SEMINAR NASIONAL
PEMBANGUNAN PEMBA BERKELANJUTA KELANJUTAN DI DAS BENGAWAN SOLO: S MEMBANGUN BANGUN SINERGI S ANTARA DAYA DUKUNG, PROGRAM OGRAM PEMBANGUNAN, P DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
SEMINAR NASIONAL SIONAL 19 JUNI 2014
2014
KERJASAMA FAKULTAS GEOGRAFI UMS, BIG, IGI, DAN PEMDA K A B U P A T E N S U K O H A R J O 2 0 1 4
DAFTAR ISI
Halaman Judul ........................................................................................................................
i
Daftar Isi .................................................................................................................................
ii
Kata Pengantar .......................................................................................................................
vi
KEYNOTE SPEAKER 1. Peran Data Spasial dalam Pengelolaan DAS .......................................................................
1
PEMBICARA UTAMA 1. Mencermati Dinamikan Kondisi DAS ..................................................................................
3
2. Transformasi Sosial Budaya, Ekonomi Kreatif, dan ............................................................
9
3. Analisis Bencana Banjir sebagai Masukan dan Pembangunan ...........................................
16
4. Pengelolaan DAS secara terpadu .......................................................................................
27
PESERTA
TOPIK 1. SINERGITAS PENGELOLAAN DAS BERBASIS KESEJAHTERAAN RAKYAT 1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Berbasis Konservasi ...........................................
35
2. Community Participation in a Forest and Land Rehabilitation............................................
36
3. Pengelolaan DAS secara terpadu .......................................................................................
37
4. Partisipasi Masyarakat Tani Pada Konservasi Lahan ...........................................................
38
5. Karakteristik Korban Bencana Banjir di Bantaran Sungai...................... ..............................
39
6. Dampak Banjir terhadap Pertanian dan Kesiapsiagaan Petani ..........................................
40
7. Penilaian Bahaya Longsor yang disebabkan oleh ...............................................................
41
8. Nilai Industri Kreatif di Desa Wisata Jelengkong ................................................................
42
9. Tinjauan Aspek Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan Kinerja ...............................................
43
10. Strategi Pengelolaan DAS Bengawan Solo di Kabupaten Tuban ......................................
44
11. Dimensi Spasial Kemiskinan di DAS Bengawan Solo dan Implikasinya .............................
45
12. Potensi Transportasi Sungai untuk Menghidupkan Kawasan ..........................................
46
13. Kajian Kejadian Longsorlahan dengan Jenis Batuan .........................................................
47
iii
14. Pengaruh Perilaku Lingkungan Terhadap Imbangan Air ..................................................
48
15. Evaluasi Ketersediaan Air Sungai untuk Kebutuhan Pertanian ........................................
49
16. Kekurangan Air dan Penanganannya beberapa Sub DAS ..................................................
50
TEMA 2. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI UNTUK MENDUKUNG SINERGITAS PENGELOLAAN DAS 1. Pemodelan Debit Setengah Bulanan Pada DAS tidak Berpencatat ....................................
51
2. Implemetantion of Hydraulic Technology to Flood ............................................................
52
3. Kajian Sistematika Pengelolaan Data dan Informasi dalam mendukung ...........................
53
4. Kajian Sedimen Terlarut dan Material Nutrien (N dan P) ..................................................
54
5. Pengelolaan Lingkungan Untuk Peningkatan Kualitas Air Sungai .......................................
55
6. Analisis Morfokonservasi Lahan untuk Arahan Penggunaan Lahan ...................................
56
7. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis untuk Identifikasi Karakter Fisik .......................
57
8. Pemanfaatan Data TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) .....................................
58
9. Pendekatan Daya Tampung Beban Pencemaran (DTBP) ...................................................
59
TEMA 3. PENDIDIKAN SUMBERDAYA MANUSIA DAS BERKELANJUTAN 1. Melek Geografi SMA 7 Surakarta dan MA Al Islam ............................................................
60
2. Kajian Lebar Sempadan Sungai Sub DAS Bengawan Solo ...................................................
61
3. Pembentukan Kelompok Tani Sadar Sistem Terasering .....................................................
62
4. Peran Pendidik Geografi dalam Pendidikan Sumberdaya Manusia ..................................
63
5. Kesiapsiagaan Masyarakat dalam menghadapi Bencana Banjir .........................................
64
6. Pembelajaran Terpadu Model Webbed Berbasis Karakteristik Daerah .............................
65
7. Sikap Masyarakat Tanggap Bencana Banjir pada Bantaran Sungai ....................................
66
9. Pendidikan Lingkungan Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo Hulu..............................
67
TEMA 4: ANALISIS KEBENCANAAN DI DAS BENGAWAN SOLO 1. Interval Konfidensi Bagi Fungsi Tahan Hidup Waktu ..........................................................
68
2. Daya Pulih Masyarakat Sukoharjo terhadap Banjir Tahun 2000 .......................................
69
3. Zonasi Tingkat Kerentanan (Vulnerability) Banjir ................................................................
70
4. Pemetaan Daerah Rawan Bencana Lonsor Lahan di DAS Takapala ...................................
71
iv
5. Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Jalur Evakuasi ...............................
72
6. Kajian Dampak dan Pola Spasial Kerusakan Akibat Banjir .................................................
73
7. Analisis Potensi Limpasan Permukaan (Run Off) Menggunakan Model Cook,S ................
74
8. Tingkat Bahaya Longsor DAS Grompol Bagian Hulu Di Kabupaten Karanganyar ...............
75
9. Identifikasi Madden Julian Oscillation (MJO) untuk Prediksi Peluang Banjir Tahunan ......
76
10. Analisis Bentuklahan sebagai Satuan Eko-Hidraulik............................................................. 77 11. Pemodelan Spasial untuk Identifikasi Banjir Genangan di Wilayah ................................
78
12. Pemodelan Simulasi Luapan Banjir ..................................................................................
79
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb Puji syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah telah menebarkan sifat rahmah dan rahim-Nya kepada kita semua untuk bertukar pikir dan pengalaman terkait Pembangunan di DAS Bengawan Solo ini.
Buku kumpulan Makalah Kunci, Makalah Utama, dan Kumpulan Abstrak Makalah Pendamping dari berbagai Instansi ini bertujuan agar memudahkan dan membantu peserta Seminar Nasional dalam mengkaji PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI DAS BENGAWAN SOLO: MEMBANGUN
SINERGI
ANTARA
DAYA
DUKUNG,
PROGRAM
PEMBANGUNAN,
DAN
KESEJAHTERAAN RAKYAT. Tujuan umum Seminar Nasional ini adalah merumuskan sinergi antar stakeholder dalam pengelolaan DAS Bengawan Solo dengan mempertimbangkan aspek daya dukung, program pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Tema makalah dikelompokkan
menjadi 4 bidang, yaitu: (1) Sinergitas Pengelolaan DAS berbasis kesejahteraan rakyat, (2) Pengembangan Teknologi untuk mendukung sinergitas pengelolaan DAS, (3) Pendidikan Sumberdaya Manusia DAS berkelanjutan, dan (4) Analisis kebencanaan di DAS Bengawan Solo.
Atas terselenggaranya Seminar Nasional ini, panitia mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta, Bupati Kabupaten Sukoharjo cq. Ketua BAPPEDA, Kepala Badan Informasi Geospasial,
Ketua Ikatan Geograf Indonesia, dan Dekan Fakultas
Geografi UMS atas bantuan pendanaan maupun ide/gagasan dalam Seminar Nasional ini. Panitia mohon maaf apabila terdapat banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyelenggaraan seminar ini. Wassalamu’laikum wr.wb
Surakarta, 18 Juni 2014 Ketua Panitia,
Dr. Kuswaji Dwi Priyono, M.Si
vi
PERAN DATA SPASIAL DALAM PENGELOLAAN DAS Dr. Asep Karsidi Badan Informasi Geospasial (BIG)
A. PETA: KOMPILASI RAGAM INFORMASI KERUANGAN Dalam Selembar Peta Mengandung Beragam Aspek Keruangan (Informasi Geospasial). Integrasi. Geospasial untuk integrasi dan kolaborasi a. mengintegrasi dan mensintesa informasi b. menghilangkan hambatan c. menghubungkan dengan solusi
Informasi
Yang
Menyangkut
B. Teknologi Geospasial telah mengubah kita dalam cara berpikir dan bertindak (Mengintegrasikan dan menghubungkan pekerjaan) a. merencana b. menganalisa c. memprediksi d. mengukur e. menyiapkan f. mengelola g. memutuskan h. bertindak i. evaluasi C. Jaringan Informasi Geospasial Nasional membantu menghilangkan hambatan dalam dan antar instansi D. Transformasi dalam Teknologi Geospasial Amanat UU No.4 Tahun 2011 (Transformasi BAKOSURTANAL menjadi BIG) Bakosurtanal: a. mengkaji kebijakan nasional bidang survei dan pemetaan (SURTA) b. pembina di bidang SURTA c. pembina infrastruktur data spasial BIG: a. Penyelenggara Surta Dan Pembangunan Informasi Geospasial Dasar (Igd) Pasal 22 b. Pembina Bidang Surta Dan Pembangunan Informasi Geospasial Tematik (Igt) Pasal 57 c. Penyelenggara Infrastruktur Dan Jaringan Informasi Geospasial Pasal 53 E. Peran BIG berdasarkan UU No. 4 Tahun 2011 BIG memiliki TUGAS POKOK dan FUNGSI yang LEBIH LUAS; tidak sekedar mengkoordinasikan dan melaksanakan kegiatan survei pemetaan untuk menghasilkan peta namun membangun Informasi Geospasial yang dapat dipertanggungjawabkan dan mudah diakses. Peran BIG: a. regulator (Menyusun kebijakan dan membuat perundang-undangan terkait penyelenggaraan pembangunan IG) b. eksekutor (Penyelenggara tunggal IGD) c. koordinator (Mengkoordinasikan pembangunan IG dalam hal pengintegrasian IGT)
F. KEBIJAKAN SATU PETA Prinsip One Map One Policy (reference, standard, database, dan GeoPortal)
1
G. Ina-Geoportal Sebagai Ina-SDI Network Untuk Berbagi Pakai (Sharing) Informasi Geospasial Banyak Instansi Yang Mengumpulkan dan Mengelola Beragam Data Geospasial Untuk Tujuan Masing-Masing Sehingga Tercipta: Pulau-Pulau Informasi Duplikasi Informasi Duplikasi Alokasi Sumberdaya Sulit untuk Menciptakan Value Added Information H. Daerah Aliran Sungai (DAS) Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (PP No 37 tentang Pengelolaan DAS, Pasal 1) DAS kesatuan bentang lahan DAS sistem hidrologi DAS ekosistem I. FUNGSI DAS a. Fungsi keruangan, produksi, habitat b. Fungsi hidrologi yg mengatur siklus hidrologi c. Fungsi ekosistem keterpaduan sistem yg terbentuk oleh berbagai komponen lingkungan hidup J. Peran IG dalam Pengelolaan DAS a. DAS merupakan satuan fisik yang nyata sebagai fungsi wilayah di lapangan. b. Karakteristik DAS dapat dikenali dengan pasti sehingga potensi alamnya dapat mudah diidentifikasi. Identifikasi ini akan memudahkan dalam pengelolaan DAS. c. Melalui IG informasi karakteristik DAS dapat dilengkapi dan mudah diintegrasikan. d. Dapat dibangun model 3D
2
Mencermati Dinamika Kondisi Daerah Aliran Sungai Sebagai Basis Peningkatan Daya Dukung
Oleh: PAIMIN Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan DAS
A. PENDAHULUAN Daerah aliran sungai (DAS) merupakan ruang di mana sumberdaya alam, terutama vegetasi, tanah dan air, berada dan tersimpan serta tempat hidup manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai wilayah, DAS dipandang sebagai ekosistem dari daur air, sehingga DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografi dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No. 7 Tahun 2004 dan PP No. 37 Tahun 2012). Demikian juga DAS bisa dipandang sebagai suatu sistem pengelolaan, dimana DAS memperoleh masukan (input) yang kemudian diproses di DAS untuk menghasilkan luaran (output) (Asdak, 1995 dan Becerra, 1995). DAS merupakan prosesor dari setiap masukan yang berupa hujan dan intervensi manusia (manajemen) untuk menghasilkan luaran yang berupa produksi, limpasan dan sedimen. Disamping itu DAS juga dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi yang terdiri dari komponen-komponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi dalam suatu kesatuan. Hubungan antara berbagai komponen berlangsung dinamis untuk memperoleh keseimbangan secara alami. Dinamika keseimbangan tersebut bisa menuju ke arah baik atau ke arah buruk, yang kondisinya sangat dipengaruhi oleh besarnya intervensi manusia terhadap sumberdaya alam dan proses interaksi alam sendiri. Oleh karena itu, dalam daerah tangkapan air atau DAS terjadi hubungan timbal balik antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya alam yang mempengaruhi kelestarian sumberdaya alam tersebut. Hubungan timbal balik ini tidak hanya setempat (onsite) tetapi juga di tempat lain (offsite), sehingga diperlukan sistem pengelolaan menyeluruh dari hulu sampai hilir. Pendayagunaan atau pemanfaatan sumberdaya alam DAS, terutama lahan, air dan vegetasi, harus tetap bertumpu pada asas menjaga daya dukungnya secara optimal. Namun dalam prakteknya penyelenggaraan pengelolaan DAS belum mampu mengimbangi dinamika yang terus berjalan. Sheng (1986, dan 1990) menegaskan bahwa pengelolaan DAS merupakan suatu usaha yang terus berjalan, karena faktor alam maupun faktor buatan manusia selalu ada dan berubah setiap waktu. Oleh karena itu pengelolaan DAS bersifat dinamis karena dinamika proses yang terjadi di dalam DAS, baik proses alam, politik, sosial ekonomi, maupun perkembangan teknologi, yang akhirnya bisa memberikan dampak positif maupun negatif. B. Dinamika Alam Proses alam seperti gempa bumi dan perubahan iklim merupakan faktor alam yang harus dicermati perilakunya untuk bisa dilakukan adaptasi. Pada beberapa tempat, gempa bumi mengakibatkan perubahan kestabilan tanah sehingga sering terjadi bencana tanah longsor, seperti yang terjadi belakangan ini. Demikian juga adanya perubahan iklim yang berakibat pada perubahan intensitas hujan, distribusi erosivitas hujan, dan sifat hujan lainnya. Seperti Sub DAS Samin Hulu besarnya hujan tahunan tidak mengalami perubahan nyata tetapi besarnya erosivitas hujan bulanan pengalami perubahan sehingga berakibat pada semakin tingginya erosi tanah (Paimin, 2010). Hujan yang tinggi dan terjadi dalam beberapa hari secara berurutan juga akan memperbesar kemungkinan terjadinya tanah longsor. Proses alam yang terjadi membentuk kekhasan setiap DAS, baik keberagaman dalam cakupan luasan, keterkaitan dengan wilayah administrasi, maupun karakteristiknya. Perubahan dan proses alam tersebut tidak perlu dirisaukan tetapi harus disikapi secara adaptif, sehingga tindakan bijak mampu dilakukan. Peristiwa banjir dan tanah longsor bukan
3
merupakan bencana apabila tidak mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU No. 24 Tahun 2007). Lebih lanjut disebutkan bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor. Yang perlu dicermati adalah kemungkinan terjadinya banjir bandang akibat multi-proses tanah longsor dan banjir (Paimin, 2009) seperti yang terjadi di Langkat, Sumater Utara (tahun 2003), di Jember, Jawa Timur (tahun 2006), dan Wasior (tahun 2010). Peristiwa banjir bandang telah teridentifikasi bahwa proses banjir didahului oleh tanah longsor pada tebing sungai sehingga menutup palung sungai dan membentuk waduk penampung air. Dengan berjalannya waktu seiring jatuhnya hujan, waduk yang terbentuk tidak muat menampung air limpasan sehingga waduk jebol dan menghasilkan banjir bandang dalam waktu singkat. Proses demikian sangat berbahaya pada daerah yang sebelumnya tidak diperkirakan sebagai daerah rawan kebanjiran, apalagi untuk daerah yang rawan kebanjiran. Peristiwa multi-proses tanah longsor dan banjir yang berasal dari daerah yang jarang dijamah manusia, seperti di tengah hutan dan perkebunan, berakibat sangat fatal karena masyarakat di hilirnya tidak menduga. C. Dinamika Sosial Perkembangan penduduk seiring dengan waktu menjadikan pengelolaan DAS sepertinya tanpa akhir. Pertambahan penduduk memerlukan tambahan penyediaan kebutuhan pangan, termasuk air, dan papan. Peluang lapangan kerja masih terbatas mengakibatkan jumlah masyarakat petani semakin bertambah dan belum bisa beranjak dari lapangan kerja pertanian. Dengan demikian tekanan penduduk terhadap lahan untuk pertanian semakin berat, yang akhirnya pemanfaatan lahan melampaui batas kemampuannya serta terjadi penyerobotan lahan non pertanian untuk memenuhi kehidupannnya. Penggunaan lahan demikian mengakibatkan terjadinya degradasi lahan akibat erosi dan peningkatan besarnya air banjir. Air merupakan kebutuhan pangan yang utama; namun jumlah air yang tersedia di bumi sangat terbatas. Penduduk bertambah berarti kebutuhan air bertambah. Pawitan (2002) menyatakan bahwa meskipun Indonesia memiliki sumberdaya air melimpah tetapi kenyataan kelangkaan air dan sumber air menjadi kenyataan, terutama daerah perkotaan dan pusat pengembangan wilayah di sekitar perkotaan. Daerah yang rentan ketersediaan air adalah pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Pertambahan penduduk juga berdampak pada peningkatan kebutuhan papan, sehingga terjadi konversi lahan, terutama lahan pertanian, menjadi lahan pemukiman. Tekanan terhadap lahan tidak hanya untuk permukiman penduduk tetapi juga desakan pembangunan yang memerlukan lahan, seperti industri, jalan dan lain-lain. Dengan merujuk Sumaryanto dan Suhaeti (1997), Sumaryanto, et al. (2001) memberikan data luas perkiraan konversi lahan sawah di Jawa sebesar 138.266 ha yang tersebar di Provinsi Jawa Barat seluas 37.033 ha selama 5 (lima) tahun (tahun 1987 - 1991), di Provinsi Jawa Tengah 40.327 ha (tahun 1981 – 1986), di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2.910 ha (tahun 1986 – 1990), dan Provinsi Jawa Timur 57.996 ha (tahun 1987 – 1993). Konversi lahan mengakibatkan perubahan neraca air DAS baik secara spasial maupun temporal. Pertumbuhan pemukiman dengan kerapatan hunian yang tinggi mengakibatkan air hujan yang jatuh ke bumi sebagian besar mengalir sebagai limpasan permukaan dan hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam tanah. Akibat yang terjadi adalah tingkat banjr semakin besar dan persediaan air dari dalam bumi semakin sedikit. Kebutuhan air yang terus meningkat, seiring dengan bertambahnya penduduk, mendorong kelangkaan penyediaan air. Kelangkaan air semakin dirasakan pada wilayah pulau-pulau kecil yang berkembang menjadi perkotaan berpenduduk padat. Terbatasnya pendapatan telah mendorong masyarakat untuk menghuni lahan yang rentan terhadap bencana banjir dan tanah longsor. Walaupun peraturan perundangan telah mengatur pemanfaatan lahan sesuai ruang tetapi fakta kehidupan mayarakat yang demikian belum bisa teratasi. Secara ringkas dinamika sosial dapat diilustrasikan seperti Gambar 1.
