ANALISIS RESIDU DETERGEN ANIONIK LINEAR ALKYLBENZENE SULFONATE (LAS) DI PERAIRAN TELUK KENDARI SULAWESI TENGGARA SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana
Oleh :
NUR HASMY HARSONO F1C1 11 089
JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, karunia, dan hidayah-Nya sehingga penulisan hasil penelitian yang berjudul
“Analisis Residu Detergen Anionik Linear
Alkylbenzene Sulfonate (LAS) Di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara” dapat terselesaikan. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada Bapak Amiruddin, S.Si., M.Si. selaku pembimbing pertama dan Bapak Armid, S.Si., M.Si., M.Sc., D.Sc. selaku pembimbing kedua untuk segala waktu, bimbingan, nasehat, pemecahan masalah yang selalu ada dalam mengatasi berbagai kendala dalam penelitian serta telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam mengarahkan dan membimbing penulis selama proses penyelesaian hasil penelitian ini. Penghormatan dan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Harsono dan Ibunda Sahanaa, atas segala doa, restu, kekuatan, nasehat, kesabaran, serta pengorbanan yang tiada henti demi keberhasilan penulis. Melalui kesempatan ini pula, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak, khususnya : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.Si selaku Rektor Universitas Halu Oleo.
iii
2. Bapak Dr. Muh. Zamrun F., S.Si, M.Si., M.Sc. selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo. 3. Bapak Dr. L.O.A.N. Ramadhan, S.Si., M.Si. selaku Ketua Jurusan Kimia FMIPA Universitas Halu Oleo 4. Ibu Desy Kurniawati, S.Si., M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Halu Oleo yang telah memberikan banyak bantuan administratif. 5. Bapak Amiruddin, S.Si, M.Si selaku Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis selama pendidikan. 6. Bapak Dr. Imran, M.Si selaku Kepala Laboratorium Kimia FMIPA Universitas Halu Oleo. 7. Bapak Dr. rer. nat. H. Ahmad Zaeni, M.Si, Drs. Muh. Zakir Muzakkar, M.Si., Ph.D. dan Bapak Dr. Imran, M.Si selaku dewan penguji yang telah memberikan banyak ide serta saran kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir. 8. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Kimia, serta seluruh staf di lingkungan FMIPA Universitas Halu Oleo atas segala fasilitas dan pelayanan yang diberikan selama penulis dalam menuntut ilmu. 9. Kakek dan Nenek Penulis : Hamdan, Wa Ana, Ld. Fitanaa (Alm), dan Wd. Maziyda (Alm) atas doa, dukungan, dan segala bantuan yang tak terbatas yang diberikan kepada penulis. 10. Paman dan Bibi penulis : Hazimuddin Hamdan, S.Sos., M.Si, Muh. Jufri Hamdan, S.P., M.P.W., Hasmadin Hamdan, S.IP, Leni Nartin, S.Si dan Sri iv
Hernawati, S.Pd atas doa, dukungan, dan segala bantuan yang tak terbatas yang diberikan kepada penulis selama pendidikan. 11. Adik-adik saya : Hendris Purnomo Harsono dan Tri Rahmatyani Harsono atas doa dan dukungan moril yang diberikan kepada penulis. 12. Teman sepenelitian Rismawati atas kebersamaan dan kerjasamanya dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 13. Sahabat-sahabat penulis : Didit, Via, Sri, Alffan, Izar, Fath, Ipan, Tantri, Nurul, Aris, Aziz B, Dodi, Afiat, Yanto, Evy, Azis H, Apri, dan Indra untuk semua dukungan, kebersamaan, dan kasih sayang tak terbatas selama ini. 14. Saudara-Saudara seperjuangan Mahasiswa Kimia Angkatan 2011 : Ida, Suri, Anatia, Dion, Jafar, Lusi, Ain, Wino, Hendra, Mega, Tini, Herlin, Delvi, Lia, Fetty, Ani, Diana, Meilani, Evra, Nugi, Adi, Ratih, Ahyar, Wede, Osti, Kadek, Fina, Chen-Chen, Razi, Tuti, Dedeng, K’Andi dan K’fatih untuk kebersamaan tak ternilai selama ini. 15. Rekan-rekan mahasiswa kimia angkatan ’08, ’09, ’10, ’12, ’13, dan ’14 yang namanya tidak dapat penulis tuliskan satu-persatu atas bantuannya selama ini. 16. Zulfirah, Hayono, Imran, dan Jusdam atas bantuannya dalam proses pengambilan sampel. 17. Kak Yuda Marlina, S.Si atas dukungan dan bantuannya selama ini. 18. Tante Zati dan Kak Hana atas dukungan, bantuan dan kebersamaannya selama ini. 19. Teman-teman KKN : Dewi, Wilda, Rudi, Riswan, Mimin, Elvan, Rima, dan Apriadi atas dukungan dan kebersamaan selama ini.
v
20. Saudara-saudara, rekan-rekan, handai taulan di manapun berada, yang tidak dapat disebutkan namanya satu-persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan tugas akhir ini masih banyak terdapat kekurangan. Maka dari itu, kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak sangat penulis butuhkan demi kesempurnaan kedepannya.
Kendari,
April 2016
Penulis
vi
ANALISIS RESIDU DETERGEN ANIONIK LINEAR ALKYLBENZENE SULFONATE (LAS) DI PERAIRAN TELUK KENDARI SULAWESI TENGGARA Oleh : Nur Hasmy Harsono F1C1 11 089
INTISARI
Analisis kadar residu detergen anionik linear alkilbenzensulfonat di perairan Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara telah dilakukan. Analisis dilakukan dengan metode metilen biru dan diukur dengan menggunakan spektrofotometer Ultraviolet-Visible (UV-Vis). Residu detergen diekstraksi dengan kloroform dan kadar residu dalam ekstrak yang diperoleh di ukur pada panjang gelombang 652 nm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi terendah residu detergen ditemukan pada lokasi lepas pantai (Pulau Bokori) sebesar 0,001 ppm, sedangkan konsentrasi tertinggi pada daerah KDT sebesar 0,530 ppm. Uji parameter yang telah dilakukan menunjukkan metode tersebut memiliki daerah konsentrasi kerja 0,06 − 1 ppm dengan persamaan regresi y = 0,276 x + 0,179 dan nilai koefisien korelasi sebesar 0,9909 serta batas deteksi sebesar 0,06 ppm. Berdasarkan data analisis akurasi dan presisi metode analisis residu detergen tersebut dapat digunakan secara akurat dan memiliki ketelitian yang cukup baik, yaitu dengan nilai recovery sebesar 101% dan 98% serta nilai RSD 0,26% dan 0,49%, untuk masing-masing larutan uji 0,1 ppm dan 1 ppm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi residu detergen belum melampaui ambang batas baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor : Kep-02/MenKLH/I/2004.
Kata Kunci : metilen biru, detergen, spektrofotometer UV-Vis
vii
DETERMINATION OF ANIONIC DETERGENT RESIDUE OF LINEAR ALKYLBENZENE SULFONATE (LAS) IN MARINE ENVIRONMENT OF KENDARI BAY, SOUTHEAST SULAWESI By : Nur Hasmy Harsono F1C1 11 089
ABSTRACT
Analysis of anionic detergent residue of linear alkyl benzene sulfonate in Kendari Bay, Southeast Sulawesi has been performed. The analysis was conducted by blue methylene method and was measured using an Ultraviolet-Visible (UV-Vis) spectrophotometer. The LAS residue extracted with chloroform and the obtainedextract was measured at a wavelength of 652 nm. The results showed that the lowest concentration of LAS was found in offshore area (Bokori Isle) of 0.001 ppm, while the highest concentration at the inner bay area of 0.530 ppm. Test parameters that have been done show that the method has a working area of concentration from 0.06 to 1 ppm with the regression equation of y = 0.276 x + 0.179 and a correlation coefficient of 0.9909, while the detection limit of 0.06 ppm. Based on the analysis of data accuracy and precision, the analytical methods can be used accurately and precisely, with the recovery values of 101% and 98% and the RSD of 0.26% and 0.49%, for each solution test of 0.1 ppm and 1 ppm, respectively. The results showed that the residual concentration of detergent is not exceeding the threshold of sea water quality standard based on the Ministry of Environment Number: Kep-02 / MENKLH / I / 2004.
Kata Kunci : blue methylene, detergent, UV-Vis spectrophotometer
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL
i
LEMBAR PENGESAHAN
ii
KATA PENGANTAR
iii
INTISARI
vii
ABSTRACT
viii
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
xiv
I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
6
C. Tujuan Penelitian
6
D. Manfaat Penelitian
6
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kondisi Geografis Teluk Kendari
7
B. Pencemaran Air
8
C. Detergen
13
D. Penentuan Surfaktan dengan Metode Metilen Biru
17
E. Metode Spektrofotometer UV-Visible
19
F. Uji Parameter
22
1. Linearitas
22
2. Batas Deteksi
23
3. Rentang Konsentrasi Kerja
24
4. Akurasi
24
5. Presisi
25
III. METODE PENELITIAN A.
Waktu dan Tempat Penelitian
27 ix
B.
C.
Alat dan Bahan
27
1.
27
Alat
2. Bahan
27
Prosedur Penelitian
28
1. Penentuan Stasiun Penenlitian
28
2. Pengambilan Sampel
30
3. Analisis Sampel
30
a. Preparasi Sampel
30
b.Pembuatan Pereaksi
31
c. Penetapan Panjang Gelombang Maksimum
32
d.Kestabilan Warna
32
e. Analisis Kurva Kalibrasi
32
f. Analisis Sampel
33
g.Analisis Data
33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum
35
B. Uji Kestabilan Warna
37
C. Uji Parameter
38
1. Linearitas
39
2. Batas Deteksi
41
3. Rentang Konsentrasi Kerja
41
4. Akurasi
42
5. Presisi
43
D. Status Pencemaran Detergen Anionik LAS di Perairan Teluk Kendari
44
V. PENUTUP A. Kesimpulan
49
B. Saran
50
DAFTAR PUSTAKA
51
LAMPIRAN
55
DAFTAR TABEL
Tabel
Teks
Halaman
1.
Sifat Fisik Lienar Alkylbenzene Sulfonate
16
2.
Komposisi LAS dalam Beberapa Detergen
16
3.
Warna-warna Komplementer pada Spektrum Tampak
20
4.
Lokasi Koordinat Titik Sampling
29
5.
Data Linearitas Kurva Standar LAS
40
6.
Data Uji Akurasi
43
7.
Data Uji Presisi
44
8.
Hasil Pengukuran Konsentrasi LAS
45
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Teks
Halaman
1.
Pemetaan Satelit Teluk Kendari
7
2.
Struktur Senyawa Detergen
13
3.
Struktur Alkyl Sulfonat
14
4.
Struktur Molekul LAS
16
5.
Metilen Biru
17
6.
Struktur Senyawa Metilen Biru
18
7.
Reaksi Antara Surfaktan dengan Metilen Biru
18
8.
Skema Peralatan Spektrofotometer
21
9.
Lokasi Pengambilan Sampel
28
10.
Kurva Penentuan Panjang Gelombang Maksimum MB-LAS
35
11.
Kurva Penyerapan Panjang Gelombang Maksimum MB murni
37
12.
Kurva Kestabilan Warna MB-LAS
38
13.
Kurva Kalibrasi Larutan Standar LAS
40
14.
Histogram kadar residu detergen LAS pada 5 grup sampling
46
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Teks
Halaman
1.
Diagram Alir Prosedur Penelitian
55
2.
Diagram Alir Metode Pembuatan Larutan
56
3.
Data Pengkuran Panjang Gelombang Maksimum Metilen Biru
62
4.
Data Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum LAS
64
5.
Data Pengukuran MB-LAS
65
Panjang
Gelombang
Maksimum
6.
Kestabilan Warna
67
7.
Analisis Kurva Kalibrasi
68
8.
Analisis Data Regresi
69
9.
Analisis Data Uji Akurasi
72
10.
Analisis Data Uji Presisi
74
11.
Analisis Sampel
76
12.
Nilai Distribusi t
77
13.
Dokumentasi Kegiatan
78
xiii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang / Singkatan
Arti Lambang / Singkatan
A
Absorbans
BT
Bujur Timur
g
Gram
g/mL
Gram per milliliter
g/mol
Gram per mol
GPS
Global Positioning System
LAS
Linear Alkylbenzene Sulfonate
LOD
Limit of Detection
LOQ
Limit of Quantitation
LS
Lintang Selatan
M
Molaritas
MB
Methylen Blue
mg/kg
Miligram per kilogram
mg/L
Miligram per liter
mL
Mililiter
nm
Nanometer
ppm
Part Per Million
r dan r2
Koefisien korelasi
RSD
Relative Standard Deviation
SD
Standard Deviation
US
United States
UV
Ultra Violet
UV-Vis
Ultra Violet-Visible
%
Persen
°C
Derajat Celsius
xiv
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Tanpa air, kehidupan tidak dapat berlangsung. Dalam kehidupan sehari-hari air mempunyai banyak manfaat pada berbagai kegiatan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari manusia menggunakan air untuk berbagai keperluan seperti minum, mencuci, industri, pertanian dan lain sebagainya (Darmono, 2001). Sumber air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut berasal dari air tanah dan air permukaan. Apabila kandungan berbagai zat maupun mikroorganisme yang terdapat di dalam air melebihi ambang batas yang diperbolehkan, kualitas air akan terganggu, sehingga tidak bisa digunakan untuk berbagai keperluan baik untuk air minum, mandi, mencuci atau keperluan lainya. Dewasa ini tingkat pencemaran air mengalami peningkatan secara tajam seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Pencemaran air dapat disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya adalah akibat adanya limbah detergen. Produk detergen saat ini sudah digunakan oleh hampir semua penduduk untuk berbagai keperluan seperti mencuci pakaian dan perabotan serta sebagai bahan pembersih lainnya. Salah satu usaha yang berkembang pesat saat ini, yang banyak menggunakan detergen adalah usaha laundry (Sopiah, 2006).
