152
DAMPAK IMPLEMENTASI PP (PERATURAN PEMERINTAH) NO 20 TAHUN 2006 TENTANG IRIGASI TERHADAP PRODUKTIVITAS PADI DI INDONESIA: SUATU KAJIAN TEORITIS DAN EMPIRIS Oleh : Budiyanto1) ABSTRACT Paddy-rice farming cannot run well without a proper irrigation. Because water quantity and quality for irrigation continuosly drecrease, irrigation management becomes very essential. Therefore, the central goverment issued a regulation in order to boost the achievement of an integrated irrigation system through PP No 20/2006. A question that may arise is whether such a regulation has been effectively implemented in the field and how it has affected paddy-rice farming in Indonesia. This article theoretically review both and emphyrically test the PP enforcement using panel data 2005-2009 from 29 provinces in Indonesia, except Kepri, DKI Jakarta, SulBar and Papua Barat. Key words: irrigation, productivity, paddy-rice, PP No 20/2006 PENDAHULUAN Irigasi merupakan input penting dalam pertanian, terutama tanaman padi. Lahan teririgasi terbukti lebih produktif. Data BPS (2010) menunjukkan produktivitas lahan teririgasi di Indonesia tahun 2009 sebesar 50,8 kuintal per hektar, sementara lahan non irigasi hanya 29,6 kuintal per hektar. Aplikasi teknologi baru dengan pemanfaatan benih unggul, penggunaan pupuk buatan, zat perangsang tumbuh dan mekanisasi memang merupakan sumber-sumber pertumbuhan yang penting, namun penerapannya tetap membutuhkan ketersediaan air irigasi yang memadai (Sudaryanto, 2001). Mengingat pentingnya peran irigasi dalam peningkatan produktivitas pertanian maka pemerintah telah mengeluarkan anggaran yang relatif besar untuk pembangunan irigasi baru dan perbaikan jaringan irigasi yang telah dibangun, bahkan jauh melebihi anggaran sektor pertanian non irigasi. Pada tahun 2000 anggaran irigasi sebesar Rp 2,22 triliun, meningkat menjadi Rp 4,76 triliun pada tahun 2003 yang merupakan jumlah anggaran pembangunan irigasi terbesar selama masa pemulihan ekonomi (Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2000-2003). Namun, perkembangan data terakhir menunjukkan pertumbuhan produktivitas 1
usahatani padi cenderung mengalami perlambatan. Menurut data BPS (2010), produktivitas padi selama 2008-2009 mengalami kenaikan sebesar 2,15 persen, tetapi selama 2009-2010 (data ARAM II) hanya mengalami kenaikan sebesar 1,26 persen. Perlambatan produktivitas tersebut terkait dengan menurunnya kualitas lahan sawah akibat over intensifikasi dan penurunan kualitas irigasi. Turunnya kualitas irigasi salah satunya merupakan akibat dari degradasi fungsi jaringan irigasi. Masa mendatang, kebutuhan irigasi untuk peningkatan produksi pangan akan semakin meningkat. Ketersediaan air (water quantity) dan kualitas air yang tersedia (water quality) akan menjadi masalah serius yang harus diantisipasi sejak dini (Nanuru, 2002). Untuk itu, perlu pengelolaan air/irigasi (water management) yang efektif dan efisien.Water management (pengelolaan irigasi) tidak mungkin dilakukan secara personal, harus dikelola bersama oleh pemerintah, kelompok tani dan unsur-unsur terkait lainnya. Oleh karena itu pemerintah melakukan regulasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 77 tahun 2001 tentang peningkatan partisipasi petani dalam pengelolaan irigasi kepada masyarakat tani, kemudian diikuti dengan Undang-undang No 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, dan
) Staf Pengajar PadaAGRIPLUS, Jurusan Sosial Volume Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Kendari. 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
152
153
