PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KETERKAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN TELUK BANTEN
OLEH : ALIANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK ALIANTO. Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya Dengan Unsur Hara dan Cahaya Di Perairan Teluk Banten. Di bawah Bimbingan Enan M. Adiwilaga sebagai ketua komisi, dan Ario Damar sebagai anggota komisi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan intensitas cahaya dan unsur hara di perairan Teluk Banten. Metode pengukuran produktivitas primer fitoplankton dengan menggunakan metode oksigen botol terang botol gelap dengan waktu inkubasi selama 5 jam. Hasil penelitian didapatkan 36 genera fitoplankton yang terdiri dari 29 genera Bacillariophyceae, 6 genera Dinophyceae, dan 1 genera Cyanophyceae. Kisaran rata-rata
konsentrasi
unsur
hara
DIN
(ammonia-nitrogen,
nitrat-nitrogen,
nitrit-nitrogen), DIP (ortofosfat) dan silikat yang didapatkan selama pengamatan berturut-turut sebesar 0.467–0.610 mg at N/4 I, 0.006–0.043 mg at P/4 I di stasiun A dan 0.430–0.746 mg at N/4 I, 0.006–0.032 mg at P/4 I di stasiun B, serta 1.019–6.294 mg at Si/4 I di stasiun A dan 0.581–3.378 mg at Si/4 I di stasiun B. Nilai kisaran rata-rata produktivitas primer fitoplankton menurut kedalaman inkubasi di stasiun A sebesar 14.15–29.59 mg C/m3/5 jam (33.96–71.01 mg C/m3/hari), dan di stasiun B sebesar 13.56–25.68 mg C/m 3/5 jam (32.54–61.63 mg C/m 3/hari) dengan intensitas cahaya optimum berturut-turut sebesar 32.6% dan 48.2% menurut kedalaman inkubasi. Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan yang sangat erat antara cahaya dengan peroduktivitas primer fitoplankton, dengan koefisien determinasi (R 2 ) yang diperoleh sebesar 82% di stasiun A dan 64% di stasiun B. Hasil analisis menunjukkan pula terdapat hubungan yang kurang erat antara unsur hara DIN dan DIP serta silikat dengan produktivitas primer fitoplankton, dengan kisaran nilai koefisien determinasi sebesar 0.9%–16.5%.
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KETERKAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN TELUK BANTEN adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor,
Januari 2006
A L I A N T O NRP. C151030061
PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON DAN KETERKAITANNYA DENGAN UNSUR HARA DAN CAHAYA DI PERAIRAN TELUK BANTEN
ALIANTO
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Tesis Nama NRP
: Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya Dengan Unsur Hara dan Cahaya Di Perairan Teluk Banten : Alianto : C151030061
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Anggota
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Perairan
Dr. Chairul Muluk, M.Sc
Tanggal Lulus: 9 Desember 2005
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Wanci Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Buton (sekarang Kabupaten Wakatobi) Propinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 05 Maret 1970 dari ayah La Hamuna dan ibu Hj. Wa Nuru. Penulis merupakan anak ketiga dari tujuh bersaudara. Pada tahun 1989 penulis lulus dari SMA Negeri Wanci dan pada tahun 1990 penulis lulus seleksi masuk perguruan tinggi melalui jalur UMPTN pada Program Studi dan Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas Pattimura Ambon. Penulis menyelesaikan studi di Universitas Pattimura tahun 1997. Pada tahun 2001 penulis diterima sebagai staf pengajar pada Program Studi Diploma Tiga Budidaya Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih sekarang Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua Manokwari, Irian Jaya Barat. Pada tahun 2003 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan sponsor Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya jualah sehingga penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2005–April 2005 ini adalah “Produktivitas Primer Fitoplankton dan Keterkaitannya Dengan Unsur Hara dan Cahaya Di Perairan Teluk Banten”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si, selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan saran dan mengarahkan penulis sejak penulisan proposal, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan karya ilmiah ini. Kepada Bapak Yusli Wardiatno yang telah banyak memberi masukan demi perbaikan tulisan ini sebagai penguji luar komisi. Bapak Dr. Chairul Muluk, M.Sc, selaku Ketua Program Studi Ilmu Perairan beserta seluruh staf pengajar yang telah banyak membekali ilmu pengetahu an kepada penulis. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi DEPDIKNAS atas bantuan beasiswa melalui BPPS. Rektor Universitas Negeri Papua dan Dekan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan atas izin yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana. Ucapan terima kasih disampaikan kepada ayah, ibu serta istri dan anakku tersayang serta seluruh keluarga atas segala doa yang telah diberikan. Kepada pihak yang telah banyak membantu pada saat penelitian diucapkan terima kasih yang tak terhingga. Harapan penulis semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat. Bogor,
Januari 2006
Alianto
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ Perumusan dan Pendekatan Masalah ...................................................... Tujuan .................................................................................................... Hipotesis .................................................................................................
1 3 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer ............................................................................... 5 Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN) ......................................................... 7 Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) ............................................................... 9 Silikat .................................................................................................... 10 Fitoplankton ........................................................................................... 11 Klorofil-a ............................................................................................... 12 Cahaya ................................................................................................... 13 Suhu ....................................................................................................... 15 Salinitas ................................................................................................. 16 pH .......................................................................................................... 17 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ Pengambilan Contoh Air Laut .............................................................. Intensitas Cahaya Matahari ..................................................................... Produktivitas Primer ............................................................................. Analisis Unsur Hara .............................................................................. Identifikas i Fitoplankton ....................................................................... Klorofil-a ............................................................................................... Analisis Data .........................................................................................
18 19 20 20 21 22 24 25
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Oseanografi ............................................................................. Suhu ............................................................................................. Salinitas ........................................................................................ pH ................................................................................................. Intensitas Cahaya Matahari ................................................................... Intensitas Cahaya Matahari Permukaan ....................................... Intensitas Cahaya Matahari di Kolom Air ................................... Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN) ........................................................ Ammonia-Nitrogen (NH 3 -N) ........................................................ Nitrat-Nitrogen (NO 3-N) ...............................................................
27 27 28 28 29 29 30 33 34 35
Nitrit-Nitrogen (NO 2-N) ............................................................... Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) ............................................................. Ortofosfat (PO4-P) ......................................................................... Silikat (Si) .............................................................................................. Struktur Komunitas Fitoplankton .......................................................... Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton .................................... Indeks Biologi Fitoplankton ......................................................... Klorofil-a ............................................................................................... Produktifitas Primer Perairan ................................................................. Produktivitas Primer Pada Berbagai Kedalaman Inkubasi .......... Produktivitas Primer Pada Berbagai Lapisan Kolom Air ............ Hubungan Cahaya Dengan Produktivitas Primer ................................. Hubungan Unsur Hara Dengan Produktivitas Primer ........................... Hubungan Klorofil-a Dengan Produktivitas Primer .............................
36 36 36 37 38 38 41 43 45 45 47 48 50 54
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ........................................................................................... 55 Saran ..................................................................................................... 55 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 56 LAMPIRAN ..................................................................................................... 63
DAFTAR TABEL Halaman
1
Nilai Produktifitas Primer Dengan Metode Oksigen (O 2) di Beberapa Wilayah Tropik dan Temperate .................................................................... 7
2
Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Yang Di ukur Serta Metode dan Alat Ukur yang Digunakan ................................................................................. 19
3
Kondisi Oseanografi Perairan Teluk Banten .............................................. 27
4
Rataan Unsur Hara Menurut Stasiun Pengamatan di Perairan Teluk Banten ............................................................................................... 33
5 Rataan Konsentrasi Unsur Hara Menurut Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ............................................................................. 34 6
Rataan Jumlah Genera Fitoplankton Menurut Stasiun Pengamatan di Perairan Teluk Banten ............................................................................. 39
7
Rataan Kelimpahan Sel Fitoplankton Menurut Stasiun Pengamatan di Perairan Teluk Banten ............................................................................. 40
8
Indeks Bio logi Menurut Stasiun Pengamatan di Perairan Teluk Banten ............................................................................................... 42
9
Indeks Biologi Menurut Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ............................................................................................... 42
10 Konsentrasi Klorofil-a Menurut Stasiun Pengamatan di Perairan Teluk Banten ............................................................................... 44 11 Konsentrasi Klorofil-a Menurut Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ................................................................................................. 44 12 Nilai Produktivitas Primer Bersih Pada Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ................................................................................................. 46 13 Hubungan Produktivitas Primer Bersih Dengan Unsur Hara ..................... 51
DAFTAR GAMBAR Halaman
1
Kerangka Proses Perumusan dan Pendekatan Masalah ................................ 4
2
Siklus Nitrogen di Zona Eufotik ................................................................... 8
3
Penyerapan dari Tiga Sumber Nitrogen (NH3, Urea, NO 3) Oleh Dua Ukuran Fitoplankton Yang Berbeda ...................................................... 9
4
Grafik Distribusi Vertikal Cahaya dan Fotosintesis di Perairan ................. 14
5
Lokasi Penelitian Perairan Teluk Banten .................................................... 18
6 Intensitas Cahaya Permukaan ...................................................................... 29 7
Intensitas Cahaya di Lapisan Permukaan .................................................... 31
8
Distribusi Cahaya di Kolom Air Perairan Teluk Banten ............................ 32
9
Rataan Jumlah Genera Fitoplankton Menurut Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten .............................................................. 39
10 Rataan Kelimpahan Fitoplankton Menurut Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten ............................................................................. 41 11 Nilai Produktivitas Primer Bersih Pada Berbagai Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten .............................................................. 47 12 Pola Hubungan Intensitas Cahaya Matahari Dengan Produktivitas Primer Bersih di Perairan Teluk Banten ................................................................. 49 13 Pola Hubungan Intensitas Cahaya Matahari Dengan Produktivitas Primer Bersih Pada Berbagai Lapisan Kolom Air di Perairan Teluk Banten ......... 50 14 Grafik Pola Hubungan Unsur Hara Dengan Produktivitas Primer Bersih di Stasiun A ................................................................................................. 52 15 Grafik Pola Hubungan Unsur Hara Dengan Produktivitas Primer Bersih di Stasiun B ................................................................................................. 53 16 Grafik Hubungan Klorofil-a Dengan Produktivitas Primer Bersih di Perairan Teluk Banten ............................................................................ 54
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1
Prosedur Pengisian Air Kedalam Botol BOD ............................................. 63
2
Prosedur Pengukuran Oksigen Terlarut Dengan Titrasi Winkler ............... 63
3
Prosedur Pengukuran Produktivitas Primer ................................................ 64
4
Tahapan Analisis Unsur Hara ..................................................................... 64
5
Prosedur Analisis Klorofil-a ....................................................................... 66
6
Intensitas Cahaya Matahari Permukaan di Perairan Teluk Banten ............... 67
7 Intensitas Cahaya Matahari Pada Lapisan Permukaan di Perairan Teluk Banten ................................................................................................. 67 8 Intensitas Cahaya Matahari Pada Berbagai Kedalaman Inkubasi di Perairan Teluk Banten .............................................................................. 68 9 Konsentrasi Parameter Utama Yang Diukur di Perairan Teluk Banten ....... 70 10 Hasil Uji Sidik Ragam (Anova) Produktivitas Primer Bersih Terhadap Stasiun dan Kedalaman di Perairan Teluk Banten ........................................ 72 11 Kelimpahan Fitoplankton (sel/I) Pada Periode I di Perairan Teluk Banten ................................................................................................. 73 12 Kelimpahan Fitoplank ton (sel/I) Pada Periode II di Perairan Teluk Banten ................................................................................................ 74 13 Kelimpahan Fitoplankton (sel/I) Pada Periode III di Perairan Teluk Banten ................................................................................................ 75 14 Nilai Produktivitas Primer Bersih Pada Setiap Lapisan Kolom Air Stasiun A Selama Waktu Inkubasi di Perairan Teluk Banten...................... 76 15 Nilai Produktivitas Primer Bersih Pada Setiap Lapisan Kolom Air Stasiun B Selama Waktu Inkubasi di Perairan Teluk Banten ....................... 79
PENDAHULUAN Latar Belakang Kemampuan potensial suatu perairan untuk menghasilkan sumberdaya alam hayati ditentukan oleh produktivitas primer fitoplanktonnya. Produktivitas primer fitoplankton memainkan peran penting dalam proses bahan pada jaring makanan planktonik, yang dihasilkan sebagai senyawa organik yang menjadi sumber carbon dan energi terpenting bagi organisme di berbagai lingkungan perairan (Lignell 1992). Fitoplankton merupakan tumbuhan yang paling luas tersebar dan ditemukan di seluruh permukaan laut dan pada kedalaman sampai setebal lapisan eufotik. Fitoplankton men ghasilkan karbon 1010 ton setiap tahun atau kira-kira 50% dari seluruh karbon yang dihasilkan oleh seluruh tumbuh-tumbuhan (Smayda 1970; Meadows dan Campbell 1988; Brotowidjoyo et al. 1995) dan diperkirakan 50% produktivitas primer di laut dihasilkan oleh fitoplankton (Rost et al. 2003). Fitoplankton merupakan salah satu tumbuhan laut yang mengandung klorofil-a sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan fotosintesis. Pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton sangat tergantung pada keberadaan cahaya matahari dan suplai bahan inorganik terutama nitrogen, fosfor dan silikat di perairan (Tett dan Edwars 1984; Duarte 1992). Sumber energi yang utama bagi kehidupan fitoplankton di laut berasal dari cahaya matahari. Cahaya merupakan salah satu faktor utama yang mengontrol laju fotosintesis di laut. Di samping itu, proses fotosintesis fitoplankton berjalan dengan memanfaatkan unsur hara yang ada di lingkungannya. Unsur hara yang dibutuhkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhan dan perkembangannya terutama nitrogen, dan fosfor. Ketersediaan unsur-unsur ini di laut terutama dikontrol oleh proses
biogeokimia seperti produksi dan dekomposisi bahan organik biogenik dan laju penenggelaman bahan partikulat (Smith 1984; Hirose dan Kamiya 2003). Nitrogen di laut terdiri dari ammonia, nitrat, dan nitrit. Nitrogen sendiri merupakan unsur kimia yang penting dalam proses pembentukan protoplasma. Bentuk-bentuk senyawa nitrogen tersebut berperan penting sebagai sumber nitrogen bagi fitoplankton meskipun peranan masing-masing ion tersebut tidak selalu sama terhadap berbagai jenis fitoplankton. Fosfor merupakan unsur esensial penting bagi fitoplankton dan ketersediannya di perairan selalu lebih rendah dari nitrogen serta keberadaannya di zona eufotik selalu ditemukan dalam konsentrasi yang rendah (Dawes 1981). Fosfor dibutuhkan oleh fitoplankton sebagai sumber energi terutama untuk memproduksi fosfolipid dan ikatan fosfat gula dan molekul seperti adenosin triphosphat (ATP). Keberadaan unsur hara nitrogen dan fosfor di perairan, mempunyai dua pengaruh terhadap fitoplankton, yaitu (1) unsur hara dalam jumlah yang cukup sangat diperlukan oleh fitoplankton dalam proses fotosintesis untuk metabolisme sel hidupnya. (2) kandungan unsur hara dalam jumlah yang tinggi dapat menyebabkan gangguan yang berlanjut pada lingkungan perairan seperti penurunan penetrasi cahaya matahari, dan ledakan populasi alga yang beracun (Rabalais 1999). Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, masih sangat diperlukan berbagai informasi mengenai perairan Teluk Banten. Maka penelitian-penelitian khususnya mengenai kondisi lingkungan yang berhubungan dengan cahaya, unsur hara dan produktivitas primer perairan sangat penting karena informasi mengenai kedua hal tersebut merupakan suatu ukuran terhadap kualitas dan kemampuan perairan Teluk Banten dalam mendukung kehidupan organisme di dalamnya.
Perumusan dan Pendekatan Masalah Kelimpahan dan potensi tumbuh fitoplankton di perairan Teluk Banten diduga tidak merata dengan ketersediaan unsur hara yang berada di dalam maupun masukan unsur hara dari luar perairan. Ketersediaan unsur hara di perairan sangat menentukan struktur komunitas fitoplankton. Disamping itu, struktur komunitas fitoplankton di perairan sangat ditentukan pula oleh intensitas cahaya yang ada dalam kolom air. Intensitas cahaya yang ada di kolom air umumnya tidak serasi dengan kebutuhan fitoplankton, sehingga pada suatu perairan akan didominasi oleh jenis -jenis fitoplankton tertentu. Sumber penyebab tidak serasinya hal tersebut, terutama disebabkan karena adanya kekeruhan yang disebabkan oleh partikel-partikel tersuspensi yang akan menjadi faktor pembatas terutama bagi distribusi horisontal dan vertikal fitoplankton, sehingga di setiap kolom air perkembangan potensi tumbuh fitoplankton akan berbeda-beda. Hal ini, akan berpengaruh pada nilai kandungan produktivitas primer fitoplankton yang berbeda-beda pula. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka diperlukan suatu kajian untuk mengetahui seberapa jauh produktivitas primer fitoplankton dibatasi oleh intensitas cahaya dan ketersediaan unsur hara di perairan Teluk Banten. Rumusan dan pendekatan masalah dari penelitian ini secara sederhana disajikan dalam bentuk diagram pada Gambar 1.
Struktur Komunitas
Cahaya
Unsur hara
Kelimpahan
Produktivitas Primer Fitoplankton
Fisika Kimia Perairan
Gambar 1. Kerangka proses perumusan dan pendekatan masalah. Keterangan :
Tanda ( ) adalah jalur penelitian utama. Tanda (- - - -) adalah jalur penelitian penunjang.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara produktivitas primer fitoplankton dengan intensitas cahaya matahari dan unsur hara di perairan Teluk Banten.
Hipotesis Jika intensitas cahaya matahari yang mencapai kolom air optimum serta ditunjang oleh konsentrasi unsur hara yang tinggi sampai pada batas tertentu yang masih sesuai dengan kebutuhan fitoplankton maka tingkat produktivitas primer fitoplankton akan maksimal.
TINJAUAN PUSTAKA Produktivitas Primer Pada umumnya produktivitas primer dianggap sebagai padanan fotosintesis, walaupun sejumlah kecil produktivitas primer dapat dihasilkan oleh bakteri kemosintetik (Nybakken 1988). Terdapat hubungan yang positif antara kelimpahan fitoplankton dengan produktivitas primer, jika kelimpahan fitoplankton di suatu perairan tinggi, maka perairan tersebut cenderung mempunyai produktivitas yang tinggi pula (Raymont 1963). Odum
(1971)
mendefinisikan
produktivitas
primer
sebagai
derajat
penyimpanan energi matahari dalam bentuk bahan organik, sebagai hasil fotosintesis dan kemosintesis dari produsen primer. Produktivitas primer diistilahkan sebagai laju fiksasi karbon (sintesis organik) di dalam perairan dan biasanya diekspresikan sebagai gram karbon yang diproduksi per satuan waktu (Kennish 1990). Hal yang sama dikemukakan oleh Levinton (1982) dan Barnabe dan Barnabe (2000), bahwa produktivitas adalah jumlah yang dihasilkan oleh organisme hidup per satuan waktu dan sering diestimasi sebagai jumlah karbon yang terdapat di dalam material hidup dan secara umum dapat dinyatakan sebagai gram karbon yang dihasilkan dalam satuan meter kuadrat kolom air per hari (g C/m 2/hari) atau sebagai gram karbon yang dihasilkan dalam satu meter kubik per hari (g C/m 3/hari). Produktivitas primer merupakan sumber utama energi bagi proses metabolik yang terjadi dalam perairan. Pada ekosistem perairan sebagian besar produktivitas primer dihasilkan oleh fitoplankton (Kennish 1990; Barnabe dan Barnabe 2000). Aliran energi dalam ekosistem perairan dimulai dengan fiksasi energi oleh fitoplankton
melalui
proses
fotosintesis.
