000,00 400. 300,00 100,00
Sumber : Data Primer, 2005 (Diolah)
Berdasarkan data Tabel 15, terlihat bahwa secara rata-rata, komponen biaya transportasi merupakan alokasi biaya tertinggi yang harus dikeluarkan wisatawan untuk berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh, yaitu sebesar
71
Rp150.667,00 atau sekitar 37,64% dari biaya perjalanan total. Selanjutnya, biaya akomodasi, konsumsi, lain-lain, dan tiket masuk masing-masing secara rata-rata sebesar Rp110.000,00 (27,48%), Rp88.500,00 (22,11), Rp50.166,00 (12,53%), dan Rp967,00 (0,24%). 4.2.3. Fungsi Permintaan Wisatawan TWA Laut Pulau Weh Sebagaimana diuraikan sebelumnya dalam Bab II, terdapat dua teknik yang dapat digunakan dalam TCM, yaitu pendekatan zonasi dan pendekatan individual. Dalam penelitian ini, kedua teknik tersebut (pendekatan individual dan zonasi) digunakan untuk menentukan fungsi permintaan pengunjung TWA Laut Pulau Weh. Hal ini untuk memperoleh gambaran yang berbeda sekaligus untuk mendapatkan akurasi penilaian sehingga dapat mendekati kenyataan yang sesungguhnya. Hal ini didasarkan pada tingkat akurasi kedua pendekatan tersebut yang berbeda. Menurut Fauzi (2004), teknik TCM dengan pendekatan individu lebih akurat hasilnya dibandingkan dengan pendekatan zonasi. Fauzi (2004) mengatakan bahwa jumlah kunjungan terhadap suatu lokasi wisata dipengaruhi oleh beragam faktor, antara lain biaya perjalanan yang dikeluarkan, biaya waktu dari perjalanan tersebut, persepsi responden terhadap kualitas lingkungan di lokasi wisata, karakteristik substitusi yang mungkin ada, dan pendapatan dari individu. Berdasarkan data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini, hanya terdapat satu faktor yang mempengaruhi jumlah kunjungan wisatawan ke TWA Laut Pulau Weh, yaitu biaya perjalanan pendapatan wisatawan (responden), sehingga fungsi permintaan (dalam bentuk fungsi logaritma) dapat dirumuskan sebagai berikut :
ln Q = α 0 + α 1 ln c ......................................(12) atau
Q = α 0 c α1 …................................................(13) dimana : Q = jumlah kunjungan responden ke TWA Laut Pulau Weh (kali) c = biaya yang dikeluarkan responden untuk berkunjung ke dan selama berada di TWA Laut Pulau Weh (Rupiah) a 0, dan a 1 adalah parameter dugaan untuk masing-masing variabel peubah
72
Untuk faktor lainnya, seperti pendapatan tidak dapat digunakan sebagai variabel peubah, karena responden tidak memberikan informasi yang akurat tentang jumlah pendapatannya setiap bulan. Adapun data mengenai persepsi responden terhadap kualitas lingkungan di lokasi wisata, keseluruhan responden memberikan jawaban yang sama atau seragam, yaitu kualitas lingkungan di TWA Laut Pulau Weh masih sangat baik dan terjaga. Begitu juga dengan faktor adanya karakteritisk substitusi (lokasi wisata) yang mungkin ada di tempat lain. Responden menyatakan bahwa TWA Laut Pulau Weh merupakan satu-satunya daerah tujuan wisata alam yang masih layak untuk dikunjungi seiring hilangnya kawasan wisata alam lainnya di Aceh (seperti Pantai Lhok Nga dan Lampu’uk di Banda Aceh) pascabencana alam gempa bumi dan tsunami. Adapun faktor lama kunjungan per sekali kunjung tidak dimasukkan ke dalam variabel peubah karena telah include dalam perhitungan biaya perjalanan. Artinya, data biaya perjalanan yang digunakan untuk menentukan fungsi permintaan dipengaruhi oleh lama kunjungan per sekali kunjungan. Semakin lama seorang wisatawan berada di lokasi wisata, maka komponen biaya juga akan semakin meningkat. Selanjutnya, untuk biaya waktu yang dikeluarkan oleh individu untuk mengunjungi lokasi tidak dapat dihitung karena seluruh responden tidak memberikan data yang cukup untuk relevan untuk digunakan sebagai dasar perhitungan biaya waktu yang dikeluarkan. Misalnya, waktu kerja dan waktu luang per bulannya tidak dapat diperoleh dari responden. Persamaan (12) dan (13) merupakan model ad hoc yang dikembangkan, khusus untuk melihat fungsi permintaan wisatawan terhadap TWA Laut Pulau Weh. Fungsi permintaan ini telah sesuai dengan rumusan fungsi permintaan sebagaimana dikemukakan Fauzi (2004). Berikut ini akan disajikan analisis fungsi permintaan pengunjung TWA Laut Pulau Weh berdasarkan dua teknik yang berbeda, yaitu pendekatan individual dan zonasi. 4.2.3.1. Pendekatan Individual Berdasarkan persamaan (12) dan (13) serta data jumlah kunjungan dan biaya yang dikeluarkan, maka dengan menggunakan teknik ekonometrik 4, fungsi permintaan pengunjung ke TWA Laut Pulau Weh adalah sebagai berikut :
ln Q = 3,914 − 0, 248 ln c ...................................(14) 4
Menggunakan software SPSS 11.0 for Windows
73
atau
Q=
50,09 …....................................................(15) c 0, 248
atau
c = 0. 248
50,09 ..................................................(16) Q
Berdasarkan persamaan (14) dan (15), maka besaran dari masing-masing parameter dugaan adalah a 0= 50,09 dan a 1= -0,248. a 0 adalah konstanta dan a 1 merupakan elastisitas permintaan dari biaya perjalanan. Elastisitas permintaan dari biaya perjalanan sebesar -0,248 dapat diartikan bahwa jika terjadi perubahan biaya perjalanan sebesar 1%, maka tingkat kunjungan wisatawan akan berubah sebesar 0,248%. Tanda negatif dari nilai elastisitas tersebut menunjukkan hubungan terbalik antara biaya perjalanan dengan jumlah kunjungan wisatawan ke TWA Laut Pulau Weh. Artinya, jika terjadi kenaikan biaya perjalanan, maka akan menyebabkan turunnya jumlah kunjungan wisatawan atau sebaliknya. Keeratan hubungan antara biaya perjalanan dengan jumlah kunjungan dapat dilihat dari koefisien korelasinya.
Hasil analisis regresi diperoleh nilai
koefisien korelasi sebesar 0,237. Nilai ini menunjukkan bahwa hubungan antara jumlah kunjungan dengan biaya perjalanan secara relatif tidak erat, yaitu hanya sebesar 23,7%. Meskipun tidak menunjukkan hubungan yang erat bukan berarti tidak memiliki hubungan diantara kedua variabel tersebut. Berdasarkan nilai koefisien determinasinya yaitu hanya sebesar 0,056 atau 5,6%, maka model (fungsi permintaan) yang dibangun tidak mampu menjelaskan pengaruh faktor biaya perjalanan. Hal ini karena 94,4% dijelaskan atau dipengaruhi oleh faktor lainnya, misalnya ketersediaan sarana dan prasarana, jasa layanan, objek daya tarik wisata, dan aksesibilitas. Untuk mengetahui sejauhmana ketepatan atau signifikansi model dapat menjelaskan hubungan nyata antara jumlah kunjungan dan faktor yang mempengaruhinya, maka model regresi di atas diuji dengan menggunakan uji F. Berdasarkan hasil regresi, diperoleh nilai Fhitung sebesar 1,663 dengan tingkat signifikansinya sebesar 0,208 atau signifikan pada selang kepercayaan 79,2%. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun signifikan atau model mampu menjelaskan hubungan nyata antara jumlah
74
kunjungan dengan faktor yang mempengaruhinya (biaya perjalanan) dengan tingkat kepercayaan mencapai 79,2%. Hasil ini berada di atas batas toleransi maksimal mengenai selang kepercayaan dari model yang dibangun untuk penelitian-penelitian sosial pada umumnya, yaitu sebesar 75%. Rincian hasil analisis regresi dengan menggunakan software SPSS 11.0 for Windows disajikan dalam Lampiran 5. 4.2.3.2. Pendekatan Zonasi Untuk mengatahui fungsi permintaan pengunjung TWA Laut Pulau Weh dengan pendekatan zonasi, terlebih dahulu ditetapkan zona-zona kunjungan berdasarkan daerah asal pengunjung atau wisatawan. Jumlah zona pengunjung terdiri atas enam zona, yaitu Kota Sabang, Banda Aceh, Sigli, Bireuen, Lhokseumawe, dan Langsa. Penetapan zona diperlukan untuk mengetahui jumlah kunjungan per seribu penduduk dari setiap zona dan rataan biaya perjalanan per zona (Tabel 16). Adapun contoh perhitungan jumlah kunjungan per seribu penduduk dari setiap zona disajikan dalam Lampiran 4. Tabel 16. Jumlah Kunjungan dan Biaya Rata-rata yang Dikeluarkan Pengunjung TWA Laut Pulau Weh Berdasarkan Zona Tahun 2005 Zona
Kota
Jumlah Kunjungan per 1.000 Penduduk (Kali)
I II III IV V VI
Kota Sabang Banda Aceh Sigli Bireuen Lhokseumawe Langsa
74 11 33 20 3 42
Biaya Rata-rata (Rp) 61.000,00 479.063,00 281.000,00 281.000,00 356.000,00 382.250,00
Sumber : Data Primer (Diolah), 2005
Setelah diperoleh data seluruh variabel untuk setiap zona, fungsi permintaan ditentukan dengan menggunakan fungsi logaritma, sehingga fungsi permintaan pengunjung dengan pendetakatan zonasi adalah sebagai berikut :
ln Q = 13,394 + 5,577 x10 −5 ln c ...............................(17) atau
Q = 656055c 0, 00005577…...........................................(18) atau
c = 0,00005577
Q ................................................(19) 656055
75
Berdasarkan persamaan (17) dan (18), maka besaran dari masing-masing parameter dugaan adalah a 0= 656055 dan a 1= 0,00005577. a 0 adalah konstanta dan a 1 merupakan elastisitas permintaan dari biaya perjalanan. Elastisitas permintaan dari biaya perjalanan sebesar 0,00005577 dapat diartikan bahwa jika terjadi perubahan biaya perjalanan sebesar 1%, maka tingkat kunjungan wisatawan akan berubah sebesar 0,00005577%. Tanda positif dari nilai elastisitas tersebut menunjukkan hubungan yang berbanding lurus antara biaya perjalanan dengan jumlah kunjungan wisatawan ke TWA Laut Pulau Weh. Artinya, jika terjadi kenaikan biaya perjalanan, maka akan menyebabkan naiknya jumlah kunjungan wisatawan atau sebaliknya. Berdasarkan nilai koefisien regresinya, keeratan hubungan antara jumlah kunjungan dengan biaya perjalanan adalah sebesar 0,307. Nilai tersebut menunjukkan hubungan yang kurang erat, yaitu hanya sebesar 30,7%. Adapun nilai koefisien determinasi dari model adalah sebesar 0,094, yang berarti bahwa model (fungsi permintaan) yang dibangun hanya mampu menjelaskan pengaruh faktor biaya perjalanan sebesar 9,4%. Hal ini karena hanya 90,6% sisanya dijelaskan atau dipengaruhi oleh faktor lainnya. Untuk mengetahui sejauhmana ketepatan atau signifikansi model dapat menjelaskan hubungan nyata antara jumlah kunjungan dan faktor yang mempengaruhinya, maka model regresi di atas diuji dengan menggunakan uji F. Berdasarkan hasil regresi, diperoleh nilai Fhitung sebesar 0,417 dengan tingkat signifikansinya sebesar 0,553 atau signifikan pada selang kepercayaan 44,7%. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun tidak signifikan atau model tidak mampu menjelaskan hubungan nyata antara jumlah kunjungan dengan faktor yang mempengaruhinya (biaya perjalanan) dengan tingkat kepercayaan hanya 44,7%. Hal ini karena batas toleransi minimum tingkat kepercayaan terhadap model yang dibangun untuk penelitian-penelitian sosial adalah sebesar 75%. Rincian hasil analisis regresi dengan menggunakan software SPSS 11.0 for Windows disajikan dalam Lampiran 6. 4.2.4. Ukuran Kebaikan Model Ukuran kebaikan dari model yang dibangun yaitu fungsi permintaan wisatawan TWA Laut Pulau Weh berguna dalam perhitungan besaran surplus konsumen untuk menentukan tingkat keinginan membayar.
Ukuran kebaikan
model diperlukan untuk memilih salah satu dari dua pendekatan yang digunakan,
76
yaitu pendekatan zonasi dan individual. Rincian lengkap mengenai ukuran kebaikan model disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17. Ukuran Kebaikan Model (Fungsi Permintaan Wisatawan TWA Laut Pulau Weh) Berdasarkan Pendekatan Individual dan Zonasi Parameter Fhitung
Pendekatan Zonasi
R R Square 0.307 0.094
Individual
0.237
0.056
0.417
Sig 0.553
1-Sig 0.447
1.663
0.208
0.792
Selang Kepercayaan (%) 44.7 79.2
Sumber : Data Primer (2005), Diolah
Berdasarkan parameter-parameter statistik yang digunakan sebagaimana tercantum dalam Tabel 17, ukuran kebaikan model mengacu kepada selang kepercayaan yang dihasilkan dari masing-masing fungsi permintaan (individual dan zonasi).
Adapun parameter lainnya seperti R dan R Square tidak
mencerminkan kebaikan dari model yang dibangun, tetapi hanya menjelaskan hubungan antarvariabel, sehingga tidak dipertimbangkan dalam penentuan model yang dipakai. Dengan asumsi tersebut, maka fungsi permintaan yang digunakan untuk menghitung besaran surplus konsumen dari wisatawan yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh adalah fungsi permintaan berdasarkan pendekatan individual. Hal ini karena pendekatan individual memiliki selang kepercayaan yang lebih tinggi (79,2%) daripada pendekatan zonasi (44,7%). permintaan) yang dibangun berdasarkan
Artinya, model (fungsi
pendekatan
individual
mampu
menjelaskan hubungan nyata antara jumlah kunjungan dengan biaya perjalanan dengan tingkat kepercayaan sampai pada 79,2%. Sedangkan model yang dibangun berdasarkan pendekatan zonasi hanya mampu menjelaskan hubungan antarvaribel hanya sebesar 44,7%. Berdasarkan hasil analisis statistik tersebut, maka fungsi permintaan wisatawan TWA Laut Pulau Weh yang digunakan dalam menghitung besaran surplus konsumen untuk menentukan tingkat keinginan membayarnya (WTP) adalah fungsi permintaan berdasarkan pendekatan individual. Di samping itu, dilihat dari nilai elastisitas permintaannya yang bertanda positif, menunjukkan bahwa model menyimpang dari teori ekonomi. Hal ini karena dalam teori ekonomi mikro, fungsi permintaan memiliki slope yang negatif, sehingga memiliki elastisitas permintaan yang negatif. Selain didasarkan pada hasil analisis di atas,
77
pemilihan penggunaan pendekatan individual dalam menghitung WTP juga mengacu pada pendapat Fauzi A (2004) tentang penggunaan dua teknik TCM. Menurut Fauzi A (2004), hasil yang diperoleh dengan menggunakan teknik TCM berdasarkan pendekatan individual lebih akurat daripada pendekatan zonasi. 4.2.5. Surplus Konsumen dan Tingkat Keinginan Membayar Menurut Fauzi A (2004), surplus konsumen atau Consumer Surplus (CS) merupakan proxy dari nilai keinginan membayar (WTP) terhadap lokasi rekreasi yang dikunjungi. Surplus konsumen diperoleh dari selisih lebih antara tingkat kepuasan yang diperoleh konsumen (dalam hal ini pengunjung atau wisatawan) dengan biaya atau harga yang harus dibayarkan atau dikeluarkan untuk memperoleh kepuasan tersebut. Tingkat kepuasan wisatawan yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh dapat digambarkan atau direpresentasikan sebagai frekuensi atau jumlah kunjungan wisatawan yang berkunjung ke lokasi wisata tersebut. Dengan demikian, berdasarkan asumsi di atas, maka semakin tinggi tingkat kunjungan wisatawan ke suatu lokasi wisata, berarti semakin puas wisatawan tersebut terhadap lokasi wisata yang dikunjungi tersebut, begitu juga sebaliknya. Selain itu, lama kunjungan per sekali kunjung juga dapat menjadi ukuran kepuasan wisatawan terhadap suatu lokasi wisata yang dikunjungi. Semakin lama seorang wisatawan berada di lokasi wisata, maka menandakan bahwa wisatawan tersebut puas dan sangat menikmati daya tarik yang ada di lokasi tersebut. Dalam menghitung surplus konsumen dari wisatawan TWA Laut Pulau Weh, ukuran tingkat kepuasan yang digunakan dalam penelitian ini adalah frekuensi wisatawan yang berkunjung atau jumlah kunjungan. Untuk melakukan kunjungan wisata atau melakukan kegiatan wisata tersebut, dibutuhkan biaya dalam jumlah tertentu. Biaya yang harus dibayarkan atau dikeluarkan adalah total biaya perjalanan wisatawan per sekali kunjung ke TWA Laut Pulau Weh. Dengan demikian, dalam menghitung surplus konsumen hanya melibatkan variabel biaya perjalanan. Berdasarkan asumsi tersebut, maka secara matematis, surplus konsumen dari wisatawan yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh dapat diukur dengan menggunakan fungsi permintaan di bawah ini :
Q = α 0 c α1 ...................................................(20)
78
Selanjutnya, besaran CS atau WTP dapat ditentukan dengan menghitung luas wilayah di bawah kurva permintaan dan di atas garis harga. Untuk menghitungnya, menggunakan persamaan integral sebagai berikut : c1
∫ Q(c )dc ......................................................(21)
c0
dimana : c 1 = jumlah biaya tertinggi c 0 = jumlah biaya terendah Analisis regresi berdasarkan pendekatan individual telah menghasilkan fungsi permintaan sebagai berikut :
ln Q = 3,914 − 0, 248 ln c ................................(22) atau
Q=
50,09 ….................................................(23) c 0, 248
atau
c = 0. 248
50,09 ...............................................(24) Q
Secara grafik, persamaan (24) digambarkan sebagai berikut :
Gambar 9. Kurva Permintaan Pengujung (Pendekatan Individual)
79
Selanjutnya, untuk menghitung luasan di bawah kurva permintaan pada Gambar 9, dilakukan dengan mensubstitusikan persamaan (24) ke dalam persamaan (21), sehingga diperoleh persaman berikut : c1
50,09
∫( c
0 , 248
)dc .................................................(25)
c0
Untuk menentukan nilai dari c 0 (biaya terendah) dan c 1 (biaya tertinggi), digunakan data biaya perjalanan pengunjung. Berdasarkan data biaya perjalanan (Tabel 15), diketahui bahwa jumlah biaya terendah dan tertinggi yang dikeluarkan wisatawan untuk mengunjungi TWA Laut Pulau Weh masing-masing adalah Rp61.000,00 dan Rp801.000,00. Dengan demikian, maka nilai c 0=61000 dan c 1=801000. Selanjutnya, dengan mensubstitusikan masing-masing nilai dari c 0 dan c 1 ke persamaan (25), diperoleh persamaan : 801000
∫
61000
Perhitungan
(
50,09 ) dc ........................................(26) c 0 , 248
dengan
menggunakan
software
Maple
9,5
terhadap
persamaan (26), diperoleh besaran luas wilayah di bawah kurva permintaan (Gambar 9) sebesar 126053,21 (dalam satuan nilai tertentu).
Nilai tersebut
merupakan CS dari wisatawan yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh. Mengacu kepada konsep WTP yang dibangun, maka nilai WTP wisatawan adalah sebesar nilai CS, yaitu sebesar Rp126.053,21. Teknik perhitungan besaran CS dengan menggunakan software Maple 9,5 disajikan dalam Lampiran 7. 4.2.6. Nilai Ekonomi TWA Laut Pulau Weh Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa untuk memperoleh besaran tingkat keinginan membayar wisatawan (WTP) melalui kurva permintaan dilakukan melalui pendekatan individual. Oleh karena itu, nilai ekonomi yang dihitung pun mengacu kepada besaran WTP yang dihasilkan berdasarkan pendekatan individual tersebut. Nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh merupakan agregat atau penjumlahan WTP. Dengan demikian, nilai ekonomi TWA Pulau Weh berdasarkan pendekatan
80
individual diperoleh dengan mengalikan WTP dengan jumlah penduduk Kota Sabang pada tahun tersebut (2005).
