KAJIAN DAMPAK DINAMIKA PENGGUNAAN LAHAN DI DAS WANGGU TERHADAP SEDIMENTASI DI TELUK KENDARI SULAWESI TENGGARA
LA ODE ALWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
i
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul :
Kajian Dampak Dinamika Penggunaan Lahan di DAS Wanggu terhadap Sedimentasi di Teluk Kendari Sulawesi Tenggara
adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Bogor,
Agustus 2012
La Ode Alwi NRP.A165070011
iii
iv
ABSTRACT LA ODE ALWI A165070011. Study on the Dynamic Land Use Impact in Wanggu Watershed to Sedimentation to Kendary Bay in South East Sulawesi (under academic supervision of NAIK SINUKABAN as chairman, SOLEH SOLAHUDDIN, and HIDAYAT PAWITAN as member of supervisiory committee). The dynamic of land use in Wanggu Watershed had been causing land degradation disruption of hydrological function of the watershed and sedimentation in Kendari Bay. These degradations were indicated by the increasing of river fluctuation and erosion was higher than the local tolerable soil losts. The impact of erosion had further decreased land productivity, farmer’s income, and also increasing sedimentation in Kendari Bay as well. The objectives of this research were 1) to identify the biophysical characteristics of Wanggu watershed. 2) to study the impact of land use dynamic on erosion, run off, river flow fluctuation and sedimentation in Kendari Bay, 3) to develope land use models and agrotechnologies that can increase soil infiltration capacity, decrease run off coefficient, river flow fluctuation, rate of erosion and sedimentation in Kendari Bay, 4) to formulate land use planning and agrotechnology model in Wanggu watershed to guarantee sustainable land management. This research was carried out in September 2009 to August 2010. The result of this research showed that forested land characteristics were much better than those with other land uses particularly the characteristics that related to hydrological function of watershed. There were a continuous decrease forest land (1.1% per year) and bushes land (0.8% per year) but on the other hand a continuous increase of mixed plantation land (1.1% per year), dry land use (0.4% per year) and settlement area (0.4% per year). These dynamic giving the impact to increase erosion rate (12.7 tons/ha), surface run off (262.7 mm), run off coeficient (0.13) since 1992-2010, and in turn increase sedimentation rate in Kendari Bay. The source of those sediment come from land erosion 104.000 m3 per year (9,3%), from waste 21.310 m3 per year (2%), and river bank erosion-infrastructure-landslide 954.000 m3 per year (88,7%), to make total sedimentation in Kendari Bay was 1.071.000 m3 per year. The existing land use of Wanggu watershed in 2010 could not guarantee sustainable land management. The alternative land use planning for sustainable Wanggu watershed management is 33 % forest, 44 % mixed plantation,9% dry field, 1% bush and 13% settlement. The land use management in mixced plantation should be under Agrosilvopastoral with perennial crops (cacao, pepper, citrut fruit, banana, teak, elephant grass+3 cows), and in dry field should be under multiple cropping system(corn + cassava + peanut) - (green beans + legume + tomato). To increase productivity of both systems, the using of chemical fertilizers, manure, and compost should be applied as necessary. Key Words: Dynamics of land use, river flow fluctuation, erosion, income, sedimentation
v
vi
RINGKASAN LA ODE ALWI A165070011, Kajian Dampak Dinamika Penggunaan Lahan Di DAS Wanggu terhadap Sedimentasi di Teluk Kendari Sulawesi Tenggara, dibawah bimbingan NAIK SINUKABAN, SOLEH SOLAHUDDIN, dan HIDAYAT PAWITAN. Dinamika penggunaan lahan di DAS Wanggu periode 1992-2010 telah menyebabkan degradasi lahan, terganggunya fungsi hidrologi DAS Wanggu dan terjadinya sedimentasi di teluk Kendari. Penelitian ini dilaksanakan sejak September 2009 sampai dengan Agustus 2010 di DAS Wanggu, 8 DAS mikro dan Teluk Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian bertujuan: 1) mengkaji dinamika penggunaan lahan dan keadaan biofisik lahan existing di DAS Wanggu, 2) mengkaji dampak dinamika penggunaan lahan di DAS Wanggu terhadap penurunaan luas lahan hutan, erosi, run off, koefisien run off, fluktuasi debit air, pendapatan petani pada kebun campuran, tegalan/sawah, dan sedimentasi di teluk Kendari, 3) mengembangkan model perencanaan penggunaan lahan dan agroteknologi alternatif yang mampu meningkatkan kualitas lahan seperti: kapasitas infiltrasi tanah dan intersepsi potensial, dan pendapatan petani, menurunkan run off, koefisien run off, laju erosi dan sedimentasi di teluk Kendari, dan 4) merumuskan model perencanaan penggunaan lahan dan agrotekonologi alternatif yang tepat dalam pengelolaan DAS Wanggu berkelanjutan dan kelestarian teluk Kendari. Penelitian dilakukan dengan metode survei dan pengamatan lapang. Pengamatan terhadap karakteristik tanah, parameter hidrologi, erosi dan vegetasi dilakukan dengan membuat plot percobaan berdasarkan Rancangan Acak Kelompok dan data sosial ekonomi diperoleh melalui wawancara dan data sekunder. Hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji BNT0.05 dan analisis agroteknologi didasarkan pada kondisi fisik lingkungan (secara teknis dapat diterapkan, secara ekologi dapat memperbaiki lingkungan melaui penurunan aliran permukaan, erosi dan sedimentasi, dan secara ekonomi dapat meningkatkan pendapatan dengan menggunakan perhitungan total biaya dan pendapatan, NPV 12% dan kebutuhan hidup layak (KHL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dinamika penggunaan lahan tahun 1992 – 2010 di DAS Wanggu telah menyebabkan: 1) penurunan luas hutan 1,1% luas DAS per tahun (478,2 ha/th) dan semak belukar 0,8% luas DAS per tahun (366 ha/th) dan diikuti peningkatan luas kebun campuran 1,1% luas DAS per tahun (485,7 ha/th), tegalan/sawah 0,4% luas DAS per tahun (181,8 ha/th), dan pemukiman 0,4% luas DAS per tahun (179,8 ha/th), 2) akibatnya memberikan dampak signifikan terhadap penurunan karakteristik lahan: porositas tanah 19,1%, bahan orgaink tanah 1,5%, penutupan lahan 30,3%, intersepsi potensial 168,7%, dan peningkatan: berat volume tanah 0,3 g/cm3, dan meningkatkan indikator hidrologi: kapasitas infiltrasi 1,8 cm per jam dan permeabilitas tanah 2,1 cm per jam, run off 289,6 mm per tahun, koefisien run off 17,7% per tahun, erosi 17,4 ton/ha/th. Dampak perubahan penggunaan lahan di DAS Wanggu periode 1992 – 2010 terhadap debit (Q) sungai Wanggu pada kondisi exsisting pada musim kemarau
vii
memberikan Qmin 3,0 m3/dt dan pada musim hujan Qmax 114,2 m/dt dengan ratio Qmax dan Qmin sebesar 38,1 dan dampaknya terhadap kualitas air sungai Wanggu adalah kelas 2 dan tergolong tercemar ringan berdasarkan kriteria standar baku mutu air (Kepmen LH No. 115/2003) dengan indikator kandungan TSD, BOD, COD, pH, NO3=, NO2, Fe, Zn, minyak dan lemak, kecuali Cl- masih tergolong baik dan memenuhi baku mutu air minum, sedangkan kualitas air di teluk Kendari tergolong tercemar berat oleh DO, COD dan SO4=. Peningkatan erosi tertinggi di DAS Wanggu terjadi tahun 2010 (555.471,0 ton/th dengan rataan 12,2 ton/ha/th), tahun 2005 (548.895,0 ton/th dengan rataan 12,1 ton/ha/th), tahun 2000 (497.324,0 ton/th dengan rataan 11,0 ton/ha/th), tahun 1995 (410.545,0 ton/th dengan rataan 9,0 ton/ha/th) dan tahun 1992 (399.435,0 ton/th dengan rataan 8,8 ton/ha/th) tetapi dampaknya terhadap erosi tahun 1992-2010 tertinggi terjadi tahun 1995-2000 yaitu 86.778,6 ton dan rataan 17.355,7 ton/th dan dampaknya terendah tahun 2005-2010 yaitu 6.575,6 ton dan rataan 1.315,1 ton/th. Konstribusi sedimentasi di teluk Kendari periode 1960 – 2010 berasal dari sedimentasi: erosi lahan sebesar 5.150.182,4 m3 (9,7%), sampah 1.089.165,0 m3 (2,0%) dan erosi (infrastruktur, tebing sungai, tanah longsor) sebesar 49.292.191,7 m3 (88,7%) dengan total sedimentasi sebesar 55.304.766,7 m3 (100%) dari jumlah penduduk di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro adalah 19.726 jiwa tahun 1960 menjadi 269.559 jiwa tahun 2010. Rumusan model perencanaan penggunaan lahan dan agrotekonologi alternatif yang tepat dalam pengelolaan DAS Wanggu berkelanjutan dan kelestarian teluk Kendari adalah hutan 33% luas DAS, kebun campuran (Agrosilvopastural) 44% luas DAS dan tegalan/sawah 9% luas DAS) dengan pendapatan bersih Rp 24.000.000 ≥ KHL (Rp 22.000.000 per KK/ha/th), erosi 9,7 ton/ha/th < Etol 12,1 ton/ha/th, dan sedimen < sedimen yang daoat ditoleransikan (sedine 54.300 ton/th < sedimen ETol 67.700 ton/th), model penggunaaan dan agroteknologi hasil simulasi ini memenuhi criteria: layak teknis, layak ekologis dan layak ekonomi skeneario-5. Kata Kunci: Dinamika penggunaan lahan, fluktuasi aliran sungai, erosi, pendapatan, sedimentasi.
viii
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.
Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ix
x
KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI DAS WANGGU TERHADAP SEDIMENTASI DI TELUK KENDARI SULAWESI TENGGARA
LA ODE ALWI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
xi
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Nama Instansi
2. Nama Instansi
: Dr. Ir. Latief M. Rachman, M.Sc, MBA : Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. : Dr. Ir. M. Yanuar Jarwadi Purwanto, MS : Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1.
2.
Nama
: Dr. Ir. Eka W. Soegiri, MM
Instansi
: Kementerian Kehutanan Republik Indonesia Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS).
Nama
: Dr. Ir. Nora Herdiana Pandjaitan, DEA
Instansi
: Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
xii
(Direktur
Judul Disertasi: Kajian Dampak Dinamika Penggunaan Lahan di DAS Wanggu terhadap Sedimentasi di Teluk Kendari Sulawesi Tenggara Nama
: La Ode Alwi
Nomor Pokok : A165070011 Program Studi : Pengelolaan DAS
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Soleh Solahuddin, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS,
3. Dekan Sekolah Pascasarjana,
Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 30 Juli 2012
Tanggal Lulus :
xiii
xiv
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Selesainya penelitian dan penulisan disertasi ini, tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. Soleh Solahuddin, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc selaku anggota Komisi Pembimbing atas kesediaannya membimbing dan memberikan masukan/saran dalam penyelesaian dan penyusunan disertasi hasil penelitian ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya pula penulis sampaikan kepada Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Faperta, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, dan Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS IPB, serta Rektor dan Dekan Fakultas Pertanian Unhalu yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor (S3) dan dukungan moril dan materil.
Demikian pula tak lupa saya
sampaikan hal yang sama kepada Pengelola BPPS Dirjen DIKTI Kemendiknas dan IPB, PT. TIMAS serta Pemda Provinsi Sulawesi Tenggara atas dukungan dan bantuan dana yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi. Kepada keluarga, teman-teman dan semua pihak yang tidak sempat disebutkan satu per satu, terima kasih atas segala dukungan, bantuan dan pengertiannya, serta mohon maaf atas segala kesalahan, terutama komunikasi dan silaturrahmi yang terganggu akibat penyelesaiaan disertasi ini.
Khusus kepada
istri saya tercinta Dr. Ir. Sitti Marwah, M.Si dan anak-anak saya: Alwan, SP, Astriwana, SPi, Sitti Alvianti, S.Gz. dan Aljumriana terima kasih yang mendalam atas do’a, dukungan, dorongan dan segala pengertian, pengorbanan, kesabaran dan keikhlasan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Semoga karya ilmiah dalam bentuk disertasi ini dapat bermanfaat.
Bogor,
Agustus 2012 Penulis
xv
xvi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Juli 1958 di Wanci Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara, dari pasangan ayah H. La Ode Rafiuddin (almarhum) dan ibu Wa Ode Saiha (alarhuma). Menikah tahun 1985 dengan istri bernama Ir Sitti Marwah anak dari H. Andi Muh. Djufri (almarhum) dan ibu Andi Siti Djulsan (almarhum). Dikaruniai empat orang anak yaitu: Alawan SP, Astrifana SPi, Sitti Alvianti S.Gz. dan sitti Aljumriana. Pendidikan DASar diselesaikan penulis pada tahun 1971 di SD Negeri Wanci. Pendidikan Menengah Pertama pada tahun 1974 di SMP Negeri Wanci Kab. Buton, dan Pendidikan Menengah Atas tahun 1978 di SMA Negeri 03 Makassar. Pendidikan Sarjana ditempuh di Universitas Hasanuddin, Fakultas Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian, lulus dengan memperoleh ijazah Sarjana Muda tahun 1981, dan Jurusan Ilmu Tanah, Program Studi Ilmu Kesuburan tanah dengan lulus memperoleh Sarjana Lengkap tahun 1984. Penulis menjadi staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara tahun 1985 sampai sekarang.
Pada Tahun 2004 meraih
Magister Sains (S2) pada Sekolah Pascasarjana Program Studi ilmu Pengelolaan DAS, IPB dengan Beasiswa BPPS dari Dirjen DIKTI Depdikbud. Kemudian pada tahun 2007 mendapat kesempatan kembali melanjutkan studi Program Doktor (S3) dengan sumber beasiswa BPPS dari Dirjen DIKTI Kemendiknas. Pada tahun 1986 – 1989 mendapat kepercayaan menjadi Pls Kepala Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian, tahun 1989 – 1991 menjadi kepala Laboratorium Ilmu Tanah dan Analitik Fakultas Pertanian Unhalu, tahun 19911997 menjadi Pembantu Dekan Faperta Universitas Haluoleo dan Anggota Senat Fakultas Pertanian, tahun 1997 – 2000 menjadi Dekan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo serta menjadi Anggota Senat Fakultas Pertanian dan Senat Universitas Haluoleo tahun 1997 – 2001.
xvii
xviii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
xxiii xxv xxvii 1
PENDAHULUAN Latar Belakang. Rumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Hipotesis Kegunaan dan Kebaharuan Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 3 4 8 8 9 10 11
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Daerah Aliran Sungai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Penggunaan Lahan Dampak Penggunaan Lahan
11 12 15 16
Dampak Penggunaan Lahan terhadap Erosi Dampak Penggunaan Lahan terhadap Sumberdaya Air Dampak Penggunaan Lahan terhadap Ketersediaan Air Dampak Penggunaan Lahan terhadap Kualitas Air Dampak Penggunaan Lahan terhadap Produktivitas Lahan.
16 18 20 22 26
Peranan Konservasi Tanah dan Air terhadap Pelestarian Sumberdaya Air dan Produktivitas Lahan
31
Konsep Arahan Kebijakan Pengembangan Daerah Aliran Sungai Analisis Sistem dan Simulasi Model Hidrologi
32 34
Analisis Sistem Simulasi Model Hidrologi Model Neraca Air
34 37 38 40
BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Jenis, Sumber dan Kegunaan Data Teknik Pengumpulan Data
40 41 41 43
Erosi Aktual dan Aliran Permukaan Setiap Jenis Penggunaan Lahan Debit Aktual Air Sungai Sifat – Sifat Tanah, Indikator Hidrologi dan Etol Aspek Sosial Ekonomi
44
xix
44 45 46
Analisis Data
46
Analisis Biofisik DAS Wanggu Ds Prediksi Erosi di wilayah DAS Penutupan dan Kondisi Permukaan Lahan Debit Sungai Sedimentasi Sedimentasi di Teluk Kendari 44 Model Penggunaan Lahan Alternatif dan Agroteknologi di DAS Wanggu Prediksi Erosi, Sedimen, ETol dan Sedimen Ditoleransikan (STol) Analisis Sosial Ekonomi TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas. Kedudukan dan Arti Penting DAS Wanggu Ds dan Teluk Kendari Topografi, Geologi dan Tanah Iklim dan Hidrologi Penggunaan Lahan Vegetasi Penutupan Tanah Sosial dan Ekonomi. Kependudukan Perekonomian
47 49 52 52 53 54 55 56 56 60 60 61 62 64 68 69 72 72 73
Infrastruktur Wilayah Jaringan Jalan dan Alat Transportasi Perumahan dan Pemukiman Listrik dan Air Bersih HASIL DAN PEMBAHASAN
74 74 76 77 79
Dinamika Penggunaan Lahan di DAS Wanggu Dampak Dinamika Penggunaan Lahan Dampak Dinamika Penggunaan Lahan terhadap KarakteristikLahan Dampak Dinamika PenggunanLahan terhadap Indikator Hidrologi dan Erosi Aktual Dampak Dinamika Penggunaan Lahan terhadap Total Prediksi Erosi, Aliran Permukaan dan Koefisien Aliran Permukaan Dampak Dinamika Penggunaan Lahan terhadap Kualitas Air Kualitas Air Sungai di DAS Wanggu Ds Kualitas Air di Perairan Teluk Kendari
79 87 87 89 92 95 95 99
Dampak Dinamika Penggunaan Lahan terhadap Sedimentasi di Teluk Kendari
99
Sedimen yang Bersumber dari Erosi Lahan Sedimen yang Bersumber dari Sampah Penduduk
100 102
xx
Sedimen dari Erosi Infrastruktur-Tebing Sungai- Tanah Longsor Analisis Total Sedimentasi di Teluk Kendari Total Sedimentasi Berdasarkan Hasil Analisis Peta Batimetri Total Sedimen di Teluk Kendari Bersumber dari Prediksi Erosi Lahan, Sampah dan Infrastruktur
104 105 105 111
Evaluasi Kemampuan Lahan dan Agroteknologi Erosi Versus Erosi yang Dapat Ditoleransikan Pendapatan Usahatani Versus Pendapatan yang Memenuhi KHL
114 114 116
Analisis Kelayakan Model Penggunaan Lahan Alternatif Di DAS Wanggu
118
Implikasi Kebijakan
120 121
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
121 122
DAFTAR PUSTAKA
125
LAMPIRAN
133
xxi
xxii
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
1
Jumlah kehilangan unsur hara karena erosi dan panen, rataan dua tahun pada percobaan di Missouri
28
Tebal dan berat tanah lapisan olah yang tererosi setiap tahun pada beberapa Sungai di Indonesia
29
3
Jenis, sumber dan kegunaan data penelitian
43
4
Skenario model penggunan lahan di DAS Wanggu 2010
2
5
6
7
8
9.
10
11
12
13
14
Halaman
tahun 55
Bentuk topografi dan luas penyebarannya di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro bermuara di teluk Kendari tahun 2009
63
Jenis tanah dan luas penyebarannya di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2009
64
Rataan curah hujan bulanan selama 30 tahun (1980-2010 di DAS Wanggu dan teluk Kendari
65
Debit aliran puncak satu kejadian hujan sungai-sungai di DAS Wanggu tahun 2003
67
Jenis dan luas penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2009
68
Distribusi penduduk di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro menurut wilayah kecamatan tahun 2008
72
Dinamika penggunaan lahan berdasarkan perubahan luas masing-masing di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 1992 – 2010
79
Karakteristik lahan pada berbagai jenis penggunaan lahan existing di DAS Wanggu tahun 2010
87
Hasil pengamatan indikator hidrologi dan erosi aktual pada berbagai jenis penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2010
90
Hasil pengukuran debit aliran maximum (Qmax) dan debit aliran minimum (Qmin) sungai-sungai di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2009-2010
91
xxiii
15
Total erosi hasil prediksi dan kondisi hidrologi (RO dan C) sebagai dampak dinamika berbagai penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 1992-2010
93
Hasil pengukuran parameter kualitas air di sungai Wanggu tahun 2010
96
17
Kualitas air pada tiga Stasiun Pengukuran di teluk Kendari
99
18
Hasil prediksi erosi lahan, SDR dan sedimentasi di teluk Kendari yang berasal dari DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 1992-2010
100
Hasil prediksi sedimentasi dari sampah penduduk tahun 1992-2010
103
Hasil analisis daya tampung volume air dan total sedimen berdasarkan Peta Batimetri Teluk Kendari tahun 1960 – 2010
105
Hasil analisis perubahan luas dan daya tampung air di teluk Kendari tahun 1960 – 2010
106
Total sedimentasi hasil perhitungan dari Peta Batimetri yang bersumber dari prediksi erosi lahan, sampah dan ITL periode 32, 3 dan 5 tahunan (1960 – 2010)
112
Erosi, ETol dan erosi versus ETol di DAS Wanggu, tahun 2010
115
Hasil analisis biaya dan pendapatan petani pada kebun campuran dan tegalan di DAS Wanggu tahun 2010
117
Total erosi, sedimen dan pendapatan petani setiap skenario model penggunaan lahan alternatif dan agroteknologi di DAS Wanggu tahun 2010
118
Kriteria keputusan hasil simulasi rencana penggunaan lahan di DAS Wanggu tahun 2010
119
16
19
20
21
22
23
24
25
26
xxiv
DAFTAR GAMBAR Teks
Halaman
Nomor 1
Kerangka pemikiran penelitian
2
Dampak erosi pada tapak (on-site) dan di luar tapak (off-site)
7 17
3
Peta lokasi penelitian (DAS Wanggu dan 8 DAS mikro, dan teluk Kendari)
40
4
Tahapan analisis data penelitian
59
5
Teluk Kendari dan sekitarnya tampak dari atas
61
6
Vegetasi hutan di Tahura Murhum pada musim kemarau
70
7
Vegetasi manggrove di muara sungai Wanggu dan teluk Kendari
71
Grafik dinamika penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 1992- 2010
81
Peta penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 1992
82
Peta penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 1995
83
Peta penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2000
84
Peta penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2005
85
Peta penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2010
86
Korelasi dinamika penggunaan lahan 5 tahunan dengan prediksi erosi di DAS Wanggu tahun 1992 – 2010
94
Korelasi dinamika penggunaan lahan dengan koefisien aliran permukaan (C) di DAS Wanggu tahun 1992–2010
95
8 9 10
11 12 13 14 15 16
Peta Batimetri teluk Kendari tahun 1960
108
17
Peta Batimetri teluk Kendari tahun 1995
108
18
Peta Batimetri teluk Kendari tahun 2000
109
19
Peta Batimetri teluk Kendari tahun 2005
110
20
Peta Batimetri teluk Kendari tahun 2010
111
21
Korelasi dinamika penggunaan lahan dengan sedimentasi lahan dan sampah di DAS Wanggu tahun 1960 – 2010
113
xxv
xxvi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Teks
1
Besarnya nilai ETol untuk tanah-tanah di Indonesia (Arsyad, 1989)
131
Nilai faktor kedalaman berbagai jenis tanah (Sub Order USDA)
132
Kedalaman tanah minimum nilai faktor penggunaan lahan berbagai jenis tanaman/penggunaan lahan (Hammer, 1981)
133
4
Klasifikasi nilai kepekaan erosi tanah
134
5
Kelas dan kode struktur tanah
134
6
Kelas dan kode permeabilitas profil tanah
134
7
Nilai faktor C berbagai tanaman dan pengelolaan atau tipe penggunaan lahan
135
Nilai faktor P beberapa tindakan konservasi tanah dan gabungannya dengan pengelolaan tanaman (CP)
137
Luas dan jenis penggunaan setiap unit lahan di DAS Wanggu tahun 1992 – 2010
139
Rataan berat volume, total pori dan kadar air tanah setiap penggunaan masing-masing unit lahan di DAS Wanggu tahun 2010
141
Hasil pengukuran beberapa parameter fisik lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2010
143
Kharakteristik tanah di masing-masing unit lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2010
146
Data unit lahan, lereng, PIT, PER, RC, penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2010
148
Tinggi aliran permukaan dan koefisien aliran permukaan pada kisaran curah hujan terhadap penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2010
150
Hasil pengukuran kapasitas lapang, laju infiltrasi, permeabilitas tanah, kadar air tanah awal, RO, CRO di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2010
151
2
3
8
9
10
11
12
13
14
15
xxvii
Halaman
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Pengaruh dinamika luas penggunaan lahan terhadap aliran permukaan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 19922010
153
Luas lahan dan koefisien aliran (CRO) di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 1992 – 2010
157
Dampak dinamika perubahan penggunaan lahan terhadap erosi di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 1992 – 2010
161
Hasil perhitungan beberapa parameter lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2010
165
Nilai etol dari masing-masing penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2010
167
Hasil perhitungan sedimentasi dari erosi, sampah dan ITL di teluk kendari tahun 1992 -2010
170
Hasil analisis biaya dan pendapatan pada kebun campuran dan tegalan di DAS Wanggu tahun 2010
172
Contoh perhitungan biaya dan pendapatan pada kebun campuran di unit lahan 56a di DAS Wanggu tahun 2010
173
Contoh perhitungan biaya dan pendapatan pada tegalan di unit lahan 57a di DAS Wanggu tahun 2010
176
xxviii
PENDAHULUAN Latar belakang Peningkatan penduduk yang cukup tinggi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia menyebabkan kebutuhan pangan dan lahan pertanian semakin besar. Hal ini sejalan dengan kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia sejak akhir tahun 1960-an sampai 1990-an dengan sasaran pencapaian swasembada pangan, khususnya beras. Bahkan, untuk mengantisipasi pertumbuhan penduduk dan peningkatan taraf hidup masyarakat, kebijakan pembangunan pertanian tersebut berlanjut terus-menerus. Selain itu, perkembangan pembangunan juga telah menyebabkan meningkatnya konversi hutan menjadi lahan pertanian maupun non pertanian berupa pemukiman, pembangunan infrastruktur, dll. Dampak perubahan hutan tersebut, merupakan fenomena penting akhir-akhir ini terkait dengan eksistensi sumberdaya lahan, yaitu penurunan kualitas lingkungan, fungsi hidrologis DAS dan produktivitas lahan akibat degradasi lahan, peningkatan erosi dan sedimentasi serta bertambah luasnya lahan kritis. Perubahan penggunaan lahan secara ekonomi nampak rasional dengan nilai dan manfaat langsung yang dapat diperoleh dalam jangka pendek, akan tetapi seringkali tidak memperhitungkan hilangnya berbagai manfaat perlindungan lingkungan dari kawasan lindung atau hutan dalam jangka panjang (Crook dan Clapp, 1998). Erosi dan sedimentasi yang tinggi dan banjir pada musim hujan, tidak hanya menimbulkan dampak negatif pada aspek biofisik sumberdaya alam dan lingkungan, tetapi juga berdampak pada aspek sosial ekonomi masyarakat di wilayah tersebut. Berdasarkan beberapa hasil studi menunjukkan bahwa konversi hutan menurunkan kualitas tanah dan fungsi hidrologi DAS. Namun demikian, kondisi ini akan pulih kembali dengan pemberaan atau tanah diistirahtkan, penerapan konservasi tanah yang tepat atau dengan system agroforestry kakao (Anas et al., 2005, Murtilaksono et al., 2005 dan Marwah, 2008). Demikian juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Lihawa (2009) menunjukkan bahwa lahan terbuka yang biarkan terlantar atau tidak dimanfaatkan di DAS Alo-Poha Sulawesi Utara telah mengakibatkan terjadinya erosi lembar (sheet erosion) yang cukup tinggi,
2
yaitu 122,24 ton/ha/th. Fenomena tersebut, juga terjadi di DAS Wanggu Provinsi Sulawesi Tenggara, yang salah satu penyebabnya adalah dampak dinamika penggunaan lahan khususnya hutan yang cenderung mengalami penurunan luas dari waktu ke waktu. Hal tersebut akan mengakibatkan peningkatan debit maksimum dan penurunan debit minimum sungai Wanggu. Demikian juga, akan terjadi peningkatan erosi tanah dan sedimentasi di badan sungai, maupun saluran irigsi di wilayah DAS Wanggu dan teluk Kendari. Apabila peningkatan debit maksimum dan penurunan debit minimum serta erosi dan sedimentasi terus berlangsung, maka suatu ketika akan terjadi banjir dimusim hujan, defisit air pada musim kemarau dan produktivitas lahan menurun serta laju pendangkalan teluk Kendari semakin cepat. Dinamika penggunaan lahan di DAS Wanggu diduga telah meningkatkan fluktuasi debit sungai dengan ratio (Qmax/Qmin > 30) dan ketinggian air 3,5 – 4 m (Dinas PU Sultra, 2008 dalam BLH Provinsi Sultra, 2010). Selain itu, juga erosi yang terjadi telah melampaui erosi yang diperbolehkan (55,3 ton/ha/th > 32,7 ton/ha/th). Dampak erosi tersebut telah menyebabkan sedimentasi di teluk Kendari mencapai 760.040 m3/th dalam periode 1995 – 2000, sehingga kedalaman teluk semakin dangkal, yaitu sekitar 0 – 23 m pada saat air pasang (Iswandi, 2003). Jika kecenderungan ini terus berlanjut, maka pada gilirannya akan terjadi defisit air pada musim kemarau, banjir dimusim hujan dan produktivitas lahan semakin menurun serta laju pendangkalan teluk Kendari semakin cepat sebagaimana telah disebutkan di atas. Hal ini akan diperparah dengan kebijakan pemerintah pusat tentang pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pertambangan, yang dipusatkan di Provinsi Papua, Papua Barat dan Sulawesi Tenggara. Untuk tujuan tersebut, maka Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah mengusulkan perubahan status hutan seluas 310.165 hektar menjadi areal penggunaan lain (APL) melalui revisi Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2010 (Bappeda Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010). Hal ini berpotensi memberikan dampak terhadap perubahan penggunaan lahan yang akan semakin menurunkan fungsi hidrologi DAS, meningkatkan degradasi lahan, erosi dan sedimentasi.
3
DAS Wanggu dan delapan DAS mikro di sekitarnya dengan luas ± 45.377,3 ha memiliki fungsi penting dan peranan strategis di Sulawesi Tenggara karena bermuara di teluk Kendari dan secara administrasi meliputi Kab. Konawe Selatan, Konawe dan Kota Kendari (BPDAS Sampara, 2005).
Salah satu
peranannya yang sangat vital adalah sebagai penyangga teluk Kendari. Teluk Kendari merupakan pelabuhan PELNI, pelabuhan Rakyat, pusat kegiatan latihan PODSI SULTRA dan areal penangkapan ikan bagi nelayan kota Kendari (BPDAS Sampara, 2008). Disamping itu, dibagian hilir terdapat kota Kendari yang merupakan pusat pemerintahan, pendidikan dan perekonomian. Di bagian hulu merupakan sumber air bersih bagi warga di wilayah DAS Wanggu dan air irigasi sawah seluas 3500 ha di kecamatan Konda, Poassia dan Ranomeeto. Di wilayah DAS ini juga terdapat sarana Bandar udara Provinsi Sultra. Pentingnya peranan DAS Wanggu tersebut, perlu didukung oleh upaya pengelolaan dan pemeliharaan fungsi DAS dalam memelihara kelestarian fungsi hidrologi DAS, meningkatkan dan mempertahankan produktivitas lahan serta kelestarian teluk Kendari. Selain itu, juga diperlukan dukungan kebijakan penggunaan lahan alternatif di DAS Wanggu, khususnya penggunaan lahan dan agroteknologi yang dapat menjamin kelestarian ekologis, dan secara ekonomi dapat memenuhi kebutuhan hidup layak petani dan keluarganya. Dalam rangka mempertahankan fungsi strategis DAS Wanggu dalam kondisi perubahan penggunaan lahan yang terjadi terus-menerus dan mendapatkan model penggunaan lahan dan agroteknologi yang tepat, yakni dapat menekan erosi hingga lebih kecil dari erosi yang ditoleransikan dan mampu memberikan pendapatan bagi petani, melebihi pendapatan yang dapat memenuhi standar kebutuhan hidup layak, maka diperlukan penelitian secara komprehensif dan mendalam tentang “kajian dampak dinamika penggunaan lahan di DAS Wanggu terhadap sedimentasi di teluk Kendari Sulawesi Tenggara”. Rumusan Masalah DAS Wanggu merupakan DAS prioritas, sementara teluk Kendari merupakan icon Provinsi Sulawesi Tenggara mempunyai masalah yang kompleks. Masalah tersebut akan semakin kompleks jika dikaitkan dengan pemanfaatan sumberdaya
lahan
termasuk
hutan,
kesesuaian
penggunaan
lahan
dan
4
agroteknologi. Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dapat disimpulkan beberapa masalah sebagai berikut : 1. Dinamika penggunaan lahan yang tidak terkendali dan berlanjut terus menerus di DAS Wanggu telah menyebabkan berkurangnya luas hutan, yang mengakibatkan menurunnya kualitas lahan dan terganggunya kondisi hidrologi DAS. 2. Dampak dinamika penggunaan lahan telah menyebabkan degradasi lahan yang dicirikan oleh laju erosi, koefisien run off dan sedimentasi tinggi yang pada gilirannya meningkatkan laju pendangkalan di teluk Kendari, sehingga mengancam kelestariannya. 3. Dampak dinamika penggunaan lahan telah menyebabkan pendapatan petani rendah, yakni belum mencukupi kebutuhan hidup layak. 4. Belum adanya model penggunaan lahan dan agroteknologi yang tepat di DAS Wanggu yang mampu mencegah degradasi lahan dan meningkatan pendapatan petani hingga memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL). Kerangka Pemikiran DAS merupakan suatu sistem hidrologi dengan komponen utama tanah, air, vegetasi dan manusia. Di satu sisi, terdapat sub-sistem biofisik yang terdiri dari iklim, tanah, air, tumbuhan dan satwa. Di sisi lain, terdapat manusia sebagai pengelola sumber daya membentuk sub-sistem sosial (penduduk, teknologi, kebutuhan dan struktur sosial). Ada interaksi dan saling ketergantungan antar komponen penyusun DAS, sehingga perubahan penggunaan lahan yang terjadi dapat menjadi sumber perubahan karakteristik DAS (Sihite, 2004). Karakteristik spesifik DAS yang meliputi curah hujan, evapotranspirasi, aliran permukaan, kapasitas infiltrasi, sub surface run off, ground water, dan aliran sungai sangat ditentukan oleh unsur-unsur utama DAS. Unsur-unsur utama DAS tersebut adalah sifat-sifat tanah, vegetasi, topografi dan pengelolaan lahan (agroteknologi) yang akan mempengaruhi perilaku hidrologis yang berbeda antara suatu DAS dengan DAS lainnya. Demikian pula potensi sumber daya alam DAS akan memberikan berbagai peluang penggunaan lahan yang akan berdampak pada karakteristik tanah, hidrologis, besarnya erosi dan sedimentasi yang terjadi di wilayah DAS (on-site) dan out let (off-site).
5
Dinamika penggunaan lahan terutama penurunan luas hutan secara drastis menjadi penggunaan lahan pertanian tanpa konservasi tanah dan air yang sesuai, akan menyebabkan subsistem hidrologis terganggu, sehingga mengakibatkan terjadinya fluktuasi debit aliran sungai yang tinggi pada musim hujan dan musim kemarau, peningkatan laju erosi yang tinggi, penurunan kesuburan tanah, produksi dan pendapatan petani. Waspodo (2007) menyatakan bahwa berkurangnya luas hutan dan praktek bercocok tanam yang kurang sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air dapat menyebabkan berkurangnya reservoir dan akan memberikan sumbangan yang signifikan terhadap terjadinya perubahan perilaku aliran air berlebihan (banjir) di musim hujan dan kelangkaan air (kekeringan) di musim kemarau. Selain itu, juga mempengaruhi ketersediaan air (kuantitas dan kualitas) dan produktivitas lahan. Dinamika penggunaan lahan di DAS Wanggu yang menyebabkan berkurangnya luas hutan secara signifikan akibat dikonversi menjadi lahan pertanian dan non pertanian dari waktu ke waktu telah meningkatkan fluktuasi debit sungai dengan ratio (Qmax/Qmin > 30) dan ketinggian air 3,5 – 4 m (Dinas PU Sultra, 2008). Selain itu, juga erosi yang terjadi telah melampaui erosi yang diperbolehkan (55,3 ton/ha/th > 32,7 ton/ha/th). Dampak erosi lahan dan erosi infrastruktur tersebut telah menyebabkan sedimentasi di teluk Kendari mencapai 760.040 m3/th dalam periode 1995 – 2000, sehingga kedalaman teluk semakin dangkal, yaitu sekitar 0 – 23 m pada saat air pasang (Iswandi, 2003).
Jika
kecenderungan ini terus berlanjut, maka pada gilirannya akan terjadi defisit air pada musim kemarau, banjir dimusim hujan dan produktivitas lahan semakin menurun serta laju pendangkalan teluk Kendari semakin cepat. Dampak dari berbagai aktivitas penggunaan lahan pertanian yang tidak sesuai dengan kemampuannya menyebabkan erosi tanah dan banjir di musim hujan, sebaliknya tanaman kekurangan air bahkan sungai kekeringan di musim kemarau yang pada gilirannya mengakibatkan sedimentasi sangat tinggi (Sinukaban, 2007). Selain penggunaan lahan di atas, kegiatan infrastruktur di DAS Wanggu seperti; pembangunan jalan raya dan Baypass (jalan negara, jalan provinsi, kabuapten dan jalan desa) dengan cara urugan atau penimbunan, pembangunan permukiman, perkantoran, perhotelan, pusat pelayanan kesehatan, Pelabuhan
6
PELNI/Pelabuhan Rakyat, serta penambangan pasir di sungai serta pelebaran sungai
menjadi sumber erosi yang sangat tinggi pada musim hujan, yang
menghasilkan sedimentasi di saluran drainase, badan sungai dan teluk Kendari. Sampah penduduk merupakan salah satu sumber sedimentasi penyebab pendangkalan di teluk Kendari yang berasal dari kota Kendari yang letaknya mengelilingi teluk. memberikan dampak terhadap sedimentasi dan kerusakan lingkungan di sekitar teluk Kendari. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa konversi hutan menurunkan kualitas tanah, tetapi akan meningkat kembali dengan pemberaan, penerapan konservasi tanah dan air yang tepat atau dengan sistem agroforestry kakao (Marwah, 2007; Handayani, 2001; Anas et al., 2005; Murtilaksono et al., 2005). Dalam rangka mempertahankan fungsi hidrologis, peningkatan produktivitas lahan pertanaian, pendapatan dan kelestarian kesuburan tanah/sumberdaya lahan di DAS Wanggu diperlukan penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahannya dan penerapan agroteknologi yang tepat, dapat menekan erosi hingga lebih kecil dari erosi yang ditoleransikan dan memberikan pendapatan bagi petani melebihi pendapatan yang dapat memenuhi standar kebutuhan hidup layak. Menurut Sinukaban (2007), penggunaan lahan yang sesuai kemampuan lahannya, agroteknologi dan sosial ekonomi masyarakat petani dapat memberikan dampak posistif melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian, pendapatan dan kelestarian kesuburan tanah/sumberdaya lahan, penggunaan agroteknologi yang disertai dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air yang memadai, maka akan tercipta pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Disamping landasan teoritis di atas, pendangkalan di teluk Kendari diperlukan juga kebijakan pengelolaan sampah dan penanggulangan sedimentasi bersumber dari erosi infrastruktur, tebing sungai, dan tanah longsor untuk menjamin terpeliharanya kelestarian fungsi teluk yang strategis. Selain itu, dukungan kebijakan penggunaan lahan dan agroteknologi alternatif yang dapat menjamin kelestarian lahan dan pendapatan memenuhi kebutuhan hidup layak bagi petani dan keluarganya. Secara ringkas kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
7
Penggunaan lahan di DAS Wanggu & Teluk Kendari
Aktivitas pertanian, penambangan/penggalian tanah & penimbunan sekitar teluk
Aktivitas di teluk : dermaga, transportasi, restoran terapung, & olah raga air
Erosi tinggi
Aktivitas sekitar teluk : konsumsi, industri, transportasi, budidaya tambak & ekowisata
Sampah Sedimentasi
Pemanfaatan Teluk Kendari (Nilai Ekonomi) Pelabuhan (PELNI & lokal), industri perikanan, pertamina, tempat pelelangan ikan Ekowisata Restoran/warung Budidaya & penangkapan ikan Kawasan industri Olah raga dayung Riset Habitat mangrove
Pemanfaatan Teluk Kendari Berkelanjutan
Dampak Negatif (Fisik-Ekonomi)
Pendangkalan Teluk
Strategi/Kebijakan Penanggulangan
Pengerukan Kuratif
Pengelolaan Sampah Preventif
Pengelolaan lahan daerah hulu, tengah, dan hilir
Penilaian Ekonomi Manfaat Biaya
Pengel. lahan Berkelanjutan
1.1. Tujuan Penelitian Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian
Erosi < ETol Debit sungai tahunan tidak fluktuatif (Qm/Qa< 30) Ketersediaan air cukup (konsumsi, irigasi, industri) Pendapatan petani > KHL
8
Tujuan Penelitian
Penelitan ini bertujuan :
1. Mengkaji dinamika penggunaan lahan dan keadaan biofisik lahan existing di DAS Wanggu, 2. Mengkaji dampak dinamika penggunaan lahan di DAS Wanggu terhadap penurunaan luas lahan hutan, erosi, run off, koefisien run off, fluktuasi debit air, pendapatan petani pada kebun campuran, tegalan/sawah, dan sedimentasi di teluk Kendari, 3. Mengembangkan model perencanaan penggunaan lahan dan agroteknologi alternatif yang mampu meningkatkan kualitas lahan seperti: kapasitas infiltrasi tanah dan intersepsi potensial, dan pendapatan petani, menurunkan run off, koefisien run off, laju erosi dan sedimentasi di teluk Kendari, dan 4. Merumuskan model perencanaan penggunaan lahan dan agrotekonologi alternatif yang tepat dalam pengelolaan DAS Wanggu berkelanjutan dan kelestarian teluk Kendari.
Hipotesis Berdasarkan latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian dan kerangka pemikiran di atas, maka dirumuskan beberapa hipotesis, sebagai bberikut : 1. Dinamika penggunaan lahan di DAS Wanggu telah menyebabkan penurunan luas hutan diikuti peningkatan luas kebun campuran, tegalan dan pemukiman, memberikan dampak negatif terhadap penurunan kualitas lahan, peningkatkan laju erosi, run off, koefisien run off, sedimentasi dan laju pendangkalan yang tinggi serta berkurangnya kapasitas teluk Kendari menampung air. 2. Kesesuaian penggunaan lahan dan penerapan agroteknologi usahatani yang tepat akan memberikan dampak terhadap peningkatan kualitas lahan, produktivitas lahan dan pendapatan petani memenuhi kebutuhan hidup layak, sehingga pengelolaan lahan berkelanjutan (sustainable land management) di DAS Wanggu dan pemanfaatan teluk Kendari lestari.
9
Kegunaan dan Kebaharuan Penelitian Kegunaan penelitian sebagai berikut : 1. Sebagai masukan bagi petani di wilayah DAS Wanggu dalam menekan laju penuruna lahan hutan, penerapan agroteknologi yang tepat, mampu meningkatkan produktivitas lahan, ketersediaan air dan pendapatan petani secara berkelanjutan sekaligus mepertahankan kelestarian teluk Kendari. 2. Sebagai bahan rekomendasi bagi pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tenggara, Kota Kendari, Konawe, Konawe Selatan dan BPDAS Sultra dalam menentukan
kebijakan
model
perencanaan
penggunaan
lahan
dan
pengelolaan DAS Wanggu berkelanjutan, dan pengendalian sedimentasi di teluk Kendari. 3. Pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang terkait dengan penggunaan lahan berkelanjutan di DAS Wanggu dan kelestarian teluk Kendari . Kebaharuan (Novelty) Penelitian sebagai berikut : 1.
Memberikan hasil kajian secara komprehensif mengenai dampak dinamika penggunaan lahan di DAS Wanggu periode 1960 – 2010 terhadap sedimentasi kumulatif di teluk Kendari yang berasal dari erosi pembangunan infrastruktur-tebing sungai-tanah longsor sebesar 49.292.191,7 m3 (88,3%) atau 954.000 m3 per tahun, sampah penduduk 1.089.165,0 m3 (2,0%) atau 21.310 m3 per tahun, dan erosi lahan (pertanian, semak belukar, pemukiman dan kehutanan) sebesar 5.150.182,4 m3 (9,3%) atau 104.000 m3 per tahun.Memberikan solusi
alternatif pengendalian degradasi lahan dan
sedimentasi di teluk Kendari, melalui model penggunaan lahan dan agroteknologi alternatif yang berkelanjutan di DAS Wanggu yaktu: hutan 33%, kebun campuran 44% dengan pola Agrosilvopastoral perenniel crops, semak belukar 1%, tegalan 9% dengan pola multiple cropping dan pemukiman 13%, dengan erosi lebih kecil erosi yang dapat ditoleransikan (erosi 9,7 ton/th < Etol 12,1 ton/th), sedimen lebih kecil sedimen yang dapat ditoleransikan (sedimen 54.300,0 ton/th < sedimen Etol 67.700,0/th) dan pendapatan petani dari hasil usahataninya Rp 24.000.000 > Rp 22.000.000 kebutuhan hidup layak.
10
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini meliputi penggunaan lahan di daerah hulu, tengah dan hilir yang terdiri dari : 1) aktivitas pembangunan pertanian (kebun campuran dan tegalan/sawah) sebagai dampak alih fungsi hutan, 2) aktivitas pembangunan infrastruktur (penimbunan dan urugan untuk pembangunan jalan, pemukiman, perkantoran, restoran dan perhotelan di hulu, tengah dan hilir, 3) tambang galian pasir di tengah dan hilir, 4) aktivtias
infrastruktur di teluk Kendari berupa:
penimbunan untuk perluasan pelabuhan PELNI dan pelabuhan Rakyat, 5) kegiatan kunjungan wisata/ekowisata, restoran terapung dan warung tenda. Kelima kegiatan tersebut masing-masing berpotensi menimbulkan fluktuasi debit sungai dan erosi tinggi, produktivitas tanah dan pendapatan petani rendah, dan sumber sampah yang pada gilirannya menjadi penyebab terjadinya sedimentasi di teluk dan mengancam kelestarian fungsi teluk kendari. Strategi penanggulangan sedimentasi, sehingga tidak menyebabkan pendangkalan di teluk Kendari sebagai berikut : 1. Pengelolaan lahan di bagian hulu, tengah dan hilir yang meliputi : a) model penggunaan lahan sesuai kemampuan dan kesesuaian lahannya, b) agroteknologi (pola tanam, teknik konservasi tanah dan air), sehingga menghasilkan erosi < ETol, fluktuasi debit aliran tahunan menjadi kecil (Qmax/Qmin < 30) dan peningkatan produksi yang memberikan pendapatan > KHL bagi petani. 2. Pengelolaan limbah dan sampah pada pemukiman di DAS Wanggu dan di sekitar teluk Kendari 3. Pengerukan sedimen di teluk Kendari sebagai program jangka pendek oleh pemerintah setempat.
11
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batasbatas topografi secara alami sedemikian rupa sehingga setiap air hujan yang jatuh di dalamnya akan mengalir melalui titik tertentu (out let).
Pengertian DAS
tersebut menggambarkan bahwa suatu wilayah yang mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan terlarut melalui suatu aliran atau sungai ke outlet (Sinukaban, 2007). DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainnya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU RI No.7/2004). Oleh sebab itu, dari segi hidrologi, erosi dan sedimentasi, DAS dapat dianggap sebagai suatu sistem dimana perubahan yang terjadi di suatu bagian akan mempengaruhi bagian lain dalam DAS tersebut. Berbagai kegiatan dalam pengelolaan dan pengembangan DAS yang dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas air, yang pada gilirannya kualitas seluruh lingkungan hidup, antara lain penebangan hutan, penambangan, permukiman, lingkungan pabrik, perubahan penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan air, pengembangan pertanian lahan kering termasuk tanaman pangan, tanaman perkebunan seperti tebu, karet, kelapa sawit, dan perubahan agroteknologi. Pengertian DAS tersebut di atas, menggambarkan Daerah aliran sungai yang merupakan suatu sistem hidrologi yang di dalamnya terjadi suatu proses interaksi antara faktor-faktor biotik, nonbiotik dan manusia. Sebagai suatu sistem, maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, akan terjadi proses yang berlangsung di dalamnya, dan dapat dievaluasi berdasarkan keluaran (output) dari sistem tersebut. Karakteristik spesifik DAS dari sejumlah komponen penyusunnya seperti curah hujan, evapotranspirasi, aliran permukaan, infiltrasi, aliran bawah permukaan, aliran air bawah tanah, dan aliran sungai yang berkaitan dengan unsur-unsur utama DAS. Unsur-unsur utama Das tersebut, yaitu sifat-sifat tanah,
12
vegetasi, topografi dan pola pengelolaan lahan yang akan mempengaruhi perilaku hidrologis yang berbeda antara suatu DAS dengan DAS lainnya. Karakteristik hujan dan aliran permukaan akan mencerminkan potensi penyediaan energi dan massa dalam proses erosi dan sedimentasi. Demikian pula potensi sumberdaya alam dalam DAS akan memberikan berbagai peluang penggunaan lahan dan akan berdampak pada karakteristik, aliran permukaan, serta besarnya erosi dan sedimentasi yang terjadi di wilayah DAS tersebut. DAS dapat dibedakan berdasarkan bentuk atau pola yang akan menentukan pola hidrologi DAS. Pola aliran sungai pada suatu DAS dipengaruhi oleh faktor geomorpologi, topografi, iklim dan vegetasi yang selanjutnya menentukan bentuk DAS (Soewarno, 1991), sebagai berikut : 1) DAS memenjang (bulu burung) dicirikan oleh induk sungainya memenjang dengan anak-anak sungainya langsung masuk ke induk sungai, biasanya mempunyai debit banjir relatif kecil, 2) Radial dicirikan oleh alur sungai seolah-olah memusat pada satu titik sehingga berbentuk radial atau kipas dan bila hujan merata diseluruh DAS sering mangalami banjir besar, 3) Paralel dicirikan oleh dua jalur sub DAS yang bersatu di bagian hilirnya, 4) Komplek dicirikan oleh gabungan dasar dua atau lebih bentuk DAS. . Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Pengelolaan DAS adalah rangkaian upaya yang dilakukan oleh manusia untuk memanfaatkan sumberdaya alam DAS secara rasional guna memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf hidup serta tetap membina hubungan yang harmonis antara sumberdaya alam dan manusia serta keserasian ekosistem secara lestari (Sinukaban, 2007).
Setiap kegiatan dalam DAS harus memenuhi
tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Suatu kegiatan pembangunan berkelanjutan harus dapat mewujudkan paling sedikit tiga indikator utama secara simultan, yaitu pendapatan yang cukup tinggi dan relatif merata, teknologi yang digunakan tidak mengakibatkan degradasi lingkungan dan dapat diterima (acceptable), serta dapat dikembangkan oleh masyarakat (replicable) dengan sumberdaya lokal yang dimiliki.
13
DAS sebagai suatu sistem yang pengelolaannya bertujuan untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan, maka sasaran pengelolaan DAS akan menciptakan ciri-ciri yang baik sebagai berikut : (1) mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi. Untuk itu, harus dipilih komoditas pertanian yang cocok dengan faktor biofisik setempat dan dikelola dengan agroteknologi yang tepat, sehingga produktivitas tetap tinggi dan kelestarin kualitas lahan terjaga
serta
mendukung
kehidupan
yang
layak
bagi
petani
yang
mengusahakannya; (2) mampu mewujudkan pemerataan produktivitas di seluruh DAS, (3) dapat menjamin kelestarian sumberdaya air. Fungsi hidrologis DAS harus dapat terjaga kelestarinnya yang dicirikan oleh ketersediaan sumberdaya air yang yang merata sepanjang tahun baik kuantitas, kualitas dan terdistribusi di seluruh DAS. Menurut Hufschmidt (1987), kerangka pemikiran pengelolaan DAS didasarkan pada tiga dimensi pendekatan analisis yaitu : (1) pengelolaan DAS sebagai proses yang melibatkan langkah-langkah perencanaan dan pelaksanaan yang terpisah tetapi saling berkaitan, (2) pengelolaan DAS sebagai sistem perencanaan pengelolaan dan alat implementasi program pengelolaan DAS melalui kelembagaan yang relevan dan terkait; dan (3) pengelolaan DAS sebagai serial aktivitas yang masing-masing berkaitan dan memerlukan perangkat pengelolaan yang spesifik. Menurut Manan (1977), pengelolaan DAS berarti pengelolaan sumberdaya alam yang meliputi tanah, air dan vegetasi. Oleh karena itu, pengelolaan DAS juga merupakan pengelolaan lahan untuk produk air dengan kuantitas optimum, pengaturan produk air dan stabilitas tanah yang maksimum. Selanjutnya Al-Rasyd dan Samingan (1980) mengatakan bahwa orientasi dalam pengelolaan DAS, seharusnya kepada konservasi tanah dan air dengan penekanan kepada upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kondisi tata air yang baik dicerminkan oleh ketersediaan air yang cukup sepanjang tahun, baik kuantitas maupun kualitas dan mudah terjangkau. Pengelolaan DAS merupakan upaya menjaga keseimbangan dan berfungsinya unsur-unsur tanah dan vegetasi dengan baik sesuai syarat-syarat yang diperlukan. Upaya pokok yang dilakukan dalam pengelolaan DAS harus terintegrasi dan tidak parsial antara lain : 1) pengelolaan lahan melalui usaha
14
konservasi tanah dalam arti luas, 2) pengelolaan air melalui pengembangan sumberdaya air, 3) pengelolaan vegetasi hutan yang memiliki fungsi perlindungan terhadap tanah dan air, dan 4) pembinaan kesadaran manusia dan pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam secara bijaksana. Tujuan pengelolaan DAS secara ringkas adalah : 1) menyediakan air, mengamankan
sumber-sumber
air
dan
mengatur
pemakaian
air;
2)
menyelamatkan tanah dari erosi serta meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah; dan 3) meningkatkan pendapatan masyarakat.
