ANALISIS ALTERNATIF PENGGUNAAN LAHAN UNTUK MENJAMIN KETERSEDIAAN SUMBERDAYA AIR DI DAS KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA
La Baco S.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi tentang “Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara” adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Januari 2012
La Baco S. NRP. A262030041
iii
ASTRACT La Baco S. A262030041. Analysis of Land Use Alternatives to Ensure Water Resource Availability in Konaweha Watershed, Southeast Sulawesi Province, under the supervision of Naik Sinukaban, Yanuar Jarwadi Purwanto, Bunasor Sanim and Suria Darma Tarigan. Phenomena of depleting of water resources and increasing water demand have been occurring in Konaweha watershed. Combine with other degraded conditions, Konaweha watershed have been categorized as priority watershed in Southeast Sulawesi Province. Land use change is the main factor to influence water balance that indicated by the increasing maximum discharge in rainy seasons and decreasing minimum discharge in dry seasons. The objective of this research were (1) to evaluate the effects of land use changes on water resources of Konaweha watershed; (2) to evaluate the availability of water resources to meet water demand as well as minimum proportion of forest cover in the watershed to ensure sustainable water resources in Konaweha watershed, (3) to evaluate the proportion of maintenance cost that should be shared by each district to maintain sustainable water resources; and (4) to formulate land use alternatives and management policy of Konaweha watershed. This research was conducted in Konaweha watershed for 10 months from June 2009 to March 2010. The result of this research showed that forest, swamp, plantation and bush area tended to decline exponentially year by year due to population growth. The decline of forest area have significantly decreased minimum discharge of Konaweha River in dry seasons and increased maximum discharge in rainy seasons. These condition have caused a significant deficit of water resources in dry seasons starting from period of 2006 to 2030 eventhough there was no deficit of annual water resources. To ensure sustainability of water resources in Konaweha watershed, regression analysis showed that the minimum proportion of forest cover in Konaweha watershed should be keept in place about 32.5 to 37.5 % of the total watershed area. Economic value of water analysis showed that Kendari District should share about 37 %, Konawe District 28 %, South Konawe District 14 % and Kolaka District 21 % of the total maintenance cost for ensuring good hydrological function of the watershed. Forest economic value including flora and fauna, carbon stock, option value, bequest value and existence value reaches 15 million rupiah per hectare. Simulation of proper multiple regression showed the composition of dominant land use in Konaweha watershed of 40 % forest, 46 % plantation, 5 % mix garden and 4 % bush will be the best land use alternative for ensuring sustainable water resources in Konaweha watershed. Key Words: watershed, land use change, water resource, water demand, economic value, maintenance cost
iv
RINGKASAN La Baco S. A262030041. Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara dibawah bimbingan Naik Sinukaban, Yanuar Jarwadi Purwanto, Bunasor Sanim dan Suria Darma Tarigan. Fenomena yang akhir-akhir ini terkait dengan eksistensi sumberdaya air adalah penurunan ketersediaan air, sementara kebutuhan air meningkat terus dari waktu ke waktu yang merupakan konsekuensi logis dari pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi. Fenomena tersebut juga terjadi di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara. Salah satu penyebab penurunan ketersediaan air di DAS Konaweha adalah perubahan penggunaan lahan khususnya hutan yang cenderung mengalami penurunan luas dari waktu ke waktu. Salah satu akibat dari hal tersebut adalah peningkatan debit maksimum dan penurunan debit minimum Sungai Konaweha. Jika penurunan debit minimum terus berlangsung maka suatu ketika akan terjadi defisit air pada musim kemarau. DAS Konaweha memegang peranan penting karena fungsinya yang sangat vital khususnya sebagai sumber air bagi Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka. Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengkaji perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap sumberdaya air di DAS Konaweha; (2) mengkaji ketersediaan dan kebutuhan air serta proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha; (3) mengkaji proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air bagi kabupaten/kota untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air; dan (4) mengkaji kebijakan penggunaan lahan alternatif yang dapat menjamin ketersediaan air jangka panjang. Penelitian ini dilakukan di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara yang mencakup Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari, selama 10 bulan yakni Juni 2009 sampai Maret 2010. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan sampel wilayah kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan ditentukan secara purposive, sedangkan sampel responden dengan cara acak (random) dan metode bola salju (snow ball method). Aspek-aspek yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) kondisi DAS meliputi tata guna lahan, morfologi DAS, tanah, iklim, dan kependudukan, (2) kebutuhan air (domestik, industri, pertanian, dan air yang menggelontor), (3) ketersediaan air (curah hujan dan debit sungai), (4) proporsi luas hutan minimal untuk memenuhi kebutuhan air, (5) nilai ekonomi hasil hutan non kayu mencakup nilai ekonomi rotan, madu, produksi air, potensi penyerapan karbon, nilai pilihan (option value), nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (existence value), (6) proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS bagi kabupaten/kota yang memanfaatkan air dari DAS Konaweha, (7) penggunaan lahan alternatif yang dapat menjamin ketersediaan air jangka panjang. Penggunaan lahan alternatif ditentukan dengan simulasi hubungan antara penggunaan lahan dengan debit sungai. Hasil simulasi tersebut digunakan untuk menentukan proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan agar ketersediaan air dapat menjamin seluruh kebutuhan air hingga kurun waktu tertentu. Kelayakan penggunaan lahan alternatif ditentukan berdasarkan kelayakan lingkungan, ekonomi dan sosial. Skala waktu perencanaan atau kajian adalah tahun 2011-2050.
v
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 1991-2010 terjadi penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu, diikuti dengan peningkatan luas penggunaan lahan lainnya. Diperkirakan luas hutan rata-rata periode 2026-2030 adalah 32 %, sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing 48 %, 6 % dan 4 %. Luas hutan periode 2046-2050 adalah 22 %, sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing 52 %, 7 % dan 5 %. Selama periode tersebut telah terjadi peningkatan koefisien aliran permukaan dari 31,4 % menjadi 45,6 % dan terjadi penurunan debit minimum dari 40 m3/detik menjadi 24 m3/detik, sedangkan debit maksimum meningkat dari 246 m3/detik menjadi 284 m3/detik. Ketersediaan air yang didasarkan pada perubahan penggunaan lahan menunjukkan penurunan dari 37,6 m3/detik pada periode 2011-2015 menjadi 23,0 m3/detik pada periode 2031-2035 dan 14,7 m3/detik pada periode 2046-2050. Sementara itu distribusi bulanan kebutuhan air sektor domestik (3,8 %), industri (4,7 %) dan irigasi (91,5 %) mengalami peningkatan yakni 24 m3/detik pada periode 20112015 meningkat menjadi 29 m3/detik pada periode 2031-2035 dan 33 m3/detik periode 2046-2050. Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk menjamin ketersediaan air di DAS Konaweha adalah 32,5-37,5 % dari luas DAS Konaweha Hulu. Proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS yang menjadi tanggung jawab Kota Kendari adalah 37 %, sedangkan Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan masing-masing 28 %, 21 % dan 14 % dari total nilai ekonomi air DAS Konaweha. Pada tahun 2050 Kota Kendari harus membayar sebesar 6,97 milyar rupiah, sedangkan Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan masingmasing 5,51 milyar rupiah, 4,32 milyar rupiah dan 2,80 milyar rupiah untuk memelihara fungsi DAS Konaweha dalam menjaga tata air. Sumber-sumber pendanaan yang bisa digunakan kabupaten/kota adalah dana alokasi khusus (DAK), dana masyarakat melalui penarikan pajak air bagi pengguna dan dana pembayaran jasa lingkungan (payment of environmetal services) bagi daerah hilir. Nilai ekonomi hasil hutan non kayu di DAS Konaweha adalah sekitar 15 juta rupiah per hektar dimana sekitar 90 % diperoleh dari nilai ekonomi penyerapan karbon, sedangkan sisanya dari nilai ekonomi rotan (flora) dan madu (fauna), nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan. Tiga dari lima skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha yakni skenario 2 (35 % hutan, 51 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar), skenario 3 (kondisi eksisting tahun 2011) dan skenario 5 (40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar) layak diterapkan di DAS Konaweha umumnya dan DAS Konaweha Hulu pada khususnya, sedangkan skenario 1 dan skenario 4 tidak layak untuk diterapkan. Kebijakan yang berkaitan dengan penatagunaan lahan di DAS Konaweha saat ini adalah RTRW masing-masing kabupaten/kota yang didasarkan pada batas administrasi. Jika kebijakan tersebut berjalan terus, maka pada tahun 2050 akan terjadi defisit air 14,5 m3/detik atau 37,6 juta m3 dan kemungkinan besar akan terjadi konflik kepentingan antar daerah khususnya berkaitan dengan alokasi sumberdaya air. Komposisi 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar merupakan penggunaan lahan alternatif terbaik untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha. Kata kunci: Perubahan penggunaan lahan, sumberdaya air, ketersediaan air, kebutuhan air, nilai ekonomi, biaya pemeliharaan fungsi DAS
vi
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS ALTERNATIF PENGGUNAAN LAHAN UNTUK MENJAMIN KETERSEDIAAN SUMBERDAYA AIR DI DAS KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA .
La Baco S.
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian
: Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara
Nama Mahasiswa
: La Baco S.
Nomor Pokok
: A262030041
Program Studi
: Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Menyetujui : Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS. Anggota
Prof. Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc. Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi DAS
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian: 19 September 2011
Tanggal Lulus:
Penguji Luar Komisi
Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S. (Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Manajemen Institut Pertanian Bogor). 2. Dr. Ir. Nora Herdiana Pandjaitan, DEA. (Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor).
Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Harry Santoso (Dirjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan Republik Indonesia). 2. Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S. (Guru Besar Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor).
x
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya sehingga penulisan disertasi ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Penyusunan disertasi ini merupakan satu kesatuan proses yang diawali dari konsultasi, penyusunan proposal penelitian, penelitian dan penyusunan draf disertasi.
Keseluruhan proses tersebut tidak mungkin dapat terlaksana tanpa
arahan, fasilitasi, bantuan, masukan, saran maupun kritik dari komisi pembimbing. Penulis menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Komisi Pembimbing yang terdiri dari: Bapak Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS; Bapak Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim,M.Sc; dan Bapak Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selama ini dengan segala upaya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis. Ucapkan terima kasih penulis sampaikan kepada penguji luar komisi ujian pada ujian tertutup yakni: Bapak Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, M.S dan Ibu Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Harry Santoso (Direktur Jenderal Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial Kementrerian Kehutanan Republik Indonesia) dan Bapak Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S masing-masing bertindak sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Rektor Universitas Haluoleo Kendari; Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S., Dekan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo; Bapak Dr. Ir. H. Taane La Ola, M.P., yang telah memberikan bantuan moril maupun materil kepada penulis selama masa studi hingga saat ini. Penulis mengucaplkan terima kasih banyak kepada Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara yang memberikan dukungan data dan informasi selama penulis melakukan penelitian meliputi Gubernur Provinsi Sulawesi
xi
Tenggara; Bapak H. Nur Alam, SE,
Walikota Kendari; Bapak Ir. H. Asrun,
M.Eng, Bupati Konawe; Bapak Dr. H. Lukman Abunawas, M.Si, Bupati Konawe Selatan; Bapak
Drs. H. Imran, M.Si., dan Bupati Kolaka; Bapak Dr. H. Buhari
Matta, M.Si. Ucapan terima kasih khusus penulis sampaikan kepada Kepala Badan Pengelolaan DAS Sampara Provinsi Sulawesi Tenggara bersama staf yang membantu menyediakan peta-peta, pengecekan lapangan dan bantuan lainnya. Disertasi ini saya dedikasikan untuk seluruh keluarga khususnya istri tercinta ”Hj. Andi Sri Rahyuni, SP.” dan anak-anak tersayang yakni ”Tasya Audrya Wulandari (almarhumah), ”Athalia Neva Belinda” dan ”Callista Adira Putri” atas dorongan dan motivasi yang diberikan selama ini hingga penulis dapat menyelesaikan studi S3 di Institut Pertanian Bogor. Akhirnya penulis menyadari bahwa disertasi ini hanyalah karya dari manusia biasa sehingga akan jauh dari kata “sempurna”, oleh karena itu saran dan masukan dari berbagai pihak sangat diharapkan guna menyempurnakan disertasi ini. Semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi penulis, Amien ...!
Bogor, Januari 2012
Penulis
xii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lambale Kabupaten Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 1963 sebagai anak kedua dari 5 bersaudara pasangan Sudia (almarhum) dengan Mahania. Pendidikan S1 diselesaikan tahun 1987 pada Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Tahun 1997 penulis menyelesaikan studi S2 pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Institut Pertanian Bogor. Tahun 2003 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3 pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Institut Pertanian Bogor dengan sumber dana BPPS Dikti. Sejak tahun 1989 maka penulis menjadi staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Disamping itu sejak tahun 1998 sampai sekarang, penulis menjadi peneliti pada Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Haluoleo Kendari. Karya ilmiah yang berjudul “Valuasi Ekonomi Hutan di DAS Konaweha Hulu Provinsi Sulawesi Tenggara” akan diterbitkan pada jurnal ilmiah Agriplus untuk volume 21 (2) Mei tahun 2011 dan “Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara” akan diterbitkan pada Jurnal Ilmiah Sains Tanah Volume 8 Nomor 2 Edisi Juli 2011. Kedua karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari penelitian disertasi yang dilakukan oleh penulis.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI ABSTRACT RINGKASAN HAK CIPTA MILIK IPB HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR RIWAYAT HIDUP DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Kebaruan (Novelty) Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian
i ii iii iv vii ix xi xii xiii xv xvii xix 1 4 4 7 8 8
TINJAUAN PUSTAKA Air dan Permasalahannya Faktor-faktor Penyebab dan Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Fungsi Hutan Dalam Menjaga Tata Air Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam Manfaat Ekonomi Sumberdaya Hutan Kebutuhan Air
11 15 20 23 29 32
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Peralatan Penetapan Lokasi Penelitian Intensif Teknik Penentuan Populasi dan Sampel Jenis dan Sumber Data Analisis Data Tujuan Pertama Tujuan Kedua Tujuan Ketiga Tujuan Keempat
37 38 38 39 44 45 45 51 61 63
xiv
KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha Iklim Topografi dan Kelerengan Geologi dan Geomorfologi Tanah Penggunaan Lahan Kependudukan Lembaga Perekonomian
71 71 72 73 74 75 76 78
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Kondisi Hidrologi Analisis Ketersediaan Air Analisis Kebutuhan Air Proporsi Luas Hutan Minimal untuk Memenuhi Kebutuhan Air Valuasi Ekonomi Air dan Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Alternatif Penggunaan Lahan di DAS Konaweha
79 90 102 108 123 127 134
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
159 160
DAFTAR PUSTAKA
161
LAMPIRAN-LAMPIRAN
171
xv
DAFTAR TABEL Nomor Teks 1 Penggunaan Air Total dan Rata-rata Tahunan beberapa Negara di Dunia Tahun 1996-2002 2 Proporsi Penggunaan Air Rata-rata Sektor Domestik, Industri dan Pertanian beberapa Negara di Dunia Tahun 1996-2002 3 Data Penggunaan Air Austin, Texas Tahun 1970-1985 4 Jumlah dan Penyebaran Wilayah Administrasi Pengambilan Sampel di DAS Konaweha Tahun 2009 5 Distribusi dan Jumlah Informan Penerima Manfaat Hasil Hutan Non Kayu di DAS Konaweha Tahun 2009 6 Jenis dan Sumber serta Metode Pengumpulan Data di DAS Konaweha 7 Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Kelas Kemiringan 8 Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Geomorfologi/Bentuk Lahan 9 Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Jenis Tanah 10 Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu Tahun 2008 11 Luas Wilayah dan Pertambahan Penduduk di DAS Konaweha Tahun 2003-2008 12 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di DAS Konaweha Tahun 2007 13 Penduduk Menurut Mata Pencaharian di DAS Konaweha Tahun 2007 14 Jumlah dan Macam Lembaga Perekonomian di DAS Konaweha Tahun 2007 15 Pengaruh Waktu terhadap Rata-rata Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 16 Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Luas Hutan Rata-rata di DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 17 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan terhadap Koefisien Aliran Permukaan, Debit Maksimum dan Debit Minimum DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 18 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan terhadap Koefisien Aliran Permukaan Musim Hujan DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 19 Proyeksi Kebutuhan Air Domestik Periode 2011-2050 di DAS Kon 20 Proyeksi Kebutuhan Air Industri Periode 2011-2050 di DAS Konaweha
Halaman 12
13 33 42 44 45 72 73 74 75 76 76 78 78
84 88
92
94 110 114
xvi
21 Proyeksi Kebutuhan Air Irigasi Periode 2011-2050 di DAS Konaweha 22 Proyeksi Kebutuhan Air Menggelontor Periode 2011-2050 di DAS Konaweha 23 Proyeksi Kebutuhan Air Total Periode 2011-2050 di DAS Konaweha 24 Proyeksi Kebutuhan Air Total Musim Kemarau Periode 2011-2050 di DAS Konaweha 25 Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Air di DAS Konaweha Periode 2011-2050 26 Nilai Ekonomi Air berdasarkan Sektor di DAS Konaweha Periode 2011-2050 27 Proyeksi Nilai Ekonomi Air di DAS Konaweha Menurut Wilayah Periode 2011-2050 28 Total Nilai Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu di DAS Konaweha Tahun 2009 29 Manfaat Ekonomi Nilai Pilihan Keanekaragaman Hayati dan Habitat di DAS Konaweha Tahun 2009 30 Manfaat Ekonomi Nilai Warisan Flora Fauna dan Habitat Satwa di DAS Konaweha Tahun 2009 31 Manfaat Ekonomi Nilai Keberadaan Habitat dan Flora Fauna Dilindungi di DAS Konaweha Tahun 2009 32 Rasio Ketersediaan dan Kebutuhan Air berbagai Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050 33 Biaya Pemeliharaan Fungsi Hutan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 34 Nilai R/C Skenario Penggunaan Lahan Alternatif DAS Konaweha Hulu 35 Analisis Penerimaan Para Pihak terhadap Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 36 Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050 37 Analisis Perbandingan antara Kebijakan Tata Guna Lahan Eksisting dengan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050
117 119 120 123 125 128 130 135 139 141 142
147 148 150 151 152
157
xvii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
1 Kerangka Berpikir Analisis Penggunaan Lahan Alternatif untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara 2 Perubahan Luas Hutan Alam Tropis Benua Amerika, Afrika serta Asia dan Oceania. 3 Klaisifikasi Nilai Lingkungan dan Hubungannya dengan Metode Valuasi. 4 Peta Lokasi Penelitian Intensif DAS Konaweha Hulu Tahun 2009 5 Desain Jalur Analisis Vegetasi di DAS Konaweha Hulu Tahun 2009 6 Kerangka Penarikan Sampel Penelitian (Sampling Frame) di DAS Konaweha Tahun 2009 7 Grafik Rata-Rata Curah Hujan Bulanan di DAS Konaweha 8 Peta DAS Konaweha berdasarkan Kemiringan Lereng 9 Peta Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Jenis Tanah 10 Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 2008 11 Pola Penurunan Luas Hutan di DAS Konaweha Hulu Periode Lima Tahunan (1991-2010) 12 Pola Peningkatan Luas Perkebunan di DAS Konaweha Hulu Periode Lima Tahunan (1991-2010) 13 Pola Peningkatan Luas Kebun Campuran di DAS Konaweha Hulu Periode Lima Tahunan (1991-2010) 14 Pola Peningkatan Luas Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Periode Lima Tahunan (1991-2010) 15 Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Periode Lima Tahunan (2011-2050) 16 Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Luas Hutan di DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 17 Debit Harian Rata-rata, Debit Harian Maksimum dan Debit Harian Minimum Sungai Konaweha Tahun 2007-2009 18 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap Koefisien Aliran Permukaan (C) di DAS Konaweha Hulu 19 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap Debit Maksimum (Qmax) Sungai Konaweha 20 Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha
Halaman
7 17 26 37 39 41 71 73 74 75 80 81 82 83
85 87 90
95
96
98
xviii
21 Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Koefisien Aliran Permukaan DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 22 Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha Periode 1991-2010 23 Hidrograf Aliran Sungai Konaweha berdasarkan Rata-rata Aritmetik dan Peluang 80 % Tahun 1993-2009 24 Distribusi Ketersediaan Air dan Curah Hujan Bulanan di DAS Konaweha Tahun 1993-2009 25 Proyeksi Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha Periode Lima Tahunan (2011-2050) 26 Pola Pertumbuhan Penduduk di DAS Konaweha Tahun 20002009 27 Pola Pertumbuhan Industri Kecil di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 28 Pola Pertumbuhan Industri Sedang/Besar di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 29 Pola Pertumbuhan Luas Sawah di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 30 Kurva Ketersediaan dan Kebutuhan Air Periode 2011-2050 di DAS Konaweha 31 Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Kabupaten/Kota di DAS Konaweha (10 % Nilai Manfaat Ekonomi Air Kabupaten /Kota) Periode 2046-2050 32 Peta Skenario 1 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 33 Peta Skenario 2 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 34 Peta Skenario 3 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 35 Peta Skenario 4 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu 36 Peta Skenario 5 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
99 100 104 105 107 109 112 113 116 126
133 144 144 145 145 146
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
1 2 3 4 5 6 7a 7b 7c 7d 8 9 10 11 12 13 14 15a 15b 15c 15d 16a 16b 16c 16c 17a 17b
Teks
Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1991 Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1999 Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 2011 Proporsi Luas Masing-masing Jenis Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu Tahun 1991-2011 Analisis Keragaman (Anova) Pengaruh Waktu terhadap Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Tahun 2011-2050 Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2007 Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2008 Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2009 Debit Harian Rata-rata, Debit Harian Maksimum dan Debit Harian Minimum Sungai Konaweha 2007-2009 Curah Hujan Rata-rata Bulanan DAS Konaweha Tahun 19992009 Debit Bulanan Rata-rata, Maksimum dan Minimum Sungai Konaweha Tahun 1993-2009 Koefisien Aliran Permukaan, Debit Maksimum dan Debit Minimum DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 Analisis Regresi dan Keragaman Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Kondisi Hidrologi DAS Konaweha Hulu Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Pendekatan Rata-rata Aritmetik (m3/detik) Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Peluang 80 % (m3/detik) Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha Periode 2011-2050 Contoh Hasil Tabulasi Kebutuhan Air Penduduk Kelas Sosial Tinggi di Kota Kendari Jumlah Penduduk menurut Kelas Sosial di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 Kebutuhan Air Domestik DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3) Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Domestik DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3) Jumlah Industri Kecil dan Industri Sedang/Besar di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 Hasil Tabulasi Kebutuhan Air Industri Sedang/Besar di DAS Konaweha Kebutuhan Air Industri DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3 ) Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Industri DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3) Tabulasi Hasil Perhitungan Penggunaan dan Kebutuhan Air Irigasi Rata-rata di Kabupaten Kolaka (m3/hektar/tahun) Luas Sawah di DAS Konaweha Tahun 2000-2009
Halaman
171 171 172 172 173 173 174 175 176 177 177 177 178 178 179 179 179 180 181 181 182 183 183 184 185 186 187
xx 17c Proyeksi Kebutuhan Air Irigasi DAS Konaweha Tahun 20102050 (juta m3) 17d Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Irigasi DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3) 18a Proyeksi Kebutuhan Air Menggelontor di Sungai Konaweha Tahun 2010-2050 18b Distribusi Bulanan Kebutuhan Air yang Menggelontor di Sungai Tahun 2010-2050 di DAS Konaweha 19a Proyeksi Kebutuhan Air Total di DAS Konaweha Tahun 20102050 19b Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Total DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3) 19c Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Total DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (m3/detik) 20 Nilai Ekonomi Air Masing-masing Sektor di DAS Konaweha Tahun 2010-2050 21 Nilai Ekonomi Air Kabupaten/Kota di DAS Konaweha Tahun 2010-2050 22 Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Masing-masing Kabupaten/Kota di DAS Konaweha Tahun 2010-2050 23 Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Kabupaten/Kota di DAS Konaweha Tahun 2010-2050 24a Hasil Perhitungan Nilai Ekonomi Rotan di DAS Konaweha Tahun 2009 24b Produktivitas Rata-rata Pengumpul/Pengolah Rotan di DAS Konaweha Tahun 2009 25a Nilai Ekonomi Madu di DAS Konaweha Tahun 2009 25b Nilai Produktivitas dan Penerimaan Madu di DAS Konaweha Tahun 2009 26a Contoh Analisis Vegetasi Semai untuk Plot 10 di DAS Konaweha Tahun 2009 26b Potensi Karbon Rata-rata Semai, Pancang, Tiang dan Pohon di DAS Konaweha Tahun 2009 27 Analisis WTP Nilai Pilihan Responden di DAS Konaweha Tahun 2009 28 Analisis WTP Nilai Warisan Responden di DAS Konaweha Tahun 2009 29 Analisis WTP Nilai Keberadaan Responden di DAS Konaweha Tahun 2009 30 Hubungan Proporsi Tutupan Masing-masing Jenis Penggunaan Lahan dengan Debit Minimum DAS Konaweha Hulu 31 Proporsi Luas Masing-masing Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 198 199 200 200 201 202 203 204 205 205
PENDAHULUAN Latar Belakang Fenomena yang akhir-akhir ini terkait dengan eksistensi sumberdaya air adalah penurunan ketersediaan air sementara kebutuhan air meningkat terus dari waktu ke waktu yang merupakan konsekuensi logis dari pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi. Rata-rata ketersediaan air saat ini di atas daratan Indonesia adalah kurang lebih 15.000 m3/kapita/tahun. Angka tersebut sebenarnya relatif sangat besar yaitu hampir 25 kali rata-rata ketersediaan air per kapita per tahun dunia yang besarnya 600 m3/kapita/tahun (Arif, 2003). Walaupun angka ketersediaan air di Indonesia sangat besar, namun tidak merata baik secara spasial maupun temporal. Wilayah Indonesia Bagian Barat diberi berkah dengan hujan yang sangat berlimpah, sedangkan Wilayah Indonesia Bagian Timur mengalami hal yang sebaliknya.
Ketersediaan air tersebut masih belum merata sepanjang tahun,
sehingga di suatu wilayah terjadi kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim hujan. Penurunan ketersediaan air bertolak belakang dengan peningkatan kebutuhan air.
fenomena
Tingkat kebutuhan air terbesar di Indonesia
berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi dalam tiga kelompok besar (Dyah, 2000), yakni : kebutuhan domestik, kebutuhan irigasi pertanian dan kebutuhan industri. Pada tahun 1990 kebutuhan air untuk domestik, irigasi dan industri berturut-turut adalah : 3,2 x 109 m3/tahun, 74,9 x 109 m3/tahun, dan 0,70 x 109 m3/tahun. Pada tahun 2000 kebutuhan air masing-masing sektor berturut-turut : 3,5 x 109 m3/tahun, 82,4 x 109 m3/tahun, dan 0,79 x 109 m3/tahun (Isnugroho, 2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun maka kebutuhan air sektor domestik dan irigasi meningkat sekitar 9 %, sedangkan sektor industri sebesar 11 %. Penurunan ketersediaan air dan peningkatan kebutuhan air juga terjadi di Provinsi Sulawesi Tenggara, termasuk juga di DAS Konaweha.
Hal ini
2
kemungkinan disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan akibat eksploitasi lahan secara terus-menerus sehingga terjadi penurunan kapasitas infiltrasi dan peningkatan aliran permukaan, akibatnya jumlah air yang hilang ke laut akan meningkat pula yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketersediaan air. Perubahan penggunaan lahan diduga mengakibatkan terjadinya penurunan debit minimum dan peningkatan debit maksimum. Fakta menunjukkan bahwa pada bulan mei tahun 2000 terjadi banjir dengan debit sekitar 380 m3/detik yang menyebabkan lebih dari 10.000 hektar sawah di wilayah irigasi Wawotobi terendam banjir. Pada tahun yang sama dari september sampai nopember terjadi kekeringan dengan debit minimum rata-rata 10,6 m3/detik yang mengakibatkan lebih dari 5.000 hektar sawah di wilayah tersebut tidak mendapatkan pasokan air yang cukup. Pada bulan september tahun 2003 maka debit minimum Sungai Konaweha adalah 27 m3/detik, pada tahun 2006 dan 2008 maka debit minimum bulan september menjadi 23 m3/detik dan 20 m3/detik (Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010). Jika kecenderungan penurunan ini berlanjut, diperkirakan akan terjadi defisit air pada musim kemarau. Kebijakan pemerintah pusat tentang pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pertambangan yang dipusatkan di Provinsi Papua, Papua Barat dan Sulawesi Tenggara juga berpotensi memberikan dampak terhadap perubahan penggunaan lahan. Untuk tujuan tersebut maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara mengusulkan perubahan status hutan seluas 310.165 hektar menjadi areal penggunaan lain (APL) melalui revisi Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2010 (Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010). Konaweha.
Dari luasan tersebut, maka sekitar 10 % berada di DAS
Jika usulan tersebut di atas disetujui, maka dihkawatirkan akan
semakin menurunkan ketersediaan air khususnya distribusi ketersediaan air bulanan. Seiring dengan penurunan ketersediaan air, maka kebutuhan air di DAS Konaweha cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Peningkatan kebutuhan air ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, peningkatan
3
jumlah industri dan pertambahan luas sawah. Angka pertumbuhan penduduk ratarata di DAS Konaweha adalah 1,22 % per tahun, sementara laju pertambahan industri kecil adalah 0,7 % per tahun dan industri sedang dan besar lebih dari 7 % per tahun, sedangkan laju pertambahan luas sawah diperkirakan lebih dari 1 % per tahun. DAS Konaweha mempunyai fungsi strategis karena merupakan DAS terbesar di Sulawesi Tenggara dengan luas ± 697.841 hektar dan secara administrasi meliputi empat daerah otonom yakni Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari (BPDAS Sampara, 2009).
Salah satu
peranannya yang sangat vital adalah sebagai sumber air bagi pemenuhan kebutuhan domestik, industri dan irigasi keempat daerah otonom tersebut di atas. Vitalnya peranan DAS Konaweha tersebut di atas belum didukung oleh upaya pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air oleh keempat daerah otonom. Hal ini disebabkan oleh belum jelasnya proporsi pembiayaan yang harus menjadi tanggung jawab masing-masing wilayah.
Alokasi pembiayaan
yang bersumber dari nilai ekonomi hutan dan air belum dapat direalisasikan karena hingga saat ini belum ada penelitian tentang hal ini. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu kajian tentang valuasi ekonomi hutan dan air serta proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS yang bersumber dari nilai manfaat ekonomi bagi masing-masing wilayah di DAS Konaweha. Selain itu hingga saat ini belum ada kebijakan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha, khususnya kebijakan yang berkaitan dengan keberlanjutan ketersediaan air jangka panjang.
Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan
konflik kepentingan antar wilayah yang memanfaatkan jasa DAS Konaweha sebagai sumber air bersih. Dalam rangka mencari alternatif untuk menyelesaikan berbagai masalah sebagaimana diuraikan terdahulu, maka diperlukan penelitian komprehensif dan mendalam.
Oleh karena itu, maka penelitian tentang “Analisis Alternatif
Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara” perlu untuk dilakukan.
4
Rumusan Masalah DAS Konaweha yang merupakan DAS terbesar di Sulawesi Tenggara mempunyai masalah yang cukup kompleks.
Masalah tersebut akan semakin
kompleks jika dikaitkan dengan pemanfaatan sumberdaya lahan termasuk hutan dan air. Beberapa masalah yang mungkin akan terjadi di DAS Konaweha adalah sebagai berikut: 1. Defisit air; Kecenderungan penurunan debit minimum dan peningkatan debit maksimum akibat perubahan penggunaan lahan khususnya hutan sangat berpotensi menyebabkan terjadinya defisit air. Masalah ini akan semakin besar seiring dengan peningkatan kebutuhan air sektor domestik, industri dan irigasi di DAS Konaweha. 2. DAS Konaweha yang secara administrasi meliputi Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari memanfaatkan jasa lingkungan DAS Konaweha sebagai sumber air selama ini belum memberikan kontribusi memadai terhadap biaya pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air. Alokasi biaya pemeliharaan fungsi DAS yang bersumber dari manfaat ekonomi air hingga saat ini belum bisa direalisasikan karena belum adanya besaran proporsi masing-masing daerah otonom dalam pembiayaan. 3. DAS Konaweha merupakan DAS regional yang secara administrasi terdiri dari Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari belum ada regulasi yang mengatur kebijakan penggunaan lahan alternatif yang dapat menjamin ketersediaan air jangka panjang.
Kerangka Pemikiran Defisit air yang tercermin dari penurunan debit minimum dan peningkatan debit maksimum Sungai Konaweha diduga disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan khususnya perubahan luas hutan. Perubahan penggunaan lahan ini tidak terlepas dari aspek pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi yang menyebabkan terjadinya tekanan terhadap lahan.
5
Perubahan penggunaan lahan khususnya penggunaan lahan hutan menjadi non hutan akan meningkatkan aliran permukaan dan penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan dan terbuang ke laut. Pada saat yang sama maka jumlah air yang masuk dan tersimpan di dalam tanah juga berkurang akibat penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga akan mengurangi jumlah aliran dasar (baseflow).
Aliran dasar inilah yang
diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air jangka panjang. Penurunan kapasitas infiltrasi tanah dan peningkatan aliran permukaan akan menyebabkan pola distribusi air yang tidak merata, artinya ada waktu-waktu tertentu terjadi kelebihan air yang tidak termanfaatkan, dan sebaliknya pada waktu lainnya terjadi kekurangan air.
Kelebihan air yang terjadi pada musim hujan
sampai saat ini belum dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pada musim kemarau sehingga sebagian besar air hujan yang jatuh akan menjadi aliran permukaan dan hilang ke laut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut di atas adalah bagaimana mengoptimalkan jumlah air hujan yang masuk ke dalam tanah pada musim hujan sehingga tidak hilang ke laut, guna memenuhi kebutuhan air pada musim kemarau.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
memanfaatkan kelebihan air adalah dengan menyimpan air di dalam tanah melalui peningkatan kapasitas infiltrasi tanah. Upaya ini diharapkan dapat menyimpan air hujan yang jatuh pada musim hujan kemudian air tersebut akan mengalir kembali secara perlahan-lahan melalui aliran dasar pada musim kemarau. Pada konteks hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan ketersediaan air, maka penataan pengguaan lahan diharapkan dapat menurunkan aliran permukaan dan meningkatkan jumlah air hujan yang masuk dan tersimpan di dalam tanah sehingga akan meningkatkan aliran dasar (baseflow) atau aliran sungai.
Penurunan aliran permukaan ini akan menurunkan debit maksimum
sungai akibat sebagian air hujan tersimpan di dalam tanah dan menjadi aliran dasar (aliran sungai). relatif merata.
Akibatnya distribusi bulanan aliran sungai diharapkan
6
Perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha yang dikhawatirkan akan menyebabkan defisit air perlu dikendalikan dan diatur berdasarkan proporsi luas masing-masing jenis penggunaan lahan yang dapat menjamin ketersediaan air jangka panjang. Status neraca ketersediaan dan kebutuhan air di DAS Konaweha merupakan salah satu cara untuk menentukan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha. Kebijakan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha ditentukan berdasarkan indikator biofisik (debit minimum lebih dari atau sama dengan kebutuhan air), indikator ekonomi (penerimaan lebih besar dari biaya yang digunakan) dan indikator sosial (dapat diterima, tidak bertentangan dengan kebiasaan masyarakat dan dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat dengan pengetahuan yang mereka miliki). Kebijakan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha yang merupakan DAS terbesar di Sulawesi Tenggara mencakup Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari perlu disepakati dan diatur agar tidak terjadi konflik.
Salah satu aspek yang perlu diatur adalah tanggung jawab
pembiayaan untuk pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air berdasarkan nilai manfaat ekonomi air yang diperoleh masing-masing kabupaten/kota. Diagram kerangka berpikir penelitian analisis penggunaan lahan alternatif untuk menjamin ketersediaan sumberdaya air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara disajikan pada Gambar 1.
7
Perubahan Penggunaan Lahan Pertambahan Jumlah Penduduk dan Peningkatan Aktivitas Ekonomi
Infiltrasi Menurun
Aliran Permukaan Meningkat
Volume Air Hilang ke Laut Meningkat
Peningkatan Kebutuhan Air Sektor Domestik, Industri dan Pertanian
Analisis Perubahan Penggunaan Lahan
Analisis Kebutuhan Air
Distribusi Debit Sungai tidak Merata
Curah Hujan
Analisis Tanggung Jawab Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS oleh Kabupaten/Kota
Analisis Hidrograf Aliran Keluaran : Kebutuhan Air Total (Jumlah dan Distribusi) Keluaran : Ketersediaan Air (Jumlah dan Distribusi), Runoff Coeficient (RO)
Neraca Air
Surplus
Defisit
STOP
LANJUT
Analisis Sosial
Analisis Penggunaan Lahan Alternatif
Analisis Manfaat Ekonomi Air
Analisis R/C
REKOMENDASI
Analisis Manfaat Ekonomi Hutan
Valuasi Ekonomi
:
Gambar 1. Kerangka Berpikir Analisis Penggunaan Lahan Alternatif untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian : (1) mengkaji perubahan penggunaan lahan dan pengaruhnya terhadap sumberdaya air di DAS Konaweha; (2) mengkaji ketersediaan dan kebutuhan air serta proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha; (3) mengkaji proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air bagi kabupaten/kota untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air; dan (4) mengkaji kebijakan penggunaan lahan alternatif yang dapat menjamin ketersediaan air jangka panjang.
8
Kebaruan (Novelty) Hasil penelitian yang berjudul “Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara” menemukan kebaruan (novelty) yang sifatnya tidak bertentangan bahkan memperkuat atau menyempurnakan temuan atau teori-teori yang ada selama ini. Kebaruan tersebut adalah: 1. Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan dalam suatu DAS ditentukan atas dasar besarnya debit minimum yang dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan air dengan besaran lebih dari atau sama dengan kebutuhan air. 2. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang secara administrasi mencakup lebih dari satu daerah otonom dan memanfaatkan air dari DAS tersebut, maka tanggung jawab masing-masing daerah otonom terhadap pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS dalam menjaga tata air didasarkan pada proporsi nilai ekonomi air yang dimanfaatkan masing-masing daerah otonom terhadap total nilai ekonomi air yang digunakan. Hal ini sejalan dengan prinsip PES (payment of environmental services) yakni siapa saja yang memanfaatkan jasa lingkungan termasuk air harus membayar jasa tersebut.
Batasan dan Ruang Lingkup Penelitian Batasan dan ruang lingkup penelitian Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara perlu dirumuskan untuk memberikan arah yang jelas tentang penelitian. Batasan dan ruang lingkup tersebut adalah sebagai berikut : 1. Lokasi penelitian adalah DAS Konaweha yang berada di Provinsi Sulawesi
Tenggara yang meliputi 3 kabupaten dan 1 kota yakni Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari.
9
2. Penelitian aspek kebutuhan air domestik dan kebutuhan air industri dilakukan
di seluruh DAS Konaweha ditambah dengan wilayah di Kota Kendari yang berada di luar DAS Konaweha namun menggunakan air yang bersumber dari DAS Konaweha. Penelitian kebutuhan air irigasi dilakukan di dalam DAS Konaweha yakni di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka. 3. Penelitian aspek ketersediaan air (aspek hidrologi) dilakukan di DAS
Konaweha Hulu yang meliputi kawasan Irigasi Wawotobi sampai ke hulu DAS Konaweha. Penelitian curah hujan difokuskan pada kajian tentang curah hujan rata-rata dan distribusi curah hujan bulanan di DAS Konaweha. 4. Penelitian aspek hidrologi difokuskan pada kajian kondisi hidrologi DAS
Konaweha Hulu. Aspek-aspek hidrologi yang dikaji adalah koefisien aliran permukaan dan debit minimum dalam kaitannya dengan perubahan penggunaan lahan. 5. Penelitian tentang perubahan penggunaan lahan difokuskan pada perubahan
penggunaan lahan dominan dalam kaitannya dengan pertumbuhan populasi penduduk di DAS Konaweha. 6. Penelitian neraca ketersediaan dan kebutuhan air didasarkan pada ketersediaan
dan kebutuhan air minimum pada bulan tertentu sedangkan bulan-bulan lainnya diabaikan dalam analisis. 7. Penelitian tentang nilai ekonomi sumberdaya alam difokuskan pada nilai
ekonomi hasil hutan non kayu, meliputi nilai ekonomi flora dan fauna (rotan dan madu), penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan, dan nilai keberadaan. Nilai ekonomi air yang diteliti adalah nilai ekonomi air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik, industri dan irigasi. Penelitian tentang nilai ekonomi hasil hutan non kayu dan nilai ekonomi air dilakukan di seluruh DAS Konaweha. 8. Penelitian aspek sosial difokuskan pada persepsi para pihak yang terkait
dengan tata guna lahan di DAS Konaweha.
10
9. Penelitian aspek proporsi tanggung jawab pembiayaan masing-masing
kabupaten/kota difokuskan pada nilai ekonomi air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sektor domestik, industri dan irigasi. 10. Penentuan penggunaan lahan alternatif didasarkan pada hasil kajian aspek
lingkungan, ekonomi dan sosial. 11. Ketersediaan air adalah jumlah air yang berasal dari debit sungai dan tersedia
setiap saat guna memenuhi kebutuhan domestik, industri dan irigasi. 12. Kebutuhan air adalah jumlah air yang dibutuhkan untuk keperluan sektor
domestik, industri dan sektor pertanian (irigasi) serta air yang harus tetap menggelontor di sungai. 13. Air sungai yang menggelontor adalah air yang harus tetap mengalir agar
fungsi sungai baik fungsi ekologi maupun fungsi ekonomi tetap terjaga. 14. Defisit air adalah suatu keadaan dimana jumlah air tersedia tidak dapat
mencukupi kebutuhan air domestik, industri, irigasi dan air yang harus tetap menggelontor di sungai.
TINJAUAN PUSTAKA Air dan Permasalahannya Sejalan dengan meningkatnya pembangunan pada berbagai bidang, maka kebutuhan untuk mendapatkan sumberdaya air juga meningkat, baik kuantitas maupun kualitas. Sementara itu fasilitas pelayanan prasarana dasar penyediaan air belum mampu memenuhi peningkatan kebutuhan tersebut.
Fauzi (2004)
mengemukakan bahwa seiring dengan bertambahnya penduduk dan eskalasi pembangunan ekonomi, maka fungsi ekonomi dan sosial air sering terganggu karena semakin kritisnya suplai air sementara permintaan terus meningkat. Permasalahan air yang banyak timbul pada umumnya diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan, kualitas serta cara pandang masyarakat tentang ketersediaan air (Kodoatie, et al., 2002), antara lain : (1) permintaan terhadap penyediaan air meningkat, sementara itu ketersediaan air dan prasaranya semakin terbatas; (2) tingkat pencemaran air dan badan air terus berlangsung sehingga mencapai keadaan yang memprihatinkan; (3) tingkat penghayatan kondisi krisis (sense of crisis), rasa memiliki dan partisipasi masyarakat terhadap pengelolaan air masih relatif rendah; dan (4) tingginya kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air (catchment area), tingginya erosi, dan ancaman banjir. Krisis air akhir-akhir ini telah melanda berbagai negara di dunia termasuk juga Indonesia.
Air yang merupakan kebutuhan esensial berbagai aktivitas
manusia telah menjadi barang langka sejak terjadinya peningkatan aktivitas manusia dengan pesat. Sementara itu total air bersih yang tersedia di berbagai negara cenderung menjadi terbatas. Jumlah populasi penduduk dan ketersediaan air per kapita berbagai negara di dunia menjadi isu yang sangat menarik (International Water Management Institute, 2006). Biswas (1997) mengemukakan bahwa Canada dengan jumlah penduduk 29.1 juta pada tahun 1994 mempunyai angka ketersediaan air tertinggi yakni 99.69 ribu m3 per kapita, tahun 2025 dengan jumlah penduduk 38.3 juta
12
mempunyai angka ketersediaan air 75,74 ribu m3 per kapita, sedangkan tahun 2050 diperkirakan jumlah penduduknya mencapai 39.9 juta dengan angka ketersediaan air sebesar 72.70 ribu m3 per kapita. Penduduk Indonesia pada tahun 1994 yang berjumlah 189.9 juta mempunyai angka ketersediaan air sebesar 13.32 ribu m3 per kapita, tahun 2025 dengan jumlah penduduk 275.6 juta mempunyai angka ketersediaan air 9.17 ribu m3 per kapita, sedangkan tahun 2050 diperkirakan jumlah penduduknya mencapai 318.8 juta dengan angka ketersediaan air 7.94 ribu m3 per kapita. Laporan International Water Management Institute (IWMI, 2006) bahwa Amerika Serikat, Cina dan India mencapai angka rata-rata penggunaan air tahunan yakni masing-masing 477.000 km3, 549.760 km3 dan 645.840 km3 dari tahun 1996-2002 (Tabel 1). Tabel 1. Penggunaan Air Total dan Rata-rata Tahunan beberapa Negara di Dunia Tahun 1996-2002. No.
Negara
Penggunaan Penggunaan Per Kapita 3 Air (km ) (m3/Tahun) 1. USA 477.000 1.686 2. Canada 44.720 1.386 3. Mesir 68.300 923 4. Finlandia 2.330 444 5. Belgia 7.440 714 6. Panama 820 254 7. India 645.840 585 8. China 549.760 415 9. Polandia 11.730 304 10. Afrika Selatan 12.500 264 Sumber : International Water Management Institute (2006).
Tahun Data 2000 1996 2000 1999 1998 2000 2000 2000 2002 2000
Tabel 1 menunjukkan bahwa USA menggunakan air 477.000 km3 setiap tahun, China sebesar 549.760 km3, India sebesar 645.840 km3.
Mesir
menggunakan air rata-rata setiap tahun sebesar 68.000 km3, Canada hanya 44.720 km3, sedangkan negara lainnya menggunakan air kurang dari 10 km3 per tahun, kecuali Polandia dan Afrika Selatan masing-masing 11.730 km3 setiap tahun dan 12.500 km3.
13
Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa penggunaan air per kapita per tahun USA mencapai angka tertinggi dengan nilai 1.686 m3/kapita/tahun, sedangkan Canada dan Mesir masing-masing sebesar 1.386 m3/kapita/tahun dan 923 m3/kapita/tahun.
Angka-angka tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan penggunaan air rata-rata negara-negara lainnya seperti Belgia, India dan Cina masing-masing sebesar 714 m3/kapita/tahun, 585 m3/kapita/tahun dan 415 m3/kapita/tahun.
Sedangkan penggunaan air rata-rata Finlandia, Panama,
Polandia dan Afrika Selatan masing-masing sebesar 444 m3/kapita/tahun, 254 m3/kapita/tahun, 304 m3/kapita/tahun dan 264 m3/kapita/tahun. Penggunaan air tiga sektor yakni sektor domestik, industri dan pertanian negara-negara di dunia menunjukkan angka yang cukup bervariasi.
Proporsi
penggunaan air masing-masing sektor juga cukup bervariasi tergantung dari kondisi kependudukan, pertumbuhan industri dan pembangunan sektor pertanian. Penggunaan air sektor domestik, industri dan pertanian beberapa negara di dunia disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. No.
Proporsi Penggunaan Air Rata-rata Sektor Domestik, Industri dan Pertanian beberapa Negara di Dunia Tahun 1996-2002.
Negara
Penggunaan Air Sektor (%) Domestik
Industri
Pertanian
Tahun Data
1.
USA
13
46
41
2000
2. 3. 4.
Canada Mesir Finlandia
20 8 14
68 6 83
12 86 3
1996 2000 1999
5. 6. 7. 8. 9.
Belgia Panama India China Polandia
13 67 8 7 13
85 5 5 25 79
2 28 87 68 8
1998 2000 2000 2000 2002
10. Afrika Selatan 31 6 63 Sumber : International Water Management Institute (2006).
2000
14
Tabel 2 menunjukkan bahwa 13 % penggunaan air di USA tahun 2000 adalah untuk memenuhi kebutuhan domestik, 46 % untuk kebutuhan industri dan 41 % untuk memenuhi kebutuhan sektor pertanian. Sebagian besar penggunaan air untuk Panama adalah untuk memenuhi kebutuhan domestik yakni 67 %, dan hanya 28 % untuk kebutuhan pertanian serta 5 % untuk kebutuhan industri. Sebagian besar (87 %) penggunaan air India adalah untuk memenuhi kebutuhan sektor pertanian dan hanya 8 % untuk memenuhi kebutuahan domestik dan 5 % untuk kebutuhan industri. Penggunaan air harian rumah tangga kota untuk air minum adalah 8 galon per hari atau sekitar 2,0 % dari total penggunaan rumah tangga. Penggunaan untuk toilet cukup besar yakni sekitar 96 galon per hari atau sekitar 28,0 % dari total penggunaan rumah tangga. Penggunaan untuk kebutuhan mandi yaitu 80 galon per hari atau sekitar 23 % dari total penggunaan keluarga (Ward and Elliot, 1995). Menurut proyeksi IFPRI (International Food Policy Research Institute), kebutuhan air Indonesia tahun 2020 untuk keperluan pertanian, industri dan domestik dibandingkan tahun 1995 meningkat berturut-turut 25 persen, 300 persen dan 400 persen, padahal secara kuantitas volume air yang ada relatif konstan.
Bahkan air yang dapat digunakan (utilizable) cenderung menurun
antara lain akibat pencemaran dan kerusakan biofisik DAS. Salah satu indikatornya adalah tingginya fluktuasi debit pada musim hujan dan musim kemarau serta rentannya (susceptible) pasokan air akibat deraan anomali iklim seperti elnino dan lanina (Suara Merdeka, 2004).
Masalah air bukan hanya
masalah penyediaan air bersih untuk konsumsi manusia, melainkan juga menyangkut berbagai keperluan lain. Air buangan (wastewater) harus didaur ulang untuk mengurangi pencemaran. Tingkat kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi dalam tiga kelompok besar (Dyah, 2000), yakni : kebutuhan domestik, kebutuhan irigasi pertanian dan kebutuhan industri. Sejalan dengan pertambahan penduduk di Indonesia, maka kebutuhan air ketiga sektor ini akan meningkat pula.
15
Tingkat kebutuhan air terbesar di Indonesia berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi dalam tiga kelompok besar (Dyah, 2000), yakni : kebutuhan domestik, kebutuhan irigasi pertanian dan kebutuhan industri. Pada tahun 1990 kebutuhan air untuk domestik, irigasi dan industri berturut-turut adalah : 3,2 x 109 m3/tahun, 74,9 x 109 m3/tahun, dan 0,70 x 109 m3/tahun.
Pada tahun 2000
kebutuhan air masing-masing sektor berturut-turut : 3,5 x 109 m3/tahun, 82,4 x 109 m3/tahun, dan 0,79 x 109 m3/tahun (Isnugroho, 2002). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa selama kurun waktu 10 tahun maka kebutuhan air untuk sektor domestik dan irigasi meningkat 9 % dan sektor industri sebesar 11 %. Hasil perbandingan yang dilakukan sejak tahun 1990 hingga tahun 2000 antara ketersediaan dan kebutuhan air menunjukkan bahwa ketersediaan air khususnya di Pulau Jawa dan Bali telah mengalami tingkat yang kritis. Kondisi kritis ini juga terjadi di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan (Dyah, 2000). Apabila kondisi tersebut terus berlanjut, maka akan terjadi keterbatasan pengembangan dan pelaksanaan pembangunan di daerah-daerah tersebut karena daya dukung sumberdaya air yang telah terlampaui.
Faktor Penyebab dan Dampak Perubahan Penggunaan Lahan Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan termasuk deforestasi antara lain adalah faktor demografi (kependudukan), sosial ekonomi dan faktor biofisik.
Faktor demografi antara lain meliputi jumlah
penduduk dan pertumbuhan penduduk, struktur penduduk (umur dan jenis kelamin), dan jumlah kepala keluarga. Faktor sosial ekonomi antara lain meliputi tingkat pendidikan, tingkat pendapatan keluarga, dan jenis mata pencaharian. Sedangkan faktor biofisik antara lain jenis tanah dan kemiringan lereng (Mena, Walsh and Bilsborrow, 2010). Perubahan penggunaan lahan berhubungan erat dengan peningkatan kebutuhan barang dan jasa yang membutuhkan lahan.
Peningkatan jumlah
penduduk akan menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, sandang dan energi. Peningkatan kebutuhan pangan, sandang dan energi akan mempengaruhi
16
secara langsung perubahan penggunaan lahan melalui konversi lahan untuk perluasan areal pertanian. Peningkatan kebutuhan energi atau bahan bakar seperti ethanol akan menyebabkan peningkatan luas lahan pertanian (Marshall, et al., 2011). Lebih lanjut Barbieri (2006) mengemukakan bahwa faktor penting yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan adalah mobilitas penduduk. Analisis perubahan penggunaan lahan dengan menggunakan Conversion of Land Use and its Effects (CLUE-s) model dijelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sangat kompleks, namun demikian faktor-faktor tersebut secara garis besar terdiri dari faktor kebutuhan lahan (land demand), perubahan populasi penduduk (changes in population), alokasi lahan (land allocation) dan perubahan produksi pertanian (changes in yield of agriculture) (Verburg, et al., 1999; Verburg, et al., 2011).
Lebih lanjut
dijelaskan bahwa analisis perubahan penggunaan lahan dengan model CLUE-s menggunakan variabel kebutuhan tutupan lahan (land cover demand), kesesuaian lokasi (location suitability), dan karakteristik konversi lahan (land conversion characteristics) (Fox, et al., 2011). Pola perubahan penggunaan lahan khususnya lahan pertanian dipengaruhi oleh faktor ketinggian tempat (elevation), kemiringan (slope) dan kepadatan penduduk (population density) (Huang, Cai and Peng, 2007). Selanjutnya Wainger, Rayburn dan Price (2007) mengemukakan bahwa perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh kebutuhan energi khususnya bio energi yang bersumber dari pertanian. United State Environmental Protection Agency (USEPA) melaporkan bahwa pertumbuhan penduduk dan pola penggunaan lahan mempengaruhi perubahan penggunaan lahan (Environmental Protection Agency, 2000). Perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh hasil interaksi yang kompleks antara faktor-faktor manusia dan faktor lingkungan (Schaldach and Priess, 2008). Kondisi sumberdaya lahan saat ini berada dalam tekanan yang serius akibat pertambahan jumlah penduduk dan aktivitas ekonominya. Saat ini paling tidak ada sekitar 16 % lahan yang sesuai untuk pertanian telah terdegradasi dan
17
angka tersebut menunjukkan kecenderungan yang meningkat terus (UNEP and FAO, 1999). Daerah-daerah tropis mengalami kejadian dramatis pada bidang perubahan
penggunaan
lahan selama beberapa dekade terakhir
akibat
pertumbuhan penduduk yang cepat, perubahan orientasi ekonomi dari subsisten ke orientasi pasar, instabilitas politik dan konflik sumberdaya bagi para pihak. Forest Resources Assessment (FRA) dan Food Agricultural Organization (FAO) memperkirakan bahwa perubahan penggunaan lahan menyebabkan kehilangan hutan alam tropis di dunia sudah sangat menghawatirkan. FRA memperkirakan pada era tahun 1990 – 2000 bahwa total hutan alam tropis dunia yang hilang adalah 9 juta hektar, dibandingkan dengan perhitungan FAO bahwa pada kurun waktu yang sama adalah 11,3 juta hektar dan periode 1990 – 1995 mencapai angka 13 juta hektar. Selanjutnya FRA memperkirakan bahwa pada periode tahun 2000 hingga sekarang telah terjadi kehilangan hutan alam tropis seluas 14,9 juta hektar dengan laju deforestasi rata-rata sebesar 0.7 % per tahun (Drigo, 2005). Penyusutan luas hutan tersebut di atas masing-masing untuk Benua Amerika, Afrika, serta Benua Asia dan Oceania menunjukkan bahwa Benua Amerika mempunyai tingkat penyusutan luas hutan terbesar baik periode 19902000, maupun periode 2000-sekarang sebagaimana disajikan pada Gambar 2. 6 5.69
1990-2000 2000-sekarang
5.43
Kehilangan hutan Tahunan (Juta ha)
5
4.81
4.69 4
3.7 3.51
3
2
1
0
Amerika
Afrika
Asia dan Oceania
Sumber : Diadaptasi dari Drigo (2005). Gambar 2.
Perubahan Luas Hutan Alam Tropis Benua Amerika, Afrika serta Asia dan Oceania.
18
Gambar 2 menunjukkan bahwa kehilangan hutan alam tropis Benua Amerika pada periode 1990-2000 adalah 5.69 juta hektar, sedangkan periode 2000-sekarang mencapai 4.69 juta hektar. Benua afrika mengalami kehilangan hutan tropis sebesar 3.7 juta hektar pada periode 1990-2000, sedangkan pada periode 2000-sekarang meningkat menjadi 5.43 juta hektar. Kehilangan hutan alam tropis Benua Asia dan Oceania pada era 1990-2000 adalah 3.51 juta hektar, sedangkan periode 2000-sekarang menjadi 4.81 juta kehtar. Asia Tenggara merupakan wilayah yang mempunyai hutan tropis dengan laju degradasi yang serius sejak waktu lampau, namun percepatan degradasi hutan tropis di Asia Tenggara baru terjadi pada era 1970an guna memperoleh pendapatan untuk pembiayaan pembangunan negara. Pada tahun 1980an laju deforestasi untuk Kamboja adalah sekitar 60.000 hektar per tahun, sedangkan Indonesia sudah mencapai 600.000 hektar per tahun. Dua puluh tahun kemudian, maka laju deforestasi Indonesia menjadi tidak terkendali yakni mencapai 1.600.000 hektar per tahun dan tinggal menyisakan kawasan hutan seluas 93 juta hektar tahun 2000 dibandingkan tahun 1980 dengan luas kawasan hutan 120 juta hektar (Murdiyarso, 2005). Dampak hidrologi perubahan penggunaan lahan dapat berupa jumlah maupun kualitas air.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dampak perubahan
penggunaan lahan dalam hubungannya dengan aspek hidrologi (Bonell and Bruijnzeel, 2005) adalah : (1) erosi meningkat dengan terganggunya hutan; (2) laju sedimentasi meningkat akibat peningkatan erosi dan perubahan penutupan tanah; (3) kehilangan unsur hara akibat peningkatan pencucian (leaching); (4) produksi air (water yield) dalam hal ini ditribusi bulanan menurun seiring dengan penurunan evapotranspirasi vegetasi; (5) aliran air musiman khususnya aliran dasar (baseflow) akan menurun seiring dengan penurunan kapasitas infiltrasi tanah dan peningkatan aliran permukaan; (6) aliran puncak (peakflow) akan meningkat seiring dengan berkurangnya penutupan tanah; dan (7) pengisian air tanah akan menurun.
Selanjutnya Aylward (2005) mengemukakan bahwa
19
dampak perubahan penggunaan lahan terhadap jumlah air meliputi : (1) hasil air tahunan; (2) aliran air musiman; (3) aliran puncak; dan (4) level air tanah. Menurut Barbier (1995) kehilangan keanekaragaman hayati memberikan konsekuensi hilangnya nilai ekonomis potensial dari hutan seperti: produk hutan non kayu, bahan genetik untuk industri farmasi, bioteknologi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta jenis-jenis kayu yang tidak dipasarkan. Pengukuran keanekaragaman jenis merupakan cara untuk menilai dampak kerusakan lingkungan. Deforestasi juga memberikan dampak tidak langsung terhadap jasa keberadaan hutan untuk turisme dan rekreasi serta pendidikan, juga mempunyai dampak nyata terhadap kesejahteraan manusia melalui perlindungan DAS, pengaturan
iklim
dan
penyedia
karbon.