1
2
Negara Indonesia, khususnya di daerah perkotaan, polusi detergen dalam air minum masih menjadi masalah yang cukup serius. Hal ini disebabkan karena konsumsi detergen oleh masyarakat semakin besar sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk. Di lain pihak fasilitas pengolahan limbah domestik yang banyak mengandung senyawa detergen belum memadai atau sangat kurang. Detergen sintesis terutama jenis anionik telah digunakan secara luas di Indonesia sejak 20 tahun terakhir sehingga residunya telah mengakibatkan pencemaran sungai, danau, laut, maupun air tanah dangkal (Eniola, 2008). Kemajuan teknologi dan pertumbuhan jumlah penduduk juga telah meningkatkan kebutuhan detergen sebagai bahan pembersih. Detergen yang digunakan pada saat ini dominan mengandung bahan aktif surfaktan anionik Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS). Detergen pertama kali diproduksi di Indonesia pada awal tahun 1970 oleh PT Unilever Indonesia. Konsumsi detergen di Indonesia terus meningkat dari tahun ketahun mengikuti pertumbuhan penduduk dan peningkatan pendapatan seseorang. Di Indonesia ada sekitar 133 merek/nama produk detergen dengan jumlah produksi 495.800 ton pada tahun 1998 menjadi 499.100 ton pada tahun 2002 dengan nilai ekspor 14.780 ton pada tahun 1997 menjadi 77.565 ton pada tahun 2002 (Goliath, 2004). Tingkat konsumsi penduduk per kapita rata-rata sebesar 18 kg. Konsumsi global terhadap surfaktan LAS menurut Vidali (2000) meningkat dari 13 juta ton pada tahun 1977 menjadi 18 juta ton pada tahun 1996, dengan jumlah sekitar 1,5 juta ton per tahun digunakan sebagai bahan aktif detergen. Menurut Blagoev dan Gubler (2009) sekitar 2 juta ton LAS dikonsumsi per tahun di dunia
3
pada tahun 2000 dan pada tahun 2010 ditargetkan 3,4 juta ton untuk bahan aktif detergen. Pengguna detergen pada umumnya (86,8 %) tidak mengetahui jenis bahan aktif yang dikandung dalam detergen dan memiliki rasa kepedulian yang rendah terhadap kelestarian lingkungan hidup yang ditunjukkan dengan cara membuang air limbah detergen ke saluran drainase. Alasan utama penggunaan suatu detergen oleh konsumen karena daya bersih yang dihasilkan tetapi bukan didasarkan pada keamanan terhadap lingkungan. Hal tersebut diperkuat dengan 86 % responden menggunakan detergen untuk setiap kali mencuci yang melebihi takaran yang dianjurkan, serta konsumsi detergen sekitar 1,0-2,0 kg/keluarga/bulan (Suharjono, 2007). Detergen merupakan salah satu zat pembersih seperti halnya sabun dan air yang memiliki sifat dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga digunakan sebagai bahan pembersih kotoran yang menempel pada benda. Bahan baku pembuatan detergen adalah bahan kimia sintetik, meliputi surfaktan, bahan pembentuk, bahan pengisi dan bahan tambahan. Menurut struktur kimianya, molekul surfaktan dibedakan menjadi dua yaitu rantai bercabang (alkyl benzene sulfonat atau ABS) dan rantai lurus (liniar alkylbenzene sulfonate atau LAS). ABS merupakan jenis surfaktan yang pertama kali digunakan secara luas sebagai bahan pembersih yang berasal dari minyak bumi. Jenis ini mempunyai sifat yang tidak mudah diuraikan oleh bahan-bahan alami seperti mikroorganisme, matahari, dan air. Banyaknya percabangan ABS ini menyebabkan kadar residu ABS sebagai penyebab terjadinya pencemaran air. Sedangkan untuk detergen LAS merupakan jenis surfaktan
4
yang lebih mudah diuraikan oleh bakteri. Meskipun hampir semua detergen yang beredar di pasaran menggunakan surfaktan LAS, tetapi akan menyebabkan pencemaran apabila keberadaan detergen melebihi batas kemampuan lingkungan untuk menguraikannya (Yuliani, 2010). Penggunaan detergen sebagai pembersih terus berkembang dalam 30 tahun terakhir ini. Hal ini disebabkan karena detergen mempunyai efesiensi pembersihan yang baik, terutama jika digunakan dalam air sadah atau pada kondisi lainnya yang tidak menguntungkan bagi penggunaan sabun biasa (Fardiaz, 1992 ). Keuntungan detergen dalam pemakaiannya karena alkil sulfonat dan sulfat dari kebanyakan logam larut dalam air dan tidak mengendap bersama ion logam dalam air sadah (Fessenden,1992 ). Kekurangan detergen jika dibandingkan dengan sabun, detergen merupakan suatu bahan kimia yang sisa buangannya lebih tahan dan tidak berubah dalam berbagai media ( asam maupun alkali ). Beberapa sifat umum dari detergen adalah merugikan kepentingan kesehatan umum di dalam proses waste water treatment. Karena sifat stabilitas yang mantap sebagai bahan yang tidak mudah terdegradasi di dalam sistim hydrological cycle. Detergen menurunkan tegangan permukaan (interfacial ) maupun tegangan dalam air itu sendiri (Ryadi, 1984 ). Selain itu detergen dapat mengakibatkan kerugian lain seperti yang dinyatakan oleh Terangna dan Clendennin (1989 ) bahwa detergen anionik yang mengandung alkil sulfonat pada kadar
5-10 ppm bersifat racun terhadap alga.
Sedangkan Budiawan (2009 ) menyatakan bahwa, kandungan detergen yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi, karena hampir semua detergen
5
mengandung senyawa fosfat yang merupakan zat hara, sehingga merangsang pertumbuhan biota nabati perairan yang tidak di inginkan yang dapat menurunkan estetika. Buih yang dihasilkan oleh detergen diperkirakan juga akan mempengaruhi difusi oksigen dari udara ke dalam air. Kawasan pesisir Teluk Kendari memiliki potensi pencemaran yang sangat besar, hal ini disebabkan bentuk teluk yang semi tertutup yang seluruh aktivitas manusia di daratan akan bermuara ke arah pantai Teluk Kendari bagian dalam. Tidak adanya basuhan yang mengarah ke arah lautan menjadikan pesisir Teluk Kendari menyimpan bahan pencemar. Sungai Wanggu merupakan salah satu sungai terbesar yang membelah kota Kendari dan bermuara di teluk. Secara umum, sumber pencemaran perairan Teluk Kendari dapat diidentifikasi dari berbagai input diantaranya: industri dan perikanan, pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, aktivitas transportasi laut, limbah hotel dan ruko, limbah rumah sakit, limbah rumah tangga, dan kegiatan pertambangan. Semua kegiatan ini memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap peningkatan konsentrasi detergen pada perairan ini. Sebagai akibat dari kegiatan di atas penulis mencoba menganalisis residu detergen yang ada pada perairan Teluk Kendari dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana keberadaan detergen anionik LAS (Linear Alkylbenzene Sulfonate) pada lokasi ini. Metode yang digunakan untuk menentukan konsentrasi detergen anionik LAS
(Linear
Alkylbenzene
Sulfonate)
adalah
metode
metilen
spektrofotometer UV-VIS sebagai alat ukur (Greenberg,et al 1997).
biru
dan
6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : 1. Bagaimana menentukan konsentrasi detergen anionik LAS pada perairan Teluk Kendari? 2. Bagaimana kestabilan kompleks yang diperoleh pada fasa kloroform? 3. Sejauh mana akurasi dan presisi dari metode yang digunakan? C. Tujuan Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran badan air Teluk Kendari sebagai media pembuangan limbah detergen anionik LAS, dengan mempertimbangkan kemampuan swapentahiran (kemampuan pemulihan secara alami). Tujuan secara khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Menentukan konsentrasi detergen anionik LAS pada perairan Teluk Kendari.
2.
Mempelajari kestabilan kompleks yang diperoleh pada fasa kloroform.
3.
Menentukan akurasi dan presisi dari metode yang digunakan.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : 1.
Memberikan informasi tentang status pencemaran detergen anionik Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) pada perairan Teluk Kendari.
2.
Pengembangan ilmu pengetahuan dibidang analisis dan penentuan kadar detergen pada lingkungan perairan.
7
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kondisi Geografis Teluk Kendari Teluk Kendari meruapakan perairan semi tertutup yang dikelilingi oleh daratan kota Kendari. Perairan ini merupakan tempat pertemuan antara air tawar dan laut atau peralihan antara perairan tawar dan perairan laut. Jika dilihat dari kondisi tersebut, perairan Teluk Kendari dapat digolongkan sebagai perairan estuari. Habitat estuary relatif lebih subur (produktif) sehingga habitat ini menjadi daerah asuhan yang baik bagi larva udang, ikan, dan kerang, bahkan ada jenis-jenis ikan yang menjadikan estuary seagai habitat sepanjang hidupnya (Asriyana dkk, 2011). Adapun pencitraan satelit berdasarkan google maps dari Teluk Kendari dapat dilihat pada Gambar 1.
Teluk Kendari
Gambar 1 : Pemetaan Satelit Teluk Kendari (www.maps.google.co.id)
7
8
Topografi Wilayah Teluk Kendari secara umum cukup bervariasi dengan bentuk pedataran, perbukitan landai dan terjal. Kelompok pedataran tersebar pada bagian barat dan selatan teluk, sementara kelompok perbukitan landai dan terjal tersebar di bagian utara teluk dengan berbagai tipe substrat diantaranya berpasir, berlempung, berlumpur, dan substrat yang mengandung pecahan karang (focilindonesia.org). Perairan Teluk Kendari memiliki luas sekitar 17,75 km 2 dengan total panjang garis pantai kurang lebih 85,85 km, berbentuk hampir seperti segitiga.Alur sempitnya tadi berada di bagian timur, dan makin ke barat alurnya makin melebar. Teluk ini terletak pada posisi antara 30˚57’50”- 30˚5’30” LS dan 122˚31’50” - 122˚36’30” BT dengan perkiraan luas ± 10,84 km2. Pantai utara Teluk Kendari merupakan kaki Gunung Nipa Nipa sehingga agak terjal. Sebaliknya di bagian barat dan selatan teluk merupakan dataran rendah yang garis pantainya ditutup hutan bakau (mangrove), sehingga kondisi perairan Teluk Kendari yang terlindung oleh penyempitan alur masuk itu, relatif tenang. Pergerakan arus bersifat local dan hanya sedikit dipengaruhi oleh arus teluk. Arus yang bergerak dari mulut dan ke dalam teluk dan sebaliknya pada saat terjadi pasang dan surut dengan kecepatan sekitar 13 km/jam. B. Pencemaran Air Pencemaran air dapat merupakan masalah regional maupun lingkungan global, dan sangat berhubungan dengan pencemaran udara serta penggunaan lahan tanah atau daratan. Walaupun air merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, tetapi air akan dapat dengan mudah terkontaminasi oleh aktivitas
9
manusia untuk tujuan yang bermacam-macam sehingga dengan mudah dapat tercemar. (Darmono, 1995). Air yang tersebar di alam semesta ini tidak pernah terdapat dalam bentuk murni, namun bukan berarti bahwa semua air sudah tercemar. Misalnya, walaupun di daerah pegunungan atau hutan yang terpencil dengan udara yang bersih dan bebas dari pencemaran, air hujan yang turun di atasnya selalu mengandung bahan-bahan terlarut, seperti karbon dioksida (CO2), oksigen (O2), dan nitrogen (N2), serta bahanbahan tersuspensi misalnya debu dan partikel-partikel lainnya yang terbawa air hujan dari atmosfir. Adanya benda-benda asing yang mengakibatkan air tersebut tidak dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya secara normal disebut dengan pencemaran air. Karena kebutuhan makhluk hidup akan air sangat bervariasi, maka batas pencemaran untuk berbagai jenis air juga berbeda-beda. Sebagai contoh, air kali di pegunungan yang belum tercemar tidak dapat digunakan langsung sebagai air minum karena belum memenuhi persyaratan untuk dikategorikan sebagai air minum. (Kristanto, 2002) 1.
