HUBUNGAN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DENGAN KETERSEDIAAN UNSUR HARA PADA BERBAGAI TINGKAT KECERAHAN DI PERAIRAN TELUK KENDARI SULAWESI TENGGARA
3
NUR IRAWATI
MAYOR PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton dengan Ketersediaan Unsur Hara pada Berbagai Tingkat Kecerahan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutib dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
April 2011
Nur Irawati NRP. C251070021
ABSTRACT Relationship between phytoplankton primary productivity and nutrient availability on different levels of clarity in waters off Kendari Bay, Southeast Sulawesi. By Nur Irawati, under supervision of ENAN M. ADIWILAGA and NIKEN T.M. PRATIWI. The relationship between primary productivity of phytoplankton to the availability of nutrients in the waters of the Bay of Kendari was implemented on April-June 2009 at three sites. The purpose of this research is to examine the relationship between primary productivity of phytoplankton with the abundance and biomass of phytoplankton, and the relationship between primary productivity of phytoplankton with nutrient availability and light intensity at various levels of brightness in the waters of the Bay of Kendari. Based on the data description and laboratory analysis, net primary productivity values during the survey period varied from 2,54 to 11,13 mgC/m3/hour with ranges of average value of NPP from 5,10 to 7,30 mgC/m3/hour. Sampling station located at the middle of the bay had the highest NPP value followed by sampling station positioned at the mouth of the bay and the lowest was found at sampling station located near the river mouth of the upper part of the bay. Relationship between primary productivity and sunlight intensity depicted a strong correlation at the three sampling stations. Relationship of primary productivity to nutrient and light intensity showed that the relationship high on all three stations. The three stations showed similar patterns between the three research stations. At the station mouth of the bay, the three nutrients N (ammonia, nitrate, and nitrite) and light intensity are also factors that provide a real influence on the high and low NPP values while at the middle station and inside the bay, nutrient nitrate with ICM provides a real influence against high and low NPP values in the waters. Keywords : light intensity, nutrient, primary productivity of phytoplankton
RINGKASAN NUR IRAWATI. Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton dengan Ketersediaan Unsur Hara pada Berbagai Tingkat Kecerahan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Di bawah bimbingan ENAN M. ADIWILAGA dan NIKEN T.M. PRATIWI. Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Teluk Kendari pada bulan April – Juni 2009 dengan menempatkan 3 stasiun penelitian. Tujuan penelitian adalah mengkaji hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan kelimpahan dan biomassa fitoplankton, serta hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan ketersediaan unsur hara dan intensitas cahaya pada berbagai tingkat kecerahan di perairan Teluk Kendari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai produktivitas primer selama penelitian pada perairan Teluk Kendari yaitu pada stasiun luar teluk berkisar 2,54-8,98 mgC/m3/jam, pada stasiun tengah teluk 2,77-11,13 mgC/m3/jam, dan 3,33-9,19 mgC/m3/jam pada stasiun dalam teluk. Hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan unsur hara dan intensitas cahaya memperlihatkan keeratan hubungan yang tinggi pada ketiga stasiun penelitian. Ketiga stasiun penelitian menunjukkan pola yang hampir sama antara ketiga stasiun penelitian. Pada stasiun luar teluk, ketiga unsur hara N (amonia, nitrat, dan nitrit) dan intensitas cahaya menjadi faktor yang memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi dan rendahnya nilai NPP, sedang pada stasiun tengah dan dalam teluk, unsur hara nitrat bersama ICM memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi dan rendahnya nilai NPP di perairan. Kata kunci : intensitas cahaya, unsur hara, produktivitas primer fitoplankton
©Hak cipta milik IPB, tahun 2001 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
HUBUNGAN PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DENGAN KETERSEDIAAN UNSUR HARA PADA BERBAGAI TINGKAT KECERAHAN DI PERAIRAN TELUK KENDARI SULAWESI TENGGARA
3
NUR IRAWATI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
MAYOR PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji luar komisi pada ujian tesis : Dr. Ir. Ario Damar, M.Si.
Judul tesis
: Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton dengan Ketersediaan Unsur Hara pada Berbagai Tingkat Kecerahan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara
Nama
: Nur Irawati
NRP
: C251070021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Ketua
Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 22 Februari 2011
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk melaksanakan penelitian pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “Hubungan Produktivitas Primer Fitoplankton Dengan Ketersediaan Unsur Hara Pada Berbagai Tingkat Kecerahan di Perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara”. Pada kesempatan ini penulis haturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Niken T.M. Pratiwi, M.Si. selaku anggota komisi pembimbing, atas segala arahan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan mulai dari tahap awal hingga penyelesaian tesis ini. 2. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si., selaku penguji luar komisi, yang telah memberikan saran dan masukannya. 3. Rektor Universitas Haluoleo dan Dekan FPIK yang telah memberikan ijin tugas belajar serta bantuan moril kepada penulis. 4. Dirjen Dikti dan Sekolah Pascasarjana IPB atas kesempatan pendidikan dan beasiswa yang telah diberikan. 5. Program Mitra Bahari-COREMAP II atas pemberian bantuan beasiswa penulisan tesis. 6. Suamiku tercinta Hatim Albasri, S.Pi., M.A. dan kedua buah hatiku tersayang Zafira Najwa Aurelia dan Zaky Khalfani El’Syarif atas segala doa, kasih sayang, kesabaran, dukungan, pengorbanan, perhatian, dan pengertiannya selama masa pendidikan. 7. Ayahanda Drs. Gusarmin Sofyan, M.P. dan Ibunda Yamtini serta saudarasaudaraku yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan semangat tiada henti kepada penulis. 8. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan (SDP) Angkatan I dan II atas persahabatan dan kebersamaan selama ini.
9. Sahabatku Rahmadani, Asriyana, Darmi, Ira, dan teman-teman wacana Sultra, atas tali persaudaraan yang diberikan selama kita bersama. 10. Mahasiswa LDC atas bantuan dan kerjasamanya selama di penelitian. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan dukungannya. Akhirnya penulis menyadari bahwa penelitian ini tidak terlepas dari kekurangan dan keterbatasan.
Untuk itu, saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat penulis hargai, dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Bogor,
April 2011
Nur Irawati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 18 Januari 1978 dari pasangan ayah Gusarmin Sofyan dan ibu Yamtini.
Penulis merupakan putri
ketiga dari 5 bersaudara. Penulis lulus dari SDN Kemaraya Timur Kendari pada tahun 1990, SMPN 1 kendari pada tahun 1993, SMAN 1 Kendari pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian, Universitas Haluoleo Kendari, dan lulus pada tahun 2001. Atas sponsor biaya dari BPPS Dikti, pada tahun 2007penulis berkesempatan melanjutkan studi pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dan memiliki Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................
xxiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xxv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xxvii 1. PENDAHULUAN .........…………………………………………………...
1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1.2. Perumusan Masalah .............................................................................. 1.3. Tujuan dan Manfaat ..............................................................................
1 3 4
2. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
5
2.1. Produktivitas Primer ............................................................................. 2.1.1. Fotosintesis ............................................................................... 2.1.2. Struktur Komunitas Fitoplankton ............................................ 2.1.3. Pembentukan Biomassa Alga ................................................... 2.2. Faktor dan Proses Penentu Produktivitas Primer .................................. 2.2.1. Suhu .......................................................................................... 2.2.2. Kecerahan dan Kekeruhan ....................................................... 2.2.3. Salinitas .................................................................................... 2.2.4. Intensitas Cahaya ..................................................................... 2.2.5. Unsur Hara N, P dan Si ............................................................ 2.3. Unsur Hara Sebagai Faktor Pembatas .................................................. 2.4. Perairan Teluk Kendari .........................................................................
5 5 7 8 9 9 10 11 12 13 17 18
3. METODE PENELITIAN ...........................................................................
21
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 3.2. Penentuan Lokasi dan Titik Sampling .................................................. 3.3. Pengukuran Parameter ......................................................................... 3.3.1. Produktivitas Primer Fitoplankton ………………………….. 3.3.2. Biomassa Fitoplankton (Klorofil-a) ………………………….. 3.3.3. Kelimpahan dan Analisis Komunitas Fitoplankton .................. 3.3.4. Analisis Unsur Hara .................................................................. 3.3.5. Intensitas Cahaya …………………………………………….. 3.3.6. Penentuan Rasio N : P………………………………………… 3.4. Analisis Data …………………………………………………………. 3.4.1. Analisis Sidik Ragam (ANOVA) …………………………….. 3.4.2. Analisis Regresi ………………………………………………
21 21 22 22 25 26 27 28 29 29 29 29
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
33
4.1. Hasil 4.1.1. 4.1.2. 4.1.3. 4.1.4.
33 33 36 41 46
5.
................................................................................................. Parameter Penunjang ............................................................. Intensitas Cahaya Matahari ………………………………… Unsur Hara …………………………………………………. Struktur Komunitas Fitoplankton ………………………….
4.1.5. Klorofil-a …………………………………………………… 4.1.6. Produktivitas Primer Fitoplankton ………………………… 4.2. Pembahasan ………………………………………………………… 4.2.1. Faktor Fisika dan Kimia yang Mempengaruhi Produktivitas Primer Perairan ……………………………………………. 4.2.2. Faktor Biologi yang Mempengaruhi Produktivitas Primer Fitoplankton ……………………………………………….. 4.2.3. Produktivitas Primer Fitoplankton .........................................
52 54 57
KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………... 5.1. Kesimpulan ………………………………………………………… 5.2. Saran ………………………………………………………………...
75 75 75
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
73
LAMPIRAN .....................................................................................................
85
6.
57 62 65
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Waktu sampling penelitian di perairan Teluk Kendari ................................
21
2.
Posisi geografis setiap stasiun dan substasiun penelitian ............................
22
3.
Alat dan metode pengukuran parameter kualitas perairan ...........................
23
4.
Rata-rata, kisaran dan standar deviasi hasil pengukuran parameter fisikakimia selama penelitian ……………………………………........................
34
5.
Rata-rata kedalaman dan zona eufotik di lokasi penelitian ………………..
39
6.
Rata-rata, kisaran dan standar deviasi hasil pengukuran unsur hara selama penelitian …………………………………………………………………..
41
Rata-rata dan standar deviasi hasil pengukuran unsur hara pada kedalaman inkubasi selama penelitian ………………………………………………...
43
8.
Indeks biologi pada stasiun dan substasiun penelitian …………………….
51
9.
Indeks biologi menurut kedalaman inkubasi ………………………………
51
10.
Nilai produktivitas primer bersih (mgC/m3/jam)………………………......
55
11.
Hubungan produktivitas primer bersih dengan klorofil-a dan kelimpahan fitoplankton ………………………………………......................................
66
Model regresi dan koefisien determinasi serta parameter yang berpengaruh nyata berdasarkan hasil regresi produktivitas primer fitoplankton dengan unsur hara dan intensitas cahaya……………………..
71
7.
12.
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Diagram pendekatan perumusan masalah..................................................
4
2.
Diagram menunjukkan hubungan antara produktivitas dan intensitas cahaya. Pmax = Produktivitas maksimum; Ic = Intensitas cahaya pada titik kompensasi; Iopt = Intensitas cahaya pada Pmax; R = Respirasi; Pn = Produktivitas bersih; Pg = Produktivitas kotor (Nontji 2006) …………...
14
Diagram menunjukkan sebaran vertikal produktivitas fitoplankton. Produktivitas maksimum (Pmax) dijumpai pada kedalaman di bawah permukaan. Kedalaman kompensasi terdapat pada kedalaman dimana praduktivitas seimbang dengan respirasi. Zona eufotik terdapat mulai dari permukaan hingga kedalaman kompensasi (Nontji 2006) .................
15
4.
Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Kendari ......................................
24
5.
Grafik kekeruhan, kecerahan dan TSS pada masing-masing stasiun dan substasiun pada setiap kedalaman intensitas cahaya ……………………
36
Rata-rata nilai intensitas cahaya matahari di udara dan permukaan perairan selama pengamatan ………………….........................................
37
7.
Persentase intensitas cahaya matahari selama waktu inkubasi ………….
38
8.
Pola distribusi cahaya pada kolom perairan pada setiap stasiun/substasiun ………………………………………………………..
40
9.
Rata-rata konsentrasi nitrogen anorganik terlarut (DIN) dan persentase masing-masing unsur hara ………………………….................................
42
Rata-rata jenis genera fitoplankton pada setiap stasiun dan substasiun penelitian ………………………………………………………………...
46
Jumlah rata-rata genera fitoplankton menurut kedalaman inkubasi pada setiap stasiun dan substasiun penelitian …………………………………
47
Rata-rata kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun dan substasiun penelitian ……………………………………………...............................
48
Rata-rata kelimpahan fitoplankton menurut kedalaman inkubasi pada setiap stasiun dan substasiun penelitian ……………………………
49
14.
Sebaran klorofil-a pada masing-masing stasiun dan substasiun ...............
52
15.
Sebaran klorofil-a pada masing-masing stasiun dan substasiun pada setiap kedalaman inkubasi ……………………………............................
53
3.
6.
10.
11.
12.
13.
Halaman 16.
Hubungan klorofil-a dan kelimpahan plankton pada masing-masing stasiun dan substasiun …………………………………………………...
54
Sebaran NPP pada masing-masing stasiun di setiap kedalaman inkubasi………………………………………………………
56
18.
Hubungan NPP dengan klorofil-a dan kelimpahan fitoplankton ………..
67
19.
Hubungan NPP dengan intensitas cahaya ……………………………….
69
20.
Grafik hubungan produktivitas primer (NPP) dengan kedalaman perairan…………………………………………………………………..
70
17.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Intensitas Cahaya Matahari (ICM) (Lux) di permukaan (udara) ………….
85
2.
Intensitas Cahaya Matahari (ICM) (Lux) di permukaan perairan ………...
87
3.
Parameter-parameter Penunjang dan Utama Penelitian …………………..
89
4.
Kelimpahan Fitoplankton pada Pengamatan I ............................................
92
5.
Kelimpahan Fitoplankton pada Pengamatan II ...........................................
93
6.
Kelimpahan Fitoplankton pada Pengamatan III .........................................
94
7.
Kelimpahan Fitoplankton pada Pengamatan IV .........................................
95
8.
Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Produktivitas Primer Terhadap Stasiun ..........................................................................................................
96
Hasil Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Produktivitas Primer Terhadap Kedalaman Inkubasi pada Masing-masing Stasiun .....................................
97
Nilai Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kolom Air Stasiun A Selama Waktu Inkubasi …………………………………………………...
99
Nilai Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kolom Air Stasiun B Selama Waktu Inkubasi …………………………………………………...
100
Nilai Produktivitas Primer Bersih pada Setiap Kolom Air Stasiun C Selama Waktu Inkubasi …………………………………………………...
101
9.
10.
11.
12.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan pesisir merupakan perairan yang banyak menerima beban masukan bahan organik. Bahan ini berasal dari berbagai sumber seperti kegiatan pertambakan, pertanian dan limbah domestik yang akan masuk melalui aliran sungai dan limpasan dari daratan. Masuknya bahan organik ke pesisir ini cepat atau lambat akan mempengaruhi kualitas perairan, selanjutnya akan berpengaruh pada keberadaan organisme perairan khususnya plankton sebagai organisme yang pertama merespon perubahan kualitas perairan tersebut. Beban masukan yang nyata biasanya membawa partikel tersuspensi, nutrien, dan bahan organik terlarut yang akan mendukung terjadinya eutrofikasi dan bisa menyebabkan berkurangnya penetrasi cahaya pada kolom air (Cervetto et al. 2002). Beban masukan bahan organik ini akan mengalami berbagai proses penguraian yang pada akhirnya akan memberikan suplai bahan anorganik atau unsur hara ke perairan. Unsur hara yang dihasilkan diantaranya adalah N dan P, dimana unsur ini dibutuhkan untuk pertumbuhan organisme akuatik yaitu fitoplankton. Sebagai salah satu organisme dalam ekosistem perairan fitoplankton mempunyai peranan yang sangat penting terutama dalam rantai makanan di laut, karena fitoplankton merupakan produsen utama yang memberikan sumbangan terbesar pada produksi primer total suatu perairan. Hal ini karena fitoplankton dapat melakukan proses fotosintesis yang menghasilkan bahan organik yang kaya energi maupun kebutuhan oksigen bagi organisme yang tingkatannya lebih tinggi. Pertumbuhan fitoplankton akan memperlihatkan dinamika tersendiri tergantung pada fluktuasi unsur hara dan hidrodinamika perairan. Kondisi hidrodinamika suatu perairan juga akan mempengaruhi pola penyebaran atau distribusi fitoplankton baik secara horisontal maupun secara vertikal, sehingga akan berpengaruh pada kelimpahan dan struktur populasi fitoplanktonnya yang selanjutnya akan berpengaruh pada nilai produktivitas primernya. Teluk Kendari sebagai salah satu wilayah pesisir memiliki potensi sumberdaya perairan dan fungsi pendukung kehidupan yang sangat penting. Sebagai sumberdaya perairan, Teluk Kendari merupakan habitat bagi sejumlah
2 organisme yang hidup di dalamnya, antara lain ikan, organisme makrofita dan mikrofita, organisme dasar (bentos), hutan mangrove, maupun padang lamun. Berbagai kegiatan baik jasa kelautan seperti pelabuhan untuk pelayaran dan perikanan, maupun kegiatan-kegiatan lain di sekitar pantai seperti permukiman, perindustrian, pertambakan, dan sebagainya merupakan bagian dari faktor pendukung kehidupan manusia. Kegiatan penduduk yang meningkat di sekitar teluk umumnya akan memberikan dampak pada kualitas maupun produktivitas perairan di teluk karena limbah dari semua kegiatan tersebut, baik langsung ataupun tidak langsung, akan masuk ke perairan teluk. Peningkatan unsur hara yang berasal dari aktivitas manusia dapat mengakibatkan peningkatan produktivitas primer perairan serta akan mempengaruhi kelimpahan dan struktur komunitas di perairan Teluk Kendari.
Dalam kondisi unsur hara yang tinggi, pertumbuhan jenis-jenis
fitoplankton dapat berlangsung dengan sangat cepat, sehingga diduga dapat memicu terjadi blooming dari fitoplankton yang dominan di perairan tersebut. Tingginya tingkat kekeruhan merupakan masalah bagi perairan Teluk Kendari. Kekeruhan yang terjadi disebabkan oleh beban masukan, baik yang berasal dari hasil aktivitas manusia (unsur hara dan polutan) maupun dari berbagai sistem aliran sungai (sedimen), serta fitoplankton. Hal ini akan menurunkan tingkat kecerahan perairan. Tingkat kecerahan perairan mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam kolom perairan.
Kekeruhan yang tinggi akan
mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan, sehingga akan menurunkan produktivitas primer fitoplankton di perairan. Hal ini dapat dilihat dari luas Teluk Kendari yang dihitung dari perubahan garis pantai yaitu pada tahun 1987 mencapai 1.186,9166 ha dan mengalami penurunan hingga mencapai 1.084,3671 ha pada tahun 2000 (Anonim
2000). Selain itu juga terlihat
peningkatan padatan tersuspensi yaitu 16-36 mg/l dari batasan yang ditentukan untuk organisme laut yaitu < 23 mg/l. Keadaan tersebut semakin diperparah dengan semakin tingginya tingkat kekeruhan dari sekitar 0,14-1,4 NTU (BAPPEDA Sultra dan PKSPL 2000) menjadi 6,55-8,43 NTU (Asriyana 2004).
3 Melihat fenomena-fenomena tersebut, perlu diadakan penelitian mengenai hubungan produktivitas primer fitoplankton dengan ketersediaan unsur hara pada berbagai tingkat kecerahan di perairan Teluk Kendari. 1.2. Perumusan Masalah Permasalahan yang timbul di perairan Teluk Kendari berdasarkan kondisi kualitas perairan yang mengalami penurunan adalah tingkat kekeruhan yang tinggi. Kekeruhan yang terjadi disebabkan oleh beban masukan baik yang berasal dari hasil aktivitas manusia (unsur hara dan polutan) maupun partikel tersuspensi dari berbagai sistem aliran sungai (sedimen) serta plankton. Kekeruhan yang disebabkan oleh partikel tersuspensi dan plankton akan menurunkan tingkat kecerahan perairan. Tingkat kecerahan perairan mempengaruhi penetrasi cahaya yang masuk ke dalam kolom perairan. Sehingga dengan adanya kekeruhan yang tinggi akan akan menurunkan nilai produktivitas primer fitoplankton pada perairan. Selain itu beban masukan juga mempengaruhi ketersediaan unsur hara di perairan Teluk Kendari. Ketersediaan unsur hara tersebut mengalami peningkatan akibat masukan materi yang berasal dari hasil aktivitas manusia, sehingga diduga keberadaan unsur hara tidak lagi menjadi faktor pembatas di perairan. Peningkatan unsur hara ini dapat mengakibatkan peningkatan terhadap produktivitas primer perairan. Selain itu terjadinya peningkatan terhadap unsur hara akan mempengaruhi kelimpahan dan stuktur komunitas fitoplankton di perairan Teluk Kendari. Dalam kondisi unsur hara yang tinggi, pertumbuhan jenis-jenis fitoplankton dapat berlangsung dengan sangat cepat, sehingga diduga dapat memicu terjadi blooming dari fitoplankton yang dominan di perairan tersebut. Berdasarkan hasil tersebut di atas, diperlukan suatu kajian untuk mengetahui
hubungan
antara
produktivitas
primer
fitoplankton
dengan
ketersediaan unsur hara pada berbagai tingkat kecerahan di perairan Teluk Kendari. Rumusan dan pendekatan masalah dari penelitian ini secara sederhana disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar 1.
4
Gambar 1. Diagram perumusan masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan kelimpahan dan biomassa fitoplankton. 2. Mengkaji hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan ketersediaan unsur hara dan intensitas cahaya pada berbagai tingkat kecerahan di perairan Teluk Kendari. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kondisi perairan Teluk Kendari dan dapat dijadikan sebagai salah satu sumber rujukan dalam pengelolaan sumberdaya perairan Teluk Kendari.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Produktivitas primer 2.1.1. Fotosintesis Produktivitas primer merupakan laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya akan energi dan berasal dari senyawa anorganik.
