PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON PADA MUSIM KEMARAU TAHUN 2008 DI MUARA SUNGAI CISADANE, KABUPATEN TANGERANG, BANTEN
FAJAR RENITA SITINJAK
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : “PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON PADA MUSIM KEMARAU TAHUN 2008 DI MUARA SUNGAI CISADANE, KAPUBATEN TANGERANG, BANTEN” adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tulisan ini.
Bogor, Februari 2009
Fajar Renita Sitinjak C24104021
PRODUKTIVITAS PRIMER FITOPLANKTON PADA MUSIM KEMARAU TAHUN 2008 DI MUARA SUNGAI CISADANE, KABUPATEN TANGERANG, BANTEN
Oleh FAJAR RENITA SITINJAK C24104021
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
FAJAR RENITA SITINJAK. Produktivitas Primer Fitoplankton pada Musim Kemarau Tahun 2008 di Muara Sungai Cisadane, Kabupaten Tangerang, Banten. Di bawah bimbingan ENAN M. ADIWILAGA.
RINGKASAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas primer fitoplankton pada musim kemarau tahun 2008 di muara S.Cisadane, Kabupaten Tangerang, Banten. Lokasi penelitian adalah muara S. Cisadane yang terletak di Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten. Penelitian dilaksanakan sebanyak tiga kali pengamatan, masing-masing pada bulan Juni, Juli, dan Agustus 2008. Lokasi penelitian dibagi menjadi dua stasiun. Stasiun 1 merupakan stasiun yang lebih dekat ke darat dan stasiun 2 merupakan stasiun yang lebih dekat ke laut. Jarak antara kedua stasiun sekitar 3,6 km. Pada setiap stasiun, pengamatan dilakukan pada dua kedalaman. Masing-masing kedalaman berkisar 20% dan ±100% kecerahan keping Secchi. Parameter utama yang diamati adalah produktivitas primer fitoplankton. Parameter pendukung yang dianalisis adalah kecerahan, kekeruhan, TSS, suhu, salinitas, pH, DO, nitrat, nitrit, amonia, klorofil a, dan kelimpahan fitoplankton. Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan metode oksigen. Inkubasi dilakukan secara in situ selama 4 jam (10.0014.00 WIB). Setelah 4 jam, kandungan DO dianalisis dengan metode modifikasi Winkler. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa produktivitas primer fitoplankton di muara S. Cisadane pada lapisan permukaan berkisar pada 0,583,37 mgO2/l/4jam dan di kedalaman 45-80 cm berkisar pada 0,58-1,68 mgO2/l/4jam. Nilai produktivitas primer fitoplankton di muara S. Cisadane menunjukkan nilai yang sangat rendah. Produktivitas primer fitoplankton hanya terjadi di kedalaman hingga 1 m dengan kedalaman muara berkisar 6-7 m. Nilai produktivitas yang rendah disebabkan oleh kekeruhan yang tinggi sehingga membatasi penetrasi cahaya dan selanjutnya membatasi biomassa fitoplankton (klorofil a). Klorofil a di muara S. Cisadane berkisar 0,001-0,015 mg/l. Kelimpahan fitoplankton di muara S. Cisadane berkisar 1.047-10.601 sel/l. Kandungan klorofil a dan kelimpahan fitoplankton di muara S. Cisadane tergolong rendah. Fitoplankton yang ditemukan di muara S. Cisadane terdiri dari 38 genera yang berasal dari kelas Chlorophyceae, Bacillariophyceae, Cyanophyceae, Dinophyceae, dan Euglenophyceae. Fitoplankton yang mendominasi di muara S. Cisadane berasal dari kelas Chlorophyceae (Scenedesmus, Dictyosphaerium dan Eudorina), Cyanophyceae (Microcystis dan Oscillatoria), dan Bacillariophyceae (Skeletonema dan Melosira). Suhu, salinitas, dan pH masih sesuai baku mutu untuk air kelas III dan tidak menjadi faktor penghambat fotosintesis.
Judul Penelitian
: Produktivitas Primer Fitoplankton pada Musim Kemarau Tahun 2008 di Muara Sungai Cisadane, Kabupaten Tangerang, Banten
Nama Mahasiswa
: Fajar Renita Sitinjak
Nomor Pokok
: C24104021
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga NIP. 130892613
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131578799
Tanggal Lulus
: 4 Februari 2009
KATA PENGANTAR
Pencemaran di Sungai Cisadane saat ini semakin tinggi. Sumber utama pencemar diduga berasal dari limbah industri dan domestik yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane.
Beberapa industri didapati tidak mengolah
limbah mereka terlebih dahulu sebelum dibuang ke aliran sungai. Muara sebagai ujung dari aliran sungai akan menerima beban pencemar yang lebih besar. Kondisi ini sangat mempengaruhi aktivitas-aktivitas biologis di muara Sungai Cisadane. Fitoplankton sebagai salah satu komponen biologi di perairan berperan dalam proses fotosintesis. Proses ini menghasilkan oksigen yang sangat penting bagi
kehidupan
organisme
akuatik.
Produktivitas
menggambarkan aktivitas fotosintesis fitoplankton.
primer
perairan
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi produktivitas primer perairan di muara antara lain ketersediaan nutrien, intensitas cahaya matahari, suhu perairan dan salinitas. Pencemaran di muara Sungai Cisadane berdampak secara tidak langsung terhadap produktivitas primer.
Hal tersebut melatarbelakangi dilakukannya
penelitian yang berjudul “Produktivitas Primer Fitoplankton pada Musim Kemarau Tahun 2008 di Muara Sungai Cisadane, Kabupaten Tangerang, Banten”. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan masukan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan sehingga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat.
Bogor, Februari 2009 Penulis
iv
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan.
Selain itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku dosen pembimbing yang telah senantiasa bersabar dalam membimbing, mengarahkan, dan memberi saran yang berharga bagi penulis 2. Ibu Dr. Ir. Niken T M Pratiwi, M.Si selaku dosen penguji tamu dan Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis 3. Bapak Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan penelitian dan senantiasa bersabar dalam membimbing, mengarahkan, dan memberi saran yang berharga bagi penulis 4. Ibu Ir. Murniarti Brodjo, MS selaku pembimbing akademik yang telah banyak membantu penulis melalui arahan, nasehat, dan masukannya 5. Ibu Ir. Nurlisa Alias Butet, M.Sc yang telah memberikan masukan dan saran sehubungan dengan analisis data 6. Kedua orang tua dan adik-adik (Posman dan Andri) yang telah memberikan doa, semangat, dukungan, serta kasih sayang sehingga penulis mampu menyelesaikan perkuliahan 7. Teman-teman di Annur atas kekeluargaan dan kebersamaannya 8. Teman-teman MSP 41 atas bantuan, kekeluargaan, kerjasama, solidaritas, dan kenangan yang tidak akan terlupakan
Bogor, Februari 2009 Penulis
v
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..........................................................................................
ii
KATA PENGANTAR .............................................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH...................................................................
v
DAFTAR ISI ...........................................................................................
vi
DAFTAR TABEL....................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
x
I.
PENDAHULUAN ............................................................................ A. Latar belakang ............................................................................. B. Rumusan masalah ....................................................................... C. Tujuan dan manfaat .....................................................................
1 1 1 2
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. A. Keadaan umum di muara Sungai Cisadane.................................. B. Perairan estuari ............................................................................ C. Produktivitas primer di estuari .................................................... D. Cahaya ......................................................................................... E. Nutrien ........................................................................................ F. Fitoplankton ................................................................................. G. Kekeruhan .................................................................................... H. Suhu ............................................................................................. I. Salinitas ........................................................................................
3 3 4 5 7 8 9 10 11 12
III. METODE PENELITIAN ............................................................... A. Waktu dan lokasi penelitian ......................................................... B. Alat dan bahan ............................................................................. C. Metode pengambilan sampel ....................................................... D. Metode analisis sampel ................................................................ 1. Metode analisis produktivitas primer..................................... 2. Metode analisis kelimpahan fitoplankton .............................. E. Metode analisis data .....................................................................
13 13 14 14 15 15 17 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... A. Produktivitas primer di muara Sungai Cisadane .......................... B. Beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas primer di muara Sungai Cisadane ............................................................ 1. Nutrien (NO2, NO3, dan NH3) ................................................ 2. Klorofil a ................................................................................ 3. Fitoplankton ........................................................................... 4. TSS dan kekeruhan ................................................................ 5. Suhu dan pH ...........................................................................
19 19
vi
23 24 25 25 28 28
6. Salinitas .................................................................................. 7. Oksigen terlarut ...................................................................... C. Hubungan produktivitas primer dengan parameter-parameter pendukung .................................................................................... D. Upaya pengelolaan muara Sungai Cisadane ................................
29 29
V. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... A. Kesimpulan .................................................................................. B. Saran ............................................................................................
35 35 35
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
36
LAMPIRAN ............................................................................................
40
RIWAYAT HIDUP .................................................................................
45
vii
31 33
DAFTAR TABEL Halaman 1. Parameter kualitas air yang dianalisis ................................................
15
2. Produktivitas primer di muara Sungai Cisadane selama penelitian ................................................................................
20
3. Kualitas air di muara Sungai Cisadane selama penelitian .................
22
4. Produktivitas primer dengan metode oksigen di beberapa perairan estuari .................................................................................................
23
5. Hasil analisis regresi produktivitas primer dengan parameter pendukung .........................................................................
32
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Peta lokasi penelitian .........................................................................
13
2. Produktivitas primer di muara Sungai Cisadane selama penelitian ................................................................................
21
3. Kelimpahan fitoplankton di muara Sungai Cisadane selama penelitian ................................................................................
27
ix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Pengaturan alat inkubasi in situ .........................................................
37
2. Kedalaman inkubasi selama penelitian ..............................................
38
3. Data produktivitas primer selama penelitian .....................................
39
4. Data kelimpahan fitoplankton selama penelitian ...............................
40
x
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sungai Cisadane merupakan salah satu sungai utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Hulu sungai terletak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mengalir melewati Kabupaten Tangerang, Banten, dan bermuara ke Laut Jawa. Saat ini pencemaran di S. Cisadane makin tinggi.
Limbah industri yang berada di
sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Cisadane menjadi penyebab utama pencemaran. Di sepanjang sungai terdapat sekitar 16 industri dan masih ada beberapa industri yang tidak melakukan pengolahan air limbah sebelum dibuang ke sungai (www2.kompas.com, 2008).
Selain itu, limbah domestik dari
pemukiman juga menambah pencemaran sungai. Wilayah muara S. Cisadane sebagai ujung dari aliran sungai akan menerima limpasan dari berbagai aktivitas yang ada di bagian tengah dan hulu sungai. Hal ini dapat menimbulkan kondisi anoksik di wilayah muara jika tidak tersedia cukup oksigen untuk proses dekomposisi bahan organik yang berasal dari limpasan wilayah bagian atas sungai. Produktivitas primer fitoplankton merupakan salah satu sumber oksigen di perairan. Oksigen yang dihasilkan akan digunakan dalam proses-proses ekologis di perairan, misalnya respirasi dan dekomposisi.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi produktivitas primer fitoplankton, khususnya di perairan estuari diantaranya adalah ketersediaan nutrien, cahaya matahari, suhu, dan salinitas. Pencemaran yang terjadi di muara S. Cisadane dapat menyebabkan gangguan terhadap faktor-faktor tersebut sehingga dapat berdampak terhadap produktivitas primer fitoplankton, dan akhirnya berdampak pada muara S. Cisadane.