Hal ini mencerminkan nilai atau harga
ekosistem TWA Laut Pulau Weh dari masyarakat setempat, sehingga untuk menghitung nilai ekonomi kawasan tersebut lebih tepat mengalikannya dengan jumlah penduduk Kota Sabang daripada kunjungan wisatawan pada tahun tersebut. Data mengenai jumlah penduduk Kota Sabang yang tersedia adalah tahun 2003, sehingga untuk menentukan jumlah penduduk pada tahun 2005 ditentukan dengan mengalikan jumlah penduduk Kota Sabang pada tahun terakhir (2003) dengan tingkat pertumbuhannya per tahun sebesar 0,65% (1985-2003). Dengan menggunakan jumlah penduduk tahun 2003 sebanyak 29.564 jiwa sebagai tahun dasar dan pertumbuhan penduduk per tahun sebesar 0,65%, maka jumlah penduduk Kota Sabang pada tahun 2005 diperkirakan berjumlah 29.950 jiwa. Selanjutnya, dengan mengalikan WTP yang diperoleh berdasarkan pendekatan individual sebesar Rp126.053,21 dengan jumlah penduduk Kota Sabang pada tahun 2005 sebanyak 29.950 jiwa, maka nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh berdasarkan pendekatan individual adalah sebesar Rp3.775.293.639,50. 4.2.7. Nilai Ekonomi TWA Laut Pulau Weh dan PDRB Sektor Pariwisata Nilai ekonomi yang dihasilkan di atas merupakan harga dari sumberdaya alam di TWA Laut Pulau Weh yang dianalisis berdasarkan biaya perjalanan wisatawan. Di samping itu, perlu dipahami bahwa nilai tersebut mungkin saja under dan over-estimate dari nilai yang sebenarnya. Hal ini karena menurut Fauzi dan Anna (2005), masih terdapat banyak kontroversi seputar perhitungan terhadap nilai ekonomi yang bersifat intangible (tidak langsung). Selain itu, juga dipengaruhi oleh ketetapan model yang dibangun, karena pada prinsipnya nilai tersebut diperoleh melalui proxy terhadap tingkat keinginan membayar (WTP). WTP itu sendiri diperoleh dengan menghitung luasan di bawah kurva permintaan yang di-plot dengan meregresikan jumlah kunjungan wisatawan dengan biaya yang dikeluarkan. Untuk mengetahui akurasi perhitungan nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh berdasarkan pendekatan kurva permintaan, hasil yang diperoleh tersebut dibandingkan dengan kontribusi sektor pariwisata dalam PDRB Kota Sabang. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa kontribusi ekonomi sektor pariwisata dalam PDRB Kota Sabang hanya berasal dari kegiatan wisata yang berlangsung di TWA Laut Pulau Weh, meskipun di Kota Sabang terdapat banyak lokasi wisata
81
lainnya.
Asumsi ini didasarkan pada kenyataan di lapangan bahwa daerah
tujuan utama wisatawan yang berkunjung ke Kota Sabang adalah lokasi TWA Laut Pulau Weh. Pada bagian pendahuluan tesis ini, telah disebutkan bahwa persentase kontribusi sektor pariwisata terhadap PDRB Kota Sabang menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 1993 pada 1999-2003 adalah sebesar 8,36% per tahun. Angka tersebut merupakan gabungan dari beberapa lapangan usaha/ sublapangan usaha dalam PDRB yang dianggap terkait langsung dengan kegiatan sektor pariwisata, yaitu Hiburan/Rekreasi/Kebudayaan, Restoran/ Rumah Makan, Hotel, Pengangkutan Jalan Raya/Darat, Pengangkutan Laut/ Sungai/Danau, dan Angkutan Udara. Pada tahun 2003, kontribusi sektor pariwisata dalam PDRB Kota Sabang menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan 1993 adalah sebesar 9,13%. Adapun jumlah PDRB keseluruhan sektor ekonomi di Kota Sabang pada tahun tersebut adalah sebesar Rp61.420.820.000,00. Dengan menggunakan data persentase kontribusi sektor pariwisata dan total PDRB pada tahun tersebut (2003)5, maka sektor pariwisata berkontribusi sebesar Rp5.607.720.866,00. Dengan asumsi bahwa kontribusi ekonomi sektor pariwisata dalam PDRB Kota Sabang hanya berasal dari kegiatan wisata yang berlangsung di TWA Laut Pulau Weh, maka dapat disimpulkan bahwa nilai ekonomi kawasan tersebut sebesar Rp5.607.720.866,00. Apabila hasil perhitungan sebelumnya yaitu berdasarkan pendekatan kurva permintaan dibandingkan dengan jumlah tersebut, diketahui bahwa nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh hanya 67,32% dari kontribusi sektor pariwisata dalam PDRB Kota Sabang. Perbedaan nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh tersebut diperkirakan terjadi karena terdapat over-estimate dalam menetapkan persentase dari sektor pariwisata terhadap PDRB Kota Sabang. Hal ini karena kontribusi dari sektor pariwisata terdiri atas banyak lapangan/sublapangan usaha, salah satunya adalah sublapangan usaha seperti pengangkutan (darat, laut, dan udara). Untuk sublapangan usaha ini, kemungkinannya adalah tidak semua nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan terkait langsung dengan kegiatan wisata, misalnya aktivitas sehari-hari penduduk di Kota Sabang yang juga menggunakan jasa angkutan.
Demikian juga untuk sublapangan usaha rumah makan dan
restoran, karena tidak semua usaha tersebut berlangsung di lokasi wisata TWA 5
Pada saat penelitian, data dua tahun terakhir (2004 dan 2005) belum tersedia
82
Laut Pulau Weh. Secara grafik, perbandingan tersebut disajikan dalam Gambar 10.
5,607,720,866.00
6,000,000,000.00 5,000,000,000.00 4,000,000,000.00
3,775,293,639.50
3,000,000,000.00 2,000,000,000.00 1,000,000,000.00 Kurva Permintaan
PDRB Sektor Pariwisata
Nilai Ekonomi TWA Laut Pulau Weh
Gambar 10. Perbandingan Hasil Perhitungan Nilai Ekonomi TWA Laut Pulau Weh dengan PDRB Sektor Pariwisata 4.2.8. Distribusi Nilai Ekonomi Terlepas dari akurasi dan perbedaan terhadap setiap hasil nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh yang dihasilkan di atas, apabila dikaji secara mendalam dengan mengacu kepada analisis input dan output, distribusi nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu sektor/subsektor ekonomi dan ekonomi regional. Dengan pendekatan sektor/subsektor ekonomi, nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh terdistribusi ke dalam banyak sektor/subsektor ekonomi, seperti jasa transportasi, hotel dan penginapan, rumah makan, industri rumah tangga, dan sektor informal lainnya. Hal ini disebabkan keseluruhan sektor/subsektor ekonomi tersebut terkait dengan kegiatan pariwisata yang dilakukan oleh wisatawan. Adapun dengan pendekatan ekonomi regional, nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh terdistribusi tidak hanya di Kota Sabang saja, tetapi juga di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Berdasarkan daerah asal atau domisili wisatawan, terdiri dari berbagai daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan wisata ke Kota Sabang juga terserap di wilayah lainnya yang dilewati oleh wisatawan. Misalnya, wisatawan yang berasal dari Kota Lhokseumawe, terlebih dahulu harus mengeluarkan
83
sejumlah biaya transportasi ke Banda Aceh sebelum melanjutkan perjalanannya ke Kota Sabang. Dengan demikian, sejumlah uang yang dikeluarkan untuk ongkos trasportasi tersebut diserap oleh pengusaha angkutan yang ada di Kota Lhokseumawe atau Banda Aceh. Dengan asumsi bahwa nilai yang diperoleh mendekati kenyataan, maka nilai tersebut sekaligus menunjukkan opportunity cost atau biaya korbanan yang harus ditanggung jika TWA Laut Pulau Weh mengalami kerusakan ekosistem, sehingga akan mengakibatkan hilangnya daya tarik wisata yang diikuti dengan berkurangnya minat wisatawan untuk berkunjung ke lokasi tersebut. Sebaliknya, nilai ekonomi juga akan bertambah seiring dengan semakin banyaknya kunjungan wisatawan ke TWA Laut Pulau Weh. Kondisi ini akan terjadi dengan prasyarat bahwa potensi daya tarik wisata yang ada tetap dipertahankan.
Daya tarik objek wisata yang ada di Pulau Weh merupakan
faktor pendorong utama wisatawan untuk berkunjung ke lokasi tersebut. Hal diungkapkan oleh seluruh responden mengenai pilihannya untuk berwisata ke lokasi tersebut, selain faktor lainnya seperti tidak adanya tempat wisata laut alternatif karena telah hancur akibat bencana alam tsunami. Prasyarat lainnya yang diperkirakan akan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke TWA Laut Pulau Weh adalah adanya perbaikan sarana dan prasarana transportasi. Berdasarkan analisis terhadap biaya total yang harus dikeluarkan wisatawan untuk berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh, biaya transportasi merupakan komponen biaya terbesar. Dengan demikian, pembenahan insfrastruktur pendukung khususnya terhadap sarana dan prasarana transportasi akan menurunkan biaya perjalanan wisatawan akibat berkurangnya komponen biaya transportasi. Penurunan total biaya perjalanan akan meningkatkan jumlah kunjungan ke TWA Laut Pulau Weh Kota Sabang, karena diasumsikan jumlah kunjungan wisatawan ke suatu lokasi wisata dipengaruhi oleh komponen biaya dan hubungan keduanya adalah berbanding terbalik. Dengan demikian, kiranya perlu dirumuskan kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh yang mengacu kepada prinsip rasionalisasi pemanfaatan sumberdaya alam, keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya alam, serta kepentingan antargenerasi (intergeneration). Untuk mengakomodasikan tujuan tersebut, kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh ke depan harus
84
memberikan manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya, mencegah terjadinya degradasi lingkungan, dan menghindari terjadinya konflik pemanfaatan kawasan. 4.2.9. Penerimaan TWA Laut Pulau Weh Selain dilakukan perhitungan nilai ekonomi berdasarkan pendekatan kurva permintaan, dalam analisis nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh juga melihat nilai penerimaan yang dapat diperoleh terkait dengan berlangsungnya kegiatan pariwisata di kawasan tersebut. Analisis penerimaan dilakukan berdasarkan nilai penerimaan aktual dan potensial yang mungkin dapat dihasilkan. Data mengenai penerimaan berguna untuk mengetahui aktivitas ekonomi dan rente ekonomi yang dihasilkan dari kawasan tersebut.
Analisis mengenai nilai penerimaan
aktual dan potensial di TWA Laut Pulau Weh diuraikan secara terperinci di bawah ini. 4.2.9.1. Nilai Aktual Dalam penelitian ini, penerimaan aktual didefiniskan sebagai tingkat keinginan membayar riil dari wisatawan yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh. Tingkat keinginan membayar riil wisatawan dapat terungkap melalui pertanyaan langsung kepada wisatawan, seberapa besar jumlah uang yang mau dikorbankan untuk menikmati keindahan alam berikut atraksi wisata yang ada di TWA Laut Pulau Weh. Dalam penelitian ini, perhitungan penerimaan secara aktual dilakukan dengan menggunakan biaya masuk (tiket) ke lokasi wisata. Selama ini, setiap wisatawan yang akan memasuki kawasan TWA Laut Pulau Weh dikenakan biaya masuk sebesar Rp1.000,00 per orang atau wisatawan. Dalam menghitung nilai ekonomi aktual TWA Laut Pulau Weh selama tahun (2005), besaran biaya masuk tersebut dikalikan dengan perkiraan jumlah wisatawan yang berkunjung selama satu tahun. Jumlah tersebut diperoleh dengan mengalikan jumlah hari kunjungan efektif dengan jumlah pengunjung pada hari kunjungan efektif tersebut ditambah dengan jumlah pengunjung pada hari biasa (bukan hari efektif). Perhitungan hari kunjungan efektif dan biasa serta jumlah wisatawan yang berkunjung pada masing-masing hari tersebut disajikan dalam Tabel 18.
85
Tabel 18. Perkiraan Jumlah Hari Kunjungan Efektif dan Biasa serta Jumlah Pengunjung TWA Laut Pulau Weh dalam Setahun (Tahun 2005) Uraian Jumlah Hari Jumlah Minggu Jumlah Bulan Jumlah Pengunjung Rata-rata Total Pengunjung
Hari Efektif 2 4 12 200 19.200
Hari Biasa 5 4 12 10 2.400
Sumber : Data Primer (2005), Diolah
Hari kunjungan efektif di TWA Laut Pulau Weh terjadi pada setiap akhir pekan yaitu Sabtu dan Minggu, sehingga jumlah hari kunjungan efektif selama satu tahun adalah 96 hari. Dengan jumlah wisatawan atau pengunjung rata-rata sekitar 200 orang dalam hari efektif tersebut, maka jumlah pengunjungnya sebanyak 19.200 orang. Adapun jumlah wisatawan yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh pada hari biasa rata-rata sepuluh orang setiap hari, sehingga dengan jumlah hari biasa dalam setahun sebanyak 240 hari, maka jumlah pengunjung atau wisatawan adalah sebanyak 2.400 orang. Dengan demikian, jumlah wisatawan yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh selama satu tahun diperkirakan mencapai 21.600 orang. Dengan biaya masuk (tiket) per orang sebesar Rp1.000,00, maka dihasilkan penerimaan sebesar Rp21.600.000,00 selama satu tahun. 4.2.9.2. Nilai Potensial Nilai ekonomi potensial TWA Laut Pulau Weh didefinisikan sebagai penerimaan optimal yang dapat diperoleh dari biaya masuk (tiket) apabila kawasan tersebut dikunjungi oleh wisatawan dalam jumlah yang sama setiap harinya. Diasumsikan bahwa jumlah pengunjung setiap harinya sebanyak
200
orang dan setiap pengunjung atau wisatawan dikenakan biaya masuk (tiket) sebesar Rp1.000,00 per orang, maka akan diperoleh penerimaan optimal sebesar Rp73.000.000,00 dalam setahun (365 hari). 4.2.10. Analisis Alternatif Kebijakan Keberadaan TWA Laut Pulau Weh sebagai objek wisata utama sekaligus andalan sektor pariwisata di Kota Sabang selama ini telah memberikan arti tersendiri bagi pemerintah Kota Sabang dan masyarakatnya serta kepada wisatawan yang sudah pernah mengunjunginya. Dinamika dan kelangsungan kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh berpengaruh terhadap berbagai
86
aspek kehidupan di Kota Sabang, meliputi aspek sosial, ekonomi, ekologi, budaya, politik, dan lain sebagainya. Dalam aspek sosial dan budaya, kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh telah menciptakan interaksi timbal balik antara pengunjung dan masyarakat yang berdomisili di sekitar lokasi TWA Laut Pulau Weh. Dari interaksi tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung membawa pengaruh dalam hal pergaulan sehari-hari, misalnya menjadikan masyarakat di sana menjadi lebih terbuka. Secara ekonomi, kegiatan pariwisata telah mengakibatkan berlangsungnya kegiatan ekonomi yang faktor pengganda ekonominya (economic multiplier effect) turut dinikmati oleh masyarakat. Bahkan, kontribusi ekonomi yang disumbangkan sektor paraiwisata dalam mendongkrak pendapatan daerah secara relatif mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. TWA Laut Pulau Weh yang mengandalkan sumberdaya alam sebagai basis kegiatan pariwisata tidak terlepas dari daya dukung lingkungan yang ada. Dengan demikian, keseimbangan ekologi sangat menentukan dalam rangka menjaga dan memelihara lingkungan sumberdaya alam di TWA Laut Pulau Weh agar dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Secara politik, keberadaan TWA Laut Pulau Weh telah lama menjadi sorotan masyarakat, berkaitan dengan status wilayah Kota Sabang yang berada dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal ini disebabkan oleh adanya regulasi pemerintah yang dalam kurun waktu tertetu (1999-2004) memperketat prosedur kunjungan wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kota Sabang, utamanya ke TWA Laut Pulau Weh. Dengan kebijakan pemerintah tersebut, secara politik telah menstimulasi konflik yang ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ke tingkat yang lebih tinggi, padahal Kota Sabang dikenal sangat aman dan kondusif. Berdasarkan tinjauan berbagai aspek tersebut, kiranya keberadaan TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang memiliki dinamika yang tinggi dalam keberlangsungannya pada saat ini dan masa mendatang.
Dalam rangka
mengakomodasikan seluruh kepentingan dari aspek-aspek tersebut untuk mengambil langkah-langkah strategis dalam pengelolaan TWA Laut Pulau Weh, perlu dilakukan analisis untuk mendapatkan alternatif dan prioritas kebijakan kawasan wisata tersebut. Alat analisis yang digunakan adalah MCDM dengan WSM sebagai fungsi agregasinya.
87
Berdasarkan kondisi dan potensi yang dimiliki serta aspek-aspek yang mempengaruhinya sebagaimana telah diuraikan di atas, maka beberapa alternatif kebijakan yang akan diambil untuk pengelolaan TWA Laut Pulau Weh adalah : (i) status quo (SQ); (ii) pemberlakuan seluruh kawasan TWA Laut Pulau Weh sebagai Marine Protected Area (MPA); dan (iii) pengembangan yang berioentasi pasar (lokal, domestik, dan luar negeri). Untuk melakukan analisis WSM tersebut, diperlukan nilai skor dari masingmasing kriteria yang dirumuskan. Kriteria-kriteria tersebut merupakan atribut dari aspek-aspek yang mempengaruhi kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh. Nilai skor dari masing-masing kriteria ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan kriteria-kriteria tersebut. Dalam analisis WSM ini, aspek ekonomi yang dipertimbangkan meliputi kontribusi sektor pariwisata dalam perekonomian Kota Sabang (PDRB) selama beberapa tahun terakhir dan penyerapan tenaga kerja dalam sektor pariwisata. Selanjutnya, untuk aspek sosial, kriteria yang dipertimbangkan mencakup konflik pemanfaatan kawasan TWA Laut Pulau Weh, persepsi masyarakat terhadap kegiatan wisata, dan partisipasi masyarakat yang berdomisili di sekitar TWA Laut Pulau Weh. Dalam aspek ekologi, kriteria yang dipertimbangkan adalah praktik illegal fishing dan adanya fenomena alam karena wilayah Kota Sabang secara keseluruhan merupakan sebagai salah satu wilayah yang termasuk dalam peta bencana alam (gempa bumi dan tsunami). Secara politik, terdapat dua kriteria utama yang dimasukkan, yaitu faktor keamanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan kebijakan pemerintah. Sebagaimana diketahui, dalam kurun waktu tahun 2000 sampai dengan 2004, pemerintah menetapkan kebijakan yang ketat terhadap keberadaan orang luar dan warga negara asing asing di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam, termasuk untuk kegiatan pariwisata. Aksesibilitas TWA Laut Pulau Weh oleh wisatawan menjadi kriteria yang dipertimbangkan berdasarkan aspek geografis. Untuk yang terakhir, yaitu berdasarkan aspek teknis, kriteria yang termasuk ke dalamnya adalah daya tarik wisata yang ada serta kondisi sarana dan prasarana. 4.2.11. Analisis Penentuan Skor untuk Masing-masing Kriteria Analisis untuk menentukan skor bagi masing-masing kriteria diperlukan untuk memberikan adjustment yang objektif terhadap penilaian yang dilakukan dan penetapan skor dari kriteria-kriteria tersebut. Penetapan atribut dari skor
88
untuk masing-masing kriteria didasarkan pada landasan teoritis. Untuk beberapa kriteria, atribut dari skor ditetapkan dengan adjustment peneliti berdasarkan pengamatan, data, dan informasi dari responden di lapangan. Tabel 19 menyajikan atribut, dan skor dari kriteria yang ditetapkan. Tabel 19. Atribut dan Skor dari Setiap Kriteria untuk Analisis MCDM Tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kriteria 1 PDRB <5% Penyerapan Tenaga Kerja Sedikit Konflik Pemanfaatan Terselubung Persepsi Masyarakat Baik Partisipasi Masyarakat Pasif Illegal Fishing Tidak Ada Fenomena Alam Kecil Keamanan Tidak Aman Regulasi Biasa Saja Aksesibilitas Tidak Mudah Objek Daya Tarik Wisata Kurang Menarik Sarana dan Prasarana Kurang
Skor dan Atribut 2 3 5-10% >10% Banyak Paling Banyak Lisan Fisik Biasa Saja Buruk Aktif Penentu Rendah Tinggi Besar Sangat Besar Kurang Aman Aman Mendukung Sangat Mendukung Mudah Sangat Mudah Menarik Sangat Menarik Cukup/Memadai Sangat Lengkap
Sumber : Data Primer dan Skunder (Diolah), 2005
Secara lebih lengkap dan terperinci, berikut ini diuraikan proses penentuan skor dan atributnya untuk seluruh kriteria yang digunakan dalam mencari alternatif kebijakan terbaik untuk pengelolaan TWA Laut Pulau Weh. Uraiannya didasarkan pada landasan dan kerangka teoritis serta adjustment peneliti. 4.2.11.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Secara umum, pengertian PDRB dapat didekati dari tiga aspek, yaitu produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Dari aspek prosuksi, PDRB didefiniskan sebagai jumlah nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di suatu wilayah. Dari aspek pendapatan, PDRB adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu wilayah. Berdasarkan aspek pengeluaran, PDRB diartikan sebagai jumlah pengeluaran yang dilakukan untuk konsumsi berbagai lembaga (rumah tangga, swasta yang non-profit oriented, pemerintah), pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok, dan ekspor netto. Jangka waktu perhitungan PDRB biasanya adalah satu tahun (BPS dan Bappekot Kota Sabang 2004b).