Pada
umumnya produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesis, walaupun sejumlah kecil produktivitas dapat dihasilkan oleh bakteri kemosintetik (Nybakken 1992). Odum (1996) menambahkan produktivitas primer di suatu sistem ekologi sebagai laju penyimpanan energi radiasi melalui aktivitas fotosintesis dan kemosintesis dari produser atau organisme (terutama tumbuhan hijau) dalam bentuk bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan pakan. Sejalan dengan Nontji (2006) produktivitas primer dalam artian umum adalah laju produksi bahan organik (dinyatakan dalam C= karbon) melalui reaksi fotosintesis per satuan volume atau luas suatu perairan tertentu, yang dapat dinyatakan dengan satuan seperti mg C/m3/hari atau g C/m2/tahun. Besarnya produksi itu sendiri dikenal sebagai produksi primer, yang dapat dinyatakan dengan satuan seperti gC/m3. Tetapi dalam prakteknya, kedua istilah ini sering digunakan dengan saling tukar. Reaksi fotosintesis dapat terjadi pada semua tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil, dan dengan adanya cahaya matahari. Cahaya matahari merupakan sumber dari segala energi yang menggerakan seluruh fungsi ekosistem di bumi. Di laut, tumbuhan berklorofil dapat berupa rumput laut (seaweed), lamun (seagrass), fitoplankton atau mikroflora bentik (benthic microflora). Rumput laut, lamun dan mikroflora bentik, hanya terdapat di perairan tertentu saja, yakni pada pesisir yang dangkal. Sebaliknya, fitoplankton terdapat diseluruh laut, dari permukaan sampai dengan kedalaman yang dapat ditembus cahaya matahari, kira-kira sampai kedalaman sekitar 100 meter. Oleh sebab itu, kontribusi fitoplankton dalam produktivitas primer global adalah yang terbesar. Menurut Steemann-Nielsen (1975) diacu dalam Nontji (2006) kurang lebih 95% produktivitas primer dilaut disumbangkan oleh fitoplankton.
Sejalan dengan
Wetzel (1983) bahwa di dalam ekosistem akuatik sebagian besar produktivitas
6 primer dilakukan fitoplankton, dimana bantuan cahaya matahari melalui proses fotosintesis yang hasilnya disebut dengan produksi primer. Produktivitas primer pada dasarnya tergantung pada aktivitas fotosintesis dari organisme autotrof yang mampu mentransformasikan karbondioksida menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Oleh karena itu pendugaan produktivitas primer alami didasarkan pada pengukuran aktivitas fotosintesis yang terutama dilakukan oleh alga.
Menurut Sumich (1994) aliran energi dalam
ekosistem perairan dimulai dengan fiksasi energi oleh fitoplankton melalui proses fotosintesis. Melalui proses ini fitoplankton mengakumulasi energi, energi yang diakumulasi oleh fitoplankton inilah yang disebut produksi atau secara lebih spesifik disebut produksi primer. Fotosintesis adalah proses fisiologis dasar yang penting bagi nutrisi tanaman termasuk fitoplankton.
Reaksi fotosintesis secara sederhana dapat
diringkas dalam persamaan umum sebagai berikut (Wetzel 1983) : 6CO2 + 12 H 2 O → C 6 H 12 O6 + 6O2 dari reaksi di atas, secara teoritis untuk mengukur laju produksi senyawa-senyawa organik dapat diukur dengan cara mengetahui laju hilangnya atau munculnya beberapa komponen yang ada dalam reaksi tersebut.
Laju fotosintesis dapat
diukur dengan laju hilangnya CO2 atau munculnya O2. Pengukuran ini dalam prakteknya yang digunakan hanya dua komponen yaitu CO2 dan O2 (Nybakken 1992). Pada
umumnya
profil
vertikal
penyebaran
produktivitas
primer
mempunyai kurva yang menunjukkan adanya suatu nilai maksimum pada kedalaman tertentu. Nilai maksimum yang terjadi pada lapisan yang lebih dalam bisa lebih baik daripada nilai maksimum yang terjadi pada lapisan permukaan, karena bisa jadi intensitas cahaya yang masuk ke lapisan dalam sesuai dengan kebutuhan fitoplankton untuk berfotosintesis (Khan 1980). Selanjutnya profil penyebaran produktivitas primer secara vertikal tersebut sangat dipengaruhi oleh kelimpahan atau penyebaran fitoplankton secara vertikal. Pada umumnya apabila kelimpahan fitoplankton (sebagai organisme yang dapat berfotosintesis) besar, maka nilai produktivitas primer juga akan besar.
7 Selama 35 tahun terakhir, pengukuran produktivitas primer di estuari berkisar pada 6,8 – 530 gC/m2/tahun (Kennish, 1990). Nilai produktivitas yang lebih kecil dari kisaran ini diperoleh dari estuari yang keruh dan sebaliknya. Boyton dalam Kennish (1990) menyatakan bahwa rata-rata produktivitas fitoplankton dari 45 estuari yang diteliti adalah 190 gC/m2/tahun, yang melebihi rata-rata produktivitas perairan laut yaitu 100 gC/m2/tahun, namun nilai tersebut kurang dari produktivitas daerah upwelling yang bernilai 300 gC/m2/tahun. Besarnya produktivitas primer juga dapat menentukan tingkat kesuburan perairan. Menurut Mason dalam Novotny dan Olem (1994) perairan yang memiliki produktivitas primer antara 7-25 gC/m2/hari tergolong oligotrofik, produktivitas primer antara 75-250 gC/m2/hari tergolong mesotrofik dan produktivitas primer antara 350-700 gC/m2/hari tergolong eutrofik. 2.1.2. Struktur Komunitas Fitoplankton Struktur komunitas merupakan susunan individu dari beberapa jenis atau spesies yang terorganisir membentuk komunitas, yang dapat dipelajari dengan mengetahui satu atau dua aspek khusus tentang organisasi komunitas yang bersangkutan seperti indeks diversitas jenis, zona (stratifikasi) dan kelimpahan (Brower et al. 1990; Odum, 1996). Struktur komunitas fitoplankton ditentukan oleh keragaman jenis fitoplankton yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti intensitas cahaya dan nutrien. Fitoplankton disusun oleh berbagai jenis yang berbeda, baik secara taksonomik maupun morfometrik. Secara taksonomi fitoplankton terdiri dari 10 filum alga baik yang prokariotik (Cyanophyceae dan Chlorophyceae) maupun eukariotik (Bacillariophyceae dan Chrysophyceae) (Boney 1975; Moss 1993). Parson et al. (1984) menyatakan bahwa terdapat 13 kelas dari fitoplankton yang terdapat di laut, yaitu Cyanophyceae (alga biru hijau), Rhodophyceae (alga merah),
Bacillariophyceae
(Diatom),
Cryptophyceae
(Cryptomonads),
Dinophyceae (Dinoflagellata), Crysophyceae (Crysomonads, Silicoflagellata), Haptophyceae atau Prymnesiophyceae (Coccolithophorids, Prymnesiomonads), Raphidiophyceae
(Choromonadea),
Eustigmatophyceae,
Xanthophyceae
Euglenophyceae
(alga
(Euglenoids),
kuning
hijau),
Prasinophyceae
(Prasinomonads), dan Chlorophyceae (alga hijau). Tetapi hanya 4 kelas saja yaitu
8 Bacillariophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, dan Haptophyceae yang memegang peranan penting dalam total standing stok fitoplankton di laut. Akan tetapi kelompok fitoplankton yang mempunyai kelimpahan tertinggi di ekosistem laut adalah dari kelas diatom (Sze 1993). Jenis fitoplankton yang sering dijumpai di laut dalam jumlah besar adalah Diatom dan Dinoflagellata (Nybakken 1992). Sejalan dengan hal tersebut Kilham dan Hecky (1988) menyatakan bahwa fitoplankton lautan didominasi sejumlah jenis Chrysophyta yaitu Diatom, Cocolithophore, dan Silicoflagelata, serta Pyrrhophyta (Dinoflagellata). Selain itu pula terdapat beberapa kelompok lain dari fitoplankton yang kadang-kadang melimpah , tetapi mereka diwakili oleh jenis yang sangat sedikit. Jenis tersebut meliputi Cyanophyta (cyanobacteria, seperti contoh jenis-jenis dengan ukuran sel yang sangat kecil dari Synechococcus atau berkas-berkas besar dari filamen Oscillatoria (Trichodesmium).
Dari hasil
penelitian Asriyana (2004) mengemukakan bahwa di perairan Teluk Kendari kelas yang mendominasi dari fitoplankton yaitu kelas Bacillariophyceae dan Dinophyceae, sejalan dengan Alianto (2006) mendapatkan bahwa jenis fitoplankton
yang
mendominasi
di
perairan
Teluk
Banten
adalah
Bacillariophyceae. Pada suatu perairan, dominasi suatu jenis fitoplankton dapat diganti oleh jenis yang lain, disebabkan berubahnya kondisi fisika-kimia perairan (Goldman dan Horne 1983; Wetzel 1983). Kondisi lingkungan yang merupakan faktor penentu keberadaan fitoplankton adalah suhu, cahaya matahari, pH, kekeruhan, konsentrasi nutrien dan berbagai senyawa lainnya (Nybakken 1992). pertumbuhan
fitoplankton
di
perairan
estuari
maupun
perairan
Laju pantai
menunjukkan respon yang berbeda-beda terhadap kondisi bio-fisika serta kimia perairan. Kondisi biogeokimia dimaksud antara lain berupa flushing (Ferreira et al. 2005), salinitas (Ferreira et al. 2005; Caroco et al. 1987), cahaya, unsur hara (Ferreira et al. 2005; Smith 1984; Hecky dan Kilham 1988; Howarth 1988) maupun pemangsaan (Ferreira et al. 2005; Levinton 1982). 2.1.3. Pembentukan Biomassa Alga Menurut Parson et al. (1984); Geider dan Osborne (1992), biomassa dapat diartikan sama dengan standing stock yang didefinisikan sebagai konsentrasi
9 materi tumbuhan per unit volume (gm-3) atau per unit area (gm-2). Biomassa biasanya diukur sebagai berat basah, berat kering, berat pengabuan atau karbon organik. Pada perairan laut fitoplankton memegang peranan terpenting sebagai produsen primer, karena merupakan komponen utama tumbuhan yang mengandung klorofil.
Pigmen fitoplankton yang sering digunakan dalam
mempelajari produktivitas perairan adalah klorofil-a (Strickland dan Parsons 1965 diacu dalam Alianto 2006).
Klorofil-a terdapat dalam jumlah banyak pada
fitoplankton (Harbone 1987), sehingga sering digunakan untuk mengukur biomassa fitoplankton (Strickland dan Parsons 1965 diacu dalam Alianto 2006). Pembentukan biomassa fitoplankton ditentukan oleh proses fotosintesis. Grazing, ekspor dan ekskresi merupakan parameter lainnya yang mempengaruhi biomassa fitoplankton pada perairan (Geider dan Osborne 1992; Cebrian dan Valiela 2002). Hal ini dapat direpresentasikan dalam bentuk persamaan sebagai berikut : Hasil = Fotosintesis bersih – Ekskresi – Pemangsaan – Ekspor Biomassa fitoplankton biasanya diukur dengan cara mengukur jumlah klorofil-a di perairan yang merupakan pigmen fotosintesis sehingga dapat digunakan sebagai parameter untuk mengukur produksi fitoplankton. Rata-rata kandungan klorofil-a adalah 1,5% dari total bahan organik pada alga. Oleh karena itu, jika kandungan klorofil-a diketahui maka biomassa fitoplankton di perairan yang bersangkutan dapat diduga dengan mengalikannya dengan faktor 67 (Soil & Water Conservation Society of Metro Halifax 2000 diacu dalam Kartamihardja dan Adriani 2003). Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi unsur hara. Unsur hara memiliki konsentrasi rendah dan berubahubah pada permukaan laut dan konsentrasi akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman (Millero dan Sohn 1991). 2.2. Faktor dan Proses Penentu Produktivitas Primer 2.2.1. Suhu Suhu secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap produktivitas primer di laut (Tomascik et al. 1997).
Secara langsung suhu
10 berperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis. Tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis (Pmax), sedangkan secara tidak langsung, suhu berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton. Reaksi biokimia dalam sel fitoplankton umumnya dipengaruhi oleh suhu. Peningkatan suhu terjadi secara eksponensial sampai pada batas maksimum. Peningkatan ini biasanya bervariasi untuk masing-masing reaksi, yaitu antara 2540oC. Kisaran suhu tersebut mempengaruhi laju fotosintesis maksimal untuk kemunitas fitoplankton (Harper 1992). Dalam
berperan
sebagai
faktor
pendukung
produktivitas
primer
fitoplankton di laut, suhu perairan berinteraksi dengan faktor lainnya seperti cahaya dan nutrien. Valiela (1995) menyatakan bahwa dalam kaitannya dengan produktivitas primer di laut, suhu lebih berperan sebagai kovarian dengan faktor lain daripada sebagai faktor bebas. Sebagai contoh, plankton pada suhu rendah dapat mempertahankan konsentrasi pigmen-pigmen fotosintesis, enzim-enzim dan karbon yang besar.
Ini disebabkan karena lebih efisiennya fitoplankton
menggunakan cahaya pada suhu rendah dan laju fotosintesis akan lebih tinggi bila sel-sel fitoplankton dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Perubahan laju penggandaan sel hanya pada suhu yang tinggi. Tingginya suhu memudahkan terjadinya penyerapan nutrien oleh fitoplankton. Dalam kondisi konsentrasi fosfat sedang di dalam kolom perairan, laju fotosintesis maksimum akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi. 2.2.2. Kecerahan dan Kekeruhan Kedalaman secchi dapat digunakan sebagai estimator penetrasi cahaya pada lokasi perairan yang mempunyai kedalaman secchi rendah (Cervetto et al. 2002).
Ketersediaan cahaya diperhatikan sebagai bagian yang penting pada
lingkungan yang kekeruhannya tinggi.
Adanya pasang surut menyebabkan
tersuspensinya kembali (resuspensi) sedimen sehingga dapat meningkatkan kekeruhan dan berkurangnya kedalam zona eufotik pada daerah pesisir yang airnya dangkal (Pennock 1985).
11 Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optik air dari suatu perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan diabsorpsi oleh partikel-partikel yang ada dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik maupun anorganik tersuspensi dan terlarut (APHA 2005). Dengan adanya kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan selanjutnya akan menurunkan produktivitas primer fitoplankton pada perairan. Wofsy (1983) dalam Cloern (1987) menyatakan cahaya dapat menjadi faktor pembatas bagi fotosintesis ketika konsentrasi partikel tersuspensi melebihi 50 mg/l. Menurut Lloyd (1985) diacu dalam Effendie (2003), peningkatan nilai turbiditas pada perairan dangkal dan jernih sebesar 25 NTU dapat mengurangi 13%-50% produktivitas primer. Peningkatan turbiditas sebesar 5 NTU di danau dan sungai dapat mengurangi produktivitas primer berturut-turut sebesar 75% dan 3%-13%. 2.2.3. Salinitas Salinitas yang bervariasi adalah ciri paling khas dari daerah estuari. Salinitas berubah setiap hari mengikuti pasang surut dan berubah secara drastic mengikuti musim. Bagian estuary yang paling dekat ke sungai memiliki salinitas yang paling rendah, namun pada musim panas, ketika aliran air dari sungai lambat maka banyak air laut yang masuk ke bagian ini (Goldman dan Horne, 1983). Sebagaimana, suhu, salinitas secara tidak langsung mempengaruhi fitoplankton melalui pengaruh terhadap densitas air dan stabilitas kolom air (Kennish, 1990). Salinitas secara langsung mempengaruhi laju pembelahan sel fitoplankton, juga keberadaan, distribusi dan produktivitas fitoplankton. Salinitas dapat mengubah karakter fotosintesis melalui perubahan sistem karbon dioksida atau perubahan tekanan osmotic (Nielsen, 1975 diacu dalam Kennish, 1990). Oleh karena itu fitoplankton hidup di perairan estuary yang salinitasnya sangat bervariasi, organisme ini umumnya akan mengalami fluktuasi tekanan osmotic yang sangat tinggi. Seiring perubahan osmotic dan komposisi ion dalam sel, proses-proses selular (seperti sintesis klorofil dan laju fotosintesis) dapat juga berubah (McLachlan, 1961 diacu dalam Kennish, 1990).
12 2.2.4. Intensitas Cahaya Cahaya merupakan sumber energi utama dalam ekosistem perairan. Di perairan cahaya memiliki dua fungsi utama yaitu pertama memanasi air sehingga terjadi perubahan suhu dan berat jenis (densitas) yang selanjutnya menyebabkan terjadinya percampuran massa dan kimia air, dan yang kedua cahaya merupakan sumber energi bagi proses fotosintesis alga dan tumbuhan air. Apabila penetrasi cahaya dalam perairan semakin besar akan menyebabkan semakin besarnya daerah berlangsungnya fotosintesis, sehingga kandungan oksigen terlarut masih relatif tinggi pada lapisan air yang lebih dalam (Jeffries dan Mills 1996). Proses fotosintesis di dalam perairan berlangsung jika ada cahaya sampai pada kedalaman tertentu dimana fitoplankton berada. Pada tahap awal cahaya matahari ditangkap oleh fitoplankton, kemudian energi ini digunakan untuk aktifitas proses fotosintesis. Tidak semua radiasi elektromagnetik yang jatuh pada tumbuhan berfotosintesis dapat diserap, tetapi hanya cahaya tampak (visible light) yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 400-720 nm yang diabsorpsi dan digunakan untuk melakukan aktifitas fotosintesis (Lalli dan Parsons 1993). Hubungan antara intensitas cahaya dan produktivitas primer perairan sangat nyata, dimana peningkatan intensitas cahaya secara proporsional sebanding dengan peningkatan produktivitas primer.
Semakin meningkatnya intensitas
cahaya akan mengakibatkan proses fotosintensis juga semakin meningkat sampai mencapai puncak dimana cahaya dalam kondisi jenis (Riley dan Chester 1971; Parson et al. 1984). Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas cahaya yang sampai ke suatu sel alga lebih besar daripada suatu intensitas tertentu. Hal ini berarti bahwa fitoplankton yang produktif hanyalah terdapat di lapisan-lapisan air teratas dimana intensitas cahaya cukup bagi berlangsungnya fotosintesis. Kedalaman penetrasi cahaya di dalam laut, yang merupakan kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung pada beberapa faktor, antara lain absorbsi cahaya oleh air, panjang gelombang cahaya, kecerahan air, pemantulan cahaya oleh permukaan laut, lintang geografik dan musim (Nybakken 1992). Hasil fotosintesis yang relatif besar dihasilkan dari lapisan permukaan sampai pada kedalaman dengan nilai intensitas cahaya kurang lebih tinggal 1%
13 dari cahaya yang berada pada permukaan perairan yang disebut zona eufotik (Parson et al. 1984).
Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan
bertambahnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Di atas nilai tersebut cahaya merupakan pembatas bagi fotosintesis (cahaya inhibisi). Semakin ke dalam perairan intensitas cahaya akan semakin berkurang dan merupakan penghambat sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi (Neale 1987).
Pada kedalaman perairan
dimana proses fotosintesis sama dengan proses respirasi disebut kedalaman kompensasi yang intensitas cahayanya tinggal 1% dari intensitas di permukaan perairan.
Hubungan antara intensitas cahaya dan laju fotosintesis atau
produktivitas fitoplankton di laut dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 2). 2.2.5. Unsur Hara N, P dan Si Istilah umum yang digunakan secara luas untuk bahan organik adalah senyawa-senyawa yang disintesis secara biologi yang menghasilkan C, H, biasanya O, sedikit Nitrogen (N) dan fosfor (P), dan trace elemen lain yang penting untuk memelihara kehidupan tumbuhan. Protein, karbohidrat dan lemak adalah tipe-tipe senyawa organik yang banyak di dalam sistem kehidupan. Masing-masing mengandung karbon, hidrogen dan oksigen dalam rasio yang bervariasi.
Dapat ditambahkan, bahwa lemak sering meliputi P, sedangkan
protein mengandung N dan P (Basmi 1995). Suplai unsur dan senyawa esensial ke dalam suatu sistem perairan, khususnya Nitrogen (N), Fosfat (P) dan Silikat (Si) sering dilihat sebagai faktor pembatas yang mempengaruhi penyebaran dan pertumbuhan populasi dan komunitas fitoplankton. Howarth (1988) dan Pomeroy (1991) menyatakan bahwa dinamika populasi fitoplankton sangat ditentukan oleh nutrien yang berperan sebagai faktor pembatas.
Penggunaan nutrien sebagai faktor pembatas dapat
dibedakan sebagai : 1. Nutrien sebagai faktor pembatas pertumbuhan populasi yang dominan. Perubahan atau pertukaran populasi yang dominan terjadi di bawah batas saturasi dari populasi dominan yang ada.
14 2. Nutrien sebagai faktor pembatas terhadap laju potensial produksi primer bersih.
Perubahan populasi melebih batas populasi dominan yang ada,
ditentukan oleh perubahan spesies yang dominan. 3. Nutrien sebagai faktor pembatas produksi ekosistem bersih, populasi primer kotor melebihi total respirasi ekosistem. Perubahan populasi ini berdampak pada meningkatknya kandungan organik bersih atau hasil dari ekosistem.
Gambar 2.
•
Diagram menunjukkan hubungan antara produktivitas dan intensitas cahaya. Pmax = Produktivitas maksimum; Ic = Intensitas cahaya pada titik kompensasi; Iopt = Intensitas cahaya pada Pmax; R = Respirasi; Pn = Produktivitas bersih; Pg = Produktivitas kotor (Nontji 2006)
Produktivitas mempunyai hubungan yang linear dengan cahaya hanya pada intensitas cahaya yang rendah;
•
Pada intensitas tertentu (Iopt), produktivitas akan mencapai maksimum (Pmax);
•
Intensitas cahaya yang terlampau kuat akan menyebabkan produktivitas menurun (photo inhibition);
•
Titik kompensasi adalah intensitas dimana produktivitas adalah sama dengan laju respirasi (P = R).
Berdasarkan hal-hal di atas maka dalam sebaran
vertikal produktivitas umumnya dapat terlihat kondisi seperti pada Gambar 3.
