Nur Hadi, Penetrasi Agama Negara Pada Komunitas Tengger….
69
PENETRASI AGAMA NEGARA PADA KOMUNITAS TENGGER DI KANTONG TAMAN NASIONAL BROMO-TENGGER-SEMERU Nur Hadi Jurusan Sejarah FIS Universitas Negeri Malang
Abstract: After the cupdeta of communist party in 1965, there was massive effort of non-Tengger ethnic community to penetrate the nation’s religions (Hindu, Budha, Christian, and Islam) into the Tengger ethnic community who were considered as ‘no-religion’ ethnic. Consequently, the Tengger people who had already believed in “Budo” as the only accepted Tenggerese’s religion had to be able to converse their religion. The phenomenon caused the emergence of ‘sincretism’ between their original religion and the nation’s religion with all consequences. The condition, in certain cases, needs to get much attention related to the change of traditional ritual of mountain society with its own local wisdom. Keywords: penetration, nation’s religion, Tengger Community
Suku Tengger hidup di lereng Gunung Bromo (3676 m di atas permukaan laut), dengan suhu udara yang dingin bisa mencapai 2 0C. Saat ini mereka tersebar di beberapa desa yang secara administratif meliputi empat kabupaten: Malang, Lumajang, Pasuruan dan Probolinggo (Widyaprakosa, 2004). Kondisi mereka kini berada di persimpangan jalan antara upaya pelestarian tradisi dan dinamika modernisasi yang dilematis. Nama Tengger sudah dikenal sejak masa Majapahit, berdasar temuan Prasasti Tengger berangka tahun 851 Saka (929 M), yang menyebutkan nama sebuah desa bernama Walandit, sebagai tempat suci karena dihuni oleh hulun atau abdi dewa-dewa agama Hindhu di pegunungan Tengger. Dengan demikian pemilihan lokasi ini sebagai salah satu tempat pelarian sewaktu Majapahit yang Hindhu diserang Demak dan beberapa wilayah Islam di pantai utara Jawa sudah
dipertimbangkan masak-masak oleh para pemeluk Hindhu Majapahit. Semenjak itu isolasi budaya dan geografis yang terjadi selama beberapa abad dari perkembangan tradisi Hindhu secara umum, telah menyebabkan komunitas Tengger mengembangkan tradisi budaya sendiri, termasuk agama yang unik, sesuai dengan keadaan lokal alam pegunungan dan perkembangan masyarakatnya. Religi Tengger erat kaitannya dengan legenda asal mula nama Tengger dan terbentuknya kawah Gunung Bromo, di mana diceritakan keberadaan seorang putri bernama Roro Anteng. Kecantikannya yang tersohor telah menarik minat raksasa sakti Kyai Bimo yang berniat mempersunting. Sadar akan kesaktian sang pelamar, Roro Anteng bersiasat untuk menerima lamaran tersebut dengan suatu syarat, agar dibuatkan danau di tengah gunung-gunung dalam waktu satu malam. Permintaan sang putri hampir berhasil dipenuhi, beberapa gunung
70
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2, Desember 2009
termasuk gunung Bromo telah dikeruk dengan sebuah tempurung, akibatnya bekas galian itu menjadi sebuah kawah. Dengan tipu muslihat, sang putri meminta para dayang membangunkan semua perempuan di desa untuk bersamasama menumbuk jagung dalam lesunglesung yang ada di masing-masing rumah. Suara lesung yang bertalu-talu membangunkan ayam-ayam jantan yang berkokok bersahut-sahutan. Pertanda alam itu ditafsirkan kyai Bimo sebagai bentuk kegagalan. Ia putus asa dan menerima nasib, tempurung yang dipegang dilemparkannya, jatuh tertelungkup di sisi gunung Bromo yang belum selesai digali. Berdasar tradisi lisan yang berkembang di masyarakat Tengger, gunung yang digali untuk dijadikan danau menjadi kawah gunung Bromo, tempurung yang dilempar menjadi gunung Batok, dan genangan air yang sedianya dialirkan ke kawah menjadi lautan pasir (segara wedi). Nama Tengger secara mitologis berkaitan dengan Ritus Kasada dan kehidupan sepasang suami istri bernama Roro AnTENG dan Joko SeGER yang sudah lama menikah dan belum juga memperoleh anak. Dikisahkan bahwa mereka berdua memohon kepada Dewa Brama agar dikaruniai anak dan akhirnya dikabulkan dengan suatu syarat untuk mengorbankan putra bungsu ke kawah Gunung Bromo. Terdorong oleh perasaan cinta terhadap anak-anaknya, Roro Anteng dan Joko Seger ”lupa” akan janji untuk mengorbankan putra bungsu. Akhirnya Dewa Brama menunjukkan kekuasaan dengan mengeluarkan jilatan api yang mencapai tempat tinggal Roro Anteng dan Joko