Melalui
proses
ini
fitoplankton
mengakumulasi energi, energi yang diakumulasi oleh fitoplankton inilah yang disebut produksi atau secara lebih spesifik disebut produksi primer (Sumich 1994). Produktivitas dibedakan atas dua, yaitu produktivitas primer kotor (Gross Primary Production) dan produktivitas primer bersih (Net Primary Production). Produktivitas primer kotor adalah laju produksi primer zat organik secara keseluruhan, termasuk yang digunakan untuk respirasi, sedangkan produktivitas primer bersih adalah laju produktivitas primer zat organik setelah dikurangi dengan yang digunakan untuk respirasi (Nybakken 1988). Pengukuran produktivitas primer fitoplankton merupakan satu syarat dasar untuk mempelajari struktur dan fungsi ekosistem perairan. Metode yang digunakan untuk pengukuran produktivitas primer fitoplankton pertama kali menggunakan metode O 2 yang diperkenalkan oleh Garder dan Gran serta metode 14C oleh Steemann Nielsen dengan menggunakan tiga tipe metode inkubasi, yaitu inkubasi in situ, simulasi in situ dan metode cahaya (Gocke dan Lenz 2004). Inkubasi in situ pada umumnya lebih mendekati kondisi alam dan dianggap sebagai metode yang lebih dipercaya (Gocke dan Lenz 2004). Nilai produktivitas primer fitoplankton dengan menggunakan metode O2 tipe inkubasi in situ telah banyak dilakukan pada beberapa perairan dunia dan memperlihatkan nilai yang bervariasi (Tabel 1). Produktivitas primer fitoplankton dalam suatu perairan dipengaruhi oleh faktor fisika, kimiawi dan biologi. Faktor-faktor tersebut meliputi cahaya, suhu, sirkulasi massa air, unsur hara dan grazing oleh zooplankton (Kennish 1990).
Tabel 1. Nilai produktivitas primer dengan metode oksigen (O 2) di beberapa wilayah tropik dan temperate Daerah
Produkti fitas primer
Sumber
Perairan Tropik Delta Upang ( Indonesia) - Tahun 1975 Selat Malaka (Indonesia) - Tahun 1980 Teluk Lampung - Bagian dalam, 1999 - Bagian dalam, 1999 Teluk Jakarta - Bagian dalam, 1983 - Bagian tengah, 2000–2001 - Bagian tengah, 1983 Perairan Pantai Bekasi - Muara sungai - 2– 3 km kearah laut - 4–5 km kearah laut Perairan Pantai Luwu - Tahun 2003 Teluk Lingayen, Philipina - Bagian lepas pantai - Bagian dalam (Bolinao) Perairan Temperate Teluk False - Perairan pantai, musim semi Oudekraal - musim semi dan gugur - musim dingin - perairan pantai, kedalaman 20 m Teluk Table - musim semi dan gugur Teluk Saldanha - Musim dingin - musim semi dan panas Teluk Sylt-Romo - Tahun 1994–1995
Catatan :
#
3
g C/m /tahun,
440 #
Kaswadji (1976) in Damar (2003)
180 #
Praseno (1980) in Damar (2003)
140 # 305 #
Tambaru (2000) Sunarto (2001)
602 # 98 # 110 #
Nontji (1984) Nontji (1984) Nontji (1984)
428 # 333 # 305 #
Kaswadji et al. (1993) Kaswadji et al. 1993) Kaswadji et al. (1993)
205 #
Indriani 2004
933 ## 167 ##
McManus et al. (2001) in Damar (2003) McManus et al. (2001) in Damar (2003)
3.7 ###
Brown et al. (1979) in Shannon dan Pilar (1986)
2.4 ### 1.9 ###
Brown (1980) in Shannon dan Pilar (1986) Brown (1984) in Shannon dan Pilar (1986)
2.6 ###
Carter (1982, 1983) in Shannon dan Pilar (1986)
4.0 ###
Brown (1984) in Shannon dan Pilar (1986)
1.9 ### 6.3 ###
Mostert, in Shannon dan Pilar (1986)
160 ### ##
2
g C/m /tahun,
Asmus et al. (1998) in Tillmann et al. (2000) ###
g C/m2/hari.
Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN) Nitrogen inorganik terlarut di perairan terdiri dari ammonia-nitrogen (NH 3-N), nitrat-nitrogen (NO 3 -N), dan nitrit -nitrogen (NO 2 -N). Nitrogen dalam laut di dapatkan dalam 5 tingkat oksidasi, dan dari kelima tingkatan tersebut yang melimpah dan
aktif adalah ion nitrat, berturut-turut menyusul nitrit dan ammonia (Libes 1992; Valiela 1984). Sumber nitrogen di laut terbesar berasal dari udara, sekitar 80% dalam bentuk nitrogen bebas yang masuk melalui sistem fiksasi biologis dalam kondisi aerobik (Dawes 1981). Meskipun nitrogen ditemukan berlimpah di lapisan atmosfer akan tetapi unsur ini tidak dapat dimanfaatkan secara langsung oleh makhluk hidup. Untuk dapat dimanfaatkan nitrogen dari atmosfir yang masuk ke dalam perairan difiksasi (diserap) oleh sebagian bakteri atau fitoplankton menjadi senyawa-senyawa tertentu, seperti NH 3, NH4 dan NO 3 (Valiela 1984). Sumber lain nitrogen di laut berasal dari zona dalam perairan yang disebut sebagai produksi baru terutama dalam bentuk nitrat-nitrogen (NO 3 -N) yang masuk ke zona euphotik yang terangkut melalui vertikal mixing dan upwelling (Tett dan Edwards 1984; Lalli dan Parsons 1993) (Gambar 2). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH4 -N dari pada NO 3 -N karena lebih banyak dijumpai dalam kondisi aerobik maupun anaerobik. N2-N Fitoplankton N
F iksasi Nitrogen grazing
NH 4+ − N
singking, mixing
Zooplankton N
NO3− − N ekskresi mixing upwelling
Gambar 2. Siklus nitrogen di zona eufotik (Tett dan Edwards 1984; Lalli dan Parsons 1993).
Kebanyakan spesies fitoplankton dapat mengasorbsi ammonium, ammonia, nitrat, maupun nitrit, tetapi jika ketiganya tersedia, fitoplankton pada umumnya lebih menyukai ammonium (Raymont 1963; Riley dan Chester 1971; Millero dan Sohn 1991; Libes 1992). Laju penyerapan nitrogen lebih cepat dari sel fitoplankton yang berukuran kecil daripada yang berukuran besar (Eppley et al. 1969; Fricble et al. 1978 in Smith and Kalf 1983; Harrison et al. 2004) (Gambar 3).
NH4 +
35%
Fitoplankton < 2 µm
55%
16%
Urea
NH inhibition (38–70 %)
8%
24% 11%
3 4
20%
Fitoplankton > 2 µm
10%
NO3
Fe Limitation
21%
Gambar 3. Penyerapan dari tiga sumber nitrogen (NH4, Urea, NO3) oleh dua ukuran fitoplankton yang berbeda (Varela 1997; Varela dan Harrison 1999 in Harrison et al. 2004).
Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) Ortofosfat adalah bentuk fosfor yang secara langsung dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik. Sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis untuk membentuk ortofosfat sebelum dimanfaatkan sebagai fosfor. Fosfor merupakan salah satu unsur penting dalam pertumbuhan dan metabolisme tubuh diatom. Fosfat dapat menjadi faktor pembatas, baik secara temporal maupun spasial (Raymont 1963). Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, kadarnya lebih kecil daripada nitrogen, karena sumber fosfor yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan sumber nitrogen. Sumber fosfor alami yang terdapat di dalam air berasal dari pelapukan batuan mineral dan hasil dekomposisi organisme yang telah mati,
sedangkan sumber antropogenik fosfor berasal dari limbah industri dan domestik, limbah deterjen, serta limpasan limbah pertanian yang menggunakan pupuk (Libes 1992). Soegiarto dan Birowo (1975) menyatakan kandungan fosfat pada lapisan permukaan lebih rendah dari lapisan di bawahnya, sehingga kandungan fosfat yang tinggi di lapisan permukaan dapat dipakai sebagai indikasi terjadinya proses penaikan massa air. Kandungan fosfat yang optimal bagi pertumbuhan fitoplankton berada pada kisaran 0.27–5.51 ppm (Bruno et al. 1979 in Widjaja et al. 1994). Fosfat mempengaruhi komposisi fitoplankton, pada perairan yang memiliki nilai fosfat rendah (0,00–0,02 ppm) akan dijump ai dominansi diatom terhadap fitoplankton yang lain, dan pada perairan dengan nilai fosfat sedang (0,02–0,05 ppm) akan banyak dijumpai jenis Chlorophyceae, sedangkan pada perairan dengan nilai fosfat tinggi (>0,10 ppm) akan didominasi oleh Cyanophyceae (Moyle 1946 in Kaswadji 1976).
Silikat
Silika atau silika dioksida (SiO 2) merupakan bagian yang penting dalam pertumbuhan struktur silikoflagelata seperti diatom, radiolaria dan sponge. Menurut Millero dan Sohn (1991) silika di laut rata-rata 50% dalam bentuk anorganik dan sisanya kebanyakan menjadi kalsium karbonat (CaCO3). Silikat di perairan terdapat dalam bentuk larutan asam silikat, dalam bentuk biota (dinding sel diatom), silikoflagellata dan radiolaria, baik yang hidup maupun yang mati (Spencer 1975). Bagi diatom, silikat merupakan nutrien yang sangat penting untuk membangun dinding selnya dan mengasimilasi sejumlah besar silikat untuk disintesis menjadi struktur sel. Silikat diserap dalam bentuk ortosilikat yang pelarutan dan
penguraiannya dipengauhi oleh karbondioksida bebas dan asam-asam organik dalam perairan (Chen 1971). Spencer (1975) mengemukakan dalam air laut silikon kemungkinan berada dalam bentuk Si(OH)4. Unsur silikat terdapat sebagai silikat dalam air laut dan mungkin juga dalam bentuk larutan sejati sebagai ion-ion silikat (Raymont 1963). Diatom menutupi dirinya dengan kerangka transparan yang merupakan timbunan dari sebagian besar silikat dalam bentuk senyawa-senyawa SiO 2 (Black 1986). Distribusi silikat di perairan tergantung pada ol kasi dan kedalaman perairan. Distribusi silikat di perairan pantai biasanya lebih tinggi daripada di laut terbuka karena pengaruh oleh aliran sungai. Di laut terbuka kandungan silikat akan meningkat bila kedalaman meningkat. Di perairan laut konsentrasi silikat bervariasi dari 0–0.05 mg/L (Dawes 1981), atau 0–200 µM (Millero dan Sohn 1991).
Fitoplankton Parson et al. (1984) mengatakan bahwa terdapat 13 kelas dari fitoplankton yang terdapat di laut yang terdiri dari Cyanophyceae (alga biru hijau), Rhodophyceae (alga
merah),
Bacillarophyceae
(Diatom),
Cryptophyceae
(Cryptomonads),
Dinophyceae (Dinofllagellata), Chrysophyceae (Chrysomonads, Silicoflagellata), Haptophyceae atau Prymnesiophyceae (Coccolithophorids, Prymnesiomonads), Raphidiophyceae Eustigmatophyceae,
(Choromonadea),
Xanthophyceae
Euglenophyceae
(alga
(Euglenoids),
kuning
hijau),
Prasinophyceae
(Prasinomonads), dan Chlorophyceae (alga hijau). Tetapi hanya 4 kelas saja yaitu Bacillariophyceae, Cryptophyceae, Dinophyceae, dan Haptophyceae yang memegang peranan penting dalam total standing stok fitoplankton di laut. Akan tetapi kelompok
fitoplankton yang mempunyai kelimpahan tertinggi di ekosistem laut adalah dari kelas diatom (Sze 1993). Nybakken (1988) mengemukakan jenis fitoplankton yang sering dijumpai di laut dalam jumlah besar adalah Diatom dan Dinoflagellata. Fitoplankton yang minoritas di laut ialah berbagai jenis alga hijau biru (Cyanophyceae), kokolitofor (Coccolithophorids),
dan
silikoflagellata
(Dyctyochaceae,
Chrysophyceae)
(Nybakken 1988; Romimohtarto dan Juwana 1999). Nontji (1984) mengatakan bahwa fitoplankton dengan kelimpahan tinggi umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai, dimana terjadi proses penyuburan karena masuknya nutrien dari daratan yang dialirkan oleh sungai ke laut. Fitoplankton umumnya lebih padat di perairan dekat pantai dan makin berkurang pada perairan yang ke arah laut lepas, selain itu penyebarannya tidak merata melainkan hidup secara berkelompok (Arinardi et al. 1997). Goldman dan Horne (1983) dan Wetzel (1983) mengemukakan dominasi suatu jenis fitoplankton pada suatu perairan dapat diganti oleh jenis lain, disebabkan berubahnya kondisi fisik kimia perairan. Kondisi lingkungan yang merupakan faktor penentu keberadaan fitoplankton adalah suhu, salinitas, cahaya matahari, pH, kekeruhan, konsentrasi nutrien, dan berbagai senyawa lainnya (Nybakken 1988).
Klorofil-a Klorofil-a dengan rumus kimia C55H72O 5N4 Mg (Weyl 1970) merupakan salah satu pigmen fotosintesa yang paling penting bagi tumbuhan yang ada di perairan khususnya fitoplankton (Parsons et al. 1984; Susilo 1999). Klorofil-a terdapat dalam jumlah banyak pada fitoplankton (Harborne 1987), sehingga sering digunakan untuk
mengukur biomass fitoplankton (Strickland dan Parsons 1965) dan dapat digunakan sebagai petunjuk nilai potensi fotosintetik di perairan (Wiadnyana 1997). Pada perairan laut fitoplankton memegang peranan terpenting sebagai produsen primer, karena merupakan komponen utama tumbuhan yang mengandung klorofil. Pigmen fitoplankton yang sering digunakan dalam mempelajari produktivitas perairan adalah klorofil-a (Strickland dan Parsons 1965). Sebaran klorofil-a di dalam kolom perairan sangat tergantung pada konsentrasi unsur hara. Unsur hara memiliki konsentrasi rendah dan berubah-ubah pada permukaan laut dan konsentrasi akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman (Millero dan Sohn 1991).
Cahaya Parsons et al. (1984) mengatakan bahwa aspek dasar dari cahaya yang penting secara biologi adalah kuantitas dan kualitasnya. Kedua karakter ini berfluktuasi di laut, bergantung kepada waktu (harian, musiman, dan tahunan), ruang (perbedaan lokasi di bumi dan kedalaman), kondisi cuaca, penyebaran sudut datang termasuk arah perubahan maksimum dan tingkat difusi, dan polarisasi. Cahaya merupakan sumber energi dalam fotosintesis. Proses fotosintesis di dalam perairan hanya dapat berlangsung jika ada cahaya sampai pada kedalaman tertentu dimana fitoplankton berada. Pada tahap awal cahaya matahari ditangkap oleh fitoplankton, kemudian energi ini digunakan untuk aktivitas proses fotosintesis.
Tidak semua radiasi
elektromanetik yang jatuh pada tumbuhan berfotosintesis dapat diserap, tetapi hanya cahaya tampak (visible light) yang memiliki panjang gelombang berkisar antara 400–720 nm yang diabsorpsi dan digunakan untuk melakukan aktivitas fotosintesis (Lalli dan Parsons 1993).
Ruttner (1973) mengatakan bahwa makin dalam penetrasi cahaya ke dalam perairan menyebabkan semakin besar daerah dimana proses fotosintesis dapat berlangsung, sehingga kandungan oksigen terlarut masih tinggi pada lapisan air yang lebih dalam. Penetrasi cahaya matahari dalam air, semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 4). Fotosintesis (gC/m2 /hari)
Kedalaman (m)
Kedalaman (m)
Penetrasi Cahaya (%)
Respirasi
Gambar 4. Grafik distribusi vertikal cahaya dan fotosintesis di perairan (Lalli dan Parsons 1993; Mann dan Lazier 1996).
Umumnya fotosintesis bertambah sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya sampai pada suatu nilai optimum tertentu (cahaya saturasi). Di atas nilai optimum, cahaya merupakan penghambat bagi fotosintesis (cahaya inhibisi), sedangkan dibawahnya merupakan cahaya pembatas (limitasi) sampai pada suatu kedalaman dimana fotosintesis sama dengan respirasi (Mann 1982; Parsons et al. 1984; Valiela 1984). Kennish (1990) mengatakan bahwa intensitas cahaya yang masuk di perairan sangat dipengaruhi oleh banyaknya padatan tersuspensi, jasad renik yang melayang, kekeruhan dan warna air. Intensitas cahaya ini semakin melemah saat penetrasi ke dalam kolom air. Hukum Lambert-Beer (Foog 1975; Parsons et al. 1984) dapat digunakan untuk menghitung besarnya tingkat absorpsi cahaya yang ditunjukkan oleh besarnya koefisien absorbsi, yaitu :
Iz = Io e-kz Dimana Iz adalah intensitas cahaya pada suatu kedalaman z, Io adalah intensitas cahaya pada permukaan air, e adalah bilangan dasar logaritma (2,7), dan k adalah koefisien absorbsi. Respon fitoplankton terhadap intensitas cahaya juga sangat dipengaruhi oleh pigmen yang dikandungnya. Perbedaan pigmen yang dikandung antara jen is fitoplankton menyebabkan perbedaan intensitas cahaya yang diabsorbsi. Hal ini berpengaruh terhadap tingkat efisiensi fotosintesis. Spektrum cahaya yang terpenting dalam mengontrol fotosintesis fitoplankton adalah yang mempunyai panjang gelombang 400–700 nm, atau yang dikenal dengan photosynthetically active radiation (PAR) (Kennish 1990; Lalli dan Parsons 1993).
Suhu Suhu merupakan salah satu faktor fisika yang dapat mempengaruhi fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton. Suhu berpengaruh pada sistem biologi melalui dua cara. Pertama suhu, berpengaruh terhadap kecepatan reaksi-reaksi secara enzimatik dalam tubuh organisme. Kedua, suhu berpengaruh terhadap proses respirasi organisme. Peningkatan suhu pada batas kisaran toleransi akan meningkatkan laju metabolisme dan aktivitas fotosintesis fitoplankton. Peningkatan suhu sebesar 10 oC akan menyebabkan peningkatan laju fotosintesis sebesar dua kali lipat (Kennish 1990). Dalam proses fotosintesis di laut, suhu dapat berpengaruh secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh secara langsung yaitu mengontrol reaksi kimia enzimatik dalam proses fotosintesis, sedangkan pengaruh tidak langsung yaitu dapat mengubah
struktur hidrologi perairan, seperti kerapatan air yang akhirnya mempengaruhi laju penenggelaman fitoplankton (Raymont 1963; Tomascik et al. 1997). Soegiarto dan Birowo (1975) mengemukakan bahwa keadaan sebaran suhu secara horisontal di perairan Indonesia memperlihatkan variasi tahunan yang kecil namun masih memperlihatkan adanya perubahan musiman. Hal tersebut, berhubungan dengan yang dikemukakan oleh Damar (2003) bahwa suhu perairan tropik menunjukkan variasi harian yang kecil (siang dan malam), termasuk fluktuasi musiman. Selanjutnya dinyatakan bahwa kisaran suhu tahunan perairan berkisar dari 29.1–30.0°C. Suhu dalam lautan bervariasi sesuai dengan kedalaman. Massa air permukaan di wilayah tropik panas sepanjang tahun, yaitu 20–30 oC. Suhu lapisan permukaan di perairan Indonesia berkisar antara 26–30 oC, lapisan termoklin berkisar antara 9–26 oC dan pada lapisan dalam berkisar antara 2–8 oC (Soegiarto dan Birowo 1975).
