ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN: KEBIJAKAN DAN PERIJINAN Oleh : Dr Baba Barus, MSc Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian, IPB, Darmaga, Bogor Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, LPPM, IPB, Bar Siang, Bogor Email :
[email protected]; hp 081282332231 Disampaikan dalam Round Table Discussion (RTD): Kajian Alih Fungsi Lahan Pertanian, 20 Agustus 2014, Direktorat Litbang, Deputi Bidang Pencegahan, KPK
I. PENDAHULUAN Untuk menjamin pembangunan yang bekelanjutan dalam ruang maka disusunlah perencanaan pemanfaatan ruang, yang secara prinsip dibuat berdasarkan daya dukungnya. Untuk membuat penggunaan ruang yang tepat, maka diusahakan mengakomodasi keperluan publik dan keperluan individu. Secara umum keperluan publik diarahkan ke kawasan yang dilindungi dan diurus oleh pemerintah, sedangkan untuk daerah pribadi maka diarahkan ke kawasan budidaya. Dalam implementasi pemanfaatan ruang dalam kawasan berbeda dibuat aturan yang berbeda. Dalam keadaan tertentu, dapat terjadi perubahan status kawasan. Semua ini diakomodasi dalam peraturan yang disusun dalam UU Penataan ruang (UU No 26, 2007). Suatu kawasan jika telah direncanakan untuk peruntukan tertentu mempunyai makna bahwa fungsi pemanfaatan dominan sesuai untuk ruang tersebut, dan jika ada penggunaan lain, maka penggunaan tersebut berperan mendukung fungsi ruang yang telah direncanakan. Sebagai contoh suatu kawasan pertanian lahan basah, dapat bermakna bahwa adanya pemukiman tertentu adalah dalam kaitan mendukung adanya lahan basah tersebut. Pengaturan tentang ukuran secara ruang daerah pemukiman akan diatur dalam peraturan zonasi. Jika suatu kawasan berfungsi tertentu, dan pribadi atau usaha tertentu akan melakukan pemanfaatan ruang yang sesuai atau tidak sesuai dengan perencanaan pemanfaatan, maka akan melalui proses penilaian yang dalam hal ini akan melalui proses perijinan yang dilaksanakan oleh institusi tertentu. Di Indonesia, ditemukan berbagai perbedaan teknis pembuatan perijinan, walaupun instansi tertentu seperti BPN sudah membuat pertimbangan teknis untuk perijinan di tahap tertentu. Saat ini proses konversi lahan dominan terjadi dari lahan pertanian ke pemukiman atau lahan pertanian lain yang dianggap lebih menguntungkan seperti tanaman tahunan atau tanaman bernilai daya jual tinggi. Perubahan bentuk penggunaan lahan ini dapat terjadi melalui proses perijinan atau tidak. Secara umum dalam kaitan dengan terminologi konversi lahan akan ditekankan dalam kaitan perubahan penggunaan, yang tidak secara jelas dikaitkan dengan perubahan pemilikan atau penguasaan. Untuk mengendalikan perubahan penggunaan lahan khususnya di lahan pertanian pangan, maka di tahun 2000-an – hingga saat ini ada beberapa peraturan yang mengatur secara jelas antara lain :
1
(a) Peraturan penataan ruang UU No 26, 2007, yang secara tegas menyatakan untuk pengendalian pemanfaatan ruang melalui perijinan pemanfaatan ruang, yang diatur oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai kondisinya. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan perencanaan ruang, baik yang dilengkapi dengan izin atau tidak dilengkapi izin, dikenai sanksi administratif, pidana penjara dan atau pidana denda. (b) Lahan pertanian pangan diusulkan dilindungi dan ditetapkan dalam perencanaan ruang. peraturan yang mengatur adalah UU No 41, tahun 2009. lahan pertanian pangan yang dimaksud mencakup selain lahan sawah, tetapi lahan pertanian pangan lain yang sesuai dengan kondisi berbagai daerah di Indonesia. Lahan pertanian pangan berkelanjutan yang sudah ditetapkan masih dapat dialihkan untuk kepentingan umum atau karena kondisi khusus (diatur dalam PP No 01, tahun 2011). (c) Proses mendapatkan izin pemanfaatan ruang dalam praktek akan melalui tahapan. Salah satu yang dilalui adalah pemberian izin lokasi (dan yang sejalan seperti penetapan lokasi dan perubahan penggunaan tanah). Berbagai pertimbangan diperlukan untuk memberikan ijin lokasi, yang merupakan jalan awal mencari lahan yang direncanakan untuk penggunaan tertentu. Pedoman pertimbangan teknis sudah dibuat Intitusi Pertanahan (Perkaban BPN No 02, tahun 2011). Beberapa tahun yang lalu juga sudah banyak peraturan yang mengatur perlindungan lahan sawah seperti disajikan pada Tabe1 1. Sebagian peraturan ini masih dipakai hingga saat ini. Tabel 1. Peraturan/Perundangan Garis besar isi, khususnya yang terkait dengan alih guna lahan pertanian hingga tahun 1990-an (Irawan, 2008; Bappenas, 2006?) No 1 2 3
UU/PP/ dll UU No.24/1992 Kepres No.53/1989 Kepres No.33/1990
4
SE MNA/KBPN 410-1851/1994 SE MNA/KBPN 410-2261/1994 SE/KBAPPENAS 5334/MK/9/1994 SE MNA/KBPN 5335/MK/1994 SE MNA/KBPN 5417/MK/10/1994 SE MENDAGRI 474/4263/SJ/1994 SE MNA/KBPN 4601594/1996
5 6 7 8 9 10
Materi Penyusunan RTRW harus Mempertimbangkan Budidaya Pangan/SIT: Pembangunan kawasan industri, tidak boleh konversi SIT/Tanah Pertanian Subur: Pelarangan Pemberian Izin Perubahan Fungsi Lahan Basah dan Pengairan Beririgasi bagi Pembangunan Kawasan Industri Pencegahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Non Pertanian Melalui Penyusunan RTRW Izin Lokasi Tidak Boleh Mengkonversi Sawah Irigasi Teknis (SIT) Pelarangan Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis Untuk Non Pertanian Penyusunan RTRW Dati II Melarang Konversi Lahan Sawah Irigasi Teknis untuk Non Pertanian Efisiensi Pemanfaatan Lahan bagi Pembangunan Perumahan Mempertahankan Sawah Irigasi Teknis untuk mendukung Swasembada Pangan. Mencegah Konversi Tanah Sawah dan Irigasi Teknis menjadi Tanah Kering:
Daya tarik sawah dikonversi sejauh ini terjadi karena sawah cenderung datar, infrastruktur sangat baik (Irawan, 2008), dekat dengan daerah pusat ekonomi, lahan sudah stabil, dan lainnya. Berbagai kebijakan dan peraturan pengendalian konversi lahan sudah ditetapkan, tetapi dalam kenyataannya masih ditemukan kejadian konversi lahan yang menyalahi peraturan 2
sehingga menimbulkan permasalahan. Selain itu kejadian konversi lahan juga dapat menjadi sumber ekonomi biaya tinggi, karena adanya peluang membuat calon pelaku pengguna ruang atau pengkonversi lahan harus mengeluarkan biaya di luar standar yang ditentukan walaupun dari sisi peraturan sudah sesuai. Makalah ini mencoba mengulas berbagai hal penyebab konversi lahan, khusus dari sisi kebijakan pembuatan ruang dan perijinan serta secara terbatas dalam praktek pemberian perijinan, yang dapat menjadi sumber munculnya korupsi dan potensinya.