PP No 20 tahun 2006 tentang irigasi. Tujuan pokok yang ingin dicapai melalui regulasi ini adalah mewujudkan keterpaduan dan partisipasi kelompok petani pemakai air irigasi dalam pengelolaan jaringan irigasi. Adanya partisipasi yang terpadu, diharapkan sumberdaya air, lingkungan dan pengelolaan irigasi akan lebih terjaga. Misalnya, kesadaran dan saling mengingatkan untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak sumber air seperti logging, pemborosan penggunaan air, pengaturan pola dan waktu tanam agar irigasi dapat mencukupi kebutuhan (seperti yang dilakukan oleh Subak di Bali), dan sebagainya. Tetapi di sisi lain, aksi kolektif (collective action) seperti itu, memiliki beberapa konsekuensi negatif, diantaranya rentan terhadap adanya free rider (penikmat gratis). Selain itu, untuk menguatkan ikatan kelompok, tidak jarang memerlukan ‘biaya sosial’ yang tinggi, yang bukan hanya menguras biaya tetapi juga mengorbankan waktu untuk bertani. Melihat realita tersebut, masih dipertanyakan, apakah regulasi pemerintah melalui PP No 20 tahun 2006 dapat diimplementasikan secara efektif di lapangan; serta apakah implementasi PP tersebut berdampak pada efektivitas pengelolaan irigasi yang selanjutnya akan berdampak pada produktivitas usaha tani padi di Indonesia?. Mengetahui pengaruh kebijakan (regulasi) melalui PP No 20 Tahun 2006 tentang irigasi terhadap peningkatan produktivitas usahatani padi di Indonesia, ditinjau dari aspek teoritis/logis dan empiris. KERANGKA TEORI Pengelolaan Irigasi di Indonesia Pembangunan lahan dan irigasi mulai mengalami perlambatan sejak awal dekade tahun 1980’an (Simatupang et al, 1999). Rehabilitasi dan pencetakan lahan sawah irigasi menurun tajam sejak tahun 1983/1984. Hal ini diduga disebabkan oleh tiga faktor: (a) semakin ketatnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN); (b) adanya perubahan rejim kebijakan ekonomi dari sistem pasar ”dikelola
pemerintah” ke sistem pasar bebas (dalam kaitan ini pemerintah bahkan telah menerapkan sistem iuran irigasi sebagai awal penciptaan pasar); (c) menurunnya obsesi untuk memacu produksi pangan karena swasembada beras telah diraih pada tahun 1984. Setelah mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang pada akhirnya pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 77 tahun 2001 tentang peningkatan partisipasi petani dalam pengelolaan irigasi kepada masyarakat tani, kemudian diikuti dengan Undang-undang No 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air dan PP No 20 tahun 2006 tentang irigasi. Beberapa hal penting dalam PP No 20 Tahun 2006 yang berkaitan dengan pengelolaan irigasi: (a) pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi diselenggara-kan secara partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan (Bab II Pasal 4 Ayat (2); (b) untuk mewujudkan tertib pengelolaan jaringan irigasi yang dibangun pemerintah dibentuk kelembagaan pengelolaan irigasi. Kelembagaan pengelolaan irigasi meliputi instansi pemerintah yang membidangi irigasi, perkumpulan petani pemakai air, dan komisi irigasi (Bab III Pasal 9 Ayat (1) dan (2); (c) Partisipasi masyarakat petani dalam pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi (Bab V Pasal 26 s.d. 29). Pada dasarnya, isu utama dalam PP No 20 Tahun 2006 tersebut adalah peningkatan partisipasi petani dalam pengelolaan irigasi. Menurut Pasandaran (2004), paling tidak ada tiga fase perkembangan yang perlu dicermati yang berkaitan dengan pembangunan dan pengelolaan irigasi di Indonesia. Pertama, fase pembangunan irigasi oleh masyarakat tani. Kedua, adalah fase koeksistensi antara irigasi masyarakat dan irigasi berbasis pemerintah. Fase ketiga adalah fase dominasi peranan pemerintah dalam pengelolaan irigasi. Pada fase ini investasi irigasi dilakukan secara besarbesaran dengan tujuan mewujudkan tercapainya swasembada beras. Dengan adanya dukungan finansial yang kuat dari pemerintah tidak saja mereduksi otonomi pengelolaan irigasi oleh masyarakat tani, seperti Subak, tetapi juga mendorong
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
154
ketergantungan pada manajemen oleh pemerintah. Berkurangnya kemandirian masyarakat dan kecenderungan meningkatnya ketergantungan pada pemerintah membawa arti penting dalam jangka panjang, khususnya bagi upaya pemulihan kemandirian itu sendiri sebagai konsekwensi diberlakukannya PP 20 tahun 2006. Praktik desentralisasi pengelolaan irigasi di Indonesia, baru menyangkut desentralisasi territorial, sedangkan desentralisasi fungsional tidak dipraktikkan meskipun wacana akademik dan potensi serta kebutuhan akan adanya lembaga yang merupakan perwujudan desentralisasi fungsional sudah muncul. Di tingkat mikro menunjukkan terdapatnya kegagalan dalam pengelolaan