ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SISTEM PENATAAN RUANG DAS BENGAWAN SOLO Susilowati Dosen Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Kahuripan Kediri
[email protected] Meriana Wahyu Nugroho Dosen Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Hasyim Asy’ari
[email protected]
Abstract Urban issues at this time has been a problem that is quite complicated to overcome. Change elements of the natural environment into an artificial element leads to changes in the characteristics of micro climate. Various human activities in urban areas, such as industrial activities and transport, changing the composition of the atmosphere that have an impact on changes in the components of the water cycle, the carbon cycle and ecosystem changes. In addition, urban air pollution causes changes in visibility and atmospheric absorption of the solar radiation. Solar radiation itself is one of the main factors that determine the characteristics of the climate of a region. The changes are very important to be taken into consideration in the design and planning of the city. In urban development planning system in Indonesia, elements of the climate is still regarded as a static element, where it is assumed there is no mutual interaction between the climate and land use changes. Climatic data is often used as the data to support the claim of land suitability and location for the development of a regional function, especially for the development of agricultural areas. However, in the design and planning of urban areas in Indonesia, almost never considered that the planned land-use change will provide enormous implications for the climate system. One of the areas that suffered environmental degradation and climate change so many problems dtimbulkan such as landslides, flooding, deterioration of ecosystems that Bengawan Solo river basin. In the face of these conditions, we need a form of adaptation in spatial planning Bengawan Solo river basin, so as to minimize the problems occurred. Some things are done in the adaptation of the system of spatial planning to climate change, among others: Modelling climate change and the ability of elaboration of territory effects in the form of geographic information-spatial, Vulnerability assessment (vulnerability assessment) all aspects of local and regional, Platform integration with policy, whereby circuit modeling information and the results of the study "discussed" and translated in the policies of the room, a good knowledge base and strong to support decision making. Keywords: Adaptation, Climate Change, and Spatial Planning. Pendahuluan Penataan ruang tidak lagi semata menjembatani kepentingan ekonomi dan sosial. Lebih jauh dari kedua hal tersebut, penataan ruang harus lebih ditekankan pada sektor lingkungan, terutama adaptasi terhadap perubahan iklim. Perubahan iklim menjadi suatu hal yang harus dipertimbangkan dalam penataan ruang dikarenakan perubahan iklim mempunyai dampak yang sangat besar terhadap kehidupan seluruh makhluk hidup.
Menurut United Nations Framework Convention on Climate Change, perubahan iklim menunjuk pada adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga terhadap variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu. Dalam sistem perencanaan pembangunan perkotaan di Indonesia, unsur iklim masih dianggap sebagai elemen statis, dimana diasumsikan tidak ada interaksi timbal balik antara iklim dengan perubahan guna lahan. Data-data iklim lebih sering dipergunakan sebagai data yang mendukung pernyataan kesesuian lahan dan lokasi bagi pengembangan fungsi sebuah kawasan, terutama untuk pengembangan kawasan pertanian. Namun dalam perancangan dan perencanaan kawasan perkotaan di Indonesia, hampir tidak pernah dipertimbangkan bahwa perubahan guna lahan yang direncanakan akan memberikan implikasi yang sangat besar terhadap sistem iklim. Iklim perkotaan merupakan hasil dari interaksi banyak faktor alami dan antropogenik. Polusi udara, material permukaan perkotaan, emisi panas anthropogenik, bersama dengan faktor alam menyebabkan perbedaan iklim antara kota dan non perkotaan. Pada kota yang tumbuh dan berkembang, faktor-faktor baru dapat mengubah iklim lokal kota. Guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas industri dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota. Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia yang merubah komposisi atmosfer, yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang (Trenberth, Houghton and Filho. 1995).
