Analisis, Desember 2014, Vol.3 No.2 : 163 – 172
ISSN 2252-7230
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR ATAS HUTANG SUAMI ISTERI YANG TIDAK DIBEBANKAN KE DALAM HARTA BERSAMA The Legal Protection of the Creditors for the Husband or Wife’s Debts Not Included in The Joint Properties St. Ushbul Aini, Musakkir, Harustiati A. Moein Bagian Hukum Keperdataan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Email:
[email protected] ABSTRAK Hutang suami isteri yang diperuntukkan untuk kepentingan keluarga tidak dibebankan ke dalam harta bersama sesuai dengan amanat Pasal 93 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam akan menimbulkan akibat hukum terhadap pihak suami dan isteri, serta pihak kreditor. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum yang dapat diberikan atas hutang suami dan isteri yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama, dikuatkan dengan putusan pengadilan. Metode pengumpulan data yang digunakan oleh penulis yaitu penelitian lapangan (field research). Hasil penelitian ini adalah penyelesaian hutang suami isteri yang diperuntukkan untuk kepentingan keluarga tidak dibebankan ke dalam harta bersama dapat ditempuh dengan tidak membagi harta bersama, artinya harta yang diperoleh selama perkawinan hanya dikuasai oleh salah satu pihak saja (suami atau isteri). Selain itu, suami dan isteri yang bercerai dapat membuat kesepakatan tentang pelunasan hutang tersebut tanpa melaksanakan putusan hakim. Adapun perlindungan hukum preventif bagi kreditor dapat dilihat dari jaminan yang diberikan oleh suami dan isteri yang melakukan hutang, perjanjian kerja sama terhadap asuransi kredit macet dengan PT Askrindo dan PT Jamkrindo, serta manajemen risiko yang dilakukan oleh pihak bank. Sedangkan perlindungan hukum yang represif dapat ditempuh oleh pihak yang bersengketa (suami dan isteri) untuk melakukan peninjauan kembali, sedangkan untuk kreditor dapat menempuh upaya perlawanan pihak ketiga (derdenverzet). Perlindungan hukum terhadap kreditor harus dikuatkan melalui putusan pengadilan agar memiliki kepastian hukum. Kata Kunci: Hutang Suami Isteri, Harta Bersama, Kreditor ABSTRACT The husband and wife’s debt that is destined for the benefit of the family is not charged to the joint property in accordance with the mandate of Article 93 Paragraph (2) Compilation of Islamic Law will lead to legal consequences for the husband and wife, as well as the creditors. This research aimed to analyze the legal protection that can be given for the debts of the husband and wife were not charged into the joint property, boosted by court decision. Method of data accumulation used by the author is field research. The results of this study are settlement of husband and wife’s debt that is destined for the benefit of the family can be reached by not dividing joint property, that property acquired during marriage is only controlled by one of the parties (husband or wife). In addition, the husband and wife are divorced can make a deal on the debt repayment without carrying out the judge's decision. And preventive legal protection for creditors can be seen from the guarantees given by the husband and wife who do debt, covenant cooperation with bad credit insurance by PT Askrindo and PT Jamkrindo, and risk management is carried out by the bank. While the repressive legal protection that can be taken by the parties to the dispute (husband and wife) to conduct a review, while the creditor can take the resistance efforts of third parties (derdenverzet). The legal protection of the creditors should be strengthened by the decision of the court in order to have legal certainty. Keywords: Husband and Wife’s Debts, Joint Property, Creditor
163
St. Ushbul Aini
ISSN 2252-7230
