BIOEKOLOGI IKAN BUNGA AIR (Clupeichthys goniognathus, Bleeker 1855) DI PERAIRAN INLET WADUK KOTO PANJANG KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU
DESRITA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Bioekologi Ikan Bunga Air (Clupeichthys goniognathus, Bleeker 1855) di Perairan Inlet Waduk Koto Panjang” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, April 2011
DESRITA NIM C251080071
ABSTRACT DESRITA. Bioecology Sumatran River Sprat fish (Clupeichthys goniognathus, Bleeker 1855) in Inlet Koto Panjang Reservoir at Kampar, Riau Provinci. Under direction of RIDWAN AFFANDI and M. MUKHLIS KAMAL. Sumatran river sprat fish (Clupeichthys goniognathus, Bleeker 1855) is an economic fish inhabiting in the Koto Panjang reservoir Kampar, Riau. The aim of this research was to assess the condition of habitat, food habits, growth and reproduction of C. goniognathus. The method used in this research was analytical description. Fish catched with "langgai kelambu" in five location namely Muara Takus, Gunung Bungsu I, Gunung Bungsu II, Tanjung I, and the Tanjung II located in the inlet of Koto Panjang reservoir. Samples were collected from April to August 2010. C. goniognathus is a carnivore fish with a main food is Branchiopodopsis sp. This species high are in accordance with the number of fish catched in these location, indicating Tanjung II as a feeding ground. The highest value condition factor in the Gunung Bungsu I. Sex ratio for the matured fish is 1: 1.24. The male size of the first maturity is 40.38 mm and 40.27 mm for females. Spawning took place throughout the year with peak in July. The spawning ground this fish is in Gunung Bungsu I. Reproductive potential of about 162-926 oocytes. Key words : Sumatran river sprat, Growth, Food habit, Reproduction
RINGKASAN DESRITA. Bioekologi Ikan Bunga Air (Clupeicthys goniognathus, Bleeker 1855) di Perairan Inlet Waduk Koto Panjang, Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Dibimbing oleh RIDWAN AFFANDI dan M. MUKHLIS KAMAL. Waduk Koto Panjang merupakan salah satu waduk yang terdapat di Kabupaten Kampar, Riau. Waduk ini difungsikan antara lain sebagai tempat PLTA, penangkapan ikan dan lain-lain. Salah satu ikan yang bernilai ekonomis dan tergolong baru didaerah tersebut adalah Ikan Bunga Air (Clupeicthys goniognathus). Penangkapan ikan ini menggunakan “langgai kelambu” yang mempunyai mata jaring < ¼ inch. Hampir semua penduduk di sekitar inlet waduk yang berprofesi sebagai nelayan melakukan penangkapan ikan tersebut, terutama pada awal musim hujan. Penangkapan dengan menggunakan langgai kelambu memberikan peluang tertangkapnya ikan dari ukuran kecil hingga besar. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan pengelolaan agar ikan tetap termanfatkan secara berkelanjutan. Untuk keperluan pengelolaan tersebut dibutuhkan informasi tentang kondisi habitat, kebiasaan makanan, pertumbuhan dan reproduksi. Tujuan penelitian ini yaitu : mengkaji kondisi habitat, kebiasaan makanan, pertumbuhan dan reproduksi. Penelitian dilakukan dari bulan April hingga Agustus 2010 dengan menetapkan lima lokasi pegambilan contoh. Pemilihan lokasi didasarkan atas informasi terdistribusinya ikan di sekitar perairan inlet Waduk Koto Panjang. Lima lokasi tersebut yaitu : Muara Takus, Gunung Bungsu I, Gunung Bungsu II, Tanjung I dan Tanjung II. Pengambilan ikan dan air contoh dilakukan sekali dalam sebulan. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Kegiatan penelitian meliputi : 1) pengamatan habitat berupa aspek fisika (temperatur, kekeruhan, kedalaman, kecepatan arus), kimia (oksigen terlarut, pH, alkalinitas, nitrat, ortophospat), dan biologi (keanekaragaman dan kelimpahan plankton). Kegiatan pengambilan dan penanganan sampel ikan meliputi: penentuan sampel (ikan hasil tangkapan nelayan dengan alat tangkap langgai kelambu), pengukuran panjang berat (hubungan panjang berat, faktor kondisi), pembedahan ikan (pengambilan organ reproduksi, saluran pencernaan). Pengamatan dan pengukuran organ tubuh : 1) alat pencernaan : pengukuran panjang usus (panjang usus relatif), pengukuran volume isi lambung (index somatic content), analisa isi lambung (komposisi makanan), 2) pengamatan gonad (nisbah kelamin), pengamatan struktur gonad secara anatomi dan histologi (tingkat kematangan gonad), penimbangan bobot ikan (indeks kematangan gonad), penghitungan jumlah telur (fekunditas), pengukuran diameter telur (pola pemijahan) Pada penelitian ini, indeks kualitas habitat dianalisis dengan metode skor dan pembobotan (diskusi pribadi), panjang usus relatif, indeks kepenuhan lambung menggunakan rumus Sphatura dan Gophe dalam Sulistiono (1998), komposisi makanan (Effendie 1979), indeks pilihan dengan menggunakan metode Le Brasser dalam Effendie (1979), sebaran frekuensi panjang (Walpole 1992), hubungan panjang total dan bobot (Effendie 1979), faktor kondisi (Effendie
1979), pendugaan parameter pertumbuhan menggunakan metode ELEFAN I dan laju eksploitasi menggunakan rumus empiris Pauly (1984) yang terdapat dalam program FISAT II, nisbah kelamin menurut (Matjik dan Sumertajaya 2002), indeks kematangan gonad (Effendie 1979), ukuran pertama kali matang gonad metode Sperman Karber (Udupa 1986 dalam Mustakim 2008), kelimpahan plankton (APHA 2005), dan indeks keanekaragaman plankton (Odum 1971). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran nilai kualitas air di semua lokasi pengamatan berfluktuasi. Indeks kualitas lingkungan sangat baik di lokasi Tanjung II dibanding lokasi lainnya. Ikan bunga air yang diperoleh dari hasil penangkapan selama penelitian di lima lokasi berjumlah 992 ekor. Hasil tangkapan tertinggi didapatkan di lokasi Tanjung II dengan total sampel 720 ekor, diikuti lokasi Gunung Bungsu I 146 ekor, Gunung Bungsu II 50 ekor, Tanjung I 40 ekor, dan paling rendah Muara Takus dengan 36 ekor. Ikan bunga air termasuk ikan karnivora (panjang usus relatif berkisar 0.2 0.6) dengan makanan utama berupa Branchiopodopsis sp. (aquatic crustacean). Komposisi Branchiopodopsis sp. dan nilai indeks kepenuhan lambung paling tinggi ditemukan di lokasi Tanjung II. Hal ini mengindikasikan bahwa lokasi tersebut merupakan tempat mencari makanan (feeding ground). Jenis serangga air Ephemeroptera sp. adalah jenis pakan yang paling digemari dengan nilai indeks pilihan 0.91. Pola pertumbuhhan bersifat allometrik negatif (b = 2.68 – 2.84 dengan taraf signifikan 0.05 dan determinasi R2 = 0.78). Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy ikan secara keseluruhan Lt = 51.45 (1-e-58(t+0.04). Faktor kondisi ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan bervariasi. Nilai faktor kondisi tertinggi ditemukan di lokasi Gunung Bungsu II, hal ini sejalan dengan banyak dijumpainya ikan berTKG IV. Nisbah kelamin ikan yang matang gonad (TKG IV) rasionya 1 : 1,24. Dengan uji Khi Kuadrat pada taraf 95 % (Xhit < Xtab (db-1)) menunjukkan bahwa lokasi Muara Takus, Gunung Bungsu I dan Tanjung II tidak seimbang. Sedangkan untuk lokasi Gunung Bungsu II dan Tanjung I tidak seimbang. Data sebaran diameter telur menunjukkan bahwa ikan ini memiliki pola pemijahan total (total spawner). Pemijahan ikan ini berlangsung sepanjang tahun dengan puncak pemijahan pada bulan Juli. Lokasi yang menjadi tempat pemijahannya adalah Gunung Bungsu I. Ukuran pertama kali matang gonad ikan betina adalah 40.27 mm dan 40.38 mm pada ikan jantan. Potensi reproduksi tergolong rendah dengan nilai fekunditas yang dihasilkan berkisar antara 162 – 926 butir. Berdasarkan hasil pengamatan, maka rekomendasi untuk pengelolaan ikan tersebut supaya ikan tetap lestari dan pemanafaatan tetap berkelanjutan yaitu : perlindungan habitat untuk lokasi Tanjung II dan Gunung Bungsu I, pembatasan penangkapan di lokasi Gunung Bungsu I dan Tanjung II, pengaturan ukuran ikan yang boleh ditangkap > 40.38 mm dengan mata jaring > ¼ inch, dan penutupan kegiatan penangkapan pada bulan Juli di lokasi Gunung Bungsu I.
Kata kunci : ikan bunga air, makanan, pertumbuhan, reproduksi
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencatumkan atau menyebutkan sumberdaya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
BIOEKOLOGI IKAN BUNGA AIR (Clupeichthys goniognathus, Bleeker 1855) DI PERAIRAN INLET WADUK KOTO PANJANG KABUPATEN KAMPAR PROVINSI RIAU
DESRITA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS
Judul Tesis
Nama NRP
: Bioekologi Ikan Bunga Air (Clupeichthys goniognathus, Bleeker 1855) di Perairan Inlet Waduk Koto Panjang Kabupaten Kampar Provinsi Riau. : Desrita : C251080071
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA Ketua
Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga
Tanggal Ujian : 24 Maret 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal lulus :
PRAKATA Alhamdulillah, Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Bioekologi Ikan Bunga Air (Clupeichthys goniognathus, Bleeker 1855) di Perairan Inlet Waduk Koto Panjang Kabupaten Kampar Provinsi Riau”. Tesis ini menjadi syarat bagi Penulis untuk memperoleh gelar magister sains. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu selama ini hingga tesis ini selesai, terutama kepada : 1. Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA, dan Dr. Ir. Mohammad Mukhlis Kamal selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah meluangkan waktu, memberikan bimbingan, arahan dan masukkan sejak awal hingga berakhirnya penelitian dan penulisan tesis ini. 2. Keluarga besar FAPERIKA UR yaitu bu Win, Pak Manda, Pak Chaidir dan Pak Edi atas arahan, pemakaian dan peminjaman alat selama penelitian. 3. Ibunda Juraida dan Ayahanda Ali Nurdin tercinta, yang telah memberikan kasih sayang, semangat, cinta, do’a dan dukungannya yang tak pernah berhenti, serta pengorbanan yang tak kenal lelah. 4. Keluarga besarku: Uda Izal&Kak Leli, Uni Depi&Damen, Yati, Andy, Jamilah dan Jamal, Nenek Laweh, Nenek Ambun, keluargaku di Jakarta, keluargaku di Balaraja, keluargaku di Jambi, serta 3 keponakanku (Rafli, Alya dan Keyshia) atas canda dan tawanya yang selalu menyemangatiku. 5. Teman-teman seperjuangan di SDP tahun 2008: Nurfadillah (UNSYIAH), Juli Nursandi (Poltek Lampung), Karmon Kenanga Putra (Pemda Kab Lahat), Budiono Senen (STP Hatta Sjahrir, Banda Neira), Rahmat Mawardi (NTB), Ali Mashar (IPB), Pelita Oktorina (UMI, Sukabumi) dan Rusmawati Labenua (Ternate) atas semua bantuan, spirit, kontribusi ide dan pemikiran. 6. Yanti, Despa, Dwi, Oga, Nila, Meri dan Iid atas semangat yang diberikan selama ini. Maradhona atas semangat, dukungan dan do’a selama penelitian. Teman-teman di kostan Aleysha (Dian, Kak Ia, Cory dll), kost Sri Rahayu 2 (Adek, dll), kost AA (Suri, Maria, Indah, Iko), Putri, Handoyo dan Dayar terimakasih atas semangat dan pertemanannya. 7. Keluarga besar Biologi Perikanan UR (Isna, Rica, Fajar, Mail, Krisman, Mondang, Pendi, Merio, Ledy, Neli, Ayu ndut, Ayu sedang dan Yanti), untuk segala bantuan selama penulis penelitian serta Enni, Rival dan kak Hel. Keluarga kak Mina, bg Iit dll terimakasih tumpangannya. 8. Keluarga besar Alumni UR yang sama-sama melanjutkan pendidikan di IPB (Fikri, Singgih, Eka, Dwince dll), teman-teman SPL 2008 atas bantuan, doa dan dukungan serta kebersamaan selama ini). 9. Kru Ciampea Asri yuk Ida, Pinctada dan Harit atas bantuan dan dukungannya 10. Kelurga besar Sekretariat Program Studi SDP dan SPL IPB khususnya mas Mukhlis atas bantuannya. Bogor, April 2011
Desrita
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Toboh Sikaladi Kabupaten Padang Pariaman, Sumbar pada tanggal 12 Desember 1983 sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara, pasangan Ali Nurdin dan Juraida. Tahun 2002 lulus dari SMU I Lubuk Alung dan pada tahun yang sama melalui SPMB, penulis diterima di Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Tahun 2008 Penulis melanjutkan sekolah magister sains (S2) pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dalam upaya menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana, penulis melakukan penelitian dengan judul “Bioekologi Ikan Bunga Air (Clupeichthys goniognathus, Bleeker 1855) di Perairan Inlet Waduk Koto Panjang Kabupaten Kampar Provinsi Riau”.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
xxiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
xxv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xxvii
1.
PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1.2 Pendekatan Masalah .................................................................. 1.3 Tujuan dan Manfaat ...................................................................
1 1 2 3
2.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2.1 Keadaan Umum Perairan Inlet Waduk Koto Panjang ............... 2.2 Klasifikasi dan Struktur Morfologis Ikan C. goniognathus ...... 2.3 Kebiasaan Makanan ................................................................... 2.4 Pertumbuhan .............................................................................. 2.5 Reproduksi ................................................................................. 2.5.1 Seksualitas ........................................................................ 2.5.2 Perkembangan Gonad .......................................................
4 4 7 8 8 9 11 11
3.
METODE PENELITIAN ................................................................ 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................... 3.2 Alat dan Bahan .......................................................................... 3.3 Metode Penelitian ...................................................................... 3.3.1 Penentuan Stasiun Pengambilan Ikan Contoh .................. 3.3.2 Kegiatan di Lapangan ....................................................... 3.3.2.1 Pengambilan Ikan Contoh..................................... 3.3.2.2 Pengukuran Parameter Fisika, Kimia dan Biologi 3.3.3 Kegiatan di Laboratorium ................................................. 3.3.3.1 Pengukuran Panjang Berat .................................... 3.3.3.2 Pembedahan Ikan .................................................. 3.3.3.3 Pengamatan dan Pengukuran Organ Ikan ............. 3.3.3.3.1 Alat Pencernaan ..................................... 3.3.3.3.2 Organ Reproduksi .................................. 3.3.3.4 Fisika, Kimia dan Biologi Perairan ...................... 3.4 Analisi Data ............................................................................... 3.4.1 Kebiasaan Makanan .......................................................... 3.4.1.1 Panjang Usus Relatif............................................. 3.4.1.2 Indeks Kepenuhan Lambung ................................ 3.4.1.3 Komposisi Makanan dan Indeks Pilihan .............. 3.4.2 Pertumbuhan ..................................................................... 3.4.2.1 Sebaran Frekuensi Panjang ................................... 3.4.2.2 Hubungan Panjang Total dan Bobot Ikan ............. 3.4.2.3 Faktor Kondisi ...................................................... 3.4.2.4 Pendugaan Parameter Pertumbuhan ..................... 3.4.2.5 Mortalitas dan Laju Eksploitasi ............................
14 14 14 15 15 17 17 18 19 19 19 19 19 20 22 22 22 22 22 23 23 23 24 25 26 27
3.4.3 Reproduksi ........................................................................ 3.4.3.1 Nisbah Kelamin .................................................... 3.4.3.2 Indeks Kematangan Gonad ................................... 3.4.3.3 Ukuran Pertama Kali Matang Gonad ................... 3.4.4 Fisika dan Biologi Perairan .............................................. 3.4.4.1 Kondisi Kualitas Perairan ..................................... 3.4.4.2 Kelimpahan Plankton............................................
28 28 28 29 29 29 30
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian ............................................ 4.1.1 Indeks Kualitas Lingkungan ............................................. 4.2 Distribusi Spasial dan Temporal ................................................ 4.3 Kebiasaan Makanan ................................................................... 4.3.1 Panjang Usus Relatif dan ISC (Index Somatic Content) .. 4.3.2 Komposisi Jenis Makanan dan Indek Pilihan ................... 4.4 Pertumbuhan .............................................................................. 4.4.1 Hubungan Panjang dan Bobot Ikan .................................. 4.4.2 Koefesien Pertumbuhan .................................................... 4.4.3 Faktor Kondisi .................................................................. 4.5 Reproduksi ................................................................................. 4.5.1 Nisbah Kelamin ................................................................ 4.5.2 Tingkat Kematangan Gonad ............................................. 4.5.3 Indeks Kematangan Gonad ............................................... 4.5.4 Ukuran Pertama Kali Matang Gonad ............................... 4.5.5 Fekunditas ......................................................................... 4.5.6 Diameter dan Pola Sebaran Telur .................................... 4.6 Mortalitas dan Laju Eksploitasi ................................................. 4.7 Rekomendasi Pengelolaan .........................................................
31 31 33 35 39 39 40 43 43 45 47 49 49 50 56 57 59 60 60 61
5.
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 5.1 Kesimpulan ................................................................................ 5.2 Saran ..........................................................................................
63 63 63
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
65
LAMPIRAN ..............................................................................................
71
Halaman 1
Alat dan bahan pengamatan ikan sampel ...........................................
15
2
Tingkat Kematangan Gonad Ikan Belanak (Mugil dussumieri) modifikasi dari Cassei (Effendi dan Subardja 1977) dalam Effendi Effendi (1979) ....................................................................................
21
Kisaran nilai rata-rata kualitas air masing-masing lokasi selama penelitian ...........................................................................................
31
Data indeks kualitas lingkungan pada masing-masing lokasi pengamatan ........................................................................................
34
Panjang usus dibandingkan dengan panjang total ikan tiap lokasi penelitian ...........................................................................................
39
Indeks kepenuhan lambung ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan .............................................................................
40
7
Hubungan panjang dan bobot ikan C. goniognathus ........................
44
8
Hubungan panjang dan bobot ikan C. goniognathus tiap lokasi pengamatan ........................................................................................
44
Parameter pertumbuhan K, L∞, dan t0 ikan C. goniognathus betina, jantan dan gabungan ...............................................................
46
3 4 5 6
9
10 Parameter pertumbuhan ikan C. goniognathus tiap lokasi pengamatan ........................................................................................
46
11 Faktor kondisi ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan ........................................................................................
48
12 Tingkat kematangan gonad ikan C. goniognathus betina dan jantan di Inlet Waduk Koto Panjang .............................................................
50
13 Ukuran pertama kali matang gonad berdasarkan lokasi pengamatan
58
14 Kisaran panjang total, berat tubuh dan fekunditas ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan .............................
59
15 Laju mortalitas dan eksploitasi ikan C. goniognathus .......................
60
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Kerangka pemikiran ...........................................................................
3
2
Ikan Clupeichthys goniognathus Bleeker, 1851 ................................
7
3
Lokasi pengamatan dan pengambilan ikan C. goniognathus St 1: Muara Takus, St II: Gunung Bungsu, St III: St II (Gunung Bungsu), St IV: Tanjung dan St V: perbatasan Tanjung dg Tabing (Tanjung) ............................................................
17
4
Sketsa langgai kelambu ......................................................................
18
5
Jumlah ikan C. goniognathus yang tertangkap berdasarkan lokasi pengamatan .......................................................................................
35
Distribusi ukuran ikan C. goniognathus yang diamati berdasarkan periode pengamatan ...........................................................................
36
Jumlah ikan yang tertangkap berdasarkan lokasi dan bulan pengamatan ........................................................................................
38
8
Komposisi jenis makanan berdasarkan lokasi pengamatan ...............
41
9
Komposisi makanan ikan C. goniognathus berdasarkan TKG ..........
42
10 Indeks bagian terbesar Branchiopodopsis sp. pada ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan ..............................
43
11 Kurva pertumbuhan ikan C. goniognathus .......................................
47
12 Faktor kondisi ikan C. goniognathus betina, jantan dan gabungan berdasarkan lokasi pengamatan ........................................................
48
13 Nisbah kelamin ikan C. goniognathus matang gonad berdasarkan lokasi pengamatan .............................................................................
49
14 Persentase tingkat kematangan gonad pada ikan C. goniognathus betina (a) dan jantan (b) berdasarkan selang kelas panjang tiap lokasi pengamatan ..............................................................................
52
15 Jumlah ikan betina berTKG IV berdasarkan bulan pengamatan ....
53
16 Jumlah ikan betina berTKG IV berdasarkan lokasi pengamatan .......
53
17 Struktur histologi gonad ikan C. goniognathus betina P=previtolegenik oosit, Og=oogonium, Os=oosit, Nu=nucleus dan Ot=ootid ...........................................................................................
54
18 Histologi gonad ikan C. goniognathus jantan Sg=spermatogonium, St=spermatosit, Spt=spermatid dan Sz=spermatozoa .................................................................................
55
19 Nilai rata-rata indeks kematangan gonad ikan C. goniognathus berdasarkan bulan pengamatan ..........................................................
56
6 7
20 Nilai rata-rata indeks kematangan gonad ikan betina berdasarkan lokasi pengamatan ..............................................................................
57
22 Sebaran diameter telur ikan C. goniognathus dengan tingkat kematangan gonad (TKG IV) di masing-masing lokasi pengamatan ........................................................................................
61
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Lokasi pengamatan ...........................................................................
71
2
Cara penangkapan ikan C. goniognathus...........................................
72
3
Pembuatan preparat histologi gonad dengan metode mikroteknik (Gunarso, 1989) .................................................................................
73
Data fisika, kimia dan biologi di perairan inlet Waduk Koto Panjang ...........................................................................................
75
5
Curah hujan di daerah Pekanbaru dari tahun 2009 – 2010 ................
76
6
Indeks Kualitas Lingkungan tiap lokasi pengamatan ........................
78
7
Kelimpahan (ind/l) dan jenis plankton, tumbuhan dan serangga air yang ditemukan di lokasi pengamatan ..........................................
79
8
Komposisi makanan berdasarkan lokasi pengamatan ........................
81
9
Komposisi makanan berdasarkan tingkat kematangan gonad ...........
81
10 Sebaran frekuensi panjang ikan C. goniognathus setiap bulan pengamatan ........................................................................................
82
11 Distribusi ukuran ikan C. goniognathus berdasarkan bulan pengamatan ........................................................................................
83
12 Distribusi ukuran ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan ........................................................................................
84
4
13 Hubungan panjang berat ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan .................................................................................................
