i
DAMPAK KEGIATAN WISATA ALAM TERHADAP EKONOMI LOKAL DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU
EKA SUSANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Kegiatan Wisata Alam Terhadap Ekonomi Lokal di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014
Eka Susanti NRP A156120364
RINGKASAN Eka Susanti. Dampak Kegiatan Wisata Alam terhadap Ekonomi Lokal di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI dan LILIK BUDI PRASETYO. Nilai manfaat yang diperoleh dari suatu kawasan konservasi masih sering dipandang sebelah mata. Padahal sesungguhnya manfaat yang diperoleh, baik berupa manfaat langsung dan tidak langsung, sangatlah berlimpah. Salah satu pemanfaatan dari kawasan konservasi adalah pemanfaatan kawasan untuk lokasi wisata alam. Pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi penting dalam pembangunan nasional karena dianggap dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membuka lapangan pekerjaan, serta merangsang pertumbuhan ekonomi regional. Salah satu bentuk pariwisata yang tengah banyak diupayakan oleh Pemerintah Indonesia adalah kegiatan wisata alam yang mengandalkan keindahan dan panorama alam di kawasan konservasi, termasuk taman nasional dengan mendukung konsep ekowisata. Dengan demikian diharapkan kegiatan wisata alam ini dapat memberikan dampak ekonomi yang signifikan terhadap masyarakat sekitar, mampu meningkatan penerimaan negara, serta tetap berupaya meningkatkan kelestarian lingkungan. Tujuan utama penelitian ini adalah melakukan analisis dampak ekonomi wisata alam di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Penelitian ini memiliki empat tujuan yaitu: 1) menghitung besarnya nilai dan dampak ekonomi lokal kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS, 2) mengetahui hirarki perkembangan wilayah di sekitar kawasan TNBTS, 3) mengetahui besarnya perubahan penggunaan lahan di kawasan TNBTS, serta 4) merumuskan arahan strategi yang efektif dalam pengelolaan wisata alam di taman nasional lainnya di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pembuat kebijakan, yaitu pihak Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan Pemerintah Daerah setempat sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pengembangan perencanaan dan pengelolaan wisata alam, serta memberikan masukan dalam perumusan sebagai alternatif kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan wisata alam, sehingga dampak dan kontribusi wisata alam bagi masyarakat dapat ditingkatkan. Penelitian ini dilakukan di kawasan TNBTS dan difokuskan di kawasan Pegunungan Tengger yaitu Resort Cemoro Lawang, dan kawasan pendakian Gunung Semeru yaitu Resort Ranupane. Nilai ekonomi wisata alam di kawasan TNBTS diperoleh dari pendugaan besarnya biaya pengeluaran wisatawan. Dari pendekatan ini diperoleh nilai ekonomi total penyelenggaraan wisata alam di TNBTS tersebut sebesar 341,23 milyar rupiah per tahun, yang terdiri dari kegiatan wisata di kawasan Pegunungan Tengger sebesar 326,90 milyar rupiah per tahun (95,80%) dan di kawasan pendakian Gunung Semeru sebesar 14,33 milyar rupiah pertahun (4,20%). Rata-rata pengeluaran wisatawan untuk satu kali kunjungan di kawasan Pegunungan Tengger adalah 2.769.363 rupiah. Sekitar 2.258.620 rupiah (81,56%) dari pengeluaran wisatawan tersebut terjadi di luar kawasan taman nasional. Rata-rata pengeluaran wisatawan untuk satu kali kunjungan di kawasan Pendakian Gunung Semeru sebesar 569.000 rupiah per orang. Sekitar 438.443
v
rupiah (77,05%) dari pengeluaran wisatawan tersebut terjadi di luar kawasan taman nasional. Pengeluaran atau belanja dari wisatawan memberikan manfaat langsung, tidak langsung, dan dampak lanjutan bagi masyarakat sekitar kawasan. Dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan tersebut dikuantifikasi menggunakan Keynesian Multiplier. Hasilnya menunjukkan bahwa dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan di kawasan Pegunungan Tengger lebih tinggi dibandingkan di kawasan Pendakian Semeru. Dari hasil penelitian juga tercatat bahwa nilai Local Income Multiplier di kawasan Pegunungan Tengger adalah 0,11, nilai Ratio Income Multiplier Tipe 1 sebesar 6,14, dan nilai Ratio Income Multiplier Tipe 2 sebesar 7,59. Di kawasan Pendakian Gunung Semeru untuk nilai yang sama berturut-turut tercatat 0,48, 2,71, dan 4,06. Dengan nilai tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS mampu memberikan dampak ekonomi walaupun masih relatif kecil bagi masyarakat di sekitar kawasan. Desa-desa yang terdapat di sekitar kawasan TNBTS merupakan desa dengan tingkat perkembangan wilayah yang rendah. Hal ini ditunjukkan dengan minimnya fasilitas pelayanan publik yang terdapat di desa tersebut. Hasil analisis skalogram menunjukkan bahwa 4 desa (5,56%) merupakan desa dengan tingkat pertumbuhan Hirarki 1. Desa yang masuk dalam Hirarki II sebanyak 33,33% dan Hirarki III sebanyak 61,11% dari keseluruhan desa yang ada di sekitar kawasan TNBTS. Dua dari empat desa yang masuk dalam Hierarki I adalah desa-desa yang terkait secara langsung dengan aktivitas wisata yang ada di kawasan TNBTS, sekaligus merupakan desa yang berbatasan langsung dan menjadi pintu masuk utama lokasi wisata. Dua desa tersebut yaitu Desa Ngadisari dan Desa Ranupane. Kegiatan wisata alam yang tinggi di kedua desa ini memberikan dampak bagi perkembangan wilayah berupa peningkatan sarana pelayanan publik terutama fasilitas pelayanan jasa berupa penginapan, restoran, dan rumah makan. Selain dampak pada bidang ekonomi, kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS juga memberi pengaruh pada kelestarian kawasan. Kawasan TNBTS banyak mengalami perubahan tutupan menjadi hutan sekunder yang berada pada desa-desa dengan tingkat perkembangan rendah dan merupakan desa dengan Hirarki III. Selain itu, perubahan penutupan lahan di kawasan ini terjadi di sekitar desa-desa yang memiliki akses terbatas ke kegiatan wisata alam. Pada pelaksanaannya, pengelolaan dan pengembangan kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS memerlukan koordinasi dan kerjasama multi pihak dari semua pihak terkait. Pengelolaan wisata alam di kawasan TNBTS memerlukan peranan yang lebih besar dan kerjasama para pihak, terutama dari pemerintah pusat yang dalam hal ini diwakilkan kepada Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru selaku pengelola. Selain itu kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS hendaknya dikembangkan ke bentuk ekowisata dengan memprioritaskan penanganan aspek-aspek ekologi dibandingkan aspek ekonomi dan sosial budaya, khususnya pengendalian kerusakan ekosistem kawasan serta penanganan sampah dan limbah. Kata kunci: dampak ekonomi, multiplier effect, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
SUMMARY EKA SUSANTI. Impacts of Nature Tourism Activities on the Local Economy in the Areas of Bromo Tengger Semeru National Park. Supervised by ERNAN RUSTIADI and LILIK BUDI PRASETYO. The benefit values derived from a conservation area are still often underestimated. In fact, the real benefits, direct and indirect, are quite many. One of the utilizations of the conservation area is for the location of nature tourism. Tourism is one of the important economic sectors in the national development because it can improve the community welfare, create jobs, and stimulate regional economic growth. One of the many forms of tourism being promoted by the government of Indonesia is nature tourism that relies on the beauty of nature and natural panorama in conservation areas, including national parks to support the concept of ecotourism. Therefore, it is expected that this nature tourism activity can provide a significant economic impact on the surrounding communities, increase state revenue and improve environmental sustainability. The main purpose of this study was to analyze the economic impact of nature tourism in the National Park of Bromo Tengger Semeru (TNBTS). This study had four objectives: (1) to find out the value and impact of the local economic activities in the areas of TNBTS, (2) to learn about the hierarchies of the area development around TNBTS, (3) to learn about the magnitude of changes in land use in TNBTS areas, and (4) to fomulate alternative strategy on nature tourism development in TNBTS. The results of this study were expected to provide input to policy makers, namely National Park Center of Bromo Tengger Semeru and the local government as the party responsible for the development planning and the management of nature tourism, providing input in the formulation of policy alternatives that need to be done in nature tourism management, so that the impact and contribution of nature tourism to the community can be improved. This research was conducted in TNBTS areas, focusing on the Tengger Mountains Area, that is, Cemoro Lawang Resort, and the Mount Semeru Climbing Area called Ranupane Resort. The economic value of nature tourism in TNBTS area was obtained from estimating the cost of tourist spending. Based on this approach, it was obtained that the total economic value of running nature tourism in TNBTS was 341.23 million rupiah, which consisted of tourism activities in Tengger Mountains amounting to 326.90 million rupiah (95.80 %) and in the hiking area of Mount Semeru at 14.33 million rupiah (4.20 %). The average tourist expenditure for one visit in the Tengger Mountains Area was 2,769,363 rupiah. Approximately 2,258,620 rupiah (81.56 %) of tourist spending occurred outside the national park. Meanwhile, the average tourist expenditure for one visit in the Mount Semeru Climbing Area was 569,000 rupiah per person. Approximately 438,443 rupiah (77.05 %) of tourist spending occurred outside the national park. The expenditure of travelers provides direct as well as indirect benefits and further impact on the communities around the areas. The economic impact of tourist spending was quantified using Keynesian Multiplier. The results indicated
vii
that the economic impact of tourist spending on the Tengger Mountains Area was higher than that in the Mount Semeru Climbing Area. From the study results, it is also important to note that the value of Local Income Multiplier in the Tengger Mountains Area was 0.11, the value of Ratio Income Multiplier Type 1 was 6.14, and the value of Ratio Income Multiplier Type 2 was 7.59. In the meantime, in the Mount Semeru Climbing Area, the same values were recorded 0.48, 2.71, and 4.06, respectively. With these values it can be said that nature tourism activities in the TNBTS areas were able to bring economic impact, although still relatively small, to the communities around the areas. The villages located in the vicinity of TNBTS areas were the villages with a low level of development as indicated by the lack of public service facilities. The results of schallogram analysis showed that 4 villages (5.56 %) were the ones with a growth rate of Hierarchy 1, and the villages which belonged to Hierarchy II were 33.33 % and Hierarchy III 61.11 % out of the total villages around TNBTS. Two of the four villages that fell into hierarchy I -- Desa Ngadisari and Desa Ranupane -- were the villages that are directly related to tourism activities in the areas of TNBTS since they are the main entrance of the tourist sites. The high rate of nature tourism activities in the two villages has good impacts on the development of the areas in terms of increasing public service facilities, especially the service facilities such as accommodation, restaurants and eating places. In addition to the impact on the economy, nature tourism activities in the areas of TNBTS also affect the sustainability of the region. TNBTS region came under pressure in the form of encroachment and land use change, which is relatively higher than the surrounding communities residing in the villages with a low level of development and a village belonging to Hierarchy III. In the implementation, the management and development of nature tourism activities in the areas of TNBTS require coordination and cooperation involving different parties from various levels of responsibility and authority. The management of nature tourism in the areas of TNBTS requires a larger role and cooperation of the parties involved, especially from the central government, which, in this case, is represented by Center for Bromo Tengger Semeru National Park as the manager. Additionally, the nature tourism activities in the areas of TNBTS should be developed to form ecotourism with a priority of handling ecological aspects rather than economic and socio-cultural aspects, particularly ecosystems and damage control and waste management. Keywords: Bromo Tengger Semeru National Park, economic impact, multiplier effect
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB .
i
DAMPAK KEGIATAN WISATA ALAM TERHADAP EKONOMI LOKAL DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU
EKA SUSANTI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Rinekso Soemakdi, M.Sc.F.Trop
iii
Judul Tesis : Dampak Kegiatan Wisata Alam terhadap Ekonomi Lokal di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Nama : Eka Susanti NRP : A156120364
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr Ketua
Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Santun Sitorus
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 31 Desember 2013
Tanggal Lulus:
iii
PRAKATA Assalaamu‟alaikum Warahmatullah Wabarakaatuh. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penelitian yang berjudul “Dampak Kegiatan Wisata Alam terhadap Ekonomi Lokal di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru” ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini pennulis menyampaikan rasa cinta dan terima kasih setulus hati kepada : 1. Bapak Dr. Ernan Rustiadi, M.Agr selaku Ketua Komisi pembimbing yang ditengah kesibukannya selalu meluangkan waktu, tenaga, dan fikiran dalam memberikan bimbingan, arahan, dan selalu memberikan wawasan baru kepada penulis; 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, sebagai anggota komisi pembimbing atas bimbingan, arahan, dan masukannya yang sangat bermanfaat; 3. Segenap dosen pengajar, asisten, dan staf pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah (PWL) Sekolah Pascasarjana IPB; 4. Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Pusbindiklatren Bappenas); 5. Teman-teman di Taman Nasional Aketajawe Lolobata Maluku Utara dan rekan-rekan di Direktorat PJLKKHL terutama Pak Bambang Supriyanto selaku Direktur PJLKKH atas izin yang diberikan, Kepala Balai BBTNBTS juga teman-teman di Resort Laut Pasir Tengger dan Resort Ranupane yang banyak membantu selama penulis melakukan penelitian; 6. Rekan-rekan PWL IPB angkatan 2012 kelas khusus untuk kebersamaan dan dukungan yang selalu menyemangati penulis, terkhusus bagi Andi „Yanul‟ Mulyani, Puri ‟Puray‟ Puspitasari, Jamilah „Kk Jamil‟ Hayati, Dudu „Kakek‟ Sudarya, Bang Edwin, Kak Aray, dan semua yang namanya tidak dapat penulis sebut satu-satu; 7. Keluarga Mbak Nung dan Mas Wawan atas bantuannya selama penulis berada di Malang; 8. Keluarga Besar di Lampung dan Jakarta, untuk dukungan dan kepercayaannya; 9. Dan yang terutama penulis menghaturkan cinta dan terima kasih yang tak terhingga kepada suami Hanom Bashari dan ananda Abqori Azib Bashari tercinta atas segala cinta, do‟a, dukungan, pengertian yang selalu dilimpahkan kepada penulis selama ini dan waktu yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin. Wassalaamu‟alaikum Warahmatullah Wabarakaatuh.
Bogor, Januari 2014
Eka Susanti
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
1 1 4 6 6 7
2 TINJAUAN PUSTAKA Wisata Alam di Kawasan Taman Nasional Konsep Wilayah dan Perkembangan Wilayah Kontribusi dan Dampak Ekonomi Kegiatan Wisata Alam
8 8 12 14
3 METODE Kerangka Pemikiran Waktu dan Tempat Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Pengumpulan Contoh Analisis dan Pengolahan Data Analisis Nilai Ekonomi Kegiatan Wisata Alam Analisis Dampak Ekonomi Wisata Alam Analisis Hirarki Perkembangan Wilayah Analisis Spasial Analytical Hierarchy Process (AHP)
18 18 23 24 25 26 26 27 28 30 31
4 GAMBARAN UMUM TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU Sejarah Kawasan Kondisi Fisik Lapangan Luas dan Letak Iklim Topografi Geologi dan Tanah Hidrologi Keadaan Biologi Ekosistem Flora dan Fauna Kondisi Umum Masyarakat Sekitar TNBTS Kependudukan, Luas Wilayah dan Mata Pencaharian Agama Pendidikan Masyarakat Sekitar Kawasan TNBTS Objek dan Kegiatan Wisata Alam Kawasan TNBTS
35 35 36 36 37 38 38 38 39 39 41 42 42 42 43 43
v
Pengunjung Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
46
5 NILAI DAN DAMPAK EKONOMI WISATA ALAM TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU Jumlah dan Asal Wisatawan Nilai Ekonomi Wisata Alam Kawasan TNBTS Dampak Ekonomi Kegiatan Wisata Alam Dampak Ekonomi Langsung (Direct Impact) Dampak Ekonomi Tak Langsung (Indirect Impact) Dampak Ekonomi Lanjutan (Induced Impact) Nilai Pengganda dari Pengeluaran Wisatawan
48 48 51 53 54 58 61 61
6 TINGKAT PERKEMBANGAN DESA-DESA SEKITAR KAWASAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN Hirarki Tingkat Perkembangan Desa Sekitar TNBTS Perubahan Penutupan Lahan dalam Kawasan TNBTS Penutupan Lahan dalam Kawasan TNBTS Perubahan Penutupan Lahan di Kawasan TNBTS
65 65 72 72 73
7 STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA ALAM TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU Pengembangan Wisata Alam Berdasarkan Aspek Ekologi Pengembangan Wisata Alam Berdasarkan Aspek Ekonomi Pengembangan Wisata Alam Berdasarkan Aspek Sosial Budaya
76 81 84 86
8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
89 89 89
DAFTAR PUSTAKA
91
LAMPIRAN
96
RIWAYAT HIDUP
115
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
15
16
17
18 19 20 21 22 23
Tujuan, Metode Analisis, Data, Sumber Data dan Output Kelompok Responden, Teknik Pengambilan Contoh dan Jumlah Responden Struktur Tabel Analisis Skalogram Sistem Urutan (Ranking) Penilaian Prioritas Jalur/Rute Pintu Masuk menuju Kawasan TNBTS Pengunjung TNBTS Tahun 2006-2012 berdasarkan Asal Wisatawan (Orang) Besarnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) TNBTS dari Karcis Masuk Pengunjung (Rp/Tahun) Responden Wisatawan Komplek Pegunungan Tengger dan Komplek Pendakian Semeru menurut Asal Wisatawan Responden Wisatawan menurut Pekerjaan Responden (Orang) Responden Wisatawan menurut Jumlah Kunjungan Responden berdasarkan Kelompok Asal Daerah dan Lokasi Menginap Responden Wisatawan berdasarkan Lama Menginap dan Tempat Menginap Nilai Ekonomi Penyelenggaraan Kegiatan Wisata Alam Kawasan TNBTS berdasarkan Alokasi Pengeluaran Pengunjung (Rp/Orang) Proporsi Pendapatan (Income) dan Biaya Produksi terhadap Penerimaan Total Unit Usaha Wisata Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Perbandingan Pendapatan (Income) Rata-Rata Pemilik unit Usaha Wisata di Kawasan Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru TNBTS Perbandingan Rata-Rata Pendapatan Tenaga Kerja Lokal pada Unit Usaha Wisata di Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru TNBTS Proporsi Rata-Rata Pengeluaran Tenaga Kerja Lokal terhadap Pendapatan di Kawasan Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru Nilai Pengganda/Multiplier dari Aliran Uang Kegiatan Wisata Alam di Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru Perbandingan Jumlah Desa berdasarkan Tingkat Hirarki Perkembangan Wilayah Tahun 2008 dan tahun 2011 Tingkat Hirarki Perkembangan Wilayah Desa Sekitar TNBTS Pusat Perkembangan Desa Sekitar Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru berdasarkan Kecamatan Tipe Penutupan Lahan di Kawasan TNBTS Perubahan Penutupan Lahan Kawasan TNBTS
21 25 29 33 37 46 47 49 49 50 50 51 52
56
57
58
61 62 67 67 70 72 74
vii
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Jumlah Pengunjung Taman Nasional Tahun 2008 - 2012 Bagan Alir Rumusan Permasalahan Dampak dan Kebocoran pada Perekonomian Lokal Akibat Pengeluaran Wisatawan Bagan Alir Kerangka Pemikiran Bagan Alir Penelitian Peta Lokasi Penelitian Sruktur Hierarki Alternatif Pengembangan Wisata Alam di TNBTS Peta Objek dan Daya Tarik Wisata Alam di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Tingkat Kunjungan Wisatawan Setiap Bulan Peta Hirarki Perkembangan Desa Sekitar Kawasan TNBTS Sebaran Tipe Penggunaan Lahan di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Tahun 2011 Perubahan Penutupan Lahan Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Tahun 2000-2011 Struktur Hierarki Alternatif Pengembangan Wisata Alam di TNBTS Prioritas Pihak yang Berperan dalam Pengembangan Wisata Alam Kriteria Aspek Prioritas dalam Pengembangan Wisata Alam TNBTS Prioritas Kriteria dan Alternatif PengembanganWisata Alam TNBTS Realisasi Penerimaan PNBP Kementerian Kehutanan Alternatif Pengembangan Wisata Alam TNBTS berdasarkan Aspek Ekologi Alternatif Pengembangan Wisata Alam TNBTS berdasarkan Aspek Ekonomi Alternatif Pengembangan Wisata Alam TNBTS berdasarkan Aspek Sosial Budaya
3 6 16 20 22 23 34 44 47 71 73 75 76 77 77 77 79 82 84 86
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4
Peta Desa-Desa Sekitar Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Perubahan Penutupan Lahan Kawasan Taman Nasional Bromo Tenger Semeru Tahun 2000-2011 Karakteristik Desa-Desa Sekitar Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Dokumentasi
97 98 99 111
i
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal ini menyebabkan keberagaman kekayaan sumber daya alam Indonesia sangat tinggi. Indonesia merupakan negara mega biodiversity ketiga setelah Brazil dan Zaire (Kongo). Berbagai spesies tumbuhan dan satwa hidup tersebar di berbagai tipe ekosistem, seperti ekosistem perairan, ekosistem mangrove, savanna, bukit kapur, hutan hujan dataran rendah, hutan hujan dataran tinggi, dan sebagainya. Kawasan-kawasan tersebut tidak hanya merupakan tempat tinggal yang aman bagi satwa yang ada di dalamnya tetapi juga merupakan sumber penghasil „non kayu‟ yang berguna untuk masyarakat bila dikelola secara bijaksana. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, hal ini menjadi sangat berarti karena kegiatan yang berorieantasi „kembali ke alam‟ telah berkembang menjadi salah satu cara baru dalam memanfaatkan sumber daya alam. Keberagaman kekayaan sumber daya alam ini merupakan modal dasar dalam pembangunan dan modal potensial dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui perkembangan sektor pariwisata terutama wisata alam. Pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi penting dalam pembangunan nasional karena dapat meningkatkan kesejateraan masyarakat, membuka lapangan pekerjaan, serta merangsang pertumbuhan ekonomi regional (Kemenparekraf 2011). Pariwisata atau kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha (UU 10/2009 tentang Kepariwisataan). Definisi pariwisata atau tourism memiliki ruang lingkup dan kegiatan yang luas. Pariwisata setidaknya meliputi lima jenis kegiatan meliputi wisata bahari (beach and sun tourism), wisata alam (natural tourism), wisata pedesaan (rural and agrotourism), wisata budaya (cultural tourism), dan perjalanan bisnis (business travel). Salah satu bentuk pariwisata adalah wisata alam yang banyak memanfaatkan daerah alami sebagai tujuan utamanya. Salah satu diantaranya adalah kawasan konservasi seperti dalam bentuk taman nasional. Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang dikelola untuk tujuan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Secara umum nilai manfaat yang diperoleh dari suatu kawasan konservasi masih sering tidak diperhatikan. Padahal sesungguhnya kawsan konservasi banyak memberikan manfaat, baik manfaat yang diperoleh secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu pemanfaatan dari kawasan konservasi adalah berupa pemanfaatan kawasan sebagai objek dan daya tarik wisata alam. Taman nasional mempunyai peran yang sangat strategis dalam pelestarian alam. Dengan potensi sumberdaya alam hayati yang terdapat di dalam taman
2 nasional, diharapkan kawasan konservasi dapat menjadi salah satu sumber devisa negara di masa depan. Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi harus diarahkan kepada pemanfaatan yang bersifat multifungsi dengan memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, sosial, dan budaya serta mengutamakan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. Destinasi atau daerah tujuan kegiatan wisata alam umumnya dapat berupa kawasan dengan keadaan alam yang masih alami berupa kawasan konservasi, diantaranya adalah kawasan taman nasional. Kegiatan berwisata alam di taman nasional di Indonesia semakin dikenal secara luas, karena diantaranya banyaknya liputan perjalanan dan promosi paket wisata di kawasan taman nasional, baik yang diliput oleh media nasional maupun internasional. Beberapa tujuan wisata alam di taman nasional di Indonesia mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi khususnya karena memiliki keunikan ekosistem dan kekhasan satwanya juga daya Tarik sosial budaya dan tradisi masyarakat lokal setempat. Beberapa taman nasional dengan aksesibilitas yang lebih baik dan mudah telah menjadi tujuan wisata favorit baik bagi wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Saat ini Indonesia telah memiliki 50 buah taman nasional, dalam bentuk darat maupun laut (Kementerian Kehutanan 2007). Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 disebutkan bahwa taman nasonal adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan dari kawasan taman nasional adalah pemanfaatan keunikan dan keindahan bentang alam serta keragaman flora fauna untuk pariwisata dan rekreasi alam. Banyak potensi wisata alam yang dapat dikembangkan dari suatu kawasan taman nasional baik berupa keindahan alam dan ekosistemnya, keragaman sumber daya hayatinya, juga potensi budaya dan religi yang berasal dari masyarakat yang ada di sekitar taman nasional. Setiap kawasan taman nasional mempunyai karakteristik wisata alam yang unik dan umumnya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Kegiatan wisata alam dalam kawasan taman nasional cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Laporan Kementerian Kehutanan (Statistik Direktorat PJLKKHL 2012) menyebutkan bahwa jumlah pengunjung atau wisatawan baik dari dalam negeri ataupun dari luar negeri yang datang ke taman nasional semakin meningkat dalam lima tahun terakhir sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Selain memberikan manfaat ke masyarakat sekitar, kegiatan wisata alam dalam kawasan taman nasional berkontribusi dalam memberikan pendapatan kepada negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diperoleh dari karcis masuk ke dalam kawasan taman nasional.
3
Gambar 1 Jumlah Pengunjung Taman Nasional Tahun 2008 - 2012 Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) merupakan salah satu kawasan yang menjadi tujuan wisata alam utama yang ada di Provinsi Jawa Timur. Daya tarik wisata utama yang ada di TNBTS berupa wisata pendakian Gunung Semeru dan Gunung Bromo serta wisata budaya masyarakat adat Tengger yang sangat terkenal. Pada tahun 2012 (Statistik TNBTS 2012) jumlah wisatawan yang datang ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru mencapai 275.874 wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri atau sebesar 15,18% dari total keseluruhan pengunjung taman nasional di Indonesia. Selain itu, TNBTS merupakan taman nasional penghasil PNBP tertinggi yaitu dengan menyumbang PNBP bagi pemerintah sebesar Rp. 1.534.231.750,- atau 14,07% dari total PNBP Kementerian Kehutanan dari karcis masuk objek wisata alam di kawasan taman nasional seluruh Indonesia (Statistik Direktorat PJLKKHL 2012). Tingginya kegiatan ekonomi yang terjadi akibat adanya wisata alam akan berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat sekitar, karena bagaimana pun kegiatan wisata alam tidak terlepas dari interaksi masyarakat. Selain berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat, pada akhirnya kegiatan ekonomi dari wisata alam di kawasan TNBTS ini akan menciptakan pengaruh terhadap perkembangan wilayah di sekitarnya baik dalam skala lokal maupun skala regional. Mengingat besarnya potensi sumberdaya untuk kegiatan wisata alam di kawasan ini maka penelitian yang berkaitan dengan análisis ekonomi kegiatan wisata alam penting dilakukan. Dampak ekonomi yang diperoleh dari kegiatan wisata alam di kawasan taman nasional khususnya di TNBTS belum pernah dianalisis. Selama ini kajian mengenai kegiatan wisata alam di TNBTS masih sebatas studi permintaan maupun valuasi atau penilaian manfaat tidak langsung dari kawasan tersebut. Oleh karena itu suatu análisis yang komprehensif mengenai dampak kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS dan kontribusinya terhadap perkembangan wilayah secara regional penting dilakukan untuk menunjukkan sejauh mana aktivitas wisata alam di kawasan ini berkontribusi terhadap ekonomi lokal dan pengembangan wilayah sekitar. Analisis mengenai dampak ekonomi ini memberikan gambaran yang nyata mengenai dampak ekonomi yang langsung dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan. Selain itu, kawasan TNBTS memiliki keistimewaan karena memiliki potensi wisata alam dengan nilai jual yang tinggi dan status kawasan ini sebagai salah satu kawasan konservasi. Maka diharapkan
4 analisis mengenai dampak ekonomi ini dapat menciptakan suatu gambaran kegiatan wisata alam yang mampu memberikan dampak positif terhadap perekonomian daerah dan mampu mendukung pelestarian lingkungan sebagai wujud dari pembangunan berkelanjutan.
Perumusan Masalah Taman nasional merupakan salah satu bentuk dari kawasan konservasi yang dikelola dengan tujuan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan hewan serta pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistemnya secara berkelanjutan. Taman nasional sendiri merupakan kawasan yang dikelola dengan sistem zonasi dan dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan dari kawasan taman nasional adalah pemanfaatan keunikan dan keindahan bentang alam serta keragaman flora fauna untuk pariwisata dan rekreasi alam. Karena itu kawasan taman nasional memegang peranan yang cukup penting dalam pengembangan wisata alam. Kegiatan wisata alam merupakan sektor riil terdepan yang mengemas jasa lingkungan dan budaya sehingga menghasilkan manfaat bagi banyak kepentingan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Besarnya peranan taman nasional dalam kegiatan wisata alam seharusnya dapat memberikan dampak dan kontribusi yang nyata dalam perekonomian wilayah. Dengan demikian dukungan kelestarian terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati dalam kawasan dapat terus terjaga tanpa harus mengorbankan ekonomi masyarakat sekitar yang memiliki akses sangat terbatas untuk mendapatkan manfaat langsung dari kawasan taman nasional. Perkembangan kegiatan wisata alam yang ditandai dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan dan transaksi antara wisatawan dengan masyarakat lokal tentunya membawa sejumlah dampak ekonomi. Tingginya potensi objek dan daya tarik wisata alam dalam kawasan taman nasional memberikan dampak terhadap tingginya jumlah wisatawan baik wisatawan nusantara maupun mancanegra yang datang berkunjung ke lokasi wisata alam dalam kawasan taman nasional. Konsep wisata alam merupakan salah satu bentuk pemanfaatan kawasan taman nasional yang sudah umum dilakukan. Dengan keunikan bentang alam ataupun satwa dan tumbuhan yang khas banyak mengundang wisatawan baik domestik maupun mancanegara untuk datang dan berpetualang di taman nasional. Pengembangan ekowisata yang efektif dengan sendirinya akan memberikan dampak kepada masyarakat yang ada di sekitarnya. Selanjutnya dengan sendirinya hal ini akan memberikan pengaruh terhadap perekonomian wilayah melalui aktivitas belanja yang dilakukan oleh para wisatawan. Pengaruh ekonomi wisata alam terhadap wilayah diketahui dengan mengikuti aliran pola pembelanjaan pengunjung, kemudian memperkirakan kontribusinya terhadap jumlah penjualan, pendapatan, pekerjaan, dan penerimaan dalam ekonomi wilayah amatan, yang dapat berupa wilayah pedesaan, perkotaan maupun suatu negara (Frechtling 1987, Stynes et al. 2003). Pola pembelanjaan (komposisi dan besar pembelanjaan) pengunjung pada umumnya menunjukan
5 pembelian barang dan layanan, baik dari ekonomi lokal maupun luar wilayah. Pola pembelanjaan pengunjung tersebut mengindikasikan pengaruh langsung terhadap sektor pariwisata, namun tidak menunjukan pengaruh total pariwisata terhadap ekonomi wilayah. Selain menimbulkan dampak terhadap perekonomian wilayah masyarakat lokal yang berada di sekitar kawasan taman nasional, kegiatan ekonomi wisata alam di taman nasional ini juga memberikan kontribusi terhadap perkembangan wilayah. Kontribusi dari kegiatan wisata alam bagi perkembangan wilayah dapat dilihat dari tingkat perkembangan desa-desa dan perbaikan kualitas pelayanan umum di daerah yang berada di sekitarnya. Tingginya aktivitas ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan wisata alam akan memberikan pengaruh berupa pembangunan fasilitas dan peningkatan mutu pelayanan jasa dan pelayanan umum untuk pemenuhan kebutuhan wisatawan dan akhirnya meningkatkan penyediaan unit fasilitas di daerah tersebut. Studi mengenai dampak ekonomi kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS yang telah dilakukan sebelumnya hanya sebatas aspek makro dan menganalisis permintaan jumlah wisatawan dan kontribusi kegiatan wisata alam di kawasan ini terhadap penerimaan Negara melalui penerimaan PNBP, sehingga sampai saat ini belum diketahui nilai dampak ekonomi aktivitas wisata alam bagi masyarakat lokal juga terhadap perkembangan desa-desa sekitar kawasan. Nilai ini penting untuk membuktikan dan menunjukkan kontribusi kegiatan wisata alam bagi masyarakat lokal yang selama ini dinilai memiliki akses langsung terhadap sumberdaya. Hal lain yang menjadi penting untuk dicermati dari dampak kegiatan pariwisata secara umum dan wisata alam secara khusus adalah seberapa besar dampak ekonomi berperan nyata bagi pembangunan masyarakat dan regional. Dalam kaitan ini perlu dilakukan pengkajian mengenai seberapa besar dampak ekonomi kegiatan wisata alam yang mendorong pertumbuhan perekonomian masyarakat termasuk dampak terhadap pengembangan sektor-sektor lain. Dari permasalahan tersebut di atas, dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Berapa besar peranan kegiatan wisata alam di taman nasional memberikan dampak ekonomi lokal dan manfaat terhadap masyarakat sekitar kawasan; 2. Bagaimana tingkat perkembangan wilayah sekitar kawasan dan bagaimana kontribusi kegiatan wisata alam tersebut terhadap pengembangan wilayah di sekitar kawasan TNBTS; 3. Bagaimana perubahan penutupan lahan di kawasan TNBTS 4. Bagaimana arah dan alternatif pengembangan wisata alam di kawasan TNBTS. Secara lebih ringkas gambaran rumusan masalah dalam penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar 2.
6
Gambar 2 Bagan Alir Rumusan Permasalahan
Tujuan Penelitian 1.
2. 3. 4.
Penelitian ini bertujuan untuk: Menghitung besarnya nilai dan dampak ekonomi lokal kegiatan wisata alam di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang meliputi dampak langsung, dampak tidak langsung dan dampak lanjutan; Mengetahui hirarki perkembangan wilayah sekitar kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru; Mengetahui perubahan penutupan lahan di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru; Merumuskan arahan dalam pengelolaan wisata alam di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Manfaat Penelitian Penelitian ini berupaya mengkuantifikasi kontribusi ekonomi kegiatan wisata alam pada masyarakat lokal di sekitar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Kuantifikasi nilai dampak ekonomi dan analisis kebijakan pengelolaan kegiatan wisata alam diharapkan dapat menilai apakah kegiatan wisata alam ini memiliki peluang sebagai suatu mata pencaharian alternatif yang memadukan kepentingan ekologi dan ekonomi di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, sehingga mendukung pengelolaan pembangunan berkelanjutan. Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menunjukkan bahwa kegiatan wisata alam dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan nilai tambah
7 serta mampu mengurangi degradasi lingkungan dan menurunkan ancaman kerusakan ekosistem kawasan taman nasional. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rekomendasi bagi pihak Balai Taman Nasonal Bromo Tengger Semeru dan pemerintah daerah setempat sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pengembangan perencanaan dan pengelolaan wisata alam, serta memberikan masukan dalam perumusan sebagai alternatif kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan wisata alam.
Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian ini meliputi economic impact assessment, pengukuran economic value dan alternatif kebijakan pengelolaan kwgiatan wisata alam di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Penelitian ini hanya dilakukan pada kegiatan wisata alam di kawasan taman nasional yang pengelolaannya berbasis masyarakat dan tidak pada private tourism. Perhitungan dampak ekonomi yang dilakukan hanya dampak perputaran uang di tingkat lokal dari pengeluaran wisatawan dimana penilaian ini ridak meliputi dampak dari proyek pembangunan pariwisata keseluruhan. Pengukuran nilai ekonomi hanya dilakukan secara parsial dengan dengan mengakumulasi total pengeluaran wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata. Ruang lingkup penelitian ini dibatasi sesuai dengan tujuan yaitu untuk mengetahui dampak kegiatan wisata alam terhadap ekonomi lokal di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Berdasarkan ruang lingkup tersebut, beberapa batasan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Perhitungan dampak ekonomi dari kegiatan wisata alam dilakukan hanya dampak dari perputaran uang di tingkat lokal dari pengeluaran wisatawan (spending tourist). 2. Dampak yang dianalisis dalam penelitian ini terbatas hanya pada dampak ekonomi lokal, tidak memperhitungkan dampak kegiatan wisata alam terhadap lingkungan/ekologi dan sosial masyarakat sekitar. 3. Desa-desa sekitar kawasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah desadesa yang berada di sekitar dan berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan ditetapkan oleh Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sebagai Desa Penyangga. 4. Perubahan penutupan lahan dalam kawasan dapat diartikan sebagai adanya perubahan kondisi alami hutan yang dapat menyebabkan perubahan fungsi hutan yang dikarenakan oleh aktivitas manusia ataupun secara alami terjadi kerena faktor alam.
8
2 TINJAUAN PUSTAKA
Wisata Alam di Kawasan Taman Nasional Pariwisata alam merupakan aktivitas mengisi waktu luang yang dibangkitkan oleh keberadaan kawasan lindung, baik berupa taman nasional maupun kawasan terlindungi lainnya (Kline 2001). Wells (1997) juga menyebutkan bahwa wisata alam adalah salah satu bentuk pariwisata yang atraksinya berada di tempat-tempat yang mempunyai nilai ekologis. Menurut Bori-Sanz dan Niskanen (2002) istilah wisata alam berhubungan dengan pengalaman yang didapat dari lingkungan alamiah dan amenitas yang disediakan untuk keperluan rekreasi. Berdasarkan beberapa batasan tersebut, pariwisata alam pada dasarnya bergantung pada tempat dan pengalaman yang berhubungan dengan lingkungan alamiah. Dengan demikian sebagian besar daerah tujuan atau destinasi dari kegiatan wisata alam adalah daerah yang masih memiliki kondisi alam yang alami dengan keunikan tersendiri dan sebagian besar merupakan bentuk wisata minat khusus. Aktifitas wisata adalah penggunaan waktu luang yang menyenangkan dan konstruktif yang memberikan tambahan pengetahuan dan pengalaman mental maupun fisik. Yoeti (1990) mendefinisikan wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain dengan suatu maksud tertentu dan dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Definisi lain dikemukakan oleh Gunn (1994), yang menyatakan bahwa wisata adalah suatu pergerakan manusia yang bersifat sementara dari tempat tinggal atau pekerjaannya menuju satu tujuan tertentu, dimana aktivitas dilakukan di tempat tersebut serta disediakan fasilitas untuk mengakomodasi keinginan mereka. Sementara WTO (Fennel 1999) mendefinisikan kegiatan wisata sebagai kegiatan perjalanan seseorang untuk kesenangan (pleasure), minimal satu hari dan tidak lebih dari satu tahun untuk wisatawan mancanegara dan enam bulan bagi wisatawan domestik. Istilah pariwisata terlahir dari bahasa Sansekerta, yaitu pari yang artinya penuh, lengkap, atau berkeliling, serta wisata yang artinya pergi meningggalkan rumah terus-menerus, mengembara, sehingga jika dirangkai menjadi pariwisata, artinya pergi secara lengkap yaitu meninggalkan rumah berkeliling terus menerus. Dalam operasionalnya, Pemerintah Indonesia mendefinisikan sebagai mereka yang meninggalkan rumah untuk mengadakan perjalanan tanpa mencari nafkah di tempat-tempat yang dikunjungi sambil menikmati kunjungan mereka (Pendit 2002). Dalam Agenda 21 (Fandeli dan Muhklison 2000) pariwisata didefinisikan yaitu seluruh kegiatan orang dalam melakukan perjalanan ke dan tinggal di suatu tempat di luar lingkungan kesehariannya untuk jangka waktu tidak lebih dari setahun untuk bersantai (leisure), bisnis dan berbagai maksud yang lain. Dari definisi tersebut berkembang sifat pariwisata yng sangat dinamis sehingga pariwisata mendapatan julukan sebagai; multi billion business, factory without smoke, gold mining without ending, dream industry. Definisi pariwisata atau tourism menurut Nugroho (2000) memiliki ruang lingkup dan kegiatan yang luas, setidaknya meliputi lima jenis kegiatan meliputi
9 wisata bahari (beach and sun tourism), wisata pedesaan (rural and agro tourism), wisata alam (natural tourism), wisata budaya (cultural tourism), atau perjalanan bisnis (business travel). Kegiatan wisata alam di kawasan konservasi sering kali disamakan dan disebut juga dengan ekowisata. Posisi ekowisata (ecotourism) memang agak unik, berpijak pada tiga kaki sekaligus, yakni wisata pedesaan, wisata alam dan wisata budaya. Konsep ekowisata bermula dari para konservasionis sebagai suatu strategi konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Konsep ini kemudian berkembang begitu cepat ke berbagai belahan dunia sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya pelestarian sumberdaya alam dan ekosistemnya. Pola hidup back to nature telah menjadi gaya hidup dan kebanggaan masyarakat modern saat ini. Pengertian tentang ekowisata mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Namun, pada hakekatnva, pengertian ekowisata adalah suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural area), memberi manfaat secara ekonomi, dan mempertahankan keutuhan budava masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan oleh penduduk dunia (Fandeli dan Muhklison 2000). Definisi ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society yaitu suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, di samping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga. Sementara itu destinasi yang diminati wisatawan wisata alam adalah daerah alami. Kawasan konservasi sebagai obyek daya tarik wisata dapat berupa Taman Nasional, Taman Hutan Raya, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata, dan Taman Buru. Kawasan hutan yang lain seperti hutan lindung dan hutan produksi bila memiliki obyek alam sebagai daya tarik ekowisata dapat dipergunakan pula untuk pengembangan ekowisata. Area alami suatu ekosistem seperti sungai, danau, rawa, gambut, di daerah hulu atau muara sungai, dapat pula dipergunakan untuk ekowisata. Pendekatan yang harus dilaksanakan adalah tetap menjaga area tersebut tetap lestari sebagai area alami (Fandeli dan Muhklison 2000). Pendekatan lain bahwa ekowisata harus dapat menjamin kelestarian lingkungan. Maksud dari menjamin kelestarian ini seperti halnya tujuan konservasi (UNEP 1980 dalam Fandeli dan Muhklison 2000), yaitu (1) menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan, (2) melindungi keanekaragaman hayati, serta (3) menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya. Fandeli (2000) juga menyebutkan bahwa di dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini dilaksanakan dengan menitikberatkan pada pelestarian dibanding pemanfaatan. Pendekatan ini jangan justru dibalik. Pengembangan ekowisata di dalam kawasan hutan dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem hutan. Ecotraveler menghendaki persyaratan kualitas dan keutuhan ekosistem. Oleh karenanya terdapat beberapa butir prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi. Apabila seluruh prinsip ini
10 dilaksanakan maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan (commnnity based). Boo (1991) dalam Sunarminto (2002) menyatakan bahwa pada dasarnya kaitan antara ekowisata dengan konservasi dan pembangunan dapat dipandang dalam bentuk manfaat atau kesempatan (benefit or oppurtunities) dengan kerugian dan permasalahan (cost or problems). Ada tiga manfaat atau kesempatan dari penyelenggaran kegiatan ekowisata, yaitu: (1) peningkatan dana bagi kawasan, (2) tersedianya kesempatan kerja dan berusaha bagi pendudukan lokal (masyarakat sekitar), dan (3) pendidikan lingkungan bagi pengunjung. Adapun kerugian atau permasalahan yang timbul dengan adanya kegiatan ekowisata adalah: (1) penurunan kualitas lingkungan, (2) guncangan dan ketidakberimbangan dampak ekonomi, serta (3) perubahan sosial budaya masyarakat sekitar. The Ecotourism Society (Epleerwood 1999) menyebutkan ada delapan prinsip, yaitu: 1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya. Pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. 2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. 3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam. 4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. 5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. 6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. 7. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi. 8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat. Menurut Hafield (1995) dalam Wijayanti (2009), suatu kegiatan wisata dapat dikatakan sebagai ekowisata jika telah memenuhi empat dimensi, yaitu: 1) dimensi konservasi, yaitu kegiatan wisata tersebut membantu usaha pelestarian alam setempat dengan dampak negatif seminimal mungkin; 2) dimensi pendidikan, yaitu wisatawan mendapatkan ilmu pengetahuan mengenai ekosistem,
11 keunikan biologi, dan kehidupan sosial di tempat yang dikunjungi; 3) dimensi sosial/kemasyarakatan, yaitu masyarakat setempat yang menjadi aktor utama dalam penyelenggaraan kegiatan wisata tersebut; dan 4) dimensi ekonomi, yaitu menumbuhkan kegiatan perekonomian yang berbasis kemasyarakatan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, fungsi kawasan konservasi termasuk taman nasional adalah untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan serta pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistemnya secara berkelanjutan. Taman nasional sendiri merupakan kawasan yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan dari kawasan taman nasional adalah pemanfaatan keunikan dan keindahan bentang alam serta keragaman flora fauna untuk pariwisata dan rekreasi alam. Banyak potensi wisata alam yang dapat dikembangkan dari suatu kawasan taman nasional baik berupa keindahan alam dan ekosistemnya, keragaman sumber daya hayatinya juga potensi budaya dan religi yang berasal dari masyarakat yang ada di sekitar taman nasional. Setiap kawasan taman nasional mempunyai karakteristik wisata alam yang unik dan umumnya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Menurut Nugraha (2000), pengelolaan wisata alam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengembangan kawasan konservasi (conservation area), khususnya wilayah taman nasional, yang menyebar di hampir seluruh wilayah nusantara. Ada beberapa alasan yang mendasari. Pertama, taman nasional memiliki kapasitas normatif dalam upaya-upaya konservasi, misalnya (i) memiliki potensi keanekaragaman hayati tinggi, flora dan fauna yang khas, terancam dan mendekati kepunahan, dan (ii) daerah resapan air. Kedua, taman nasional memiliki kompetensi normatif untuk pemanfaatan jasa lingkungan. Ketiga, taman nasional mendominasi luasan kawasan konservasi nasional, yakni 65 persen. Selain itu, taman nasional adalah satu-satunya kawasan konservasi yang dikelola dengan sistem zonasi dan menyediakan zona khusus untuk pemanfaatan kawasan dan zona ini sebagian besar dimanfaatkan untuk wisata alam dengan pembangunan terbatas yang tidak merubah bentang alam. Kelembagaan taman nasional dianggap sebagai komponen penting dalam pengembangan wisata alam, pengelolaan kawasan konservasi, serta upaya-upaya konservasi keanekaragaman hayati dalam skala nasional maupun internasional (Rothberg 1999). Kegiatan wisata alam merupakan sektor riil terdepan yang mengemas jasa lingkungan dan budaya sehingga menghasilkan manfaat bagi banyak kepentingan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Besarnya peranan taman nasional dalam kegiatan wisata alam seharusnya dapat memberikan dampak dan kontribusi yang nyata dalam perekonomian wilayah. Dengan demikian dukungan kelestarian terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati dalam kawasan dapat terus terjaga tanpa harus mengorbankan ekonomi masyarakat sekitar yang memiliki akses sangat terbatas untuk mendapatkan manfaat langsung dari kawasan taman nasional. Konsep pengembangan wisata alam dalam kawasan taman nasional mengalami perkembangan yang sangat pesat saai ini. Banyak sekali kawasan wisata alam yang menarik minat wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri merupakan bagian dari kawasan taman nasional. Sebut saja Taman Nasional
12 Komodo, Gunung Bromo dan Semeru yang merupakan bagian Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, wisata bawah laut di Taman Nasional Bunaken, satwa dan tumbuhan langka di Taman Nasional Ujung Kulon, dan Taman Nasional kerinci Seblat dan lainnya. Laporan Statistik Direktorat PJLKKHL Kementerian Kehutanan (2012) menyebutkan jumlah pengunjung atau wisatwan baik dari dalam negeri ataupun dari luar negeri yang datang ke taman nasional semakin meningkat dalam lima tahun terakhir.
Konsep Wilayah dan Perkembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Sehingga batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponenkomponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumberdayasumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget, Cliff dan Frey 1977 dalam Rustiadi et al. 2011) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah homogeni (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan klasifikasi tersebut, Glason (1974) dalam Tarigan (2005) menyebutkan bahwa berdasarkan fase kemajuan perekonomian, region/wilayah dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Fase pertama yaitu wilayah formal yang berkenaan dengan keseragaman (homogenitas). Wilayah formal adalah suatu wilayah geografik yang seragam menurut kriteria tertentu, seperti keadaan fisik geografi, ekonomi, sosial dan politik. 2. Fase kedua yaitu wilayah fungsional yang berkenaan dengan koherensi dan interdependensi fungsional, saling hubungan antar bagian-bagian dalam wilayah tersebut. Kadang juga disebut wilayah nodal atau polarized region dan terdiri dari satuan-satuan yang heterogen, seperti desa-kota yang secara fungsional saling berkaitan. 3. Fase ketiga yaitu wilayah perencanaan yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Menurut Saefulhakim et al. (2002) wilayah adalah satu kesatuan unit geografis yang antar bagiannya mempunyai keterkaitan secara fungsional. Wilayah berasal dari bahasa Arab “wala-yuwali-wilayah” yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik secara geometris maupun similarity”. Contohnya antara supply – demand, hulu – hilir. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah pendelineasian unit
13 geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional (tolong menolong, bantu membantu, lindung melindungi) antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Wilayah Pengembangan adalah pewilayahan untuk tujuan pengembangan/pembangunan (development). Tujuan-tujuan pembangunan terkait dengan lima kata kunci, yaitu: (1) pertumbuhan; (2) penguatan keterkaitan; (3) keberimbangan; (4) kemandirian; dan (5) keberlanjutan. Konsep wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun non alamiah, yang sedemikian rupa sehingga perlu direncanakan dalam kesatuan wilayah perencanaan. Pembangunan merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Menurut Anwar (2005), pembangunan wilayah dilakukan untuk mencapai tujuan pembangunan wilayah yang mencakup aspek-aspek pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan yang berdimensi lokasi dalam ruang dan berkaitan dengan aspek sosial ekonomi wilayah. Pengertian pembangunan dalam sejarah dan strateginya telah mengalami evolusi perubahan, mulai dari strategi pembangunan yang menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian pertumbuhan dan kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan kepada kebutuhan dasar (basic need approach), pertumbuhan dan lingkungan hidup, dan pembangunan yang berkelanjutan (suistainable development). Pendekatan yang diterapkan dalam pengembangan wilayah di Indonesia sangat beragam karena dipengaruhi oleh perkembangan teori dan model pengembangan wilayah serta tatanan sosial-ekonomi, sistim pemerintahan, dan administrasi pembangunan. Pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa memperhatikan lingkungan, bahkan akan menghambat pertumbuhan itu sendiri (Direktorat Jenderal Penataan Ruang 2003). Pengembangan wilayah dengan memperhatikan potensi pertumbuhan akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui penyebaran penduduk lebih rasional, meningkatkan kesempatan kerja dan produktifitas (Mercado 2002). Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) menyebutkan prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan wilayah, yaitu: 1. Sebagai growth center. Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran atau pengaruh (spread effect) pertumbuhan yang dapat ditimbulkan bagi wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional. 2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerjasama pengembangan antar daerah dan menjadi persyaratan utama bagi keberhasilan pengembangan wilayah. 3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan. Dalam pemetaan strategic development region, satu wilayah pengembangan diharapkan mempunyai unsur-unsur strategis antara lain berupa sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur yang saling berkaitan dan melengkapi sehingga dapat dikembangkan secara optimal dengan memperhatikan sifat
14 sinergisme di antaranya (Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi 2003). Kontribusi dan Dampak Ekonomi Kegiatan Wisata Alam Istilah kontribusi, dampak, dan manfaat sering digunakan secara bergantian dalam analisis ekonomi regional. Kontribusi ekonomi, dampak ekonomi, dan manfaat ekonomi merupakan istilah yang pada dasarnya berbeda dan memerlukan teknik analisis yang berbeda. Secara terminologi, kontribusi ekonomi didefinisikan sebagai perubahan kotor yang dihasilkan dalam suatu kegiatan ekonomi terkait dengan industri, kegiatan ataupun suatu kebijakan. Analisis kontribusi adalah analisis deskriptif yang hanya melacak kegiatan ekonomi bruto yang dihasilkan dari suatu industria, kegiatan dataupun kebijakan dalam suatu wilayah. Kontribusi dari suatu kegiatan ekonomi dapat dilihat dari nilai output suatu sektor atas apa yang dibayarkan untuk input antara (Watson et al. 2007). Kegiatan wisata alam adalah suatu kegiatan wisata yang memanfaatkan keadaan sumberdaya alam sebagai atraksi utama. Kegiatan wisata ini secara langsung menyentuh dan melibatkan lingkungan serta masyarakat lokal sehingga membawa berbagai dampak terhadapnya. Dampak kegiatan wisata alam akan menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat dan dampak yang paling sering mendapatkan perhatian adalah dampak sosial ekonomi, dampak sosial budaya, dan dampak lingkungan. Dampak ekonomi terhadap masyarakat lokal dapat dilihat dari berbagai hal, diantaranya adalah dampak terhadap pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, harga, distribusi manfaat, kepemilikan dan kontrol, pembangunan serta pendapatan pemerintah. Dampak sosial budaya dapat dilihat dari beberapa hal, diantaranya terjadinya alkulturasi budaya (dilihat dari perubahan tingkah laku masyarakat lokal), terjadinya demonstration effect yang rentan pada kalangan muda, komoditisasi, perbaikan peluang kepada kalangan wanita lebih independen secara sosial ekonomi, migrasi penduduk akibat terciptanya peluang usaha, kriminalitas dan sebagainya (Pinata dan Gayatri 2005). Dampak terhadap lingkungan dapat dilihat dari perubahan komposisi flora fauna, polusi, erosi, sampah, degradasi sumberdaya alam, dan polusi visual (Cooper et al. 1998). Dampak ekonomi didefinisikan suatu perubahan bersih dalam kegiatan ekonomi dalam suatu kegiatan, industria atau kebijakan. Dampak ekonomi mempunyai ruang lingkup yang lebih sempit dan mengacu pada hasil, yaitu mampu membawa pendapatan baru ke wilayah tersebut yang tidak terjadi di wilayah lain dan melihat apakah pendapatan di suatu wilayah tetap ada di wilayah tersebut atau hilang ke wilayah lain (Watson et al. 2007). Dampak ekonomi mengacu pada perubahan pemasaran, pemanfaatan, lapangan pekerjaan dan lainnya yang berasal dari kegiatan wisata. Secara umum pariwisata bertujuan untuk memperoleh manfaat ekonomi baik keuntungan untuk industri wisata, pekerjaan bagi komunitas local dan penerimaan negara. Wisata alam memiliki peranan penting karena kegiatan ini menciptakan lapangan pekerjaan di wilayah terpencil (remote area) yang awalnya hanya merasakan manfaat pembangunan ekonomi yang rendah dibandingkan wilayah lain yang lebih maju. Beberapa studi menunjukkan, walaupun penciptaan lapangan sangat
15 berpengaruh bagi masyarakat lokal namun pada umumnya jumlahnya relatif rendah (Linberg dan Huber 1996). Dampak ekonomi dapat diukur namun sangat penting untuk melihat perbedaan aspek ekonomi yang disebabkan kegiatan pariwisata. Perbedaan dapat dilihat dari kaitan antara dampak ekonomi dengan pengeluaran wisatawan (spending tourist) dan kaitan antara dampak ekonomi dengan pembangunan pariwisata. Dampak ekonomi dengan dengan pengeluaran wisatawan menunjukkan dampak berkelanjutan (ongoing effect) dari pembelanjaan wisatawan. Kaitan antara dampak ekonomi dengan pembangunan pariwisata fokus kepada dampak dari pembangunan dan keuangan pariwisata terkait pembangunan fasilitas wisata. Perbedaan kedua aspek dalam dampak ekonomi tersebut sangat penting sebab hal tersebut membutuhkan pendekatan metodologi yanng berbeda. Perhitungan dampak ekonomi dari pengeluaran belanja wisatawan dicapai dengan analisis multiplier sedangkan estimasi dampak ekonomi dari proyek pembangunan pariwisata dicapai dengan menggunakan teknik penilaian proyek, salah satunya adalah analisis manfaat biaya (Copper et al. 1998). Pengeluaran dari wisatawan pada kawasan wisata alam yang meliputi akomodasi serta konsumsi barang dan jasa akan menimbulkan suatu lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal dan non lokal. Dampak positif ini pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan dukungan masyarakat pada keberadaan suatu sumberdaya, karena jika sumberdaya tersebut rusak otomatis jumlah kunjungan yang datang akan berkurang dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat pun dapat berkurang. Penelitian Wunder (2000) menunjukkan bahwa keberadaan ekowisata memberikan insentif ekonomi bagi masyarakat lokal untuk melakukan konservasi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa wisata alam memiliki kaitan erat dengan konservasi sumberdaya alam. Beberapa studi menunjukkan dampak ekonomi dari kegiatan wisata alam dan manfaat yang dihasilkan bervariasi tergantung pada kualitas atraksi, aksesibilitas, prasarana, dan lain sebagainya. Secara ekonomi jumlah pekerjaan yang tercipta relatif kecil, tetapi bagi daerah terpencil walaupun sedikit pekerjaan yang tercipta hal tersebut dapat memberikan suatu perubahan besar. Meskipun demikian manfaat alam ini tidak harus dijual secara berlebihan, karena jika hal tersebut terjadi maka akan terjadi dampak buruk yang tidak diharapkan. Dampak ekonomi dari pariwisata dapat dikelompokkan pada tiga kategori, yaitu dampak langsung (direct impact), dampak tidak langsung (indirect impact) dan dampak ikutan (induced impact) (Linberg 1996, Ennew 2003). Dampak langsung ditimbulkan dari pengeluaran wisatawan yang langsung, seperti pengeluaran pada restoran, penginapan, transportasi lokal, dan lainnya. Unit usaha yang menerima manfaat langsung tersebut akan membutuhkan input (bahan baku dan tenaga kerja) dari sektor lain dan hal ini akan menimbulkan dampak tidak langsung (indirect benefit). Jika sektor tersebut memperkerjakan tenaga kerja lokal, pengeluaran dari tenaga kerja lokal akan menimbulkan induced benefit di lokasi tersebut. Tetapi jika industri yang memperoleh direct benefit mendatangkan input dari luar lokasi maka perputaran uang tidak menimbulkan indirect benefit tetapi menyebabkan suatu kebocoran (leakage) manfaat. Aliran uang dari wisatawan ke masyarakat lokal pada akhirnya menciptakan dampak ekonomi dan kebocoran ekonomi seperti ditunjukkan oleh Gambar 3.
16 Secara umum, efek multiplier dari suatu kegiatan pariwisata termasuk kegiatan wisata alam dapat diketahui dengan menggunakan analisis tabel input output. Sebuah nilai multiplier dihitung dengan bantuan model ekonomi. Model ini termasuk ke dalam kelas model ekuilibrium. Model tersebut dapat menilai efek dari perubahan eksogen pada tingkat ekuilibrium variabel endogen. Pengganda yang normal menunjukkan perubahan tingkat variabel endogen dalam model sebagai konsekuensi dari kenaikan variabel eksogen oleh satu unit. Bila multiplier normal dikalikan dengan ukuran shock eksogen, perubahan total akibat dari variabel endogen akan diperoleh. Dengan demikian, pengganda memainkan peran penting dalam studi penilaian dampak kebijakan di mana situasi saat ini dibandingkan dengan situasi di mana suatu kebijakan tertentu dikejar (Pleeter 1980 dalam Montfort ). Tabel Input Output atau Tabel IO adalah gambaran nilai-nilai dari interaksi ekonomi antara pihak-pihak dalam suatu perekonomian dalam setahun. Ide di balik Tabel IO adalah bahwa untuk memproduksi barang dan jasa (yaitu output) bahan baku, artikel setengah jadi dan tenaga kerja (yaitu input) yang diperlukan (Armstrong dan Taylor 1985; Schaffer 1976). Menurut Rustiadi et al. (2011) Tabel IO adalah tabel yang mendiskripsikan hubungan lintas sektor dalam suatu wilayah yang terbagi dalam empat kuadran. Namun, terdapat kendala utama dari model IO yaitu bahwa sejumlah besar informasi diperlukan untuk membangun sebuah Tabel IO. Membangun suatu tabel input output untuk menghitung nilai pengganda relatif mahal dan memerlukan waktu yang relatif lama. Untuk alasan ini Archer (1971; 1976; 1977) memperkenalkan metode untuk menghitung pengganda dengan model ad-hoc. Metode ini dimulai dengan menghitung pengganda pendapatan sektoral untuk industri yang paling relevan. Selanjutnya, rata-rata multiplier pendapatan wisatawan dihitung dengan rumus yang mempertimbangkan dari pola pengeluaran dari berbagai kelompok turis, pola pengeluaran dari rumah tangga lokal, dan preferensi mereka untuk barang-barang asing dan jasa.
Sumbe : Linberg 1996 Gambar 3 Dampak dan Kebocoran pada Perekonomian Lokal Akibat Pengeluaran Wisatawan
17 Beberapa penelitian mengenai dampak ekonomi kegiatan pariwisata telah banyak dilakukan. Mengetahui dampak ekonomi dari kegiatan wisata alam di suatu daerah dapat menjadi hal yang cukup penting karena dapat menjadi dasar dan bukti bahwa kegiatan wisata alam memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar tanpa harus mengorbankan lingkungan. Estimasi dampak ekonomi pada areal yang relatif kecil dan dengan kegiatan ekonomi yang relatif homogen sulit dilakukan. Dampak langsung dan induced-nya relatif kecil serta ketersediaan data relatif sedikit memodelkan dampak tersebut, sehingga survei kepada wisatawan, masyarakat lokal, dan investor lokal digunakan untuk mengidentifikasi dampak ekonomi pariwisata. Untuk cakupan studi yang lebih luas misalkan negara atau provinsi, para ahli ekonomi menggunakan berbagai teknik untuk mengestimasi dampak langsung, tak langsung, dan induced ini, diantaranya dengan menggunakan analisis input output dan computable geberal equilibrium (Linberg 1996). Beberapa studi telah dilakukan untuk mengestimasi dampak ekonomi kegiatan pariwisata. Powell dan Liden (1995) menggunakan analisis input output untuk mengestimasi dampak ekonomi lokal Taman Nasional Dorigo di New South Wales. Penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan taman nasional ini memberikan kontribusi sebesar tujuh persen pada PDRB dan 8,4 persen pada kesempatan kerja lokal. Selain itu, Mayer et al. (2010) menyebutkan hasil penelitian mengenai dampak ekonomi pariwisata di enam taman nasional di Jerman, yaitu Taman Nasional Niedersächsisches Wattenmeer memberikan 500 juta euro dari kegiatan pariwisata. Dalam kegiatan pariwisata di enam taman nasional di jerman ini menghasilkan 32% - 35% dari pengeluaran pengunjung kotor dipertahankan sebagai pendapatan daerah langsung di seluruh taman nasional, serta 16% diubah menjadi menjadi pendapatan langsung. Hasil ini menunjukkan dampak atau multiplier pendapatan 49% dan 51%. Hasil penelitian terhadap kegiatan wisata alam di kawasan taman nasional di Indonesia juga memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat lokal. Hasil penelitian Walpole dan Goodwin (2000) mengenai dampak ekonomi lokal di Taman Nasional Komodo. Wisata alam di taman nasional ini menunjukkan bahwa sekitar 0,6 sampai 1,6 juta dollar di mana 1,1 juta dollar atau 43%) dihabiskan oleh wisatawan dalam masyarakat lokal sekitar Taman Nasional Komodo. Dari jumlah ini, 99% dihabiskan di dua kota yang merupakan pintu masuk yaitu Labuan Bajo (80%) dan Sape (19%). Hanya 1% yang masih harus dibayar kepada orang-orang yang tinggal di dalam taman nasional. Distribusi pendapatan dari pariwisata tidak merata. Untuk distribusi tenaga kerja pun masyarakat lokal hanya mendapatkan pekerjaan sebagai tenaga kerja non terampil karena pendidikan yang rendah. Selain itu unit usaha yang berhubungan dengan wisata alam di Taman Nasional Komodo banyak dikuasi oleh masyarakat non lokal atau masyarakat dari luar daerah.
18
3 METODE
Kerangka Pemikiran Kawasan taman nasional dan kawasan konservasi lainnya mempunyai fungsi pokok yaitu fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemanfaatan kawasan taman nasional ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat sekitar dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian dan dengan sedikit mungkin terjadinya perubahan bentang alam dalam kawasan taman nasional. Pemanfaatan jasa lingkungan merupakan salah satu aspek penting dari taman nasional yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Salah satu manfaat taman nasional yang umum dikembangkan adalah pemanfaatan wisata alam yang mampu mendatangkan pengunjung dan akhirnya menciptakan kegiatan ekonomi di daerah sekitar kawasan taman nasional. Kegiatan wisata alam di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat lokal yang berada sekitar di sekitar kawasan. Semakin banyak wisatawan yang datang tentunya semakin banyak kebutuhan wisatawan yang harus dipenuhi. Hal ini berimplikasi pada meningkatnya transaksi antara masyarakat lokal dengan wisatawan. semakin tinggi transaksi maka semakin besar pengeluaran wisatawan (spending tourist) di lokasi wisata. Hal ini akan memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar yang membuka kegiatan usaha terkait dengan wisata alam. Beberapa fasilitas wisata yang diperlukan wisatawan antara lain adalah penginapan (homestay), konsumsi (catering), souvenir, jasa pemandu (guide), transportasi dan lainnya. Penilaian dampak ekonomi dilakukan dengan melakukan survei langsung kepada wisatawan, masyarakat, unit usaha yang berkaitan dengan wisata alam, tenaga kerja lokal dan inventor yang yang ada di lokasi wisata. Estimasi dampak ekonomi dilakukan dengan menghitung aliran uang pada aktivitas yang dilakukan oleh pelaku wisata. Dampak ekonomi pariwisata secara umum mengukur tingkat pengeluaran wisatwan pada unit usaha yang menyediakan produk barang dan jasa terkait kegiatan wisata. Informasi penting lainnya adalah estimasi jumlah kunjungan wisatawan pada periode tertentu. Estimasi ini tidak hanya terkait jumlah wisatawan namun juga rata-rata lama tinggal. Sehingga dapat terukur pengeluaran wisatawan selama periode tertentu. Umumnya data mengenai transaksi dan interaksi kegiatan ekonomi dalam sektor pariwisata tersedia dalam lingkup wilayah kabupaten ataupun nasional. Namum dalam cakupan wisata alam ataupun ekowisata dalam wilayah yang relatif lebih sempit informasi diperoleh melalui survei langsung kepada wisatawan. Selanjutnya dari nilai aliran uang dari keseluruhan transaksi pada suatu lokasi wisata dapat diketahui nilai kebocoran ekonomi (leakage) dan nilai pengganda (multiplier) ekonomi. Nilai kebocoran ekonomi menunjukkan sejumlah aliran uang dari pengeluaran wisatawan yang keluar dari perekonomian lokal atau tidak sampai kepada masyarakat lokal. Semakin tinggi kebocoran maka dampak ekonomi yang diterima masyarakat lokal pun akan semakin rendah.
19 Nilai multiplier ekonomi merupakan nilai yang menunjukkan sejauh mana pengeluaran wisatawan akan menstimulasi pengeluaran lebih lanjut sehingga pada akhirnya akan meningkatkan aktivitas ekonomi di tingkat lokal. Informasi ini diharapkan dapat digunakan untuk mengidentifikasi apa-apa saja yang menjadi kebutuhan masyrakat lokal untuk meminimalkan kebocoran ekonomi sehingga meningkatkan dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat. Selain menimbulkan dampak terhadap perekonomian wilayah masyarakat lokal yang berada di sekitar kawasan taman nasional, kegiatan ekonomi wisata alam di taman nasional ini juga memberikan kontribusi terhadap perkembangan wilayah. Kontribusi dari kegiatan wisata alam bagi perkembangan wilayah dapat dilihat dari tingkat perkembangan desa-desa dan perbaikan kualitas pelayanan umum di daerah yang berada di sekitarnya. Tingginya aktivitas ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan wisata alam akan memberikan pengaruh berupa pembangunan fasilitas dan peningkatan mutu pelayanan jasa dan pelayanan umum untuk pemenuhan kebutuhan wisatawan dan akhirnya meningkatkan penyediaan unit fasilitas di daerah tersebut. Pengelolaan wisata alam tidak terlepas dari prinsip ekonomi, konservasi dan pelibatan masyarakat lokal. Demikian pula halnya dengan pengembangan wisata alam di kawasan taman nasional, masyarakat dipandang perlu dan merupakan ujung tombak dalam kegiatan ini. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan ini diharapkan mampu memberikan tambahan pendapatan kepada masyarakat lokal secara memadai disamping pendapatan dari sumber lainnya. Selain ini pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan wisata alam di kawasan taman nasional dapat meningkatkan dukungan terhadap upaya pelestarian dan konservasi dalam taman nasional dengan mencegah dan dan menurunkan tingkat kerusakan ekosistem dalam kawasan taman nasional. Guna meningkatkan dampak ekonomi dan tetap memperhatikan dampak terhadap lingkungan, pengembangan wisata alam harus diupayakan sedemikian rupa agar terjadi peningkatan jumlah aliran uang yang berasal dari pengeluaran wisatawan. Oleh karena itu potensi, produk dan jasa yang ditawarkan terkait wisata alam harus terus ditingkatkan. Selain itu persepsi dan preferensi para stakeholder terhadap kegiatan wisata alam yang tengah berlangsung penting untuk diketahui. Hal ini memungkinkan pengambil keputusan untuk menentukan prioritas pengelolaan wisata alam yang dapat menyelaraskan aspek sosial, ekonomi dan ekologis dalam suatu pengelolaan terpadu untuk mendukung kelestarian ekosistem dan pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan penjelasan kerangka berfikir di atas maka bagan alir kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan pada Gambar 4. Secara lebih rinci, análisis berdasarkan tujuan yang dilakukan dalam penelitian dan alur penelitian seperti dicantumkan dalam Tabel 1 dan Gambar 5.
20
Gambar 4 Bagan Alir Kerangka Pemikiran
21
21
Tabel 1 Tujuan, Metode Analisis, Data, Sumber Data dan Output No. 1.
Tujuan Jenis Data Mengetahui besarnya nilai dan dampak ekonomi lokal kegiatan wisata alam a. Mengetahui nilai - Pengeluaran wisatawan ekonomi kegiatan - Jumlah pengunjung wisata alam - Pendapatan dan belanja unit usaha dan masyarakat b. Mengetahui dampak - Pengeluaran wisatawan ekonomi lokal -Pendapatan dan belanja kegiatan wisata alam unit usaha dan masyarakat
Sumber Data
Teknik Analisis
Output yang Diharapkan
- Kantor Balai Besar BTS - Data Primer (Kuisioner)
Perhitungan Matematika Sederhana
Informasi mengnenai besarnya nilai ekonomi kegiatan wisata alam
- Data Primer (Kuisioner)
Analisis Multiplier (efek pengganda)
Informasi mengenai dampak ekonomi kegiatan wisata alam
2.
Mengetahui tingkat Data Podes hirarki perkembangan wilayah sekitar Kawasan
BPS
Skalogram
Informasi tingkat perkembangan wilayah berdasarkan pusat-pusat dan hirarki pelayanan
3.