Seger, serta anak bungsu mereka (Raden Kusuma) hilang bersama dengan jilatan api tersebut. Peristiwa itu diiringi oleh suara gaib yang menyuruh keluarga Roro Anteng dan Joko Seger beserta segenap keturunannya untuk melabuh berbagai hasil bumi yang mereka peroleh pada setiap bulan Kasada di kawah Gunung Bromo, sebagai ganti dari korban tersebut. Legenda ini disampaikan secara lisan pada generasi muda Tengger dari waktu ke waktu, dan yang mendasari kegiatan ritus Kasada dilakukan setiap tahun berdasar kalender Tengger. Dua hal menyangkut asal usul nama Tengger dan ritual Kasada, telah membentuk sebuah religi masyarakat pegunungan dengan nuansa animisme yang kental. Geertz (1981) menyebut kondisi itu dengan abangan (lihat juga Koentjaraningrat, 1984). Keyakinan itu mengkristal dalam perjalanan waktu selama berabad-abad dalam hidup sosial mereka sebagai petani sayur, dalam bentuk keyakinan setempat yang diberi nama ”Budo”. Keyakinan itu menjadi nilai yang setiap waktu diinternalisasikan pada generasi muda Tengger. Modelmodel sosialisasi budaya (Koentjaraningrat, 2000), meliputi: proses internalisasi, proses sosialisasi, dan enkulturasi, yang memiliki kesejajaran dengan teori Berger dan Luckmann (1990), dari sudut sosiologis mengemukakan, bahwa proses belajar nilai-nilai adat di tengah masyarakat mengikuti pola: Objektifikasi, Internalisasi, dan Subjektifikasi. Masyarakat Tengger yang hidup di lokasi terpencil telah melaksanakan sosialisasi budaya sejak masih kanakkanak. Berbagai kebiasaan termasuk
Nur Hadi, Penetrasi Agama Negara Pada Komunitas Tengger….
pemahaman dan penanaman keyakinan religi telah dilakukan oleh para tetua adat, serta dilakukan oleh individu secara aktif, dengan memanfaatkan berbagai momen atau waktu perayaan adat, sesuai dengan siklus kehidupan petani (Suyitno, 2001). Meskipun dipengaruhi oleh kondisi perkembangan IPTEKS, masyarakat Tengger berbeda dengan gambaran masyarakat pertanian sawah di dataran rendah pada umumnya (Kroef, 1984), di mana struktur sosial petani di Jawa amat tajam (Tjondronegoro, 1984), yang terbagi ke dalam beberapa tingkatan. Namun di Tengger situasinya amat berbeda, tatanan sosial tidak dikelaskan dalam kelompok-kelompok sosial, dengan penguasaan tanah lebih didasarkan atas kepemilikan individu dan hak-hak waris tanah, bukan kepemilikan komunal. Hefner (1999) mengemukakan bahwa, pola patron-klien yang sangat umum di dunia agraris tidak dikenal di Tengger (lihat juga Nur Hadi, 2007). Pengaruh modernisasi yang terjadi sesudah Perang Dunia II dan menjangkau seluruh wilayah Nusantara sampai ke pelosok-pelosok desa, termasuk ke kawasan pegunungan Tengger, menyebabkan terjadi perubahan budaya yang cukup kuat. Menyangkut perubahan religi yang dianut masyarakat Tengger dari tradisi religi setempat menjadi berorientasi pada agama Negara baru terjadi sesudah kudeta G.30.S/PKI 1965. Berkaitan dengan latar belakang dan tinjauan pustaka tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan bagaimana proses konversi dan transformasi agama warga
71
masyarakat Tengger ke dalam salah satu agama Negara. Dengan tujuan ini akan terlihat bagaimana komunitas Tengger dapat mempertahankan jatidiri sebagai masyarakat suku yang masih asli, sekaligus kemampuan menghadapi berbagai pengaruh asing untuk disesuaikan dengan nilai-nilai budaya Tengger, menarik untuk dicermati guna ditemukan prinsip-prinsip etika tertentu yang melandasi fenomena sosial itu. (2) Mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana komunitas Tengger dapat memadukan pengaruh agama Negara ke dalam tradisi agama Tengger ”Budo”. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan suatu gambaran atas perilaku bijak berdasar tradisi lokal untuk menghadapi penetrasi agama dan budaya dari luar Tengger. Metode Desain penelitian menggunakan kerangka metode histories dengan meminjam beberapa konsep dan teori antropologi-sosiologi. Adapun fokus penelitian adalah kajian histories pada kurun waktu setelah kudeta PKI 1965 sampai tahun 2000, tentang bagaimana proses penetrasi agama dan budaya yang dilakukan oleh para tokoh agama Negara ditujukan terhadap komunitas Tengger di kantong Taman Nasional BromoTengger-Semeru yang dianggap belum beragama, serta bagaimana komunitas Tengger melakukan konversi agama. Dalam penelitian ini digunakan pendekatan histories (Gottschalk, 2003), dengan langkah-langkah teknis berikut: (1) Heuristik, pengumpulan bahan-bahan atau data-data sejarah, berupa dokumen tertulis tentang masa-masa pasca kudeta
72
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2, Desember 2009
PKI 1965 di Jawa Timur, khususnya di empat kabupaten: Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang. Di samping itu digunakan sumber-sumber lisan dari para tokoh atau pelaku yang mengetahui situasi politik masa akhir dari kudeta 1965 dengan segala implikasi sosialnya, berupa penetrasi agama negara dan konversi agama yang dilakukan komunitas Tengger sampai tahun 2000. (2) Kritik sumber, dilakukan kritik intern dan ekstern. Kritik ekstern untuk memastikan bahwa bahan yang bersangkutan otentik. Bahan-bahan yang terseleksi dan otentik kemudian dianalisis secara intern (menyangkut isi pemberitaan yang terdapat dalam dokumen). Dokumen-dokumen tertulis pasca kudeta 1965 relatif cukup tersedia, termasuk analisis situasi politik-budaya terkait penetrasi dan konversi agama di Tengger. (3) Interpretasi, dilakukan analisis dan sintesis terhadap data-data yang terkumpul dan otentik, baik dari sumber tertulis maupun lisan. Kemudian kedua jenis data dikawinkan untuk membentuk suatu jalinan peristiwa yang disusun secara kronologis. (4)Historiografi, penyusunan sejarah tentang proses penetrasi agama dari luar Tengger terhadap komunitas Tengger, serta bagaimana komunitas Tengger melakukan konversi agama. Ilmu sejarah memanjang dalam waktu (diakronis), berbeda dengan ilmu sosial-budaya lain (Kuntowijoyo, 2003) yang meluas dalam ruang (sinkronis). Karena itu pemaparan peristiwa dalam penelitian ini menggunakan landasan pokok kronologis. Namun pendekatan antropologi dan sosiologi digunakan untuk mempertajam analisis, seperti
menyangkut konsep dan teori difusi budaya, perubahan sosial-budaya, struktur sosial dan sistem sosial. Guna didapat data yang akurat dan lengkap, informan penelitian dipilih berdasar kepentingan tujuan penelitian/purposive sampling (Nasution, 1992) yang meliputi: tokoh-tokoh agama (Hindhu, Budha, Kristen dan Islam) serta tokoh-tokoh agama lokal ”Budo” yang kini telah berkembang menjadi ”Budo Jowo Sanyoto”, para pemimpin formal seperti kepala desa dengan perangkatnya, serta para Kepala Dukun, Wong Sepuh dan Pak Legen dan sejumlah jamaah pengikut agama yang berbeda-beda di keempat desa terteliti di kantong Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru. HASIL DAN PEMBAHASAN Sesuai dengan tujuan penelitian ini, hasil penelitian dan pembahasannya disajikan dengan urutan (1) proses konversi dan transformasi agama warga masyarakat Tengger ke dalam salah satu agama Negara, (2) bagaimana komunitas Tengger dapat memadukan pengaruh agama Negara ke dalam tradisi agama Tengger ”Budo”. Konversi dan Transformasi Agama Selama kurun waktu yang sangat panjang, masyarakat Tengger yang terisolasi secara fisik maupun budaya dari perkembangan budaya luar, telah mengembangkan suatu tradisi budaya sendiri yang unik, antara lain: memegang teguh ajaran Wa-Lima, yang terdiri dari Waras (sehat jasmani dan rohani), Wareg (kenyang), Wastra (pakaian), dalam hal ini sarung bagi laki-laki, dan kain untuk wanita memiliki peran yang sangat
Nur Hadi, Penetrasi Agama Negara Pada Komunitas Tengger….
