9 KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI HUKUM DAN KELEMBAGAAN
9.1
Pendahuluan Dalam berbagai sejarah kehidupan manusia di jaman modern seperti
sekarang ini, kelembagaan dan hukum adalah merupakan salah satu aspek yang sebenarnya dapat menjadi tolok ukur keberlanjutan perikanan atau kegiatan lainnya (Suseno, 2004). Menurut Charles (2001), bahwa kelembagaan adalah merupakan salah satu kriteria dan indikator sistem perikanan berkelanjutan. Kelembagaan yang kuat adalah penguatan untuk melahirkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat memperkuat implementasi hukum. Oleh karena itu kebijakan yang baik dapat berfungsi efektif apabila dibarengi dengan implementasi hukum kuat. Secara administratif, di dua kabupaten ini sudah terdapat institusi formal yang mengelola perikanan seperti Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten. Demikian juga dengan peraturan formal dan informal yang berkaitan dengan pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya alam di kedua wilayah baik Kabupaten Serang maupun Kabupaten Tegal relatif sudah tersedia.
Namun demikian
keberadaan peraturan baik peraturan formal dan informal belum dibarengi dengan inplementasi secara optimal, permasalahan tetap pada kepatuhan terhadap aturanaturan tersebut. Persoalan ini menjadi sangat menarik karena ketentuan yang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan disamping bersifat nasional juga diatur dalam kontek global seperti yang diintrodusir oleh badan-badan dunia seperti FAO. Dalam konteks nasional, kewenangan pengelolaan sumberdaya perikanan juga telah diatur dalam Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang “Pemerintahan Daerah” khususnya pada pasal 18 ayat 1 – 7, khususnya ayat 3 poin a, b, c, d dan e dimana hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah masing-masing untuk mengelola sumberdaya perikanan dan kelautan di wilayahnya. Penelitian pada bab ini akan membahas peranan hukum dan kelembagaan dalam perspektif keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di kedua lokasi penelitian.
241 9.2
Metodologi Seperti bab sebelumnya, metode yang digunakan dalam penelitian Bab 9
ini yaitu gabungan antara penelitian deskriptif dan survei langsung (pengamatan dan wawancara). Data tentang keadilan dalam hukum, ketersediaan personil penegak hukum di lokasi atau lembaga pengawas lokal, demokrasi dalam penentuan kebijakan, illegal fishing, dan peranan kelembagaan formal yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan diperoleh berdasarkan wawancara langsung dengan nelayan dan pengamatan langsung di kedua lokasi penelitian. Sedangkan data ketersediaan peraturan formal dan informal pengelolaan perikanan diperoleh berdasarkan laporan dinas perikanan, badan pusat statistik dan dinas-dinas terkait yang berwenang mengeluarkan data-data tersebut. Pemilihan dan jumlah responden untuk wawancara langsung dilakukan sama seperti pada Bab 5, yaitu keberlanjutan perikanan tangkap pada dimensi ekologi. Selain proses pengumpulan data, bab ini juga membahas hal-hal yang berkaitan
dengan
keberlanjutannya.
dimensi
hukum/kelembagaan
ditinjau
dari
perspektif
Perspektif keberlanjutan dari dimensi hukum/kelembagaan
antara lain dengan melakukan analisis fungsi dan keberadaan hukum/kelembagaan serta atribut-atribut yang mempengaruhi keberlanjutan perikanan tangkap dari sisi hukum/kelembagaan. Metode dalam penentuan indeks keberlanjutan sosial perikanan tangkap dengan teknik Rapfish dilakukan melalui sistimatika yang telah ditentukan seperti telah diuraikan pada Bab 3 (Metode Umum Penelitian).
Indeks status
keberlanjutan hukum/kelembagaan perikanan tangkap dimulai dengan pembuatan skor setiap atribut pada dimensi hukum/kelembagaan berdasarkan kondisi realita data di lapangan baik dengan wawancara dan pengamatan (data primer) maupun dengan menggunakan data sekunder. Penyusunan skor ini berdasarkan acuanacuan yang telah dibuat baik melalui literatur maupun judgement dari penulis dengan asumsi-asumsi dan dasar-dasar ilmiah. Skor yang diperoleh kemudian dimasukkan
ke
dalam
program
microsoft
excel
dengan
template
hukum/kelembagaan yang telah dipersiapkan sebelumnya kemudian di-run sehingga diperoleh nilai multidimenstional scaling dari Rapfish yang lebih dikenal dengan indeks keberlanjutan.
242 Nilai indeks keberlanjutan perikanan skala kecil pada metode Rapfish untuk Bab 9 ini adalah sama seperti yang telah disajikan pada Bab sebelumnya yaitu dengan menggunakan reference dari bad (buruk) sampai good (baik) dalam selang 0-100. Selang indeks keberlanjutan tersebut yaitu selang 0-25 dalam status buruk, selang 26-50 dalam status kurang, selang 51-75 dalam status cukup dan selang 76-100 dalam status baik. 9.3
Hasil Penelitian
9.3.1
Kondisi hukum kelembagaan perikanan tangkap Sebenarnya secara nasional sudah terbit berbagai kebijakan baik yang
bersifat nasional maupun yang bersifat implementatif di daerah. Kebijakan yang bersifat umum dan mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap meliputi UU No 9 tahun 1985 tentang Perikanan, UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI, UU No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi Kebijakan Laut Internasioanl Tahun 1982, UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dan Perpu No. 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap tersebut diatur dalam 25 pasal dan 29 ayat. Demikian juga dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap lebih dijelaskan lagi dengan tersedianya ketentuan yang mengatur peradilan perikanan secara formal. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap telah mendapatkan perhatian besar dari pemerintah. Selain kebijakan umum diatas, terdapat dua kebijakan umum yang berbentuk Keputusan Presiden (Keppres), yaitu (1) Keppres No. 85 Tahun 1982 tentang Penggunaan Pukat Udang; (2) Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Selanjutnya kebijakan yang berfungsi sebagai kebijakan pelaksanaan dari UU sudah diatur secara jelas dalam empat Peraturan Pemerintah (PP), dimana tiga diantaranya mengatur mengenai usaha perikanan. Keempat PP tersebut adalah PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati di ZEEI, PP No. 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan, PP No. 46 Tahun 1993 tentang Perubahan PP No. 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan, PP No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan.