2. KEBIJAKAN PENATAAN RUANG Komponen utama dalam penataan ruang terdiri dari (a) perencanaan ruang; (b) pemanfaatan ruang, dan (c) pengendalian ruang. a. Perencanaan Pemanfaatan Ruang Perencanaan ruang mengatur alokasi pemanfaatan ruang, menjadi kawasan lindung dan budidaya dan ditujukan mendukung ekonomi berkelanjutan. Penyusunan setiap pemanfaatan ruang diarahkan sesuai daya dukung / daya tampung fisik terhadap kebutuhan sosial dan ekonomi. Penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung akan menyebakkan gangguan sistem yang dampaknya dapat bersifat jangka pendek atau panjang. Wilayah yang wajib diatur ketat oleh pemerintah adalah kawasan bersifat lindung, baik setempat, yang melindungi kawasan di bawahnya atau bersifat kebencanaan atau khas. Kerusakan di kawasan ini, yang merupakan sumberdaya bersama, akan merugikan publik. Sedangkan kawasan budidaya, umumnya diarahkan ke pengaturan yang bersifat umum, dan merupakan sumberdaya pribadi. Pilihan penggunaan di kawasan ini lebih fleksibel, tetapi dalam kisaran tertentu. Bentuk alokasi ruang akan dibuat dalam bentuk peta perencanaan ruang yang biasa dikenali dengan peta pola ruang, yang disajkan berskala 1:50,000 di tingkat kabupaten, berskala 1:25,000 di kota. Penyusunan rencana pola ruang idealnya sudah mengakomodasi berbagai kepentingan dari sisi lingkungan dan pembangunan ekonomi. Pertimbangan akademis dan praktis diterjemahkan dalam ruang. Dalam prakteknya, sebagian perencanaan ruang tidak dilakukan secara baik karena beberapa alasan seperti data yang tidak cukup baik spasial atau atribut. pertimbangan ekonomi jangka pendek lebih diutamakan, pertimbangan kepentingan politis, dan lainnya. Penyusunan rencana ruang dilakukan dalam kurun mencapai 20 tahun, tetapi dapat direvisi 5 tahun sekali sesuai dengan keperluan perkembangan manajemen pemerintahan dan juga perkembangan situasi seperti pertimbangan strategis, perkembangan pengetahuan dll. Beberapa tahun terakhir ini sudah muncul kebijakan strategis baru yang terkait dengan ruang seperti perlunya lahan sawah yang perlu dilindungi atau lahan gambut tertentu; yang semuanya masih berproses, yang berdampak pada revisi rencana pola pemanfaatan ruang. Berikut disajikan Peta Perencanaan Ruang di Kab Bogor yang menunjukkan alokasi ruang yang direncanakan untuk berbagai kawasan. Daerah kawasan konservasi dan lindung menyebar di bagian selatan di daerah berelevasi tinggi, sekitar Gunung Gede-Salak-Halimun (warna ungu). Daerah permukiman (warna gelap dan abu-abu) menyebar dominan di bagian utara dan tangah. Di bagian tengah terlihat daerah hutan produksi (hijau), pertanian lahan kering (kuning) dan lahan basah (biru) (Gambar 1). 3
Gambar 1. Rencana Pola Pemanfaatan Ruang Kab Bogor (2009-2030) Pmk Pds (jrg) 3%
Kw Industri Zona Industri 1% 1% Pmk Pkt (rdh) 4%
Rencana Waduk 0%
Pmk Pds (rdh) 7%
Tubuh Air 1%
Hutan Lindung 3%
Hutan Konservasi 14% HP Terbatas 5%
Pmk Pkt (sdg) 9%
HP Tetap 7% Pmk Pkt (pdt) 13% Tnm Tahunan 9% PL Kering 8%
Perkebunan 3%
PL Basah 13%
Gambar 2. Diagram Pola Rencana Ruang Kabupaten Bogor 4
Dalam penyusunan perencanaan ruang sudah ada yang bersifat wajib seperti kawasan berfungsi lindung minimum 30 persen ruang, dan saat ini adanya kewajiban melindungi lahan pertanian lahan basah. Pemerintah Kabupaten Bogor, menetapkan luasan kawasan berfungsi lindung sekitar 18 persen (tetapi ditambah daerah hutan produksi mencapai 29 persen), sedangkan daerah permukiman dan sejenis mencapai 36 persen. Daerah yang direncanakan menjadi daerah persawahan sebesar 13.5 persen (Gambar 2). Besarnya rencana ruang untuk pemukiman terkait dengan kepentingan pemukiman penduduk yang akan besar sesuai dengan kondisi kabupaten yang berada di kawasan Jabodetabek, sedangkan daerah pertanian lahan basah kemungkinan besar mengakomodasi luas aktual sawah di Bogor, sekitar 13.5 persen. Dari sisi jumlah, alokasi ini ini seperti sudah mendekati kombinasi ideal lingkungan dan berbagai kepentingan lainnya, tetapi jika dilihat dari sisi praktis khususnya pelindungan lahan sawah ternyata ditemukan berbagai hal yang membuat hal ini sulit dijalankan (akan dibahas dalam subbagian kebijakan pelindungan lahan pertanian pangan). Dari ilustrasi ini, perubahan lahan dapat didorong oleh kebijakan perencanaan ruang. Suatu lahan dapat dijadikan menjadi kawasan pemukiman, walaupun saat ini merupakan kawasan lahan kering. Sebagian perubahan perencanaan ruang, dapat juga terkait dengan motif ekonomi. Sejauh ini kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung sangat sulit dikonversi, karena membutuhkan pertimbangan berbagai para-pihak. b. Pemanfaatan ruang Pemanfaaan ruang secara prinsip harus sesuai dengan rencana ruang. Suatu pemanfaatan ruang tertentu yang tidak melanggar perencanaan ruang disusun pedomannya. Secara umum penggunaan ruang untuk keperluan bukan lahan terbangun tidak luwes variasi penggunaan ruangnya khususnya untuk lahan terbangun, sedangkan penggunaan ruang untuk lahan terbangun mempunyai pilihan lebih luas karena dapat dijadikan sebagai lahan tidak terbangun. Lahan yang diarahkan menjadi lahan pertanian tidak diijinkan menjadi lahan terbangun, karena tidak mudah dikembalikan ke bentuk penggunaan awal. Suatu ruang yang sudah ditetapkan fungsi pemanfaatannya, selanjutnya akan disusun pedoman pemanfaataannya, yang disebut dengan aturan zonasi. Suatu zona yang sudah ditetapkan untuk peruntukan tertentu, masih memerlukan aturan atau teknik pengelolaan tertentu sesuai dengan kemampuan atau kesesuaian kawasan. Peruntukan kawasan masih memerlukan pedoman lebih lanjut. Jika suatu kawasan lindung sudah ditetapkan sebagai daerah bencana, maka otomatis penggunaannya sangat terbatas, tetapi suatu kawasan mempunyai kategori tertentu dalam hal kebencanaan, maka untuk menahan kejadian bencana tidak muncul, maka metode pemanfaatan ruang harus sesuai kaidah lingkungan. Misalnya kawasan budidaya lahan kering, masih membutuhkan teknik pengelolaan kawasan sehingga tidak terjadi longsor, tidak terjadi erosi dan lainnya.. Suatu kawasan pemukiman akan dibuat aturan tentang aspek yang harus dipenuhi jika akan dipakai untuk pemukiman. Suatu kawasan budidaya pertanian lahan kering, yang secara 5
