PELURUHAN BAHAN ORGANIK SAAT MUSIM KEMARAU PADA BAGIAN PAYAU DAN LAUT DI MUARA SUNGAI CISADANE TANGERANG, BANTEN
MUHAMAD FAIZ
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Peluruhan Bahan Organik saat Musim Kemarau pada Bagian Payau dan Laut di Muara Sungai Cisadane Tangerang, Banten adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2010
Muhamad Faiz C24104011
RINGKASAN Muhamad Faiz, C24104011. Peluruhan Bahan Organik saat Musim Kemarau pada Bagian Payau dan Laut di Muara Sungai Cisadane Tangerang, Banten. Dibawah bimbingan Sigid Hariyadi dan Enan Mulyana Adiwilaga.
Aktivitas manusia di sepanjang DAS Cisadane memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap peningkatan bahan organik. Bahan organik ini akan terbawa aliran air hingga menuju muara sungai. Kandungan bahan organik yang tinggi di muara sungai dapat meningkatkan BOD sehingga dapat menurunkan kadar oksigen terlarut pada daerah tersebut. Apabila laju pemanfaatan oksigen untuk proses dekomposisi tidak menyebabkan kadar oksigen turun di bawah batas minimum yang aman, maka kondisi perairan masih belum terganggu, namun apabila laju pemanfaatan oksigen tersebut telah menyebabkan kadar oksigen turun dibawah batas minimum, maka kondisi perairan akan terganggu dan perlu dilakukan pengendalian terhadap pencemaran bahan organik. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji laju peluruhan bahan organik saat musim kemarau pada bagian payau dan laut di muara Sungai Cisadane. Penelitian dilakukan pada bulan Juni-Agustus 2008. Lokasi penelitian berada di Muara Sungai Cisadane, Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Propinsi Banten. Dalam penelitian ini terdapat dua titik pengambilan sampel (stasiun), stasiun satu (ST.1) adalah daerah percampuran antara air tawar dan air laut yang masih berada di dalam daerah aliran sungai, sedangkan stasiun dua (ST.2) adalah daerah yang relatif sudah tidak terpengaruh oleh pengenceran dari air tawar dan berada di lepas pantai. Parameter utama yang diukur dalam penelitian ini adalah DO (Dissolved Oxygen), COD (Chemical Oxygen Demand), BOD3 (Biochemical Oyxgen demand), Kostanta laju oksidasi (k-BOD) serta parameter terkait yaitu suhu, salinitas dan pH. Pengambilan sampel dilakukan pada bagian percampuran dan bagian laut saat terjadi pasang dan surut, yaitu ketika menjelang pasang tertinggi dan menjelang surut terendah. Analisa data kinetika BOD (k-BOD) pada penelitian ini ditentukan dengan metode kuadrat terkecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perairan muara Sungai Cisadane bagian payau dan laut memiliki laju peluruhan bahan organik yang bervariasi baik antar bagian payau dengan laut maupun antar waktu pasang surut. Nilai konstanta laju peluruhan bahan organik berkisar antara 0,07 /hari sampai 0,52 /hari. Nilai BOD akhir pada bagian payau lebih besar daripada bagian laut dan pada saat surut lebih besar daripada saat pasang. Nilai BOD akhir berkisar antara 4,27 mg/l sampai 54,43 mg/l.
PELURUHAN BAHAN ORGANIK SAAT MUSIM KEMARAU PADA BAGIAN PAYAU DAN LAUT DI MUARA SUNGAI CISADANE TANGERANG, BANTEN
MUHAMAD FAIZ C24104011
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul
:
Peluruhan Bahan Organik saat Musim Kemarau pada Bagian Payau dan Laut di Muara Sungai Cisadane Tangerang, Banten
Nama Mahasiswa
:
Muhamad Faiz
Nomor Pokok
:
C24104011
Program Studi
:
Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Ketua
Anggota
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga NIP.19481207 198012 1 001
Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. NIP.19591118 198503 1 005
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. NIP.19610410 198601 1 002
Tanggal Ujian : 4 Januari 2010
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Peluruhan Bahan Organik saat Musim Kemarau pada Bagian Payau dan Laut di Muara Sungai Cisadane Tangerang, Banten merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian yang dilakukan merupakan kajian terhadap proses dekomposisi bahan organik yang ada di muarara Sungai Cisadane. Kajian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pencemaran bahan organik terhadap kondisi kualitas perairan di muara Sungai Cisadane. Penyusunan skripsi ini selain untuk memenuhi tugas akhir juga untuk berbagi informasi kepada para pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis, meskipun demikian penulis berharap semoga tulisan yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Bogor, Januari 2010
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. selaku ketua komisi pembiming yang telah meluangkan waktu guna memberikan arahan dan bimbingan, serta kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk ikut serta dalam penelitian di muara Sungai Cisadane. 2. Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan dan koreksi selama penulisan skripsi. 3. Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.S. selaku dosen penguji dari Departemen MSP dan Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc. selaku dosen penguji tamu yang telah banyak memberikan masukan dan koreksi untuk penulisan skripsi. 4. Dr. Ir. Sutrisno Sukimin, DEA selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama menjalankan masa perkuliahan. 5. Kepala dan staff Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Lab.Proling) yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis selama melakukan penelitian di laboratorium. 6. Kedua orang tua dan keluarga tercinta yang telah memberikan perhatian, doa dan dukungan tiada henti hingga penulis mampu menyelesaikan studi. 7. Tim muara Sungai Cisadane, teman-teman MSP khususnya angkatan 41 serta kepada semua pihak yang pernah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulius baik berupa doa, moralitas, finansial, fasilitas, waktu dan tenaga hingga penulis mampu menyelesaikan studi.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 29 September 1986, sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak Arsyad dan Ibu Yuli Haryani. Pendidikan formal penulis diawali di SDN 02 Sudimara Barat Ciledug, Tangerang dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun itu pula penulis diterima di SMP Budi Mulia Ciledug, Tangerang dan menyelesaikan studi tahun 2001. Penulis menyelesaikan pendidikan SMU tahun 2004 di SMUN 90 jakarta. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi dan mendapat kesempatan belajar di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), diterima sebagai mahasiswa S1 Program Studi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Forum Keluarga Muslim FPIK IPB (2005−2007). Selain kegiatan organisasi, penulis pernah menjadi asisten luar biasa Dasar-dasar Limnologi (2006/2007−2008/2009) dan asisten Pendidikan Agama Islam (2007/2008). Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif mengikuti seminar, perlombaan dan kepanitiaan kegiatan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Peluruhan Bahan Organik saat Musim Kemarau pada Bagian Payau dan Laut di Muara Sungai Cisadane Tangerang, Banten“.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................
v
PENDAHULUAN ............................................................................. 1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 1.3. Tujuan ........................................................................................ 1.4. Manfaat ......................................................................................
1 1 2 2 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1. Keadaan Umum Sungai Cisadane .............................................. 2.2. Karakteristik Perairan Estuari .................................................... 2.3. Bahan Organik ........................................................................... 2.4. Dekomposisi Bahan Organik ..................................................... 2.5. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD) .................................... 2.6. Kinetika BOD ............................................................................ 2.7. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) ......................................... 2.8. Oksigen Terlarut (DO) ............................................................... 2.9. Parameter Kualitas Air Terkait .................................................. 2.9.1. Suhu ................................................................................ 2.9.2. pH .................................................................................... 2.9.3. Salinitas ...........................................................................
4 4 5 6 7 8 9 11 12 13 13 14 14
III. METODE PENELITIAN ............................................................... 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ..................................................... 3.2. Alat dan Bahan ........................................................................... 3.3. Metode Kerja .............................................................................. 3.3.1. Penentuan stasiun ............................................................ 3.3.2. Pengumpulan data ........................................................... 3.3.3. Penentuan nilai konstanta laju oksidasi (k-BOD) ........... 3.3.3.1. Penelitian pendahuluan ..................................... 3.3.3.2. Penelitian utama ................................................ 3.4. Metode Analisa Data .................................................................. 3.4.1. Analisa data kinetika BOD (k-BOD) ..............................
15 15 16 16 16 17 18 19 19 20 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 4.1. Laju Dekomposisi ...................................................................... 4.1.1. Konstanta laju oksidasi (k) dan BOD akhir (L) interval 1 hari .................................................................. 4.1.2. Konstanta laju oksidasi (k) dan BOD akhir (L) interval 1½ hari ...............................................................
22 22
I.
22 26
4.2. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi dan Kebutuhan Oksigen Kimiawi .............................................. 4.3. Oksigen Terlarut (DO) ............................................................... 4.4. Parameter Kualitas Air Terkait .................................................. 4.4.1. Suhu ............................................................................... 4.4.2. pH ................................................................................... 4.4.3. Salinitas .......................................................................... 4.5. Pembahasan Umum .................................................................... 4.6. Pengelolaan Muara Sungai Cisadane .........................................
30 32 34 34 35 36 37 38
V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 5.1. Kesimpulan ................................................................................. 5.2. Saran ............................................................................................
39 39 39
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
40
LAMPIRAN ..............................................................................................
43
DAFTAR TABEL Halaman 1. Posisi geografis titik pengambilan sampel ............................................
17
2. Parameter kualitas air yang diamati dan alat/metode yang digunakan dalam pengukuran .......................................................
18
3. Nilai konstanta laju oksidasi (k) dan BOD akhir (L) pada stasiun 1 dengan interval waktu 1 hari .................................................................
23
4. Nilai konstanta laju oksidasi (k) dan BOD akhir (L) pada stasiun 2 dengan interval waktu 1 hari .................................................................
24
5. Nilai konstanta laju oksidasi (k) dan BOD akhir (L) pada stasiun 1 dengan interval waktu 1 ½ hari .............................................................
27
6. Nilai konstanta laju oksidasi (k) dan BOD akhir (L) pada stasiun 2 dengan interval waktu 1 ½ hari .............................................................
28
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema perumusan masalah ..................................................................
3
2. Hubungan waktu dengan BOD (Metcalf dan Eddy, 1991) .................
10
3.
Laju dekomposisi bahan organik dengan nilai k yang berbeda-beda (Metcalf dan Eddy, 1991) ...................................................................
11
Lokasi Penelitian, bagian payau (ST.1) dan laut (ST.2) (Bakosurtanal, 2001) ...........................................................................
15
Laju dekomposisi bahan organik pada stasiun 1 dan stasiun 2 untuk interval waktu 1 hari .................................................................
25
Laju dekomposisi bahan organik pada stasiun 1 dan stasiun 2 untuk interval waktu 1½ hari ..............................................................
29
7. Nilai rata-rata kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD3 mg/l) yang diamati saat pasang dan surut ..............................................................
31
8. Nilai rata-rata kebutuhan oksigen kimiawi (COD mg/l) yang diamati saat pasang dan surut ..............................................................
32
9. Nilai rata-rata oksigen terlarut (DO mg/l) yang diamati saat pasang dan surut ...........................................................................
34
10. Nilai rata-rata suhu (°C) yang diamati saat pasang dan surut .............
35
11. Nilai rata-rata pH yang diamati saat pasang dan surut ........................
36
12. Nilai Salinitas (o/oo) yang diamati saat pasang dan surut ....................
37
4. 5. 6.
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Laju dekomposisi bahan organik pada stasiun 1 untuk interval waktu 4 jam (penelitian pendahuluan) ...........................
44
2. Laju dekomposisi bahan organik pada stasiun 1 dan 2 untuk interval waktu 6 jam (penelitian pendahuluan) ...........................
44
3. Data kualitas air .....................................................................................
45
4. Data curah hujan bulan Juni, Juli, Agustus 2008 di muara Sungai Cisadane Tangerang, Banten (BMKG, 2008) ...........................
47
5. Baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 .................................................................................
48
6. Baku mutu air menurut Kep.Men.L.H. No. 51 tahun 2004 untuk boita laut ......................................................................................