Untuk
mewujudkan tujuan tersebut, maka aspek-aspek yang perlu diperhatikan sebagai berikut : 1) aspek fisik teknis, yaitu penataan pola penggunaan lahan sebagai prakondisi dalam mengusahakan dan menerapkan teknik yang tepat, sehingga pengelolaan DAS akan memberikan manfaat yang optimal dan kelestarian lingkungan tercapai; 2) aspek manusia, yaitu mengembangkan pemahaman, kesadaran sikap (attitude consciousness) dan kemauan (willingness) agar tindakan dan pengaruh terhadap sumberdaya alam di DAS dapat mendukung usaha dan tujuan pengelolaan; 3) aspek institusi, yaitu menggerakkan aparatur sehingga struktur dan prosedur dapat memfasilitasi penyelenggaraan pengelolaan DAS secara efektif dan efisien; dan 4) aspek hukum, yaitu adanya peraturan perundangan yang mendukung legalitas penyelenggaraan pengelolaan DAS. Disamping itu, juga untuk melakukan prinsip konservasi tanah dan air bagi produksi air (kuantitas dan kualitas) serta pemeliharaan tanah (pencegahan erosi dan banjir).
Dengan demikian, tujuan pengelolaan DAS untuk mewujudkan
kondisi optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga memberikan manfaat yang maksimal dan berkelanjutan (sustainable) bagi kesejahteraan manusia. Peningkatan kesejahteraan manusia sangat tergantung kepada bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang terdapat di dalam DAS (Nasoetion dan Anwar, 1981). Oleh karena itu, tantangan yang paling utama dalam pengelolaan DAS adalah bagaimana mengembangkan rencana pengelolaan untuk mencapai berbagai tujuan yang saling bertentangan, terutama strategi pengelolaan DAS yang memungkinkan bagi petani daerah hulu menghasilkan bahan pangan dan dapat memenuhi kebutuhan kayu yang berbasis berkelanjutan (sustainable) tanpa
15
merusak kemampuan DAS untuk menghasilkan air yang berkualitas dalam jumlah yang cukup dan tersedia secara terus-menerus (Pasaribu, 1999). Penggunaan Lahan Penggunaan lahan pada suatu wilayah sangat dinamis mengikuti jumlah dan jenis mata pencaharian penduduk. Oleh sebab itu, perubahan penggunaan lahan mencerminkan aktivitas dinamis suatu masyarakat, sehingga semakin cepat dinamika tersebut berlangsung, semakin cepat pula perubahan dalam penggunaan lahan (Sandy, 1982). Namun demikian, seluruh DAS yang terdiri dari: fungsi lindung, produksi dan pemukiman harus diseimbangkan untuk kebutuhan penduduk yang pemanfaatan lahannya berdasarkan klasifikasi kemampuan dan kesesuaian penggunaan lahan (Pasaribu, 1999). Untuk tujuan pertanian berkelanjutan, rehabilitasi lahan dan tindakan konservasi tanah dan air merupakan usaha paling penting mendapat perhatian. Salah satu tindakan konservasi tanah yang dianggap sangat penting adalah pengembalian bahan organik ke dalam tanah sebanyak mungkin, baik sisa tanaman sebagai mulsa dan pupuk hijau, maupun sisa kotoran hewan sebagai pupuk kandang, penggunaan pola tanam, kebun campuran dan model – model agroforestry yang dikelola dengan baik dan jenis tanaman yang sesuai. Dalam konteks pembangunan pertanian berkelanjutan pada dasarnya adalah kemampuan lahan untuk tetap reproduktif sekaligus mempertahankan basis sumberdaya alam yang berorientasi pada kesejahteraan sosial, pertumbuhan ekonomi dan ketahanan lingkungan. Sinukaban (1999) mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan mempunyai ciri-ciri: mantap secara ekologis (erosi aktual < ETol), dapat berlanjut secara ekonomi (produksi dan pendapatan yang tinggi secara lestari), teknologi dapat diterima oleh masyarakat (aplicable dan replicable). Menurut FAO (1995), pertanian berkelanjutan dan pembangunan pedesaan didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam secara konservasi dengan orientasi teknologi dan perubahan institusi sebagai suatu cara untuk mencapai hasil yang berkelanjutan dimana sumberdaya tanah, air, tanaman dan genetik hewan terpelihara atau lingkungan tidak terdegradasi, teknologi yang tepat, dan memberikan pendapatan yang tinggi secara terus menerus dan sesuai dengan kondisi sosial-budaya setempat. Oleh karena itu, penggunaan lahan yang
16
berkelanjutan merupakan suatu tindakan untuk memenuhi kebutuhan produksi dari penggunaan lahan sekarang tetapi memelihara sumberdaya alam pokok untuk generasi mendatang. Keberlanjutan suatu sistem penggunaan lahan tergantung pada fleksibilitasnya dalam keadaan lingkungan yang terus berubah. Adanya keanekaragaman sumberdaya genetik yang tinggi pada tingkat usahatani akan menunjang fleksibilitas ekosistem (Reijntjes, 1999). Dampak Penggunaan Lahan Perubahan penggunaan lahan dan penerapan agroteknologi di
suatu
wilayah dapat berdampak positif dan juga negatif terhadap ketersediaan dan kualitas sumberdaya tanah dan air pada suatu DAS. Oleh karena itu, sumberdaya alam utama yang harus diperhatikan dalam pengelolaan DAS adalah sumberdaya hayati, tanah dan air.
Sumberdaya biofisik tersebut pekah terhadap berbagai
macam kerusakan (degradation) seperti kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity), kehilangan tanah (erosion), kehilangan unsur hara dari daerah perakaran/terangkut bersama panen (soil fertility decrease), akumulasi garam (salinity), penggenagan (water logging) dan akumulasi limbah industri atau limbah kota (pollution)(El Swaify et al. 1983). Dampak penggunaan lahan pada suatu wilayah DAS berhubungan erat dengan kesesuaian/kemampuan penggunaan lahan. Kesesuaian penggunaan lahan dalam DAS ditentukan oleh persentase luas penggunaan lahan yang sesuai dengan fungsi kawasan dan luas DAS yang berdasarkan data fungsi kawasan dari RTRWP/RTRWK (Menhut, 2005). Selain itu, penggunaan lahan dapat terjamin kelestariannya, apabila penggunaan lahan tersebut sesuai kelas kemampuan lahan (land capability). Dampak Penggunaan Lahan Terhadap Erosi Perubahan penggunaan lahan menyebabkan terjadinya erosi yang dapat berdampak pada tapak (on-site), yaitu dampak yang terjadi di lahan produksi yang menimbulkan penurunan produktivitas.
Hal ini mengakibatkan terjadinya
kehilangan produksi, peningkatan penggunaan pupuk dan kehilangan lapisan olah tanah yang akhirnya mengakibatkan terjadinya tanah kritis.
Selain itu, erosi
17
berdampak di luar lahan pertanian (off-site) yaitu terjadi di bagian hilir berupa sedimen. Sedimen hasil erosi tanah dan kontaminan yang ikut terbawa dapat menimbulkan kerugian dan biaya yang sangat besar dalam kehidupan.
Secara
rinci dampak erosi tanah di luar lahan pertanian (off-site) terlihat dalam bentuk : 1) pelumpuran dan pendangkalan waduk/teluk di bagian hilir (muara), 2) pendangkalan pada saluran irirgasi/drainase, 3) tertimbunnya lahan pertanian dan permukiman (bangunan), 4) memburuknya kualitas air, dan 5) kerugian ekosistem perairan (Arsyad, 1989). Dampak erosi pada tapak (on-site) dan di luar tapak (offsite) ditunjukkan pada Gambar 2.
Erosi
Off-site effect (sediment & kontaminan)
On-site effect
Penurunan produktivitas lahan
Gambar 2.
In stream impact - cadangan air - rekreasi - kualitas air - biologis - kesehatan -
Off stream impact - banjir - pelumpuran - kekeruhan air - ketersediaan air bersih & industri
Dampak erosi pada tapak (on-site) dan di luar tapak (off-site) (Arsyad, 1989)
Dampak erosi pada off-site berupa sedimen dan kontaminan yang terkandung di dalamnya akan berpengaruh pada badan air (in stream impact) di luar badan air (off stream impact).
Dampak pada badan air dapat berupa
berkurangnya cadangan air, potensi rekreasi menurun, kualitas air menurun dan kehidupan satwa di dalam air juga menurun akibat keberadaan bahan pencemar/kontaminan atau sebaliknya dapat terjadi ledakan populasi (eutrofikasi). Kontaminan ini semakin besar jika petani semakin intensif menggunakan bahan pupuk dan pestisida. Bahan pupuk dan pestisida ini sebagian terikat di dalam tanah dan sebagian terangkut melalui hasil panen dan juga terangkut bersama
18
sedimen hasil erosi melalui aliran permukaan. Selain itu, kontaminan ini juga menjadi sumber polusi yang masuk ke badan air, dan dikenal dengan non-point source pollution (NPSP). Dampak erosi di luar badan air (off stream impact) dapat berupa banjir, pelumpuran dan air menjadi keruh sehingga ketersediaan air bersih untuk air minum dan industri menjadi terbatas.
Disamping itu, dibutuhkan
pertambahan biaya untuk penjernihan air. Banjir terjadi akibat meluapnya air dari badan air yang melebihi kapasitasnya yang disebabkan oleh menumpuknya sedimen pada saluran sehingga kapasitas saluran berkurang sangat besar. Oleh karena itu, penanggulangan dampak erosi di daerah tropis basah seperti penurunan produktivitas tanah, sedimentasi, banjir dan kekeringan, termasuk jenis kerusakan DAS memerlukan penanganan segera dengan menggunakan teknologi yang telah dikuasai maupun teknologi baru, agar degradasi lingkungan tidak berlanjut mencapai tingkat yang gawat (Sinukaban, 2007). Dampak Penggunaan Lahan Terhadap Sumberdaya Air Sumberdaya air merupakan sumberdaya alam yang dinamis dibanding dengan sumberdaya alam lainnya seperti tanah dan vegetasi di dalam ekosistem DAS, dimana dampak penggunaan lahan terhadap sumberdaya air bergantung pada faktor biofisik lahan (iklim, topografi, tanah dan vegetasi) dan faktor sosial ekonomi termasuk kesadaran dan kemampuan ekonomi (economic ability and awareness) petani, praktek pengelolaan, dan infrastruktur. Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap sumberdaya air pada suatu DAS dapat dibagi atas tiga bagian utama, yaitu dampak perubahan penggunaan lahan terhadap : 1) tata air (water system), 2) ketersediaan air (Water availability) dan 3) kualitas air (water quality). Perubahan Penggunaan lahan pada suatu DAS mempunyai dampak posistif maupun negatif terhadap tata air (Water System). Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap tata air yang menggambarkan kondisi hidrologis pada suatu DAS terdiri dari: koefisien regim aliran, koefisien aliran tahunan, muatan sedimen, frekuensi banjir dan indeks penggunaan air (Menhut, 2005). Koefisien regim aliran (Kra) ditentukan oleh debit maksimum bulanan tertinggi dalam satu tahun (Qmb), debit rataan bulanan (Qrb) dan kekasaran
19
permukaan/konstata (c). Debit maksimum bulanan (Qmb) dan debit rataan bulanan (Qrb) dipengaruhi oleh curah hujan, luas DAS, penutupan lahan, jenis tanah, topografi dan kekasaran permukaan. Perbedaan Qmb dan Qrb terletak pada debit tertinggi dalam tahun-tahun terakhir. Makin tinggi debit maksimum bulanan (Qmb) berarti makin besar nilai koefisien regim aliran (Kra). Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi hidrologis/tata air DAS makin terganggu. Koefisien aliran tahunan (Kat) ditentukan oleh debit rataan tahunan (Q), curah hujan rataan tahunan (CH) dan luas DAS (A). Kat dipengaruhi oleh curah hujan, jenis tanah, topografi, penutupan/penggunaan lahan, luas DAS dan kekasaran permukaan.
Makin tinggi debit rataan tahunan (Q) dan makin kecil
luas DAS pada intensitas curah hujan tertentu maka makin besar nilai koefisien aliran tahunan (Kat). Hal ini mengindikasikan kondisi hidrologis/tata air DAS makin terganggu, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap tata air DAS. Muatan sedimen (MS) ditentukan oleh konsentrasi sedimen (Cs), debit rataan tahunan (Q), luas DAS (A) dan rasio penghantaran sedimen (SDR). MS dipengaruhi oleh curah hujan, jenis tanah, penutupan/penggunaan lahan, luas DAS dan kekasaran permukaan.
Makin tinggi nilai debit rataan tahunan (Q) dan
konsentrasi sedimen (Cs), serta luas DAS (A) dan nilai rasio penghantar sedimen (SDR) yang makin kecil, maka makin besar nilai MS. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi hidrologis/tata air DAS makin terganggu. Dengan kata lain bahwa penggunaan lahan pada DAS tersebut tidak sesuai dengan kemampuan lahannya dan menimbulkan dampak negatif terhadap tata air DAS. Sebaliknya, makin kecil nilai MS berarti kondisi hidrologis DAS masih baik, sehingga tata air DAS juga makin baik (Menhut, 2005). Frekuensi banjir (Fb) merupakan banyaknya kejadian banjir yang terjadi dalam periode satu tahun dalam suatu wilayah DAS. Banjir didefinisikan sebagai meluapnya air sungai atau danau atau laut yang menggenangi areal tertentu yang secara signifikan menimbulkan kerugian baik materi maupun non materi terhadap manusia dan lingkungannya. Indeks penggunaan air (Ipa) diperoleh dari total jumlah air yang dibutuhkan untuk irigasi, domestik, municiple, industri dan penggelontoran kota dibagi dengan debit andalan. Ipa dipengaruhi oleh luas lahan sawah, jumlah
20
penduduk, jumlah dan jenis industri dan tingkat perkembangan kota. Sedangkan debit air dipengaruhi oleh curah hujan, jenis tanah, penutupan/penggunaan lahan, luas DAS dan kekasaran permukaan. Apabila pertanian intensif (sawah, hortikultura) dan pertamanan, jumlah penduduk, industri dan perkotaan semakin maju, maka debit andalan (Qa) akan semakin rendah. Sebaliknya, nilai indeks penggunaan air (Ipa) akan semakin besar. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai Ipa berarti semakin kritis suatu Waduk atau kondisi hidrologi DAS semakin terganggu, sehingga membutuhkan perioritas penanganan. Dampak Penggunaan Lahan Terhadap Ketersediaan Air Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap ketersediaan air, menggambarkan kuantitas air yang tersedia untuk berbagai penggunaan yang terdiri dari: 1) aliran permukaan rataan tahunan (mean annual surface runoff), 2) aliran puncak/banjir (peak discharge/flooding), 3) aliran dasar (base flow) di musim kemarau dan 4) pengisian kembali air bawah tanah (ground water). Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap aliran permukaan rataan tahunan merupakan fungsi dari variabel regim aliran dan tanaman penutup tanah yang berhubungan dengan evapotranspirasi (ET). Perubahan penggunaan lahan yang memiliki tanaman ET yang lebih rendah menjadi tanaman yang lebih tinggi akan menyebabkan penurunan aliran sungai tahunan.
Sebaliknya, perubahan
tanaman yang memiliki ET tinggi ke tanaman yang memiliki ET rendah akan meningkatkan aliran permukaan rataan (Bosch dan Hewlett, 1982; Calder, 1992). Akan tetapi menurut Bosch dan Hewlett (1982), pengecualian pada cloud forest yang
dapat
mempertahankan
kelembababannya
yang
tinggi
dari
pada
evapotranspirasinya termasuk hutan rapat yang sudah sangat tua dari spesies tertentu. Hal ini disebabkan oleh hutan rapat yang sudah sangat tua akan menyerap air lebih sedikit dibanding tanaman berumur muda atau baru tumbuh akibat pemangkasan (Calder, 1998). Meskipun demikian, dampak tersebut sangat tergantung pada praktek pengelolaan dan alaternatif penggunaan lahan serta faktor lain seperti kehilangan air melalui transmisi atau kebocoran/infiltrasi channel. Aliran puncak dapat meningkat sebagai hasil dari perubahan penggunaan lahan, jika kapasitas infiltrasi tanah menurun karena pemadatan, erosi, atau ketika
21
kapasitas drainase meningkat. Peningkatan aliran puncak dapat disebabkan oleh penebangan hutan,
sehingga jumlah presipitasi
yang langsung sampai
kepermukaan tanah meningkat sebagai aliran permukaan pada saat hujan lebat, tetapi dengan adanya penutup tanah aliran permukaan dapat berkurang (Bruijnzeel, 1990). Selain itu, peningkatan aliran permukaan dapat disebabkan oleh pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya yang pengaruhnya signifikan terhadap jumlah aliran permukaan. Dampak penggunaan lahan terhadap aliran permukaan pada suatu DAS juga disebabkan oleh penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan/kelas kesesuaian lahan, jenis agroteknologi (teknologi konservasi tanah dan air, intensitas penggunaan/pengolahan lahan, tanaman yang diusahakan, jarak tanam dan pola tanam)
yang diaplikasikan
(Alwi, 2004; Alwi dan Marwah 2007). Pada basin river pengaruh penggunaan lahan terhadap aliran puncak tergantung pada waktu, perbedaan penggunaan lahan dan curah hujan (Bruijnzeel, 1990). Pengaruh penggunaan lahan terhadap aliran dasar tergantung pada proses kompetisi antara evapotranspirasi (ET) dan kapasitas infiltrasi. Penghutanan kembali (reforestation) di daerah tropis dapat menyebabkan penurunan aliran di musim kemarau akibat peningkatan ET. Program penghutanan kembali di Mac Tang, Thailand menyebabkan ketersedian cadangan air di daerah hilir pada musim kemarau oleh adanya tanaman, tetapi ketersedian air irigasi menjadi rendah (Chomitz dan Khumari, 1996). Namun, di Fiji dengan hutan pinus berskala besar (60.000 ha) beserta rumput menyebabkan penurunan aliran dasar (base flow) 50 – 60 %, sehingga memerlukan penggunaan alat hidro elektrik yang beresiko terhadap pasokan air minum (FAO, 1998). Pengisian kembali air bawah tanah dapat meningkat atau menurun akibat dampak praktek penggunaan lahan. Hal ini juga sangat ditentukan oleh ET vegetasi penutup tanah dan kapasitas infiltrasi tanah. Permukaan air tanah dapat meningkat sebagai akibat penurunan ET dan meningkatnya kapasitan infiltrasi seperti penghutanan kembali pada tanah-tanah terdegradasi.
Sebaliknya,
permukaan air tanah dapat menurun akibat penurunan kapasitas infiltrasi tanah seperti penerapan usahatani tanpa tindakan konservasi tanah dan air serta pemadatan tanah. Menurut Chomitz dan Khumari (1996), padang rumput yang
22
disebabkan oleh praktek perladangan berpindah (shifty cultivation) dapat menyebabkan kekurangan air (penurunan permukaan air tanah) di musim kemarau dan melimpah (peningkatan permukaan air tanah) di musim hujan dan pengisian air bawah tanah dapat berkurang akibat penanaman jenis pohon berakar dalam seperti eucalyptus (Calder, 1998). Dampak Penggunan Lahan Terhadap Kualitas Air Aktivitas penggunaan lahan dalam bentuk pembalakan hutan, perubahan tataguna lahan, pembuatan bangunan konservasi tanah dan air, pengembangan pertanian dan aktivitas lain yang bersifat merubah kondisi permukaan tanah, biasanya dikonsentrasikan di daerah hulu dan tengah suatu DAS. Aktivitas tersebut dapat menigkatkan jumlah mineral-mineral dan komponen-komponen organik dan anorganik lainnya terangkut masuk ke sungai, sehingga dapat menimbulkan dampak signifikan terhadap keseimbangan ion-ion yang ada dalam DAS (Asdak, 2007). Dampak penggunaan lahan terhadap kualitas air di daerah hilir menggambarkan mutu air untuk berbagai penggunaan. Hal ini dapat dilihat pada erosi dan jumlah sedimen, unsur hara dan bahan organik, patogen, pestisida dan polutan organik lainnya, salinitas, dan perubahan regim suhu (Calder, 1992). Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi penggunaan lahan lainnya (kebun campuran, tegalan/sawah dan pemukiman) pengaruhnya sangat besar terhadap kualitas air terutama air permukaan (sungai, rawa dan danau). Dampak perubahan penggunaan lahan tersebut yang paling mudah dideteksi adalah perubahan warna air, yaitu dari warna bening (jernih) menjadi kuning sampai kuning kecoklatan di musim hujan. Hal ini disebabkan oleh erosi tanah akibat hilangnya perlindungan permukaan tanah oleh kanopi vegetasi hutan, yang selanjutnya menghanyutkan partikel tanah (pasir halus, debu dan liat serta bahan organik) ke bagian permukaan lahan yang lebih rendah. Selain partikel-partikel tanah yang terbawa hanyut, juga bahan humus tanah dan unsur hara tanah yang larut dalam air juga terikut hanyut. Terangkutnya partikel tanah dan unsur hara tersebut, menyebabkan menurunnya kesubunran tanah yang mengakibatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani menurun, bahkan pada tingkat tertentu dapat menyebabkan lahan menjadi kritis.
23
Pertanian intensif dan pembangunan infrastruktur di pedesaan dan perkotaan juga memberikan konstribusi yang signifikan terhadap penurunan kualitas air pada badan sungai, baik kualitas fisika maupun kualitas kimia. Aktivitas pertanian intensif dapat pula menjadi sumber pencemaran air akibat penggunaan pupuk anorganik dan penstisida dengan tujuan meningkatkan produksi pertanian dan penadapatan petani disatu sisi, tetapi disisi lain dapat menimbulkan dampak penurunan kualitas air pada badan sungai.
Eutrofikasi
adalah merupakan satu contoh dari pencemaran pada badan air, bendungan dan rawa. Berdasarkan Peraturan Pememrintah Nomor 82 tahun 2001 tentang Baku Mutu Air, ada 4 kriteria dalam menentukan kualitas air yaitu: 1) parameter fisika, meliputi; suhu air, padatan tersuspensi (TSS), padatan terlarut (TDS) dan konduktivitas (DHL); 2) parameter kimia organik, yaitu; pH, BOD, COD, DO, NO3=, NO2-, lemak dan minyak 3) parameter kimia anorganik yakni; Fe, Mn, Zn, dan ClErosi dan sedimen (erosion and sediment). Secara umum hutan merupakan pengendali erosi tanah yang penting karena pengaruh penutupan vegetasi, serasah dan perakarannya. Dampak pembalakan hutan menyebabkan terjadinya peningkatan erosi dan sedimentasi di sungai yang mengalirkan air dari hulu sebesar 2 sampai 3 kali dari pada keadaan tanpa pembalakan (Asdak, 2007). Selanjutnya, muatan sedimen sebelum pembalakan diperoleh 180 ppm meningkat menjadi 320 ppm pada tahun pertama, kemudian menjadi 520 ppm pada tahun ke dua (Hamilton dan King, 1984). Demikian juga erosi percik (splash erosion) dapat meningkat ketika serasah dibersihkan dipermukaan tanah (Bruijnzeel, 1990). Namun, Hall dan Calder (1993) dan Calder (1999) menyatakan bahwa perubahan ukuran butir hujan yang jatuh dari kanopi vegetasi dapat menjadi faktor penting pada peningkatan erosi percik, dimana spesies pohon berdaun lebar umumnya menghasilkan ukuran butir air yang jatuh ke tanah lebih besar dibandingkan dengan pohon berdaun jarum. Oleh karena itu, pemilihan spesies pohon juga penting pada setiap program pengendalian erosi.
Di Malaysia,
penebangan hutan menimbulkan sedimen yang terbawa oleh aliran permukaan mencapai 8-17 kali lebih besar dibandingkan sebelum penebangan hutan (Falkenmark dan Campman, 1989), dan di Amerika Serikat mencapai 90 % erosi
24
disebabkan oleh aktivitas penebangan hutan (Brooks et al. 1991 dan Bruijnzeel, 1990). Sedimen berperan sebagai polutan fisik (turbiditas dan sedimentasi), kimia penyerap logam dan Posfor (FAO, 1996). Unsur hara dan bahan organik (nutrients and organic matter). Perubahan penggunaan lahan dapat mengurangi kandungan unsur hara dipermukaan dan di bawah permukaan terutama unsur N dan P. Penggundulan hutan dapat meningkatkan konsentrasi NO3 dalam air sebagai akibat dari dekomposisi bahan organik tanaman dan menurunkan penyerapan unsur hara bagi tanaman. Konsentrasi NO3 yang terbawa oleh aliran permukaan dari daerah yang mengalami penggundulan dapat 50 kali lebih tinggi dibandingkan di daerah hutan yang terpelihara selama bertahun-tahun (Calder,1992).
Dampak pembalakan
hutan tropis dengan tebang pilih dalam pengawasan dan tanpa pengawasan meningkatkan transpor unsur hara dalam perairan dengan konsentrasi NH4+ sebesar 300 % dan 180 % di Sabah Malaysia setelah tahun pertama (Yusop, 1989). Selanjutnya dinyatakan bahwa pembalakan hutan pada umumnya menimbulkan dampak terhadap banyaknya kehilangan unsur hara terutama kation dan NH4+ dan unsur hara (K, N, Ca dan Mg) dapat hilang dalam satu tahun sangat bervariasi antara 10 % sampai > 50 % (Anderson dan Spencer, 1991). Kegiatan pertanian dapat menyebabkan peningkatan pengayaan terhadap Nitrogen ke badan air sebagai akibat dari faktor penggunaan pupuk, peternakan, limbah dari sistem pembuangan sampah, dan aerasi tanah. Di Eropa, pertanian menyumbang sejumlah besar emisi N terhadap air permukaan dan air bawah tanah. Pertanian di Denmark menyumbang N anorganik sebesar 50 % dan di Belanda 71 % (FAO, 1996). Di Srilanka, pertanian cabe dan bawang merah meningkatkan konsetnrasi NO3 sebesar 20 – 50 mg/l pada air bawah tanah. Pembajakan tanah dapat meningkatkan konsentrasi NO3 pada air permukaan dan air bawah tanah, karena adanya proses nitrifikasi yang disebabkan oleh keadaan oksigen (O2) pada tanah. Menurut FAO (1996), aliran permukaan langsung dari pertanian dapat menyebabkan degradasi air permukaan dan air bawah tanah yang sangat parah. Hal ini ditunjukkan oleh limbah pertanian sawah menyumbang sekitar 30 % P pada air permukaan, sementara sistem pertanian lainnya menyumbang 16 %.
25
Sedimen Posfat dapat terbentuk oleh kumpulan hara di dasar danau yang mengalami eutrofikasi, dimana sedimen ini akan terbawa oleh air dalam kondisi anoksidatif. Hal ini membuat eutrofikasi sulit dikontrol melalui penghambatan aliran Posfor.
Eutrofikasi dapat dicegah dengan dredging sediment atau
mengoksidasi hypolimnion, tetapi membutuhkan biaya mahal (FAO, 1996). Demikian pula peranan pertanian terhadap kontaminasi tanah dan air permukaan sulit diukur secara tepat. Pada perikanan (aquaculture) air tawar, jumlah unsur hara di air permukaan dapat bertambah melalui sisa makanan atau kotoran ikan. Pestisida dan polutan ogranik lainnya. Secara umum, sejak komponen pestisida didesain bersifat racun dan persisten, maka penerapan pestisida menjadi sangat berbahaya untuk tanah dan air bawah tanah. Pencucian pestisida menuju air bawah tanah tergantung pada persistensi dan mobilitas serta struktur tanah. Metabolisme pestisida dapat bersifat racun dan mobile tergantung dari bahan utamanya. Pada manusia dan hewan, pestisida dapat mempunyai efek yang akut dan racun kronis. Komponen lipofilik dapat terakumulasi pada jaringan lemak (bio-consentration) dan pada rantai makanan bersifat biomagnifikasi.
Residu
pestisida dapat ditemukan pada sumber air melalui penggunaannya pada pertanian, kehutanan dan perikanan.
Perikanan memperkenalkan penggunaan
biosida, desinfektan, dan obat untuk digunakan pada air permukaan (FAO, 1996). Dampak aktual dari kontaminasi pestisida pada air yang terdapat pada bagian hilir DAS seringkali sulit diukur. Pestisida yang larut dan terdegradasi lebih cepat hanya dapat dideteksi sesaat setelah aplikasi, sementara program pengawasan dilakukan setiap bulan atau 4 bulan sekali sehingga dianggap kurang akurat untuk mengetahui kadar pestisida pada air permukaan (FAO, 1996). Kadar garam (salinity). Peningkatan kadar garam pada air permukaan dan air bawah tanah mempunyai pengaruh terhadap penggunaan air di bagian hilir untuk irigasi dan suplai air domestik. Dampak penggunaan lahan terhadap kadar garam sangat tergantung pada keadaan iklim dan faktor geologi setempat. Irigasi dan drainase dapat meningkatkan kadar garam pada air permukaan dan air bawah tanah sebagai konsekuensi dari evaporasi dan pencucian di dalam tanah. Drainase permukaan di daerah arid selalu mempunyai konsentrasi garam yang lebih tinggi akibat peningkatan ratio penyerapan Na yang lebih tinggi (FAO, 1998).
26
Demikian pula aplikasi pupuk kalium klorida (KCl) yang tinggi dapat meningkatkan pencucian klorida ke air bawah tanah, seperti di beberapa daerah di Sri Langka yang menerapkan pertanian intensif, yang pada tahun 2010 diperkiran kadar klorida air bawah tanah mencapai 400 mg/l berdasarkan penggunaan pupuk saat ini. Konsentrasi ini sangat tinggi dibandingkan konsentrasi klorida yang diperbolehkan untuk air minum (250 mg/l). Dampak Penggunaan Lahan Terhadap Produktivitas Lahan Dampak penggunaan lahan terhadap produksitivitas lahan pertanian di wilayah DAS adalah digambarkan oleh tingkat produksi dari setiap penggunaan lahan. Dampak tersebut ditentukan oleh produksi tanaman per satuan luas (kg atau ton/ha). Dampak penggunaan lahan terhadap produksitivitas lahan dapat bersifat positif maupun negatif. Penggunaan lahan yang sesuai kelas kemapuan lahan, agroteknologi dan sosial ekonomi masyarakat petani dapat memberikan dampak posistif melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian, pendapatan dan kelestarian kesuburan tanah/sumberdaya lahan sehingga tercipta pertanian berkelanjutan
(sustainable
agriculture)
(Sinukaban
2007).
Sebaliknya,
penggunaan lahan yung tidak sesuai dengan kelas kemapuan lahan, agroteknologi dan sosial-ekonomi masyarakat dapat menimbulkan dampak negatif berupa penurunan produksi pertanian, pendapatan masyarakat tani, kesuburan tanah, meluasnya lahan kritis dan menurunnya kualitas air sungai yang pada gilirannya menimbulkan degradasi lahan dan kemiskinan bagi petani di pedesaan. Oleh karena itu, klasifikasi kemampuan dan kesesuaian penggunaan lahan menjadi tugas pertama untuk membantu menentukan penggunaan lahan yang sesuai dalam pengelolaan DAS. Untuk itu seluruh DAS yang telah didiami, fungsi lindung dan fungsi produksi harus diseimbangkan untuk kebutuhan penduduk (Pasaribu, 1999). Hasil penelitian Marwah (2007) menunjukkan bahwa penggunaan lahan dengan tanaman campuran (pola agroforestry) memberikan dampak positif atau berpengaruh baik terhadap sifat-sifat tanah seperti indeks stabilitas agregat (47,67 %), porositas tanah (43,5 %), bahan organik (2,77 %), C-organik (1,61 %) dan mikroirganisme tanah (66,3 x 107spc/g). Demikian juga terhadap hidrologis
27
seperti limpasan permukan paling rendah (318 mm), efektivitas menekan limpasan permukaan paling tinggi (79 %) serta erosi lebih kecil dari ETol pada setiap kemiringan lereng.
Selanjutnya dikatakan bahwa total biomassa dan
serapan C-vegetatif paling tinggi (229,44 ton/ha) dan 110,92 ton/ha, C-tanah (32,2 ton/ha), hampir menyamai hutan. Hasil penelitian Pratoyo dan Shiddieq (2007) menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan dari hutan alami dan hutan pinus ke lahan pertanian (padi + jagung) memberikan dampak negatif berupa penurunan kadar C-organik, N-total, K, Ca, Mg tertukar, KTK (cation exchange capacity) dan kejenuhan basa. Selain itu, perubahan hutan pinus menjadi lahan pertanian
menurunkan
berat
jenis,
porositas
dan
kemantapan
agregat,
meningkatkan berat volume, dan tidak mempengaruhi permeabilitas tanah. Dampak penggunaan lahan terhadap produktivitas lahan sangat dipengaruhi oleh faktor: 1) kesuburan tanah, 2) agroteknologi yang diterapkan petani dan 3) sosial-ekonomi masyarakat. Kesuburan tanah. Dampak penggunaan lahan terhadap kesuburan tanah berkaitan dengan curah hujan, erosi, teknologi konservasi tanah dan air, pengolahan tanah, jenis tanah dan jenis tanaman yang diusahakan. Dampak penggunaan lahan terhadap kesuburan tanah dapat mempengaruhi kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah. Dampak penggunaan lahan terhadap kesuburan fisik dapat disebabkan oleh erosi
pada tanah yang di olah secara intensif tanpa
menerapkan konservasi tanah dan air, sehingga menyebabkan erosi tanah. Erosi tanah mempunyai pengaruh langsung terhadap hilangnya lapisan atas (top soil) sampai lapisan subsoil yang memiliki sifat fisik jelek. Akibat dari terangkutnya partikel-partikel tanah yang halus dapat menutup pori-pori tanah sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas infiltrasi dan kesuburan serta pengerasan lapisan tanah (crust formation). Jika hal ini berlanjut terus akan menyebabkan terjadinya degradasi lahan berupa lahan kritis (Suripin, 2001). Agroteknologi yang diterapkan petani, tidak sesuai dengan kemampuan lahan dapat menyebabkan dampak negatif terhadap kesuburan tanah. Dampak negatif tersbut disebabkan oleh pengolahan tanah terutama dengan menggunakan traktor, terutama pada tanah miring sangat beresiko terhadap kerusakan struktur tanah dan pemadatan tanah, sehingga menyebabkan tertutupnya pori-pori tanah.
28
Hal ini mengakibatkan menurunnya kapasitas infiltrasi dan kelembaban tanah, dan meningkatnya aliran permukaan yang pada gilirannya akan menyebabkan terjadinya erosi tanah di daerah tropis. Dampak lebih lanjut adalah terbatasnya jangkauan akar untuk menyerap unsur hara yang kemudian mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman dan produksi menjadi rendah. Penggunaan lahan berdampak terhadap kemunduran kualitas sifat-sifat biologi, kimia dan fisik tanah.
Kemunduran kualitas tersebut dapat berupa
kemunduran kesuburan tanah, dimana unsur hara dan bahan organik terbawa oleh erosi, tersingkapnya lapisan tanah yang miskin hara dan sifat fisik yang menghambat pertumbuhan tanaman, menurunkan kapasitas infiltrasi dan kapasitas tanah menahan air, meningkatkan kepadatan tanah dan ketahanan penetrasi serta berkurangnya kemantapan struktur tanah dan kehilangan keaneka ragaman hayati (Sinukaban, 2007). Hal ini mengakibatkan memburuknya pertumbuhan tanaman, menurunnya produktivitas tanah atau meningkatnya pasokan input yang dibutuhkan untuk mempertahankan produksi. Memburuknya sifat-sifat biologi, kimia dan fisik tanah serta menurunnya produktivitas tanah sejalan dengan semakin menebalnya lapisan tanah yang tererosi (Sudirman et al, 1986 dalam Sinukaban, 2007). Dampak penggunaan lahan terhadap penurunan kesuburan tanah melalui kehilangan unsur hara, karena : 1) terangkut bersama erosi, 2) tercuci ke lapisan bawah perakaran dan sebagian unsur hara menguap ke udara melalui volatilisasi seperti nitrogen dan sulfur, dan 3) terangkut bersama panen (Soepardi, 1974 dan Suripan, 2001). Selanjutnya dinyatakan bahwa berkurangnya unsur hara akibat erosi lebih besar dari akibat panen dan pencucuian. Jumlah kehilangan unsur hara karena erosi dan terangkut bersama panen tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah kehilangan unsur hara karena Erosi dan Panen, rataan dua tahun pada percobaan di Missouri
1.
Kehilangan unsur hara pada keadaan : Ditanami jagung terus-menerus
Kehilangan unsur hara (kg/ha) N P2O5 K2O CaO MgO SO4 66 41 729 309 145 42
2.
Rotasi jagung, gandum, viover
18
18
258
120
48
15
3.
Terangkut bersama panen
75
30
60
35
25
25
No
Sumber : Soepardi, 1974.
29
Tabel 1 menunjukkan bahwa kehilangan unsur hara N, P, K, Ca, Mg dan S yang disebabkan oleh erosi umumnya lebih besar dari kehilangan unsur hara yang terangkut bersama panen. Selanjutnya Sinukaban (1981 dalam Sinukaban, 2007) menyatakan bahwa sedimen dan unsur hara yang terjadi karena erosi terutama mengandung unsur hara N dan P serta bahan organik banyak yang ikut terbawa ke dalam waduk atau danau.
Hal ini mengakibatkan terjadinya eutrofikasi
berlebihan dalam danau atau waduk, sehingga memungkinankan berkembangnya tanaman air lebih cepat yang pada gilirannya akan mempercepat pendangkalan dan kerusakan waduk atau danau tersebut. Meningkatnya aktivitas penambangan dan pembangunan pabrik yang tidak diikuti teknik konservasi dan penanganan limbah yang memadai akan meningkatkan pencemaran di bagian hilir. Laju erosi suatu DAS berupa konsentrasi sedimen di dalam aliran permukaan dapat menjadi salah satu indikator kecepatan degradasi suatu DAS (Sinukaban, 1981 dalam Sinukaban, 2007). Berdasarkan konsentrasi sedimen dalam air sungai, dan laju erosi di beberapa DAS di Indonesia pada 30 – 40 tahun yang lalu sudah mencapai tingkat yang menghawatirkan (Sinukaban, 2007). Menurut laporan LPT (1967 dalam Suripin, 2001), sekitar 200 juta ton lapisan tanah atas yang subur di pulau Jawa setiap tahunnya hanyut ke laut melalui aliran sungai dan diperkiran 150 ribu ton asam Posfat atau setara dengan 350 ribu ton pupuk Posfat. Banyaknya tanah lapisan atas tererosi dan hanyut ke laut melalui sungai-sungai di Indonesia setiap tahun disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Tebal dan berat tanah lapisan olah yang tererosi setiap tahun pada beberapa sungai di Indonesia Erosi No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Daerah aliran sungai Ciliwung Brantas Cimanuk Banyu Putih Cimalaya Jragung Serayu Lusi Panggaraon
Keterangan : * berat jenis tanah
Tebal tanah (mm)
Berat tanah (ton/ha) (γ ±1,5)*
0,15 0,60 0,80 0,40 1,40 2,50 1,80 1,40 5,00
2,25 9,00 12,00 6,00 21,00 37,50 27,00 21,00 75,00
30
Tanah yang terangkut akibat erosi di sungai Kuning, Tiongkok tahun 1934 menghanyutkan + 1,3 juta m3 tanah lempung setara 450.000 ha tanah sawah dengan tebal lapisan olah 20 cm (Benet, 1939 dalam Suripin, 2001). Selanjutnya, erosi berpengaruh terhadap kesuburan fisik, kimia dan biologi tanah, dimana ketika saat lapisan tanah tererosi dan terangkut ke sungai, maka sejumlah besar jazad hidup tanah terangkut pula, penurunan pH dan kelembaban, daya pegang tanah terhadap air, perubahan temperatur, struktur dan bahan organik tanah serta menjadi indikator terjadinya lahan kritis di daerah tropis (Suripin, 2001). Di daerah beriklim tropika basah seperti Indonesia, air hujan merupakan penyebab utama terjadinya erosi. Air hujan yang jatuh menimpa tanah terbuka menyebabkan tanah terdispersi. Besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan menentukan kekuatan dispersi hujan terhadap tanah, jumlah dan kekuatan aliran permukaan serta tingkat kerusakan erosi yang terjadi. Erosi yang terjadi meningkatkan aliran permukaan karena berkurangnya kapasitas infiltrasi tanah. Jumlah aliran permukaan yang meningkat akan mengurangi kandungan air yang tersedia dalam tanah yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi kurang baik. Berkurangnya pertumbuhan tanaman menyebabkan berkurangnya sisa-sisa tumbuhan yang kembali ke tanah dan berkurangnya perlindungan terhadap tanah yang mengakibatkan erosi menjadi lebih besar. Besarnya erosi juga berkaitan dengan banyaknya aliran permukaan, sehingga dengan meningkatnya aliran permukaan erosi juga meningkat. Dampak sosial ekonomi masyarakat. petani dapat menyebabkan menurunnya produktivitas lahan dan pendapatan petani melalui beberapa hal antara lain: luas lahan, status pemilikan lahan, pendidikan, pengalaman berusaha tani dan keterampilan (skill) petani dalam bercocok tanam, kesadaran (consciousness),
kemauan (willingness) dan kesempatan (opportunity) petani
dalam menerapkan konservasi tanah dan air, jumlah uang tunai (cash) yang dimiliki petani, demand (Marwah, 2008).
dan ketersediaan sarana dan infrastruktur pertanian
Hal-hal tersebut berdampak positif bagi peningkatan
produktivitas dan pendapatan petani dalam mencapai taraf hidup layak bagi keluaraganya serta memberikan manfaat yang signifikan bagi kelestarian sumberdaya lahan dan kelestarian DAS.
31
Peranan Konservasi Tanah dan Air Terhadap Pelestarian sumberdaya Air dan Produktivitas Lahan Konservasi tanah dan air dapat diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tanah tetap produktif dan tidak terjadi kerusakan. Oleh karna itu, menurut Sinukaban (2007), untuk memelihara produktivitas lahan, maka penggunaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahan dan penggunaan agroteknologi yang disertai dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air yang memadai. Selanjutnya oleh Suripin (2007) menyatakan bahwa konservasi sumberdaya tanah dan air sangat penting artinya untuk menjaga kelangsungan produksi bahan makanan dan fiber, guna memenuhi kebutuhan hidup manusia yang semakin meningkat serta mengamankan kelestarian lingkungan. Tipe konservasi tanah dan air yang banyak diterapkan di seluruh dunia termasuk dalam pengelolaan DAS di Indonesia dapat dikelompokan ke dalam empat kelompok utama yaitu agronomi, vegetatif, struktur dan manajemen (WASWC, 1998 dalam Sinukaban, 2007).
Teknik konservasi tanah dan air
dalam kelompok agronomi antara lain: penanaman tanaman campuran (tumpang sari), penanaman beruntun (rotasi), penggunaan mulsa, pengolahan tanah minimum (minimum tillage), penanaman tanpa olah tanah, penanaman mengikuti kontur, penanaman di atas guludan mengikuti kontur, penggunaan pupuk hijau atau pupuk buatan, dan penggunaan kompos. Teknik konservasi tanah dan air dalam kelompok vegetatif antara lain: penanaman tanaman tahunan (seperti kopi, teh, tebu, pisang), penanaman tanaman setahun diantara tanaman tahunan (seperti turi, grevillia), penanaman tanaman tahunan di batas lahan (tanaman pagar), dan penanaman strip rumput (vetiver, rumput makanan ternak). Teknik konservasi tanah dan air dalam kelompok struktur antara lain: saluran penangkap aliran permukaan, saluran pembuangan air, saluran teras, parit penahan air (rorak), sengkedan, guludan, teras guludan, teras bangku, dam penahan air, dan embung pemanen air hujan. Teknik konservasi tanah dan air dalam kelompok manajemen antara lain: perubahan penggunaan lahan menjadi sesuai, pemilihan usaha pertanian yang lebih cocok, pemilihan peralatan dan masukan komersial yang
32
lebih tepat, penataan pertanian termasuk komposisi usaha pertanian, dan penentuan waktu persiapan lahan, penanaman dan pemberian input. Dengan demikian, teknik konsevasi tanah dan air adalah penerapan prinsip-prinsip teknik konservasi untuk memecahkan masalah-masalah pengelolaan tanah dan air untuk pemanfaatan lahan yang optimal tanpa pemborosan dengan memungkinkan tingkat produksi tinggi yang berlangsung terus-menerus dalam waktu yang tidak terbatas (Sudodo dan Sukandi, 1993). Penerapan teknik konservasi tanah dan air yang memadai di berbagai proyek pengembangan pertanian dan penelitian telah mampu menstabilkan produktivitas pertanian dan bahkan pada beberapa tempat mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani (Sihite dan Sinukaban, 2004). Selanjutnya penggunaan lahan dengan pola agroforestry dengan menggunakan konservasi tanah dan air dapat melestarikan sumberdaya lahan, meningkatkan produktivitas pertanian (tanaman tahunan) dengan pendapatan mencapai Rp 19.000.000/ha/th (layak secara ekonomi), meskipun belum dapat memenuhi kebutuhan hidup layak petani dan keluarganya di DAS Konaweha (Marwah, 2007). Hasil penelitian tentang pengaruh teknik konservasi tanah dan air yang memadai dalam pengelolaan DAS terhadap kelestarian sumberdaya air di Jawa Barat dan Lampung sangat positif (Sinukaban, et al., 1998; Sihite dan Sinukaban, 2004). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa teknik pengelolaan DAS yang memenuhi kaidah konservasi tanah dan air menurunkan aliran permukaan (quick flow) dan menaikan aliran dasar (base flow) serta memperpanjang masa aliran dasar secara subtansial (Sinukaban et al., 1998). Selanjutnya dikatakan bahawa penggunaan konservasi tanah dan air sepertiga dari luas DAS sudah mampu menekan koefisien aliran permukaan dari 0,72 menjadi 0,49 pada tahun berikutnya dan menjadi 0,39 dua tahun setelah penerapan teknik konservasi. Selain itu koefisien aliran dasar (base flow) meningkat dari 0,28 menjadi 0,51 pada tahun berikutnya dan menjadi 0,61 dua tahun setelah konservasi tanah. Konsep Arahan Kebijakan Pengembangan Daerah Aliran Sungai Pengembangan/pengelolaan DAS adalah rangkaian upuya yang dilakukan oleh manusia untuk memanfaatkan sumberdaya alam DAS secara rasional guna
33
memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf hidup, seraya membina hubungan yang harmonis antara sumberdaya alam dan manusia serta keserasian ekosistem secara lestari (Sinukaban, 2007). Untuk itu, setiap kegiatan dalam DAS harus
juga
development).
memenuhi
tujuan
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
Suatu kegiatan pembangunan dapat berkelanjutan apabila
pembangunan tersebut dapat mewujudkan paling sedikit 3 indikator utama secara simultan, yaitu pendapatan yang cukup tinggi, teknologi yang digunakan tidak mengakibatkan degradasi lingkungan, dan teknologi tersebut dapat diterima (acceptable) dan dapat dikembangkan oleh masyarakat (replicable) dengan sumberdaya lokal yang dimiliki. Sinukaban (1999) manyatakan bahwa pertanian berkelanjutan adalah merupakan suatu bentuk pengelolaan lahan yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan ekonomi secara layak dan terus menerus serta penerapan agroteknologi yang sesuai dengan sosial budaya masyarakat dan ramah lingkugan. Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah pengelolaan yang sukses dari sumberdaya untuk pertanian dalam
mencukupi
perubahan
kebutuhan
manusia
yang
memelihara/
mempertahankan kualitas lingkungan dan mengkonservasi sumberdaya alam (FAO, 1989 dan Reijntjes et al, 1999). Pertanian berkelanjutan dicirikan dengan hal-hal berikut: 1) agroteknologi yang diterapkan mantap secara ekologis, 2) produksi dan pendapatan layak secara ekonomi, 3) terdistribusi secara adil, 4) manusiawi, dan 5) luwes berarti perubahan kondisi usahataninya berlangsung terus dan dapat beradaptasi (Gips 1986 dalam Reijntjens et al, 1999). Berdasarkan DAS sebagai suatu sistem, maka pengembangannya harus diperlakukan sebagai suatu sistem pula (Gill, 1979) dan berkelanjutan. Oleh karena itu, sasaran pengembangan DAS akan menciptakan ciri-ciri: 1) mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi, 2) mampu mewujudkan pemerataan produktivitas di seluruh DAS, 3) dapat menjamin kelestarian sumberdaya air. Suatu DAS terdiri dari bagian hulu (upstream), tengah (middlestream) dan hilir (downstream), yang di dalamnya dijumpai berbagai kegiatan pengembangan, antara lain: kegiatan konstruksi seperti; pembangunan jalan, perluasan kota/daerah pemukiman, pembuatan drainase kota, industri, pembangunan tenaga listrik, dam
34
atau waduk untuk irigasi atau hidrolistrik, kegiatan pengerukan, pembangunan kanal,
transportasi/navigasi
sungai,
pertambangan,
pertanian,
perikanan,
perkebunan, kehutanan dan kegiatan lainnya (Sinukaban, 2007). Setiap kegiatan pembangunan dalam pengembangan DAS tersebut, harus memenuhi kebutuhan masyarakat yang sering menimbulkan konflik antara pengguna dengan pengemban dan dampak negatif terhadap kegiatan lainnya.
Kemungkinan
terjadinya benturan berbagai kegiatan adalah pekerjaan penggalian/pembongkaran tanah selama kegiatan konstruksi dam, waduk atau jalan raya dapat mengakibatkan terjadinya sedimentasi perairan di sebelah hilir. Pengembangan pertanian di daerah bereleng yang tidak disertai usaha konservasi yang memadai, akan menyebabkan terjadinya erosi, sedimentasi dan menurunkan kualitas air karena meningkatnya kesuburan perairan oleh bahan-bahan terlarut yang berasal dari pupuk, pestisida dan bahan organik. Tujuan yang lebih besar dari setiap kegiatan pembangunan dalam suatu DAS seharusnya sama, yaitu memberikan konstribusi pada: 1) pembangunan ekonomi nasional, 2) pembangunan daerah atau wilayah, 3) usaha memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan (Sinukaban, 2007). Hal tersebut dapat terjadi apabila pengembangan suatu DAS dilandasi dengan perencanaan yang menyeluruh dan terintegrasi. Di dalam perencanan DAS secara komprehensif dan terpadu, berbagai aspek yang mempengaruhi pengelolaan DAS harus diperhitungkan seperti; karakteristik tanah, hidrologi DAS, potensi yang dapat dikembangkan guna memberikan konstribusi di bidang: pangan, industri, pertambangan, penyediaan air untuk irigasi, industri dan air minum, maupun kemungkinan terjadinya banjir, erosi, sedimentasi dan lainnya,.
Perencanaan pengembangan DAS terpadu
tersebut harus dilakukan secara intedisipliner, sehingga semua stakeholder menyadari atau mengetahui apa yang harus dilakukan di setiap bagian di dalam DAS tersebut agar kelestarian sumberdaya lahan dan air dapat terjamin. Analisis Sistem dan Simulasi Model Hidrologi Analisis Sistem Analisis sistem merupakan suatu metode analisis unit berbasis sistem, biasanya dilakukan dalam penelitian yang bersifat interdisipiliner dan terintegrasi
35
yang seringkali tidak mungkin dilakukan dalam keadaan sebenarnya. Analisis sistem adalah studi mengenai sistem dengan menggunakan azas metode ilmiah, sehingga dapat dibentuk konsepsi dan model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk mengadakan perubahan serta menentukan kebijaksanaan dan strategi (Soerianegara, 1978).
Analisis sistem dalam arti luas mencakup dua
aspek teknik analisis yaitu : 1) meneliti keadaan dan proses-proses dalam suatu sistem serta akibat- akibat yang timbul dari perubahan atau manipulasi. Aspek ini merupakan penelitian gerak laku sistem, dan 2) mengoptimalkan atau meminimumkan fungsi perlakuan terhadap sistem. Aspek ini termasuk dalam operation research yang merupakan suatu metode yang sangat berguna dalam pengambilan keputusan. Menurut Jeffer (1978), analisis sistem merupakan suatu strategi penelitian secara luas yang menggunakan beberapa konsep dan teknik matematika secara sistematis dan ilmiah untuk memecahkan permasalahan yang kompleks. Dalam analisis sistem terjadi penggunaan analogi fisik dari proses-proses yang diamati. Sistem merupakan suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan tertentu (Manetsch dan Park, 1979; Eryatno, 1999).
Sistem tersebut, baik
struktural maupun fungsional memiliki paling sedikit dua kompoenen yang saling berhubungan dan berinteraksi (Hall and Day, 1977). Dalam analisis sistem, struktur sistem penting dipahami untuk memahami secara efektif hasil pengamatan terhadap suatu masalah, karena tanpa suatu struktur yang terintegrasi maka informasi hanya merupakan gabungan dari bagian-bagian yang tidak berarti. Tanpa suatu struktur yang terorganisir, analisis akan menuju pada suatu arah yang tidak tepat (Djojomartono, 1993). Berdasarkan pola hubungan penentuan struktur suatu sistem maka pendekatan sistem berbeda dengan pendekatan agregasi. Dalam pendekatan agregasi terdapat aktivitas penjumlahan suatu bagian-bagian, sehingga keterkaitan antar elemen tidak diperhitungkan.
Pendekatan sistem merupakan pendekatan totalitas
hubungan terutama dalam dimensi ruang dan waktu. Oleh karena itu, setiap pendekatan sistem selalu mengutamakan kajian tentang struktur sistem, baik yang bersifat penjelasan maupun sebagai dukungan kebijakan (Eryatno, 1999).