urusan irigasi tersier khususnya dan urusan irigasi pada umumnya. Kegagalan tersebut juga didorong oleh kondisi makro persoalan distribusi urusan sektor irigasi yang berpaku pada desentralisasi teritorial semata (Maksum, 2006). Pengeloaan Irigasi dan Produktivitas Usahatani Vermillion (1997) menyatakan bahwa devolusi managemen irigasi berpotensi untuk meningkatkan performan dan keberlajutan sistem irigasi. Sedangkan faktor motivasi utama yang menentukan kinerja diantara pemakai air irigasi secara kolektif sehingga menjamin efektivitas dan keberlanjutan pengelolaan sistem irigasi adalah property right dan kesamaan pemahaman secara luas yang memberikan jaminan dan insentif kepada petani untuk berinvestasi pada pengelolaan irigasi. Pengelolaan irigasi yang baik dan efektif dapat menjamin ketersediaan air di tingkat usahatani secara cukup dan tepat waktu sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan tanaman, serta tidak terjadi pemborosan penggunaan air sehingga air irigasi yang tersedia dapat digunakan untuk mengairi lahan seoptimal dan seluas mungkin. Pada tingkat usahatani, pemberian air irigasi secara cukup dan sesuai kebutuhan dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Hasil ubinan tanaman cabai rata-rata pada lahan
irigasi tetes adalah 4,4 ton/ha. Menurut Inderawati (1982), potensi hasil yang dapat dicapai oleh tanaman cabai mencapai 6,21 ton/ha bila dilakukan perlakuan yang tepat terhadap jarak tanam, pH tanah 6 dan pemberian air yang tepat waktu dan kebutuhan. Hasil biji jarak petak sampel bervariasi karena tingkat keseragaman tetesan juga bervariasi. Selisih hasil yang dicapai antara penelitian di lapang dan hasil potensialnya diperkirakan karena total air yang diberikan dalam satu periode musim tanam untuk metode irigasi tetes adalah 336,39 mm. Untuk mencapai kondisi potensial hasil diperlukan total air minimal 420 mm/musim serta syarat agronomis yang baik. Hasil maksimum yang mampu dicapai 7,8 ton/ha. Sehingga diduga hasil panen jagung masih dapat ditingkatkan lagi dengan meningkatkan tingkat keseragaman curahan sistem irigasi yang digunakan (Wiyono, 2006). Semakin luas lahan yang teririgasi maka rata-rata produktivitas secara makro juga semakin meningkat. Data BPS tahun 2009, lahan sawah beririgasi lebih produktif dibanding lahan sawah tidak beririgasi. Produktivitas lahan sawah beririgasi tahun 2009 adalah sebesar 50,8 kuintal/ha sedangkan produktivitas lahan tidak beririgasi adalah 29,6 kuintal/ha. Hongmei Li dan Mingxian Li (2009) menyimpulkan bahwa di China, kelompok pemakai air irigasi dengan modal sosial yang tinggi dan dengan membudidayakan varietas tanaman yang homogen dapat mengelola irigasi secara sukses. Pengelolaan irigasi secara kolektif yang sukses berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan efisiensi teknis dalam proses produksi padi, karena menyediakan air irigasi yang cukup pada tahap tanaman padi membutuhkan. Adanya PP No 20 Tahun 2006 diharapkan kelompok pemakai air di Indonesia dapat mengelola irigasi secara efektif sehingga secara mikro, produktivitas usahatani padi meningkat dan secara makro, luas lahan yang terigasi semakin luas, yang dapat berakibat pada produktivitas usahatani padi secara nasional-pun meningkat.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
155
maupun sistem irigasi berbasis subak di Bali yang berkerja dalam keterikatan adat setempat (Sutawan, 2000), memerlukan proses yang panjang. Perlu proses panjang dan waktu yang lama untuk mencapai keterpaduan pengelolaan dalam suatu ikatan sosial (modal sosial) yang kuat. Regulasi keterpaduan pengelolaan irigasi tidak akan dapat meningkatkan kualitas irigasi secara cepat. Investasi kolonial terhadap pembangunan irigasi telah menyebabkan dikotomi pengelolaan irigasi; antara yang berbasis pemerintah dengan masyarakat setempat, serta pola investasi irigasi oleh pemerintah tahun 1970-an dan 1980-an telah memperlemah dinamika internal masyarakat setempat dan meningkatkan beban operasional pemerintah (Pasandaran, 2004), menyebabkan participatory irrigation management yang dicetuskan pemerintah sulit mendapatkan respon masyarakat (Burns dan Helmi, 1996).