B. Rumusan masalah Limbah industri, pertanian, dan pemukiman yang ada di sekitar
DAS
Cisadane dan muara S. Cisadane menjadi sumber limpasan bahan organik. Bertambahnya kandungan bahan organik di perairan akan meningkatkan kebutuhan oksigen untuk dekomposisi. Salah satu proses yang mensuplai oksigen di perairan adalah produktivitas primer fitoplankton. Di sisi lain, air limpasan
2 (runoff) dalam jumlah berlebihan dapat mengganggu meningkatkan kekeruhan perairan.
kualitas air, misalnya
Peningkatan kekeruhan perairan dapat
menghambat penetrasi cahaya ke dalam air, dan akhirnya berdampak pada produktivitas primer muara S. Cisadane. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dilakukan pengukuran produktivitas primer di muara Sungai Cisadane untuk mengetahui jumlah oksigen yang dapat disumbangkan dalam mendukung prosesproses ekologis di muara S. Cisadane.
C. Tujuan dan manfaat Tujuan penelitian ini adalah mengetahui produktivitas primer fitoplankton sebagai penyumbang oksigen di muara S. Cisadane pada musim kemarau tahun 2008. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai produktivitas primer muara S. Cisadane yang selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan pengelolaan muara S. Cisadane.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Keadaan umum di muara Sungai Cisadane Sungai Cisadane (S. Cisadane) mempunyai daerah tangkapan hujan seluas 1.376 km2 dan panjang 137,6 km. Sungai ini berasal dari sumber yang sama dengan Sungai Ciliwung yaitu Gunung Mandalawangi (tinggi puncak 3.002 m) dan Gunung Salak (tinggi puncak 2.211 m) di Kabupaten Bogor, dan mengalir ke arah utara melewati Kabupaten Tangerang dan berakhir di Laut Jawa. Secara administrasi, wilayah muara S. Cisadane masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tangerang, Kecamatan Teluk Naga (UNESCO, 2004). Anak-anak sungai banyak ditemukan di bagian hulu dengan anak sungai terbesar adalah Cianten dan Ciapus dengan masing-masing anak sungai memiliki panjang 49,2 km dan 27 km, serta daerah tangkapan hujan sebesar 426,5 km2 dan 58,15 km2. Daerah tangkapan hujan di bagian atas sungai (hulu) mempunyai bentuk melingkar serta panjang dan sempit dari tengah hingga ke bagian bawah. Bagian hulu sungai pada jarak 10,1 km memiliki kemiringan yang tajam yaitu 0,228. Bagian tengah sungai pada jarak 25 km memiliki kemiringan 0,032 dan bagian bawah (hilir) sungai pada jarak 102 km memiliki kemiringan 0,00195 (UNESCO, 2004). Sebagai wilayah estuari, muara S. Cisadane dipengaruhi oleh dinamika pasang dan surut. Pada kondisi pasang, air di muara S. Cisadane bergerak ke arah timur yang kemudian berbelok ke arah perairan pantai Jakarta atau masuk ke dalam Teluk Jakarta (Pradiko, 2003). Pada umumnya, kondisi geologis bagian muara S. Cisadane didominasi oleh banten tuff dengan endapan alluvial (liat, lumpur, pasir, gravel pebble, dan boulder) pada mulut sungai. Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 5,52 juta dan dianggap populasi yang relatif padat (UNESCO, 2004). Daerah tangkapan hujan S. Cisadane dimanfaatkan untuk tujuan pertanian di bagian hulu. Di bagian muara sungai, di Pasar Baru, Tangerang, terdapat sebuah bendungan yang berfungsi sebagai sumber air dan juga pengendali banjir. Air yang diambil dari bendungan tersebut digunakan untuk irigasi tanah pertanian di Kabupaten Tangerang. Sungai ini juga digunakan sebagai bahan baku air minum dan air baku industri-industri di wilayah sekitar (UNESCO, 2004).
4 Curah hujan rata-rata di S. Cisadane adalah 3.137 mm/tahun dengan ratarata aliran tahunan adalah 92 m 3/detik (UNESCO, 2004). Total curah hujan di muara S. Cisadane (Kecamatan Teluk Naga) selama penelitian yakni bulan Juni, Juli, dan Agustus 2008 masing-masing adalah 57,2 mm/bulan; 4,8 mm/bulan; dan 55,0 mm/bulan (BMG, 2008). Di sekitar muara S. Cisadane terdapat banyak aktivitas manusia di antaranya kegiatan perikanan berupa tambak udang dan gurame, kegiatan peternakan berupa peternakan ayam dan sapi, serta kegiatan rumah tangga seperti mandi dan mencuci (MCK). Kegiatan industri juga ada di dekat pinggiran badan sungai, seperti industri pembuatan kapal dan penambangan pasir. Di muara S. Cisadane juga cukup banyak lalu lintas kapal-kapal nelayan (Pengamatan lapangan, 2008).
B. Perairan estuari Estuari adalah wilayah percampuran sungai dan laut (Goldman dan Horne, 1983). Pritchard (1967) in Odum (1971) mendefinisikan bahwa estuari adalah suatu badan air pantai setengah tertutup yang berhubungan langsung dengan laut terbuka, jadi sangat terpengaruh oleh gerakan pasang surut. Selanjutnya Odum (1971) menyatakan bahwa estuari dapat dianggap sebagai zona transisi atau ekoton antara habitat air tawar dan habitat lautan, tetapi banyak dari komponen fisika dan biologi utama yang tidak bersifat transisi melainkan unik. Menurut
Odum (1971), berdasarkan sirkulasi air dan pola stratifikasi,
estuari dapat digolongkan menjadi tiga kategori yakni: 1.
Estuari stratifikasi tinggi atau salt wedge; bila aliran sungai sangat mendominasi air pasang surut, seperti pada muara sungai besar di mana air tawar cenderung melebihi air garam yang lebih berat. Estuari jenis ini akan memperlihatkan profil salinitas halocline yaitu zona dengan perubahan salinitas secara tajam dari atas sampai ke bawah.
2.
Estuari tercampur sebagian atau stratifikasi sedang; bila aliran masuk air tawar dan pasang surut hampir sama, penyebab utama percampuran adalah turbulensi yang disebabkan oleh periode dari gerakan pasang surut. Profil salinitas vertikal menjadi kurang tajam.
5 3.
Estuari yang tercampur sempurna atau homogen secara vertikal; bila gerakan pasang surut sangat dominan, air cenderung akan tercampur dengan baik dari atas sampai ke bawah, dan secara relatif salinitas menjadi tinggi (hampir sama dengan salinitas laut). Berdasarkan hasil pengamatan lapang wilayah muara Sungai Cisadane
diduga termasuk estuari yang tercampur sebagian atau stratifikasi sedang (kategori 2). Pada saat surut, wilayah percampuran (mixed layer) berada pada kisaran kedalaman 1-3 m dengan kedalaman total 6-7 m (pengamatan lapangan, 2008).
Kisaraan salinitas pada wilayah percampuran adalah 7-29 psu
(pengamatan lapangan, 2008). Pada saat pasang, wilayah percampuran diduga terjadi pada kedalaman 1-3 m, namun dapat juga terjadi pada kedalaman kurang dari 1 m dengan salinitas permukaan yang mencapai 6 psu.
C. Produktivitas primer di estuari Menurut Kennish (1990) produktivitas primer adalah laju fiksasi karbon (pembentukan material organik) di perairan dan biasanya dinyatakan dalam jumlah gram karbon yang dihasilkan dalam waktu tertentu. Faktor fisika utama yang mempengaruhi produktivitas primer adalah cahaya, suhu, dan sirkulasi air. Faktor lain yang mempengaruhi produktivitas primer adalah faktor kimia, yaitu salinitas dan nutrien, serta faktor biologi yaitu pemangsaan fitoplankton. Berdasarkan Goldman dan Horne (1983) estuari adalah salah satu badan air yang paling kompleks dan produktif. Estuari memiliki jenis spesies yang lebih sedikit namun dengan jumlah yang lebih melimpah bila dibandingkan dengan perairan tawar atau laut. Odum (1971) menyatakan bahwa produktivitas yang tinggi di daerah estuari disebabkan oleh: 1. Estuari adalah perangkap nutrien, secara fisika dan biologi. Daur ulang nutrien yang sangat cepat oleh aktivitas mikroba, benthos, dan hewan penggali menciptakan semacam “sistem penyuburan sendiri”. Namun, kecenderungan alami ini menyebabkan estuari rentan terhadap polusi, karena polutan akan terperangkap termasuk nutrien-nutrien yang bermanfaat. Perangkap nutrien secara fisika terkait gerakan pasang surut.
6 2. Estuari
memiliki
keanekaragaman
jenis
produser
yang
dapat
berfotosintesis. Banyak estuari yang ditemukan memiliki semua tiga tipe produser yang ada di dunia, yaitu makrofita (rumput laut, lamun, dan rumput gambut/ marsh grass), mikrofita dasar, dan fitoplankton. 3. Peran pasang surut dalam menciptakan sebuah ekosistem dengan tinggi muka air yang berfluktuasi. Pada umumnya, semakin besar amplitudo pasang maka semakin besar potensi produksi, jika arus yang terjadi tidak terlalu abrasif. Goldman dan Horne (1983) menyatakan air yang dangkal dan lumpur yang dengan mudah terpapar cahaya matahari saat surut, dapat meningkatkan daur ulang nutrien melalui dekomposisi oleh bakteri dan dapat mempercepat pertumbuhan hewan benthik. Selama 35 tahun terakhir, pengukuran produktivitas primer di estuari berkisar pada 6,8-530 gC/m2/tahun (Kennish, 1990). Nilai produktivitas yang lebih kecil dari kisaran ini diperoleh dari estuari yang keruh dan sebaliknya. Boynton in Kennish (1990) menyatakan bahwa rata-rata produktivitas fitoplankton dari 45 estuari yang diteliti adalah 190 gC/m 2/tahun, yang melebihi rata-rata produktivitas perairan laut yaitu 100 gC/m 2/tahun, namun nilai tersebut kurang dari produktivitas daerah upwelling yang bernilai 300 gC/m2/tahun. Produktivitas fitoplankton mengalami variasi spasial dan temporal. Periode biomassa dan produksi fitoplankton biasanya memiliki tren yang sama, walaupun biomassa dan produksi maksimum tidak harus selalu terjadi pada waktu yang sama. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Johnson (2008) pada dua estuari di bagian tenggara Carolina Utara, USA, secara temporal produktivitas fitoplankton lebih tinggi pada akhir musim semi sampai musim panas daripada musim dingin. Johnson (2008) menjelaskan bahwa hal ini berhubungan dengan konsentrasi klorofil a yang mencapai maksimum pada musim panas. Pennock dan Sharp (1986) menambahkan bahwa suhu yang lebih hangat dan ketersediaan cahaya pada musim panas dapat meningkatkan produktivitas fitoplankton. Pennock dan Sharp (1986) menyatakan produksi fitoplankton juga berbeda secara spasial di estuari sesuai dengan perubahan faktor lingkungan, seperti konsentrasi TSS (Total Suspended Solid), kedalaman kolom air, dan konsentrasi nutrien yang bervariasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pennock dan
7 Sharp (1986) di estuari Delaware, USA, pengamatan produktivitas yang rendah terjadi pada saat turbiditas maksimum, yaitu di daerah 75-110 km dari mulut estuari ke arah hulu.
Selanjutnya, dijelaskan bahwa pada wilayah tersebut,
konsentrasi TSS berkisar pada 60-200 mg/l yang mengakibatkan pengurangan intensitas cahaya pada lapisan permukaan.
Penurunan produktivitas ini juga
diduga karena stress yang dialami fitoplankton air tawar yang hidup di perairan payau.
Hal ini didukung oleh rendahnya nilai klorofil dan kelimpahan
fitoplankton air tawar. Menurut Pennock (1985) in Pennock dan Sharp (1986), jika di estuari tidak terdapat stratifikasi vertikal, maka konsentrasi TSS dengan kisaran 7-20 mg/l dapat menghambat pertumbuhan fitoplankton.