36
Menurut Pawitan (1998), metode analisis sistem dapat dibedakan menjadi analisis parametrik, teknik analisis, dan simulasi matematik. Analisis parametrik mengacu pada teknik analisis statistik dan regresi.
Teknik analisis termasuk
model yang dikembangkan dengan menggunakan analisis sistem. Sedangkan simulasi matematik megacu pada model yang mencoba menerangkan suatu sistem fisik. Sistem hidrologi akan menghasilkan keluaran dari adanya masukan tunggal atau majemuk. Keluaran lazimnya bergantung pada sifat masukan, hukum fisika yang berlaku dan deskripsi sistemnya sendiri. Pendekatan sistem adalah cara menyelesaikan persoalan yang dimulai dengan melakukan indentifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif.
Eryatno (2003) menyatakan bahwa dalam
pendekatan sistem, umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: 1) mencari semua faktor penting yang ada untuk mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan 2) dibuat model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional.
Selanjutnya, untuk dapat bekerja secara sempurna, maka suatu
pendekatan sistem perlu mempunyai 8 unsur yang meliputi : 1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, 2) tim interdisipliner, 3) pengorganisasian, 4) disiplin untuk bidang nonkuantitatif, 5) teknik model matematik, 6) teknik simulasi,
7)
teknik
optimasi,
dan
8)
aplikasi
komputer.
Dengan
mempertimbangkan berbagai kendala dalam pendekatan sistem, maka pengkajian suatu masalah selayaknya memenuhi karakteristik : 1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, dalam arti ada faktor yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, 3) probabilistik, yaitu diperlukan fungsi peluang dalam penarikan kesimpulan maupun rekomendasi. Berdasarkan hal tersbut di atas, maka aplikasi sistem seharusnya disesuaikan dengan keterbatasan tenaga, waktu dan biaya dimana tidak setiap persoalan manajemen dapat diselesaikan dengan pendekatan sistem. Untuk mendapatkan pengkajian yang efisien dan operasional seringkali digunakan pembatasan ruang lingkup (Eriyatno, 2003).
37
Simulasi Model Hidrologi Faktor yang berperan cukup besar di dalam analisis sistem adalah model. Model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual (Eriyatno, 2003). Model merupakan gambaran abstrak tentang suatu sistem dimana hubungan antar peubah dalam sistem digambarkan sebagai hubungan sebab akibat. Menurut Hall and Day (1977), model adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem yang sebenarnya atau alat untuk memprediksi perilaku dari suatu sistem yang kompleks dan kurang dimengerti (poorly understood). Model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Muhammadi, 1994; For, 1999), tetapi model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realita yang sedang dikaji. Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah agar ditemukan peubah-peubah penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat kaitannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah.
Untuk mempelajari keterkaitan antara peubah dalam sebuah model
digunakan teknik kuantitatif seperti persamaan regresi dan simulai. Dalam pengelolaan DAS, keberadaan model sangat berarti, terutama sebagai sumber informasi dalam menyusun kebijakan untuk merubah suatu kondisi atau kebijaksanaan pemanfaatan sumberdaya alam suatu DAS. Pada saat ini, telah dikenal banyak model matematik dalam bentuk simulasi untuk keperluan analisis hidrologi, mulai dari model yang sederhana sampai yang canggih. Chow (1970 dalam Pawitan, 1998), membedakan model simulasi menjadi model deskriptif dan konseptual.
Model deskriptif lazimnya dirancang berdasarkan
gejala teramati yang memenuhi hukum kontinuitas, sedangkan model konseptual dibentuk untuk menjelaskan esensi suatu teori atau konsep yang dapat menerangkan gejala yang disimulasikan. Langkah awal dalam mengembangkan model simulasi adalah membatasi masukan dan keluaran sistem. Menurut Pawitan (1998), pertimbangan akhir dari model yang teruji adalah model yang memenuhi kriteria: 1) model konseptual yang memberikan representasi baik bagi proses sesungguhnya, dan 2) lulus pengujian yang dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi model dengan hasil pengamatan eksperimental dengan pengukuran lapang.
Simulasi model
38
hidrologi terdiri dari berbagai persamaan yang terkait dengan proses atau gejala hidrologi. Proses hidrologi tersebut mempunyai rumus dasar parametrik fisik yang dapat diukur, dihitung maupun ditentukan melalui suatu proses kaliberasi. Salah satu model simulasi hidrologi yang telah dikenal di Indonesia adalah Model Neraca Air. Model Neraca Air Air merupakan sumber daya alam yang paling vital dalam semua proses kehidupan di bumi. Karena vitalitas air, maka keberadaan air sangat diperlukan untuk kebutuhan mahluk hidup dan kebutuhan pembangunan. Air dibutuhkan untuk pengangkutan (transport), sumber energi dan berbagai keperluan lainnya (Arsyad, 2006). Sebaliknya, pada suatu saat air hujan berlebihan dan banjir akan berubah menjadi benda perusak, menimbulkan kerugian harta benda dan nyawa serta mengangkut berjuta-juta tanah yang subur. Bentuk air yang jatuh ke bumi pada daerah tropis adalah curah hujan yang akan mengalami berbagai peristiwa, antara lain: penguapan, pengembunan dan pengaliran. Air yang jatuh ke bumi dalam bentuk curah hujan tersebut mengalami berbagai peristiwa, kemudian akan menguap ke udara menjadi awan dan terkondesasi, yang kemudian akan jatuh ke bumi dalam bentuk curah hujan dan embun. Hal ini akan terus berulang dalam suatu siklus yang dinamai siklus hidrologi. Dalam siklus hidrologi ada berbagai proses, yaitu: penguapan dari permukaan bumi dan tanaman (evapotranspirasi), tertahan oleh tanaman (intersepsi), tertahan dipermukaan tanah dan masuk ke dalam tanah (infiltrasi), mengalir di permukaan bumi (surface run-off), pergerakan air ke lapisan profil tanah yang dalam (perkolasi), mengalir di bawah permukaan tanah (sub surface run off atau inter flow). Air yang mengalir dari hasil perkolasi yang kemudian menjadi air bawah tanah (ground water) yang selanjutnya mengalir masuk ke sungai atau danau melalui aliran bawah tanah (ground water flow atau base flow). Keseluruhan masukan air (input) dan keluaran (output) dari siklus air tersebut dirumuskan sebagai neraca air (water balance). Bentuk umum neraca air dapat dituliskan sebagai berikut : (Air`diterima – Air hilang) = (Air tersimpan)
39
Model matematika persamaan neraca air sangat tergantung pada permasalahan yang dihadapi dan tujuan yang ingin di capai dari setiap bidang ilmu.
Sebagai gambaran dalam bidang pertanian, air merupakan kebutuhan
mutlak bagi tanaman dan ternak. Jumlah air yang digunakan tanaman tergantung pada tanaman (jenis, jumlah, pertumbuhan dan perkembangan) dan faktor lingkungan (iklim dan tanah).
Kehilangan air melalui permukaan bumi dan
permukaan tanaman di sebut evapotranspirasi atau sering disebut penggunaan air tanaman (water use) (Jacob, 2009). Perhitungan analisis neraca air adalah penting untuk mempelajari perilaku hubungan air – tanaman – tanah (Asdak, 2007). Model hidrolgi yang lazim untuk menghitung unsur-unsur neraca air dalam skala DAS adalah : Q = P – ET – L ± ∆S/∆t Dimana:
Q = Debit aliran (m3/dt) ET= Evapotranspirasi (mm/th) L = Perkolasi dan ∆S= Kelembaban tanah (mm) mewakili satuan volume persatuan wilayah ∆t = periode waktu yang diperlukan (jam, hari, bulan)
Untuk menyerdehanakan perhitungan maka ∆S/∆t = 0 bila air masuk = air keluar.
40
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di DAS Wanggu dan delapan DAS mikro di sekitarnya (DAS Wanggu Ds), Provinsi Sulawesi Tenggara seluas 45.377,3 ha. Secara geografis wilayah ini berada pada lintang 3058’23” LU, 4010’14” LS dan 122022’26” BT, 122033’14” BB (Gambar 3), dan secara administratif meliputi: Kabupaten Konawe Selatan (Kecamatan Konda, Ranomeeto, dan Moramo); Kota Kendari (Kecamatan Kendari, Kendari Barat, Mandonga, Puwatu, Baruga, Poasia, Abeli, Wua-Wua, Kambu, dan Kadia); dan Kabupaten Konawe (Kecamatan Soropia dan Toli-Toli). Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai dengan Agustus 2010.
Teluk Kendari
Gambar 3. Peta lokasi penelitian (DAS Wanggu dan 8 DAS mikro dan Teluk Kendari)
41
Lokasi
penelitian
ditentukan
secara
sengaja
(purposive)
dengan
pertimbangan bahwa DAS Wanggu merupakan wilayah DAS terluas dan memberi kontribusi terbesar terhadap pendangkalan teluk Kendari. Disatu sisi, kawasan hutan di bagian hulu DAS merupakan daerah tangkapan yang telah mengalami alih fungsi (perubahan penggunaan) lahan menjadi non hutan. Di sisi lain, Teluk Kendari merupakan out let DAS Wanggu dan terletak di tengah-tengah kota provinsi yang merupakan pusat kegiatan perekonomian dan terus mengalami pendangkalan. Dengan demikian, daerah penelitian terbagi menjadi dua bagian analisis, yaitu wilayah DAS Wanggu sebagai sumber dampak (on-site), dan kawasan teluk Kendari sebagai penerima dampak (off-site). Kegiatan penelitian meliputi pengamatan lapang dan analisis contoh tanah dan air di laboratorium, yang akan dilakukan di Laboratorium Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Peta Topografi 1:50.000, Peta Tanah Tinjau skala 1:250.000, Peta Penggunaan Lahan skala 1 : 100.000, data curah hujan 10 tahun terakhir dan data debit sungai yang tersedia. Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi : abney level atau clinometer, ring sampel, pisau profil tanah, meteran, bor tanah, kantong plastik, stopwatch, infiltrometer silinder ganda, permeameter, GPS, AWLR, ARR, dan botol sampel air. Selain itu seperangkat peralatan pengukuran erosi dan aliran permukaan, yaitu petak erosi dan penampung air aliran permukaan dan tanah yang tererosi, pengukuran kecepatan aliran sungai untuk penentuan debit sungai aktual serta alat penakar hujan, alat tulis dan seperangkat komputer. Jenis, Sumber dan Kegunaan Data Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan sekunder yang meliputi data biofisik dan sosial ekonomi. Data primer akan diperoleh dari hasil pengamatan/pengukuran langsung di lapang dan hasil analisis laboratorium. Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait dalam pengelolaan DAS berupa peta penggunaan lahan, topografi, dan peta tanah yang
42
akan digunakan untuk membuat satuan lahan. Disamping itu, peta Batimetri (kedalaman) perairan teluk digunakan untuk mengetahui tingkat sedimentasi di Teluk Kendari. Satuan lahan ditentukan berdasarkan hasil overlay peta lereng, jenis tanah dan penggunaan lahan. Berdasarkan satuan lahan tersebut, ditentukan satuan lahan yang menjadi plot pengamatan intensif sebagai lokasi pengambilan sampel petak erosi, parameter biofisik dan sosial ekonomi. Hasil pengamatan plot di lapangan akan diekstrapolasi, untuk satuan lahan yang sama berlaku di seluruh DAS Wanggu. Data biofisik yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi: jenis penggunaan lahan, karakteristik tanah lahan (berat volume tanah, porositas tanah, bahan organik tanah, persentase penutupan dan intersepsi vegetasi), iklim (curah hujan) dan indikator hidrologi (aliran permukaan, koefisien aliran permukaan, dan debit air sungai) serta besarnya erosi aktual dan prediksi erosi yang akan digunakan
untuk
menggambarkan
karakteristik
biofisik
DAS
Wanggu.
Disamping itu, data ini juga digunakan untuk analisis kemampuan lahan dan penentuan agroteknologi (Tabel 3). Data iklim yang diperlukan dalam penelitian ini adalah curah hujan yang meliputi curah hujan harian, curah hujan bulanan, jumlah hari hujan per bulan dan rata-rata maksimum hujan dalam 24 jam setiap bulan. Data ini diperlukan untuk menentukan ASM (antecedent soil moisture) dalam perhitungan prediksi erosi, debit maksimum dan minimum. Data iklim tersebut diperoleh selain dari stasiun yang terdapat di sekitar lokasi penelitian yaitu stasiun Monginsidi juga dilakukan dengan pengukuran langsung di lokasi pengamatan. Data sosial ekonomi yang akan dikumpulkan antara lain: kependudukan, penguasaan lahan, sarana produksi yang digunakan, tenaga kerja, jumlah dan jenis tanaman yang diusahakan, agroteknologi yang diterapkan, produksi dan pendapatan yang diperoleh petani dan data sosial ekonomi lainnya. Data ini dimaksudkan untuk mengetahui dan mengevaluasi kondisi sosial ekonomi petani dari setiap jenis penggunaan lahan usahatani di DAS Wanggu. Secara rinci jenis, sumber dan kegunaan data dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3.
43
Tabel 3. Jenis, Sumber dan Kegunaan Data Penelitian No I
II
Jenis Data Data Primer : 1. Jumlah tanah tererosi, RO dan CRO berbagai jenis penggunaan lahan
Sumber Data Percobaan lapang (petak kecil)
2. Jenis penggunaan lahan dan kondisi penutupan lahan, intersepsi potensial, kekasaran maksimum dan koefisien kekasaran, koefisien manning, nilai faktor tanaman dan konservasi tanah 2009 3. Sifat fisik tanah : a) lereng, kepekaan erosi, tingkat erosi, tekstur, struktur, permeabilitas, drainase, krikil/batuan dan salinitas. b) total porositas, kapasitas lapang, infiltrasi, kadar air sebelum dan sesudah hujan, zona kontrol infiltrasi, erodibilitas tanah. c) kedalaman efektif tanah, kedalaman minimum, berat volume tanah 4. Karakteristik sungai/saluran: kecep. aliran, luas/bentuk penampang basah sungai, kedalaman sungai & kekasaran permukaan sungai serta sampel air 5. Kedalaman teluk: kedlmn minimum, maksimum (0-2, 2-4, 4-12, >12) m.
pengamatan lapang
5. Sosial ekonomi : status dan luas lahan, jumlah dan jenis tanaman yang diusahakan, jumlah anggota keluarga, tenaga kerja, produksi, pendapatan dan agroteknologi yang diterapkan Data Sekunder : 1. Peta topografi , tataguna lahan, dan jenis tanah, Nilai faktor kedalaman tanah (NFP), dan laju pembentukan tanah (LPT) 2. Peta Batimetri (kedalaman) teluk, tahun 1960, 1995, 2000 & 2005
Petani sampel dengan melakukan wawancara
4. Data debit dan banjir sungai-sungai di DAS Wanggu Ds periode 1992 – 2008 5. Curah hujan periode 1992– 2008
Dinas PU
pengamatan lapang & Laboratorium
Kegunaan Data mengetahui besarnya erosi aktual berbagai jenis penggunaan lahan dan kebutuhan validasi menentukan jenis agroteknologi, aliran permukaan dan CP dalam prediksi erosi dan neraca air. menentukan kelas kemampuan lahan pada setiap jenis penggunaan lahan. menentukan prediksi erosi, dan sedimentasi.
menentukan ETol sda
menentukan debit aktual, Qmax, Qmin dan sidimen tersuspensi.
sda
menentukan volume sedimentasi di teluk periode tertentu menentukan karakte ristik sosial ekonomi, pendapatan usahatani, kebutuhan fisik minimum dan kebutuhan hidup layak
Bakosurtanal, Dishut dan Puslit tanah
menentukan satuan lahan, Kemampuan lahan dan nilai ETol
BAPPEDA Prov. Sultra
menentukan volume sedimentasi di Teluk Kendari menentukan debit, dan fluktuasi debit menentukan erosivitas, aliran permukaan, erosi dan sedimentasi,.
Dinas PU dan stasiun CH Lanud Kendari
Teknik Pengumpulan Data Untuk mengetahui dampak perubahan penggunaan lahan di DAS Wanggu terhadap sedimentasi di teluk Kendari, maka data yang diperlukan terdiri dari :
44
sedimentasi oleh erosi akibat perubahan penggunaan lahan di DAS Wanggu (termasuk sosial ekonomi masyarakatnya), sedimentasi dari sampah kota dan sedimentasi dari infrastruktur yang masuk di perairan Teluk Kendari. Erosi aktual dan Aliran Permukaan setiap Jenis Penggunaan lahan Besarnya erosi dan aliran permukaan pada berbagai jenis penggunaan lahan ditentukan berdasarkan pengamatan di lapangan dengan menggunakan petak erosi. Penempatan petak erosi (plot pengamatan) pada setiap satuan lahan terpilih, dirancang dalam pola rancangan acak dengan 3 ulangan. Satuan lahan yang merupakan perlakuan yang terdiri dari penggunaan lahan kebun campuran, semak belukar, tegalan/sawah, pemukiman dan hutan untuk pengamatan erosi dan aliran permukaan aktual (RO) serta menentukan koefisien run-off (CRO). Petak erosi dan aliran permukaan dibuat berukuran 4 m x 6 m dengan menggunakan seng plastik. Bagian bawah lereng pada setiap petak dipasang bak penampung yang berfungsi untuk menampung tanah tererosi dan air hasil aliran permukaan. Pengukuran tanah yang tererosi dan aliran permukaan dilakukan setiap pagi hari, ketika sebelumnya terjadi hujan yang menimbulkan erosi dan aliran permukaan. Tanah tererosi yang tertampung di bak penampung ditentukan dengan cara analisis sampel di Laboratorium dengan metode gravimetri. Volume aliran permukaan dihitung dengan menakar air yang tertampung di dalam bak penampung. Debit-aktual Air Sungai Data debit air sungai diperoleh dari pengukuran kecepatan aliran, luas penampang basah dan kedalaman air sungai pada 3 titik pengamatan, yaitu : bagian hulu, tengah dan bagian hilir. Kecepatan aliran diukur menggunakan current meter pada kedalaman 0 – 30 cm, 1/2 kedalaman sungai dan 30 cm dari dasar sungai pada saat 2 jam sesudah hujan lebat dan saat tidak terjadi hujan. Selain pengukuran kecepatan juga dilakukan pengambilan sampel air untuk mengukur kandungan sedimen.
Data ini digunakan untuk mengetahui debit
maksimum, minimum, kadar sedimen dan debit sedimen yang terjadi.
45
Sifat-Sifat Tanah, Indikator Hidrologi dan ETol - Sifat-Sifat Tanah Sifat-sifat tanah diperoleh dari pengamatan lapang dan analisis sampel tanah di laboratorium. Pengamatan lapang meliputi : pengamatan profil tanah (kedalaman efektif, warna, porositas dan keadaan batuan) dan pengambilan sampel tanah pada satuan lahan pengamatan terpilih. Sampel tanah yang diambil terdiri dari : sampel tanah utuh (undisturbed soil sample), dan sampel tanah bongkah (undisturbed agregate soil sample). Pengambilan contoh tanah utuh untuk penentuan sifat-sifat fisik tanah (tekstur, struktur, porositas tanah, bahan organik, berat volume) menggunakan ring sample pada kedalaman 0 – 30 cm dan > 30
cm yang
ditentukan melalui analisa laboratorium tanah pada Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. - Indikator hidrologi Indikator hidrologi meluputi: kapasitas lapang (FP), kapasitas infiltrasi (FC), permeabilitas profil tanah (PP), kadar air tanah awal (ASM), penutupan lahan (PER), volume intersepsi potensial (PIT), ketinggian kekasaran permukaan (HU), koefisien kekasaran (RC), nilai faktor tanaman dan teknik konservai (CP), aliran permukaan (RO), kecepatan aliran (V), luas penampang basah sungai (A), keliling basah sungai (P), debit (Q), debit sedimen (Qs) dan sedimentasi. Penentuan kapasitas infiltrasi (FC)
dilakukan pengukuran lapang
menggunakan infiltrometer dengan metode double ring, dan permeabilitas profil tanah (PP) menggunakan permeameter. Penentuan nilai FP dan ASM dilakukan melalui analisis laboratorium. Sedangkan parameter PER, PIT, HU, RC, CP, RO, V, A, P dan Q ditentukan melalui pengukuran di lapang. Selanjutnya sedimentasi ditentukan melalui prediksi erosi pada sungai dengan Nisbah Pelepasan Sedimen (NSP) atau Sediment Delivery Ratio (SDR) dan penentuan sedimentasi melalui pendekatan Peta Bathimetri. - Erosi dapat ditoleransikan (ETol) Erosi dapat ditoleransi (Etol) ditentukan melalui indikator: kedalaman efektif tanah (D), nilai faktor kedalaman (NFK), kedalaman minimum (Dmin), laju
46
pembentukan tanah (LPT) dan berat volume tanah (BV). Nilai D ditentukan melalui pengukuran di lapang dan BV ditentukan di laboratorium. Selanjutnya nilai NFK, Dmin dan LPT menggunakan data sekunder. Aspek Sosial Ekonomi Data sosial ekonomi dihimpun melalui metode wawancara dengan menggunakan daftar kuisioner. Responden dalam penelitian ini adalah petani yang melakukan kegiatan usahatani yang merupakan pengelola/pemilik pada satuan lahan pengamatan yang terpilih. Petani yang menjadi responden dipilih dengan cara stratified random sampling, yaitu petani dikelompokkan berdasarkan satuan lahan terpilih. Jumlah responden adalah 10% dari jumlah petani masingmasing satuan lahan, dan dipilih secara acak. Metode wawancara juga dilakukan terhadap responden pada kelompok masyarakat kota Kendari untuk menghimpun data/informasi sedimen yang bersumber dari sampah kota. Sedimentasi yang berasal dari sampah kota diperoleh dari Dinas Kebersihan kota Kendari yang terdiri dari volume sampah tidak terkelola tiap penduduk kota Kendari, wisatawan, pengunjung restoran terapung, warung tenda dan sedimentasi infrastruktur-tebing sungai/tanah longsor (SITL). Sedimentasi di perairan teluk Kendari adalah total dari sedimentasi lahan, sedimentasi sampah dan sedimentasi Infrastruktur-tebing sungai-tanah longsor (SITL). Selanjutnya, untuk mengetahui volume sedimentasi di kawasan perairan teluk Kendari akan dilakukan pengukuran langsung kedalaman perairan teluk secara manual dan perhitungan berdasarkan Peta Bathimetri yang tersedia. Analisis Data Analisis dampak perubahan penggunaan lahan terhadap besarnya aliran permukaan, erosi, debit air sungai di DAS Wanggu Ds dan sedimentasi di teluk Kendari dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : 1) analisis biofisik DAS, 2) analisis erosi, run-off dari petak percobaan dan prediksi erosi (USLE), 3) analisis debit sungai dan sedimentasi, dan 4) analisis sosial ekonomi petani di DAS Wanggu Ds (Gambar 5).
47
Analisis Biofisik DAS Wanggu Ds meliputi: - Analisis biofisik DAS Wanggu Ds dilakukan secara deskriptif terdiri dari: 1) dinamika perubahan penggunaan lahan : Dinamika perubahan penggunaan lahan di DAS Wanggu dianalisis berdasarkan perubahan penggunanan lahan dari tahun 1992, 1995, 2000, 2005 dan 2010. 2) analisis karakteristik DAS : Karakteristik DAS Wanggu dianalisis secara deskriptif berdasarkan keadaan iklim (curah hujan), jenis tanah, topografi, bentuk DAS, pola airan, kerapatan drainase dan penggunaan lahan serta analisa kualitas air sungai wanggu dan perairan teluk Kendari. 3) analisis Sosial ekomi usahatani : Analisis karakteristik penggunaan lahan di DAS Wanggu dilakukan secara deskriptif.
Analisis dilakukan terhadap
karakteristik setiap jenis penggunaan lahan (usahatani) yang diusahakan petani, antara lain : pola usahatani, jenis tanaman, teknologi konservasi dan cara bercocok tanam yang digunakan, frekuensi panen, produksi, profil petani, luas lahan yang diusahakan, input yang digunakan jenis dan jumlah tenaga kerja, jumlah hari orang kerja (HOK) dan pendapatan yang diperoleh dari usahatani 5) karakteristik tanah : Karakteristik tanah dianalisis berdasarkan sifat fisik terdiri dari: tekstur, struktur, porositas, berat volume tanah (Buld dencity), bahan organik dan kedalaman efektif tanah. 6) karakteristik hidrologi : karakteristik hidrologis DAS Wanggu dianalisis berdasarkan: curah hujan, kapasitas infiltrasi (INf), permeabilitas profil tanah (PP), penutupan lahan (PER), volume potensial intersepsi (PIT), nilai faktor tanaman dan teknik konservai (CP), aliran permukaan (RO), koefisien aliran permukaan (CRO), debit (Q), Qmax/Qmin, dan sedimentasi. 7. evaluasi kesesuaian penggunaan lahan : evaluasi kesesuaian biofisik lahan menggunakan kriteria erosi aktual dan erosi prediksi lebih kecil erosi yang dapat ditoleransikan. Evaluasi kelayakan usahatani menggunakan kriteria pendapatan usahatani lebih besar dari standar kebutuhan hidup layak (KHL) menurut Sajogyo (1977) dan analisis pendapatan usaha tani mengguakan analisis net present value (NPV).
48
- Analisis aliran permukaan pada petak percobaan dan ETol : 1) aliran permukaan (RO dan CRO) : Besarnya aliran permukaan yang terjadi pada plot percobaan (6 m x 4 m) per kenjadian hujan dihitung dengan menggunakan rumus: Vad = π R2 T
……………………………………….. 3
(1)
3
Dimana: Vad : volume air dalam drum (dm , m /ha/hr, bl, th), π : 3.14 dan R : jari-jari lingkaran drum (cm atau m), T : tinggi air dalam drum (cm, m). Untuk menghitung koefisien aliran permukaan menggunakan rumus : CRO : Vap/CH ......................................................................... Dimana :
(2)
CRO : koefisien aliran permukaan Vap : volume aliran permukaan (m/hr) dan CH : curah hujan yang menyebabkan run-off (mm)
Hasil pengukuran aliran permukaan dan erosi di petak erosi dianalisis secara statistik melalui analisis sidik ragam (uji F) taraf 95 %. Bila uji F signifikan dilanjutkan dengan uji nilai tengah Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 95%. Berdasarkan analisis ini dapat diketahui pengaruh berbagai jenis penggunaan lahan dan kemiringan lereng. Model aditif linier rancangan percobaan (Steel dan Torrie, 1980) sebagai berikut : Yij = µ + γi + αj + €ij
..................................................
(3)
Dimana: Yij : nilai pengamatan pada jenis penggunaan lahan ke-i, ulangan ke-j µ : nilai tengah (rataan) umum γi : pengaruh jenis penggunaan lahan ke-i (i = 1, 2, 3, 4) αj : pengaruh ulangan ke-j (j = 1, 2, 3) €ij : pengaruh acak pada jenis penggunaan lahan ke-i, ulangan ke-j 2) erosi dapat ditoleransikan (ETol) : erosi yang dapat ditoleransikan dihitung berdasarkan persamaan Wood dan Dent (1983 dalam Hardjowigeno dan Widyatmaka, 2001) yang memperhitungkan kedalaman minimum tanah, laju pembentukan tanah, kedalaman ekuivalen (equivalent depth), dan umur guna tanah (resources life) sebagai berikut:
ETol Dimana :
DE DMIN MPT
LPT .......................................... )
(4)
49
ETol : erosi yang dapat ditoleransikan (ton/ha/th). Nilai ETol tanah-tanah di Indonesia disajikan pada Lampiran 1. DE : kedalaman ekivalen (nilai faktor kedalaman x kedalaman efektif tanah). Nilai faktor kedalaman berbagai jenis tanah disajikan pada Lampiran 2 DMIN : kedalaman tanah minimum diperlukan untuk perkembangan perakaran suatu jenis tanaman masih memungkinkan berproduksi. Kedalam tanah minimum berbagai jenis tanaman disajikan pada Lampiran 3. MPT : masa pakai tanah (250 tahun), dan LPT : laju pembentukan tanah di Indonesia diasumsikan 1,2 mm/th Prediksi Erosi di Wilayah DAS Prediksi erosi di wilayah DAS dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain menggunakan: 1) Universal Soil Loss Equation (USLE) (Wishmeier dan Smith, 1978), 2) pemodelan simulasi komputer dengan perangkat lunak Areal Nonpoint Source Watershed Environment Response Simulation (ANSWERS) dan Agricultural Nonpoint Source Pollution Model (AGNPS). Akan tetapi karena keterbatasan ketersediaan data di lapang maka prediksi erosi pada unit lahan per hektar dilakukan dengan menggunakan USLE. Hasil prediksi erosi digunakan untuk menentukan agroteknologi dan tindakan konservasi dan perencanaan penggunaan lahan lestari di DAS Wanggu Ds. Adapun rumus prediksi erosi dari USLE adalah sebagai berikut : A=RKLSCP
..........................................................
(5)
Dimana: A = besarnya kehilangan tanah (ton/ha/th), R = faktor erosivitas hujan (joule/ha/th), K = faktor erodibilitas tanah (ton/joule) L = faktor panjang lereng (m), S = faktor kemiringan lereng (%), C = faktor pengelolaan tanaman, P = faktor konservasi tanah Faktor erosivitas hujan (R) adalah merupakan satuan indeks erosi hujan yang merupakan fungsi dari energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30) . Nilai erosivitas hujan tahunan diperoleh melalui persamaan : 12
Rt = ∑ (EI30)n
.................................................................................
(6)
n =1
Dimana : Rt = erosivitas hujan tahunan (joule/ha/th), E = energi kinetik selama periode hujan (joule meter/ha), I30 = intensitas hujan maksimum 30 menit (cm/jam), n = nomor urut bulan dalam setahun
50
Karena data tersedia hanya terdiri dari data: curah hujan harian, bulanan dan jumlah hari hujan maka untuk menghitung erosivitas bulanan menggunakan persamaan Bols (1978) : Rb = 6.199 (RAIN)1.21(DAYS)-0.47(MAXP)0.53
.......................
(7)
Dimana: Rb = erosivitas hujan bulanan (joule/ha/th) RAIN = curah hujan rataan bulanan dalam mm DAYS = jumlah hari hujan rataan per bulan MAXP = rataan curah hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan bersangkutan Karena faktor erosivitas hujan (R) dalam persamaan USLE adalah erosivitas hujan tahunan (Rt) maka Rt harus dikalikan dengan 12 bulan. Faktor erodibilita tanah (K) adalah laju erosi per indeks erosi hujan untuk suatu tanah yang diperbolehkan dari petak ukuran kecil standar dengan panjang 22 m, terletak pada lereng 9 % tanpa tanaman. Kecepatan erosi tanah tersebut sangat ditentukan oleh: tekstur, kadar bahan organik, permeabilitas dan kemantapan struktur tanah. Nilai K dihitung dengan menggunakan rumus Wischmeier dan Smith (1978): 100K = {1.292 (2.1M1.44 (10-4)(12-a)+(3.25(b-2)+2.5(c-3)}
.........
(8)
Dimana: K = erodibilitas (kepekaan erosi tanah). Klasifikasi nilai kepekaan erosi tanah disajikan pada Lampiran 4. M = kelas tekstur tanah (% pasir halus + % debu)(100-% liat) a = % bahan organik b = Kode struktur tanah (Tabel Lampiran 5) c = kode permeabilitas profil tanah (Lampiran 6) Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS). Faktor LS ditentukan dari hasil pengukuran langsung panjang lereng dan kemiringan lereng di lapang dengan menggunakan rumus: LS = √ X(0.0138 + 0.00965S + 0.00138S2) Dimana:
....................
(9)
LS = faktor panjang dan kemiringan lereng X = panjang lereng (m) dan S = kemiringan lereng (%)
Faktor tanaman (C) dan pengelolaannya (P). Faktor C ditentukan berdasarkan keadaan jenis tanaman yang digunakan pada setiap jenis penggunaan lahan dan berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu (Tabel Lampiran 7).
51
Faktor tindakan konservasi (P). Faktor tindakan konservasi juga ditentukan berdasarkan berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Tabel Lampiran 8). Selain parameter dalam USLE tersebut, juga dibutuhkan parameter : aliran permukaan, erosi, prediksi erosi dan debit aliran untuk menjelaskan lebih rinci tentang keadaan hidrologis suatu DAS. Oleh karena itu, diperlukan pula data antara lain adalah : Data tanah terdiri dari: (i)
Total porositas (TP).
Penetapan nilai total porositas tanah dilakukan
berdasarkan hasil analisis berat jenis isi dan berat jenis partikel dengan rumus berikut : Berat Jenis Isi TP = (1 -
x 100%) ....................................
(10)
Berat jenis partikel (ii)
Berat Jenis Isi atau kerapatan lindak (Bulk density) dihitung dengan rumus : Bobot Kering Tanah/Volume Tanah (gr/cm3). Berat Jenis Partikel atau kerapatan jenis zarah (particle density) diasumsikan sebesar 2.65 gr/cm3sebagai angka rata-rata tanah mineral (Harjowigeno, 1995).
(iii) Infiltrasi Tanah.
Parameter infiltrasi tanah terdiri dari infiltrasi konstan
(FC), selisih antara infiltrasi maksimum dan minimum (A), dan eksponen infiltrasi (P). Nilai FC dan A akan ditentukan berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan double ring infiltrometer.
Data infiltrasi yang
diperoleh dari pengukuran tersebut dibuat kisaran untuk masing-masing kelompok tanah, kemudian akan dihitung dengan persamaan sbb: FC
= Imin + ½ {1/3(Imaks – Imin)}
...................................
Fmaks = Imin + 1/3(Imaks – Imin) + ½ Imaks A
= Fmaks – FC
.................................
....................................
(11) (12) (13)
Dimana : FC (infiltrasi konstan), Fmaks (infiltrasi maksimum), Imaks (nilai kisaran maksimum data resapan konstan pengamatan infiltrasi) dan Imin (nilai kisaran minimum data resapan konstan pengamatan infiltrasi).
52
Penutupan dan Kondisi Permukaan Lahan. - Nilai parameter ini ditentukan berdasarkan pengamatan langsung di lapangan. Setiap penggunaan lahan ditentukan nilai beberapa parameter, yaitu : (i) Penutupan lahan (PER). Nilai penutupan lahan ditentukan berdasarkan pengukuran sampel dengan luasan 10 m x 10 m untuk pohon, 4 m x 4 m untuk tanaman perdu (tanaman semusim) dan 1 m x 1 m untuk tanaman penutup tanah.
Pelaksanaannya akan dilakukan dengan metode garis
berdasarkan masuknya sinar matahari melalui tajuk, kemudian nilai PER akan dihitung dengan persamaan : Luas penutupan aktual PER =
x 100% ...................
(14)
Luas penutupan potensial (ii)
Volume intersepsi potensial (PIT). Nilai PIT ditentukan berdasarkan jenis penggunaan lahan dengan menggunakan persamaan Aston (1979) : PIT = Pg – (Sf + Tf) ..........................................................
(15)
(iii) Ketinggian kekasaran maksimum (HU) dan koefisien kekasaran (RC). Nilai ketinggian kekasaran maksimum dan koefisien kekasaran ditentukan di lapang dengan penyesuaian kondisi penggunaan lahan di daerah penelitian. -
Karakteristik Saluran. Karakteristik saluran meliputi lebar saluran dan koefisien kekasaran
saluran. Lebar saluran akan ditentukan berdasarkan
rata-rata pengamatan di
beberapa titik dan koefisien kekasaran berdasarkan persamaan Manning (N) : V = 1/N x R2/3 x I1/2 atau N =
(R2/3 x I1/2)/ V
.............. (16)
Dimana : N : koefisien manning, I : gradien permukaan air, V : kecepatan aliran rataan (m/dt), A : luas penampang melintang air (m2), R : A/P (jari-jari hidrolis, m) dan P (keliling basah). Debit sungai -
Debit Aliran : Besarnya debit aliran sungai dihitung menggunakan rumus: Q=NAV
........................................................................
(17)
53
Dimana: Q : debit sungai (m3/dt), N : koefisien aliran, A : luas penampang basah sungai (m2), V : kecepatan aliran sungai (m/dt). - Debit sedimen Debit sedimen melayang (QS) pada sungai dihitung dengan mengggunakan rumus (Soewarno, 1991) : QS = 0,0864 C. A.V ............................................................ Dimana:
(18)
QS : debit sedimen melayang (kg/hr), Faktor konversi : 0,0864 C : konsentrasi sedimen yang melayang (kg/m3), A : luas penampang basah sungai (m2), dan V : kecepatan aliran (m/dt).
Sedimentasi - Sedimentasi dari penggunaan lahan (SL) di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro adalah merupakan total sedimen dari hasil erosi lahan di kalikan dengan Sediment Deliver Ratio (SDR) yaitu: SL = ∑ prediksi erosi x SDR ............................................... Dimana: SL
(19)
: Volume sedimentasi dari lahan (m3/th, ton/th)
∑erosi : jumlah prediksi erosi dari masing – masing penggunaan lahan di DAS Wanggu DS yang masuk ke Teluk Kendari (m3/th atau ton/th) SDR : ratio antara jumlah sedimen yang terangkut ke dalam sungai terhadap jumlah erosi yang terjadi di dalam DAS (%). Nilai SDR menggunakan nilai Tabel yang dihitung berdasarkan metode SSSA dalam USLE (Robinson, 1979). - Sedimentasi Sampah Kota Volame sedimen yang berasal dari sampah kota masuk ke Teluk Kendari setiap tahun didekati dengan persamaan (Iswandi, 2003) sebagai berikut : VSt = {(0,52xPdt) +(0,05xWst) + (0,05xRwt)} x (0,4) ..................
(21)
54
Dimana : VSt : volume sedimen sampah di teluk tahun ke-t (m3), Volume sampah tidak terkelola tiap penduduk kota Kendari rataan : 0,52 (m3/org/th), Pdt : jumlah penduduk tahun ke-t, Volume sampah dari wisatawan, pengunjung restoran terapung dan warung tenda yang tidak terkelola rataan : 0,05 (m3/org/th), Wst : jumlah wisatawan tahun ke-t (m3), Rwt : Jumlah pengunjung restoran/warung tenda tahun ke-t (m3), Densitas rataan konversi volume sampah menjadi padatan : 0,4 (Dinas Kebersihan kota Kendari, 2010 yang disempurnakan). - Sedimentasi Infrastruktur-Tebing Sungai-Tanah longsor Sedimentasi infrastruktur-tebing sungai-tanah longsor (SITL)
merupakan
sedimentasi yang berasal dari kegiatan pembangunan fisik seperti pemukiman, jalan, jembatan, deliniasi dan pelebaran sungai, tebing sungai dan tanah longsor (m3/th atau ton/th). Untuk mengetahui hasil sedimentasi SITL maka terlebih dahulu menghitung total endapan sedimentasi di teluk kendari melalui perhitungan berdasarkan Peta Bathimetri teluk Kendari periode 1960 - 2010 dikurangi total sedimentasi dari lahan. Sedimentasi di Teluk Kendari Besarnya volume sedimentasi di teluk Kendari dihitung berdasarkan Peta Batimetri periode 1960, 1995, 2000, 2005, dan 2010 (hasil pengukuran manual kedalaman teluk Kendari tahun 2010) didekati dengan menggunakan rumus limas terbalik berbentuk silindris (Iswandi, 2003): S-teluk = 1/3 π. R2. t ………............................................................. (22) Dimana: S-teluk : volume sedimen di teluk Kendari (m3), π. R2 : luas teluk kendari (m2), t : tinggi sedimen (m). Hasil perhitungan S-teluk dari pengukuran Peta Bathimetri tersebut menggarambarkan total sedimentasi dari lahan (AL), limbah sampah (BS) dan infrastruktur - tebing sungai-tanah longsor (SITL) dapat dirumuskan sbb: Steluk = AL + BS + SITL ............................................................. (23) SITL = Steluk - (AL + BS) ............................................................. (24) Dimana : Steluk : sedimentasi hasil perhitungan Peta Batimetri (m3/th atau ton/th), AL : sedimentasi dari berbagai jenis penggunaan lahan (m3/th atau ton/th), BS : sedimentasi sampah (m3/th atau ton/th), SITL : sedimentasi dari infrastruktur-tebing sungai-tanah longsor (m3/th atau ton/th).
55
Model Penggunaan Lahan Alternatif dan Agroteknologi di DAS Wanggu Model penggunaan lahan alternatif dan agroteknologi di DAS Wanggu dianalisis dengan berbagai skenario (S) yang diarahkan untuk menurunkan fluktuasi aliran, erosi, sedimentasi dan meningkatkan pendapatan petani berdasarkan pertimbangan luas minimal hutan yang harus dipertimbangkan, tata ruang, kesesuaian biofisik lahan dan social ekonomi masyarakat. Skenario tersebut adalah : S1 = Keadaan exsisting (hutan 23%, kebun campuran 34%, semak belukar 21%, tegalan/sawah 9%, pemukiman 13%). S2 = UU No.41/1999 minimal luas hutan 30% luas DAS, hutan 30% (dikonversi dari semak belukar 7%), kebun campuran 37% (dikonversi dari semak belukar 3%), semak belukar 11%, tegalan/sawah 9% dan pemukiman 13% S3 = RTRW Provinsi (hutan 33%, kebun campuran 42%, semak belukar 3%, tegalan/sawah 9% dan pemukiman 13%) S4 = Perbaikan RTRW Provinsi dengan konversi 2% semak belukar menjadi kebun campuran + perbaikan agroteknologi 100% pada tegalan
(hutan
33%, kebun campuran 44%, semak belukar 1%, tegalan/sawah 9% + pola tanam tumpang gilir (Jg+Uk+Kt)-(B+Kp+T) (P), dan pemukiman 13%) S5 = S4 + perbaikan agroteknologi 100% pada kebun campuran (hutan 33%, kebun campuran 44% + Agrosilvopastoral perennial crops with pasture, semak belukar 1%, tegalan 9% + tumpang gilir (Jg+Uk+Kt)-(B+Kp+T), dan pemukiman 13%). Secara rinci skenario 1 – 5 disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Skenario Model Penggunaan lahan di DAS Wanggu DS Tahun 2010 S1 S2 S3 S4 S5 Jenis peng. Lahan (%) Kebun campuran 34 37 42 44 33 Semak belukar 21 11 3 1 44 + Apc Tegalan 9 9 9 9+P 9+P Pemukiman 13 13 13 13 13 Hutan 23 30 33 33 33 Jumlah 100 100 100 100 100 Keterangan: P = pola tanam (Jagung+Ubikayu+Kacang tanah)-(Boncis+Kacang panjang+Tomat), Apc = Agrosilvopastural-prennial crops with pasture
56
Kelayakan usahatanai beberapa skenario penggunaan lahan alternatif di atas, menggunakan kriteria keputusan (criteria decision) sebagai berikut: a. kelayakan lingkungan: 1) prediksi erosi < ETol, 2) prediksi sedimentasi lebih kecil dari sedimentasi yang dapat ditoleransikan (S < STol) dan b. Kelayakan financial usahatani menggunakan keriteria “pendapatan petani lebih besar dari kebutuhan hidup layak (PP ≥ KHL)”. Prediksi Erosi, Sedimen, ETol, dan Sedimen ditoleransikan (Stol) Kesesuaian biofisik didasarkan pada prediksi erosi pada setiap jenis penggunaan lahan, dihitung menggunakan persamaaan USLE dan Prediksi sedimentasi menggunakan metode SSSA dalam USLE (Robinson, 1979) dan pendapatan petani menggunakan analisis finansial usahatani (pendapatan bersih dan kebutuhan hidup layak petani). Penggunaan lahan yang menjadi indikator utama adalah: 1) luas hutan karena diduga sampai saat ini hutan masih menjadi yang terbaik dalam fungsinya menjaga tata air DAS, 2) agroforestry karena selain berperan dalam mengurangi aliran permukaan dan erosi juga memberikan pendapatan yang lebih tinggi, dan 3) tegalan dengan pola tanam tumpang-gilir memberikan hasil dan pendatapan memenuhi KHL. Analisis Sosial Ekonomi Analsis sosial ekonomi dari dampak perubahan penggunaan lahan dalam penelitan ini dilakukan baik untuk dampak pada on-site maupun off-site. Pada tahap ini dilakukan analisis finansial terhadap beberapa pola usahatani yang diusulkan pada skenario simulasi 1 – 5 (S1 – S5) untuk melihat apakah usahatani tersebut layak secara teknis dan ekonomis serta aman terhadap lingkungan atau tidak.
Analisis teknis dan finansial dilakukan terhadap agroteknologi tanpa
memperhitungkan nilai ekonomi erosi. Analisis data sosial ekonomi yang dilakukan adalah : (i) melihat kelayakan finansial usahatani yang ada dan (ii) menentukan alternatif pengelolaan lahan optimal untuk menekan laju erosi tanah, peningkatan produktivitas lahan dan penadapatan petani, penentuan hidup layak petani dan alternatif kebijakan pencegahan sedimentasi dan penanggulangan pendangkalan teluk kendari.
Analisis ekonomi meliputi biaya (cost) dan
57
pendapatan bersih atau keuntungan (profit) usahatani yang diperoleh petani berdasarkan hasil seluruh komoditi sistim pertanian yang diusahakan. Besarnya pendapatan petani dihitung dengan persamaan:
π=
TR – TC
π
Dimana :
TR TC
..............................................................
(25)
: pendapatan bersih (profit) (Rp) : total penerimaan (total revenue) (Rp) : total biaya (total cost) (RP)
Untuk mengetahui efisiensi penggunaan modal atau penilaian investasi pada pengembangan usahatani yang diusahakan, maka digunakan analisis NPV (Net present value) menurut Gittinger (1973) dengan persamaan : n
NPV = Σ
t =1
Bt – Ct (1 + r )t
....................................................
(26)
Kriteria :
+
NPV > 0 : mengindikasikan bahwa usahatani tersebut layak diusahakan
+
NPV = 0 : nilai sekarang manfaat bersih yang didiskontokan persis sama dengan biaya-biaya yang didiskontokan (middling)
+
NPV < 0
: usahatani tersebut tidak layak diusahakan
NPV digunakan untuk menentukan nilai sekarang manfaat bersih dengan mendiskontokan aliran dan biaya kembali pada awal tahun dasar (tahun I) dari usahatani tanaman tahunan yang diterapkan petani dengan asumsi bahwa jenis tanaman yang diusahakan memiliki umur ekonomi tertentu (n) dan menggunakan tenaga kerja keluarga dan modal terbatas.
Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Nilai ambang kecukupan pangan untuk tingkat pengeluaran rumah tangga
di daerah pedesaan berkisar antara 240 – 320 kg per orang per tahun, daerah perkotaan 360 – 480 kg per orang per tahun. Oleh karena itu “Kebutuhan Hidup Minimum” (KHM) di daerah penelitian adalah kebutuhan senilai beras: 320 kg/org/thn x harga (Rp/kg) x jumlah anggota keluarga (org/KK) (Sajogyo, 1977) Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah kebutuhan petani untuk dapat memenuhi kebutuhannya yang meliputi: pakaian, tempat tinggal (perumahan),
58
pendidikan, kesehatan, keagamaan, rekreasi, kegiatan sosial dan tabungan hari tua. Untuk itu, kebutuhan tersebut dapat terpenuhi apabila pendapatan petani mencapai sebesar 250 % dari KHM (Sinukaban, 1999). Dengan demikian jumlah pendapatan bersih yang harus dipenuhi oleh setiap kepala keluarga petani untuk memenuhi KHL adalah senilai KHM x 2.5. …………………………….. (27) Tahapan penelitian adalah: persiapan, pelaksanaan di lapang, analisis laboratorium, pengumpulan data, analisis data dan merumuskan model penggunaan lahan alternatif dan agrotekonologi yang tepat dalam pengelolaan DAS Wanggu berkelanjutan.
Tahapan analisis data penelitian dalam bentuk
bagan alir di tunjukkan pada Gambar 4.
59
Penggunaan Lahan di DAS Wanggu
Teluk Kendari & sekitarnya
Evaluasi keberlanjutan n di DAS Wanggu
sampah Ya
tdk
Penggunaan Lahan sesuai
Perubahan penggunaan Lahan
Pengelolaan Sampah Analisis agroteknologi tdk
Off site : Sedimentasi kecil Erosi < Etol Qmax/Qmin < 30
Pendapatan > KHL
tdk ya
ya
Agroteknologi terpilih
Pendapatan > KHL Produktivitas tinggi
Simulasi sekenario penggunaan lahan
Erosi < ETol S-teluk < S-Tol Air tersedia cukup
Pertanian berkelanjutan
Tanpa pengerukan
Pendangkalan teluk terkendali
On site : Sedimentasi kecil
Pemanfaatan teluk Kendari berkelanjutan
Merumuskan model perencanaan pengelolaan DAS berkelanjutan dan pemanfaatan teluk Kendari lestari
Gambar 4. Tahapan Analisis Data Penelitian
60
TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Wanggu dan enam DAS mikro (Wua-wua, tipulu, Sodohoa, Benu-benua, Kadia dan Mandonga) disingkat dengan DAS Wanggu Ds, termasuk di dalamnya Taman Hutan Raya (Tahura) Murhum dan Teluk Kendari merupakan satu kesatuan ekologis, meskipun secara administratif dipisahkan oleh batas-batas wilayah kabupaten/kota. Daerah hulu DAS Wanggu Ds yang terletak di sebelah Barat sampai Selatan Teluk Kendari masuk ke dalam wilayah kabupaten Konawe Selatan, sedangkan bagian hilir dan seluruh wilayah perairan teluk Kendari masuk ke dalam wilayah Kota Kendari. Sementara itu, Tahura Murhum yang merupakan gugusan pegunungan di sebelah utara, sebagian besar masuk ke dalam wilayah Kabupaten Konawe, kecuali daerah yang berada pada kaki bukit termasuk ke dalam wilayah Kota Kendari. Secara geografis DAS Wanggu Ds berada pada lintang 30 59’ 23”- 40 10’ 14” LS dan 1220 22’ 26”- 1220 33’ 14” BT yang memiliki luas sekitar 45,377.3 ha dan bermuara di Teluk Kendari. Secara administratif, DAS Wanggu Ds termasuk kawasan teluk Kendari meliputi tiga wilayah kabupaten, yaitu : 1) kabupaten Konawe Selatan, mencakup tiga kecamatan, yaitu : kecamatan Konda, Ranomeeto, dan kecamatan Moramo; 2) Kota Kendari yang terdiri dari sepuluh kecamatan, yaitu : kecamatan Kendari, Kendari Barat, Mandonga, Puwatu, Baruga, Poasia, Abeli, Wua-Wua, Kambu, dan kecamatan Kadia; dan 3) Kabupaten Konawe mencakup dua kecamatan, yaitu :kecamatan Soropia dan Toli-Toli. Peta dan Foto udara DAS Wanggu dan Teluk Kendari disajikan pada Gambar 5. Teluk Kendari dengan luas perairan + 1.236,77 ha berada di tengah-tengah area perkotaan dan perbukitan. Penampang Teluk Kendari berbentuk mangkuk yang lonjong dengan panjang pantai 7.500 m; lebar terbesar 3.000 m dan lebar terkecil 300 m. Pada bagian timur arah laut lepas terdapat sebuah pulau kecil dan ambang alam sebagai pintu keluar masuknya pasang surut dengan ukuran relatif sempit (+300 m). Karena berada dalam teluk yang sempit, maka perairan Teluk Kendari relatif tenang. Apabila air pasang berpapasan dengan periode banjir,
61
maka terjadi pembendungan sementara sehingga terjadi banjir pada daerah kerendahan di sekitar pantai sekeliling teluk.
Gambar 5. Teluk Kendari dan sekitarnya tampak dari atas tahun 2009
Kedudukan dan Arti Penting DAS Wanggu Ds dan Teluk Kendari DAS Wanggu Ds dan Teluk Kendari merupakan aset daerah yang memiliki nilai strategis bagi pengembangan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Nilai strategis tersebut terutama disebabkan posisi Teluk Kendari yang berada di tengah-tengah Kota Kendari. Di samping letaknya yang strategis, Teluk Kendari juga memiliki potensi sumberdaya perairan dan fungsi pendukung kehidupan yang sangat penting, terutama sebagai habitat bagi sejumlah organisme seperti ikan, kerang-kerangan, udang dan mangrove. Keunikan tersebut telah menjadikan Teluk Kendari sebagai ciri khas (landmark) Kota Kendari. Kegiatan ekonomi yang berkembang pesat di kawasan Teluk Kendari saat ini adalah perdagangan dan jasa. Sebagai pusat kedudukan pemerintahan Provinsi Sulawesi Tenggara, Kota Kendari memiliki daya tarik bagi para investor lokal dan nasional
untuk
mengembangkan
usaha
perdagangan
dan
jasa
seperti
pembangunan ruko, swalayan, dan tempat- tempat hiburan. Di samping itu, di kawasan teluk Kendari juga mulai berkembang industri pariwisata berupa wisata pantai yang mendorong pertumbuhan pusat-pusat ekonomi seperti restoran, restoran terapung dan perhotelan serta pusat pendidikan dan pelatihan olah raga
62
dayung yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Namun demikian, potensi sumberdaya alam di kawasan teluk tersebut telah banyak mengalami alih fungsi/gangguan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah provinsi dan Kota serta perilaku masyarakat yang cenderung tidak peduli pada upaya pelestarian teluk Kendari.