49
7. Contoh perhitungan k-BOD dan L ........................................................
49
8. Dokumentasi lapang ..............................................................................
50
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sungai merupakan suatu ekosistem perairan yang mempunyai peran penting bagi daerah di sekitarnya. Sungai sebagai wadah untuk mengalirkan air dari suatu lokasi ke lokasi lainnya sering disebut sebagai perairan yang dinamis. Aliran yang terjadi bukan hanya perpindahan massa air dari hulu menuju hilir, tetapi juga transportasi bahan-bahan yang ada di dalamnya. Bahan-bahan tersebut berasal dari sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS). Bahan-bahan ini masuk ke dalam sungai dan terbawa aliran air hingga muara. Sungai Cisadane merupakan sungai yang melalui Propinsi Jawa Barat dan Banten. Hulu sungai ini berada di Gunung Salak dan Gunung Pangrango Kabupaten Bogor dan muaranya berada di Pantai Utara Jawa yakni di Desa Tanjung
Burung,
Kabupaten
Tangerang,
Propinsi
Banten.
Sungai
ini
dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai bahan baku air minum, irigasi pertanian, kegiatan perikanan, industri dan kegiatan rumah tangga. Kegiatankegiatan tersebut dapat menghasilkan limbah, diantaranya adalah limbah organik. Dampak paling besar apabila terjadi pencemaran akan diterima oleh bagian muara sungai (estuari) karena pada akhirnya semua limbah akan terbawa menuju muara. Bahan organik yang terdapat di perairan bersumber dari alam atau air buangan, baik buangan domestik (pemukiman) maupun buangan industri. Bahan organik merupakan salah satu komponen utama dalam air buangan domestik ataupun industri. Bahan organik dalam jumlah tertentu dapat berguna bagi biota perairan, namun apabila jumlahnya melebihi kemampuan asimilasi perairan maka dapat menimbulkan gangguan. Gangguan tersebut dapat berupa penurunan kualitas air akibat proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi bahan organik secara aerob dapat menyebabkan kandungan oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) menjadi rendah bahkan habis. Jika oksigen di dalam perairan habis maka proses dekomposisi akan berlangsung secara anaerob. Pada proses dekomposisi ini akan dihasilkan senyawa-senyawa yang tidak stabil dan bersifat toksik. perairan.
Kondisi-kondisi tersebut dapat menyebabkan kematian bagi biota Sehubungan dengan hal itu, maka perlu dilakukan suatu analisa
terhadap dekomposisi bahan organik untuk mengetahui pengaruh pencemaran bahan organik di muara Sungai Cisadane.
1.2. Perumusan Masalah Aktivitas manusia di sepanjang DAS Cisadane memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap peningkatan bahan organik. Bahan organik tersebut masuk ke dalam perairan melalui saluran pembuangan limbah atau dari limpasan air (run off) di sekitar badan sungai. Bahan organik ini akan terbawa aliran air hingga menuju muara sungai. Kandungan bahan organik yang tinggi di muara sungai dapat meningkatkan BOD sehingga dapat menurunkan kadar oksigen terlarut pada daerah tersebut. Apabila laju pemanfaatan oksigen untuk proses dekomposisi tidak menyebabkan kadar oksigen turun di bawah batas minimum yang aman, maka kondisi perairan masih belum terganggu, namun apabila laju pemanfaatan oksigen tersebut telah menyebabkan kadar oksigen turun dibawah batas minimum, maka kondisi perairan akan terganggu dan perlu dilakukan pengendalian terhadap pencemaran bahan organik. Untuk mengetahui besarnya penurunan kandungan oksigen terlarut yang akan terjadi akibat adanya masukan bahan organik maka dilakukan suatu analisa mengenai dekomposisi bahan organik di muara Sungai Cisadane dengan menghitung laju peluruhan bahan organik berdasarkan konsep kinetika BOD. Skema perumusan masalah tersebut secara ringkas disajikan pada Gambar 1.
1.3. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji laju peluruhan bahan organik dan kebutuhan oksigen (BOD) saat musim kemarau pada bagian payau dan laut di muara Sungai Cisadane Tangerang, Banten.
1.4. Manfaat Penelitian ini dapat dijadikan informasi mengenai pengaruh pencemaran bahan organik terhadap penurunan kandungan oksigen terlarut pada bagian payau dan laut di muara Sungai Cisadane, dan selanjutnya dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengelolaan DAS Cisadane Tangerang, Banten.
Limbah bahan organik dari kegiatan di DAS Cisadane
Muara Sungai Cisadane
Beban pencemaran bahan organik
Analisa dekomposisi bahan organik
Jumlah dan laju pemanfaatan oksigen untuk dekomposisi
?
Kondisi kualitas air di muara sungai belum terganggu
(+)
(-) Pengendalian pencemaran
Kondisi kualitas air di muara sungai terganggu
Gambar 1. Skema perumusan masalah
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keadaan Umum Sungai Cisadane Secara geografis DAS Cisadane terletak di antara 6o02’−6o54’ LS dan 106o17’−107o0’ BT.
DAS Cisadane dibatasi oleh sub-DAS Cimanceuri di
sebelah barat dan DAS Ciliwung pada sebelah timur (Arwindrasti, 1997). Sungai ini memiliki panjang sekitar 137,6 km dengan daerah tangkapan hujan seluas 1.376 km2 (UNESCO, 2004). Fluktuasi aliran sungai sangat bergantung pada curah hujan di daerah tangkapannya. Aliran yang tinggi terjadi saat musim hujan dan menurun saat musim kemarau. Curah hujan rata-rata di Sungai Cisadane adalah 3,137 mm/tahun dengan rata-rata debit pertahun adalah 92 m3/detik (UNESCO, 2004). Rata-rata curah hujan di muara Sungai Cisadane pada bulan Juni, Juli dan Agustus 2008 adalah 1,91 mm/bulan; 0,15 mm/bulan ; dan 1,83 mm/bulan (BMKG, 2008). Rata-rata debit di muara Sungai Cisadane pada bulan Juni, Juli dan Agustus 2008 adalah 41,07 m3/detik; 24,29 m3/detik; dan 38,99 m3/detik (BPSDA, 2008). Menurut Arwindrasti (1997), Daerah Aliran Sungai Cisadane dibagi menjadi 3 bagian yaitu: 1. DAS Cisadane bagian hulu seluas 65,555 Ha, mulai dari hulu sampai stasiun pengamat di Batu Beulah. 2. DAS Cisadane bagian tengah seluas 48,205 Ha, mulai dari satsiun pengamat Batu Beulah sampai stasiun pengamat Pasar Baru di Kabupaten Tangerang. 3. DAS Cisadane bagian hilir seluas 22,215 Ha, mulai dari stasiun pengamat Pasar Baru sampai muara Sungai Cisadane. Muara Sungai Cisadane terletak di Desa Tanjung Burung, Tangerang. Pola arus di muara Sungai Cisadane banyak dipengaruhi oleh gaya pembangkit pasang surut, dengan pola pasang surut campuran yang mirip pola harian tunggal (Muchtar, 2004; Nontji, 2007). Kondisi geologis muara Sungai Cisadane pada umumnya didominasi oleh Banten tuff dengan endapan aluvial (liat, lumpur, pasir) pada mulut sungai. Jumlah penduduk di daerah ini relatif padat yaitu sekitar 5,52 juta (UNESCO, 2004). Hampir 80% penduduk di sekitar muara Sungai Cisadane bekerja sebagai nelayan penangkap ikan dan pembudidaya ikan di tambak-tambak (Muchtar, 2004).
2.2. Karakteristik Perairan Estuari Estuari (aestus, air pasang) adalah suatu badan air pantai setengah tertutup yang berhubungan langsung dengan laut terbuka; jadi sangat terpengaruh oleh gerakan pasang surut dan terjadi percampuran antara air laut dengan air tawar (Odum, 1993). Fairbridge (1980) in Wibisono (2005) menyatakan bahwa estuari merupakan tempat air laut masuk hingga mencapai lembah sungai sejauh pengaruh pasang masih tampak ke arah hulu dan bisa dibagi menjadi tiga segmen muara yaitu: 1. Segmen pantai atau bagian terendah dari estuari yang berhubungan langsung dengan laut terbuka. 2. Segmen tengah yang dipengaruhi oleh salinitas yang tinggi dan terjadi percampuran dengan air tawar (sungai). 3. Segmen hulu (fluvial estuary) yang ditandai oleh dominansi air tawar tetapi masih terpengaruh oleh gerakan pasang harian. Batas dari masing-masing segmen tersebut sangat bervariasi dan tergantung perubahan-perubahan yang terjadi secara teratur dalam aliran sungai. Sifat perairan muara (estuari) sangat kompleks dan selalu dinamis. Percampuran matrerial yang terlarut tidak selalu searah dengan material yang tersuspensi, percampuran material tersebut dipengaruhi oleh tipe/pola sirkulasi arus yang terjadi di wilayah muara sungai (estuari) baik pada saat air pasang maupun pada saat air surut. Menurut Wibisono (2005), terdapat enam tipe sirkulasi arus perairan estuari yaitu: 1. Arus masuk (inflow) terjadi di dasar muara, sedangkan arus keluar (outflow) mengalir di permukaan. Pola ini disebut sebagi pola klasik. 2. Arus masuk terjadi di permukaan, sedangkan arus keluar mengalir di dasar muara. Pola ini disebut sebagai sirkulasi terbalik (inversed circulation). 3. Arus masuk terjadi di permukaan dan di dasar muara, sedangkan arus keluar terjadi di tengah kedalaman. Pola ini disebut sebagai pola tiga lapis (three layers type of circulation). 4. Arus keluar terjadi di permukaan dan di dasar, sedangkan arus masuk terjadi di tengah kedalaman. Pola ini dikenal sebagai pola tiga lapis terbalik.
5. Arus keluar terjadi di semua tingkatan kedalaman. Pola ini disebut sebagai pola buangan (discharge type). 6. Arus masuk terjadi di semua tingkat kedalaman. Pola ini disebut sebagai pola penyimpanan (storage type). Arus sirkulasi yang terjadi umumnya menunjukkan tipe/pola sirkulasi yang tetap. Jadi suatu muara yang mempunyai pola pertama pada saat pasang maka biasanya akan diikuti pola kelima pada saat surut dan pola kedua pada saat pasang tertinggi menuju surut. Tipe percampuran di suatu wilayah muara (estuari) mungkin tidak sama dengan kondisi percampuran di muara (estuari) yang lain. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor antara lain tipe pasang surut, kedalaman air, debit air sungai, tiupan angin, proses sirkulasi, dan ada tidaknya bentuk-bentuk geomorfologis pantai (laguna, delta).
Tipe percampuran muara menentukan
proses percampuran pencemar yang mudah larut atau fraksi larutannya dengan perairan muara sebagai badan penerima limbah cair. Menurut Wibisono (2005), terdapat empat tipe percampuran yang umumnya terjadi yaitu: 1. Tipe prcampuran dengan beberapa lapisan yang berbeda tipis (slightly stratified atau moderately stratified). 2. Tipe percampuran dengan beberapa lapisan yang tampak nyata (highly stratified). 3. Tipe percampuran dengan beberapa lapisan dengan posisi miring seperti ganjal (salt wedge). 4. Tipe percampuran secara vertikal (verticaly mixed).
2.3. Bahan Organik Bahan organik biasanya tersusun oleh unsur-unsur karbon, hidrogen dan oksigen serta dalam beberapa senyawa mengandung unsur N, S, P atau Fe (Sawyer & McCarty 1978 in Effendi 2003; Gray, 2004). Bahan organik yang terdapat di perairan memiliki variasi bentuk senyawa yang sangat luas. Sebagian besar bahan tersebut bersumber dari hewan atau tumbuhan yang telah mati (Connell, 2005).
Bahan organik di perairan dapat berasal dari perairan itu sendiri (autochthonous) maupun berasal dari ekosistem lain (allochthonous). Bahan organik yang masuk ke dalam suatu perairan biasanya dalam bentuk campuran antara bahan organik terlarut (Dissolved Organic Matter/DOM) dengan bahan organik yang berupa partikel (Particulate Organic Matter/POM) (Sunarto, 2003). Menurut Sawyer & McCarty 1978 in Effendi (2003), bahan organik berasal dari tiga sumber utama yaitu: 1. Alam, misalnya Fiber, minyak nabati dan hewani, lemak hewani, alkaloid, selulosa, kanji dan gula. 2. Fermentasi, misalnya alkohol, aseton, gliserol, antibiotika dan asam yang diperoleh melalui aktivitas mikro organisme. 3. Sintetis, meliputi semua bahan organik yang diproses oleh manusia, misalnya pestisida. Sebagian besar bahan organik sintetis tidak dapat diuraikan oleh bakteri, hanya sebagian kecil saja yang dapat diuraikan dengan laju dekomposisi yang lambat (Gray, 2004).