D. Cahaya Laju produksi primer oleh fitoplankton sangat terkait dengan cahaya matahari sebagai sumber energi fotosintesis (Kennish, 1990). Menurut Wetzel (2001), jika nutrien tersedia dalam jumlah yang cukup untuk mendukung laju maksimum fotosintesis, maka ketersediaan cahaya adalah faktor dominan yang mengatur laju fotosintesis. Iluminasi (penyinaran) cahaya matahari di hampir semua habitat akuatik bergantung pada sudut penyinaran matahari sepanjang hari, musim, letak lintang (latitude), dan kondisi iklim setempat (seperti persen penutupan awan) (Kennish, 1990).
Wetzel (2001) menyatakan ketersediaan
cahaya di sungai bergantung pada penutupan kanopi di tepi sungai dan kekeruhan (turbidity). Peredupan cahaya terjadi dalam kolom air melalui penyerapan dan penyebaran oleh molekul air, partikel tersuspensi, dan bahan terlarut. Penyerapan lebih menentukan penetrasi dan distribusi energi radiasi dalam air (Kennish, 1990). Penyusutan intensitas cahaya di estuari lebih besar daripada di laut, seiring dengan bertambahnya kedalaman (Kennish, 1990).
Hal ini terutama
disebabkan oleh konsentrasi partikel tersuspensi dan bahan terlarut yang lebih tinggi di estuari. Oleh karena intensitas cahaya berkurang secara eksponensial seiring meningkatnya kedalaman, maka laju fotosintesis berangsur-angsur meningkat sampai nilai maksimum dan kemudian berangsur-angsur menurun sampai di suatu
8 titik dengan laju fotosintesis sama dengan laju metabolisme (respirasi). Titik ini disebut kedalaman kompensasi. Kedalaman kompensasi terletak pada kedalaman di mana intensitas cahaya turun sampai 1% dari intensitas cahaya di permukaan. Zona fotik atau zona fotosintesis adalah zona di atas kedalaman kompensasi. Fotosintesis melebihi respirasi pada zona tersebut. Kedalaman kompensasi dan ketebalan zona fotik sangat bervariasi, namun pada sebagian besar daerah estuari, tingginya konsentrasi partikel tersuspensi dan bahan terlarut adalah faktor yang membatasinya. Pada perairan estuari yang keruh, kedalaman kompensasi hanya 1 m atau kurang. Namun di perairan oseanik dekat pantai, kedalaman kompensasi dapat mencapai 10 m, dan di laut yang jernih dapat mencapai 120 m (Raymont, 1980 in Kennish, 1990).
E. Nutrien Fitoplankton membutuhkan banyak materi untuk pertumbuhan dan reproduksi.
Materi yang paling penting adalah makronutrien yaitu nitrogen,
fosfor, dan silika (Kennish, 1990). Di lingkungan estuari, fosfor terbagi dalam bentuk organik terlarut, anorganik terlarut, dan partikulat. Bentuk utama fosfor anorganik terlarut adalah ortofosfat.
Ortofosfat adalah bentuk fosfor anorganik yang paling disukai
fitoplankton. Namun dalam keadaan miskin ortofosfat, fosfor organik terlarut pun dapat dimanfaatkan fitoplankton (Kennish, 1990). Walaupun bukan kebutuhan esensial bagi semua organisme estuari, silika sangat penting untuk pertumbuhan cangkang diatom. Silika terlarut di air dalam bentuk asam silika (H4SiO4).
Ketika asam silika berkurang, pembelahan sel
fitoplankton dapat terhambat dan aktivitas metabolisme mengalami tekanan. Menurut Levinton (1982) in Kennish (1990) ketersediaan silika memberikan pengaruh terhadap kelimpahan dan produktivitas diatom.
Smayda (1973) in
Kennish (1990) menambahkan bahwa ketersediaan silika diduga dapat membatasi populasi fitoplankton lain. Menurut Kennish (1990), di perairan estuari dan laut, nitrogen lebih dianggap sebagai elemen pembatas untuk pertumbuhan alga, jika dibandingkan dengan pospor. Kennish (1992) menambahkan bahwa nitrogen pada umumnya
9 adalah elemen pembatas utama untuk produksi primer di estuari dan perairan pantai, pospor mungkin membatasi pertumbuhan tanaman selama musim-musim tertentu dalam beberapa sistem. Konsentrasi pospor melebihi konsentrasi nitrogen selama masa puncak produktivitas di ekosistem estuari.
Redfield (1971)
menyatakan bahwa nitrogen berpeluang menjadi faktor pembatas karena rasio N/P yang ada di perairan laut adalah 15/1, sementara rasio yang dibutuhkan fitoplankton adalah 16/1. Nitrogen berada dalam beberapa bentuk yang berbeda di perairan laut (Kennish, 1990). Nitrogen dalam perairan laut berada dalam bentuk molekul nitrogen (N2) dan nitrogen oksida (N2O). Amonia, nitrit, dan nitrat menyusun bentuk nitrogen anorganik utama di perairan. Bentuk organik nitrogen seperti urea, asam amino, dan peptida juga ditemukan di perairan. Fitoplankton dapat mengasimilasi semua bentuk nitrogen anorganik untuk pertumbuhan. Raymont (1980) in Kennish (1990) menyatakan sebagian besar fitoplankton dapat tumbuh dengan baik menggunakan nitrat sebagai sumber nitrogen, walaupun beberapa jenis fitoplankton seperti jenis euglenids, cryptomonads, dan alga hijau memerlukan amonia dan asam amino (nitrogen tereduksi) untuk pertumbuhannya. Amonia dan bahan nitrogen organik (misalnya urea) adalah bentuk nitrogen yang lebih disukai fitoplankton (Kennish, 1990).
Pengambilan amonia
memberikan keuntungan signifikan bagi fitoplankton karena dapat digunakan langsung untuk pembentukan asam amino.
F. Fitoplankton Plankton didefinisikan sebagai organisme yang melayang atau yang hanyut dengan kekuatan gerak terbatas, dan dipindahkan terutama oleh pergerakan air (Kennish, 1990). Subdivisi plankton meliputi plankton bakteri, fitoplankton, dan zooplankton.
Fitoplankton adalah tumbuhan mikroskopik yang mengapung
bebas, berupa organisme uniseluler, berfilamen, atau berbentuk rantai yang menempati permukaan air (zona fotik) laut lepas atau perairan pantai. Organisme autotrof ini mempunyai peran penting di laut karena melakukan paling sedikit
10 90% fotosintesis di laut. Oleh karena laut menutupi 72% permukaan bumi, fitoplankton merupakan produser primer yang paling penting. Kennish (1990) menyatakan bahwa diatom (kelas Bacillariophyceae), dinoflagellata (kelas Dinophyceae), cocolithopor (kelas Prymnesiophyceae), silicoflagellata
(kelas
Chrysophyceae),
dan
blue-green
algae
(kelas
Cyanophyceae) adalah taksa utama dari produser planktonik di laut. Di estuari atau lagun, terdapat susunan taksonomi yang lain dan yang juga penting bagi lingkungan setempat, misalnya alga hijau (kelas Chlorophyceae), fitoflagellata coklat (kelas Haptophyceae), dan euglena (kelas Euglenophyceae). Fluktuasi kondisi lingkungan estuari menyebabkan fitoplankton membelah dengan laju yang bervariasi, akibatnya produktivitas primer berbeda dari satu wilayah geografi dengan wilayah geografi lainnya, serta berbeda menurut musim di wilayah geografi yang sama (Kennish, 1990). Faktor alam dan antropogenik dapat mengatur faktor lingkungan yang akhirnya mempengaruhi kelimpahan dan suksesi fitoplankton di estuari. Rice dan Ferguson (1975) in Kennish (1990) memberikan tiga tipe faktor lingkungan- pembatas, pengendali, dan lethal- yang mempengaruhi dinamika dan fisiologi populasi fitoplankton. Fry (1947) in Ruttner (1959) mendefinisikan faktor pembatas berfungsi sebagai sumber material dan energi, contohnya cahaya. pengendali
Selanjutnya, faktor
adalah faktor yang mempengaruhi laju metabolisme tanpa harus
memasuki rantai metabolik, contohnya suhu atau pengaruh Ca dan Mg terhadap permeabilitas sel. Faktor lethal adalah faktor yang menghancurkan organisme dengan mengganggu rantai metabolik.
G. Kekeruhan Kekeruhan (turbiditas) adalah karakter visual air yang dapat mengakibatkan penurunan atau pengurangan kecerahan perairan (Wetzel, 2001). Effendi (2003) menyatakan bahwa kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), ataupun dari bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme.
Wofsy (1983) in Cloern (1987) menyatakan cahaya dapat
11 menjadi faktor pembatas bagi fotosintesis ketika konsentrasi partikel tersuspensi melebihi 50 mg/l. Menurut Lloyd (1985) dalam Effendi (2003), peningkatan nilai turbiditas pada perairan dangkal dan jernih sebesar 25 NTU dapat mengurangi 13%-50% produktivitas primer. Peningkatan turbiditas sebesar 5 NTU di danau dan sungai dapat mengurangi produktivitas primer berturut-turut sebesar 75% dan 3%-13%. Nybakken (1987) menyatakan bahwa pengaruh ekologi utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Selanjutnya hal ini akan menurunkan fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan bentik, yang mengakibatkan turunnya produktivitas.
H. Suhu Bersama-sama dengan intensitas cahaya, suhu memengaruhi fotosintesis dan pertumbuhan fitoplankton (Harris, 1978 in Kennish, 1990).
Banyak spesies
fitoplankton yang menunjukkan laju pertumbuhan tertinggi dalam kisaran suhu tertentu. Pada umumnya, diatom lebih baik dalam beradaptasi terhadap suhu rendah jika dibandingkan dengan dinoflagelata (Hand, 1965 in Kennish, 1990). Laju pertumbuhan berbagai spesies fitoplankton di perairan tropis mencapai nilai maksimum pada suhu di atas 10oC (El-Sayed, 1984 in Kennish, 1990). Suhu juga memberikan efek tidak langsung pada fitoplankton, selain efek langsungnya terhadap pertumbuhan, aktivitas enzimatik, dan proses metabolisme lainnya.
Contoh efek tidak langsung adalah terbentuknya thermocline yang
memberikan dampak nyata terhadap komunitas fitoplankton. Terjadinya thermocline dikaitkan dengan pertumbuhan fitoplankton dan siklus musiman produksi primer (Dawes, 1981 in Kennish, 1990), meskipun hubungan yang jelas bisa saja dikaburkan oleh perubahan faktor lain yang terjadi secara bersamaan, seperti pemangsaan oleh zooplankton dan konsentrasi nutrien. Pada dasarnya, stratifikasi suhu pada kolom air menahan masukan nutrien ke zona fotik dari lapisan yang lebih dalam. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan fitoplankton jika penambahan nutrien esensial dari drainase tidak memberikan nutrien cukup pada lapisan permukaan.
12 Berdasarkan Nontji (2005), suhu air permukaan di perairan Nusantara umumnya berkisar pada 28-31 oC. Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan yang lebih hangat karena mendapat radiasi matahari pada siang hari. Oleh karena kerja angin, maka di lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50-70 m dapat terjadi pengadukan. Akibatnya, di lapisan kedalaman 50-70 m terdapat suhu hangat yang homogen (sekitar 28 oC). Di perairan dangkal lapisan homogen ini dapat berlanjut sampai ke dasar. Suhu air di permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor-faktor meteorologi yang berperan di sini adalah curah hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Oleh sebab itu suhu di permukaan biasanya mengikuti pola musiman (Nontji, 2005).