Alih fungsi penggunaan lahan yang tak
terkendali, baik untuk permukiman, pertanian maupun pengembangan kawasan komersial dan pembangunan infrastruktur di wilayah ini menjadi penyebab utama kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Perkembangan pembangunan menyebabkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan sehingga masyarakat menjadi terdesak untuk menempati dan memanfaatkan lahan kering di daerah berlereng curam menjadi areal pertanian yang pada umumnya dilaksanakan tanpa tindakan konservasi tanah yang memadai. Oleh karena itu, lahan ini menjadi rawan erosi dan mudah terdegradasi yang pada gilirannya menjadi lahan kritis yang berdampak pada daerah hilir dan swdimentasi di teluk. Selain itu, para pemilik modal mengembangkan aktivitas ekonomi di bidang properti melalui berbagai usaha antara lain mengangkut tanahtanah di perbukitan untuk mengurug lahan di sempadan pantai maupun sungai dan menimbun rawa-rawa yang merupakan tempat-tempat resapan/parkiran air di daerah hilir. Di lain pihak, pemerintah juga melakukan hal yang sama melalui pembangunan infrastruktur jalan dengan menimbun sempadan pantai dan merusak mangrove. Selain itu, kerusakan hutan di hulu DAS Wanggu dan pegunungan Nipa-nipa juga menyebabkan terjadinya erosi yang membawa lumpur, pasir, limbah rumah tangga, dan berbagai material lainnya ke Teluk Kendari. Sisa-sisa lumpur dan pasir dari kegiatan penggusuran bukit juga segera dihanyutkan oleh banjir ke teluk pada musim hujan, sehingga tindakan-tindakan tersebut menjadi sumber-sumber utama penyebab pendangkalan di teluk Kendari. Topografi, Geologi dan Tanah DAS Wanggu dan enam DAS mikro dalam sistem DAS teluk Kendari dapat dikategorikan sebagai daerah yang memiliki topografi bervariasi antara datar, berbukit sampai bergunung. Sebagian besar wilayah ini (62,3%) adalah daerah landai dengan kemiringan 1 - 8 %, daerah berbukit sampai bergunung
63
sebesar 21 % dan sisanya merupakan daerah berombak. Ketinggian tempat pada hulu DAS yakni berkisar antara 100 - 475 meter dari permukaan laut dan titik terendah berada pada bagian hilir sekitar 0 - 10 meter dari permukaan laut. Daerah landai dijumpai di sepanjang pesisir pantai dan bagian barat teluk Kendari, yaitu dari muara dan tengah sungai Wanggu, sungai Anggoeya, Bandar Udara Wolter Monginsidi, areal persawahan di Kecamatan Ranomeeto sampai rawa Tanea di kecamatan Konda. Daerah berombak dan bergelombang (16.8%) hanya dijumpai sedikit terutama di wilayah Kota kendari, seperti Kecamatan Poasia, Abeli, Kambu, Wua-Wua, Mandonga, dan kawasan kota lama sampai Kelurahan Purirano. Daerah berbukit dan bergunung (20.9%) dapat dijumpai di bagian hulu DAS Wanggu Ds terutama di perbukitan Wolasi di sebelah barat dan selatan kecamatan Konda, perbukitan Abeli sampai Moramo di bagian selatan teluk serta perbukitan Nipa-Nipa di sebelah utara yang merupakan kawasan Tahura Murhum. Bentuk topografi dan luas penyebarannya masing-masing di DAS Wanggu dan pesisir teluk Kendari disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Bentuk topografi dan luas penyebarannya di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro bermuara ke teluk Kendari tahun 2009 No.
Luas
Bentuk Topografi (Ha)
1. 2. 3.
Datar/Landai Berombak - bergelombang Berbukit sampai bergunung Total
(%)
28.288,2 7.641,5 9.447,6
62,3 16,8 20,9
45.377,3
100,0
Sumber: BP-DAS Sampara, 2008 dan Hasil interpertasi Citra Satelit, 2009
Berdasarkan geologi, DAS Wanggu dan Wilayah Pesisir Teluk Kendari meliputi beberapa sistem lahan dan litologi yaitu : (1) punggung metamorfik terorientasi terjal, (2) dataran bergelombang yang berbukit kecil di atas napal dan batu gamping, (3) dataran gabungan endapan muara dan sungai, (4) dataran berbukit kecil di atas batuan metamorfik campuran, (5) punggung bukit sediment asimetrik tak terorientasi, (6) kipas alluvial non vulkanik yang berlereng landai, (7) gunung karstik di atas marmer, (8) dataran lumpur antar pasang surut di bawah halofit, (9) dataran sedimen campuran yang berombak sampai bergelombang, (10) bukit karst di atas marmer dan batu gamping, (11) kipas
64
alluvial non vulkanik yang berlereng sedang, dan (11) dataran berbukit kecil di atas batu sediment campuran. Berdasarkan peta zone seismik yang disusun oleh Biro Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan Bandung (1981), kawasan ini memiliki kerawanan gempa yang sedang dengan koefisien gempa z = 1. Tanah di DAS Wanggu dan wilayah pesisir Teluk Kendari kebanyakan bertekstur pasir dengan jenis tanah yang dominan adalah asosiasi Inceptisol-Ultisol yang mencapai 75,2 % dari luas wilayah DAS (Tabel 6). Di samping itu, terdapat jenis tanah Gleisol (11,3%), Ultisol (11,4%) dan Entisol (2,1%). Tekstur dan jenis tanah seperti ini banyak memiliki permasalahan, terutama tingkat kesuburan yang rendah, masam (pH rendah), kurang menyimpan air, mudah mengalami pencucian hara dan peka terhadap erosi. Tabel 6. Jenis tanah dan luas penyebarannya di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2009 No.
Luas
Jenis Tanah
1. 2. 3.
Inceptisol-Ultisol Gleisol Ultisol
4.
Entisol Total
Erodibilitas*
(Ha)
(%)
34.123,7 5.127,6 5.173,1
75,2 11,3 11,4
Kurang peka - peka Tidak peka Peka
952,9
2,1
Agak peka
45.377,3
100,0
Sumber: BPN Sultra dan BP-DAS Sampara (2008), * = disempurnakan
Iklim dan Hidrologi Unsur iklim yang menjadi penyebab utama terjadinya erosi adalah curah hujan. Curah hujan sangat dipengaruhi oleh musim di suatu wilayah. Di wilayah penelitian dikenal adanya dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh arus angin yang bertiup di atas wilayah tersebut dan mempengaruhi jumlah hujan yang jatuh. Sekitar bulan April arus angin tidak menentu dengan curah hujan kadang-kadang kurang dan terkadang lebih tinggi yang sering dikenal sebagai musim pancaroba. Pada bulan
Mei
sampai Agustus, angin yang bertiup dari Benua Australia kurang membawa uap air, sehingga menyebabkan curah hujan rendah. Selanjutnya Pada bulan Agustus sampai Oktober, terjadi musim kemarau,
Pada bulan November sampai Maret,
65
angin yang bertiup banyak mengandung uap air yang berasal dari Benua Asia dan Samudera Pasifik. Pada bulan-bulan tersebut tarjadi musim hujan dengan curah hujan yang tinggi. Perubahan-perubahan kondisi alam yang tidak menentu mengakibatkan terjadi penyimpangan, sehingga curah hujan yang terjadi cukup fluktuatif. Data curah hujan rataan selama 30 tahun terakhir di DAS Wanggu
DS
dan Teluk Kendari selengkapnya disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 8, curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Mei sebesar 368.8 mm dengan jumlah hari hujan adalah 22 hari. Curah hujan efektif menimbulkan aliran permukaan sebesar 346.4 mm dengan jumlah hari hujan efektif adalah 14 hari. Sebaliknya, curah hujan terendah terjadi pada bulan september sebesar 73.7 mm dengan jumlah hari hujan 12 hari dan mempunyai curah hujan efektif 78.2 mm dengan jumlah hari hujan efektif adalah 4 hari. Tabel 7. Rataan curah hujan bulanan selama 30 tahun (1980-2010) di DAS Wanggu dan teluk Kendari
1
Januari
Curah hujan (mm) 187,7
2
Februari
178,2
14
121,1
4
3
Maret
196,7
17
187,8
5
4
April
272,3
19
193,8
10
5
Mei
368,8
22
346,4
14
6
Juni
283,6
20
260,1
13
7
Juli
212,9
19
194,0
7
8
Agustus
98,9
21
89,4
12
9
September
73,7
12
68,2
4
10
Oktober
91,0
13
81,9
2
11
November
95,7
14
85,6
3
12
Desember
143,2
16
125,6
8
196,0
1.923,7
88
16,3
160,3
7,3
No
Bulan
Jumlah Rataan Sumber
2.202,7 183,6
10
Curah hujan efektif** (mm) 169,8
Hari hujan efektif* (hari) 6
Hari hujan (hari)
: Lanud Wolter Monginsidi Kendari, 2010 dan data primer, 2009/2010
Keterangan : * = Hari hujan yang menimbulkan aliran permukaan ** = Curah hujan yang menimbulkan aliran permukaan
66
Total curah hujan di DAS Wanggu
DS
2.202,7 mm/tahun dengan rataan
curah hujan bulanan 183.6 mm/bulan dan jumlah hari hujan 16 hari. Selanjutnya jumlah curah hujan efektif yang menimbulkan aliran permukaan sebesar 1.923,7 mm/tahun atau rataan curah hujan 160.3 mm/bulan dengan jumlah hari hujan efektif 88 hari/tahun atau rataan 7.3 hari/bulan. Dengan demikian, curah hujan di atas 100 mm terjadi selama 8 bulan (Desember-Juli), sedangkan curah hujan di bawah 100 mm terjadi selama 4 bulan (Agustus-November). Menurut klasifikasi Scmidth-Ferguson bulan basah adalah bulan yang memiliki curah hujan di atas 100 mm per bulan dan bulan kering adalah bulan yang mempunyai curah hujan di bawah 100 mm per bulan. Berdasarkan hal tersebut, maka DAS Wanggu Ds memiliki 8 bulan basah dan 4 bulan kering, sehingga dapat dikategorikan sebagai daerah yang tergolong tipe iklim B. Namun, berdasarkan klasifikasi Oldeman daerah penelitian mempunyai 4 bulan basah (curah hujan > 200 mm/bulan), yaitu April – Juli, 4 bulan lembab (curah hujan 100 – 200 mm/bulan), yaitu Desember – Maret dan 4 bulan kering (curah hujan di bawah 100/bl), yaitu Agustus – Novemver. Dengan demikian, berdasarkan klasifikasi Oldeman daerah penelitian tergolong tipe iklim C2. Klasifikasi iklim menurut Oldeman sangat cocok untuk menentukan jenis tanaman pangan yang akan dibudidayakan berdasarkan parameter peluang hujan, hujan efektif, dan kebutuhan air tanaman. Namun, kondisi curah hujan tersebut berpotensi terjadi aliran permukaan yang cukup besar, yang dapat menyebabkan terjadinya erosi tanah apabila tanpa vegetasi penghambat dipermukaan tanah. Disamping itu, curah hujan tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap fluktuasi debit aliran sungai di DAS Wanggu. Hasil studi Bappedalda Provinsi Sulawesi Tenggara (2003) menunjukkan bahwa debit minimum aliran sungai di DAS Wanggu (sungai Lepo-lepo dan sungai Watubangga) pada musim kemarau berkisar antara 0,06 m3/detik - 0,2 m3/detik dengan ketinggian atau kedalaman aliran sebesar 10 - 25 cm, dan bahkan beberapa sungai yang dijumpai dalam keadaan kering, seperti: sungai Tolewaru, sungai Andinu, sungai Lakomea, sungai Wundulako dan sungai Tenduduho. Sebaliknya, debit aliran puncak dari satu kejadian hujan pada musim hujan bervariasi antara 3,06 m3/detik - 33,55 m3/detik (Tabel 8).
67
Tabel 8. Debit aliran puncak satu kejadian hujan sungai-sungai di DAS Wanggu tahun 2003 No 1 2 3 4 5
Sub DAS Nanga-nanga Amohola Amboli Lepo-Lepo DAS Wanggu hulu
debit puncak (m3/detik) 3,06 33,55 9,83 19,79 22,25
Sumber : Bappedalda Sultra, 2003
Tabel 8 menunjukkan bahwa debit puncak terkecil umumnya terjadi di sub DAS Nanga-nanga sebesar 3,06 m3/detik dan debit puncak terbesar terjadi di sub DAS Amohola sebesar 33,55 m3/detik. Di sub-sub DAS lainnya seperti sub DAS Ambololi sebesar 9,83 m3/detik, Lepolepo sebesar 19,79 m3/detik, dan sub DAS Wanggu hulu sebesar 22,25 m3/detik. Pertemuan debit puncak pada musim hujan di sungai Lepolepo dan sungai Wanggu umumnya menyebabkan beberapa kawasan di sekitarnya mengalami genangan setinggi 3,5 - 4,0 meter di Konda dan Poasia. Berdasarkan data tersebut, maka fluktuasi debit maksimum dan debit minimum di DAS Wanggu sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim hujan akan terjadi banjir dan pada musim kemarau akan terjadi kekeringan. Suatu DAS dikatakan baik, jika perbandingan antara debit maksimum dan debit minimum lebih kecil dari 30. Sebaliknya, Jika perbandingan tersebut lebih besar dari 30 maka DAS tersebut dapat dikatakan dalam kondisi kritis atau rusak. Pola aliran sungai di DAS Wanggu menyerupai cabang-ranting-pohon (dendritic pattern) dengan bentuk bundar (radial), sehingga seluruh aliran sungai tersebut bermuara ke Teluk Kendari. Pola aliran seperti ini dapat mempercepat gerakan limpasan air permukaan, terutama pada kondisi hulu DAS telah kritis, di mana pohon-pohon pada daerah up-stream yang merupakan ciri khas hutan tropis sudah gundul. Daerah perbukitan di hulu DAS yang merupakan daerah tangkapan air (cathment area) sungai Wanggu hanya dominan ditumbuhi rumput dan semak yang tidak bisa menahan air selama musim hujan. Oleh karena itu, aliran sungai di DAS Wanggu tidak dapat lagi tertampung, sehingga dapat menyebabkan luapan dan menggenangi beberapa kawasan di Kota Kendari. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah melakukan perbaikan pola aliran melalui pelurusan aliran sungai dalam bentuk kanal di bagian tengah DAS
68
di Kecamatan Konda. Namun, upaya tersebut justeru mempercepat aliran air menuju ke daerah hilir. Disamping itu, beberapa sungai juga telah dibuat chekdam untuk kebutuhan sumber air irigasi seperti di Desa Sindangkasih dan Kelurahan Ranomeeto. Namun, jumlah air yang tertampung dalam chekdam tersebut, tidak mencukupi untuk kebutuhan air irigasi sawah. Hal ini disebabkan menurunnya debit sungai dari tahun ke tahun akibat kerusakan hutan di daerah hulu. Untuk mengatasi hal tersebut, maka masyarakat memanfaatkan sumberdaya air bawah tanah dengan sistem pompanisasi. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di suatu DAS sangat mempengaruhi besarnya laju aliran permukaan karena erat kaitannya dengan vegetasi yang ada di DAS tersebut. Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan dan data-data pada peta menunjukkan bahwa pada umumnya penggunaan lahan di DAS Wanggu Ds di dominasi oleh pemanfaatan sebagai kebun campuran (34.3 %) dari luas DAS Wanggu Ds, hutan (23.1 %), tambak/sawah & tegalan (8.9 %), pemukiman (13.1 %) dan sisanya berupa tegalan, rumput alang-alang, tambak dan vegetasi pantai (20.0%). Secara rinci luasan masing-masing penggunaan lahan di DAS Wanggu Ds tahun 2009 disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Jenis dan luas penggunaan lahan di DAS Wanggu dan 8 DAS mikro tahun 2009 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis penggunaan lahan
Luas (ha)
Luas (%)
Pemukiman Tambak/Sawah & Tegalan Semak belikar/ilalang Kebun campuran Hutan Lapangan Golf
5.959,3 4.022,4 9.342,4 15.585,8 10.467,8 295,6
13,1 8,9 20,0 34,3 23,1 0,6
Total
45.377,3
100,0
Sumber : Peta penggunaan lahan, 2009
Tabel 9 menunjukkan bahwa penggunaan lahan hutan di DAS Wanggu Ds hanya berkisar 23.1% dari luas DAS. Hal ini mengindikasikan bahwa luas hutan dalam peranannya sebagai fungsi perlindungan di dalam DAS tidak lagi
69
memenuhi syarat. Untuk memenuhi fungsi perlindungan daerah hilir, suatu DAS disyaratkan memiliki luas hutan minimal 30% dari total luas DAS. Penurunan luas hutan di DAS Wanggu terjadi akibat alih fungsi kawasan hutan menjadi peruntukan lainnya, terutama untuk areal pertanian dan permukiman. Hal ini telah dikemukakan oleh Marwah (1998) bahwa selama kurun waktu 1992-1998 di DAS Wangggu telah terjadi perubahan penggunaan lahan berupa penurunan luas hutan sebesar 1 % per tahun, penurunan semak belukar sebesar 1,6 % pertahun, penurunan alang-alang 6,2 % pertahun. Sedangkan yang mengalami penambahan adalah tegalan sebesar 36,9 % per tahun, pemukiman sebesar 4,2 % per tahun dan sawah sebesar 8 % per tahun. Perubahan penggunaan lahan dominan terjadi pada bagian tengah dan bagian hilir DAS Wanggu. Di bagian tengah DAS tersebut, terdapat lahan rawa yang telah beralih fungsi menjadi lahan persawahan. Rawa berfungsi sebagai penyangga (buffer) dan menampung air aliran permukaan (parkiran air) yang berasal dari hulu DAS. Fungsi rawa tersebut tidak berperan lagi, karena adanya alih funsi sawah sawah, sehingga tanahtidak dapat lagi melalukan air akibat terjadinya pemadatan tanah dan mempercepat aliran air ke bagian hilir. Di bagian hilir DAS Wanggu, terutama di sekitar Teluk Kendari penggunaan lahan sangat kompleks, umumnya didominasi oleh kawasan permukiman, kawasan komersial, industri, dan pembangunan sarana infrastruktur perkotaan dan fasilitas sosial. Vegetasi Penutup Tanah Vegetasi penutup tanah di sub DAS Wanggu bagian hulu umumnya terdiri dari vegetasi hutan dengan kerapatan tinggi, sedang dan rendah. Jenis-jenis pepohonan yang dominan adalah kayu besi (Metrosideros petiolata), eha (Castanopsis buruana), bolo-bolo (Adenandra celebica) bolo-bolo putih (Thea lanceolata), puta (Barringtonia racemosa), Parinari Sp., Pandanus aurintiacus, serta berbagai jenis palem dan rotan. Pertumbuhan vegetasi umumnya mengelompok, diselingi dengan ilalang dan semak belukar yang semakin lama semakin meluas.
70
Kawasan hutan dengan potensi keanekaragaman vegetasi yang tinggi masih dapat dijumpai di pegunungan nipa-nipa (sebelah utara Teluk Kendari) yang sebagian arealnya masuk dalam kawasan Tahura Murhum (Gambar 6). Jenis-jenis tumbuhan yang dapat dijumpai di dalam kawasan ini antara lain : kayu besi (Metrosideros petiolata), eha (Castanopsis buruana), bolo-bolo (Adenandra celebica), bolo-bolo putih (Thea lanceolata), kayu puta (Baringtonia racemosa), pandan tikar (Pandanus aurantiacus), berbagai jenis palem (Nengelfa Sp., Pinanga caesia, dan Ucuala Sp.), serta rotan batang (Calamus zolfingeri), dan rotan lambing (Calamus ornatus var. celebicus). Kawasan ini juga merupakan habitat satwa liar terutama anoa, rusa, kuskus, musang Sulawesi, rangkong, burung kasturi Sulawesi, elang laut (Haliastus leucogaster), dan beberapa jenis kupu-kupu. Di luar kawasan hutan dijumpai tanaman semusim dan tanaman tahunan. Akan tetapi, tanaman semusim pada tegalan dan pekarangan hanya ditanam pada musim hujan, sedang pada musim kemarau ditumbuhi alang-alang dan semak belukar. Jenis tanaman yang tumbuh di setiap jenis penggunaan lahan pada : (a) lahan terlantar : semak belukar dan alang-alang, (b) Kebun campuran : kakao, mangga, nangka, jambu mete, langsat, durian, pisang, kopi dan lain-lain, (c) tegalan : padi gogo, kacang tanah, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, jagung dan sayursayuran dan, (d) sawah : padi dan palawija. Kondisi lahan yang diusahakan pada lahan kering masih bersifat tradisionil dengan produktivitas lahan sangat rendah.
Gambar 6. Vegetasi hutan di Tahura Murhum pada musim kemarau di hulu Wanggu
71
Dalam kawasan perkotaan di Kota Kendari, selain tanaman budidaya pertanian dan perdu, juga banyak dijumpai jenis-jenis tanaman hias dan tanaman penghijauan kota terutama di sempadan jalan, taman kota, pekarangan gedung perkantoran, permukiman penduduk, serta ruang terbuka hijau (RTH). Jenis-jenis yang banyak dijumpai diantaranya adalah Angsana (Pterocarpus indicus), Asam jawa (Tamarindus indica), Asam londo (Pithecolobium dulce), Beringin (Ficus benyamina), Cemara kipas (Thyja occidentalis), Cempaka (Michelia champaca), Dadap ( Erythrina Sp.), Glodokan tiang (Polyalthia longifolia), Kayu putih (Melaleuca leucadendron), Ketapang (Terminalis cattapa), dan Mahoni (Swietenia macrophylla). Pada beberapa lokasi sempadan pantai dan muara sungai di teluk Kendari masih dapat dijumpai vegetasi mangrove dengan kerapatan sangat rendah. Hutan mangrove di kawasan ini pada tahun 1990-an diperkirakan mencapai luas sekitar 300 ha. Namun, saat ini telah mengalami degradasi besar-besaran akibat kegiatan sosial ekonomi masyarakat kota Kendari seperti pertambakan, pemukiman, kegiatan komersial dan bangunan infrastruktur. Vegetasi mangrove yang masih tersisa berada pada sebagian sempadan sungai dan pantai (Gambar 7), yang terdiri dari jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Sonneratia alba, Acanthus ebracthetaus, Bruguiera gymnorhiza, Avicennia Sp., dan Nypha fruticans.
Gambar 7. Vegetasi mangrove dijumpai di muara sungai Wanggu teluk Kendari
72
Sosial dan Ekonomi Kependudukan Penduduk yang mendiami wilayah DAS Wanggu hingga pesisir teluk Kendari merupakan percampuran dari berbagai etnis yang ada di Sulawesi Tenggara, seperti Tolaki, Muna, Buton, Bugis, Jawa, dll. Jumlah penduduk yang mendiami kawasan ini pada tahun 2008 telah mencapai lebih dari 303,159 jiwa (Tabel 10). Tabel 10. Distribusi Penduduk di DAS Wanggu Ds menurut Wilayah Kecamatan tahun 2008 No. Kecamatan Jumlah Penduduk Pertumbuhan per (Jiwa) tahun (%) 1. Konda 17.137 1,96 2. Ranomeeto 12.930 1,96 3. Kendari 23.548 1,96 4. Kendari Barat 39.854 1,99 5. Mandonga 51.244 1,96 6. Poasia 33.524 1,96 7. Baruga 13.126 1,96 8. Abeli 18.388 1,96 9. Puwatu 23.450 1,96 10. Kambu 20.426 1,97 11. Wuawua 20.343 1,92 12. Kadia 29.189 2,04 13. Soropia 14. Tolitoli Jumlah 303.159 Rataan = 1,97 Sumber : BPS Sulawesi Tenggara, 2008
Penduduk di DAS Wanggu sebagian besar berada di Kota Kendari yang dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang pesat akibat urbanisasi. Konsentrasi penduduk di Kota Kendari umumnya berada di wilayah kecamatan Kendari, Kendari Barat, Poasia dan Mandonga yang merupakan pusat Kota Kendari.
Di bagian hulu DAS Wanggu sebagian besar penduduknya masih
mempunyai tingkat pendidikan yang rendah yakni tamat SD sebesar 68 %, tamat SMP dan SLTA sebanyak 29 % dan tamat perguruan tinggi sebesar 3 %. Di bagian Tengah DAS, sekitar 60 % tamat SD dan selebihnya tamat SLTP, SLTA serta Perguruan Tinggi. Sedangkan di bagian hilir/Kota Kendari pada umumnya
73
telah memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik, yakni sebesar 30 % tamat SD dan selebihnya tamat SLTP, SLTA serta Perguruan Tinggi (BPS Sulawesi Tenggara, 2008). Oleh karena tingkat pendidikan masyarakat di bagian hulu DAS Wanggu pada umumnya hanya tamat SD, maka sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani. Hal ini dapat berimplikasi pada rendahnya pemahaman dalam berusahatani secara lestari atau dengan kata lain sulit untuk mengadopsi teknologi pertanian untuk dapat mempertahankan kelestarian lingkungan di lahan usahataninya. Demikian juga pemahaman terhadap tingkat bahaya kerusakan sumberdaya lahan terutama dampak penerapan teknologi usahatani terhadap erosi dan sedimentasi. Rendahnya pemahaman masyarakat di daerah bagian hulu DAS Wanggu Ds terhadap bahaya kerusakan lingkungan, juga ditunjukkan dengan tingginya intensitas kegiatan perambahan hutan akibat tutuntan pemenuhan ekonomi bagi masyarakat setempat.
Perekonomian Untuk mengetahui tingkat ekonomi suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu, antara lain dapat diukur dari data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pendapatan regional, pendapatan per kapita, dan pertumbuhan ekonomi regional. Kondisi perekonomian di DAS Wanggu dan wilayah pesisir teluk Kendari digambarkan dengan memperlihatkan kondisi perekonomian Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan. Namun, perekonomian Kabupaten Konawe tidak diuraikan, mengingat wilayah administratif Kabupaten Konawe yang masuk dalam area studi seluruhnya merupakan kawasan hutan (Tahura Murhum). Berdasarkan struktur ekonominya, pembentukan PDRB Kota Kendari didominasi oleh sektor transportasi, perdagangan dan jasa. Sektor jasa yang memberikan kontribusi cukup besar dalam pembentukan PDRB adalah sektor jasa pelayanan pemerintahan umum dan sektor industri pengolahan. Hal ini sesuai dengan fungsinya sebagai kawasan kota dan perannya sebagai ibukota provinsi
74
yang menjadi pusat aktivitas pemerintahan. Berbeda halnya dengan Kabupaten Konawe Selatan, PDRB di daerah ini didominasi oleh sektor pertanian dalam arti luas serta sektor jasa pemerintahan umum. Tingkat kesejahteraan penduduk Kota Kendari menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun yang diindikasikan oleh PDRB per kapita, meningkat tajam dari Rp 3.477.237,42 pada tahun 1999 menjadi Rp 5.275.055,35 pada tahun 2001. Meskipun pada tahun 2003 mengalami peningkatan yang relatif kecil yaitu sebesar Rp 5.963.844,09. Nilai PDRB per kapita Kota Kendari tersebut lebih tinggi daripada PDRB per kapita Kabupaten Konawe Selatan, dimana pada awal terbentuknya tahun 2002 dan 2003 masing-masing sebesar Rp 3.072.911,25 dan Rp 3.462.061,46. Meskipun PDRB per kapita pada kedua wilayah tersebut, mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun kemampuan kedua daerah tersebut masih sangat rendah untuk membiayai pembangunan wilayahnya. Hal ini diindikasikan oleh rendahnya pendapatan asli daerah (PAD) untuk Kota Kendari pada tahun 2003 hanya mencapai Rp.13.893,28 miliar. Angka tersebut hanya sekitar 7,20% dari total penerimaan dalam APBD yang berjumlah Rp.192.817,01 miliar. Demikian pula untuk Kabupaten Konawe Selatan, PAD pada tahun 2004 hanya mencapai Rp.117.193,24 juta. Rendahnya PAD kedua daerah tersebut bukan berarti pembangunan di wilayah ini tidak berjalan, tetapi proporsi pendapatan yang bersumber dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat sangat besar jumlahnya. Misalnya, untuk Kota Kendari pada tahun 2004 memperoleh alokasi anggaran sebesar Rp.178.923,73 miliar dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.
Infrastruktur Wilayah Jaringan Jalan dan Alat Transportasi Jaringan jalan yang ada di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan merupakan pengembangan dari jaringan jalan utama yang sudah ada sebelum kedua daerah otonom tersebut dibentuk. Kota Kendari pada awalnya jaringan
75
jalan hanya berada di dekat pantai dan melingkari kawasan Teluk Kendari. Setelah Kota Kendari terbentuk, jaringan jalan baru dibangun secara sporadis hampir ke semua arah, kecuali ke arah utara Teluk Kendari yang merupakan daerah berlereng dan masuk dalam kawasan Tahura Murhum. Sistem jaringan jalan yang ada diklasifikasikan menjadi jalan arteri primer, arteri sekunder, kolektor primer, kolektor sekunder, dan jalan lingkungan. Panjang jalan di Kota Kendari hingga tahun 2004, seluruhnya tercatat 472,27 km. Hasil kajian BPPT (2005), berdasarkan luas wilayah kota dan kepadatan serta laju pertumbuhan penduduk saat ini, maka Kota Kendari belum membutuhkan penambahan jalan baru hingga kurun waktu 20 tahun ke depan. Akan tetapi, jika berdasarkan kondisi jalan yang ada, maka dibutuhkan upaya peningkatan kualitas untuk meningkatkan pelayanan transportasi dan penataan kota. Hal ini dikarenakan total panjang jalan tersebut di atas, yang berada dalam kondisi baik hanya sekitar 23,69 % sedangkan lebihnya berada dalam kondisi sedang, rusak, dan rusak berat. Selain itu, terdapat ruas jalan yang hanya berupa timbunan tanah dan kerikil yang panjangnya mencapai 150,8 km. Di Kabupaten Konawe Selatan, pembangunan jaringan jalan secara sporadis juga dilakukan setelah daerah ini terbentuk pada tahun 2002 terutama dalam
wilayah
ibukota
Andoolo.
Selain
itu,
pada
tahun
2006
juga
mengembangkan jaringan jalan sepanjang 30 km yang menghubungkan Kecamatan Moramo dan Kecamatan Laonti. Pengembangan jaringan jalan ini cukup penting bagi masyarakat setempat karena dapat membuka akses jalan darat ke Kecamatan Laonti yang sebelumnya hanya dapat ditempuh melalui jalur laut. Namun dalam perkembangannya banyak menyisahkan masalah karena pembuatan jalan melintasi kawasan suaka margasatwa Tanjung Peropa, dan belum memperoleh izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan RI. Secara umum situasi lalu lintas di Kota Kendari dan kabupaten konawe Selatan relatif belum padat, dan hampir tidak terjadi kemacetan di semua ruas jalan. Kemacetan kadang-kadang hanya terjadi di Kota Kendari pada saat-saat
76
tertentu di beberapa titik pusat kegiatan, seperti perkantoran, pasar, dan sekolah. Hal ini terutama disebabkan oleh kurang disiplinnya pengendara angkutan umum. Selain itu, sarana parkir kendaraan yang belum memadai, sehingga banyak kendaraan yang menggunakan sistem parkir di pinggir jalan (on street). Alat angkutan darat paling banyak terdapat di Kota Kendari, terutama untuk jenis sepeda motor yang mencapai 79,36% dari total kendaraan yang ada. Sedangkan kendaraan lainnya berupa mobil bus 10,18%, mobil barang 6,76% dan mobil penumpang 3,71%. Sarana transportasi laut berupa pelabuhan nusantara, pelabuhan peti kemas, dan pelabuhan perikanan samudera (PPS) hanya terdapat di Kota Kendari. Angkutan laut terdiri dari pelayaran domestik yang melayani rute antar kota kabupaten/kota dan pelayaran nusantara, sedangkan pelayaran luar negeri relatif sedikit. Pada tahun 2004, kunjungan pelayaran luar negeri tercatat hanya satu kali pelayaran samudera internasional dan 38 kali pelayaran khusus. Untuk pelayaran dalam negeri cukup banyak tetapi terbatas pada kapal menengah ke bawah, karena Kota Kendari merupakan pintu gerbang masuk ke Sulawesi Tenggara. Arus barang dan penumpang di Pelabuhan Kendari juga cukup ramai. Sedangkan untuk sarana transportasi udara di Kota Kendari menggunakan bandara Wolter Monginsidi yang terletak di Kabupaten Konawe Selatan dengan frekwensi penerbangan penerbangan telah mencapai 5 kali setiap hari. Perumahan dan Pemukiman Penyediaan rumah layak huni terutama di Kota Kendari, baik yang berkaitan dengan kuantitas maupun kualitas belum seimbang dengan jumlah penduduk yang membutuhkan perumahan. Hal ini menyebabkan tingkat hunian rumah masih relatif tinggi, yaitu 6 sampai 7 orang per rumah. Pertumbuhan kota yang cepat dan tidak terencana menyulitkan penataan lingkungan perumahan dan pemukiman secara layak. Hal ini diperburuk dengan belum tertatanya saluran drainase kota dan sarana sanitasi lingkungan perumahan dan pemukiman secara keseluruhan., masalah yang berkaitan dengan perumahan dan permukiman di Kabupaten Konawe Selatan belum banyak dijumpai. Hal ini terkait dengan
77
tipologi masyarakat di wilayah ini yang umumnya bekerja sebagai petani dengan lahan garapan yang cukup luas Listrik dan Air Bersih Kebutuhan listrik di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan seluruhnya disuplai dari PLN yang menggunakan PLTD. Semua wilayah kecamatan di dua daerah ini telah mendapat pelayanan listrik dari PLN meskipun belum dapat menjangkau daerah-daerah terpencil. Sampai tahun 2004, kebutuhan listrik Kota Kendari mencapai 26.607 KVA. Angka tersebut mencakup 20,30% dari total suplai tenaga listrik PLN di Provinsi Sulawesi Tenggara, yang kebanyakan digunakan untuk konsumsi rumah tangga sebesar 20.106 KVA, sedangkan penggunaan untuk kebutuhan non rumah tangga sebesar 6.501 KVA. Kapasitas daya listrik yang didistribusikan saat ini belum dapat melayani kebutuhan seluruh masyarakatdi wilayah ini. Dalam kurun waktu dua tahun terakhir (2007-2008) Kota Kendari dan Kabupaten Konsel mengalami krisis listrik yang cukup parah, sehingga setiap hari PT. PLN Cabang Kendari melakukan pemadaman listrik bergilir. Di lain pihak, kebutuhan masyarakat terhadap energi listrik terus meningkat baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun komersil. Diperkirakan krisis ini baru dapat teratasi pada tahun 2009 setelah pemerintah membangun PLTU berkapasitas 20 MW di kecamatan Soropia Kabupaten Konawe. Kebutuhan air bersih kebanyakan masyarakat Kota Kendari menggunakan air bersih yang bersumber dari PDAM yang mmasih sebagian besar menggunakan air bersumber dari sungai Konaweha dan hanya sebagian kecil menggunakan air dari sungai Wanggu. Selain itu, masyarakat di daerah ini menggunakan sumur gali, dan sumur bor. Sedangkan di kabupaten Konawe Selatan masih terbatas pada penggunaan air sumur gali, air sungai Wanggu, dan air sumur bor karena di daerah ini belum memiliki PDAM. Air bersih yang berasal dari PDAM Kota Kendari baru dapat melayani sekitar 36 % dari jumlah penduduk kota dan pelayanannya belum berlangsung kontinyu sepanjang hari hanya 2 – 3 jam per hari. Hal ini disebabkan oleh infrastruktur pengelolaan air bersih PDAM kebanyakan sudah usang karena usianya yang telah tua. Sistem jaringan penyedia air bersih yang telah direncanakan oleh pemerintah kota adalah memanfaatkan air
78
sungai Wanggu yang bermuara ke Teluk Kendari. Sedangkan sistem jaringan air bersih yang dikelola oleh PDAM, masih menggunakan air sungai Konaweha yang berada di wilayah Kabupaten Konawe. Karena kedepan air sungai Wanggu direncanakan akan menjadi bahan baku untuk PDAM kota Kendari maka penyelamatan sungai Wanggu melalui pengelolaan DAS berkelanjutan sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kelestariannya.
79 HASIL DAN PEMBAHASAN Dinamika Penggunaan Lahan di DAS Wanggu Hasil analisis dinamika penggunaan lahan di DAS Wanggu tahun 19922010 memperlihatkan bahwa penurunan luas hutan rata-rata sebesar 478,2 ha/th (1,1%) dan semak belukar seluas 366 ha/th (0,8%), diikuti oleh peningkatan kebun campuran seluas 485,7 ha/th (1,1%), tegalan seluas 181,8 ha/th (0,4%) dan pemukiman seluas 179,8 ha/th (0,4%) dari luas DAS. Dinamika penggunaan lahan berdasarkan perubahan luas masing-masing di DAS Wanggu periode 1992 – 2010 disajikan pada Tabel 11 dan lebih rinci disajikan pada Lampiran 9. Tabel 11. Dinamika penggunaan lahan berdasarkan perubahan luas masingmasing di DAS Wanggu Ds Tahun 1992-2010 Periode
Kebun camp. ha %
Jenis Penggunaan Lahan Semak belukar Tegalan Pemukiman ha % ha % ha %
Hutan ha %
1992
6.357,5
14.0
16.296,4
35,9
569,0
1,3
2.600,2
5,7
19.554,2
43,2
1995
10.366,6
22,8
11.489,8
25,3
1.210,2
2,7
3.681,8
8,1
18.628,8
41,1
2000
11.908,4
26,2
6.518,0
14,4
4.308,4
9,5
5.364,3
11,8
17.278,2
38,1
2005
14.832,8
32,7
4.415,4
9,7
5.774,1
12,7
5.761,2
12,7
14.593,8
32,2
15.585,8 34,3 9.342,0 20,6 4.022,4 8,9 5.959,3 9.228,3 20,3 6.954,4 15,3 3.453,4 7,6 3.359,1 485,7 1,1 366,0 0,8 181,8 0,4 179,8 Keterangan: ∑ = jumlah, Δ = perubahan penggunaan lahan, R = rataan
13,1 7,4 0,4
10.467,8 9.086,4 478,2
23,1 20,1 1,1
2010
∑Δ R Δ/th
Tabel 11 menunjukkan bahwa penggunaan lahan di DAS Wanggu Ds pada tahun 1992 masih didominasi oleh hutan dengan luas 19.554,2 ha atau 43,2 % dari luas DAS. Pada tahun 2000 luas hutan menurun menjadi 17.278,2 ha atau 38,1 %, dan pada tahun 2010 menurun menjadi 10.467,8 ha atau 23,1 % dari luas DAS. Dengan demikian, luas hutan di DAS Wanggu pada tahun 2010 tersebut tidak lagi sesuai dengan amanah UU No.41/1999 tentang minimal luas hutan 30% dari luas DAS. Pada periode yang sama, terjadi peningkatan luas kebun campuran dari 6.357,5 ha (14,0 %) pada tahun 1992 menjadi 11.908,4 ha (26,2 %) pada tahun 2000, dan pada tahun 2010 meningkat menjadi 15.585,8 ha (34,3 %). Demikian pula peningkatan luas terjadi pada penggunaan lahan lainnya. Penurunan luas
80 hutan di DAS Wanggu disebabkan oleh semakin meningkatnya kebutuhan lahan pertanian dari tahun ke tahun akibat pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan aktivitas ekonomi. Pertambahan jumlah penduduk akan diikuti peningkatan kebutuhan pangan dan pemukiman yang berimplikasi terhadap meningkatnya kebutuhan lahan pertanian dan non pertanian. Oleh karena itu, peningkatan kebutuhan pangan yang merupakan konsekuensi dari pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan harga komoditas pertanian yang merupakan pertumbuhan ekonomi penduduk, maka juga akan mendorong pertambahan luas lahan pertanian, sehingga akan meningkatkan tekanan terhadap lahan hutan. Hasil analisis regresi penurunan luas hutan dan peningkatan luas kebun campuran dan pemukiman periode lima tahunan selama periode 1992 - 2010 ditunjukkan pada Gambar 8 dan Peta penggunaan lahan ditunjukkan pada Gambar 9, 10, 11, 12 dan 13. Gambar 8 mengindikasikan bahwa ada korelasi secara signifikan antara penurunan luas hutan (R2 = 0.948) dan peningkatan kebun campuran (R2 = 0.913) dan pemukiman (R2 = 0.864) di DAS Wanggu selama periode 1992 – 2010. Penurunan luas hutan terjadi sebesar 1,079% per tahun mengikuti persamaan : y = -1,079x + 46,76
…………………………………… (1)
dimana y adalah luas hutan pada periode terentu, x adalah periode waktu, yaitu : x = 0 untuk tahun 1990, x = 5 untuk tahun 1995, x = 10 untuk tahun 2000, x = 15 untuk tahun 2005, dan x = 20 untuk tahun 2010. Periode yang sama terjadi peningkatan luas kebun campuran sebesar 1,071% per tahun mengikuti persmaan : y = 1,071x + 14,85
…………………………….
(2)
dimana y adalah luas kebun campuran pada periode tertentu, x adalahperiode waktu, yaitu : x = 0 untuk tahun 1990, x = 5 untuk tahun 1995, x = 10 untuk tahun 2000, x = 15 untuk tahun 2005, dan x = 20 untuk tahun 2010. Demikian juga terjadi peningkatan luas pemukiman sebesar 0,412% per tahun mengikuti persaman :
81 y = 0,412x + 5,995
…………………………
(3)
dimana y adalah luas pemukiman pada periode tertentu, x adalah periode waktu, yaitu: :x = 0 untuk tahun 1990, x = 5 untuk tahun 1995, x = 10 untuk tahun 2000, x = 15 untuk tahun 2005, dan x = 20 untuk tahun 2010. Hasil analisis di atas, merupakan fakta terjadinya dinamika penggunaan lahan yang menunjukkan penggunaan lahan hutan semakin berkurang dari tahun ke tahun yang tidak mungkin kembali pada keadaan semula. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah dan pendekatan model agroteknologi sebagai tindakan konservasi tanah yang dapat diterima dan diterapkan secara luas dengan biaya yang layak. Pendekatan model agroteknologi tersebut, didasarkan kepada peningkatan sistem penggunaan lahan yang mengarah kepada pertumbuhan vegetasi penutup tanah yang lebih baik (melindungi tanah dari erosi, meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan kandungan bahan organik tanah, dan memaksimumkan penyerapan air oleh tanah), hasil meningkat dan petani memperoleh pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup secara layak.
50
Hutan (%) = -1,079 tahun + 46,76 R² = 0,948
45
KC (%) = 1,071 tahun + 14,85 R² = 0,913
40 % Luas DAS
35 30 25 20 15 10
Pemukiman (%)= 0,412 tahun + 5,995 R² = 0,864
5 0 0
5 10 15 20 Interval tahun dinamika penggunaan lahan (selang 5 tahun) Ket : 0 = tahun 1990; 5 = tahun 1995; 10 = tahun 2000; 15 = tahun 2005; 20 = tahun 2010 Kebun campuran
Pemukiman
25
Hutan
Gambar 8. Dinamika penggunaan lahan di DAS Wanggu Ds periode 1992-2010
82
Gambar 9. Peta Penggunaan lahan di DAS Wanggu Tahun 1992
83
Gambar 10. Peta Penggunaan lahan di DAS Wanggu Tahun 1995
84
Gambar 11. Peta Penggunaan Lahan di DAS DS Tahun 2000
85
Gambar 12. Peta Penggunaan Lahan di DAS DS Tahun 2005
86
Gambar 13. Peta Penggunaan Lahan di DAS WAnggu DS Tahun 2010
87 Dampak Dinamika Penggunaan Lahan Dampak dinamika penggunaan lahan terhadap karakteristik lahan Hasil evaluasi karakteristik lahan yang meliputi : berat volume, porositas, bahan organik tanah, penutupan lahan dan intersepsi potensial pada uji BNT α 0,01 menunjukkan bahwa lahan hutan memberikan karakteristik lahan yang lebih baik dibanding penggunaan lahan kebun campuran, semak belukar, tegalan/sawah dan pemukiman.
Karakteristik lahan pada berbagai jenis penggunaan lahan
existing di DAS Wanggu disajikan pada Tabel 12 dan hasil pengukuran parameter berat volume, total pori, fisik lahan dan karakteristik tanah masing-masing unit lahan selengkapnya disajikan pada Lampiran 10 dan 11 dan 12. Tabel 12. Karakteristik lahan pada berbagai jenis penggunaan lahan existing di DAS Wanggu Tahun 2010 Penggunaan lahan Kebun campuran Semak belukar Tegalan/sawah Pemukiman Hutan BNT α .01
BV (g/cm3) 1.42 bc 1.50 ab 1.49 ab 1.64 a 1.25 c 0.178
Porositas (%) 43.7 ab 38.7 bc 42.0 b 34.6 c 49.3 a 6.122
BO (%) 3.84 b 3.77 b 3.66 b 1.15 c 4.57 a 0.461
PER (%) 60.87 b 59.97 b 59.53 b 37.00 c 84.63 a 6.247
INT (mm/th) 102.77 b 106.33 b 72.07 c 22.00 d 244.50 a 5.785
Keterangan: - BV = berat volume tanah, BO = bahan organik tanah, INT = intersepsi potensial, dan PER= persentase penutupan lahan, porositas tanah kedalaman 30 – 60 cm, - Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNTα 0.01
Berdasarkan Tabel 12, lahan hutan mempunyai berat volume (1,25 g/cm3) lebih rendah dari penggunaan lahan lainnya. Namun, tidak berbeda secara signifikan dengan kebun campuran. Sebaliknya, porositas tanah (49,3%), bahan organik tanah 4,57%, penutupan lahan 84,63% dan intersepsi potensial 244,5 mm/th lebih tinggi dan berbeda secara signifikan dengan penggunaan lahan lainnya, kecuali prositas tanah tidak berbeda secara signifikan dengan kebun campuran. Dengan demikian, perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lahan lainnya berdampak buruk terhadap karakteristik tanah yang merupakan akibat secara langsung dari perubahan penutupan dan intersepsi, meskipun tidak berbeda secara signifikan terhadap kebun campuran. Dampak
88 buruk karakteristik tanah tersebut, menyebabkan perlindungan tanah terhadap erosi menurun, kapasitas infiltrasi dan kesuburan tanah juga menurun. Sejalan dengan hasil penelitian Pratoyo dan Shiddieq (2007) yang menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan dari hutan pinus ke lahan pertanian (padi + jagung) memberikan dampak negatif berupa penurunan berat jenis, penurunan porositas dan kemantapan agregat, serta meningkatkan berat volume tanah. Erosi tanah mempunyai pengaruh langsung terhadap hilangnya lapisan atas (top soil) sampai pada lapisan subsoil yang memiliki sifat fisik jelek. Akibat dari terangkutnya partikel-partikel tanah yang halus dapat menutup pori-pori tanah sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kapasitas infiltrasi dan kesuburan serta pengerasan lapisan tanah (crust formation). Jika hal ini berlanjut terus akan menyebabkan terjadinya degradasi lahan berupa lahan kritis (Suripin, 2001). Kandungan bahan organik pada penggunaan lahan hutan paling tinggi dan berbeda secara signifikan terhadap penggunaan lahan lainnya. Bahan organik memegang peranan penting dalam menentukan sifat-sifat tanah dan pertumbuhan tanaman, antara lain : a) sebagai granulator, yakni memperbaiki struktur tanah; b) sumber unsur hara, yaitu N, P, S, unsur mikro dll; c) menambah kemampuan tanah menahan air; d) menambah kemampuan untuk menahan unsur-unsur hara, kapasitas tukar kation menjadi tinggi; dan e) sumber energi bagi mikro organisme. Oleh karena itu, kandungan bahan organik yang lebih tinggi akan membuat struktur tanah, peredaran udara, pergerakan air, aktivitas jasad hidup dan pertumbuhan akar menjadi lebih baik. Struktur tanah yang lebih baik, pada gilirannya akan menurunkan berat volume tanah dan meningkatkan porositas tanah. Dalam kaitannya dengan erosi, Banner (1955 dalam Suripin, 2001) menyatakan bahwa fungsi bahan organik dalam pencegahan terjadinya erosi antara lain : dapat memperbaiki aersi tanah dan meningkatkan kapasitas air tanah serta memperbaiki daerah perakaran. Sedangkan tajwan (1968 dalam Suripin, 2001) menyatakan bahwa peranan bahan organik terhadap sifat fisik tanah adalah menaikkan kemantapan agregat tanah, memperbaiki struktur tanah dan menaikkan daya tahan air tanah. Selanjutnya Darmawijaya (1961 dalam Suripin, 2001) menyatakan bahwa peranan bahan organik dalam pengendalian tata air tanah
89 antara lain : memperbaiki peresapan air ke dalam tanah, mengurangi aliran permukaan, dan mengurangi perbedaan kandungan air dalam tanah dan sungai antara musim hujan dan musim kemarau. Persentase penutupan lahan dan intersepsi potensial pada penggunaan hutan diperoleh paling tinggi dan berbeda signifikan terhadap jenis penggunaan lahan lainnya (Tabel 12 dan Lampiran 13). Vegetasi mampu menangkap (intersepsi) butir air hujan, sehingga energi kinetiknya terserap oleh tanaman dan tidak menghantam langsung pada tanah. Menurut Suripin (2001), pengaruh intersepsi air hujan oleh tumbuhan penutup terhadap erosi melalui dua cara, yaitu : a) mematahkan butir air, sehingga tidak jatuh ke bumi dan memberikan kesempatan terjadinya penguapan langsung dari dedaunan dan dahan; b) menangkap butir hujan dan meminimalkan pengaruh negatif terhadap struktur tanah. Dengan demikian curah hujan yang jatuh dipermukaan hutan terintersepsi oleh vegetasi. Energi pukulan butir-butir hujan pada tanah yang tidak terlindungi, merupakan faktor utama penyebab erosi. Tetapi selama ada penutup tanah atau vegetasi, maka energi perusak butir-butir hujan tersebut, akan sangat berkurang. Oleh karena itu, penutup tanah atau vegetasi sangat penting untuk mencegah pukulan langsung dari butir-butir hujan pada tanah yang pada gilirannya akan mengurangi terjadinya erosi. Tanaman penutup mengurangi energi aliran, meningkatkan kekasaran permukaan
(detention
storage),
sehingga
mengurangi
kecepatan
aliran
permukaan, dan selanjutnya mematahkan kemampuan aliran permukaan untuk melepas dan mengangkut partikel tanah. Disamping itu, perakaran tanaman meningkatkan stabilitas tanah dengan meningkatnya kekuatan agregat tanah, granularitas dan porositas. Demikian juga, aktivitas biologi yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman, juga memberikan dampak positif pada porositas tanah. Dampak Dinamika Penggunaan Lahan Terhadap Indikator Hidrologi dan Erosi Aktual Analisis indikator hidrologi meliputi : kapasitas infiltrasi (Inf), permeabilitas profil (PP), aliran permukaan (RO), koefisien aliran permukaan (C), dan erosi pada uji BNTα0,01 menujukkan bahwa lahan hutan memberikan
90 indikator hidrologi yang lebih baik dibanding penggunaan lahan kebun campuran, semak belukar, tegalan/sawah dan pemukiman (Tabel 13 dan Lampiran 14). Tabel 13. Hasil Pengamatan indicator hidrologi dan erosi aktual pada bebagai jenis penggunaan lahan di DAS Wanggu Tahun 2010 Inf * (cm/jam)
PP (cm/jam)
RO (mm/th)
Kebun campuran
6,00 b**
4,50 b
364,6 d
19 ab
8,9 c
Semak belukar
3,97 b
3,37 c
432,6 c
22 b
13,9 bc
Tegalan/sawah
5,37 ab
3,10 cd
617,4 b
32 c
36,3 a
Pemukiman
4,17 b
2,33 d
814,0 a
42 d
19,5 b
Hutan BNT0,05
6,67 a
5,43 a 2,53
267.6 e
14 a
2,3 d
Penggunaan lahan
BNT0,01
0,83
46,71
C Erosi (% hujan) (ton/ha/th)
0,072
5,7
Keterangan: *. Laju ifiltrasi (Inf), permeabilitas profil (PP), aliran permukaan (RO), koefisian aliran permukaan (C) CH = 1.933,7 mm/th **.Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNTα 0.01
Berdasarkan Tabel 13, lahan hutan mempunyai kapasitas infiltrasi 6,67 cm/jam, permeabilitas profil tanah 5,43 cm/jam dan koefisien run off ( C ) 14% lebih tinggi dari penggunaan lainnya. Sebaliknya, run off 267,6 mm/th dan erosi 2,3 ton/ha/th lebih rendah dan berbeda secara signifikan dengan penggunaan lahan lainnya. Indikator hidrologi tersebut, erat kaitannya baik secara langsung maupun tidak langsung dengan karakteristik lahan yang dimiliki setiap jenis penggunaan lahan, seperti berat volume tanah, porositas tanah, kandungan bahan organik tanah, persentase penutupan lahan dan intersepsi ptensial vegetasi penutup tanah. Berat volume tanah rendah, porositas dan bahan organik tanah yang tinggi pada penggunaan lahan hutan, juga akan memiliki kemampuan infiltrasi dan permeabilitas profil tanah yang tinggi. Dengan demikian, aliran permukaan dan koefisien aliran permukaan akan lebih kecil, sehingga memungkinkan air tersimpan dalam tanah lebih banyak dan erosi menjadi kecil. Oleh karena itu, tingginya intersepsi potensial, kapasitas infiltrasi dan permeabilitas tanah berkorelasi positif dengan tingginya porositas dan bahan organik tanah dalam menurunkan laju aliran permukaan, koefisien aliran permukaan dan selanjutnya
91 menurunkan laju erosi. Hal ini sejalan dengan pendapat Sinukaban (2007), Asdak (2007) dan Black (1996) yang menyatakan bahwa sifat fisik tanah (tekstur, struktur, prositas, dan bahan organik), kedalaman profil tanah, penutupan lahan, intersepsi potensial, dan kekasaran permukaan berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi, permeabilitas tanah, koefisien limpasan dan limpasan permukaan. Penggunaan lahan berdampak terhadap kemunduran kualitas sifat-sifat biologi, kimia dan fisik tanah.