Jenis Pencemaran Air Menurut Darmano (2010), pencemaran air terdiri dari bermacam-macam
jenis, antara lain: 1. Pencemaran Mikroorganisme dalam Air Berbagai kuman penyebab penyakit pada makhluk hidup seperti bakteri, virus, protozoa, dan parasit sering mencemari air. Kuman yang masuk ke dalam air
10
tersebut berasal dari buangan limbah rumah tangga maupun buangan dari industri peternakan, rumah sakit, tanah pertanian dan lain sebagainya. Pencemaran dari kuman penyakit ini merupakan penyebab utama terjadinya penyakit pada orang yang terinfeksi. Penyakit yang disebabkan oleh pencemaran air ini disebut water-borne disease dan sering ditemukan pada penyakit tifus, kolera, dan disentri. 2. Pencemaran Air oleh Bahan Anorganik Nutrisi Tanaman Penggunaan pupuk nitrogen dan fosfat dalam bidang pertanian telah dilakukan sejak lama secara meluas. Pupuk kimia ini dapat menghasilkan produksi tanaman yang tinggi sehingga menguntungkan petani. Tetapi dilain pihak, nitrat dan fosfat dapat mencemari sungai, danau, dan lautan. Sebetulnya sumber pencemaran nitrat ini tidak hanya berasal dari pupuk pertanian saja, karena di atmosfer bumi mengandung 78% gas nitrogen . Pada waktu hujan dan terjadi kilat dan petir, di udara akan terbentuk amoniak dan nitrogen terbawa air hujan menuju permukaan tanah. Nitrogen akan bersenyawa dengan komponen yang kompleks lainnya. 3. Pencemar Bahan Kimia Anorganik Bahan kimia anorganik seperti asam, garam dan bahan toksik logam lainnya seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), merkuri (Hg) dalam kadar yang tinggi dapat menyebabkan air tidak enak diminum. Disamping dapat menyebabkan matinya kehidupan air seperti ikan dan organisme lainnya, pencemaran bahan tersebut juga dapat menurunkan produksi tanaman pangan dan merusak peralatan yang dilalui air tersebut (karena korosif).
11
4. Pencemar Bahan Kimia Organik Bahan kimia organik seperti minyak, plastik, pestisida, larutan pembersih, detergen dan masih banyak lagi bahan organik terlarut yang digunakan oleh manusia dapat menyebabkan kematian pada ikan maupun organisme air lainnya. Lebih dari 700 bahan kimia organik sintetis ditemukan dalam jumlah relatif sedikit pada permukaan air tanah untuk diminum di Amerika, dan dapat menyebabkan gangguan pada ginjal, gangguan kelahiran, dan beberapa bentuk kanker pada hewan percobaan di laboratorium. Tetapi sampai sekarang belum diketahui apa akibatnya pada orang yang mengkonsumsi air tersebut sehingga dapat menyebabkan keracunan kronis. 2. Komponen Pencemaran Air Komponen pencemaran air akan menentukan terjadinya indikator pencemaran air. Pembuangan limbah industri, limbah rumah tangga, dan kegiatan masyarakat lainnya yang tidak mengindahkan kelestarian dan daya dukung lingkungan akan sangat berpotensi terjadinya pencemaran air. Menurut Sunu (2001), adapun komponen pencemaran air dikelompokkan sebagai berikut: a. Limbah Zat Kimia Apabila limbah zat kimia yang belum terolah dibuang langsung ke air lingkungan seperti sungai, danau, laut akan membahayakan bagi kehidupan organisme di dalam air. Limbah zat kimia sebagai bahan pencemar air dikelompokkan sebagi berikut:
12
1. Limbah Organik Limbah organik biasanya
dapat membusuk atau terdegradasi
oleh
mikroorganisme. Oleh karena itu, bila limbah industri terbuang langsung ke air lingkungan akan menambah populasi mikroorganisme di dalam air. Bila air lingkungan sudah tercemar limbah organik berarti sudah terdapat cukup banyak mikroorganisme di dalam air, maka tidak tertutup kemungkinan berkembangnya bakteri patogen. a.
Insektisida Insektisida sebagai bahan pemberantas hama masih banyak digunakan masyarakat khususnya di sektor pertanian. Apabila pemakaian insektisida berlebihan, maka akan mempunyai dampak lingkungan.
b.
Pembersih Zat kimia yang berfungsi sebagai pembersih banyak sekali macamnya seperti shampo, detergen, dan bahan pembersih lainnya. Indikasi adanya limbah zat pembersih yang berlebihan ditandai dengan timbulnya buih-buih pada permukaan air.
2. Limbah Anorganik Limbah anorganik biasanya tidak dapat membusuk dan sulit didegradasi oleh mikroorganisme. Limbah anorganik pada umumnya berasal dari industry yang menggunakan unsur-unsur logam seperti Arsen (As), Kadmium (Cd), Timbal (Pb), Krom (Cr), Kalsium (Ca), Nikel (Ni), Magnesium (Mg), Air Raksa (Hg), dan lainlain. Industri yang mengeluarkan limbah anorganik seperti industry electroplating,
13
industri kimia, dan lain-lain. Bila limbah anorganik langsung dibuang di air lingkungan, maka akan terjadi peningkatan jumlah ion logam di dalam air. C. Detergen Detergen adalah campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk membantu pembersihan dan terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Dibanding dengan sabun, detergen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air. Detergen merupakan produk teknologi yang strategis, karena telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern mulai rumah tangga sampai industri. Berikut ini adalah struktur senyawa detergen secara umum : OSO3Na+
Gambar 2. Struktur senyawa detergen Bahan-bahan yang umum terkandung pada detergen adalah surfaktan, builder, filler, dan additives. Surfaktan (Surface active agent) merupakan senyawa yang memiliki sifat permukaan aktif dan terdiri dari satu atau lebih gugus hidrofilik (polar) dan satu atau lebih gugus hidrofobik (non polar) yang mampu menurunkan tegangan permukaan air. Sifat rangkap ini menyebabkan surfaktan dapat diadsorpsi pada antar muka udara-air, minyak-air, dan zat padat-air
membentuk lapisan tunggal (EC,
2004). Gugus hidrofobik pada surfaktan berupa senyawa hidroksilat, sulfonat, fosfat dan garam ammonium. Jumlah hidrokarbon dari suatu molekul surfaktan harus mengandung 12 atom karbon agar efektif (Fatisa, 2003).
14
Surfaktan dapat ditemukan dalam detergen, kosmetik, farmasi, dan tekstil. Produk pangan seperti es krim juga menggunakan surfaktan sebagai bahannya. Karena sifatnya yang menurunkan tegangan permukaan, surfaktan dapat digunakan sebagai bahan pembersih (wetting agent), bahan pengemulsi (emulsion agent), dan sebagai bahan pelarut (solubilizing agent). Salah satu surfaktan yang pertama kali dibuat adalah sabun, dimana sabun merupakan hasil reaksi suatu ester dengan alkohol. Namun, reaksinya dengan garamgaram di air menghilangkan kereaktifannya. Sabun kemudian digantikan oleh surfaktan sintetis yang dibuat dalam rumusan komersial berupa detergen. Pada saat ini, kebanyakan surfaktan yang digunakan dalam detergen adalah garam dari sulfonat. O R
S
OH
O Gambar 3. Struktur Alkyl Sulfonat (id.wikipedia.org)
Surfaktan dan residu senyawa kimia dari detergen mempunyai efek merugikan bagi kehidupan akuatik dan bisa menjadi sangat toksik bagi lingkungan. (Ying, 2006). Surfaktan diklasifikasikan berdasarkan sifat muatan ioniknya di dalam air, dimana pembagian tersebut berupa surfaktan anionik, kationik, dan netral. Surfaktan anionik merupakan surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu senyawa anion atau di dalam air bagian hidrofiliknya membawa muatan negatif. Contoh dari surfaktan anionik adalah garam alkana sulfonat (Alkylbenzene sulfonat (ABS)), garam
15
olefin Sulfonat, dan garam sulfonat asam lemak rantai panjang (Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS)) (Schleheck, 2004). Pada detergen surfaktan yag umumnya digunakan adalah surfaktan anionik garam dari sulfonat atau sulfat berantai panjang dari natrium (RSO 3Na+ dan RSO4Na+). Pada tahun 1965, industri mengubah surfaktan dalam detergen menjadi surfaktan yang biodergradable yaitu surfaktan dengan alkil rantai lurus berupa LAS. Detergen umumnya menggunakan Linear Alkylbenzena Sulfonate (LAS) sebagai surfaktan. Setelah detergen digunakan senyawa ini akan terbawa bersama air ke pembuangan limbah cair. Berdasarkan penelitian, air buangan tanpa pengolahan limbah memiliki konsentrasi LAS sekitar 1-15 mg/L (Hera, 2009). Surfaktan anionik LAS memiliki toksisitas akut dan kronis terhadap alga invertebrata dan ikan antara 0 – 1 mg/L (Cramer, 2010). Konsentrasi LAS tersebut dapat menimbulkan efek toksik pada organism akuatik, manusia, serta dapat mencemari tanah yang kemudian berakibat tercemarnya sumber air bagi makhluk hidup (Hampel et al, 2009). LAS adalah senyawa yang dihasilkan dari sulfonasi dari linear alkylbenzene (LAB) yang merupakan senyawa turunan dari minyak bumi. Struktur senyawa ini adalah : H3C
CH2
CH2
CH2
CH2
O
CH
S
CH2
CH2
CH2
CH2
CH2
O
ONa
Gambar 4. Struktur Molekul LAS (Folker dan Landner, 2000)
COOH
16
Sifat fisik dari Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat Fisik Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) Rumus Molekul C12H25C6H4SO3Na Berat Molekul 348 gr/mol Titik didih 637˚C Titik leleh 277˚C Densitas 1198,4 kg/m3 Wujud Cair Kapasitas Panas 0,6 Kcal/ kg.K Warna Bening Viskositas bening 23,87 Cp (Folker dan Landner, 2000). LAS telah digunakan kurang lebih 40 tahun dengan perkiraan konsumsi 18,2 juta ton pada tahun 2003. Produksi detergen pada tahun 2009 menurut Badan Pusat Statistik Indonesia mencapai 191 ribu ton ( Mungray dan Kumar, 2009). Komposisi LAS dalam beberapa detergen dan agen pembersih dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi LAS Dalam Beberapa Detergen Persentase (%) proporsi LAS dalam agent Detergen konvensional 5-15 % Detergen padat 0-15 % Detergen Tablet 2-10 % Detergen pabrik tekstil 10-20 % Cairan pembersih 5-25% (Fatisa, 2003). Berbagai penelitian dalam ekotoksikologi membuktikan bahwa LAS dapat memberikan efek akut maupun kronis pada organisme akuatik. LAS dengan konsentrasi kurang lebih 0,02-1,0 mg/L pada lingkungan akuatik dapat merusak insang ikan menyebabkan sekresi lendir yang berlebihan (Izidin, 2001).
17
Syarifuddin dan Asmawati (2002) telah melakukan analisis konsentrasi residu detergen alkil linear sulfonat pada waktu pasang naik adalah 4,29 mg/L sebagai konsentrasi terendah dan tertinggi 233,19 mg/L. Hasil analisis menunjukkan bahwa konsentrasi residu detergen alkil sufonat linear telah melampaui ambang batas baik sebagai baku mutu air laut untuk biota laut (budidaya perikanan ) maupun baku mutu air laut untuk parawisata dan rekreasi. D. Penentuan Surfaktan dengan Metode Metilen Biru Metode analisis surfaktan yang mudah dan cepat serta dapat digunakan untuk mengawasi kadar surfaktan anionik adalah secara spektrofotometri, karena analisis dengan metode ini tidak memerlukan waktu yang cukup lama dan reagennya sedikit. Pereaksi pengomplek yang digunakan untuk analisis surfaktan anionik secara spektrofotometri adalah metilen biru (Washil, 2009). Bentuk fisik dari metilen biru dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Metilen Biru (id,Wikipedia.org). Metode MBAS berguna sebagai penentuan kandungan surfaktan anion dari air dan limbah, tetapi kemungkin adanya bentuk lain dari MBAS (selain interaksi antara metilen biru dan surfaktan anion) harus selalu diperhatikan. Metode ini relatif sangat sederhana dan pasti. Inti dari metode MBAS ini ada 3 secara berurutan yaitu:
18
Ekstraksi metilen biru dengan surfaktan anion dari media larutan air ke dalam kloroform (CHCl3) kemudian diikuti terpisahnya antara fase air dan organik dan pengukuran warna biru dalam CHCl3 dengan menggunakan alat spektrofotometri pada panjang gelombang 652 nm (Franson, 1992). Batas deteksi surfaktan anion menggunakan pereaksi pengomplek metilen biru sebesar 0,026 mg/L, dengan ratarata persen perolehan kembali 92,3% . N
S+
(CH3)2N
N(CH3)2
ClGambar 6. Struktur Senyawa Metilen Biru (Rudi dkk., 2004). MBAS adalah kompleks bahan aktif dengan metilen biru yang bersifat nonpolar dan dapat diekstrak oleh kloroform. Intensitas warna biru dari MBAS dapat diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. Reaksi antara surfaktan dengan metilen biru dapat diamati pada gambar berikut : N
N O
(CH3)2N
S+
N(CH3)2
Cl-
+
R
S
ONa+
(CH3)2N
O
S
N(CH3)2 +
OH R
S
O
O
Gambar 7. Reaksi antara surfaktan dengan metilen biru (Hummel, 1962).