I. Salinitas Salinitas yang bervariasi adalah ciri paling khas dari daerah estuari. Salinitas berubah setiap hari mengikuti pasang surut dan berubah secara drastis mengikuti musim. Bagian estuari yang paling dekat ke sungai memiliki salinitas yang paling rendah, namun pada musim panas, ketika aliran air dari sungai lambat maka banyak air laut yang masuk ke bagian ini (Goldman dan Horne, 1983). Sebagaimana
suhu,
salinitas
secara
tidak
langsung
memengaruhi
fitoplankton melalui pengaruhnya terhadap densitas air dan stabilitas kolom air (Kennish, 1990). Salinitas secara langsung memengaruhi laju pembelahan sel fitoplankton, juga keberadaan, distribusi, dan produktivitas fitoplankton. Salinitas dapat mengubah karakter fotosintesis melalui perubahan sistem karbon dioksida atau perubahan tekanan osmotik (Nielsen, 1975 in Kennish, 1990). Oleh karena fitoplankton hidup di perairan estuari yang salinitasnya sangat bervariasi, organisme ini umumnya akan mengalami fluktuasi tekanan osmotik yang sangat tinggi. Seiring perubahan tekanan osmotik dan komposisi ion dalam sel, prosesproses selular (seperti sintesis klorofil dan laju fotosintesis) dapat juga berubah (McLachlan, 1961 in Kennish, 1990).
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2008 di muara Sungai Cisadane, Kabupaten Tangerang, Banten (Gambar 1).
Pengambilan
sampel dilakukan sebanyak tiga kali. Analisis parameter kualitas air dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan Perairan dan Laboratorium Biomikro, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Sumber: Bakosurtanal (2001)
Gambar 1. Peta lokasi penelitian
14 B. Alat dan bahan Alat yang digunakan saat pengambilan sampel di lokasi penelitian adalah Van Dorn bottle sampler, botol sampel, botol BOD, cool box, keping Secchi dan plankton net.
Alat yang digunakan saat analisis sampel adalah botol BOD,
erlenmeyer, buret, Sedgewick-Rafter Cell (panjang = 50 mm, lebar = 20 mm, tinggi = 1 mm), mikroskop binokuler model Olympus CH-2, gelas objek, S-C-T meter YSI model 33 , turbidimeter model 2100A, Spektrofotometer model UV 160A, pipet volumetrik, pipet mohr, dan bulp. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sampel air sebagai bahan utama. Beberapa bahan pendukung untuk analisis parameter kimia adalah, asam sulfat pekat, natrium thiosulfat, dan lain-lain. Bahan pendukung untuk analisis parameter biologi adalah larutan Lugol 1%.
C. Metode pengambilan sampel Pengambilan sampel air dilakukan di dua stasiun pada pagi hari (10.00 WIB). Stasiun pertama terletak pada 06o05’45,4”S dan 106o38’06,0”E, mewakili wilayah estuari yang lebih dekat dengan daratan. Stasiun kedua terletak pada 06o02’58,7”S dan 106o38’04,4”E, mewakili wilayah estuari yang lebih dekat dengan laut (Gambar 1). Jarak antar kedua stasiun sekitar 3,6 km. Stasiun 1 merupakan daerah yang lebih banyak dikelilingi pemukiman dan aktivitas manusia, sementara stasiun 2 merupakan daerah yang jarang bahkan hampir tidak ada pemukiman walaupun masih ada kegiatan perikanan. Jarak stasiun pertama dan kedua dari mulut estuari masing-masing sekitar 4,5 km dan 0,9 km. Pada setiap stasiun, sampel air diambil pada dua kedalaman yaitu 20% dan ±100% dari kecerahan keping Secchi. Pengambilan sampel air dilakukan dengan Van Dorn bottle sampler yang bervolume tiga liter.
Kemudian air sampel
dimasukkan ke botol-botol sampel dan disimpan dalam cool box untuk selanjutnya dianalisis di laboratorium.
Untuk perhitungan kelimpahan
fitoplankton, 50 l air sampel dimampatkan menjadi 30 ml dengan plankton net (mesh size = 35 μm), kemudian diawetkan dengan larutan Lugol 1%. Sampel air untuk pengukuran produktivitas primer dari setiap titik dimasukkan ke dalam 6 botol BOD, untuk selanjutnya dianalisis dengan metode oksigen.
15 D. Metode analisis sampel Analisis kualitas air dilakukan secara in situ dan di laboratorium. Parameter yang dianalisis secara in situ adalah kecerahan, suhu, salinitas, pH, DO (Dissolved Oxygen), dan produktivitas primer. Parameter kualitas air yang dianalisis di laboratorium adalah TSS, kekeruhan, NO2, NO3, NH3, kelimpahan fitoplankton, dan klorofil a (Tabel 1).
Tabel 1. Parameter kualitas air yang dianalisis Parameter Fisika
Satuan
Alat/Metode
Lokasi
Suhu Kecerahan Kekeruhan
o
C Cm NTU
S-C-T meter/Electrical conductivity Keping Secchi/Visual Turbidimeter/Nephelometric (APHA, 1989)
in situ in situ Laboratorium
TSS
mg/l
Laboratorium
Salinitas
psu
pH DO NO2
mg/l mg/l
NO3
mg/l
NH3
mg/l
Vacum pump/Total suspendid solids dried at 103-105 oC (APHA, 2005) S-C-T meter/Electrical conductivity (APHA, 1989) pH indikator Buret/Modifikasi Winkler (APHA, 1989) Spektrofotometer/Sulfanilamide (APHA, 2005) Spektrofotometer/ Phenate (APHA, 2005) Spektrofotometer/ Brucine (APHA, 1989)
mgO2/l/4jam
Buret/Metode oksigen (APHA, 2005)
in situ
sel/l
Sedgewick-Rafte Cell/Sensus (Basmi, 1999)
Laboratorium
mg/l
Spektrofotometer/Trichomatic (APHA, 2005)
Laboratorium
Kimia
in situ in situ in situ Laboratorium Laboratorium Laboratorium
Biologi Produktivitas primer Kelimpahan fitoplankton Klorofil a
1. Metode analisis produktivitas primer Pengukuran produktivitas primer dilakukan dengan metode oksigen. Sampel air dari setiap kedalaman dimasukkan ke dalam 6 botol BOD. Dari enam botol BOD tersebut, 2 botol digunakan sebagai Botol Inisial (BI), 2 botol digunakan sebagai Botol Terang (BT) dan 2 botol digunakan sebagai Botol Gelap
16 (BG). Botol gelap dimodifikasi dengan membungkus botol BOD menggunakan kantong plastik hitam. Kandungan DO air sampel dalam BI langsung dianalisis dengan metode modifikasi Winkler. Sementara itu, BT dan BG diinkubasi selama 4 jam (10.00-14.00 WIB) pada kedalaman dimana sampel air diambil. Setelah 4 jam, kandungan DO dalam BT dan BG dianalisis dengan metode modifikasi Winkler. Pengaturan alat untuk inkubasi dapat dilihat di Lampiran 1. Selanjutnya nilai produktivitas primer dihitung berdasarkan rumus berikut (APHA, 2005): NPP =
(BT − BI) t
GPP =
(BT − BG) t
R =
BI − BG t
Keterangan: NPP = produktivitas primer bersih (mgO2/l/jam) GPP = produktivitas primer kotor (mgO2/l/jam) R = respirasi (mgO2/l/jam) BI = kandungan oksigen terlarut dalam botol inisial (mg/l) BT = kandungan oksigen terlarut dalam botol terang (mg/l) BG = kandungan oksigen terlarut dalam botol gelap (mg/l) t = lama inkubasi (jam)
Untuk mengkonversi satuan produktivitas primer dari mgO2/l/jam menjadi mgC/m3/jam digunakan rumus berikut (APHA, 2005): mgC m3 jam = mgO2 l jam ×
12 1000 × 32 PQ
Keterangan:
12 32
1000 PQ
= Konversi oksigen ke karbon (1 mol O2 (32 g) = 1 mol C (12 g)) = Konversi l ke m3 = Photosynthetic quotient (1,2)
17 2. Metode analisis kelimpahan fitoplankton Pengamatan
fitoplankton
dilakukan
dengan
mikroskop
binokuler
(perbesaran 100×) dan identifikasi fitoplankton dilakukan berdasarkan Yamaji (1979) dan Mizuno (1979).
Untuk menghitung kelimpahan fitoplankton
digunakan SRC dengan metode sensus. Selanjutnya kelimpahan fitoplankton dihitung berdasarkan rumus berikut (Basmi, 1999): Ni = ni ×
Acg Vt 1 × × Vcg Aa Vd
Keterangan : Ni = kelimpahan fitoplankton jenis ke-i (sel/l) ni = jumlah fitoplankton hasil pengamatan (sel) Vt = volume tersaring (30 ml) Vcg = volume cover glass/SRC (1 ml) Acg = luas cover glass/SRC (1000 mm2) Aa = luas pengamatan (1000 mm2) Vd = volume air sampel yang disaring (50 l )
E. Metode analisis data Analisis data dilakukan secara deskriptif melalui penyajian tabel dan grafik. yang menunjukkan tren parameter utama dan parameter pendukung. Parameter utama adalah produktivitas primer dan parameter pendukung adalah parameter kualitas air yang terdiri atas parameter fisika (suhu, kecerahan, dan kekeruhan), kimia (TSS, salinitas, pH, DO, NO2, NO3, dan NH3), dan biologi (kelimpahan fitoplankton dan klorofil a). Parameter pendukung digunakan untuk melengkapi data parameter utama yang diperoleh selama penelitian. Analisis hubungan produktivitas primer dengan masing-masing parameter pendukung dilakukan dengan regresi linear sederhana. Regresi linear sederhana adalah persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara satu peubah bebas (X; parameter pendukung) dan satu peubah tak bebas (Y; produktivitas primer). Selanjutnya, dari persamaan regresi akan diperoleh koefisien determinasi (R2) dan
koefisien korelasi (r). Nilai R2 menyatakan ketepatan model yang
diperoleh dalam menjelaskan keragaman peubah tak bebasnya. Koefisien korelasi (r) menunjukkan keeratan dan pola hubungan peubah bebas dan peubah tak
18 bebas. Nilai koefisien korelasi (r) berkisar antara -1 sampai 1. Nilai r = +1 atau r = -1 menunjukkan hubungan linear yang sempurna (sangat erat), nilai r = 0 menunjukkan tidak ada hubungan linear antara kedua peubah. Nilai positif pada koefisien korelasi (r) menunjukkan hubungan yang searah antara kedua peubah, dan sebaliknya. Hubungan antar peubah-peubah tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan (Matjik dan Sumertajaya, 2002): Y = b0 + bX Keterangan: Y = peubah tak bebas (produktivitas primer) X = peubah bebas (parameter pendukung) b0 = intersep
Analisis hubungan produktivitas primer dengan nutrien N (NO2, NO3, dan NH3), klorofil a, dan kelimpahan fitoplankton dilakukan dengan persamaan regresi linear berganda. Regresi linear berganda adalah persamaan regresi dengan satu peubah tak bebas (Y; produktivitas primer) dengan lebih dari satu peubah bebas (X; nutrien N, klorofil a, dan kelimpahan fitoplankton). Hubungan antar peubah-peubah tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk persamaan (Matjik dan Sumertajaya, 2002): Y = b0 + b1 X1 + … + b3 X3 Keterangan: Y = peubah tak bebas (produktivitas primer) X = peubah bebas ( nutrien N, klorofil a, dan kelimpahan fitoplankton) b0 = intersep
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Produktivitas primer di muara Sungai Cisadane Pengukuran produktivitas primer muara Sungai Cisadane (S. Cisadane) dilakukan di dua stasiun, masing-masing stasiun dengan dua kedalaman. Penentuan kedalaman dilakukan berdasarkan kecerahan keping Secchi, yaitu 20% kecerahan keping Secchi untuk kedalaman pertama (D1) dan ±100% kecerahan keping Secchi untuk kedalaman kedua (D2) (Lampiran 2). Berdasarkan Lampiran 2 dapat dilihat bahwa selama penelitian, kecerahan stasiun 1 lebih rendah daripada kecerahan stasiun 2. Hal ini disebabkan posisi stasiun 1 lebih tinggi daripada stasiun 2.