Mengetahui perubahan - Data Podes penutupan lahan di - Peta Kawasan, Peta kawasan TNBTS dan penutupan lahan kaitannya perkembangan wilayah di sekitarnya
- Kantor Balai Besar BTS - BPS
Analisis Spasial Analisis Deskriptif
Perubahan Penggunaan Lahan dalam kawasan dan kaitannya dengan perkembangan wilayah di sekitarnya
4.
Arahan kebijakan dan pengelolaan wisata alam di kawasan TN Bromo Tengger Semeru
- Data Primer (Kuisioner)
AHP
Arahan strategi pengelolaan dan pengembangan wisata alam di TNBTS
Preferensi dan persepsi stakeholder
22
22
Belanja wisatawan
Perhitungan nilai ekonomi
Nilai ekonomi kegiatan wisata alam
- Belanja wisatawan - Pendapatan dan pengeluaran wisatawan
Data jumlah dan fasilitas pelayanan (Data Podes)
Analisis Skalogram
Analisis Multiplier
Dampak ekonomi lokal kegiatan wisata alam
- Peta Kawasan - Peta Penutupan Lahan - Peta Desa dan Data Podes Analisis Spasial dan Deskriptif
Hierarki perkembangan wilayah
Keadaan Desa berdasarkan besarnya dampak ekonomi dan tingkat kerusakan kawasan taman nasional
Alternatif pengelolaan dan pengembangan wisata alam
Gambar 5 Bagan Alir Penelitian
Persepsi dan preferensi stakeholder Analytic Hierarchy Process (AHP)
23
23
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Agustus 2013. Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru yang tereletak di Provinsi Jawa Timur. Pemilihan taman nasional tersebut sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa taman nasional tersebut merupakan pusat kegiatan wisata alam yang cukup terkenal dengan kegiatan utama berupa pendakian gunung. Penelitian difokuskan pada dua titik wisata alam utama, yaitu wisata alam gunung semeru dan wisata alam gunung bromo dan padang pasirnya. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru merupakan salah satu taman nasional yang ada di Indonesia dengan daya tarik wisata alam utama berupa pendakian gunung Semeru yang merupakan gunung dengan ketinggian mencapai 3.637 meter diatas permukaan laut dan merupakan gunung tertinggi di pulau Jawa. Selain Gunung Semeru wisata alam yang menjadi andalan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah Gunung Bromo dengan laut pasir serta Budaya Masyarakat Adat Tengger. Secara geografis kawasan TNBTS terletak pada 70 51" 39' - 80 19" 35' LS dan 1120 47" 44' - 1130 7" 45' BT. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan kawasan TNBTS termasuk dalam 4 (empat) wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Lumajang. Peta lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar 6. Lokasi wisata alam Kawasan Pendakian Gunung Semeru terletak di Kabupaten Malang dan terdapat enam kecamatan yang letaknya berdekatan dengan kawasan wisata Pendakian Gunung Semeru. Kawasan wisata alam Kompleks Pegunungan Tengger secara administrasi terletak di Kabupaten Probolinggo dan terdapat tiga kecamatan yang berdekatan dengan lokasi wisata tersebut.
Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian
24 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner dengan pengunjung atau wisatawan, dan masyarakat sekitar kawasan. Masyarakat yang menjadi responden diwakili oleh para pelaku usaha yang berkaitan dengan wisata di lokasi penelitian, tenaga kerja lokal dan masyarakat setempat yang tidak bekerja pada bidang wisata alam. Selain itu untuk memperoleh informasi yang lebih mendetail dilakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan aparat pemerintah dalam hal ini khususnya dengan pihak pengelola Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan pemerintah daerah setempat. Data sekunder diperoleh dari kantor Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Kementerian Kehutanan, Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya, dan Badan Pusat Statistik. Dari para wisatawan wawancara dengan menggunakan kuisioner dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pola pengeluaran wisatawan selama kunjungan wisata. Data yang ingin diperoleh adalah data pribadi (nama, asal, umur, jenis kelamin, pekerjaan), lama kunjungan dan perkiraan belanja wisatawan. Analisis dampak wisata alam ini tidak hanya dilihat dari aktivitas dalam kawasan wisata alam saja, tetapi mencakup kegiatan pada tiga fase dari lima fase pengalaman rekreasi yaitu kegiatan dalam rangka kegiatan perjalanan ke lokasi (travel), kegiatan berekreasi di lokasi (on site), kegiatan perjalanan pulang (travel back), sedangkan dua fase yang lain adalah persiapan (anticipation) dan kenangan pengalaman (recollection) (Bahruni 1993). Kategori belanja yang dipertanyakan adalah pengeluaran harian untuk akomodasi (Penginapan), makan dan minuman, pengeluaran untuk souvenir dan transportasi (angkutan) (Walpole dan Goodwin 2000). Dari sisi perusahaan, survey dilakukan terhadap perusahaan yang bergerak di bidang wisata alam yang ada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, yaitu hotel/penginapan, restoran/rumah makan, toko souvenir dan usaha jasa angkutan/sewa mobil. Data yang dikumpulkan selama survei adalah lokasi, tahun pembentukan, dan pemilik, kelas hotel dan menu makanan, volume dan frekuensi kunjungan wisatawan yang bermalam, proporsi wisatawan asing, dan perkiraan dari total pendapatan. Responden dari pihak perusahaan juga ditanya tentang staf mereka. Data dikumpulkan untuk setiap karyawan mengenai jenis pekerjaan yang dilakukan, gaji bulanan, usia,jenis kelamin, tingkat pendidikan, tempat kelahiran, dan apakah mereka memiliki hubungan keluarga dengan pemilik atau tidak (Walpole dan Goodwin 2000). Selain itu juga dari setiap unit usaha ditanyakan mengenai pola pengeluaran atau pembelanjaan dari pendapatan yang diperoleh untuk mengetahui adanya kebocoran dari pembelanjaan diluar daerah atau tidak. Untuk tenaga kerja lokal beberapa hal yang ditanyakan adalah besarnya pendapatan per bulan, pola pengeluaran bulanan, lama bekerja, dan data pribadi lainnya sedangkan untuk masyarakat yang tidak terkait dengan kegiatan wisata alam hal-hal yang ditanyakan diantaranya adalah pekerjaan dan pandangan responden mengenai kegiatan wisata alam di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
25 Metode Pengumpulan Contoh Pengambilan contoh (responden) digunakan untuk mencari informasi yang berkaitan dengan tujuan-tujuan penelitian. Penelitian ini menggunakan desain pengambilan contoh yang berbeda pada tiap kelompok responden mengingat perbedaan jenis data serta ketersediaan daftar populasi dari masing-masing kelompok responden. Responden pertama adalah para wisatawan yang melakukan kunjungan wisata ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu gambaran mengenai jumlah wisatawan dan asal wisatawan yang datang berkunjung ke Taman Nasional Bromo Tengger Semeru baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Data ini dapat diperoleh di kantor Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Selanjutnya responden diambil secara sengaja dengan pertimbangan tertentu (purposive sampling) berdasarkan kuota yang telah ditentukan sebelumnya. Responden kedua adalah unit usaha yang terkait dengan kegiatan wisata alam yang ada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Unit usaha yang akan dijadikan responden adalah pemilik usaha yang terkait dengan kegiatan wisata alam. Sama seperti responden untuk wisatawan, sebelumnya terlebih dahulu dilakukan identifikasi terhadap jenis dan jumlah unit-unit usaha yang berhubungan dengan wisata alam yang ada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Unit usaha yang menjadi responden dalam penelitian ini ditentukan secara sengaja yaitu dengan pertimbangan tertentu dari masing-masing kelompok unit usaha sebanyak kuota yang telah ditentukan begitu juga dengan responden tenaga kerja lokal dan masyarakat yang tidak terkait dengan wisata alam juga ditentuakan secara sengaja dengan pertimbangan tertentu. Jumlah total untuk masing-masing responden di setiap titik lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Kelompok Responden, Teknik Pengambilan Contoh dan Jumlah Responden Kelompok Responden Responden Dampak Wisata Alam Kawasan Pegunungan Tengger Wisatawan Masyarakat Sekitar Pelaku Usaha Tenaga Kerja Lokal Kawasan Pendakian Semeru Wisatawan Masyarakat Sekitar Pelaku Usaha Tenaga Kerja Lokal Jumlah Responden I Responden Stakeholder Balai Besar TNBTS Dinas Pariwisata Pemerintahan Daerah (Kecamatan) Unit usaha terkait wisata alam Jumlah Responden II Total Responden (I + II)
Jumlah
100 21 17 26 61 6 8 5 243 2 3 6 3 14 257
26 Data yang telah dikumpulkan baik berupa data primer ataupun data sekunder kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar nilai dan dampak ekonomi dari kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS terhadap masyarakat sekitar kawasan dan mengetahui arah alternatif pengembangan wisata alam di kawasan TNBTS.
Analisis dan Pengolahan Data Analisis Nilai Ekonomi Kegiatan Wisata Alam Peranan pemanfaatan wisata alam di kawasan taman nasional dilihat dari adanya dampak aktivitas wisata alam terhadap pekembangan ekonomi wilayah. Dari hasil informasi yang diperoleh dari wisatawan maka diperoleh informasi mengenai belanja atau pengeluaran wisatawan serta aliran uang yang ada dalam kegiatan wisata alam tersebut. Analisis peranan wisata alam ini tidak hanya dilihat dari aktivitas selama berada di lokasi wisata tetapi mencakup tiga fase dari lima fase dalam aktivitas pengalama rekreasi, yaitu kegiatan dalam rangka perjalanan ke lokasi (travel), kegiatan rekreasi di lokasi, dan kegiatan perjalanan pulang (travel back). Dampak ekonomi kegiatan wisata alam terhadap perkembangan wilayah adalah dampak pengeluaran pengunjung terhadap perekonomian wilayah. Terdapat sembilan kategori pengeluaran yang akan dihitung dalam penelitian ini, terdiri dari pengeluaran harian untuk akomodasi (penginapan), konsumsi (makan dan minun), transportasi dan keperluan souvenir dan jasa lainnya. Besarnya nilai ekonomi dari setiap pengeluaran belanja wisatawan selama melakukan kegiatan wisata alam ini yang menjadi nilai ekonomi dari kegiatan wisata alam dan menunjukkan besarnya kontribusi kegiatan wisata alam terhadap perekonomian wilayah. Langkah operasional yang dilakukan adalah (Bahruni 1993): 1. Distribusi pengeluaran belanja pengunjung kawasan wisata alam
RBi : Rata-rata belanja jenis ke I (Rupiah/Orang) Bi : Belanja jenis I (Rupiah) n : Jumlah contoh 2. Jumlah total belanja jenis ke i (pengeluaran belanja per tahun) pengunjung kawasan wisata alam
TBi : Total pengeluaran belanja jenis i per tahun (Rupiah) JKT : Jumlah kunjungan total per tahun (Orang)
27 3. Pendugaan pengeluaran belanja jenis ke i terhadap perekonomian wilayah
SWTBi : Pangsa belanja jenis ke i terhadap sektor tertentu nk : Jumlah kawasan konservasi contoh NKW : Jumlah kawasan konservasi di wilayah tertentu 4. Nilai total pengeluaran belanja pengunjung terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah adalah :
Analisis nilai ekonomi ini hanya mengkuantifikasi nilai transaksi dan pengeluaran real yang dilakukan wisatawan dalam melakukan wisata. Nilai ini tidak menggambarkan valuasi atau penilaian terhadap nilai manfaat wisata alam di kawasan TNBTS serta tidak mengikutsertakan penilaian atau preferensi wisatawan terhadap konservasi dan lingkungan.
Analisis Dampak Ekonomi Wisata Alam Hasil dari keseluruhan informasi responden maka diperoleh informasi pengeluaran wisata serta aliran uang dari kegiatan tersebut yang memberikan manfaat langsung, manfaat tidak langsung dan manfaat induced bagi perekonomian lokal. Dampak ekonomi ini dapat terukur dengan menggunakan efek ganda atau multiplier dari aliran uang yang terjadi. Dalam Planning for Marine Ecotourism in The EU Atlantic Area (2001) dijelaskan bahwa untuk mengukur dampak ekonomi kegiatan pariwisata di tingkat lokal, terdapat dua tipe pengganda yaitu : 1. Keynesian Local Income Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan berapa besar pengeluaran pengunjung berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal. 2. Ratio Income Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan seberapa besar dampak langsung yang dirasakan dari pengeluaran pengunjung berdampak terhadap perekonomian lokal. Pengganda ini mengukur dampak tidak langsung (indirect impact) dan dampak lanjutan (induced impact). Secara matematis dirumuskan : Keynesian Income Multiplier
=
Ratio Income Multiplier, Tipe I
=
Ratio Income Multiplier, Tipe II
=
28
dimana: E : Tambahan pengeluaran pengunjung (rupiah) D : Pendapatan lokal yang diperoleh secara langsung dari E, yaitu berupa pendapatan bersih (income) pemilik unit usaha (rupiah/bulan) N : Pendapatan lokal yang diperoleh secara tidak langsung dari E, yaitu berupa pembelian input (barang dan jasa) untuk keperluan unit usaha (rupiah/bulan) U : Pendapatan lokal yang diperoleh secara induced dari E, yaitu berupa belanja tenaga kerja yang berasal dari upah tenaga kerja dari unit usaha (rupiah/bulan) Nilai Keynesian Local Income Multiplier, Ratio Income Multiplier Tipe I, Ratio Income Multiplier Tipe II memiliki kriteria-kriteria sebagai berikut: 1. Apabila nilai-nilai tersebut kurang dari atau sama dengan nol (≤ 0), maka lokasi wisata tersebut belum mampu memberikan dampak ekonomi terhadap kegiatan wisatanya, 2. Apabila nilai-nilai tersebut diantara angka nol dan satu (0 < x < 1), maka lokasi wisata tersebut masih memiliki nilai dampak ekonomi yang rendah, dan 3. Apabila nilai-nilai tersebut lebih besar atau sama dengan satu (≥ 1), maka lokasi wisata tersebut telah mampu memberikan dampak ekonomi terhadap kegiatan wisatanya. Dengan mengidentifikasi dampak ekonomi serta kebocoran yang terjadi, maka, indirect dan induced benefit dari kegiatan wisata dapat diestimasi. Selanjutnya informasi ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi apa saja yang semestinya ada agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Hal ini memungkinkan para pemerintah terkait untuk melakukan prioritas dalam membangun input yang dibutuhkan wisatwan dan masyarakat lokal agar dampak ekonomi semakin meningkat. Analisis Hirarki Perkembangan Wilayah Susunan hirarki perkembangan desa menggambarkan susunan urutan tingkat perkembangan desa-desa serta pusat-pusat kegiatan berdasarkan kelengkapan fasilitas dan layanan yang disediakan. Untuk mengetahui hirarki pusat-pusat pengembangan dan sarana-prasarana pembangunan yang ada di suatu wilayah digunakan metode skalogram yaitu dengan mengurutkan dan merangking wilayah desa atau kawasan permukiman dan juga fasilitas yang ada di wilayah tersebut (Panuju dan Rustiadi 2012). Metode ini digunakan untuk mengetahui hirarki pusat-pusat pengembangan dan sarana-prasarana pembangunan yang ada di suatu wilayah. Penetapan hirarki pusat-pusat pertumbuhan dan pelayanan tersebut didasarkan pada jumlah jenis dan jumlah unit sarana-prasarana pembangunan dan fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang tersedia. Metode ini menghasilkan hirarki atau peringkat yang lebih tinggi pada pusat pertumbuhan yang memiliki jumlah jenis dan jumlah unit sarana-prasarana pembangunan yang lebih banyak. Metode ini lebih menekankan kriteria kuantitatif dibandingkan kriteria kualitas sarana/prasarana tersebut. Distribusi penduduk dan luas jangkauan pelayanan sarana-prasarana pembangunan secara spasial tidak dipertimbangkan secara spesifik.
29 Dengan asumsi data menyebar normal, penentuan tingkat perkembangan wilayah dibagi menjadi tiga yaitu: * Hirarki I, jika indeks perkembangan ≥ (rata-rata + simpangan baku) * Hirarki II, jika rata-rata < indeks perkembangan < (rata-rata + simpangan baku) * Hirarki III, jika indeks perkembangan < rata-rata. Hirarki I merupakan daerah yang paling berkembang atau memiliki jumlah fasilitas yang paling banyak dan lengkap serta adanya kemudahan mencapai suatu fasilitas (aksesibilitas) yang dicirikan dengan perkembangan jaringan jalan, sedangkan Hirarki III menyatakan daerah yang kurang berkembang atau memilikijumlah fasilitas yang paling sedikit dan tidak lengkap, aksesibilitasnya juga lebih sulit. Metode ini digunakan untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah desa yang ada di sekitar kawasan taman nasional. Data yang digunakan untuk analisis skalogram dalam penelitian ini adalah data Potensi Desa tahun 2008 dan tahun 2011 meliputi jumlah jenis fasilitas pelayanan, jumlah unit fasilitas dan akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan tertentu. Unit wilayah yang dianalisis adalah 72 desa yang termasuk dalam 18 kecamatan yang berada di sekitar kawasan TNBTS. Jenis fasilitas yang dianalisis antara lain adalah: 1) sarana ekonomi (13 jenis fasilitas); 2) sarana pendidikan (5 jenis fasilitas); 3) sarana kesehatan (4 jenis fasilitas) dan 3) sarana komunikasi dan informasi (1 jenis fasilitas). Metode skalogram bisa digunakan dengan menuliskan jumlah fasilitas yang dimiliki oleh setiap wilayah, atau menuliskan ada tidaknya fasilitas tersebut di suatu wilayah tanpa memperhatikan jumlah/kuantitasnya. Proses analisis skalogram didasarkan pada struktur tabel analisis skalogram sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Struktur Tabel Analisis Skalogram
No
SubN Wilaya h
Jumla h Pendu duk
Infrastruktur 1
2
3
Fk.. .
11
12
13
1k
m
1m
Jumlah Fasilitas
Jumlah Total Jenis Fasilitas
Rasio Jenis Fasilitas
Indeks Hirarki
C1
C1/m
Σ (F1.k) /k*(n/ ak)
C2 . . .
C2/m . . .
Ci
Ci/m
m
B11
Fk # k
B22 B33 . . . Bi i . . . Bnn Wil. Memiliki Fasilitas Rasio Wil. Memiliki Fasilitas Bobot
. . .
21 31
ik
. . . n1
2n
mn
m
1
2
3
.ak..
1/n
2/n
3/n
k/n
/ a1
/ a2
/ a3
/ ak
30
Rumus umum analisis skalogram berdasarkan Indeks Hirarki adalah sebagai berikut: n n ), Indeks Hirarki ( I1 ) ( Fik . ak k dimana :
1.
2.
3. 4. 5.
6.
n adalah bobot fasilitas/faktor penentu hirarki. ak
Tahap-tahap dalam penyusunan skalogram adalah sebagai berikut: Menyusun fasilitas sesuai dengan penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam unit-unit wilayah. Fasilitas yang tersebar merata di seluruh wilayah diletakkan dalam urutan paling kiri dan seterusnya sampai fasilitas yang terdapat paling jarang penyebarannya di dalam seluruh unit wilayah. Angka yang dituliskan adalah jumlah fasilitas yang dimiliki setiap unit wilayah. Menyusun wilayah sedemikian rupa dimana unit wilayah yang mempunyai ketersediaan fasilitas paling lengkap terletak di susunan paling atas, sedangkan unit wilayah dengan ketersediaan fasilitas paling tidak lengkap terletak di susunan paling bawah. Menjumlahkan seluruh fasilitas secara horizontal baik jumlah jenis fasilitas maupun jumlah unit fasilitas di setiap unit wilayah. Menjumlahkan masing-masing unit fasilitas secara vertikal sehingga diperoleh jumlah unit fasilitas yang tersebar di seluruh unit wilayah. Dari hasil penjumlahan ini posisi teratas merupakan sub wilayah yang mempunyai fasilitas terlengkap. Posisi terbawah merupakan sub wilayah dengan ketersediaan fasilitas umum paling tidak lengkap. Jika dari hasil penjumlahan dan pengurutan ini diperoleh dua daerah dengan jumlah jenis dan jumlah unit fasilitas yang sama, maka pertimbangan ke tiga adalah jumlah penduduk. Sub wilayah dengan jumlah penduduk lebih tinggi diletakkan pada posisi di atas.
Analisis Spasial Keberadaan hutan dan masyarakat sekitar hutan secara langsung atau tidak langsung sangat berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat yang ada di kawasan hutan dan sekitar hutan tersebut. Terkadang hutan menjadi sasaran eksploitasi masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Masyarakat terpaksa merambah hutan untuk mencari makanan dan meningkatkan pendapatannya. Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan diharapkan akan mampu menekan laju eksploitasi dan kerusakan kawasan hutan. Salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan adalah dengan peningkatan pendapatan melalui pemanfaatan wisata alam. Keindahan dan kelestarian bentang alam merupakan modal utama kegiatan wisata di kawasan taman nasional. Terjadinya kerusakan hutan pada beberapa lokasi di kawasan TNBTS telah menyebabkan terdegradasinya potensi wisata alam baik keanekaragaman jenis, kelangkaan dan keunikan spesies, maupun keindahan panorama alam. Adanya kegiatan wisata alam diharapkan dapat memberikan kesejahteraan masyarakat sekitar sehingga dapat mengurangi laju kerusakan kawasan.
31 Secara umum kerusakan hutan dapat diartikan sebagai adanya perubahan kondisi alami hutan yang dapat menyebabkan terganggunya fungsi hutan yang dikarenakan oleh aktivitas manusia ataupun secara alami terjadi kerena faktor alam. Dalam penelitian ini kerusakan hutan yang akan diamati dibatasi hanya kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Beberapa jenis kerusakan hutan yang akan diamati yaitu : 1. Illegal logging (Penebangan atau pembalakan liar) yaitu aktivitas pengambilan hasil hutan berupa kayu di dalam kawasan taman nasional. aktivitas ini dapat dilakukan secara perorangan ataupun berkelompok 2. Perambahan kawasan: semua aktivitas yang terjadi dalam kawasan hutan Negara (termasuk taman nasional) yang berjalan dan terjadi tanpa izin dari representasi kelembagaan Negara. 3. Kegiatan-kegiatan lain yang dapat menyebabkan gangguan atau kerusakan terhadap kawasan taman nasional yang terjadi karena aktivitas manusia. Analisis spasial dilakukan untuk mengetahui laju perubahan penutupan lahan di kawasan TNBTS dan sebaran tingkat perkembangan desa di sekitarnya serta kaitannya dengan besarnya kontribusi dan dampak yang diperoleh masyarakat sekitar dari kegiatan wisata alam dalam kawasan taman nasional. Adapun data yang dianalisis adalah data peta penutupan lahan kawasan TNBTS tahun 2000 dan tahun 2011 yang diperoleh dari Badan Planologi Kementerian Kehutanan. Analisis spasial dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGis 9.0. Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah proses analisis untuk membantu pengambilan keputusan melalui penyusunan prioritas dan keputusan terbaik dengan mempertimbangkan aspek kualitatif dan kuantitatif Model ini banyak digunakan pada pengambilan keputusan dengan banyak kriteria perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas strategi yang dimiliki pengambil keputusan dalam situasi konflik (Saaty 2007). Analisa AHP digunakan untuk memperoleh informasi tentang pandangan para stakeholder mengenai arah pengelolaan dan pengembangan wisata alam yang paling tepat dan ideal di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Dalam perkembangannya metode AHP ini tidak saja digunakan untuk penentuan prioritas pilihan dengan banyak kriteria (multikriteria) tetapi dalam penerapannya telah meluas sebagai metode alternatif untuk menyelesaikan bermacam-macam masalah. Hal ini dimungkinkan karena metode AHP dapat digunakan dengan cukup mengandalkan intuisi atau persepsi sebagai masukan utamanya, namun intuisi atau persepsi tersebut harus datang dari orang yang mengerti permasalahan, pelaku dan pembuat keputusan yang memiliki cukup informasi dan memahami masalah keputusan yang dihadapi. Pendekatan AHP merupakan salah satu alat untuk memilih alternatif kebijakan serta dapat digunakan untuk menilai kesesuaian kebijakan. AHP dipilih karena memiliki keunggulan dalam memecahkan permasalahan kompleks dimana aspek atau kriteria dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria alternatif yang dipilih cukup banyak. Selain itu, AHP juga mampu menghitung validasi sampai pada pengambilan keputusan. Peralatan utama AHP adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utama berupa persepsi manusia. Dengan hirarki suatu
32 masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompoknya, kemudian kelompok-kelompok tersebut diatur menjadi suatu bentuk hirarki. Dalam penelitian ini, untuk mengetahui alternatif arah pengembangan pengelolaan wisata alam di kawasan TNBTS diambil responden dari stakeholder atau pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan wisata alam. Responden dipilih dari orang-orang yang kompeten dibidangnya dan memiliki pengetahuan mengenai pengelolaan wisata alam di kawasan TNBTS. Responden terdiri dari pihak pengelola Balai Besar TNBTS (2 orang), Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (3 kabupaten), pihak kecamatan (6 kecamatan) dan unit usaha yang terkait wisata alam di kawasan TNBTS (3 orang). Tahapan dalam melakukan analisis data AHP menurut Saaty (2007) adalah sebagai berikut: 1. Identifikasi system, yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan. Identifikasi system dilakukan dengan cara mempelajari referensi atau berdiskusi dengan para responden yang memahami permasalahan sehingga diperoleh konsep yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi. 2. Penyusunan struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan criteria paling bawah. 3. Perbandingan berpasangan, menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau criteria yang setingkat diatasnya. Teknik perbandingan berpasangan yang digunakan dalam AHP berdasarkan judgement atau pendapat para responden yang dianggap sebagai key person. Mereka dapat sebagai pengambil keputusan, para pakar atau orang yang terlibat dan memahami permasalahan yang dihadapi. 4. Matrik pendapat individu. Formulasinya dapat disajikan sebagai berikut: 1 C2 ………… n C1 1 a12 ………… 1n = (aij) C2 /a12 1 ………… 2n ……. ………… Cn /a1n /a2n ………… 1 Dalam hal ini C1,C2,…..,Cn adalah set elemen pada satu tingkat dalam hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil perbandingan berpasangan membentuk matriks n x n. nilai aij merupakan nilai matriks pendapat hasil perbandingan yang mencerminkan nilai kepentingan C1 terhadap Cj. 5. Matriks pendapatan gabungan, merupakan matrik baru yang elemenelemennya berasal dari rata-rata elemen matrik pendapat individu yang nilai rasio inkonsistensinya memenuhi syarat. 6. Nilai pengukuran konsistensi yang diperlukan untuk menghitung konsistensi jawaban responden 7. Penentuan prioritas pangaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama Penilaian skala prioritas responden merupakan tingkat urutan (skala) pentingnya suatu atribut dalam AHP. Penilaian yang diberikan berupa skala nilai 1 – 9 seperti dalam Tabel 4.
33 Tabel 4 Sistem Urutan (Ranking) Penilaian Prioritas Intensitas/Pentingnya Defenisi 1 Sama penting
3
5
Moderat lebih penting (moderately more important) Lebih penting
7 Sangat lebih penting
9
2,4,6,8
Amat sangat penting
lebih
Kondisi diantara dua pilihan
Keterangan Kedua pilihan berkontribusi sama penting terhadap tujuan Salah satu pilihan sedikit lebih diminati dibandingkan pilihan lainnya Salah satu pilihan lebih diminati dibandingkan pilihan lainnya Sangat nyata lebih penting dan terbukti dari beberapa fakta sangat lebih penting dibandingkan pilihan lainnya Jelas dan sangat meyakinkan jauh lebih penting dibandingkan dengan pilihan lainnya Dipilih jika perlu kompromi antara 2 pilihan yang dibandingkan
Sumber: Saaty (2007) Dalam penelitian ini, hirarki yang dibangun merupakan hirarki tidak penuh seperti pada Gambar 7 dan model kuisoner yang digunakan adalah model modifikasi kuisioner prioritas dan bobot dengan kuesioner flow-chart sehingga mempermudahkan proses pengambilan data dengan kuesioner di lapangan. Selanjutnya proses penghitungan dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excel 2010. Hasil akhir yang diperoleh adalah bobot kepentingan yang menunjukkan prioritas dari alternatif-alternatif program yang dianalisis.
34 34
Gambar 7 Sruktur Hierarki Alternatif Pengembangan Wisata Alam di TNBTS
35
4 GAMBARAN UMUM TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU Sejarah Kawasan Ditetapkannya kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) diawali dengan dibentuknya Cagar Alam Laut Pasir Tengger seluas 5.250 Hektar yang ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda tanggal 21 Februari 1919 No. 6 Stbl. 1919 No.90. Pada perkembangan selanjutnya kawasan ini mengalami perubahan bentuk dan status kawasan. Melalui surat Keputusan Menteri Pertanian No. 198/Kpts/Um/5/1981 tanggal 13 Maret 1981 kawasan ini ditunjuk sebagai Taman Wisata Alam Tengger Laut Pasir dengan luas 2,67 Hektar. Hingga pada akhirnya kawasan ini pertama kali dinyatakan sebagai kawasan Taman Nasional berdasarkan Surat Pernyataan Menteri Pertanian Nomor. 736/Mentan/X/1982 tanggal 14 Oktober 1982 seluas 58.000 Hektar. Dalam proses perkembangan dan pemantapan kawasan, pengelolaan Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dikelola secara intensif mulai tahun 1984/1985 oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam IV melalui Proyek Pengembangan Suaka Alam dan Hutan Wisata Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sampai dengan tahun 1992/1993. Pada tahun 1992 TNBTS resmi menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1049/Kpts-II/1992 tanggal 12 Nopember 1992. Pada Tahun 1997 kawasan ini mengalami perubahan struktur organisasi menjadi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 278/Kpts-VI/1997 yang dikeluarkan tanggal 23 mei 1997 kawasan Bromo Tengger Semeru ditunjuk sebagai kawasan taman nasional dengan luas 50,276,20 hektar. Sejak keluarnya surat penunjukan kawasan hingga kini TNBTS menjadi salah satu dari 50 kawasan taman nasional yang ada di Indonesia yang disamping berfungsi sebagai kawasan pelestarian alam juga memiliki pemandangan alam yang menakjubkan dan kekayaan alam hayati yang sangat beragam (BTNBTS 2005). Berikut ini adalah rangkaian singkat sejarah pembentukan TNBTS dari berstatus sebagai cagar alam hingga menjadi taman nasional: 1. Cagar Alam Laut Pasir Tengger seluas 5.250 hektar, ditunjuk berdasarkan Surat Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda tanggal 21 Februari 1919 No. 6 Stbl. 1919 No.90. 2. Cagar Alam Ranu Pani dan Ranu Regulo seluas 96 hektar, ditunjuk berdasarkan Surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 8 Desember 1922 No. 25 Sbtl.1922 No.765. 3. Cagar Alam Ranu Kumbolo seluas 1.340 Hektar, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda Tanggal 4 Mei 1936 No. 18 Sbtl.1936 N0. 209.
36 4. Taman Wisata Tengger Laut Pasir seluas 2,67 hektar, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 13 Maret 1981 No. 198.Kpts/Um/5/1981. 5. Taman Wisata Ranu Darungan seluas 380 hektar, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 2 Mei 1981 No. 508/Kpts/Um/6/1981. 6. Taman Wisata Ranu Pani-Regulo seluas 96 hektar, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 12 Juni 1981 No. 442/Kpts/Um/6/1981. 7. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru seluas 58.000 hektar, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian tanggal 14 Oktober 1982 No. 736/mentas/X/1982. 8. Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru seluas 50.276,20 hektar, ditunjuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tanggal Kehutanan Nomor 278/Kpts-II/1997 tanggal 23 Mei 1997. 9. Melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2007, tanggal 01 Februari 2007 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis TamanNasional Bromo Tengger Semeru menjadi Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dengan tipe IIB.
Kondisi Fisik Lapangan Luas dan Letak Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 278/Kpts-II/1997 tanggal 23 Mei 1997, luas Taman Nasional Bromo Tengger Semeru adalah 50.276,20 hektar yang terdiri dari 50.265,95 hektar daratan dan 10,25 perairan (danau). Secara geografis kawasan TNBTS terletak antara 70 51" 39' - 80 19" 35' LS dan 1120 47" 44' - 1130 7" 45' BT. Berdasarkan wilayah administrasi pemerintahan TNBTS terdapat di Provinsi Jawa Timur dan masuk dalam 4 (empat) wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang. Adapun batas-batas kawasan TNBTS adalah: Barat: Kabupaten Malang meliputi lima wilayah Kecamatan antara lain Tirtoyudo, Wajak, Poncokusumo, Tumpang dan Jabung. Timur: Kabupaten Probolinggo meliputi Kecamatan Sumber dan Kabupaten Lumajang wilayah Kecamatan Gucialit dan Senduro. Utara: Kabupaten Pasuruan wilayah Kecamatan Tutur, Tosari, Puspo dan Lumbang. Kabupaten Probolinggo wilayah Kecamatan Lumbang dan Sekarpura. Selatan: Kabupaten Malang antara lain wilayah Kecamatan Ampelgading dan Tirtoyudo serta Kabupaten Lumajang wilayah Kecamatan Pronojiwo dan Candipuro. Untuk mencapai kawasan TNBTS dapat ditempuh melalui empat pintu masuk, yaitu dari Kabupaten Malang, Pasuruan, Probolinggo dan Lumajang. Sebagian jalan masuk menuju kawasan taman nasional cukup bagus dan mudah dilewati, dan sebagian lainnya masih berupa jalan makadam/tanah. Jalur masuk dan perhubungan menuju kawasan TNBTS dapat dilihat pada Tabel 5.
37 Tabel 5 Jalur/Rute Pintu Masuk menuju Kawasan TNBTS No
Rute Transportasi
I.
Surabaya - Malang Malang - Tumpang Tumpang-Gubugklakah Gubugklakah - Ngadas Ngadas - Jemplang Jemplang – G. Bromo Jemplang-Ranupani R.Pani-R.Kumbolo R.Kumbolo-Kalimati Kalimati-Arcopodo Arcopodo-Mahameru Surabaya-Pasuruan Pasuruan-Warungdowo Warungdowo-Tosari Wonokitri-Dingklik Dingklik-Pananjakan Dingklik-Laut Pasir Laut Pasir-Gunung Bromo Surabaya-Probolinggo (Tongas) Tongas-Sukapura SukapuraCemorolawang C.Lawang-G. Bromo Surabaya-ProbolinggoLumajang Lumajang-Sundoro Sundoro-Burno Burno-Ranupani R.Pani-R.Kumbolo R.Kumbolo-Kalimati Kalimati-Arcopodo Arcopodo-Mahameru
II.
III.
IV.