baginya adalah hukum Islam. Untuk memenuhi segala kebutuhan yang bertalian dengan masalah perkawinan yang banyak aspeknya itu, hukum Islam mengatur dari tata cara pelaksanaan perkawinan sampai dengan segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan, yang dalam hal ini adalah pengaturan dan pembagian harta kekayaan dalam perkawinan setelah perkawinan itu putus. Hal ini dilatarbelakangi oleh alasan bahwa suatu perkawinan seharusnya ada suatu harta yang digunakan untuk menunjang kehidupan perkawinan mereka, yaitu sesuatu yang diperlukan untuk menunjang hidup dan kehidupan sepanjang perkawinan mereka. Dalam perkara perceraian di pengadilan, kebanyakan perceraian yang terjadi disebabkan karena perselisihan (cekcok) yang terus menerus dan karena itu tidak mungkin diharapkan mereka akan hidup rukun seperti biasanya. Suatu perceraian menimbulkan akibat terhadap kedua belah pihak yang bercerai, serta terhadap harta bersama yang diperoleh oleh mantan suami dan isteri tersebut, juga hutang bersama (Nuruddin dkk., 2006). Ketentuan mengenai hutang bersama ini diatur dalam Pasal 93 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama. Suami isteri ikut bekerja atau mempunyai usaha yang menghasilkan uang, maka penghasilan suami dan isteri tersebut menjadi harta bersama dalam perkawinan (Lubis, 2009). Namun hal ini akan menjadi suatu permasalahan ketika hutang bersama tidak dibebankan ke dalam harta bersama, apalagi hal ini dikuatkan oleh putusan pengadilan, baik di tingkat pertama maupun di tingkat banding. Dalam beberapa perkara mengenai pembagian harta bersama di pengadilan, baik di tingkat pertama maupun di tingkat banding, ada kalanya hakim memutuskan
PENDAHULUAN Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam kehidupan setiap manusia. Adanya beragam pengaruh dalam masyarakat tersebut, meng-akibatkan terjadinya banyak aturan yang mengatur masalah perkawinan (Abdoel, 2005). Namun apabila salah satu pihak atau keduanya tidak mungkin lagi mempertahankan perkawinannya, demi kemaslahatan mereka bersama maka hukum Islam telah membuka “pintu darurat” untuk menyelesaikan sengketa rumah tangga itu melalui suatu perceraian (Supriadi, 2002). Perceraian merupakan peristiwa pengakhiran ikatan antara suami dan isteri disebabkan ketidakmungkinan mempertahankan keutuhan rumah tangga. Pengaturan tentang perceraian ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (yang selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksananya. Selain kedua ketentuan ini, terdapat pengaturan lain yang dikhususkan bagi orang yang beragama Islam yaitu Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama (Ghofur, 2007). Dalam perkara perceraian di pengadilan, kebanyakan perceraian yang terjadi disebabkan karena perselisihan (cekcok) yang terus menerus dan karena itu tidak mungkin diharapkan mereka akan hidup rukun seperti biasanya. Suatu perceraian menimbulkan akibat terhadap kedua belah pihak yang bercerai, serta terhadap harta bersama yang diperoleh oleh mantan suami dan isteri tersebut. Jika terjadi perceraian, maka harta bersama tersebut harus dibagi kepada masing-masing pihak. Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, sehingga jika yang berperkara adalah orang Islam maka hukum yang berlaku 164
Hutang Suami Isteri, Harta Bersama, Kreditor
untuk tidak membagi hutang bersama kepada suami dan isteri yang bercerai, melainkan membebankan hutang bersama tersebut kepada salah satu pihak saja, yaitu suami atau isteri. Artinya, hutang yang dilakukan bersama-sama oleh suami dan isteri itu tidak dibebankan ke dalam harta bersama sesuai amanat Pasal 93 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Hal yang menjadi masalah selanjutnya adalah bagaimana penyelesaian pembayaran hutang bersama tersebut. Posisi kreditor (baik kreditor perorangan maupun kreditor perbankan) dalam hal ini akan terancam apabila pihak, baik isteri ataupun suami, yang dibebankan untuk membayar hutang bersama tersebut tidak menyetujui putusan yang dibuat oleh hakim, terutama kreditor perorangan. Dalam perkara ini, pihak kreditor akan dirugikan dari hutang suami isteri tersebut jika tidak ada kepastian hukum terkait pelunasannya. Pasal 93 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam telah jelas mengatur tentang pertanggungjawaban hutang yang dilakukan suami isteri apabila mereka akan bercerai, yaitu dibebankan ke dalam harta bersama kedua belah pihak. Namun jika hanya salah satu pihak saja yang dibebankan pembayarannya dan pihak tersebut tidak menyetujui putusan tersebut, maka pembayaran hutang kepada kreditor menjadi tanda tanya. Apabila hutang yang telah diakui menjadi hutang bersama, hanya dibebankan kepada salah satu pihak saja, baik itu suami ataupun isteri, tidak menutup kemungkinan pembayaran hutang tersebut akan mengalami masalah. Seperti halnya dengan perkara yang dipaparkan di atas, suami dan isteri berhutang kepada beberapa orang, artinya dalam perkara ini ada banyak kreditor. Tentu saja jika semua hutang yang merupakan hutang bersama ini tidak dibebankan ke dalam harta bersama dan hanya salah satu pihak saja yang menanggungnya, maka kreditor akan mendapatkan dampak dari putusan yang