89
Dengan demikian, dapat dilihat suatu hubungan bahwa jumlah pengeluaran harus sama dengan jumlah produk barang/jasa dan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksinya. Jumlah PDRB dari satu unit produksi atau lapangan usaha merupakan cerminan dari besar-kecilnya kontribusi dari unit produksi lapangan usaha tersebut dalam membentuk struktur perekonomian suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Penentuan nilai dari skor kontribusi sektor pariwisata dalam perekonomian Kota Sabang didasarkan pada persentase kontribusinya dalam PDRB Kota Sabang dalam jangka waktu tertentu (selama lima tahun, yaitu 1999-2003). Kontribusi di bawah 5% diberikan nilai 1. Seterusnya, nilai 2 dan 3 masingmasing diberikan untuk kontibusi 5 sampai dengan 10% dan di atas 10%. Dasar penentuan tersebut dipertimbangkan dari jumlah lapangan usaha yang ada di Kota Sabang, yaitu sebanyak sembilan lapangan usaha, sehingga kalau dibagi secara merata, masing-masing lapangan usaha berkontribusi sebesar 11,11%. Dengan demikian, maka kontribusi dari satu lapangan usaha tertentu di atas 10% dalam PDRB diasumsikan telah signifikan dalam struktur perekonomian Kota Sabang. Saat ini, kontribusi sektor pariwisata dalam PDRB Kota Sabang selama lima tahun terakhir (1999-2003) adalah sebesar 8,36% per tahun.
Dengan
demikian, untuk alternatif kebijakan “SQ”, diberikan skor 2. Selanjutnya, untuk alternatif kebijakan “MPA” diberikan skor 3, karena diperkirakan dengan pemberlakuan “MPA” akan menambah dan meningkatkan kontribusi sektor pariwisata dalam PDRB Kota Sabang sampai dengan lebih dari 10%. Hal ini dapat terjadi karena menurut Salm dan Clark (2000) diacu dalam Satria et al. (2002) dan Gubbay (1995), MPA merupakan area yang potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata dan akan berdampak bagi perekonomian setempat. Logikanya, dalam kondisi SQ saja, kontribusinya dalam PDRB Kota Sabang hampir mencapai 10% per tahunnya. Untuk alternatif kebijakan “Pengembangan Pasar (PP)”, skor yang diberikan adalah 3 atau sama dengan skor untuk kondisi “MPA”. Alasannya adalah salah satu kendala dalam pengembangan sektor pariwisata di Kota Sabang selama ini adalah keterbatasan sarana prasarana, sehingga jumlah kunjungan wisatawan dirasakan masih relatif sedikit sebagaimana hasil penelitian Saifullah (2000). Dengan demikian, maka dalam kondisi PP, pemenuhan sarana dan prasarana akan terwujud, sehingga dengan sendirinya
90
akan meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan dan ikut meningkatkan pendapatan bagi daerah (Kota Sabang). 4.2.11.2. Penyerapan Tenaga Kerja Daya serap tenaga kerja dalam sektor pariwisata ditimbulkan dari permintaan pariwisata oleh wisatawan. Menurut Saifullah (2005), pengembangan kegiatan pariwisata berpengaruh positif pada perluasan peluang usaha dan kesempata kerja.
Dalam tataran praktis dapat dikemukakan bahwa dengan
adanya kedatangan atau kunjungan wisatawan ke suatu lokasi wisata akan membuka peluang bagi masyarakat di lokasi atau lokasi tersebut.
Peluang
usaha tersebut seperti usaha penginapan (hotel, wisma, guest house, dan lainlain), restoran, rumah makan, jasa pengangkutan/transportasi, kegiatan perdagangan, sarana dan prasarana olah raga, sektor jasa, dan lain sebagainya yang menjadi kebutuhan pengunjung atau wisatawan. Dari konsepsi di atas, dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi aktivitas kegiatan pariwisata di suatu daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung akan membuka lebih banyak peluang usaha di daerah tersebut. Selanjutnya, peluang usaha yang semakin terbuka tersebut dengan sendirinya telah menciptakan lapangan pekerjaan. Konsekuensinya, dibutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengisi lapangan pekerjaan tersebut. Untuk memberikan skor terhadap daya serap tenaga kerja dalam kegiatan wisata di TWA Laut Pulau Weh, terdapat kendala untuk menghitungnya karena kegiatan wisata terkait dengan kegiatan atau sektor ekonomi lainnya, seperti perdagangan, jasa, dan transportasi. Di samping itu, data tentang mengenai jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor pariwisata di Kota Sabang juga tidak tersedia.
Berdasarkan
permasalahan
tersebut,
maka
skoring
dilakukan
berdasarkan asumsi terhadap dinamika kegiatan wisata yang berlangsung di TWA Laut Pulau Weh. Pada saat ini atau dalam kondisi “SQ”, kegiatan wisata yang berlangsung di TWA Laut Pulau Weh hanya terbatas pada akhir pekan (Sabtu dan Minggu) dan atau hari libur lainnya. Di luar waktu tersebut, TWA Laut Pulau Weh hampir tidak ada pengunjung atau wisatawan.
Dengan kondisi yang seperti ini, dapat
dikatakan bahwa kegiatan wisata yang berlangsung masih sangat terbatas dan berdasarkan asumsi di atas, maka penyerapan tenaganya masih sedikit (diberikan skor 1).
91
Alternatif kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh untuk ditetapkan sebagai “MPA” diperkirakan akan menambah daya serap tenaga kerja. Hal ini dikarenakan selain dapat menyerap tenaga kerja atas pelaksanaan kegiatan wisata sebagaimana dalam kondisi “SQ”, ditambah lagi dengan adanya keharusan untuk melibatkan masyarakat (setempat) dalam pengelolaan MPA. Berdasarkan asumsi tersebut, maka skor yang diberikan untuk kriteria ini dalam alternatif kebijakan “MPA” adalah 2 (lebih banyak). Kenchington (1988) diacu dalam Gubbay (1995) mengatakan bahwa dengan turut melibatkan masyarakat (setempat) dalam pengelolaan MPA akan mengeliminasi konflik yang sering muncul karena daerah yang paling baik untuk konservasi adalah kawasan yang memiliki nilai ekonomi paling tinggi. Daya serap tenaga paling banyak (skor 3) diperkirakan akan terjadi dalam alternatif kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh secara “PP”. Penentuan skor tersebut didasarkan pada asumsi bahwa dengan semakin berkembangnya kegiatan wisata, akan membuka peluang usaha dan kesempatan kerja sehingga daya serap tenaga kerjanya juga akan semakin banyak (paling banyak) dibandingkan dengan dua alternatif kebijakan sebelumnya (SQ dan MPA). 4.2.11.3. Konflik Pemanfaatan Konflik dapat terjadi antarkelompok masyarakat maupun antarindividu di dalam kelompok yang sama. Robbins (1993) diacu dalam Tadjudin (2000) memberikan definisi konflik sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau tatkala suatu pihak merasa kepentingannya itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya. Tadjudin (2000) mengatakan bahwa menurut pengertian di atas, wujud konflik mencakup rentang yang sangat luas, mulai dari aspek ketidaksetujuan yang samar-samar sampai dengan tindakan kekerasan. Dengan demikian, maka intensitas konflik sebagaimana dikemukakan Robbins (1974) adalah sebagai berikut : 1). Memiliki sedikit ketidaksetujuan atau kesalahpahaman. 2). Mempertanyakan hal-hal yang berbeda 3). Mengajukan serangan-serangan verbal 4). Mengajukan ancaman dan ultimatum 5). Melakukan serangan fisik secara agresif 6). Melakukan upaya-upaya untuk merusak atau menghancurkan pihak lain
92
Dalam menentukan tipologi konflik pemanfaatan terhadap TWA Laut Pulau Weh guna penetapan skor dari masing-masing tingkatan konflik, maka intensitas konflik di atas dibagi menjadi tiga kelas, yaitu : 1). Kategori ketiga, keempat, kelima, dan keenam digolongkan dalam konflik terbuka, sehingga nilai skor yang diberikan adalah 3. 2). Kategori konflik pertama dan kedua merupakan konflik terselubung, sehingga nilai skor yang diberikan adalah 2. 3). Skor 1 diberikan untuk kondisi dimana tidak ada konflik sama sekali. Konflik pemanfaatan terhadap TWA Laut Pulau Weh terkait dengan pemanfaatan lokasi tersebut sebagai kegiatan pariwisata dan perikanan (tangkap). Hal ini karena terdapat di sekitar kawasan TWA tersebut terdapat pemukiman penduduk yang pada umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan.
Sebagian diantaranya juga berprofesi sebagai pedagang (rumah
makan, penjaja makanan, dan penjual minuman) di lokasi TWA Laut Pulau Weh. Kondisi saat ini (SQ), kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh berlangsung dengan aman dan tertib. Tidak ada gesekan antara pihak-pihak yang terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kehadiran
wisatawan di lokasi dan hubungannya dengan masyarakat sekitar berlangsung dengan baik dan saling menguntungkan (mutualisme simbiosis). Wisatawan dapat menikmati keindahan dan panorama alam yang ada di TWA laut Pulau Weh dengan tenang dan nyaman. Di lain pihak, penduduk sekitar mendapatkan keuntungan ekonomi dari wisatawan, karena barang dagangannya dibeli oleh wisatawan.
Dengan demikian, dalam kondisi “SQ”
belum ada konflik yang timbul di TWA Laut Pulau Weh dan untuk kondisi tersebut diberikan skor 1. Selanjutnya, dalam kondisi “MPA”, diperkirakan kondisinya tidak jauh berbeda dengan “SQ”, karena pada dasarnya kedua kegiatan tersebut (pariwisata dan perikanan) dapat berlangsung secara bersama-sama. Hal ini diperkuat dengan pendapat Salm dan Clark (2000) diacu dalam Satria et al. (2002) yang menyatakan bahwa secara sosial, kawasan MPA dapat digunakan untuk kegiatan rekreasi dan masyarakat lokal dapat merasakan manfaatnya dengan berkembangnya kegiatan rekreasi. Berdasarkan asumsi tersebut, maka tidak akan terjadi konflik pemanfaatan space di TWA Laut Pulau Weh, sehingga diberikan skor 1.
93
Untuk kondisi “PP”, dinamika yang tinggi dalam pelaksanaannya karena terkait
dengan
pengembangannya
akan
menimbulkan
konflik
dalam
pemanfaatannya. Diperkirakan konflik yang terjadi berupa pembatasan akses masuk penduduk sekitar ke area atau lokasi TWA, kebebasan untuk memanfaatkan
sumberdaya
yang
ada,
keterlibatan
masyarakat
dalam
pengelolaan TWA, dan relokasi pemukiman penduduk di sekitar TWA. Kategori konflik yang akan terjadi dalam kondisi yang demikian lebih mengarah kepada konflik terbuka, sehingga untuk skor dari alternatif kebijakan “PP” berdasarkan kriteria ini adalah 3. 4.2.11.4. Persepsi Masyarakat Pengetian persepsi menurut Mulyana (2002) merupakan inti dari komunikasi dan penafsiran (interpretasi) adalah inti dari persepsi itu sendiri, yang identik dengan penyandian-balik (decoding) dalam proses komunikasi. Dengan demikian, maka definisi persepsi menurut Sereno dan Edward (1974) diacu dalam Mulyana (2002) adalah sarana yang memungkinkan setiap orang untuk memperoleh kesadaran terhadap lingkungan sekelilingnya. Dengan demikian, maka kesadaran terhadap lingkungannya sangat dipengaruhi sekaligus ditentukan oleh pengetahuan yang dimiliki masayarakat bersangkutan. Semakin banyak pengetahuan yang dimiliki, maka semakin sadar orang-orang atau masyarakat tersebut terhadap lingkungannya, begitu juga sebaliknya. Dalam konteks perumusan kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang, persepsi yang dimaksud adalah persepsi dari masyarakat sekitar terhadap kegiatan pariwisata yang berlangsung di lokasi tersebut. Hal ini dikaitkan dengan adanya anggapan dari sebagian masyarakat yang terlanjur mengasosiasikan bahwa kegiatan pariwisata adalah kegiatan yang masuk ke wilayah “abu-abu”, dalam artian lebih cenderung mengarah kepada praktikpraktik yang tidak sesuai dengan norma sosial dan sistem nilai, misalnya, free sex, mabuk-mabukan, dan lain-lain. Berdasarkan gambaran tersebut, maka dalam mengukur persepsi masyarakat sekitar terhadap kegiatan pariwisata yang berlangsung di TWA Laut Pulau Weh, ditetapkan tiga jenis tingkatan persepsi, yaitu : 1). Baik; masyarakat di sekitar lokasi wisata menganggap bahwa kegiatan pariwisata yang berlangsung di TWA Laut Pulau Weh bertujuan semata-mata untuk refreshing dan menikmati keindahan alam, serta dari kegiatan tersebut
94
dapat memberikan efek
positif
dalam
hal
kemajuan
perekonomian
masyarakat setempat. Terhadap persepsi ini, skor yang diberikan adalah 1. 2). Biasa Saja; masyarakat menganggap bahwa kegiatan pariwisata bagian dari aktivitas manusia yang membutuhkan kesenangan dan lumrah apabila dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan terhadap norma-norma sosial dan sistem nilai sepanjang hal tersebut tidak mengganggu ketenangan masyarakat setempat. Skor untuk persepsi ini adalah 2. 3). Buruk; kegiatan dan tempat pariwisata merupakan sarana melakukan tindakan maksiat yang lambat laut ikut merusak budaya masyarakat setempat serta merusak lingkungan sumberdaya alam yang ada. Tingkatan persepsi ini diberikan nilai 3. Kondisi saat ini, persepsi masyarakat Kota Sabang pada umumnya dan secara khusus dari masyarakat yang tinggal di sekitar TWA terhadap kegiatan pariwisata yang berlangusung adalah baik (skor 3). Hal ini karena relatif tidak ada atau jarang ditemukan kegiatan yang melanggar norma atau sistem nilai oleh wisatawan yang berkunjung ke sana. Kondisi yang demikian diasumsikan juga akan terjadi pada altenatif kebijakan “MPA”. Dalam kondisi “PP” upaya diarahkan kepada tujuan menarik minat wisatawan yang sebanyak-banyaknya untuk berkunjung ke lokasi wisata TWA. konsekuensinya, selain mengandalkan daya tarik wisata alamnya, infrastruktur pendukung dan berbagai jenis hiburan mutlak harus disediakan sesuai tuntutan. Dengan demikian, potensi terjadinya atau berlangsungnya kegiatan yang “abuabu” dan bertentangan dengan sistem nilai dan tradisi masyarakat setempat pasti akan sangat besar dan untuk kondisi ini, diberikan skor 1. 4.2.11.5. Partisipasi Masyarakat Tingkat
partisipasi
dapat
dipahami
melalui
suatu
kontinum
yang
menggambarkan seberapa jauh keterlibatan orang-orang atau masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu. Tingkatannya dapat saja dimulai dari yang terendah hingga ke yang lebih tinggi dan bersifat transfomasional.
Dalam hal ini, juga
dapat dijelaskan melalui tingkatan-tingkatan sebagai berikut (Setiawan 2003) : 1). Manipulasi; menggambarkan non-participation 2). Informasi; stakeholders (masyarakat) diberikan informasi tentang hal-hal yang menyangkut hak-hak, tanggung jawab, dan pilihan-pilihan. 3). Konsultasi; telah dilakukan komunikasi dua arah (masih sebatas konsultasi)
95
4). Consensus -Building; stakeholders telah mengelompok untuk menciptakan posisi negosiasi 5). Decision-Making; stakeholders terlibat dalam proses pengambilan keputusan 6). Risk-Sharing; stakeholders turut mengambil risiko terhadap keputusan yang diambil 7). Partnership; stakeholders telah memiliki kedudukan pada level yang sama 8). Self-Management; merupakan bentuk dari partisipasi yang sesungguhnya dimana stakeholders harus bertanggung jawab terhadap seluruh proses. Berdasarkan konsepsi tersebut, maka untuk kepentingan penetapan nilai skor dari tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan TWA Laut Pulau Weh, tingkatan partisipasi di atas golongkan menjadi tiga kelas, yaitu : 1). Tingkatan partisipasi “pasif”, merupakan penggolongan dari tingkatan partisipasi pertama, kedua, dan ketiga. Nilai dari tingkat ini diberikan skor 1. 2). Tingkatan partisipasi “aktif”, merupakan ciri dari tingkatan partisipasi keempat. Nilai dari partisipasi ini diberikan skor 2. 3). Tingkatan partisipasi kelima, keenam, ketujuh, dan kedelapan digolongkan dalam tingkatan partisipasi “penentu”. Dengan demikian, skor yang diberikan adalah 3. Berdasarkan pengamatan di lapangan, keterlibatan masyarakat pada saat ini (kondisi SQ) di sekitar lokasi wisata berdasarkan konsepsi yang dibangun di atas dapat digolongkan dalam partisipasi penentu (skor 3). Selama ini, dalam pengelolaan TWA Laut Pulau Weh untuk kegiatan pariwisata, masyarakat memegang peranan penting dimana seluruhnya ditentukan berdasarkan berdasarkan kesepakatan masyarakat setempat. Misalnya, dalam usaha menjaga kelestarian keanekaragaman hayati yang menjadi salah satu daya tarik TWA Laut Pulau Weh, masyarakat memiliki komitmen untuk tidak merusaknya dan berperan aktif melindunginya dari gangguan pihak luar. Selain itu, kearifan lokal dari masyarakat setempat dalam memanfaatkan seluruh potensi sumberdaya alam masih dipengang secara teguh. Untuk kondisi alternatif kebijakan “MPA”, partisipasi masyarakat nantinya hanya akan berada pada tingkat aktif karena di banyak negara, pengelolaan MPA berada dibawah otoritas suatu lembaga. Misalnya, di Inggris, Wales, dan Skotlandia yang termasuk dalam United Kingdom Marine Nature Reserves Programme, pengelolaan kawasan MPA yang dinamai dengan Marine Nature Reserve dikelola oleh Nature Conservation Council (Gubbay 1995). Begitu juga
96
dengan institusi pengelolaan MPA di Kenya (Kisite Marine National Park dan Mpunguti Marine National Reserve) yang dikelola oleh Kenya Wildlife Service (Emerton dan Tessema 2000). Dengan demikian, peran masyarakat hanya dalam tataran berpartisipasi aktif dengan tidak merusak sumberdaya alam yang berada dalam situs atau area yang menjadi kawasan MPA.
Skor yang diberikan untuk altenatif kebijakan
“MPA” berdasarkan kriteria ini adalah 2. Kebijakan pengelolaan dengan mengembangkan kawasan TWA Laut Pulau Weh untuk kegiatan pariwisata yang berorientasi pasar membutuhkan kualitas sumberdaya manusia yang berkualitas dan berkompeten.
Dihadapkan pada
permasalahan tersebut, maka kemungkinan masyarakat setempat untuk ikut terlibat didalamnya sangatlah kecil. Hal ini disebabkan pada kenyataan bahwa masyarakat di sekitar TWA Laut Pulau Weh tidak siap secara kualitas karena tingkat pendidikan mereka yang rendah serta tidak berpengalaman dalam pengelolaan kegiatan pariwisata secara modern.
