48
5 NILAI DAN DAMPAK EKONOMI WISATA ALAM TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU
Jumlah dan Asal Wisatawan Wisatawan yang datang ke kawasan TNBTS umunya terbagi menjadi dua kelompok yaitu yang mengunjungi kawasan Pegununngan Tengger yang memiliki objek wisata berupa kawah Gunung Bromo dan Laut Pasir Tengger dan kawasan Pendakian Gunung Semeru dengan objek wisata utama berupa pendakian gunung Semeru serta Danau Ranukumbolo. Kawasan Gunung Tengger termasuk dalam kelompok wisata alam umum yang dapat dijangkau dengan relatif mudah dan tidak memerlukan keahlian khusus, sedangkan komplek wisata kawasan Pendakian Gunung Semeru merupakan daerah wisata minat khusus berupa pendakian gunung yang memerlukan kemampuan dan fisik yang kuat dan terlatih. Kegiatan wisata alam di kedua lokasi ini mendapat kunjungan yang lebih tinggi pada akhir minggu dan terutama pasa saat hari libur nacional dengan jumlah pengunjung harian mencapai 500 orang perhari di kawasan Pegunungan Tengger dan 41 orang perhari di kawsaan Pendakian Gunung Semeru. Bulan Juli sampai denngan September dan Desember sampai Januari merupakan bulan dengan jumlah pengunjung tertinggi. Jumlah pengunjung terendah terjadi pada bulan Februari dan Maret, bahkan di kawasan Pendakian Gunung Semeru terkadang tidak ada pengunjung sama sekali dikarenakan pendakian ditutup oleh pengelola TNBTS. Penutupan pendakian dilakukan tergantung dengan kondisi alam dan juga sesuai kebutuhan untuk regenerasi ekosistem kawasan terutama di daerah sekitar jalur pendakian. Wisatawan yang datang ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) sebagian besar merupakan wisatawan nusantara. Pada tahun 2012 jumlah wisatawan yang datang berkunjung mancapai 273.124 orang yang terdiri dari 246.827 wisatawan nusantara (90,37%) dan 26.297 (9,63%) wisatawan mancanegara (Statistik TNBTS 2012). Sebagian besar wisatawan mancanegara yang datang berasal dari Negara-negara Eropa yaitu Belanda, Perancis, Jerman dan Belgia. Wisatawan nusantara berasal dari seluruh daerah di Indonesia yang sebagian besar adalah masyarakat dari daerah-daerah sekitar kawasan. Tabel 8 menunjukkan bahwa wisatawan di kedua lokasi wisata sebagian besar berasal dari daerah-daerah sekitar kawasan yang masih berada dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur yaitu 34,78 % di kawasan Gunung Tengger dan 49,18% di kawasan Pendakian Gunung Semeru. Tujuan utama wisatawan yang datang ke kawasan TNBTS adalah untuk menikmati pemandangan alam dan udara pegunungan yang sejuk. Banyaknya wisatawan yang berasal dari daerah sekitar dikarenakan jarak yang relatif lebih dekat dengan akses transportasi yang mudah.
49 Tabel 8 Responden Wisatawan Komplek Pegunungan Tengger dan Komplek Pendakian Semeru menurut Asal Wisatawan Kelompok Asal Responden
Wisatawan Mancanegara Asia Amerika Eropa Wisatawan Nusantara Provinsi Jawa Timur Provinsi Jakarta dan sekitarnya Pulau Jawa selain Jawa Timur dan Jakarta Pulau selain Pulau Jawa Total
Rekreasi Bromo Jumlah responden Orang Persen 18 2 2,17 3 3,26 13 14,13 74 32 34,78 23 25,00
Pendakian Semeru Jumlah responden Orang Persen 1 0 0,00 0 0,00 1 1,64 60 30 49,18 7 11,48
10
10,87
16
26,23
9 92
9,78 100,00
7 61
11,48 100,00
Jika dilihat dari sebaran kelompok responden berdasarkan pekerjaan dan pendapatan responden, wisatawan yang datang ke kedua lokasi wisata ini memiliki karakteristik yang berbeda. Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa pengunjung yang datang ke kawasan Pegunungan Tengger sebagian besar adalah karyawan swasta (35,87%), sedangkan yang datang ke kawasan Pegunungan Semeru adalah mahasiswa (73,77%). Tabel 9 Responden Wisatawan menurut Pekerjaan Responden (Orang)
No.
Pekerjaan Responden
1 2 3 4 5 6
Dosen/Guru/PNS Karyawan Swasta Wiraswasta Mahasiswa Siswa/Pelajar Lainnya Jumlah
Komplek Peg. Kompleks Pendakian Tengger Gunung Semeru Jumlah responden Jumlah responden Orang Persen Orang Persen 16 17,39 1 1,64 33 35,87 6 9,84 8 8,70 5 8,20 17 18,48 45 73,77 7 7,61 4 6,56 11 11,96 0 92 100 61 100
Relatif tidak terdapat perbedaan antara sifat dan frekuensi berwisata di kedua kawasan. Sebagian besar wisatawan datang untuk pertama kalinya dan merupakan tujuan utama dalam perjalanan wisatawan. Beberapa wisatawan melakukan kunjungan ke kawasan TNBTS sebagai tujuan persinggahan yaitu sebesar 39,13% untuk Komplek Pengunungan Tengger dan 11,48% untuk Komplek Pendakian Gunung Semeru (Tabel 10). Beberapa lokasi yang menjadi
50 tujuan lain dari para wisatawan adalah Yogyakarta, Bandung, Bali, Malang dan Surabaya. Tabel 10 Responden Wisatawan menurut Jumlah Kunjungan Persinggahan Kunjungan yang ke Jumlah % (Orang) Kompleks Pegunungan Tengger Pertama Kali 26 28,26 Kedua 3 3,26 Ketiga 1 1,09 Lebih dari 3 6 6,52 Jumlah 36 39,13 Kompleks Pendakian Gunung Semeru Pertama Kali 4 6,56 Kedua 3 4,92 Ketiga 0 Lebih dari 3 0 Jumlah 7 11,48