2.4. Dekomposisi Bahan Organik Dekomposisi bahan organik adalah suatu proses penguraian komponenkomponen bahan organik dengan berat molekul yang lebih tinggi menjadi komponen dengan berat molekul yang lebih rendah melalui mekanisme enzimatik (Saunder, 1980). Proses dekomposisi adalah gabungan dari proses fragmentsi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh dekomposer untuk mengubah bahan organik menjadi senyawa anorganik (Smith, 1980). Proses dekomposisi meliputi degradasi, mineralisasi, imobilisasi dan humus (Haynes, 1986). Proses dekomposisi dapat berlangsung secara aerob (ada oksigen) dan anaerob (tak ada oksigen). Perbedaan mendasar antara oksidasi aerob dengan oksidasi anaerob terletak pada senyawa yang berperan sebagai akseptor (penerima) ion hidrogen. Pada oksidasi anaerob, yang berperan sebagai penerima ion hidrogen adalah nitrat, sulfat dan karbon dioksida, sedangkan pada oksidasi aerob, yang
berperan sebagai penerima ion hidrogen adalah oksigen (Tebbut 1992 in Effendi 2003). Proses dekomposisi memiliki peranan yang penting dalam ekosistem. Agen utama dalam proses dekomposisi umumnya adalah bakteri dan fungi. Dekomposisi merupakan proses yang dinamis dan sangat dipengaruhi oleh keberadaan
dekomposer
baik
jumlah
maupun
diversitasnya,
sedangkan
keberadaan dekomposer sendiri sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan baik kondisi kimia, fisika maupun biologi. Kondisi lingkungan yang optimal bagi terjadinya proses dekomposisi akan mempercepat terjadinya proses ini (Sunarto, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses dekomposisi adalah suhu, pH, jenis bahan organik serta kemampuan mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik (Boyd, 1990; Davis & Cornwell, 1991). Suhu dan pH optimum untuk mikroorganisme berbeda-beda antar tiap spesies, namun proses dekomposisi biasanya akan berjalan baik pada kondisi yang hangat dengan pH netral dan alkalis. Bahan organik yang mudah terurai akan lebih cepat mengalami dekomposisi. Jika bahan organik yang mengalami dekomposisi banyak mengandung nitrogen, maka bakteri akan tumbuh dengan baik (Boyd, 1990).
2.5. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi (BOD) Kebutuhan menunjukkan
oksigen jumlah
biokimiawi oksigen
(Biochemical
yang
dibutuhkan
Oyxgen oleh
demand/BOD) bakteri
untuk
mendekomposisi bahan organik secara aerob dalam waktu dan suhu tertentu (Nemerow, 1991). BOD menunjukkan jumlah oksigen yang digunakan dalam proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi pada suhu 20o C selama lima hari dalam keadaan tanpa cahaya (Alaerts & Santika, 1984; Boyd, 1990; APHA, 2005; Sugiharto, 2005). Pada dasarnya proses dekomposisi bahan organik berlangsung lama, namun untuk kepentingan praktis, proses dekomposisi dianggap berlangsung lengkap selama duapuluh hari. Meskipun demikian penentuan BOD selama duapuluh hari dianggap terlalu lama. Oleh karena itu, pengukuran BOD didasarkan pada lima hari inkubasi dengan suhu 20 oC. Selama lima hari diperkirakan 60−70 % bahan organik telah mengalami oksidasi (Metcalf & Eddy, 1991). Pada daerah yang
beriklim tropis, suhu inkubasi 25–30 oC umumnya digunakan untuk analisa BOD. Penggunaan suhu inkubasi 30 oC untuk analisa BOD lebih sesuai dengan kondisi perairan yang sebenarnya karena bakteri lebih mudah menyesuaikan diri seperti kondisi alaminya. Waktu inkubasi yang digunakan pada suhu 30 oC adalah tiga hari (Gray, 2004). Nilai BOD suatu perairan berbeda-beda tergantung kandungan bahan organik yang ada di dalamnya. Perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5−7 mg/l (Jeffries & Mills 1996 in Effendi 2003). Perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran (Connell, 2005).
2.6. Kinetika BOD Dekomposisi di perairan memiliki dimensi kecepatan yang mungkin berbedabeda tergantung faktor-faktor yang mempengaruhinya. Proses dekomposisi bahan organik secara alami akan berhenti bila faktor-faktor pembatasnya tidak tersedia atau telah dihabiskan dalam proses dekomposisi itu sendiri. Oksigen dan bahan organik menjadi faktor kendali dalam proses dekomposisi (Sunarto, 2003). Laju dekomposisi umumnya diukur secara tidak langsung melalui pendugaan konsumsi oksigen atau perubahan karbondioksida, dapat pula diduga dengan menghitung kehilangan berat atau pengurangan konsentrasi tiap satuan waktu seperti peluruhan karbon radioaktif (Saunder, 1980). Laju penggunaan oksigen untuk menguraikan bahan organik (Kinetika BOD/laju peluruhan bahan organik) merupakan suatu proses reaksi oksidasi yang berdasarkan pada reaksi kimia orde pertama sederhana dan tidak bolak-balik, dengan asumsi bahwa kuantitas penguraian bahan organik adalah konstan dan kecepatan penguraian sebanding dengan bahan organik yang tersisa (France & Thronley 1984 in Polii 1994). Menurut Streeter & Phelps 1944 in Nemerow (1991) Laju oksidasi biokimia bahan organik sebanding dengan konsentrasi bahan organik tersisa yang belum teroksidasi dan diukur dalam bentuk daya oksidasi, yang dinyatakan dalam persamaan berikut:
∫
Lt
Lo
− dL = kL atau dt
dL = − kL .......................................................(1.1) dt
Keterangan: L = BOD (mg/l) pada waktu t Apabila Lo menyatakan BOD pada waktu t = 0, maka : − kt
L (t ) = Lo e
........................................................................................(1.2)
Dalam hal ini Lo menunjukkan total oksigen ekuivalen dari bahan organik pada waktu 0, sedangkan L(t) menunjukkan jumlah oksigen ekuivalen sisa pada waktu (t), selisih antara nilai Lo dengan L(t) adalah oksigen ekuivalen yang dikonsumsi atau BOD yang digunakan pada waktu (t) yang dilambangkan sebagai Y(t) dan dapat dirumuskan sebagai: − kt
Y (t ) = Lo(1 − e ) ..................................................................................(1.3) BOD akhir (Ultimate BOD/L) mendekati nilai Lo seperti terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hubungan waktu dengan BOD (Metcalf & Eddy, 1991)
Penumpukan bahan organik dapat terjadi bila tidak ada keseimbangan antara suplai bahan organik dengan kecepatan dekomposisi. Beban bahan organik akan semakin berat apabila kecepatan dekomposisi berjalan lambat.
Jika bahan
organik yang masuk ke perairan lebih besar dari laju dekomposisi maka bahan organik akan terakumulasi, jika laju dekomposisi lebih besar daripada masukan bahan organik maka jumlah bakteri akan berkurang sesuai dengan keterbatasan
bahan organik, dan jika terjadi keseimbanagn maka jumlah bahan organik di perairan akan stabil (Sunarto, 2003). Nilai konsatanta laju oksidasi (k-BOD) dipengaruhi oleh jenis bahan organik, kondisi fisika, kimia, dan biologi selama proses dekomposisi berlangsung, sehingga nilai k dapat berbeda untuk setiap kondisi perairan. Nilai k untuk air yang terpolusi dan air buangan dapat mencapai 0,23 perhari (suhu inkubasi 20o C, basis e) (Metcalf & Eddy, 1991). Nilai k-BOD (20o C, basis e) pada sungai yang terpolusi berkisar antara 0,12-0,23 perhari, untuk limbah yang tidak diolah nilainya berkisar antara 0,35-0,70 perhari (Davis & Cornwell, 1991). Perairan dengan nilai BOD akhir (ultimate BOD/L) yang sama dapat memiliki nilai k yang berbeda. Nilai k menentukan kecepatan laju konsumsi oksigen pada proses penguraian bahan organik. Laju dekomposisi bahan organik dengan nilai k yang berbeda-beda dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Laju dekomposisi bahan organik dengan nilai k yang berbeda-beda (Metcalf & Eddy, 1991)
2.7. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) Kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical Oxygen Demand/COD) menunjukkan jumlah oksigen yang digunakan dalam proses oksidasi bahan organik secara kimiawi dengan menggunakan oksidator kuat (kalium dikromat) (Alaerts & Santika, 1984; Boyd, 1990; Nemerow, 1991; APHA, 2005).
Pada prosedur
penentuan COD, oksigen yang digunakan setara dengan jumlah dikromat yang terpakai untuk mengoksidasi bahan organik. Hampir semua bahan organik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable), dapat dioksidasi dengan kalium dikromat dalam suasana asam. Dengan menggunakan dikromat sebagai oksidator, diperkirakan sekitar 95−100 % bahan organik dapat teroksidasi. Uji COD merupakan suatu analisa dengan menggunakan reaksi oksidasi kimia yang meniru proses okdsidasi biologis di alam. Selama proses penentuan COD, bahan organik akan diubah menjadi CO2 dan H2O tanpa melihat kemampuan asimilasi perairan terhadap bahan organik (Polii, 1994). Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/l dan pada limbah industri dapat mencapai 60.000 mg/l (UNESCO/WHO/UNEP 1992 in Effendi 2003).
2.8. Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) adalah banyaknya oksigen yang terkandung di dalam air (Sugiharto, 2005). Oksigen terlarut merupakan parameter kimia yang paling sering diukur untuk menentukan pengaruh pencemaran bahan organik pada sungai (Nemerow, 1991). Kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer (Jeffries & Mills 1996 in Effendi 2003). Sumber oksigen terlarut dapat berasal dari fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton serta difusi oksigen dari atmosfer. Difusi oksigen dari udara bebas terjadi ketika berlangsung kontak antara air dengan campuran gas di atmosfer saat air berada dalam kondisi tidak jenuh oksigen (undersaturated). Proses difusi oksigen dari udara ke perairan alami berlangsung lambat kecuali terjadi turbulensi yang kuat (Boyd, 1990). Konsentrasi oksigen terlarut di dalam perairan merupakan indikator umum kondisi kualitas air suatu perairan. Konsentrasi oksigen terlarut dapat menurun akibat adanya dekomposisi bahan organik di perairan. Oksigen terlarut yang rendah dapat menyebabkan berkurangnya jumlah dan jenis biota akuatik yang hidup pada suatu perairan. Biota akuatik tersebut banyak yang mati atau
melakukan migarasi ke daerah lain yang konsentrasi oksigennya masih cukup tinggi (Fardiaz, 1992). Ikan dan organisme akuatik membutuhkan oksigen untuk kehidupannya. Kebutuhan oksigen sangat dipengaruhi oleh suhu, dan bervariasi antar organisme. Perairan yang digunakan untuk kegiatan perikanan sebaiknya mengandung oksigen yang tidak kurang dari 5 mg/l. Kadar oksigen terlarut yang kurang dari 4 mg/l akan kurang menguntungkan bagi organisme akuatik sedangkan kadar oksigen terlarut yang kurang dari 2 mg/l akan menyebabkan kematian organisme akuatik (UNESCO/WHO/UNEP 1992 in Effendi 2003).
Kadar oksigen di
perairan estuari yang baik untuk kelangsungan hidup biota adalah lebih dari 5 mg/l (Nybakken, 1992).
2.9. Parameter Kualitas Air Terkait 2.9.1. Suhu Cahaya matahari merupakan sumber panas yang utama di perairan (Odum, 1993). Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta penutupan badan air (Haslam 1995 in Effendi 2003). Suhu air berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi perairan. Pengaruh suhu secara langsung menentukan kehadiran spesies akuatik, mempengaruhi pemijahan, penetasan, aktivitas dan pertumbuhan organisme, sedangkan secara tidak langsung dapat menyebabkan perubahan kesetimbangan kimia (Pescod, 1973). Suhu juga mempengaruhi kecepatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba (Haslam 1995 in Effendi 2003). Suhu di estuari lebih bervariasi daripada perairan laut di sekitarnya. Hal ini terjadi karena dasar perairan estuari lebih dangkal dari laut sehingga perairan estuari akan mengalami suhu yang lebih cepat panas dan lebih cepat dingin. Suhu di estuari selain dipengaruhi oleh matahari, juga dipengaruhi oleh resultan dari percampuran antara air tawar dengan air laut yang berbeda suhunya (Nybakken, 1992).