Salinitas Berdasarkan salinitas dikenal dua jenis fitoplankton, yaitu yang bersifat stenohaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang sempit) dan euryhaline (dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebar). Salinitas mempengaruhi fitoplankton dalam hal densitas dan stabilitas dari kolom air. Peningkatan kedalaman akan menurunkan suhu dan meningkatkan salinitas, hal ini menyebabkan densitas meningkat sehingga mempengaruhi laju penenggelaman fitoplankton dan akan mempunyai stratifikasi yang kuat dengan lapisan pegat (discontinuity) yang tajam, akan sukar ditembus oleh fitoplankton (Raymont 1963). Kaswadji et al. (1993) mengatakan bahwa variasi salinitas mempengaru hi laju fotosintesis (terutama di daerah estuari), khususnya pada fitoplankton yang hanya bisa
bertahan pada batas-batas salinitas yang kecil. Sachlan (1982) mengatakan bahwa salinitas yang cocok bagi fitoplankton adalah lebih dari 20‰. Salinitas seperti ini memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup, memperbanyak diri, dan aktif melakukan fotosintesis (Nair dan Thampy 1980).
pH Wardoyo (1982) mengatakan bahwa pH sangat mempengaruhi kehidupan makhluk hidup termasuk fitoplankton. Selain itu pH merupakan salah satu parameter yang dapat menentukan produktivitas suatu perairan, dan pH yang ideal untuk kehidupan fitoplankton dalam perairan adalah 6,5–8,0 (Pescod 1973). pH permukaan laut sangat stabil biasanya berkisar antara 8.1 dan 8.3 (Reid 1961). Swingle (1969) mengatakan bahwa pada perairan yang berkondisi asam dengan pH kurang dari 6, fitoplankton tidak akan hidup dengan baik. Perairan dengan nilai pH lebih kecil dari 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan pH lebih dari 9,5 merupakan perairan yang sangat basa dapat pula menyebabkan kematian dan mengurangi produktifitas (Wardoyo 1982). Air yang bersifat basa dan netral cenderung lebih produktif dibandingkan dengan air yang bersifat asam (Hickling 1971). Fitoplankton dapat hidup subur pada pH 7–8 asalkan terdapat cukup mineral di dalam suatu perairan (Sachlan 1982), sedangkan pH optimal untuk perkembangan diatom berkisar dari 8.0–9.0 (Ray dan Rao 1964).
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 05°55’–06°05’ LS dan 106°05’–106°15’ BT. Tempat pengambilan contoh air laut terbagi dalam dua stasiun, yakni stasiun A dengan posisi geografis pada 06°00’20.3” LS dan 106°09’06.2” BT serta stasiun B dengan posisi geografis pada 05°58’38.3” LS dan 106°09’35.7” BT
(Gambar 5). Pengukuran produktivitas
primer serta analisis unsur hara, fitoplankton dan klorofil-a berlangsung pada musim peralihan I (pertama) dan dilaksanakan dalam 3 periode, dimana periode pertama berlangsung pada Tanggal 27 Maret 2005, periode kedua berlangsung pada Tanggal 9 April 2005 dan periode ketiga berlangsung pada Tanggal 25 April 2005.
Gambar 5. Lokasi penelitian perairan Teluk Banten (dimodifikasi dari Anonimous 1990).
Pengambilan contoh Air Laut Pengambilan contoh air laut dengan menggunakan Van Dorn kapasitas 5 liter pada kedalaman 0.20 meter, 1 meter, 4 meter dan 5 meter di stasiun A dan kedalaman 0.20 meter, 2 meter, 5 meter dan 6 meter di stasiun B. Pembagian atas beberapa kedalaman tersebut dimaksudkan karena distribusi vertikal cahaya akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman serta distribusi vertikal unsur hara konsentrasinya selalu bervariasi dengan kecenderungan akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman. Pengambilan contoh air laut dilakukan
satu
kali pada masing-masing
kedalaman setiap periode, dimulai pada jam 08.00 bersamaan akan dilakukan proses inkubasi. Parameter yang diukur meliputi produktivitas primer, unsur hara DIN (nitrogen inorganik terlarut) yang meliputi NH 3-N, NO3 -N, NO 2-N, DIP (fosfat inorganik terlarut) yang meliputi ortofosfat, silikat, fitoplankton dan klorofil-a sebagai parameter utama serta suhu, salinitas, dan pH sebagai parameter penunjang (Tabel 2). Tabel 2. Parameter fisika, kimia dan biologi yang diukur serta metode dan alat ukur yang digunakan No.
Parameter
Satuan
Metode Analisis dan Alat
Tempat analisis
(mgC/m 3/jam) mg at/l mg at/l mg at/l mg at/l mg at/l Sel/l MJ/m2
Metode oksigen, titrasi Brusin sulfat, spektrofotometer Sulfanilik, spektrofotometer Phenate, spektrofotometer Asam molibdate, spektrofotometer Molybdosilicate, spektrofotometer Pencacahan, mikroskop Automatic weather station
In situ Laboratorium* Laboratorium* Laboratorium* Laboratorium* Laboratorium* Laboratorium* In situ
m ºC ‰ -
Visual, secchi disc Pemuaian, thermometer Refraktometer Potensiometrik, pH meter
In situ In situ In situ In Situ
Parameter Utama 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Produktivitas Primer Nitrat -Nitrogen Nitrit-Nitrogen Ammonia-Nitrogen Ortofosfat Silika Fitoplankton Cahaya Parameter Penunjang
9. 10. 11. 12.
Kecerahan Suhu air Salinitas pH
* Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Intensitas Cahaya Matahari Intensitas Cahaya Matahari permukaan tercatat setiap 10 menit dengan alat Automatic Weather Station (AWS) tipe JY 106 dari Badan Meteorologi dan Geofisika Serang. Distribusi intensitas cahaya matahari pada setiap kedalaman kolom air ditentukan menurut Hukum Beer -Lambert (Fogg, 1975; Parsons et al. 1984) sebagai berikut :
I z = I o e kT z
Dimana : I z = Intensitas cahaya pada kedalaman z Io = Intensitas cahaya permukaan kT = Koefisien peredupan z = Kedalaman. Koefisien peredupan dihitung dari pembacaan kedalaman keping secchi disk (S d (m)) dengan menggunakan hubungan persamaan empiris (Tillmann et al. 2000), sebagai berikut : k = 0.191 + 1.242/S d (r2 = 0.853).
Produktivitas Primer Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan metode oksigen botol terang-botol gelap. Prinsip kerja metode ini adalah mengukur perubahan kandungan oksigen dalam botol terang dan botol gelap yang berisi contoh air setelah diinkubasikan pada perairan yang mendapat sinar matahari (Lampiran 1, 2 dan 3). Produktivitas primer bersih dengan nilai oksigen terlarut dikonversi kedalam satuan mgC/m 3/jam (Umaly dan Cuvin 1988) sebagai berikut :
NPP =
(O
2
BT )− (O 2 BA) x 1000 x 0,375 PQ(t )
dimana : NPP
= Produktivitas primer bersih (mg C/m 3/jam)
O2BT
= Oksigen pada botol terang (BT) setelah inkubasi (mg/l)
O2BA
= Oksigen pada botol inisial (BI) (mg/l)
PQ
= Photosintetic Quotien = 1,2; dengan asumsi bahwa hasil metabolisme sebagian besar didominasi oleh fitoplankton
t
= Waktu inkubasi (jam)
1000
= Konversi liter menjadi m3
0,375
= Koefisien konversi oksigen menjadi carbon (=12/32)
Catatan : PQ merupakan perbandingan O 2 yang dihasilkan dengan CO2 yang digunakan melalui proses fotosintesis. Nilai PQ berkisar 1.1–1.3 (Ryther 1965 in Parsons et al. 1984 ; Lalli dan Parsons 1993).
Analisis Unsur Hara Contoh air laut dimasukkan pada botol sampel polyetilen kapasitas 250 ml untuk analisis ammonia, nitrat, nitrit, dan silika, serta untuk analisis ortofosfat. Botol sampel dimasukkan kedalam pendingin sebelum dianalisis. Sebelum analisis lanjutan di laboratorium terlebih dahulu dilakukan filtrasi yaitu contoh air laut disaring dengan filter nukleopore (diameter 47 mm dan porositas 0,45 µm) yang dibantu dengan menggunakan pompa vakum melewati suatu glass microfibre filter (Lampiran 4).
Identifikasi Fitoplankton Contoh air laut diambil sebanyak 20 liter dan disaring dengan plankton net mesh size 25 µm. Contoh air laut yang telah disaring dimasukkan kedalam botol sampel 100 ml lalu diawetkan dengan larutan
lugol pekat 1 mI/100 ml, untuk
diidentifikasi. Identifikasi jenis fitoplankton dilakukan dengan menggunakan literatur dari Davis (1955), Smith (1977), Yamaji (1979), dan Tomas (1997). Kelimpahan fitoplankton dihitung dengan menggunakan metode sensus (penyapuan) di atas Sedwick Rafter Cell (SRC) (APHA 1998), dengan rumus sebagai berikut:
N = n x
dimana : N
Vt 1 x Vcg Vd
= Kelimpahan fitoplankton (sel/l)
n
=
Jumlah sel yang teramati
Vt
= Volume air tersaring (ml)
V cg
= Volume Sedwick Rafter Cell (ml)
Vd
=
Volume air yang disaring (l).
Analisis komunitas fitoplankton dengan menggunakan beberapa indeks biologi seperti indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), indeks dominansi (D). Hasil identifikasi dan perhitungan kelimpahan fitoplankton digunakan untuk menentukan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner, yaitu :
H’ = -
ni
ni
∑ N Ln N
dimana : H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (bits) ni
= Jumlah sel jenis ke-i
N
= Jumlah total sel.
Kisaran indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dapat dikategorikan sebagai berikut : (Wilhm dan Doris 1968 in Masson 1981). H’ < 2.3062
= Keanekaragaman rendah dan kestabilan komunitas rendah
2.3062
= Keanekaragaman sedang dan kestabilan komunitas sedang
H’>6.9078
= Keanekaragaman tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.
Untuk melihat keseragaman populasi fitoplankton pada setiap pengambilan sampel dilakukan perhitungan indeks keseragaman (E) atau Equitability, yaitu :
E =
dimana :
H' H ' maks
E
= indeks keseragaman
H’
= indeks keanekaragaman
H’maks
= Ln S
S
= jumlah spesies.
Indeks keseragaman berkisar antara 0–1. Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu setiap spesies tidak sama dan ada kecenderungan terjadi dominansi oleh satu spesies dari jenis yang ada. Semakin besar nilai E tidak ada yang mendominasi antar jenis yang ada (Odum 1971). Untuk melihat adanya dominansi oleh spesies tertentu pada suatu populasi digunakan indeks dominansi Simpson, yaitu :
ni D = ∑ N
2
Indeks dominansi berkisar 0–1, bila D mendekati 0 berarti dalam struktur komunitas biota yang diamati tidak terdapat spesies yang secara ekstrim mendominasi
spesies lainnya dan bila D mendekati 1 berarti di dalam struktur komunitas yang sedang diamati dijumpai spesies yang mendominasi spesies lainnya (Odum 1971). Hubungan antara H’, E, dan D adalah apabila nilai indeks keanekaragaman (H’) spesies tinggi berarti nilai keseragaman (E) rendah dan tidak ada spesies yang mendominasi spesies lainnya (D rendah).
Klorofil-a Contoh air laut untuk analisis klorofil-a diambil sebanyak 1 liter dan dimasukkan kedalam botol polietilen kapasitas 1 liter (ditutup rapat dengan plastik hitam), dan disimpan dalam box ice bersuhu dingin (-4°C) untuk dianalisis di laboratorium (Lampiran 5). Konsentrasi klorofil-a diukur dengan menggunakan spekrofometer. Konsentrasi klorofil-a dihitung dengan menggunakan persamaan menurut APHA (1998), sebagai berikut :
26 .7 (664 b − 665 a ) x V1 Chl a mg 3 = m V2 x I
Dimana : V1
= Volume yang dieksrak (l) = Volume sampel (m 3)
V2
664b = Abs. pada 664 nm–abs. pada 750 nm, sebelum pengasaman 665a = Abs. pada 665 nm–abs. pada 750 nm, setelah pengasaman l
= Panjang kuvet (cm).
Analisis Data Data penelitian dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu data penelitian utama yang terdiri dari data produktivitas primer, unsur hara, fitoplankton, klorofil-a, dan cahaya serta data penunjang yang terdiri data suhu, salinitas dan pH. Data hasil analisis akan ditabulasikan dalam tabel berdasarkan lokasi (stasiun) dan kedalaman inkubasi di kedua stasiun pengamatan. Analisis data dilakukan secara komputasi dengan menggunakan software Kgraph, SAS versi 8.0, dan Excel. Sedangkan rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak faktorial blok (Mattjik dan Sumertajaya 2000) pada 2 lokasi dan setiap lokasi terdiri atas 4 titik kedalaman dengan 3 kali ulangan. Untuk mengetahui perbedaan produktifitas primer antar lokasi dilakukan analisis ragam. Sedangkan untuk mengetahui pola hubungan antara unsur hara, klo rofil-a dengan produktifitas primer, pada setiap stasiun dan kedalaman inkubasi di gunakan analisis regresi sederhana (Mattjik dan Sumertajaya 2000), dengan persamaan sebagai berikut : Y = a + bX dimana : Y = Produktivitas primer sebagai peubah tak bebas X = peubah bebas berupa unsur hara (ammonia-nitrogen, nitrat- nitrogen, nitrit-nitrogen, ortofosfat, dan silikat) b = interseps a = koefesien regresi. Sedangkan untuk mengetahui pola hubungan cahaya dengan produktivitas primer dengan menggunakan model Von Platt (Platt et al. 1980; Damar 2003) dengan formula sebagai berikut :
Y = a (1 – e -bX ) e-cX Dimana : Y = Produktivitas primer X = Cahaya a, b, dan c = Konstanta. Nilai koefisien determinasi (R 2) digunakan untuk mengetahui keeratan dari peubah X terhadap Y. Kisaran nilai R2 antara 0–1. Jika nilainya lebih besar dari 0,5 atau mendekati 1, maka dapat diartikan bahwa X memiliki peranan terhadap Y. Besarnya peranan X terhadap Y, ditelaah dengan sidik ragam regresi. Jika Fhitung lebih besar dari Ftabel berarti peubah X memberikan pengaruh terhadap peubah Y, demikian pula sebaliknya jika Fhitung lebih kecil dari Ftabel berarti peubah X tidak memberikan pengaruh terhadap peubah Y.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Oseanografi Suhu Suhu perairan selama penelitian di perairan Teluk Banten relatif sama di seluruh kedalaman kolom air di stasiun A dan B yang berkisar dari 28–29°C (Tabel 3). Hal ini disebabkan karena kondisi cuaca pada saat pengamatan cenderung sama. Berhubungan dengan hal tersebut Lalli dan Parsons (1993) menyatakan bahwa perubahan suhu
di perairan tropik yang dangkal lebih kecil dari 2°C. Hasil
penelitian yang didapatkan pada pengamatan ini relatif sama dengan penelitian sebelumnya, di mana kisaran 10 meter sebesar 28–30°C
suhu perairan pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan (Purwanto 1992).
Tabel 3. Kondisi oseanografi perairan Teluk Banten Stasiun Kedalaman (m) A
B
0.2 1 4 5 0.2 2 5 6
Suhu (°C) 29 29 29 29 29 29 29 28
Salinitas (‰) 31 31 31 31 31 31 31 31
pH 8.17 8.24 8.25 8.26 8.19 8.21 8.26 8.28
Secara keseluruhan, suhu di perairan Teluk Banten relatif lebih tinggi dari suhu air laut rata-rata di laut Jawa yang nilainya sebesar 27.93°C dengan kisaran 27.60–28.60°C (Wyrtki 1961). Kisaran nilai suhu yang didapatkan pada penelitian ini merupakan suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton. Kisaran suhu yang optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah 20–30°C (Effendi 2003).
Salinitas Salinitas di perairan Teluk Banten relatif sama di stasiun A dan B maupun kedalaman inkubasi selama pengamatan, nilai salinitas yang teramati adalah 31‰ (Tabel 3). Tidak adanya perbedaan salinitas di kedua stasiun tersebut kemungkinan disebabkan oleh posisi stasiun pengamatan berada pada bagian tengah perairan Teluk Banten, yang sama-sama mendapat pengaruh air laut dan air tawar yang terbawa oleh aliran sungai. Salinitas yang didapatkan pada pengamatan ini tidak banyak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya pada perairan yang sama, dimana salinitas pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berkisar dari 31–32‰ (Purwanto 1992). Dilihat dari fluktuasi salinitas dengan penelitian sebelumnya, maka massa air di perairan Teluk Banten tergolong kedalam massa air pantai dengan salinitas kurang dari 32.0‰ (Wyrtki 1961). Kisaran nilai salinitas masih merupakan nilai yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Nilai salinitas di atas 20‰ memungkinkan fitoplankton dapat bertahan hidup, memperbanyak diri, dan aktif melakukan proses fotosintesis (Sachlan 1982).
pH Nilai pH di stasiun A dan B maupun pada semua kedalaman inkubasi relatif sama selama pengamatan dengan kisaran 8.17–8.28 (Tabel 3). Kisaran nilai tersebut tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya di perairan yang sama, dimana pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berkisar dari 7.6–8.2 (Purwanto 1992). Nilai pH yang didapatkan masih dalam batas untuk pertumbuhan fitoplankton. pH optimal untuk perkembangan diatom antara 8.0–9.0 (Ray dan Rao 1964) dan nilai
pH tersebut masih merupakan kisaran pH perairan laut Indonesia yang berkisar dari 6.0–8.5 (Romimohtarto 1991). Perairan laut tropis memiliki kisaran pH dari 7.5–8.4 (Nybakken 1988).
Intensitas Cahaya Matahari Intensitas Cahaya Matahari Permukaan Sumber energi di laut berasal dari cahaya matahari. Cahaya yang dipancarkan matahari terdiri dari 50% sebagai infra merah, 41% sebagai cahaya terang, 9% sebagai ultraviolet, sinar lamda dan sinar gamma (Anikouchine dan Sternberg 1981). Penetrasi cahaya matahari pertama mencapai atmosfir kemudian laut. Cahaya yang terserap atau terpencar di atmosfer sekitar 50% dan mencapai permukaan laut 50% (Lalli dan Parsons 1993). Besarnya nilai intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan laut berbeda-beda dari waktu ke waktu. Fenomena tersebut terjadi pula di perairan Teluk Banten, dimana intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan laut
(di udara) selama pengamatan bervariasi (Gambar 6; Lampiran 6).