Sifat Kunjungan Utama Jumlah % (Orang)
Grand Total Jumlah % (Orang)
35 9 3 9 56
38,04 9,78 3,26 9,78 60,87
61 66,30 12 13,04 4 4,35 15 16,30 92 100,00
24 17 10 3 54
39,34 27,87 16,39 4,92 88,52
28 45,90 20 32,79 10 16,39 3 4,92 61 100,00
Sebagian besar wisatawan baik yang berasal dari luar Provinsi Jawa Timur atau pun daerah yang berada dekat dengan kawasan melakukan kunjungan selama 1-2 hari atau lebih di lokasi wisata. Wisatawan yang berasal dari daerah yang relatif dekat dengan kawasan mempunyai pilihan untuk bermalam atau tidak di lokasi wisata. Wisatawan yang berasal dari luar daerah sebagian besar memilih bermalam di lokasi. Secara lengkap pilihan lokasi menginap masing-masing wisatawan berdasarkan asal wisatawan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Responden berdasarkan Kelompok Asal Daerah dan Lokasi Menginap Tempat Menginap Kelompok Daerah Asal Responden
Pengina pan
Kemah
Rekreasi Peg. Tengger Pulau Jawa (Selain Jatim dan Jakarta) Pulau selain Pulau Jawa Provinsi Jakarta dan sekitarnya Wisatawan Mancanegara Provinsi Jawa Timur Jumlah Pendakian Gunung Semeru Pulau Jawa (Selain Jawa Timur dan Jakarta) Pulau selain Pulau Jawa Provinsi Jakarta dan sekitarnya Wisatawan Mancanegara Perbedaan lama kunjungan dan Provinsi Jawa Timur lokasi wisata berkaitan dengan program Jumlah
2 0 0 0 0 2
1 3 9 6 12 31
Hotel
1 1 9 7 5 23
Tidak Mengin ap
6 5 5 5 15 36
Total
10 9 23 18 32 92
16 0 0 0 16 7 0 0 0 7 7 0 0 0 7 1 0 0 0 pilihan untuk bermalam atau tidak di 1 30 0 0 0 30 dan motif wisata yang akan dilakukan 61 0 0 0 61
51 oleh para wisatawan terutama terkait dengan keinginan para wisatawan untuk menuntaskan menikmati objek wisata yang ada di suatu tempat. Wisatawan yang bermalam mempunyai banyak pilihan untuk menentukan tempat bermalam. Sebagian besar wisatawan bermalam di homestay/penginapan atau hotel yang terdapat di sekitar kawasan pegunungan Tengger (Tabel 12). Homestay/Penginapan dan Hotel ini terletak cukup dekat dengan lokasi wisata dengan jarak yang bervariatif antara 1 – 3 Km, namun masih terletak dalam satu kecamatan. Pemilihan hotel dan penginapan para wisatawan lebih berdasarkan pada kondisi keuangan dan pertimbangan keterwakilan kondisi dan fasilitas hotel atau penginapan yang tersedia. Dalam melakukan pendakian Gunung Semeru sebagian besar wisatawan memerlukan waktu 3-4 hari dan keseluruhan wisatawan yang melakukan pendakian Gunung Semeru bermalam di alam terbuka atau berkemah. Hal ini dikarenakan dalam melakukan pendakian Gunung Semeru memerlukan waktu yang lebih lama dan menempuh jalur pendakian yang cukup menantang. Tabel 12 Responden Wisatawan berdasarkan Lama Menginap dan Tempat Menginap Lama Kunjungan
Berkemah
Homestay /Penginapan
Rekreasi Peg. Tengger 1-2 hari 3-4 hari 4-5 hari 2 Tidak Menginap Jumlah 2 Kompleks Pendakian Gunung Semeru 1-2 hari 9 3-4 hari 52 Jumlah 61
Tidak Menginap
Hotel
Total
25 6 31
18 4 1 23
36 36
43 10 3 36 92
-
-
-
9 52 61
Nilai Ekonomi Wisata Alam Kawasan TNBTS Nilai ekonomi wisata alam di kawasan TNBTS diperoleh dari pendugaan besarnya biaya pengeluaran wisatawan. Dari pendekatan ini diperoleh nilai ekonomi total penyelenggaraan kegiatan wisata alam di TNBTS tersebut sebesar Rp. 341,227 Milyar/Tahun yaitu untuk kegiatan wisata di kawasan Pegunungan Tengger sebesar Rp. 326,898 Milyar/Tahun (95,80%) dan pendakian Gunung Semeru sebesar Rp. 14,329 Milyar/Tahun (4,20%). Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran pengunjung di kawasan Pegunungan Tengger jauh lebih besar dibandingkan rata-rata pengeluaran pengunjung di kawasan Pendakian Semeru baik untuk masing-masing biaya pengeluaran ataupun secara total. Sebagian besar biaya wisata dikeluarkan untuk transportasi, terutama bagi wisatawan yang berasal dari luar daerah yang cukup jauh. Biaya-biaya wisata berikutnya yang relatif besar adalah untuk penginapan, membeli makanan dan minuman dan sebagian kecil untuk guide dan souvenir.
52 Tabel 13 Nilai Ekonomi Penyelenggaraan Kegiatan Wisata Alam Kawasan TNBTS berdasarkan Alokasi Pengeluaran Pengunjung (Rp/Orang) Dalam Kawasan Rp. % Kompleks Kawasan Peg. Tengger Biaya Transportasi 108.482 3,92 Akomodasi/Penginapan 204.946 7,40 Makan/Minum 120.978 4,37 Pemandu / Guide Sewa Tenda Souvenir 76.337 2,76 Jumlah 510.743 18,44 Kompleks Pendakian Gunung Semeru Biaya Transportasi 25.230 4,43 Akomodasi/Penginapan Makan/Minum 54.344 9,55 Pemandu / Guide Sewa Tenda Souvenir 50.984 8,96 Jumlah 130.557 22,95 Biaya Peruntukan
Luar Kawasan Rp. %
Total Rp.