Berdasarkan gambaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
partisipasi masyarakat akan sangat rendah dan untuk kondisi tersebut diberikan skor 2. 4.2.11.6. Illegal Fishing Secara umum, illegal fishing dipahami sebagai praktik penangkapan ikan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan kaidah lingkungan dan cenderung merusak dan menguras sumberdaya ikan. Menurut Fauzi (2005a), illegal fishing merupakan serangkaian tindakan yang disebabkan oleh faktor penurunan stok dan produksi sumberdaya ikan serta tingginya kompetisi pada suatu fishing ground, sehingga bereaksi dengan mencari fishing ground yang lebih produktif (baik secara legal maupun illegal). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa motivasi dilakukannya illegal fishing sangat beragam, diantaranya : (i) kelangkaan sumberdaya ikan; (ii) memperoleh rente ekonomi sebesar-besarnya; (iii) tingginya persaingan; dan (iv) kurangnya kesadaran terhadap pelestarian lingkungan dan sumberdaya ikan. Praktik illegal fishing dilakukan dengan modus sebagai berikut, yaitu : (i) penggunaan bahan kimia berbahaya (biasanya sianida) untuk meracun ikan; (ii) penggunaan bahan peledak (dinamit) untuk membius ikan; (iii) pelarangan wilayah penangkapan; dan (iv) merusak terumbu karang sebagai tempat pemijahan, pembesaran, dan sumber makanan ikan.
Modus-mudus tersebut
97
adalah yang sudah umum dilakukan dan masih banyak modus lainnya yang digunakan, baik secara terselubung maupun terbuka. Berdasarkan konsepsi di atas, maka dalam menentukan skor dari kegiatan illegal fishing yang terjadi di sekitar TWA Laut Pulau Weh, ditentukan berdasarkan intensitas kegiatannya. Kegiatan illegal fishing yang dilakukan secara terbuka dan telah merusak sumberdaya pada suatu wilayah perairan yang ditandai dengan rusaknya terumbu karang, hilangnya spesies ikan dalam jumlah yang besar, dan dilakukan secara massal, termasuk dalam illegal fishing dengan intensitas yang tinggi dan diberikan skor 3. Untuk praktik illegal fishing yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan dengan frekuensi yang jarang terjadi serta tidak dilakukan secara massal oleh penduduk setempat digolongkan dalam kegiatan illegal fishing dengan intensitas yang rendah dan diberikan skor 2. Skor 1 diberikan untuk kondisi dimana tidak terjadinya praktik illegal fishing. Kondisi SQ di TWA Laut Pulau Weh terhadap praktik illegal fishing terjadi dalam intensitas yang rendah dan dilakukan oleh masyarakat di luar kawasan tersebut, sehingga diberikan skor 2. Menurut informasi dari masyarakat setempat, pada umumnya, praktik illegal fishing tersebut untuk menangkap ikan dilakukan pada malam hari dan hanya sekali-kali saja terjadi. Alasannya adalah untuk mendapatkan ikan yang diinginkan dari perairan TWA Laut Pulau Weh yang notabene-nya kaya dengan ikan hias dan konsumsi yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Dalam kondisi “MPA”, diasumsikan tidak akan terjadi praktik illegal fishing di TWA Laut Pulau Weh karena MPA sebagai daerah perlindungan akan “memasok” ikan ke zona pemanfaatan, sehingga masyarakat tidak perlu menangkap ikan di dalam kawasan MPA. Di samping itu, dengan pemberlakuan zonasi suatu kawasan, MPA sebagai zona perlindungan merupakan zona pelarangan pemanfaatan sumberdaya (Satria et al. 2002). Berdasarkan asumsi tersebut, maka disimpulkan bahwa tidak terjadi illegal fishing di dalam kawasan TWA, sehingga diberikan skor 1. Pengembangan kawasan menjadi kawasan pariwisata dengan alternartif kebijakan “PP” baik secara langsung maupun tidak langsung memicu maraknya praktik illegal fishing, sehingga diberikan skor 3. Hipotesisi ini didasarkan pada uraian sebelumnya bahwa ketidaksiapan masyarakat di sekitar TWA dengan kebijakan tersebut.
Masyarakat yang tidak dapat terlibat dalam pengelolaan
98
kegiatan wisata akan kehilangan mata pencaharian yang selama ini digeluti sehingga menimbulkan tekanan ekonomi untuk mencukupi kebutuhannya. Pilihan satu-satunya adalah mengeksploitasi sumberdaya perikanan dan laut lainnya secara besar-besaran dan dengan cara apapun, termasuk illegal fishing. 4.2.11.7. Fenomena Alam Wilayah Kota Sabang yang terdiri dari gugusan beberapa pulau besar dan kecil dan terletak pada posisi di bagian barat (atas) Pulau Sumatera merupakan daerah rentan terjadinya gempa bumi dan tsunami. Menurut Peta Tsunami Indonesia sebagaimana dirilis oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (2005) 6, di seluruh wilayah Indonesia terdapat tiga pergerakan lempeng yaitu pergerakan Indo-Australia dengan Eurasia, Indo-Australia dengan Pasifik dan Pasifik dengan Indo-Australia. Pertemuan lempeng ini adalah lokasi gempa-gempa yang besar dan berada di lautan yang berjarak 100-150 km dari pantai barat Sumatera, selatan Jawa, selatan Nusa Tenggara, Maluku dan pantai utara Papua. Berdasarkan data tersebut, maka wilayah Kota Sabang yang terletak di bagian barat atas Pulau Sumatera juga termasuk dalam daerah-daerah yang perlu diwaspadai terhadpa bencana alam tersebut.
Kondisi terakhir, pada
26 Desember 2004 telah terjadi gempa bumi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (termasuk Kota Sabang) yang berkekuatan 8,9 pada Skala Richter (SR). Di Kota Sabang, gempa bumi tersebut disusul dengan gelombang laut dengan ketinggian sekitar tujuh meter yang menerjang daratan Kota Sabang. Di lokasi TWA Laut Pulau Weh, berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, kondisi kerusakan (baik lingkungan perairan dan daratan) yang ditimbulkan oleh gempa bumi dan tsunami tidaklah separah dengan kondisi di tempat lain, misalnya Kota Banda Aceh, Meulaboh, dan Calang atau bahkan di Kota Sabang sendiri. Hal ini karena kontur tanah atau daratan di wilayah TWA Laut Pulau Weh yang curam (berbentuk lereng) dan berbatasan langsung dengan perbukitan. Adapun tingkat kerusakan lingkungan bawah laut yang banyak terdapat terumbu karang dan ikan hias, sangatlah kecil. Berdasarkan pengamatan langsung secara kasat mata terhadap kondisi terumbu karang, tidak terlalu banyak terjadi perubahan dibandingkan dengan kondisi sebelum terjadinya gempa bumi dan tsunami. Sebelumnya, peneliti telah beberapa kali mengunjungi 6
http://www.bmg.or.id
99
TWA Laut Pulau Weh dan turut melakukan kegiatan snorkling untuk menikmati keindahan alam bawah laut TWA Laut Pulau Weh, meskipun dengan peralatan yang sederhana. Data ini dikuatkan berdasarkan pengamatan oleh Tim Ekspedisi dari Metro TV beberapa minggu setelah terjadinya gempa bumi dan tsunami. Hasil pengamatan tersebut ditayangkan dan terlihat bahwa kondisi terumbu karang yang rusak tidak dalam kondisi yang parah.
Hasil penelitian Fiheries Diving
Club-Institut Pertanian Bogor (FDC-IPB) bekerja sama dengan United Nations for Economic, Social, and Cultural Organization (UNESCO) pada 4-11 Maret 2005 yang menyebutkan bahwa berdasarkan observasi di lima lokasi di seluruh Pulau Weh, tutupan karang keras pada kelima lokasi tersebut tidak mengalami kerusakan secara signifikan. Jumlah kerusakan tutupan karang keras yang yang paling tinggi terjadi sebesar 36,39% di Benteng pada kedalaman tiga meter. Di lokasi TWA Laut Pulau Weh, penelitian dilakukan di sebelah timur Pulau Rubiah, dimana tingkat kerusakan tutupan karang keras sebesar 30,80% pada kedalaman tiga meter. Untuk jumlah ikan karang (termasuk ikan hias), sebelum terjadinya tsunami terdapat 155 spesies ikan dari 31 famili. Dua bulan setelah tsunami, jumlahnya berkurang menjadi 72 spesies dari 22 famili. Dalam konteks merumuskan kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh di masa mendatang yang didasarkan pada gambaran fenomena alam (gempa bumi dan tsunami) sebagaimana digambarkan di atas, maka faktor ini dimasukkan sebagai salah satu variabel yang harus dipertimbangkan. Hal ini dikarenakan potensi terjadinya gempa bumi dan tsunami seperti yang pernah terjadi pada 26 Desember 2005 masih tetap ada pada masa mendatang. Menurut Ikatan Ahli Geologi Indonesia7, tidak akan muncul tsunami sebesar yang muncul pada 26 Desember 2004 dalam kurun waktu 150-200 tahun ke depan di Aceh dan sekitarnya. Hasil tersebut dirumuskan dalam pertemuan yang diprakarsai oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dan diikuti oleh instansi terkait seperti Badan Meteorologi dan Geofisika, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan sejumlah pakar gempa. Dengan demikian, peluang terjadinya gempa bumi dan tsunami dengan kekuatan besar khususnya di TWA Laut Pulau Weh dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara umum sangat kecil dalam jangka waktu beberapa tahun 7
http://www.iagi.or.id
100
mendatang. Berdasarkan pendapatan tersebut, maka dalam menentukan skor dari kriteria fenomena alam untuk seluruh alternatif kebijakan (status quo, pemberlakukan Marine Protected Area, dan Pengembangan Pasar) ditetapkan skor yang sama, yaitu 1 (peluang terjadinya kecil). Adapun skor untuk peluang yang besar (peluang terjadi dalam 50-100 tahun) dan sangat besar (terjadi dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun) masing-masing adalah 2 dan 3. 4.2.11.8. Keamanan Rasa aman dan kenyamanan pengunjung atau wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi pada setiap lokasi wisata. Faktor keamanan di lokasi wisata dan sekitarnya merupakan faktor pendorong bagi wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata di lokasi tersebut. Daya tarik wisata yang tinggi di suatu daerah tidak akan berguna dan tidak memiliki arti apa-apa apabila tidak didukung dengan kondisi keamanan. Dalam
tataran
konsep
pertahanan
dan
keamanan
sebagaimana
dikemukakan Mahfud (2000) 8 , kondisi keamanan suatu daerah atau negara dapat dibagi dalam empat kondisi, yaitu (i) tertib sipil; (ii) darurat sipil; (iii) darurat militer; dan (iv) darurat perang.
Keempat kondisi tersebut digunakan dalam
penentuan skor untuk menilai kondisi keamanan di TWA Laut Pulau Weh. Skor 3 dan 2 masing-masing diberikan untuk kondisi tertib sipil (aman) dan darurat sipil (kurang aman). Selanjutnya, untuk kondisi darurat militer dan darurat perang (tidak aman) diberikan skor 1. Kondisi keamanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam beberapa dekade ke belakang sangat tidak menentu akibat terjadinya konflik bersenjata antara Tentara Nasional Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dipicu oleh adanya keinginan GAM untuk memisahkan wilayah Aceh dari Indonesia dan menjadikan Aceh sebagai negara berdaulat.
Kondisi yang
demikian membuat pemerintah menetapkan Aceh sebagai daerah yang tidak aman. Pada era 1989 sampai dengan 1999, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer atau Darurat Militer. Status tersebut dicabut seiring dengan meredamnya konflik dan eskalasi konflik yang sedikit mereda sehingga status keamanan di seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan menjadi Tertib Sipil. Dalam perjalanannya, akibat masih terjadinya konflik bersenjata dan proses perdamaian 8
Komunikasi pribadi. Mahfud adalah mantan Menteri Pertahanan Republik Indonesia dalam Kabinet Persatuan Nasional
101
yang digagas gagal terwujud, mulai tahun 2003 seluruh wilayah di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam kembali ditetapkan sebagai daerah rawan keamanan dengan status Darurat Militer. Dengan status tersebut, Aceh menjadi tertutup dan terisolir secara ekonomi dan politik. Penduduk di Aceh diwajibkan memiliki identitas khusus (KTP Merah Putih) dan aksesibilitas bagi penduduk di luar Aceh (pendatang) untuk masuk ke wilayah Darurat Militer diperketat. Bagi perkembangan pariwisata Kota Sabang, kondisi ini merupakan kondisi yang ironi, karena daerah wisatanya (termasuk TWA Laut Pulau Weh) sepi pengunjung khususnya wisatawan asing. Saat ini, kondisi keamanan di seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (terlebih lagi Kota Sabang) jauh lebih kondusif dan sangat aman. Hal ini menyusul disepakatinya Memorandum of Understanding (MoU) perjanjian damai antara GAM dan RI di Hensilki (Finlandia) pada 15 Agustus 2005. Momentum tersebut masih terjaga dan terpelihara sampai dengan saat ini, yang dibuktikan dengan adanya political will dari kedua belah pihak untuk sama-sama melaksanakan butir-butir MoU secara konsisten dan konsekuen. Berdasarkan gambaran di atas, maka dalam rangka pengelolaan kawasan TWA Laut Pulau Weh, faktor keamanan diasumsikan tidak akan berpengaruh apa-apa. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa saat ini kondisi Aceh telah aman dan aksesibilitas bagi pendatang (wisatawan) untuk berkunjung ke Kota Sabang dan khususnya ke TWA Laut Pulau Weh sudah tidak dibatasi. Oleh karena itu, untuk seluruh alternatif kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh diberikan skor yang sama, yaitu 3 atau kondisinya aman karena kondisi keamanan dalam status tertib sipil. 4.2.11.9. Kebijakan Pemerintah (Government Policy) Faktor kebijakan pemerintah sangat perlu dipertimbangkan dalam karena merupakan salah satu domain penting dalam rangka mencari alternatif terbaik untuk pengelolaan TWA Laut Pulau Weh. Kebijakan pemerintah secara langsung terkait dengan regulasi yang keluarkan terhadap pengembangan suatu wilayah, termasuk sektor ekonomi didalamnya. Secara tidak langsung, kebijakan pemerintah terhadap suatu sektor ekonomi tertentu akan berdampak pada sektor ekonomi lainnya. Hal ini terjadi karena pada dasarnya antarsektor ekonomi dalam suatu wilayah (region), apalagi untuk cakupan wilayah yang lebih kecil, saling terkait satu dengan yang
102
lainnya. Dalam teori ekomomi, fenomena yang demikian lazim disebut dengan istilah economic multiplier effect. Bentuk dari kebijakan pemerintah terhadap alternatif kebijakan yang ditawarkan dibagi menjadi tiga, yaitu (i) biasa saja, yaitu untuk kegiatan ekonomi dengan dan atau tanpa kebijakan yang khusus dari pemerintah masih dapat berlangsung. Untuk kategori ini diberikan skor 1; (ii) mendukung, pemerintah telah menetapkan tata ruang wilayah tertentu untuk kegiatan ekonomi tertentu (skor 2); dan (iii) sangat mendukung, yaitu pemerintah mengeluarkan kebijakan khusus dalam rangka pengembangan satu kawasan tertentu untuk kegiatan kegiatan yang menjadi prioritas (skor 3). Terkait dengan kondisi “SQ” dalam pengelolaan kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh, kebijakan pemerintah dapat dikatakan pada tingkatan mendukung. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa Pemerintah Kota Sabang sejak tahun 1998 telah mempromosikan lokasi tersebut sebagai salah satu tujuan wisata andalan di Kota Sabang.
Kebijakan tersebut dibuktikan dengan
membangun sarana prasarana untuk menunjang kegiatan pariwisata di kawasan tersebut.
Pada tahun 1998, kawasan tersebut dijadikan sebagai tempat
pelaksanan Jambore Iptek Nasional yang diresmikan oleh Menteri Riset dan Teknologi, yang dimaksudkan untuk mempromosikannya kepada masyarakat luas. Berdasarkan kondisi tersebut, maka diberikan skor 2 untuk kriteria ini. Skor yang sama (2) diberikan untuk alternatif kebijakan “MPA” karena secara sebagaimana dikemukakan bagian pendahuluan ini, kawasan TWA Laut Pulau Weh telah ditetapkan sebagai taman wisata alam oleh Departemen Pertanian sejak tahun 1982 sampai dengan sekarang. Sebagai taman wisata alam, kawasan ini dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat setempat (Ditjen PHKA 2001). Sektor pariwisata telah ditetapkan sebagai salah satu sektor unggulan dalam rangka pelaksanaan Kawasan Perdangangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang sejak tahun 2001. Sebelumnya, Sabang juga telah ditetapkan sebagai salah satu KAPET untuk wilayah Indonesia bagian barat dengan mengandalkan sektor pariwisata dalam pelaksanaanya. Untuk tujuan tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 dan Keputusan Presiden Nomor 171 Tahun 1998. Peraturan perundang-undangan tersebut dikeluarkan pemerintah untuk menggerakkan perekonomian Kota
103
Sabang dengan menitikberatkan pembangunannya pada sektor tertentu, termasuk sektor pariwisata di dalamnya. Berdasarkan
uraian
di
atas,
tergambarkan
bahwa
pemerintah
mengeluarkan kebijakan khusus dalam membangun Kota Sabang.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa kebijakan pemerintah untuk altenatif kebijakan “PP” dalam kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh sangat mendukung (skor 3), karena kawasan tersebut merupakan andalan dan daerah tujuan wisata utama di Kota Sabang. Sebagai perbandingan, kebijakan pemerintah untuk memberlakukan Kota Sabang sebagai Kawasan Perdangan Bebas dan Pelabuhan Bebas seperti halnya pemberlakuan Batam sebagai free trade zone dan enclave economic. 4.2.11.10. Aksesibilitas Aksesibilitas dalam konteks penelitian ini adalah kemudahan untuk mencapai suatu lokasi atau daerah tujuan wisata. Aksesibilitas sangat dipengaruhi oleh faktor jarak antara lokasi wisata dengan domisili wisatawan atau pengunjung. Selain itu, aksesibilitas juga tergantung dari ketersediaan sarana dan prasarana transportasi, yang meliputi kenyamanan, keteraturan/ kontinuitas, murah, dan tingkat keamanannya. Berkaitan dengan pemberian skor untuk kriteria aksesibilitas ini, maka berdasarkan
gambaran
konsepsional
di
atas,
maka
penentuan
skor
dipertimbangkan menurut faktor kelengkapan sarana dan prasarana transportasi. Faktor jarak tidak menjadi pertimbangan dikarenakan wisatawan tidak datang atau berasal dari satu wilayah (zona) yang sama, sehingga tidak dapat dijadikan indikator. Skor tertinggi (bernilai 3) akan diberikan untuk kondisi sarana dan prasarana transportasi yang sangat lengkap sebagaimana disebutkan di atas, sehingga wisatawan akan sangat mudah mencapai atau mengakses lokasi tersebut. Selanjutnya, untuk kondisi sarana dan prasarana transportasi yang lengkap (mudah) dan kurang lengkap (tidak mudah), diberikan skor masingmasing 2 dan 1. Dalam kondisi “SQ”, penentuan skor ditentukan berdasarkan data primer dari responden yang menyatakan bahwa salah satu kelemahan dalam pengelolaan kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh saat ini adalah sulit diakses dari tempat domisili responden. Hal ini disebabkan ketersediaan sarana transpotasi (angkutan umum) yang terbatas, terutama dalam hal frekuensinya.
104
Berdasarkan gambaran tersebut dan sesuai dengan ketentuan skoring yang ditetapkan, dapat disimpulkan bahwa aksesibilitas ke lokasi wisata di TWA Laut Pulau Weh saat ini adalah tidak mudah atau sulit, karena sarana trasportasi yang kurang lengkap, sehingga diberikan skor 1. Untuk alternatif kebijakan “MPA” berdasarkan kriteria aksesibilitas, diberikan skor 2.