4
SOSIAL – PERTAMBAHAN PENDUDUK
KEBUTUH-AN PAPAN
KEBUTUHAN PANGAN
PEMUKIMAN RENTAN BENCANA
PENGGUNAAN LAHAN TAK SESUAI KEMAMPUAN
EROSI
LONGSOR
KONVERSI LAHAN JADI PEMUKIMAN
BANJIR
CADANGAN AIR BUMI MENURUN
KEBANJIRAN
BANJIR
Gambar 1. Diagram Dampak Pertambahan Penduduk Terhadap Kondisi DAS D. Dinamika politik Dinamika politik tercermin dari terbitnya berbagai peraturan perundangan yang merupakan acuan utama penyelenggaraan pemerintahan. Peraturan perundangan umumnya menggunakan satuan wilayah administrasi pemerintahan yang batas wilayahnya jarang sekali bisa berhimpitan dengan batas alami wilayah DAS yang berupa punggung bukit. Mengingat beberapa dari sebagian wilayah administrasi secara alami terhubung dalam satuan siklus air dalam wilayah DAS, maka wilayah DAS dapat dibagi dalam beberapa bagian satuan daerah tangkapan air yang paling sesuai dengan wilayah aministrasi. Pembagian ini tidak mungkin bisa tepat sama maka bagian daerah tangkapan air tersebut dinyatakaan dalam satua daerah ad i istrasi do i a , misal kabupaten dominan. Dengan pendekatan sistem DAS maka daerah otonomi, yang diatur melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terangaki erat, tidak terpisahkan, melalui sistem daur air dalam satuan DAS. Penggunaan DAS sebagai satuan wilayah pengelolaan adalah untuk memberikan pemahaman secara rasional dan obyektif bahwa setiap kegiatan yang dilakukan di suatu tempat (on site) di bagian hulu DAS memiliki dampak atau implikasi di tempat lain (off site) di bagian hilir DAS; atau sebaliknya bahwa pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah hilir merupakan hasil dari daerah hulu yang secara daerah otonomi atau administrasi berbeda wilayah pengelolaannya. Dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 17 mengamanatkan hubungan dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara Pemerintah dan pemerintah daerah dan antar daerah. Pada pasal 196 dinyatakan bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait melalui badan kerjasama. Apabila daerah tidak bisa melaksanakan kerjasama maka pengelolaannya dilaksanakan oleh pemerintah (pusat). Berdasarkan luas wilayahnya, DAS bisa berada dalam kabupaten, lintas kabupaten maupun lintas provinsi, bahkan lintas negara. Memperhatikan kewilayahan DAS tersebut maka
5
PP No. 37 Tahun 2012 mengamanatkan bahwa pengelolaan DAS (perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan dan pengawasan) dilakukan oleh: a. Menteri untuk DAS lintas negara dan DAS lintas Provinsi; b. Gubernur sesuai kewenangannya untuk DAS dalam provinsi dan/atau lintas kabupaten/kota; c. Bupati/walikota sesuai kewenangannya untuk DAS dalam kabupaten/kota. Kewenangan tersebut sedikit berbeda dengan PP No. 38 Tahun 2008 yang membagi urusan pemerintahan Bidang Kehutanan, Sub-Bidang Pengelolaan DAS: a. Pemerintah (Pusat) memiliki kewenangan urusan dalam penetapan pola umum, Norma, standar, prosedur, dan kriteria pengelolaan DAS, penetapan kriteria dan urutan DAS/Sub DAS prioritas serta penyusunan rencana pengelolaan DAS terpadu. b. Pemerintah Daerah Provinsi memberikan pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala provinsi. c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota memberikan pertimbangan teknis penyusunan rencana pengelolaan, penyelenggaraan pengelolaan DAS skala Dalam penyelenggaraan pengelolan DAS, PP No. 37 Tahun 2012 mengamanatkan bahwa pengelolaan DAS dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang dan pola pengelolaan sumber daya air, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang (UU No. 26 tahun 2007 dan turunannya) dan sumber daya air (UU No. 7 Tahun 2004 dan turunannya). Pengelolaan DAS merupakan bagian dari program pembangunan nasional sehingga perencanaan pengelolaan DAS harus selaras dengan sistem perencanaan yang disusun dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional serta peraturan turunannnya. E. Dinamika Teknologi Tekanan penduduk yang semakin tinggi, mendorong pemanfaatan lahan secara sembarangan tanpa memperhatikan asas konservasi tanah dan air serta tanpa pertimbangan ancaman bahaya yang mungkin terjadi. Menyadari kekurangan tersebut telah banyak dikembangkan teknologi pendukung pengelolaan DAS, baik teknologi dalam pengelolaan lahan maupun teknologi untuk perolehan data dan prosesing data. Dalam pengelolaan lahan pertanian yang miring telah banyak dikembangkan teknologi yang berasaskan konservasi tanah dan air, mulai dari teknik penyiapan lahan sampai dengan pemanenan. Dalam aplikasinya, teknologi yang diintroduksikan perlu didahului pendekatan terhadap masyarakat agar diperoleh pemahaman sehingga adopsi masyarakat lebih mudah. Perkembangan teknologi penginderaan jauh dengan citra satelit sangat membantu untuk memperoleh data daerah yang sulit dijangkau dengan waktu lebih cepat. Banyaknya jenis citra satelit akan mempermudah pengguna dalam memilih citra satelit yang sesuai dengan skala kerja yang dibutuhkan. Perkembangan sistem informasi geografis (SIG) sangat membantu dalam prosesing dan penampilan data dan informasi. Yang perlu diperhatikan adalah kepekaan kondisi lapangan dengan tampilan hasil dari SIG. Sering terjadi tampilan data yang kurang sesuai dengan kondisi lapangan sebagai akibat kesalahan dalam prosesing data dengan SIG. F. Peningkatan Daya Dukung Pengelolaan DAS bukan hanya hubungan antar biofisik, tetapi juga merupakan pertalian dengan faktor sosial ekonomi dan kelembagaan. Dengan demikian pengelolaan DAS perlu mengintegrasikan faktor-faktor biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan untuk mencapai kelestarian berbagai macam penggunaan lahan di dalam DAS yang secara teknis aman dan tepat, secara lingkungan sehat, secara ekonomi layak, dan secara sosial dapat diterima masyarakat (Brooks, et al., 1990). Selain itu pengelolaan DAS juga bertujuan untuk mencegah kerusakan (mempertahankan daya dukung) dan memperbaiki yang rusak (pemulihan daya dukung). Dalam PP 37 Tahun 2012 disebutkan bahwa daya dukung DAS adalah kemampuan DAS untuk mewujudkan kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia dan makhluk hidup lainnya secara berkelanjutan. Berdasarkan daya dukungnya DAS dapat dipilah antara DAS yang dipulihkan dan DAS yang dipertahankan daya dukungnya. DAS yang dipulihkan daya dukungnya adalah DAS yang kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi, investasi bangunan air dan pemanfaatan
6
ruang wilayah tidak berfungsi sebagaimana mestinya; sebaliknya DAS yang dipertahankan daya dukungnya adalah DAS berfungsi sebagaimana mestinya. Pencermatan kondisi DAS merupakan langkah awal dalam menelusuri pokok masalah secara obyektif sehingga data dan informasi yang diperoleh untuk penyusunan karakteristik DAS lebih faktual dan rasional. Karakteristik menunjukkan tingkat potensi dan kerentanan daya dukung DAS yang dicirikan oleh parameter yang berkaitan dengan keadaan morfometri, topografi, tanah, geologi, vegetasi, penggunaan lahan, hidrologi, dan manusia (Seyhan, 1977). Dinamika alam dan soisial terwujudkan dalam bentuk kondisi lahan serta kualitas, kuantitas dan kontinuitas air, sosial ekonomi investasi bangunan air dan pemanfaatan ruang wilayah. Karakteristik DAS kemudian ditransformasikan ke dalam sistem perencanaan pengelolaan DAS. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan-tindakan di masa depan dengan tepat, melalui tahapan pilihan-pilihan yang sesuai, serta memperhitungkan sumberdaya yang tersedia (UU No. 25 Tahun 2004). Tindakan di masa depan yang direncanakan didasarkan pada permasalahan aktual suatu DAS yang ada pada saat tersebut dan sedang berkembang, yang dicerminkan oleh tingkat kerawanan atau sifat rentan dan potensi sumberdaya dalam DAS. Karakteristik DAS dapat diringkaskan dalan sifat rentan DAS terhadap banjir, kekeringan, kekritisan lahan dan sosial ekonomi (Paimin, et al., 2012). Peningkatan daya dukung DAS dilakukan dengan meminimalkan atau mengurangi sifat rentan dan meningkatkan potensi yang ada dalam DAS. Pengelolaan lahan secara konservatif dan konservasi air pada daerah padat pemukiman merupakan dasar tindakan peningkatan daya dukung dalam pengelolaan DAS. G. PENUTUP Pencermatan kondisi DAS merupakan langkah awal dalam menelusuri tingkat daya dukung DAS pada saat tersebut sehingga diperoleh pokok masalah secara obyektif dan rasional. Seperti telah diuraikan bahwa timbulnya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai kemampuannya adalah karena pertambahan penduduk yang kurang diikuti lapangan kerja serta pengetahuan pengelola lahan yang terbatas. Apabila solusi hanya ditekankan pada teknik pengelolaan lahan tanpa memberdayakan masyarakat maka masalah tidak akan selesai. Hasil pencermatan kondisi DAS ditransformasikan ke dalam karakterisasi DAS yang merupakan basis sistem perencanaan pengelolaan DAS. Usulan kegiatan peningkatan daya dukung DAS didasarkan pada pokok permasalahan dan teknologi yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat
DAFTAR PUSTAKA Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada Univ. Press Becerra, E. H. 1995. Monitoring and Evaluation of Watershed Management Project Achievements. FAO Conservation Guide 24. FAO. Rome. Paimin, Sukresno, dan I.B. Pramono. 2009. Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor. Tropenbos International Indonesia Programme. Balikpapan. Paimin. 2010. Adaptasi Teknik Konservasi Tanah dan Air Terhadap Perubahan Iklim di Sub Daerah Aliran Sungai Samin Hulu. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dan Pengembangan. Pengelolaan DAS Dalam Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. 28 September 2010. P3KR. Bogor. Diterbitkan tahun 2011. Paimin, I.B. Pramono, Purwanto, D.R. Indrawati. 2012. Sistem Perencanaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Peraturan Pemerintah No.37 tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Sheng, T.C. 1986. Watershed Management Planning : Practical Aproaches. Dalam. Strategies, approaches, and systems in integrated watershed management. FAO Conservation Guide 14. FAO,UN. Rome
7
Sheng, T.C. 1990. Watershed Management Field Manual. Watershed survey and planning. FAO Conservation Guide 13/6. FAO,UN. Rome. Undang Undang Republik Indonesia No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembengunan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 104 Undang Undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004. No. 125. Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No 4377. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004. No. 32. Fokus media. Bandung Undang Undang Republik Indonesia No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 68. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
8
TRANSFORMASI SOSIAL BUDAYA, EKONOMI KREATIF DAN PENGEMBANGAN WILAYAH BENGAWAN SOLO M. Baiquni Fakultas Geografi UGM Pendahuluan Peradaban manusiabanyak menghuni di lembah-lembah sungai yang memiliki ekosistem yang dapat mendukung kehidupan manusia. Secara garis besar ada empat periode sejarah peradaban manusia. Pada awalnya manusia hidup dengan cara berburu dan meramu (hunter gather) berpindah dari gua ke gua, hingga mulai menetap di wilayah yang dekat dengan air dan memiliki sumber-sumber penghidupan yang mencukupi. Kemudian muncul sistem pertanian yang diduga banyak diperankan kaum perempuan yang menemukan dasar-dasar sistem pertanian yang secara revolusioner mengubah jaman batu ke budidaya (neolitic revolution). Baru belakangan muncul penemuan teknologi dan mesin-mesin yang menggantikan tenaga hewan dan manusia, sehingga sistem produksi berubah secara massive dan massal dengan mekanisme industri (industrial revolution). Kini kita telah memasuki era dimana keterhubungan antar manusia semakin dekat yang mengubah jarak yang jauh menjadi dekat dan mencapainya dengan cara singkat. Era dimana telekomunikasi, informasi dan transportasi semakin terjangkau dan mobilitas manusia semakin cepat (information revolution).Pertanyaan sejati yang pantas diajukan adalah apakah kehidupan manusia semakin dekat dengan alam dan semakin mendekat pada Sang Pencipta alam semesta ini? Karakteristik ekosistem wilayah lembah sungai dicirikan oleh ketersediaan air, sumber pangan berupa ikan di sungai, tanah yang subur untuk pertanian, sungai sebagai jalur akses transportasi, hingga sungai sebagai pertahanan. Bengawan Solo merupakan intermountain basin yaitu lembah antar pegunungan karst di hulu selatan, Gunung Lawu di timur, serta Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah barat. Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa yang mengalir ke utara dan kemudian ke timur bermuara di Laut Jawa. Bengawan Solo merupakan sungai yang penting urat nadi peradaban masa silam, yang biasa digunakan untuk jalur perdagangan antara wilayah pedalaman dan pesisir. Perubahan terjadi ketika dibuka jalan darat dan rel kereta api yang kemudian semakin ramai digunakan dan menggantikan peran sungai sebagai jalur transportasi.Pertanyaan berikutnya yang dapat diajukan adalah mengapa peradaban manusia cenderung menguasai dan merusak lingkungan alam, mengapa manusia seperti berlomba mencapai kemakmuran, kemakmuran seperti apa yang diidamkan? Pengembangan wilayah merupakan upaya untuk mengelola lingkungan hidup untuk mendukung kehidupan manusia. Pembangunan wilayah Bengawan Solo telah berubah drastis dengan modifikasi ekosistem yang semakin banyak di lakukan. Pada jaman penjajah dibuka hutan untuk pertanian dan perkebunan dengan skala yang luas, dari arah tepian sungai hingga dataran dan lereng pegunungan dibuka. Perubahan pemanfaatan lahan ini menyurutkan aliran Bengawan Solo dan menjadikan sungai ini sulit dilalui perahu dan kapal kayu. Kini lembah Bengawan Solo telah menjadi metropolitan dengan pusat kota Solo dan kawasan industri di sekitarnya termasuk kabupaten yang berkembang cepat yaitu Sukoharjo. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana peradaban yang dikembangkan dapat mencapai keberlanjutan, baldatun thoyyibatun wa robbbun ghofur? Apa tugas kita sebagai pemimpin yang diharapkan bisa mewujudkan rahmat dan barokah bagi semesta,rahmatan lil alamien? Paper singkat ini memberi gambaran mengenai bagaimana perkembangan peradaban manusia disekitar lembah sungai di berbagai belahan dunia dan mengapa terjadi pasang surut peradaban, kemudian membahas bagaimana karakteristik lembah Bengawan Solo, serta bagaimana strategi pengembangan wilayah yang memadukan kualitas SDM dan ketersediaan SDA. Refleksi Sejarah Peradaban Lembah Sungai Kita mengenal dari sejarah bahwa peradaban umat manusia pada mulanya dekat dengan sungai. Peradaban Sungai Nile, lembah Mesopotamia diantara Sungai Eufrat dan Tigris, Sungai Mekong, hingga Bengawan Solo merupakan contoh terjadinya dinamika pasang surut
9
peradaban manusia. Pada masa pra sejarah yang cukup panjang, manusia hidup dengan cara berburu dan meramu. Mengambil dan memanfaatkan sumberdaya alam secara sederhana dan dalam batas kebutuhan yang diperlukan. Berikut ini peta sebaran konsentrasi penduduk, terlihat sepanjang Sungai Nile, sekitar Danau Victoria dan Sub Sahara Afrika. Di Asia terlihat disekitar Sungai Gangga dan dibawah kaki Pegunungan Himalaya, sekitar sungai Kuning di China dan pantai barat, di sepanjang Sungai Mekong meliputi sejumlah negara. Di Eropa banyak lembah sungai yang padat penduduk seperti Sungai Rheine, di Inggris maupun di Italy dan Spanyol menghadap Mediterania. Di Amerika maupun di Latin Amerika sungai-sungai menjadi pusat peradaban yang penting.
Pasang surut perkembangan peradaban manusia yang menghuni lembah-lembah sungai terkait dengan bagaimana transformasi masyarakat dalam mensikapi dinamika perubahan ekosistem disekitarnya. Para perintis dan pengembara setelah menemukan lokasi yang dianggap bagus untuk bermukim, maka akan ditetapkan dan disusun suatu sistem tata kehidupan dan penghidupan. Berkembanglah permukiman itu dari satu kelompok menjadi komunitas yang semakin luas dan lebih besar lagi menjadi kota. Dalam perjalanan sejarah manusia dapat dicermati bahwa ada masa mengawali, berkembang dan menjadi kuat, hingga mencapai puncak kejayaan dan kemudian bisa perlahan-lahan surut atau pun bisa runtuh secara drastis oleh berbagai sebab. Pasang surut peradaban dapat terkait dengan: Pertama, kemampuan pemimpin dalam menggerakkan transformasi masyarakat. Kedua, kemampuan melakukan adaptasi terhadap situasi yang berubah baik secara perlahan (seperti kemerosotan daya dukung lingkungan, pergeseran peran dalam perdagangan) maupun mendadak (berupa bencana seperti banjir, gempa bumi, tsunami, gunung meletus, dll). Ketiga, tarjadinya kisruh ditengah masyarakat terkait dengan kemaksiatan yang semakin merajalela yang mengakibatkan melemahnya daya tahan dan kemandirian masyarakat. Keempat, adalah penyerangan dari luar yang mengakibatkan jatuhnya pusat kekuatan dan kekuasaan suatu kerajaan atau pemerintahan, sehingga dikuasai pihak lain (Baiquni dan Susilawardani 2002; Baiquni 2004 dan 2007). Kini pusat-pusat industri juga menempati lembah sekitar sungai, seperti pada dekade 1930an dikembangkan proyek raksasa yang dikenal dengan Tennessee Valley Authority (TVA), mengembangkan pendekatan terpadu yang didukung politik kebijakan yang kuat dan pendanaan yang besar serta para ahli dari berbagai bidang. Proyek ini membendung sungai untuk menghidupkan listrik, mengembangkan jaringan irigasi dan mengatasi banjir. Perencanaan wilayah dilakukan secara makro komprehensif yang dikendalikan oleh pemerintah. Peran para
10
pengusaha dan insustri dikoordinir secara terpusat dan terpadu, masyarakat diarahkan dan dikendalikan agar mengikuti rencana proyek raksasa ini (Friedmann and Weaver, 1979; Hilhorst, 1990). Di Eropa pengembangan wilayah model TVA pada periode tersebut belum mendapat tempat, karena masih banyak masalah dan konflik hingga terjadi Perang Dunia I. Pengembangan wilayah di Eropa mulai dilakukan pada periode setelah Perang Dunia II dan seiring dengan pembangunan kembali wilayah yang hancur karena perang. Kota-kota dibangun kembali, industri mulai ditata dan pusat-pusat perdagangan dikembangkan. Di Belanda proyek bendungan laut raksasa sepanjang 700 kilometer diberi nama Delta works (Zuiderzee works) dirintis sejak 1920 tapi baru gencar dibangun setelah Perang Dunia II hingga 1997. Proyek ini membendung muara sungai-sungai guna mengatasi banjir dan menambah wilayah negeri Kincir Angin sepertiga daratan. Belanda memang dikenal banyak ahli hidrologi yang berhasil membuat bendungan, irigasi, kanal yang dilewati kapal besar, hingga membangun Amsterdam dengan kanal-kanal kota yang indah seperti diamond dilihat dari udara. Para ahli hidrologi Belanda juga banyak meninggalkan karya seperti terusan Kali Anyar yang menyelamatkan kawasan Kraton Solo dari ancaman banjir, saluran irigasi Mataram dan saluran Van der Wijk di Yogyakarta merupakan jaringan irigasi dengan membendung Sungai Progo, serta sistem kota-kota pesisir di Batavia, Semarang dan Surabaya. Tidak jauh dari Kota Solo, kita menyaksikan salah satu situs warisan dunia (world heritage site) Sangiran. Fosil manusia purba yang diketemukan bersama dengan sejumlah binatang dan peralatan berburu menunjukkan bahwa mereka sangat dekat dengan air dan sumberdaya alam yang cukup melimpah dibanding jumlah manusia. Dengan sistem kehidupan yang masih sederhana tersebut, manusia terbiasa hidup secara berkelompok dalam suatu keluarga besar dan berpindah-pindah. Mereka hidup di gua-gua sebagai pelindung dari cuaca maupun serangan binatang. Dalam perkembangannya manusia mengembangkan pertanian dan peternakan. Periode ini menempati jangka waktu yang panjang sampai ribuan generasi. Hingga kini kita memasuki periode revolusi industri, modernisasi hingga revolusi informasi yang serba cepat. Pengembangan Wilayah Intermountain Basin Lembah Bengawan Solo Berdasarkan penelitian skripsi yang saya susun antara 1986-1988 tentang banjir di kota Solo menunjukkan bahwa Bengawan Solo memiliki peran penting baik dalam kaitannya dengan sistem hidrologi maupun tata ruang dan lingkungan hidup. Menengok kembali karya penelitian skripsi saya ini dilakukan dengan menganalisis data banjir dan curah hujan yang pernah terjadi antara 1966-1986 dan memproyeksikan 20 tahun ke depan melewati millenium III. Abstrak Penelitian dengan judul Evaluasi Kapasitas Maksimum Sistem Drainase Terhadap Debit Banjir Rencana Tahun 2005 di Kotamadya Surakarta bertujuan: engetahui lokasi banjir yang terjadi pada sebagiansistem drainase dan mengetahui volume serta lama banjir, mengetahui faktor-faktor penyebab banjir yang terjadi pada sebagian sistem drainase, memberikan pemecahan masalah banjir yang diperkirakan akan terjadi di daerah penelitian. Metode yang dipergunakan pada penelitian ini adalah: Metode Rasional untuk menghitung debit rencana, Metode Inlet Flow Routing digunakan untuk menyusun hidrograf aliran, Metode Standar Step dipakai untuk mengukur muka air sungai, dan Metode Overlapping dipakai untuk menghitung volume dan lama banjir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saluran-saluran mikro sistem banyak yang sudah tidak mampu menampung debit banjir rencana tahun 2005. Pada saluran tersier diperkirakan 73,7% saluran tidak mampu menampung debit banjir rencana dengan periode ulang 2 tahun, sisanya 7,9% perlu direhabilitasi dan 18,4% masih mampu dan dalam konsisi baik. Pada saluran utama terdapat beberapa lokasi yang saat ini belum mengalami banjir, akan mengalami banjir akibat luapan debit banjir rencana. Sungai-
11
sungai yang melewati Kotamadya Surakarta (makro sistem) juga mengalami luapan di beberapa tempat. Bila dibandingkan antara banjir yang pernah terjadi dengan banjir rencana yang akan terjadi, maka terlihat adanya kenaikan beban banjir. Hal ini disebabkan oleh kenaikan nilai koeffisien limpasan dan sistem drainase sudah tidak mampu menyalurkan debit banjir rencana. Disamping kedua sebab diatas, ada pula penyebab lain yaitu: luapan dari sungai-sungai yang melewati Kotammadya Surakarta, daerah yang secara morfologis termasuk daerah rawan banjir, serta sistem pengeringan dengan pompa sudah tidak memadahi lagi. Banjir menjadi salah satu ciri ancaman bagi permukiman Kota Solo. Kalau kita perhatikan dari sejarah, nampak bahwa pada masa penjajahan Belanda, dibangun terusan sungai Kali Anyar yang mengalihkan Kali Pepe yang sering menimbulkan banjir di kraton dan pusat kota. Bendung Tirtonadi mengendalikan Kali Pepe dan mengalirkan aliran sungai yang berhulu dari Merapi dan Merbabu menuju Bengawan Solo tanpa melewati pusat kota. Pengamanan banjir ini tidak lepas dari para ahli hidrologi Belanda dalam mengendalikan banjir Bengawan Solo. Perubahan penggunaan lahan di lereng Gunung Merapi dan Merbabu maupun lereng Gunung Lawu dan Pegunungan Sewu di Wonogiri, menyebabkan limpasan aliran permukaan cepat naik ketika hujan. Pembangunan perdesaan dan pengembangan pertanian memicu perubahan lahan hutan menjadi lahan budidaya, menyebabkan perubahan koeffisien run off yang berpengaruh pada semakin besarnya beban banjir di sungai Bengawan Solo. Perubahan besar terjadi dengan perluasan permukiman kota dan pengembangan kawasan industri di Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar dan Boyolali. Kabupaten Sukoharjo menjadi wilayah limpahan kegiatan ekonomi khususnya industri, permukiman, kampus termasuk Universitas Muhammadiyah Surakarta ini. Bendungan Waduk Gadjah Mungkur yang dibangun pada masa Orde Baru Presiden Soeharto menjadi pengendali banjir yang mengarah ke Kota Solo maupun wilayah hilir. Proyek raksasa Waduk Gadjah Mungkur berfungsi sebagai multipurpose dam untuk pengendali banjir, irigasi, listrik tenaga air dan rekreasi serta perikanan. Keberadaan fungsi pengendali banjir telah banyak menyelamatkan ancaman bencana bagi penduduk yang bermukim di pinggiran sungai dan ledokan yang rawan banjir. Jaringan irigasi yang dibangun juga sangat membantu para petani mendapatkan air irigasi. Ribuan hektar sawah terjamin air di musim kemarau, tersebar di Kabupaten Wonogiri, Karanganyar dan Sukoharjo. Kabupaten Sukoharjo menjadi penyangga Kota Solo yang strategis, apalagi memiliki jaringan simpul jalan di Kartosuro yang menghubungkan Joglosemar (Jogja, Solo, Semarang). Sukoharjo juga memiliki pusat unggulan (center of excellent) seperti Kampus Universitas Muhammadiyah Surakartadan Pesantren Assalam. Juga terdapat pusat pelayanan seperti Rumah Sakit Islam dan Rumah Sakit Ortopedi, Pusat Perbelanjaan serta Industri dan Kawasan Permukiman Baru. Transformasi Sosial Budaya dan Ekonomi Kreatif Lembah Bengawan Solo hulu dengan pusat kota Solo dan kabupaten sekitarnya (Solo Raya) merupakan salah satu wilayah yang memiliki akar budaya yang kuat. Solo bersama Yogyakarta menjadi pusat budaya Jawa yang memiliki sejarah panjang transformasi sosial budaya dari masa ke masa. Pada masa kerajaan Mataram, wilayah ini pernah bersatu sebagai satu kesatuan sistem sosial budaya dan tatanan kerajaan. Kemudian dengan kedatangan dan pengaruh Belanda, wilayah ini dipilah-pilah melalui Perjanjian Giyanti sehingga muncul Kasultanan Ngayogyokarto dan Pakualaman serta Kasunanan Surokarto dan Mangkunegaran. Dalam perkembangannya Solo dan Yogya menjadi pusat-pusat kebudayaan, sosial ekonomi dan permukiman. Konsep pengembangan wilayah dan beberapa tata ruang utama memiliki kemiripan seperti adanya Pusat Kerajaan dilengkapi dengan alun alun, masjid agung, pasar gede dan perkantoran. Sekarang masing-masing kota tersebut memiliki ciri khas dan keunggulan yang saling melengkapi (sekaligus bersaing) sebagai pusat kebudayaan, pendidikan dan pariwisata. Kota Solo dan wilayah sekitarnya memiliki sejumlah industri besar mulai dari aneka kimia, tekstil, garmen, dan peralatan. Sedangkan Yogyakarta memiliki kampus yang besar dan banyak museum yang dapat menjadi kekuatan dalam mengembangkan kapasitas generasi muda.