NaCl
19
E. Metode Spektrofotometer UV-Visible Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu metode kuantitatif yang digunakan untuk mengukur transmitans atau serapan suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang dari radiasi elektromagenetik. Banyaknya energi radiasi yang diserap sebanding dengan kepekatan zat penyerap dalam larutan. Alat ini dapat dipakai untuk mengukur contoh yang kadarnya kecil ( Day dan Underwood, 1999). Menurut Hukum Lambert, serapan berbanding lurus terhadap ketebalan sel yang disinari. Menurut Hukum Beer, serapan berbanding lurus dengan konsentrasi (banyak molekul zat). Dari kedua pernyataan tersebut dapat dijadikan satu dalam Hukum Lambert-Beer, sehingga diperoleh bahwa serapan berbanding lurus terhadap konsentrasi dan ketebalan sel, yang dapat ditulis dalam persamaan berikut : 𝐴 = log Keterangan :
𝐼0 𝐼
= 𝑘𝑐𝑏
(1)
A = absorbans (serapan) I0 = intensitas sinar awal I = intensitas sinar yang diteruskan c = kosentrasi sampel (g/L) b = ketebalan sel (cm) k = konstanta sampel
Absorbans suatu senyawa pada panjang gelombang tertentu bertambah dengan makin banyaknya molekul yang mengalami transisi. Oleh karena itu absorbans bergantung pada struktur elektronik senyawa dan juga kepekatan dan panjangnya sel. ɛ=
𝐴𝑀 𝑐𝑙
(2)
20
Keterangan :
ε = absorptivitas molar A = absorptivitas ( g-1 cm-1) c = konsentrasi (M) l = absorbans M = berat molekul sampel (Supratman, 2010)
Warna merupakan salah satu kriteria dalam mengidentifikasi suatu obyek (Khopkar, 1990). Menurut Day dan underwood (1999), di dalam spektrum daerah tampak (visible), warna digunakan untuk kemudahan dalam menunjukkan suatu bagian-bagian tertentu dari spektrum, seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Warna-warna Komplementer pada Spektrum Tampak (visible) Panjang Gelombang Warna Warna Komplementer (nm) 400-435
Ungu
Kuning-kehijauan
435-480
Biru
Kuning
480-490
Hijau-kebiruan
Orange
490-500
Biru-kehijauan
Merah
500-560
Hijau
Merah-ungu
Penyerapan sinar UV-Vis dibatasi pada sejumlah gugus fungsional atau gugus kromofor (gugus dengan ikatan tidak jenuh) yang mengandung elektron valensi dengan tingkat eksitasi yang rendah. Radiasi ultraviolet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul organik aromatik, molekul yang mengandung elektron π terkonyugasi dan atom yang mengandung elektron n, menyebabkan transisi elektron diorbital terluarnya dari tingkat energi elektron terendah ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi. Besarnya serapan radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul
21
analit yang mengabsorpsi sehingga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Satiadarma, 2004).
Gambar 8. Skema Peralatan Spektrofotometer UV-Vis Tipikal Berikut ini adalah uraian komponen spektrofotometer UV-Vis, antara lain: 1. Sumber-sumber lampu; lampu deutrium digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang dari 190-350 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan untuk daerah sinar tampak (pada panjang gelombang antara 350-900 nm). 2. Monokromator; digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis. Alat tersebut dapat berupa prisma ataupun grating. Untuk mengarahkan sinar monokromatis yang diinginkan dari hasil penguraian 3. Kuvet; pada pengukuran di daerah tampak, kuvet kaca atau kuvet kaca corex dapat digunakan tetapi untuk pengukuran pada daerah UV yang digunakan adalah sel kuarsa. Umumnya tebal kuvet adalah 10 nm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi,
22
tetapi bentuk silinder dapat juga digunakan untuk pelarut organik. Sel yang baik adalah kuarsa atau gelas hasil leburan yang homogen. 4. Detektor; berperan untuk memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang. 5. Suatu amplifier (penguat) dan rangkaian yang berkaitan yang membuat isyarat listrik dapat untuk diamati 6. Sistem pembacaan yang memperlihatkan besarnya isyarat listrik (Gandjar dan Rohman, 2007). F. Uji Parameter Beberapa metode analisis yang digunakan di laboratorium harus melalui uji parameter agar hasil yang diperoleh metode tersebut sesuai dengan hasil yang diharapkan. Parameter yang diuji pada suatu metode dapat berupa spesivisitas, linearitas, akurasi atau perolehan kembali, sensitivitas, dan presisi. Metode analisis yang memenuhi parameter tersebut memainkan peran penting dikarenakan hasil yang diperoleh dari metode tersebut dapat digunakan untuk menilai kualitas dan tingkat kepercayaan metode analisis tersebut (Owen, 1996 dan Huber, 2010). 1. Linearitas Linearitas menunjukkan respon perbandingan
yang linear terhadap
konsentrasi analit dalam rentang konsentrasi larutan sampel. Linearitas juga merupakan suatu hubungan garis lurus dimana data yang diperoleh dibuat ke dalam persamaan sebagai berikut.
23
𝑦 = 𝑏𝑥 + 𝑎
(3)
Dimana y merupakan variabel terikat, x merupakan variabel bebas, b adalah slope dari kurva dan b adalah intersep dalam ordinat (sumbu y), Nilai y pada umumnya merupakan variabel terukur yang diplot sebagai fungsi perubahan x. Dalam spektrofotometri, hubungan garis lurus ini disebut kurva kalibrasi dengan nilai y merupakan absorbans terukur dan x merupakan konsentrasi dari standar. Dari kurva kalibrasi juga dapat dihitung koefisien korelasi untuk mengetahui derajat korelasi antara variabel terukur dan konsentrasi sampel. Aturan secara umum dengan nilai r berkisar 0,90-0,95 menunjukkan kurva yang cukup baik, nilai r berkisar 0,95-0,99 menunjukkan kurva yang baik dan nilai r lebih dari 0,99 menunjukkan linearitas yang sangat baik. Nilai r yang melebihi dari 0,999 juga dapat diperoleh dengan ketelitian yang sangat tinggi (Christian, 2004). 2. Batas Deteksi Batas deteksi merupakan jumlah atau konsentrasi terkecil dari analit yang dapat dideteksi dengan pengukuran statistik yang masih dapat dipercaya. Sedangkan batas kuantitasi merupakan konsentrasi atau jumlah terkecil dari analit yang dapat terukur (Harvey, 2000). Dan menurut Harmita (2004), batas deteksi merupakan jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko dan merupakan parameter uji batas. Batas deteksi atau LOD (Limit of Detection) dari beberapa metode juga dapat digambarkan sebagai sensitivitas untuk mendeteksi atau mengukur secara
24
kuantitas. LOD pada serapan UV dapat dihitung dari standar deviasi data yang diperoleh (Makino et al., 2009). 3. Rentang Konsentrasi Kerja Rentang konsentrasi kerja suatu metode merupakan rentang konsentrasi dimana akurasi dan presisi yang diperoleh masih dapat diterima, dan biasanya juga termasuk linearitas. Presisi akan berbeda pada setiap rentang konsentrasi. Pada konsentrasi rendah, nilai presisi menjadi buruk nilainya namun terkadang terjadi juga pada konsentrasi tinggi, seperti dalam pengukuran spektrofotometri sehingga dapat mengurangi wilayah konsentrasi kerja (Christian, 2004). Dan menurut Harmita (2004), rentang metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat diterima. 4. Akurasi Akurasi merupakan tingkat kedekatan antara hasil pengujian terhadap nilai pembanding yang diterima (McPolin, 2009). Akurasi juga dapat diartikan sebagai ukuran seberapa dekat hasil percobaan dengan hasil yang diharapkan. Selisih antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diharapkan dibagi dengan hasil yang diharapkan dan disebut sebagai persen kesalahan relatif. Metode akurasi dengan akurasi tinggi memiliki kesalahan relatif tidak lebih besar dari 1%. Metode dengan kesalahan relatif antara 1% dan 5% dapat dikatakan sebagai metode yang cukup akurat, namun metode akurasi rendah menghasilkan kesalahan relatif lebih besar dari 5% (Harvey, 2000).
25
Kecermatan (akurasi) dapat juga dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan tersebut dapat ditentukan dengan dua cara, yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) dan metode penambahan baku (standard addition method). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan murni ditambahkan ke dalam plasebo lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan kadar analit yang ditambahkan. Namun apabila tidak memungkinkan membuat sampel plasebo karena matriksnya tidak diketahui, maka dapat digunakan metode adisi dengan menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang diperiksa, lalu dianalisis dengan metode tersebut. Persen perolehan kembali ditentukan dengan menentukan berapa persen analit yang ditambahkan tadi dapat ditemukan (Harmita, 2004). 5. Presisi Presisi merupakan tingkat kesesuaian antara pengukuran yang berulang pada jumlah yang sama atau tingkat keterulangan dari hasil pengukuran. Presisi dapat dinyatakan sebagai standar deviasi, koefisien variasi, kisaran data, atau sebagai interval kepercayaan dari nilai rata-rata. Presisi yang baik tidak menjamin akurasi yang baik, seperti pada kasus kesalahan sistematik dalam analisis. Pengukuran berat setiap sampel memungkinkan terjadinya kesalahan, namun kesalahan tersebut mempengaruhi akurasi suatau analisis dan tidak mempengaruhi presisi (Christian, 2004).
26
Ada tiga jenis presisi, yaitu: keterulangan, presisi antara dan ketertiruan. a. Keterulangan (Repeatability) Keterulangan adalah kemampuan metode untuk memberikan hasil analisis yang sama untuk beberapa sampel yang kadarnya sama yang dilakukan oleh satu orang analis pada waktu tertentu terhadap beberapa sampel yang sama. b. Presisi antara (intermediate precision) Presisi antara adalah pengukuran kinerja metode di mana sampel-sampel diuji dan dibandingkan, dilakukan oleh analis yang berbeda, menggunakan peralatan berbeda dan pada hari yang berbeda. Presisi antara tidak perlu diuji jika kajian reprodusibilitas telah dilakukan. Nama lain presisi antara adalah “Ruggedness”. c. Ketertiruan (Reproducibility) Uji ketertiriuan merupakan pengujian presisi yang terakhir dan tuntas. Reprodusibilitas diuji dengan cara menyiapkan sampel yang homogen dan stabil, lalu diuji oleh beberapa laboratorium (studi kolaboratif). Hasil ini akan memperlihatkan adanya galat acak yang disebabkan oleh sampel dan laboratorium, serta galat sistematik (Rivai, 2010).
III.
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel di Perairan Teluk Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara dengan posisi koordinat 30˚57’50”- 30˚5’30” LS dan 122˚31’50” - 122˚36’30” BT. Analisis dilakukan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis di Laboratorium Instrumen dan Kimia Analitik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Halu Oleo. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 – November 2015. B. Alat dan Bahan 1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Global Positioning System (GPS) untuk menentukan titik koordinat pengambilan sampel, botol sampel polietilen, cool box, kertas saring Whattman, Labu Takar 50 mL, labu takar 100 mL, labu takar 250 mL, labu takar 1000 mL, gelas kimia, pipet tetes,
pipet
Ukur,
lemari
pendingin
(refrigerator),
corong
pisah,
Spektrofotometer UV-Vis (jasco V-630 Spectrophotometer). 2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS), metilen biru, HCl pekat, asam sulfat, asam nitrat, kloroform, dan akuades.
27
28
C. Prosedur Penelitian 1. Penentuan Stasiun Penelitian Pengambilan sampel air laut dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan titik-titik pengambilan sampel. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai kandungan LAS yang berasal dari buangan sisa pencucian dari rumah-rumah penduduk dan industri-industri yang dilewati perairan Teluk Kendari mulai dari hulu sampai hilir sungai, maka titik pengambilan sampel dilakukan pada daerah yang dilalui perairan Teluk Kendari seperti pada Gambar 9.
Gambar 9. Lokasi Pengambilan Sampel
29
Penentuan lokasi pengambilan sampel detergen dilakukan dengan mengambil 12 titik lokasi sampling pada kawasan perairan Teluk Kendari dengan letak geografis yang diukur dengan menggunakan GPS. Lokasi pengambilan sampel di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) wanggu sebanyak 2 titik, pada kawasan estuary sebanyak 1 titik, kawasan tengah Teluk Kendari sebanyak 3 titik, kawasan pelabuhan perikanan Samudra sebanyak 1 titik, kawasan Pelabuhan Ferry sebanyak 2 titik, kawasan Pelabuhan Nusantara sebanyak 2 titik dan pada Pulau Bokori sebanyak 1 titik. Pemilihan 12 titik sampel didasarkan pada asumsi keterwakilan dari sumber-sumber input pencemar dan proses-proses yang menyertainya di Teluk Kendari.