teori diletakkan di daerah yang sesuai secara fisik, akan diatur pengelolaan lahan yang diperlukan. Suatu daerah pertanian lahan basah akan memerlukan berbagai kondisi yang menjadikan wilayah tersebut sebagai daerah lahan basah, misahlnya adanya sumber air, daerah irigasi, dan lain-lain. Berbagai aturan pemanfaatan ini disesuaikan dengan keperluan teknis. Perlu disadari, penggunaan ruang sesuai peruntukan belum menjamin tidak merusak lingkungan tanpa diikuti teknik pengelolaan yang tepat khususnya dari sisi adaptasi yang bentuknya berazaskan hasil pengetahuan dan teknologi (Suhardi dan Barus, 2011). Dalam praktek pemanfaatan ruang, dapat ditemukan beberapa kondisi terutama dari sisi penggunaan ruang dan pengelolaan ruang terserbut. Penggunaan yang sesuai dengan alokasi ruang, masih memungkin berdampak merugikan secara lokal atau wilayah. Misalnya suatu lahan dialokasi sebagai lahan kering, dan dimanfaatkan sebagai kebun tetapi dikelola dengan tidak mengindahkan teknis konservasi tanah dan air sehingga menyebabkan erosi yang besar. Contoh lain adalah penggunaan lahan sawit di kawasan gambut tertentu (berkedalaman kurang dari 3 meter), dengan pembukaan lahan dengan dibakar. Kedua ilustrasi ini menunjukkan pengelolaan yang dapat merugikan pihak lain, tetapi dari sisi alokasi ruang adalah sesuai peruntukan ruang. Bentuk pemanfaatan ruang yang diinginkan adalah adanya keselarasan antara alokasi pemanfaaatn ruangan dan pengelolaan ruang/lahan yang tepat. Pemanfaatan ruang yang sejak awal sudah menyalahi rencana alokasi ruang dapat terjadi karena tidak disengaja atau disengaja. Pemanfaat ruang dari masyarakat tertentu sering tidak tahu alokasi pemanfaatan ruang, misalnya penduduk yang tidak tahu bahwa daerahnya direncanakan sebagai daerah sawah, dan kemudian dia membangun pemukiman. Dalam hal ini secara ruang hal ini melanggar rencana tata ruang. Tetapi, ada juga masyarakat secara sengaja melanggar tata ruang, karena membangun pemukiman. Sampai batas tertentu ini dapat juga ada perijinan dari pihak aparat. Selain itu, ada juga pelaku yang secara sengaja mengeringkan lahan sawah menjadi lahan kering, dan selanjutnya meminta ijin membangun perumahan di wilayah tersebut.
c. Pengendalian pemanfaatan ruang Upaya pengendalian ruang merupakan unsur penting ketiga dalam penataan ruang. Pengendalian secara umum dilakukan dari mulai proses awal penggunaan ruang hingga pada saat pemanfaatan ruang sudah berjalan. Pengendalian pada saat awal proses biasanya dilakukan melalui mekanisme perijinan. Untuk usaha aktivitas tertentu dalam penggunaan ruang tertntu dan waktu tertentu membutuhkan perizinan, misalnya untuk penggunaan lahan pertanian seperti sawit, tebu, coklat dll dengan luasan tertentu. Secara umum penggunaan ruang yang besar membutuhkan perijinan penggunaan ruang. Kawasan lindung adalah kawasan yang tidak dijinkan dengan penggunaan yang tidak bersifat lindung. Suatu lahan saat ini adalah lahan kering, yang berada di kawasan berstatus pemukiman, jika akan dikonversi menjadi daerah pemukiman secara prinsip akan mudah mendapatkan perijinan karena sesuai peruntukan. Sedangkan suatu lahan yang saat ini adalah lahan kering dan berada di kawasan perkebunan, maka jika akan dikonversi menjadi pemukiman, akan dianggap 6
melanggar rencana pemanfaatan ruang. Berbagai variasi penggunaan lahan saat ini yang berada di kawasan tertentu yang berubah penggunaan lahan dapat terjadi, maka sebagian dapat menimbulkan implikasi negatif atau positif.. Aktivitas yang dianggap positif sejak awal, atau setelah berjalan menjadi positif atau negatif dapat yang diketahui setelah proses pemantauan dan evaluasi. Pemanfaatan ruang yang bersifat positif dapat diberikan insentif, sedangkan pemanfaatan ruang yang bersifat negatif dapat diberikan disinsentif atau sanksi bila diperlukan. Selama dekade terakhir, sanksi pidana yang sudah dijalankan untuk menghukum pihak tertentu karena melakukan konversi kawasan lindung seperti di Riau, dengan merubah status kawasan di Bogor (Liputan 6, 9 Agustus 2014), dalam hal ini terkait dengan pelanggaran dalam perencanaan ruang. Selain itu kemungkinan adanya perijinan yang diberikan dalam konversi lahan sawah tertentu di Karawang yang diduga terkait dengan konversi lahan sawah (Perkasa, 2014), yang terkait dengan pemanfaatan dan pengendalian ruang.
3. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) Berbagai kebijakan perlindungan lahan sudah diluncurkan terutama untuk lahan sawah beririgasi, mulai dari UU hingga serat edaran kementrian/lembaga. Di tahun 2000-an muncul upaya menahan konversi lahan sawah. Perundangan paling baru untuk perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah UU No 41, tahun 2009. Perundangan ini mewajibkan adanya lahan pangan yang dilindungi, dan ditetapkan dalam perencanaan pola ruang. lahan yang sudah dilindungi selanjutnya dapat diberikan berbagai insentif dan sudah ada sumber pembiayaannya. Peraturan ini tidak hanya melindungi lahan sawah, tetapi dapat melindungi lahan pangan yang akan berbeda di berbagai lokasi di Indonesia, seperti lahan sagu, lahan jagung, dan lahan lainnya sesuai dengan usulan dari setiap pemerintah daerah. Dalam prakteknya untuk penetapan lahan pertanian pangan untuk dilindungi, membutuhkan berbagai tahapan, yang diawali dengan pencarian lahan dari lahan aktual dan potensial, penentuan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan, penentuan lahan P2B, penetapan KLP2B dan LP2B; dan selanjutnya ditetapkan dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota. Berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan dalam UU No 41 tahun 2009, maka lahan P2B yang boleh dilindungi adalah lahan yang terletak kawasan budidaya di RTRW, secara aktual berproduktivitas tinggi, terletak lahan paling sesuai daya dukung fisik (kesesuaian paling baik), berinfrastruktur (irigasi, jalan) dan didukung masyarakat yang memilikinya. Daerah sawah yang berpotensi tidak akan dilindungi karena berada di kawasan lindung, :produktivitas rendah, tidak sesuai secara fisik, tidak didukung oleh pemilik / tidak ada dukungan sosial, dan tidak menguntungkan secara ekonomi. Ilustrasi berikut adalah penentuan lahan pertanian pangan sawah yang akan dilindungi akan disajikan berbagai kondisi yang perlu diperhatikan dalam kejadian yang dapat mengkonversi lahan sawah yang dalam prakteknya melibatkan berbagai pihak.