Kemunduran kualitas tersebut dapat berupa
kemunduran kesuburan tanah, yaitu unsur hara dan bahan organik terbawa oleh erosi, tersingkapnya lapisan tanah yang miskin hara dan sifat fisik yang menghambat pertumbuhan tanaman, menurunkan kapasitas infiltrasi dan kapasitas tanah menahan air, meningkatkan kepadatan tanah dan ketahanan penetrasi serta berkurangnya kemantapan struktur tanah dan kehilangan keaneka ragaman hayati (Sinukaban, 2007). Di daerah aliran sungai (DAS) Wanggu terdapat 5 (lima) DAS/sungai kecil di sekitarnya yang bermuara di teluk Kendari. DAS Wanggu merupakan DAS terbesar, disusul oleh DAS Kambu sebagai urutan kedua terbesar. Kedua sungai ini umumnya mengalirkan air sepanjang tahun, kecuali ke empat DAS mikro lainnya, yaitu sungai Benu-Benua, Lahundape, Tipulu dan Wua-Wua hanya mengalirkan air pada musim hujan, sedangkan di musim kemarau terkadang kering. Debit aliran sungai di DAS`Wanggu Ds yang bermuara ke teluk Kendari mempunyai rataan debit maksimum dan debit minimum yang tinggi (Qmax/Qmin > 30). Karakteristik sungai dan fluktuasi aliran disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Hasil Pengukuran Debit aliran maksimum (Qmax) dan debit aliran minimum (Qmin) sungai-sungai di DAS Wanggu Ds, Tahun 2009-2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama Sungai
Panjang (km)
Lebar (m)
Dalam (m)
Q Min.
Wanggu Wua-Wua Tipulu Lahundape Benu-Benua Kambu
38.0 4.5 8.6 8.7 8.5 10.9
17.0 4 3.5 4.5 4.0 6.0
1.25 0.35 0.36 0.32 0.35 0.45
3.0 0.4 0.6 0.4 0.4 1.0
Sumber: Data Primer Diolah Tahun 2010.
Q Max. 3
m /det
2
114.2 22.8 20.1 18.6 20.7 41.1
Ratio Qmax/Qmin 38.1 57.0 33.5 46.5 51.8 41.1
92 Tabel 13 menunjukkan pula bahwa besarnya ratio debit maksimum dan minimum dari masing-masing sungai di DAS Wanggu berada di atas 30 (Qmax/Qmin > 30). Hal ini menunjukkan bahwa keenam DAS tersebut telah mengalami degradasi lahan dan gangguan hidrologi yang serius. Oleh karena itu, DAS Wanggu Ds harus mendapat perhatian serius untuk segera di lakukan perbaikan untuk pemulihan ekologis atau lingkungan. Selanjutnya, ditinjau dari pola aliran sungai-sungai di DAS Wanggu Ds menyerupai cabang-ranting pohon (dendritic pattern) atau pola dendritik dengan bentuk DAS bundar (radial) dan bermuara (out-let) di teluk Kendari. Pola aliran dan bentuk DAS seperti ini dapat mempercepat limpasan aliran permukaan, jika kondisi vegetasi penutup lahan di daerah hulu sudah kritis. Kedaan penutupan lahan di daerah hulu DAS telah memprihatinkan, dimana sebagian besar lahan hutan telah mengalami perubahan menjadi kebun campuran dan semak-belukar/ilalang, sehingga penutupan hutan tersisa 23.1%. Selain itu, daerah tangkapan air (cathment area) DAS Wanggu dan DAS mikro di sekitarnya juga merupakan daerah perbukitan yang didominasi oleh kebun campuran, semak-belukar dan ilalang dengan kemampuan meresapkan air ke dalam tanah pada musim hujan sangat rendah, sehingga berimplikasi terhadap meningkatnya jumlah aliran permukaan. Jumlah aliran permukaan yang meningkat akan mengurangi kandungan air yang tersedia dalam tanah yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman menjadi kurang baik. Berkurangnya pertumbuhan tanaman menyebabkan berkurangnya sisa-sisa tumbuhan yang kembali ke tanah dan berkurangnya perlindungan terhadap tanah yang mengakibatkan erosi menjadi lebih besar. Besarnya erosi juga berkaitan dengan banyaknya aliran permukaan, sehingga dengan meningkatnya aliran permukaan erosi juga meningkat. Dampak Dinamika Penggunaan Lahan Terhadap Total Prediksi Erosi, Aliran Permukaan dan Koefisen Aliran Permukaan Dinamika penggunaan lahan (kebun campuran, semak belukar, tegalan, pemukiman dan hutan) secara keseluruhan di DAS Wanggu periode 1992-2010 (Tabel 15) menunjukkan bahwa secara terus-menerus telah terjadi peningkatan total erosi (A) dari tahun 1992 sebesar 15,5 ton/ha menjadi 28,2 ton/ha pada tahun
93 2010 atau total peningkatan erosi yang terjadi 12,7 ton/ha (81,9%) selama periode 1992-2010. Selanjutnya, besarnya aliran permukaan (RO) yang diakibatkan juga meningkat dari 538,6 mm (1992) menjadi 801,3 mm (2010) atau terjadi peningkatan 262,7 mm (48,8%) selama tahun 1992 – 2010 yang diikuti pula dengan peningkatan koefisien aliran permukaan (C) 0,28 – 0,41 atau total peningkatan 0,13 (46,4%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Handayani (2005) yang menunjukkan bahwa penurunan tutupan hutan seluas 4.897 ha (18,1%) pada tahun 1989 menjadi 4.459 ha (16,2%) pada tahun 1998 telah meningkatkan debit puncak dan volume aliran permukaan masing-masing sebesar 18,9% dan 18,8% di DAS Ciliwung. Menurut La Baco (2011), penurunan luas hutan dari 55,3% pada tahun 1999 menjadi 47,0% tahun 2008 telah meningkatkan nilai C dari 36,3% menjadi 47,1% di DAS Konaweha, Sulawesi Tenggara. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 15, 16, 17 dan 18. Tabel 15. Total erosi hasil prediksi (A) dan kondisi hidrologi (RO dan C) sebagai Dampak dinamika berbagai penggunaan lahan di DAS Wanggu periode 1992-2010 C
(ton/ha)
Aliran permukaan (mm)
1992
15,5
538,6
0,28
1995
20,3
554,2
0,29
2000
23,5
607,3
0,31
2005
26,7
632,9
0,33
2010
28,2
801,3
0,41
Jumlah peningkatan
12,7
262,7
0,13
Jumlah peningkatan (%)
81,9
48,8
46,4
Penggunaan Lahan*
Erosi (A)
Tahun
Keterangan: *(kebun campuran, semak belukar, tegalan, pemukiman dan hutan dengan luas masing-masing tertera pada Tabel 3), RO = aliran permukaan dan C = koefisien aliran permukaan pada CH = 1.933,7 mm/th.
Hasil analisis regresi dinamika penggunaan lahan (kebun campuran, semak belukar, tegalan, pemukiman dan hutan) di DAS Wanggu terhadap total erosi hasil prediksi dan koefisien aliran permukaan tahun 1992-2010 dengan interval lima tahunan ditunjukkan pada Gambar 14 dan 15. Gambar 14
94 menunjukkan bahwa penurunan luas hutan berkorelasi secara signifikan dengan peningkatan prediksi erosi (A) sebesar 0,676 ton/th, yaitu nilai R2 = 0.935 yang mengikuti persamaan : y = 0,676x + 15,8 ……………………………
(4)
dimana y adalah total erosi hasil prediksi yang terjadi pada keseluruhan jenis penggunaan lahan pada periode waktu tertentu dan x adalah periode waktu, yaitu x = 0 untuk tahun 1990, x = 5 untuk tahun 1995, x = 10 untuk tahun 2000, x = 15 untuk tahun 2005 dan x = 20 untuk tahun 2010. Demikian halnya terhadap koefisien aliran permukaan (C) sebesar 0,019 (1,9%/th) pada Gambar 3 dengan nilai R2 = 0.904 yang mengikuti persamaan : y = 0,261e0,019x
……………………………
(5)
dimana y adalah besarnya koefisien aliran permukaan (C) pada periode waktu tertentu dan x adalah periode waktu, yaitu : x = 0 untuk tahun 1990, x = 5 untuk tahun 1995, x = 10 untuk tahun 2000, x = 15 untuk tahun 2005 dan x = 20 untuk
Prediksi erosi (ton/ha/th)
tahun 2010.
35 30 25
y = 0.676x + 15.8 R² = 0.935
20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
Interval tahun penggunaan lahan (selang 5 th)
Gambar 14. Korelasi dinamika penggunaan lahan lima tahunan dengan prediksi erosi di DAS Wanggu periode 1992 – 2010
C (Koefisien RO)
95
y = 0.261e0.019x R² = 0.904
0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 0
5
10
15
20
Interval tahun penggunaan lahan (selang 5 tahun)
25
Gambar 15. Korelasi dinamika penggunaan lahan lima tahunan dengan koefisien aliran permukaan ( C ) di DAS Wanggu periode 1992 - 2010 Dampak Dinamika Penggunaan Lahan Terhadap Kualitas Air Kualitas Air Sungai di DAS Wanggu Ds Hasil pengukuran parameter kualitas air di Sungai Wanggu yang merespon kegiatan penggunaan lahan di DAS Wanggu menunjukkan bahwa curah hujan yang tinggi pada bulan April tahun 2010 telah menyebabkan terjadinya aliran permukaan (run off) yang membawa sedimen masuk ke badan sungai sehingga menyebabkan kekeruhan air sungai Wanggu. Tingkat kekeruhan air sungai Wanggu dapat dilihat dari indikator nilai padatan tersuspensi (TSS) dan padatan terlarut (TDS) (Tabel 16). Berdasarkan Tabel 16, hasil pengukuran parameter fisika di tiga stasiun (titik pengamatan) mempunyai nilai padatan tersuspensi dari 1,01 mg/l – 10,11 mg/l. Nilai ini masih lebih kecil dari 50 mg/l baku mutu yang diperbolehkan, maka air sungai Wanggu termasuk kelas I. Sedangkan ditinjau dari padatan terlarut 20 mg/l – 1800 mg/l masih lebih kecil dari 2000 mg/l baku mutu yang diperbolehkan, maka termasuk kelas IV berdasarkan stándar Baku Mutu Air menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001. Dengan demikian, hasil penetapan air sungai Wanggu termasuk kelas IV berdasarkan stándar Baku mutu
96 ditinjau dari kandungan padatan terlarut (TSD) mengindikasikan bahwa air sungai Wanggu telah terjadi pencemaran dan termasuk indeks pencemaran ringan. Tabel 16. Hasil Pengukuran parameter kualitas air di Sungai Wanggu Tahun 2010 No. Sungai Wanggu
Titik 1
Titik 2
Titik 3
BM
2.7 1.01 20 0.02
0.8 1.7 30 0.05
0.8 10.11 1800 4.69
3 50 2000 50
B-max
A. Parameter Fisika : 1 2 3 4
Suhu (OC) Padatan tersuspensi (mg/l) Padatan terlarut (mg/l) Conduktivity (DHL) B. B. Parameter Kimia :
5 6 7 8 9 10
pH air (mg/l) BOD (mg/l) COD (mg/l) DO (mg/l) NO3= (mg/l) NO2- (mg/l) C. Kimia Anorganik :
6.95 6.1 35.2 5 1.07 0.02
6.38 6.1 30.2 3.0 1,1 0.01
6.32 7.5 49.5 5.4 1.05 0.03
6 2 50 4 10 0.06
11 12 13 14
Fe (mg/l) Mn (mg/l) Zn (mg/l) Cl- (mg/l) D. Kimia Organik :
0.95 0.02 19.2
2.15 0.06 17.2
1.2 0.05 0.06 247
0.3 0.1 0.05 600
15
Lemak & minyak (mg/l) BM
600
600
0.02 600
600 800
-
8.5
Sumber : Data sekunder Dinas KLH Provisi SULTRA Tahun 2011 Keterangan : Kriteria PP. No 82 Th.2001 ttg Baku Mutu Air. BM = baku mutu, T1= Stasiun Kec. Kambu, T2 = Stasiun Kec. Baruga dan T3 =Stasiun Kec. Konda
Dengan adanya pencemaran pada badan air sungai menyebabkan berkurangnya oksigen dalam air, karena vegetasi aquatik tidak dapat berfotosintesa secara normal, sehingga Oksigen berkurang dalam air. Indikasi nilai TDS air sungai Wanggu tersebu, akibat dari sedimen yang masuk ke badan air cukup tinggi pada musim penghujan, sehingga memberikan kontribusi terhadap kekeruhan air sungai. Sumber sedimentasi tersebut berasal dari erosi akibat kegiatan pembangunan infrastruktur di sekitarnya, seperti pelebaran dan deliniasi sungai, erosi tebing sungai, tanah longsor, penimbunan jalan, perumahan, perkantoran, penambangan pasir, perkebunan, pertanian dan kegiatan domestik lainnya.
97 Peningkatan nilai padatan tersuspensi (TSS) dan padatan terlarut (TDS) air sungai
Wanggu dapat mempengaruhi konsentrasi oksigen dalam air.
Keberadaan besar atau kecilnya konsentrasi oksigen dalam air dapat dijadikan indikator ada atau tidaknya “pencemaran” pada suatu perairan atau badan sungai. Oleh karena itu, pengukuran BOD (Biochemical oxygen demand) dan COD (Chemical Oxygen demand) dapat menentukan status kadar oksigen di dalam air. Kisaran BOD air Sungai Wanggu antara 6.1 – 7.5 mg/L, sehingga termasuk kelas 2 (berdasarkan Standar Baku Mutu Air menurut PP Nomor 82 tahun 2001 (Tabel 21). Selanjutnya kisaran COD air Sungai Wanggu antara 30.19 – 49.47 mg/L dan juga termasuk kelas 2.
Peningkatan nilai BOD
mengindikasikan bahwa badan air sungai Wanggu telah terjadi pencemaran, dimana indeks pencemaran termasuk kategori pencemaran ringan (Kepmen-LH nomor 115 tahun 2003). Dengan demikian, kecenderungan meningkatnya nilai BOD tersebut disebabkan oleh menurunnyan konsentrasi oksigen pada badan air karena digunakan oleh organisme hidup dalam air dan kurangnya fotosintesis oleh biota aquatik yang disebabkan oleh kekeruhan air.
Kisaran pH
air sungai
Wanggu antara 6.32 – 6.95 mg/L tersebut, tergolong pH netral dan termasuk kelas 1 (PP nomor 82 Tahun 2001). Kisaran pH air yang dibutuhkan untuk kebanyakan plankton dan ikan air tawar berkisar antara 6,5-8.4 (Brook, et. al., 1989). Tabel 16 menunjukkan bahwa hasil analisis kisaran Nitrat (NO3=) sebagai sumber N, air sungai Wanggu berada diantara 1.05-1.10 mg/L yang mengindikasikan bahwa sungai Wanggu termasuk kelas 2 (PP nomor 82 Tahun 2001). Demikian juga Nitrit (NO2-) sebagai sumber N, air sungai Wanggu memiliki nilai antara 0.01-0.03 mg/l, termasuk kelas 2 (PP nomor 82 Tahun 2010). Dengan berdasarkan hasil penetapan kisaran pH, Nitrat dan Nitrit sebagai Nitrogen dalam air sungai Wanggu sebagai indikator untuk mendeteksi indeks pencemaran air sungai akibat aktivitas di DAS Wanggu, maka air di sungai Wanggu tersebut masih memenuhi standar baku mutu kelas 2 dan tercemar ringan (Kepmen-LH Nomor 115 Tahun 2003). Kisaran Fe air sungai Wanggu antara 0.95-2.15 mg/L yang mengindikasikan bahwa sungai Wanggu masuk standar baku mutu kelas 2 (PP Nomor 82 tahun 2001), dimana indeks pencemarannya termasuk kategori
98 pencemarn ringan (Kepmen-LH Nomor 115 Tahun 2003). Kisaran Mn di dalam air sungai wanggu, adalah tidak terdeteksi sampai 0.06 mg/L (Tabel 20), mengindikasikan bahwa air sungai Wanggu termasuk baku mutu kelas 1 (PP Nomor 82 tahun 2001) dengan indeks pencemaran termasuk kategori ringan (KepMen LH Nomor 115 Tahun 2003). Kisaran Zn air sungai Wanggu dari nilai tidak terdeteksi - 0.06 mg/L yang mengindikasikan bahwa sungai Wanggu telah termasuk baku mutu kelas 2 (PP Nomor 82 tahun 2001), dimana indeks pencemaran sungai Wanggu termasuk kategori pencemaran ringan (Kepmen-LH Nomor 115 Tahun 2003). Kisaran Cl- air sungai Wanggu antara 17.2-247 mg/L (Tabel 20), menunjukkan bahwa sungai Wanggu termasuk kelas 1 (PP Nomor 82 tahun 2001) dengan indeks pencemarannya termasuk kategori memenuhi baku mutu Air minum (kondisi baik) (Kepmen LH Nomor 115 Tahun 2003). Kisaran Minyak dan Lemak air sungai Wanggu antara tidak terdeteksi 0.02 mg/L (Tabel 16). Hal ini mengindikasikan bahwa sungai Wanggu masuk kelas 1 (PP Nomor 82 tahun 2001) dengan indeks pencemarannya termasuk kategori memenuhi baku mutu air bersih (kondisi baik) (KepMen LH Nomor 115 Tahun 2003). Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa air sungai Wanggu termasuk baku mutu kelas 2 dan
telah tercemar dengan kategori
tercemar ringan. Kondisi tersebut bila dikaitkan dengan pemanfaatannya, maka sungai Wanggu
hanya dapat digunakan untuk: 1) Kepentingan
rekreasi,
perikanan air tawar, peternakan, dan irigasi pertanian, dan 2) dapat digunakan untuk air bersih dengan menaikkan mutu air menjadi kelas I dengan menggunakan treatment tertentu seperti penjernihan, pengendapan pada bak penampung skala makro, mencegah penggunaan pupuk Nitrat berlebihan (ZA), penggunaan pupuk organik/pupuk hujau, peningkatan resapan air (recharge area) dan penyaringan berupa perluasan tutupan hutan, penataan penggunaan lahan dan perbaikan pola tanam pada bagian hulu-tengah-hilir DAS.
99 Kualitas Air Di Perairan Teluk Kendari Hasil pengukuran parameter air di Teluk Kendari pada tiga titik (stasiun), yaitu : bagian atas Teluk atau out let DAS Wanggu (stasiun A), bagian tengah Teluk (stasiun B), dan bagian ujung luar Teluk (stasiun C). Tabel 17 menunjukkan bahwa parameter kualitas air di tiga stasiun, seperti DO (desolve oxyigen), COD (chemical oxygen demand) dan SO4= (Sulfat) sudah melampaui Baku mutu lingkungan yang diperbolehkan pada periode 2003 dan 2010. Namun parameter COD periode 2003 masih di bawah Baku Mutu lingkungan. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas air di teluk Kendari telah mengalami pencemaran lingkungan. Tabel 17. Kualitas air pada tiga stasiun pengukuran di Teluk Kendari No. 1
Parameter
Satuan
A
Stasiun B 2003* 2010**
2003*
2010**
7.7
7.4
8.1
C
Baku Mutu
2003*
2010**
8.5
8.1
8.7
6–9
pH
mg/l
2
Suhu
0
C
29.0
29.5
28.0
28.5
28.3
29.0
Alami
3
DO
mg/l
3.0
2.6
3.5
3.2
4.5
3,9
>4
4
COD
mg/l
70.0
80.2
80.0
82.5
50.0
60.5
< 80
5
BOD5
mg/l
2.8
4.9
2.5
4.6
3.0
5.5
< 45
6
NO2
mg/l
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
Nihil
7
SO4
ug/l
120
125
125
136
130
134
0.03
8
NH3
mg/l
ttd
ttd
Ttd
Ttd
Ttd
Ttd
<1
Sumber : * Bappedalda, 2003, ** Data primer, 2010, ttd : tidak terdeteksi
Dampak Dinamika Penggunaan lahan Terhadap Sedimentasi di Teluk Kendari Kontribusi sedimentasi di teluk Kendari terdapat tiga sumber, yaitu : 1) sedimentasi yang bersumber dari erosi berbagai penggunaan lahan (erosi lahan), 2) sedimentasi yang bersumber dari sampah penduduk, dan 3) sedimentasi yang bersumber dari infrastruktur-erosi tebing sungai-tanah longsor yang terjadi di DAS Wanggu Ds (DTA Teluk Kendari). Hasil perhitungan sedimen dari ketiga sumber tersebut masing-masing disajikan pada Lampiran 21
100 Sedimen bersumber dari erosi berbagai penggunaan lahan (Erosi lahan) Dampak dinamika penggunaan lahan terhadap sedimentasi di teluk Kendari yang berasal dari erosi berbagai jenis penggunaan lahan di DAS Wanggu Ds menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun dengan total erosi hasil prediksi diperoleh sebesar 702.313,3 ton pada tahun 1992 menjadi 1.277.402 ton pada tahun 2010 atau rata-rata sebesar 1.035.805 ton/th selama periode 1992 - 2010 (Tabel 18). Selanjutnya total sedimen meningkat dari 86.794,5 ton pada tahun 1992 menjadi 157.866,1 ton pada tahun 2010 atau rata-rata 128.008,6 ton/th selama periode 1992-2010. Tabel 18. Hasil prediksi erosi lahan, SDR dan sedimentasi di teluk Kendari yang berasal dari DAS Wanggu DS periode 1992-2010 Nama DAS Wanggu
Luas (ha) 33.208
Kambu
2.531,2
Andonohu
2.348,7
Anggoea
1.849,7
Abeli
1.143,9
Korumba
1.265,6
Lasolo
1.156,1
Lahundape
1058.7
Tipulu
815,4
Jenis parameter Erosi (ton/th) SDR (%) S (ton/th) Erosi (ton/th) SDR (%) S (ton/th) Eros (ton/th) SDR (%) S (ton/th) Erosi (ton/th) SDR (%) S (ton/th) Erosi (ton/th) SDR (%) S (ton/th) Erosi (ton/th) SDR (%) S (ton/th) Erosi (ton/th) SDR (%) S (ton/th) Erosi (ton/th) SDR (%) S (ton/th) Erosi (ton/th) SDR (%) S (ton/th)
Jumlah prediksi erosi (ton) Jumlah prediksi sedimen (ton) Rataan prediksi erosi Rataan sedimen
Tahun 1992 513.966,7 10,0 51.396,7 39.175,9 17,1 6.698,1 36.351,3 17,4 6,313.6 28.628,2 18,3 5.227,9 17.704,4 20,2 3.576,4 19,587.9 19,8 3.873,8 17,893.2 20.2 3,606.5 16,385.7 20.5 3,364.3 12,620.1 21.7 2,737.2
1995 673.561,7 10,0 67.356,2 51.340,6 17,1 8.777,9 47.639,0 17,4 8,274.1 37.517,7 18,3 6.851,3 23.201,9 20,2 4.686,9 25,670.3 19,8 5.076,7 23,449.3 20.2 4,726.4 21,473.7 20.5 4,408.9 16,538.9 21.7 3,587.2
2000 781.706,4 10,0 78.170,6 59.583,7 17,1 10.187,3 55.287,7 17,4 9,602.5 43.541,4 18,3 7.951,3 26.927,1 20,2 5.439,5 29,791.8 19,8 5.891,8 27,214.2 20.2 5,485.3 24,921.5 20.5 5,116.8 19,194.3 21.7 4,163.1
2005 886.049,8 10,0 88.605,0 67.537,0 17,1 11.547,1 62.667,6 17,4 10,884.3 49.353,4 18,3 9.012,7 30.521,3 20,2 6.165,5 33,768.5 19,8 6.678,2 30,846.8 20.2 6,217.5 28,248.0 20.5 5,799.8 21,756.4 21.7 4,718.8
2010 934.827,7 10,0 93.482,8 71.255,0 17,1 12.182,8 66.117,5 17,4 11,483.5 52.070,3 18,3 9.508,8 32.201,6 20,2 6.505,0 35,627.5 19,8 7.045,8 32,545.0 20.2 6,559.7 29,803.1 20.5 6,119.1 22,954.1 21.7 4,978.6
: 702.313 920.393 1.068.168 1.210.749 1.277.402 : 86.794,5 113.745,6 132.008,2 149.628,9 157.866,1 : 1.035.805,0 ton/th = 796.773,1 m3/th = 17,6 m3/ha/th : 128.008,6 ton/th = 98.468,2 m3/th) = 2,2 m3/ha/th
Sumber : Data primer, 2010 Keterangan : SDR = sediment delivery ratio
101 Berdasarkan hasil perhitungan sedimentasi di teluk Kendari yang berasal dari berbagai jenis penggunaan lahan (kebun campuran, semak belukar, tegalan, pemukiman dan hutan) selama 50 tahun (periode 1960 – 2010) di DAS Wanggu Ds menunjukkan bahwa rata-rata sedimentasi yang terjadi adalah 23.336,8 m3 per tahun dengan total sedimen adalah 1.166.841,9 m3. Bersarnya erosi setiap tahunnya pada suatu DAS sangat ditentukan oleh iklim, jenis tanah, topografi, jenis vegetasi dan luas penggunaan lahan serta agroteknologi yang diterapkan petani. Demikian juga besarnya sedimen yang berasal dari setiap jenis penggunaan lahan sangat ditentukan oleh keadaan daerah pengaliran tempat erosi tanah terjadi. Keadaan pengaliran tersebut ditentukan oleh bentuk DAS, kerapatan drainase, kemiringan lereng dan sungai, kekasaran permukaan/penutup tanah
dan permukaan dasar sungai serta ukuran dan
ketahanan dari partikel tanah yang terosidi daerah hulu. Selain itu, juga ditentukan oleh ukuran dan persentase dari cekungan atau depresi permukaan lahan. Semakin banyak simpanan permukaan (detention storage), akan semakin tinggi sedimen yang tertahan pada permukaan lahan di daerah hulu. Dengan demikian sedimentasi di bagian hilir/teluk (out let) DAS akan berkurang. Demikian juga sebaliknya. Menurut Arsyad (2006), besarnya erosi ditentukan oleh iklim, jenis tanah, topografi, penggunaan lahan (jenis vegetasi penutup tanah) dan agroteknologi
yang
berdampak
pada
penurunan
produksi,
peningkatan
penggunaan pupuk, kehilangan lapisan olah tanah yang mengakibatkan lahan kritis di lahan pertanian (on-site), sedimen dan kontaminan di daerah hilir/di luar lahan pertanian (off-site) yang berbahaya bagi kehidupan. Vegetasi penutup tanah yang baik, seperti rumput yang tebal atau hutan yang lebat akan menghilangkan pengaruh hujan dan topografi terhadap erosi. Namun demikian, dalam usaha pertanian, jenis tanaman yang diusahakan dan agroteknologi yang diterapkan mempunyai peranan penting dalam pencegahan erosi. Tumbuhan yang merambat di permukaan tanah adalah penghambat aliran permukaan. Oleh karena itu, tumbuhan yang merambat di permukaan tanah dengan rapat tidak hanya memperlambat aliran permukaan, tetapi juga mencegah pengumpulan air secara cepat dan sebagai filter bagi sedimen yang terbawa air. Pengaruh tumbuhan terhadap penurunan laju aliran permukaan lebih besar dari
102 pada pengaruhnya terhadap pengurangan jumlah aliran permukaan. Dengan demikian, tumbuhan merambat mengurangi daya penguras atau daya hancur dan daya angkut air. Sedangkan pohon-pohon yang jarang tegakannya, kecil pengaruhnya terhadap kecepatan aliran permukaan (Arsyad, 2010). Sinukaban (2007) mengemukakan bahwa penanggulangan dampak erosi di daerah tropis basah seperti sedimentasi, penurunan produktivitas tanah, banjir dan kekeringan merupakan jenis kerusakan DAS yang memerlukan penangan segera dengan menggunakan teknologi yang tepat dan telah dikuasai, maupun teknologi baru agar degradasi lingkungan tidak berlanjut mencapai tingkat yang serius. Selanjutnya dikatakan bahwa dampak erosi tanah di luar lahan pertanian adalah : 1) pelumpuran dan pendangkalan waduk/teluk di muara, 2) pendangkalan pada saluran irigasi/drainase, 3) tertimbunnya lahan pertanian dan pemukiman, 4) memburuknya kualitas air, dan 5) kerugian ekosistem perairan. Sedimen yang bersumber dari sampah penduduk Sampah penduduk secara umum dapat dikelompokkan kedalam sampah organik, yaitu sampah yang dapat dikelola dan sampah non organik, yaitu sampah yang tidak dapat terkelola. Menurut Iswandi (2003), volume sampah yang tidak terkelola untuk setiap penduduk kota Kendari sebesar 0.52 m3/org/th. Selain sampah penduduk, pengendapan sampah di teluk Kendari juga disebabkan oleh sampah
yang
berasal
dari
sampah
wisata
dan
pengunjung
restoran
terapung/warung tenda yang berada di sekitar teluk. Selanjutnya Iswandi (2003) menyatakan
bahwa
kunjungan
wisatawan
dan
pengunjung
restoran
terapung/warung tenda di sekitar teluk Kendari dengan rata-rata lama kunjungan 2 jam per hari atau 0.1 hari menghasilkan sampah 0.05 m3/org/th. Disamping itu, hasil percobaaan pengelola sampah dan wawancara dengan aparat pengelola sampah di sekitar teluk Kendari menujukkan bahwa sampah penduduk pada umumnya terdiri dari 70% sampah organik yang dapat dijadikan kompos dan 30 % sampah non organik (plastik, kaleng, kaca, dll.) yang resisten dan tidak dapat dijadikan kompos. Dari 70 % sampah organik menghasilkan 20% kompos, selanjutnya menjadi humus/sedimentasi 10% sehingga diperoleh nilai konversi 30% non organik + 10% organik adalah 40% (0.4). Berdasarkan volume sampah
103 tersebut, maka hasil prediksi sedimen yang bersumber dari sampah penduduk kota Kendari periode 1960-2010 disajikan pada Tabel 19 dan Lampiran 21. Tabel 19. Hasil prediksi sedimentasi dari sampah penduduk periode 1960-2010 Periode (thn) 1960 1992 1995 2000 2005 2010 Rataan/th
No. Urut 1 2 3 4 5 6
Total penduduk (jiwa) 19.726 103.511 113.215 145.803 244.586 269.559 5.391
Vulume sampah (m3) 54.458,2 1.742.664,0 1.906.038,8 2.178.330,0 2.450.621,3 2.722.912,5 54.458,3
Sedimentasi sampah kumulatif (m3)* 21.783,3 697.065,6 762.415,5 871.332,0 980.248,5 1.089.165.0 21.783,3
Sumber : *Hasil prediksi sedimentasi sampah berdasarkan total penduduk Kota Kendari 2004 2008 yang diproyeksikan mundur sampai ke tahun 1960 dengan pertumbuhan penduduk tahun 1960-1990 sebesar 3 % dan tahun 1991-2010 sebesar 1,94%/th (BPS Kendari dalam angka 2009
Tabel 19 menunjukkan bahwa jumlah penduduk sebesar 19.726 jiwa pada periode 1960 meningkat menjadi 113.215 jiwa periode 1995 (35 tahun) dengan peningkatan sebesar 93.489 jiwa atau rata-rata 2.671 jiwa (2,9%) per tahun. Sementara pada periode yang sama terjadi peningkatan sedimentasi sebesar 740.632,2 m3 atau rata-rata 21.160,9 m3 (2,9%) per tahun. Pada periode 1995 – 2000 (5 tahun) menurut BPS (2009) menunjukkan jumlah penduduk dari 113.215 jiwa menjadi 145.803 jiwa dengan peningkatan sebesar 32.588 jiwa, atau rata-rata 6.518 jiwa (5,7%) per tahun, dan pada periode yang sama
menghasilkan prediksi sedimentasi dari 762.415,5 m3 menjadi
871.332,0 m3 dengan peningkatan sedimentasi sebesar 108.916,5 m3 (5 tahun) atau rata-rata 21.783,3 m3 (2,9%) per tahun. Demikian juga pada periode 2000 – 2005 (5 tahun) menunjukkan bahwa jumlah penduduk dari 145.803 jiwa menjadi 244.586 jiwa dengan peningkatan sebesar 98.783 jiwa, atau rata-rata 19.757 jiwa (13,6%) per tahun, dan pada periode yang sama
menghasilkan prediksi
sedimentasi dari 871.332,0 m3 menjadi 980.248,5 m3 dengan peningkatan sedimentasi sebesar 108.916,5 m3 (5 tahun) atau rata-rata 21.783,3 m3 (2,5%) per tahun. Periode 2005 – 2010 (5 tahun) menujukkan bahwa jumlah penduduk dari 244.586 jiwa menjadi 269.559 jiwa dengan peningkatan sebesar 24.973 jiwa, atau
104 rata-rata 4.995 jiwa (2,0%) per tahun, dan pada periode yang sama menghasilkan prediksi sedimentasi sebesar 980.248,5 m3 meningkat menjadi 1.089.165.0 m3 dengan peningkatan sebesar 108.916,5 m3 (5 tahun) atau rata-rata 21.783,3 m3 (2%) per tahun. Dengan demikian, jumlah peningkatan penduduk tersebut sebesar 249.833 jiwa atau rataan 4.997 jiwa per tahun (2% per tahun) dengan total hasil prediksi sedimentasi kumulatif sebesar 1.089.165 m3 atau rataan 21.347,6 m3 (2%) per tahun. Berdasarkan uraian di atas, mengindikasikan bahwa selama 50 tahun (periode 1960 – 2010) telah terjadi peningkatan volume sampah di kota Kendari yang bersumber dari sampah yang tidak terkelola sebesar 143.8 m3 per hari dan sampah yang terkelola
sebesar 491.4 m3 per hari dari total sampah di kota
Kendari sebesar 635.2 m3 per hari (Dinas Kebersihan kota Kendari, 2010). Oleh karena kondisi daerah tangkapan air (DTA) di sekitar teluk Kendari berbentuk mangkuk dan merupakan out let dari DAS Wanggu dan 8 DAS mikro di sekitarnya (Kambu, Andonoho, Anggoea, Wua-Wua, Tipulu, Lahundape, lasolo dan Benu-Benua), maka sisa sampah yang tidak terkelola akan terangkut oleh aliran sungai–sungai yang bermuara ke teluk Kendari.
Sampah yang tidak
terkelola tersebut merupakan bahan-bahan hasil buangan/limbah dari penduduk setempat yang tidak terkelola, sehingga volume sampah tersebut sangat ditentukan oleh jumlah penduduk dan frekuensi pengunjung di teluk serta resistensi sampah terhadap dekomposisi. Hal ini telah mencemari lingkungan dan menjadi salah satu penyebab pendangkalan di teluk Kendari. Sedimen dari Erosi Infrastruktur-Tebing sungai-Tanah longsor Hasil pengukuran dan perhitungan Peta Batimetri tahun (1960-2010) sedimentasi yang terjadi di teluk Kendari berasal dari erosi yang diakibatkan oleh aktivitas pembangunan infrastruktur, erosi tebing sungai- tanah longsor, rata-rata sebesar 1,073,379.0 m3 per tahun dengan total sedimen sebesar 53,668,951.4 m3. Berdasarkan data sedimentasi yang bersumber dari erosi lahan, sampah dan infrastruktur- tebing sungai-tanah longsor dapat diketahui bahwa besarnya sedimentasi yang berasal dari pembangunan infrastruktur-erosi tebing sungaitanah longsor memberi kontribusi terbesar, yaitu 88.7 %, sedimentasi dari erosi
105 lahan hanya sebesar 9.3 % dan dari sampah penduduk 2.0 % selama periode 1960-2010. Selengkapnya disajikan pada Lampiran 21. Analisis Total Sedimentasi Di Teluk Kendari Total sedimentasi Berdasarkan Hasil Analisis Peta Bathimetri Sedimentasi di teluk Kendari dapat diperoleh melalui analisis Peta Batimetri yang kemudian
menggunakan pendekatan rumus limas berbentuk
silindris. Hasil analisis daya tampung air dan total sedimentasi berdasarkan peta Bathimetri di Teluk Kendari periode 1960 – 2010 disajikan pada Tabel 20. Sedangkan hasil analisis perubahan luas dan daya tampung air di teluk Kendari pada periode yang sama disajikan pada Tabel 21. Selanjutnya gambaran perubahan kedalaman teluk Kendari dapat ditunjukkan pada peta Bathimetri tahun 1960, 1995, 2000, 2005 dan 2010 yang masing-masing ditujunjukan pada Gambar 16, 17, 18, 19 dan 20. Tabel 20. Hasil analisis daya tampung volume air dan total sedimen berdasarkan peta Batimetri Teluk Kendari periode 1960 – 2010 Periode
Kedalaman
Jari-Jari
Luas
Volume air
(thn) 1 1960 1992 1995 2000 2005 2010
(m) 2 11.7 7.7 7.3 6.5 4.7 3.1
(m) 3 2.309,6 1.928,6 1.892,8 1.858,0 1.790,5 1.757,3
(ha) 4 1.675,0 1.172,1 1.125,0 1.084,0 1.006,7 969,7
(m3) 5 65.325.000,0 30.627.857,1 27.375.000,0 23.486.666,7 15.771.633,3 10.020.233,3
Volume Sedimen (m3) 6 1.084.285,7 34.697.142.9 37.950.000,0 41.838.333,3 49.553.366,7 55.304.766,7
Sumber : Data primer, 2010
Berdasarkan Tabel 18, penurunan volume air di teluk secara simultan terjadi peningkatan sedimentasi dari tahun ke tahun, yaitu volume air sebesar 65,325,000.0 m3 pada tahun 1960 menurun menjadi 10,020,233.3 m3 pada tahun 2010, sementara volume sedimen meningkat sebesar 1.084.285,7 m3 pada tahun 1960 menjadi 55,304,766.7 m3 pada tahun 2010. Tabel 20 dan 21 menunjukkan bahwa penurunan luas teluk dan peningkatan volume sedimen telah terjadi sejak periode 1960 - 2010 dengan masing-masing perubahan sebagai berikut:
106 1. Periode 1960 – 1995, penurunan luas teluk rata-rata sebesar 15.7 ha per tahun akibat volume sedimen bertambah sebesar 1.084.265,7 m3 per tahun atau total penambahan volume sedimen ke dalam teluk sebesar 37.950.000 m3 selama 35 tahun. 2.
Periode 1995 – 2000, penurunan luas teluk rata-rata sebesar 8.2 ha per tahun, akibat volume sedimen bertambah sebesar 777.666,7 m3 per tahun atau total penambahan volume sedimen ke dalam teluk sebesar 3.888.333,3 m3 selama 5 tahun.
3.
Periode 2000 – 2005, penurunan luas teluk rata-rata sebesar 15.5 ha per tahun akibat penambahan volume sedimen sebesar 1.543.006,7 m3 per tahun atau total penambahan volume sedimen ke dalam teluk sebesar 7.715.033,3 m3 selama 5 tahun
4.
Periode 2005 – 2010 (5 tahun), penurunan luas teluk rata-rata sebesar 7.4 ha per tahun akibat volume sedimen bertambah sebesar 1.150.280 m3 per tahun atau total penambahan volume sedimen ke dalam teluk sebesar 5.751.400 m3.
Tabel 21. Hasil analisis perubahan luas dan daya tampung air di Teluk Kendari periode 1960-2010 Periode (thn) 1
ΔT (m) 2
ΔR (m) 3
ΔL (ha) 4
∆L (ha/th) 6
∆ V air 3 (m ) 7
rataan ∆ V air 3 (m /th) 8
1960-1995
4.4
416.8
550.0
15.7
37,950,000.0
1,084,285.7
1995-2000
0.8
34.8
41.0
8.2
3,888,333.3
777,666.7
2000-2005
1.8
67.5
77.3
15.5
7,715,033.3
1,543,006.7
2005-2010
1.6
33.2
37.0
7.4
5,751,400.0
1,150,280.0
Keterangan : ΔT = perubahan kedalaman teluk, ΔR = perubahan jari-jari, ΔL = perubahan luas teluk, ΔV = penurunan volume air/penambahan volume sedimentasi di teluk Kendari
Berdasarkan Tabel 20, maka selama periode 1960 – 2010 (50 tahun), total penurunan luas teluk Kendari mencapai 705,3 ha (42.1%) dari luas teluk akibat peningkatan total volume sedimen ke dalam teluk sebesar 55.304.766,7 m3 atau penambahan volume sedimen rata-rata sebesar 1.106.095.3 m3 per tahun. Selanjutnya berdasarkan Tabel 18 dan persamaan 6, dan apabila keadaan ini tidak mengalami perbaikan dengan asumsi semua faktor yang berpengaruh berlaku sama maka volume air di teluk yang tinggal sebesar 10.020.233,3 m3 dan
107 sedimentasi sebesar 55.304.766,7 m3 pada tahun 2010, maka pada tahun 2019 (9 tahun) ke depan teluk Kendari diprediksi akan menjadi daratan dengan volume sedimentasi sebesar 65.600.766,7 m3. Pendangkalan teluk Kendari dengan penurunan luas sebesar 15.7 ha per tahun pada periode 1960 – 1995 terutama disebabkan oleh adanya kegiatan pembukaan lahan transmigrasi pada periode 1978-1995. Dengan adanya program ini, masyarakat transmigran mengusahakan pertanian intensif tanpa konservasi tanah dan perladangan berpindah bagi penduduk lokal. Disamping itu, terjadi transmigrasi spontan asal provinsi Sulawesi Selatan dan Kecamatan Ladongi Kabupaten Kolaka yang membuka lahan kakao dengan mengkonversi lahan hutan menjadi kebun kakao/agroforestry di bagian hulu DAS Wanggu. Selain itu, pendangkalan teluk Kendari pada periode ini, juga disebabkan oleh peduduk kota Kendari yang pada umumnya membuang sampah ke teluk, karena pada periode 1960 – 1995 belum ada pengelola limbah sampah, bahkan sarana pengangkutan sampah masih sangat terbatas. Konstribusi terbesar terjadinya pendangkalan teluk Kendari adalah sedimentasi yang berasal dari pembangunan infrastruktur jalan, yaitu jalan Baypass yang mengelilingi kawasan teluk Kendari dan reklamasi pantai sejak tahun 1985-1995. Pada periode 1995-2000, penurunan luas teluk Kendari sebesar 8.2 ha per tahun dengan volume sedimentasi sebesar 777.666,7 m3 per tahun. Pada periode tersebut terjadi penurunan volume sedimentasi dari periode sebelumnya, yaitu 1.084.265,7 m3 per tahun menjadi 777,666,7 m3 per tahun. Hal ini disebabkan oleh adanya pembangunan penyangga pantai berupa beton sepanjang jalan Baypass secara bertahap, akan tetapi pada periode tersebut masih terjadi pembukaan jalan baru di dalam kota administratif Kendari secara intensif dan jalan Baypass di sepanjang sisi sungai Wanggu yang menghubungkan kota Kendari menuju Bandar Udara Wolter Monginsidi. Selain itu, penambangan pasir di bagian tengah dan hilir sungai Wanggu dan sungai Kambu berjalan terus untuk mendukung kebutuhan pembangunan infrastruktur jembatan, saluran drainase dan perumahan di wilayah DAS Wanggu.
108
Gambar 16. Peta Bathimetri tahun 1960
Gambar 17. Peta Batimetri Teluk Kendari Tahun 1995
109 Pada periode 2000-2005 teluk Kendari mengalami penurunan luas 15.5 ha per tahun, sebaliknya volume sedimentasi bertambah dari 777.666,7 m3 per tahun pada periode 1995-2000 menjadi 1.543.006,7 m3 per tahun.
Terjadinya
penurunan luas dan peningkatan sedimentasi di teluk Kendari tersebut, terutama disebabkan oleh penimbunan tanah pada pembangunan Darmaga Kapal Rakyat di depan pasar kota Kendari, deliniasi dan pelebaran sungai Wanggu dan sungai Kambu, kegiatan penimbunan rawa-rawa untuk pembangunan perkantoran, perhotelan, pertokoan, pasar dan perumahan serta penambahan ruas jalan di dalam kota. Penimbunan dari material tanah tersebut berasal dari pengurugan/ penggusuran bukit yang berjumlah kurang lebih 36 bukit. Pada waktu yang sama, juga terjadi perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun campuran, perladangan, dan persawahan. Demikian pula semak-belukar menjadi lahan sawah, kebun campuran dan pemukiman.
Gambar 18. Peta Batimetri Teluk Kendari Tahun 2000 Penggunaan lahan pertanian pada pada periode 2000 - 2005 umumnya masih menggunakan teknologi sederhana khususnya petani lokal, kecuali petani kakao/agrofestry, tegalan dan sawah oleh transmigran yang sebagian telah menggunakan agroteknologi.
Selain itu, peningkatan penduduk di wilayah
110 kawasan teluk Kendari yang merupakan muara DAS Wanggu dan 5 DAS mikro lainnya, bertambah terus serta aktivitas kunjungan wisata teluk, warung terapung dan warung tenda, menyebabkan sedimentasi bersumber dari sampah meningkat dari tahun ketahun. Oleh karena itu, peningkatan jumlah penduduk, akan semakin meningkatkan pula jumlah volume sedimentasi dari limbah peduduk. Pada periode 2005-2010 teluk Kendari mengalami penurunan luas 7.4 ha per tahun dengan volume sedimen 1.150.280 m3 per tahun. Penurunan luas dan volume sedimentasi di teluk Kendari tersebut menjadi lebih kecil dibandingkan pada periode sebelumnya, terutama disebabkan oleh perbaikan pembangunan infrastuktur (Darmaga, Jalan Baypass dan jalan setapak), kegiatan penimbunan rawa-rawa untuk pembangunan perkantoran, perhotelan, pertokoan, pasar dan perumahan mulai terkendali serta penambahan ruas jalan di dalam kota telah selesai. Selain itu, perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun campuran, perladangan, persawahan dan semak-belukar mulai berkurang, kecuali pemukiman. Pada periode yang sama, kegiatan penghutanan kembali melalui program reboisasi di kawasan hutan dan penghijauan di luar kawasan, juga telah berjalan, namun pemulihan fungsi hidrologi belum signifikan sesuai yang di harapkan.
Gambar 19. Peta Batimetri Teluk Kendari Tahun 2005
111
Gambar 20. Peta Batimetri Teluk Kendari Tahun 2010
Total Sedimen di Teluk Kendari Bersumber dari Prediksi Erosi Lahan, Sampah dan infrastruktur Pengendapan di teluk Kendari merupakan hasil sedimentasi kumulatif yang berasal dari berbagai sumber. Hasil sedimen kumulatif di teluk Kendari pada tahun 1960, 1995, 2000, 2005 dan 2010 yang diperoleh berdasarkan hasil perhitungan menggunakan peta Bathimetri adalah merupakan total sedimen di Teluk Kendari yang terdiri dari sedimen dari erosi lahan, sedimen sampah dan sedimen dari erosi ITL disajikan pada Tabel 22. Tabel 20 menunjukkan bahwa total sedimen hasil perhitungan berdasarkan peta Bathimetri mengalami peningkatan secara terus-menerus dari periode 1960 – 2010. Pada tahun 2010 sedimen di teluk Kendari mencapai 55.304.766,7 m3 yang bersumber dari erosi lahan sebesar 5.150.182,4 m3 (9.3%) dan erosi sampah sebesar 1.089.165,0 m3 (2.0%) yang diperoleh dari hasil prediksi. Berdasarkan hasil sedimen kumulatif yang diperoleh dari hasil perhitungan peta Bathimetri dan sedimen hasil prediksi yang bersumber dari erosi lahan dan sedimen sampah, maka sedimen yang bersumber dari infrastruktur-tebing sungai-tanah longsor
112 dapat diketahui sebesar 49.292.191,7 m3 (88,7%) dari total sedimen tahun 2010. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Iswandi (2003) yang mengatakan bahwa pendangkalan teluk Kendari disebabkan oleh : 1) adanya sedimentasi yang berasal dari erosi lahan, 2) sedimentasi dari sampah penduduk, dan 3) sedimentasi dari pembangunan infrastruktur-tebing sungai-tanah longsor. Tabel 22. Total sedimentasi hasil perhitungan dari peta Bathimeri yang bersumber dari prediksi erosi lahan, sampah dan ITL periode 32, 3 dan 5 tahunan (1960-2010) S dari peta Bathimetri
Sedimen dari erosi lahan
Sedimen sampah
Sedimen dari ITL
(m3)
(m3)
(m3)
(m3)
1960
1.084.285,7
98.468,2
21.783,3
964.034,2
2
1992
34.697.142,9
2,875,892.2
697,065.6
30,849,094.9
3
1995
37.950.000,0
3,738,327.8
762,415.5
33,741,197.5
4
2000
41.838.333,3
4,322,730.6
871,332.0
37,028,273.3
5
2005
49.553.366,7
4,886,591.5
980,248.5
44,142,049.2
6
2010
55.304.766,7
5,150,182.4
1,089,165.0
49,292,191.7
100.0
9.3
2.0
88.7
No. Urut
Tahun
1
Keterangan: S = sedimen, ITL = infrastruktur-tanah longsor-erosi tebing sungai
Hasil analisis regresi total prediksi sedimentasi dari peta Batimetri, sedimentasi erosi lahan, sampah dan “Infrastuktur-tebing sungai-tanah longsor” periode lima tahunan selama tahun 1960-2010 (Gambar 21). Gambar 21 memperlihatkan bahwa ada korelasi yang sangat signifikan antara dinamika penggunaan lahan pada waktu tertentu terhadap peningkatan total sedimetasi. Sedimen dari peta Batimetri diperoleh 1.071 m3/th dengan nilai R2 = 0,997. Peningkatan sedimen ini mengikuti persamaan : y : 1.071.000x + 657.000 ……………………………. (6) dimana, y adalah total sedimentasi hasil perhitungan peta Bathimetri pada periode waktu tertentu, x adalah periode waktu, yaitu : x = 0 untuk tahun 1960, x = 30 untuk tahun 1990, x = 40 untuk tahun 2000, dan x = 50 untuk tahun 2010.
113 Batimetri Sedimen Erosi Lahan Sedimen Sampah Sedimen ITL
60000 y = 1071,x + 657,0 R² = 0,997
m3/th (x1000)
50000 40000
y = 954,0x + 550,3 R² = 0,996
30000 20000 y = 104.0x + 7.963 R² = 0.983
10000
y = 21,31x + 19,32 R² = 0,999
0 0
10
20
30
40
50
60
Interval tahun penggunaan lahan (selang 5 tahun) Ket : 0 = tahun 1960; 30 = tahun 1990; 40 = tahun 2000; 45 = tahun 2005; 50 = tahun 2010
Gambar 21. Korelasi dinamika penggunaan lahan dengan sedimentasi lahan dan sampah di DAS Wanggu periode 1960 - 2010
Sedimetasi yang bersumber dari erosi lahan sebesar 104.000 m3/th dengan nilai R2 = 0,983. Peningkatan sedimen ini mengikuti persamaan : y : 104.000x + 7.863 ………………………………….(7) dimana, y adalah total sedimentasi hasil prediksi erosi lahan pada periode waktu tertentu, x adalah periode waktu, yaitu : x = 0 untuk tahun 1960, x = 30 untuk tahun 1990, x = 40 untuk tahun 2000, dan x = 50 untuk tahun 2010. Sedimentasi yang berasal dari sampah diperoleh sebesar 21.310 m3/th dengan nilai R2 = 0,999. Sedimen ini meningkat mengikuti persamaan : y : 21.310x + 19.320
…………………………………. (8)
dimana, y adalah total sedimentasi hasil prediksi erosi yang berasal dari sampah pada periode waktu tertentu, x adalah periode waktu, yaitu: x = 0 untuk tahun 1960, x = 30 untuk tahun 1990, x = 40 untuk tahun 2000, dan x = 50 untuk tahun 2010. Sedimentasi berasal dari erosi Infrastuktur-tebing sungai-tanah longsor sebesar 954.000 m3/th dengan nilai R2 = 0,996 secara kumulatif meningkat dari tahun ketahun mengikuti persamaan : y : 954.000x + 550.300 ……………………………… (9)
114 dimana, y adalah total sedimentasi hasil prediksi erosi yang berasal dari sampah pada periode waktu tertentu, x adalah periode waktu, yaitu : x = 0 untuk tahun 1960, x = 30 untuk tahun 1990, x = 40 untuk tahun 2000, dan x = 50 untuk tahun 2010. Pada akhirnya manusia yang menentukan apakah erosi dan sedimentasi yang terjadi akan menjadi tinggi atau rendah. Lahan yang diusahakannya akan rusak dan menjadi tidak produktif atau menjadi baik dan produktif secara lestari, sehingga tidak berdampak merusak, baik terhadap lahan usaha itu sendiri (on-site) maupun terhadap di luar (off-site) di daerah hilir/muara sebagaimana yang terjadi di teluk Kendari. Untuk itu, diperlukan perencanaan ditingkat lapangan usahatani, pemukiman penduduk dan pembangunan infrastruktur. Oleh karena itu, agar hal ini dapat terealisasi, maka pemerintah masih perlu memegang tanggung jawab penuh dalam konservasi, akan tetapi peranan utamanya adalah mendorong partisipasi masyarakat dalam penerapan kegiatan konservasi tanah, agar penurunan sedimentasi di teluk dapat dicapai. Selain itu, pemerintah mempunyai peranan dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan infrastruktur, karena diperlukan kebijakan dalam mencegah kerusakan lahan akibat dari pembangunan infrastruktur yang tidak ramah lingkungan seperti pengurugan tanah dari bukit/gunung, penimbunan rawa, pembangunan jalan Negara, provinsi, kabupaten dan jalan desa, jalan Bay Pass, darmaga/pelabuhan PELNI, pelabuhan pertamina dan pelabuhan rakyat, perkantoran, perumahan, deliniasi dan pelebaran sungai serta penambangan pasir di badan sungai di wilayah DAS Wanggu-Ds dan Teluk Kendari yang telah menyebabkan sedimentasi kumulatif sebesar 49,292,191.7 m3 (88,7%), erosi lahan sebesar 5,150,182.4 m3 (9,3%) dan kumulatif sedimentasi dari sampah penduduk sebesar 1,089,165.0 m3 selama periode 1960 – 2010. Evaluasi Kesesuaian Penggunaan Lahan dan Agroteknologi Erosi Versus Erosi yang Dapat Ditoleransikan Hasil evaluasi kesesuaian penggunaan lahan berdasarkan erosi actual versus erosi yang dapat ditoleransikan (ETol) pada berbagai jenis penggunaan lahan menunjukkan bahwa hutan dan kebun campuran merupakan penggunan
115 lahan yang masih sesuai dengan karakteristik biofisik lahannya (Tabel 23) dan selengkapnya disajikan pada Lampiran 19 dan 20. Berdasarkan Tabel 23, hutan memberikan erosi sebesar 2,3 ton/ha/th lebih rendah dari pada ETol (15,0 ton/ha/th) dan pada kebun campuran memperoleh erosi 8,9 ton/ha/th lebih rendah dari pada ETol (17,2 ton/ha/th). Sebaliknya, erosi pada semak belukar diperoleh 13,9 ton/ha/th lebih besar dari pada ETol (13,6 ton/ha/th), erosi pada tegalan sebesar 36,3 ton/ha/th lebih besar dari pada ETol (16,7 ton/ha/th) dan pemukiman memberikan erosi sebesar 19,5 ton/ha/th lebih besar dari pada ETol (9,1 ton/ha/th). Tabel 23. Erosi, ETol dan Erosi >< ETol di DAS Wanggu, Tahun 2010 Erosi ETol Erosi vs ETol Penggunaan Lahan (ton/ha/th) 1 2 3 4 8,9 c*
17.2
<
Semak belukar
13,9 bc
13.6
>
Tegalan/sawah
36,3 a
16.7
>
Pemukiman
19,5 b
9.1
>
Hutan BNT 0,01
2,3 d 5,7
15.0
<
Kebun campuran
Sumber : Data primer tahun 2010 Keterangan : *Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNTα 0.01
Vegetasi merupakan lapisan pelindung atau penyangga yang efektif menghilangkan pengaruh hujan dan topografi terhadap erosi, seperti pada hutan dan rumput tebal. Namun demikian, dalam usah pertanian, jenis tanaman yang diusahakan mempunyai peranan penting dalam pencegahan erosi. Bagian vegetasi yang ada di atas permukaan tanah, seperti daun dan batang, menyerap energy perusak hujan, sehingga mengurangi dampaknya terhadap erosi tanah. Bagian system perakaran di dalam tanah akan meningkatkan kekuatan mekanik tanah, porositas dankapasitas infiltrasi, sehingga memperkecil limpasan permukaan dan coefisien limpasan permukaan yang pada gilirannya memperkecil erosi tanah. Pendapat tersebut diperkuat oleh Arsyad (2006), Chang (2002), Sinukaban (2007), Asdak (2007) dan Black (1996) bahwa sifat fisik tanah (tekstur, struktur, prositas,
116 bahan organic), kedalaman forofil tanah, penutupan lahan, intersepsi potensial, kekasaran permukaan berpengaruh terhadap kapasitas infiltrasi, permeabilitas tanah, koefisien limpasan dan limpasan permukaan (run off) dan memperkecil erosi. Besarnya erosi sangat menentukan tingkat kesuburan tanah dan selanjutnya mententukan kelestarian lahan/produksi
pertanian atau degradasi
lahan.