243 Kebijakan pelaksanaan juga tersedia dalam bentuk yang bejumlah 30 buah Keputusan Menteri (SK Menteri) dan satu Keputusan Direktur Jenderal, dimana tersedia satu kebijakan pelaksanaan yang secara langsung berkaitan dengan kelestaria sumber daya perikanan. Di sisi lain, ada indikasi bahwa kebijakan daerah yang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di lokasi penelitian belum dirumuskan sejak berlakunya UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah. Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap hingga saat ini masih mengacu pada peraturan daerah (Perda) Jawa Tengah No.6 tahun 1978. Seperti tertuang dalam FAO-CCRF (1995) yang diacu oleh Suseno (2004) memasuki periode desentralistik baik di tingkat nasional maupun daerah, pemerintah belum menyediakan 11 aspek kebijakan yaitu : 1)
Pemulihan sumber daya yang terancam kepunahan,
2)
Pencegahan pencemaran lingkungan,
3)
Pengaturan upaya penangkapan,
4)
Pengaturan jenis da ukuran ikan yang boleh ditangkap,
5)
Pengaturan musim penangkapan,
6)
Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan,
7)
Partisipasi nelayan,
8)
Identifikasi stakeholders,
9)
Kelembagaan,
10)
Pembangunan prasarana perikanan, dan
11)
Pengaturan pendidikan pelatihan dan penyuluhan. Kegiatan perikanan di kedua lokasi penelitian yaitu Kabupaten Serang dan
Kabupaten Tegal seperti terlepas dari berbagai aturan dan kebijakan tersebut di atas. Misalnya, komunitas nelayan di Pasauran tidak ada ketergantungan terhadap hukum dan kelembagaan formal dalam pengelolaan usahanya. Hasil wawancara di lapangan bahwa mereka memilih tokoh masyarakat yang ada atau cukup sesama nelayan dalam berdiskusi tentang pengelolaan perikanan. Tokoh tersebut adalah ketua rukun/kelompok nelayan yang secara kebetulan menjadi tokoh pemuda. Ketua rukun nelayan tersebut cukup berpengaruh dalam pertemuan-pertemuan mengenai usaha perikanan. Ketergantungan terbesar justru pada aspek pemasaran
244 hasil tangkapan yang sangat dominan menentukan tingkat pendapatannya yang saat ini didominasi oleh peran bakul ikan di TPI. Sementara itu, lembaga formal yang selama ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan pengamanan laut seperti Polairud, dianggap besar pengaruhnya ketika sudah terjadi konflik sosial antar nelayan seperti yang terjadi pada tahun 2002. Persoalan pengawasan pengelolaan sumberdaya ikan belum dilakukan oleh lembaga formal yang ada. Di sisi lain nelayan juga merasakan kurangnya ketersediaan personil pengawas dan penegak hukum yang dapat membantu keberlanjutan sumberdaya ikan di Pasauran. Nelayan di Pasauran memiliki kesadaran tinggi terhadap adanya perubahan lingkungan perairan di sekitarnya, misalnya mereka sangat menyayangkan terjadinya reklamasi pantai untuk pembangunan hotel di sekitar TPI Pasauran karena menambah derasnya arus dan ombak yang menerpa pantai sekitar TPI, selain dapat menimbulkan kerusakan habitat pantai dan kemungkinan akan terjadinya limbah yang dapat merusak kelestarian sumberdaya ikan. Lembaga pemerintahan yang paling diandalkan adalah Dinas Kelautan dan Perikanan. Institusi tersebut, sangat diharapkan dapat memfasilitasi keberlanjutan usaha perikanan terutama ketika nilai jual ikan sangat murah. Saat ini baru terasa manfaatnya dengan tersedianya TPI di Pasauran. Peran lain yang sangat diharapkan terutama dalam melindungi nasib para nelayan dari kehancuran usahanya yang berasal dari lemahnya penerapan/penegakkan hukum terhadap halhal yang dapat merusak lingkungan, beroperasinya kapal pendatang yang melebihi daya dukung lingkungan (carrying capacity) dan beroperasinya jaring gardan (trawl) di sekitar pantai Pasauran. Demikian juga dengan keberadaan HNSI sebagai satu-satunya institusi nelayan belum terasa peranannya dalam kegiatan usaha perikanan di Pasauran. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Tegal; nelayan sangat mengharapkan peran lembaga formal dalam menegakkan hukum yang berpihak kepada nelayan kecil. Kerusakan sumberdaya perikanan di pesisir pantai Tegal di duga karena beroperasinya jaring arad yang jumlahnya tidak sedikit di samping pelanggaran zona penangkapan pukat cantrang dan purse seine mini yang seharusnya menangkap ikan di zona 6 mil keatas (zona I b) kadang-kadang masuk di zona
245 pantai yang jaraknya kurang dari 6 mil bahkan kurang dari 3 mil dari pantai. Operator jaring arad saat ini berasal dari Muarareja yaitu suatu kawasan pantai yang berbatasan dengan Kabupaten Brebes. Komunitas nelayan jaring arad di Muarareja pada tahun 2004 mencapai 356 unit dan pada pertengahan tahun 2005 yang beroperasi sekitar 225 unit. Di samping itu, nelayan jaring arad juga datang dari luar daerah Tegal yaitu dari Kabupaten Brebes dengan jumlah yang lebih besar. Walaupun sejak tahun 1980 dengan Keppres 39/1980 pengoperasian Trawl telah dilarang, namun kenyataannya nelayan pengguna jaring arad dari dua wilayah tersebut juga sering masuk di pantai perairan Tegal walaupun secara diam-diam dan menimbulkan konflik dengan nelayan yang bukan pengguna jaring arad. Kejadian tersebut di atas sudah berlangsung lama, namun sampai saat ini belum ada penyelesaian secara tuntas. Nelayan
bukan
pengguna
jaring
arad,
sangat
menghawatirkan
beroperasinya jaring arad di perairan pantai Suradadi, Munjung Agung dan sekitarnya karena dinilai sangat merusak terbukti dengan tertangkapnya habitat dasar seperti rajungan, tiga waja termasuk ikan-ikan lain yang masih berukuran kecil/belum dewasa.
Ketidaktegasan penegakan hukum terbukti telah
menimbulkan konflik sosial antar nelayan di perairan Suradadi, Pemalang dan sekitarnya. Kejadian ini berulang kali dengan frekuensi yang sangat tinggi. 9.3.2
Kondisi hukum kelembagaan dalam atribut Rapfish Penyusunan skor status keberlanjutan pada dimensi Hukum kelembagaan
perikanan tangkap skala kecil berdasarkan keadaan lapang daerah penelitian dan berdasarkan acuan dari kriteria yang telah dibuat.
Hasil wawancara dan
pengamatan lapang yang dilakukan pada dua wilayah yaitu Kabupaten Serang (Pasauran, Kecamatan Cinangka) dan perairan Pantai Kabupaten Tegal menghasilkan variabel atau atribut yang dapat dilihat pada Tabel 9.3 dan Lampiran 26. Untuk pendefinisian kriteria data dari variabel atau atribut pada Tabel 9.3 tersebut maka dilakukan analisis data sebagai fakta atau realita data dalam atribut Rapfish.