7
Dari studi pendataan LP2B 2012 melalui citra dan lapang, diketahui sawah aktual di Bogor adalah sekitar 45 ribu kektar, yang menyebar di hampir semua wilayah Kabupaten Bogor, yang mengindikasikan eratnya hubungan antara masyarakat dengan sawah. Hamparan sawah yang luas terletak di daerah timur, barat, dan selatan (Gambar 3). Jika dibandingkan dengan rencana pertanian lahan basah di RTRWK maka luasan yang direncanakan adalah sekitar 40 ribu hektar; yang kemungkinan dapat disebut mendekati. Dari informasi langsung pembuat dokumen, menyatakan angka tersebut bersumber dari informasi tentang keberadaan sawah di data resmi. Ketidak-selarasan perencanaan ruang dengan aktual sawah yang dianggap sebagai lahan strategis terlihat pada saat dilakukan proses tumpang-tindih data sawah aktual dengan Peta Rencana Pola Ruang Kabupaten Bogor (Gambar 4). Sawah ternyata terletak di semua kawasan peruntukan. Sawah juga ditemukan di kawasan berfungsi lindung dan konservasi dan kawasan hutan produksi.. Sawah aktual yang menyebar di berbagai kawasan pemukiman, zona industri dan daerah terbangun lainnya mencapai 49 persen. Sedangkan sawah aktual yang akan dijadikan sebagai Kawasan Pertanian Lahan Basah, ternyata hanya 12,685.10 ha, yang berarti hanya melindungi sekitar 0.32 persen. Dari sisi praktis sawah yang diusulkan menjadi LP2B adalah sawah aktual yang ada (Tabel 2). Secara keseluruhan, data ini menunjukkan secara terencana lahan sawah yang akan dijadikan jadi pemukiman sangat besar. Hal ini berarti proses konversi lahan pertanian pangan sangat besar terjadi akibat perencanaan ruang.
Gambar 3. Lahan Sawah di Kabupaten Bogor (Sumber: PSP3, IPB dan Kab Bogor, 2012)
8
Gambar 4. Lahan Sawah di Kawasan Pola Rencana Ruang Kabupaten Bogor (Sumber: PSP3, IPB dan Kab Bogor, 2012)
Tabel 2. Luas Sawah di berbagai kawasan pemanfaatan ruang yang direncanakan dalam RTRW Kab. Bogor (Sumber PSP3, IPB dan Kab Bogor, 2012) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Pola Pemanfaatan Ruang Kawasan Hutan Lindung Kawasan Hutan Konservasi Kws Hutan Produksi Terbatas Kws Hutan Produksi Tetap Kawasan Perkebunan Kawasan Tanaman Tahunan Kws Pertanian Lahan Basah Kws Pertanian Lahan Kering Kws Pmkn Pkt (hunian padat) Kws Pkmn Pkt (hunian sedang) Kws Pmkn Pkt (hunian rendah) kws Pmkn Pds (hunian rendah) Kws Pmkn Pds (hunian jarang) Kawasan Industri Zona Industri Rencana Waduk Tubuh Air Total
Luas sawah (ha) 97,2 1474,2 1452,8 2178,6 820,9 3677,6 12685,1 3748,2 2939,8 6423,2 2727,7 4296,7 1543,3 393,0 224,6 281,0 251,0 45214,8
9
% ke total sawah 0,21 3,26 3,21 4,82 1,82 8,13 28,06 8,29 6,50 14,21 6,03 9,50 3,41 0,87 0,50 0,62 0,56 100,00
Luas total RTRW (ha) 8672,0 43158,8 14391,4 19977,8 9823,0 26681,6 40044,5 23993,2 37446,1 27345,1 11018,6 19982,9 7655,6 2007,7 2904,8 703,5 2712,8 298519
% ke Total RTRW 1,12 3,42 10,10 10,90 8,36 13,78 31,68 15,62 7,85 23,49 24,76 21,50 20,16 19,57 7,73 39,94 9,25 15,15
Gambar 5. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang diusulkan di Kab Bogor
Gambar 6. Usulan perbaikan RTRW untuk mengadopsi LP2B di Kabupetan Bogor
10
Berdasarkan perundangan, lahan sawah yang akan diusulkan dilindungi perlu dibuat dalam bentuk kawasan LP2B. Kawasan yang diusulkan mempunyai ukuran tertentu dan ditetapkan bersamaan dengan LP2B (Gambar 5). Jika lahan tersebut sudah ditetapkan, maka selanjutnya lahan tersebut dalam bentuk kawasan diletakkan dalam RTRW kabupaten / kota (Gambar 6) atau dalam rencana rinci tata ruang. Proses penetapan di tahap sebelum diletakkan dalam perencanaan ruang dan penetapan dalam RTRW merupakan proses karena membutuhkan kordinasi berbagai pihak baik pihak pemerintahan maupun pihak legislatif. Terdapat perbedaan dalam upaya perlindungan lahan sawah mengikuti UU No 41, 2009 dibandingkan dengan peraturan sebelumnya. Mengikuti UU No 41, lahan yang sudah ditetapkan bermakna lahan tersebut tidak boleh dialih-fungsikan karena sudah diindungi. Proses konversi ke bentuk lain akan sangat sulit. Proses pergantian pemilik dapat saja terjadi tetapi lahan sawah tersebut tetap sebagai lahan sawah. Dalam hal ini, proses pengeringan atau modus lain untuk memudahkan konversi lahan sudah sangat sulit dilakukan. Peraturan ini sudah sangat kuat dengan dukungan 4 peraturan pemerintah dan 1 Permen, dan kemungkinan pedoman lain, tetapi kabupaten/kota yang sudah menetapkan KP2B atau LP2B secara spasial masih terbatas, Dominan penyataan melindungi sawah dibuat dalam bentuk tabular.