ISSN 2252-7230
dibuat ini. Penelitian ini ditujukan untuk memperoleh informasi tentang penyelesaian hutang suami isteri yang pembayarannya tidak dibebankan ke dalam harta bersama dan perlindungan hukum terhadap kreditor atas permasalahan tersebut. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Watampone, Pengadilan Tinggi Agama Makassar, Bank Rakyat Indonesia Watampone, dan Bank Mandiri Watampone. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini meliputi hakim pengadilan yang ada di Sulawesi Selatan, baik pengadilan agama maupun pengadilan negeri, serta kreditor dan debitor, sedangkan sampel dalam penelitian ini ditetapkan dengan teknik purposive sampling yaitu dengan cara menetapkan jumlah kriteria sampel yang ditetapkan oleh peneliti, sehingga jumlahnya terbatas. Adapun sampel peneliti terdiri dari 5 hakim Pengadilan Agama Watampone dan 7 hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar, serta 2 kreditor bank dan perorangan, seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Mandiri, serta 2 debitor dalam kasus di Pengadilan Agama Watampone dan Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi yaitu penelitian di lapangan (field research) yang dilakukan untuk memperoleh data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode wawancara kepada hakim-hakim yang pernah memutus perkara hutang bersama, yaitu hakim Pengadilan Agama Watampone dan Pengadilan Tinggi Agama Makassar, serta pihak-pihak yang bersengketa atau berperkara, serta pakar hukum yang menguasai kajian yang 165
St. Ushbul Aini
ISSN 2252-7230
diangkat dalam penelitian ini. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan datum dari beberapa pengadilan yang menjadi lokasi penelitian, yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang diperoleh atau yang berhasil dikum-pulkan selama proses penelitian, baik data primer maupun data sekunder, dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu dengan menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan sesuai dengan permasa-lahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini.
jawaban hutang bersama yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama. Hal ini membuktikan bahwa amanat Pasal 93 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam tidak dijalankan dalam putusan pengadilan terkait tentang pertanggungjawaban hutang bersama tersebut. Adapun syarat-syarat untuk dikategorikan sebagai hutang bersama, seperti yang telah dikumpulkan dari beberapa sumber, yaitu hutang tersebut untuk kepentingan keluarga, bukan untuk kepentingan lain, atas kesepakatan bersama, serta hutang tersebut dilakukan selama perkawinan berlangsung. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan melakukan wawancara kepada hakim-hakim Pengadilan Agama Watampone dan Pengadilan Tinggi Agama, ada beberapa faktor tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama. Hal ini berarti bahwa amanat Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam tidak terpenuhi Berdasarkan dari data-data di atas terkait penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Agama Watampone dan Pengadilan Tinggi Agama Makassar sebagai lokasi penelitian, maka penyelesaian hutang bersama yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama yaitu dengan tidak membagi harta bersama tersebut. Artinya, harta yang seharusnya menjadi harta bersama yang harus dibagi kepada suami dan isteri yang bercerai menjadi hak suami sepenuhnya sebagai debitor yang bertanda tangan terhadap hutang bersama tersebut. Selain itu para pihak dapat membuat kesepakatan atau persetujuan tentang pembayaran hutang bersama tersebut. Putusan hakim yang mengabaikan hutang bersama bisa saja tidak dilaksanakan oleh kedua belah pihak, walaupun di lain hal, putusan tersebut tetap dianggap benar. Namun semuanya tergantung para pihak. Tidak menjadi persoalan ketika putusan tersebut tidak dilaksanakan selama para pihak bersepakat mengenai hal ini.