246 9.3.2.1 Ketersediaan peraturan formal dan informal pengelolaan perikanan Secara umum peraturan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah Indonesia sudah cukup banyak. Permasalahan sebenarnya yang sering timbul dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut ini adalah masalah pengawasan dan penegakan hukum. Tabel 9.1 menunjukkan beberapa peraturan formal yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut. Tabel 9.1 Beberapa peraturan perundangan yang dikeluarkan pemerintah pusat berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayah Indonesia No
Jenis Peraturan
Tentang
1
UU No 31/2004
Perikanan
2 3
UU No. 4/1960 UU No. 5/1983
4
UU No. 15/1984
5 6 7 8 9 10 11
UU No. 9/1985 UU No. 17/1985 PP No. 15/1990 PP No. 54/2002 PP No. 62/2002 Keppres No. 39/1980 Kepmen Pertanian No. 14/Kpts/LK.410/1/1996 Kepmen Pertanian No. 51/Kpts/LK.250/1/1997 Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 45/MEN/2001 Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 46/MEN/2001 Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 47/MEN/2001 Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 58/MEN/2001
Perairan Indonesia Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia / ZEEI Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati di ZEEI Perikanan Pengesahan UNCLOS Usaha Perikanan Pungutan Pengusahaan Perikanan Pungutan Hasil Perikanan Pelarangan Trawl Pengembangan Pelabuhan Perikanan Pemasangan dan Pemanfaatan Rumpon Pungutan Perikanan Untuk Ijin Penangkapan Ikan Pendaftaran Ulang Perijinan Usaha Penangkapan Ikan Pembaharuan Sistem Perijinan Penangkapan Ikan Sistem Pengawasan Masyarakat Dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Penataan Pemanfaatan ZEEI
12 13 14 15 16
17 18
Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 60/MEN/2001 Surat Edaran Menteri PPLH No.
Larangan Pengambilan Batu
247
No
Jenis Peraturan 408/MNPPLH/4/1979
Tentang Karang yang Dapat Merusak Lingkungan Laut Larangan Pengambilan Batu Karang yang Dapat Merusak Lingkungan Laut Pembentukan Badan Koordinasi Keamanan di Laut
19
Surat Edaran Dirjen Perikanan No. 1/5/5/11/1979
20
Keputusan bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Menteri Keuangan, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan dan Jaksa Agung No. Kep./B/45/XII 72, SK.901/M/1972, Kep./779/MK/III/12/1972, JSB 72/1, Kep./085/J.A/12/1972 SK Menteri KP No. 1 Tahun 2000 dan Sertifikasi Ekspor Hasil Perikanan SK Menteri KP No. 34 Tahun 2003 SK Mentan No. 26/Kpts/ Sertifikasi Pembenihan Ikan OT.210/1/98, SK BSN No.44/Kep/BSN/2002 Kepmentan no.607/1976 jo 392/1999 Jalur-jalur penangkapan Æ melindungi kepentingan nelayan kecil dan menghindari konflik antar nelayan
21 22 23
24
Kepmentan no. 509/1995
25
Kepmentan no.509/1995
26
Kepmentan no.995/1999
Ketentuan mata jaring purse seine di mana bagian kantong minimal 1 inchi dan bagian sayap minimal 2 inchi, dengan maksud agar ikan dapat lolos; Pola inti rakyat dalam kemitraan usaha Potensi dan JTB (Jumlah Tangkapan yang dibolehkan
Sumber: Haryadi (2004), Susilo (2003) dan berbagai sumber peraturan. Selain peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat sebagaimana dicatat pada Tabel 9.1, pemerintah daerah juga mengeluarkan peraturan.
Peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Serang dan Kabupaten Tegal dapat dilihat pada Tabel 9.2. Dalam semua agama sebenarnya mengandung ajaran-ajaran untuk mengelola sumbedaya alam secara arif dan bijaksana. Apalagi sebagian besar penduduk di kedua kabupaten ini menganut agama Islam yang mempunyai aturan-
248 aturan untuk tidak merusak alam, selalu menjaga kebersihan, bersikap arif terhadap alam dan tidak mengeksploitasi secara berlebihan. Secara keseluruhan sebenarnya di dua kabupaten ini terdapat banyak peraturan formal dan informal yang berkaitan dengan pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya alam di kedua wilayah baik Kabupaten Serang maupun Kabupaten Tegal (2), namun bagaimanapun banyaknya peraturan baik peraturan formal dan informal, permasalahan tetap pada kepatuhan terhadap aturan-aturan tersebut. Tabel 9.2 Beberapa peraturan perundangan yang dikeluarkan pemerintah daerah berkaitan dengan sumberdaya perikanan di wilayahnya No Jenis Peraturan Pemerintah Kabupaten Serang 1 Perda Kab. Serang No. 9 Tahun 2001 2 Perda Kab. Serang No. 2 Tahun 2003 3 Perda Propinsi Banten No. 39 Tahun 2002 4
SK Gubernur Banten No. 37 Tahun 2003 5 Perda Banten No. 40 Tahun 2002 6 SK Gubernur Banten Tahun 2003 7 SK Gubernur Banten No. 38 Tahun 2003 8 Renstrada Kabupaten Serang 2003-2008 9 Renstrada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten 2003-2008 Pemerintah Kabupaten Tegal 1 Renstrada Kabupaten Tegal 2004-2009 2 Peraturan Daerah Jawa Tengah No.6 Tahun 1978 Sumber
:
Tentang Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan Restribusi Kegiatan Usaha Perikanan dan Kelautan Ijin Usaha Perikanan, Ijin Usaha Penangkapan Ikan dan Ijin Usaha Budidaya Perikanan Surat Keterangan Mutu Perikanan Sertifikasi Ekspor Hasil Perikanan Penyediaan Bibit Unggul Penyelengaraan Pelatihan Petani dan Nelayan Ikan Perencanaan Strategis Daerah termasuk pengelolaan perikanan dan kelautan Perencanaan Strategis Daerah Pembangunan dan Pengelolaan Sektor Perikanan dan Kelautan Perencanaan Strategis Daerah termasuk pengelolaan perikanan dan kelautan Usaha Perikanan
Pemerintah Kabupaten Serang. (2005) dan Pemerintah Kabupaten Tegal (2005)
249 9.3.2.2 Keadilan dalam hukum Keadilan hukum masih merupakan masalah yang belum dapat diselesaikan di kedua wilayah tersebut. Contoh ketidakadilan hukum di Kabupaten Serang adalah kasus pembakaran kapal bolga (yang menggunakan alat tangkap purse seine besar dan diberi nama bolga) di perairan Selat Sunda beberapa tahun silam. Nelayan yang berdomisili di pantai Pasauran merasa sangat marah karena kapalkapal bolga ini merusak rumpon-rumpon yang telah mereka buat di tengah laut walaupun seringkali mereka peringatkan. Kemarahan nelayan Pasauran ini sudah tidak dapat diatasi lagi sehingga hampir semua nelayan Pasauran yang bergerak dan membakar kapal bolga tersebut.