2
Intensitas Cahaya Matahari (MJ/m)
80 70 60 50 40 30 20 10 18:00
17:00
16:00
15:00
14:00
13:00
12:00
11:00
10:00
09:00
08:00
07:00
06:00
0
Waktu Pengamatan
Gambar 6. Intensitas cahaya permukaan. Bervariasinya intensitas cahaya disebabkan oleh kondisi perawanan pada saat pengamatan sehingga akan berpengaruh pada besar kecilnya intensitas
cahaya
matahari yang mencapai permukaan laut. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Fritz (1957) in Parsons et al. (1984) bahwa cakupan awan di udara akan mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang mencapai permukaan laut.
Intensitas Cahaya Matahari di Kolom Air Penetrasi cahaya matahari (50% cahaya permukaan) akan mengalami pengurangan sekitar 10% di lapisan permukaan (Kirk 1994) atau 90% mencapai lapisan permukaan laut (Iwasaka et al. 2000). Sama halnya dengan intensitas cahaya permukaan, intensitas cahaya di lapisan permukaan bervariasi dari waktu ke waktu (Gambar 7; Lampiran 7). Dari Gambar 6 dan 7 terlihat bahwa besarnya intensitas cahaya pada permukaan laut akan mempengaruhi pula nilai intensitas cahaya di lapisan permukaan. Variasi ini
terutama terjadi menurut waktu,
dimana pada pagi hari
intensitasnya rendah dan akan mengalami peningkatan atau memuncak pada siang hari (tengah hari) dan menurun kembali pada sore hari. Berdasarkan Gambar 7, terlihat intensitas cahaya matahari selama inkubasi pada lapisan permukaan cenderung merata dari jam 10:00–12:00 WIB dimana pada saat itu sudut datang cahaya matahari hampir tegak lurus permukaan laut. Fenomena tersebut akan menyebabkan lapisan permukaan laut semakin besar pula menerima intensitas cahaya matahari dan akan mengalami penurunan dengan bertambahnya kedalaman (Gambar 8). Hal ini berhubungan dengan pernyataan Sumich (1992) bahwa adanya perbedaan nilai intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air dipengaruhi oleh sudut datang matahari, nilai intensitas semakin besar seiring dengan besarnya sudut datang matahari dan mengalami penurunan dengan semakin kecilnya sudut datang matahari.
60 50 40 30 20 10 18:00
17:00
16:00
15:00
14:00
13:00
12:00
11:00
10:00
09:00
08:00
07:00
0 06:00
Intensitas cahaya matahari (MJ/m2)
70
Waktu pengamatan
Gambar 7. Intensitas cahaya di lapisan permukaan. Distribusi cahaya matahari di kolom air akan mengalami peredupan. Peredupan cahaya matahari tersebut terlihat dari nilai koefisien peredupan yang diperoleh selama pengamatan di stasiun A sebesar 0.55 per meter dan di stasiun B sebesar 0.47 per meter. Peredupan ini disebabkan oleh bahan -bahan yang ada dalam perairan baik berupa bahan organik maupun partikel-partikel tersuspensi termasuk di dalamnya organisme planktonik dan molekul-molekul air itu sendiri. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Wyatt dan Jackson (1989) bahwa distribusi cahaya di kolom air tergantung pada kandungan dan kelompok partikel tersuspensi, seperti tipe partikel termasuk ukuran, bentuk dan struktur internal. Kedalaman zona eufotik selama pengamatan diukur melalui pembacaan keping Secchi dengan nilai yang diperoleh sebesar 3.5 meter di stasiun A dan 4.5 meter di stasiun B. Pendugaan nilai dan persentase intensitas cahaya matahari yang masuk ke kolom air dengan hukum Lambert memperlihatkan pola distribusi cahaya di perairan semakin dalam cahaya menembus lapisan air maka semakin berkurang nilai intensitasnya. Selama pengamatan ditemukan nilai intensitas cahaya 1% dari
lapisan permukaan pada kedalaman 8 meter di stasiun A dan 9 meter di stasiun B (Gambar 8; Lampiran 8).
Gambar 8. Distribusi cahaya di kolom air perairan Teluk Banten.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kedalaman inkubasi 0.20 meter, 1 meter, 4 meter dan 5 meter di stasiun A serta 0.20 meter, 2 meter, 5 meter dan 6 meter di stasiun B masih termasuk dalam zona eufotik. Dengan demikian di kedalaman inkubasi tersebut cahaya terdistribusi pada semua kolom air sehingga akan menunjang terjadinya proses fotosintesis di semua kedalaman inkubasi. Perbedaan nilai pencahayaan di stasiun A dan B disebabkan oleh berbedanya nilai koefisien peredupan di kedua stasiun tersebut. Nilai koefisien peredupan di stasiun A sebesar 0.55 per meter dan di stasiun B sebesar 0.47 per meter. Semakin besar nilai koefisien peredupan maka nilai intensitas cahaya yang menembus kolom air akan semakin kecil. Sebaliknya nilai koefisien peredupan yang kecil maka nilai intensitas cahaya yang masuk ke kolom air akan semakin besar (Lampiran 8).
Nitrogen Inorganik Terlarut (DIN) Rata-rata total DIN yang diperoleh selama pengamatan sebesar 0.555 mg at N/l di stasiun A dan 0.550 mg at N/l di stasiun B (Lampiran 9). Nilai ini masih berada pada kisaran konsentrasi DIN yang umumnya ditemukan di perairan estuari yang berkisar dari bawah deteksi (0.1 µM) sampai di atas 100 µM atau setara 0.067 mg at N/l (Nixon dan Pilson 1983). Selama pengamatan terlihat bahwa nitrat merupakan salah satu unsur yang memberikan kontribusi besar terhadap total DIN di perairan. Hal ini disebabkan karena nitrat merupakan unsur yang lebih melimpah di lapisan permukaan perairan (Dawes 1981) dan merupakan bentuk stabil dari nitrogen di laut (Riley dan
Chester 1971).
Kisaran konsentrasi DIN (ammonia, nitrat, dan nitrit) selama pengamatan cenderung sama dengan variasi yang sangat kecil di kedua stasiun pengamatan (Tabel 4). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh posisi stasiun A dan B yang berada pada bagian tengah perairan Teluk Banten. Tabel 4. Rataan unsur hara menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten Periode Stasiun ke A
B
I II III I II III
NH3-N 0.049 0.040 0.076 0.034 0.039 0.079
Unsur hara (mg -at/4 l) NO 3-N NO2-N PO4-P 0.066 0.106 0.069 0.082 0.062 0.105
0.002 0.007 0.002 0.002 0.006 0.002
0.002 0.002 0.011 0.002 0.002 0.008
Si 1.573 0.255 1.251 0.752 0.145 0.845
Begitu pula dengan sebaran vertikal DIN cenderung sama dengan variasi yang sangat kecil pada setiap kedalaman inkubasi di stasiun A dan B (Tabel 5). Adanya variasi konsentrasi DIN kemungkinan disebabkan oleh posisi kedalaman inkubasi pada pengamatan ini berada pada zona eufotik, sehingga unsur DIN yang tersedia di
perairan dengan cepat dimanfaatkan oleh fitoplankton. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Grasshoff (1976) bahwa konsentrasi unsur hara di zona eufotik cepat berkurang karena pemanfaatan oleh fitoplankton. Pernyataan tersebut didukung pula ditemukannya kelimpahan fitoplankton yang tergolong tinggi pada setiap kedalaman inkubasi di stasiun A dan B (Gambar 9; Lampiran 9).
Tabel 5. Rataan konsentrasi unsur hara menurut kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten Stasiun
Kedalaman (m)
NH3-N
0.2 1 4 5 0.2 2 5 6
0.045 0.055 0.060 0.047 0.047 0.051 0.058 0.054
A
B
Unsur hara (mg at/3 l) NO3-N NO 2-N PO4-P 0.09 0.096 0.094 0.094 0.053 0.054 0.103 0.096
0.005 0.005 0.006 0.005 0.005 0.005 0.005 0.005
0.006 0.005 0.004 0.004 0.003 0.003 0.005 0.005
Si 0.648 0.669 0.529 0.502 0.372 0.401 0.368 0.373
Ammonia-Nitrogen (NH3-N) Nilai konsentrasi ammonia di stasiun A berkisar dari 0.040–0.076 mg at NH3 -N/4 l, dan stasiun B berkisar dari 0.034–0.079 mg at NH 3 -N/4 l (Tabel 4; Lampiran 9). Kisaran nilai konsentrasi ammonia yang didapatkan pada pengamatan ini lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Purwanto (1992) di perairan yang sama. Kisaran nilai konsentrasi ammonia yang didapatkan oleh Purwanto (1992) pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berturut-turut 0.1708–0.244 mg/3 l atau 0.140–0.200 mg at NH3-N/3 l, 0.1859–0.488 mg/3 l atau 0.152–0.401 mg at NH 3-N/3 l, 0.0976–0.195 mg/3 l atau 0.080–0.160 mg at NH3-N/3 l.
Pola distribusi vertikal ammonia di kedua stasiun pengamatan terlihat cenderung sama dengan variasi yang sangat kecil (Tabel 4). Hal ini berhubungan dengan pernyataan bahwa distribusi vertikal ammmonia lebih seragam bila dibanding dengan unsur nitrogen lainnya (Dawes 1981).
Nitrat-Nitrogen (NO3-N) Konsentrasi nitrat yang didapatkan di stasiun A berkisar dari 0.066–0.106 mg at NO 3-N/4 l, dan di stasiun B berkisar dari 0.062–0.105 mg at NO 3 -N/4 l (Tabel 4; Lampiran 9), dengan sebaran vertikal di setiap kedalaman inkubasi relatif sama (Tabel.5; Lampiran 9). Nilai konsentrasi nitrat yang didapatkan pada pengamatan ini lebih rendah bila dibandingkan dengan yang didapatkan oleh Purwanto (1992)
pada kedalaman 0 meter, 5 meter, dan 10 meter berturut-turut
0.1326–0.353
mg/3 l atau 0.109–0.290 mg at NH 3 -N/3 l, 0.1768–0.4420
mg/3 l atau 0.145–0.363
mg at NH3 -N/3 l, 0.2210–0.3978 mg/3 l atau
0.181–0.327 mg at NH3 -N/3 l. Konsentrasi nitrat yang didapatkan, bila dilihat dari ketersediaannya di perairan masih berada dalam batas keseimbangan, dimana konsentrasi NO 3 d i zona eufotik sebesar 0.03 µg-at/L atau setara 0.042 mg at NO 3/l (Goldman dan Glibert 1983). Bila konsentrasi nitrat di perairan di bawah 0.7 µM atau setara dengan 0.035 µg at NO 3-N/l maka pembelahan sel fitoplankton akan berhenti (Millero dan Sohn 1992). Sedangkan untuk pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan nitrat 0.9–3.5 mg/l atau 0.7–2.8 mg at NO 3-N/l (Mackenthum 1969). Sehubungan dengan hal ini dapat dikatakan bahwa nitrat yang tersedia di perairan pada saat pengamatan telah dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya. Hal ini dipertegas jika konsentrasi nitrat menurun sampai sekitar 6 µM atau setara 0.3 mg-at NO3-N/l, ini
menunjukkan telah terjadi penyerapan nitrat dengan cepat oleh fitoplankton (Goes et al. 2004). Nitrit-Nitrogen (NO2-N) Nitrit ditemukan dalam konsentrasi rendah, karena nitrit merupakan bentuk senyawa peralihan dari nitrat ke ammonia atau sebaliknya. Kisaran konsentrasi nitrit di stasiun A berkisar dari 0.002–0.007 mg at NO 2 -N/3 l, dan di stasiun B berkisar dari 0.002–0.006 mg at NO 2-N/3 l (Tabel 4; Lampiran 9). Sedangkan sebaran vertikal di setiap kedalaman inkubasi terlihat seragam (Tabel 5; Lampiran 9).
Fosfor Inorganik Terlarut (DIP) Ortofosfat (PO 4-P) Kisaran konsentrasi ortofosfat yang didapatkan selama pengamatan di stasiun A berkisar dari 0.002–0.011 mg at PO 4-P/3 l, dan di stasiun B berkisar dari 0.002– 0.008 mg at PO4-P/3 l (Tabel 4). Bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (1992), nilai konsentrasi yang didapatkan pada pengamatan ini lebih
tinggi. Purwanto (1992) mendapatkan konsentrasi fosfat pada lapisan
permukaan, kedalaman 5 meter, dan 10 meter berturut-turut berkisar dari 0.0100– 0.0425 mg/3 l atau 0.00326–0.0138 mg at PO4-P/3 l, 0.0125–0.0450 mg/3 l atau 0.0040–0.0146
mg at PO4-P/3 l, dan 0.0350–0.0450 mg/3 l atau 0.0114–0.0146
mg at PO 4-P/3 l. Millero dan Sohn (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan semua jenis fitoplankton tergantung pada konsentrasi ortofosfat, bila konsentrasi ortofosfat dibawah 0.3 µM atau setara 0.009 mg at P/l maka perkembangan sel menjadi terhambat. Konsentrasi yang didapatkan berada dibawah pertumbuhan optimal fitoplankton disebabkan karena kedalaman inkubasi berada di zona eufotik, sehingga
ortofosfat yang ada langsung dimanfaatkan oleh fitoplankton. Sedangkan untuk pertumbuhan optimal fitoplankton konsentrasi ortofosfat yang dibutuhkan berkisar dari 0.27–5.51 mg/l atau 0.088–1.79 mg-at PO4-P/l (Bruno et al. 1979 in Widjaja et al. 1994). Rendahnya konsentrasi ortofosfat yang didapatkan pada pengamatan ini kemungkinan disebabkan (1) ortofosfat yang ada diperairan telah dimanfaatkan oleh fitoplankton, (2) waktu sampling mempengaruhi nilai konsentrasi ortofosfat, seperti yang terjadi di Teluk Chesapeake konsentrasi ortofosfat menurun dari 0.4 µM–0.1 µM atau setara 0.01–0.003 mg at/l pada jam 3 sore dan meningkat dengan cepat setelah matahari terbenam sampai maksimum pada jam 2 siang (Millero dan Sohn 1992), (3) kandungan fosfat yang dibutuhkan lebih rendah jika nitrogen yang digunakan tersedia dalam bentuk ammonia, sedangkan jika nitrogen dalam bentuk nitrat, maka fosfat yang dibutuhkan lebih tinggi (Chu 1984 in Andarias 1984), atau (4) konsentrasi ortofosfat makin berkurang ke arah laut, karena sumber utama fosfor di laut adalah dari aliran sungai (Lewis et al. 1985).
Silikat (Si)
Kisaran konsentrasi silikat yang didapatkan selama pengamatan di stasiun A berkisar dari 0.255–1.573 mg at Si/4 l, dan di stasiun B berkisar dari 0.145–0.845 mg at Si/4 l (Tabel 4; Lampiran 9). Sedangkan sebaran vertikal di setiap kedalaman inkubasi cenderung sama den gan variasi yang kecil (Tabel 5; Lampiran 9). Kisaran silikat yang didapatkan pada pengamatan ini lebih tinggi dari yang didapatkan oleh Purwanto (1992), dimana pada kedalaman permukaan, 5 meter dan 10 meter berkisar dari 0.35–1.06 mg/3 l, 0.28–1.04 mg/3 l, dan 0.49–0.64 mg/3 l.
Silikat yang didapatkan selama pengamatan masih berada pada konsentrasi yang sesuai untuk pertumbuhan diatom. Diatom tidak dapat berkembang dengan baik pada konsentrasi silikat yang lebih kecil dari 0.5 mg at Si/l (Effendi 2003). Kisaran konsentrasi silikat terlarut di laut adalah 1 mg/l, tapi konsentrasi tersebut bervariasi pada permukaan laut dan perairan laut yang dangkal (Grasshoff 1976). Dengan melihat kisaran konsentrasi DIN (ammonia, nitrat, dan nitrit), DIP (ortofosfat) maupun silikat di perairan selama pengamatan, dapat dikatakan bahwa tingkat variasi unsur-unsur tersebut pada setiap kedalaman inkubasi maupun antar stasiun tidak terlalu jauh berbeda atau cenderung sama. Perbedaan tersebut selain disebabkan oleh pemanfaatan fitoplankton di zona eufotik, kemungkinan juga disebabkan oleh lokasi pengamatan merupakan perairan yang dangkal sehingga pengadukan massa air sangat kuat, yang menyebabkan kolom air menjadi tercampur sehingga unsur hara tidak terperangkap pada suatu kedalaman tertentu.
Struktur Komunitas Fitoplankton Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton Terdapat tiga kelas fitoplankton yang ditemukan selama pengamatan di perairan
Teluk
Banten.
Ketiga
kelas
fitoplankton
tersebut
terdiri
dari
Bacillariophyceae, Dinophyceae, dan Cyanophyceae yang tersebar pada semua kedalaman inkubasi di kedua stasiun pengamatan dengan jumlah genera yang bervariasi. Genera fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae merupakan yang dominan pada semua kedalaman inkubasi di stasiun A maupun B dengan 29 genera, Dinophyceae 6 genera, dan Cyanophyceae
1 genera (Lampiran 11, 12, dan 13).
Kehadiran genera fitoplankton selama pengamatan di dominasi oleh genera dari kelas
Bacillariophyceae baik menurut stasiun pengamatan (Tabel 6) maupun menurut kedalaman inkubasi (Gambar 9). Melimpahnya genera fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae (diatom) dan Dinophyceae (dinoflagellata) pada setiap kedalaman inkubasi disebabkan karena fitoplankton dari kedua kelas tersebut merupakan anggota utama fitoplankton yang terdapat di seluruh bagian perairan laut, baik perairan pantai maupun perairan oseanik (Arinardi et al. 1997). Tabel 6. Rataan jumlah genera fitoplankton menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten Kelas fitoplankton Periode Sta siun ke Bacillariophyceae Cyanophyceae A
B
I II III I II III
17 22 21 19 21 19
Dinophyceae
1 1 1 1 1 1
4 6 4 5 2 5
Genera fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae yang dominan ditemukan selama pengamatan terdiri dari Chaetoceros sp, Bacteriastrum sp, Guinardia sp, Rhizosolenia sp, Leptocylindrus sp, Nitzschia sp, Thallasiosira sp, Bidulphia sp, dan Skeletonema sp. Sedangkan dari kelas Dinophyceae adalah Peridinium sp, Ceratium sp, Dinophysis sp, dan Noctiluca sp. Jenis-jenis fitoplankton yang ditemukan dari penelitian sebelumnnya yang predominan diatas 10 % di perairan yang sama terdiri dari
Chaetoceros,
Rhizosolenia,
Thallasiotrix,
Bacteriastrum,
Bacillaria,
Coscinodiscus, Hemiaulus, Ceratium, Noctiluca, (Praseno 1981; Praseno 1982a; Praseno 1982b).