HASIL Penyelesaian Hutang Suami Isteri yang Tidak Dibebankan ke Dalam Harta Bersama Pengadilan Agama Watampone dan Pengadilan Tinggi Agama Makassar sebagai lokasi penelitian dalam penelitian terkadang mengeluarkan putusan mengenai pembayaran hutang bersama yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama. Padahal aturan dalam kompilasi Hukum Islam yang tertuang dalam Pasal 93 ayat (2) mengamanatkan pembayaran hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dalam hal ini hutang bersama (yang dilakukan oleh suami dan isteri, atau salah satu pihak dengan tujuan untuk kepentingan keluarga), harus dibebankan ke dalam harta bersama. Berdasarkan hasil wawancara di Pengadilan Tinggi Agama Makassar, terdapat beberapa putusan mengenai hutang bersama. Hakim-hakim Pengadilan Agama Makassar sebagian besar membagi dua harta bersama, baik itu berupa harta maupun hutang. Masingmasing suami dan isteri mendapat bagian 50% atas harta bersamanya. Dalam memutus perkara harta bersama, hakim selalu menanyakan pembuktian dari para pihak yang menyangkal bahwa ia tidak mengetahui adanya hutang. Sedangkan hasil wawancara di Pengadilan Agama Watampone, beberapa hakim pernah memutus perkara tentang pertanggung166
Hutang Suami Isteri, Harta Bersama, Kreditor
ISSN 2252-7230
salah satu asas dalam asas pengambilan kredit di bank hanya berdasar kepercayaan. Jika terjadi wanprestasi dalam perjanjian kredit ini, maka pelunasannya di-covered oleh PT Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) atau PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo). Namun yang ditanggung disini hanya 70% saja, sehingga untuk pelunasannya tetap menagih pada suami dan isteri sebagai debitor. Berdasarkan wawancara dengan Kepala bagian Perkreditan Bank Mandiri Watampone dan Analis Kredit BRI Watampone , klaim atas kredit kepada PT Askrindo maupun PT Jamkrindo sangat rumit. Hal ini dikarenakan banyaknya prosedur dan lamanya masa pencairan klaim tersebut. Dalam hal ini, kreditor akan tetap merugi. Berdasarkan data dari PT Askrindo Jakarta, biasanya menolak klaim dari pihak bank dengan alasan tertentu. Terhadap pemberian asuransi terhadap kredit, maka diadakan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara PT Askrindo atau PT Jamkrindo dengan pihak bank. Klaim yang diajukan adalah kredit yang menunggak dan telah jatuh tempo belum pernah ada pembayaran selama 121 hari sejak kredit jatuh tempo, atau yang biasa disebut dengan collectibilitas 4. Hal itu dijadikan acuan bagi klaim asuransi dari kredit macet tersebut, dalam hal ini hutang bersama. Adapun alasan PT Askrindo sering menolak klaim atas kredit tersebut adalah kelengkapan berkas yang diminta oleh PT Askrindo kepada pihak bank yang mengajukan klaim tidak lengkap. Kelengkapan berkas yang harus disiapkan oleh pihak bank jika ingin mengajukan klaim KUR Mikro adalah fotocopy Akad Kredit yang telah dilegalisir oleh pihak bank yang berwenang, fotocopy penjaminan dari PT Askrindo, Kartu Tanda Pendu-duk dan Kartu Keluarga debitor (dalam hal ini suami dan isteri yang berhutang), Lembar Kunjungan Nasabah, Berita Acara Klaim, dan Rekening Koran Debitor. Untuk kelengkapan berkas yang harus disiapkan oleh pihak bank jika
Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor atas Hutang Suami Isteri yang Tidak Dibebankan ke Dalam Harta Bersama Untuk kreditor yang diabaikan haknya oleh pengadilan yang menangani perkara suami dan isteri yang bercerai yang mengambil hutang kepada mereka, maka bentuk perlindungan hukum dibagi menjadi dua, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa. Dalam perkara suami dan isteri yang mengambil hutang bersama dan pemba-yarannya tidak dibebankan ke dalam harta bersama terkait perlindungan hukum preventif, dapat dilihat klausula perjanjian, dimana terdapat pasal yang melindungi hak kreditor untuk mendapatkan pembayaran yaitu dengan adanya jaminan yang diberikan oleh suami dan isteri selaku debitor kepada kreditor. Begitupun dengan klausula jika debitor wanprestasi, maka kreditor berhak mengambil jaminan debitor. Bank Rakyat Indonesia dan Bank Mandiri memiliki program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kredit Usaha Rakyat ini merupakan kredit yang diberikan kepada warga negara Indonesia tanpa adanya jaminan untuk dijadikan sebagai modal usaha. Untuk Bank Rakyat Indonesia, kredit yang disalurkan terdiri dari dua jenis kredit. Jenis kredit yang pertama adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang terdiri dari dua jenis yaitu KUR Mikro (kredit di bawah 20 juta dan kredit ini tanpa jaminan) dan KUR Makro yaitu Kredit dari 20 juta hingga 100 juta, biasanya menggunakan jaminan. Kedua adalah Kredit Retail/Bisnis, yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha dengan skala besar. Kredit yang diberikan ini berkisar antara 100 juta hingga 500 juta. Di Bank Rakyat Indonesia, Kredit Usaha Rakyat yang disalurkan dengan nominal di bawah 20 juta merupakan kredit tanpa jaminan. Hal ini berarti bahwa asas kolateral yang merupakan 167