Selanjutnya Sinukaban (2001) menyatakan bahwa penggunaan lahan yang tidak menggunakan agroteknologi (konservasi tanah dan air) akan mempercepat terjadinya degradasi lahan dan saling memarjinalkan antara lahan dan petani. Untuk memungkinkan penerapan konservasi tanah secara luas dengan biaya yang masih dapat terjangkau oleh pengguna lahan, maka menurut Arsyad (2010), kebijakan nasional harus ditujukan pada tiga obyek yang berkaitan, yaitu : 1) perbaikan penggunaan dan pengelolaan lahan, 2) lebih mendorong atau mengembangkan partisipasi secara penuh, dan 3) mengembangkan institusi yang menyediakan berbagai dukungan yang diperlukan oleh pengguna lahan. Selanjutnya dikatakan bahwa dalam penerapan pekerjaan konservasi tanah oleh petani seharusnya tidak bergantung secara langsung kepada subsidi atau insentif lain dari pemerintah. Para petani harus ditawari beberapa pilihan bentuk konservasi tanah yang dapat berupa model agroteknologi. Selain itu, perencanaan harus pada tingkat lapangan usahatani, bukan pada tingkat DAS. Petani memerlukan jaminan kelangsungan jangka panjang untuk melakukan investasi penggunaan lahan jangka panjang dan peraturan serta tata cara harus dikembangkan dan dijalankan (enforced) oleh masyarakat setempat. Pendapatan Usahatani Versus Pendapatan yang memenuhi KHL Hasil evaluasi kesesuaian penggunaan lahan dan agroteknologi usahatani (kebun campuran dan tegalan) berdasarkan analisis biaya dan penerimaan (pendapatan bersih) menunjukkan bahwa pendapatan petani rataan, baik usahatani tegalan
maupun
kebun
campuran
secara
ekonomi
tergolong
layak
(menguntungkan), tetapi belum memberikan pendapatan yang memenuhi untuk kebutuhan
hidup
petani
dan
keluarganya
secara
layak
(KHL).
Hasil perhitungan biaya dan pendapatan petani kebun campuran dan tegalan
117 secara ringkas disajikan pada Tabel 24 dan selengkapnya disajikan pada Lampiran 22. Sedangkan contoh cara perhitungannya disajikan pada Lampiran 23 dan 24. Tabel 24 menunjukkan bahwa hasil analisa biaya dan pendapatan usaha tani kebun campuran diperoleh pendapatan bersih Rp 19.758.859 per ha/th dan tegalan/sawah diperoleh pendapatan bersih sebesar Rp 12.678.900 per ha/th. Pendapatan bersih petani pada seluruh kebun campuran dan tegalan/sawah mengindikasikan bahwa usahatani diterapkan petani adalah menguntungkan. Namun, rata-rata pendapatan tersebut belum dapat memenuhin standar kebutuhan hidup yang layak bagi petani dan keluarganya secara terus-menerus, melainkan hanya memenuhi nilai ambang kecukupan pangan berdasarkan kriteria Sajogyo (1977). Luas lahan usahatani di wilayah penelitian diasumsikan ± 1 ha/KK. Tabel 24. Hasil analisis biaya dan pendapatan petani pada kebun campuran dan tegalan di DAS Wanggu tahun 2010
(1)
Total rataan biaya (Rp/ha/thn) (2)
Kebun campuran
9.342.652
29.101.511
19.758.859
22.000.000
Tegalan/sawah
7.755.600
20.434.500
12.678.900
22.000.000
Penggunaan lahan
Total rataan penerimaan (Rp/ha/th) (3)
Total rataan pendapatan (Rp/ha/th) (4)
(Rp/ha/th) (5)
Kebutuhan hidup layak bagi masyarakat di wilayah DAS Wanggu
DS
KHL
dengan rata-
rata 5 orang anggota keluarga setiap KK, dapat diperoleh apabila memiliki pendapatan bersih minimal Rp 22,000,000-. per KK/tahun. Berdasarkan kriteria tersebut, maka pendapatan kebun campuran dan tegalan masih lebih rendah dari pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL), yaitu ≥ Rp 22,000,000 per KK/thn. Dengan demikian, diperlukan perbaikan agroteknologi untuk meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan petani serta menurunkan erosi hingga mencapai erosi < ETol. Analisis Kelayakan Model Penggunaan Lahan Alternatif di DAS Wanggu Analisis kelayakan berbagai skenario model penggunaan lahan alternatif di DAS Wanggu menggunakan parameter erosi, sedimentasi dan pendapatan
118 usahatani disajikan pada Tabel 25, dan kelayakan skenario model penggunaan lahan menggunakan kriteria keputusan (decision criteria) erosi versus erosi yang dapat ditoleransikan (erosi < ETol), sedimentasi versus sedimentasi yang dapat ditoleransikan (S < STol ) dan pendapatan petani versus kebutuhan hidup layak (PP > KHL) yang disajikan pada Tabel 26. Berdasarkan kriteria keputusan tersebut di atas maka disusun beberapa skenario model penggunaan lahan dan agroteknologi yang telah disimulasikan dalam perencanaan penggunaan lahan di DAS Wanggu, adalah : S1 = Exsisting (hutan 23%, kebun campuran 34%, semak belukar 21%, tegalan/sawah 9%, dan pemukiman 13%) S2 = UU No.41/1999 minimal luas hutan 30% luas DAS (hutan 30%, kebun campuran 37%, semak belukar 11%, tegalan 9%, pemukiman dan 13%) S3 = RTRW Provinsi Sultra (hutan 33%, kebun campuran 42%, semak belukar 3%, tegalan 9%, pemukiman 13%) S4 = Perbaikan RTRW Provinsi (hutan 33%, kebun campuran 44%, semak belukar 1%, tegalan 9% dengan perbaikan pola tanam (Jg+Uk+Kt)-(B+Kp+T), pupuk kandang 2 ton/ha/th, urea & TSP 50 kg/ha/th dan pemukiman 13%) S5 = Penyempurnaan RTRW Provinsi Sultra pada kebun campuran 100% perbaikan pola tanam (hutan 33%, kebun campuran 44% dengan pola Agrosilvopastoral prennial crops (kk, ld, jr, psg, jt, rg/gl + 3 ekor sapi, 2 ton/th pupuk kandang & (TSP, KCl, urea: 200 kg/ha/th), semak belukar 1 %, tegalan 9% dengan pola (Jg+Uk+Kt)-(B+Kp+T), pemukiman 13%). Tabel 25. Erosi, sedimen dan pendapatan peteni pada setiap skenario model penggunaan lahan alternatif dan agroteknologi di DAS Wanggu tahun 2010
Parameter
Skenario model penggunaan Lahan S1
S2
S3
S4
S5
Erosi (ton/ha/th)
28,2
13,2
10,5
10,0
9,7
Sedimen (ton/th)
157,9
74,5
58,8
56,0
54,3
PP (Rp x106 ha/KK/th)
17,6
17,6
21,8
22,8
24,0
Keterangan:, ETol (Erosi yang dapat ditoleransikan) = 12,1(ton/ha/th) STol (Sedimen dapat ditoleransikan) = 67,7 x 103 ton/th KHL (Kebutuhan hidup layak) = 22 x106(Rp/ha/th) & PP = pendapatan petani.
Berdasarkan Tabel 25 memperlihatkan bahwa skenario model penggunaan lahan terbaik adalah skenario-5. Namun, baik skenario-5 maupun skenario-4 masing-masing memberikan prediksi erosi yang lebih kecil dari ETol (9,7 dan 10,0 ton/ha/th < 12,1 ton/ha/th), pendapatan petani dari hasil usahatani telah memberikan pendapatan > KHL petani (24.000.000 dan 22.800.000 Rp/ha/th >
119 22.000.000 Rp/th/KK), dan sedimentasi hasil prediksi lebih kecil dari sedimentasi yang dapat ditoleransikan, yaitu : (54,3 x 103 dan 56,0 x 103 ton/th) < (67,7 x 103 ton/th).
Skenario-5 memenuhi ke tiga criteria tersebut dan dapat menjamin
kelestaria sumberdaya lahan karena adanya pupuk organik dari kotoran hewan ternak sapi sebagai sumber hara untuk perbaikan kesuburan tanah, sedangkan skenario-4 belum mampu menjamin kelestarian sumberdaya lahan karena belum ada pengembalian kesuburan tanah dari kotoran hewan, hanya mengandalkan perbaikan pola tanam pada tegalan untuk peningkatan pendapatan petani, sehingga belum menjamin kesuburan tanah. Kriteria keputusan hasil simulasi model penggunaan lahan alternatif dan agroteknologi dalam perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan di DAS Wanggu didasarkan pada nilai erosi, sedimen dan pendapatan (Tabel 25) yang dibandingkan dengan masing-masing nilai ETol, STol dan KHL disajikan pada Tabel 26. Tabel 26. Kriteria keputusan hasil simulasi rencana penggunaan lahan di DAS Wanggu tahun 2010 Kriteria Keputusan
Erosi vs ETol (ton/ha/th) Sedimen vs STol (ton/th) PP vs KHL (Rp 22x106 ha/KK/th)
Evaluasi hasil simulasi perencanaan penggunaan lahan & agroteknologi alternatif S1 S2 S3 S4 S5 > < > < < > < > < < <
<
<
>
>
Keterangan : ETol = erosi yang dapat ditoleransikan, Stol = sedimen yang dapat ditoleransikan, PP = pendapatan petani, KHL = kebutuhan hidup layak = Rp 22.000.000/KK/thn
Implikasi Kebijakan Terhadap Penggunaan lahan di DAS Wanggu Implikasi kebijakan yang dapat dihasilkan dari hasil penelitian ini dalam penggunaan lahan di DAS Wanggu yakni perlu ada Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi dan Kabupaten/Kota yang mengatur penggunaan lahan, kegiatan pembangunan infrastruktur dan pengelolaan sampah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 9,8% sedimentasi bersumber dari erosi penggunaan lahan existing (hutan 23%, kebun campuran 34%, semak belukar 21%, tegalan/sawah 9%, pemukiman 13% dan agroteknologi tradisional. Konstribusi sedimentasi terbesar bersumber dari erosi hasil kegiatan infrastruktur-erosi tebing sungai-tanah longsor adalah 88,9%. Kegiatan infstruktur tersebut adalah pembangunan jalan, jembatan,
120 dermaga, rekmalasi pantai, deliniasi dan pelebaran sungai, pengurugan tanah, penimbunan lahan pemukiman dan perkantoran). Selanjutnya sedimentasi yang berasal dari sampah penduduk sebesar 2 %. Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka sangat dibutuhkan peraturan daerah (PERDA) provinsi dan kabupaten/kota dan institusi independen sebagai berikut : 1. Peraturan daerah (PERDA) provinsi Sulawesi Tenggara tentang luas penggunaan lahan hutan minimal 33% luas DAS Wanggu (berdasarkan karakteristik biofisik lahan di DAS Wanggu). 2. Peraturan daerah (PERDA) provinsi dan kabupaten/kota (Konawe, Konawe Selatan dan kota Kendari) tentang standar operasional prosedure (SOP) pembangunan infrastruktur yang ramah lingkungan. 3. Peraturan daerah (PERDA) kabupaten/kota tentang pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. 4. Forum DAS (FORDAS) provinsi dan kabupaten/kota untuk mekoordinasikan ke 3 PERDA tersebut dan kebijakan lainnya yang relevan dalam pengelolaan DAS Wanggu dan teluk Kendari yang berkelanjutan . Ke tiga PERDA dan Institusi independen (FORDAS) tersebut sangat relevan dan mengefektifkan penerapan: 1) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur tentang luas kawasan hutan minimal 30% luas DAS dan perencanaan penggunaan lahan menggunakan unit DAS, 2) UndangUndang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengatur penataan ruang berdasarkan fungsi lindung utama kawasan yakni kawasan lindung dan kawasan budidaya dan perencanaan penggunaan lahan menggunakan unit administrasi, 3) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah kabuapten/kota melalui pemberian berbagai kewenangan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah seperti pengelolaan sumberdaya alam skala kecil (pertambangan, perkebunan, kehutanan, lingkungan hidup), 4) PP. No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, dan 5) kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi dan RTRW kabuapten/kota.
121 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang kajian dampak dinamika penggunaan lahan di DAS Wanggu terhadap sedimentasi di teluk Kendari Sulawesi Tenggara, maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut : 1. Dinamika penggunaan lahan di DAS Wanggu yang terjadi tahun 1992 – 2010 adalah penurunan luas hutan 1,1% per tahun (478,2 ha/th) dan semak belukar 0,8% per tahun (366 ha/th), diikuti pertambahan luas kebun campuran 1,1% per tahun (485,7 ha/th), tegalan/sawah 0,4% per tahun (181,1 ha/th) dan pemukiman 0,4% per tahun (179,8 ha/th). 2. Penurunan luas hutan menyababkan dampak terhadap penurunan karakteristik lahan akibat dari dinamikan penggunaan lahan (kebun campuran, tegalan/ sawah, semak belukar, pemukiman) masing-masing berurutan: porositas lahan 11,4% - 31,0%, bahan organik tanah 16,0% - 74,8%, penutupan lahan 28,1% 56,3% dan penurunan intersepsi potensial vegetasi 56,5% - 91,0%. Sebaliknya terjadi peningkatan berat volume tanah sebesar 13,6% - 31,2%. 3. Dampaknya terhadap degradasi lahan dan gangguan hidrologi adalah peningktan erosi aktual > Etol dengan rataan peningktan erosi 17,4 ton/ha/th, dan prediksi erosi 31.949,4 ton/ha/th dengan rataan prediksi erosi 1.035.805,0 ton per tahun, penurunan per jam rataan: kapasitas infiltrasi 1,8 cm dan permeabilitas tanah 2,11 cm, peningkatan aliran permukaan per tahun 289,6 mm dan koefisien airan permukaan 14,7%, dan fluktuasi debit
sungai
pengukuran rataan selama setahun yakni Qmax 114,2 m3/dt, Qmin 3,01 m3/dt dan ratio Qmax/Qmin adalah 38,1. 4. Peningkatan sedimen kumulatif 1.071.000 m3 per tahun di teluk Kendari (erosi lahan sebesar 104.000 m3 per tahun (9,3%), sampah penduduk 21.310 m3 (2%) dan pembangunan infrastruktur-tebing sungai-tanah longsor 954.000,0 m3 (88,7%). Apabila hal ini dibiarkan tanpa ada usaha penanganannya, maka pada tahun 2019 teluk Kendari diprediksi akan menjadi daratan dengan sedimen kumulatif 65.600.766,7 m3 diperoleh dari persamaan (6) : y = 1.071.000x + 657.000 (R2 = 0,997).
122 5. Hasil evaluasi kesesuaian penggunaan lahan dan agroteknologi uasahatani existing menunjukkan bahwa hutan dan penerapan agroteknologi pada kebun campuran memberikan erosi lebih kecil dari ETol, tetapi pada semak belukar, tegalan dan pemukiman memberikan erosi lebih besar dari ETol. Pendapatan dan penguasaan lahan rataan petani kebun campuran (Rp 19.758.859 per KK/ha/th) dan tegalan (Rp 12.678.900 per KK/ha/th) layak secara ekonomi, akan tetapi pendapatan tersebut masih lebih kecil dari pendapatan yang dapat memenuhi KHL (Rp 22.000.000 per KK/ha/th), sehingga diperlukan perbaikan model penggunaan lahan dan agroteknologi usahatani alternatif. 6. Rumusan model penggunaan lahan dan agroteknologi usahatani alternatif bagi perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan di DAS Wanggu adalah 33% hutan, 44% kebun campuran dengan pola Agrosilvopastoral perennial crops with pasture dan tegalan 9% dengan pola tanam (Jg+Uk+Kt)-(B+Kp+T), 1% semak belukar/ilalang dan 13% pemukiman (skenario-5) dengan erosi 9,7 – 10 ton/ha/th < ETol 12,1 ton/ha/th, dan pendapatan petani Rp 22.800.000 – 24.000.000 per ha/th > pendapatan yang dapat menjamin KHL Rp 22.000.000 per KK/th, memenuhi kriteria layak lingkungan, taknis dan ekonomis. 7. Paradigma selama ini telah keliru dalam menyimpulkan tentang penyebab terjadinya sedimentasi di teluk Kendari adalah berasal kegiatan kehutanan dan pertanian, sebagai akibat dari konversi lahan hutan ke lahan pertanian dengan konstribusi sedimentasi 9,3%, konstribusi pembangunan infrastruktur-tebing sungai-tanah longsor adalah terbesar 88,7% dan sampah penduduk 2 %. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dirumuskan beberapa saran : 1.
Diperlukan peranan Forum DAS Nasional dan Daerah dalam mengefektifkan koordinasi antar instansi, dan pengawasan yang ketat terhadap eksploitasi hutan ke non hutan dengan peraturan yang jelas dan tegas dalam mencagah pengurangan luas hutan. Penurunan luas hutan akibat dinamika penggunaan lahan telah menyebabkan degradasi lahan berupa penurunan kualitas tanah, Erosi > ETol, rataan total prediksi erosi 1.035.805,0 ton per tahun, dan terganggunya fungsi hidrologi DAS Wanggu seperti peningkatan: kapasitas
123 infiltrasi 1,8 cm/jam, run off
289,6 mm/th dan koefisien airan permukaan
14,7%/th secara signifikan dan ratio Qmax/Qmin adalah 38,1. 2.
Diperlukan penanganan sedimentasi di teluk Kendari akibat peningkatan sedimen kumulatif 1.071.000 m3 per tahun (sedimentasi dari kegiatan pembangunan infrastruktur-tebing sungai-tanah longsor 88,7% per tahun, erosi dari lahan 9,3% dan sampah penduduk 2%). Hal ini telah mengancam fungsi dan peranan strategis teluk Kendari sebagai icon Provinsi Sulawesi Tenggara, sehingga diperlukan penanganan yang strategis meliputi kegiatan: Pencegahan (preventive) terdiri dari : 1. Penataan ruang sesuai No. 41/1999 tentang luas hutan minim 30% DAS. 2. Perencanaan penggunaan lahan berkelanjutan, termasuk penerapan tehnik konservasi tanah dan air di DAS Wanggu 3. Pengelolaan sampah penduduk di DAS Wanggu dan Kota Kendari Pengerukan (curative) sedimen di teluk Kendari adalah Alternatif terakhir sebesar 1.071.000 m3 per tahun untuk mencegah berubahnya teluk Kendari menjadi daratan pada tahun 2019.
3.
Diperlukan PERDA tentang Standar Operasional Prosedure (SOP) pembangunan infrastruktur yang berwawasan lingkungan. Hal ini, merupakan upaya mengatasi sedimentasi dari kegiatan
pembangunan infrastruktur-
tebing sungai-tanah longsor dengan konstribusi terbesar adalah 88,7% per tahun. 4.
Diperlukan Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi atau (PERDA) antar Kabupaten Konawe, Konawe Selatan dan Kota Kendari untuk penerapan model penggunaan lahan dan agroteknologi usahatani alternatif dalam penggunaan lahan berkelanjutan di DAS Wanggu, dengan proporsi: 33% hutan, 44% kebun campuran + pola Agrosilvopastoral- perennial crops, 1% semak belukar dan 13% pemukiman (skenario-5) sebagai upaya menurunkan sedimentasi yang berasal dari lahan.
5.
Perlunya dilakukan penelitian lebih detail tentang besarnya sedimentasi yang berasal dari erosi (infrasturktur-tebing sungai-tanah longsor) secara aktual, karena hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konstribusi sedimentasi terbesar di teluk Kendari berasal dari kegiatan infrastruktur adalah 88,7 %.
124
DAFTAR PUSTAKA Al-Rasyd, H. dan T. Samingan. 1980. Pendekatan pemecahan masalah kerusakan sumberdaya tanah dan air daerah aliran sungai dipandang dari segi ekologi. laporan no. 300. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor. Alwi L.O. 2004. Perencanaan pola usahatani lahan kering untuk mendukung pertanian berkelanjutan di DAS Konaweha. Tesis Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor. Alwi L.O and S. Marwah. 2007. Evaluasi kesesuaian penggunaan lahan untuk mendukung pertanian berkelanjutan di DAS Posalu, Wangi-Wangi Wakatobi. Agriplus Majalah Ilmiah, Vol 17 No 03 Feperta Unhalu. Anas I., Gulton T and Migge S. 2005. Soil microbial population and activity at different land use type. in: Stictentroth D, W. Lorenz, S.D. Tarigan, A. Malik (eds). Proceedings international symposium “the stability of tropical rainforest margins: linking ecological, economic and social constrain of land use and conservation” 19-23 september 2005. GeorAugust-University of Goettingen, Germany: Universitatsverlag Goettingen: 162. Anderson, J.M. dan T. Spencer, 1991. Carbon, nutrient and water balances of tropical rainforest ecosystems subject to disturbance. Management implications and research proposals. MAB. United Nation, UNESCO. Arsyad, S. 1989. Konservasi tanah dan air. IPB Press, Bogor. Arsyad, S. 2010. Konservasi tanah dan air, Fakultas Pertanian IPB. PT. Penerbit IPB Press, Edisi ke dua. Kampus Taman Kencana, Bogor. Asdak, C. 2007. Hidrologi dan pengelolaan daerah sungai, Gadjah Mada University Press, Bandung. Beasley D.B. and L.F. Huggins. 1980. ANSWERS (Areal Nonpoint Sources Watershed Environment Response Simulation). User,s Manual U.S. Environmental protection agency ragion V. Agri.Expt. Stat. Purdue Univ. U.S. Dept of Agric. Indianapolis, Indiana. 54p. [BLH] Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Tenggara, 2011. Laporan hasil pemantauan kualitas air sungai Wanggu. BLH, Kendari Bosch J.M and Hewlett J.D. 1982. A review of catchment experiments to determine the effects of vegetation changes on water yield and evapotranspiration. J Hydrol, 55: 3-23. [BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sampara. 2005. rehabilitasi lahan dan konservasi tanah DAS Sampara, Kendari.
Pola
[BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Sampara. 2008. rehabilitasi lahan dan konservasi tanah DAS Sampara, Kendari.
Pola
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Kendari. 2005. Statistik Kota Kendari dalam anggka.
126
[BPS] Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara 2008. Kerja sama badan perencanaan pembangunan daerah dengan BPS Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari. Bruijnzeel L.A. 1990. Hydrology of moist tropical forests and effects of conversion: a state of knowledge review. UNESCO International Hydrological Programme, A publication of the humid tropics programme, UNESCO, Paris. Calder I.R. 1992. The hydrogical impact of land use change (with special reference to afforestation and deforestation). P: 91-101, dalam: Proceedings of the conference on priorities for water resources allocation and mangement Southampton, July 1992, Overseas Development Administration, London. ISBN: 090 2500 49X Calder I.R. 1998. Review outline of water resource and land use issue (IIMI) Swim Paper, Nc.3. Calder I.R. 1999. The Blue revolution, land use and integrated water resources management. Earthscan. Chomitz M and Khumari K. 1996. The domestic benefits of tropical forest a critical review. The World Bank Research Oserver, 13 (1): 13-35. Croop, C. dan R.A. Clapp. 1998. Is marketing-oriented forest conservation a contradiction in terms. Environmental Conservation. 25 (2) : 131-145. Djojomartono, M. 1993. Pengantar umum analisis sistem. Pelatihan Analisis Sistem dan Informasi Pertanian. Kerjasama BPP Teknologi-Fakultas Teknologi Pertanian IPB, 29 Juni-16 Juli 1993. Eryatno. 1999. ilmu sisitem. Meningkatkan mutu dan efektivitas manajemen. jilid satu. IPB Press, Bogor. Eryatno. 2003. ilmu sistem. Meningkatkan mutu dan efektivitas manajemen. jilid satu. IPB Press, Bogor. [FAO] Food Agriculture Organization of the United Nations. 1989. Forestry and food security. FAO Forestry Paper: 90. FAO, Rome. [FAO] Food Agriculture Organization of the United Nations. 1995. Planning for sustainable use of land resources. Towards an New Approach. FAO Land and Water Bulletin. FAO, Rome. [FAO] Food Agriculture Organization of the United Nations. 1995. Water sector policy review and strategy formulation. A General Framework. FAO Land and Water Bulletin. No. 3. [FAO] Food Agriculture Organization of the United Nations. 1996. Steps towards a participatory and integrated approach to watershed management. report of the inter-regional project for participatory upland conservation and development, GCP/INT/542/ITA, FAO/Italy Cooperative Programme. Tunis Written by Fe d’Ostiani,L. &Warren, P.(eds) [FAO] Food Agriculture Organization of the United Nations.1998. Developing participatory and integrated watershed management. A case study of the fao/italy inter-regional project for participatory upland conservation and
127
development (pucd) written by Warren, P.FAO Community Forestry Case Study Series, No. 13. [FAO] Food Agriculture Organization of the United Nations. 2005. Global forest resources assessment 2005. Progress Toward Sustainable Forest Management. FAO Forest Paper 147: 21-26. Gill, N. 1979. Watershed management with special reference to soil and water corservation. FAO. Soil. Bull. No. 44. Gittinger, J.P. 1973. Economic analysis of agricultural project. Development Digest vol. Xi no. 3. Washington D.C. Guluda, D.R. 1996. Penggunan model AGNPS untuk memperediksi aliran permukaan, sedimen, dan hara N, P dan COD di Daerah Tangkapan Citere, sub DAS Citarik, Pangalengan (Tesis). Program Pascasarjana, IPB, Bogor. Hall, C.A.S. dan J.W. Day. 1977. Ecosystem modeling in theory and practice: Introduction with Case Histories. John Willey & Sons, New York. Hall, R.L. and Calder I.R. 1993. Drop size modification by forest canopy – measurements using a disdrometer. J. Geophys. Res, 90: 465-470. Hamilton, L.S. dan P.N. King. Tropical forested watersheds. Hydrologic and soil Response to major uses or conversions. Westview Press, Boulder, Colorado. Handayani, I.P. 2001. Comparison of soil quality in cultivated field and grassland. Jurnal Tanah Trop. 12: 135-1433. Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka, 2001. Kesesuaian lahan dan perencanaan tata guna tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Hillel, D. 1997. Computer simulation of soil – water. a compendium of recent work. International Development Research Centre, Ottawa. Holmes, D. 2000. Deforestation in Indonesia: A review of the situation in Sumatera, Kalimantan and Sulawesi. Jakarta, Indonesia: World Bank. Hufschmidt, M. M. 1987. A conseptual framework for the analysis of integrated river basin development/watershed management program. Environment of Policy Institute, East West Centre, Honolulu-Hawai. Iswandi, M. R. 2003. Analisis dampak pendangkalan teluk kendari terhadap aktivitas masyarakat dan strategi penanggulangannya. Disertasi Program Pascasarjana, Institut Pertanian bogor. Jeffers, J. N. R. 1978. An introduction to system analyasis with ecological aplications. University Park Press. Kraemer, A. and Buck M. 1997. Water subsidies and the environment. Report OECD/GD(97)220. Paris: OECD. Krairapanond, N. and Atkinson A. 1998. Watershed management in Thailand: concepts problems and implementation. Regulated Rivers: Research and Management, 14: 485-498.
128
Lihawa, F. 2009. The effect of watershed environment condition and land use on sediment yield in Alo-Poha watershed. Indonesia Journal of Geography. Published by the Faculty of Geography, Gadjah Mada University Yogyakarta Indonesia & the Indonesian Geographers Association. Indo J. Geog. 41 (2): 103 – 203, Yogyakarta, Desember 2009. La Baco, 2011. Analisis alternatif penggunaan lahan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya air di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmiah Sains Tanah. Volume 8 Nomor 2 Edisi Juli 2001. Surakarta. Lo, K.F.A. 1995. Erosion assessment of large watershed in Taiwan. Journal of soil and water conservation. 50 (2): 180-183. Manan, S. 1979. Pengaruh hutan dan managemen daerah aliran sungai. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Marwah, S. 2000. Perencanaan sistem usahatani lahan kering dalam rangka mewujudkan pertanian berkelanjutan di DAS Wanggu Kendari, Sulaweisi Tenggara. Tesis Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Marwah, S. 2008. Optimalisasi pengelolaan sistem agroforestry untuk pembangunan pertanian berkelanjutan di DAS Konaweha Sulawesi Tenggara, Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Menteri Kehutan RI, No.346-V/2005. Kriteria penetapan urutan prioritas daerah aliran sungai. Jakarta. Muhammadi. 1994. Analisis lingkungan hidup dengan dinamika sistem. Depdikbud, Ditjen Dikti. Jakarta. Murray-Darling Basin Commission homepage:http://www.mdbc.gov.au (17/11/99). New York Watershed Agricultural Council homepage: http:// www. nycwatershed.org(18/11/99) Murtilaksono, K., Y. Hidayat dan G. Gerold, 2005. Consequence of rainforest conversion with different landuse types for soil erosion and surface runoff in Napu Catchment, Central Sulawesi. In: Stictentroth D., W. Lorenz, S.D. Tarigan, A. Malik (eds). Proceedings International Symposium “The stability of tropical rainforest margins: Linking ecological, economic and social constain of landuse and conservation” 19-23 September, 2005. Georg-August-University of Goettingen, Germany: Universitatsverlag Goettingen: 127. Nasoetion, L. I. dan A. Anwar. 1981. Kerangka pengelolaan DAS secara terpadu, suatu alternatif. Dalam proceeding lokakarya pengelolaan terpadu DAS di Indonesia, Jakarta 26-27 Mei 1981. Pasaribu, H. S. 1999. Daerah aliran sungai sebagai satuan perencanaan terpadu dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah dan pengembangan sektoral berbasis konservasi tanah dan air. Seminar sehari “DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan Sumberdaya Air“. 21 Desember 1999, Jakarta. Pawitan, H. 2000. Iklim dan hidrologi untuk perencanaan pengelolaan DAS, panduan pengolahan data. Kertas Kerja WM 4. Jawa bagian selatan, Proyek Pengendalian Banjir, Bagian E.
129
Pratoyo dan Shiddieq. 2007. Perubahan sifat kimia dan fisika ultisol akibat konversi hutan alami dan hutan pinus menjadi lahan pertanian. Jurusan Ilmu Tanah Faperta, UGM dan UPNVY. Prosiding Seminar Nasional MKTI VI, “Konservasi Tanah dan Air sebagai Solusi dalam Menghadapi Perubahan Iklim”, Bogor 17-18 Desember 2007. Reijntjes, S. B. Havercort and A. Water Bayer. 1999. Pertanian masa depan. pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Jogyakarta, Kanisius. Robinson, A. R. 1979. Universal soil loss equation: Past, Present, and Future. Soil Science Society of America. SSSA Special Publication No. 8. Ruitenbeek, H. J. 1991. Manggrove management: An economic analysis of management option with a focus on bintuni bay. Proyek Kerjasama KLH dengan Dalhousie Univesity. Sajogyo. 1977. Garis miskin dan kebutuhan minimum pangan. Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan (LPSP). IPB, Bogor. Sandy, I Made. 1982. DAS, ekosistem, penggunaan tanah. dalam: proceeding lokakarya pengelolaan terpadu DAS di Indonesia. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Sinukaban, N. 1999. Sistem pertanian konservasi kunci pertanian berkelanjutan. makalah pada seminar sehari ”paradigma baru pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan yang berkelanjutan”, dalam Rangka Disnatalis ke 43 FP-USU Medan, 4 Desember 1999. Sinukaban, N. 2001. Strategi kebijakan dan kelembagaan pengelolaan lahan kritis. Makalah pada seminar sehari pengelolaan DAS Universitas Haluole Kendari, 5 Juli 2001 Sinukaban, N. 2007. Peranan konservasi tanah dan air dalam pengelolaan daerah aliran sungai. dalam: Bunga rampai konservasi tanah dan air. F. Agus, N. Sinukaban, A. Ngaloken Gintings, H. Santoso, dan Sutadi (ed). 2007. Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia. Jakarta, hal: 35-44. Sinukaban, N., H. Pawitan, S. Arsyad and J. AMstrong. 1998. Impack of Soil and Water Conservation Practices on Stream Flows in Citere Catchment, West Java Indonesia. Towards Sustainable Land Use. Advanses in Geoecology 31:1275-1280. Sinukaban, N. and J.H. Sihite. 2004. Economic valuation of land use changes in Besai Sub Watershed Tulang Bawang, Lampung Proceed of International Seminar on “Towards Harmonization between Development and Environment conservation in Biological Production”. 3-5 Dec 2004. Cilegon, Indonesia. Sihite, J. H. S. 2004. Valuasi ekonomi dari perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Besai DAS Tulang Bawang Lampung. Disertasi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soepardi,G. 1974. Sifat dan ciri tanah. Deptemen Ilmu Tanah, Faperta IPB, Bogor
130
Soerianegara, I. 1978. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Buku II. Program Pascasarjana IPB, Bogor. Soewarno. 1991. Hidrologi, pengukuran dan pengolahan data aliran sungai (hidrometri), Penerbit Nova, Bandung. Sosrodarsono, S. dan K. Tekeda. 1976. Hidrologi untuk pengairan. PT Pradnya Paramita. Jakarta. Sudado, H. dan S. Sukandi, 1993. Tehnik pengawetan tanah dan air. JICADGHE/IPB PROJECT/ADAET:JTA-9ª(132), Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Sukardjo, S. 1995. Gugur serasah dan unsur hara di hutan manggrove Muara Angke-Kapuk, Jakarta. Prosiding Seminar V Ekosistem Manggrove di Jember, 3-4 Agustus 1994. Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. Suripin. 2001. Pelestarian sumber daya tanah dan air. Penerbit ANDI, Jogiyakarta. Swaify, El. S.A., S. Arsyad dan P. Krisnalajati. 1983. Soil erosion by water. Dalam: Carpenter R.A. (Ed). 1983. Natural System for Development What Planners Need to Know, Mc. Millan, Publ, Co: 19-161 Tobias, D. 1999. Protection of New York City’s water supply through land acquisition and stewardship. Water Resources Impact, I(5): 9-15. Undang-Undang RI, No 7 Tahun 2004. Sumber daya air, peraturan perundangundangan. Penerbit Fokusmedia. Waspodo, R. S. B. 2007. Manajemen kualitas air. Lokakarya dan Pelatihan Manajemen Tingkat Dasar, Pusat Pendidikan dan Pelatihan. Dinas Pengairan Banten. Woolhieser, D. A. and D. L. Brakensiek. 1982. Hydrology system synthetis. In C. T Haan; H.P. Johnson and D. L. Brakensiek, eds. Hydrologic Modelling of Small Watershed, p. 1-16. ASAE Monograph No. 5. Walter, M.T, and Walter M.F. 1999. The New York city watershed agricultural program: A model for comprehensive planning for water quality and agricultural economic viability. Water Resources Impact, I(5): 5-9. Wisschmeier, W.H. and D. D. Smith. 1978. Predicting rainfall erosion losses. A guide to conservation planning. USDA, Agriculture Handbook. No. 537. Young, et al., 1997. Agroforestry for soil management. Ed ke-2. Cab International in Association with the International Centre for Research in Agroforestry. Nairobi, Kenya. Yusop, Z. 1989. Effects of selective logging method on dissolved nutrients exports in Berembun watershed, Peninsular Malaysia. Paper presented at the FRIM-IHP-Unesco Regional Seminar on Tropical Forest Hydrology. Kuala Lumpur, 4 – 9 September 1989.
131 Lampiran 1. Besarnya Nilai ETol untuk Tanah-Tanah di Indonesia (Arsyad, 1989) No. 1 2
Sifat Tanah dan Substratum
Nilai ETOL mm/th ton/ha/th 0.0 0.0 0.4 4.8
Tanah sangat dangkal di atas batuan Tanah dangkal di atas batuan telah melapuk (tidak terkonsolidasi) 3 Tanah dangkal di atas batuan telah melapuk 0.8 9.4 4 Tanah dengan kedalaman sedang di atas batuan 1.2 14.4 telah melapuk 5 Tanah yang dalam dengan lapisan tanah yang kedap 1.4 16.8 air di atas substrata yang telah melapuk 6 Tanah dalam dengan lapisan bawah 1.6 19.2 berpermeabilitas sedang, di atas substrata yang telah melapuk 7 Tanah yang dalam dengan lapisan bawahnya berper2.0 24.0 meabilitas sedang, di atas air substrata yang telah melapuk 8 Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang 2.5 30.0 permeabel, di atas substrata yang telah melapuk Catatan: a. mm x Berat Volume x 10 = ton/ha/tahun b. Berat Volume (BV) tanah berkisar antara 0.8 sampai 1.6 g/cc, tetapi pada umumnya tanah berkadar liat tinggi mempunyai BV antara 1.0 sampai 1.2 g/cc c. – Tanah dangkal (k2) : tanah mempunyai kedalaman efektif 50-25 cm – Tanah agak dangkal (k1) : tanah mempunyai kedalaman efektif 90-50 cm – Tanah dalam (k0) : tanah mempunyai kedalaman efektif > 90 cm – Kedalaman tanah efektif adalah kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman, yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman seperti padas keras, padas liat, padas rapuh atau lapisan phlintite (Arsyad, 1989)
132 Lampiran 2. Nilai Faktor Kedalaman Berbagai Jenis Tanah (Sub Order USDA) No. Kategori Sub Order 1 Aqualfs 2 Udalfs 3 Ustalfs 4 Aquents 5 Arentss 6 Fluvents 7 Orthents 8 Psamments 9 Adepts 10 Aquepts 11 Tropepts 12 Albolls 13 Aqualls 14 Rendolls 15 Udolls 16 Ustolls 17 Aqoux 18 Hamox 19 Orthox 20 Ustox 21 Aquods 22 Ferrods 23 Hummods 24 Orthods 25 Aquults 26 Hummults 27 Udults 28 Ustults 29 Uderts 30 Usterts Sumber : Hammer, 1981
Nilai Faktor Kedalaman 0.9 0.9 0.9 0.9 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0 0.95 1.0 0.75 0.9 0.9 1.0 1.0 0.9 1.0 0.9 0.9 0.9 0.95 1.0 0.95 0.8 1.0 0.8 0.8 1.0 1.0
133 Lampiran 3. Kedalaman Tanah Minimum dan Nilai Faktor Penggunaan Lahan Berbagai Jenis Tanaman/Penggunaan Lahan (Hammer, 1981) No.
Jenis Tanaman/Penggunaan Lahan
Faktor C
(1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 (1) 28 29 30 31 32 33 34 35 36
(2) Padi sawah dengan pemindahan tanaman Padi gogo Padi sawah, langsung tanam biji Sorgum Kentang Ubi jalar Ubi kayu Yams Talas Kacang hijau, Mung bean Tebu rakyat Tebu perkebunan Kacang tanah Kedelai Kapas Tembakau rakyat Tembakau perkebunan Cabe Penggembalaan (padang rumput) Pisang Nenas Jambu mete Kopi rakyat Kopi perkebunan Kakao rakyat Kakao perkebunan Teh rakyat (2) Teh perkebunan Kelapa Kelapa sawit (rakyat) Kelapa sawit (perkebunan) Cengkeh Kapuk Karet Kina Padi sawah + ubi kayu ditanam dalam batas usahatani
(3) 0.01 0.56 0.01 0.24 0.45 0.40 0.65 0.70 0.70 0.35 0.30 0.20 0.45 0.40 0.85 0.16 0.16 0.80 0.01 0.99 0.40 0.50 0.60 0.60 0.80 0.80 0.35 (3) 0.35 0.70 0.55 0.55 0.50 0.70 0.85 0.90
Kedalaman Tanah Minimum (cm) (4) 20 20 20 20 20 20 20 25 25 15 30 30 15 15 35 99 99 99 15 35 99 99 30 30 60 60 40 (4) 40 40 30 30 99 99 50 99
0.01
30
134 Lampiran 3. Lanjutan (1) 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
(2) Padi gogo + jagung Jagung + ubi jalar Jagung + kacang-kacangan Jagung + kacang tanah Jagung + kedelai Jagung + ubi kayu Padi gogo + ubi kayu Kacang tanah + ubi kayu Kedelai + ubi kayu Padi gogo + kacang-kacangan Padi gogo + kacang tanah Padi gogo + kedelai
(3) 0.50 0.45 0.45 0.35 0.45 0.55 0.50 0.20 0.18 0.45 0.45 0.42
(4) 20 20 20 20 20 30 30 30 30 20 20 20
Lampiran 4. Klasifikasi Nilai Kepekaan Erosi Tanah Nilai K
Kelas Kepekaan Erosi
0.00 – 0.10 0.11 – 0.20 0.21 – 0.32 0.33 – 0.43 0.44 – 0.55 0.56 – 0.64
1 (sangat rendah) 2 (rendah) 3 (sedang) 4 (agak tinggi) 5 (tinggi) 6 (sangat tinggi)
Sumber :Dangler dan El-Swaify (1976, dalam Kurnia dan Suwardjo, 1984
Lampiran 5. Kelas dan Kode Struktur Tanah Kelas struktur tanah (ukuran diameter) Granuler sangat halus (<1 mm) Granuler halus (1-2 mm) Granuler sedang sampai kasar (2-10 mm) Berbentuk blok, blocky, plat, masif
Kode struktur 1 2 3 4
Sumber : Arsyad, 1989
Lampiran 6. Kelas dan Kode Permeabilitas Profil Tanah Kelas Permeabilitas Sangat lambat Lambat Lambat – Sedang Sedang Sedang – Cepat Cepat Sumber : Arsyad, 1989
Kecepatan (cm/jam) < 0.5 0.5 – 2.0 2.0 – 6.3 6.3 – 12.7 12.7 – 25.4 >25.4
Kode Permeabilitas 6 5 4 3 2 1
135 Lampiran 7. Nilai Faktor C dari Berbagai Tanaman dan Pengelolaan atau Tipe Penggunaan Lahan No. (1) 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
20
21 22 23
Jenis tanaman dan pengelolaannya/tipe penggunaan lahan (2) Tanah bera tanpa tanaman diolah Sawah beririgasi Sawah tadah hujan Tegalan, tanaman tidak spesifik Rumput Srachiaria Tahun pertaman Tahun kedua Tahun seterusnya Ubi kayu Ubi kayu Jagung Jagung Padi gogo, tegaian, lahan kering Padi gogo Kacang-kacangan, tidak spesifik Kacang jogo Kacang tanah Kedelai Sorgum Sereh wangi (Citronella) Kentang Tebu Pisang (jarang, sebagai monokultur) Talas Kebun campuran, tajuk bertingkat, penutup tanah bervariasi : Kerapatan tinggi Ubi kayu/kedelai Kerapatan sedang Kerapatan rendah Cayamus sp, kacang tanah Tanah perkebunan dengan tanaman penutup tanah (permanen) : Kerapatan tinggi Kerapatan sedang Reboisasi dengan penutup tanah, tahun pertama Kopi dengan penutup tanah Tanaman bumbu (cabe, jahe)
Nilai Faktor C (3) 1.0 0.01 0.05 0.7 0.3 0.02 0.002 0.365 0.7 0.7 0.637 0.5 0.565 0.6 0.161 0.452 0.399 0.242 0.434 0.4 0.2 0.6 0.85
Sumber (4) 1 1 2 1 1 1
2 2 2 2 1 1 2 1 2 1 2 2 2 2
1 2 1 1 1 1
0.452 0.1 0.2 0.3 0.5
2 1 2 1 2
0.1 0.5 0.3
1 1 1
0.2 0.9
1 1
136 Lampiran 7. Lanjutan 1 2 24 Perladangan berpindah 25 Hutan hutan alami (primer) berkembang baik : Seresah tinggi Seresah sedang 26 Hutan produksi Tebang habis Tebang pilih 27 Kebun produksi (penutup tanah jelek) : Karet Teh Kelapa sawit Kelapa 28 Kolam ikan 29 Lahan, krisis, tanpa vegetasi 30 Semak, belukar 31 Sorgum – sorgum (terus menerus) 32 Padi gogo – jagung (dalam rotasi) 33 Pagi gogo – jagung (rotasi) + mulsa jagung 34 Padi gogo – jagung (rotasi) + mulsa jerami 2 ton/ha dan 10-20 ton pupuk kandang 35 Pagi gogo tumpangsari jagung + ubi kayu dirotasikan dengan kedelai atau kacang tanah 36 Jagung dan kacang tanah, sisa tanaman jadi mulsa 37 Alang-alang permanen 38 Alang-alang dibakar satu kali 39 Semak, lamtoro 40 Albisia, dengan semak campuran 41 Albisia tanpa tanaman bawah 42 Kentang ditanam mengikuti arah lereng 43 Kentang, penanaman mengikuti kontur 44 Bawang, penanaman dalam kontur 45 Pohon tanpa semak 46 Ubi kayu, tumpangsari dengan kedelai 47 Ubi kayu, tumpangsari dengan kacang tanah 48 Ubi kayu + sorgum (tumpangsari) 49 Padi gogo + sorgum (tumpangsari) 50 Kacang tanah + kacang gude (tumpang sari) 51 Kacang tanah + kacang tunggak (tumpangsari) 52 Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha 53 Kacang tanah + mulsa batang jagung 4 ton/ha 54 Kacang tanah, mulsa crotalaria 3 ton/ha
3 0.4 0.001 0.005
4 1 1,2 1
0.5 0.2
1 1
0.8 0.5 0.5 0.5 0.001 0.95 0.3 0.341 0.209 0.083 0.030
1 1 1 1 1 1 1 3 3 3
0.421 0.014
3 3 3
0.021 0.02 0.51 0.012 1.0 1.0 0.35 0.08 0.32 0.181 0.195 0.345 0.417 0.495 0.571
3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2
0.049 0.196 0.128
2 2 2
137 Lampiran 7. Lanjutan (1) 55 56 57 58
(2) Kacang tanah, mulsa kacang tunggak Kacang tanah, mulsa jerami padi Padi gogo, mulsa crotalaria 3 ton/ha Padi gogo + jagung + ubi kayu, mulsa jerami 6 ton/ha, setelah padi ditanami kacang tanah Padi gogo – kacang tanah – jagung, dalam rotasi, dengan sisa tanaman jadi mulsa Padi gogo – jagung – kacang tanah, dalam rotasi Padi gogo + jagung + kacang tanah (tumpangsari) dengan mulsa sisa tanaman Padi gogo + jagung + kacang tanah (tumpangsari)
59 60 61 62
Keterangan :
(3) 0.259 0.377 0.387
(4) 2 2 2
0.079
2
0.347
2
0.496
2
0.357
2
0.588
2
1. Hammer, 1981, dalam Sinukaban, 1989 2. Adimihardja, Abujamin dan Kurnia, 1984, dalam Sinukaban, 1989 3. pusat Penelitian Tanah, 1973 – 1981, dalam Sinukaban, 1989
Lampiran 8. Nilai Faktor P Beberapa Tindakan Konservasi dan Gabungannya dengan Pengelolaan Tanaman (CP) No. 1
2 3
4 5
6
Tindakan Konservasi dan Pengelolaan Tanaman Teras bangku Teras bangku : Konstruksi baik Konstruksi sedang Konstruksi buruk Teras tradisional Teras koluvial ditanami strip rumput atau bambu atau rumput permanen seperti rumput bahia : Disain baik, tahun pertama Disain buruk, tahun pertama Rorak (split pits) Mulsa penahan air : Seresah atau jerami 6 ton/ha/tahun Seresah atau jerami 3 ton/ha/tahun Seresah atau jerami 1 ton/ha/tahun Penanaman menurut konter : Pada lereng, 0-8 % Pada lereng 1-20 % Pada lereng >20 %
Nilai P dan CP 0.037
Sumber
0.04 0.15 0.35 0.35
1 1 1 1
0.04 0.40
1 1
0.5
1
0.3 0.5 0.8
1 1 1
0.5 0.75 0.90
1 1 1
2
138 Lampiran 8. Lanjutan 7
Teras bangku ditanami kacang tanah – kacang tanah
8
Teras bangku ditanami jagung + mulsa jerami 4 ton/ha Teras bangku ditanami sorgum – sorgum Teras bangku ditanami jagung Penanaman strip rumput bahia (1 thn) dalam tanaman kedelai Penanaman strip crotalaria dalam penanaman padi gogo Penanaman strip crotalaria dalam kedelai Penanaman strip crotalaria dalam kacang tanah Penanaman strip kacang tanah dalam pertanaman jagung, menggunakan sisa tanaman sebagai mulsa Teras guludan dengan rumput penguat Teras guludan ditanami padi gogo dan jagung dalam rotasi Teras guludan pada pertanaman sorgum – sorgum Teras guludan pada pertanaman ubi kayu Teras guludan pada tanaman jagung – kacang tanah – dalam rotasi, menggunakan mulsa sisa tanaman Teras guludan, pada kacang tanah – kedelai dalam rotasi Teras guludan, padi gogo – jagung – kacang tunggak dalam rotasi dengan 2 ton/ha kapur Teras bangku, ditanami jagung – ubi kayu/kedelai dalam rotasi Teras bangku ditanami sorgum – sorgum Teras bangku, kacang tanah – kacang tanah Teras bangku tanpa tanaman Penanaman strip crotalaria dalam sorgum – sorgum Penanaman strip crotalaria dalam kacang tanah – ubi kayu Penanaman strip crotalaria dalam penanaman padi gogo – ubi kayu Penanaman strip rumput dalam padi gogo
9 10 11 12 13 14 15
16 17 18 19 20
21 22
23 24 25 26 27 28 29 30
0.009
2
0.006
2
0.012 0.048
2 2
0.02
2
0.340
2
0.111
2
0.389
2
0.05
3
0.50 0.015
3 3
0.041
3
0.063
3
0.006
3
0.105
3
0.012
3
0.056
3
0.024 0.009 0.039
3 3 3
0.264
3
0.405
3
0.193 0.841
3 3
Keterangan : 1. Hammer, 1981, dalam Sinukaban, 1989 2. Adimihardja, Abujamin dan Kurnia, 1984, dalam Sinukaban, 1989 3. pusat Penelitian Tanah, 1973 – 1981, dalam Sinukaban, 1989
139 Lampiran 9. Luas dan Jenis Penggunaan setiap unit lahan di DAS Wanggu Ds Tahun 1992, 1995, 2000, 2005 dan 2010 No.
JPL
1
2
No. Unit Lahan
Th.1992 Luas Lahan (ha)
Th.1995 Luas lahan (ha)
Th 2000 Luas lahan (ha)
Th.2005 Luas lahan (ha)
Th. 2010 Luas lahan (ha)
3
4
5
6
7
9
1
Pm
1a-d
458.5
656.8
857.6
938.5
938.5
2
Pm
2a-m
756.9
1120.2
1697.3
1770.7
1,799.4
3
Pm
3a-c
36.8
45.4
59.8
62.8
64.6
4
T/S
4a-b
65.4
89.6
113.8
120.5
124.5
5
S.B.I
5a-d
1392.9
1144.8
221.4
470
437.0
6
S.B.I
6a-p
2613.4
2306.68
1509.1
944.2
2,025.2
7
Pm
7a-c
29.2
32.1
53.8
56.5
58.2
8
H
8a-f
1016.5
1004.6
1504.6
895.8
830.5
9
H
9a-k
2010.3
2010.3
2510.3
1619.9
1,385.7
10
H
10a-p
3702.5
3202.5
3702.5
2819.2
2,709.2
11
H
11a-k
4484.4
4084.4
4484.4
2927.7
2,533.7
12
KC
12a-e
137.79
196.5
196.8
1478.1
353.0
13
Pm
13a-d
215.95
256.83
375.6
394.6
406.0
14
Pm
14a
42.3
52.5
67.5
70.9
73.0
15
S.B.I
15a-b
1653.2
804.5
39.8
251.7
78.8
16
S.B.I
16a-f
2173.2
1324.1
546.1
805.5
961.1
17
KC
17a-f
82.7
138.9
360.5
458.7
517.6
18
Pm
18a-b
38.6
45.75
58.3
61.3
63.0
19
KC
19a-c
132.7
260.1
170.1
363.5
239.5
20
Pm
20a
15.4
18.10
22.6
23.7
24.4
21
H
21a-c
267.2
167.2
267.2
155
87.6
22
H
22a-f
404.6
584.6
584.6
339.1
191.7
23
S.B.I
23a-b
949.6
826
201.7
399.6
278.3
24
Pm
24a-b
10.7
18.5
27.3
30.1
31.7
25
Pm
25a
5.6
7.45
10.5
11.6
12.2
26
KC
26a-d
80.2
86.13
112.1
140.7
157.8
27
Pm
27a-d
28.7
34.2
40.5
42.6
43.8
28
KC
28a-b
68.8
97.9
97.9
125.2
141.6
29
Pm
29a
298.4
482.8
794
834.2
858.3
30
S.B.I
30a
799.8
442.5
60.9
150.4
84.0
31
S.B.I
31a-b
745.8
500.9
54.8
196.9
162.2
32
KC
32a
5.7
15.8
19.4
24.3
27.3
33
KC
33a-f
150.3
250.1
261.7
328.4
368.5
34
KC
34a-p
3020.2
3685.6
3751.1
4707.6
5,281.5
35
Pm
35a-h
354.6
485.65
681.3
715.7
736.3
140 Tabel Lampiran 9. Lanjutan 36
KC
36a-d
517.8
653.1
873.9
1096.7
1,230.5
37
Pm
37a
7.05
10.6
16.2
17
17.5
38
S.B.I
38a-b
1097.4
609.8
89.4
223.1
123.4
39
H
39a-d
296.5
544.5
536.5
350.8
239.3
40 41 42
H S.B.I KC
40a-d 41a-b 42a-b
397.3 995.9 284.1
292.1 714.4 545.24
582.1 26.4 438.2
187.6 217.2 504.4
190.9 91.6 544.1
43 44 45
H H H
43a-d 44a 45a-d
213.3 302.9 504.3
213.3 302.9 504.3
210.9 292.6 504.3
122.3 169.7 292.5
69.2 96.0 165.4
46 47 48
KC KC H
46a-b 47a-b 48a-b
102.9 9.3 165.1
148.11 19.55 165.1
213.9 48.4 165.1
268.4 66.9 95.8
301.2 78.0 54.2
49 50
H KC
49a-b 50a-b
525.2 13.7
525.2 28.85
522.7 71.4
303.2 98.7
171.4 115.1
51
LG
51a
295.8
295.8
295.8
295.8
295.8
52
H
52a-b
235.7
235.7
235.7
136.7
77.3
53 54 55 56
Tgl/KC S.B.I Pm KC
53a 54a-c 55a 56a
150.5 1211.5 102.9 1036.3
186.15 2211.5 148.46 2567.9
262.8 2206.5 211.8 2272.2
329.8 2399.6 233.2 2851.6
370.0 2,515.4 246.1 3,199.3
57 58
S.I/P Tg/S
57a-e 58a-b
23.8 68.8
782.25 491.05
1588.3 1250.9
1707.4 2795.8
1,778.9 3,722.7
59
H
59a-b
271.5
271.5
265.2
153.8
87.0
60
H
60a-d
2054.4
254.4
2044.4
449
565.7
61
KC
61a-d
412.6
1332.6
586.2
1406.9
825.4
62
H
62a
10.5
10.5
10.5
9.2
8.1
63
H
63a-b
294.9
294.9
296.9
213.8
163.9
64
H
64a
119.7
119.7
116.5
83.9
64.3
65
H
65a-b
436.9
436.9
436.9
253.4
143.3
66
H
66a-b
432.5
932.5
932.5
446.4
514.7
67 68
H Tg/S
67a 68a-c
77.6 19.9
77.6 33.15
77.6 86.2
66.7 141.8
60.2 175.2
69 70 71 72 73 74 75 76
H KC KC Pm S.I S.I S.I KC
69a-c 70a 71a-b 72a 73a 74a 75a 76a-c
182.6 50.4 145.5 19.3 1101.8 1299.4 1481.5 136.1
182.6 70.8 185.5 25.2 530.1 570.9 875.1 233.2
177.7 106 237.2 37.7 42.9 66.4 263.3 582.7
103.1 146.5 327.9 45.3 53.1 82.2 325.8 805.5
58.3 170.9 382.4 49.9 59.2 91.6 363.4 939.3
77 78 79
Pm KC Pm ∑
77a-b 78a-b 79a-b
138.4 143.2 37.5 45377.3
198.6 170.9 42.7 45377.3
301.6 225.1 50.9 45377.3
393.2 311.2 59.2 45377.3
448.2 362.9 64.2 45,377.3
Keteragan: JPL = Jenis penggunaan lahan, KC = kebun campuran (T1), H= hutan (T5), Pm = pemukiman (T4), S.B.I = semaka belukar Ilalang (T2), Tg/S= tegalan/sawah (T3), T = tambak dan berlaku untuk tabel selanjutnya.