12
Strategi pengembangan wilayah lembah Bengawan Solo difokuskan pada pengembangan kualitas manusia, melalui transformasi pendidikan dan pengembangan lingkungan hidup yang menopang aktivitas sosial budaya dan ekonomi kreatif.Ekonomi kreatif menjadi salah satu cara untuk transformasi sosial budaya yang melibatkan kapasitas masyarakat yang memiliki kemampuan seni budaya dipadukan dengan teknologi yang memungkinkan untuk melipatgandakan nilai tambah. Sebelum dikembangkan Kemeterian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf), talah dimulai berbagai kajian dan pengembangan kebijakan ekonomi kreatif melalui industri berbasis kreativitas yang telah dilakukan oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Berikut ini 10 pengelompokan diantara puluhan jenis ekonomi kreatif yang dipetakan, antara lain: 1. Arsitektur: kreativitas yang berkaitan dengan desain bangunan, baik dalam skala kecil individual rumah hingga bangunan raksasa komplek multifungsi dengan konstruksi yang megah dan rumit. Kegiatan kreatif ini juga mencakup konservasi bangunan warisan, pengelolaan kawasan kuno, hingga world heritages seperti candi Borobudur, Prambanan dan situs manusia purba Sangiran. 2. Benda SeniAntik/Langka: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan pelestarian peninggalan kuno yang masih asli, unik dan langka serta memiliki nilai estetika seni yang tinggi. Pelestarian dan pemanfaatan benda seni ini di Indonesia memiliki komunitas tersendiri yang umumnya orang kaya atau orang hobi kolektor benda seni. Mereka biasa melakukan blusukan dan berdagang melalui balai lelang, galeri, toko antik, hingga hunting ke pasar tradisional maupun hunting melalui internet. Benda seni tidak terbatas pada lukisan dan ukiran, tetapi juga peralatan teknologi misalnya: alat musik, percetakan, automobile, film, peralatan elektronik yang unik dan langka. 3. Desain: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, desain interior, desain produk, desain industri, konsultasi identitas perusahaan dan jasa riset pemasaran serta produksi kemasan dan jasa pengepakan. Penciptaan logo maupun disain kemasan saja dapat meningkatkan harga jual barang di dalamnya. Inilah fungsi kreativitas disain yang dapat memberi citra produk dan membangkitkan selera pembeli. 4. Fesyen: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, sepatu, tas dan desain aksesoris mode lainnya. Beragam produksi pakaian mode dan aksesorisnya, kini semakin marak dan trendy. Indonesia sebagai produsen tekstil telah berkembang menjadi industri fesyen yang dikenal di ASEAN. Tidak lama lagi para penggemar mode dan perancang busana di Milan (Italia) atau Paris (Perancis), akan bersaing dengan Jakarta, Bandung, Jogja, Solo dan Bali. 5. Kerajinan: kegiatan kreatif ini berkaitan dengan kreasi, produksi dan distribusi produk yang dibuat dihasilkan oleh tenaga tangan pengrajin yang juga menggunakan teknologi tepat guna. Barang kerajinan yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan, kulit, rotan, bambu, kayu, logam mulia (emas, perak, tembaga, perunggu, besi) kayu, kaca, porselin, kain, marmer, tanah liat, dan kapur. Produk kerajinan pada umumnya hanya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil dan unik, sehingga barang kerajinan dikategorikan bukan produksi massal. 6. Musik dan Seni Pertunjukan: kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi/komposisi, pertunjukan, reproduksi, dan distribusi dari rekaman suara. Sedangkan seni Pertunjukan merupakan kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha pengembangan konten, produksi pertunjukan (misal: pertunjukan balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musik teater, opera, termasuk tur musik etnik), desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan. 7. Multimedia (Video, Film dan Fotografi) dan Periklanan: kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi produksi video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video dan film. Termasuk di dalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron, dan eksibisi film.Sedangkan periklanan merupakan kegiatan kreatif yang berkaitan jasa periklanan yang meliputi proses pengembangan kreasi, produksi dan distribusi dari iklan yang dihasilkan. Industri periklanan di Indonesia termasuk yang sangat dinamis, meliputi serangkaian kerja kreatif misalnya: riset pasar, perencanaan komunikasi iklan, iklan luar ruang, produksi material iklan, promosi, kampanye relasi publik, tampilan iklan di media
13
cetak dan elektronik (televisi dan radio), pemasangan berbagai poster dan gambar, penyebaran selebaran, pamflet, edaran, brosur dan reklame sejenis. 8. Penerbitan dan Percetakan: kegiatan kreatif yang terkait dengan penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan konten digital serta kegiatan kantor berita dan pencari berita. Subsektor ini juga mencakup penerbitan perangko, materai, uang kertas, blanko cek, giro, surat andil, obligasi surat saham, surat berharga lainnya, passport, tiket pesawat terbang, dan terbitan khusus lainnya. Juga mencakup penerbitan foto-foto, grafir (engraving) dan kartu pos, formulir, poster, reproduksi, percetakan lukisan, dan barang cetakan lainnya, termasuk rekaman mikro film. 9. Kuliner: kegiatan kreatif ini termasuk baru, kedepan direncanakan untuk dimasukkan ke dalam sektor industri kreatif dengan melakukan sebuah studi terhadap pemetaan produk makanan olahan khas Indonesia yang dapat ditingkatkan daya saingnya di pasar ritel dan pasar internasional. Studi dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi selengkap mungkin mengenai produk-produk makanan olahan khas Indonesia, untuk disebarluaskan melalui media yang tepat, di dalam dan di luar negeri, sehingga memperoleh peningkatan daya saing di pasar ritel modern dan pasar internasional. Pentingnya kegiatan ini dilatarbelakangi bahwa Indonesia memiliki warisan budaya produk makanan khas, yang pada dasarnya merupakan sumber keunggulan komparatif bagi Indonesia. 10. Komputer dan Piranti Lunak: kegiatan kreatif yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi termasuk jasa layanan komputer, pengolahan data, pengembangan database, pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem, desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak dan piranti keras, serta desain portal termasuk perawatannya.Permainan Interaktif sepertivideo games mulai menjadi bagian dari kegiatan kreatif yang berkaitan dengan permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi. Permainan interaktif bukan didominasi sebagai hiburan semata-mata tetapi juga sebagai alat bantu pembelajaran atau edukasi maupun sosialisasi yang kreatif. Kabupaten Sukoharjo sebagai bagian dari peradaban Lembah Bengawan Solo saat ini bisa mengambil peran dalam pengembangan wilayah dengan melakukan transformasi sosial budaya dan ekonomi kreatif, sebagaimana yang dipetakan diatas. Pilihan strategi harus didasarkan pada riset yang komprehensif, pertimbangan dan perencanaan yang matang, kesiapan kelembagaan dan kapasitas para pelaksana program pembangunan. Sehingga peluang yang ada dapat ditangkap dengan seksama dan mampu mewujudkan perubahan menuju kehidupan yang lebih baik. Penutup Paper singkat ini belum bisa menjawab pertanyaan di pendahuluan. Uraian diatas memberikan pengantarbagi diskusi yang lebih intensif dan diharapkan memberi inspirasi bagi riset strategis maupun pengembangan kebijakan dan implementasi program pembangunan. Oleh karena itu tulisan ini perlu ditanggapi dan ditindak lanjuti menjadi riset bersama maupun kerjasama mewujudkan perbaikan dan perubahan menuju pengembangan wilayah yang lestari. Selamat berdiskusi
Daftar Referensi Baiquni, M. 1988. Skripsi Evaluasi Kapasitas Maksimum Sistem Drainase Terhadap Debit Banjir Rencana Tahun 2005 di Kotamadya Surakarta Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta Baiquni.dan Susilawardani. 2002. Pembangunan Yang Tidak Berkelanjutan: Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia. ideAs dan TransMedia. Yogyakarta Bintarto dan Hadisumarno, S.1979. Metode Analisa Geografi. LP3ES, Jakarta. Friedmann, John and Weaver, Clyde. 1979. Territory and Function: The Evolution of Regional Planning. Edward Arnold. London.
14
Hilhorst, Josef Gijsbertus Maria. 1990. Regional Studies and Rural Development. Gower. Hants, England. Kompas. 2000. Menuju Millenium III: 1000 tahun Nusantara. Koran harian Kompas terbit 1 Januari 200. Jakarta. Biodata Singkat: Prof. Dr. M. Baiquni, MA Lahir di Solo, 27 Maret 1963. Adalah Guru Besar Ilmu Geografi Regional di Fakultas Geografi UGM. Saat ini menjabat sebagai Ketua Program Magister dan Doktor Kajian Pariwisata, Sekolah Pascasarjana, UGM Yogyakarta. Pendidikan S1 baru diselesaikan tahun 1988 dengan skripsi tentang Banjir di Kota Solo. Kemudian pada 1992-1994 melanjutkan master ke negeri Belanda di Institute of Social Studies Den Haag dengan tesis Kebijakan Desentralisasi dan Infrastruktur Kota Yogyakarta. Setelah menjadi dosen UGM, antara 1997-2002 melanjutkan S3 program sandwich UGM dan Utrecht University di Belanda dan baru lulus 2006 dengan disertasi mengenai Pengelolaan Sumberdaya Perdesaan dan Strategi Penghidupan dimasa Krisis. Sejak tahun 1980 aktif sebagai pencinta alam dan suka belajar di alam bebas. Aktif di beberapa organisasi, antara lain Dewan Pengurus LPTP (Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan) Solo, Pengurus IGI (Ikatan Geograf Indonesia), Chairperson Board of Trustee INSIST (Indonesian Society for Social Transformation), Fellow LEAD (Leadership for Environment And Development) London. Lifetime member SID (Society for International development) Rome. Buku yang ditulis antara lain: Pembangunan Yang Tidak Berkelanjutan: Refleksi Kritis Pembangunan Indonesia (2002), Membangun Pusat-Pusat di Pinggiran: Otonomi Di Negara Kepulauan (2004), Strategi Penghidupan dimasa Krisis (2007), Geografi Perdesaan – Sebuah Antologi (editor 2009), Ecotourism Destination in Archipelago Countries (editor 2013), Modal Sosial Dalam Pengelolaan Bencana (editor 2014) juga puluhan artikel jurnal dan chapter buku di dalam dan luar negeri.
15
Analisis Bencana Banjir sebagai Masukan Dalam Pembangunan Berkelanjutan di DAS Bengawan Solo
Prof. Dr.rer.nat. Muh Aris Marfai, S.Si., M.Sc Fakultas Geografi UGM
Intisari Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem yang mempunyai potensi sumberdaya alam di satu sisi dan dan dinamika lingkungan serta kebencanaan di sisi lain. Sebagai daerah aliran sungai (DAS) terbesar di Pulau Jawa, Bengawan Solo mempunyai potensi sumberdaya yang beragam yang tersebar mulai dari bagian hulu, tengah hingga hilir. Namun demikian DAS Bengawan Solo juga mempunyai potensi ancaman bencana yang dapat menganggu kehidupan manusia dan lingkungannya. Salah satu ancaman bencana yang terdapat di DAS Bengawan Solo adalah ancaman bencana banjir. Pemetaan dan analisis banjir diperlukan dalam mendukung pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di wilayah DAS. Analisis tersebut dapat meliputi analisis bahaya (hazard), risiko (risk), kerentanaan (vulnerability) dan kapasitas adaptasi (adaptive capacity). Analisis tersebut dapat dilakukan dalam lingkup DAS secara keseluruhan maupun analisis yang lebih parsial berbasis administratif yang terdapat dalam wilayah DAS.
Kata kunci: Daerah Aliran Sungai, bahaya, risiko, kerentanaan, kapasitas adaptasi, pembangunan berkelanjutan, Bengawan Solo.
Abstract
As ecosystem, watershed consists of various natural resources in one side and environmental dynamic as well as hazards in other side. As the biggest watershed in Java Island, Bengawan Solo has many resources spreading from the upper part to lower part of the watershed. However Bengawan Solo has also many potential hazards including flooding. Providing mapping and analysis of flood in Bengawan Solo watershed will support the sustainable management and development within the watershed. The analysis of flood is including hazard analysis, risk analysis, vulnerability analysis and adaptive capacity analysis. Those analyses can be done in whole Bengawan Solo watershed or partially based on administrative boundary.
Keyword: watershed, hazard analysis, risk analysis, vulnerability analysis, adaptive capacity analysis, sustainable development, Bengawan Solo.
16
1. Pendahuluan Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu unit eko-hidrologis yang dibatasi oleh igir topografi alami yang mengontrol sistem hidrologi dan aliran permukaan menuju satu outlet keluaran. Sebagai satuan eko-hidrologis, sistem DAS juga mencakup berbagai potensi sumberdaya alam dan potensi dinamika lingkungan, termasuk didalamnya ancaman bencana. Dengan demikian pengelolaan suatu DAS adalah berbagai upaya untuk memanfaatkan berbagai potensi sumberdaya alam yang ada dalam suatu sistem DAS secara rasional dan proporsional, untuk kepentingan kesejahteraan manusia, dengan memperhatikan aspek dinamika lingkungan dan kebencanaan yang mungkin timbul, atau dapat ditimbulkan dari aktivitas pemanfaatan tersebut. Pengelolaan DAS dengan pemanfaatan sumberdaya alam yang rasional dan proporsional,- yang mempertimbangkan aspek-aspek fisik, biotik, sosial dan ekonomi dalam suatu sistem DAS-, adalah suatu upaya untuk mencapai keseimbangan ekologi dan keserasian ekosistem secara lestari. Pendekatan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan pendekatan pembangunan untuk mencapai keseimbangan ekologi dan keserasian ekosistem secara lestari tersebut (Marfai 2005). Dalam konteks DAS, menurut Asdak (2010) untuk mencapai pembangunan berkelanjutan memerlukan pemahaman menyeluruh tentang interaksi dan hubungan timbal-balik antara sumberdaya alam dan manusia di dalam DAS, serta adanya pemahaman prinsip-prinsip ekologi dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Pengelolaan suatu DAS akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik DAS, posisi dan letak administrasi dari DAS dan kompleksitas hubungan dari setiap sub-sistem dalam DAS tersebut. Sebagian besar ekosistem DAS bersifat lintas daerah administrasi (cross boundary) yang seringkali pendekatan administratif tidak selalu bertemu secara simetris dengan pendekatan ekologis. Berbagai pengelolaan potensi sumberdaya dan dinamika lingkungan yang ada di suatu DAS seringkali tidak dapat diselesaikan dengan satu analisis dan pendekatan tertentu. Pendekatan lintas sektoral, interdisiplin dan multi-disiplin yang sangat luas diperlukan dalam konteks pengelolaan DAS yang komprehensif. Analisis bencana merupakan salah satu langkah yang dapat dilakukan dalam konteks pengelolaan DAS. Mengingat ekosistem DAS tidak terlepas dari dinamitas ekologi dan lingkungan yang terjadi, terutama dinamitas yang distruktif, seperti kejadian erosi, longsor, dan banjir. Proses-proses geomorfik yang berlangsung dalam suatu ekosistem DAS akan membawa implikasi dan konsekuensi terhadap dinamika lingkungan dan mempengaruhi potensi sumberdaya alam yang terdapat didalamnya. Secara lebih jauh proses-proses yang distruktif tersebut dapat mempengaruhi pelaksanaan pembangunan dalam ekosistem DAS. Analisis bencana memberikan gambaran dan menyediakan informasi terkait dengan dinamika lingkungan,- dalam hal ini prosesproses fisik yang dapat menimbulkan bencana-,yang dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam pengelolaan DAS dan pembangunan secara berkelanjutan. Analisis bencana dapat dilakukan pada satu macam bencana (single hazard analysis) dan dapat pula dilakukan secara bersamaan untuk beberapa potensi bencana (multi-hazard analysis). 2. Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo merupakan salah satu sistem DAS utama yang berada di Pulau Jawa. DAS ini berada di dua propinsi, yaitu Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagai DAS terbesar di Pulau Jawa dengan luas lebih dari satu juta Ha, DAS Bengawan Solo mempunyai karakteristik fisik lingkungan, biotik dan sosial ekonomi yang beragam dari hulu sampai ke hilir. Gambar 1 menyajikan cakupan wilayah DAS Bengawan Solo. DAS Bengawan solo mempunyai potensi sumberdaya alam yang sangat beragam, terdiri dari sumberdaya air, sumberdaya lahan dan sumberdaya pertanian dan lain sebagainya. Disisi lain DAS Bengawan Solo juga mempunyai berbagai potensi bencana alam dan potensi kerusakan lingkungan yang meliputi proses erosi, sedimentasi, banjir dan longsorlahan. Dengan demikian pengelolaan DAS Bengawan Solo perlu memperhatikan berbagai karakteristik yang ada, potensi sumberdaya alam dan potensi kebencanaan. Analisis kebencanaan di DAS Bengawan Solo baik pada skala kecil-seluruh luasan DAS- maupun dalam skala yang lebih detil dan besar perlu dilakukan sebagai bagian dari masukan untuk pengelolaan DAS yang berkelanjutan.
17
Gambar 1. Cakupan wilayah DAS Bengawan Solo (suryaden.com) Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo mempunyai potensi ancaman bencana banjir yang besar terutama di bagian hilir dari DAS tersebut. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh karakteristik fisik DAS, dimana secara morfologi daerah bagian hilir merupakan daerah yang sebagian besar wilayahnya mempunyai topografi datar dan berada di dataran rendah. Sebagian besar bagian hilir dari DAS Bengawan Solo berada pada bentuklahan dataran aluvial, dataran banjir dan sempadan sungai. Berbagai bentuklahan tersebut merefleksikan daerah-daerah yang mempunyai potensi tergenang sangat tinggi. Selain topografi datar dan lokasi yang berada di dataran rendah, faktor kemiringan lereng juga berperan dalam menentukan potensi banjir suatu wilayah. Sebagian besar DAS Bengawan Solo bagian hilir mempunyai kemiringan lereng yang rendah atau datar sehingga mengakibatkan aliran air permukaan tidak dapat mengalir dengan cepat ke laut. Faktor panjang sungai utama juga berperan dalam menentukan potensi banjir. Secara keseluruhan panjang sungai utama di DAS Bengawan Solo mencapai lebih kurang 600 km yang berasal dari pegunungan Sewu di bagian selatan mengalir ke utara, dimana muara sungai dari Bengawan Solo berada di Laut Jawa di bagian utara Kota Surabaya. Sementara itu bagian hilir DAS Bengawan Solo mempunyai panjang alur sungai utama ± 300 km dengan luas wilayah di bagian 2 hilir mencapai lebih kurang 6.273 km (profile ekoregion Jawa, http://ppejawa.com). Secara umum sungai utama yang sangat panjang di bagian hilir dengan kemiringan lereng yang landai memberikan kontribusi pada potensi ancaman banjir di daerah sekitarnya. Potensi ancaman bencana banjir di DAS Bengawan Solo secara umum mempunyai distribusi seperti disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa secara umum persebaran banjir tidak saja berada di bagian hilir dari DAS Bengawan Solo yang meliputi Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten lamongan, melainkan juga berada di bagian tengah seperti Kabupaten Sragen dan Madiun, maupun dan bagian hulu dari DAS seperti di kabupaten Sukoharjo dan sebagian Kota Surakarta. Persebaran banjir di wilayah DAS bagian tengah juga dipengaruhi oleh terjadinya perubahan lahan di bagian hulu yang meningkatkan aliran permukaan. Tingginya jumlah penduduk yang menempati kawasan sempadan sungai, seperti terjadi di sebagian Kabupaten Sukoharjo dan Kota Surakarta semakin meningkatkan potensi terjadinya banjir.
18
Gambar 2. Distribusi secara umum daerah rawan banjir di DAS Bengawan Solo (Gunawan 2010)
3. Analisis bencana banjir Banjir merupakan kejadian meluapnya air dari badan air ke daratan yang dapat mengakibatkan kerusakan dan kerugian fisik dan berdampak pada kondisi sosial ekonomi di daerah terdampak. Banjir selain disebabkan oleh luapan air,-biasanya air sungai,- ke daratan juga dapat disebabkan oleh melupanya air laut ke daratan yang disebut dengan banjir rob (Marfai, 2011). Menurut Maryono (2005) terdapat beberapa hal secara umum yang menyebabkan kejadian banjir di Indonesia. Faktor-faktor tersebut antara lain adanya curah hujan yang tinggi, menurunnya resistensi daerah aliran sungai terhadap banjir karena adanya perubahan tata guna lahan, pengelolaan aliran sungai yang kurang tepat seperti pelurusan aliran sungai dan pengerasan dasar sungai, dan adanya pendangkalan sungai akibat sedimentasi. Sedangkan Marfai (2005) menambahkan bahwa banjir dapat disebabkan oleh tidak berfungsinya secara optimal kawasan resapan air akibat adanya lahan kritis dan penggundulan hutan terutama di DAS bagian hulu. Beralihnya penggunaan lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan budidaya dan permukiman terutama di daerah DAS bagian hulu. Hal ini akan mengakibatkan perubahan karakter aliran permukaan yang disebabkan oleh berkurangnya daerah tangkapan air dan daerah resapan. Pendangkalan sungai pada saluran sungai di DAS bagian hilir juga berperan terhadap kejadian banjir. Pendangkalan terjadi sebagai akibat meluasnya lahan kritis di bagian hulu yang mengakibatkan erosi, dan membawa material hasil erosi menjadi material sedimen di saluran sungai bagian hilir. Dengan demikian daya tampung sungai menjadi berkurang dan air diluapkan ke berbagai tempat sebagai banjir. Sebagai bagian dari proses pengelolaan DAS yang komprehensif berkelanjutan, analisis bencana banjir pada berbagai daerah rawan banjir di DAS Bengawan Solo perlu dilakukan. Analisis bencana banjir dapat dilakukan dengan berbagai metode dan pendekatan. Analisis bencana banjir dapat dilakukan diantaranya dengan: Pemetaan dan analisis bahaya banjir Pemetaan dan analisis risiko banjir, Pemetaan dan analisis kerentanaan banjir, Pemetaan dan analisis kapasitas masyarakat dalam menghadapi banjir.
19
Berbagai pemetaan dan analisis tersebut dapat dilakukan dalam cakupan seluruh DAS maupun secara lebih detil dan parsial dalam cakupan wilayah administratif di dalam DAS tersebut. Tulisan ini akan menyajikan beberapa contoh terkait dengan pemetaan dana analisis bahaya, risiko, kerentanan, dan kapasitas masyarakat di beberapa bagian di dalam DAS Bengawan Solo. a. Pemetaan dan analisis bahaya banjir. Pemetaan dan analisis bahaya banjir (flood hazard) dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang distribusi dan besaran (magnitude) bahaya banjir yang dapat terjadi di suatu wilayah. Bahaya (hazard) dapat didefinisikan sebagai suatu fenomena dan proses alam maupun proses akibat kegiatan manusia yang apabila terjadi akan berpotensi merusak, mengancam kehidupan manusia, kerugian harta benda dan mengancam jiwa mahluk hidup. Pemetaan dan analisis bahaya banjir dapat dilakukan antara lain dengan berdasarkan pada parameter-parameter fisik seperti bentuklahan, kemiringan lereng, kerapatan aliran, limpasan permukaan dan parameter morfometri DAS lainnya. Pendekatan geomorfologi dengan mempertimbangkan bentuklahan dapat digunakan untuk mendeteksi proses-proses banjir yang terjadi di masa lalu. Berbagai bentuklahan yang mencerminkan proses kejadian banjir antara lain bentuklahan dataran aluvial, bentuklahan dataran banjir, bentuklahan rawa belakang, bentuklahan rataan lumpur, dan bentuklahan fluvio marine. Selain berdasarkan bentuklahan, faktor kemiringan lereng, kerapatan aliran dan kapasitas infiltrasi sangat berpengaruh terhadap potensi bahaya banjir. Pada kemiringan lereng yang landai hingga datar dengan kerapatan aliran yang tinggi dan kapasitas infiltrasi yang tidak baik akan memberikan kontribusi pada aliran limpasan yang tinggi. Aliran limpasan sangat berperan menjadi penyebab ancaman banjir. Gambar 3 menyajikan visualisasi distribusi limpasan permukaan di DAS Bengawan Solo secara umum. Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat beberapa daerah mempunyai limpasan permukaan yang tinggi yang berpotensi menimbulkan banjir.
Gambar 3. Limpasan permukaan di DAS Bengawan Solo (Gunawan 2010)
20
b. Pemetaan dan analisis risiko bencana banjir. Pemetaan dan analisis risiko banjir (flood risk) dilakukan untuk mengetahui risiko suatu daerah atau keadaan dalam wilayah DAS apabila terkena banjir. Analisis risiko menekankan pada seberapa besar kerugian dan kerusakan yang akan ditimbulkan apabila banjir dengan magnitude/besaran tertentu melanda atau mengenai elemen-elemen terdampak (element at risk). Elemen terdampak di dalam wilayah DAS dapat meliputi berbagai penggunaan lahan seperti perkebunan, kehutanan, permukiman, perindustrian, kawasan wisata, dan lain sebagainya. Elemen terdampak dapat pula berupa bangunan, harta benda dan mahkluk hidup yang ada pada suatu kawasan tertentu. Analisis risiko banjir biasanya juga memperhitungkan nilai kerugian secara ekonomi yang ditimbulkan akibat banjir yang terjadi. Nilai kerugian secara ekonomi menjadi salah satu ukuran kuantitatif untuk menyatakan besaran risiko akibat banjir. Besaran risiko akan sangat tergantung dari nilai elemen terdampak dan besaran kejadian bencana. Nilai kerugian secara kuantitatif ini dapat menjadi salah satu acuan dalam menentukan program-program pengurangan risiko dan penanggulangan bencana di suatu wilayah. c. Pemetaan dan analisis kerentanan banjir. Tingkat kerentanan banjir (flood vulnerability) merupakan suatu kondisi dan karakteristik pada suatu wilayah DAS dalam kurun waktu tertentu yang mengurangi kemampuan dari wilayah DAS tersebut untuk menghadapi bahaya apabila banjir terjadi. Kondisi dan karakteristik wilayah DAS tersebut dapat meliputi kondisi geologi, geomorfologi, hidrologi, sosial, ekonomi, politik, geografis, budaya, teknologi dan lain sebagainya. Analisis kerentanan dalam suatu pengelolaan DAS merupakan hal penting untuk dilakukan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap bencana di suatu DAS, karena bencana baru akan terjadi bila ’bahaya’ terjadi pada ’kondisi yang rentan’ Marfai 1). Tingkat kerentanan dapat ditinjau antara lain dari kerentanan fisik (physical vulnerability) seperti infrastruktur, bangunan rumah dan lain sebagainya. Kerentanan dapat ditinjau juga dari faktor sosial yang disebut sebagai kerentanan sosial (social vulnerability). Kerentanan sosial mencerminkan kondisi kerapuhan dalam konteks sosial dalam menghadapi bahaya (hazards). Apabila ancaman bahaya terjadi pada kondisi sosial yang rentan maka dapat dipastikan akan menjadi bencana dan dapat menimbulkan kerugian. Kerentanan sosial dapat dipengaruhi antara lain oleh kepadatan penduduk, penduduk usia tua dan balita, penduduk wanita dan lain sebagainya. Sedangkan kerentanan secara ekonomi adalah suatu kondisi tingkat kerapuhan secara ekonomi, seperti rumah tangga yang bekerja di sektor rentan (sektor yang rawan terhadap pemutusan hubungan kerja) dan persentase rumah tangga miskin dalam menghadapi ancaman bahaya. Gambar 4 menyajikan contoh kerentanan fisik yang berbeda untuk setiap bangunan rumah. Rumah dengan bahan bangunan yang kuat seperti dinding dengan batubata mempunyai kerentanan yang lebih rendah dibandingkan dengan dinding rumah semi permanen dari papan/bambu dalam menghadapi bahaya banjir.