Gambar 9. Rataan jumlah genera fitoplankton menurut kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten. Berhubungan dengan hal tersebut Arinardi et al. (1994) menyatakan bahwa jenis-jenis fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae yang umumnya dijumpai di perairan lepas pantai Indonesia antara lain Chaetoceros sp, Thallasiosira sp, dan Bacteriastrum sp, sedangkan dari kelas Dinophyceae yang umumnya dijumpai di laut adalah Noctiluca sp, Ceratium sp, Peridinium sp, dan Dinophysis sp. Kelimpahan sel fitoplankton yang didapatkan selama pengamatan bervariasi di kedua stasiun pengamatan. Secara keseluruhan kelimpahan sel fitoplanton lebih tinggi di stasiun A dibandingkan dengan stasiun B (Tabel 7; Lampiran 9, 11, 12 dan 13). Perbedaan tersebut disebabkan oleh posisi stasiun A yang masih mendapat pengaruh perairan pantai yang mendapat
suplai unsur hara
dari aliran sungai di
sekitarnya.
Tabel 7. Rataan kelimpahan sel fitoplankton menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten
Stasiun A
Periode Kelimpahan fitoplankton (sel/l) ke Bacillariophyceae Dinophyceae Cyanophyceae I
3722
177
133
B
II III I II III
1196 4491 1671 963 982
83 1555 141 37 220
108 155 61 237 225
Distribusi vertikal kelimpahan sel fitoplankton tertinggi didapatkan pada kedalaman inkubasi 1 meter di stasiun A yang diwakili dari kelas Bacillariophyceae sebesar 3718 sel/ l. Sedangkan pada stasiun B di dapatkan di kedalaman 2 meter juga diwakili dari kelas Bacillariophyceae sebesar 1461 sel/l (Gambar 10).
Gambar 10. Rataan kelimpahan fitoplankton menurut kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten. Tinggin ya kelimpahan sel fitoplankton disebabkan karena pada kedalaman inkubasi 1 meter (stasiun A) dan 2 meter (stasiun B) intensitas cahaya menunjang pertumbuhan fitoplankton (Gambar 8; Lampiran 8) serta unsur hara yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal.
Hal ini berhubungan dengan konsentrasi ortofosfat
yang terendah selama pengamatan didapatkan pada kedalaman 1 meter di stasiun A dan
2 meter di stasiun B, ini menunjukkan sebagai indikator telah terjadi
penyerapan ortofosfat secara cepat oleh fitoplankton di kedalaman tersebut. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Spencer (1975) bahwa laju penggunaan fosfat mencapai
sekitar 0.025 µg-at P/l/hari di atas kedalaman 2.5 meter dalam kolom air, dan laju penggunaannya bervariasi pada kedalaman antara 2.5 meter dan 17.5 meter, dengan laju penggunaannya mencapai 0.1 µg-at P/l/hari.
Indeks Biologi Fitoplankton
Indeks keanekaragaman di stasiun A berkisar dari 1.47–1.97 dan stasiun B berkisar dari 1.73–2.08 (Tabel 8). Sedangkan menurut kedalaman inkubasi di stasiun A berkisar dari 1.66–1.85 dan stasiun B berkisar dari 1.69–2.12 (Tabel 9). Kisaran nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh baik menurut stasiun maupun kedalaman inkubasi berdasarkan kriteria Wilhm dan Doris 1968 in Masson 1981 termasuk dalam kategori rendah.
Tabel 8. Indeks biologi menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten Stasiun A
B
Periode Ke -
H'
I II III I II III
1.86 1.97 1.47 1.73 2.08 1.98
Indeks Biologi E 0.65 0.68 0.48 0.61 0.67 0.69
D 0.20 0.22 0.20 0.26 0.19 0.20
Tabel 9. Indeks biologi menurut kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten
Stasiun A
B
Kedalaman (m) 0.2 1 4 5 0.2 2 5
H' 1.73 1.84 1.85 1.66 1.82 1.69 2.12
Indeks Biologi E 0.61 0.64 0.65 0.54 0.66 0.52 0.76
D 0.27 0.19 0.21 0.17 0.23 0.28 0.18
6
2.07
0.69
0.17
Indeks keseragaman di stasiun A berkisar dari 0.48–0.68, dan stasiun B berkisar dari 0.61–0.69 (Tabel 8) sedangkan menurut kedalaman inkubasi di stasiun A berkisar dari 0.54–0.65 dan di stasiun B berkisar dari 0.52–0.69 (Tabel 9). Nilai indeks keseragaman yang diperoleh selama pengamatan tergolong tinggi baik menurut stasiun maupun kedalaman inkubasi. Semakin tinggi nilai indeks keseragaman suatu perairan (mendekati 1), maka kelimpahan masing-masing jenis merata atau tidak jauh berbeda. Indeks dominansi selama pengamatan di stasiun A berkisar dari 0.20–0.22 dan di stasiun B berkisar dari 0.19–0.26 (Tabel 8), sedangkan menurut kedalaman inkubasi di stasiun A berkisar dari 0.17–0.27 dan stasiun B berkisar dari 0.17–0.28 (Tabel 9).
Nilai indeks dominansi yang diperoleh menunjukkan tidak terjadi
dominansi baik menurut stasiun maupun kedalaman inkubasi selama pengamatan.
Klorofil-a Sebaran
konsentrasi
klorofil-a
menurut
stasiun
pengamatan
maupun
kedalaman inkubasi memperlihatkan nilai yang tidak terlalu bervariasi. Nilai konsentrasi klorofil-a menurut stasiun pengamatan terlihat di stasiun A lebih rendah dari pada stasiun B dengan kisaran konsentrasi berturut-turut dari 0.145–0.203 mg chl-a/m 3 di stasiun A dan 0.069–0.303 mg chl-a/m 3 di stasiun B, sedangkan pola sebaran klorofil-a menurut kedalaman inkubasi cenderung merata pada semua kedalaman inkubasi (Tabel 10, 11; Lampiran 9). Nilai konsentrasi yang didapatkan selama pengamatan ini lebih rendah bila dibandingkan dengan kisaran konsentrasi klorofil-a dari pemantauan data satelit di perairan selat Sunda yang berkisar antara 1–3.5 mg chl-a/m3 (Amri 2002).
Variasi konsentrasi klorofil-a yang diperoleh memperlihatkan pola variasi yang tidak terlalu jauh berbeda atau cenderung merata baik menurut stasiun pengamatan maupun kedalaman inkubasi (Tabel 10, 11; Lampiran 9). Pola sebaran konsentrasi klorofil-a selama pengamatan kadang terlihat cenderung mengikuti pola sebaran unsur hara. Bila konsentrasi unsur hara sedikit berkurang akan selalu ditemukan konsentras i klorofil-a sedikit tinggi atau sebaliknya (Tabel 5, 11; Lampiran 9), hal tersebut diikuti pula dengan ditemukannya kelimpahan sel fitoplankton yang sedikit lebih tinggi pada kedalaman 1 meter di stasiun A dan 2 meter di stasiun B dibanding kedalaman lainnya (Gambar 10; Lampiran 9). Tabel 10 . Konsentrasi klorofil-a menurut stasiun pengamatan di perairan Teluk Banten Stasiun
Periode Ke-
Klorofil-a (mg chl-a/m3)
A
I II III I II III
0.220 0.145 0.203 0.303 0.069 0.264
B
Tabel 11. Konsentrasi klorofil-a menurut kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten Stasiun
Kedalaman (m)
Klorofil-a (mg chl-a/m3)
A
0.2 1 4
0.217 0.206 0.148
5 0.2 2 5 6
0.163 0.147 0.209 0.277 0.214
B
Bila dilihat dari konsentrasi klorofil-a yang diperoleh (Tabel 10, 11; Lampiran
9)
belum
menunjukkan
telah
terjadi
pertumbuhan
fitoplankton
secara optimal. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Goes et al. (2004) bahwa bila konsentrasi klorofil-a lebih besar dari 1 mg chl-a/m3 menunjukkan sebagai indikator musim pertumbuhan fitoplankton. Selain hal tersebut, Reynolds (1978) in Spencer (1975) menyatakan bahwa fitoplankton dari kelompok ultraplankton (diameter kurang d ari 15 µm) memberikan kontribusi 90% dari total klorofil-a di laut (Reynolds 1978 in Spencer 1975). Sedangkan Wafar et al. (2004) menyatakan bahwa total klorofil-a di laut merupakan kontribusi dari nanoplankton (sekitar 59%), netplankton (29%), dan picoplankton (12%).
Produktivitas Primer Perairan
Produktivitas Primer Pada Berbagai Kedalaman Inkubasi Kisaran nilai produktivitas primer bersih yang diperoleh selama pengamatan di stasiun A berkisar dari 14.15–29.59 mg C/m 3 /5 jam (33.96–71.01 mg C/m3/hari), dan stasiun B berkisar dari 13.56–25.68 mg C/m3/5 jam (32.54–61.63 mg C/m3/hari). Sebaran vertikal nilai produktivitas primer bersih menurut kedalaman inkubasi bervariasi dengan nilai tertinggi didapatkan pada kedalaman inkubasi 1 meter (29.59 mg C/m3 /5 jam atau 71.01 mg C/m3 /hari) di stasiun A dan kedalaman inkubasi 2 meter (25.68 mg C/m 3/5 jam atau 61.63 mg C/m 3/hari) di stasiun B (Tabel 12; Gambar 11; dan Lampiran 9). Nilai produktivitas primer bersih antara stasiun A dan B tidak berbeda nyata, sedangkan menurut kedalaman inkubasi berbeda nyata pada taraf ∀ 0.05. Dari hasil uji lanjut Tukey (HSD) terlihat nilai produktivitas primer bersih antara kedalaman 0.2 meter dengan 1 meter, 0.2 meter dengan 2 meter, 0.2 meter dengan 4 meter 0.2 meter dengan 5 meter, 1 meter dengan 5 meter, 1 meter dengan 6 meter, dan
2 meter dengan 6 meter menunjukkan perbedaan yang nyata (Lampiran 10). Dari hasil uji lanjut tersebut terlihat pula bahwa kedalaman 1 dan 2 meter memberikan nilai produktivitas primer bersih yang tinggi, sedangkan nilai produktivitas primer bersih yang rendah ditemukan pada kedalaman 0.2, 5 dan 6 meter. Terdapat 2 alasan yang dapat menjelaskan tingginya nilai produktivitas primer bersih di kedalaman inkubasi 1 meter dan 2 meter dibandingkan dengan kedalaman inkubasi
lainnya,
sebagai berikut (1) intensitas
cahaya matahari
pada
kedalaman inkubasi 1 meter mencapai 28.875 MJ/m2 (48.2%) di stasiun A dan 21.716 MJ/m2 (32.2%) di stasiun B dari cahaya
lapisan permukaan (Gambar 8; Lampiran
8). Tabel 12. Nilai produktivitas primer bersih pada kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten Stasiun
Kedalaman (m)
Produktivitas Primer (mg C/m 3/5 jam)
A
0.2 1 4 5 0.2 2 5 6
14.44 29.59 20.75 14.15 13.57 25.88 23.28 15.80
B
Intensitas cahaya yang diperoleh ini masih sangat menyokong fitoplankton untuk melakukan aktivitas fotosintesis. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Raymond (1963), Steemann Nielsen (1965) dan Nybaken (1988) bahwa laju fotosintesis tertinggi berada pada kedalaman dimana intensitas cahaya mencapai 50% dan 33%, sedangkan intensitas cahaya di atas persentase ini merupakan cahaya penghambat fotosintesis dan di bawah persentase ini merupakan cahaya pembatas
fotosintesis, (2) adanya indikasi yang menunjukkan bahwa unsur hara yang ada di zona eufotik terutama di kedalaman inkubasi 1 meter dan 2 meter telah dimanfaatkan oleh fitoplankton secara optimal untuk pertumbuhannya, hal ini ditunjang pula oleh kelimpahan fitoplankton yang
tinggi di kedalaman inkubasi tersebut selama
pengamatan mencapai 3718 sel/l (diatom) di stasiun A dan 1461 sel/l (diatom) di stasiun B (Gambar 10; Lampiran 9, 11, 12, dan 13).
Gambar 11. Nilai produktivitas primer bersih pada berbagai kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten.
Produktivitas Primer Pada Berbagai Lapisan Kolom Air Produktivitas primer bersih di setiap lapisan kolom air diduga dari nilai intensitas cahaya matahari permukaan (waktu inkubasi) setelah mengetahui pola hubungan intensitas cahaya matahari dengan produktivitas primer bersih pada setiap kedalaman inkubasi (Gambar 13; Lampiran 6 dan 8). Nilai produktivitas primer pada setiap lapisan kolom air (setiap 0.1 cm) terlihat mengalami perubahan mengikuti pola
perubahan nilai intensitas cahaya matahari dari waktu ke waktu di setiap lapisan kolom air baik di stasiun A maupun B (09.00–14.00 WIB) (Lampiran 14 dan15). Pada setiap pergeseran waktu dan lapisan kolom air selalu diikuti pula oleh perubahan nilai produktivitas primer bersih. Produktivitas primer bersih maksimum atau fotosintesis maksimum (P max) selama pengamatan di peroleh sebesar 3.24 mg C/m 3/5 jam (7.78 mg C/m 3 /hari) di stasiun A dan 7.32 mg C/m 3/5 jam (17.57 mg C/m 3/hari) di stasiun B. Nilai Pmax di stasiun A diperoleh pada intensitas cahaya 18 dan 19 MJ/m 2 dan di stasiun B diperoleh pada intensitas cahaya 30, 31, 32 dan 33 MJ/m2 dengan persentase cahaya yang berbeda-beda (Lampiran 14 dan 15). Total produktivitas primer bersih pada setiap lapisan kolom air selama pengamatan diperoleh nilai maksimum pada kedalaman 2.2 meter dengan nilai produktivitas primer bersih 19.1 mg C/m3 /5 jam (45.84 mg C/m 3/hari) di stasiun A dan kedalaman 1.4 meter dengan nilai produktivitas primer bersih 43.01 mg C/m 3/5 jam (103.22 mg C/m 3/hari) (Lampiran 14 dan 15) di stasiun B. Bila dilihat dari nilai produktivitas primer bersih yang diperoleh pada setiap lapisan kolom air selalu ditemukan pada lapisan permukaan nilainya lebih rendah, karena intensitas cahaya matahari sangat tinggi sehingga menghambat aktivitas fotosintesis fitoplankton (cahaya penghambat) dan meningkat pada lapisan dibawahnya sampai mencapai nilai produktivitas primer bersih yang maksimum (cahaya optimum) kemudian menurun pada lapisan dibawahnya karena intensitas cahaya mulai berkurang atau hilang (cahaya pembatas).
Hubungan Cahaya Dengan Produktivitas Primer Pola hubungan intensitas cahaya matahari dengan produktivitas primer pada setiap kedalaman inkubasi dianalisis dengan menggunakan software kgraph. Hasil
analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara intensitas cahaya dengan produktivitas primer bersih di perairan Teluk Banten. Hubungan yang sangat erat tersebut terlihat dari nilai koefisien determinasi (R 2) yang didapatkan di kedua stasiun pengamatan di atas 50%. Nilai koefisien determinasi yang didapatkan di stasiun A sebesar 0.82 (82%) dan di stasiun B sebesar 0.64 (64%) (Gambar 12).
Gambar 12. Pola hubungan intensitas cahaya matahari dengan Produktivitas primer bersih di perairan Teluk Banten.
Dari Gambar 12 tersebut dapat dikatakan bahwa cahaya optimum selama inkubasi diperoleh pada level cahaya antara 18 dan 20 MJ/m 2 di stasiun A serta 14 dan 16 MJ/m 2 di stasiun B. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas primer fitoplankton di perairan Teluk Banten dengan waktu inkubasi 5 jam di kedalaman 0.2 meter,
1 meter, 2 meter, 4 meter, 5 meter, dan 6 meter pada musim peralihan I
(hujan ke kemarau) akan mencapai puncak atau maksimal pada level cahaya dari 14– 20 MJ/m2. Pola hubungan intensitas cahaya matahari dengan produktivitas primer pada setiap lapisan kolom air (setiap penambahan kedalaman 0.1 cm) menunjukkan pola hubungan yang kuadratik (Gambar 13). Artinya produktivitas primer di perairan
Teluk Banten sangat bergantung pada keberadaan intensitas cahaya matahari yang masuk
ke kolom air. Setiap peningkatan intensitas cahaya akan selalu diikuti oleh
peningkatan nilai produktivitas primer sampai pada suatu titik optimum sedangkan di atas
cahaya optimum merupakan cahaya penghambat dan dibawah cahaya
optimum merupakan cahaya pembatas. Intensitas cahaya optimum dengan nilai produktivitas primer bersih tertinggi pada pengamatan ini ditemukan pada level cahaya 30.5% (6.7861 µmol photon/m2/detik) di stasiun A dan 51.9% (11.6125 µmol photon/m 2/detik) di stasiun B (Gambar 13; Lampiran 14 dan 15).
Gambar 13. Pola hubungan intensitas cahaya matahari dengan produktivitas primer bersih pada berbagai lapisan kolom air di perairan Teluk Banten.
Hubungan Unsur Hara Dengan Produktivitas Primer
Hasil analisis regresi sederhana menunjukkan bahwa unsur hara DIN (ammonia, nitrat, nitrit), DIP (ortofosfat) dan silikat dalam mempengaruhi nilai produktivitas primer bersih memiliki korelasi yang rendah, hal ini dapat diketahui dari nilai koefisien determinasi (R 2 ) di bawah 50% di stasiun A dan B (Tabel 13; Gambar
14 dan 15).
Hal tersebut diperjelas dari hasil uji sidik ragam di stasiun A dengan
nilai p (p value) = 0.714 (ammonia), p = 0.634 (nitrat), p = 0.640 (nitrit), p = 0.189 (DIN), p = 0.639 (DIP), p = 0.946 (silikat) dan di stasiun B nilai p (p value) = 0.678 (ammonia),
p = 0.0481 (nitrat), p = 0.984 (nitrit), p = 0.715 (DIN), p = 0.677
(DIP), p = 0.740 (silikat) masing-masing pada taraf ∀ 0.05. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa regresi linear (Tabel 13) tidak dapat digunakan untuk menggambarkan hubungan antara produktivitas primer bersih atau dengan
unsur hara DIN, DIP dan silikat dengan kata lain masing-masing unsur hara
tersebut tidak secara linear mempengaruhi produktivitas primer bersih. Rendahnya konsentrasi masing-masing unsur hara merupakan salah satu faktor penyebab tidak linear dengan produktivitas primer bersih di perairan. Hal ini disebabkan karena stasiun pengamatan berada pada bagian tengah perairan Teluk Banten yang jauh dari pantai (aliran sungai) sehingga konsentrasi unsur hara yang didapatkan tergolong rendah. Bila dilihat dari pola sebaran data pada Gambar 14 dan 15 terdapat kecenderungan bahwa setiap peningkatan konsentrasi unsur hara akan diikuti oleh peningkatan produktivitas primer bersih. Hal ini menunjukkan bahwa unsur hara yang ada di perairan saat itu telah dimanfaatkan oleh fitoplankton untuk proses pertumbuhannya meskipun belum pada tingkat pertumbuhan optimal. Kelompok unsur hara DIN terlihat lebih memberi pengaruh terhadap peningkatan nilai produktivitas primer bersih bila dibandingkan dengan unsur hara DIP di kedua stasiun pengamatan. Hal tersebut terlihat dari nilai koefisien determinasi (0.165 dan 0.113) dari kedua kelompok unsur hara tersebut (Tabel 13; Gambar 14 dan 15). Tabel 13. Hubungan produktivitas primer bersih dengan unsur hara
Stasiun A
Unsur Hara
Persamaan Regresi
Koefisien Determinasi
Ammonia Y = 17.189 X + 8.199 Nitrat Y = 124.006 X + 9.755 Nitrit Y = 654.465 X + 17.336 Silikat Y = -2.492 X + 22.296 DIP Y = -460.273 X + 21.923 DIN Y = 154.957 X + 1.762 B Ammonia Y = 42.035 X + 17.439 Nitrat Y = 16.512 X + 18.211 Nitrit Y = 1020.626 X + 16.011 Silikat Y = -2.012 X + 20.752 DIP Y = 493.470 X + 17.609 DIN Y = 18.699 X + 17.010 Catatan : DIP (ortofosfat), dan DIN (ammonia, nitrat, dan nitrit).