Jarak (Km) 89 18 12 16 1 10 6 10 5 1 2 40 4 36 6 4 3 4
Sarana Angkutan Umum Umum Umum Sewa Sewa Sewa Sewa Umum Umum Umum Sewa Sewa Sewa Sewa
Kondisi Jalan Aspal Aspal Aspal Aspal/Cor Beton/Cor Tanah/Pasir Tanah/Aspal Setapak Setapak Setapak Setapak Aspal/Baik Aspal/Baik Aspal/Baik Aspal/Baik Aspal/Baik Aspal/Baik Aspal/Baik
Keterangan
Aspal/Baik
Jarak Tempuh 90 Menit 30 menit 30 Menit 40 Menit 10 Menit 1 Jam 1 Jam 4 Jam 3 Jam 1 Jam 3 Jam 45 Menit 15 Menit 60 Menit 25 Menit 20 Menit 20 Menit 20-60 Menit 120 Menit
100
Umum
16 27
Umum Umum
Aspal/Baik Aspal/Baik
30 Menit 60 Menit
Bus/Taxi Bus/Taxi
Bus/Taxi Taxi Jeep/Taxi Jeep Jeep Jeep /Kuda Jeep Jalan Kaki Jalan Kaki Jalan Kaki Jalan Kaki Bus/Taxi Bus/Taxi Taxi Jeep Jeep Jeep Jeep/Kuda Bus/Taxi
2,5 170
Sewa Umum
Batu/Pasir Aspal
40 Menit 150 Menit
Kuda Bus/Taxi
22 4 24 10 4,5 1 1,5
Umum Sewa Sewa -
Aspal Aspal Aspal Setapak Setapak Setapak Setapak
45 Menit 15 Menit 75 Menit 4 jam 3 jam 1 Jam 4 Jam
Taxi Taxi Taxi/Jeep Jalan Kaki Jalan Kaki Jalan Kaki Jalan Kaki
Sumber: TNBTS (2005) Iklim Kawasan TNBTS memilki suhu yang relatif rendah dan kadar udara yang tipis. Suhu udara di kawasan TNBTS berkisar antara 50 sampai 220 C. Suhu terendah terjadi dini hari di puncak musim kemarau antara 30 - 50 C bahkan di beberapa tempat sering bersuhu di bawah 00C (min), khususnya di Ranu Kumbolo dan Puncak Mahameru. Suhu maksimum berkisar antara 200-220 C. Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt Ferguson adalah tipe iklim yang ada di TNBTS terbagi menjadi beberapa tipe, yaitu Tipe A meliputi daerah Semeru bagian Tenggara, Tipe B dengan nilai Q sebesar 14,36% meliputi daerah Semeru bagian Selatan, Puncak, lereng Semeru bagian Timur. Tipe C daerah Argowulan, Penanjakan, Keciri, Blok Argosari, Ranu Kumbolo, dan Jambangan dan Tipe D dengan nilai Q sebesar 43,86% meliputi daerah Laut Pasir, Ngadas, Ranupani, blok Watu Pecah sampai dengan Poncokusumo. Selain itu TNBTS di
38 sekitaran laut pasir mempunyai kelembaban udara yang cukup tinggi yaitu maksimal mencapai 90-97% dan minimal 42-45% dengan tekanan udara 10071015,7 mm Hg (TNBTS, 2005) Topografi Lokasi TNBTS pada dasarnya berada pada puncak pegunungan Tengger (kawasan Gunung Bromo) dan pegunungan Jambangan (kawasan Gunung Semeru) yang membentang dari utara ke selatan sepanjang ± 40 Km dan dari timur ke barat sepanjang ± 20-30 Km. Topografi TNBTS didominasi gununggunung dan bukit terjal. Gunung-gunung yang terdapat di komplek pegunungan Jambangan antara lain yaitu Gunung Gentong (2.951 mdpl), Gunung Malang (2.491 mdpl), Gunung Widodaren (2.000 mdpl), Gunung Pengangon cilik (2.833 mdpl, Gunung Ayek-ayek (2.819 mdpl) dan Gunung Semeru (3.676 mdpl) yang merupakan gunung tertinggi di TNBTS. Gunung-gunung yang terdapat di komplek pegunungan Tengger adalah Gunung Jantur (2.705 mdpl), Gunung IderIder (2.617 mdpl), Gunung Penanjakan (2.724 mdpl), Gunung Batok (2.470 mdpl), Gunung Widodaren (2.650 mdpl) dan Gunung Bromo (2.392 mdpl). Kemiringan kawasan TNBTS bervariasi mulai dari bergunung, berbukit-bukit dengan lereng landai sampai curam dan bergelombang. Geologi dan Tanah Secara umum kawasan TNBTS merupakan daerah vulkanis dengan formasi geologi dari kegiatan gunung api kuarter muda dan gunung api kuarter tua. Kawasan TNBTS memiliki jenis batuan abu pasir/tuf dan vulkan intermedia sampai basis dengan fisiografi vulkan dan asosiasi andosol kelabu dan regosol kelabu dengan bahan induk abu/pasir dan tuf intermedian sampai basis. Bentuk struktur geologi ini menghasilkan batuan yang tidak padat dan tidak kuat ikatan butirannya, sehingga mudah tererosi terutama pada musim penghujan. Dari batuan yang ada membentuk jenis tanah yang cukup beragam di TNBTS. Jenis tanah yang ada adalah Andosol, Regosol, Latosol, Litosol, Komplek Meditarian Merah Kuning, Regosol dengan Latosol, Komplek Mediterian dengan Litosol. Jenis tanah yang ada merupakan tanah yang termasuk subur karena terbentuk dari abu vulkanis dan aktivitas gunung api yang ada di kawasan TNBTS (Rencana Pengelolaan TNBTS 1995-2020). Hidrologi Sebagai daerah vulkanik kawasan TNBTS mempunyai pola tata air permukaan (Radical Drainage Pattern) dimana air terdapat berlimpah pada saat musim penghujan sedangkan pada saat musim kemarau air permukaan sulit diperoleh bankan tidak ada sama sekali. Hal ini disebabkan karena semua air yang menggenang dipermukaaan tanah selama musim hujan cepat hilang merembes atau terserap kedalam lapisan tanah yang lebih bawah. Air tanah yang ada
39 merupakan air hujan yang merembes melalui sebaran batu gunung, bergerak masuk ke dalam lapisan batuan di bawah yaitu batuan lempung yang kedap air. Pada musim penghujan, sungai yang ada di daerah batuan gunung api tidak akan langsung meluap tetapi sebagain air yang ada akan terserap dalam tanah dan akan mulai meluap jika air tanah di daerah rembesan mulai penuh. Pada saat musim kemarau, maka seluruh permukaan yang terdiri dari sebaran batu lempung akan terbuka dan daerah rembesan yang tidak terlalu terlindung akan cepat menjadi kering dan mata air yang ada debitnya akan menurun. Sumber air dari TNBTS berupa sungai dan anak sungai. Tercatat lebih dari 50 (lima puluh) sungai/mata air dan 6 (enam) ranu/danau di dalam kawasan TNBTS yaitu Ranu Pani, Ranu Kuning, Ranu Darungan, Ranu Regulo, Ranu Kumbolo dan Ranu Tompe (TNBTS, 2012). TNBTS mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengaturan tata air untuk daerah sekitarnya, terutama dalam memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat, untuk keperluan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, hingga industri di Kabupaten Malang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Probolinggo.
Keadaan Biologi Ekosistem Ekosistem dari suatu kawasan ditentukan oleh unsur pendukung ekosistem itu sendiri, terutama jenis tumbuhan dan satwa yang dominan terdapat dalam area tersebut baik jumlah ataupun persebarannya. Secara umum ekosistem kawasan TNBTS terbagi menjadi ekosistem daratan dan ekosistem perairan. Ekosistem Daratan Ekosistem daratan yang ada di TNBTS pada umumnya berupa hutan, meskipun demikian dapat dijumpai tipe-tipe khusus seperti Laut Pasir dan ekosistem puncak gunung (Bromo dan Semeru). Berdasarkan perbedaan tinggi tempat dan perbedaan suhu, formasi hutan TNBTS dibagi menjadi 3 tiga zona, yaitu: 1) Zona Sub Montane (750 –1.500 m.dpl) Pada zona ini secara keseluruhan tergolong tipe hutan hujan tropis dataran rendah sampai pegunungan dengan tingkat keanekaragaman jenis dan kerapatan yang paling tinggi. Formasi ini merupakan hutan primer dan bisa dijumpai di kawasan TNBTS bagian Semeru Selatan, Semeru Timur (Burno) dan Semeru Barat (Patok Picis). Kawasan ini termasuk dalam zona inti TNBTS. Tegakan pada hutan ini terdiri dari pohon-pohon besar dan tinggi berusia ratusan tahun, sehingga membentuk lapisan tajuk yang dominan. Pada zona ini lapisan tajuk didominasi oleh jenis-jenis dari famili Fagaceae, Moraceae, Anacardiaceae, Sterculiaceae dan Rubiaceae. Jenis tumbuhan
40 bawah dan liana sangat melimpah, antara lain terdiri dari berbagai genus Calamus, Piper, Asplenium, Begonia, serta famili Anacardiaceae, Araceae, Poaceae dan Zingiberaceae. Di samping potensi di atas, pada zona ini terdapat ekosistem hutan bambu yang cukup luas (500 ha), serta merupakan habitat berbagai jenis anggrek alam baik yang tumbuh sebagai epifit maupun terestrial. 2) Zona Montane (1.500 –2.400 m.dpl) Pada zona ini sebagian besar merupakan hutan sekunder yang keanekaragaman jenisnya sudah mulai berkurang dan didominasi jenis tumbuhan pioner yang tidak dapat hidup di bawah tajuk yang tertutup. Secara umum jenis pohon yang mudah dijumpai di zona ini antara lain: cemara (C. junghuhniana), mentigi (V. varingifolium), kemlandingan gunung (A. lophanta), akasia (A. decurrens), serta tumbuhan bawah seperti tanah layu/edelweis (A. longifolia), senduro (A. javanica), alang-alang (I. cylindrica), paku-pakuan (Pteris sp.), rumput merakan (Themeda sp.) dan calingan/cantigi (C. asiatica). Jenis cemara (C. junghuhniana) di beberapa tempat/blok merupakan jenis pohon yang sangat dominan sehingga membentuk ekosistem hutan yang homogen (Blok Cemorokandang, Arcopodo). Di Kaldera Tengger terdapat ekosistem yang khas yaitu Ekosistem Laut Pasir yang massa tanahnya merupakan endapan vulkanik dengan bahan induk abu dan pasir/batuan hasil aktivitas Gunung Bromo yang sudah mengalami pelapukan bertahun-tahun. Laut Pasir Tengger ditumbuhi oleh vegetasi yang tahan terhadap kondisi alam pegunungan serta pengaruh asap belerang yang keluar dari kawah Gunung Bromo, seperti: cemara gunung, mentigi, kemlandingan gunung, akasia (A. decurrens) dan tumbuhan bawah seperti tanah layu/edelweis, senduro (A. javanica), alang-alang, paku-pakuan (Pteris sp.), rumput merakan (Themeda sp.), adas (F.vulgare) dll. Selain itu TNBTS merupakan habitat anggrek tanah tosari yang endemik yaitu Habenaria tosariensis. 3) Zona Sub Alpin (2.400 m.dpl. ke atas). Pada zona ini ditumbuhi pohon-pohon yang kerdil pertumbuhannya dan miskin jenis. Jenis yang dominan pada ketinggian ini adalah mentigi (V. varingifolium), dan cemara gunung (C. junghuhniana). Di beberapa tempat juga dapat dijumpai kemlandingan gunung (A. lophanta), dan bunga edelweis (A. longifolia). Di Gunung Semeru pada ketinggian lebih dari 3.100 m.dpl kondisinya merupakan hamparan abu, pasir, dan batuan, tanpa vegetasi sama sekali. Ekosistem Perairan Di dalam kawasan TNBTS terdapat 5 buah Danau (Ranu), 2 buah Air Terjun, 28 Mata Air dan 25 Sungai. Tambahan 1 buah danau adalah setelah
41 dilakukan inventarisasi tersebut, yaitu danau Tompe (0,5 ha). Sebuah telaga terletak di ketinggian 900 m.dpl yaitu Ranu Darungan (Pronojiwo, Lumajang) dan 4 lainnya di atas ketinggian 2000 m.dpl yaitu Ranu Pani dan Ranu Regulo (Ds. Ranu Pani) serta Ranu Tompe dan Ranu Kumbolo (Lereng Gunung Semeru). Ranu Pani, Regulo, Tompe dan Kumbolo merupakan danau vulkanik yang secara geologis terbentuk dari celah kawat dari gunung berapi yang sudah mati. Danau yang berada di kawasan pada umumnya berupa danau tadah yang merupakan kubangan air, tidak mempunyai sumber sendiri. Ranu Kuning yang terletak di Desa Ranu Pani juga merupakan danau tadah hujan hanya Ranu Regulo yang diduga mempunyai sumber sendiri (TNBTS 2006) Flora dan Fauna Hutan tropis di kawasan TNBTS adalah habitat bagi hampir sekitar 1.026 jenis flora dimana 226 diantaranya merupakan famili Orchidaceae (anggrek) yang memiliki nilai ilmiah tinggi, serta 260 tanaman obat-obatan/tanaman hias. Dari 226 famili anggrek yang terdapat dalam kawasan TNBTS, 18 jenis diantaranya adalah jenis endemic Jawa Timur dan 7 jenis diantaranya merupakan jenis endemik TNBTS. Jenis lain yang banyak terdapat di kawasan TNBTS antara lain: C. junghuhniana, A. lophanta, A. decurrens, Quercus sp, E. pallescens, Crotalaria striata, A. javanica, A. longifolia, F. vulgare, V. varingifolium, S. pungeus, Sphagum sp, Mimosa sp, P. herba, Myrisca sp, dll. Selain itu dari famili anggrek terdapat beberapa jenis anggrek yang banyak terdapat di TNBTS antara lain yaitu M. purpureonervosa, M. wetteana, dan L. rhodocila yang merupakan anggrek langka dan khas kawsan semeru. Selain itu terdapat pula C. fornicatus (anggrek mutiara merah) dan M. petola yang merupakan anggrek yang dilindungi UndangUndang. Sampai saat ini di kawasan TNBTS belum diketemukan adanya jenis satwa liar yang endemik. Potensi fauna yang terdapat di TNBTS relatif kecil baik dari jumlah jenis maupun kerapatannya. Dari berbagai macam satwa yang terdapat dalam kawasan TNBTS beberapa diantaranya merupakan satwa yang dilindungi baik yang termasuk dalam daftar CITES ataupun dilindungi oleh pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dari hasil inventarisasi terakhir tahun 1996 dan dari informasi yang diperoleh, di TNBTS terdapat 158 jenis satwa liar yang terdiri dari klas mamalia 22 jenis (20 jenis dilindungi Undang-Undang), aves 130 jenis (27 jenis dilindungi Undang-Undang) dan Reptilia 6 jenis. Dari hasil inventarisasi tahun 2007 di Ranupane ditemukan 47 jenis burung (Lapoan Tahunan TNBTS 2012). Berdasarkan hasil inventarisasi mamalia, tahun 2008, beberapa jenis yang terdapat di kawasan TNBTS baik yang ditemui langsung maupun tidak langsung ditemukan 8 (delapan) jenis mamalia (kecuali primata) yaitu : Macan Tutul
42 (Panthera pardus), Landak Jawa (Hystrix javanica), Babi Hutan (Sus scrofa), Musang Luwak (Paradosurus hermaproditus), Tupai (Annatana elliot), Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis), Kijang (Muntiacus muntjak), Teledu Sigung (Mydaus javanensis).
Kondisi Umum Masyarakat Sekitar TNBTS Kependudukan, Luas Wilayah dan Mata Pencaharian Taman Nasional Bromo Tengger Semeru secara langsung berbatasan dengan 72 desa yang terletak di 18 Kecamatan yang termasuk dalam empat wilayah kabupaten yang berbeda. Secara administrasi desa-desa tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten Malang sebanyak 25 desa (34,27%), Kabupaten Lumajang sebanyak 22 desa (30,56%), Kabupaten Pasuruan sebanyak 12 desa (16,67%) dan Kabupaten Probolinggo sebanyak 13 desa (18,06%). Selain itu terdapat dua desa yang berada di dalam kawasan (enclave) yaitu desa Ngadas (Kabupaten Malang) dan Ranupani (Kabupaten Lumajang). Desa di sekitar kawasan TNBTS memiliki ketinggian antara 300 mdpl sampai dengan 2.000 mdpl dengan topografi yang berlereng dan berbukit-bukit Sampai dengan tahun 2011, total jumlah penduduk di seluruh desa sekitar kawasan TNBTS adalah 267.927 jiwa yang terdiri dari 132.708 jiwa pria (49,53%) dan 135.219 jiwa wanita (50,47%) dengan kepadatan penduduk rata-rata 411,02 jiwa/Km2. Luas total desa sekitar kawasan TNBTS mencapai 941,02 Km2, dengan desa-desa Argosari, Pasrujambe dan Burmo merupakan desa yang memiliki wilayah terluas yaitu masing masing 56,05 km2, 43,89 km2 dan 40,72 km2. Desa yang memiliki wilayah terkecil yaitu desa Wonoayu, Bedayutalang dan Kenongo dengan masing-masing luas yaitu 2,61 km2, 2,92 km2 dan 3,38 km2. Bila dikaitkan dengan jumlah penduduk, maka Desa Oro Oro Ombo merupakan desa dengan penduduk terpadat yaitu 245,99 jiwa/Km2 dengan luas wilayah yang termasuk kecil yaitu hanya 6,85 Km2 sedanngkan Desa Ranupani merupakan desa dengan penduduk terjarang yaitu 36,18 jiwa/Km2 dengan wilayah yang cukup luas yaitu 35,79 Km2. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada masing-masing kabupaten sebagian besar penduduk desa sekitar kawasan TNBTS mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani, dengan komoditi pertanian utama yaitu tanaman holtikultura (51,39%), tanaman perkebunan (15,28), petani padi (15,28), dan hanya sedikit yang bekerja di bidang peternakan (1,39%). Agama Sebagian besar desa di sekitar kawasan TNBTS memiliki penduduk yang mayoritas beragama Islam (79,17%) dan Hindu (19,44%). Dan terdapat satu desa (1,39%) dengan mayoritas penduduknya beragama Budha yaitu Desa Ngadas.
43 Desa dengan mayoritas beragama Hindu merupakan desa dengan masyarakat atau penduduk asli suku tengger yang masih teguh memegang adat istiadat mereka dan terletak relatif lebih dekat dengan kawasan TNBTS terutama kawasan Laut Pasir Tengger dan gunung Bromo. Meskipun secara umum masyarakat desa sekitar kawasan TNBTS memeluk agama yang beragam, namun masih mengikuti tata cara adat istiadat suku tengger baik dalam kehidupan sehari-hari (upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus hidup manusia) maupun hari besar yang juga merupakan upacara keagamaan umat Hindu Tengger. Pendidikan Masyarakat Sekitar Kawasan TNBTS Prasarana pendidikan dari TK sampai SMU tersedia di desa sekitar kawasan TNBTS baik berstatus negeri maupun swasta walaupun prasarana pendidik tersebut tidak tersedia di semua desa terutama di desa dengan akses transportasi yangn sulit dan jauh dari kota kecamatan. Bila dilihat dari partisipasi penduduk desa sekitar TNBTS semakin kecil dengan semakin tingginya jenjang pendidikannya. Hal ini berkaitan dengan fasilitas sekolah yang ada, yaitu semakin tinggi jenjang pendidikan maka fasilitas pendidikan yang tersedia semakin sedikit/terbatas. Tingkat pendidikan masyarakat desa sekitar kawasan TNBTS berdasarkan data masing-masing kecamatan terdapat 1.921 (0,66%) penduduk dengan tingkat pendidikan DI/DIII/S1/S2 dan 11.077 (3,82%) penduduk tamat SLTA, sedangkan mayoritas penduduk lainnya tamat SLTP sebanyak 35.526 orang (12,25%), tamat SD sebanyak 103.506 orang (35,70%), tidak sekolah/tidak tamat SD sebesar 49.506 orang (17,07%) dan belum atau sedang sekolah sebesar 88.251 orang (30,50%). Artinya sebagian besar penduduk minimal sudah mengenyam pendidikan dasar 6 tahun. Bahkan bila dilihat dari data ini tampak bahwa persentase penduduk yang mengenyam pendidikan 9 tahun jumalahnya sudah mencapai 47,95%.
Objek dan Kegiatan Wisata Alam Kawasan TNBTS Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) merupakan salah satu kawasan konservasi yang terkenal karena keindahan alamnya. Selain itu TNBTS telah menjadi salah satu tujuan wisata alam utama Provinsi Jawa Timur secara umum dan khususnya bagi keempat kabupaten yang berada di sekitarnya. Lokasi objek dan daya Tarik wisata alam di kawasab TNBTS secara umum dibagi menjadi dua komplek, yaitu Komplek Pegunungan Tengger dan Komplek Pendakian Gunung Semeru. Peta sebaran objek dan daya tarik wisata alam di kawasan TNBTS secara keseluruhan seperti pada Gambar 8.
44
Sumber: Balai Besar TNBTS (2012) Gambar 8 Peta Objek dan Daya Tarik Wisata Alam di Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru a. Komplek Gunung Semeru Gunung Semeru merupakan gunung berapi tertinggi (3.676 m.dpl) di Pulau Jawa. Mahameru adalah nama lain dari puncak Gunung Semeru dengan kawahnya yang menganga lebar yang disebut Jonggring Saloko. Beberapa obyek di sepanjang rute menuju Gunung Semeru yang biasa dilalui pendaki adalah: Ranu Kumbolo, merupakan danau yang terletak pada ketinggian 2390 m.dpl dengan luas 17 ha, merupakan tempat pemberhentian/istirahat sebelum ke puncak. Kalimati, merupakan tempat berkemah terakhir bagi para pendaki sebelum melanjutkan perjalanannya menuju puncak Mahameru. Arcopodo, terletak pada pertengahan Kalimati dan Gunung Semeru. Di tempat ini terdapat dua buah arca kembar yang dalam bahasa Jawa dinamakan arcopodo/recopodo. Disamping itu juga terdapat beberapa monumen korban meninggal atau hilang pada saat pendakian Gunung Semeru. Padang Rumput Jambangan, daerah padang rumput ini terletak di atas 3200 m.dpl, merupakan padang rumput yang diselang-selingi tumbuhan cemara, mentigi dan bunga edelweis. Oro-Oro Ombo, merupakan padang rumput yang luasnya sekitar 100 ha, berada pada sebuah lembah yang dikelilingi bukit-bukit gundul dengan tipe ekosistem asli tumbuhan rumput. Cemoro Kandang, merupakan hutan yang didominasi pohon cemara (Casuarina junghuhniana) dan paku-pakuan. Kelompok hutannya termasuk gugusan Gunung Kepolo (3.095 m) yang terletak di sebelah selatan padang rumput Oro-Oro Ombo. Pangonan Cilik, merupakan kawasan padang rumput yang terletak di lembah Gunung Ayek-Ayek yang letaknya tidak jauh dari Ranu Kumbolo.
45 b. Komplek PegununganTengger Komplek Pegunungan Tengger terkenal dengan lautan pasirnya seluas 5.2 Ha yang dikellilingi oleh Gunung Bromo dan Gunung Batok. Komplek Pegunungan Tengger secara administrasi masuk ke dalam Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Pasuruan. Beberapa objek wisata yang ada di kompleks Pegunungan Tengger yaitu: Kaldera Tengger, Kaldera Tengger dengan 5 (lima) buah gunung yang berada di dalamnya merupakan daya tarik tersendiri, termasuk kisah geologi terbentuknya gunung-gunung tersebut. Gunung Bromo, merupakan salah satu gunung dari lima gunung yang terdapat di komplek Pegunungan Tengger di laut pasir. Daya tarik gunung ini adalah gunung masih aktif dan dapat dengan mudah didaki/dikunjungi. Gua/Gunung Widodaren, terletak di sebelah Gunung Batok dan merupakan potensi obyek wisata yang mempunyai daya tarik tersendiri. Gunung Batok, Gunung Batok terletak di sebelah Gunung Bromo dan menjadi pemandangan yang menyatu dengan Gunung Bromo. Daya tarik utama adalah gunung ini merupakan habitat edelweis. Gunung Penanjakan, Puncak Gunung Penanjakan merupakan tempat yang tertinggi bila dibandingkan dengan tempat lainnya di Komplek Pegunungan Tengger dimana dapat disaksikan terbitnya matahari dan keindahan alam di bagian bawah seperti panorama laut pasir dengan komplek Gunung Bromo dsk yang dilatarbelakangi Gunung Semeru dengan kepulan asapnya yang tebal. c. Ranu Pani – Ranu Regulo Ranu Pani (5,879 Ha data pengukuran citra tahun 2004, pengukuran citra tahun 2010 seluas 5,536 Ha, terjadi penyempitan karena sedimentasi) dan Ranu Regulo (3,640 Ha pengukuran citra tahun 2010) merupakan danau yang berada pada ketinggian 2.200 m dpl, dan memiliki keindahan alam cukup menarik. d. Hutan Alam Hutan di sepanjang jalur Ledok Malang – Ireng-ireng merupakan hutan alam tropis yang didominasi al.tumbuhan sepat, suren, rotan, piji, bambu, pisang. Satwa liar yang dapat dijumpai adalah jenis burung, macan tutul, babi hutan, rusa, lutung. Di Hutan alam sepanjang jalur pendakian (Ranu Pani-Watu Rejeng-Ranu Kumbolo) didominasi oleh tumbuhan sepat, suren, rotan, liana, piji, cemara, senduro, anggrek dan edelweis. e. Ranu Darungan Ranu Darungan merupakan danau yang terdapat di Desa Pronojiwo Kecamatan Pronojiwo. Danau/Ranu Darungan mempunyai luas sekitar 0,534 Ha (pengukuran tahun 2011 dalam kegiatan Revitalisasi Ranu Darungan) terletak pada ketinggian di atas 750 m dari permukaan laut. Daya tarik Ranu Darungan terutama adalah kekhasan alam yaitu adanya hutan di sekitar danau yang relatif masih terjaga kondisinya. f. Hutan Pananjakan – Dingklik Hutan di Blok Pananjakan-Dingklik merupakan hutan campuran yang didominasi cemara, akasia decuren dan tumbuhan daun lebar lainnya. Blok ini
46 merupakan habitat ayam hutan.Selain itu juga terdapat sumber air yang sangat penting bagi masyarakat sekitar, pengusaha hotel, camp intelijen dan kantor SPTN Wilayah I.
Pengunjung Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Jumlah Wisatawan yang datang mengunjungi TNBTS mengalami perubahan yang fluktuatif dalam setiap tahunnya. Perubahan kondisi alam pada periode tertentu dan untuk memulihkan keadaan ekosistem yang terganggu akibat aktivitas wisata yang dilakukan oleh pengunjung menyebabkan kegiatan wisata di kawasan TNBTS ditutup sementara waktu. Kegiatan wisata utama yang dilakukan di TNBTS ada wisata minat khusus pendakian gunung semeru. Selain itu wisata alam rekreasi di kawasan Pegunungan Tengger dapat dilakukan tanpa persiapan khusus. Peningkatan jumlah pengunjung atau wisatawan yang datang ke TNBTS selama enam tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Pengunjung TNBTS Tahun 2006-2012 berdasarkan Asal Wisatawan (Orang) Wisatawan Nusantara 2007 48.627 2008 75.156 2009 128.854 2010 136.813 2011 93.340 2012 246.827 Sumber: Balai Besar TNBTS (2012) Tahun
Wisatawan Mancanegara 14.209 18.684 22.686 25.868 21.984 26.297
Total 62.836 93.840 151.540 162.681 115.324 273.124
Secara umum kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS tidak berlangsung setiap hari dengan jumlah dan aktivitas pengunjung yang sama. Kegiatan wisata di kawasan ini lebih ramai pada hari sabtu dan minggu atau hari libur nasional seperti libur tahun baru atapun pada saat musim libur sekolah. Karena itu setiap bulannya jumlah pengunjung yang datang tidak sama atau mengalami fluktuatif yang cukup tinggi. Tingginya kunjungan wisatawan setiap bulannya di kawasan TNBTS dapat di lihat pada Gambar 9. Puncak kunjungan terjadi pada Bulan Juni sampai dengan Bulan September dan juga Bulan Desember setiap tahunnya untuk Kawasan Pegunungan Tengger dan untuk Kawasan Pendakian Gunung Semeru puncak kunjungan terjadi pada bulan Juli sampai dengan Desember setiap tahunnya. Waktu terbaik untuk mendaki Gunung Semeru adalah saat musim kemarau dan saat musim bungan eidelweis berbunga.
47
Sumber: Balai Besar TNBTS (2012) Gambar 9 Tingkat Kunjungan Wisatawan Setiap Bulan Kawasan Gunung Semeru merupakan gunung berapi yang masih aktif. Untuk itu pada bulan-bulan tertentu pendakian Gunung Semeru ditutup jika kondisi gunung sedang aktif. Selain itu pada saat musim penghujan dengan peluang hujan badai yang cukup tinggi, pendakian juga dilarang demi menjaga keselamatan pendaki itu sendiri. Karena itu terdapat bulan-bulan tertentu dimana pengunjung Pendakian Gunung Semeru sangat sedikit atau bahkan tidak ada pengunjung sama sekali. Untuk memasuki kawasan konservasi dengan tujuan berwisata terdapat karcis yang dikenakan kepada pengunjung berupa karcis masuk, karcis parkir kendaraan, karcis untuk penggunaan peralatan fotografi dan perekam video lainnya. Dari kegiatan wisata dan tiket masuk kawasan tersebut, Balai TNBTS mampu mendatangkan pendapatan yang cukup besar bagi Negara yaitu Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diperoleh dari pungutan karcis masuk pengunjung dan kendaraan bermotor. Besarnya PNPB yang diperoleh dari karcis pengunjung dan karcis parkir kendaraan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Besarnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) TNBTS dari Karcis Masuk Pengunjung (Rp/Tahun) Tahun
Pungutan Masuk (Rp) Karcis Pengunjung
2008 620.500.750 2009 887.087.000 2010 845.070.000 2011 700.322.500 2012 1.134.008.750 Sumber: Balai Besar TNBTS (2012)
Kendaraan 0 0 153.820.000 134.238.000 300.938.000
48
5 NILAI DAN DAMPAK EKONOMI WISATA ALAM TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU
Jumlah dan Asal Wisatawan Wisatawan yang datang ke kawasan TNBTS umunya terbagi menjadi dua kelompok yaitu yang mengunjungi kawasan Pegununngan Tengger yang memiliki objek wisata berupa kawah Gunung Bromo dan Laut Pasir Tengger dan kawasan Pendakian Gunung Semeru dengan objek wisata utama berupa pendakian gunung Semeru serta Danau Ranukumbolo. Kawasan Gunung Tengger termasuk dalam kelompok wisata alam umum yang dapat dijangkau dengan relatif mudah dan tidak memerlukan keahlian khusus, sedangkan komplek wisata kawasan Pendakian Gunung Semeru merupakan daerah wisata minat khusus berupa pendakian gunung yang memerlukan kemampuan dan fisik yang kuat dan terlatih. Kegiatan wisata alam di kedua lokasi ini mendapat kunjungan yang lebih tinggi pada akhir minggu dan terutama pasa saat hari libur nacional dengan jumlah pengunjung harian mencapai 500 orang perhari di kawasan Pegunungan Tengger dan 41 orang perhari di kawsaan Pendakian Gunung Semeru. Bulan Juli sampai denngan September dan Desember sampai Januari merupakan bulan dengan jumlah pengunjung tertinggi. Jumlah pengunjung terendah terjadi pada bulan Februari dan Maret, bahkan di kawasan Pendakian Gunung Semeru terkadang tidak ada pengunjung sama sekali dikarenakan pendakian ditutup oleh pengelola TNBTS. Penutupan pendakian dilakukan tergantung dengan kondisi alam dan juga sesuai kebutuhan untuk regenerasi ekosistem kawasan terutama di daerah sekitar jalur pendakian. Wisatawan yang datang ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) sebagian besar merupakan wisatawan nusantara. Pada tahun 2012 jumlah wisatawan yang datang berkunjung mancapai 273.124 orang yang terdiri dari 246.827 wisatawan nusantara (90,37%) dan 26.297 (9,63%) wisatawan mancanegara (Statistik TNBTS 2012). Sebagian besar wisatawan mancanegara yang datang berasal dari Negara-negara Eropa yaitu Belanda, Perancis, Jerman dan Belgia. Wisatawan nusantara berasal dari seluruh daerah di Indonesia yang sebagian besar adalah masyarakat dari daerah-daerah sekitar kawasan. Tabel 8 menunjukkan bahwa wisatawan di kedua lokasi wisata sebagian besar berasal dari daerah-daerah sekitar kawasan yang masih berada dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur yaitu 34,78 % di kawasan Gunung Tengger dan 49,18% di kawasan Pendakian Gunung Semeru. Tujuan utama wisatawan yang datang ke kawasan TNBTS adalah untuk menikmati pemandangan alam dan udara pegunungan yang sejuk. Banyaknya wisatawan yang berasal dari daerah sekitar dikarenakan jarak yang relatif lebih dekat dengan akses transportasi yang mudah.
49 Tabel 8 Responden Wisatawan Komplek Pegunungan Tengger dan Komplek Pendakian Semeru menurut Asal Wisatawan Kelompok Asal Responden
Wisatawan Mancanegara Asia Amerika Eropa Wisatawan Nusantara Provinsi Jawa Timur Provinsi Jakarta dan sekitarnya Pulau Jawa selain Jawa Timur dan Jakarta Pulau selain Pulau Jawa Total
Rekreasi Bromo Jumlah responden Orang Persen 18 2 2,17 3 3,26 13 14,13 74 32 34,78 23 25,00
Pendakian Semeru Jumlah responden Orang Persen 1 0 0,00 0 0,00 1 1,64 60 30 49,18 7 11,48
10
10,87
16
26,23
9 92
9,78 100,00
7 61
11,48 100,00
Jika dilihat dari sebaran kelompok responden berdasarkan pekerjaan dan pendapatan responden, wisatawan yang datang ke kedua lokasi wisata ini memiliki karakteristik yang berbeda. Berdasarkan Tabel 9 terlihat bahwa pengunjung yang datang ke kawasan Pegunungan Tengger sebagian besar adalah karyawan swasta (35,87%), sedangkan yang datang ke kawasan Pegunungan Semeru adalah mahasiswa (73,77%). Tabel 9 Responden Wisatawan menurut Pekerjaan Responden (Orang)
No.