penting karena tinggal di daerah dingin, sarung digunakan untuk selimut. Pemandangan seorang laki-laki berkerudung sarung merupakan hal biasa, dan warna gelap pada umumnya yang disukai. Wismo (rumah), setiap keluarga Tengger dianggap belum sempurna hidupnya jika belum memiliki rumah sendiri, dan Wasis (cakap) terutama kecakapan individu mengolah tanah yang sangat dihargai oleh masyarakat (Nur Hadi, 1990) . Juga dikembangkan nilai-nilai yang tinggi menyangkut Tujuh Unsur Cinta Kasih (Welas Asih Pepitu), terdiri dari: cinta pada Yang Maha Agung Hong Pokulun, Ibu Pertiwi (tanah), BapaBiyung (orang tua), Jiwo-Rogo (jasmani dan rohani), Sapada padane ngahurip (sesama makhluk hidup), Sato Kewan (binatang piaraan), dan pada Tandur Tuwuh (terhadap tanaman yang berguna). Masyarakat Tengger juga mengenal berbagai pantangan yang terdapat dalam ajaran Tujuh Wewaler, meliputi larangan: berada di tempat sadranan dan punden, masuk sanggar pamujan (padanyangan) tanpa seijin Dukun, berkata kotor dan kasar terutama di sekitar poten Gunung Bromo, memindahkan batu-batu batas pekarangan atau batas tanah pertanian, mengadakan pertunjukan wayang kulit (karena diyakini Tengger sebagai tempat para Dewa), melanggar pagar ayu, serta melakukan Mo-Limo. Dalam mengatur pergaulan hidup masyarakat, terutama menyangkut hubungan muda-mudi dikembangkan bentuk kontrol sosial yang ketat dengan melakukan Operasi Petekan, dilaksanakan setiap tiga bulan sekali oleh Dukun
73
dengan dibantu pak Legen, Wong Sepuh dan bidan. Mereka yang berkewajiban mengikuti operasi ini adalah semua wanita yang belum menikah dan para janda. Dengan menekan organ tubuh di bawah perut, Dukun dengan dibantu bidan, dapat menentukan lebih dini, apakah seseorang telah hamil. Jika itu terjadi anggota masyarakat yang bersangkutan dapat terkena sanksi adat. Deteksi dini ini diperlukan untuk menjaga perilaku muda-mudi dan keutuhan masyarakat. Kini tradisi Petekan hanya dilakukan di beberapa desa Tengger. Sebagai masyarakat adat dengan tingkat pergaulan hidup yang tinggi dan erat dengan sesamanya, masalah ritus menjadi warna yang tidak dapat dipisahkan dari kesadaran sosial masyarakat Tengger. Berbagai ritus yang berlangsung dalam masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori: ritus yang berhubungan dengan alam dan pendirian rumah serta pertanian, ritusritus yang menyangkut siklus hidup seperti kelahiran, Wologoro (perkawinan) dan kematian, serta ritus-ritus yang berkaitan dengan siklus waktu dan berlangsung secara tetap setiap tahun berdasarkan kalender Tengger, seperti Kasada, Karo, dan lain-lain. Dalam fenomena budaya Tengger secara empirik selama bertahun-tahun dijumpai bahwa ritus adat adalah juga ritus agama itu sendiri. Ajaran budi pekerti yang mereka miliki boleh dikatakan lengkap. Dengan berbagai adat istiadat itu masyarakat Tengger dapat hidup rukun dan damai selama berabadabad. Namun kini dengan masuknya agama-agama Negara, warna dari
74
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2, Desember 2009
tradisi budaya Tengger telah banyak berubah. Sesudah terjadi peristiwa G.30.S/PKI dilakukan penangkapan dan pembantaian secara besar-besaran terhadap orang-orang PKI, yang ternyata banyak mengikuti “aliran kepercayaan” (Mortimer, 1974). Masyarakat Tengger yang dianggap tidak memiliki agama dan ”hanya” beraliran kepercayaan mengalami nasib yang sama. Horor yang dilakukan masyarakat asing telah memaksa pimpinan komunitas Tengger melakukan konversi agama, sebagian besar berpindah ke dalam agama Hindhu, dan sebagian lain tetap menjalankan tradisi agama “Budo”. Penggunaan terminologi “Budo” (bukan Budha) adalah sebagai resistensi terhadap Islam, yang dalam peristiwa pasca kudeta itu menjadi pihak paling berkepentingan dalam membasmi orang-orang yang dianggap ”tidak beragama”. Nampaknya terdapat upaya untuk menggeneralisasikan situasi sosial di waktu pasca kudeta PKI itu, bahwa di berbagai tempat para pengikut aliran kepercayaan banyak yang terlibat kudeta PKI. Maka tidak terkecuali terhadap komunitas Tengger yang dianggap “tidak beragama” juga terdapat sangkaan semacam itu. Untuk sebagian hal itu bisa diterima dengan keterlibatan beberapa orang Tengger yang menjadi anggota PKI, yang menyebabkan pembantaian terhadap orang-orang PKI itu kemudian juga memasuki wilayah Tengger (Hefner, 1985). Sebagai akibat kondisi itu terjadi beberapa konfigurasi sikap masyarakat dan pemimpin Tengger: satu sisi melakukan konversi agama ke dalam