0.109 0.109 0.050 0.043 0.087 0.165 0.017 0.040 0.078 0.009 0.048 0.113
Gambar 14. Grafik pola hubungan unsur hara dengan produktivitas primer bersih di stasiun A.
Gambar 15. Grafik pola hubungan unsur hara dengan produktivitas primer bersih di stasiun B. Hubungan Klorofil-a Dengan Produktivitas Primer
Pola hubungan antara klorofil-a dengan produktivitas primer bersih di setiap kedalaman inkubasi selama pengamatan dianalisis dengan menggunakan regresi linear.
Hasil analisis antara produktivitas primer fitoplankton dengan konsentrasi
klorofil-a di kedua stasiun pengamatan diperoleh korelasi yang sangat rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) di stasiun A sebesar 0.01 dan stasiun B sebesar 0.02 (Gambar 16) dengan nilai p (p value) sebesar 0.03 di stasiun A dan 0.11 di stasiun B pada taraf ∀ 0.05. Rendahnya pengaruh klorofil-a tersebut kemungkinan disebabkan oleh konsentrasi klorofil-a yang diperoleh pada pengamatan ini masih sangat rendah dengan kisaran 0.145–0.203 mg chl-a/m 3 di stasiun A dan 0.069–0.303 mg chl-a/m3 di stasiun B, sehingga belum memberikan pengaruh yang berarti dalam meningkatkan laju produktivitas primer fitoplankton di perairan. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Goes et al. (2004) bahwa bila konsentrasi klorofil-a lebih besar dari 1 mg chl-a/m 3 menunjukkan sebagai indikator musim pertumbuhan fitoplankton.
Gambar 16. Grafik hubungan klorofil-a dengan produktivitas primer bersih di perairan Teluk Banten.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Nilai kisaran produktivitas primer fitoplankton dalam tiga per iode pengamatan pada setiap kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten sebesar 14.15–29.59 mg C/m3 /5 jam (33.96–71.01 mg C/m 3/hari) di stasiun A dan 13.56–25.68 mg C/m 3/5 jam (32.54–61.63 mg C/m 3/hari) di stasiun B. 2. Intensitas cahay a matahari memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap produktivitas primer fitoplankton, hal ini terlihat dari nilai koefisien determinasi di stasiun A sebesar 0.82 dan di stasiun B sebesar 0.64. 3. Nitrogen inorganik terlarut (ammonia, nitrat, nitrit), fosfat inorganik terlarut (ortofosfat) dan silikat memberikan pengaruh yang sangat rendah terhadap produktivitas primer fitoplankton. Hal ini terlihat pula dari nilai koefisien determinasi untuk DIN sebesar 0.165 di stasiun A dan 0.113 di stasiun B, DIP 0.087 di stasiun A dan 0.048 di stasiun B, serta Silikat 0.043 di stasiun A dan 0.0093 di stasiun B.
Saran
Perlu
dilakukan
penelitian
lanjutan
mengenai
produktivitas
primer
fitoplankton pada musim barat, timur dan peralihan II dan keterkaitannya dengan intensitas cahaya matahari, unsur hara maupun klorofil-a dengan memperbanyak stasiun pengamatan agar mewakili seluruh bagian perairan Teluk Banten dengan interval waktu pengamatan tertentu (setiap minggu atau bulan) sehingga dapat diketahui dengan pasti data mengenai produktivitas primer fitoplankton perairan Teluk Banten.
Lampiran 1. Prosedur pengisian air ke dalam botol BOD a. Contoh air laut dari Van Dorn dialirkan dengan selang plastik kedalam botol BOD. b. Ujung selang plastik dibungkus dengan plankton net berukuran 200 µm yang berfungsi sebagai penyaring zooplankton agar tidak terjadi grazing selama masa inkubasi berlangsung dan ujung selang tersebut harus sampai ke dasar botol BOD. c. Pada saat pengisian air kedalam botol BOD dilakukan sampai meluap dan jumlah air yang meluap adalah sekitar ? volume botol BOD. d. Selama pengisian tidak boleh ada gelembung udara dalam botol BOD yang telah berisi contoh air laut. e. Setelah penuh (air dari Van Dorn masih tetap mengalir), selang plastik dikeluarkan dengan p elan -pelan dan setelah itu botol BOD ditutup. f. Kemudian diperiksa apakah ada gelembung udara dalam botol, kalau ada gelembung udara maka contoh air laut dibuang, pengisian diulang. Lampiran 2. Prosedur pengukuran oksigen terlarut dengan titrasi winkler a. Tambahkan 1 mI MnSO 4, dan 1 ml NaOH + KI lalu tutup dan membolak-balikkan botol ± 20 kali biarkan beberapa saat hingga endapan coklat terbentuk dengan sempurna. Penambahan larutan MnSO4 dan alkali iodida (NaOH + KI) dilakukan dengan memakai pipet otomatic.Ujung pipet berada kira-kira 2 cm dari leher botol kedalam botol. Endapan dibiarkan turun ke dasar botol. b. Setelah 2–3 menit endapan turun ke dasar botol, ulangi membolak-balikkan botol, kemudian endapan dibiarkan turun kembali ke dasar botol. c. Tambahkan 2 ml H2SO4 pekat aduk dengan cara yang sama hingga semua endapan larut. Selanjutnya ambil 50 ml air dari botol BOD tersebut kemudian masukkan kedalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na-thiosulfat hingga terjadi perubahan warna dari kuning tua ke kuning muda. d. Tambahkan 1–3 tetes indikator amylum hingga terbentuk warna biru. Lanjutkan titrasi dengan Na-thiosulfat hingga tepat tidak berwarna (bening). e. Setelah itu mengukur kandungan oksigen terlarut pada botol terang botol gelap dengan formula sebagai berikut :
mg
O2
L
=
(ml titran )( Normalitas thiosulfat )(8)(1000 ) ( ) (ml sampel ) ml BOD − ml reagen terpakai (ml botol BOD)
Catatan : Normalitas thiosulfat 0.013 N Reagent terpakai 4 mI (1 mI MnSO4 dan NaOH + KI da 2 mI H2SO4, untuk volume botol BOD 300 mI).
Lampiran 3. Prosedur pengukuran produktivitas primer a. Sampel air laut dimasukkan kedalam botol BOD kapasitas 300 mI yang terdiri dari satu botol inisial, dua botol terang, dan satu botol gelap (dilapisi dengan plastik hitam dan ditutup rapat-rapat sehingga cahaya tidak dapat masuk. b. Pengukuran oksigen awal segera dilakukan pada botol initial sedangkan dua botol terang dan satu botol gelap diletakkan kembali pada kedalaman dimana contoh air laut diambil untuk di inkubasi. c. Proses inkubasi dilakukan selama 5 jam yang dimulai pada jam 09.00–14.00. d. Pada botol terang terjadi proses fotosintesis dan respirasi sedangkan dalam botol gelap hanya terjadi respirasi. e. Perbedaan kandungan oksigen pada botol terang dan botol gelap pada akhir percobaan menunjukkan produktivitas primer kotor, sedangkan perbedaan antara kandungan oksigen pada botol terang dan botol inisial yang tidak di inkubasi menunjukkan produktivitas primer bersih.
Lampiran 4. Tahapan analisis unsur hara Prosedur analisis unsur hara dilakukan menurut Grasshoff et al. 1983 yang terdiri dari analisis nitrat (NO 3 -N), nitrit (NO 2 -N), ammonia (NH4 -N), ortofosfat (PO4-P), dan silikat (Si), tahapannya sebagai berikut : 1. Analisis ammonia-nirogen (NH4-N) a. Sampel yang telah difilter diambil sebanyak 25 ml, setelah dikocok terlebih dahulu dan dimasukkan kedalam gelas piala lalu ditutup. b. Kemudian tambahkan phenol sebanyak 1 ml, lalu dikocok. c. Setelah itu tambahkan larutan sodium nitroprusside 1 mI dan 2.5 ml larutan oxiding, kemudian dikocok dan tunggu selama 1 jam. d. Selanjutnya dilakukan pengukuran konsentrasi dengan spektrofotometer (kuvet 1 cm), pada panjang gelombang 640 nm. e. Buat larutan standar (blanko) dengan ko nsentrasi 0, 1, dan 3 mol/l dan lakukan prosedur b, c, dan d. 2. Analisis nitrat-nitrogen (NO3-N) a. Sampel diambil sebanyak 5 mI, dimasukkan kedalam tabung erlenmeyer yang ditutup dengan alumminium foil.
Lanjutan lampiran 4
b. Tambahkan 1 tetes sodium arsenit, lalu dikocok. c. Tambahkan brucine sebanyak 10 tetes, lalu dikocok. d. Tambahkan asam sulfat pekat sebanyak 5 mI, diamkan sampai berwarna biru. e. Kemudian dibuat larutan standar (blanko) dengan konsentrasi 0, 1, dan 3 mol/I selanjutnya dilakukan prosedur b dan c. f. Selanjutnya diukur konsentrasi sampel tersebut dengan spektrofotometer pada panjang gelomabng 542 nm. 3. Analisis nitrit-nitrogen (NO2-N) a. Sampel air diambil sebanyak 10 ml, kemudian dimasukan kedalam gelas piala dan ditutup. b. Tambahkan sulfanilamide sebanyak 0.2 ml, dan Napthylamine ethylenediamine dihidroklorid (NED) sebanyak 0,2 ml, selanjutnya dikocok dan disimpan selama 20 menit. c. Kemudian dibuat larutan standar (blanko) dengan konsentrasi 0, 1, dan 3 mol/I selanjutnya dilakukan prosedur b dan c. d. Setelah itu, diukur konsentrasinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 542 nm. 4. Analisis ortofosfat (PO4-P) a. Sampel diambil sebanyak 50 ml, kemudian dimasukkan kedalam gelas piala dan ditutup. b. Tambahkan mixed reagen sebanyak 5 ml, lalu didiamkan. c. Buat larutan standar (blanko) dengan konsentrasi 0, 1, dan 3 mol/I, kemudian lakukan prosedur b. d. Sampel tersebut diukur konsentrasinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 882 nm, kemudian lakukan prosedur b, c, dan d.
5. Analisis silika (Si) a. Ambil sampel sebanyak 10 mI, kemudian masukkan ke dalam tabung plastik dan ditutup.
Lanjutan lampiran 4
b. Tambahkan 0,3 ml mixed reagen, lalu dikocok dan disimpan selama 10–20 menit. c. Tambahkan asam oxalic sebanyak 0,2 ml dan terakhir ditambahkan asam ascorbit sebanyak 0.2 ml, kemudian disimpan selama 30 menit. d. Buat larutan standar (blanko) dengan konsentrasi 0, 1, dan 3 mol/I, kemudian lakukan prosedur b, c, dan d. e. Setelah itu, sampel tersebut diukur konsentrasinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 810 nm.
Lampiran 5. Prosedur analisis klorofil-a
a. Menyiapkan milipore filter aparatus (Whatman GF/C, diameter 47 mm porositas 1.2 µm). b. Jalankan pompa vakum tekanan 200 mm Hg, ambil 1 liter contoh air dan tuangkan kedalam wadah penyaring (miliopore filter aparatus), kemudian di simpan dalam lemari pendingin. c. Klorofil-a yang telah disaring tersebut diekstraksi dengan aseton 90% sebanyak 10 ml dan digerus sampai halus (10–15 menit). d. Larutan tersebut dituangkan kedalam gelas tabung lalu ditutup dengan aluminium foil dan disimpan di tempat gelap (pendingin) selama 24 jam. e. Selanjutnya gelas tabung ditimbang, kemudian disentrifus pada tekanan 2500 rpm selama 30 menit. f. Setelah ekstrak tersebut halus, selanjutnya diukur dengan spekrofometer pada panjang gelombang 750 nm, 665 nm dan 664 nm. g. Lakukan penambahan asam dengan 1 N HCL dan diukur pada panjang gelombang yang sama.
Lampiran 6. Intensitas cahaya permukaan di perairan Teluk Banten Waktu ( Jam )
06:00 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 Total (MJ/m2 )
Intensitas Cahaya Matahari ( MJ/m2 ) Periode I
Periode II
Periode III
2.813
1.635
3.363
18.935 28.381
24.176 48.988
12.096 23.465
70.271
66.036
31.421
64.481
68.761
81.785
88.235 43.626
70.588 84.325
49.601 85.973
38.215
72.571
74.658
31.873
21.705
61.161
10.431
4.268
37.981
22.763 4.315
13.151 3.848
16.321 3.086
0.21 424.549
0.02 480.072
0.02 480.931
Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kabupaten Serang, Propinsi Banten
Lampiran 7. Intensitas cahaya matahari pada lapisan permukaan di perairan Teluk Banten Waktu ( Jam ) 06:00 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 18:00 Total (MJ/m2 )
Intensitas Cahaya Matahari (MJ/m2) Periode I Periode II Periode III 2.531 17.041 25.542 63.243 58.032 79.411 39.263 34.393 28.685 9.387 20.486 3.883 0.189 382.086
1.471 21.758 44.089 59.432 61.884 63.529 75.892 65.313 19.534 3.841 11.835 3.463 0.018 432.059
3.026 10.886 21.118 28.278 73.606 44.641 77.375 67.192 55.044 34.182 14.688 2.777 0.018 432.831
Lampiran 8. Hasil uji sidik ragam (anova) produktivitas primer bersih terhadap stasiun dan kedalaman di perairan Teluk Banten Sumber db JK KT F P Antar Kelompok 9 821.340942 91.260105 4.59 0.0057* Dalam Kelompok 14 278.502508 19.893036 Total 23 1099.843450 Keterangan : antar kelompok (kedalaman) dan dalam kelompok (stasiun).
Uji lanjut Tukey HSD Pengelompokan Kedalaman (m) Rata- Standar Nilai Nilai Tukey rata deviasi minimum maksimum A 1 27.638 3.96 21.85 31.29 A 2 3.85 21.82 31.28 27.600 B A 4 22.000 3.87 18.35 28.32 B 5 21.212 3.96 17.23 27.35 B C 6 4.33 9.61 21.32 14.972 C 0.2 14.322 4.66 9.60 21.29 C 0.2 14.000 4.77 8.39 20.10 Keterangan : Dua kedalaman yang diwakili oleh dua huruf (lambang) yang berbeda dalam pengelompokan Tukey (A dengan C, A dengan B atau sebaliknya) dikatagorikan memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Sedangkan bila dua kedalaman yang diwakili oleh dua huruf yang sama dalam pengelompokan Tukey (A dengan A, B dengan B, dan C dengan C) dikatagorikan tidak memberikan pengaruh yang nyata.
68
Lampiran 9. Intensitas cahaya matahari pada berbagai kedalaman inkubasi di perairan Teluk Banten Kedalaman (m) Stasiun
ke A
I
II
III
B
Intensitas cahaya matahari (MJ/M2)
Periode
I
II
Waktu (jam) 0.2 1.0 4.0 5.0 8.0 0.2 1.0 4.0 5.0 8.0 0.2 1.0 4.0 5.0 8.0 0.2 2.0 5.0 6.0 9.0 0.2 2.0 5.0 6.0 9.0
09:00
%
10.00
%
11.00
%
12.00
%
13.00
%
14.00
%
Rataan
%
56.700
89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 91.0 39.2 9.6 6.0 1.4 91.0 39.2 9.6 6.0 1.4
52.028 21.415 6.533 3.784 0.735 55.482 35.847 6.967 4.036 0.784 65.991 42.637 8.287 4.800 0.933 52.857 22.805 5.618 3.521 0.867 56.365 24.319 5.991 3.755 0.925
89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 91.0 39.2 9.6 6.0 1.4 91.0 39.2 9.6 6.0 1.4
71.196 23.819 8.940 5.179 1.006 56.956 36.799 7.152 4.143 0.805 40.022 25.858 5.026 2.911 0.565 72.329 31.206 7.687 4.819 1.187 57.864 24.965 6.150 3.855 0.949
89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 91.0 39.2 9.6 6.0 1.4 91.0 39.2 9.6 6.0 1.4
35.201 25.723 4.420 2.560 0.497 68.041 43.961 8.524 4.949 0.962 69.370 44.820 8.711 5.046 0.980 35.761 15.429 3.801 2.382 0.587 69.124 29.823 7.347 4.605 1.134
89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 91.0 39.2 9.6 6.0 1.4 91.0 39.2 9.6 6.0 1.4
30.835 15.912 3.872 2.243 0.435 58.556 37.833 7.353 4.259 0.827 60.241 38.921 7.565 4.382 0.851 31.326 13.515 3.329 2.087 0.514 59.488 25.666 6.322 3.963 0.976
89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 91.0 39.2 9.6 6.0 1.4 91.0 39.2 9.6 6.0 1.4
25.717 11.612 3.229 1.870 0.363 17.513 11.315 2.199 1.273 0.247 49.349 31.884 6.197 3.589 0.697 26.127 11.272 2.777 1.740 0.428 17.792 7.676 1.891 1.185 0.292
89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 89.6 57.9 11.2 6.5 1.2 91.0 39.2 9.6 6.0 1.4 91.0 39.2 9.6 6.0 1.4
45.279 19.847 5.685 3.293 0.639 51.638 33.363 6.481 3.756 0.729 51.720 33.416 6.494 3.762 0.730 46.000 19.846 4.889 3.064 0.754 52.460 22.634 5.575 3.494 0.860
74.6 48.2 9.3 5.4 1 74.6 48.2 9.3 5.4 1 74.6 48.2 9.3 5.4 1 75.8 32.6 8 5 1.1 75.8 32.6 8 5 1.1
20.604 7.120 4.124 0.801 53.283 34.426 6.691 3.876 0.753 25.352 16.380 3.183 1.844 0.358 57.603 24.853 6.122 3.838 0.945 54.132 23.355 5.753 3.606 0.888
69
Lanjutan lampiran 9 Stasiun
B
Periode Kedalaman (m) ke Waktu (jam) III
09.00
%
10.00
%
Intensitas cahaya matahari (MJ/M2) 11.00 % 12.00 % 13.00 %
0.2 25.756 91.0 67.042 91.0 40.660 91.0 2.0 11.112 39.2 28.925 39.2 17.542 39.2 5.0 2.737 9.6 7.125 9.6 4.321 9.6 6.0 1.716 6.0 4.467 6.0 2.709 6.0 9.0 0.422 1.4 1.100 1.4 0.667 1.4 Sumber : Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Kabupaten Serang, Propinsi Banten
70.475 30.406 7.490 4.695 1.156
91.0 39.2 9.6 6.0 1.4
61.200 26.405 6.504 4.077 1.004
91.0 39.2 9.6 6.0 1.4
14.00
%
Rataan
%
50.135 21.631 5.328 3.340 0.822
91.0 39.2 9.6 6.0 1.4
52.544 22.670 5.584 3.500 0.861
75.8 32.6 8 5 1.1
70
Lampiran 10. Konsentrasi parameter utama yang diukur di perairan Teluk Banten Stasiun Periode kedalaman ke A
B
Unsur Hara (ma at/L)
Kel. fitoplankton
Klorofil-a
NPP 3
(mg chl-a/m )
(mg C/m 3/5 jam)
(m)
NH3-N
NO3-N
NO2-N
DIN
PO4-P
Si
(Sel/L)
0.2 1.0 4.0 5.0 Total II 0.2 1.0 4.0 5.0 Total III 0.2 1.0 4.0 5.0 Total Rataan total DIN I 0.2 2.0 5.0 6.0 Total II 0.2 2.0 5.0 6.0 Total
0.044 0.057 0.048 0.045
0.068 0.071 0.062 0.064
0.002 0.002 0.002 0.002
20.105 29.721 18.357 10.489
0.007 0.007 0.008 0.006
1755 1695 1370 735
0.187 0.126 0.133 0.133
14.822 31.292 23.880 16.469
0.064 0.065 0.087 0.087
0.063 0.080 0.067 0.067
0.002 0.002 0.002 0.002
1.432 1.413 1.734 1.715 6.294 0.245 0.266 0.275 0.233 1.019 1.454 1.473 1.039 1.039 5.005
0.177 0.200 0.283 0.150
0.104 0.105 0.107 0.108
0.002 0.002 0.002 0.002 0.008 0.002 0.002 0.001 0.001 0.006 0.015 0.010 0.009 0.009 0.043
2580 5227 5145 3181
0.035 0.050 0.046 0.027
7550 7765 4955 4535
0.288 0.290 0.026 0.207
8.399 27.782 20.029 15.506
0.024 0.032 0.042 0.041
0.081 0.084 0.082 0.081
0.002 0.002 0.002 0.002
17.483 21.853 18.357 9.6157
0.006 0.006 0.006 0.006
0.765 0.879 0.736 0.629 3.009 0.144 0.146 0.145 0.146 0.581
0.180 0.259 0.490 0.282
0.034 0.036 0.089 0.090
0.002 0.002 0.001 0.001 0.006 0.002 0.002 0.003 0.003 0.01
1428 2176 1742 2150
0.032 0.037 0.047 0.041
0.114 0.130 0.112 0.111 0.467 0.146 0.162 0.161 0.141 0.610 0.129 0.147 0.156 0.156 0.588 0.555 0.107 0.118 0.126 0.124 0.475 0.072 0.079 0.142 0.137 0.430
1405 1530 1135 885
0.022 0.051 0.102 0.102
14.822 31.292 23.057 16.469
I
71
Lanjutan lampiran 10 Stasiun
B
Periode ke III
Kedalaman (m)
NH3-N
Unsur hara (mg at/L) NO3-N NO2-N DIN
PO4-P
Si
0.2 0.077 0.091 0.002 0.170 0.007 0.827 2.0 0.077 0.091 0.002 0.170 0.007 0.910 5.0 0.082 0.132 0.003 0.217 0.009 0.813 6.0 0.080 0.106 0.003 0.189 0.009 0.828 Total 0.746 0.032 3.378 Rataan total DIN 0.550 Catatan : DIN jumlah dari NH3-N, NO3-N, dan NO 2-N. Kel. fitoplankton = Kelimpahan fitoplankton. NPP = Produktivitas primer bersih
Kel. fitoplankton (Sel/L)
Klorofil-a (mg/m 3)
NPP (mg C/m3/5 jam)
1500 1480 1385 1345
0.240 0.317 0.239 0.259
8.399 23.906 28.429 21.321
Lampiran 11. Kelimpahan fitoplankton (Sel/l) pada periode I di perairan Teluk Banten No.