Posisinya yang lebih tinggi
menyebabkan stasiun 1 lebih banyak berhubungan dan menerima limpasan dari bagian atas (hulu) sungai. Buangan limbah peternakan dan aktivitas rumah tangga (MCK) juga menambah masukan bahan organik di stasiun 1.
Penurunan
kecerahan yang drastis pada bulan Juli (Lampiran 2) diduga disebabkan oleh limpasan dari hulu sungai, yaitu daerah Bogor yang pada malam sebelum pengukuran produktivitas primer dilakukan mengalami hujan lebat. Dengan nilai kecerahan yang kurang dari 20 cm, pengukuran produktivitas primer di kedua stasiun pada bulan Juli hanya dilakukan di satu kedalaman (Lampiran 2), namun hasilnya digunakan untuk dua kedalaman (D1 dan D2). Selama penelitian, terdapat respirasi yang bernilai nol, bahkan negatif (Lampiran 3). Kemungkinan yang terjadi adalah kandungan oksigen awal dalam botol gelap tidak sama dengan kandungan oksigen dalam botol inisial. Keadaan ini agak mengacaukan hasil pengamatan sehingga untuk analisis data produktivitas primer digunakan data produktivitas primer bersih (NPP). Respirasi yang bernilai nol dapat menunjukkan bahwa respirasi yang terjadi sangat kecil sehingga sulit dideteksi dengan metode oksigen. Pada stasiun 1, produktivitas primer berkisar pada 0,58-1,22 mgO2/l/4 jam (D1) dan 0,58-0,74 mgO2/l/4 jam (D2) (Tabel 2 dan Gambar 2). Pada stasiun 2, produktivitas primer berkisar pada 0,94-3,37 mgO2/l/4 jam (D1) dan 0,63-1,68 mgO2/l/4 jam (D2). Pada kedua stasiun selalu didapatkan nilai produktivitas primer lebih tinggi di kedalaman D1 daripada di kedalaman D2. Berdasarkan
20 hasil tersebut, dapat diduga bahwa di kedalaman D1 diperoleh intensitas cahaya yang lebih tinggi, namun tidak merusak pigmen fitoplankton. Pada kedalaman D2 diduga diperoleh intensitas cahaya yang lebih rendah, namun cukup bagi fitoplankton untuk berfotosintesis. Dengan demikian, pada permukaran sampai kedalaman sekitar 80 cm di muara S. Cisadane dapat diduga merupakan zona di mana peningkatan cahaya akan meningkatkan fotosintesis fitoplankton.
Tabel 2. Produktivitas primer di muara Sungai Cisadane selama penelitian Stasiun Kedalaman 1 2
D1 D2 D1 D2
NPP (mgO2/l/4 jam) Juni Juli Agustus
NPP (mgC/m3/jam) Juni Juli Agustus
1,22 0,63 0,94 0,63
95,31 49,22 73,44 49,22
0,58 0,58 0,64 0,64
1,00 0,74 3,37 1,68
45,31 45,31 50,00 50,00
78,13 57,81 263,28 131,25
Produktivitas primer di stasiun 1 tidak mengalami perubahan besar selama penelitian. Namun, di stasiun 2 terjadi fluktuasi yang sangat tinggi pada bulan Agustus dimana produktivitas primer mencapai 3,37 mgO2/l/4 jam (D1) dan 1,68 mgO2/l/4 jam (D2) (Gambar 2). Pada bulan Agustus, produktivitas primer di stasiun 2 meningkat drastis, jauh lebih tinggi daripada stasiun 1 dan pengamatanpengamatan sebelumnya. Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan kelimpahan fitoplankton di stasiun 2 pada bulan Agustus yang mencapai 8.815 sel/l (Tabel 3). Peningkatan fitoplankton dapat terjadi diduga karena intensitas cahaya yang lebih tinggi yang masuk ke perairan, hal ini dapat dilihat dari nilai kecerahan pada bulan Agustus (75 cm) (Tabel 3). Namun, dengan kecerahan yang sama (75 cm), di stasiun 1 tidak terjadi peningkatan produktivitas primer yang drastis. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan intensitas cahaya yang masuk ke perairan, meskipun dengan kecerahan yang sama. Pada bulan Agustus, diduga intensitas cahaya yang masuk ke perairan lebih tinggi di stasiun 2 daripada di stasiun 1. Hal ini dapat dilihat dari nilai TSS dan kekeruhan di stasiun 2 lebih rendah daripada di stasiun 1 (Tabel 3).
21
3,5 3,0 2,5
produktivitas primer (mgO2/l/4jam)
2,0
1,5
1,22
1,0
1,00 0,63
0,74
0,58 0,58
0,5
0,0 Juni
Juli
Agustus
Stasiun 1 3,5
3,37
3,0 2,5 2,0
1,68
1,5 1,0
0,94
0,63
0,64 0,64
0,5 0,0 Juni
Juli
Agustus
Stasiun 2 Kedalaman D1
Kedalaman D2
waktu pengamatan Gambar 2. Produktivitas primer di muara Sungai Cisadane selama penelitian
22 Tabel 3. Kualitas air di muara Sungai Cisadane selama penelitian parameter
Juni stasiun
1
Juli 2
1
2
Agustus 1 2
Baku mutu
Fisika suhu (oC) kecerahan (cm) kekeruhan (NTU) TSS (mg/l)
28 32,5 7 12
31 80 6 11
26 12 48 61
27,5 17 35 34
24 75 11 10
26 75 7,5 7
< 5** ≤ 80**
Kimia Salinitas (psu) pH DO (mg/l) NO2 (mg/l) NO3 (mg/l) NH3 (mg/l)
1 7 1,26 0,242 0,801 1,094
3 7 1,79 0,013 0,741 1,384
0,2 6,5 3,58 0,045 0,550 0,688
0,2 6,5 2,48 0,067 0,611 0,609
0 6,5 2,58 0,092 1,469 0,711
1 6,5 2,74 0,200 1,122 0,814
6-9* ≥ 3* 0,06* 0,008 ** 0,3**
Biologi Kelimpahan 1.047 2.436 2.994 1.598 10.602 8.815 fitoplankton (sel/l) Klorofil a (mg/l) 0,001 0,003 0,015 0,012 0,011 0,011 *Baku mutu berdasarkan PP RI No. 82 Tahun 2001 untuk air kelas III **Baku mutu berdasarkan KepMen LH No. 51 Tahun 2004 untuk biota laut
Perbadingan produktivitas primer muara S. Cisadane dengan produktivitas primer di lokasi yang mirip (daerah estuari lainnya) dilakukan dengan mengkonversi satuan mgO2/l/4 jam menjadi mgC/m3/jam (Tabel 2 dan 4). Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa produktivitas primer muara S. Cisadane berkisar pada 45,31-95,31 mgC/m3/jam (stasiun 1) dan 49,22-263,28 mgC/m3/jam (stasiun 2).
Hasil yang tidak jauh berbeda diperoleh Madubun (2008) yang
menyatakan nilai produktivitas primer Muara Jaya, Teluk Jakarta pada bulan Juli dan Agustus 2007 berkisar pada 39,57-96,89 mgC/m3/jam untuk stasiun yang terletak di muara sungai (Tabel 4). Nontji (1984) memperoleh nilai produktivitas primer permukaan di perairan Teluk Jakarta pada tahun 1983 berkisar pada 59,41-75,69 mgC/m3/jam (Tabel 4). Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa produktivitas primer di muara S. Cisadane tidak jauh berbeda dengan produktivitas primer di estuari lain yang sama-sama mendapatkan tekanan ekologis, seperti Muara Jaya, Teluk Jakarta dan Teluk Jakarta. Sunarto (2001) melaporkan produktivitas primer di Teluk Hurun, Lampung rata-rata 69,40 mgC/m3/jam (277,60 mgC/m3/4 jam) yang dilakukan pada musim
23 hujan (Tabel 4). Sunarto (2001) menjelaskan bahwa produkivitas primer masih berlangsung sampai kedalaman 7 m (44% kedalaman total).
Selanjutnya,
dijelaskan bahwa penetrasi cahaya ke Teluk Hurun, Lampung dapat mencapai dasar perairan dengan intensitas sebesar 6% intensitas cahaya permukaan. Jika dibandingkan dengan produktivitas primer Teluk Hurun, Lampung, maka produktivitas primer muara S. Cisadane dapat dikatakan rendah. Produktivitas primer muara S. Cisadane hanya terjadi hingga kedalaman sekitar 1 m dengan kedalaman muara yang berkisar 6-7 m (16% kedalaman total). Suplai oksigen yang berasal dari produktivitas primer sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari oksigen terlarut di muara S. Cisadane yang selalu rendah, yaitu berkisar pada 1,26-3,58 mg/l pada lapisan atas (Tabel 3) dan 0,40-2,40 mg/l pada lapisan dasar (Pengamatan lapangan, 2008).
Tabel 4. Produktivitas primer dengan metode oksigen di beberapa perairan estuari Musim
Produktivitas primer (mgC/m3/jam)
Sumber
Kemarau
39,57-96,89
Madubun (2008)
Teluk Jakarta
Kemarau
59,41-75,69 (Juni)
Nontji (1984)
Teluk Hurun, Lampung
Hujan
69,40
Sunarto (2001)
Lokasi
Muara Jaya, Teluk Jakarta
B. Beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas primer di Muara Sungai Cisadane Banyak faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas primer.
Faktor
tersebut dapat dikelompokkan menjadi faktor yang berpengaruh langsung dan tidak langsung. Faktor yang berpengaruh langsung misalnya nutrien, intensitas cahaya, dan klorofil a. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang berpengaruh langsung karena digunakan sebagai bahan utama dan langsung berhubungan dengan proses fotosintesis. Faktor yang tidak berpengaruh langsung yaitu faktor yang berpengaruh melalui perannya terhadap metabolisme fitoplankton ataupun distribusi materi-materi yang dibutuhkan fitoplankton.
Beberapa faktor tidak
langsung adalah suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut. Faktor langsung dan
24 tidak langsung tersebut umumnya dikenal sebagai parameter kualitas air yang juga menggambarkan kelayakan air untuk berbagai kepentingan. Berdasarkan PP RI No. 82 tahun 2001, kelayakan air untuk berbagai kepentingan dimasukkan ke dalam kelas I (kepentingan air baku), II (kepentingan rekreasi air), III (kepentingan budidaya perikanan dan peternakan), dan IV (kepentingan pengairan tanaman/pertanian). Berdasarkan nilai kecerahan keping Secchi pada setiap stasiun yang kurang dari 1 meter (Lampiran 2) dan wilayah percampuran berada pada kedalaman 1,5-2 m, maka sampel untuk analisis kualitas air diambil dari satu kedalaman pada setiap stasiun, yaitu pertengahan antara kedalaman D1 dan D2. Secara umum, kualitas air S. Cisadane masih cukup layak digunakan untuk kepentingan perikanan dan kehidupan biota akuatik meskipun beberapa parameter telah mendekati batas kelayakannya (Tabel 3).
1. Nutrien N (NO2, NO3, dan NH3) Nutrien yang diukur selama penelitian adalah nitrogen (N) anorganik yang terlarut di perairan yaitu nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan amonia (NH3). Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa kandungan nutrien (N) di stasiun 1 berfluktuasi. Pada stasiun 1, kandungan nitrit berkisar pada 0,045-0,242 mg/l, kandungan nitrat memiliki kisaran 0,550-1,469 mg/l, kandungan amonia berada pada kisaran 0,711-1,094 mg/l (Tabel 3). Fluktuasi kandungan nitrit, nitrat, dan amonia memiliki tren yang hampir sama selama penelitian, yakni menurun cukup drastis pada bulan Juli dan selanjutnya tidak menunjukkan perubahan yang besar pada bulan Agustus, kecuali amonia yang meningkat tajam. Kandungan nutrien (N) di stasiun 2 juga berfluktuasi. Kandungan nitrit, nitrat, dan amonia di stasiun 2 masing-masing berkisar pada 0,013-0,200 mg/l, 0,611-1,122 mg/l, dan 0,6091,384 mg/l (Tabel 3). Fluktuasi nutrien N pada kedua stasiun memiliki tren yang sama.