Gambar 2.1 Faktor yang mempengaruhi iklim perkotaan (Sumber: Sebastian Wypych, 2003) Dampak Perubahan Iklim Terhadap Pemanfaatan Ruang Perubahan iklim (anomali) akan membawa pengaruh pada intensitas dampak dan sangat tergantung pada tingkat penyimpangannya (ekstern atau tidak ekstern). Secara umum dampak penyimpangan iklim terhadap aspek-aspek penataan ruang, meliputi:
1. Penurunan atau kegagalan produksi usaha pertanian, seperti : A. Kegagalan panen tanaman pangan akibat kekeringan. B. Kegagalan panen tanaman pangan akibat banjir. C. Penurunan produksi holtikultura akibat penyimpangan iklim yang mempengaruhi periode pembuahan. D. Kebakaran hutan yang mempengaruhi produksi kayu dan hasil hutan. E. Kegagalan produksi kegiatan budidaya perikanan air tawar akibat kelangkaan air atau bahkan kebanjiran. 2. Penyimpangan iklim berupa curah hujan yang cukup tinggi, memicu terjadinya gerakan tanah (longsor) yang berpotensi menimbulkan bencana alam, berupa : banjir dan tanah longsor. 3. Penyimpangan iklim berupa curah hujan yang sangat rendah dibarengi peningkatan suhu udara, menyebabkan terjadinya kekeringan. Kekeringan potensial menjadi penyebab terjadinya : A. Penurunan ketersediaan air, yang akan mengganggu proses budidaya pertanian. B. Kebakaran hutan. C. Tidak maksimalnya operasionalisasi pembangkit tenaga listrik (PLTA). Pada pertengahan abad ini, rata-rata aliran air sungai dan ketersediaan air di daerah subpolar serta daerah tropis basah diperkirakan akan meningkat sebanyak 10-40%. Sementara di daerah subtropis dan daerah tropis yang kering, air akan berkurang sebanyak 10-30% sehingga daerah-daerah yang sekarang sering mengalami kekeringan akan semakin parah kondisinya. 4. Dampak perubahan iklim terhadap kenaikan muka Air Laut. A. Menghancurkan tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi (UNDP, 2007) yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi tambak ikan dan udang. B. Pemutihan terumbu karang dan punahnya berbagai jenis ikan. C. Mengancam kehidupan masyarakat pesisir pantai. D. Merusak ekosistem hutan bakau E. Merubah sifat biofisik dan biokimia di zona pesisir. F. Daerah pantai akan semakin rentan terhadap erosi pantai dan naiknya permukaan air laut. G. Banjir setiap tahun karena naiknya permukaan air laut. Adaptasi terhadap perubahan iklim sangat penting bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan biaya sosial dari dampak bencana yang bersumber dari perubahan iklim sudah terlalu tinggi. Agar dapat menghidupi rakyatnya secara layak pada masa depan, Pemerintah Indonesia sudah harus memiliki wawasan adaptasi dalam kebijakan pemanfaatan ruangnya. Sebagai gambaran, Phillip Schmidt-Thome1 menyampaikan bahwa ada empat pilar pembentuk kapasitas pengambilan keputusan dalam adaptasi perubahan iklim di penataan ruang, yaitu: 1. Modelling perubahan iklim dan kemampuan penjabaran wilayah efeknya dalam bentuk informasi geografis-spasial.
2. Kajian kerentanan (vulnerability assessment) seluruh aspek kehidupan lokal maupun regional. 3. Platform integrasi dengan kebijakan, dimana rangkaian informasi modelling dan hasil kajian "didiskusikan" dan diterjemahkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan ruang. 4. Basis pengetahuan yang baik dan kuat untuk mendukung pengambilan keputusan. Sedangkan sistem perencanaan dan perancangan kawasan perkotaan dapat dilakukan salah satunya melalui desain perkotaan yang mempertimbangkan sistem iklim, antara lain: 1. Desain dan konstruksi bangunan. Adanya kemungkinan terdapat masalah bangunan dan geoteknik. Desain untuk ventilasi dan pendinginan dengan cara alami, mungkin akan sangat diperlukan. 2. Ruang terbuka dan ekologi perkotaan. Desain perkotaan sebaiknya menggabungkan koridorkoridor habitat, badan air dan anak sungai, dan pohon-pohon peneduh. Penggunaan lahan multi fungsi mungkin menjadi kunci adaptasi ekologi perkotaan, dengan fokus pada kelompok permukiman baru untuk perencanaan dan pemeliharaan karakter ekologis. 3. Utilitas. Area-area yang jauh dari pelayanan fasilitas dan utilitas, serta area-area pantai akan menjadi area yang rentan. Pengaruh yang paling besar akan terjadi pada perubahan geoteknik dalam hidrologi dan air tanah, yang akan mempengaruhi drainase serta jaringan suplay air bersih. 4. Transportasi. Berbagai prasarana transportasi seperti jalan kereta api (terutama di daerah pantai dan daerah-daerah yang berpotensi banjir) kanal-kanal, pelabuhan laut dan udara harus diadaptasikan terhadap kejadian-kejadian cuaca ekstrim. 5. Pengembangan sistem drainase dan pembuangan air kotor. Area perkotaan akan membutuhkan desain engineering yang memasukkan unsur area permeabel dan soft engineering. 6. Perencanaan dan zoning sensitif terhadap iklim dan menuntut konsistensi pembuatan keputusan-keputusan yang didasarkan pada pengetahuan mengenai integrasi unsur-unsur iklim dan elemen kota serta berbagai konsekuensi terhadap berbagai perubahan. Pembahasan Sungai Bengawan Solo yang terletak di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan luas wilayah sungai ± 12% dari seluruh wilayah Pulau Jawa merupakan sungai terbesar di Pulau Jawa. Sungai Bengawan Solo digunakan untuk kebutuhan domestik, air baku air minum dan industri, irigasi, dll. Secara administratif WS Bengawan Solo mencakup 17 (tujuh belas) kabupaten dan 3 (tiga) kota, yaitu: 1. Kabupaten: Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Blora, Rembang, Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban. Lamongan, Gresik dan Pacitan. 2. Kota: Surakarta, Madiun dan Surabaya.