Suhu di perairan laut nusantara umumnya berkisar antara 28–31 oC
(Nontji, 2007).
2.9.2. pH Nilai pH menunjukkan konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan (Cole, 1983; Alaerts & Santika, 1984). Nilai pH digunakan untuk mengukur sifat asam atau basa suatu larutan. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktivitas biologi, aktivitas fotosintesis, suhu, kation dan anion (Pescod, 1973). Organisme perairan mempunyai kemampuan toleransi yang berbeda terhadap pH perairan.
Kematian organisme lebih sering diakibatkan karena pH yang
rendah daripada pH yang tinggi. Batas toleransi terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya anion dan kation, jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973). Nilai pH pada perairan alami biasanya berkisar antara 6,5 sampai 9 (Boyd, 1990). Nilai pH laut umumnya berkisar antara 7,5 sampai 8,4 (Nybakken, 1992).
2.9.3. Salinitas Salinitas adalah jumlah berat seluruh garam terlarut dalam satu liter air yang biasanya dinyatakan dalam satuan permil (o/oo, gram per liter) (Nybakken,1992; Nontji, 2007). Nilai salinitas dipengaruhi oleh proses percampuran, curah hujan lokal, proses evaporasi dan pembekuan (Wibisono, 2005). Salinitas di estuari berfluktuatif, pola gradien akan tampak pada saat tertentu, tetapi pola gradiennya brvariasi bergantung pada musim, topografi estuari, pasang surut, dan jumlah air tawar (Nybakken, 1992). Estuari memiliki salinitas yang bervariasi relatif besar dan terjadi dalam waktu yang singkat (Hugh, 1964). Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0,5 o/oo, perairan payau antara 0,5−30 o/oo dan perairan laut 30−40 o/oo (Effendi, 2003).
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan September sampai bulan Oktober 2007 sedangkan penelitian utama dilaksanakan pada bulan Juni sampai bulan Agustus 2008 saat terjadi musim kemarau. Penentuan musim kemarau dilakukan berdasarkan data curah hujan di muara Sungai Cisadane (Lampiran 4). Lokasi penelitian berada di Muara Sungai Cisadane (Gambar 4), Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tanggerang, Propinsi Banten.
Analisa sampel air dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan
Lingkungan Perairan Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Gambar 4. Lokasi Penelitian, bagian payau (ST.1) dan laut (ST.2) (Bakosurtanal, 2001)
3.2. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning System) Garmin 8, SCT-Meter YSI model 33, Refraktometer ATAGO, meteran, Van Dorn Water Sampler, pH-meter ecoscan, DO-meter TOA model DO-20 A, Cooller box, wadah sampel berupa botol plastik polietilen, botol BOD, aerator, inkubator dan lemari pendingin. Bahan-bahan yang digunakan adalah sampel air, aquades, sulfamic acid, MnSO4, NaOH-KI, H2SO4, amylum, natrium tiosulfat, K2Cr2O7, FAS (Ferro ammonium sulfat), Ferroin, serta garam-garam untuk membuat air laut buatan (NaCl, MgCl2, MgSO4, K2SO4, CaCO3, KBr, dan H3BO3). 3.3. Metode Kerja 3.3.1. Penentuan stasiun Penentuan titik pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pengamatan pendahuluan (September-Oktober 2007) terhadap sebaran salinitas di muara Sungai Cisadane saat pasang surut. Berdasarkan hasil pengukuran salinitas pada beberapa kedalaman yang dilakukan secara gradual dari arah sungai menuju laut pada saat pasang dan saat surut, didapatkan sebaran salinitas, serta diketahui pula letak daerah tawar, payau (percampuran), dan laut. Setelah diketahui letak bagian payau dan bagian laut, maka ditentukan titik pengambilan sampel pada bagian payau dan bagian laut. Penentuan titik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan GPS. Dalam penelitian ini terdapat dua titik pengambilan sampel/stasiun, stasiun satu (ST.1) adalah daerah percampuran antara air tawar dan air laut yang masih berada di dalam daerah aliran sungai, sedangkan stasiun dua (ST.2) adalah daerah yang relatif sudah tidak terpengaruh oleh pengenceran dari air tawar dan berada di lepas pantai. Daerah di sekitar ST.1 merupakan area tambak ikan (mujair, nila dan bandeng) dan daerah di sekitar ST.2 merupakan tempat nelayan lokal menangkap ikan. Kordinat titik pengambilan sampel berdasarkan GPS ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Posisi geografis titik pengambilan sampel Posisi Stasiun Lintang Selatan 1 06o 01' 09,9" 2 06o 00' 00,0"
Bujur Timur 106o 37' 53,8" 106o 38' 36,0"
3.3.2. Pengumpulan data Data yang dikumpulkan berupa data dari hasil pengamatan terhadap beberapa parameter kualitas air. Parameter utama yang diukur dalam penelitian ini adalah DO, COD, BOD3 dan k-BOD serta parameter terkait yaitu suhu, salinitas dan pH. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan September dan Oktober 2007. Data yang didapat dari pengambilan sampel pada bulan tersebut dijadikan sebagai data penelitian pendahuluan, sedangkan data utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah data yang didapat dari pengambilan sampel pada bulan JuniAgustus 2008. Pengambilan sampel pada bulan Juni, Juli dan Agustus 2008 dilakukan satu kali dalam setiap bulan. Pengambilan sampel dilakukan pada bagian percampuran dan bagian laut saat terjadi pasang dan surut, yaitu ketika menjelang pasang tertinggi dan menjelang surut terendah. Penentuan waktu terjadinya pasang surut dilakukan berdasarkan data pasang surut dari Dinas Hidrologi dan Oseanografi (Dishidros) TNI AL serta disesuaikan dengan pengamatan langsung di lapangan. Pengukuran suhu, salinitas, pH dan DO langsung dilakukan di lapang saat pengambilan sampel air, sedangkan pengukuran BOD3, COD dan k-BOD dilakukan di laboratorium. Sampel untuk penelitian pendahuluan diambil dari kolom air bagian permukaan (20% kedalaman), bagian tengah (50% kedalaman) dan bagian dasar (80% kedalaman), sedangkan sampel untuk penelitian utama hanya diambil dari kolom air bagian permukaan dan bagian dasar saja. Hal ini dilakukan karena berdasarkan penelitian pendahuluan diketahui bahwa parameter kualitas air pada bagian tengah tidak berbeda jauh dengan bagian permukaan dan dasar. Pengambilan sampel air tersebut dilakukan dengan menggunakan Van Dorn Water Sampler. Air sampel yang diambil untuk pengukuran BOD3, COD dan k-BOD dimasukan ke dalam botol sampel, kemudian diletakan di dalam
cooller box yang berisi es untuk preservasi sampel sebelum dianalisa di laboratorium. Parameter serta alat atau metode pengukurannya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Parameter kualitas air yang diamati dan alat/metode yang digunakan dalam pengukuran Parameter Satuan
Alat/Metode
Lokasi Analisa
Suhu
°C
SCT-Meter (thermistor), Thermometer (APHA, 2005)
Lapang
Salinitas
ppt
SCT-Meter (APHA, 2005)
Lapang
pH
−
pH-meter (APHA, 2005)
Lapang
DO
mg/l
DO-meter & Winkler (APHA, 2005)
Lapang
BOD3
mg/l
COD
mg/l
Inkubasi 3 hari 30° C, modifikasi winkler (Polii, 1994) & (APHA, 2005) Heat Dillution (titrimetri K2Cr2O7) (Boyd, 1990)
Laboratorium Laboratorium
3.3.3. Penentuan nilai konstanta laju oksidasi (k-BOD) Analisa penentuan nilai konstanta laju oksidasi bahan organik (k-BOD) hampir sama dengan analisa BOD, namun dalam penentuan k-BOD di lakukan pengukuran pemanfaatan oksigen secara berkala. Air sampel yang diambil dari lapang diaerasi sekitar 1 jam lalu dimasukan ke dalam botol BOD, diukur DO awal kemudian diinkubasi pada suhu 30o C, lalu diamati kadar oksigennya secara berkala dengan interval waktu tertentu (t). Jumlah botol BOD yang digunakan untuk satu sampel adalah tujuh buah, botol tersebut dibungkus dengan plastik hitam untuk mencegah masuknya cahaya. Pengamatan kadar oksigen dilakukan pada waktu (to) sebelum inkubasi, kemudian pada waktu (t1), (t2), (t3), (t4), (t5) dan (t6). Penggunaan suhu inkubasi 30o C dilakukan agar proses dekomposisi yang terjadi mendekati proses yang sesungguhnya terjadi diperaiaran. Pengukuran kandungan oksigen pada analisa k-BOD dilakukan dengan metode winkler, dari hasil pengamatan kadar oksigen secara berkala, maka akan diperoleh nilai BOD(t) yaitu nilai BOD0 pada waktu t0, BOD1 pada waktu t1, BOD2 pada waktu t2, hingga
diperoleh BOD6 pada waktu t6, selanjutnya berdasarkan data waktu dan BOD tersebut, dilakukan penentuan nilai konstanta laju oksidasi (k-BOD) dengan metode kuadrat terkecil (least-square method) (Nemerow, 1991; Metcalf & Eddy, 1991).
3.3.3.1. Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui interval waktu yang akan digunakan dalam analisa penentuan nilai konstanta laju oksidasi bahan organik (k-BOD). Terdapat dua interval waktu yang digunakan dalam penentuan nilai kBOD untuk penelitian pendahuluan. Interval waktu yang digunakan adalah 4 jam dan 6 jam.
Penentuan interval waktu yang digunakan untuk tiap sampel
ditetapkan berdasarkan nilai BOD3 sampel yang telah dianalisa terlebih dahulu. Sampel yang dianalisa dalam penelitian pendahuluan tidak diencerkan. Hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa Interval waktu yang digunakan belum bisa menggambarkan proses dekomposisi bahan organik sepenuhnya. Total waktu yang terukur dari awal sampai akhir (enam pengamatan) hanya mencapai 1 hari untuk interval 4 jam dan hanya mencapai 1½ hari untuk interval 6 jam. Oleh karena itu, diperlukan interval waktu pengamatan yang lebih panjang agar dapat menggambarkan proses dekomposisi sepenuhnya, selain itu perlu dilakukan pengenceran terhadap sampel agar oksigen yang ada di dalam botol BOD tidak habis sebelum proses dekomposisi selesai. Grafik laju dekomposisi untuk interval 4 jam dan 6 jam dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.
3.3.3.2. Penelitian utama Berdasarkan penelitian pendahuluan maka diperlukan interval waktu pengamatan yang lebih panjang dan dilakukan pengenceran terhadap sampel. Besar nilai pengenceran ditetapkan berdasarkan nilai BOD3 yang telah dianalisa terlebih dahulu. Pengenceran dilakukan sebelum air sampel diaerasi. Air pengencer yang digunakan adalah aquades bersalinitas (air laut buatan). Bahan kimia yang digunakan untuk menghasilkan aquades bersalinitas diantaranya adalah NaCl, MgCl2, MgSO4, K2SO4, CaCO3, KBr, dan H3BO3 (Kalle 1945 in
Rilley & Skirrow 1975). Interval waktu yang digunakan pada penentuan nilai kBOD untuk penelitian utama adalah 24 jam (1 hari) dan 36 jam (1½ hari). Pengamatan laju oksidasi dengan interval waktu 1 hari digunakan untuk sampel bulan Juni dan Juli, sedangkan untuk sampel bulan Agustus interval waktu yang digunakan adalah 1½ hari. Interval 1½ hari digunakan untuk sampel bulan Agustus karena kandungan bahan organik pada sampel tersebut lebih besar dari kandungan yang ada pada sampel sebelumnya. Hal tersebut diketahui dari nilai BOD3 yang telah diamati terlebih dahulu sebelum melakukan analisa laju oksidasi. Pengenceran yang dilakukan terhadap sampel memerlukan blanko sebagai kontrol (faktor koreksi). Blanko yang digunakan adalah aquades bersalinitas sesuai dengan salinitas sampel. Prosedur analisa penentuan nilai konstanta laju oksidasi bahan organik (k-BOD) untuk blanko sama seperti prosedur analisa untuk air sampel.