%
1.882.533 153.913 218.641 3.533 2.258.620
67,98 5,56 7,90 0,13 81,56
1.991.015 358.859 339.620 3.533 76.337 2.769.363
71,89 12,96 12,26 0,13 2,76 100
282.459 155.984 438.443
49,64 27,41 77,05
307.689 210.328 50.984 569.000
54,08 36,96 8,96 100
Kondisi kawasan dan karakteristik wisatawan di kedua lokasi cenderung berbeda, sehingga besarnya biaya yang dikeluarkan wisatawan pun cenderung berbeda. Di kawasan Pegunungan Tengger dengan wisata Kawah Gunung Bromo dan laut pasir tersedia segala fasilitas dan akomodasi untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Selain itu pengunjung di kawasan Pegunungan Tengger merupakan karyawan atau lainnya yang sudah memiliki penghasilan sehingga mempunyai kesempatan yang lebih besar dalam berbelanja untuk wisata. Para pendaki Gunung Semeru sebagian besar adalah mahasiswa yang belum mempunyai penghasilan tetap sehingga dalam melakukan perjalanan dan belanja wisata berusaha semaksimal mungkin menghemat biaya pengeluaran. Di samping itu biaya akomodasi dan penginapan yang ada di kawasan Pegunungan Tengger relatif mahal sehingga memperbesar biaya pengeluaran wisatawan yang datang. Namum hal ini tidak berlaku untuk para pendaki. Para pendaki semuanya berkemah di alam bebas sehingga tidak memerlukan biaya untuk akomodasi dan penginapan. Khusus dalam hal pembelian souvenir dipengaruhi oleh penilaian wisatawan terhadap kualitas souvenir yang dijual di dalam kawasan. Secara umum pengunjung berpendapat souvenir yang ada kurang memadai dari keragamannya sehingga kurang menggugah minat untuk membeli. Biaya yang dikeluarkan wisatawsan relatif berbeda dilihat dari tempat dikeluarkannya, yaitu di dalam atau di luar kawasan. Dalam hal ini pengeluaran wisatawan lebih banyak dilakukan di luar kawasan yaitu sekitar 81,56% dilakukan di luar kawasan untuk wisata di pegunungan tengger dan 77,05% untuk wisatawan di Gunung Semeru. Hal ini memperlihatkan masih terjadinya kebocoran ekonomi yang cukup tinggi. Kebocoran merupakan bagian uang yang dibelanjakan wisatawan yang tidak dibelanjakan kembali dan tidak memberi pengaruh pada kegiatan ekonomi setempat (Yoeti 2008). Secara umum wisatawan yang datang berkunjung ke TNBTS menyatakan kesesuaian antara biaya yang dikeluarkan selama berwisata dengan tingkat
53 kepuasan yang dirasakan wisatawan. Hal ini disebabkan karena atraksi wisata dan panorama alam yang ada di lokasi wisata baik di Pegunungan Tengger ataupun pendakian Gunung Semeru sangat menarik. Terutama bagi para pendaki gunung semeru yang menyakatan bahwa mendaki gunung semeru merupakan kebanggaan dan tantangan tersendir karena semeru merupakan gunung tertinggi di Jawa Timur dan gunung tertinggi ke empat di Indonesia. Dalam melakukan kegiatan wisata alam, keseluruhan pengalaman rekreasi alam dibagi kedalam lima fase yang penting dan saling berhubungan, yaitu fase perencanaan, fase perjalanan dari rumah menuju tempat rekreasi, fase aktivitas ditempat rekreasi, fase perjalanan pulang dari tempat rekreasi ke rumah dan fase relokasi. Nilai ekonomi yang dihitung dalam penelitian ini hanya meliputi biaya pengeluaran wisatawan dalam tiga fase, yaitu perjalanan dari rumah menuju lokasi wisata, fase aktivitas sselama berwisata, dan fase perjalanan pulang dari lokasi wisata ke rumah. Biaya pengeluaran terbesar merupakan biaya yang dikeluarkan dalam fase perjalanan, yaitu perjalanan pergi dan pulang kembali. Sebesar 76,74% pengeluaran wisatawan di Kawasan Pegunungan Tengger adalah untuk biaya transportasi dan 23,26% lainnya adalah pengeluaran wisatawan selama beradadan beraktivitas di lokasi wisata. Biaya pengeluaran wisatawan di kawasan Pendakian Gunung Semeru sebesar 62,29% adalah pengeluaran untuk fase perjalanan pergi dan pulang serta 9,68% lainnya adalah biaya pengeluaran selama fase aktivitas di lokasi wisata alam. Khusus untuk wisatawan Pendakian Gunung Semeru terdapat 28,03% biaya pengeluaran untuk pembelian konsumsi sebagai bekal dalam melakukan pendakian. Pengeluaan wisatawan dalam fase aktivitas di lokasi wisata berupa biaya untuk akomodasi dan penginapan, biaya konsumsi makan dan minum, pembelian souvenir dan juga jasa pemandu atau tour guide.
Dampak Ekonomi Kegiatan Wisata Alam Dukungan terhadap pembangunan pariwisata umumnya didasarakan pada manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat setempat. Banyak pihak mengidentifikasikan manfaat ekonomi langsung (direct economic impact) dari kegiatan pariwisata ini berkaitan erat dengan pengeluaran wisatawan. Pembelanjaan sejumlah uang oleh wisatawan berarti bahwa wisatawan melakukan permintaan terhadap produk dan jasa di lokasi objek wisata (tingkat lokal) yang pad aakhirnya akan menghasilkan pendapatan (generate income) bagi masyarakat sekitar. Demikian juga halnya dengan upaya pelengkapan sarana dan prasarana wisata yang dilakukan oleh pemerintah, pada akhirnya juga bertujuan menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan serta meningkatkan penerimaan pajak pada suatu wilayah. Dampak ekonomi dari wisata umunya diukur dari keseluruhan pengeluaran wisatawan dalam akomodasi, transportasi, konsumsi, souvenir dan biaya lain yang dikeluarkan selama melakukan perjalanan wisata. Pengukuran jumlah wisatawan dan tingkat pengeluarannya semata dapat menjadi penilaian yang kurang tepat dalam mengukur manfaat bersih ekonomi yang dihasilkan wisatawan pada suatu wilayah. Dampak ekonomi kegiatan wisata dapat diukur melalui sejumlah pengeluaran wisatwan yang diterima atau menjadi pendapatan bagi perekonomian