4. Pemberian perijinan pemanfaatan ruang dan Proses Pemberian perijinan untuk pemanfaatan ruang diperlukan khususnya untuk keperluan usaha formal seperti perdagangan, industri, pertanian, dan lainnya, maka akan diawali dari proses pencarian lokasi, yang selanjutnya diikuti dengan proses transaksi jual-beli lahan antara dan pengukuran. Setelah ada lahan sesuai dengan keperluan investor dalam luasan tertentu, maka dilakukan analisis terkait dengan dampak lingkungan, yang merupakan syarat terbitnya surat ijin usaha. Khusus untuk usaha perkebunan maka akan diarahkan untuk mendapatkan sertifikat seperti HGU (untuk perkebunan) atau lainnya, jika diperlukan. Pihak yang terlibat dalam proses ini beragam seperti pemerintah daerah (perijinan), bappeda, instansi teknis terkait, BPN, dinas lingkungan hidup, dan lain-lain. Ilustrasi proses perijinan untuk perkebunan disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Tahapan perijinan untuk mengembangkan usaha tertentu (Satyawan et al, 2012) 11
Pihak yang memberikan ijin adalah pihak pemerintah daerah melalui dinas perijinan. Secara substansi pemberian perijinan dulunya dilakukan oleh BPN, dan setelah pelimpahan 9 kewenganan pertanahan maka peran BPN adalah memberikan pertimbangan teknis pertanahan yang salah satunya adalah izin lokasi. Dengan adanya pelimpahan kewenangan izin lokasi ke Pemerintah Daerah, tata cara perolehan izin lokasi seharusnya diatur oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk Permendagri. Hal ini dikarenakan PMNA/KBPN No. 2 Tahun 1993 mengatur tata cara perolehan izin lokasi sebelum pelimpahan kewenangan yang masih berada kewenangannya di Kantor Pertanahan. Permohonan izin lokasi di daerah biasanya melalui Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu dan Penanaman Modal (KP2TPM) atau berbentuk Badan Pengurusan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) yang bervariasi di tiap daerah. PMNA/KBPN No. 2 Tahun 1999 memuat pengaturan batasan luasan oleh suatu perusahaan dan grup perusahaan seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Batasan Luasan oleh Suatu Perusahaan dan Grup Perusahaan No 1. 2. 3. 4.
5.
Batasan Luas Penguasaan (ha) Provinsi Indonesia Prov. Papua 400 4.000 800 200 4.000 400 400 4.000 800
Peruntukan Perumahan dan permukiman Resort perhotelan Kawasan industri Perkebunan besar (untuk HGU) - Komoditas tebu - Komoditas lainnya Usaha tambak - Usaha tambak di Jawa - Usaha tambak di luar Pulau Jawa
60.000 20.000
150.000 100.000
120.000 40.000
100 200
1.000 2.000
200 400
Batasan luasan penguasaan untuk suatu grup perusahaan dalam memperoleh izin lokasi tersebut sama dengan penetapan dalam Permentan No. 26 Tahun 2007. Untuk memperoleh izin lokasi maka dipersyaratkan adanya pertimbangan teknis pertanahan sebagaimana diatur Peraturan KBPN No. 2 Tahun 2011. Pertimbangan teknis pertanahan ini bersifat “wajib” dilaksanakan. karena pengabaiannya berdampak pidana menghilangkan pendapatan negara bukan pajak sesuai ketentuan PP No. 13 Tahun 2010. Pertimbangan teknis pertanahan diberikan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dalam rangka: (i) Penerbitan izin lokasi; (ii) Penetapan lokasi; dan (iii) Izin perubahan dan penggunaan tanah. Pertimbangan teknis pertanahan dalam rangka izin lokasi merupakan pertimbangan yang memuat ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatan tanah, sebagai dasar penerbitan Izin Lokasi. Pedoman pertimbangan teknis harus terselenggara dengan ketentuan : a. Tidak boleh mengorbankan kepentingan umum; b. Tidak boleh saling mengganggu penggunaan tanah sekitarnya; c. Memenuhi azas keberlanjutan; d. Memperhatikan azas keadilan; dan e. Memenuhi ketentuan peraturan perundangan. 12
Proses perijinan yang sering dan memungkinkan lahan pertanian pangan berubah penggunaan adalah untuk keperluan pertambangan. Dalam hal ini prosesnya sedikit berbeda, karena cenderung dilakukan secara terbatas. Proses perijinan untuk mengkonversi lahan di kawasan hutan mempunyai proses yang berbeda tetapi secara prinsip bertujuan sama, tetapi proses konversi lahan sawah di Kawasan Hutan Produksi adalah tidak relevan untuk penggunaan di luar komoditas kehutanan. Jika suatu lahan yang akan dijadikan sebagai bentuk usaha baru dan sesuai dengan perencanaan pemanfaatan ruang, maka dalam proses ini tidak terjadi penyalah-gunaan kewenangan. Sedangkan jika diberikan perijinan lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukan ruang maka hal ini merupakan penyalahan kewenangan. Dalam proses perijinan selain proses yang bersifat mengkonversi lahan, maka selajnutnya ada juga bersifat perpanjangan, tetapi dalam hal ini tidak termasuk kondisi yang bersifat mengkonversi lahan, walaupun jangka waktu perijinan dan berbagai proses perpanjangannya yang dapat menjadi sumber perhitungan pihak tertentu melakukan proses perijinan yang terkait dengan konversi lahan tertentu. Praktek perijinan seperti adanya dorongan pihak tertentu untuk mengkonversi lahan sawah untuk menjadi lahan kelapa sawit (Yulianus, 2014) tentu terkait dengan adanya perlindungan hukum dalam jangka panjang, dan malah dapat diperpanjang atau diperbaharui (Gambar 8). HGU pemberian, perpanjangan,pembaharuan = 75 tahun Pemberian= 25 tahun
Pemberia n HGU
Perpanjangan HGU :
Perpanjangan= 25 tahun
Jangka waktu pemberian 2 thn sblm hak HGU berakhir
Pembaharuan HGU : 2 thn sblm hak berakhir
Pembaharuan = 25 tahun
Jangka waktu perpanjangan HGU berakhir
Jangka waktu pemberian
Gambar 8. Hak penguasaan HGU: dari Pemberian, Perpanjangan, dan Pembaharuan, yang sangat menguntungkan dalam jangka panjang; dan terkait dengan konversi lahan di tahap awal (modifikasi dari Satyawan et al, 2012)
5. Praktek penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang di Indonesia Penggunaan lahan adalah bentuk fisik di permukaan bumi yang terkait dengan usaha pengelolaanya (Arsyad, 1989). Keberadaan penggunaan lahan biasanya dilihat dari lapangan, karena perlu diketahui sejarah tutupan permukaan dalam periode tertentu. Keberadaan 13
penggunaan lahan ada kalanya dicampurkan dengan istilah penutupan lahan, yang merupakan bentuk fisik tutupan yang terlihat saat dilakukan pengamatan atau mudah dilihat dari citra satelit. Dalam pemanfaatan ruang yang dimaksudkan adalah penggunaan lahan, bukan pemilikan atau penguasaan lahan ataupun azas kemanfaatannya, seperti yang diatur dalam penata-gunaan tanah . Jika terjadi perubahan pemilikan, selama penggunaannya sama, maka dianggap tidak terjadi konversi lahan. Dalam bentuk formal, proses perubahan pemilikan untuk usaha formal biasanya dilakukan melalui proses perijinan. Jika proses perijinan yang disampaikan sebelumnya dijalankan, maka proses konversi pertama adalah perubahan kepemilikan, sedangkan penguasaan dan penggunaan adalah tahapan berikutnya. Adanya perubahan pemilikan atau penguasaan, tidak berati penggunaan atau penutupan berubah khususnya dalam waktu tertentu. Saat ini perubahan penggunaan lahan dalam wilayah yang luas biasanya dilakukan dengan menggunakan citra satelit, baik yang beresolusi spasial tinggi atau rendah, yang direkam pada waktu berbeda. Penggunaan citra inderaja jauh saat ini sebagian sudah bisa berbasis data gratis yang dapat diperoleh dari Internet seperti data Landsat (resolusi menengah) atau yang lebih kasar seperti data NOAA, MODIS. Sedangkan pemilikan atau penguasaan untuk usaha yang bersifat skala besar dapat dilihat dari data formal seperti HGU, HGB, SIUP dan lainnya, atau pada awalnya dari perijinan lokasi. Dokumen ini umumnya berada pada berbagai lembaga yang terkait. Sangat jarang ditemukan lokasi ini pada instansi tertentu secara terintegrasi. Khusus data terkait dengan sertifikat akan disimpan di BPN, yang lainnya dapat di Bappeda, Kantor atau Dinas teknis tertentu. Berikut disampaikan berbagai bentuk dan potensi perubahan penggunaan/penutupan lahan terkait dengan pertanian atau tanaman pangan yang dapat terjadi di proses perencanaan ruang, pemberian perijinan, penguasaan secara tidak legal, berbagai kenampakan dan proses yang terkait dengan usulan pembuatan lahan pertanian berkelanjutan. Gambar 9 menunjukkan pola perencanaan ruang di kota Sukabumi, dan Gambar 10 menunjukkan penyebaran sawah yang diusulkan sebagai prioritas pertama, kedua dan ketiga. Pemerintah Kota Sukabumi mempunyai keinginan menyelamatkan sawah sebesar 321 ha, dimana saat ini sawah aktual sebesar 1600 ha. Saat ini perencanaan daerah sawah di RTRW tidak semua berada di daerah aktual sawah, sehingga jika ingin menyelamatkan lahan sawah maka dapat dikategorikan tidak operasional. Alternatif usulan lahan sawah yang dilindungi untuk prioritas pertama sudah melebihi kebutuhan minimal. Salah satu hal penting dalam usulan lahan sawah yang dilindungi di Kota Sukabumi terkait dengan kesiapan pemerintah kota dalam menyediakan lapangan kerja selain pertanian. Saat ini dominan penduduk kota sukabumi yang mengelola sawah adalah penggarap, bukan pemilik.