Pekerjaan Responden
1 2 3 4 5 6
Dosen/Guru/PNS Karyawan Swasta Wiraswasta Mahasiswa Siswa/Pelajar Lainnya Jumlah
Komplek Peg. Kompleks Pendakian Tengger Gunung Semeru Jumlah responden Jumlah responden Orang Persen Orang Persen 16 17,39 1 1,64 33 35,87 6 9,84 8 8,70 5 8,20 17 18,48 45 73,77 7 7,61 4 6,56 11 11,96 0 92 100 61 100
Relatif tidak terdapat perbedaan antara sifat dan frekuensi berwisata di kedua kawasan. Sebagian besar wisatawan datang untuk pertama kalinya dan merupakan tujuan utama dalam perjalanan wisatawan. Beberapa wisatawan melakukan kunjungan ke kawasan TNBTS sebagai tujuan persinggahan yaitu sebesar 39,13% untuk Komplek Pengunungan Tengger dan 11,48% untuk Komplek Pendakian Gunung Semeru (Tabel 10). Beberapa lokasi yang menjadi
50 tujuan lain dari para wisatawan adalah Yogyakarta, Bandung, Bali, Malang dan Surabaya. Tabel 10 Responden Wisatawan menurut Jumlah Kunjungan Persinggahan Kunjungan yang ke Jumlah % (Orang) Kompleks Pegunungan Tengger Pertama Kali 26 28,26 Kedua 3 3,26 Ketiga 1 1,09 Lebih dari 3 6 6,52 Jumlah 36 39,13 Kompleks Pendakian Gunung Semeru Pertama Kali 4 6,56 Kedua 3 4,92 Ketiga 0 Lebih dari 3 0 Jumlah 7 11,48
Sifat Kunjungan Utama Jumlah % (Orang)
Grand Total Jumlah % (Orang)
35 9 3 9 56
38,04 9,78 3,26 9,78 60,87
61 66,30 12 13,04 4 4,35 15 16,30 92 100,00
24 17 10 3 54
39,34 27,87 16,39 4,92 88,52
28 45,90 20 32,79 10 16,39 3 4,92 61 100,00
Sebagian besar wisatawan baik yang berasal dari luar Provinsi Jawa Timur atau pun daerah yang berada dekat dengan kawasan melakukan kunjungan selama 1-2 hari atau lebih di lokasi wisata. Wisatawan yang berasal dari daerah yang relatif dekat dengan kawasan mempunyai pilihan untuk bermalam atau tidak di lokasi wisata. Wisatawan yang berasal dari luar daerah sebagian besar memilih bermalam di lokasi. Secara lengkap pilihan lokasi menginap masing-masing wisatawan berdasarkan asal wisatawan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Responden berdasarkan Kelompok Asal Daerah dan Lokasi Menginap Tempat Menginap Kelompok Daerah Asal Responden
Pengina pan
Kemah
Rekreasi Peg. Tengger Pulau Jawa (Selain Jatim dan Jakarta) Pulau selain Pulau Jawa Provinsi Jakarta dan sekitarnya Wisatawan Mancanegara Provinsi Jawa Timur Jumlah Pendakian Gunung Semeru Pulau Jawa (Selain Jawa Timur dan Jakarta) Pulau selain Pulau Jawa Provinsi Jakarta dan sekitarnya Wisatawan Mancanegara Perbedaan lama kunjungan dan Provinsi Jawa Timur lokasi wisata berkaitan dengan program Jumlah
2 0 0 0 0 2
1 3 9 6 12 31
Hotel
1 1 9 7 5 23
Tidak Mengin ap
6 5 5 5 15 36
Total
10 9 23 18 32 92
16 0 0 0 16 7 0 0 0 7 7 0 0 0 7 1 0 0 0 pilihan untuk bermalam atau tidak di 1 30 0 0 0 30 dan motif wisata yang akan dilakukan 61 0 0 0 61
51 oleh para wisatawan terutama terkait dengan keinginan para wisatawan untuk menuntaskan menikmati objek wisata yang ada di suatu tempat. Wisatawan yang bermalam mempunyai banyak pilihan untuk menentukan tempat bermalam. Sebagian besar wisatawan bermalam di homestay/penginapan atau hotel yang terdapat di sekitar kawasan pegunungan Tengger (Tabel 12). Homestay/Penginapan dan Hotel ini terletak cukup dekat dengan lokasi wisata dengan jarak yang bervariatif antara 1 – 3 Km, namun masih terletak dalam satu kecamatan. Pemilihan hotel dan penginapan para wisatawan lebih berdasarkan pada kondisi keuangan dan pertimbangan keterwakilan kondisi dan fasilitas hotel atau penginapan yang tersedia. Dalam melakukan pendakian Gunung Semeru sebagian besar wisatawan memerlukan waktu 3-4 hari dan keseluruhan wisatawan yang melakukan pendakian Gunung Semeru bermalam di alam terbuka atau berkemah. Hal ini dikarenakan dalam melakukan pendakian Gunung Semeru memerlukan waktu yang lebih lama dan menempuh jalur pendakian yang cukup menantang. Tabel 12 Responden Wisatawan berdasarkan Lama Menginap dan Tempat Menginap Lama Kunjungan
Berkemah
Homestay /Penginapan
Rekreasi Peg. Tengger 1-2 hari 3-4 hari 4-5 hari 2 Tidak Menginap Jumlah 2 Kompleks Pendakian Gunung Semeru 1-2 hari 9 3-4 hari 52 Jumlah 61
Tidak Menginap
Hotel
Total
25 6 31
18 4 1 23
36 36
43 10 3 36 92
-
-
-
9 52 61
Nilai Ekonomi Wisata Alam Kawasan TNBTS Nilai ekonomi wisata alam di kawasan TNBTS diperoleh dari pendugaan besarnya biaya pengeluaran wisatawan. Dari pendekatan ini diperoleh nilai ekonomi total penyelenggaraan kegiatan wisata alam di TNBTS tersebut sebesar Rp. 341,227 Milyar/Tahun yaitu untuk kegiatan wisata di kawasan Pegunungan Tengger sebesar Rp. 326,898 Milyar/Tahun (95,80%) dan pendakian Gunung Semeru sebesar Rp. 14,329 Milyar/Tahun (4,20%). Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran pengunjung di kawasan Pegunungan Tengger jauh lebih besar dibandingkan rata-rata pengeluaran pengunjung di kawasan Pendakian Semeru baik untuk masing-masing biaya pengeluaran ataupun secara total. Sebagian besar biaya wisata dikeluarkan untuk transportasi, terutama bagi wisatawan yang berasal dari luar daerah yang cukup jauh. Biaya-biaya wisata berikutnya yang relatif besar adalah untuk penginapan, membeli makanan dan minuman dan sebagian kecil untuk guide dan souvenir.
52 Tabel 13 Nilai Ekonomi Penyelenggaraan Kegiatan Wisata Alam Kawasan TNBTS berdasarkan Alokasi Pengeluaran Pengunjung (Rp/Orang) Dalam Kawasan Rp. % Kompleks Kawasan Peg. Tengger Biaya Transportasi 108.482 3,92 Akomodasi/Penginapan 204.946 7,40 Makan/Minum 120.978 4,37 Pemandu / Guide Sewa Tenda Souvenir 76.337 2,76 Jumlah 510.743 18,44 Kompleks Pendakian Gunung Semeru Biaya Transportasi 25.230 4,43 Akomodasi/Penginapan Makan/Minum 54.344 9,55 Pemandu / Guide Sewa Tenda Souvenir 50.984 8,96 Jumlah 130.557 22,95 Biaya Peruntukan
Luar Kawasan Rp. %
Total Rp.
%
1.882.533 153.913 218.641 3.533 2.258.620
67,98 5,56 7,90 0,13 81,56
1.991.015 358.859 339.620 3.533 76.337 2.769.363
71,89 12,96 12,26 0,13 2,76 100
282.459 155.984 438.443
49,64 27,41 77,05
307.689 210.328 50.984 569.000
54,08 36,96 8,96 100
Kondisi kawasan dan karakteristik wisatawan di kedua lokasi cenderung berbeda, sehingga besarnya biaya yang dikeluarkan wisatawan pun cenderung berbeda. Di kawasan Pegunungan Tengger dengan wisata Kawah Gunung Bromo dan laut pasir tersedia segala fasilitas dan akomodasi untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Selain itu pengunjung di kawasan Pegunungan Tengger merupakan karyawan atau lainnya yang sudah memiliki penghasilan sehingga mempunyai kesempatan yang lebih besar dalam berbelanja untuk wisata. Para pendaki Gunung Semeru sebagian besar adalah mahasiswa yang belum mempunyai penghasilan tetap sehingga dalam melakukan perjalanan dan belanja wisata berusaha semaksimal mungkin menghemat biaya pengeluaran. Di samping itu biaya akomodasi dan penginapan yang ada di kawasan Pegunungan Tengger relatif mahal sehingga memperbesar biaya pengeluaran wisatawan yang datang. Namum hal ini tidak berlaku untuk para pendaki. Para pendaki semuanya berkemah di alam bebas sehingga tidak memerlukan biaya untuk akomodasi dan penginapan. Khusus dalam hal pembelian souvenir dipengaruhi oleh penilaian wisatawan terhadap kualitas souvenir yang dijual di dalam kawasan. Secara umum pengunjung berpendapat souvenir yang ada kurang memadai dari keragamannya sehingga kurang menggugah minat untuk membeli. Biaya yang dikeluarkan wisatawsan relatif berbeda dilihat dari tempat dikeluarkannya, yaitu di dalam atau di luar kawasan. Dalam hal ini pengeluaran wisatawan lebih banyak dilakukan di luar kawasan yaitu sekitar 81,56% dilakukan di luar kawasan untuk wisata di pegunungan tengger dan 77,05% untuk wisatawan di Gunung Semeru. Hal ini memperlihatkan masih terjadinya kebocoran ekonomi yang cukup tinggi. Kebocoran merupakan bagian uang yang dibelanjakan wisatawan yang tidak dibelanjakan kembali dan tidak memberi pengaruh pada kegiatan ekonomi setempat (Yoeti 2008). Secara umum wisatawan yang datang berkunjung ke TNBTS menyatakan kesesuaian antara biaya yang dikeluarkan selama berwisata dengan tingkat
53 kepuasan yang dirasakan wisatawan. Hal ini disebabkan karena atraksi wisata dan panorama alam yang ada di lokasi wisata baik di Pegunungan Tengger ataupun pendakian Gunung Semeru sangat menarik. Terutama bagi para pendaki gunung semeru yang menyakatan bahwa mendaki gunung semeru merupakan kebanggaan dan tantangan tersendir karena semeru merupakan gunung tertinggi di Jawa Timur dan gunung tertinggi ke empat di Indonesia. Dalam melakukan kegiatan wisata alam, keseluruhan pengalaman rekreasi alam dibagi kedalam lima fase yang penting dan saling berhubungan, yaitu fase perencanaan, fase perjalanan dari rumah menuju tempat rekreasi, fase aktivitas ditempat rekreasi, fase perjalanan pulang dari tempat rekreasi ke rumah dan fase relokasi. Nilai ekonomi yang dihitung dalam penelitian ini hanya meliputi biaya pengeluaran wisatawan dalam tiga fase, yaitu perjalanan dari rumah menuju lokasi wisata, fase aktivitas sselama berwisata, dan fase perjalanan pulang dari lokasi wisata ke rumah. Biaya pengeluaran terbesar merupakan biaya yang dikeluarkan dalam fase perjalanan, yaitu perjalanan pergi dan pulang kembali. Sebesar 76,74% pengeluaran wisatawan di Kawasan Pegunungan Tengger adalah untuk biaya transportasi dan 23,26% lainnya adalah pengeluaran wisatawan selama beradadan beraktivitas di lokasi wisata. Biaya pengeluaran wisatawan di kawasan Pendakian Gunung Semeru sebesar 62,29% adalah pengeluaran untuk fase perjalanan pergi dan pulang serta 9,68% lainnya adalah biaya pengeluaran selama fase aktivitas di lokasi wisata alam. Khusus untuk wisatawan Pendakian Gunung Semeru terdapat 28,03% biaya pengeluaran untuk pembelian konsumsi sebagai bekal dalam melakukan pendakian. Pengeluaan wisatawan dalam fase aktivitas di lokasi wisata berupa biaya untuk akomodasi dan penginapan, biaya konsumsi makan dan minum, pembelian souvenir dan juga jasa pemandu atau tour guide.
Dampak Ekonomi Kegiatan Wisata Alam Dukungan terhadap pembangunan pariwisata umumnya didasarakan pada manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat setempat. Banyak pihak mengidentifikasikan manfaat ekonomi langsung (direct economic impact) dari kegiatan pariwisata ini berkaitan erat dengan pengeluaran wisatawan. Pembelanjaan sejumlah uang oleh wisatawan berarti bahwa wisatawan melakukan permintaan terhadap produk dan jasa di lokasi objek wisata (tingkat lokal) yang pad aakhirnya akan menghasilkan pendapatan (generate income) bagi masyarakat sekitar. Demikian juga halnya dengan upaya pelengkapan sarana dan prasarana wisata yang dilakukan oleh pemerintah, pada akhirnya juga bertujuan menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan pendapatan serta meningkatkan penerimaan pajak pada suatu wilayah. Dampak ekonomi dari wisata umunya diukur dari keseluruhan pengeluaran wisatawan dalam akomodasi, transportasi, konsumsi, souvenir dan biaya lain yang dikeluarkan selama melakukan perjalanan wisata. Pengukuran jumlah wisatawan dan tingkat pengeluarannya semata dapat menjadi penilaian yang kurang tepat dalam mengukur manfaat bersih ekonomi yang dihasilkan wisatawan pada suatu wilayah. Dampak ekonomi kegiatan wisata dapat diukur melalui sejumlah pengeluaran wisatwan yang diterima atau menjadi pendapatan bagi perekonomian
54 lokal, tingkat kesempatan kerja yang dihasilkan dan keadilan pendistribusian manfaat ekonomi. Selain permintaan yang berasal dari pengeluaran langsung wisatawan di lokasi wisata, pendapatan dan kesempatan kerja yang diturnkan dalam ektivitas perekonomian yang berasal dari siklus uang yang dikeluarkan wisatawan, dan hal ini dikenal dengan efek pengganda (multiplier effect). Kegiatan wisata di kawasan Pegunungan Tengger dan Gunung Semeru menciptakan aliran uang yang berasal dari transaksi antara wisatawan yang datang dengan unit usaha setempat. Wisatawan membutuhkan berbagai keperluan dalam kegiatan wisatanya berupa transportasi lokal, akomodasi (homestay/penginapan dan hotel), konsumsi, souvenir dan jasa pemandu (guide). Jika kebutuhan ini dapat terpenuhi oleh penduduk lokal melalui unit usaha yang didirikan maka terjadi transaksi ekonomi antara wisatawan dengan masyarakat sekitar. Artinya terjadi aliran uang dari luar dan ke dalam lokasi wisata. Jika hal ini terjadi terus menerus dan memberikan keuntungan bagi masyarakat lokal, maka tercipta manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar dari kegiatan wisata yang ada. Tidak semua pengeluaran wisatawan dalam berwisata sampai ke lokasi objek wisata. Sebagian besar transaksi terjadi diluar lokasi yang dalam konteks ekonomi disebut kebocoran ekonomi (economics leakage) dari total pengeluaran konsumen. Secara umum dilihat dari proporsi biaya rekreasinya, pengeluaran wisatwan yang datang ke TNBTS mengalami economics leakage mencapai hingga 81,56% untuk wisata Pegunungan Tengger dan sebesar 77,05% untuk Pendakian Gunung Semeru yang sebagian besar merupakan biaya transportasi. Secara spesifik, proporsi biaya yang dikeluarkan masing-masing wisatawan berbeda tergantung tujuan dan lokasi wisata. Jika dilihat lebih rinci, terdapat perbedaan pada pola biaya rekreasi di antara wisatawan di masing-masing lokasi wisata. Wisatawan yang berrekreasi di kawasan Pegunungan Tengger hanya menghabiskan biaya transportasi di dalam kawasan sebesar 3,92 % sedangkan wisata pendakian Gunung Semeru menghabiskan 4,43% biaya transportasi di dalam kawasan. Biaya pengeluaran terbesar wisatawan yang dilakukan di lokasi wisata yaitu biaya akomodasi dan penginapan untuk wisata Pegunungan Tengger dan biaya konsumsi untuk Pendakian Gunung Semeru. Dampak Ekonomi Langsung (Direct Impact) Aktivitas wisata di kedua lokasi dalam kawasan TNBTS hanya ramai pada akhir pekan dan hari libur nasional atau pada musim liburan. Unit usaha yang ada di lokasi wisata sebagian besar hanya beroperasi pada hari-hari ramai tersebut kecuali penginapan dan hotel serta beberapa warung makan. Berdasarkan persantase pengeluaran wisatawan di lokasi wisata maka dapat diperkirakan besar perputaran uang di lokasi wisata khususnya pada akhir pekan. Jumlah pengunjung rata-rata harian di Kompleks Pegungan Tengger mencapai 500 orang perhari. Dengan pengeluaran rata-rata pengunjung perorang sebesar Rp. 2.769.363/orang/kunjungan, maka dapat diketahui besarnya aliran uang yang terjadi di kawasan Pegunungan Tengger dalam sehari yaitu sebesar Rp. 1.384.681.418/hari. Namun tidak semua pengeluaran yang ada terjadi dalam kawasan. Sebesar Rp. 1.129.309.781 atau 81,56% adalah kebocoran wilayah berupa pengeluaran di luar kawasan terutama untuk biaya transportasi. Jumlah pengunjung harian Kawasan Pendakian Gunung Semeru tidak sebanyak
55 Pegunungan Tengger, namun cukup tinggi dan menciptakan transaksi ekonomi yang cukup besar. Tingginya perputaran uang yang terjadi di lokasi wisata memberikan peluang usaha bagi penduduk lokal khususnya para pemilik modal setempat yang berinisiatif untuk membuka unit usaha terkait dengan pemenuhan kebutuhan wisata setempat. Sebagian besar unit usaha yang tercipta adalah usaha sektor informal, berskala kecil hingga menengah dan hanya ramai pada saat akhir pekan dan hari libur namun unit usaha yang terdapat di kawasan TNBTS cukup banyak dan dapat memenuhi kebutuhan para wisatawan. Unit usaha yang tercipta di desa sekitar kawasan TNBTS dan menunjang kegiatan wisata alam di TNBTS antara lain adalah hotel, homestay/penginapan, warung makan, penjaja makanan, penjual souvenir, sewa jeep, ojek dan angkutan kuda. Unit usaha yang terdapat di kawasan Pegunungan Tengger lebih banyak dibandingkan dengan unit usaha yang ada di Gunung Semeru karena jumlah wisatawan yang datang jauh kebih tinggi dan wisata di kawasan pegunungan Tengger merupakan rekreasi yang memerlukan lebih banyak fasilitas sarana dan prasarana wisata. Unit usaha yang ada di kedua lokasi wisata merupakan pihak penerima dampak ekonomi langsung dari pengeluaran wisatawan. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa secara umum unit usaha yang ada di kawsan TNBTS memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu: (1) umumnya dimiliki oleh warga asli, yaitu masyarakat suku tengger yang tinggal di sekitar lokasi wisata, (2) telah berdiri selama satu hingga lebih dari lima tahun, (3) sebagian besar merupakan mata pencaharian sampingan, (4) Hanya memiliki satu unit usaha terkait kegiatan wisata alam (5) Investasi awal pada saat pertama kali didirikan berkisar Rp. 1.000.000;- s.d RP. 10.000.000;- dan investasi terbesar dilakukan oleh pemilik hotel. Pembangunan hotel atau penginapan biasanya bertahan danmemakan waktu yang cukup lama dan (6) Memiliki pendapatan rata-rata per bulan antara 1.000.000;- s.d RP. 10.000.000;- hingga mencapai Rp. 20.000.000 untuk hotel. Dari ciri-ciri yang ada dapat dikatakan bahwa unit usaha yang terdapat di kedua lokasi wisata TNBTS merupakan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Pemilik usaha hotel merupakan unit usaha yang memiliki pegawai atau tenaga kerja terbanyak yaitu lebih dari 20 orang. Homestay/penginapan, warung makan dan toko souvenir sebagian besar masih dikerjakan sendiri dan memiliki 13 orang pegawai. Oleh karena itu jika dilihat dari jumlah pegawai yang dimiliki, unit usaha berupa hotel termasuk dalam usaha kelas menengah dan untuk homestay/penginapan, warung makan dan toko souvenir lainnya merupakan usaha mikro. Pemilik hotel melakukan investasi terbesar karena untuk membangun hotel yang memerlukan biaya yang cukup tinggi terkait dengan biaya bahan baku dan trasnportasi. Investasi terbesar kedua dilakukan oleh para pemilik homestay/penginapan. Namun sebagian besar unit usaha yang ada dibangun secara bertahap dalam waktu tertetntu sehingga investasi yang dikeluarkan juga dilakukan secara bertahap. Sebanding dengan investasi yang telah dilakukan, pemilik hotel dan homestay/penginapan memiliki peluang menperoleh pendapatan yang jauh lebih tinggi seiring dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan. Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan dengan sendirinya akan meningkatkan aktivitas ekonomi yang dipicu oleh pengeluaran wisatawan. Aliran
56 uang hasil transaksi yang terjadi pun semakin tinggi. Bagi pemilik unit usaha, penerimaan (total revenue) yang diperoleh selanjutnya akan digunakan kembali untuk menjalankan aktivitas unit usaha tersebut. Dalam melakukan produksinya, unit usaha membutuhkan bahan baku (input), baik yang tersedia di dalam atau sekitar lokasi wisata (lokal) maupun yang berasal dari luar lokasi wisata (non lokal). Penggunaan input akan terkait dengan sejumlah biaya dalam rangka penyediaan input tersebut. Komponen biaya produksi utama dalam sebuah unit usaha terdiri dari pembelian input atau bahan baku, upah tenaga kerja, pembelian dan pemeliharaan peralatan, biaya operasional harian (listrik dan air), pengembalian kredit, biaya transportasi dan pajak atau retribusi yang harus disetor ke pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan proporsi terbesar terhadap penerimaan unit usaha adalah pembelian bahan baku (Kawasan Pegunungan Tengger) dan pendapatan pemilik usaha (Kawasan Pendakian Gunung Semeru) dan pajak retribusi merupakan bagian terkecil. Hampir seluruh unit usaha tidak mengalokasikan penerimaan unit usaha untuk pengembalian kredit. Hal ini terkait dari adat kebiasaan masyarakat sekitar lokasi wisata untuk tidak meminjam atau menganbil kredit dalam bentuk apapun. Pengembangan usaha yang dilakukan oleh pemilik unit usaha semata hanya mengandalkan dari keuntungan yang diperoleh unit usaha. Adapun proporsi pendapatan bersih (income) pemilik unit usaha dan biaya-biaya yang dikeluarkan terhadap penerimaan total unit usaha dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Proporsi Pendapatan (Income) dan Biaya Produksi terhadap Penerimaan Total Unit Usaha Wisata Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Komponen Pendapatan Pemilik Unit Usaha Upah tenaga kerja Pembelian Input/bahan baku Pemeliharaan Biaya Operasional Pengembalian Kredit Transportasi Lokal Retribusi pajak
Proporsi terhadap Penerimaan Total (%) Pegunungan Pendakian Tengger Semeru 15,77 36,52 15,60 18,29 37,89 33,33 20,58 3,16 2,25 0,62 0,57 6,95 7,63 0,39 0,46
Keterangan
Lokal Lokal Non Lokal Non Lokal Non Lokal Non Lokal Lokal Non Lokal
Dampak ekonomi langsung dari pengeluaran wisatawan dirasakan langsung oleh pemilik unit usaha. Dampak ekonomi ini berupa pendapatan bersih atau income yang diperoleh pemilik unit usaha di masing-masing lokasi wisata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang cukup besar dari proporsi pendapatan pemilik unit usaha di kedua lokasi wisata yang ada di kawasan TNBTS. Perbedaan yang paling terlihat adalah pada komponen pendapatan pemilik unit usaha dan pemeliharaan. Pemilik unit usaha yang ada di kawasan Pendakian Gunung Semeru memperoleh proporsi pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pemilik unit usaha yang ada di kawasan pegunungan Tengger. Perbedaan
57 besarnya pendapatan bersih yang diperoleh unit usaha di kedua lokasi dikarenakan adanya perbedaaan karakter dan keragaman unit usaha di lokasi tersebut. Dilihat dari jumlah dan keragaman unit usaha yang ada, kawasan rekreasi Bromo memiliki unit usaha yang lebih banyak dan beragam dari pada unit usaha yang ada di kawasan gunung Semeru. Unit usaha di kawasan pegunungan Tengger yang sebagian besar berupa homestay/penginapan dan hotel yang mengutamakan pelayanan dan service terhadap wisatawan sehingga memerlukan biaya pemeliharaan yang cukup tinggi yaitu sebesar 20,58% dari total penerimaan unit usaha. Unit usaha di kawasan pendakian Gunung Semeru sebagian besar hanyalah warung/kedai makan sederhana yang tidak memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi (3,16%). Oleh karena itu penerimaan unit usaha di Pegunungan Tengger harus dikurangi komponen pemeliharaan sehingga mengurangi pendapatan bersih pemilik unit usaha. Perbandingan kisaran pendapatan rata-rata yang diterima oleh unit usaha dapat dilihat pada Tabel 15. Secara umum jumlah pendapatan yang diterima di kedua lokasi wisata hampir sama kecuali untuk unit usaha hotel dan homestay/penginapan. Hal ini dikarenakan karena perbedaan kebutuhan dan sifat wisata di masing-masing lokasi. Wisata pendakian gunung semeru merupakan wisata di alam bebas sehingga penginapan ataupun homestay tidak terlalu berkembang, berbeda dengan wisata rekreasi bromo di kawasan Pegunungan Tengger. Namun dari unit usaha lainnya pendapatan unit usaha cenderung sama yang memperllihatkan bahwa wisatawan di kedua lokasi memiliki pola pengeluaran yang hampir sama dalam berwisata. Tabel 15 Perbandingan Pendapatan (Income) Rata-Rata Pemilik unit Usaha Wisata di Kawasan Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru TNBTS
Unit Usaha Hotel Homestay/Penginapan Warung Makan Penyewaan Jeep Toko Souvenir
Rata-rata Pendapatan Pemilik Unit Usaha (Rp/Bulan) Pegunungan Tengger Pendakian (n=17) Semeru (n=8) 20.750.000 13.166.667 1.500.000 3.200.000 3.760.000 4.000.000 4.500.000 3.250.000 2.800.000
Unit usaha yang ada di lokasi wisata mempunyai tenaga kerja dalam operasionalnya. Penerimaan yang diperoleh unit usaha dari pengeluaran wisatawan salah satunya dikeluarkan untuk gaji atau pendapatan tenaga kerjanya. Tidak semua unit usaha yang ada memiliki tenaga kerja karena sebagian besar unit usaha masih dikelola sendiri ataupun tenaga kerja masih tergolong keluarga atau saudara. Hanya hotel dan beberapa warung makan yang mempunyai tenaga kerja tetap yang sebagian besar berasal dari masyarakat sekitar. Proporsi upah tenaga kerja untuk unit usaha di kedua lokasi masing-masing sebesar 15,60% dan 18.29%. Secara umum, perbandingan besarnya pendapatan tenaga upah yang ada di pegunungan tengger dan gunung semeru tidak jauh berbeda. Namum jenis atau keragaman tenaga kerja di pegunungan tengger lebih beragam dibanding Gunung
58 Semeru. Perbandingan besarnya upah tenaga kerja di kedua lokasi wisata dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Perbandingan Rata-Rata Pendapatan Tenaga Kerja Lokal pada Unit Usaha Wisata di Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru TNBTS
Pekerjaan
Supir Jeep Pegawai Hotel Pemandu Kuda/Ojek Pegawai Warung Makan/ Penjual Makanan Pemandu Wisata/Guide
Rata-rata Pendapatan Tenaga Kerja Wisata (Rp/Bulan) Pegunungan Pendakian Tengger Semeru (n=26) (n=5) 1.879.167 1.750.000 1.966.667 1.666.667 1.244.000 1.295.833 4.375.000 -
Bagi para pemilik modal, tingginya jumlah kunjungan dan perputaran uang yang terjadi merupakan peluang untuk membuka unit usaha di kedua lokasi wisata. Hal ini terlihat dari banyaknya warga yang membangun homestay, penginapan, rumah makan dan kios lainnya di daerah sekitar lokasi wisata. Umumnya homestay/penginapan yang dibangun menyatu dengan tempat tinggal pemilik atau berada dekat dengan tempat tinggal pemilik dengan fasilitas standar. Masyarakat sekitar lokasi wisata yang merupakan masyarakat asli suku tengger mempunyai kebijakan untuk tidak menjual asset atau tanah yang mereka miliki kepada orang luar. Masyarakat mempertahankan adat tersebut sehingga tanah dan asset yang mereka miliki tidak jatuh kepada investor asing. Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan akan berdampak pada meningkatnya permintaan dalam pemenuhan akan barang dan jasa dari para wisatawan dalam bentuk bertambahnya unit usaha yang terkait kegiatan wisata. Pendirian unit usaha yang semakin banyak diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar. Dampak Ekonomi Tak Langsung (Indirect Impact) Adanya unit usaha di lokasi wisata membuka kesempatan kerja baru bagi penduduk lokal yang ada di sekitar lokasi. Walaupun unit usaha yang ada di TNBTS umumnya dikelola oleh pemiliknya secara langsung, namun pada waktuwaktu tertentu terutama saat musim liburan dan jumlah kunjungan sangat tinggi memmerlukan tenaga kerja tambahan. Tenaga kerja yang dibutuhkan tergantung pada jumlah wisatawan yang datang berkunjung. Umumnya setiap unit usaha memerlukan dua hingga tiga orang tenaga kerja tambahan saat jumlah kunjungan wisatawan tinggi. Unit usaha yang rutin memerlukan tenaga kerja tambahan adalah rumah makan dan homestay/penginapan dan juga hotel yang mendapat tenaga kerja tambahan melalui tenaga kerja harian. Supir jeep, ojek, pemandu kuda, dan penjual jajanan mengelola sendiri usahanya. Kesempatan kerja yang ada di lokasi wisata terutama di kawasan pegunungan Tengger cukup terbuka bagi banyarakat sekitar. Unit usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah hotel yang rata-rata mempunyai
59 tenaga kerja 25-30 orang. Pekerjaan lain yang membuka banyak kesempatan kerja bagi masyarakat adalah supir jeep. Sebagian besar jeep yang ada adalah milik pribadi dan hanya sedikit yang mmerupakan tempat penyewaan jeep yang memiliki lebih dari tiga buah jeep. Artinya unit usaha penyewaan jeep lebih banyak dikelola secara perorangan oleh penduduk. Sejauh ini kebutuhan sumberdaya manusia masih dapat dipenuhi oleh penduduk sekitar lokasi wisata. Sebagian besar tenaga kerja adalah penduduk dari desa-desa sekitar lokasi wisata, walaupun pada unit usaha hotel untuk pegawai tertentu yang memegang peranan dan tanggung jawab besar masih banyak terisi oleh pendatang. Tenaga kerja yang berasal dri penduduk setempat masih banyak mengisi posisi rendah seperti house keeping, waitress ataupun petugas front office dan recepcionist. Unit usaha lainnya tenaga kerja yang digunakan masih tergolong keluarga atau saudara jauh dengan sistem penerimaan bebas, artinya tidak memiliki standar dan persyaratan tertentu. Sebagian besar tenaga kerja adalah laki-laki dengan pendidikan terakhir SMP. Hal ini umum terjadi bahwa sumber daya manusia dengan kualifikasi tinggi dan menempati posisi strategis tidak dipegang oleh masyarakat lokal, sama halnya dengan kondisi tenaga kerja terkait wisata alam di Taman Nasional Komodo (Walpole and Goodwin 2000). Tenaga kerja yang bekerja di unit usaha adalah penerima dampak tidak langsung dari pengeluaran wisatawan yaitu berupa upah yang diterima dari unit usaha tempat mereka bekerja. Jumlah kesempatan kerja bagi masyarkat di sekitar kawasan Pegunungan Tengger lebih banyak dan beragam dibanding kesempatan yang ada di kawsan Pendakian Gunung Semeru. Hal ini disebabkan karena kawasan Pegunungan Tengger lebih menjadi tujuan utama wisatawan dalam mengunjungi kawasan TNBTS. Secara umum, tenaga kerja yang ada di kawasan wisata TNBTS merupakan pekerjaan sampingan kecuali untuk tenaga kerja yang ada di hotel, memiliki jam kerja yang relatif panjang dan tidak pasti yaitu antara 8-14 jam sehari dan beban pekerjaan lebih besar pada akhir pekan dan musim liburan. Upah tenaga kerja rata-rata per bulan mencapai Rp. 2.000.000;- . Dampak ekonomi tidak langsung (indirect effect) kegiatan wisata di TNBTS dapat dihitung dari berapa besar proporsi pengeluaran unit usaha utuk penyediaan sumber daya (tenaga kerja dan bahan baku) dan juga termasuk biaya pemeliharaan dan transportasi lokal terhadap penerimaan. Secara umum pengeluaran terbesar dari unit usaha yang ada di kedua lokasi adalah untuk pembelian input atau bahan baku yaitu 37,89% untuk kawasan pegunungan Tengger dan 33,33% untuk kawasan Pendakian Gunung Semeru. Proporsi untuk pembelian bahan baku di kawasan Pegunungan Tengger sedikit lebih tinggi dikarenakan adanya hotel yang juga menyediakan restoran di kawasan tersebut sehingga pembelian input atau bahan baku sedikit lebih beragam. Jika dilihat secara lebih spesifik, pembelian input untuk hotel jauh lebih tinggi yaitu mencapai 41,30% dari penerimaan total hotel. Selain dilihat dari proporsi pembelian bahan baku, dampak ekonomi tidak langsung dari kegiatan wisata juga dapat dilihat dari proporsi upah tenaga kerja terhadap penerimaan total unit usaha serta biaya lainnya yang memberikan penerimaan lanjutan bagi unit usaha penyedia barang/jasa yaitu proporsi dari biaya pemeliharaan dan transportasi lokal. Pendapatan rata-rata tenaga kerja yang diperoleh dari penerimaan total unit usaha cukup tinggi yaitu sekitar 15,60%
60 untuk kawasan Pegunungan Tengger dan 18,29% untuk kawasan Pendakian Gunung Semeru. Jika dilihat lebih lanjut, terdapat perbedaan cukup tinggi dari perbandingan proporsi upah tenaga lokal dengan pendapatan pemilik di kedua lokasi wisata. Di kawasan Pegunungan Tengger, proporsi upah tenaga kerja hampir sama dengan proporsi pendapatan pribadi pemilik unit usaha, sedangkan di kawasan Pendakian Gunung Semeru jauh lebih rendah (Tabel 14). Hal ini disebabkan karena unit usaha yang ada di kawasan Pendakian Gunung Semeru merupakan unit usaha skala kecil dan dikelola sendiri oleh pemiliknya dan tidak memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi dan juga tidak memerlukan banyak tenaga kerja sehingga sebagian besar penerimaan unit usaha menjadi pendapatan pribadi bagi pemilik unit usaha. Berdasarkan rata-rata pendapatan per bulan dapat dikatakan kondisi ekonomi tenaga kerja sudah cukup baik dan upah yang didapatkan sudah lebih dari pendapatan rumah tangga ratarata yaitu sebesar Rp. 1.182.625,- untuk Kabupaten Probolinggo dan sebesar Rp. 1.179.325 untuk Kabupaten Lumajang (Data Susenas 2011). Dampak tidak langsung selanjutnya dilihat dari proporsi biaya pemeliharaan dan transportasi yang dikeluarkan oleh unit usaha terhadap penerimaan total. Unit usaha pada kawasan Pegunungan Tengger mempunyai proporsi biaya pemeliharaan yang lebih tinggi yaitu berturut-turut 20,58% dan 6,95% dibandingkan dengan biaya pemeliharaan dan transportasi lokal pada unit usaha di Kawasan Pendakian Gunung Semeru yaitu 3,16% dan 7,63%. Berdasarkan komponen lokal dan non lokal maka direct spending wisatawan yang benar-benar dirasakan penduduk lokal atau masyarakat sekitar kawasan Pegunungan Tengger hanya sekitar 38,33%, tetapi cukup tinggi untuk kawasan Pendakian Gunung Semeru yaitu 62,44%. Pendapatan yang benar-benar dirasakan penduduk lokal ini berasal dari pendapatan bagi pemilik unit usaha, upah tenaga kerja lokal, dan transportasi lokal, yaitu untuk kawasan Pegunungan Tengger berturut-turut sebesar 15,77%, 15,60% dan 6,95%. Sedanngkan untuk kawasan pendakian Gunung Semru bertutur-turut sebesar 36,52%, 18,29% dan 7,63% . Selebihnya merupakan biaya penyediaan sumberdaya untuk aktivitas unit usaha yang tidak diterima oleh masyarakat lokal (leakage). Biaya ini terkait dengan pembelian input dan peralatan, pemeriharaan dan perbaharuan peralatan dari luar lokasi wisata (Probolinggo, Malang, Surabaya), pengembalian kredit serta pembayaran retribusi dan pajak. Dampak ekonomi tidak langsung yang diperlihatkan pada Tabel 14 menunjukkan bahwa dari keseluruhan aliran uang yang tercipta dari pengeluaran wisatawan, manfaat yang dirasakan oleh penduduk lokal yang tidak memiliki akses terhadap modal sudah cukup tinggi. Dengan demikian dari data tersebut dapat dikatakan bahwa kegiatan wisata alam TNBTS mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar kawasan walaupun belum terdistribusi secara merata. Selain itu nilai manfaat yang dirasakan oleh masyarakat masih bersifat fluktuatif dan sangat tergantung dengan jumlah kunjungan wisatawan. oleh karena itu menjaga kelestarian dan kealamian kawasan untuk mempertahankan kawasan TNBTS sebagai lokasi wisata yang tetap menarik minat wisatawan menjadi sangat penting.