Dengan
demikian
deforestasi
menyebabkan hilangnya manfaat dari sumberdaya hutan sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang seharusnya dapat diperoleh. Kerugian ekonomi yang hilang dan berdampak pada timbulnya biaya akibat kebakaran hutan dapat disetarakan dengan istilah biaya kesempatan atau opportunity cost dalam ilmu ekonomi (Field, 1994; Pearce dan Moran, 1994). Perubahan penggunaan lahan akan mempengaruhi aktivitas ekonomi baik langsung maupun tidak langsung. Semakin intensifnya penggunaan lahan dan pertumbuhan penduduk akan menyebabkan eksploitasi biomassa dan spesies tertentu sehingga tidak cukup waktu bagi vegetasi tersebut untuk melakukan regenerasi ketika dieksploitasi kembali, terjadi eksploitasi besar-besaran vegetasi tertentu, sehingga akan memicu pembangunan infrastruktur lainnya. Selanjutnya dijelaskan bahwa perubahan fungsi hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan akan berpengaruh terhadap aspek ekonomi baik di kawasan hulu (upstream) maupun di kawasan hilir (downstream). Beberapa dampak ekonomi perubahan penggunaan lahan (Aylward, 2005) di kawasan hulu antara lain : penurunan produktivitas yang menyebabkan penurunan pendapatan, kehilangan potensi kayu, kayu bakar dan hasil-hasil non kayu, kehilangan potensi penyerap karbon, kehilangan spesies satwa liar, kehilangan flora bahan obat-obatan dan lain-lain.
20
Kerugian ekonomi di kawasan hilir antara lain adalah berkurangnya pasokan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, penurunan pasokan air untuk pembangkit tenaga listrik, kehilangan produksi sawah akibat penurunan pasokan air irigasi, peningkatan biaya yang diperlukan untuk pengolahan air bersih akibat bahanbahan pencemar yang terangkut, penurunan potensi wisata, dan peningkatan biaya untuk mitigasi banjir dan lain-lain. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi non hutan, permukiman dan kawasan industri akan meningkatkan koefisien limpasan, akibatnya banjir akan meningkat baik besaran maupun frekuensinya. Banjir yang diakibatkan oleh meningkatnya koefisien limpasan DAS sesungguhnya harus dapat dicegah oleh manusia. Namun pada kenyataannya banjir yang diakibatkan oleh faktor inilah yang paling banyak terjadi di Indonesia (Sinukaban, 2008). Penurunan jumlah aliran permukaan sangat nyata dengan meningkatnya tingkat penutupan permukaan tanah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perbandingan besarnya aliran permukaan pada lokasi dengan penutupan dan tanpa penutupan jerami, maka penurunan besarnya aliran permukaan berkisar antara 10 sampai 85 persen (Sinukaban, 1987 dalam Sinukaban, 2008).
Fungsi Hutan dalam Menjaga Tata Air Hutan sebagai suatu ekosistem mempunyai fungsi atau manfaat yang bermacam-macam, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Menurut Gregory (1972), hutan selain berfungsi sebagai kawasan produksi yang berperan dalam produksi kayu dan produk hasil hutan non kayu lainnya yang memiliki fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat, tetapi juga mempunyai fungsi rangkap sebagai pelindung tanah, air, iklim, dan lain-lain (fungsi hidrologis atau ekologis), bahkan fungsi yang lain seperti sumber plasma nutfah dan keanekaragaman hayati. Hutan merupakan penggunaan lahan paling baik dalam fungsinya sebagai pengatur proses hidrologi dan melindungi tanah.
Penggundulan hutan
21
menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga terjadi peningkatan aliran permukaan dan percepatan erosi tanah, bahkan dapat menyebabkan perubahan karakteristik pasokan air. Total hasil air (water yield) yang keluar dari suatu DAS meningkat, begitu juga dengan perbedaan hasil air antara musim kemarau dan musim hujan (Purwanto dan Ruijter, 2004; Chandler dan Suyanto, 2004). Dumairy (2002) mengemukakan bahwa tindakan yang harus dilakukan untuk memperbaiki pasokan air adalah merubah penggunaan lahan. Selanjutnya dijelaskan bahwa hutan mempengaruhi infiltrasi dan kandungan lengas tanah. Secara umum laju infiltrasi di hutan lebih tinggi dari jenis penggunaan lahan lainnya karena banyaknya pori-pori hayati (biofor) di dalam tanah. Pori-pori hayati terjadi karena adanya aktivitas fauna tanah, akar dan kandungan bahan organik yang tinggi.
Keberadaan seresah daun dapat
melindungi pori-pori tanah dari penyumbatan, oleh karena itu tanah hutan mempunyai kemampuan menyimpan air yang tinggi. Jika intensitas hujan di bawah hutan melebihi kapasitas infiltrasi tanah, maka kelebihan air yang tidak terserap oleh tanah akan mengalir sebagai aliran permukaan. Air yang terinfiltrasi akan meresap ke dalam tanah tergantung pada daya hantar hidrolik vertikal dan lateral, kelembaban tanah dan kecuraman lereng dengan melalui satu atau lebih alur untuk menuju ke sungai utama. Hutan memiliki daya tampung dan daya infiltrasi air yang tinggi, karena itu aliran permukaan jarang terjadi pada lahan hutan.
Tingginya kemampuan infiltrasi tanah hutan, maka air dapat dengan
mudah mencapai sistem air tanah (ground water), sehingga jumlah air yang ditampung pada “reservoir” air tanah menjadi tinggi. Air ini dilepaskan lagi secara bertahap sebagai aliran dasar (baseflow) ke sungai (Purwanto dan Ruijter, 2004). Hutan bersifat seperti busa (sponge), mengisap air dari tanah di musim hujan dan melepaskannya sedikit-demi sedikit di musim kemarau ketika terjadi kekurangan air. Menurunnya penutupan hutan akan menyebabkan berkurangya pasokan air pada musim kemarau sehingga menyebabkan kekurangan air. Oleh karena itu suatu keseimbangan diperlukan antara kondisi hutan dengan
22
ketersediaan air, sehingga harus ditentukan proporsi hutan minimum yang dapat menjamin ketersediaan air dalam suatu DAS (Van Noordwijk et al., 2004). Sebagai akibat dari penggundulan hutan, maka tanggap lahan terhadap hujan akan berubah, tergantung pada sistem penebangan hutan, iklim wilayah, kondisi geologi dan curah hujan. Satu faktor paling penting yang akan berubah ketika terjadi penggundulan hutan dan gangguan terhadap tanah adalah menurunnya kemampuan tanah menyerap air karena penurunan kapasitas infiltrasi tanah. Alihguna hutan tropis menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi tanah pengambilan air oleh pepohonan karena faktor-faktor berikut (Purwanto dan Ruijter, 2004) : (1) tersingkapnya permukaan tanah yang gundul terhadap pukulan butir-butir air hujan secara langsung; (2) menurunnya transpirasi karena tanaman pertanian tidak mempunyai tajuk secara terus-menerus; (3) pemadatan tanah lapisan atas; dan (4) lenyapnya aktivitas fauna tanah secara perlahan-lahan. Salah satu akibat dari perubahan penggunaan lahan hutan ke penggunaan pertanian adalah meningkatnya jumlah aliran tahunan yang keluar dari DAS tersebut. Kejadian ini merupakan konsekuensi sederhana dari keseimbangan air; jika evaporasi dari air yag diintersepsi dan transpirasi oleh tanaman berkurang, maka air yang mengalir sebagai aliran sungai menjadi lebih banyak, apalagi setelah kapasitas penyimpanan air oleh tanah tidak mampu menampung lagi. Total hasil air di suatu DAS meningkat secara signifikan pada pertanian lahan kering (sekitar 150 – 450 mm per tahun, tergantung curah hujan) dibandingkan dengan hutan alami. Namun demikian peningkatan hasil air lebih banyak berupa peningkatan debit puncak dibanding dengan peningkatan aliran dasar. Hal ini menunjukkan adanya potensi peningkatan frekuensi dan intensitas banjir pada daerah hilir (Purwanto dan Ruijter, 2004).
Pada hutan alami yang belum
terganggu, umumnya aliran sungai di musim kemarau (baseflow) dapat dipertahankan pada tingkat tertentu.
Aliran ini diperoleh pada musim hujan
ketika tersedia cukup air yang mampu menginfiltrasi melalui tanah hutan yang mempunyai permeabilitas tinggi dan menembus tanah lapisan bawah. Penurunan
23
kapasitas infiltrasi menyebabkan tanah menjadi cepat jenuh oleh air hujan sehingga memaksa air untuk mengalir di permukaan tanah. Tutupan lahan oleh pohon dengan segala bentuknya dapat mempengaruhi aliran air. Tutupan pohon tersebut dapat berupa hutan alami, pohon sebagai tanaman pagar atau pohon monokultur (misalnya hutan tanaman industri). Tutupan pohon ini mempengaruhi aliran air dalam berbagai tahapan (Van Noordwijk, et al., 2004), yakni : (1) Intersepsi ; selama kejadian hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan tipis air pada permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan mengalami evaporasi sebelum jatuh ke tanah; (2) Perlindungan agregat tanah ; vegetasi dan lapisan seresah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung butir-butir hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah sehingga terjadi pemadatan tanah ; (3) Infiltrasi ; Proses infiltrasi tergantung dari struktur tanah pada lapisan permukaan dan berbagai lapisan dalam profil tanah; dan (4) Drainase lansekap ; Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan tanah dan tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang dapat memicu terjadinya aliran cepat.
Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam Dari sudut pandang ekonomi, masalah lingkungan timbul karena ada eksternalitas yaitu tidak dimasukkannya biaya lingkungan kedalam biaya produksi, sehingga mengakibatkan kerugian bagi orang atau pihak lain. Timbulnya eksternalitas mengakibatkan kegagalan pasar untuk menyeimbangkan permintaan (demand) dan persediaan (supply) sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Akibatnya timbul inefisiensi dalam alokasi sumberdaya alam dan
lingkungan hidup. Pendekatan ekonomi yang dapat memadukan lingkungan ke dalam proses pembangunan sudah banyak dikenal oleh para pengambil kebijakan di negara-negara maju, tetapi masih merupakan hal yang langka di negara-negara berkembang (Djajadiningrat, 1997).
24
Penentuan nilai ekonomi SDA merupakan hal yang sangat penting sebagai bahan pertimbangan dalam mengalokasikan SDA yang semakin langka (Setiawan, 2000). Nilai ekonomi sumberdaya bermanfaat untuk mengilustrasikan hubungan timbal balik antara ekonomi dan lingkungan yang diperlukan untuk pengelolaan SDA yang baik dan menggambarkan keuntungan atau kerugian yang berkaitan dengan berbagai pilihan kebijakan dan program pengelolaan SDA, sekaligus bermanfaat dalam menciptakan keadilan dalam distribusi manfaat SDA tersebut (Ramdan, Yusran dan Darusman, 2003). Berdasarkan landasan konsep ekonomi bahwa nilai ekonomi mencakup konsepsi kegunaan, kepuasan atau kesenangan yang diperoleh individu atau masyarakat tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh dari jual beli, tetapi semua barang dan jasa yang dapat memberikan manfaat untuk kesejahteraan manusia (Ramdan, Yusran dan Darusman, 2003).
Pendekatan
barang dan jasa secara ekonomi biasanya melalui pendekatan nilai pasar yaitu berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran.
Namun pada berbagai
kalangan menilai bahwa sumberdaya alam belum dapat dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi.
Masih banyak masalah-masalah penilaian yang
terjadi atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam tersebut. Banyak manfaat hutan seperti nilai hidrologis, biologis, dan estetika yang masih luput dari penilaian pasar. Menurut Pearce dan Moran (1994), pendekatan penilaian sumberdaya alam dan lingkungan dapat dibagi dua yaitu: pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung. Pendekatan langsung dengan cara: eksperimen, kuisioner, survey, dan contingent valuation method. Sedangkan pendekatan tidak langsung, yaitu: pendekatan pasar pengganti (surrogate market) dan pendekatan pasar konvensional. Menurut Duerr (1960), penilaian sumberdaya hutan atas dasar manfaat ada dua kategori yaitu: pendekatan nilai barang atau jasa yang marketable dan non marketable.
Freeman (1994) mendekati penilaian
sumberdaya alam dan lingkungan dari segi metode pengumpulan data, yaitu:
25
observasi langsung, observasi tidak langsung, hipotetis langsung dan hipotetis tidak langsung. Berbagai metode valuasi ekonomi terhadap dampak lingkungan telah dipakai secara meluas di banyak negara. Metode-metode tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yakni: (1) metode yang secara langsung didasarkan pada perubahan produktivitas dan nilai pasar; (2) metode yang menggunakan nilai pasar barang pengganti atau barang pelengkap; dan (3) metode yang didasarkan pada hasil survei (Suparmoko, 2006). Selanjutnya Suparmoko (1997) dan Suparmoko (2006) menjelaskan bahwa pendekatan harga pasar mencakup pendekatan harga pasar yang sebenarnya dan pendekatan modal manusia (human capital) atau pendekatan penghasilan yang hilang (foregone earnings). Pendekatan dengan nilai barang pengganti atau barang pelengkap mencakup pendekatan nilai kekayaan, pendekatan tingkat upah, dan pendekatan biaya perjalanan. Sedangkan metode yang didasarkan pada hasil survei mencakup lelang dan survei langsung serta pendekatan delphi. Cara penilaian yang lazim mengelompokkan nilai menjadi tiga kelompok (Sanim, 2005), yakni : (1) Nilai pasar (market value); Nilai pasar merupakan nilai yang diperoleh dari harga pasar hasil suatu proses transaksi. Pada pasar bersaing sempurna harga ini mencerminkan kesediaan membayar setiap orang (willingness to pay).
Nilai yang diperoleh dari pasar persaingan sempurna
merupakan nilai baku karena memenuhi keinginan menjual dan membeli serta memberikan surplus kesejahteraan yang maksimal; (2) Nilai kegunaan (value in use); Penggunaan sumberdaya oleh seseorang atau individu merupakan nilai kegunaan sumberdaya. Nilai kegunaan sumberdaya dapat digunakan oleh penjual maupun pembeli untuk memberikan nilai kegunaan sumberdaya tersebut; dan (3) Nilai sosial (social value); Nilai sosial adalah nilai yang ditentukan oleh individu atau seseorang atau masyarakat berdasarkan suatu kesepakatan secara sosial. Secara garis besar nilai suatu sumberdaya terdiri dari nilai penggunaan (use value) dan nilai non penggunaan (non use value). Option value didasarkan pada
26
penilaian berapa besar kesediaan seseorang untuk membayar (willingnes to pay) dari suatu pilihan perlindungan lingkungan. Nilai yang diminta (bequest value) didasarkan pada pemahaman individu akan manfaat suatu sumberdaya di masa depan. Nilai eksistensi (existence value) didasarkan kepada pemahaman akan keberadaan atau eksistensi suatu sumberdaya. Penilaian atau valuasi dampak dalam nilai moneter sangat ditentukan oleh teknik valuasi yang digunakan. Teknik yang paling umum dilakukan adalah kesediaan untuk membayar (willingnes to pay).
Teknik valuasi dapat juga
ditentukan oleh jenis pasar dan sumberdaya atau barang dan jasa lingkungan. Para ahli telah mengembangkan teknik dan cara valuasi dampak untuk mengukur manfaat lingkungan atau harga yang jelas.
Teknik dan cara yang beragam
memerlukan pendekatan yang jelas agar tidak terjadi penghitungan ganda (double counting) sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Nilai Ekonomi Nilai Penggunaan
Nilai yang Tidak Digunakan
Penggunaan Langsung Output yang dapat dimanfaatkan langsung
Nilai tidak Langsung
Nilai opsional
Bequest Value
Nilai eksistensi
Manfaat Fungsional
Nilai warisan
Nilai dari pengetahuan dan keberlanjutan
Produksi kayu; produksi non kayu; rekreasi; habitat manusia; budaya
Perlindungan DAS, sikulus hara, polusi udara, penyerapan CO2, iklim mikro.
Penggunaan untuk masa depan, nilai tidak langsung Penggunaan di masa depan, langsung maupun tidak Langsung
Habitat, perubahan yang tidak dapat kembali
Biodiversity, budaya, heritage,intrisic worth
Metode Valuasi (Valuation Methods ) Analisis pasar, perubahan dalam produktivitas, TCM, CVM, Hedonic Price , Public Price, IOC, IS, Biaya Ganti
Biaya yang dikeluarkan untuk tindakan preventif, perubahan dalam produktivitas, Biaya Ganti
CVM
Keterangan : CVM = Contingent Valuation Method TCM = Travel Cost Method IOC = Indirect Opportunity Cost Approach IS = Indirect Substitute Approach
Gambar 3.
Klaisifikasi Nilai Lingkungan dan Hubungannya dengan Metode Valuasi (Richards, 1997).
27
Perhitungan nilai total dari suatu sumberdaya dan lingkungan, dapat pula didekati dengan cara pengukuran kesediaan membayar (willingness to pay/WTP) individu, agar sumberdaya tetap terpelihara dan tersedia. Menurut Huang Ju-Chin dan Smith (1998) dalam Yunus (2005), model WTP dominan dalam menduga nilai non use (nilai pasif) dan mempunyai tingkat kesalahan (error) lebih rendah apabila digunakan untuk pendugaan nilai yang berguna (use value). Salah satu metode untuk menilai
WTP adalah dengan contingent
valuation method (CVM). Contingent valuation method (CVM) menyediakan informasi tentang manfaat yang tidak digunakan secara langsung, seperti nilai diketahuinya keberadaan spesies di suatu tempat (existence value), nilai pilihan (option value) untuk mengkonsumsi di masa datang dan nilai warisan bagi generasi akan datang (bequest value) (Spash, 1997). Menurut
Randal (1987) bahwa contingent valuation method sebagai
usaha untuk menentukan suatu jumlah kompensasi, dibayar atau diterima, yang dapat memulihkan atau mengembalikan kepuasan seseorang pada tingkat kepuasaan awal. Sedang menurut Eagle dan Betters (1998) teknik ini digunakan untuk menduga nilai ekonomi melalui pertanyaan kepada seseorang atau masyarakat, apakah mereka: (1) bersedia membayar barang dan jasa, atau (2) kesediaan menerima untuk menghindari turunnya atau hilangnya suatu barang atau jasa. Menurut Freeman (1994), tiga hal penting dalam penggunaan CVM yaitu: gambaran hipotetikal
responden terhadap barang dan jasa lingkungan,
kemampuan responden untuk menentukan nilai barang dan jasa lingkungan serta opportunity cost, dan pengujian validitas WTP responden dengan karakteristik sosial ekonomi dan demografi. Pengujian validitas CVM dengan mencermati isi, kriteria dan struktur dari pertanyaan untuk menilai WTP responden. Sehubungan dengan gambaran hipotetikal responden, Loomis et al. (1996) menyimpulkan bahwa ada perbedaan antara kesediaan membayar secara hipotetis dan aktual, tetapi perbedaan tersebut relatif kecil, dimana willingness to pay secara hipotetis lebih besar dua kali dari willingness to pay aktual. Sehingga
28
menurut Champ (1997) bahwa dalam membangun model statistik willingness to pay (WTP), penting untuk diprediksi apakah responden “inconsistent” atau tidak dalam memberikan penilaian tentang willingness to pay secara hipotetis dan aktual.
Namun demikian, metode ini juga mempunyai beberapa kelemahan,
sebagaimana dijelaskan oleh Tietenberg (1992) yaitu bias strategi, bias titik awal, bias informasi, dan bias hipotetis. Selain keempat bias diatas, Freeman (1994) mengembangkan lagi dengan beberapa kelemahan yaitu: bias terhadap pewawancara dan responden, bias aggregat, bias kemampuan mengingat responden, dan bias sarana pembayaran. Metode yang juga umum digunakan dalam melihat manfaat perlindungan DAS adalah perubahan produktivitas. Pendekatan ini didasarkan pada interaksi dan perubahan dalam input/output dalam sistem produksi yang dipengaruhi oleh keberadaan program perlindungan DAS. Ini dapat digunakan untuk mengukur pengaruh erosi terhadap sistem usahatani, atau sedimentasi di waduk. Dalam hal ini ada beberapa pendektan analisis biaya yang juga dapat dilakukan. Misalnya seberapa besar manfaat yang diperoleh dengan membiayai pencegahan dampak (pendekatan pengeluaran preventif) dan biaya ganti dari jasa lingkungan misalnya penggunaan pupuk akibat kehilangan unsur hara oleh erosi tanah (Sihite, 2004). Setiap teknik dan cara valuasi memerlukan persyaratan terutama data, biaya dan waktu serta tingkat akseptibilitas yang berbeda bagi pengambilan kebijakan. Tantangannya adalah bagaimana menggunakan valuasi secara akurat dan efektif biaya sehingga teknik valuasi berkembang menjadi seni dan ilmu. Analisis biaya dan manfaat (ABM) merupakan salah satu teknik valuasi ekonomi. Teknik ABM merupakan metode yang koheren mengorganisasi dan mengemukakan informasi yang diinginkan dalam terminologi nilai moneter. Sama dengan teknik valuasi lainnya, pemahaman akan interaksi lingkungan dan ekonomi tetap diperlukan (Enters, 1998). Langkah utama yang diperlukan dalam ABM antara lain (Sihite, 2004): (1) identifikasi semua komponen yang relevan dengan analisis; (2) kuantifikasi dampak fisik; dan (3) valuasi dampak dalam nilai
29
moneter. Analisis biaya dan manfaat on-site mempunyai batasan kritis pada penentuan discount rate, rentang waktu, nilai tenaga kerja, dan analisis sosial.
Manfaat Ekonomi Sumberdaya Hutan Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sumberdaya hutan kayu dan non kayu maupun yang sifatnya non-use value dapat dihitung nilai ekonomi totalnya dengan menggunakan berbagai pendekatan penilaian ekonomi. Menurut Pearce dan Moran (1994), penilaian manfaat langsung menurut harga pasar atau produktivitas terhadap sumberdaya hutan seperti nilai kayu, buah dan lateks yaitu sekitar US$ 6.280/ha atau Rp 13.627.600/hektar (IDR= Rp 2.170). Watson (1988) dalam Yunus (2005) menduga produksi hutan di Malaysia sebesar US$ 2.445/hektar atau Rp. 4.136.940/hektar (IDR= Rp. 1.629) dibanding US$ 217/hektar (Rp 367.164/hektar) untuk pertanian intensif.
Kramer et.al
(1993) menduga nilai kayu bakar kebutuhan rumah tangga sekitar Taman Nasional Mantadia di Madagaskar sebesar US$ 39/tahun atau Rp. 81.744/tahun (IDR = Rp 2.096). Gutierrez dan Pearce (1992) dalam Yunus (2005), menduga nilai ekonomi hutan Amazone Brasil dengan pendekatan willingess to pay sebesar US$ 199/tahun atau Rp. 405.363/tahun (IDR= Rp 2.037), total nilai ekonomi US$ 91 billion (Rp. 185 trilyun) dengan nilai guna langsung US$ 15 milyar (Rp. 30 trilyun), kegunaan tidak langsung US$ 46 milyar (Rp. 93 trilyun) dan nilai keberadaan sebesar US$ 30 milyar (Rp. 61 trilyun). Hasil penelitian lain menyatakan bahwa total ekonomi hutan di Meksiko dengan luas 51,5 juta hektar (Pearce et al., 1994) terdiri atas nilai manfaat untuk wisata US$ 31,2 juta atau Rp. 67 milyar (IDR= Rp. 2.096), nilai karbon (C) sebesar US$ 3.788,3 juta (Rp. 7,9 trilyun), perlindungan daerah aliran sungai (DAS) US$ 2,3 juta (Rp. 4,8 milyar), nilai pilihan US$ 331,7 juta (Rp. 695 milyar) dan nilai eksistensi US$ 60,2 juta (Rp. 126 milyar). Sementara dengan pendekatan net present value (NPV) menduga nilai manfaat hutan Korup di Kamerun yaitu perlindungan banjir US$ 23/hektar atau Rp. 39.606/ha (IDR = Rp.
30
1.722), pengendali erosi US$ 8/hektar (Rp. 13.776/ha), tanaman obat US$ 7/ha (Rp. 12.054) dan untuk wisata US$ 19/hektar (Rp. 32.718/ha). Pearce (1990) dalam Yunus (2005) menduga nilai karbon hutan tropis antara US$ 1.300 sampai US$ 5.700/hektar/tahun atau sekitar Rp. 2,4 juta/tahun sampai Rp. 10,5 juta/tahun. Menurut Swanson (1996), proyeksi pendugaan kehilangan biodiversitas dari beberapa hasil penelitian adalah sangat besar, yang ditunjukkan bahwa pada tingkat tertentu kehilangan hutan sebesar 5% sampai 9% akan menyebabkan kehilangan biodiversitas sebesar 15% sampai 50%. Demikian pula dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pendugaan nilai sumberdaya non kayu juga bernilai tinggi sebagaimana dikemukakan oleh McNeely (1992) bahwa pada tahun 1990 nilai produk non kayu dari hutan di Indonesia sebagai sumber devisa yaitu US$ 200 juta atau Rp. 369 milyar (IDR= Rp. 1.849). Sebagai pembanding antara nilai sumberdaya kayu dan non kayu, Myers (1988) dalam McNeely (1992) menyimpulkan bahwa sebuah kawasan hutan seluas 500 km2 di Brazil dan pengelolaannya efektif dapat menghasilkan tanaman pangan dan tanaman obat dengan nilai sedikitnya US$ 10 juta/tahun (Rp. 16,9 milyar/tahun) atau kurang lebih US$ 200/hektar (Rp. 338.400/hektar), sedang pembukaan hutan untuk kegiatan komersial nilainya hanya US$ 150 perhektar (Rp. 253.800/ha) dengan nilai IDR = Rp. 1.692 (tahun 1998). Hasil penelitian menggunakan pendekatan penilaian atas dasar penggunaan produktif dari sumberdaya hutan. Namun, tidak dijelaskan secara rinci metode perhitungannya. Sementara hasil studi yang dilakukan oleh Kramer dan Mercer (1997) dengan menggunakan contingent valuation method di Amerika Serikat terhadap perlindungan hutan hujan tropik, hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata responden bersedia membayar US$ 21 - US$ 31 per rumah tangga atau sekitar Rp. 62.055 - Rp. 91.605 (IDR=Rp. 2.955) untuk melindungi 5% hutan hujan tropik. Hasil penelitian penilaian ekonomi total hutan produksi di Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan IPB (1999) menunjukkan bahwa
31
nilai total hutan produksi pada lahan kering Rp. 49 juta/ha/tahun dan di lahan basah Rp. 79 juta/ha/tahun. Pada lahan kering, nilai guna langsung Rp. 2,21 juta/ha/tahun, nilai guna tidak langsung Rp. 11,21 juta/ha/tahun, nilai pilihan Rp. 1.631/ha/tahun, dan nilai keberadaan Rp. 35,7 juta/ha/tahun.
Sementara untuk
lahan basah, nilai guna langsung Rp. 1,18 juta/ha/tahun, nilai guna tidak langsung Rp. 40,7 juta/ha/tahun, nilai pilihan Rp. 1.681/ha/tahun, dan nilai keberadaan Rp. 37,8 juta/ha/tahun. Ramdan, Yusran dan Darusman (2003) mengemukakan bahwa manfaat hidrologis total kawasan Gunung Ciremai dari sektor rumah tangga mencapai Rp. 3,35 x 1013 per tahun (tiga puluh tiga trilyun lima ratus milyar rupiah). Nilai ini baru sebagian kecil dari total nilai yang dikandung oleh Gunung Ciremai. Besarnya manfaat hidrologis ini menunjukkan besarnya manfaat yang diberikan Gunung Ciremai, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya konservasi secara konsisten untuk menjaga agar manfaat ini tidak hilang. Selanjutnya Sulistiyono (2006) mengemukakan bahwa nilai ekonomi yang terkandung pada pola penggunaan lahan hutan meliputi nilai guna (use value) dan nilai bukan guna (non use value). Nilai guna meliputi (1) nilai guna langsung seperti penghasil kayu, kayu bakar, dan wisata alam; dan (2) nilai guna tidak langsung seperti manfaat air untuk rumah tangga, manfaat air untuk pertanian lahan basah serta pencegah banjir dan erosi. Nilai bukan guna meliputi : (1) nilai pilihan seperti penyerap karbon; dan (2) nilai keberadaan seperti habitat flora dan fauna. Selanjutnya hasil penelitian Sulistiyono (2006) menunjukkan bahwa total nilai guna langsung kawasan lindung di DAS Ciliwung Hulu adalah Rp. 208.280.566 per tahun, nilai guna tidak langsung mencapai Rp. 3.992.075.860 per tahun. Nilai ekonomi kawasan lindung di DAS tersebut untuk nilai bukan guna meliputi; nilai pilihan mencapai Rp. 387.510.290 per tahun, sedangkan nilai keberadaan mencapai Rp. 689.040.000 per tahun. Dari angka-angka tersebut, maka terlihat bahwa nilai ekonomi total (total economic value) kawasan lindung di DAS Ciliwung Hulu adalah Rp. 5.068.626.290 per tahun.
32
Darusman dan Bahruni (2005) menjelaskan bahwa nilai ekonomi jasa lingkungan sumberdaya air yang dihitung untuk sektor rumah tangga dan pertanian adalah sebagai berikut : (1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango bernilai Rp. 4,3 milyar per tahun (air untuk rumah tangga); (2) Taman Nasional Halimun sebesar Rp. 3,4 milyar per tahun (air untuk rumah tangga) dan 1,6 milyar per tahun (air untuk pertanian); dan (3) Taman Wisata Papandayan sebesar 1,3 milyar per tahun (air untuk rumah tangga) dan Rp. 11,1 milyar per tahun (air untuk pertanian). Penelitian secara makro nilai kerugian ekonomi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 1997/1998 dengan perkiraan luas kebakaran 5 juta hektar yang dilakukan oleh EEPSEA bekerjasama dengan WWF Indonesia diperkirakan sebesar US$ 4.469,5 juta atau sekitar Rp. 11 trilyun (IDR=Rp. 2500), meliputi kerugian yang dialami oleh Indonesia, Malaysia, Singapore, dan Thailand. Metode perhitungan yang digunakan antara lain: pendekatan produksi, nilai pasar, biaya kerusakan tanaman, pendapatan yang hilang, dose respons, biaya pengobatan akibat penduduk sakit dan transfer benefit. Dari hasil penelitian ini diketahui pula besarnya kerugian ekonomi Indonesia sehubungan dengan kebakaran dan asap yang dialami pada periode Agustus – Desember 1997 sebesar US$ 3.799,9 juta (85%) atau sekitar Rp. 9,4 trilyun. Sedang negara lain sebesar 669.6 juta dollar (15%) atau setara dengan Rp. 1,6 trilyun (Yunus, 2005). Kebakaran hutan yang terjadi di Kabupaten Sintang Provinsi Kalimantan Barat tahun 1997 menyebabkan hilangnya sumberdaya hutan dengan nilai kerugian sebesar Rp. 53,91 milyar. Nilai ini meningkat sebesar 69,48 % atau sekitar Rp. 91,38 milyar untuk kebakaran hutan tahun 2003 (Yunus, 2005).
Kebutuhan Air Jumlah air yang dibutuhkan untuk memenuhi berbagai keperluan dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: jumlah penduduk dan pertumbuhan penduduk (population), harga air (water price), pendapatan keluarga (household
33
income) dan curah hujan (rain fall). Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi satu sama lain mempengaruhi tingkat kebutuhan air (Mays and Tung, 1992). Analisis regresi sangat sering digunakan untuk menganalisis berbagai jenis hubungan empiris dari berbagai faktor.
Sebagai ilustrasi maka
dikembangkan model prediksi penggunaan air untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi penggunaan air, antara lain : jumlah penduduk, harga air, pendapatan rata-rata, dan curah hujan tahunan. Sebagai contoh disajikan data penggunaan air di Austin, Texas dari tahun 1970 sampai 1985 (Tabel 3). Tabel 3. Data Penggunaan Air Austin, Texas Tahun 1970-1985. Tahun
Populasi
Harga ($/1000 Galon)
Income ($/orang)
Curah hujan tahunan (in.)
Water Use (ac-ft)
1970
251808
1.05
8453
30.64
50683
1971
259900
1.00
8713
24.95
56600
1972
268252
1.20
9286
26.07
57151
1973
276837
1.13
9694
40.46
57466
1974
285771
1.06
9542
36.21
63263
1975
294955
0.98
9684
36.81
57357
1976
304434
0.93
10152
39.17
51163
1977
314217
0.87
10441
22.14
68413
1978
324315
0.81
10496
30.39
69994
1979
334738
1.10
10679
37.50
65204
1980
345496
1.05
10833
27.38
78564
1981
354401
0.96
11060
45.73
76339
1982
368135
0.91
11338
26.63
87309
1983
383326
0.87
11752
33.98
82120
1984
399147
0.84
12763
26.30
97678
12748
32.49
97708
1985 424120 1.41 Sumber : Mays and Tung (1992).
34
Tabel 3 menunjukkan bahwa penggunaan air tahunan total di Austin, Texas merupakan pengaruh kombinasi banyak faktor.
Untuk ilustrasi, maka
pendekatan per kapita digunakan untuk menganalisis hubungan antara penggunaan air dengan jumlah penduduk.
Penggunaan air tahunan akan
meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Pengkajian tentang hal ini akan memudahkan perencana untuk mengantisipasi pertambahan jumlah penduduk sehingga pasokan air masa depan dapat terpenuhi. Meningkatnya aktivitas pembangunan dan tekanan penduduk berakibat semakin meningkatkan kebutuhan akan air. Dampak negatif dari situasi tersebut yaitu berakibat semakin kritisnya kondisi hidrologis dan kelestarian konservasi air, serta semakin tercemarnya sumber air. Kondisi kritis juga diindikasikan dengan sangat besarnya fluktuasi debit air antara musim hujan dan musim kemarau sampai mencapai 150 kali (Dewan Riset Nasional, 1994 dalam Atmanto, 1998). Semakin jeleknya fungsi tangkapan air di banyak Daerah Aliran Sungai (DAS), berakibat semakin langkanya air pada musim kemarau dan menjadi bencana banjir pada musim hujan. Situasi dan kondisi di atas apabila tidak dikelola secara antisipatif akan menjadi faktor pendorong munculnya suasana kompetisi dan bahkan tidak mustahil akan memunculkan konflik kepentingan penggunaan air. Relevansi dengan kekhawatiran semakin kompetitif antar pengguna dan akan berkembang pada situasi konflik kepentingan antar sektor tersebut, sektor pertanian tampaknya akan menjadi salah satu sektor yang akan menerima dampaknya. Menurut Soenarno (1995) dalam Atmanto (1998) bahwa kebutuhan air irigasi untuk budidaya pertanian diperkirakan masih sekitar 80 % dari total kebutuhan air. Dengan semakin bertambahnya penduduk dan berkembangnya pembangunan sektor lain, maka dikhawatirkan eksistensi jaminan alokasi air untuk pertanian akan menjadi labil dan tergeser oleh kebutuhan penggunaan air untuk sektor lainnya. Kebutuhan air untuk berbagai sektor setiap tahunnya mengalami peningkatan, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perkembangan
35
sosial ekonomi masyarakat. Sanim (2003) mengemukakan bahwa kebutuhan air akan meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, taraf hidup, dan perkembangan sektor industri. Padahal ketersediaan air cenderung tetap bahkan malah menurun akibat perubahan tata ruang dan iklim. Ironisnya, penggunaan air saat ini belum optimal atau efisien secara ekonomi, sosial maupun teknis. Misalnya penggunaan air irigasi yang boros atau kehilangan air yang masih tinggi pada sistem distribusi air. Itulah sebabnya mengapa permintaan akan air dengan sistem pipanisasi harganya menjadi mahal. Semua itu terjadi karena pasokan air dengan bantuan rekayasa teknis (bendungan) telah mendekati daya dukung alami potensi sumber daya air, sehingga untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat hanya dapat dilakukan dengan biaya yang mahal pula. Kebutuhan air yang lebih besar dari ketersediaannya akan menciptakan kondisi kelangkaan (scarcity) yang dapat memicu terjadinya konflik pengguna air (Ramdan, 2006). Diprediksikan keseimbangan air tahun 2002; untuk kebutuhan air total regional Sumatera (mewakili pulau basah) masih jauh di bawah dependable discharge. Tetapi untuk Pulau Jawa keadaanya sudah kritis. Untuk keperluan irigasi saja tidak mencukupi terutama antara Juni-September 2002. Selanjutnya dikatakan bahwa kebutuhan air irigasi bulan Juni sebesar 4.057 juta m3 sementara air yang diandalkan hanya tersedia 3.531 juta m3. Artinya pada bulan itu terdapat defisit air sebesar 526 juta m3. Padahal kebutuhan total air pada bulan Juni sebesar 5.278 juta m3 atau defisit 1.221 m3. Namun air akan melimpah pada bulan-bulan basah yakni Oktober-April 2003.
Wilayah Bali, NTB dan NTT
(daerah kering) juga akan mengalami defisit air pada Juni-Oktober 2002. Untuk keperluan irigasi mungkin masih cukup, tetapi untuk kebutuhan total Mei defisit sebesar 473 juta m3 (Dirjen Sumberdaya Air, 2002). Beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk pengelolaan sumberdaya air (Dziegielewski, 2003) adalah sebagai berikut: (1) pendidikan masyarakat (public education), seperti program pendidikan usia dini, kampanye dan iklan media, diseminasi informasi melalui pemanfaatan media; (2) program pengelolaan air (water management programs) seperti: program deteksi dan
36
perbaikan fasilitas pelayanan, dan audit sistem distribusi air; (3) regulasi pemerintah (government regulation) antara lain: peraturan pemerintah pusat dan daerah serta standar baku mutu air; dan (4) insentif ekonomi (economic incentives) seperti: penetapan standar harga air, perdagangan air, pemasaran air secara regional (lintas wilayah), pajak dan lain-lain.
METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air dilakukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara.
Secara administrasi DAS Konaweha
dengan total luas 697.841 hektar meliputi 3 kabupaten dan 1 kota yakni Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari. Penelitian ini dilaksanakan selama 10 (sepuluh) bulan terhitung sejak Juni 2009 sampai dengan Maret 2010. Alokasi waktu penelitian meliputi: 2 bulan untuk pengumpulan data sekunder, 4 bulan untuk pengumpulan data primer, dan 4 bulan untuk pengelompokkan, tabulasi dan pengolahan data. Aspek-aspek yang dikaji di DAS Konaweha Hulu adalah aspek kebutuhan air, ketersediaan air, aspek nilai ekonomi hasil hutan non kayu (analisis vegetasi) dan nilai ekonomi air.
Lokasi penelitian intensif di DAS Konaweha Hulu
disajikan pada Gambar 4.
Bendungan Irigasi Wawotobi
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian Intensif DAS Konaweha Hulu Tahun 2009
38 Bahan dan Peralatan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data yang diperoleh dari berbagai sumber, antara lain : data curah hujan dan data debit; peta penggunaan lahan, peta topografi, peta jenis tanah, dan peta rupa bumi; data demografi, data jenis dan jumlah industri, dan data luas sawah. Peralatan yang digunakan dalam penelitian adalah : Personal Computer (PC) lengkap dengan software MS Office 2003, scanner, digitaizer, camera, Geographycal Position System (GPS),
alat penakar hujan, alat pengukur
kecepatan aliran (current meter), alat pengukur tinggi muka air otomatis (AWLR), alat pengukur tinggi pohon, jangka sorong, meteran, dan alat tulis kantor (ATK). Penetapan Lokasi Penelitian Intensif Secara garis besar lokasi penelitian mencakup seluruh DAS Konaweha (on-site) dan di luar DAS konaweha yakni wilayah-wilayah di kota Kendari yang secara administrasi tidak masuk di dalam DAS Konaweha (off-site). Pemilihan wilayah-wilayah tersebut didasarkan atas pemenuhan kebutuhan airnya yang disuplai dari Sungai Konaweha. Penelitian di dalam DAS Konaweha (on-site) dilakukan secara proporsional di seluruh wilayah administrasi yakni Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan. Kawasan penelitian intensif mewakili tiga sektor utama pengguna air yakni sektor domestik, industri dan pertanian.
Disamping itu
kawasan penelitian intensif memiliki data pengukuran hujan dan debit runtut waktu.
Data hujan diperoleh dari semua stasiun hujan yang ada di DAS
Konaweha, sedangkan data debit diperoleh dari Bendungan Irigasi Wawotobi. Penelitian di Kota Kendari dilakukan pada empat kecamatan yakni Kecamatan Kendari Barat, Mandonga, Baruga dan Kecamatan Poasia. Penetapan keempat wilayah ini didasarkan pada keterwakilan pengguna air untuk sektor domestik dan industri dimana keempat kecamatan ini merupakan area utama pelayanan PDAM Kota Kendari.
39 Penelitian tentang fungsi hutan dalam menyerap karbon dilakukan pada 4 lokasi yakni di kawasan hutan Kecamatan Mowewe, Tinondo, Latoma dan Kecamatan Uluiwoi. Penetapan keempat lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan hutan. Pengamatan intensif untuk analisis vegetasi dilakukan pada suatu petak contoh yakni kombinasi antara metode jalur dan metode garis berpetak (Yunus, 2005) sebagaimana disajikan pada Gambar 5.
D
C
C
B A A
D
B A A B C
D
Keterangan: Ukuran sub plot untuk berbagai stadium pertumbuhan adalah : A. Semai dan Tumbuhan Bawah : 2 m x 2 m; B. Pancang : 5 m x 5 m C. Tiang : 10 m x 10 m D. Pohon : 20 m x 20 m
Gambar 5. Desain Jalur Analisis Vegetasi di DAS Konaweha Hulu Tahun 2009
Teknik Penentuan Populasi dan Sampel Unit populasi di dalam penelitian adalah DAS Konaweha yang terdiri dari empat wilayah yakni Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Kolaka dan Kota Kendari.
Keempat wilayah administrasi tersebut ditetapkan secara sengaja
(purposive) sebagai lokasi penelitian karena wilayah-wilayah tersebut secara administrasi berada di DAS Konaweha dan memanfaatkan air yang bersumber dari Sungai Konaweha.
Selanjutnya dari wilayah kabupaten/kota ditetapkan
sampel wilayah kecamatan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa kecamatan yang dipilih secara administrasi berada di dalam DAS Konaweha dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di DAS Konaweha. Langkah
40 selanjutnya adalah penetapan sampel desa/kelurahan pada setiap kecamatan dengan metode acak bertingkat (stratified random sampling) yang diawali dengan pengklasifikasian desa/kelurahan berdasarkan jumlah kepala keluarga (KK) yakni kelas I dengan jumlah KK < 500 per desa/kelurahan dan kelas II dengan jumlah KK > 500 KK per desa/kelurahan.
Kemudian dilakukan pengacakan untuk
memilih masing-masing 1 desa/kelurahan pada setiap kelas sehingga setiap kecamatan diwakili 1 desa/kelurahan untuk masing-masing kelas I dan kelas II. Langkah terakhir adalah penetapan responden/informan yang terdapat pada masing-masing desa/kelurahan yang terpilih. Metode penetapan responden untuk kebutuhan air juga dilakukan dengan menggunakan metode acak bertingkat. Responden kebutuhan air domestik ditetapkan dengan terlebih dahulu dilakukan klasifikasi responden berdasarkan tingkat pendapatan rata-rata per bulan yakni kelas I (< Rp. 1.000.000 per bulan), kelas II (Rp. 1.000.000 – Rp. 3.000.000 per bulan) dan kelas III (> Rp. 3.000.000 per bulan).
Selanjutnya dilakukan
penetapan responden secara acak pada masing-masing kelas.
Klasifikasi
responden kebutuhan air industri diawali dengan melakukan klasifikasi skala industri (menggunakan acuan Dinas Perindustrian dan Perdagangan) yakni kelas I adalah industri kecil dan kelas II adalah industri sedang/besar, selanjutnya dilakukan pengacakan untuk menentukan responden pada masing-masing kelas. Klasifikasi responden kebutuhan air irigasi ditentukan berdasarkan luas kepemilikan lahan sawah dengan kriteria kelas I adalah petani yang memiliki sawah < 1 hektar dan kelas II adalah petani yang memiliki sawah > 1 hektar. Penetapan informan nilai manfaat ekonomi air dan hasil hutan non kayu dilakukan dengan metode bola salju (snow ball method). Kerangka penarikan sampel (sampling frame) penelitian disajikan pada Gambar 6.
41
DAS Konaweha Unit Populasi
Kabupaten Konawe, Kolaka, Konawe Selatan dan Kota Kendari
Purposive
Kecamatan (20)
Stratified Random Sampling
Desa/Kelurahan (40)
Sampel Kabupaten/Kota
Sampel Kecamatan
Sampel Desa/Kelurahan
Kebutuhan Air Domestik 640 orang Sampel Responden
Kebutuhan Air Industri 60 unit
Stratified Random Sampling
Kebutuhan Air Irigasi 90 orang Nilai Ekonomi : 1. WTP Air Irigasi = 75 orang 2. WTP Keberadaan =100 orang 3. WTP Nilai Warisan = 100 orang 4. WTP Nilai Pilihan = 100 orang 5. Pengolah Rotan = 26 Pemilik Izin 6. Pengumpul Madu = 68 orang
Gambar 6.
Snow Ball Method
Kerangka Penarikan Sampel Penelitian (Sampling Frame) di DAS Konaweha Tahun 2009
Gambar 6 menunjukkan bahwa unit populasi adalah area atau wilayah yakni DAS Konaweha yang mencakup 3 kabupaten dan 1 kota, 20 kecamatan dan 40 desa/kelurahan dan responden/informan. Jumlah dan metode pengambilan sampel masing-masing unit populasi berbeda-beda yakni metode penetapan disengaja (purposive), acak bertingkat (stratified random sampling) dan metode bola salju (snow ball method). Gambar 6 menunjukkan bahwa unit populasi penelitian adalah 3 kabupaten di DAS Konaweha yakni Kabupaten Konawe, Kolaka dan Kabupaten Konawe Selatan ditambah dengan Kota Kendari yang memanfaatkan air dari DAS Konaweha. Jumlah dan penyebaran sampel wilayah pengambilan data disajikan pada Tabel 4.
42 Tabel 4. No.
1.
2. 3. 4.
Jumlah dan Penyebaran Wilayah Administrasi Pengambilan Sampel di DAS Konaweha Tahun 2009 Kabupaten Nama Kecamatan Jumlah Jumlah /Kota Kecamatan Desa/ Kelurahan Konawe Unaaha, Wawotobi, Sampara, 9 18 Pondidaha, Lambuya, Uepay, Abuki, Latoma, Amonggedo Konawe Ranomeeto, Landono 2 4 Selatan Kolaka Ladongi, Tirawuta, Tinondo, 5 10 Mowewe, Uluiwoi Kendari Kendari Barat, Mandonga, 4 8 Baruga, Poasia Jumlah 20 40 Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah wilayah kecamatan yang menjadi
sampel penelitian di Kabupaten Konawe adalah 9 kecamatan, yakni Kecamatan Unaaha, Wawotobi, Sampara, Pondidaha, Lambuya, Uepay, Abuki, Latoma dan Kecamatan Amonggedo. Jumlah desa/kelurahan di wilayah tersebut adalah 18 desa/kelurahan (tiap kecamatan diwakili 2 desa/kelurahan). Sampel wilayah di Kabupaten Konawe Selatan adalah Kecamatan Ranomeeto dan Landono yang terdiri dari 4 desa/kelurahan sampel. Sampel wilayah Kabupaten Kolaka adalah Kecamatan Ladongi, Tirawuta, Tinondo, Mowewe dan Kecamatan Uluiwoi yang mencakup 10 desa, Sedangkan Kota Kendari meliputi Kecamatan Kendari Barat, Mandonga, Baruga dan Kecamatan Poasia yang mencakup 8 kelurahan.
Responden Kebutuhan Air Analisis kebutuhan air dilakukan pada tiga sektor yakni pertanian, industri dan sektor domestik. Pengguna air di sektor pertanian yang dianalisis adalah pertanian lahan basah (sawah). Penentuan responden petani sawah dilakukan di Kabupaten Konawe yang meliputi Kecamatan Wawotobi, Unaaha, Abuki, Amonggedo dan Kecamatan Lambuya dengan metode acak bertingkat. Masingmasing kecamatan dan desa sampel ditentukan sampel petani sawah yakni 10 orang setiap desa sehingga keseluruhannya terdapat 50 orang responden
43 berdasarkan luas kepemilikan lahan sawah.
Responden petani sawah untuk
Kabupaten Kolaka mencakup Kecamatan Mowewe dan Ladongi yakni sebanyak 20 orang responden (masing-masing kecamatan 10 orang responden), sedangkan Kabupaten Konawe Selatan mencakup Kecamatan Ranomeeto dan Landono dengan jumlah 20 orang responden (masing-masing kecamatan 10 orang). Penetapan responden untuk analisis kebutuhan air pada sektor industri dilakukan baik di dalam DAS Konaweha maupun di luar DAS Konaweha yang menggunakan air dari Sungai Konaweha.
Responden ditetapkan dengan
menggunakan metode acak bertingkat berdasarkan jenis/skala industri. Penentuan sampel responden dilakukan dengan menetapkan secara acak 40 sampel industri kecil dan 20 industri sedang/besar, sehingga jumlah sampel untuk industri sebanyak 60 unit. Selanjutnya responden kebutuhan air untuk sektor domestik diambil di DAS Konaweha dan Kota Kendari. Pengambilan sampel responden dilakukan menggunakan metode acak bertingkat berdasarkan tingkat pendapatan rata-rata per bulan responden.
Distribusi jumlah responden rumah tangga di DAS
Konaweha adalah 260 orang responden di Kota Kendari yang terdistribusi di Kecamatan Mandonga, Kendari Barat, Baruga dan Kecamatan Poasia. Jumlah responden kebutuhan air domestik untuk Kabupaten Konawe adalah 180 orang yang terdistribusi di Kecamatan Unaaha, Lambuya, Amonggedo dan Kecamatan Abuki. Jumlah responden kebutuhan air domestik di Kabupaten Kolaka adalah 100 orang yang terdistribusi di Kecamatan Mowewe dan Kecamatan Ladongi. Sedangkan responden kebutuhan air domestik di Kabupaten Konawe Selatan berjumlah 100 orang yang terdistribusi di Kecamatan Ranomeeto dan Kecamatan Landono. Informan Penerima Manfaat Hasil Hutan Non Kayu Penerima manfaat hasil hutan non kayu yang dimaksud adalah pengguna air irigasi, pengolah flora dan fauna (rotan dan madu), manfaat nilai pilihan, warisan dan manfaat ekonomi nilai keberadaan. Penentuan informan masing-
44 masing penerima manfaat menggunakan metode bola salju (snow ball method). Distribusi dan jumlah informan masing-masing jenis manfaat ekonomi hasil hutan non kayu disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. No.
Distribusi dan Jumlah Informan Penerima Manfaat Hasil Hutan Non Kayu di DAS Konaweha Tahun 2009
Jenis Manfaat
1. Air irigasi
Kabupaten/Kota
Kecamatan
Konawe
Unaaha, Wawotobi, Abuki, Lambuya, Amonggedo Kolaka Ladongi, Tinondo Konawe Selatan Ranomeeto, Landono 2. Rotan Konawe Abuki, Latoma, Sampara, Lambuya, Unaaha, Wawotobi Kolaka Ladongi, Uluiwoi 3. Madu Konawe Latoma, Abuki Kolaka Uluiwoi 4. Nilai Pilihan, Konawe Unaaha, Wawotobi, Nilai Warisan, Abuki, Lambuya, Nilai Pondidaha, Latoma Keberadaan Kolaka Ladongi, Uluiwoi Konawe Selatan Ranomeeto, Landono
Jumlah Informan 50
15 10 24
2 32 36 60
20 20
Jenis dan Sumber Data Sesuai dengan tujuan penelitian, maka data yang digunakan secara garis besar meliputi data yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan, kebutuhan air, ketersediaan air, serta manfaat dan nilai ekonomi hutan. Jenis-jenis data, metode pengumpulan dan sumber data yang diperlukan di dalam penelitian ini pada dasarnya meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi lapang, wawancara, pemotretan, pengukuran dan pengamatan, sedangkan data sekunder diperoleh dari dinas/instansi terkait (Tabel 6).
45 Tabel 6. Jenis dan Sumber serta Metode Pengumpulan Data di DAS Konaweha Jenis Data
Kebutuhan air Penggunaan lahan Bentuk lahan Potensi tegakan hutan Hasil hutan non kayu Potensi penyerapan karbon Fungsi keanekaragaman hayati
Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Primer Responden Lapang Lapang Kawasan hutan Informan, observasi Kawasan hutan Informan, observasi
Wawancara Ground ceck Ground ceck Analisis vegetasi Wawancara mendalam Analisis vegetasi Wawancara mendalam
Sekunder Kependudukan BPS Provinsi Sultra Kebutuhan air Instansi terkait Curah hujan Subdin PU Pengairan Sultra Luas dan jenis penggunaan Departemen Kehutanan, lahan BPDAS Sampara dan Bakosurtanal. Debit sungai Subdin PU Pengairan Sultra RTL DAS Konaweha BPDAS Sampara
Kunjungan dinas/instansi Kunjungan dinas/instansi Kunjungan dinas/instansi Kunjungan dinas/instansi, interpretasi Citra dan peta Kunjungan dinas/instansi Kunjungan dinas/instansi
Analisis Data Tujuan Pertama Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Data peta penggunaan lahan DAS Konaweha diperoleh melalui kerjasama dengan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Sampara Provinsi Sulawesi Tenggara, Bakosurtanal dan Biotrop.
Peta penggunaan lahan DAS
Konaweha diinterpretasi dari data citra satelit tahun 1991, 1999, 2001, 2004, 2005, 2006, 2008 dan 2011. Untuk kepentingan analisis perubahan penggunaan lahan dan hubungannya dengan kondisi hidrologi, maka digunakan peta penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu. Analisis perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha Hulu dilakukan dengan menggunakan software ArcView geographycal information system (GIS) dan hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptif dan peta.
46 Langkah-langkah
yang
dilakukan
dalam
menganalisis
perubahan
penggunaan lahan di DAS Konaweha Hulu: (1) mengumpulkan bahan-bahan yang digunakan dalam analisis perubahan penggunaan lahan seperti peta Rupa Bumi Indonesia (Bakosurtanal), peta penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu (Bakosurtanal dan BP DAS Sampara), peta batas DAS Konaweha (BP DAS Sampara), citra satelit DAS Konaweha tahun 1991, 1999, 2001, 2004, 2005, 2006, 2008 dan 2011; (2) pengecekan lapang (ground ceck) penggunaan lahan dominan; dan (3) interpretasi citra satelit untuk menentukan penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu dengan menggunakan acuan panduan interpretasi citra Departemen Kehutanan (2010), Peta Rupa Bumi Indonesia, peta penggunaan lahan (Bakosurtanal dan BPDAS Sampara), dan hasil pengecekan lapang. Analisis perubahan penggunaan lahan secara keseluruhan dilakukan untuk mengetahui kecenderungan perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha umumnya dan DAS Konaweha Hulu pada khususnya yang difokuskan pada kecenderungan perubahan penggunaan lahan periode 1991-1995, periode 19962000, periode 2001-2005 dan periode 2006-2010. Analisis perubahan penggunaan lahan hanya dilakukan pada penggunaan lahan yang dominan yakni penggunaan lahan yang proporsinya lebih 1 % dari total luas DAS Konaweha Hulu pada tahun 1991. Berdasarkan hal ini maka perubahan penggunaan lahan yang dianalisis adalah hutan, perkebunan, kebun campuran, dan semak belukar. Untuk kepentingan analisis kecenderungan perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha Hulu yang didasarkan pada ketersediaan data penggunaan lahan, maka unit waktu analisis dibagi menjadi 4 periode (masing-masing 5 tahun), yakni: periode 1991-1995, periode 1996-2000, periode 2001-2005 dan periode 2006-2010. Analisis perubahan penggunaan lahan hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar menggunakan analisis regresi dengan asumsi bahwa luas masing-masing jenis penggunaan lahan merupakan fungsi dari waktu (t), sehingga luas penggunaan lahan pada waktu t ditentukan oleh luas penggunaan lahan
47 sebelumnya dan laju perubahan penggunaan lahan rata-rata.
Diduga bahwa
kecenderungan perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang bersifat eksponensial, maka sangat beralasan kalau perubahan penggunaan lahan juga akan bersifat eksponsial terhadap waktu, sehingga luas masing-masing jenis penggunaan lahan dapat diduga dengan persamaan regresi:
Lit = Lioert
(1)
dimana Lit adalah luas masing-masing jenis penggunaan lahan pada waktu t, Lio adalah luas masing-masing jenis penggunaan lahan pada waktu to, e adalah bilangan logaritma natural (2,7182818), r laju perubahan masing-masing jenis penggunaan lahan, t adalah waktu yang bernilai 0, 5, 10, 15, 20 dan seterusnya, i adalah jenis penggunaan lahan yakni hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar. Persamaan 1 di atas menggunakan data penggunaan lahan hasil interpretasi citra satelit DAS Konaweha tahun 1991-2008.
Mengingat
keterbatasan data penggunaan lahan dari tahun ke tahun, maka perubahan penggunaan lahan menggunakan data tahun 1991, 1999, 2001, 2004, 2005, 2006 dan 2008. Berdasarkan hal ini maka dilakukan analisis perubahan penggunaan lahan periode 5 tahunan dimulai dari tahun 1990, 5(1991-1995), 10(1996-2000), 15(2001-2005), 20(2006-2010), dan seterusnya. Proyeksi luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar tahun ke-25(2011-2015) sampai tahun ke-60 (2046-2050) menggunakan Persamaan 1. Lebih lanjut dilakukan analisis keragaman (anova) untuk mengetahui pengaruh waktu terhadap perubahan penggunaan lahan hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar di DAS Konaweha Hulu.
Untuk tujuan ini maka
dirumuskan hipotesis : Ho : Waktu tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan luas masing-masing jenis penggunaan lahan. H1 : Waktu berpengaruh nyata terhadap perubahan luas masing-masing jenis penggunaan lahan.
48 kriteria keputusan yang digunakan adalah: terima Ho atau tolak H1 jika Fhitung < Ftabel pada taraf kepercayaan 95 % atau ά = 0,05. Sebaliknya tolak Ho dan terima H1 jika Fhitung > Ftabel taraf kepercayaan 95 % atau ά = 0,05. Jika H1 diterima maka dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT) untuk membandingkan proporsi luas masing-masing jenis penggunaan lahan dominan pada setiap periode. Langkah-langkah analisis keragaman dan uji BNT dilakukan sesuai dengan prosedur rancangan percobaan (Mattjik dan Sumertajaya, 2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan sangat kompleks, namun demikian faktor-faktor tersebut secara garis besar terdiri dari faktor kebutuhan lahan (land demand), perubahan populasi penduduk (changes in population), alokasi lahan (land allocation) dan perubahan produksi pertanian (changes in yield of agriculture) (Verburg, et al., 1999; Verburg, et al., 2011). Berdasarkan hal tersebut di atas maka analisis perubahan penggunaan lahan hanya difokuskan pada hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan perubahan penggunaan lahan karena ketiga faktor lainnya erat kaitannya dengan pertumbuhan penduduk.