Gambar 4. Contoh bangunan rumah dengan bahan material yang berbeda menentukan tingkat kerentanan fisik terhadap ancaman banjir, contoh kasus di Kelurahan Sewu, Surakarta (Zein 2010). Sementara itu kerentanan secara sosial dalam suatu DAS dalam kaitannya dengan bencana banjir menurut Zein (2010) antara lain dapat dilihat dari indikasi pendapatan
21
(income), kondisi penghidupan (livelihood), durasi lama tinggal di lokasi tertentu (period of stay), jumlah anggota keluarga (size of family), gender, umur (age), pendidikan (education), dan status rumah (housing status). Gambar 5 memberikan gambaran tentang pemetaan kerentanan sosial di bagian DAS Bengawan Solo, di wilayah Kelurahan Sewu Surakarta.
Gambar 5. Contoh pemetaan kerentanan sosial di sebagian DAS Bengawan Solo (Zein 2010). d. Pemetaan dan analisis kapasitas masyarakat dalam menghadapi banjir. Pemetaan dana analisis kapasitas masyarakat salah satunya dapat dilihat dari kemampuan adaptasi masyarakat dalam menghadapi suatu bencana. Pendekatan positivism dalam analisis bencana salah satunya terkait dengan tema kemampuan masyarakat dalam beradaptasi (adaptive capacity) (Thomalla dkk., 2007, Twigg 2007, Marfai dan Khasanah 2011). Dalam konteks bencana banjir yang mengancam suatu wilayah DAS, kapasitas adaptasi dapat berupa adaptasi struktural dan adaptasi non struktural. Adaptasi struktural mencakup berbagai bentuk pengembangan pembangunan secara fisik sementara adaptasi non struktural lebih menitikberatkan pada aspek perilaku, kondisi sosial budaya dan kemampuan komunitas. Dengan demikian kemampuan adaptasi dari masyarakat merupakan bentuk yang unik dan dinamik yang saling berpengaruh dengan kebudayaan masyarakat (Adger dkk., 2004). Febrianti (2010) mengemukakan berbagai contoh adaptasi bentuk secara fisik yang ada di dalam wilayah DAS Bengawan Solo dalam kaitannya dengan bencana banjir. Penelitian Febrianti (2010) yang berlangsung di Kelurahan Serengan, Sangkrah dan Joyotakan Kota Surakarta memperlihatkan berbagai bentuk adaptasi pada waktu sebelum kejadian banjir, pada saat banjir dan setelah kejadian banjir (Tabel 1 dan Gambar 6). Tabel 1. Berbagai strategi adaptasi fisik akibat banjir di sebagian DAS Bengawan Solo di Kelurahan Sangkrah, Joyotakan dan Serengan Kota Surakarta (disarikan dari Febrianti 2010)
Sebelum banjir
Strategi adaptasi fisik Membangun tempat penyimpan barang di atas rumah (anjang-anjang) Meninggikan pondasi Membangun rumah lebih dari satu lantai Membuat tanggul kecil di depan rumah dengan kantong pasir
22
Pada saat bencana
Sesudah bencana
Strategi adaptasi fisik Membangun rumah dengan material batubata dan semen Mengevakuasi barang-barang ke tempat lebih tinggi Mengikat barang-barang perabot menjadi satu Mengunci pintu dan jendela rumah Membersihkan perabot rumah dari sisa banjir dan lumpur Mengeringkan baju dan perabotan Membetulkan kerusakan
Gambar 6. Contoh adaptasi fisik sebelum kejadian banjir, a) penyimpanan barang di atap rumah (anjang-anjang) b) Meninggikan lantai dan pondasi rumah (Febrianti 2010) Selain itu, adaptasi masyarakat terhadap kejadian banjir sangat dipengaruhi oleh budaya dan perilaku masyarakat atau komunitas dalam wilayah DAS. Menurut Gunawan (2001) budaya dan perilaku memberikan berpengaruh yang signifikan terhadap bentuk dan tipe adaptasi sebagai respon terhadap perubahan lingkungan,-termasuk didalamnya kejadian bencana- dimana manusia tersebut tinggal. Metode adaptasi secara sosial budaya terbentuk karena proses yang panjang dari pergumulan sosial dan perkembangan budaya di dalam suatu komunitas. Adaptasi sosial budaya tersebut menurut Miller dan Weitz (1979) dan Moran (1982) akan bertahan lama dan sulit untuk mengalami perubahan tanpa diikuti oleh perubahan nilai dalam masyarakat dan transisi budaya yang mungkin terjadi. Salah satu contoh adaptasi secara sosial budaya ini adalah budaya gotong-royong yang tumbuh dalam masyarakat. Dalam konteks kejadian bencana, gotong royong selain sebagai metode adaptasi masyarakat juga merupakan modal sosial (social capital) yang penting dalam kehidupan masyarakat. Berbagai bentuk adaptasi terkait kondisi sosial budaya di dalam DAS Bengawan Solo antara lain kegiatan gotong-royong, ronda, pemantauan tinggi muka air sungai dan lain sebagainya. Berbagai contoh perbandingan adaptasi sosial budaya tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Berbagai strategi adaptasi sosial budaya akibat banjir di sebagian DAS Bengawan Solo di Kelurahan Sangkrah, Joyotakan dan Serengan Kota Surakarta (disarikan dari Febrianti 2010)
Sebelum banjir
Pada saat bencana
Sesudah bencana
Strategi adaptasi sosial budaya Bergotong royong membersihkan lingkungan Membersihkan saluran air bersama-sama Mengontrol ketinggian muka air saat hujan deras Memonitor ketinggian air di bendungan Melakukan ronda malam di lokasi banjir Bergotong royong membantu melakukan evakuasi Berbagi makanan dan minuman Sharing informasi terkini tentang banjir Bergotong royong membersihkan dan memperbaiki lingkungan
23
Analisis kapasitas masyarakat dalam menghadapi banjir sangat dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat dan ketersediaan sumberdaya lokal (Luers, dkk 2003, Damayanti 2011). Karakteristik masyarakat secara lokal biasanya akan homogen dalam level terkecil kelurahan/desa. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kesamaan tradisi yang hidup di tengahtengah masyarakat tersebut. Dengan demikian dalam lingkup suatu DAS bisa saja akan mempunyai potensi kapasitas masyarakat yang berlainan dari satu tempat ke tempat lain dalam menghadapi banjir. Untuk alasan tersebut berbagai peneliti melakukan analisis terkait kapasitas masyarakat menggunakan level kelurahan/desa sebagai basis analisis (Marfai, dkk., 2008, Febrianti 2010). 4. Menuju pembangunan berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan dalam wilayah DAS adalah suatu upaya untuk memanfaatkan segala macam potensi yang ada di dalam DAS,-baik potensi sumberdaya alam, potensi sosial ekonomi, potensi budaya, potensi geografis dan lain sebagainya,- secara optimal untuk kepentingan pembangunan. Dalam pemanfaatan optimal tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan daya tampung (carrying capacity), kondisi lingkungan,-termasuk didalamnya kondisi hidrologis-geomorfologis,- dan aspek ancaman dan bencana yang mungkin timbul. Dengan demikian upaya menuju pembangunan berkelanjutan dalam wilayah DAS pada dasarnya diawali dengan menemukenali berbagai karakteristik positif dan negatif dari DAS tersebut. Berbagai aspek yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS secara berkelanjutan antara lain adalah: Kelembagaan. Termasuk dalam aspek kelembagaan adalah adanya koordinasi sektoral, hadirnya partisipasi dan peran swasta, keterlibatan lembaga swadaya masyarakat (NGO) dan masyarakat; serta adanya sinergitas kebijakan pembangunan dan pengelolaan lingkungan antar daerah. Potensi sumberdaya alam. Termasuk dalam aspek potensi sumberdaya alam antara lain kehutanan, pertambangan, pertanian, lahan dan lain sebagainya. Potensi sumberdaya manusia. Termasuk dalam aspek potensi sumberdaya manusia antara lain adalah jumlah penduduk dalam suatu wilayah, usia produktif yang terdapat dalam suatu wilayah, tingkat pendidikan dan lain sebagainya. Ekologi dan lingkungan. Termasuk dalam aspek ekologi dan lingkungan adalah analisis terkait pencemaran, analisis kualitas air, analisis kualitas udara dan lain sebagainya Bencana alam. Aspek kebencanaan dalam suatu kawasan DAS dapat berupa potensi gunungapi, potensi longsor, potensi banjir, potensi erosi lahan dan lain sebagainya. Dalam pelaksanaan pembangunan,- dan dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS berkelanjutan,- berbagai aspek tersebut diatas perlu mendapatklan perhatian yang proporsional antara satu daerah dengan yang lainnya. Karena pada hakikatnya pengelolaan DAS yang berkelanjutan harus mempertimbangkan aspek yang mendukung dan aspek yang tidak mendukung pengelolaan. Gambar 7 menyajikan visualisasi berbagai aspek yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS secara berkelanjutan.
24
Kelembagaan: koordinasi sektoral; partisipasi swasta, NGO dan masyarakat; sinergitas kebijakan antara
Potensi sumberdaya alam: kehutanan, pertambangan, pertanian dll antara daerah
daerah
Potensi sumberdaya manusia: jumlah penduduk; usia produktif; tingkat pendidikan dll antara daerah
Pengelolaan DAS berkelanjutan
Ekologi dan lingkungan: pencemaran; kualitas air; kualitas udara; dll antara daerah
Bencana alam: gunungapi; longsor;banjir;erosi dll
Gambar 7. Aspek analisis bencana banjir dalam pengelolaan DAS berkelanjutan
5. Kesimpulan Analisis bencana banjir dalam suatu wilayah DAS, sebagai salah satu telaah aspek kebencanaan, dilakukan untuk memberikan masukan dalam kaitannya dengan pengelolaan DAS secara berkelanjutan. Berdasarkan hal yang telah dijelaskan diatas dapat dipahami bahwa pemetaan dan analisis bencana banjir menjadi salah satu masukan penting terkait dengan aspek kebencanaan di dalam DAS. Sementara itu analisis bencana banjir dapat dibagi dalam berbagai analisis yang berbeda, yaitu terhadap bahaya (hazard), risiko (risk), kerentanan (vulnerability) dan kemampuan adaptasi (adaptive capacity). Di dalam wilayah DAS Bengawan Solo berbagai analisis bencana banjir tersebut telah dilakukan oleh para peneliti baik analisis secara menyeluruh dalam satu kawasan DAS maupun analisis berbasis pada unit administraitf (kelurahan/desa) di dalam wilayah DAS tersebut. Daftar Pustaka Adger, W. N., Brooks, N., Bentham, G., Agnew, M., dan Eriksen, S. (2004). New Indicators of Vulnerability and Adaptive Capacity. Tyndall Centre for Climate Change Research. Asdak, C (2010) Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada Press.
25
Damayanti, S. (2011). Disaster and Resilience for the 2007 Flood Event in Part of Sukoharjo Regency. M.Sc Thesis. Double Degree Program Geo-Information for disaster management. UGM-Yogyakarta Indonesia and Twente Univ Enschede The Netherlands Febrianti F (2010) Flood Risk Perception and Coping Mechanism of a Local Community : A Case Study in Part of Surakarta City, Central Java Province Indonesia. M.Sc Thesis. Double Degree Program Geo-Information for disaster management. UGM-Yogyakarta Indonesia and Twente Univ Enschede The Netherlands Gunawan, B. (2001). Kenaikan Muka Air Laut dan Adaptasi Masyarakat. Seminar Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan Kota dan Perumahan dan Lingkungan Global, Dampak Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-Kota Pantai di Indonesia. Bandung Gunawan, T (2010) Review Model Pengelolaan DAS di Indonesia. Powerpoint Presentation. Fak. Geografi UGM Luers, A., Lobell, D., S.Sklar, L., Addams, C. L., dan Matson, P. (2003). A method for quantifying vulnerability, applied to the agricultural system of the Yaqui Valley, Mexico. Global Environmental Change 13 , 255 - 267. Marfai, MA (2005) Moralitas Lingkungan, Refleksi Kritis atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan. Kreasi Wacana. Marfai, MA (2011) Modul Kuliah Pengelolaan Kebencanaan di Indonesia. Program Studi Geografi Lingkungan, Fak. Geografi UGM Yogyakarta. Marfai, MA dan Khasanah, TJ (2011). Kerawanan dan adaptasi masyarakat pesisir terhadap banjir dan tsunami. Prosiding Seminar Kesiap-siagaan Masyarakat dan Pengelolaan Bencana. Center for Religious and cross-cultural studies, UGM. ISBN 978-979-433-702-8. Pp 33 46. Marfai MA, King L, Sartohadi J, Sudrajat S, Budiani SR, Yulianto F. (2008) The impact of tidal flooding on a coastal community in Semarang, Indonesia. Environmentalist, 28: 237-248 Maryono, A (2005). Menangani Banjir, Kekeringan, Dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, 162 hal. Miller ES dan Weitz CA. (1979). An Introduction to Anthropology. New York: Prentice Hall Inc Moran, E F. (1982). Human adaptability: An introduction to Ecological Anthropology. Westview Press Inc: Colorado. Peta DAS Bengawan Solo. www. Suryaden.com PPE Jawa-Kementerian Lingkungan Hidup. DAS Bengawan Solo. profile ekoregion Jawa, http://ppejawa.com Thomalla, F., Downing, T., Spranger-Siegfried, E., Han, G., & Rockstrom, J. (2007). Reducing human vulnerability to climate-related hazards: Towards a common approach between the climate change adaptation and the disaster risk reduction communities. Swedia: SEI Risk, Livelihoods and Vulnerability Programme. Twigg, J. (2007). Characteristics of a Disaster-Resilient Community : A Guidance Note. DFID Disaster Risk Reduction Interagency Coordination Group. Zein, M (2010). A Community-based approach to flood hazard and vulnerability assessment in flood prone areas: A case study in Kelurahan Sewu, Surakarta City-Indonesia. M.Sc Thesis. Double Degree Program Geo-Information for disaster management. UGMYogyakarta Indonesia and Twente Univ Enschede The Netherlands.
26
PENGELOLAAN DAS SECARA TERPADU DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH
Agus Purwanto, S.E, MM.
PENGERTIAN 1. DAS (Daerah Aliran Sungai) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Sub DAS adalah bagian dari DAS yang menerima air hujan dan mengalirkannya melalui anak sungai ke sungai utama. Setiap DAS terbagi habis ke dalam Sub DAS – Sub DAS. Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan sumber daya manusia di dalam DAS dan segala aktivitasnya untuk mewujudkan kemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistim DAS serta kesejahteraan masyarakat. 2. Pengelolaan DAS Terpadu adalah rangkaian upaya perumusan tujuan, sinkronisasi program, pelaksanaan dan pengendalian pengelolaan sumberdaya DAS lintas para pemangku kepentingan secara partisipatif berdasarkan kajian kondisi biofisik, ekonomi, sosial, politik dan kelembagaan guna mewujudkan tujuan pengelolaan DAS. 3. DAS Prioritas adalah DAS yang berdasarkan kondisi lahan, hidrologi, sosek, investasi dan kebijaksanaan pembangunan wilayah tersebut perlu diberikan prioritas dalam penanganannya. FUNGSI DAS Adapun fungsi DAS yakni: 1.
2.
3.
4.
DAS bagian hulu sebagai konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air dan air hujan. DAS bagian tengah sebagai pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain yang dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. DAS bagian hilir sebagai pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat kepentingan masyarakat, yang diindikasikan melalui kuantitas air dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengolahan air limbah. Keberadaan sektor kehutanan di daerah hulu yang dikelola dengan baik dan terjaga keberlanjutannya dengan didukung oleh sarana dan prasarana di bagian tengah akan dapat mempengaruhi fungsi dan manfaat DAS tersebut di bagian hilir, baik untuk pertanian, kehutanan maupun untuk kebutuhan air bersih bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan adanya rentang panjang DAS yang begitu luas, baik secara administrasi maupun tata ruang, dalam pengelolaan DAS diperlukan adanya koordinasi berbagai pihak terkait baik lintas sektoral maupun lintas daerah secara baik.
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) Dalam mengelola DAS sebagai satu kesatuan ekosistem yang membentang dari hulu hingga hilir, harus meliputi wilayah DAS mulai dari hilir secara utuh agar upaya pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan secara menyeluruh dan terpadu berdasarkan satu kesatuan perencanaan yang telah mempertimbangkan keterkaitan antar komponen-komponen penyusun ekosistem DAS (biogeofisik dan sosekbud) termasuk pengaturan kelembagaan dan kegiatan monitoring dan evaluasi. Upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara
27
sumber daya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dilakukan dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumber daya alam bagi manusia secara berkelanjutan. (Kepmenhut 52/Kpts-II/2001). Pengelolaan DAS melibatkan multi-sektor, multi-disiplin ilmu, lintas wilayah administrasi, terjadi interaksi hulu hilir, sehingga harus terpadu. Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat. Pengelolaan DAS terpadu meliputi : 1. Keterpaduan dalam proses perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalam penyusunan dan penetapan rencana kegiatan di daerah aliran sungai. 2. Keterpaduan dalam program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunan program-program kegiatan di daerah aliran sungai, termasuk memadukan waktu pelaksanaan, lokasi dan pendanaan serta mekanismenya. 3. Keterpaduan program-program kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan dengan daerah aliran sungai, sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah. 4. Keterpaduan dalam pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi proses evaluasi dan monitoring. 5. Keterpaduan dalam pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan Pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun. Dalam ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Bagian hulu DAS seringkali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi. Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir.
28
LANDASAN HUKUM PENGELOLAAN DAS 1. UUD 1945 pasal 33 ayat 3 2. UU No 41 tahun 1999 ttg Kehutanan 3. UU No 5 tahun 1990 ttg Konsevasi Alam Hayati dan Ekosistemnya 4. UU No 23 tahun 1997 ttg Pengelolaan Lingkungan Hidup 5. UU No 26 tahun 2007 ttg Penataan Ruang 6. UU No 7 tahun 2004 ttg Sumberdaya Air 7. UU No 32 tahun 2004 ttg Pemerintahan Daerah 8. PP No 38 tahun 2007 ttg Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsdi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota 9. PP No 6 Tahun 2007 ttg Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan 10. PP No 3 tahun 2008 ttg Perubahan atas PP No 6 tahun 2007 11. PP No 76 Tahun 2008 ttg Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan 12. Kep.Menhut o 52 tahun 2001 ttg Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS PENTINGNYA PENGELOLAAN DAS TERPADU Pentingnya asas keterpaduan dalam pengelolaan DAS erat kaitannya dengan pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan DAS, yaitu pendekatan ekosistem. Ekosistem DAS merupakan sistem yang kompleks karena melibatkan berbagai komponen biogeofisik dan sosial ekonomi dan budaya yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Kompleksitas ekosistem DAS mempersyaratkan suatu pendekatan pengelolaan yang bersifat multi-sektor, lintas daerah, termasuk kelembagaan dengan kepentingan masing-masing serta mempertim- bangkan prinsipprinsip saling ketergantunga n. Hal-hal yang penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan DAS : a. b. c.
Terdapat keterkaitan antara berbagai kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pembinaan aktivitas manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Melibatkan berbagai disiplin ilmu dan mencakup berbagai kegiatan yang tidak selalu saling mendukung. Meliputi daerah hulu, tengah, dan hilir yang mempunyai keterkaitan biofisik dalam bentuk daur hidrologi.
IMPLEMENTASI PENGELOLAAN DAS TERPADU Pengelolaan Terpadu DAS pada dasarnya merupakan pengelolaan partisipasi berbagai sektor/sub sektor yang berkepentigan dalam pemanfaatan sumberdaya alam pada suatu DAS, sehingga di antara mereka saling mempercayai, ada keterbukaan, mempunyai rasa tanggungjawab dan saling mempunyai ketergantungan (inter-dependency).Demikian pula dengan biaya kegiatan pengelolaan DAS, selayaknya tidak lagi seluruhnya dibebankan kepada pemerintah tetapi harus ditanggung oleh semua pihak yang memanfaatkan dan semua yang berkepentingan dengan kelestariannya. Untuk dapat menjamin kelestarian DAS, pelaksanaan pengelolaan DAS harus mengikuti prinsip-prinsip dasar hidrologi.Dalam sistemekologi DAS, komponen masukan utama terdiri atas curah hujan sedang komponen keluaran terdiriatas debit aliran dan muatan sedimen, termasuk unsure hara dan bahan pencemar di dalamnya. DAS yang terdiri atas komponen-komponen vegetasi, tanah, topografi, air/sungai, dan manusia berfungsi sebagai prosesor. Kegiatan yang relevan dengan pengelolaan DAS untuk menjamin kelestariannya berikut ini. 1. Pengelolaan Daerah Tangkapan Air (catchment area) Sesuai dengan rencana makro, rencana kerja jangka menengah dan tahunan konservasi Daerah Tangkapan Air (DTA), Dinas/instansi terkait dan masyarakat, sebagai pelaksana pengelolaan sumberdaya alam di DAS melaksanakan kegiatan pemanfaatan dan konservasi DTA. Bentuk kegiatan pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam di DTA diutamakan untuk meningkatkan produktivitas lahan dalam memenuhi kebutuhan barang dan jasa bagi masyarakat dan sekaligus memelihara kelestarian ekosistem DAS. Kegiatan tersebut dilakukan melalui tataguna lahan (pengaturan tataruang), penggunaan lahansesui dengan
29
2.
peruntukannya (kesesuaianlahan, rehabilitasi hutan dan lahan yang telah rusak, penerapan teknik-teknik konservasi tanah,pembangunan struktur untuk pengendalian daya rusak air, erosi dan longsor. Dilakukan pula kegiatan monitoring kondisi daerah tangkapan air dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencanapengelolaan DAS. Pengelolaan Sumberdaya Air a. Manajemen Kuantitas Air (Penyediaan Air) 1) Pembangunan Sumberdaya Air Menyiapkan rencana induk pengembangan sumberdaya air termasuk di dalamnya neraca air, yang melibatkan berbagai instansi terkait serta melaksanakan pembangunan prasarana pengairan (sesuai dengan penugasan yang diberikan) dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya air. 2) Prediksi Kekeringan Melakukan pemantauan dan pengolahan data hidrologis, membuat prediksi kemungkinan terjadinya kekeringan (mungkin menggunakan fasilitas telemetri dan bantuan simulasi komputer yang dihubungkan dengan basis data nasional dan internasional). 3) Penanggulangan Kekeringan Secara aktif bersama Dinas/Instansi terkait dalam Satkorlak-PBA melakukan upaya penanggulangan pada saat terjadi kekeringan yang tidak dapat terelakkan. 4) Perijinan Penggunaan Air Memberikan rekomendasi teknis atas penerbitan ijin penggunaan air dengan memperhatikan optimasi manfaat sumber daya yang tersedia. 5) Alokasi Air Menyusun konsep pola operasi waduk/alokasi air untuk mendapatkan optimasi pengalokasian air. 6) Distribusi Air Melakukan pengendalian distribusi air bersama Dinas/Instansi terkait dengan bantuan telemetri untuk melaksanakan ketetapan alokasi air. b. Manajemen Kualitas Air 1) Perencanaan Pengendalian Kualitas Air Bersama Dinas/Instansi terkait menyiapkan rencana induk dan program kerja jangka menengah dan tahunan pengendalian pencemaran air dan peningkatan kualitas air. 2) Pemantauan dan Pengendalian Kualitas Air Berdasarkan rencana induk, melakukan pemantauan dan pengendalian kualitas air yang melibatkan berbagai instansi terkait. Pemantauan dilakukan secara periodik (baik kualitas air sungai maupun buangan limbah cair yang dominan) dan melaksanakan pengujian laboratorium serta evaluasi terhadap hasil uji tersebut. Rekomendasi diberikan kepada Pemerintah Daerah (Gubernur maupun Bapedalda) dalam upaya pengendalian pencemaran air, penegakan aturan dan peningkatan kualitas air sungai. 3) Penyediaan Debit Pemeliharaan Sungai Berdasarkan pola operasi waduk dan/atau kondisi lapangan, dapat disediakan sejumlah debit pemeliharaan sungai setelah mendapatkan pengesahan alokasi dari Dewan DAS Propinsi. 4) Peningkatan Daya Dukung Sungai Pelaksanaan peningkatan daya dukung sungai dengan melaksanakan upaya pengendalian di instream (penggelontoran, penyediaan debit pemeliharaan, peningkatan kemampuan asimilasi sungai) dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengendalian di off-stream (pada sumber pencemar) melalui instrumen hukum maupun instrumen ekonomi di samping melaksanakan kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan kontrol sosial dari masyarakat. 5) Bersama dengan instansi/dinas terkait menyelenggarakan koordinasi penyiapan program dan implementasi pengendalian pencemaran dan limbah domestik, industri dan pertanian.