salah satu agama Negara, yaitu Hindhu, sedangkan sisi lain tetap mempertahankan agama asli mereka, “Budo”. Konversi ke dalam agama Hindhu banyak dilakukan oleh komunitas Tengger di wilayah Probolinggo, Pasuruan dan Lumajang. Sedangkan di wilayah Malang masih mempertahankan agama tradisional mereka. Ekor Wilayah Kabupaten Wilayah Tengger telah dibagi ke dalam empat kabupaten di Jawa Timur. Jika dilihat dari peta pada keempat kabupaten tersebut, terlihat bahwa wilayah Tengger merupakan ekor dari masing-masing kabupaten baik Pasuruan, Probolinggo, Malang maupun Lumajang. Tidak diketahui dengan pasti apakah pembagian wilayah Tengger ke dalam empat kabupaten tersebut dilakukan dengan musyawarah bersama masyarakat Tengger. Yang jelas pembagian ini menyebabkan warna kehidupan mereka sebagai masyarakat gunung dengan keunikan sosio-budaya dan etnis, dalam perkembangannya terancam pudar. Masing-masing desa Tengger telah berorientasi ke arah wilayah kabupaten masing-masing. Sebagai sesama komunitas gunung dengan latar sejarah yang sama, desa-desa Tengger kurang memiliki kesempatan untuk secara integral membuat pilihan dan mengembangkan diri. Marjinalitas yang telah terjadi tidak menguntungkan mereka dalam menyatukan diri sebagai etnis yang padu. Ketidak paduan antar sesama penduduk dari desa-desa Tengger tersebut menyebabkan ketimpangan yang terjadi antara desa-desa pada wilayah
Nur Hadi, Penetrasi Agama Negara Pada Komunitas Tengger….
kabupaten yang berlainan. Keberadaan aset wisata alam maupun budaya yang potensial pada mereka, menjadi keperluan bagi pemerintah kabupaten masing-masing maupun lembagalembaga di luar Tengger untuk melakukan eksploitasi. Demikian juga ketidaksamaan gerak langkah komunitas Tengger dalam menghadapi tantangan dari luar menyebabkan masyarakat desadesa Tengger tidak lagi satu. Muncul arogansi daerah yang saling klaim, bahwa merekalah orang Tengger yang masih asli, dan di luar itu sudah berubah. Hal ini tidak menguntungkan dalam perkembangan sosial budaya mereka untuk waktu-waktu yang akan datang. Penetrasi Agama Negara Beberapa agama negara memasuki Tengger semenjak terjadi G.30.S/PKI. Di beberapa desa masyarakat melakukan konversi ke dalam agama Hindhu, sesuai dengan gerakan yang dilakukan para pemimpin Tengger, yang berpikir secara histories bahwa mereka adalah keturunan penganut Hindhu Majapahit. Menjelang akhir abad XX Di desa-desa Tengger yang lain agama Islam telah masuk dengan intensif, bahkan ada sebuah desa yang seratus persen penduduknya telah beragama Islam. Hal itu misalnya terjadi di Desa Gubuk Klakah dan Karang Duwet/Duwet Krajan, Kabupaten Malang. Sayang bahwa kekurang hati-hatian dalam melakukan syi’ar agama telah menyebabkan berbagai simbol agama Tengger yang memiliki kedekatan dengan pelestarian lingkungan alam ikut lenyap. Terdapat banyak pohon besar
75
yang telah ditebang karena dianggap sebagai tempat berhala dan membuat masyarakat berbuat syirik. Kondisi ini semakin memprihatinkan ketika disadari bahwa pohon-pohon besar di lahan-lahan miring seperti di Tengger adalah tempat resapan dan sumber mata air. Kini masalah ekologis itu muncul ketika pohon-pohon besar telah banyak ditebang. Selain di kedua desa tersebut, agama Islam juga sudah mempengaruhi dan dianut oleh sepertiga penduduk Desa Ngadas, Kabupaten Malang. Kondisi ini kiranya sama dengan apa yang dikhawatirkan Smith (1985) pada masuknya modernisasi politik dan agama, yang akan berdampak pada kegoncangan sosial. Demikian juga agama Budha telah memasuki Tengger. Terminologi ”Budho” dalam masyarakat Tengger yang merupakan bentuk resistensi terhadap Islam, telah dipergunakan dan dimanfaatkan oleh pimpinan majelis Agama Budha dengan cara mengintegrasikan agama Tengger tersebut ke dalam agama Budha, walau sesungguhnya secara historis maupun berdasar sistem keyakinan dan ritus yang dilakukan tidak sama. Kesamaan nama depan dari keyakinan Tengger itulah yang menyebabkan pengikut agama ”Budho” yang kemudian berkembang menjadi ”Budo Jowo Sanyoto” dianggap bagian dari pengikut Budha dengan cara mengundang dan memfasilitasi mereka pada berbagai perayaan yang diadakan pengikut Budha. Demikian juga pengikut Budha telah mengikuti persembahyangan umat Tengger di Sanggar Pamujan, yang sekarang juga telah berubah menjadi ”Vihara Paramitha”.