Kriteria aksesibilitas lokasi TWA Laut Pulau Weh untuk
ditetapkan sebagai MPA mengacu kepada persyaratan penetapan kawasan MPA sebagaimana dikemukakan Salm dan Clark (2002) diacu dalam Satria et al. (2002) dan Gubbay (1995). Persyaratan tersebut menyebutkan adalah kawasan MPA harus mudah diakses, baik dari daratan maupun lautan. Dalam kondisi “PP”, sarana dan prasarana transportasi dalam rangka mendukung kegiatan pariwisata di Kota Sabang diasumsikan akan sangat lengkap, sehingga wisatawan akan sangat mudah untuk mengakses lokasi-lokasi wisata yang ada (termasuk TWA Laut Pulau Weh). Oleh karena itu, diberikan skor 3 untuk kriteria aksesibilitas dalam alternatif kebijakan “PP”. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Saifullah (2005) yang menyatakan bahwa salah satu kelemahan dalam pengembangan kegiatan pariwisata di Kota Sabang adalah keterbatasan sarana dan prasarana (termasuk transportasi). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya mengembangkan kegiatan pariwisata di Kota Sabang adalah memperbaiki dan melengkapi sarana dan prasarana. 4.2.11.11. Objek Daya Tarik Wisata Samsuridjal dan Kaelany (1997) mengatakan bahwa berhasil tidaknya kegiatan pariwisata di daerah tujuan wisata sangat tergantung pada tiga faktor utama, yaitu atraksi, aksesibilitas, dan amenitas. Secara umum, atraksi suatu wisata dapat berupa kebudayaan (tradisi masyarakat, bangunan bersejarah, dan lain-lain) dan sumberdaya alam (keindahan, ekosistem, tanaman langka, landmark, dan atau satwa). Ada tidaknya suatu atraksi juga merupakan alasan kuat muncul dan tumbuhnya kegiatan wisata. Berdasarkan konsepsi tersebut, secara implisit dapat dimaknai bahwa sesungguhnya atribut-atribut dari atraksi tersebut merupakan daya tarik yang dimiliki sekaligus berfungsi sebagai komponen penawaran (supply) dari suatu objek wisata. Menurut Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan (2001), kriteria objek wisata alam yang berbentuk kawasan perairan
105
(laut dan pantai), setidaknya harus memenuhi 13 unsur. Unsur-unsur tersebut disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20. Kriteria Objek Daya Tarik Wisata Berbentuk Perairan Tahun 2005 No
Bentuk Kawasa n
I
Laut
II
Pantai
Unsur 1. Keindahan 2. Keanekaragaman jenis 3. Keunikan dan keindahan dalam laut 4. Keutuhan potensi 5. Kejernihan air tampak sampai kedalaman (m) 6. Banyak lokasi yang mempunyai kedalaman sama 7. Situasi pandangan dan kenyamanan pantai 8. Kebersihan 1. Keindahan 2. Keselamatan/keamanan pantai 3. Pasir 4. Variasi kegiatan 5. Kebersihan
Sumber : Ditjen PHKA Departemen Kehutanan (2001)
Unsur-unsur yang menjadi kriteria objek wisata dalam Tabel 20 tersebut akan digunakan sebagai dasar penentuan skor. Skor tertinggi (3) atau sangat menarik diberikan untuk kondisi dimana terdapat seluruh unsur dalam kriteria dari suatu objek wisata di atas dapat terpenuhi. Apabila hanya terpenuhi 10 unsur, diberikan skor 2 (menarik). Selanjutnya, skor 1 (kurang menarik) diberikan untuk kondisi yang hanya terdapat kurang dari 10 unsur. Berdasarkan pengamatan langsung di lokasi penelitian dan data sekunder tentang kondisi bio-fisik perairan, terumbu karang dan biota laut lainnya, secara umum dapat disimpulkan bahwa seluruh kriteria yang ditetapkan terdapat di kawasan TWA Laut Pulau Weh. Artinya, objek daya tarik wisata yang ada di TWA Laut Pulau Weh memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana ditetapkan Ditjen PHKA, sehingga dapat disimpulkan bahwa objek daya tarik wisatanya sangat menarik dan diberikan skor tertinggi, yaitu 3. Rincian lengkap mengenai penilaian kondisi alam TWA Laut Pulau Weh berdasarkan kriteria-kriteria yang ditetapkan disajikan dalam Lampiran 8. Selanjutnya, untuk altenatif kebijakan “MPA”, kriteria objek daya tarik wisata diasumsikan sama nilainya dengan kondisi sekarang (SQ), sehingga skornya adalah 3 atau sangat menarik. Pertimbangannya adalah pemberlakuan TWA Laut Pulau Weh sebagai kawasan MPA tidak akan mengubah kondisi bio-fisik
106
dan keadaan alam serta keanekaragaman hayati yang ada. Bahkan diperkirakan akan bertambah bagus dan sangat menarik lagi dari sisi pariwisata karena secara
konseptual,
penetapan
suatu
kawasan
MPA
akan
menambah
keanekaragaman hayati, keunikan, produktivitas kawasan, dan kealamiannya. 9 Daya tarik wisata dari TWA Laut Pulau Weh dalam alternarif kebijakan “PP” diperkirakan akan mengalami beberapa perubahan dari kondisi existing pada saat ini. Perubahan tersebut mutlak diperlukan karena dalam konsep kebijakan PP, karena biasanya tuntutan permintaan yang tinggi dari pasar akan mengabaikan kondisi daya dukung lingkungan sehingga lambat laun akan terjadi perubahan terhadap kondisi lingkungan, terutama bio-fisiknya. Untuk alternatif kebijakan ini, dalam kriteria daya tarik wisata diberikan skor 2 (menarik). 4.2.11.12. Sarana dan Prasarana Keberadaan sarana dan prasarana sebagai penunjang kegiatan pariwisata merupakan faktor penting yang harus dipenuhi, selain dua faktor lainnya, yaitu daya tarik wisata dari suatu objek (komponen supply) dan aksesibilitas. Penyediaan sarana dan prasaran pariwisata yang berkualitas merupakan salah satu ukuran keberhasilan pengusahaan kegaitan pariwisata alam. Unsur kenyamanan dan keamanan dari sarana dan prasarana tersebut, sehingga membuat pengunjung aman dan nyaman, juga berperan penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan wisata. Dalam penelitian ini, pengukuran kelengkapan sarana dan prasarana di TWA Laut Pulau Weh didasarkan pada standar sarana dan prasarana pariwisata alam sebagaimana ditetapkan Ditjen PHKA Departemen Kehutanan (Tabel 21). Penentuan skor untuk kriteria ini didasarkan pada kelengkapan sarana dan prasarana yang dimiliki dari berbagai alaternatif kebijakan. Indikator yang dipakai adalah skor tertinggi (3) diberikan untuk kondisi yang mana memenuhi seluruh standar sarana dan prasarana sebagaimana ditetapkan dalam Tabel 21 (sangat lengkap). Selanjutnya, kondisi yang memenuhi minimal sebagian dari standar di atas diberikan skor 2 (cukup atau memadai) dan skor 1 untuk kondisi dimana tidak
sampai
memenuhi
sebagian
dari
sarana
dan
prasarana
dipersyaratkan (kurang).
9
Salm dan Clark (2000) diacu dalam Satria A et al. (2002) dan Gubbay S (1995)
yang
107
Tabel 21. Standar Sarana dan Prasarana Pariwisata Alam Tahun 2005 Sarana I
II
III IV V VI
Akomodasi a. Pondok Wisata Alam/Pondok Apung b. Bumi Perkemahan c. Karavan d. Penginapan e. Fasilitas Akomodasi - Ruang pertemuan - Ruang makan/minum - Fasilitas bermain anak - Gudang f. Fasilitas Pelayanan Umum dan Kantor - Pelayanan informasi - Pelayanan Telekomunikasi - Pelayanan Administrasi - Pelayanan Angkutan - Pelayanan Penukaran Uang - Pelayanan Cucian - Telepon Umum - Musholla - Poliklinik/Pos P3K - Menara Pengawas - Tempat sampah - Kantor - Mess karyawan - Pemadam kebakaran Rumah Makan dan Minuman a. Restoran b. Kedai c. Kios-kios makanan/minuman Wisata Tirta Wisata Budaya Angkutan Umum Kios Cinderamata
Prasarana I
II III IV V VI VII VIII IX X
Jalan a. Jalan utama b. Jalan cabang c. Jalan setapak d. Jalan patroli e. Jalan pengaman Jembatan Areal Parkir Jaringan Listrik Jaringan Air Minum Jaringan Telepon Jaringan Drainase/Saluran Sistem Pembuangan Limbah Dermaga Pelabuhan Tambat Helipad
Sumber : Ditjen PHKA Departemen Kehutanan (2001)
Berdasarkan standar di atas (Tabel 21), terdapat 43 jenis sarana dan prasarana yang harus ada dalam kegiatan parawisata alam.
Berdasarkan
pengamatan langsung di lokasi peneltian, sarana dan prasarana di TWA Laut Pulau Weh untuk kondisi saat ini (SQ) adalah kurang, karena hanya terdapat 18 dari 43 jenis atau kurang dari sebagian dari sarana dan prasarana yang dipersyaratkan, sehingga diberikan skor 1. Check list mengenai standar sarana dan prasarana untuk pariwisata alam dengan kondisi sarana dan prasarana di TWA Laut Pulau Weh secara lengkap disajikan dalam Lampiran 9.
108
Skor 2 dari kriteria ini diberikan untuk alternatrif kebijakan “MPA”. Untuk alternatif kebijakan MPA, sarana dan prasarana yang akan bertambah minimal sekali adalah lima jenis, sehingga apabila ditambahkan dengan jumlah sarana dan prasarana yang ada sekarang (SQ), akan menjadi 23 atau lebih setengah dari standar jenis sarana dan prasarana yang dipersyaratkan untuk pariwisata alam (43 jenis). Kelima jenis sarana dan prasarana tersebut adalah pelayanan informasi, pelayanan telekomunikasi, pelayanan administrasi, kantor, dan mess karyawan. Dengan penetapan TWA Laut Pulau Weh sebagai MPA, kelima jenis sarana dan prasaran tersebut mutlak diperlukan. Hal ini karena pada prinsipnya, MPA harus dikelola oleh suatu lembaga tertentu (unit kerja atau dalam bentuk lain) dan lembaga tersebut harus memiliki kelima jenis sarana dan prasarana tersebut untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan kewajibannya (di samping sarana dan prasarana lainnya). Ketersediaan sarana dan prasarana merupakan salah satu syarat bagi pengembangan
kegiatan
pariwisata
(Saifullah
2005).
Oleh karena itu,
pengembangan sektor pariwisata di TWA Laut Pulau Weh yang berorientasi pada pasar domestik, nasional, dan mancanegara mutlak memerlukan kelengkapan sarana dan prasarana.
Dengan demikian, maka diasumsikan
kondisi sarana dan prasarana di TWA Laut Pulau Weh untuk alternatif kebijakan “PP” akan sangat lengkap, sehingga skor yang diberikan adalah 3. 4.2.12. Prioritas Kebijakan Berdasarkan analisis dari seluruh di atas, telah ditetapkan skor untuk masing-masing alternatif kebijakan ditetapkan. Hasil analisis tersebut dirangkum dalam bentuk data masukan (input) untuk analisis MCDM sebagaimana disajikan dalam Tabel 22. Selain itu, dalam Tabel 22 juga terlihat bahwa pembobotan diberikan nilai yang sama untuk setiap kriteria, yaitu sebesar 0,083. Artinya, semua kriteria memiliki tingkat kepentingan yang sama antara satu dengan yang lainnya. Berdasarkan analisis MCDM dengan fungsi agregasi WSM yang melibatkan berbagai kriteria sebagaimana disajikan dalam Tabel 22, maka alternatif terbaik dalam pengelolaan TWA Laut Pulau Weh di Kota Sabang adalah menetapkan kawasan TWA Laut Pulau Weh sebagai Marine Protected Area (nilai utilitasnya sebesar 0,583).
109
Tabel 22. Data Masukan (Input) untuk Analisis MCDM Tahun 2005 Alternatif Kebijakan Arah Bobot Marine Optimasi Status Pengembangan Protected Quo Pasar Area
No.
Aspek dan Kriteria
1 2
Ekonomi PDRB Kota Sabang Penyerapan Tenaga Kerja
Max Max
2 1
3 2
3 3
0.083 0.083
3 4 5
Sosial Konflik Pemanfaatan Persepsi Masyarakat Partisipasi Masyarakat
Min Min Max
1 1 3
1 1 2
3 3 1
0.083 0.083 0.083
6 7
Ekologi Illegal Fishing Fenomena Alam (Tsunami)
Min Min
2 1
1 1
3 1
0.083 0.083
8 9
Politik Keamanan Kebijakan Pemerintah
Max Max
3 2
3 2
3 3
0.083 0.083
Geografi 10 Aksesibilitas
Max
1
2
3
0.083
Teknis 11 Objek Daya Tarik Wisata 12 Sarana dan Prasarana
Max Max
3 1
3 2
2 3
0.083 0.083
Sumber : Data Primer (2005), Diolah Keterangan : Max dan Min adalah tanda arah optimasi. Max berarti mengarah ke maksimasi, artinya nilai yang makin besar adalah nilai yang terbaik. Adapun Min berarti mengarah ke minimasi, yang mana nilai yang semakin kecil adalah nilai yang terbaik.
Nilai utilitas MPA tersebut ini merupakan utilitas tertinggi dibandingkan dua alternatif kebijakan lainnya. Urutan nilai utilitas kedua tertinggi adalah pengembangan kawasan TWA Laut Pulau Weh yang berorientasi pasar lokal, domestik, dan manca negara (0,471). Selanjutnya, alternatif kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh dalam kondisi Status Quo menempati urutan prioritas ketiga karena nilai utilitasnya paling kecil (0,375). Tingkat “kepuasan” atau utility atau nilai prioritas (Pi) untuk masing-masing alternatif kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh, berdasarkan urutan tingkat kepentingan disajikan dalam Tabel 23. Proses perhitungan dengan menggunakan software Sanna secara lengkap disajikan dalam Lampiran 10.
110
Tabel 23. Utilitas Alternatif Kebijakan Pengelolaan TWA Laut Pulau Weh Tahun 2005 Rangking
1 2 3
Alternatif Kebijakan
Marine Protected Area (MPA) Pengembangan Pasar (PP) Status Quo (SQ)
Utilitas 0,583 0,417 0,375
Sumber : Data Primer (Diolah), 2005
4.2.13. Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas bertujuan untuk menguji stabilitas alternatif keputusan yang diambil. Dalam analsisi ini, dilakukan perubahan pada pemberatan atau bobot (yang mewakili tingkat kepentingan variabel) dan skor pada setiap kriteria. Analisis sensitivitas ini dilakukan secara manual pada setiap tahap perubahan nilai dari bobot, karena menurut Triantaphyllou dan Sanchez (1997) diacu dalam Rahardjo (2003), perangkat lunak yang dapat digunakan untuk analisis ini belum tersedia. Dalam melakukan analisis ini, untuk beberapa variabel yang dianggap penting, nilai pembobotannya terus dinaikkan sampai pada batas maksimal. Pada batas ini, kenaikan nilai bobot sedikit saja akan merubah hasil keputusan (ditujukkan dengan perubahan urutan nilai utilitas). Variabel yang dianggap penting adalah PDRB, Konflik Pemanfaatan, Illegal Fishing, Objek Daya Tarik Wisata, serta Sarana dan Prasarana. Pada analisis MCDM dengan menggunakan fungsi agregasi WSM, awal nilai dari bobot adalah sama untuk seluruh variabel penting, yaitu 0,083. Total nilai bobot untuk seluruh variabel penting harus sama dengan satu (W 1..W 1,..,W n=1). Selanjutnya, proses dari analisis sensitivitas adalah terus menaikkan nilai bobot dari kelima variabel penting di atas sebesar 0,001 pada setiap tahap.
Berdasarkan ketentuan tersebut, hasil analisis menunjukkan
bahwa nilai utilitas tidak berubah hingga nilai bobot yang diberikan mencapai 0,165 untuk masing-masing variabel penting tersebut. Artinya, keputusan akhir (pemberlakuan MPA) masih tidak berubah sampai pada nilai bobot tersebut. Pada saat bobot dinaikkan menjadi 0,166, terjadi perubahan nilai utilitas untuk PP dan SQ, dimana nilai utilitasnya sama, yaitu sebesar 0.41176. Sedangkan untuk nilai utilitas dari MPA adalah sebesar 0.67647, sehingga urutan keputusannya menjadi MPA (pertama) dan kedua-ketiga adalah PP dan SQ karena nilai utilitasnya sama.
111
Pada saat nilai bobot dinaikkan menjadi 0,167, terjadi perubahan nilai utilitas dari masing-masing alternatif kebijakan, yaitu 0.67726 (MPA), 0.41172 (PP), dan 0.41208 (SQ). Dengan demikian, pada bobot ini terjadi perubahan keputusan pada SQ dan PP dimana SQ yang sebelumnya pada urutan ketiga menjadi urutan kedua, sehingga PP menempati urutan ketiga. Untuk MPA, sampai pada penambahan bobot ini tidak terjadi perubahan, yaitu tetap pada urutan pertama. Urutan peringkat ini terus bertahan walaupun hasil dari nilai utilitas yang diperoleh berbeda sampai pada nilai bobot dari masing-masing variabel penting tersebut mencapai batas nilai maksimal, yaitu 0,200. Hasil analisis sensitivitas dengan merubah nilai dari bobot kelima variabel penting disajikan secara lengkap pada Tabel 24. Tabel 24. Analisis Sensitivitas dengan Merubah Bobot dari Lima Variabel Penting Tahun 2005 Bobot Variabel Penting 0,083 0,165 0,166 0,167 0,190 0,200
Urutan Peringkat dan Nilai Utilitas Alternatif Kebijakan PP MPA SQ 1 (0.58333) 2 (0.41667) 3 (0.37500) 1 (0.67568) 2 (0.41181) 3 (0.41145) 1 (0.67647) 2 -- 3 (0.41176) 2 -- 3 (0.41176) 1 (0.67726) 3 (0.41172) 2 (0.41208) 1 (0.69399) 3 (0.41084) 2 (0.41868) 1 (0.70051) 3 (0.41050) 2 (0.42125)
Sumber : Data Primer (Diolah), 2005
Berdasarkan hasi analisis sensitivitas terlihat bahwa hasil keputusan analisis MCDM dengan fungsi regresi WSM seperti yang tercantum dalam Tabel 23 dengan data masukan (input) dari Tabel 22, memiliki tingkat kestabilan yang sangat tinggi. Sensitivitas perubahan nilai utilitas baru dapat terjadi apabila kelima variabel penting diberi bobot masing-masing sebesar 0,167 (total bobot dari kelima variabel penting menjadi 0,835). Perubahan yang terjadi hanya untuk nilai utilitas urutan kedua dan ketiga, adapun urutan pertama (nilai utilitas tertinggi) mengalami penambahan nilai utilitas yang semakin meningkat. Arti dari total bobot dari kelima variabel penting sebesar 0,835 adalah bahwa tujuh variabel lain yang dianggap kurang penting, karena masing-masing hanya mendapatkan bobot 0,024.
112
Secara grafik, hasil analisis sentitivitas dalam Tabel 24 disajikan dalam Gambar 11.
Utilitas 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0.083
0.165
0.166
MPA
0.167 PP
0.190
0.200 Bobot
SQ
Gambar 11. Grafik Hasil Analisis Sensitivitas dengan Merubah Bobot Lima Variabel Penting
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika semua variabel dianggap penting sehingga masing-masing variabel diberikan bobot yang sama, maka hasil keputusan analisis MCDM tersebut menjadi sangat stabil. Artinya, pada taraf ini, diperlukan perubahan skor yang besar serta mencakup banyak variabel agar terjadi perubahan peringkat (urutan) dari berbagai alternatif kebijakan dalam pengelolaan TWA Laut Pulau Weh. 4.2.14. Implikasi Kebijakan Berdasarkan analisis terhadap tiga alternatif kebijakan pengelolaan TWA Laut
Pulau
Weh
dengan
menggunakan
analisis
multikriteria,
prioritas
pengelolaan kawasan tersebut pada masa mendatang adalah diterapkannya sebagai Marine Protected Area (MPA).