85
14 Penghitungan nisbah kelamin dan uji Khi-Kuadrat ...........................
87
15 Sebaran frekuensi Tingkat Kematangan Gonad (TKG) jantan dan betina masing-masing lokasi pengamatan berdasarkan selang ukuran panjang ...................................................................................
90
16 Jumlah ikan berdasarkan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) dan bulan pengamatan ........................................................................
90
17 Jumlah ikan berdasarkan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) dan bulan pengamatan ..............................................................................
91
18 Indeks Kematangan Gonad (IKG) berdasarkan bulan pengamatan ...
92
19 Indek Kematangan Gonad (IKG) berdasarkan lokasi pengamatan ....
92
20 Penghitungan ukuran pertama kali matang gonad ikan C. goniognathus .................................................................................
93
21 Matrik hasil penelitian .......................................................................
95
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Waduk Koto Panjang merupakan salah satu waduk yang terdapat di Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Waduk yang selesai dibangun pada tahun 1996 ini membendung perairan di wilayah pertemuan antara Sungai Batang Mahat dan Sungai Kampar Kanan. Secara ekologis, Sungai Kampar merupakan habitat dari berbagai jenis organisme perairan, baik organisme tingkat rendah maupun organisme tingkat tinggi. Salah satu organisme tingkat tinggi yang banyak dimanfaatkan adalah ikan. Pemanfaatan Waduk Koto Panjang oleh masyarakat sekitar antara lain sebagai tempat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), sebagai tempat usaha penangkapan ikan dan lain-lain. Beberapa jenis ikan yang ditangkap di perairan Waduk Koto Panjang dan Sungai Kampar Kanan bernilai ekonomis salah satunya adalah ikan Bunga Air (Clupeichthys goniognathus, Bleeker 1855). Di Laos ikan tersebut termasuk ekonomis penting dan diperdagangkan terutama di pasar Vientiane (Schouten 1998). Menurut Kottelat et al. (1993), ikan Sumateran River Sprat ini hidup di perairan tawar dan penyebarannya di Indonesia dan Thailand. Di Indonesia, penyebarannya terdapat di kabupaten Lahat Sumatera Selatan dan Kampar Riau. Ikan C. goniognathus juga menyebar luas di hulu Sungai Mekong di daerah Ngon Tha, Laos (Taki 1975). Penangkapan ikan C. goniognathus tersebut menggunakan alat tangkap yang dinamakan langgai kelambu. Langgai kelambu merupakan alat tangkap yang memiliki mata jaring < ¼ inch, hal ini dimaksudkan untuk memberi peluang tertangkapnya ikan bunga air yang juga berukuran kecil disamping ikan yang berukuran besar atau ikan dewasa. Akan tetapi, penggunaan alat tangkap tersebut menyebabkan beberapa ikan bunga air yang belum dewasa dan belum memijah juga akan tertangkap. Akibatnya, di waktu mendatang dikhawatirkan akan terjadi penurunan populasi. Untuk melestarikan keberadaanya perlu dilakukan pengelolaan terhadap perairan yang menjadi habitat populasi ikan tersebut. Salah satu upaya yang perlu dikaji berkenaan dengan pelestarian ikan ini adalah menganalisis faktor-faktor
yang berkaitan dengan ikan tersebut, antara lain mengetahui kebiasaan makanan, pertumbuhan, dan reproduksi serta keadaan ekologis habitatnya. 1.2 Pendekatan Masalah Aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar perairan masuk Waduk Koto Panjang terhadap ikan C. goniognathus sangat tinggi ketika musim hujan datang. Ketika hujan turun air sungai naik dan melimpah, ikan-ikan berdatangan karena pada saat inilah materi-materi terkumpul di sungai dari aliran air yang masuk. Hampir semua nelayan yang berdomisili di sekitar daerah inlet waduk melakukan penangkapan, mulai dari daerah Muara Takus (daerah peralihan Waduk ke Sungai) hingga Tanjung (perairan sungai). Penangkapan dilakukan dari pagi hingga sore hari dengan menggunakan alat yang sama, sehingga kondisi ini dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya penurunan populasi ikan C. goniognathus. Informasi yang lengkap dari aspek biologi (makanan, pertumbuhan dan reproduksi) dan ekologi (habitat) ikan bunga air sangat diperlukan untuk pengelolaan sumberdaya ikan, khususnya ikan bunga air di inlet Waduk Koto Panjang di masa yang akan datang. Begitu pula dengan keterkaitan antara biologi dengan ekologi habitat ikan sangat perlu dikaji secara lengkap dan tepat. Hubungan keterkaitan antara parameter biologi dan ekologis ikan C. goniognathus dapat dilihat pada diagram kerangka pemikiran sebagaimana dalam Gambar 1. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keadaan habitat perairan, aspek biologi makanan, pertumbuhan, dan reproduksi ikan Bunga Air (C. goniognathus) Hasil penelitian diharapakan dapat memberikan informasi bidang biologi dan ekologi ikan C. goniognathus yang nantinya dijadikan dasar dalam pengelolaan ikan tersebut, agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaaan Umum Perairan Inlet Waduk Koto Panjang Waduk Koto Panjang terletak pada posisi geografis 1000 40’ BT-1010 00’ BT dan 000 10’ LU-000 24’ LU yang berbatasan langsung dengan Sumatera Barat. Waduk termasuk dalam kecamatan XIII Koto Kampar, dan jarak waduk ke Pekanbaru sekitar 150 km dan 80 km dari daerah Bangkinang (Kampar dalam Angka 2004). Waduk Koto Panjang dikelilingi oleh daerah perbukitan yang dibentuk pada tahun 1996 dengan memanfaatkan pertemuan antara Sungai Batang Mahat dan Sungai Kampar Kanan. Sungai Kampar Kanan adalah cabang dari hulu Sungai Kampar dengan cabang satu lagi adalah Sungai Kampar Kiri. Antara Sungai Kampar Kanan dan Kiri bertemu kembali kira-kira 5 km sebelah barat Desa Langgam dan mengalir ke Selat Malaka dengan jarak 180 km dari Desa Langgam (Nurdin et al. 2005). Waduk ini merupakan salah satu waduk terluas di Indonesia (± 124 km2 atau 12.400 Ha) dengan kapasitas genangan 1.545 juta km3 dan ketinggian muka air maksimum ± 85 m di atas permukaan laut (Departemen Pertambangan dan Energi, 1995). Debit air yang masuk ke waduk PLTA Koto Panjang lebih kurang 184,4 m3/det dan waduk dioperasikan pada ketinggian maksimal 82-83 m. Sartono (2000) menyatakan, kapasitas penampungan aktif air di waduk PLTA Koto Panjang adalah sekitar 1.040 juta m3. Habitat yang dulunya bersifat lothik (mengalir) menjadi lenthik (tergenang) secara tidak langsung telah merubah struktur habitat Sungai Kampar Kanan itu sendiri. Ikan yang terperangkap dalam waduk harus bisa beradaptasi dengan situasi perairan seperti itu, ikan-ikan yang mempunyai daya adaptasi tinggi yang bisa bertahan hidup dan mempunyai keturunan. Sebaliknya ikan-ikan yang tidak mampu beradaptasi dengan baik akan tersingkirkan oleh karena adanya tekanan dari lingkungan itu sendiri. Pembendungan sungai mengakibatkan tiga perubahan keseimbangan ekologi seperti (1) perubahan ekosistem perairan mengalir (lotik) menjadi ekosistem perairan tergenang (lentik), (2) jejaring makanan bentik menjadi jejaring makanan pelagis dan (3) pengkayaan nutrient (eutrofikasi) (Coasta-Pierce
1997). Disamping itu akan merubah kandungan nutrien di perairan (Miranda 2001). Deposit nutrien dari tanah dan bahan organik lainnya dapat meningkatkan produktifitas perairan pada beberapa tahun awal penggenangan. Balon dan Coche (1974) dalam Costa-Pierce (1997) mengemukakan perubahan ekosistem perairan menjadi empat fase proses yaitu (1) ketidakseimbangan kesuburan (eutrof), (2) ketidakstabilan, (3) stabilisasi dan (4) kemantapan (maturity). Salah satu aspek habitat adalah kualitas air (fisika, kimia dan biologi) seperti suhu, arus, oksigen terlarut, dan pH yang mempengaruhi kemampuan hidup ikan di perairan. Suhu optimum untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis berkisar 25-30 ºC (Boyd dan Kopler 1979). Keasaman air disebut juga dengan pH (puissance negatif de hidrogen) yang dinyatakan dalam angka 1,0 sampai 14,0. pH adalah log 10 (l/(H+)), dimana (H+) adalah konsentrasi ion hidrogen. Apabila O2 tinggi maka pH tinggi, sedangkan bila O2 rendah maka pH rendah (Effendie 2003). Umumnya pH yang cocok bagi kehidupan ikan berkisar antara 6,7 - 8,6. Namun beberapa jenis ikan yang karena lingkungan hidup aslinya berada di rawarawa mempunyai ketahanan untuk hidup pada pH yang rendah. Faktor lingkungan lainnya adalah arus. Arus dapat menguntungkan karena dapat membawa makanan, oksigen dan sebagainya. Namun arus kuat menyebabkan ketidakseimbangan pada dasar perairan yang lunak. Data parameter fisika dan kimia perairan Sungai Kampar dapat dilihat pada penelitian Siregar (2004) suhu pada daerah hulu sungai Kampar (Kabupaten Kampar) suhu berkisar antara 28,0 – 32,0 C, kecerahan antara 0,60 – 0,85 meter, kekeruhan antara 30,80 – 40,50 NTU, kadar O2 terlarut antara 7,15 – 8,19 ppm, kadar CO2 terlarut antara 3,00 – 4,24 ppm, pH antara 6,8 – 7,2 dan salinitas 0,515 – 0,628 permil. Fitoplankton adalah makhluk hidup yang berupa tumbuhan renik yang melayang-layang di dalam kolom air yang tidak mampu bergerak secara aktif melawan arus air (Odum 1993). Secara ekologis fitoplankton merupakan dasar dari rantai pakan, sehingga keberadaanya akan menentukan keberadaan seluruh biota air (Nybakken 1988). Lebih lanjut dijelaskan bahwa perkembangan fitoplankton sangat
ditentukan oleh faktor fisik kimiawi lingkungan seperti
intensitas cahaya matahari, nutrien dan suhu serta faktor biologis seperti struktur komunitas fitoplankton. Krebs (1972) menambahkan bahwa keanekaragaman fitoplankton dapat dikatakan sebagai keheterogenan spesies dan merupakan ciri khas dari struktur komumitas yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan dimana biota hidup sedangkan indeks keseragaman dapat dikatakan sebagai keseimbangan komposisi setiap spesies dalam suatu komunitas. Beberapa plankton yang ditemukan di perairan inlet Waduk Koto Panjang antara lain terdiri dari kelas Chlorophyceae, Cyanophyceae, Chrysophyceae, Xantophyceae dan Bacillariophyceae (Aprilianti 2007). Terdapat perbedaan jumlah dan jenis ikan sebelum dan sesudah dibentuknya waduk. Menurut Pulungan et al. (1986), sebelum dibangun waduk, pada penelitiannya ditemukan ikan-ikan yang hidup di sungai Kampar Kanan sebanyak 25 jenis. Setelah empat tahun berdirinya waduk, ikan-ikan yang terdapat pada waduk PLTA Koto Panjang jumlahnya menjadi 22 jenis ikan (Pulungan 2000). Setelah menjadi waduk beberapa jenis ikan yang tidak ditemukan antara lain : tali-tali (Botia hymenophysa Blkr), tali-tali (Nemachilus fasciatus CV), buntal (Tetraodon leiurus Blkr), ongan (Osteochillus borneensis Blkr), pantau kulibi (Rasbora vaillanti Popta), seluang (Dangila fasciata Blkr), tetapi dijumpai jenis-jenis ikan setelah waduk terbentuk seperti ikan motan (Thynnicthys polylepis CV), julung-julung (Hemirhampus sp.), toman
(Channa micropeltes), baung
tundik (Mystus nigriceps CV), baung senggal (M. planiceps), tapah (Wallago leeri Blkr), juaro (Pangasius polyuronodon), kalang (Clarias teysmani Blkr), dan bawal air tawar (Monodactylus argentus). Khairuzuhdi (2007) melakukan penelitian di Sungai Kampar dengan menemukan jenis-jenis ikan yang tidak ditemukan oleh Pulungan 1986. Beberapa jenis ikan tersebut antara lain mas (Cyprinus carpio), kapiek (Barbonymus schwanenfeldii), pala bujap (Osteochilus kahajanensis), pantau (Rasbora trilineata), barau (Hampala macrolepidota), sipaku (Puntius kahajanensis), sepimping (Chela oxygastroides), bunga air (Clupeichthys goniognathus). Semua jenis ikan tersebut tertangkap di Sungai Kampar Kanan dan Kiri Provinsi Riau.
2.2 Klasifikasi dan Struktur Morfologis Ikan C. goniognathus Ikan C. goniognathus adalah salah satu jenis ikan pelagis yang hidup di air tawar. Menurut Kottelat et al. (1993) ikan ini termasuk kedalam Kelas Actinopterygii Ordo Clupeiformes Famili Clupeidae Genus Clupeichtyhs dan Spesies Clupeichthys goniognathus Bleeker, 1855.
5 mm
mm mm Gambar 2. Ikan Clupeichthys goniognathus Bleeker, 1851 m
Ikan C. goniognathus adalah salah satu ikan yang termasuk IndochineseThai Clupeid, dua jenis lainnya adalah Clupeoides borneensis Bleeker, 1851 berasal dari Banjarmasin, Pulau Borneo. Corica soborna Hamilton-Buchanan, 1822 berasal dari Sungai Mahanada, India. Sedangkan Clupeichthys goniognathus Bleeker, 1855 berasal dari Lahat, Sumatera Selatan (Taki 1975). Menurut Kottelat et al. (1993), ikan (C. goniognathus) memiliki ciri-ciri tubuh sebagai berikut: bentuk tubuh torpedo, sisik-sisik pada sumbu sirip dada lebih pendek daripada setengah panjang; 15-16 sisir saring pada lengkung bawah insang. Adanya jari-jari bagian belakang yang terpisah dari sirip ekor menurut Fischer dan Bianchi, 1983 menjadi ciri khas dari ikan ini. Pada perutnya terdapat geligir yang berawal dari kepala sampai ke sirip dubur. Sirip dada berpangkal dekat profil perut dan sirip-sirip lainnya tidak berduri, sirip ekor bercagak dalam, sirip punggung tunggal, gurat sisi sangat pendek atau tidak ada sama sekali dan sisik profil perutnya bertaji. Famili Clupeidae ini sangat besar jenisnya; umumnya berukuran kecil dan merupakan ikan-ikan migran. Ikan haring dan sardin termasuk dalam suku ini dan berperan penting dalam perikanan di pesisir tropis dan kawasan beriklim sedang, dan berkelompok di permukaan. Beberapa jenis hidup ikan terbatas di sungaisungai atau muara sungai. Beberapa jenis mempunyai gigi tetapi kebanyakan
memakan plankton. Beberapa jenis penting untuk konsumsi manusia maupun binatang laut yang lebih besar (Kottelat et al., 1993). 2.3 Kebiasaan Makanan Umumnya makanan yang pertama kali datang dari lingkungan untuk semua ikan dalam mengawali hidupnya adalah plankton. Jika pertama kali ikan itu menemukan makanan berukuran tepat dengan mulutnya, diperkirakan akan dapat meneruskan hidupnya. Dalam mengelompokan ikan berdasarkan makanan, ada ikan sebagai pemakan plankton, pemakan tumbuhan, pemakan dasar, pemakan detritus, ikan buas dan ikan pemakan campuran. Menurut Effendie (2002) berdasarkan jumlah variasi dari macam-macam makanan tadi, ikan dapat dibagi menjadi eurypaghic yaitu ikan pemakan bermacam-macam makanan; stenophagic adalah ikan pemakan yang macamnya sedikit atau sempit dan monophagic, ikan yang makananya terdiri atas satu macam makanan saja. Kebanyakan cara ikan mencari makanan dengan menggunakan mata. Pembauan dan persentuhan digunakan juga untuk mencari makanan terutama oleh ikan pemakan dasar dalam perairan yang kekurangan cahaya atau dalam perairan keruh. Pada umumnya ikan mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap kebiasaan makannya serta dalam memanfaatkan makanan yang tersedia. Winemiller (1992) menyatakan kebiasaan makanan dipengaruhi oleh bentuk tubuh seperti bentuk gigi, ukuran mulut dan posisi mata. Pada penelitian sebelumnya Desrita (2007) jenis organisme yang biasa dimakan ikan C. goniognathus antara lain kelas Cyanophyceae, Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Crysophyceae, tumbuhan air, Rotifera, Aquatic insecta, dan Oligochaeta. 2.4 Pertumbuhan Pertumbuhan adalah suatu indikator yang baik untuk melihat kondisi kesehatan individu, populasi dan lingkungan. Laju pertumbuhan yang cepat menunjukan kelimpahan makanan yang tinggi dan kondisi lingkungan tempat hidup yang sesuai. Pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai perubahan ukuran (panjang dan bobot ikan) selama kurun waktu tertentu. Dari segi energi pertumbuhan berguna untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan, yaitu asupan energi dari makanan, keluaran energi untuk
metabolisme, keluaran energi untuk perrtumbuhan dan keluaran energi melalui ekskresi (Brett dan Groves 1979 dalam Moyle dan Cech 2004). Pada mulanya, saat ukuran ikan kecil ukuran ikan mulai meningkat secara lambat. Akan tetapi kemudian, laju pertumbuhan semakin cepat. Setelah waktu tertentu laju pertumbuhan kembali meningkat dengan lambat sampai pada akhirnya tetap pada suatu garis asimtotik. Sebagian besar ikan memiliki kemampuan untuk meneruskan pertumbuhan selama hidup bila kondisi lingkungannya sesuai dan ketersediaan makanan cukup baik, walaupun pada umur tua pertumbuhan ikan menjadi lambat. Ikan tidak memiliki limit tertentu untuk membatasi pertumbuhan (undeterminate growth) (Effendie 2002). Secara umum pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu keturunan (genetik), jenis kelamin, umur, parasit dan penyakit (Effendie 2002). Faktor eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah ikan yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut (Weatherley 1972), kadar amonia di perairan dan salinitas (Moyle dan Cech 2004). Pertumbuhan ikan bersifat sangat labil (Weatherley 1972). Hubungan panjang bobot penting artinya dalam dinamika populasi (Manik 2009) yakni misalnya dalam menghitung hasil tangkap per rekrut (yield per recruit, Y/R) dan biomassanya (biomass per recruitt, B/R). Dari data panjang tersebut dapat ditentukan panjang ikan maksimum (L∞) dan koefesien pertumbuhannya (K). Sehingga hubungan antar umur dan panjang ikan dapat diduga melalui data komposisi panjang yang dapat dikonversi untuk mendapatkan data komposisi umur. Selanjutnya data komposisi umur digunakan dalam pendugaan parameter pertumbuhan ikan (Sparre dan Venema 1999). Desrita (2007) menyatakan persamaan hubungan panjang berat untuk ikan gabungan (jantan dan betina) adalah Log W = -4,4943 + 2,7826 Log L. Nilai b yang dihasilkan <3 dan berarti pola pertumbuhannya bersifat alometrik negatif. 2.5 Reproduksi Ikan yang ukuran tubuhnya kecil dan masa hidupnya singkat, akan mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebih muda, jika dibandingkan dengan spesies ikan yang lebih besar dan umumnya lebih panjang (Lagler et al. 1977).