14
Gambar 9. Perencanaan pola pemanfaatan ruang di Kota Sukabumi (Barus et al 2013)
Gambar 10. Usulan Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LCP2B) (Barus et al 2013)
15
Contoh pengaruh perijinan yang berpotensi mengkonversi penggunaan lahan di Kabupaten Tapin (Gambar 11), Kabupaten Langkat, Deli Serdang dan Serdang Bedagai (Gambar 12), dan Kabupaten Tanah Laut (Gambar 13). Di Kabupaten Tapin, pemerintah daerah kabupaten merencanakan daerah gambut sebagai daerah kawasan perkebunan. Saat ini berbagai perijinan dan perkebunan aktual sawit sudah berkembang. Sebelum munculnya kelapa sawit, maka wilayah ini merupakan daerah semak belukar atau hutan sekunder gelam, dan di daerah pinggirnya adalah persawahan produktif. Pada waktu pengamatan lapang tahun 2012, sudah terdapat dampak negatif akibat perkebunan sawit antara lain gangguan ternak yang sudah mulai berkurang produksi telurnya karena minumannya sudah asam. Jika gangguan air terjadi karena selama ini adanya simpanan air di daerah gambut sudah tidak ada lagi, maka kemungkinan ke depan ada potensi penurunan produksi padi, Dalam hal ini potensi konversi di masa yang datang dapat terjadi.
Gambar 11. Perijinan kebun sawit yang mengkonversi lahan di Kab Tapin (Satiawan et al, 2012). Keberadaan kebun mengganggu keberadaan sawah di lingkungan sekitarnya
Gambar 12 menunjukkan proses konversi lahan pertanian pangan ke perkebunan yang dilakukan melalui proses perijinan dan penguasan lahan skala besar yang terjadi khususnya di Deli Serdang dan Serdang Bedagai. Dari perencanaan ruang yang dilakukan, dinyatakan sebagai lahan basah, tetapi penguasaan perkebunan (HGU) atau dan perkebunan aktual sawit berkembang. Pemberian HGU di daerah secara lokasi direncanakan sebagai lahan basah dapat terjadi karena penyusunan rencana tata ruang tidak melihat realitas di lapangan, atau sebaliknya perencanaan ruang tidak dipatuhi oleh pemberi ijin. Sedangkan adanya kebun sawit, tanpa sertifikat HGU, yang berada di kawasan lahan basah, menyebar di berbagai lokasi di wilayah ini. Kondisi ini dapat terjadi karena sebagian petani atau pemilik kebun yang luas (lebih dari 25 ha) memang tidak mau mengurus HGU,yang kalau dilakukan berarti perlu membuat izin 16
konversi penggunaan lahan seperti yang dinyatakan dalam pertimbangan teknis pertanahan. Selain itu masyarakat menyatakan untuk bahwa pembuatan HGU sangat mahal dan manfaatnya terutama untuk keperluan peminjaman dana ke bank, yang dalam hal ini sebagian masyarakat tidak perlu dana. Unsur keamanan adanya sertifikat sebagai bukti pemilikan tidak dianggap urgen terutama dalam kaitan perkebunan skala luas. Kenyataan di wilayah ini memang sebagian besar didorong oleh pertimbangan praktis. Di lapangan proses konversi lahan sawah ternyata relatif pesat baik ke komoditas sawit maupun ke infrastruktur dan perumahan. Larangan konversi lahan sawah tidak terlalu dihiraukan oleh penduduk atau pemlik lahan. Di lapangan, usaha formal seperti industri diduga melalui proses konversi lahan sawah, dan menurut penduduk dilalui melalui proses pengeringan lahan; sehingga perijinan dapat diperoleh.
Gambar 12. Tipologi perijinan/penguasaan lahan kebun di Kab Langkat, Deli Serdang dan Serdang Bedagai (Satyawan et al, 2012). PLB diberikan perijinan untuk dikonversi ke non sawah
Keberadaan lahan sawah yang belum ditetapkan sebagai lahan pertanian berkelanjutan (LP2B) juga menjadi salah satu sumber penyebab adanya konversi lahan sawah atau lahan pangan (lahan kering). Hal ini terkonfirmasi saat di lapangan, bahwa dengan pendekatan RTRW yang ada tidak mampu menghambat laju konversi lahan sawah. Upaya penetapan LP2B belum dlakukan pada saat studi dilakukan. Dari media, diketahui keinginan pimpinan provinsi ingin mempertahankan Sumut sebagai lumbung pangan, tetapi secara eksplisit upaya menetapkan lahan pangan berkelanjutan belum terlihat nyata di lapangan. Gambar 13 menunjukkan proses konversi lahan sawah yang berasal dari pemberian ijin untuk skala besar di daerah yang direncanakan sebagai kawasan pertanian lahan basah. HGU 17
yang belum ada kebun aktual bisa terdapat di lahan yang diperuntukan sebagai lahan basah. Seperti halnya di lokasi lain, penyebab ini diduga dapat terjadi karena penyusunan RTRW yang tidak baik, atau karena pemberian ijin yang bermasalah. Kedua bentuk ini dapat menjadi titik biaya transaksi yang bermakna menjadi sumber korupsi. Pada tahun 2012, pada saat kajian dilakukan, berdasarkan wawancara tim penyusun RTRW, upaya membuat lahan pertanian pangan berkelanjutan sedang dilakukan, dan harapannya dapat memperbaiki RTRW yang sedang akan diperbaiki.