Oleh karena itu maka penurunan luas hutan diduga
dipengaruhi secara eksponensial oleh pertumbuhan penduduk. Berdasarkan hal ini maka penurunan luas hutan ditentukan oleh jumlah penduduk dengan persamaan:
Lht = βerPopt + έ
(2)
dimana Lht adalah proporsi luas hutan pada waktu t, β adalah koefisien yang dipengaruhi jumlah penduduk, e adalah bilangan logaritma natural (2,7182818), Popt adalah jumlah penduduk pada waktu t, dan έ adalah residual atau kesalahan yang diasumsikan berdistribusi normal dengan rata-rata mendekati 0 dan standar deviasi tertentu (Iriawan dan Astuti, 2008).
Persamaan 2 digunakan untuk
mengkaji pengaruh jumlah populasi penduduk dengan perubahan luas hutan di DAS Konaweha Hulu.
49 Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Kondisi Hidrologi Hubungan antara perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha dikaji untuk mengetahui pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu.
Unit waktu yang digunakan untuk analisis
pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi sama dengan periode waktu analisis perubahan penggunaan lahan. Analisis pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu menggunakan data penggunaan lahan, data hujan (Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2009) dan data debit (Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010) tahun 1999, 2001, 2004, 2005, 2006 dan 2008 dengan menggunakan kriteria keputusan (decission criteria): debit maksimum (Qmax), debit minimum (Qmin) dan koefisien aliran permukaan (C). Curah hujan rata-rata DAS Konaweha dianalisis dengan metode poligon thiessen (Singh, 1992; Van der Weert, 1994), sedangkan hidrograf aliran selama satu tahun menggunakan analisis rata-rata aritmetik dan rata-rata peluang kejadian. Pengaruh perubahan luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar terhadap debit maksimum, debit minimum dan koefisien aliran permukaan dianalisis menggunakan analisis regresi dan analisis keragaman, dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil. Prosedur analisis regresi, analisis keragaman dan uji beda nyata terkecil menggunakan prosedur yang sama dengan analisis perubahan penggunaan lahan sebagaimana disebutkan terdahulu. Pengaruh masing-masing jenis penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu ditentukan berdasarkan analisis keragaman dengan indikator berpengaruh nyata jika Fhitung lebih besar dari Ftabel pada taraf kepercayaan 95 %, demikian pula sebaliknya. Jika Fhitung lebih besar dari Ftabel pada taraf kepercayaan 95 %, maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) (Mattjik dan Sumertajaya, 2006).
50 Koefisien aliran permukaan (ronoff coeficient) adalah angka yang menunjukkan perbandingan antara volume aliran sungai dengan volume curah hujan, dihitung dari data debit Sungai Konaweha dan data curah hujan DAS Konaweha.
Koefisien aliran permukaan dihitung dengan menggunakan
persamaan (Singh, 1992):
C = (Q/R)
(3)
dimana: C = koefisien aliran permukaan (%); Q = volume debit aliran sungai (m3) dan R= volume curah hujan (m3). Di dalam penelitian ini maka koefisien aliran permukaan (C) difokuskan pada nilai C tahunan dan musim hujan. Koefisien aliran permukaan musim hujan ditentukan berdasarkan jumlah volume aliran sungai musim hujan (curah hujan lebih dari 100 mm per bulan) dibandingkan dengan jumlah volume curah hujan pada musim tersebut. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda (multiple regression) dengan menggunakan persamaan: Qmax = βo + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β5x5 + βnxn + έ
(4)
Qmin = βo + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β5x5 + βnxn + έ
(5)
= βo + β1x1 + β2x2 + β3x3 + β4x4 + β5x5 + βnxn + έ
(6)
C
dimana x1; x2; x3; x4; x5; dan xn; adalah proporsi masing-masing jenis penggunaan lahan, βo, β1, β2, β3, β4, β5 dan βn adalah koefisien regresi masing-masing variabel x. Sedangkan έ adalah residual atau error yang diasumsikan berdistribusi normal dengan rata-rata mendekati 0 dan standar deviasi tertentu (Iriawan dan Astuti, 2008).
51 Tujuan Kedua Ketersediaan Air Analisis ketersediaan air dilakukan atas dasar hasil analisis curah hujan dan analisis hidrograf aliran bulanan selama satu tahun dengan menggunakan data debit Sungai Konaweha tahun 1993-2009. Ketersediaan air dinyatakan dalam satuan m3/detik dan satuan volume (m3). Curah Hujan Ketersediaan air hujan menunjukkan besarnya curah hujan rata-rata suatu wilayah.
Pendugaan ketersediaan air hujan wilayah menggunakan metode
Poligon Thiessen dengan persamaan (Singh, 1992; Soewarno, 2000) : n
Pa i 1
AiPi An
(7)
dimana Pa = curah hujan rata-rata wilayah; Ai = luas poligon dari stasiun ke-i; Pi = curah hujan rata-rata stasiun ke-i; An = luas wilayah (luas seluruh poligon). Untuk mengantisipasi data hilang atau tidak lengkap, maka selanjutnya dilakukan uji konsistensi data dengan menggunakan analisis massa ganda (double-mass analysis) menggunakan masukan data curah hujan yang ada sebelumnya.
Hasil analisis digunakan untuk membuat kecenderungan
ketersediaan curah hujan wilayah untuk masa yang akan datang (Singh, 1992). Debit Sungai Analisis debit sungai dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kecenderungan distribusi hidrograf aliran sungai sepanjang tahun yakni mulai Bulan Januari sampai Bulan Desember. Analisis hidrograf aliran Sungai Konaweha dilakukan melalui dua pendekatan yakni pendekatan rata-rata aritmetik dan pendekatan rata-rata peluang kejadian. Di dalam penelitian ini maka digunakan peluang kejadian 80 % yang
52 berarti bahwa peluang debit dengan besaran lebih dari atau sama dengan besaran tertentu adalah 80 %. Analisis hidrograf aliran sungai dengan pendekatan rata-rata aritmetik menggunakan data debit bulanan rata-rata Sungai Konaweha dari tahun 19932009.
Perhitungan debit rata-rata dengan pendekatan rata-rata aritmetik
menggunakan persamaan (Singh, 1992):
(Q1 + Q2 + Q3+ ... + Qn) Qrata-rata = -----------------------------n
(8)
dimana Qrata-rata adalah debit rata-rata bulanan pada bulan tertentu, Q1, Q2. Q3 dan Qn adalah debit rata-rata bulanan pada tahun 1, 2, 3 dan ke-n, sedangkan n adalah jumlah tahun pengamatan (data). Analisis hidrograf aliran sungai dengan pendekatan peluang kejadian dilakukan dengan cara menyusun data debit selama n tahun pengamatan berdasarkan ranking mulai dari debit tertinggi pertama, kedua, ketiga dan ke n untuk masing-masing bulan.
Dari data debit dengan nilai tertentu yang
mempunyai urutan ranking m, maka ditentukan persamaan matematis periode ulang dan peluang kejadian yakni (Bosscher, 1984): (n+1) 1 T = ---------- dan P = -----m T
(9)
dimana T adalah periode ulang (tahun), P adalah peluang kejadian, n adalah jumlah pengamatan dan m adalah ranking dari debit tertentu. Hidrograf aliran sungai rata-rata yang diperoleh dari hasil analisis menggunakan Persamaan 8 dan Persamaan 9 dibandingkan satu sama lain untuk melihat kecenderungan masing-masing hasil analisis. Hasil analisis hidrograf aliran sungai baik dengan pendekatan rata-rata aritmetik maupun pendekatan peluang kejadian digunakan untuk menentukan
53 distribusi ketersediaan air bulanan DAS Konaweha dengan indikator penentu ketersediaan air yakni debit minimum (Qmin). Ketersediaan air yang ditentukan oleh besaran debit minimum diperoleh dari hidrograf aliran sungai yang telah dianalisis menggunakan Persamaan 8 dan Persamaan 9. Ketersediaan air yang merupakan debit minimum rata-rata selama periode 2011- 2050 ditentukan dengan menggunakan analisis regresi berganda (multiple regresion) yang menjelaskan pola hubungan antara proporsi penggunaan lahan dengan debit minimum Sungai Konaweha (Persamaan 5). Proporsi luas masingmasing jenis penggunaan lahan ditentukan terlebih dahulu dengan menghitung luas masing-masing jenis penggunaan lahan. Proyeksi proporsi masing-masing jenis penggunaan lahan periode 2011-2050 menggunakan Persamaan 1. Selanjutnya dilakukan perhitungan debit minimum (Qmin) dengan menggunakan Persamaan 5.
Variabel yang digunakan untuk menduga debit
minimum adalah luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar. Kebutuhan Air Domestik Kebutuhan air domestik ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat konsumsi air pada suatu wilayah. Tingkat konsumsi air ditentukan oleh kelas sosial masyarakat dimana semakin tinggi kelas sosial masyarakat semakin tinggi pula konsumsi airnya. Kelas sosial dibedakan atas tiga kategori yaitu kelas sosial rendah, sedang dan kelas sosial tinggi yang ditentukan berdasarkan pendapatan rata-rata penduduk, yakni : < Rp. 1 juta per bulan = kelas sosial rendah, Rp 1 juta – Rp.3 juta per bulan = kelas sosial sedang, > Rp. 3 juta per bulan = kelas sosial tinggi. Kebutuhan air domestik di seluruh DAS Konaweha dihitung dengan menggunakan persamaan (Purwanto, 1995; Purwanto and Sutoyo, 2010) : m
YPenduduk
PPi xPxKAPxCPi i 1
(10)
54 dimana : Ypenduduk = kebutuhan air penduduk (liter/hari) PPj = persentase penduduk pada kelas sosial ke-i (%) P = jumlah penduduk (jiwa) KAP = Kebutuhan air rata-rata per kapita (liter/kapita/hari) CPi = koefisien kebutuhan air penduduk pada kelas sosial ke-i m = jumlah kelas sosial; i = 1, 2,..., m Kebutuhan
air
per
kapita
menggunakan
standar
World
Health
Organization (WHO) yakni 110 liter/kapita/hari (WHO, 2009). Penentuan kelas sosial dilakukan berdasarkan tingkat pendapatan responden.
Selanjutnya
berdasarkan kelas sosial penduduk, maka ditentukan koefisien kebutuhan air penduduk setiap kelas sosial. Proyeksi kebutuhan air domestik sangat ditentukan oleh jumlah dan pertumbuhan penduduk.
Proyeksi pertumbuhan penduduk dilakukan dengan
menggunakan persamaan: Pt = Po.er
(11)
dimana Pt = jumlah penduduk pada tahun ke-t (jiwa); Po = jumlah penduduk mula-mula (jiwa), r = laju pertumbuhan penduduk per tahun (%), dan t = jumlah tahun proyeksi, serta e = bilangan logaritma natural (2,7182818). Berdasarkan Persamaan 10 dan Persamaan 11, maka kebutuhan air domestik diproyeksi dengan menggabungkan kedua persamaan tersebut : m
PPi xPo e r xKAPxCPi
Yt
(12)
i 1
dimana Yt = adalah kebutuhan air penduduk untuk tahun ke-t. Koefisien kebutuhan air domestik merupakan rasio antara pemakaian air rata-rata dengan kebutuhan air rata-rata setiap kelas sosial. Data penggunaan air diperoleh dari rekening air PDAM, sedangkan data kebutuhan air setiap kelas sosial diperoleh dari hasil wawancara responden.
Berdasarkan hal ini maka
55 koefisien kebutuhan air (CP) untuk setiap kelas sosial diduga dengan persamaan yakni: CAPi = CPi x KAP, sehingga CPi = (CAPi/KAPi)
(13)
dimana CAPi adalah konsumsi atau penggunaan air penduduk kelas sosial ke-i rata-rata per kapita per hari, CPi adalah koefisien kebutuhan air penduduk kelas sosial ke-i dan KAP adalah kebutuhan air rata-rata penduduk setiap kelas sosial ke-i. Kebutuhan Air Industri Kebutuhan air industri ditentukan berdasarkan jenis dan skala industri yang menggunakan air dari DAS Konaweha. Sebagai gambaran bahwa kisaran kebutuhan air untuk industri besar adalah 151 – 350 m3/hari, industri sedang berkisar antara 51 – 150 m3/hari dan industri kecil sekitar 5 – 50 m3/hari (Purwanto, 1995). Klasifikasi industri berdasarkan skalanya (besar, sedang dan kecil) menggunakan ketentuan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Koefisien kebutuhan air industri pada skala dan besaran tertentu dimasukkan kedalam persamaan kebutuhan air industri untuk menduga kebutuhan air industri (Purwanto, 1995; Purwanto and Sutoyo, 2010) : n
YIndustri
(14)
PI j xIxKAIxCI j j 1
dimana : Yindustri = kebutuhan air industri (liter/hari) PIj = persentase industri pada jenis ke-j (%) I = jumlah industri (unit) KAI = Kebutuhan air rata-rata per unit industri (liter/unit/hari) CIj = koefisien kebutuhan air industri (tergantung jenis dan skala industri) n = jumlah jenis industri j = 1, 2, 3, ..., n Proyeksi kebutuhan air industri ditentukan berdasarkan hasil perhitungan total kebutuhan air industri dan pertumbuhan industri pengguna air baik di dalam DAS Konaweha maupun di Kota Kendari.
Pertumbuhan (pertambahan atau
56 pengurangan) jumlah industri menggunakan
data sekunder dari Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka. Tingkat
konsumsi
air
industri
juga
ditentukan
melalui
survei
konsumsi/penggunaan air rata-rata harian industri di wilayah penelitian. Dari hasil survei tersebut, maka ditentukan nilai koefisien kebutuhan air (CIj) untuk setiap kelas industri yakni industri kecil dan industri sedang/besar. Persamaan matematis yang digunakan untuk menduga koefisien kebutuhan air industri: CAIj = CIj x KAI, sehingga CIj = (CAIj/KAI)
(15)
dimana CAIj adalah konsumsi atau penggunaan air kelas industri ke-j rata-rata per unit per hari (data pemakaian air dari PDAM), CIj adalah koefisien kebutuhan air industri kelas ke-j dan KAIj adalah kebutuhan air industri rata-rata kelas ke-j yang diperoleh dari hasil survei. Kebutuhan Air Irigasi Proyeksi kebutuhan air irigasi ditentukan berdasarkan hasil perhitungan total kebutuhan air irigasi dan pertambahan luas sawah di DAS Konaweha. Pertumbuhan (pertambahan atau pengurangan) luas sawah menggunakan data sekunder dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Sub Dinas Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka. Kebutuhan air irigasi rata-rata di wilayah penelitian dihitung berdasarkan penggunaan air irigasi rata-rata selama satu tahun. Penggunaan air irigasi ratarata ditentukan oleh variabel luas sawah, tinggi muka air rata-rata selama pertanaman, umur tanaman dan frekwensi tanam dalam setahun serta faktor efisiensi (kehilangan).
Berdasarkan hal ini maka perhitungan kebutuhan air
irigasi rata-rata di wilayah studi dirumuskan sebagai berikut: Ykonsumsi = A x H x Fg x Ft
(16)
H = (hot + hb + hv + hg)/4
(17)
Yirigasi = Ykonsumsi + lYkonsumsi
(18)
57 dimana Ykonsumsi adalah penggunaan air irigasi rata-rata (m3/hektar/tahun), A adalah luas sawah (hektar), H adalah tinggi genangan rata-rata (cm), Fg adalah frekwensi penggantian lapisan genangan sepanjang masa tanam setiap musim, Ft adalah frekwensi tanam dalam setahun, hot adalah tinggi genangan pada saat pengolahan tanah (cm), hb adalah tinggi genangan pada saat pembibitan (cm), hv dan hg masing-masing sebagai tinggi genangan pada saat pertumbuhan vegetatif dan generatif (cm), Yirigasi adalah kebutuhan air irigasi rata-rata wilayah studi, dan l adalah faktor kehilangan atau efisiensi yang bernilai 15 % (Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010). Kebutuhan air irigasi petani diperoleh dari hasil wawancara petani dan hasil pengukuran tinggi muka air rata-rata genangan sawah. Dari data tersebut, maka ditentukan koefisien kebutuhan air irigasi yang berlaku di wilayah penelitian.
Gunanya adalah untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat
konsumsi air irigasi di wilayah penelitian. Perhitungan koefisien kebutuhan air irigasi di wilayah studi menggunakan persamaan: Cirigasi = (Yirigasi/Yirigasi Standar)
(19)
dimana Yirigasi standar adalah standar kebutuhan rata-rata air irigasi yakni 1,2 liter/detik/hektar (Puslitbang Pengairan, 1999). Kebutuhan Air yang Menggelontor Dalam rangka pemenuhan kebutuhan air sektor domestik, industri dan irigasi, maka aliran di Sungai Konaweha harus tetap ada agar fungsi ekologi dan ekonomi sungai tetap terjaga. Aliran air yang harus tetap tersedia tersebut akan menjaga fungsi sungai sebagai habitat bagi kehidupan air tawar dan fungsi sungai sebagai prasarana transportasi sungai. Untuk mempertahankan kondisi tersebut di atas, maka Sub Dinas PU Pengairan menetapkan standar minimal tinggi muka air rata-rata yang melimpas melewati bendungan terjunan air yakni minimal 10 cm yang setara dengan 7,9 m3/detik. Angka inilah yang digunakan sebagai debit sungai yang harus selalu
58 menggelontor atau mengalir untuk memelihara fungsi sungai baik fungsi ekonomi maupun fungsi lingkungan. Air yang menggelontor di Sungai Konaweha juga mensuplai selain kebutuhan air untuk menjaga fungsi ekologi dan ekonomi (transportasi sungai), juga digunakan untuk kebutuhan lain di Kota Kendari yakni kebutuhan air fasilitas umum seperti rumah ibadah, perkantoran, pembersihan jalan, pasar, dan pemadam kebakaran.
Oleh karena itu maka jumlah air yang menggelontor
tersebut juga dipengaruhi oleh dinamika peningkatan kebutuhan air akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi, sehingga kebutuhan air yang menggelontor bersifat dinamis dari waktu ke waktu. Berdasarkan uraian-uraian di atas maka perhitungan kebutuhan air yang menggelontor memperhatikan hal-hal berikut: 1. Jumlah air yang menggelontor untuk memelihara fungsi ekologi dan ekonomi sungai adalah 7,9 m3/detik atau setara dengan 246 juta m3 per tahun (Sub Dinas PU Pengairan, 2010). 2. Alokasi pemenuhan kebutuhan air non domestik dan non industri di Kota Kendari adalah 24 % dari total alokasi atau sekitar 76 % alokasi air ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri (PDAM Kota Kendari, 2010). Proporsi alokasi 24 % tersebut harus dimasukkan sebagai bagian dari jumlah air yang menggelontor. 3. Dinamika
perubahan
kebutuhan
air
yang
menggelontor
mengikuti
kecenderungan peningkatan kebutuhan air rata-rata sektor domestik dan industri. Hal ini disebabkan karena keterbatasan data sehingga diasumsikan bahwa peningkatan kebutuhan air yang menggelontor dipengaruhi oleh dinamika pertumbuhan penduduk sebagaimana halnya kebutuhan air sektor domestik dan industri. Sesuai dengan penjelasan Nomor 1 – 3 di atas, maka perhitungan kebutuhan air yang menggelontor dirumuskan sebagai berikut:
59 DMOt = (24/76) (Dd + Di)t = 0,32 (Dd + Di)t
(20)
DMt = 246 + DMOt
(21)
dimana DMOt adalah kebutuhan air non domestik dan non industri yang termasuk air yang menggelontor (juta m3), 246 adalah kebutuhan air menggelontor yang harus tetap tersedia untuk memelihara fungsi ekologi dan fungsi ekonomi sungai (juta m3), (Dd + Di)t adalah kebutuhan air domestik dan industri pada tahun ke-t; dan DMt adalah kebutuhan air menggelontor pada tahun ke-t (juta m3).
Kebutuhan Air Total Kebutuhan air total adalah jumlah air yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sektor domestik, industri, irigasi dan debit yang harus tetap menggelontor di sungai agar fungsi-fungsi sungai tetap terjaga. Kebutuhan air total masa datang dihitung dengan menggunakan proyeksi berdasarkan laju pertumbuhan penduduk, pertambahan industri dan pertambahan luas sawah di DAS Konaweha.
Distribusi bulanan kebutuhan air domestik dan industri
ditentukan dari hasil perhitungan kebutuhan air tahunan sektor domestik dan industri. Berdasarkan hal ini maka kebutuhan air bulanan kedua sektor tersebut dapat dihitung dari kebutuhan air masing-masing sektor dibagi jumlah bulan dalam setahun. Distribusi bulanan kebutuhan air irigasi ditentukan oleh frekwensi tanam dan kebutuhan air irigasi dalam setahun, sebagaimana disajikan pada persamaan berikut: Ydtahunan Ydj = -------------n
(22)
Yitahunan Yij = -------------n
(23)
Ystahunan Ysk = -------------2m
(24)
60 dimana Ydi adalah kebutuhan air bulanan sektor domestik untuk bulan ke-i, Ydtahunan adalah kebutuhan air tahunan sektor domestik dan n adalah jumlah bulan yang membutuhkan air, Yij adalah kebutuhan air bulanan sektor industri pada bulan ke-j dan Yitahunan adalah kebutuhan air tahunan sektor industri, Ysk adalah kebutuhan air bulanan sektor irigasi pada bulan ke-k, Ystahunan adalah kebutuhan air tahunan sektor irigasi dan m adalah jumlah bulan pada setiap periode tanam.
Proporsi Luas Hutan Minimal untuk Memenuhi Kebutuhan Air Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan bahwa proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan dalam suatu DAS adalah 30 %.
Angka tersebut hingga saat ini masih diperdebatkan baik
menyangkut besaran maupun dasar ilmiah penetapannya. Oleh karena itu maka perlu dilakukan kajian dan analisis untuk menentukan besaran dan kriteria luas hutan minimal yang harus dipertahankan. Hasil penelitian menunjukkan bukti empiris bahwa keberadaan hutan sangat erat kaitannya dengan kondisi hidrologi DAS. Hutan akan mempengaruhi neraca air DAS melalui perubahan komponen-komponen dalam siklus hidrologi, antara lain: intersepsi, evapotrasmpirasi, infiltrasi, aliran permukaan, aliran sungai, jumlah dan distribusi ketersediaan air. Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan di DAS Konaweha ditentukan dengan simulasi menggunakan hasil analisis regresi hubungan antara penggunaan lahan dengan debit minimum (Persamaan 5). Beberapa asumsi yang digunakan adalah: (1) simulasi hanya melibatkan penggunaan lahan dominan yakni hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar; (2) proporsi luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar berubah mengikuti kecenderungan perubahan masing-masing jenis penggunaan lahan; dan (3) hasil simulasi berlaku untuk seluruh periode perencanaan yakni 2011-2050. Proporsi luas hutan minimal di DAS Konaweha ditentukan dengan menggunakan rasio ketersediaan (supply) dan kebutuhan (demand) air sebagai kriteria keputusan (decision criteria). Berdasarkan hal ini maka yang dimaksud
61 dengan proporsi luas hutan minimal di DAS Konaweha adalah luas hutan yang harus dipertahankan agar ketersediaan air (supply) ≥ kebutuhan air (demand) atau dengan kata lain (S/D) ≥ 1. Pada kondisi ini maka akan terjadi perpotongan antara kurva ketersediaan dengan kurva kebutuhan air. Langkah-langkah penentuan proporsi luas hutan minimal di DAS Konaweha adalah sebagai berikut: 1. Menentukan pola hubungan antara penggunaan lahan dengan debit minimum menggunakan analisis regresi berganda dengan metode backward elimination (Persamaan 5). 2. Menghitung distribusi kebutuhan air total musim kemarau untuk sektor domestik, industri, irigasi dan air yang menggelontor selama periode 20112050 (Persamaan 12, 14, 18, 23,24,dan Persamaan 25). 3. Melakukan simulasi untuk menentukan ketersediaan air atau Qmin yakni jumlah air yang harus tersedia untuk memenuhi kebutuhan air musim kemarau dari periode 2011-2050. 4. Melakukan plotting nilai kebutuhan dan ketersediaan air serta luas hutan dari periode 2011-2050. 5. Menentukan titik potong antara ketersediaan dengan kebutuhan air dan selanjutnya membuat garis proyeksi dari titik perpotongan ketersediaan dengan kebutuhan air yang memotong sumbu luas hutan pada kurva.
Tujuan Ketiga Valuasi Ekonomi Air dan Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Manfaat ekonomi air yang dianalisis dibedakan atas dua bagian yakni nilai ekonomi air untuk kebutuhan domestik dan industri serta nilai ekonomi untuk kebutuhan air sektor pertanian (irigasi). Valuasi ekonomi air untuk kebutuhan domestik dan industri menggunakan pendekatan harga pasar, sedangkan valuasi ekonomi kebutuhan air irigasi menggunakan pendekatan kemauan untuk membayar (willingness to pay, WTP).
62 Nilai ekonomi air yang diperoleh dari valuasi ekonomi air digunakan untuk menentukan proporsi manfaat ekonomi yang diperoleh masing-masing kabupaten/kota.
Proporsi ini juga digunakan untuk menentukan proporsi
tanggung jawab pembiayaan untuk pemeliharaan fungsi DAS masing-masing kabupaten/kota. Penentuan proporsi tanggung jawab pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS Konaweha menggunakan prinsip PES (payment of environmental services), yakni sebagai berikut: (1) Menghitung nilai ekonomi sektor domestik, industri dan pertanian (irigasi) yang memanfaatkan air dari DAS Konaweha; (2) Menghitung nilai ekonomi total dari pemanfaatan air masing-masing kabupaten/kota untuk sektor domestik, industri dan pertanian (irigasi); dan (3) Menghitung proporsi manfaat ekonomi air dari masing-masing kabupaten/kota dengan membandingkan nilai manfaat ekonomi air masing-masing kabupaten/kota terhadap nilai ekonomi total air yang dimanfaatkan oleh kabupaten/kota. Berdasarkan langkah-langkah tersebut di atas, maka dilakukan perhitungan proporsi pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS dalam menyediakan air bagi kabupaten/kota. Proporsi biaya tersebut menjadi tanggung jawab masing-masing kabupaten/kota ditentukan melalui cara tersebut di atas. Berdasarkan hal ini maka persamaan matematis untuk menentukan total nilai ekonomi air (TEA), total nilai ekonomi air kabupaten/kota (TEAm), proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS untuk kabupaten/kota (PBm), dan biaya yang harus dibayarkan masing-masing kabupaten/kota pada tahun tertentu (Bmt) dirumuskan sebagai berikut: TEA = (TEAd + TEAi + TEAs)
(25)
TEA = (DdPd + DiPi + DsPs)
(26)
TEAm = (DdmPd + DimPi + DsmPs)
(27)
(DdmPd + DimPi + DsmPs) PBm = -------------------------------- x 100 % (DdPd + DiPi + DsPs)
(28)
Bmt = 0,1 TEA x PBm
(29)
63 dimana TEA, TEAd, TEAi, TEAs : total nilai ekonomi air, total nilai ekonomi air sektor domestik, industri dan irigasi; Dd : kebutuhan air sektor domestik, Di : kebutuhan air sektor industri, Ds : kebutuhan air sektor irigasi (sawah), Pd : harga air untuk kebutuhan domestik, Pi : harga air untuk kebutuhan industri, Ps : harga air untuk kebutuhan irigasi, TEAm : total nilai ekonomi air untuk kabupaten/kota ke-m, Ddm : kebutuhan air sektor domestik kabupaten/kota ke-m, Dim : kebutuhan air sektor industri kabupaten/kota ke-m, Dsm : kebutuhan air sektor irigasi kabupaten/kota ke-m, PBm : proporsi biaya pemeliharaan fungsi DAS kapupaten/kota ke-m, dan Bmt : tanggung jawab pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS kabupaten/kota ke-m pada tahun ke-t.
Tujuan Keempat Valuasi Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu Secara garis besar bahwa ada dua bentuk manfaat (benefit) yang terkandung di dalam suatu sumberdaya seperti DAS yakni
manfaat yang
terhitung (tangible) dan manfaat yang tidak terhitung (intangible) (Kartodiharjo, dkk, 2004). Manfaat ekonomi sumberdaya hutan dapat berupa nilai guna dan nilai bukan guna.
Nilai guna meliputi nilai guna langsung dan nilai guna tidak
langsung serta nilai pilihan (option value). Sedangkan nilai bukan guna meliputi nilai eksistensi (existence value) dan nilai warisan (bequest value). Manfaat ekonomi hutan yang dikaji dalam penelitian ini adalah manfaat ekonomi hasil hutan non kayu yang juga pernah diteliti sebelumnya, meliputi nilai ekonomi flora dan fauna (rotan dan madu), karbon, manfaat pilihan keanekaragaman hayati dan habitat (option value); nilai warisan keanekaragaman hayati (bequest value); dan nilai keberadaan keanekaragaman hayati (existence value) (Ramdan, 2006; Yunus, 2005). Analisis ekonomi flora (rotan) dan fauna (madu) yang terdapat di dalam kawasan hutan DAS Konaweha menggunakan pendekatan produktivitas
64 pengumpul atau pengolah rotan dan madu setiap satuan waktu.
Persamaan
matematis perhitungan nilai ekonomi flora dan fauna di DAS Konaweha menggunakan persamaan (Yunus, 2005): n
n
NTFL
( NMFLi j
JPFLij )
(30)
HFLij
(31)
i 1 j 1
n
n
NMFL
KMFLij i 1 j 1
dimana, NTFL = nilai ekenomi flora/fauna (Rupiah) NMFLij = nilai manfaat flora/fauna jenis ke-i yang diperoleh responden pertahun dilokasi ke-j (Rp/tahun) JPFLij = jumlah masyarakat pengumpul flora/fauna jenis ke-i di lokasi ke-j (orang) KMFLij = kemampuan responden pengumpul flora/fauna jenis ke-i dalam setahun, di areal ke-j(unit/orang/tahun) HFLij = harga pasar jenis flora/fauna ke-i di lokasi ke-j (Rp/unit) i = jenis flora (tanaman obat-obatan, madu, rotan dan lain- lain)/fauna j = lokasi pengamatan
Perhitungan nilai manfaat lingkungan akibat penyerapan karbon dari udara menggunakan pendekatan jumlah kandungan karbon (karbon stock) yang diikat oleh tegakan pohon. Tahapan dalam perhitungan pendugaan karbon diuraikan sebagai berikut (Hairiah et al. 2001): (1) membuat plot sampling vegetasi pada areal hutan untuk menghitung diameter dan
tinggi pohon yang ada; (2)
menghitung biomas dari setiap pohon kemudian dikalikan dengan jumlah pohon; (3) menentukan jumlah potensi karbon (C) yang diikat dari setiap tegakan yang diperoleh dari 0,5 x Biomas (Brown, 1997); dan (4) menghitung nilai manfaat dari penyerapan karbon dari rata-rata kandungan C per hektar dikali nilai karbon per ton pada seluruh areal. Pendugaan jumlah karbon tanaman kayu di hutan alam menggunakan persamaan allometric pendugaan biomas W = 0.118D 2.53 (Brown, 1997). Jumlah karbon yaitu C = ½ W (biomas mengandung 45–50% karbon). Biomas (kg/pohon); C = karbon (kg/pohon):
Dimana; W=
65 CS
= ½ (0.118 D 2,53)
(32)
JCS
=
(33)
NCS
= JCS x HCS
(CS x JPH) x LAj
(34)
dimana, CS = biomas atau karbon terserap pada setiap vegetasi-pohon di setiap areal (kg) D = diameter (cm) JPH = rata-rata jumlah pohon per hektar (pohon/ha) LAj = luas areal (ha) NCS = nilai penyerapan karbon (Rp) JCS = jumlah penyerapan karbon disetiap areal (kg) HCS = harga karbon persatuan (Rp/kg atau Rp/ton)
Manfaat ekonomi nilai pilihan (option value), nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (exixtence value) dianalisis dengan menggunakan metode CVM (contingent valuation method) dengan pendekatan kemauan untuk membayar (willingness to pay, WTP) jasa lingkungan hutan di DAS Konaweha. Nilai pilihan (option value), nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (exixtence value) dari sumberdaya hutan dan lahan diukur dengan pendekatan kesediaan membayar (WTP) responden. Pendekatan kesediaan membayar (WTP) nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan menggunakan nilai rata-rata kesediaan membayar pertahun agar tidak terjadi kerusakan hutan dan lahan. Notasi manfaat nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan keanekaragaman hayati dan habitat dengan pendekatan kesediaan untuk membayar mengacu pada persamaan yang digunakan oleh Yunus (2005): n
NMPT
MPR j
JPj
(35)
j 1 n
n
MPR j i 1 j 1
MPij Nj
(36)
66 Dimana: NMPT = total nilai WTP (Rp) MPRj = manfaat ekonomi flora fauna rata-rata perorang, disetiap areal ke-j (Rp/ orang) MPij = nilai WTP responden ke- i pertahun, disetiap areal ke-j (Rp/orang) JPj = jumlah penduduk sekitar areal ke-j (orang) Nj = jumlah responden di desa ke-j (orang) i = jumlah responden (orang) j = jumlah areal sampel
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka nilai ekonomi hutan yang dianalisis merupakan total dari nilai ekonomi flora dan fauna, penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan dengan persamaan :
NET = NTLF + NCS + NMPT + NMTW + NMTK
(37)
dimana: NET = nilai ekonomi total (Rp) NTLF = nilai ekonomi flora dan fauna (Rp) NCS = nilai ekonomi penyerapan karbon (Rp) NMPT = nilai ekonomi manfaat pilihan (Rp) NMTW = nilai ekonomi manfaat warisan (Rp) NMTK = nilai ekonomi manfaat keberadaan (Rp)
Analisis Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Analisis penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha dilakukan untuk periode waktu tertentu yakni periode 2010-2050 atau dua periode Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) daerah. Penggunaan lahan alternatif ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan neraca ketersediaan dan kebutuhan air di DAS Konaweha. Penggunaan lahan yang menjadi indikator utama adalah penggunaan lahan hutan karena diduga hingga saat ini hutan masih menjadi penggunaan lahan terbaik dalam fungsinya menjaga tata air DAS, sedangkan penggunaan lahan lainnya ditentukan berdasarkan hasil simulasi.
67 Penyusunan
rekomendasi
penggunaan
lahan
di
DAS
Konaweha
didasarkan pada berbagai pertimbangan yakni pertimbangan kondisi biofisik DAS (lingkungan), ekonomi dan sosial.
Rekomendasi penggunaan lahan alternatif
tersebut ditujukan untuk menjamin ketersediaan air di DAS Konaweha hingga tahun 2050. Penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha dianalisis dengan berbagai skenario yang diarahkan untuk pemanfaatan air secara optimal dan peningkatan debit minimum Sungai Konaweha:
Skenario 1 : Minimal 30 % luas hutan (Undang-undang Nomor 41 tahun 1999) sedangkan proporsi penggunaan lahan lainnya ditentukan berdasarkan hasil simulasi. Skenario 2 : Prporsi luas hutan sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Konawe dan Kabupaten Kolaka, luas tutupan penggunaan lahan lainnya sesuai kondisi eksisting. Skenario 3 : Proporsi luas hutan sesuai kondisi eksisting tahun 2011, demikian juga luas penggunaan lahan lainnya. Skenario 4 : Modifikasi skenario 3 dengan mengurangi 10 % luas hutan untuk areal penggunaan lain (APL) pertambangan. Skenario 5 : Luas hutan menurut arahan fungsi kawasan DAS Konaweha (BPDAS Sampara), sedangkan luas penggunaan lahan lainnya sesuai hasil simulasi.
Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif Kelayakan skenario penggunaan lahan alternatif menggunakan alat pengambil keputusan (decision tools) sebagai berikut: (1) aspek lingkungan: debit minimum dan rasio ketersediaan dan kebutuhan air (S/D), (2) aspek ekonomi: rasio R/C, dan (3) aspek sosial: penerimaan para pihak.
Penggunaan lahan
alternatif dinyatakan layak jika rasio antara ketersediaan air dengan kebutuhan air (S/D) ≥ 1, demikian juga sebaliknya.
68 Kelayakan ekonomi didasarkan pada rasio antara nilai ekonomi hasil hutan non kayu dan nilai ekonomi air (return) dengan biaya yang diperlukan untuk memelihara fungsi lindung hutan (cost) dengan kriteria layak jika nilai R/C > 1. Kelayakan sosial dari skenario penggunaan lahan alternatif ditandai dengan tingkat penerimaan para pihak. Jika penggunaan lahan alternatif diterima, maka skenario tersebut dikatakan layak, demikian juga sebaliknya. Analisis
neraca
ketersediaan
dan
kebutuhan
air
masing-masing
penggunaan lahan alternatif merupakan selisih atau rasio antara ketersediaan dengan kebutuhan air pada bulan dimana terjadi debit minimum. Kebutuhan air yang dimaksud adalah kebutuhan air total pada bulan tertentu yang saat terjadinya debit minimum sebagaimana hasil perhitungan pada tujuan pertama. Ketersediaan air yang dimaksud adalah debit minimum yang harus terjaga untuk memenuhi kebutuhan air untuk lima skenario yang telah ditetapkan sebelumnya. Debit minimum masing-masing skenario ditentukan berdasarkan hasil analisis regresi hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan debit minimum. Perhitungan nilai manfaat ekonomi pada penelitian ini menggunakan pendekatan analisis R/C rasio (return and cost ratio). Soekartawi (2006) dan Suratiah (2006) mengemukakan bahwa R/C rasio sering diterapkan untuk menghitung penerimaan usahatani, sehingga penerapannya menggunakan contoh kasus usahatani. R/C adalah singkatan dari return cost ratio, atau dikenal dengan perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya. Analisis R/C mencakup analisis biaya (cost) dan analisis penerimaan (return). Di dalam penelitian ini maka yang dimaksud dengan biaya (C) adalah biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan fungsi hutan dalam menjaga tata air dengan acuan hasil perhitungan UNDP dan KLH (1999) yakni 1,5 juta rupiah per hektar. Sedangkan penerimaan (R) adalah nilai ekonomi hasil hutan non kayu dan nilai ekonomi air yang mencakup nilai ekonomi flora dan fauna, karbon, nilai pilihan, nilai warisan, dan nilai keberadaan hutan serta nilai ekonomi air.
69 Kelayakan ekonomi penggunaan lahan terbaik dianalisis dengan menggunakan RC Ratio (Husnan dan Muhammad, 2000; Gittinger, 1986; Soekartawi, 2006 dan Suratiyah, 2002).
Secara matematik analisis R/C
dirumuskan sebagai berikut:
Nilai Ekonomi Hasil Hutan non Kayu dan Nilai Ekonomi Air (R) (R/C) = ------------------------------------------------------------------------Biaya Pemeliharaan Fungsi Hutan (C) Penetapan tata guna lahan alternatif
(38)
yang secara sosial layak
direkomendasikan jika alternatif tersebut memenuhi satu atau lebih kriteria (Sinukaban, 1994) berikut : (1) dapat diterapkan (aplicable) oleh masyarakat lokal dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya; (2) dapat direplikasikan (replicable) di tempat lain tanpa bantuan dari pihak luar; (3) dapat diterima (acceptable) karena tidak bertentangan dengan adat, tradisi dan kebiasaan masyarakat lokal; (4) pernah dilakukan sebelumnya oleh masyarakat lokal; dan (5) alternatif yang ditawarkan tidak menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungan kepada masyarakat.
Analisis Kebijakan Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Analisis kebijakan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha dilakukan dengan membandingkan kebijakan penggunaan lahan eksisting dengan penggunaan lahan alternatif. Langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut di atas (Kartodihardjo, dkk., 2004) adalah sebagai berikut: 1. Melakukan evaluasi dan kajian kebijakan penggunaan lahan eksisting, bentuk, konsep dasar, batas yuridiksi formal, substansi dasar, regulasi, implementasi dan kendala. 2. Membandingkan kebijakan penggunaan lahan eksisting dengan penggunaan lahan alternatif menggunakan kriteria aspek lingkungan, ekonomi dan sosial.
70 3. Merumuskan rekomendasi atau saran kebijakan penggunaan lahan alternatif berdasarkan skenario penggunaan lahan alternatif yang layak diterapkan. Analisis kebijakan penggunaan lahan eksisting dan penggunaan lahan alternatif menggunakan kerangka waktu yang sama yakni tahun 2050 sehingga analisis faktor lingkungan, ekonomi dan sosial menggunakan waktu tersebut.
KEADAAN UMUM DAS KONAWEHA Luas dan Wilayah Administrasi DAS Konaweha Luas DAS Konaweha adalah 697.841 hektar, yang mencakup 4 (empat) wilayah administrasi yaitu Kabupaten Konawe, Kolaka, Konawe Selatan dan Kota Kendari, dan 22 (dua puluh dua) wilayah kecamatan (BPDAS Sampara, 2009). Iklim Keadaan iklim pada wilayah DAS Konaweha menurut klasifikasi Smith dan Ferguson merupakan tipe iklim C dengan nilai Q = 0,333. Sedangkan menurut klasifikasi Oldeman merupakan tipe D2 yaitu terdapat 3 (tiga) bulan kering (curah hujan rata-rata kurang dari 100 mm/bulan) dan 9 (sembilan) bulan lembab (curah hujan rata-rata lebih dari 100 mm/bulan dan kurang dari 200 mm/bulan). Rata-rata curah hujan bulanan selama 10 (sepuluh) tahun terakhir di DAS Konaweha disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Grafik Rata-Rata Curah Hujan Bulanan di DAS Konaweha Gambar 7 menunjukkan bahwa rata-rata curah hujan di DAS Konaweha termasuk sedang dengan jumlah curah hujan tahunan rata-rata sebesar 1.617 mm. Musim hujan berlangsung pada Bulan Desember sampai Bulan Juli, sedangkan musim kemarau berlangsung mulai Bulan Agustus sampai Nopember.
72 Topografi dan Kelerengan Kelas kelerangan di DAS Konaweha dibedakan atas 5 (lima) kelas lereng yaitu : lereng kelas I (0 – 8%), Kelas II (8 – 15%), Kelas III (15 – 25%), Kelas IV (25 – 40%) dan Kelas V (> 40%). Kelas kelerengan dan luasan penyebarannya di wilayah DAS Konaweha secara umum disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 8. Tabel. 7. Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Kelas Kemiringan No 1. 2. 3. 4. 5.
Kelas Kelerengan I II III IV V Total
115° 10'
115° 15'
300000
115° 20'
115° 25'
115° 30'
115° 35'
350000
115° 40'
Luas (hektar) 190.830 14.617 21.943 1.228 469.223 697.841 115° 45'
115° 50'
115° 55'
116°
116° 5'
Proporsi (%) 27,3 2,1 3,2 0,2 67,2 100,0 116° 10'
400000
116° 15'
116° 20'
116° 25'
116° 30'
PETA KELAS LERENG
PA KU E UTA RA PA KU E TENGA H
#
DAS KONAWEHA
#
-3° 15'
-3°1 5'
N W
E
-3° 20'
-3°2 0'
S 1
NGA PA
0
1
2
3
4
5
6
7
8 Kilo meters
#
SKALA 1 : 175.000
ASER A
#
ASER A #
NGA PA -3°2 5'
-3° 25'
#
LEGENDA :
Batas Provinsi 0-8 KOD EO HA
Batas Kabupaten #
-3° 30'
-3°3 0'
15-25 Batas Kecamatan
KEC. U LUIWOI
25-40 Garis Pantai / Sungai 8-15 Jalan >40
KEC. LA TOMA
RAN TEANG IN #
Batas DA S Konaweha
ASER A #
-3° 35'
-3°3 5'
Batas Curah H ujan
Z $
9 600000
9600000
ASER A
Statiun Curah Hujan
#
RAN TEANG IN #
-3° 40'
-3°4 0'
KEC. A BU KI
250 000
LA SOLO
300 000
350 000
400 000
450 000
500 000
550 000
600 000
975 000 0
975 000 0
970 000 0
970 000 0
965 000 0
965 000 0
960 000 0
960 000 0
955 000 0
955 000 0
950 000 0
950 000 0
945 000 0
945 000 0
940 000 0
940 000 0
#
KEC.TONG AUN A -3° 45'
-3°4 5'
#
LA SOLO
UNA AH A KEC. MELUH U KEC. SAW A -3° 50'
-3°5 0'
LEMB O #
KEC. MOW EW E
KEC. A MONG GED O KEC. W AWO TOBI
SOR OPIA
#
KEC. U EPA Y -3° 55'
-3°5 5'
KEC. B OND OA LA
KEC. W ONGG ED UK U
#
935 000 0
935 000 0
MA ND ONG A 250 000
KEC. PON DIDA HA
300 000
350 000
400 000
450 000
500 000
550 000
600 000
KEC. B ESU LUTU
KEC. LA MBU YA
-4°
-4°
KEC. TIRA WU TA
#
BAR UG A
KEC. R AN OMEETO BA RA T
#
9550000
9 550000
Sumber data : RAN OMEETO KEC. LA ND ONO
-4° 5'
-4° 5'
KEC. PUR IALA
1. P eta R BI S kala 1 : 50.000, Bakosurtanal Tahun 1992 2. P eta P enggunaan Lahan , Hasil Interpretasi Penggunaan lahan, Bakosurtanal Tahun 2004
KEC. MOW ILA
3. P eta Tanah, s kala 1 . 250.000, Puslibang Bogor RAN OMEETO
4. P eta K awasan Hutan, S kala 1 : 100.000 BIP HUT Sultra 5. P eta G eomorfologi, Skala 1 : 100.000 6. P eta G eologi S kala 1 : 100.000 #
7. P eta K elas Lereng Sk ala 1 : 100.000
-4° 10'
-4°1 0'
KEC. A NGA TA WOLASI
KEC. LA DON GI
8. P eta A dministrasi S kala 1 : 100.000
KEC. B EN UA -4° 15'
-4°1 5'
300000 115° 10'
350000 115° 15'
115° 20'
115° 25'
115° 30'
115° 35'
400000 115° 40'
115° 45'
115° 50'
115° 55'
116°
116° 5'
116° 10'
116° 15'
116° 20'
116° 25'
116° 30'
Sumber : BPDAS Sampara (2009) Gambar 8. Peta DAS Konaweha berdasarkan Kemiringan Lereng Tabel 7 dan Gambar 8 menunjukkan bahwa sebagian besar DAS Konaweha mempunyai tingkat kelerengan lebih dari 40% (curam) yakni seluas 469.223 hektar atau 67,2 % dari luas DAS Konaweha.
Lahan dengan lereng landai (0-8 %)
73 mencapai luas 190.830 hektar atau 27,3 %, sedangkan lahan dengan lereng 25-40 % mencapai luas 1.228 hektar atau sekitar 0,2 % dari total luas DAS Konaweha. Geologi dan Geomorfologi Kondisi batuan DAS Konaweha ditinjau dari sudut geologis, terdiri dari batuan sedimen, batuan metamorfosis, dan batuan beku. BPDAS Sampara (2009) melaporkan bahwa sebagian besar wilayah DAS Konaweha yakni 228.406 hektar atau 32,7 mempunyai jenis batuan geologi berupa batuan malihan skis, genes, filit, kuarsit, dan sedikit pualam. Struktur geologi memberikan informasi tentang asal usul (genesis) dari bentuk lahan. Adapun yang dimaksud dengan bentuk lahan adalah bentang permukaan lahan yang mempunyai relief yang khas sebagai akibat/pengaruh yang kuat dari struktur kulit bumi dan akibat proses alam yang bekerja pada batuan di dalam ruang dan waktu tertentu.
Geomorfologi/bentuk lahan dan luasan
penyebarannya di DAS Konaweha secara umum disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Geomorfologi/Bentuk Lahan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Geomorfologi Dataran Dataran Aluvial Jalur Meander Kipas Dan Lahar Pantai Pegunungan Perbukitan Rawa Rawa Pasang Surut Teras Total Sumber: BPDAS Sampara (2009).
Luas (ha) 78.662 76.957 7.996 23.407 2.722 426.583 41.768 26.679 2.142 10.925 697.841
Proporsi (%) 11,7 11,0 1,1 3,3 0,4 61,1 5,8 3,6 0,3 1,6 100,0
Tabel 8 menunjukkan bahwa sebagian besar geomorfologi/bentuk lahan di DAS Konaweha adalah berasal dari napal dan batu gamping dengan bentuk lahan pegunungan seluas 426.583 hektar atau 61,1 %. mempunyai proporsi yang relatif tinggi yakni 11,7 %.
Bentuk lahan dataran juga
74 Tanah Berdasarkan Peta Tanah Tinjau skala 1 : 250.000 jenis tanah yang terdapat pada DAS Konaweha meliputi : tanah podsolik, kambisol, mediteran, organosol, alluvial, dan latosol. Penyebaran dan luas DAS Konaweha berdasarkan jenis tanah secara umum disajikan pada Tabel 9 dan secara spasial disajikan pada Gambar 9. Tabel 9. Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Jenis Tanah No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Jenis Tanah
Luas (ha) 104.176 2.142 97.522 298.786 92.126 21.280 80.372 1.437 697.841
Aluvial Gleisol Kambisol Litosol Mediteran Organosol Podsolik Regosol Total
115° 10'
115° 15'
300000
115° 20'
115° 25'
115° 30'
115° 35'
350000
115° 40'
115° 45'
115° 50'
115° 55'
116°
116° 5'
116° 10'
400000
Proporsi (%) 14,9 0,3 14,1 42,8 13,2 3,0 11,5 0,2 100,0
116° 15'
116° 20'
116° 25'
116° 30'
PETA TANAH
PA KU E UTA RA PA KU E TENGA H
#
DAS KONAWEHA
#
-3° 15'
-3°1 5'
N W
E
-3° 20'
-3°2 0'
S 1
NGA PA
0
1
2
3
4
5
6
7
8 Kilo meters
#
SKALA 1 : 175.000
ASER A
#
ASER A #
NGA PA -3°2 5'
-3° 25'
#
LEGENDA :
Aluvial
Batas Provinsi KOD EO HA
Entisol
Batas Kabupaten #
-3° 30'
-3°3 0'
Gleisol
Batas Kecam atan
KEC. U LUIWOI
Kam bisol Garis Pantai / Sungai Litosol Jalan Mediteran KEC. LA TOMA
RAN TEANG IN #
Batas DA S Konaweha
ASER A
Organosol
#
-3° 35'
-3°3 5'
Z $
9 600000
Podsolik Regosol
9600000
ASER A
Batas Curah H uj an Statiun Curah Huj an
#
RAN TEANG IN #
-3° 40'
-3°4 0'
KEC. A BU KI
250 000
LA SOLO
300 000
350 000
400 000
450 000
500 000
550 000
600 000
975 000 0
975 000 0
970 000 0
970 000 0
965 000 0
965 000 0
960 000 0
960 000 0
955 000 0
955 000 0
950 000 0
950 000 0
945 000 0
945 000 0
#
KEC.TONG AUN A -3° 45'
-3°4 5'
#
LA SOLO
UNA AH A KEC. MELUH U KEC. SAW A -3° 50'
-3°5 0'
LEMB O #
KEC. MOW EW E
KEC. A MONG GED O KEC. W AWO TOBI
SOR OPIA
#
KEC. U EPA Y -3° 55'
-3°5 5'
KEC. B OND OA LA
KEC. W ONGG ED UK U
940 000 0
940 000 0
#
935 000 0
935 000 0
MA ND ONG A 250 000
KEC. PON DIDA HA
350 000
400 000
450 000
500 000
550 000
600 000
KEC. LA MBU YA
-4°
-4°
KEC. TIRA WU TA
300 000
KEC. B ESU LUTU #
BAR UG A
KEC. R AN OMEETO BA RA T
#
9550000
9 550000
Sum ber data : RAN OMEETO KEC. LA ND ONO
-4° 5'
-4° 5'
KEC. PUR IALA
1. P eta R BI S kala 1 : 50.000, Bakosurtanal Tahun 1992 2. P eta P enggunaan Lahan , Hasil Interpretasi Penggunaan lahan, Bakosurtanal Tahun 2004
KEC. MOW ILA
3. P eta Tanah, s kala 1 . 250.000, Pusli bang Bogor RAN OMEETO
4. P eta K awasan Hutan, S kala 1 : 100.000 BIP HUT Sultra 5. P eta G eom orfologi , Skala 1 : 100.000 6. P eta G eologi S kala 1 : 100.000 #
7. P eta K elas Lereng Sk al a 1 : 100.000
-4° 10'
-4°1 0'
KEC. A NGA TA WOLASI
KEC. LA DON GI
8. P eta A dm inistrasi S kala 1 : 100.000
KEC. B EN UA -4° 15'
-4°1 5'
300000 115° 10'
350000 115° 15'
115° 20'
115° 25'
115° 30'
115° 35'
400000 115° 40'
115° 45'
115° 50'
115° 55'
116°
116° 5'
116° 10'
116° 15'
116° 20'
116° 25'
116° 30'
Sumber : BPDAS Sampara (2009). Gambar 9. Peta Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Jenis Tanah Tabel 9 dan Gambar 9 menunjukkan bahwa sebagian besar jenis tanah di DAS Konaweha adalah jenis litosol 298.786 hektar atau 42,8 % dari total luas DAS Konaweha. Selain itu maka jenis tanah aluvial mencapai luas 104.176 hektar atau
75 sekitar 14,9 %, sedangkan jenis tanah mediteran mencapai luas 92.126 hektar atau 13,2 % dari total luas DAS Konaweha. Tanah gleisol dan regosol hanya mencapai proporsi masing-masing 0,3 % dan 0,2 % dari luas DAS Konaweha. Penggunaan Lahan Gambaran tentang penggunaan lahan DAS Konaweha dijelaskan dengan menggunakan peta penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu. Peta penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu dianalisis dari citra satelit DAS Konaweha Hulu tahun 2008 dan hasilnya disajikan pada Tabel 10 dan secara spasial disajikan pada Gambar 10. Tabel 10. Jenis dan Luas Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu Tahun 2008 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Penggunaan Lahan Hutan Kebun Campuran Lahan Terbuka Perkebunan Permukiman Sawah Semak Belukar Tegalan Total
Luas (ha) 158.763 18.532 1.530 135.200 3.638 2.101 11.055 7.173 337.992
Proporsi (%) 47,0 5,5 0,5 40,0 1,1 0,6 3,3 2,1 100,0
Sumber: Interpretasi Citra Satelit DAS Konaweha Hulu tahun 2008 Gambar.10. Peta Luasan DAS Konaweha Berdasarkan Penggunaan Lahan
76 Tabel 10 dan Gambar 10 menunjukkan bahwa penggunaan lahan tahun 2008 masih didominasi oleh hutan dengan luas 159.763 hektar atau sekitar 47,0 % dari luas DAS Konaweha Hulu. Sedangkan penggunaan lahan perkebunan, dan kebun campuran mencapai luas masing-masing 135.200 hektar (40,0 %) dan 18.532 hektar atau sekitar 5,5 % dari total luas DAS Konaweha. Penggunaan lahan sawah dan lahan terbuka mencapai luas masing-masing 2.101 hektar (0,6 %) dan 1.530 hektar (0,5 %) dari total luas DAS Konaweha Hulu.
Kependudukan Pertambahan penduduk mempunyai 2 (dua) implikasi penting, yaitu pertumbuhan tenaga kerja dan kebutuhan akan pangan, sandang, papan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan sosial ekonomi lainnya. Dengan demikian pertambahan penduduk akan mempengaruhi penggunaan sumberdaya alam, tanah, hutan, dan air. Semakin
besar
pertambahan
penduduk
maka
ada
kecenderungan
untuk
meningkatkan penggunaan sumberdaya alam. Pertambahan penduduk pada wilayah DAS Konaweha selama tahun 2002-2007 disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Luas Wilayah dan Pertambahan Penduduk di DAS Konaweha Tahun 2003-2008 No 1. 2. 3. 4.
Kabupaten/Kota Konawe Konawe Selatan Kolaka Kendari
Luas Wilayah DAS Konaweha (ha) 362453,42 81409,14 265242,81 1847,29
Rata-rata (DAS Konaweha)
Pertambahan Penduduk (%) 2,67 2,71 1,88 0,97 2,06
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Tenggara (2008), BPDAS Sampara (2009) Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa jumlah penduduk dari tahun 2003-2008 meningkat, dengan rata-rata pertambahan 2,06 %. Rata-rata pertambahan penduduk tertinggi di wilayah Kabupaten Konawe Selatan dengan pertambahan penduduk sebesar 2,71 %. Hal ini dikarenakan adanya kelahiran dan migrasi penduduk, yang
77 selanjutnya akan berdampak pada pengkonversian lahan, dari lahan hutan menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Struktur umur penduduk sangat ditentukan oleh perkembangan tigkat kelahiran, kematian, dan migrasi. Berdasarkan usia, penduduk dapat dibagi menjadi : 1) kelompok belum produktif (dibawah usia 15 tahun), 2) tidak produktif (usia lebih dari 60 tahun), dan 3) usia produktif (15 – 60 tahun). Perbandingan jumlah penduduk antara usia produktif dengan usia belum dan tidak produktif merupakan angka ketergantungan (dependency ratio). Jumlah penduduk menurut kelompok umur di wilayah DAS Konaweha pada tahun 2009 disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di DAS Konaweha Tahun 2009 No.
Kabupaten/Kota
1. Konawe 2. Konawe Selatan 3. Kolaka 4. Kendari Jumlah (DAS Konaweha)
Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di DAS Konaweha (jiwa)
Jumlah (jiwa)
0-14 Th 44.111 11.887 23.082 4.246 83.326
128.264 34.261 56.481 12.518 231.524
15-60 Th 80.721 20.750 30.603 7.276 139.350
> 60 Th 3.432 1.624 2.796 996 8.848
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Tenggara (2008), BPDAS Sampara (2009) Berdasarkan Tabel 12 diketahui bahwa komposisi penduduk usia produktif di wilayah DAS Konaweha sebesar 60,3 % (komposisi penduduk usia produktif tertinggi berada di DAS Konaweha wilayah Kabupaten Konawe, yaitu sebesar 62,93 %). Tabel 17 juga dapat diketahui bahwa angka ketergantungan usia belum dan tidak produktif terhadap penduduk usia produktif di wilayah DAS Konaweha sebesar 65,8 ; yang berarti bahwa setiap 100 jiwa tenaga produktif menanggung 65,8 jiwa usia belum dan tidak produktif. Keadaan mata pencaharian penduduk dipengaruhi antara lain oleh sumberdaya yang tersedia dan kondisi sosial ekonominya, seperti : tingkat pendidikan, ketrampilan penduduk, lapangan pekerjaan yang ada, dan modal yang tersedia. Matapencaharian penduduk di wilayah DAS Konaweha tahun 2007 disajikan pada Tabel 13.