30
c. Pemeliharaan Prasarana Pengairan 1) Pemeliharaan Preventif Melakukan pemeliharaan rutin, berkala dan perbaikan kecil untuk mencegah terjadinya kerusakan prasarana pengairan yang lebih parah. 2) Pemeliharaan Korektif Melakukan perbaikan besar, rehabilitasi dan reaktifikasi dalam rangka mengembalikan atau meningkatkan fungsi prasarana pengairan. 3) Pemeliharaan Darurat Melakukan perbaikan sementara yang harus dilakukan secepatnya karena kondisi mendesak/darurat (karena kerusakan banjir dsb- nya). 4) Pengamatan Instrumen Keamanan Bendungan Melakukan pengamatan instrumen keamanan bendungan (phreatic line, pore pressure dan lainlain) serta menganalisis hasil pengamatan tersebut untuk mengetahui adanya penurunan (settlement), rembesan (seepage) atau perubahan ragawi lainnya terhadap bendungan. d. Pengendalian Banjir 1) Pemantauan dan Prediksi Banjir Melakukan pemantauan dan pengolahan data hidrologis, membuat prediksi iklim, cuaca dan banjir dengan menggunakan fasilitas telemetri dan bantuan simulasi komputer yang dihubungkan dengan basis data nasional dan internasional. 2) Pengaturan (distribusi) dan Pencegahan Banjir. Menyiapkanpedomansiagabanjir yang berlaku sebagai SOP (Standard Operation Procedure) pengendalian banjir yang dipergunakan oleh seluruh instansi terkait. 3) Pengendalian banjir dilakukan melalui pengaturan operasi waduk untuk menampung debit banjir, dan pengaturan bukaan pintu air guna mendistribusikan banjir sehingga dapat dikurangi/dihindari dari bencana akibat banjir. 4) Penanggulangan Banjir Berpartisipasi secara aktif bersama Dinas/Instansi terkait dalam Satkorlak-PBA melakukan upaya penanggulangan pada saat terjadi banjir yang tidak dapat terelakkan. 5) Perbaikan Kerusakan Akibat Banjir Bersama instansi terkait melakukan perbaikan atas kerusakan akibat terjadinya bencana banjir yang tidak terelakkan. e. Pengelolaan Lingkungan Sungai 1) Perencanaan Peruntukan Lahan Daerah Sempadan Sungai Bersama dinas/instansi terkait menyusun penetapan garis sempadan dan rencana peruntukan lahan daerah sempadan sungai sesuai dengan Rencana detail Tata Ruang Daerah dalam rangka pengamatan fungsi sungai. 2) Pengendalian Penggunaan Lahan Sempadan Sungai Melakukan pengendalian dan penertiban penggunaan lahan di daerah sempadan sungai bersama dinas/instansi terkait. 3) Pelestarian biota air Mengupayakan peningkatan kondisi sungai yang kondusif untuk pertumbuhan biota air. 4) Pengembangan pariwisata, olah raga, dan trasnportasi air Mengembangkan pemanfaatan sungai dan waduk untuk keperluan wisata, olah raga, dan transportasi air bekerja sama dengan pihak-pihak terkait.
f. Pemberdayaan Masyarakat 1) Program penguatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan perdesaan, sehingga pendapatan petani meningkat. 2) Program pengembangan pertanian konservasi, sehingga dapat berfungsi produksi dan pelestarian sumber daya tanah dan air.
31
3)
Penyuluhan dan transfer teknologi untuk menunjang program pertanian konservasi dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pengelolaan DAS. 4) Pengembangan berbagai bentuk insentif (rangsangan) baik insentif langsung maupun tidak langsung, dalam bentuk bantuan teknis, pinjaman, yang dapat memacu peningkatan produksi pertanian dan usaha konservasi tanah dan air. 5) Upaya mengembangkan kemandirian dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah, sehingga mampu memperluas keberdayaan masyarakat dan berkembangnya ekonomi rakyat. 6) Memonitor dan evaluasi terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat, serta tingkat kesadaran masyarakat dalam ikut berperan serta dalam pengelolaan DAS. 3. Organisasi Pengelola dan Aspek Kelembagaan Permasalahan utama dalam pengelolaan DAS dan konservasi tanah berkaitan dengan masalah kelembagaan berupa: (1) perbedaan sistem nilai (value) masyarakat berkenaan dengan kelangkaan sumberdaya, sehingga penanganan persoalan di Jawa berbeda dengan di luar Jawa, (2) orientasi ekonomi yang kuat tidak diimbangi komitmen terhadap perlindungan fungsi lingkungan yang berimplikasi pada munculnya persoalan dalam implementasi tata ruang, (3) persoalan laten berkaitan dengan masalah agraria dan (4) kekosongan lembaga/instansi pengontrol pelaksanaan program (Marwah, 2001). Beberapa institusi/organisasi yang terkait erat dengan kegiatan pengelolaan DAS adalah: a. Tingkat Nasional: - Departemen Kehutanan, - Departemen Pertanian, - Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, - Departemen Kelautan dan Perikanan, - Departemen Pertambahan, - Kantor Kementerian Lingkungan Hidup, b. Tingkat Regional dan lokal: - Pemerintahan Propinsi, - Pemerintahan Kabupaten/Kota, - Balai/Unit RLKT, - Dinas Kehutanan, - Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah, - Balai/ Unit Konservasi Sumber Daya Alam, - Balai/ Unit Taman Nasional, - Dinas Pertanian, - Pekerjaan Umum, - LSM, - swasta dan lain-lain. 4. Stakeholders Pengelolaan DAS danPeranannya Pengelolaan DAS terpadu merupakan upaya pengelolaan sumberdaya yang menyangkut berbagai pihak yang mempunyai kepentingan berbeda-beda, sehingga keberhasilannya sangat ditentukan oleh banyak pihak, tidak semata-mata oleh pelaksana langsung di lapangan tetapi oleh pihak-pihak yang berperan dari tahapan perencanaan, monitoring sampai dengan evaluasinya. Masyarakat merupakan unsure pelaku utama, sedangkan pemerintah sebagai unsure pemegang otoritas kebijakan, fasilitator dan pengawas yang direpresentasikan oleh instansi-intansi sektoral Pusat dan Daerah yang terkait dengan Pengelolaan DAS. Stakeholder Pemerintah yang dapat berperan aktif dalam kegiatan pengelolaan DAS antara lain: Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen DalamNegeri, Departemen Pertanian, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), Departemen Perikanan dan Kelautan, Departemen Kesehatan dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).
32
Departemen Kehutanan terutama berperan dalam penatagunaan hutan, pengelolaan kawasan konservasi dan rehabilitasi DAS. Departemen Pekerjaan Umum berperan dalam pengelolaan sumber daya air dan tata ruang. Departemen Dalam Negeri berperan dalam pemberdayaan masyarakat di tingkat daerah. Departemen Pertanian berperan dalam pembinaan masyarakat dalam pemanfaatan lahan pertanian dan irigasi. Departemen ESDM berperan dalam pengaturan air tanah, reklamasi kawasan tambang. Departemen Perikanan dan Kelautan berperan dalam pengelolaan sumberdaya perairan, sedangkan KLH dan Departemen Kesehatan berperan dalam pengendalian kualitas lingkungan. Pemerintah Daerah Provinsi berperan sebagai koordinator/fasilitator/regulator/supervisor penyelenggaraan pengelolaan DAS skala provinsi dan member pertimbangan teknis penyusunan rencana Pengelolaan DAS yang lintas Kabupaten/Kota, sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota beserta instansi teknis terkait di dalamnya berperan sebagai koordinator/fasilitator/regulator/ supervisor penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupaten/kota dan member pertimbangan teknis penyusunan rencana Pengelolaan DAS di wilayah kabupaten/kota serta dapat berperan sebagai pelaksana dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Pihak-pihak lain yang mendukung keberhasilan pengelolaan DAS antara lain: unsure legislatif, yudikatif, PerguruanTinggi, Lembaga Penelitian, LSM dan Lembaga Donor. Dengan demikian dalam satu wilayah DAS akan terdapat banyak pihak dengan masingmasing kepentingan, kewenangan, bidang tugas dan tanggungjawab yang berbeda, sehingga tidak mungkin dikoordinasikan dan dikendalikan dalam satu garis komando. Oleh karena itu koordinasi yang dikembangkan adalah dengan mendasarkan pada hubungan fungsi melalui pendekatan keterpaduan. Di antara para pihak yang terlibat harus dikembangkan prinsip saling mempercayai, keterbukaan, tanggungjawab, dan saling membutuhkan. Dengan demikian dalam pelaksanaan pengelolaan DAS terpadu ada kejelasan wewenang dan tanggungjawab setiap pihak (siapa, mengerjakanapa, bilamana, dimana, danbagaimana). Tabel 1. Peran Pemangku Kepentingan (Stakeholder) Pengelolaan DAS NO I. 1
LEMBAGA LembagaPemerintah Pemerintah Daerah Provinsi
2
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
3
Dinas Kehutanan
4
Dinas Pertanian
5 6
Dinas Perikanan Dinas Pengairan
PERAN a. Sebagai Koordinator, fasilitator, regulator, dan supervisor penyelenggaraan pengelolaan DAS skala provinsi, b. Member pertimbangan teknis penyusunan rencana Pengelolaan DAS yang lintas Kabupaten/Kota a. koordinator/ fasilitator/ regulator/ supervisor penyelenggaraan pengelolaan DAS skala kabupaten/kota, b. member pertimbangan teknis penyusunan rencana Pengelolaan DAS di wilayah kabupaten/kota serta dapat berperan sebagai pelaksana dalam kegiatan-kegiatan tertentu a. Memberdayakan masyarakat dalam bidang kehutanan dan perkebunan, b. Penatagunaan hutan, pengelolaan kawasan konservasi dan rehabilitasi DAS a. Memberdayakan masyarakat dalam bidang pertanian, b. Pembangungan dan Pemanfaatan air pada jaringan irigasi tersier. - Pemanfaatan sumberdaya air a. Pengelolaan dan pembangunan jaringan irigasi b. Membimbing masyarakat dalam perijinan
33
NO 7
LEMBAGA
8 9
Dinas Kesehatan dan Badan Lingkungan Dinas Pariwisata BPDAS
II. 1
Lembaga Non Pemerintah Perguruan Tinggi Swasta
2
Lembaga Swadaya Masyarakat
-
PERAN pengairan, Pengendalian kualitas lingkungan
Memanfaatkan perairan sebagai wisata a. Menyusunan rencana pengelolaan daerah aliran sungai; b. Mengembangkan model pengelolaan daerah aliran sungai c. Pengembangan kelembagaan dan kemitraan pengelolaan daerah aliran sungai; Sebagai lembaga independen yang bergerak di bidang research dan development DAS Sebagai memelihara dan memanfaatkan kuantitas dan kualitas air.
PENUTUP Pengelolaan DAS yang melintasi beberapa wilayah administrasi yang berbeda memerlukan koordinasi dan keterpaduan kebijakan pengelolaan dari hulu-hilir. Pengelolaan DAS harus secara menyeluruh dengan memperhatikan DAS sebagai unit analisis dan bukan batasan wilayah administrasi. Pengelolaan DAS secara terpadu hulu-hilir dapat dilaksanakan melalui beberapa aspek yaitu penguatan koordinasi dan kapasitas kelembagaan, pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan DAS.
34
TEMA 1. SINERGITAS PENGELOLAAN DAS BERBASIS KESEJAHTERAAN RAKYAT
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Berbasis Konservasi Eksplorasi dan Eksploitasi (Studi Kasus DAS Petir) Oleh: Aries Dwi Wahyu Rahmadana Laboratorium Geografi Tanah, Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Bulaksumur, Jalan Kaliurang, Depok, Sleman, Yogyakarta
Abstract Daerah Aliran Sungai (DAS) Petir memiliki potensi sumberdaya alam yang perlu dikelola. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui potensi sumberdaya yang ada di DAS Petir dan 2) mengetahui upaya konservasi yang sesuai diterapkan dalam pengelolaan DAS Petir. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi peta dan citra DAS Petir. Survei lapangan, wawancara dan studi literatur digunakan untuk membantu analisa hasil. Data yang digunakan berupa data tanah, geologi dan penduduk DAS Petir. Deskriptif analitik berdasarkan pendekatan keruangan dilakukan untuk menganalisa hasil. DAS Petir memiliki potensi sumberdaya yang terbentuk dari hasil proses struktural, denudasional dan fluvial. Konservasi DAS Petir dapat dikembangkan berdasarkan potensi dari pertanian, pertambangan dan pariwisata. Pengelolaan DAS Petir melalui upaya eksplorasi dan eksploitasi yang sesuai akan menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan. Kata kunci: pengelolaan DAS, potensi sumberdaya, konservasi.
35
Community Participation in a Forest and Land Rehabilitation Program: Case Study of the Keduwang Sub-Watershed in Wonogiri District, Indonesia Oleh: Lies Trianadewi, S.Sos, M.AP, M.Agr Balai Pengelolaan DAS Serayu Opak Progo, Kementerian Kehutanan Jl. Gedongkuning No.172 A Yogyakarta 55171
Abstract Problem statement: Critical watershed has been increased every year in Indonesia. The water availability of Bengawan Solo River is now under severe degradation. Keduwang River is one of the sub watersheds of Bengawan Solo River in the upstream. It caused the greatest sedimentation to the Gajah Mungkur Reservoir. The average rate of sedimentation could increase to 4.6 million m3/ year. During 2003-2007, National Movement of Forest and Land Rehabilitation/Gerhan program has been implemented to overcome this problem through 3 stages: planning, implementation and monitoring. The community participation is an important issue to make watershed management more successful and sustainable. The effectiveness of watershed management depends on the trust and cooperation among all stakeholders. This study describes the situation of the community participation in Gerhan program that implemented in Keduwang Sub- atershed. It fo uses on o unity’s trust to go ern ent. Trust is important to rely on the decision making. Keduwang Sub-watershed resources could be over exploited and ecosystems could not to be maintained without effective governmental institutions. Objectives: This study analyzes community participation in the Gerhan program and in estigates the o unity’s trust in this go ern ent progra . The study also deter ines the extent of community participation in the Keduwang Sub-Watershed. To encourage community participation, community trust in the central and local governments is essential. Results: community participation in planning, implementation and monitoring of Gerhan program is low. More than a half of respondents observed, community perception completely distrust to government that provided imbalance information, material distribution and money flow in order to improve forest and land rehabilitation through Gerhan program. Conclusion: the results of this study indi ated that o unity’s trust to government could increase community participation in Gerhan program.
36
Pengelolaan Das Secara Terpadu (Studi Kasus DAS Bengawan Solo Tahun 2014) Oleh: Hendrik Hertanto SMA MTA Surakarta Jln. Kyaimojo, Semanggi, Pasarkliwon. Surakarta
Abstract Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan, dengan daerah bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Oleh karena itu perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya. Dengan demikian pengelolaan DAS merupakan aktifitas yang berdimensi biofisik,yaitu pengendalian erosi, pencegahan dan penanggulangan lahan-lahan kritis. Pengelolaan pertanian konservatif berdimensi kelembagaan, yaitu insentif dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi dan berdimensi sosial yang lebih diarahkan pada kondisi sosial budaya setempat, sehingga dalam perencanaan model pengembangan DAS terpadu harus mempertimbangkan aktifitas/teknologi pengelolaan DAS sebagai satuan unit perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. Operasionalisasi konsep DAS terpadu sebagai satuan unit perencanaan dalam pembangunan selama ini masih terbatas pada upaya rehabilitasi dan konservasi tanah dan air, sedangkan kelembagaan yang utuh tentang pengelolaan DAS belum terpola. Agar pengelolaan DAS dapat dilakukan secara optimal, maka perlu direncanakan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.
37
Partisipasi Masyarakat Tani Pada Konservasi Lahan DAS Bengawan Solo: Suatu Tinjauan Sosiologis Oleh: Nana Haryanti, S.Sos, M.Sc. BPTKP DAS Jl. A Yani Pabelan Kartasura, PO BOX 295 Surakarta 57102 Abstract Sebagai suatu daerah aliran sungai (DAS) penting, Bengawan Solo memiliki fungsi ekonomi, ekologi, dan sosial yaitu menunjang kehidupan masyarakat secara berkesinambungan. Oleh sebab itu partisipasi masyarakat yang berdiam dalam wilayah ekosistem DAS dalam menjaga agar Bengawan Solo tetap mampu memberikan manfaat ekonomi, ekologi maupun sosial sangat penting. Partisipasi bersama ini sangat penting agar aktivitas warga tidak mengganggu kepentingan warga yang lain. Namun demikian apakah partisipasi bersama masyarakat khususnya petani pengelola lahan kering di hulu Bengawan Solo sudah berlangsung, hal ini menjadi suatu pertanyaan tersendiri. Makalah ini bertujuan menganalisis partisipasi masyarakat terutama petani terhadap kegiatan konservasi di DAS Bengawan Solo.. Penelitian yang mendukung makalah ini dilakukan dengan metode kualitatif di Desa Pulutan, Kecamatan Wuryantoro, Kabupaten Wonogiri, terhadap beberapa anggota kelompok tani yang menjadi peserta penelitian eksperiment konservasi lahan miring. Penelitian eksperiment ini bertujuan untuk meningkatkan peran aktif petani pada kegiatan konservasi lahannya. Hasil penelitian menunjukkan beberapa faktor menjadi kendala bagi perkembangan partisipasi petani seperti, luas lahan sempit, tingkat ekonomi rendah, land tenure, serta lemahnya institusi di tingkat petani menjadi penyebab kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas DAS menjadi terhambat. Selain itu persepsi negatif pada kegiatan konservasi seperti pandangan bahwa konservasi menyebabkan penurunan produktivitas pertanian, membutuhkan modal yang besar, membutuhkan waktu dan tenaga yang banyak menjadi pemicu kegiatan konservasi lahan tidak menarik bagi petani. Memperhatikan hal tersebut, berbagai kegiatan konservasi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas DAS harus memiliki syarat-syarat berikut agar berhasil dilapangan, yaitu dibangun atas dasar kesadaran sosial, dikelola secara kolektif, menggunakan modal sosial yang sudah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
38
Karakteristik Korban Bencana Banjir di Bantaran Sungai Bengawan Solo Tahun 2012 Oleh: Rita Noviani,S.Si.M.Sc Prodi Pendidikan Geografi UNS Jl. Ir. Sutami 36A Kentingan Surakarta
Abstract Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik rumah tangga penduduk di bantaran Sungai Bengawan Solo. Penelitian bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metode surveii terhadap rumahtangga yang menjadi korban bencana banjir. Jumlah sampel sebanyak 100 rumah tangga yang berada di sepuluh desa di bantaran sungai Bengawan Solo dan merupakan kawasan rawan banjir. Pengolahan data dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek demografi korban banjir angka tertinggi pada pada usia 3045 tahun (47,0%), jenis kelamin laki-lakii (61,0%), tingkat pendidikan SLTP (30.0%), pekerjaan buruh/tukang/serabutan (39,0%), dengan lama tinggal 11-30 tahun (38,0%). Aspek ekonomi rumah tangga korban bencana banjir kurang stabil dan kurang mampu memenuhi aktivitas kehidupan karena tingkat pendapatan dan pengeluaran angka persentase tertinggi yakni Rp 750.000-Rp1.500.000,- (43,0%) dengan pengeluaran Rp750.000-1.500.000,- (43,0%). jenis pekerjaan yang dilakukan menunjukkan persentase tertinggi (39,0%) sebagai buruh/tukang/serabutan. Karakteristik tempat tinggal rumah tangga bencana banjir menunjukkan secara umum dalam kondisi yang layak sebagai tempat tinggal. Karakteristik rumah tangga bencana banjir di wilayah penelitian merupakan rumah tangga yang termasuk kategori rentan atau tingkat keberlajutan penghidupan rumah tangga yang rendah. Kata Kunci: aspek demografi, aspek ekonomi, karakteristik rumah tangga.
39
Dampak Banjir terhadap Pertanian dan Kesiapsiagaan Petani di Kawasan Rentan Banjir Sungai Samin Desa Tegalmade, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo Oleh: Muhammad Amin Sunarhadi FKIP-Pendidikan Geografi UMS Gedung S2 Kampus 1 Universitas Muhammadiyah Surakarta
Abstract Banjir yang melanda di Desa Tegalmade, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo yang disebabkan oleh aliran sungai Sungai Samin pada setiap tahunnya memberikan banyak dampak, yaitu kerusakan infrastruktur dan pertanian. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dampak banjir terhadap pertanian dan kesiapsiagaan masyarakat. Responden dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok jarak 0-25m dari sungai, 25m-100m dari sungai, dan 100m-250m dari sungai. Pengambilan sampel responden pertanian melakukan wawancara. Hasil penelitian pertanian menunjukan bahwa banjir menyebabkan adanya kerusakan dan kehilangan pada produksi pertanian. Setiap kelompok responden mempunyai tingkat kesiapsiagaan yang berbeda, meskipun kondisi masyarakat mempunyai karakteristik yang sama. Pada Permukiman 0-25m mempunyai tingkat kesiapsiagaan sangat siap, pada permukiman 25m-100m mempunyai kesiapsiagaan siap, dan yang bermukim pada jarak 100m-250m mempunyai kesiapsiagaan siap. Kata kunci: Kesiapsiagaan, Banjir, Pertanian.
40
Penilaian Bahaya Longsor yang disebabkan oleh Gempabumi menggunakan Sistem Informasi Geografis Oleh: Aditya Saputra Fakultas Geografi UMS Jl. Ahmad Yani Tromol Pos I Pabelan Kartasura Surakarta 57102
Abstract Indonesia terletak diantara zona pertemuan tiga lempeng tektonik yang sangat aktif yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konfirgurasi lempeng tektonik tersebut menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara yang rawan terhadap gempabumi. Sejak tahun 1897 hingga 2009 Indonesia telah diguncang lebih dari 14.000 gempabumi dengan magnitudo lebih dari 5 skala Richter. Tidak hanya itu, Gempabumi juga dapat menimbulkan bahaya sekunder lainnya seperti tanah longsor. Gempabumi merupakan salah satu pemicu utama terjadinya ketidakstabilan pada lereng bahkan terjadinya tanah longsor yang dapat memberikan dampak yang lebih buruk terhadap manusia, infrastruktur, dan lingkungan. Di Jawa, kerugian yang ditimbulkan oleh tanah longsor yang diakibatkan oleh gempabumi mencapai 100 juta rupiah per tahun. Penelitian ini dilakukan di lereng barat Gawir Sesar Baturagung di sebelah selatan Kota Yogyakarta dengan tujuan untuk menilai tingkat kerentanan tanah longsor yang disebabkan oleh gempabumi menggunakan sistem informasi geografis (SIG). Pada penelitian ini dilakukan analisis gempabumi secara probabilistik untuk menghitung percepatan getaran tanah dan analisis skoring berdasarkan metode Mora dan Vahrson (1993) dalam SIG untuk menilai tingkat ketidakstabilan lereng akibat gempabumi. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa daerah penelitian didominasi oleh zona kerentanan menengah yang memiliki kisaran indek antara 33-162. Sedangkan zona kerentanan menengah hingga tinggi terletak pada lereng tengah Gawir Sesar Baturagung berbatuan anggota Formasi Semilir yang terdiri dari perselingan tuf-breksi, breksi batuapung, tuf dasit dan tuf andesitik, serta lempung tufan. Zona kerentanan rendah terdapat pada kaki lereng Gawir Sesar Baturagung, sedangkan zona kerentanan sangat rendah terletak pada dataran aluvial dan koluvial sepanjang Sungai Opak dengan indek 0-6. Berdasarkan data sekunder kejadian tanah longsor, maka dapat diketahui bahwa tanah longsor cenderung terjadi pada zona kerentanan menengah model yang dihasilkan. Disamping itu, tanah longsor juga cenderung terjadi pada area perbatasan antara zona menengah dan rendah. Meskipun demikian, perbedaan yang terjadi antara model yang ada dengan data kejadian tanah longsor akan menjadi topik yang menarik untuk kajian lebih lanjut tentang bahaya tanah longsor akibat gempabumi di daerah penelitian. Kata kunci: Tanah longsor akibat gempabumi, Sistem informasi geografis (SIG).
41
Nilai Industri Kreatif Di desa Wisata Jelengkong Kabupaten bandung Oleh: Prof.Dr.Darsiharjo dan Ahmad Hudaiby Galihkusumah UPI Bandung Bandung
Abstract Studi ini berfokus untuk mendapatkan gambaran utuh rantai nilai industri kreatif secara linier dari mulai proses kreasi, produksi, distribusi, dan komersialisasi pada industri seni lukis di desa wisata Jelekong Kabupaten Bandung. Desa Jelekong dipilih sebagai lokasi penelitian karena desa tersebut telah termasuk dalam kategori desa wisata dan berpotensi untuk mandiri secara ekonomi melalui seni lukis warga. Strategi penelitian eksplorasi digunakan dengan melalui pendekatan studi kasus untuk menginvestigasi dan memahami proses yang muncul pada fenomena rantai nilai industri kreatif tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teknik analisis Model Miles dan Huberman, dimana aktivitas analisis mulai dari pengoleksian data, reduksi data, data display serta konklusi dan verifikasi terhadap karakteristik rantai nilai industri kreatif yang dilakukan oleh seniman lukis di Desa Jelekong mulai dari proses kreasi, produksi, distribusi hingga komersialisasi seni lukis di desa tersebut. Karakteristik rantai nilai pada industri kreatif di desa wisata Jelekong berjalan secara baik dengan kearifan sosial masyarakat desa Jelekong. Proses kreasi menjadi bentuk keunggulan desa wisata Jelekong dengan originalitas kreasinya, didukung oleh aspek edukasi, inovasi, ekspresi, kepercayaan diri, pengalaman dan proyek, proteksi, serta agen talenta. Proses produksi berkembang dengan teknologi produksi, jaringan outsourcing jasa, serta skema pembiayaan, yang menunjang pembuatan kerajinan lukisan di desa wisata Jelekong. Distribusi lukisan Jelekong memiliki alur dari pengrajin, didistribusikan kepada distributor, kemudian distributor mendistribusikan lukisan tersebut kepada konsumen/ pasar. Proses distribusi di dalamnya terdapat negosiasi hak distribusi, internasionalisasi, dan infrastruktur. Sedangkan proses komersialisasi dibentuk dengan aspek pemasaran, penjualan, promosi, serta layanan (service). Kata kunci: Rantai nilai, Kreasi, Produksi, Distribusi, Komersialisasi.