Pemilik kapal bolga yang dibakar ini
menuntut penyelesaian hukum dari aparat keamanan. Pada saat itu polisi tidak dapat masuk ke Pasauran untuk menangkap orang-orang yang membakar kapal bolga tersebut, namun tetap harus ada yang bertanggung jawab terhadap aksi pembakaran dari desa tersebut. Seorang warga Pasauran ditangkap polisi dan ditahan di sel selama 6 bulan, yaitu Pak Omod (orang yang tidak mengerti akar permasalahan sebenarnya karena baru pulang menjual hasil tangkapannya di Cilegon sehingga mudah sekali menangkapnya karena aparat keamanan tidak dapat masuk ke Pasauran). Kasus ini mencerminkan ketidakadilan hukum, yaitu bilamana terjadi aksi perusakan atau pembakaran maka harus ada yang bertanggung jawab walaupun orang tersebut tidak bersalah (0). Keadilan hukum dalam konteks pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Tegal yang paling dirasakan oleh nelayan lokal (Suradadi dan Munjung Agung) berupa tidak tegasnya aparat hukum dalam menangani berbagai kasus pelanggaran berupa penggunaan alat tangkap yang dilarang misalnya jaring arad dan garok yang datang dari luar daerah. Penggunaan alat tangkap arad telah menjadi berbagai konflik sosial dan perang laut antar nelayan lokal dengan pendatang yang menggunakan alat tangkap arad tersebut (misal nelayan Brebes dengan nelayan Suradadi). Jenis pelanggaran lain adalah beroperasinya nelayan mini purse seine dengan menggunakan lampu galaxi yang menurut nelayan dapat menghabiskan ikan di wilayah pantai dan berakibat nelayan kecil tidak lagi mendapatkan hasil tangkapan atau hasil tangkapan semakin menurun. Wawancara dengan Sukirno (PPNS Kabupaten Tegal) menyingkapkan bahwa konflik sosial
250 antar nelayan di Tegal disebabkan oleh nelayan cantrang yang beroperasi diwilayah < 3 mil (zona 1A) dan nelayan arad yang beroperasi di wilayah yang sama (<3 mil). Pelanggaran tersebut tidak pernah ditindak dengan tegas sehingga dapat menjadi pemicu terjadinya penularan pelanggaran kepada nelayan lokal atau ikut melanggar. Di sisi lain nelayan lokal sudah sepakat untuk tidak menggunakan jaring arad. Kesepakatan yang dibangun di antara sesama nelayan Suradadi dan Munjung Agung adalah apabila ada nelayan lokal yang memiliki jaring arad harus segera dihentikan dan jaring aradnya harus dibakar sendiri oleh pemiliknya di depan para nelayan lain. Hal ini pernah dilakukan di sekitar TPI Larangan desa Munjung Agung pada bulan Maret 2005 dimana empat unit jaring arad dibakar/dimusnahkan sendiri oleh pemiliknya. Nelayan lokal merasa diperlakukan tidak adil di perairan Tegal karena aturan lokal berupa kesepakatan hanya berlaku bagi nelayan lokal sedang nelayan pendatang belum ada tindakan dari aparat, sehingga sering terjadi konflik di tengah laut (0). 9.3.2.3 Ketersediaan personil penegak hukum di lokasi atau lembaga pengawas lokal Sebelum terjadi aksi pembakaran di perairan Kabupaten Serang terhadap kapal-kapal dari luar wilayah ini, personil penegak hukum boleh dikatakan tidak ada. Secara kelembagaan sebenarnya ada petugas Polairud Merak, namun dalam kapasitasnya sebagai aparat penegak hukum belum optimal mengawasi proses pelanggaran secara khusus di tengah laut, namun sejak kejadian tersebut aparat penegak hukum (Polairud) mengadakan kontrol terhadap wilayah perairan Kabupaten Serang walaupun hanya seminggu sekali (1). Dari berbagai kasus yang terjadi seperti juga terjadi di Kabupaten serang, tercermin bahwa aparat keamanan atau penegak hukum di Kabupaten Tegal baru berfungsi mengawasi supaya tidak terjadi konflik yang meluas dan aktif bergerak jika telah terjadi aksi. Di samping aparat keamanan atau penegak hukum Polairud dan aparat Pangkalan Angkatan Laut (Lanal), sejak tahun 2002 di Kabupaten Tegal telah ada dua orang petugas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) yang ditempatkan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegal Sari Tegal yang bertugas
251 mengawasi, menyidik kegiatan perikanan di Kabupaten Tegal sehingga kalau dilihat dari keberadaannya dapat dikategorikan sering berada di tempat (2). 9.3.2.4 Demokrasi dan keterlibatan nelayan dalam penentuan kebijakan dan pengelolaan perikanan Penentuan kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan di Kabupaten Serang belum melibatkan pendapat langsung dari nelayan. Contoh untuk kasus ini adalah pada saat pemerintah Kabupaten Serang memberikan bantuan bergulir kepada nelayan. Bantuan ini diberikan kepada 2 orang nelayan, yaitu berupa kapal perikanan dan alat tangkap gillnet. Ketiadaan modal kerja, baik modal uang maupun modal keahlian untuk mengoperasikan kapal tersebut menyebabkan kedua nelayan tersebut membiarkan kapal tersebut di darmaga perikanan. Kondisi kedua kapal tersebut diyakini sudah mulai rusak dan akhirnya nelayan tersebut menyerahkan kembali ke dinas terkait yang memberikan bantuan. Ketiadaan koordinasi antara kedua lembaga tersebut juga diperparah dengan tidak melibatkan demokrasi atau keterlibatan nelayan dalam pemberian bantuan yang dibutuhkan nelayan.
Bantuan dari DKP ini adalah berkarung-
karung pelampung yang tidak jelas untuk alat tangkap apa dan bagaimana menggunakannya. Bahkan alat penangkap ikan tersebut akhirnya dibiarkan tidak terpakai karena menurut nelayan tidak ada gunanya.
Hal tersebut sangat
menjelaskan bahwa sebenarnya demokrasi dan keterlibatan nelayan baik dalam penentuan kebijakan, pengelolaan, pemberian bantuan dan lainnya di Kabupaten Serang tidak ada (0). Penentuan kebijakan pembangunan dan perikanan di Kabupaten Tegal ini tidak jauh berbeda dengan Kabupaten Serang.