Gambar 13. Kenampakan Pola Ruang, Kebun Sawit, dan HGU di Kab Tanah laut (Satyawan et al, 2012). Daerah PLB diberikan perijinan untuk menjadi kebun sawit
Gambar 14. Kenampakan lahan sawah di Kota Sukabumi, 2012 yang akan dijual pemiliknya mengikuti hukum pasar (tidak ada hubungan dengan aspek legal dan larangan)
18
6. Area Rawan Penyimpangan dalam Alih Fungsi Lahan Dari berbagai studi kasus yang ditunjukan pada bagian sebelumnya maka konversi lahan terjadi pada skala besar yang sebagian terkait dengan kebijakan hingga pengembangan program, pemberian perijinan, dan skala kecil atau besar karena inisiatif dari masyarakat atau pengusaha. Hal ini sejalan dengan kejadian berkembangnya perkebunan baik yang berijin maupun tidak berijin (Barus, 2014). Dalam kajian yang dilakukan Satyawan et al (2012) dan kompilasi dengan sumber lain maka konversi lahan khususnya untuk perkebunan menghasilkan minimum 9 permasalah yaitu (1) Kesalahan Perencanaan Ruang dan perijinan, yang menunjukkan keberadaan kebun sawit di lokasi yang salah; (2) ketidak-sesuaian data fisik lingkungan, dapat karena data salah; (3) secara legal proses mendapat sertifikat sudah berjalan seperti Ijin Lokasi, Ijin Usaha Perkebunan (IUP), hak guna usaha (HGU) dan kebun aktual; tetapi ditemukan ukuran yang tidak sama di lapangan atara legal hukum dan aktual luas kebun; (4) proses legal hanya sebagian seperti keberadaan kebun melalui proses ijin lokasi dan ijin usaha perkebunan, tetapi tanpa HGU; (5) berijin lokasi dan kebun, yang berarti tidak ada ijin usaha perkebun dan tidak ada HGU; (6) berijin lokasi dan bertanah; tetapi tidak ada kebun dan tidak ada IUP dan tidak ada HGU; (7) hanya kebun (berukuran lebih besar dari 25 ha) – tidak termasuk masalah konversi, tetapi masalah perijinan; (8) adanya HGU, yang secara teori sulit terjadi; dan (9) menyebarnya konflik pertanahan dan perebutan lahan yang dianggap tidak jelas status hukumnya. Kondisi terakhir sering menghasilkan kerusakan lingkungan (Barus, 2014). Dari kondisi proses konversi yang terkait dengan pendekatan berlegal maupun tidaka, yang dianalogikan dengan permasalahan konversi lahan, maka wilayah rawan penyimpangan khususnya dalam proses alih fungsi lahan pertanian pangan disajikan seperti di Tabel 3 berikut. Pada Tabel 3 terlihat di tahap 1, ada 3 kondisi yang dapat terjadi, dimana (a) sawah aktual direncanakan bukan sebagai sawah, (b) sawah direncanakan sebagai sawah, dan (c) direncanakan sebagai sawah tetapi bukan sawah (variasi lain juga bisa seperti direncanakan bukan sawah dan bukan sawah, tetapi dari lahan pertanian, dan lainnya). Pada kondisi ini untuk kategori (a) berarti secara sengaja mengkonversi lahan sawah. Beberapa tahun lalu, sebelum periode revisi RTRW, BPN menemukan bahwa 30 persen konversi lahan sawah karena kebijakan tata ruang. Munculnya kebijakan seperti ini dapat terkait dengan keperluan tertentu, yang jika sawah sudah dilindungi maka menjadi penyimpangan atau dengan referensi lainnya. Kondisi (b) tidak terjadi maka otomatis terjadi penyalah-gunaan wewenang dan melanggar aturan, dan hal ini lebih mudah dikaitkan dengan kemungkinan adanya transaksi gelap. Sedangkan kondisi (c) lebih sulit, tetapi jika juga dapat menjadi sumber konversi lahan pertanian, tetapi dapat menjadi sumber masalah dalam pembuatan program, seperti saat ini ditemukan berbagai permasalahan dalam pencetakan sawah.
19
Tabel 3. Penyebab konversi lahan pertanian ke berbagai bentuk penggunaan lahan dapat terjadi yang dimulai tahap 1 hingga tahap 6 dan catatan penting*) Tahap 1 Direncanakan sebagai bukan sawah (sawah aktual) Idem
Tahap 2 Ijin lokasi
Tahap 3 Proses amdal
Tahap 4 siup
Tahap 5 Sertifikat HGU, HGB, dll
Tahap 6 Kebun, industri
Catatan lain Luas aktual perijinan bisa berbeda dengan aktual usaha
Ijin lokasi Ijin lokasi
-
-
-
-
Perusahaan rugi
Penyalahgunaan Secara legal seperinya semua baik; pada dalam semua tahap berpeluang adanya biaya transaksi Tidak sukses mendapatkan lahan
amdal
siup
-
Negara dirugikan
Potensi ada transaksi
Idem
-
-
-
-
Negara dirugikan
Potensi ada transaksi
Direncanakan sebagai sawah (aktual sawah) Idem
Ijin lokasi
amdal
siup
penyalah-gunaan aturan terjadi
Potensi ada transaksi
Ijin lokasi Ijin lokasi
-
-
Sertifikat HGU, HGB, dll -
Kebun, industri, dagang Kebun, industri, Kebun, industri -
Perusahaan rugi
Potensi ada transaksi
amdal
siup
-
Negara dirugikan
Potensi ada transaksi
Negara dirugikan
Potensi ada transaksi
Secara perencanaan legal benar, relatif sulit melakukan
Dapat ditemukan penyalahan gunaan dari sisi program
Idem
Idem
Idem
-
Direncanakan sebagai sawah tapi aktual bukan sawah
Ada atau tidak ada ijin lokasi
Kebun, industri, dagang Kebun, industri, bervariasi bervariasi bervariasi Bervariasi
*) tidak berarti setiap proses akan sama, dan variasi pelaksanaan bisa berbeda untuk setiap kabupaten/kota di Indonesia
20
Berbagai kenyataan perencanaan, perijinan dan implemetasi dalam kenyataannya bisa tidak sejalan, dalam hal ini pengertiannya menjadi lahan terlantar yang secara aturan dapat diambil kembali oleh pemerintah dan dapat dimanfaatkan ke pihak lain. Dalam kenyataannya sangat langka kejadian ini terjadi, dan penyebab utama terkait dengan prioritas dari pemilik pertama. Dalam praktek hal ini diduga dapat menjadi sumber transaksi tidak jelas Fakta lain, saat ini banyak terjadi konflik lahan, dan kejadian ini sebagian bersumber dari wilayah ‘kosong’ yaitu masa perijinan sudah habis atau selesai, dan belum ada pengelola yang baru. Sebagian masyarakat melalukan penguasaan secara sepihak, dan sampai batas tertentu hal ini dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Konversi lahan dari suatu tutupan ke tutupan baru yang mungkin lebih produktif, tetapi prosesnya salah dan juga terjadi kerusakan lingkungan seperti akibat pembakaran lahan gambut. Kemungkinan lain, yang membuat masalah di suatu lokasi, dampaknya adalah lokasi lain. Ilustrasi ini sudah ditemukan di beberapa tempat terutama terganggunya lahan sawah akibat pemukaan kebun sawit di lokasi kubah gambut.