Kebijakan ini, baik secara langsung
maupun tidak langsung akan menimbulkan konsekuensi dalam berbagai aspek, yaitu sosial, ekonomi, ekologi, serta manajerial dan keuangan. Secara sosial, penetapan MPA di TWA Laut Pulau Weh harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain diterima secara sosial, melestarikan budaya
113
dan
tradisi
setempat,
serta
dapat
mengeliminasi
konflik
kepentingan
(pemanfaatan ruang). Selanjutnya, secara ekonomi kawasan tersebut harus dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat. Adapun dalam aspek ekologi, status TWA Laut Pulau Weh sebagai MPA harus memiliki kekayaan keanekaragaman ekosistem, lingkungannya tidak mengalami kerusakan, memiliki spesies yang unik dan endemik, serta kawasan ini harus berperan sebagai ”pemasok” atau nursery ground biota laut dan ikan bagi wilayah perairan di sekitarnya. Selanjutnya, secara manajerial dan keuangan, MPA harus dikelola secara sungguh-sungguh oleh otoritas tertentu (pemerintah dan atau swasta). Dalam menjalankan tugas pengaturan tersebut, diperlukan kemampuan finansial, sehingga otoritas tersebut mampu menghidupi dirinya sendiri. Berikut ini akan diuraikan secara terperinci mengenai implikasi kebijakan sebagai akibat dari penetapan TWA Laut Pulau Weh sebagai MPA. Uraian implikasi kebijakan ini didasarkan pada beberapa aspek yang telah disebutkan di atas.
Masing-masing implikasi kebijakan akan menguraikan kemungkinan-
kemungkinan yang akan terjadi seiring penetapan TWA Laut Pulau Weh sebagai MPA. 4.2.14.1. Persepsi dan Partisipasi Masyarakat Penetapan TWA Laut Pulau Weh sebagai MPA mutlak memerlukan partisipasi masyarakat sebagaimana dipersyaratkan Salm dan Clark (2000) diacu dalam Satria et al. (2002) yang menyatakan bahwa secara sosial MPA harus dapat diterima oleh masyarakat lokal. Pengertian masyarakat dalam terminologi ini tidak hanya terbatas pada masyarakat yang berdomisili di sekitar TWA Laut Pulau Weh saja, tetapi mencakup seluruh pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan kawasan ini. Penerimaan terhadap MPA pada gilirannya akan menciptakan partisipasi aktif dari masyarakat dalam keikutsertaannya untuk melakukan kegiatan konservasi di TWA Laut Pulau Weh. Untuk mewujudkan penerimaan masyarakat tersebut, diperlukan sosialisasi yang kontinu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kriteria dan karakteristik MPA secara sosial, ekonomi, ekologi, dan pengembangan wilayah. Dengan upaya tersebut, diharapkan akan tumbuh kesamaan persepsi dan pemikiran mengenai pentingnya MPA sebagai salah satu dari ciri pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Penerimaan masyarakat juga diperlukan untuk menumbuhkan rasa kepemilikan (sense of belonging) terhadap TWA Laut Pulau
114
Weh, sehingga muncul kesadaran untuk senantiasa melestarikan kawasan perairan tersebut. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa TWA Laut Pulau Weh memiliki nilai ekonomi yang relatif tinggi, yaitu sekitar 3,7 milyar. Nilai ini tidak akan berarti apa-apa apabila tidak mendapat dukungan dari masyarakat yang ada di sekitar TWA Laut Pulau Weh. Artinya, nilai ekonomi tersebut terlebih dahulu harus dipertimbangkan dengan biaya sosial yang harus dibayar manakala kawasan tersebut akan ditetapkan sebagai MPA. Berdasarkan pengamatan di lapangan, selain berfungsi sebagai pusat kegiatan wisata di Kota Sabang, di sekitar TWA Laut Pulau Weh juga terdapat kawasan pemukiman penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Artinya, pemanfaatan kawasan ini mencakup dua kepentingan di dalamnya, yaitu pariwisata dan perikanan. Hasil wawancara dengan tokoh masyarakat setempat, diperoleh gambaran bahwa meskipun tidak terjadi konflik pemanfaatan ruang secara nyata, namun masih terdapat kekurangpahaman dari masyarakat sekitar tentang keberadaan kawasan TWA Laut Pulau Weh sebagai kawasan konservasi. Hal ini terbukti dengan adanya praktik illegal fishing di dalam wilayan perairan TWA Laut Pulau Weh berupa pengeboman dan peracunan ikan dan biota laut lainnya. Beberapa isu penting mengenai penetapan MPA di TWA Laut Pulau yang harus disosialisasikan meliputi keterlibatan masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan dan aksesibilitas masyarakat. Khusus dalam hal aksesibilitas, harus ada penjelasan bahwa penetapan TWA Laut Pulau Weh sebagai MPA tidak akan menjadikan kawasan tersebut sebagai wilayah yang tertutup (closed area) atau sebagai no-take zone yang mana akan ada pelarangan bagi masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonominya. 4.2.14.2. Nilai Ekonomi Kawasan Nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh dalam konteks sebagai MPA diperkirakan akan mengalami peningkatan dibandingkan dengan kondisi saat ini. Hal ini terkait dengan fungsi kawasan MPA sebagai daerah yang potensial untuk dikembangkan untuk kegiatan pariwisata (Salm dan Clark 2000 diacu dalam Satria et al. 2002). Logikanya, objek wisata yang ada di TWA Laut Pulau Weh akan semakin meningkat daya tariknya karena dalam kondisi MPA, kelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya senantiasa dapat terjaga. Dengan demikian, di masa mendatang akan semakin
115
banyak wisatawan yang akan berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh dengan asumsi bahwa faktor yang mempengaruhi kunjungan wisatawan lainnya seperti biaya perjalanan dan ketersediaan sarana pendukung dianggap konstan. 4.2.14.3. Pengelolaan Wilayah Pesisir Dari sisi pengelolaan wisayah pesisir, implikasi penetapan TWA Laut Pulau Weh sebagai MPA dapat menjadi milestone bagi pengelolaan wilayah pesisir di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan khususnya di Kota Sabang. Konsep dari MPA yang pada dasarnya adalah sebagai upaya dalam mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai faktor pendukung utama pembangunan di negara-negara berkembang. Pengendalian dalam pembangunan di wilayah pesisir yang berbasis MPA ini dapat memberikan nilai tambah, karena bukan saja manfaat ekonomi yang dapat diperoleh, namun juga manfaat ekologi yang dalam jangka panjang. Selain itu, juga akan memberikan tambahan manfaat ekonomi bagi TWA Laut Pulau Weh itu sendiri. Sebagai intrumen pengendalian, menurut Fauzi dan Anna (2005), MPA dapat mencegah terjadinya over eksploitasi terhadap sumberdaya alam khususnya perikanan, sehingga dalam jangka panjang dapat meminimalkan dampak overfishing. Apabila overfishing dapat dikurangi, dalam jangka panjang akan meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui peningkatan return per vessel serta dapat menurunkan biaya pengelolaan (management cost). Dalam konteks pengembangan sektor pariwisata, MPA sebagai instrumen pengendalian berguna bagi tetap terjaga dan terpeliharanya keutuhan bio-fisik kawasan yang selama ini menjadi objek daya tarik wisata di TWA Laut Pulau Weh. 4.2.14.4. Pengembangan Wilayah Dalam tataran pengembangan wilayah, penetapan MPA di TWA Laut Pulau Weh akan memberikan nilai tambah bagi pengembangan wilayah Kota Sabang secara keseluruhan, seperti semakin menguatkan indentitas kawasan tersebut sebagai surga bagi penyelam dan dalam konteks yang lebih luas adalam sebagai icon pariwisata bagi Kota Sabang dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam . Dengan demikian, akan dapat meningkatkan efek pengganda terhadap sektor ekonomi lainnya. Misalnya, peningkatan wisata diving di masa mendatang akan menimbulkan gairah investasi di bidang eko-wisata yang pada gilirannya akan meningkatkan permintaan infrastruktur fisik dan ekonomi serta peningkatan pelayanan jasa.
116
Efek pengganda ekonomi yang demikian pada akhirnya akan terlihat dalam kontribusi sektor pariwisata dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Sabang. PDRB merupakan gambaran struktur perekonomian daerah yang terdiri atas beberapa sektor ekonomi atau secara lebih luas dikenal dengan istilah lapangan usaha. Selama tahun 1999-2003, kontribusi sektor pariwisata dalam PDRB Kota Sabang rata-rata sekitar 8,36% per tahun.
Kontribusi sektor
pariwisata dalam perekonomian Kota Sabang pada masa mendatang dengan diterapkannya MPA di TWA Laut Pulau Weh akan semakin meningkat apabila kegiatan pariwisata yang berlangsung di kawasan ini dapat memberikan nilai tambah sebagaimana disebutkan di atas. 4.2.14.5. Institusi Pengelola Selama ini, TWA Laut Pulau Weh berada dalam pengelolaan Resort Konservasi Sumberdaya Alam Iboih dan masuk ke dalam Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Lembaga ini merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kehutanan Republik Indonesia di bidang pengelolaan kawasan konservasi. Menurut Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 928/Kpts/Um/12/1982 tanggal 24 Desember 1982, kewenangan lembaga tersebut hanya terbatas pada monitoring dan pengawasan kawasan, sehingga tidak memiliki wewenang untuk mengembangkan kawasan secara terpadu yang mencakup tugas-tugas untuk kegiatan konservasi sekaligus kegiatan ekonomi didalamnya. Berdasarkan pengalaman di beberapa kawasan serupa lainnya di Indonesia, masih dimungkinkan untuk melakukan kerja sama operasional dengan pihak ketiga dalam rangka pengelolaan kegiatan wisata di kawasan konservasi tersebut. Berdasarkan konfirmasi dengan Kantor Subdirektorat Pemanfaatan Kawasan Konservasi dan Jasa-jasa Lingkungan Ditjen PHKA Departemen Kehutanan, sampai dengan saat ini belum ada pihak ketiga yang terikat izin pengelolaan TWA Laut Pulau Weh. Kegiatan pariwisata di TWA Laut Pulau Weh belum dikelola secara terpadu oleh suatu badan tertentu, tetapi diusahakan oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat. Hal ini dapat terlihat di lapangan bahwa karcis atau tiket masuk ke kawasan tersebut dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Sabang c.q. Dinas Pendapatan Daerah Kota Sabang. Untuk sarana akomodasi seperti hotel dan bungalow, dimiliki oleh swasta dan masyarakat. Adapun jenis usaha lainnya
117
seperti rumah makan, warung minuman, dive centre, dan jasa perahu (sea taxi) dimiliki oleh masyarakat sekitar. Dengan penetapannya sebagai MPA, TWA Laut Pulau Weh harus dikelola oleh lembaga khusus dan memiliki kewenangan yang lebih luas, baik dalam hal pengelolaan kawasan tersebut sebagai kawasan konservasi maupun dalam menggerakkan kegiatan ekonomi di dalamnya.
Dengan kebijakan tersebut,
seluruh rente ekonomi yang diperoleh dapat digunakan untuk mendanai program konservasi. Dengan demikian, akan dapat menyelesaikan permasalahan keuangan dalam pengelolaan kawasan konservasi, sehingga tidak harus tergantung kepada dana yang bersumber dari subsidi pemerintah dan atau lembaga donor lainnya. Sebagai bahan perbandingan, di banyak negara, MPA atau lebih dikenal dengan sebutan marine reserve dikelola oleh badan tertentu yang ditunjuk pemerintah, baik pemerintah itu sendiri maupun swasta dan non-government organization. Misalnya, di Inggris, Wales, dan Skotlandia yang termasuk dalam United Kingdom Marine Nature Reserves Programme, pengelolaan kawasan MPA yang dinamai dengan Marine Nature Reserve dikelola oleh Nature Conservation Council (Gubbay 1995). Begitu juga dengan institusi pengelolaan MPA di Kenya (Kisite Marine National Park dan Mpunguti Marine National Reserve) yang dikelola oleh Kenya Wildlife Service (Emerton dan Tessema 2000).
Di Australia, salah satu MPA yang consern terhadap perlindungan
terumbu karang, Great Barrier Reef Marine Park dikelola secara terpadu oleh Great Barrier Reef Marine Park Authority yang bertanggung jawab kepada Pemerintah Persemakmuran (Commonwealth Government) Australia 10. Ke depan, hendaknya perlu dilakukan perubahan dalam hal kelembagaan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh. Untuk tujuan tersebut, ditawarkan dua alternatif yang mungkin dapat dilakukan terkait dengan hasil analisis yang merekomendasikan penetapan MPA sebagai kebijakan terbaik pengelolaan kawasan TWA Laut Pulau Weh. Alternatif pertama, revitalisasi institusi yang ada yaitu Resort BKSDA Iboih melalui pemberian kewenangan yang lebih luas, sehingga dapat mengelola kawasan TWA Laut Pulau Weh secara terpadu antara kepentingan konservasi dan tugasnya untuk konservasi kawasan. Alternatif kedua, membentuk lembaga atau institusi pengelola baru, yang terdiri atas berbagai kalangan, seperti 10
www.gbrmpa.gov.au
118
masyarakat (swasta), pemerintah daerah, dan Resort BKSDA Iboih. Lembaga baru tersebut dapat berbentuk sebagai suatu badan usaha sehingga dapat memanfaatkan seluruh potensi yang ada di TWA Laut Pulau Weh berdasarkan kaidah-kaidah pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dan berkelanjutan. 4.2.14.6. Pendanaan Bagaimanapun bentuk dan struktur diantara dua alternatif dari institusi pengelola TWA Laut Pulau Weh sebagaimana diuraikan sebelumnya, permasalahan utama yang muncul adalah menyangkut masalah pendanaan dalam pengelolaan kawasan tersebut. Konsep pengelolaan kawasan MPA dalam hal pendanaan mutlak memerlukan dukungan keuangan yang kuat. Menurut Fauzi dan Anna (2005), ketersediaan dana dibutuhkan untuk membayar upah tenaga kerja, pelayanan, pemeliharaan, dan pengawasan. Tanpa pendanaan yang berkelanjutan, maka keberadaan suatu kawasan konservasi laut (MPA) di masa mendatang sangat sulit dipertahankan. Pendanaan yang berkelanjutan juga dibutuhkan untuk mencegah terjadinya social disapproval atas keberadaan MPA, karena mungkin dirasa tidak memberikan manfaat sosial bagi masyarakat. Laporan dari Bank Dunia diacu dalam Fauzi dan Anna (2005) menyebutkan bahwa ketidakcukupan (inadequate) dan ketidakberlanjutan (unsustainable) pendanaan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan gagalnya penetapan suatu kawasan konservasi (MPA). Berdasarkan uraian di atas, maka hasil perhitungan nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh berdasarkan aspek biaya perjalanan dapat dijadikan salah satu dasar untuk mengeksplorasi sumber-sumber dana guna mewujudkan pendanaan berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan tersebut. Selama ini, biaya yang dibutuhkan untuk mendanai kegiatan pengelolaan kawasan TWA Laut Pulau Weh berasal dari pemerintah (subsidi) dalam hal ini adalah Departemen Kehutanan melalui UPT-nya di daerah yaitu, Resort BKSDA Iboih selaku pengelola kawasan. Ke depan, apabila kawasan TWA Laut Pulau Weh akan ditetapkan sebagai MPA, selain tetap mengandalkan subsidi dari pemerintah, dapat dieksplorasi sumber-sumber pendanaan yang lain yang bertumpu pada kemampuan dari pengelola kawasan, misalnya dengan memberlakukan kebijakan entry fee bagi wisatawan. Kebijakan ini sangat memungkinkan untuk diberlakukan karena berdasarkan hasil survai tingkat keinginan membayar wisatawan, diperoleh hasil
119
bahwa wisatawan mau membayar sekitar Rp126 ribu 11 . Hasil ini diperoleh dengan menduga tingkat keinginan membayar wisatawan secara tidak langsung, yaitu berdasarkan biaya perjalanan yang dikeluarkan. Untuk lebih mengetahui respon langsung dari wisatawan terhadap pemberlakuan entry fee ini, dapat dilakukan dengan menanyakan langsung ke wisatawan berapa tingkat keinginan membayarnya untuk menikmati keindahan dan berbagai atraksi wisata di TWA Laut Pulau Weh. Selain kedua sumber pendanaan di atas (subsidi pemerintah dan entry fee), pengelola kawasan dapat menerima dana dari sumber lain, misalnya bantuan dari lembaga donor (pihak ketiga) dan penerimaan lain yang bersumber pengenaan pajak-pajak atas pemanfaatan barang/jasa yang ada di TWA Laut Pulau Weh. Pajak-pajak tersebut dapat berupa retribusi yang dikenakan kepada tempat-tempat usaha (rumah makan, hotel, parkir, jasa persewaan alat selam, dan usaha-usaha lainnya). Setelah mengidentifikasi seluruh sumber dana yang mungkin dapat diperoleh, institusi pengelola TWA Laut Pulau Weh dapat menetapkan pola pendanaan untuk menjamin kecukupan dan keberlanjutannya. Menurut Fauzi dan Anna (2005), pola pendanaan yang paling mungkin diterapkan untuk pengelolaan kawasan konservasi (MPA) adalah melalui kerja sama antara pemerintah dan institusi pengelola.
Pola tersebut lebih sesuai dengan
pengelolaan kawasan konservasi mengingat peranan pemerintah melalui subsidi tetap dibutuhkan karena besarnya biaya pengawasan yang dibutuhkan. Dengan pola pendanaan seperti ini, dana yang dikumpulkan, baik yang berasal dari subsidi pemerintah maupun yang bersumber dari entry fee dan penerimaan lainnya dikumpulkan melalui pos penerimaan pemerintah lokal secara terpisah dari pos anggaran lainnya.
Selanjutnya, institusi pengelola
berkerja sama dengan pemerintah dalam mengelola dana untuk kepentingan kawasan konservasi dengan pengawasan secara bersama-sama oleh keduanya. Pola tersebut secara skematik dapat dilihat dalam Gambar 12.
11
Merupakan WTP individu dari wisatawan yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh pada tahun 2005. Dilakukan secara tidak langsung dengan menggunakan metode biaya perjalanan (travel cost methode)
120
Sumber : Fauzi A dan Anna S (2005)
Gambar 12. Pola Pendanaan Kawasan Konservasi Pola pendanaan sebagaimana diuraikan di atas secara faktual sesuai untuk diterapkan dalam pengelolaan kawasan TWA Laut Pulau Weh sebagai MPA. Hal ini karena didasarkan dengan objek daya tarik wisata yang ada dan permintaan pariwisata, sehingga memungkinkan untuk mencari sumber-sumber pendanaan sebagaimana dipersyarakat pola tersebut. Pertama, sumber pendanaan yang berasal dari subsidi pemerintah (pusat dan daerah) akan tetap diperoleh pada masa mendatang. Pemerintah Pusat c.q. Departemen Kehutanan melalui UPT-nya di Kota Sabang secara terus menerus akan menempatkan petugasnya untuk mengawasi kawasan yang berada dalam kewenangannya
tersebut
sebagaimana
diamanatkan
Keputusan
Menteri
Pertanian Nomor : 928/Kpts/Um/12/1982. Selanjutnya, dari Pemerintah Kota Sabang tetap konsisten untuk membantu pendanaan pengelolaan kawasan ini mengingat TWA Laut Pulau Weh telah ditetapkan sebagai objek wisata utama sekaligus icon pariwisata Kota Sabang. Selama ini, Pemerintah Kota Sabang secara kontinu menerima pemasukan berupa pajak yang diperoleh dari pemanfaatan TWA Laut Pulau Weh tersebut. Kedua, sumber penerimaan yang bersumber dari entry fee dapat diperoleh dari pemanfaatan kawasan TWA Laut Pulau Weh sebagai kawasan wisata. Secara konseptual, entry fee ini adalah menetapkan harga terhadap sumberdaya alam, sehingga apabila ingin memanfaatkan sumberdaya alam tersebut harus membayar dalam jumlah tertentu. Apabila wisatawan yang berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh dikenakan biaya tertentu, maka akan menambah penerimaan yang digunakan untuk pendanaan.