Sampel
Tabel 4. Lokasi Koordinat Titik Sampling Lokasi LS
S1 DAS Wanggu 122031’48.74” S2 DAS Wanggu 122032’02.10” S3 Estuari 122032’06.43” S4 Kawasan Dalam Teluk 122032’57.09” S5 Kawasan Dalam Teluk 122033’18.80” S6 Kawasan Dalam Teluk 122033’57.89” S7 Pelabuhan 122033’55.70” S8 Pelabuhan 122034’06.82” S9 Pelabuhan 122034’35.45” S10 Pelabuhan 122034’42.20” S11 Pelabuhan 122035’07.28” S12 Daerah Lepas Pantai 122 o39’56.95” BT : Bujur Timur ; LS : Lintang Selatan
BT 3058’48.75” 3o58’41.27” 3o58’41.30” 3o58’34.80” 3o58’44.44” 3o58’36.64” 3o58’58.02” 3o58’56.68” 3o58’27.73” 3o58’27.17” 3o58’17.66” 3 o56’31,.56”
30
2. Pengambilan Sampel Pengambilan sampel air sungai dilakukan pada titik-titik pengambilan sampel yang telah ditetapkan dengan kedalaman 1 m, Pengambilan sampel dilakukan dengan cara grab sebab analisis dimaksudkan hanya untuk menentukan kandungan LAS (Linear Alkylbenzene Sulfonate) dalam sampel pada saat pengambilan. Menurut Markert (1994), sampel grab adalah suatu sampel individual yang diambil pada satu waktu tertentu dan data yang dihasilkan hanya mewakili waktu tersebut. Sampel air ditampung dalam botol polietilen 500 ml dan diberi ~ 2 tetes HCl pekat untuk menstabilkan air sampel pada pH = 2 lalu dimasukkan ke dalam pendingin (cool box). Sampel kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis (Ramessur dkk, 2001). 3. Analisis Sampel a. Preparasi Sampel Peralatan yang digunakan untuk analisis perlu mendapat perhatian khusus, terlebih dahulu dicuci sebelum digunakan. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah kontaminasi terhadap wadah dan peralatan analisis sehingga data yang diperoleh memiliki jaminan mutu teliti dan kontrol kualitas. Semua wadah dan peralatan gelas yang digunakan untuk analisis dicuci dengan sabun kemudian dibilas dengan akuades hingga bebas sabun. Selanjutnya direndam dengan asam nitrat (1 : 3) selama 12 jam lalu dibilas kembali dengan akuades bebas ion (Weber, et al., 1962).
31
b. Pembuatan Pereaksi 1. Larutan baku Linear alkylbenzene sulfonate (LAS) 1000 mg/L Ditimbang 0,2500 gram zat, dimasukkan ke dalam labu takar 250 mL dan diencerkan dengan akudes sampai tanda batas. (Larutan ini disimpan dalam lemari pendingin pada temperature 4˚C dan sebaiknya dibuat perminggu 2. Larutan standar Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) 10 mg/L Larutan baku LAS sebanyak 1 mL dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL dan diencerkan dengan akuades sampai tanda batas. (Larutan ini diencerkan sesuai konsentrasi yang diinginkan sebelum digunakan dan sebaiknya dibuat setiap kali analisis). 3. Pereaksi metilen biru (MB) 100 mg/L Sebanyak 100 mg MB dilarutkan dengan akuades dalam labu takar 100 mL hingga tanda batas. diambil 30 mL larutan ini dan dimasukkan ke dalam labu takar 1000 mL, ditambahkan 500 mL akuades dan 41 mL larutan H2SO4 3 M. Dikocok hingga larut sempurna lalu di encerkan hingga tanda batas dengan akuades.
32
c. Penetapan panjang gelombang optimum Larutan standar LAS sebanyak 2,5 mL dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL lalu diencerkan dengan akuades hingga tanda batas. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam corong pisah 300 mL, ditambahkan 5 mL MB dan diekstraksi dengan 5 mL kloroform. Hasil ekstraksi dianalisis dengan alat spektrofotometer UV/Vis. Absorbans warna hasil ekstraksi larutan standar LAS diukur dengan kloroform sebagai blanko pada panjang gelombang 500 sampai 750 nm dan tebal sel serapan 1 cm. penetapan panjang gelombang optimum dilakukan setiap akan melakukan analisis. d. Kestabilan Warna Larutan standar LAS sebanyak 2,5 mL dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL lalu diencerkan dengan akuades hingga tanda batas. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam corong pisah 300 mL dan diekstraksi dengan menggunakan prosedur ekstraksi yang telah dioptimasi. Fasa kloroform yang ada pada bagian bawah corong pisah dikeluarkan dan absorbansinya diukur setiap selang waktu 5 menit selama 1 jam. e. Analisis Kurva Kalibrasi Seri kadar larutan standar LAS disiapkan dengan memipet 0 ; 0,25 ; 0,5 ; 1,0 ; 2,0 ; 3,0 ; 4,0 ; 5,0 ; dan 6,0 mL standar, dimasukkan ke dalam labu takar 50 mL lalu diencerkan dengan akuades hingga tanda batas. Larutan kemudian dipindahkan ke dalam corong pisah 300 mL dan diekstraksi
dengan menggunakan prosedur ekstraksi
yang telah
33
dioptimasi. Fasa kloroform yang ada pada bagian bawah corong pisah dikeluarkan dan absorbansinya diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang optimum. Kadar LAS dan serapan (A) dialurkan dalam sebuah grafik garis lurus. f. Analisis Sampel Sampel air sungai sebanyak 50 mL dimasukkan ke dalam corong pisah 300 mL lalu diekstraksi dengan menggunakan prosedur ekstraksi yang telah dioptimasi. Fasa kloroform yang ada pada bagian bawah corong
pisah
dikeluarkan
dan
absorbansinya
diukur
dengan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang optimum. Diulangi cara kerja yang sama sampai 3 kali (n = 3) pada tiap-tiap titik sampling. g. Analisis Data Kurva kalibrasi dibuat dengan mengalurkan hasil pengukuran serapan larutan standar (A) terhadap konsentrasi masing-masing larutan standar (C). Untuk menarik suatu garis lurus pada grafik antara nilai serapan terhadap konsentrasi, digunakan persamaan regresi yaitu: y = a + bx dengan Y = serapan (A); X = konsentrasi larutan standar (mg/L); a = suatu tetapan, dan b = tangen arah. Nilai a dan b dapat dihitung dengan persamaan :
(4)
34
a
=
y – bx
b
=
( x x )( y y ) (x x)
(5)
i
i
i
2
(6)
i
i
dengan n adalah jumlah data. Hubungan antara kedua variabel X dan Y dapat ditentukan dengan menetapkan koefisien korelasi, r, berdasarkan persamaan berikut :
( x r=
i
x )( yi y )
i
2 2 ( x i x ) ( y i y ) i i
(7)
Kadar LAS dalam sampel diperoleh dengan mengalurkan nilai serapannya pada kurva kalibrasi yang telah dibuat. Dilakukan uji statistik untuk menentukan akurasi dan presisi dari metode yang digunakan.
35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penentuan Panjang Gelombang Serapan Maksimum Panjang gelombang maksimum merupakan panjang gelombang suatu larutan uji yang memiliki serapan maksimum. Panjang gelombang serapan maksimum dapat ditentukan dengan cara membuat spektrum penyerapan dari larutan uji. Penentuan panjang gelombang maksimum bertujuan agar pengukuran setiap satuan konsentrasi diperoleh kepekaan analisis yang maksimal. Di bawah ini disajikan grafik hasil pengukuran panjang gelombang Metilen biru - Linear Alkylbenzene Sulfonate (MB-LAS) yang di ukur dengan spektrofotometer UV-Vis
Absorbans (A)
dengan kloroform sebagai blanko pada rentang panjang gelombang 500 – 750 nm.
0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 500 520 540 560 580 600 620 640 660 680 700 720 740 760 Wavelength (nm)
Gambar 10. Kurva Penentuan Panjang Gelombang Maksimum MB-LAS Berdasarkan Gambar 10, dapat dinyatakan bahwa energi radiasi maksimum yang diserap surfaktan anionik LAS dengan metilen biru adalah pada panjang gelombang 652 nm (A = 0,847) atau berada pada daerah sinar tampak. Panjang 35
36
gelombang cahaya UV atau cahaya tampak bergantung pada mudahnya promosi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk bertransisi, akan menyerap panjang gelombang yang lebih pendek. Sehingga senyawa yang meyerap cahaya dalam daerah tampak (senyawa berwarna) memiliki elekktron yang lebih mudah bertransisi (Fessenden, 1992). Proses terjadinya komplek pasangan ion pada metode ini yaitu ion surfaktan bereaksi dan berasosiasi dengan ion metilen biru yang muatannya berlawanan membentuk pasangan ion. Komplek asosiasi ion antara surfaktan anionik dengan metilen biru terekstrak secara efektif ke dalam kloroform. Hal ini dibuktikan dengan terbentuknya warna biru muda dalam kloroform. Berdasarkan literatur yang telah ada, komplek MB-LAS memiliki panjang gelombang serapan maksimum pada 652 nm, sedangkan untuk campuran metilen biru murni dalam air memiliki panjang gelombang maksimum sebesar 664 nm. Namun untuk memastikannya maka dilakukan pengukuran untuk mencari panjang gelombang serapan maksimumnya dan memastikan apakah panjang gelombang yang telah diperoleh selalu bergeser atau tidak. Kemudian setiap melakukan analisis dan uji parameter dilakukan terlebih dahulu penentuan panjang gelombang serapan maksimum untuk menghindari kesalahan dari alat spektrofotometer bila panjang gelombangnya bergeser. Kurva penyerapan panjang gelombang maksimum metilen biru murni dapat dilihat pada Gambar 11.
37
Gambar 11. Kurva Penyerapan Panjang Gelombang Maksimum MB Murni Berdasarkan gambar di atas, serapan panjang gelombang maksimum antara MB-LAS dalam fasa kloroform menujukkan pergeseran 12 nm jika dibandingkan dengan MB murni dalam air (Koga, 1999). B. Uji Kestabilan Warna Stabilitas suatu zat warna di definisikan sebagai kemampuan suatu larutan berwarna untuk bertahan dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan, sifat dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat. Faktor lingkungan seperti suhu, radiasi, cahaya, udara, dan kelembaban dapat mempengaruhi stabilitas suatu zat warna. Adapun grafik kestabilan warna ekstrak MB-LAS dapat dilihat pada Gambar 12.
38
Absorbans (A)
0,375 0,37 0,365 0,36 0,355 0,35 0
20
40 60 Waktu (t) Gambar 12. Kestabilan Warna MB-LAS Pada gambar di atas terjadi kenaikan absorbans larutan MB-LAS dan terlihat stabil pada waktu 0 sampai 15 menit dan selanjutnya mengalami penurunan absorbans pada menit ke -20 hingga ke 60 menit secara signifikan akibat dekolorisasi. Dekolorisasi warna senyawa MB-LAS ini diperkirakan disebabkan oleh adanya fotodegradasi atau efek fotolisis oleh sinar ultraviolet (foton) terhadap molekul MB yang terdapat dalam senyawa MB-LAS Modestov dkk. (1997) melaporkan bahwa sebagian besar degradasi senyawa organik mengikuti reaksi tingkat satu. Reaksi fotodegradasi dapat dituliskan sebagai berikut (Nogueira dan Jardim, 1993) : C16H18N3SCl(teradsorp + terlarut) + 51 / 2O2
HCl + H2SO4 + 3HNO3 + 16CO2 +6H2O
(8)
C. Uji Parameter Metode analisis yang baik merupakan suatu metode analisis yang telah melalui serangkaian uji parameter yang meliputi akurasi, presisi, dan seberapa besar analisis tersebut dapat menentukan kuantitas suatu analit. Dalam penelitian yang telah
39
dilakukan, uji parameter yang digunakan meliputi uji linearitas, batas deteksi, rentang konsentrasi kerja, akurasi, dan presisi. 1.
Linearitas Setiap analisis kuantitatif selalu dihadapkan dengan memplot data yang
digambarkan sebagai garis lurus, yang biasa lebih dikenal sebagai kurva standar ataupun kurva kalibrasi. Kurva tersebut sangat penting dalam memperoleh data analisis yang akurat karena dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi yang tidak diketahui. Dengan data yang telah ada maka dapat dibuat hubungan garis lurus dengan persamaan (4). Untuk mengetahui linearitas dari kurva kalibrasi, maka dilakukan analisis regresi linear. Dari analisis regresi linear akan diketahui sejauh mana kurva berbentuk garis lurus yang terbaik pada kadar analit standar yang diberikan (r 2). Pada penelitian ini dilakukan uji linearitas dengan cara membuat larutan standar LAS dengan rentang konsentrasi 0 hingga 1,2 ppm. Data hasil linearitas dapat dilihat pada Tabel 5 dan perhitungan data analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.
40
Tabel 5. Data Linearitas Kurva Standar LAS Konsentrasi Larutan Standar Koefisien Korelasi (ppm) Absorbans (r²) 0 0,152 0,05 0,201 0,1 0,207 0,83 0,2 0,246 0,91 0,4 0,308 0,96 0,6 0,349 0,964 0,8 0,396 0,973 1 0,448 0,982 1,2 0,47 0,978 Berdasarkan data pada Tabel 5, linearitas terus meningkat hingga konsentrasi 1 ppm namun mengalami penurunan pada konsentrasi 1,2 ppm sehingga linearitas yang terbaik ditunjukkan hingga pada konsentrasi 1 ppm. Selanjutnya dibuat kurva kalibrasi LAS seperti pada Gambar 13.