Gambar 3.1 Wilayah Sungai Bengawan Solo
Dengan adanya perubahan iklim, yang ditandai dengan temperature yang terus meningkat, sering terjadi hujan yang selalu meningkat. Sebagai contoh banjir dan longsor di Solo terjadi disebabkan oleh anomali cuaca dan iklim, dan kerusakan DAS Bengawan Solo dimana terjadi perubahan tutupan lahan. Tabel Perubahan Tutupan DAS Bengawan Solo Tahun 200 - 2007 Tutupan Lahan Hutan alam Kebun campuran Permuki man Rawa Sawah Semak Tambak Tanah terbuka Tegalan Tubuh air TOTAL
Tahun 2000 34,910
Luas (%) Tahun 2007 2,04 23,888
(%) 1,39
Perubahan (Ha) (%) 11,023 -31,57
342,799
20,00
413,671
24,13
70,872
20,67
270,268
15,77
367,484
21,44
97,216
35,97
3,212 730,696 63,095 23,179 15,754
0,19 42,63 3,68 1,35 0,92
3 750,294 13,897 16,951 70,158
0,00 43,77 0,81 0,99 4,09
-3,209 19,598 -49,19 -6,228 54,405
-99,92 2,68 -77,97 -26,87 345,3
210,442 19,780 1,714,135
12,28 1,15 100,00
35,976 21,812 1,714,135
2,10 1,27 100,00
-174,5 2,032
-82,90 10,27
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perubahan tutupan lahan DAS Bengawan Solo menyebabkan: 1. Menurunnya daerah resapan air dan kondisi hutan 2. Kerusakan DAS yang diakibatkan penebangan liar dan konversi lahan yang menimbulkan kerusakan ekosistem. 3. Terjadi erosi dan sedimentasi 4. Fluktuasi debit yang sangat tinggi 5. Berkurangnya daya tampung waduk Total lahan kritis di WS Bengawan Solo mencapai luas ±11.398 km2 akibat proses erosi yang berlanjut dan kerusakan vegetasi. Luas lahan kritis terbesar terdapat di Kab. Wonogiri (Jawa Tengah) seluas 128.662 ha, Kab. Pacitan seluas 129.598 ha dan Kab. Bojonegoro seluas 172.261 ha (Jawa Timur).