Perbedaannya penentuan
demokrasi dalam penentuan kebijakan dan pengelolaan perikanan di Kabupaten Tegal lebih banyak dilakukan oleh LSM-LSM yang berkembang di kabupaten ini. Hal ini sebenarnya sangat merugikan nelayan karena kondisi ini sama saja LSM yang menyalurkan aspirasinya, bukan keterlibatan nelayan dalam menyampaikan pendapatnya secara langsung. Bantuan-bantuan perikanan yang akan diberikan harus melalui LSM-LSM ini, yang sering kali tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, maka demokrasi dan keterlibatan nelayan dalam
252 penentuan kebijakan dan pengelolaan perikanan di Kabupaten Tegal juga dapat dikatakan tidak ada (0). 9.3.2.5 Illegal fishing Kegiatan penangkapan ilegal (illegal fishing) di perairan Pasauran Kabupaten Serang yang dilakukan oleh nelayan lokal Pasauran tidak ditemukan selama penelitian. Demikian juga berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan responden selama beberapa tahun terakhir ini tidak ada indikasi terjadinya illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan lokal baik pelanggaran wilayah penangkapan maupun jenis alat tangkap yang melanggar ketentuan. Sebaliknya nelayan beranggapan sering terjadi pelanggaran wilayah penangkapan yang dilakukan oleh nelayan pendatang dengan menggunakan alat tangkap yang kemampuan teknologinya lebih tinggi, misalnya pengoperasian gardan (trawl) yang merusak lingkungan bahkan merusak rumpon milik nelayan payang bugis dari Pasauran, Kabupaten Serang. Demikian juga pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan andon yang menggunakan jaring purse seine (jaring bolga: lokal) yang menggunakan lampu galaxy sangat besar (ribuan watt) yang dapat menarik gerombolan ikan dari jarak jauh sehingga nelayan lokal beranggapan ikan di wilayah Pasauran cepat habis. Klasifikasi pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan andon pengguna purse seine ini adalah karena kapal dengan bobot 30 GT atau lebih ini dioperasikan di perairan antara pantai Pasauran dan Pulau Rakata yang termasuk ke dalam wilayah I (zona pantai). Hasil wawancara dengan nelayan Pasauran, Kabupaten Serang dan aparat Desa Umbul Tanjung (Pasauran) bahwa nelayan andon tersebut tidak pernah mendaratkan ikan hasil tangkapannya di Labuan atau Pasauran, tapi dilakukan transhipment di tengah laut dan ikannya dibeli oleh para pelele yang didaratkan di TPI Panimbang dan TPI Labuan. Oleh karena transhipment dilakukan oleh sebagian nelayan andon dan tidak dilakukan oleh nelayan lokal, maka dapat dikategorikan sebagian nelayan melakukan transhipment (1). Penangkapan secara illegal berupa penggunaan alat tangkap atau wilayah penangkapan secara jelas telah terjadi di wilayah perairan Tegal. Penggunaan alat tangkap illegal adalah beroperasinya jaring arad yang ditarik dengan mesin dan
253 beroperasi di wilayah pantai (< 3 mil). Sejak dihapuskannya pengoperasian Trawl di Indonesia melalui Keppres 39/1980, alat tangkap ini sudah dilarang namun kenyataannya alat ini masih dioperasikan walaupun secara diam-diam. Demikian juga dengan pelanggaran wilayah penangkapan yang kadang-kadang dilakukan oleh nelayan cantrang yang melakukan penangkapan di wilayah pantai (<3mil). Dari berbagai kasus yang terjadi seperti diterangkan di atas, illegal fishing di perairan Tegal dapat dikategorikan sering terjadi (2). 9.3.2.6 Peranan kelembagaan sumberdaya perikanan
formal
yang
mendukung
pengelolaan
Berbagai lembaga pemerintah sebagai lembaga formal yang dalam tugas pokoknya terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan agar kegiatan perikanan dapat berkelanjutan.
Lembaga formal tersebut diantaranya adalah
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang, dan
Himpunan Nelayan
Seluruh Indonesia wilayah Banten. Dari hasil wawancara dengan nelayan responden bahwa keberadaan lembaga tersebut belum banyak berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di wilyahnya. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serang yang di wakili oleh TPI Pasauran belum memberikan andil besar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, walaupun sudah dirasakan perannya dalam mengorganisir sistem pelelangan ikan hasil tangkapan sehingga ikan yang dihasilkan dapat dengan mudah dijual di TPI tersebut. Sebenarnya lembaga formal sangat diharapkan peranannya dalam berbagai hal misalnya pengaturan wilayah penangkapan dan pengawasannya, pencegahan munculnya konflik antar nelayan atau pengguna sumberdaya, pengawasan penerapan regulasi dan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan yang berdampak terpeliharanya sumberdaya perikanan, peran itu dirasakan belum ada (1). Lembaga formal yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada di Kabupaten Tegal diantaranya adalah Dinas Perikanan dan Kelautan, HNSI, dan PPNS. Lembaga-lembaga tersebut dirasa belum berperan dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan, bahkan berbagai kasus pelanggaran yang berdampak pada rusaknya sumberdaya perikanan seperti illegal fishing belum
254 dapat diatasi dengan baik. Dengan demikian lembaga tersebut sudah ada di lokasi namun belum dapat berperan secara penuh (1). 9.3.2.7 Ketersediaan peraturan informal pengelolaan perikanan Ketersediaan peraturan informal dalam hal ini peraturan yang dibentuk berdasarkan kesepakatan dari masyarakat nelayan memang dibutuhkan. Peraturan informal ini dibentuk karena adanya kebutuhan diantara masyarakat nelayan akan kejelasan pengelolaan sumberdaya perikanan. Aturan informal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang disepakati sesama nelayan di perairan pantai Tegal adalah tidak diperbolehkannya menangkap ikan didalam kawasan ”karang jeruk” atau hanya boleh menangkap ikan diluar kawasan radius 100 m dari posisi karang jeruk tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan dimana kawasan tersebut dapat dijadikan daerah asuhan dan perkembangbiakan ikan. Nelayan pengguna payang bugis di perairan pantai Pasauran Kabupaten Serang mempunyai kesepakatan untuk tidak menggunakan alat tangkap yang dinilai merusak sumberdaya seperti jaring arad. Demikian juga nelayan pengguna jaring udang mempunyai kesepakatan untuk tidak menggunakan cara-cara yang merusak dalam penangkapan udang lobster seperti penggunaan bom dan bius. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan peraturan informal pengelolaan perikanan telah ada dikalangan nelayan baik di Tegal maupun di Serang (1). 9.3.2.8 Ketersediaan dan peran tokoh masyarakat lokal Ketersediaan dan peranan tokoh masyarakat lokal yang betul-betul dipilih dan dapat dipercaya oleh nelayan setempat sangat diperlukan mengingat keragaman persepsi nelayan dalam pengelolaan perikanan secara umum. Peranan tokoh menjadi sangat penting terutama ketika terjadi hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan
seperti
penanganan
konflik
antar
nelayan,
pengelolaan
sumberdaya perikanan agar berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan perairan. Tokoh nelayan yang dipililh dan dipercaya oleh nelayan lokal dijadikan panutan sehingga kebijakannya akan dipatuhi. Tokoh masyarakat lokal yang ada dilapangan dapat diperankan oleh tokoh agama, tokoh nelayan, tokoh pemuda dan
255 tokoh masyarakat lokal lainnya.