Fluktuasi nutrien diduga disebabkan oleh fluktuasi limpasan buangan
pertanian dan kegiatan domestik di sekitar muara serta runoff dari bagian atas sungai.
Berdasarkan Mackentum (1969) in Andriani (2004) nitrat dengan
konsentrasi lebih dari 0,1 mg/l tidak menjadi pembatas produktivitas primer
25 fitoplankton. Jadi dapat dikatakan bahwa nutrien di muara S. Cisadane tidak menghambat fotosintesis fitoplankton.
2. Klorofil a Fungsi klorofil a adalah sebagai pigmen utama penyerap cahaya dan tempat berlangsungnya fotosintesis. Pengukuran klorofil a dapat digunakan sebagai perkiraan biomassa mikroorganisme fotoautotropik di perairan. Hasil pengukuran klorofil a di stasiun 1 berkisar pada 0,001-0,015 mg/l (Tabel 3). Karl et al. (2003) juga menemukan konsentrasi klorofil a yang rendah (<100 mg/l) di laut pada wilayah dekat permukaan. Selama penelitian, kandungan klorofil a di stasiun 1 berfluktuasi, dengan peningkatan yang tinggi (mencapai 0,014 mg/l) pada bulan Juli, selanjutnya menurun sebanyak 0,004 mg/l pada bulan Agustus. Hasil pengukuran klorofil a di stasiun 2 berkisar pada 0,003-0,012 mg/l (Tabel 3). Selama penelitian, kandungan klorofil a di stasiun 2 juga berfluktuasi, dengan peningkatan yang tinggi (mencapai 0,009 mg/l)
pada bulan Juli,
selanjutnya menurun sebanyak 0,004 mg/l pada bulan Agustus (Tabel 3). Pada bulan Juli, dengan tingkat kekeruhan yang paling tinggi di kedua stasiun didapatkan kandungan klorofil a yang paling tinggi (Tabel 3). Hal ini diduga disebabkan adanya klorofil a yang berasal dari serasah yang ikut terukur saat analisis sampel klorofil a. Serasah dapat berupa fragmen dedaunan yang terbawa dalam limpasan dari kawasan hulu. Kandungan klorofil a di muara S. Cisadane lebih rendah daripada kandungan klorofil a yang ditemukan Katmoyo (2008) di estuari Sungai Brantas (0,024 mg/l) pada musim kemarau. Nilai klorofil a yang rendah di muara S. Cisadane diduga karena berkurangnya intensitas cahaya yang masuk ke perairan akibat kekeruhan yang tinggi.
3. Fitoplankton Fitoplankton adalah organisme yang hidup melayang di perairan dan merupakan organisme dominan yang menyediakan oksigen di perairan melaui fotosintesis. Selama penelitian ditemukan 38 genus fitoplankton yang berasal dari 5 kelas yaitu Chlorophyceae (16 genera), Bacillariophyceae (13 genera),
26 Dinophyceae (2 genera), Cyanophyceae (6 genera), dan Euglenophyceae (1 genus) (Gambar 3). Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa komposisi kelas fitoplankton yang mendominasi di muara S. Cisadane bervariasi. Komposisi fitoplankton di kedua stasiun tidak menunjukkan banyak perbedaan dengan kecenderungan didominasi oleh fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae, Cyanophyceae, dan Chlorophyceae (Gambar 3).
Pada kedua stasiun, genera yang paling banyak
ditemukan berasal dari kelas Bacillariophyceae adalah Melosira dan Skeletonema (Lampiran 4). Berdasarkan Pattern (1962), Skeletonema merupakan salah satu jenis fitoplankton yang sering ditemukan di estuari, mendominasi pada musim semi. Genera dari kelas Cyanophyceae yang paling sering ditemukan selama penelitian adalah Microcystis dan Oscillatoria (Lampiran 4). Selama penelitian, dari kelas Dinophyceae ditemukan dua genera yaitu Peridinium dan Ceratium (Lampiran 4). Ceratium merupakan dinoflagellata yang sering dijumpai di estuari (www.microbiologyprocedure.com, 2008).
Hasil penelitian ini hampir sama
dengan Muchtar (2004) yang menemukan fitoplankton di muara S. Cisadane didominasi oleh genus Skeletonema, Ceratium, dan Thalassiosira.
Penyusun
utama kelas Chlorophyceae pada kedua stasiun adalah Scenedesmus, Eudorina, dan Dictyosphaerium (Lampiran 4).
Sebagian besar fitoplankton dari kelas
Chlorophyceae adalah fitoplankton air tawar (Kumar dan Singh, 1979). Kelimpahan fitoplankton di muara S. Cisadane berkisar 1.047-10.601 sel/l (stasiun 1) dan 1.598-8.816 sel/l (stasiun 2) (Gambar 3). Kelimpahan fitoplankton di muara S. Cisadane cukup berfluktuasi dan jumlahnya tidak berbeda jauh antara stasiun 1 dan 2 (Gambar 3).
Pada kedua stasiun, kelimpahan fitoplankton
cenderung meningkat selama penelitian, terutama pada bulan Agustus yang diduga disebabkan oleh tingkat kekeruhan yang lebih rendah.
Kelimpahan
fitoplankton yang ditemukan lebih rendah jika dibandingkan dengan Muchtar (2004) yang memperoleh rata-rata kelimpahan fitoplankton di perairan pantai dekat muara S. Cisadane sebesar 90,485 x 106 sel/l.
Riksawati (2008)
memperoleh kelimpahan fitoplankton di Muara Angke, Teluk Jakarta berkisar 15.515-95.880 ind/l. Berdasarkan nilai kelimpahan dapat dikatakan kelimpahan fitoplankton di muara S. Cisadane rendah. Hal ini diduga disebabkan tingkat
27 kekeruhan yang cukup tinggi sehingga perairan sulit ditembus cahaya, sementara fitoplankton adalah organisme yang bersifat fototaksis.
120 100 45,47
80 60
kelimpahan fitoplankton ( × 100 sel/l)
16,24 40
0
42,4
3,21
20 1,15 2,48
15,38
6,25
3,67
Juni
Juli
Agustus
Stasiun 1 120
Euglenophyceae Dinophyceae
100
Cyanophyceae Bacillariophyceae
80
27,16
60
Chlorophyceae 11,08
40 20
49,14
2,07 18,81
0
3,24 Juni
3,56 5,9
5,39 Juli
Agustus
Stasiun 2 waktu pengamatan Gambar 3. Kelimpahan fitoplankton di muara Sungai Cisadane selama penelitian
28 4. TSS dan kekeruhan Bahan yang tersuspensi dalam perairan dapat menyerap dan memantulkan cahaya yang masuk, artinya nilai TSS yang tinggi dapat menghambat penetrasi cahaya ke perairan dan pada akhirnya menghambat produktivitas primer. Parameter lain yang dapat digunakan untuk memberikan gambaran tentang penetrasi cahaya ke perairan adalah kekeruhan yang menunjukkan sifat optik air dalam satuan NTU. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa selama penelitian, nilai TSS berada pada kisaran 10-61 mg/l (stasiun 1) dan 11-34 mg/l (stasiun 2). Kisaran nilai kekeruhan berada di antara 7-48 NTU (stasiun 1) dan 6,5-35 NTU (stasiun 2) (Tabel 3).
Dari nilai-nilai tersebut dapat dilihat bahwa stasiun 1 cenderung
memiliki tingkat kekeruhan yang lebih tinggi daripada stasiun 2.
Hal ini
disebabkan posisinya yang lebih upstream yang menyebabkan stasiun 1 lebih banyak dipengaruhi daratan.
Selain itu, keadaan ini juga disebabkan oleh
kegiatan peternakan dan rumah tangga pada stasiun 1, yang jumlahnya lebih banyak daripada kegiatan di stasiun 2. Hasil pengukuran tersebut menunjukkan kekeruhan di muara S. Cisadane cukup tinggi.
Hal yang sama diperoleh
Riksawati (2008) di Muara Angke, Teluk Jakarta dimana kekeruhan di bagian mulut estuari mencapai 11 NTU, yang diduga disebabkan oleh masukan bahan organik dari daratan. Dengan nilai TSS dan kekeruhan yang cukup tinggi, diduga di muara S. Cisadane akan sedikit ditemukan fitoplankton dan kalaupun terdapat fitoplankton, faktor intensitas cahaya dapat menjadi penghambat terjadinya fotosintesis fitoplankton.
5. Suhu dan pH Berdasarkan Tabel 3, suhu pada saat penelitian relatif konstan, berkisar pada 24-28 oC (stasiun 1) dan 26-31 oC (stasiun 2). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan Riksawati (2008) yang menyatakan suhu air permukaan Muara Angke, Teluk Jakarta berkisar 29,3-29,7 oC. Nilai suhu muara S. Cisadane yang diperoleh selama penelitian masih dalam kisaran suhu air permukaan di perairan Nusantara, yaitu 28-31 oC (Nontji, 2005).
Effendi (2003) menyatakan bahwa Chlorophyta
dan diatom akan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu berturut-turut 30-35 oC
29 dan 20-30 oC. Dengan demikian, suhu di muara S. Cisadane tidak menghambat aktivitas fitoplankton untuk berfotosintesis. Hasil pengukuran pH di lokasi penelitian juga tidak menunjukkan fluktuasi yang berarti dengan kisaran pH berada pada 6,5-7 (Tabel 3). Muchtar (2004) menemukan pH di muara S. Cisadane berkisar pada 6,97-6,98.
Nilai pH
menunjukkan bahwa perairan muara S. Cisadane tidak termasuk perairan asam atau basa, yang artinya kondisi pH perairan muara S. Cisadane dapat memberikan kondisi yang optimal untuk fotosintesis fitoplankton. Nilai pH cenderung stabil di estuari karena adanya komponen kimia air laut yang menahan perubahan pH secara drastis; keberadaan mineral karbonat terlarut cenderung meminimalisasi atau menyangga perubahan pH dengan cara bereaksi dengan ion-ion yang mengubah pH (Wells National Estuarine Research Reserve, 1997).
6.
Salinitas Salinitas mengatur metabolisme tubuh fitoplankton melalui proses
osmoregulasi. Salinitas yang tidak sesuai dengan kebutuhan fitoplankton akan mengakibatkan energi habis terpakai untuk osmoregulasi. Salinitas juga dapat mempengaruhi kelarutan oksigen dalam air. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa salinitas di muara S. Cisadane cukup berfluktuasi, khususnya di stasiun 2.
Pengukuran salinitas selama
penelitian berkisar pada 0-1 psu (stasiun 1) dan 1-3 psu (stasiun 2). Secara umum, salinitas di stasiun 2 lebih tinggi daripada salinitas di stasiun 1 karena letak stasiun ini lebih dekat ke laut.
Nilai salinitas yang masih tergolong tawar
cenderung payau diduga karena pengukuran dilakukan pada kedalaman kurang dari 1 m dimana pengaruh air sungai dari daratan lebih mendominasi daripada pengaruh air laut.
7.
Oksigen terlarut Oksigen yang larut dalam perairan digunakan oleh organisme akuatik untuk
respirasi dan ada juga organisme yang memanfaatkan oksigen untuk dekomposisi bahan organik.
Oksigen yang terlarut di daerah muara dapat berasal dari
fotosintesis dan aerasi. Kelarutan oksigen dalam air dipengaruhi oleh beberapa
30 faktor seperti waktu dalam hari, kedalaman, suhu, dan salinitas. Hasil pengukuran oksigen terlarut di muara S. Cisadane dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil pengukuran oksigen terlarut selama penelitian berkisar pada 1,26-3,58 mg/l (stasiun 1) dan 1,79-2,74 mg/l (stasiun 2) (Tabel 3). Dari nilai-nilai tersebut dapat dilihat bahwa oksigen terlarut antara kedua stasiun 1 dan 2 tidak berbeda jauh. Hasil penelitian Riksawati (2008) menyatakan rata-rata kandungan oksigen terlarut di Muara Angke, Teluk Jakarta selama dua kali pengukuran adalah 1,36 dan 1,50 mg/l.