78 Tabel 13. Penduduk Menurut Mata Pencaharian di DAS Konaweha Tahun 2007 No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mata Pencaharian Pertanian Pertambangan Industri Bangunan Perdagangan Jasa Lain
Jumlah Penduduk di Kabupaten : (jiwa) Konawe Konawe Selatan Kolaka Kendari 42.519 9.975 14.983 316 311 286 501 27 7.453 715 477 344 3.807 286 136 217 8.387 1.256 2.892 1.094 7.935 1.542 3.310 2.332
Jumlah
70.412
14.060
22.299
4.330
Jumlah (jiwa) 67.793 1.125 8.989 4.446 13.629 15.119
% 61,02 1,01 8,09 4,00 12,27 13,61
111.101
100,00
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Tenggara (2008), BPDAS Sampara (2009) Tabel 13 sebagian besar (61,02 %) penduduk menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Hal ini disebabkan antara lain : ketrampilan penduduk yang relatif rendah dan terbatas yang dibarengi dengan keterbatasan kesempatan kerja diluar sektor pertanian. Lembaga Perekonomian Lembaga perekonomian akan mempengaruhi kelancaran kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Sedangkan Jumlah dan macam lembaga perekonomian mempunyai peranan
penting
dalam
menunjang
laju
kegiatan
perekonomian.
Sarana
perekonomian di wilayah DAS Konaweha pada tahun 2007 disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah dan Macam Lembaga Perekonomian di DAS Konaweha Tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4.
Kabupaten/Kota Konawe Konawe Selatan Kolaka Kendari Jumlah
Jumlah Lembaga Perekonomian (Koperasi) (unit) KUD 22 9 20 0
Non KUD 53 20 154 6
51
227
Sumber: BPS Provinsi Sulawesi Tenggara (2008), BPDAS Sampara (2009) Tabel 14 menunjukkan bahwa jumlah lembaga perekonomian non KUD di DAS Konaweha adalah 227 unit dengan jumlah terbanyak terdapat di Kabupaten Kolaka yakni sebanyak 154 unit. Sedangkan lembaga Koperasi Unit Desa (KUD) berjumlah 51 unit dimana Kabupaten Konawe terdapat 22 unit.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Analisis citra satelit DAS Konaweha Hulu tahun 1991-2011 menunjukkan bahwa selama periode 1990-2000 penggunaan lahannya masih didominasi oleh hutan dengan luas tutupan lebih dari 50 %.
Analisis citra satelit (peta penggunaan lahan
DAS Konaweha Hulu) tahun 1991, 1999 dan 2011 disajikan pada Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3. Analisis peta penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu periode 1990-2010 menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas hutan selama periode tersebut, sedangkan luas perkebunan, kebun campuran, semak belukar, tegalan dan permukiman cenderung meningkat seiring dengan penurunan luas hutan.
Luas
masing-masing jenis penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu disajikan pada Lampiran 4. Lampiran 4 menunjukkan bahwa penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu tahun 1991 masih didominasi oleh hutan dengan luas 225 ribu hektar atau 66,6 % dari luas DAS Konaweha Hulu. Pada tahun 1999 luas hutan menurun menjadi 187 ribu hektar atau 55,3 % dan pada tahun 2011 menurun menjadi 147 ribu hektar atau 43,6 % dari luas DAS Konaweha Hulu. Pada periode yang sama maka terjadi pertambahan luas perkebunan dari 88 ribu hektar (26,0 %) pada tahun 1991 menjadi 142 ribu hektar (42,0 %) pada tahun 2011, demikian juga penggunaan lahan lainnya. Penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu disebabkan oleh semakin meningkatnya kebutuhan lahan pertanian dari tahun ke tahun akibat pertambahan jumlah penduduk.
Pertambahan jumlah penduduk yang diikuti peningkatan
kebutuhan pangan berimplikasi terhadap meningkatnya kebutuhan akan lahan pertanian. Selain peningkatan kebutuhan pangan yang merupakan konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk, maka peningkatan harga komoditas pertanian juga mendorong bertambahnya luas lahan pertanian sehingga akan meningkatkan tekanan terhadap lahan hutan.
80
Analisis regresi perubahan luas hutan periode lima tahunan selama periode 1991-2010 menggunakan Persamaan 1 (Lit = Lioert) dan data penggunaan lahan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa luas hutan menurun secara eksponensial seiring dengan bertambahnya waktu. Pola penurunan luas hutan periode lima tahunan di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 11.
Luas Hutan (% dari Luas DAS Konaweha Hulu)
100
80
y = 71.26e-0.02x R2 = 0.92 60
40
20
0 0
5
0 adalah Tahun 1991
10
15
20
25
Periode (5 Tahunan)
Gambar 11. Pola Penurunan Luas Hutan di DAS Konaweha Hulu Periode Lima Tahunan (1991-2010) Gambar 11 merupakan pola penurunan luas hutan periode lima tahunan (1991-1995, 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010) di DAS Konaweha Hulu. Gambar tersebut menunjukkan bahwa luas hutan menurun secara eksponensial mengikuti persamaan: y = 71.26 e-0.02X
(39)
dimana y adalah luas hutan pada periode tertentu, x adalah periode waktu yakni x = 0 untuk tahun 1991, x = 5 (1991-1995), x = 10 (1996-2000), x = 15 (2001-2005), x = 20 (2006-2010), dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Persamaan 39 (y = 71.26 e-0.02X) menggambarkan pola penurunan luas hutan periode lima tahunan dari 1991-2010. Luas hutan periode selanjutnya (2011-2050)
81
dapat diproyeksikan menggunakan persamaan tersebut dengan asumsi bahwa penurunan luas hutan konsisten mengikuti kecenderungan yang ada saat ini. Pertambahan
jumlah
penduduk
menyebabkan
penggunaan lahan di DAS Konaweha Hulu.
terjadinya
perubahan
Pertambahan jumlah penduduk
menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan lahan pertanian dan peningkatan kebutuhan kayu, bahan bakar dan produk-produk non kayu.
Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya penurunan luas hutan akibat perluasan lahan pertanian dan eksploitasi hasil hutan kayu dan non kayu guna memenuhi permintaan penduduk. Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Wood, Tappan dan Hadj (2004) bahwa lebih dari 80 % kebutuhan bahan bakar penduduk Senegal berasal dari sumberdaya alam khususnya kayu, oleh karena itu maka kebutuhan kayu bakar dan produk-produk non kayu meningkat pesat yang akan meningkatkan laju penurunan luas hutan. Peningkatan luas perkebunan merupakan salah satu faktor yang mendorong penurunan luas hutan. Analisis regresi pola perubahan luas perkebunan di DAS Konaweha Hulu periode lima tahunan menggunakan Persamaan 1 (Lit = Lioert) dan data penggunaan lahan (Lampiran 4) menunjukkan bahwa lahan perkebunan mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Peningkatan luas perkebunan periode lima tahunan di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 12.
Luas Perkebunan (% dari Luas DAS Konaweha Hulu)
100
80
60
y = 10.2Ln(x) + 10.3 2 R = 0.97 40
20
0 0
5
0 adalah Tahun 1991
10
15
20
25
Periode (5 Tahunan)
Gambar 12. Pola Peningkatan Luas Perkebunan di DAS Konaweha Hulu Periode Lima Tahunan (1991-2010)
82
Gambar 12 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan luas perkebunan selama periode 1991-1995, 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa luas perkebunan meningkat secara logaritmik mengikuti persamaan: (40)
y = 10.2 Ln (x) + 10.3
dimana y adalah luas perkebunan pada periode tertentu, x adalah periode waktu yakni x = 0 untuk tahun 1991, x = 5 (1991-1995), x = 10 (1996-2000), x = 15 (20012005), dan x = 20 (2006-2010). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pola perubahan penggunaan lahan untuk kebun campuran dan semak belukar di DAS Konaweha Hulu mengikuti pola perubahan penggunaan lahan perkebunan. Kedua jenis penggunaan lahan tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Analisis regresi pola perubahan luas kebun
campuran di DAS Konaweha Hulu periode lima tahunan menggunakan Persamaan 1 (Lit = Lioert) dan data penggunaan lahan (Lampiran 4) disajikan pada Gambar 13.
Luas Kebun Campuran (% dari Luas DAS Konaweha Hulu)
15
10
y = 1.67x0.36 R2 = 0.90
5
0 0
5
0 adalah Tahun 1991
10
15
20
25
Periode (5 Tahunan)
Gambar 13. Pola Peningkatan Luas Kebun Campuran di DAS Konaweha Hulu Periode Lima Tahunan (1991-2010)
83
Gambar 13 memperlihatkan pola peningkatan kebun campuran selama periode 1991-1995, 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010.
Gambar 13
menunjukkan bahwa luas kebun campuran mengalami peningkatan selama empat periode tersebut mengikuti persamaan: y = 1.67x0.36
(41)
dimana y adalah luas kebun campuran periode tertentu, x adalah periode waktu yakni x = 0 untuk tahun 1991, x = 5 (1991-1995), x = 10 (1996-2000), x = 15 (2001-2005), dan x = 20 (2006-2010). Kecenderungan pola perubahan luas semak belukar sama dengan pola perubahan luas perkebunan dan kebun campuran. Hasil analisis regresi pola perubahan luas semak belukar periode lima tahunan menggunakan Persamaan 1 (Lit = Lioert) dan data penggunaan lahan (Lampiran 4) disajikan pada Gambar 14.
Luas Semak Belukar (% dari Luas DAS Konaweha Hulu)
10
8
6
4
y = 0.88x0.44 R2 = 0.95
2
0 0
5
0 adalah Tahun 1991
10
15
20
25
Periode (5 Tahunan)
Gambar 14. Pola Peningkatan Luas Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Periode Lima Tahunan (1991-2010) Gambar 14 menunjukkan bahwa pola perubahan luas lahan semak belukar selama periode 1991-1995, 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010 mengalami peningkatan sebagaimana halnya perkebunan dan semak belukar. Peningkatan luas semak belukar selama periode 1991-2010 mengikuti persamaan:
84
y = 0.88x0.44
(42)
dimana y adalah luas semak belukar periode tertentu, x adalah periode waktu yakni x = 0 untuk tahun 1991, x = 5 (1991-1995), x = 10 (1996-2000), x = 15 (2001-2005), dan x = 20 (2006-2010). Analisis keragaman (anova) menunjukkan bahwa variabel periode waktu (x) berpengaruh nyata terhadap perubahan luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar.
Hasil analisis keragaman keempat jenis penggunaan lahan
(Lampiran 4) di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Lampiran 5. Lampiran 5 menunjukkan bahwa Ho ditolak dan H1 diterima untuk semua variabel yang dianalisis. Hal ini dapat dilihat dari nilai Fhitung semua variabel yang lebih besar dari nilai Ftabel pada taraf kepercayaan 95 %. Uji rata-rata pengaruh waktu terhadap luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar dengan menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT) menunjukkan bahwa rata-rata luas masing-masing penggunaan lahan berbeda nyata setiap periode (Tabel 15). Tabel 15. Pengaruh Waktu terhadap Rata-rata Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Periode 19912010 Periode
Hutan (%)
1991-1995 1996-2000 2001-2005 2006-2010 BNT0,05
66,6b 55,3a 50,7a 48,3a 7,47
Perkebunan (%) 26.0a 34,8b 38,6c 39,7c 3,23
Kebun Campuran (%) 3,0a 3,8b 4,3c 5,0d 0,33
Semak Belukar (%) 1,7a 2,6b 3,0c 3,1c 0,31
Keterangan: Nilai rata-rata pada kolom sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %.
Tabel 15 merupakan hasil uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh waktu terhadap luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar di DAS Konaweha Hulu selama periode 1991-2010. Hasil uji BNT menunjukkan bahwa luas hutan rata-rata pada periode 1991-1995 yakni 66,6 % berbeda nyata jika dibandingkan dengan luas hutan pada periode 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010, sedangkan luas hutan periode 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010 tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Selanjutnya luas perkebunan rata-rata periode
85
1991-1995 adalah 26,0 %, berbeda nyata jika dibandingkan dengan luas perkebunan periode 1996-2000, 2001-2005 dan 2006-2010.
Luas perkebunan pada periode
1996-2000 berbeda nyata dengan luas perkebunan periode 2001-2005 dan 20062010. Sedangkan luas perkebunan pada periode 2001-2005 dan 2006-2010 tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Selanjutnya dijelaskan bahwa luas kebun campuran pada setiap periode menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Luas semak belukar rata-rata pada periode 1991-1995 yakni 1,7 % berbeda nyata jika dibandingkan dengan luas semak belukar tiga periode selanjutnya, demikian pula luas semak belukar periode 1996-2000 berbeda nyata jika dibandingkan dengan luas semak belukar periode 2001-2005 dan 2006-2010, namun demikian antara periode 2001-2005 dengan periode 2006-2010 tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Persamaan 39 (y = 71.26 e-0.02X), Persamaan 40 (y = 10.2 Ln (x) + 10.3), Persamaan 41 (y = 1.67x0.36) dan Persamaan 42 (y = 0.88x0.44) digunakan untuk proyeksi luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar periode 20112050 dan hasilnya disajikan pada Lampiran 6 dan Gambar 15.
Luas Tutupan (% dari Luas DAS Konaweha Hulu)
60
50
40
30
20
10
0
2011-2015
2016-2020
2021-2025
2026-2030
2031-2035
2036-2040
2041-2045
2046-2050
Hutan (%)
43.2
39.1
35.4
32.0
29.0
26.2
23.7
21.5
Perkebunan (%)
43.1
45.0
46.6
47.9
49.1
50.2
51.2
52.1
Kebun Campuran (%)
5.3
5.7
6.0
6.3
6.6
6.8
7.1
7.3
Semak Belukar (%)
3.6
3.9
4.2
4.5
4.7
4.9
5.1
5.3
Periode 5 Tahunan (2011-2015 sampai 2046-2050)
Gambar 15.
Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Periode Lima Tahunan (2011-2050)
86
Lampiran 6 dan Gambar 15 merupakan proyeksi luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar di DAS Konaweha Hulu periode lima tahunan (2011-2015 sampai periode 2046-2050). Penurunan luas hutan periode 2011-2015 adalah 43,2 % dan periode 2021-2025, 2031-2035, 2041-2045 dan periode 20462050 luas hutan akan mengalami penurunan masing-masing menjadi 35,4 %, 29,0 %, 23,7 % dan 21,5 %. Penurunan luas hutan tersebut diikuti dengan peningkatan luas perkebunan yakni 43,1 % pada periode 2011-2015, akan meningkat menjadi 47,9 % pada periode 2026-2030 dan 52,0 % pada periode 2046-2050.
Lebih lanjut
dijelaskan bahwa luas kebun campuran dan semak belukar juga mengalami peningkatan sebagai konsekuensi penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu. Pada periode 2011-2015 maka luas kebun campuran adalah 5,3 %, meningkat menjadi 6,0 % periode 2021-2025 dan 7,3 % periode 2046-2050. Kecenderungan peningkatan luas kebun campuran hampir sama dengan peningkatan luas semak belukar. Luas semak belukar periode 2011-2015 adalah 3,6 %, akan meningkat menjadi 4,4 % pada periode 2021-2025 dan 5,3 % pada periode 2046-2050. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan luas hutan dari tahun ke tahun diikuti dengan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar. Hal ini erat kaitannya dengan pertambahan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Pertambahan jumlah penduduk di DAS Konaweha Hulu berimplikasi terhadap peningkatan eksploitasi sumberdaya alam termasuk juga hutan. Penduduk yang ada di wilayah tersebut akan mengeksploitasi kawasan hutan untuk dijadikan lahan pertanian khususnya lahan perkebunan kakao, lahan tegalan dan eksploitasi hutan dalam bentuk pembalakan liar.
Konversi hutan di wilayah tersebut lebih
banyak dilakukan oleh penduduk dalam bentuk pembukaan lahan pertanian khususnya perkebunan kakao.
Hal ini dapat dilihat dari besarnya nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor pertanian Kabupaten Kolaka dan Kabupaten Konawe hingga tahun 2007 yakni lebih besar 50 %. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk di wilayah ini masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian khususnya perkebunan kakao.
87
Penambahan luas areal pertanian khususnya perkebunan dan pertanian tanaman pangan di DAS Konaweha Hulu dilakukan dengan jalan membuka hutan melalui sistem tebas bakar (slash and burn) yang hingga saat ini masih dipraktekkan di wilayah tersebut. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa sekitar 20 % penyebab degradasi hutan di Kabupaten Kolaka disebabkan oleh sistem perladangan berpindah, khususnya dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan (Taufik, Nikoyan dan La Baco, 2001). Sebagaimana uraian-uraian sebelumnya bahwa perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha Hulu diduga dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk yang meningkat dari tahun ke tahun. Analisis regresi pengaruh jumlah penduduk terhadap penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu menggunakan data penggunaan lahan (Lampiran 4) dan data jumlah penduduk DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 16.
Luas Hutan (% dari Luas DAS Konaweha Hulu)
100
75
y = 196.2e-0.01x R2 = 0.98 50
25
0 140
150
160
170
180
190
200
Populasi (x 1000 jiwa)
Gambar 16. Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Luas Hutan di DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 Gambar 16 menunjukkan bahwa pertambahan jumlah penduduk berkorelasi negatif terhadap luas hutan yang berarti bahwa semakin banyak penduduk maka semakin menurun luas hutan di DAS Konaweha Hulu. Kedua variabel tersebut
88
terdapat korelasi kuat dengan koefisien korelasi -0,98. Pola hubungan kedua variabel juga ditunjukkan dengan besarnya nilai koefisien determinasi (R2) yakni 98 %. Pengaruh pertambahan jumlah penduduk terhadap penurunan luas hutan bersifat eksponensial mengikuti persamaa: y = 196.2e0,01X
(43)
dimana y adalah luas hutan (% dari luas DAS Konaweha Hulu); x adalah jumlah penduduk (jiwa) dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Analisis keragaman tentang pengaruh jumlah penduduk terhadap luas hutan menunjukkan bahwa pertambahan jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu selama periode 1991-1995, 19962000, 2001-2005 dan 2006-2010. Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh jumlah penduduk terhadap penurunan luas hutan disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Luas Hutan Rata-rata di DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 Jumlah Penduduk Luas Hutan (% dari Luas DAS Konaweha Hulu) (x 1000 jiwa) P1 (147.5) 66.6d P2 (175.8) 55.3c P3 (185.1) 50.7b P4 (191.3) 48.3a BNT0,05 0,44 Keterangan: Nilai rata-rata diikuti huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Tabel 16 menunjukkan bahwa pertambahan jumlah penduduk dari P1 (147,5 ribu jiwa) pada periode 1991-1995 menjadi P2 (175,8 ribu jiwa) pada periode 19962000 menyebabkan terjadinya penurunan luas hutan dari 66,6 % menjadi 55,3 % dengan nilai penurunan sebesar 11,3 %, nilai tersebut lebih besar dari BNT0,05 yakni 0,44 sehingga dapat disimpulkan bahwa luas hutan kedua periode tersebut berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Selanjutnya dijelaskan bahwa pertambahan jumlah penduduk dari P3 menjadi P4 akan menyebabkan terjadinya penurunan luas hutan dari 50,7 % menjadi 48,3 %. Hasil uji beda nyata terkecil menunjukkan bahwa luas hutan yang dipengaruhi oleh jumlah penduduk sebanyak P3 dan P4 berbeda
89
nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rentang ratarata antara P3 dan P4 yakni 2,4 % lebih besar jika dibandingkan dengan nilai BNT0,05. Demikian juga halnya antara P2 dengan P3, P2 dengan P4, P1 dengan P3 dan P1 dengan P4 mempunyai nilai rentang rata-rata yang lebih besar dari nilai BNT0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa semua taraf jumlah penduduk pada masing-masing periode menyebabkan penurunan luas hutan yang berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu merupakan fenomena yang terjadi di wilayah lain.
Angka penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu
maupun rata-rata Indonesia masih relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara di Afrika seperti Haiti (5,7 % per tahun), El Salvador (4,6 % per tahun), Rwanda (3,9 % per tahun), Togo (3,4 % per tahun), dan Sierra Leone dengan laju penurunan hutan rata-rata 2,9 % per tahun. Namun demikian angka penurunan luas hutan di DAS Konaweha relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju penurunan luas hutan di Brazil yakni 0,4 % per tahun (Rudel, et al, 2005). Apabila kondisi seperti tersebut di atas berlangsung terus tanpa ada kebijakan pengendalian perubahan penggunaan lahan, maka diduga akan mempengaruhi kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu dan pada akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan ketersediaan air di DAS Konaweha. Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Tang, et al (2005) bahwa salah satu dampak lingkungan langsung dari perubahan penggunaan lahan termasuk hutan adalah terjadinya degradasi sumberdaya air baik kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu maka perlu adanya kebijakan yang mengatur pola penggunaan lahan di wilayah tersebut dengan pertimbangan kecukupan kebutuhan lahan dan ketersediaan air bagi penduduk di wilayah tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perubahan penggunaan atau tutupan lahan akibat faktor alam dan aktivitas manusia akan berdampak bukan saja terjadi di dalam DAS tetapi juga di luar batas DAS tersebut (Begum, Narayana, and Kumar, 2010) berupa penurunan fungsi ekologi akibat degradasi lahan dan penurunan indeks keanekaragaman hayati. Akibat lebih lanjut adalah penurunan produktivitas akibat
90
penurunan kesuburan tanah yang pada akhirnya mempengaruhi mata pencaharian petani (Maltima, et al, 2009; Maltima, et al., 2010).
Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Kondisi Hidrologi Analisis kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu selama tiga tahun terakhir (2007, 2008 dan 2009) menunjukkan bahwa distribusi debit harian rata-rata, debit harian maksimum dan debit harian minimum cukup bervariasi. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut diduga adalah variasi curah hujan di wilayah tersebut.
Selain itu kemungkinan lainnya adalah adanya perubahan penggunaan
lahan yang menyebabkan terjadinya perubahan respon hidrologi DAS Konaweha terhadap input curah hujan sehingga memberikan pengaruh terhadap kondisi hidrologi. Hasil analisis debit harian rata-rata, debit harian maksimum dan debit harian minimum dengan pendekatan rata-rata aritmetik selama tiga tahun terakhir menggunakan data debit harian (Lampiran 7a, 7b, 7c dan 7d) dan Persamaan 8 menunjukkan bahwa distribusi bulanan debit harian rata-rata, debit harian maksimum dan debit harian minimum mempunyai kecenderungan yang sama (Gambar 17). 350 Debit Harian Maksimum (m3/det) Debit Harian Minimum (m3/det) Debit Harian Rata-rata (m3/det)
300
Debit (m3/detik)
250
200
150
100
50
0 Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Bulan
Gambar 17.
Debit Harian Rata-rata, Debit Harian Maksimum dan Debit Harian Minimum Sungai Konaweha Tahun 2007-2009
91
Gambar 17 merupakan distribusi bulanan debit harian rata-rata, debit harian maksium dan debit harian minimum dari tahun 2007-2009. Pola distribusi bulanan debit harian rata-rata, debit harian maksimum dan debit harian minimum cenderung sama dengan nilai tertinggi terjadi pada Bulan Mei dan nilai terendah terjadi pada Bulan September. Gambar tersebut di atas memperlihatkan bahwa koefisien regim sungai (KRS) yang merupakan perbandingan antara debit maksimum dengan debit minimum relatif kecil.
Hal ini menunjukkan bahwa distribusi harian debit sungai
relatif merata, kecuali koefisien regim sungai musim hujan dengan musim kemarau yang relatif besar. Berdasarkan distribusi debit harian maka diketahui bahwa debit harian rata-rata tertinggi terjadi pada Bulan Mei yakni 242 m3/detik, debit harian minimum sebesar 109 m3/detik dan debit harian maksimum sebesar 313 m3/detik. Pada saat yang sama maka debit harian rata-rata terendah terjadi pada Bulan September yakni 32 m3/detik, debit harian minimum dan debit harian maksimum pada bulan tersebut masing-masing 16 m3/detik dan 84 m3/detik. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu difokuskan pada koefisien aliran permukaan (C), debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin).
Perhitungan koefisien aliran permukaan (C)
dengan Persamaan 3 (C=(Q/R)) menggunakan data curah hujan rata-rata (Lampiran 8) dan data debit Sungai Konaweha (Lampiran 9). Hasil perhitungan koefisien aliran permukaan, debit maksimum dan debit minimum Sub DAS Konaweha Hulu disajikan pada Lampiran 10. Lampiran 10 menunjukkan bahwa koefisien aliran permukaan dan koefisien regim sungai (KRS) akan meningkat seiring dengan penurunan proporsi luas hutan dan peningkatan proporsi penggunaan lahan lainnya. Koefisien aliran permukaan meningkat dari 28,4 % pada periode 1991-1995 menjadi 36,3 % pada periode 19962000, 43,1 % pada periode 2001-2005 dan 45,6 % pada periode 2006-2010. Selanjutnya pada periode yang sama maka fluktuasi debit sungai atau koefisien regim sungai dari 6,2 pada periode 1991-1995, menjadi 11,8 pada periode 20062010.
92
Karakteristik hidrologi DAS Konaweha Hulu dipengaruhi oleh perubahan penggunaan lahan di wilayah tersebut khususnya penggunaan lahan dominan yakni hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar.
Analisis keragaman
melibatkan empat jenis penggunaan lahan utama di DAS Konaweha Hulu menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap koefisien aliran permukaan, debit maksimum (Qmax) dan debit minimum (Qmin) sebagaimana disajikan pada Lampiran 11. Komposisi luas hutan, perkebunan, kebun campuran, dan semak belukar pada setiap periode berbeda-beda.
Pada periode 1991-1995 maka komposisi
penggunaan lahan dominan adalah 66,6 % hutan, 26,0 % perkebunan, 3,0 % kebun campuran dan 1,7 % semak belukar, sedangkan periode 2006-2010 adalah 48,3 % hutan, 39,7 % perkebunan, 5,0 % kebun campuran dan 3,1 % semak belukar. Penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar mempengaruhi koefisien aliran permukaan, debit maksimum dan debit minimum.
Uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf kepercayaan 95 %
(Lampiran 8 dan Lampiran 10) pengaruh penurunan luas hutan dan peningkatan luas lahan perkebunan terhadap koefisien aliran permukaan, debit maksimum dan debit minimum DAS Konaweha Hulu disajikan pada Tabel 17. Tabel 17. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan terhadap Koefisien Aliran Permukaan, Debit Maksimum dan Debit Minimum DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 Periode
Luas (% dari Luas DAS Konaweha Hulu) Hutan Perkebunan
C (%)
Qmax (m3/detik)
Qmin (m /detik) 3
(1991-1995)
66,6
26.0
31,4a
246a
40c
(1996-2000)
55,3
34,8
36.3b
252b
36b
(2001-2005)
50,7
38,6
43,1c
272c
33b
(2006-2010)
48,3
39,7
45,6d
284d
24a
0,25
0,84
3,98
BNT0,05
Keterangan: Nilai rata-rata diikuti huruf yang sama pada kolom sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %.
93
Tabel 17 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dari 66,6 % pada periode 1991-1995 menjadi 55,5 % pada periode 1996-2000 dan peningkatan luas perkebunan dari 26,0 % pada periode 1991-1995 menjadi 34,8 % pada periode 19962000 menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan dari 31,4 % pada periode 1991-1995 menjadi 36,3 % pada periode 1996-2000. Pada kondisi ini maka terjadi peningkatan debit maksimum dari 246 m3/detik menjadi 252 m3/detik, sedangkan debit minimum menurun dari 40 m3/detik menjadi 36 m3/detik. Penurunan luas hutan dari 50,7 % pada periode 2001-2005 menjadi 48,3 % pada periode 2006-2010 dan peningkatan luas perkebunan dari 38,6 % pada periode 20012005 menjadi 39,7 % pada periode 2006-2010 menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan dari 43,1 % pada periode 1991-1995 menjadi 45,6 % pada periode 1996-2000. Pada kondisi ini maka terjadi peningkatan debit maksimum dari 272 m3/detik menjadi 284 m3/detik, sedangkan debit minimum menurun dari 33 m3/detik menjadi 24 m3/detik. Tabel 17 memperlihatkan bahwa komposisi luas hutan dan perkebunan periode 1991-1995 menghasilkan nilai koefisien aliran permukaan sebesar 31,4 % berbeda nyata jika dibandingkan dengan koefisien aliran permukaan yang dihasilkan oleh komposisi kedua jenis penggunaan lahan tersebut periode 1996-2000, periode 2001-2005 dan periode 2006-2010. Koefisien aliran permukaan pada periode 19962000 juga berbeda nyata jika dibandingkan dengan koefisien aliran permukaan periode 2001-2005 dan periode 2006-2010, demikian juga koefisien aliran permukaan periode 2001-2005 dan 2006-2010 juga berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Komposisi luas hutan dan perkebunan periode 1991-1995 menghasilkan debit maksimum yang berbeda nyata jika dibandingkan dengan debit maksimum yang dihasilkan oleh komposisi luas penggunaan lahan periode lainnya. Komposisi luas hutan dan perkebunan periode 1996-2000 mempengaruhi debit maksimum, berbeda nyata jika dibandingkan dengan debit maksimum periode 20012005 dan periode 2006-2010. Lebih lanjut dijelaskan bahwa debit minimum yang dihasilkan oleh komposisi luas hutan dan perkebunan periode 2006-2010 berbeda nyata jika dibandingkan dengan debit minimum yang dihasilkan komposisi luas penggunaan lahan semua periode. Debit minimum yang dihasilkan komposisi luas
94
hutan dan perkebunan periode 2001-2005 tidak berbeda nyata dengan debit minimum yang dihasilkan periode 1996-2000, namun berbeda nyata dengan debit minimum yang dihasilkan komposisi luas hutan dan perkebunan periode 1991-1995 dan 2006-2010. Komposisi luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar juga meningkatkan koefisien aliran permukaan musim hujan di DAS Konaweha Hulu selama periode 1991-2010.
Analisis rata-rata koefisien aliran permukaan musim
hujan dengan menggunakan Persamaan 3, data curah hujan (Lampiran 8) dan data debit sungai (Lampiran 9) serta analisis beda nyata terkecil (BNT) selama periode 1991-2010 menunjukkan bahwa koefisien aliran permukaan musim hujan periode 1991-1995 adalah 43,2 % meningkat menjadi 55,9 % pada periode 2006-2010. Hasil analisis rata-rata beda nyata terkecil disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan terhadap Koefisien Aliran Permukaan Musim Hujan DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010. Periode (1991-1995) (1996-2000) (2001-2005) (2006-2010) BNT0,05
Luas (% dari Luas DAS Konaweha Hulu) Hutan Perkebunan 66,6 26.0 55,3 34,8 50,7 38,6 48,3 39,7
C Musim Hujan (%) 43,2a 45,1a 53,5b 55,9c 2,3
Keterangan: Nilai rata-rata diikuti huruf yang sama pada kolom sama tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %.
Tabel 18 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dari 66,6 % periode 1991-1995 menjadi 55,3 % periode 1996-2000 dan peningkatan luas perkebunan dari 26,0 % periode 1991-1995 menjadi 34,8 % periode 1996-2000 menghasilkan koefisien aliran permukaan musim hujan sebesar 43,2 %. Nilai tersebut berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 % jika dibandingkan dengan koefisien aliran permukaan musim hujan pada periode 2001-2005 dan 2006-2010 dengan komposisi luas hutan 50,7 % dan 48,3 % sedangkan luas perkebunan adalah 38,6 % dan 39,7 %. Namun demikian koefisien aliran permukaan musim hujan yang dipengaruhi luas
95
hutan dan perkebunan periode 1991-1995 dan 1996-2000 tidak berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95 %. Pengaruh perubahan penggunaan lahan dominan (hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar) terhadap koefisien aliran permukaan, debit maksimum dan debit minimum dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda dan analisis keragaman (anova) sesuai dengan Persamaan 4 (Qmax= βo+β1x1+β2x2+β3x3+ β4x4+β5x5+βnxn +έ), Persamaan 5 (Qmin= βo+β1x1+β2x2+β3x3+β4x4+β5x5+βnxn +έ) dan Persamaan 6 (C = βo+β1x1+β2x2+β3x3+β4x4+β5x5+βnxn+έ) menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan berpengaruh nyata terhadap kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu.
Hasil analisis regresi pengaruh perubahan penggunaan lahan
dominan terhadap koefisien aliran permukaan, debit maksimum dan debit minimum disajikan pada Lampiran 11. Pengaruh penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar terhadap koefisien aliran permukaan (C) di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 18.
Koefisien Aliran Permukaan (%)
60
50
40
Koefisien C (%) = 64.0 - 0.9 H (%) + 0.5 K (%) - 0.8 Kc (%) + 2.4 Sb (%) R2 = 0.8 30
20
10
0
1999
2001
2004
2005
2006
2008
H; Hutan (%)
55.3
51.3
50.1
49.2
48.8
47.0
K; Perkebunan (%)
34.8
38.3
39.0
39.5
39.6
40.0
Kc; Kebun Campuran (%)
3.8
4.0
4.5
4.7
4.8
5.5
Sb; Semak Belukar (%)
2.6
2.9
3.0
3.0
3.1
3.3
36.3
42.4
43.8
44.7
45.1
47.1
Koefisien C (%)
Tahun dan Penggunaan Lahan (% Luas DAS Konaweha Hulu)
Gambar 18. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap Koefisien Aliran Permukaan (C) di DAS Konaweha Hulu Gambar 18 menunjukkan bahwa dinamika perubahan penggunaan lahan menyebabkan terjadinya peningkatan koefisien aliran permukaan (C) secara konsisten dari tahun ke tahun. Penurunan luas hutan dari 55,3 % pada tahun 1999 menjadi 51,3 % pada tahun 2001 menyebabkan penurunan koefisien aliran
96
permukaan meningkat dari 36,3 % menjadi 42,4 %. Kondisi tersebut merupakan pengaruh kumulatif peningkatan luas perkebunan dari 34,8 % menjadi 38,3 %, peningkatan luas kebun campuran dan semak belukar masing-masing dari 3,8 % dan 2,6 % menjadi 4,0 % dan 2,9 % dari luas Sub DAS Konaweha Hulu. Angka-angka tersebut memperlihatkan bahwa koefisien aliran permukaan dipengaruhi secara nyata oleh keempat jenis penggunaan lahan sesuai persamaan: C (%) = 64.0 - 0.9 H (%) + 0.5 K (%) - 0.8 Kc (%) + 2.4 Sb (%)
(44)
dimana C adalah koefisien aliran permukaan (%), H adalah luas hutan (% luas DAS Konaweha Hulu), K adalah luas perkebunan (% luas DAS Konaweha Hulu), Kc adalah luas kebun campuran (% luas DAS Konaweha Hulu) dan Sb adalah luas semak belukar (% luas DAS Konaweha Hulu). Analisis regresi dan keragaman (anova) pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit maksimum menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar menyebabkan terjadinya peningkatan debit maksimum (Lampiran 11) dan Gambar 19. 300
Qmax (m3/detik)
250
Qmax (m3/detik) = 1713 - 20.1 H (%) - 10.1 K (%) - 45.4 Kc (%) + 47.5 Sb (%) R2 = 0.7
200
150
100
50
0
1999
2001
2004
2005
2006
2008
H; Hutan (%)
55.3
51.3
50.1
49.2
48.8
47.0
K; Perkebunan (%)
34.8
38.3
39.0
39.5
39.6
40.0
Kc; Kebun Campuran (%)
3.8
4.0
4.5
4.7
4.8
5.5
Sb; Semak Belukar (%)
2.6
2.9
3.0
3.0
3.1
3.3
Qmax (m3/detik)
205
255
254
258
266
275
Tahun dan Penggunaan Lahan (% Luas DAS Konaweha Hulu)
Gambar 19. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap Debit Maksimum (Qmax) Sungai Konaweha
97
Gambar 19 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar menyebabkan peningkatan debit maksimum Sungai Konaweha secara konsisten dari tahun ke tahun. Penurunan luas hutan dari 55,3 % tahun 1999 menjadi 47,0 % pada tahun 2008 menyebabkan debit maksimum Sungai Konaweha meningkat dari 205 m3/detik menjadi 275 m3/detik. Peningkatan debit maksimum tersebut merupakan pengaruh kumulatif dari peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing 34,8 %, 3,8 % dan 2,6 % pada tahun 1999 menjadi 40,0 %, 5,5 % dan 3,3 % dari luas DAS Konaweha Hulu. Angka-angka tersebut di atas menunjukkan bahwa perubahan keempat jenis penggunaan lahan tersebut meningkatkan aliran permukaan secara nyata dari tahun ke tahun mengikuti persamaan:
Qmax (m3/detik) = 1713-20.1 H (%)-10.1 K (%)-45.4 Kc (%)+47.5 Sb (%) (45) dimana Qmax adalah debit maksimum (m3/detik), H adalah luas hutan (% luas DAS Konaweha Hulu), K adalah luas perkebunan (% luas DAS Konaweha Hulu), Kc adalah luas kebun campuran (% luas DAS Konaweha Hulu) dan Sb adalah luas semak belukar (% luas DAS Konaweha Hulu). Analisis regresi dan keragaman (anova) menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan DAS Konaweha Hulu berpengaruh nyata terhadap debit minimum (Qmin). Penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar menyebabkan terjadinya penurunan debit minimum Sungai Konaweha secara konsisten dari tahun ke tahun. Analisis regresi dan keragaman (Lampiran 11) menunjukkan bahwa penggunaan lahan hutan dan perkebunan berpengaruh positif terhadap debit minimum, sedangkan penggunaan lahan kebun campuran dan semak belukar berpengaruh negatif terhadap debit minimum Sungai Konaweha. Hal ini disebabkan karena kemampuan hutan dan perkebunan dalam hal menyerap air hujan lebih baik jika dibandingkan dengan penggunaan lahan kebun campuran dan semak belukar. Akibatnya jumlah air yang tersimpan di dalam tanah yang bervegetasi hutan dan perkebunan lebih banyak jika dibandingkan dengan
98
penggunaan lahan kebun campuran dan semak belukar. Air yang tersimpan di dalam tanah tersebut akan menjadi aliran dasar (base flow) dan akan mengalir secara perlahan-lahan ke sungai. Pengaruh penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar terhadap debit minimum Sungai Konaweha disajikan pada Gambar 20. 60
Qmin (m3/detik)
50
40
Qmin (m3/detik) = 13 + 0.7 H (%) + 0.6 K (%) - 3.4 Kc (%) - 3.7 Sb (%) R2 = 0.9 30
20
10
0
1999
2001
2004
2005
2006
2008
H; Hutan (%)
55.3
51.3
50.1
49.2
48.8
47.0
K; Perkebunan (%)
34.8
38.3
39.0
39.5
39.6
40.0
Kc; Kebun Campuran (%)
3.8
4.0
4.5
4.7
4.8
5.5
Sb; Semak Belukar (%)
2.6
2.9
3.0
3.0
3.1
3.3
Qmin (m3/detik)
36
34
30
28
23
20
Tahun dan Penggunaan Lahan (% Luas DAS Konaweha Hulu)
Gambar 20. Pengaruh Penurunan Luas Hutan dan Peningkatan Luas Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar terhadap Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha Gambar 20 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar tahun 1999-2008 menyebabkan terjadinya penurunan debit minimum dari 36 m3/detik menjadi 20 m3/detik. Angka penurunan debit minimum tersebut cukup besar yakni hampir dua kali lipat dari debit minimum tahun 1999.
Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa
penurunan debit minimum merupakan fungsi dari penurunan luas hutan dan peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar menurut persamaan:
99
Qmin (m3/detik) = 13 + 0.7 H (%) + 0.6 K (%) - 3.4 Kc (%) - 3.7 Sb (%)
(46)
dimana Qmin adalah debit minimum (m3/detik), H adalah luas hutan (% luas DAS Konaweha Hulu), K adalah luas perkebunan (% luas DAS Konaweha Hulu), Kc adalah luas kebun campuran (% luas DAS Konaweha Hulu) dan Sb adalah luas semak belukar (% luas DAS Konaweha Hulu). Analisis perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi difokuskan pada pengaruh perubahan luas hutan terhadap koefisien aliran permukaan (C) dan debit minimum (Qmin) menggunakan data luas hutan periode 1991-2010 (Lampiran 4 dan Lampiran 6), data koefisien aliran permukaan (Lampiran 8, 9, 10 dan Lampiran 11) menunjukkan bahwa penurunan luas hutan menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan dan penurunan debit minimum secara eksponensial.
Analisis
pengaruh penurunan luas hutan terhadap koefisien aliran permukaan (C) DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 21. 50
Koefisien Aliran Permukaan (%)
40
y = 158.8 e-0.03X R2 = 0.98 30
20
10
0 45
50
55
60
65
70
Luas Hutan (% Luas DAS Konaweha Hulu)
Gambar 21.
Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Koefisien Aliran Permukaan DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010
Gambar 21 menunjukkan bahwa koefisien aliran permukaan meningkat secara eksponensial yang dipengaruhi oleh penurunan luas hutan.
Peningkatan
100
koefisien aliran permukaan di DAS Konaweha Hulu mengikuti pola penurunan luas hutan menurut persamaan:
y = 158,8 e-0,03X
(47)
dimana y adalah koefisien aliran permukaan (%), X adalah luas hutan (% dari luas DAS Konaweha Hulu) dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Berdasarkan Persamaan 47 (y = 158,8 e-0,03X) tersebut maka disimpulkan bahwa semakin luas hutan maka semakin kecil nilai koefisien aliran permukaan. Oleh karena itu upaya-upaya penurunan koefisien aliran permukaan dapat dilakukan melalui penambahan luas hutan. Penurunan luas hutan akan menyebabkan terjadinya penurunan debit minimum Sungai Konaweha. Analisis pengaruh perubahan luas hutan dengan debit minimum menunjukkan bahwa debit minimum menurun secara eksponensial mengikuti pola penurunan luas hutan.
Analisis pengaruh penurunan luas hutan
terhadap debit minimum Sungai Konaweha disajikan pada Gambar 22. 50
40
Debit Minimum (m3/detik)
y = 18.6 e0.012x R2 = 0.97
30
20
10
0 45
50
55
60
65
70
Luas Hutan (% Luas DAS Konaweha Hulu)
Gambar 22.
Pengaruh Penurunan Luas Hutan terhadap Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha Periode 1991-2010
101
Gambar 22 menunjukkan bahwa penurunan debit minimum dipengaruhi oleh penurunan luas hutan di DAS Konaweha Hulu. Penurunan luas hutan selama periode 1991-2010 menyebabkan penurunan debit minimum secara eksponensial mengikuti persamaan:
y = 18,6 e0,01X
(48)
dimana y adalah debit minimum (m3/detik), X adalah luas hutan (% dari luas DAS Konaweha Hulu) dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Berdasarkan Persamaan 48 (y= 18,6 e0,01X) maka disimpulkan bahwa semakin luas hutan maka semakin besar debit minimum dan sebaliknya. Oleh karena itu maka upaya-upaya untuk meningkatkan debit minimum dapat dilakukan melalui peningkatan atau penambahan luas hutan. Fenomena tersebut di atas menunjukkan bahwa perubahan luas penggunaan lahan khususnya hutan di daerah-daerah tropis akan mempengaruhi siklus hidrologi. Hal ini sesuai dengan pendapat Bonell and Bruijnzeel (2005); bahwa: (1) erosi meningkat dengan terganggunya hutan; (2) produksi air (water yield) dalam hal ini ditribusi bulanan menurun seiring dengan penurunan evapotranspirasi vegetasi; (3) aliran air musiman khususnya aliran dasar (baseflow) akan menurun seiring dengan penurunan kapasitas infiltrasi tanah dan peningkatan aliran permukaan (Lerner and Harris, 2009); dan (4) aliran puncak (peak flow) akan meningkat seiring dengan berkurangnya penutupan tanah. Selanjutnya Aylward (2005) dan Gregory (1972) mengemukakan bahwa dampak perubahan penggunaan lahan terhadap jumlah air meliputi : (1) hasil air tahunan; (2) aliran air musiman; (3) aliran puncak; dan (4) level air tanah.
Hutan merupakan penggunaan lahan paling baik dalam fungsinya
sebagai pengatur proses hidrologi dan melindungi tanah.
Penggundulan hutan
menyebabkan penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga terjadi peningkatan aliran permukaan dan percepatan erosi tanah, bahkan dapat menyebabkan perubahan karakteristik pasokan air. Total hasil air (water yield) yang keluar dari suatu DAS meningkat, begitu juga dengan perbedaan hasil air antara musim kemarau dan musim hujan (Purwanto dan Ruijter, 2004; Chandler dan Suyanto, 2004).
102
Selain faktor perubahan penggunaan lahan, maka kemampuan tanah untuk memasukkan dan menyimpan air juga erat kaitannya dengan debit aliran sungai akibat peningkatan aliran permukaan.
Kemampuan tanah untuk menyimpan air
sangat ditentukan oleh sifat tanah khususnya kandungan bahan organik yang mencakup karbon organik dan total nitrogen tanah yang lebih tinggi pada tanah-tanah dengan penutupan vegetasi hutan dan akan menurun jika tanah dibuka (Yusnaini, et al., 2008). Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan memmpengaruhi keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha. Oleh karena itu maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan.
Analisis Ketersediaan Air Analisis Curah Hujan Curah hujan rata-rata tahunan di DAS Konaweha yang direpresentasi oleh data curah hujan rata-rata tahunan 18 stasiun pengamat adalah 1.269 mm per tahun. Angka tersebut diperoleh dari data curah hujan harian 18 stasiun pengamatan selama 11 tahun yakni tahun 1999 sampai tahun 2009. Curah hujan rata-rata bulanan 18 stasiun hujan di DAS Konaweha sangat fluktuatif berdasarkan ruang dan waktu. Hal ini disebabkan oleh letak geografis masing-masing stasiun dimana daerah-daerah dataran rendah (daerah hilir) cenderung lebih kering dibandingkan dengan daerah dataran tinggi (daerah hulu). Variasi curah hujan masing-masing stasiun juga kemungkinan disebabkan oleh topografi wilayah yang cukup bervariasi. Gambaran curah hujan rata-rata bulanan stasiun hujan di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 8 terdahulu. Hasil analisis curah hujan rata-rata menggunakan Persamaan 7 seperti terlihat pada Lampiran 8 terdahulu menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata bulanan tertinggi di DAS Konaweha terjadi pada Bulan Mei dengan curah hujan 169 mm, sedangkan curah hujan rata-rata bulanan terendah terjadi pada Bulan September
103
dengan curah hujan sebesar 37 mm. Dari data curah hujan bulanan rata-rata tersebut, maka curah hujan rata-rata tahunan di DAS Konaweha adalah 1.269 mm. Berdasarkan data curah hujan rata-rata di DAS Konaweha baik bulanan maupun tahunan, maka potensi ketersediaan air di wilayah ini cukup besar. Perhitungan ketersediaan air berdasarkan data curah hujan rata-rata tahunan di DAS Konaweha menunjukkan bahwa ketersediaan air tahunan adalah 8,86 x 109 m3 per tahun. Nilai tersebut diperoleh dari konversi curah hujan rata-rata tahunan sebesar 1.269 mm per tahun dengan luas DAS 697.841 hektar. Angka tersebut sebenarnya sangat besar jika dibandingkan dengan total kebutuhan air tahunan di wilayah ini yakni kurang dari 0,9 x 109 m3 per tahun yang berarti bahwa total kebutuhan air tahunan hanya sekitar 10 % dari total ketersediaan curah hujan di DAS Konaweha.
Hal ini masih
memungkinkan untuk optimalisasi pemanfaatan air hujan guna memenuhi berbagai kebutuhan air di wilayah ini.
Berdasarkan besarnya potensi curah hujan dan
perkiraan total kebutuhan air di DAS Konaweha maka masih sangat memungkinkan pengembangan energi berbasis sumberdaya air seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Berdasarkan hasil analisis hidrologi bahwa hampir 50 % air hujan akan hilang menjadi aliran permukaan. Jumlah air yang hilang tersebut akan semakin banyak jika diakumulasikan dengan debit sungai yang tidak termanfaatkan khususnya debit musim hujan.
Analisis Debit Sungai Analisis debit Sungai Konaweha dengan pendekatan rata-rata aritmetik menggunakan Persamaan 8 dan pendekatan peluang kejadian menggunakan Persamaan 9 menghasilkan hidrograf aliran bulanan rata-rata selama 12 bulan atau satu tahun. Analisis debit sungai dengan rata-rata aritmetik dan peluang kejadian disajikan pada Lampiran 12 dan Lampiran 13. Lampiran 12 dan Lampiran 13 merupakan hidrograf aliran bulanan rata-rata yang dihitung dengan pendekatan rata-rata aritmetik dan peluang kejadian 80 %. Debit rata-rata yang dihitung dengan pendekatan rata-rata aritmetik lebih besar (peluang kejadian ± 50 %) jika dibandingkan dengan debit rata-rata peluang 80 %.
104
Hasil analisis hidrograf aliran dengan pendekatan rata-rata aritmetik dan peluang 80 % disajikan pada Gambar 23. 300 Rata-rata Aritmetik (m3/detik) Peluang 80 % (m3/detik)
250
Debit (m3/detik)
200
150
100
50
0 Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Bulan
Gambar 23. Hidrograf Aliran Sungai Konaweha berdasarkan Rata-rata Aritmetik dan Peluang 80 % Tahun 1993-2009 Gambar 23 menunjukkan bahwa hidrograf aliran Sungai Konaweha tertinggi terjadi pada Bulan Mei dan terendah terjadi pada Bulan September baik perhitungan dengan rata-rata aritmetik maupun peluang kejadian 80 %. Hidrograf aliran rata-rata pada Bulan September sampai Bulan Mei mengalami peningkatan cukup signifikan, sementara itu hidrograf aliran dari Mei sampai September mengalami penurunan. Hasil perhitungan debit rata-rata dengan peluang 80 % menunjukkan bahwa debit rata-rata bulanan lebih rendah dibandingkan dengan debit rata-rata hasil perhitungan dengan metode rata-rata aritmetik.
Jika menggunakan perhitungan
dengan peluang kejadian tertentu, maka debit bulanan dari hasil perhitungan rata-rata aritmetik mempunyai peluang kejadian sekitar 50 % dengan periode ulang 4 tahun. Hidrograf aliran rata-rata bulanan Sungai Konaweha yang merupakan cerminan ketersediaan air rata-rata di DAS Konaweha dipengaruhi oleh curah hujan yang terjadi di wilayah tersebut.
Analisis curah hujan rata-rata bulanan DAS
Konaweha dan hidrograf aliran bulanan menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata
105
berkorelasi positif dengan debit aliran sungai.
Distribusi bulanan ketersediaan air
500
0
450
50
400
100
350
150
300
200 Debit (m3/detik) Curah Hujan (mm)
250
250
200
300
150
350
100
400
50
450
0
Curah Hujan (mm)
Ketersediaan Air (m3/detik)
dan curah hujan bulanan di DAS Konaweha disajikan pada Gambar 24.
500 Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Bulan
Gambar 24. Distribusi Ketersediaan Air dan Curah Hujan Bulanan di DAS Konaweha Tahun 1993-2009 Gambar 24 memperlihatkan ketersediaan air yang dinyatakan dengan debit rata-rata. Ketersediaan air maksimum berdasarkan peluang kejadian 80 % adalah 236 m3/detik dan minimum sebesar 24 m3/detik. Angka-angka tersebut merupakan gambaran ketersediaan air aktual di DAS Konaweha. Kecenderungan hidrograf aliran sungai yang memperlihatkan penurunan debit aliran sungai khususnya dari Bulan Juli, Agustus, September sampai Oktober dijadikan acuan dalam perencanaan alokasi sumberdaya air. Uraian-uraian terdahulu menunjukkan bahwa hidrograf aliran rata-rata bulanan Sungai Konaweha dipengaruhi oleh curah hujan rata-rata bulanan. Hal ini sesuai dengan pendapat Litte et al (2009) bahwa aliran sungai merupakan hasil interaksi yang kompleks antara faktor terestrial yang meliputi geomorfologi DAS, tipe tanah, vegetasi dan penggunaan lahan dengan faktor-faktor atmosferik seperti curah hujan, temperatur, kelembaban udara, angin dan lain-lain dimana curah hujan merupakan faktor dominan penyebab variasi ketersediaan air bulanan, musiman dan tahunan.
106
Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa ketersediaan air yang merupakan cerminan dari hidrograf aliran Sungai Konaweha ditentukan juga oleh curah hujan rata-rata di wilayah tersebut. Dalam kaitannya dengan neraca ketersediaan dan kebutuhan air serta perencanaan alokasi sumberdaya air, maka hidrograf aliran bulanan yang dihitung dengan peluang kejadian dijadiakan acuan karena mempunyai akurasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan hidrograf aliran yang dihitung dengan pendekatan rata-rata aritmetik. Berkaitan dengan fokus penelitian yakni hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan ketersediaan air, maka pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap kondisi hidrologi DAS Konaweha Hulu dititikberatkan pada hubungan antara perubahan luas hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar dengan debit minimum.
Hal ini disebabkan karena ketersediaan air di
wilayah ini ditentukan oleh debit minimum Sungai Konaweha. Proyeksi debit minimum Sungai Konaweha periode lima tahunan (20112050) menggunakan Persamaan 46 (Qmin= 13 + 0.7 H +0.6 K -3.4 Kc -3.7 Sb) melibatkan variabel luas hutan (Persamaan 39: y = 71.26 e-0.02X), perkebunan (Persamaan 40; y = 10.2 Ln (x) + 10.3), kebun campuran (Persamaan 41; y = 1.67x0.36) dan semak belukar (Persamaan 42; y = 0.88x0.44) menunjukkan bahwa debit minimum Sungai Konaweha menurun seiring dengan berjalannya waktu. Penurunan debit minimum Sungai Konaweha akan mempengaruhi ketersediaan air khususnya distribusi bulanan ketersediaan air yang tidak merata. Pada musim hujan akan terjadi aliran sungai dengan debit yang berlebihan, sedangkan debit aliran sungai musim kemarau tidak mampu mencukupi kebutuhan air sehingga akan terjadi defisit air. Proyeksi ketersediaan air (debit minimum) Sungai Konaweha periode 2011-2050 disajikan pada Lampiran 14 dan Gambar 25.
107
Debit Minimum (m3/detik)
40.0
30.0
37.6 33.5 20.0
29.7 26.2 23.0 10.0
20.0 17.3 14.7
0.0
2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050
Luas Hutan (%)
43.2
39.1
35.4
32.0
29.0
26.2
23.7
21.5
Qmin (m3/detik)
37.6
33.5
29.7
26.2
23.0
20.0
17.3
14.7
Periode (5 Tahunan) dan Luas Hutan (% Luas DAS Konaweha Hulu)
Gambar 25. Proyeksi Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha Periode Lima Tahunan (2011-2050) Lampiran 14 Gambar 25 merupakan hasil analisis ketersediaan air atau debit minimum Sungai Konaweha periode 2011-2015 sampai periode 2046-2050. Luas hutan yang cenderung mengalami penurunan dan diikuti oleh peningkatan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar dari waktu ke waktu menyebabkan penurunan debit minimum selama kurun waktu 2011-2015 hingga periode 20462050. Penurunan luas hutan dari 43,2 % pada periode 2011-2015 menjadi 35,4 % pada periode 2021-2025 menyebabkan penurunan debit minimum dari 37,6 m3/detik menjadi 29,7 m3/detik. Pada kondisi ini maka luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar mengalami peningkatan masing-masing dari 47,9 %, 6,0 % dan 4,2 %. Penurunan luas hutan pada periode 2046-2050 akan menyebabkan terjadinya aliran sungai dengan debit minimum sebesar 14,7 m3/detik. Pada kondisi ini maka luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing adalah 52,1 %, 7,3 % dan 5,3 %. Angka-angka tersebut di atas merupakan gambaran ketersediaan air periode lima tahunan di DAS Konaweha.
108
Analisis Kebutuhan Air Kebutuhan Air Domestik Kebutuhan air domestik ditentukan oleh jumlah penduduk dan tingkat konsumsi air pada suatu wilayah. Tingkat konsumsi air ditentukan oleh kelas sosial masyarakat dimana semakin tinggi kelas sosial masyarakat semakin tinggi pula konsumsi airnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien kebutuhan air domestik ratarata adalah 0,48 untuk responden dengan tingkat pendapatan kurang dari 1 juta rupiah per bulan dan 0,64 untuk responden dengan tingkat pendapatan 1 – 3 juta rupiah per bulan, sedangkan koefisien kebutuhan air bagi responden dengan tingkat pendapatan lebih dari 3 juta per bulan adalah 0,82. Perhitungan koefisien kebutuhan air domestik ditentukan berdasarkan hasil survei kebutuhan air di wilayah studi. Hasil survei kebutuhan air wilayah studi dapat dilihat pada Lampiran 15a (contoh tabulasi penentuan koefisien kebutuhan air domestik penduduk kelas sosial tinggi Kota Kendari).
Perhitungan koefisien kebutuhan air domestik di wilayah studi
menggunakan Persamaan 13 (CPi= (CAPi/KAPi). Angka-angka koefisien kebutuhan air domestik tersebut merupakan perbandingan atau rasio antara penggunaan air ratarata penduduk per kapita per hari dengan kebutuhan air rata-rata per kapita per hari di wilayah penelitian. Perbedaan nilai koefisien kebutuhan air masing-masing kelas sosial disebabkan oleh perbedaan konsumsi air rata-rata akibat perbedaan tingkat pendapatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan tingkat
pendapatan kurang dari 1 juta rupiah per bulan cenderung menggunakan air air lebih sedikit karena penggunaan air bagi mereka hanya untuk kebutuhan minum, memasak dan mencuci pakaian. Kebutuhan air untuk mencuci lantai, kendaraan dan menyiram taman hampir tidak ada karena umumnya tidak memiliki kendaraan bermotor, lantai rumah dari tanah dan semen kasar.
109
Kebutuhan air domestik dipengaruhi oleh jumlah dan pertumbuhan penduduk pada setiap kelas sosial, kelas sosial (tingkat pendapatan) masyarakat, dan kebutuhan air rata-rata penduduk. Proyeksi jumlah penduduk di DAS Konaweha menggunakan data penduduk menurut kelas sosial dari tahun 2000 sampai 2009. Data jumlah penduduk DAS Konaweha menurut kelas sosial tahun 2000-2009 disajikan pada Lampiran 15b. Analisis regresi jumlah penduduk dari tahun 2000-2009 di DAS Konaweha menunjukkan bahwa jumlah penduduk meningkat secara eksponensial dari waktu ke waktu.
Pertumbuhan penduduk di DAS Konaweha dianalisis menggunakan
Persamaan 11 (Pt= Po.er).