54 lokal, tingkat kesempatan kerja yang dihasilkan dan keadilan pendistribusian manfaat ekonomi. Selain permintaan yang berasal dari pengeluaran langsung wisatawan di lokasi wisata, pendapatan dan kesempatan kerja yang diturnkan dalam ektivitas perekonomian yang berasal dari siklus uang yang dikeluarkan wisatawan, dan hal ini dikenal dengan efek pengganda (multiplier effect). Kegiatan wisata di kawasan Pegunungan Tengger dan Gunung Semeru menciptakan aliran uang yang berasal dari transaksi antara wisatawan yang datang dengan unit usaha setempat. Wisatawan membutuhkan berbagai keperluan dalam kegiatan wisatanya berupa transportasi lokal, akomodasi (homestay/penginapan dan hotel), konsumsi, souvenir dan jasa pemandu (guide). Jika kebutuhan ini dapat terpenuhi oleh penduduk lokal melalui unit usaha yang didirikan maka terjadi transaksi ekonomi antara wisatawan dengan masyarakat sekitar. Artinya terjadi aliran uang dari luar dan ke dalam lokasi wisata. Jika hal ini terjadi terus menerus dan memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal, maka tercipta manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar dari kegiatan wisata yang ada. Tidak semua pengeluaran wisatawan dalam berwisata sampai ke lokasi objek wisata. Sebagian besar transaksi terjadi diluar lokasi yang dalam konteks ekonomi disebut kebocoran ekonomi (economics leakage) dari total pengeluaran konsumen. Secara umum dilihat dari proporsi biaya rekreasinya, pengeluaran wisatwan yang datang ke TNBTS mengalami economics leakage mencapai hingga 81,56% untuk wisata Pegunungan Tengger dan sebesar 77,05% untuk Pendakian Gunung Semeru yang sebagian besar merupakan biaya transportasi. Secara spesifik, proporsi biaya yang dikeluarkan masing-masing wisatawan berbeda tergantung tujuan dan lokasi wisata. Jika dilihat lebih rinci, terdapat perbedaan pada pola biaya rekreasi di antara wisatawan di masing-masing lokasi wisata. Wisatawan yang berrekreasi di kawasan Pegunungan Tengger hanya menghabiskan biaya transportasi di dalam kawasan sebesar 3,92 % sedangkan wisata pendakian Gunung Semeru menghabiskan 4,43% biaya transportasi di dalam kawasan. Biaya pengeluaran terbesar wisatawan yang dilakukan di lokasi wisata yaitu biaya akomodasi dan penginapan untuk wisata Pegunungan Tengger dan biaya konsumsi untuk Pendakian Gunung Semeru. Dampak Ekonomi Langsung (Direct Impact) Aktivitas wisata di kedua lokasi dalam kawasan TNBTS hanya ramai pada akhir pekan dan hari libur nasional atau pada musim liburan. Unit usaha yang ada di lokasi wisata sebagian besar hanya beroperasi pada hari-hari ramai tersebut kecuali penginapan dan hotel serta beberapa warung makan. Berdasarkan persantase pengeluaran wisatawan di lokasi wisata maka dapat diperkirakan besar perputaran uang di lokasi wisata khususnya pada akhir pekan. Jumlah pengunjung rata-rata harian di Kompleks Pegungan Tengger mencapai 500 orang perhari. Dengan pengeluaran rata-rata pengunjung perorang sebesar Rp. 2.769.363/orang/kunjungan, maka dapat diketahui besarnya aliran uang yang terjadi di kawasan Pegunungan Tengger dalam sehari yaitu sebesar Rp. 1.384.681.418/hari. Namun tidak semua pengeluaran yang ada terjadi dalam kawasan. Sebesar Rp. 1.129.309.781 atau 81,56% adalah kebocoran wilayah berupa pengeluaran di luar kawasan terutama untuk biaya transportasi. Jumlah pengunjung harian Kawasan Pendakian Gunung Semeru tidak sebanyak
55 Pegunungan Tengger, namun cukup tinggi dan menciptakan transaksi ekonomi yang cukup besar. Tingginya perputaran uang yang terjadi di lokasi wisata memberikan peluang usaha bagi penduduk lokal khususnya para pemilik modal setempat yang berinisiatif untuk membuka unit usaha terkait dengan pemenuhan kebutuhan wisata setempat. Sebagian besar unit usaha yang tercipta adalah usaha sektor informal, berskala kecil hingga menengah dan hanya ramai pada saat akhir pekan dan hari libur namun unit usaha yang terdapat di kawasan TNBTS cukup banyak dan dapat memenuhi kebutuhan para wisatawan. Unit usaha yang tercipta di desa sekitar kawasan TNBTS dan menunjang kegiatan wisata alam di TNBTS antara lain adalah hotel, homestay/penginapan, warung makan, penjaja makanan, penjual souvenir, sewa jeep, ojek dan angkutan kuda. Unit usaha yang terdapat di kawasan Pegunungan Tengger lebih banyak dibandingkan dengan unit usaha yang ada di Gunung Semeru karena jumlah wisatawan yang datang jauh kebih tinggi dan wisata di kawasan pegunungan Tengger merupakan rekreasi yang memerlukan lebih banyak fasilitas sarana dan prasarana wisata. Unit usaha yang ada di kedua lokasi wisata merupakan pihak penerima dampak ekonomi langsung dari pengeluaran wisatawan. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa secara umum unit usaha yang ada di kawsan TNBTS memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu: (1) umumnya dimiliki oleh warga asli, yaitu masyarakat suku tengger yang tinggal di sekitar lokasi wisata, (2) telah berdiri selama satu hingga lebih dari lima tahun, (3) sebagian besar merupakan mata pencaharian sampingan, (4) Hanya memiliki satu unit usaha terkait kegiatan wisata alam (5) Investasi awal pada saat pertama kali didirikan berkisar Rp. 1.000.000;- s.d RP. 10.000.000;- dan investasi terbesar dilakukan oleh pemilik hotel. Pembangunan hotel atau penginapan biasanya bertahan danmemakan waktu yang cukup lama dan (6) Memiliki pendapatan rata-rata per bulan antara 1.000.000;- s.d RP. 10.000.000;- hingga mencapai Rp. 20.000.000 untuk hotel. Dari ciri-ciri yang ada dapat dikatakan bahwa unit usaha yang terdapat di kedua lokasi wisata TNBTS merupakan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Pemilik usaha hotel merupakan unit usaha yang memiliki pegawai atau tenaga kerja terbanyak yaitu lebih dari 20 orang. Homestay/penginapan, warung makan dan toko souvenir sebagian besar masih dikerjakan sendiri dan memiliki 13 orang pegawai. Oleh karena itu jika dilihat dari jumlah pegawai yang dimiliki, unit usaha berupa hotel termasuk dalam usaha kelas menengah dan untuk homestay/penginapan, warung makan dan toko souvenir lainnya merupakan usaha mikro. Pemilik hotel melakukan investasi terbesar karena untuk membangun hotel yang memerlukan biaya yang cukup tinggi terkait dengan biaya bahan baku dan trasnportasi. Investasi terbesar kedua dilakukan oleh para pemilik homestay/penginapan. Namun sebagian besar unit usaha yang ada dibangun secara bertahap dalam waktu tertetntu sehingga investasi yang dikeluarkan juga dilakukan secara bertahap. Sebanding dengan investasi yang telah dilakukan, pemilik hotel dan homestay/penginapan memiliki peluang menperoleh pendapatan yang jauh lebih tinggi seiring dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan. Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan dengan sendirinya akan meningkatkan aktivitas ekonomi yang dipicu oleh pengeluaran wisatawan. Aliran