121
Besaran entry fee dapat ditentukan melalui survai tingkat keinginan membayar pengunjung. Untuk mengotimalkan penerimaan melalui entry fee, perlu menerapkan kebijakan diskrimasi harga terhadap pengunjung TWA Laut Pulau Weh. Berdasarkan data kunjungan tahun 2000- 2005, pengunjung TWA Laut Pulau Weh terdiri atas wisatawan lokal (97%) dan turis asing (3%). Oleh karena itu, harus ada perbedaan besaran entry fee terhadap wisatawan, yaitu dengan mengenakan entry fee yang lebih besar kepada turis asing. Untuk mencari sumber pendanaan dari penerimaan lainnya, dapat diacu dari pengalaman yang sudah diterapakan di daerah atau negara lain, seperti melalui environmental cost recovery charge (ECRC), yaitu biaya pemeliharaan lingkungan agar manfaat yang diperoleh sekarang tetap dapat dipertahankan di masa mendatang (Fauzi dan Anna 2005). Sumber penerimaan semacam ini sudah diimplementasikan dalam pengelolaan MPA Ras Muhammad di Mesir. Prinsip dasar dari ECRC ini didasarkan pada pemahaman bahwa apabila sektor swasta seperti dive operator, rumah makan, hotel, dan masyarakat setempat telah merasakan dan menikmati manfaat dari keberadaan kawasan MPA tersebut, maka sudah sepantasnya membayar biaya pemeliharaannya. Sebagai contoh, untuk setiap pengunjung yang menginap di hotel atau makan di restoran/rumah
makan
dalam
kawasan
MPA, disediakan brosur yang
mengharuskan membayar ECRC disamping membayar biaya menginap atau harga makanan. Wisatawan yang membayar ECRC akan memperoleh semacam bukti pembayaran, untuk menjamin akuntabilitas penggunaan dana tersebut. Sumber penerimaan untuk pendanaan berkelanjutan bagi pengelolaan TWA Laut Pulau Weh adalah melalui unit-unit usaha yang didirikan oleh institusi pengelola. Melalui mekanisme ini, dana yang diperoleh dapat berkontribusi langsung untuk program konservasi di TWA Laut Pulau Weh, seperti penjualan tshirt dan beragam survenir yang menggambarkan program-program pelestarian dan konservasi.
Biasanya, minat wisatawan untuk membeli produk-produk
tersebut relatif tinggi, karena selain dapat dijadikan sebagai oleh-oleh, juga sekaligus sebagai pertanda bahwa wisatawan tersebut telah berkunjung ke TWA Laut Pulau Weh. Sumber penerimaan lainnya dapat juga diperoleh melalui pemanfaatan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang pada umumnya sangat tinggi di kawasan konservasi (Fauzi dan Anna 2005). Tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi memungkinkan untuk diekstraksi sepanjang tidak merusak
122
kelestariannya, sehingga dapat menghasilkan nilai ekonomi. Ekstraksi manfaat ekonomi melalui biodiversity prospecting dapat dilakukan dengan menjual ekstrak dari hewan dan tumbuhan yang ada di TWA Laut Pulau Weh untuk kepentingan industri farmasi dan kosmetik. Selain itu, guna menjamin ketersediaan dana dalam jangka panjang karena besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pengelolaan suatu kawasan konservasi, dapat ditempuh cara lainnya seperti upaya penggalangan dana dalam event tertentu. Penggalangan dana ini biasanya menghadirkan donatur (baik individu maupun lembaga) yang berkepentingan terhadap kelestarian sumberdaya alam. Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan dari pengelola untuk memperkuat jaringan dan kerja sama dengan pihak lain.
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan 1). Perhitungan nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh dilakukan melalui pendekatan
kurva
permintaan
dengan
menghitung
besaran
surplus
konsumen yang digunakan sebagai proxy untuk mengetahui tingkat keinginan membayar wisatawan. Kurva permintaan pengunjung atau wisatawan ke TWA Laut Pulau Weh dirumuskan berdasarkan pendekatan individual. 2). Berdasarkan pendekatan individual, tingkat tingkat keinginan membayar (WTP) pengunjung atau wisatawan adalah sebesar Rp126.053,21. Adapun nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh diperoleh dari hasil perkalian WTP tersebut dengan jumlah penduduk Kota Sabang pada tahun 2005 (29.950 jiwa), yaitu sebesar Rp3.775.293.639,50. 3). Nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh adalah sebesar 67,32% dari besaran kontribusi sektor pariwisata dalam PDRB Kota Sabang pada tahun 2005, yaitu sebesar Rp5.607.720.866,00. 4). Nilai ekonomi TWA Laut Pulau Weh terdistribusi dalam sektor/subsektor ekonomi
yang
berperan
sebagai
economic
multiplier
effect
bagi
perekonomian Kota Sabang dan ekonomi regional. 5). Diperlukan rumusan kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh yang mengacu kepada prinsip rasionalisasi pemanfaatan sumberdaya alam (kepentingan ekonomi saat ini), keberlanjutan dan kelestarian sumberdaya alam, serta kepentingan antargenerasi (intergeneration) untuk meningkatkan nilai ekonomi kawasan tersebut. 6). Prioritas dari berbagai alternatif kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh secara berturut-turut berdasarkan tingkat kepentingan adalah : (a). Pemberlakuan TWA Laut Pulau Weh sebagai Marine Protected Area (nilai utilitas sebesar 0,583). (b). Pengembangan kawasan yang berorientasi pada pasar lokal, domestik, dan luar negeri atau mancanegara (nilai utilitas sebesar 0,417). (c). TWA Laut Pulau dalam kondisi Status Quo, yaitu kondisi existing seperti saat ini (nilai utilitas sebesar 0,375). 7). Uji sensitivitas terhadap hasil analisis MCDM menunjukkan bahwa pilihan keputusan (penetapan MPA) memiliki tingkat kestabilan yang sangat tinggi.
124
Hasil simulasi mem buktikan bahwa terjadi penambahan nilai utilitas yang semakin meningkat, meskipun dilakukan perubahan terhadap nilai bobot. 8). Penetapan MPA di TWA Laut Pulau Weh berimplikasi dalam aspek sosial, ekonomi, serta keuangan dan manajerial. 5.2. Saran 1). Dalam rangka meningkatkan kunjungan wisatawan ke TWA Laut Pulau Weh, perlu dilakukan perbaikan sarana dan prasarana pendukung kegiatan wisata, terutama sarana dan prasarana transportasi, karena aksesibilitas dan biaya trasportasi ke lokasi wisata tersebut merupakan salah satu kendala yang dihadapi oleh wisatawan. 2). Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan akan meningkatkan nilai ekonomi kawasan, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Peningkatan jumlah wisatawan secara kualitatif akan meningkatkan nilai ekonomi kawasan secara signifikan dibandingkan dengan penambahan jumlah wisatawan secara kualitatif, karena akan meningkatkan perputaran uang di TWA Laut Pulau Weh. Oleh karena itu kebijakan pengembangannya harus diarahkan untuk mendatangkan lebih banyak wisatawan secara kualitatif. 3). Kebijakan pengelolaan TWA Laut Pulau Weh dalam rangka mewujudkan tujuan di atas adalah menetapkannya sebagai kawasan perlindungan laut atau Marine Protected Area (MPA). 4). Penetapan TWA Laut Pulau Weh sebagai MPA membutuhkan sosialisasi yang kontinu kepada publik agar tumbuhnya penerimaan dari seluruh stakeholders sehingga dapat berpartisipasi di dalamnya. 5). Penetapan MPA di TWA Laut Pulau Weh harus diikuti dengan pencarian sumber pendanaan yang berkelanjutan untuk membiayai pengelolaan kawasan tersebut dalam jangka panjang. Pencarian sumber pendanaan harus didahului dengan perumusan pola pendanaan. 6). Diperlukan revitalisasi dan atau pembentukan institusi baru dalam pengelolaan TWA Laut Pulau Weh dalam konteks penetapannya sebagai MPA.
125
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik; [Bappekot] Badan Perencanaan Pembangunan Kota Sabang. 2004a. Sabang Dalam Angka 2003. Sabang : BPS dan Bappekot. __________. 2004b. Produk Domestik Regional Bruto Kota Sabang 1993-2003. Sabang : BPS dan Bappekot. [BPKS] Badan Pengusahaan Kawasan Sabang. 2001. Program Pembangunan dan Pengembangan Kawasan Sabang. Sabang : BPKS. [BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika. 2005. Usulan Sistem Peringatan Dini Tsunami (Tsunami Early Warning System). http://www.bmg.or.id. [Januari 2005]. Cansuelo. 1988. An Introduction to Research Methode. Di dalam Umar. 2004. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta. PT Raja Grafindo Perkasa. Conrad JM. 1999. Reseource Economics. Cambridge. Cambridge University Press. Darusman; Ramdan; dan Yusran. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah : Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Bandung. Alqaprint. Dinas Pariwisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2003. Analisis Pasar Wisatawan 2003 Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Banda Aceh. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2003. Laporan Inventarisasi Calon Kawasan Konservasi Laut Kota Sabang. Banda Aceh. [Ditjen Pariwisata] Direktorat Jenderal Pariwisata. 1998. Pengembangan Ekowisata. Jakarta : Ditjen Pariwisata.
Pedoman
[Ditjen PHKA Dephut ] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan. 2001. Kriteria dan Standar Sarana dan Prasaran Pengusahaan Pariwisata Alam. Bogor : Ditjen PHKA Dephut. Dixon; Carpenter; Fallon; Sherman; dan Manipomoke. 1988. Economic Analysis of the Environmental Impact of Development Project. Di dalam Fauzi A. 2002. An Overview of Economic Valuation Techniques : A Highlight on Information Needen for Their Application in Developing Countries. Makalah Disampaikan pada INCO-DEV International Workshop on Information System for Policy and Technical Support of Fisheries and Aquaculture, Los Banos, Philippines, 5-7 Juni 2000. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1997. Model Desain Lansekap Taman Wisata Alam Pulau Weh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Bogor : Dephut.
126
[Dephutbun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Studi Awal Pengembangan Ekoturisme di Kawasan Konservasi di Indonesia. Jakarta : Dephutbun. [Deptan] Departemen Pertanian. 1982. Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 928/Kpts/Um/12/1982 tentang Penunjukan Gugusan Pulau Weh Beserta Perairan Laut di Sekitarnya Seluas 3.900 Hektar Termasuk Pulau Rubiah dan Pulau Seulako Menjadi Taman Wisata Alam dengan Nama Taman Wisata Alam (Laut) Pulau Weh. Jakarta : Deptan; 1982. Djijono. 2002. Valuasi Ekonomi Menggunakan Motode Travel Cost Taman Wisata Hutan di Taman Wan Abdul Rachman, Provinsi Lampung [Makalah Pengantar Falsafah Sains]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Program Pascasarjana. Emerton L; Tessema Y. 2000. Economic Contrains to The Management of Marine Protected Areas : The Case of Kisite Marine National Park and Mpunguti Marine National Reserve, Kenya. Nairobi. IUCN. Fauzi A. 2000. An Overview of Economic Valuation Techniques : A Highlight on Information Needen for Their Application in Developing Countries. Makalah Disampaikan pada INCO-DEV International Workshop on Information System for Policy and Technical Support of Fisheries and Aquaculture, Los Banos, Philippines, 5-7 Juni 2000. ______. 2002a. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pulau-pulau Kecil. Makalah Disampaikan pada Seminar Peluang Investasi Pulau-pulau Kecil di Indonesia, Jakarta, 10 Oktober 2002 ______. 2002b. Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Makalah Disampaikan pada Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan, Semarang, 4-8 Maret 2002 ______. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. ______. 2005a. Kebijakan Perikanan dan Kelautan : Isu, Sintesis, dan Gagasan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. ______. 2005b. Modeling with Multi-Criteria Decision Making. Bahan Perkuliahan pada Program Studi Ilmu Pengembangan Wilayah dan Pedesaan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fauzi A; Anna S. 2001. Analisis Kebijakan Pengelolaan Pulau-pulau Kecil melalui Pendekatan Multi Criteria Decision Making (MCDM). Working Paper, Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fauzi A; Anna S. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan: Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan (Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources) 4:43-55.
127
Fauzi A; Anna S. 2005. Studi Valuasi Perencanaan Kawasan Konservasi Selat Lembeh, Sulawesi Utara : Naskah Akademik Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Selat Lembeh. Bogor. USAID, DKP, dan Mitra Pesisir. [FDC-IPB] Fisheries Diving Club-Institut Pertanian Bogor, [UNESCO] United Nations for Economic, Sosial, and Culture Organization. 2005. PostTsunami Coral Reef Assessment in Weh Island. Bogor. FDC-IPB dan UNESCO. Garrod G; Willis KG. 1999. Economic Valuation of The Environment: Methode and Case Studies. Chletenham, UK, Edward Elgar. [GBRMPA] Great Barrier Reef Marine Park Authority. Protecting The Great Barrier Reef World Heritage Area. http:// www.gbrmpa.gov.au. [Februari 2006]. Gubbay S, editor. 1995. Marine Protected Areas : The Principle and Techniques for Management. Edisi Pertama. London :Chapman and Hill. Haab; McConnel. 2002. Valuing Environmental and Natural Resources : The Environmental of Non-Market Valuation. Di dalam Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Hamid TA. 2001. Strategi Pengembangan Badan Pengelola KAPET Bandar Aceh Darussalam Dalam Peningkatan Perekonomian Daerah. Banda Aceh. KAPET Bandar Aceh Darussalam. Hufschmidt 1987. Lingkungan Sistem Alami dan Pembangunan. Terjemahan. Yogyakarta. UGM Press. [IAGI] Ikatan Ahli Geologi Indonesia. 2004. Aceh dan Sekitarnya “Aman” untuk 150-200 Tahun Mendatang. http://www.iagi.or.id. [31 Desember 2004]. Kenchington. 1988. Managing Reefs and Inter-reefal Environments and Resource for Sustainable Exploitive, Extractive and Recreational Uses. Di dalam Gubbay S, editor. 1995. Marine Protected Areas : The Principle and Techniques for Management. Edisi Pertama. London :Chapman and Hill. Krutila J. 1967. Conversation Reconsidered. 57:787-796.
American Economic Review,
Kodyat; Ramaini. 1992. Kamus Pariwisata dan Perhotelan. Jakarta. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Kusmayadi; Sugiarto. 2000. Metodologi Penelitian dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
128
Lancaster. 1966. A New Approach to Consumer Theory. Di dalam Fauzi A. 2002. An Overview of Economic Valuation Techniques : A Highlight on Information Needen for Their Application in Developing Countries. Makalah Disampaikan pada INCO-DEV International Workshop on Information System for Policy and Technical Support of Fisheries and Aquaculture, Los Banos, Philippines, 5-7 Juni 2000. Meutia. 2004. Analisis Pengembangan Daerah Tujuan Wisata di Pulau Weh Sabang [skripsi]. Jakarta : Program Studi Usaha Perjalanan Wisata, Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti. Mulyana D. 2002. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung. PT Remaja Rosdakarya Munasinghe. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environmental Paper Number 2. Munasef. 1995. Manajemen Usaha Pariwisata di Indonesia. Jakarta. PT Toko Gunung Agung. Nazir M. 1983. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia. Pearson J; Paul E. 1979. Understanding and Sharing : An Intoduction to Speech Communication. Dubuque, Iowa. Wm.C. Brown. Purwanto. 2002. Jurnal Ilmiah Pariwisata Volume 7. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti. Pearce; Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUCN. Rahardjo M. 2003. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Budidaya Laut di Kepulauan Seribu [desertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Robbins. 1974. Managing Organizational Conflict : A Non Traditional Approach. New Jersey. Prentice-Hall, Inc. _______. 1993. Organizational Behavior : Concepts, Controversies, and Applications. Di dalam Tadjudin D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor. Pustaka Latin. Ruitenbeek. 1991. Mangrove Management : An Economic Analysis of Managemen Option with A Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. Di dalam Fauzi A. 2002. An Overview of Economic Valuation Techniques : A Highlight on Information Needen for Their Application in Developing Countries. Makalah Disampaikan pada INCO-DEV International Workshop on Information System for Policy and Technical Support of Fisheries and Aquaculture, Los Banos, Philippines, 5-7 Juni 2000. Saifullah. 2000. Kajian Pengembangan Pariwisata Bahari dan Kontribusinya pada Kesejahteraan Masyarakat Pesisir di Pulau Weh (Sabang) [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
129
Saifullah. 2005. Hubungan Kondisi Sarana dan Prasarana terhadap Kunjungan Wisatawan di Kawasan Wisata Kota Sabang [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Salm; Clark. 2000. Marine and Coastal Protected Areas : A Guide for Planners and Managers. Di dalam Satria et al. 2002. Acuan Singkat Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta. Pusat Kajian Agraria IPB, Partnership for Governance Reform in Indonesia, dan PT Pustaka Cicesindo. Satria A; Umbari A; Fauzi A; Purbayanto A; Sutarto E; Muchsin I; Muflikhati I; Karim M; Saad S; Oktariza W; dan Imran Z. 2002. Acuan Singkat Menuju Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta. Pusat Kajian Agraria IPB, Partnership for Governance Reform in Indonesia, dan PT Pustaka Cicesindo. [Setkot] Sekretariat Kota Sabang. 2001. Sarana dan Prasarana Penunjang Kegiatan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. Sabang : Setkot. [Setneg] Sekretariat Negara. 2000. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. Jakarta : Setneg. [Setneg] Sekretariat Negara. 1990. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan. Jakarta : Setneg. Sereno K; Edward M. 1974. Trans-Per Understanding Human Communication. Boston. Houghton Mifflin. Setiawan IG 2003. Prinsip-prinsip Penyuluhan Pembangunan : Suatu Kumpulan Perkuliahan. Bogor. Penerbit Tirta Kencana. Spillane. 2001. Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospeknya. Kanisius.
Yogyakarta.
Samsuridjal; Kaelany. 1997. Peluang di Bidang Pariwisata. Jakarta. Mutiara Sumber Widya. Tadjudin D. 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor. Pustaka Latin. Turner; Pearce; dan Bateman. 1993. Environmental Economics : An Elementary Introduction. Di dalam Fauzi A. 2002. An Overview of Economic Valuation Techniques : A Highlight on Information Needen for Their Application in Developing Countries. Makalah Disampaikan pada INCO-DEV International Workshop on Information System for Policy and Technical Support of Fisheries and Aquaculture, Los Banos, Philippines, 5-7 Juni 2000.
130
Triantaphyllou; Sanchez. 1997. A Sensitivity Analysis Approach for Some Deterministic Multi-Criteria Decision Making Methods. Di dalam Rahardjo M. 2003. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Budidaya Laut di Kepulauan Seribu [desertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Umar. 2004. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta. PT Raja Grafindo Perkasa. Yoeti. 1996. Anatomi Pariwisata. Bandung. PT Angkasa.
131
Lampiran 1. Distribusi Persentase Domestik Regional Bruto Kota Sabang Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 1993, Tahun 1993-2003 LAPANGAN USAHA 1
PERTANIAN 1.1 Tanaman Bahan Makanan 1.2 Tanaman Perkebunan 1.3 Peternakan 1.4 Kehutanan 1.5 Perikanan
2
PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN
3
4
5 6
7
2.1. Pertambangan Minyak dan Gas 2.2. Penggalian dan Penggaraman INDUSTRI PENGOLAHAN 3.1. Industri Besar/Sedang a. Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya b. Alat Angkut, Mesin, dan Peralatannya 3.2. Industri Kecil dan Rumah Tangga LISTRIK DAN AIR BERSIH 4.1. Listrik 4.2. Air Bersih BANGUNAN/KONSTRUKSI PERDAGANGAN, HOTEL, DAN RESTORAN 6.1. Perdagangan 6.2. Restoran/Rumah Makan 6.3. Hotel PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI
7.1. 7.2. 7.3. 7.4. 7.5.