Keberadaan tokoh masyarakat lokal dalam
komunitas nelayan pantai Pasauran Kabupaten Serang sangat terlihat peranannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial nelayan termasuk dalam menjaga lingkungan perairan dan daerah penangkapan ikan dari kegiatan-kegiatan yang merusak baik yang dilakukan oleh nelayan setempat maupun nelayan pendatang. Berperannya tokoh masyarakat lokal di pantai Pasauran disamping karena ketokohannya, juga disebabkan komunitas nelayan di pantai Pasauran relatif terkonsentrasi dalam perkampungan yang sama dengan jumlah nelayan yang tidak terlalu banyak,
sehingga terlihat tokoh masyarakat lokal memegang peranan
cukup besar (2). Berbeda dengan di Serang, peranan tokoh masyarakat lokal dalam komunitas nelayan di Kabupaten Tegal walaupun ada namun perannya relatif sedikit (1). Hal ini terjadi karena komunitas nelayan di pantai Tegal relatif lebih banyak dan tersebar dibeberapa desa dan kecamatan. Disamping itu sifat pemanfaatan sumberdaya perikanan yang sangat kompetitif adakalanya tidak menghiraukan anjuran-anjuran dari tokoh masyarakat lokal. 9.3.2.9 Peranan kelembagaan lokal (informal) yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan Kelembagaan lokal (informal) yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan memegang peranan penting dalam keberlanjutan sumberdaya perikanan. Kelembagaan ini dibentuk karena adanya kebutuhan dari masyarakat nelayan para pengguna sumberdaya. Kelembagaan informal ini merupakan perwujudan dari keinginan para nelayan itu sendiri yang menghawatirkan akan semakin menurunnya hasil tangkapan akibat beroperasinya kapal ikan dari luar daerah. Lembaga pengelolaan sumberdaya berbasis komunitas (PSBK) di Tegal dan kelompok pemuda nelayan di Pasauran adalah merupakan kelembagaan informal yang berperan dalam mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan demikian secara keseluruhan kelembagaan informal yang mendudkung pengelolaan sumberdaya perikanan di kedua lokasi penelitian memang sudah ada dan cukup berperan (2).
256 9.3.2.10 Manfaat aturan formal untuk nelayan Berdasarkan masukan dari para nelayan yang menjadi responden menyatakan bahwa aturan-aturan formal yang dibuat oleh pemerintah kadangkadang dinilai
menyulitkan nelayan. Aturan-aturan formal yang menyulitkan
tersebut bilamana berhubungan dengan retribusi atau pungutan-pungutan yang dapat menurunkan tingkat pendapatan mereka. Disisi lain aturan-aturan formal juga diperlukan dan dirasakan ada manfaatnya yaitu pada saat munculnya kejadian yang berkenaan dengan pemanfaatan atau pengelolaan perikanan seperti ketika terjadi konflik antar nelayan yang berhubungan dengan masalah-masalah penjagaan sumberdaya perikanan/zonasi penangkapan dari nelayan luar atau yang bersifat landasan hukum formal ketika aturan informal sudah tidak dapat berfungsi secara maksimal. Secara keseluruhan dari pendapat nelayan di Kabupaten Tegal dan Kabupaten Serang menyatakan bahwa aturan-aturan formal yang ada saat ini dihawatirkan lebih mengarah pada pungutan-pungutan yang memberatkan mereka. Oleh karena itu secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa manfaat aturan formal bagi nelayan walaupun ada namun masih sedikit (1). 9.3.3
Skor atribut dan indeks keberlanjutan pada dimensi hukum/ kelembagaan Analisis Rapfish pada dimensi hukum dan kelembagaan ini berjumlah 6
atribut. Setiap atribut dari dimensi hukum dan kelembagaan yaitu ketersediaan peraturan formal dan informal pengelolaan perikanan, keadilan dalam hukum, ketersediaan personil penegak hukum di lokasi atau lembaga pengawas lokal, demokrasi dalam penentuan kebijakan, illegal fishing, dan peranan kelembagaan formal yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan dianalisis secara agregat dari daerah atau wilayah dari masing-masing usaha perikanan. Tabel 9.3 menunjukkan realitas data berupa skor-skor berdasarkan kondisi lapangan masing-masing atribut dari dimensi hukum dan kelembagaan.
257 Tabel 9.3 Realitas data di lapangan dan nilai skor setiap atribut pada dimensi hukum dan kelembagaan No
Atribut
1.
Ketersediaan peraturan formal dan Informal pengelolaan perikanan Keadilan dalam hokum Ketersediaan personil penegak hukum di lokasi atau lembaga pengawas local Demokrasi dalam penentuan kebijakan Illegal Fishing Peranan kelembagaan formal yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan
2. 3.
4. 5. 6.
7.
Ketersediaan peraturan informal pengelolaan perikanan 8. Ketersediaan dan peran tokoh masyarakat lokal 9. Peranan kelembagaan lokal (informal) yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan 10. Manfaat aturan formal untuk nelayan
Baik
Buruk
Payang bugis
Jaring Udang
Jaring Rampus
Bundes
Payang Gemplo
2
0
2
2
2
2
2
2
0
0
0
0
0
0
2
0
1
1
2
2
2
2
0
0
0
0
0
0
0
2
1
1
2
2
2
3
0
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
2
0
2
2
1
1
1
2
0
2
2
2
2
2
2
0
1
1
1
1
1
Nilai skor pada dimensi hukum dan kelembagaan seperti yang tercantum pada Tabel 9.3 di atas kemudian dianalisis dengan metode Rapfish. Hasil yang diperoleh dengan metode Rapfish pada dimensi hukum dan kelembagaan
258 menunjukkan nilai indeks keberlanjutan usaha perikanan secara hukum dan kelembagaan. Indeks keberlanjutan usaha perikanan pada dimensi hukum dan kelembagaan dapat dilihat pada Tabel 9.4. Tabel 9.4 Nilai indeks keberlanjutan usaha perikanan (IKP) pada dimensi hukum dan kelembagaan di perairan Pantai Pasauran Kabupaten Serang dan perairan Pantai Kabupaten Tegal No.