Hasil analisis pola pertumbuhan penduduk di DAS
Konaweha tahun 2000-2009 disajikan pada Gambar 26. 500000 y = 419552 e0.0156X 2
R = 0.97 Jumlah Penduduk (jiwa)
480000
460000
440000
420000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
400000 Ta
Ta
Ta
Ta
Ta
n hu
n hu
n hu
n
n hu
n hu
hu
n
n hu
n hu
Ta
Ta
Ta
hu
n hu
Ta
Ta
09 20
08 20
07 20
06 20
04
05 20
20
03 20
01
02 20
20
00 20
Gambar 26. Pola Pertumbuhan Penduduk di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 (Diolah dari Lampiran 15b) Gambar 26 merupakan pola pertumbuhan penduduk di DAS Konaweha dari tahun 2000-2009. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di DAS Konaweha bersifat eksponensial mengikuti persamaan: y = 419552 e0.0156X
(49)
110
dimana y adalah jumlah penduduk pada waktu t (jiwa), x adalah tahun data dimana x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Persamaan 49 digunakan untuk proyeksi jumlah penduduk di DAS Konaweha dari tahun 2010-2050. Proyeksi jumlah penduduk di DAS Konaweha Konaweha tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 15c. Lampiran 15c menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang memanfaatkan air di DAS Konaweha tahun 2010 adalah 495.760 jiwa. Dari jumlah tersebut maka penduduk dengan tingkat pendapatan < Rp. 1.000.000 per bulan adalah 192.355 jiwa atau 38,8 %, sedangkan jumlah penduduk dengan tingkat pendapatan Rp. 1.000.000Rp. 3.000.000 per bulan adalah 187.893 jiwa atau 37,9 % dan penduduk dengan tingkat pendapatan > Rp. 3.000.000 per bulan adalah 115.512 jiwa atau 23,3 % (BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010). Proyeksi kebutuhan air domestik dengan Persamaan 12 (Yt=∑PPi x P0er x KAP x CPi) menggunakan data jumlah dan pertumbuhan penduduk di wilayah studi (Persamaan 49; y = 419552 e0.0156X), nilai koefisien kebutuhan air domestik rata-rata (contoh perhitungan Lampiran 15a), proporsi penduduk berdasarkan kelas sosial dan standar kebutuhan air penduduk (WHO, 2009) yakni 110 liter per kapita per hari. Proyeksi kebutuhan air domestik di DAS Konaweha menunjukkan bahwa kebutuhan air domestik mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Proyeksi
kebutuhan air domestik dari 2010-2050 disajikan pada Lampiran 15c, sedangkan proyeksi kebutuhan air domestik periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Proyeksi Kebutuhan Air Domestik Periode 2011-2050 di DAS Konaweha Periode 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050
Kebutuhan Air (juta m3) 13,1 13,9 14,8 15,8 16,7 17,8 18,9 20,1
Peningkatan (juta m3) 0.8 0,8 0,9 0,9 1,0 1,1 1,1 1,2
111
Tabel 19 menunjukkan bahwa kebutuhan air rata-rata sektor domestik di DAS Konaweha meningkat dari waktu ke waktu yakni 13,1 juta m3 pada periode 2011-2015 menjadi 15,8 juta m3 pada periode 2026-2030. Selanjutnya kebutuhan air domestik periode 2036-2040 adalah 17,8 juta m3, meningkat menjadi 20,1 juta m3 pada periode 2046-2050. Kecenderungan peningkatan kebutuhan air domestik disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun dengan laju peningkatan rata-rata sekitar 1,22 % per tahun. Selain itu peningkatan kebutuhan air ini juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi masyarakat (penduduk), dan kebutuhan air rata-rata per kapita penduduk. Tingkat sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat konsumsi air bagi penduduk dimana semakin tinggi status sosial, maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi airnya. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat konsumsi air masyarakat kota yang cenderung lebih tinggi dari masyarakat perdesaan karena umumnya tingkat sosial masyarakat kota lebih tinggi dari tingkat sosial masyarakat perdesaan. Selain itu jumlah anggota keluarga juga mempengaruhi tingkat konsumsi air masyarakat. Analisis kebutuhan air domestik menunjukkan bahwa distribusi kebutuhan air domestik diasumsikan merata setiap bulan. Berdasarkan hal ini maka perhitungan kebutuhan air bulanan menggunakan angka kebutuhan air tahunan dibagi dengan jumlah bulan dalam setahun. Distribusi kebutuhan air domestik bulanan dari tahun 2010 sampai 2050 disajikan pada Lampiran 15d. Kebutuhan Air Industri Klasifikasi jenis industri di Provinsi Sulawesi Tenggara dibedakan atas dua jenis industri yakni industri kecil dan industri sedang dan besar (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010). Jumlah industri kecil yang terdapat di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, dan Kabupaten Kolaka mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, kecuali Kota Kendari cenderung mengalami penurunan.
112
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah industri kecil dan industri sedang/besar di DAS Konaweha mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah industri kecil dan industri sedang/besar di DAS Konaweha dari tahun 20002009 (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010) disajikan pada Lampiran 16a. Lampiran 16a menunjukkan bahwa jumlah industri kecil di DAS Konaweha tahun 2000 adalah 2.955 unit, meningkat menjadi 3.096 unit pada tahun 2005 dan 3.167 unit pada tahun 2009. Pada tahun 2000 maka jumlah industri sedang/besar di DAS Konaweha adalah 2 unit, sedangkan tahun 2005 dan 2009 meningkat menjadi 6 unit dan 8 unit. Angka-angka tersebut di atas menunjukkan bahwa pertumbuhan industri kecil di DAS Konaweha menunjukkan kecenderungan yang positif. Hal ini disebabkan karena wilayah tersebut merupakan pusat pengembangan pertanian dan perikanan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Analisis regresi jumlah industri kecil dan industri sedang/besar di DAS Konaweha menunjukkan bahwa pertumbuhan kedua jenis industri tersebut bersifat eksponensial.
Hasil analisis regresi pola pertumbuhan industri kecil di DAS
Konaweha disajikan pada Gambar 27.
Jumlah Industri Kecil (unit)
3200
3100
y = 2944.1e
0.0076X
2
R = 0.98 3000
2900
1
2
3
4
5
6
n hu Ta
n hu Ta
n hu Ta
n hu Ta
n hu Ta
n hu Ta
7
8
9
10
2800
n hu Ta
n hu Ta
n hu Ta
n hu Ta
09 20
08 20
07 20
06 20
05 20
04 20
03 20
02 20
01 20
00 20
Gambar 27. Pola Pertumbuhan Industri Kecil di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 (Diolah dari Lampiran 16a)
113
Gambar 27 menunjukkan bahwa pertumbuhan industri kecil di DAS Konaweha dari tahun 2000 sampai 2009 bersifat eksponensial. Pola pertumbuhan industri kecil mengikuti persamaan: y = 2944.1e0.0076X
(50)
dimana y adalah jumlah industri kecil pada waktu t (unit), x adalah tahun data dimana x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Hasil analisis regresi pola pertumbuhan industri sedang/besar di DAS Konaweha menggunakan data Lampiran 16a menunjukkan kecenderungan yang sama dengan pola pertumbuhan industri kecil.
Pola pertumbuhan industri
sedang/besar di DAS Konaweha disajikan pada Gambar 28. 10
Jumlah Industri Sedang/Besar (unit)
9 8 7 6
y = 1.9822 e
5
0.1542X
2
R = 0.88
4 3 2 1
2
3
4
5
n hu Ta
n hu Ta
n hu Ta
n hu Ta
n hu Ta
1
6
7
8
9
10
0
n hu Ta
n hu Ta
n hu Ta
n hu Ta
n hu Ta
09 20
08 20
07 20
06 20
05 20
04 20
03 20
02 20
01 20
00 20
Gambar 28. Pola Pertumbuhan Industri Sedang/Besar di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 (Diolah dari Lampiran 16a) Gambar 28 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan industri sedang/besar di DAS Konaweha bersifat eksponensial. Hal ini sesuai dengan kecenderungan data jumlah industri sedang/besar dari tahun 2000 sampai 2009 mengikuti persamaan: y = 1.9822 e0.1542X
(51)
114
dimana y adalah jumlah industri sedang/besar pada waktu t (unit), x adalah tahun data dimana x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818. Proyeksi kebutuhan air industri tahun 2010-2050 menggunakan hasil proyeksi jumlah industri kecil (Persamaan 50; y = 2944.1e0.0076X) dan, proyeksi industri sedang/besar (Persamaan 51; y = 1.9822 e0.1542X), koefisien kebutuhan air industri kecil rata-rata di DAS Konaweha yakni 0,41 dan industri sedang/besar adalah 0,73 (Lampiran 16b) serta standar kebutuhan air industri kecil (30 m3 per unit per hari) dan industri sedang/besar yakni 200 m3 per unit per hari (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010). Hasil proyeksi jumlah industri kecil dan industri sedang/besar digunakan untuk proyeksi kebutuhan air industri tahun 2010-2050 berdasarkan Persamaan 14 (Yindustri= ∑PIj x I x KAI x CIj) menggunakan data proyeksi jumlah industri (Lampiran 16c), koefisien kebutuhan air industri,(Lampiran 16a) dan standar kebutuhan air industri. Berdasarkan hal ini maka proyeksi kebutuhan air industri dari tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 16c, sedangkan proyeksi kebutuhan air industri periode lima tahunan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Proyeksi Kebutuhan Air Industri Periode 2011-2050 di DAS Konaweha Periode 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045
Kebutuhan Air (juta m3) 15,5 16,4 17,4 18,8 20,5 22,7 25,8
Peningkatan (juta m3) 0,7 0,9 1,0 1.3 1.7 2.3 3,1
2046-2050
30,2
4,3
Tabel 20 menunjukkan bahwa kebutuhan air industri di DAS Konaweha cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Kebutuhan air industri periode 20112015 adalah 15,5 juta m3 dan periode 2021-2025 meningkat menjadi 17,4 juta m3.
115
Selanjutnya kebutuhan air industri periode 2026-2030 adalah 18,8 juta m3, meningkat menjadi 22,7 juta m3 pada periode 2036-2040 dan 30,2 juta m3 pada periode 2046-2050. Kebutuhan air industri periode 2036-2040 adalah 22,7 juta m3, meningkat menjadi 25,8 juta m3 pada periode 2041-2045 dan dan 30,2 juta m3 pada periode 2046-2050. Peningkatan kebutuhan air industri berkisar antara 0,7 juta m3 pada periode 2011-2015 menjadi 4,3 juta m3 pada periode 2046-2050. Sebagian besar kebutuhan air industri diperuntukan bagi pemenuhan kebutuhan air bagi industri kecil.
Sebagai gambaran maka total kebutuhan air
industri periode 2016-2020 adalah 16,4 juta m3 dimana dari angka tersebut, maka sebanyak 15,4 juta m3 merupakan kebutuhan air industri kecil, sedangkan selebihnya yakni 1,0 juta m3 untuk kebutuhan air industri sedang/besar. Distribusi kebutuhan air industri bulanan setiap tahun juga dihitung berdasarkan asumsi yang sama dengan perhitungan distribusi kebutuhan air domestik bulanan sehingga kebutuhan air industri setiap bulan pada tahun yang sama adalah sama. Hasil proyeksi kebutuhan air industri bulanan di DAS Konaweha dari tahun 2010 sampai 2050 disajikan pada Lampiran 16d. Kebutuhan Air Irigasi Hasil penelitian di tiga wilayah untuk menghitung koefisien kebutuhan air irigasi menunjukkan bahwa koefisien kebutuhan air irigasi untuk Kabupaten Konawe adalah 0,62, Kabupaten Konawe Selatan adalah 0,63 dan Kabupaten Kolaka adalah 0,65. Jika koefisien kebutuhan air irigasi ketiga wilayah ini dirata-ratakan, maka koefisien kebutuhan air irigasi rata-rata DAS Konaweha adalah 0.63 yang dihitung berdasarkan Persamaan 16 (Ykonsumsi = A x H x Fg x Ft), Persamaan 17 (H = (hot + hb + hv + hg)/4), persamaan 18 (Yirigasi = Ykonsumsi + lYkonsumsi) dan Persamaan 19 (Cirigasi = Yirigasi/Yirigasi Standar). Contoh penentuan koefisien kebutuhan air irigasi disajikan pada Lampiran 17a. Luas sawah di DAS Konaweha mengalami peningkatan dari tahun ke tahun akibat pertambahan kebutuhan beras penduduk di Kabupaten Konawe, Konawe
116
Selatan dan Kolaka. Luas sawah di DAS Konaweha tahun 2000-2009 disajikan pada Lampiran 17b. Lampiran 17b menunjukkan bahwa luas sawah di DAS Konaweha tahun 2000 adalah 21.750 hektar, meningkat menjadi 23.855 hektar pada tahun 2005, sedangkan tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009 meningkat menjadi 23.980 hektar, 24.250 hektar, 24.330 hektar dan 24.850 hektar. Analisis regresi pertumbuhan luas sawah di DAS Konaweha tahun 2000 sampai 2009 menggunakan data Lampiran 17b menunjukkan bahwa pola pertumbuhan luas sawah bersifat eksponensial (Gambar 29). 25000
Luas Sawah (ha)
24000
y = 21696e 0.0138X R2 = 0.96
23000
22000
21000
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
20000
Ta
Ta
Ta
Ta
Ta
Ta
Ta
Ta
Ta
Ta
n hu
n hu
n hu
n hu
n hu
n hu
n hu
n hu
n hu
n hu
09 20
08 20
07 20
06 20
05 20
04 20
03 20
02 20
01 20
00 20
Gambar 29. Pola Pertumbuhan Luas Sawah di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 (Diolah dari Lampiran 17b) Gambar 29 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan luas sawah di DAS Konaweha bersifat eksponensial dan meningkat dari waktu ke waktu mengikuti persamaan: y = 21696 e0.0138X
(52)
dimana y adalah luas sawah pada waktu t (hektar), x adalah tahun data dimana x=1 untuk tahun 2000, x = 2 untuk tahun 2001 dan seterusnya, dan e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818.
117
Proyeksi luas sawah di DAS Konaweha tahun 2010-2050 menggunakan Persamaan 52 (y=21696e0.0138X) disajikan pada Lampiran 17c. Proyeksi kebutuhan air irigasi tahun 2010-2050 menggunakan hasil proyeksi luas sawah (Lampiran 17c), koefisien kebutuhan air irigasi rata-rata yakni 0,633 (hasil survei 4 wilayah, Lampiran 17a untuk Kabupaten Kolaka) dan standar kebutuhan air irigasi rata-rata (Puslitbang Pengairan, 1999) yakni 1,2 liter/detik/hektar. Proyeksi kebutuhan air irigasi tahun 2010-2050 di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 17c, sedangkan proyeksi kebutuhan air irigasi periode lima tahunan disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Proyeksi Kebutuhan Air Irigasi Periode 2011-2050 di DAS Konaweha Periode 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050
Kebutuhan Air (juta m3) 315,6 335,3 356,3 378,6 402,2 427,4 454,1 482,5
Peningkatan (juta m3) 18,6 19,7 21,0 22,3 23,7 25,1 26,7 28,4
Tabel 21 menunjukkan bahwa kebutuhan air irigasi di DAS Konaweha periode 2011-2015 adalah 315,6 juta m3, meningkat menjadi 335,3 juta m3 pada periode 2016-2020.
Selanjutnya kebutuhan air periode 2021-2025 meningkat
menjadi 356,3 juta m3 yang mengalami peningkatan pada periode 2026-2030 yakni 378,6 juta m3. Selanjutnya kebutuhan air irigasi tahun 2031-2035 adalah 402,2 juta m3 meningkat menjadi 482,5 juta m3 pada periode 2046-2050. Berdasarkan hasil penelitian lapangan maka diketahui bahwa kebiasaan tanam setiap tahun di DAS Konaweha dimulai pada bulan maret sampai juni, kemudian juli dan agustus lahan sawah diberokan, kemudian september sampai desember merupakan musim penanaman kedua. Berdasarkan kebiasaan ini, maka distribusi kebutuhan air irigasi bulanan dapat dihitung dan hasilnya disajikan pada Lampiran 17d.
118
Kebutuhan Air yang Menggelontor Kebutuhan air yang menggelontor merupakan debit sungai yang harus tetap tersedia setiap saat adalah melalui tinggi muka air yang melewati penampang basah bendungan. Tinggi muka air yang melewati penampang basah dipertahankan hingga batas minimal yakni 10 cm dengan jalan mengatur pintu air yang masuk ke saluran irigasi. Jika tinggi muka air yang melewati penampang basah bendungan 10 cm maka debit sungai adalah 7,9 m3/detik.
Jika dikonversi menjadi satuan volume, maka
volume air yang harus tetap mengalir di sungai rata-rata adalah 20.5 juta m3. Volume air tersebut yang harus tetap menggelontor di sungai agar fungsi sungai dapat terjaga. Jika dikonversi menjadi volume air selama satu tahun, maka total volume air yang harus tersedia adalah 246 juta m3 per tahun. Jumlah air tersebut diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan air untuk menjaga fungsi ekonomi dan ekologi Sungai Konaweha serta kebutuhan lainnya tahun 2009. Air yang menggelontor di Sungai Konaweha juga mensuplai selain kebutuhan air untuk menjaga fungsi ekologi dan ekonomi (transportasi sungai), juga digunakan untuk kebutuhan lain di Kota Kendari yakni kebutuhan air fasilitas umum seperti rumah ibadah, perkantoran, pembersihan jalan, pasar, dan pemadam kebakaran. Oleh karena itu maka jumlah air yang menggelontor tersebut juga dipengaruhi oleh dinamika peningkatan kebutuhan air akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi, sehingga kebutuhan air yang menggelontor bersifat dinamis dari waktu ke waktu. Proporsi jumlah air yang dialokasikan untuk kebutuhan lain (non domestik dan non industri) di Kota Kendari adalah sekitar 24 % dari total alokasi air setiap tahun (PDAM Kota Kendari, 2010). Peningkatan jumlah alokasi kebutuhan lain juga mengikuti kecenderungan peningkatan kebutuhan air domestik dan industri di Kota Kendari. Perhitungan alokasi kebutuhan lain menggunakan Persamaan 20 (DMOt = 0,32(Dd+Di)t, sedangkan perhitungan kebutuhan air menggelontor menggunakan Persamaan 21 (DMt = 246 + DMOt).
119
Kebutuhan air yang menggelontor merupakan jumlah dari kebutuhan aliran air untuk memelihara fungsi lingkungan dan fungsi ekonomi sungai yakni 246 juta m3 per tahun. Berdasarkan kedua persamaan tersebut maka proyeksi kebutuhan air yang menggelontor dari tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 18a. Sedangkan proyeksi kebutuhan air menggelontor periode lima tahunan disajikan pada Tabel 22. Tabel 22.
Proyeksi Kebutuhan Air Menggelontor Periode 2011-2050 di DAS Konaweha
Periode 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050
Kebutuhan Air (juta m3) 255,2 255,7 256,3 257,0 257,9 259,0 260,3 262,1
Kebutuhan Lain (juta m3) 9,2 9,7 10,3 11,0 11,9 13,0 14,3 16,1
Tabel 22 menunjukkan bahwa kebutuhan air yang harus tetap menggelontor di sungai periode 2011-2015 adalah 255,2 juta m3, meningkat menjadi 255,7 juta m3 pada periode 2016-2020. Selanjutnya kebutuhan air periode 2021-2025 meningkat menjadi 256,3 juta m3 yang mengalami peningkatan pada periode 2026-2030 yakni 257,0 juta m3. Selanjutnya kebutuhan air yang harus menggelontor periode 20312035 adalah 257,9 juta m3 meningkat menjadi 262,1 juta m3 pada periode 2046-2050. Distribusi bulanan kebutuhan air yang harus tetap menggelontor setiap tahun juga dihitung berdasarkan asumsi yang sama dengan perhitungan distribusi kebutuhan air domestik dan kebutuhan air industri bulanan sehingga setiap bulan pada tahun yang sama maka kebutuhan air yang menggelontor sama besarnya. Distribusi kebutuhan air yang menggelontor di DAS Konaweha dari tahun 2010 sampai 2050 disajikan pada Lampiran 18b. Kebutuhan Air Total Total Kebutuhan air di DAS Konaweha diperoleh dari penjumlahan seluruh kebutuhan air yang meliputi kebutuhan air domestik, kebutuhan air industri dan
120
kebutuhan air irigasi yang dihitung dari hasil proyeksi kebutuhan air tahun 20102050 untuk masing-masing sektor ditambah dengan volume air yang harus tetap menggelontor agar fungsi ekologi dan fungsi ekonomi sungai dapat terjaga.
Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa kebutuhan air total meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan air total di DAS Konaweha dari tahun 2010-2050 merupakan penjumlahan dari kebutuhan air domestik (Lampiran 15c), kebutuhan air industri (Lampiran 16c), kebutuhan air irigasi (Lampiran 17c) dan kebutuhan air yang menggelontor (Lampiran 18a) dan hasilnya disajikan pada Lampiran 19a, sedangkan kebutuhan air total periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Proyeksi Kebutuhan Air Total Periode 2011-2050 di DAS Konaweha Periode 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050
Kebutuhan Air Total (juta m3) 599,4 621,4 644,9 670,1 697,4 726,9 759,2 794,8
Peningkatan (juta m3) 20,6 22,0 23,5 25,2 27,2 29,5 32,3 35,7
Tabel 23 menunjukkan bahwa kebutuhan air total di DAS Konaweha periode 2011-2015 adalah 599,4 juta m3 yang bersumber dari kebutuhan air domestik sebesar 13,1 juta m3, industri sebesar 15,5 juta m3, irigasi sebesar 315,6 juta m3 dan air yang harus menggelontor sebesar 255,2 juta m3.
Angka-angka tersebut menunjukkan
bahwa kebutuhan air total mengalami peningkatan sehingga pada periode 2046-2050 kebutuhan air total menjadi 794,8 juta m3 yang merupakan kontribusi dari sektor domestik sebesar 20,1 juta m3, sektor industri sebesar 30,2 juta m3, dan irigasi sebesar 482,5 juta m3 dan air yang menggelontor di sungai sebesar 262,1 juta m3. Peningkatan kebutuhan air total di DAS Konaweha disebabkan oleh peningkatan kebutuhan air sektor domestik, industri dan irigasi. Kontribusi masingmasing sektor terhadap peningkatan kebutuhan air total dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk, industri dan pertambahan luas sawah di DAS
121
Konaweha.
Masing-masing sektor memberikan kontribusi berbeda terhadap
pertambahan jumlah kebutuhan air total. Distribusi bulanan kebutuhan air total di DAS Konaweha menunjukkan bahwa kebutuhan air selama 8 bulan mencapai angka tertinggi yakni maret-juni dan september-desember.
Distribusi bulanan kebutuhan air total di DAS Konaweha
disajikan pada Lampiran 19b. Lampiran 19b menunjukkan bahwa kebutuhan air total tertinggi dicapai pada periode Bulan Maret-Juni dan periode Bulan September-Desember karena pada bulan-bulan tersebut merupakan waktu untuk alokasi kebutuhan air irigasi. Sebaliknya kebutuhan air total bulan Januari, Pebruari, Juli dan Agustus mencapai angka terendah karena pada bulan-bulan tersebut alokasi air hanya untuk memenuhi kebutuhan domestik dan industri. Distribusi kebutuhan air total di DAS Konaweha dikonversi ke dalam debit dengan satuan m3/detik untuk tujuan penyeragaman dengan satuan distribusi debit sungai atau ketersediaan air. Hasil konversi distribusi kebutuhan air total di DAS Konaweha tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 19c. Lampiran 19c merupakan distribusi kebutuhan air total setiap bulan di DAS Konaweha dari tahun 2010-2050. Sebagai contoh maka distribusi kebutuhan air total tahun 2025 adalah sebagai berikut: pada Bulan Januari, Pebruari, Juli dan Agustus masing-masing 8,98 m3/detik. Kebutuhan air untuk Bulan Maret, Mei, Oktober dan Desember adalah 25,61 m3/detik. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan air di DAS Konaweha baik kebutuhan air bulanan maupun tahunan untuk sektor domestik, industri dan irigasi, maka dapat disimpulkan bahwa kebutuhan air di wilayah ini cukup besar sehingga suatu saat suplai air tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan air ketiga sektor tersebut. Peningkatan kebutuhan air ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan taraf hidup masyarakat (Abaje, Ati and Ishaya, 2009). Lebih lanjut Fares (2003) menjelaskan bahwa peningkatan populasi penduduk yang dibarengi
122
dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat akan menyebabkan kebutuhan air akan meningkat dengan cepat pula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan air di DAS Konaweha dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk, industri dan pertambahan luas sawah. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya kebutuhan air adalah faktor rendahnya efisiensi alokasi sumberdaya air.
Kehilangan air yang
dialokasikan untuk kebutuhan domestik dan industri di DAS Konaweha berkisar antara 10-15 % (PDAM Kota Kendari, 2010), sedangkan kehilangan air irigasi berkisar antara 10-20 % (Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010). Peningkatan efisiensi alokasi sumberdaya air merupakan salah satu solusi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air sektor domestik, industri dan irigasi di wilayah tersebut. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Dziegielewski (2003) bahwa pengelolaan kebutuhan air dapat dilakukan melalui peningkatan efisiensi penggunaan air dan peningkatan efisiensi alokasi air melalui penyadaran konsumen akan pentingnya penghematan penggunaan air dan perbaikan fasilitas sumberdaya air oleh pihak-pihak terkait. Selanjutnya Seckler et al (1998) mengemukakan bahwa sekitar 50 % peningkatan kebutuhan air hingga tahun 2025 tercermin dari peningkatan efektivitas irigasi. McWhinney (2005) mengembangkan model pengelolaan ketersediaan dan kebutuhan air (water supply demand management) yang dikenal dengan WELS (water efficiency labelling and standards) dengan titik berat pada peningkatan efisiensi penggunaan dan alokasi air. Lebih lanjut dijelaskan bahwa strategi dan kebijakan pengelolaan ketersediaan dan kebutuhan air (Manoli, et al., 2005; Biswas and Tortajada, 2010) adalah sebagai berikut : (1) meningkatkan suplai air bersih melalui pemanfaatan secara optinal potensi sumberdaya air yang ada, (2) pengelolaan kebutuhan air melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan air, (3) pengembangan bidang sosial melalui perbaikan kebijakan pengelolaan air, dan (4) kebijakan institusi pengelolaan air melalui penetapan harga air, biaya pemeliharaan dan sistem insentif.
123
Lebih lanjut dijelaskan bahwa analisis distribusi bulanan kebutuhan air total di DAS Konaweha (Lampiran 19c) difokuskan pada kebutuhan air musim kemarau. Hal ini disebabkan titik kritis pemenuhan kebutuhan air adalah debit minimum yang terjadi pada musim kemarau.
Kebutuhan air total musim kemarau di DAS
Konaweha disajikan pada Tabel 24. Tabel 24. Proyeksi Kebutuhan Air Total Musim Kemarau Periode 2011-2050 di DAS Konaweha Periode 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050
Kebutuhan Air Total Musim Kemarau (m3/detik) 24,0 25,0 26,0 27,2 28,4 29,7 31,1 32,7
Tabel 24 menunjukkan bahwa kebutuhan air total musim kemarau periode 2011-2015 di DAS Konaweha adalah 24,0 m3/detik, akan meningkat menjadi 27,2 m3/detik pada periode 2026-2030. Kebutuhan air total musim kemarau periode 2036-2040 adalah 29,7 m3/detik akan meningkat menjadi 32,7 m3/detik pada periode 2046-2050. Angka-angka tersebut di atas memberikan gambaran tentang jumlah air minimal yang harus terpenuhi. Pemenuhan kebutuhan air tersebut bersumber dari debit minimum yang merupakan gambaran ketersediaan air musim kemarau sebagaimana disajikan pada Gambar 25 terdahulu.
Proporsi Luas Hutan Minimal untuk Memenuhi Kebutuhan Air Proporsi luas di dalam suatu DAS sangat tergantung dari jumlah air yang harus dipasok untuk memenuhi kebutuhan air di DAS tersebut khususnya kebutuhan air pada musim kemarau. Jumlah kebutuhan air di dalam suatu DAS ditentukan oleh jenis dan jumlah sektor yang memanfaatkan air.
124
Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan adalah luas hutan yang dapat menghasilkan debit minimum lebih besar atau sama dengan kebutuhan air. Berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan merupakan nilai relatif yang tergantung dari berapa jumlah kebutuhan air yang harus terpenuhi oleh debit minimum yang dihasilkan akibat mempertahankan luas hutan dengan luas tertentu. Hasil analisis ketersediaan air musim kemarau menggunakan Persamaan 46 (Qmin = 13 + 0.7 H (%) + 0.6 K (%) - 3.4 Kc (%) - 3.7 Sb (%) dari periode 2011-2050 (Lampiran 14 dan Gambar 25) menunjukkan bahwa ketersediaan air musim kemarau periode 2011-2015 adalah 37,6 m3/detik, akan menurun menjadi 26,2 m3/detik pada periode 2026-2030.
Nilai ketersediaan air tersebut akan menurun terus hingga
mencapai angka 20,0 m3/detik pada periode 2036-2040 dan 14,7 m3/detik pada periode 2046-2050. Hasil analisis distribusi kebutuhan air musim kemarau menggunakan Persamaan 22 (Ydi = Ydtahunan/n), Persamaan 23 (Yij = Yitahunan/n), dan Persamaan 24 (Ysk = Ystahunan/2m) disajikan pada Lampiran 19a, Lampiran 19c dan Tabel 24 menunjukkan bahwa rata-rata kebutuhan air musim kemarau periode 2011-2015 adalah 24,0 m3/detik, akan meningkat menjadi 27,2 m3/detik pada periode 20262030. Pada periode 2036-2040 maka kebutuhan air meningkat lagi menjadi 29,7 m3/detik dan 32,7 m3/detik pada periode 2046-2050. Analisis neraca ketersediaan dan kebutuhan air menggunakan data proyeksi ketersediaan air (debit minimum) (Gambar 25) dan data proyeksi kebutuhan air musim kemarau (Tabel 24) menunjukkan bahwa pada periode 2026-2030 akan terjadi defisit air di DAS Konaweha. Neraca ketersediaan dan kebutuhan air di DAS Konaweha periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 25.
125
Tabel 25. Neraca Ketersediaan dan Kebutuhan Air di DAS Konaweha Periode 2011-2050 Periode
Ketersediaan Air (S) (m3/detik)
Kebutuhan Air (D) (m3/detik)
S-D (m /detik)
Status
2011-2015
37,6
24,0
13,7
Surplus
2016-2020
33,5
25,0
8,6
Surplus
2021-2025
29,7
26,0
3,7
Surplus
2026-2030
26,2
27,2
-0,9
Defisit
2031-2035
23,0
28,4
-5,4
Defisit
2036-2040
20,0
29,7
-9,6
Defisit
2041-2045
17,3
31,1
-13,8
Defisit
2046-2050
14,7
32,7
-17,9
Defisit
3
Tabel 25 menunjukkan bahwa ketersediaan air (S) pada periode 2011-2025 lebih besar dari kebutuhan air (D) atau dengan kata lain status neraca air masih surplus. Nilai surplus pada air pada periode tersebut masing-masing sebesar 13,7 m3/detik (periode 2011-2015), 8,6 m3/detik (periode 2016-2020) dan 3,7 m3/detik (periode 2021-2025).
Pada periode 2026-2050 maka ketersediaan air tidak
mencukupi kebutuhan air atau dengan kata lain terjadi defisit air. Nilai defisit air pada periode tersebut adalah 0,9 m3/detik (periode 2026-2030), 5,4 m3/detik (periode 2031-2035), 9,6 m3/detik (periode 2036-2040), 13,8 m3/detik (periode 2041-2045) dan 17,9 m3/detik (periode 2046-2050). Tabel 25 memberikan gambaran bahwa neraca air di DAS Konaweha akan terjadi defisit pada periode 2026-2030. Periode inilah yang menjadi titik kritis dalam menentukan penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kurva ketersediaan air atau debit minimum (Gambar 25), kebutuhan air musim kemarau (Tabel 24), neraca ketersediaan dan kebutuhan air (Tabel 25) dan proyeksi jumlah penduduk periode 2011-2050 digunakan untuk menentukan proporsi luas hutan minimal yang dapat menjamin ketersediaan sumberdaya air di DAS Konaweha(Gambar 30).
50
50
40
40
E
D
30
30 B
A
20
20
10
10
F
0
Kebutuhan Air (M3/detik)
Ketersediaan Air (m3/detik)
126
C
2011-2015
2016-2020
2021-2025
2026-2030
2031-2035
2036-2040
2041-2045
2046-2050
Ketersediaan (m3/detik)
37.6
33.5
29.7
26.2
23.0
20.0
17.3
14.7
Kebutuhan Air (m3/detik)
24.0
25.0
26.0
27.2
28.4
29.7
31.1
32.7
Luas Hutan (%)
43.2
39.1
35.4
32.0
29.0
26.2
23.7
21.5
Jumlah Penduduk (x 100000 jiwa)
5.1
5.5
5.8
6.2
6.7
7.0
7.4
7.9
0
Periode (5 Tahunan), Luas Hutan (% Luas DAS Konaweha Hulu) dan Jumlah Penduduk (x 100000 jiwa)
Gambar 30. Kurva Ketersediaan dan Kebutuhan Air Periode 2011-2050 di DAS Konaweha Gambar 30 menunjukkan bahwa titik perpotongan antara kurva ketersediaan dan kebutuhan air terjadi pada periode 2026-2030. Pada kondisi ini maka terjadi titik keseimbangan antara ketersediaan air (S) dan kebutuhan air (D) atau ketersediaan air sama dengan kebutuhan air. Apabila titik keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan air (titik B) pada Gambar 30 ditarik garis tegak lurus dari sumbu kebutuhan air (garis AB) dan dari titik B ditarik garis tegak lurus sumbu luas hutan dan jumlah penduduk (garis BC), maka garis tersebut akan memotong sumbu luas hutan pada titik C dengan nilai sekitar 32,5 % (interpolasi antara 32,0-35,4). Pada kondisi ini maka luas hutan 32,5 % akan mampu menghasilkan air untuk memenuhi kebutuhan sektor domestik, industri dan irigasi bagi penduduk sekitar 620.000 jiwa. Jika proporsi luas hutan yang dipertahankan minimal 35,0 % dari luas DAS Konaweha Hulu, maka diperkirakan debit minimum yang dihasilkan hanya akan mampu memenuhi kebutuhan air sekitar 700.000 jiwa penduduk pada periode 2036-
127
2040 sehingga untuk pemenuhan kebutuhan air periode 2041-2045 dan periode 2046-2050 masih perlu menambah proporsi luas hutan. Jika ditarik garis tegak lurus dari sumbu kebutuhan air yang melalui titik kebutuhan air periode 2046-2050 dan memotong garis ketersediaan air di titik E (garis DE), kemudian dari titik E ditarik garis tegak lurus yang memotong sumbu luas hutan dan jumlah penduduk di titik F (garis EF), maka garis tersebut akan memotong sumbu luas hutan pada angka sekitar 37,5 % (interpolasi antara 35,439,1).
Ini berarti bahwa luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk
menghasilkan air yang dapat memenuhi kebutuhan air hingga periode 2046-2050 adalah 37,5 % dari luas DAS Konaweha Hulu. Dari uraian-uraian tersebut di atas maka disimpulkan bahwa proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan guna memenuhi kebutuhan air di DAS Konaweha adalah 32,5-37,5 % dari luas DAS Konaweha Hulu. Proporsi luas hutan tersebut akan menghasilkan debit minimum yang mampu memenuhi kebutuhan air periode 2026-2050. Nilai tersebut di atas cukup rasional untuk kondisi saat ini dimana kebutuhan air semakin meningkat dari waktu ke waktu. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengharuskan untuk mempertahankan minimal 30 % luas DAS sebagai kawasan hutan juga dianggap relevan dengan proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan di DAS Konaweha. Namun demikian angka 32,5-37,5 % tersebut bukan merupakan angka absolut melainkan angka relatif yang besarannya masih perlu dikaji lebih mendalam dari berbagai perspektif.
Valuasi Ekonomi Air dan Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Fakta yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa tidak ada alokasi pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS bagi kabupaten/kota yang memperoleh manfaat ekonomi dari DAS Konaweha. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tidak adanya regulasi yang mengatur mekanisme dan tata cara alokasi pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS, disamping itu pemerintah daerah yang wilayahnya masuk ke dalam DAS
128
Konaweha belum mengetahui proporsi yang harus dibayarkan sehubungan dengan air yang digunakan. Nilai ekonomi air yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan industri di DAS Konaweha mencapai angka yang tertinggi jika dibandingkan dengan nilai ekonomi air yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan domestik dan irigasi. Perhitungan nilai ekonomi air berdasarkan sektor menggunakan Persamaan 25 (TEA = (TEAd + TEAi + TEAs)) dan Persamaan 26 (TEA = (DdPd + DiPi + DsPs). Data yang digunakan adalah data kebutuhan air domestik (Lampiran 15c), kebutuhan air industri (Lampiran 16c), kebutuhan air irigasi (Lampiran 17c), dan harga satuan air untuk kebutuhan domestik dan industri sesuai standar PDAM (Rp. 3.755 per m3) dan harga satuan air irigasi sesuai dengan nilai rata-rata kesediaan untuk membayar (Rp. 15,32 per m3). Hasil perhitungan nilai ekonomi air berdasarkan sektor di DAS Konaweha dari tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 20.
Proyeksi nilai
ekonomi air menurut sektor periode 2011-2050 disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Nilai Ekonomi Air berdasarkan Sektor di DAS Konaweha Periode 20112050 Periode Domestik Industri Irigasi Total (Milyar (Milyar (Milyar (Milyar Rupiah) Rupiah) Rupiah) Rupiah) 2011-2015 49,25 58,34 4,84 112,42 2016-2020 52,35 61,59 5,14 119,07 2021-2025 55,64 65,52 5,46 126,62 2026-2030 59,14 70,45 5,80 135,39 2031-2035 62,86 76,83 6,16 145,86 2036-2040 66,82 85,34 6,55 158,71 2041-2045 71,03 96,99 6,96 174,97 2046-2050 75,50 113,26 7,39 196,15 Tabel 26 menunjukkan bahwa total nilai ekonomi air di DAS Konaweha periode 2011-2015 adalah 112,42 milyar rupiah yang merupakan jumlah dari nilai ekonomi air sektor domestik sebesar 49,25 milyar rupiah, industri sebesar 58,34 milyar rupiah dan irigasi sebesar 4,84 milyar rupiah. Selanjutnya periode 2021-2025 meningkat menjadi 126,62 milyar rupiah yang merupakan jumlah dari sektor
129
domestik sebesar 55,64 milyar rupiah, 65,52 milyar rupiah dari sektor industri dan irigasi sebesar 5,46 milyar rupiah. Nilai ekonomi air periode 2041-2045 adalah 174,97 milyar rupiah yang merupakan nilai kumulatif sektor domestik, industri dan irigasi dengan nilai masing-masing 71,03 milyar rupiah, 96,99 milyar rupiah dan 6,96 milyar rupiah. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa total nilai ekonomi air untuk kebutuhan industri mencapai proporsi tertinggi yakni 63,4 %, sedangkan kebutuhan air domestik dan irigasi masing-masing sebesar 32,5 % dan 4,1 %. Angka-angka tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai ekonomi air yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan irigasi di DAS Konaweha periode 20112015 adalah 4,84 milyar rupiah.
Angka tersebut hampir sama dengan hasil
perhitungan nilai ekonomi air irigasi di DAS Way Betung tahun 2009 yakni 4,24 milyar rupiah. Sedangkan nilai ekonomi air untuk kebutuhan domestik di DAS Konaweha adalah 49,25 milyar rupiah pada periode 2011-2015, sedangkan nilai ekonomi untuk kebutuhan domestik (PDAM) Kota Bandar Lampung yang bersumber dari DAS Way Betung tahun 2009 adalah 38,06 milyar rupiah. Nilai ekonomi air untuk kebutuhan air industri di DAS Konaweha periode 2011-2015 adalah 58,34 milyar rupiah. Nilai tersebut hampir sama dengan nilai ekonomi air minum dalam kemasan di DAS Way Betung tahun 2009 yakni 55,43 milyar rupiah (Yuwono, 2011).
Angka-angka tersebut masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan
hasil penilaian manfaat hidrologis Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat untuk nilai ekonomi air rumah tangga menggunakan metode biaya perjalanan (travel cost method) yakni 4,34 milyar rupiah per tahun (Darusman, 1993). Hasil penilaian nilai manfaat hidrologis Gunung Ceremai untuk sektor rumah tangga menggunakan metode biaya pengadaan (demand curve) yakni 3,34 milyar rupiah per tahun (Ramdan, 2006). Perbedaan tersebut di atas diduga disebabkan oleh perbedaan metode penilaian dan cakupan wilayah penilaian. Proporsi nilai ekonomi air masing-masing sektor menunjukkan perbedaan yang cukup besar dimana kebutuhan air industri mencapai angka tertinggi, kemudian kebutuhan air domestik dan terendah adalah nilai ekonomi air irigasi. Fakta ini bertentangan dengan jumlah kebutuhan air dimana kebutuhan air irigasi mencapai
130
angka tertinggi.
Hal ini disebabkan karena penilaian harga air menggunakan
pendekatan dan satuan yang berbeda. Untuk kebutuhan air domestik dan industri menggunakan pendekatan harga pasar standar PDAM dengan harga satuan Rp.3.755 per m3, sedangkan kebutuhan air irigasi menggunakan pendekatan kemauan untuk membayar (WTP) dengan harga satuan air Rp. 15,32 per m3. Nilai WTP bagi masyarakat yang memanfaatkan air dari DAS Konaweha sebagai sumber air irigasi dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat. Hal ini sejalan dengan Adenike dan Titus (2009) bahwa nilai WTP bagi masyarakat pengguna air berhubungan erat dengan tingkat pendapatan masyarakat. Perhitungan nilai ekonomi air di DAS Konaweha menurut wilayah kabupaten/kota dilakukan menggunakan Persamaan 27 (TEAm=DdmPd+DimPi+DsmPs). Data yang digunakan adalah proporsi penduduk masing-masing kabupaten/kota, proporsi industri kecil dan industri sedang/besar masing-masing kabupaten/kota dan proporsi luas sawah masing-masing kabupaten/kota (PBS Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010 dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010). Selain itu maka digunakan data kebutuhan air masing-masing sektor (Lampiran 15c, Lampiran 16c dan Lampiran 17c). Proyeksi nilai ekonomi air menurut wilayah dari tahun 2010-2050 disajikan pada Lampiran 21, sedangkan nilai ekonomi air rata-rata periode 2011-2015 disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Proyeksi Nilai Ekonomi Air di DAS Konaweha Menurut Wilayah Periode 2011-2050 Periode 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050
Konawe (Milyar Rp) 32,05 33,96 36,11 38,58 41,50 45,03 49,44 55,10
Konsel (Milyar Rp) 15,38 16,26 17,30 18,54 20,09 22,06 24,66 28,17
Kolaka (Milyar Rp) 23,65 25,02 26,61 28,52 30,88 33,90 37,86 43,22
Kendari (Milyar Rp) 41,34 43,83 46,60 49,75 53,39 57,73 63,02 69,67
Total (Milyar Rp) 112,42 119,07 126,62 135,39 145,86 158,71 174,97 196,15
131
Tabel 27 menunjukkan bahwa nilai ekonomi air periode 2011-2015 di DAS Konaweha adalah 112,42 milyar rupiah yang terdiri dari 41,34 milyar rupiah untuk Kota Kendari, sedangkan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka masingmasing sebesar 32,05 milyar rupiah, 15,38 milyar rupiah dan 23,65 milyar rupiah. Pada periode 2021-2025 maka nilai ekonomi air di wilayah ini adalah 126,62 milyar rupiah dimana Kota Kendari memperoleh nilai 46,60 milyar rupiah, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka masing-masing sebesar 36,11 milyar rupiah, 17,30 milyar rupiah dan 26,61 milyar rupiah. Selanjutnya periode 2046-2050 adalah 196,15 milyar rupiah yang terdiri dari masing-masing 69,67 milyar rupiah (Kota Kendari), 55,10 milyar rupiah (Kabupaten Konawe), 28,17 milyar rupiah (Konawe Selatan) dan 43,22 milyar rupiah (Kolaka). Nilai ekonomi air periode 2011-2015 adalah 112,42 milyar rupiah, sedangkan periode 2016-2020 adalah 119,07 milyar rupiah. Nilai-nilai tersebut hampir sama dengan total nilai ekonomi air DAS Way Betung tahun 2009 yakni sebesar 101,04 milyar rupiah yang merupakan kontribusi dari PDAM sebesar 38,06 milyar rupiah, wisata sebesar 5,25 milyar rupiah, air minum dalam kemasan (AMDK) sebesar 55,43 milyar rupiah, rumah tangga hulu sebesar 2,89 milyar rupiah dan sektor irigasi sebesar 4,24 milyar rupiah (Yuwono, 2011). Perbedaan nilai tersebut diduga karena perbedaan komponen yang dinilai. Nilai ekonomi air di DAS Konaweha hanya menilai tiga komponen yakni domestik, industri dan irigasi, sedangkan nilai ekonomi air di DAS Way Betung memperhitungkan nilai ekonomi air dari sektor wisata dan air minum dalam kemasan. Selain itu pemanfaatan air di DAS Konaweha sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan irigasi, sementara harga satuan air irigasi relatif rendah akibat rendahnya nilai kemauan untuk membayar air yang digunakan untuk irigasi yakni hanya Rp. 15,32 per m3. Disamping itu perbedaan nilai ekonomi juga diduga akibat perbedaan metade penilaian dan cakupan wilayah yang dinilai. Jika memperhatikan angka-angka tersebut di atas maka nilai manfaat ekonomi air untuk kebutuhan domestik, industri dan irigasi di DAS Konaweha menurut kabupaten/kota, maka Kota Kendari mencapai proporsi tertinggi, kemudian Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan.
132
Analisis proporsi nilai ekonomi air masing-masing kabupaten/kota dihitung menggunakan Persamaan 28 (PBm= TEAm/TEA), data proyeksi nilai ekonomi air menurut sektor (Lampiran 20) dan data proyeksi nilai ekonomi air menurut wilayah (Lampiran 21). Proyeksi proporsi nilai ekonomi air masing-masing kabupaten/kota tahun 2010-2050 di DAS Konaweha disajikan pada Lampiran 22. Berdasarkan Lampiran 22 maka diketahui bahwa sekitar 37 % manfaat ekonomi air di DAS Konaweha diperoleh Kota Kendari, 28 % Kabupaten Konawe, 21 % Kabupaten Kolaka dan 14 % Kabupaten Konawe Selatan. Tingginya proporsi manfaat ekonomi yang diterima Kota Kendari disebabkan karena tingginya proporsi penduduk yang memanfaatkan air yakni sekitar 52,5 % dari total penduduk yang memanfaatkan air di DAS Konaweha, sementara proporsi penduduk Kabupaten Konawe hanya sekitar 28,7 %, Kabupaten Kolaka 11,7 % dan Kabupaten Konawe Selatan hanya sekitar 7,1 %. Selain itu proporsi jumlah industri cukup tinggi yakni 72,7 % untuk industri sedang/besar dan 19,1 % untuk industri kecil, sementara itu proporsi luas sawah hanya sekitar 1,6 %. Proporsi manfaat ekonomi air untuk kebutuhan domestik, industri dan irigasi untuk Kabupaten Konawe juga cukup tinggi.
Hal ini disebabkan karena wilayah ini merupakan pusat pengembangan
tanaman padi sawah di Sulawesi Tenggara. Prinsip penentuan proporsi tanggung jawab pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS bagi kabupaten/kota adalah PES (payment of environmental services) yakni siapa saja yang memanfaatkan jasa lingkungan diwajibkan membayar. Perhitungan proporsi tanggung jawab tersebut menggunakan Persamaan 29 (Bmt= 0,1 TEAxPBm). Berdasarkan hal tersebut maka proporsi biaya yang menjadi tanggung jawab Kota Kendari adalah 37 % sebagaimana proporsi manfaat ekonomi yang diperoleh dari penggunaan air yang bersumber dari DAS Konaweha, sedangkan Kabupaten Konawe sebesar 28 %, sementara Kabupaten Kolaka dan Konawe Selatan masingmasing sebesar 21 % dan 14 % dari total biaya pemeliharaan fungsi DAS Konaweha (Lampiran 23 dan Gambar 31).
133
120
0 10
100 20 90 30 80 Nilai Ekonomi Air (milyar Rp)
40
Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS (%)
70
Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS (milyar Rp)
60
50
50
60
40 70 30
Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS (%)
Nilai Ekonomi Air dan Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS (milyar Rp)
110
80 20 90
10 0
100 Konawe
Gambar 31.
Konsel
Kolaka
Kendari
Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Kabupaten/Kota di DAS Konaweha (10 % Nilai Manfaat Ekonomi Air Kabupaten/Kota) Periode 20462050
Lampiran 23 dan Gambar 31 menunjukkan bahwa nilai ekonomi air masingmasing kabupaten/kota tahun 2050 di DAS Konaweha adalah 69,67 milyar rupiah untuk Kota Kendari, sedangkan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka masing-masing sebesar 55,10 milyar rupiah, 28,17 milyar rupiah dan 43,22 milyar rupiah.
Dari angka-angka tersebut maka biaya pemeliharaan fungsi DAS yang
menjadi kewajiban masing-masing wilayah pada tahun 2050 dapat dihitung dengan asumsi bahwa 10 % nilai ekonomi air yang diterima harus dibayarkan untuk memelihara fungsi DAS. Berdasarkan hal ini maka Kota kendari harus membayar sebesar 6,97 milyar rupiah, sedangkan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kolaka masing-masing sebesar 5,51 milyar rupiah, 2,82 milyar rupiah dan 4,32 milyar rupiah pada tahun 2050. Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa Kota Kendari harus membayar lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka. Hal ini sangat rasional karena Kota Kendari memperoleh nilai manfaat ekonomi air yang bersumber dari DAS Konaweha, lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya. Fakta ini sejalan dengan proporsi manfaat ekonomi air yang diperoleh dimana Kota Kendari mencapai proporsi tertinggi yakni 37 %, Konawe 28 %, Kolaka 21 % dan Konawe Selatan 14 %.
134
Pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS Konaweha yang menjadi tanggung jawab masing-masing kabupaten/kota dan dapat direalisasikan melalui: 1. Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota melalui dana alokasi khusus (DAK) sektor kehutanan dan pertanian. Besarnya DAK rata-rata kabupaten/kota di wilayah DAS Konaweha berkisar antara Rp. 30 milyar sampai Rp. 50 milyar per tahun. Angka tersebut harus dialokasikan untuk membiayai tidak kurang dari delapan sektor termasuk sektor kehutanan dan lingkungan hidup. Sekitar 40 % dari DAK dialokasikan untuk pemeliharaan infrastruktur pelayanan publik, sedangkan alokasi untuk sektor kehutanan dan lingkungan hidup hanya sekitar 8 % (BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS Konaweha dari DAK tidak memungkinkan untuk diterapkan. 2. Penggalangan dana masyarakat melalui penarikan pajak air sebesar 10 % dari nilai manfaat ekonomi air yang diterima oleh pemakai air. Cara ini kemungkinan akan efektif jika regulasi yang diterapkan didukung dengan sosialisasi dan penyadaran kepada seluruh pemangku kepentingan di daerah. 3. Menerapkan sistem insentif hulu-hilir melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan (payment of environmental services). Ketiga cara tersebut memerlukan regulasi yang mengatur kesepakatan tentang mekanisme pembayaran dan besaran yang menjadi tanggung jawab masing-masing wilayah. Oleh karena itu maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dapat memfasilitasi penyusunan regulasi yang mengatur mekanisme tersebut di atas.
Alternatif Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Valuasi Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu Manfaat ekonomi hutan yang dinilai di dalam penelitian ini adalah nilai ekonomi hasil hutan non kayu, meliputi: flora (rotan) dan fauna (madu), penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan. Manfaat ekonomi hutan yang dinilai seperti flora dan fauna, penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan
135
dan nilai keberadaan telah diteliti sebelumnya di tempat lain seperti di Kalimantan Barat (Yunus, 2005), Jambi (Rosalina, 2001), Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat (Darusman, 1993) dan Taman Nasional Gunung Ceremai (Ramdan, 2006). Analisis nilai ekonomi total hasil hutan non kayu di DAS Konaweha menggunakan Persamaan 37 (NET = NTLF + NCS + NMPT + NMTW + NMTK). Hasil analisis menunjukkan bahwa total nilai ekonomi hasil hutan non kayu di DAS Konaweha adalah Rp. 14.974.617 per hektar sebagaimana disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Total Nilai Ekonomi Hasil Hutan Non Kayu di DAS Konaweha Tahun 2009 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Total
Komponen Rotan Madu Karbon Nilai pilihan (option value) Nilai warisan (bequest value) Nilai keberadaan (existence value)
Nilai Ekonomi (Rp/Ha) 672.000 220.950 13.351.500 198.000 248.417 283.750 14.974.617
Keterangan : 1. 2.
Rotan dihitung pada kondisi basah dengan harga satuan per maret 2010 = Rp. 80.000 per 100 kg. Madu dihitung menggunakan satuan kg dengan harga satuan per maret 2010 = Rp. 45.000 per kg.
Tabel 28 menunjukkan bahwa total nilai ekonomi hasil hutan non kayu di DAS Konaweha adalah Rp. 14.974.617 per hektar yang terdiri dari nilai ekonomi rotan sebesar Rp.672.000 per hektar (Lampiran 24a dan Lampiran 24b), nilai ekonomi madu sebesar Rp. 221.033 per hektar (Lampiran 25a dan Lampiran 25b), karbon sebesar Rp. 13.351.500 per hektar (Lampiran 26a dan Lampiran 26b), nilai pilihan (Lampiran 27), nilai warisan (Lampiran 28) dan nilai keberadaan (Lampiran 29) masing-masing sebesar Rp. 198.000 per hektar, Rp. 248.417 per hektar dan Rp. 283.750 per hektar.
Nilai ekonomi rotan dengan pendekatan produktivitas
pengumpul disajikan pada Lampiran 35a dan Lampiran 35b. Lampiran 24a dan Lampiran 24b menunjukkan bahwa nilai produktivitas pengumpul dan pemegang izin pengolahan rotan di DAS Konaweha adalah 0,84 ton
136
per hektar. Nilai ini diperoleh dari nilai produktivitas pengumpul dan pengolah rotan di Kecamatan Abuki sebesar 0,86 ton per hektar, Kecamatan Latoma sebesar 0,86 ton per hektar, Kecamatan Sampara dengan nilai produktivitas sebesar 0,74 ton per hektar, Kecamatan Lambuya sebesar 0,91 ton per hektar, Kecamatan Unaaha dan Wawotobi masing-masing sebesar 0,84 ton per hektar dan 0,76 ton per hektar. Berdasarkan nilai produktivitas tersebut, maka nilai ekonomi rotan setiap satuan luas adalah Rp. 672.000 per hektar(harga satuan rotan basah adalah Rp. 800.000 per ton). Hasil penelusuran informasi dengan menggunakan metode bola salju (snow ball method) dan wawancara mendalam baik dengan pengumpul maupun penampung madu menunjukkan bahwa jumlah pengumpul madu terbanyak berasal dari Uluiwoi Kabupaten Kolaka yang merupakan hulu DAS Konaweha yakni sebanyak 147 orang, sedangkan Latoma dan Abuki masing-masing 73 orang dan 72 orang. Informasi tentang jumlah penampung, pengolah, lokasi pengambilan madu, dan kapasitas atau kemampuan mengolah, produktivitas dan penerimaan masyarakat disajikan pada Lampiran 25a dan Lampiran 25b. Lampiran 25a dan Lampiran 25b terlihat bahwa jumlah total madu dari kawasan hutan Uluiwoi mencapai 8.820 kg lebih tinggi jika dibandingkan dengan total madu yang berasal dari kawasan hutan Latoma yakni sebesar 3.650 kg dan Abuki sebesar 2.880 kg. Tingginya jumlah madu yang dihasilkan di kawasan hutan Uluiwoi disebabkan karena mempunyai kawasan hutan yang lebih luas, jumlah pengumpul madu lebih banyak dan kapasitas atau kemampuan pengumpul menghasilkan madu lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi lainnya. Tingginya kemampuan pengumpul menghasilkan madu disebabkan karena jarak permukiman masyarakat lebih dekat dengan kawasan hutan tempat mencari madu dibandingkan dengan lokasi lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat MacKinnon et al (1993) bahwa ada ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan.
Umumnya
masyarakat yang tinggal sekitar hutan termasuk di kawasan konservasi memiliki ketergantungan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka.
137
Selanjutnya produktivitas rata-rata madu dari kawasan hutan Uluiwoi juga mencapai angka tertinggi yakni 5,88 kg per hektar lebih tinggi jika dibandingkan dengan produktivitas rata-rata madu dari kawasan hutan Latoma maupun Abuki dengan produktivitas masing-masing 4,06 kg per hektar dan 4,80 kg per hektar. Angka-angka produktivitas tersebut diperoleh dari total produksi madu dibandingkan dengan luas kawasan hutan yang menjadi lokasi pengambilan madu. Dengan asumsi bahwa harga satuan madu di tingkat pengumpul adalah Rp.45.000 per kg, maka total penerimaan pengolah madu dari kawasan hutan Uluiwoi adalah Rp. 396.900.000, lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Penerimaan pengolah madu dari kawasan hutan Latoma adalah Rp. 162.250.000, sedangkan kawasan hutan Abuki mencapai angka Rp. 129.600.000. Dari angka-angka tersebut maka diketahui bahwa total penerimaan pengolah madu di DAS Konaweha adalah Rp. 690.750.000. Berdasarkan
perhitungan
tersebut
di
atas,
maka
diketahui
bahwa
produktivitas rata-rata madu dari kawasan hutan di DAS Konaweha adalah 4,91 kg per hektar. Apabila dikonversi menjadi satuan rupiah, maka nilai manfaat ekonomi dari hasil hutan madu per hektar adalah Rp. 220.950 per hektar.
Nilai ekonomi
madu di DAS Konaweha diduga dipengaruhi oleh faktor jumlah pengolah dan kapasitas atau kemampuan pengolah untuk mengumpulkan madu dalam kurun waktu tertentu serta harga madu di pasar lokal dan regional. Hasil pengamatan dan analisis vegetasi yang dilakukan pada 12 plot pengamatan menunjukkan bahwa potensi karbon setiap plot cukup bervariasi. Perhitungan potensi karbon menggunakan Persamaan 32 (CS=½(0.118D2,53), Persamaan 33 (JCS= (CS x JPH) xLAj) dan Persamaan 34 (NCS = JCS x HCS). Contoh hasil analisis potensi karbon vegetasi tingkat semai disajikan pada Lampiran 26a. Selanjutnya dari Lampiran 26a dilakukan analisis potensi karbon rata-rata untuk setiap kategori yakni semai, pancang, tiang dan pohon. Dari hasil analisis vegetasi maka selanjutnya ditentukan potensi karbon rata-rata per hektar untuk setiap kategori dan selanjutnya nilai karbon total yang merupakan jumlah dari total potensi karbon semua kategori dan hasilnya disajikan pada Lampiran 26b.
138
Lampiran 26b menunjukkan bahwa rata-rata potensi karbon vegetasi hutan di DAS Konaweha adalah 148,35 ton per hektar. Angka ini merupakan kumulatif nilai karbon vegetasi semai sebanyak 0,23 ton per hektar (0,15 %), pancang sebesar 9,83 ton per hektar (6,63 %), tiang sebanyak 12,64 ton per hektar (8,52 %) dan pohon sebanyak 125,65 ton per hektar (84,70 %).
Angka-angka tersebut di atas
menunjukkan bahwa vegetasi pohon memberikan kontribusi terbesar dalam hal penyerapan karbon. Hal ini disebabkan oleh kandungan biomas yang lebih tinggi dan diameter batang yang lebih panjang jika dibandingkan dengan vegetasi tiang, pancang dan semai. Sebagaimana uraian-uraian sebelumnya bahwa potensi karbon berkorelasi positif dengan diameter batang dan kandungan biomas. Berdasarkan hasil perhitungan terdahulu, maka potensi penyerapan karbon rata-rata per hektar di DAS Konaweha adalah 148,35 ton per hektar. Angka ini cukup realistis untuk potensi karbon hutan alam di daerah tropis seperti juga hutan di kawasan DAS Konaweha.