Faktor-faktor yang mengontrol siklus reproduksi ikan di perairan terdiri dari faktor fisika, kimia dan biologi. Ikan yang hidup di daerah tropis, faktor fisika utama yang mengontrol siklus reproduksi adalah arus, suhu dan substrat. Faktor kimia adalah gas-gas terlarut pH, Nitrogen dan metabolitnya serta zat buangan yang berbahaya bagi kehidupan ikan di perairan. Faktor biologi yang mengontrol siklus reproduksi ikan dibagi menjadi faktor dalam dan luar. Faktor dalam meliputi faktor fisiologis dan respon terhadap berbagai faktor lingkungan, selanjutnya faktor luar adalah patogen, predator dan kompetisi sesama spesies ikan atau dengan spesies lain. Induk yang siap memijah adalah induk yang telah melakukan fase pembentukan kuning telur (phase vitellogenesis) dan masuk fase dorman (Woynavorich dan Horvart 1980). Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya penumpukan bahan-bahan kuning telur (yolk) dalam sel telur dan berakhir setelah sel telur mencapai ukuran tertentu atau nukleolus tertarik ketengah nukleus. Setelah fase pembentukan kuning telur berakhir, sel telur tidak mengalami perubahan bentuk selama beberapa saat, tahap ini disebut fase istirahat (dorman). Menurut Lam (1985) apabila rangsangan diberikan pada saat ini, maka rangsangan akan menyebabkan terjadinya migrasi inti ke perifer, inti pecah atau lebur selanjutnya terjadi ovulasi (pecahnya folikel) dan oviposisi. Effendie (2002) mengemukakan bahwa, bilamana kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak diberikan, telur yang dorman tersebut akan mengalami degradasi atau gagal diovulasikan lalu diserap kembali oleh sel-sel ovarium, telur yang demikian dikenal dengan oosit atresia. Ikan air tawar di daerah tropis memiliki musim pemijahan yang lebih panjang. Setiap individu dapat memijah pada waktu yang berlainan dengan individu lainnya, tetapi masih terlihat adanya puncak-puncak musim pemijahan dalam setiap periode waktu tertentu, yaitu biasanya terjadi pada musim penghujan (Welcomme 1985). Lama pemijahan pada ikan dapat diduga dari ukuran diameter terlur. Jika waktu pemijahan pendek, semua telur masak yang terdapat dalam ovarium berukuran sama ukuran ini berbeda dengan ukuran telur pada saat folikel masih muda (Hoar 1957). Salman dan Wallace (1981) bila dihubungka periode waktu pemijahan dengan oosit yang berada dalam ovarium, maka ovarium ikan
dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu sinkronisme total (seluruh oosit berada pada tingkat perkembangan atau stadia yang sama), sinkronisme kelompok (sedikitnya ada dua populasi yang berada dalam stadia yang sama) dan tidak ada sinkronisme atau metakrom (oosit terdiri atas semua tingkat perkembangan). 2.5.1 Seksualitas Untuk mengetahui jenis kelamin suatu spesies ikan jantan atau betina dapat diketahui dengan memperhatikan ciri-ciri seksual yang terdapat pada individu tersebut, baik itu ciri seksual primer maupun ciri seksual sekunder. Effendie (2002), menyatakan ciri seksual primer pada ikan ditandai dengan adanya organ yang secara tidak langsung berhubungan dengan proses reproduksi yaitu ovarium dan testes. Ciri seksual sekunder ialah tanda-tanda luar yang dapat dipakai untuk membedakan ikan jantan dengan ikan betina. Apabila satu spesies ikan mempunyai ciri morfologis yang dapat dipakai untuk membedakan ikan jantan dan betina, maka spesies itu memilki sifat dikromatisme. Biasanya warna ikan jantan lebih cerah dibandingkan ikan betina. Lagler et al. (1977) menyatakan bahwa perbedaan antara ikan jantan dan ikan betina pada jenis yang sama dapat dilihat pada ukuran kepala, bentuk kepala, permukaan tengkorak kepala, bentuk sirip ekor, bentuk badan, perut, bentuk sirip anus, dasar sirip dada, bentuk sirip perut dan anus, bentuk serta ukuran lubang pelepasan alat kelamin. Setelah jenis kelamin diketahui maka perlu diketahui nisbah kelamin antara ikan jantan dan betina di perairan. Hal ini disebabkan karena jenis kelamin sangat mempengaruhi kondisi habitat. Nisbah kelamin yang diperoleh pada penelitian sebelumnya adalah 1 : 1,79 dari hasil pengamatan terhadap 187 sampel ikan, 67 ikan jantan dan 120 ikan betina. Setelah diuji statistik ternyata hasilnya tidak ada perbedaan jumlah antara ikan jantan dan betina (Desrita 2007). 2.5.2 Perkembangan Gonad Bagian
dari
reproduksi
ikan sebelum
terjadi
pemijahan
adalah
perkembangan gonad yang semakin masak, selama proses ini sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad. Kematangan gonad ikan di daerah tropik dipengaruhi oleh faktor suhu yang secara relatif perubahannya tidak
besar dan umumnya gonad dapat masak lebih cepat dibandingkan dengan daerah yang beriklim empat (Effendie 1979). Tingkat kematangan gonad adalah tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Selama proses reproduksi sebagian besar energi hasil metabolisme ikan akan tertuju untuk perkembangan gonad atau pertumbuhan gonad (Effendie 2002). Perkembangan gonad ikan sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan ikan sehingga faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi pertumbuhan, juga berpengaruh pada perkembangan gonad. Ada dua tahapan perkembangan gonad yaitu tahap perkembangan gonad menjadi dewasa kelamin (sexuality mature) dan tahapan pematangan gamet (gamet maturation). Pada hewan vertebrata seperti ikan, saat terjadinya kematangan gonad adalah merupakan periode ikan yang muda memiliki kemampuan untuk melakukan reproduksi. Hal ini terjadi dengan teraktivitasinya axis hipotalamus-pituitarygonad (Amer et al. 2001). Pada proses perkembangan dan pematangan gonad ikan maka sebagian besar energi pertumbuhan akan dialihkan dari perkembangan sel somatis menjadi pertumbuhan sel gamet. Pada saat ikan sudah matang gonad, bobot gonad pada ikan betina beratnya dapat mencapai 10-50% dari berat tubuhnya sedangkan pada ikan jantan antara 5-10% dari berat tubuhnya (Effendie 1979). Secara kuantitatif tingkat perkembangan gonad ini dapat dihitung dengan menggunakan Gonadal Somatic Index (GSI). Semakin tinggi perkembangan gonad maka perbandingan antara berat tubuh dan goand semakin besar yang diperlihatkan dengan nilai GSI yang besar, semakin besar nilai GSI maka dapat dijadikan indikator semakin dekatnya waktu untuk memijah. Fekunditas merupakan salah satu kegiatan penting yang dilakukan oleh ikan untuk melangsungkan populasi dengan dinamikanya. Dari fekunditas dapat ditaksir jumlah anak ikan yang akan dihasilkan dan akan menentukan jumlah ikan dalam kelas umur yang bersangkutan. Jadi fekunditas adalah jumla semua telur yang akan dikeluarkan pada waktu pemijahan (Effendie 1979). Pada ikan yang berbiak setahun sekali, fekunditas yaitu jumlah telur yang diproduksi per tahun. (Wootton 1992). Hasil penelitian sebelumnya menunjukan fekunditas ikan C. Goniognathus berkisar antara 78 – 369 butir (Desrita 2007). Sebelumnya
Nikolsky (1963) menyatakan bahwa fekunditas indvidu adalah jumlah telur yang terdapat di dalam ovarium ikan. Menentukan fekunditas ikan sebaiknya dilakukan pada tingkat kematangan gonad IV dan yang paling baik sesaat sebelum terjadinya pemijahan. Nilai fekunditas dari suatu spesies ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ketersediaan makanan, ukuran ikan (panjang dan berat) dan faktor lingkungan (Effendie 2002).
3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan inlet Waduk Koto Panjang Provinsi Riau. Pengambilan sampel ikan serta pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi perairan dilakukan setiap bulan sekali, dimulai dari bulan April hingga Agustus 2010. Sampel ikan dan air yang diambil setiap bulannya langsung dianalisis. Sedangkan pembuatan preparat histologi gonad ikan dilakukan pada bulan November 2010. Analisis sampel ikan dan plankton dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Laboratorium Layanan Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pembuatan preparat histologi dilakukan oleh BRKP (Balai Riset Kelautan Perikanan) di Sempur, Bogor. Parameter kualitas air dianalisa di Laboratorium Ekologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. 3.2 Alat dan Bahan Pemakaian alat digunakan untuk pengukuran beberapa parameter, baik parameter fisika, kimia dan biologi di lapangan dan laboratorium. Pengukuran di lapangan bersifat in situ sedangkan di laboratorium bersifat ex situ, yang bersifat in situ antara lain pengukuran suhu, kedalaman dan kecepatan arus (parameter fisika), pH dan DO (parameter kimia). Sedangkan untuk parameter biologi bersifat in situ untuk pengambilan sampel air plankton dan ex situ untuk pengamatan planktonnya. Parameter kimia lainnya seperti : alkalinitas, nitrat dan orthoposphat dikerjakan di laboratorium, begitu juga dengan pengukuran kekeruhan (parameter fisika). Sedangkan untuk bahan yang dipakai selama pengamatan, ada yang bersifat in situ dan ada juga bersifat ex situ. Untuk in situ antara lain lugol (pengawetan plankton), bahan-bahan titrasi pengukuran oksigen terlarut dan formalin berkonsentrasi 4 % (pengawetan ikan) dan 10 % (pengawetan gonad untuk proses histologi). Alat dan bahan yang digunakan selama penelitian di lapangan dan di laboratorium disajikan pada Tabel 1 di bawah ini: Tabel 1. Alat dan bahan pengamatan ikan sampel
No
Alat dan Bahan
1.
Alat Langgai kelambu (tangguk besar)
2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 1. 2. 3. 4.
Kegunaan
Menangkap ikan bunga air di semua stasiun Penggaris Alat ukur ikan Timbangan digital dengan Menimbang berat dan gonad ikan ketelitian 0.01 dan 0.001 gram serta saluran pencernaan Satu set alat bedah Membedah ikan untuk melihat dan mengambil gonad (seksual primer) dan saluran pencernaan (makanan) Dissecting mikroskop Menentukan TKG gonad ikan Cawan petri Tempat telur Hand Tally Counter Alat bantu menghitung telur Gelas ukur dengan kapasitas 5 ml Mengukur volume saluran pencernaan Mikroskop okuler Mengamati dan indentifikasi plankton serta makanan ikan Objek glass dan cover glass Tempat dan penutup pengamatan makanan ikan di mikroskop Plankton net (5 mikro) Mengambil plankton dari perairan Sedgwick Rafter Counting Cell Penghitungan kelimpahan plankton Tongkat berskala Mengukur kedalaman sungai Termometer raksa Mengukur suhu perairan Bola pimpong dan tali Mengukur kecepatan arus Spektrofotometer Mengukur kekeruhan, alkalinitas, nitrat dan orthoposphat Kertas dan papan indikator Mengukur pH Bahan Formalin 4 %, dan 10 % Mengawetkan ikan dan gonadnya Lugol Pengawet Plastik/toples Tempat sampel ikan Botol plastik Tempat sampel air dan plankton
3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Penentuan Stasiun Pengambilan Ikan Contoh Penentuan stasiun penelitian didasarkan pada distribusi ikan Bunga Air C goniognathus di perairan inlet Waduk Koto Panjang. Lokasi ini dianggap mewakili kondisi umum perairan. Ada 5 stasiun pengambilan sampel, mulai dari perairan Transision dan Riverine . Kriteria tersebut diwakili oleh perairan waduk hingga sungai: Stasiun I
= Perairan Muara Takus daerah transision dengan posisi N 00º 20’ 20.9” dan E 100º 38’ 39.4” merupakan daerah perluasan
waduk, di sekitar perairan terdapat kebun karet, bambu dan tumbuhan
perdu
lainnya
serta
merupakan
daerah
penangkapan ikan oleh nelayan dengan kedalaman ±5 meter. Perairannya sedikit berarus, air keruh ketika hujan datang dan subratnya lumpur berpasir. Stasiun II
= Perairan Gunung Bungsu merupakan daerah riverine (inlet Waduk Koto Panjang) dengan posisi S 00º 56’ 46.3” dan E 100º 22’ 13.5”. Pada lokasi ini memiliki lubuk dengan kedalaman ±30 meter, substrat pasir berlumpur, berarus, air keruh dan di sekitar perairan terdapat kebun sawit dan karet.
Stasiun III
= Terusan Perairan Gunung Bungsu juga merupakan riverine dengan posisi N 00º 18” 225.6’ dan E 100º 36’ 58.5, vegetasi di sekitar lokasi yaitu karet, sawit dan bambu serta rerumputan. Kedalamannya ±5 meter, bersubstrat pasir kerikil, arus kuat serta air jernih ketika tidak sedang hujan.
Stasiun IV
= Perairan Tanjung merupakan daerah riverine memiliki arus yang deras dengan posisi N 00º 18’ 10.9” dan E 100º 36’ 43.08”, memiliki substrat pasir kerikil, arus kuat, dan jernih serta di sekitar perairan banyak ditumbuhi pohon.
Stasiun V
= Terusan perairan Tanjung memiliki arus yang deras, bersubstrat pasir dengan posisi N 00º 17’ 26.1” dan E 100º 37’
12.1”.
Merupakan
pusat
penangkapan
ikan
C.
goniognathus serta di sekitar lokasi terdapat kebun sawit dan pepohonan besar. Stasiun penelitian dapat dilihat pada peta berikut :
Gambar 3. Lokasi pengamatan dan pengambilan ikan C. goniognathus St I: Muara Takus, St II: Gunung Bungsu I, St III: Gunung Bungsu II, St IV: Tanjung I dan St V: perbatasan Tanjung II (Sumber : LPRSI, 2006 dengan modifikasi) Gunung Bungsu II dan Tanjung I merupakan stasiun tambahan setelah dilakukan pengambilan sampel sebanyak 3 kali ke lapangan. Pada pengambilan ke 1, 2 dan 3 sampel ikan hanya didapatkan di Tanjung II saja, selanjutnya untuk melengkapi kekurangan data maka dilakukan penambahan 2 lokasi yang berjarak 2 km dari Gunung Bungsu I dan 2 km lagi dari Gunung Bungsu I ke arah lokasi Tanjung II, masing-masing dinamakan Gunung Bungsu II dan Tanjung I. 3.3.2 Kegiatan di Lapangan 3.3.2.1 Pengambilan Ikan Contoh Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, dengan mengambil data hasil tangkapan dari nelayan setiap bulannya. Ikan ditangkap dengan alat tangkap langgai kelambu yang dioperasikan di tiap lokasi penelitian. Ikan yang dianalisis adalah semua ikan yang tertangkap selama penelitian setelah diadakan penyeleksian dengan cara pengacakan. Ikan yang tertangkap dengan usaha yang sama, diacak dengan pengambilan ikan contoh sebanyak 50 % tiap lokasinya. Langgai kelambu adalah nama alat tangkap tradisional di daerah setempat dengan menggunakan kain kelambu sebagai jaringnya dengan ukuran < ¼ inch. Langgai kelambu sebagai alat tangkap aktif, dapat disebut juga tangguk besar
yang panjangnya berukuran 2 - 3 meter, kantong tempat ikan 30 cm, selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4 berikut :
Gambar 4. Sketsa langgai kelambu (Sumber :Data primer) Sampel ikan yang didapat segera dikumpulkan ke dalam toples yang berisi formalin 4%. Kemudian segera dibawa ke laboratorium untuk analisa selanjutnya. 3.3.2.2 Pengukuran Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi dilakukan setiap turun ke lokasi penelitian. Sampel air terdiri dari parameter fisika, kimia dan biologi. Parameter fisika antara lain: pengukuran suhu, kecepatan arus, kedalaman, dan pengambilan sampel air untuk kekeruhan. Parameter kimia terdiri dari: alkalinitas, nitrat, ortophosphat dan oksigen terlarut. Khusus untuk parameter oksigen terlarut analisis yang dilakukan adalah titrasi, pengecekan oksigen terlarut langsung dilakukan di lapangan dengan menggunakan beberapa bahan kimia sebagai campuran sampel air. Sedangkan pengamatan parameter alkalinitas, kekeruhan, ortophosphat dan nitrat dilakukan di laboratorium. Hal ini dilakukan sebagai data penunjang sampel ikan. Cara dan alat yang digunakan dalam pengukuran habitat perairan dapat dilihat pada Tabel 1. Parameter biologi yaitu pengambilan air sampel plankton diambil di setiap lokasi penelitian pada saat pengambilan sampel ikan dengan menggunakan plankton net. Pengambilan sampel plankton dilakukan dengan menyaring air
sebanyak 100 liter. Pengambilan dilakukan dengan menggunakan ember yang berukuran 10 liter, dituangkan ke dalam plankton net yang pada ujungnya dikaitkan dengan tabung sebagai wadah penampung sampel plankton. Kemudian air sisa saringan dimasukan kedalam botol plastik berukuran 100 ml, diberi pengawet (lugol) dan diberi label. 3.3.3 Kegiatan di Laboratorium 3.3.3.1 Pengukuran Panjang dan Berat Sebelum diukur panjang total, ikan terlebih dahulu ditaruh di atas tisu agar menghasilkan berat yang tidak berbeda jauh dengan berat aslinya. Panjang total diukur mulai dari ujung mulut hingga ujung cagak ekor menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm. Berat ikan ditimbang dengan timbangan sartorius dengan ketelitian 0.01 gram. Hal ini dilakukan untuk mencari hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan. 3.3.3.2 Pembedahan Ikan Setelah pengukuran panjang total dan berat total, ikan segera dibedah. Alat yang digunakan adalah satu set alat bedah, tubuh ikan dibedah dengan gunting mulai dari bagian anus hingga belakang operculum, kemudian diambil organ reproduksi, dan alat pencernaan. Saluran pencernaan diambil untuk keperluan menganalisis kebiasaan makanan sedangkan organ reproduksi diambil untuk keperluan reproduksi ikan. 3.3.3.3 Pengamatan dan Pengukuran Organ Ikan Organ ikan yang diambil ada dua organ yaitu alat pencernaan (lambung dan usus) dan organ reproduksi (gonad). Hal-hal yang dilakukan untuk pengamatan dan pengukuran organ tersebut sebagai berikut : 3.3.3.3.1 Alat Pencernaan Pengukuran panjang usus Pengukuran panjang usus dimulai dari ujung lambung hingga anus menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm. Pengukuran panjang usus ini bertujuan untuk mengetahui panjang usus relatif. Pengukuran volume isi lambung Alat pencernaan yang masih berisi ditimbang menggunakan sartorius dengan ketelitian 0.0001 gram. Kemudian isinya dikeluarkan, dipisahkan ke
cawan petri untuk selanjutnya alat pencernaan yang kosong ditimbang kembali. Kemudian dilakukan pengurangan antara lambung berisi dengan lambung kosong untuk mendapatkan volume isi lambung. Pengukuran isi alat pencernaan dilakukan untuk mengetahui ISC (Index of Somatic Content). Analisis isi lambung Isi alat pencernaan yang sudah didapatkan kemudian di beri air supaya mudah untuk menganalisa jenis makanannya, sampel diambil dengan pipet tetes kemudian dianalisa dengan menggunakan mikroskop okuler pembesaran 4x10. Untuk pertama kalinya jenis makanan dikenali terlebih dahulu, dipisahkan kemudian dicatat apa aja jenisnya selanjutnya ditentukan skor sesuai dengan besar kecilnya jenis makanan tersebut. Untuk analisa isi lambung ini diambil 3 tetes untuk satu sampel. Analisa isi lambung dilakukan untuk mengetahui komposisi makanan pada ikan C. goniognathus. Identifikasi makanan dengan menggunakan buku identifikasi (Yunfang 1995). 3.3.3.3.2 Organ Reproduksi Pengamatan gonad Organ reproduksi diamati secara seksama baik secara makroskopis dan mikroskopis (dissecting mikroskop), kemudian ditentukan jenis kelaminnya baik itu jantan maupun betina. Pengamatan jenis kelamin dilakukan untuk menentukan nisbah kelamin. Pengamatan struktur gonad secara anatomi dan histologi Gonad yang sudah ditentukan jenis kelamin sebelumnya dilihat secara seksama dengan menggunakan dissecting mikroskop. Gonad untuk histologi diambil dari gonad segar, langsung dari lapangan kemudian dimasukan ke dalam wadah yang berisi pengawet formalin merck 10 %. Setelah 24 jam gonad dipindahkan ke wadah berformalin 4 % untuk selanjutnya diberikan perlakukan sesuai dengan tahap-tahap pembuatan preparat histologi. Pengamatan struktur gonad secara anatomi dan histologi berguna untuk menentukan TKG (Tingkat Kematangan Gonad) tersebut. Adapun acuan dalam penentuan tingkat kematangan gonad yaitu menurut Effendi (1979), dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Belanak (Mugil dussumieri) modifikasi dari Cassei (Effendi dan Subardja 1977) dalam Effendi (1979). Tingkat Kematangan I
II
III
IV
V
Betina
Jantan
Ovari seperti benang, panjang Testes seperti benang, lebih sampai kedepan rongga tubuh. pendek (terbatas) dan terlihat Warna jernih. Permukaan licin ujungnya dirongga tubuh. Warna putih Ukuran ovari lebih besar. Ukuran testes lebih besar. Perwarnaa lebih gelap Perwarnaan putih seperti susu. kekuning-kuningan. Telur Bentuk lebih jelas dari pada belum terlihat jelas dengan tingkat I mata Ovari berwarna kuning. Secara Permukaan testes tampak morfologi telur mulai kelihatan bergerigi. Warna makin putih, butirnya dengan mata testes makin besar. Dalam keadaan diawet mudah putus Ovari makin besar, telur ber Seperti pada tingkat III tampak warna kuning, mudah lebih jelas. Testes semakin dipisahhkan. Butir minyak pejal. tidak tampak, mengisi ½ - 2/3 rongga perut, usus terdesak. Ovari berkerut, dinding tebal, Testes bagian belakang kempis butir telur sisa terdapat didekat dan di bagian dekat pelepasan pelepasan. Banyak telur seperti masih berisi. pada tingkat II
Penimbangan bobot gonad Gonad yang sudah dikeluarkan saat pembedahan kemudian diitimbang dan bibandingkan dengan berat ikan untuk ditentukannya IKG (Indeks Kematangan Gonad). Penghitungan jumlah telur Gonad yang termasuk kelompok Tingkat Kematangan Gonad IV pada ikan betina diletakkan ke cawan petri, dipisahkan dari kulit pembungkus kemudian dihitung secara langsung dengan bantuan hand tally counter. Penghitungan jumlah telur dilakukan untuk mengetahui fekunditas ikan tersebut. Pengukuran diameter telur Sampel telur diambil pada bagian anterior, tengah dan posterior telur dengan bantuan mikroskop micrometer perbesaran 4x10, diameter telur dihitung satu persatu, guna penentuan pola pemijahan berdasarkan modus penyebaran,