42
Tinjauan Aspek Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan Kinerja Sub DAS Keduang DAS Bengawan Solo Kabupaten Wonogiri Oleh: Drs. Priyono, M.Si. dan Rudyanto, S.Si Fakultas Geografi UMS Jl. A Yani tromol Pos I Pabelan
Abstract Keberhasilan pengelolaan DAS pada akhirnya ditentukan oleh manusia. Oleh karena itu aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan masyarakat mempunyai peran yang sangat penting untuk dijadikan unsur utama dalam pengelolaan DAS.Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kinerja Sub DAS Keduang ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan. Analisis kinerja yang ditinjau dari parameter sosial, ekonomi dan kelembagaan didasarkan pada Peraturan Dirjen RLPS Nomor P.04/5-set/2009 yang diuraikan secara deskriptif kualitatif. Aspek sosial terdiri atas indikator Kepedulian Individu (KI), Partisipasi Masyarakat (PM), dan tekanan penduduk (TP). Aspek ekonomi terdiri atas indikator Tingkat Pendapatan (TP), Produktifitas Lahan (PM), ketergantungan penduduk terhadap lahan (LQ) dan Jasa Lingkungan (JL). Aspek kelembagaan terdiri atas indikator Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi dan Simplifikasi (KISS), Ketergantungan Masyarakat terhadap Pemerintah (KMP), Keberdayaan Lembaga Lokal/adat (KLL), dan Kegiatan Usaha Bersama (KUB). Penelitian ini menggunakan metode penelitian survey dengan unit analisis rumah tangga dan kelompok tani. Sampel diambil dari 6 desa yaitu Sanggrong, Duren, Ngadirejo, Sambirejo, Tanjungsari, dan Kebonagung. Hasil survei kemudian diklarifikasi dengan menggunakan metoda group discussion. Analisis data yang digunakan adalah analisa deskriptif komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja Sub DAS Keduang ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan adalah jelek (ata skor semua indikator=5). Hal ini terutama disebabkan oleh kecenderungan masyarakat yang bersikap tidak perduli lingkungan dan lebih memprioritaskan keuntungan secara finansial/ekonomi. Akibatnya tingkat kesehatan Sub DAS Keduang sudah tergolong kurang sehat. Hal ini perlu menjadi perhatian penting bagi semua pihak agar kondisi Sub DAS Keduang tidak mengalami kerusakan yang lebih parah. Apalagi mengingat bahwa aliran Sub DAS Keduang mengarah ke intake Waduk Gajah Mungkur yang merupakan bangunan air yang memiliki peran vital bagi DAS Bengawan Solo. Kata Kunci: Aspek Sosial, Aspek Ekonomi, Aspek Kelembagaan, dan Kinerja DAS.
43
Strategi Pengelolaan DAS Bengawan Solo di Kabupaten Tuban dan Bojonegoro Provinsi Jawa Timur Oleh: Dana Adisukma Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional (STTNAS), Yogyakarta, Indonesia
Abstract Kondisi DAS Bengawan Solo yang membentang dari hulunya di Jawa Tengah dan berakhir di hilir, yaitu Jawa Timur. Dinamisnya kondisi lingkungan DAS Bengawan Solo mengakibatkan berbagai kejadian degradasi lingkungan pada sebagian besar wilayah DAS. Tujuan dari penelitian ini, yaitu mengidentifikasi potensi dan masalah DAS Bengawan Solo khususnya di Kabupaten Tuban dan Bojonegoro dan merumuskan strategi pengelolaannya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu kebijakan pengelolaan pada kedua wilayah kabupaten terhadap pengelolaan DAS Bengawan Solo. Metode penelitian yang digunakan meliputi metode deskriptif-evaluatif untuk mengidentifikasi karakteristik beserta potensi dan permasalahan yang ada. Teknik analisis yang digunakan meliputi analisis karakteristik fisik dasar dan sosial ekonomi wilayah untuk mengidentifikasi karakteristik DAS Bengawan Solo di daerah penelitian. Analisis akar masalah dan akar tujuan digunakan untuk mengidentifikasi potensi dan masalah DAS Bengawan Solo di daerah penelitian. Metode preskriptif digunakan untuk merumuskan strategi pengelolaan DAS Bengawan Solo berdasarkan kebijakan perencanaan dan pembangunan pada kedua kabupaten. Teknik analisis SWOT dan IFAS-EFAS digunakan untuk merumuskan strategi pengelolaan DAS Bengawan Solo di daerah penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa di daerah penelitian telah terjadi kejadian degradasi lingkungan seperti banjir akibat luapan Sungai Bengawan Solo. Penggunaan lahan banyak didominasi oleh lahan pertanian dan permukiman. Berdasarkan analisis SWOT dan IFAS-EFAS yang dilakukan di daerah penelitian maka strategi pengelolaannya berada pada kuadran I ruang A, yaitu Rapid Growth Strategy. Secara umum strategi ini mengarahkan untuk pengelolaan lingkungan DAS Bengawan Solo di daerah penelitian yang memperhatikan aspek-aspek pengelolaan risiko bencana dan pemberdayaan potensi sosial ekonomi lokal. Arahan tersebut harus didukung dengan koordinasi lintas sektor dan lintas lembaga untuk memperkuat kebijakan Pengelolaan DAS Bengawan Solo secara terpadu dan berkelanjutan.
44
Dimensi Spasial Kemiskinan di DAS Bengawan Solo dan Implikasinya bagi Perumusan Kebijakan Pengelolaan DAS Oleh: Evi irawan Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Jl. A. Yani, Pabelan, P.O. Box 295, Surakarta, 57102
Abstract Kemiskinan merupakan salah satu faktor pemicu berbagai permasalahan lingkungan dan sosial. Hasil penelitian empiris menunjukkan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan masih cenderung menitikberatkan pada aspek programatis, berpijak pada mata anggaran dan belum menyentuh secara langsung dimensi spasial kemiskinan. Makalah ini bertujuan untuk memaparkan analisis autokorelasi spasial eksploratif pola kemiskinan di DAS Bengawan Solo dengan menggunakan data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan tahun . Metode analisis statistik yang digunakan adalah uji Moran’s I dan Lo al Indi ators of Spatial Asso iation LISA . Hasil analisis enunjukkan bah a elalui uji Moran’I terdapat autokorelasi spasial pada persentase jumlah rumah tangga miskin di DAS Bengawa Solo. Sementara itu, melalui uji LISA, disimpulkan bahwa terdapat pengelompokkan lokasi rumah tangga miskin dibagian barat dan timur DAS Bengawan Solo. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa kebijakan pengelolaan DAS Bengawan Solo perlu mempertimbangkan aspek spasial.
45
Potensi Transportasi Sungai untuk Menghidupkan Kawasan Tepian Sungai Kahayan Kota Palangkaraya Oleh: Noor Hamidah Fakultas Geografi UGM Jalan Sekip Utara, Bulaksumur Yogyakarta
Abstract Kota-kota di Indonesia berawal dari tepian sungai besar. Sungai merupakan transportasi awal penghubung antara kota-desa dan urat nadi kehidupan ekonomi masyarakat. Seiring perkembangannya transportasi darat menjadi andalan untuk penghubung antar kota-desa. Transportasi sungai tidak menjadi prioritas dalam pengembangan infrastruktur kota, hal ini disebabkan transportasi darat memiliki keunggulan mudah, murah dan cepat dibanding transportasi sungai. Sungai kini menjadi bagian yang tidak diprioritaskan dalam fasilitas pendukung kota, sehingga sungai menjadi bagian belakang yang menimbulkan berbagai permasalahan fisik dan lingkungan bagi kota. Sungai hanya digunakan untuk masyarakat menengah ke bawah dengan pertimbangan migran membutuhkan ruang untuk tempat tinggal yang murah,dekat dengan pusat kota walaupun berada di kawasan jalur hijau yang rawan banjir yaitu di sepanjang tepian sungai ini. Tujuan melihat potensi transportasi sungai dan keunikan moda transportasi sungai tepian sungai akankah mampu menghidupkan kembali kawasan tepian Sungai Kahayan Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
46
Kajian Kejadian Longsorlahan dengan Jenis Batuan Permukaan di Kecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas Oleh: Dr. Suwarno, M.Si. Prodi Pendidikan Geografi Jln. Raya Dukuhwaluh Purwokerto
Abstract Abstraks Kejadian dan sebaran longsorlahan dipengaruhi oleh faktor geologi, geomorfologi, tanah, penggunaan lahan, dan aktivitas manusia. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji sebaran batuan permukaan dengan kejadian dan sebaran longsorlahan di Kecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas, wilayah ini merupakan salah satu kecamatan yang rawan longsorlahan. Metode yang digunakan adalah survei lapangan dengan menggunakan satuan bentuklahan sebagai satuan pemetaan. Tahapan survei diawali dengan interpertasi foto udara pankromatik untuk penyusunan peta satuan bentuklahan dan pembacaan peta geologi untuk mengetahui formasi batuan dan stratigrafi. Kerja lapangan meliputi pengamatan terhadap lokasi kejadian longsorlahan, jenis batuan, dan struktur geologi. Tahap akhir dilakukan analisis dengan cara tumpang susun antara peta sebaran kejadian longsorlahan dengan peta sebaran jenis batuan permukaan. Daerah penelitian tersusun atas empat satuan batuan/formasi dan terdiri atas 14 jenis batuan. Kejadian longsorlahan lebih banyak terjadi pada batuan batupasir dan tufa terlapukan yang berumur Tersier dan terletak pada satuan bentuklahan asal struktural yaitu pada satuan bentuklahan perbukitan struktural berbatuan batupasir berlereng kelas IV. Kata kunci: batuan, longsorlahan, bentuklahan.
47
Pengaruh Perilaku Lingkungan Terhadap Imbangan Air (Water Balance), Studi Kasus DAS Kali Garang Oleh: Rohman Hakim BPDAS Solo Jl. Bengawan Pabelan Po Box 128 Surakarta
Abstract The in reasing of population and the need for land led to hange in people’s beha ior to ard watershed. This condition causes disruption of water balance. Therefore, it is needed to make a resear h in people’s beha ior influen e to ard atershed ater balan e, espe ially in atershed Kaligarang. This research uses combination of qualitative and quantitative method approach. Respondents were selecteed purposi ely. Pri ary data related to people’s beha ior as collected through observation, documentation, questionnaires and deep interview to key persons. Water balance was calculated by using Thorntwaite-Mather method. The result of water balance calculation shows that there is surplus during December until April. On the other hand there is deficit during Mei until Nopember. The increasing of deficit condition and surplus condition are 142 mm and 316 mm during period 1 to period 2. The tabulation result shows that there is negati e influen e of people’s beha iors to ard ater balan e. They are yard treat ent as edia for ater infiltration, sele tion of land o er, and people’s poor understanding of ater balance. Knowledge of forest function as water interception in the upstream area is poor. On the other hand the result of key person interview shows that environment behavior gives negative influence towards water balance, such as waste disposal in drainage channels, and so on. The negati e influen e of people’s behavior in downstream is caused by land pressure, while in middlestream and upstream are caused by land cultivation method that is not in accordance with the conservation principle. It is necessary to increase the level of community participation in watershed management. The behavior change can be done by means of compliance, identification, and internalization Key word : behavior, water balance, watershed management, people participation.
48
Evaluasi Ketersediaan Air Sungai untuk Kebutuhan Pertanian dan Perikanan pada tiap DAS/Sub DAS di Kabupaten Bantul Oleh: Ig.L. Setyawan Purnama Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Bulaksumur-Yogyakarta. Telp. 0274-6492340/Fax. 0274-589595
Abstract Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menghitung ketersediaan air sungai di daerah penelitian, (2) menghitung kebutuhan air untuk pengairan dan perikanan di daerah penelitian dan (3) mengevaluasi ketersediaan air sungai untuk pengairan dan perikanan di daerah penelitian. Perhitungan ketersediaan air sungai mendasarkan pada data debit dari masing-masing sungai yang terdapat di Kabupaten Bantul. Penentuan kebutuhan air untuk irigasi mendasarkan pada luas lahan sawah dan jenis tanaman, sedangkan kebutuhan air untuk perikanan dihitung menurut luasan kolam dan penggantian air akibat evaporasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan air sungai pada seluruh DAS dan sub DAS di Kabupaten Bantul adalah sebesar 923.365.975 m3/tahun. Hasil perhitungan kebutuhan air diketahui kebutuhan pertanian dan perikanan sebesar 223.035.578 m3/tahun, dengan perincian 219.734.133 m3/tahun untuk pertanian dan 3.301.445 m3/tahun untuk perikanan. Secara keseluruhan, ketersediaan air sungai untuk kebutuhan pertanian dan perikanan di Kabupaten Bantul telah mencukupi. Namun apabila diperhatikan untuk masing-masing sub DAS, ternyata ada beberapa sub DAS yang telah mengalami kritis air yaitu sub DAS Celeng dan sub DAS Urang.
49
Kekurangan Air dan Penanganannya beberapa Sub DAS Di DAS Solo Hulu (Studi Kasus Di Sub Das Temon, Wuryantoro) Oleh: Ugro Hari Murtiono Balai Penelitian Tehnologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPTKP DAS) Solo Jl. Achmad Yani Pabelan Kartasura,Surakarta, Jawa Tengah
Abstract Kajian ini dilakukan di beberapa sub DAS di DAS Solo Hulu (Temon, Wuryantoro, Alang dan Keduang) Kabupaten Wonogiri. Keempat Sub DAS merupakan sungai utama yang masuk ke Waduk Wonogiri. Metode yang dilakukan dengan menghitung ketersediaan dan kebutuhan air pada berbagai jenis penggunaan lahan pada masing masing sub DAS. Hasil yang didapatkan: (1). Persediaan air pertahun di sub DAS Temon sebesar 1.684.246 m3 dan kebutuhan sebesar 2.334.744 m3, sehingga kekurangan air sebesar 27,86 % pertahun terjadi pada bulan April sampai dengan Desember berkisar 26,07 - 99,69 %; (2). Persediaan air di sub DAS Wuryantoro sebesar 17.788.417 m3 dan kebutuhan sebesar 22.413.430 m3, sehingga kekurangan air 20,64% pertahun terjadi pada bulan Mei sampai dengan November berkisar 27,17 – 97,92%. Untuk mengatasi kekurangan air pada sub DAS Temon dan Wuryantoro yang merupakan formasi geologi campuran volkan tua-kapur yaitu: (a) Perlu dikembangkan tehnik-tehnik penyimpanan air dengan membuat sumur-sumur resapan baik pada lahan pemukiman maupun pada lahan tegalan; dan (b) Menjaga kelestarian tanah dan sumber-sumber air di daerah hulu; (3). Persediaan air pertahun pada sub DAS Alang sebesar 31.372.317 m3 dan kebutuhan sebesar 69.566.500 m3, sehingga kekurangan air sebesar 54,90 % pertahun terjadi pada bulan Januari, Februari dan Mei - Desember berkisar 26,07 - 99,69 %. Untuk mengatasi kekurangan air pada sub DAS yang merupakan formasi geologi kapur yaitu; (a.) Perlu dikembangkan sumber-sumber air dengan sistem perencanaan yang baik mencakup penyusunan rencana pembangunan, rencana pemanfaatannya dan rencana penggunaan air dengan memperhatikan berbagai keperluan menurut prioritas yang ditentukan; (b.) Pengembangan pemanfaatan air tanah pada daerah yang dimungkinkan; (c). Pembangunan konservasi air (embung); dan (d). Menjaga kelestarian tanah dan sumber-sumber air di daerah hulu ; (4). Persediaan air pertahun sub DAS Keduang sebesar 438.527.889 m3 dan kebutuhan sebesar 452.611.219 m3, sehingga kekurangan air sebesar 3,11 % pertahun terjadi pada bulan Mei sampai dengan November berkisar 32,42 - 95,04 %. Untuk mengatasi kekurangan air yang relatif kecil pada sub DAS ini yang merupakan formasi geologi volkan muda yaitu: (a). Perlu dijaga bangunan prasarana pengairan dan konservasi air yang telah dibangun agar dapat berfungsi terus-menerus; dan (b). Menjaga kelestarian tanah dan sumber-sumber air di daerah hulu. Kata Kunci: Kekurangan air, ketersediaan air, kebutuhan air, dan penanganan kekurangan air.
50
TEMA 2. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI UNTUK MENDUKUNG SINERGITAS PENGELOLAAN DAS
Pemodelan Debit Setengah Bulanan Pada DAS tidak Berpencatat dengan menggunakan Model Mock (Studi Kasus di DAS Juwet Gunungkidul, D.I. Yogyakarta) Oleh: Ahmad Cahyadi Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Bulaksumur, Depok, Sleman, D.I. Yogyakarta
Abstract Analisis ketersediaan air di suatu DAS merupakan suatu yang sangat penting. Keterdapatan data ketersediaan air di suatu DAS dapat digunakan untuk melakukan perencanaan pemanfaatan sumberdaya di dalam DAS. Namun demikian, tidak semua DAS memiliki data ketersediaan air disebabkan karena tidak adanya stasiun pengamat aliran sungai (SPAS). Oleh karenanya diperlukan suatu upaya untuk mengatasi permaslaahan tersebut, diantara dengan melakukan perkiraan ketersediaan air di suatu DAS dengan menggunakan pemodelan hidrologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui ketersediaan air di Sub DAS Juwet dengan menggunakan Model Mock. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data hujan, suhu, data topografi lokasi kajian, penutup/penggunaan lahan, tanah dan data pencatatan tinggi muka air (dikonversi menjadi debit) selama minimal satu tahun. Hasil analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa rerata setengah bulanan ketersediaan air di Sub DAS Juwet adalah sebesar 13,84 m3/detik, sedangkan rerata total ketersediaan air selama satu tahun adalah 430.621.920 m3/tahun. Hasil ini memiliki kesesuaian dengan hasil pencatatan yang ditunjukkan dengan nilai t hasil analisis uji t lebih kecil dibanding t tabel pada derajat kepercayaan 80%. Kata Kunci: Pemodelan, Debit Setengah Bulanan, Ketersediaan Air, DAS Tidak Berpencatat, Model Mock
51
Implemetantion of Hydraulic Technology to Flood Control in Flood Basin Oleh: Dede Rohmat, Faizal Rohmat, Dadang Ruhiat UniversitasPendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154, Indonesia
Abstract The Dayeuhkolot, Baleendah, and Bojongsoangsub-distri ts are three a ong Bandung Basin’s flood subs riptions area. Ea h year annual flood o urs by ertain fa tors, i.e. topographi ally the area is the lo est points of Bandung Basin’s bo l-shaped terrain, dan(2) in this area se eral Citaru tributaries’ onfluen e Cikapundung Tributary, Cisangkuy Tributary, and Cigado Tributary).The problem emerges when flood control design based on certain return period confronted with the possibilities of the occurrence of exceeding flood. Study to anticipative Bandung flood held in 2011. The study conducted by utilizing Model of Hydraulis Te hnology. The s ope of study ondu ted is the onfluen e of Citaru Ri er’s Tributaries hi h is within the study area, i.e.Cikapundung, Cigado, and Cisangkuy river confluence. The development of the integrated flood control framework is based on certain assumption, i.e. the normalization of main river (Citarum River) has been carried out based on Q5 flood; the Q20 flood occurred on the tributaries; and coverage area of 3 sub-districts (kecamatan). The anticipative flood control system developed in this study is divided into 4 blocks. The block division is based on the proximity of the location and linkages of flooding phenomena. The planned structural flood control effort developed in block I are the application of polder system with revitalizing oxbow lakes and raising the bank elevation from the confluence upstream. The Block II are the application of Qpeak dispersion from Cisangkuy to CiodengRiver, upstream flood retaining basin, polder system with revitalizing oxbow lakes, and raising the bank elevation from the confluence upstream. The Block III and Block IV, are only to repair the part of main river which is still flooded after the implementation of Q5 flood control design. This proposed anticipative structural flood control system framework is a short-term flood control effort and would not be complete without the non-structural efforts. Keywords:Bandung Basin,Citarum River, flood, polder, flood basin, Hydraulic Technology.
52
Kajian Sistematika Pengelolaan Data dan Informasi dalam mendukung Pengelolaan DAS yang Optimal Oleh: Agung Rusdiyatmoko, Ign Kristanto Adiwibowo BPDAS Kahayan Kementerian Kehutanan Jl. RTA Milono Km, 2.5 Palangka Raya Abstract Pengambil kebijakan membutuhkan data dan informasi yang tepat agar pengelolaan DAS dapat berjalan optimal. Kemajuan teknologi pengolah data dan informasi telah berkembang pesat. Untuk menunjang kebutuhan tersebut diperlukan sistematika penggunaannya. Kajian ini bertujuan untuk menunjukan sistematika pengelolaan data dan informasi keruangan guna menunjang pengambilan keputusan yang tepat dalam pengelolaan DAS. Metodologi yang digunakan adalah analisis data dan informasi menggunakan sistem informasi geografi. Perangkat lunak yang digunakan adalah ArcGIS, E-DAS (Elektronik Data DAS), SSOP (Sistem Standar Operasi dan Prosedur) Pengendalian Banjir dan Tanah Longsor. Hasil yang diperoleh adalah sistematika pengelolaan data DAS berbasis sistem informasi geografi untuk merangkum data dasar dan informasi keruangan, serta menyajikannya secara sistematis dan cepat untuk keperluan analisis dan pengelolaan DAS lebih lanjut.
53
Kajian Sedimen Terlarut dan Material Nutrien (N dan P) di Daerah Aliran Sungai Merawu, Banjarnegara, Jawa Tengah Oleh: Drs. Prasmaji Sulistiyanto, M.Si Fakultas Pertanian UNSOED Purwokerto Jalan DR. Soeparno, Kampus Karangwangkal, Purwokerto Abstract Pasmaji S, Sisno Sj, dan Suwardi Fakultas Pertanian UNSOED, Purwokerto HP 085351757757, email
[email protected] ABSTRAK Aktivitas penggunaan lahan akan menghasilkan nutrien tertentu yang masuk ke dalam sistem sungai. Aliran permukaan yang melewati berbagai penggunaan lahan membawa material-material seperti tanah, pupuk dan limbah rumah tangga. Material tersebut memberikan dampak bagi badan perairan, seperti terjadinya sedimentasi dan kualitas air sungai menuju eutrofik. Penelitian bertujuan untuk mengkaji tingkat sedimentasi dan mengkaji kandungan material nutrien (N dan P) air sungai di Daerah Aliran Sungai Merawu. Penelitian dilakukan dengan metode survei. Penentuan area sampel dilakukan dengan metode purposive sampling atas dasar penggunaan lahan dan variasi tinggi muka air dalam suatu kesatuan sistem aliran. Penggunaan lahan yang dikaji adalah kebun campur, tegalan, permukiman, dan sawah. Data yang diambil yaitu sedimen total, N_total air sungai, serta pengukuran debit aliran. Data pendukung terdiri atas data curah hujan, data kelas lereng, data jenis tanah, dan morfometri DAS. Analisis data yang digunakan adalah uji F Model Rancangan Acak Lengkap. Uji F dilanjutkan dengan menggunakan Beda Nyata Terkecil, apabila memperoleh nilai yang signifikan, untuk mengetahui perlakuan mana yang memberikan efek yang berbeda nyata atau tidak. Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat sedimentasi di DAS Merawu sebesar 1.011,70 mg/l, untuk kebun campur 153,0 mg/l; tegalan 134,9 mg/l; pemukiman 276,4 mg/l; dan sawah 447,4 mg/l. Kandungan nutrient (N_total dan P_total) pada kebun campur 5,94 mg/l; tegalan 14,97 mg/l; pemukiman 7,21 mg/l; dan sawah 23,89 mg/l. Variasi penggunaan lahan tidak mempengaruhi besarnya kandungan sedimen, nutrien N total dan P total di DAS Merawu. Kata kunci: penggunaan lahan, sedimentasi, nutrient (N_total dan P_total).