15
Gambar 3. Diagram menunjukkan sebaran vertikal produktivitas fitoplankton. Produktivitas maksimum (Pmax) dijumpai pada kedalaman di bawah permukaan. Kedalaman kompensasi terdapat pada kedalaman dimana praduktivitas seimbang dengan respirasi. Zona eufotik terdapat mulai dari permukaan hingga kedalaman kompensasi (Nontji 2006) •
Produktivitas di permukaan biasanya kecil karena pengaruh sinar matahari yang terlampau kuat akan menghambat produktivitas;
•
Semakin dalam, produktivitas semakin meningkat, hingga mencapai maksimum (Pmax) pada kedalaman beberapa meter di bawah permukaan;
•
Di bawah Pmax produktivitas akan berkurang secara proporsional terhadap intensitas cahaya;
•
Produktivitas akan bersifat positif jika nilainya lebih besar dari respirasi (P>R)
•
Kedalaman dimana produktivitas dan respirasi seimbang disebut kedalaman kompensasi, dan intensitas cahaya pada kedalaman ini disebut intensitas kompensasi
•
Zona dari permukaan hingga kedalaman kompensasi disebut zona eufotik
•
Di bawah zona eufotik intensitas cahaya sudah tak dapat menghasilkan produksi yang positif. Unsur-unsur yang sangat dibutuhkan oleh fitoplankton merupakan faktor
pembatas pada perairan yang berbeda. Menurut Hecky dan Kilham (1988) dari ketiga nutrien unsur utama tersebut yakni N, P dan Si, di perairan air tawar fosfat lebih bersifat faktor pembatas bagi pertumbuhan alga bila dibandingkan dengan
16 unsur yang lain, sedangkan di perairan laut ketiga unsur tersebut bersama-sama bersifat sebagai faktor pembatas pertumbuhan terutama nitrogen. Caroco et al. (1987) berdasarkan hasil penelitiannya tentang pengaruh pengkayaan N dan P di perairan estuari hingga perairan pantai (perairan laut) dengan salinitas 32o/oo menyatakan bahwa fitoplankton pada perairan dengan salinitas 0 – 6,5 o/oo merespon terhadap penambahan konsentrasi P dan biomassanya meningkat hingga 2 – 6 kali, sedangkan penambahan nitrogen merangsang pertumbuhan fitoplankton di perairan bersalinitas yang lebih tinggi (31 o/oo). Smith (1984) mendapatkan bahwa fosfat dan silikat secara potensial merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan fitoplankton pada musim dingin sedangkan nitrat bersifat sebagai faktor pembatas pada perairan dengan salinitas yang lebih tinggi. Pada perairan dengan tingkat salinitas sedang, pertumbuhan fitoplankton tidak merespon terhadap penambahan N atau P. Peningkatan biomassa secara drastis terjadi bila penambahan N dan P dilakukan secara bersamaan. Pertumbuhan dan reproduksi fitoplankton dipengaruhi oleh kandungan nutrien di dalam badan perairan. Kebutuhan akan besarnya kandungan dan jenis nutrien oleh fitoplankton sangat tergantung pada klas atau jenis fitoplankton itu sendiri disamping jenis perairan dimana fitoplankton tersebut hidup. Dengan demikian nitrogen secara signifikan berpengaruh terhadap struktur komunitas fitoplankton (Piehler et al. 2004).
Namun demikian laju pertumbuhan
fitoplankton akan tergantung pada ketersediaan nutrien yang ada.
Menurut
Pomeroy (1999), laju pertumbuhan fitoplankton akan sebanding dengan meningkatnya konsentrasi nutrien hingga mencapai suatu konsentrasi yang saturasi. Setelah keadaan ini, pertumbuhan fitoplankton tidak tergantung lagi pada konsentrasi nutrien. Nitrogen dibutuhkan untuk mensintesa protein. Menurut Parson et al. (1984), nitrogen di laut terutama berada dalam bentuk molekul-molekul nitrogen dan garam-garam anorganik seperti nitrat, nitrit dan amonia dan beberapa senyawa nitrogen organik. Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3-N) dan ammonia (NH3-N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3-N dibandingkan dengan NO3-N karena lebih banyak dijumpai di perairan baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik (Welch, 1980). Selain itu
17 penggunaan N-NO3 membutuhkan penambahan energi seperti adanya enzim nitrat reduktase. Pada umumnya konsentrasi nitrogen di perairan laut berkisar 0,01-50 μg/l untuk nitrat, 0,01-5 μg/l untuk nitrit dan 0,1-5 μg/l untuk amonia serta 0,2-2 μg/l untuk asam amino (Clark et al. 1972; Riley dan Segar 1970 dalam Parson et al. 1984). Sedang untuk pertumbuhan optimal fitoplankton menurut Mackenthum (1969) dalam Tambaru (2008) memerlukan kandungan nitrat berkisar 0,9-3,5 mg/l.
Secara lebih khusus Ketchum (1939) dalam Parson et al. (1984)
menjelaskan bahwa kebutuhan minimum nitrat yang dapat diserap oleh diatom berkisar 0,001-0,007 mg/l. Dalam bentuk fosfor, fitoplankton menggunakan fosfat (PO4) untuk pertumbuhannya (Goldman dan Horne 1983). Fosfat mempengaruhi penyebaran fitoplankton khususnya diatom (Vollenweider 1968 diacu dalam Tambaru 2008). Fosfat menjadi faktor pembatas baik secara spasial maupun temporal. Konsentrasi fosfor di perairan umum berkisar 0,001-0,005 mg/l (Boyd 1982 diacu dalam Effendie 2003). Kandungan fosfat yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton berkisar 0,09-1,80 mg/l (Mackenthum 1969 diacu dalam Tambaru 2008). Pada perairan yang memiliki konsentrasi fosfat yang rendah (0,00-0,02 mg/l) akan didominasi oleh diatom, pada perairan dengan konsentrasi fosfat sedang (0,02-0,05 mg/l) akan dijumpai jenis Chlorophyceae yang berlimpah dan perairan yang memiliki konsentrasi fosfat tinggi (>0,10 mg/l) maka jenis Cyanophyceae menjadi dominan (Prowse 1946 dalam Tambaru 2008). 2.3. Unsur Hara Sebagai Faktor Pembatas Pentingnya dalam menentukan atom N:Si:P di perairan estuari adalah untuk keperluan dalam menentukan mana yang menjadi faktor pembatas dalam produktivitas primer dan apa yang akan menjadi produktivitas dalam mendukung perairan estuari. Nutrien terlarut utama di perairan adalah inorganik nitrogen terlarut (DIN), fosfat (DIP) dan silikat, ketiga nutrien tersebut merupakan komponen utama dalam membantu perkembangan dan pertumbuhan fitoplankton (Montes et. Al 2002). Menurut Howarth
et al. (1988) diacu dalam Montes et.
Al (2002) terdapat korelasi antara nitrogen dengan produktivitas primer, hal ini menunjukkan bahwa pada perairan estuari cenderung menerima nitrogen dengan
18 konsentrasi yang besar.
Perbandingan nilai N:P digunakan sebagai indikator
dalam menentukan nilai N dan P sebagai faktor pembatas di perairan. Perbandingan tersebut didasarkan atas nilai molar N dan P yaitu 16:1 (Redfield, 1958 diacu dalam Sin et al.1999). secara menyeluruh perbandingan antara N:Si:P adalah 16:15:1 (Redfield 1958 diacu dalam Sin et al. 1999). Nilai perbandingan N:P menunjukkan nilai fosfat sebagai faktor pembatas apabila perbandingan molar N:P > 16 dan nilai nitrogen menjadi pembatas bilai N:P < 16 (Redfield 1958 diacu dalam Lehmann, 2000). Sedangkan nilai Si/N > 1 menunjukkan silikat bukan merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan diatom (Montes et. Al 2002). 2.4. Perairan Teluk Kendari Teluk Kendari merupakan wilayah pesisir yang dikategorikan perairan tertutup (closed area) yang dikelilingi oleh perbukitan terjal di bagian utara dan wilayah dataran di bagian barat dan selatan dan di bagian timur terdapat Pulau Bungkutoko yang berhadapan dengan Laut Banda.
Perairan Teluk Kendari
diperkirakan memiliki luas ± 10,84 km2 dan memiliki panjang garis pantai ± 35,85 km, berbentuk pantai melingkar dan melebar ke arah daratan yang ada di bagian barat. Mulut teluk menyempit dan menghadap perairan Laut Banda. Pada bagian depan mulut teluk terdapat pulau kecil Bungkutoko, dengan demikian bentuk perairan Teluk Kendari menjadi relatif tertutup. Sepanjang wilayah teluk mempunyai tipe pasang surut semidiurnal, dengan dua kali pasang dan dua kali surut setiap hari. Kisaran amplitudo untuk wilayah teluk berkisar antara 40-70 cm. Pasang naik di pantai Teluk Kendari dapat mendesak air laut masuk ke wilayah sungai dan daerah-daerah konservasi rawa serta kawasan penduduk di sekitar tepi Teluk Kendari. Perairan Teluk Kendari termasuk perairan yang relatif tenang dilihat dari kondisi oseanografinya, oleh sebab itu abrasi pantai tidak terlalu nyata menjadi masalah pada perairan teluk.
Sebaliknya masalah sedimentasi merupakan
masalah yang serius pada perairan teluk. Indikasi sedimentasi ini dapat dilihat dari perubahan garis pantai, dimana pada tahun 1987 luas Teluk Kendari yang dihitung dari panjang garis pantai mencapai 1.186,166 ha, dan mengalami penurunan hingga mencapai 1.084,671 ha pada tahun 2000. Sehingga selama 13 tahun dari
19 tahun 1987 sampai tahun 2000 telah terjadi sedimentasi seluas 101.495 ha. Sehingga diperkirakan sedimetasi terjadi setiap tahunnya ± 78.884,23 m2 atau ± 8 ha/tahun.
Selain itu dari hasil pengamatan di lapang menunjukkan kondisi
sedimentasi yang nampak terlihat jelas berupa warna perairan yang tampak kecoklatan terutama pada pesisir bagian barat perairan teluk di mana Sungai Wanggu, Sungai Kambu, dan Sungai Anggoeya bermuara. Potensi sumber pencemaran air di kawasan Teluk Kendari dapat berasal dari berbagai lokasi seperti industri pengolahan ikan di Kambu dan Mata, dan juga akibat kegiatan pertanian, permukiman dan lain-lain. Sebagian besar industri berlokasi di tengah Kota Kendari dan sebagian berada di sekitar Teluk Kendari. Kegiatan-kegiatan ini memiliki potensi mencemari lingkungan jika limbahnya tidak mendapat perlakuan sebagaimana mestinya. Walaupun pemerintah telah menyediakan atau menentukan suatu kawasan industri, namun sampai saat ini pendirian industri yang baru tidak sesuai seperti telah ditetapkan oleh pemerintah. Limbah industri sebagian besar mengalir ke teluk dan sebagian mengalir ke arah pantai timur Laut Banda. Limbah yang terbuang ke dalam air terdiri dari cairan organik, pengelolaan pertanian, plastik, kaleng, pestisida, dan sampah alami (debris) yang dihasilkan penduduk sekitar pantai Laut Banda dan Teluk Kendari. Di daerah permukiman khususnya di sekitar tepi Teluk Kendari banyak ditemukan sampah dan limbah rumah tangga yang berpotensi mencemari lingkungan.
3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Kendari bagian dalam yang secara geografis terletak pada 3o57’50”-3o5’30” lintang selatan dan 122o31’50”122o36’30” bujur timur dengan luas ± 18,75 km2 dan panjang garis pantai ± 35,85 km (Gambar 4). Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 2 bulan yang dimulai pada bulan April – Juni 2009 (musim peralihan-kemarau). Pengukuran dilakukan sebanyak 4 kali dengan frekuensi setiap pengukuran selama 2 minggu (Tabel 1). Tabel 1. Waktu sampling penelitian di perairan Teluk Kendari Pengamatan 1 2 3 4
Waktu sampling 25-27 April 2009 9-11 Mei 2009 23-25 Mei 2009 6-8 Juni 2009
Keterangan Musim hujan-kemarau (peralihan) Musim kemarau Musim kemarau Musim kemarau
3.2. Penentuan Lokasi dan Titik Sampling Dalam menentukan lokasi dan titik sampling penelitian dilakukan kegiatan yang dibagi atas 2 tahapan yaitu : Tahapan Prapenelitian Pada tahap prapenelitian dilakukan pengukuran pola sebaran kecerahan perairan dengan menggunakan transek yang ditempatkan secara membujur dan melintang di sepanjang perairan teluk, dengan jarak antara sampling baik membujur maupun melintang ± 500 m. Pengukuran ini dilakukan sebagai dasar untuk menentukan lokasi sampling penelitian (stasiun) secara horisontal. Didasarkan pada pola sebaran kecerahan perairan serta dengan mempertimbangkan pasang surut dan kedalaman perairan, maka penentuan lokasi sampling secara horisontal dibagi menjadi 3 stasiun yaitu stasiun A pada bagian luar dari teluk, stasiun B di tengah teluk, dan zona C pada bagian dalam teluk, dimana pada setiap stasiun dibagi menjadi 2 titik sampling (substasiun) (Tabel 2, Gambar 4).
22 Tahapan Penelitian Titik pengukuran dan pengambilan sampel secara vertikal ditentukan dengan mengukur tingkat kedalaman perairan pada tiap titik sampling (substasiun)
dan
membaginya
menjadi
beberapa
kedalaman
dengan
mempertimbangkan intensitas cahaya matahari dan pola umum dari produktifitas primer fitoplankton pada lapisan perairan. Pengukuran sampel secara vertikal ini dimaksudkan untuk mengetahui distribusi intensitas cahaya yang semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Kedalaman pada setiap stasiun dibagi atas empat berdasarkan intensitas cahaya matahari di kolom perairan yaitu pada kedalaman dengan intensitas cahaya matahari 100%, 50%, 25%, dan 1% dari intensitas cahaya permukaan perairan. Tabel 2. Posisi geografis setiap stasiun dan substasiun penelitian Stasiun A B C
Substasiun A1 A2 B1 B2 C1 C2
Bujur Timur (BT) 122o35’27.455” 122o35’11.094” 122o34’38.499” 122o34’05.966” 122o33’33.389” 122o33’00.813”
Lintang Selatan (LS) 3o58’25.5756” 3o58’41.8728” 3o58’25.5756” 3o58’41.8578” 3o58’25.5036” 3o58’58.1268”
3.3. Pengukuran Parameter Parameter yang diukur meliputi parameter fisika, kimia dan biologi, yang dibagi menjadi parameter utama dan penunjang. Alat dan metode pengukuran parameter kualitas perairan yang akan diukur disajikan pada Tabel 3. 3.3.1. Produktivitas Primer Fitoplankton Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan metode oksigen botol terang-botol gelap.
Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perubahan
kandungan oksigen dalam botol terang dan botol gelap yang berisi sampel air setelah diinkubasi pada kedalaman perairan. Waktu inkubasi dilakukan pada pukul 10.00-14.00 WITA. Pada masing-masing stasiun dan kedalaman digunakan 3 botol oksigen berukuran 250 ml, dengan perincian 1 botol terang, 1 botol gelap, dan 1 botol awal. Botol gelap dimodifikasi dengan jalan dilapisi plastik hitam, sehingga tidak
23 tembus cahaya.
Pengambilan contoh air dilakukan pada setiap stasiun dan
kedalaman dengan menggunakan Van dorn water sampler, kemudian dimasukkan ke dalam botol-botol inkubasi dan botol awal. Kemudian, botol awal diukur sebagai oksigen terlarut awal dan botol lainnya diinkubasi. Tabel 3. Alat dan metode pengukuran parameter kualitas perairan Parameter Penunjang • Suhu • TSS • Kekeruhan
Satuan o
C mg/L NTU o
• Salinitas • pH • Kecepatan arus Utama • Kecerahan • Intensitas cahaya • N-Nitrat • N-Nitrit • N-Amonia • Ortofosfat • Silikat • Kelimpahan • Produktivitas Primer • Klorofil-a
/oo
m/det
Alat/Metode Thermometer, pemuaian Timbangan, gravimetri Turbidimeter, absorpsi cahaya Conductivity Temperatur Depth pH meter Pelampung dan Stop watch
m Lux mg/L mg/L
Secchi disk, visual Luxmeter, photocell Spektrofotometer, Brucine Spektrofotometer, Sulfanilamide mg/L Spektrofotometer, Phenate mg/L Spektrofotometer, Amonium molybdate mg/L Spektrofotometer, molybdosilicate sel/L Mikroskop elektronik binokuler, Sedgwick-Rafter 3 mgC/m /jam Titrasi, Oksigen mg/m3
Spektrofometer, aseton 90%
Lokasi In situ Laboratorium Laboratorium In situ In situ In situ In situ In situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium In situ Laboratorium
Perhitungan produktivitas primer fitoplankton dilakukan menurut Umaly dan Cuvin (1988), yaitu
(O2 BT ) − (O2 BG ) × 1000 × 0,375 (PQ ) × (t ) (O2 BT ) − (O2 BA) × 1000 × 0,375 Fotosintesis Bersih (mgC/m3/jam) = (PQ ) × (t )
Fotosintesis Kotor (mgC/m3/jam) =
24 22
Gambar 4. Peta lokasi penelitian di Perairan Teluk Kendari
25 Keterangan : O2BT = Oksigen terlarut botol terang (mg/l) O2BG = Oksigen terlarut botol gelap (mg/l) O2BA = Oksigen terlarut botol awal (mg/l) 1000
= Konversi liter menjadi m3
PQ
= Photosintetic Quotient : 1,2 dengan asumsi hasil metabolisme dari fitoplankton
t
= Lama inkubasi (jam)
0,375 = Koefisien konversi oksigen menjadi karbon (12/32) Photosintetic Quotient adalah perbandingan O2 terlarut yang dihasilkan dengan CO2 yang digunakan melalui proses fotosintesis. Menurut Parson et.al (1984), nilai PQ berkisar 1,1 – 1,3 untuk organisme yang memiliki klorofil. Nilai 1,2 diperoleh dengan asumsi bahwa hasil metabolisme sebagian besar didominasi oleh fitoplankton. 3.3.2. Biomassa Fitoplankton (Klorofil-a) Biomassa
fitoplankton
ditentukan
dengan
kandungan
klorofil-a.
Pengambilan sampel air laut untuk analisis klorofil-a sebanyak 1 liter pada setiap kedalaman inkubasi dan dimasukan dalam botol sampel yang ditutup dengan plastik hitam, dan disimpan dalam kotak es yang bersuhu dingin, untuk kemudian dianalisis
di
laboratorium.
Penghitungan
konsentrasi
klorofil-a
menggunakan persamaan menurut APHA (2005), yaitu Klorofil-a, mg/m3 =
26,7(664 b − 665 a ) × V1 V2 × L
Keterangan : V1 = Volume yang diekstrak (l) V2 = Volume sampel (m3) L = panjang kuvet (cm) 664b = Absorben pada 664 nm-abs pada 750 nm, sebelum pengasaman 665a = Absorben pada 665 nm-abs pada 750 nm, setelah pengasaman
dengan
26 3.3.3. Kelimpahan dan Analisis Komunitas Fitoplankton Sampel air laut diambil sebanyak 25 liter dengan menggunakan Van dorn water sampler bervolume 2 liter pada tiap-tiap kedalaman inkubasi dan disaring dengan menggunakan plankton net no. 25 dengan porositas antara 35-45 μ. Sampel air laut yang telah disaring dimasukkan ke dalam botol sampel yang bervolume 100 ml kemudian diawetkan dengan larutan lugol pekat 1 ml/100 ml sampel air laut, untuk kemudian diidentifikasi. Identifikasi jenis fitoplankton dilakukan dengan menggunakan literatur dari Davis (1955), Prescott (1970), Yamaji (1979) dan Tomas (1997). Kelimpahan fitoplankton dihitung dengan metode penyapuan (sensus) dengan menggunakan Sedwick Rafter Cell (SRC) menggunakan formula dari APHA (1998), yaitu N = n×
1 Vt × Vd Vcg
Keterangan : N = Kelimpahan fitoplankton (sel/l) n
= Jumlah sel yang tercacah
Vd = Volume air contoh yang disaring (l) Vt = Volume air contoh yang tersaring (ml) Vcg = Volume Sedwick Rafter Cell (SRC) (ml) Analisis komunitas fitoplankton dilakukan dengan menggunakan indeksindeks biologi yaitu indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (D). Hasil identifikasi dan perhitungan fitoplankton digunakan untuk menentukan indeks keaneragaman Shannon-Wienner, yaitu ⎡ ni ⎤ ⎡ ni ⎤ H ' = −∑ ⎢ ⎥ ln ⎢ ⎥ ⎣N ⎦ ⎣N ⎦
Keterangan : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wienner ni = jumlah sel jenis ke-i N = jumlah total sel Kisaran indeks keanekaragaman Shannon-Wienner dapat dikategorikan sebagai berikut :
27 H’ < 2,3062
= keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas rendah
2,3062
= keanekaragaman sedang dan kestabilan komunitas sedang
H’ < 6,9078
= keanekaragaman tinggi dan kestabilan komunitas tinggi
Untuk
melihat
keseragaman
populasi
fitoplankton
pada
setiap
pengambilan sampel dilakukan perhitungan indeks keseragaman (E), yaitu E=
H' H ' maks
Keterangan : E
= indeks keseragaman
H’
= indeks keanekaragaman
H’maks = ln S S
= jumlah taksa Indeks keseragaman berkisar antara 0-1. Semakin kecil nilai E, semakin
kecil pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu setiap spesies tidak sama dan ada kecenderungan terjadi dominansi oleh satu spesies dari jenis yang ada. Semakin besar nilai E tidak ada yang mendominasi antar jenis yang ada (Odum 1996). Untuk melihat adanya dominansi oleh spesies tertentu pada suatu populasi digunakan indeks dominansi Simpson, yaitu : ⎡ ni ⎤ D = ∑⎢ ⎥ ⎣N ⎦
2
Indeks dominansi berkisar 0-1, bila D mendekati 0 berarti dalam struktur komunitas biota yang diamati tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya dan bila D mendekati 1 berarti di dalam struktur komunitas yang sedang diamati dijumpai spesies yang mendominasi spesies lainnya (Odum 1996). 3.3.4. Analisis Unsur Hara Sampel air laut dimasukkan ke dalam botol sampel berkapasitas 250 ml untuk keperluan analisis amonia, nitrat, nitrit, ortofosfat dan silikat. Botol sampel dimasukkan ke dalam kotak pendingin sebelum dianalisis. Sebelum dianalisis lanjutan di laboratorium, terlebih dahulu dilakukan filtrasi terhadap air sampel dengan membran filter berdiameter
47 mm yang berporositas 1,2 μm.
28 Selanjutnya analisis kandungan unsur-unsur hara tersebut dilakukan mengacu pada APHA (2005). 3.3.5. Intensitas Cahaya Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan menggunakan luxmeter tipe Lutron LX-101 (Digital Luxmeter Takemura Elektric Work. Ltd). Pengukuran intensitas cahaya dilakukan setiap 10 menit sekali yang dimulai pada jam 06.00 – 17.30 WITA di wilayah daratan tempat pengambilan sampel. Prinsip kerja alat ini adalah menangkap energi cahaya melalui sensor berupa photoelectric cell dan merubahnya menjadi sinyal yang terbaca melalui lux selector. Untuk memperoleh nilai intensitas cahaya yang berada pada lapisan permukaan perairan, nilai intensitas cahaya yang diperoleh dari pengukuran di daratan dikurangi 10% dengan asumsi intensitas cahaya mengalami refleksi oleh permukaan air laut (Kirk 1994; Damar 2003). Sedang untuk menilai distribusi intensitas cahaya matahari pada setiap kedalaman kolom air ditentukan menurut Hukum Beer-Lambert (Cole 1988), yaitu I z = I 0 e − kz
Keterangan : Iz = Intensitas cahaya pada suatu kedalaman z I0 = Intensitas cahaya pada permukaan perairan e
= Bilangan dasar logaritma (2,70)
k = Koefisien peredupan z
= Kedalaman Koefisien peredupan pada kolom perairan dihitung dengan pembacaan
kedalaman keping secchi disk (Sd (m)) dengan menggunakan persamaan empiris
(
)
k = 0,191 + 1,242 / S d r 2 = 0,853 (Tillman et al. 2000).
3.3.6. Penentuan Rasio N : P Penentuan rasio N : P dalam perairan sering digunakan sebagai ukuran untuk menentukan batas potensial pertumbuhan fitoplankton (Damar 2003). Rasio ini dapat berubah jika suplai unsur hara N dan P yang memasuki perairan bervariasi. Dalam tubuh fitoplankton, rasio molar N : P berkisar 16 : 1. Rasio N : P ditentukan dengan membandingkan nilai pengukuran anorganik N (nitrat +
29 nitrit + amonia) dengan ortofosfat. Jika rasio ini lebih kecil dari 16 maka unsur hara jenis nitrogen menjadi faktor pembatas pertumbuhan, sebaliknya jika rasio lebih besar dari 16 maka unsur hara yang menjadi faktor pembatas adalah jenis fosfor.
Menurut Howarth (1988) molar rasio inorganik N (nitrat + nitrit +
ammonium) terhadap ortofosfat dapat memberikan gambaran yang sangat baik dalam menentukan batas potensial dari nutrien sebagai faktor pembatas. 3.4. Analisis Data 3.4.1. Analisis sidik ragam (ANOVA) Analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan distribusi terhadap parameter-parameter yang diukur baik antara stasiun dan kedalaman. Jika hasil analisis sidik ragam memperlihatkan perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan dengan uji
t-Tukey untuk mengetahui perbedaan tersebut.
Sebelum dilakukan pengujian, semua parameter terlebih dahulu diuji dengan distribusi normal berdasarkan Kolmogorov-Smirnov. 3.4.2. Analisis regresi a. Analisis regresi linier Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan kelimpahan sel dan biomassa fitoplankton (klorofil-a) terhadap produktivitas primer fitoplankton pada setiap stasiun dilakukan dengan menggunakan regresi linier sederhana. Persamaan umum regresi linier sederhana adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2000) : Y = α + βX Keterangan : Y = Produktivitas primer fitoplankton sebagai peubah tak bebas X = Peubah bebas berupa kelimpahan sel dan biomassa fitoplankton (klorofil-a) α = Interseps β = kemiringan Nilai koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui besarnya peranan dari peubah x terhadap Y. Nilai R2 berkisar antara 0-1. Apabila nilainya lebih besar dari 0.9 atau mendekati 1 maka dapat diartikan bahwa x memiliki peranan yang besar terhadap Y.
30 b. Regresi kuadratik Regresi non linier digunakan untuk mengetahui hubungan antara intensitas cahaya dengan produktivitas primer pada setiap stasiun dilakukan analisis regresi non linier dengan pola kuadratik dengan model persamaan sebagai berikut : Y = β0 + β1X + β2X2 Keterangan : Y = Produktivitas primer fitoplankton sebagai peubah tak bebas X = Peubah bebas berupa intensitas cahaya β = koefisien regresi c. Regresi linier berganda Untuk analisis data hubungan keseluruhan unsur hara dan intensitas cahaya perairan terhadap produktivitas primer fitoplankton pada setiap stasiun dilakukan dengan menggunakan regresi linear berganda (Mattjik dan Sumertajaya 2000). Model hubungan fungsional tersebut disajikan sebagai hubungan unsur hara dengan produktivitas primer fitoplankton. YPP : f(amonia, nitrat, nitrit, ortofosfat, silikat, intensitas cahaya) Y pp = β 0 + β 1 X 1i + β 2 X 2i + ...... + β p X ki +ε i
Keterangan : = Produktivitas primer fitoplankton sebagai peubah tak bebas
Ypp
X1,X2,X3,...,Xp = Peubah bebas berupa amonia, nitrat, nitrit, ortofosfat,silikat, intensitas cahaya b0
= Koefisien regresi
b1, b2,..., bp
= Interseps
Nilai F dari uji Anova terhadap hasil perhitungan regresi berganda tersebut digunakan untuk menguji kepastian dari persamaan regresi secara keseluruhan, dengan hipotesis yang diajukan adalah : Ho : variable independen (peubah bebas) tidak secara linier berhubungan dengan variable dependen (peubah tidak bebas) H1 : variable independen (peubah bebas) secara linier berhubungan dengan variable dependen (peubah tidak bebas)
31 Apabila nilai F hitung lebih besar dari nilai F tabel pada tingkat kepercayaan 95%, maka Ho ditolak dan H1 diterima. Sebaliknya apabila nilai F hitung lebih kecil dari nilai F tabel maka Ho diterima H1 ditolak. Nilai koefisien determinasi (R2) yang disesuaikan (Adjusted R Square) digunakan untuk mengetahui keterandalan dari model yang diperoleh dalam menerangkan keragaman nilai peubah Y dan mengetahui besarnya peranan dari peubah X terhadap Y. Nilai R2 berkisar antara 0-1. Apabila nilainya lebih besar dari 0.5 maka dapat diartikan bahwa X memiliki peranan yang besar terhadap Y. Nilai keeratan antara beubah tak bebas dengan peubah bebas ditentukan melalui koefisien regresi (βi) dari tiap peubah bebas yang terpilih dalam persamaan. Nilai koefisien yang menyatakan kemiringan garis hubungan antara peubah bebas dengan peubah tak bebas tersebut dapat menunjukkan sifat dari hubungan yang ada.
Nilai positif menunjukkan hubungan yang setara,
sedangkan nilai negatif menunjukkan hubungan yang berkebalikan. Uji analisis sidik ragam (Anova), regresi linier sederhana, regresi non linier dan regresi berganda dengan menggunakan program SPSS versi 13.0 dan Ms-excel.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Parameter Penunjang Perairan Teluk Kendari merupakan perairan estuari yang relatif tertutup. Hal ini disebabkan karena perairan Teluk Kendari mempunyai bentuk pantai melingkar dan melebar ke arah daratan yang ada di bagian barat, dengan mulut teluk yang menyempit dan menghadap perairan Laut Banda. Pada bagian depan mulut teluk terdapat pulau kecil Bungkutoko. Sebagai perairan estuari, perairan Teluk Kendari masih dipengaruhi oleh pergerakan pasang surut air laut. Berdasarkan hasil analisa data gerakan pasang surut pada lokasi Pelabuhan Kendari (03°58’25” LS dan 112°34’55” BT), tipe pasang surut termasuk dalam kategori semidiurnal. Hal ini menunjukkan terjadi kondisi pasang dan surut dua kali sehari dengan ketinggian pasang yang berbeda. Pada tinggi pasang dan surut pertama adalah 1,1 meter dan kisaran pasang dan surut kedua adalah 0,4-0,7 meter (Anonim 2000). Kecepatan arus selama penelitian berkisar 0,40-0,81 m/dtk (Tabel 4, Lampiran 3). Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa kecepatan arus yang tinggi dijumpai pada stasiun A yang berhadapan dengan laut (luar teluk) dan mengalami penurunan ke arah dalam teluk. Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Kendari di seluruh kedalaman inkubasi pada stasiun dan substasiun penelitian berkisar 28,5-30,6oC (Tabel 4, Lampiran 3), hal ini disebabkan oleh kondisi cuaca pada saat penelitian yang relatif tidak berbeda. Dari lampiran 3 menunjukkan adanya penurunan suhu dengan bertambahnya kedalaman perairan. Hal ini berkaitan dengan intensitas cahaya yang diterima pada kedalaman inkubasi dengan intensitas cahaya 100% lebih besar dibandingkan dengan kedalaman inkubasi dengan intensitas cahaya 50%, 25% dan 1%. Sejalan dengan hal tersebut Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa intensitas cahaya matahari akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan. Keberadaan cahaya akan menjadi terbatas sampai kedalaman yang memiliki kondisi fotosintesis sama dengan respirasi. Berdasarkan analisis
34 sidik ragam (ANOVA) menunjukkan tidak adanya perbedaan antara stasiun dan kedalaman inkubasi masing-masing stasiun (Lampiran 13). Tabel 4. Rata-rata, kisaran dan standar deviasi hasil pengukuran parameter fisikakimia selama penelitian Stasiun/ Substasiun A A1 Rata-rata Kisaran Std. dev A2 Rata-rata Kisaran Std. dev B B1 Rata-rata Kisaran Std. dev B2 Rata-rata Kisaran Std. dev C C1 Rata-rata Kisaran Std. dev C2 Rata-rata Kisaran Std. dev
Kec.arus (m/dtk) 0,74 0,69-0,78 0,04 0,76 0,69-0,81 0,05 0,52 0,48-0,57 0,04 0,54 0,49-0,60 0,05 0,49 0,45-0,55 0,05 0,50 0,40-0,60 0,09
Suhu (oC) 29,80 28,90-30,40 0,43 29,71 28,80-30,40 0,47 29,78 28,90-30,50 0,48 29,74 28,90-30,40 0,53 29,69 28,50-30,60 0,62 29,79 28,60-30,50 29,79
Salinitas (o/oo) 27,61 25,30-29,80 1,57 27,13 25,10-29,10 1,34 25,84 23,90-27,70 1,16 26,05 23,80-28,10 1,48 22,93 19,80-25,50 1,60 23,24 20,80-25,60 1,63
pH 7,39 7,22-7,60 0,11 7,46 7,20-7,64 0,15 7,50 7,32-7,67 0,09 7,57 7,40-7,70 0,09 7,50 7,40-7,65 0,07 7,58 7,40-7,66 0,07
TSS (mg/L) 301 264-354 29,57 294,69 255-354 28,95 328,94 307-355 16,266 335,81 307-378 20,91 376,19 319-410 32,48 391,44 324-418 24,07
Kekeruhan (NTU) 3,67 2,81-4,12 0,50 3,80 2,91-4,32 0,49 6,77 4,14-8,87 1,67 6,46 4,22-8,58 1,30 8,58 5,23-10,23 1,63 9,39 6,58-11,20 1,23
Kisaran suhu pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya pada lokasi yang sama yaitu 28-32oC (Asriyana 2004) dan 28,3332oC (Afu, 2005). Secara umum kisaran suhu selama penelitian masih dalam kisaran suhu yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan fitoplankton adalah 20-30oC (Sachlan 1982). Salinitas yang diperoleh selama penelitian berkisar 19,80-29,80o/oo (Tabel 4, Lampiran 3), dimana nilai salinitas terendah dijumpai pada stasiun C (substasiun C1 dan C2).
Berdasarkan Tabel 4 menunjukkan terjadinya
peningkatan salinitas yang mengarah ke laut. Perbedaan salinitas ini disebabkan karena oleh adanya pengaruh masukan air tawar dari sungai-sungai yang bermuara ke teluk maupun masukkan air laut dengan salinitas tinggi. Dimana salinitas pada stasiun A selama penelitian dijumpai tinggi dibandingkan stasiun B dan C karena besarnya pengaruh air laut, dibandingkan salinitas pada stasiun C dimana lebih dipengaruhi oleh air tawar yang masuk melalui sungai-sungai yang bermuara ke teluk.
Kecerahan (m) 1,66 1,35-2,00 0,31 1,70 1,45-2,05 0,28 1,30 1,06-1,45 0,17 1,31 1,11-1,44 0,15 0,94 0,69-1,17 0,20 0,96 0,70-1,17 0,20
35 Berdasarkan hasil pengukuran derajat keasaman selama penelitian di perairan Teluk Kendari berkisar 7,20-7,70 (Tabel 4, Lampiran 3).
Kisaran
tersebut tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan penelitian Emiyarti (2004) dan Afu (2005) di perairan yang sama, dimana pH perairan berkisar antara 7,027,74 dan 7,20-7,60. Nilai pH yang diperoleh selama penelitian masih merupakan kisaran yang sesuai dengan kebutuhan fitoplankton yaitu 7,0-8,5 (Sachlan 1982). Nilai kekeruhan dan TSS selama penelitian berkisar 2,81-11,20 NTU dan 255-418 mg/L (Tabel 4, Lampiran 3). Kisaran kekeruhan mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan penelitian BAPPEDA Sultra bekerjasama dengan PKSPL (2000) dan Asriyana (2004), dimana kekeruhan perairan berkisar antara 0,14 – 1,4 NTU dan 6,55 – 8,43 NTU. Nilai TSS yang diperoleh juga mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan penelitian Pangerang (1994) dan Salnuddin (2005), dimana nilai TSS berturut-turut yaitu 40-62 mg/L dan 183 – 250 mg/L. Nilai kekeruhan dan TSS tertinggi dijumpai pada stasiun C. Tingginya nilai kekeruhan di stasiun C disebabkan masukan bahan-bahan tersuspensi yang berasal dari daratan yang terbawa oleh aliran sungai. Bahan-bahan tersuspensi ini masuk melalui sungai Wanggu dan Kambu yang bermuara ke Teluk Kendari, selain sungai-sungai kecil lainnya yang sifatnya periodik (musiman). Berdasarkan Tabel 4 nilai kekeruhan dan TSS menunjukkan penurunan ke arah laut (stasiun A dan B). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tambaru (2008) bahwa zona yang jauh dari daratan memiliki nilai kekeruhan yang rendah. Nilai kecerahan yang diperoleh selama penelitian berbanding terbalik dengan nilai kekeruhan dan TSS. Nilai kecerahan selama penelitian berkisar 0,69-2,05 m (Tabel 2, Lampiran 3). Nilai kecerahan tertinggi terdapat pada stasiun A (luar teluk). Nilai kekeruhan, kecerahan dan TSS pada setiap stasiun dan substasiun penelitian menunjukkan adanya korelasi satu dengan lainnya (Gambar 5). Hasil pengukuran kekeruhan dan TSS mempunyai korelasi positif, dimana peningkatan nilai TSS akan diikuti pula dengan peningkatan nilai kekeruhan. Berdasarkan analisis korelasi Pearson, diperoleh korelasi positif dengan keeratan yang sangat kuat sebesar 0,958 pada taraf kepercayaan 0,01.
Sedang nilai kecerahan
mempunyai korelasi negatif terhadap kekeruhan dan TSS. Berdasarkan korelasi
36 Pearson diperoleh korelasi negatif dengan keeratan yang sangat kuat terhadap nilai kekeruhan dan TSS sebesar berturut-turut -0,821 dan -0,891 pada taraf kepercayaan 0,01. Peningkatan nilai kekeruhan dan TSS akan menurunkan nilai
450 400 350 300 250 200 150 100 50 -
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 A1
A2
Stasiun A
B1
B2
Stasiun B
Kecerahan
TSS
C1
Kekeruhan (NTU); Kecerahan (m)
TSS (mg/l)
kecerahan di perairan.
C2
Stasiun C Kekeruhan
Gambar 5. Grafik Kekeruhan, kecerahan dan TSS pada masing-masing stasiun dan substasiun pada setiap kedalaman intensitas cahaya 4.1.2. Intensitas Cahaya Matahari 4.1.2.1. Intensitas Cahaya Permukaan Cahaya matahari merupakan sumber energi di laut.
Cahaya yang
dipancarkan oleh matahari terdiri dari 50% sebagai infra merah, 41% sebagai cahaya terang, 9% sebagai ultraviolet, sinar lamda dan sinar gamma (Anikouchine dan Sternberg 1981).
Penetrasi cahaya matahari pertama mencapai atmosfer
kemudian laut. Cahaya yang terserap atau terpencar di atmosfir sekitar 50% (Lalli dan Persons 1993), kemudian akan mengalami pengurangan sekitar 10% pada lapisan permukaan (Kirk 1994) atau 90% mencapai lapisan permukaan laut (Iwasaka et al. 2000). Besarnya nilai intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan laut berbeda-beda dari waktu ke waktu. Fenomena tersebut terjadi pula di perairan Teluk Kendari, dimana intensitas cahaya matahari mencapai permukaan (di udara) selama penelitian bervariasi (Gambar 6, Lampiran 1). Besarnya intensitas cahaya matahari yang sampai di permukaan (udara) mengikuti pola harian yaitu terjadinya peningkatan intensitas cahaya di pagi hari dan mencapai puncak pada siang hari, selanjutnya menurun pada sore hari
37 (Gambar 6). Nilai intensitas cahaya selama penelitian dalam waktu yang sama berbeda pada setiap pengukuran. Hal ini disebabkan oleh kondisi awan pada saat pengukuran sehingga akan mempengaruhi besar dan kecilnya nilai intensitas cahaya matahari yang sampai ke permukaan perairan. Kondisi di atas terjadi selama penelitian (Gambar 6), nilai intensitas cahaya di permukaan (udara) mengalami kenaikan dan penurunan.
Intensitas Cahaya Matahari (lux)
80,000 Udara
70,000
Laut
60,000 50,000 40,000 30,000 20,000 10,000 06.00 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 Waktu pengamatan (jam)
Gambar 6. Rata-rata nilai intensitas cahaya matahari di udara dan permukaan perairan selama pengamatan Selama penelitian, nilai intensitas cahaya mencapai puncaknya pada waktu yang berbeda-beda. Pada pengukuran pertama puncak intensitas cahaya terjadi pada pukul 10.50, dengan nilai sebesar 67.700 Lux. Pada pengukuran ke-2 dan ke-4, puncak intensitas cahaya pada pukul 11.10 dengan nilai 74.100 lux dan 71.200 lux. Pada pengukuran ke-3 puncak intensitas cahaya pada pukul 11.00 dengan nilai 71.200 lux (Lampiran 1). Nilai intensitas yang dijumpai selama penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tambaru (2000) dan Abida (2008), dimana puncak intensitas cahaya pada bulan Mei 2008 di Teluk Hurun terjadi pada pukul 11.50-12.05 WIB, dengan nilai sekitar 274.000-294.000 lux dan di Pantai Selat Madura pada bulan Maret-April 2007 puncak intensitas cahaya terjadi pada pukul 11.00-12.00, dengan nilai sekitar 102.200-123.200 lux. Nilai intensitas cahaya yang bervariasi selama penelitian ini, selain disebabkan oleh kondisi perawanan yang
38 mempengaruhi intensitas cahaya yang sampai ke permukaan, hal ini juga dipengaruhi oleh perbedaan lokasi di bumi (letak lintang daerah yang diamati) sehingga berpengaruh terhadap ketinggian matahari terhadap suatu permukaan (Parson et al. 1984). 4.1.2.2. Intensitas Cahaya Matahari di Kolom Air Intensitas cahaya yang sampai di lapisan permukaan perairan pada lokasi penelitian bervariasi dari waktu ke waktu seperti halnya intensitas cahaya permukaan (Gambar 6, Lampiran 2).
Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa
besarnya intensitas cahaya pada permukaan laut (udara) akan mempengaruhi nilai intensitas cahaya pada lapisan permukaan perairan.
Dimana nilai intensitas
cahaya akan meningkat pada pagi hari dan mencapai puncaknya pada siang hari dan mengalami penurunan pada sore harinya. Berdasarkan Gambar 7, persentase intensitas cahaya matahari pada lapisan permukaan perairan selama inkubasi yaitu pada pukul 10.00-14.00 WITA sebesar 52,95% dalam waktu sehari (06.00-18.00). 100.00
Persentase (%)
80.00 52.95
60.00 40.00
30.29 16.76
20.00 06.00-09.50
10.00-14.00
14.10-18.00
Waktu
Gambar 7. Persentase intensitas cahaya matahari selama waktu inkubasi Distribusi cahaya matahari di kolom air akan mengalami peredupan. Peredupan intensitas cahaya matahari tersebut terlihat dari nilai koefisien peredupan yang diperoleh selama pengukuran (Tabel 5). Nilai koefisien peredupan yang diperoleh selama penelitian yaitu pada stasiun A berkisar 0,801,11 per meter, stasiun B berkisar 1,05-1,37 per meter dan stasiun C berkisar 1,26-
39 2,00 per meter.
Nilai koefisien peredupan membentuk pola yang semakin
meningkat ke arah dalam teluk (stasiun C). Tabel 5. Rata-rata kedalaman dan zona fotik di lokasi penelitian Stasiun/ Substasiun A
A1 A2
B
B1 B2
C
C1 C2
Rata-rata Kisaran Std. dev Rata-rata Kisaran Std. dev Rata-rata Kisaran Std. dev Rata-rata Kisaran Std. dev Rata-rata Kisaran Std. dev Rata-rata Kisaran Std. dev
Kedalaman (m)
Kecerahan (m)
Koefisien peredupan
Zona fotik (m)
13.88 13.50-14.50 0.48 13.87 12.00-15.00 1,43 11,12 10,50-12,00 0,63 10,25 10,00-10,50 0,29 6,75 5,50-7,50 0,87 6.50 5,00-7,50 1.08
1,66 1,35-2,00 0,31 1,70 1,45-2,05 0,28 1,29 1,06-1,45 0,17 1,31 1,11-1,44 0,15 0,93 0,69-1,17 0,20 0,96 0,70-1,17 0,20
0,96 0,81-1,11 0,14 0,94 0,80-1,05 0,12 1,17 1,05-1,37 0,14 1,20 1,08-1,31 0,10 1,57 1,26-2,00 0,31 1,53 1,26-1,97 0,31
7,31 6,22-8,51 1,08 7,47 6,59-8,67 0,97 5,98 5,05-6,58 0,67 6,04 5,27-6,56 0,58 4,51 3,45-5,50 0,84 4,63 3,51-5,50 0,83
Persentase kedalaman fotik (%) 52,55 46,06-58,67 6,05 53,81 50,21-57,79 3,29 54,05 42,07-60,12 8,43 59,02 50,22-65,57 6,44 66,53 62,67-73,27 4,68 71,13 70,30-73,27 1,43
Nilai koefisien peredupan berkorelasi negatif dengan nilai kecerahan di perairan dan berbanding lurus dengan kekeruhan dan TSS. Berdasarkan korelasi Pearson diperoleh korelasi negatif antara koefisien peredupan dengan kecerahan, dengan keeratan yang sangat kuat sebesar -0,722 pada taraf kepercayaan 0,01. Sedang terhadap kekeruhan dan TSS, koefisien peredupan berkorelasi positif dengan keeratan masing-masing sebesar 0,585 dan 0,704 pada taraf kepercayaan 0,05. Koefisien peredupan ini disebabkan oleh bahan-bahan yang ada dalam perairan baik oleh partikel tersuspensi, plankton maupun bahan organik. Sehubungan dengan hal tersebut Wyatt dan Jackson (1989) menyatakan bahwa distribusi cahaya di kolom perairan tergantung pada kandungan dan kelompok partikel tersuspensi, seperti tipe partikel termasuk ukuran, bentuk dan struktur dari partikel tersebut. Partikel tersebut dapat menyerap dan memancarkan cahaya dalam kolom air (Stewart 1974 diacu dalam Tambaru 2008). Kedalaman zona fotik selama pengukuran diperoleh sekitar 6,22-8,67 meter atau 46,06-58,67% dari kedalaman perairan pada stasiun A, 5,05-6,58 meter atau 42,07-65,57% dari kedalaman perairan pada stasiun B, dan 3,45-5,50 meter
40 atau 62,67-73,27% dari kedalaman perairan pada stasiun C. Pendugaan besarnya intensitas cahaya yang masuk ke kolom perairan dengan hukum Lambert dan persentasenya memperlihatkan pola distribusi cahaya di perairan, dimana semakin dalam cahaya menembus lapisan air maka nilai intensitasnya akan semakin berkurang. Intensitas cahaya (x 10 lux) 0
10
20
30
40
50
60
70
0.0
Kedalaman (m)
1.0
2.0 Substasiun A1 3.0
Substasiun A2 Substasiun B1
4.0
Substasiun B2 Substasiun C1 Substasiun C2
5.0
Gambar 8. Pola distribusi cahaya pada kolom perairan pada setiap stasiun/substasiun Pola distribusi cahaya pada kolom perairan pada setiap stasiun dan substasiun dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan Gambar 8 memperlihatkan bahwa pada intensitas cahaya 50%, 25% dan 1% dari cahaya permukaan pada ketiga stasiun penelitian diperoleh nilai kedalaman yang berbeda-beda. Pada stasiun A intensitas cahaya 50%, 25% dan 1 % dijumpai berturut-turut pada kedalaman 0,7 meter, 1,5 meter dan 5 meter, stasiun B berturut-turut dijumpai 0,6 meter, 1,2 meter dan 4 meter dan stasiun C berturut-turut dijumpai 0,5 meter, 0,9 meter dan 3 meter. Perbedaan pola distribusi pada setiap stasiun disebabkan oleh berbedanya nilai koefisien peredupan pada stasiun tersebut. Semakin besar nilai koefisien peredupan maka nilai intensitas cahaya yang menembus kolom air akan semakin kecil.
Sebaliknya nilai koefisien peredupan yang kecil akan
41 menyebabkan nilai intensitas cahaya yang masuk ke kolom air akan semakin besar. 4.1.3. Unsur Hara 4.1.3.1. Nitrogen Anorganik Terlarut (DIN) Pada penelitian ini unsur nitrogen yang diamati adalah nitrat (NO3-N), nitrit (NO2-N) dan amonia (NH3-N). Ketiga bentuk ion tersebut mempunyai peranan penting sebagai sumber energi N bagi fitoplankton.
Gabungan
konsentrasi nitrat, nitrit dan ammonium atau yang disingkat (DIN) selama penelitian memperlihatkan nilai yang bervariasi. Rata-rata total DIN pada stasiun A berkisar 0,54-0,56 mg/L, stasiun B berkisar 0,68-0,70 mg/L dan stasiun C berkisar 0,75-0,83 mg/L (Tabel 6). Konsentrasi tertinggi dijumpai pada stasiun C dan mengalami penurunan ke arah laut (stasiun A dan B), hal ini karena pada stasiun C banyak mendapatkan suplai unsur hara dari kegiatan-kegiatan di daratan, baik itu kegiatan pertanian, perikanan maupun aktivitas penduduk, yang masuk melalui sungai dan bermuara ke teluk. Tabel 6. Rata-rata, kisaran dan standar deviasi hasil pengukuran unsur hara selama penelitian Stasiun/ Substasiun A A1 Rata-rata Kisaran Std. dev A2 Rata-rata Kisaran Std. dev B B1 Rata-rata Kisaran Std. dev B2 Rata-rata Kisaran Std. dev C C1 Rata-rata Kisaran Std. dev C2 Rata-rata Kisaran Std. dev
NH3-N (mg/L) 0,05 0,03-0,09 0,01 0,05 0,02-0,08 0,02 0,05 0,03-0,07 0,01 0,05 0,03-0,06 0,01 0,05 0,03-0,06 0,01 0,05 0,03-0,07 0,01
NO3-N (mg/L) 0,47 0,29-0,64 0,10 0,50 0,31-0,68 0,11 0,63 0,49-0,77 0,09 0,61 0,48-0,74 0,09 0,77 0,58-1,07 0,15 0,68 0,55-0,81 0,08
NO2-N (mg/L) 0,02 0,01-0,05 0,02 0,02 0,01-0,04 0,01 0,02 0,01-0,04 0,01 0,02 0,01-0,04 0,01 0,02 0,01-0,04 0,01 0,02 0,01-0,03 0,01
PO4-P (mg/L) 0,08 0,04-0,11 0,02 0,08 0,06-0,11 0,01 0,09 0,06-0,11 0,02 0,10 0,06-0,13 0,02 0,12 0,09-0,15 0,02 0,12 0,09-0,15 0,02
SiO2 (mg/L) 0,30 0,12-0,51 0,10 0,36 0,11-0,56 0,11 0,41 0,16-0,69 0,17 0,51 0,12-0,69 0,17 0,53 0,28-0,72 0,13 0,51 0,22-0,77 0,16
DIN N:P (mg/L) 0,54 7,20 0,34-0,73 5,36-9,44 0,12 1,58 0,56 7,32 0,37-0,77 5,19-9,59 0,12 1,27 0,70 8,09 0,54-0,84 6,51-10,28 0,10 1,16 0,68 6,88 0,52-0,81 5,34-9,28 0,09 0,96 0,83 6,99 0,63-1,15 5,36-9,58 0,15 1,01 0,75 6,25 0,60-0,86 4,83-7,77 0,08 0,87
42 Berdasarkan Gambar 9, dari ketiga jenis nitrogen terlihat bahwa konsentrasi nitrat (NO3-N) merupakan unsur yang memberikan kontribusi yang besar terhadap nilai total DIN (Gambar 9). Hal ini diduga bahwa buangan limbah dari aktivitas pertanian, perikanan dan aktivitas penduduk lebih banyak mengandung nitrat, sehingga memberikan pengaruh yang besar terhadap ketersediaan DIN. Selain itu keberadaan nitrat di perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen terlarut, dimana proses amonia menjadi nitrit dan nitrat berlangsung pada kondisi aerob atau kondisi yang memerlukan oksigen.
Gambar 9. Rata-rata konsentrasi nitrogen anorganik terlarut (DIN) dan persentase masing-masing unsur hara 4.1.3.2. Amonia (NH3-N) Konsentrasi amonia selama penelitian pada stasiun A mempunyai kisaran 0,02-0,09 mg/L, stasiun B berkisar antara 0,03-0,07 mg/L dan stasiun C berkisar 0,03-0,07 mg/L (Tabel 6). Kisaran nilai konsentrasi amonia yang didapatkan selama penelitian sama dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Alianto (2006) di perairan Teluk Banten yaitu sebesar 0,034 – 0,079 mg/L dan Madubun (2008) di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta yaitu sebesar 0,241-4,95 µM atau 0,007-0,153 mg/L. Sebaran konsentrasi amonia antara stasiun penelitian berdasarkan analisis sidik ragam (ANOVA) memperlihatkan nilai yang menurun ke arah laut (mulut teluk) namun tidak berbeda nyata pada taraf α 0,05 (Lampiran 13).
43 Pola distribusi vertikal amonia pada setiap stasiun dan substasiun selama penelitian (Tabel 7) berdasarkan ANOVA memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang nyata pada taraf α 0,05 (Lampiran 13), hal ini sejalan dengan pernyataan Dawes (1981) bahwa distribusi vertikal amonium lebih seragam bila dibandingkan dengan unsur nitrogen lainnya. Tabel 7. Rata-rata dan standar deviasi hasil pengukuran unsur hara pada kedalaman inkubasi selama penelitian Stasiun/ Substasiun A A1
Ked. DIN NO3-N NO2-N PO4-P SiO2 NH3-N inkubasi* (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) 100% 0,03±0,01 0,34±0,04 0,02±0,01 0,06±0,02 0,24±0,14 0,39±0,05 50% 0,04±0,01 0,43±0,05 0,03±0,02 0,07±0,02 0,34±0,07 0,50±0,05 25% 0,05±0,01 0,50±0,05 0,03±0,02 0,09±0,01 0,35±0,12 0,59±0,05 1% 0,06±0,02 0,59±0,04 0,02±0,01 0,09±0,02 0,26±0,06 0,67±0,05 A2 100% 0,03±0,01 0,37±0,05 0,01±0,01 0,07±0,01 0,34±0,11 0,42±0,04 50% 0,04±0,01 0,47±0,05 0,01±0,01 0,08±0,02 0,45±0,09 0,52±0,04 25% 0,05±0,01 0,55±0,07 0,02±0,01 0,09±0,01 0,34±0,09 0,62±0,08 1% 0,06±0,01 0,63±0,05 0,02±0,01 0,08±0,01 0,31±0,14 0,69±0,06 B B1 100% 0,04±0,01 0,52±0,03 0,01±0,01 0,07±0,02 0,24±0,10 0,58±0,03 50% 0,05±0,01 0,59±0,03 0,02±0,01 0,08±0,01 0,52±0,14 0,66±0,04 25% 0,06±0,01 0,67±0,04 0,02±0,01 0,10±0,01 0,55±0,11 0,75±0,05 1% 0,06±0,01 0,75±0,02 0,02±0,01 0,10±0,01 0,32±0,09 0,82±0,02 B2 100% 0,04±0,01 0,50±0,02 0,01±0,01 0,08±0,01 0,28±0,16 0,55±0,03 50% 0,05±0,01 0,61±0,06 0,02±0,01 0,10±0,01 0,60±0,09 0,67±0,05 25% 0,06±0,03 0,63±0,05 0,02±0,01 0,11±0,02 0,60±0,06 0,71±0,06 1% 0,06±0,03 0,71±0,04 0,01±0,01 0,12±0,01 0,55±0,09 0,77±0,04 C C1 100% 0,04±0,05 0,67±0,14 0,02±0,01 0,10±0,01 0,41±0,12 0,73±0,14 50% 0,05±0,05 0,78±0,20 0,02±0,01 0,11±0,01 0,53±0,09 0,86±0,20 25% 0,05±0,01 0,77±0,11 0,02±0,01 0,13±0,01 0,64±0,06 0,84±0,11 1% 0,05±0,02 0,86±0,14 0,01±0,01 0,13±0,01 0,55±0,14 0,91±0,14 C2 100% 0,05±0,01 0,59±0,04 0,02±0,01 0,10±0,01 0,38±0,15 0,65±0,04 50% 0,05±0,01 0,70±0,08 0,02±0,01 0,12±0,01 0,60±0,12 0,76±0,08 25% 0,06±0,01 0,70±0,03 0,01±0,01 0,14±0,01 0,59±0,12 0,77±0,04 1% 0,06±0,01 0,74±0,05 0,01±0,01 0,14±0,01 0,47±0,17 0,81±0,05 Keterangan : * = Kedalaman berdasarkan persentase intensitas cahaya di kolom perairan
N:P 6,79±1,76 7,35±2,17 6,74±0,58 7,92±1,74 6,47±0,81 6,79±1,58 7,34±0,78 8,67±0,72 8,23±1,88 8,03±0,83 7,56±0,53 8,55±1,21 7,30±1,46 6,85±0,44 6,75±1,35 6,62±0,37 6,97±0,96 7,77±1,36 6,46±0,76 6.76±0,72 6,77±0,89 6,56±1,10 5,65±0,62 6,04±0,65
4.1.3.3. Nitrat (NO3-N) Konsentrasi nitrat yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,290,68 mg/L pada stasiun A, 0,48-0,77mg/L pada stasiun B dan 0,55-1,07 mg/L pada stasiun C (Tabel 6).
Nilai konsentrasi nitrat yang diperoleh selama
penelitian lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang diperoleh oleh Pangerang (1994) dan Asriyana (2004) pada lokasi yang sama yaitu berkisar 0,017-0,255 mg/L dan 0,021-0,283 mg/L. Konsentrasi nitrat cenderung memperlihatkan nilai yang semakin rendah ke arah laut (mulut teluk). Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) konsentrasi nitrat antara stasiun menunjukkan perbedaan yang nyata
44 pada taraf α 0,05 (Lampiran 13). Dari hasil uji lanjut Tukey (HSD) terlihat bahwa konsentrasi nitrat pada stasiun A dan C menunjukkan perbedaan yang nyata, dengan rata-rata konsentrasi yang semakin rendah ke arah laut. Menurut Mackentum (1969) dalam Alianto (2006) bahwa pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan nitrat 0,9-3,5 mg/l atau 0,7-2,8 mg at NO3-N/l. Sehubungan dengan hal tersebut, konsentrasi nitrat yang diperoleh, bila dilihat dari ketersediaannya di perairan mempunyai kisaran yang lebih rendah, kecuali pada stasiun C sebesar 1,07 mg/l. Nilai tersebut diperoleh pada saat pengukuran pertama, yaitu pada saat peralihan musim hujan ke musim kemarau, sehingga tingginya konsentrasi nitrat yang diperoleh pada saat pengukuran masih mendapat pengaruh dari musim hujan. Sejalan dengan penelitian Tambaru (2008) di perairan pesisir Maros bahwa konsentrasi unsur hara ketiga jenis N lebih rendah pada musim kemarau jika dibandingkan pada musim hujan. Namun secara umum ketersediaan nitrat selama penelitian lebih rendah dari kebutuhan optimal fitoplankton untuk pertumbuhan, hal ini diduga pada saat pengukuran, konsentrasi nitrat yang terdapat di perairan telah dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya. Hal ini serupa dengan pernyataan Goes et al. (2004) bahwa konsentrasi nitrat yang mengalami penurunan sampai sekitar 6 μM atau setara 0,456 mg/L menunjukkan telah terjadi penyerapan nitrat dengan cepat oleh fitoplankton. 4.1.3.4. Nitrit (NO2-N) Konsentrasi nitrit yang dijumpai selama penelitian berkisar antara 0,010,05 mg/L pada stasiun A, 0,01-0,04 mg/L pada stasiun B dan pada stasiun C berkisar 0,01-0,04 mg/L (Tabel 6). Sebaran vertikal di setiap kedalaman pada stasiun dan substasiun penelitian relatif seragam. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa konsentrasi nitrit tidak adanya perbedaan yang nyata antara stasiun maupun kedalaman (pada taraf α 0,05). Konsentrasi nitrit yang diperoleh selama penelitian relatif lebih rendah dibandingkan unsur N lainnya, hal ini disebabkan karena nitrit merupakan bentuk nitrogen yang tidak stabil, sehingga senyawa ini mudah mengalami perubahan menjadi amonia atau nitrat, tergantung kondisi oksigen terlarut di perairan.
45 Menurut Dawes (1981) bahwa nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat (nitrifikasi) dan antara nitrat dan gas nitrogen (denitrifikasi). Proses nitrifikasi berlangsung pada kondisi aerob sedang denitrifikasi berlangsung pada kondisi anaerob. 4.1.3.5. Ortofosfat (PO4-P) Kisaran konsentrasi ortofosfat yang diperoleh selama penelitian pada stasiun A berkisar antara 0,02-0,11 mg/L, pada stasiun B berkisar antara 0,06-0,13 mg/L dan stasiun C antara 0,09-0,15 mg/L (Tabel 6). Nilai konsentrasi ortofosfat yang diperoleh selama penelitian hampir sama bila dibandingkan dengan yang diperoleh oleh Pangerang (1994) pada lokasi yang sama yaitu berkisar 0,0130,539 mg/L. Konsentrasi ortofosfat cenderung memperlihatkan nilai yang semakin rendah ke arah laut (mulut teluk), hal ini terlihat dari hasil analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf α 0,05 (Lampiran 13). Dari hasil uji lanjut Tukey (HSD) terlihat bahwa konsentrasi ortofosfat pada stasiun A dan B menunjukkan perbedaan yang nyata dengan stasiun C, dengan rata-rata konsentrasi yang semakin rendah ke arah laut.. Berdasarkan Tabel 7 terlihat adanya kecenderungan peningkatan nilai konsentrasi ortofosfat dengan bertambahnya kedalaman. Namun dari hasil analisis ANOVA menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara stasiun (pada taraf α 0,05). Menurut Millero dan Sohn (1992) bahwa pertumbuhan semua jenis fitoplankton tergantung pada konsentrasi ortofosfat, bila konsentrasinya di bawah 0,3 µM atau 0,038 mg/l maka perkembangan sel menjadi terhambat. Konsentrasi ortofosfat yang diperoleh selama penelitian masih berada dalam kisaran konsentrasi ortofosfat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan optimal fitoplankton. Konsentrasi ortofosfat yang optimal untuk pertumbuhan fitoplankton berkisar antara 0,27-5,51 mg/l atau 0,088-1,79 mg-at PO4-P/l (Bruno et al. 1979 diacu dalam Widjaja et al. 1994) atau sekitar 0,09-1,80 ppm (Mackentum 1969 diacu dalam Tambaru 2000). 4.1.3.6. Silikat (SiO2) Kisaran silikat yang diperoleh selama penelitian di perairan Teluk Kendari yaitu pada stasiun A berkisar 0,11-0,56 mg/l, pada stasiun B berkisar 0,48-0,78
46 mg/l dan 0,28-0,77 mg/l pada stasiun C (Tabel 6). Kisaran silikat yang diperoleh selama penelitian lebih rendah dibandingkan konsentrasi silikat yang dijumpai pada perairan Teluk Banten yaitu berkisar antara 0,255-1,573 mg at Si/l (Alianto 2006), serta relatif sama dengan konsentrasi silikat di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta yaitu berkisar antara 0,017-10,019 µM atau 0,001-0,601 mg/l (Madubun 2008). Berdasarkan Tabel 6 dan 7 terlihat adanya kecenderungan penurunan konsentrasi silikat
ea rah laut, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilaporkan
oleh Damar (2003) bahwa pada stasiun mulut sungai, konsentrasi silikat lebih tinggi jika dibandingkan dengan stasiun dalam laut di Teluk Jakarta. Namun berdasarkan analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata baik antara stasiun maupun kedalaman (pada taraf α 0,05). 4.1.4. Struktur Komunitas Fitoplankton 4.1.4.1. Komposisi Jenis Fitoplankton Terdapat 4 kelas fitoplankton yang ditemukan selama penelitian di perairan Teluk Kendari.
Ketiga kelas tersebut terdiri dari Bacillariophyceae,
Dinophyceae, Chlorophyceae dan Cyanophyceae yang ditemukan menyebar pada ketiga stasiun dan sub stasiun serta pada semua kedalaman inkubasi dengan
Jumlah genera
jumlah genera yang bervariasi. 30 25 20 15 10 5 0 A1
A2
Stasiun A
B1
B2
Stasiun B Stasiun/substasiun
Bacillariophyceae Chlorophyceae
C1
C2
Stasiun C
Dinophyceae Cyanophyceae
Gambar 10. Rata-rata jenis genera fitoplankton pada setiap stasiun dan substasiun penelitian
47 Fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae memiliki jumlah genera yang paling banyak pada ketiga zona penelitian, yaitu sebanyak 22 genera atau 73% dari total genera fitoplankton, sedang dari kelas Dinophyceae sebanyak 5 genera atau 17%, kelas Chlorophyceae 2 genera atau 7% dan kelas Cyanophyceae sebanyak 1 genus atau 3%. Melimpahnya genera fitoplankton dari kelas Bacilariophyceae dan Dinophyceae pada setiap stasiun penelitian (Gambar 10) dan kedalaman inkubasi (Gambar 11) disebabkan karena kedua kelas tersebut merupakan anggota utama fitoplankton yang terdapat di seluruh bagian perairan laut, baik pantai maupun perairan oseanik (Arinardi et al. 1997).
Gambar 11. Jumlah rata-rata genera fitoplankton menurut kedalaman inkubasi pada setiap stasiun dan substasiun penelitian
48 Genera fitoplankton yang dominan dijumpai pada setiap stasiun dan substasiun penelitian adalah Chaetoceros sp., Rhizosolenia sp., Coscinodiscus sp. dan Thallasiosira sp. dari kelas Bacillariophyceae dan dari kelas Dinophyceae di dominasi dari genera Ceratium sp. dan Peridium sp. Seperti yang dikemukakan oleh Arinardi et al. (1997) menyatakan bahwa jenis-jenis fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae yang umumnya dijumpai di perairan lepas pantai Indonesia antara lain Chaetoceros sp., Thallasiosira sp., dan Bacteriastrum sp., sedang dari kelas Dinophyceae yang umumnya dijumpai di laut adalah Noctiluca sp., Ceratium sp., Peridinium sp. dan Dinophysis sp. 4.1.4.2. Kelimpahan Fitoplankton Kelimpahan sel fitoplankton yang diperoleh selama penelitian bervariasi antara setiap zona dan stasiun.
Kelimpahan sel fitoplankton yang diperoleh
selama penelitian yaitu pada stasiun A berkisar 2498-2959 sel/L (rata-rata dan standar deviasi, 2674,50±158,85 sel/L), stasiun B berkisar 2629-3007 sel/L (2829,13±126,75 sel/L), dan stasiun C berkisar 2432-2785 sel/L (2580,25±127,77
Kelimpahan fitoplankton (sel/L)
sel/L) (Gambar 12). 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 A1
A2
B1
Stasiun A
B2
Stasiun B
C1
C2
Stasiun C
Bacillariophyceae
Dinophyceae
Chlorophyceae
Cyanophyceae
Gambar 12. Rata-rata kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiun dan substasiun penelitian Distribusi vertikal kelimpahan sel fitoplankton tertinggi diperoleh pada kedalaman inkubasi 50% intensitas cahaya pada semua stasiun dan substasiun penelitian, yang diwakili dari kelas Bacillariophyceae (Gambar 13, Lampiran 4, 5, 6 dan 7). Tingginya kelimpahan sel fitoplankton pada kedalaman inkubasi 50%
49 diduga disebabkan oleh intensitas cahaya pada kolom air tersebut merupakan intensitas cahaya optimum bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton, serta unsur hara yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal.
Gambar 13. Rata-rata kelimpahan fitoplankton menurut kedalaman inkubasi pada setiap stasiun dan substasiun penelitian
50 Kelimpahan yang relatif tinggi dijumpai pada stasiun B, hal ini diduga pada zona ini memiliki kandungan unsur hara yang relatif tinggi bila dibandingkan stasiun A, sehingga mampu mencukupi kebutuhan fitoplankton untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Selain itu hal ini diduga pula nilai kekeruhan dan TSS yang relatif tidak sebesar pada stasiun C, sehingga intensitas cahaya yang ada di kolom air masih menunjang bagi fitoplankton untuk melakukan proses fotosintesis. Kelimpahan sel fitoplankton yang relatif lebih rendah dijumpai pada stasiun C, hal ini diduga berhubungan dengan tingginya nilai kekeruhan dan TSS di stasiun tersebut. Tingginya nilai kekeruhan dan TSS akan menghambat intensitas cahaya yang akan masuk ke dalam kolom air, sehingga proses fotosintesis berlangsung tidak optimal. Walaupun konsentrasi unsur hara yang dijumpai relatif lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Namun, dari hasil analisis sidik ragam (ANOVA) ternyata kelimpahan fitoplankton antara stasiun penelitian tidak berbeda nyata pada taraf α = 0,05. Dari hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kelimpahan fitoplankton pada semua stasiun penelitian adalah sama. 4.1.4. Indeks Biologi Fitoplankton Indeks keanekaragaman (H’) selama penelitian pada semua stasiun dan substasiun diperoleh nilai berkisar antara 2,013-2,355 (Tabel 8). Sedang menurut kedalaman inkubasi berkisar 1,932-2,444 (Tabel 9).
Kisaran nilai indeks
keanekaragaman yang diperoleh menurut stasiun/substasiun, berdasarkan
riteria
Wilhm dan Doris (1968) dalam Masson (1981) termasuk dalam kategori rendah, sedang menurut kedalaman termasuk kategori rendah sampai sedang. Indeks
keseragaman
(E)
selama
penelitian
stasiun/substasiun maupun kedalaman inkubasi.
bervariasi
antara
Pada semua stasiun dan
substasiun diperoleh nilai berkisar antara 0,783-0,886 (Tabel 8). Sedang menurut kedalaman inkubasi berkisar 0,803-0,907 (Tabel 9).
Nilai indeks dominansi
selama penelitian berkisar 0,105-0,221 antara stasiun/substasiun (Tabel 8), sedang antara kedalaman inkubasi dominansi berkisar antara 0,111-0,232 (Tabel 9).
51 Tabel 8. Indeks biologi pada stasiun dan substasiun penelitian Stasiun
Substasiun
Pengamatan
A
A1
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
A2
B
B1
B2
C
C1
C2
H’ 2.013 2.092 2.129 2.118 2.239 2.245 2.152 2.245 2.096 2.348 2.259 2.328 2.025 2.137 2.225 2.255 2.261 2.299 2.299 2.351 2.143 2.304 2.220 2.355
Indeks Biologi E 0.793 0.823 0.852 0.845 0.824 0.851 0.818 0.845 0.795 0.849 0.833 0.856 0.783 0.818 0.854 0.851 0.858 0.867 0.886 0.886 0.824 0.841 0.830 0.860
D 0.217 0.161 0.200 0.157 0.175 0.133 0.162 0.137 0.185 0.124 0.152 0.127 0.195 0.139 0.165 0.139 0.221 0.107 0.148 0.120 0.149 0.119 0.202 0.123
Indeks Biologi E 0.817 0.845 0.838 0.814 0.848 0.814 0.827 0.848 0.803 0.851 0.835 0.844 0.808 0.817 0.826 0.856 0.869 0.869 0.907 0.812 0.808 0.876 0.846 0.825
D 0.232 0.142 0.160 0.200 0.144 0.157 0.172 0.133 0.168 0.124 0.154 0.142 0.165 0.131 0.158 0.184 0.164 0.111 0.175 0.146 0.131 0.112 0.203 0.147
Tabel 9. Indeks biologi menurut kedalaman inkubasi Stasiun
Substasiun
Kedalaman
A
A1
100% 50% 25% 1% 100% 50% 25% 1% 100% 50% 25% 1% 100% 50% 25% 1% 100% 50% 25% 1% 100% 50% 25% 1%
A2
B
B1
B2
C
C1
C2
Ket : H’ = Keanekaragaman, E = Keseragaman, D = Dominansi
H’ 2.078 2.228 2.114 1.932 2.219 2.204 2.251 2.207 2.090 2.444 2.288 2.210 2.070 2.298 2.206 2.068 2.210 2.210 2.378 2.157 2.134 2.442 2.218 2.228
52 4.1.5. Klorofil-a Sebaran nilai klorofil-a selama penelitian menurut stasiun dan substasiun penelitian maupun kedalaman inkubasi memperlihatkan nilai yang tidak terlalu bervariasi. Nilai klorofil-a pada stasiun A berkisar antara 0,49-1,06 mg/m3 (ratarata dan standar deviasi, 0,73±0,18 mg/m3), pada stasiun B berkisar antara 0,481,03 mg/m3 (0,74±0,2 mg/m3) dan pada stasiun C berkisar 0,08-0,93 mg/m3 (0,63±0,25 mg/m3) (Gambar 14). Nilai klorofil-a relatif tinggi dijumpai pada stasiun B selama penelitian. Namun berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA), nilai klorofil-a antara stasiun penelitian tidak berbeda nyata pada taraf α = 0.05. Nilai konsentrasi klorofil-a yang diperoleh selama penelitian hampir sama dengan yang diperoleh Alianto (2006) di perairan Teluk Banten yaitu 0,070,30 mg/m3 dan Abida (2008) di perairan pantai Selat Madura yaitu 0,19-0,57 mg/m3.
Klorofil-a (m g Chl-a/m 3)
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 A1
A2
B1
Stasiun A
B2
C1
Stasiun B
Pengamatan 1 Pengamatan 3
C2 Stasiun C
Pengamatan 2 Pengamatan 4
Gambar 14. Sebaran klorofil-a pada masing-masing stasiun dan substasiun Distribusi vertikal klorofil-a menurut kedalaman inkubasi pada ketiga stasiun penelitian cenderung memperlihatkan pola yang hampir sama (Gambar 15).
Berdasarkan Gambar 15 memperlihatkan adanya kecenderungan nilai
klorofil-a yang lebih tinggi pada kedalaman inkubasi 50% intensitas cahaya bila dibandingkan kedalaman inkubasi lainnya.
Klorofil-a (mg Chl-a/m3)
53 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 A1
A2
B1
Stasiun A
B2
C1
Stasiun B K.100%
K.50%
C2 Stasiun C
K.25%
K.1%
Gambar 15. Sebaran klorofil-a pada masing-masing stasiun dan substasiun pada setiap kedalaman inkubasi Secara umum pola distribusi klorofil-a selama penelitian sesuai dengan pola
distribusi
kelimpahan
fitoplankton
yang
diperoleh
(Gambar
16).
Berdasarkan korelasi Pearson diperoleh korelasi positif dengan keeratan yang kuat antara klorofil-a dan kelimpahan fitoplankton yaitu 0,631 pada taraf kepercayaan 0,05. Hal ini memperlihatkan bahwa penambahan atau penurunan konsentrasi klorofil-a sejalan dengan penambahan atau penurunan kelimpahan fitoplankton. Hal ini sesuai dengan penelitian Tambaru (2008) bahwa distribusi klorofil-a berdasarkan
spasial
sangat
bersesuaian
dengan
kelimpahan
komunitas
fitoplankton atau dengan kata lain bahwa penambahan atau penurunan konsentrasi klorofil-a sejalan dengan penambahan atau penurunan kelimpahan komunitas fitoplankton. Pada kondisi pada substasiun C2 (Gambar 16) dimana peningkatan nilai kelimpahan fitoplankton tidak diikuti dengan peningkatan nilai klorofil-a. Kondisi ini juga ditemui pada penelitian Tambaru (2008), bahwa pada beberapa stasiun penelitian dijumpai dinamika komunitas fitoplankton yang tidak berangkaian dengan klorofil-a. Kondisi seperti ini dapat terjadi, seperti yang dinyatakan oleh Steel dan Bird (1965) diacu dalam Kirk (1994) bahwa dalam kondisi tertentu komunitas fitoplankton yang dijumpai dalam jumlah jenis yang sedikit, tetapi ukuran biomassa komunitas fitoplankton dalam ukuran yang besar di perairan.
0.76
3000
0.72
2500 2000
0.68
1500 1000
0.64
500 0 A1
A2
B1
Zona A
B2 Zona B
Klorofil-a
C1
C2
Kelimpahan Plankton (sel/l
Klorofil-a
54
Zona C Kelimpahan
Gambar 16. Hubungan klorofil-a dan kelimpahan plankton pada masing-masing stasiun dan substasiun Berdasarkan nilai konsentrasi klorofil-a yang diperoleh selama penelitian, menunjukkan belum terjadinya pertumbuhan fitoplankton secara optimal. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Goes et al. (2004) bahwa bila konsentrasi klorofil-a melebihi 1 mg/m3 menunjukkan sebagai indikator musim pertumbuhan fitoplankton. 4.1.6. Produktivitas Primer Fitoplankton Nilai produktivitas primer bersih (NPP) yang diperoleh selama penelitian berkisar 2,54-8,98 mg C/m3/jam pada stasiun A, 2,77-11,14 mg C/m3/jam pada stasiun B, dan 3,33-9,19 mg C/m3/jam pada stasiun C (Tabel 10). Nilai NPP yang diperoleh selama penelitian hampir sama dengan penelitian Alianto (2006) di perairan Teluk Banten yang berkisar 2,71-7,92 mg C/m3/jam dan Abida (2008) di perairan pantai Selat Madura dengan nilai NPP yang diperoleh berkisar 1,1113,79 mg C/m3/jam.
Berdasarkan kriteria Ignatiades (2005) nilai produktivitas
primer di perairan Teluk Kendari menunjukkan perairan tersebut tergolong perairan oligotropik.
Seperti halnya dijumpai pada perairan Teluk Saronikos
dengan nilai produktivitas primer berkisar 3,02-4,37 mgC/m3/jam merupakan perairan oligotropik (Karydis 2009). Berdasarkan hasil sidik ragam nilai NPP antara stasiun menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf α 0,05 (Lampiran 8). Dari hasil uji lanjut Tukey (HSD) terlihat bahwa nilai NPP pada stasiun B menunjukkan nilai rata-rata NPP
55 yang lebih besar yaitu 7,30±0,47 mgC/m3/jam dan berbeda nyata dengan stasiun A dan C, sedang stasiun A dan C menunjukan nilai rata-rata NPP berturut-turut sebesar 4,87±0,34 dan 5,56±0,64 mgC/m3/jam serta tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Tabel 10. Nilai produktivitas primer bersih (mgC/m3/jam) Stasiun/ Substasiun A A1 A2 Rata-rata B B1 B2 Rata-rata C C1 C2 Rata-rata
Pengamatan I
Pengamatan II
Pengamatan III
Pengamatan IV
Ratarata
Std
5.91 6.01 5.96 9.18 6.64 7.91 5.95 5.90 5.92
2.78 6.15 4.47 6.79 6.77 6.78 5.86 6.59 6.23
4.59 4.88 4.74 7.81 6.53 7.17 4.71 4.94 4.82
5.03 5.47 5.25 7.71 6.95 7.33 5.72 4.81 5.27
4.58 5.63 5.10 7.87 6.73 7.30 5.56 5.56 5.56
1.32 0.58 0.66 0.99 0.18 0.47 0.58 0.84 0.63
Berdasarkan distribusi vertikal
nilai NPP pada kedalaman inkubasi
diperoleh nilai tertinggi pada kedalaman inkubasi 50% intensitas cahaya pada semua stasiun. Pada stasiun A nilai NPP berkisar 6,54-8,98 mgC/m3/jam, stasiun B berkisar 8,79-11,13 mgC/m3/jam dan stasiun C berkisar 5,96-9,19 mgC/m3/jam (Gambar 17). Kecenderungan rendahnya nilai NPP pada lapisan permukaan perairan lebih disebabkan oleh intensitas cahaya yang tinggi pada lapisan permukaan yang dapat menghambat proses fotosintesis fitoplankton. Nilai NPP ini akan meningkat sampai pada intensitas cahaya optimum bagi pertumbuhan fitoplankton yang kemudian menurun sampai tidak terdapat lagi cahaya yang dibutuhkan fitoplankton untuk proses fotosintesis. Berdasarkan hasil sidik ragam antara kedalaman inkubasi pada masingmasing stasiun menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf α 0,05 (Lampiran 9). Dari hasil uji Tukey (HSD) untuk stasiun A pada kedalaman inkubasi 50% dan 25% menunjukkan nilai rata-rata NPP sebesar 7,91±1,05 dan 5,71±1,22 mgC/m3/jam serta tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan kedalaman inkubasi 100%, dan 1%. Kedalaman inkubasi 100% dan 1% berturutturut menunjukkan nilai rata-rata NPP sebesar 3,07±1,32 dan 2,79±0,26 mgC/m3/jam, dimana kedalaman inkubasi 1% dan 100% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
56
Gambar 17. Sebaran NPP pada masing-masing stasiun di setiap kedalaman inkubasi Untuk stasiun B dari hasil uji lanjut nilai NPP antara kedalaman inkubasi menunjukkan perbedaan yang nyata. Pada kedalaman inkubasi 100% dan 25% menunjukkan nilai rata-rata NPP sebesar 7,34±1,61 dan 7,67±0,67 mgC/m3/jam dan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun berbeda nyata dengan kedalaman inkubasi 50% dan 1%, dengan nilai rata-rata NPP berturut-turut sebesar 10,23±1,02 dan 3,96±0,91 mgC/m3/jam. Untuk kedalaman 1% terlihat perbedaan yang nyata dengan kedalaman lainnya begitu pula dengan kedalaman 50% menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kedalaman lainnya.
Untuk
57 stasiun C dari hasil uji lanjut menunjukkan bahwa pada kedalaman inkubasi 50% dan 25% tidak berbeda nyata, dengan nilai rata-rata NPP berturut-turut sebesar 7,55±1,34 dan 6,73±0,44 mgC/m3/jam. Namun kedalaman inkubasi 50% dan 25% berbeda nyata dengan kedalaman inkubasi 100% dan 1%, dengan nilai ratarata NPP sebesar 4,30±1,11 dan 3,66±0,55 mgC/m3/jam serta tidak berbeda nyata. Baik secara horizontal maupun vertikal, nilai NPP menunjukkan distribusi yang hampir sama dengan distribusi klorofil-a. Secara horizontal dijumpai nilai klorofil-a dan kelimpahan fitoplankton yang relatif lebih tinggi pada stasiun B yang diikuti oleh nilai NPP yang tinggi pula selama penelitian. Sedang secara vertikal kedalaman inkubasi 50% intensitas cahaya merupakan kedalaman inkubasi yang memiliki nilai klorofil-a dan kelimpahan fitoplankton tinggi pada hampir semua stasiun penelitian. 4.2. Pembahasan 4.2.1. Faktor Fisika dan Kimia yang Mempengaruhi Produktivitas Primer Perairan Sebaran vertikal suhu dan salinitas selama penelitian memperlihatkan tidak adanya stratifikasi suhu dan salinitas sampai kedalaman inkubasi dengan intensitas cahaya 1% (zona fotik). Kondisi ini menunjukkan bahwa kedalaman tercampur (mixing depth) lebih besar dari kedalaman fotik atau Zmix : Zeu > 1. Hal ini menggambarkan bahwa pada kondisi cahaya yang kurang baik, fitoplankton akan terangkut ke kedalaman air dimana penyinaran di bawah batas minimum untuk fotosintesis bersih, sehingga menghasilkan pertumbuhan yang rendah (Damar 2003). Sejalan dengan Gallegos dan Platt (1985) diacu dalam Mallin dan Paerl (1992) bahwa kondisi di atas menghasilkan pencampuran yang cukup kuat sampai ke kedalaman lapisan tercampur, sehingga fitoplankton akan beradaptasi terhadap intensitas cahaya yang rendah karena terangkut ke kedalaman yang lebih dalam yaitu lapisan tercampur. Menurut Grobbelat (1985) diacu dalam Alpine dan Cloern (1988) bahwa di perairan estuari maupun danau dinamika populasi fitoplankton sangat dipengaruhi oleh perbandingan Zeu : Zmix, ketika kedalaman eufotik kurang dari 16% atau lebih rendah dari kedalaman tercampur maka pertumbuhan fitoplankton tidak dapat ditopang.
58 Kisaran suhu dan salinitas yang diperoleh selama penelitian, berturut-turut yaitu 28,9-30,4oC dan 20,75-30,18o/oo merupakan kisaran yang sesuai dengan pertumbuhan fitoplankton. Menurut Sachlan (1982) bahwa kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan fitoplankton di perairan berkisar antara 20-30oC. Reaksi biokimia dalam sel fitoplankton umumnya dipengaruhi oleh suhu, peningkatan suhu terjadi secara eksponensial sampai pada batas maksimum. Peningkatan ini biasanya bervariasi untuk masing-masing reaksi yaitu antara 25-40oC. Kisaran suhu tersebut mempengaruhi laju fotosintesis maksimal untuk komunitas fitoplankton (Harper 1992). Nilai salinitas yang sesuai bagi pertumbuhan fitoplankton seperti yang dikemukakan Sachlan (1982) bahwa plankton laut biasanya dijumpai pada salinitas 20 promil.
Kondisi ini memungkinkan
fitoplankton dapat bertahan hidup dan memperbanyak diri di samping aktif melaksanakan proses fotosintesis. Besarnya intensitas cahaya matahari yang sampai ke permukaan perairan selama penelitian mengikuti pola harian yaitu terjadi peningkatan intensitas cahaya di pagi hari dan mencapai puncak sekitar tengah hari dan menurun kembali pada waktu sore harinya. Besarnya intensitas cahaya selama penelitian dalam waktu pengamatan yang sama menunjukkan nilai yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh kondisi awan selama pengamatan sehingga mempengaruhi besar kecilnya intensitas yang mencapai permukaan. Sejalan dengan Valiela (1995) bahwa awan akan mengurangi radiasi yang sampai di permukaan perairan dan beberapa energi matahari akan hilang oleh penghamburan (scattering) dan refleksi pada permukaan perairan.
Selain itu menurut Parson et al. (1984) bahwa
intensitas cahaya juga dipengaruhi oleh letak lintang daerah yang diamati yang tentunya berpengaruh terhadap ketinggian matahari terhadap suatu permukaan. Besarnya penetrasi cahaya permukaan yang kemudian akan mempengaruhi ketersediaan cahaya, tergantung pada tingkat kecerahan di perairan. Besarnya bagian cahaya yang berkurang dengan bertambahnya kedalaman dapat dilihat dengan menentukan nilai koefisien peredupan. Nilai koefisien peredupan selama penelitian berkisar antara 0,80-2,00 per meter, lebih rendah dari penelitian Abida (2008) di perairan pantai Selat Madura yaitu berkisar 1,41-2,97 per meter dan
59 penelitian Madubun (2008) di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta yaitu berkisar 0,52-2,78 per meter. Dari hasil penelitian, nilai koefisien peredupan memperlihatkan penurunan ke arah laut. Hal yang sama terjadi pada perairan lainnya seperti perairan pesisir Maros (Tambaru 2008) dan Teluk Jakarta (Damar 2003). Keduanya mencatat bahwa nilai k pada perairan tersebut mengalami penurunan dengan semakin jauhnya stasiun dari daratan. Kondisi ini terjadi karena beban dari sungai yang membawa partikel organik dan anorganik terlarut maupun tersuspensi serta pencampuran massa air secara vertikal memegang peranan penting dalam meningkatkan koefisien peredupan di stasiun atas teluk (teluk bagian dalam) dan mengalami penurunan dengan semakin jauhnya stasiun dari muara sungai. Menurut Kirk (1994) bahwa peredupan cahaya di kolom air disebabkan oleh fitoplankton, partikel-partikel lain, bahan organik terlarut dan perairan itu sendiri. Pada perairan pesisir yang dangkal, bahan resuspensi akan memberikan konstribusi yang signifikan terhadap peredupan cahaya khususnya pada kondisi angin yang kencang (Campbell dan Spinrad 1987 diacu dalam Nielsen et al. 2002). Berdasarkan distribusi vertikal,
intensitas cahaya memperlihatkan
penurunan secara eksponensial dengan bertambahnya kedalaman.
Penurunan
intensitas cahaya ini dipengaruhi oleh besar kecilnya koefisien peredupan, sehingga walaupun nilai intensitas cahaya pada kedalaman 100% intensitas cahaya (0 meter) sama, namun pada kedalaman berikutnya nilai intensitas akan bervariasi. Selain itu besar kecilnya nilai koefisien peredupan akan mempengaruhi seberapa dalam kedalaman fotik atau kedalaman dimana intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya permukaan. Besarnya nilai koefisien peredupan berbanding lurus dengan kekeruhan dan TSS serta berbanding terbalik dengan kecerahan. Hal ini diperkuat dari analisis korelasi Parson, nilai koefisien peredupan berkorelasi positif terhadap kekeruhan dan TSS, sehingga peningkatan nilai kekeruhan dan TSS akan meningkatkan nilai koefisien peredupan.
Sedang nilai koefisien peredupan
berkorelasi negatif terhadap kecerahan, sehingga peningkatan nilai kecerahan akan menurunkan nilai koefisien peredupan. Seperti yang dikemukakan oleh Kirk
60 (1994) bahwa besarnya nilai koefisien peredupan secara vertikal merupakan fungsi dari penyerapan (absorption) dan penghamburan (scattering) cahaya oleh partikel tersuspensi dan terlarut di air, dimana kekeruhan merupakan ukuran dari penghamburan, dan cahaya yang dihamburkan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penetrasi cahaya. Sehingga pada kasus pada perairan Darling di Bourke dijumpai koefisien penghamburan yang lebih besar dari koefisien penyerapan, kondisi seperti ini menyebabkan koefisien peredupan lebih berkorelasi dengan kekeruhan (Oliver 1990 diacu dalam Cloern 1987). Hubungan tersebut dapat digunakan untuk mengestimasi koefisien peredupan dan besarnya penetrasi cahaya dari ukuran nilai kekeruhan. Secara umum konsentrasi unsur hara yang diperoleh selama penelitian menunjukkan konsentrasi yang tinggi pada bagian atas teluk (bagian dalam teluk). Hal ini disebabkan adanya peranan air tawar yang mengalirkan unsur hara dari sumber-sumber di daratan. Sumber tersebut berasal dari aktivitas manusia baik limbah rumah tangga, pertanian, pertambakan maupun industri, selain itu kegiatan pengerukan juga turut memberikan sumbangan terhadap beban masukan tersebut. Selain itu unsur hara tersebut memperlihatkan kecenderungan menurun ke arah laut (mulut teluk). Hal ini terjadi sebagai akibat dari pengenceran air sungai oleh air laut.
Fenomena ini merupakan hal yang umum terjadi pada perairan pantai
atau teluk, yang memperoleh masukan dari air sungai. Konsentrasi unsur hara DIN (nitrogen anorganik terlarut), DIP (fosfat anorganik terlarut) dan silikat memperlihatkan nilai yang tinggi pada daerah dengan salinitas rendah (stasiun atas teluk) dan menurun dengan bertambahnya salinitas.
Berdasarkan analisis korelasi Pearson unsur hara DIN dan DIP
menunjukkan korelasi yang kuat sedang unsur hara silikat menunjukkan korelasi yang lemah, namun ketiga unsur hara tersebut memperlihatkan korelasi negatif terhadap salinitas. Hal ini merupakan hubungan yang umum terjadi, disebabkan oleh pengaruh pengaliran air tawar yang banyak membawa unsur hara dari daratan, sehingga akibat dari pengaliran air tawar tersebut menyebabkan nilai salinitas menjadi rendah dengan konsentrasi unsur hara yang tinggi. Sejalan dengan Nielsen et al. (2002) bahwa terdapat korelasi yang kuat antara salinitas dan konsentrasi nitrogen dan fosfor, dimana limpasan (runoff) dari daratan
61 memberikan kontribusi yang nyata terhadap besarnya unsur hara di estuari. Sehingga tingginya konsentrasi unsur hara menyebabkan tingginya biomassa fitoplankton dan rendahnya kedalaman secchi. Walaupun distribusi unsur hara memperlihatkan kecenderungan menurun ke arah laut, namun nilai yang diperoleh menunjukkan variasi yang relatif kecil. Hal ini diperkuat dengan analisis sidik ragam (ANOVA) yang menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara stasiun dari unsur hara tersebut, kecuali unsur hara nitrat. Hal ini disebabkan oleh gerakan pasang surut, angin dan arus sungai sehingga menyebabkan gerakan mengaduk dan menyebarkan unsur hara ke seluruh bagian perairan teluk.
Berdasarkan analisis korelasi Pearson terjadi
korelasi negatif dan kuat antara unsur hara nitrat dan ortofosfat dengan kecepatan arus pada taraf kepercayaan 0,01 (Pearson berturut-turut adalah -0,761 dan -0,575). Seperti yang dikemukakan oleh Cloern (1987) bahwa pada daerah estuari atau pesisir proses pencampuran disebabkan oleh pasang surut, angin dan arus sungai. Sedang distribusi unsur hara secara vertikal pada semua stasiun penelitian juga memperlihatkan variasi yang relatif kecil.
Hal ini menunjukkan bahwa
konsentrasi unsur hara menyebar hampir seragam pada semua kolom perairan di semua stasiun penelitian.
Kondisi ini disebabkan oleh adanya pencampuran
massa air secara vertikal sehingga unsur hara juga terdistribusi merata secara vertikal. Berdasarkan hasil perbandingan unsur hara nitrogen anorganik terlarut (DIN) dan fosfat anorganik terlarut (DIP) selama penelitian, memperlihatkan nilai yang lebih rendah dari 16. Dengan nilai rasio seperti ini, maka konsentrasi DIN diketegorikan sebagai faktor pembatas pertumbuhan fitoplankton. Hal ini sejalan dengan pernyataan Valiela (1984) bahwa dengan adanya perubahan rasio N:P yang mengalami penurunan ke arah laut, menyebabkan DIN menjadi unsur hara pembatas. Pada kasus nitrogen sebagai unsur hara pembatas di perairan didukung oleh fakta bahwa rasio N anorganik terlarut terhadap P anorganik terlarut biasanya jauh di bawah rasio Redfield pada daerah-daerah perairan pesisir (Redfield 1958, Ryther dan Dustan 1971 diacu dalam Nielsen et al. 2002).
62 4.2.2. Faktor Biologi yang Mempengaruhi Produktivitas Primer Fitoplankton Fitoplankton dalam bentuk jasad renik, memegang peranan yang penting dalam ekosistem perairan laut, disebabkan kedudukan dari fitoplankton sebagai dasar dalam rantai makanan (Ryther 1969 diacu dalam Hoong-Gin et al. 2000). Selain itu kehadiran dari fitoplankton di perairan juga dapat memberikan informasi tentang ukuran kemampuan perairan dalam mendukung kehidupan organisme di dalamnya. Secara umum dari hasil penelitian di perairan Teluk Kendari, genera Chaetoceros sp., Rhizosolenia sp., Coscinodiscus sp. dan Thallasiosira sp. merupakan kelas dari Bacillariophyceae, dimana genera tersebut merupakan genera yang paling sering dijumpai dengan kelimpahan yang tinggi di perairan Teluk Kendari baik secara horizontal ke arah laut (mulut teluk) maupun secara vertikal. Sedang dari kelas Dinophyceae dijumpai dari genera Ceratium sp. dan Peridinium sp. Berlimpahnya kelas Bacillariophyceae terutama genus Chaetoceros sp. diduga karena kemampuan dari genus tersebut yang mampu menunjukkan pertumbuhan yang baik terhadap kondisi rasio unsur hara yang rendah (N sebagai pembatas) yang dijumpai selama penelitian, hal ini sejalan dengan penelitian Lagus at al. (2004) bahwa genus Chaetoceros sp. akan memberikan respon pertumbuhan yang cepat tidak hanya pada konsentrasi unsur hara N yang tinggi tetapi juga pada rasio konsentrasi unsur hara yang rendah (N sebagai pembatas), Selain itu Thomas et al. (1978) diacu dalam Egge dan Aksnes (1992) menyatakan bahwa diatom diduga memiliki kemampuan yang baik dalam memanfaatkan kondisi unsur hara N yang rendah, hal ini disebabkan antara lain karena diatom mempunyai nilai saturasi (kejenuhan) yang rendah dalam mengambil nitrat dan amonium di perairan. Menurut MacIsaac dan Dugdale (1969) dan Eppley et al. (1969) diacu dalam Valiela (1995) nilai saturasi (kejenuhan) diatom neritik dalam mengambil nitrat yaitu 0,4-5,1 µg atom/l dan amonium yaitu 0,5-9,3 µg atom/l. Dihubungkan dengan unsur hara silikat, kelas Bacillariophyceae membutuhkan banyak silikat untuk membangun dinding sel dari tubuhnya. Konsentrasi silikat yang diperoleh selama penelitian yaitu berkisar antara 0,110,77 mg/l. Konsentrasi silikat tersebut masih berada pada konsentrasi yang sesuai
63 untuk pertumbuhan Diatom (Bacillariophyceae). Menurut Guilford dan Hecky (2000) bahwa indikasi dominansi diatom (Bacillariophyceae) ketika konsentrasi silikat di atas 2 µM atau 0,12 mg/l. Namun ketika konsentrasi silikat dibawah 2 µM, kondisi perairan masih juga didominansi oleh diatom, hal ini disebabkan perairan tersebut dalam kondisi transisi konsentrasi silikat yang tinggi dan dominansi diatom akan berhenti ketika konsentrasi silikat tetap berada di bawah 2 µM. Hubungannya dengan kondisi fisika-kimia perairan selama penelitian, nilai salinitas dan suhu yang diperoleh yaitu 20,75-30,18o/oo dan 28,9-30,4oC merupakan kisaran salinitas dan suhu yang baik bagi pertumbuhan genera yang melimpah tersebut. Hal ini disebabkan karena kelompok Bacillariophyceae merupakan fitoplankton yang mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup pada kisaran salinitas yang lebih luas (Nwankwo 1998 diacu dalam Akoma 2008), yang sebagian besar hidup pada kisaran salinitas di atas 20 ‰ (Sachlan 1972). Sejalan dengan penelitian Mallin (1994) yaitu pertumbuhan genera Chaetoceros spp. berkisar pada salinitas 26-35o/oo (euhaline). Menurut Haslam (1995) diacu dalam Effendie (2000) kisaran suhu bagi pertumbuhan diatom adalah 20-30oC, sedang nilai pH yang dijumpai selama penelitian berkisar 7,28-7,65, juga sejalan dengan Ray dan Rao (1964) bahwa pH optimal untuk perkembangan diatom antara 7,0-9,0. Kelas Cyanophyceae dan Chlorophyceae merupakan kelas yang paling jarang dijumpai serta memiliki kelimpahan yang relatif rendah. Hal ini sperti yang dikemukakan oleh Nybakken (1988) dan Romimohtarto dan Juwana (1999) bahwa Cyanophyceae (alga hijau biru), Coccolithophorids (kokolitofor) dan Silikoflagellata (Dyctyochaceae, Chrysophyceae) merupakan fitoplankton yang minoritas di laut. Umumnya kelas Chlorophyceae kurang toleran terhadap salinitas dan hanya terbatas pada perairan tawar di daerah estuari (Opute 2000 diacu dalam Akoma 2008). Selain itu rasio N:P yang rendah di perairan akan mendukung ledakan Cyanophyceae pengikat nitrogen (Howarth 1988, Paerl dan Millie 1996), namun tidak semua perairan yang memiliki rasio N:P yang rendah dapat terjadi ledakan Cyanophyceae (Howarth 1988, Piehler et al. 2002), hal ini
64 dapat disebabkan karena kekurangan unsur trace seperti besi dan molybdenum (Howarth 1988). Berdasarkan distribusi vertikal selama penelitian menunjukkan bahwa kelas Bacillariophyceae (diatom) merupakan kelas yang paling sering dijumpai pada semua kedalaman inkubasi, dibandingkan ketiga kelas lainnya.
Hal ini
berkaitan dengan intensitas cahaya, dimana diatom memperlihatkan toleransi yang agak luas terhadap intensitas cahaya yang tinggi sebelum dihambat pada kisaran intensitas cahaya matahari yang lebih tinggi. Sedang kelas Cyanophyceae dan Dinophyceae mengalami penghambatan laju pertumbuhan pada intensitas cahaya yang rendah (Richardson 1986 diacu dalam Valiela 1995). Distribusi vertikal kelimpahan sel fitoplankton menunjukkan pola yang sama pada semua stasiun penelitian. Dimana kelimpahan fitoplankton meningkat sampai kedalaman intensitas cahaya 50% dan menurun sampai kedalaman intensitas cahaya 1%. Hal ini sejalan dengan distribusi fotosintesis di perairan, umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi).
Di atas nilai
optimum, cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya penghambat), sedang dibawah nilai optimum merupakan cahaya pembatas sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi (Parsons et al. 1984, Valiela 1984). Dalam proses fotosintesis, terdapat 3 fungsi utama dari klorofil yaitu memanfaatkan energi matahari, memicu fiksasi CO2 menjadi karbohidrat dan menyediakan dasar energetik bagi ekosistem secara keseluruhan. Sebaran nilai klorofil-a selama penelitian secara horizontal maupun vertikal memperlihatkan nilai yang tidak terlalu bervariasi. Nilai klorofil-a pada stasiun A dan B relatif sama yaitu berturut-turut 0,73 mg/m3 dan 0,74 mg/m3, namun relatif rendah pada stasiun C yaitu 0,63 mg/m3. Kondisi seperti ini berbeda dengan kondisi yang umum terjadi di perairan. Umumnya nilai klorofil-a tertinggi dijumpai pada daerah-daerah yang lebih kaya akan unsur hara. Hal ini berhubungan dengan ukuran sel dari fitoplankton, dimana ukuran sel fitoplankton pada daerah yang kaya akan unsur hara didominasi oleh ukuran sel yang besar, sehingga hal ini mempengaruhi jumlah klorofil-a yang dikandung masing-masing sel fitoplankton.
65 Pada penelitian ini unsur hara tertinggi dijumpai pada stasiun C dibandingkan stasiun A dan B. Namun pada penelitian ini stasiun yang memiliki unsur hara tertinggi mempunyai nilai klorofil-a terendah. Hal ini diduga akibat pengaruh kekeruhan yang tinggi pada stasiun ketersediaan cahaya di perairan.
tersebut, sehingga mempengaruhi
Kondisi seperti ini akan menghambatkan
pertumbuhan fitoplankton yang membutuhkan cahaya untuk proses fotosintesis. Secara umum distribusi biomassa fitoplankton (klorofil-a) selama penelitian memperlihatkan distribusi yang sama dengan kelimpahan fitoplankton. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan dan penurunan klorofil-a sejalan dengan penambahan dan penurunan kelimpahan fitoplankton. Namun distribusi klorofil-a tidak bersesuaian dengan distribusi unsur hara.
Hal ini terlihat bahwa pada
stasiun bagian atas teluk (depan muara sungai) klorofil-a yang dijumpai relatif rendah, padahal unsur hara pada stasiun ini tinggi dibandingkan stasiun lainnya. Hal ini diduga disebabkan oleh tingginya koefisien peredupan yang disebabkan oleh kekeruhan dan TSS yang tinggi sehingga intensitas cahaya yang masuk ke perairan sangat rendah. Rendahnya nilai intensitas cahaya yang masuk ke perairan dapat menyebabkan proses fotosintesis oleh fitoplankton terhambat. 4.2.3. Produktivitas Primer Fitoplankton Sebaran nilai produktivitas primer (NPP) fitoplankton di kolom air menunjukkan pola yang sama pada ketiga stasiun penelitian. Pada ketiga stasiun penelitian kedalaman inkubasi 50% intensitas cahaya dijumpai nilai NPP yang tinggi dibandingkan kedalaman inkubasi lainnya. Hal ini diduga pada kedalaman tersebut merupakan titik fotosintesis optimum.
Berdasarkan hubungan NPP
dengan intensitas cahaya, diduga kisaran rata-rata kedalaman fotosintesis maksimum berdasarkan persamaan regresi kuadratik, pada kedalaman intensitas cahaya 54,9-64,1% dari intensitas cahaya permukaan. Seperti yang dikemukakan oleh Mallin dan Paerl (1992) dalam melihat hubungan fotosintesis dan intensitas cahaya memperoleh fotosintesis maksimum di kolom air umumnya pada intensitas cahaya 34,6-58% dari intensitas cahaya permukaan. William (1966) diacu dalam Mallin dan Paerl (1992) mencatat rata-rata fotosintesis tertinggi pada kedalaman 50% intensitas cahaya permukaan.
66 Distribusi horizontal dan vertikal NPP fitoplankton selama penelitian umumnya relatif sama dengan distribusi kelimpahan fitoplankton dan klorofil-a. Nilai NPP secara distribusi horizontal dijumpai yang tinggi pada stasiun B, begitu pula pada distribusi kelimpahan dan klorofil-a, sedang secara vertikal, nilai NPP tertinggi dijumpai pada kedalaman 50% intensitas cahaya, juga serupa dengan distribusi vertikal kelimpahan dan klorofil-a. 4.2.3.1. Hubungan Produktivitas Primer dengan Klorofil-a dan Kelimpahan Fitoplankton Hubungan produktivitas primer dengan klorofil-a yang dianalisis menggunakan regresi linier, diperoleh keeratan hubungan yang tinggi pada stasiun A dan B, dengan nilai koefisien determinasi (R2) berturut-turut sebesar 0,719 dan 0,547 pada taraf α 0,05. Pada stasiun C diperoleh keeratan hubungan yang relatif rendah antara NPP dengan klorofil-a, yang ditunjukkan dengan nilai R2 sebesar 0,488 (Tabel 11 dan Gambar 18). Tingginya nilai hubungan NPP dengan klorofila pada stasiun A dan B diduga disebabkan tingginya nilai rata-rata klorofil-a yang relatif lebih tinggi dibandingkan stasiun C serta dilihat dari jumlah kelimpahan fitoplankton, stasiun A dan B memiliki kelimpahan fitoplankton yang relatif tinggi dibandingkan stasiun C.
Seperti yang dinyatakan oleh Sumich (1994)
bahwa perubahan konsentrasi klorofil-a disebabkan oleh pembelahan sel dan pertumbuhan sel dari fitoplankton, sedang perubahan kelimpahan fitoplankton lebih disebabkan oleh pembelahan sel. Tabel 11. Hubungan produktivitas primer bersih dengan klorofil-a dan kelimpahan fitoplankton Stasiun
Parameter
Persamaan regresi
A
Klorofil-a Kelimpahan Klorofil-a Kelimpahan Klorofil-a Kelimpahan
Y = 1,477X + 1,497 Y = 3,005X – 9,012 Y = 1,049X + 1,590 Y = 2,100X – 5,804 Y = 1,016X + 1,478 Y = 1,527X – 3,985
B C
Koefisien determinasi 0,719 0,686 0,547 0,548 0,488 0,433
Sig. Model 0,000 0,000 0,001 0,005 0,003 0,019
67
Gambar 18. Hubungan NPP dengan klorofil-a dan kelimpahan fitoplankton
68 Berdasarkan Tabel 11 dan Gambar 18, hubungan produktivitas primer dengan kelimpahan fitoplankton membentuk keeratan hubungan yang tinggi pada stasiun penelitian A dan B, hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi berturut-turut sebesar 0,686 dan 0,548.
Pada stasiun C membentuk keeratan
hubungan yang relatif rendah dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,433. Hal ini diduga disebabkan oleh nilai kelimpahan yang dijumpai pada stasiun A dan B relatif lebih tinggi dibandingkan stasiun C, sehingga memberikan keeratan hubungan yang tinggi. Pada stasiun C nilai kelimpahan fitoplankton relatif lebih rendah sehingga memberikan hubungan yang rendah pula terhadap nilai NPP. 4.2.3.2. Hubungan Produktivitas Primer dan Cahaya Hubungan produktivitas primer dengan cahaya dianalisis menggunakan regresi kuadratik. Dari hasil analisis terbentuk keeratan hubungan yang tinggi antara NPP dengan intensitas cahaya pada semua stasiun. Hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) yaitu pada stasiun A sebesar 0,832 dengan persamaan Y = 1,545X – 0,029X2 + 9,853, stasiun B sebesar 0,858 dengan persamaan Y = 1,801X – 0,031X2 + 14,462, dan stasiun C sebesar 0,754 dengan persamaan Y = 1,244X – 0,024X2 + 14,472 pada taraf α 0,05 (Gambar 19). Kisaran intensitas cahaya optimum bagi produktivitas primer dapat diduga melalui pola hubungan NPP dengan intensitas cahaya berdasarkan persamaan di atas yaitu pada stasiun A intensitas cahaya optimum berkisar 25,66-27,24 Klux dengan nilai NPP berkisar 7,60-7,66 mgC/m3/jam, pada stasiun B intensitas cahaya berkisar 27,78-30,12 Klux dengan nilai NPP berkisar 10,14-10,16 mgC/m3/jam, dan pada stasiun C berkisar 24,91-26,83 Klux dengan nilai NPP berkisar 7,64-7,65 mgC/m3/jam. Berdasarkan persamaan hubungan NPP dengan intensitas cahaya, maka dapat dihitung nilai produktivitas primer untuk setiap lapisan kolom air pada masing-masing stasiun.
Pola hubungan yang terbentuk antara NPP dengan
intensitas cahaya membentuk pola hubungan yang kuadratik (Gambar 20), dimana setiap peningkatan intensitas cahaya matahari akan selalu diikuti dengan peningkatan nilai NPP sampai pada suatu titik optimum. Di atas intensitas cahaya optimum merupakan cahaya penghambat sedangkan di bawah intensitas cahaya optimum merupakan cahaya pembatas (Kirk 1994).
69
Gambar 19. Hubungan NPP dengan intensitas cahaya Nilai maksimum NPP yang diperoleh berdasarkan persamaan hubungan NPP dengan intensitas cahaya pada masing-masing stasiun dengan kedalaman perairan yang tidak terlalu bervariasi. Pada stasiun A nilai maksimum NPP yang diperoleh yaitu 29,67 mgC/m3/4 jam pada kedalaman 0,7 meter, pada stasiun B diperoleh nilai NPP maksimum yaitu 39,65 mgC/m3/4 jam pada kedalaman 0,6 meter dan stasiun C nilai NPP maksimum yaitu 29,79 mgC/m3/4 jam pada kedalaman 0,5 meter (Gambar 20; Lampiran 10, 11 dan 12).
70
Gambar 20. Grafik hubungan produktivitas primer (NPP) dengan kedalaman perairan 4.2.3.3. Hubungan Produktivitas Primer dengan Unsur hara dan intensitas cahaya Berdasarkan hasil analisis regresi berganda hubungan antara produktivitas primer dengan unsur hara (amonia, nitrat, nitrit, ortofosfat dan silikat) serta intensitas cahaya (ICM) menunjukkan korelasi yang beragam pada masingmasing stasiun. Pada stasiun A diperoleh keeratan hubungan yang tinggi dengan nilai R2 sebesar 0,920, persamaan yang terbentuk yaitu Y = 0,181 ICM* – 0,635 amonia* + 0,717 nitrat* + 0,277 nitrit + 1,096 ortofosfat – 0,605 silikat + 1,412.
71 Dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa unsur hara amonia dan silikat memberikan hubungan negatif terhadap produktivitas primer di stasiun A, sedang unsur hara nitrat, nitrit, dan ortofosfat serta ICM memberikan hubungan yang positif terhadap nilai NPP, sehingga penurunan unsur hara amonia dan silikat serta peningkatan unsur hara nitrat, nitrit, dan ortofosfat serta ICM akan memberikan peningkatan terhadap nilai NPP. Berdasarkan signifikan pada masing-masing unsur hara dan ICM, unsur hara amonia, nitrat, nitrit, dan ICM secara nyata memberikan pengaruh terhadap nilai NPP tinggi dan rendahnya di stasiun A (Tabel 12). Pada stasiun B diperoleh keeratan hubungan yang tinggi dengan nilai R2 sebesar 0,878, persamaan yang terbentuk yaitu Y = 0,138 ICM* – 0,322 amonia + 0,570 nitrat* + 0,018 nitrit + 0,134 ortofosfat – 0,854 silikat + 0,673. Berdasarkan persamaan tersebut menunjukkan bahwa kelima unsur hara dan ICM memberikan pengaruh yang besar terhadap nilai NPP di stasiun B. Unsur hara amonia dan silikat memberikan hubungan negatif, sedang unsur hara nitrit, ortofosfat dan silikat serta ICM memberikan hubungan positif terhadap nilai NPP. Sehingga penurunan unsur hara amonia dan silikat serta peningkatan unsur hara nitrit, ortofosfat dan silikat serta ICM akan memberikan peningkatan terhadap nilai NPP. Berdasarkan nilai signifikan pada masing-masing unsur hara dan ICM, unsur hara nitrat dan ICM secara nyata memberikan pengaruh terhadap nilai NPP di stasiun B (Tabel 12). Tabel 12. Model regresi dan koefisien determinasi serta parameter yang berpengaruh nyata berdasarkan hasil regresi produktivitas primer fitoplankton dengan unsur hara dan intensitas cahaya Model regresi
Y = 0,181 ICM* + 0,635 amonia* + 0,717 nitrat* + 0,277 nitrit* + 1,096 ortofosfat – 0,605 silikat + 1,412 Y = 0,138 ICM* – 0,322 amonia + 0,570 nitrat* + 0,018 nitrit + 0,134 ortofosfat – 0,854 silikat + 0,673 Y = 0,144 ICM + 0,251 amonia + 0,797 nitrat + 0,209 nitrit + 0,347 ortofosfat + 0,818 silikat + 2,156
R2
Sig. Model 0,000
Parameter nyata ICM Amonia Nitrat
Sig. parameter 0,000 0,038 0,001
0,920
0,001
0,878
ICM Nitrat
0,017 0,008
0,009
0,798
ICM Nitrat
0,004 0,004
72 Pada stasiun C diperoleh keeratan hubungan yang tinggi dengan nilai R2 sebesar 0,798 persamaan yang terbentuk yaitu Y = 0,144 ICM + 0,251 amonia + 0,797 nitrat + 0,209 nitrit + 0,347 ortofosfat + 0,818 silikat + 2,156. Berdasarkan persamaan tersebut kelima unsur hara dan ICM memberikan hubungan positif terhadap nilai NPP, sehingga peningkatan nilai unsur hara dan ICM akan memberikan peningkatan terhadap nilai NPP pada stasiun C. Namun berdasarkan nilai signifikan pada masing-masing unsur hara dan ICM, unsur hara nitrat dan ICM yang secara nyata memberikan pengaruh terhadap tinggi dan rendahnya nilai NPP di stasiun C (Tabel 12). Berdasarkan uji regresi berganda antara hubungan NPP dengan unsur hara dan ICM, menunjukkan pada stasiun A ketiga unsur hara N (amonia dan nitrat) dan ICM menjadi faktor yang memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi dan rendahnya nilai NPP, sedang pada stasiun B dan C, unsur hara nitrat bersama ICM memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi dan rendahnya nilai NPP di perairan. Hal ini disebabkan karena keberadaan unsur hara amonia di perairan biasanya digunakan secara langsung oleh fitoplankton untuk mensintesa asamasam amino melalui proses transminasi (Mann 1982), selain itu fitoplankton lebih banyak menyerap amonia ketimbang nitrat lebih banyak dijumpai baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik (Welch 1980). Selain unsur hara amonia, keberadaan unsur hara nitrat pada ketiga stasiun juga memberikan pengaruh nyata terhadap nilai produktivitas primer fitoplankton, walaupun kandungan nitrat yang diperoleh selama penelitian (0,29-1,07 mg/l) bukan merupakan nilai yang optimal tetapi masih dapat digunakan oleh fitoplankton untuk pertumbuhan dan proses fotosintesis sehingga memberikan kontibusi terhadap nilai produktivitas primer di ketiga stasiun penelitian. Nilai optimal nitrat untuk pertumbuhan fitoplankton berkisar 0,9-3,5 mg/l (Mackentum 1969 diacu dalam Tambaru 2008). Intensitas cahaya menjadi faktor yang memberikan pengaruh nyata terhadap nilai NPP di semua stasiun penelitian. Hal ini sejalan dengan penelitian Tambaru (2008) di perairan pesisir Maros, bahwa parameter intensitas cahaya merupakan parameter dominan mempengaruhi nilai NPP selain keberadaan unsur hara. Hal ini diduga keberadaan parameter intensitas cahaya merupakan faktor pembatas pada perairan pesisir yang disebabkan oleh kekeruhan yang tinggi.
73 Seperti yang dinyatakan oleh Wofsy (1983) dan Grobbelaar (1990) diacu dalam Fisher et al. (1999) bahwa cahaya dapat menjadi pembatas bagi pertumbuhan fitoplankton dan biomassa fitoplankton. Cahaya sebagai pembatas hadir ketika konsentrasi unsur hara dan kekeruhan tinggi serta kedalaman tercampur (mixing depth) lebih besar tiga sampai lima kali kedalaman eufotik.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Nilai produktivitas primer selama penelitian pada perairan Teluk Kendari yaitu pada stasiun luar teluk berkisar 2,54-8,98 mgC/m3/jam, pada stasiun tengah teluk 2,77-11,13 mgC/m3/jam, dan 3,33-9,19 mgC/m3/jam pada stasiun dalam teluk. Hubungan produktivitas primer dengan unsur hara dan intensitas cahaya memperlihatkan keeratan hubungan yang tinggi pada ketiga stasiun penelitian. Ketiga stasiun penelitian menunjukkan pola yang hampir sama antara ketiga stasiun penelitian. Pada stasiun luar teluk, ketiga unsur hara N (amonia, nitrat, dan nitrit) dan intensitas cahaya menjadi faktor yang memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi dan rendahnya nilai NPP, sedang pada stasiun tengah dan dalam teluk, unsur hara nitrat bersama ICM memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi dan rendahnya nilai NPP di perairan. 5.2. Saran Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan rujukan oleh pihak Pemerintah Daerah Kota Kendari, dalam memantau beban masukan baik yang berasal dari aktivitas manusia(unsur hara dan polutan) maupun partikel tersuspensi (sedimen) dari berbagai sistem aliran sungai ke perairan Teluk Kendari, sehingga perairan Teluk Kendari tetap bisa bermanfaat bagi sumberdaya perikanan pada masa yang akan datang.
76 DAFTAR PUSTAKA Abida, I.W. 2008. Produktivitas primer fitoplankton dan keterkaitannya dengan intensitas cahaya dan ketersediaan nutrient di perairan Selat Madura Kabupaten Bangkalan. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Afu, L.A. 2005. Pengaruh limbah organic terhadap kualitas perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Akoma, O.C. 2008. Phytoplankton and nutrient dynamics of a tropical estuarine system, Imo River Estuary, Nigeria. African Research Review. 2(2): 253264. Alianto. 2006. Produktifitas primer fitoplankton dan keterkaitannya dengan unsur hara dan cahaya di Perairan Teluk Banten. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Alpine, A.E. dan Cloern, J.E. 1998. Phytoplankton growth rates in a light-limited environment, San Francisco Bay. Marine Ecology Progress Series. 44: 167-173. American Public Health Association APHA. 1998. Standard methods for the examination of water and wastewater. 20 Edition. American Public Health Association. Washington. American Public Health Association (APHA). 2005. Standard methods for the examination of water and wastewater. 21st Edition. American Public Health Association. Washington. Anikouchine, W.A. dan Sternberg, R.W. 1981. The world ocean. An introduction to oceanography. Second Edition. Prentice-Hall. Anonim. 2000. Atlas Sumberdaya Pesisir dan Laut Teluk Kendari dan Sekitarnya. Kerjasama BAPPEDA Propinsi Sulawesi Tenggara dengan PKSPL Institut Pertanian Bogor. Bogor. Asriyana. 2004. Distribusi dan Makanan Ikan Tembang (Sardinella fimbriata Val.) di Perairan Teluk Kendari. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Arinardi, O.H., Sutomo, A.B., Yusuf, S.A., Trimaningsih, Asnaryanti, E. Dan Riyono, S.H. 1997. Kisaran kelimpahan dan komposisi plankton predominan di perairan kawasan timur Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.
77 Basmi, J. Bogor.
1995.
Planktonologi Produksi Primer.
Fakultas Perikanan IPB.
Boney, C.A.D. 1975. Phytoplankton. 1st. The Camelot Press Ltd. Southhampton. Brower, J.E., Zar, J.H. dan Von Ende, C.N. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. 3rd Edition. Wm. C. Brown Published. New York. Caroco, N., Tamse, A., Boutros, O. dan Valiela, I. 1987. Nutrient limitation of phytoplankton growth in brackish coastal ponds. Can J Fish Aquat Sci 44:473-476. Cervetto, G., Mesones, C., Calliari, D. 2002. Phytoplankton Biomass and its Realitionship to Enviromental Variables in a Disturbed Coastal Area of The Rio De La Plata Uruguay, before the New Sewage Collector System. Atlantica Rio Grande 24(1) : 45 – 54. Cebrian, J. dan Valiela, I.. 2002. Seasonal patterns in phytoplankton biomass in coastal ecosystems. Journal of Plankton Research 21:429-444. Chester, R. 1990. Marine geochemistry. Unwin Hyman Ltd. Australia. Cloern, J. E. 1987. Turbidity as a control on phytoplankton biomass and productivity in estuaries. Cont. Shelf Res. 7: 1367-1381. Cole, G.A. 1988. Textbook of Limnology. Ed. Ke-3. Illionis : Waveland Press, Inc. Damar, A. 2003. Effects of Enrichment on Nutrient Dynamics, Phytoplankton Dynamics and Productivity in Indonesian Tropical Water: A Comparison Between Jakarta Bay, Lampung Bay and Semangka Bay. Ph.D Dissertation Christian Albrechts University. Kiel. Germany. Davis, G.C. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Michigan State. University Press. USA. Dawes, J.C. 1981. Marine botany. A Wiley Interscience Publication, University of South Florida. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Egge, J.K. dan Aksnes, D.L. 1992. Silicate as regulating nutrient in phytoplankton competition. Marine Ecology Progress Series. 83: 281-289. Ferreira, J.G.m Wolff, W.J., Simas, T.C. dan Bricker, S.B. 2005. Does biodiversity of estuarine phytoplankton depend on hydrology?. Ecological Modelling 187:513-523.
78 Fisher, T.R., Gustafson, A.B., Sellner, K., Lacouture, R., Haas, L.W., Wetzel, R.L., Magnien, R., Everitt, D., Michaels, B. dan Karrh, R. 1999. Spatial and temporal variation of resource limitation in Chesapeake Bay. Marine Biology. 133: 763-778. Geider, R.J. and Osborne, B.A. 1992. Alga Photosynthesis. Chapman and Hall. New York-London. Goldman CR. and Horne AJ. 1983. Limnology. New York: Mc. Graw-Hill Book Company. Goes, J.I., Sasaoka, K., Helgado, R., Gomes, H.D.R., Sei0Ichi, S. dam Toshiro, S. 2004. A comparison of the seasonality and interannual variability of phytoplankton biomass and production in the Western and Eastern Gyres of the Subarctic Pacific using multi-sensor satellite data. Journal of Oceanography, 60: 75 -91. Guilford, S.J. dan Hecky, R.E. 2000. Total nitrogen, total phosphorus and nutrient limitation in lakes and oceans: is there a common relationship?. Limnology and Oceanography. 45: 1213-1223. Harbone, J.B. 1987. Metode fotokimia: Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Terjemahan Kosasih dan Soediro. ITB. Bandung. Harper, D. 1992. Eutrophication of freshwater, principle, problems and restoration. Ed. 1. London. Chapman dan Hall. Hecky, R.E. dan Kilham, P. 1988. Nutrient limitation pf phytoplankton in freshwater and marine environment: A review of recent evidence on the effects on enrichment. Limnol Oceanogr 33:796-822. Hoong-Gin, K.Y., Lin, X. dan Zhang, S. 2000. Dynamics and size structure of phytoplankton in the coastal waters of Singapore. Journal of Plankton Research. 22(8): 1465-1484. Howarth, R. W. 1988. Nutrient limitation of net primary production in marine ecosystems. Annual Review of Ecology and Systematics 19:89-110. Ignatiades, L. 2005. Scalling the trophic status of the Aegean Sea, eastern Mediterranean. Journal of Sea Research. 54: 51-57. Iwasaka, N., Isozakii, Y., Kuwashima, S., Otobe, H. dan Hanawa, K. 2000. Observational Study on the Downward Solar Radiation at the Sea Surface in the Western Pacific. Journal of Oceanography. 56: 717-726. Jeffries, M. dan Mills, D. 1996. Freshwater Ecology, Principles and Applications. John Wiley and Sons. Chichester. UK.
79 Kartamihardja, E.S. dan Adriani, S.N.K. 2003. Distribusi Spasio Temporal Kelimpahan dan Biomassa Fitoplankton Dalam Kaitannya dengan Potensi Produksi Ikan di Waduk Ir. H. Djuanda, Jawa Barat. JPPI Edisi Sumberdaya dan Penangkapan Vol. 9(7) : 9 – 17. Karydis, M. 2009. Eutrophication assessment of coastal waters based on indicators: a literature review. Global NEST Journal. Vol 11(4) : 373-390. Kennish, M.J. 1990. Ecology of Estuaries: anthropogenic effects. CRC Press, Inc. Boca Raton, FL. Khan, HAZ. 1980.. Primary Productivity and Tropic Status of Kasmir Himalayan Lake. Hydrobiologia. 68:3-8. Kilham, P. dan Hecky, R.E. 1988. Comparative ecology of marine and freshwater phytoplanton. Limnol Oceanogr 33:776-795. Kirk, J.T.O. 1994. Light and Photosynthesis in Aquatic Ecosystems. Cambridge University Press. Cambridge. Lalli, C.M. dan Parsons, T.R. 1993. Biological Oceanography An Introduction. First Published by Pergamon Press Ltd. Oxford. Lagus, A., Suomela, J., Wethoff, G., Heikkila, K., Helminen, H. dan Sipura, J. 2004. Species-specific differences in phytoplankton responses to N and P enrichment and the N:P ratio in The Archipelago Sea, Northern Baltic Sea. Journal of Plankton Research. 26(7): 779-798. Lehmann, P.W. 2000. Phytoplankton Biomass, Cell Diameter, and Species Composition in the Low Salinity Zone of Northern San Fransisco Bay Estuary. Departement of Water Resources Enviromental Services Office. California. Vol 23 No. 2 : 216-230. Levinton, J.S. 1982. Marine ecology. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Madubun, U. 2008. Produktivitas primer fitoplankton dan kaitannya dengan unsur hara dan cahaya di perairan Muara Jaya Teluk Jekarta. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Mallin, M.A.1994. Phytoplankton ecology of North Carolina Estuaries. Estuaries. 17: 561-574. Mallin, M. A. dan Paerl, H.W. 1992. Effects of variable irradiance on phytoplankton productivity in shallow estuaries. Limnology and Oceanography 37:54-62. Masson, C.V. 1981. Biology of freshwater pollution. Longman Scientific and Technical. Longman Singapore Publisher Ptc. Ltd. Singapore.
80 Mattjik, A.A. dan M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Jilid I. IPB Press. Bogor. Millero, F.J. dan M.L.Sohn. 1991. Chemical Oceanography. CRC Press. Boca Raton Ann Arbor. London. Montes, M.F.J., Mocedo, S.J. and Koening, M.L. 2002. N:SI:P Ratio in the Santa Cruz Channel, Itamaraca-PE (North East Brazil) : a Nyctemeral Variation. Departement of Oceanography, UFPE. Brazil. Vol. 45 N 2: 115-124. Moss, B. 1993. Ecology of Freshwater. Second Edition. Blackwell Scientific Publications. London. Neale, 1987. Algae Photoinhibition and Photosyntesis in The Aquatic Environment. Di dalam : D.J. Kyle, Opmon CB, Arntzen CJ. Editor. Photoinhibition. Elsevier. Nielsen, S.L., Sand-Jensen, K., Borum, J. dan Hansen, O.G. 2002. Phytoplankton, nutrient and transparency in Danish coastal water. Estuaries 25: 930-937. Nontji, A. 2006. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi. Jakarta. Novotny, V and H. Olem. 1994. water quality, prevention, identification, and management of diffuse pollution. Van Nostrans Reinhold. New York. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Terjemahan : Eidman, M., Koesbiono, Detrich G.B., Malikusworo, H. dan Sukardjo, S. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Odum, E.P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Terjemahan : Samingan, T. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Paerl, H.W. and Millie, D. 1996. Physiological Ecology of toxicaquatic cyanobacteria. Phycologia 35: 160–167. Pangerang, K.U. 1994. Evaluasi status pencemaran perairan Teluk Kendari Sulawesi Tenggara. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.. Parson, T.R., M. Takahashi dan B. Hargrave. 1984. Biological Oceanographic Processes. Third Edition. Pergamon Press. Oxford. Pennock, J.R. 1985. Chlorophill Distribution in The Delaware Estuary: Regulation by Light-Limitation. Estur. Coast.Shelf.Sci. 21 : 711-725.
81 Piehler, M.F., Dyble J., Moisander, P.H., Pinckney, J.L. dan Paerl, H.W. 2004. Effects of modified nutrient concentrations and ratios on the structure an function of the native phytoplankton community in the Neuse River Estuary, North Carolina, USA. Aquatic Ecology 36:371-385. Presscott, G.W. 1970. How to Know the Freshwater Algae. W.Mc. Brown Co. Publ. Iowa. Pomeroy, L.R. 1999. Food web connections: links and sinks. In Bell C.R., Brylinsky, M., Johnson-Green, P. (eds). Microbial Biosystems : New Frontiers. Proceedings of the 8th International Symposium on Microbial Ecology. Atlantic Canada Society for Microbial Ecology, Halifax. Canada. Ray, P. dan Rao, N.O.S. 1964. Density of freshwater diatom in relations to some physico chemical condition of water. Indian Journal Fish. 11(1): 479-484. Riley, J.P. dan Chester, R. 1971. Introduction to Marine Chemistry. Academic Press. London and New York. Romimohtarto, K. 1991. Kualitas Air Dalam Budidaya Laut. Workshop Report. Bandar Lampung.
Seafarming
Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Correspondence Course Centre. Direktorat Jenderal Perikanan. Departemen Pertanian. Jakarta. Sakalauskiene, G. 2001. Dissolved Oxygen Balance Model for Neris. Nonlinear Analysis: Modelling and Control. Vol. 6. No 1. 105-131.
Sin, Y., Wetzel, R.G. and Anderson, I.C. 1999. Spatial and Characteristic of Nutrient and Phytoplankton Dynamics in the New York River Estuary, Virginia : Analyses of Log Term Data. College of William and Mary Virginia Institute of Marine Sciences. Virginia. Vol. 22 No. 2A: 265-270. Smith, S.V. 1984. Phosphorus versus nitrogen limitation in the marine environment. Limnol Oceanogr 29: 1149-1160. Sumich, J.L. 1994. An Introduction to The Biology of Marine Life. Fifth Edition. Wm.C.Brown Company Publishers. USA. Sze, P. 1993. A Biology of The Algae. Wm.C.Brown Company Publishers.USA. Tambaru, R. 2008. Dinamika komunitas fitoplankton dalam kaitannya dengan produktivitas perairan di perairan pesisir Maros Sulawesi Selatan. Disertasi (Tidak Dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tillman, U., K.J. Hesse dan F. Colijn. 2000. Planctonic Primary Production in The German Wadden Sea. Journal Plankton Research. 22(7) : 1253-1276.
82 Tomas, C.R. 1997. Identifiying Marine Phytoplankton. Academic Press. USA. Tomascik, T., Mah, A. A. Nontji and M.K. Mossa. 1997. The Ecology of The Indonesian. Part II. Published by Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore. Umaly, R.C. dan L.A. Cuvin. 1988. Limnology : Laboratory and Field Guide Physico-Chemical Factors, Biology Factors. National Book Store Publ. Manila. Valiela, I. 1995. Marine Ecological Processes. Ed ke-2 Springer. Wyatt, P.J. dan Jackson, C. 1989. Discrimination of Phytoplankton Via LightScattering Properties. Limnology and Oceanography. 34: 96-112. Welch, E.B. 1980. Ecological effects wastewater. Cambridge Press. London. Philadelphia. Wetzel, R.G. 1983. Limnology. Philadelphia. W.B. Sounders Company. Widjaja, F., Suwignyo, S., Yulianda, F. dan Effendie, H. 1994. Komposisi jenis, kelimpahan dan penyebaran plankton laut di Teluk Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Laporan Penelitian, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Wofsy, S. C. 1983. A simple model to predict extinction coef- ficients and phytoplankton biomass in eutrophic waters. Limnology and Oceanography 28:1144-1155. Yamaji, C.S. 1979. Illustration of The Marine Plankton of Japan. Hoikusha Publ. Co. Ltd. Japan.