telur. Menurut Effendie (2002) jika proses pemijahan berlangsung dalam waktu yang panjang atau telur yang dikeluarkan sedikit demi sedikit dan terdapat beberapa modus ukuran disebut pemijahan sebagian (partial spawning) sedangkan jika pemijahan berlangsung dalam waktu yang singkat atau telur yang dikeluarkan secara total dan hanya terdapat satu modus ukuran disebut pemijahan total (total spawning). 3.3.3.4 Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Analisis untuk parameter perairan seperti: kekeruhan (turbidymeter), nitrat dan orthoposphat (spektrofotometer), serta alkalinitas (titrasi) dilakukan di Laboratorium. Identifikasi Plankton Sampel air plankton (100 ml) diambil 8 – 10 tetes dituangkan ke Sedgwick Rafter Counting Cell berukuran 50x20x1 mm3, pencacahan sel menggunakan metode sapuan. Kemudian plankton mulai dianalisa dan diidentifikasi menggunakan buku petunjuk Presscot (1970) dan Mizuno (1979). Setelah itu dihitung kelimpahan dan indeks keanekaragamannya sesuai rumus yang berlaku. 3.4 Analisis Data 3.4.1 Kebiasaan Makanan 3.4.1.1 Panjang Usus Relatif Rasio panjang usus dihitung dengan rumus sebagai berikut: Panjang usus relatif = Keterangan : PU = panjang total ikan (mm) PT = panjang usus ikan (mm) 3.4.1.2 Indeks Kepenuhan Lambung Indeks kepenuhan lambung atau Index of Stomach Content (ISC) ditentukan untuk mengetahui tingkat konsumsi pakan relatif sampel ikan. ISC ditentukan dengan menggunakan perhitungan menurut Sphatura dan Gophen (1982) dalam Sulistiono (1998) yaitu: ISC =
Keterangan: ISC = Index of Stomach Content (%) SCW = Berat isi lambung (gram) BW = Berat total ikan (gram) 3.4.1.3 Komposisi Makanan dan Indeks Pilihan Analisis komposisi makanan dilakukan dengan menggunakan indeks bagian terbesar (Index of propenderence) oleh (Natarajan dan Jhingran 1961) dalam (Effendie 1979) dengan rurmus sebagai berikut : IP =
∑
x 100
Keterangan: Vi Oi ∑ IP
= persentasi volume satu macam makanan (%) = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan (%) = frekuensi kejadian seluruh macam makanan (%) = Index of Preponderence (%) Indek pilihan (index of electivity) yang dicari berdasarkan Le Brasseur
(1970) dalam Effendi (1979) menggunakan indek pilihan yang dianjurkan oleh Ivlev yaitu : E
=
Dimana : E ri pi
= indek electivity (+1 sampai -1) = jumlah relatif macam-macam organisme yang dimakan = jumlah relatif macam organisme dalam perairan
3.4.2 Pertumbuhan 3.4.2.1 Sebaran Frekuensi Panjang Kelompok ukuran ikan C. goniognathus diidentifikasi atau dipisahkan menggunakan metode Battacharya (Sparre dan Venema 1999). Sebaran frekuensi panjang total dan diameter telur dapat dihitung dengan menggunakan rumus Sturges (Walpole 1992), yaitu sebagai berikut : • Menentukan nilai maksimum dan minimum dari keseluruhan data • Menghitung jumlah kelas ukuran dengan rumus : K = 1 + (3.32 log n); K = Jumlah kelas ukuran; n = jumlah data pengamatan. • Menghitung rentang data/wilayah ;
Wilayah = Data terbesar – data terkecil
• Menghitung lebar kelas : Lebar kelas = • Menentukan limit bawah kelas yang pertama dan limit atas kelasnya. Limit atas kelas diperoleh dengan menambahkan lebar kelas pada limit bawah kelas. • Mendaftarkan semua limit kelas untuk setiap selang kelas • Menentuakan nilai tengah bagi masing-masing selang dengan merataratakan limit kelas • Menentukan frekuensi bagi masing-masing kelas • Menjumlahkan frekuensi dan memeriksa apakah hasilnya sama dengan banyaknya total pengamatan. 3.4.2.2 Hubungan Panjang Total dan Bobot Ikan Analisis hubungan panjang bobot ikan menggunakan uji regresi dengan rumus sebagai berikut (Effendie 1979): W = aLb Keterangan: W = Berat tubuh ikan (gram) L = Panjang ikan (mm), a dan b = konstanta Hubungan parameter panjang total dengan bobot ikan dapat dilihat dari nilai b yang dihasilkan. Nilai b sebagai penduga kedekatan hubungan kedua parameter, yaitu: Nilai b=3, menunjukan pola pertumbuhan isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan berat) Nilai b ≠ 3, menunjukan pola pertumbuhan allometrik : Jika b > 3, maka allometrik positif (pertumbuhan berat lebih dominan) Jika b < 3, maka allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih dominan) Untuk lebih menguatkan pengujian dalam menentukan keeratan hubungan kedua parameter (nilai b), dilakukan uji t dengan rumus berikut (Walpole 1992) : T hit = Keterangan :
Sb1 = Simpangan baku b1 b0 = Intercept b1 = Slope sehingga diperoleh hipotesis : H0 : b = 3 (isometrik) H1 : b ≠ 3 (allometrik) Setelah itu, nilai thitung dibandingkan dengan nilai ttabelsehingga keputusan yang dapat diambil adalah sebagai berikut : t hitung > ttabel, maka Tolak H0 thitung > ttabel, maka Gagal Tolak H0
Apabila pola pertumbuhan allometrik maka dilanjutkan dengan hipotesis sebagai berikut : Allometrik positif H0 : b ≤ 3 (isometrik) H1 : b > 3 (allometrik) Allometrik negatif H0 : b ≥ 3 (isometrik) H1 : b < 3 (allometrik) Keeratan hubungan panjang berat ikan ditunjukkan oleh koefesien korelasi (r) yang diperoleh dari rumus √
: dimana R adalah koefesien determinasi. Nilai
mendekati 1 (r > 0.7) menggambarkan hubungan yang erat antara keduanya, dan nilai menjauhi 1 (r > 0.7) menggambarkan hubungan yang tidak erat antara keduanya (Walpole 1992). 3.4.2.3 Faktor Kondisi Faktor kondisi dihitung dengan menggunakan persamaan Panderal Index dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie 1979): K= Keterangan: K = Faktor kondisi W = Berat tubuh (gram) L = Panjang total (mm) a dan b = konstanta regresi
3.4.2.4 Pendugaan Parameter Pertumbuhan Plot-Walford merupakan salah satu metode paling sederhana dalam menduga parameter pertumbuhan L∞ dan K dari persamaan von Bertalanffy dengan interval waktu pengambilan contoh yang sama (King 1995). Berikut ini adalah persamaan pertumbuhan von Bertalanffy. [-K(t-to)]
Lt = L∞ (1-e
)
Keterangan : Lt = Panjang ikan pada saat umur t (satuan waktu) L∞ = Panjang maksimum secara teoritis (panjang asimtotik) K = Koefisien pertumbuhan (per satuan waktu) t0 = Umur teoritis pada saat panjang sama dengan nol Penurunan plot Ford-Walford didasarkan pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dengan t0sama dengan nol, maka persamaannya menjadi sebagai berikut : [-K(t-to)]
Lt
= L∞(1-e
Lt
= L∞ - L∞ e
L∞ - Lt
= L∞ e
)
(1)
[-Kt]
[-Kt]
(2)
Setelah Lt+1disubtitusikan ke dalam persamaan (1) maka diperoleh perbedaan persamaan baru tersebut dengan persamaan (1) seperti berikut : [-K(t+1)]
Lt t+1 – Lt
[-Kt]
= L∞ (1-e ) - L∞ e ) [-K(t+1)] [-Kt] = -L∞ e + L∞ e [-Kt] [-K] = L∞ e (1-e ) (3) Persamaan (2) disubtitusikan ke dalam persamaan (3) sehingga diperoleh
persamaan sebagai berikut : Lt+1 – Lt
[-Kt]
[-K]
= L∞ e (1-e ) [-K] [-K] = L∞ (1-e ) – L1 + Lt e [-K] [-K] = L∞ (1-e ) + Lt e
(4)
Persamaan (4) bentuk persamaan linier dan jika Lt (sumbu x) diplotkan terhadap Lt+1 (sumbu y) maka garis lurus yang berbentuk akan memiliki kemiringan (slope) (b) =e
[-K]
. Lt dan Lt+1 merupakan panjang pada saat t dan yang dipisahkan oleh interval
waktu yang konstan (Pauly 1984). Nilai L∞ dan K didapatkan dari hasil perhitungan
dengan metode ELEFAN I (Electronic Length Frequencys Analisis) yang terdapat dalam program FISAT II. Umur teoritis ikan pada saat lebar sama dengan nol dapat diduga secara terpisah menggunakan persamaan empiris Pauly (Pauly 1983 diacu dalam Amir 2006) sebagai berikut. Log (-t0) = 0.3922 – 0.2752 (Log L∞) – 1.038 (Log K)
3.4.2.5 Mortalitas dan Laju Eksploitasi Penentuan mortalitas total dengan menggunakan teknik Kuosien Z/K dan modisikasinya dikembangkan oleh Beverton dan Holt (1957). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa sampel ikan diperoleh dari populasi yang stabil dengan penambahan baru dan laju mortalitas yang konstan serta mengikuti model pertumbuhan von Bertalanffy. Nilai Z/K dapat diduga jika nilai-nilai L∞, Lc dan L diketahui dengan persamaan : (
)
(
)
atau jika L’ diketahui dapat digunakan rumus : (
)
(
)
Keterangan: Z K L∞ L Lc L’
= mortalitas total = koefesien pertumbuhan von Bertalanffy = panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhan von Bertalanffy = rata-rata panjang ikan dalam kelompok umur tertentu = panjang ikan pertama tertangkap alat = panjang ikan terkecil dalam sampel dengan jumlah sudah dapat diperhitungkan Laju mortalitas alami (M) diduga menggunakan rumus empiris Pauly (1980)
diacu dalam Sparre dan Venema (1999) : Ln M = -0.0152-0.279 ln L∞ + 0.6543 ln K + 0.463 ln T M = e(lnM) Keterangan : M = mortalitas alami L∞ = panjang asimtotik pada persamaan pertumbuhhan von Bertalanffy T = rata-rata suhu permukaan air (oC) bulanan Laju mortalitas penangkapan (F) ditentukan dengan : F=Z–M
Laju eksploitasi ditentukan dengan membandingkan mortalitas penangkapan (F) terhadap mortalitas total (Z) (Pauly 1984) : E= Laju mortalitas penangkapan (F) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971) dalam Pauly (1984) adalah : Foptimum = M dan Eoptium = 0.5 3.4.3 Reproduksi
3.4.3.1 Nisbah Kelamin Nisbah kelamin diketahui berdasarkan jumlah ikan jantan dan betina yang tertangkap pada setiap sampling. Jenis kelamin ditentukan setelah dilakukan pembedahan sampel ikan tersebut. Matjik dan Sumertajaya (2002): X= Keterangan : X = nisbah kelamin J = jumlah ikan jantan (ekor) B = jumlah ikan betina (ekor).
Untuk menguji apakah perbandingannya sama (1:1) diantara kedua 2
kelamin atau tidak, maka digunakan uji statistik Chi-kuadrat (χ ) sebagai berikut (Steel and Torrie 1993). 2
χ =
n
oi ei 2
i 1
ei
Keterangan : X2 = Nilai peubah acak X2 yang sebaran penarikan contohnya mendekati sebaran Chi-kuadrat oi = Jumlah frekuensi ikan jantan dan betina ke-i yang diamati ei = Jumlah frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina yaitu frekuensi ikan jantan ditambah frekuensi ikan betina dibagi dua 3.4.3.2 Indeks Kematangan Gonad Indeks kematangan gonad (IKG) diketahui dengan pengukuran bobot ikan dan berat gonad ikan jantan dan ikan betina menggunakan timbangan digital yang mempunyai ketelitian 0,0001. Indeks kematangan gonad diukur dari semua ikan
hasil tangkapan. Indeks kematangan gonad ditentukan dengan rumus sebagai berikut menurut (Effendie 1979) : IKG =
Bg x 100 Bi
Keterangan: IKG = Indeks Kematangan Gonad (%) Bg = Berat gonad (gram) Bi = Berat ikan (gram) 3.4.3.3 Ukuran Pertama Kali Matang Gonad Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad dengan menggunakan metode Sperma Karber (Udupa 1986 dalam Mustakin 2008). Kriteria matang gonad adalah pada TKG III, IV dan V. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut: Log M = Xk +
( ∑
)
Keterangan: Xk Xn Xi pi ri ni qi
= Logaritma nilai tengah pada saat ikan matang gonad 100% = Selisih logaritma nilai tengah kelas = Logaritma nilai tengah kelas = ri/ni = Jumlah ikan matang gonad pada kelas ke i = Jumlah ikan pada kelas ke i = 1 – pi Ragam = X2 ∑ [
]
Pada selang kepercayaan 95% yaitu = m ± Z α/2 √ 3.4.4 Fisika dan Biologi Perairan 3.4.4.1 Kondisi Kualitas Perairan Hasil pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi perairan di setiap lokasi pengamatan dibuat skoring dan pembobotan. Pembobotan diberikan kepada 10 parameter yang telah didapatkan dengan pemberian nilai 10 tiap parameternya. Kemudian penentuan nilai dengan pembuatan skor 1 – 5 terhadap nilai rata-rata kisaran parameter yang telah diukur (Komunikasi pribadi Dr. Ridwan Affandi, DEA ).
3.4.4.2 Kelimpahan Plankton Analisis kelimpahan plankton menggunakan rumus APHA (2005) : N=n
x
x
Keterangan: N n a v A Vc V
= kelimpahan plankton (sel/liter) = Jumlah plankton yang tercacah (sel) = luas gelas penutup (mm2) = volume air terkonsentrasi (ml) = Luas satu lapangan pandang (mm2) = volume air dibawah gelas penutup (ml) = volume air yang disaring (l)
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Hasil pengamatan kondisi perairan inlet Waduk Koto Panjang terhadap beberapa parameter fisika, kimia dan biologi disajikan pada Tabel 3. Selama penelitian terjadi peningkatan muka air dan kekeruhan karena pengaruh musim hujan. Rata-rata curah hujan pada tahun 2009 adalah 282.98 mm dan pada tahun 2010 berkisar 337.34 mm (Januari – Juli) (Lampiran 5). Fluktuasi tingkat curah hujan sangat mempengaruhi paras muka air di perairan inlet Waduk Koto Panjang. Pada saat pengambilan sampel ikan di bulan April, Mei, Juni, Juli dan Agustus 2010 terjadi pola naik turun. Bulan April curah hujan cukup tinggi, menurun pada bulan Mei dan Juni serta naik dibulan Juli. Hal ini terkait dengan kedalaman yang diukur di lokasi pengamatan. Tabel 3. Kisaran nilai rata-rata kualitas air masing-masing lokasi selama penelitian Lokasi Gunung Bungsu II
Tanjung I
Tanjung II
Satuan
Muara Takus
Gunung Bungsu I
Suhu air
°C
26.98±1.67
25.78±1.16
26.98±0.71
24.75±1.06
24.16±1.43
Kedalaman
M
0.57±0.18
1.00±0.39
0.57±0.07
0.90±0.14
0.66±0.21
Kecepatan arus
m/detik
0.10±0.07
0.13±0.09
0.12±0.21
0.37±0.39
0.38±0.25
Kekeruhan
NTU
61.25±43.47
60.25±62.32
61.25±144.96
93.00±123.04
53.75±32.68
pH
-
5–6
5–6
5.5 – 6
6
5-6
Parameter Fisika
Kimia
DO
mg /l
3.77±1.61
3.04±0.97
3.42±0.28
3.39±0.42
2.73±1.02
Alkalinitas
mg /l
4.40±3.21
5.00±2.83
4.40±2.83
8.00±2.83
5.50.±2.65
Nitrat
mg /l
0.28±0.09
0.24±0.14
0.28±0.11
0.37±0.04
0.29±0.08
Orthophospat
mg /l
0.07±0.03
0.11±0.06
0.07±0.01
0.12±0.01
0.09±0.06
ind/l
218.00±262.10
66.00±28.68
73.50±27.58
69.00±16.97
72.20±42.75
Biologi Plankton
Suhu selama penelitian berkisar antara 22 – 28.90C. Menurut Boyd dan Kopler (1979) suhu perairan yang dihasilkan masih mendekati suhu yang optimum untuk pertumbuhan ikan pada umumnya yakni 25 – 300C. Pengukuran suhu dilakukan pada pagi dan siang hari untuk mendapatkan nilai kisaran yang representatif. Hal ini dilakukan karena ikan bunga air juga banyak tertangkap pada
siang hari. Sehubungan dengan makanan ikan C. goniognathus yaitu plankton, kisaran suhu juga mendukung untuk pertumbuhan fitoplankton di perairan dengan kisaran antara 20 – 300C (Effendi 2003). Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut, misalnya lumpur dan pasir halus (APHA 1976; Davis dan Cornwell 1991 dalam Effendi 2003). Kisaran untuk parameter kekeruhan mempunyai kisaran yang sangat lebar yakni antara 5 – 210 NTU untuk lokasi Gunung Bungsu II. Kekeruhan yang pekat terjadi pada saat pengambilan pada bulan Agustus, hal ini terjadi dikarenakan turun hujan lebat 3 hari berturutturut sebelumnya baik di daerah hulunya (Sumbar) dan daerah Riau sendiri. Hasil penelitian Siregar (2004) pada hulu Sungai Kampar berkisar 30,80 – 40, 50 NTU, jauh dari hasil pengambilan sampel air pada waktu April hingga Agustus 2010. Penangkapan ikan dilakukan pada tepi sungai dengan kedalaman berkisar 30 – 150 cm. Ikan Clupeichthys goniognathus cenderung berenang di tepi dan sedikit ke permukaan sungai. Derajat keasaman sungai-sungai yang berada di Sumatera bagian tengah khususnya di Riau sangat dipengaruhi oleh jenis tanahnya. pH pada perairan Sungai Kampar Kanan inlet Waduk Koto Panjang didapatkan antara 5 – 6. Setelah diamati selama penelitian salah satu indikator keberadaan ikan C. goniognathus di perairan inlet Waduk Koto Panjang ditandai dengan adanya kecepatan arus. Kecepatan arus yang diamati berkisar antara 0.05 – 0.81 m/detik dan lokasi Tanjung II memiliki rata-rata kecepatan arus yang paling cepat dengan ditandai tangkapan ikan tertinggi diantara lokasi lainnya (Gambar 5). Kandungan oksigen terlarut antara sungai dengan danau berbeda, disebabkan kondisi fisik perairan tersebut. Oksigen terlarut di peroleh selama penelitian berkisar antara 1.8 – 5.8 mg/l, menurut (Swingle 1969 dalam Effendi 2003) kandungan oksigen terlarut yang > 5,0 mg/l hampir semua organisme akuatik menyukai kondisi ini, begitu juga dengan ikan C. goniognathus. Ikan membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah cukup untuk melakukan aktifitas fisiologi. Salmin (2005) menyatakan bahwa untuk mengetahui kualitas suatu
perairan, parameter oksigen terlarut (DO) memegang peranan penting. Selanjutnya Effendi (2003) menyatakan kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu dan keanekaragaman antar organisme. Kisaran nilai alkalinitas adalah 2 – 12 mg/l. Menurut Boyd (1988) dalam Effendi (2003) nilai alkalinitas perairan berkisar antara 5 hingga ratusan mg/l CaCO3. Berdasarkan pernyataan tersebut nilai dari hasil pengamatan berada diantara kisaran yang disarankan. Pertumbuhan phytoplankton di perairan dipengaruhi ada atau tidaknya nitrat di perairan. Nilai nitrat yang dihasilkan berkisar 0.05 - 0.44 mg/l. Selain nitrat, orthoposphat juga dibutuhkan plankton dalam pertumbuhannya. Nilai orthoposphat yang dihasilkan antara 0.03 – 0.18 mg/l selama 5 kali pengambilan. Plankton yang ditemukan dilokasi penelitian tercatat ada 46 jenis (Lampiran 7) yang terdiri dari 7 jenis fitoplankton kelas Bacillariophyceae, 16 jenis kelas Chlorophyceae, 9 jenis kelas Cyanophyceae, 4 jenis dari kelas Chrysophyceae. Sedangkan zooplankton terdiri dari 3 jenis kelas Rotifera, ditambah 7 jenis zooplankton umumnya. Selain plankton juga ditemukan 1 jenis insekta air dan 1 jenis tumbuhan air. Untuk serangga air yaitu jenis Ephemeroptera sp. dan 1 jenis tumbuhan air yakni Potamogeton sp. Jumlah individu di lokasi Muara Takus adalah 1090 ind/l, Gunung Bungsu I 330 ind/l, Gunung Bungsu II 147 ind/l, Tanjung I 138 ind/l, dan Tanjung II 361 ind/l. 4.1.1 Indeks Kualitas Lingkungan Hasil pengukuran parameter fisika, kimia dan biologi air di setiap lokasi penelitian selanjutnya dibuat penyederhanan untuk menentukan lokasi yang terbaik. Kondisi ideal kualitas plankton dilakukan dengan pendekatan indeks kelimpahan plankton berdasarkan (APHA 2005). Hasil total skoring tertinggi diperoleh di Tanjung II dengan nilai skor 280, diikuti Tanjung I, Muara Takus, Gunung Bungsu II dan Gunung Bungsu I dengan nilai berturut-turut 270, 260, 230 dan 220 (Lampiran 6). Hasil lengkap indeks kualitas lingkungan setiap lokasi pengamatan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut :
Tabel 4. Data indeks kualitas lingkungan pada masing-masing lokasi pengamatan Lokasi pengamatan Satuan MT GB I GB II Tj I Tj II Fisika Suhu air °C 40 30 40 20 20 Kedalaman m 20 30 20 30 20 Kecepatan arus m/detik 10 10 10 40 50 Kekeruhan NTU 40 40 40 10 50 Kimia pH 20 30 10 10 40 DO mg /l 50 20 40 40 10 Alkalinitas mg /l 10 20 10 40 30 Nitrat mg /l 30 10 30 50 30 Orthophospat mg /l 20 20 20 20 20 Biologi Plankton ind/l 20 10 10 10 10 260 220 230 270 280 Jumlah Indeks kualitas lingkungan stasiun Tanjung II mempunyai nilai paling besar, paling bagus. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan bahwa sampel ikan paling banyak tertangkap juga di lokasi tersebut. Nilai indeks kualitas lingkungan untuk lokasi Tanjung I (270) tidak berbeda jauh dengan lokasi Tanjung II (280). Hal ini didukung antara lain oleh kedalaman, DO, alkalinitas dan nitrat. Nilai yang dihasilkan untuk parameter tersebut lebih baik daripada nilai yang dihasilkan untuk lokasi Tanjung II. Selanjutnya urutan ketiga untuk nilai tertinggi adalah lokasi Muara Takus (260), hal ini didukung oleh suhu dan DO. Nilai bobot suhu dan oksigen terlarut yang dihasilkan lebih baik jika dibandingkan dengan lokasi Tanjung I. Sedangkan untuk peringkat 4 dan 5 diperoleh di lokasi Gunung Bungsu II (230) dan I (220). Penentuan nilai indeks kualitas lingkungan bersifat hanya sementara karena merupakan komunikasi peribadi penulis dengan ketua komisi pembimbing (Dr. Ridwan Affandi, DEA) dan jika diperlukan untuk penelitian lain bisa menggunakan cara dan metode yang berbeda dengan hasil yang lebih baik juga.
4.2 Distribusi Spasial dan Temporal Jumlah ikan C. goniognathus yang diamati selama penelitian adalah 992 ekor. Selama pengambilan sampel, ikan yang paling banyak terkumpul di Tanjung II sebanyak 720 ekor. Diikuti lokasi Gunung Bungsu I, 146 ekor, berikutnya lokasi Gunung Bungsu II, 50 ekor. Lokasi Tanjung I 40 ekor, terakhir lokasi Muara Takus dengan 36 ekor tersaji pada Gambar 5. 800
Jumlah ikan (ekor)
700 600 500 400 300 200 100 0 MT
GB I
GB II
Tj I
Tj II
Lokasi pengamatan
Gambar 5.
Jumlah ikan C. goniognathus yang tertangkap berdasarkan lokasi pengamatan
Selama penelitian berlangsung di lokasi Tanjung II selalu tertangkap ikan bunga air (C. goniognathus). Hal ini berkaitan dengan jumlah IP (Index of Propenderence) Branchiopodopsis sp. (aquatic crustacean) yang menjadi salah satu makanan utama disamping jenis zooplankton lainnya (Gambar 7). Biasanya krustase akuatik hidup di atas batu atau kerikil, terkait dengan substrat lokasi Tanjung II yakni pasir berkerikil. Kedalaman lokasi Tanjung II berkisar 60 – 100 cm, diduga ikan mencari makan kedasar perairan. Berdasarkan periode penelitian jumlah sampel ikan C. goniognathus yang tertangkap selama 4 bulan, April sebanyak 198 ekor, Mei 194 ekor, Juni 98 ekor, dan tangkapan tertinggi pada bulan Juli 404 ekor. Data ikan yang terkumpul selama penelitian berdasarkan selang ukuran dapat dilihat pada Gambar 6 berikut:
Gambar 6.