54
Pengelolaan Lingkungan Untuk Peningkatan Kualitas Air Sungai: Studi Kasus Sub DAS Garuda Kabupaten Sragen Jawa Tengah Oleh: Pranatasari Dyah Susanti dan Nana Haryanti Balai Penelitian Teknologi Kehutanan Pengeloaan Daerah Aliran Sungai (BPTKPDAS) Solo Jl. A. Yani-Pabelan Kartasura, PO BOX 295
Abstract Kualitas air sungai dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan peristiwa alam. Aktivitas manusia baik di kawasan daerah tangkapan maupun di badan sungai secara langsung, akan mempengaruhi kualitas air sungai. Sub DAS Garuda merupakan salah satu sungai di Kabupaten Sragen yang masuk dalam DAS Bengawan Solo. Sub DAS tersebut membelah pusat kota Sragen serta melewati pemukiman padat dan saat ini telah mengalami peningkatan kualitas. Penelitian ini bertujuan mengetahui kualitas air di Sub DAS Garuda serta pengelolaan yang dilakukan. Penelitian menggunakan metode studi kasus. Pengumpulan data dilakukan dengan survey dan wawancara mendalam, sedangkan analisis data dilakukan secara diskriptif. Hasil penelitian menunjukkan pencemaran Sub Das Garuda disebabkan oleh limbah industri dan limbah domestik. Limbah industri sebagian besar berasal dari industri tahu, sedangkan limbah domestik disebabkan oleh buangan limbah rumah tangga. Pada tahun 2011 sampai 2013, terjadi perubahan kualitas air di Sub Das Garuda, berdasarkan PP No 82 Tahun 2010 kelas II. Hasil analisis air menunjukkan bahwa pada tahun 2011 terdapat 4 parameter yang berada dibawah baku mutu yaitu: TSS dengan besaran 51 mg/L, nitrit 0,266 mg/L, phospat 0,243 mg/L dan BOD 6 mg/L. Pada tahun 2012 menurun menjadi 3 parameter, diantaranya: TSS 61 mg/L, phospat 0,438 mg/L dan BOD 8,69 mg/L. Sedangkan pada tahun 2013 hanya terdapat 2 parameter yaitu TSS 56 mg/L dan BOD 7,1 mg/L. Kondisi ini dipengaruhi oleh upaya pemerintah daerah diantaranya: penerbitan Perda, pembuatan meningkatkan kualitas IPAL, perbaikan sanitasi, serta monitoring terhadap kualitas air secara rutin. Pengelolaan limbah baik industri maupun domestik terus dilakukan dengan berbagai program untuk air sungai di Sub DAS Garuda.
Kata kunci: DAS, kualitas air, pengelolaan limbah.
55
Analisis Morfokonservasi Lahan untuk Arahan Penggunaan Lahan Berkelanjutan di Daerah Aliran Sungai Samin
Oleh: Setya Nugraha, S.Si. M.Si Prodi Pendidikan Geografi FKIP UNS JL.Ir. Sutami NO.36A Surakarta Abstract Tujuan penelitian ini adalah:(1) Mengetahui persebaran dan luas fungsi kawasan lahan di DAS Samin, (2) Mengetahui jenis, luas dan persebaran penggunaan lahan yang terdapat di DAS Samin, (3) Mengetahui kesesuaian antara fungsi kawasan lahan dengan penggunaan lahan yang terdapat di DAS Samin, dan (4) Mengetahui prioritas penanganan dan arahan konservasi lahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode survai. Satuan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis satuan lahan. Satuan lahan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil tumpangsusun peta geologi, peta kemiringan lereng, peta tanah dan peta penggunaan lahan. Dalam penelitian ini data primer diperoleh dengan melakukan observasi lapangan yang berupa : jenis tanah, solum tanah, kemiringan lereng, penggunaan lahan, lokasi mataair dan situs purbakala. Data sekunder yang digunakan yaitu: data penggunaan lahan, kemiringan lereng, jenis batuan, data curah hujan dan data sosial kependudukan. Hasil penelitian adalah (1) Luas penggunaan lahan di DAS Samin terdiri dari: sawah 15.745,8 Ha (48,63 %), permukiman 8.101,9 Ha (25,02 %), perkebunan 3.601,0 Ha (11,12%), tegalan 3.584,9 Ha (11,07%), semak belukar 1.266,3 Ha (3,90%) dan sungai 78,7 Ha (0,23%), (2) Fungsi kawasan lahan DAS Samin terdiri dari fungsi kawasan lindung luasnya 3.254,21 ha (10,05%), fungsi kawasan lindung setempat 10.826,60 ha (33,44%), fungsi kawasan penyangga 1.629,93 ha (5,03%), fungsi kawasan budidaya tanaman tahunan 1.636,64 ha (5,05%), fungsi kawasan budidaya tanaman semusim dan permukiman 15.031,40 ha (46,42%), (3) Penggunaan lahan aktual DAS Samin yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan lahan pada kawasan lindung sebesar 3.254,21 ha (10,05%), kawasan lindung setempat 10.826,60 ha (33,44%), kawasan penyangga 1.237,77 ha (3,82%) kawasan budidaya tanaman tahunan 1.400,31 ha (4,32%), (4) Prioritas penangan konservasi di DAS Samin sebagian besar berupa prioritas penanganan kedua dalam pelaksanaan RLKT, pada umumnya berada pada lahan yang mempunyai fungsi kawasan lindung dan penyangga, dan budidaya tanaman tahunan dengan kemampuan lahan IV – VII dan mempunyai TBE dan TBL ringan sampai sangat berat. Luas prioritas panangan kedua 18.376,854 Ha (56,76%). Sedangkan bentuk konservasi yang lebih utama dilakukan berupa konservasi secara vegetatif. Kata kunci: morfokonservasi, fungsi kawasan, prioritas penanganan dan arahan konservasi.
56
Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis untuk Identifikasi Karakter Fisik dan Penggunaan Lahan Daerah Tangkapan Air Waduk Gajah Mungkur
Oleh: Drs. Agus Wuryanta, M. Sc. BPTKPDAS Solo JL. A.Yani Pabelan Kartasura PO.BOX 295 Surakarta Abstract Abstrak Karakteristik suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) terbentuk dari faktor – faktor alami dan faktor buatan. Faktor – faktor alami seperti morfometri DAS, topografi, tanah, bentuk lahan dan geologi merupakan faktor yang sulit dikelola, sedangkan faktor non alami seperti penutupan/penggunaan lahan merupakan faktor yang relatif mudah dikelola. Penelitian dilakukan di Daerah Tangkapan Air (DTA) Waduk Gajah Mungkur yang merupakan bagian hulu dari DAS Solo. DTA Waduk Gajah Mungkur dibagi menjadi tujuh sub DAS yaitu Sub DAS Keduang, Alang, Wuryantoro, Ngunggahan, Solo Hulu, Temon dan Wiroko. Tujuan penelitian adalah melakukan identifikasi karakter fisik seperti kelerengan, tanah dan bentuk lahan serta penggunaan lahan dengan menggunakan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG). Kelas kelerengan (menurut Kucera.,1988) diperoleh dari analisis peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1: 25.000, jenis tanah diperoleh dari peta tanah, bentuk lahan diklasifikasi dari peta RePPPRoT skala 1:250.000. Sedangkan peta penggunaan lahan tahun 2005 diperoleh dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo. Hasil penelitian menunjukkan kelas kelerengan 0 - 4 % (datar) menempati areal paling luas di DTA Waduk Gajah Mungkur yaitu seluas 58.984,97 ha atau sekitar 44,31% dari luas total DTA. Sedangkan kelas kelerengan terjal (> 85%) menempati areal seluas 4,49 ha. Jenis tanah di DTA Waduk Gajah Mungkur didominasi oleh jenis tanah mediteran. Bentuk lahan vulkanik (V) menempati areal paling luas di DTA yang sebagian besar berada di wilayah Sub DAS Keduang. Tegalan/ladang menempati areal seluas 47.296,54 ha atau sekitar 35,54 % dari total luas DTA. Kata Kunci: Karakteristik DAS, Daerah Tangkapan Air (DTA) dan Sistem Informasi Geografis (SIG).
57
Pemanfaatan Data TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) untuk Estimasi Data Curah hujan Sebagai Informasi Spasial dalam Rangka Pemetaan Daerah Rawan Longsor (Studi kasus: DAS Kodil Bagian Tengah, Jawa Tengah) Oleh: Agung Rusdiyatmoko, S.Si, M.Sc BPDAS Kahayan Dirjen BPDASPS Kementrian Kehutanan Jl. RTA Milono Km 2,5 Palangka Raya Provinsi Kalimantan Tengah Abstract
Rainfall is critical data to develop information for hazard mapping, mainly to map landslide prone area. Rainfall data can be obtained by direct measurement in field or by rainfall gauge both manually and digitally. Blank data is commonly case faced; it can be solved by rainfall estimation model. In this research, satellite data is used for filling blank rainfall data namely TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission) data. These satellite data contains monthly and daily even threehourly. The objective of research is to estimate and analysis blank rainfall data for mapping landslide susceptibility. The method is applied consist of 1). Double mass curve (DMC) is applied to check consistency of rainfall data 2). Statistical approach by using R-Square (R2), Nash-Sutcliffe Efficiency (NSE), Percentage of BIAS (PBIAS), Rasio between RMSE and Standard Deviation (RSR). 3). Isohyets for mapping spatial rainfall data. the result of research are blank data is well filled which stated by showed by DMC, increase in R2 and NSE values, decrease in RSR value and low bias value. In short, these data can be used to know distribution of landslide prone area in which rainfall data refers to maximum three daily (R72Hmax).
58
Pendekatan Daya Tampung Beban Pencemaran (DTBP) Secara Spasial dengan Pendekatan Penggunaan Lahan Sebagai Faktor Emisi Pencemaran (Studi Kasus DAS Progo Hulu) Oleh: Tommy Andryan Tivianton, Cut Ayu Tiara S, Akhmad Darajati Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281 Abstract DAS Progo bagian hulu telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan. Akibat dari perubahan penggunaan lahan tersebut ialah perubahan status mutu DAS Progo. Sumber pencemar DAS Progo bagian hulu berasal dari wilayah perkotaan yang berada di sepanjang Sungai Progo bagian hulu. Sumber polutan yang masuk ke anak Sungai Progo bagian hulu berupa limbah organik dari peternakan dan industri kecil tahu-tempe, limbah kimia dari industri batik, pelayanan kesehatan, industri tinta dan lain-lain. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi penggunaan lahan sebagai pendekatan Faktor Emisi (FE) secara spasial untuk mengkaji seberapa besar pengaruh penggunaan lahan terhadap Daya Tampung Beban Pencemar (DTBP) di DAS Progo bagian hulu. Faktor Emisi (FE) merupakan nilai rata-rata statistik dari jumlah massa pencemar yang diemisikan untuk setiap satuan aktivitas kegiatan. Hasil penetapan DTBP dengan FE dapat mempermudah pertimbangan program dan kebijakan dalam penetapan rencana tata ruang, pemberian izin lingkungan yang berkaitan dengan pembuangan air limbah ke sumber air, serta penetapan mutu air sasaran untuk kebijakan pengendalian pencemaran air.
59
TEMA 3. PENDIDIKAN SUMBERDAYA MANUSIA DAS BERKELANJUTAN Melek Geografi SMA 7 Surakarta dan MA Al Islam di Kecamatan Serengan dalam mengenal Bencana Banjir dan Lingkungan Oleh: Muhammad Amin Sunarhadi FKIP-Pendidikan Geografi UMS Gedung S2 Kampus 1 Universitas Muhammadiyah Surakarta
Abstract Penanganan terhadap melek Geografi belum dilakukan secara optimal. Selama ini, pembelajaran mengenai Geografi dianggap bukan prioritas utama dan hanya sebagai pengetahuan yang umum, padahal melek Geografi adalah hal yang penting bagi masyarakat Indonesia yang merupakan wilayahnya rawan terhadap bencana. Dalam hal ini pendidikan baik kurikulum maupun budaya, pemahaman Geografi sekolah harus ditanamkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kemampuan siswa dalam mengenal karakteristik bencana dengan melek Geografinya dan mengetahui faktor pendukung dan penghambat dari pihak sekolah dan dari guru yang merupakan faktor paling berpengaruh. Penelitian dilakukan dengan pendekatan diskriptifkuantitatif, dengan menggunakan menelaah RPP guru yang mengajar mata pelajaran yang bersangkutan yaitu Geografi selain itu di lakukan juga wawancara untuk memperkuat data. Data dianalisis dengan melakukan kategori dan reduksi data. Data ditampilkan secara naratif dengan dukungan data kuantitaif yang dihitung dengan prosentase. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa 1) Pengetahuan siswa SMA terhadap melek geografi dikategorikan cukup baik dengan prosentase mencapai 52,12% 2) Sekolah belum memiliki kebijakan mengenahi kegiatan yang bersangkutan langsung dengan lingkungan baik dari kurikulum maupun dari rpp guru yang bersangkutan dan peran gurupun juga kurang begitu maksimal karna kebijakan yang ingin di ambil tida sesuai dengan kebijakan yang sudah di buat sekolah. Kata kunci : Pengetahuan melek Geografi, bencana banjir.
60
Kajian Lebar Sempadan Sungai Sub DAS Bengawan Solo di Kabupaten Sukoharjo Oleh: Muhammad Amin Sunarhadi FKIP - Pendidikan Geografi UMS Gedung S2 Kampus 1 Universitas MUhammadiyah Surakarta
Abstract Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha menemukan model pengelolaan sempadan sungai sebagai strategi pengembangan wilayah. Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan lingkungan sungai dengan didukung pendekatan dari disiplin ilmu geomorfologi. Tujuan penelitian adalah menentukan model pengelolaan wilayah sempadan di sungai-sungai utama di Kabupaten Sukoharjo dengan mengikutsertakan peran masyarakat sekolah. Secara khusus, tujuannya adalah menentukan kriteria apa yang diperlukan dalam penentuan lebar sempadan sungai berdasar kajian biofisik dan mengkaji lebar sempadan sungai di Kabupaten Sukoharjo. Penelitian ini menggunakan pendekatan lingkungan sungai dengan dukungan pendekatan geomorfologi (statik, dinamik, dan terapan/geomorfologi lingkungan), dan pendekatan pola pemanfaatan sempadan oleh masyarakat. Metode yang digunakan adalah metode survei dan analisa data sekunder. Beberapa lokasi contoh akan dipilih berdasarkan atas penggunaan lahan, bentuklahan, dan perubahan penampang sungai. Kriteria yang diperlukan untuk penetapan lebar sempadan sungai di Kabupaten Sukoharjo adalah meliputi Kelas Kemampuan lahan dan Luas DAS Tangkapan. Lebar sempadan sungai terdiri atas sempadan mutlak dan sempadan penyangga. Sempadan mutlak ditetapkan selebar 6 meter. Sempadan penyangga ditetapkan 60 meter untuk sungai besar di lahan dengan Kelas Kemampuan Lahan I sampai V dan 35 meter untuk sungai besar di lahan dengan Kelas Kemampuan Lahan I sampai V. Sungai pada lahan dengan kelas kemampuan Lahan VI sampai VIII ditetapkan sempadan penyangganya adalah 35 meter. Perlu adanya riset lanjutan dalam menyusun model pengelolaan sempadan sungai sehingga didapatkan pengelolaan sempadan yang konservatif dan produktif dengan melibatkan masyarakat serta mengemnbangkan model pendidikan lingkungan sungai.
61
Pembentukan Kelompok Tani Sadar Sistem Terasering yang sesuai dalam Usaha Konservasi Lahan Pencegahan Erosi di Sub DAS Tulis Oleh: Dydik Setyawan, Muhammad Azzam, Aisah Latifah Rahmah Putri Fakultas Geografi, UMS Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Surakarta
Abstract Wilayah Sub DAS Tulis yang memiliki tingkat kekritisan lahan yang cukup tinggi sehingga dikategorikan kondisi DAS tidak sehat. Salah satu faktor kekritisannya adalah tingkat erosi lahan yang sangat tinggi akibat pengelolaan lahan yang kurang memperhatikan kondisi fisik lingkungan. Sesuai dengan Sistem Perencanaan Pengelolaan Tingkat Sub DAS yang salah satunya adalah USLE (Universal Soil Loss Equation) merupakan rencana teknik lapangan (RTL) yang bertujuan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT). Kondisi fisik yang digunakan dalam parameter penentuan sistem terasering yang sesuai adalah erodibilitas/tingkat kedalaman tanah dan kemiringan lereng. Metode yang digunakan untuk memperoleh hasil peta rekomendasi adalah dengan melakukan proses overlay terhadap kedua parameter tersebut. Menggunakan metode FGD (Focus Group Discussion), penyampaian hasil peta rekomendasi terasering yang sesuai kepada kelompok tani di wilayah Sub DAS Tulis dalam rangka usaha konservasi lahan untuk pencegahan erosi. Selanjutnya, untuk mengimplementasikan yang telah disampaikan di FGD dilaksanakan penyuluhan teknis pembuatan terasering yang sesuai di lapangan secara langsung. Hasil akhir dari penelitian ini adalah kelompok tani yang sadar akan sistem terasering yang sesuai dengan kondisi fisik di Sub DAS Tulis. Peta rekomendasi penentuan kesesuaian jenis terasering merekomendasi terdapat 4 jenis terasering yaitu teras bangku, teras gulud, teras individu dan teras kebun. Peta rekomendasi tersebut digunakan sebagai media bahan sosialisasi kepada kelompok tani setempat agar mereka menyesuaikan sistem terasering yang ada sesuai dengan yang direkomendasikan untuk mencegah semakin tinggi terjadinya erosi. Keberlanjutan dari kegiatan ini terdapat penyuluhan lapangan untuk pengarahan pembuatan secara teknis sistem terasering yang sesuai sehingga para petani tetap diarahkan dalam pelaksanaannya di lapangan.
62
Peran Pendidik Geografi dalam Pendidikan Sumberdaya Manusia DAS Berkelanjutan Oleh: Choirul Amin, S.Si., M.M. dan Drs. Priyono, M.Si. Progdi Pendidikan Geografi FKIP UMS dan Fakultas Geografi UMS Jl. A. Yani Tromol Pos I Pabelan Kartosuro
Abstract DAS di Indonesia semakin mengalami kerusakan lingkungan dari tahun ke tahun. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 (PP No. 7 Tahun 2005) disebutkan, bahwa DAS berkondisi kritis semakin meningkat dari 22 DAS pada 1984, menjadi 39 DAS pada 1994, 62 DAS pada 1999, 282 DAS pada 2006 dan 458 DAS pada 2008, dan 470 DAS pada 2009 (Paimin et al, 2009). Kerusakan tersebut sebagai akibat dari perubahan tata guna lahan, pertambahan jumlah penduduk serta kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian lingkungan DAS. Kerusakan DAS mengakibatkan meningkatnya jumlah kejadian bencana banjir di sejumlah kabupaten/kota di seluruh nusantara, baik dalam kasus tertentu seperti banjir bandang di Manado maupun secara berulang seperti yang dialami DKI Jakarta. Oleh karena itu, perbaikan DAS menjadi sebuah keniscayaan. Dalam rangka memperbaiki DAS dibutuhkan pengelolaan DAS Berkelanjutan dimana salah satu aspeknya adalah pendidikan. Pendidikan dipilih dalam implementasi pembangunan DAS Berkelanjutan karena merupakan instrumen kuat yang efektif untuk melakukan komunikasi, memberikan informasi, penyadaran, pembelajaran dan dapat untuk memobilisasi massa/komunitas, serta menggerakkan bangsa ke arah kehidupan masa depan yang berkembang secara lebih berkelanjutan. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) selama ini telah menjadi cara pandang dalam perencanaan pembangunan tetapi dalam implementasinya menjadi sangat sulit dan jauh dari paradigma tersebut. Dukungan dari unsur pendidikan dengan konsep Pendidikan untuk Pembangunan Berkelanjutan (Education for Sustainable Development) menjadi sangat penting agar mampu mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam kasus pengelolaan DAS Berkelanjutan, para Pendidik (baik guru maupun dosen) Geografi memiliki peran strategis untuk mengimplementasikan pendidikan sumber daya manusia DAS berkelanjutan. yaitu dengan mendidik generasi mendatang untuk menyayangi dan melestarikan lingkungan agar prinsip pembangunan berkelanjutan terlaksana di seluruh DAS. Tulisan ini menekankan pada peran Pendidik Geografi dalam menghasilkan Sumber Daya Manusia yang mampu memimpin perubahan ke arah masa depan yang lebih berkelanjutan.
63
Kesiapsiagaan Masyarakat dalam menghadapi Bencana Banjir di Kelurahan Joyosuran Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta Oleh: Erni Ermawati & Kuswaji Dwi Priyono Pendidikan Geografi FKIP UMS Jl.A.Yani Tromol Pos 1 Pabelan, Surakarta 57102
Abstract Tujuan penelitian ini adalah (1) dapat mengetahui kesiapsiagaan masyarakat Kelurahan Joyosuran dalam mengurangi risiko bencana banjir, (2) dapat mengetahui pengetahuan masyarakat Kelurahan Joyosuran dalam menghadapi bencana banjir. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga Kelurahan Joyosuran yang berjumlah 10.906 jiwa jumlah sampel yaitu 3.263 jiwa. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling dengan cara undian (untung-untungan) yang di tentukan dengan rumus Slovin. Teknik data yang digunakan adalah angket/kuesioner dan dokumentasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif. Teori yang digunakan beracuan pada framework kesiapsiagaan masyarakat dari Jan Sopaheluwakan, 2006 yang terdiri dari empat parameter yakni pengetahuan dan sikap/Knowledgeand Attitude (KA), perencanaan kedaruratan/Emergency Planning (EP), peringatan/Warning System (WS), dan mobilitas sumber daya (RMC). Kesimpulan yang diambil adalah (1) Kesiapsiagaan masyarakat Kelurahan Joyosuran, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta terhadap bencana banjir sudah baik dengan nilai indeks 78,76 dan dapat dikatakan siap dalam menghadapi bencana banjir, (2) Pengetahuan masyarakat Kelurahan Joyosuran, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta tentang bencana sudah sangat baik dengan niali indeks 95,87 dan dapat dikatakan sangat siap dalam menghadapi bencana banjir.
Kata kunci : Kesiapsiagaan Masyarakat, Bencana Banjir.
64
Pembelajaran Terpadu Model Webbed Berbasis Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk Meningkatkan Apresiasi Siswa Terhadap Melek Geografi Oleh: Miftahul Arozaq Pendidikan Geografi FKIP UMS Jl. A Yani Tromol Pos I Pabelan Surakarta
Abstract Model webbed (Model Jaring Laba-laba) merupakan pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan tematik. Model pembelajaran terpadu memperhatikan kebutuhan anak sesuai dengan perkembangannya secara holistic dengan melibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran baik fisik maupun emosinya. Pembelajaran dengan berbasis karakteristik DAS siswa dituntut untuk melakukan aktivitas yang diberikan dalam pembelajaran terpadu meliputi kegiatan aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan yang holistic, bermakna, dan otentik sehingga siswa dapat menerapkan perolehan belajar untuk memecahkan masalah-masalah yang nyata di dalam kehidupan sehari-hari di lingkup DAS. Hasil belajar yang diharapkan dalam pembelajaran terpadu dengan berbasis karakteristik Daerah Aliran Sungai yaitu siswa memperoleh pengetahuan yang tematik dan holistik mengenal lingkungan sekitar mereka kaitannya menghadapi risiko kebencanaan dan kesiapsiaagaan dalam menghadapi bencana yang terjadi. Kata Kunci: Model Pembelajaran Webbed, DAS
65
Sikap Masyarakat Tanggap Bencana Banjir pada Bantaran Sungai Bengawan Solo di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Surakarta Oleh: Drs. Dahroni, M. Si, Siti Bariyah Pendidikan Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta - UMS Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta Jawa Tengah 57162 Indonesia Telp. +62 271 717417 Faks. +62 271 715448
Abstract Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) mengetahui tingkat kerentanan sosial, ekonomi, dan lingkungan di Kecamatan Pasar Kliwon, (2) mengetahui tingkat kesadaran dalam tanggap bencana banjir pada masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif dengan studi korelasional. Objek penelitian ini adalah masyarakat bantaran sungai Bengawan Solo. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik observasi, kuesioner atau angket, dan dokumentasi. Validitas data menggunakan uji pearson product moment atau analisis korelasi. Reliabilitas instrument dengan rumus Spearman Brown. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis data deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai atau kategori pada kerentanan sosial Kecamatan Sangkrah masuk dalam kategori sedang, kerentanan ekonomi kategori sedang, dan kerentanan lingkungan ketegori rendah, sedangkan kesadaran dalam tanggap bencana banjir pada masyarakat bantaran Sungai Bengawan Solo adalah 66,92% yang berarti masuk kategori tinggi. Uraian kesadaran adalah (1) masyarakat menguasai aspek ego sebesar 21,43%. (2) masyarakat yang menguasai aspek personal unclonscious yaitu 30,83%. (3)masyarakat yang menguasai aspek colletive unconscious yaitu 33,83%. Kata Kunci: Kerentanan Sosial, ekonomi, lingkungan, Kesadaran, Bantaran Sungai, Bengawan Solo.