56 uang hasil transaksi yang terjadi pun semakin tinggi. Bagi pemilik unit usaha, penerimaan (total revenue) yang diperoleh selanjutnya akan digunakan kembali untuk menjalankan aktivitas unit usaha tersebut. Dalam melakukan produksinya, unit usaha membutuhkan bahan baku (input), baik yang tersedia di dalam atau sekitar lokasi wisata (lokal) maupun yang berasal dari luar lokasi wisata (non lokal). Penggunaan input akan terkait dengan sejumlah biaya dalam rangka penyediaan input tersebut. Komponen biaya produksi utama dalam sebuah unit usaha terdiri dari pembelian input atau bahan baku, upah tenaga kerja, pembelian dan pemeliharaan peralatan, biaya operasional harian (listrik dan air), pengembalian kredit, biaya transportasi dan pajak atau retribusi yang harus disetor ke pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbesar terhadap penerimaan unit usaha adalah pembelian bahan baku (Kawasan Pegunungan Tengger) dan pendapatan pemilik usaha (Kawasan Pendakian Gunung Semeru) dan pajak retribusi merupakan bagian terkecil. Hampir seluruh unit usaha tidak mengalokasikan penerimaan unit usaha untuk pengembalian kredit. Hal ini terkait dari adat kebiasaan masyarakat sekitar lokasi wisata untuk tidak meminjam atau menganbil kredit dalam bentuk apapun. Pengembangan usaha yang dilakukan oleh pemilik unit usaha semata hanya mengandalkan dari keuntungan yang diperoleh unit usaha. Adapun proporsi pendapatan bersih (income) pemilik unit usaha dan biaya-biaya yang dikeluarkan terhadap penerimaan total unit usaha dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Proporsi Pendapatan (Income) dan Biaya Produksi terhadap Penerimaan Total Unit Usaha Wisata Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Komponen Pendapatan Pemilik Unit Usaha Upah tenaga kerja Pembelian Input/bahan baku Pemeliharaan Biaya Operasional Pengembalian Kredit Transportasi Lokal Retribusi pajak
Proporsi terhadap Penerimaan Total (%) Pegunungan Pendakian Tengger Semeru 15,77 36,52 15,60 18,29 37,89 33,33 20,58 3,16 2,25 0,62 0,57 6,95 7,63 0,39 0,46
Keterangan
Lokal Lokal Non Lokal Non Lokal Non Lokal Non Lokal Lokal Non Lokal
Dampak ekonomi langsung dari pengeluaran wisatawan dirasakan langsung oleh pemilik unit usaha. Dampak ekonomi ini berupa pendapatan bersih atau income yang diperoleh pemilik unit usaha di masing-masing lokasi wisata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar dari proporsi pendapatan pemilik unit usaha di kedua lokasi wisata yang ada di kawasan TNBTS. Perbedaan yang paling terlihat adalah pada komponen pendapatan pemilik unit usaha dan pemeliharaan. Pemilik unit usaha yang ada di kawasan Pendakian Gunung Semeru memperoleh proporsi pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pemilik unit usaha yang ada di kawasan pegunungan Tengger. Perbedaan
57 besarnya pendapatan bersih yang diperoleh unit usaha di kedua lokasi dikarenakan adanya perbedaaan karakter dan keragaman unit usaha di lokasi tersebut. Dilihat dari jumlah dan keragaman unit usaha yang ada, kawasan rekreasi Bromo memiliki unit usaha yang lebih banyak dan beragam dari pada unit usaha yang ada di kawasan gunung Semeru. Unit usaha di kawasan pegunungan Tengger yang sebagian besar berupa homestay/penginapan dan hotel yang mengutamakan pelayanan dan service terhadap wisatawan sehingga memerlukan biaya pemeliharaan yang cukup tinggi yaitu sebesar 20,58% dari total penerimaan unit usaha. Unit usaha di kawasan pendakian Gunung Semeru sebagian besar hanyalah warung/kedai makan sederhana yang tidak memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi (3,16%). Oleh karena itu penerimaan unit usaha di Pegunungan Tengger harus dikurangi komponen pemeliharaan sehingga mengurangi pendapatan bersih pemilik unit usaha. Perbandingan kisaran pendapatan rata-rata yang diterima oleh unit usaha dapat dilihat pada Tabel 15. Secara umum jumlah pendapatan yang diterima di kedua lokasi wisata hampir sama kecuali untuk unit usaha hotel dan homestay/penginapan. Hal ini dikarenakan karena perbedaan kebutuhan dan sifat wisata di masing-masing lokasi. Wisata pendakian gunung semeru merupakan wisata di alam bebas sehingga penginapan ataupun homestay tidak terlalu berkembang, berbeda dengan wisata rekreasi bromo di kawasan Pegunungan Tengger. Namun dari unit usaha lainnya pendapatan unit usaha cenderung sama yang memperllihatkan bahwa wisatawan di kedua lokasi memiliki pola pengeluaran yang hampir sama dalam berwisata. Tabel 15 Perbandingan Pendapatan (Income) Rata-Rata Pemilik unit Usaha Wisata di Kawasan Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru TNBTS
Unit Usaha Hotel Homestay/Penginapan Warung Makan Penyewaan Jeep Toko Souvenir
Rata-rata Pendapatan Pemilik Unit Usaha (Rp/Bulan) Pegunungan Tengger Pendakian (n=17) Semeru (n=8) 20.750.000 13.166.667 1.500.000 3.200.000 3.760.000 4.000.000 4.500.000 3.250.000 2.800.000
Unit usaha yang ada di lokasi wisata mempunyai tenaga kerja dalam operasionalnya. Penerimaan yang diperoleh unit usaha dari pengeluaran wisatawan salah satunya dikeluarkan untuk gaji atau pendapatan tenaga kerjanya. Tidak semua unit usaha yang ada memiliki tenaga kerja karena sebagian besar unit usaha masih dikelola sendiri ataupun tenaga kerja masih tergolong keluarga atau saudara. Hanya hotel dan beberapa warung makan yang mempunyai tenaga kerja tetap yang sebagian besar berasal dari masyarakat sekitar. Proporsi upah tenaga kerja untuk unit usaha di kedua lokasi masing-masing sebesar 15,60% dan 18.29%. Secara umum, perbandingan besarnya pendapatan tenaga upah yang ada di pegunungan tengger dan gunung semeru tidak jauh berbeda. Namum jenis atau keragaman tenaga kerja di pegunungan tengger lebih beragam dibanding Gunung
58 Semeru. Perbandingan besarnya upah tenaga kerja di kedua lokasi wisata dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Perbandingan Rata-Rata Pendapatan Tenaga Kerja Lokal pada Unit Usaha Wisata di Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru TNBTS
Pekerjaan
Supir Jeep Pegawai Hotel Pemandu Kuda/Ojek Pegawai Warung Makan/ Penjual Makanan Pemandu Wisata/Guide
Rata-rata Pendapatan Tenaga Kerja Wisata (Rp/Bulan) Pegunungan Pendakian Tengger Semeru (n=26) (n=5) 1.879.167 1.750.000 1.966.667 1.666.667 1.244.000 1.295.833 4.375.000 -