48 - 50
45 - 47
Kelas ukuran Kelas ukuran
Juni
Betina Jantan
Juli
40
35
25
20
15
10
5
0
Kelas ukuran Betina
40
35
30
25
20
15
10
5
0 48 - 50
48 - 50
45 - 47
0
45 - 47
5
42 - 44
10
42 - 44
15
39 - 41
Jantan
39 - 41
20
36 - 38
Betina
36 - 38
35
33 - 35
25
30 - 32
30
Hasil tangkapan (ekor)
35
33 - 35
30
Hasil tangkapan (ekor)
48 - 50
45 - 47
42 - 44
39 - 41
36 - 38
33 - 35
30 - 32
Hasil tangkapan (ekor) 40 40
30 - 32
48 - 50
45 - 47
42 - 44
Jantan
42 - 44
Jantan 39 - 41
36 - 38
33 - 35
30 - 32
Hasil tangkapan (ekor)
Jantan
39 - 41
36 - 38
33 - 35
30 - 32
Hasil tangkapan (ekor)
April Mei Betina
30
25
20
15
10 5
0
Kelas ukuran
Agustus
40 Betina
35
30
25
20
15
10
5
0
Kelas ukuran
Distribusi ukuran ikan C. goniognathus yang diamati berdasarkan periode pengamatan
Komposisi kelas ukuran panjang dari seluruh sampel yang diperoleh selama penelitian, ikan jantan berkisar antara 30 – 47 mm sedangkan ikan betina 30 – 48 mm. Secara keseluruhan distribusi selang ukuran panjang ikan jantan dan betina terlihat tidak seimbang. Sebaran berdasarkan hasil tangkapan yang diperoleh di masing-masing lokasi penelitian setiap bulan, terjadi pergeseran dominasi selang ukuran tertentu. Pada bulan April selang ukuran yang dominan pada ikan jantan berkisar antara 33 – 41 mm dan betina 33 – 44 mm. Bulan Mei ada dua kelas ukuran yang mendominasi baik ikan jantan maupun betina yaitu kelas ukuran 36 – 38 mm dan 39 – 41 mm. Pada bulan Juni selang ukuran yang dominan hampir sama dengan yang terjadi pada bulan Mei yakni 36 – 38 mm dan 39 – 41 mm. Lain halnya pada bulan Juli ikan jantan paling dominan daripada lainnya terjadi pada selang ukuran 39 – 41 mm. Sedangkan ukuran 36 – 38 terjadi jumlah yang sama antara ikan jantan dan betina. Pada pengambilan bulan terakhir Agustus, ikan betina lebih dominan dibandingkan ikan jantan. Hal ini terjadi pada kelas ukuran 33 – 35 mm dan 39 – 41 mm, dan ikan jantan terjadi pada kelas ukuran 36 – 38 mm dan 42 – 44 mm. Secara keseluruhan di setiap lokasi penelitian terlihat adanya pola sebaran ukuran panjang tertinggi terjadi pada bulan Agustus. Sebaran selang ukuran panjang ikan yang banyak tertangkap terlihat ada dua kelompok selang ukuran yaitu 36 – 38 mm dan 39 – 41 mm. Perbedaan kelimpahan ikan pada ukuran yang berbeda dikarenakan awal musim pemijahannya berbeda, sehingga ikan dari hasil pemijahan yang lebih dulu terjadi, selanjutnya pada waktu yang sama ditemukan dalam ukuran yang lebih besar. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa panjang rata-rata ikan 38.6±3.8 mm dengan kisaran 30 – 48 mm, berbeda dengan hasil Desrita (2007) ikan C. goniognathus yang tertangkap berkisar antara 35 – 46 mm dengan panjang ratarata 39±2.2 mm dengan lokasi pengamatan sama. Panjang maksimum ikan yang tertangkap (48 mm) lebih kecil dengan yang ditemukan oleh Kottelat et al (1993) sebesar 90 mm (panjang baku). Tapi hampir sama dengan penelitian Taki (1975) dengan panjang baku 44.8 mm. Umumnya ikan Clupeidae yang hidup di perairan tawar berukuran kecil Hal ini tidak jauh berbeda dengan yang dihasilkan oleh Roberts (2008) pada ikan Minyclupeoides dentibranchialus yakni 21.5 mm.
Data lengkap ikan yang terkumpul selama penelitian tiap bulannya, berdasarkan lokasi pengamatan dan bulan pengamatan tersaji pada Gambar 7 berikut :
Gambar 7. Jumlah ikan yang tertangkap berdasarkan lokasi dan bulan pengamatan Terlihat bahwa distribusi ikan C. goniognathus lebih banyak di daerah Tanjung II. Tiga bulan pertama, April hingga Juni hanya tertangkap di lokasi Tanjung II saja. Maka dari itu pada bulan Juli dan Agustus ditambahkan 2 lokasi lagi yaitu Gunung Bungsu II dan Tanjung I, masing-masing berjarak 2 km dari lokasi sebelumnya. Untuk bulan April, Mei dan Juni di lokasi Muara Takus, Gunung Bungsu I, Gunung Bungsu II dan Tanjung I (Gambar 7) ikan tidak tertangkap. Hal ini diduga berkaitan dengan kedalaman sungai. Dari kedalaman yang diukur selama
bulan tersebut dihasilkan kedalaman yang kurang dari 60 cm (Lampiran 4) . Dari jumlah ikan tiap bulannya, pada bulan Juli ikan paling banyak terkumpul sebanyak 404 ekor ikan. Hal ini diduga berkaitan dengan musim penghujan (Lampiran 5), dimana pada bulan ini air sungai naik dan melimpah. Pada saat inilah banyak ikan yang berdatangan untuk mencari makanan ataupun memijah. 4.3 Kebiasaan Makanan 4.3.1 Panjang Usus Relatif dan ISC (Index Somatic Content) Hasil pengukuran panjang usus ikan C. goniognathus di setiap lokasi penelitian tercatat bahwa di Muara Takus rata-rata panjang total 35.6±4.58 mm, panjang ususnya 12.9±3.41 mm dengan panjang usus relatif 0.4±0.1. Gunung Bungsu I rata-rata panjang total 38.3±4.48 mm, panjang usus 18.9±5.78 mm dan panjang usus relatif 0.5±0.1. Lokasi Gunung Bungsu II rata-rata panjang total 38.3±2.44 mm, panjang usus 14.3±1.65 mm dan panjang usus relatif 0.4±0.0002. Tanjung I rata-rata panjang total 36.1±4.70 mm, panjang usus 14.3±4.09 mm dan panjang usus relatif 0.4±0.1. Selanjutnya lokasi Tanjung II panjang toal berkisar 38.7±3.97 mm, panjang usus 16.9±4.20 dan panjang usus relatif 0.4±0.1. Data lengkap perbandingan panjang total, panjang usus dan panjang usus relatif tersaji pada Tabel 5 berikut : Tabel 5. Panjang usus dibandingkan dengan panjang total ikan tiap lokasi penelitian
Lokasi MT GB I GB II Tj I Tj II
N 17 37 16 18 109
Panjang total (mm)
Panjang usus (mm)
Panjang usus relative
Kisaran 31-44 30-48 34-45 27-43 29-46
Kisaran 8 - 21 8 - 27 12 -19 6 - 21 7 - 27
Kisaran 0.2 - 0.5 0.2 - 0.6 0.3 - 0.4 0.2 - 0.5 0.2 - 0.6
Rata-rata 35.6±4.58 38.3±4.48 38.3±2.44 36.1±4.70 38.7±3.97
Rata-rata 12.9±3.41 18.9±5.78 14.3±1.65 14.3±4.09 16.9±4.20
Rata-rata 0.4±0.1 0.5±0.1 0.4±0.0002 0.4±0.1 0.4±0.1
Struktur saluran pencernaan ikan C. goniognathus memiliki panjang usus yang lebih pendek daripada panjang tubuhnya. Menurut Nikolsky (1963), panjang usus relatif untuk ikan karnivora adalah < 1, untuk ikan omnivora antara 1 – 3, dan untuk ikan herbivora > 3. Berdasarkan panjang usus yang dimiliki ikan C. goniognathus maka ikan ini termasuk ikan karnivora.
Hasil pengamatan terhadap indeks kepenuhan lambung ikan C. goniognathus menunjukkan bahwa untuk lokasi Muara Takus rata-rata ISCnya 0.93±0.77, Gunung Bungsu I 1.35±0.65, Gunung Bungsu II 1.15±0.22, Tanjung I 1.09±0.35 dan lokasi Tanjung II 1.82±1.65, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6 berikut: Tabel 6. Indeks kepenuhan lambung ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan
Lokasi Muara Takus Gunung Bungsu I Gunung Bungsu II Tanjung I Tanjung II
ISC (%) Kisaran 0.02 - 2.15 0.21 - 2.69 0.76 - 1.70 0.75 - 1.89 0.07 - 7.11
Rata-rata 0.93±0.77 1.35±0.65 1.15±0.22 1.09±0.35 1.82±1.65
Terlihat rata-rata yang paling tinggi nilainya adalah pada lokasi Tanjung II diikuti Gunung Bungsu I, Gunung Bungsu II, Tanjung I dan Muara Takus. Diduga lokasi Tanjung II dijadikan tempat pencarian makanan oleh ikan C. goniognathus disesuaikan dengan melimpahnya ikan di lokasi tersebut dan tingginya nilai indeks bagian terbesar untuk makanan utama yang dimakan (Gambar 10). 4.3.2 Komposisi Jenis Makanan dan Indek pilihan Hasil analisa lambung ikan di masing-masing lokasi pengamatan diperoleh hasil yang berfluktuasi. Jenis-jenis makanan yang diperoleh adalah hewan (Ephemeroptera sp., Branchiopodopsis sp., Chirumonas sp., Notholca sp., Arghonotholca sp., dan bagian udang), tumbuhan air (Potamogeton sp.) dan fitoplankton (Cyamatopleura sp., Closterium sp, Rizocloium sp., Rhapidopsis sp.). Di semua lokasi pengamatan jenis hewan adalah komposisi paling dominan yang ditemukan (lampiran 8). Di lokasi Muara Takus hewan diperoleh sekitar 84.11 %, Gunung Bungsu I 79.04 %, Gunung Bungsu II 98.48 %, Tanjung I 94.41 % dan Tanjung II 97.21 %. Indeks bagian terbesar makanan total ikan C. goniognathus tiap lokasi pengamatan tersaji pada Gambar 8 berikut ini :
Muara Takus
Gunung Bungsu I
14.79 1.10
Hewan 84.11
16.40
Hewan
tumbuhan
tumbuhan 79.04
plankton lain lain
lain lain
Gunung Bungsu II
Tanjung I 1.86
1.52
3.73
Hewan
Hewan
tumbuhan 98.48
plankton lain lain
plankton
tumbuhan 94.41
plankton lain lain
Tanjung II 1.33 0.21 1.25 Hewan tumbuhan 97.21
plankton lain lain
Gambar 8. Komposisi jenis makanan berdasarkan lokasi pengamatan Kebiasaan makanan ikan C.goniognathus berdasarkan tingkat kematangan gonad di perairan inlet Waduk Koto Panjang memiliki komposisi makanan yang berbeda-beda. Hasil pengamatan menunjukkan pola peningkatan makanan berupa hewan (Ephemeroptera sp., Branchiopodopsis sp., Chirumonas sp, Notholca sp., Argonotholca sp., dan bagian udang), seiring dengan meningkantnya tingkat kematangan gonad. Secara lengkap disajikan di dalam Gambar 9 berikut ini :
TKG II
TKG I
8.97
1.98
1.99
3.40
Hewan
89.04
Hewan
Tumbuhan
Tumbuhan 94.62
Plankton Lain lain
Lain lain
TKG III
TKG IV
2.83 1.00
5.90
0.50 Hewan
0.71
0.22 Hewan
Tumbuhan 95.68
Plankton
Plankton
Lain lain
Tumbuhan 93.17
Plankton
Lain lain
Gambar 9. Komposisi makanan ikan C. goniognathus berdasarkan TKG Tersedianya makanan di habitat mempengaruhi besar kecilnya populasi ikan, tentunya jumlah dan kualitas makanan yang mempengaruhi populasi tersebut. Dari makanan yang dimakan ikan akan mempengaruhi pertumbuhan dan keberhasilan hidup ikan tersebut. Komposisi jenis makanan ikan C.goniognathus cukup bervariasi akan tetapi dari semua pengamatan umumnya yang paling dominan adalah kelompok hewan. Jenis makanan ikan C. goniognathus tidak jauh berbeda dengan ikan Ehirava fluviatilis yakni Copepod, Ladocera. Mulusca, dan Rotifera (Amarasinghe 2002) . Pada distribusi spasial ikan paling banyak terkumpul yaitu di lokasi Tanjung II. Selanjutnya dilihat dan dikaitkan antara distribusi ikan dan makanan utamanya yang berupa hewan maka diduga ikan C. goniognathus terdistribusi di lokasi tersebut disebabkan banyaknya zooplankton jenis aquatic crustacean Branchiopodopsis sp. Nilai indeks bagian terbesar di jenis zooplankton tersebut dapat dilihat pada Gambar 10.
Branchiopodopsis sp 70.00 60.00
IP (%)
50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 MT
GB I
GB II
TJ I
TJ II
Lok as i pe ngam atan
Gambar 10. Indeks bagian terbesar Branchiopodopsis sp pada ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan Nilai IP yang diperoleh paling tinggi terjadi pada lokasi Tanjung II yakni 57.26 %, selanjutnya TJ I, GB I, GB II dan MT dengan nilai berturut 40.99 %, 37.59 %, 33.33 % dan 27.12 % (Lampiran 8). Urutan ini sama dengan yang terjadi pada jumlah ikan yang tertangkap selama penelitian. Diduga hal ini berkaitan dengan pergerakan ikan, mulai dari daerah Muara Takus (hilir) ke Tanjung II (hulu) untuk mencari makanan dan akhirnya memijah ke Gunung Bungsu I. Indek pilihan untuk beberapa jenis makanan yang dipilih ikan C. goniognathus antara lain : Ephemeroptera sp. 0.91, Branchiopodopsis sp. 0.75, Chirumonas sp. 0.50, Potamogeton sp. 0.78, Notholcha sp. -0.06, Cyamotopleura sp. -0.22, Closterium sp. -0.76 dan Rizoclonium sp. -0.43. Nilai indek pilihan yang terbesar adalah jenis serangga air Ephemeroptera sp. (0.91).Untuk nilai indek pilihan yang diperoleh tidak ada yang bernilai lebih dari satu. Untuk jenis Ephemeroptera sp adalah jenis zooplankton yang paling digemari. Nilai indek pilihan berkisar antara -1 hingga +1. Jumlah jenis makanan yang berada di perairan (Lampiran 7) lebih sedikit dibanding dengan yang ada dalam lambung ikan. Diindikasikan bahwa ikan ini bersifat selektif terhadap makanan yang dimakan. 4.4 Pertumbuhan 4.4.1 Hubungan Panjang dan Bobot Ikan Hubungan panjang dan bobot ikan betina nilai determinannya (R2) 0.74, jantan 0.79 dan gabungan (R2) 0.78 (Tabel 2). Nilai (R2) dari hubungan panjang
dan bobot ikan betina dan jantan relatif cukup besar, besarnya nilai tersebut mendekati 1, menunjukan bahwa keragaman yang dipengaruhi oleh faktor lain cukup kecil dan hubungan antara panjang total dan bobot ikan sangat erat. Hal ini tersaji pada Tabel 7 di bawah ini : Tabel 7. Hubungan panjang dan bobot ikan C. goniognathus Jenis
Persamaan
Kisaran Nilai
Hubungan panjang R² b (α=0.05) dan berat Betina W = 4E-05L2.602 0.74 2.6009-2.6031 Jantan W = 2E-05L2.735 0.79 2.7336-2.7364 Gabungan W = 3E-05L2.683 0.78 2.6822-2.838 Kelamin
Pola Pertumbuhan (setelah Uji t dan α=0.05) Allometrik negatif Allometrik negatif Allometrik negatif
Hasil hubungan panjang dan bobot ikan diperoleh nilai b, biasanya nilai b berkisar antara 2.5 – 4, namun kebanyakan nilai b mendekati 3 Lagler et al. (1977) dalam Sulistiono et al. (2001). Hasil pengukuran menunjukan bahwa ikan C. goniognathus baik betina maupun jantan memiliki nilai b = 2.6 dan 2.7 (hampir mendekati 3) dan setelah di uji t dan α = 0.05 hasilnya adalah allometrik negatif. Selengkapnya tersaji pada Tabel 8 berikut : Tabel 8.
Lokasi
Hubungan panjang dan bobot ikan C. goniognathus tiap lokasi pengamatan Jenis
Persamaan
Kelamin
Hubungan panjang
(R²)
Kisaran Nilai
Pola
b (α=0.05)
Pertumbuhan (setelah Uji t dan α=0.05)
dan berat MT
Betina Jantan
GB I
Betina Jantan
GB II
Betina Jantan
Tj I
Betina Jantan
Tj II
Betina Jantan
2.714
0.88
2.7015-2.7175
Allometrik negatif
w = 2E-05L
2.807
0.91
2.8046-2.8094
Allometrik negatif
w = 2E-05L
2.717
0.89
2.7153-2.7187
Allometrik negatif
w = 3E-05L
2.619
0.81
2.6262-2.6218
Allometrik negatif
2.722
0.87
2.7187-2.7253
Allometrik negatif
3.845
0.89
3.8413-3.8487
Allometrik positif
2.737
0.87
2.7337-2.7403
Allometrik negatif
2.601
0.78
2.5971-2.6049
Allometrik negatif
2.614
0.81
2.6126-2.6154
Allometrik negatif
2.534
0.70
2.5321-2.5359
Allometrik negatif
W = 3E-05L
W = 2E-05L W = 4E-07L W = 2E-05L w = 4E-05L
W = 4E-05L W = 5E-05L
Pola pertumbuhan ikan C. goniognathus umumya bersifat allometrik negatif. Ada satu allometrik positif yaitu ikan jantan di lokasi Gunung Bungsu II.
Pertambahan berat lebih cepat daripada pertambahan panjang ikan, diduga hal ini dikarenakan oleh ketersediaan makanan yang cukup di perairan. Pola pertumbuhan alometrik negatif disebabakan kompetisi dan potensi trofik di sungai/kolam (Kleanthids et al. 1999 dalam Zahid 2008). Pola pertumbuhan ikan jantan di lokasi Gunung Bungsu II bersifat alomterik positif artinya pertambahan berat lebih cepat dari pada pertumbuhan panajng ikan. Hal ini diduga sampel ikan betina yang diperoleh tergolong ikan yang mempunyai tubuh gemuk, sehingga pertambahan relatif cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan panjang. Perbedaan pola pertumbuhan ikan C.goniognathus, juga ditemui pada jenis ikan lain. Hasil penelitian Hasri (2010), pola pertumbuhan ikan Rasbora tawarensis di danau Laut Tawar, ikan Rasbora dusonensis di hutan rawa gambut desa Dadahub, Kalimantan Tengah (Zahid 2008). Pola pertumbuhan yang berbeda antar jenis kelamin diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan (waktu penangkapan), perbedaan umur, perrsediaan makanan, perkembangan gonad, penyakit dan tekanan parasit (Turkmen et al. 2002). Soumakil (1996) adanya perbedaan pola pertumbuhan pada ikan kemungkinan karena perbedaan tingkat kematangan gonad, musim dan kesuburan perairan. Sebagian besar pola pertumbuhan ikan C. goniognathus yang diperoleh selama penelitian di lingkungan perairan inlet Waduk Koto Panjang bersifat allometrik negatif. Kondisi ini sama dengan pola pertumbuhan ikan bertubuh kecil Rasbora tawarensis di Danau Lut Tawar, Aceh Tengah (Hasri 2010). 4.4.2 Koefesien Pertumbuhan Hasil analisis pertumbuhan (K dan L∞) dengan metode ELEFAN 1 menunjukan bahwa nilai panjang asimtotik sebesar 51.45 mm, sedangkan koefesien pertumbuhan ikan C. goniognathus antar jenis kelamin berbeda betina, jantan dan gabungan : 0.58, 0.93 dan 0.58. Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy ikan C. goniognathus betina diperoleh Lt = 51.45 (1-e-0.58(t+0.04)), jantan Lt = 51.45 (1-e-0.93(t+0.05)), dan gabungan betina dan jantan Lt = 51.45 (1-e58(t+0.04)
) (Tabel 9).
Tabel 9.