Dengan kondisi seperti ini, maka penataan ruang yang memenuhi criteria lingkungan sangat penting dalam upaya mitigasi maupun adaptasi. Dewasa ini, penataan ruang DAS Bengawan Solo sudah direncanakan sedemikian rupa untuk meminimalisir bencana yang terjadi. Berdasarkan paparan Phillip Schmidt-Thome, maka bentuk adaptasi penataan ruang di DAS Bengawan Solo yang telah terlaksana maupun yang harus ada dijelaskan pada bahasan selanjutnya. Pengembangan model spasial menjadi penting dalam mengurangi dampak kejadian iklim global, khususnya dalam upaya pengendalian banjir di masa mendatang. Selanjutnya hal yang lebih penting lagi bagi pengendalian banjir mendatang adalah proyeksi perubahan tata guna lahan wilayah kajian. Perubahan tata guna lahan tersebut sebenarnya dapat menjadi penyebab utama banjir di suatu wilayah. Berdasarkan model-model tersebut, baik model proyeksi perubahan iklim skala regional, lokal maupun model proyeksi tata guna lahan yang dikembangkan secara spasial (skala ruang) maka selanjutnya penyusunan langkah-langkah dan upaya adaptasi mendatang dalam pengendalian banjir dapat lebih tepat dan sesuai sasaran (optimal). Pengembangan upaya adaptasi akan disesuaikan dengan kondisi dan geografis lingkungan wilayah yang berpotensi banjir, sehingga pemangku jabatan serta masyarakat dapat menentukan langkah-langkah antisipatif yang perlu dikembangkan dalam penanganan banjir. Berikut ini adalah salah satu contoh peta perubahan curah hujan di Indonesia (Gambar 3.2). Saat ini, masih belum terdapat modeling peta perubahan iklim khusus di DAS Bengawan Solo, padahal peta tersebut sangat bermanfaat untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh perubahan iklim dan dapat menjadi salah satu dasar dalam perencanaan penataan ruang DAS Bengawan Solo.
Gambar 3.2 Peta Perubahan Curah Hujan di Indonesia Tahun 2010
Kajian Kerentanan (vulnerability assessment) Aspek Kehidupan Lokal maupun Regional. Kajian kerentanan DAS Bengawan Solo telah terintegrasi dalam RTRW Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah, sebagai berikut: 1. Pengelolaan Kawasan Lindung Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan. Sedangkan pengelolaan kawasan budidaya bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna pemanfaatan ruang, menjaga kelestarian lingkungan serta menghindari konflik pemanfaatan ruang. A. Kawasan Perlindungan Bawahan Kawasan perlindungan bawahan diperuntukkan untuk menjamin terselenggaranya fungsi lindung hidroorologis bagi kegiatan pemanfaatan lahan. 1) Kawasan Hutan Lindung Arahan pengelolaan kawasan hutan lindung, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan budidaya, berada di lokasi : Kabupaten Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Karanganyar, Magetan, Pacitan, Madiun dan Ngawi. 2) Kawasan Resapan Air Kawasan resapan air diperuntukkan bagi kegiatan pemanfaatan tanah yang dapat menjaga kelestarian ketersediaan air bagi daerah yang terletak di wilayah bawahannya. Kawasan resapan air tersebar di Kabupaten Boyolali, Klaten, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Blora, Rembang, Pacitan, Ponorogo dan Tuban. B. Kawasan Suaka Alam Beberapa sub kawasan termasuk di dalam kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya, suaka alam laut dan perairan, kawasan pantai berhutan bakau, taman wisata alam serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. C. Kawasan Rawan Bencana 1) Kawasan rawan banjir terdapat di Kabupaten Blora dan Sragen. 2) Kawasan rawan bencana longsor Kawasan rawan bencana alam rawan longsor merupakan wilayah yang kondisi permukaan tanahnya mudah longsor karena terdapat zona yang bergerak akibat adanya patahan atau pergeseran batuan induk pembentuk tanah. Lokasi kawasan rawan bencana longsor terdapat di Kab.Boyolali (lereng timur G.. Merbabu dan lereng timur G. Merapi), Kab.Wonogiri (lereng selatan G. Lawu, perbukitan selatan dan timur Sungai Keduwang, serta bagian selatan dan barat daya Kabupaten), Kab. Karanganyar (lereng barat G.Lawu), Kab.Sragen (Sangiran dan Gemolong (G. Butak Manyar)), Kab.Blora (di daerah Ngawen, Todanan dan Jepon), Kab.Rembang terutama di bagian selatan dan timur dan Kab.Magetan. 2. Pengelolaan Kawasan Budidaya Pengelolaan kawasan budidaya bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sumberdaya serta untuk menghindari konflik pemanfaatan ruang dan kelestarian lingkungan hidup. Kawasan budidaya yang dikelola pemanfaatan ruangnya terdiri dari: A. Kawasan hutan produksi B. Kawasan pertanian