Saadon dan Kin (2000) melaporkan bahwa dari pengukuran
oksigen terlarut selama 12 bulan di estuari Terengganu, Malaysia, kandungan oksigen minimum diperoleh pada bulan Agustus (3-4 mg/l) saat terjadi musim kemarau.
Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa wilayah estuari
sering ditemukan dengan kandungan oksigen terlarut yang rendah. Hal ini diduga karena wilayah estuari banyak mendapat limpasan bahan organik dari daratan sehingga banyak oksigen yang dipakai untuk dekomposisi. Oksigen terlarut lebih rendah pada musim kemarau diduga karena suhu yang lebih tinggi melarutkan lebih sedikit oksigen. Selain itu, aliran air dari sungai (discharge) yang masuk ke estuari cenderung berkurang sehingga tidak ada turbulensi atau aerasi untuk difusi oksigen dari atmosfer. Kandungan oksigen terlarut yang berkisar pada 3-5 mg/l dapat mengakibatkan stress pada organisme akuatik (www.deq.virginia.gov, 2008). Kandungan oksigen terlarut < 3 mg/l dapat menyebabkan kematian organisme immobile (www.deq.virginia.gov, 2008). Dengan demikian, oksigen terlarut di muara S. Cisadane dapat diduga kurang mendukung kehidupan fitoplankton dan organisme akuatik. Berdasarkan PP RI No 82 tahun 2001, kandungan oksigen terlarut muara S. Cisadane cenderung tidak layak untuk kegiatan perikanan (minimal 3 mg/l). Kandungan oksigen terlarut yang rendah di muara S. Cisadane diduga karena tingginya pemanfaatan oksigen untuk dekomposisi bahan organik.
31 C. Hubungan produktivitas primer dengan parameter-parameter pendukung Hubungan produktivitas primer (PP) dengan nutrien N, klorofil a, dan kelimpahan fitoplankton dianalisis dengan regresi linear berganda. Konsentrasi setiap nutrien N (NO2, NO3, dan NH3) dijumlahkan menjadi Dissolved Inorganic Nitrogen (DIN). Persamaan regresi yang diperoleh adalah PP = -9,10 + 4,66 DIN + 338,00 klorofil a – 0,0003 kelimpahan fitoplankton (R2 = 28,2%). Regresi antara produktivitas primer dengan DIN dan klorofil a menghasilkan persamaan PP = -1,72 + 1,17 DIN + 66,00 klorofil a (R2 = 26,3%). Hasil regresi antara produktivitas primer dengan DIN dan kelimpahan fitoplankton menghasilkan persamaan PP = 0,06 + 0,34 DIN + 0,0001 kelimpahan fitoplankton (R2 = 25,3%). Persamaan-persamaan regresi berganda yang diperoleh tidak dapat menjelaskan keragaman produktivitas primer di muara Sungai Cisadane. Hal ini dapat dilihat dari koefisien determinasi (R2) yang rendah (R2 < 50%). Keadaan ini diduga terjadi karena adanya keterbatasan cahaya yang masuk ke perairan sehingga membatasi
fotosintesis
fitoplankton,
meskipun
tersedia
cukup
nutrien.
Keterbatasan cahaya yang masuk ke perairan dapat disebabkan oleh partikelpartikel dan serasah yang berasal dari daratan yang menyerap sejumlah besar cahaya. Menurut Wetzel (2001), jika nutrien tersedia dalam jumlah yang cukup untuk mendukung laju maksimum fotosintesis, maka ketersediaan cahaya adalah faktor dominan yang mengatur laju fotosintesis. Hasil analisis regresi antara produktivitas primer dengan masing-masing parameter pendukung menunjukkan bahwa pada penelitian ini parameterparameter pendukung tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produktivitas primer (R2 ≤ 50%) (Tabel 5).
Parameter nitrit, kelimpahan
fitoplankton, TSS, kecerahan, kekeruhan, dan nitrat memiliki hubungan yang lebih erat dengan produktivitas primer, jika dibandingkan parameter lainnya (r ≈ 0,5) (Tabel 5). Nitrit, kelimpahan fitoplankton, dan kecerahan masing-masing memiliki hubungan yang positif dengan produktivitas primer (r positif). Artinya, peningkatan nitrit, kelimpahan fitoplankton, dan kecerahan akan diikuti oleh peningkatan produktivitas primer. Nitrit merupakan salah satu bentuk nitrogen anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton (Kennish, 1990).
32 Tabel 5. Hasil analisis regresi produktivitas primer dengan parameter pendukung Parameter
Persamaan
R2
r
DIN, klorofil a, dan kelimpahan fitoplankton
PP = - 9,10 + 4,66 DIN + 338,00 klorofil a - 0,0003 kelimpahan fitoplankton
28,2
0,53
DIN dan klorofil a
PP = - 1,72 + 1,17 DIN + 66,00 klorofil a
26,3
DIN dan kelimpahan fitoplankton
PP = 0,06 + 0,34 DIN + 0,0001 kelimpahan fitoplankton
25,3
0,50
Nitrit
PP = 0,54 + 4,68 nitrit
25,7
0,51
Nitrat
PP = 0,24 + 0,92 nitrat
14,7
0,38
Amonia
PP = 1,11 - 0,06 amonia
0,004
-0,02
DIN
PP = - 0,24 + 0,69 DIN
14,3
0,38
Klorofil a
PP = 0,99 + 7,40 klorofil a
0,2
0,07
Kelimpahan fitoplankton
PP = 0,60 + 0,0001 kelimpahan fitoplankton
22,7
0,48
Kecerahan
PP = 0,49 + 0,01 kecerahan
19,2
0,44
Kekeruhan
PP = 1,42 - 0,02 kekeruhan
16,7
-0,41
TSS
PP = 1,44 - 0,01 TSS
19,2
-0,44
Suhu
PP = 2,84 - 0,07 suhu
3,5
-0,19
pH
PP = 5,04 - 0,60 pH
3,4
-0,18
Salinitas
PP = 1,00 + 0,06 salinitas
0,6
0,08
DO
PP = 0,91 + 0,06 DO
0,3
0,06
0,51
Peningkatan kecerahan pada umumnya akan meningkatkan intensitas cahaya yang masuk ke perairan yang akhirnya dapat meningkatkan fotosintesis fitoplankton. Sampai pada batas tertentu, peningkatan kelimpahan fitoplankton akan meningkatkan produktivitas primer karena jumlah fotosintesis akan bertambah dengan meningkatnya produser primer. Kekeruhan dan TSS masingmasing memiliki hubungan yang negatif dengan produktivitas primer. Artinya, penurunan kekeruhan dan TSS akan diikuti dengan peningkatan produktivitas primer atau sebaliknya. Kekeruhan dan TSS dapat menyerap cahaya yang masuk
33 ke perairan sehingga cahaya yang tersedia untuk fotosintesis akan berkurang intensitasnya. Pada penelitian ini, amonia memiliki hubungan yang tidak erat dengan produktivitas primer (r = -0,02) (Tabel 5). Hal ini diduga disebabkan konsentrasi amonia di muara S. Cisadane telah melebihi batas yang diperlukan fitoplankton. Salinitas, suhu, dan pH memiliki nilai koefisien korelasi (r) yang rendah karena nilainya tidak bervariasi selama penelitian dan masih berada pada kisaran yang dibutuhkan fitoplankton, sehingga secara statistik terlihat tidak memiliki hubungan yang erat. Produktivitas primer di stasiun 1 dan stasiun 2 tidak berbeda jauh dan tergolong rendah. Faktor-faktor yang berkaitan erat dengan nilai produktivitas primer fitoplankton di muara S. Cisadane adalah kelimpahan fitoplankton, TSS, kecerahan, dan kekeruhan.
D. Upaya pengelolaan muara Sungai Cisadane Hasil penelitian produktivitas primer di muara S. Cisadane yang dilakukan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus 2008, menunjukkan nilai yang rendah. Produktivitas primer yang rendah diduga karena kekeruhan yang tinggi sehingga menyebabkan kelimpahan fitoplankton rendah. Kekeruhan yang tinggi diduga karena tingginya limpasan bahan organik dari sekitar muara maupun bagian atas sungai (upstream). Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan dan pengaturan kegiatan di muara S. Cisadane dan terutama di bagian upstream sungai untuk membatasi limpasan bahan organik yang masuk ke muara S. Cisadane. Adapun beberapa rekomendasi yang bisa disampaikan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Banten atau instansi terkait, antara lain: 1. Mewajibkan pabrik di sekitar wilayah hulu, tengah, dan muara S. Cisadane untuk mengikuti ketentuan pembuangan limbah sesuai peraturan yang ditetapkan pemerintah 2. Membantu dan mengusahakan penduduk di sekitar muara untuk memiliki tempat MCK sendiri dan kemudian mengatur pembuangan dan pengolahan limbahnya secara kumulatif
34 3. Bekerjasama dengan instansi pengelola wilayah hulu sampai muara S. Cisadane dalam pengaturan pembuangan limbah pabrik yang berdampak terhadap muara S. Cisadane 4. Mengurangi erosi daratan melalui penghijauan kawasan di sepanjang sungai (terutama daerah hulu) sehingga bila tejadi hujan lebat di hulu tidak akan membawa gerusan tanah dalam jumlah berlebihan ke wilayah muara 5. Mengelola sampah dan limbah pemukiman perkotaan (Tangerang dan Bogor) sehingga sampah tidak mengotori dan mencemari sungai
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Hasil penelitian produktivitas primer fitoplankton di muara S. Cisadane menunjukkan bahwa produktivitas primer fitoplankton masih memberikan sumbangan oksigen di muara S. Cisadane, walaupun hanya sedikit. Produktivitas primer fitoplankton hanya terjadi pada siang hari dan di kedalaman hingga 1 m, dengan kedalaman muara yang berkisar 6-7 m. Nilai produktivitas yang rendah disebabkan oleh kekeruhan yang tinggi sehingga membatasi penetrasi cahaya dan selanjutnya membatasi biomassa fitoplankton (klorofil a). Fitoplankton yang ditemukan di muara S. Cisadane terdiri dari 38 genera yang berasal dari kelas Chlorophyceae, Bacillariophyceae, Cyanophyceae,
Dinophyceae,
dan
Euglenophyceae.
Fitoplankton
yang
mendominasi di muara S. Cisadane berasal dari kelas Bacillariophyceae (Skeletonema dan Melosira), Cyanophyceae (Microcystis dan Oscillatoria), dan Chlorophyceae (Scenedesmus, Dictyosphaerium dan Eudorina). Suhu, salinitas, dan pH masih sesuai baku mutu air untuk perikanan dan tidak menjadi faktor penghambat fotosintesis.
B. Saran Perlu penelitian produktivitas primer yang dikaitkan langsung dengan intensitas cahaya, serta dilakukan penelitian produktivitas primer pada musim hujan untuk memberikan informasi yang lebih lengkap kepada pihak pengelola.