Parameter pertumbuhan K, L∞, dan t0 ikan C. goniognathus betina, jantan dan gabungan
Parameter
Betina
Jantan
Betina dan Jantan
K L∞ (mm) to (per bulan)
0.58 51.45 -0.04
0.93 51.45 -0.05
1.1 51.45 -0.04
Nilai L∞ ikan C. goniognathus betina dan jantan sama yaitu 51.45 mm. Nilai koefesien pertumbuhan (K) ikan C. goniognathus betina tidak sama dengan nilai K gabungan yakni 1.1 sedangkan untuk ikan jantan nilai (K)nya lebih besar 0.93. Panjang simtotik ikan C. goniognathus tidak jauh berbeda dengan dengan ikan Ehirava fluviatilis yaitu 54.3 (Amarasinghe 2002). Data panjang asimtotik, koefesien pertumbuhan tiap lokasi pengamatan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Parameter pertumbuhan ikan C. goniognathus tiap lokasi pengamatan Parameter pertumbuhan JK L∞ (mm) K t0 Lokasi MT J 51.45 0.84 -0.15 B 51.45 0.86 -0.03 Gabungan 51.45 0.77 -0.01 GB I J 51.45 0.93 -0.11 B 51.45 0.27 -0.02 Gabungan 51.45 1.1 -0.02 GB II J 51.45 1.40 -0.16 B 51.45 0.93 -0.05 Gabungan 51.45 1.20 -0.11 Tj I J 51.45 0.63 -0.02 B 51.45 0.93 -0.04 Gabungan 51.45 1.40 -0.11 Tj II J 51.45 1.1 -0.05 B 51.45 0.58 -0.04 Gabungan 51.45 1.2 -0.04 Nilai (K) lokasi Muara Takus – Tanjung II berkisar antara 0.27 – 1.40 selama penelitian. Nilai koefesien pertumbuhan (K) paling rendah terjadi pada ikan betina di Gunung Bungsu I. Adanya perbedaan nilai K (koefesien pertumbuhan) baik secara temporal maupun spasial diduga disebabkan oleh persediaan makanan yang berbeda tiap lokasinya, disamping itu juga perbedaan laju pertumbuhan ikan C. goniognathus ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu faktor internal, terdiri dari faktor genetik secara langsung membatasi umur maksimum ikan dan ukuran tubuh ikan (Pauly 1994 dalam Hasri 2010). Menurut Weatherlay (1972), perbedaan nilai (K) dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti makanan, suhu dan kondisi lingkungan. Selain faktor lingkungan diduga kelimpahan makanan yang cukup besar berdampak pada pertumbuhan yang cepat (Sulistiono et al 2001). Untuk kurva pertumbuhan antara ikan jantan dan betina (gabungan) mencapai panjang asimtotiknya dapat dilihat pada Gambar 11 berikut :
Panjang total (mm)
52 50 48
Jantan dan Betina
46 44 42 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Umur (bulan)
Gambar 11. Kurva pertumbuhan ikan C. goniognathus Ikan gabungan (betina dan jantan) mencapai panjang asimtotik (51.45 mm) pada umur 8 bulan, dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang teoritis (mm) pada kurva pertumbuhan ikan C. goniognathus. Sedangkan panjang total maksimum yang telah didapatkan mencapai 48 mm, tidak jauh berbeda antara panjang asimtotik yang dicari dengan panjang yang telah didapatkan. 4.4.3 Faktor Kondisi Faktor kondisi ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan menunjukan tren turun naik pada ikan betina, terlihat dari nilai 0.85±0.10 (Muara Takus), 1.21±0.11 (Gunung Bungsu I), 1.19±0.12 (Gunung Bungsu II), 1.01±0.12 (Tanjung I) dan 1.02±0.13 (Tanjung II). Begitu juga dengan ikan jantan dan gabungan (betina dan jantan). Ikan jantan 0.87±0.08, 1.13±0.14, 1.03±0.09, 0.97±0.10 dan 1.06±0.18 serta gabungan 0.76±0.08, 1.21±0.13, 1.08±0.11, 1.11±0.12 dan 1.08±0.16, lengkapnya dapat dilihat pada tabel Tabel 11 berikut : Tabel 11. Faktor kondisi ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan
Jenis kelamin Betina Jantan Gabungan
MT 0.85±0.10 0.87±0.08 0.76±0.08
GB I 1.21±0.11 1.13±0.14 1.21±0.13
GB II Tj I 1.19±0.12 1.01±0.12 1.03±0.09 0.97±0.10 1.08±0.11 1.11±0.12
Tj II 1.02±0.13 1.06±0.18 1.08±0.16
Faktor kondisi adalah derivat penting dari pertumbuhan. Faktor kondisi atau indek ponderal dan sering disebut K. Faktor kondisi menunjukan keadaan baik dari ikan dilihat dari kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi. Kondisi dimana ikan mempunyai kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dapat dimakan (Effendie 2002). Nilai faktor kondisi ikan betina di Gunung Bungsu I lebih besar dibandingkan dengan lokasi lainnya. Diduga tingginya nilai faktor kondisi ikan betina di lokasi tersebut disebabkan oleh banyaknya ikan yang dijumpai berada pada TKG IV (Gambar 16). Ikan memiliki kemontokan maksimum ketika berada pada TKG IV karena dipengaruhi oleh gonad yang dimiliki. Faktor kondisi ikan betina di Gunung Bungsu I 1.21±0.1, grafik faktor kondisi yang telah dicari selengkapnya tersaji pada Gambar 12. 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
Faktor kondisi
Faktor kondisi
Betina
MT
GB I
GB II
Tj I
Tj II
Lokasi pengamatan
Faktor kondisi
1.5
Jantan
1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 MT
GB I
GB II
TJ I
Tj II
Lokasi pengamatan
Gabungan
1 0.5 0 MT
GB I
GB II
Tj I
Tj II
Lokasi pengamatan
Gambar 12. Faktor kondisi ikan C. goniognathus betina, jantan dan gabungan berdasarkan lokasi pengamatan
Terlihat bahwa ikan C. goniognathus ketika ditangkap dalam keadaan kondisi yang berbeda-beda. Kondisi ikan betina di lokasi Gunung Bungsu I mengalami kemontokan yang paling tinggi diantara lokasi lainnya, setelah itu diikuti Gunung Bungsu II, Tanjung II, Tanjung I dan Muara Takus. Hal ini diindikasikan bawa ikan-ikan yang di lokasi Gunung Bungsu I mengalami kemontokan paling sempurna di lokasi tersebut. Hal ini sehubungan dengan ikan betina matang gonad paling banyak ditemukan pada lokasi tersebut. Nilai faktor kondisi mengalami kenaikan dikarenakan oleh kemontokan maksimu ikan terjadi pada saat berada pada tingkat kematangan gonad maksimum (TKG IV). 4.5 Reproduksi 4.5.1 Nisbah Kelamin Ikan C. goniognathus yang diamati selama penelitian berjumlah 593 ekor, dengan perincian 268 ikan jantan dan 325 ikan betina. Nisbah kelamin ikan C. goniognathus berdasarkan ikan jantan dan betina yang matang gonad (TKG IV) rasionya adalah 1 : 1,24. Setelah dilakukan uji Khi Kuadrat terhadap semua stasiun pada taraf 95% (Xhit < Xtab (db-1)) diperoleh lokasi Muara Takus, Gunung Bungsu I dan Tanjung II tidak seimbang dengan nilai masing-masing 3.92>3.84, 20.92>3.84 dan 21.56>9.84. Sedangkan Gunung Bungsu II dan Tanjung I seimbang dengan nilai 1.56<3.84 dan 1.14<3.84. Ketidakseimbangan nisbah kelamin dalam sutu populasi maka akan menghambat perkembangan
populasinya.
Hal
ini
mengakibatkan
terganggunya
ikan
berkembang sampai pada fase rekruitmen, sehingga dapat terjadi penurunan populasi. Selengkapnya tersaji pada Gambar 13 berikut : Betina
60
.
Jantan
50 40 30 20 10 0 MT
GB I
GB II
Tj I
Tj II
Gambar 13. Nisbah kelamin ikan C. goniognathus matang gonad berdasarkan lokasi pengamatan
Perbedaan jumlah ikan betina matang gonad pada lokasi Gunung Bungsu I dibanding lokasi lainnya sangat mencolok, jumlah ikan betina matang gonad lebih dari dua kali lipat jumlah ikan jantan matang gonad. Berbeda dengan lokasi Tanjung II, jumlah ikan jantan matang gonad lebih banyak dibanding ikan betina matang gonad. Ketidakseimbangan yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal : distribusi, aktifitas dan gerakan ikan (Turkmen et al 2002). Fryer dan Iles (1972) dalam Mustakim (2008) menambahkan, terjadinya ketidakseimbangan nisbah kelamin disebabkan oleh perbedaan pertumbuhan karena secara umun ikan jantan lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan dengan ikan betina. 4.5.2 Tingkat Kematangan Gonad Hasil dari pengamatan selama penelitian terhadap gonad dalam rangka penentuan Tingkat Kematangan Gonad ikan C.goniognathus secara makroskopis tersaji pada Tabel 12 sebagai berikut : Tabel 12. Tingkat kematangan gonad ikan Inlet Waduk Koto Panjang TKG Jantan I Testes seperti benang, warna putih susu dan ukuran kecil II Testes sedikit lebih membesar warna masih putih susu III
Testis dalam selaput berwarna putih susu tetapi belum terlalu padat IV Testis dalam selaput padat, penuh, mudah patah dan warna putih susu (sumber : modifikasi Cassei)
C. goniognathus betina dan jantan di Betina Ovari seperti benang warna bening menuju oranye Ovari masih bening, butiran oosit sudah mulai keliatan tapi belum terpisah Butiran oosit sudah mulai jelas, belum padat dan satu-satu mulai berwarna oranye Ukuran oosit besar, berisi penuh dan berwarna oranye
Ikan yang berTKG I sedikit ditemukan pada selang kelas yang semakin panjang. Justru ikan TKG III dan IV mendominasi pada selang ukuran yang panjang. Khusus selang ukuran paling panjang (48 – 50 mm) hanya terdapat satu TKG yaitu TKG IV. Hasil lengkap tersaji pada Gambar 14 berikut :
Muara Takus
Muara Takus
0%
Gunung Bungsu I
30 - 32
Gunung Bungsu II TKG II
TKG III
TKG IV
TKG I
40%
20%
20%
0%
0% 48 - 50
40%
45 - 47
60%
42 - 44
60%
39 - 42
80%
36 - 38
80%
33 - 35
100%
30 - 32
100%
Gunung Bungsu II TKG II TKG III
30 - 32
TKG I
48 - 50
0% 45 - 47
0%
TKG IV
TKG IV
48 - 50
20% 42 - 44
20%
TKG III
42 - 44
40%
48 - 50
40%
45 - 47
60%
42 - 44
60%
39 - 42
80%
36 - 38
80%
33 - 35
100%
30 - 32
100%
TKG II
45 - 47
TKG I
39 - 42
TKG IV
36 - 38
TKG III
36 - 38
TKG II
39 - 42
Gunung Bungsu I TKG I
48 - 50
0%
TKG IV
45 - 47
20%
TKG III
42 - 44
20%
30 - 32
40%
48 - 50
40%
45 - 47
60%
42 - 44
60%
39 - 42
80%
36 - 38
80%
33 - 35
100%
30 - 32
100%
TKG II
39 - 42
TKG I
36 - 38
TKG IV
33 - 35
TKG III
33 - 35
TKG II
33 - 35
TKG I
Tanjung I
Tanjung II
20%
0%
0%
a
TKG III
TKG IV
48 - 50
20%
48 - 50
40%
45 - 47
40%
42 - 44
60%
39 - 42
60%
36 - 38
80%
33 - 35
80%
30 - 32
100%
TKG II
45 - 47
TKG I
42 - 44
TKG IV
100%
39 - 42
TKG I
Tanjung II TKG II TKG III
48 - 50
0%
TKG IV
45 - 47
0%
42 - 44
20%
39 - 42
20%
30 - 32
40%
48 - 50
40%
45 - 47
60%
42 - 44
60%
39 - 42
80%
36 - 38
80%
33 - 35
100%
30 - 32
100%
TKG III
36 - 38
TKG IV
36 - 38
TKG III
TKG II
33 - 35
TKG II
30 - 32
TKG I
TKG I
33 - 35
Tanjung I
b
Gambar 14. Persentase tingkat kematangan gonad pada ikan C. goniognathus betina (a) dan jantan (b) berdasarkan selang kelas panjang tiap lokasi pengamatan. Distribusi selang ukuran panjang berdasarkan tingkat kematangan gonad di semua lokasi pengamatan secara rinci diuraikan sebagai berikut. Untuk TKG I dan II ikan betina dan jantan di lokasi Muara Takus didominasi selang ukuran 30 – 38 mm, selang ukuran 30 – 42 di lokasi Gunung Bungsu I, II dan Tanjung I. Sedangkan Tanjung II pada selang 30 – 47 mm. TKG III dan IV berada pada selang 42 – 47 di Muara Takus, 33 – 50 Gunung Bungsu I, selang ukuran 33 – 47 Gunung Bungsu II, 36 – 47 mm Tanjung I dan selang ukuran 30 – 50 mm pada Tanjung II. Jadi ikan C. goniognathus berdasarkan selang ukuran, ikan yang matang gonad berada pada selang ukuran 30 – 50 mm. Pada selang ukuran ini ikan C. goniognathus sudah matang gonad dan akan memijah.
Bulan April ikan betina yang mempunyai TKG IV hanya sedikit dan paling banyak ditemukan pada bulan Juli. Hasil lengkap tersaji pada Gambar 15. Persentase jumlah ikan (%)
Betina 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
66.1
21.4 0.9 April
5.4
6.3
Mei
Juni
Juli
TKG IV
Agustus
Bulan pengamatan
Gambar 15. Jumlah ikan betina berTKG IV berdasarkan bulan pangamatan Ikan C. goniognathus tiap bulannya melakukan pemijahan, mulai dari April hingga Agustus. Jumlah paling banyak terjadi pada bulan Juli, diindikasikan bahwa puncak musim pemijahan selama bulan pangamatan terjadi pada bulan tersebut (66.1 %). Selain bulan Juli bulan September juga sebagai salah satu bulan puncak pemijahan ikan ini (Desrita 2007). Dari data menunjukan bahwa musim pemijahan terjadi pada musim penghujan yakni bulan Juli dengan data curah hujan 321.8, (Lampiran 5) sesuai dengan Welcomme (1985) menyatakan bahwa, musim pemijahan pada kebanyakan spesies ikan di daerah tropis adalah pada musim penghujan, karena pada saat itu air melimpah. Melimpahnya air pada suatu perairan akan mempengaruhi berubahnya ketinggian permukaan air yang akan merangsang ikan untuk melakukan pemijahan (Lagler 1972) (Gambar 16).
Persentase jumlah ikan (%)
Betina
60.0
49.1
50.0 40.0
30.0 20.0
TKG IV
18.5 13.9
13.9
10.0
4.6
0.0 MT
GB I
GB II
Tj I
Tj II
Lokasi pengamatan
Gambar 16. Jumlah ikan betina berTKG IV berdasarkan lokasi pengamatan
Ikan betina yang mempunyai tingkat kematangan gonad IV setiap lokasinya selalu dijumpai. Lokasi Gunung Bungsu dijumpai jumlah ikan paling banyak diantara lokasi lainnya (49.1 %). Dengan melihat hasil jumlah ikan betina yang berada pada TKG IV diatas, diindikasikan bahwa ikan C. goniognathus menjadikan lokasi Gunung Bungsu I sebagai tempat pemijahan dengan kedalaman 1±0.39 m (Tabel 4). Jadi kedalaman sungai mempengaruhi ikan ini untuk melakukan pemijahan. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) secara histologis pada ovarium dan testes dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18. Pada TKG I, terlihat previtolegenik oosit. Oogonium telah terlihat pada TKG II, dan untuk TKG III oogonium sudah berkembang menjadi oosit serta inti sel (nukleus) dapat terlihat jelas. TKG IV terlihat ootid yang akan dikeluarkan ikan betina pada saat memijah (Gambar 17). P
Og
TKG I (10x10)
TKG II (10x10)
Os Nu
Ot
TKG III (10x10) Gambar 17.
TKG IV (10x10)
Struktur histologi gonad ikan C .goniognathus betina P=previtolegenik oosit, Og=oogonium, Os=oosit, Nu=nucleus dan Ot=ootid
Perkembangan oosit pada TKG IV terlihat terdiri dari beberapa stadia yaitu I hingga IV. Beberapa stadia ini menyebabkan gonad ikan betina tidak homogen. Tidak homogennya telur pada tahapan matang gonad (mature) ada hubungannya dengan frekuensi dan lama musim pemijahan (Effendie 2002). Nagahama (1993) dalam Mustakim (2008) menambahkan, terdapat komposisi oosit pada TKG IV yang tidak homogen termasuk kedalam tipe asinkron atau tidak sinkron. Perkembangan oosit secara histologis pada stadia IV (mature) akan dikeluarkan pada waktu pemijahan dan oosit stadia III terus berkembang hingga mencapai tingkat matang dan apabila sudah matang juga akan segera dikeluarkan, demikian seterusnya (Gambar 18).
Sg
St
TKG I (10x10)
TKG II (10x10)
Sz Spt
TKG III (10x10)
TKG IV (10x10)
Gambar 18. Histologi gonad ikan C. goniognathus jantan Sg=spermatogonium, St=spermatosit, Spt=spermatid Sz=spermatozoa
dan
Untuk perkembangan testes secara histologis tidak memperlihatkan perubahan yang mencolok karena dari TKG I hingga IV bentuk sperma sama. Perkembangan sperma hanya terlihat pada kepadatan sperma pada selaput pembungkus sperma. Pada TKG I untuk testes, sperma disebut spermatogonium, TKG II disebut spermatosit, TKG III spermatid dan TKG IV spermatozoa. 4.5.3 Indeks Kematangan Gonad Hasil indeks kematangan gonad tiap bulan pengamatan berfluktuasi, hal ini sesuai dengan hasil fluktuasi nilai kematangan gonad ikan betina yang didapatkan selama bulan pengamatan. Nilai lengkap tiap bulan pengamatan dapat
IKG (%)
dilihat pada Gambar 19 berikut: 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 -1.0
Betina
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
Bulan pengamatan
Gambar 19. Nilai rata-rata indeks kematangan gonad ikan C. goniognathus berdasarkan bulan pengamatan Nilai tertinggi terdapat pada bulan Juli dengan kisaran nilai 0.05 – 17.6 %. Hal ini sama dengan yang terjadi pada ikan betina paling banyak berTKG IV. Dengan hasil nilai IKG tersebut maka memperkuat dugaan bahwa puncak pemijahan ikan C. goniognathus terjadi pada bulan Juli. Hal ini berkaitan dengan puncak pemijahan ikan bunga air, dimana pada bulan Juli 2010 musim hujan dimulai dengan curah hujan 321.8 (Badan Meteorologi dan Geofisika, Stasiun Meteorology Pekanbaru 2010) (Lampiran 5). Curah hujan tinggi mengakibatkan air banyak masuk ke sungai dan membuat air sungai semakin meninggi permukaannya. Hal ini menjadi penanda ikan untuk melakukan pemijahan karena kandungan air cukup untuk mendukung pemijahan tersebut. Kejadian tersebut juga dialami ikan betok (Mustakim 2008) dan
(Simanjuntak 2007) pada ikan Ompok hypopthalamus, dimana terjadinnya peningkatan muka air diiringi dengan meningkatnya persentase IKG. Berdasarkan lokasi pengamatan, indeks kematangan gonad tertinggi terdapat di lokasi Gunung Bungsu I yaitu 0.2 – 17.7 %. Hasil jumlah ikan betina yang memiliki tingkat kematangan gonad IV juga menunjukkan hasil yang sama dengan indeks kematangan gonad berdasarkan lokasi pengamatan selama pengamatan. Kisaran nilai indeks kematangan gonad ikan betina yang dihasilkan selama pengamatan tersaji pada Gambar 20 berikut ini: 12.0 10.0
IKG (%)
8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
-2.0
MT
GB I
GB II
TJ I
TJ II
Lokasi pengamatan
Gambar 20. Nilai rata-rata indeks kematangan gonad ikan betina berdasarkan lokasi pengamatan Pendugaan tempat pemijahan di lokasi Gunung Bungsu I diperkuat dengan hasil nilai indeks kematangan gonad yang diamati selama pengamatan. Kisaran nilai indeks kematangan gonad pada lokasi tersebut cukup lebar, antara 3 – 11 %. Dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan sebagian besar hasil metabolisme tertuju untuk perkembangan gonad. Gonad semakin bertambah berat bertambah besar ukurannya. Berat gonad akan mencapai maksimum ketika ikan akan memijah, kemudian berat akan menurun dengan cepat selama pemijahan sedang berlangsung sampai selesai. Hal ini sama dengan penelitian (Mustakim 2008) yang menyatakan sebagian besar ikan betina memiliki IKG yang lebih besar daripada ikan jantan. 4.5.4 Ukuran Pertama Kali Matang Gonad Setiap ikan memiliki ukuran pertama kali matang gonad yang berbedabeda walaupun dalam satu jenis, kondisi dan letak geografis yang sama. Ukuran
pertama kali matang gonad berhubungan dengan pertumbuhan, pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan dan strategi reproduksinya. Variasi ukuran pertama kali matang gonad terhadap ikan jantan maupun betina tergantung pada kondisi lingkungan yang sesuai. Terhadap lingkungan yang tidak sesuai untuk tumbuh dan memijah ikan akan menangguhkan pemijahan. Ukuran pertama kali matang gonad ikan C. goniognathus antara ikan jantan dan betina berbeda. Ikan betina berukuran lebih kecil yaitu 40.27 mm dengan limit bawah sebesar 33.87 mm dan limit atas sebesar 47.89 mm, sedangkan ikan jantan 40.38 mm dengan limit bawah sebesar 35.78 mm limit atas 45.58 mm pada selang kepercayaan 95 %. Adanya ukuran pertama kali matang gonad yang berbeda dalam satu spesies dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Ukuran pertama kali matang gonad mungkin dipengaruhi kelimpahan dan ketersediaan makanan, suhu, periode, cahaya dan faktor lingkungan pada perairan yang berbeda. Perbedaan ukuran ini juga ditemukan oleh (Hasri 2010) pada ikan Rasbora tawarensisi di Danau Lut Tawar Aceh, dimana ikan jantan 73.5 mm dan betina 82.5 mm. Juga ditemukan pada ikan jenis Clupeidae lain : Ehirava fluviatilisi, ikan jantan 41 mm dan betina 39 mm (Amarasinghe 2002). Ukuran pertama kali matang gonad berdasarkan lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 13 berikut : Tabel 13. Ukuran pertama kali matang gonad berdasarkan lokasi pengamatan Lokasi Ukuran pertama kali matang gonad
MT (mm)
GB I (mm)
GB II (mm)
Tj I (mm)
Tj II (mm)
Betina
40.07
39.01
36.69
40.59
40.98
Jantan
34.33
36.74
34.11
37.87
40.48
Lokasi Muara Takus ukuran pertama kali matang gonad ikan betina 40.07 mm, jantan 34.33 mm, Gunung Bungsu I pada ikan betina 39.01 mm, jantan 36.74 mm, Gunung Bungsu II pada ikan betina 36.69 mm, jantan 34.11 mm, Tanjung I ikan betina 40.59 mm dan jantan 37.87 mm dan lokasi Tanjung II pada ikan betina 40.98 mm, 40.48 mm ikan jantan. Berdasarkan lokasi pengamatan ukuran pertama kali matang gonad ikan betina selalu lebih besar dibandingkan ikan jantan. Secara keseluruhan lokasi Tanjung II memiliki ukuran yang paling tinggi dibandingkan dengan lokasi
lainnya. Diduga tingginya ukuran ikan matang gonad pada lokasi tersebut disebabkan oleh ketersediaan makanan utama yang melimpah (Gambar 10). 4.5.5 Fekunditas Fekunditas ikan C. goniognathus yang diamati selama penelitian dari bulan April hingga Agustus berkisar antara 162 – 926 butir. Ikan C. goniognathus yang dihitung nilai fekunditasnya adalah ikan yang berada pada TKG IV. Berdasarkan lokasi pengamatan kisaran nilai fekunditas ditemukan 387 – 804 butir dengan rata-rata 558.67±150.18 butir di Muara Takus, 192 – 926 butir dengan rata-rata 524.88±200.57 butir di Gunung Bungsu I, 370 – 891 butir ratarata 511.21±126.92 butir di Gunung Bungsu II, lokasi Tanjung I berkisar antara 327 – 556 butir dengan rata-rata 409.60±87.16 serta Tanjung II antara 162 – 602 butir dengan nilai rata-rata 300.92±122.85 butir, selengkapnya tersaji pada Tabel 14 berikut : Tabel 14. Kisaran panjang total, berat tubuh dan fekunditas ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan Panjang total (mm)
Berat total (g)
Fekunditas total (butir)
Lokasi
N
Kisaran
Rata-rata
kisaran
Rata-rata
Kisaran
Rata-rata
MT
15
31-47
40.80±46.51
0.24-0.89
0.60±0.16
387-804
558.67±150.18
GB I
25
32-48
41.96±3.92
0.25-0.78
0.62±0.17
192-926
524.88±200.57
GB II
14
34-45
39.43±3.03
0.34-0.76
0.52±0.12
370-891
511.21±126.92
Tj I
5
33-46
40.80±4.87
0.30-0.82
0.61±0.19
327-556
409.60±87.16
Tj II
12
38-46
42.08±3.03
0.53-0.92
0.71±0.15
162-602
300.92±122.85
Fekunditas yang diperoleh selama penelitian berfluktuasi. Hal ini kemungkinan disebabkan kondisi kualitas perairan, ukuran berat gonad, bobot ikan, panjang total, umur dan kebiasaan makanan. Ikan C. goniognathus memiliki tubuh kecil, hal ini sesuai dengan fekunditas yang dihasilkan relatif kecil. Tubuh kecil akan memiliki rongga perut yang kecil juga dan tentunya ovari yang dimiliki disesuaikan dengan rongga yang tersedia. Ikan bertubuh kecil lainnya seperti Rasbora tawarensis berfekunditas 1420 – 18.926 butir (Hasri 2010), hal ini disesuaikan dengan panjang total ikan berbeda, ikan R. tawarensis lebih panjang dari pada ikan C. goniognathus (Gambar 21). Variasi fekunditas yang dihasilkan oleh ikan dapat disebabkan oleh adanya perbedaan ukuran panjang.