0,5
Absorbans (A)
0,4 0,3 y = 0.276x + 0.179 R² = 0.9909
0,2
0,1 0 0
0,2
0,4
0,6
0,8
Konsentrasi Larutan Standar LAS (ppm)
Gambar 13. Kurva Kalibrasi Larutan Standar LAS
1
41
Untuk memperoleh persamaan regresi maka dihitung terlebih dahulu nilai slope dan intercept pada kurva tersebut dan dari data tersebut diperoleh persamaan regresi. Nilai slope yang diperoleh yaitu 0,0276 ± 0,015 dan nilai intercept sebesar 0,179 ± 0,007 sehingga diperoleh persamaan regresi yaitu y = 0,0276 x + 0,179 dengan koefisien korelasi (r2) sebesar 0,9909 dan analisis data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7. Bila ditinjau dari koefisien regresi yang mendekati 1, maka hubungan antara absorbans dengan konsentrasi menjadi sangat linear atau mendekati garis lurus dan sesuai dengan hukum Lambert Beer (r2 = 1). 2.
Batas Deteksi Pada persamaan garis linear yang telah diperoleh pada uji linearitas maka
batas deteksi dapat dihitung, dimana batas deteksi merupakan konsentrasi analit terendah yang masih memberikan sinyal cukup besar dan dapat dibedakan dengan sinyal yang diperoleh dari blanko dengan tingkat kepercayaan 99%. Dari data analisis regresi pada Lampiran 8 maka diperoleh nilai batas deteksi dan sebesar 0,06 ppm. 3.
Rentang Konsentrasi Kerja Rentang konsentrasi kerja suatu metode analisis didefinisikan sebagai interval
antara level tertinggi dan terendah analit yang menunjukkan tingkat akurasi, presisi dan linearitas yang dapat diterima, sehingga suatu analisis dapat dikerjakan dan diperoleh data yang akurat serta teliti. Rentang konsentrasi atau disebut juga linear range adalah daerah pengukuran yang dimulai dari konsentrasi limit deteksi sampai konsentrasi tertinggi yang masih dapat diukur dengan kurva kalibrasi pada nilai r2 tertinggi (Stewart, 2000).
42
Pada penelitian ini, rentang konsentrasi kerja dapat ditentukan dari nilai limit deteksi hingga konsentrasi yang masih memberikan korelasi terbaik pada kurva regresi, yaitu kurva yang menghubungkan antara sinyal yang terukur berupa absorbans dialurkan terhadap konsentrasi sederetan standar. Hasil percobaan yang disajikan pada Gambar 13 menunjukkan bahwa kurva mengikuti Hukum Beer’s sampai konsentrasi 1 ppm dengan koefisien korelasi yang baik yaitu 0,9909. Limit deteksi pada penelitian ini adalah 0,06 ppm sehingga metode analisis dalam penelitian ini memiliki rentang konsentrasi kerja 0,06 ppm hingga 1 ppm. Di bawah nilai tersebut, konsentrasi sampel dapat dipekatkan sedangkan nilai konsentrasi di atas 1 ppm dapat diencerkan dengan faktor pengenceran tertentu agar masuk ke dalam rentang konsentrasi kerja. 4.
Uji Akurasi Pada penelitian yang telah dilakukan, uji akurasi dilakukan dengan
menggunakan metode perolehan kembali. Akurasi merupakan kedekatan suatu hasil pengukuran atau rata-rata hasil pengukuran ke nilai yang sebenarnya. Kesalahan yang berubungan dengan akurasi yaitu kesalahan sistematik. Kesalahan sistematik dapat disebabkan oleh standar, kalibrasi, atau instrument yang tidak baik. Uji akurasi pada penelitan ini dilakukan dengan membuat dua konsentrasi kerja LAS yaitu 0,1 ppm dan 1 ppm dan menganalisis kembali konsentrasi LAS yang terdapat didalamnya dengan metode metilen biru yang digunakan. Data hasil pengujian akurasi dengan metode perolehan kembali dapat dilihat pada Tabel 6 dan perhitungan data analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.
43
Konsentrasi LAS
Tabel 6. Data Uji Akurasi Absorbans Konsentrasi LAS
Recovery
Standar (ppm)
(A)
Terukur (ppm)
(%)
0,1
0,207 0,207 0,208 0,206 0,207 0,449 0,450 0,449 0,447 0,447
0,101 0,101 0,105 0,098 0,101 0,978 0,982 0,978 0,971 0,971
101
1
98
Berdasarkan data pada Tabel 6 diperoleh nilai persen perolehan kembali sebesar 101% dan 98% untuk konsentrasi larutan LAS uji masing-masing 0,1 dan 1 ppm. Nilai persen perolehan kembali yang diperoleh dapat diterima dimana syarat akurasi yang baik yaitu dengan rentang recovery sebesar 80-110%, oleh sebab itu metode yang digunakan dalam pengukuran konsentrasi LAS pada perairan Teluk Kendari memili akurasi yang baik karena berada pada range recovery yang disyaratkan. 5.
Uji Presisi Penentuan presisi dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu keterulangan
(repeatability),
presisi
antara
(intermediate
precision)
dan
ketertiruan
(reproducibility). Presisi keterulangan dapat ditentukan pada saat analisis dilakukan di satu laboratorium oleh satu analis menggunakan satu peralatan dan dikerjakan dalam satu hari. Kriteria penerimaan nilai RSD untuk studi presisi dari suatu
44
pengujian adalah < 2. Berikut merupakan data dari hasil uji presisi keterulangan yang dapat dilihat pada Tabel 7 dan perhitungan data analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10.
Pengukuran ke -
Tabel 7. Data Uji Presisi Konsentrasi (ppm)
0,1 1 1 0,101 0,978 2 0,101 0,982 3 0,105 0,978 4 0,098 0,971 5 0,101 0,971 SD 0,0026 0,0048 RSD (%) 0,26 0,49 Berdasarkan data pada Tabel 7 diperoleh nilai RSD sebesar 0,26 % pada konsentrasi 0,1 ppm dengan standar deviasi sebesar 0,0026 dan RSD sebesar 0,49 % pada konsentrasi 1 ppm dengan standar deviasi sebesar 0,0048. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi maka presisi akan naik dikarenakan perubahan sinyal berupa absorbans pada konsentrasi 1 ppm. Berdasarkan dari nilai RSD terhadap kedua larutan uji, secara keseluruhan masih dapat diterima karena masih memenuhi syarat yang ditentukan, dimana nilai RSD < 2% maka metode tersebut dapat diterima. D. Status pencemaran detergen anionik Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) di perairan Teluk Kendari Hasil optimasi yang diperoleh dari pengukuran panjang gelombang maksimum, kestabilan warna dan analisis regresi kurva kalibrasi pada metode metilen biru dalam penelitian ini diaplikasikan untuk menentukan konsentrasi surfaktan
45
anionik LAS pada sampel perairan Teluk Kendari. Hasil pengukuran konsentrasi residu LAS pada sampel air Teluk Kendari yang di ambil pada keadaan pasang naik melalui tiga kali ulangan menggunakan metode metilen biru disajikan pada Tabel 8:
S1
Tabel 8. Hasil Pengukuran Residu LAS Koordinat Lokasi LAS [ppm] LS DAS Wanggu 122031’48,74” 0,116 ± 0,006
S2
DAS Wanggu
122032’02,10”
0,221 ± 0,002
S3
Estuari
122032’06,43”
0,319 ± 0,004
S4
Kawasan Dalam Teluk
122032’57,09”
0,530 ± 0,002
S5
Kawasan Dalam Teluk
122 33’18,80”
0,742 ± 0,002
S6
Kawasan Dalam Teluk
122033’57,89”
0,180 ± 0,002
S7
Pelabuhan
122033’55,70”
0,440 ± 0,002
S8
Pelabuhan
122 34’06,82”
0,295 ± 0,002
S9
Pelabuhan
122034’35,45”
0,643 ± 0,004
S10
Pelabuhan
122034’42,20”
0,336 ± 0,002
S11
Pelabuhan
122 35’07,28”
0,430 ± 0,004
S12
Daerah Lepas Pantai
122˚39’56,95”
0,001 ± 0,002
Sampel
0
0
0
Tabel 8 memperlihatkan bahwa konsentrasi LAS di sekitar Teluk Kendari berada pada range 0,001-0,742 ppm. Hasil pengukuran residu detergen LAS tersebut dapat dibuat dalam bentuk histogram untuk melihat sejauh mana distribusi LAS dalam tiap-tiap kelompok sampel (DAS Wanggu, daerah estuari, bagian dalam teluk, kawasan pelabuhan dan daerah lepas pantai di Pulau Bokori) (Gambar 14).
Kadar Residu Detergen
46
0,6 0,5 0,4 0,3 0,2
0,1 0 DAS Wanggu
Estuary
KDT
Pelabuhan
Pulau Bokori
Titik Sampling
Gambar 14. Histogram kadar residu detergen LAS pada 5 grup sampling Gambar 14 menunjukkan bahwa nilai rata-rata konsentrasi residu detergen LAS pada DAS Wanggu adalah 0,163 ppm. Setelah itu mengalami kenaikan sebesar 29,44 % di daerah estuari menjadi 0,319 ppm. Kadar residu detergen tertinggi di peroleh pada daerah KDT sebesar 0,530 ppm dan akhirnya mengalami penurunan secara signifikan menjadi 0,428 di daerah pelabuhan dan 0,001 di daerah Pulau Bokori. Berdasarkan Gambar 14, hasil analisis residu detergen di perairan Teluk Kendari terdistribusi secara tidak merata. Hal ini disebabkan karena sifat air laut yang sangat dinamis, dan juga sangat dipengaruhi oleh arus, angin, dan gelombang. Pada dasarnya tinggi rendahnya kandungan residu detergen di wilayah perairan Teluk Kendari sangat ditentukan oleh jumlah penduduk, aktivitas industri, penginapan, serta masyarakat yang mencuci dan membuang air limbah cucian langsung ke perairan. Eksistensi LAS sebesar 0,163 ppm pada DAS wanggu kemungkinan disebabkan oleh aktivitas masyarakat di sekitar Sunggai Wanggu yang menggunakan
47
LAS pada proses pencucian rumah tangga dan menghasilkan limbah detergen. Limbah yang dihasilkan dapat masuk ke badan Sungai Wanggu kemungkinan melalui selokan-selokan yang bermuara ke sungai. Konsentrasi LAS pada daerah estuari mengalami kenaikan sebesar 29.44% dibandingkan dengan konsentrasi di DAS Wanggu. Daerah estuari di Teluk Kendari merupakan daerah transisi atau pencampuran air tawar dari Sungai Wanggu dan air asin dari bagian dalam Teluk Kendari. Kondisi payau menyebabkan mangrove banyak dijumpai di daerah ini dan pergerakan massa air di daerah ini masih sangat dipengaruhi oleh basuhan atau aliran dari Sungai Wanggu. Oleh karena itu naiknya konsentrasi LAS di daerah ini kemungkinan berasal dari aliran (basuhan) Sungai Wanggu yang masih terdeteksi di estuari dan kemungkinan sumbangsih dari kegiatan perhotelan yang berbatasan langsung dengan estuari. Konsentrasi LAS diperoleh tertinggi pada kawasan dalam teluk sebesar 0,530 ppm. Kawasan Teluk Kendari bagian dalam merupakan kawasan dengan aktivitas ramai lalu lintas dari perahu-perahu nelayan dan jalur transportasi. Selain itu kawasan ini pula berhubungan langsung dengan aktivitas-aktivitas yang ramai dari penduduk di daratan, seperti rumah tangga, perhotelan dan kegiatan warung tenda makan di pinggir pantai. Oleh karenanya adanya peningkatan konsentrasi LAS mencapai maksimal pada kawasan ini kemungkinan besar sangat berhubungan dengan berbagai aktivitas padat penduduk tersebut baik dari daratan maupun dari aktivitas transportasi di lautan yang menghasilkan residu LAS. Perlu dicatat bahwa pergerakan massa air laut permukaan pada kawasan ini relatif rendah sehingga akumulasi LAS dapat saja terjadi menambah nilai konsentrasi yang
48
terdeteksi dalam penelitian ini. Lebih lanjut, konsentrasi LAS dari 5 pelabuhan yang diteliti memiliki nilai rata-rata yang lebih kecil (0,428 ppm) dibandingkan dengan konsentrasi pada bagian dalam teluk. Hal ini berimplikasi bahwa aktivitas buangan limbah LAS dari kegiatan perkapalan pada daerah pelabuhan tidak seramai dengan aktivitas di bagian tengah teluk. Akhirnya, konsentrasi LAS pada daerah lepas pantai yang terdeteksi pada Pulau Bokori dijumpai paling rendah dari ke-dua belas titik pengambilan sampel yaitu 0,001 ppm. Hal ini terjadi karena kemungkinan daerahnya cukup jauh dari pemukiman masyarakat dan adanya pengaruh basuhan dari laut lepas dan pergerakan massa air yang sangat tinggi. Hasil analisis residu detergen menunjukkan bahwa konsentrasi residu detergen LAS belum melampaui ambang batas baik sebagai baku mutu air laut untuk biota laut (budidaya perikanan) maupun baku mutu air laut untuk pariwisata dan rekreasi berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor : Kep-02/MenKLH/I/2004 tentang baku mutu air laut.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa: 1. Analisis residu detergen menggunakan spektrofotometri UV-Visible memiliki daerah konsentrasi kerja 0,06 − 1 ppm dengan persamaan regresi y = 0.276x + 0.179 dan nilai koefisien korelasi sebesar 0,9909 serta batas deteksi sebesar 0,06 ppm. 2. Berdasarkan data uji kestabilan warna, senyawa MB-LAS stabil pada waktu 0 – 15 menit. 3. Berdasarkan pada data akurasi dan presisi, metode analisis residu detergen tersebut dapat digunakan secara akurat dan memiliki ketelitian yang cukup baik, yaitu dengan nilai Recovery untuk larutan uji masing-masing 0,1 dan 1 ppm secara berturut-turut adalah 101 % dan 98 % serta nilai RSD sebesar 0,26 % pada konsentrasi 0,1 ppm dan 0,49 % pada konsentrasi 1 ppm 4. Konsentrasi residu detergen LAS terendah ditemukan pada lokasi Pulau Bokori dan tertinggi pada lokasi KDT. Berdasarkan data yang diperoleh kadar residu detergen LAS diperairan Teluk Kendari belum melampaui ambang batas baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor : Kep-02/MenKLH/I/2004.