141 Tabel Lampiran 10. Rataan Berat Volume, total pori, dan kadar air tanah (KAT) setiap penggunaan masing-masing unit lahan di DAS Wanggu tahun 2010 Kode Unit Lahan 2 1a-d 2a-m 3a-c 4a-b 5a-d 6a-p 7a-c 8a-f 9a-k 10a-p 11a-k 12a-e 13a-d 14a 15a-b 16a-f 17a-f 18a-b 19a-c 20a 21a-c 22a-f 23a-b 24a-b 25a 26a-d 27a-d 28a-b 29a 30a 31a-b 32a 33a-f 34a-p 35a-h 36a-d 37a 38a-b 39a-d 40a-d 41a-b 42a-b 43a-d 44a 45a-d 46a-b 47a-b 48a-b
Lereng (%)
Tekstur Tanah
3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 8-15 15-25 › 40 25-40 8-15 8-15 15-25 15-25 8-15 8-15 8-15 25-40 25-40 8-15 25-40 25-40 3-5 15-25 3-5 15-25 15-25 0-3 8 -15 5-8 5-8 0-3 0-3 3-5 3-5 5-8 0-3 0-3 3-5 5–8 5-8 5-8 3–8 8 – 15 8 – 15 15-25 15-25
4 P.blp P.blp L.bp L.bp L.bp L.bd L.lt bp L.bd L.lt bp P.blp L.lt bd L.lt bp P.blp L.lt bd P.blp L.bp L.lt bp L.bp L.bp L.bp L.bp P.blp L.bp P.blp L.bp P.blp P.blp P.blp L.bdb P.blp L.bp L.bp L.bp P.blp P.blp L.bp P.blp L.bp L.bd L.bp L.lt bd P.blp L.bp P.blp L.bd L.bd P.blp P.blp
RBV.tanah 0 – 60 cm (gr/cm3) 5 1.60 1.67 1.66 1.29 1.56 1.51 1.65 1.15 1.37 1.67 1.25 1.43 1.75 1.78 1.60 1.49 1.53 1.68 1.52 1.81 1.29 1.59 1.45 1.69 1.62 1.60 1.73 1.64 1.71 1.74 1.31 1.44 1.44 1.60 1.71 1.46 1.67 1.47 1.26 1.51 1.34 1.50 1.45 1.52 1.43 1.63 1.69 1.64
Erodibilitas tanah (K)
6 41.496 41.529 32.657 35.789 35.902 73.225 23.805 73.094 23.782 41.514 45.160 27.043 41.522 20.575 41.492 35.895 23.788 35.921 35.845 32.686 35.789 41.486 32.669 41.522 32.675 44.670 41.522 41.475 73.185 44.706 35.859 35.854 35.864 44.688 41.522 35.866 41.527 35.907 72.972 35.814 45.247 44.679 35.794 44.613 72.986 73.084 44.706 44.657
Total Pori (% vol) 7 39.62 36.98 37.36 51.32 41.13 43.02 37.74 54.60 48.30 44.53 52.83 46.04 33.96 32.83 39.62 43.77 42.26 36.60 42.64 31.70 51.32 41.13 45.28 36.23 38.87 39.62 34.72 38.11 35.47 34.34 50.57 45.66 45.66 42.26 35.47 44.91 36.98 44.53 52.45 43.02 49.43 43.40 45.28 42.64 46.04 38.49 36.23 38.11
Bahan organik tanah 8 2,54 1,29 2,31 4,82 2,42 2,31 2,44 3,61 3,21 2,24 4,72 2,82 1,12 1,05 2,61 2,56 3,01 2,01 3,62 1,68 4,82 2,72 2,04 2,12 1,92 3,81 2,12 2,89 2,71 3,21 3,32 3,42 3,21 3,82 2,12 3,18 2,02 2,31 4,82 4,28 3,62 3,67 4,71 4,77 4,68 3,71 3,52 4,03
Peng. Lhn
Luas (ha)
9 Pm Pm Pm T S.I S.I P H H H H KC Pm Pm S.I S.I KC Pm KC Pm H H S.I Pm Pm KC Pm KC Pm S.I S.I KC KC KC Pm KC Pm S.I H H S.I KC H H H KC KC H
10 927.1 1,834.8 64.6 124.5 433.0 2,025.2 58.2 830.5 1,385.7 2,709.2 2,533.7 346.8 406.0 73.0 78.8 961.1 507.6 63.0 239.5 24.4 87.6 191.7 278.3 31.7 12.2 157.8 43.8 137.8 858.3 84.0 162.2 27.3 368.5 5,281.5 736.3 1,230.5 17.5 123.4 239.3 190.9 91.6 544.1 69.2 96.0 165.4 301.2 78.0 54.2
142 2 49a-b 50a-b 51a 52a-b 53a 54a-c 55a 56a 57a-e 58a-b 59a-b 60a-d 61a-d 62a 63a-b 64a 65a-b 66a-b 67a 68a-c 69a-c 70a 71a-b 72a 73a 74a 75a 76a-c 77a-b 78a-b 79a-b
3 5–8 0-3 0-3 15-25 8-15 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 3-5 0-3 0-3 › 40 15-25 15-25 › 40 15-25 › 40 0-3 5-8 25-40 0-3 0-3 0-3 3-5 3-5 3-5 3-5 5-5 5-8
4 L.bp L.bp L.lt bd L.bp L.bp P.blp L.lt bd L.bd L.bd L.lt bp P.blp L.bp L.lt bp P.blp L.lt bd L.blt L.bd L.lt bp L.lt bp L.lt bp L.lt bp L.bp L.bp L.bp L.bp L.bp L.lt bp L.bd L.bd L.lt bp L.bd
5 6 7 8 9 10 1.33 35.796 49.81 4,67 H 171.4 1.55 35.836 41.51 3,82 KC 115.1 1.43 45.245 46.04 3,21 LG 295.8 1.45 35.841 45.28 3,71 H 77.3 1.53 35.847 38.49 3,58 KC 370.0 1.58 44.604 40.38 4,92 H 2,515.4 1.43 45.336 46.04 2,02 Pm 246.1 1.35 73.067 49.06 3,88 KC 3,199.3 1.34 73.255 49.43 2,01 S/T 1,778.9 1.24 23.782 53.21 3,22 S 3,722.7 1.61 44.658 39.25 4,01 H 87.0 1.34 35.812 49.43 4,32 H 565.7 1.47 23.788 44.53 3,91 KC 825.4 1.55 41.474 41.51 2,92 H 8.1 1.34 45.227 49.43 3,97 H 163.9 1.23 34.372 53.20 4,62 H 64.3 1.35 73.033 49.06 4,21 H 143.3 1.34 23.742 49.43 4,57 H 514.7 1.44 23.777 45.66 3,38 H 60.2 1.21 23.736 53.11 4,78 S/T 175.2 1.35 23.734 49.06 4,82 H 58.3 1.42 35.840 46.42 3,72 KC 170.9 1.59 35.840 40.00 3,72 KC 382.4 1.58 35.919 40.38 2,04 Pm 49.9 1.40 35.843 47.17 3,66 S.I 59.2 1.67 35.845 36.98 3,62 S.I 91.6 1.57 23.767 40.75 3,71 S.I 363.4 1.31 73.101 50.57 3,54 KC 939.3 1.59 69.994 40.00 2,12 Pm 448.2 1.25 23.759 52.83 4,00 KC 362.9 1.58 73.233 40.38 2,23 Pm 64.2 Jumlah 45.377,3 Keterangan : bd = berdebu, blp = berlempung, blt = berliat, bp = berpasir, H = hutan, L = lempung, lt = liat, P = pasir, S = sawah, T = tambak, KC = kebun campuran, Pm = pemukiman, RBP = Rerataan berat padatan, RBV = Rerataan berat volume, S.I = Semak, ilalang,
143 Tabel Lampiran 11. Hasil pengukuran beberapa parameter fisik lahan di DAS Wanggu DS tahun 2010 Unit Laha n 1 1a-d
Tekstur (t)
PP (p)
2 P.blp
3 7,2
2a-m
P.blp
3a-c
KE (k)
Lereng (l)
Drainase (d)
Erosi (e)
Batuan (b)
Banjir (g)
JPL
4 600
5 2
6 Baik
7 Sedang
8 Tdk ada
9 Tdk ada
10 P
7,3
600
1
Baik
Sedang
Tdk ada
Tdk ada
P
L.bp
6,3
550
2
Baik
Sedang
Tdk ada
Tdk ada
P
4a-b
L.bp
6,5
1200
1
Baik
Sedang
Tdk ada
Kadang
Tb
5a-d
L.bp
6,3
550
3
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
SI
6a-p
L.bd
4,6
550
2
Agkburuk
Tdk ada
Tdk ada
Kadang
SI
7a-c
L.ltbp
3,5
600
2
Buruk
Ringan
Tdk ada
Sering
P
8a-f
L.bd
4,8
1500
12
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
9a-k
L.ltbp
3,8
1200
20
Agk baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
10a-p
P.blp
8,2
1200
50
Baik
Ringan
Batu lps
Tdk ada
H
11a-k
L.ltbd
0,4
1200
35
Agk baik
Tdk ada
Batu lps
Tdk ada
H
12a-e
L.ltbp
4,0
1500
12
Agk baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
KC
13a-d
P.blp
8,2
1200
22
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
P
14a
L.ltbd
3,2
700
22
Agk baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
P
15a-b
P.blp
8,2
450
21
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
SI
16a-f
L.bp
5,0
500
11
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
SI
17a-f
L.ltbp
6,1
1500
9
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
KC
18a-b
L.bp
6,3
650
11
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
P
19a-c
L.bp
6,0
1200
35
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
KC
20a
L.bp
6,1
900
35
Baik
Sedang
Tdk ada
Tdk ada
P
21a-c
L.bp
6,3
1500
12
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
22a-f
P.blp
8,7
1200
35
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
23a-b
L.bp
6,5
450
35
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
SI
24a-b
P.blp
7,2
800
5
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
P
25a
L.bp
6,6
1000
22
Baik
Sedang
Tdk ada
Tdk ada
P
26a-d
P.blp
8,2
1500
5
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
KC
27a-d
P.blp
8,0
900
22
Baik
Sedang
Tdk ada
Tdk ada
P
28a-b
P.blp
8,2
1200
22
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
KC
29a
L.bd
4,5
1000
1
Agk baik
Ringan
Tdk ada
Sering
P
30a
P.blp
7,2
550
12
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
SI
31a-b
L.bp
6,8
800
5
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
SI
32a
L.bp
7,2
1300
5
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
KC
33a-f
L.bp
7,5
1600
2
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Kadang
KC
144 Tabel Lampiran 11. Lanjutan 1
2
3
4
5
6
7
34a-p
P.blp
8,0
1600
2
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Kadang
KC
35a-h
P.blp
8,0
900
4
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
P
36a-d
L.bp
7,3
1500
4
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
KC
37a
P.blp
7,9
880
8
Baik
Sedang
Tdk ada
Tdk ada
P
38a-b
L.bp
7,0
1200
1
Baik
Ringan
Tdk ada
Kadang
SI
39a-d
L.bd
5,2
1600
1
Agk baik
Tdk ada
Tdk ada
Kadang
H
40a-d
L.bp
7,2
1500
5
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
41a-b
L.ltbd
0,5
550
8
Buruk
Ringan
Tdk ada
Sering
SI
42a-b
P.blp
8,5
1500
8
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
KC
43a-d
L.bp
7,5
1500
5
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
44a
P.blp
8,5
1500
5
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
45a-d
L.bd
4,0
1400
12
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
46a-b
L.bd
4,2
1400
13
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
KC
47a-b
P.blp
8,5
1000
22
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
KC
48a-b
P.blp
8,6
1200
22
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
49a-b
L.bp
7,2
1400
8
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
50a-b
L.bp
6,8
1500
1
Baik
51a
L.ltbd
0,5
1500
1
Buruk
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
LG
52a-b
L.bp
7,3
1200
22
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
53a
L.bp
7,5
1400
13
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
KC
54a-c
P.blp
8,5
1600
2
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
55a
L.ltbd
0,4
1200
2
Buruk
Ringan
Tdk ada
Kadang
P
56a
L.bd
4,0
1600
1
Agk baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
KC
57a-e
L.bd
4,2
1500
2
Agk baik
Ringan
Tdk ada
Sering
S/T
58a-b
L.ltbp
3,2
1500
2
Buruk
Ringan
Tdk ada
Sering
S
59a-b
P.blp
8,8
1500
5
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
60a-d
L.bp
7,5
1500
1
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Kadang
H
61a-d
L.ltbp
3,5
1600
1
Buruk
Tdk ada
Tdk ada
Kadang
KC
62a
P.blp
8,5
900
55
Agk baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
H
63a-b
L.ltbd
0,4
1200
22
Agk baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
64a
L.blt
2,8
1200
22
Agk baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
65a-b
L.bd
5,5
1000
55
Baik
Tdk ada
Batu lps
Tdk ada
H
66a-b
L.ltbp
4,5
1200
22
Agk baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
H
67a
L.ltbp
4,2
900
50
Agk baik
Tdk ada
Batu lps
Tdk ada
H
68a-c
L.ltbp
4,0
1500
2
Buruk
Sedang
Tdk ada
Kadang
S/T
Tdk ada
8
Tdk ada
9
Tdk ada
10
KC
145 Tabel Lampiran 11. Lanjutan 1 69a-c
2 L.ltbp
3 4,0
4 1400
5 8
6 Agk baik
7 Tdk ada
8 Tdk ada
9 Tdk ada
10 H
70a
L.bp
7,6
1100
35
Baik
Sedang
Tdk ada
Tdk ada
KC
71a-b
L.bp
7,4
1600
2
Baik
Tdk ada
Tdk ada
Tdk ada
KC
72a
L.bp
7,5
1500
2
Baik
Sedang
Tdk ada
Tdk ada
P
73a
L.bp
7,5
1200
2
Agk buruk
Ringan
Tdk ada
Kadang
S.I
74a
L.bp
7,2
600
4
Agk buruk
Ringan
Tdk ada
Kadang
S.I
75a
L.ltbp
3,5
600
5
Buruk
Ringan
Tdk ada
Kadang
S.I
76a-c
L.bd
5,0
1400
5
Baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
KC
77a-b
L.bd
4,8
700
5
Baik
Sedang
Tdk ada
Tdk ada
P
78a-b
L.ltbp
4,2
1200
8
Agk baik
Ringan
Tdk ada
Tdk ada
KC
79a-b
L.bd
5,0
900
8
Baik
Sedang
Tdk ada
Tdk ada
P
Keterangan: JPL = jenis penggunaan lahan, KUL = Kode unit lahan, KE = kedalaman efektif, PP = permeabilitas, Lbd = lempung berdebu, Lblt = lempung berliat, Lbp = lempung berbasir, Lltbd = lempung liat berdebu, Lltbp = lempung liat berpasir, Pblp = pasir berlempung. H = hutan, KC = kebun campuran, Pm = pemukiman, S/T = sawah/ tambak, SI = semak, ilalang.
146
Tabel Lampiran 12: Kharakteristik Tanah pada masing-masing unit lahan di DAS Wanggu DS tahun 2009/2010 KUL
1 1a-d 2a-m 3a-c 4a-b 5a-d 6a-p 7a-c 8a-f 9a-k 10a-p 11a-k 12a-e 13a-d 14a 15a-b 16a-f 17a-f 18a-b 19a-c 20a 21a-c 22a-f 23a-b 24a-b 25a 26a-d 27a-d 28a-b 29a 30a 31a-b 32a 33a-f 34a-p 35a-h 36a-d 37a 38a-b 39a-d 40a-d 41a-b 42a-b 43a-d 44a 45a-d 46a-b 47a-b 48a-b 49a-b 50a-b
Orde (USDA)
2 Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Fluvaquentic Eutr. Fluvaquentic Eutr. Typic Eutropepts Typic Hapsulstults
Typic Dystropepts Fluvaquentic Eutr Typic Hapsulstults
Typic Dystropepts Fluvaquentic Eutr. Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Hapsulstults
Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Eutropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Eutropepts Typic Dystropepts Fluvaquentic Eutr Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Eutropepts Typic Eutropepts Oxic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts
Struktur
Tekstur
Permeability
3 Weak crumb Weak cumb Weak angular block Weak angular block Weak angular block M.F.S.A blocky M.F.S.A blocky M.F.S.A blocky M.F.S.A blocky W.M.S.A blocky Struktur massive Struktur massive Weak crumb Struktur massive Weak crumb Struktur massive Struktur massive W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky M.F.S.A.blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky W.M.S.A blocky M.F.S.A.blocky W.M.S.A.blocky Struktur massive W.M.S.A.blocky M.F.S.A.blocky M.F.S.A.blocky M.F.S.A.blocky M.F.S.A.blocky Weak crumb Weak crumb W.M.S.A.blocky W.M.S.A.blocky
4 Loamy sandy Loamy sandy Sandy loam Sandy loam Sandy loam Silty loam Sandy clay loam Silty loam Sandy clay loam Loamy sandy Silty clay loam Sandy clay loam Loamy sandy Silty clay loam Loamy sandy Sandy loam Sandy clay loam Sandy loam Sandy loam Sandy loam Sandy loam Loamy sandy Sandy loam Loamy sandy Sandy loam Loamy sandy Loamy sandy Loamy sandy Silty loam Loamy sandy Sandy loam Sandy loam Sandy loam Loamy sandy Loamy sandy Sandy loam Loamy sandy Sandy loam Silty loam Sandy loam Silty clay loam Loamy sandy Sandy loam Loamy sandy Silty loam Silty loam Loamy sandy Loamy sandy Sandy loam Sandy loam
5 A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat Sedang Sedang Sedang Sedang A. cepat Lambat Sedang A. cepat Sedang A. cepat Sedang Sedang A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat Sedang A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat Sedang A. cepat Lambat A. cepat A. cepat A. cepat Sedang Sedang A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat
147 Tabel Lampiran 12. Lanjutan 1 51a 52a-b 53a 54a-c 55a 56a 57a-e 58a-b 59a-b 60a-d 61a-d 62a 63a-b 64a 65a-b 66a-b 67a 68a-c 69a-c 70a 71a-b 72a 73a 74a 75a 76a-c 77a-b 78a-b 79a-b
2 Typic Eutropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Eutropepts Fluvaquentic Eutr. Fluvaquentic Eutr. Typic Hapsulstults
Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Hapsulstults
Typic Dystropepts Typic Eutropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Vertic Tropaquepts Typic Tropaquepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts Typic Dystropepts
3 Struktur massive W.M.S.A.blocky W.M.S.A.blocky W.M.S.A.blocky Struktur massive M.F.S.A.blocky M.F.S.A.blocky Struktur massive Weak crumb Weak crumb Struktur massive Weak crumb Struktur massive Struktur massive Struktur massive Struktur massive Struktur massive Struktur massive Struktur massive W.M.S.A.blocky W.M.S.A.blocky W.M.S.A.blocky W.M.S.A.blocky W.M.S.A.blocky Struktur massive Struktur massive Struktur massive Struktur massive Struktur massive
4 Silty clay loam Sandy loam Sandy loam Loamy sandy Silty clay loam Silty loam Silty loam Sandy clay loam Loamy sandy Sandy loam Sandy clay loam Loamy sandy Silty clay loam Clay loam Silty loam Sandy clay loam Sandy clay loam Sandy clay loam Sandy clay loam Sandy loam Sandy loam Sandy loam Sandy loam Sandy loam Sandy clay loam Silty loam Silty loam Sandy clay loam Silty loam
5 Lambat A. cepat A. cepat A. cepat Lambat Sedang Sedang Sedang A. cepat A. cepat Sedang A. cepat Lambat Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat A. cepat Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
Typic Hapsulstults Typic Eutropepts Typic Eutropepts Typic Eutropepts Typic Eutropepts Keterangan : KKL = Kelas kemampuan lahan, KUL = Kode unit lahan, MFSA= Moderate fine sub angular blocky, WMSA = Weak medium sub angular blocky
148 Tabel Lampiran 13. Data Unit lahan, lereng, PIT, PER, RC dan penggunaan lahan (PL) di DAS Wanggu dengan CH-thn 2202.7 mm tahun 2010 No. 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 1
K. Unit Lahan 2 1a-d 2a-m 3a-c 4a-b 5a-d 6a-p 7a-c 8a-f 9a-k 10a-p 11a-k 12a-e 13a-d 14a 15a-b 16a-f 17a-f 18a-b 19a-c 20a 21a-c 22a-f 23a-b 24a-b 25a 26a-d 27a-d 28a-b 29a 30a 31a-b 32a 33a-f 34a-p 35a-h 36a-d 37a 38a-b 39a-d 40a-d 41a-b 42a-b 43a-d 44a 45a-d 46a-b 47a-b 48a-b 49a-b 2
Lereng (%) 3 0–3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 0-3 8-15 15-25 › 40 25-40 8-15 8-15 15-25 15-25 8-15 8-15 8-15 25-40 25-40 8-15 25-40 25-40 3-5 15-25 3-5 15-25 15-25 0-3 8 -15 5-8 5-8 0-3 0-3 3-5 3-5 5-8 0-3 0-3 3-5 5-8 5-8 5-8 3-8 8-15 8-15 15-25 15-25 5-8 3
P.L 4 Pm Pm Pm T S.I S.I Pm H H H H KC Pm Pm S.I S.I KC Pm KC Pm H H S.I Pm Pm KC Pm KC Pm S.I S.I KC KC KC Pm KC Pm S.I H H S. KC H H H KC KC H H 4
PIT (mm) 5 22.0 22.0 22.0 19.8 15.4 37.4 22.0 253.3 253.3 253.3 251.1 83.7 22.0 22.0 17.6 37.4 94.7 22.0 88.1 22.0 246.7 242.3 37.4 22.0 22.0 96.9 22.0 94.7 22.0 37.4 37.4 101.3 96.9 107.9 22.0 107.9 22.0 37.4 242.3 237.9 37.4 110.1 244.5 240.1 242.3 105.7 96.9 240.1 246.7 5
PER (%) 6
RC
35 37 40 10 65 68 45 85 83 86 84 65 35 38 68 65 63 41 63 35 75 79 63 41 43 62 41 63 42 62 63 61 60 62 41 60 39 62 76 78 61 59 75 77 75 58 60 82 80 6
7 0.30 0.30 0.35 0.53 0.50 0.50 0.35 0.60 0.60 0.60 0.55 0.53 0.35 0.35 0.59 0.59 0.53 0.48 0.59 0.48 0.59 0.59 0.48 0.35 0.35 0.59 0.35 0.59 0.53 0.59 0.48 0.59 0.48 0.48 0.48 0.43 0.53 0.59 0.59 0.59 0.53 0.59 0.59 0.59 0.59 0.43 0.43 0.45 0.59 7
Luas (ha) 11 927.1 1,834.8 64.6 124.5 433.0 2,025.2 58.2 830.5 1,385.7 2,709.2 2,533.7 346.8 406.0 73.0 78.8 961.1 507.6 63.0 239.5 24.4 87.6 191.7 278.3 31.7 12.2 157.8 43.8 137.8 858.3 84.0 162.2 27.3 368.5 5,281.5 736.3 1,230.5 17.5 123.4 239.3 190.9 91.6 544.1 69.2 96.0 165.4 301.2 78.0 54.2 171.4 11
149 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79
50a-b 51a 52a-b 53a 54a-c 55a 56a 57a-e 58a-b 59a-b 60a-d 61a-d 62a 63a-b 64a 65a-b 66a-b 67a 68a-c 69a-c 70a 71a-b 72a 73a 74a 75a 76a-c 77a-b 78a-b 79a-b
0-3 KC 101.3 58 0.43 115.1 0-3 LG 15.4 81 0.48 295.8 15-25 H 244.5 84 0.59 77.3 8-15 KC 103.5 57 0.45 370.0 0-3 H 244.5 83 0.59 2,515.4 0-3 Pm 22.0 36 0.48 246.1 0-3 KC 248.9 65 0.43 3,199.3 0-3 S/T 15.4 61 0.59 1,778.9 0-3 S 17.6 61 0.59 3,722.7 3-5 H 248.9 83 0.59 87.0 0-3 H 248.9 83 0.59 565.7 0-3 KC 110.1 65 0.48 825.4 › 40 H 248.9 86 0.45 8.1 15-25 H 242.3 86 0.33 163.9 15-25 H 242.3 88 0.33 64.3 › 40 H 240.1 90 0.45 143.3 15-25 H 240.1 87 0.43 514.7 › 40 H 246.7 90 0.45 60.2 0-3 S/T 17.6 65 0.42 175.2 5-8 H 244.5 83 0.59 58.3 25-40 KC 101.3 63 0.33 170.9 0-3 KC 101.3 63 0.59 382.4 0-3 Pm 22.0 38 0.48 49.9 0-3 S.I 15.4 60 0.59 59.2 3-5 S.I 15.4 63 0.59 91.6 3-5 S.I 15.4 61 0.59 363.4 3-5 KC 90.3 58 0.59 939.3 3-5 Pm 22.0 33 0.48 448.2 5-5 KC 101.3 61 0.45 362.9 5-8 Pm 22.0 31 0.48 64.2 Jumlah 45,377.3 Keterangan : H = hutan, L = lempung, P = pasir, S = sawah, T = tambak, KC = kebun campuran, Pm = pemukiman, R.BP = Rerataan bera padatan, R.BV = Rerataan berat volume, S.I = Semak, ilalang. * = A. kasar, CH-th = 2202.7 mm, CH-bl = 183.6 mm, PIT = intersepsi potensial, PER = persentase penutupan lahan, RC = koefisien kekas. Permukaan.
150 Tabel Lampiran 14. Tinggi Aliran Permukaan (RO) dan Coefisien aliran permukaan (CRO) pada Kisaran Curah Hujan Terhadap Penggunaan Lahan di DAS Wanggu-DS tahun 2009 Kisaran curah hujan (mm/hr) JPL /
< 21.9
21.9 - 36.0
lereng
36.1 - 50.2
50.3 - 64.4
> 64.4
∑ CRO
RO (mm/hr)
T1K1
93.4
41.2
62.5
63.9
44.9
306.0
0.16
T2K1
115.6
53.6
84.6
85.5
59.9
399.2
0.21
T3K1
146.1
69.3
114.2
111.0
73.3
514.0
0.27
T4K1
234.2
111.9
172.8
160.9
101.3
781.2
0.40
T5K1
70.1
31.7
48.4
48.0
30.4
228.5
0.12
Sub ∑
659.4
307.7
482.5
469.3
309.9
2,228.9
0.23
T1K2
115.3
44.3
69.9
72.4
49.5
351.4
0.18
T2K2
132.7
54.0
90.4
88.8
60.7
426.6
0.22
T3K2
159.5
69.6
172.2
148.6
92.2
642.1
0.33
T4K2
245.2
104.3
179.1
170.1
105.1
803.9
0.42
T5K2
91.2
37.1
58.0
55.5
34.3
276.1
0.14
Sub ∑
743.9
309.2
569.7
535.3
341.9
2,500.1
0.26
T1K3
152.2
58.1
86.8
84.5
54.9
436.5
0.23
T2K3
147.4
58.5
102.5
98.2
65.4
472.1
0.24
T3K3
198.7
80.1
173.8
150.8
92.8
696.1
0.36
T4K3
284.5
108.7
183.9
175.9
103.8
856.8
0.44
T5K3
100.7
40.4
62.1
58.9
36.0
298.1
0.15
Sub ∑
883.4
345.7
609.1
568.2
353.1
2,759.6
0.29
∑
2,286.7
962.7
1,661.4
1,572.9
1,004.8
7,488.5
0.26
Sumber : Hasil perhitungan dari pengamatan intensif plot pengamatan erosi tahun 2009/2010
151 Tabel Lampiran 15. Hasil pengukuran Kapasitas Lapang (FP), Laju Infiltrasi (Inf), permeabilitas profil tanah (PP), Kadar air tanah awal (ASM), Aliran Permukaan (RO) dan Coefisien Aliran Permukaan (CRO) di DAS Wanggu tahun 2010 No 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
Kode Unit
FP (KA)
Inf.
PP
ASM
RO
Lahan 2 1a-d 2a-m 3a-c 4a-b 5a-d 6a-p 7a-c 8a-f 9a-k 10a-p 11a-k 12a-e 13a-d 14a 15a-b 16a-f 17a-f 18a-b 19a-c 20a 21a-c 22a-f 23a-b 24a-b 25a 26a-d 27a-d 28a-b 29a 30a 31a-b 32a 33a-f 34a-p 35a-h 36a-d 37a 38a-b 39a-d 40a-d 41a-b 42a-b 43a-d 44a 45a-d 46a-b 47a-b
(%) 4 40.5 37.6 39.0 69.0 46.5 49.0 39.5 80.8 72.4 52.7 79.5 64.5 36.0 33.5 40.7 50.3 45.2 39.6 45.9 31.2 79.4 51.5 63.5 37.0 39.0 39.6 35.5 38.6 36.1 35.1 75.4 65.5 65.5 40.5 36.0 52.3 38.2 52.0 81.5 49.0 73.0 49.1 53.5 47.3 65.4 42.0 38.0
(cm/jam)
(cm/jam) 6 8.25 7.14 7.36 9.15 8.62 5.76 5.23 6.10 5.45 8.58 0.45 5.34 6.58 4.62 6.43 3.50 4.35 6.72 6.95 6.32 12.0 9.12 8.75 6.53 6.40 6.35 6.26 6.75 4.50 6.45 9.50 9.10 9.10 6.45 6.32 7.95 6.50 7.75 4.25 8.65 0.45 8.70 8.95 8.90 5.20 4.10 6.45
(%) 7 70.59 71.19 71.27 70.50 69.28 69.06 70.77 68.49 69.58 68.41 69.10 68.05 71.74 73.00 70.80 69.11 72.00 70.40 71.91 72.31 67.85 68.00 65.85 70.19 69.94 70.07 70.63 70.60 71.11 70.77 65.46 67.00 66.97 70.16 70.65 68.52 70.04 68.10 67.86 68.17 66.78 68.97 67.80 69.05 67.54 67.96 70.54
(mm/th)
5 3.25 3.28 4.83 6.00 5.75 4.35 4.68 4.18 4.68 6.00 0.62 4.35 4.92 4.27 5.92 5.60 4.02 5.83 5.92 6.00 5.83 6.17 5.92 6.08 6.00 6.25 6.33 6.17 4.35 6.17 5.83 5.92 5.75 6.25 6.00 5.75 6.08 5.83 4.77 5.92 0.53 5.75 5.83 6.00 3.35 3.77 5.78
8 927.9 927.9 927.9 895.3 850.6 831.3 927.9 638.0 638.0 657.3 638.0 773.3 966.6 1,005.3 850.6 831.3 869.9 966.6 773.3 1,005.3 618.6 618.6 850.6 1,005.3 1,024.6 811.9 966.6 773.3 927.9 811.9 811.9 773.3 773.3 773.3 966.6 831.3 1005.3 811.9 483.3 638.0 831.3 850.6 618.6 618.6 618.6 850.6 773.3
CRO 9 0.48 0.48 0.48 0.46 0.44 0.43 0.48 0.33 0.33 0.34 0.33 0.40 0.50 0.52 0.44 0.43 0.45 0.50 0.40 0.52 0.32 0.32 0.44 0.52 0.53 0.42 0.50 0.40 0.48 0.42 0.42 0.40 0.40 0.40 0.50 0.43 0.52 0.42 0.25 0.33 0.43 0.44 0.32 0.32 0.32 0.44 0.40
152 1 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79
2 48a-b 49a-b 50a-b 51a 52a-b 53a 54a-c 55a 56a 57a-e 58a-b 59a-b 60a-d 61a-d 62a 63a-b 64a 65a-b 66a-b 67a 68a-c 69a-c 70a 71a-b 72a 73a 74a 75a 76a-c 77a-b 78a-b 79a-b
4 39.5 72.1 45.3 65.3 53.0 47.0 41.1 65.0 74.5 75.3 85.5 41.5 72.0 62.2 47.0 74.5 85.2 72.0 74.3 64.0 85.0 74.5 57.0 50.4 39.5 66.1 39.0 47.2 76.5 40.2 82.4 41.0
5 6.25 5.92 5.83 0.62 5.75 5.92 6.08 0.53 4.35 4.52 4.77 6.25 5.83 4.60 6.17 0.38 4.35 4.52 4.77 4.85 4.77 4.68 5.92 5.75 5.83 5.75 5.92 4.35 3.10 4.52 4.27 3.93
6 6.35 7.75 6.90 0.40 7.15 6.80 6.65 0.45 4.55 4.70 5.50 6.30 7.15 5.28 6.45 0.40 6.20 5.60 5.75 5.45 6.10 5.75 6.50 6.35 6.55 9.10 6.26 5.85 6.20 4.25 6.20 4.45
7 71.28 71.45 66.97 70.76 68.01 73.32 70.54 71.00 66.11 67.02 66.85 67.92 71.03 67.30 70.33 70.99 69.33 67.96 67.53 69.34 70.34 68.12 69.08 68.50 70.75 70.42 66.70 71.23 71.82 70.97 68.05 70.66
8 618.6 618.6 773.3 773.3 657.3 773.3 618.6 966.6 734.6 869.9 869.9 618.6 618.6 773.3 580.0 580.0 580.0 638.0 174.0 580.0 908.6 174.0 638.0 657.3 1,043.9 831.3 831.3 850.6 696.0 1,043.9 696.0 1,043.9
Sumber : Hasil perhitungan pada 79 sampel tanah ditiap unit lahan di DAS Wanggu Ds Tahun 2010
9 0.32 0.32 0.40 0.40 0.34 0.40 0.32 0.50 0.38 0.45 0.45 0.32 0.32 0.40 0.30 0.30 0.30 0.33 0.09 0.30 0.47 0.09 0.33 0.34 0.54 0.43 0.43 0.44 0.36 0.54 0.36 0.54
153
Tabel Lampiran 16. Pengaruh dinamika luas penggunaan lahan terhadap aliran permukaan di DAS Wanggu DS Periode 1992 - 2005 dan 2010 Jenis Penggunaan Lahan
Tahun 1992
Th.1995
Th.2000
Th.2005
Th.2010
Luas (ha)
RO (mm/th)
Luas (ha)
RO (mm/th)
Luas ( ha)
RO (mm/th)
Luas ( ha)
RO (mm/th)
Luas (ha)
RO (mm/th)
Pemukiman
458.5
684.2
656.8
700.1
857.6
701.2
938.5
731.9
938.5
927.9
Pemukiman
756.9
684.3
1120.2
700.2
1697.3
701.5
1770.7
731.8
1,799.4
927.9
Pemukiman
36.8
684.5
45.4
700.4
59.8
702.4
62.8
737.7
64.6
927.9
Tegalan
65.4
626.4
89.6
657.7
113.8
662.9
120.5
720.4
124.5
895.3
S.B.I
1392.9
599.6
1144.8
599.6
221.4
680.5
470
678.5
437.0
850.6
S.B.I Pemukiman Hutan
2613.4 29.2 1016.5
593.4 681.8 304.2
2306.7 32.1 1004.6
593.4 697.7 300.6
1509.1 53.8 1504.6
656.5 692.6 450.3
944.2 56.5 895.8
655.9 727.3 454.7
2,025.2 58.2 830.5
831.3 927.9 638.0
Hutan
2010.3
327.6
2010.3
351.6
2510.3
439.0
1619.9
436.8
1,385.7
638.0
Hutan
3702.5
386.3
3202.5
390.6
3702.5
451.6
2819.2
455.2
2,709.2
657.3
Hutan
4484.4
385.8
4084.4
410.1
4484.4
450.2
2927.7
454.7
2,533.7
638.0
K.. Campuran
137.79
592.4
196.5
597.8
196.8
598.7
1478.1
592.4
353.0
773.3
Pemukiman
215.95
666.3
256.83
666.3
375.6
693.9
394.6
761.5
406.0
966.6
Pemukiman
42.3
698.4
52.5
698.4
67.5
695.0
70.9
793.6
73.0
1,005.3
S.B.I
1653.2
600.5
804.5
600.5
39.8
684.1
251.7
679.5
78.8
850.6
S.B.I
2173.2
592.9
1324.1
592.9
546.1
654.5
805.5
655.3
961.1
831.3
K.. Campuran
82.7
566.5
138.9
566.5
360.5
594.8
458.7
609.0
517.6
869.9
Pemukiman
38.6
664.7
45.75
664.7
58.3
687.8
61.3
759.6
63.0
966.6
K.. Campuran
132.7
473.6
260.1
498.1
170.1
607.0
363.5
607.0
239.5
773.3
Pemukiman
15.4
699.8
18.10
699.8
22.6
700.0
23.7
795.2
24.4
1,005.3
Hutan
267.2
272.4
167.2
272.4
267.2
436.7
155
435.9
87.6
618.6
154
Tabel Lampiran 16. Lanjutan Hutan
S.B.I Pemukiman Pemukiman K.. Campuran Pemukiman K.. Campuran Pemukiman
S.B.I S.B.I K.. Campuran K.. Campuran K.. Campuran Pemukiman K.. Campuran Pemukiman
S.B.I Hutan Hutan
S.B.I K.. Campuran Hutan Hutan Hutan
404.6 949.6 10.7 5.6 80.2 28.7 68.8 298.4 799.8 745.8 5.7 150.3 3020.2 354.6 517.8 7.05 1097.4 296.5 397.3 995.9 284.1 213.3 302.9 504.3
309.2 596.3 699.2 683.5 574.2 700.9 419.3 699.4 628.7 551.1 422.5 336.1 464.5 700.9 340.8 683.3 624.4 244.0 168.3 623.2 570.7 171.0 189.0 266.2
584.6 826 18.5 7.45 86.13 34.2 97.9 482.8 442.5 500.9 15.8 250.1 3685.6 485.7 653.1 10.6 609.8 544.5 292.1 714.4 545.24 213.3 302.9 504.3
366.9 627.7 699.2 683.5 574.2 700.9 485.5 699.4 628.7 551.1 422.5 559.3 566.8 700.9 429.9 699.2 624.4 397.4 225.3 623.2 570.7 248.7 283.4 325.1
584.6 201.7 27.3 10.5 112.1 40.5 97.9 794 60.9 54.8 19.4 261.7 3751.1 681.3 873.9 16.2 89.4 536.5 582.1 26.4 438.2 210.9 292.6 504.3
446.7 667.5 698.0 698.6 588.7 704.1 596.6 698.7 661.8 648.3 586.2 585.3 576.9 703.9 575.2 698.1 655.5 441.5 448.9 651.4 577.5 435.2 440.9 443.3
339.1 399.6 30.1 11.6 140.7 42.6 125.2 834.2 150.4 196.9 24.3 328.4 4707.6 715.7 1096.7 17 223.1 350.8 187.6 217.2 504.4 122.3 169.7 292.5
446.7 674.8 794.6 810.6 634.6 764.6 591.7 734.1 661.8 648.3 588.5 588.2 600.5 764.6 630.0 794.6 655.6 507.8 448.9 654.4 630.8 497.4 503.9 472.8
191.7 278.3 31.7 12.2 157.8 43.8 141.6 858.3 84.0 162.2 27.3 368.5 5,281.5 736.3 1,230.5 17.5 123.4 239.3 190.9 91.6 544.1 69.2 96.0 165.4
618.6 850.6 1,005.3 1,024.6 811.9 966.6 773.3 927.9 811.9 811.9 773.3 773.3 773.3 966.6 831.3 1,005.3 811.9 483.3 638.0 831.3 850.6 618.6 618.6 618.6
155
Tabel Lampiran 16. Lanjutan K.. Campuran
Tegalan/sawah Hutan Hutan K.. Campuran
Lpgn Golf Hutan
Tegalan Hutan
Tegalan Hutan Pemukiman
Tg Sawah/tegalan Sawah Hutan Hutan K.. Campuran Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan
102.9 9.3 165.1 525.2 13.7 295.8 235.7 150.5 1211.5 102.9 1036.3 23.8 68.8 271.5 2054.4 412.57 10.5 294.9 119.7 436.9 432.5 77.6 19.9 182.6
560.2 443.6 291.0 308.7 587.8 533.9 342.8 335.9 531.8 697.4 544.6 626.1 658.3 359.3 344.5 481.5 366.9 370.9 367.8 317.4 126.1 373.7 674.7 471.9
148.11 19.6 165.1 525.2 28.8 295.8 235.7 186.1 2211.5 148.5 2567.9 782.2 491.1 271.5 254.4 1332.6 10.5 294.9 119.7 436.9 932.5 77.6 33.2 182.6
574.2 443.6 355.7 370.4 235.9 533.9 342.8 415.5 344.1 697.4 544.6 657.4 658.3 359.3 344.5 481.5 366.9 370.9 367.8 317.4 471.2 373.7 674.7 471.9
213.9 48.4 165.1 522.7 71.4 295.8 235.7 262.8 2206.5 211.8 2272.2 1588.3 1250.9 265.2 2044.4 586.2 10.5 296.9 116.5 436.9 932.5 77.6 86.2 177.7
588.2 602.0 452.7 432.1 583.9 667.4 447.1 586.6 438.0 691.6 578.6 661.7 665.0 437.4 419.4 580.8 446.7 451.6 447.7 451.9 471.2 454.9 667.5 459.3
268.4 66.9 95.8 303.2 98.7 295.8 136.7 329.8 2399.6 233.2 2851.6 1707.4 2795.8 153.8 449 1406.9 9.2 213.8 83.9 253.4 446.4 66.7 141.8 103.1
588.2 602.0 517.3 493.9 587.8 667.4 476.9 588.6 469.3 761.4 612.7 673.0 705.4 499.9 479.4 586.8 478.6 483.8 479.7 455.3 126.1 391.0 706.1 459.3
301.2 78.0 54.2 171.4 115.1 295.8 77.3 370.0 2,515.4 246.1 3,199.3 1,778.9 3,722.7 87.0 565.7 825.4 8.1 163.9 64.3 143.3 514.7 60.2 175.2 58.3
850.6 773.3 618.6 618.6 773.3 773.3 657.3 773.3 618.6 966.6 734.6 869.9 869.9 618.6 618.6 773.3 580.0 580.0 580.0 638.0 174.0 580.0 908.6 174.0
156
Tabel Lampiran 16. Lanjutan Tegalan/sawah Hutan K.. Campuran K.. Campuran Pemukiman
S.B.I S.B.I S.B.I K. campuran Pemukiman
Jumlah
50.4 145.54 19.3 1101.8 1299.4 1481.5 136.1 138.4 143.2 37.5 45377.3
513.3 507.6 662.1 626.4 646.9 649.1 482.9 698.0 373.4 698.9
Keterangan : S.B.I = Semak-belukari-ilalang
70.8 185.5 25.2 530.1 570.9 875.1 233.2 198.6 170.9 42.7 45377.3
513.3 507.6 662.1 626.4 646.9 649.1 482.9 698.0 513.6 698.9
106 237.2 37.7 42.9 66.4 263.3 582.7 301.6 225.1 50.9 45377.3
592.3 585.7 690.9 663.0 679.2 681.5 594.3 693.7 587.0 697.0
146.5 327.9 45.3 53.1 82.2 325.8 805.5 393.2 311.2 59.2 45377.3
631.7 624.8 719.7 657.8 679.2 681.5 631.5 793.2 623.6 826.0
170.9 382.4 49.9 59.2 91.6 363.4 939.3 448.2 362.9 64.2 45,377.3
638.0 657.3 1,043.9 831.3 831.3 850.6 696.0 1,043.9 696.0 1,043.9
157 Tabel Lampiran 17. Luas lahan dan koefisien aliran (CRO) di DAS Wanggu tahun 1992 – 2010 Th.1992
Th.1992
Th.1995
Th.1995
Th. 2000
Th. 2000
Th.2005
Th.2005
Th.2010
Th.2010
Luas (ha)
CRO
Luas (ha)
CRO
Luas (ha)
CRO
Luas (ha)
CRO
Luas (ha)
CRO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Pemukiman
458.5
0.35
656.8
0.36
857.6
0.36
938.5
0.38
938.5
0.48
Pemukiman
756.9
0.35
1,120.2
0.36
1,697.3
0.36
1770.7
0.38
1,799.4
0.48
Pemukiman
36.8
0.35
45.4
0.36
59.8
0.36
62.8
0.38
64.6
0.48
Tegalan
65.4
0.32
89.6
0.34
113.8
0.34
120.5
0.37
124.5
0.46
S.B.I
1,392.9
0.31
1,144.8
0.31
221.4
0.35
470
0.35
437.0
0.44
S.B.I
2,613.4
0.31
2,306.7
0.31
1,509.1
0.34
944.2
0.34
2,025.2
0.43
Pemukiman
29.2
0.35
32.1
0.36
53.8
0.36
56.5
0.38
58.2
0.48
Hutan Hutan
1,016.5
0.16
1,004.6
0.16
1,504.6
0.23
895.8
0.24
830.5
0.33
2,010.3
0.17
2,010.3
0.18
2,510.3
0.23
1619.9
0.23
1,385.7
0.33
3,702.5
0.20
3,202.5
0.20
3,702.5
0.23
2819.2
0.24
2,709.2
0.34
4,484.4
0.20
4,084.4
0.21
4,484.4
0.23
2927.7
0.24
2,533.7
0.33
Kebun Campuran
137.8
0.31
196.5
0.31
196.8
0.31
1478.1
0.31
353.0
0.40
Pemukiman
216.0
0.34
256.8
0.34
375.6
0.36
394.6
0.39
406.0
0.50
Pemukiman
42.3
0.36
52.5
0.36
67.5
0.36
70.9
0.41
73.0
0.52
S.B.I
1,653.2
0.31
804.5
0.31
39.8
0.35
251.7
0.35
78.8
0.44
S.B.I
2,173.2
0.31
1,324.1
0.31
546.1
0.34
805.5
0.34
961.1
0.43
Tegalan
82.7
0.29
138.9
0.29
360.5
0.31
458.7
0.31
517.6
0.45
Pemukiman
38.6
0.34
45.8
0.34
58.3
0.36
61.3
0.39
63.0
0.50
Jenis Penggunaan Lahan
Hutan Hutan
158
Tabel Lampiran 17. Lanjutan Kebun Campuran
132.7
0.24
260.1
0.26
170.1
0.31
363.5
0.31
239.5
0.40
Pemukiman Hutan
15.4
0.36
18.1
0.36
22.6
0.36
23.7
0.41
24.4
0.52
267.2
0.14
167.2
0.14
267.2
0.23
155
0.23
87.6
0.32
404.6
0.16
584.6
0.19
584.6
0.23
339.1
0.23
191.7
0.32
949.6
0.31
826.0
0.32
201.7
0.35
399.6
0.35
278.3
0.44
10.7
0.36
18.5
0.36
27.3
0.36
30.1
0.41
31.7
0.52
5.6
0.35
7.5
0.35
10.5
0.36
11.6
0.42
12.2
0.53
Kebun Campuran
80.2
0.30
86.1
0.30
112.1
0.30
140.7
0.33
157.8
0.42
Pemukiman
28.7
0.36
34.2
0.36
40.5
0.36
42.6
0.40
43.8
0.50
Kebun Campuran
68.8
0.22
97.9
0.25
97.9
0.31
125.2
0.31
141.6
0.40
Pemukiman
298.4
0.36
482.8
0.36
94.0
0.36
834.2
0.38
858.3
0.48
S.B.I
799.8
0.33
442.5
0.33
60.9
0.34
150.4
0.34
84.0
0.42
S.B.I
745.8
0.29
500.9
0.29
54.8
0.34
196.9
0.34
162.2
0.42
Kebun Campuran
5.7
0.22
15.8
0.22
19.4
0.30
24.3
0.30
27.3
0.40
Kebun Campuran
150.3
0.17
250.1
0.29
261.7
0.30
328.4
0.30
368.5
0.40
Kebun Campuran
3,020.2
0.24
3,685.6
0.29
3,751.1
0.30
4707.6
0.31
5,281.5
0.40
Pemukiman
354.6
0.36
485.7
0.36
681.3
0.36
715.7
0.40
736.3
0.50
Kebun Campuran
517.8
0.18
653.1
0.22
873.9
0.30
1096.7
0.33
1,230.5
0.43
Pemukiman
7.1
0.35
10.6
0.36
16.2
0.36
17
0.41
17.5
0.52
S.B.I
1,097.4
0.32
609.8
0.32
0.34
223.1
0.34
123.4
0.42
Hutan
296.5
0.13
544.5
0.21
89.4 536.5
0.23
350.8
0.26
239.3
0.25
Hutan S.B.I Pemukiman Pemukiman
159
Tabel Lampiran 17. Lanjutan Hutan
397.3
S.B.I
0.09
292.1
0.12
582.1
0.23
187.6
0.23
190.9
0.33
0.32
714.4
0.32
26.4
0.34
217.2
0.34
91.6
0.43
Kebun Campuran
995.9
0.30
545.2
0.30
438.2
0.30
504.4
0.33
544.1
0.44
Hutan
284.1
0.09
213.3
0.13
210.9
0.23
122.3
0.26
69.2
0.32
Hutan
213.3
0.10
302.9
0.15
292.6
0.23
169.7
0.26
96.0
0.32
Hutan
302.9
0.14
504.3
0.17
504.3
0.23
292.5
0.24
165.4
0.32
Kebun Campuran
504.3
0.29
148.1
0.30
213.9
0.30
268.4
0.30
301.2
0.44
Kebun Campuran
102.9
0.23
19.6
0.23
48.4
0.31
66.9
0.31
78.0
0.40
Hutan
9.3
0.15
165.1
0.18
165.1
0.23
95.8
0.27
54.2
0.32
Hutan
165.1
0.16
525.2
0.19
522.7
0.22
303.2
0.26
171.4
0.32
Kebun Campuran
525.2
0.30
28.9
0.12
71.4
0.30
98.7
0.30
115.1
0.40
Lapangan Golf
13.7
0.28
147.9
0.28
295.8
0.35
295.8
0.35
295.8
0.40
Hutan
235.7
0.18
235.7
0.18
235.7
0.23
136.7
0.25
77.3
0.34
Kebun Campuran
150.5
0.17
186.2
0.21
262.8
0.30
329.8
0.30
370.0
0.40
S.B.I
1,211.5
0.28
2,211.5
0.18
2,206.5
0.23
2399.6
0.24
2,515.4
0.32
Pemukiman
102.9
0.36
148.5
0.36
211.8
0.36
233.2
0.39
246.1
0.50
Kebun Campuran
1,036.3
0.28
2,567.9
0.28
2,272.2
0.30
2851.6
0.32
3,199.3
0.38
S.B.I
23.8
0.32
782.3
0.34
1,588.3
0.34
1707.4
0.35
1,778.9
0.45
Tegalan/Sawah
68.8
0.34
491.1
0.34
1,250.9
0.34
2795.8
0.36
3,722.7
0.45
Hutan
271.5
0.19
271.5
0.19
265.2
0.23
153.8
0.26
87.0
0.32
160
Tabel Lampiran 17. Lanjutan Hutan
2,054.4
0.18
254.4
0.18
2,044.4
0.22
449
0.25
565.7
0.32
Kebun Campuran
412.6
0.25
1,332.6
0.25
586.2
0.30
1406.9
0.30
825.4
0.40
Hutan
10.5
0.19
10.5
0.19
10.5
0.23
9.2
0.25
8.1
0.30
Hutan
294.9
0.19
294.9
0.19
296.9
0.23
213.8
0.25
163.9
0.30
Hutan
119.7
0.19
119.7
0.19
116.5
0.23
83.9
0.25
64.3
0.30
Hutan
436.9
0.16
436.9
0.16
436.9
0.23
253.4
0.24
143.3
0.33
Hutan
432.5
0.07
932.5
0.24
932.5
0.24
446.4
0.07
514.7
0.09
Hutan
77.6
0.19
77.6
0.19
77.6
0.24
66.7
0.20
60.2
0.30
Tegalan/Sawah
19.9
0.35
33.2
0.35
86.2
0.35
141.8
0.37
175.2
0.47
Hutan
182.6
0.24
182.6
0.24
177.7
0.24
103.1
0.24
58.3
0.09
Kebun Campuran
50.4
0.27
70.8
0.27
106.0
0.31
146.5
0.33
170.9
0.33
Kebun Campuran
145.5
0.26
185.5
0.26
237.2
0.30
327.9
0.32
382.4
0.34
Pemukiman
19.3
0.34
25.2
0.34
37.7
0.36
45.3
0.37
49.9
0.54
S.B.I
1,101.8
0.32
530.1
0.32
42.9
0.34
53.1
0.34
59.2
0.43
S.B.i
1,299.4
0.33
570.9
0.33
66.4
0.35
82.2
0.35
91.6
0.43
S.B.I
1,481.5
0.34
875.1
0.34
263.3
0.35
325.8
0.35
363.4
0.44
Kebun Campuran
136.1
0.25
233.2
0.25
582.7
0.31
805.5
0.33
939.3
0.36
Pemukiman Kebun Campuran
138.4 143.2
0.36 0.19
198.6 170.9
0.36 0.27
301.6 225.1
0.36 0.30
393.2 311.2
0.41 0.32
448.2 362.9
0.54 0.36
Pemukiman
37.5
0.36
42.7
0.36
50.9
0.36
59.2
0.43
64.2
0.54
Jumlah 45,377.3 45,377.3 45,377.3 Sumber : Hasil perhitungan koefisien alian permukaan (CRO), menggunakan neraca air tahun 2009/2010
45377.3
45,377.3
161
Tabel Lampiran 18. Dampak Dinamika Penggunaan Lahan terhadap prediksi erosi di DAS Wanggu DS tahun 1992, 1995, 2000, 2005, dan 2010 Jenis Penggunaan Lahan
Tahun 1992
Tahun 1995
Tahun 2000
Tahun 2005
Tahun 2010
2
Pemukiman Pemukiman
Luas (ha) 458.5 756.9
A (ton/th) 12,865.5 21,072.1
Luas (ha) 656.8 1120.2
A (ton/th) 18,429.8 31,186.4
Luas (ha) 857.6 1697.3
A (ton/th) 24,064.3 47,252.8
Luas (ha) 938.5 1770.7
A (ton/th) 26,335.2 49,296.3
Luas (ha) 938.5 1,799.4
Erosi-akt (ton/th) 26334.3 50,095.3
3
Pemukiman
36.8
561.9
45.4
693.3
59.8
913.1
62.8
959.4
64.6
987.1
4
Tegalan
65.4
2,884.8
89.6
3,952.3
113.8
5,019.7
120.5
5,314.7
124.5
5,491.7
5
S.B.I
1392.9
1,092.9
1144.8
25,242.8
221.4
20,316.9
470
10,362.8
437.0
9,635.4
6 7 8 9
S.B.I Pemukiman Hutan Hutan
2613.4 29.2 1016.5 2010.3
55,874.5 577.6 538.7 422.2
2306.7 32.1 1004.6 2010.3
49,316.8 634.9 532.4 422.2
1509.1 53.8 1504.6 2510.3
38,678.6 1,064.2 532.4 422.2
944.2 56.5 895.8 1619.9
20,187.0 1,118.0 474.8 340.2
2,025.2 58.2 830.5 1,385.7
43,299.0 1,150.4 440.2 291.0
10
Hutan
3702.5
999.7
3202.5
864.7
3702.5
810.7
2819.2
761.2
2,709.2
731.5
11
Hutan
4484.4
1,793.8
4084.4
1,633.8
4484.4
1,433.8
2927.7
1,171.1
2,533.7
1,013.5
12
Kebun Campuran
137.79
1,154.7
196.5
1,646.7
196.8
5,839.2
1478.1
12,386.5
353.0
2,981.9
13
Pemukiman
215.95
3,876.3
256.83
4,610.1
375.6
6,742.0
394.6
7,083.3
406.0
7,288.1
14
Pemukiman
42.3
586.7
52.5
728.2
67.5
936.2
70.9
983.6
73.0
1,012.1
15
S.B.I
1653.2
21,789.2
804.5
10,603.3
39.8
7,114.6
251.7
3,317.1
78.8
1,038.6
16
S.B.I
2173.2
37,379.0
1324.1
22,774.5
546.1
11,112.9
805.5
13,854.6
961.1
16,531.5
17
Kebun Campuran
82.7
2,962.3
138.9
4,975.4
360.5
12,913.1
458.7
16,429.8
517.6
18,539.9
18
Pemukiman
38.6
830.7
45.75
984.5
58.3
1,254.6
61.3
1,318.1
63.0
1,356.2
19
Kebun Campuran
132.7
1,859.1
260.1
3,644.0
170.1
2,383.1
363.5
5,092.8
239.5
3,355.4
20
Pemukiman
15.4
372.2
18.10
437.5
22.6
546.2
23.7
573.9
24.4
590.5
No 1
162
Tabel Lampiran 18. Lanjutan 21
Hutan
267.2
1,771.5
167.2
1,108.5
267.2
1,771.5
155
1,027.5
87.6
581.1
22
Hutan
404.6
4,252.3
584.6
6,144.1
584.6
6,144.1
339.1
3,563.6
191.7
2,015.3
23
S.B.I
949.6
17,871.5
826
15,545.3
201.7
11,324.0
399.6
7,520.5
278.3
5,238.5
24
Pemukiman
10.7
278.7
18.5
481.9
27.3
711.2
30.1
783.2
31.7
826.4
25
Pemukiman
5.6
63.6
7.45
84.6
10.5
119.2
11.6
131.2
12.2
138.5
26
Kebun Campuran
80.2
4,054.1
86.13
4,353.6
112.1
5,666.7
140.7
7,112.4
157.8
7,835.3
27
Pemukiman
28.7
461.5
34.2
549.9
40.5
651.2
42.6
684.2
43.8
704.0
28
Kebun Campuran
68.8
674.2
97.9
959.4
97.9
959.4
125.2
1,226.8
141.6
1,387.2
29
Pemukiman
298.4
7,152.6
482.8
11,572.7
794
19,032.2
834.2
19,995.7
858.3
20,573.8
30 31 32
S.B.I S.B.I Kebun Campuran
799.8 745.8 5.7
10,389.4 9,046.6 82.9
442.5 500.9 15.8
5,748.1 6,075.9 229.9
60.9 54.8 19.4
3,389.1 3,090.7 282.3
150.4 196.9 24.3
1,953.2 2,388.8 354.2
84.0 162.2 27.3
1,091.7 1,967.6 397.4
33
Kebun Campuran
150.3
1,442.9
250.1
2,401.0
261.7
2,512.3
328.4
3,153.0
368.5
3,537.3
34
Kebun Campuran
3020.2
48,444.0
3685.6
59,117.0
3751.1
60,167.6
4707.6
75,510.4
5,281.5
84,716.0
35
Pemukiman
354.6
8,896.9
485.7
12,185.0
681.3
17,093.8
715.7
17,956.1
736.3
18,473.5
36
Kebun Campuran
517.8
14,799.3
653.1
18,541.5
873.9
24,810.0
1096.7
31,136.6
1,230.5
34,932.5
37
Pemukiman
7.05
154.5
10.6
232.4
16.2
355.1
17
373.1
17.5
383.9
38
S.B.I
1097.4
22,551.6
609.8
12,531.4
89.4
8,002.2
223.1
4,585.4
123.4
2,535.3
39
Hutan
296.5
249.1
544.5
457.4
536.5
450.7
350.8
294.7
239.3
201.0
40 41 42
Hutan S.B.I Kebun Campuran
397.3 995.9 284.1
174.8 20,834.2 3,983.1
292.1 714.4 545.24
128.5 14,945.2 7,644.3
582.1 26.4 438.2
80.1 8,920.3 6,143.6
187.6 217.2 504.4
82.6 4,542.9 7,071.5
190.9 91.6 544.1
84.0 1,916.4 7,628.3
43
Hutan
213.3
458.6
213.3
458.6
210.9
453.4
122.3
263.0
69.2
148.7
44
Hutan
302.9
572.5
302.9
572.5
292.6
553.0
169.7
320.7
96.0
181.4
163
Tabel Lampiran 18. Lanjutan 45
Hutan
504.3
539.6
504.3
539.6
504.3
539.6
292.5
313.0
165.4
177.0
46
Kebun Campuran
102.9
5,981.6
148.11
8,609.6
213.9
12,434.0
268.4
15,604.7
301.2
17,507.1
47
Tegalan/Sawah
9.3
130.8
19.6
274.9
48.4
680.5
66.9
940.8
78.0
1,097.0
48
Hutan
165.1
79.2
165.1
79.2
165.1
79.2
95.8
46.0
54.2
26.0
49
Hutan
525.2
924.4
525.2
924.4
522.7
920.0
303.2
533.6
171.4
301.7
50 51
Kebun Campuran
13.7
155.2
28.8
326.9
71.4
809.0
98.7
1,118.4
115.1
1,304.0
52
Lapangan Golf Hutan
295.8 235.7
627.1 89.6
295.8 235.7
627.1 89.6
295.8 235.7
627.1 89.6
295.8 136.7
627.1 51.9
295.8 77.3
627.1 29.4
53
Tegalang
150.5
2,070.9
186.1
2,561.4
262.8
3,616.1
329.8
4,538.2
370.0
5,091.5
54
Hutan
1211.5
3,222.6
2211.5
5,882.6
2206.5
5,869.3
2399.6
6,382.9
2,515.4
6,691.0
55
3,007.8
211.8
4,291.1
233.2
4,725.5
246.1
4,986.2
Tegalan
102.9
2,084.8
148.5
56
Hutan
1036.3
1,772.1
2567.9
4,562.1
2272.2
3,885.5
2851.6
4,876.3
3,199.3
5,470.7
57
Pemukiman
23.8
603.1
782.2
19,822.2
1588.3
40,247.5
1707.4
43,266.1
1,778.9
45,077.2
58
Tegalan
68.8
34.4
491.1
245.5
1250.9
625.5
2795.8
1,065.5
3,722.7
1,329.6
59
Sawah/Tegalan
271.5
4,672.5
271.5
4,672.5
265.2
4,564.1
153.8
2,647.2
87.0
1,497.0
60
Sawah
2054.4
39,506.1
254.4
4,892.1
2044.4
4,892.1
449
8,633.5
565.7
10,878.4
61
Hutan
412.57
734.4
1332.6
2,372.0
586.2
4,229.6
1406.9
3,687.6
825.4
3,362.4
62
Hutan
10.5
6.1
10.5
6.1
10.5
6.1
9.2
5.2
8.1
4.7
63
Kebun Campuran
294.9
188.7
294.9
188.7
296.9
190.0
213.8
136.8
163.9
104.9
64
Hutan
119.7
50.3
119.7
50.3
116.5
48.9
83.9
35.2
64.3
27.0
65
Hutan
436.9
410.7
436.9
410.7
436.9
410.7
253.4
238.2
143.3
134.7
66
Hutan
432.5
155.7
932.5
335.7
932.5
119.7
446.4
160.7
514.7
185.3
67
Hutan
77.6
19.4
77.6
19.4
77.6
19.4
66.7
16.7
60.2
15.1
68
Hutan
19.9
271.6
33.2
452.5
86.2
1,176.6
141.8
1,935.9
175.2
2,391.5
164
Tabel Lampiran 18. Lanjutan 69 70
Hutan
182.6
89.5
182.6
89.5
177.7
87.1
103.1
50.5
58.3
28.6
Sawah/Tegalan
50.4
97.8
70.8
137.4
106
205.6
146.5
284.3
170.9
331.5
71
Hutan
145.54
443.9
185.5
565.8
237.2
723.5
327.9
1,000.2
382.4
1,166.2
72
Kebun Campuran
19.3
292.0
25.2
381.3
37.7
570.4
45.3
685.9
49.9
755.2
73
Kebun Campuran
1101.8
24,327.7
530.1
10,159.0
42.9
947.2
53.1
1,172.2
59.2
1,307.2
74
Pemukiman
1299.4
28,080.0
570.9
11,902.8
66.4
1,434.9
82.2
1,775.7
91.6
1,980.2
75
S.B.I
1481.5
30,533.7
875.1
18,035.8
263.3
5,426.6
325.8
6,715.4
363.4
7,488.7
76
S.B.I
136.1
7,183.4
233.2
11,785.8
582.7
30,754.9
805.5
42,516.4
939.3
49,576.9
77
S.B.I
138.4
3,865.5
198.6
5,546.9
301.6
8,423.7
393.2
10,982.4
448.2
12,517.6
78 79
Kebun Campuran Pemukiman
143.2 37.5
2,604.8 924.0
170.9 42.7
3,108.7 1,052.1
225.1 50.9
4,094.6 1,254.2
311.2 59.2
5,660.7 1,459.0
362.9 64.2
6,600.4 1,581.9
Jumlah
45377.3
534,676.