Jenis Fitoplankton 0.2
Stasiun A Kedalaman (m) 1 4 5
Stasiun B Kedalaman (m) 0.20 2 5
6
BACILL ARIOPHYCEAE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Leptocylindrus sp Guinardia sp Chaetoceros sp Bacteriastrum sp Nitzschia sp Thalassiosira sp Rhizosolenia sp Ditylum sp Bidulphia sp Pleurosigma sp Lauderia sp Navicula sp Hemidiscus sp Coscinidiscus sp Skeletonema sp Thalassiothrix sp Gyrosigma sp Chimachosphenia sp Hemiaulus sp Amphora sp Amphiprora sp Thalassionema sp Fragilaria sp Surirella sp Bacillaria sp Achnantes sp Diploneis sp Eucampia sp Corethron sp Sub Total
335 445 505 30 335 25 275 5 20 20 15 10 20 0 135 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2175
380 2520 1055 15 250 30 520 10 0 5 0 0 45 0 165 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4995
450 1845 1440 35 80 180 535 0 40 0 0 15 50 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4680
575 540 1120 40 105 25 390 5 20 15 30 35 45 10 80 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3040
80 190 765 15 0 25 125 0 5 5 0 0 0 0 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1215
205 605 820 50 15 50 140 5 10 10 0 0 45 15 25 15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2010
45 490 695 0 125 30 80 0 10 0 0 15 0 0 20 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1515
60 670 720 15 45 35 105 30 25 5 0 5 185 30 0 0 0 0 0 5 0 10 0 0 0 0 0 0 0 1945
205 205
82 82
205 205
41 41
123 123
41 41
82 82
0 0
170 15 5 10 0 0 200 2580
130 10 0 10 0 0 150 5227
140 60 10 50 0 0 260 5145
85 5 0 10 0 0 100 3181
35 15 10 25 0 5 90 1428
65 25 20 15 0 0 125 2176
80 35 25 5 0 0 145 1742
80 10 25 90 0 0 205 2150
CYANOPHYCEAE 1
Trichodesmium sp Sub Total DINOPHYCEAE
1 2 3 4 5 6
Peridinium sp Ceratium sp Dinophysis sp Noctiluca sp Prorocentrum sp Gymnodinium sp Sub Total Kelimpahan
Lampiran 12. Kelimpahan fitoplankton (Sel/l) pada periode II di perairan Teluk Banten No.
Jenis Fitoplankton 0.20
Stasiun A Kedalaman (m) 1 4 5
Stasiun B Kedalaman (m) 0.20 2 5
0 5 590 855 50 15 30 0 10 5 0 0 15 20 0 0 0 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1600
0 0 605 240 150 100 55 10 15 0 30 10 5 5 140 0 0 0 0 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 1375
0 125 545 140 140 30 50 0 10 10 0 10 0 30 85 20 0 0 0 10 0 0 5 15 65 30 0 0 0 1320
0 65 90 110 10 20 25 5 20 20 0 10 10 30 30 0 0 0 5 5 0 0 0 0 35 0 0 0 0 490
5 0 555 140 10 30 20 10 5 0 0 0 10 45 175 90 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1095
0 0 710 145 5 30 100 5 5 10 35 0 0 65 0 85 0 5 0 0 0 25 0 5 0 0 0 0 0 1230
0 45 295 45 85 35 55 0 15 50 15 0 5 105 0 55 0 0 60 0 0 10 0 0 0 0 5 0 0 880
0 10 240 45 10 35 15 5 75 10 0 30 10 75 15 35 0 0 20 0 0 10 5 5 0 0 0 0 0 650
0 0
220 220
0 0
215 215
295 295
225 225
215 215
215 215
155 0 0 0 0 0 155 1755
95 5 0 0 0 0 100 1695
30 10 0 0 5 5 50 1370
10 10 5 5 0 0 30 735
15 0 0 0 0 0 15 1405
70 5 0 0 0 0 75 1530
40 0 0 0 0 0 40 1135
15 5 0 0 0 0 20 885
6
BACILLARIOPHYCEAE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Leptocylindrus sp Guinardia sp Chaetoceros sp Bacteriastrum sp Nitzschia sp Thalassiosira sp Rhizosolenia sp Ditylum sp Bidulphia sp Pleurosigma sp Lauderia sp Navicula sp Hemidiscus sp Coscinidiscus sp Skeletonema sp Thalassiothrix sp Gyrosigma sp Chimachosphenia sp Hemiaulus sp Amphora sp Amphiprora sp Thalassionema sp Fragilaria sp Surirella sp Bacillaria sp Achnantes sp Diploneis sp Eucampia sp Corethron sp Sub Total CYANOPHYCEAE
1
Trichodesmium sp Sub Total DINOPHYCEAE
1 2 3 4 5 6
Peridinium sp Ceratium sp Dinophysis sp Noctiluca sp Prorocentrum sp Gymnodinium sp Sub Total Kelimpahan
Lampiran 13. Kelimpahan fitoplankton (Sel/l) pada periode III di perairan Teluk Banten No.
Jenis Fitoplankton
Stasiun A
Stasiun B
Kedalaman (m) 0.20 1 4 5
Kedalaman (m) 0.20 2 5
485 10 3920 595 70 15 655 10 55 10 20 10 10 20 0 5 0 20 35 0 0 20 0 0 0 0 0 0 0 5965
440 0 2195 820 80 125 845 0 20 20 80 5 0 5 50 35 0 5 30 5 0 25 0 0 0 0 0 0 0 4785
60 10 1350 1680 35 70 400 10 35 15 0 10 0 10 30 50 0 20 20 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3810
60 5 1430 800 135 35 695 25 60 35 0 10 5 10 50 10 0 5 25 5 0 0 0 0 0 0 0 5 0 3405
10 10 480 230 40 35 120 5 35 0 10 10 0 5 0 0 0 0 35 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 1030
5 0 800 185 10 15 15 0 15 0 0 0 0 10 0 0 0 0 75 5 0 5 0 0 0 0 0 5 0 1145
0 55 340 250 30 50 40 5 25 5 0 0 0 0 0 0 0 0 25 0 5 0 0 0 0 0 0 30 0 860
0 90 400 85 75 45 60 5 55 20 0 5 25 5 0 0 0 0 10 10 5 0 0 0 0 0 0 0 0 895
0 0
205 205
210 210
205 205
240 240
225 225
230 230
205 205
1305 95 185 0 0 0 1585
2620 45 110 0 0 0 2775
865 30 40 0 0 0 935
850 45 25 5 0 0 925
155 55 15 0 0 5 230
95 10 5 0 0 0 110
140 130 20 0 5 0 295
130 45 65 0 5 0 245
6
BACILLARIOPHYCEAE 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Leptocylindrus sp Guinardia sp Chaetoceros sp Bacteriastrum sp Nitzschia sp Thalassiosira sp Rhizosolenia sp Ditylum sp Bidulphia sp Pleurosigma sp Lauderia sp Navicula sp Hemidiscus sp Coscinidiscus sp Skeletonema sp Thalassiothrix sp Gyrosigma sp Chimachosphenia sp Hemiaulus sp Amphora sp Amphiprora sp Thalassionema sp Fragilaria sp Surirella sp Bacillaria sp Achnantes sp Diploneis sp Eucampia sp Corethron sp Sub Total CYANOPHYCEAE
1
Trichodesmium sp Sub Total DINOPHYCEAE
1 2 3 4 5 6
Peridinium sp Ceratium sp Dinophysis sp Noctiluca sp Prorocentrum sp Gymnodinium sp Sub Total
Kelimpahan
7550
7765
4955
4535
1500
1480
1385
1345
75
Lampiran 13. Nilai produktivitas primer pada setiap lapisan kolom air stasiun A selama waktu inkubasi di perairan Teluk Banten Waktu (jam) Kedalaman (m)
ICM
09:00 %
NPP
ICM
10.00 %
NPP
ICM
11.00 %
NPP
ICM
12.00 %
NPP
ICM
13.00 %
NPP
ICM
14.00 %
NPP
Total NPP
0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
55.90 53 50 47 45 43 40 38 36 34 32 31 29 27 26 25 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 14
100 94.8 89.4 84.1 80.5 76.9 71.5 68 64.4 60.8 57.2 55.4 51.9 48.3 46.5 44.7 41.1 39.3 37.6 35.8 34 32.2 30.4 28.6 26.8 25 25
1.3 1.45 1.59 1.74 1.89 2.03 2.17 2.31 2.44 2.56 2.68 2.78 2.87 2.96 3.03 3.09 3.14 3.18 3.21 3.23 3.24 3.24 3.22 3.2 3.18 3.14 3.1
71.67 68 64 61 58 55 52 49 46 44 42 39 37 35 33 32 30 28 27 25 24 23 22 20 19 18 17
100 94.9 89.3 85.1 80.9 76.7 72.5 68.4 64.2 61.4 58.6 54.4 51.6 48.8 46 44.6 41.9 39.1 37.7 34.9 33.5 32.1 30.7 27.9 26.5 25.1 23.7
0.72 0.83 0.96 1.09 1.22 1.37 1.51 1.66 1.81 1.95 2.1 2.24 2.37 2.5 2.61 2.72 2.82 2.91 2.99 3.06 3.12 3.16 3.2 3.22 3.23 3.24 3.23
69.474 66 62 59 56 53 50 47 45 43 40 38 36 34 32 31 29 27 26 25 23 22 21 20 19 18 17
100 95 89.2 84.9 80.6 76.3 72 67.7 64.8 61.9 57.6 54.7 51.8 48.9 46.1 44.6 41.7 38.9 37.4 36 33.1 31.7 30.2 28.8 27.3 25.9 24.5
0.78 0.9 1.03 1.17 1.31 1.45 1.6 1.74 1.89 2.04 2.18 2.31 2.44 2.56 2.68 2.78 2.88 2.96 3.03 3.09 3.14 3.18 3.21 3.23 3.24 3.24 3.22
71.303 68 64 61 57 54 51 49 46 44 41 39 37 35 33 31 30 28 27 25 24 23 21 20 19 18 17
100 95.4 89.8 85.6 79.9 75.7 71.5 68.7 64.5 61.7 57.5 54.7 51.9 49.1 46.3 43.5 42.1 39.3 37.9 35.1 33.7 32.3 29.5 28 26.6 25.2 23.8
0.73 0.84 0.97 1.1 1.24 1.38 1.53 1.67 1.82 1.97 2.11 2.25 2.38 2.51 2.63 2.73 2.83 2.92 3 3.07 3.12 3.17 3.2 3.22 3.24 3.24 3.23
61.814 59 55 52 50 47 45 42 40 38 36 34 32 30 29 27 26 24 23 22 21 20 19 18 17 16 15
100 95.4 89 84.1 80.9 76 72.8 67.9 64.7 61.5 58.2 55 51.8 48.5 46.9 43.7 42.1 38.8 37.2 35.6 34 32.4 30.7 29.1 27.5 25.9 24.3
1.05 1.18 1.33 1.47 1.62 1.76 1.91 2.06 2.2 2.33 2.46 2.58 2.69 2.8 2.89 2.97 3.04 3.1 3.15 3.19 3.22 3.23 3.24 3.23 3.22 3.2 3.17
38.246 36 34 32 31 29 28 26 25 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 14 13 12 12 11 10 10 9
100 94.1 88.9 83.7 81.1 75.8 73.2 68 65.4 60.1 57.5 54.9 52.3 49.7 47.1 44.4 41.8 39.2 36.6 36.6 34 31.4 31.4 28.8 26.1 26.1 23.5
2.3 2.43 2.56 2.67 2.78 2.87 2.96 3.03 3.09 3.14 3.18 3.21 3.23 3.24 3.24 3.22 3.21 3.18 3.14 3.1 3.05 3 2.94 2.88 2.81 2.74 2.67
6.88 7.63 8.44 9.24 10.06 10.86 11.68 12.47 13.25 13.99 14.71 15.37 15.98 16.57 17.08 17.51 17.92 18.25 18.52 18.74 18.89 18.98 19.01 18.98 18.92 18.8 18.62
76
Lanjutan lampiran 13 Waktu (jam) Kedalaman (m)
ICM
09:00 %
NPP
ICM
10.00 %
NPP
ICM
11.00 %
NPP
ICM
12.00 %
NPP
ICM
13.00 %
NPP
ICM
14.00 %
NPP
Total NPP
2.7 2.8 2.9 3.0 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 4.0 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 5.0 5.1 5.2 5.3
13 12 11 11 10 10 9 9 8 8 7 7 7 6 6 6 5 5 5 5 4 4 4 4 3 3 3
23.3 21.5 19.7 19.7 17.9 17.9 16.1 16.1 14.3 14.3 12.5 12.5 12.5 10.7 10.7 10.7 8.94 8.94 8.94 8.94 7.15 7.15 7.15 7.15 5.37 5.37 5.37
3.05 3 2.94 2.88 2.81 2.74 2.67 2.59 2.52 2.44 2.37 2.29 2.21 2.13 2.06 1.98 1.91 1.84 1.76 1.69 1.62 1.56 1.49 1.43 1.37 1.31 1.25
16 16 15 14 13 12 12 11 11 10 10 9 9 8 8 7 7 6 6 6 6 5 5 5 4 4 4
22.3 22.3 20.9 19.5 18.1 16.7 16.7 15.3 15.3 14 14 12.6 12.6 11.2 11.2 9.77 9.77 8.37 8.37 8.37 8.37 6.98 6.98 6.98 5.58 5.58 5.58
3.22 3.19 3.16 3.12 3.08 3.03 2.97 2.91 2.85 2.78 2.71 2.64 2.56 2.49 2.41 2.33 2.25 2.18 2.1 2.02 1.95 1.88 1.8 1.73 1.66 1.59 1.53
16 15 14 14 13 12 11 11 10 10 9 9 8 8 7 7 7 6 6 6 5 5 5 5 4 4 4
23 21.6 20.2 20.2 18.7 17.3 15.8 15.8 14.4 14.4 13 13 11.5 11.5 10.1 10.1 10.1 8.64 8.64 8.64 7.2 7.2 7.2 7.2 5.76 5.76 5.76
3.2 3.18 3.14 3.1 3.05 3 2.94 2.87 2.81 2.74 2.67 2.59 2.52 2.44 2.36 2.29 2.21 2.13 2.06 1.98 1.91 1.83 1.76 1.69 1.62 1.56 1.49
16 15 15 14 13 12 12 11 11 10 9 9 8 8 8 7 7 6 6 6 5 5 5 5 4 4 4
22.4 21 21 19.6 18.2 16.8 16.8 15.4 15.4 14 12.6 12.6 11.2 11.2 11.2 9.82 9.82 8.41 8.41 8.41 7.01 7.01 7.01 7.01 5.61 5.61 5.61
3.21 3.19 3.16 3.12 3.07 3.02 2.97 2.9 2.84 2.77 2.7 2.63 2.55 2.48 2.4 2.32 2.25 2.17 2.09 2.02 1.94 1.87 1.8 1.72 1.66 1.59 1.52
14 13 13 12 11 11 10 10 9 9 8 8 7 7 7 6 6 6 5 5 5 4 4 4 4 4 3
22.6 21 21 19.4 17.8 17.8 16.2 16.2 14.6 14.6 12.9 12.9 11.3 11.3 11.3 9.71 9.71 9.71 8.09 8.09 8.09 6.47 6.47 6.47 6.47 6.47 4.85
3.13 3.09 3.04 2.99 2.93 2.87 2.8 2.73 2.66 2.58 2.51 2.43 2.35 2.28 2.2 2.12 2.05 1.97 1.9 1.82 1.75 1.68 1.61 1.55 1.48 1.42 1.36
9 8 8 7 7 7 6 6 6 5 5 5 5 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2
23.5 20.9 20.9 18.3 18.3 18.3 15.7 15.7 15.7 13.1 13.1 13.1 13.1 10.5 10.5 10.5 10.5 7.84 7.84 7.84 7.84 7.84 7.84 5.23 5.23 5.23 5.23
2.6 2.52 2.45 2.37 2.29 2.22 2.14 2.06 1.99 1.91 1.84 1.77 1.7 1.63 1.56 1.49 1.43 1.37 1.31 1.25 1.2 1.14 1.09 1.04 0.99 0.95 0.9
18.41 18.17 17.89 17.58 17.23 16.88 16.49 16.06 15.67 15.22 14.8 14.35 13.89 13.45 12.99 12.53 12.1 11.66 11.22 10.78 10.37 9.96 9.55 9.16 8.78 8.42 8.05
77