61 Dampak Ekonomi Lanjutan (Induced Impact) Kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS tidak hanya memberikan dampak ekonomi langsung dan tidak langsung, tetapi juga menghasilkan dampak ikutan atau induced impact. Dampak lanjutan merupakan dampak lanjut dari pendapatan yang diperoleh tenaga kerja lokal dari unit usaha tempat mereka bekerja. Dampak ini berasal dari pendapatan yang menjadi pengeluaran seharihari tenaga kerja dan dibelanjakan di unit usaha yang ada di sekitar kawasan TNBTS. Jenis pengeluaran yang dikeluarkan tenaga kerja lokal antara lain digunakan untuk biaya kebutuhan rumah tangga, biaya listrik, retribusi dan pajak, serta biaya transportasi. Dampak lanjutan dari pengeluaran tenaga kerja ini akan diterima oleh unit usaha dan sebagian pendapatan yang diterima unit usaha digunakan untuk membeli bahan baku. Dampak lanjutan berupa pengeluaran tenaga kerja lokal yang kembali berputar di tingkat ekonomi lokal. Sebagian besar pendapatan yang mereka dapatkan, mereka belanjakan di unit-unit usaha di sekitar kawasasn TNBTS seperti, kios warung dan warung makan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari dan konsumsi. Secara tidak langsung unit usaha yang berada di sekitar kawasan TNBTS selain menerima pendapatan dari pengeluaran wisatawan yang datang, unit usaha inipun menerima pendapatan dari pengeluaran tenaga kerja. Rendahnya pendapatan yang diperoleh tenaga kerja lokal mengakibatkan pendapatan tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari dan tidak ada yang dapat ditabung atau sebagai simpanan. Dari pendapatan tersebut yang menjadi dampak ikutan atau induced adalah sebesar 86,77% untuk kawasan Pegunungan Tengger dan 99,59% untuk kawasan Pendakian Gunung Semeru. Tabel 17 menunjukkan proporsi rata-rata pengeluaran tenaga kerja lokal terhadap pendapatan tenaga kerja adalah untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga sehari-hari dan biaya transportasi. Setelah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangga pendapatan yang diperoleh tenaga kerja lokal didistribusikan untuk biaya retribusi dan lainnya. Tabel 17 Proporsi Rata-Rata Pengeluaran Tenaga Kerja Lokal terhadap Pendapatan di Kawasan Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru
Komponen Kebutuhan Rumah Tangga Pengembalian Kredit Transportasi Lokal Retribusi dan Pajak Lainnya
Proporsi Terhadap Penerimaan (%) Pegunungan Pendakian Tengger Semeru 81,27 94,66 10,04 5,50 4,93 0,60 0,41 2,60 -
Nilai Pengganda dari Pengeluaran Wisatawan Nilai multiplier atau pengganda ekonomi merupakan nilai yang menunjukan sejauh mana pengeluaran wisatawan akan menstimulasi pengeluaran lebih lanjut, sehingga pada akhirnya meningkatkan aktivitas ekonomi di tingkat
62 lokal. Untuk mengukur atau mengestimasi dampak pengganda (multiplier) dan kebocoran dengan tingkat akurasi yang tinggi sangat sulit dilakukan. Tingkat kesempurnaan dan kebakuan model multiplier masih dalam perdebatan. Ketidaksempurnaan data terkadang menjadi alasan utama rendahnya kredibilitas analisis multiplier. Terutama untuk mengetahui multiplier dalam skala yang kecil atau lokal (Mathiesen dan Wall 1982). Dampak ekonomi dari pengeluaran wisatawan yang terjadi di kawasan TNBTS dapat diukur dengan menggunakan nilai efek pengganda atau multiplier dari aliran uang yang terjadi. Berdasarkan META (2001) terdapat dua nilai pengganda yang digunakan dalam mmengukur dampak ekonomi kegiatan pariwisata di tingkat lokal, yaitu (1) Keynesian Local Income Multiplier yang menunjukkan seberapa besar pengeluaran wisatawan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan (2) Ratio Income Multiplier yang menunjukkan seberapa besar dampak langsung yang dirasakan dari pengeluaran wisatawan pada keseluruhan ekonomi lokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai Keynesian Multiplier di kawasan Pegunungan Tengger memiliki nilai lebih rendah dibandingkan nilai pengganda di kawasan Pendakian Gunung Semeru. Hal ini dikarenakan kebocoran ekonomi dari pengeluaran wisatawan yang terjadi di kawasan Pegununngan Tengger lebih besar dari pada kebocoran yang terjadi di Kawasan Pendakian Semeru. Kawasan Pegunungan Tengger mempunyai nilai Keynesian Local Income Multiplier yaitu sebesar 0,11 yang artinya bahwa peningkatan pengeluaran wisatawan sebesar 1 rupiah akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal sebesar 0,11 rupiah. Nilai Keynesian Local Income Multiplier di kawasan Pendakian Gunung Semeru sebesar 0,48, artinya peningkatan pengeluaran wisatawan di lokasi pendakian Gunung Semeru sebesar 1 rupiah akan berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat lokal sebesar 0,48 rupiah. Besar nilai multiplier dari kegiatan wisata dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Nilai Pengganda/Multiplier dari Aliran Uang Kegiatan Wisata Alam di Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru Kriteria Keynesian Local Income Multiplier Ratio Income Multiplier Tipe 1 Ratio Income Multiplier Tipe 2
Nilai Multiplier Pegunungan Pendakian Tengger Semeru 0,11 0,48 6,14 2,71 7,59 4,06
Kawasan Pegunungan Tengger mempunyai nilai Ratio Income Multiplier Tipe 1 sebesar 6,14. Artinya peningkatan pendapatan unit usaha sebesar 1 rupiah akan meningkatan total pendapatan masyarakat yang meliputi dampak langsung dan tak langsung (berupa pendapatan pemilik unit usaha dan tenaga kerja lokal) sebesar 6,14 rupiah. Nilai Ratio Income Multiplier Tipe 1 ini lebih besar dibanding nilai Ratio Income Multiplier Tipe 1 kawasan Pendakian Gunung Semeru. Nilai Ratio Income Multiplier Tipe 2 memperlihatkan bahwa di kawasan Pegunungan Tengger peningkatan pendapatan unit usaha sebesar 1 rupiah akan mampu berakibat pada peningkatan sebesar 7,59 rupiah pada total pendapatan
63 masyarakat yang meliputi dampak langsung, dampak tak langsung dan dampak ikutan (berupa pendapatan pemilik unit usaha, pendapatan tenaga kerja lokal dan pengeluarannya di tingkat lokal). Begitu pula dengan nilai Ratio Income Multiplier Tipe 2 yang terjadi di kawasan Pendakian Gunung Semeru. Multiplier Keynesian ini merupakan pengganda terbaik yang menggambarkan dampak keseluruhan dari peningkatan pengeluaran wisatawan pada perekonomian lokal (META 2001). Income multiplier secara umum mengukur tamnbahan pendapatan (gaji, upah, sewa, bunga dan profit) dalam perekonomian sebagai hasil dari peningkatan pengeluran wisatawan (Cooper et al. 1998). Kecilnya nilai Keynesian Income Multiplier ini disebabkan karena tingginya kebocoran ekonomi wilayah yang terjadi di lokasi wisata. Artinya pengeluaran atau belanja wisatawan sebagian besar masih terjadi di luar lokasi wisata sehingga belum memberikan dampak pada ekonomi lokal masyarakat setempat. Namun jika dilihat lebih spesifik pada Nilai Income Multiplier Tipe I dan Income Multiplier Tipe II, nilai yang dihasillkan relatif cukup tinggi. Hal ini berarti bahwa kegiatan wisata alam memberikan dampak (langsung, tidak langsung dan dampak lanjutan) yang cukup tinggi. Aliran uang dari pengeluaran atau belanja wisatawan dirasakan mampu menciptakan kegiatan ekonomi yang tinggi berupa penyediaan dan penyerapan tenaga kerja dan aliran uang tidak hanya dirasakan oleh pemilik unit usaha. Secara keseluruhan nilai Keynesian Income Multiplier di kawasan Pegunungan Tengger lebih rendah dibanding dengan nilai di Kawasan Pendakian Gunung Semeru. Ini artinya kebocoran ekonomi yang terjadi di kawasan Pegunungan Tengger lebih besar dibanding kebocoran ekonomi di kawsan Pendakian Gunung Semeru. Namun untuk Nilai Income Multiplier Tipe I dan Nilai Income Multiplier Tipe II, Kawasan Pegunungan Tengger mempunyai nilai yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan kegiatan ekonomi di kawasan Pegunungan Tengger lebih tinggi dengan fasilitas penyediaan jasa layanan untuk wisatawan lebih banyak dan menyerap tenaga kerja yang lebih besar. Secara umum kedua lokasi wisata mempunyai nilai pengganda yang berbeda. Perbedaan nilai ini terjadi karena disebabkan beberapa hal, yaitu : (1) jumlah kunjungan di Pegunungan tengger jauh lebih tinggi dengan rata-rata pengeluaran wisatawan yang tinggi pula, dengan demikian Kawasan Pegunungan Tengger mempunyai nilai ekonomi yang lebih besar (2) jumlah unit usaha yang ada di Kawasan Pegunungan Tengger lebih banyak dan beragam sehingga dampak yang dirasakan masyarakat berupa dampak langsung, tidak langsung dan ikutan lebih besar serta (3) unit usaha yang ada di Pegunungan Tengger mempekerjakan tenaga kerja lokal lebih banyak dan sebagai tenaga kerja tetap. Nilai pengganda dengan nilai lebih dari nol dan kurang dari satu (0 < x > 1), maka lokasi wisata tersebut masih memiliki dampak ekonomi yang rendah (Vanhove 2005). Dengan demikian dapat dikatakan kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS telah memberikan dampak ekonomi walaupun masih cukup rendah terhadap perekonomian masyarakat sekitarnya. Hal ini dikarenakan wisatawan yang datang ke lokasi ini lebih cenderung mengeluarkan pengeluarannya di luar obyek wisata. Dengan kata lain, proporsi leakagesnya (kebocoran/pengeluaran di luar lokasi wisata) lebih besar daripada proporsi pengeluarannya di lokasi wisata.
64 Hal ini tidak jauh berbeda dengan beberapa kawasan wisata alam lainnya. Kawasan Pulau Tidung Kepulauan Seribu memberi dampak ekonomi dengan nilai Keynesian Income multiplier sebesar 0,28 (Dritasto dan Anggraeni 2013), sedangkan dampak ekonomi kegiatan wisata bahari Kepulauan Seribu yang ada di dua pulau yaitu Pulau Untung Jawa dan Pulau Pramuka berturut-turut sebesar 1,85 dan 1,16 (Wijayanti 2009) begitu pula dengan dampak ekonomi pada kegiatan wisata alam Grojokan Sewu sebesar 0,3 (Nurfiana 2013). Adanya nilai pengganda yang terdapat di kedua lokasi wisata di kawasan TNBTS ini, walaupun masih relatif rendah namun tidak dapat dipandang sebelah mata. Sebagai suatu kawasan konservasi yang secara utama berfungsi untuk daerah perlindungan, kawasan TNBTS telah mampu memberikan manfaat lain bagi masyarakat sekitar dari sisi pemanfaatan kawasan untuk wisata alam. Oleh karena itu menjadi penting juga untuk membuat suatu pola atau tata cara berwisata yang bijaksana dan konservasionist sehingga sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata.
65
6 TINGKAT PERKEMBANGAN DESA-DESA SEKITAR KAWASAN DAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN
Hirarki Tingkat Perkembangan Desa Sekitar TNBTS Kegiatan ekonomi yang timbul dari kegiatan wisata alam di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) juga memberikan dampak terhadap perkembangan wilayah di sekitar kawasan. Kegiatan wisata ini akan menciptakan perkembangan di bidang jasa berupa penyediaan fasilitas dan layanan untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan, yang akhirnya akan meningkatkan hirarki atau tingkat pertumbuhan di suatu wilayah. Susunan hirarki perkembangan desa menggambarkan susunan urutan tingkat perkembangan desa-desa serta pusatpusat kegiatan berdasarkan kelengkapan fasilitas dan layanan yang disediakan. Tingkat perkembangan desa-desa di sekitar kawasan TNBTS ditentukan dengan metode skalogram dimodifikasi yang dicerminkan oleh nilai Indeks Perkembangan Wilayah (IPW). Analisis skalogram merupakan analisis yang digunakan untuk menentukan hierarki wilayah terhadap jenis dan jumlah sarana dan prasarana yang tersedia. Umumnya semakin semakin tinggi nilai IPW, semakin tinggi pula kapasitas pelayanan suatu desa dan tingkat perkembangannya. Jenis data yang digunakan dalam analisis ini meliputi data jumlah sarana pendidikan, sarana kesehatan, dan sarana publik lainnya. Masing-masing peubah tersebut dilakukan pembobotan dan standarisasi. Urutan tingkat hierarki adalah berdasarkan pengakumulatifan dari masing-masing desa/kelurahan. Urutan paling atas merupakan tingkat hierarki yang terbesar, demikian seterusnya hingga urutan hierarki terkecil. Hasil dari analisis skalogram ini dapat menggambarkan keadaan wilayah. Wilayah yang mempunyai nilai IPW paling besar dapat dikategorikan ke dalam wilayah dengan tingkat perkembangan maju. Hal ini dapat dicirikan oleh jumlah dan jenis sarana, prasarana, serta infrastruktur yang tersedia sudah memadai. Wilayah-wilayah yang mempunyai indeks perkembangan sedang-lambat atau wilayah terbelakang dicirikan dengan tingkat ketersediaan sarana dan prasarana yang sangat terbatas. Analisis skalogram dilakukan terhadap 72 desa yang berdekatan dan berbatasan langsung dengan kawasan TNBTS, yang termasuk dalam 17 kecamatan dari 4 kabupaten. Berdasarkan analisis skalogram yang dilakukan terhadap data Podes (2011) diketahui nilai standar deviasi (Stdev) adalah 7,74 dan rataan sebesar 14,64. Hasil yang diperoleh dari analisis skalogram yaitu Hierarki I mempunyai ID lebih dari 30,11, Hierarki II mempunyai ID antara 14,63-30,11 dan Hierarki III mempunyai nilai ID kurang dari 14,63. Selain itu juga diperoleh hasil bahwa nilai IPW paling tinggi untuk desa yang ada di sekitar kawasan TNBTS sebesar 53,50 dan terendah sebesar 5,71. Berdasarkan tingkat hirarki atau perkembangan, desa-desa di sekitar kawasan TNBTS yang masuk dalam Hierarki I, Hierarki II dan Hierarki III berturut-turut yaitu 5,5%, 33,3% dan 61,11%. Sebagian besar desa yang ada masih masuk dalam Hirarki III dan merupakan desa dengan perkembangan rendah. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa sesungguhnya desa di pinggiran
66 atau yang berbatasan dengan kawasan hutan pada umunya merupakan desa yang miskin dengan tingkat sarana dan prasarana yang minim. Selain itu jarak dan akses yang sulit serta tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah. Daerah dengan Hierarki III ditunjukkan oleh tingkat sarana dan prasarana yang tersedia di wilayah tersebut relatif sangat kurang dan jarak masing-masing wilayah terhadap pusat pemerintahan relatif lebih sulit. Wilayah yang termasuk dalam tingkat Hierarki II merupakan daerah atau wilayah dengan tingkat perkembangan sedang. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat sarana dan prasarana yang tersedia cukup memadai dan jarak ke pusat kota yang lebih dekat dibandingkan dengan wilayah dengan Hierarki III. Dari 72 desa yang merupakan desa penyangga kawasan TNBTS, desa yang masuk dalam Hierarki I yaitu Desa Pronojiwo, Ranupane dan Ngadisari dan Desa Gucialit. Desa-desa yang masuk dalam Hirarki I ini memiliki beberapa fasilitas penciri yang menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan dan memiliki Indeks Perkembangan Desa yang lebih dari pada desa yang lain. Desa Pronojiwo dan Desa Gucialit merupakan ibukota kecamatan dengan kegiatan ekonomi yang cukup tinggi. Hal ini ditandakan dengan banyaknya toko dan warung yang terdapat di desa tersebut. Kedua desa lainnya yaitu Desa Ranupane dan Desa Ngadisari memiliki faktor penciri di bidang penyediaan fasilitas dan layanan jasa dalam memenuhi kebutuhan wisatawan yang datang. Fasilitas yang disediakan berupa warung/kedai makan, serta hotel atau penginapan. Secara administrasi, Desa Ranupane masuk ke dalam Kabupaten Lumajang dan merupakan desa enclave yang berada di kaki Gunung Semeru. Desa ini juga merupakan permukiman terakhir yang ditemukan sebelum pendakian ke Gunung Semeru. Desa Ngadisari merupakan desa dengan fasilitas dan sarana umum yang sudah sangat baik. Desa Ngadisari merupakan desa terdekat dengan kawasan wisata Pegunungan Tengger dengan laut pasir dan Gunung Bromo. Banyak terdapat penginapan atau hotel di desa ini dan beberapa masyarakat bekerja pada bidang jasa dan wisata. Desa-desa di sekitar kawasan TNBTS memiliki pertumbuhan daerah yang beragam. Hal ini dapat dilihat dari perubahan nilai Indeks Perkembangan Desa (IPD) tiap desa dari tahun 2008-2011. Beberapa desa mengalami kenaikan nilai IPD dan beberapa desa lainnya mengalami penurunan. Kenaikan dan penurunan nilai IPD ini pada akhirnya berpengaruh pada tingkat hierarki perkembangan suatu desa. Desa-desa yang mengalami kenaikan nilai IPD secara umum disebabkan karena adanya peningkatan fasilitas atau unit pelayanan di desa tersebut atau juga mengalami pengurangan jumlah penduduk yang cukup signifikan. Begitu juga sebaliknya, turunnya nilai IPD suatu desa dipengaruhi penurunan jumlah unit fasilitas atau pelayanan di desa tersebut atau karena terjadinya kenaikan jumlah penduduk. Perubahan jumlah desa berdasarkan perkembangan desa dari tahun 2008 sampai dengan 2011 dapat dilihat pada Tabel 19.
67 Tabel 19 Perbandingan Jumlah Desa berdasarkan Tingkat Hirarki Perkembangan Wilayah Tahun 2008 dan tahun 2011 Tingkat Hirarki Hirarki 1 Hirarki 2 Hirarki 3 Jumlah
Tahun 2008 Jumlah % 3 4,17 26 36,11 43 59,72 72 100
Tahun 2011 Jumlah % 4 5,56 24 33,33 44 61,11 72 100
Kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS memberikan pengaruh atau dampak terhadap perkembangan wilayah desa di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari kondisi desa-desa dengan tingkat hirarki perkembangan tinggi memiliki unitunit pelayanan jasa bagi wisatawan yang datang berkunjung ke kawasan TNBTS yang tidak dimiliki oleh desa-desa lainnya. Salah satu desa yang mengalami peningkatan tingkat hirarki perkembangan wilayah adalah Desa Ranupane, yang merupakan salah satu desa yang mengalami peningkatan hirarki perkembangan wilayah, yaitu dari Hirarki III menjadi Hirarki I (Tabel 20). Jumlah pengunjung atau wisatawan yang meningkat setiap tahunnya membawa dampak pada bertambahnya peluang usaha bagi masyarakat, berupa warung makan atau kedai. Tabel 20 Tingkat Hirarki Perkembangan Wilayah Desa Sekitar TNBTS IPD Kecamatan Sukapura
Sumber
Lumbang Pronojiwo
Desa Ngadisari Sapikerep Wonokerto Ngadirejo Ngadas Jetak Wonotoro Ledokombo Pandansari Wonokerso Sumber Cepoko Sapih Sidomulyo Pronojiwo Sumberurip Oro Oro Ombo Supiturang
Tahun 2008 35,75 12,83 19,92 11,31 10,80 23,68 20,28 9,17 12,86 9,63 24,03 11,26 8,25 9,64 53,35 7,53 6,01 9,75
Tahun 2011 42,36 10,60 14,67 10,50 12,07 23,45 17,43 9,78 15,35 8,61 17,17 11,08 11,65 8,49 53,50 13,44 5,71 8,79
Tingkat Hirarki Tahun Tahun 2008 2011 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3
68 Tabel 20 (Lanjutan) Kecamatan Candipuro
Pasrujambe Senduro
Gucialit
Tutur
Puspo Tosari
Lumbang Tirto Yudo Ampelgading
Poncokusumo
Desa Sumberwuluh Sumbermujur Penanggal Pasrujambe Jambekumbu Burno Kandangtepus Kandangan Bedayutalang Wonocepokoayu Argosari Ranupane Pakel Kenongo Gucialit Kertowono Sombo Blarang Kayu Kebek Ngadirejo Andono Sari Keduwung Pusung Malang Mororejo Ngadiwono Podokoyo Wonokitri Sedaeng Wonorejo Tamansatriyan Sidorenggo Argoyuwono Mulyoasri Tamansari Sumberejo Pandansari Poncokusumo Wringinanom Gubukklakah Ngadas
IPD Tahun Tahun 2008 2011 8,81 9,22 9,57 9,30 20,77 21,54 15,24 14,69 10,87 12,54 18,23 13,80 15,72 14,67 11,75 9,98 16,30 18,04 6,88 8,90 6,14 7,85 12,76 32,57 12,90 10,41 18,10 14,92 30,71 32,42 9,98 8,18 12,07 20,96 8,44 9,04 8,24 15,04 10,09 7,13 25,64 12,26 7,85 11,41 5,41 11,27 11,78 20,47 14,75 11,09 11,32 11,59 14,03 9,66 7,93 5,79 13,56 16,95 6,59 7,03 8,10 9,75 9,20 14,12 12,13 11,15 8,98 18,30 20,63 19,88 14,93 17,19 21,19 11,58 13,52 22,66 22,02 19,16 18,55 16,12
Tingkat Hirarki Tahun Tahun 2008 2011 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 1 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 1 Hirarki 1 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2
69 Tabel 20 (Lanjutan) IPD Kecamatan Wajak
Tumpang
Jabung
Desa Sumberputih Wonoayu Bambang Patokpicis Benjor Duwet Duwet Krajan Ngadirejo Taji Pandansari Lor Sukopuro Gading Kembar Argosari Kemiri
Tahun 2008 16,51 15,31 9,57 15,74 16,59 16,91 12,10 11,24 20,52 13,89 14,85 16,38 13,81 16,52
Tahun 2011 14,21 21,94 9,59 13,49 15,77 13,25 11,65 12,80 14,73 15,73 11,63 11,71 12,06 12,20
Tingkat Hirarki Tahun Tahun 2008 2011 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 3 Hirarki 2 Hirarki 3
Sumber: Podes (2011) Berdasarkan hasil dari analisis skalogram yang dilakukan pada desa-desa sekitar kawasan TNBTS, tingkat perkembangan desa sekitar kawasan TNBTS dikelompokkan ke dalam tiga hierarki wilayah, yaitu: 1. Hierarki I, merupakan wilayah desa dengan tingkat perkembangan tinggi. Wilayah ini dicirikan oleh indeks perkembangan wilayah yang paling tinggi dan ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang cukup memadai, terutama sarana pendidikan (bangunan sekolah SD, SMP, SLTP, SLTA), sarana kesehatan, sarana perekonomian dan sarana publik lainnya. Hanya terdapat empat desa atau 5,55% dari keseluruhan desa yang berbatasan dengan kawasan TNBTS. Desa-desa yang masuk dalam hierarki I yaitu Desa Pronojiwo, Gucialit, Ranupane dan Ngadisari dengan nilai IPW berturut-turut adalah 53,35, 32,42, 32,57 dan 42,36. Desa-desa yang termasuk dalam Hierarki I umumnya memiliki ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan yang lebih tinggi, lebih lengkap dan lebih memadai dari pada desa dengan hierarki yang lebih rendah. Keempat desa tersebut juga memiliki keunggulan tertentu sehingga infrastruktur dan pusat pelayanan banyak terpusat di wilayahnya. Desa Ranupane dan Ngadisari merupakan desa yang maju karena adanya aktivitas atau kegiatan wisata alam yang ada di kawasan TNBTS sehingga dikedua desa tersebut banyak tersedia fasilitas pelayanan dan jasa. 2. Hierarki II, termasuk wilayah dengan tingkat perkembangan sedang. Terdapat 24 desa atau sekitar 33,33% dari keseluruhan desa yang berbatasan dengan kawasan. Pada hierarki II ditunjukkan oleh tingkat sarana dan prasarana yang tersedia di wilayah tersebutlebih sedikit dari hierarki I dengan jarak masingmasing wilayah terhadap pusat pelayanan yang lebih jauh. 3. Hierarki III termasuk wilayah dengan tingkat perkembangan rendah. Terdapat 44 desa atau sekitar 61,11% dari keseluruhan desa yang berbatasan dengan
70 kawasan. Pada Hierarki III sarana dan prasarana yang ada sangat minim dengan jarak yang sangat jauh dari pusat pelayanan sehingga sulit untuk mengakses ke pusat-pusat pelayanan yang ada. wilayah yang masuk dalam Hierarki III mempunyai kehidupan yang relatif kurang maju dibandingkan dengan wilayah yang masuk dalam Hierarki I dan II. Dilihat dari administrasi wilayah, Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang memilliki desa yang berbatasan dengan kawasan TNBTS lebih banyak dibanding dua kabupaten lainnya. Desa dengan Hirarki III juga secara umum banyak terdapat di Kabupaten Lumajang (Tabel 21). Tabel 21 Pusat Perkembangan Desa Sekitar Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru berdasarkan Kecamatan Kabupaten Kabupaten Lumajang
Kabupaten Malang
Kabupaten Pasuruan
Kabupaten Probolinggo
Kecamatan
Tingkat Hirarki Hirarki Hirarki Hirarki 1 2 3
Jumlah
Candipuro Gucialit Pasrujambe Pronojiwo Senduro Ampelgading Jabung Poncokusumo Tirto Yudo Tumpang Wajak
1 1 1 -
1 2 1 2 1 2 5 1 1
2 2 1 4 4 3 5 1 1 2 3
3 5 2 5 7 4 7 6 1 3 4
Lumbang Puspo Tosari Tutur
-
1 1 1
2 4 3
1 2 5 4
Sukapura Sumber Lumbang Jumlah
1 4
3 2 24
3 3 1 44
7 5 1 72
Sumber: Podes 2011 Dilihat dari sebaran tingkat Hirarki Perkembangan Desa di sekitar kawasan TNBTS dapat dikatakan bahwa kegiatan wisata alam di kawasan ini telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan di daerah sekitarnya. Desa-desa yanhg terletak berdekatan dan menjadi akses utama menuju lokasi wisata merupakan desa dengan Hirarki I dengan unit fasilitas pelayanan jasa yang tinggi. Unit fasilitas pelayanan jasa bagi wisatawan berupa hotel, penginapan dan rumah
71 makan tidak terdapat di desa-desa yang terletak cukup jauh dari lokasi wisata sehingga desa-desa tersebut tidak menjadi pusat pertumbuhan. Desa-desa di Kabupaten Lumajang juga merupakan desa yang terletak cukup jauh dan akses yang sulit dari lokasi wisata baik Kawasan Pegunungan Tengger dan Kawasan Pendakian Gunung Semeru sehingga mendapatkan dampak dan pengaruh dari kegiatan wisata alam relatif rendah. Sebaran desa berdasarkan hirarki tingkat perkembangan desa dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Peta Hirarki Perkembangan Desa Sekitar Kawasan TNBTS Akses atau rute menuju lokasi wisata di TNBTS dapat dicapai melalui 4 jalur, yaitu melalui Desa Wonokitri (Kabupaten Pasuruan), Desa Ngadisari (Kabupaten Probolinggo), dan Desa Ranupani yang dapat dicapai melalui Tumpang (Kabupaten Malang) atau Senduro (Kabupaten Lumajang). Jalur yang paling strategis dan paling mudah ditempuh adalah melalui Desa Ngadisari untuk kekawasan Pegunungan Tengger dan Desa Ranupane melalui Kecamatan Tumpang untuk menuju kawasan Pendakian Gunung Semeru. Jalur ini lebih mudah dilalui dengan kondisi jalan yang relatif baik dan sarana transportasi yang mudah didapat sehingga sebagian besar wisatawan yang datang memilih jalur ini. Untuk meningkatkan dampak kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS bagi desa-desa di sekitar kawasan dapat dilakukan dengan membuka atau memperbaiki akses menuju kawasan yanng sudah ada sehingga pengunjung memiliki banyak pilihan jalur atau rute menuju lokasi wisata. Dengan demikian wisatawan yang akan berkunjung melalui jalur tersebut akan mampu menciptakan transaksi ekonomi melalui belanja wisatwan dan mendorong tumbuhnya unit-unit penyediaan barang dan jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan para wisatawan.
72 Perubahan Penutupan Lahan dalam Kawasan TNBTS Penutupan Lahan dalam Kawasan TNBTS Bentuk penggunaan lahan di suatu wilayah terkait dengan aktivitas pembangunan yang dilakukan oleh penduduk di daerah tersebut, atau juga dikarenakan tekanan dari jumlah penduduk yang semakin meningkat. Lahan merupakan sumber daya alam utama yang bersifat mudah berubah peruntukannya (mobile factor). Dengan demikian perubahan penggunaan lahan menjadi sangat dinamis dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan aktivitas pembangunan yang dilakukan masyarakat. Berdasarkan kondisi tersebut, maka perubahan penggunaan lahan yang dilakukan di suatu wilayah akan saling berbeda tergantung pada kondisi dan kebijakan pembangunan wilayah tersebut. Secara umum penutupan lahan di kawasan TNBTS terdiri dari hutan primer dan hutan sekunder, serta sedikit lahan terbuka dan beberapa bagian berupa hutan tanaman dan lahan pertanian (Tabel 22). Lahan terbuka yang ada dalam kawasan ini berupa lautan pasir Tengger yang masuk dalam kompleks Pegunungan Tengger dan menjadi daerah wisata alam yang terkenal. Lahan pertanian yang ada merupakan lahan pertanian milik penduduk yang terletak di tengah-tengah kawasan dan berstatus enclave, yaitu wilayah yang ada di tengah kawasan konservasi tetapi tidak berstatus sebagai kawasan konservasi. Terdapat dua desa enclave dari kawasan TNBTS, yaitu Desa Ngadas dan Desa Ranupane. Tabel 22 Tipe Penutupan Lahan di Kawasan TNBTS Tipe Penutupan Lahan Hutan Primer Hutan Sekunder Hutan Tanaman Industri Semak Belukar Tanah Terbuka Savanna Danau Pertanian Lahan Kering Luas Total Sumber: Badan Planologi (2011)
Luas (Ha) 16.404,16 24.219,88 1.842,67 1.337,17 4.159,66 1.233,65 15,07 1.157,05 50.369,30
% 32,57 48,08 3,66 2,65 8,26 2,45 0,03 2,30 100,00
Sebagian besar masyarakat yang ada di sekitar kawasan TNBTS adalah petani. Seiring bertambahnya jumlah penduduk maka kebutuhan akan lahan semakin meningkat. Keadaan demikian bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya perubahan penutupan lahan di kawasan TNBTS. Secara umum, sebaran penutupan lahan di kawasan TNBTS dapat dilihat pada Gambar 11.
73
Gambar 11 Sebaran Tipe Penutupan Lahan di Kawasan Taman Nasional Bromodi Tengger Semeru Tahun 2011 Perubahan Penutupan Lahan Kawasan TNBTS Perubahan penggunaan lahan merupakan semua bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup baik materiil maupun spiritual (Arsyad 2006). Perubahan tersebut akan terus berlangsung sejalan dengan meningkatnya jumlah dan aktifitas penduduk dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya, yang pada akhirnya berdampak positif maupun negatif akibat perubahan penggunaan lahan tersebut. Perubahan penggunaan lahan dari hutan ke non-hutan misalnya, dapat mengakibatkan menurunnya daya kemampuan hutan untuk menjalankan fungsi ekologisnya. Hal ini dapat menimbulkan dampak pada lingkungan yang serius seperti perubahan iklim, berkurangnya keanekaragaman hayati, dan ketersediaan sumber daya air, serta terjadinya erosi tanah. Perubahan penggunaan lahan pada akhirnya akan berpengaruh pada perubahan penutupan lahan di kawasan tersebut. Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi deforestasi sangat beragam. Beberapa penyebab deforestasi antara lain akibat pengembalaan, pertanian, penebangan hutan, pertambangan dan lain-lain. Pertambahan jumlah penduduk serta berkembangnya kegiatan perekonomian menyebabkan permintaan terhadap lahan semakin tinggi untuk berbagai keperluan seperti pertanian, perkebunan, pemukim-an, industri, dan sebagainya (Antoko et al. 2008). Perubahan hutan Negara pada periode 1990-2000 dipengaruhi oleh infrastruktur, subsidi, kesempatan kerja dan tekanan penduduk (Vanclay 2005). Secara ekonomi, masyarakat yang ingin mengkonversi hutan ke penggunaan lain akan mempertimbangkan manfaat bersih yang akan diterima relatif terhadap hutan, dimana keputusan tersebut akan dipengaruhi oleh harga input dan output, termasuk potensi biaya yang harus dikeluarkan (Angelsen et al. 1999). Di samping itu, tingkat upah dan resiko dalam pertanian akan menentukan keputusan
74 tersebut. Menurut Bergeron dan Pender (1999) dalam Dwiprabowo et al. (2012) faktor penentu mikro dari perubahan penggunaan lahan adalah menggunakan faktor masyarakat, rumah tangga dan plot historis. Di samping itu, pertanian ekstensif juga berpengaruh dalam perubahan penutupan lahan. Kebakaran hutan juga merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan perubahan penutupan lahan. Kebakaran hutan dapat disebabkan oleh kegiatan manusia yang disengaja, misalnya perladangan dan/atau perluasan kebun. Namun ada juga perubahan penutupan lahan yang diakibatkan oleh kondisi alami. Menurut Paul (1998), degradasi hutan dan deforestasi dapat dipengaruhi oleh konversi yang direncanakan dan yang tidak direncanakan. Konversi hutan yang tidak direncanakan, sepenuhnya disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, tapi konversi hutan yang direncanakan umumnya disebabkan oleh kebijakan pemerintah. Secara umum perubahan penutupan lahan yang terjadi di kawasan TNBTS relatif cukup besar (Tabel 23) yaitu sekitar 39,04% dari total luas kawasan. Perubahan penggunaan lahan ini sebagian besar terjadi pada kawasan hutan primer yang mengalami degradasi menjadi hutan sekunder dan pertanian lahan kering. Perubahan kawasan ini terjadi karena perambahan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar. Perambahan terjadi di bekas lahan Perusahaan Umum (Perum) Perhutani yang dahulu merupakan hutan produksi, yang kemudian dialihkan menjadi kawasan konservasi. Hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani biasanya diperkenankan untuk dikelola masyarakat dalam bentuk penanaman lahan di bawah tegakan, sehingga sampai saat ini hal tersebut menjadi pola fikir masyarakat yang sulit dirubah. Untuk kegiatan penyadartahuan kepada masyarakat untuk menunjukkan bahwa sekarang lahan tersebut tidak boleh dikelola lagi karena telah menjadi kawasan konservasi, merupakan hal yang tidak mudah sehingga sampai saat ini perambahan di sekitar wilayah tersebut masih terjadi. Sebagian besar penggunaan lahan berubah menjadi hutan sekunder, lahan pertanian dan hutan tanaman. Tabel 23 Perubahan Penutupan Lahan Kawasan TNBTS Tipe Penggunaan Lahan
Danau
Danau
Hutan Tanaman Industri
Hutan Primer
Hutan Sekunder
15,07
-
Hutan Tanaman Industri
-
1.842,67
-
Hutan Primer
-
-
16.404,16
Hutan Sekunder
-
-
-
Pertanian Lahan Kering
-
-
Savanna
-
-
Semak Belukar
-
Tanah Terbuka
15,07
Luas Total
-
Pertanian Lahan Kering -
Savanna
Semak Belukar
Tanah Terbuka
-
-
-
-
-
-
-
-
-
19.629,56
34,32
-
-
-
4.590,32
-
-
-
-
-
-
1.122,73
-
-
-
-
-
-
1.233,65
-
-
-
-
-
-
-
1.337,17
-
-
-
-
-
-
-
4.159,66
1.842,67
16.404,16
24.219,88
1.157,05
1.233,65
1.337,17
4.15..66
Sumber Data: Badan Planologi (2011) Dilihat secara spasial dalam kurun waktu antara tahun 2000 sampai 2011, perubahan penutupan lahan yang terjadi di kawasan TNBTS terjadi dengan luasan cukup luas dan tersebar merata di bagian selatan (Gambar 12). Perubahan penutupan lahan sebagian besar terdapat di sekitaran desa yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Lumajang. Selain itu, tingkat perubahan
75 penutupan lahan terbesar berada di sekitar desa dengan wilayah perkembangan desa yang rendah atau masuk dalam tingkat Hirarki III.