St. Ushbul Aini
ISSN 2252-7230
ingin mengajukan klaim KUR Bisnis/ Retail lebih kompleks yaitu fotocopy Akad Kredit yang telah dilegalisir oleh pihak bank yang berwenang, fotocopy penjaminan dari PT Askrindo, Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga debitor (dalam hal ini suami dan isteri yang berhutang), Lembar Kunjungan Nasabah,Berita Acara Klaim, Rekening Koran Debitor, BI Checking dan Sistem Informasi debitor (biasanya di-print di website Bank Indonesia), Riwayat Nasabah tentang Aktivitas Kredit di bank, dan format klaim harus sama dengan yang diberikan oleh PT Askrindo. Selain penjaminan kredit yang bermasalah oleh PT Askrindo dan PT Jamkrindo, Bank Rakyat Indonesia dan Bank Mandiri memiliki manajemen risiko secara internal. Manajemen risiko dapat diikhtisarkan sebagai berikut melakukan Identifikasi Risiko, melakukan Pengukuran/Analisis Risiko, melakukan Penanganan Risiko, dan pemantauan. Adapun perlindungan hukum yang represif berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara partial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelom-pokkan menjadi 3 (tiga) badan, salah satunya adalah pengadilan. Terlepas dari kekeliruan hakim dalam memutus perkara tersebut, putusan yang mengabaikan pengakuan dari para pihak yang berperkara, menurut para hakim di Pengadilan Tinggi Agama Makassar, putusan tersebut dapat dibatalkan oleh hakim yang lebih tinggi di atasnya. Namun jika keadilan tersebut masih belum terpenuhi, tentu saja berdampak negatif bagi para pencari keadilan seperti pihak yang kalah dalam perkara nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp. Ini dan kreditor dari suami dan isteri yang bercerai. Pihak yang dirugikan ini dapat mengajukan upaya hukum Berdasarkan hasil wawancara di Bank BRI dan Bank Mandiri, sebagian besar pengambilan kredit oleh suami dan
isteri yang bercerai sebagai usaha bersama selama perkawinan, pihak bank memberikan kesempatan keada suami dan isteri yang bercerai itu untuk memusyawarahkan bagaimana pembayaran angsuran dari kredit mereka. Jika memang tidak terjadi kesepakatan di antara suami dan isteri yang bercerai, barulah pihak bank turut campur dengan penyelesaian masalah tersebut. Bank Mandiri dan BRI jarang sekali membawa permasalahan hutang bersa-ma ke meja pengadilan. Hal ini dikarenakan penyelesaian melalui jalur litigasi sangat menghabiskan banyak waktu dan biaya. Selain dari perlindungan hukum berupa eksekusi jaminan, pemberian asuransi kredit, dan manajemen risiko, pihak yang dirugikan ketika hutang bersama tidak dibebankan ke dalam harta bersama yaitu pihak yang menanggung seluruh hutang bersma tersebut dapat menempuh upaya hukum luar biasa, yaitu peninjauan kembali. Oleh karena perkara ini telah lewat masa mengajukan kasasi, yaitu 14 hari setelah putusan banding dibacakan, maka pihak yang keberatan dapat ditinjau kembali. Perlindungan hukum terhadap kreditor yang diabaikan hak pelunasan piutang-nya oleh Pengadilan Agama Watampone dan Pengadilan Tinggi Agama Makassar dapat menempuh upaya derdenverzet atau perlawanan pihak ketiga kepada pengadilan yang bersangkutan. Dari hasil wawancara kepada hakim Pengadilan Agama Watampone dan hakim Pengadilan Tinggi Agama Makassar, derdenverzet ini biasa diajukan oleh kreditor. Namun hanya hakim Pengadilan Agama Watampone saja yang pernah menangani perkara derdenverzet, sedangkan di Pengadilan Tinggi Agama Makassar belum pernah diajukan derdenverzet oleh kreditor. Derdenverzet menjadi salah satu bentuk perlindungan hukum yang dapat ditempuh oleh pihak kreditor, agar harta bersama yang menjadi jaminan pelunasan hutang yang dilakukan oleh suami dan isteri untuk kepentingan keluarga ini 168
Hutang Suami Isteri, Harta Bersama, Kreditor
tidak menguntungkan salah satu pihak saja, yaitu isteri dalam perkara Nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp.