IKP pada Atribut Hukum/Kelembagaan
Usaha Perikanan
Serang 1. Serang Payang bugis 2. Serang Jaring Udang Rata-rata indeks Kab. Serang Tegal 3. Tegal Jaring Rampus 4. Tegal Bundes 5. Tegal Payang Gemplo Rata-rata indeks Kab. Tegal
52,62 52,62
Cukup Cukup Cukup Berkelanjutan
40,87 40,87 40,87
Kurang Kurang Kurang Kurang Berkelanjutan
60
Serang Payang bugis 51
Serang Jaring udang
40
Sumbu Y Setelah Rotasi
Status Keberlanjutan
Tegal Rampus Tegal Bundes Tegal Gemplo
20 52,62 0
40,87
0 0
25
40,87
Anchor 100
52,62
40,87 50
75
Reference
100
-20
-40 52 -60
Sumbu X Setelah Rotasi : Skala sustainabilitas
Gambar 9.1
Posisi status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Serang dan Tegal pada dimensi hukum dan kelembagaan.
259 Gambar 9.1 di atas menyajikan posisi status keberlanjutan perikanan tangkap perairan pantai Pasauran, Kabupaten Serang dan perairan Pantai Kabupaten Tegal pada dimensi hukum dan kelembagaan. Pada Gambar 9.1 terlihat jelas bahwa posisi perikanan tangkap di perairan pantai Pasauran, Kabupaten Serang mempunyai status keberlanjutan dan lebih baik dibandingkan dengan di perairan Pantai Kabupaten Tegal mempunyai status kurang berkelanjutan dengan skor 40,87. Nilai Stress (S) yang diperoleh dalam dimensi hukum/kelembagaan ini sebesar 13,74 % (S < 25 %) maka analisis Rapfish sudah memenuhi kondisi fit (goodness of fit). Beberapa nilai statistik yang diperoleh dalam Rapfish pada dimensi hukum/kelembagaan dapat diihat pada Tabel 9.5. Tabel 9.5 Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish pada dimensi hukum dan kelembagaan No Atribut Statistik 1 Stress 2 R2 3 Jumlah Iterasi
Nilai Statistik 0,1374 0,9445 3
Prosentase 13,74 94,45
Pada Tabel 9.5 menunjukkan nilai dari koefisien determinasi (selang kepercayaan) atau R2 sebesar 94,45 % atau sudah mendekati 100 %. Nilai stress yang diperoleh dari dimensi hukum kelembagaan ini sebesar 13,74 % atau masih < 25 %. Hal ini menurut prosedur multidimensional scaling (MDS) diacu dalam Fauzi dan Anna (2004) adalah jika nilai stress atau yang dilambangkan dengan S semakin rendah menunjukkan good fit, sementara nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Hasil analisis Monte Carlo dari dimensi hukum/kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 9.2. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa usaha perikanan di kedua Kabupaten pada setiap jenis alat telah banyak mengalami gangguan (perturbation) yang ditunjukkan oleh plot yang menyebar.
260
60
OtherSumbu Distingishing Features Y setelah rotasi
40
20
0 0
20
40
60
80
100
-20
-40
-60 Sustainability Sumbu X setelah Fisheries rotasi : scatter plot skala sustainabilitas
Gambar 9.2 Kestabilan nilai ordinasi hasil Rapfish dengan Monte Carlo pada dimensi hukum dan kelembagaan
Hasil Rapfish yang diperoleh menggambarkan kondisi secara umum berdasarkan penilaian atas atribut-atribut hukum kelembagaan yang digunakan. Atribut-atribut hukum kelembagaan yang digunakan tersebut perlu dianalisis atribut mana yang paling sensitif mempengaruhi tingkat keberlanjutan usaha perikanan tangkap skala kecil menurut dimensi hukum kelembagaan. Oleh karena itu diperlukan analisis sensitivitas atau analisis leverage. Analisis leverage ini pada dasarnya untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap skor keberlanjutan hukum/kelembagaan apabila satu atribut dikeluarkan dari analisis sehingga bisa dilihat tingkat sensitivitas skor keberlanjutan hukum/kelembagaan akibat dikeluarkannya satu atribut. Menurut Picther et al. (2002), analisis sensitivitas atau analisis leverage dilakukan terhadap atribut-atribut masing-masing dimensi. Perhitungan dilakukan dengan metode stepwise yaitu dengan membuang setiap atribut secara berurutan satu persatu kemudian menghitung berapa nilai error atau root mean square (RMS) tersebut dibandingkan dengan RMS yang dihasilkan pada saat seluruh atribut dimasukkan. Dalam statistik metode ini dikenal dengan
261 metode Jackknife (Kavanagh, 2001). Secara keseluruhan leverage atribut hukum dan kelembagaan dapat dilihat pada Gambar 9.3.
Manfaat aturan formal untuk nelayan
1,15
Peranan kelembagaan lokal (informal) yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan
2,27
Peranan kelembagaan formal yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan
1,62
Illegal Fishing
3,92 5,81
Demokrasi dalam penentuan kebijakan Ketersediaan dan peran tokoh masyarakat lokal
4,64
Ketersediaan personil penegak hukum di lokasi
2,01
Keadilan dalam hukum
3,71
Ketersediaan peraturan informal pengelolaan perikanan
2,38
Ketersediaan peraturan formal pengelolaan perikanan
1,33 0
Gambar 9.3
9.4
1
2
3
4
5
6
7
Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi hukum dan kelembagaan
Pembahasan Pembahasan pada bab ini dilakukan setelah melalui beberapa tahapan dan
analisis yang berkaitan dengan status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil dari perspektif dimensi
hukum dan kelembagaan di dua lokasi penelitian.
Tahapan tersebut diantaranya adalah (1) inventarisasi terhadap peraturan yang terkait dengan perikanan tangkap termasuk implementasinya serta peran kelembagaan dalam upaya pembangunan perikanan berkelanjutan, yang dilakukan dengan membandingkan koleksi dokumentasi dan pengamatan kondisi nyata di lapangan (2) penentuan skor dan indek keberlanjutan, (3) penggambaran ordinasi Rapfish dimensi hukum dan kelembagaan atas dasar alat tangkap dan lokasi penelitian, (4) uji goodness of fit dengan prosedur multidimensional scaling (MDS), (5) penentuan nilai koefisien determinasi (R2), (6) uji kestabilan ordinasi dengan teknik analisis Monte Carlo, (7) uji sensitivitas dengan metode analisis leverage, dan (8) penggambaran artribut sensitif pada dimensi ekonomi serta (9)
262 penentuan respons (alternatif implikasi kebijakan) yang harus dilakukan terhadap atribut sensitif. Perikanan tangkap di perairan Pantai Pasauran, Kabupaten Serang khususnya untuk alat tangkap jaring udang dan payang bugis memiliki status cukup berkelanjutan. Sementara itu perikanan tangkap di perairan Pantai Kabupaten Tegal yang menggunakan jaring rampus, bundes dan payang gemplo memiliki status kurang berkelanjutan.