C. D. E. F. G. H.
Kawasan pertambangan Kawasan peruntukan industri Kawasan pariwisata Kawasan permukiman Kawasan perikanan Kawasan perdagangan
3. Kawasan Andalan Kawasan andalan mempunyai potensi pengembangan bagi sektor unggulan. WS Bengawan Solo ditetapkan 4 (empat) zona kawasan andalan: A. Tuban-Lamongan dan sekitarnya B. Madiun dan sekitarnya C. Surabaya dan sekitarnya D. Surakarta-Boyolali-Sukoharjo dan Karanganyar Kebijakan Pengelolaan DAS Bengawan Solo Dengan melihat berbagai permasalahan yang telah dipaparkan dan peruntukan penggunaan lahan di DAS Bengawan Solo, maka kebijakan pengelolaan DAS Bengawan Solo dalam upaya adaptasi terhadap perubahan iklim,antara lain: 1. Pengendalian Tata Ruang Pengendalian tata ruang dilakukan dengan perencanaan penggunaan ruang sesuai kemampuannya dengan mempertimbangkan permasalahan banjir, pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya serta penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang yang telah memperhitungkan Rencana Induk Pengembangan Wilayah Sungai. 2. Pengaturan Debit Banjir Pengaturan debit banjir dilakukan melalui kegiatan penanganan fisik berupa pembangunan dan pengaturan bendungan, perbaikan sistem drainase perkotaan, normalisasi sungai dan daerah retensi banjir. Pengaturan daerah rawan banjir Pengaturan daerah rawan banjir dilakukan dengan cara: A. Peraturan tata guna lahan dataran banjir B. Penataan daerah lingkungan sungai, seperti : penetapan garis sempadan sungai, peruntukan lahan pada bantaran sungai, dan penertiban bangunan sepanjang aliran sungai. 3. Peningkatan Peran Masyarakat Peningkatan peran masyarakat dalam pengendalian banjir diwujudkan dalam: A. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat B. Bersama-sama dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun dan mensosialisasikan program pengendalian banjir. C. Mentaati peraturan tentang pelestarian sumberdaya air antara lain tidak melakukan kegiatan kecuali dengan ijin dari pejabat yang berwenang untuk: 1) mengubah aliran sungai; 2) mendirikan, mengubah atau membongkar bangunan-bangunan di dalam atau melintas sungai.
3) membuang benda-benda/ bahan-bahan padat dan cair ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang diperkirakan atau patut diduga akan mengganggu aliran, 4) pengerukan atau penggalian bahan galian golongan C dan atau bahan lainnya. 5) pengaturan untuk mengurangi dampak banjir terhadap masyarakat (melalui Penyediaan informasi dan pendidikan, Rehabilitasi, rekonstruksi dan atau pembangunan fasilitas umum, Melakukan penyelamatan, pengungsian dan tindakan darurat lainnya dan lain-lain). 4. Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Pengelolaan daerah tangkapan air dalam pengendalian banjir antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan: A. Pengaturan dan pengawasan pemanfaatan lahan (tata guna hutan, kawasan budidaya dan kawasan lindung); B. Rehabilitasi hutan dan lahan yang fungsinya rusak; C. Konservasi tanah dan air baik melalui metoda vegetatif, kimia, maupun mekanis; D. Konservasi kawasan lindung. 5. Penyediaan Dana Penyediaan dana dapat dilakukan dengan cara: A. Pengumpulan dana banjir oleh masyarakat secara rutin dan dikelola sendiri oleh masyarakat pada daerah rawan banjir. B. Penggalangan dana oleh masyarakat umum di luar daerah yang rawan banjir C. Penyediaan dana pengendalian banjir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 6. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat dan Rencana Tindak Darurat Sistem peringatan dini terhadap bahaya banjir di WS Bengawan Solo harus berpusat secara kuat pada masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir mulai hilir sampai hulu. Dengan penerapan sistem ini, akan dapat memberikan informasi lebih dini bagi masyarakat yang kemungkinan akan terkena bencana sehingga ada kesempatan bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri atau barang-barang berharganya. Sistem tersebut harus dikembangkan secara menyeluruh sehingga dapat meyakinkan bahwa sistem tersebut dapat berfungsi ketika diperlukan dan peringatan dapat disampaikan secara segera dan mudah dimengerti oleh semua anggota masyarakat dalam berbagai kondisi dan tingkat resiko bencana. Komponen inti sistem peringatan dini datangnya banjir harus berpusat pada masyarakat terdiri dari: A. Penyatuan dari kombinasi elemen-elemen bottom-up dan top-down. B. Keterlibatan masyarakat dalam proses peringatan dini. C. Pendekatan multi bencana. D. Pembangunan kesadaran masyarakat. Mendasari semua hal tersebut di atas harus ada suatu dukungan politis yang kuat, hukum dan perundang-undangan, tugas dan fungsi masing-masing institusi yang jelas serta sumber daya manusia yang terlatih. Oleh karenanya, sistem peringatan dini perlu dibentuk dan didukung sebagai satu kebijakan, sedangkan kesiapan untuk menanggapi harus diciptakan melekat dalam masyarakat.