ISSN 2252-7230
membebankan hutang bersama tersebut kepada salah satu pihak saja (suami atau isteri), seperti yang terjadi dalam perkara yang penulis angkat dalam penelitian ini. Berdasarkan dari data-data di atas terkait penyebab tidak dibebankannya hutang bersama ke dalam harta bersama oleh pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Agama Watampone dan Pengadilan Tinggi Agama Makassar sebagai lokasi penelitian, maka penyelesaian hutang bersama yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama yaitu dengan tidak membagi harta bersama tersebut. Artinya, harta yang seharusnya menjadi harta bersama yang harus dibagi kepada suami dan isteri yang bercerai menjadi hak suami sepenuhnya sebagai debitor yang bertanda tangan terhadap hutang bersama tersebut. Dampak dari kepu-tusan tersebut, isteri yang dinyatakan oleh Pengadilan Agama Watampone dan Pengadilan Tinggi Agama Makassar tidak bertanggung jawab atas hutang bersama tersebut, menjadi tidak mendapat bagian dari harta bersama, sehingga suami yang harus membayar semua hutang yang dilakukan ketika mereka masih terikat dalam perkawinan. Hal ini bertentangan dengan amanat Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan bahwa harta bersama yang dimiliki oleh suami dan isteri yang bercerai harus dibagi dua (masing-masing suami dan isteri mendapat seperdua bagian dari harta bersama). Berdasarkan Hukum Islam, penyelesaian hutang bersama dengan tidak membagi harta bersama tersebut menyalahi hukum Islam (jika dilihat dari hak masing-masing suami dan isteri) dan amanat Kompilasi Hukum Islam yang secara tegas mengatur pembagian harta bersama masing-masing seperdua (Soemiyati, 2002). Hal ini didasarkan pada suatu pemikiran bahwa dalam suatu perkawinan itu baik pihak isteri maupun pihak suami mempunyai kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dengan suami sebagai kepala
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa amanat Pasal 93 Ayat (2) Kompilasi Hukum Islam mengenai pertanggungjawaban hutang suami isteri yang diperuntukkan untuk kepentingan keluarga tidak terlaksana. Dalam putusan terhadap perkara perceraian yang direkonvensi dengan pembagian harta bersama yang di dalamnya terdapat hutang suami isteri yang dimohonkan di Pengadilan Agama Watampone dan dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Makassar, suami dan isteri mengakui adanya hutang bersama dalam perkawinan mereka. Keduanya bersepakat meminta penyelesaian untuk membagi hutang bersama tersebut kepada kedua belah pihak (terdapat beberapa hutang bersama), namun diputus lain oleh hakim di tingkat pertama dan tingkat banding. Hakim memutus hutang tersebut dibebankan kepada pihak suami, karena hakim berpendapat bahwa hutang tersebut tidak dilakukan bersama isterinya. Padahal kedua belah pihak (suami dan isteri) mengakui hutang tersebut adalah hutang bersama mereka, sedangkan dalam masalah kebendaan, pengakuan menjadi alat bukti sempurna. Akan tetapi, hakim mengabaikan pengakuan tersebut. Akibatnya kreditor yang seharusnya mendapatkan pelunasan dari harta bersama atau dari kedua belah pihak yang berhutang, menjadi tidak jelas bagaimana pelunasan hutang bersama tersebut. Untuk kreditor preferen, tidak akan mendapatkan masalah ketika terjadi wanprestasi dari suami dan isteri yang bercerai itu karena mendapatkan hak pelunasan terlebih dahulu dibandingkan dengan kreditor lainnya (memegang jaminan). Namun yang menjadi masalah ketika jaminan yang merupakan harta bersama dibagi tanpa sepengetahuan kreditor dan hakim memutuskan untuk 169
St. Ushbul Aini
ISSN 2252-7230
rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga (Manan, 2005). Kesepakatan atau persetujuan para pihak mengenai pembayaran hutang bersama tersebut, jika dilihat dari fungsi pengadilan untuk menyelesaikan perkara dengan seadil-adilnya (Rahardjo, 2006), tentu saja hal ini merupakan hal yang siasia. Perkara hutang bersama ini telah melewati masa penyelesaian perkara yang bertahun-tahun, namun karena perkara ini adalah perkara perdata yang bisa saja tidak dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa, sehingga suatu hal yang sia-sia jika putusan tidak dilaksanakan. Dengan kata lain, putusan tersebut menjadi putusan hampa (illusor) (Sutantio dkk., 2005). Di lain pihak, apabila para pihak melaksanakan putusan tersebut, maka hutang yang terjadi selama perkawinan debitor terabaikan. Karena dalam putusan tersebut, hakim tidak memperhitungkan semua hutang suami dan isteri yang bercerai sebagai kreditor tersebut. Akibatnya, pelunasan hutang dari suami dan isteri yang bercerai tersebut tidak mendapatkan kepastian hukum mengenai pelunasannya. Perlindungan hukum terhadap kreditor yang terbagi atas dua jenis, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif (Hadjon, 2011). Perlindungan hukum preventif yang dilakukan oleh pihak bank untuk mencegah terjadinya kredit macet seperti manajemen risiko, dimana menurut Soiesno Djojosoedarso, pengertian manajemen risiko secara sederhana adalah pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam penanggu-langan risiko, terutama risiko yang dihadapi oleh organisasi atau peru-sahaan, keluarga dan masyarakat (Djojosoedarso, 2003), tidak terlalu efektif untuk memberikan keuntungan kepada pihak kreditor. Sedangkan derdenverzet menjadi salah satu bentuk perlindungan hukum represif yang dapat ditempuh oleh pihak kreditor, agar harta bersama yang menjadi jaminan pelunasan hutang yang dilakukan oleh suami dan isteri untuk kepentingan keluarga ini
tidak menguntungkan salah satu pihak saja, yaitu isteri dalam perkara Nomor 623/Pdt.G/2009/PA Wtp. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perlindungan hukum terhadap kreditor yang tidak diakomodasi oleh putusan pengadilan dapat mengajukan derdenverzet, baik oleh kreditor perbankan maupun kreditor perorangan. Sudikno Mertokusumo memberi definisi atas derdenverzet yaitu perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang hak-haknya dirugikan kepada hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersang-kutan dengan cara biasa (Mertokusumo, 2002). Prinsipnya, kepentingan pihak ketiga yang dilanggar itu harus dibuktikan dengan bukti otentik. Namun permasalahan yang timbul ketika hutang suami dan isteri yang tidak dibebankan ke dalam harta bersama, yaitu tidak dibayarkannya hutang bersama tersebut dari harta bersama suami dan isteri yang bercerai, sehingga hanya salah satu pihak saja yang menanggung hutang tersebut. Kemudian yang kedua adalah adanya potensi kredit macet atau terjadi wanprestasi, sehingga hak kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari suami dan isteri tersebut tidak terwujud. Dalam kaitannya dengan hanya satu pihak yang menanggung hutang bersama, ada dua pihak yang tidak mendapatkan keadilan, yaitu debitor yang menanggung seluruh hutang dan kreditor yang jika si debitor tidak dapat melunasi hutangnya, maka terjadi wanprestasi. Hal ini berarti kreditor tidak mendapatkan pelunasan atas piutangnya kepada suami dan isteri yang bercerai tersebut. Semua hakim yang diwawancarai sepakat bahwa jika terjadi wanprestasi, maka kreditor berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri setempat. Namun permasalahan tidak sampai disitu saja, karena diperlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk berperkara mengenai hutang bersama tersebut. 170
Hutang Suami Isteri, Harta Bersama, Kreditor
Dari segi efisiensi, tentu saja ketika perkara hutang bersama diajukan oleh suami dan isteri yang akan bercerai, hakim seharusnya memeriksa semua berkas yang terkait dengan hutang tersebut. Jika hutang tersebut dimin-takan cara pelunasannya, kembali pada aturan dalam Pasal 93 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, maka dibebankan ke dalam harta bersama. Selanjutnya jika tidak mencukupi, maka dibayarkan dari harta pribadi suami, kemudian jika tidak mencukupi barulah dibayarkan dari harta pribadi isteri. Untuk membuktikan bahwa hutang yang sedang diperkarakan dalam pengadilan oleh suami dan isteri yang akan bercerai adalah hutang bersama, maka pihak kreditor sebaiknya dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan kelirunya hakim dalam memutus terkait apakah hutang yang