Gambar 12 Perubahan Penutupan Lahan Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Tahun 2000-2011 Salah satu cara untuk menjaga keberlangsungan kelestarian kawasan TNBTS adalah melalui kegiatan ekowisata ataupun kegiatan wisata alam dengan pemanfaatan sumber daya alam lainnya yang terdapat di kawasan TNBTS secara terbatas. Adanya kegiatan wisata akan mampu membantu masyarakat sekitar meningkatkan pendapatannya melalui penyedian lapangan perkerjaan. Dampak wisata alam ataupun tingkat perkembangan wilayah yang tinggi masih belum dirasakan secara merata di seluruh desa yang berbatasan dengan kawasan. Desadesa sekitar kawasan TNBTS yang berada di wilayah Kabupaten Lumajang merupakan desa yang memperoleh atau merasakan dampak ekonomi dari kegiatan wisata alam paling kecil. Salah satu penyebab kecilnya dampak ekonomi yang dirasakan oleh desa di sekitar kawasan yang ada di Kabupaten Lumajang adalah karena kurangnya akses atau jauhnya letak desa dari lokasi wisata alam yang ada. Dengan kata lain, desa-desa tersebut tidak bersentuhan langsung dengan kegiatan wisata alam yang ada.
76
7 STRATEGI PENGEMBANGAN WISATA ALAM TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU
Untuk melihat alternatif pengembangan wisata alam di TNBTS dibuat berdasarkan isu strategis yang terdiri atas tujuan dan tiga level, yaitu (1) tujuan; (2) level 1 adalah pihak yang paling berperan; (3) level 2 adalah aspek dan (4) level 3 adalah alternatif pengembangan. Susunan atau struktur hierarki dari alternatif pengembangan wisata alam di kawasan TNBTS dan nilai scoring penilaian analisis AHP yang diperoleh seperti terdapat pada Gambar 13.
Gambar 13 Struktur Hierarki Alternatif Pengembangan Wisata Alam di TNBTS Berdasarkan analisis pilihan para pihak tersebut terhadap alternatif pengembangan wisata alam di kawasan TNBTS diperoleh hasil bahwa menurut responden pihak yang seharusnya paling berperan dalam pengelolaan dan pengembangan wisata alam di TNBTS adalah Pemerintah Pusat yang dalam hal ini diwakilkan pada Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BTNBTS) (Gambar 14) dan untuk analisis terhadap ketiga aspek keberlanjutan pembangunan pariwisata alam menunjukkan bahwa aspek ekologi menjadi aspek yang paling menjadi prioritas dibandingkan aspek ekonomi dan sosial budaya (Gambar 15). Tingkat inkonsistensi total adalah sebesar 0 (nol) yang berarti bahwa jawaban yang diberikan oleh responden konsisten sehingga hasil analisis dapat diterima.
77
Gambar 14 Prioritas Pihak yang Berperan dalam Pengembangan Wisata Alam
Gambar 15 Kriteria Aspek Prioritas dalam Pengembangan Wisata Alam TNBTS Secara umum hasil analisis secara keseluruhan terhadap pilihan alternative pegnembangan wisata alam TNBTS menurut aspek ekologi, aspek ekonomi dan aspek sosial Budaya adalah sebagaimana Gambar 16. Berdasarkan analisis tersebut, maka terdapat empat prioritas dalam pengembangan wisata alam di kawasan TNBTS, yaitu: 1. Pengendalian kerusakan ekosistem kawasan TNBTS dengan nilai bobot (0,146) 2. Penanggulangan sampah limbah dari kegiatan wisata yang ada dengan nilai bobot (0,111) 3. Pelestarian adat dan budaya masyarkat sekitar kawasan dengan nilai bobot(0,096) 4. Pengembangan Ekonomi Masyarakat sekitar kawasan dengan nilai bobot (0,092)
Gambar 16 Prioritas Kriteria dan Alternatif PengembanganWisata Alam TNBTS
78 Secara umum visi yang tercantum dakam pembangunan kehutanan di Indonesia yang berada dibawah wewenang Kementarian Kehuutanan adalah “Hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan”. Hal ini dimaknai dengan pembangunan sektor kehutanan yang lestari dan berbasis masyarakat sekitar kawasan. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Salah satu wujud implementasinya adalah melalui perencanaan pembangunan kehutanan. Salah satu upaya mewujudkan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan tercantum dalam delapan kebijakan prioritas pembangunan sektor kehutanan yang termuat dalam Renstra Kementerian Kehutanan periode tahun 2010-2014, yaitu pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang diantaranya dilakukan dengan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam di kawasan konservasi. Besarnya nilai manfaat jasa lingkungan dan wisata alam terukur dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan pendapatan masyarakat dari kegiatan tersebut. Kegiatan Pengembangan Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Potensi ini bertujuan untuk meningkatkan „kemandirian‟ pengelolaan kawasan konservasi, terwujudnya kelestarian keanekaragaman hayati, dan hak-hak negara atas kawasan dan hasil hutan, serta meningkatnya penerimaan negara dan masyarakat dari kegiatan konservasi sumberdaya alam. Dampak positif (outcomes) yang diharapkan adalah agar keanekaragaman hayati dan ekosistemnya berperan nyata sebagai penyangga ketahanan ekologis dan penggerak ekonomi riil serta pengungkit martabat bangsa dalam pergaulan global. Pungutan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNPB) terutama melalui karcis masuk, masih menjadi indikator utama setiap tahun terhadap keberhasilan pengusahaan pariwisata alam di kawasan konservasi di Indonesia. Data Statistik Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung Dirjen PHKA Kementerian Tahun 2012 melaporkan terjadi kenaikan jumlah yang cukup tinggi dalam penerimaan PNBP pada tahun 2008 sampai dengan 2011 namun pada tahun 2012 PNBP yang diterima menurun. Penerimaan negara dari kegiatan wisata alam di kawasan konservasi mengalami kenaikan setiap tahunnya (Gambar 17). Akan tetapi, besarnya penerimaan PNBP ini bukan merupakan gambaran mengenai peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar yang diperoleh dari kegiatan wisata alam di kawasan konservasi.
79
Gambar 17 Realisasi Penerimaan PNBP Kementerian Kehutanan Upaya mengkonservasi lingkungan dalam suatu ekosistem hendaknya dipertimbangkan sesuai dengan baku mutunya. Pengelolaan hutan telah mengalami perkembangan sejak manusia mengenal manfaat sumberdaya alam. Paradigma pengelolaan sumberdaya alam pada dasarnya ada empat yaitu kepentingan ekonomi, perlindungan, pelestarian unsur hayati dan ekosistem (Pearce 1990). Saat ini pengelolaan sumber daya hutan telah melangkah pada paradigma ketiga dan ke empat yaitu pengelolaaan yang mempertimbangkan kelestarian komponen hayati dan fungsi ekosistemnya. Paradigma ke empat ini mendasarkan pada anggapan bahwa pada suatu ekosistem yang baik akan dapat mempertahankan dan melestarikan mahkluk hidup di dalamnya. Pelaksanaan konservasi termasuk dalam pengelolaan wisata alam sesungguhnya dilakukan dengan pendekatan ekologi. Menurut Shepherd (2004), pendekatan ini yang dikenal dengan dua belas prinsip yang merupakan penjabaran dari Deklarasi Reykjavik tahun 2001. Deklarasi yang memandatkan FAO Perserikatan Bangsa-bangsa untuk memberikan pertimbangaan ekologis ini selanjutnya oleh IUCN, diadopsi diterapkan dalam pelaksanaan konservasi menjadi sebagai berikut: 1) Sasaran dari pengelolaan sumber daya air, tanah dan penghidupan adalah pilihan dari masyarakat. 2) Pengelolaan harus terdesentralisasi pada tingkat yang terendah. 3) Pengelolaan harus mempertimbangkan dampak setiap aktivitas terhadap ekosistem lainnya. 4) Dengan mempertimbangkan dampak positif dari pengelolaan tersebut, dibutuhkan pemahaman dan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem dalam konteks ekonomi. Pengelolaan ekosistem tersebut antara lain - Mengurangi pengaruh pasar yang berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati - Mempromosikan konservasi sumber daya dan pemanfaatan yang lestari dengan pemberian insentif - Mempertimbangkan komponen biaya dan manfaat bagi ekosistem. 5) Konservasi fungsi dan struktur ekosistem dalam rangka menjaga manfaat ekosistem, di mana yang dikonservasi merupakan lokasi prioritas. 6) Pengelolaan ekosistem harus mempertimbangkan daya dukung.
80 7) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan komponen spasial dan temporal. 8) Pengelolaan ekosistem harus mengacu pada pengelolaan jangka panjang. 9) Pengelola harus adaptif terhadap perubahan. 10) Pendekatan ekosistem harus seimbang antara konservasi dan pemanfaatan. 11) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan beberapa informasi ilmiah, adat istiadat, inovasi dan pengalaman. 12) Pendekatan ekosistem harus melibatkan para pihak dan lintas ilmu. Kebutuhan untuk pengembangan wisata alam di kawasan konservasi perlu direncanakan dengan memperhatikan keterbatasan daya dukung areal wisata alam di satu sisi dan tingginya kepentingan ekonomi di sisi lain. Eksploitasi berlebihan dapat berdampak pada menurunnya respon kepuasan berwisata dan menurunnya kelestarian ekosistem kawasan konservasi. Upaya untuk mewujudkan pembangunan pariwisata alam berkelanjutan di kawasan konservasi akan cenderung bergerak ke aspek ekonomi dibandingkan ke aspek ekologi. Kegiatan ekowisata mendorong masyarakat mendukung dan mengembangkan kegiatan konservasi. Untuk itu, pengembangan ekowisata dapat memberikan dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan ekowisata. Pola ekowisata berbasis masyarakat adalah pola pengembangan ekowisata yang mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan usaha ekowisata dan segala keuntungan yang diperolehnnya. Oleh karena itu, ekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat dan mengurangi kemiskinan. Dengan adanya pola ekowisata berbasis masyarakat bukan berarti bahwa masyarakat akan menjalankan usaha ekowisata sendiri. Tataran implementasi ekowisata perlu dipandang sebagai bagian dari perencanaan pembangunan terpadu yang dilakukan di suatu daerah. Untuk itu pelibatan para pihak terkait mulai dari masyarakat, pemerintah, dunia usaha dan organisasi non pemerintah diharapkan membangun suatu jaringan dan mampu menjalankan suatu kemitraan yang baik. Namun pada kenyataannya, kurang kesiapan pemerintah daerah dalam mengembangkan sumber daya yang ada di daerah, menyebabkan ekowisata berbasis masyarakat kurang berkembang secara optimal. Hal tersebut disebabkan karena masih minimnya pengetahuan serta kemampuan aparatur pemda dalam perencanaan pengembangan ekowisata berbasis masyarakat dan tentunya kurangnya dukungan pendanaan untuk pembangunan dan pengembangan kawasan ekowisata di daerah. Oleh karena itu penting kiranya pemerintah dalam hal ini difasilitasi oleh Kementerian Dalam Negeri , Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah untuk mendorong daerah agar termotivasi dalam mengembangkan potensi ekowisata melalui upaya kegiatan Tugas Pembantuan Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Berbasis Masyarakat. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan dinilai merupakan pihak yang memiliki peranan paling penting dalam upaya pengembangan wisata alam di TNBTS. Hal ini memungkinkan bila dilihat dari status kawasan dan fungsi kawasan sebagai wilayah fungsional. Namun demikian, untuk mencapai
81 tujuan utama yaitu untuk pelestarian dan kesejahteraan masyarakat, pemerintah pusat harus dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat terutama untuk pengembangan kawasan di sekitar TNBTS. Pilihan prioritas alternatif pengembanngan wisata alam Taman Nasional Bromo tengger Semeru (TNBTS) adalah lebih mengutamakan pertimbangan aspek ekologi. Para pemangku kepentingan memandang aspek Ekologi lebih penting daripada aspek ekonomi dan aspek sosial budaya. Menurut Buckley (2010), di negara-negera berkembang, pariwisata komersial membentuk proporsi kecil kunjungan rekreasi ke kawasan konservasi dan tur operator skala kecil mengelola secara luas kepada pengunjung independen. Namun tekanan ke areal wisata dengan jumlah pengunjung yang semakin besar akan mempersulit kehendak politik untuk konservasi. Menurut Juutinen (2011), peningkatan jumlah wisatawan akan meningkatkan kepadatan pengunjung, gangguan, sampah dan erosi alam serta menurunkan kesan alam bebas. Sebagai pilihan prioritas, maka aspek ekologi akan menjadi tujuan utama dalam pengembangan wisata alam di TNBTS Sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang harus mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan ekologi, maka kedua aspek yang lain pun harus turut bergerak simultan untuk saling melengkapi.
Pengembangan Wisata Alam Berdasarkan Aspek Ekologi Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai lingkungan telah memberikan implikasi munculnya berbagai tuntutan di semua sektor pembangunan. Tuntutan-tuntutan tersebut telah dan akan mendorong tumbuhnya usaha-usaha baru, cara cara pendekatan baru dalam berbagai kegiatan baik bisnis pariwisata secara langsung yang dilakukan dunia usaha pariwisata dan usahausaha masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan mereka. Kondisi tersebut makin meyakinkan bahwa lingkungan bukan lagi beban, tetapi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan usaha-usaha ekonomi. Dalam maksud lain, lingkungan mempunyai peran penting dalam usaha mendorong semua lapisan masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai peluang bisnis, sehingga diharapkan dapat mendorong semua pihak untuk dapat menyelesaikan masalah-masalah dan mampu mendorong keikutsertaan semua unsur secara bersama-sama menanggulangi masalah lingkungan secara bersama-sama. Dalam melakukan kegiatan wisata alam di kawasan konservasi, prinsipprinsip ekowisata mempunyai implikasi langsung kepada wisatawan dan penyedia jasa perjalanan wisatawan. Wisatawan dituntut untuk tidak hanya mempunyai kesadaran lingkungan dan kepekaan sosial budaya yang tinggi, tetapi mereka harus mampu melakukannya dalam kegiatan wisata melalui sifat-sifat empati wisatawan, digugah untuk mengeluarkan pengeluaran ekstra untuk pelestarian alam. Pengembangan ekologi pariwisata berdampak kepada pemanfaatan sumber daya yang tersedia seperti terhadap areal yang digunakan, banyaknya energi yang terpakai, banyaknya sanitasi, polusi suara dan udara, tekanan terhadap flora dan fauna serta ketidakseimbangan lingkungan terkait dengan itu, maka perlu dirumuskan pembinaan usaha pariwisata oleh pihak-pihak yang akan melakukan
82 monitoring lingkungan pariwisata yang didukung oleh para ahli dibidang itu, mengingat bentuk dampak lingkungan sangat berbeda-beda antara satu usaha dengan usaha lainnya. Dari aspek ekologi, yang menjadi prioritas dari pengembangan wisata alam di TNBTS adalah pengendalian kerusakan ekosistem kawasan seperti terlihat pada Gambar 18. Sebagai kawasan konservasi, tujuan utama dari pengelolaan kawsan adalah perlindungan dan pengawetan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa. Ini berarti setinggi apapun aktivitas wisata alam di kawasan TNBTS mamberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar, tetapi tidak boleh sampai merusak atau mengganggu ekosistem dan lingkungan kawsan TNBS. Dengan demikian konsep pengembangan wisata alam di kawasan konservasi menuju kearah pengembangan ekowisata tidak hanya wisata alam yang bersifat mass tourisme.
Gambar 18 Alternatif Pengembangan Wisata Alam TNBTS berdasarkan Aspek Ekologi Ekowisata harus dibedakan dari wisata alam. Wisata alam, atau berbasis alam, mencakup setiap jenis wisata-wisata massal, wisata pertualangan, ekowisata yang memanfaatkan sumber daya alam dalam bentuk yang masih lain dan alami, termasuk spesies, habitat, bentangan alam, pemandangan dan kehidupan air laut dan air tawar. Wisata alam adalah perjalanan wisata yang bertujuan untuk menikmati kehidupan liar atau daerah alami yang belum dikembangkan. Wisata alam mencakup banyak kegiatan, dari kegiatan menikmati pemandangan dan kehidupan liar yang relatif pasif, sampai kegiatan fisik seperti wisata petualangan yang sering mengandung resiko. Ekowisata menuntut persyaratan tambahan bagi pelestarian alam. Dengan demikian ekowisata adalah “Wisata alam berdampak ringan yang menyebabkan terpeliharanya spesies dan habitatnya secara langsung dengan peranannya dalam pelestarian dan atau secara tidak langsung dengan memberikan pandangan kepada masyarakat setempat, untuk membuat masyarakat setempat dapat menaruh nilai, dan melindungi wisata alam dan kehidupan lainnya sebagai sumber pendapatan (Goodwin 1997). Kegiatan wisata alam yang masih bersifat mass tourisme akan membawa dampak bagi ekosistem terutama dengan bertambahnya pengunjung yang datang dan berinteraksi langsung dengan kawasan. Dengan demikian sedapat mungkin kegiatan yang dilakukan oleh pengunjung memberikan dampak seminimal mungkin bagi ekosistem kawasan. Kawasan wisata Pegunungan Tengger yaitu Gunung Bromo dan Laut Pasir mempunyai tingkat pengunjung yang cukup tinggi, dengan pengunjung rata-rata harian mencapai 500 orang perhari (TNBTS 2012). Jumlah yang cukup tinggi untuk sebuah kawasan wisata alam. Salah satu upaya yang dilakukan untuk pengendalian ekosistem kerusakan ekosistem kawasan yaitu dengan diberlakukannya aturan bahwa kendaraan pribadi roda
83 empat dilarang melintasi atau turun ke kawasan laut pasir. Untuk menuju laut pasir para wisatawan dapat menggunakan atau menyewa jeep paguyuban yang dikelola masyarakat sekitar juga ojek ataupun kuda dan berjalan kaki. Begitu juga dengan jalur lintas dari kawasan pegunungan tengger ke kawasan pendakian gunung bromo, hanya boleh dilakukan dengan menggunakan jeep. Hal ini diharapkan dapat mengurangi tekanan manusia terhadap kawasan sehingga meminimalkan kerusakan ekosistem kawasan. Untuk pengembangan kegiatan wisata alam kedepannya diharapkan jumlah kendaraan yang masuk ke laut pasir semakin di batasi baik untuk roda empat ataupun roda dua dan akhirnya pengunjung hanya diizinkan berjalan kaki atau berkuda menuju ke laut pasir Bromo. Gunung semeru merupakan salah satu gunung berapi yang masih aktif dan merupakan gunung tertingi di pulau Jawa. Kegiatan pendakian gunung di Gunung Semeru juga masih merupakan wisata alam yang bersifat mass tourisme dengan jumlah pengunjung mencapai puncak saat akhir minggu dan hari libur nasional terutama hari kemerdekaan Indonesia. Untuk mengurangi tekanan pengunjung terhadap ekosistem di gunung semeru terutama di jalur pendakian, maka selama beberapa bulan dalam satu tahun gunung semeru ditutup untuk pendakian. Hal ini bertujuan untuk memberikan kesempatan agar ekosistem dan makhluk hidup yang terdapat di dalamnya berkembang dan beregenerasi. Selain itu jumlah pengunjung yang mendaki juga perlu dibatasi sesuai dengan daya dukung kawasan. Pembagian zonasi sesuai peruntukkannya dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan suatu keharusan. Pengembangan wisata alam di kawasan konservasi hanya dapat dilakukan dalam zona pemanfaatan dengan pembangunan terbatas termasuk pengembangan pada daearah sekitar kawasan. Untuk itu kawasan wisata alam yang ada perlu dilakukan penataan ruang atau zoning terkait peletakan fasilitas dan sarana prasarana guna mendukung kegiatan wisata alam dan mempertahankan kelestarian ekosistem kawasan. Zona untuk kawasan wisata alam ini dapat dibedakan dalam empat zonasi yaitu zona inti, zona antara, zona pelayanan dan zona pengembangan. Zona Intensif: dimana atraksi/objek dan daya tarik wisata utama kegiatan wisata alam. Zona Antara: merupakan zona yang berbatasan langsung dengan lokasi objek wisata utama. Pada zona ini kekuatan daya tarik ekowisata dipertahankan sebagai ciri-ciri dan karakteristik ekowisata yaitu mendasarkan lingkungan sebagai yang harus dihindari dari pembangunan dan pengembangan unsur-unsur teknologi lain yang akan merusak dan menurunkan daya dukung lingkungan dan tidak sepadan dengan ekowisata. Zona Pelayanan: wilayah yang dapat dikembangkan berbagai fasilitas yang dibutuhkan wisatawan, sesuai dengan kebutuhan dimana pembangunan yang dilakukan tidak boleh mengganggu ekosistem atau lingkungan. Zona Pengembangan: areal dimana berfungsi sebagai lokasi budidaya dan penelitian pengembangan ekowisata.
84 Pengembangan Wisata Alam Berdasarkan Aspek Ekonomi Bagi pemerintah, PNBP telah menjadi indikator keberhasilan pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam. Namun visi menyejahterakan masyarakat juga menjadi indikator keberhasilan. Dua indikator keberhasilannya adalah (1) peningkatan pemberdayaan masyarakat dan wisata alam di sekitar kawasan konservasi dan (2) peningkatan pendapatan masyarakat di sekitar kawasan konservasi melalui upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Salah satu upaya pemanfaatan sumberdaya lokal yang optimal adalah dengan pengembangkan pariwisata dengan konsep Ekowisata. Dalam konteks ini wisata yang dilakukan memiliki bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya-upaya konservasi, pemberdayaan ekonomi lokal dan mendorong perhatian yang lebih terhadap budaya masyarakat setempat. Daerah-daerah yang menjadi pintu masuk utama untuk mencapai kawasan TNBTS merupak daerah yang banyak menerima dampak langsung terhadap perekonomian masyarakatnya. Pada Gambar 19 terlihat bahwa pengembangan ekonomi masyarakat lokal menjadi pilihan pertama dari para pemangku kepentingan (bobot 0,092). Keberdayaan masyarakat lokal dalam aktivitas pariwisata alam memegang peranan untuk mengoptimalkan pendapatan. Menurut Richards (2011), kreativitas memberikan aktivitas, konten dan suasana untuk pariwisata dan pariwisata pada gilirannya mendukung kegiatan kreatif. Integrasi tumbuh pariwisata dan kreativitas jelas dalam pengobatan pariwisata sebagai industri kreatif.
Gambar 19 Alternatif Pengembangan Wisata Alam TNBTS berdasarkan Aspek Ekonomi Kemampuan untuk mengolah produk maupun jasa wisata secara kreatif akan mengubah paradigma semakin banyak pengunjung semakin besar peluang terjualnya produk atau jasa wisata. Masyarakat diharapkan lebih menitikberatkan kepada kualitas produk atau jasa dengan harga bersaing. Melalui ekonomi kreatif, diharapkan nilai keistimewaan produk atau jasa akan menjadi acuan jangka panjang. Kondisi yang dianggap lebih baik daripada berharap jangka pendek pada peluang terjualnya produk atau jasa dengan volume tinggi berkualitas rendah. Kualitas yang semakin baik akan semakin disukai wisatawan. Pengembangan ekonomi masyarakat lokal dilakukkan selain untuk menopang keberlanjutan konservasi juga diperlukan untuk mendorong kesejahteraan masyarakat sekitar. Namun dalam mengembangkan dan menguatkan konsep Ecotourism untuk mengembangkan ekonomi lokal diperlukan sebuah pemahaman yang tepat pada masyarakat dan pemerintah lokal. Hal ini
85 dilakukkan agar pemerintah lokal dan masyarakat bisa berperan aktif dan menjadi stakeholder yang berkepentingan terhadap pengembangan wilayah ini. Salah satunya adalah dengan mengembangkan sebuah unit-unit ekonomi (BUMDESBadan Usaha Milik Desa) dan Koperasi untuk mendukung aktivitas dan kebutuhan para wisatawan, mulai dari unit usaha makanan, Souvenir, MCK, Penginapan, Parkir hingga Pemandu wisata dan sarana transportasi wisata lainnya. Pengembangan ekonomi masyarakat lokal masyarakat sekitar kawasan TNBTS juga dapat dilakukan dengan mendorong unit-unit usaha yang strategis dan mengurangi kebocoran wilayah yang terjadi dari belanja unit usaha di luar daerah. Dengan semakin berkembangnya wilayah kawasan Pegunungan Tengger dan Pendakian Gunung Semeru sebagai lokasi wisata alam, maka kebutuhan akan unit-unit usaha penyokong juga diperlukan baik untuk memenuhi kebutuhan wisatawan ataupun memenuhi kebutuhan unit usaha yang ada. Dengan demikian dampak pengganda yang terjadi akibat kegiatan wisata alam akan semakin besar. Selain itu penataan ruang daerah pengembangan dan pelayanan bagi wisatawan perlu dilakukan demi ketertiban dan kenyamanan. Nilai ekonomi yang dihasilkan dari biaya pengeluaran wisatawan yang datang ke kawasan TNBTS cukup tinggi. Namun sebagian besar biaya pengeluaran wisatawan tersebut terjadi di luar kawasan wisata, terutama untuk konsumsi. Untuk itu diperlukan suatu strategi pengembang ekonomi kreatif yang mengusung produk lokal atau kekhasan daerah tertentu yang mampu meningkatkan belanja wisatawan. Selain itu pengembangan ekonomi lokal masyarakat sekitar kawasan dapat dilakukan dengan membuat paket-paket wisata tertentu sehingga memperpanjang lama wisatwan tinggal dan menikmati kegiatan berwisata. Pengembangan wisata alam yang dapat meningkatkan sektor ekonomi juga dapat dilakukan dengan pembuatan paket wisata dengan tujuan dan maksud tertentu.dengan paket wisata diharapkan dapat memperpanjang masa tinggal dan meningkatkan pembelanjaan wisatawan. Pengembangan suatu kawasan wisata tidak bisa dilepaskan dari keberadan para pemadu wisata dan agen perjalanan. Karena pemandu wisata dan agen wisata merupakan ujung tombak terdepan yang langsung berhubungan dengan para wisatawan atau Stakeholder, sehingga untuk lebih mudah dalam mengembangkan suatu kawasan ekowisata maka diperlukan partisipasi mereka secara lebih jauh. Selain itu, keinginan dari para wisatawan dapat lebih mudah ditangkap, sehingga pengembangan ekowisata lebih terarah dan sesuai dengan keinginan stakeholder. Namun dalam pengembangan hubungan dengan agen perjalanan diperlukan sebuah kesepakatan tentang konsep Ecotourism yang dikembangkan di wilayah ini. Hal ini dimaksudkan agar tawaran paket wisata yang diberikan tidak menggangu upaya konservasi alam yang juga dilakukkan di wilayah ini. Selain itu pihak pemandu perjalanan juga diharapkan tidak memisahkan diri untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat lokal. Dalam kegiatan wisata alam di kawsan TNBTS keberadaan agen perjalanan dan pemandu wisata merupakan salah satu sumber kebocoran wilayah berupa kebocoran sumber daya manusia karena sebagian besar agen perjalanan dan pemandu wisata yang digunakan parawistawan berasal dari luar kawasan. Oleh karena itu peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat sekitar kawasan wisata khususnya pemandu lokal perlu menjadi perhatian penting agar mampu bersaing dengan pemandu dari luar kawasan.
86 Pengembangan Wisata Alam Berdasarkan Aspek Sosial Budaya Pelestarian adat dan budaya masyarakat sekitar merupakan pilihan tertinggi pada AHP pada aspek sosial (bobot 0,0957). Pengembangan wisata alam di kawasan konservasi yang menuju konsep ekowisata hendaknya tidak melupakan adat budaya masyarakat setempat dan mampu menjaga serta melestarikannya sebagai salah satu objek wisata (Gambar 20).
Gambar 20 Alternatif Pengembangan Wisata Alam TNBTS berdasarkan Aspek Sosial Budaya Ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan terhadap kebudayaan lokal. Dalam pendekatan ekowisata, pusat informasi menjadi hal yang penting dan dapat juga dijadikan pusat kegiatan dengan tujuan meningkatkan nilai dari pengalaman seorang turis yang bisa memperoleh informasi yang lengkap tentang lokasi atau kawasan dari segi budaya, sejarah, alam, dan menyaksikan acara seni, kerajinan dan produk budaya lainnya. Cochrane (2006), menyatakan bahwa perilaku dan persepsi wisata alam di kawasan konservasi di Indonesia dipengaruhi oleh interpretasi kognitif terhadap sumber daya alam. Menurutnya, di negara maju perilaku dan persepsi ini dipengaruhi oleh konstruksi historis-filosofis dalam derivasi biosentris dan menunjukkan perilaku yang berhubungan pencarian pengetahuan. Persepsi dan perilaku di negara berkembang khususnya di Indonesia cenderung lebih antroposentrik yang semata-mata bersifat rekreasi, bersinggungan dengan nilainilai sosial kolektif. Gunawan dan Lubis (2000) menyatakan bahwa pengembangan industri pariwisata berkelanjutan berarti mengitegrasikan pertimbangan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan ke dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan / manajeman di seluruh komponen industry pariwisata. Untuk itu perlu dilakukan program-program sebagai berikut: (1) pengembangan system manajemen pariwisata berkelanjutan, (2) pengelolaan dan konservasi sumber daya alam, (3) minimisasi dan pengelolaan limbah (4) perencanaan dan pengelolaan tata guna lahan (5) pelestarian sumberdaya alam dan warisan budaya serta (6) pengembangan sistem dan mekanisme keamanan dan keselamatan. Pariwisata massa memberikan ruang yang besar pada masuknya modal yang intensif ke dalam suatu daerah wisata dan cenderung melemahkan partisipasi masyarakat lokal, sedangkan ekoturisme mempunyai arti dan komitmen yang lebih jelas terhadap kelestarian alam dan pengembangan masyarakat, di samping aspek ekonomi. Ekowisata mengandung perspektif dan dimensi yang baik serta
87 merupakan wajah masa depan pariwisata berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kecenderungan ini ditandai oleh berkembangnya gaya hidup dan kesadaran baru akan penghargaan yang lebih dalam terhadap nilai-nilai hubungan antar manusia maupun dengan lingkungan alamnya. Perkembangan baru tersebut secara khusus ditujukkan melalui bentuk-bentuk keterlibatan wisatawan dalam kegiatankegiatan di luar/lapangan (out-door), kepedulian akan permasalahan ekologi dan kelestarian, kemajuan ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta penekanan dan penghargaan akan nilai-nilai estetika. Kesadaran mengenai fenomena-fenomena tersebut di atas mendorong pemerintah untuk mencari bentuk baru bagi pengembangan produk wisata yang mampu menjawab tantangan yang ada , yaitu bahwa pengembangan produk wisata untuk waktu-waktu yang akan datang harus berorientasi pada nilai-nilai pelestarian lingkungan dan budaya masyarakat, pengembangan masyarakat lokal (community based tourism), termasuk di dalamnya memberi nilai manfaat yang besar bagi masyarakat serta keuntungan/orientasi jangka panjang. Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan adat- istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Dukun berperan penting dalam melaksanakan upacara Adat. Dukun berperan dalam segala pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan. Beberapa Upacara adat suku Tengger adalah sebagai berikut: Hari Raya Karo, Yadnya Kasada dan UnanUnan, upacara adat yang berhubungan dengan siklus kehidupan seseorang, seperti: kelahiran (upacara sayut, cuplak puser, tugel kuncung), menikah (upacara walagara), kematian (entas-entas), upacara adat yang berhubungan dengan siklus pertanian, mendirikan rumah, dan gejala alam seperti leliwet dan barikan. Dalam kaitannya dengan pelestarian adat dan budaya masyarakat sekitar sebagai salah satu alternatif pengembangan wisata alam di kawsan TNBTS adalah dengan mengembangkan skema di mana tamu secara sukarela terlibat dalam kegiatan konservasi dan pengelolaan kawasan ekowisata selama kunjungannya (stay & volunteer). Dengan pengembangan paket wisata khusus untuk menikmati keindahan alam dan keunikan budaya masyakat suku tengger diharapkan mampu membantu menambah informasi dan edukasi bagi wisatawan yang dating berkunjung sehingga konsep pengembangan wisata alam sebagai ekowisata dapat terwujud. Untuk meningkatkan dinamika kepariwisataan di kawasan TNBTS kebudayaan masyarakat tengger khususnya tarian dan kesenian tradisional dapat manjadi pertunjukan bagi para tamu yang datang. Hal ini selain dapa menjadi suatu daya tarik tersendiri bagi pengunjung juga dapat membantu mempertahankan adat masyarakat tengger khususnya dalam hak tarian dan kesenian tradisional. Pembentukan desa wisata yang mampu menjadi tujuan wisata sampingan selain onjek wisata alam yag ada dapat menjadi alternatif lain dari pengembangan wisata alam di kawasan TNBTS. Adanya desa wisata memerlukan unsur kelembagaan dan sumber daya manusia yang dengan kapasitas yang tinggi dan menegrti secara mendalam konsep pengembangan ekoturisme.
88 Untuk itu pengembangan kapasitas sumber daya manusia bagi seluruh stakeholder menjadi hal yang patut mendapatkan perhatian. Salah satu aspek sosial budaya yang perlu mendapatkan prioritas adalah pentingnya kerjasama dan koordinasi antar semua stakeholder yang ada seperti pihak Balai TNBTS, Pemerintah Daerah, pihak swasta, LSM, kelompok pecinta alam dan lainnya. Adanya kepentingan dari setiap pihak menyebabkan perlunya komunikasi, koordinasi dan kerjasama untuk menyelaraskan dan menyatukan tujuan perlu dilakukan tujuan dalam pengembangan wisata alam di kawasan TNBTS. Dengan demikian diharapkan pengembangan wisata alam di kawasan TNBTS dapat membantu menjaga kelestarian kawasan, mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dan menjaga kelesatarian adat budaya masyarakat lokal sebagaimana prinsip-prinsip pelaksanaan ekowisata.
89
8 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Kegiatan wisata alam di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru menghasilkan nilai ekonomi yang cukup tinggi yaitu sebesar 326,90 milyar rupiah per tahun di kawasan Pegunungan Tengger dan 14,33 milyar rupiah per tahun di kawasan Pendakian Gunung Semeru. Namun kontribusi ekonomi yang dirasakan bagi masyarakat lokal masih relatif rendah. Hal ini dikarenakan kebocoran ekonomi yang terjadi masih sangat besar terutama untuk transportasi dan konsumsi sehingga manfaat ekonomi yang dibawa wisatawan belum maksimal. Kegiatan wisata alam di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru telah mampu memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar walaupun relatif masih rendah yang ditunjukkan dengan nilai income multiplier yang dihasilkan. Nilai Keynesian Multiplier ini masih dapat terus ditingkatkan dengan memperkecil kebocoran pada biaya pengeluaran wisatawan dan meningkatkan penyediaan barang yang diperlukan wisatawan oleh unit usaha yang ada agar dapat menarik minat wisatawan untuk membeli. 2. Kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS meningkatkan perkembangan desa di sekitar kawasan secara tidak merata. Desa-desa yang berhubungan langsung dan menjadi pintu masuk utama di kawasan TNBTS mengalami perkembangan yang tinggi. 3. Perubahan penggunaan lahan dalam kawasan TNBTS banyak terjadi di sekitar desa dengan tingkat perkembangan desa rendah dan masuk dalam Hiraraki III, jauh dan tidak bersentuhan secara langsung dengan kegiatan wisata alam sehingga desa-desa tersebut tidak merasakan dampak dari kegiatan wisata yang ada. 4. Kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS dikembangkan ke bentuk ekoturisme dengan lebih memprioritaskan penanganan aspek-aspek ekologi dibandingkan aspek ekonomi dan sosial budaya, khususnya pengendalian kerusakan ekosistem serta penanganan sampah dan limbah. Pengelolaan Ekowisata TNBTS memerlukan peranan yang lebih besar dan kerjasama parapihak, terutama pemerintah pusat yang dalam hal ini dilimpahkan pada pihak Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru selaku Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kehutanan.