3.4. Metode Analisa Data 3.4.1. Analisa data kinetika BOD (k-BOD) Penentuan nilai konstanta laju oksidasi (k-BOD) dan nilai BOD akhir (Lo) dilakukan dengan menggunakan metode kuadrat terkecil. Menurut Streeter & Phelps 1944 in Nemerow (1991), laju oksidasi biokimia bahan organik sebanding dengan konsentrasi bahan organik tersisa yang belum teroksidasi dan diukur dalam bentuk daya oksidasi, yang dinyatakan dalam persamaan berikut:
∫
Lt
Lo
− dL = kL atau dt
dL = − kL .......................................................(1.1) dt
Keterangan: L = BOD (mg/l) pada waktu t Apabila Lo menyatakan BOD pada waktu t = 0, maka penyelesaian persamaan tersebut adalah : − kt
L (t ) = Lo e
........................................................................................(1.2)
Dalam hal ini Lo menunjukkan total oksigen ekuivalen dari bahan organik pada waktu 0, sedangkan L(t) menunjukkan jumlah oksigen ekuivalen sisa pada waktu (t), selisih antara nilai Lo dengan L(t) adalah oksigen ekuivalen yang dikonsumsi
atau BOD yang digunakan pada waktu (t) yang dilambangkan sebagai Y(t) dan dapat dirumuskan sebagai: − kt
Y (t ) = Lo(1 − e ) ..................................................................................(1.3) BOD akhir (Ultimate BOD) mendekati nili Lo. Nilai k dan nilai Lo dapat diperoleh dengan metode kuadrat terkecil terhadap persamaan diferensial berikut:
Y ' (t ) =
dy = k ( Lo − Y ) ..........................................................................(1.4) dt
Y’(t) adalah laju perubahan dari Y(t), persamaan diferensial (1.4) memperlihatkan bahwa hubungan antara Y’ dengan Y bersifat linier, dengan k Lo berfungsi sebagai intersep dan –k sebagai kemiringan, selanjutnya dengan memisalkan k Lo = a dan –k = b, maka persamaan diferensial (1.4) dapat ditulis menjadi :
Y ' (t ) = a + bY .....................................................................................(1.5) apabila diperoleh n pasang data berupa (Y’, Y), yaitu (Y0’, Y0), (Y1’, Y1),........., (Y’n, Yn), maka metode kuadrat terkecil dapat menghasilkan nilai dugaan bagi a dan b dengan cara meminimumkan jumlah kuadrat n galat dengan bentuk persamaan: g n ' (t ) = a + bYi − Yi ' ............................................................................(1.6) i = 1,2,3,........n dengan meminimumkan nilai ∑gi2, maka nilai a dan b harus memenuhi persamaan normal berikut:
na + b ∑ Yi − ∑ Y ' i = 0 .........................................................................(1.7) dan a ∑ Yi + b ∑ Yi 2 − ∑ YY ' = 0 ...................................................................(1.8)
i = 1,2,3,........n dengan nilai Y = Y(t) (mg/l) dan nilai Y ' =
Yn +1 − Yn −1 , setelah a dan b dihitung 2 ∆t
dari substitusi persamaan (1.7) dengan (1.8), maka nilai k (konstanta laju oksidasi) dan Lo (BOD akhir/L) diperoleh dari hubungan Lo = −
a . b
k = -b
dan
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Laju Dekomposisi 4.1.1. Konstanta laju oksidasi (k) dan BOD akhir (L) interval 1 hari Laju dekomposisi (k) diukur secara tidak langsung melalui pendugaan konsumsi oksigen. Semakin besar nilai k maka proses dekomposisi bahan organik akan semakin cepat, sebaliknya semakin kecil nilai k maka proses dekomposisi akan berjalan lambat. Pengukuran laju dekomposisi bahan organik dilakukan pada bagian payau (ST.1) dan laut (ST.2) ketika pasang dan surut, dimana masingmasing waktu dibagi menjadi dua lapisan yaitu lapisan permukaan dan lapisan dasar. Nilai k untuk ST.1 berkisar antara 0,24 /hari sampai 0,50 /hari dengan nilai L berkisar antara 6,42 mg/l sampai 10,51 mg/l (Tabel 3). Nilai k pada ST.1 lapisan permukaan cenderung lebih besar dari lapisan dasar, ini berarti proses dekompossisi pada lapisan permukaan lebih cepat daripada lapisan dasar. Pada lapisan dasar, nilai L saat pasang hampir sama dengan nilai L saat surut, namun nilai k saat pasang berbeda dengan nilai k saat surut. Perbedaan nilai k tersebut dapat terjadi karena perbedaan jenis bahan organik atau karena adanya perbedaan jumlah bakteri pengurai. Nilai k terbesar pada ST.1 ada pada lapisan permukaan saat air surut yaitu sebesar 0,50 /hari dan nilai L terbesar pada ST.1 juga ada pada lapisan permukaan saat air surut yaitu sebesar 10,51 mg/l. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada ST.1 lapisan pemukaan saat surut, memiliki BOD akhir yang cukup besar dengan laju konsumsi oksigen yang relatif cepat, keadaan ini dapat menyebabkan berkurangnya oksigen terlarut dengan cepat hingga menjadi semakin rendah. Hal ini ditunjukkan juga oleh nilai oksigen terlarutnya yang rendah (Gambar 9). Blanko yang digunakan dalam analisa laju dekomposisi untuk ST.1 memiliki salinitas 10 o/oo , 25 o/oo dan 30 o/oo (Tabel 3). Nilai k untuk blanko berkisar antara 0,16 /hari sampai 0,74 /hari dengan nilai L berkisar antara 0,82 mg/l sampai 2,51 mg/l (Tabel 3). Nilai L pada blanko relatif kecil, hal ini menunjukkan bahwa air yang digunakan sebagai pengencer mengandung sedikit bahan organik.
Tabel 3. Nilai konstanta laju oksidasi (k) dan BOD akhir (L) pada stasiun 1 dengan interval waktu 1 hari Stasiun
Waktu
Konstanta laju oksidasi (k) /hari
BOD akhir (L) mg/l
Permukaan
0,49
6,42
Dasar
0,35
7,48
Permukaan
0,50
10,51
Dasar
0,24
7,44
0,74 0,41 0,16
0,82 1,43 2,51
Lapisan
Pasang 1 Surut Blanko 10 o/oo Blanko 25 o/oo Blanko 30 o/oo
Nilai k untuk ST.2 berkisar antara 0,22 /hari sampai 0,52 /hari dengan nilai L berkisar antara 4,27 mg/l sampai 6,54 mg/l (Tabel 4). Nilai k pada ST.2 lapisan permukaan cenderung lebih besar dari lapisan dasar, ini menunjukkan bahwa proses dekompossisi pada lapisan permukaan lebih cepat daripada lapisan dasar. Hal tersebut memberikan indikasi bahwa bahan organik yang ada pada lapisan permukaan lebih mudah terurai daripada bahan organik yang ada pada lapisan dasar. Nilai k terbesar pada ST.2 ada pada lapisan permukaan saat air surut yaitu sebesar 0,52 /hari dengan nilai L sebesar 6,46 mg/l. Pada lapisan permukaan, nilai k saat pasang hampir sama dengan nilai k saat surut, namun nilai L saat pasang berbeda dengan nilai L saat surut. Perbedaan nilai L tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan jumlah bahan organik saat pasang surut. Nilai L pada ST.2 saat surut lebih besar dibandingkan nilai L saat pasang, ini menunjukkan bahwa total kebutuhan oksigen untuk dekomposisi bahan organik pada saat surut akan lebih besar daripada saat pasang. Hal ini diduga karena adanya masukan bahan organik yang lebih besar dari aliran sungai saat air laut surut. Air sungai tersebut diduga membawa bahan organik yang berasal dari buangan rumah tangga, peternakan sapi dan limbah industri dari aliran sungai sebelumnya.
Tabel 4. Nilai konstanta laju oksidasi (k) dan BOD akhir (L) pada Stasiun 2 dengan interval waktu 1 hari Stasiun
Waktu
Konstanta laju oksidasi (k) hari
BOD akhir (L) mg/l
Permukaan
0,50
4,27
Dasar
0,22
5,80
Permukaan
0,52
6,46
Dasar
0,37
6,54
0,41 0,16
1,43 2,51
Lapisan
Pasang 2 Surut Blanko 25 o/oo Blanko 30 o/oo
Secara umum pada ST.1 dan ST.2 dengan interval waktu pengamatan 1 hari, nilai k berkisar antara 0,22 /hari sampai 0,52 /hari. Nilai k pada ST.1 dan ST.2 memiliki pola yang hampir sama. Hal ini dapat dilihat pada grafik laju dekomposisi (Gambar 5). Nilai k lapisan permukaan lebih tinggi daripada nilai k lapisan dasar, baik pada ST.1 maupun pada ST.2. Nilai k saat surut lebih besar daripada nilai k saat pasang baik pada ST.1 maupun pada ST.2. Nilai k terbesar untuk interval waktu 1 hari, terdapat pada ST.1 lapisan permukaan saat surut yang nilainya mencapai 0,50 /hari. Nilai k yang besar ini menyebabkan pengurangan oksigen yang cepat. Kisaran nilai L pada ST.1 dan ST.2 saat pasang adalah antara 4,27 mg/l sampai 7,48 mg/l dan kisaran nilai L pada ST.1 dan ST.2 saat surut adalah antara 6,46 mg/l sampai 10,51 mg/l. Pada ST.1 dan ST.2, nilai L saat surut lebih besar daripada saat pasang. Hal ini menunjukkan bahwa BOD akhir pada saat surut lebih besar daripada saat pasang, baik pada ST.1 maupun pada ST.2. Hal ini dapat dilihat pada grafik laju dekomposisi (Gambar 5), dari gambar tersebut terlihat bahwa grafik laju dekomposisi saat surut lebih tinggi daripada saat pasang. Nilai L tertinggi untuk interval waktu 1 hari terdapat pada ST.1 lapisan permukaan saat surut yang nilainya mencapai 10,51 mg/l. Secara umum pada interval waktu pengamatan 1 hari, total kebutuhan oksigen pada ST.1 lebih besar daripda ST.2.
12
ST.1 Pasang
BOD (mg/l)
10 8 6 4 2 0 0
1
2
12
3 4 Waktu (hari)
5
6
ST.1 Surut
BOD (mg/l)
10 8 6 permukaan
4 2
dasar
0 0
1
12
2
3 Waktu (hari)
4
5
6 blanko 10%o
ST.2 Pasang blanko 25%o
BOD (mg/l)
10 8
blanko 30%o
6 4 2 0 0
1
12
2
3 Waktu (hari)
4
5
6
4
5
6
ST.2 Surut
BOD (mg/l)
10 8 6 4 2 0 0
1
2
3
Waktu hari)
Gambar 5. Laju dekomposisi bahan organik pada stasiun 1 dan stasiun 2 untuk interval waktu 1 hari
4.1.2. Konstanta laju oksidasi (k) dan BOD akhir (L) interval 1 ½ hari Nilai k untuk ST.1 berkisar antara 0,07 /hari sampai 0,35 /hari dengan nilai L berkisar antara 8,70 mg/l sampai 54,43 mg/l (Tabel 5). Nilai k pada ST.1 lapisan permukaan cendrung lebih kecil dari lapisan dasar, ini menunjukkan bahwa proses dekomposisi pada lapisan permukaan lebih lebih lambat daripada lapisan dasar. Nilai k terkecil pada ST.1 ada pada lapisan permukaan saat air surut yaitu sebesar 0,07 /hari. Nilai tersebut menunjukkan bahwa proses dekomposisi berjalan lambat. Laju dekomposisi yang lambat dapat menyebabkan terjadinya akumlasi bahan organik. Hal ini dapat diketahui dari nilai L pada ST.1 lapisan permukaan saat surut yang mencapi 54,43 mg/l, nilai ini merupakan nilai L yang terbesar dari nilai L lainnnya. Semakin besar nilai L maka akan semakin besar total kebutuhan oksigen untuk dekomposisi, apabila jumlah oksigen tidak banyak maka oksigen di perairan dapat habis. Nilai L pada lapisan permukaan lebih besar daripada lapisan dasar, baik pada saat pasang maupun saat surut. Hal ini diduga karena aliran air sungai yang membawa bahan organik mengalir melalui lapisan atas kolom perairan, sehingga secara umum nilai L pada lapisan permukaan lebih besar dari lapisan dasar. Keadaan ini menunjukkan bahwa total oksigen yang dibutuhkan pada lapisan permukaan lebih besar daripada lapisan dasar. Nilai L juga lebih besar pada saat surut daripada saat pasang. Hal ini terjadi karena pada saat surut aliran air sungai lebih besar dibandingkan pada saat pasang, selain itu pengenceran bahan organik oleh air laut juga lebih sedikit pada saat air laut surut, sehingga kandungan bahan organik pada saat surut menjadi lebih besar. Blanko yang digunakan untuk ST.1 memiliki salinitas 10 o/oo , 25 o/oo dan 30o/oo. Nilai salinitas blanko yang digunakan cukup bervariasi karena pada ST.1 merupakan daerah percampuran (payau), sehingga fliktuasi salinitas menjadi cukup besar. Nilai k untuk blanko berkisar antara 0,16 /hari sampai 0,74 /hari dengan nilai L berkisar antara 0,82 mg/l sampai 2,51 mg/l (Tabel 5).