Kerangka Pemikiran: Bagaimana PP No 20 Tahun 2006 dapat Mempengaruhi Produktivitas? Ciri utama PP No 20 Tahun 2006 dari regulasi sebelumnya adalah concern-nya pada keterpaduan pengelolaan irigasi, dengan pembentukan komisi irigasi. Kekurangan dalam pengelolaan irigasi selama ini seperti lemahnya koordinasi, kurangnya rasa memiliki serta kurangnya partisipasi masyarakat diharapkan akan lebih tertata dengan komisi irigasi tersebut. Dengan asas keterpaduan dalam pengelolaan, diharapkan dapat memperkuat koordinasi, menumbuhkan rasa memiliki serta meningkatkan pertisipasi, kemandirian dan keterpaduan. Dengan kata lain, mendorong ikatan sosial yang lebih kuat. Keberhasilan pengelolaan irigasi dengan sistem keterpaduan ditunjukkan oleh Hongmei Li dan Mingxian Li (2009) di China,
IRIGASI
KOORDINASI LEMAH
KURANGNYA RASA MEMILIKI IRIGASI
PARTISIPASI KURANG
PP NO 20 TAHUN 2006
MEMPERKUAT KOORDINASI
MENUMBUHKAN RASA MEMILIKI
PARTISIPASI, KEMANDIRIAN, KETERPADUAN
KUALITAS IRIGASI
PRODUKTIVITAS LAHAN
Gambar 1. Alur hipotetik pengaruh PP No 20 tahun 2006 terhadap produktivitas padi
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
156
KAJIAN EMPIRIS
Kemudian fungsi (3) dilinierkan menjadi : Ln
Data yang digunakan adalah data panel untuk 29 provinsi di Indonesia tahun 20052009, dengan variabel pokok; produktivitas padi (kuintal/ha), tenaga kerja untuk produksi padi per hektar dan proporsi lahan teririgasi. Provinsi Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Sulawesi Barat dan Papua Barat tidak disertakan karena permasalahan data, di mana terdapat beberapa pengamatan yang bernilai 0 (nol) sehingga tidak dapat digunakan fungsi logaritma. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Ada beberapa tipe irigasi, yaitu: (a) irigasi teknis dan semi teknis, (b) irigasi small and simple, (c) irigasi pasang surut, dan sebagainya. Dalam kajian ini, irigasi tidak dibedakan untuk masingmasing tipe (diasumsikan perfectly substitute). Spesifikasi Model Teori Ekonomi Produksi (dalam konteks mikro), output quantity (dalam hal ini produksi padi) merupakan fungsi dari kombinasi input; lahan, tenaga kerja, irigasi dan input lainnya. Secara matematis fungsi produksi padi dapat dituliskan : Y = f [LH, TK, IR] ....................................(1) dimana : Y = kuantitas output, LH = luas lahan, TK = tenaga kerja di pertanian (padi), IR = irigasi (proxy: luas lahan yang teririgasi). Dengan asumsi constant return to scale, maka fungsi dapat dimodifikasi menjadi: (Y/LHN) = f [ (LH/LH), (TK/LH), (IR/LH) ] = f [ 1, (TK/LH), (IR/LH)] …….............…(2) dimana (Y/LHN) = produktivitas (output per ha lahan), (TK/LHN) = jumlah tenaga kerja per ha lahan, dan (IR/LHN) = proporsi atau persentase lahan teririgasi. Dalam fungsi double log, sebagaimana yang digunakan Cobb-Douglas, persamaan (2) dapat dituliskan: …..........………(3)
1
Ln
+
2
Ln
.......................................……….(4) Jika y = Y/LH, tk = TK/LH dan ir = IR/LH, maka fungsi (4) dapat disederhanakan menjadi: Ln (y) =
0
+
1 Ln
(tk) +
2 Ln
(ir) .…....(5)
Jika fungsi (5) didifferensiasi, maka: =
……..........................…….. (6)
2
Arti dari β2 dapat dijelaskan sebagai berikut: .
=
. = 2
=
2
2
.
.
. 1.