4.5.6 Diameter dan Pola Sebaran Telur Sebaran diameter telur ikan C. goniognathus dibagi kedalam 8 kelas ukuran. Diameter telur ikan C. goniognathus bervariasi antara 0.63 – 1.02 mm. Diameter telur pada lokasi I, II, III, IV dan V frekuensi terbesar pada selang ukuran 0.73 – 0.77 mm di setiap lokasi pengamatan selama penelitian. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 21 berikut ini : 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
St V St IV St III
0.98 - 1.02
0.93 - 0.97
0.88 - 0.92
0.83 - 0.87
0.78 - 0.82
0.73 - 0.77
0.68 - 0.72
0.63 - 0.67
0.58 - 0.62
St II St I
Gambar 21. Sebaran diameter telur ikan C. goniognathus dengan tingkat kematangan gonad (TKG IV) di masing-masing lokasi pengamatan Hasil pengamatan tiap stasiunnya tercatat bahwa diameter telur ikan C. goniognathus dengan selang ukuran yang paling besar 0.98 – 1.02 mm selalu ditemukan kecuali pada stasiun IV. Hal ini diduga dikarenakan bahwa semua lokasi mempunyai karakter yang hampir sama karena merupakan satu aliran sungai yang menjadi inlet Waduk Koto Panjang. Pola sebaran telur ikan C.goniognathus bermodus total spawning karena dilihat dari grafik hanya mempunyai satu puncak. 4.6 Mortalitas dan Laju Eksploitasi Pada populasi ikan yang telah dieksploitasi, mortalitas merupakan kombinasi mortalitas alami dan mortalitas penangkapan. Laju mortalitas alami (M) 1.82 thn-1 dan mortalitas penangkapan (F) 0.27 thn-1 (Tabel 15). Tabel 15. Laju mortalitas dan eksploitasi ikan C. goniognathus Mortalitas Alami M) Penangkapan (F) Laju eksploitasi (E)
Nilai (thn-1) 1.82 0.27 0.13
Laju mortalitas alami ikan C. goniognathus lebih tinggi dibandingkan dengan laju mortalitas karena penangkapan. Laju mortalitas alami dapat disebabkan oleh predasi, penyakit, tingginya suhu perairan dan rendahnya kandunga osigen terlarut di perairan yang dapat menyebabkan mortalitas alami ikan secara mendadak (Welcomme 2001). Laju eksploitasi ikan C. goniognathus masih dibawah nilai optimum yang dikemukakan oleh Gulland (1971 dalam Pauly (1984) yaitu 0.5. Jadi eksploitasi terhadap ikan ini masih tergolong dibawah tangkapan (under fishing). Hal ini harus dijaga supaya tidak menimbulkan indikasi tangkap lebih, dan tetap bekelanjutan. 4.7 Rekomendasi Pengelolaan Pengelolaan satu hal yang perlu dilakukan untuk pelestarian ikan C .goniognathus nantinya, supaya ikan ini tetap bermanfaat dan berkelanjutan. Adapun alternatif rekomendasi pengelolaan yang ditawarkan sebagai berikut: 1. Perlindungan Habitat Perlindungan habitat ikan C. goniognathus sangat perlu dilakukan guna menjaga ikan tetap lestari. Berdasarkan distribusi ikan, ISC (Index of Somatic Content), IP (Index of Propenderence) makanan utama, ukuran pertama kali matang gonad dan diameter telur, lokasi Tanjung II lebih baik daripada lokasi lainnya, maka Tanjung II cocok dijadikan kawasan konservasi. Sedangkan lokasi Muara Takus cocok dijadikan kawasan rehabilitasi karena memiliki nilai lebih buruk dari lokasi lainnya. Untuk lokasi Gunung Bungsu I perlu dijadikan kawasan perlindungan karena sebagai tempat pemijahan. 2. Pembatasan Penangkapan Lokasi
ditemukan
paling
banyak
ikan
berTKG
IV
sebaiknya
diberlakukan aturan pembatasan penangkapan. Selama penelitian ikan C. goniognathus paling banyak memijah pada lokasi Gunung Bungsu I, dan tempat mencari makan di lokasi Tanjung II. Disarankan agar mengurangi aktifitas penangkapan terhadap ikan C. goniognathus khusunya dikedua daerah tersebut. 3. Pengaturan Ukuran Ikan yang boleh Ditangkap Ukuran ikan C. goniognathus relatif pendek karena ikan ini memang termasuk ikan yang berukuran kecil. Pada saat ukuran dewasa, ikan-ikan mulai
mengalami matang gonad dan akan segera memijah. Sebaiknya ikan yang ditangkap > 40.38 mm dengan mata jaring > 1/.4 inch. 4. Pengaturan Musim Penangkapan Pada bulan-bulan tertentu ikan akan melakukan pemijahan, tercatat bahwa ikan pada umumnya melakukan pemijahan pada musim penghujan. Walaupun musim penghujan sekarang tidak bisa ditandai dengan pasti karena keadaan cuaca yang tidak menentu, akan tetapi untuk sementara ikan C. goniognathus melakukan pemijahan terjadi pada bulan Juli. Maka dari itu seharusnya dibuat aturan yang melarang atau mengurangi penangkapan pada bulan Juli tersebut dan di lokasi Gunung Bungsu I.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1.
Kelimpahan ikan bunga air (C. goniognathus) tertinggi secara spasial di lokasi Tanjung II, dan temporal pada bulan Juli.
2.
Ikan ini tergolong kedalam ikan karnivora (panjang usus relatif <1) dengan makanan utama baik berdasarkan TKG, maupun lokasi pengamatan adalah Branchiopodopsis sp. Ikan bunga air memilih jenis Ephemeroptera sp. (0.91) sebagai makanan yang paling digemarinya.
3.
Pola pertumbuhan alometrik negatif. Persamaan pertumbuhan von Bertalanffy ikan keseluruhan Lt = 51.45 (1-e-58(t+0.04)). Nilai faktor kondisi ikan betina paling tinggi terjadi di lokasi Gunung Bungsu I.
4.
Ikan C. goniognathus memijah secara total (total spawner) yang berlangsung tiap bulan dengan puncak pemijahan terjadi pada bulan Juli. Tempat pemijahan berlangsung di Gunung Bungsu I. Potensi reproduksi tergolong rendah dengan fekunditas berkisar antara 162 – 926 butir.
5.
Ukuran pertama kali matang gonad ikan betina lebih cepat (33.87 – 47.89 mm) dibandingkan ikan jantan (35.78 – 45.58 mm).
6.
Laju eksploitasi terhadap ikan ini rendah (under fishing) dengan nilai 0.13 per tahun.
5.2 Saran 1.
Ikan C. goniognathus dalam upaya pengelolaannya disarankan untuk perlindungan habitat di lokasi Tanjung II dan Gunung Bungsu I, pembatasan penangkapan di lokasi Gunung Bungsu I dan Tanjung II, pengaturan ukuran ikan yang boleh ditangkap > 40.38 mm dengan mata jaring > ¼ inch, dan penutupan kegiatan penangkapan pada bulan Juli di lokasi Gunung Bungsu I.
2.
Perlu dilakukan penelitian distribusi ikan C. goniognathus pada anak-anak sungai yang bermuara ke Waduk Koto Panjang, agar bisa ditentukan anak sungai mana yang dapat dikonservasi secara mutlak.
DAFTAR PUSTAKA
Amarasinghe US, Sriya IDP. 2001. Aspects of biology and fishery of Malabar Sprat, Ehirava fluviatilis (Osteichthyes: Clupeidae) in Bolgoda Lake, Sri Lanka. Asian fisheries science. 15(2002): 215-228p. Amer MA, Mura T, Miura C, Yamauchi K. 2001. Involvement of sex steroid hormones in the early stages of spermatogenesis in Japanese Huchen (Hucho perryi). Biology of Reproduction 65:1057-1066. Amir F. 2006. Pendugaan pertumbuhan, kematian dan hasil per rekrut ikan nila (Oreochromis niloticus) di Waduk Bilibili. Ilmu-ilmu perairan Indonesia. 13 (1) : 1-5. [APHA] American Public Health Association. 2005. Standard methods for the examination of water and water and wastewater, 21th edition. Washington: APHA, AWWA (American Water Works Association) and WPCF (Water Pollution Control Federation). Hal 3 – 42. Aprilianti R. 2007. Hubungan kelimpahan makanan dengan jumlah ikan motan di waduk PLTA Koto Panjang Provinsi Riau. Skripsi Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Universitas Riau (tidak dipublikasikan). Badan Pusat Statistik. 2004. Angka infigures of Kampar. Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kampar dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Pekanbaru Riau. 400 hal. Beverton RJH dan SJ Holt. 1957. On dynamics of exploited fish population. London : her majesty’s stationary office. 533 p. Boyd CE. 1979. Water quality management in pond fish culture for aquaculture experimental station. Auburn University. Alabama. Costa-Pierce BA. 1997. From farmer to fisheries: Developing reservoir aquaculture for people displaced by dams. World Bank. Technical Paper (369). Fisheries Series. Washington. Departemen Pertambangan dan Energi. 1995. Proyek Induk Pembangkitan Listrik dan Jaringan Sumatra Barat dan Riau. 45 hal. (tidak diterbitkan). Desrita. 2007. Beberapa aspek biologi ikan bunga air (Clupeicthys bleekeri) di Hulu Sungai Kampar Kanan Provinsi Riau. Skripsi Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Uiversitas Riau (tidak dipublikasikan). Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
66
Effendie MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Cetakan kedua/edisi revisi. Bogor. Effendie MI. 1979. Metode Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Dewi Sri.112 hal. Hasri I. 2010. Pertumbuhan, reproduksi, tingkat eksploitasi dan alternative pengelolaan ikan endemik Rasbora tawarensi (Weber dan de Beaufort ] (tidak dipublikasikan) 1916) di Danau Laut Tawar, Aceh Tangah. [ Bogor: Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Perairan Institut Pertanian Bogor. 76 hal. Hoar WS. 1957. Gonad Reproduction. In Brown (Ed). The physiology of fishes volume 1. The publisher. New York. 287-317 p. http://www.fishbase.com Khairuzuhdi. 2007. Studi ekomorfologi ikan-ikan di Sungai Kampar Kanan. Skripsi Manajemen Sumberdaya Perairan. Universitas Riau (tidak diterbitkan). King M. 1995. Fisheries biology, assessment and management. United kingdom: fishing new books. 341 p. Kottelat MAJ, Whitten SN, Kartikasari dan S. Wirjoatmodjo. 1993. Ikan air tawar Indonesia Bagian Barat dan Sulawesi. Periplus Editions Ltd. 377 hal. Krebs CS. 1972. Ecology. The experimental analysis of distribution and abundance. New York: Harpers dan Row Publisher. Lagler KFJE, Bardach, R.Miller and DRM Passino. 1977. Ichtyology. John Willey and Sons, Inc.Toronto. 506 p. Lagler E. 1992. Freshwater fishery biology. Second edition. WMC. Brown company publisher. Dubuqua Lowa. Lam TJ. 1985. Induced spawning in fish. Proceeding for workshop held in Tungkang Marine Laboratory. Taiwan April 22-24. 1985. Reproduction in culture of milkfish. 14-56. [LPRSI] Loka Riset Pemacuan Stok Ikan. 2006. Rehabilitasi populasi ikan di Danau Taluk (Jambi) dan Waduk Koto Panjang (Riau). Laporan Akhir Penelitian 2005. Jatilihur. Tidak dipublikasikan.150 hal. Manik N. 2009. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan layang (Decapterus russelli) dari perairan sekitar teluk Likupang Sulawesi Utara. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. No 35 Vol. 1: 65 – 74. Mason CF. 1981. Biology of freshwater pollution. Longman. London and New York. USA.
Matjik AA dan Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan. IPB press. Bogor. 276 hal Miranda LE. 2001. Dams, fish and fisheries: Opportunities, challenges and conflict resolution. FAO Fish. Technical Paper (419): 330 p. Mizuno T. 1979. Illustration of the freshwater plankton of Japan, Hoikusha Publishing Co. Ltd. Osaka.. 353 p. Moyle PB, Cech Joseph Jr. 2004. Fishes: An Introduction to ichtyology. 5thedition. New Jersey: Prince-Hall. Inc. Mustakim M. 2008. Kajian kebiasaan makanan dan kaitannya dengan aspek reproduksi ikan betok (Anasbas testudineus, Bloch) pada habitat yang berbeda di lingkungan Danau Melintang Kutai Kartanegara Kalimantan. [ ] Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Nikolsky GV. 1963. The ecology of fishes. Academic press. New York. Nurdin SR, Susanto D, Buchari, Windarti, Bustami, M. Ghalib, Rusmadya, Abrar. Z, Suparman dan A. Trikora. 2005. Daya tampung beban pencemaran perairan S. Kampar di Daerah Riau. Laporan Akhir Desember 2004 s/d Oktober 2005. Yayasan Riau Mandiri. Nybakken JW. 1992. Biologi laut suatu pendekatan ekologis. PT. Gramedia. Jakarta. 448 hal. Odum EP. 1971. Fundamentals of ecology. Third Ed. W.B. Saunders Company. Philadelphia. 574 p. Odum EP. 1993. Dasar-dasar ekologi: Volume ke-3, Samingan, penerjemah; Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. Terjemahan dari: Fundamentals of Ecology. Pauly D. 1984. Fish population dynamics in tropical waters: a manual for use with programmable calculators. Manila: ICLARM. 325 p. Prescott GW. 1970. How to know the freshwater algae, lowa: WMC Brown Company Publisher. 384 p. Pulungan CP, Pardinan, A. Sianturi, M. Sianturi, M. Siagian, I. Lukistyowati dan AA. Siregar. 1986. Deskripsi ikan-ikan dari hulu Sungai Kampar Kanan Riau. Puslit Universitas Riau Pekanbaru. 37 hal. Pulungan CP. 2000. Deskripsi ikan-ikan air tawar dari Waduk PLTA Koto Panjang. Pusat Penelitian Universitas Riau. 31 hal.
Roberts TR. 2008. Minyclupeoides dentibranchialus, a new genus and species of river heering from the lower Mekong basin of Cambodia (Teleostei: Clupeidae: Pellonulinae). The Raffles Buletin of Zoology. National of Publication of Singapore. 56(1): 125 – 127p. Salman K. Wallace A. 1981. Cellular aspect of oocyte growth in teleost. Zoological Sciences. 1:297-535. Salmin 2005. Oksigen terlarut (DO) dan kebutuhan oksigen biologi (BOD) sebagai salah satu indicator untuk menentukan kualitas perairan. Jurnal Oseana XXX (3): 21 – 26. Sartono 2000. Jenis-jenis nekton yang terdapat di PLTA Koto Panjang Kecamatan XIII Koto Kampar Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Praktek umum Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univertsitas Riau. Pekanbaru. 72 hal (tidak diterbitkan). Schouten R. 1998. Effects of dams on downstream reservoir fisheries, case of Nam Ngum. ISSN 0859-290X, Vol. 4 no 2- December. Simanjuntak CPH. 2007. Reproduksi ikan selais, Ompok hypopthalamus (BLEEKER) berkaitan dengan perubahan hidromorphologi perairan di rawa ] (tidak dipublikasikan) Bogor: Jurusan banjiran Sungai Kampar Kiri [ Ilmu Perairan Institut Pertanian Bogor. Siregar RPA. 2004. Aspek biologi reproduksi induk ikan patin kunyit (Pangasius ] Sekolah kunyit) di Perairan Sungai Kampar Propinsi Riau [ Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan). Soumakil A. 1996. Telaah beberapa populasi ikan memar putih (Decapterus ruselli) di perairan Kecamatan Amahai. Maluku Tengah dan alternatif ] (tidak dipublikasikan) Bogor: Program pengelolaannya. [ pascasarjana Institut Pertanian Bogor Sparre P. Venema SC. 1999. Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis Buku 1: Manual. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, penerjemah. Jakarta: Pusat penelitian dan Pengembangan Perikanan. Steel RGD and Torrie JH. 1993. Prinsip dan prosedur statistika: Suatu pendekatan biometric. Jakarta. PT Gramedia. Sulistiono, Arwani R, Azis KA. 2001. Pertumbuhan ikan belanak (Mugil dussumeiri) di perairan Ujung Pangkah Jawa Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia. 1(2): 39 – 47. Taki Y. 1975. Systematics and Distribution of indochinese-Thai Clupeid Fishes in the Subfamily Pellanulinae. Japanese Journal of Ichthyology. Vol 22 no 2.
Tang UM, Pareng R. 2009. Daerah aliran sungai (DAS) Kampar untuk kesejahteraan masyarakat Riau. UR Press Pekanbaru. 238 hal. Turkmen M, Erdogan O, Yildirim A, Akyurt I. 2002. Reproductive tactis, age and growth of Capoeta capoeta umbla Heckel 1834 from the Askale Region of the Karsu Rivers. Turkey. Fisheries Research. 54: 317 – 328. Walpole RE. 1993. Pengantar statistika. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Weatherley LA. 1972. Growth and ecology of fish population. Academic press. Inc. London. 293 p. Welcomme RL. 1985. River Fisheries. FAO. Fisheries Technical Paper 262-330 p. Winemiller KO.1992. Ecomorfology of Freshwater fishes. Ecologycal difergent and confergent in freshwater fishes. National Geographic Research and Ecploration 8 (3): 308 – 327 p. Wooton RJ. 1992. Fish ecology. Blackie and Son. Ltd. London. Woynarovich E. Horvarth L. 1980. The artificial propagation of warm water finish a manual for ekstentio. FAO. Fisheries Technical Paper No 20 FIR/20. Yunfang, HM. S. 1995. The Freshwater biota in China. Yantai University Fishery Collage. 375 p. Zahid A. 2008. Ekologi tropik ikan-ikan dominan (Trichogaster leeri, T. trichopterus, dan Rasbora dusonensis) di hutan gambut Desa Dadahub Kalimantan Tengah [Tesis]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Lampiran 1. Lokasi Pengamatan
Lampiran 2. Cara penangkapan ikan C. goniognathus
Lampiran 3. Pembuatan preparat histologi gonad dengan metode mikroteknik (Gunarso, 1989) dalam Hasri (2010)
1. Fiksasi Gonad diambil dan dicuci dengan NaCl fisiologis 0.65%, difiksasi ke dalam larutan bouin (15 cc asam pikarat jenuh + 5 cc formalin + 1 cc asam cuka pekat) selama 24 jam. Lalu dicuci dengan alkohol 70% sampai warna kuning pada gonad hilang. Gonad dapat disimpan dalam larutan alkohol 70% untuk beberapa waktu lamanya sebelum proses dehidrasi. 2. Dehidrasi Gonad direndam dalam larutan alkohol bertingkat (80%. 85%. 90% dan 95%). masing-masing selama 2 jam dan dipindahkan ke dalam alkohol 100% sebanyak 4 kali masing-masing selama 1 jam. 3. Clearing Gonad direndam dalam alkohol 100% + xylol (1:1) selama 45 menit. kemudian ke dalam xylol I. II. dan III masing-masing selama 45 menit. 4. Infiltring Gonad direndam dalam xylol + paraffin (1:1) selama 45 menit pada suhu 60o C kemudian direndam ke dalam paraffin I. II. dan III masing-masing selama 45 menit. 5. Embiding Gonad direndam kedalam balok paraffin cair pada suhu 60o C sampai paraffin mengeras selama 24 jam. 6. Pemotongan Spesimen dipotong setebal 5 mikron dengan menggunakan mikrotom. Ditempelkan pada gelas objek yang telah ditetesi ewid. Direnggangkan di atas pemanas dan dikeringkan selama 24 jam pada suhu 45o C 7. Defarafinasi Preparat direndam berturut-turut (xylol I. II. alkohol 100% I. 100% II. 95%. 90%. 85%. 80%. 70%. dan 50%) masing-masing 2 menit dan dicuci sampai bewarna putih.
Lampiran 3. (lanjutan) 8. Pewarnaan Preparat direndam dalam larutan haematoksilyn selama 2 menit. dicuci dengan air keran mengalir. Direndam dalam larutan eosin selama 2 menit dan dicuci kembali dengan air keran mengalir. 9. Dehidrasi Preparat direndam berturut-turut di dalam alkohol 70%. 80%. 85%. 90%. 95% I. 95% II. 100% I. dan 100% II masing-masing selama 1 menit. 10. Clearing Preparat direndam ke dalam xylol I dan xylol II masing-masing selama 1 menit. 11. Penutupan dengan kaca penutup Preparat diberi zat perekat canda balsam. ditutup dengan kaca penutup. dikeringkan selama 10 menit. Preparat diberi label sesuai keperluan sehingga didapatkan preparat permanen histology gonad (testis dan ovarium) yang dapat diamati dibawah mikroskop setiap saat.