76
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2, Desember 2009
Perpaduan Agama Negara dengan Agama Tengger ”Budo”. Adalah hak komunitas Tengger untuk melaksanakan ajaran-ajaran agama mereka, termasuk jika mereka berkehendak melakukan konversi agama. Hal ini juga menyangkut hak memperoleh pendidikan, pengetahuan dan mengikuti kemajuan IPTEKS yang pesat di tengah situasi geografis mereka yang terbatas. Demikian juga sebagai warga negara mereka selayaknya mendapatkan perlindungan dan jaminan keamanan serta kesejahteraan dari negara dalam memperoleh dan mempertahankan hak-haknya sebagai komunitas lokal. Berbagai bentuk ritus masyarakat Tengger jika dicermati memiliki hubungan dengan upaya menjaga eksistensi masyarakat, baik secara fisik maupun sosial. Masuknya agama Negara pada masyarakat Tengger untuk sebagian telah menyebabkan hilangnya bentuk kearifan lokal mereka. Masyarakat Tengger melakukan ritual di bawah pohon-pohon besar, dan mensakralkan pohon-pohon tersebut sebagai tempat Danyang. Namun atas nama gerakan pemurnian beragama (purifikasi Islam) berbagai bentuk penyembahan tersebut diangap takhayul, bidah dan khurafat serta melemahkan aqidah, dengan cara menghancurkan dan menebang pohonpohon besar tempat sesembahan (Danyang) yang ada. Kondisi ini mengancam kelestarian budaya dan lingkungan alam Tengger yang sangat membutuhkan tetap tumbuhnya pohonpohon besar untuk tetap menjaga keberadaan sumber mata air. Sebagaimana diketahui pohon-pohon
besar mampu menjadi katalisator bagi tersedianya sumber-sumber mata air. Hal yang berlainan terjadi di wilayah Tengger bagian bawah. Beberapa desa yang dahulunya masuk wilayah Tengger kini hanya tinggal kenangan. Pada desa yang bersangkutan komunitas ”Budo” telah lenyap, berganti dengan kesertaan dalam agama Negara. Jika di desa-desa terteliti: Ngadisari (Probolinggo), Wonokitri (Pasuruan) komunitas Tengger telah beralih dan menyesuaikan agama tradisional mereka dengan agama Hindhu. Maka untuk Desa Ranupane (Lumajang) dan Ngadas (Malang) terjadi dinamika yang lebih kompleks dalam kepemelukan agama Negara. Hampir semua agama Negara telah masuk dan membentuk koloni di kedua desa tersebut dengan segala dinamikanya. Beberapa penyesuaian yang telah dilakukan oleh komunitas Tengger yang beragama asli ”Budo” adalah mereka masih menjalankan ritual-ritual tradisional yang di masa lalu menjadi bagian integral dari religi mereka sebagai masyarakat gunung. Upacara penting dan masih menjadi ciri mereka adalah upacara Kasada dan upacara Karo. Jika upacara Kasada sifatnya lebih inklusif dengan pelibatan banyak unsur-unsur eksternal, seperti pengukuhan para pejabat negara sebagai warga kehormatan Tengger. Maka untuk upacara Karo sifatnya lebih eksklusif antar warga dalam satu desa, di mana para pengikut agama tradisional ”Budo” yang sesungguhnya lebih ”memiliki hak” untuk melaksanakan upacara ini. Upacara Karo lebih mirip dengan pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri bagi umat Islam. Itu
Nur Hadi, Penetrasi Agama Negara Pada Komunitas Tengger….