Kenyataan ini sejalan dengan hasil-hasil penelitian
sebelumnya dimana potensi karbon untuk kawasan konservasi di Kalimantan adalah 184,73 – 344,20 ton per hektar (Yunus, 2005). Sedangkan hasil penelitian Brown (1977) menemukan angka potensi karbon rata-rata hutan alam di Indonesia adalah 266,5 ton per hektar. Sementara itu hasil penelitian Rosalina (2001) pada kawasan formasi hutan pegunungan dataran rendah di Provinsi Jambi berada pada interval kandungan karbon 259 ton per hektar - 464 ton per hektar. Perbedaan potensi karbon berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas mungkin karena perbedaan tipe hutan, iklim, letak lintang, tingkat degradasi vegetasi hutan, dan tingkat akurasi metodologi yang digunakan untuk analisis vegetasi. Untuk menentukan nilai manfaat ekonomi potensi karbon, maka digunakan harga standar karbon sebagaimana dikemukakan oleh Glover and Timothy (1999) adalah 10 USD per ton. Apabila dikonversi kedalam satuan rupiah, maka nilai tersebut mengikuti fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Dengan asumsi bahwa nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika saat ini adalah Rp. 9.000 per dollar, maka harga satuan karbon adalah Rp. 90.000 per ton. Berdasarkan hal ini, maka nilai ekonomi karbon di DAS Konaweha adalah Rp. 13.351.500 per hektar.
139
Angka tersebut merupakan nilai kumulatif dari manfaat ekonomi karbon semua kategori vegetasi hutan.
Sebagian besar nilai manfaat ekonomi diperoleh dari
vegetasi pohon dengan nilai Rp.11.308.500 per hektar. Rata-rata WTP nilai pilihan sangat bervariasi tergantung tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, pendapatan, kepentingan dan status sosial. Sebagai pembanding maka digunakan pendekatan transfer benefit didasarkan biaya konservasi biodiversitas hutan di Indonesia sebesar US 300/km2/tahun menurut EEPSEA dan WWF (1998). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemauan membayar (WTP) responden terhadap fungsi hutan sebagai sumber keankaragaman hayati dan habitat bervariasi, tergantung dari tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan responden sebagaimana disajikan pada Lampiran 27 dan Tabel 29. Tabel 29. Manfaat Ekonomi Nilai Pilihan Keanekaragaman Hayati dan Habitat di DAS Konaweha Tahun 2009 Manfaat Ekonomi Nilai Pilihan Habitat Flora dan Fauna
Jumlah Responden (orang)
WTP Total (Rp)
WTP Rata-rata (Rp/ha)
Jumlah WTP (Rp/ha) 198.000
60 60
5.090.000 6.790.000
84.833 113.167
Tabel 29 menunjukkan bahwa manfaat ekonomi nilai pilihan keanekaragaman hayati dan habitat adalah Rp. 198.000 per hektar. Nilai tersebut merupakan jumlah dari manfaat ekonomi nilai pilihan hutan yang berfungsi sebagai habitat yakni sebesar Rp. 84.833 per hektar dan fungsi hutan sebagai sumber keanekaragaman flora dan fauna dengan nilai Rp. 113.167 rupiah per hektar. Nilai manfaat pilihan masyarakat persatuan luas yakni Rp.198.000 per hektar hampir sama dengan metode transfer benefit konservasi habitat US$ 300/km2/tahun oleh Ruitenbeek (1998) dalam Glover dan Timothy (1999) atau Rp. 171.000 per hektar (1US$ = Rp. 8.500) dan Rp. 181.059 per hektar (1US$ = Rp. 9.000). Sementara itu jika dibandingkan dengan nilai keanekaragaman hayati hasil perhitungan UNDP dan KLH (1998) lebih rendah yaitu sebesar Rp. 1,5 juta per
140
hektar (transfer benefit).
Perbedaan ini disebabkan oleh metode penilaian dan
asumsi yang digunakan penilaian manfaat pilihan dari potensi flora fauna, serta adanya preferensi masyarakat yang berbeda yang dipengaruhi oleh kondisi sosisal ekonomi mayarakat dan pengetahuan terhadap manfaat dan fungsi sumberdaya hutan yang dinilai. Manfaat ekonomi berdasarkan nilai pilihan keanekaragaman hayati dan habitat kawasan hutan DAS Konaweha berhubungan erat dengan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan responden. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya keterkaitan langsung antara jenis pekerjaan dengan keberadaan hutan seperti pencari rotan, pencari madu dan kayu bakar sehingga mereka mempunyai kemauan untuk membayar jasa lingkungan yang berkaitan dengan mata pencaharian mereka. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan, maka akan semakin tinggi pula nilai kemauan untuk membayar jasa lingkungan sebagai nilai pilihan. Kecenderungan ini kemungkinan disebabkan oleh pemahaman masyarakat tentang fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan seperti sumber keanekaragaman hayati dan habitat flora dan fauna yang meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat. Selain itu tingkat pendidikan masyarakat juga berhubungan erat dengan tingkat pendapatan dan jenis mata pencahariannya sehingga secara tidak langsung tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk membayar jasa lingkungan yang diterimanya. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Yunus (2005) bahwa WTP rata-rata nilai pilihan keanekaragaman hayati dan habitat sangat tergantung dari tingkat pendidikan masyarakat. Penilaian manfaat warisan (bequest value) kawasan hutan di DAS Konaweha mencakup manfaat flora fauna dan habitat satwa. Hasil penelitian manfaat warisan persatuan luas terhadap flora fauna dan habitat satwa atas dasar kesediaan membayar masyarakat sekitar hutan yaitu sebesar Rp. 248.417 per hektar (Lampiran 28 dan Tabel 30).
141
Tabel 30. Manfaat Ekonomi Nilai Warisan Flora Fauna dan Habitat Satwa di DAS Konaweha Tahun 2009 Manfaat Ekonomi
Jumlah Responden (orang)
WTP Total (Rp)
WTP Ratarata (Rp/ha)
60 60
7.685.000 7.220.000
128.083 120.333
Nilai Warisan Habitat Flora dan Fauna
Jumlah WTP (Rp/ha) 248.417
Tabel 30 menunjukkan bahwa manfaat ekonomi berdasarkan nilai warisan flora fauna dan habitat satwa di DAS Konaweha rata-rata adalah Rp. 248.417 per hektar yang merupakan jumlah dari manfaat hutan sebagai habitat sebesar Rp. 128.083 per hektar dan manfaat ekonomi nilai warisan flora dan fauna sebesar Rp. 120.333 per hektar. Manfaat ekonomi nilai warisan masyarakat persatuan luas yakni Rp.248.417 per hektar lebih tinggi dari nilai manfaat yang dihitung dengan metode transfer benefit konservasi habitat US$ 300/km2/tahun oleh Ruitenbeek (1998) dalam Glover dan Timothy (1999) atau Rp. 171.000 per hektar (1US$ = Rp. 8500) dan Rp. 181.059 per hektar (1US$ = Rp. 9.000). Namun demikian jika nilai warisan tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil perhitungan UNDP dan KLH (1999) yang menggunakan pendekatan transfer benefit yaitu sebesar Rp. 1,5 juta per hektar terhadap nilai manfaat keanekaragaman hayati flora dan fauna. Kisaran nilai kesediaan membayar manfaat warisan per orang per hektar sangat dipengaruhi oleh persepsi untuk diwariskan agar dapat dimanfaatkan oleh anak cucu mereka, yang terutama dipengaruhi oleh sejauhmana ketergantungan secara sosial ekonomi terhadap keberadaan hutan di DAS Konaweha. Penilaian manfaat keberadaan kawasan hutan di DAS Konaweha mencakup habitat dan flora fauna dilindungi. Hasil penelitian manfaat keberadaan persatuan luas terhadap habitat dan flora fauna dilindungi atas dasar kesediaan membayar masyarakat sekitar hutan yaitu Rp. 283.750 per hektar sebagaimana disajikan pada Lampiran 29 dan Tabel 31.
142
Tabel 31. Manfaat Ekonomi Nilai Keberadaan Habitat dan Flora Fauna Dilindungi di DAS Konaweha Tahun 2009 Manfaat Ekonomi
Nilai Keberadaan Habitat Flora dan Fauna
Jumlah Responden (orang)
WTP Total (Rp)
WTP Ratarata (Rp/ha)
60 60
8.800.000 8.225.000
146.667 137.083
Jumlah WTP (Rp/ha) 283.750
Tabel 31 menunjukkan bahwa manfaat ekonomi berdasarkan nilai keberadaan habitat dan flora fauna dilindungi di DAS Konaweha rata-rata adalah Rp. 283.750 per hektar yang merupakan jumlah dari manfaat keberadaan hutan sebagai habitat sebesar Rp. 146.667 per hektar dan manfaat keberadaan hutan sebagai sumber flora dan fauna dilindungi dengan nilai rata-rata sebesar Rp. 137.083 per hektar. Manfaat ekonomi nilai keberadaan hutan sebagai habitat dan sumber flora fauna dilindungi persatuan luas yakni Rp.283.750 per hektar lebih tinggi dari nilai manfaat yang dihitung dengan metode transfer benefit konservasi habitat US$ 300/km2/tahun oleh Ruitenbeek (1998) dalam Glover dan Timothy (1999) atau Rp. 171.000 per hektar (1US$ = Rp. 8500) dan Rp. 181.059 per hektar (1US$ = Rp. 9.000). Namun nilai tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil perhitungan UNDP dan KLH (1999) yang menggunakan pendekatan transfer benefit yaitu sebesar Rp. 1,5 juta per hektar terhadap nilai manfaat keanekaragaman hayati flora dan fauna. Kisaran nilai kesediaan membayar manfaat keberadaan perorang per hektar sangat dipengaruhi oleh persepsi masyarakat terhadap pentingnya keberadaan habitat dan flora fauna dilindungi terhadap kelangsungan hidup dimasa datang atau sejauhmana ketergantungan secara sosial ekonomi terhadap keberadaan hutan di DAS Konaweha. Kecenderungan nilai WTP rata-rata baik WTP nilai warisan maupun WTP nilai keberadaan yang meningkat seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan responden kemungkinan disebabkan oleh pemahaman masyarakat tentang fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan seperti sumber keanekaragaman hayati dan habitat flora dan fauna yang meningkat seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat. Selain itu tingkat pendidikan masyarakat juga berhubungan erat dengan
143
tingkat pendapatan dan jenis mata pencahariannya sehingga secara tidak langsung tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk membayar jasa lingkungan yang diterimanya. Kenyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Yunus (2005) bahwa WTP rata-rata nilai keberadaan flora fauna dilindungi dan habitat sangat tergantung dari tingkat pendidikan masyarakat, tingkat pendapatan dan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Selanjutnya Yunus (2005) mengemukakan bahwa pengaruh variabel pendidikan, mata pencaharian dan pendapatan terhadap WTP nilai keberadaan erat kaitannya dengan persepsi masyarakat akan manfaat yang terkandung di dalam sumberdaya hutan. Analisis Penggunaan Lahan Alternatif Hasil simulasi lima skenario penggunaan lahan alternatif di Sub DAS Konaweha Hulu menghasilkan komposisi luas tutupan masing-masing jenis penggunaan lahan (hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar) adalah sebagai berikut: 1. Skenario 1: 30% hutan, 55% perkebunan, 6% kebun campuran dan 4% semak belukar. 2. Skenario 2: 35% hutan, 51% perkebunan, 6% kebun campuran dan 3% semak belukar. 3. Skenario 3: 43% hutan, 43% perkebunan, 6% kebun campuran dan 3% semak belukar. 4. Skenario 4: 33% hutan, 52% perkebunan, 5% kebun campuran dan 4% semak belukar. 5. Skenario 5: 40% hutan, 46% perkebunan, 5% kebun campuran dan 4% semak belukar. Peta skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Gambar 32, Gambar 33, Gambar 34, Gambar 35 dan Gambar 36.
144
Gambar 32. Peta Skenario 1 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
Gambar 33. Peta Skenario 2 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
145
Gambar 34. Peta Skenario 3 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
Gambar 35. Peta Skenario 4 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
146
Gambar 36. Peta Skenario 5 Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu
Analisis Aspek Lingkungan Analisis kelayakan lingkungan skenario penggunaan lahan alternatif didasarkan pada kriteria keputusan (decison criteria) yakni yakni ketersediaan air (supply) atau debit minimum (Qmin) dan dan rasio antara ketersediaan (supply, S) dengan kebutuhan air (demand, D). Hubungan antara proporsi luas masing-masing jenis penggunaan lahan terhadap kriteria tersebut dianalisis dengan simulasi menggunakan persamaan regresi linier berganda.
Hubungan antara proporsi luas tutupan masing-masing jenis
penggunaan lahan (hutan, perkebunan, kebun campuran dan semak belukar) ketersediaan air atau debit minimum dijelaskan melalui Persamaan 46 terdahulu. Hasil simulasi hubungan antara proporsi masing-masing jenis penggunaan lahan terhadap ketersediaan air atau debit minimum dalam satuan m3/detik dan m3 disajikan pada Lampiran 30 dan Tabel 32.
147
Tabel 32. Rasio Ketersediaan dan Kebutuhan Air berbagai Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050 Alternatif
Ketersediaan Air (m3/detik) (juta m3)
Kebutuhan Air (m3/detik) (juta m3)
Rasio (S/D)
Skenario 1
31.8
82.4
33.3
86.3
0.95
Skenario 2
36.6
94.9
33.3
86.3
1.10
Skenario 3
37.4
96.9
33.3
86.3
1.12
Skenario 4
35.5
92.0
33.3
86.3
1.07
Skenario 5
36.8
95.4
33.3
86.3
1.11
Skenario 1 = 30 % hutan, 55 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 4 % semak belukar Skenario 2 = 35 % hutan, 51 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar Skenario 3 = 43 % hutan, 43 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar Skenario 4 = 33 % hutan, 52 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar Skenario 5 = 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar H = hutan, K = perkebunan, Kc = kebun campuran, Sb = semak belukar, C = koefisien regresi linier Luas kondisi eksisting: Hutan= 43 %, perkebunan=43 %, kebun campuran=6 % dan semak belukar=3 % Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar
Tabel 32 menunjukkan bahwa jika skenario 1 penggunaan lahan alternatif dengan proporsi luas hutan minimal 30 % akan menghasilkan air tersedia atau debit minimum (Qmin) sebesar 31,8 m3/detik atau setara dengan 82,4 juta m3. Jika skenario 1 diterapkan maka rasio antara ketersediaan (S) dengan kebutuhan air (D) adalah 0,95. Angka tersebut berarti bahwa skenario 1 penggunaan lahan alternatif tidak layak diterapkan karena debit minimum yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kebutuhan air tahun 2050. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif dengan proporsi luas hutan 35 % akan menghasilkan debit minimum sebesar 36,6 m3/detik atau 94,9 juta m3, sehingga rasio antara ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,10. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan skenario 1. Selanjutnya skenario 3 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan luas tutupan hutan 43 % dan penggunaan lahan lainnya sesuai dengan kondisi eksisting, maka ketersediaan air atau debit minimum yang dihasilkan adalah 37,4 m3/detik atau 96,9 juta m3 sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,12. Angka tersebut juga lebih baik jika dibandingkan dengan rasio ketersediaan dan kebutuhan air skenario 1 dan skenario 2. Skenario 4 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu yang merupakan modifikasi skenario 3 (pencadangan 10 % hutan untuk areal penggunaan lain) akan menghasilkan debit minimum sebesar 35,5 m3/detik atau 92,0 juta m3, sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,07.
Angka tersebut lebih rendah jika
148
dibandingkan dengan rasio ketersediaan dan kebutuhan air skenario 2 dan skenario 3. Skenario 5 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan proporsi luas tutupan hutan adalah 40 % akan menghasilkan debit minimum sebesar 36,9 m3/detik atau 95,4 juta m3 sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,11. Angka tersebut lebih baik jika dibandingkan dengan skenario 1, skenario 2 dan skenario 4. Angka-angka yang diperlihatkan pada Tabel 32 di atas menunjukkan bahwa seluruh skenario penggunaan lahan alternatif DAS Konaweha Hulu mempunyai kecenderungan yang sama terhadap debit minimum. Nilai rasio ketersediaan dan kebutuhan air skenario 2, skenario 3, skenario 4 dan skenario 5 lebih dari 1 yang berarti bahwa keempat skenario tersebut mampu mengatasi defisit air (ketersediaan air lebih besar dari kebutuhan air) hingga tahun 2050.
Namun demikian rasio
ketersediaan dan kebutuhan air untuk skenario 1 kurang dari 1 yang berarti bahwa skenario tersebut tidak dapat mengatasi defisit air hingga tahun 2050.
Analisis Aspek Ekonomi Analisis biaya didasarkan pada luas hutan yang harus dipelihara agar fungsinya menjaga tata air tetap terjaga. Hasil analisis biaya pemeliharaan fungsi hutan skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Lampiran 31 dan Tabel 33. Tabel 33. Biaya Pemeliharaan Fungsi Hutan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Alternatif Luas Hutan (ha) Biaya (Milyar Rupiah) Skenario 1 101398 152 Skenario 2 118297 177 Skenario 3 145337 218 Skenario 4 111537 167 Skenario 5 135197 203 Catatan : 1. Standar pemeliharaan fungsi hutan = Rp. 1500000 per hektar (UNDP dan KLH, 1999) 2. Luas hutan masing-masing sesuai Lampiran 30 dan Lampiran 31
Tabel 33 menunjukkan bahwa biaya yang diperlukan untuk memelihara fungsi hutan pada skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu
149
berkisar antara 152 milyar rupiah sampai dengan 218 milyar rupiah. Jika luas hutan kondisi eksisting 2011 dipertahankan, maka diperlukan biaya 218 milyar rupiah. Jika 10 % dari hutan kondisi eksisting dialokasikan untuk areal penggunaan lain (APL) pertambangan, maka diperlukan biaya sebesar 167 milyar rupiah. Sedangkan biaya yang harus dialokasikan untuk implementasi RTRW dengan luas hutan 35 % adalah 177 milyar rupiah dan implementasi arahan fungsi kawasan lindung sebagaimana skenario 5 dibutuhkan biaya sebesar 203 milyar rupiah. Selanjutnya yang dimaksud dengan penerimaan (return) adalah nilai ekonomi air (water yield) dan nilai ekonomi hasil hutan non kayu masing-masing skenario penggunaan lahan alternatif. Hasil air merupakan debit minimum yang merupakan ketersediaan air dan dihasilkan akibat pemeliharaan satu satuan luas hutan di DAS Konaweha Hulu.
Sedangkan hutan merupakan kawasan hutan yang harus
dipertahankan agar debit aliran minimum dapat menjamin kebutuhan air hingga tahun 2050. Nilai ekonomi air untuk kebutuhan domestik dan industri menggunakan pendekatan harga pasar (standar PDAM) yakni Rp. 3.755 per m3, sedangkan nilai ekonomi air untuk kebutuhan irigasi menggunakan pendekatan kemauan untuk membayar (WTP) air irigasi dengan harga satuan Rp. 15,32 per m3. Nilai ekonomi hutan yang dihitung adalah nilai ekonomi hasil hutan non kayu, mencakup nilai ekonomi flora dan fauna, karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan. Berdasarkan hal ini maka nilai ekonomi hutan per satuan luas adalah Rp. 14.974.617,- per hektar yang merupakan nilai kumulatif dari nilai ekonomi rotan (Rp. 672.236), madu (Rp. 221.033), karbon (Rp. 13.351.500), nilai pilihan (Rp. 198.000), nilai warisan (Rp. 248.417) dan nilai keberadaan (Rp. 283.750). Dari nilai penerimaan (return) dan biaya (cost) yang harus dikeluarkan pada masing-masing skenario penggunaan lahan alternatif, maka dilakukan analisis rasio penerimaan (R) dengan biaya (C). Perhitungan nilai R/C menggunakan Persamaan 38 (R/C = (Nilai Ekonomi Air dan Hasil Hutan non Kayu/Biaya Pemeliharaan Fungsi Hutan), data nilai ekonomi hasil hutan non kayu (Persamaan 37) dan Tabel
150
28, data nilai ekonomi air masing-masing skenario, dan hasil perhitungan biaya pemeliharaan fungsi lindung kawasan hutan setiap skenario (Lampiran 31) (UNDP dan KLH, 1999). Hasil analisis R/C skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Tabel 34. Tabel 34. Nilai R/C Skenario Penggunaan Lahan Alternatif DAS Konaweha Hulu Penggunaan Lahan Luas Hutan (ha) Hasil Air (Juta m3) Biaya Penerimaan Alternatif (milyar Rupiah) (milyar Rupiah) Skenario 1 101398 82.4 152 1546 Skenario 2 118297 94.9 177 1803 Skenario 3 148716 96.9 218 2209 Skenario 4 114917 92.0 167 1701 Skenario 5 135197 95.4 203 2056 Catatan: 1. Proporsi kebutuhan air domestik = 3,8 %, industri = 4,7 %, irigasi = 91.5 % 2. Harga satuan air domestik dan industri = Rp. 3.755 per m3, irigasi = Rp. 15,32 per m3 3. Nilai ekonomi hutan = Rp 14.974.617 per hektar 4. Standar pemeliharaan fungsi hutan = Rp. 1500000 per hektar (KLH dan UNDP, 1999)
R/C 10.16 10.16 10.13 10.17 10.14
Tabel 34 merupakan hasil analisis R/C penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai R/C semua skenario cukup besar dengan nilai lebih dari 10. Nilai R/C tertinggi dicapai skenario 3 dengan nilai R/C adalah 10,17. Besarnya nilai R/C untuk semua skenario disebabkan karena besarnya nilai penerimaan dari hasil hutan non kayu dengan memperhitungkan nilai ekonomi yang dihasilkan oleh jasa lingkungan keberadaan hutan seperti flora dan fauna, nilai penyerapan karbon, nilai pilihan, nilai warisan dan nilai keberadaan hutan. Selain itu analisis R/C juga memperhitungkan nilai ekonomi hasil air. Fakta yang kontradiktif dengan nilai penerimaan yang besar, maka nilai biaya yang diperlukan masing-masing skenario relatif rendah. Hal ini disebabkan karena hutan yang dipertahankan merupakan hutan yang sudah eksis sehingga tidak dilakukan penambahan luas hutan, akibatnya biaya yang diperlukan hanya bersifat biaya pemeliharaan fungsi kawasan hutan. Analisis Aspek Sosial Analisis sosial dilakukan untuk mengetahui kelayakan sosial berbagai penggunaan lahan alternatif yang terlebih dahulu memenuhi persyaratan kelayakan lingkungan dan kelayakan ekonomi. Hasil analisis aspek tingkat penerimaan para
151
pihak terhadap lima skenario penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Analisis Penerimaan Para Pihak terhadap Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Penggunaan Penerimaan Lahan Alternatif Para Pihak Skenario 1 Diterima Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4
Diterima Diterima Ada penolakan
Skenario 5
Diterima
Keterangan Sudah tersosialisasi, implementasi UU No. 41 1999 Sudah tersosialisasi, implementasi RTRW Sudah tersosialisasi, kondisi eksisting Penolakan DPR, DPRD, Perguruan Tinggi, LSM Sudah tersosialisasi sejak 2008
Tabel 35 menunjukkan bahwa skenario 4 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu masih potensial mengalami penolakan dari para pihak antara lain DPR pusat, DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara, Perguruan Tinggi dan LSM lokal. Hal ini terbukti dengan banyaknya penolakan dari pihak-pihak tersebut di atas tentang rencana pemerintah untuk menjadikan Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pertambangan dengan konsekuensi pemerintah provinsi meminta penurunan status hutan menjadi areal penggunaan lain (APL) seluas 300.000 hektar dimana sekitar 5.000 hektar merupakan hutan lindung. Selanjutnya skenario 1 dan skenario 2 penggunaan lahan alternatif dapat diterima oleh para pihak karena kedua skenario tersebut sudah menjadi kebijakan sejak tahun 1999 yang lalu sehingga para pihak yang berkepentingan tidak menolak kebijakan tersebut. Hal ini disebabkan karena skenario 1 merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang hingga saat masih berlaku, sedangkan skenario 2 merupakan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara yang mulai berlaku sejak tahun 2005.
Skenario 5
penggunaan lahan alternatif merupakan implementasi arahan fungsi kawasan lindung yang ditetapkan oleh BPDAS Sampara dimana luas hutan lindung di DAS Konaweha adalah 40 % dari luas DAS Konaweha yang mulai ditetapkan tahun 2008. Walaupun
152
skenario 5 belum tersosialisasi dengan baik karena baru ditetapkan tahun 2008, namun diduga tidak akan mengalami penolakan dari pihak-pihak berkepentingan. Fakta tersebut di atas juga diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pemeliharaan kawasan hutan di DAS Konaweha pernah dilakukan di era tahun 1970an melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan. Kegiatan tersebut dilakukan di beberapa wilayah di DAS Konaweha seperti Unaaha, Wawotobi, Pondidaha, Abuki, Sampara, Tirawuta, Tinondo dan Mowewe. Pada era tahun 1990an juga dilakukan kegiatan serupa yang disebut dengan hutan kemasyarakatan dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Beberapa wilayah yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kabupaten Kolaka.
Kegiatan tersebut cukup berhasil ditinjau dari aspek sosial
karena hingga saat ini tidak ada penolakan dari para pihak.
Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif DAS Konaweha Kelayakan skenario penggunaan lahan alternatif menggunakan kriteria (decision tool) sebagai berikut: rasio ketersediaan dan kebutuhan air (S/D), rasio R/C, dan penerimaan para pihak (aspek sosial). Hasil analisis kelayakan penggunaan lahan alternatif disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Analisis Kelayakan Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050 Alternatif
Aspek Lingkungan Aspek Ekonomi (S/D) (R/C)
Aspek Sosial (Penerimaan Para Pihak)
Skenario 1
0.95
10.16
dapat diterima, implementasi UU No. 41, 1999
Skenario 2
1.10
10.16
dapat diterima, RTRW Konawe dan Kolaka
Skenario 3
1.12
10.13
dapat diterima, kondisi eksisting
Skenario 4
1.07
10.17
ada penolakan, belum disetujui, APL pertambangan
Skenario 5 1.11 10.14 dapat diterima, arahan fungsi kawasan BPDAS Sampara Keterangan: Skenario 1 = 30 % hutan, 55 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 4 % semak belukar Skenario 2 = 35 % hutan, 51 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar Skenario 3 = 43 % hutan, 43 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar Skenario 4 = 33 % hutan, 52 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar Skenario 5 = 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar H = hutan, K = perkebunan, Kc = kebun campuran, Sb = semak belukar, C = koefisien regresi linier Luas kondisi eksisting: Hutan= 43 %, perkebunan=43 %, kebun campuran=6 % dan semak belukar=3 % Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar
153
Tabel 36 menunjukkan bahwa skenario 1 penggunaan lahan alternatif di DAS Konaweha Hulu dengan luas hutan 30 %, perkebunan 55 %, kebun campuran 6 % dan semak belukar 4 % akan menghasilkan debit minimum yang lebih kecil dari kebutuhan air sehingga nilai rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 0,95 dengan nilai R/C sebesar 10,16 dan secara sosial diterima para pihak karena merupakan implementasi Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Kelayakan berdasarkan tiga komponen yang dinilai yakni aspek lingkungan, ekonomi dan sosial, maka skenario 1 tidak layak diterapkan karena nilai S/D < 1, R/C > 1 dan secara sosial diterima oleh para pihak. Skenario 2 penggunaan lahan alternatif yang merupakan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka dengan luas hutan 35 % dikombinasikan dengan 51 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar akan mampu menghasilkan debit minimum yang lebih besar dari kebutuhan air, sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air adalah 1,10 dan nilai R/C sebesar 10,16 dan secara sosial dapat diterima karena sesuai dengan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka.
Skenario 2 penggunaan lahan alternatif layak diterapkan
karena semua komponen yang dinilai memenuhi sarat yakni nilai S/D > 1, R/C > 1 dan secara sosial tidak menimbulkan masalah karena sesuai dengan RTRW Kabupaten Konawe dan Kolaka yang sebelumnya ditetapkan melalui proses sosialisasi yang cukup lama.
Skenario 3 penggunaan lahan alternatif di DAS
Konaweha Hulu yang merupakan kondisi penggunaan lahan eksisting dengan luas tutupan hutan 43 %, 43 % perkebunan dan 6 % kebun campuran serta 3 % semak belukar layak diterapkan karena menghasilkan debit minimum yang melebihi kebutuhan air dengan nilai S/D > 1, nilai R/C > 1 dan secara sosial diterima oleh para pihak.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa skenario 4 yang merupakan modifikasi
skenario 3 dengan alokasi 10 % hutan untuk areal penggunaan lain (APL) pertambangan belum bisa diterapkan walaupun nilai S/D > 1 dan R/C > 1 karena hingga saat ini belum mendapat persetujuan pihak-pihak terkait sehingga masih ada penolakan. Sedangkan skenario 5 yang merupakan rencana implementasi arahan fungsi kawasan lindung DAS Konaweha dengan proporsi luas hutan yang harus dipertahankan minimal 40 % dikombinasikan dengan 46 % perkebunan, 5 % kebun
154
campuran dan 4 % semak belukar layak diterapkan baik ditinjau dari aspek lingkungan, ekonomi maupun faktor sosial. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka disimpulkan bahwa skenario 2, skenario 3, dan skenario 5 penggunaan lahan alternatif layak diterapkan sesuai indikator S/D ≥ 1, sedangkan skenario 1 dan skenario 4 tidak layak diterapkan. Hasil analisis menggunakan indikator lingkungan, ekonomi dan sosial menunjukkan bahwa komposisi 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar
merupakan
alternatif
penggunaan
lahan
terbaik
untuk
menjamin
keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha. Analisis Kebijakan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Produk kebijakan pada tingkat nasional yang berkaitan dengan penatagunaan lahan antara lain adalah Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur tentang luas kawasan hutan yang harus di pertahankan yakni 30 % dari luas DAS dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur penataan ruang berdasarkan fungsi lindung utama kawasan yakni kawasan lindung dan kawasan budidaya. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 menggunakan unit DAS, sedangkan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 menggunakan unit administrasi. Berkaitan dengan kedua produk kebijakan tersebut, maka pemberlakuan Undang-Undang Nomor 21 tahun 1999 yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diduga memberikan kontribusi terhadap kebijakan penatagunaan lahan di tingkat daerah (kabupaten/kota) melalui pemberian berbagai kewenangan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah seperti pengelolaan sumberdaya alam skala kecil (pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup). Kebijakan yang terkait dengan penatagunaan lahan di tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota) juga merujuk pada ketiga kebijakan tersebut di atas. Beberapa produk kebijakan yang terkait dengan ini antara lain: Peraturan Daerah (Perda) provinsi dan kabupaten/kota tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Perda
155
tentang pengelolaan tambang skala kecil, Perda tentang Izin Pemanfaatan Kayu Tanah Milik, Perda tentang Pemanfaatn Hasil Hutan non Kayu dan lain-lain. Kebijakan yang terkait dengan penatagunaan lahan di tingkat daerah (kabupaten/kota) dalam
hal
ini
Rencana
Tata Ruang Wilayah
(RTRW)
kabupaten/kota mengacu pada batas yuridiksi formal (batas administrasi) sehingga sulit diterapkan untuk mengatur penatagunaan lahan yang menggunakan batas alam (ekologi) seperti DAS Konaweha. Hal inilah yang dirasakan sulit untuk menerapkan konsep pengelolaan DAS secara terpadu untuk mencapai “satu DAS satu rencana dan satu pengelolaan” atau “one watershed one plan and one management”. Kebijakan pada tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang mengatur penatagunaan lahan, alokasi sumberdaya alam, dan tanggung jawab pembiayaan masing-masing kabupaten/kota hingga saat belum ada.
Pemerintah Provinsi
Sulawesi Tenggara yang diharapkan dapat memfasilitasi pengembangan kebijakan terkait dengan hal-hal tersebut di atas hingga saat ini juga belum maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan belum adanya Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur yang mengatur tata guna lahan, sistem alokasi sumberdaya dan tanggung jawab pembiayaan bagi masing-masing wilayah otonom di DAS Konaweha. Satu-satunya produk kebijakan tingkat kabupaten/kota yang berhubungan dengan tata guna lahan adalah RTRW yang menggunakan batas yuridiksi formal. Penetapan fungsi kawasan pada masing-masing RTRW kabupaten/kota hanya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tanpa memperhitungkan dampak hidrologi khususnya pada aspek ketersediaan air jangka panjang. Akumulasi implementasi kebijakan penatagunaan lahan melalui RTRW bagi kabupaten/kota di DAS Konaweha terlihat dari pola perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha. Akumulasi kebijakan tersebut menyebabkan perubahan luas hutan dari 55 % pada tahun 1999 menjadi 47 % pada tahun 2008. Perubahan tersebut diikuti dengan peningkatan luas perkebunan dari 35 % pada tahun 1999 menjadi 40 % pada tahun 2008, sedangkan kebun campuran dan semak belukar meningkat dari 3,8 % dan 2,6 % pada tahun 1999 menjadi 5,5 % dan 3,3 % pada tahun 2008.
156
Implementasi kebijakan selama kurang lebih 10 tahun telah memberikan dampak hidrologi yang cukup besar. Koefisien aliran permukaan meningkat dari 36,3 % pada tahun 1999 menjadi 47,1 % pada tahun 2008, pada kurun waktu tersebut maka koefisien regim sungai meningkat dari 5,7 menjadi 13,8 pada tahun 2008. Kebijakan tersebut juga memberikan dampak cukup serius terhadap penurunan ketersediaan air. Selama 10 tahun terakhir ini telah terjadi penurunan ketersediaan air dari 36 m3/detik menjadi 20 m3/detik.
Berdasarkan hal ini maka implementasi kebijakan
penatagunaan lahan melalui RTRW masing-masing kabupaten/kota semakin memperburuk kondisi hidrologi DAS Konaweha, oleh karena itu maka perlu ada langkah-langkah konkrit yang ditujukan untuk mengatur tata guna lahan agar kondisi hidrologi DAS Konaweha tetap baik khususnya ketersediaan air jangka panjang tetap terjamin. Jika implementasi kebijakan penatagunaan lahan di DAS Konaweha melalui penerapan RTRW kabupaten/kota akan memberikan dampak terhadap perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali.
Jika kebijakan implementasi RTRW
berjalan terus tanpa dilakukan perubahan, maka pada periode 2011-2015 luas hutan diperkirakan menjadi 43,2 %, sedangkan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar masing-masing 43,1 %, 5,3 % dan 3,6 %. Pada periode 2036-2040 maka akan terjadi penurunan luas hutan rata-rata menjadi 26,2 %, sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar akan meningkat menjadi 50,2 %, 6,8 % dan 4,9 %.
Jika perubahan penggunaan lahan tersebut mengikuti
kecenderungan sebelumnya, maka pada tahun 2050 luas hutan diperkirakan menjadi 21,5 %, sedangkan perkebunan, kebun campuran dan semak belukar akan meningkat menjadi 52,1 %, 7,3 % dan 5,3 %. Perubahan penggunaan lahan yang merupakan akibat implementasi kebijakan RTRW bagi kabupaten/kota dipastikan akan mempengaruhi kondisi hidrologi khususnya ketersediaan air di DAS Konaweha. Analisis kebijakan penggunaan lahan di DAS Konaweha dilakukan dengan membandingkan kebijakan implementasi RTRW kabupaten/kota yang sedang berjalan dengan skenario penggunaan lahan alternatif ditinjau dari perspektif lingkungan, ekonomi dan sosial.
Analisis yang didasarkan pada perspektif
157
lingkungan menggunakan alat keputusan berupa ketersediaan air dan rasio antara ketersediaan dan kebutuhan air (S/D). Analisis yang didasarkan pada perspektif ekonomi menggunakan alat keputusan berupa rasio penerimaan dengan biaya (R/C), sedangkan analisis berdasarkan perspektif sosial menggunakan alat keputusan berupa penerimaan para pihak (stakeholders acceptable). Analisis perbandingan antara kebijakan tata guna lahan yang sedang berjalan dengan penggunaan lahan alternatif tidak mengikutsertakan skenario 1 dan skenario 4 karena hasil analisis kelayakan dinyatakan tidak layak (Tabel 37). Tabel 37. Analisis Perbandingan antara Kebijakan Tata Guna Lahan Eksisting dengan Skenario Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Konaweha Hulu Tahun 2050 Alternatif
Aspek Lingkungan Aspek Ekonomi (S/D) (R/C) 1.10 10.16 1.12 10.13 1.11 10.14 0.44 10.05
Aspek Sosial (Penerimaan Para Pihak) dapat diterima, RTRW Konawe dan Kolaka dapat diterima, kondisi eksisting dapat diterima, arahan fungsi kawasan BPDAS Sampara akan terjadi konflik kepentingan terkait dengan sumberdaya air
Skenario 2 Skenario 3 Skenario 5 Kebijakan Eksisting Keterangan: Skenario 2 = 35 % hutan, 51 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar Skenario 3 = 43 % hutan, 43 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar Skenario 5 = 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar Kebijakan Eksisting = 22 % hutan, 53 % perkebunan, 8 % kebun campuran, 5 % semak belukar Skenario 1 dan skenario 4 penggunaan lahan alternatif tidak disertakan karena analisis sebelumnya tidak layak R=penerimaan mencakup nilai ekonomi hasil hutan non kayu dan air, APL = areal penggunaan lain Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar; S: supply, D: demand; R: return; C: cost
Tabel 37 menunjukkan kebijakan tata guna lahan melalui implementasi RTRW kabupaten/kota di DAS Konaweha akan berimplikasi terhadap penurunan ketersediaan sumberdaya air sehingga rasio ketersediaan dan kebutuhan air menjadi 0,44. Nilai tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai S/D skenario 2, skenario 3, dan skenario 5. Oleh karena itu ditinjau dari perspektif lingkungan maka kebijakan tersebut tidak layak untuk dipertahankan.
Berdasarkan perspektif
ekonomi, maka kebijakan eksisting masih layak untuk dipertahankan karena nilai R/C > 1, walaupun nilai tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai R/C skenario 2 dan skenario 5. Berdasarkan perspektif sosial, maka kebijakan eksisting tidak dapat dipertahankan karena kemungkinan besar akan menimbulkan konflik kepentingan antar daerah berkaitan dengan alokasi sumberdaya air mengingat kebijakan tersebut tidak mampu mengatasi defisit air hingga tahun 2050.
158
Uraian-uraian tersebut di atas mengindikasikan bahwa kebijakan tata guna lahan yang selama ini diimplementasikan melalui RTRW kabupaten/kota seyogyanya ditinjau kembali dan dianjurkan untuk tidak dilanjutkan.
Kebijakan
tersebut hanya dapat dipertahankan hingga tahun 2030 yakni ketika ketersediaan air lebih dari atau sama dengan kebutuhan air.
Oleh karena itu maka skenario
penggunaan lahan alternatif yang ditawarkan layak untuk dipertimbangkan oleh pengambil keputusan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tiga skenario penggunaan lahan alternatif yang ditawarkan harus didukung dengan regulasi agar dapat menjadi kebijakan yang nantinya dapat diterapkan di DAS Konaweha.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang Analisis Alternatif Penggunaan Lahan untuk Menjamin Ketersediaan Sumberdaya Air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha yang terjadi adalah penurunan luas hutan diikuti pertambahan luas perkebunan, kebun campuran dan semak belukar. Jumlah penduduk mempengaruhi penurunan luas hutan mengikuti persamaan: y = 196 e-0,01X, dimana y adalah luas hutan (% dari luas DAS Konaweha Hulu), e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818 dan X adalah jumlah penduduk (ribuan jiwa). 2. Penurunan luas hutan menyebabkan peningkatan koefisien aliran permukaan mengikuti persamaan: y = 158,8 e-0,03X dan penurunan debit minimum mengikuti persamaan: y = 18,6 e0,01X, dimana y adalah koefisien aliran permukaan (%) dan debit minimum (m3/detik), e adalah bilangan logaritma natural yang bernilai 2,7182818 dan X adalah luas hutan (% luas DAS Konaweha Hulu). 3. Ketersediaan sumberdaya air menurun sementara kebutuhan air meningkat dari tahun ke tahun. Defisit air di DAS Konaweha akan terjadi pada periode 20262030 dengan nilai defisit sekitar 0,9 m3/detik, sedangkan defisit air periode 20462050 adalah 17,9 m3/detik. 4. Proporsi luas hutan minimal yang harus dipertahankan untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha adalah 32,5-37,5 % dari luas DAS Konaweha Hulu. 5. Pembiayaan pemeliharaan fungsi DAS Konaweha untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya air didasarkan pada proporsi nilai manfaat ekonomi air masingmasing kabupaten/kota, sehingga tanggung jawab pembiayaan bagi Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kolaka dan Konawe Selatan masing-masing sebesar 37 %, 28 %, 21 % dan 14 % dari total biaya yang diperlukan.
160
6. Kebijakan penggunaan lahan eksisting di DAS Konaweha hanya bisa menjamin keberlanjutan sumberdaya air hingga periode 2026-2030.
Komposisi
penggunaan lahan utama yang terdiri dari 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran, 4 % semak belukar dan 5 % penggunaan lahan lainnya merupakan penggunaan lahan terbaik untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya air di DAS Konaweha. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diuraikan terdahulu, maka dirumuskan beberapa saran: 1. Penurunan fungsi hidrologi akibat perubahan penggunaan lahan DAS Konaweha akan mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya air sehingga diperlukan upaya yang ditujukan untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan khususnya penurunan luas hutan.
Upaya-upaya tersebut antara lain koordinasi dan
pengawasan yang ketat terhadap eksploitasi hutan, standar ketat konversi hutan, dan reorientasi prioritas pembangunan daerah. 2. Pada kondisi surplus air maka alokasi air untuk kebutuhan sektor domestik, industri dan irigasi mempunyai prioritas yang sama. Pada kondisi defisit, maka prioritas utama pemenuhan kebutuhan air berturut-turut adalah sektor domestik, irigasi dan industri. 3. Mengingat terbatasnya anggaran pembangunan daerah yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK), maka sebaiknya biaya pemeliharaan fungsi DAS Konaweha dibebankan kepada pemakai air melalui penarikan pajak air 10 % dari biaya pemakaian air.
Berdasarkan hal ini maka diperlukan regulasi seperti
Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur. 4. Mengingat kebijakan penggunaan lahan eksisting DAS Konaweha hanya dapat menjamin keberlanjutan sumberdaya air hingga periode 2026-2030, maka seyogyanya diterapkan kebijakan penggunaan lahan dengan komposisi 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran, 4 % semak belukar.
DAFTAR PUSTAKA Abaje, I.B., O.F. Ati, and S. Ishaya. 2009. Nature of Potable Water Supply and Demand in Jema’a Local Government Area of Kaduna State, Nigeria. Research Journal of Environmental and Earth Sciences 1(1): 16-21, 2009. ISSN: 2041-0492 Maxwell Scientific Organization, 2009. Adenike, A.A., and O.B. Titus. 2009. Determinants of Willingness to Pay for Improved Water Supply in Osogbo Metropolis; Osun State, Nigeria. Research Journal of Social Sciences, 4:1-6, 2009. Department of Agricultural Economics, Ladoke Akintola. University of Technology, Ogbomoso. Agus, F., M. Van Noordwijk, dan S. Rahayu. 2004. Dampak Hidrologis Hutan, Agroforestri, dan Pertanian Lahan Kering sebagai Dasar Pemberian Imbalan Kepada Penghasil Jasa Lingkungan di Indonesia. Prosiding Lokakarya di Padang/Singkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre. Arif, S.S. 2003. Menuju Pengelolaan Sumberdaya Air Yang Berkelanjutan. National Project Coordinator on Water Resources Management. Prosiding Seminar FAO-Bappenas, Jakarta. Atmanto, S.D. 1998. Air untuk Kesejahteraan Rakyat : Reformasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air yang Berkelanjutan dan Berdimensi Kerakyatan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Reformasi Hukum dan Kebijaksanaan di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam, Jakarta. Aylward, D. 2005. Land Use, Hydrological Function and Economic Valuation. In: Forest, Water and people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and L.A. Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2005. Program Pembangunan Daerah (Propeda) dan Program Pembangunan Tahunan Daerah (Propetada) Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2006. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Kolaka. 2000-2008. Kabupaten Kolaka Dalam Angka Tahun 2000-2008. Kolaka, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe. 2000-2008. Kabupaten Konawe Dalam Angka Tahun 2000-2008. Unaaha, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2005. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2004. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2008a. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2008. Kendari, Sulawesi Tenggara.
162
Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2008b. Statistik Air Minum Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2009. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2008. Kendari, Sulawesi Tenggara. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Sulawesi Tenggara Dalam Angka Tahun 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara. Barbier, E.B. 1995. The economics of forestry and conservation: Economic values and policies. Commonwealth Forestry Review 74(1):128-140. Barbieri, A.F. 2006. Household life cycles, population mobility and land use in the Amazon: Some comments and research directions. Universidade Federal de Minas Gerais, Brazil. Begum, N., J. Narayana, and A. Kumar. 2010. Land Use/Land Cover Changes in the Catchment of Water Bodies in and Around Davangere City, Katnataka. International Journal of Ecology and Environmental Sciences 36 (4):277-280, 2010. National Institute of Ecology, New Delhi, India. Biswas, A.K. 1997. Water Resources. Environmental Planning, Management, and Development. McGraw-Hill, New York, USA. Biswas, A.K., and C.Tortajadab. 2010. Water Supply of Phnom Penh: An Example of Good Governance. International Journal of Water Resources Development Publication details, including instructions for authors and subscription information: Third World Centre for Water Management, Mexico . Bonell, M, and L.A. Bruijnzeel. 2005. Forest, Water and people in the Humid Tropics. Published by Cambridge University Press. Bosscher, A. 1984. Basic Hydrology and Water Resource Development. Lecture Note. International Institute for Aerospace Survey and Earth Sciences. BPDAS Sampara. 2008. Rencana Pengelolaan Terpadu DAS Konaweha. Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sampara Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest a Primer. FAO Forestry 134:1-37. Bruijnzeel, L.A. 1990. Hydrology of Moist Tropical Forests and Effects of Conversion : A State of Knowledge Review. Humid Tropics Programme of the International Hydrological Programme of UNESCO, Paris, and Vrije Universiteit, Amsterdam. Bruijnzeel, L.A. 2004. Hydrological Functions of Tropical Forest: Not Seeing the Soil for the Trees. Agriculture, Ecology and Environment. Doi: 10.1006/jagee.2009.01.015.
163
Champ, P.A. 1997. Using Donation Mechanisms to Value Nonuse Benefit from Public Goods. Journal of Environmental Economics and Management 33: 155-162. Chandler, F.J.C., and Suyanto. 2004. Pengakuan dan Pemberian Imbalan bagi Penyediaan Jasa Daerah Aliran Sungai (DAS). Prosiding Lokakarya di Padang/Singkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre. Darusman, D. 1993. Nilai Ekonomi Air untuk Pertanian dan Rumah Tangga: Studi Kasus di Sekitar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Makalah Disampaikan pada Simposium Nasional Permasalahan Air di Indonesia. Bandung, 29 Juli 1993. Darusman, D., dan Bahruni. 2005. Aspek Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Sumberdaya Air serta Kontribusinya terhadap Pemerintah Daerah dan Masyarakat. Prosiding Seminar Pemanfaatan Air di Kawasan Konservasi. Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam Departemen Kehutanan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Statistik Industri Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2010. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara. Direktorat Jenderal Pengairan. 1986. Buku Petunjuk Perencanaan Irigasi. Bagian Penunjang untuk Standar Perencanaan Irigasi. CV. Galang Persada, Bandung. Direktur Jenderal Sumberdaya Air. 2002. Juni-September 2002 Persediaan Air Irigasi Tidak Mencukupi. Departemen Kimpraswil Republik Indonesia. Jakarta. Internet : Www.Google.Com Djajadiningrat, S.T. 1997. Pengantar Ekonomi Lingkungan. Penerbit: LP3ES, Jakarta. Drigo, R. 2005. Trends and Patterns of Tropical Land Use Change. In: Forest, Water and people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and L.A. Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press. Duerr, A.W. 1960. Fundamental of Forestry Economics. McGraw-Hill, Book Company. New York, Toronto, London. Dumairy. 1992. Ekonomi Sumberdaya Air, Pengantar ke Hidronomika. BPFE, Yogyakarta. Dyah, R.P. 2000. Pengelolaan dan Pemanfaatan Sungai Menyongsong Abad-21. Orasi Ilmiah Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Sungai, Universitas Diponegoro, Semarang.
164
Dziegielewski, B. 2003. Strategy fo managing water demand. Journal on Water Resources Update. Universities Council on Water Resources. University of Illinois, USA. Eagle, J.G., and D.R. Betters. 1998. Analysis, the Endangered Species Act and Economic values: A comparison of Fines and Contingent Valuation Studies. Journal of Ecological Economics 26:165-171. Economic and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA) and World Wild Fund for Nature (WWF). 1998. The Indonesian fires and haze of 1997: The economic toll. 1-8. Unpublished Report. Enters, T. 1998. A Framework for the Economic Assessment of Soil Erosion and Soil Conservation. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. Cabi Publishing. Environmental Protection Agency (EPA). 2000. Projecting Land-Use Change A Summary of Models for Assessing the Effects of Community Growth and Change on Land-Use Patterns. United State Environmental Protection Agency, Washington DC, USA. Fakultas Kehutanan IPB. 1999. Laporan Akhir Kajian Sistem Nilai Hutan Produksi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Fares, Y.R. 2003. Water resouces management in tropical river catchments. Journal of Environmental Hydrology, Volume 11 Paper 14 November 2003. Fluid Research Centre, School of Engineering, University of Surtey, Guildford, England. Fauzi, A. 2004. Mencermati Implementasi Undang-Undang Sumberdaya Air. Web Site: www.unisosdem.org.id Field, B.C. 1994. Environmental Economics, An Introductions. The McGrawHill, Book Company Inc. New York, Tokyo, Toronto, Singapore. Fox, J. J.B. Vogler, O.L. Sen, A.L. Ziegler, and T.W. Giambelluca. 2011. Simulating land-cover change in Montane Mainland Southeast Asia. Geography, University of Hawaii, Manoa, USA. Freeman, A.M. 1993. The Measurement of Environmental and Resource Value, Theory and Methods. Washington, D.C. Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan : Sutomo, S dan K. Mangiri. Edisi Kedua. Penerbit UI-Press, Jakarta. Glover, D., and J. Timothy. 1999. Indonesia’s Fires and Haze, The Cost of Catastrophe. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore and International Development Research Center, Canada. Gregory, G.R. 1972. Forest Resource Economics. John Wiley and Sons. New York, USA.
165
Hairiah K., SM Sitompul, Meine van Noordwijk, and Cheryl Palm. 2001. Method for Sampling Carbon Stocks Above and Below Ground. ASB Lecture Note 4B:1-22. Huang, H.Q, Y.L. Cai, and J. Peng. 2007. Modeling the spatial pattern of farmland using GIS and multiple logistic regression: a case study of Maotiao River Basin, Guizhou Province, China. Environ Model Assess (2007) , China. Husnan, S., dan S. Muhammad. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. Penerbit : UPP AMP YKPN, Yogyakarta. International Water Management Institute. 2006. Gobal Water Outlok to 2025. Averting an Impending Crisis. International Food Policy Research Institute. Washington, D.C, USA. Iriawan, N., dan S.P. Astuti. 2008. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. Penerbit: Andi, Yogyakarta. Isnugroho, 2002. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia, Jakarta. Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, dan U. Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Konsep dan Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kiersch, B., and S. Tognetti. 2002. Land-Water Linkages in Rural Watershed : Results from the FAO Electronic Workshop. Land Use and Water Resources research, FAO, Rome, Italy. Kodoatie, R.J., Suharyanto, S. Sangkawati, dan S. Edhisono. 2002. Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Otonomi Daerah. Penerbit : Andi Yogyakarta. Kramer, R.A., and D.E. Mercer. 1997. Valuing a Global Environmental Good: U.S. Resident Willingness to Pay to Protect Tropical Rain Rorest. Journal of Land Economics 73(2):196-210. Lerner, D.N., and B. Harris. 2009. The relationship between land use and groundwater resources and quality. Journal of Land Use Policy 265 (2009) S265-S273.. Published by Elsevier Ltd, All rights reserved. Little, C., A. Lara, J. McPhee, and R. Urrutia. 2009. Revealing the impact of forest exotic plantations on water yield in large scale watershed in SouthCentral Chile. Journal of Hydrology 374 (2009) 162-170. Published by Elsevier Ltd, All rights reserved. Loomis, J., T. Brown, B. Lucero, and G. Peterson. 1996. Improving Validity Experiments of Contingent Valuation Methods: Results of Efforts to Reduce the Disparity of Hypothetical and Actual Willingness to Pay. Journal of Land Economics 72(4):450-461.
166
Mahbub, B. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Air Berwawasan Lingkungan pada Pengembangan Wilayah. Orasi Ilmiah Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Sungai, Universitas Diponegoro, Semarang. Maltima, J.M., S.M. Mugatha, R.S. Reid, L.N. Gachimbi, A. Majule, H. Lyaruu, D. Pomey, S. Mathai, and S. Mungisha. 2009. The linkages between land use change, land degradation and biodiversity across East Africa. African Journal of Environmental Science and Technology. Vol 3 (10) pp. 310325, october 2009. Maltima, J.M., J.M. Olson, S.M. Mugatha, S. Magisha, and T. Mutie. 2010. Land use changes, impacts and option for sustaining productivity and livelihood in the basin of Lake Victoria. Journal of Sustainable Development in Africa. Volume 12, No. 3, 2010. Clarion University of Pennsylvania, USA. Manoli, E., P. Katsiardi, G. Arampatzis, and D. Assimacopoulos. 2005. Comprehensive Water Management Scenarios for Strategic Planning. Global NEST Journal, Vol 7, No 3, pp 369-378, 2005. Copyright© 2005 Global NEST. Printed in Greece. All rights reserved. Rhodes Island, Greece. Marshall, E., M. Caswell, S. Malcolm, M. Motamed, J. Hrubovcak, C. Jones, and C. Nickerson. 2011. Measuring the Indirect Land-Use Change Associated With Increased Biofuel Feedstock Production. A Review of Modeling Efforts. United States Department of Agriculture. Economic Research Service, USA. Mattjik, A.A. dan I.M. Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab, Jilid 1. Edisi Kedua. Diterbitkan oleh IPB PRESS, P.O. Box 199, Bogor. Mays, L.W., and Y.K. Tung. 1992. Hydrosystems Engineering and Management. McGraw-Hill, New York, USA. McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati : Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Kusdyantinah (Penerjemah). Terjemahan dari: Economics and Biological Diversity: Developing and Using Economics Incentives to Conserve Biological Resources. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. McWhinney, S. 2005. Introducing the New Water Efficiency Labelling and Standards (WELS) Scheme. Water Services Assosiation of Australia Journal. Issue No. 3, May, 2005. Departement of the Envoronment and Heritage, Australia. Mena, C.F., S.J. Walsh, and R.E. Bilsborrow. 2010. Demographic, Socieconomic, and Biophysical Factors Affecting Land Use and Land Cover Change in The Northern Ecuadorian Amazon: Factors, Statistical Models, and Spatial Explicit Simulations. Carolina Population Center and Geography Department, University of North Carolina, USA.
167
Murdiyarso, D. 2005. Water Resources Management Policy Responses to Land Cover Change in South East Asian River Basins. In: Forest, Water and people in the Humid Tropics. Ed. M. Bonell and L.A. Bruijnzeel. Published by Cambridge University Press. Pawitan, H., R. Boer, Y. Kusmaryono, dan J.S. Baharsyah. 2003. Perubahan Iklim Global dan Dampaknya terhadap Masa Depan Sumberdaya Air dan Ketersediaan Air di Indonesia. Prosiding: Seminar Hari Air Sedunia, Jakarta. Pearce, D., and D. Moran. 1994. The Economic Value of Biodiversity. IUCN Earthscan Publications Ltd. London. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Kendari. 2010. Pengembangan Peningkatan Pelayanan Konsumen Kota Kendari, Sulawesi Tenggara.
Rencana Kendari.
Purwanto, E., dan J. Ruijter. 2004. Hubungan antara Hutan dan Fungsi Daerah Aliran Sungai. Prosiding Lokakarya di Padang/Singkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre. Purwanto, M.Y.J. 1995. Water Demand for Industry, Village and City. Seminar on Water Demand in Developing Country, Tokyo, Japan. Purwanto, M.Y.J, and Sutoyo. 2010. Water Resources Assessment for City Area. Proceedings of The International Conference. The Quality Information for Competitive Agricutural Based Production System and Commerce. IPB International Convention Center, Bogor, 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan. 1999. Inventarisasi Hidrologi di 15 Daerah Aliran Sungai (DAS). Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Ramdan, H. 2006. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Provinsi Jawa Barat. Disertasi Doktor Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ramdan, H., Yusran, dan D. Darusman. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah : Perspektif Kebijakan dan Valuasi Ekonomi. Cetakan Pertama. Penerbit Alqaprint Jatinangor, Bandung. Randal, A. 1987. Resource Economic. John Wiley & Sons, Inc. New York, Chichester, Brisbane, Singapore, Toronto. Richard, M. 1997. The Potential for Economic Valuation of Watershed Protection in Mountainous Areas : A Case Study from Bolivia. Mountain Research and Development. Of land use change. Journal of Global Environmental Change. 15 (2005) 23 – 31.
168
Rudel, T.K., O.T. Coomes, E. Moran, F. Achard, A. Angelsen, J. Xu, and E. Lambin. 2005. Forest transitions: towards a global understanding. Journal of Global Environmental Change 15 (2005) 23 – 31. Published by: Elsevier, Ltd. All rights reserved. Sanim, B. 2003. Ekonomi Sumberdaya Air dan Manajemen Pengembangan Sektor Air Bersih Bagi Kesejahteraan Publik. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sanim, B. 2005. Handout Mata Kuliah : Ekonomi Lingkungan dan Analisis Kebijakan. Fakultas Ekonomi Manajemen (FEM), Institut Pertanian Bogor. Schaldach, R., and J.A. Priess. 2008. Integrated Models of the Land System: A Review of Modelling Approaches on the Regional to Global Scale. Center for Environmental Systems Research University of Kassel, KurtWolters-Str. 3, Germany. Seckler, D., U. Amarasinghe, D. Molden, R. de Silva, and R. Barker. 1998. World Water Demand and Supply, 1990 to 2025: Scenarios and Issues. Research Report 19. International Water Management Institute, P O Box 2075, Colombo, Sri Lanka. Setiawan, A. 2000. Nilai Ekonomi Hutan Raya Wan Abdul Rachman Provinsi Lampung. Thesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sihite, J.H.S. 2004. Valuasi Ekonomi dari Perubahan Penggunaan Lahan di Sub DAS Besai-DAS Tulang Bawang Lampung. Disertasi Doktor, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Singh, V.P. 1992. Elementary Hydrology. Departement of Civil Engineering Louisiana State University. Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, USA. Sinukaban, N. 1994. Membangun Pertanian Menjadi Industri Lestari dengan Pertanian Konservasi. Orasi Ilmiah Guru Besar Ilmu Konservasi Tanah dan Air. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sinukaban, N. 2005. Implication of Regional Autonomy on Watershed Management. Paper Presented on Seminar for Contennial Commemoration of the Indonesian Soil Research Institute, Bogor. Sinukaban, N. 2008. Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam Mitigasi Banjir. Prosiding Seminar Konservasi Tanah dan Air. Forum DAS Provinsi Lampung. Bandar Lampung, Indonesia. Soekartawi. 2006. Analisis Usahatani. Penerbit: Universitas Indonesia. Jakarta, Indonesia. Soeparmoko, M. 1997. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis). Edisi Ketiga. Penerbit: BPFE Yogyakarta. Anggota IKAPI No. 008.