Pengangkutan Jalan Raya/Darat Pengangkutan Laut, Sungai, dan Danau Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan Komunikasi a. Telekomunikasi b. Pos dan Giro
8
KEUANGAN, PERSEWAAN, DAN JASA PERUSAHAAN
9
8.1. Bank 8.2. Lembaga Keuangan Tanpa Bank 8.3. Sewa Bangunan 8.4. Jasa Perusahaan JASA-JASA 9.1. Pemerintahan Umum 9.2. Sosial Kemasyarakatan 9.3. Hiburan, Rekreasi, dan Kebudayaan 9.4. Perorangan dan Rumah Tangga PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTTO
Sumber : BPS dan Bappeda Kota Sabang (2003)
1993 13.76 3.23 3.95 3.70 0.04 2.84 0.13 0.13 8.58 1.42 0.54 0.88 7.16 0.64 0.41 0.23 25.49 9.38 6.77 2.01 0.60 7.21 0.58 2.98 0.74 2.91 2.74 0.17 2.20 0.18 0.07 1.57 0.38 32.61 30.89 1.01 0.36 0.35 100.00
1999 17.58 4.23 4.59 5.15 0.09 3.52 0.58 0.58 10.51 1.91 1.15 0.76 8.60 0.72 0.45 0.27 23.13 10.26 6.99 2.65 0.62 7.17 0.73 2.92 0.66 2.86 2.66 0.20 2.17 (0.12) 0.16 1.74 0.39 27.88 25.45 1.14 0.91 0.38 100.00
TAHUN 2000 2001 17.67 17.49 4.22 4.17 4.52 3.98 5.09 5.31 0.11 0.14 3.73 3.89 0.90 1.03 0.90 1.03 10.01 9.49 1.54 1.16 0.59 0.12 0.95 1.04 8.47 8.33 0.77 0.95 0.48 0.61 0.29 0.34 23.47 23.00 10.22 11.36 6.95 7.85 2.64 2.87 0.63 0.64 7.20 7.35 0.77 0.83 2.92 2.99 0.03 0.66 0.66 2.85 2.84 2.63 2.61 0.22 0.23 2.31 2.39 0.02 0.06 0.19 0.23 1.71 1.71 0.39 0.39 27.45 26.94 24.96 24.40 1.16 1.20 0.93 0.92 0.40 0.42 100.00 100.00
2002 17.34 4.10 3.90 5.22 0.15 3.97 1.16 1.16 9.36 1.23 0.13 1.10 8.13 1.13 0.73 0.40 22.39 12.45 8.73 3.06 0.66 7.49 0.92 3.05 0.04 0.67 2.81 2.57 0.24 2.43 0.07 0.26 1.70 0.40 26.25 23.63 1.25 0.93 0.44 100.00
2003 17.30 4.06 3.84 5.18 0.15 4.07 1.20 1.20 9.35 1.31 0.13 1.18 8.04 1.16 0.75 0.41 21.84 13.35 9.41 3.26 0.68 7.73 0.97 3.21 0.06 0.69 2.80 2.55 0.25 2.47 0.08 0.28 1.71 0.40 25.60 22.92 1.27 0.96 0.45 100.00
Lampiran 2. Peta Wilayah Administrasi Kota Sabang dan Lokasi Penelitian
PETA WILAYAH ADMINISTRASI
= Lokasi TWA Laut Pulau Weh 132
133
133
Lampiran 3. Data Jumlah Kunjungan dan Biaya Perjalanan Responden Berdasarkan Pendekatan Individual dan Zonasi Pendekatan Individual N
Jumlah Kunjungan (Q)
Biaya Perjalanan (c)
1
2.00
421,000.00
0.69
12.95
2
5.00
521,000.00
1.61
13.16
3
1.00
381,000.00
0.00
12.85
4
1.00
671,000.00
0.00
13.42
5
4.00
441,000.00
1.39
13.00
6
3.00
301,000.00
1.10
12.61
7
1.00
391,000.00
0.00
12.88
8
1.00
571,000.00
0.00
13.26
9
3.00
436,000.00
1.10
12.99
10
2.00
401,000.00
0.69
12.90
11
2.00
326,000.00
0.69
12.69
12
1.00
751,000.00
0.00
13.53
13
6.00
691,000.00
1.79
13.45
14
1.00
801,000.00
0.00
13.59
15
3.00
321,000.00
1.10
12.68
16
5.00
231,000.00
1.61
12.35
17
2.00
186,000.00
0.69
12.13
18
5.00
401,000.00
1.61
12.90
19
3.00
201,000.00
1.10
12.21
20
3.00
61,000.00
1.10
11.02
21
4.00
191,000.00
1.39
12.16
22
2.00
151,000.00
0.69
11.93
23
4.00
301,000.00
1.39
12.61
24
1.00
281,000.00
0.00
12.55
25
2.00
151,000.00
0.69
11.93
26
2.00
576,000.00
0.69
13.26
27
2.00
526,000.00
0.69
13.17
28
1.00
321,000.00
0.00
12.68
29
2.00
640,000.00
0.69
13.37
30
1.00
366,000.00
0.00
12.81
ln Q
ln c
134
Lanjutan Lampiran 3.
Pendekatan Zonasi Zona Banda Aceh Sigli Langsa Lhokseumawe Bireuen Kota Sabang Total Pengunjung (juni05)
Zona Banda Aceh Sigli Langsa Lhokseumawe Bireuen Kota Sabang rata2
Jumlah Pengunjung 16 5 4 3 1 1 30
%
Jumlah Pengunjung
53.33 16.67 13.33 10.00 3.33 3.33 100.00
16202 5063 4050 3038 1013 1013 30378
Jumlah Penduduk per Zona 218,198 473,348 123,980 153,147 299,577 23,975 1,292,225
30378
Jumlah Pengunjung (Q)
Biaya Perjalanan (c)
lnQ
Lnc
74 11 33 20 3 42
479.063 281.000 382.250 356.000 281.000 61.000
4.30 2.40 3.50 3.00 1.10 3.74
13,08 12,55 12,85 12,78 12,55 11,02
306.719
3.01
12,47
Pengunjung per 1.000 Penduduk 74.25183 10.69615 32.66979 19.83584 3.380099 42.23566 183.0694
Lampiran 5. Hasil Analisis Regresi Fungsi Permintaan Berdasarkan Pendekatan Individual dengan Menggunakan Software SPSS 11.0 for Windows Descriptive Statistics
LNQ LNC
Mean .7500 12.7680
Std. Deviation .59413 .56758
N 30 30
Correlations
Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
LNQ LNC LNQ
LNQ 1.000 -.237 .
LNC -.237 1.000 .104
LNC LNQ LNC
.104 30 30
. 30 30
Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered LNCa
Variables Removed .
Method Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: LNQ
136
Model Summaryb Change Statistics Model 1
R R Square .237a .056
Adjusted R Square .022
Std. Error of the Estimate .58745
R Square Change .056
F Change 1.663
df1
df2 1
28
Sig. F Change .208
Durbin-W atson 2.503
a. Predictors: (Constant), LNC b. Dependent Variable: LNQ
ANOVAb Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares .574 9.663 10.237
df 1 28
Mean Square .574 .345
F 1.663
Sig. .208a
29
a. Predictors: (Constant), LNC b. Dependent Variable: LNQ Coefficientsa
Model 1
(Constant) LNC
Unstandardized Coefficients B Std. Error 3.914 2.456 -.248 .192
Standardized Coefficients Beta -.237
t 1.594 -1.290
Sig. .122 .208
95% Confidence Interval for B Lower Bound Upper Bound -1.117 8.946 -.642 .146
Zero-order
Correlations Partial
-.237
-.237
Part -.237
Collinearity Statistics Tolerance VIF 1.000
1.000
a. Dependent Variable: LNQ
137
Coefficient Correlationsa Model 1
Correlations Covariances
LNC 1.000 3.694E-02
LNC LNC
a. Dependent Variable: LNQ a Collinearity Diagnostics
Model 1
Dimension 1 2
Eigenvalue 1.999 9.537E-04
Condition Index 1.000 45.782
Variance Proportions (Constant) .00 1.00
LNC .00 1.00
a. Dependent Variable: LNQ Residuals Statisticsa
Predicted Value Std. Predicted Value Standard Error of Predicted Value
Minimum .5463 -1.448
Maximum 1.1832 3.080
Mean .7500 .000
Std. Deviation .14067 1.000
.10756
.35266
.14381
.04904
30
.4714 -.8040 -1.369 -1.396
1.2301 1.2090 2.058 2.149
.7531 .0000 .000 -.002
.14914 .57723 .983 1.011
30 30 30 30
-.8362 -1.421 .005 .000
1.3186 2.310 9.485 .209
-.0031 .004 .967 .029
.61110 1.033 1.762 .040
30 30 30 30
.000
.327
.033
.061
30
Adjusted Predicted Value Residual Std. Residual Stud. Residual Deleted Residual Stud. Deleted Residual Mahal. Distance Cook's Distance Centered Leverage Value
N 30 30
a. Dependent Variable: LNQ
138
Charts Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Dependent Variable: LNQ 1.00
Expected Cum Prob
.75
.50
.25 0.00 0.00
.25
.50
.75
1.00
Observed Cum Prob
Regression Standardized Residual
Scatterplot Dependent Variable: LNQ 2.5 2.0 1.5 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 -1.5 -2
-1
0
1
2
3
4
Regression Standardized Predicted Value
139
Lampiran 6. Hasil Analisis Regresi Fungsi Permintaan Berdasarkan Pendekatan Zonasi dengan Menggunakan Software SPSS 11.0 for Windows (Jumlah Pengunjung) Descriptive Statistics Mean Std. Deviation 30.5000 25.60273 306718.8 141093.41880
Q C
N 6 6
Correlations
Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N
Q C Q
Q 1.000 .307 .
C .307 1.000 .277
C Q C
.277 6 6
. 6 6
Variables Entered/Removedb Model 1
Variables Entered Ca
Variables Removed .
Method Enter
a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: Q
140
Model Summaryb Change Statistics Model 1
Adjusted R Square -.132
R R Square .307a .094
Std. Error of the Estimate 27.23917
R Square Change .094
F Change .417
df1
df2 1
4
Durbin-W atson 1.985
Sig. F Change .553
a. Predictors: (Constant), C b. Dependent Variable: Q
ANOVAb Model 1
Sum of Squares 309.611 2967.889
Regression Residual Total
df 1 4
3277.500
Mean Square 309.611 741.972
F .417
Sig. .553a
5
a. Predictors: (Constant), C b. Dependent Variable: Q Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
B 13.394
(Constant) C 5.577E-05
Std. Error 28.722 .000
Standardized Coefficients Beta
95% Confidence Interval for B t
.307
Correlations
Lower Bound -66.350
Upper Bound 93.138
Zero-order
.466
Sig. .665
.646
.553
.000
.000
.307
Partial .307
Collinearity Statistics Part .307
Tolerance 1.000
VIF 1.000
a. Dependent Variable: Q
141
Coefficient Correlationsa Model 1
Correlations Covariances
C 1.000 7.454E-09
C C
a. Dependent Variable: Q
Collinearity Diagnosticsa
Model 1
Dimension Eigenvalue 1 1.922 2 7.799E-02
Condition Index 1.000 4.964
Variance Proportions (Constant) C .04 .04 .96 .96
a. Dependent Variable: Q a Residuals Statistics
Minimum
Maximum
16.7958 -1.742
40.1120 1.221
30.5000 .000
7.86906 1.000
6 6
11.33987
23.95273
15.00109
5.17201
6
-69.1563 -26.0656
36.3777 33.8880
13.4101 .0000
41.59692 24.36345
6 6
-.957 -1.052 -31.5302
1.244 1.943 111.1563
.000 .208 17.0899
.894 1.292 57.20396
6 6 6
-1.072 .033 .001
7.110 3.033 6.438
1.269 .833 1.317
3.181 1.213 2.555
6 6 6
.007
.607
.167
.243
6
Predicted Value Std. Predicted Value Standard Error of Predicted Value Adjusted Predicted Value Residual Std. Residual Stud. Residual Deleted Residual Stud. Deleted Residual Mahal. Distance Cook's Distance Centered Leverage Value
Mean
Std. Deviation
N
a. Dependent Variable: Q
142
Charts Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Dependent Variable: Q 1.00
Expected Cum Prob
.75
.50
.25 0.00 0.00
.25
.50
.75
1.00
Observed Cum Prob
Regression Standardized Residual
Scatterplot Dependent Variable: Q 1.5 1.0 .5 0.0 -.5 -1.0 -2.0
-1.5
-1.0
-.5
0.0
.5
1.0
1.5
Regression Standardized Predicted Value
143
144
Lampiran 7. Teknik Perhitungan Besaran CS dari Fungsi Permintaan Berdasarkan Pendekatan Individual dengan Menggunakan Software Maple 9,5
> restart; > a:=50.09; a := 50.09
> b:=a/Q; b :=
50.09 Q
> c:=root(b,5); æ1 ö c := 2.187510802 ç ÷ è Qø
> plot(c,Q);
> int(c,Q=61000..801000); 1.260532140 105
(1/5)
145
Lampiran 8. Kesesuaian Kondisi Alam TWA Laut Pulau Weh dengan Kriteria Objek Wisata Alam Berbentuk Kawasan Perairan No
I
Unsur
1
Laut Keindahan
2
Keanekaragaman jenis
3
Keunikan dan keindahan dalam laut
4
Keutuhan potensi
5
Kejernihan air tampak sampai kedalaman (m)
6
Banyak lokasi yang mempunyai kedalaman sama
7
Situasi pandangan dan kenyamanan pantai
8
Kebersihan
Subunsur
Ya Tidak
a. Keutuhan koral masih terjaga b. Air laut jernih dan bersih c. Keanekaragaman flora dan fauna d. Pemandangan ke arah laut indah e. Keserasian panorama alam laut a. Variasi ikan hias (min.15 jenis) b. Variasi koral laut lunak dan keras (min. 40 jenis) c. Ada padang anemon dan atau padang lamun d. Tumbuhan laut e. Mamalia dan reptilia laut f. Molusca a. Peninggalan sejarah/purbakala b. Kapal tenggelam c. Kenunikan bentuk d. Terdapat gua-gua laut e. Keindahan relief f. Variasi/harmoni pandangan
v v v v v v v v v v v v
a. Koral
v
b. Peninggalan sejarah/purbakala c. Gua d. Relief e. Tumbuhan a. 15,0 - 12,5 b. 12,4 - 10,0 c. 9,9 - 7,5 d. 7,4 - 5,0 e. 4,9 - 2,5 a. > 7 b. 6-7 c. 4-5 d. 3 e. 1-2 a. Rindang b. Pasir putih c. Bersih d. Pandangan indah e. Tidak ada gangguan a. Tidak ada pengaruh penguras sungai b. Tidak ada pengaruh pelabuhan c. Tidak ada pengaruh pemukiman d. Tidak ada tempat pelelangan ikan e. Tidak ada sumber pencemaran lainnya
v
Keterangan
65 spesies (375m2)*
v v v v v 53,75% hard coral dan 23,28% soft coral* v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
P. Rubiah** P. Rubiah** P. Rubiah** P. Rubiah & Seulako** P. Rubiah & Seulako**
v v v
Pantai Iboih
146
Lanjutan Lampiran 8. II 9
10
11
12
13
Pantai Keindahan
Keselamatan/keamanan pantai
Pasir
Variasi kegiatan
Kebersihan
a. Variasi pandangan pulau/gunung di laut b. Keindahan pantai c. Keserasian pandangan pantai dan sekitarnya d. Ada keunikan a. Tidak ada arus balik berbahaya b. Tidak ada kecuraman dasar c. Bebas gangguan binatang berbahaya d. Tidak ada kepercayaan yang mengganggu e. Tidak ada gangguan manusia a. Pasir merah b. Pasir putih c. Pasir hitam/coklat d. Pasir Bergeluh e. Tidak/sedikit berpasir a. Berjemur b. Selancar c. Berenang d. Menikmati pemandangan e. Olah raga f. Bersampan a. Tidak ada pengaruh pelabuhan b. Tidak ada pengaruh pemukiman c. Tidak ada pengaruh sungai d. Tidak ada pelelangan ikan/pabrik/pasar e. Tidak ada sumber pencemaran lain f. Tidak ada pengaruh musim
v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
Pantai Iboih
v v v v
Sumber : Data Primer (2005); Dinas Kelautan dan Perikanan Provi nsi Nanggroe Aceh Darussalam (2003); FDC IPB Bogor dan UNESCO (2005) Keterangan : * = FDC IPB Bogor dan UNESCO ** = Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
147 Lampiran 9. Kesesuaian Kondisi Sarana dan Prasarana di TWA Laut Pulau Weh dengan Standar Sarana dan Prasarana Parawisata Alam Sarana /Prasarana
Ya
Tidak
Keterangan
1
Akomodasi a. Pondok Wisata Alam/Pondok Apung b. Bumi Perkemahan c. Karava n d. Penginapan e. Fasilitas Akomodasi - Ruang pertemuan - Ruang makan/minum - Fasilitas bermain anak - Gudang f. Fasilitas Pelayanan Umum dan Kantor - Pelayanan Informasi - Pelayanan Telekomunikasi - Pelayanan Administrasi - Pelayanan Angkutan - Pelayanan Penukaran Uang - Pelayanan Cucian - Telepon Umum - Musholla - Poliklinik/Pos P3K - Menara Pengawas - Tempat sampah - Kantor - Mess karyawan - Pemadam kebakaran 2 Rumah Makan dan Minuman a. Restoran b. Kedai c. Kios-kios makanan/minuman 3 Wisata Tirta 4 Wisata Budaya 5 Angkutan Umum 6 Kios Cinderamata 7 Jalan a. Jalan utama b. Jalan cabang c. Jalan setapak d. Jalan patroli e. Jalan pengaman 8 Jembatan 9 Areal Parkir 10 Jaringan Listrik 11 Jaringan Air Minum 12 Jaringan Telepon 13 Jaringan Drainase/Saluran 14 Sistem Pembuangan Limbah 15 Dermaga Pelabuhan Tambat 16 Helipad Jumlah Sumber : Data Primer (Diolah), 2005
v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v
Tugu 0 Kilometer Jarang sekali
v v v v v v v v v Seluler
v v v v 18
v 25
Lampiran 10. Hasil Perhitungan Nilai Utilitas dari Berbagai Alternatif Kebijakan Pengelolaan TWA Laut Pulau Weh dengan Menggunakan software Sanna The decision problem with 3 alternatives and 12 criteria date 12/30/2005 - 9:26:34 PM
Input data set: MAX PDRB SQ 2 MPA 3 PP 3
MAX Naker 1 2 3
MIN Konflik 1 1 3
MIN Persepsi 1 1 3
MAX Partisipasi 3 2 1
MIN Illegal Fishing 2 1 3
MIN Alam 1 1 1
MAX Keamanan 3 3 3
MAX Kebijakan 2 2 3
MAX Aksesibilitas 1 2 3
MAX ODTW 3 3 2
MAX Sar-Pras 1 2 3
0.08300
0.08300
0.08300
0.08300
0.08300
0.08300
0.08300
0.08300
0.08300
0.08300
0.08300
Modified input data set: MAX MAX PDRB Naker SQ 2 1 MPA 3 2 PP 3 3 Weights 0.08333 0.08333
MAX Konflik 2 2 0 0.08333
MAX Persepsi 2 2 0 0.08333
MAX Partisipasi 3 2 1 0.08333
MAX Illegal Fishing 1 2 0 0.08333
MAX Alam 0 0 0 0.08333
MAX Keamanan 3 3 3 0.08333
MAX Kebijakan 2 2 3 0.08333
MAX MAX Aksesibilitas ODTW 1 3 2 3 3 2 0.08333 0.08333
MAX Sar-Pras 1 2 3 0.08333
2 0
2 0
3 1
2 0
0 0
3 3
3 2
Normalised criterion matrix R: MAX MAX PDRB Naker SQ 0.00000 0.00000 MPA 1.00000 0.50000 PP 1.00000 1.00000
MAX Konflik 1.00000 1.00000 0.00000
MAX Persepsi 1.00000 1.00000 0.00000
MAX Partisipasi 1.00000 0.50000 0.00000
MAX Illegal Fishing 0.50000 1.00000 0.00000
MAX Alam 0.00000 0.00000 0.00000
MAX Keamanan 0.00000 0.00000 0.00000
Weights
0.08333
0.08333
0.08333
0.08333
0.08333
0.08333
Weights
Ideal Basal
0.08300
3 2
0.08333
3 1
0.08333
3 1
MAX MAX MAX Kebijakan Aksesibilitas ODTW 0.00000 0.00000 1.00000 0.00000 0.50000 1.00000 1.00000 1.00000 0.00000 0.08333
0.08333
0.08333
3 2
MAX Sar-Pras 0.00000 0.50000 1.00000
3 1
u(alt) 0.37500 0.58333 0.41667
0.08333
148
Lanjutan Lampiran 10. FINAL RANKING: Ranking 1 2 3
Alternative MPA PP SQ
Utility 0.58333 0.41667 0.37500
Nilai Utilitas dari Berbagai Alternatif Kebijakan
Alternatif Kebijakan
MD
0.41667
MPA
0.58333
SQ
0.00000
0.37500
0.10000
0.20000
0.30000
0.40000
0.50000
0.60000
0.70000
Nilai Utilitas
149
150
Lampiran 11. Pemandangan Alam di Kawasan TWA Laut Pulau Weh
Sumber : Dokumen Pribadi
a. Pemandangan di Pantai Gapang
Sumber : Dokumen Pribadi
b. Objek Wisata Pantai di Kawasan Iboih
151
Sumber : Dokumen Pribadi
c. Monumen Tugu Kilometer Nol
Sumber : Bappekot Sabang
d. Panorama Kawasan Wisata Pantai Gapang dari Udara
152
Sumber : Ramadian Bachtiar (FDC-IPB)
e. Hypothermal: Salah Satu Keunikan Alam Bawah Laut di Sekitar Perairan Pulau Rubiah