sebabnya terjadi proses identifikasi dan adaptasi atau penyelarasan yang dilakukan oleh komunitas Tengger penganut agama-agama Negara. Upacara Karo masih dilakukan oleh para pengikut agama Hindhu di Tengger, seakan-akan menjadi bagian integral dari agama Hindhu (terjadi di Ngadisari dan Wonokitri), namun di Desa Ngadas dan Ranupane upacara Karo dilakukan oleh semua pengikut agama Negara, kecuali umat Kristen. Pada perkembangannya upacara Karo ini mengalami perubahan-perubahan. Di beberapa desa Tengger, upacara Nyadran yang merupakan penutup upacara Karo, dengan melakukan perjamuan makan secara bersama-sama penduduk desa di pemakaman, sudah mulai ditinggalkan diganti dengan acara hiburan seperti campur sari, dangdutan atau tayub. Di saamping itu waktu penyelenggaraannya berbeda antara Desa Ngadas dengan desa-desa Tengger lainnya. Perubahan yang terjadi sebagian adalah adaptasi dari masuknya agama Negara ke dalam komunitas Tengger. Patut untuk direnungkan terhadap bertambahnya ”ortodoksi” yang diperoleh komunitas Tengger dengan melakukan konversi agama. Masingmasing pemimpin agama Negara telah mengadakan kegiatan-kegiatan yang mulai nampak eksklusif. Komunitas Budha Malang Raya misalnya, telah mengadakan upacara Waisyak di pelataran Candi Sumberawan (Singosari, Malang) dengan melibatkan umat ”Budo” yang kini telah berkembang menjadi ”Budo Jowo Sanyoto” dan diakui sebagai salah satu aliran dalam agama Budha di Malang Raya, termasuk
77
upaya pemasyarakatan kitab suci Tripettaka kepada remaja dan anak-anak Tengger (sebuah gejala yang baru terjadi dalam empat tahun belakangan ini). Sanggar Pamujan dalam satu tahun ini telah berubah bentuk menjadi Vihara, dengan bangunan stupa yang mengitari bagian luar sanggar, serta keberadaan patung Maitreya yang sangat dominan di dalam sanggar. Demikian juga telah berdiri beberapa mesjid yang rajin dimanfaatkan untuk shalat lima watu, termasuk untuk melaksanakan shalat Jum’at dan shalat Hari Raya. Akan halnya bangunan pura sudah lebih dulu digunakan untuk beribadah komunitas Tengger di awalawal mereka melakukan konversi terhadap agama Hindhu pada pasca kudeta PKI 1965. Sedangkan umat Kristen Tengger belum begitu banyak di Tengger, namun mereka mulai aktif mengadakan berbagai kegiatan yang melibatkan orang-orang Tengger, termasuk mendirikan gereja di Desa Ranupani. Sesuatu yang perlu diwaspadai adalah eksklusifisme yang biasanya menyertai kegiatan peribadatan keagamaan yang akan mendorong terjadinya pengkotak-kotakan pengikut agama di desa Tengger. Sampai sejauh ini dari hasil observasi yang dilakukan ”belum” dijumpai para pemimpin agama Negara di Tengger dalam khotbahkhotbah acara keagamaan mereka memandang ajaran mereka paling baik dan ajaran umat lain jelek, namun hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadi karena keterlibatan pihak-pihak eksternal dari luar Tengger akan sulit dihindari.
78
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2, Desember 2009
Kiranya ”kedamaian” yang masih ada di Tengger tidak bisa dilepaskan dengan model-model sosialisasi budaya yang dilaksanakan warga masyarakat Tengger terhadap generasi mudanya yang lebih menekankan pada perlunya hidup rukun sesama mereka. Sejauh ini berbagai nilai budaya asli Tengger masih mereka tanamkan kepada anak keturunan mereka, walaupun mereka sudah memeluk salah satu agama Negara. Model-model sosialisasi budaya (Berger dan Luckmann, 1990) yang biasa disebut sebagai proses belajar budaya sendiri (Koentjaraningrat, 2000), telah berlangsung pada komunitas Tengger. Hasilnya adalah terbentuknya komunitas Tengger yang masih mencintai tradisi budaya Tengger. Harapan akan berlangsung dan tetap lestarinya tradisi budaya masih ada jika dilihat pada kepedulian menjalankan ritual, dan utamanya sikap mental dan perilaku mereka yang masih memegang teguh nilai-nilai budaya Tengger. Tetapi sekali lagi pengaruh eksternal sangat mengkhawatirkan bagi suatu pandangan yang tetap menginginkan Tengger dalam wajahnya yang asri dan damai. Simpulan Proses konversi dan transformasi agama masyarakat Tengger ke dalam agama Negara terjadi secara masif semenjak berakhirnya kudeta PKI 1965, ketika dilakukan penangkapan secara besar-besaran terhadap orang-orang Tengger yang dianggap tidak memiliki agama dan ”hanya” beraliran kepercayaan. Sebagai akibat kondisi itu terjadi beberapa konfigurasi sikap masyarakat dan pemimpin Tengger: satu
sisi melakukan konversi agama ke dalam salah satu agama Negara, yaitu Hindhu, sedangkan sisi lain tetap mempertahankan agama asli mereka, “Budo”. Konversi ke dalam agama Hindhu banyak dilakukan komunitas Tengger di wilayah Probolinggo, Pasuruan dan sebagian Lumajang. Sedangkan di wilayah Malang untuk sebagian masih mempertahankan agama tradisional mereka. Pada saat ini agama tradisional ”Budo” yang kemudian berkembang menjadi ”Budo Jowo Sanyoto” sudah direduksi ke dalam agama Budha Tri Dharma, di samping sudah berkoloninya agama Hindhu dan Islam di Ngadas, serta Kristen dan Islam di Ranupani. Beberapa penyesuaian yang telah dilakukan oleh komunitas Tengger yang beragama asli ”Budo” adalah dengan menjalankan ritual-ritual tradisional yang di masa lalu menjadi bagian integral dari religi mereka sebagai masyarakat gunung. Upacara penting dan masih menjadi ciri mereka adalah upacara Kasada dan upacara Karo yang dilaksanakan secara periodik, di samping upacara Entas-Entas dan Unan-Unan. Jika upacara Kasada sifatnya lebih inklusif dengan pelibatan banyak unsurunsur eksternal, seperti pengukuhan para pejabat negara sebagai warga kehormatan Tengger. Maka untuk upacara Karo sifatnya lebih eksklusif antar warga dalam satu desa yang seringkali terdiri dari beberapa pemeluk agama Negara. Upacara ini dilakukan para pengikut agama Hindhu di Tengger, seakan-akan menjadi bagian integral dari agama Hindhu (terjadi di Ngadisari dan Wonokitri), namun di Ngadas dan
Nur Hadi, Penetrasi Agama Negara Pada Komunitas Tengger….