Bagi para pemilik modal, tingginya jumlah kunjungan dan perputaran uang yang terjadi merupakan peluang untuk membuka unit usaha di kedua lokasi wisata. Hal ini terlihat dari banyaknya warga yang membangun homestay, penginapan, rumah makan dan kios lainnya di daerah sekitar lokasi wisata. Umumnya homestay/penginapan yang dibangun menyatu dengan tempat tinggal pemilik atau berada dekat dengan tempat tinggal pemilik dengan fasilitas standar. Masyarakat sekitar lokasi wisata yang merupakan masyarakat asli suku tengger mempunyai kebijakan untuk tidak menjual asset atau tanah yang mereka miliki kepada orang luar. Masyarakat mempertahankan adat tersebut sehingga tanah dan asset yang mereka miliki tidak jatuh kepada investor asing. Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan akan berdampak pada meningkatnya permintaan dalam pemenuhan akan barang dan jasa dari para wisatawan dalam bentuk bertambahnya unit usaha yang terkait kegiatan wisata. Pendirian unit usaha yang semakin banyak diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar. Dampak Ekonomi Tak Langsung (Indirect Impact) Adanya unit usaha di lokasi wisata membuka kesempatan kerja baru bagi penduduk lokal yang ada di sekitar lokasi. Walaupun unit usaha yang ada di TNBTS umumnya dikelola oleh pemiliknya secara langsung, namun pada waktuwaktu tertentu terutama saat musim liburan dan jumlah kunjungan sangat tinggi memmerlukan tenaga kerja tambahan. Tenaga kerja yang dibutuhkan tergantung pada jumlah wisatawan yang datang berkunjung. Umumnya setiap unit usaha memerlukan dua hingga tiga orang tenaga kerja tambahan saat jumlah kunjungan wisatawan tinggi. Unit usaha yang rutin memerlukan tenaga kerja tambahan adalah rumah makan dan homestay/penginapan dan juga hotel yang mendapat tenaga kerja tambahan melalui tenaga kerja harian. Supir jeep, ojek, pemandu kuda, dan penjual jajanan mengelola sendiri usahanya. Kesempatan kerja yang ada di lokasi wisata terutama di kawasan pegunungan Tengger cukup terbuka bagi banyarakat sekitar. Unit usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah hotel yang rata-rata mempunyai
59 tenaga kerja 25-30 orang. Pekerjaan lain yang membuka banyak kesempatan kerja bagi masyarakat adalah supir jeep. Sebagian besar jeep yang ada adalah milik pribadi dan hanya sedikit yang mmerupakan tempat penyewaan jeep yang memiliki lebih dari tiga buah jeep. Artinya unit usaha penyewaan jeep lebih banyak dikelola secara perorangan oleh penduduk. Sejauh ini kebutuhan sumberdaya manusia masih dapat dipenuhi oleh penduduk sekitar lokasi wisata. Sebagian besar tenaga kerja adalah penduduk dari desa-desa sekitar lokasi wisata, walaupun pada unit usaha hotel untuk pegawai tertentu yang memegang peranan dan tanggung jawab besar masih banyak terisi oleh pendatang. Tenaga kerja yang berasal dri penduduk setempat masih banyak mengisi posisi rendah seperti house keeping, waitress ataupun petugas front office dan recepcionist. Unit usaha lainnya tenaga kerja yang digunakan masih tergolong keluarga atau saudara jauh dengan sistem penerimaan bebas, artinya tidak memiliki standar dan persyaratan tertentu. Sebagian besar tenaga kerja adalah laki-laki dengan pendidikan terakhir SMP. Hal ini umum terjadi bahwa sumber daya manusia dengan kualifikasi tinggi dan menempati posisi strategis tidak dipegang oleh masyarakat lokal, sama halnya dengan kondisi tenaga kerja terkait wisata alam di Taman Nasional Komodo (Walpole and Goodwin 2000). Tenaga kerja yang bekerja di unit usaha adalah penerima dampak tidak langsung dari pengeluaran wisatawan yaitu berupa upah yang diterima dari unit usaha tempat mereka bekerja. Jumlah kesempatan kerja bagi masyarkat di sekitar kawasan Pegunungan Tengger lebih banyak dan beragam dibanding kesempatan yang ada di kawsan Pendakian Gunung Semeru. Hal ini disebabkan karena kawasan Pegunungan Tengger lebih menjadi tujuan utama wisatawan dalam mengunjungi kawasan TNBTS. Secara umum, tenaga kerja yang ada di kawasan wisata TNBTS merupakan pekerjaan sampingan kecuali untuk tenaga kerja yang ada di hotel, memiliki jam kerja yang relatif panjang dan tidak pasti yaitu antara 8-14 jam sehari dan beban pekerjaan lebih besar pada akhir pekan dan musim liburan. Upah tenaga kerja rata-rata per bulan mencapai Rp. 2.000.000;- . Dampak ekonomi tidak langsung (indirect effect) kegiatan wisata di TNBTS dapat dihitung dari berapa besar proporsi pengeluaran unit usaha utuk penyediaan sumber daya (tenaga kerja dan bahan baku) dan juga termasuk biaya pemeliharaan dan transportasi lokal terhadap penerimaan. Secara umum pengeluaran terbesar dari unit usaha yang ada di kedua lokasi adalah untuk pembelian input atau bahan baku yaitu 37,89% untuk kawasan pegunungan Tengger dan 33,33% untuk kawasan Pendakian Gunung Semeru. Proporsi untuk pembelian bahan baku di kawasan Pegunungan Tengger sedikit lebih tinggi dikarenakan adanya hotel yang juga menyediakan restoran di kawasan tersebut sehingga pembelian input atau bahan baku sedikit lebih beragam. Jika dilihat secara lebih spesifik, pembelian input untuk hotel jauh lebih tinggi yaitu mencapai 41,30% dari penerimaan total hotel. Selain dilihat dari proporsi pembelian bahan baku, dampak ekonomi tidak langsung dari kegiatan wisata juga dapat dilihat dari proporsi upah tenaga kerja terhadap penerimaan total unit usaha serta biaya lainnya yang memberikan penerimaan lanjutan bagi unit usaha penyedia barang/jasa yaitu proporsi dari biaya pemeliharaan dan transportasi lokal. Pendapatan rata-rata tenaga kerja yang diperoleh dari penerimaan total unit usaha cukup tinggi yaitu sekitar 15,60%