49
50
B. Saran 1. Sebaiknya dilakukan penelitian yang menyeluruh mencakup limbah detergen dengan cara penambahan lokasi pengambilan sampel di wilayah perairan Teluk Kendari. 2. Perlu di upayakan penanggulangan agar tidak mengarah ke keadaan yang sangat parah akibat pencemaran residu detergen di wilayah perariran Teluk Kendari.
50
DAFTAR PUSTAKA
Asriyana., M.F, Rahardjo, Djamartumpal F. Lumban Batu dan Endi S. Kartamihardja, 2011. “Komposisi Jenis dan Ukuran Ikan Petek ( Famili Leioghnatidae) di Perairan Teluk Kendari”, Sulawesi Tenggara. Jurnal Iktiologi Indonesia, 11(1) : 11-19. Budiawan, Fatisa, Y., dan Khairani, N. 2009. “Optimasi Biodegradabilitas Dan Uji Toksisitas Hasil Degradasi Surfaktan Linear Alkilbenzen Sulfonat (LAS) Sebagai Bahan Deterjen Pembersih”. Makara Sains. 13:125130.
Christian, Gary D., 2004, Analytical Chemistry – 5th ed, John Wiley & Sons, United States Cramer, M. L . 2010. “Laundry Detergents & Pollution” . Appl. Environ. Microbiol.. Darmono, 2001.Lingkungan Hidup dan Pencemaran, UI-Press., Jakarta Day Jr, R.A and Underwood, 1989. A.L. Analisis Kimia Kuantitatif. Terjemahan oleh Aloysius Hadjana Pujaatmaka dari Quantitative Analysis. Fifth edition. Jakarta: Erlangga . Hal 387 Day, R.A. dan Underwood, A.L. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Penerjemah: Pudjaatmaka, A.H. Edisi Kelima, Jakarta: Penerbit Erlangga. Halaman: 393. Harvey, David, 2000, Modern Analytical Chemistry, The McGraw-Hill Companies, United States. Harmita, 2004, “Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode Dan Cara Perhitungannya”, Majalah Ilmu Kefarmasian, 1 (3) : 117-135. Izidin, 2001. “Studi Pengolahan Limbah Detergen”. Universitas Pembangunan. Yogyakarta. Eniola, K.I.T. and A.B. Olayemi. 2008. “Linear Alkylbenzene Sulfonate Tolerance in Bacteria Isolated from Sediment of Tropical Water Bodies Polluted with Detergents”. Rev. Biol. Trop. (Int. J. Trop.Biol.) 56(4): 1595-1601. Fardiaz, Srikandi.,1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius ., Jakarta
Fatisa, 2003. “Studi Biodegradasi Linear Alkilbenzena Sulfonat (LAS) dan Identifikasi serta Uji Toksisitas Hasil Biodegradasi Terhadap Bakteri Rhizobium Melitoti”. Depok: Universitas Indonesia
51
52
Fessenden dan Fessenden.,1992.Kimia Organik. Jilid 2. Edisi Ketiga . Diterjemahkan oleh Hadyana Pudjaatmaka. Penerbit Erlangga, Jakarta Folker dan Landner, L., 2000. “Risk Assesment of LAS in Sewage and Soil”. European Enviromental Research Group Inc. Ed. 3,5. No.20002 Gandjar, I. G. Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Gholib, 1994. Kimia Lingkungan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Greenberg, 1997. Standard Methods for the Examination of Water, 16th Edition. American Public Health Association, Washington. Hampel, Canario, Branco, and Balsco, 2009. “Environmental levels of Alkylbenzena Sulfonates in Sediments from the Tagus Estuary : Environmental Implications. Environmental Monitoring Assesment 149. 151- 161 Hera, 2009. “Human and Environmental Risk Assesment on Ingredients of European Household Cleaning Product Linear Alkylbenzena Sulfonates (LAS). Human and Environmental Risk Assesment Huber, Ludwig, 2010, Validation of Analytical Methods, Agilent Technologies, Germany. Hummel,D., 1962, “Identification and Analysis of Surface Active Agent”, Indo. J. Chem Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Penerjemah A. Saptoraharjo. Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Halaman Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Hal. 26-217. Koga, Yasushi, Yasuyo, 1999, “Rapid Determination of Anionic Surfactan by Improved Spectrophotometric Method Using Methylene Blue”. Analytical Science, The Japan Society for Analytical Chemistry. Vol.15. Makino, Y., S. Oshita, Y. Murayama, M. Mori, Y. Kawagoe, dan K.Sakai, 2009, ”Nondestructive Analysis of Chlorpyrifos on Apple Skin Using UV Reflectance”, American Society of Agricultural and Biological Engineers, 52 (6) : 1955-1960.
53
Modestov, A., Glezer, V., Marjasin, I., and Lev, O. (1997). “Photocatalytic Degradation of Chlorinated Phenoxyacetic Acids by A New Buoyant Titania-Exfoliated Graphite Composite Photocatalyst”. J. Phys. Chem. B, 101, 4623-4629.
Mungray dan Kumar, 2009. “Fate of Linear Alkylbenzena Sulonates in The Environment “: A review. International Biodegradation 63, Hal. 981-987. Nogueira, R.F.P. dan Jardim, W.F., (1993). “Photodegradation of Methylene Blue Using Solar Light and Semiconductor (TiO2)”, J. Chem. Ed.. 70, 10, 861-862.
Owen, Tony, 1996, Fundamentals of UV-Visible Spectroscopy, Hewlett-Packard Company, Germany. Ramessur, R. T., Parry, S. J and Ramjeawon, 2001. “The Relationship of Dissolved Pb to Some Trace Metals and to Dissolved Nitrate and Phosphate in a Freshwater Aquatic System in Mauritius”. Environmental International. No. 26. Hal. 223-230 Ryadi, Slamet.,1984. Seri Lingkungan (Pencemaran ): Pencemaran Air, Dasardasar dan Pokok Penanggulangannya. Penerbit Karya Anda., Surabaya. Satiadarma, K. 2004. Azas Pengembangan Prosedur Analisis. Edisi Pertama. Cetakan Pertama. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 378-388. Schleheck, D., T. P. Knepper, K. Fischer & A. M. Cook. 2004. “Mineralization of Individual Congeners of Linear Alkylbenzene Sulfonate by Defined Pairs of Heterotrophic Bacteria”. Appl. Environ. Microbiol. 70(7): 4053-4063. Sopiah, R. N dan Chaerunisah.2006. “Laju Degrdasai Surfaktan Linear Alkilbenzene Sulfonat (LAS) pada Limbah Deterjen secara Anaerob pada Reaktor Lekat Diam bermedia Sarang Tawon”. Jurnal Tenologi. Lingkungan P3TL-BPPT.7 3: Hal. 243-250. Suharjono, Y. Subagja, L. Sembiring, C. Retnaningdyah, dan I.K.J.W. Putra. 2007. “Pengaruh Konsentrasi Nitrogen dan Fosfor terhadap Potensi Pseudomonas Pendegradasi Alkilbenzen Sulfonat Liniar (LAS)”. Berkala Penelitian Hayati 12(2): 107-114. Syarifuddin dan Asmawati, 2002. “Analisis Residu Detergen Anionik Alkil Sulfonat Linear (Asl) Di Sekitar Perairan Pantai Losari Makassar Sulawesi Selatan”. Universitas Hasanudin. Makassar. Vol. 2. No. 1. Hal 15-17 Terangna, Nana dan Rahayu, Sukmawati., 1989. “Peranan Mikroorganisme Aerob pada Penguraian Detergen dalam Air”, JLP No.13 Th.4-KW1., Jakarta
53
54
Versteeg, 2003. “Bioconcentration and Toxicity of Dodesylbenzene Sulfonates (C-12 LAS) to Aquatic Organisms Exposed in Experimental Streams”. Arch. Environ. Conum 44, 237-247. Vidali, 2001. Bioremediation : An Overview Pure Aplication Chemistry, Hal. 11631172 Ying, 2006. “Fate, Behavior, and Effects of Surfactants and Their Degradation product in Environment”. Environment International. No. 32, Hal. 417431
55
LAMPIRAN
Lampiran 1 : Diagram Alir Prosedur Penelitian
Penyiapan Alat dan Bahan
Penentuan stasiun penelitian
Pengambilan sampel
Analisis Sampel
Preparasi Sampel
Pembuatan Pereaksi
Penetapan λ maksimum
Kestabilan warna
Analisis Kurva Kalibrasi
Analisis sampel
Analisis data
56
Lampiran 2. Diagram Alir Metode Pembuatan Larutan 1. Pembuatan Pereaksi a. Larutan baku Linear alkylbenzene sulfonate (LAS) 1000 mg/L
LAS -
Ditimbang sebanyak 0,2500 gram Dilarutkan dengan akuades Dimasukkan dalam Labu takar 250 mL Diencerkan dengan akuades hingga tanda batas
Hasil Pengamatan b. Larutan standar Linear Alkylbenzene Sulfonate (LAS) 10 mg/L Larutan Baku LAS - Dipipet sebanyak 1 mL - Dimasukkan dalam Labu takar 100 mL - Diencerkan dengan akuades hingga tanda batas Hasil Pengamatan
57
c. Pereaksi metilen biru (MB) 100 mg/L Metilen Biru - Ditimbang sebanyak 0,1 gram - Dilarutkan dengan akuades - Dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL - Diencerkan dengan akuades hingga tanda batas - Diambil 30 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar 1000 mL - Ditambahkan 500 mL akuades - Ditambahkan 41 mL larutan H2SO4 3 M - Dikocok - Diencerkan dengan akuades hingga tanda batas Hasil Pengamatan
58
2. Penetapan panjang gelombang optimum Larutan Standar LAS - Dipipet sebanyak 2,5 mL - Dimasukkan dalam Labu takar 50 mL - Diencerkan dengan akuades hingga tanda batas - Dipindahkan ke dalam corong pisah - Ditambahkan 5 mL Metilen Biru - Ditambahkan 5 mL Kloroform - Dikocok - Dibiarkan hingga terbentuk 2 lapisan
Fasa air
Fasa organik - Diukur pada panjang gelombang 500-750 nm - Ditentukan maksimum Hasil Pengamatan
59
3. Kestabilan Warna Larutan Standar LAS - Dipipet sebanyak 2,5 mL - Dimasukkan dalam Labu takar 50 mL - Diencerkan dengan akuades hingga tanda batas - Dipindahkan ke dalam corong pisah - Ditambahkan 5 mL Metilen Biru - Ditambahkan 5 mL Kloroform - Dikocok - Dibiarkan hingga terbentuk 2 lapisan
Fasa air
Fasa Organik - Diukur absorbansinya tiap selang waktu 5 menit selama 1 jam Hasil Pengamatan
60
4. Analisis Kurva Kalibrasi Larutan Standar LAS - Dipipet sebanyak 0 ; 0,25 ; 0,5 ; 1,0 ; 2,0 ; 3,0 ; 4,0 ; 5,0 ; dan 6,0 mL - Dimasukkan masing-masing ke dalam Labu takar 50 mL yang berbeda - Diencerkan dengan akuades hingga tanda batas - Dipindahkan ke dalam corong pisah - Ditambahkan 5 mL Metilen Biru - Ditambahkan 5 mL Kloroform - Dikocok - Dibiarkan hingga terbentuk 2 lapisan
Fasa air
Fasa Organik - Diukur absorbansinya menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum Hasil Pengamatan