Tabel 5. Nilai konstanta laju oksidasi (k) dan BOD akhir (L) pada stasiun 1 dengan interval waktu 1 ½ hari Stasiun
Konstanta laju oksidasi (k) hari
BOD akhir (L) mg/l
Permukaan
0,17
13,87
Dasar
0,35
8,70
Permukaan
0,07
54,43
Dasar
0,09
42,97
0,74
0,82
Blanko 25 /oo
0,41
1,43
Blanko 30 o/oo
0,16
2,51
Waktu
Lapisan
Pasang 1 Surut Blanko 10 o/oo o
Nilai k untuk ST.2 berkisar antara 0,08 /hari sampai 0,32 /hari dengan nilai L berkisar antara 6,01 mg/l sampai 25,78 mg/l (Tabel 6). Nilai k pada ST.2 lapisan permukaan lebih besar dari lapisan dasar, ini menunjukkan bahwa proses dekomposisi pada lapisan permukaan lebih cepat daripada lapisan dasar. Hal ini terjadi karena bahan organik yang ada pada lapisan permukaan lebih mudah terurai. Nilai k terbesar pada ST.2 ada pada lapisan permukaan saat air surut yaitu sebesar 0,32 /hari dan nilai L terbesar pada ST.2 juga ada pada lapisan permukaan saat air surut yaitu sebesar 25,78 mg/l. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada ST.2 lapisan permukaan saat surut, memiliki total kebutuhan oksigen yang relatif besar dengan laju konsumsi oksigen yang cukup cepat. Blanko yang digunakan untuk ST.2 memiliki salinitas 25 o/oo dan 30 o/oo (Tabel 6). Nilai k untuk blanko 25 o/oo adalah 0,41 /hari dengan nilai L sebesar 1,43 mg/l. Nilai k untuk blanko 30 o/oo adalah 0,16 /hari dengan nilai L sebesar 2,51 mg/l. Nilai k blanko cukup besar dengan nilai L relatif kecil, hal ini menunjukkan bahwa kandungan bahan organiknya sedikit, dan bahan organik tersebut mudah diuraikan.
Tabel 6. Nilai konstanta laju oksidasi (k) dan BOD akhir (L) pada stasiun 2 dengan interval waktu 1 ½ hari Konstanta Stasiun Waktu Lapisan laju oksidasi BOD akhir (L) mg/l (k) hari Permukaan
0,10
12,39
Dasar
0,08
18,61
Permukaan
0,32
25,78
Dasar
0,31
6,01
0,41 0,16
1,43 2,51
Pasang 2 Surut Blanko 25 o/oo Blanko 30 o/oo
Secara umum pada ST.1 dan ST.2 dengan interval waktu pengamatan 1½ hari, nilai k berkisar antara 0,07 /hari sampai 0,35 /hari. Pada saat pasang, nilai k ST.1 lebih besar dari ST.2, sedangkan pada saat surut nilai k ST.1 lebih kecil dari ST.2. Perbedaan nilai k tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan jenis bahan organik antara ST.1 dengan ST.2. Nilai k terkecil untuk interval waktu 1½ hari, terdapat pada ST.1 lapisan permukaan saat surut yang nilainya mencapai 0,07/hari. Nilai k yang kecil itu dapat menyebabkan terjadinya penumpukan bahan organik. Kisaran nilai L pada ST.1 dan ST.2 saat pasang adalah antara 8,70 mg/l sampai 18,61 mg/l dan kisaran nilai L pada ST.1 dan ST.2 saat surut adalah antara 6,01 mg/l sampai 54,43 mg/l. Pada ST.1 dan ST.2, nilai L saat surut cenderung lebih besar daripada saat pasang. Hal ini lebih lanjut menunjukkan bahwa total kebutuhan oksigen pada saat surut lebih besar daripada saat pasang, baik pada ST.1 maupun pada ST.2. Keadaan tersebut dapat diketahui dari grafik laju dekomposisi (Gambar 6), dari gambar tersebut terlihat bahwa grafik laju dekomposisi saat surut lebih tinggi daripada saat pasang. Nilai L tertinggi untuk interval waktu 1½ hari terdapat pada ST.1 lapisan permukaan saat surut yang nilainya mencapai 54,43 mg/l. Secara umum pada interval waktu pengamatan 1½ hari, total kebutuhan oksigen untuk dekomposisi bahan organik pada ST.1 cendrung lebih besar daripda total kebutuhan oksigen pada ST.2.
BOD (mg/l)
28 24 20 16 12 8 4 0
ST.1 Pasang
0
1
2
28
3
4
5
Waktu (hari)
6
7
8
9
ST.1 Surut
BOD (mg/l)
24 20 16 12 permukaan
8 4
dasar
0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Waktu (hari) 28
blanko 10%o
ST.2 Pasang
BOD (mg/l)
24
blanko 25%o
20 16
blanko 30%o
12 8 4 0
BOD (mg/l)
0
1
2
28 24 20 16 12 8 4 0
3
4 5 Waktu (hari)
6
7
8
9
6
7
8
9
ST.2 Surut
0
1
2
3
4
5
Waktu (hari)
Gambar 6. Laju dekomposisi bahan organik pada stasiun 1 dan stasiun 2 untuk interval waktu 1½ hari
4.2. Kebutuhan Oksigen Biokimiawi dan Kebutuhan Oksigen Kimiawi Kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD) menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mendekomposisi bahan organik yang dapat diuraikan oleh bakteri. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai rata-rata BOD3 saat pasang pada ST.1 adalah 4,38 mg/l untuk lapisan permukaan dan 3,06 mg/l untuk lapisan dasar, sedangkan pada ST.2 nilai BOD3 yang diperoleh adalah 2,88 mg/l untuk lapisan permukaan dan 1,67 mg/l untuk lapisan dasar. Nilai rata-rata BOD3 saat surut pada ST.1 adalah 6,02 mg/l untuk lapisan permukaan dan 3,07 mg/l untuk lapisan dasar, sedangkan pada ST.2 nilai BOD3 yang diperoleh adalah 3,02 mg/l untuk lapisan permukaan dan 2,89 mg/l untuk lapisan dasar. Kisaran Nilai BOD3 yang didapatkan pada ST.1 yaitu antara 3,06 mg/l sampai 6,02 mg/l dan pada ST.2 berkisar antara 1,67 mg/l sampai 3,02 mg/l (Gambar 7). Nilai BOD3 pada ST.1 relatif lebih tinggi daripada nilai BOD3 pada ST.2. Hal ini diduga karena adanya kandungan bahan organik yang lebih besar pada ST.1 dari aliran sungai sebelumnya. Bahan organik dalam aliran sungai berasal dari buangan rumah tangga, peternakan sapi dan limbah industri di sekitar daerah aliran sungai yang berada sebelum ST.1. Bahan organik tersebut belum terdekomposisi habis dan terbawa aliran sungai melalui ST.1 yang pada akhirnya bermuara di laut (ST.2). Pada ST.2, nilai BOD3 lebih kecil karena bahan organik telah mengalami pengenceran oleh air laut. Bahan organik tersebut mengalir melalui lapisan atas kolom perairan, sehingga secara umum nilai BOD3 pada lapisan permukaan lebih besar dari lapisan dasar. Nilai BOD3 terbesar terdapat pada ST.1 lapisan permukaan saat air surut dengan nilai sebesar 6,02 mg/l. Nilai BOD suatu perairan berbeda-beda tergantung konsentrasi bahan organik yang ada di dalamnya. Berdasarkan nilai BOD3 pada ST.1 dan ST.2 diketahui bahwa daerah tersebut relatif belum mengalami pencemaran. Kisaran nilai BOD3 pada ST.1 dan ST.2 juga relatif masih memenuhi baku mutu air untuk kegiatan perikanan berdasarkan baku mutu air kelas III PPRI No. 82 tahun 2001, nilai baku mutunya adalah < 6 mg/l. Nilai BOD3 tersebut juga masih memenuhi baku mutu air untuk kehidupan biota laut berdasarkan Kep.Men.LH. No. 51 tahun 2004 yaitu lebih kecil dari 20 mg/l.
Nilai BOD memiliki hubungan yang erat dengan kandungan oksigen terlarut di perairan. Semakin tinggi nilai BOD maka akan semakin besar penurunan nilai oksigen terlarut. Secara umum nilai BOD3 yang didapat pada ST.1 dan ST.2 relatif masih mendukung untuk kehidupan biota akuatik, namun kondisi ini dapat berubah apabila ketersediaan oksigen pada daerah tersebut relatif kecil. Nilai oksigen terlarut pada ST.1 relatif rendah (Gambar 9), apabila jumlahnya tidak mencukupi untuk proses dekomposisi maka oksigen pada daerah tersebut akan
BOD (mg/l)
habis.
7 6 5 4 3 2 1 0
pasang 4,38 3,06
2,88 1,67
1
2
permukaan
BOD (mg/l)
Stasiun
7 6 5 4 3 2 1 0
6,02
surut
dasar 3,07
3,02
1
2,89
2 Stasiun
Gambar 7. Nilai rata-rata kebutuhan oksigen biokimiawi (BOD3 mg/l) yang diamati saat pasang dan surut
Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawai, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sulit didegradasi secara biologis (non biodegradable). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai rata-rata COD saaat pasang pada ST.1 adalah 20,23 mg/l untuk lapisan permukaan dan 17,53 mg/l untuk lapisan dasar, sedangkan pada ST.2 nilai COD yang diperoleh adalah 17,53 mg/l untuk lapisan permukaan dan 29,65 mg/l untuk lapisan dasar. Nilai rata-rata COD saat surut pada ST.1 adalah 28,31 mg/l untuk
lapisan permukaan dan 45,81 mg/l untuk lapisan dasar, sedangkan pada ST.2 nilai COD yang diperoleh adalah 45,81 mg/l untuk lapisan permukaan dan 55,24 mg/l untuk lapisan dasar. Kisaran Nilai COD yang didapatkan pada ST.1 yaitu antara 17,53 mg/l sampai 45,81 mg/l dan pada ST.2 berkisar antara 17,53 mg/l sampai 55,24 mg/l (Gambar 8). Nilai COD pada ST.2 cendrung lebih tinggi daripada ST.1. Hal ini diduga karena bahan organik yang tidak terurai secara biologis terbawa aliran sungai dan bermuara di laut (ST.2), sehingga nilai COD pada ST.2 menjadi lebih tinggi. Nilai COD pada ST.1 dan ST.2 masih memenuhi baku mutu untuk kegiatan perikanan berdasarkan baku mutu air kelas III PPRI No.82 tahun 2001.