.
y,ir
= koefisien elastisitas
.....….........................................................…(7) Jadi β2 menunjukkan elastisitas produktivitas (y) terhadap irigasi (ir). Berdasarkan tinjauan teoritis, diduga bahwa besarnya pengaruh irigasi terhadap produktivitas lahan, diduga berbeda antara sebelum dengan sesudah diberlakukannya PP No 20 Tahun 2006, maka model dimodifikasi menjadi: Ln
= Ln ( +
3
0)
+
1
Ln
PP* Ln
+
2
Ln
....................(8)
dummy variable dimana PP adalah diberlakukannya PP No 20 Tahun 2006, PP = 1 untuk data tahun 2006 dan sebelumnya, PP = 0 untuk tahun 2007 dan setelahnya. Berdasarkan persamaan (8) maka elastisitas produktivitas padi terhadap irigasi menjadi : y,ir
=
= Ln ( ) +
=
=
2+
3
* PP …..….……(9)
Jika PP = 0 (sebelum PP No 20/2006) maka elastisitasnya sebesar:
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
157
y,ir
=
2+
3
* (0) =
......................... (10)
2
Jika PP = 1 (setelah PP No 20/2006) maka elastisitasnya sebesar: y,ir
=
2+
3
* (1) =
2
+
3
……..……(11)
(1) Jika 3 > 0, berarti PP No 20 Tahun 2006 telah diberlakukan dan berdampak positif terhadap pengelolaan irigasi sehingga dapat meningkatkan produktivitas padi di Indonesia (2) Jika 3 ≤ 0, berarti PP No 20 Tahun 2006 belum diberlakukan atau telah diberlakukan tetapi tidak berdampak terhadap pengelolaan irigasi sehingga tidak dapat meningkatkan produktivitas padi di Indonesia Pooled, Fixed Effect atau Random Effect Analisis dilakukan dengan terlebih dahulu menguji spesifikasi model untuk data panel yang paling sesuai; balance pooled, fixed effect atau random effect. Untuk melihat persamaan dan perbedaan, dalam analisisnya hasil estimasi ketiga spesifikasi model juga akan diperbandingkan. Tabel 1. Redundant fixed effects tests
Statistic
Period F 0.939334 Period Chi-square 3.923186
Tabel 2. Hausman test: Correlated random effects Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: RANDOM Test period random effects Chi-Sq. Chi-Sq. Prob. Statistic d.f. Period random 3.687448 3 0.2973 Period random effects test comparisons: Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob. LOG(tk) -0.066671 -0.065368 0.000002 0.2898 LOG(ir) 0.653712 0.741738 0.002723 0.0916 PP*LOG(ir) 0.082784 -0.061074 0.007798 0.1033 Test Summary
Sumber: Pengolahan dengan Eviews 7.0
Implementasi dan Dampak PP No 20 Tahun 2006 Terhadap Produktivitas Usahatani Padi Irigasi dan Produktivitas Lahan (Deskriptif) Tabel 3. Plotting provinsi menurut produktivitas dan irigasi Produktivitas
Redundant Fixed Effects Tests Equation: FIXED Test period fixed effects Effects Test
Sementara Tabel 2 memperlihatkan bahwa model dengan fixed effect tidak berbeda nyata dengan model random effect. Dengan demikian, hasil estimasi dengan pooled data, fixed effect dan random effect dalam kasus ini tidak berbeda nyata secara statistik.
d.f.
Prob.
(4,137) 4
0.4433 0.4165
Tinggi
Sumber: Pengolahan dengan Eviews 7.0
Tabel 1 menunjukkan bahwa model dengan period fixed effect secara statistik tidak berbeda dengan model pooled data. Dipilih fixed effect periode (series), karena kajian ini berkepentingan untuk mengetahui perbedaan antar tahun. Perbedaan produktivitas yang signifikan antara tahun-tahun sebelum dengan sesudah adanya PP No 20, mengindikasikan adanya pengaruh kebijakan tersebut terhadap produktivitas.
Rendah
Tingkat Irigasi Rendah Tinggi Jabar, Jateng, Diy, Banten Jatim, Bali, (2) Sulsel (5) Sumut, Riau, Jambi, Nad, Sumbar, Sumsel, Bengkulu, Sulut, Sulteng, Lampung, Babel, Gorontalo NTB, NTT, Kalbar, (5) Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sultra, Maluku, Malut, Papua (17)
Keterangan: tinggi jika di atas angka nasional, rendah jika di bawah angka nasional Sumber: BPS (2010)
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
158
Jika seluruh provinsi dibedakan dalam 2 (dua) kategori; tinggi dan rendah relatif terhadap angka nasional, maka diperoleh plotting seperti pada Tabel 3. Tampak ada kecenderungan bahwa rendahnya proporsi lahan yang teririgasi berasosiasi dengan rendahnya pula tingkat produktivitas. Lima provinsi sebagai sentra utama padi; Jabar, Jateng, Jatim, Bali dan Sulsel memiliki produktivitas tinggi yang ditunjang dengan proporsi lahan teririgasi yang tinggi. Dampak PP No 20 tahun 2006 terhadap produktivitas Secara teori, peningkatan jumlah tenaga kerja dan lahan teririgasi akan meningkatkan produktivitas. Namun penambahan input yang berlebihan tanpa diimbangi dengan perluasan lahan, justru akan terjadi decreasing return. Tabel 4 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah tenaga kerja per hektar lahan, justru kontra produktif terhadap produktivitas lahan. Artinya bahwa usahatani padi di Indonesia telah melampaui produksi maksimal dalam kaitannya dengan penggunaan tenaga kerja, atau dengan kata lain telah kelebihan penggunaan tenaga kerja. Hasil ini tidak bertentangan dengan temuan Mundlak, Larson dan Butzer (2002) yang memperlihatkan marginal productivity of labor (MPL) pertanian Indonesia menunjukkan gejala penurunan pada akhir tahun 1990-an, setelah sebelumnya mengalami trend yang menaik.