Saran 1. Rendahnya dampak ekonomi lokal dari kegiatan wisata alam di kawasan TNBTS karena tingginya kebocoran ekonomi yang cukup tinggi. Untuk itu diharapkan pemerintah dapat meningkatkan koordinasi dengan pihak terkait dalam upaya meningkatkan dampak ekonomi bagi desa-desa di sekitar kawasan TNBTS dan memperkecil kebocoran ekonomi serta memperluas manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal dengan meningkatkan pembelanjaan wisatawan di dalam lokasi wisata. Selain itu perlunya pemerataan dampak
90 ekonomi badi desa sekitar kawasan agar dapat menekan laju perubahan penutupan hutan. 2. Dalam penelitian ini hanya menilai dampak ekonomi dari kegiatan wisata alam, tanpa memperhitungkan dampak lingkungan dan dampak sosial budaya. Untuk itu perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai dampak tersebut dari kegiatan wisata di kawasan TNBTS agar diketahui dampak kegiatan wisata alam secara menyeluruh.
91
DAFTAR PUSTAKA Angelsen A, Shitindi EFK, Aarestad J. 1999. Why Do Farmers Expand Their Land Into Forests? Theories And Evidence From Tanzania. Environmental and Development Economics, 4: 313-331. Antoko BS, Sanudin, Sukmana A. 2008. Perubahan Fungsi Hutan Di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Info Hutan Volume V (4): 307-316. Anwar A. 2005. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Tinjauan Kritis. Bogor: P4W Press. Archer BH, Owen CB. 1971. Towards A Tourist Regional Multiplier. Regional Studies. 5: 289-294. Archer BH. 1976. The Anatomy Of A Multiplier. Regional Studies. 10: 71-77. Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press. [Bappenas] Badan Perencanaan Nasional. 2004. Indonesia Biodiversity Strategy And Action Plan 2003 - 2030, IBSAP. Jakarta: Bappenas. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang.2012. Kecamatan Dalam Angka. Lumajang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Lumajang. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang.2012. Kecamatan Dalam Angka. Malang: Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasuruan.2012. Kecamatan Dalam Angka. Pasuruan:Badan Pusat Statistik Kabupaten Pasuruan. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Probolinggo.2012. Kecamatan Dalam Angka. Probolinggo: Badan Pusat Statistik Kabupaten Probolinggo. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Baaijens SR, Nijkamp P, Montfort K. 1998. Explanatory Meta-Analysis Of Tourist Income Multipliers An Application Of Comparative Research To Island Economies. Faculty of Economics and Econometrics Vrije Universiteit Amsterdam. The Netherlands. Bahruni. 1993. Penilaian Manfaat Wisata Alam Kawasan Konservasi dan Peranannya Terhadap Pembangunan Wilayah. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Bergeron JG, Pender J. 1999. Determinants Of Land Use Change: Evidence From A Community Study In Honduras. EPTD Discussion Paper No. 46. International Food Policy Research Institute, Washington, D.C. Buckley R. 2010. Conservation Tourism. CABI. Oxfordshire. United Kindom. Cochrane J. 2006. Indonesian National Parks: Understanding Leisure Users. Annals of Tourism Research 33 (4): 979–997.
92 Cooper C, Fletcher J, Gilbert D, Shepherd R, Wanhill S. 1998. Tourism: Principles and Practice. Second Edition. England: Addison- Wesley, Longman. Departeman Kehutanan. 2005. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Malang: Kemanterian Kehutanan. Departemen Kehutanan. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Departemen Pemukiman Dan Prasarana Wilayah. 2007. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. 2003. Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 1948-2000. Jakarta: Citra Kreasi. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan, JICA, Rakata. 2000. Studi awal Pengembangan Eco-tourism di Kawasan konservasi di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal PKA Departemen Kehutanan, JICA, Rakata. Direktorat Pengembangan Kawasan Ditjen Penataan Ruang Departemen Pemukiman Dan Prasarana Wilayah. 2002. Pendekatan Dan Program Pengembangan Wilayah. Bulletin kawasan Edisi 2. Direktorat pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal, Deputi Otonomi Daerah Dan Pengembangan Regional. Jakarta: BAPPENAS. Direktorat Pengembangan Wilayah dan Transmigrasi. 2003. Penyusunan Strategic Development Regional (SDR). Jakarta. Dritasto A, Anggraeni AA. 2013. Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari Terhadap Pendapatan Masyarakat di Pulau Tidung. Jurnal Online Institut Teknologi Nasional Reka Loka, PWK Itenas (X): 1-8. Dwiprabowo H, Gintings AN, Sakuntaladewi N, Mariyani R. 2012. Analisis Time Series Faktor-Faktor Sosial Ekonomi dan Kebijakan terhadap Perubahan Penggunaan Lahan. Laporan Hasil Penelitian. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan dan Forest Carbon Patnership Facility. Ennew C. 2003. Understanding The Economic http://www.nottingham.ac.uk/ttri/pdf/2003_5.pdf.
Impact
of
Tourism.
Epleerwood M. 1999. Successful Ecotourism Business The Right Approach.Proceedings Of The Word Conference, The Right Approach. 1723 October 2009.Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Fandeli C, Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjahmada. Fennel DA. 1999. Ecotourism: An Introduction. Sustainable Development. Routldege. New York.
93 Gunawan MP, Lubis SM. 2000. Agenda 21 sektoral: Agenda Pariwisata untuk Pengembangan Kualitas Hidup Secara Berkelanjutan. Proyek Agenda 21 Sektoral, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup : United Nations Development Programme, (UNDP). Gunn CA. 2002. Tourism Planning (Basic, Concepts, Cases). New York: Crane Company.. Juutinen A, Mitani Y, Erkki M, Shoji Y, Siikam Ki P, Svento R. 2011. Analysis Combining Ecological and Recreational Aspects in National Park Management: A Choice Experiment Application. Ecological Economics 70: 1231–1239. Kementerian Kehutanan. 2012. Buku Statistik Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung. Bogor: Direktorat Jenderal PHKA. Kementerian Kehutanan. 2012. Statistik Kehutanan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Departemen Kehutanan.. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Nampak Event Pariwisata [Internet]. [diacu 1 September 2013]. Tersedia dari: //www.budpar.go.id/budpar/asp/detil.asp?c=100&id=1037. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. 2009. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Kline JD. 2001. Tourism And Natural Resource Management : A General Overview Of Research And Issues. Gen. Tech. Rep. PNW-GTR-506. Portland. Linberg K, Huber R. 1996. The Economic http:/www.ecoturism.ee/oko/ kreg.html.
Impact
of
Ecoturism.
Marine Ecotourism for Atlantic Area. 2001. Planning for Marine Ecotourism in The EU Atlantic Area. University of The West Of England, Bristol. Mayer M, Müller M, Woltering M, Arnegger J, Job H. 2010. The Economic impact of Tourism in Six German National Park. Landscape and Urban Planning Page 73-82. Mercado RG. 2002. Regional Development in The Philippines : A review of experience, state of The Art and Agenda for Research and Action, Discussion paper Series. Phillipine Institute for Development Studies. Niskanen A, Bori-Sanz M. 2002. Nature-Based Tourism In Forest as a Tool For Rural Development-Analysis Of Three Study Areas In North Karelia (Finland). Scotland And The Catalan Pyrenees. European Forest Institute.Internal Report No. 7. Finlandia. Nugroho I. 2010. Pengembangan Ekowisata Dalam Pembangunan Daerah. Jurnal Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri – Edisi I: 65-75. Nurfiana E. 2013. Analisis Dampak Ekonomi Dan Lingkungan Kegiatan Wisata Di Taman Wisata Alam Grojogan Sewu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi
94 Jawa Tengah Terhadap Masyarakat Sekitar. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Panuju DR, Rustiadi E. 2012. Teknik Analisis Perencanaan Pengembangan Wilayah. Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Paul KG. 1998. A Brief History And Analysis Of Indonesia‟s Forest Fires Crisis. Academic Research Library. New York. Pearce DW. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment. BPC Wheatons. Ltd.Exeter. Pendit NS. 2002. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: PT. Pradnya Paramita Pinata IG, Gayatri PG. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit Andi. Powell R, Liden C. 1995. Regional Economic Impact: Gibraltar Range and Dorringo National parks: a Report for The environmental Economics Policy Unit, Environmental Policy Division, New South Wales National Park and Wildlife Service. Sydney. Richards G. 2011. Creativity and Tourism: The State of the Art. Annals of Tourism Research 38 (4): 1225–1253 Rothberg D. 1999. Enhanced and Alternative Financing Mechanisms Strengthening National Park Management in Indonesia. NRMP USAID. Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta;Crestpent Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Saaty TL. 2007. Multi-decisions making: In addition to wheeling and dealing, Our National Political Bodies Need a Formal Approach For Prioritization. Elsevier. Mathematical and Computer Modelling 46: 1001–1016. University of Pittsburgh. United States. Saefulhakim S. 2002. Studi Penyusunan Wilayah Pengembangan Strategis (Strategic Development Regions). Bogor: IPB dan Bapenas. Shepherd G. 2004. The Ecosystem Approach: Five Steps to Implementation. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Stynes DJ, Propst, Prost DB, Chang WH, Sun YY. 2000. Estimating National Park Visitor Spending and Economic Impacts. Region III. (2): Department of Park Recreation and Tourism Resources, Michigan State University. Stynes DJ, Propst, Prost DB, Chang WH, Sun YY. 2003. Economic Impacts of National Park Visitor Spending on Gateway Communities. Department of Park Recreation and Tourism Resources, Michigan State University. Sunarminto T. 2002. Dampak Ekoturisme Wisata Bahari Pulau Menjangan Taman Nasional Bali Barat Terhadap Ekonomi Masyarakat dan Kelestarian Kawasan. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Vanclay JK. 2005. Deforestation: Correlations, Possible Causes And Some Implications. International Forestry Review, 7: 278-293.
95 Vanhove N. 2005. The Economics of Tourism Destinations. Elsevier ButterworthHelnemann, Oxford University. United Kingdom. Walpole MJ, Goodwin HJ. 2000. Local Ecomonic Impact Of Dragon Tourism In Indonesia. Annals Of Tourism Research 27(3): 559-576. Watson P, Wilson J, Thilmany D, Winter S. 2007. Determining Economic Contributions and Impacts: What is the difference and why do we care?The jurnal regional analysis and policy JRAP 37(2): 1-15 Pedagogy in Regional Studios. Wells MP. 1997. Economic Perspectives on Nature Tourism, Conservation and Development Environment Department Paper No 55. Pollution and Environmental Economics Division. Washington DC : World Bank. Widowati S. 2012. Kajian Potensi Dan Evaluasi Penerapan Prinsip – Prinsip Dan Kriteria Ekowisata Di Kawasan Taman Wisata Alam Kawah Ijen, Desa Taman Sari, Kabupaten Banyuwangi. Tesis. Universitas Udayana, Denpasar. Wijayanti P. 2009. Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pengelolaan Wisata Alam Berbasis Masyarakat Lokal di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wunder S. 2000.Ecotourism and Economic Incentive: An Empirical Approach. Ecological Economics, 32 (1): 465-479. Yoeti O. 2008. Ekonomi Pariwisata, Informasi, dan Implementasi. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Yoeti O. 1996. Pengantar Ilmu Pariwisata. Edisi Revisi. Bandung: Penerbit Angkasa. Yosefi SE, Subarudi. 2007. Kontribusi Taman Nasional Terhadap Kesejahteraan Masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Studi Kasus Balai Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Info Sosial Ekonomi 7 (3): 163 – 174.
96
LAMPIRAN
97
97
Lampiran 1 Peta Desa-Desa Sekitar Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
98 98
Lampiran 2 Perubahan Penutupan Lahan Kawasan Taman Nasional Bromo Tenger Semeru Tahun 2000-2011
99
99
Luas Desa (km)
Kepadatan Penduduk
Jumlah KK Pertanian
Jumlah KK yang Ada Buruh Tani
Penghasilan Utama Penduduk
Lampiran 3 Karakteristik Desa-Desa Sekitar Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
11.27 9.67 6.97 16.43 17.35 12.24 13.94 24.47 5.77 12.23 8.46 6.77 6.08 9.13 5.23 8.16 9.15 6.14 9.75 3.84 4.14
185.18 369.29 618.79 89.11 61.84 360.62 422.96 137.84 706.76 540.80 759.81 1,016.54 585.86 526.40 327.15 675.98 740.66 1,132.41 567.38 1,014.58 414.25
123 892 892 150 186 250 668 510 323 676 960 1812 861 1477 476 1150 1875 1443 1170 934 440
560 905 905 300 58 1075 1008 375 652 976 1641 503 102 86 94 675 842 522 689 101 39
Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian
Tumpang Tumpang Tumpang Jabung Jabung Jabung Jabung Jabung Jabung Jabung Tirto Yudo Ampelgading Ampelgading Ampelgading Ampelgading Poncokusumo Poncokusumo Poncokusumo Poncokusumo Poncokusumo Poncokusumo
Nama Desa
Benjor Duwet Duwet Krajan Ngadirejo Taji Pandansari Lor Sukopuro Gading Kembar Argosari Kemiri Tamansatriyan Sidorenggo Argoyuwono Mulyoasri Tamansari Sumberejo Pandansari Poncokusumo Wringinanom Gubukklakah Ngadas
Lokasi Desa Terhadap Hutan
Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Dalam Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Dalam Hutan
Fungsi Hutan
Produksi Produksi Produksi Produksi Konservasi/Lindung Produksi Konservasi/Lindung Produksi Konservasi/Lindung Produksi Produksi Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung
Total
Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang
Nama Kecamatan
Perempuan
Kabupaten
Laki-Laki
Jumlah Penduduk
1,094 1,784 2,218 956 561 2,050 3,000 1,565 1,990 3,267 3,072 3,418 1,680 2,412 846 2,763 3,401 3,476 2,830 2,015 884
993 1,787 2,095 508 512 2,364 2,896 1,808 2,088 3,347 3,356 3,464 1,882 2,394 865 2,753 3,376 3,477 2,702 1,881 831
2,087 3,571 4,313 1,464 1,073 4,414 5,896 3,373 4,078 6,614 6,428 6,882 3,562 4,806 1,711 5,516 6,777 6,953 5,532 3,896 1,715
100
100
Produksi Produksi Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung
Produksi Produksi Produksi
Produksi Produksi Produksi Produksi Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung
2,905 743 1,828 3,054 2,596 3,783 2,100 4,193 2,896 4,339 3,359 4,019 6,456 3,621 2,122 4,253 1,953 746 1,308 1,690 625 853
2,911 751 2,050 3,070 2,617 3,958 2,100 4,342 2,860 4,677 3,363 4,107 6,520 3,759 2,086 4,364 2,045 699 1,373 1,708 670 920
5,816 1,494 3,878 6,124 5,213 7,741 4,200 8,535 5,756 9,016 6,722 8,126 12,976 7,380 4,208 8,617 3,998 1,445 2,681 3,398 1,295 1,773
Penghasilan Utama Penduduk
Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Luar Hutan Luar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Luar Hutan Luar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Luar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Dalam Hutan Sekitar Hutan
Jumlah KK yang Ada Buruh Tani
Sumberputih Wonoayu Bambang Patokpicis Sidomulyo Pronojiwo Sumberurip Oro Oro Ombo Supiturang Sumberwuluh Sumbermujur Penanggal Pasrujambe Jambekumbu Burno Kandangtepus Kandangan Bedayutalang Wonocepokoayu Argosari Ranupane Pakel
Fungsi Hutan
Jumlah KK Pertanian
Lokasi Desa Terhadap Hutan
Kepadatan Penduduk
Wajak Wajak Wajak Wajak Pronojiwo Pronojiwo Pronojiwo Pronojiwo Pronojiwo Candipuro Candipuro Candipuro Pasrujambe Pasrujambe Senduro Senduro Senduro Senduro Senduro Senduro Senduro Gucialit
Nama Desa
Total
Malang Malang Malang Malang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang
Nama Kecamatan
Perempuan
Kabupaten
Laki-Laki
Jumlah Penduduk
Luas Desa (km)
Lampiran 3 (Lanjutan)
5.07 2.61 17.61 20.91 5.00 6.20 3.75 6.85 8.29 17.60 25.53 13.10 43.89 28.45 40.72 20.02 18.88 2.92 27.39 56.05 35.79 5.53
1,147.14 572.41 220.22 292.87 1,042.60 1,248.55 1,120.00 1,245.99 694.33 512.27 263.30 620.31 295.65 259.40 103.34 430.42 211.76 494.86 97.88 60.62 36.18 320.61
286 332 787 184 1153 1372 721 1754 1193 857 924 916 2430 967 834 201 981 412 372 955 380 209
734 241 159 874 503 695 343 871 1187 958 814 1061 2661 1426 491 1217 476 387 404 813 302 217
Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian
101
101
Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung
701 2,379 2,469 514 2,332 1,856 1,014 2,781 986 1,635 975 1,345 916 1,431 1,305 919 750 1,324 633 710 335 301 373
656 2,589 2,478 565 2,311 1,788 1,002 2,743 1,085 1,753 998 1,345 892 1,541 1,537 871 798 1,492 660 782 344 297 363
1,357 4,968 4,947 1,079 4,643 3,644 2,016 5,524 2,071 3,388 1,973 2,690 1,808 2,972 2,842 1,790 1,548 2,816 1,293 1,492 679 598 736
Penghasilan Utama Penduduk
Konservasi/Lindung Produksi Produksi Produksi Konservasi/Lindung Produksi Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Produksi Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung Produksi Konservasi/Lindung Konservasi/Lindung
Jumlah KK yang Ada Buruh Tani
Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Dalam Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Dalam Hutan Sekitar Hutan Dalam Hutan Dalam Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Dalam Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Luar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Luar Hutan Sekitar Hutan
Fungsi Hutan
Jumlah KK Pertanian
Kenongo Gucialit Kertowono Sombo Blarang Kayu Kebek Ngadirejo Andono Sari Keduwung Pusung Malang Mororejo Ngadiwono Podokoyo Wonokitri Sedaeng Wonorejo Ngadisari Sapikerep Wonokerto Ngadirejo Ngadas Jetak Wonotoro
Lokasi Desa Terhadap Hutan
Kepadatan Penduduk
Gucialit Gucialit Gucialit Gucialit Tutur Tutur Tutur Tutur Puspo Puspo Tosari Tosari Tosari Tosari Tosari Lumbang Sukapura Sukapura Sukapura Sukapura Sukapura Sukapura Sukapura
Nama Desa
Total
Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo
Nama Kecamatan
Perempuan
Kabupaten
Laki-Laki
Jumlah Penduduk
Luas Desa (km)
Lampiran 3 (Lanjutan)
3.38 11.38 16.13 5.23 7.17 9.32 8.70 5.62 9.53 6.93 6.52 11.06 11.97 38.18 9.55 9.34 7.75 15.27 3.77 8.54 9.05 1.62 4.61
401.48 436.56 306.70 206.31 647.56 390.99 231.72 982.92 217.31 488.89 302.61 243.22 151.04 77.84 297.59 191.65 199.74 184.41 342.97 174.71 75.03 369.14 159.65
147 905 754 206 626 968 498 1325 431 673 427 549 246 543 297 377 402 672 348 376 194 147 172
215 381 260 78 290 97 123 194 112 198 127 173 192 235 384 139 53 103 59 58 27 34 24
Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian
102
102
Konservasi/Lindung Produksi Produksi Produksi Produksi Produksi
1251 2421 1223 2685 1981 1182
1382 2474 1289 2728 2138 1280
2,633 4,895 2,512 5,413 4,119 2,462
Penghasilan Utama Penduduk
Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Sekitar Hutan Dalam Hutan
Jumlah KK yang Ada Buruh Tani
Ledokombo Pandansari Wonokerso Sumber Cepoko Sapih
Fungsi Hutan
Jumlah KK Pertanian
Sumber Sumber Sumber Sumber Sumber Lumbang
Lokasi Desa Terhadap Hutan
Kepadatan Penduduk
Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo
Nama Desa
Total
Nama Kecamatan
Perempuan
Kabupaten
Laki-Laki
Jumlah Penduduk
Luas Desa (km)
Lampiran 3 (Lanjutan)
21.30 21.47 9.37 22.42 18.83 8.66
123.62 227.99 268.09 241.44 218.75 284.30
750 1375 631 1297 903 681
188 1301 325 1251 873 347
Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian Pertanian
103 103
Lampiran 3 (Lanjutan)
1 2 1 1 0 0 7 2 1 1 0 0 4 1 0 4 2 5 6
23 64 15 0 0 0 0 0 3 0 0 9 219 150 0 4 4 4 6
0 6 4 0 0 0 0 0 0 2 18 0 40 0 0 16 14 42 48
578 3979 637 1600 384 136 36 16 198
1036 682 1326 300 186 1075 758 375 652 976 0 326 1725 1091 94 2104 2103 1856 1212
61 38 16 55 24 90 135 60 250 109 57 44 83 95 37 41 31 41 49
Lainnya
8 10 6 5 4 9 53 4 1 9 17 2 18 17 2 9 12 21 27
Bidanng Jasa
0 0 0 0
2162 882 400 419 439 95 83 51
26 65 26 35 12 60 378 41 52 256 104 113 183 60 10 156 48 124 248
Angkutan/ Komunikasi
Penambangan
0 0 0
Tukang Bangunan
Buruh Pabrik
0 0 0
Buruh Tani
TNI/Polri
6 20 36
Petani
PNS
Benjor Duwet Duwet Krajan Ngadirejo Taji Pandansari Lor Sukopuro Gading Kembar Argosari Kemiri Tamansatriyan Sidorenggo Argoyuwono Mulyoasri Tamansari Sumberejo Pandansari Poncokusumo Wringinanom
Pedagang
Tumpang Tumpang Tumpang Jabung Jabung Jabung Jabung Jabung Jabung Jabung Tirto Yudo Ampelgading Ampelgading Ampelgading Ampelgading Poncokusumo Poncokusumo Poncokusumo Poncokusumo
Nama Desa
Peternakan
Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang
Nama Kecamatan
Perikanan
Kabupaten
Perkebunan
Pekerjaan
77 11 41 4 2 9 18 0 0 0 8 57 5 41 22 8 7 8 7
73 98 26 0 198 4 9 0 0 0 0 0 0 0 0 2909 2346 2193 1846
104 104
Lampiran 3 (Lanjutan)
Peternakan
Pedagang
PNS
TNI/Polri
Buruh Pabrik
Penambangan
Buruh Tani
Tukang Bangunan
Bidanng Jasa
Lainnya
Poncokusumo Poncokusumo Wajak Wajak
Gubukklakah Ngadas Sumberputih Wonoayu
34 2 0 0
0 0 0 0
61 94 26 26
156 62 134 44
8 11 17 3
1 0 0 0
0 0 9 2
0 0 419 36
1710 102 931 296
18 12 29 13
2 1 14 4
1989 279 416 169
Malang
Wajak
Bambang
0
0
54
79
14
2
6
189
437
26
9
387
Malang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang
Wajak Pronojiwo Pronojiwo Pronojiwo Pronojiwo Pronojiwo Candipuro Candipuro Candipuro Pasrujambe Pasrujambe Senduro Senduro Senduro Senduro
Patokpicis Sidomulyo Pronojiwo Sumberurip Oro Oro Ombo Supiturang Sumberwuluh Sumbermujur Penanggal Pasrujambe Jambekumbu Burno Kandangtepus Kandangan Bedayutalang
0
0
47
92 216 193 49 120 117 84 83 67 147 52 148 492 172 95
92
0 48 136 37 42 23 31 27 52 18 15 10 25 15 3
6 20 36 18 19 20 84 24 53 34 11 106 38 35 43
73 51 163 67 39 16 58 6 11 42 0 0 0 0 0
874 1987 2527 1433 3050 2195 986 817 1064 2125 1426 963 1324 674 321
43 2 2 1 2 3 66 30 28 12 7 265 621 215 139
17 4 10 5 6 2 48 55 96 16 6 10 92 5 5
461
Nama Kecamatan
Nama Desa
1325 1687 956 2033 1464 858 927 916 1372 967 935 1027 531 421
Angkutan/ Komunikasi
Perikanan
Malang Malang Malang Malang
Kabupaten
Petani
Perkebunan
Pekerjaan
27 57 49 76 78 46 18 41 112 25 20 45 25 5
Lampiran 3 (Lanjutan)
11
6 1
19 27 16 7 26 47
3 1 4
13 28
0 0
3 4 0
1 1 1
524 465 320 281 147 480 945 219 2775 1731 1360 2655 1301 1777 1345 1775
753 1521 296
168 48 22
25 55 0 14 7 36 48 7 62
5 5 2
104 78 602 96 212 174
1868 1569 598 1118 1112
38 607
57 10 80 8 12 32 5 95 14 114
3 1 2
18 82
Lainnya
Bidanng Jasa
0 0 0 0 0 0 0 0
Angkutan/ Komunikasi
25 0 0 1 2 9 3 1 15 6
Tukang Bangunan
9 6 1 5 12 56 10 4
Petani
TNI/Polri
PNS
Peternakan
Pedagang 98 72 18 29 42 112 140 19 2
Buruh Tani
Wonocepokoayu Argosari Ranupane Pakel Kenongo Gucialit Kertowono Sombo Blarang Kayu Kebek Ngadirejo Andono Sari Keduwung Pusung Malang Mororejo Ngadiwono Wonokitri Sedaeng Wonorejo Ngadisari Sapikerep
Penambangan
Senduro Senduro Senduro Gucialit Gucialit Gucialit Gucialit Gucialit Tutur Tutur Tutur Tutur Puspo Puspo Tosari Tosari Tosari Tosari Lumbang Sukapura Sukapura
Nama Desa
Buruh Pabrik
Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Probolinggo Probolinggo
Nama Kecamatan
Perikanan
Kabupaten
Perkebunan
Pekerjaan
31 38 17 36 325 6 1
12 12 37 125
105 84 635
189 3 0 10
105
105
106 106
Lampiran 3 (Lanjutan)
0
82 23
Lainnya
3 25 16
Bidanng Jasa
7
Angkutan/ Komunikasi
1 0 0 0 0
Penambangan
2 0 0 0 0
Tukang Bangunan
21 5 4 8 1 9 17 7 64 7 0
Buruh Tani
125
PNS
Peternakan
Pedagang 36 12 6 6 6 26 54 30
Petani
Wonokerto Ngadirejo Ngadas Jetak Wonotoro Ledokombo Pandansari Wonokerso Sumber Cepoko Sapih
Buruh Pabrik
Sukapura Sukapura Sukapura Sukapura Sukapura Sumber Sumber Sumber Sumber Sumber Lumbang
Nama Desa
TNI/Polri
Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo
Nama Kecamatan
Perikanan
Kabupaten
Perkebunan
Pekerjaan
774 682 532 413 208 576 132 1819 363 366 3
156 299 34 18 11 87 512 241 302 397 1618
27 25 8 17 15 1 10 3 15 7 319
47 35 4 26 40 3 7 5 14 5 4
149 213 96 73 67 1 1 1 3 1 47
5 0 0 0 0 1319 2670 174 3886 2255 5
107 107
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SLTA
DI/DIII/S1/S2/S3
Perkebunan Holtikultura Holtikultura Palawija Holtikultura Palawija Padi Perkebunan Palawija Peternakan Palawija Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Palawija Palawija Holtikultura Holtikultura Holtikultura
Tidak Tamat SD
Benjor Duwet Duwet Krajan Ngadirejo Taji Pandansari Lor Sukopuro Gading Kembar Argosari Kemiri Tamansatriyan Sidorenggo Argoyuwono Mulyoasri Tamansari Sumberejo Pandansari Poncokusumo Wringinanom Gubukklakah
Tidak sekolah
Tumpang Tumpang Tumpang Jabung Jabung Jabung Jabung Jabung Jabung Jabung Tirto Yudo Ampelgading Ampelgading Ampelgading Ampelgading Poncokusumo Poncokusumo Poncokusumo Poncokusumo Poncokusumo
Nama Desa
Keluarga Pengguna Listrik (Non PLN)
Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang Malang
Nama Kecamatan
Tingkat Pendidikan
Keluarga Pengguna Listrik (PLN)
Kabupaten
Komoditi Pertanian Utama
Lampiran 3 (Lanjutan)
239 436 508 250 290 550 1058 900 427 986 555 1013 700 834 397 475 786 1116 981 592
370 621 751 359 58 870 700 314 684 814 2389 1000 314 686 79 1111 1235 878 896 458
308 1120 438 212 12 626 398 148 42 546 515 241 223 162 140 489 431 59 496 300
129 680 628 242 46 380 524 986 633 982 431 2274 320 854 506 955 1586 1252 978 1201
592 742 1343 412 39 2132 3174 1197 2167 2790 2774 1671 2222 1946 817 2497 2856 1846 2284 1484
1568 558 1064 66 18 189 698 525 545 1159 1456 784 477 882 46 818 932 2320 974 456
80 76 159 17 15 20 93 138 43 97 457 434 84 593 28 82 222 748 218 123
14 1 8 5 4 7 38 5 6 14 22 30 2 18 4 19 14 104 46 27
108
108
Tamat SLTA
DI/DIII/S1/S2/S3
393 0 65 56 1055 1 0 1 3 3 1028 1011 597 1592 601 871 1531 485 309 308
Tamat SMP
86 765 286 812 937 664 1251 566 1043 602 1457 934 1473 1314 997 301 776 532 3 504
Tamat SD
Holtikultura Padi Palawija Palawija Padi Holtikultura Holtikultura Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi Padi Holtikultura Holtikultura Holtikultura Perkebunan Holtikultura
Tidak Tamat SD
Ngadas Sumberputih Wonoayu Bambang Patokpicis Sidomulyo Pronojiwo Sumberurip Oro Oro Ombo Supiturang Sumberwuluh Sumbermujur Penanggal Pasrujambe Jambekumbu Burno Kandangtepus Kandangan Bedayutalang Wonocepokoayu
Tingkat Pendidikan Tidak sekolah
Poncokusumo Wajak Wajak Wajak Wajak Pronojiwo Pronojiwo Pronojiwo Pronojiwo Pronojiwo Candipuro Candipuro Candipuro Pasrujambe Pasrujambe Senduro Senduro Senduro Senduro Senduro
Nama Desa
Keluarga Pengguna Listrik (Non PLN)
Malang Malang Malang Malang Malang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang
Nama Kecamatan
Keluarga Pengguna Listrik (PLN)
Kabupaten
Komoditi Pertanian Utama
Lampiran 3 (Lanjutan)
144 302 250 448 569
749 731 271 449 968 955 1053 453 1468 1025 1885 1107 1171 2023 1487 562 1295 745 401 333
522 1453 187 690 963 1796 2548 1205 2601 1539 3388 2562 3050 4260 2196 1907 3752 1981 474 1377
112 1677 268 1087 1954 680 1176 407 759 322 641 496 840 1165 567 214 842 255 45 114
42 694 144 388 736 248 620 169 192 97 260 148 267 404 204 93 351 105 7 50
4 29 8 28 41 45 151 47 82 28 61 56 122 84 53 31 94 23 5 20
109 109
Lampiran 3 (Lanjutan)
655 260 179 237 654 591 149
494
DI/DIII/S1/S2/S3
Tidak Tamat SD
688 304 279 249 748 548 206 335 213 110 307 314 763 169 250 153 259 407 373
Tidak sekolah
247 76 224 171 661 612 78 939 861 411 1317 2 171 385 472 285 519 274 186
Tamat SLTA
Holtikultura Holtikultura Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Palawija Holtikultura Holtikultura Holtikultura Holtikultura Palawija Palawija Holtikultura Holtikultura Holtikultura Holtikultura Holtikultura Holtikultura
Tamat SMP
Argosari Ranupane Pakel Kenongo Gucialit Kertowono Sombo Blarang Kayu Kebek Ngadirejo Andono Sari Keduwung Pusung Malang Mororejo Ngadiwono Podokoyo Wonokitri Sedaeng Wonorejo
Tamat SD
Senduro Senduro Gucialit Gucialit Gucialit Gucialit Gucialit Tutur Tutur Tutur Tutur Puspo Puspo Tosari Tosari Tosari Tosari Tosari Lumbang
Nama Desa
Keluarga Pengguna Listrik (Non PLN)
Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Lumajang Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan Pasuruan
Nama Kecamatan
Keluarga Pengguna Listrik (PLN)
Kabupaten
Komoditi Pertanian Utama
Tingkat Pendidikan
826 350 726 517 1802 2207 514 3272 1951 1281 1506 885 1910 850 1600 965 1328 823 975
99 24 192 177 647 335 78 200 309 196 542 158 77 223 220 154 419 156 211
13 15 21 42 379 82 8 70 144 47 318 12 11 45 60 35 64 15 93
6 4 5 7 77 9 7 25 33 13 95 9 10 18 28 3 10 5 17
110 110 DI/DIII/S1/S2/S3
1262
Tamat SLTA
14 216 122 163 18 52 45
Tidak sekolah
379 409 248 167 174 109 142
Tamat SMP
Holtikultura Holtikultura Holtikultura Holtikultura Holtikultura Holtikultura Holtikultura Holtikultura Holtikultura Holtikultura Palawija Palawija Holtikultura
Tamat SD
Ngadisari Sapikerep Wonokerto Ngadirejo Ngadas Jetak Wonotoro Ledokombo Pandansari Wonokerso Sumber Cepoko Sapih
Tingkat Pendidikan Tidak Tamat SD
Sukapura Sukapura Sukapura Sukapura Sukapura Sukapura Sukapura Sumber Sumber Sumber Sumber Sumber Lumbang
Nama Desa
Keluarga Pengguna Listrik (Non PLN)
Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo Probolinggo
Nama Kecamatan
Keluarga Pengguna Listrik (PLN)
Kabupaten
Komoditi Pertanian Utama
Lampiran 3 (Lanjutan)
124 368 215 195 82 117 78
799 1542 806 1026 462 296 447
399 716 153 192 102 119 158
168 148 106 74 29 60 48
58 42 13 5 4 6 5
509
404
114
24
7
111 Lampiran 4 Dokumentasi
Kawasan Pegunungan Tengger, TN Bromo Tengger Semeru (foto: Eka Susanti)
Kawasan Pegunungan Bromo, TN Bromo Tengger Semeru (foto: Eka Susanti)
112
Aktivitas wisata di laut pasir Pegunungan Tengger, TN Bromo Tengger Semeru (foto: Eka Susanti)
Jalan menuju ke kawasan wisata Pegunungan Tengger, TN Bromo Tengger Semeru (foto: Eka Susanti)
113
Jalan menuju ke kawasan wisata Pegunungan Semeru, TN Bromo Tengger Semeru (foto: Eka Susanti)
Jeep, sarana transportasi wisatawan menuju laut pasir Pegunungan Tengger dan kawasan pendakian Gunung Semeru, TN Bromo Tengger Semeru (foto: Eka Susanti)
114
Kuda sebagai sarana transportasi alternatif wisatawan menuju laut pasir Pegunungan Tengger, TN Bromo Tengger Semeru (foto: Eka Susanti)
115
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Nyapah Banyu, Lampung Utara pada tanggal 1 April 1982 sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Abdul Aziz dan Ibu Rosneli. Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan di Bandar Lampung. Lulus Sarjana Kehutanan pada tahun 2005 dari Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Tahun 2012 penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah, Sekolah Pascasarjana IPB dengan Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Pusbindiklatren Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas). Tahun 2007 penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Kehutanan dan ditempatkan di Unit Pelaksana Teknis Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Maluku Utara. Pada tahun 2012 penulis dipindahtugaskan ke Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan Hutan Lindung di Bogor hingga saat ini.