60 untuk kawasan Pegunungan Tengger dan 18,29% untuk kawasan Pendakian Gunung Semeru. Jika dilihat lebih lanjut, terdapat perbedaan cukup tinggi dari perbandingan proporsi upah tenaga lokal dengan pendapatan pemilik di kedua lokasi wisata. Di kawasan Pegunungan Tengger, proporsi upah tenaga kerja hampir sama dengan proporsi pendapatan pribadi pemilik unit usaha, sedangkan di kawasan Pendakian Gunung Semeru jauh lebih rendah (Tabel 14). Hal ini disebabkan karena unit usaha yang ada di kawasan Pendakian Gunung Semeru merupakan unit usaha skala kecil dan dikelola sendiri oleh pemiliknya dan tidak memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi dan juga tidak memerlukan banyak tenaga kerja sehingga sebagian besar penerimaan unit usaha menjadi pendapatan pribadi bagi pemilik unit usaha. Berdasarkan rata-rata pendapatan per bulan dapat dikatakan kondisi ekonomi tenaga kerja sudah cukup baik dan upah yang didapatkan sudah lebih dari pendapatan rumah tangga ratarata yaitu sebesar Rp. 1.182.625,- untuk Kabupaten Probolinggo dan sebesar Rp. 1.179.325 untuk Kabupaten Lumajang (Data Susenas 2011). Dampak tidak langsung selanjutnya dilihat dari proporsi biaya pemeliharaan dan transportasi yang dikeluarkan oleh unit usaha terhadap penerimaan total. Unit usaha pada kawasan Pegunungan Tengger mempunyai proporsi biaya pemeliharaan yang lebih tinggi yaitu berturut-turut 20,58% dan 6,95% dibandingkan dengan biaya pemeliharaan dan transportasi lokal pada unit usaha di Kawasan Pendakian Gunung Semeru yaitu 3,16% dan 7,63%. Berdasarkan komponen lokal dan non lokal maka direct spending wisatawan yang benar-benar dirasakan penduduk lokal atau masyarakat sekitar kawasan Pegunungan Tengger hanya sekitar 38,33%, tetapi cukup tinggi untuk kawasan Pendakian Gunung Semeru yaitu 62,44%. Pendapatan yang benar-benar dirasakan penduduk lokal ini berasal dari pendapatan bagi pemilik unit usaha, upah tenaga kerja lokal, dan transportasi lokal, yaitu untuk kawasan Pegunungan Tengger berturut-turut sebesar 15,77%, 15,60% dan 6,95%. Sedanngkan untuk kawasan pendakian Gunung Semru bertutur-turut sebesar 36,52%, 18,29% dan 7,63% . Selebihnya merupakan biaya penyediaan sumberdaya untuk aktivitas unit usaha yang tidak diterima oleh masyarakat lokal (leakage). Biaya ini terkait dengan pembelian input dan peralatan, pemeriharaan dan perbaharuan peralatan dari luar lokasi wisata (Probolinggo, Malang, Surabaya), pengembalian kredit serta pembayaran retribusi dan pajak. Dampak ekonomi tidak langsung yang diperlihatkan pada Tabel 14 menunjukkan bahwa dari keseluruhan aliran uang yang tercipta dari pengeluaran wisatawan, manfaat yang dirasakan oleh penduduk lokal yang tidak memiliki akses terhadap modal sudah cukup tinggi. Dengan demikian dari data tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan wisata alam TNBTS mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar kawasan walaupun belum terdistribusi secara merata. Selain itu nilai manfaat yang dirasakan oleh masyarakat masih bersifat fluktuatif dan sangat tergantung dengan jumlah kunjungan wisatawan. oleh karena itu menjaga kelestarian dan kealamian kawasan untuk mempertahankan kawasan TNBTS sebagai lokasi wisata yang tetap menarik minat wisatawan menjadi sangat penting.
61 Dampak Ekonomi Lanjutan (Induced Impact) Kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS tidak hanya memberikan dampak ekonomi langsung dan tidak langsung, tetapi juga menghasilkan dampak ikutan atau induced impact. Dampak lanjutan merupakan dampak lanjut dari pendapatan yang diperoleh tenaga kerja lokal dari unit usaha tempat mereka bekerja. Dampak ini berasal dari pendapatan yang menjadi pengeluaran seharihari tenaga kerja dan dibelanjakan di unit usaha yang ada di sekitar kawasan TNBTS. Jenis pengeluaran yang dikeluarkan tenaga kerja lokal antara lain digunakan untuk biaya kebutuhan rumah tangga, biaya listrik, retribusi dan pajak, serta biaya transportasi. Dampak lanjutan dari pengeluaran tenaga kerja ini akan diterima oleh unit usaha dan sebagian pendapatan yang diterima unit usaha digunakan untuk membeli bahan baku. Dampak lanjutan berupa pengeluaran tenaga kerja lokal yang kembali berputar di tingkat ekonomi lokal. Sebagian besar pendapatan yang mereka dapatkan, mereka belanjakan di unit-unit usaha di sekitar kawasasn TNBTS seperti, kios warung dan warung makan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari dan konsumsi. Secara tidak langsung unit usaha yang berada di sekitar kawasan TNBTS selain menerima pendapatan dari pengeluaran wisatawan yang datang, unit usaha inipun menerima pendapatan dari pengeluaran tenaga kerja. Rendahnya pendapatan yang diperoleh tenaga kerja lokal mengakibatkan pendapatan tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dan tidak ada yang dapat ditabung atau sebagai simpanan. Dari pendapatan tersebut yang menjadi dampak ikutan atau induced adalah sebesar 86,77% untuk kawasan Pegunungan Tengger dan 99,59% untuk kawasan Pendakian Gunung Semeru. Tabel 17 menunjukkan proporsi rata-rata pengeluaran tenaga kerja lokal terhadap pendapatan tenaga kerja adalah untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari dan biaya transportasi. Setelah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangga pendapatan yang diperoleh tenaga kerja lokal didistribusikan untuk biaya retribusi dan lainnya. Tabel 17 Proporsi Rata-Rata Pengeluaran Tenaga Kerja Lokal terhadap Pendapatan di Kawasan Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru
Komponen Kebutuhan Rumah Tangga Pengembalian Kredit Transportasi Lokal Retribusi dan Pajak Lainnya
Proporsi Terhadap Penerimaan (%) Pegunungan Pendakian Tengger Semeru 81,27 94,66 10,04 5,50 4,93 0,60 0,41 2,60 -
Nilai Pengganda dari Pengeluaran Wisatawan Nilai multiplier atau pengganda ekonomi merupakan nilai yang menunjukan sejauh mana pengeluaran wisatawan akan menstimulasi pengeluaran lebih lanjut, sehingga pada akhirnya meningkatkan aktivitas ekonomi di tingkat
62 lokal. Untuk mengukur atau mengestimasi dampak pengganda (multiplier) dan kebocoran dengan tingkat akurasi yang tinggi sangat sulit dilakukan. Tingkat kesempurnaan dan kebakuan model multiplier masih dalam perdebatan. Ketidaksempurnaan data terkadang menjadi alasan utama rendahnya kredibilitas analisis multiplier. Terutama untuk mengetahui multiplier dalam skala yang kecil atau lokal (Mathiesen dan Wall 1982). Dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan yang terjadi di kawasan TNBTS dapat diukur dengan menggunakan nilai efek pengganda atau multiplier dari aliran uang yang terjadi. Berdasarkan META (2001) terdapat dua nilai pengganda yang digunakan dalam mmengukur dampak ekonomi kegiatan pariwisata di tingkat lokal, yaitu (1) Keynesian Local Income Multiplier yang menunjukkan seberapa besar pengeluaran wisatawan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan (2) Ratio Income Multiplier yang menunjukkan seberapa besar dampak langsung yang dirasakan dari pengeluaran wisatawan pada keseluruhan ekonomi lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Keynesian Multiplier di kawasan Pegunungan Tengger memiliki nilai lebih rendah dibandingkan nilai pengganda di kawasan Pendakian Gunung Semeru. Hal