Irigasi berpengaruh positif terhadap tingkat produktivitas lahan. Possitive irrigation effect terhadap produktivitas yang tak terbantahkan secara teori, dan didukung pula oleh pengujian empiris (Tabel 4). Tetapi regulasi melalui PP No 20 Tahun 2006 belum dapat meningkatkan rate of irrigation effect terhadap produktivitas secara signifikan. Dengan kata lain, data belum cukup mendukung untuk menyatakan bahwa dengan PP No 20 Tahun 2006 dapat meningkatkan produktivitas padi di Indonesia melalui pengelolaan irigasi yang baik dan efektif. Hal ini diduga disebabkan oleh PP No 20 Tahun 2006 yang belum diimplementasikan secara baik, atau telah diimplentasikan tetapi belum/tidak berdampak pada efektivitas pengelolaan irigasi. Hasil estimasi menggunakan pooled data, fixed effect maupun random effect (Tabel 5) memberikan hasil yang sama: koefisien PP*log(ir) yang tidak signifikan. Hal tersebut memperkuat argumen bahwa PP No 20 Tahun 2006 belum efektif meningkatkan tingkat produktivitas. Ada beberapa kemungkinan penyebabnya: (1) efeknya belum terasa, karena pembenahan irigasi perlu waktu, (2) sumber air untuk irigasi memang sudah berkurang, (3) saluran irigasi telah tertutup bangunanbangunan, (4) masalah lemahnya social capital, (5) petani sendiri tidak mengetahui adanya regulasi tersebut. Dalam teori ekonomi, memang diakui adanya jeda waktu (time lag) antara regulasi dengan implementasi serta implementasi dengan dampak yang diharapkan, sehingga bisa jadi PP belum terimplementasi atau telah terimplementasi tetapi belum berdampak. Selain itu, perkembangan perekonomian yang pesat terutama sektor industri dan jasa telah menutup sebagian saluran dan sumber irigasi. Jika telah tertutup, maka irigasi sulit untuk direvitalisasi.
Sumber: Mundlak, Larson dan Butzer (2002) Gambar 2. Marginal productivity of labor (MPL) pertanian Indonesia, Philipina dan Thailand
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
159
Tabel 4. Hasil estimasi model dengan Pooled Data Dependent Variable: LOG(y) Method: Panel Least Squares Date: 01/18/11 Time: 09:57 Sample: 2005 2009 Periods included: 5 Cross-sections included: 29 Total panel (balanced) observations: 145 Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
C LOG(tk) LOG(ir) PP*LOG(ir)
2.366856 -0.065368 0.741738 -0.061074
0.037791 0.017577 0.086067 0.096300
62.62955 -3.718955 8.618176 -0.634207
0.0000 0.0003 0.0000 0.5270
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat
0.535251 0.525363 0.150993 3.214646 70.40761 0.068088
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic
2.102216 0.219167 -0.915967 -0.833850 54.12984
Sumber: Pengolahan dengan Eviews 7.0
Tabel 5. Perbandingan Hasil Estimasi dengan Pooled, Fixed Effect dan Random Effect Variable (1) C LOG(tk) LOG(ir) PP*LOG(ir) R-squared Adjusted R-squared F-stat
Pooled Period Fixed Effect Period Random Effect Coefficient Prob. Coefficient Prob. Coefficient Prob. (2) (3) (4) (5) (6) (7) 2.36686 0.00000 2.36886 0.00000 2.36686 0.00000 -0.06537 0.00030 -0.06667 0.00020 -0.06537 0.00030 0.74174 0.00000 0.65371 0.00000 0.74174 0.00000 -0.06107 0.52700 0.08278 0.52760 -0.06107 0.52730 0.53525 0.54766 0.53525 0.52536 0.52454 0.52536 54.12984 0.00000 23.69534 0.00000 54.12984 0.00000
Sumber: diolah kembali dari hasil pengolahan Eviews 7.0