COD (mg/l)
60
pasang
50 40 30
29,65 20,23
17,53
20
17,53
10 0 1
2
permukaan
Stasiun
COD (mg/l)
60
surut 45,81
50 40
55,24 45,81
dasar
28,31
30 20 10 0 1
2 Stasiun
Gambar 8. Nilai rata-rata kebutuhan oksigen kimiawi (COD mg/l) yang diamati saat pasang dan surut
4.3. Oksigen Terlarut (DO) Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai rata-rata DO saat pasang pada ST.1 adalah 1,97 mg/l untuk lapisan permukaan dan 2,76 mg/l untuk lapisan dasar, sedangkan pada ST.2 nilai DO yang diperoleh adalah 6,50 mg/l untuk lapisan permukaan dan 5,86 mg/l untuk lapisan dasar. Nilai rata-rata DO saat
surut pada ST.1 adalah 0,90 mg/l untuk lapisan permukaan dan 1,43 mg/l untuk lapisan dasar, sedangkan pada ST.2 nilai DO yang diperoleh adalah 5,33 mg/l untuk lapisan permukaan dan 5,92 mg/l untuk lapisan dasar. Kisaran nilai DO pada ST.2 masih cukup tinggi yaitu antara 5,33 mg/l sampai 6,50 mg/l, sedangkan pada ST.1 nilai DO hanya berkisar antara 0,90 mg/l sampai 2,76 mg/l (Gambar 9). Pada ST.2 didapatkan nilai DO yang cukup tinggi karena pada daerah tersebut terjadi turbulensi air yang cukup kuat akibat adanya gerakan gelombang air laut, sedangkan pada ST.1 turbulensi air relatif kecil karena arus air sungai pada daerah itu juga sangat kecil, sehingga difusi oksigen dari udara ke dalam perairan juga sedikit. Proses difusi oksigen dari udara ke perairan alami berlangsung lambat kecuali terjadi turbulensi yang kuat (Boyd, 1990). Nilai DO yang rendah pada ST.1 dapat juga disebabkan oleh proses dekomposisi bahan organik. Semakin tinggi kandungan bahan organik maka akan semakin rendah konsentrasi oksigen terlarut (Fardiaz, 1992). Kandungan bahan organik dapat diketahui dari nilai BOD. Nilai BOD3 pada ST.1 lebih tinggi daripada nilai BOD3 pada ST.2 (Gambar 7). Nilai BOD3 yang tinggi tersebut khususnya ditemukan pada lapisan permukaan, sehingga nilai DO pada ST.1 lapisan permukaan lebih kecil dibandingkan dengan nilai DO lainnya (Gambar 9). Nilai DO yang terendah terdapat pada ST.1 saat surut di lapisan permukaan yang nilainya hanya 0,90 mg/l. Kondisi tersebut sangat tidak baik untuk kehidupan biota akuatik dan keberlangsungan proses dekomposisi bahan organik. Ikan dan organisme akuatik lain membutuhkan oksigen dengan jumlah cukup. Perairan yang digunakan untuk kegiatan perikanan sebaiknya mengandung oksigen yang tidak kurang dari 5 mg/l. Kadar oksigen terlarut yang kurang dari 4 mg/l akan kurang menguntungkan bagi organisme akuatik sedangkan kadar oksigen terlarut yang kurang dari 2 mg/l akan menyebabkan kematian organisme akuatik (UNESCO/WHO/UNEP 1992 in Effendi 2003). Kisaran nilai DO pada ST.2 masih cukup mendukung untuk kegiatan perikanan dan masih memenuhi baku mutu air untuk kehidupan biota laut berdasarkan Kep.Men.LH. No. 51 tahun 2004, sedangkan kisaran nilai DO yang ada pada ST.1 relatif sudah tidak mendukung untuk kegiatan perikanan. Nilai DO pada ST.1 juga sudah tidak
memenuhi baku mutu air kelas III PPRI No. 82 tahun 2001, nilai DO berdasarkan
DO (mg/l)
baku mutu tersebut adalah lebih besar dari 3 mg/l.
7 6 5 4 3 2 1 0
pasang
6,50
5,86
2,76 1,97
1
2
DO (mg/l)
Stasiun 7 6 5 4 3 2 1 0
surut
permukaan 5,92
5,33
dasar 1,43
0,90
1
2 Stasiun
Gambar 9. Nilai rata-rata oksigen terlarut (DO mg/l) yang diamati saat pasang dan surut
4.4. Parameter Kualitas Air Terkait 4.4.1. Suhu Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai rata-rata suhu saat pasang pada ST.1 adalah 29,70 °C untuk lapisan permukaan dan 29,27 °C untuk lapisan dasar, sedangkan pada ST.2 nilai suhu yang diperoleh adalah 28,93 °C untuk lapisan permukaan dan 28,93 °C untuk lapisan dasar. Nilai rata-rata suhu saat surut pada ST.1 adalah 30,50 °C untuk lapisan permukaan dan 29,90 °C untuk lapisan dasar, sedangkan pada ST.2 nilai suhu yang diperoleh adalah 29,50 °C untuk lapisan permukaan dan 29,67 °C untuk lapisan dasar. Kisaran suhu yang diperoleh dari ST.1 dan ST.2 adalah 28,93 °C sampai 30,50 °C (Gambar 10). Nilai suhu yag diperoleh tidak terlalu berbeda karena fluktuasi suhu yang terjadi relatif kecil. Menurut Boyd (1990) aktivitas mikroorganisme memerlukan suhu optimum yang berbeda-beda, akan tetapi proses dekomposisi biasanya terjadi pada kondisi yang hangat. Kisaran suhu pada ST.1 dan ST.2 termasuk hangat dan cukup mendukung
untuk proses dekomposisi bahan organik di perairan. Nilai suhu pada ST.1 dan ST.2 juga masih memenuhi baku mutu air kelas III PPRI No.82 tahun 2001 dan memenuhi baku mutu air untuk kehidupan biota laut berdasarkan Kep.Men.LH.
Suhu ( oC)
No. 51 tahun 2004.
36 32 28 24 20 16 12 8 4 0
29,70
29,27
Suhu ( oC)
1
36 32 28 24 20 16 12 8 4 0
30,5
pasang
28,93
2
Stasiun 29,9
surut
1
28,93
permukaan
29,67
29,5
dasar
2 Stasiun
Gambar 10. Nilai rata-rata suhu (°C) yang diamati saat pasang dan surut
4.4.2. pH Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai rata-rata pH saat pasang pada ST.1 adalah 6,98 untuk lapisan permukaan dan 7,43 untuk lapisan dasar, sedangkan pada ST.2 nilai pH yang diperoleh adalah 8,12 untuk lapisan permukaan dan 8,01 untuk lapisan dasar. Nilai rata-rata pH saat surut pada ST.1 adalah 6,88 untuk lapisan permukaan dan 7,32 untuk lapisan dasar, sedangkan pada ST.2 nilai pH yang diperoleh adalah 8,05 untuk lapisan permukaan dan 7,85 untuk lapisan dasar. Kisaran pH yang diperoleh dari ST.1 dan ST.2 adalah 6,88 sampai 8,12 (Gambar 11). Nilai pH pada ST.1 dan ST.2 berada pada kisaran nilai pH perairan alami. Menurut Boyd (1990), nilai pH perairan alami berkisar antara 6,50 sampai 9,00.
Proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral dan alkalis, karena bakteri dapat tumbuh dengan baik pada pH netral dan alkalis (Boyd, 1990). Nilai pH pada ST.1 dan ST.2 termasuk kedalam kisaran nilai pH netral dan alkalis, sehingga kondisi pH perairan cukup mendukung proses dekomposisi bahan organik. Nilai pH pada ST.1 dan ST.2 juga masih memenuhi baku mutu air kelas III PPRI No. 82 tahun 2001 dan baku mutu air
pH
untuk kehidupan biota laut berdasarkan Kep.Men.LH. No. 51 tahun 2004.
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
pasang 7,43
6,98
8,12
1
8,01
permukaan
2
pH
Stasiun 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
surut
7,32
6,88
1
Stasiun
8,05
7,85
dasar
2
Gambar 11. Nilai rata-rata pH yang diamati saat pasang dan surut
4.4.3. Salinitas Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kisaran salinitas saat pasang pada ST.1 antara 5 o/oo sampai 6,7 o/oo untuk lapisan permukaan dan 19,3 o/oo sampai 28 o
/oo untuk lapisan dasar, sedangkan pada ST.2 kisaran salinitas yang diperoleh
antara 21,7 o/oo sampai 32,8 o/oo untuk lapisan permukaan dan dasar. Kisaran salinitas saat surut pada ST.1 antara 3 o/oo sampai 5,5 o/oo untuk lapisan permukaan dan 24,5
o
/oo sampai 38,3 o/oo untuk lapisan dasar, sedangkan pada
ST.2 kisaran salinitas yang diperoleh antara 25 o/oo sampai 36 o/oo untuk lapisan permukaan dan 26,2 o/oo sampai 38,2 o/oo untuk lapisan dasar.
Kisaran salinitas antara lapisan permukaan dengan lapisan dasar pada ST.2 tidak terlalu berbeda, sedangkan pada ST.1 terdapat perbedaan yang cukup besar antara lapisan permukaan dengan lapisan dasar. Perbedaan tersebut terjadi karena daerah ST.1 merupakan daerah percampuran antara air tawar dengan air laut sehingga nilai salinitasnya sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Pada daerah tersebut air laut yang memiliki salinitas dan densitas lebih besar, masuk ke sungai melalui lapisan dasar perairan, sedangkan air sungai yang memiliki salinitas dan densitas lebih kecil, bergerak ke arah laut melalui lapisan permukaan. Pergerakan dan percampuran dua massa air ini akan menentukan nilai salinitas pada daerah payau (estuari). Grafik salinitas saat pasang dan surut dapat dilihat pada Gambar 12.
Pasang
Salinitas (%o)
40 30 20 10 0 Juni 2008
Agustus 2008
ST.1 permukaan ST.1 dasar
Surut
40 Salinitas (%o)
Juli 2008 Bulan
ST.2 permukaan ST.2 dasar
30 20 10 0 Juni 2008
Juli 2008 Bulan
Agustus 2008
Gambar 12. Nilai salinitas (o/oo) yang diamati saat pasang dan surut
4.5. Pembahasan Umum Hasil penelitian menunjukkan bahwa perairan muara Sungai Cisadane bagian payau dan laut memiliki laju peluruhan bahan organik dan total kebutuhan oksigen (BOD akhir) yang bervariasi. Nilai yang cukup bervariasi ini dapat
terjadi karena adanya perbedaan jumlah dan jenis masukan bahan organik serta pengaruh dari sifat perairan estuari yang dinamis. Perbedaan jumlah dan jenis bakteri pengurai juga dapat mempengaruhi perbedaan laju peluruhan bahan organik yang terjadi di muara Sungai Cisadane. Secara umum nilai konstanta laju peluruhan bahan organik (k-BOD) berkisar antara 0,07 /hari sampai 0,52 /hari dengan total kebutuhan oksigen (BOD akhir/L) berkisar antara 4,27 mg/l sampai 54,43 mg/l. Kebutuhan oksigen pada bagian payau relatif lebih besar dibandingkan pada bagian laut. Nilai oksigen terlarut pada bagian payau juga sangat rendah. Hal ini terjadi karena terdapat kandungan bahan organik yang cukup tinggi pada bagian payau. Masukan bahan organik yang lebih besar lagi pada bagian payau, dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut hingga mencapai nol. Hal tersebut pada akhirnya dapat menimbulkan gangguan terhadap ekosistem perairan muara Sungai Cisadane.
4.5. Pengelolaan Muara Sungai Cisadane Peningkatan kandungan bahan organik di muara Sungai Cisadane dapat menurunkan kualitas air sehingga perairan tidak sesuai lagi bagi peruntukannya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan pengelolaan untuk menjaga kualitas air muara Sungai Cisadane. Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dan instansi terkait diantaranya adalah : 1. Memastikan pelaksanaan ketentuan pembuangan limbah industri sesuai peraturan yang berlaku dan memberikan sanksi kepada industri yang melanggar 2. Mengusahakan penduduk di sekitar DAS Cisadane untuk memiliki tempat MCK (mandi, cuci, kakus) dan mengatur pembuangan serta pengelolaan limbahnya secara terpadu 3. Mengurangi pengaruh limpasan dari daratan dengan melakukan penghijauan di sepanjang bantaran sungai 4. Bekerjasama dengan seluruh pihak terkait untuk menjaga kebersihan sungai dari wilayah hulu sampai muara
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian mengenai peluruhan bahan organik yang dilakukan saat musim kemarau pada bagian payau dan laut di muara Sungai Cisadane didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Laju peluruhan bahan organik bervariasi baik antar bagian payau dengan laut maupun antar waktu pasang surut. Nilai konstanta laju peluruhan bahan organik berkisar antara 0,07 /hari sampai 0,52 /hari. 2. Nilai BOD akhir pada bagian payau lebih besar daripada bagian laut dan pada saat surut lebih besar daripada saat pasang. Nilai BOD akhir berkisar antara 4,27 mg/l sampai 54,43 mg/l.