Ranupane telah dilakukan oleh semua pemeluk agama Negara, kecuali Kristen. Dalam situasi ini konversi agama yang dilakukan ternyata memperkaya komunitas Tengger akan khasanah budaya yang sudah ada. Namun patut untuk direnungkan terhadap bertambahnya ”ortodoksi” yang mereka peroleh dengan melakukan konversi agama, termasuk kemungkinan masyarakat Tengger terpolarisasi ke dalam beberapa kutub kepemelukan agama Negara. Saran Berdasarkan hasil pembahasan dan simpulan tersebut, dikemukakan saran berikut ini (1) Secara praktis, di era nation state seperti sekarang ini, keberadaan masyarakat Tengger haruslah dilindungi dari kemungkinan pemaksaan kepentingan pihak-pihak dari luar Tengger yang tidak memahami kearifankearifan lokal mereka, dan hanya mementingkan ego untuk memaksakan kehendak mereka di Tengger. Sebagai sebuah masyarakat terbuka hak masyarakat Tengger untuk mengakses informasi, termasuk menyerap budaya dan agama dari luar patut didukung. Namun keinginan mereka untuk mempertahankan tradisi yang membawa kemaslahatan bagi eksistensi hidup mereka di sebuah ruang yang unik patut dilindungi. (2) Dari segi teoritiskonseptual penelitian ini lebih memfokus pada proses penetrasi agama Negara dari luar Tengger, serta bagaimana komunitas Tengger dengan para pemimpinnya melakukan konversi dan menyesuaikan dengan tradisi budayanya. Atas dasar itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
79
menyangkut pengaruh dari konversi agama di Tengger itu terhadap rutualritual tradisional mereka. Daftar Rujukan Berger, P. L., and Luckmann. T. 1990. The Social Construction of Reality: Atreatise in the Sociology of Knowledge. Gerden City, N.Y.: Doubleday. Geertz, C. 1981. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (The Religion of Java). Jakarta: Pustaka Jaya. Gottschalk, L. 2003. Mengerti Sejarah Pengantar Metode Sejarah (Understanding History: A Primer of Historical Method). Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia. Hefner, R. W. 1999. The Political Economy of Mountain Java An Interpretive History. California: University of California Press. Hefner, R. W. 1985. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. Princeton: Priceton University Press. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. --------------------- 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Kroef, J. M.v. 1984. Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa. (dalam Tjonronegoro dan Wiradi). Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor.
80
SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2, Desember 2009
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah Edisi Kedua. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Nasution. S. 1992. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Mortimer, R. 1974. Indonesian Communism under Sukarno: Ideology and Politics, 19591965. Ithaca: Cornell University Press.
Smith,
D.E. 1985. Agama dan Modernisasi Politik Suatu Kajian Analitis (Religion and Political Development, An Analitic Study). Jakarta: Rajawali Pers.
Suyitno.
2001. Mengenal Upacara Tradisional Masyarakat Suku Tengger. Penerbit Satubuku.
Nur Hadi. 1990. Pengaruh Modernisasi Terhadap Adat Budaya Masyarakat Tengger Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Malang: Puslit IKIP Malang. Nur Hadi. 2007. Perilaku Adat Efektif Petani Sayur Tengger, di Desa Ngadas Kabupaten Malang, Pada Lahan Miring di Kantong Taman Nasional BTS. Penelitian Fundamental. Malang: Lemlit UM.
Tjondronegoro. S. MP., Wiradi. G. (Ed.). 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor. Widyaprakosa, S. 1994. Masyarakat Tengger, Latar Belakang Daerah Taman Nasional Bromo. Yogyakarta: Kanisius.