Lampiran 4. Data fisika, kimia dan biologi di perairan inlet Waduk Koto Panjang Parameter
Unit
April
Mei
MT Juni
Juli
Agustus
April
Mei
GB I Juni
Juli
Agustus
GB II Juli
Agustus
Tj I Juli
Agustus
April
Mei
Tj II Juni
Juli
Agustus
C cm m/s NTU
28 30 0.15 -
28.9 55 0.05 55
27 60 0.05 15
26.5 60 0.11 55
24.5 80 0.23 120
26 50 0.29 -
26.5 75 0.12 18
27 150 0.05 55
25.4 125 0.07 18
24 100 0.10 150
25 120 0.08 5
24 110 0.38 210
25.5 80 0.10 6
24 100 0.65 180
24 60 0.38 -
22 50 0.81 46
26 50 0.15 23
24.3 70 0.30 46
24.5 100 0.27 100
mg/l mg/l mg/l mg/l
5 1.89 3 0.44 0.05
6 2 2 0.22 0.06
6 4 4 0.21 0.06
6 5.8 10 0.22 0.10
5.5 3.4 3 0.28 0.10
6 1.8 2 0.44 0.16
5 3.8 2 0.24 0.07
6 2.58 7 0.05 0.03
5 4.2 6 0.24 0.18
5.5 2.8 8 0.22 0.11
5.5 3 8 0.44 0.12
6 3.4 4 0.28 0.11
6 3 10 0.40 0.12
6 3.6 6 0.35 0.13
5 1.73 0.36 0.09
5 5,8 5 0.25 0.03
5.5 2 2 0.22 0.03
5 3.8 8 0.25 0.18
6 3.4 7 0.41 0.14
ind/l
31
40
647
291
81
35
41
82
68
104
54
93
57
81
35
40
54
97
135
Fisika Suhu Kedalaman Kecepatan arus Kekeruhan Kimia pH DO Alkalinitas Nitrat Orthoposphat Biologi Kelimpahan plankton
75
Lampiran 5. Curah hujan di daerah Pekanbaru dari tahun 2009 – 2010 BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA BALAI WILAYAH 1 STASIUN METEOROLOGI PEKANBARU DATA KLIMATOLOGI STASIUN PENGAMATAN : PEKANBARU TAHUN PENGAMATAN : 1994 TAHUN PENGAMATAN : 2009 No
Bulan
Tekanan
Hujan
Temperatur
Angin
uadara
CH
HH
Max
Min
Rata-rata
(Mb)
Penyinaran
Arah
Kecepatan
Max
Matahari
RH Ratarata
Terbanyak
Rata-rata
(Knot)
(%)
1
Januari
1010.5
179.3
14
31.0
23.2
26.6
N
4
20
36.2
77.5
2
Februari
1009.5
148.5
12
31.7
23.6
27.2
NW
4
32
37.5
76.9
3
Maret
1009.2
551.4
23
32.9
23.2
27.2
NE
4
47
55.9
78.2
4
April
1008.5
343.2
21
33.2
24.0
28.1
VRB
4
50
60.0
60.0
5
Mei
1007.9
216.2
14
35.4
24.5
28.9
SE
3
35
65.9
74.6
6
Juni
1009.0
123.4
9
33.6
24.3
28.4
S
5
50
55.1
74.5
7
Juli
1009.3
73.9
11
33.5
23.0
28.2
S
6
20
59.0
72.0
8
Agustus
1008.9
278.6
17
33.4
23.6
27.7
S
5
25
63.5
76.3
9
September
1009.7
256.7
18
33.4
23.9
27.9
S
5
24
56.5
76.2
10
Oktober
1010.3
293.7
16
32.7
23.8
27.5
S
5
14
44.1
74.2
11
November
1008.8
346.8
21
32.5
23.6
27.4
NW
5
40
43.5
78.2
12
Desember
1010.2
584.1
21
32.4
24.4
27.4
VRB
6
40
71.6
78.9
Lampiran 5 (lanjutan) TAHUN PENGAMATAN : 2010 No
Bulan
Tekanan
Hujan
uadara
CH
Temperatur HH
Max
Min
Angin Rata-rata
(Mb)
Penyinaran
Arah
Kecepatan
Max
Matahari
Terbanyak
Rata-rata
(Knot)
(%)
RH Ratarata
1
Januari
1010.7
375.6
23
32.7
24.3
27.8
N
6
23
79
77.6
2
Februari
1009.8
204.6
16
31.5
22.8
26.5
NE
6
30
-
-
3
Maret
1010.2
434.4
20
34.3
24.8
28.7
VRB
6
20
-
74.4
4
April
1009.7
379.9
19
33.7
24.4
28.3
VRB
6
40
5
74.4
5
Mei
1007.7
373.3
16
34.1
24.9
29.0
CALM
6
6
4.5
74.8
6
Juni
1009.2
271.8
17
32.2
24.1
28.3
S
5
35
4.7
71.5
7
Juli
1009.0
321.8
19
32.5
23.6
27.5
S
5
28
4.5
74.6
8
Agustus
9
September
10
Oktober
11
November
12
Desember
Lampiran 6. Indeks Kualitas Lingkungan tiap lokasi pengamatan Lokasi Satuan
MT
Skor
Bobot
Total
GB I
Skor
Bobot
Total
GB II
Skor
Bobot
Total
Tj I
Skor
Bobot
Total
Tj II
Skor
Bobot
Total
Fisika Suhu air
°C
27
4.0
10
40
25.8
3
10
30
27
4
10
40
24.8
2
10
20
24.2
2
10
20
Kedalaman
m
0.6
2
10
20
1
3
10
30
1
2
10
20
1
3
10
30
1
2
10
20
Kecepatan arus
m/detik
0.1
1
10
10
0
1
10
10
0
1
10
10
0
4
10
40
0
5
10
50
Kekeruhan
NTU
61.3
4
10
40
60
4
10
40
61
4
10
40
93
1
10
10
54
5
10
50
pH
-
5.7
2
10
20
6
3
10
30
6
1
10
10
6
1
10
10
5
4
10
40
DO
mg /l
3.8
5
10
50
3
2
10
20
3
4
10
40
3
4
10
40
3
1
10
10
Alkalinitas
mg /l
4.4
1
10
10
5
2
10
20
4
1
10
10
8
4
10
40
6
3
10
30
Nitrat
mg /l
0.3
3
10
30
0
1
10
10
0
3
10
30
0
5
10
50
0
3
10
30
Orthophospat
mg /l
0.1
2
10
20
0
2
10
20
0
2
10
20
0
2
10
20
0
2
10
20
ind/l
218.0
2
10
20
66
1
10
10
74
1
10
10
69
1
10
10
72
1
10
10
100
260
Kimia
Biologi Plankton Jumlah
220
230
270
280
Lampiran 7. Kelimpahan (ind/l) dan jenis plankton, tumbuhan dan serangga air yang ditemukan di lokasi penelitian Jenis plankton Lokasi Penelitian Fitoplankton I II III IV V Bacillariophyceae Surirella sp 81 51 3 3 26 Achnanthes sp 13 7 0 0 1 Navicula sp 592 12 1 0 8 Pinnularia sp 11 7 7 1 9 Nitzschia sp 1 2 0 0 0 Cymatopleura sp 2 1 1 2 5 Tabellaria sp 0 0 0 0 1 Chlorophyceae Stigeoclonium sp 8 19 10 14 28 Cosmarium sp 7 1 0 0 3 Rhizoclonium sp 1 1 0 0 8 Spirogyra sp 8 17 9 0 16 Closterium sp 23 3 13 12 25 Actinastrum sp 3 2 0 11 1 Hormidium sp 1 3 0 2 5 Xanthidium sp 5 7 0 3 4 Eodorina sp 5 8 4 0 0 Gonatozygon sp 1 0 2 3 1 Cylindrocapsa sp 2 6 1 0 0 Micrasterias sp 2 8 2 0 3 Raphidonema sp 2 1 0 1 3 Microspora sp 0 7 0 0 8 Treubaria sp 1 1 0 1 8 Arthrodesmus sp 6 0 0 1 0 Cyanophyceae Dactylococopsis sp 19 20 31 14 44 Spirulina sp 4 3 1 1 14 Oscillatoria sp 8 17 14 12 16 Microcoleus sp 3 2 7 1 6 Phormidium sp 4 11 0 0 10 Microcystis sp 2 3 0 3 0 Gloeotrichia sp 10 7 4 7 5 Lyngbya sp 1 8 3 0 0 Anabaena sp 2 5 0 0 3 Chrysophyceae Centritractus sp 7 7 2 3 1 Tribonema sp 9 12 19 14 30 Dinobryon sp 5 3 0 0 3 Botrydium sp 1 1 1 1 7
Lampiran 7 (lanjutan) Zooplankton Keratella sp Cyclopida sp Eodiaptomus sp Chirumonas sp Branchiopodopsis sp Copepoda sp Nuplius Notholcasp Monostyla sp Chepallodela sp Tumbuhan air Potamogeton sp Insecta air Ephemeroptera Jumlah
179 15 4 1 1 6 0 28 2 3
13 7 4 1 8 1 4 13 5 5
0 0 0 0 0 0 0 12 0 0
0 0 0 8 1 0 0 14 0 0
4 0 0 14 2 11 0 19 2 6
1
6
0
0
1
2 1092
2 332
0 147
0 133
0 361
Lampiran 8. Komposisi makanan berdasarkan lokasi pengamatan
Jenis makanan Hewan Ephemeroptera sp. Branchiopodopsis sp. Chirumonas sp. Notholca sp. Argonotholca sp. Bagian udang Tumbuhan Potamogeton sp. Plankton (fito) Cyamatopleura sp. Closterium sp. Rizoclonium sp. Rhapidopsis sp. Lain lain
Lokasi pengamatan Indeks propenderence (%) MT GB I GB II 19.73 27.12 27.40 9.86
37.59 38.72 7.29
Tj I
Tj II
27.27 33.33 30.30 7.58 -
14.91 40.99 31.06 3.73 3.73 -
14.10 57.26 24.46 1.12 0.21 0.06
1.52
1.86
1.25
-
3.73
0.66 0.33 0.33 0.21
1.10
14.79
16.40
Lampiran 9. Komposisi makanan berdasarkan tingkat kematangan gonad
Jenis makanan Hewan Ephemeroptera sp. Branchiopodopsis sp. Chirumonas sp. Notholca sp. Argonotholca sp. Bagian udang Tumbuhan Potamogeton sp. Plankton Cyanotopleura sp. Closterium sp. Rizoclonium sp. Rhapidopsis sp. Lain lain
TKG Indeks propenderence (%) I II
III
IV
13.59 56.70 25.25 1.33 0.08 0.14
12.09 53.47 27.61 2.09
39.87 29.24 19.93 1.33 4.98 -
12.40 54.54 27.68 1.16 0.25
1.99
1.98
1.00
0.71
2.66 -
0.33 0.74 0.58 0.33
0.88 0.25
0.30 2.69 0.52 0.30 0.22
0.29 0.50
-
Lampiran 10. Sebaran frekuensi panjang ikan C. goniognathus setiap bulan pengamatan Betina Selang Panjang (mm) 30 - 32 33 - 35 36 - 38 39 - 41 42 - 44 45 - 47 48 - 50 Jantan Selang Panjang (mm) 30 - 32 33 - 35 36 - 38 39 - 41 42 - 44 45 - 47 48 - 50
Bulan (ekor) April 5 10 9 14 15 7 0
Mei 0 1 14 17 9 3 0
Juni 0 1 14 17 9 3 0
Juli Agustus 5 0 15 1 26 2 40 2 21 6 14 3 2 0
Bulan (ekor) April 6 12 7 8 3 1 0
Mei 0 5 19 18 10 2 0
Juni 0 5 19 18 10 2 0
Juli Agustus 9 1 22 16 26 7 14 19 7 4 1 1 0 0
Lampiran 11.
Distribusi ukuran ikan C. goniognathus berdasarkan bulan pengamatan
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
Betina
Jantan
Lampiran 12. Distribusi ukuran ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan Muara Takus
Gunung Bungsu I
Gunung Bungsu II
Tanjung I
Tanjung Ii
Betina
Jantan
Lampiran 13. Hubungan panjang berat ikan C. goniognathus berdasarkan lokasi pengamatan
1
0.8
Bobot (gr)
Bobot (gr)
1
Jantan
Betina
y = 3E-05x2.7146 R² = 0.8752
0.6 0.4 0.2
y = 2E-05x2.8075 R² = 0.9084
0.8
0.6 0.4 0.2
0
0
0
20
40
60
0
Panjang (mm)
20
40
60
Panjang (mm) Muara Takus
Jantan
Betina y= R² = 0.8975
1
Bobot (gr)
0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
20
40
y = 3E-05x2.6196 R² = 0.805
0.8 0.6 0.4 0.2
60
0 0
Panjang (mm)
20
40
60
Panjang (mm) Gunung Bungsu I
Jantan 1
Bobot (gr)
Bobot (gr)
1
2E-05x2.7178
y = 4E-07x3.8454 R² = 0.8973
0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
20
40
Panjang (mm) Gunung Bungsu II
60
Lampiran 13. (lanjutan) Betina
Jantan
1E-05x2.9802
y= R² = 0.869
1
1
Bobot (gr)
Bobot (gr)
0.8 0.6 0.4 0.2
y = 4E-05x2.6013 R² = 0.7769
0.8 0.6 0.4 0.2
0
0 0
20
40
60
0
Panjang (mm)
20
40
60
Panjang (mm) Tanjung I
Jantan
Betina 4E-05x2.6144
y= R² = 0.811
y = 5E-05x2.5345 R² = 0.7006
1.20
1.00
1.00
0.80
0.80
Bobot (gr)
Bobot (gr)
1.20
0.60 0.40
0.60 0.40 0.20
0.20
0.00
0.00 0
20
40
60
Panjang (mm) Tanjung II
0
20
40
Panjang (mm)
60
Lampiran 14. Penghitungan nisbah kelamin dan uji Khi Kuadrat a. Nisbah kelamin ikan jantan dan betina matang gonad (TKG IV)
Lokasi
MT
GB I
GB II
Tj I
Tj II
Bulan April Mei Juni Juli Agustus April Mei Juni Juli Agustus April Mei Juni Juli Agustus April Mei Juni Juli Agustus April Mei Juni Juli Agustus
Hipotesis: Ho H1
Jantan (oi) 0 0 0 2 4 0 0 0 15 5 0 0 0 7 2 0 0 0 0 3 12 9 23 6 1
Jumlah ekor Betina (oi) Total 0 0 0 0 0 0 6 8 9 13 0 0 0 0 0 0 51 66 2 7 0 0 0 0 0 0 11 18 4 6 0 0 0 0 0 0 1 1 4 7 1 13 4 13 7 30 6 12 4 5
Harapan (ei) 0 0 0 4 6.5 0 0 0 33 3.5 0 0 0 9 3 0 0 0 0.5 3.5 6.5 6.5 15 6 2.5
Nisbah kelamin Jantan Betina 0 0 0 0 0 0 1 3 1 2.25 0 0 0 0 0 0 1 3.4 2.5 1 0 0 0 0 0 0 1 1.6 1 2 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1.3 12 0.1 2.3 1 3.3 1 1 1 1 4
: jantan : betina = 1:1 (nisbah kelamin seimbang) : jantan : betina ≠ 1:1 (nisbah kelamin tidak seimbang)
1). Muara Takus
X² hitung =
= (2 - 4)2 + (6 - 4)2+………..(4 - 6.5)2 + (9 - 6.5)2 4 6.5 = 3.9230 = X2 tabel = X2 (0.05,1) = 3.8415
Keputusan Kesimpulan
: X hit > X tab maka tolak H0 : nisbah kelamin di stasiun Muara Takus tidak seimbang
2). Gunung Bungsu I X2hitung = = (15 - 33)2 + (51 - 33)2+………..(5 - 3.5)2 + (2 - 3.5)2 33 3.5 = 20.9220 = X2 tab = X2 (0.05,1) = 3.8415 Keputusan = x hit > x tab maka tolak H0 Kesimpulan = nisbah kelamin di Gunung Bungsu I tidak seimbang 3). Gunung Bungsu II X2 hitung = = (7 - 9)2 + (11 - 9)2+………..(2 - 3)2 + (4 - 3)2 9 3 = 1.5556 = X2 tab = X2 (0.05,1) = 3.8415 Keputusan Kesimpulan
: X hit < X tab maka gagal tolak Ho : nisbah kelamin di stasiun IV seimbang
4). Tanjung I X2 hitung = = (0 – 0.5)2 + (1 – 0.5)2+………..(3 – 3.5)2 + (4 – 3.5)2 0.5 3.5 = 1.1429 = X2 tab = X2 (0.05,1) = 3.8415 Keputusan : X hit < X tab maka gagal tolak Ho Kesimpulan : nisbah kelamin di Tanjung I seimbang 5). Tanjung II X2 hitung = = (12 – 6.5)2 + (1 – 6.5)2+………..(1 – 2.5)2 + (4 – 2.5)2 6.5 2.5
Keputusan Kesimpulan
= 21.5641 = X2 tab = X2 (0.05,4) = 9.487729 : X hit > X tab maka Ho ditolak : nisbah kelamin di Tanjung II tidak seimbang
Lampiran 15. Sebaran frekuensi Tingkat Kematangan Gonad (TKG) jantan dan betina masing-masing lokasi pengamatan berdasarkan selang ukuran panjang Selang
MT
kelas
GB I
Betina
Jantan
GB II
Betina
Jantan
Tj I
Betina
Jantan
Tj II
Betina
Jantan
Betina
Jantan
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
30 - 32
0
0
0
1
1
1
0
0
0
0
0
2
0
2
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
0
3
3
2
0
2
2
4
1
33 - 35
1
1
0
0
1
3
1
2
2
2
1
2
1
2
2
2
2
0
1
1
0
2
3
4
1
0
0
1
4
1
2
0
5
8
6
0
2
14
5
2
36 - 38
0
0
0
3
0
1
1
0
2
0
0
7
1
0
2
8
1
1
0
6
1
1
1
3
2
1
2
0
2
3
1
1
10
14
11
2
2
5
12
14
39 - 42
0
0
0
3
0
0
2
2
0
0
0
16
0
1
1
8
1
1
0
5
0
0
3
1
2
1
1
1
0
1
2
2
7
16
18
7
1
6
20
9
42 - 44
0
0
1
6
0
0
0
1
0
0
0
14
0
0
0
2
1
0
0
2
0
0
0
1
0
0
2
2
0
0
0
0
0
6
18
5
0
2
6
11
45 - 47
0
0
0
2
0
0
0
1
0
0
0
11
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
8
4
0
0
1
2
48 - 50
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
Lampiran 16. Jumlah ikan berdasarkan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) dan bulan pengamatan
Waktu April Mei Juni Juli Agustus
I 21 3 24 19 16
Betina II III IV I 21 1 1 25 28 6 46 29 7 13 17 74 5 5 24
2 0 1 11 7
Jantan II III IV 17 18 12 13 15 9 11 19 23 14 22 30 10 14 15
Lampiran 17. Jumlah ikan berdasarkan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) dan lokasi pengamatan
Muara Takus Gunung Bungsu I Gunung Bungsu II Tanjung I Tanjung II
I 1 4 6 6 25
Betina II 1 2 2 2 63
III 1 1 1 5 48
IV 15 53 15 5 20
I 2 2 1 7 7
Jantan II 5 5 3 6 29
III 4 6 7 5 48
IV 6 20 9 3 45
Lampiran 18. Indeks Kematangan Gonad (IKG) berdasarkan bulan pengamatan
Waktu April Mei Juni Juli Agustus
N 49 60 42 154 49
kisaran 0.0120-2.2769 0.0286-2.8816 0.0769-3.0978 0.0597-17.6667 0.1731-8.8690
Betina rata-rata 0.3027±0.40 0.4603±0.40 0.8597±0.79 3.8483±4.02 3.0567±3.01
N 49 37 54 94 47
kisaran 0.0149-1.8444 0.0833-1.9714 0.1463-2.8000 0.1290-5.9767 0.0930-5.6981
Jantan rata-rata 0.3869±0.40 0.4790±0.43 1.0736±0.61 1.9163±1.59 2.0565±1.64
Lampiran 19. Indeks Kematangan Gonad (TKG) berdasarkan lokasi pengamatan
Lokasi MT GB I GB II Tj I Tj II
N 18 60 24 18 234
kisaran 0.3958-9.3333 0.2727-17.6667 0.2241-10.8409 0.1724-8.4324 0.0120-8.8690
Betina rata-rata N 5.6576±2.74 19 6.9208±3.57 33 4.7598±3.92 20 2.1072±2.52 21 0.6572±0.96 188
Jantan kisaran 0.0930-5.6026 0.4800-5.9767 0.3396-5.4000 0.1290-3.3095 0.0149-3.6727
rata-rata 2.8937±1.65 3.1134±1.61 2.4293±1.64 1.0401±0.89 0.7622±0.68
Lampiran 20. Penghitungan pertama ukuran kali matang gonad ikan C. goniognathus Betina Selang panjang (mm)
Nilai tengah
30 - 32 33 - 35 36 - 38 39 - 41 42 - 44 45 - 47 48 - 50
31 34 37 40 43 46 49
Total Rata-rata
Xk
1.491362 1.531479 1.568202 1.602060 1.633468 1.662758 1.690196
ri
ni
Pi (ri/ni)
X(i+1)-Xi
Q = 1-Pi
Pi*Qi/Ni-1
3 4 17 33 28 17 3
10 34 62 81 50 24 3
0.040117 0.036723 0.033858 0.031408 0.029289 0.027438 0.000000
0.700000 0.882353 0.725806 0.592593 0.440000 0.291667 0.000000
0.105000 0.034602 0.012438 0.007545 0.009126 0.012912 0.000000
105
264
0.300000 0.117647 0.274194 0.407407 0.560000 0.708333 1.000000 0.397727
m = 1.602060+ (0.0284/2)-(0.0284x0.397727) panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm) = antilog m dengan limit selang kepercayaan 95% 1. 60496504± 1.96√(0.0284 x 2 x 0.02595) limit bawah adalah antilog 1.5298 limit atas adalah antilog 1.6802
1.60496504 40.26846176 0.0752 1.60496504 ± 0.0752 33.8688 47.8850
0.1988 0.0284
1.5298
0.02595
1.6802
Lampiran 20 (lanjutan) Jantan Selang panjang (mm)
Nilai tengah (Nt)
30 - 32 33 - 35 36 - 38 39 - 41 42 - 44 45 - 47 48 - 50
31 34 37 40 43 46 49
Log Nt (Xi)
ri
ni
Pi (Nj/Ni)
X(i+1)-Xi
Q = 1-Pi
Pi*Qi/Ni-1
1.491362 1.531479 1.568202 1.602060 1.633468 1.662758 1.690196
0 8 23 26 18 5 0
14 46 59 73 28 6 0
0.040117 0.036723 0.033858 0.031408 0.029289 0.027438 0.000000
1.000000 0.826087 0.610169 0.643836 0.357143 0.166667 1.000000
0.000000 0.020524 0.010812 0.009172 0.013505 0.034722 0.000000
80
226
0.000000 0.173913 0.389831 0.356164 0.642857 0.833333 0.000000 0.353982
Total Rata-rata m = 1.602060 + (0.0284/2)-(0.0284x0.353982) panjang ikan pertama kali matang gonad (Lm)= antilog m dengan limit selang kepercayaan 95% 1.60620761 ±1.96 √(0.0284 x 2 x 0.01268) limit bawah adalah antilog 1.5536 limit atas adalah antilog 1.6588
1.60620761 40.38383976 0.0526 1.60620761±0.1151 35.7767 45.5827
0.1988 0.0284
1.5536
1.6588
0.01268
Lampiran 21. Matrik hasil penelitian Lokasi
IKL
pengamatan
Distribusi
ISC
spasial
IP
Koefesien
Faktor
Branchiopodopsis
pertumbuhan
kondisi
UPKMG
Fekunditas
Diameter telur
387 – 804 Muara Takus
260
38 ekor
0.93±0.77
27.12%
0.8
0.76±0.08
40.0727 B dan 34.3286 J
559±150
0.74±0.05
192 – 926 Gunung Bungsu I
220
146 ekor
1.35±0.65
37.59%
1.1
1.21±0.13
39.0096 B dan 36.7442 J
525±201
0.76±0.06
370 – 891 Gunung Bungsu II
230
50 ekor
1.15±0.22
33.33%
1.2
1.08±0.11
36.6987 B dan 34.1114 J
511±127
0.76±0.06
327 – 556 Tanjung I
270
40 ekor
1.09±0.35
40.99%
1.4
1.11±0.12
40.5856 B dan 37.8745 J
410±87
0.76±0.08
162 – 602 Tanjung II
280
720 ekor
1.82±1.65
57.26%
1.2
1.08±0.16
40.9846 B dan 40.4814 J
301±123
0.77±0.07