5.2. Saran Perlu dilakukan pengamatan terhadap komposisi bakteri untuk mengetahui jumlah dan jenis bakteri yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik pada perairan muara Sungai Cisadane Tangerang.
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts G & Santika SS. 1984. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya. 309 h. [APHA] American Public Health Assosiation. 2005. Standard Methods for The Examinations of Water and Wastewater. 21th Edition. APHA, AWWA, WPCF. United Book Press.Inc. Maryland ,USA. 1081 h. Arwindrasti BK. 1997. Kajian Karakteristik Hidrologi Daerah Aliran Sungai Cisadane [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. [Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survei & Pemetaan Nasional. 2001. Peta Rupa Bumi Indonesia Skala 1:25.000. Bogor. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi & Geofisika. 2008. Data Klimatologi Bulan Juni, Juli dan Agustus 2008. Tangerang. Boyd CE. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Auburn University agricultural Experiment Station. Alabama, USA. 480 h. [BPSDA] Balai Pengelolaan Sumberdaya Air. 2008. Data Debit Air Muara Sungai Cisadane Bulan Juni, Juli dan Agustus 2008. Tangerang. Cole GA. 1983. Textbook of Limnology. 3rd Edition. Waveland Press.USA. 401 h Connell DW. 2005. Basic Concepts of Environmental Chemistry. 2nd Edition. CRC Press, Taylor&Francis Group. USA. 462 h. Davis ML & Cornwell DA. 1991. Introduction to Environmental Engineering. 2nd Edition. McGraw-Hill, Inc. New York, USA. 822 h. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. 258 h. Fardiaz S. 1992. Polusi air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. 34 h. Gray NF. 2004. Biology of Wastewater Treatment. 2nd Edition. Imperial College Press. London. 1398 h. Haynes RJ. 1986. Mineral Nitrogen in The Plant-Soil System. Academic Press, INC. Harcout Brace Jovanovich, Publisher. New Zealand. Hugh JL. 1964. Management of Estuarine Fisheries. Symposium on Estuarine Fisheries. Allen Press, Inc. Kansas.
Kep.Men.LH. Nomor 51 Tahun 2004. Baku Mutu Air Laut. Jakarta. Metcalf & Eddy. 1991. Waste Water Engineering: Treatment, Disposal, Reuse. Metcalf & Eddy Inc. 3rd Edition. G. Tchobanoglous (Ed) dan F. L. Burton (Ed). McGraw-Hill, Inc. New York, USA. h:70-83. Muchtar M. 2004. Laporan Akhir Penelitian Ekosistem Perairan Estuari Cisadane. LIPI. Jakarta. H:30-33. Nemerow NL. 1991. Stream, Lake, Estuary and Ocean Pollution. 2nd Edition. Van Nostrand Reinhold. New York, USA. 472 h. Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 356 h. Nybakken JW. 1992. Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. [Terjemahan dari Marine Biology: An Ecological Approach, 3rd Edition]. Eidman HM, Koesoebiono, Bengen DG, Hutomo M & Sukardjo S (penerjemah). PT. Gramedia. Jakarta. 459 h. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. [Terjemahan dari Fundamentals of Ecology, 3rd Edition]. Samingan T (penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 697 h. Pescod MB. 1973. Investigation of rational effluent and stream standard for tropical countries. Environmental Engineering Division. Asian Institute Technology Bangkok. Bangkok. 145 h. Polii B. 1994. Kajian Konsep Pengukuran BOD Bagi Indikator Pendugaan Pencemaran Bahan Organik di Perairan Daerah Tropis [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. PPRI (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia) Nomor 82 Tahun 2001. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta. Rilley JP & Skirrow G. 1975. Chemical oceanography. 2nd Edition. Academic Press. London. Saunder GW. 1980. Organic Matter and Decomposers: In The Functioning of Freshwater Ecosystem Eds. by E.D. Le Cren and R.H. Lowe-Mc. Connel. Cambridge University Press. UK. 588 h. Smith RL. 1980. Ecology and Field Biology. Harper & Row Publishers. New York, USA. 835 h. Sugiharto. 2005. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. UI-Press. Jakarta.190 h.
Sunarto. 2003. Peran Dekomposisi dalam Proses Produksi pada Ekosistem Laut. http://tumoutou.net/702_07134/sunarto.edf [3 Januari 2008, 14:43] UNESCO. 2004. Kali Cisadane. In Yasuto Tachikawa, Ross James, Keizrul Abdullah, Mohd. Norbin, Mohd Desa (Ed). Catalogue of Rivers for Southeast Asia and Pacific Volume V. UNESCO-IH Publication. Tokyo, Jepang. h:45-56. Wibisono MS. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Gramedia. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Laju dekomposisi bahan organik pada stasiun 1 untuk interval waktu 4 jam (penelitian pendahuluan)
5
BOD (mg/l)
4 3
1 pasang tengah
2
1 surut tengah
1 0 0
4
8
12
16
20
24
waktu (jam)
Lampiran 2. Laju dekomposisi bahan organik pada stasiun 1 dan 2 untuk interval waktu 6 jam (penelitian pendahuluan)
5
BOD (mg/l)
4 3 1 pasang permukaan 2 1 pasang dasar 1 0 0
6
12
18
24
30
36
w aktu (jam )
5
BOD (mg/l)
4 3 1 surut permukaan
2 1 surut dasar
1 0 0
6
12
18
24
w ak tu (jam )
30
36
Lampiran 2. (lanjutan)
5
BOD (mg/l)
4 3 2 pasang permukaan
2 2 pasang dasar
1 0 0
6
12
18
24
30
36
waktu (jam) 5
BOD (mg/l)
4 3
2 surut permukaan
2
2 surut dasar
1 0 0
6
12
18
24
30
36
w aktu (jam )
Lampiran 3. Data kualitas air
Nilai salinitas dan pH Salinitas (o/oo)
pH
Stasiun juni/08
juli/08
agustus/08
juni/08
juli/08
agustus/08
rata-rata
1 pasang permukaan
5,00
5,00
6,70
7,02
7,43
6,50
6,98
1 pasang dasar
19,30
25,00
28,00
7,56
7,62
7,10
7,43
1 surut permukaan
3,00
5,20
5,50
7,13
7,25
6,25
6,88
1 surut dasar
24,50
35,00
38,30
7,47
7,74
6,75
7,32
2 pasang permukaan
21,70
25,00
32,80
8,50
8,35
7,50
8,12
2 pasang dasar
21,70
25,00
32,80
8,20
8,34
7,50
8,01
2 surut permukaan
25,00
33,50
36,00
8,27
8,39
7,50
8,05
2 surut dasar
26,20
34,50
38,20
8,26
7,80
7,50
7,85
Lampiran 3. Data kualitas air (lanjutan)
Nilai suhu dan DO Suhu (°C)
DO (mg/l)
Stasiun juni/08
juli/08
agustus/08
rata-rata
juni/08
juli/08
agustus/08
rata-rata
1 pasang permukaan
30,00
29,30
29,80
29,70
1,72
1,10
3,07
1,97
1 pasang dasar
30,00
29,30
28,50
29,27
4,62
1,19
2,47
2,76
1 surut permukaan
32,00
29,00
30,50
30,50
1,02
0,85
0,82
0,90
1 surut dasar
31,00
28,20
30,50
29,90
1,66
1,28
1,34
1,43
2 pasang permukaan
29,50
28,30
29,00
28,93
7,09
5,73
6,67
6,50
2 pasang dasar
29,50
28,30
29,00
28,93
5,48
5,94
6,16
5,86
2 surut permukaan
32,00
27,00
29,50
29,50
4,06
7,22
4,71
5,33
2 surut dasar
31,50
28,50
29,00
29,67
5,09
6,82
5,85
5,92
Nilai BOD3 dan COD BOD3 (mg/l)
COD (mg/l)
Stasiun juni/08
juli/08
agustus/08
rata-rata
Juni/08
juli/08
agustus/08
rata-rata
1 pasang permukaan
7,16
2,63
3,33
4,38
33,02
24,94
2,72
20,23
1 pasang dasar
7,59
0,23
1,37
3,06
33,02
16,86
2,72
17,53
1 surut permukaan
10,32
4,21
3,53
6,02
41,10
33,02
10,80
28,31
1 surut dasar
4,20
2,85
2,16
3,07
37,06
97,67
2,72
45,81
2 pasang permukaan
3,15
2,94
2,55
2,88
24,94
24,94
2,72
17,53
2 pasang dasar
0,84
1,82
2,35
1,67
20,90
65,34
2,72
29,65
2 surut permukaan
1,48
3,06
4,51
3,02
41,10
89,59
6,76
45,81
2 surut dasar
3,59
2,53
2,55
2,89
53,22
105,75
6,76
55,24
Lampiran 4. Data curah hujan bulan Juni, Juli, Agustus 2008 di muara Sungai Cisadane Tangerang, Banten (BMKG, 2008).
Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Rata-rata
Juni 2008 0 0 0 0 1,7 10,7 0,4 0 0 0 0 0 0 26 12 6,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,91
Curah hujan (mm) Juli 2008 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,7 0,15
Agustus 2008 0 0 39,1 0 0 0 0 0 0 0,4 0 0,2 0 0 0 0 0 0 0 1,7 0 0 0 0 0 0 0 0 15,4 0 0 1,83
Lampiran 5. Baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001.
Kelas No
Parameter
Satuan
Keterangan I
II
III
IV
1
Suhu
°C
deviasi 3
deviasi 3
deviasi 3
deviasi 3
Deviasi dari keadaan alaminya
2
pH
mg/l
6-9
6-9
6-9
5-9
Apabila secara alamiah diluar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah
3
BOD
mg/l
2
3
6
12
4
COD
mg/l
10
25
50
100
5
DO
mg/l
6
4
3
0
angka batas minimum
Kriteria: 1. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 2. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 3. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 4. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
Lampiran 6. Baku mutu air menurut Kep.Men.LH. No. 51 tahun 2004 untuk biota laut
No 1 2 3 4 5
Parameter Suhu pH Salinitas BOD DO
Satuan °C mg/l ‰ mg/l mg/l
Baku Mutu Alami dengan perubahan < 2 7-8,5 dengan perubahan < 0,2 Alami dengan perubahan < 2 20 >5
Lampiran 7. Contoh perhitungan k-BOD dan L
Stasiun 1 pasang permukaan dengan interval waktu 1½ hari waktu (hari) BOD (mg/l)
0
1,5
3
4,5
6
7,5
9
0,00
3,30
6,58
6,99
7,41
9,87
11,10
Tabel perhitungan Waktu (hari) 1,5 3 4,5 6 7,5 ∑
y
Y2
y'
yy'
3,30 6,58 6,99 7,41 9,87 34,15
10,89 43,27 48,88 54,95 97,42 255,41
2,19 1,23 0,28 0,96 1,23 5,89
7,24 8,09 1,95 7,11 12,15 36,53
Persamaan: 5 a + 34,15 b - 5,89 = 0 ............................................................................(1) 34,15 a + 255,41 b - 36,54 = 0 ............................................................................(2) Substitusi persamaan (1) dengan (2) untuk mendapatkan nilai a dan b a = 2,32 b = 0,17 Penentuan nilai k dan L k = -b = 0,17 /hari 2,32 a L= = = 13,87 mg/l b 0,17
Lampiran 8. Dokumentasi lapang
Stasiun 1 (ST1/payau)
Stasiun 2 (ST2/laut)
Pembuatan kapal (sebelum ST1)
Tambak (di sekitar ST1)
Industri (sebelum ST1)
Penambangan pasir (sebelum ST1)
Pembuangan limbah (sebelum ST1)
Tumpukan sampah (muara sungai)