Lambatnya dampak regulasi keterpaduan pengelolaan irigasi bisa jadi akibat sulitnya merubah pola pembangunan masa lalu. Investasi kolonial terhadap pembangunan irigasi telah menyebabkan dikotomi pengelolaan irigasi; antara yang berbasis pemerintah dengan masyarakat setempat (Pasandaran, 2004). Investasi selanjutnya pada tahun 1970-an dan 1980-an telah memperlemah dinamika internal masyarakat setempat dan meningkatkan beban
operasional pemerintah (Pasandaran, 2004), sebagai konsekuensi mengejar target tercapainya program swasembada beras. Sehingga pemerintah kesulitan dalam pembiayaan pembangunan irigasi dan mengendornya semangat swasembada besar karena telah (pernah) tercapai (Simatupang et al., 1999), participatory irrigation management (operasional dan maintenance irigasi) yang
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
160
dicetuskan pemerintah sulit mendapatkan respon masyarakat (Burns dan Helmi, 1996). Perbedaan Produktivitas Antar Tahun Jika dilihat perkembangannya, produktivitas usahatani padi di Indonesia tahun 2005-2009 cenderung mengalami peningkatan. Data BPS menunjukkan produktivitas terus meningkat dari 45,74 kw/ha (2005), 46,20 kw/ha (2006), 47,05 kw ha-1 (2007), 48,94 kw ha-1 (2008) hingga 49,38 kw/ha (2009). Produktivitas yang meningkat setiap tahun juga terlihat dalam estimasi period fixed effect (Tabel 6). Dalam 5 tahun pengamatan, produktivitas pada tahun 2005-2006 (sebelum PP) cenderung
dibawah rata-rata. Sebaliknya pada tahun 20072009 (setelah PP) cenderung diatas rata-rata. Rata-rata produktivitas, setelah PP cenderung lebih tinggi dibanding sebelum PP (lihat koefisien period fixed effect), tidak dapat diartikan bahwa PP dapat meningkatkan produktivitas melalui peningkatan efektivitas irigasi. Hal tersebut disebabkan karena koefisien regresi PP*log(ir) yang tidak signifikan. Jadi, peningkatan produktivitas yang terjadi setelah PP No 20 Tahun 2006 bukan disebabkan oleh kenaikan rate effect irrigasi (koef PP*log(IR) tidak signifikan), melainkan oleh peningkatan penggunaan input lain (pupuk, bibit unggul, dan sejenisnya) serta teknologi.
Tabel 6. Hasil estimasi model dengan Period Fixed Effect Dependent Variable: LOG(y) Method: Panel Least Squares Date: 01/18/11 Time: 21:37 Sample: 2005 2009 Cross-sections included: 29 Total panel (balanced) observations: 145 Variable C LOG(tk) LOG(ir) PP*LOG(ir) Period fixed (dummy variables) R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat Period fixed (dummy variables) C_2005 C_2006 C_2007 C_2008 C_2009
Coefficient Std. Error 2.368861 0.037883 -0.066671 0.017635 0.653712 0.100715 0.082784 0.130719 Effects Specification 0.547657 0.524544 0.151123 3.128835 72.36920 0.049383
t-Statistic 62.53016 -3.780579 6.490720 0.633298
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)
-0.041196 -0.027410 0.001108 0.035261 0.032237
Sumber: Pengolahan dengan Eviews 7.0
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
Prob. 0.0000 0.0002 0.0000 0.5276 2.102216 0.219167 -0.887851 -0.723617 23.69534 0.000000
161
Tabel 7 memperlihatkan rate of irrigation effect tidak berbeda nyata antar tahun, walaupun tingkat produktivitas cenderung meningkat setiap tahun. Kegagalan peningkatan fungsi irigasi dalam on-farm management, salah satunya disebabkan oleh tekanan eksternal (external pressure) dan masalah internal (Burt, 1998). Tekanan eksternal yang dimaksud antara
lain kompetisi penggunaan air untuk konsumsi perkotaan dengan untuk lingkungan serta degradasi sumber dan saluran air. Adapun masalah internal, Burt (1998) menyebutnya sebagai “the art” petani dalam memanfaatkan irigasi.