DAFTAR PUSTAKA. Andriani. 2004. Analisis hubungan parameter fisika-kimia dan klorofil a dengan produktivitas primer fitoplankton di perairan pantai Kabupaten Luwu. . Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.Tidak dipublikasikan. APHA (American Public Health Association), AWWA (American Water Works Association) dan WPCF (Water Pollution Control Federation). 1989. Standard methods for the examination of water and waste water. 17th edition. Washington, DC. 1193 h APHA (American Public Health Association), AWWA (American Water Works Association) dan WPFC (Water Pollution Control Federation). 2005. Standard methods for the examination of water and waste water. 21th edition. Baltimore, MD. 1081 h Bakosurtanal. 2001. Peta Rupa Bumi Indonesia. Cibinong, Bogor. Basmi, J. 1999. Planktonologi: pedoman metode analisis. Hal:5-6, 24-26, 36-43. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. 105 h BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika). 2008. Data Klimatologi Juni, Juli, dan Agustus 2008. Tangerang. Cloern, J. E. 1987. Turbidity as a control on phytoplankton biomass and productivity in estuaries. Continental Shelf Research. 7(II/12):1367-1381. Effendi, H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumber daya dan lingkungan perairan. Hal:57-61. Kanisius. Yogyakarta. 258 h Goldman, C. R dan A. J. Horne. 1983. Limnology. International student edition. Hal:56-61. McGraw Hill Companies, Inc. Auckland, New Zealand. xvi+464 h Johnson, V. L. 2008. Phytoplankton productivity in Futch and Hewletts Creek. University of North Carolina. Wilmington, NC. Karl, D. M, R. R. Bidigare, dan R. M. Letelier. 2003. Sustained and aperiodic variability in organic matter and phototrophic microbial community structure in the north pacific subtropical gyre. h. 222-264 in P. J. Ie B. Williams, D. N Thomas, dan C. S Reynolds (Ed.), Phytoplankton productivity: carbon assimilation in marine and freshwater ecosystems. Blackwell Science Ltd. New Delhi, India. xiv+386 h
37
Katmoyo, R. 2008. Sebaran horizontal biomassa fitoplankon (klorofil a) di estuari Sungai Brantas. Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Kennish, M. J. 1990. Ecology of estuaries. Vol II: Biology Aspects. Hal:51-102. CRC Press, Inc. Boca Raton, FL. 391 h Kennish, M. J. 1992. Ecology of estuaries: anthropogenic efffects. Hal:43. CRC Press, Inc. Boca Raton, FL. 289 h Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. Kumar, H. D dan H. N Singh. 1979. A text book on algae. Hal:69,131. The Macmillan Press, Ltd. London. vii+216 h Madubun, U. 2008. Produktivitas primer fitoplankton dan kaitannya dengan unsur hara dan cahaya di perairan Muara Jaya Teluk Jakarta. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Matjik, A. A dan I M Sumertajaya. 2002. Hal:157-166. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Edisi kedua. IPB Press. Bogor. iii+382 h Mizuno, T. 1979. Illustrations of the freshwater plankton of Japan. Revised edition. Hoikusha Publishing Co.,Ltd. Osaka, Jepang. 353 h Muchtar, M. 2004. Laporan akhir penelitian ekosistem perairan estuari Cisadane. Hal:30-33. LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Jakarta. viii+52 h Nontji, A. 1984. Biomassa dan produktivitas fitoplankton di perairan Teluk Jakarta serta kaitannya dengan faktor-faktor lingkungan. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Hal:53,57-58. Djambatan. Jakarta. 356 h Nybakken, J. W. 1987. Biologi laut : suatu pendekatan ekologis. Hal:53-69. Diterjemahkan oleh M. Eidman, Koesoebiono, Dietrich Geoffrey, Malikusworo Hutomo, dan Sukristijono Sukardjo. PT Gramedia. Jakarta. xiii+459 h Odum, E. P. 1971. Dasar-dasar ekologi. Edisi ketiga. Diterjemahkan oleh T. Samingan. Hal:433-443. Gadjah Mada Universitry Press. Yogyakarta. x+657 h
38
Pattern, B. C. 1962. Species diversity in net phytoplankton of Raritan Bay. h. 3742 in J. W. Nybakken (Ed.), Readings in marine ecology. Harper & Row, Publishers. New York, NY. xiii+544 h Pennock, J. R dan J. H. Sharp. 1986. Phytoplankton production in the Delaware Estuary: temporal and spatial variability. Marine Ecology - Progress Series. 34: 143-155. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pemgendalian pencemaran perairan. Pradiko, H. 2003. Penelusuran solusi numerik model pergerakan arus di perairan muara Sungai Cisadane. Jurnal Infomatek. 5(1):36-46. Jurusan Teknik Lingkungan-Fakultas Teknik. Universitas Pasundan. Redfield, A. C. 1971. The biological control of chemical factors in the environment. h. 1-18 in J. W. Nybakken (Ed.), Readings in marine ecology. Harper & Row, Publishers. New York, NY. xiii+544 h Riksawati, A. 2008. Kandungan nutrien dan produktivitas primer perairan muara angke, Teluk Jakarta. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Ruttner, F. 1959. Fundamentals of limnology. 3rd edition. Diterjemahkan oleh D. G. Frey dan F. E. Fry. Hal:56. University of Toronto Press. Toronto, Canada. xvi+295 h Saadon, M. N dan L. P. Kin. 2000. Distributions of temperature and dissolved oxygen in the Terengganu estuary. Sains Malaysiana. 29:171-185 Sunarto. 2001. Pola hubungan intensitas cahaya dan nutrien dengan produktivitas primer fitoplankton di Teluk Hurun, Lampung. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization). 2004. Kali Cisadane, h. 45-56 in Yasuto Tachikawa, Ross James, Keizrul Abdullah, Mohd. Norbin, Mohd. Desa (Ed.), Catalogue of rivers for southeast Asia and Pacific Volume V. UNESCO-IHP Publication. Tokyo, Jepang. ii+285 h www.deq.virginia.gov/cmonitor/pdf/cmonsec2.pdf . Virginia Citizen Water Quality Monitoring Program Methods Manual, Section 2: Chemical Monitoring. [18 Oktober 2008] www.microbiologyprocedure.com/microbial-ecology-of-differentecosystems/biota-of-estuaries.htm. Biota of estuaries. [12 Desember 2008]
39
www2.kompas.com/kompas-cetak/0801/18/metro/4173461.htm. Cisadane Kian Tercemar: Limbah Industri di Hulu dan Hilir menjadi Penyebab Utama. [29 Januari 2008] Wells National Estuarine Research Reserve. 1997. Estuary-Net, a water quality monitoring project. Direvisi oleh North Carolina National Estuarine Research Reserve. Beaufort, NC. 92 h Wetzel, R. G. 2001. Limnology lake and river ecosystems. 3rd edition. Hal:342344. Academic Press. San Diego, CA. xiii+1006 h Yamaji, I. 1979. Illustrations of the marine plankton of Japan. Enlarged & revised edition. Hoikusha Publishing Co.,Ltd. Osaka, Jepang. 350 h
40
Lampiran 1. Pengaturan alat inkubasi in situ
Keterangan: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tali pengikat (karet ban dalam) Botol terang (BT) Botol gelap (BG) Bambu Kedalaman 20% kecerahan keping Secchi Kedalaman ±100% kecerahan keping Secchi
41
Lampiran 2. Kedalaman inkubasi selama penelitian
Waktu pengamatan
stasiun 1 Penentuan Kecerahan kedalaman (cm) (cm)
Juni
32,5
Juli
12
Agustus
75
D1 D2 D1 D2 D1 D2
10 35 10 10 15 70
stasiun 2 Penentuan Kecerahan kedalaman (cm) (cm) 80 17 75
D1 D2 D1 D2 D1 D2
20 80 10 10 15 70
42
Lampiran 3. Data produktivitas primer selama penelitian
Waktu pengamatan
STASIUN 1 RESPIRASI R4 R1
NPP NPP 4 NPP 1
GPP GPP 4 GPP 1
D
BI
BT
BG
Juni
10 45
1,26 2,00
2,48 2,63
1,79 1,69
-0,53 0,31
-0,13 0,08
1,22 0,63
0,30 0,16
0,69 0,94
0,17 0,24
Juli
10 10
3,59 3,59
4,16 4,16
3,16 3,16
0,43 0,43
0,11 0,11
0,58 0,58
0,14 0,14
1,01 1,01
0,25 0,25
Agustus
15 70
2,58 2,53
3,58 3,27
2,21 2,11
0,37 0,42
0,09 0,11
1,00 0,74
0,25 0,18
1,37 1,16
0,34 0,29
STASIUN 2 Juni Juli Agustus
20
1,90
2,84
1,79
0,11
0,03
0,94
0,24
1,05
0,26
80
1,79
2,42
1,79
0,00
0,00
0,63
0,16
0,63
0,16
10
2,63
3,27
2,42
0,21
0,05
0,64
0,16
0,85
0,21
10
2,63
3,27
2,42
0,21
0,05
0,64
0,16
0,85
0,21
15
2,74
6,11
3,48
-0,74
-0,18
3,37
0,84
2,63
0,66
70
2,74
4,42
2,74
0,00
0,00
1,68
0,42
1,68
0,42
Keterangan: D = kedalaman inkubasi (cm) BI = oksigen terlarut dalam botol inisial (mgO2/l) BT = oksigen terlarut dalam botol terang (mgO2/l) BG = oksigen terlarut dalam botol gelap (mgO2/l) R4 = respirasi (mgO2/l/4jam) R1 = respirasi (mg/O2/l/jam) NPP 4 = produktivitas primer bersih (mgO2/l/4jam) NPP 1 = produktivitas primer bersih (mgO2/l/jam) GPP 4 = produktivitas primer kotor (mgO2/l/4 jam) GPP 1 = produktivitas primer kotor (mgO2/l/jam)
43
Lampiran 4. Data kelimpahan fitoplankton selama penelitian
Juni
Juli stasiun
Jenis 1
2
1
Agustus 2
1
2
Chlorophyceae 7
Actinastrum Ankistrodesmus
40
140
2
2 236
Botryococcus 41
7
13
2
1
12
41
98
199
115
Euastrum
0
9
1
Eudorina
162
128
233
142
625
18
26
27
480
260
2
3
3
56
22
72
54
120
2878
2326
484
359
19
17
Closterium
2
Cosmarium Dictyosphaerium
Pediastrum
52
Phacus Sphaerocystis
7
Scenedesmus
148
Coelastrum Spyrogira
4
Staurastrum
1
5 920 1
40
22
248
324
367
590
4240
4914
Cyclotella
27
4
0
0
85
156
Fragillaria
11
4
320
74
151
13
Synedra
11 4
4
2
Tetraspora Jumlah
Bacillariophyceae
Coscinodiscuss Diatoma
2
Melosira
131
40
997
301
782
445
Navicula
18
7
28
14
59
2
25
23
8
36
11
53
221
Nitzschia Selenastrum Skeletonema
427
1789
Surirella Thalasiossira
9
Triceratium Jumlah
155
139
396
47
8
1
13
4
2
1
46
209
539
1624
1108
1 625
1881
1538
Dinophyceae Peridinium
54
18
78
12
160
67
Ceratium
5
4
679
100
16
7
Jumlah
59
22
757
112
175
74
44
Lampiran 4. Data kelimpahan fitoplankton selama penelitian (lanjutan)
Juni
Juli stasiun
Jenis 1
2
1
Agustus 2
1
2
Cyanophyceae Anabaena
200
Chroococcus Microcystis
5 36
65
Nostoc Oscillatoria
95
50
18 288
3913
2604
2 70
126
211
52
276
34
9
16
8
16
139
28
115
207
321
356
4547
2716
Euglena
2
11
1
16
4
Jumlah
2
11
1
16
4
2436
2994
1598
10602
8815
Spirulina Jumlah
Euglenophyceae
KELIMPAHAN TOTAL
1047
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 24 Maret 1987 dari pasangan J. Sitinjak dan Rusmina Sinambela.
Penulis merupakan putri pertama dari tiga
bersaudara.
Tahun 2004 penulis lulus dari SMAN 1
Pontianak dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB, penulis menyusun skripsi yang berjudul “Produktivitas Primer Fitoplankton pada Musim Kemarau Tahun 2008 di Muara Sungai Cisadane, Kabupaten Tangerang, Banten”. Penulis dinyatakan lulus sidang ujian skripsi pada tanggal 4 Februari 2009.
46
LAMPIRAN