7. Modus penyimpangan alih fungsi lahan Untuk menilai modus terjadinya konversi lahan, seperti dari Tabel 3, maka ketelibatan berbagai pihak menjadi penting dilihat. Jika pada akhirnya tujuan pembangunan berhasil dan ditunjukkan pada masyarakat yang sejahtera dan juga lingkungan baik, maka penilaian penyimpanan relatif sulit dilakukan selain secara legal. tetapi mengingat besarnya konflik saat ini dan masyarakat di berbagai tempat masih jauh dari sejahtera, maka permasalahan konversi sangat terkait dengan masalah sosial dan lebih besar dari sisi masalah konversi lahan secara fisik dan legal. Dalam kenyataan modus penyimpangan bisa juga ke tujuan spekulasi atau motif pribadi yang bertujuan meningkatkan nilai ekonomi lahan di tempat tertentu, tetapi kajian aspek ini diluar cakupan materi ini.
8. Data dan pihak terkait untuk mengetahui penyimpangan Untuk mendukung pembuktian adanya penyimpanan dibutuhkan data dan informasi yang kuat. Mengingat data spasial adalah data utama keperluan pembuktian, maka data dasar tentang perencanaan, program kebijakan, atau perijinan, dan juga data citra satelit. Semua data ini perlu disusun dalam suatu standar (yang sudah diatur berdasarkan perundangan, one map policy). Khusus data tematik non citra, maka pengelolaan berada di berbagai instansi yang perlu diatur kebijakan penggunaan data bersama. Sedangkan data citra tertentu, sebagian saat ini sudah bersifat gratis di publik melalui media internet (Gambar 15). Kebijakan penggunaan data citra resolusi tinggi saat ini juga sudah diatur sehingga bisa dipakai oleh berbagai instansi pemerintah. Sedangkan data tematik spasial skala besar yang lain seperti kepemilikan, dan lainnya masih memerlukan perubahan kebijakan baik dari sisi penggunaan, maupun dari sisi pembuatan. Pembuatan data tematik tertentu seperti pemilikan dan penguasaan juga bisa dilakukan berbasis masyarakat. Beberapa wilayah di 21
Indonesia sudah menerapkan pendekatan ini, bisa melibatkan lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan lain-lain. dan sebagian data citra skala besar dimantapkan dan sosialiasilagi proses
Gambar 15. Citra yang menunjukkan perubahan penggunaan / penutupan lahan di daerah Cikampek yang mengkoversi lahan sawah menjadi likasi pemukiman atau infrastruktur dari citra yang disediakan di Google Earth.
9. Penutup Konversi lahan data terjadi dalam skala kecil dan besar, yang umumnya direncanakan. Perubahan lahan dalam ukuran kecil bisanya dilakukan oleh masyarakat bermodal rendah, sedangkan perubahan skala besr dilakukan pihak perusahaan atau pemilik dana besar. Perubahan penggunaan lahan skala besar biasanya memerlukan aspek formal atau legaslitas untuk menjalankan perubahan dan menjalankan usaha yang baru. Perubahan lahan pertanian pangan yang dilakukan oleh pelaku usaha kecil maupu besar dapat merusak lingkungan dan atau menyalahi peraturan yang sudah ditentukan dalam melakukan konversi lahan atau pengelolaan lahan. Penyalahan-gunaan dan kegiatan yang mendorong konversi lahan pertanian atau lainnya dapat terjadi dari mulai tahap perencanaan ruang, perijinan pemanfaatan ruang, dan pelaksanaan pemanfaatan ruang, dan juga proses perpanjangan perijinan. Dukungan data sangat penting untuk mendukung pembuktian adanya penyalaha gunaan penggunaan ruang, dan pembangunan data baik legal maupun aktual perlu dilakukan. Berbagai lembaga penyedia data saat ini masih mempunyai kebijakan/aturan yang tidak mempermudah proses pembuktian penyalah-gunaan ini. Sampai batas tertentu teknologi informasi sudah mendukung, tetapi masih diperlukan dukungan berbagai pihak dan jugapendekatan pembuatan data yang lebih baik. 22
Referensi Non-peraturan Barus, B. L.S. Iman, Dyah R. Panuju, K. Gandasasmita, Reni, K. 2012. The Role of Regional Spatial Planning to Protect Paddy Field in Indonesia: A Case Study in Garut District. The Regional Workshop and Southeast Asia Food Sovereignity. In ICC, Bogor, IPB-Exceed, and TU Braunschweig, September 17-21, 2012 B. Barus, D.R. Panuju, L.S. Iman, B.H.Trisasongko, K. Gandasasmita, dan R. Kusumo. 2011 Pemetaan Potensi Konversi Lahan Sawah dalam Kaitan Lahan Pertanian berkelanjutan dengan Analisis Spasial. Dalam Ariyanto, et al editor, Prosiding Seminar dan Kongres Nasional X HITI. UNS. Barus, B. 2012. Membangun Penyelenggaraan Sistem Administrasi Pertanahan di Kabupaten Nunukan : Pengalaman pada Kajian Penyelenggaraan 9 Kewenangan Pertanahan di Studi LMPDP 2006-2010 dan Lainnya. Disampaikan : Workshop “Pembaruan Agraria Untuk Kesejahteraan Masyarakat di Daerah Perbatasan”. Di Kabupaten Nunukan, Kaltim, 18-19 Juni 2012 Barus.B. 2014. Ijin HGU Perkebunan: Sebuah Studi Kasus atas Bentuk Penyalahgunaan dalam Tata Kelola Agraria. Seminar Masalah Agraria Kontemporer: Tantangan Kebijakan Agraria Masa Kini dan Akan Datang di Indonesia”. Diselenggarakan Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI, Jakarta 08 April 2014 Bappenas, 2006?, Kajian konversi lahan. Diakses di Internet pada 9 agustus 2014 Irawan, B. 2008. Meningkatkan Efektivitas Kebijakan Konversi Lahan. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 28(2):116-131, diakses pada 9 Agustus 2014 Yulianus J. 2014. Muhammad Yanto: Gigih mempertahankan sawah. Kompas, 08 Agustus 2014 Liputan 6, 2014. kpk-dahsyat-rachmat-terlibat-suap-konversi-lahan-hutan-2754-ha./ http://news.liputan6.com/read/2047475/ diakses pada 9 agustus 2014 Perkasa, A. 2014. Konversi lahan Karawang: Siapa yang Untung dan Buntung? http://industri.bisnis.com/read/20140719/99/244520/... diakses pada 9 agustus 2014 Satyawan, S, S., B. Barus, N.F. Rachman, Bayu E.Y, Indriayati, Suryalita dan Munsyarief 2012. Batasan Luas Pemilikan dan Penguasaan Tanah: fokus pada Hak Guna Usaha. Laporan Akhir. Kerjasama Puslitbang, BPN dengan Fakultas Ekologi Manusia, IPB Peraturan : Perkaban BPN No 2, tahun 2011 tentang Pedoman pertimbangan teknis pertanahan– untuk penerbitan izin lokasi, penetapan lokasi dan perubahan penggunaan tanah UU Nno 41 tentang lahan pertanian pangan bekelanjutan ---PP No. 1/11, 2011 Tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
23