169
Soeparmoko, M. 2006. Panduan dan Analisis Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Konsep, Metode Penghitungan dan Aplikasi). Edisi Pertama. Penerbit: BPFE Yogyakarta. Anggota IKAPI No. 008. Spash, C.L. 1997. Ethics and Environment Attitudes with Implication for Economic Valuation. Journal of Environmental Management 50:403-416. Suara Merdeka. 2004. Tahun 2020 Indonesia Kekurangan Air Bersih. Senin, 13 Desember 2004. Internet : www.google.com Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara.2010. Debit Rata-Rata Sungai Konaweha Tahun 1993 – 2009. Kendari, Sulawesi Tenggara. Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara.2009. Rekapitulasi Data Curah Hujan Bulanan Stasiun Hujan Sulawesi Tenggara. Kendari, Sulawesi Tenggara. Sulistiyono, N. 2006. Penilaian Ekonomi pada Berbagai Pola Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra Satelit Ikonos Tahun 2003 (Studi Kasus di DAS Ciliwung Hulu, DAS Ciesek, Kabupaten Bogor). Thesis Magister Sains Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Suratiah, K. 2006. Ilmu Usahatani. Jakarta, Indonesia.
Penerbit: Penebar Swadaya Jakarta.
Swanson, T.M. 1996. The Economic of Environment Degradation, The Tragedy for the Commons. UNEP. Edward Elgar Publishing. Cheltenham - UK, Brookfield - USA. Tang, Z., B.A. Engel, B.C. Pijanowski, and K.J. Lim. 2005. Forecasting land use change and its environmental impact at a watershed scale. Journal of Envoronmental Management, 76 (2005) 35 – 45. Published by: Elsevier, Ltd. All rights reserved. Doc:10.1016/j.jenvman. 2005.01.006. Taufik, Y., A. Nikoyan, dan La Baco, 2001. Studi Pengembangan Masyarakat di Sekitar Kawasan Hutan Kabupaten Kolaka. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kolaka dengan Lembaga Penelitian Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara. Tietenberg, T. 1992. Environmental Economics and Policy. Harpers Collins College Publisher Inc. New York. UNEP and FAO. 1999. The Future of Our Land. Facing the Challenge. United Nation Environment Programme. Food And Agriculture Organization, Rome, Italy. United Nation Development Programme (UNDP) dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), 1998. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Dampak, Faktor dan Evaluasi. Jilid I. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. Jakarta.
170
Van Noordwijk, M., F. Agus, D. Suprayogo, K. Hairiah, G. Pasha, B. Verbist, dan Farida. 2004. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS). Prosiding Lokakarya di Padang/Singkarak, Sumatera Barat. World Agroforestry Centre. Verburg, P, G.H.J. de Koning, K. Kok, A. Veldkamp, and J. Bouma. 1999. A spatial explicit allocation procedure for modelling the pattern of land use change based upon actual land use. Ecological Modelling 116 (1999) 45– 61. Elsevier, Wageningen, Netherlands. Verburg, P.H, T. Veldkamp, and J.P. Lesschen. 2011. Exercises for the CLUE-S model. The CLUE Modelling Framework. Ecological Modelling. Elsevier, Wageningen, Netherlands. Wainger, L.A., J. Rayburn, and E. W. Price. 2007. Review of Land Use Change Models Applicability to Projections of Future Energy Demand in the Southeast United States. University of Maryland, Center for Environmental Science Chesapeake Biological Laboratory, USA. Ward, A.D., W.J. Elliot. 1992. Environmental Hydrology. Lewis Publisher, Boca Raton, New York, London, Tokyo. World Health Organization (WHO). 2009. Jumlah Air Minimal Kebutuhan Rumah Tangga. Technical Notes for Emergencies, Technical Note No. 9. WHO Regional Office for South-East Asia. Wood, E.C., G.G. Tappan, and A. Hadj. 2004. Undertanding the drivers of Agricultural land use change in South-Central Senegal. Journal of Arid Environments. Published by Elsevier, Ltd. All right reserved. Doc: 10.106. Yunus, L. 2005. Metode Kebakaran Hutan Kalimantan Barat). Sumberdaya Alam Pertanian Bogor.
Penilaian Ekonomi Kerusakan Lingkungan Akibat dan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sintang Disertasi Doktor pada Program Studi Pengelolaan dan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana Institut
Yusnaini, S., A. Niswati, M.A.S. Arif, and M. Nonaka. 2008. The Changes of Earthworm Population and Chemical Properties of Tropical Soil Under Different Land Use System. Journal of Tropical Soils, Vol. 13, No. 2, 2008. Yuwono, S.B. 2011. Alternatif Pengembangan Sumberdaya Air Berkelanjutan DAS Way Betung Kota Bandar Lampung. Disertasi Doktor pada Program Studi Pengelolaan DAS Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
171
Lampiran 1. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1991
Lampiran 2. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 1999
172
Lampiran 3. Peta Penggunaan Lahan DAS Konaweha Hulu Tahun 2011
Lampiran 4.
Proporsi Luas Masing-masing Jenis Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu Tahun 1991-2011
Penggunaan Lahan
Luas (%) 1991 1999 2001 2004 2005 Hutan 66,6 55,3 51,3 50,1 49,2 Perkebunan 26,0 34,8 38,3 39,0 39,5 Kebun Campuran 3,0 3,8 4,0 4,5 4,7 Semak Belukar 1,7 2,6 2,9 3,0 3,0 Tegalan 0,7 1,2 1,3 1,5 1,7 Lahan Terbuka 0,6 1,1 0,7 0,4 0,3 Permukiman 0,6 0,9 0,9 1,0 1,0 Sawah 0,2 0,4 0,5 0,5 0,6 Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Keterangan: Luas DAS Konaweha Hulu adalah 337.992 hektar.
2006 48,8 39,6 4,8 3,1 1,8 0,2 1,0 0,6 100,0
2008 47,0 40,0 5,5 3,3 2,1 0,5 1,1 0,6 100,0
2011 43,6 42,0 6,5 3,5 2,5 0,6 1,3 0,8 100,0
173
Lampiran 5.
Analisis Keragaman (Anova) Pengaruh Waktu terhadap Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Konaweha Hulu
Analysis of Variance (x, y1) Source DF SS MS F P Regression 1 177.012 177.012 17.01 0.054 Error 2 20.815 10.408 Total 3 197.827 Analysis of Variance (x, y2) Source DF SS MS F P Regression 1 100.801 100.801 13.36 0.067 Error 2 15.087 7.544 Total 3 115.888 Analysis of Variance (x, y3) Source DF SS MS F P Regression 1 2.1125 2.1125 281.67 0.004 Error 2 0.0150 0.0075 Total 3 2.1275 Analysis of Variance (x, y4) Source DF SS MS F P Regression 1 1.0125 1.0125 15.00 0.061 Error 2 0.1350 0.0675 Total 3 1.1475
Lampiran 6.
Proyeksi Luas Hutan, Perkebunan, Kebun Campuran dan Semak Belukar di DAS Konaweha Hulu Tahun 2011-2050
Periode Hutan (%) Perkebunan (%) Kebun Campuran (%) 5 (1991-1995) 66.6 26.0 3.0 10 (1996-2000) 55.3 34.8 3.8 15 (2001-2005) 50.7 38.6 4.3 20 (2006-2010) 48.3 39.7 5.0 25 (2011-2015) 43.2 43.1 5.3 30 (2016-2020) 39.1 45.0 5.7 35 (2021-2025) 35.4 46.6 6.0 40 (2026-2030) 32.0 47.9 6.3 45 (2031-2035) 29.0 49.1 6.6 50 (2036-2040) 26.2 50.2 6.8 55 (2041-2045) 23.7 51.2 7.1 60 (2046-2050) 21.5 52.1 7.3 Keterangan: Kolom 2: y = 71.26e^-0.02x Kolom 3: y = 10.2Ln(x) + 10.3 Kolom 4: y = 1.67x^0.36 Kolom 5: y = 0.88x^0.44 Angka-angka yang dicetak tebal merupakan hasil proyeksi dari tahun 2011-2050
Semak Belukar (%) 1.7 2.6 2.9 3.1 3.6 3.9 4.2 4.5 4.7 4.9 5.1 5.3
174
Lampiran 7a. Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2007 Jan
May Curah CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit 1 0 50 0 60 38 210 20 188 0 88 2 0 47 0 54 20 245 0 176 38 205 3 0 45 32 165 0 224 0 175 0 265 4 4 77 7 161 0 213 18 230 22 300 5 0 75 0 158 0 199 4 222 0 285 6 0 70 0 147 0 166 0 175 0 275 7 0 65 0 139 42 256 0 154 0 255 8 0 57 0 133 0 220 43 287 0 245 9 0 53 0 113 0 210 7 256 20 271 10 15 138 0 104 0 177 3 228 0 260 11 0 135 0 97 0 164 0 197 0 260 12 0 122 0 86 0 144 0 177 8 255 13 0 110 0 64 0 125 10 220 0 247 14 31 160 0 51 0 110 14 210 0 245 15 19 165 6 124 11 165 0 185 0 240 16 18 160 0 118 0 142 0 167 0 235 17 0 145 13 141 0 133 0 154 0 227 18 0 133 0 137 0 129 10 178 0 175 19 0 124 0 130 0 125 18 194 0 135 20 0 117 0 122 0 118 0 175 0 115 21 0 97 0 119 0 103 0 146 44 318 22 0 88 0 109 0 100 0 131 13 310 23 0 77 0 87 0 85 0 126 10 307 24 0 64 15 101 20 122 0 97 0 287 25 0 57 35 225 8 124 0 85 5 280 26 15 122 25 220 1 122 0 81 0 275 27 13 125 0 185 0 85 0 72 0 260 28 2 118 0 155 0 77 0 65 0 244 29 0 109 0 62 0 64 0 215 30 0 99 14 112 14 124 0 197 31 0 95 0 97 20 225 117 100 133 125 154 147 161 165 180 242 Total CH 117 133 154 162 180 Debit Rata-rata 100 125 147 165 242 Qmax 160 225 256 287 318 Qmin 45 51 62 64 88 Tanggal
Feb
Mar
Apr
Jun Jul Aug Hujan (mm) dan Debit (m3/detik) CH Debit CH Debit CH Debit 35 224 0 97 0 89 24 211 0 85 0 88 0 202 15 114 7 119 0 187 12 119 35 188 0 165 0 87 0 176 0 133 0 74 17 177 0 115 0 63 0 165 10 147 0 55 0 122 0 124 0 47 0 114 0 118 0 44 0 87 20 175 0 43 0 64 15 188 0 41 0 51 0 177 0 41 0 44 0 146 18 121 0 37 16 178 6 102 0 33 0 144 0 78 3 41 0 122 0 66 0 37 0 97 0 59 3 55 0 76 4 64 2 42 0 75 37 233 23 155 0 71 0 187 14 153 0 71 0 169 0 133 15 137 13 206 0 127 0 122 10 222 0 116 0 106 11 210 0 110 41 274 4 197 11 132 0 222 0 144 5 127 0 178 9 157 1 122 0 155 0 132 1 122 0 143 0 113 0 97 0 97 0 75 176 149 139 112 122 103 176 139 122 149 112 103 274 233 188 71 41 33
Sep
Oct
CH 1 1 17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7 0 0 0 0
Debit 67 67 119 94 75 58 47 39 28 27 22 20 17 15 45 26 22 19 16 15 15 14 14 13 13 34 22 20 19 17
32 32
34 34 119 13
CH 3 0 0 0 0 0 0 0 0 6 0 0 0 0 0 0 5 0 0 23 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 37 37
Debit 44 39 32 25 21 19 18 17 16 59 55 45 40 35 35 35 57 55 49 144 125 112 96 78 66 49 37 29 22 20 19 48 48 144 16
Nov
Dec
CH 2 0 13 31 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11 0 0 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0 0 0
Debit 33 29 88 159 144 133 126 121 95 82 71 60 51 41 33 125 100 78 65 55 41 32 65 55 44 36 31 29 26 22
65 65
69 69 159 22
CH 3 0 11 0 0 0 0 0 35 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 14 0 0 0 8 5 0 0 0 89 89
Debit 47 39 79 68 57 52 49 40 171 155 149 133 116 105 96 89 79 74 69 64 99 93 119 94 85 72 88 79 60 60 55 85 85 171 39
175
Lampiran 7b. Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2008 Jan
Feb
Mar
Apr
Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Total CH Debit Rata-rata Qmax Qmin
CH 0 0 7 8 2 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 6 0 0 7 0 0 25 0 0 10 10 3 11 1 18 2 114 114
Debit CH 94 10 93 6 106 10 127 15 138 0 122 0 120 0 80 0 70 7 77 8 70 0 120 0 112 0 108 0 108 0 110 0 122 0 122 0 125 0 120 12 114 0 147 0 175 0 165 0 160 0 150 0 140 3 132 16 120 40 100 102 118 127 127 118 175 70
Debit CH 123 45 144 5 155 4 171 0 169 0 165 14 155 0 149 0 160 7 190 10 162 0 156 8 145 0 128 6 110 0 100 10 98 0 96 0 85 0 160 3 159 0 155 0 155 4 146 6 135 0 120 0 129 0 220 0 235 12 10 0 147 144 144 147 235 85
Debit CH 255 5 230 0 200 0 215 23 165 2 200 0 189 17 161 0 206 0 230 0 190 20 199 0 150 0 155 6 145 8 195 0 200 30 145 4 140 9 167 9 163 1 123 1 127 0 149 0 130 0 120 0 105 0 90 7 108 17 155 0 140 166 159 159 166 255 90
Debit 140 133 133 260 255 245 254 245 224 221 259 250 240 237 251 200 250 240 245 249 233 232 190 160 125 110 105 120 180 170 205 205 260 110
May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Curah Hujan (mm) dan Debit (m3/detik) CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit 13 256 3 175 0 88 5 77 0 25 0 30 19 127 0 70 15 259 0 168 0 77 0 58 0 25 0 30 5 122 0 70 0 255 0 159 0 75 0 51 0 25 0 30 0 102 0 65 0 250 0 142 10 125 0 39 0 21 20 77 0 87 0 60 0 245 0 140 0 119 0 35 0 21 0 63 0 82 25 135 25 275 0 133 0 116 4 55 0 21 0 55 0 72 20 145 12 271 9 224 11 130 10 74 0 20 0 55 0 69 0 135 13 269 0 203 0 126 7 70 0 19 0 55 0 57 0 135 0 260 4 207 5 124 0 61 5 55 0 52 0 43 28 184 0 255 10 238 5 121 0 50 2 40 0 48 15 100 8 175 15 260 14 241 7 126 2 59 2 35 0 45 5 95 0 146 0 253 16 245 6 125 0 56 0 30 15 61 0 88 5 145 0 242 9 230 3 120 0 55 0 30 0 56 0 85 0 131 0 240 12 244 0 90 7 81 0 25 0 50 0 71 0 128 0 220 0 233 0 80 8 88 0 20 0 50 0 64 0 127 0 170 0 215 0 80 12 122 0 20 0 45 0 52 0 112 14 256 0 188 0 70 0 82 3 35 0 40 0 47 0 104 0 244 0 171 14 135 0 70 0 25 0 40 0 45 0 92 0 231 0 162 0 122 0 62 0 20 0 35 0 44 0 77 0 224 0 137 7 112 4 65 0 20 0 35 0 42 0 66 0 220 0 121 5 98 8 85 0 20 0 27 0 39 0 65 0 220 0 117 4 97 0 67 0 20 0 27 4 43 0 60 0 215 0 105 6 104 0 59 0 20 17 67 0 42 0 55 0 200 0 100 8 122 0 55 3 25 0 59 0 40 0 47 16 257 5 155 0 117 0 50 0 25 0 47 0 40 4 83 0 250 0 137 0 114 2 55 8 63 0 41 25 165 0 81 0 238 0 124 0 85 1 37 6 52 2 37 17 147 0 76 8 247 0 121 0 72 0 37 2 45 0 37 0 122 0 76 0 223 0 120 0 70 0 35 0 37 0 37 0 114 5 65 0 180 6 100 0 66 0 35 0 32 0 35 0 93 0 65 0 145 0 65 0 35 0 30 0 60 131 236 88 169 91 102 70 60 31 29 54 45 90 78 95 97.9 131 88 91 70 31 54 90 95 236 169 102 60 29 46 78 98 275 245 135 122 63 77 165 184 145 100 65 35 19 27 39 47
176
Lampiran 7c. Debit Harian Rata-rata Sungai Konaweha Tahun 2009 Jan
Feb
Mar
Apr
Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Total CH Debit Rata-rata Qmax Qmin
CH 0 15 0 10 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 0 8 0 0 0 0 30 45 0 0 0 0 0 0 0 121 121
Debit CH 82 20 143 0 133 0 147 0 145 0 145 0 139 10 133 7 130 0 120 0 90 0 85 0 70 12 65 7 55 31 127 10 118 0 135 0 129 0 122 17 117 18 106 0 166 3 188 0 175 0 173 0 168 0 165 0 135 133 122 128 135 135 128 188 55
Debit CH 157 0 148 22 145 0 145 0 130 0 115 0 161 0 144 0 120 0 85 0 71 21 64 0 144 0 156 18 253 0 237 0 225 0 202 7 198 0 203 0 217 0 195 37 195 10 150 0 135 0 120 0 83 15 66 0 0 21 0 152 151 151 152 253 64
Debit CH 88 0 192 0 185 0 165 25 121 0 116 0 92 11 84 0 77 0 73 7 242 0 222 0 197 0 245 12 235 0 224 0 182 0 225 0 195 0 156 0 143 0 266 0 247 0 211 0 190 48 175 25 200 21 152 19 133 0 198 0 195 175 168 168 175 266 73
Debit 183 179 169 266 261 241 247 242 226 239 227 225 209 237 229 207 175 165 133 104 97 86 83 81 279 272 247 227 216 202 198 198 279 83
May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Curah Hujan (mm) dan Debit (m3/detik) CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit CH Debit 0 178 15 246 0 63 0 42 0 22 4 33 0 30 0 35 0 177 0 239 0 63 0 41 15 55 0 27 10 95 0 35 17 270 0 220 0 59 7 66 0 33 0 25 0 80 5 55 0 270 40 293 35 217 2 62 0 28 0 25 0 77 38 128 10 265 0 277 0 185 0 43 30 125 0 22 0 69 15 177 0 265 0 267 0 164 0 41 8 104 0 20 0 65 0 169 17 270 0 239 0 151 0 40 0 87 0 20 35 157 0 153 0 265 0 216 0 139 0 38 0 65 6 43 0 146 0 139 0 220 0 145 0 122 7 55 0 54 0 40 0 142 0 131 0 210 0 122 0 95 10 73 0 41 0 39 0 122 0 114 0 165 17 233 0 81 0 61 0 38 0 35 0 90 0 87 0 144 20 251 0 66 0 55 0 36 0 33 7 99 0 71 0 102 0 224 0 57 0 49 0 33 0 32 0 89 0 66 0 93 0 187 23 155 0 43 0 28 0 30 0 79 0 47 10 266 20 260 0 141 0 42 0 27 0 25 0 75 0 45 0 254 12 245 0 128 32 174 0 24 0 22 0 67 0 32 0 233 16 230 24 155 17 155 0 22 0 21 0 55 10 88 54 347 0 225 0 133 0 128 0 20 14 77 0 35 5 84 0 342 0 188 0 122 0 93 0 18 0 75 0 28 4 83 0 321 0 174 25 161 0 75 0 17 33 144 9 71 0 77 0 304 10 187 0 127 0 63 0 15 0 121 0 56 0 69 0 277 0 153 0 115 15 102 0 14 0 117 0 47 0 59 0 264 0 137 25 159 7 84 0 13 0 104 0 39 0 48 10 279 0 115 0 140 0 71 0 12 0 85 13 88 0 41 16 288 0 102 0 124 0 61 0 11 0 77 0 77 18 133 0 270 0 95 0 112 0 57 0 11 0 65 0 62 0 125 10 265 0 88 0 92 0 45 0 10 8 55 0 60 0 124 8 265 0 74 0 83 18 110 0 10 0 41 0 59 0 114 0 247 0 66 0 69 0 93 0 9 0 39 0 49 0 112 20 275 0 63 0 57 0 85 0 9 0 32 0 42 0 91 0 265 0 55 0 55 0 27 0 88 172 247 150 185 132 116 115 71 53 33 65 50 74 75 95 91 172 150 132 115 53 65 74 95 247 185 116 71 33 50 75 91 347 293 217 174 125 144 157 177 93 63 55 38 9 20 28 32
177
Lampiran 7d.
Debit Harian Rata-rata, Debit Harian Maksimum dan Debit Harian Minimum Sungai Konaweha 2007-2009
Tahun 2007 Qmax (m3/det) Qmin (m3/det) Qrata-rata (m3/det)
Jan 160 45 100
Feb 225 51 125
Mar 256 62 147
Apr 287 64 165
May 318 88 242
Jun 274 71 149
Jul 233 41 112
Aug 188 33 103
Sep 119 13 34
Oct 144 16 48
Nov 159 22 69
Dec 171 39 85
Tahun 2008 Qmax (m3/det) Qmin (m3/det) Qrata-rata (m3/det)
Jan 175 70 118
Feb 235 85 147
Mar 255 90 166
Apr 260 110 205
May 275 145 236
Jun 245 100 169
Jul 135 65 102
Aug 122 35 60
Sep 63 19 29
Oct 77 27 46
Nov 165 39 78
Dec 184 47 98
Tahun 2009 Qmax (m3/det) Qmin (m3/det) Qrata-rata (m3/det)
Jan 188 55 128
Feb 253 64 152
Mar 266 73 175
Apr 279 83 198
May 347 93 247
Jun 293 63 185
Jul 217 55 116
Aug 174 38 71
Sep 70 15 33
Oct 144 20 50
Nov 157 28 75
Dec 177 32 91
Rata-Rata Qmax (m3/det) Qmin (m3/det) Qrata-rata (m3/det)
Jan 174 57 115
Feb 238 67 141
Mar 259 75 163
Apr 275 86 189
May 313 109 242
Jun 271 78 168
Jul 195 54 110
Aug 161 35 78
Sep 84 16 32
Oct 122 21 48
Nov 160 30 74
Dec 177 39 91
Lampiran 8. Curah Hujan Rata-rata Bulanan DAS Konaweha Tahun 1999-2009 Bulan Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Total
1999 100 118 135 147 155 130 114 88 47 65 90 97 1286
2000 144 136 67 125 278 107 93 60 18 106 28 22 1184
2001 115 132 135 140 155 139 128 90 46 92 123.2 102 1397
2002 112 120 171 160 170 170 41 10 11 12 28 144 1149
2003 105 141 185 166 163 102 167 58 45 16 34 154 1336
Curah Hujan (mm) 2004 2005 2006 99 122 101 124 124 104 144 158 142 160 149 140 150 101 165 134 82 150 99 72 95 58 66 85 40 44 44 75 98 18 80 102 88 94.8 118 94 1258 1236 1226
2007 117 133 154 162 180 176 139 122 32 37 66 89 1407
2008 114 127 144 155 168 109 77 64 31 54 72 95 1210
2009 121 135 151 168 172 150 132 115 53 65 74 95 1431
Rata-rata 114 127 144 152 169 132 105 74 37 58 71 100 1269
Lampiran 9.
Debit Bulanan Rata-rata, Maksimum dan Minimum Sungai Konaweha Tahun 1993-2009
Bulan 1993 1994 Jan 100 135 Feb 129 149 Mar 182 231 Apr 234 251 May 254 246 Jun 290 180 Jul 189 126 Aug 78 99 Sep 37 38 Oct 70 49 Nov 191 89 Dec 135 125 Max 290 251 Min 37 38
1995 79 127 151 291 238 295 185 94 41 76 118 136 295 41
1996 59 174 181 182 232 234 175 98 40 77 162 119 234 40
1997 55 151 152 240 255 185 172 89 37 66 114 78 255 37
1998 53 185 200 242 271 225 181 147 35 55 88 74 271 35
1999 90 106 125 162 195 205 108 56 36 41 58 75 205 36
2000 114 110 71 176 381 276 143 66 11 23 29 35 381 11
Debit (m3/detik) 2001 2002 2003 121 98 94 114 81 113 133 127 134 165 122 125 237 243 247 220 127 225 165 52 126 81 44 65 34 31 25 55 23 28 110 40 46 118 120 99 237 243 247 34 31 25
2004 90 145 175 202 254 182 99 58 30 49 85 92 254 30
2005 132 164 196 258 203 74 60 59 28 59 118 122 258 28
2006 142 174 175 199 266 168 95 55 23 31 47 95 266 23
2007 100 125 147 165 242 149 112 103 34 48 69 85 242 34
2008 135 177 192 244 275 166 87 49 20 39 48 85 275 20
2009 128 152 175 198 247 185 116 71 33 50 75 91 247 33
178
Lampiran 10. Koefisien Aliran Permukaan, Debit Maksimum dan Debit Minimum DAS Konaweha Hulu Periode 1991-2010 Periode
1991-1995 1996-2000 2001-2005 2006-2010
Luas Tutupan (% Luas DAS Konaweha Koefisien C Qmax Qmin Hulu) (%) (m3/detik) (m3/detik) H K Kc Sb 66,6 26,0 3,0 1,7 28,4 246 40 55,3 34,8 3,8 2,6 36,3 252 36 50,7 38,6 4,3 2,9 43,1 272 33 48,3 39,7 5,0 3,1 45,6 284 24
KRS
6,2 7,0 8,2 11,8
Keterangan: H : hutan; K: perkebunan, Kc: kebun campuran; Sb: semak belukar; C: koefisien aliran permukaan; KRS: koefisien regim sungai (Qmax/Qmin); Qmax: debit maksimum; Qmin: debit minimum.
Lampiran 11. Analisis Regresi dan Keragaman Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Kondisi Hidrologi DAS Konaweha Hulu Regression Analysis: C Tahunan (%) versus H (%), K (%), Kc (%), Sb (%) The regression equation is C (%) = 64.0 - 0.905 H (%) + 0.544 K (%) - 0.76 Kc (%) + 2.43 Sb (%) Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 4 69.854 17.464 390.47 0.038 Residual Error 1 0.045 0.045 Total 5 69.899 Regression Analysis: Qmax (m3/detik) versus H (%), K (%), Kc (%), Sb (%) The regression equation is Qmax (m3/detik) = 1713 - 20.1 H (%) - 10.1 K (%) - 45.4 Kc (%) + 47.5 Sb (%) Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 4 2982.33 745.58 1474.72 0.020 Residual Error 1 0.51 0.51 Total 5 2982.83 Regression Analysis: Qmin (m3/detik) versus H (%), K (%), Kc (%), Sb (%) The regression equation is Qmin (m3/detik) = 13 + 0.7 H (%) + 0.6 K (%) - 3.4 Kc (%) - 3.7 Sb (%) Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 4 180.00 45.00 33.91 0.360 Residual Error 1 11.50 11.50 Total 5 191.50
179
Lampiran 12. Bulan 1993 1994 Jan 100 135 Feb 129 149 Mar 182 231 Apr 234 251 May 254 246 Jun 290 180 Jul 189 126 Aug 78 99 Sep 37 38 Oct 70 49 Nov 191 89 Dec 135 125
Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Pendekatan Rata-rata Aritmetik (m3/detik) 1995 79 127 151 291 238 295 185 94 41 76 118 136
1996 59 174 181 182 232 234 175 98 40 77 162 119
1997 55 151 152 240 255 185 172 89 37 66 114 78
1998 53 185 200 242 271 225 181 147 35 55 88 74
1999 90 106 125 162 195 205 108 56 36 41 58 75
2000 114 110 71 176 381 276 143 66 11 23 29 35
Debit (m3/detik) 2001 2002 2003 121 98 94 114 81 113 133 127 134 165 122 125 237 243 247 220 127 225 165 52 126 81 44 65 34 31 25 55 23 28 110 40 46 118 120 99
2004 90 145 175 202 254 182 99 58 30 49 85 92
2005 132 164 196 258 203 74 60 59 28 59 118 122
2006 142 174 175 199 266 168 95 55 23 31 47 95
2007 100 125 147 165 242 149 112 103 34 48 69 85
2008 135 177 192 244 275 166 87 49 20 39 48 85
2009 Rata-rata 128 101 152 140 175 162 198 203 247 252 185 199 116 129 71 77 33 31 50 49 75 87 91 99
Lampiran 13. Debit Rata-rata Sungai Konaweha dengan Peluang 80 % (m3/detik) Ranking Jan 1 142 2 135 3 135 4 132 5 128 6 121 7 114 8 100 9 100 10 98 11 94 12 90 13 90 14 79 15 59 16 55 17 53 Rata-rata 71 Peluang 80 %
Feb 185 177 174 174 164 152 151 149 145 129 127 125 114 113 110 106 81 112
Lampiran 14. Periode 1 2011-2015 2016-2020 2021-2025 2026-2030 2031-2035 2036-2040 2041-2045 2046-2050 Keterangan: Kolom 2: Kolom 3: Kolom 4: Kolom 5:
Mar 231 200 196 192 182 181 175 175 175 152 151 147 134 133 127 125 71 131
Apr 291 258 251 244 242 240 234 202 199 198 182 176 165 165 162 125 122 164
May Jun 381 295 271 290 257 276 266 234 255 225 255 225 254 220 254 205 247 185 247 185 246 182 242 180 240 168 238 166 232 149 203 127 180 74 236 140
Jul 189 185 181 175 172 165 143 126 126 116 112 108 99 95 87 65 52 92
Aug Sep 147 41 103 40 99 38 98 37 94 37 89 36 81 35 78 34 71 34 66 34 65 33 59 30 58 28 56 25 55 23 49 20 44 11 56 24
Oct 77 76 70 66 59 55 55 50 49 49 48 41 39 31 28 23 23 30
Nov Dec 191 136 162 135 118 125 118 122 114 120 110 119 89 118 88 99 85 95 75 92 69 91 58 85 48 85 47 78 46 75 40 74 29 35 47 77
Periode (Tahun) 18.00 9.00 6.00 4.50 3.60 3.00 2.57 2.25 2.00 1.80 1.64 1.50 1.38 1.29 1.20 1.13 1.06
Peluang (%) 6 11 17 22 28 33 39 44 50 56 61 67 72 78 83 89 94
Debit Minimum (Qmin) Sungai Konaweha Periode 2011-2015 sampai 2046-2050
Hutan (%) 2 43.2 39.1 35.4 32.0 29.0 26.2 23.7 21.5
Perkebunan (%) 3 43.1 45.0 46.6 47.9 49.1 50.2 51.2 52.1
Kebun Campuran (%) 4 5.3 5.7 6.0 6.3 6.6 6.8 7.1 7.3
Semak Belukar (%) 5 3.6 3.9 4.2 4.5 4.7 4.9 5.1 5.3
y = 71.26e^-0.02x y = 10.2Ln(x) + 10.3 y = 1.67x^0.36 y = 0.88x^0.44
Kolom 6: Qmin (m3/detik) = 13 + 0.7 H (%) + 0.6 K (%) - 3.4 Kc (%) - 3.7 Sb (%)
Qmin (m3/detik) 6 37.6 33.5 29.7 26.2 23.0 20.0 17.3 14.7
180
Lampiran 15a. Contoh Hasil Tabulasi Kebutuhan Air Penduduk Kelas Sosial Tinggi di Kota Kendari
181
Lampiran 15b. Jumlah Penduduk menurut Kelas Sosial di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 Tahun
Jumlah Penduduk (jiwa)
Tahun 2000 Tahun 2001 Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009
419739 433514 440225 451107 456880 464635 468339 473112 481956 487672
Jumlah Penduduk tiap Kelas Sosial (jiwa) Rendah Sedang 162859 159081 168203 164302 170807 166845 175030 170970 177269 173158 180278 176097 181716 177500 183567 179309 186999 182661 189217 184828
Tinggi 97799 101009 102572 105108 106453 108260 109123 110235 112296 113628
Keterangan: Kelas sosial rendah, pendapatan < Rp. 1.000.000 per bulan (proporsi 38,8 % dari total) Kelas sosial sedang, pendapatan Rp. 1.000.000 - Rp. 3.000.000 per bulan (proporsi 37,9 % dari total) Kelas sosial tinggi, pendapatan > Rp. 3.000.000 per bulan (proporsi 23,3 % dari total)
Lampiran 15c. Kebutuhan Air Domestik DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3) Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
Jumlah Penduduk (Jiwa) 495760 501849 508013 514253 520569 526963 533436 539988 546620 553334 560130 567010 573975 581024 588161 595385 602698 610100 617594 625180 632858 640632 648500 656465 664528 672690 680953 689317 697783 706354 715030 723812 732702 741702 750812 760033 769369 778818 788384 798068 807870
Rendah (Jiwa) 192355 194718 197109 199530 201981 204462 206973 209515 212089 214694 217331 220000 222702 225437 228206 231009 233847 236719 239626 242570 245549 248565 251618 254709 257837 261004 264210 267455 270740 274065 277431 280839 284288 287780 291315 294893 298515 302182 305893 309650 313453
Kelas Sosial Sedang (Jiwa) 187893 190201 192537 194902 197296 199719 202172 204655 207169 209714 212289 214897 217536 220208 222913 225651 228422 231228 234068 236943 239853 242799 245782 248800 251856 254950 258081 261251 264460 267708 270996 274325 277694 281105 284558 288053 291591 295172 298798 302468 306183
Tinggi (Jiwa) 115512 116931 118367 119821 121293 122782 124291 125817 127363 128927 130510 132113 133736 135379 137041 138725 140429 142153 143899 145667 147456 149267 151101 152956 154835 156737 158662 160611 162583 164580 166602 168648 170720 172816 174939 177088 179263 181465 183694 185950 188234
Kebutuhan Air Kelas Sosial (juta m3) Rendah Sedang Tinggi 3.71 4.83 3.80 3.75 4.89 3.85 3.80 4.95 3.90 3.85 5.01 3.94 3.89 5.07 3.99 3.94 5.13 4.04 3.99 5.20 4.09 4.04 5.26 4.14 4.09 5.32 4.19 4.14 5.39 4.24 4.19 5.45 4.30 4.24 5.52 4.35 4.29 5.59 4.40 4.34 5.66 4.46 4.40 5.73 4.51 4.45 5.80 4.57 4.51 5.87 4.62 4.56 5.94 4.68 4.62 6.01 4.74 4.67 6.09 4.80 4.73 6.16 4.85 4.79 6.24 4.91 4.85 6.32 4.97 4.91 6.39 5.04 4.97 6.47 5.10 5.03 6.55 5.16 5.09 6.63 5.22 5.15 6.71 5.29 5.22 6.80 5.35 5.28 6.88 5.42 5.35 6.96 5.49 5.41 7.05 5.55 5.48 7.14 5.62 5.55 7.22 5.69 5.61 7.31 5.76 5.68 7.40 5.83 5.75 7.49 5.90 5.82 7.58 5.97 5.90 7.68 6.05 5.97 7.77 6.12 6.04 7.87 6.20
Total (juta m3) 12.34 12.49 12.65 12.80 12.96 13.11 13.28 13.44 13.60 13.77 13.94 14.11 14.28 14.46 14.64 14.82 15.00 15.18 15.37 15.56 15.75 15.94 16.14 16.34 16.54 16.74 16.95 17.16 17.37 17.58 17.80 18.01 18.24 18.46 18.69 18.92 19.15 19.38 19.62 19.86 20.11
182
Lampiran 15d. Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Domestik DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3) Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
Jan 1.03 1.04 1.05 1.07 1.08 1.09 1.11 1.12 1.13 1.15 1.16 1.18 1.19 1.21 1.22 1.23 1.25 1.27 1.28 1.30 1.31 1.33 1.34 1.36 1.38 1.40 1.41 1.43 1.45 1.46 1.48 1.50 1.52 1.54 1.56 1.58 1.60 1.62 1.64 1.66 1.68
Feb 1.03 1.04 1.05 1.07 1.08 1.09 1.11 1.12 1.13 1.15 1.16 1.18 1.19 1.21 1.22 1.23 1.25 1.27 1.28 1.30 1.31 1.33 1.34 1.36 1.38 1.40 1.41 1.43 1.45 1.46 1.48 1.50 1.52 1.54 1.56 1.58 1.60 1.62 1.64 1.66 1.68
Mar 1.03 1.04 1.05 1.07 1.08 1.09 1.11 1.12 1.13 1.15 1.16 1.18 1.19 1.21 1.22 1.23 1.25 1.27 1.28 1.30 1.31 1.33 1.34 1.36 1.38 1.40 1.41 1.43 1.45 1.46 1.48 1.50 1.52 1.54 1.56 1.58 1.60 1.62 1.64 1.66 1.68
Apr 1.03 1.04 1.05 1.07 1.08 1.09 1.11 1.12 1.13 1.15 1.16 1.18 1.19 1.21 1.22 1.23 1.25 1.27 1.28 1.30 1.31 1.33 1.34 1.36 1.38 1.40 1.41 1.43 1.45 1.46 1.48 1.50 1.52 1.54 1.56 1.58 1.60 1.62 1.64 1.66 1.68
May 1.03 1.04 1.05 1.07 1.08 1.09 1.11 1.12 1.13 1.15 1.16 1.18 1.19 1.21 1.22 1.23 1.25 1.27 1.28 1.30 1.31 1.33 1.34 1.36 1.38 1.40 1.41 1.43 1.45 1.46 1.48 1.50 1.52 1.54 1.56 1.58 1.60 1.62 1.64 1.66 1.68
Jun 1.03 1.04 1.05 1.07 1.08 1.09 1.11 1.12 1.13 1.15 1.16 1.18 1.19 1.21 1.22 1.23 1.25 1.27 1.28 1.30 1.31 1.33 1.34 1.36 1.38 1.40 1.41 1.43 1.45 1.46 1.48 1.50 1.52 1.54 1.56 1.58 1.60 1.62 1.64 1.66 1.68
Jul 1.03 1.04 1.05 1.07 1.08 1.09 1.11 1.12 1.13 1.15 1.16 1.18 1.19 1.21 1.22 1.23 1.25 1.27 1.28 1.30 1.31 1.33 1.34 1.36 1.38 1.40 1.41 1.43 1.45 1.46 1.48 1.50 1.52 1.54 1.56 1.58 1.60 1.62 1.64 1.66 1.68
Aug 1.03 1.04 1.05 1.07 1.08 1.09 1.11 1.12 1.13 1.15 1.16 1.18 1.19 1.21 1.22 1.23 1.25 1.27 1.28 1.30 1.31 1.33 1.34 1.36 1.38 1.40 1.41 1.43 1.45 1.46 1.48 1.50 1.52 1.54 1.56 1.58 1.60 1.62 1.64 1.66 1.68
Sep 1.03 1.04 1.05 1.07 1.08 1.09 1.11 1.12 1.13 1.15 1.16 1.18 1.19 1.21 1.22 1.23 1.25 1.27 1.28 1.30 1.31 1.33 1.34 1.36 1.38 1.40 1.41 1.43 1.45 1.46 1.48 1.50 1.52 1.54 1.56 1.58 1.60 1.62 1.64 1.66 1.68
Oct 1.03 1.04 1.05 1.07 1.08 1.09 1.11 1.12 1.13 1.15 1.16 1.18 1.19 1.21 1.22 1.23 1.25 1.27 1.28 1.30 1.31 1.33 1.34 1.36 1.38 1.40 1.41 1.43 1.45 1.46 1.48 1.50 1.52 1.54 1.56 1.58 1.60 1.62 1.64 1.66 1.68
Nov 1.03 1.04 1.05 1.07 1.08 1.09 1.11 1.12 1.13 1.15 1.16 1.18 1.19 1.21 1.22 1.23 1.25 1.27 1.28 1.30 1.31 1.33 1.34 1.36 1.38 1.40 1.41 1.43 1.45 1.46 1.48 1.50 1.52 1.54 1.56 1.58 1.60 1.62 1.64 1.66 1.68
Dec 1.03 1.04 1.05 1.07 1.08 1.09 1.11 1.12 1.13 1.15 1.16 1.18 1.19 1.21 1.22 1.23 1.25 1.27 1.28 1.30 1.31 1.33 1.34 1.36 1.38 1.40 1.41 1.43 1.45 1.46 1.48 1.50 1.52 1.54 1.56 1.58 1.60 1.62 1.64 1.66 1.68
Total 12.34 12.49 12.65 12.80 12.96 13.11 13.28 13.44 13.60 13.77 13.94 14.11 14.28 14.46 14.64 14.82 15.00 15.18 15.37 15.56 15.75 15.94 16.14 16.34 16.54 16.74 16.95 17.16 17.37 17.58 17.80 18.01 18.24 18.46 18.69 18.92 19.15 19.38 19.62 19.86 20.11
183
Lampiran 16a. Jumlah Industri Kecil dan Industri Sedang/Besar di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 Tahun Industri Kecil (unit) Industri Sedang/Besar (unit) Tahun 2000 2955 2 Tahun 2001 2999 3 Tahun 2002 3016 4 Tahun 2003 3022 4 Tahun 2004 3063 5 Tahun 2005 3096 6 Tahun 2006 3106 6 Tahun 2007 3119 7 Tahun 2008 3161 8 Tahun 2009 3167 8 Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tenggara (2010)
Lampiran 16b.Hasil Tabulasi Kebutuhan Air Industri Sedang/Besar di DAS Konaweha No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Jenis Industri PT. Pelabuhan Samudra PT. Perken Pabrik Es Tempat Pendaratan Ikan Pengolahan Rotan Restoran Fajar Pusat Pencucian Mobil Pencucian Mobil Hotel Plaza Inn Hotel Ataya Industri Pengolahan Ikan Restoran Pier 29 Restoran Unaaha Pencucian Mobil Unaaha Usaha Pencucian Mobil Frizt Mobil Pusat Jajanan Makanan Hotel Qubra Kendari Pusat Pengolahan Rotan Hotel Horison
Lokasi Kendari Kendari Kendari Kendari Konawe Selatan Kendari Kendari Kendari Kendari Kendari Kendari Kendari Konawe Konawe Kendari Kendari Kendari Kendari Konawe Kendari
Pemakaian Air Rata-rata (m3/hari) Bahan Baku 200 100.00 210 80.00 200 200.00 60 16.00 95 20 5.00 180 175 110 2.00 120 3.00 35 5.00 30 4.00 25 3.00 120 90 120 120 20.00 60 10.00 50 90 15.00
Kebutuhan Air (m3/hari) Prosesing Mandi/cuci Minum dan masak Kehilangan 85.00 60.00 1.50 20.00 60.00 50.00 0.90 16.00 25.00 0.80 25.00 60.00 0.40 15.00 90.00 25.00 0.60 15.00 35.00 10.00 5.00 240.00 1.00 40.00 180.00 0.70 25.00 120.00 6.00 12.00 150.00 8.00 15.00 40.00 15.00 0.50 4.50 30.00 8.00 3.00 35.00 10.00 5.00 90.00 0.60 18.00 150.00 0.60 25.00 120.00 0.80 15.00 120.00 20.00 20.00 60.00 4.00 8.00 60.00 25.00 0.80 14.00 120.00 5.00 15.00
Total 266.50 206.90 250.80 91.40 130.60 55.00 281.00 205.70 140.00 176.00 65.00 45.00 53.00 108.60 175.60 135.80 180.00 82.00 99.80 155.00
184
Lampiran 16c. Kebutuhan Air Industri DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3) Tahun
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
Industri Kecil Industri Sedang (Unit) dan Besar (Unit) 3194 3217 3239 3262 3285 3308 3331 3354 3378 3401 3425 3449 3473 3497 3522 3547 3571 3596 3622 3647 3672 3698 3724 3750 3776 3803 3829 3856 3883 3910 3938 3965 3993 4021 4049 4078 4106 4135 4164 4193 4222
9 9 10 11 12 13 14 15 16 18 19 21 23 24 26 29 31 34 36 39 43 46 50 54 59 64 69 75 81 87 95 103 111 120 130 141 153 166 179 194 210
Kebutuhan Air Industri Kecil (m3/Tahun) 14340379 14440762 14541847 14643640 14746145 14849368 14953314 15057987 15163393 15269537 15386423 15484058 15592447 15701594 15811505 15922186 16033641 16145876 16258898 16372710 16487319 16602730 16718949 16835982 16953834 17072511 17192018 17312362 17433549 17555584 17678473 17802222 17926838 18052325 18178692 18305943 18434084 18563123 18693065 18823916 18955683
Kebutuhan Air Industri Sedang/Besar (m3/Tahun) 461705 500026 541528 586475 635152 687870 744963 806795 873759 946281 1024823 1109883 1202003 1301770 1409816 1526831 1653558 1790803 1939440 2100414 2274748 2463552 2668027 2889473 3129299 3389031 3670321 3974958 4304879 4662184 5049145 5468224 5922087 6413620 6945951 7522464 8146829 8823016 9555326 10348418 11207337
Total (m3/Tahun)
Total (Juta m3/Tahun)
14802083 14940788 15083375 15230115 15381298 15537238 15698277 15864782 16037152 16215818 16401246 16593941 16794450 17003363 17221322 17449017 17687199 17936680 18198338 18473124 18762067 19066282 19386976 19725455 20083133 20461542 20862339 21287320 21738428 22217768 22727618 23270446 23848924 24465946 25124642 25828407 26580913 27386139 28248391 29172334 30163020
14.80 14.94 15.08 15.23 15.38 15.54 15.70 15.86 16.04 16.22 16.40 16.59 16.79 17.00 17.22 17.45 17.69 17.94 18.20 18.47 18.76 19.07 19.39 19.73 20.08 20.46 20.86 21.29 21.74 22.22 22.73 23.27 23.85 24.47 25.12 25.83 26.58 27.39 28.25 29.17 30.16
185
Lampiran 16d. Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Industri DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3) Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
Jan 1.23 1.25 1.26 1.27 1.28 1.29 1.31 1.32 1.34 1.35 1.37 1.38 1.40 1.42 1.44 1.45 1.47 1.49 1.52 1.54 1.56 1.59 1.62 1.64 1.67 1.71 1.74 1.77 1.81 1.85 1.89 1.94 1.99 2.04 2.09 2.15 2.22 2.28 2.35 2.43 2.51
Feb 1.23 1.25 1.26 1.27 1.28 1.29 1.31 1.32 1.34 1.35 1.37 1.38 1.40 1.42 1.44 1.45 1.47 1.49 1.52 1.54 1.56 1.59 1.62 1.64 1.67 1.71 1.74 1.77 1.81 1.85 1.89 1.94 1.99 2.04 2.09 2.15 2.22 2.28 2.35 2.43 2.51
Mar 1.23 1.25 1.26 1.27 1.28 1.29 1.31 1.32 1.34 1.35 1.37 1.38 1.40 1.42 1.44 1.45 1.47 1.49 1.52 1.54 1.56 1.59 1.62 1.64 1.67 1.71 1.74 1.77 1.81 1.85 1.89 1.94 1.99 2.04 2.09 2.15 2.22 2.28 2.35 2.43 2.51
Apr 1.23 1.25 1.26 1.27 1.28 1.29 1.31 1.32 1.34 1.35 1.37 1.38 1.40 1.42 1.44 1.45 1.47 1.49 1.52 1.54 1.56 1.59 1.62 1.64 1.67 1.71 1.74 1.77 1.81 1.85 1.89 1.94 1.99 2.04 2.09 2.15 2.22 2.28 2.35 2.43 2.51
May 1.23 1.25 1.26 1.27 1.28 1.29 1.31 1.32 1.34 1.35 1.37 1.38 1.40 1.42 1.44 1.45 1.47 1.49 1.52 1.54 1.56 1.59 1.62 1.64 1.67 1.71 1.74 1.77 1.81 1.85 1.89 1.94 1.99 2.04 2.09 2.15 2.22 2.28 2.35 2.43 2.51
Jun 1.23 1.25 1.26 1.27 1.28 1.29 1.31 1.32 1.34 1.35 1.37 1.38 1.40 1.42 1.44 1.45 1.47 1.49 1.52 1.54 1.56 1.59 1.62 1.64 1.67 1.71 1.74 1.77 1.81 1.85 1.89 1.94 1.99 2.04 2.09 2.15 2.22 2.28 2.35 2.43 2.51
Jul 1.23 1.25 1.26 1.27 1.28 1.29 1.31 1.32 1.34 1.35 1.37 1.38 1.40 1.42 1.44 1.45 1.47 1.49 1.52 1.54 1.56 1.59 1.62 1.64 1.67 1.71 1.74 1.77 1.81 1.85 1.89 1.94 1.99 2.04 2.09 2.15 2.22 2.28 2.35 2.43 2.51
Aug 1.23 1.25 1.26 1.27 1.28 1.29 1.31 1.32 1.34 1.35 1.37 1.38 1.40 1.42 1.44 1.45 1.47 1.49 1.52 1.54 1.56 1.59 1.62 1.64 1.67 1.71 1.74 1.77 1.81 1.85 1.89 1.94 1.99 2.04 2.09 2.15 2.22 2.28 2.35 2.43 2.51
Sep 1.23 1.25 1.26 1.27 1.28 1.29 1.31 1.32 1.34 1.35 1.37 1.38 1.40 1.42 1.44 1.45 1.47 1.49 1.52 1.54 1.56 1.59 1.62 1.64 1.67 1.71 1.74 1.77 1.81 1.85 1.89 1.94 1.99 2.04 2.09 2.15 2.22 2.28 2.35 2.43 2.51
Oct 1.23 1.25 1.26 1.27 1.28 1.29 1.31 1.32 1.34 1.35 1.37 1.38 1.40 1.42 1.44 1.45 1.47 1.49 1.52 1.54 1.56 1.59 1.62 1.64 1.67 1.71 1.74 1.77 1.81 1.85 1.89 1.94 1.99 2.04 2.09 2.15 2.22 2.28 2.35 2.43 2.51
Nov 1.23 1.25 1.26 1.27 1.28 1.29 1.31 1.32 1.34 1.35 1.37 1.38 1.40 1.42 1.44 1.45 1.47 1.49 1.52 1.54 1.56 1.59 1.62 1.64 1.67 1.71 1.74 1.77 1.81 1.85 1.89 1.94 1.99 2.04 2.09 2.15 2.22 2.28 2.35 2.43 2.51
Dec 1.23 1.25 1.26 1.27 1.28 1.29 1.31 1.32 1.34 1.35 1.37 1.38 1.40 1.42 1.44 1.45 1.47 1.49 1.52 1.54 1.56 1.59 1.62 1.64 1.67 1.71 1.74 1.77 1.81 1.85 1.89 1.94 1.99 2.04 2.09 2.15 2.22 2.28 2.35 2.43 2.51
Total 14.80 14.94 15.08 15.23 15.38 15.54 15.70 15.86 16.04 16.22 16.40 16.59 16.79 17.00 17.22 17.45 17.69 17.94 18.20 18.47 18.76 19.07 19.39 19.73 20.08 20.46 20.86 21.29 21.74 22.22 22.73 23.27 23.85 24.47 25.12 25.83 26.58 27.39 28.25 29.17 30.16
186
Lampiran 17a. Tabulasi Hasil Perhitungan Penggunaan dan Kebutuhan Air Irigasi Rata-rata di Kabupaten Kolaka (m3/hektar/tahun) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Lokasi Mowewe Mowewe Mowewe Mowewe Mowewe Mowewe Mowewe Mowewe Mowewe Mowewe Ladongi Ladongi Ladongi Ladongi Ladongi Ladongi Ladongi Ladongi Ladongi Ladongi
Luas (Ha) Pengolahan 3.00 0.25 2.50 0.40 3.00 0.25 2.00 0.25 1.50 0.25 1.50 0.50 0.75 0.25 0.75 0.50 1.50 0.50 2.00 0.50 3.00 0.25 0.75 0.30 0.75 0.30 2.00 0.40 2.00 0.40 3.00 0.50 3.00 0.25 1.50 0.25 0.75 0.40 2.00 0.25
Tinggi Genangan (cm) Bibit Vegetatif Generatif 3.00 7.50 12.00 3.00 7.50 12.00 2.00 5.00 10.00 2.00 5.00 10.00 3.00 5.00 12.00 3.00 7.50 10.00 2.00 8.00 12.00 2.00 7.50 10.00 2.00 7.50 12.00 3.00 7.50 10.00 3.00 7.50 12.00 3.00 7.50 10.00 2.00 7.50 10.00 2.00 7.50 12.00 3.00 8.00 10.00 3.00 7.50 10.00 3.00 7.50 12.00 2.00 7.50 12.00 3.00 7.50 12.00 2.00 7.50 12.00
Frekuensi Rata-rata Genangan 5.69 10 5.73 10 4.31 10 4.31 10 5.06 10 5.25 10 5.56 10 5.00 10 5.50 10 5.25 10 5.69 10 5.20 10 4.95 10 5.48 10 5.35 10 5.25 10 5.69 10 5.44 10 5.73 10 5.44 10
Kehilangan (m3/ha/tahun) 1,706 1,718 1,294 1,294 1,519 1,575 1,669 1,500 1,650 1,575 1,706 1,560 1,485 1,643 1,605 1,575 1,706 1,631 1,718 1,631
Frekuensi Penggunaan Air Tanam (m3/ha/tahun) 2 11,375 2 11,450 2 8,625 2 8,625 2 10,125 2 10,500 2 11,125 2 10,000 2 11,000 2 10,500 2 11,375 2 10,400 2 9,900 2 10,950 2 10,700 2 10,500 2 11,375 2 10,875 2 11,450 2 10,875
Rata-rata Kolaka Keterangan: (*) = Kehilangan air irigasi rata-rata sebelum masuk pematang sawah adalah= 15 % (Sub Dinas PU Pengairan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010) (**) = Kebutuhan air untuk sawah adalah 1.2 liter/detik/hektar. Kebutuhan standar per musim tanam = (1.2 x 60 x 60 x 24 x 180 hari)/1000 = 18662 m3/ha/tahun Pengolahan tanah = 5 hari Pembibitan = 15 hari Vegetatif = 25 hari Generatif = 45 hari Panen = 10 hari Jumlah hari untuk setahun (2 kali tanam) = 180 hari
Kebutuhan Air Standar (**) Koefisien (m3/ha/tahun) (m3/ha/tahun) 13,081 18,662 0.70 13,168 18,662 0.71 9,919 18,662 0.53 9,919 18,662 0.53 11,644 18,662 0.62 12,075 18,662 0.65 12,794 18,662 0.69 11,500 18,662 0.62 12,650 18,662 0.68 12,075 18,662 0.65 13,081 18,662 0.70 11,960 18,662 0.64 11,385 18,662 0.61 12,593 18,662 0.67 12,305 18,662 0.66 12,075 18,662 0.65 13,081 18,662 0.70 12,506 18,662 0.67 13,168 18,662 0.71 12,506 18,662 0.67 243,484 13.05 12,174 Koefisien 0.65
187
Lampiran 17b. Luas Sawah di DAS Konaweha Tahun 2000-2009 Tahun Luas Sawah (ha) Tahun 2000 21750 Tahun 2001 22473 Tahun 2002 22520 Tahun 2003 23063 Tahun 2004 23150 Tahun 2005 23855 Tahun 2006 23980 Tahun 2007 24250 Tahun 2008 24330 Tahun 2009 24850 Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Tenggara (2010)
Lampiran 17c. Proyeksi Kebutuhan Air Irigasi DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3) Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
Luas (ha) 25146 25453 25763 26078 26396 26718 27044 27374 27708 28046 28388 28734 29085 29440 29799 30162 30530 30903 31280 31661 32048 32439 32834 33235 33640 34051 34466 34887 35312 35743 36179 36621 37067 37520 37977 38441 38910 39384 39865 40351 40844
Kebutuhan Air (Juta m3/Tahun) 297.05 300.68 304.34 308.06 311.82 315.62 319.47 323.37 327.31 331.31 335.35 339.44 343.58 347.77 352.01 356.31 360.66 365.06 369.51 374.02 378.58 383.20 387.87 392.61 397.40 402.24 407.15 412.12 417.15 422.24 427.39 432.60 437.88 443.22 448.63 454.10 459.64 465.25 470.93 476.67 482.49
188
Lampiran 17d. Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Irigasi DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3) Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
Jan 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Feb 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Mar 37.13 37.58 38.04 38.51 38.98 39.45 39.93 40.42 40.91 41.41 41.92 42.43 42.95 43.47 44.00 44.54 45.08 45.63 46.19 46.75 47.32 47.90 48.48 49.08 49.67 50.28 50.89 51.51 52.14 52.78 53.42 54.08 54.73 55.40 56.08 56.76 57.46 58.16 58.87 59.58 60.31
Apr 37.13 37.58 38.04 38.51 38.98 39.45 39.93 40.42 40.91 41.41 41.92 42.43 42.95 43.47 44.00 44.54 45.08 45.63 46.19 46.75 47.32 47.90 48.48 49.08 49.67 50.28 50.89 51.51 52.14 52.78 53.42 54.08 54.73 55.40 56.08 56.76 57.46 58.16 58.87 59.58 60.31
May 37.13 37.58 38.04 38.51 38.98 39.45 39.93 40.42 40.91 41.41 41.92 42.43 42.95 43.47 44.00 44.54 45.08 45.63 46.19 46.75 47.32 47.90 48.48 49.08 49.67 50.28 50.89 51.51 52.14 52.78 53.42 54.08 54.73 55.40 56.08 56.76 57.46 58.16 58.87 59.58 60.31
Jun 37.13 37.58 38.04 38.51 38.98 39.45 39.93 40.42 40.91 41.41 41.92 42.43 42.95 43.47 44.00 44.54 45.08 45.63 46.19 46.75 47.32 47.90 48.48 49.08 49.67 50.28 50.89 51.51 52.14 52.78 53.42 54.08 54.73 55.40 56.08 56.76 57.46 58.16 58.87 59.58 60.31
Jul 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Aug 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sep 37.13 37.58 38.04 38.51 38.98 39.45 39.93 40.42 40.91 41.41 41.92 42.43 42.95 43.47 44.00 44.54 45.08 45.63 46.19 46.75 47.32 47.90 48.48 49.08 49.67 50.28 50.89 51.51 52.14 52.78 53.42 54.08 54.73 55.40 56.08 56.76 57.46 58.16 58.87 59.58 60.31
Oct 37.13 37.58 38.04 38.51 38.98 39.45 39.93 40.42 40.91 41.41 41.92 42.43 42.95 43.47 44.00 44.54 45.08 45.63 46.19 46.75 47.32 47.90 48.48 49.08 49.67 50.28 50.89 51.51 52.14 52.78 53.42 54.08 54.73 55.40 56.08 56.76 57.46 58.16 58.87 59.58 60.31
Nov 37.13 37.58 38.04 38.51 38.98 39.45 39.93 40.42 40.91 41.41 41.92 42.43 42.95 43.47 44.00 44.54 45.08 45.63 46.19 46.75 47.32 47.90 48.48 49.08 49.67 50.28 50.89 51.51 52.14 52.78 53.42 54.08 54.73 55.40 56.08 56.76 57.46 58.16 58.87 59.58 60.31
Dec 37.13 37.58 38.04 38.51 38.98 39.45 39.93 40.42 40.91 41.41 41.92 42.43 42.95 43.47 44.00 44.54 45.08 45.63 46.19 46.75 47.32 47.90 48.48 49.08 49.67 50.28 50.89 51.51 52.14 52.78 53.42 54.08 54.73 55.40 56.08 56.76 57.46 58.16 58.87 59.58 60.31