61
5. Analisis Sampel Sampel -
Fasa air
Dipipet sebanyak 50 mL Dimasukkan ke dalam corong pisah Ditambahkan 5 mL Metilen Biru Ditambahkan 5 mL Kloroform Dikocok Dibiarkan hingga terbentuk 2 lapisan
Fasa Organik - Diukur absorbansinya menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum Hasil Pengamatan
62
Lampiran 3. Data pengukuran Panjang gelombang maksimum metilen biru Panjang Gelombang 500 510 520 530 540 550 560 570 580 590 600 610 620 630 640 650 660 670 680 690 700 710 720 730 740 750
Absorbans 0.2 0.213 0.24 0.287 0.365 0.477 0.627 0.804 1.05 1.367 1.717 1.881 1.739 1.571 1.663 1.578 2.5 1.456 1.302 0.716 0.366 0.228 0.181 0.198 0.149 0.12
63
Kurva Panjang Gelombang Metilen Biru
3
Absorbans (A)
2,5 2 1,5 1
0,5 0 500 520 540 560 580 600 620 640 660 680 700 720 740 760 Wavelength (nm)
64
Lampiran 4. Data Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum LAS Panjang Gelombang Absorbans 200 0.053 210 0.748 220 0.042 230 0.042 240 0.042 250 0.042 260 0.057 270 0.057 280 0.057 290 0.057 300 0.057 Grafik Panjang Gelombang Maksimum LAS
65
Lampiran 5. Data pengukuran penetapan panjang gelombang maksimum MB-LAS Panjang Gelombang 500 510 520 530 540 550 560 570 580 590 600 610 620 630 640 650 651 652 653 654 655 656 657 658 659 660 670 680 690 700 710 720 730 740 750
Absorbansi 0,084 0,089 0,092 0,105 0,116 0,147 0,187 0,213 0,261 0,289 0,352 0,449 0,549 0,638 0,729 0,838 0,843 0,847 0,821 0,801 0,792 0,779 0,761 0,752 0,747 0,735 0,694 0,654 0,568 0,405 0,323 0,271 0,175 0,037 0,017
66
Absorbans (A)
Kurva Penetapan panjang gelombang maksimum MB-LAS
0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0 500 520 540 560 580 600 620 640 660 680 700 720 740 760
Wavelength (nm) Kurva Penetapan Panjang Gelombang LAS, MB, dan MB-LAS
67
Lampiran 6. Kestbilan Warna Waktu (t) 0
Absorbans 0,368
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60
0,369
0,371 0,369 0,362 0,362 0,359 0,359 0,358 0,358 0,355 0,352 0,352
20
40
Kurva Kestabilan Warna
Absorbans (A)
0,375 0,37 0,365 0,36
0,355 0,35 0
Waktu (t)
60
68
Lampiran 7. Analisis Kurva Kalibrasi a. Tabel linearitas larutan standar LAS Konsentrasi Larutan Standar (ppm) 0 0,05 0,1 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2
Absorbans 0,152 0,201 0,207 0,246 0,308 0,349 0,396 0,448 0,47
Koefisien Korelasi (r²)
0,83 0,91 0,96 0,964 0,973 0,982 0,978
b. Kurva linearitas larutan standar LAS 0,5
Absorbans (A)
0,4 0,3
y = 0.276x + 0.179 R² = 0.9909
0,2 0,1 0 0
0,2
0,4
0,6
0,8
Konsentrasi Larutan Standar LAS (ppm)
1
69
Lampiran 8. Analisis Data Regresi Persamaan Regresi n xᵢ yᵢ ( xᵢ - x̄ ) 1 0 0,152 -0,3938 2 0,05 0,201 -0,3438 3 0,1 0,207 -0,2938 4 0,2 0,246 -0,1938 5 0,4 0,308 0,0062 6 0,6 0,349 0,2063 7 0,8 0,396 0,4063 8 1 0,448 0,6063 ∑ 3,15 2,307 r̅ 0,3938 0,2884
( xᵢ - x̄ )² 0,1550391 0,1181641 0,0862891 0,0375391 3,906E-05 0,0425391 0,1650391 0,3675391 0,9721875
(yᵢ - ȳ) -0,1364 -0,0874 -0,0814 -0,0424 0,0196 0,0606 0,1076 0,1596
(yᵢ - ȳ)² 0,018598141 0,007634391 0,006621891 0,001795641 0,000385141 0,003675391 0,011583141 0,025480141 0,075773875
y = bx + a ; di mana b = lereng (slope) dan a = titik potong (intercep). Nilai slope dihitung menggunakan rumus dibawah ini : b=
∑ᵢ {( xᵢ−x̄ )(y−ȳ )} (x−x̄ )²
b = 0,2767 Nilai intersep dihitung menggunakan rumus dibawah ini : a = ȳ - bx̄ a = 0,2884 – 0,2767 × 0,3938 a = 0,179 Sehingga : y = 0,276x + 0,179
( xᵢ - x̄ )(yᵢ - ȳ) 0,053697656 0,030035156 0,023903906 0,008210156 0,000122656 0,012503906 0,043722656 0,096772656 0,26896875
70
Koefisien Korelasi (r2)
Nilai r² dihitung menggunakan rumus di bawah ini : r2 =
∑ᵢ {(xᵢ−x̄ )(yᵢ−ȳ )} [√∑ᵢ (xᵢ−x̄ )²] [∑ᵢ (yᵢ−ȳ )²]
r² = 0,9909
Galat lereng dan titik potong
Standar deviasi lereng, Sb dan standar deviasi titik potong, Sa dinyatakan sebagai :
Sb =
(x
i
x n (x x) 2 i
Sy/x x)
2
dan Sa = S y / x
i
2
i
i
i
Di mana :
(y Sy/x =
i
yˆ i ) 2
i
n2
; Nilai yˆ i adalah semua titik pada garis regresi yang
berpadanan dengan xi (i = 1, …, n) xᵢ 0 0,05 0,1 0,2 0,4 0,6 0,8 1 ∑
xᵢ² 0 0,0025 0,01 0,04 0,16 0,36 0,64 1 2,2125
yᵢ 0,152 0,201 0,207 0,246 0,308 0,349 0,396 0,448
ŷᵢ |yᵢ - ŷ| 0,179 -0,027 0,1928 0,0082 0,2066 0,0004 0,2342 0,0118 0,2894 0,0186 0,3446 0,0044 0,3998 -0,0038 0,455 -0,007
(yᵢ - ŷ)² 0,00073 6,7 × 10-5 1,6× 10-7 0,00014 0,00035 1,9× 10-5 1,4× 10-5 4,9× 10-5 0,00136
Dengan demikian, Sy/x = 0,006 sehingga diperoleh nilai Sb dan Sa berturut-turut:
71
Sb = 0,0062 dan Sa = 0,003
Batas kepercayaan lereng dan titik potong
Nilai t untuk (n – 2) = 7 pada taraf uji 5% adalah 2,447, Dengan demikian batas kepercayaan 95% untuk nilai b dan a adalah : b = 0,276 ± (2,447 x 0,0062) = 0,276 ± 0,015 a = 0,179 ± (2,447 x 0,003) = 0,179 ± 0,007
Limit deteksi
Nilai y pada limit deteksi dirumuskan sebagai : y di mana : yB
=
yB + 3SB
SB = standar deviasi blanko (≡ Sy/x) dan, = absorbansi blanko (≡ a)
Maka nilai y pada limit deteksi ditemukan : y =
0,179 + (3 x 0,0062) = 0,197
Interpolasi nilai y ke dalam persamaan regresi menghasilkan limit deteksi sebesar 0,06 mg/L ≈ 0,06 mg/L. Wilayah Konsentrasi Wilayah konsentrasi atau disebut juga linear range adalah daerah pengukuran yang dimulai dari konsentrasi limit deteksi sampai konsentrasi tertinggi yang masih dapat diukur dengan kurva kalibrasi (Stewart, 2000), Wilayah konsentrasi pada penelitian ini diperoleh pada konsentrasi LAS sebesar 0,06 – 1 mg/L,.
72
Lampiran 9. Uji Akurasi Jika absorbans setelah pengukuran adalah y maka konsentrasi yang diperoleh dapat dihitung dengan menginterpolasi pada persamaan regresi,. Untuk menghitung nilai % Recovery digunakan rumus sebagai berikut: % Recovery =
CF CA
× 100%
: CF = rata – rata konsentrasi total yang diperoleh dari pengukuran
Dengan
CA = konsentrasi standar sebenarnya Untuk data pada konsentrasi standar 0,1 ppm diperoleh nilai CF dari analisis sebanyak 5 kali pengukuran seperti pada tabel berikut : [LAS] standar (ppm) 0,1
rata-rata
% Recovery =
0,101 0,1
Absorbans (A) 0,207 0,207 0,208 0,206 0,207 0,207
[LAS] terukur (ppm) 0,101 0,101 0,105 0,098 0,101 0,101
× 100%
= 101 % Selanjutnya, untuk data pada konsentrasi standar 1 ppm diperoleh nilai C F dari analisis sebanyak 5 kali pengukuran seperti pada tabel berikut :
73
[LAS] standar (ppm) 1
rata-rata
% Recovery =
0,976 1
= 98 %
× 100%
Absorbans (A) 0,449 0,450 0,449 0,447 0,447 0,448
[LAS] terukur (ppm) 0,978 0,982 0,978 0,971 0,971 0,976
74
Lampiran 10. Uji Presisi Jika absorbans terukur adalah y maka konsentrasi dapat dihitung dengan menginterpolasi pada persamaan regresi. Untuk menghitung standar deviasi dan % RSD pada konsentrasi 0,1 ppm dari analisis melalui 5 kali pengukuran digunakan tabel berikut. n 1 2 3 4 5 x̄
x 0,101 0,101 0,105 0,098 0,101 0,101
(x - x̄) 0 0 0,004 -0,003 0 ∑(x - x̄)2
(x - x̄²) 0 0 0.000016 0.000009 0 0,000025
a) Standar Deviasi
SD = √
∑(𝑥 − 𝑥̅ )2 = 0,0026 𝑛−1
b) Relative Standard Deviation % RSD =
SD × 100% = 0,26 𝑥̅
Dengan menggunakan cara yang sama, untuk menghitung standar deviasi dan % RSD pada konsentrasi 1 ppm dari analisis melalui 5 kali pengukuran digunakan tabel berikut.
75
n 1 2 3 4 5 x̄
x 0,978 0,982 0,978 0,971 0,971 0,976
c) Standar Deviasi
SD = √
∑(𝑥 − 𝑥̅ )2 = 0,0048 𝑛−1
d) Relative Standard Deviation % RSD =
SD × 100% = 0,49 𝑥̅
(x - x̄) 0,002 0,006 0,002 -0,005 -0,005 ∑(x - x̄)
(x - x̄²) 4 × 10-6 3,6 × 10-5 4 × 10-6 0,000025 0,000025 9,4 × 10-5
76
Lampiran 11. Analisis Sampel Sampel
Absorbans (A)
[LAS] (ppm)
[LAS] rata-rata (ppm)
SD
S1
0,210 0,210 0,213 0,237 0,238 0,237 0,268 0,266 0,267 0,325 0,326 0,325 0,384 0,384 0,383 0,229 0,229 0,228 0,300 0,300 0,301 0,260 0,261 0,260 0,357 0,355 0,357 0,272 0,271 0,272 0,299 0,297 0,297 0,180 0,179 0,179
0,112 0,112 0,123 0,210 0,214 0,210 0,322 0,315 0,319 0,529 0,533 0,529 0,743 0,743 0,739 0,181 0,181 0,178 0,438 0,438 0,442 0,293 0,297 0,293 0,645 0,638 0,645 0,337 0,333 0,337 0,435 0,428 0,428 0,004 0,000 0,000
0,116
0,006
0,211
0,002
0,319
0,004
0,530
0,002
0,742
0,002
0,180
0,002
0,440
0,002
0,295
0,002
0,643
0,004
0,336
0,002
0,430
0,004
0,001
0,002
S2
S3
S4
S5
S6
S7
S8
S9
S10
S11
S12
77
Lampiran 12 : Nilai Distribusi t Nilai t untuk Interval Kepercayaan: 90% Taraf Kritis | t | untuk Nilai α dari: 0,05 Derajat Kebebasan (v) 1 6,314 2 2,920 3 2,353 4 2,132 5 2,015 6 1,943 7 1,895 8 1,860 9 1,833 10 1,812 11 1,796 12 1,782 13 1,771 14 1,761 15 1,753 16 1,746 17 1,740 18 1,734 19 1,729 20 1,725 21 1,721 22 1,717 23 1,714 24 1,711 25 1,708 26 1,706 27 1,703 28 1,701 29 1,699 30 1,697 40 1,684 60 1,671 120 1,658 ∞ 1,645 Sumber: Jeffery et al,, 1989,
95% 0,025
99% 0,005
12,706 4,303 3,182 2,776 2,571 2,447 2,365 2,306 2,262 2,228 2,201 2,179 2,160 2,145 2,131 2,120 2,110 2,101 2,093 2,086 2,080 2,074 2,069 2,064 2,060 2,056 2,052 2,048 2,045 2,042 2,021 2,000 1,980 1,960
63,657 9,925 5,841 4,604 4,032 3,707 3,499 3,355 3,250 3,169 3,106 3,055 3,012 2,977 2,947 2,921 2,898 2,878 2,861 2,845 2,831 2,819 2,807 2,797 2,787 2,779 2,771 2,763 2,756 2,750 2,704 2,660 2,617 2,576
78
Lampiran 13. Dokumentasi Kegiatan
Spektrofotometer UV-Vis
Larutan Baku LAS 1000 ppm
Neraca Analitik
Larutan Standar LAS 10 ppm
Proses Pengambilan Sampel