45377.3
485,352.9
45377.3
516,328.
45377.3
543,281.
45,377.3
580,378.5
Sumber : Hasil perhitungan prediksi dan hasil percobaan plot erosi di DAS Wanggu tahun 2010 Keterangan : A = erosi prediksi, E-akt = erosi aktual melalui percobaan plot erosi.
165 Tabel Lampiran 19. Hasil perhitungan beberapa parameter lahan di DAS Wanggu 2010 Peng. lahan 1 Pk Pk Pk T/S S.I S.I Pk H H H H KC Pk Pk S.I S.I T Pk KC Pk Hp Hp S.I Pk Pk T Pk KC Pd S.I S.I KC KC KC Pd KC Pd S.I H H
U.Lahan 2 1a-d 2a-m 3a-c 4a-b 5a-d 6a-p 7a-c 8a-f 9a-k 10a-p 11a-k 12a-e 13a-d 14a 15a-b 16a-f 17a-f 18a-b 19a-c 20a 21a-c 22a-f 23a-b 24a-b 25a 26a-d 27a-d 28a-b 29a 30a 31a-b 32a 33a-f 34a-p 35a-h 36a-d 37a 38a-b 39a-d 40a-d
L.`lahan (ha) 3 927,1 1.834,8 64,6 124,5 433,0 2.025,2 58,2 830,5 1.385,7 2.709,2 2.533,7 346,8 406,0 73,0 78,8 961,1 507,6 63,0 239,5 24,4 87,6 191,7 278,3 31,7 12,2 157,8 43,8 137,8 858,3 84,0 162,2 27,3 368,5 5.281,5 736,3 1.230,5 17,5 123,4 239,3 190,9
R 4 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152
Nilai indikator LS C 5 6 7 0,345 0,108 0,3 0,33 0,112 0,3 0,438 0,108 0,3 0,366 0,112 0,7 0,394 0,104 0,25 0,368 0,108 0,25 0,256 0,108 0,3 0,698 0,07 0,01 0,29 0,067 0,01 0,346 0,073 0,01 0,504 0,074 0,01 0,278 0,07 0,5 0,361 0,066 0,3 0,279 0,066 0,3 0,345 0,071 0,3 0,438 0,073 0,25 0,29 0,082 0,7 0,412 0,073 0,3 0,44 0,074 0,5 0,438 0,074 0,3 0,22 0,07 0,2 0,33 0,074 0,2 0,394 0,074 0,3 0,346 0,102 0,3 0,233 0,066 0,3 0,329 0,102 0,7 0,33 0,066 0,3 0,345 0,066 0,5 0,698 0,112 0,7 0,345 0,07 0,25 0,221 0,102 0,25 0,221 0,102 0,5 0,413 0,108 0,5 0,345 0,108 0,5 0,33 0,103 0,7 0,427 0,103 0,5 0,33 0,09 0,7 0,341 0,112 0,25 0,696 0,112 0,01 0,405 0,102 0,01 K
A P 8 0,35 0,35 0,15 1 1 1 0,35 1 1 1 1 1 0,35 0,35 1 1 1 0,35 1 0,35 1 1 1 0,35 0,35 1 0,35 1 0,15 1 1 1 1 1 0,35 1 0,35 1 1 1
ETol (ton/ha/th)
9 8,4 8,4 4,6 61,8 22,0 21,4 6,2 1,1 0,4 0,5 0,8 20,9 5,4 4,2 15,8 17,2 35,8 6,8 35,0 7,3 6,6 10,5 18,8 8,0 3,5 50,6 4,9 24,5 17,7 13,0 12,1 24,3 48,0 40,1 17,9 47,3 15,7 20,5 1,7 0,9
10 7,4 7,5 7,2 15,1 11,3 11,4 7,3 14,8 15,6 13,7 10,7 18,1 11,3 9,4 11,6 14,3 18,0 8,7 17,9 10,4 15,1 10,7 9,2 9,4 10,9 19,6 19,1 18,8 10,3 11,5 13,2 17,7 18,5 18,2 9,9 18,1 9,8 20,4 15,1 19,1
DS
tahun A vs ETol
11 > > < > > > < < < < < < < < > > > < > < < < > < < > < > > > < > > > > > > > < <
166 Tabel Lampiran 19. Lanjutan 1 S.I KC H H H KC KC H H KC LG H KC H Pd KC T/S T/S H H KC H H H H H H T/S H KC KC Pd S.I S.I S.I KC Pk KC Pk
2 41a-b 42a-b 43a-d 44a 45a-d 46a-b 47a-b 48a-b 49a-b 50a-b 51a 52a-b 53a 54a-c 55a 56a 57a-e 58a-b 59a-b 60a-d 61a-d 62a 63a-b 64a 65a-b 66a-b 67a 68a-c 69a-c 70a 71a-b 72a 73a 74a 75a 76a-c 77a-b 78a-b 79a-b
3 91,6 544,1 69,2 96,0 165,4 301,2 78,0 54,2 171,4 115,1 295,8 77,3 370,0 2.515,4 246,1 3.199,3 1.778,9 3.722,7 87,0 565,7 825,4 8,1 163,9 64,3 143,3 514,7 60,2 175,2 58,3 170,9 382,4 49,9 59,2 91,6 363,4 939,3 448,2 362,9 64,2 45.377,3
4 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152 2.152
5 0,432 0,362 0,391 0,344 0,789 0,603 0,33 0,377 0,364 0,47 0,439 0,301 0,318 0,457 0,498 0,711 0,727 0,213 0,392 0,399 0,246 0,427 0,497 0,327 0,69 0,278 0,314 0,281 0,281 0,406 0,437 0,372 0,380 0,390 0,313 0,687 0,727 0,313 0,727
6 0,09 0,09 0,102 0,102 0,07 0,064 0,066 0,066 0,09 0,112 0,112 0,066 0,067 0,108 0,108 0,112 0,108 0,108 0,102 0,112 0,112 0,07 0,066 0,066 0,07 0,066 0,073 0,108 0,09 0,074 0,108 0,108 0,108 0,103 0,102 0,102 0,102 0,09 0,09
7 0,25 0,5 0,01 0,01 0,01 0,5 0,5 0,01 0,01 0,5 0,02 0,01 0,5 0,01 0,7 0,05 0,7 0,2 0,2 0,2 0,5 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,5 0,01 0,5 0,5 0,7 0,25 0,25 0,3 0,5 0,3 0,5 0,3
8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0,35 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0,35 1 1 1 1 0,35 1 0,35
9 20,9 35,1 0,9 0,8 1,2 41,5 23,4 0,5 0,7 56,6 2,1 0,4 22,9 1,1 28,4 8,6 118,3 9,9 17,2 19,2 29,6 0,6 0,7 0,5 1,0 0,4 0,5 32,7 0,5 32,3 50,8 21,2 22,1 21,6 20,6 75,4 16,8 30,3 14,8
10 11,5 14,6 15,8 16,3 17,9 15,2 14,3 13,2 20,8 18,5 24,6 13,3 18,8 18,7 10,0 17,1 18,5 17,3 17,9 16,9 17,6 11,8 12,0 13,7 12,1 15,8 12,9 15,7 16,6 10,5 20,0 9,4 19,0 15,8 15,8 18,6 8,1 14,2 9,3
11 > > < < < > > < < > < < > < > < < < < > > < < < < < < > < > > > > > > > > > >
Keterangan : H = hutan, KC = kebuncampuran, Pd = pemukiman desa, Pk = pemukiman kota, S.I = semak belukarilalang, T/S = tegalan/sawah, T = tegalan.
167 Tabel Lampiran 20. Nilai Etol dari masing-masing penggunaan lahan di DAS Wanggu tahun 2009 No
JenisPenggunaan Lahan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Pemukiman Pemukiman Pemukiman Tegalan S.B.I S.B.I Pemukiman Hutan Hutan Hutan Hutan Kebun Campuran Pemukiman Pemukiman S.B.I S.B.I Kebun Campuran Pemukiman Kebun Campuran Pemukiman Hutan Hutan S.B.I Pemukiman Pemukiman Kebun Campuran
Th 2009 Luas (ha) 927.1 1,834.8 64.6 124.5 433 2,025.2 58.2 830.5 1,385.7 2,709.2 2,533.7 346.8 406 73 78.8 961.1 507.6 63 239.5 24.4 87.6 191.7 278.3 31.7 12.2 157.8
D (mm) 600 600 550 1200 550 550 600 1500 1200 1200 1200 1500 1200 700 450 500 1500 650 1200 900 1500 1200 450 800 1000 1500
NFK 1 1 1 1 0.95 0.95 0.95 1 1 1 1 1 1 1 0.8 0.8 0.8 1 1 1 0.8 1 0.95 1 1 0.9
DE (mm) 600 600 550 1200 522.5 522.5 570 1500 1200 1200 1200 1500 1200 700 360 400 1200 650 1200 900 1200 1200 427.5 800 1000 1350
D-min (mm) 450 450 450 700 150 150 450 990 990 990 990 990 450 450 150 150 990 450 990 450 990 990 150 450 450 990
LPT (mm/th) 0.5 0.5 0.5 1.2 0.9 0.9 0.5 1.2 1.2 0.9 0.9 1.2 0.5 0.5 1.2 1.2 1.2 0.5 1.2 0.5 1.2 0.9 0.9 0.5 0.5 1.2
BV (g/cm^3) 1.35 1.37 1.36 1.09 1.09 1.1 1.36 1.06 1.23 1.43 1.1 1.34 1.66 1.68 0.9 1.11 1.43 1.58 1.42 1.72 1.19 1.09 0.9 1.59 1.74 1.51
Etol (ton/ha/th) 7.4 7.5 7.2 15.1 11.3 11.4 7.3 14.8 15.6 13.7 10.7 18.1 11.3 9.4 11.6 14.3 18.0 8.7 17.9 10.4 15.1 10.7 9.2 9.4 10.9 19.6
168
Tabel Lampiran 20. Lanjutan 1 2 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53
Pemukiman Kebun Campuran Pemukiman S.B.I Tegalan Kebun Campuran Kebun Campuran Kebun Campuran Pemukiman Kebun Campuran* Pemukiman Tegalan Hutan Hutan S.B.I Kebun Campuran Hutan Hutan Hutan Kebun Campuran Kebun Campuran Hutan Hutan Kebun Campuran Lapangan Golf Hutan Kebun Campuran
3 43.8 137.8 858.3 84 162.2 27.3 368.5 5,281.5 736.3 1,230.5 17.5 123.4 239.3 190.9 91.6 544.1 69.2 96 165.4 301.2 78 54.2 171.4 115.1 295.8 77.3 370
4 900 1200 1000 550 800 1300 1600 1600 900 1500 880 1200 1600 1500 550 1500 1500 1500 1400 1400 1000 1200 1400 1500 1500 1200 1400
5 1 0.9 1 0.8 0.95 1 1 1 1 0.95 1 0.95 0.9 1 1 1 1 1 0.95 1 1 1 1 0.95 1 1 1
6 900 1080 1000 440 760 1300 1600 1600 900 1425 880 1140 1440 1500 550 1500 1500 1500 1330 1400 1000 1200 1400 1425 1500 1200 1400
7 450 990 450 150 150 990 990 990 450 990 450 150 990 990 150 990 990 990 990 990 990 990 990 990 150 990 990
8 1.2 1.2 0.5 0.9 1.2 1.2 1.2 1.2 0.5 1.2 0.5 1.2 1.2 1.2 0.9 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0.9 1.2 1.2 1.2 0.9 1.2
9 1.44 1.54 1.61 1.15 0.9 1.37 1.34 1.31 1.61 1.36 1.62 1.37 1.11 1.42 1.1 1.05 1.15 1.19 1.38 1.13 1.19 1.37 1.6 1.4 1.6 1.38 1.43
10 19.1 18.8 10.3 11.5 13.2 17.7 18.5 18.2 9.9 18.1 9.8 20.4 15.1 19.1 11.5 14.6 15.8 16.3 17.9 15.2 14.3 13.2 20.8 18.5 24.6 13.3 18.8
169 Tabel Lampiran 20. Lanjutan 1 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79
2 Hutan Pemukiman Kebun Campuran Tegalan/Sawah Sawah Hutan Hutan Kebun Campuran Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Tegalan/Sawah Hutan Kebun Campuran Kebun Campuran Pemukiman Tegalan S.B.I S.B.I Kebun Campuran Pemukiman Kebun Campuran Pemukiman Jumlah
3 2,515.4 246.1 3,199.3 1,778.9 3,722.7 87 565.7 825.4 8.1 163.9 64.3 143.3 514.7 60.2 175.2 58.3 170.9 382.4 49.9 59.2 91.6 363.4 939.3 448.2 362.9 64.2 45,377.3
4 1600 1200 1600 1500 1500 1500 1500 1600 900 1200 1200 1000 1200 900 1500 1400 1100 1600 1500 1200 600 600 1400 700 1200 900
5 0.95 1 0.95 0.8 0.8 1 1 0.95 1 1 1 1 1 1 0.8 1 1 0.95 0.8 0.95 1 1 1 0.8 0.9 1
6 1520 1200 1520 1200 1200 1500 1500 1520 900 1200 1200 1000 1200 900 1200 1400 1100 1520 700 1140 600 600 1400 560 1080 900
7 990 450 990 300 300 990 990 990 990 990 990 800 990 800 300 990 990 990 450 300 150 150 990 450 990 450
8 1.2 0.5 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 1.2 0.9 0.9 1.2 0.9 1.2 0.9 1.2 1.2 0.9 1.2 0.5 1.2 1.2 1.2 1.2 0.5 1.2 0.5
9 1.38 1.39 1.25 1.24 1.14 1.32 1.24 1.29 1.35 1.24 1.07 1.26 1.25 1.39 1.01 1.25 1.12 1.49 1.68 1.3 1.17 1.17 1.41 1.54 1.15 1.49
10 18.7 10.0 17.1 18.5 17.3 17.9 16.9 17.6 11.8 12.0 13.7 12.1 15.8 12.9 15.7 16.6 10.5 20.0 9.4 19.0 15.8 15.8 18.6 8.1 14.2 9.3
Keterangan: D = Kedalaman efektif tanah, DE = Kedalaman ekivalen (kolom 4 x kolom), Dmin = Kedalaman minimum tanah, LPT = Laju pembentukan tanah rataan (Hardjowigeno, 2001, MPT = Masa pemakaian tanah 250 tahun.
170 Tabel Lampiran 21. Hasil Perhitungan Sedimen dari Erosi, Sampah dan Infrastruktu-Tebing-Longsor (ITL) di Teluk Kendari priode 1992-2062 (100 th)
Tahun
Sedimen Erosi
Sedimen sampah
Sedimen ITL (m3/th)
1992
20,453.1
21,399.0
1,909,041.1
1993
20,977.5
22,509.6
1994
21,428.5
23,677.9
1995
19,663.5
1996
Sedimen Total
Jumlah Penduduk (Jiwa)
1,950,893.2
97,268
2,008,657.5
2,052,144.6
102,316
2,113,544.5
2,158,650.9
107,627
24,906.7
2,226,114.7
2,270,684.9
113,212
20,679.6
26,199.4
638,256.3
685,135.2
119,088
1997
21,599.6
27,559.1
671,535.0
720,693.7
125,269
1998
22,447.2
28,989.5
706,661.0
758,097.7
131,770
1999
23,234.6
30,494.0
743,714.4
797,443.0
138,609
2000
20,980.6
32,076.7
785,773.1
838,830.3
145,803
∑ 9 th
108,941.6
145,318.7
3,545,939.7
3,800,200.0
660,540
2001
21,013.5
33,741.4
1,127,560.7
1,182,315.7
153,370
2002
21,227.8
35,492.6
1,186,957.4
1,243,677.9
161,330
2003
21,433.0
49,050.1
1,648,255.1
1,718,738.3
222,955
2004
21,629.0
49,732.3
1,671,282.3
1,742,643.6
226,056
2005
21,641.4
53,808.9
1,810,039.2
1,885,489.5
244,586
∑ 5 th
106,944.8
221,825.4
7,324,396.5
7,653,166.7
992,770
2006
22,099.5
55,324.9
1,036,118.2
1,113,542.6
251,477
2007
22,516.5
55,931.9
1,047,311.1
1,125,759.5
254,236
2008
22,899.0
57,033.8
1,068,004.1
1,147,936.9
259,244
2009
23,054.6
58,157.3
1,089,339.4
1,170,551.3
264,352
2010
23,199.1
59,303.0
1,111,109.0
1,193,611.1
269,559
∑ 5 th
113,768.6
285,751.0
5,351,880.4
5,751,400.0
1,298,868
∑19 th
412,177.6
745,388.3
24,479,574.4
25,637,140.4
269,559
2011
23,706.2
60,471.3
1,132,947.7
1,217,125.3
274,870
Th.92-11
1,759,533.6
805,859.6
25,612,522.1
26,854,265.6
274,870
Th.60-2000
761,758.18
581,589.83
40,576,852.0
41,920,200.0
2,561,137.3
Th.60-2010
982,471.6
1,089,166.3
53,253,128.8
55,324,766.7
269,559
2012
24,167.6
61,662.6
1,155,272.5
1,241,102.6
280,285
2013
24,628.9
62,877.4
1,178,046.1
1,265,552.4
285,806
2014
25,090.3
64,116.0
1,201,277.4
1,290,483.7
291,437
2015
25,551.6
65,379.1
1,224,975.5
1,315,906.3
297,178
2016
26,013.0
66,667.1
1,249,149.6
1,341,829.6
303,032
2017
26,474.3
67,980.4
1,273,808.9
1,368,263.7
309,002
2018
26,935.7
69,319.6
1,298,963.1
1,395,218.5
315,089
2019
27,397.0
70,685.2
1,324,622.0
1,422,704.3
321,297
2020
27,858.4
72,077.7
1,350,795.4
1,450,731.5
327,626
171 Tabel Lampiran 21. Lanjutan 1 2
3
4
5
6
2021
28,319.7
73,497.7
1,377,493.5
1,479,311.0
334,080
2022
28,781.1
74,945.6
1,404,726.7
1,508,453.4
340,662
2023
29,242.5
76,422.0
1,432,505.4
1,538,169.9
347,373
2024
29,703.8
77,927.5
1,460,840.5
1,568,471.9
354,216
2025
30,165.2
79,462.7
1,489,742.9
1,599,370.8
361,194
2026
30,626.5
81,028.1
1,519,223.7
1,630,878.4
368,310
2027
31,087.9
82,624.4
1,549,294.4
1,663,006.7
375,565
2028
31,549.2
84,252.1
1,579,966.6
1,695,767.9
382,964
2029
32,010.6
85,911.8
1,611,252.1
1,729,174.5
390,508
2030
32,471.9
87,604.3
1,643,163.0
1,763,239.3
398,201
2031
32,933.3
89,330.1
1,675,711.7
1,797,975.1
406,046
2032
33,394.6
91,089.9
1,708,910.6
1,833,395.2
414,045
2033
33,856.0
92,884.4
1,742,772.7
1,869,513.1
422,202
2034
34,317.3
94,714.2
1,777,310.9
1,906,342.5
430,519
2035
34,778.7
96,580.1
1,812,538.7
1,943,897.4
439,000
2036
35,240.1
98,482.7
1,848,469.5
1,982,192.2
447,649
2037
35,701.4
100,422.8
1,885,117.2
2,021,241.4
456,467
2038
36,162.8
102,401.1
1,922,496.0
2,061,059.8
465,460
2039
36,624.1
104,418.4
1,960,620.2
2,101,662.7
474,629
2040
37,085.5
106,475.5
1,999,504.5
2,143,065.5
483,979
2041
37,546.8
108,573.0
2,039,164.0
2,185,283.9
493,514
2042
38,286.5
110,711.9
2,079,335.5
2,228,334.0
503,236
2045
39,040.7
112,893.0
2,120,298.4
2,272,232.1
513,150
2046
39,809.8
115,116.9
2,162,068.3
2,316,995.1
523,259
2047
40,594.1
117,384.7
2,204,661.1
2,362,639.9
533,567
2048
41,393.8
119,697.2
2,248,092.9
2,409,183.9
544,078
2049
42,209.3
122,055.3
2,292,380.3
2,456,644.8
554,797
2050
43,040.8
124,459.7
2,337,540.2
2,505,040.7
565,726
2051
43,888.7
126,911.6
2,383,589.8
2,554,390.0
576,871
2052
44,753.3
129,411.8
2,430,546.5
2,604,711.5
588,235
2053
45,634.9
131,961.2
2,478,428.2
2,656,024.3
599,824
2054
46,533.9
134,560.8
2,527,253.3
2,708,348.0
611,640
2055
47,450.7
137,211.7
2,577,040.2
2,761,702.5
623,689
2056
48,385.4
139,914.7
2,627,807.9
2,816,108.0
635,976
2057
49,338.6
142,671.0
2,679,575.7
2,871,585.4
648,505
2058
50,310.6
145,481.7
2,732,363.3
2,928,155.6
661,280
2059
51,301.7
148,347.7
2,786,190.9
2,985,840.2
674,308
2060
52,312.4
151,270.1
2,841,078.8
3,044,661.3
687,591
2061
53,342.9
154,250.1
2,897,048.1
3,104,641.1
701,137
172 Tabel Lampiran 21. Lanjutan 1
2
3
4
5
6
2062
54,393.8
157,288.9
2,954,119.9
3,165,802.6
714,949
∑ 50 th
1,797,737.9
5,011,413.5
94,057,154.7
100,866,306.1
714,949
∑ 100 th
2,780,209.5
6,100,579.8
147,310,283.5
156,191,072.8
714,949
R/th (50 th)
35,954.8
100,228.3
1,881,143.1
2,017,326.1
14,299.0
R/th(100th)
27,802.1
61,005.8
1,473,102.8
1,561,910.7
7,149.5
Tabel Lampiran 22. Hasil Analisis biaya dan pendapatan pada kebun campuran dan tegalan Unit Lahan
Penggunaan Lahan
Total biaya (Rp/ha/th)
Total pendapatan (Rp/ha/th) Kotor
NPV 12%
12 a-e
Kebun campuran
7,169,000
28,287,000
18,858,374
17 a-f
Kebun campuran
6,759,100
17,678,900
9,751,381
19 a-c
Kebun campuran
7,592,860
22,235,000
13,075,431
26 a-d
Kebun campuran
7,635,000
17,602,500
8,900,978
28 a-b
Kebun campuran
7,635,000
17,602,500
8,900,978
32 a
Kebun campuran
11,192,500
36,205,600
22,336,698
33 a-f
Kebun campura
9,206,025
34,788,000
22,844,704
34 a-p
Kebun campuran
7,739,000
17,602,500
8,808,106
36 a-d
Kebun campuran
7,635,000
25,484,000
22,750,394
46 a-b
Kebun campuran
8,870,600
27,564,600
16,693,742
47 a-b
Tegalan
5,402,800
16,022,500
9,483,392
50 a-b
Kebun campuran
11,576,800
35,421,000
21,292,871
53 a
Kebun campuran
6,234,000
16,022,500
8,741,131
56 a
Kebun campuran
9,938,400
36,290,100
23,828,790
57 a-b
Tegalan
8,682,000
20,253,000
17,822,640
58 a-b
Tegalan/sawah
9,182,000
25,028,000
22,024,600
61 a-d
Kebun campuran
11,648,450
35,421,000
21,228,887
70 a
Kebun campuran
13,014,100
37,716,000
22,058,797
71 a-b
Kebun campuran
11,478,450
35,890,000
21,799,514
76 a-c
Kebun campuran
11,365,000
41,008,000
26,471,199
78 a-b
Kebun campuran
11,478,450
41,008,000
26,369,888
Sumber : Data primer hasil analisis Kebun campuran dan Tegalan Di DAS Wanggu tahun 2010 Standar KHL = 320 kg x Rp 5500/kg beras x 5 org x 2.5 IF = Rp 22,000,000
173 Tabel Lampiran 23.
No. (1) I
Contoh Perhitungan Biaya dan Pendapatan pada Kebun Campuran di Unit Lahan 56a di DAS Wanggu (Kakao, jeruk, gamal, pisang, Jagung)* Uraian (2)
Perhitungan rataan per tahun (3)
Biaya : A.Tenaga Kerja (7 jam/hari) : 1. Persiapan lahan : 14 HK; 2 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak 2. Pengolahan tanah: 16 HK , 2 lakilaki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anak-anak 3. Pemupukan: 8 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak 4. Penanaman: 8 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak 5. Pemeliharaan dan penyulaman tanaman: –Tahun I: 18 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 Wanita dewasa & 1 anakanak 6. Pemeliharaan (penyiangan, pengendalian gulma, H & P dan pemupukan tanaman: - Tahun II: 18 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak - Tahun III: 18 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak - Tahun IV: 20 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak - Tahun V: 20 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak - Tahun VI: 20 HK; 2 Lak-laki dewasa, 1 wanita deawasa & 1 anak-anak - Tahun VII s.d.tahun X=tahun VI 7. Panen (Jagung, pisang) - Tahun I : 8 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak - Tahun II : 8 HK; 2 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 1 anak-anak - Tahun III: 8 HK; 2 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak 8. Panen (Kk, Rb, Jr, Ps) - Tahun IV: 44 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanitas dewasa & 1 anak-anak - Tahun V : 44 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak.
{(14x2x7/6)+(0.7x14x7/6)+(0.5x14x7/6) = 52.3 HOK {(16x2x7/6)+(0.7x14x7/6)+(0.5x14x7/6) = 59.7 HOK {(8x1x7/6)+(0.7x8x7/6)+(0.5x8x7/6) = 20.6 HOK {(8x1x7/6)+(0.7x8x7/6)+(0.5x8x7/6) = 20.6 HOK
{(18x1x7/6)+(0.7x18x7/6)+(0.5x18x7/6) = 46.2 HOK
{(18x1x7/6)+(0.7x18x7/6)+(0.5x18x7/6) = 46.2 HOK {(18x1x7/6)+(0.7x18x7/6)+(0.5x18x7/6) = 46.2 HOK {(20x1x7/6)+(0.7x20x7/6)+(0.5x20x7/6) = 51.4 HOK {(20x1x7/6)+(0.7x20x7/6)+(0.5x20x7/6) = 51.4 HOK {(20x1x7/6)+(0.7x20x7/6)+(0.5x20x7/6) = 51.4 HOK = 205.6 HOK
{(8x1x7/6)+(0.7x8x7/6)+(0.5x8x7/6) = 20.6 HOK {(8x2x7/6)+(0.7x8x7/6)+(0.5x8x7/6) = 29.9 HOK {(8x2x7/6)+(0.7x8x7/6)+(0.5x8x7/6) = 29.9 HOK {(44x1x7/6)+(0.7x44x7/6)+(0.5x44x7/6) = 113.3 HOK {(44x1x7/6)+(0.7x44x7/6)+(0.5x44x7/6) = 113.3 HOK
Jumlah (Rp)/1000 (4)
174
Tabel Lampiran 23. Lanjutan (1)
(2) - Tahun VI : 52 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak
(3)
(4)
{(52x1x7/6)+(0.7x52x7/6)+(0.5x52x7/6) 149.4 HOK
=
{(60x1x7/6)+(0.7x60x7/6)+(0.5x60x7/6) HOK
= 154
{(60x1x7/6)+(0.7x60x7/6)+(0.5x60x7/6) HOK
= 154
- Tahun IX : 60 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak
{(60x1x7/6)+(0.7x60x7/6)+(0.5x60x7/6) HOK
= 154
- Tahun X : 60 HK; 1 Laki-laki dewasa , 1 wanita dewasa & 1 anakanak
{(60x1x7/6)+(0.7x60x7/6)+(0.5x60x7/6) HOK
= 154
- Tahun VII: 60 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak - Tahun VIII: 60 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak
Pasca Panen (Jg,Psg): - Tahun I: 4 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anak-anak - Tahun II: 12 HK, 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anak-anak - Tahun III:12 HK, 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anak-anak - Tahun IV(Kk, Jr, Ld, psg): 12 HK, 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anak-anak - Tahun V: 18 HK, 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anak-anak - Tahun VI: 22 HK, 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak - Tahun VII: 28 HK, 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak - Tahun VIII: 32 HK, 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak - Tahun IX: 35 HK, 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anakanak
{(4x1x7/6)+(0.7x4x7/6)+(0.5x4x7/6) = 10.3 HOK
- Tahun X: 44 HK, 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anak-anak
{(44x1x7/6)+(0.7x44x7/6)+(0.5x44x7/6) = 112.9 HOK
Sub Total A B. Sarana Produksi: 1. Bibit/benih: Jagung = 8 kg Anak psg = 100 akn (10x10) Kakao = 666 ph (3x3) Jeruk = 188 ph (4x4) Lada = 376 ph (4x2) Gamal = 450 stek 2. Peralatan(parang, arit, pacul, linggis, keranjang,tikar) dan
{(12x1x7/6)+(0.7x12x7/6)+(0.5x12x7/6) = 30.8 HOK {(12x1x7/6)+(0.7x12x7/6)+(0.5x12x7/6) = 30.8 HOK {(12x1x7/6)+(0.7x12x7/6)+(0.5x12x7/6) = 30.8 HOK {(18x1x7/6)+(0.7x18x7/6)+(0.5x18x7/6) = 46.2 HOK {(22x1x7/6)+(0.7x22x7/6)+(0.5x22x7/6) = 56.5 HOK {(28x1x7/6)+(0.7x28x7/6)+(0.5x28x7/6) = 71.9 HOK {(32x1x7/6)+(0.7x32x7/6)+(0.5x32x7/6) = 82.1 HOK {(12x1x7/6)+(0.7x12x7/6)+(0.5x12x7/6) = 89.8 HOK
1,947.7 HOK X Rp 30.000
8 x Rp 12,000 100 x Rp 3,000 666 x Rp 4,000 188 x Rp 5,000 376 x Rp 3,000 450 x Rp 500
= Rp 96,000 = Rp 300,000 = Rp 2,664,000 = Rp 940,000 = Rp 1,128,000 = Rp 225,000
Rp 2,000,000+ Rp1,000,000+
58,431
175 Tabel Lampiran 23. Lanjutan (1)
II.
(2) Sepeda + biaya perawatan 3. Pupuk (TSP,KCL,urea) 200 kg Pupuk kandang 20 kw Pestisida (Rundup&Ambus) 4 lt Biaya penyemprotan 4. Pengangkutan hasil panen Sub Total B Total Biaya A + B (10 tahun) PENDAPATAN : A. Produksi Kebun campuran (KK, Jr, Ld, Psg, Jg & Gml) 1. Panen I (tahun 1): Jagung : 1,600 kg Pisang : 100 rumpun 2. Panen 2 (tahun 2): Jagung: 1,600 kg Pisang : 100 rumpun 3. Panen 3 (tahun 3): Jagung: 1,600 kg Pisang : 100 rumpun Kakao : 666 ph = 66 kg Lada : 376 ph = 37 kg 4. Panen 4 (tahun 4): Pisang : 100 rumpun Kakao : 264 kg Jeruk : 564 kg Lada : 74 kg 5. Panen 5 (tahun 5): Kakao : 528 kg Jeruk : 1128 kg Lada : 148 kg 6. Panen 6 (tahun 6): Kakao : 802 kg Jeruk : 1128 kg Lada : 222 kg 7. Panen 7 (tahun 7): Kakao : 934 kg Jeruk : 1692 kg Lada : 296 kg 8. Panen 8 (tahun 8): Kakao : 1066 kg Jeruk : 2256 kg Lada : 370 kg 9. Panen 9 (tahun 9): Kakao : 1279 kg Jeruk : 2707 kg Lada : 444 kg 10. Panen 10 (tahun 10): Kakao : 1279 kg Jeruk : 2707 kg Lada : 444 kg
(3) Rp 1,000,000 = Rp 4.000,000 200x2x10xRp 2500 = Rp 10,000,000 20x3x3xRp20,000 = Rp 3,600,000 4x2x2x10xRp50000 = Rp 8,000,000 2x10x Rp 100,000 = Rp 2,000,000 2x10x Rp 400,000 = Rp 8,000,000 48,553 = Rp 40,953,000
1,600 x Rp 6,000 100 x Rp 16,000
= Rp 9,600,000 = Rp 1,600,000
40,953 99,384
11,200
1,600 x 2 x Rp 6,000 = Rp19,200,000 100 x 3 x Rp16,000 = Rp 4,800,000
24,000
1,200 x 2 xRp 6,000 = Rp 19,200,000 100 x 3 x Rp16,000 = Rp 4,800,000 66 x 1 x Rp20,000 = Rp 1,320,000 37 x 1 x Rp45,000 = Rp 1,665,000
26,985
100 x 2 x Rp 16,000 264 x 2 x Rp 20,000 564 x 1 x Rp 5,000 74 x 1 x Rp 45000
= Rp 3,200,000 = Rp10,560,000 = Rp 2,820,000 = Rp 3,330,000
19,910
528 x 2 x Rp 20,000 = Rp 21,120,000 1128 x x Rp 5,000 = Rp 5,640,000 148 x1 x Rp45,000 = Rp 6,660,000
33,420
802 x 2 x Rp 20,000 = Rp 32,080,000 1128x1x Rp 5,000 = Rp 5,640,000 222 x1 x Rp 45,000 = Rp 9,990,000
47,710
934 x2 x Rp 20,000 = Rp 37,360,000 1692x1x Rp 5,000 = Rp 8,460,000 296 x1 x Rp 45,000 = Rp 13,320,000
59,140
1066 x 2x Rp 20,000 = Rp 42,640,000 2256 x 1x Rp 5,000 = Rp 11,280,000 370 x 1x Rp 45,000 = Rp 16,650,000
70,570
1279 x 2 x Rp 20,000 = Rp 51,160,000 2707 x 1 x Rp 5,000 = Rp 13,535,000 444 x 1 x Rp 45,000 = Rp 19,980,000
84,675
1279 x 2x Rp 20,000 = Rp 51,160,000 2707 x 1 x Rp 5,000 = Rp 13,535,000 444 x 1 x Rp 45,000 = Rp 19,980,000
84,675
Total pendapatan 10 tahun (C) Pendapatan bersih 10 th = C – (A+B)
(4)
462,285 Total Pendapatan – Total Biaya
Pendapatan bersih rataan KK/ha/th Keterangan: Contoh Kebun Campuran pada Petani Sukses di lokasi penelitian tahun 2010 Contoh perhitungan untuk luas 1 ha dalam 10 tahun.
362,901 36,290.1
176 Tabel Lampiran 24. Contoh Perhitungan Biaya dan Pendapatan Usahatani Tegalan (unit lahan 57a) di DAS Wanggu Tahun 2010 No .
Uraian
Perhitungan rataan per tahun
Jumlah (Rp)/1000
(1)
(2)
(3)
(4)
I
Biaya : A.Tenaga Kerja (7 jam/hari) : 1. Persiapan lahan : 10 HK; 1 Laki-laki dewasa & 1 anakanak 2. Pengolahan tanah& pemupukan: 32 HK,1 laki - laki dewasa & 1 anak-anak 3. Penanaman & penyulaman: 8 HK; 1 Laki-laki dewasa & 1 anak-anak 4. Pemeliharaan dan pengendalian H &P tanaman: 24 HK, 1 Lakilaki dewasa, 1 Wanita dewasa & 1 anak-anak 5. Panen (Jg,UK, KT, Bc, Kc & Tm) : 6 HK; 1 Laki-laki dewasa, 1 wanita dewasa & 1 anak-anak 6. Pasca panen: 8 HK; 1 laki-laki, 1 wanita dewasa & 1 anak-anak Sub total A
{(10x1x7/6)+(10x0.5x7/6) = 17.5 HOK
{(32x1x7/6)+(32x0.5x7/6) = 56.0 HOK
{(8x1x7/6)+(8x0.5x7/6)= 14.0 HOK
{(24x1x7/6)+(24x0.7x7/6)+(24x0.5x7/6) = 61.6 HOK {(6x1x7/6)+(6x0.7x7/6)+(6x0.5x7/6) 15.4 HOK
=
{(8x1x7/6)+(8x0.7x7/6)+(8x0.5x7/6) 20.5HOK
=
185 HOK x Rp 30,000
B. Sarana Produksi: 1. Bibit/benih: Jagung 25 kg Ubi kayu 500 btg (0.5 m) Kacang tanah 20 kg Boncis 5 kg Kacang Panjang 5 kg Timun 2 kg 2. Pupuk & Pestisida: Pupuk kandang 20 kw Pupuk Urea dan TSP 25 kg Pestisida 2 lt 3. Peralatan: (Parang,pacul, arit & garpu) 1 masing-masing 1 bh Suprayer (alat semprot) 1 bh
25 x Rp 12,000 500 x Rp 200 20 x Rp 20,000 5 x Rp 28,000 5 x Rp 20,000 2 x Rp 31,000
5,550
= Rp 300,000 = Rp 100,000 = Rp 400,000 = Rp 140,000 = Rp 100,000 = Rp 62,000
20 x Rp 40,000 = Rp 800,000 25x2x2x Rp 2,500 = Rp 250,000 2 x 2 x Rp 90,000 = Rp 360,000 4 x 2 x Rp 40,000 = Rp 320,000 1 x Rp 300,000
Sub Total B Total Biaya ( A + B )
= Rp 300,000 3,132 8,682
177 Tabel Lampir 24. Lanjutan (1) II.
Uraian (2)
Perhitungan rataan per tahun (3)
Jumlah (Rp)/1000 (4)
PENDAPATAN: P. lahan Tegalan Unit lahan (57a) Jagung+K.Tanah –U.Kayu+Boncis/K. Panjang+Timun: Jagung 600 kg, @ Rp 6,000
600 x Rp 6,000
= Rp 3,600,000
K. tanah 250 kg @ Rp 18,000
250 x Rp 18,000 = Rp 4,500,000
Ubi kayu 6,250 kg @ Rp 1,500
6,250 x Rp 1500 = Rp 9,375,000
Boncis 1,320 kg @ Rp 4,000
1,320 x Rp 4,000 = Rp 5,280,000
K. panjang 1,040 kg @ Rp 4,000
1,040 x Rp 4,000 = Rp 4,160,000
Timun 1,010 kg @ Rp 2,000
1,010 x Rp 2,000 = Rp 2,020,000
Sub total ( C ) Pendapatan Bersih : C – (A+B)
Total Pendapatan – Total Biaya
28,935 20,253
Pendapatan bersih: Dua puluh juta dua ratus lima puluh tiga ribu rupiah/KK/ha/th.-