Total 297.05 300.68 304.34 308.06 311.82 315.62 319.47 323.37 327.31 331.31 335.35 339.44 343.58 347.77 352.01 356.31 360.66 365.06 369.51 374.02 378.58 383.20 387.87 392.61 397.40 402.24 407.15 412.12 417.15 422.24 427.39 432.60 437.88 443.22 448.63 454.10 459.64 465.25 470.93 476.67 482.49
189
Lampiran 18a. Proyeksi Kebutuhan Air Menggelontor di Sungai Konaweha Tahun 2010-2050 Tahun Kebutuhan Fungsi Ekonomi dan Ekologi (juta m3) Kebutuhan lain (juta m3) * 2010 246 8.68 2011 246 8.78 2012 246 8.87 2013 246 8.97 2014 246 9.07 2015 246 9.17 2016 246 9.27 2017 246 9.38 2018 246 9.49 2019 246 9.60 2020 246 9.71 2021 246 9.83 2022 246 9.95 2023 246 10.07 2024 246 10.19 2025 246 10.33 2026 246 10.46 2027 246 10.60 2028 246 10.74 2029 246 10.89 2030 246 11.04 2031 246 11.20 2032 246 11.37 2033 246 11.54 2034 246 11.72 2035 246 11.90 2036 246 12.10 2037 246 12.30 2038 246 12.51 2039 246 12.74 2040 246 12.97 2041 246 13.21 2042 246 13.47 2043 246 13.74 2044 246 14.02 2045 246 14.32 2046 246 14.63 2047 246 14.97 2048 246 15.32 2049 246 15.69 2050 246 16.09 Keterangan : (*) : dihitung dari persamaan 20; (**) : dihitung dari persamaan 21
Total (juta m3) (**) 254.68 254.78 254.87 254.97 255.07 255.17 255.27 255.38 255.49 255.60 255.71 255.83 255.95 256.07 256.19 256.33 256.46 256.60 256.74 256.89 257.04 257.20 257.37 257.54 257.72 257.90 258.10 258.30 258.51 258.74 258.97 259.21 259.47 259.74 260.02 260.32 260.63 260.97 261.32 261.69 262.09
190
Lampiran 18b. Distribusi Bulanan Kebutuhan Air yang Menggelontor di Sungai Tahun 2010-2050 di DAS Konaweha Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
Jan 21.22 21.23 21.24 21.25 21.26 21.26 21.27 21.28 21.29 21.30 21.31 21.32 21.33 21.34 21.35 21.36 21.37 21.38 21.40 21.41 21.42 21.43 21.45 21.46 21.48 21.49 21.51 21.53 21.54 21.56 21.58 21.60 21.62 21.64 21.67 21.69 21.72 21.75 21.78 21.81 21.84
Feb 21.22 21.23 21.24 21.25 21.26 21.26 21.27 21.28 21.29 21.30 21.31 21.32 21.33 21.34 21.35 21.36 21.37 21.38 21.40 21.41 21.42 21.43 21.45 21.46 21.48 21.49 21.51 21.53 21.54 21.56 21.58 21.60 21.62 21.64 21.67 21.69 21.72 21.75 21.78 21.81 21.84
Mar 21.22 21.23 21.24 21.25 21.26 21.26 21.27 21.28 21.29 21.30 21.31 21.32 21.33 21.34 21.35 21.36 21.37 21.38 21.40 21.41 21.42 21.43 21.45 21.46 21.48 21.49 21.51 21.53 21.54 21.56 21.58 21.60 21.62 21.64 21.67 21.69 21.72 21.75 21.78 21.81 21.84
Apr 21.22 21.23 21.24 21.25 21.26 21.26 21.27 21.28 21.29 21.30 21.31 21.32 21.33 21.34 21.35 21.36 21.37 21.38 21.40 21.41 21.42 21.43 21.45 21.46 21.48 21.49 21.51 21.53 21.54 21.56 21.58 21.60 21.62 21.64 21.67 21.69 21.72 21.75 21.78 21.81 21.84
May 21.22 21.23 21.24 21.25 21.26 21.26 21.27 21.28 21.29 21.30 21.31 21.32 21.33 21.34 21.35 21.36 21.37 21.38 21.40 21.41 21.42 21.43 21.45 21.46 21.48 21.49 21.51 21.53 21.54 21.56 21.58 21.60 21.62 21.64 21.67 21.69 21.72 21.75 21.78 21.81 21.84
Jun 21.22 21.23 21.24 21.25 21.26 21.26 21.27 21.28 21.29 21.30 21.31 21.32 21.33 21.34 21.35 21.36 21.37 21.38 21.40 21.41 21.42 21.43 21.45 21.46 21.48 21.49 21.51 21.53 21.54 21.56 21.58 21.60 21.62 21.64 21.67 21.69 21.72 21.75 21.78 21.81 21.84
Jul 21.22 21.23 21.24 21.25 21.26 21.26 21.27 21.28 21.29 21.30 21.31 21.32 21.33 21.34 21.35 21.36 21.37 21.38 21.40 21.41 21.42 21.43 21.45 21.46 21.48 21.49 21.51 21.53 21.54 21.56 21.58 21.60 21.62 21.64 21.67 21.69 21.72 21.75 21.78 21.81 21.84
Aug 21.22 21.23 21.24 21.25 21.26 21.26 21.27 21.28 21.29 21.30 21.31 21.32 21.33 21.34 21.35 21.36 21.37 21.38 21.40 21.41 21.42 21.43 21.45 21.46 21.48 21.49 21.51 21.53 21.54 21.56 21.58 21.60 21.62 21.64 21.67 21.69 21.72 21.75 21.78 21.81 21.84
Sep 21.22 21.23 21.24 21.25 21.26 21.26 21.27 21.28 21.29 21.30 21.31 21.32 21.33 21.34 21.35 21.36 21.37 21.38 21.40 21.41 21.42 21.43 21.45 21.46 21.48 21.49 21.51 21.53 21.54 21.56 21.58 21.60 21.62 21.64 21.67 21.69 21.72 21.75 21.78 21.81 21.84
Oct 21.22 21.23 21.24 21.25 21.26 21.26 21.27 21.28 21.29 21.30 21.31 21.32 21.33 21.34 21.35 21.36 21.37 21.38 21.40 21.41 21.42 21.43 21.45 21.46 21.48 21.49 21.51 21.53 21.54 21.56 21.58 21.60 21.62 21.64 21.67 21.69 21.72 21.75 21.78 21.81 21.84
Nov 21.22 21.23 21.24 21.25 21.26 21.26 21.27 21.28 21.29 21.30 21.31 21.32 21.33 21.34 21.35 21.36 21.37 21.38 21.40 21.41 21.42 21.43 21.45 21.46 21.48 21.49 21.51 21.53 21.54 21.56 21.58 21.60 21.62 21.64 21.67 21.69 21.72 21.75 21.78 21.81 21.84
Dec 21.22 21.23 21.24 21.25 21.26 21.26 21.27 21.28 21.29 21.30 21.31 21.32 21.33 21.34 21.35 21.36 21.37 21.38 21.40 21.41 21.42 21.43 21.45 21.46 21.48 21.49 21.51 21.53 21.54 21.56 21.58 21.60 21.62 21.64 21.67 21.69 21.72 21.75 21.78 21.81 21.84
Total 254.68 254.78 254.87 254.97 255.07 255.17 255.27 255.38 255.49 255.60 255.71 255.83 255.95 256.07 256.19 256.33 256.46 256.60 256.74 256.89 257.04 257.20 257.37 257.54 257.72 257.90 258.10 258.30 258.51 258.74 258.97 259.21 259.47 259.74 260.02 260.32 260.63 260.97 261.32 261.69 262.09
191
Lampiran 19a. Proyeksi Kebutuhan Air Total di DAS Konaweha Tahun 2010-2050 Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
Domestik 12.3 12.5 12.7 12.8 13.0 13.1 13.3 13.4 13.6 13.8 13.9 14.1 14.3 14.5 14.6 14.8 15.0 15.2 15.4 15.6 15.8 15.9 16.1 16.3 16.5 16.7 16.9 17.2 17.4 17.6 17.8 18.0 18.2 18.5 18.7 18.9 19.1 19.4 19.6 19.9 20.1
Industri 14.8 14.9 15.1 15.2 15.4 15.5 15.7 15.9 16.0 16.2 16.4 16.6 16.8 17.0 17.2 17.4 17.7 17.9 18.2 18.5 18.8 19.1 19.4 19.7 20.1 20.5 20.9 21.3 21.7 22.2 22.7 23.3 23.8 24.5 25.1 25.8 26.6 27.4 28.2 29.2 30.2
Kebutuhan Air (Juta m3) Irigasi Menggelontor 297.1 254.7 300.7 254.8 304.3 254.9 308.1 255.0 311.8 255.1 315.6 255.2 319.5 255.3 323.4 255.4 327.3 255.5 331.3 255.6 335.3 255.7 339.4 255.8 343.6 255.9 347.8 256.1 352.0 256.2 356.3 256.3 360.7 256.5 365.1 256.6 369.5 256.7 374.0 256.9 378.6 257.0 383.2 257.2 387.9 257.4 392.6 257.5 397.4 257.7 402.2 257.9 407.2 258.1 412.1 258.3 417.1 258.5 422.2 258.7 427.4 259.0 432.6 259.2 437.9 259.5 443.2 259.7 448.6 260.0 454.1 260.3 459.6 260.6 465.3 261.0 470.9 261.3 476.7 261.7 482.5 262.1
Total 578.9 582.9 587.0 591.1 595.2 599.4 603.7 608.0 612.4 616.9 621.4 626.0 630.6 635.3 640.1 644.9 649.8 654.8 659.8 664.9 670.1 675.4 680.8 686.2 691.7 697.4 703.1 708.9 714.8 720.8 726.9 733.1 739.4 745.9 752.5 759.2 766.0 773.0 780.1 787.4 794.8
192
Lampiran 19b. Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Total DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (juta m3) Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
Jan 23.49 23.52 23.55 23.58 23.62 23.65 23.69 23.72 23.76 23.80 23.84 23.88 23.92 23.96 24.00 24.05 24.10 24.14 24.19 24.24 24.30 24.35 24.41 24.47 24.53 24.59 24.66 24.73 24.80 24.88 24.96 25.04 25.13 25.22 25.32 25.42 25.53 25.64 25.77 25.89 26.03
Feb 23.49 23.52 23.55 23.58 23.62 23.65 23.69 23.72 23.76 23.80 23.84 23.88 23.92 23.96 24.00 24.05 24.10 24.14 24.19 24.24 24.30 24.35 24.41 24.47 24.53 24.59 24.66 24.73 24.80 24.88 24.96 25.04 25.13 25.22 25.32 25.42 25.53 25.64 25.77 25.89 26.03
Mar 60.62 61.10 61.59 62.09 62.59 63.10 63.62 64.14 64.67 65.21 65.76 66.31 66.87 67.43 68.01 68.59 69.18 69.78 70.38 71.00 71.62 72.25 72.89 73.54 74.20 74.87 75.55 76.24 76.93 77.62 78.33 79.04 79.77 80.52 81.27 82.04 82.82 83.62 84.43 85.25 86.09
Apr 60.62 61.10 61.59 62.09 62.59 63.10 63.62 64.14 64.67 65.21 65.76 66.31 66.87 67.43 68.01 68.59 69.18 69.78 70.38 71.00 71.62 72.25 72.89 73.54 74.20 74.87 75.55 76.24 76.94 77.66 78.38 79.12 79.86 80.62 81.40 82.18 82.99 83.80 84.63 85.48 86.34
May 60.62 61.10 61.59 62.09 62.59 63.10 63.62 64.14 64.67 65.21 65.76 66.31 66.87 67.43 68.01 68.59 69.18 69.78 70.38 71.00 71.62 72.25 72.89 73.54 74.20 74.87 75.55 76.24 76.94 77.66 78.38 79.12 79.86 80.62 81.40 82.18 82.99 83.80 84.63 85.48 86.34
Jun 60.62 61.10 61.59 62.09 62.59 63.10 63.62 64.14 64.67 65.21 65.76 66.31 66.87 67.43 68.01 68.59 69.18 69.78 70.38 71.00 71.62 72.25 72.89 73.54 74.20 74.87 75.55 76.24 76.94 77.66 78.38 79.12 79.86 80.62 81.40 82.18 82.99 83.80 84.63 85.48 86.34
Jul 23.49 23.52 23.55 23.58 23.62 23.65 23.69 23.72 23.76 23.80 23.84 23.88 23.92 23.96 24.00 24.05 24.10 24.14 24.19 24.24 24.30 24.35 24.41 24.47 24.53 24.59 24.66 24.73 24.80 24.88 24.96 25.04 25.13 25.22 25.32 25.42 25.53 25.64 25.77 25.89 26.03
Aug 23.49 23.52 23.55 23.58 23.62 23.65 23.69 23.72 23.76 23.80 23.84 23.88 23.92 23.96 24.00 24.05 24.10 24.14 24.19 24.24 24.30 24.35 24.41 24.47 24.53 24.59 24.66 24.73 24.80 24.88 24.96 25.04 25.13 25.22 25.32 25.42 25.53 25.64 25.77 25.89 26.03
Sep 60.62 61.10 61.59 62.09 62.59 63.10 63.62 64.14 64.67 65.21 65.76 66.31 66.87 67.43 68.01 68.59 69.18 69.78 70.38 71.00 71.62 72.25 72.89 73.54 74.20 74.87 75.55 76.24 76.94 77.66 78.38 79.12 79.86 80.62 81.40 82.18 82.99 83.80 84.63 85.48 86.34
Oct 60.62 61.10 61.59 62.09 62.59 63.10 63.62 64.14 64.67 65.21 65.76 66.31 66.87 67.43 68.01 68.59 69.18 69.78 70.38 71.00 71.62 72.25 72.89 73.54 74.20 74.87 75.55 76.24 76.94 77.66 78.38 79.12 79.86 80.62 81.40 82.18 82.99 83.80 84.63 85.48 86.34
Nov 60.62 61.10 61.59 62.09 62.59 63.10 63.62 64.14 64.67 65.21 65.76 66.31 66.87 67.43 68.01 68.59 69.18 69.78 70.38 71.00 71.62 72.25 72.89 73.54 74.20 74.87 75.55 76.24 76.94 77.66 78.38 79.12 79.86 80.62 81.40 82.18 82.99 83.80 84.63 85.48 86.34
Dec 60.62 61.10 61.59 62.09 62.59 63.10 63.62 64.14 64.67 65.21 65.76 66.31 66.87 67.43 68.01 68.59 69.18 69.78 70.38 71.00 71.62 72.25 72.89 73.54 74.20 74.87 75.55 76.24 76.94 77.66 78.38 79.12 79.86 80.62 81.40 82.18 82.99 83.80 84.63 85.48 86.34
Total 578.88 582.88 586.95 591.05 595.22 599.44 603.72 608.05 612.44 616.89 621.40 625.97 630.60 635.30 640.07 644.90 649.80 654.78 659.82 664.94 670.14 675.41 680.77 686.21 691.74 697.35 703.06 708.86 714.75 720.73 726.82 733.03 739.34 745.77 752.33 759.02 765.84 772.80 779.91 787.17 794.60
193
Lampiran 19c. Distribusi Bulanan Kebutuhan Air Total DAS Konaweha Tahun 2010-2050 (m3/detik) Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
Jan 8.77 8.78 8.79 8.80 8.82 8.83 8.84 8.86 8.87 8.89 8.90 8.91 8.93 8.95 8.96 8.98 9.00 9.01 9.03 9.05 9.07 9.09 9.11 9.13 9.16 9.18 9.21 9.23 9.26 9.29 9.32 9.35 9.38 9.42 9.45 9.49 9.53 9.57 9.62 9.67 9.72
Feb 9.71 9.72 9.73 9.75 9.76 9.78 9.79 9.81 9.82 9.84 9.85 9.87 9.89 9.90 9.92 9.94 9.96 9.98 10.00 10.02 10.04 10.07 10.09 10.11 10.14 10.17 10.19 10.22 10.25 10.28 10.32 10.35 10.39 10.43 10.47 10.51 10.55 10.60 10.65 10.70 10.76
Mar 22.63 22.81 23.00 23.18 23.37 23.56 23.75 23.95 24.15 24.35 24.55 24.76 24.96 25.18 25.39 25.61 25.83 26.05 26.28 26.51 26.74 26.98 27.21 27.46 27.70 27.95 28.21 28.47 28.72 28.98 29.24 29.51 29.78 30.06 30.34 30.63 30.92 31.22 31.52 31.83 32.14
Apr 23.39 23.57 23.76 23.95 24.15 24.35 24.55 24.75 24.95 25.16 25.37 25.58 25.80 26.02 26.24 26.46 26.69 26.92 27.15 27.39 27.63 27.87 28.12 28.37 28.63 28.89 29.15 29.41 29.69 29.96 30.24 30.52 30.81 31.11 31.40 31.71 32.02 32.33 32.65 32.98 33.31
May 22.63 22.81 23.00 23.18 23.37 23.56 23.75 23.95 24.15 24.35 24.55 24.76 24.96 25.18 25.39 25.61 25.83 26.05 26.28 26.51 26.74 26.98 27.21 27.46 27.70 27.95 28.21 28.47 28.73 28.99 29.26 29.54 29.82 30.10 30.39 30.68 30.98 31.29 31.60 31.91 32.24
Jun 23.39 23.57 23.76 23.95 24.15 24.35 24.55 24.75 24.95 25.16 25.37 25.58 25.80 26.02 26.24 26.46 26.69 26.92 27.15 27.39 27.63 27.87 28.12 28.37 28.63 28.89 29.15 29.41 29.69 29.96 30.24 30.52 30.81 31.11 31.40 31.71 32.02 32.33 32.65 32.98 33.31
Jul 8.77 8.78 8.79 8.80 8.82 8.83 8.84 8.86 8.87 8.89 8.90 8.91 8.93 8.95 8.96 8.98 9.00 9.01 9.03 9.05 9.07 9.09 9.11 9.13 9.16 9.18 9.21 9.23 9.26 9.29 9.32 9.35 9.38 9.42 9.45 9.49 9.53 9.57 9.62 9.67 9.72
Aug 8.77 8.78 8.79 8.80 8.82 8.83 8.84 8.86 8.87 8.89 8.90 8.91 8.93 8.95 8.96 8.98 9.00 9.01 9.03 9.05 9.07 9.09 9.11 9.13 9.16 9.18 9.21 9.23 9.26 9.29 9.32 9.35 9.38 9.42 9.45 9.49 9.53 9.57 9.62 9.67 9.72
Sep 23.39 23.57 23.76 23.95 24.15 24.35 24.55 24.75 24.95 25.16 25.37 25.58 25.80 26.02 26.24 26.46 26.69 26.92 27.15 27.39 27.63 27.87 28.12 28.37 28.63 28.89 29.15 29.41 29.69 29.96 30.24 30.52 30.81 31.11 31.40 31.71 32.02 32.33 32.65 32.98 33.31
Oct 22.63 22.81 23.00 23.18 23.37 23.56 23.75 23.95 24.15 24.35 24.55 24.76 24.96 25.18 25.39 25.61 25.83 26.05 26.28 26.51 26.74 26.98 27.21 27.46 27.70 27.95 28.21 28.47 28.73 28.99 29.26 29.54 29.82 30.10 30.39 30.68 30.98 31.29 31.60 31.91 32.24
Nov 23.39 23.57 23.76 23.95 24.15 24.35 24.55 24.75 24.95 25.16 25.37 25.58 25.80 26.02 26.24 26.46 26.69 26.92 27.15 27.39 27.63 27.87 28.12 28.37 28.63 28.89 29.15 29.41 29.69 29.96 30.24 30.52 30.81 31.11 31.40 31.71 32.02 32.33 32.65 32.98 33.31
Dec 22.63 22.81 23.00 23.18 23.37 23.56 23.75 23.95 24.15 24.35 24.55 24.76 24.96 25.18 25.39 25.61 25.83 26.05 26.28 26.51 26.74 26.98 27.21 27.46 27.70 27.95 28.21 28.47 28.73 28.99 29.26 29.54 29.82 30.10 30.39 30.68 30.98 31.29 31.60 31.91 32.24
194
Lampiran 20. Nilai Ekonomi Air Masing-masing Sektor di DAS Konaweha Tahun 2010-2050 Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
Nilai Ekonomi Air Sektor (Milyar Rupiah) Domestik Industri Irigasi 46.34 55.58 4.55 46.90 56.10 4.61 47.50 56.64 4.66 48.06 57.19 4.72 48.65 57.76 4.78 49.25 58.34 4.84 49.85 58.95 4.89 50.46 59.57 4.95 51.08 60.22 5.01 51.71 60.89 5.08 52.35 61.59 5.14 52.99 62.31 5.20 53.64 63.06 5.26 54.30 63.85 5.33 54.96 64.67 5.39 55.64 65.52 5.46 56.32 66.42 5.53 57.02 67.35 5.59 57.72 68.33 5.66 58.42 69.37 5.73 59.14 70.45 5.80 59.87 71.59 5.87 60.60 72.80 5.94 61.35 74.07 6.01 62.10 75.41 6.09 62.86 76.83 6.16 63.64 78.34 6.24 64.42 79.93 6.31 65.21 81.63 6.39 66.01 83.43 6.47 66.82 85.34 6.55 67.64 87.38 6.63 68.47 89.55 6.71 69.31 91.87 6.79 70.16 94.34 6.87 71.03 96.99 6.96 71.90 99.81 7.04 72.78 102.83 7.13 73.68 106.07 7.21 74.58 109.54 7.30 75.50 113.26 7.39
Total 106.47 107.61 108.80 109.97 111.18 112.42 113.69 114.99 116.32 117.68 119.07 120.50 121.97 123.47 125.02 126.62 128.26 129.96 131.71 133.52 135.39 137.33 139.34 141.43 143.60 145.86 148.21 150.67 153.23 155.91 158.71 161.65 164.73 167.97 171.38 174.97 178.75 182.74 186.96 191.43 196.15
195
Lampiran 21. Nilai Ekonomi Air Kabupaten/Kota di DAS Konaweha Tahun 20102050 Tahun Konawe 30.33 30.66 31.01 31.34 31.69 32.05 32.42 32.79 33.17 33.56 33.96 34.37 34.79 35.22 35.66 36.11 36.58 37.06 37.55 38.06 38.58 39.13 39.69 40.27 40.87 41.50 42.15 42.83 43.53 44.26 45.03 45.83 46.67 47.55 48.47 49.44 50.45 51.52 52.65 53.84 55.10
Konsel 14.60 14.75 14.90 15.06 15.22 15.38 15.55 15.72 15.90 16.08 16.26 16.46 16.66 16.86 17.08 17.30 17.53 17.77 18.02 18.27 18.54 18.82 19.12 19.43 19.75 20.09 20.44 20.81 21.21 21.62 22.06 22.52 23.01 23.53 24.07 24.66 25.27 25.93 26.63 27.38 28.17
Total (Milyar Rupiah) Kolaka 22.46 22.68 22.92 23.16 23.40 23.65 23.91 24.17 24.45 24.73 25.02 25.31 25.62 25.94 26.27 26.61 26.96 27.33 27.71 28.10 28.52 28.95 29.40 29.87 30.36 30.88 31.42 31.99 32.59 33.23 33.90 34.60 35.35 36.14 36.97 37.86 38.80 39.81 40.87 42.01 43.22
Total (Milyar Rupiah) Kendari 39.08 39.51 39.97 40.41 40.87 41.34 41.82 42.31 42.80 43.31 43.83 44.36 44.90 45.45 46.02 46.60 47.20 47.81 48.44 49.08 49.75 50.43 51.14 51.87 52.62 53.39 54.20 55.03 55.90 56.79 57.73 58.70 59.71 60.76 61.86 63.02 64.22 65.48 66.81 68.20 69.67
2010 106.47 2011 107.61 2012 108.80 2013 109.97 2014 111.18 2015 112.42 2016 113.69 2017 114.99 2018 116.32 2019 117.68 2020 119.07 2021 120.50 2022 121.97 2023 123.47 2024 125.02 2025 126.62 2026 128.26 2027 129.96 2028 131.71 2029 133.52 2030 135.39 2031 137.33 2032 139.34 2033 141.43 2034 143.60 2035 145.86 2036 148.21 2037 150.67 2038 153.23 2039 155.91 2040 158.71 2041 161.65 2042 164.73 2043 167.97 2044 171.38 2045 174.97 2046 178.75 2047 182.74 2048 186.96 2049 191.43 2050 196.15 Keterangan : Proporsi Penduduk : Konawe=28,7 %, Konsel=7,1 %, Kolaka=11,7 %, Kendari= 52,5 % Proporsi Industri : Industri Besar DAS Konaweha= 13,64 %, Industri Kecil DAS Konaweha = 86,36 % Industri Besar : Konawe = 9,1 %, Konsel = 9,1 %, Kolaka = 9,1 %, Kendari = 72,7 %% Industri Kecil : Konawe = 27,6 %, Konsel = 20,9 %, Kolaka = 32,4 %, Kendari = 19,1 %% Proporsi Sawah : Konawe = 68,0 %, Konsel = 13,0 %, Kolaka = 17,4 %, Kendari = 1,6 %
196
Lampiran 22. Tahun 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050
Konawe 30.33 30.66 31.01 31.34 31.69 32.05 32.42 32.79 33.17 33.56 33.96 34.37 34.79 35.22 35.66 36.11 36.58 37.06 37.55 38.06 38.58 39.13 39.69 40.27 40.87 41.50 42.15 42.83 43.53 44.26 45.03 45.83 46.67 47.55 48.47 49.44 50.45 51.52 52.65 53.84 55.10
Proporsi Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Masing-masing Kabupaten/Kota di DAS Konaweha Tahun 2010-2050 Nilai Ekonomi Air (Milyar Rupiah) Konsel Kolaka Kendari 14.60 22.46 39.08 14.75 22.68 39.51 14.90 22.92 39.97 15.06 23.16 40.41 15.22 23.40 40.87 15.38 23.65 41.34 15.55 23.91 41.82 15.72 24.17 42.31 15.90 24.45 42.80 16.08 24.73 43.31 16.26 25.02 43.83 16.46 25.31 44.36 16.66 25.62 44.90 16.86 25.94 45.45 17.08 26.27 46.02 17.30 26.61 46.60 17.53 26.96 47.20 17.77 27.33 47.81 18.02 27.71 48.44 18.27 28.10 49.08 18.54 28.52 49.75 18.82 28.95 50.43 19.12 29.40 51.14 19.43 29.87 51.87 19.75 30.36 52.62 20.09 30.88 53.39 20.44 31.42 54.20 20.81 31.99 55.03 21.21 32.59 55.90 21.62 33.23 56.79 22.06 33.90 57.73 22.52 34.60 58.70 23.01 35.35 59.71 23.53 36.14 60.76 24.07 36.97 61.86 24.66 37.86 63.02 25.27 38.80 64.22 25.93 39.81 65.48 26.63 40.87 66.81 27.38 42.01 68.20 28.17 43.22 69.67
Proporsi Nilai Ekonomi (%) Total Konawe Konsel Kolaka Kendari Total 106.47 28.49 13.72 21.09 36.71 100.00 107.61 28.49 13.71 21.08 36.72 100.00 108.80 28.50 13.70 21.07 36.74 100.00 109.97 28.50 13.69 21.06 36.75 100.00 111.18 28.51 13.69 21.05 36.76 100.00 112.42 28.51 13.68 21.04 36.77 100.00 113.69 28.51 13.67 21.03 36.78 100.00 114.99 28.52 13.67 21.02 36.79 100.00 116.32 28.52 13.67 21.02 36.80 100.00 117.68 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00 119.07 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00 120.50 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00 121.97 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00 123.47 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00 125.02 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00 126.62 28.52 13.66 21.01 36.81 100.00 128.26 28.52 13.67 21.02 36.80 100.00 129.96 28.51 13.67 21.03 36.79 100.00 131.71 28.51 13.68 21.04 36.78 100.00 133.52 28.50 13.69 21.05 36.76 100.00 135.39 28.50 13.70 21.06 36.74 100.00 137.33 28.49 13.71 21.08 36.72 100.00 139.34 28.48 13.72 21.10 36.70 100.00 141.43 28.47 13.74 21.12 36.67 100.00 143.60 28.46 13.75 21.14 36.64 100.00 145.86 28.45 13.77 21.17 36.61 100.00 148.21 28.44 13.79 21.20 36.57 100.00 150.67 28.42 13.81 21.23 36.53 100.00 153.23 28.41 13.84 21.27 36.48 100.00 155.91 28.39 13.87 21.31 36.43 100.00 158.71 28.37 13.90 21.36 36.37 100.00 161.65 28.35 13.93 21.41 36.31 100.00 164.73 28.33 13.97 21.46 36.24 100.00 167.97 28.31 14.01 21.51 36.17 100.00 171.38 28.28 14.05 21.57 36.10 100.00 174.97 28.25 14.09 21.64 36.02 100.00 178.75 28.22 14.14 21.71 35.93 100.00 182.74 28.19 14.19 21.78 35.83 100.00 186.96 28.16 14.24 21.86 35.73 100.00 191.43 28.13 14.30 21.94 35.63 100.00 196.15 28.09 14.36 22.03 35.52 100.00 1165.46 566.39 870.60 1497.56 28 14 21 37
Rata-rata Keterangan : Proporsi Penduduk : Konawe=28,7 %, Konsel=7,1 %, Kolaka=11,7 %, Kendari= 52,5 % Proporsi Industri : Industri Besar DAS Konaweha= 13,64 %, Industri Kecil DAS Konaweha = 86,36 % Industri Besar : Konawe = 9,1 %, Konsel = 9,1 %, Kolaka = 9,1 %, Kendari = 72,7 %% Industri Kecil : Konawe = 27,6 %, Konsel = 20,9 %, Kolaka = 32,4 %, Kendari = 19,1 %% Proporsi Sawah : Konawe = 68,0 %, Konsel = 13,0 %, Kolaka = 17,4 %, Kendari = 1,6 %
197
Lampiran 23. Tahun
Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS Kabupaten/Kota di DAS Konaweha Tahun 2010-2050 Biaya Pemeliharaan Fungsi DAS (Milyar Rupiah) Konawe Konsel Kolaka 3.03 1.46 2.25 3.07 1.48 2.27 3.10 1.49 2.29 3.13 1.51 2.32 3.17 1.52 2.34 3.21 1.54 2.37 3.24 1.55 2.39 3.28 1.57 2.42 3.32 1.59 2.44 3.36 1.61 2.47 3.40 1.63 2.50 3.44 1.65 2.53 3.48 1.67 2.56 3.52 1.69 2.59 3.57 1.71 2.63 3.61 1.73 2.66 3.66 1.75 2.70 3.71 1.78 2.73 3.75 1.80 2.77 3.81 1.83 2.81 3.86 1.85 2.85 3.91 1.88 2.89 3.97 1.91 2.94 4.03 1.94 2.99 4.09 1.97 3.04 4.15 2.01 3.09 4.21 2.04 3.14 4.28 2.08 3.20 4.35 2.12 3.26 4.43 2.16 3.32 4.50 2.21 3.39 4.58 2.25 3.46 4.67 2.30 3.53 4.75 2.35 3.61 4.85 2.41 3.70 4.94 2.47 3.79 5.05 2.53 3.88 5.15 2.59 3.98 5.27 2.66 4.09 5.38 2.74 4.20 5.51 2.82 4.32
Kendari 3.91 3.95 4.00 4.04 4.09 4.13 4.18 4.23 4.28 4.33 4.38 4.44 4.49 4.55 4.60 4.66 4.72 4.78 4.84 4.91 4.97 5.04 5.11 5.19 5.26 5.34 5.42 5.50 5.59 5.68 5.77 5.87 5.97 6.08 6.19 6.30 6.42 6.55 6.68 6.82 6.97
Total (Milyar Rupiah) 10.65 10.76 10.88 11.00 11.12 11.24 11.37 11.50 11.63 11.77 11.91 12.05 12.20 12.35 12.50 12.66 12.83 13.00 13.17 13.35 13.54 13.73 13.93 14.14 14.36 14.59 14.82 15.07 15.32 15.59 15.87 16.16 16.47 16.80 17.14 17.50 17.88 18.27 18.70 19.14 19.62
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 2036 2037 2038 2039 2040 2041 2042 2043 2044 2045 2046 2047 2048 2049 2050 Keterangan : Proporsi Penduduk : Konawe=28,7 %, Konsel=7,1 %, Kolaka=11,7 %, Kendari= 52,5 % Proporsi Industri : Industri Besar DAS Konaweha= 13,64 %, Industri Kecil DAS Konaweha = 86,36 % Industri Besar : Konawe = 9,1 %, Konsel = 9,1 %, Kolaka = 9,1 %, Kendari = 72,7 %% Industri Kecil : Konawe = 27,6 %, Konsel = 20,9 %, Kolaka = 32,4 %, Kendari = 19,1 %% Proporsi Sawah : Konawe = 68,0 %, Konsel = 13,0 %, Kolaka = 17,4 %, Kendari = 1,6 %
198
Lampiran 24a. Hasil Perhitungan Nilai Ekonomi Rotan di DAS Konaweha Tahun 2009 No
Lokasi Penampung Lokasi Pengolah
Penampung Pengolah Kapasitas Pengolah Satuan (unit) (orang) (ton/orang/tahun) (Rp/ton) 1 Abuki Aleuti 5 60 8.4 800000 2 Abuki Atodopi 4 40 8.4 800000 3 Abuki Lalonggowuna 1 8 8.4 800000 4 Abuki Asinua Jaya 8 70 8.4 800000 5 Latoma Andaluto 4 48 8.4 800000 6 Latoma Mesowi 7 56 8.4 800000 7 Latoma Walanagau 1 10 8.4 800000 8 Latoma Watanapo 5 45 8.4 800000 9 Sampara Paku Jaya 5 40 8.4 800000 10 Latoma Waworaha 2 24 8.4 800000 11 Abuki Anggoro 2 22 8.4 800000 12 Abuki Ambondia 2 20 8.4 800000 13 Wawotobi Kukuluri 2 18 8.4 800000 14 Lambuya Lambuya 4 44 8.4 800000 15 Lambuya Onembute 1 10 8.4 800000 16 Unaaha Anggaberi 4 40 8.4 800000 17 Lambuya Morehe 4 36 8.4 800000 18 Sampara Sampara 3 30 8.4 800000 19 Lambuya Asahi 1 12 8.4 800000 20 Abuki Routa 4 48 8.4 800000 21 Latoma Ambondia 1 15 8.4 800000 22 Latoma Ambekairi 1 12 8.4 800000 23 Abuki Garuda 1 10 8.4 800000 24 Latoma Lalowata 1 14 8.4 800000 25 Uluiwoi Uluiwoi 4 40 8.4 800000 26 Ladongi Poli-Polia 2 22 8.4 800000 Keterangan : 1. Pengolah hanya bisa mengolah rotan kurang lebih 4 bulan dalam setahun 2. Kemampuan rata-rata setiap orang mengumpulkan rotan dalam sebulan adalah 2,1 ton, asumsi lama merotan 14 hari per bulan dengan kemampuan rata-rata 150 kg per hari 3. Luas rata-rata setiap izin adalah 100 hektar 4. Harga satuan rotan basah per Februari 2010 = Rp. 800.000 per ton
Penerimaan (Rp) 403200000 268800000 53760000 470400000 322560000 376320000 67200000 302400000 268800000 161280000 147840000 134400000 120960000 295680000 67200000 268800000 241920000 201600000 80640000 322560000 100800000 80640000 67200000 94080000 268800000 147840000
Lampiran 24b. Produktivitas Rata-rata Pengumpul/Pengolah Rotan di DAS Konaweha Tahun 2009 No Lokasi 1 2 3 4 5 6 7 8
Abuki Latoma Sampara Lambuya Unaaha Wawotobi Ladongi Uluiwoi Rata-Rata
Pemegang Izin (orang) 27 22 8 5 4 2 2 4
Jumlah Pengolah (orang) 278 224 70 54 40 18 22 40
Produksi (Ton) 2335.2 1881.6 588 453.6 336 151.2 184.8 336
Luas Lokasi (Ha) 2700 2200 800 500 400 200 200 400
Produktivitas (Ton/Ha) 0.86 0.86 0.74 0.91 0.84 0.76 0.92 0.84 0.84
199
Lampiran 25a. Nilai Ekonomi Madu di DAS Konaweha Tahun 2009 No
Lokasi Penampung
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68
Pengumpul Jumlah Pengolah Kapasitas Total Madu Harga (orang) Pengumpulan (kg) (Rp/kg) (kg/org/musim)* Uluiwoi 6 30 360 45000 Uluiwoi 4 30 240 45000 Uluiwoi 4 30 240 45000 Uluiwoi 6 30 360 45000 Uluiwoi 5 30 300 45000 Uluiwoi 5 30 300 45000 Uluiwoi 6 30 360 45000 Uluiwoi 6 30 360 45000 Uluiwoi 6 30 360 45000 Uluiwoi 5 30 300 45000 Uluiwoi 8 30 480 45000 Uluiwoi 4 30 240 45000 Uluiwoi 4 30 240 45000 Uluiwoi 4 30 240 45000 Latoma 5 25 250 45000 Latoma 4 25 200 45000 Latoma 8 25 400 45000 Latoma 6 25 300 45000 Latoma 8 25 400 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Uluiwoi 4 30 240 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Uluiwoi 4 30 240 45000 Uluiwoi 4 30 240 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Uluiwoi 4 30 240 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Latoma 3 25 150 45000 Latoma 3 25 150 45000 Latoma 4 25 200 45000 Latoma 4 25 200 45000 Latoma 4 25 200 45000 Latoma 4 25 200 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Abuki 3 20 120 45000 Abuki 6 20 240 45000 Abuki 6 20 240 45000 Abuki 4 20 160 45000 Abuki 5 20 200 45000 Latoma 4 25 200 45000 Latoma 7 25 350 45000 Latoma 5 25 250 45000 Latoma 4 25 200 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Uluiwoi 4 30 240 45000 Uluiwoi 5 30 300 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Uluiwoi 3 30 180 45000 Uluiwoi 4 30 240 45000 Abuki 3 20 120 45000 Abuki 3 20 120 45000 Abuki 6 20 240 45000 Abuki 3 20 120 45000 Abuki 4 20 160 45000 Abuki 4 20 160 45000 Abuki 4 20 160 45000 Abuki 5 20 200 45000 Abuki 5 20 200 45000 Abuki 4 20 160 45000 Abuki 3 20 120 45000 Abuki 4 20 160 45000
Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Lalosingi (Lalolae) Keisio (Lalolae) Onembute (Lambuya) Unaaha (Unaaha) Unaaha (Unaaha) Unaaha (Unaaha) Unaaha (Unaaha) Unaaha (Unaaha) Unaaha (Unaaha) Unaaha (Unaaha) Unaaha (Unaaha) Simbune (Tirawuta) Simbune (Tirawuta) Simbune (Tirawuta) Peroroa (Tirawuta) Peroroa (Tirawuta) Peroroa (Tirawuta) Peroroa (Tirawuta) Awua Sari (Abuki) Awua Sari (Abuki) Awua Sari (Abuki) Awua Sari (Abuki) Awua Sari (Abuki) Awua Sari (Abuki) Neduku (Abuki) Neduku (Abuki) Neduku (Abuki) Neduku (Abuki) Neduku (Abuki) Neduku (Abuki) Total Keterangan : (*) = Musim madu dalam setahun adalah 2 kali yakni bulan 9, 10, 11 dan 12, 1, 2. Dalam setiap musim, maka pengolah melakukan pengolahan 5 kali
Penerimaan (Rp) 16200000 10800000 10800000 16200000 13500000 13500000 16200000 16200000 16200000 13500000 21600000 10800000 10800000 10800000 11250000 9000000 18000000 13500000 18000000 8100000 10800000 8100000 10800000 10800000 8100000 8100000 8100000 8100000 8100000 10800000 8100000 8100000 8100000 6750000 6750000 9000000 9000000 9000000 9000000 8100000 5400000 10800000 10800000 7200000 9000000 9000000 15750000 11250000 9000000 8100000 8100000 10800000 13500000 8100000 8100000 10800000 5400000 5400000 10800000 5400000 7200000 7200000 7200000 9000000 9000000 7200000 5400000 7200000 690750000
200
Lampiran 25b. Nilai Produktivitas dan Penerimaan Madu di DAS Konaweha Tahun 2009 No Sumber Madu Total Madu Luas Hutan Produktivitas Harga Satuan Penerimaan (Kg) (Ha) (kg/ha) (Rp/kg) (Rp) 1 Uluiwoi 8820 1500 5.88 45000 396900000 2 Latoma 3650 900 4.06 45000 164250000 3 Abuki 2880 600 4.80 45000 129600000 Total 14.74 690750000 Rata-rata 4.91
Lampiran 26a. Contoh Analisis Vegetasi Semai untuk Plot 10 di DAS Konaweha Tahun 2009 No. Individu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 Total Rata-rata Keterangan:
Lingkar Batang (cm) 0.85 0.75 0.60 0.70 1.00 0.55 0.55 0.90 0.40 0.80 0.85 0.45 1.00 0.70 1.00 0.65 0.70 0.75 0.90 0.85 0.35 1.00 0.70 1.00 0.50 0.60 1.00 0.90 0.75 0.85 0.65 0.90 1.00 0.70 0.25 0.85 0.45
Diameter Batang (cm) 0.27 0.24 0.19 0.22 0.32 0.18 0.18 0.29 0.13 0.25 0.27 0.14 0.32 0.22 0.32 0.21 0.22 0.24 0.29 0.27 0.11 0.32 0.22 0.32 0.16 0.19 0.32 0.29 0.24 0.27 0.21 0.29 0.32 0.22 0.08 0.27 0.14 8.7261 0.2358
Biomas (kg/pohon)(1) 0.004326 0.003152 0.001792 0.002647 0.006526 0.001438 0.001438 0.004999 0.000642 0.003711 0.004326 0.000866 0.006526 0.002647 0.006526 0.002194 0.002647 0.003152 0.004999 0.004326 0.000458 0.006526 0.002647 0.006526 0.001130 0.001792 0.006526 0.004999 0.003152 0.004326 0.002194 0.004999 0.006526 0.002647 0.000196 0.004326 0.000866 0.1287 0.0035
Karbon (kg/pohon) (2) 0.002163 0.001576 0.000896 0.001323 0.003263 0.000719 0.000719 0.002500 0.000321 0.001855 0.002163 0.000433 0.003263 0.001323 0.003263 0.001097 0.001323 0.001576 0.002500 0.002163 0.000229 0.003263 0.001323 0.003263 0.000565 0.000896 0.003263 0.002500 0.001576 0.002163 0.001097 0.002500 0.003263 0.001323 0.000098 0.002163 0.000433 0.0644 0.002
(1) Pendugaan Biomas dengan persamaan W = 0.118D 2.53 (Brown, 1997) (2) Kandungan Karbon 50% dari Biomas (Brown, 1997) Diameter batang = lingkar batang dibagi 3.14
201
Lampiran 26b. Potensi Karbon Rata-rata Semai, Pancang, Tiang dan Pohon di DAS Konaweha Tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Total (kg) Rata-rata (kg/ha) Rata-rata (ton/ha)
Semai (%) 300.00 256.19 266.15 226.25 330.00 199.51 158.53 251.40 202.18 160.89 225.04 163.00 2739.15 228.26 0.23
Pancang (%) 6329.74 6254.70 10788.03 10198.29 14479.03 12266.70 12346.00 9524.47 12593.08 8558.37 6625.35 7975.15 117938.90 9828.24 9.83
Tiang (%) 12053.10 14579.21 12961.82 16968.54 12994.49 10038.47 14083.23 14451.03 9138.88 12330.65 10970.16 11161.62 151731.20 12644.27 12.64
Pohon (%) 83065.17 92633.26 128532.65 140706.23 122685.98 109404.32 158064.35 151427.60 158064.35 128004.17 131831.69 103364.04 1507783.79 125648.65 125.65
Total (kg/ha) Total (ton/ha) 101748.00 101.75 113723.35 113.72 152548.65 152.55 168099.31 168.10 150489.49 150.49 131908.99 131.91 184652.11 184.65 175654.51 175.65 179998.48 180.00 149054.09 149.05 149652.24 149.65 122663.82 122.66 1780193.04 1780.19 148349.42 148.35 148.35
202
Lampiran 27. Analisis WTP Nilai Pilihan Responden di DAS Konaweha Tahun 2009 No
Lokasi
1 Abuki 2 Abuki 3 Abuki 4 Abuki 5 Abuki 6 Abuki 7 Abuki 8 Abuki 9 Abuki 10 Abuki 11 Lambuya 12 Lambuya 13 Lambuya 14 Lambuya 15 Lambuya 16 Lambuya 17 Lambuya 18 Lambuya 19 Lambuya 20 Lambuya 21 Pondidaha 22 Pondidaha 23 Pondidaha 24 Pondidaha 25 Pondidaha 26 Pondidaha 27 Pondidaha 28 Pondidaha 29 Pondidaha 30 Pondidaha 31 Uluiwoi 32 Uluiwoi 33 Uluiwoi 34 Uluiwoi 35 Uluiwoi 36 Uluiwoi 37 Uluiwoi 38 Uluiwoi 39 Uluiwoi 40 Uluiwoi 41 Ladongi 42 Ladongi 43 Ladongi 44 Ladongi 45 Ladongi 46 Ladongi 47 Ladongi 48 Ladongi 49 Ladongi 50 Ladongi 51 Latoma 52 Latoma 53 Latoma 54 Latoma 55 Latoma 56 Latoma 57 Latoma 58 Latoma 59 Latoma 60 Latoma Total Rata-Rata
Pendidikan SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana
Pekerjaan Buruh tani Buruh tani Pencari rotan Pencari rotan Penjual sayur Petani PNS Petani Guru PNS Kesehatan Buruh tani Buruh tani Buruh bangunan Pedagang keliling Petani Petani Petani Tukang batu Parpol (DPRD) PNS Kesehatan Penjual jagung rebus Penjual jagung rebus Penjual jagung rebus Tukang kayu Tukang batu Penjual jagung rebus Penjual jagung rebus Pengolah kayu bakar Guru Guru Buruh tani Buruh tani Pencari rotan Pencari madu Pencari madu Pencari madu Petani Petani PNS Kesehatan Guru Buruh tani Buruh tani Buruh bangunan Buruh bangunan Petani Petani Petani Petani Guru PNS Kesehatan Pencari madu Pencari rotan Pencari madu Pencari rotan Pencari rotan Petani Petani Pencari rotan Guru Penanmpung rotan
Income (Rp/bulan) 700000 700000 1680000 1680000 700000 1500000 1800000 1500000 3000000 2500000 600000 600000 750000 800000 1500000 1500000 1500000 1500000 5000000 3000000 1800000 1700000 1500000 1500000 1500000 1750000 2000000 3500000 3000000 3000000 600000 600000 1500000 1200000 1200000 1200000 1500000 1500000 2500000 3000000 1200000 1200000 900000 900000 3000000 5000000 3000000 4500000 1800000 2500000 1200000 1500000 1200000 1500000 1500000 1500000 1500000 1500000 3000000 4500000
Habitat 50000 50000 100000 50000 25000 75000 50000 80000 100000 80000 50000 50000 75000 50000 80000 100000 75000 50000 250000 100000 75000 80000 100000 50000 75000 80000 75000 100000 80000 75000 50000 50000 100000 100000 100000 50000 75000 80000 100000 100000 75000 75000 50000 50000 100000 150000 150000 150000 100000 100000 75000 75000 50000 100000 100000 80000 75000 100000 150000 150000 5090000 84833
WTP Nilai Pilihan (Rp/ha) Folora dan Fauna 50000 75000 150000 75000 50000 100000 80000 100000 125000 125000 75000 100000 150000 80000 100000 150000 100000 50000 250000 150000 100000 100000 125000 100000 100000 100000 100000 125000 125000 100000 100000 75000 150000 150000 150000 75000 75000 100000 125000 150000 100000 100000 80000 75000 150000 150000 150000 100000 100000 125000 100000 125000 50000 150000 125000 100000 100000 150000 200000 200000 6790000 113167
Total 100000 125000 250000 125000 75000 175000 130000 180000 225000 205000 125000 150000 225000 130000 180000 250000 175000 100000 500000 250000 175000 180000 225000 150000 175000 180000 175000 225000 205000 175000 150000 125000 250000 250000 250000 125000 150000 180000 225000 250000 175000 175000 130000 125000 250000 300000 300000 250000 200000 225000 175000 200000 100000 250000 225000 180000 175000 250000 350000 350000 11880000 198000
203
Lampiran 28. Analisis WTP Nilai Warisan Responden di DAS Konaweha Tahun 2009 No
Lokasi Responden Pendidikan
1 Abuki 2 Abuki 3 Abuki 4 Abuki 5 Abuki 6 Abuki 7 Abuki 8 Abuki 9 Abuki 10 Abuki 11 Lambuya 12 Lambuya 13 Lambuya 14 Lambuya 15 Lambuya 16 Lambuya 17 Lambuya 18 Lambuya 19 Lambuya 20 Lambuya 21 Pondidaha 22 Pondidaha 23 Pondidaha 24 Pondidaha 25 Pondidaha 26 Pondidaha 27 Pondidaha 28 Pondidaha 29 Pondidaha 30 Pondidaha 31 Uluiwoi 32 Uluiwoi 33 Uluiwoi 34 Uluiwoi 35 Uluiwoi 36 Uluiwoi 37 Uluiwoi 38 Uluiwoi 39 Uluiwoi 40 Uluiwoi 41 Ladongi 42 Ladongi 43 Ladongi 44 Ladongi 45 Ladongi 46 Ladongi 47 Ladongi 48 Ladongi 49 Ladongi 50 Ladongi 51 Latoma 52 Latoma 53 Latoma 54 Latoma 55 Latoma 56 Latoma 57 Latoma 58 Latoma 59 Latoma 60 Latoma Total Rata-Rata
SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana
Pekerjaan Buruh tani Buruh tani Pencari rotan Pencari rotan Penjual sayur Petani PNS Petani Guru PNS Kesehatan Buruh tani Buruh tani Buruh bangunan Pedagang keliling Petani Petani Petani Tukang batu Parpol (DPRD) PNS Kesehatan Penjual jagung rebus Penjual jagung rebus Penjual jagung rebus Tukang kayu Tukang batu Penjual jagung rebus Penjual jagung rebus Pengolah kayu bakar Guru Guru Buruh tani Buruh tani Pencari rotan Pencari madu Pencari madu Pencari madu Petani Petani PNS Kesehatan Guru Buruh tani Buruh tani Buruh bangunan Buruh bangunan Petani Petani Petani Petani Guru PNS Kesehatan Pencari madu Pencari rotan Pencari madu Pencari rotan Pencari rotan Petani Petani Pencari rotan Guru Penanmpung rotan
Income (Rp/bulan) 700000 700000 1680000 1680000 700000 1500000 1800000 1500000 3000000 2500000 600000 600000 750000 800000 1500000 1500000 1500000 1500000 5000000 3000000 1800000 1700000 1500000 1500000 1500000 1750000 2000000 3500000 3000000 3000000 600000 600000 1500000 1200000 1200000 1200000 1500000 1500000 2500000 3000000 1200000 1200000 900000 900000 3000000 5000000 3000000 4500000 1800000 2500000 1200000 1500000 1200000 1500000 1500000 1500000 1500000 1500000 3000000 4500000
Habitat 50000 50000 150000 150000 50000 100000 100000 100000 200000 200000 25000 25000 25000 50000 75000 75000 50000 75000 400000 250000 75000 60000 50000 50000 50000 50000 200000 350000 250000 300000 25000 25000 75000 75000 75000 100000 100000 100000 200000 200000 150000 100000 50000 50000 200000 300000 200000 300000 150000 200000 100000 125000 75000 100000 125000 125000 100000 75000 200000 350000 7685000 128083
WTP Nilai Warisan (Rp/ha) Flora dan Fauna Total 50000 100000 50000 100000 200000 350000 200000 350000 50000 100000 75000 175000 100000 200000 100000 200000 100000 300000 150000 350000 25000 50000 25000 50000 30000 55000 40000 90000 75000 150000 50000 125000 50000 100000 50000 125000 350000 750000 200000 450000 75000 150000 50000 110000 50000 100000 50000 100000 50000 100000 75000 125000 150000 350000 350000 700000 300000 550000 300000 600000 25000 50000 25000 50000 100000 175000 75000 150000 75000 150000 100000 200000 100000 200000 100000 200000 150000 350000 200000 400000 100000 250000 100000 200000 75000 125000 75000 125000 200000 400000 350000 650000 150000 350000 250000 550000 150000 300000 150000 350000 100000 200000 125000 250000 75000 150000 75000 175000 75000 200000 100000 225000 100000 200000 100000 175000 200000 400000 300000 650000 7220000 14905000 120333 248417
204
Lampiran 29. Analisis WTP Nilai Keberadaan Responden di DAS Konaweha Tahun 2009 No
Lokasi Responden Pendidikan
1 Abuki 2 Abuki 3 Abuki 4 Abuki 5 Abuki 6 Abuki 7 Abuki 8 Abuki 9 Abuki 10 Abuki 11 Lambuya 12 Lambuya 13 Lambuya 14 Lambuya 15 Lambuya 16 Lambuya 17 Lambuya 18 Lambuya 19 Lambuya 20 Lambuya 21 Pondidaha 22 Pondidaha 23 Pondidaha 24 Pondidaha 25 Pondidaha 26 Pondidaha 27 Pondidaha 28 Pondidaha 29 Pondidaha 30 Pondidaha 31 Uluiwoi 32 Uluiwoi 33 Uluiwoi 34 Uluiwoi 35 Uluiwoi 36 Uluiwoi 37 Uluiwoi 38 Uluiwoi 39 Uluiwoi 40 Uluiwoi 41 Ladongi 42 Ladongi 43 Ladongi 44 Ladongi 45 Ladongi 46 Ladongi 47 Ladongi 48 Ladongi 49 Ladongi 50 Ladongi 51 Latoma 52 Latoma 53 Latoma 54 Latoma 55 Latoma 56 Latoma 57 Latoma 58 Latoma 59 Latoma 60 Latoma Total Rata-Rata
SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana SD SD SD SMP SMP SMP SMA SMA Sarjana Sarjana
Pekerjaan
Buruh tani Buruh tani Pencari rotan Pencari rotan Penjual sayur Petani PNS Petani Guru PNS Kesehatan Buruh tani Buruh tani Buruh bangunan Pedagang keliling Petani Petani Petani Tukang batu Parpol (DPRD) PNS Kesehatan Penjual jagung rebus Penjual jagung rebus Penjual jagung rebus Tukang kayu Tukang batu Penjual jagung rebus Penjual jagung rebus Pengolah kayu bakar Guru Guru Buruh tani Buruh tani Pencari rotan Pencari madu Pencari madu Pencari madu Petani Petani PNS Kesehatan Guru Buruh tani Buruh tani Buruh bangunan Buruh bangunan Petani Petani Petani Petani Guru PNS Kesehatan Pencari madu Pencari rotan Pencari madu Pencari rotan Pencari rotan Petani Petani Pencari rotan Guru Penanmpung rotan
Income (Rp/bulan) 700000 700000 1680000 1680000 700000 1500000 1800000 1500000 3000000 2500000 600000 600000 750000 800000 1500000 1500000 1500000 1500000 5000000 3000000 1800000 1700000 1500000 1500000 1500000 1750000 2000000 3500000 3000000 3000000 600000 600000 1500000 1200000 1200000 1200000 1500000 1500000 2500000 3000000 1200000 1200000 900000 900000 3000000 5000000 3000000 4500000 1800000 2500000 1200000 1500000 1200000 1500000 1500000 1500000 1500000 1500000 3000000 4500000
WTP Nilai Keberadaan (Rp/ha) Folora dan Fauna Total Dilindungi 75000 75000 150000 100000 75000 175000 200000 150000 350000 150000 150000 300000 75000 50000 125000 100000 100000 200000 150000 150000 300000 150000 100000 250000 200000 200000 400000 200000 200000 400000 75000 75000 150000 75000 75000 150000 75000 100000 175000 100000 100000 200000 150000 150000 300000 150000 150000 300000 150000 100000 250000 100000 100000 200000 400000 400000 800000 250000 250000 500000 150000 150000 300000 150000 150000 300000 150000 100000 250000 100000 75000 175000 100000 100000 200000 150000 150000 300000 200000 150000 350000 200000 200000 400000 200000 250000 450000 200000 200000 400000 50000 50000 100000 50000 50000 100000 150000 100000 250000 100000 100000 200000 100000 100000 200000 75000 100000 175000 150000 100000 250000 150000 150000 300000 200000 150000 350000 200000 200000 400000 100000 100000 200000 100000 100000 200000 100000 50000 150000 75000 75000 150000 200000 150000 350000 250000 250000 500000 200000 200000 400000 250000 150000 400000 150000 150000 300000 200000 100000 300000 100000 75000 175000 100000 100000 200000 75000 150000 225000 100000 150000 250000 100000 150000 250000 150000 100000 250000 150000 150000 300000 150000 150000 300000 250000 250000 500000 250000 250000 500000 8800000 8225000 17025000 146666.7 137083.3333 283750 Habitat
205
Lampiran 30.
Hubungan Proporsi Tutupan Masing-masing Jenis Penggunaan Lahan dengan Qmin Sub DAS Konaweha Hulu
Alternatif Skenario 1
H 30
K Kc Sb CH CK CKc CSb C*H C*K C*Kc C*Sb Total Intersep Qmin (m3/detik) 55 6 4 0.7 0.6 3.4 3.7 21.0 33.0 20.4 14.8 18.8 13 31.8
Skenario 2
35
51
6
3
0.7 0.6
3.4
3.7
24.5 30.6
20.4
11.1
23.6
13
36.6
Qmin
Skenario 3
43
43
6
3
0.7 0.6
3.4
3.7
30.1 25.8
20.4
11.1
24.4
13
37.4
Qmin
Skenario 4
33
52
5
4
0.7 0.6
3.4
3.7
23.1 31.2
17.0
14.8
22.5
13
35.5
Qmin
36.8
Qmin
Skenario 5 40 46 5 4 0.7 0.6 3.4 3.7 28.0 27.6 17.0 14.8 23.8 13 Keterangan: Skenario 1 = 30 % hutan, 55 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 4 % semak belukar Skenario 2 = 35 % hutan, 51 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar Skenario 3 = 43 % hutan, 43 % perkebunan, 6 % kebun campuran dan 3 % semak belukar Skenario 4 = 33 % hutan, 52 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar Skenario 5 = 40 % hutan, 46 % perkebunan, 5 % kebun campuran dan 4 % semak belukar H = hutan, K = perkebunan, Kc = kebun campuran, Sb = semak belukar, C = koefisien regresi linier Luas kondisi eksisting: Hutan= 43 %, perkebunan=43 %, kebun campuran=6 % dan semak belukar=3 % Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar
Lampiran 31. Proporsi Luas Masing-masing Skenario Alternatif di Sub DAS Konaweha Hulu Alternatif
Hutan Perkebunan Luas (ha) % Luas (ha) % Skenario 1 101398 30 185896 55 Skenario 2 118297 35 172376 51 Skenario 3 145337 43 145337 43 Skenario 4 111537 33 175756 52 Skenario 5 135197 40 155476 46 Luas DAS Konaweha Hulu = 337992 hektar
Penggunaan
(m3/detik) Qmin
Lahan
Kebun Campuran Semak Belukar Luas (ha) % Luas (ha) % 20280 6 13520 4 20280 6 10140 3 20280 6 10140 3 16900 5 13520 4 16900 5 13520 4
206