66
Pendidikan Lingkungan Daerah Aliran Sungai Bengawan Solo Hulu Daerah Surakarta dan Sekitarnya Oleh: Suharjo , R. Muhammad Amin Sunarhadi, Muhammad Musiyam, Kuswaji Dwi Priyono Program Studi Pendidikan Geografi FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Pabelan Kartasura Surakarta telp 021. 485478 Abstract Perilaku manusia yang kurang kesadaran dan tanggung jawabnya terhadap Daerah Aliran Sungai (DAS) mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan lingkungan. Makalah ini bertujuan memberikan data empirik tentang lingkungan alam dan manusia DAS Bengawan Solo hulu sebagai: 1) bahan ajar pendidikan berbasis kurikulum 2013, 2) bahan pendidikan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan berkelanjutan dan 3) bahan dasar pengaambil keputusan pembengunan berbasis lingkungan berkelanjutan. Dipilih metode komparatif dari data- data unsur lingkungan hasil penelitian penulis dari tahun 2004 sampai 2014. Berdasarkan genesa bentuklahan, DAS Bengawan Solo hulu tersusun: 1) pegunungan plateau Selatan yang berlokasi di Kabupaten Wonogiri, sebagian Sukoharjo yang dicirikan berbatuan gamping, batuan volkanik tua, proses solusi, erosi dan gerak massa dan antropogenik; 2) Gunung api Merapi yang berlokasi di kabupaten Klaten yang dicirikan berbatuan volkanikmuda,erosi, gempabumi tektonik, gerak massa, banjir,sabuk mata air, proses antropogenik;3) gunung api Lawu berbatuan volkakintua,terjadi perkembangan tanah, proses erosi, longsorlahan dan antropogenik. 4) pegunungan Kendeng selatan yang berlokasi di sebagian kabupaten Sragen Jawa Tengah berbatuan tuff, batu pasir,breksi volkan, proses erosi, longsor lahan, daya dukung tanah rendah, dan proses antropogenik dan 5) dataran banji dan dataran marine yang berlokasi di kabupaten kota Surakarta dan sebagian Sukoharjo, berbatatuan aluvium, pasil laut, proses banjir, marine, air tanah sebagian asin, tawar dan tercemar, dan proses antropogenik. Lingkungan DAS Bengawan Solo hulu merupakan satu sistem yang dibentuk oleh unsur lingkungan lima satuan bentuklahan, sedang kenyataannya lingkungan antropogenik mempunyai tingkat sosial pendidikan dan pengambil kebijakan yang berbeda beda sehingga perlu sinergisme antropogenik dalam penegelolaan lingkungan DAS Bengawan Solo. Langkah awal peningkatan sumber daya manusia elalui pendidikan dasar lingkungan. Data e pirik ini yang disajikan bdala bentuk peta te atik untuk pendidikan: jalur Sekolah, 2) jalur masyarakat dan 3) jalur penentu kebijakan Kata kunci: Lingkungan, Pendidikan Lingkungan
67
TEMA 4: ANALISIS KEBENCANAAN DI DAS BENGAWAN SOLO Interval Konfidensi Bagi Fungsi Tahan Hidup Waktu Tunggu Banjir Di Kota Surakarta (Data Berdistribusi Eksponensial Satu Parameter Tersensor Tipe-II) Oleh: Annas Syaiful Rizal Universitas Islam Indonesia Jl. Kaliurang Km. 14.4, Besi – Sleman, Yogyakarta 55584 DI Yogyakarta, Indonesia
Abstract Banjir merupakan salah satu bencana di Indonesia tidak terkecuali di Kota Surakarta. Penelitian yang akan dilakukan adalah mengestimasi interval konfidensi bagi fungsi tahan hidup waktu tunggu banjir di kota Surakarta. Data tersebut berdistribusi eksponensial satu parameter tersensor tipe-II. Distribusi eksponensial merupakan salah satu distribusi yang penting dalam analisis uji hidup. Yang membedakan analisis uji hidup dengan analisis statistik lainnya adalah adanya penyensoran. Dalam penelitian ini sensor yang digunakan adalah sensor tipe-II. Data yang digunakan adalah data tentang banjir di Kota Surakarta sejak tahun 2007.
Keyword: banjir, fungsi tahan hidup, sensor tipe II.
68
Daya Pulih Masyarakat Sukoharjo terhadap Banjir Tahun 2000 Oleh: Sinta Damayanti BPDAS Solo Jl. Bengawan Pabelan Po Box 128 Surakarta Abstract Sukoharjo is located in the middle of Bengawan Solo basin and has been frequently struck by flood in recent years. The community knowledge affected by flood is important to be incorporated in flood risk assessment. Community resilience becomes an important factor in a disaster mitigation plan. It relates to the ability to recover from a disaster and is for every person different. However, data and information related to community resilience is rare. For this reason, this research intends to assess community resilience for flood disaster.It is also aimed to generate the 2007 flood event map based on the knowledge of the people. Primary data was collected through interviews to 80 respondents and focus group discussion (FGD) as well as participatory mapping. . The respondents were choosing randomly on those villages. The study area was in desa Laban and desa Kadokan, which was struck by the 2007 flood event. Factors for quantifying community resilience were asked to respondent by giving questionnaire and interviewing them. While FGD was done in order to gain flood map based on community knowledge. Based on FGD result, the flood depth in both villages varies from 0 until 300 cm, while the duration of inundation varies from 1-7 days. Flood also caused losses, which the distribution of losses was Rp. 0 - 100,000,000,0. However generally the losses was bellow than Rp. 2,000,000,-. Resilience value of the respondent based on weighting result is distributed from 0.113 until 0.700. The average resilience value in desa Laban is 0.403, while desa Kadokan is 0.368. Most of the resilience value was influenced by human capital. Generally, people in both villages can continue their life normally although they are not completely recovered. Culture of Javanese people and religion factors influenced to community recovery in term of psychology. Moreover, in order to increase the community resilience, government has established flood control devices and rehabilitated the dike along Bengawan Solo and Samin river.
69
Zonasi Tingkat Kerentanan (Vulnerability) Banjir Daerah Kota Surakarta Oleh: Istikomah, Drs. Munawar Cholil, M. Si. Fakultas Geografi UMS Jl. A Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta
Abstract Penelitian ini bertujuan memetakan kerentanan bencana banjir di Daerah Kota Surakarta dan menganalisa tingkat kerentanan (vulnerability) daerah Kota Surakarta terhadap bencana banjir. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif yang meliputi pengolahan data sekunder dari instansi lain dan data primer dari interpretasi citra quickbird tahun 2011. Analisis spasial menggunakan metode overlay pada Sistem Informasi Geografis untuk mengetahui persebaran daerah rentan bencana banjir dan analisis deskriptif komparatif yang menggambarkan dan membandingkan tingkat kerentanan bencana banjir daerah satu dengan yang lain berdasarkan variabel-variabel yang mempengaruhi kerentanan tersebut. Hasil penelitian yaitu Persebaran kerentanan banjir di Kota Surakarta terdapat tiga klasifikasi yaitu agak rentan, rentan dan sangat rentan. Adapun persentase kerentanan tersebut ialah 37,5% untuk agak rentan, 61,63% untuk kelas rentan dan 0,85% untuk kelas sangat rentan. Di Kota Surakarta tidak terdapat klasifikasi tidak rentan, karena apabila ditinjau dari aspek lingkungan, secara umum memiliki kemiringan yang datar (0-15%) dan kepadatan bangunan yang tinggi (>4.117unit/ha). Daerah sangat rentan dan rentan berada di daerah dengan kondisi infiltrasi tanah sangat lambat (0,5m/jam), kerapatan drainase jarang (4,93-6,56km/km2) dan kepadatan bangunan tinggi (>4.117unit/ha). Daerah agak rentan berada di daerah dengan kondisi infiltrasi tanah sangat cepat (25-50mm/jam), kerapatan drainase rapat (>6,57km/km2) dan kepadatan bangunan tinggi (>4.117unit/ha). Kondisi sosial ekonomi juga mempengaruhi tingkat kerentanan banjir Kota Surakarta. Kepadatan penduduk dan tingkat rasio beban tanggungan yang bervariasi menyebabkan klasifikasi kerentanan yang berbeda. Daerah yang sangat rentan merupakan daerah dengan kepadatan penduduk sangat padat(>23.357jiwa/km2), rasio beban tanggungan tinggi(>81) dan persentase rumah tangga miskin terbanyak(11,77%). Berbeda dengan daerah agak rentan dan rentan, merupakan daerah dengan kepadatan penduduk dan rasio beban tanggungan yang berada pada klasifikasi antara rendah hingga tinggi. Kondisi lingkungan, fisik, sosial maupun ekonomi tersebut saling mempengaruhi dan menyebabkan Kota Surakarta rentan terhadap banjir.
70
Pemetaan Daerah Rawan Bencana Lonsor Lahan di DAS Takapala Sub DAS Jeneberang Bagian Hulu Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan Oleh: Nasiah and Sakina Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar
Abstract Penelitian ini bertujuan untuk: mengetahui daerah rawan bencana longsor lahan dan agihannya di DAS Takapala Sub DAS Jeneberang. Pendekatan penelitian menggunakan satuan lahan yang diturunkan dari peta tanah, peta lereng, peta bentuklahan, dan peta penggunaan lahan sehingga menghasilkan 30 satuan lahan. Variabel penelitian yang digunakan adalah curah hujan, jenis batuan, kemiringan lereng, tekstur tanah, permeabilitas tanah, ketebalan solum tanah, kedalaman pelapukan batuan, dinding terjal, penggunaan lahan, dan kerapatan vegetasi. Metode yang digunakan adalah purposive area sampling menggunakan analisis pengharkatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua tingkat kerawanan bencana longsor lahan yaitu Cukup Rawan seluas 3211,30 ha terdapat di bagian hulu, tengah dan hilir DAS, tingkat Rawan seluas 731,69 ha tersebar di bagian hulu, tengah DAS.
Kata Kunci: Longsor, Daerah Aliran Sungai Takapala.
71
Aplikasi Sistem Informasi Geografis untuk Penentuan Jalur Evakuasi Bencana Banjir di Kota Surakarta
Oleh: Sri Harsini, Yuli Priyana, Jumadi Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Abstract Penelitian ini bertujuan melakukan pemetaan jalur evakuasi bencana banjir di Kota Surakarta dengan Sistem Informasi Geografis. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan interpretasi Citra Quickbird Kota Surakarta tahun 2010, digitasi data sekunder, dan cek lapangan. Analisa data dengan metode Leas Cost Path untuk menghasilkan jalur evakuasi yang efektif dan analisa deskriptif kualitatif digunakan untuk menjelaskan jalur evakuasi yang dihasilkan. Lokasi penelitian dilakukan di Kota Surakarta yang wilayahnya terlewati Sungai Bengawan Solo dan terkena pemodelan simulasi banjir luapan Sungai Bengawan Solo, yang dilakukan pada bulan Maret 2014. Hasil analisis least cost path memperoleh dua jalur evakuasi di Kelurahan Sewu dan dua jalur e akuasi di Kelurahan Jebres. Di Kelurahan se u dapat enuju te pat e akuasi Masjid Ja i’ dan Masjid Sawunggaling, sedang di Kelurahan Jebres dapat menuju tempat evakuasi Masjid Al- Fath.
72
Kajian Dampak dan Pola Spasial Kerusakan Akibat Banjir Lahar di Sub DAS Opak Hulu, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta Oleh: Widiyanto, Ahmad Cahyadi, Henky Nugraha, Puncak Joyontono, Etik Siswati Jurusan Geografi Lingkungan Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Bulaksumur, Depok, Sleman, D.I. Yogykarta Abstract Erupsi Gunungapi Merapi Tahun 2010 merupakan salah satu erupsi Gunungapi Merapi yang terbesar. Erupsi ini berdampak besar bagi kehidupan manusia yang tinggal di sekitarnya. Banjir lahar merupakan salah satu dampat sekunder yang disebabkan oleh letusan Gunungapi Merapi Tahun 2010. Sub DAS Opak Hulu yang terdapat di Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta merupakan salah satu sungai yang terdampak banjir lahar cukup parah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak dan pola spasial kerusakan akibat banjir lahar di Sub DAS Opak Hulu. Kajian dilakukan dengan survei lapangan, kajian pustaka, wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat, analisis fasies gunungapi, serta analisis citra penginderaan jauh resolusi tinggi (GeoEyes Tahun 2011) di lokasi kajian. Hasil analisis menunjukkan bahwa banjir lahar di Sub DAS Opak Hulu menyebabkan kerusakan rumah, bendungan irigasi, fasilitas umum (kantor polisi), serta kerusakan lahan pertanian. Secara spasial, kerusakan akibat banjir lahar di Sub DAS Opak Hulu terjadi pada wilayah dengan karakteristik seperti pada lokasi di mana sungai berbelok tajam, wilayah yang mengalami perubahan kemiringan lereng yang drastis, serta pada pertemuan Sungai Opak dan Sungai Gendol yang sama-sama dialiri banjir lahar.
Kata Kunci: Banjir Lahar, Sub DAS Opak Hulu, Dampak, Pola Spasial.
73
Analisis Potensi Limpasan Permukaan (Run Off) Menggunakan Model Cook,S di DAS Penyangga Kota Surakarta untuk Pencegahan Banjir Luapan Sungai Bengawan Solo Oleh: Dra. Alif Noor Anna Fakultas Geografi UMS Jl. A Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta
Abstract Daerah penelitian merupakan daerah penyangga Kota Surakarta yang berdasarkan penelitian yang telah dilakukan telah mengalami alih fungsi lahan lahan, sehingga akan berdampak pada potensi limpasan permukaannya. Tujuan spesifik dari penelitian ini adalah menentukan estimasi potensi limpasan permukaan dengan model Cooks. Metode penelitian yang digunakan adalah survei. Distribusi curah hujan wilayah ditentukan dengan menggunakan poligon thiessen. Perhitungan estimasi potensi limpasan permukaan menurut Cooks mempertimbangkan variabel biofisik permukaan lahan, dengan modifikasi curah hujan. Adapun analisa yang digunakan adalah dengan menggunakan teknik skoring yang kemudian diolah menggunakan Sistem Informasi Geografis. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah (1) potensi air permukaan yang didasarkan atas analisis Co, maka potensi air permukaan tersebar dari 4 sub sub DAS yang diteliti mempunyai kisaran antara 47,428% sampai dengan 53,109%. Adapun potensi air permukaan terbesar terjadi di sub sub DAS Samin, sedangkan yang terkecil di sub sub DAS Bambang. Besarnya potensi air permukaan di sub sub DAS Samin banyak disumbang oleh kondisi topografi yang mempunyai kemiringan lereng 10%-<30%. (2) berdasarkan interpretasi citra landsat yang memperhitungkan peran 4 parameter permukaan lahan yaitu topografi, tanah, cover, dan surface storage, maka parameter topografi merupakan parameter yang paling banyak berpengaruh terhadap perubahan potensi air permukaan daerah penelitian.
74
Tingkat Bahaya Longsor DAS Grompol Bagian Hulu Di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah Oleh: Hendrik Boby Hertanto SMA MTA Surakarta Jalan Kyaimojo, Semanggi, Pasarkliwon, Surakarta Abstract Penelitian ini dilaksanakan di das grompol bagian hulu di kabupaten karanganyar dan bertujuan untuk: [1] Mengetahui tingkat bahaya longsorlahan di DAS Grompol bagian hulu. [2] Mengetahui faktor-faktor yang mendominasi penyebab tingkat bahaya longsor di DAS Grompol Bagian Hulu. Dalam penelitian ini Sistem Informasi Geografi berperan sebagai alat untuk menganalisis, memanipulasi data – data yang telah dikumpulkan yang kemudian akan mengeluarkan hasil akhir (Output) berupa peta – peta tematik sesuai dengan tujuan penelitian. Analisis yang digunakan adalah fungsi klasifikasi penumpangsusunan (overlay) beberapa peta tematik karakteristik lahan daerah penelitian sehingga akan menjadi peta satuan lahan yang selanjutnya akan dijadikan sebagai peta tentatif. Teknik pengambilan data dilakukan dengan teknik sampling, yaitu menggunakan teknik purposive sampling, artinnya pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu. Yaitu penentuan sample yang bertujuan dan pengambilan sampelnya secara proporsional pada setiap satuan lahan yang ada. Sample dipilih dengan cermat dan dianggap mempunyai ciri yang mewakili sehinga sesuai dengan tujuan penelitian ini. Analisis pengharkatan (skoring) digunakan dari berbagai parameter sebagai faktor penentu bahaya longsorlahan. Pada setiap satuan lahan yang dianalisis, masing-masing parameter sebagai faktor penentu longsorlahan dijumlahkan dengan penentuan kelas interval. Setiap variabel memiliki nilai pembobot masing – masing. Untuk mengetahui faktor penentu bahaya, seluruh nilai variabel beserta nilai pembobotnya dijumlahkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa [1] Dari perhitungan pengharkatan yang telah dilakukan maka diperoleh klasifikasi bahaya longsorlahan yang terdiri dari 5 klas yaitu: Kerawanan longsor kelas I (sangat ringan), kerawanan longsor kelas II (ringan), kerawanan longsor kelas III (sedang), kerawanan longsor kelas IV (berat), dan kerawanan longsor kelas V (sangat berat). [2] Dari parameter diatas faktor yang mendominasi kelongsoran di DAS Grompol bagian Hulu adalah kemiringan lereng, tekstur tanah, penggunaan lahan, dan pelapukan batuan.
75
Identifikasi Madden Julian Oscillation (MJO) untuk Prediksi Peluang Banjir Tahunan Di Sub DAS Solo Hulu Bagian Tengah (2007-2012) Oleh: Fitriyani, Alif Noor Anna Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan, Surakarta, Jawa Tengah 57102
Abstract Banjir di Sub DAS Solo Hulu Bagian Tengah menimbulkan kerugian besar, sehingga diperlukan penanggulangan. Salah satu pemicu banjir dari faktor non teknis adalah fenomena meteorologi yaitu Madden Julian Oscillation (MJO). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui banjir akibat MJO di fase 4 tahun 2007-2012 dan mengidentifikasi serta meminimalisir dampak MJO pada fase 4 yang mempengaruhi peluang banjir tahunan pada bulan Desember-Januari-Februari-Maret (DJFM). Metode yang digunakan untuk mengolah data curah hujan dan debit adalah metode Comullative Distribution Function (CDF) serta analisa data dengan deskriptif analitik. Pengolahan data dengan mencocokkan data kejadian banjir dan aktivitas MJO di fase 4, mengidentifikasi aktivitas MJO dengan membuat spasial Outgoing Longwave Radiation (OLR) dan curah hujan Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dengan aplikasi software Grid Analysis and Display System (GrADS), dan olah data curah hujan observasi dan debit dengan software Matlab. Hasil penelitian menunjukkan Peluang banjir di Sub DAS Solo Hulu Bagian Tengah akibat MJO fase 4 sebesar 7% yang disebabkan oleh curah hujan yang terjadi pada hari atau tanggal yang sama (26 Desember 2007, 5 Februari 2008, 31 Desember 2009, 6 Desember 2010, dan 3 Desember 2011). Selain itu, besar kecilnya dampak MJO juga dipengaruhi oleh indeks MJO selama osilasi berlangsung. Nilai threshold pemicu banjir dengan metode CDF yaitu curah hujan minimal 86 mm/hari dan debit air Sungai Bengawan Solo di Pos Jurug minimal 780 m3/hari. Kajian tersebut dapat bermanfaat untuk meminimalisir dampak banjir dari segi meteorologis dengan sistem prediksi curah hujan ekstrim dengan mengetahui karakteristik MJO.
76
Analisis Bentuklahan sebagai Satuan Eko-Hidraulik untuk Pengurangan Bencana Banjir Di DAS Bengawan Solo Oleh: Dr. Kuswaji Dwi Priyono, M. Si. Fakultas Geografi UMS Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura, Surakarta 57102
Abstract Bentuklahan merupakan konfigurasi permukaan Bumi yang memiliki kenampakan morfologi khas, yang dicirikan oleh beberapa sifat fisik material, dan merupakan hasil proses geomorfik yang dominan. Permukaan Bumi selalu mengalami perubahan sebagai akibat berlangsungnya proses geomorfologi yang bekerja dari dalam (tenaga endogenik) dan dari luar (tenaga eksogenik). Berbagai bentukan asal/origin bentuklahan terdapat di DAS Bengawan Solo, di bagian hulu ada bentuklahan karst, denudasional, dan volkan. Bagian tengah terdapat bentuklahan asal fluvial dan structural, sedangkan di bagian hilir terdapat bentuklahan proses fluvial dan marin. Masingmasing bentuklahan mempunyai karakteristik yang khas terkait dengan eko-hidraulik. Pemahaman satuan bentuklahan sebagai satuan eko-hidraulik sangat penting dalam pengurangan bencana banjir. Rusaknya retensi lingkungan atau daya dukung lingkungan berakibat sering munculnya debit sungai yang ekstrim atau banjir.
Kata Kunci: bentuklahan, eko-hidraulik, bencana banjir.
77
Pemodelan Spasial untuk Identifikasi Banjir Genangan di Wilayah Kota Surakarta dengan Pendekatan Metode Rasional (Rational Runoff Method)
Oleh: Nugroho Purwono Badan Informasi Geospasial Jl. Raya Jakarta-Bogor, KM 46, Cibinong, Bogor, 16911
Abstract Penelitian ini membuat sebuah model spasial dan replikasi secara deterministik dari kompleksitas fenomena hidrologis khususnya banjir genangan di Kota Surakarta. Tujuan dari penelitian ini yaitu : 1) mengetahui hasil model banjir genangan berdasar penilaian parameter utama yang meliputi debit runoff, kapasitas volume resapan, serta daya tampung drainase wilayah; 2) mengidentifikasi secara keruangan distribusi potensi banjir genangan berikut luasan yang dapat ditimbulkan melalui model spasial; 3) mengevaluasi keakurasian hasil model spasial yang diterapkan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni deskriptif analitik dengan teknik penerapan fungsi Sistem Informasi Geografis (SIG) sebagai alat pendukung analisis. Sementara itu, survei lapangan digunakan untuk menilai keakurasian hasil model yang diterapkan. Penilaian terhadap potensi banjir genangan dilakukan dengan metode rasional (rational runoff method), dengan satuan wilayah sub-sistem drainase kota sebagai unit analisis. Analisis hasil model dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua skenario kondisi sesuai dengan kriteria parameter yang diperoleh. Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) terjadi potensi banjir genangan di sebagian wilayah sub-siste drainase Kali Anyar pada skenario A’ dengan kondisi intensitas curah hujan <60 mm/jam, selanjutnya potensi banjir genangan terjadi hampir di seluruh wilayah sub-siste drainase Kota Surakarta pada skenario B’ dengan kondisi intensitas urah hujan >6 /ja ; untuk skenario kondisi A’, potensi banjir genangan teridentifikasi pada sub-sistem drainase wilayah Kali Anyar atau pada wilayah administrasi meliputi sebagian Kecamatan Banjarsari dan Kecamatan Jebres dengan luasan wilayah potensial sebesar 186, 96 ha, sedangkan untuk skenario kondisi B’ enunjukkan bah a ha pir seluruh sub-sistem drainase yang ada di Kota Surakarta teridentifikasi berpotensi banjir genangan dengan perkiraan total luas genangan sebesar 378,13 hektar; 3) evaluasi akurasi terhadap model menunjukkan nilai 65,71% untuk koefisien kappa dan 83,33% untuk akurasi keseluruhan.
Kata kunci: model spasial, metode rasional, potensi banjir genangan, akurasi model.
78
Pemodelan Simulasi Luapan Banjir Sungai Bengawan Solo untuk Optimalisasi Kegiatan Tanggap Darurat Bencana Banjir Oleh: Drs. Yuli Priyana, M. Si Fakultas Geografi UMS Jl. A Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura Surakarta Abstract Tujuan dari penelitian ini adalah untuk pemodelan banjir pada berbagai skenario ketinggian air menggenang. Metode yang digunakan meliputi pengembangan aplikasi neighbourhood operation berupa perhitungan raster piksel yang diterapkan pada nilai model ketinggian suatu tempat (Digital Elevation Model) dengan model iterasi untuk menentukan daerah genangan. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah (a) penggunaan lahan di daerah penelitian terbagi menjadi (1) kawasan perkotaan (Bussines Area) (2) kawasan permukiman (3) kawasan industri (4) kawasan permukaan dengan vegetasi tertutup (5) kawasan lahan terbuka dan tanah kosong yang diperuntukan, dan (6) kawasan pusat transportasi dan kawasan permukaan dengan perkerasan (kawasan stasiun kereta api dan kawasan terminal bus), (b) penyusunan basis data spasial dalam penelitian ini berupa data vektor ketinggian tempat atau data Digital Elevation Model (DEM). Data DEM di Kecamatan Jebres diperoleh 56 titik elevasi dan Kecamatan Pasar Kliwon 48 titik elevasi. Ketinggian permukaan tanah di daerah penelitian berkisar antara 88,9 mpdal sampai dengan 127,65 mdpal, dan (c) semakin tinggi skenario genangan banjir dampak yang ditimbulkan terhadap penggunaan lahan di daerah penelitian juga semakin besar. Dampak terbesar jelas terdapat pada skenario 2 m seluas 296.601 m2, sedangkan dampak terkecil terdapat pada skenario 1 m dengan luas dampak sebesar 77.693 m2. Luas total dampak berdasarkan hasil simulasi adalah sebesar 544.756 m2.
79