ini dikarenakan kebocoran ekonomi dari pengeluaran wisatawan yang terjadi di kawasan Pegununngan Tengger lebih besar dari pada kebocoran yang terjadi di Kawasan Pendakian Semeru. Kawasan Pegunungan Tengger mempunyai nilai Keynesian Local Income Multiplier yaitu sebesar 0,11 yang artinya bahwa peningkatan pengeluaran wisatawan sebesar 1 rupiah akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal sebesar 0,11 rupiah. Nilai Keynesian Local Income Multiplier di kawasan Pendakian Gunung Semeru sebesar 0,48, artinya peningkatan pengeluaran wisatawan di lokasi pendakian Gunung Semeru sebesar 1 rupiah akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal sebesar 0,48 rupiah. Besar nilai multiplier dari kegiatan wisata dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Nilai Pengganda/Multiplier dari Aliran Uang Kegiatan Wisata Alam di Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru Kriteria Keynesian Local Income Multiplier Ratio Income Multiplier Tipe 1 Ratio Income Multiplier Tipe 2
Nilai Multiplier Pegunungan Pendakian Tengger Semeru 0,11 0,48 6,14 2,71 7,59 4,06
Kawasan Pegunungan Tengger mempunyai nilai Ratio Income Multiplier Tipe 1 sebesar 6,14. Artinya peningkatan pendapatan unit usaha sebesar 1 rupiah akan meningkatan total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung dan tak langsung (berupa pendapatan pemilik unit usaha dan tenaga kerja lokal) sebesar 6,14 rupiah. Nilai Ratio Income Multiplier Tipe 1 ini lebih besar dibanding nilai Ratio Income Multiplier Tipe 1 kawasan Pendakian Gunung Semeru. Nilai Ratio Income Multiplier Tipe 2 memperlihatkan bahwa di kawasan Pegunungan Tengger peningkatan pendapatan unit usaha sebesar 1 rupiah akan mampu berakibat pada peningkatan sebesar 7,59 rupiah pada total pendapatan
63 masyarakat yang meliputi dampak langsung, dampak tak langsung dan dampak ikutan (berupa pendapatan pemilik unit usaha, pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluarannya di tingkat lokal). Begitu pula dengan nilai Ratio Income Multiplier Tipe 2 yang terjadi di kawasan Pendakian Gunung Semeru. Multiplier Keynesian ini merupakan pengganda terbaik yang menggambarkan dampak keseluruhan dari peningkatan pengeluaran wisatawan pada perekonomian lokal (META 2001). Income multiplier secara umum mengukur tamnbahan pendapatan (gaji, upah, sewa, bunga dan profit) dalam perekonomian sebagai hasil dari peningkatan pengeluran wisatawan (Cooper et al. 1998). Kecilnya nilai Keynesian Income Multiplier ini disebabkan karena tingginya kebocoran ekonomi wilayah yang terjadi di lokasi wisata. Artinya pengeluaran atau belanja wisatawan sebagian besar masih terjadi di luar lokasi wisata sehingga belum memberikan dampak pada ekonomi lokal masyarakat setempat. Namun jika dilihat lebih spesifik pada Nilai Income Multiplier Tipe I dan Income Multiplier Tipe II, nilai yang dihasillkan relatif cukup tinggi. Hal ini berarti bahwa kegiatan wisata alam memberikan dampak (langsung, tidak langsung dan dampak lanjutan) yang cukup tinggi. Aliran uang dari pengeluaran atau belanja wisatawan dirasakan mampu menciptakan kegiatan ekonomi yang tinggi berupa penyediaan dan penyerapan tenaga kerja dan aliran uang tidak hanya dirasakan oleh pemilik unit usaha. Secara keseluruhan nilai Keynesian Income Multiplier di kawasan Pegunungan Tengger lebih rendah dibanding dengan nilai di Kawasan Pendakian Gunung Semeru. Ini artinya kebocoran ekonomi yang terjadi di kawasan Pegunungan Tengger lebih besar dibanding kebocoran ekonomi di kawsan Pendakian Gunung Semeru. Namun untuk Nilai Income Multiplier Tipe I dan Nilai Income Multiplier Tipe II, Kawasan Pegunungan Tengger mempunyai nilai yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan kegiatan ekonomi di kawasan Pegunungan Tengger lebih tinggi dengan fasilitas penyediaan jasa layanan untuk wisatawan lebih banyak dan menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Secara umum kedua lokasi wisata mempunyai nilai pengganda yang berbeda. Perbedaan nilai ini terjadi karena disebabkan beberapa hal, yaitu : (1) jumlah kunjungan di Pegunungan tengger jauh lebih tinggi dengan rata-rata pengeluaran wisatawan yang tinggi pula, dengan demikian Kawasan Pegunungan Tengger mempunyai nilai ekonomi yang lebih besar (2) jumlah unit usaha yang ada di Kawasan Pegunungan Tengger lebih banyak dan beragam sehingga dampak yang dirasakan masyarakat berupa dampak langsung, tidak langsung dan ikutan lebih besar serta (3) unit usaha yang ada di Pegunungan Tengger mempekerjakan tenaga kerja lokal lebih banyak dan sebagai tenaga kerja tetap. Nilai pengganda dengan nilai lebih dari nol dan kurang dari satu (0 < x > 1), maka lokasi wisata tersebut masih memiliki dampak ekonomi yang rendah (Vanhove 2005). Dengan demikian dapat dikatakan kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS telah memberikan dampak ekonomi walaupun masih cukup rendah terhadap perekonomian masyarakat sekitarnya. Hal ini dikarenakan wisatawan yang datang ke lokasi ini lebih cenderung mengeluarkan pengeluarannya di luar obyek wisata. Dengan kata lain, proporsi leakagesnya (kebocoran/pengeluaran di luar lokasi wisata) lebih besar daripada proporsi pengeluarannya di lokasi wisata.
64 Hal ini tidak jauh berbeda dengan beberapa kawasan wisata alam lainnya. Kawasan Pulau Tidung Kepulauan Seribu memberi dampak ekonomi dengan nilai Keynesian Income multiplier sebesar 0,28 (Dritasto dan Anggraeni 2013), sedangkan dampak ekonomi kegiatan wisata bahari Kepulauan Seribu yang ada di dua pulau yaitu Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka berturut-turut sebesar 1,85 dan 1,16 (Wijayanti 2009) begitu pula dengan dampak ekonomi pada kegiatan wisata alam Grojokan Sewu sebesar 0,3 (Nurfiana 2013). Adanya nilai pengganda yang terdapat di kedua lokasi wisata di kawasan TNBTS ini, walaupun masih relatif rendah namun tidak dapat dipandang sebelah mata. Sebagai suatu kawasan konservasi yang secara utama berfungsi untuk daerah perlindungan, kawasan TNBTS telah mampu memberikan manfaat lain bagi masyarakat sekitar dari sisi pemanfaatan kawasan untuk wisata alam. Oleh karena itu menjadi penting juga untuk membuat suatu pola atau tata cara berwisata yang bijaksana dan konservasionist sehingga sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata.