HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DENGAN UNSUR HARA PADA KEDALAMAN SECCHI DI PERAIRAN WADUK PLTA KOTO PANJANG, RIAU.
MUHAMMAD HATTA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Hubungan Antara Produktivitas Primer fitoplankton Dengan Unsur Hara Pada Kedalaman Secchi Di perairan Waduk PLTA Koto Panjang, Riau adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2007
Muhammad Hatta NM C151040161
RINGKASAN Muhammad Hatta. Hubungan Antara Produktivitas Primer Fitoplankton Dengan Unsur Hara Pada Kedalaman Secchi Di Perairan Waduk PLTA Koto Panjang, Riau. Dibimbing oleh ENAN M. ADIWILAGA dan ARIO DAMAR. Waduk PLTA Koto Panjang merupakan hasil pembendungan dari beberapa buah sungai, dengan luas genangan sekitar 12.400 Ha yang meliputi wilayah provinsi Riau dan Sumatera Barat. Waduk ini mempunyai fungsi utama sebagai pembangkit listrik dan pengendali banjir. Peningkatan aktifitas manusia yang memanfaatkan perairan waduk seperti, pembukaan lahan pertanian, transportasi air, perikanan budidaya, industri kecil, dan pariwisata. Telah menimbulkan dampak negatif dengan terjadi erosi, sedimentasi, dan eutrofikasi menyebabkan penurunan kualitas perairan. Fitoplankton sebagai organisme air penghasil oksigen melalui proses fotosintesis, keberadaannya rentan terhadap perubahan kualitas air tempat ia berada. Apabila kondisi lingkungannya buruk akan menyebabkan menurunnya produktivitas primer perairan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai Agustus 2006. Penelitian dilakukan setiap 7 hari sekali dengan 4 kali ulangan. Lokasi penelitian, yaitu: Stasiun I, Keramba Jaring Apung dan Stasiun II, Out let waduk. Setiap stasiun penelitian dibagi menjadi 4 kedalaman inkubasi, didasarkan pada kedalaman Secchi, yaitu: permukaan perairan, ½ Secchi, Secchi, dan 1 meter di bawah Kedalaman Secchi. Rancangan percoban yang digunakan adalah rancangan acak lengkap kelompok 1 faktor. Data yang di peroleh dianalisis dengan regresi tunggal dan berganda untuk mengetahui seberapa besar hubungan yang terjadi. Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi unsur hara (N-NO3, N-NO2, N-NH3 dan PO4-P) mendukung kehidupan organisme perairan. Fitoplankton yang ditemukan sebanyak 37 genera yang mewakili 6 kelas, yaitu: Chlorophyceae 16 genera, Cyanophyceae 12 genera, Bacillariophyceae 5 genera, Xanthophyceae 2 genera, Dinophyceae 1 genera, dan Chrysophyceae 1 genera. Dimana jumlah kelimpahan individu pergenara terbanyak adalah dari kelas Cyanophyceae. Untuk keanekaragaman dalam kategori sedang, keragaman cukup tinggi dan tidak ada organisme yang dominan. Rata-rata produktivitas primer bersih perkedalaman inkubasi di stasiun I berkisar 109.4 – 156.3 mg C/m3 per 5 jam. Stasiun II berkisar 125.0 – 162.5 mg C/m3 per 5 jam, dengan produktivitas primer tertinggi terdapat pada kedalaman ½ Secchi. Diduga pada kedalaman tersebut unsur hara yang ditemukan cukup banyak sehingga pertumbuhan fitoplankton meningkat. Hal ini menyebabkan produktivitas primer juga meningkat. Konsentrasi klorofil-a di stasiun I berkisar 15.25 – 28.01 mg chl-a/m3 sedangkan di stasiun II berkisar 18.71 – 24.13 mg chl-a/m3. Konsentrasi klorofil-a masuk dalam kategori subur (eutrofik). Berdasarkan analisis regresi tunggal antara produktivitas primer bersih dengan nitrat, nitrit, ammonia, DIN, DIP (ortofosfat) didapat korelasi yang rendah. Dari hasil uji sidik ragam stasiun I dan II semuanya tidak signifikan kecuali nitrat di stasiun I. Artinya masing-masing unsur hara tersebut tidak secara nyata mempengaruhi produktivitas primer kecuali nitrat di stasiun I dengan R2 sebesar 0.308 dan nilai p (p value) = 0.026. Klorofil-a juga menunjukkan korelasi yang rendah. R2 di stasiun I sebesar 0.134, p = 0.164. Stasiun II, R2 sebesar 0.009, p =
0.734. Setelah di regresi linear berganda didapat nilai R2 yang masih rendah. Stasiun I, R2 sebesar 0.225, p = 0.364. Korelasi yang kecil terdapat di stasiun II, R2 sebesar 0.083 p = 0.781. Berarti DIN, DIP, dan klorofil-a tidak secara nyata mempengaruhi produktivitas primer bersih di Waduk PLTA Koto Panjang.
ABSTRACT Muhammad Hatta. The reletionship of Phytoplankton Primary Productivity with Nutrients on Secchi Deep in PLTA Koto Panjang Lake, Riau. Supervised by Enan M Adiwilga and Ario Damar In aquatic ecosystems, underwater fitoplanton and nutrients are the main factors governing the planktonic primary production. The aim of this research is to estimate planktonic primary production and its relationship to nutrient availability in PLTA Koto Panjang lake. The research was done by conducting a series of field dark-light oxygen bottle primary production incubation, nutrient samplings and in situ measurement of some related parameters. Nutrient samplings and measurements were done at 2 different stations with 4 depths in each station. The results show that plantonic primary production estimates ranged from 109.4 to 162.5 mgC/ m3/ 5 hours. A strong relationship between net primary production with nutrient, fitpolankton and chlorophyll-a (64% and 80%) As a conclusion, light is more limiting than nutrient for the phytoplankton primary production in the study area. Key word: Primary productivity, DIN (Dissolve nitrogen inorganic), DIP (dissolve phosphate inorganic)
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut pertanian Bogor, sebahagian atau seluruhnya dalan bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
HUBUNGAN ANTARA PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DENGAN UNSUR HARA PADA KEDALAMAN SECCHI DI PERAIRAN WADUK PLTA KOTO PANJANG, RIAU.
MUHAMMAD HATTA
Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Judul Penelitian Nama NIM
: Hubungan Antara Produktivitas Primer Fitoplankton Dengan Unsur Hara Pada Kedalaman Secchi Di Perairan Waduk Koto Panjang, Riau. : Muhammad Hatta : C151040161
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Ketua
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Enang Harris
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 18 Juni 2007
Tanggal Lulus:
PRAKATA Kami memuji Allah SWT, semoga shalawat serta salam tetap terlimpah ke atas Rasul-Nya yang mulia, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang mempertahankan agama yang haq. Alhamdulillah, atas rahmat dan kehendak dari Allah SWT, akhirnya laporan tesis ini dapat terselesaikan. Tesis yang berjudul “Hubungan Antara Produktivitas Primer Fitoplankton Dengan Unsur Hara Pada Kedalaman Secchi Di Perairan Waduk PLTA Koto Panjang, Riau”. Merupakan salah satu nikmat yang Allah pinjamkan kepada penulis agar bisa lebih bersyukur. Syukur juga penulis sampai kepada Allah yang telah memilihkan buat penulis, orang-orang yang penuh hikmah dan ahli dibidangnya. Untuk bersamasama berperan dalam menyelesaikan laporan ini. Oleh sebab itu haruslah penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga, Dr. Ir. Ario Damar, M.Si selaku dosen pembimbing yang dengan hikmah dan sabar mau meluangkan banyak waktu dan ilmu dalam memberikan bimbingan, arahan, dan saran selama proses penyelesaian tesis. Kepada Ibu Ir. Niken Tunjung MP, M.Si selaku dosen penguji luar komisi yang telah memberikan sentuhan akhir berupa saran dan masukan sehingga laporan tesis menjadi lebih baik. 2. Orang-orang tercinta AyahEmak, kak Ita dan keluarga, bang Yusman, bang Ispan dan keluarga, bsng Iswan, kak Tuti, kak Kodek, dan Fauzi terima kasih atas kiriman sholat, doa, kepercayaan, dan dukungan yang tiada henti. Keponakan tersayang di Ryan, Ori, Debi, Dila, Boby, dan Fikri. 3. Keluarga di Bekasi dan Medan (Nenek, Ocik Oman, Pak Uam, Tina, Kiki, Mawan, dan Mamah). 4. Rekan-rekan Ilmu Perairan (AIR), Zainal, Bang Yulisman, Pak amin, Eva, Massengreng, Dodi, Pak Dian, Pak Asman, Pak Tarsim, Pak Ridwan, Bu Agustina, Carles, Bang Asprin, Linda dan Pak Wahab. 5. Sahabat-sahabatku Neti, Wike, Handiro, Yoki, dan kak Eli dan keluarga Bogor, Juli 2007
Muhammad Hatta
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tebing Tinggi, 16 Januari 1980 sebagai anak ketujuh dari delapan bersaudara pasangan Sofyan AY dan Siti Zubaidah Lubis. Pendidikan dasar diselesaikan di SD Negeri 16 T. Tinggi pada tahun 1992, dilanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 02 T. Tinggi dan selesai pada tahun 1995. Sekolah lanjutan tingkat atas di SMUN 03 T. Tinggi diselesaikan pada tahun 1998. Pada tahun yang sama melalui jalur UMPTN, penulis diterima di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau dan lulus tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Perairan.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
vi
PENDAHULUAN ........................................................................................... Latar Belakang .................................................................................. Perumusan Masalah ......................................................................... Tujuan dan Manfaat ......................................................................... Hipotesis ..........................................................................................
1 1 2 3 3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... Produktivitas Primer ......................................................................... Intensitas cahaya ............................................................................. Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN) .................................................... Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) ......................................................... Struktur Komunitas Fitoplankton ...................................................... Klorofil-a ...........................................................................................
5 5 6 9 10 11 12
METODE PENELITIAN ................................................................................. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................... Penentuan Lokasi Sampling ............................................................ Pengukuran Produktivitas Primer .................................................... Analisis Klorofil-a ............................................................................. Pengambilan Contoh Fitoplankton dan ............................................ Pengambilan Contoh Unsur Hara .................................................... Analisis Data ....................................................................................
13 13 13 14 15 16 16 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ Parameter Kualitas Air Waduk PLTA Koto Panjang ......................... Suhu .......................................................................................... Kekeruhan ................................................................................. TSS (Total Suspended Solid) .................................................... pH .............................................................................................. Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN) ..................................................... Nitrat-Nitrogen (NO3-N) .............................................................. Nitrit-Nitrogen (NO2-N) ............................................................... Ammonia-Nitrogen (NH3-N) ....................................................... Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) ........................................................ Ortofosfat (PO4-P) ...................................................................... Struktur Komunitas Fitoplankton Komposisi Dan Kelimpahan Fitoplankton .................................. Indeks Biologi Fitoplankton ........................................................
20 20 20 21 22 23 23 25 27 28 30 30 32 32 38
Klorofil-a ........................................................................................... Produktivitas Primer Fitoplankton .................................................... Hubungan Produktivitas Primer Bersih dengan Unsur Hara ........... Hubungan Produktivitas Primer Bersih dengan Klorofil-a Hubungan Antara Produktivitas Primer Bersih dengan Unsur Hara dan Klorofil-a ...........................................................................
40 42 47 52
SIMPULAN Simpulan .......................................................................................... Saran ...............................................................................................
55 55 55
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
56
LAMPIRAN ...................................................................................................
60
53
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian .........................
17
2. Nilai rata-rata perperiode parameter kualitas air Waduk PLTA Koto Panjang ..............................................................................................
20
3. Nilai rata-rata perkedalaman inkubasi kualitas air Waduk PLTA Koto Panjang ..............................................................................................
20
4. Nilai rata-rata unsur hara perperiode dengan kedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ..................................................
25
5. Nilai rata-rata unsur hara untuk setiap kedalaman inkubasi diperairan PLTA Koto Panjang ............................................................................
25
6. Jumlah genera fitoplankton perperiode di perairan Waduk PLTA Koto Panjang .....................................................................................
32
7. Nilai rata-rata kelimpahan (sel/l) perperiode kelas fitoplankton di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ..................................................
34
8. Indeks biologi fitoplankton di perairan Waduk PLTA Koto Panjang
38
9. Indeks biologi fitoplankton perkedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ............................................................................
38
10. Nilai rata-rata konsentrasi klorofil-a fitoplankton perperiode dengan kedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ............
40
11. Nilai rata-rata produktivitas primer fitoplankton perperiode di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ................................................. 12. Nilai rata-rata produktivitas primer fitoplankton perkedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ................................
44
13. Nilai rata-rata produktivitas primer bersih dengan kedalaman Inkubasi stasiun I.................................................................................
46
14. Nilai regresi produktivitas primer bersih dengan unsur hara di perairan Waduk PLTA Koto Panjang (n =16) ......................................
48
15. Nilai regresi produktivitas primer bersih dengan klorofil-a di perairan Waduk PLTA Koto Panjang (n = 16) .....................................
52
16. Nilai regresi produktivitas primer bersih dengan DIN, DIP, dan dan klorofil-a (n = 48) ..........................................................................
53
42
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Gambar alir perumusan masalah .......................................................
4
2. Hubungan intensitas cahaya dengan kedalaman dan fotosintesis, respirasi (Fogg 1980) ..........................................................................
7
3. Peta lokasi penelitian (Nur 2005) ........................................................
13
4. Letak stasiun penelitian (Nur 2005) ....................................................
14
5. Pola distribusi vertikal konsentrasi nitrat di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ......................................................................................
27
6. Pola distribusi vertikal konsentrasi nitrit di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ......................................................................................
28
7. Pola distribusi vertikal konsentrasi ammonia di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ............................................................................
30
8. Pola distribusi vertikal konsentrasi ortofosfat di perairan WAduk PLTA Koto Panjang ............................................................................
31
9. Kelimpahan rata-rata fitoplankton berdasarkan kedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ..............................................
37
10. Konsentrasi klorofil-a perkedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ............................................................................
41
11. Pola distribusi vertikal rata-rata produktivitas primer bersih dan kotor stasiun I dan II di perairan Waduk PLTA Koto Panjang .....................
46
12. Pola regresi unsur hara dengan produktivitas primer bersih di stasiun I (n = 16)..................................................................................
50
13. Pola regresi unsur hara dengan produktivitas primer bersih di stasiun II (n = 16).................................................................................
51
14. Pola regresi klorofil-a dengan produktivitas primer bersih di perairan Waduk PLTA Koto Panjang (n = 16) ....................................
53
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Persen cahaya yang masuk selama 12 jam .......................................
60
2. Prosedur pengisian air ke dalam botol BOD ......................................
61
3. Prosedur pengukuran oksigen terlarut dengan menggunakan metode Winkler ................................................................................................
61
4. Prosedur pengukuran produktivitas primer fitoplankton .....................
62
5. Kelimpahan fitoplankton yang ditemukan untuk periode 1 .................
63
6. Kelimpahan fitoplankton yang ditemukan untuk periode 2 .................
64
7. Kelimpahan fitoplankton yang ditemukan untuk periode 3 .................
65
8. Kelimpahan fitoplankton yang ditemukan untuk periode 4 .................
66
9. Konsentrasi parameter-parameter uji yang diukur ..............................
67
10. Kelimpahan rata-rata fitoplankton berdasarkan kedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ..............................................
69
11. Rata-rata konsentrasi klorofil-a perkedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ................................................................
69
12. Hasil uji sidik ragam (anova) produktivitas primer bersih terhadap stasiun I dan kedalaman di perairan Waduk PLTA Koto Panjang ......
70
13. Hasil regresi berganda antara produktivitas primer bersih dengan Unsur hara dan klorofil-a (n = 48)........................................................
70
PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya perairan merupakan suatu upaya pengelolaan sumber daya alam seoptimal mungkin untuk kesejahteraan manusia, tanpa mengganggu keseimbangan alam itu sendiri sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara berkesinambungan. Hadiwigeno (1990) menyatakan pengelolaan waduk adalah pemanfaatan suatu sumber daya yang memberikan daya guna dan hasil guna yang dikehendaki dalam batas-batas yang optimal dengan tetap memelihara kelestarian waduk dan sumber daya alam yang berkaitan dengan ekosistem waduk agar pemanfaatannya berlangsung secara berkelanjutan. Sebagai suatu perairan semi tertutup, waduk merupakan bentuk perairan yang dibuat oleh manusia yang ingin memanfaatkan sumberdaya airnya untuk suatu keperluan tertentu. Waduk Pembangkit Listrik Tenaga Air Koto Panjang (PLTA Koto Panjang) dibangun pada tahun 1992 sampai tahun 1997. Waduk PLTA Koto Panjang merupakan hasil pembendungan dari beberapa buah sungai, yaitu Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Sungai Batang Mahan, Sungai Gulamoh, dan Sungai Tapung Air Tiris, dengan luas genangan sekitar 12.400 Ha yang meliputi wilayah provinsi Riau dan Sumatera Barat (PLN, 2000). Waduk PLTA Koto Panjang mempunyai fungsi utama sebagai pembangkit listrik dan pengendali banjir. Namun, pada perkembangan berikutnya terjadi peningkatan aktifitas manusia yang memanfaatkan perairan waduk dan sekitarnya seperti
penebangan
hutan,
pembukaan
lahan
pertanian
dan
perkebunan,
transportasi air, perikanan budidaya dan tangkap, industri kecil, dan pariwisata. Peningkatan pemanfaatan lahan di kawasan ini tidak hanya menimbulkan dampak negatif terhadap waduk seperti terjadinya erosi, sedimentasi, dan eutrofikasi, tetapi juga mendatangkan dampak negatif terhadap habitat berbagai jenis plankton, ikan, dan hewan yang mendiami kawasan tersebut, nilai estitika dan fungsi utama dari tujuan pembuatan waduk itu sendiri. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh PPLH-UNRI (2003) melaporkan bahwa pembukaan lahan terus terjadi, seiring peningkatan pemanfaatan lahan kualitas air terus mengalami penurunan dengan meningkatnya kesuburan perairan yang ditandai dengan kandungan klorofil-a yang terus meningkat di perairan waduk PLTA Koto Panjang.
Peningkatan kesuburan ini diakibatkan banyaknya unsur hara yang meliputi fosfat dan nitrat yang berasal dari pupuk yang digunakan di daerah pertanian dan perkebunan yang terbawa aliran permukaan ke dalam badan air. Selain masalah pembukaan lahan, muncul pula kegiatan perikanan di berbagai bagian waduk, diantaranya di daerah sekitar dam site yang mewakili bagian hilir, di Batu Bersurat, dan jembatan Gulamoh mewakili bagian tengah dan daerah in let Sungai Kampar Kanan yang mewakili bagian hulu. Kegiatan perikanan yang tidak terkoordinasi dengan baik, dikhawatirkan menjadi ancaman tersendiri terhadap kegiatan PLTA terutama di daerah dam site. Pemukiman penduduk di sekitar waduk juga akan menyebabkan tekanantekanan tersendiri terhadap waduk seperti degradasi kualitas air waduk yang diakibatkan oleh buangan rumah tangga dan terbawa aliran permukaan kedalam waduk. Suwignyo (1981) menyatakan bahwa waduk bukan saja tempat untuk penampungan air tetapi juga merupakan suatu ekosistem perairan tawar produktif, yang produktivitasnya didominasi oleh plankton. Fitoplankton sebagai salah satu organisme air yang berfungsi sebagai penghasil oksigen melalui proses fotosintesis, keberadaannya sangat rentan terhadap perubahan kualitas air tempat ia berada. Kondisi ini membuat fitoplankton merupakan organisme yang pertama kali akan terkena dan merespon perubahan lingkungan. Kualitas air yang baik seperti, cukup tersedianya unsur hara, intensitas cahaya, suhu dan pH yang baik dapat meningkatkan laju fotosintesis fitoplankton yang nantinya akan berimbas pada peningkatan produktivitas dan sebaliknya buruknya kondisi lingkungan akan menyebabkan menurunnya produktivitas perairan.
Perumusan Masalah Tingkat produktivitas primer fitoplankton di Waduk PLTA Koto Panjang dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara yang keberadaannya sangat menentukan kelimpahan dan struktur komunitas fitoplankton. Meningkatnya aktifitas manusia seperti adanya keramba jaring apung (KJA) telah meningkatkan jumlah unsur hara yang masuk ke perairan. Banyak unsur hara yang masuk ke perairan, baik berupa bahan organik maupun bahan anorganik yang tersuspensi menyebabkan tingginya tingkat kekeruhan perairan.
Ketersediaan unsur hara pada suatu perairan bukan merupakan satusatunya faktor yang dapat meningkatkan produksi fitoplankton. Tanpa keberadaan intensitas cahaya di dalam perairan maka tingginya kadar unsur hara tidak dapat meningkatkan produksi fitoplankton. Sumber sebab tersebut adalah tingginya tingkat pemanfaatan perairan sehingga menyebabkan beban perairan semakin meningkat. Kondisi ini juga di perburuk dengan adanya pemukiman masyarakat di sekitar waduk yang akan menyebabkan menurunnya kualitas air perairan waduk. Hal ini menyebabkan terganggunya
pertumbuhan
fitoplankton
di
setiap
kolom
air.
Inilah
yang
menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan nilai produktivitas primer di setiap kolom air. Untuk lebih memahami pendekatan masalah dapat dilihat melalui gambar hubungan antara faktor-faktor yang saling terkait seperti Gambar 1.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dan unsur hara di perairan waduk PLTA Koto Panjang. Adapun manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi informasi dan bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang akan melakukan pemanfaatan di perairan waduk PLTA Koto Panjang.
Hipotesis jika peningkatan keramba jaring apung menyebabkan unsur hara bertambah di
perairan
maka
akan
meningkatkan
kelimpahan
fitoplankton
menyebabkan produktivitas primer fitoplankton juga meningkat.
sehingga
Beban masukan Autochthonous dan Allochthonous Hidrodinamika waduk
Distribusi spasial - padatan - nutrien
Kualitas air Nutrien Intensitas cahaya Kekeruhan
Fitoplankton
Unsur hara
Struktur komunitas fitoplankton dan Biomassa fitoplankton
Gambar 1 Diagram alir perumusan masalah.
+
Klorofil-a
+
Produktivitas Primer Fitoplankton
TINJAUAN PUSTAKA
Produktivitas Primer Produktivitas primer merupakan laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya akan energi dan berasal dari senyawa anorganik. Pada umumnya produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesis, walaupun sejumlah kecil produktivitas dapat dihasilkan oleh bakteri kemosintetik (Nybakken 1988). Odum (1971) menambahkan produktivitas primer di suatu sistem ekologi sebagai laju penyimpanan energi radiasi melalui aktivitas fotosintesis dan kemosintesis dari produser atau organisme (terutama tumbuhan hijau) dalam bentuk bahan organik yang dapat digunakan sebagai bahan pakan. Pembentukan senyawa organik dari senyawa anorganik pada umumnya hanya dapat dilakukan oleh organisme yang mempunyai klorofil lewat jalur fotosintesis. Wetzel (1983) menyatakan bahwa di dalam ekosistem akuatik sebahagian besar produktivitas primer dilakukan oleh fitoplankton, dimana fitoplankton dapat mengubah zat-zat anorganik menjadi bahan organik dengan bantuan cahaya matahari melalui proses fotosintesis yang hasilnya disebut dengan produksi primer. Levinton (1982) menambahkan bahwa produktivitas adalah jumlah yang dihasilkan oleh jaringan hidup dan secara umum dinyatakan sebagai gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kuadrat kolom air per hari (mg C/m3 per hari). Produktivitas primer pada dasarnya tergantung pada aktivitas fotosintesis dari organisme autrotof yang mampu mentransformasi karbondioksida menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Oleh karena itu pendugaan produktivitas primer alami didasarkan pada pengukuran aktivitas fotosintesis yang terutama dilakukan oleh alga. Fotosintesis adalah proses fisiologis dasar yang penting bagi nutrisi tanaman termasuk fitoplankton. Reaksi fotosintesis secara sederhana dapat diringkas dalam persamaan umum sebagi berikut (Wetzel 1983): 6CO2 + 12H2O
C6H12O6 + 6O2
Dalam konsep produktivitas primer dikenal dengan istilah Produktivitas Primer Kotor atau Gross Primer Productivity (GPP) dan Produktivitas Primer Bersih
atau Net Primer Productivity (NPP). GPP adalah laju produktivitas primer zat organik dari jaringan tumbuhan termasuk yang digunakan untuk keperluan respirasi. NPP adalah laju produktivitas primer zat organik dikurangi dengan yang digunakan untuk respirasi. Pada umumnya profil vertikal penyebaran produktivitas primer mempunyai kurva yang menunjukkan adanya suatu nilai maksimum pada kedalaman tertentu. Nilai maksimum yang terjadi pada lapisan yang lebih dalam bisa lebih baik daripada nilai maksimum yang terjadi pada lapisan permukaan, karena bisa jadi intensitas cahaya yang masuk ke lapisan dalam sesuai dengan kebutuhan fitoplankton untuk berfotosintesis (Khan 1980). Profil penyebaran produktivitas primer secara vertikal tersebut sangat dipengaruhi oleh kelimpahan atau penyebaran fitoplankton secara vertikal. Pada umumnya apabila kelimpahan fitoplankton (sebagai organisme yang dapat berfotosintesis) besar, maka nilai produktivitas primer juga akan besar. Akan tetapi menurut Odum (1993) nilai produktivitas primer tersebut juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan, suhu dan ketersediaan unsur hara, serta gas-gas terlarut. Nilai produktivitas primer fitoplankton sangat bervariasi dari satu perairan ke perairan lainnya dan dari satu lokasi ke lokasi lainnya juga dari waktu ke waktu walaupun di dalam satu perairan.
Intensitas Cahaya Intensitas cahaya (penyinaran) adalah jumlah energi yang diterima oleh bumi pada waktu dan areal tertentu (Wetzel & Licken 1979). Jumlah energi yang diterima oleh bumi bergantung pada kualitas dan lama periode penyinaran yang merupakan faktor abiotik utama yang sangat menentukan laju produktivitas primer perairan. Intensitas cahaya matahari sering menjadi faktor pembatas yang sangat cepat memudar karena dipengaruhi oleh kedalaman dan kekeruhan (Porcella & Bishop 1975; Boyd 1982). Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan bertambahnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Dii atas nilai tersebut cahaya merupakan pembatas bagi fotosintesis (cahaya inhibisi). Semakin ke dalam perairan intensitas cahaya akan semakin berkurang dan merupakan
cahaya penghambat sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi (Cushing 1975; Mann 1982; Valiela 1984; Parsons et al. 1984; Neale 1987). Pola ini dapat digambarkan dalam grafik hubungan antara intensitas cahaya dengan laju fotosintesis dan kedalaman (Gambar 2). Fotosintesis (g C/ m3 per hari)
Penetrasi cahaya ( % )
Kedalaman (m)
Kedalaman (m)
Cahaya pembatas Fotosintesis
Cahaya optimal
Cahaya Penghambat Respirasi Kedalaman Kompensasi
Cahaya Pembatas
0
Cahaya penghambat
Fmax
Kedalaman (m)
100
Cahaya Optimal
Fotosintesis (g C/ m3 per hari) Ik Titik Kompensasi Intensitas Cahaya (%)
Gambar 2 Hubungan intensitas cahaya dengan kedalaman dan fotosintesis, respirasi (Fogg 1980). Cahaya matahari yang memasuki suatu medium optik seperti air maka intensitas cahaya tersebut akan berkurang atau mengalami peredupan (extinction attenuation) seiring dengan bertambahnya kedalaman perairan. Besarnya tingkat peredupan (absorbsi) bergantung pada materi pengabsobsi yang ada di dalam kolom air itu sendiri. Pada kolom air yang memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi,
tingkat absorbsi juga tinggi. Materi-materi yang biasanya menjadi pengabsorbsi adalah Suspended solid, Dissolved Organic Matter (DOM), dan Particulate Organic Matter (POM) termasuk plankton. Besarnya
tingkat
absorbsi
pengabsorbsian yang mengikuti
ditunjukkan
oleh
besarnya
koefisien
hukum Beer-Lambert, yang dapat dirumuskan
sebagai berikut (Parsons et al. 1984; Valiela 1984), yaitu: Iz = Ioe-kz
dengan:
k = Koefisien absorbsi I0 = Intensitas cahaya dipermukaan Iz = Intensitas pada kedalaman z z = Kedalaman e = bilangan dasar logaritma (2.7)
Aksi pada proses fotosintesis adalah mengabsorbsi cahaya karena tidak semua radiasi elektromagnetik yang jatuh pada tanaman yang berfotosintesis dapat diserap, hanya cahaya tampak (visible light) yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 400 sampai 720 nm yang diabsorbsi dan digunakan untuk fotosintesis (Govindjee & Braun 1974; Nybakken 1988). Menurut Parsons et al. (1984) energi cahaya yang dibutuhkan untuk proses fotosintesis fitoplankton terbatas pada panjang gelombang 300 sampai 720 nm. Radiasi total pada panjang gelombang ini disebut Photoszynthetically Available Radiation (PAR). Definisi ini tidak memperhitungkan seberapa besar energi cahaya yang benar-benar digunakan pada proses fotosintesis. Mempertimbangkan hal tersebut maka (Marel 1979, diacu dalam Parsons et al. 1984) menggunakan dua definisi tambahan tentang radiasi yaitu, Photosynthetically Usable Radiation (PUR) dan Photosyntetic Stored Radiation (PSR). Photosynthetically Usable Radiation didefinisikan sebagai bagian energi radiasi yang secara aktual diabsorbsi oleh fitoplankton. PUR seluruhnya tergantung pada komposisi pigmen dari populasi fitoplankton dan pada posisi spektral energi matahari yang menembus kolom air. Hanya sebahagian PUR ini yang benar-benar digunakan untuk proses fotosintesis dan bagian ini didefinisikan sebagai jumlah radiasi matahari yang dikonversi kedalam dan disimpan sebagai energi kimiawi dalam bentuk bahan organik Photosyntetic Stored Radiation (PSR). Secara umum ada hubungan yang luas antara ketiga nilai ini yaitu : PSR < PUR < PAR.
Untuk melakukan penyerapan terhadap cahaya, alga menggunakan berbagai macam pigmen. Setiap pigmen memiliki tingkat absorbsi yang berbeda terhadap spektrum cahaya. Govindjee dan Braun (1974) mengklasifikasikan pigmen-pigmen ini ke dalam 3 (tiga) kelompok utama
yaitu: 1) Chlorophylls yang dengan kuat
mengabsorbsi cahaya biru dan merah, contohnya adalah chl a yang terdapat pada seluruh alga dan chl b terdapat pada alga hijau saja, 2) Carotenoids yang mengabsorbsi cahaya hijau dan cahaya biru, contohnya adalah ß carotene yang terdapat pada seluruh alga dan fucoxanthin yang terdapat pada alga coklat, 3) Phycobillins yang mengabsorbsi cahaya hijau, kuning dan orange, contohnya Rphycoerythin
yang terdapat pada alga merah dan C-phycocyanin yang terdapat
pada alga hijau biru. Pigmen-pigmen tersebut merupakan antena bagi alga untuk menangkap energi cahaya.
Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN) Nitrogen anorganik terlarut di perairan terdiri dari ammonia-nitrogen (NH3-N), nitrat-nitrogen (NO3-N) dan nitrit-nitrogen (NO2-N). Nitrogen dalam bentuk senyawa anorganik dimanfaatkan oleh tumbuhan tersebut menjadi protein nabati selanjutnya dimanfaatkan oleh organisme hewani sebagai pakan (Wardoyo 1982).
Nitrat
adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrisi utama bagi pertumbuhan alga, yang dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 2003). Nybakken (1988) melengkapi bahwa nutrien anorganik utama yang paling dibutuhkan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembangbiak ialah nitrogen (dalam bentuk nitrat) dan fosfor (dalam bentuk fosfat). Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3-N) dan ammonia (NH3-N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3-N dibandingkan dengan NO3-N karena lebih banyak dijumpai di perairan baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik (Welch 1980). Selain itu penggunaan N-NO3 membutuhkan penambahan energi seperti adanya enzim nitrat reduktase (Goldman & Horne 1983). Pada kondisi anaerobik senyawa organik nitrogen dirubah menjadi N-NH3 yang pada konsentrasi tertentu bersifat racun terhadap organisme air. Goldman dan Horne (1983) menjelaskan terdapat perbedaan antara nitrat dan ammonia dalam hal
toxisitas dan mobilitasnya. Dimana toxisitas ammonia lebih tinggi dari pada nitrat sedangkan mobilitasnya lebih rendah dari pada nitrat Senyawa-senyawa nitrogen sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen terlarut dalam air, pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan oksigen tinggi nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3-). Melalui proses nitrifikasi oleh bakteri Nitrosomonas sp dan Nitrobacter sp NNH3 diubah menjadi N-NO3 kemudian nitrat direduksi menjadi gas nitrogen oleh bakteri yang terjadi pada keadaan oksigen terlarut rendah di daerah sedimen dan di lapisan hipolimnion. Urutan reaksi oksidasi ammonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas. Oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter secara sederhana seperti berikut (Novotny & Olem 1994) yaitu: 2NO2- + 2H+ + 2H2O
2NH3 + 3H2O Nitrosomonas 2NO2- + O2
2NO3Nitrobacter
Umumnya ketersedian nitrogen lebih banyak di perairan tawar dibandingkan di perairan laut dimana konsentrasi nitrat sekitar 1 mg/l NO3-N atau kurang dan lebih dari 25 mg/atom/l. Konsentrasi dari bentuk-bentuk nitrogen yang lain (selain nitrat) yang digunakan oleh produser adalah amonium, urea, asam-asam amino dan dapat bervariasi. Namun secara umum rendah dan lebih rendah dari kadar nitrat (Valiela 1984). Nitrit merupakan salah satu bentuk nitrogen yang terdapat dalam perairan. Nitrogen dalam bentuk nitrit merupakan bentuk antara nitrat dan ammonia, baik dalam proses oksidasi ammonia menjadi nitrat maupun dalam reduksi nitrat menjadi nitrit (APHA 1989). Hal inilah yang menyebabkan kandungan nitrit dalam perairan berada dalam jumlah yang paling sedikit. Selain nitrit, senyawa nitrogen lainnya adalah ammonia yang banyak terdapat dalam proses produksi urea. Adapun sumber utama ammonia di dalam perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen organik yang terdapat di dalam tanah dan air yang berasal dari proses dekomposisi bahan organik.
Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) Fosfor
adalah
unsur
hara
yang
diperlukan
oleh
tumbuhan
untuk
berfotosintesis selain nitrogen. Di perairan, fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik partikulat. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan (Dugan 1972, diacu dalam Effendi 2003) dan unsur hara yang ensensial bagi tumbuhan sehingga menjadi faktor pembatas dan mempengaruhi produktivitas perairan. Goldman dan Horne (1983) menyatakan bahwa fitoplankton hanya dapat menggunakan fosfor dalam bentuk fosfat (PO4) untuk pertumbuhannya. Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa fosfor di perairan berada dalam tiga bentuk utama yaitu fosfor anorganik terlarut, fosfor organik terlarut dan fosfor partikulat. Grahame (1987) menambahkan bahwa fosfor terlarut terutama berfungsi sebagai ortofosfat anorganik (PO4-) atau yang secara sederhana disebut sebagai fosfat. Wetzel (1983) menyatakan bahwa ortofosfat merupakan bentuk senyawa dengan unsur dasar P yang efektif bagi pertumbuhan fitoplankton. Wetzel (1983) menjelaskan bahwa kisaran fosfat yang optimum bagi petumbuhan fitoplankton adalah 0.09 – 1.80 mg/l. Selanjutnya dikatakan juga pada perairan alami ikatan senyawa fosfat umumnya berada pada ikatan Fe dan Al, sedangkan pada perairan basa fosfat berikatan dengan kation natrium dan pada perairan netral berikatan dengan kalsium (Prescott 1973).
Struktur Komunitas Fitoplankton Fitoplankton adalah mahluk hidup yang berupa tumbuhan renik
yang
melayang-layang di dalam kolom air yang tidak mampu bergerak secara aktif melawan arus air (Odum 1993). Secara ekologis fitoplankton merupakan dasar dari rantai pakan, sehingga keberadaanya akan menentukan keberadaan seluruh biota air (Nybakken 1988). Lebih lanjut dijelaskan bahwa perkembangan fitoplankton sangat ditentukan oleh faktor fisik kimiawi lingkungan seperti intensitas cahaya matahari, nutrien dan suhu serta faktor biologis seperti struktur komunitas fitoplankton. Krebs (1972) menambahkan bahwa keanekaragaman fitoplankton dapat dikatakan sebagai kehetoregenan spesies dan merupakan ciri khas dari struktur komunitas yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan dimana biota
hidup sedangkan indeks keseragaman dapat dikatakan sebagai keseimbangan komposisi setiap spesies dalam suatu komunitas. Wetzel
(1983)
menyatakan
bahwa
pada
danau
oligotrofik
memiliki
keanekaragaman yang tinggi dan struktur komunitas fitoplankton di dominansi oleh kelas
Chyrsophyceae,
Cryptophyceae,
Dinophyceae
dan
Bacillariophyceae
sedangkan pada danau eutrofik memiliki keanekaragaman yang menurun dan struktur
komunitas
fitoplankton
di
dominasi
oleh
kelas
Chlorophyceae,
Cyanophyceae, Euglenophyceae dan Bacillariophyceae. Hal ini terjadi pada danaudanau di daerah tropis dan temperate (beriklim sedang). Struktur komunitas fitoplankton merupakan susunan individu dari beberapa jenis atau spesies yang terorganisir membentuk komunitas, yang dapat dipelajari dengan mengetahui satu atau dua aspek khusus tentang organisasi komunitas yang bersangkutan seperti indeks deversitas jenis, zona stratifikasi, dan kelimpahan (Brower et al. 1990). Kuantitas dan kualitas fitoplankton dalam kolom air selalu berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkungan hidupnya. Davis (1955) bahwa di setiap perairan terdapat perkembangan komunitas yang dinamis, sehingga suatu spesies dapat lebih dominan dari pada spesies yang lainnya pada interval waktu yang relatif pendek sepanjang tahun, spesies yang dominan pada satu bulan tertentu bisa menjadi spesies yang langka pada bulan berikutnya dan digantikan dengan spesies lainnya yang lebih dominan. Nybakken (1988) menjelaskan Kondisi lingkungan yang merupakan faktor penentu keberadaan fitoplankton adalah suhu, salinitas, cahaya matahari, pH, kekeruhan, dan konsentrasi unsur hara serta berbagai senyawa lainnya
Klorofil-a Klorofil adalah katalisator fotosintesis yang penting dan terdapat di alam sebagai pigmen hijau dalam semua jaringan tumbuhan berfotosintesis. Zat ini terdapat dalam kloroplas dalam jumlah yang banyak, sering terikat longar dengan protein, tetapi mudah diekstraksi dengan pelarut lipid seperti aseton dan eter. Semua alga memiliki klorofil-a dan beberapa pigmen tambahan seperti klorofil-b, klorofil-c, karotenoid, juga pigmen pelengkap seperti xanthofil, fikosianin, fikoeritrien. Peranan pigmen pelengkap tersebut adalah menangkap sinar yang tidak
dapat diserap oleh klorofil dan karotenoid. Elektron-elektron pada pigmen tadi diteruskan ke klorofil untuk diubah menjadi energi kimia yang digunakan dalam fotosintesis (Bold & Wyne 1985, diacu dalam Rafii 2004). Klorofil-a dengan rumus kimia C55H72O5N4Mg merupakan salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi tumbuhan yang ada diperairan khususnya fitoplankton (Parsons et al. 1984). Klorofil terdapat dalam jumlah banyak pada fitoplankton sehingga sering digunakan untuk mengukur biomass fitoplankton (Strickland & Parsons 1965). Ekstrak klorofil dari algae yang berbeda menunjukkan sifat spektrumnya. Masing-masing klorofil mempunyai karakter dalam penyerapan spektrum cahaya yang berbeda. Klorofil-a menyerap cahaya dengan panjang gelombang 430-670 nm, sedangkan klorofil-b menyerap cahaya pada panjang gelombang 455-640 nm. Absorbansi maksimal klorofil-a terjadi pada panjang gelombang 700 nm (Boyd 1982).
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Waduk PLTA Koto Panjang Provinsi Riau pada bulan Juli sampai Agustus 2006. Waduk yang berfungsi utama sebagai pembangkit listrik dan pengendali banjir ini terletak pada 0o 17' 29" Lintang Utara dan 100o 52' 53" Bujur Timur. Penelitian dilakukan setiap 7 hari sekali secara berkesinambungan dengan 4 kali ulangan banjir.
Gambar 3 Peta lokasi penelitian (Nur 2005).
Penentuan Lokasi Sampling Untuk mengetahui lokasi sampling penelitian terlebih dahulu dilakukan pengamatan
pendahuluan.
Tujuan
pengamatan
pendahuluan
adalah
untuk
mengetahui keadaan perairan seperti kedalaman perairan dan kedalaman penetrasi cahaya. Pada penelitian ini ditetapkan 2 (dua) lokasi tempat penelitian (Gambar 4), yaitu: 1. Stasiun I merupakan daerah tempat budidaya Keramba Jaring Apung (KJA). 2. Stasiun II merupakan daerah terbuka dan out let air waduk.
Kemudian untuk masing-masing stasiun penelitian dibagi menjadi 4 (empat) kedalaman yang didasarkan pada kedalaman Secchi. Untuk menentukan kedalaman Secchi perairan dilakukan dahulu pengukuran kecerahan perairan. Hal ini dimaksudkan agar didapat nilai Secchi di masing-masing stasiun untuk kedalaman
0.25’
inkubasi.
Lokasi 2
Peta Waduk PLTA Koto
0.20’
Lokasi 1
0.10’
0.15’
Panjang
100.40’
100.45’
100.50’
100.55’
Gambar 4 Letak stasiun penelitian (Nur 2005). Pengukuran kecerahan dilakukan sebanyak tiga kali berturut-turut dalam selang waktu satu hari sekali selama tiga hari. Kedalaman-kedalaman inkubasi yang diperoleh dari hasil pengukuran kecerahan, yaitu untuk stasiun I (KJA) kedalaman inkubasi permukaan perairan adalah 0.2 meter, kedalaman inkubasi ½ Secchi adalah 1.5 meter, kedalaman inkubasi Secchi adalah 3 meter, dan kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi adalah 4 meter. Untuk stasiun II (out let) kedalaman inkubasi permukaan perairan adalah 0.2 meter, kedalaman inkubasi ½ Secchi adalah 2 meter, kedalaman inkubasi Secchi adalah 4 meter, dan kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi adalah 5 meter.
Pengukuran Produktivitas Primer Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan mengukur kandungan oksigen terlarut di dalam botol inisial, botol terang, dan botol gelap setelah diinkubasi selama 5 jam di dalam perairan. Waktu inkubasi dilakukan didasarkan pada saat sinar matahari optimal yaitu pada waktu 09.00 – 14.00 WIB. Perhitungan produktivitas primer fitoplankton dilakukan menurut Umaly & Cuvin (1988), rumus: Fotosintesis Kotor (mg C/ m3 per jam) =
(O2BT) – (O2 BG) x 1000 x 0,375 (PQ) x (t)
3
Fotosintesis Bersih (mg C/ m per jam) =
(O2 BT) – (O2 BA) x 1000 x 0,375 (PQ) x (t)
Keterangan : O2
: Oksigen terlarut (mg/l).
BT
: Botol terang.
BG
: Botol gelap.
BA
: Botol awal.
PQ
: Hasil bagi fotosintesis (1.2).
t
: Lama inkubasi (jam).
1000
: konversi liter menjadi m3.
0.375 : Koefisien konversi oksigen menjadi karbon (12/32). PQ adalah perbandingan oksigen terlarut yang dihasilkan dengan CO2 yang digunakan melalui proses fotosintesis. Menurut (Ryter 1965, diacu dalam Parsons et al. 1984) PQ adalah 1.1 – 1.3 untuk organisme yang memiliki klorofil. Nilai 1.2 di peroleh dengan asumsi bahwa dalam proses fotosintesis didominasi oleh fitoplankton.
Analisis Klorofil-a Untuk perhitungan kandungan klorofil-a mengikuti metode Boyd (1982), yaitu: Klorofil-a (mg/m3) = 11.9 (A665 – A750) x
V 1000 x L S
Keterangan: A665
: Absorban pada panjang gelombang 665 nm.
A750
: Absorban pada panjang gelombang 750 nm.
V
: Ekstraksi aseton yang diperoleh (ml).
L
: Panjang lintasan cahaya pada cairan dalam cuvet (1 cm).
S
: Volume sampel yang difiltrasi (ml).
Pengambilan Contoh Fitoplankton Analisis fitoplankton dilakukan pada setiap stasiun penelitian di setiap kedalaman inkubasi. Perhitungan struktur komunitas fitoplankton menggunakan indeks-indeks
biologi
seperti
kelimpahan,
indeks
keanekaragaman,
indeks
keseragaman, dan indeks dominan. Pengambilan contoh air untuk organisme fitoplankton dilakukan dengan menyaring sebanyak 10 (sepuluh) liter air dengan menggunakan Plankton net dengan mesh size 40 µm untuk setiap kedalaman. Hasil penyaringan dimasukkan ke dalam botol yang berukuran 25 ml dan diawetkan dengan menggunakan lugol sebanyak 0.5 ml (Vollenweider 1974) dilakukan pada saat waktu inkubasi. Penghitungan kelimpahan individu fitoplankton dilakukan di laboratorium berdasarkan rumus dari modifikasi metode Lackley Drop Microstransect Counting (APHA 1989) dengan cara sensus (penyapuan) sebanyak sepuluh tetes air persampel dengan rumus, yaitu: N = n x (Vr/Vo) x (1/Vs) Keterangan : N:
Jumlah total plankton (sel/ liter).
n :
Jumlah rata-rata fitoplankton.
Vr :
Volume air yang tersaring (ml).
Vo :
Volume air satu tetes (ml).
Vs :
Volume air yang disaring (l).
Pengambilan Contoh Unsur Hara Sampel air diambil menggunakan Van Dorn Water Sampler pada empat kedalaman berdasarkan kedalaman Secchi (permuk aan perairan, ½ Secchi, Secchi, dan 1 meter di bawah kedalaman Secchi) untuk setiap stasiun penelitian (I dan II). Sampel air N-Nitrat, N-Nitrit, N-Ammonia dan Fosfat kemudian diawetkan dengan menggunakan asam sulfat sampai pH 2,
kemudian di dawah ke laboratorium untuk di analisis pH 2. Selain itu, juga diikuti dengan pengukuran parameter fisik kimia perairan lainnya. Beberapa parameter perairan yang diukur dapat di lihat pada Tabel 1. Tabel 1 Parameter kualitas air yang diukur selama penelitian. No
Parameter
Satuan
Metode I. Parameter Fisika
Alat
Analisis
1 2 3 4
Cahaya Suhu Kekeruhan TSS
Lux o C NTU mg/l
Pembakaran Pemuaian Nephelometrik Gravimetrik
Cambell stockes Termometer Turbidimeter Oven
In situ In situ Lab Lab
1 2 3 4 5
pH N-Nitrat N-Nitrit N-Ammonia Ortofosfat
mg/l mg/l mg/l mg/l
pH Meter Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer
In situ Lab Lab Lab Lab
1
Produktivitas primer Klorofil-a
mg C/m3 per jam mg/m3
Botol oksigen
Alat-alat titrasi
In situ
Aseton 90%
Spektrofotometer
Lab
II. Parameter Kimia Potensiometrik Brucine Sulfanilat Phenate Stanous chloride
III. Parameter Biologi
2
Analisis Data Data hasil pengamatan di kelompokan berdasarkan data utama dan data penunjang. Data utama meliputi produktivitas primer, kelimpahan fitoplankton, klorofil-a, dan unsur hara sedangkan data penunjang meliputi data keadaan umum wilayah perairan, sebahagian indeks-indeks biologi, dan data fisik kimia perairan. Untuk menentukan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, yaitu: H’ = -
⎡ ni ⎤
⎡ ni ⎤
∑ ⎢⎣ N ⎥⎦ Ln ⎢⎣ N ⎥⎦
Keterangan : H’ : Indeks keanekaragaman. ni : Jumlah sel jenis ke-i N : Jumlah total sel. Kisaran indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dapat dikategorikan sebagai berikut: H’ < 2.3062
: Keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas rendah.
2.3062 < H’< 6.9078 : Keanekaragaman sedang dan kestabilan komunitas sedang.
H’ > 6.9078
: Keanekaragaman tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.
Untuk melihat keseragaman populasi fitoplankton dilakukan perhitungaan indeks keseragaman (Equitability = E) dengan rumus : H' E =
H'maks
Keterangan : H'
: Indeks keseragaman.
H'maks
: Ln S.
S
: Jumlah spesies.
Indeks keseragaman berkisar antara 0 – 1, dimana semakin kecil E semakin kecil pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu setiap spesies tidak sama dan ada kecenderungan terjadi dominasi oleh satu jenis spesies. Namun apabila nilai E semakin besar berarti tidak ada spesies yang mendominasi. Untuk mengetahui adanya dominasi oleh satu spesies tertentu pada suatu populasi
maka
digunakan
indeks
dominasi
yang
dapat
dihitung
dengan
menggunakan rumus berikut : D =
⎡ ni ⎤
∑ ⎢⎣ N ⎥⎦
Keterangan : D : Indeks dominasi. ni : Jumlah individu ke i. N : Jumlah total individu. Indeks dominasi berkisar 0 – 1, bila D mendekati 0 berarti dalam struktur komunitas biota yang diamati tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya dan bila D mendekati 1 berarti di dalam struktur komunitas yang sedang diamati dijumpai spesies yang mendominasi spesies lainnya (Odum 1971). Analisis data dilakukan secara komputerisasi dengan menggunakan SAS MINITAB versi 14 dan excel. Untuk rancangan percoban yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap kelompok 1 faktor (Mattjik &
Sumertajaya 2000) untuk dua lokasi yang di setiap lokasinya terdiri dari 4 titik kedalaman dengan 4 kali ulangan. Untuk mengetahui perbedaan produktivitas primer antar lokasi dilakukan analisis ragam. Sedangkan untuk mengetahui pola hubungan antar unsur hara, klorofil-a dengan produktivitas primer pada setiap stasiun pada kedalaman inkubasi digunakan analisis regresi tunggal dan berganda. Model keterkaitan fungsional antara peubah bebas dan peubah terkait, sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2000), yaitu: A. Analisis regresi tunggal Y = a + bX Keterangan : Y :
Produktivitas primer sebagai peubah tak bebas.
X :
Peubah
bebes
berupa
(nitrat-nitrogen,
nitrit-nitrogen,
ammonia-nitrogen, ortofosfat, dan Klorofil-a). b
:
Intersep.
a
:
Koefisien regresi
B. Analisis regresi berganda Yi = β0 + β1X1i + β2X2i +......+ βkXki, ∑i Persamaan penduganya adalah : Y = b0 + b1x1 + b2x2 +.......+ bkxk Keterangan : Y
= Produktivitas primer fitoplankton sebagai peubah tak bebas.
X 1, X2, .......Xk = Peubah bebas unsur hara (DIN dan DIP) dan Klorofil-a. b0
= Interseps.
b1, b2…….bx
= Koefisien regresi.
Nilai koefisein determinasi (R2) digunakan untuk mengetahui keeratan dari peubah X dan Y. Kisaran R2 antara 0 – 1. Jika nilainya lebih besar dari 0.5 atau mendekati 1, maka dapat diartikan bahwa X memiliki peranan terhadap Y. Besarnya peranan X terhadap Y, ditelaah dengan sidik ragam. Jika Fhitung lebih besar dari Ftabel berarti peubah X memberikan pengaruh terhadap peubah Y, demikian pula
sebaliknya jika Fhitung lebih kecil dari Ftabel berarti peubah X tidak memberikan pengaruh terhadap peubah Y.
HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter kualitas air Waduk PLTA Koto Panjang Pengamatan terhadap beberapa parameter kualitas air di perairan Waduk PLTA Koto Panjang dilakukan pada kedua stasiun, yaitu stasiun I (Keramba Jaring Apung) dan stasiun II (out let). Hasil dari pengamatan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2 Nilai rata-rata perperiode parameter kualitas air Waduk PLTA Koto Panjang. Stasiun I
II
Periode 1 2 3 4 1 2 3 4
Suhu (oC) 32.4 32.8 33.0 32.3 33.0 32.8 32.9 32.9
Kekeruhan (NTU) 5.77 5.78 5.35 5.74 5.51 5.51 5.43 4.98
TSS (mg/l) 22.50 20.25 20.00 20.00 22.50 19.50 20.25 16.75
pH 6.30 6.45 6.78 6.30 6.75 6.73 6.67 6.08
Tabel 3 Nilai rata-rata perkedalaman inkubasi parameter kualitas air Waduk PLTA Koto Panjang. Stasiun
I
II
Kedalaman Secchi Permukaan ½ Secchi Secchi K -1 m Permukaan ½ Secchi Secchi K -1 m
Kedalaman (m) 0.2 1.5 3 4 0.2 2 4 5
Suhu (oC) 32.9 32.8 32.4 32.4 33.0 33.0 32.8 32.8
Kekeruhan (NTU) 4.53 6.26 5.82 6.02 4.76 6.02 5.57 5.09
TSS (mg/l) 15.75 23.50 22.00 21.50 17.75 22.00 20.75 18.50
pH 6.73 6.63 6.40 6.35 6.70 6.55 6.35 6.63
Catatan : K -1 m adalah kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi.
Suhu Hasil pengukuran suhu di perairan Waduk PLTA Koto Panjang untuk setiap periode di kedua stasiun (I dan II) rata-rata berkisar 32.3 – 33.0 oC (Tabel 2). Suhu tertinggi untuk stasiun I terjadi pada periode 3 sebesar 33.0 oC sedangkan di stasiun II terjadi pada periode 1 sebesar 33.0 oC. Tingginya suhu pada periode-periode ini
dikarenakan banyaknya persen cahaya yang masuk ke lokasi penelitian. Untuk periode 1, persen cahaya yang masuk selama 12 jam sebesar 70 % sedangkan pada periode ke 3 persen cahaya yang masuk sebesar 61.67 % (Lampiran 1 ). Adapun perbedaan suhu tertinggi untuk tiap periode di kedua stasiun (I dan II) dikarenakan kondisi cahaya itu sendiri. Parsons et al. (1984) mengatakan aspek dasar dari cahaya yang penting adalah kuantitas dan kualitasnya. Kedua karakter ini berfluktuasi di perairan, tergantung pada waktu, ruang (perbedaan lokasi dan kedalaman), kondisi cuaca, dan penyebaran sudut datang. Untuk kedalaman inkubasi di stasiun I rata-rata suhu berkisar 32.4 – 32.9 oC dengan suhu tertinggi terdapat pada permukaan perairan sebesar 32.9 oC dan terendah pada kedalaman Secchi dan kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi sebesar 32.4 oC (Tabel 3). Dapat juga ditulis dengan rata-rata suhu di stasiun I berkisar antara 32.4 oC (stasiun I, Secchi dan 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 32.9 oC (stasiun I, permukaan perairan). Sementara itu kondisi yang hampir sama juga terjadi di stasiun II dengan rata-rata suhu berkisar 32.8 – 33 oC dengan suhu tertinggi terdapat pada kedalaman inkubasi permukaan perairan dan kedalaman inkubasi ½ Secchi sebesar 33 oC dan terendah pada kedalaman Secchi dan kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi sebesar 32.8 oC (Tabel 3). Dapat juga ditulis dengan rata-rata suhu di stasiun II berkisar 32.8 oC (stasiun II, Secchi dan 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 33 oC (stasiun II, permukaan perairan dan ½ Secchi). Suhu perairan yang tinggi disebabkan karena pada saat berlangsungnya penelitian adalah musim kemarau. Selain itu didukung dengan cuaca yang cukup cerah. Kondisi ini juga dikarenakan sinar matahari yang diterima kedalaman inkubasi permukaan lebih banyak dibandingkan dengan kedalaman inkubasi lainnya dan akan terus berkurang seiring dengan bertambahnya kedalaman. Parsons et al. (1984) menyatakan semakin menuju kedalam perairan intensitas cahaya akan semakin berkurang dan merupakan cahaya pembatas sampai pada kedalaman tertentu dimana fotosintesis sama dengan respirasi.
Kekeruhan Kekeruhan perairan Waduk PLTA Koto Panjang untuk stasiun (I dan II) pada setiap periode rata-rata berkisar 4.98 – 5.78 NTU. Namun secara keseluruhan
konsentrasi kekeruhan yang teramati tidak jauh berbeda atau relatif sama di kedua stasiun (Tabel 2). Diduga karena pada saat penelitian tidak terjadi penambahan unsur hara yang cukup besar seperti terjadinya erosi yang dapat menyebabkan kekeruhan perairan. Rata-rata konsentrasi kekeruhan pada kedalaman inkubasi untuk stasiun I berkisar antara 4.53 NTU (stasiun I, permukaan perairan) – 6.26 NTU (stasiun I, ½ Secchi) (Tabel 3). Namun nilai ini lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai kekeruhan yang diperoleh PPLH-UNRI (2003) sebesar 23.8 NTU. Untuk stasiun II rata-rata nilai kekeruhan berkisar antara 4.76 NTU (stasiun II, permukaan perairan) – 6.02 NTU (stasiun II, ½ Secchi). Nilai ini berbanding lurus dengan nilai TSS yang juga ditemukan tinggi pada kedalaman inkubasi ½ Secchi dan rendah pada kedalaman permukaan (Tabel 3). Hal ini didukung oleh Effendi (2003) menjelaskan hubungan antara TSS dan kekeruhan, dimana peningkatan TSS menyebabkan peningkatan kekeruhan.
TSS (Total Suspended Solid) Konsentrasi rata-rata TSS untuk tiap periode di kedua stasiun (I dan II) berkisar 16.75 – 22.50 mg/l dengan kisaran rata-rata TSS tertinggi terdapat pada stasiun I berkisar 20.00 mg/l (stasiun I, periode 3 dan 4) – 22.50 mg/l (stasiun I, periode 1) dan terendah pada stasiun II berkisar antara 16.75 mg/l (stasiun II, periode 1) – 22.50 mg/l (stasiun II, periode 4) (Tabel 2). Nilai TSS di kedua stasiun (I dan II) lebih kecil jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada perairan yang sama oleh Nur (2005) yang memperoleh konsentrasi TSS adalah 45 mg/l. Berdasarkan kedalaman inkubasi pada stasiun I, rata-rata TSS berkisar 15.75 mg/l (stasiun I, permukaan perairan) – 23.50 mg/l (stasiun I, ½ Secchi) (Tabel 3). Tingginya konsentrasi TSS pada kedalaman inkubasi ½ Secchi ini disebabkan banyak masukkan bahan organik yang berasal dari Keramba Jaring Apung (KJA). Sisa-sisa pakan ikan yang merupakan bahan organik ini diduga tidak termanfaatkan secara optimal oleh organisme KJA dan akhirnya keluar dari keramba dan melayang-layang di dalam kolom-kolom perairan waduk. Keberadaan TSS di perairan mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Konsentrasi TSS berbanding terbalik dengan
kecerahan, jika TSS kecil maka kecerahan akan tinggi. Nybakken (1988) peningkatan TSS dapat mengakibatkan berkurangnya kedalaman eufotik menjadi turun. Fardiaz (1992) menambahkan bahwa padatan tersuspensi adalah padatan yang dapat mengakibatkan kekeruhan air, tidak larut dan tidak mudah langsung mengendap. Adapun komponen TSS terdiri dari bahan organik, lumpur, pasir halus, serta jasad-jasad renik. Untuk stasiun II rata-rata TSS perkedalaman inkubasi berkisar 17.75 mg/l (stasiun II, permukaan perairan) – 22.00 mg/l (stasiun II, ½ Secchi). Secara umum konsentrasi TSS di perairan Waduk PLTA Koto Panjang masih dalam kategori baik. Alabastar dan Llyod (1980. diacu dalam Ameliawati 2003) kadar TSS < 25 mg/l tidak mengganggu kepentingan perikanan.
pH Nilai pH di kedua stasiun (I dan II) selama periode penelitian relatif sama yaitu berkisar antara 6.08 – 6.78 (Tabel 2). Kisaran nilai ini lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh PPLH-UNRI (2003) yang menemukan nilai pH berkisar 5.5 – 6.8. Sementara itu, nilai rata-rata pH berdasarkan kedalaman inkubasi untuk stasiun I berkisar antara 6.35 (stasiun I, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 6.73 (stasiun I, permukaan perairan). Sementara itu, untuk stasiun II rata-rata pH berkisar antara 6.35 (stasiun II, Secchi) – 6.70 (stasiun II, permukaan perairan) (Tabel 3). Nilai ini menunjukkan bahwa perairan Waduk PLTA Koto Panjang masih dapat mendukung kehidupan organisme yang ada di dalam perairan tersebut. Odum (1993) nilai pH yang baik untuk pertumbuhan organisme berkisar antara 6 – 9. Selain itu PP No 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan juga menyatakan bahwa pH untuk Kelas III (budidaya ikan air tawar) adalah 6 – 9.
Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN) Pengambilan unsur hara oleh fitoplankton hanya terbatas kepada unsur hara yang dapat larut dan menyebar, sehingga dapat melalui dinding semi-permiabel dan masuk kedalam sel. Banyak nutrien kompleks yang terlarut dan partikel yang tidak dapat dimanfaatkan oleh organisme fitoplankton. Hasil dari pengukuran rata-rata
DIN yang didapat selama penelitian untuk kedua stasiun penelitian menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda. Rata-rata total DIN yang diperoleh dari stasiun I sebesar 1.0417 mg at/N/l lebih besar dibandingkan dengan rata-rata total DIN yang diperoleh pada stasiun II sebesar 0.9206 mg at/N/l (Lampiran 9). Tingginya nilai DIN ini diduga karena adanya sumbangan yang besar dari ammonia (NH3-N) sebagai salah satu unsur penyusun DIN. Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat (NO3-N) dan ammonia (NH3-N). Namun pada kejadian ini diduga fitoplankton lebih menyukai NH3-N yang keberadaannya selalu tersedia di setiap lapisan kolom air. Welch (1980) menyatakan fitoplankton lebih banyak menyerap NH3-N dibandingkan dengan NO3-N karena lebih banyak dijumpai di perairan baik dalam kondisi aerobik maupun anaerobik. Variasi yang terjadi pada nilai konsentrasi DIN (nitrat, nitrit dan ammonia) di kedua stasiun (I dan II) dikarenakan lokasi tempat stasiun pengamatan yang memiliki karakter yang jauh berbeda. Stasiun I merupakan daerah yang padat kegiatan KJA sehingga selalu mendapat masukkan unsur hara tambahan, sedangkan stasiun II merupakan bagian paling hilir dari Waduk PLTA Koto Panjang yang difungsikan sebagai out let air waduk. Kondisi ini diduga menyebabkan unsur hara yang terdapat pada stasiun II ikut keluar seiring dengan keluarnya air waduk. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata total DIN yang jumlah konsentrasinya lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi rata-rata total DIN pada stasiun I (Lampiran 9). Hal yang sama juga kemungkinan terjadi pada fitoplankton yang diduga ikut hanyut keluar seiring dengan keluarnya air waduk. Keberadaan unsur hara di perairan lebih tepat menggambarkan hubungan kelimpahan fitoplankton di suatu perairan dan biasanya perairan-perairan yang memiliki unsur hara yang tinggi selalu diikuti dengan kelimpahan fitoplankton yang tinggi. Ini terlihat dari nilai kelimpahan fitoplankton pada stasiun I yang lebih tinggi dibandingkan stasiun II (Lampiran 9). Fleming (1975, diacu dalam Nur 2005) menjelaskan terdapat hubungan kualitatif dan kuantitatif antara ketersediaan konsentrasi unsur hara dengan produksi biologi fitoplankton di perairan tawar, dimana peningkatan unsur hara selalu diikuti dengan peningkatan produksi tumbuh fitoplankton.
Tabel 4 Nilai rata-rata unsur hara perperiode dengan kedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Stasiun
Periode 1 2 3 4 1 2 3 4
I
II
NO3-N 0.0275 0.0892 0.1571 0.2139 0.0122 0.0835 0.0374 0.0338
Unsur Hara (mg/l) NO2-N NH3-N DIN 0.0159 0.1237 0.6684 0.0068 0.0545 0.6019 0.0164 0.1212 1.1797 0.0121 0.2186 1.7786 0.0129 0.0873 0.4497 0.0204 0.1003 0.8169 0.0152 0.4115 1.8563 0.0079 0.0983 0.5596
PO4-P 0.9821 0.1604 0.4516 0.6423 0.6079 0.1428 0.1166 0.3617
Untuk distribusi vertikal DIN juga masih terlihat adanya variasi yang cukup tinggi terutama pada unsur ammonia antara stasiun I dengan stasiun II. Tingginya variasi DIN yang didapat selama penelitian diduga karena tingginya pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap perairan waduk dan sekitarnya seperti penebangan hutan, pembukaan lahan pertanian, transportasi air, perikanan budidaya dan tangkap, industri kecil, dan pariwisata. Banyak aktivitas tersebut telah memberikan masukkan unsur hara keperairan dalam jumlah yang cukup besar. Tabel 5 Nilai rata-rata unsur hara untuk setiap kedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Stasiun
I
II
Kedalaman Kedalaman Secchi (m) Permukaan 0.2 ½ Secchi 1.5 Secchi 3 K-1 m 4 Permukaan 0.2 ½ Secchi 2 Secchi 4 K-1 m 5
NO3-N 0.0857 0.3352 0.0560 0.0110 0.0229 0.1126 0.0185 0.0122
Unsur Hara (mg/l) NO2-N NH3-N 0.0099 0.0652 0.0106 0.0973 0.0138 0.1071 0.0169 0.2484 0.0086 0.0613 0.0142 0.1336 0.0146 0.1338 0.0191 0.3687
PO4-P 0.2213 0.7805 0.6973 0.5373 0.3677 0.1133 0.2709 0.4772
Catatan : K -1 m adalah kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi.
Nitrat-Nitrogen (NO3-N) Nitrat merupakan bentuk nitrogen utama di perairan alami, sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Hasil dari pengamatan nitrat diperoleh rata-rata nilai nitrat pada stasiun I dan II serta untuk masing-masing kedalaman inkubasi
sangat bervariasi. Untuk stasiun I nilai nitrat untuk setiap periode pengamatan cenderung mengalami peningkatan, rata-rata berkisar 0.0275 mg/l (stasiun I, periode 1) – 0.2139 mg/l (stasiun I, periode 4) (Tabel 4). Peningkatan nitrat ini diduga dari banyaknya masukkan bahan organik yang merupakan hasil sisa-sisa pakan ikan yang berasal dari KJA yang ada di sekitar stasiun I. Nitrat pada umumnya merupakan nitrogen anorganik yang terbanyak di ekosistem perairan. Walaupun demikian, jika dilihat dari jumlah konsentrasi nitrogen dalam bentuk nitrat adalah sangat kecil yaitu sekitar ± 0.3 mg/l pada perairan tidak tercemar oleh limbah organik. Tetapi, pada perairan yang tercemar oleh limbah organik, kandungan nitrat akan meningkat secara nyata. Untuk distribusi vertikal rata-rata nitrat di setiap kedalaman inkubasi di stasiun I berkisar 0.0110 mg/l (stasiun I, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 0.3352 mg/l (stasiun I, ½ Secchi) (Tabel 5; Gambar 5). Tingginya nilai NO3-N pada kedalaman inkubasi ½ Secchi ini diikuti dengan tingginya kelimpahan fitoplankton yang ditemukan pada kedalaman tersebut walaupun tidak setinggi kelimpahan fitoplankton pada permukaan perairan. (Lampiran 9). Pada penelitian sebelumnya di perairan yang sama PPLH-UNRI (2003) membagi perairan menjadi tiga kedalaman yaitu permukaan, pertengahan dan dasar perairan berurutan mendapatkan nilai nitrat sebesar 0.443 mg/l, 0.811 mg/l dan 0.756 mg/l berarti konsentrasi nitrat mengalami penurunan. Untuk stasiun II rata-rata NO3-N perperiode berkisar 0.0122 mg/l (stasiun II, periode 1) – 0.0835 mg/l (stasiun II, periode 2) (Tabel 4) dimana nilai ini lebih kecil bila dibandingkan pada stasiun I. Diduga karena stasiun II berada di hilir waduk dan letaknya jauh dari aktifitas masyarakat seperti KJA dan lain-lain, akibatnya daerah ini kurang mendapat unsur hara tambahan. Hal ini dikarenakan stasiun II merupakan daerah yang dikhususkan untuk kegiatan PLTA sehingga tidak diperbolehkan untuk kegiatan lainnya. Sementara itu rata-rata nitrat perkedalaman inkubasi di stasiun II berkisar 0.0122 mg/l (stasiun II, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 0.1126 mg/l (stasiun II, ½ Secchi) (Tabel 5; Gambar 5). Vollenweider (1974) mengklasifikasikan kesuburan perairan berdasarkan kandungan nitrat yaitu, 0.0 – 1.0 mg/l dikategorikan sebagai perairan yang kurang subur, 1.0 – 5.0 mg/l di kategorikan sebagai perairan yang kesuburan sedang dan 5.0 – 50 mg/l dikategorikan sebagai perairan dengan kesuburan tinggi. Berdasarkan
klasifikasi ini dapat dinyatakan bahwa perairan Waduk PLTA Koto Panjang merupakan perairan yang kurang subur.
Nitrat (mg NO3-N/l) 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0
K e d a la m a n (m )
1 2 3
Stasiun I Stasiun II
4 5 6
Gambar 5 Pola distribusi vertikal konsentrasi nitrat di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Nitrit-Nitrogen (NO2-N) Kandungan nitrit untuk stasiun I selama penelitian rata-rata berkisar 0.0068 mg/l (stasiun I, periode 2) – 0.0164 mg/l ( stasiun I, periode 3) (Tabel 4). Sementara itu berdasarkan kedalaman inkubasi rata-rata nitrit berkisar 0.0099 mg/l (stasiun I, permukaan perairan) – 0.0169 mg/l (stasiun I, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) (Tabel 5; Gambar 6). Ini diduga karena pada kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi telah terjadi penurunan oksigen terlarut sementara bagian permukaan perairan masih memiliki kandungan oksigen yang sangat tinggi. Artinya rendahnya kandungan NO2-N pada permukaan perairan berkaitan erat dengan sifat nitrit yang tidak stabil dan merupakan bentuk sementara dalam proses nitrifikasi ammonia, sehingga ada kemungkinan sebahagian NO2-N telah teroksidasi menjadi NO3-N karena kandungan oksigen terlarut yang mendukung proses oksidasi tersebut. Wetzel (1983) menyatakan konsentrasi NO2-N akan lebih rendah pada bagian permukaan perairan dengan kandungan oksigen terlarut tinggi daripada di bagian permukaan perairan lainnya dengan kandungan oksigen terlarut
rendah. Sejalan dengan pernyataan di atas Ruttner (1973) menyatakan bahwa distribusi NO2-N sangat berkaitan erat dengan distribusi oksigen di suatu perairan. Pada stasiun II rata-rata konsentrasi nitrit perperiode berkisar 0.0079 mg/l (stasiun II, periode 4) – 0.0204 mg/l (stasiun II, periode 2) (Tabel 4). Berdasarkan kedalaman inkubasi rata-rata berkisar 0.0086 mg/l (stasiun II, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 0.0191 mg/l (stasiun II, permukaan perairan) (Tabel 5; Gambar 6). Sama halnya dengan stasiun I nilai nitrit tertinggi juga terdapat pada kedalaman 5 meter (1 meter di bawah kedalaman Secchi) sebesar 0.0191 mg/l dan terendah pada permukaan perairan (0.2 meter) sebesar 0.0086 mg/l. Namun secara umum berdasarkan kandungan nitrit yang diperoleh di kedua stasiun (I dan II) perairan Waduk PLTA Koto Panjang masih mendukung kehidupan organisme yang ada di dalamnya. Wickins (1976, diacu dalam Ameliawati 2003) kadar nitrit yang aman bagi kehidupan organisme air adalah kecil dari 0.5 mg/l.
Nitrit (mg NO2-N/l) 0
0.005
0.01
0.015
0.02
0.025
0
K e d a la m a n ( m )
1 2 3
Stasiun I Stasiun II
4 5 6
Gambar 6 Pola distribusi vertikal konsentrasi nitrit di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Ammonia-Nitrogen (NH3-N) Hasil pengamatan ammonia selama penelitian di kedua stasiun (I dan II) untuk setiap periode rata-rata berkisar 0.0545 mg/l (stasiun I, periode 2) – 0.2186 mg/l (stasiun I, periode 4) untuk stasiun I dan 0.0873 mg/l (stasiun II, periode 1) – 0.4115 mg/l (stasiun II, periode 3) untuk stasiun II (Tabel 4). Kisaran nilai ammonia
yang diperoleh ini lebih besar dibandingkan dengan nilai ammonia yang di peroleh Nur (2005) yang mendapatkan konsentrasi ammonia sebesar 0.04 mg/l. Kondisi ini diduga telah terjadi penumpukan NH3 di dalam perairan karena banyak sisa-sisa pakan dan feses ikan yang berasal dari keramba masuk ke dalam badan
air.
Akibatnya
terjadi
penumpukan
bahan
organik
tersebut
yang
menyebabkan terjadinya proses dekomposisi oleh mikroorganisme sehingga menghasilkan ammonia yang cukup tinggi dan jumlahnya semakin lama semakin meningkat di perairan. Boyd (1982) menyatakan keberadaan ammonia di perairan merupakan hasil proses dekomposisi dari bahan organik yang banyak mengandung senyawa nitrogen oleh mikroba, ekresi organisme, reduksi nitrit oleh bakteri, dan kegiatan pemupukan. Berdasarkan distribusi ammonia secara vertikal di kedua stasiun penelitian terlihat pola yang sama, dimana konsentrasi ammonia dari permukaan sampai kedalaman perairan menunjukkan jumlah yang semakin tinggi (Gambar 7). Untuk stasiun I konsentrasi ammonia berkisar 0.0652 mg/l (stasiun I, permukaan perairan) – 0.2484 mg/l (stasiun I, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) (Tabel 5). Sejalan dengan stasiun I, pada stasiun II rata-rata ammonia perkedalaman inkubasi berkisar 0.0613 mg/l (stasiun II, permukaan perairan) – 0.3687 mg/l (stasiun II, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) (Tabel 5). Welch (1980) kandungan ammonia akan bertambah seiring dengan bertambahnya kedalaman perairan. Penambahan ammonia dari dasar perairan melalui proses dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri yang selalu menghasilkan ammonia. Secara umum terlihat kandungan ammonia di kedua stasiun I dan II terutama untuk kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi sudah melewati konsentrasi maksimal yaitu 0.06 mg/l. Meskipun demikian (Boyd 1982) menyatakan konsentrasi ammonia yang bersifat toksit bagi sebahagian besar biota perairan berkisar 0.6 – 2.0 mg/l. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dikatakan perairan Waduk PLTA Koto Panjang masih mendukung kehidupan organisme perairan.
Ammonia (mg NH3-N/l) 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0
K e d a la m a n ( m )
1 2 Stasiun I
3
Stasiun II
4 5 6
Gambar 7 Pola distribusi vertikal konsentrasi ammonia di perairan Waduk PLTA Koto Panjang.
Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) Ortofosfat (PO4-P) Hasil rata-rata kisaran konsentrasi fosfat yang diperoleh untuk setiap periode di kedua stasiun I dan II menunjukkan nilai yang beragam. Pada stasiun I rata-rata fosfat berkisar 0.1604 mg/l (stasiun I, periode 2) – 0.9821 mg/l (stasiun I, periode 1) (Tabel 4) dengan rata-rata ortofosfat perkedalaman inkubasi berkisar 0.2213 mg/l (stasiun I, permukaan perairan) – 0.7805 mg/l (stasiun I,
½ Secchi) (Tabel 5;
Gambar 7). Untuk stasiun II kisaran rata-rata ortofosfat 0.1166 mg/l (stasiun II, periode 3) – 0.6079 mg/l (stasiun II, periode 1) (Tabel 4) dengan rata-rata ortofosfat perkedalaman inkubasi berkisar 0.1133 mg/l (stasiun II, ½ Secchi) – 0.4772 mg/l (stasiun II, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) (Tabel 5; Gambar 8). Konsentrasi ortofosfat ini lebih kecil dibandingkan dengan yang ditemukan PPLH-UNRI (2003) yang membagi waduk menjadi tiga kedalaman yaitu permukaan, pertengahan dan dasar perairan. Nilai tersebut berurutan yaitu 0.600 mg/l, 1.055 mg/l, dan 1.217 mg/l. Walaupun nilai fosfat yang diperoleh lebih kecil dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, namun konsentrasi fosfat masih dalam kategori
cukup tinggi. Klasifikasi fosfat di perairan yaitu 0.00 – 0.02 mg/l adalah perairan dengan kesuburan rendah, konsentrasi berkisar 0.02 – 0.05 mg/l kesuburan sedang, dan konsentrasi 0.05 – 0.20 mg/l kesuburan perairan tinggi dan lebih dari 0.20 mg/l kesuburan sangat tinggi (Poernomo & Hanafi 1982). Konsentrasi fosfat yang cukup tinggi dikarenakan maraknya aktifitas KJA dan juga disebabkan oleh banyaknya pembukaan lahan baru untuk perkebunan yang dilakukan oleh masyarakat. Pemupukan merupakan salah satu kegiatan pertanian dan perkebunan yang cukup memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan konsentrasi fosfat di perairan. Melalui hujan ataupun aliran air permukaan diduga sisa-sisa hasil pemupukan dari daerah pertanian memasuki perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Millero dan Sohn (1991) menguraikan bahwa pertumbuhan semua jenis fitoplankton tergantung konsentrasi ortofosfat, bila konsentrasi ortofosfat dibawah 0.009 mg/l maka perkembangan sel akan terganggu. Sementara itu, untuk pertumbuhan optimal fitoplankton membutuhkan konsentrasi ortofosfat berkisar dari 0.27 – 5.51 mg/l. Maka dapat disimpulkan konsentrasi fosfat di perairan Waduk PLTA Koto Panjang berada pada konsentrasi yang mendukung kehidupan organisme fitoplankton.
Fosfat (mg PO4-P/l) 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
0
K e d a la m a n ( m )
1 2 3
Stasiun I Stasiun II
4 5 6
Gambar 8 Pola distribusi vertikal konsentrasi ortofosfat di perairan Waduk PLTA Koto Panjang.
Struktur Komunitas Fitoplankton Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton Genera fitoplankton yang ditemukan di perairan Waduk PLTA Koto Panjang selama penelitian sebanyak 37 genera yang mewakili 6 kelas, yaitu Chlorophyceae, Cyanophyceae,
Bacillariophyceae,
Xanthophyceae,
Dinophyceae
dan
Chrysophyceae yang tersebar di seluruh kedalaman inkubasi di kedua stasiun penelitian. Genera fitoplankton dari kelas Chlorophyceae merupakan genera yang paling banyak ditemukan di semua kedalaman inkubasi baik di stasiun I maupun di stasiun II. Jumlah masing-masing genera perkelas secara berturut-turut adalah 16 genera Chlorophyceae, 12 genera Cyanophyceae, 5 genera Bacillariophyceae, 2 genera Xanthophyceae, 1 genera Dinophyceae dan 1 genera Chrysophyceae (Tabel 6; Lampiran 5, 6, 7 dan 8). Tetapi berdasarkan jumlah kelimpahan individu pergenara terbanyak adalah dari kelas Cyanophyceae Nur (2005) pada lokasi yang sama juga menemukan jumlah kelas yang sama, dengan total 31 genera. Dimana dominasi Cyanophyceae terlihat dengan jelas. Hal yang sama juga didapatkan Baksir (1999) di perairan Waduk Cirata dengan 4 kelas yang terdiri dari 23 genera dengan konsentrasi fosfat di atas 0.066 mg/l sudah terlihat dominasi dari kelas Cyanophyceae. Tabel 6 Jumlah genera fitoplankton perperiode di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Stasiun
I
II
Periode
Chloro phyceae
Cyano phyceae
1 2 3 4 1 2 3 4
14 16 14 15 15 16 14 15
12 12 11 11 12 11 12 11
Kelas Fitoplankton Bacillario Xantho phyceae phyceae
5 5 5 4 5 5 5 5
2 2 1 2 2 2 1 2
Dino phyceae
Chryso phyceae
1 1 1 1 1 1 1 1
1 1 1 1 1 1 1 1
Ankistrodesmus sp, Stigeoclonium sp, Uronema sp, Gonatozygon sp, Chlorella sp, Crucigenia sp Lobomonas sp, Cosmarium sp, Schroederia sp, Closterium sp, Chlorococcum sp, Pleurotaenium sp, Characium sp, Chodatella sp,
Pediastrum sp dari kelas Chlorophyceae merupakan penyusun utama komunitas fitoplankton di seluruh lokasi penelitian baik di stasiun I dan II. Genera ini menyebar pada seluruh lapisan kolom air dari permukaan (0.2 meter) sampai pada kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi (kedalaman inkubasi). Penyusunan komunitas selanjutnya dari kelas Cyanophyceae yaitu genera Oscillatoria sp, Calothrix sp, Anabaena sp, Microcystis sp, Spirulina sp, Phormidium sp, Dactylococcopsis sp, Hammatoidea sp, Heterothrix sp. Sedangkan dari kelas Bacillariophyceae adalah Pinnularia sp, Navicula sp, Diatoma sp. Selanjutnya dari kelas Xanthophyceae yang diwakili oleh Characiopsis sp dan Tribonema sp. Terakhir, dari kelas Dinophyceae dan Chrysophycea yang masing-masing diwakili oleh satu genera yaitu Peridinium sp dan Dinobryon sp (Lampiran 5, 6, 7 dan 8). Genera-genera tersebut merupakan genera yang sering ditemukan pada waktu pengamatan. Tetapi, ada juga beberapa genera yang sesekali muncul selama penelitian seperti Dictyosphaerium sp, Raphidiopsis sp, dan Surirella sp. Kebanyakan genera fitoplankton yang ditemukan berbentuk filamen dan berkoloni serta jenis yang tidak mempunyai daya gerak, dan pada umumnya dijumpai di perairan tawar. Ruttner (1973) menyatakan komposisi jenis fitoplankton yang umum dijumpai di perairan tawar berasal dari kelas Cyanophyceae, Chlorophyceae, Bacillariophyceae, Dinophyceae, Chrysophyceae, Eugleanophyceae dan Xanthophyceae. Sedangkan untuk kelas Cyanophyceae dan Chlorophyceae merupakan jenis yang paling dominan di perairan tawar tergenang. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Seller & Markland (1987) pada komunitas fitoplankton di perairan yang tergenang (khususnya perairan tawar seperti danau, waduk dan kolam) mempunyai kecenderungan di dominasi oleh genera-genera fitoplankton dari kelas Cyanophyceae dan Chlorophyceae. Kelimpahan fitoplankton yang ditemukan di kedua stasiun tidak jauh berbeda, dimana secara keseluruhan total kelimpahan fitoplankon tertinggi terdapat pada stasiun I sebesar 289.200 sel/l dibandingkan dengan stasiun II sebesar 204.960 sel/l (Lampiran 9). Sedangkan kelimpahan fitoplankton perperiode dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Nilai rata-rata Kelimpahan (sel/l) perperiode kelas fitoplankton di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Stasiun
I
II
Periode
Chloro phyceae
Cyano phyceae
1 2 3 4 1 2 3 4
3900 3563 2150 3475 2213 3163 3255 2400
19500 13813 10813 13013 9913 8715 12225 7638
Kelas Fitoplankton Bacillario Xantho phyceae phyceae
313 313 263 213 263 138 225 200
88 88 25 75 113 113 88 113
Dino phyceae
Chryso phyceae
125 88 50 38 50 113 50 50
38 75 100 38 100 100 63 125
Pada Tabel 7, kelimpahan rata-rata fitoplankton perkelas untuk tiap periode di stasiun I berkisar 25 – 19.500 sel/l sedangkan di stasiun II, rata-rata kelimpahan fitoplankton perkelas untuk tiap periode berkisar 50 – 12.225 sel/l. Tingginya kelimpahan fitoplankton di stasiun I disebabkan karena banyak unsur hara yang terdapat pada daerah tersebut dibandingkan dengan stasiun II (Lampiran 9). Unsur hara bukan hanya berasal dari perairan waduk tetapi juga berasal dari sisa-sisa aktivitas KJA yang berada tepat pada stasiun I, sehingga dapat dikatakan suplai unsur hara selalu tersedia setiap saat. Posisi stasiun I juga berada pada daerah yang terbuka sehingga cukup mendapat sinar matahari yang memungkinkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton yang cukup baik. Nybakken (1988) menyatakan bahwa ketersedian unsur hara dan cahaya yang cukup dapat digunakan oleh fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang. Distribusi kelimpahan secara vertikal fitoplankton tertinggi terdapat pada kedalaman permukaan perairan (0.2 meter) pada setiap stasiun (I dan II). Pada stasiun I kelimpahan total fitoplankton sebesar 289.200 sel/l paling banyak diwakili oleh kelas Cyanophyceae diikuti kelas Chlorophyceae, sedangkan untuk stasiun II dengan kelimpahan total fitoplankton sebesar 204.960 sel/l juga diwakili dari kelas yang sama pada stasiun I yaitu Cyanophyceae dan Chlorophyceae (Gambar 9; Lampiran 5,6,7 dan 8). Pada pengamatan pertama kelimpahan tertinggi fitoplankton secara vertikal untuk stasiun I terdapat di kedalaman ½ Secchi sebesar 35.650 sel/l dan terendah di kedalaman Secchi dan 1 meter di bawah kedalaman Secchi sebesar 15.700 sel/l (Lampiran 5). Untuk stasiun II kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat di
kedalaman permukaan perairan sebesar 15.650 sel/l dan terendah terdapat di kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi sebesar 8.200 sel/l (Lampiran 5). Pada pengamatan kedua kelimpahan tertinggi fitoplankton secara vertikal di stasiun I terdapat di kedalaman permukaan perairan sebesar 25.250 se/l dan terendah di kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi sebesar 13.400 sel/l (Lampiran 6). Untuk stasiun II kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat di kedalaman Secchi sebesar 15900 sel/l dan terendah pada kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi sebesar 6.610 sel/l (Lampiran 6). Pada pengamatan ketiga kelimpahan tertinggi fitoplankton secara vertikal untuk stasiun I terdapat di kedalaman permukaan perairan sebesar 17.500 sel/l dan terendah pada kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi sebesar 4.700 sel/l (Lampiran 7). Untuk stasiun II kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat di kedalaman permukaan perairan sebesar 22.450 sel/l dan terendah pada kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi sebesar 8.300 sel/l (Lampiran 7). Pada pengamatan keempat kelimpahan tertinggi fitoplankton secara vertikal untuk stasiun I terdapat di kedalaman permukaan perairan sebesar 22.100 sel/l dan terendah pada kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi sebesar 14.250 sel/l (Lampiran 8). Untuk stasiun II kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat di kedalaman Secchi sebesar 13.050 sel/l dan terendah pada kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi sebesar 7.300 sel/l (Lampiran 8). Komposisi fitoplankton pada kolom air yang selalu berubah-ubah dipengaruhi oleh
kemampuan
fitoplankton
dalam
memanfaatkan
cahaya.
Berdasarkan
kemampuan dalam memanfaatkan cahaya, maka fitoplankton dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu: 1) Fitoplankton tipe terang (Sun Type) dan 2) Fitoplankton tipe teduh (Shade Type). Fitoplankton tipe terang pada umumnya hidup di lapisan atas atau di bawah permukan perairan dan dalam melakukan proses fotosintesis secara efektif memerlukan cahaya yang tinggi. Fitoplankton tipe teduh pada umumnya hidup di bawah atau di dasar perairan dan dalam melakukan proses fotosintesis secara efektif memerlukan cahaya rendah. Jenis-jenis dari kelas Cyanophyceae pada umumnya banyak ditemukan di lapisan atas atau di bawah permukaan perairan (Seller & Markland 1987) sehingga genera-genera ini termasuk didalam fitoplankton tipe terang. Genera-genera dari kelas Chlorophyceae dan Bacillariophyceae pada umumnya banyak ditemukan dan
terakumulasi di lapisan termoklin (Wetzel 1983) dan genera-genera dari kelas Bacilliriophyceae paling banyak ditemukan pada lapisan dasar perairan yang masih terdapat cahaya (Wetzel 1983) sehingga termasuk dalam fitoplankton tipe teduh. Bierman (1989, diacu dalam Baksir 1999) menambahkan Cyanophyceae memiliki laju penenggelaman paling rendah, yaitu 0.15 m/ hari dibandingkan Cholorophyceae dan Bacillariophyceae dengan laju penenggelaman 0.40 m/ hari. Berarti Cyanophyceae mempunyai kemampuan mengapung paling tinggi. Menurut Basmi (1999) semua itu disebabkan Cyanophyceae memiliki pseudovacuola berisi gas yang menyebabkan ia dapat melayang-layang sehingga dekat dengan permukaan perairan. Walaupun demikian, hampir semua fitoplankton dapat menyebar di lapisan eufotik (Wetzel 1983) sehingga genera-genera fitoplankton tipe teduh pada kondisi tertentu dapat muncul di permukaan perairan, demikian juga sebaliknya genera-genera fitoplankton tipe terang bisa berada di lapisan bawah perairan. Dari empat kali pengamatan terlihat adanya pergantian kelimpahan tertinggi individu fitoplankton antara kedalaman permukaan (0.2 meter) dengan kedalaman ½ Secchi (1.5 meter untuk stasiun I dan 2 meter untuk stasiun II). Adanya pergantian ini, diduga karena fluktuasi kondisi lingkungan yang mengikuti kondisi alam, selain itu juga adanya perubahan fisik kimia perairan yang disebabkan tingginya aktifitas masyarakat, seperti kegiatan KJA, penebangan hutan dan juga transportasi yang menyebabkan terjadinya gangguan di perairan. Goldman dan Horne (1983) menyatakan terjadinya perubahan dominasi dan kelimpahan fitoplankton dalam suatu perairan disebabkan karena adanya perubahan kondisi fisik kimia perairan. Selanjutnya dikatakan juga, bahwa struktur komunitas fitoplankton mengalami perubahan dari tempat dan waktu kewaktu. Perubahan tersebut akan mencerminkan perkembangan komunitas secara keseluruhan baik keragaman maupun produktivitas. Variasi maupun perubahan komunitas tersebut tidak lain karena adanya pengaruh faktor-faktor lingkungan. Bila diperhatikan pada Gambar 9, terlihat sangat jelas dominasi yang dilakukan oleh fitoplankton dari genera Cyanophyceae. Hampir di setiap kedalaman inkubasi selalu didominasi fitoplankton tersebut terutama di permukaan perairan yaitu 0.2 meter (Lampiran 10). Dominasi yang kuat dilakukan genera Cyanophyceae karena kemampuannya dalam memanfaatkan sinar matahari yang kuat terutama
pada permukaan perairan. Suhu perairan yang mencapai 33 oC (Tabel 2 dan 3) tidak membuat genera dari kelas Cyanophyceae kalah bersaing, seperti Oscillatoria sp, Calothrix sp, Anabaena sp, Microcystis sp, Spirulina sp yang terlihat dominan. Bahkan, terbukti dapat mengalahkan genera-genera dari kelas yang lain seperti pada Tabel 7. Adanya pelindung tubuh yang berupa lendir, diduga melindungi genera ini dari sengatan sinar matahari yang cukup tinggi. Kemampuan lain dari kelas Cyanophyceae adalah dalam memperoleh makanan. Fitoplankton dari jenis ini dapat memanfaatkan unsur hara sampai pada tahap yang paling kritis. Kelebihan ini menyebabkan organisme ini dapat bertahan hidup dalam kondisi lingkungan bagaimanapun. Wetzel (1983) hampir semua jenisjenis dari kelas Cyanophyceae di perairan danau mampu menyaingi fitoplankton lainnya dalam memanfaatkan nutrien. Selanjutnya Wetzel menjelaskan bahwa perairan dengan konsentrasi fosfat rendah (0.00 – 0.02 mg/l akan didominasi oleh Bacillariopyceae (Diatom), pada kondisi fosfat sedang (0.02 – 0.05 mg/l) akan didominasi Chlorophyceae, sedangkan pada saat konsentrasi fosfat tinggi yaitu diatas 0.10 mg/l maka akan didominasi oleh Cyanopyceae. Terbukti dengan ditemukannya nilai fosfat di perairan Waduk PLTA Koto Panjang rata-rata mencapai di atas 0.10 mg/l (Lampiran 9). Stasiun I
Stasiun II K e l i m pa ha n f i t op l a nk t on
K e l i m pa ha n f i t op l a nk t o n
( se l / l )
( se l / l ) 0
10000
20000
0
30000
Cyanophyceae
2
20000
Xant hophyceae
Xant hophyceae Dinophyceae
Cyanophyceae Bacillar iophyceae
Bacillar iophyceae
4
Dinophyceae Chr ysophyceae
Chr ysophyceae
4
15000
Chlor ophyceae
Chlor ophyceae
3
10000
0.2
0.2
1.5
5000
5
Gambar 9 Kelimpahan rata-rata fitoplankton berdasarkan kedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang.
Indeks Biologi Fitoplankton Parameter struktur komunitas fitoplankton dapat juga digunakan sebagai indikator kesuburan perairan dengan mempelajari indeks keanekaragaman (H') yang menunjukkan kekayaan jenis, indeks keseragaman (E) menunjukkan banyak jenis yang sama dan indeks dominansi (D) menunjukkan jumlah individu suatu jenis yang paling banyak di temukan dalam komunitas dan kelimpahan. Nilai indeks keanekaragaman fitoplankton untuk stasiun I yang di peroleh selama penelitian berkisar 2.49 (stasiun I, periode 3) – 2.69 (stasiun I, periode 2) (Tabel 8) sedangkan berdasarkan kedalaman inkubasi berkisar 2.39 (stasiun I, ½ Secchi) – 2.69 (stasiun I, Secchi) (Tabel 9). Untuk stasiun II indeks keanekaragaman tiap periode berkisar antara 2.74 (stasiun II, periode 3) – 2.74 (stasiun II, periode 4) (Tabel 8) dan berdasarkan kedalaman inkubasi berkisar 2.42 (stasiun II, ½ Secchi) – 2.72 (stasiun II, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) (Tabel 9). Tabel 8 Indeks biologi fitoplankton di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Stasiun
I
II
Periode 1 2 3 4 1 2 3 4
H' 2.57 2.69 2.49 2.61 2.79 2.76 2.74 2.83
Indeks Biologi E 0.73 0.75 0.71 0.74 0.78 0.77 0.78 0.79
D 0.11 0.11 0.13 0.10 0.09 0.09 0.09 0.08
Tabel 9 Indeks biologi fitoplankton perkedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Stasiun
I
II
Kedalaman Kedalaman Secchi (m) Permukaan 0.2 ½ Secchi 1.5 Secchi 3 K-1 m 4 Permukaan 0.2 ½ Secchi 2 Secchi 4 K-1 m 5
H' 2.45 2.57 2.69 2.39 2.44 2.42 2.60 2.72
Indeks Biologi E 0.71 0.74 0.78 0.72 0.71 0.71 0.77 0.79
Catatan : K -1 m adalah kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi.
D 0.12 0.11 0.09 0.16 0.13 0.10 0.10 0.09
Tabel 9 menunjukkan bahwa indeks rata-rata keanekaragaman antara kedua stasiun
(I
dan
II)
baik
secara
periode
maupun
perkedalaman
inkubasi
memperlihatkan nilai yang tidak jauh berbeda. Nilai rata-rata keanekaragaman tertinggi untuk setiap periode terdapat pada stasiun II sebesar 2.78 dibandingkan dengan stasiun I sebesar 2.59 sedangkan berdasarkan kedalaman inkubasi pada stasiun II rata-rata sebesar 2.55 dan stasiun I sebesar 2.53. Walaupun demikian, berdasarkan kisaran indeks keanekaragaman yang menyatakan apabila H’ < 2.3062 adalah keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas rendah, 2.3062 < H’< 6.9078 keanekaragaman sedang dan kestabilan komunitas sedang dan H’ > 6.9078 keanekaragaman tinggi dan kestabilan komunitas tinggi. Maka perairan Waduk PLTA Koto Panjang dalam kategori sedang yang berarti kestabilan komunitas sedang dengan jumlah jenis dan pemerataan penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang. Indeks keseragaman di stasiun I untuk setiap periode berkisar antara 0.71 (stasiun I, periode 3) – 0.75 (stasiun I, periode 2) dan stasiun II berkisar 0.77 (stasiun II, periode 2) – 0.79 (stasiun II, periode 4) (Tabel 8) sedangkan berdasarkan kedalaman inkubasi di stasiun I berkisar 0.71 (stasiun I, permukaan perairan) – 0.78 (stasiun I, Secchi) dan di stasiun II berkisar 0.71 (stasiun II, permukaan perairan dan Secchi) – 0.79 (stasiun II, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) (Tabel 9). Sama halnya dengan keanekaragaman, nilai keseragaman tertinggi baik perperiode ataupun perkedalaman inkubasi terdapat pada stasiun II. Namun secara umum nilai keseragaman yang diperoleh di kedua stasiun baik secara perperiode maupun perkedalaman inkubasi menunjukkan nilai yang sangat tinggi. Artinya semakin tinggi nilai indeks keseragaman di suatu perairan (mendekati 1) maka keseragaman populasi semakin tinggi, berarti penyebaran jumlah individu setiap spesies sama dan tidak ada yang dominan dari satu jenis dengan kelimpahan masing-masing jenis merata atau tidak jauh berbeda. Nilai indeks dominasi yang diperoleh selama penelitian untuk tiap periode di stasiun I berkisar 0.10 (stasiun I, periode 4) – 0.13 (stasiun I, periode 3) (Tabel 8) sedangkan menurut kedalaman inkubasi berkisar 0.09 (stasiun I, Secchi) – 0.16 (stasiun I, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) (Tabel 9). Untuk stasiun II berkisar 0.08 (stasiun II, periode 4) – 0.09 (stasiun II, periode 1, 2 dan 3 ) (Tabel 8) dengan nilai dominasi kedalaman inkubasi berkisar 0.09 (stasiun II, 1 meter di bawah
kedalaman Secchi) – 0.13 (stasiun II, permukaan) (Tabel 9). Berarti di dalam struktur komunitas biota yang diamati tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi spesies lainnya.
Klorofil-a Klorofil-a adalah katalisator fotosintesis yang penting dan terdapat di alam sebagai pigmen hijau dalam semua jaringan tubuh tumbuhan berfotosintesis. Keadaan ini membuat klorofil-a berfungsi sebagai pigmen utama penyerap cahaya dalam proses fotosintesis Konsentrasi klorofil-a yang teramati di kedua stasiun (I dan II) untuk setiap periode menunjukkan nilai yang bervariasi (Tabel 10). Kisaran rata-rata konsentrasi klorofil-a untuk stasiun I yaitu 18.49 mg chl-a/m3 (stasiun I, periode 2) – 21.94 mg chl-a/m3 (stasiun I, periode 1) (Tabel 10). Untuk stasiun II rata-rata konsentrasi klorofil-a berkisar 18.29 mg chl-a/m3 (stasiun II, periode 4) – 23.21 mg chl-a/m3 (stasiun II, periode 2). Nilai konsentrasi klorofil-a yang didapat selama penelitian ini lebih tinggi dari pada nilai klorofil-a yang di peroleh Nur (2005) pada perairan yang sama sebesar 12 – 15.9 mg chl-a/m3. Sementara Akmal (2006) membagi perairan pada Danau Buatan Limbungan menjadi dua kedalaman, yaitu permukaan dan kedalaman Secchi mendapatkan konsentrasi klorofil-a berturut turut sebesar 33.3 dan 24. 2 mg chl-a/m3. Tabel 10 Nilai rata-rata konsentrasi klorofil-a fitoplankton perperiode di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Stasiun I
II
Periode 1 2 3 4 1 2 3 4
Klorofil-a (mg chl-a/m3) 21.94 18.49 18.89 19.43 18.52 23.21 20.70 18.29
Untuk nilai konsentrasi klorofil-a perkedalaman inkubasi memperlihatkan pola yang hampir mirip atau cenderung sama untuk kedua stasiun pengamatan (Gambar 10). Maksudnya konsentrasi klorofil-a tertinggi di kedalaman permukaan (0.2 meter)
sampai dengan kedalaman ½ Secchi dan konsentrasi terendah masing-masing terdapat pada kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi (Lampiran 11). Pola ini terlihat jelas mengikuti pola distribusi vertikal fitoplankton (Gambar 9) yang cenderung menurun dengan bertambahnya kedalaman.
0
10
20
30
0 1 2 3
Stasiun I Stasiun II
4 5 6
Gambar 10 Konsentrasi klorofil-a perkedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Gambar 10 menunjukkan bahwa cahaya sangat memegang peranan penting dalam proses fotosintesis sehingga daerah-daerah yang memiliki cahaya banyak selalu diikuti dengan produktivitas primer yang tinggi. Ini artinya bahwa semakin banyak cahaya matahari yang masuk ke perairan menyebabkan fitoplankton dapat tumbuh dengan baik dan dapat melakukan proses fotosintesis secara optimal. Goes et al. (2004) menambahkan bila konsentrasi klorofil-a lebih besar dari 1 mg chl-a/m3 menunjukkan sebagai musim pertumbuhan fitoplankton. Unsur hara memegang peranan penting dalam peningkatan pertumbuhan dan produksi fitoplankton yang nantinya akan berimbas pada peningkatan klorofil-a di perairan. Selain itu, tidak boleh dilupakan bahwa disamping nutrisi mineral yang dibutuhkan sebagai kontrol produksi, satu macam atau lebih vitamin juga sangat diperlukan sebagai faktor penting untuk pertumbuhan fitoplankton. Secara umum berdasarkan kandungan klorofil-a yang didapat maka perairan Waduk PLTA Koto Panjang dikategorikan sebagai perairan tipe eutrofik. Sesuai dengan pendapat Welch (1980) menyatakan selain untuk menduga biomassa algae,
klorofil juga dapat digunakan dalam menentukan kesuburan perairan. Kisaran jumlah klorofil-a 0 – 4 mg chl-a/m3 merupakan ciri perairan oligotrofik, sedangkan kisaran 5 – 10 mg chl-a/m3 merupakan perairan mesotrofik dan kisaran 10 – 100 mg chl-a/m3 merupakan perairan tipe eutrofik.
Produktivitas Primer Fitoplankton Hasil perhitungan rata-rata produktivitas primer dari setiap periode menunjukkan produktivitas primer kotor lebih besar jika dibandingkan dengan nilai produktivitas primer bersih. Untuk produktivitas primer bersih di stasiun I selama penelitian berkisar 128.6 C/m3 per 5 jam (stasiun I, periode 1) – 150 mg C/m3 per 5 jam (stasiun I, periode 3) sedangkan rata-rata nilai produktivitas primer kotor berkisar 175 C/m3 per 5 jam (stasiun I, periode 2) – 224.9 mg C/m3 per 5 jam (stasiun I, periode 4) (Tabel 11). Untuk stasiun II rata-rata produktivitas primer bersih berkisar 121.9 C/m3 per 5 jam (stasiun II, 1 dan 2) – 171.9 mg C/m3 per 5 jam (stasiun II, periode 3) sedangkan rata-rata nilai produktivitas primer kotor berkisar 175 C/m3 per 5 jam (stasiun II, periode 2) – 256.3 mg C/m3 per 5 jam (stasiun, II periode 3) (Tabel 11). Tabel 11 Nilai rata-rata produktivitas primer fitoplankton perperiode di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Stasiun Periode
I
II
1 2 3 4 1 2 3 4
Produktivitas Primer Bersih (mg C/m3 per 5 jam) 128.6 131.3 150.0 140.6 121.9 121.9 171.9 150.0
Produktivitas Primer Kotor (mg C/m3 per 5 jam) 178.1 175.0 223.5 224.9 184.4 175.0 256.3 250.0
Pada Tabel 11 terlihat nilai produktivitas primer bersih di stasiun I dan II tertinggi terdapat pada periode ke 3 (150.0 dan 171.9 mg C/m3 per 5 jam), dan nilai terendah terdapat pada periode ke 2 (128.6 dan 121.9 mg C/m3 per 5 jam). Untuk produktivitas primer kotor nilai tertinggi di stasiun I terdapat pada periode ke 4 (224.9 mg C/m3 per 5 jam) dan terendah pada periode ke 2 (175.0 mg C/m3 per 5 jam).
Sedangkan di stasiun II nilai tertinggi terdapat pada periode ke 3 (256.3 mg C/m3 per 5 jam) dan terendah pada periode ke 2 (175.0 mg C/m3 per 5 jam). Walaupun terdapat sedikit perbedaan peringkat (tinggi dan rendah) pada nilai produktivitas primer tiap periode, namun nilai yang dtunjukkan hampir sama atau tidak jauh berbeda. Hal ini diduga berhubungan dengan kekeruhan dan TSS yang ditemukan (Tabel 2). Apabila nilai kekeruhan yang ditemukan rendah maka pada umumnya diikuti dengan peningkatan produktivitas primer bersih dan sebaliknya. Misalnya, kekeruhan terendah umumnya terdapat pada periode ke 3 dan pada saat yang bersamaan produktivitas primer tertinggi terdapat pada periode tersebut. Clingan dan Norton (1987, diacu dalam Putri 2006) menyebutkan keberadaan bahan-bahan tersuspensi di dalam air akan meningkatkan kekeruhan dan menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan airnya sehingga menyebabkan produktivitas primer semakin menurun. Pada kondisi seperti ini diduga, di stasiun I yang memiliki nilai produktivitas terendah telah terjadi proses pengurangan cahaya seperti absorbsi (penyerapan cahaya), reflection (pemantulan cahaya) dan scattering (pemencaran cahaya) yang lebih besar dibandingkan stasiun II, sehingga menyebabkan cahaya yang masuk kedalam perairan terhalang. Akibatnya cahaya hanya mampu mencapai beberapa meter dari permukaan perairan (3 meter). Sementara pada stasiun II rendahnya kekeruhan menyebabkan cahaya masuk ke perairan lebih jauh kedalam kolom air (4 meter) dan terus berkurang sampai pada kedalaman tertentu, sehingga cahaya akan menjadi faktor penghambat (cahaya penghambat). Untuk kedalaman inkubasi didapat rata-rata produktivitas bersih di stasiun I berkisar 109.4 mg C/m3 per 5 jam (stasiun I, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 156.3 mg C/m3 per 5 jam (stasiun I, ½ Secchi) sedangkan untuk rata-rata produktivitas primer kotor berkisar antara 165.7 mg C/m3 per 5 jam (stasiun I, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 229.7 mg C/m3 per 5 jam (stasiun I, ½ Secchi). Untuk stasiun II rata-rata produktivitas primer bersih perkedalaman inkubasi berkisar 125 mg C/m3 per 5 jam (stasiun II, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 162.5 mg C/m3 per 5 jam (stasiun II, ½ Secchi) sedangkan rata-rata produktivitas primer kotor berkisar 193.8 mg C/m3 per 5 jam (stasiun II, 1 meter di bawah kedalaman Secchi) – 242.2 mg C/m3 per 5 jam (stasiun II, ½ Secchi) (Tabel 12).
Tabel 12 Nilai rata-rata produktivitas primer fitoplankton perkedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang.
Stasiun
I
II
Kedalaman Kedalaman Secchi (m) Permukaan ½ Secchi Secchi K-1 m Permukaan ½ Secchi Secchi K-1 m
0.2 1.5 3.0 4.0 0.2 2.0 4.0 5.0
Produktivitas Primer Bersih (mg C/m3 per 5 jam) 153.6 156.3 131.3 109.4 143.8 162.5 134.4 125.0
Produktivitas Primer Kotor (mg C/m3 per 5 jam) 217.2 229.7 189.0 165.7 218.8 242.2 210.9 193.8
Catatan : K -1 m adalah kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi.
Pola vertikal produktivitas primer yang didapat untuk kedua stasiun (I dan II) menunjukkan pola yang sama dengan nilai produktivitas primer tertinggi yang terdapat pada kedalaman inkubasi ½ Secchi, walaupun dengan jumlah yang bervariasi. Produktivias primer bersih pada permukaan perairan sangat tinggi dan semakin tinggi pada kedalaman ½ Secchi, namun setelah memasuki kedalaman Secchi mulai mengalami penurun dan terus menurun ketika sampai pada kedalaman 1 meter di bawah kedalaman Secchi (Gambar 11). Diduga karena semakin menghilangnya cahaya dan berkurangnya unsur hara yang merupakan kebutuhan penting bagi pertumbuhan fitoplankton. Hasil yang sama juga ditemukan Baksir (1999)
yang
melakukan
penelitian
di
perairan
bendungan
Waduk
Cirata
mendapatkan bahwa produktivitas tertinggi berada pada kedalaman 200 cm (2 meter) dari permukaan perairan dengan nilai sebesar 239.58 mg C/ m3 per 4 jam. Tingginya nilai produktivitas primer bersih pada kedalaman ½ Secchi di kedua stasiun (I dan II) ada hubungannya dengan berbagai faktor lingkungan seperti cahaya matahari, unsur hara dan fitoplankton. Pertama, persen cahaya yang didapat selama penelitian berturut sebesar 70.00, 43.33, 61.67 dan 35.83 % per 12 jam (Lampiran 1). Cahaya yang datang pertama kali akan masuk melalui permukaan perairan sehingga lapisan ini cepat panas dan paling panas bila dibandingkan dengan lapisan di bawahnya (Tabel 3). Nilai cahaya yang tinggi pada permukaan perairan ternyata tidak menyebabkan produktivitas primer tertinggi terdapat pada kedalaman inkubasi tersebut, walaupun kelimpahan fitoplankton terbanyak terdapat pada daerah ini. Kondisi ini diduga karena cahaya yang tinggi memang disenangi
oleh organisme berfotosintesis tetapi cahaya yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kematian pada organisme tersebut (photoinhibition). Maksudnya, apabila cahaya yang masuk ke perairan terlalu tinggi maka akan menyebabkan berkurangnya nilai produktivitas primer di perairan dan sebaliknya apabila cahaya yang masuk sedikit juga akan menghalangi produktivitas primer. Wetzel (1983) menyatakan bahwa intensitas sinar matahari yang besar dapat terjadi pada permukaan perairan sehingga dapat menghambat pertumbuhan dan laju fotosintesis fitoplankton. Apabila hal ini terjadi maka nilai produktivitas pada lapisan permukaan perairan Waduk PLTA Koto Panjang lebih kecil dari pada lapisan di bawahnya. Cushing (1975); Mann (1982); Valiela (1984); Parsons et al. (1984); Neale (1987) menambahkan umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan bertambahnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi), di atas nilai tersebut cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi). Sedangkan semakin kedalam perairan intensitas cahaya akan semakin berkurang dan merupakan cahaya pembatas sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi. Kedua, tingginya unsur hara yang di diperoleh (Lampiran 9) terdapat pada kedalaman ½ Secchi di kedua stasiun (I dan II) dibandingkan dengan kedalamankedalaman inkubasi yang lain.Ini menunjukkan adanya indikasi peran dari unsur hara dalam peningkatan produktivitas primer perairan. Walaupun sering kali hubungan yang ditunjukan antara produktivitas primer dan unsur hara selalu negatif, tetapi bukan berarti unsur hara tidak memberikan kontribusi dalam peningkatan produktivitas primer di perairan. Dari hasil analisis regresi (Tabel 13) terlihat nitrat masih menunjukkan korelasi yang linear walaupun dengan nilai koefisien determinasi (R2) yang kecil. Ketiga, sering sekali daerah-daerah yang memiliki kelimpahan fitoplankton yang tinggi selalu diikuti dengan produktivitas primer yang tinggi. Namun, pada penelitian ini kelimpahan fitoplankton tertinggi yang terjadi pada lapisan permukaan perairan tidak membuat produktivitas primer tertinggi juga terjadi pada kedalaman tersebut. Ternyata produktivitas primer tertinggi terjadi pada kedalaman ½ Secchi (Tabel 12; Gambar 9) yang memiliki kelimpahan fitoplankton tertinggi kedua sesudah permukaan. Ini semua bisa saja terjadi karena adanya kontribusi dari fitoplankton yang berukuran kecil seperti Ultraplankton (< 2 µm) dan Nanoplankton (2 – 20 µm).
Menurut Kaswadji et al. (1993, diacu dalam Rafii 2004) penyumbang terbesar produktivitas primer di perairan adalah dari fitoplankton jenis ultaraplankton dan nanoplankton yang menyumbang sebesar 56.06 %. Dikatakan juga hal ini mungkin saja terjadi akibat dari beberapa hal seperti dari ukuran nanoplankton dan ultraplankton yang sangat kecil sehingga tidak tertangkap oleh jaring plankton yang digunakan dan juga turut terukurnya detritus pada saat pengamatan.
Produktivitas Primer Bersih (mg C/m3 Per 5 jam) 0
50
100
150
200
250
300
0
K e d a la m a n (m )
1 2
Kotor S1 Kotor S2
3
Bersih S1
4
Bersih S2
5 6
Gambar 11 Pola distribusi vertikal produktivitas primer bersih dan kotor stasiun I dan II di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Nilai produktivitas primer bersih antara stasiun I dan stasiun II tidak berbeda nyata, sedangkan menurut kedalaman inkubasi berbeda nyata untuk stasiun I dan tidak berbeda nyata untuk stasiun II (Lampiran 12) pada taraf 0.05. Dari hasil uji lanjut Tukey (HSD) pada stasiun I ternyata nilai produktivitas primer bersih antara kedalaman 0.2 meter dengan 4 meter dan 1.5 meter dengan 4 meter menunjukkan perbedaan yang nyata ( Tabel 13; Lampiran 10). Tabel 13 Nilai rata-rata produktivitas primer bersih dengan kedalaman inkubasi stasiun I. Stasiun I
0.2 153.6250a
Kedalaman (meter) 1.5 3.0 156.2500a 131.2500ab
4.0 109.3750b
Catatan : Huruf superskrip dibelakang nilai standar deviasi yang berbeda pada setiap kolom menunjukkan adanya perbedaan nyata antara kedalaman (p<0.05)
Pada Tabel 13 menunjukkan umumnya di setiap kedalaman yang berbeda nilai produktivitas primer juga berbeda. Nilai rata-rata produktivitas primer bersih tertinggi di stasiun I berdasarkan kedalaman inkubasi terdapat pada kedalaman inkubasi permukaan perairan (0.2 meter) dan ½ Secchi (1.5 meter) (p>0.05). Kemudian nilainya semakin menurun pada kedalaman Secchi (3 meter) (p>0.05). Produktivitas primer semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman (1 meter di bawah kedalaman Secchi) dengan kedalaman 4 meter (p<0.05) (Lampiran 12). Pada umumnya profil vertikal penyebaran produktivitas primer mempunyai kurva yang menunjukkan suatu nilai maksimum pada kedalaman tertentu. Nilai maksimum yang terjadi pada lapisan yang lebih dalam bisa lebih baik daripada nilai maksimum yang terjadi pada lapisan permukaan, karena bisa jadi intensitas cahaya yang masuk ke lapisan dalam sesuai dengan kebutuhan fitoplankton untuk berfotosintesis (Khan 1980). Profil penyebaran produktivitas primer secara vertikal tersebut juga sangat dipengaruhi oleh kelimpahan atau penyebaran fitoplankton secara vertikal. Pada umumnya apabila kelimpahan fitoplankton sebagai organisme yang dapat melakukan proses fotosintesis besar maka nilai produktivitas primer juga besar. Tingginya nilai produktivitas primer bersih pada lapisan ½ Secchi di kedua stasiun I dan II juga didukung dengan tingginya rata-rata kelimpahan fitoplankton berturutturut sebesar 85.150 sel/l dan 57.800 sel/l (Lampiran 9). Kelimpahan fitoplankton ini tidak lepas dari banyaknya unsur hara yang terdapat di dalam kolom air, terutama unsur nitrat dan fosfat yang keberadaannya selalu tersedia setiap saat dalam jumlah yang cukup besar (Lampiran 9). Odum (1993) nilai produktivitas primer juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang lain seperti suhu dan ketersediaan unsur hara serta gas-gas terlarut.
Hubungan Produktivitas Primer Bersih dengan Unsur Hara Berdasarkan analisis regresi antara produktivitas primer bersih terhadap masing-masing unsur hara nitrat, nitrit, ammonia, DIN, dan DIP (ortofosfat) selama penelitian menunjukkan korelasi yang rendah. Hal ini diketahui dari nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh semuanya dibawah 50 % untuk kedua stasiun I dan II (Tabel 14; Gambar 12 dan 13). Kemudian juga diperjelas dari hasil uji sidik ragam untuk stasiun I yang hampir semua parameter uji memiliki derajat tidak signifikan p
(p value > 0.05 kecuali nitrat
dengan nilai p (p value < 0.05) yaitu p = 0.026,
sedangkan nitrit p = 0.273, ammonia p = 0.141, DIN p = 0.430 dan DIP p = 0.704 tidak signifikan pada taraf 0.05. Untuk stasiun II nilai p (p value) nitrat = 0.172, nitrit p = 0.403, ammonia p = 0.499, DIN p = 0.350 dan DIP p = 0.468 masingmasing tidak signifikan pada taraf 0.05. Tabel 14 Nilai regresi produktivitas primer bersih dengan unsur hara di perairan Waduk PLTA Koto Panjang (n = 16). Stasiun
I
II
Unsur Hara
Persamaan Regresi
Nitrat Nitrit Ammonia DIN DIP Nitrat Nitrit Ammonia DIN DIP
Y = 130.6 + 57.90 X Y = 149.3 - 912.6 X Y = 144.9 - 56.10 X Y = 133.0 + 17.47 X Y = 139.9 - 4.14 X Y = 134.5 + 166.2X Y = 148.1 - 474.9 X Y = 137.8 + 20.60 X Y = 135.1 + 27.40 X Y = 145.1 -12.09 X
Koefisien Determinasi (R2) 0.308 0.085 0.148 0.045 0.011 0.129 0.050 0.033 0.063 0.038
Derajat Signifikasi p < 0.05 p > 0.05 p > 0.05 p > 0.05 p > 0.05 p > 0.05 p > 0.05 p > 0.05 p > 0.05 p > 0.05
Nilai-nilai yang diperoleh menunjukkan bahwa regresi linear (Tabel 13) tidak dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara unsur hara (nitrat, nitrit dan ammonia), DIN dan DIP dengan produktivitas primer bersih. Dengan kata lain masing-masing unsur hara tersebut tidak secara nyata mempengaruhi produktivitas primer bersih kecuali nitrat pada stasiun I dengan R2 sebesar 0.308 dan nilai p (p value) = 0.026. Parsons et al. (1984) menyatakan ketersediaan unsur hara pada suatu perairan bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang dapat meningkatkan produksi dan produktivitas primer fitoplankton. Tanpa keberadaan intensitas cahaya di dalam perairan maka tingginya kadar unsur hara tidak dapat meningkatkan produksi dan produktivitas primer fitoplankton. Sanusi (1994) menjelaskan produktivitas primer sangat dipengaruhi oleh kondisi kesuburan dari lingkungan perairan. Semakin subur suatu perairan maka plankton (terutama fitoplankton) akan semakin melimpah jumlahnya. Tetapi pada kenyataannya, peningkatan unsur hara tidak selalu diikuti dengan peningkatan produktivitas perairan serta perkembangan fitoplankton yang berkualitas bagi ekosistem perairan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
keberadaan unsur hara yang tidak mampu bertahan pada kondisi atau tingkat optimal bagi produktivitas perairan Semua ini terlihat dari tingginya kekeruhan dan TSS (Tabel 2 dan 3) yang diduga berasal dari aktivitas pemanfaatan perairan waduk. Kekeruhan dan TSS telah menyebabkan berkurangnya kedalaman penetrasi cahaya. Hal ini terlihat dari kedalaman inkubasi stasiun I yang lebih dangkal (3 meter) di bandingkan stasiun II yang lebih dalam (4 meter). Welch (1980) menyatakan semakin tinggi kecerahan semakin tinggi pula penetrasi cahaya yang masuk kedalam perairan, menyebabkan lapisan produktif menjadi lebih tebal dan produktivitas primer semakin tinggi. Bila dilihat koefisien determinasi unsur hara dengan produktivitas primer di kedua stasiun pengamatan (I dan II) terlihat bahwa nitrat menunjukkan nilai tertinggi, baik di stasiun I (0.308) maupun di stasiun II (0.129) (Tabel 13). Korelasi terkuat terdapat pada stasiun I (KJA) dengan p = 0.026 (p<0.05) berarti nitrat memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan produktivitas primer bersih. Sebaliknya pada stasiun II dengan p = 0.172 (p>0.05) berarti tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan produktivitas primer bersih. Tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa nitrat merupakan unsur hara yang memberikan pengaruh yang paling besar terhadap peningkatan produktivitas bersih dibandingkan dengan unsur hara yang lain. Hal ini diduga karena nitrat merupakan unsur hara yang relatif stabil dan penting bagi organisme autrotof seperti fitoplankton untuk melakukan proses pertumbuhan dan fotosintesis sehingga dalam beberapa hal telah diketahui nitrat sering menjadi faktor pembatas. Nybakken (1988) mengemukakan bahwa nutrien anorganik
utama
yang
paling
dibutuhkan
fitoplankton
untuk
tumbuh
dan
berkembangbiak ialah nitrogen (dalam bentuk nitrat). Hal yang sama juga dikemukakan Hensriksen dan Kemp (1988) bahwa nitrat merupakan senyawa anorganik yang sangat menentukan didalam produksi primer di perairan khususnya didalam asimilasi fitoplankton. APHA (1989) melengkapi bahwa nitrat dan ammonia merupakan senyawa yang dipergunakan pada proses asimilasi.
Nitrat (mg at NO3-N/l)
Nitrit (mg at NO2-N/l)
PPB = 130.6 +57.90 NO3-N
PPB = 149.3 - 912.6 NO2-N
180
S R-Sq R-Sq(adj)
170
19.3297 30.8% 25.8%
160
S
170
R-Sq R-Sq(adj)
8.5% 2.0%
150 PPB
140 130
140 130
120
120
110
110
100
100
90 0.0
0.1
0.2
0.3
0.4 0.5 NO3-N
0.6
0.7
0.8
0.9
0.000
0.005
0.010
Ammonia (mg at NH3-N/l)
0.015 NO2-N
0.020
0.025
DIN (mg at N/l)
PPB = 144.9 - 56.10 NH3-N
PPB = 133.0 +17.47 DIN
180
S R-Sq R-Sq(adj)
170
21.4409 14.8% 8.7%
180
S
170
R-Sq R-Sq(adj)
160
160
150
150
140
140
PPB
PPB
22.2171
160
150 PPB
180
130
130
120
120
110
110
100
22.6988 4.5% 0.0%
100
0.0
0.1
0.2
0.3 NH3-N
0.4
0.5
0.6
0.0
0.2
0.4
0.6 DIN
0.8
1.0
1.2
DIP (mg at P/l) PPB = 139.9 - 4.14 PO4-P 180
S
170
R-Sq R-Sq(adj)
23.1042 1.1% 0.0%
160
PPB
150 140 130 120 110 100 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8 1.0 PO4-P
1.2
1.4
1.6
1.8
Gambar 12 Pola regresi unsur hara dengan produktivitas primer bersih di stasiun I (n = 16).
Nitrat (mg at NO3-N/l)
Nitrit (mg at NO2-N/l) PPB = 148.1 - 474.9 NO2-N
PPB = 134.5 +166.2 NO3-N S
200
R-Sq R-Sq(adj)
26.7203
200
12.9% 6.7%
180
160
160
27.8981 5.0% 0.0%
S R-Sq R-Sq(adj)
27.7175 6.3% 0.0%
PPB
PPB
180
S R-Sq R-Sq(adj)
140
140
120
120
100
100 0.00
0.05
0.10
0.15 NO3-N
0.20
0.00
0.25
0.01
Ammonia (mg at NH3-N/l)
0.02
0.03 NO2-N
0.04
0.05
DIN (mg N/l)
PPB = 137.8 +20.60 NH3-N
PPB = 135.1 +27.40 DIN S
200
R-Sq R-Sq(adj)
28.1482
200
3.3% 0.0%
160
160 PPB
180
PPB
180
140
140
120
120
100
100 0.0
0.2
0.4
0.6 NH3-N
0.8
1.0
1.2
0.0
0.2
0.4
0.6 DIN
0.8
1.0
1.2
DIP (mg at P/l) PPB = 145.1 - 12.09 PO4-P S R-Sq R-Sq(adj)
200
28.0760 3.8% 0.0%
180
PPB
160
140
120
100 0.0
0.2
0.4
0.6
0.8 1.0 PO4-P
1.2
1.4
1.6
1.8
Gambar 13 Pola regresi unsur hara dengan produktivitas primer bersih di stasiun II (n = 16).
Hubungan Produktivitas Primer Bersih dengan Klorofil-a Garis hubungan yang ditunjukan antara klorofil-a dengan produktivitas primer bersih di setiap kedalaman inkubasi selama pengamatan dengan menggunakan regresi linear tunggal menunjukkan korelasi yang masih rendah.
Kondisi ini
2
ditunjukan dari nilai koefisien determinasi (R ) yang di peroleh di stasiun I sebesar 0.134 dengan nilai p (p value) sebesar 0.164 pada taraf 0.05. Untuk stasiun II nilai koefisien determinasi sebesar 0.009 dengan nilai p (p value) = 0.734 pada taraf 0.05. Tabel 15 Nilai regresi produktivitas primer bersih dengan Klorofil-a di perairan Waduk PLTA Koto Panjang (n = 16). Stasiun
Persamaan Regresi
I II
Y = 110.6 + 1.371 X Y = 126.4 + 0.719 X
Koefisien Determinasi (R2) 0.134 0.009
Derajat Signifikasi p > 0.05 p > 0.05
Sementara itu, bila dilihat pada Tabel 11 menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a di kedua stasiun (I dan II) cukup tinggi. Diduga ketersedian unsur hara di kedua stasiun (I dan II) tidak termanfaatkan secara optimal oleh fitoplankton untuk proses pertumbuhan dan fotosintesis, terutama pada stasiun II yang memiliki nilai yang rendah dan berada di out let air waduk sehingga unsur hara cepat menghilang karena ikut keluar dengan mengalirnya air keluar waduk. Maraknya aksi perambahan hutan dan pembukaan lahan baru yang di lakukan oleh masyarakat juga telah memberikan andil terjadinya kesuburan perairan. Terlihat dari banyak serasah dedaun yang berada di badan air waduk akibat dari aktifitas tersebut. PPLH-UNRI (2003) melaporkan bahwa pembukaan lahan terus terjadi. Seiring dengan peningkatan pemanfaatan lahan, kualitas air terus mengalami penurunan ditandai dengan meningkatnya kandungan klorofil-a di perairan waduk PLTA Koto Panjang. Keadaan ini terlihat jelas pada saat pengambilan sampel klorofil-a ikut terbawa serasah-serasah tumbuhan tingkat tinggi sehingga ada kemungkinan klorofil-a yang teramati bukan saja berasal dari fitoplankton tetapi juga berasal dari serasah tumbuhan tingkat tinggi. Lehninger (1994) klorofil adalah zat hijau yang tergolong spesifik yang terdapat pada semua organisme berfotosintesis yang pada
dasarnya memiliki struktur yang sama dan dapat diekstrak dari daun dengan menggunakan alkohol atau aseton. Lamury (1990) menambahkan umumnya untuk tumbuhan tingkat tinggi terdapat dua macam klorofil yaitu klorofil-a dan kadangkadang juga mengandung klorofil-b, c dan d tergantung dari jenis tanamannya. Selain itu, ikut terukurnya klorofil yang yang sudah mati (phaeophytin) juga diduga telah memberikan pengaruh pada hasil akhir pengukuran konsentrasi klorofila. Nontji (1973, diacu dalam Hutagalung et. al. 1997) menyatakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan klorofil mengalami klorosis adalah kurangnya salah satu unsur, seperti air, cahaya, magnesium, besi dan unsur-unsur lainnya (Cu, Mn dan Zn). Strathman (1987, diacu dalam Andriani 2004) menjelaskan pendekatan produktivitas dengan menggunakan klorofil-a mempunyai kelebihan karena klorofil-a dimiliki oleh semua organisme autrotof baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah seperti fitoplankton. Kelemahannya sukar membedakan antara klorofil yang aktif dan non aktif atau produksi degradasinya dan komposisi jenis fitoplankton.
Stasiun I
Stasiun II
PPB = 110.6 + 1.371 Klorofil-a mg chl-a/m3) 180
PPB = 126.4 + 0.719 Klorofil-a mg chl-a/m3) S R-Sq R-Sq(adj)
170
21.6217 13.4% 7.2%
28.5065 0.9% 0.0%
180
160 150
160
140
PPB
PPB
S R-Sq R-Sq(adj)
200
140
130 120
120
110 100
100 10
15
20 25 Klorofil-a mg chl-a/m3)
30
15.0
17.5
20.0 22.5 25.0 Klorofil-a mg chl-a/m3)
27.5
30.0
Gambar 14 Pola regresi klorofil-a dengan produktivitas primer bersih di perairan Waduk PLTA Koto Panjang (n = 16).
Hubungan Antara Produktivitas Primer Bersih dengan Unsur hara Klorofil-a Hasil analisis regresi linear berganda antara produktivitas primer bersih dengan semua parameter uji, di stasiun I (KJA) dan stasiun II (out let) didapat nilai koefisien determinasi yang masih rendah (Tabel 16).
Tabel 16 Nilai regresi produktivitas primer bersih dengan DIN, DIP, dan klorofil-a (n = 48). Stasiun
Persamaan Regresi
Koefisien Determinasi (R2)
Derajat Signifikasi
0.225
p > 0.0.5
0.083
p > 0.05
Y = 103 + 26.2 DIN – 3.5 DIP + 1.52 Klorofil-a Y = 142 + 24.1DIN – 9.4 DIP – 0.15 Klorofil-a
I II
Berdasarkan Tabel 16, koefisien determinasi (R2) untuk stasiun I sebesar 0.225 yang berarti hanya 22.5 % saja DIN, DIP dan klorofil-a mampu mempengaruhi produktivitas primer bersih. Sedangkan sisanya sekitar 77.5 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti suhu, fitoplankton, TSS dan sebagainya. Nilai R2 yang jauh lebih kecil terdapat pada stasiun II sebesar 0.083 atau hanya sekitar 8.3 % saja DIN, DIP dan klorofil-a mempengaruhi produktivitas primer fitoplankton. Sisanya sekitar 91.7 % dipengaruhi oleh banyak faktor lain. Begitu juga dari uji sidik ragam, baik di stasiun I dengan p (p value) sebesar 0.364 dan stasiun II p (p value) sebesar 0.781 berarti tidak ada yang signifikan. Artinya perlakuan (DIN, DIP dan klorofil-a) tidak secara nyata mempengaruhi respon dalam hal ini adalah produktivitas primer bersih. Namun apabila dibandingkan antara stasiun maka dapat disimpulkan bahwa stasiun I memiliki kolerasi yang lebih baik jika dibandingkan dengan stasiun II. Banyak faktor yang mendukung untuk stasiun I, seperti di temukannya unsur hara tertinggi dan kelimpahan total fitoplankton tertinggi (Lampiran 9). Semua ini kemungkinan karena adanya penambahan unsur hara ke dalam perairan di stasiun I yang merupakan pusat aktivitas KJA, akibatnya akan meningkatkan laju produksi plankton. Meskipun demikian, densitas populasi fitoplankton akan segera berkurang dengan berkurangnya intensitas cahaya dan bertambahnya kedalaman. Penurunan produksi tersebut sebagai akibat dari penaungan sendiri oleh fitoplankton, sehingga peningkatan produktivitas akan terhambat walaupun jumlah unsur hara yang tersedia
cukup.
Verhagen
(1980,
diacu
dalam
Basmi
1988)
menyatakan
pertumbuhan fitoplankton merupakan fungsi dari intensitas cahaya, suhu, dan konsentrasi unsur hara.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Nilai rata-rata produktivitas primer bersih yang diperoleh pada stasiun I (Keramba Jaring Apung) perperiode berkisar antara 128.6 – 150.0 mg C/m3 per 5 jam, sedangkan berdasarkan perkedalaman inkubasi berkisar 109.4 – 156.3 mg C/m3 per 5 jam. Untuk stasiun II (Out let waduk) perperiode berkisar antara 121.9 – 171.9 mg C/m3 per 5 jam, sedangkan berdasarkan kedalaman inkubasi 125.0 – 162.5 mg C/m3 per 5 jam. Nitrogen anorganik (nitrat, nitrit dan ammonia), fosfat anorganik (ortofosfat), dan klorofil-a berdasarkan hasil analisis regresi linear tunggal memberikan pengaruh yang kecil terhadap peningkatan produktivitas primer fitoplankton. Nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh di kedua stasiun semuanya di bawah 50 %. Sementara itu, berdasarkan uji sidik ragam semua parameter uji tidak secara nyata mempengaruhi produktivitas primer bersih, kecuali nitrat pada stasiun I (Keramba Jaring Apung) yang memberikan pengaruh nyata. Berdasarkan regresi linear berganda antara produktivitas primer bersih dengan DIN, DIP dan klorofil-a menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) untuk stasiun I (Keramba Jaring Apung) sebesar 0.225 dengan p (p value) sebesar 0.364 (tidak signifikan) sementara nilai yang lebih kecil terdapat di stasiun II (Out let waduk)dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.083 dengan p (p value) sebesar 0.781 yang juga tidak signifikan. Artinya DIN, DIP dan klorofil-a tidak secara nyata mempengaruhi produktivitas primer bersih di Waduk PLTA Koto Panjang.
Saran Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan dengan memasukkan parameter intensitas cahaya sehingga hasil yang didapat semakin lengkap. Selain itu penambahan stasiun penelitian juga perlu dilakukan agar dapat mewakili keseluruhan perairan waduk sehingga nantinya akan diperoleh data yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA [APHA] American Public Health Association. 1989. Standard Methods For the Examination of Water and Wastewater. Amer. Publ. 17th Edition. New York. Health Association. Akmal R. 2006. Kondisi Perairan Danau Buatan Limbungan Pekanbaru Ditinjau Dari Produktivitas Primer Perairan [skripsi]. Pekanbaru. Sarjana. Universitas Riau. Ameliawati. 2003. Karakteristik Kualitas Air di Muara Sungai Cimandiri, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. Bogor. Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Andriani. 2004. Analisis Hubungan Parameter Fisika-Kimia dan Klorofil-a Dengan Produktivitas Fitoplankton Di Perairan Pantai Kabupaten Luwu [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Baksir A. 1999. Hubungan Antara Produktivitas Primer Fitoplankton dan Intensitas Cahaya Di Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Basmi J. 1988. Perkembangan Komunitas Fitoplankton Sebagai Indikasi Perubahan Tingkat Kesuburan Kuwalitas Perairan. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Basmi J. 1999. PLANKTONOLOGI : Ganggang Biru. Penuntun Identifikasi. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Boyd CE. 1982. Water quality Management for Pond Fish Culture. Alabama: Depertemen of Fisheries and Allied Aquacultures, Agricultural Experiment Station, Auburn University. Brower JE, Zar JH. 1990. Field and Laboratory Methods for General Ecology. Edition. Dubuque, Lowa: C. Brown Publisher.
3rd
Cushing DH. 1975. Marine Ecology and Fisheries. Cambridge: Cambridge University Press. Davis GC. 1955. The Marine and Freshwater Plankton. Michigan: Michigan State University Press. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi pengelolahan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Bogor: Penerbit Kanasius. Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Fogg GF. 1980. Phytoplankton primary production. Di dalam: Barnes RSK, Mann KH, editor. Fundamental of Aquatic Ecosystem. Oxford: Blackwell Scientific Publication. hal 24-25. Goldman CR, Horne AJ. 1983. Limnology. New York: Mc Graw-Hill Book Company. Goes JL, Kosei K, Helga DRG, Sei-Ichi S, Toshiro S. 2004. A Comparison of the seasonality and interannual variability of phytoplankton biomass and production in the western and eastern gyres of the subarctic pacific. Using Multi-Sensor Satellite Date. Journal of Oceanography. Vol 60, 75-91. Govindjee, Braun BZ. 1974. Light absorbtion, emission and photosynthesis. Di dalam: Stewart WDP, editor. Algae Physiology and Biochemistry. Oxford Blackweel Scientific Publications. hal 346-390. Grahame J. 1987. Plankton and Fisheries. London: Edward Arnold. Hadiwigeno S. 1990. Petunjuk praktis pengelolaan perairan umum bagi pembangunan perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Depertemen Perikanan Jakarta. 80 hal. Hensriksen K, Kemp WM. 1988. Nitrification in Estuarine and Coastal Marine Sediment. Di dalam: Blackburn TH, Sorensen J (Eds). Nitrogen Cycling in Coastal Marine Environments. New Tork: John Willey & Sons. Hutagalung HP, Setiapermana D, Riyono SH. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen, dan Biota. Buku ke-2. Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P3O LIPI). Khan HAZ. 1980. Primary productivity and trophic status of Kasmir Himalayan lake. Hydrobiologia 68:3-8. Krebs CS. 1972. Ecology. The Experimental Analysis of Distribution and Abudance. New York: Harpers and Row Publishers. Lamury YF. 1990. Variasi Mingguan Klorofil-a Dari Kualitas Air Kolam Ikan Di Perhentian Marpoyan [skripsi]. Pekanbaru: Program Sarjana. Universitas Islam Riau. Lehninger AL. 1994. Dasa-Dasar Biokimia. Jilid 2. Thenawidjaja M, penerjemah; Jakarta: Erlangga. Levinton JS. 1982. Marine Ecology. Printice-Hall Inc. Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi SAS dan MINITAB. Jilid I. IPB. IPB Press.
Mann KH. 1982. Ecology of Coastal Waters, Ed ke-2, A System Approach. Oxford: Blackwell Scientific Publication. Millero FJ, Sohn ML. 1991. Chemical Oceanography. Boca Raton Ann Arbor London. CRC Press. Neale 1987. Algae photoinhibition and photosyntesis in the aquatic environment. Di dalam: D. J. Kyle DJ, Opmon CB, Arntzen CJ, editor. Photoinhibition. Elsevier. Nontji A. 1984. Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton Di Perairan Teluk Jakarta Serta Kaitannya dengan Faktor-Faktor Lingkungan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Novotny V, Olem H. 1994. Water Quality, Prevention, Identification and Management of Diffuse Pollution. New York: Van Nonstrand Reinhold. Nur M. 2005. Evaluasi Pengelolaan Waduk PLTA Koto Panjang Sebagai Upaya Kelestarian Fungsi Waduk Yang Berkelanjutan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Eidman M, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M, Sukardjo S, penerjemah; Jakarta: PT. Gramedia. Terjemahan dari: Marine Biology an Ecological Approach. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. Philadelphia, London, Toronto: W. B. Sounders Company. Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi: volume ke-3, Samingan, penerjemah; Yogyakarta: Universitas Gadja Mada Press. Terjemahan dari: Fundamental of Ecology. Parsons TR, Takahashi M, Hargrave B. 1984. Biological Oceanographic Processes. Third Edition. Oxford : Pergamon Press. [PLN] Perusahan Listrik Negara. 2000. PLTA Koto Panjang. Pekanbaru. Poernomo MA, Hanafi. 1982. Analisa kualitas air untuk keperluan perikanan. Di dalam: Training Penyakit Ikan. Bogor: Balai Penelitian Perikanan Darat. Staf Laboratorium Kimia. 49 hal. Porcella DB, Bishop AB. 1975. Comprehensive Management of Phosphorus Water Pollution. Utah University Logan Utah. [PPLH-UNRI] Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-Universitas Riau. 2003. Laporan Pemantauan Lingkungan Waduk PLTA Koto Panjang. Pekanbaru. Prescott GW. 1970. How to Know the Freshwater Algae W. Lowa: Mc Brown Co. Publ.
[PP] Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001. Tentang Pengelolan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. Rafii A. 2004. Hubungan Karakteristik Fisika-Kimia Perairan Terhadap Sebaran Fitoplankton dan Klorofil-a di Teluk Jabokuto, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Ruttner F. 1973. Fundamental of Limnology. Third Edition. Canada: University of Toronto Press. Sanusi HS. 1994. Karakteristik kimia dan kesuburan perairan Teluk Pelabuhan Ratu (Tahap II musim timur). Laporan penelitian Institut Pertanian Bogor. Sellers BH, Markland HR. 1987. Decaying Lakes The Oriogin and Control of Eutrophication. John Willey & Sons, Inc, New York 253 p. Strickland JDH, Parsons TR. 1968. A Pratical Handbook of Seawater Analysis. Canada. Fisheries Research Board of Canada. Suwignyo. 1981. Konsep Pengelolaan Perikanan Waduk. Di dalam: Seminar Perikanan Umum. Prosiding; Jakarta, 19-21 Agustus 1981. Jakarta: Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian. Puslitbangkan Jakarta. 1-5. Umaly RC, Cuvin LA. 1988. Limnology. Laboratory and Field Guide. National Book Store. Philippines: Publishers Philippines. Valiela I. 1984. Marine Ecologycal Processes. New York: Springer-Verlag. Vollenweider RA. 1974. A Manual on Methods for Measuring Primary Production in Aquatic Environment. Second Edition. IBP Handbook No. 12. Oxford: Blakcwell Scientific Publication. Wardoyo STH. 1982. Kriteria Kualitas Air untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Prosiding: Training Analisis Dampak Lingkungan, PPLH-UNDP-PSL. Welch EB. 1980. Ecological Effect of Waste Water. Cambridge: Cambridge University Press. Wetzel RG. 1983. Limnology. Philadelphia: W. B. Sounders Company. Wetzel RG, Licken GE. 1979. Limnological Analysis. Philadelphia: W.B. Sounders Company.
Lampiran 1 Persen cahaya yang masuk selama 12 jam. Data Cahaya BMG Pekanbaru Tanggal 1 Agustus 2006 2 Agustus 2006 3 Agustus 2006 4 Agustus 2006 5 Agustus 2006 6 Agustus 2006 7 Agustus 2006 8 Agustus 2006 9 Agustus 2006 10 Agustus 2006 11 Agustus 2006 12 Agustus 2006 13 Agustus 2006 14 Agustus 2006 15 Agustus 2006 16 Agustus 2006 17 Agustus 2006 18 Agustus 2006 19 Agustus 2006 20 Agustus 2006 21 Agustus 2006
Lama Penyinaran Jam Persen (%) 8.4 70 3.8 31.67 9.5 79.17 7.0 58.33 9.7 80.83 8.7 72.5 5.2 43.33 8.0 66.67 5.6 46.67 6.2 51.67 5.2 43.33 6.6 55 4.1 34.17 7.4 61.67 3.7 30.83 2.0 16.67 5.0 41.67 7.9 65.83 4.3 35.83 9.8 81.67 4.3 35.83
Keterangan pengamatan periode 1
* Kolom yang ditebalkan merupakan tanggal periode pengamatan
Lama Penyinaran % Persen Cahaya = 12 Jam (Lama Pengukuran)
pengamatan periode 2
pengamatan periode 3
pengamatan periode 4
Lampiran 2 Prosedur pengisian air ke dalam botol BOD. 1. Contoh air waduk di berbagai kedalaman
diambil dengan menggunakan Van
Dorn. 2. Kemudian air dari dalam Van Dorn dialirkan ke dalam botol BOD dengan menggunakan selang pelastik berukuran kecil secara perlahan-lahan dengan posisi selang sampai ke dasar botol untuk mencegah terperangkapnya udara. Selain itu, sebaiknya ujung selang dilapisi dengan kain Plankton net yang berfungsi sebagai penyaring zooplankton agar tidak terjadi grazing selama proses inkubasi. 3. Pengisian air ke dalam botol BOD dilakukan sampai air penuh dan biarkan beberapa menit sampai air meluap keluar botol dengan tujuan agar udara yang ada di dalam botol BOD keluar seluruhnya. Hal ini dikarenakan tidak boleh ada gelembung udara di dalam botol BOD selama proses pengisian air. 4. Kemudian keluarkan selang plastik dari botol BOD secara perlahan-lahan dan tutup botol dengan cepat. 5. Kemudian periksa kembali botol BOD apakah masih terdapat gelembung udara atau tidak. Jika masih ada gelembung udara maka pengisian air sampel ke dalam botol BOD diulang kembali. Jika tidak ada gelembung udara
maka lanjutkan
dengan pengukuran oksigen terlarut.
Lampiran 3 Prosedur pengukuran oksigen terlarut dengan metode Winkler. 1. Sampel air tanpa gelembung udara yang berada di dalam botol BOD di tambahkan dengan 1 ml larutan MnSO4 kemudian di tambahkan lagi 1 ml larutan KI alkaline. Kemudian botol ditutup kembali dan botol diaduk-aduk dengan cara membolak balik botal dari atas kebawah selama beberapa menit dengan tujuan agar larutan bercampur dengan merata sehingga terbentuk endapan berwarna kuning muda. Biarkan beberapa menit agar endapan terbentuk dengan sempurna dan turun ke dasar botol. 2. Kemudian masukan 2 ml H2SO4 pekat lalu aduk-aduk kembali dengan cara yang sama sampai semua endapan hancur dan terjadi perubahan warna menjadi coklat tua. 3. Setelah itu ambil 100 ml air tersebut dan pindahkan ke botol erlemeyer 250 ml kemudain titrasi dengan Na-thiosulfat sampai air berwarna kuning muda.
4. Kemudian tambahkan lagi 2-3 tetes indikator amilum hingga air berubah warna menjadi warna biru. 5. Titrasi kembali dengan Na-thiosulfat sampai warna biru hilang (bening). Jumlah titran yang dipakai dicatat dan dimasukan kedalam rumus. Untuk perhitungan oksigen terlarut mengikuti metode Wingkler (Alaerts & Santika, 1984) yaitu: A x N x 8 x 1000 DO (mg O2/l) =
V
Keterangan : A : Mililiter larutan Na-thiosulfat N : Normalitas larutan Na-thiosulfat (0.025 N) V : Volume air yang dipakai
Lampiran 4 Prosedur pengukuran produktivitas primer fitoplankton. 1. Sampel air waduk yang diambil dengan Van Dorn dari berbagai kedalaman yang sudah ditetapkan di masukan kedalam 4 buah botol BOD yang berkapasitas 300 ml. Botol-botol ini terdiri dari 1 botol inisial, 2 botol terang dan 1 botol gelap (botol gelap dilapisi dengan plastik berwarna hitam yang rapat
dengan tujuan agar
cahaya tidak tembus ke dalam botol). 2. Kemudian langsung diukur oksigen terlarut pada botol inisial sebagai oksigen awal. Setelah itu botol yang tersisa 1 botol gelap dan 2 botol terang di masukan kembali ke dalam perairan sesuai dengan kedalamannya masing-masing untuk proses inkubasi. 3. Proses inkubasi berlangsung selama 5 jam yang dimulai dari jam 09.00-14.00 WIB. 4. Selama proses inkubasi diduga pada botol terang akan terjadi proses fotosintesis dan respirasi sedangkan pada botol gelap hanya terjadi proses respirasi. 5. Setelah 5 jam diukur oksigen terlarut untuk masing-masing botol yang telah diinkubasi. Hasil pengurangan oksigen terlarut pada botol terang dengan botol gelap disebut sebagai produktivitas primer kotor, sedangkan hasil pengurangan antara oksigen terlarut pada botol terang dengan produktivitas primer bersih.
botol inisial disebut sebagai
Lampiran 5 Kelimpahan fitoplankton (sel/l) yang ditemukan untuk periode 1. Stasiun I Kedalaman Secchi Permukaan ½ Secchi Secchi
Stasiun II Kedalaman Secchi Permukaan ½ Secchi Secchi
No
Genus
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Chlorophyceae Cosmarium sp Gonatozygon sp Chlorella sp Crucigenia sp Schroederia sp Lobomonas sp Uronema sp Characium sp Ankistrodesmus sp Chlorococcum sp Pleurotaenium sp Chodatella sp Dictyosphaerium sp Stigeoclonium sp Closterium sp Pediastrum sp Sub Total
0 250 200 0 0 150 0 0 1500 200 0 0 400 950 100 0 3750
100 450 300 0 150 250 0 0 1000 300 150 0 800 0 50 100 3650
50 600 50 400 150 250 350 0 0 150 100 0 400 950 0 100 3550
0 350 200 200 200 450 1050 0 0 150 0 0 0 1900 50 100 4650
300 250 100 200 150 350 350 0 0 100 150 0 0 0 50 0 2000
250 600 150 0 100 500 0 100 0 100 100 0 0 0 0 0 1900
100 350 0 200 200 350 0 100 500 0 150 0 400 950 0 0 3300
0 350 0 0 100 100 350 50 500 0 150 0 0 0 0 50 1650
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Cyanophyceae Dactylococcopsis sp Calothrix sp Anabaena sp Hammatoidea sp Phormidium sp Heterothrix sp Xenococcus sp Oscillatoria sp Microcystis sp Raphidiopsis sp Spirulina sp Merismopedia sp Sub Total
300 4200 3750 450 3600 350 0 2900 4500 0 3000 0 23050
300 3600 2250 250 3600 250 1000 1450 12700 0 6000 0 31400
300 2250 1500 250 2400 150 0 2900 1800 150 0 0 11700
150 2250 0 400 2400 0 0 5800 0 50 0 800 11850
350 1500 2250 400 1200 0 0 2900 2900 0 1500 0 13000
250 1500 3000 300 0 50 500 2900 900 0 0 0 9400
450 750 0 650 1800 0 0 2900 900 0 3000 800 11250
400 0 1500 550 1800 100 0 0 0 50 0 1600 6000
1 2 3 4 5
Bacillariophyceae Navicula sp Pinnularia sp Diatoma sp Surirella sp Synedra sp Sub Total
50 100 0 50 50 250
100 100 150 0 100 450
0 100 100 100 0 300
150 50 50 0 0 250
0 100 50 50 250 450
0 100 50 0 0 150
50 0 0 0 0 50
100 0 150 100 50 400
1 2
Xanthophyceae Characiopsis sp Tribonema sp Sub Total
0 0 0
50 100 150
100 0 100
100 0 100
0 0 0
50 150 200
150 100 250
0 0 0
1
Dinophyceae Peridinium sp Sub Total
200 200
0 0
50 50
250 250
100 100
50 50
0 0
50 50
1
Chrysophyceae Dinobryon sp Sub Total
100 100
0 0
0 0
50 50
100 100
100 100
100 100
100 100
27350
35650
17150
17150
15650
11800
14950
8200
Kelimpahan Total
K -1
Catatan : K -1 m adalah kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi.
K -1
Lampiran 6 Kelimpahan fitoplankton (sel/l) yang ditemukan untuk periode 2. Stasiun I Kedalaman Secchi Permukaan ½ Secchi Secchi
Stasiun II Kedalaman Secchi Permukaan ½ Secchi Secchi
No
Genus
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Chlorophyceae Cosmarium sp Gonatozygon sp Chlorella sp Crucigenia sp Schroederia sp Lobomonas sp Uronema sp Characium sp Ankistrodesmus sp Chlorococcum sp Pleurotaenium sp Chodatella sp Dictyosphaerium sp Stigeoclonium sp Closterium sp Pediastrum sp Sub Total
150 250 300 0 0 150 0 0 500 0 50 150 0 0 0 0 1750
100 350 150 0 150 250 0 50 1000 350 150 150 200 0 100 150 3150
50 500 0 0 50 100 1050 100 0 200 150 50 200 2850 0 150 5550
0 350 0 600 150 350 1050 0 0 150 0 0 0 950 50 0 3800
150 350 150 200 50 50 350 100 0 0 150 100 0 0 150 0 1800
150 250 350 0 150 250 0 100 0 50 0 50 0 0 150 0 1600
150 100 150 400 150 100 0 0 1000 100 100 0 200 2850 50 0 5350
50 150 0 200 100 0 700 0 2500 0 150 0 0 0 0 50 3900
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Cyanophyceae Dactylococcopsis sp Calothrix sp Anabaena sp Hammatoidea sp Phormidium sp Heterothrix sp Xenococcus sp Oscillatoria sp Microcystis sp Raphidiopsis sp Spirulina sp Merismopedia sp Sub Total
350 3750 2250 250 1800 200 500 5800 2700 0 4500 800 23150
350 1500 750 150 600 200 1000 1450 1800 0 6000 0 13950
250 1500 1500 250 2400 50 0 1450 0 50 1500 0 8950
200 750 1500 250 600 0 0 5800 0 100 0 0 9200
450 1500 0 400 1200 100 0 2900 1800 0 1500 0 10050
400 750 3000 200 1800 0 500 0 2700 0 4500 0 14000
400 2250 0 350 0 0 0 1450 900 100 3000 0 8500
300 1500 0 200 60 100 0 0 0 50 0 0 2310
1 2 3 4 5
Bacillariophyceae Navicula sp Pinnularia sp Diatoma sp Surirella sp Synedra sp Sub Total
100 50 0 50 200 400
0 50 100 0 0 150
100 100 100 0 100 400
50 0 100 0 150 300
0 50 50 100 0 200
0 0 50 0 100 150
50 0 0 0 0 50
0 0 50 100 0 150
1 2
Xanthophyceae Characiopsis sp Tribonema sp Sub Total
0 50 50
50 50 100
100 0 100
50 50 100
0 0 0
100 50 150
100 50 150
150 0 150
1
Dinophyceae Peridinium sp Sub Total
150 150
0 0
50 50
150 150
200 200
150 150
0 0
100 100
1
Chrysophyceae Dinobryon sp Sub Total
200 200
100 100
0 0
0 0
200 200
100 100
0 0
100 100
25250
17300
14950
13400
12250
15900
14000
6610
Kelimpahan Total
K -1
Catatan : K -1 m adalah kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi.
K -1
Lampiran 7 Kelimpahan fitoplankton (sel/l) yang ditemukan untuk periode 3. Stasiun I Kedalaman Secchi Permukaan ½ Secchi Secchi
Stasiun II Kedalaman Secchi Permukaan ½ Secchi Secchi
No
Genus
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Chlorophyceae Cosmarium sp Gonatozygon sp Chlorella sp Crucigenia sp Schroederia sp Lobomonas sp Uronema sp Characium sp Ankistrodesmus sp Chlorococcum sp Pleurotaenium sp Chodatella sp Dictyosphaerium sp Stigeoclonium sp Closterium sp Pediastrum sp Sub Total
100 150 100 200 0 0 700 0 1500 0 0 200 0 0 100 0 3050
50 250 100 0 100 0 350 100 500 200 100 100 0 0 50 0 1900
50 250 0 0 100 100 350 100 0 100 50 100 0 950 0 0 2150
0 350 50 200 100 200 0 0 500 50 0 0 0 0 50 0 1500
100 200 150 0 100 0 350 0 0 50 150 50 0 0 50 0 1200
0 350 150 200 100 150 350 150 0 150 200 50 0 950 0 0 2800
50 250 50 200 200 150 0 100 1000 100 100 0 0 2850 0 0 5050
50 100 0 200 100 100 0 50 1000 0 150 100 0 1900 100 0 3850
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Cyanophyceae Dactylococcopsis sp Calothrix sp Anabaena sp Hammatoidea sp Phormidium sp Heterothrix sp Xenococcus sp Oscillatoria sp Microcystis sp Raphidiopsis sp Spirulina sp Merismopedia sp Sub Total
150 2250 3750 200 0 0 0 4350 1800 0 1500 0 14000
250 0 1500 200 1800 50 0 2900 0 0 6000 800 13500
250 750 1500 200 1800 50 0 2900 900 100 4500 0 12950
350 0 0 250 600 0 0 0 0 100 1500 0 2800
350 3000 1500 250 1800 50 0 5800 1800 100 6000 0 20650
300 0 3750 400 2400 0 2000 2900 2700 0 0 2400 16850
350 1500 0 300 600 0 0 1450 900 50 1500 800 7450
450 0 2250 250 0 100 0 0 900 0 0 0 3950
1 2 3 4 5
Bacillariophyceae Navicula sp Pinnularia sp Diatoma sp Surirella sp Synedra sp Sub Total
100 150 0 100 0 350
50 100 100 0 100 350
0 0 50 50 50 150
100 50 50 0 0 200
100 100 50 50 50 350
0 0 50 0 50 100
0 100 0 0 0 100
100 0 150 100 0 350
1 2
Xanthophyceae Characiopsis sp Tribonema sp Sub Total
0 0 0
50 0 50
50 0 50
0 0 0
150 0 150
150 0 150
50 0 50
0 0 0
1
Dinophyceae Peridinium sp Sub Total
0 0
150 150
50 50
0 0
100 100
50 50
0 0
50 50
1
Chrysophyceae Dinobryon sp Sub Total
100 100
100 100
0 0
200 200
0 0
100 100
50 50
100 100
17500
16050
15350
4700
22450
20050
12700
8300
Kelimpahan Total
K -1
Catatan : K -1 m adalah kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi.
K -1
Lampiran 8 Kelimpahan fitoplankton (sel/l) yang ditemukan untuk periode 4. Stasiun I Kedalaman Secchi Permukaan ½ Secchi Secchi
Stasiun II Kedalaman Secchi Permukaan ½ Secchi Secchi
No
Genus
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Chlorophyceae Cosmarium sp Gonatozygon sp Chlorella sp Crucigenia sp Schroederia sp Lobomonas sp Uronema sp Characium sp Ankistrodesmus sp Chlorococcum sp Pleurotaenium sp Chodatella sp Dictyosphaerium sp Stigeoclonium sp Closterium sp Pediastrum sp Sub Total
200 250 150 400 0 50 700 0 0 150 200 100 0 950 50 0 3200
100 300 100 0 50 0 0 200 0 150 150 100 400 0 50 100 1700
0 300 200 400 50 0 1400 50 0 150 50 0 400 2850 0 100 5950
0 150 200 200 100 50 350 0 0 0 0 0 0 1900 50 50 3050
300 100 50 200 50 50 0 100 0 50 150 100 400 0 100 150 1800
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Cyanophyceae Dactylococcopsis sp Calothrix sp Anabaena sp Hammatoidea sp Phormidium sp Heterothrix sp Xenococcus sp Oscillatoria sp Microcystis sp Raphidiopsis sp Spirulina sp Merismopedia sp Sub Total
300 2250 2250 350 1800 0 0 4350 2700 0 4500 0 18500
150 2250 2250 300 600 250 1000 0 2700 0 4500 0 14000
250 750 1500 150 0 100 1000 1450 1800 50 1500 0 8550
300 750 1500 200 2400 50 0 5800 0 0 0 0 11000
1 2 3 4 5
Bacillariophyceae Navicula sp Pinnularia sp Diatoma sp Surirella sp Synedra sp Sub Total
50 150 0 0 50 250
100 50 100 0 0 250
100 100 100 0 0 300
1 2
Xanthophyceae Characiopsis sp Tribonema sp Sub Total
0 100 100
50 0 50
1
Dinophyceae Peridinium sp Sub Total
0 0
1
Chrysophyceae Dinobryon sp Sub Total Kelimpahan Total
K -1
150 0 0 50 0 1550
50 200 50 600 50 100 0 0 0 50 100 0 400 1900 0 50 3550
0 150 50 400 50 150 700 50 0 0 100 0 0 950 50 50 2700
150 1500 1500 100 1200 50 0 1450 1800 0 1500 0 9250
150 750 2250 200 1800 100 500 1450 900 50 0 0 8150
350 1500 0 200 1800 0 1000 1450 0 0 3000 0 9300
350 0 1500 100 1800 100 0 0 0 0 0 0 3850
0 0 50 0 0 50
0 0 100 0 100 200
0 100 0 0 50 150
0 50 0 0 0 50
100 50 150 100 0 400
100 0 100
50 0 50
0 0 0
150 150 300
50 0 50
100 0 100
50 50
0 0
100 100
50 50
100 100
0 0
50 50
50 50
100 100
0 0
0 0
100 100
100 100
100 100
200 200
22100
16150
14900
14250
11400
10350
13050
7300
Catatan : K -1 m adalah kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi.
50 300 150 0 100 150 350 100 0 150
K -1
Lampiran 9 Konsentrasi parameter-parameter uji yang diukur. Stasiun
I
II
Periode
Kedalaman (m)
0.2 1.5 1 3 4 Total 0.2 1.5 2 3 4 Total 0.2 1.5 3 3 4 Total 0.2 1.5 4 3 4 Total Rata-rata total DIN 0.2 2 1 4 5 Total 0.2 2 2 4 5 Total 0.2 2 4 3 5 Total
Unsur Hara (mg/l) NO3-N
NO2-N
NH3-N
DIN
PO4-P
0.0174 0.0631 0.0174 0.0120
0.0072 0.0140 0.0172 0.0255
0.0217 0.0442 0.3204 0.1083
0.1891 0.0232 0.1340 0.0106
0.0035 0.0120 0.0016 0.0100
0.0487 0.0111 0.0820 0.0761
0.1132 0.4435 0.0621 0.0106
0.0120 0.0063 0.0225 0.0247
0.1610 0.0977 0.0111 0.2150
0.0232 0.8110 0.0106 0.0109
0.0172 0.0100 0.0140 0.0072
0.0293 0.2361 0.0150 0.5941
0.5435 1.6304 1.1490 0.6055 3.9284 0.1044 0.3040 0.1107 0.1225 0.6416 0.1706 0.1354 1.4071 0.0933 1.8064 0.0667 1.0520 0.1225 1.3280 2.5692
0.0097 0.0124 0.0120 0.0147
0.0063 0.0100 0.0255 0.0100
0.0583 0.0977 0.1111 0.0820
0.0621 0.2314 0.0232 0.0174
0.0247 0.0255 0.0255 0.0060
0.0150 0.0442 0.1809 0.1610
0.0089 0.1032 0.0267 0.0106
0.0020 0.0072 0.0014 0.0502
0.1137 0.3204 0.1610 1.0510
0.0463 0.1213 0.3550 0.1458 0.6684 0.2413 0.0463 0.2176 0.0967 0.6019 0.2862 0.5475 0.0957 0.2503 1.1797 0.0697 1.0571 0.0396 0.6122 1.7786 1.0417 0.0743 0.1201 0.1486 0.1067 0.4497 0.1018 0.3011 0.2296 0.1844 0.8169 0.1246 0.4308 0.1891 1.1118 1.8563
0.1354 0.1225 0.5435 1.6304 2.4318 0.0632 0.0933 0.3040 0.1107 0.5712 0.1281 0.1706 0.0632 0.1044 0.4663
Kel. Fitoplankton (ind/l) 27350 35650 17150 17150
Klorofil-a (mg chl3 a/m ) 27.37 22.61 22.77 14.99
PPK (mg C/m3 per 5 jam) 175 225 162.5 150
PPB 3 (mg C/m per 5 jam) 152 137.5 112.5 112.5
25250 17300 14950 13400
24.16 19.26 16.28 14.29
187.5 200 175 137.5
150 150 125 100
17500 16050 15350 4700
29.43 16.10 11.11 18.93
256.3 256.3 200 181.3
162.5 175 150 112.5
22100 16150 14900 14250 289200
31.09 17.77 16.10 12.77
250 237.5 218.5 193.8
150 162.5 137.5 112.5
15650 11800 14950 8200
19.67 22.77 25.55 16.07
187.5 212.5 162.5 175
125 137.5 112.5 112.5
12250 15900 14000 6610
23.87 29.31 20.07 19.58
175 200 162.5 162.5
112.5 162.5 112.5 100
22450 20050 12700 8300
17.33 23.88 19.93 21.66
262.5 287.5 250 225
175 200 162.5 150
Lanjutan lampiran 9 0.2 2 4 4 5 Total Rata-rata total DIN
0.0109 0.1032 0.0120 0.0089
0.0014 0.0140 0.0060 0.0100
0.0583 0.0720 0.0820 0.1809
0.0706 0.1892 0.1000 0.1998 0.5596 0.9206
1.1440 0.0667 0.1730 0.0632 1.4469
11400 10350 13050 7300 204960
17.29 20.55 17.77 17.53
250 268.8 268.8 212.5
162.5 150 150 137.5
Lampiran 10 Kelimpahan rata-rata fitoplankton berdasarkan kedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang.
Stasiun
Periode 0.2 1.5 3 4 0.2 2 4 5
I
II
Chloro phyceae 2938 2600 4300 3250 1700 1963 4313 3025
Cyano phyceae 19675 18212 10538 8713 13238 12100 8525 4028
Kelas Fitoplankton Bacillario Xantho phyceae phyceae 313 38 300 88 288 88 200 63 250 38 138 200 63 125 175 63
Dino phyceae 88 50 38 125 113 88 0 63
Chryso phyceae 113 75 0 63 100 100 63 125
Lampiran 11 Rata-rata konsentrasi klorofil-a perkedalaman inkubasi di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Stasiun I
II
Kedalaman Secchi Permukaan ½ Secchi Secchi K-1 m Permukaan ½ Secchi Secchi K-1 m
Kedalaman (m) 0.2 1.5 3 4 0.2 2 4 5
Klorofil-a (mg chl-a/m3) 28.01 18.99 16.25 15.25 19.54 24.13 20.83 18.71
Catatan : K -1 m adalah kedalaman inkubasi 1 meter di bawah kedalaman Secchi.
Lampiran 12 Hasil uji sidik ragam (anova) produktivitas primer bersih terhadap stasiun I dan kedalaman di perairan Waduk PLTA Koto Panjang. Sumber Antar Kelompok Dalam Kelompok Total
db 3 12 15
JK 5766.375 1787.375 7553.750
KT 1922.125 148.948
FTabel 12.905
Pvalue 0.000*
Uji lanjut Tukey HSD Kedalaman _ Stasiun I
Jumlah
4.00 3.00 0.20 1.50 Sig.
4 4 4 4
Bagian Kolom alfa (0.05) 1 2 109.3570 131.2500 131.2500 153.6250 156.2500 0.057
Catatan : rata-rata di kelompok-kelompok (1 dan 2) yang sama atau dengan nilai yang sama adalah tidak beda nyata.
Lampiran 13 Hasil regresi berganda: produktivitas primer bersih fitoplankton dan klorofil-a.
dengan unsur hara,
Stasiun I PPB = 103 + 26.2 DIN – 3.5 DIP + 1.52 Klorofil-a Anova Sumber Antar Kelompok Dalam Kelompok Total
db 3 12 15
JK 1701.1 5852.7 7553.8
KT 567.0 487.7
FTabel 1.16
Pvalue 0.364
FTabel 0.36
Pvalue 0.781
Stasiun II PPB = 142 + 24.1 DIN – 9.4 DIP – 0.15 Klorofil-a Anova Sumber Antar Kelompok Dalam Kelompok Total
db 3 12 15
JK 954.6 10520.0 11474.6
KT 318.2 876.7