Lanjutan lampiran 13 Waktu (jam) 09:00 10.00 11.00 Kedalaman (m) ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM 5.4 3 5.37 1.19 4 5.58 1.46 4 5.76 1.43 4 5.5 3 5.37 1.14 4 5.58 1.4 3 4.32 1.37 4 5.6 3 5.37 1.09 3 4.19 1.34 3 4.32 1.31 3 5.7 2 3.58 1.04 3 4.19 1.28 3 4.32 1.25 3 5.8 2 3.58 0.99 3 4.19 1.22 3 4.32 1.19 3 5.9 2 3.58 0.94 3 4.19 1.17 3 4.32 1.14 3 6.0 2 3.58 0.9 3 4.19 1.12 3 4.32 1.09 3 6.1 2 3.58 0.86 3 4.19 1.07 2 2.88 1.04 3 6.2 2 3.58 0.82 2 2.79 1.02 2 2.88 0.99 2 6.3 2 3.58 0.78 2 2.79 0.97 2 2.88 0.94 2 6.4 2 3.58 0.74 2 2.79 0.92 2 2.88 0.9 2 6.5 2 3.58 0.7 2 2.79 0.88 2 2.88 0.86 2 6.6 2 3.58 0.67 2 2.79 0.84 2 2.88 0.82 2 6.7 1 1.79 0.64 2 2.79 0.8 2 2.88 0.78 2 6.8 1 1.79 0.61 2 2.79 0.76 2 2.88 0.74 2 6.9 1 1.79 0.58 2 2.79 0.72 2 2.88 0.7 2 7.0 1 1.79 0.55 2 2.79 0.69 2 2.88 0.67 2 7.1 1 1.79 0.52 1 1.4 0.65 1 1.44 0.64 1 7.2 1 1.79 0.49 1 1.4 0.62 1 1.44 0.6 1 7.3 1 1.79 0.47 1 1.4 0.59 1 1.44 0.57 1 7.4 1 1.79 0.45 1 1.4 0.56 1 1.44 0.55 1 7.5 1 1.79 0.42 1 1.4 0.53 1 1.44 0.52 1 7.6 1 1.79 0.4 1 1.4 0.51 1 1.44 0.49 1 7.7 1 1.79 0.38 1 1.4 0.48 1 1.44 0.47 1 7.8 1 1.79 0.36 1 1.4 0.46 1 1.44 0.44 1 7.9 1 1.79 0.34 1 1.4 0.44 1 1.44 0.42 1 8.0 1 1.79 0.33 1 1.4 0.41 1 1.44 0.4 1 2 3 Catatan : ICM = Intensitas cahaya matahari (MJ/M ), dan NPP = Produktivitas primer bersih (mg C/m /5 jam)
12.00 % 5.61 5.61 4.21 4.21 4.21 4.21 4.21 4.21 2.8 2.8 2.8 2.8 2.8 2.8 2.8 2.8 2.8 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4 1.4
NPP 1.46 1.39 1.33 1.28 1.22 1.16 1.11 1.06 1.01 0.96 0.92 0.88 0.83 0.79 0.76 0.72 0.68 0.65 0.62 0.59 0.56 0.53 0.51 0.48 0.46 0.43 0.41
ICM 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
13.00 % 4.85 4.85 4.85 4.85 4.85 3.24 3.24 3.24 3.24 3.24 3.24 3.24 3.24 3.24 3.24 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62
NPP 1.3 1.24 1.18 1.13 1.08 1.03 0.98 0.94 0.89 0.85 0.81 0.77 0.73 0.7 0.66 0.63 0.6 0.57 0.54 0.52 0.49 0.46 0.44 0.42 0.4 0.38 0.36
ICM 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0
14.00 % 5.23 5.23 5.23 5.23 5.23 5.23 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 0
NPP 0.8 0.82 0.78 0.74 0.71 0.67 0.64 0.61 0.58 0.55 0.52 0.49 0.47 0.45 0.42 0.4 0.38 0.36 0.34 0.33 0.31 0.29 0.28 0.26 0.25 0.24 0.23
Total NPP 7.7 7.36 7.03 6.72 6.41 6.11 5.84 5.58 5.31 5.05 4.81 4.58 4.36 4.16 3.95 3.75 3.57 3.39 3.21 3.07 2.92 2.75 2.63 2.49 2.37 2.25 2.14
78
Lampiran 14. Nilai produktivitas primer pada setiap lapisan kolom air stasiun B selama waktu inkubasi di perairan Teluk Banten Waktu (jam) Kedalaman (m) 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2.0 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
ICM 55.909 53 51 49 46 44 42 40 38 37 35 33 32 30 29 28 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 17
09:00 %
NPP
ICM
100 94.8 91.2 87.6 82.3 78.7 75.1 71.5 68 66.2 0.63 59 57.2 56.6 51.9 50.1 46.5 44.7 42.9 41.1 39.3 37.6 35.8 34 32.2 30.4 30.4
6.07 6.27 6.46 6.62 6.77 6.9 7.02 7.11 7.19 7.25 7.29 7.32 7.32 7.32 7.29 7.26 7.21 7.15 7.07 6.99 6.89 6.79 6.68 6.56 6.44 6.31 6.17
71.675 68 65 62 59 57 54 52 49 47 45 43 41 39 37 36 34 32 31 30 28 27 26 24 23 22 21
10.00 % NPP 100 94.9 90.7 86.5 82.3 79.5 75.3 72.5 68.4 65.6 62.8 60 57.2 54.4 51.6 50.2 47.4 44.6 43.3 41.9 39.1 37.7 36.3 33.5 32.1 30.7 29.3
4.79 5.05 5.31 5.56 5.79 6.01 6.21 6.4 6.57 6.73 6.86 6.98 7.08 7.17 7.23 7.28 7.31 7.32 7.32 7.3 7.27 7.23 7.17 7.1 7.02 6.93 6.83
ICM 69.474 66 63 60 58 55 52 50 48 46 44 42 40 38 36 34 33 31 30 29 27 26 25 24 23 22 21
11.00 % NPP 100 95 90.7 86.4 83.5 79.2 74.8 72 69.1 66.2 63.3 60.5 57.6 54.7 51.8 48.9 47.5 44.6 43.2 41.7 38.9 37.4 36 34.5 33.1 31.7 30.2
4.97 5.23 5.47 5.71 5.94 6.14 6.34 6.52 6.68 6.82 6.94 7.05 7.14 7.21 7.26 7.3 7.32 7.32 7.31 7.28 7.24 7.19 7.12 7.04 6.96 6.86 6.75
ICM 71.303 68 65 62 59 56 54 51 49 47 45 43 41 39 37 35 34 32 31 29 28 27 26 24 23 22 21
12.00 % NPP 100 95.4 91.2 87 82.7 78.5 75.7 71.5 68.7 65.9 63.1 60.3 57.5 54.7 51.9 49.1 47.7 44.9 43.5 40.7 39.3 37.9 36.5 33.7 32.3 30.9 29.5
ICM
4.82 61.814 5.08 59 5.34 56 5.58 54 5.81 51 6.03 49 6.23 47 6.42 45 6.59 43 6.74 41 6.88 39 6.99 37 7.09 35 7.17 34 7.24 32 7.28 31 7.31 29 7.32 28 7.32 27 7.3 25 7.27 24 7.22 23 7.16 22 7.09 21 7.01 20 6.92 19 6.81 18
13.00 % 100 95.4 90.6 87.4 82.5 79.3 76 72.8 69.6 66.3 63.1 59.9 56.6 55 51.8 50.2 46.9 45.3 43.7 40.4 38.8 37.2 35.6 34 32.4 30.7 29.1
NPP
ICM
5.6 5.83 6.04 6.24 6.43 6.6 6.75 6.88 7 7.1 7.18 7.24 7.28 7.31 7.32 7.32 7.3 7.26 7.22 7.16 7.08 7 6.91 6.81 6.7 6.58 6.46
38.246 37 35 33 32 30 29 28 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 17 16 15 14 14 13 12 12 11
14.00 % NPP 100 96.7 91.5 86.3 83.7 78.4 75.8 73.2 68 65.4 62.8 60.1 57.5 54.9 52.3 49.7 47.1 44.4 44.4 41.8 39.2 36.6 36.6 34 31.4 31.4 28.8
7.2 7.25 7.29 7.32 7.32 7.31 7.29 7.25 7.2 7.14 7.06 6.98 6.88 6.78 6.67 6.55 6.42 6.29 6.16 6.02 5.87 5.73 5.58 5.43 5.29 5.14 4.99
Total NPP 33.45 34.71 35.91 37.03 38.06 38.99 39.84 40.58 41.23 41.78 42.21 42.56 42.79 42.96 43.01 42.99 42.87 42.66 42.4 42.05 41.62 41.16 40.62 40.03 39.42 38.74 38.01
79
Lanjutan lampiran 14 Waktu (jam) Kedalaman (m) 2.7 2.8 2.9 3.0 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 4.0 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 5.0 5.1 5.2 5.3
ICM
09:00 %
NPP
ICM
10.00 %
NPP
ICM
11.00 %
NPP
ICM
12.00 %
NPP
ICM
16 15 14 14 13 13 12 11 11 10 10 9 9 9 8 8 8 7 7 7 6 6 6 5 5 5 5
28.6 26.8 25 25 23.3 23.3 21.5 19.7 19.7 17.9 17.9 16.1 16.1 16.1 14.3 14.3 14.3 12.5 12.5 12.5 10.7 10.7 10.7 8.94 8.94 8.94 8.94
6.04 5.89 5.75 5.6 5.45 5.31 5.16 5.01 4.86 4.71 4.56 4.42 4.28 4.13 4 3.86 3.73 3.59 3.47 3.34 3.22 3.1 2.98 2.87 2.76 2.66 2.55
20 19 19 18 17 16 15 15 14 13 13 12 12 11 11 10 10 9 9 8 8 8 7 7 7 6 6
27.9 26.5 26.5 25.1 23.7 22.3 20.9 20.9 19.5 18.1 18.1 16.7 16.7 15.3 15.3 14 14 12.6 12.6 11.2 11.2 11.2 9.77 9.77 9.77 8.37 8.37
6.72 6.6 6.48 6.35 6.22 6.08 5.94 5.8 5.65 5.5 5.35 5.2 5.05 4.91 4.76 4.61 4.47 4.32 4.18 4.04 3.9 3.77 3.64 3.51 3.38 3.26 3.14
20 19 18 17 16 16 15 14 14 13 12 12 11 11 10 10 9 9 8 8 8 7 7 7 6 6 6
28.8 27.3 25.9 24.5 23 23 21.6 20.2 20.2 18.7 17.3 17.3 15.8 15.8 14.4 14.4 13 13 11.5 11.5 11.5 10.1 10.1 10.1 8.64 8.64 8.64
6.64 6.52 6.39 6.26 6.13 5.99 5.84 5.7 5.55 5.4 5.25 5.1 4.96 4.81 4.66 4.51 4.37 4.23 4.09 3.95 3.81 3.68 3.55 3.42 3.3 3.18 3.06
20 19 18 18 17 16 15 15 14 13 13 12 12 11 11 10 10 9 9 8 8 8 7 7 7 6 6
28 26.6 25.2 25.2 23.8 22.4 21 21 19.6 18.2 18.2 16.8 16.8 15.4 15.4 14 14 12.6 12.6 11.2 11.2 11.2 9.82 9.82 9.82 8.41 8.41
6.7 6.59 6.46 6.34 6.2 6.06 5.92 5.78 5.63 5.49 5.34 5.19 5.04 4.89 4.74 4.59 4.45 4.31 4.16 4.02 3.89 3.75 3.62 3.49 3.37 3.24 3.12
18 17 16 15 15 14 13 13 12 12 11 10 10 10 9 9 8 8 8 7 7 7 6 6 6 5 5
13.00 % NPP ICM
14.00 %
NPP
Total NPP
29.1 27.5 25.9 24.3 24.3 22.6 21 21 19.4 19.4 17.8 16.2 16.2 16.2 14.6 14.6 12.9 12.9 12.9 11.3 11.3 11.3 9.71 9.71 9.71 8.09 8.09
28.8 26.1 26.1 23.5 23.5 23.5 20.9 20.9 18.3 18.3 18.3 15.7 15.7 15.7 15.7 13.1 13.1 13.1 13.1 10.5 10.5 10.5 10.5 10.5 10.5 7.84 7.84
4.84 4.69 4.55 4.4 4.26 4.12 3.98 3.84 3.71 3.58 3.45 3.33 3.2 3.09 2.97 2.86 2.75 2.64 2.54 2.44 2.34 2.25 2.16 2.07 1.99 1.91 1.83
37.27 36.48 35.69 34.86 34.03 33.18 32.32 31.46 30.58 29.71 28.83 27.97 27.12 26.27 25.43 24.59 23.79 22.97 22.19 21.4 20.65 19.91 19.19 18.48 17.8 17.14 16.48
6.33 6.19 6.06 5.91 5.77 5.62 5.48 5.33 5.18 5.03 4.88 4.73 4.59 4.44 4.3 4.16 4.02 3.88 3.75 3.61 3.49 3.36 3.24 3.12 3 2.89 2.78
11 10 10 9 9 9 8 8 7 7 7 6 6 6 6 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 3 3
80
Lanjutan lampiran 14 Waktu (jam) Kedalaman (m)
ICM
09:00 %
NPP
ICM
10.00 %
NPP
ICM
11.00 %
NPP
ICM
12.00 %
NPP ICM
13.00 % NPP
5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 6.0 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 6.7 6.8 6.9 7.0 7.1 7.2 7.3 7.4 7.5 7.6 7.7 7.8 7.9 8.0
4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1
7.15 7.15 7.15 7.15 7.15 7.15 5.37 5.37 5.37 5.37 5.37 5.37 5.37 3.58 3.58 3.58 3.58 3.58 3.58 3.58 3.58 3.58 3.58 3.58 1.79 1.79 1.79
2.45 2.36 2.26 2.17 2.09 2 1.92 1.84 1.77 1.69 1.62 1.55 1.49 1.43 1.37 1.31 1.25 1.2 1.15 1.1 1.05 1.01 0.96 0.92 0.88 0.84 0.81
6 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2
8.37 6.98 6.98 6.98 6.98 6.98 5.58 5.58 5.58 5.58 5.58 4.19 4.19 4.19 4.19 4.19 4.19 4.19 2.79 2.79 2.79 2.79 2.79 2.79 2.79 2.79 2.79
3.02 2.91 2.8 2.69 2.59 2.49 2.39 2.29 2.2 2.11 2.03 1.95 1.87 1.79 1.72 1.64 1.58 1.51 1.45 1.39 1.33 1.27 1.22 1.16 1.11 1.07 1.02
6 5 5 5 5 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2
8.64 7.2 7.2 7.2 7.2 5.76 5.76 5.76 5.76 5.76 4.32 4.32 4.32 4.32 4.32 4.32 4.32 4.32 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88 2.88
2.94 2.83 2.73 2.62 2.52 2.42 2.32 2.23 2.14 2.06 1.97 1.89 1.81 1.74 1.67 1.6 1.53 1.47 1.41 1.35 1.29 1.23 1.18 1.13 1.08 1.04 0.99
6 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2
8.41 7.01 7.01 7.01 7.01 7.01 5.61 5.61 5.61 5.61 5.61 4.21 4.21 4.21 4.21 4.21 4.21 4.21 2.8 2.8 2.8 2.8 2.8 2.8 2.8 2.8 2.8
3.01 2.9 2.79 2.68 2.57 2.47 2.38 2.28 2.19 2.1 2.02 1.94 1.86 1.78 1.71 1.64 1.57 1.5 1.44 1.38 1.32 1.26 1.21 1.16 1.11 1.06 1.02
8.09 8.09 8.09 6.47 6.47 6.47 6.47 6.47 4.85 4.85 4.85 4.85 4.85 4.85 4.85 3.24 3.24 3.24 3.24 3.24 3.24 3.24 3.24 3.24 3.24 3.24 1.62
5 5 5 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1
ICM 2.67 2.57 2.47 2.37 2.28 2.19 2.1 2.01 1.93 1.85 1.78 1.7 1.63 1.56 1.5 1.44 1.38 1.32 1.26 1.21 1.16 1.11 1.06 1.01 0.97 0.93 0.89
3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
14.00 % NPP 7.84 7.84 7.84 7.84 7.84 5.23 5.23 5.23 5.23 5.23 5.23 5.23 5.23 5.23 5.23 5.23 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61
1.76 1.68 1.61 1.55 1.48 1.42 1.36 1.3 1.25 1.19 1.14 1.09 1.05 1 0.96 0.92 0.88 0.84 0.8 0.77 0.73 0.7 0.67 0.64 0.61 0.58 0.56
81
Lanjutan lampiran 14 Waktu (jam) 09:00 10.00 11.00 12.00 Kedalaman (m) ICM % NPP ICM % NPP ICM % NPP ICM % 8.1 1 1.79 0.77 2 2.79 0.98 2 2.88 0.95 2 2.8 8.2 1 1.79 0.74 2 2.79 0.93 2 2.88 0.91 2 2.8 8.3 1 1.79 0.7 1 1.4 0.89 1 1.44 0.87 1 1.4 8.4 1 1.79 0.67 1 1.4 0.85 1 1.44 0.83 1 1.4 8.5 1 1.79 0.64 1 1.4 0.82 1 1.44 0.79 1 1.4 8.6 1 1.79 0.62 1 1.4 0.78 1 1.44 0.76 1 1.4 8.7 1 1.79 0.59 1 1.4 0.75 1 1.44 0.73 1 1.4 8.8 1 1.79 0.56 1 1.4 0.71 1 1.44 0.69 1 1.4 8.9 1 1.79 0.54 1 1.4 0.68 1 1.44 0.66 1 1.4 9.0 1 1.79 0.51 1 1.4 0.65 1 1.44 0.63 1 1.4 Catatan : ICM = Intensitas cahaya matahari (MJ/M 2), dan NPP = Produktivitas primer bersih (mg C/m3/5 jam)
NPP 0.97 0.93 0.89 0.85 0.81 0.78 0.74 0.71 0.68 0.65
ICM 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
13.00 % 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62 1.62
NPP 0.85 0.81 0.78 0.74 0.71 0.68 0.65 0.62 0.59 0.57
ICM 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
14.00 % 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61 2.61
NPP 0.53 0.51 0.49 0.47 0.45 0.43 0.41 0.39 0.37 0.35
Total NPP 5.05 4.83 4.62 4.41 4.22 4.05 3.87 3.68 3.52 3.36