Basis Pengetahuan dalam Pengambilan Keputusan Pengetahuan yang baik pada permasalahan yang terjadi di DAS Bengawan Solo sangat menentukan terhadap pengambilan keputusan. Bebarapa hal yang dapat dilakukan untuk mendukung hal tersebut adalah mengetahui beberapa tindakan pemulihan yang dapat digunakan sebagai bentuk adaptasi. Tabel Tindakan Pemulihan Fungsi SDA dan Lingkungan Hidup Tingkat Tindakan Substansi Kebijakan Hak dan Akses Masyarakat Lokal terhadap SDA
Pengelolaan SDA berbasis ekosistem
Ukuran pembangunan dan kinerja Pengelola SDA Kapasitas Lembaga dan Hubungan Antar Lembaga
Tata Pemerintahan
Pembuatan Peraturan Perundangan Distribusi dan kepastian hak dan akses thd SDA secara adil
Langkah Kolektif
Langkah Operasional
Penetapan fungsi SDA atas kepemilikan individu
Pengelolaan dan pemanfaatan SDA oleh individu
RUU-PSDA menjadi UU PSDA
Penetapan daya dukung wilayah
Pelestarian SDA sebagai stock resources
Koordinasi penetapan program antar lembaga
Pemulihan fungsi kaw.lindung dan pembatasan eksploitasi SDA Pengendalian kerusakan SDA dan LH
Penguatan koordinasi antar kabupaten dalam penjabaran UU 32/2003 Keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan
Pertukaran informasi, mekanisme pengendalian dampak bersama
Koherensi program antar lembaga
Pengembangan argumen, klasifikasi, penyamaan persepsi
Pelaksanaan transparansi, akuntabilitas, partisipasi
Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dilakukan, didapatkan beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam adaptasi sistem penataan ruang DAS Bengawan Solo terhadap perubahan iklim, antara lain: 1. Perubahan iklim merupakan suatu permasalahan yang harus ditangani secara serius, salah satu hal yang dapat dilakukan adalah adaptasi penataan ruang. 2. DAS Bengawan Solo merupakan salah satu wilayah yang mengalami banyak perubahan dan bencana yang ditimbulkan akibat perubahan iklim, seperti : banjir, tanah longsor, kerusakan ekosistem, dll. 3. Beberapa hal yang dilakukan dalam adaptasi sistem penataan ruang terhadap perubahan iklim, antara lain:
A. Modelling perubahan iklim dan kemampuan penjabaran wilayah efeknya dalam bentuk informasi geografis-spasial. B. Kajian kerentanan (vulnerability assessment) seluruh aspek kehidupan lokal maupun regional. C. Platform integrasi dengan kebijakan, dimana rangkaian informasi modelling dan hasil kajian "didiskusikan" dan diterjemahkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan ruang. D. Basis pengetahuan yang baik dan kuat untuk mendukung pengambilan keputusan.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Makalah Sistem Penataan Ruang terhadap Perubahan Iklim. Hilman, Masnellyarti. 2008.Tata Ruang dan Perubahan Iklim. Buletin Tata Ruang JanuariFebruari Kartodihardjo, Hariadi. 2008.Kebijakan Pengembangan Daya Dukung Pulau Jawa. Buletin Tata Ruang Januari-Februari Kepala Balai Besar WS Bengawan Solo. 2008.DAS Bengawan Solo. Buletin Tata Ruang Januari-Februari Susandi, Armi. 2008. Pengembangan Peta Spasial Proyeksi Perubahan Iklim untuk Pengendalian Banjir. Buletin Tata Ruang Januari-Februari Wijayanti, Laksmi. 2008.Perspektif Adaptasi Perubahan Iklim dalam Penataan Ruang. Buletin Tata Ruang Januari-Februari www.bdg.lapan.go.id.