terjadi selama perkawinan tersebut adalah hutang bersama atau bukan. Perlindungan hukum terhadap kreditor dari asuransi kredit pun tidak cukup mengakomodasi pelunasan hutang tersebut. Pertama, kredit yang diasuransikan pada PT Askrindo dan PT Jamkrindo hanya dilakukan oleh bank, sedangkan untuk kreditor perorangan tidak memberikan asuransi dari piutang yang diberikan kepada suami dan isteri selaku debitor dalam hutang bersama. Kedua, adanya penolakan pengajuan klaim dari PT Askrindo cukup memperumit penyelesaian masalah kredit macet. Walaupun pencairan dana klaim diberikan kepada PT Askrindo kepada bank yang bersangkutan, klaim tersebut juga akan kembali pada keuangan negara. Menurut penulis, rumitnya prosedur perlindungan hukum yang berupa asuransi kredit ini tidak cukup efisien dalam melindungi kreditor, karena kreditor tetap harus berupaya keras untuk mendapatkan pembayaran atas kredit macet dari hutang suami dan isteri yang bercerai. Perlindungan hukum terhadap kreditor atas hutang suami dan isteri yang
ISSN 2252-7230
tidak dibebankan ke dalam harta bersama ini seharusnya sudah diperhitungkan oleh pengadilan dimana para pihak yang akan bercerai yang memohonkan pembagian harta bersama. KESIMPULAN DAN SARAN Penyelesaian hutang suami dan isteri, dalam hal ini hutang bersama pada kreditor dapat ditempuh dengan tidak membagi harta bersama tersebut. dan membuat kesepakatan atau persetujuan tentang pembayaran hutang bersama tersebut. Perlindungan hukum preventif bagi kreditor dapat ditempuh dengan eksekusi jaminan yang diberikan oleh debitor, dalam hal ini suami dan isteri yang melakukan pinjaman. Selain eksekusi jaminan, klaim asuransi kredit kepada PT Askrindo dan PT Jamkrindo, walaupun dalam kenyataannya, klaim tersebut banyak mengalami hambatan, sehingga kreditor berisiko mengalami kerugian. Atau dengan manajemen risiko yang dapat dilakukan oleh perbankan yang memberikan kredit kepada suami dan isteri yang berhutang. Adapun perlindungan hukum represif dapat dilakukan oleh pihak perbankan ataupun kreditor non-perbankan yang tidak memiliki manajemen risiko ataupun klaim terhadap PT Askrindo dan PT Jamkrindo yaitu derdenverzet (perlawanan pihak ketiga). Untuk menghindari putusan hampa (illusor), sebaiknya hakim tidak hanya memperhatikan harta yang dimiliki oleh suami dan isetri yang bercerai, namun juga memperhatikan hutang dari suami dan isteri. Oleh karena perkara yang diangkat dalam penelitian ini adalah perkara perdata yang bisa saja tidak dilaksanakan oleh para pihak yang bersengketa, sehingga suatu hal yang siasia jika putusan tidak dilaksanakan. Di lain pihak, apabila para pihak melaksanakan putusan tersebut, maka hutang yang terjadi selama perkawinan debitor terabaikan.
171
St. Ushbul Aini
ISSN 2252-7230
Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta : Prenada Media. Mertokusumo, Sudikno. (2002). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. Nuruddin, Amiur; Tarigan, Azhari Akmal. (2006). Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Rahardjo, Satjipto. (2006). Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya. Soemiyati. (2004). Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta : Liberty. Supriadi, Wila Chandrawila. (2002). Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda. Bandung : Mandar Maju. Sutantio, Retnowulan; Oeripkartawinata, Iskandar. (2005). Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju.
DAFTAR PUSTAKA Abdoel, Djamali. (2005). Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers. Djojosoedarso, Soiesno. (2003). Prinsipprinsip Manajemen Risiko dan Asuransi. Jakarta: Salemba Empat. Ghofur, Anshori Abdul. (2007). Peradilan Agama di Indonesia Pasca UU Nomor 3 Tahun 2006. Yogyakarta : UII Press. Hadjon, Philipus M.. (2011). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta : GMUP. Lubis, Andayanti. (2009). Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Atas Harta Bawaan Isteri terhadap Hutang Suami dengan Jaminan Harta Bersama (Studi Kasus Putusan Nomor: 295/Pdt.G/ 2001/PN Mdn). Semarang: Universitas Diponegoro. Manan, Abdul. (2005). Penerapan
172