Tabel 7. Irrigation effect sebelum dan sesudah PP No 20 tahun 2006 Tahun
C
C_fixed
(1) 2005 2006 2007 2008 2009
(2) 2.36886 2.36886 2.36886 2.36886 2.36886
(3) -0.04120 -0.02741 0.00111 0.03526 0.03224
Koefisien log(ir) ( β2) (4) 0.65371 0.65371 0.65371 0.65371 0.65371
PP (5) 0 0 1 1 1
Koefisien PP*log(ir) (β3) (6) 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000 0.00000
C_total (perbedaan produktivitas) (7) 2.32767 2.34145 2.36997 2.40412 2.40110
Irrigation Effect (β2+β3) (8) 0.65371 0.65371 0.65371 0.65371 0.65371
Sumber: Diolah kembali dari hasil estimasi menggunakan Eviews 7.0
KESIMPULAN Secara teori, dengan modal sosial yang kuat, pengelolaan secara kolektif oleh kelompok petani pemakai air irigasi dapat menghasilkan pengelolaan irigasi yang efektif sehingga dapat meningkatkan efisiensi dalam produksi padi. Untuk kasus Indonesia, belum dapat dibuktikan secara empiris, bahwa regulasi keterpaduan pengelolaan irigasi melalui PP No 20 Tahun 2006 efektif dalam meningkatkan pengelolaan irigasi dan produktivitas padi. Perbedaan (peningkatan) produktivitas yang terjadi selama 2005-2009 bukan disebabkan oleh peningkatan efektivitas irigasi, tetapi kemungkinan oleh peningkatan input dan teknologi. Di masa mendatang pemerintah dituntut untuk lebih berkontribusi mendorong kelompok petani pemakai air memiliki modal sosial yang kuat. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik, 2010. Berita Resmi Statistik (beberapa edisi). Jakarta
Badan Pusat Statistik, 2010. Perkembangan Beberapa Indikator Utama SosialEkonomi Indonesia, Agustus 2010. Jakarta: PS Bruns, Bryan dan Helmi, 1996. Participatory Irrigation Management in Indonesia: Lessons from Experience and Issues for the Future. FAO dan World Bank Burt, Charles M. 1998. On Farm Irrigation Management: The Shift from Art to Science. ITRC Paper 98-003 Li, Hongmei and Mingxian Li. 2007. Collective Water Management in Technical Efficiency in Rice Production: Evidence from China. Hunan Agricultural University. China. Maksum, Irfan Ridwan. 2006. Desentralisasi Dalam Pengelolaan Air Irigasi Tersier: Suatu Studi Dengan Konsep Desentralisasi Teritorial dan Fungsional di Kabupaten dan Kota Tegal Jawa Tengah, Kabupaten Jembrana Bali, Hulu Langsat Selangor Malaysia.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128
162
Jurnal Makara, Sosial Humaniora. Vol 10 No 1. Juni 2006: 1-7. Mundlak, Yair, D.F. Larson dan Rita Butzer. 2002. Determinants of Agricultural Growth in Indonesia, The Philippines, and Thailand. Nanuru, Feldrica. 2002. Irrigation and Irrigation Problems in Indonesia. Paper presentation. Pasandaran, Effendi. 2004. Consequences of Policy Changes on Indonesian Irrigation System Management. Jurnal Litbang Pertanian Vol. 23 (3). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 Tentang Irigasi. Kementerian Sekretaris Negara Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2001 Tentang Irigasi. Kementerian Sekretaris Negara Republik Indonesia.
Simatupang, P. 1999. Sudaryanto, A. Purwanto, and Saptana. 1996. Projection and Policy Implentaions of Medium and Long-term Rice Supply and Demand in Indonesia. Center for Agrosocioeconomic Research, BogorInternational Food Policy Reseacr Institute, Washington DC. Sudaryanto, Tahlim. 2001. Perkembangan Industri Pupuk, Investasi Irigasi dan Konversi Lahan. LPEM-FEUI. Jakarta. Sutawan, Nyoman. 2000. Eksistensi Subak di Bali: Mampukah Bertahan Menghadapi Berbagai Tantangan. Kertas Kerja. Universitas Udayana. Vermillion, Douglas L. 1999. Property Right and Collective Action in The Devolution Irrigation System Management. Wiyono, Joko. 2006. Musim Kemarau Datang, Sistem Irigasi Mikro di Lahan Kering Jadi Pilihan. Tabloid Sinar Tani, 23 Agustus.
AGRIPLUS, Volume 21 Nomor : 02 Mei 2011, ISSN 0854-0128