Dengan demikian secara umum pada
dimensi hukum dan kelembagaan baik di perairan pantai Pasauran, Kabupaten Serang maupun perairan pantai Kabupaten Tegal mempunyai indeks status keberlanjutan yang berbeda. Indeks keberlanjutan untuk perairan pantai Pasauran, Kabupaten Serang baik usaha perikanan yang menggunakan alat tangkap payang bugis maupun jaring udang sebesar 52,62 dari sisi hukum dan kelembagaan. Indeks keberlanjutan di perairan pantai Kabupaten Tegal dari dimensi hukum dan kelembagaan untuk usaha perikanan yang menggunakan alat tangkap jaring rampus, bundes dan payang gemplo sebesar 40,87. Nilai koefisien determinasi (R2) dan nilai stress serta jumlah iterasi berkaitan dengan ordinasi Rapfish pada dimensi hukum dan kelembagaan disajikan pada Tabel 9.5. Jumlah iterasi ini menyatakan pengulangan perhitungan sebanyak 3 kali pada metode Rapfish. Iterasi atau pengulangan perhitungan pada dimensi hukum/kelembagaan ini untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut maupun kesalahan prosedur. Jumlah iterasi ini dapat juga dikatakan untuk mengetahui tingkat kepercayaan dari indeks keberlanjutan perikanan tangkap yang telah diperoleh dari sisi hukum/kelembagaan. Untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak (random error) dilakukan analisis kestabilan ordinasi dengan Monte Carlo yaitu metode simulasi yang dilakukan terhadap seluruh dimensi. Kavanagh (2001) dalam Fauzi dan Anna (2004) menyatakan ada tiga tipe untuk melakukan algoritma Monte Carlo. Dalam studi ini hanya dilakukan analisis Monte Carlo dengan metode “scatter plot” yang menunjukkan ordinasi dari setiap dimensi.
Analisis dalam melihat tingkat
kestabilan hasil ordinansi tersebut untuk melihat tingkat gangguan (perturbation) terhadap nilai ordinasi (Spence and Young, 1978), yang dilakukan iterasi sebanyak 25 kali.
263 Seperti diterangkan diatas bahwa hasil ordinasi Rapfish bersifat umum sehingga perlu dilakukan analisis lanjutan untuk melihat atribut yang paling berpengaruh terhadap status dimensi hukum dan kelembagaan. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas dengan leverage (Gambar 9.3) bahwa demokrasi dalam penentuan kebijakan dan ketersediaan serta peran tokoh masyarakat lokal merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap nilai atau status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil. Nilai root mean square change atribut demokrasi dalam penentuan kebijakan ini jauh lebih tinggi dibandingkan atribut lainnya. Contoh riil lainnya selain contoh yang ada sebelumnya yaitu tidak adanya demokrasi dalam penentuan kebijakan bagi masyarakat nelayan adalah pada saat harga BBM dinaikkan dengan asumsi lebih banyak orang kaya yang lebih banyak menikmati subsidi BBM, namun sebenarnya subsidi itu juga dinikmati oleh mereka yang bermata pencaharian sebagai nelayan dengan biaya untuk BBM mencapai 70-80% dari biaya variabel/produksi. Pada saat subsidi BBM dicabut, maka sebagian besar para nelayan perikanan skala kecil ini sudah tidak bisa melaut, padahal perikanan tangkap skala kecil ini mencapai > 70% dari total perikanan secara nasional. Dengan kebijakan menaikkan harga BBM banyak kapal yang dibiarkan tidak beroperasi bahkan dijual dengan sangat murah seperti pada kasus nelayan di Tegal, Pekalongan, dan tempat-tempat lainnya atau mencampur bahkan mengganti bahan bakarnya dengan minyak tanah karena lebih murah namun berakibat pada kerusakan mesin. Demokrasi
dalam
penentuan
kebijakan
sangat
diperlukan
yaitu
keterlibatan para nelayan sebagai salah satu stakeholder agar kebijakan-kebijakan yang telah dibuat tidak lagi misleading terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Ketersediaan dan peran tokoh masyarakat lokal menjadi salah satu faktor kunci agar pengelolaan sumberdaya perikanan dapat berjalan dari sisi dimensi hukum/kelembagaan. Kebijakan untuk dapat menjaga keberlanjutan usaha perikanan dari dimensi hukum/kelembagaan diarahkan untuk melibatkan para nelayan dalam penentuan kebijakan dan meningkatkan peran dari keberadaan tokoh masyarakat lokal.
Efektivitas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
bagaimanapun juga tergantung pada responsif dukungan dari masyarakat, dimana dukungan terhadap kebijakan muncul dari bawah yaitu nelayan itu sendiri (bottom
264 up). Keberlanjutan perikanan tangkap bukan semuanya lagi pemerintah yang menentukan namun masyarakat nelayan ikut terlibat dengan mengetahui permasalahan yang sedang terjadi dan melakukan hubungan yang komunikatif dengan masyarakat nelayan dan melibatkan peran dari tokoh masyarakat itu sendiri. Contoh dari keberhasilan demokrasi penentuan kebijakan sebagai wadah keterlibatan nelayan dan peran tokoh masyarakat lokal adalah seperti sasi di Maluku, awig-awig di Lombok Barat, panglima laut di Aceh dan daerah lainnya (Nikijuluw, 2002). Dengan mencermati atribut sensitif tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya kelembagaan formal di kedua daerah tersebut belum berjalan secara optimal. Pada Kabupaten Serang walaupun ditunjukkan mempunyai status keberlanjutan yang cukup namun lebih dekat ke arah kurang keberlanjutan, sedangkan pada Kabupaten Tegal sangat terlihat status yang kurang berkelanjutan. Kurang optimalnya dimensi hukum/kelembagaan karena dalam upaya-upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan atau belum mampu menjadikan potensi perikanan sebagai sektor andalan daerah sekalipun telah diperoleh kewenangan pengelolaan wilayah laut dan segala isinya telah diberikan seiring dengan lahirnya Undang Undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan khususnya pasal 18. Di sisi lain kelembagaan informal seperti kelembagaan nelayan relatif belum berkembang terutama kelembagaan ekonominya. Akibatnya posisi tawar para nelayan masih sangat lemah dengan konsekuensi pemanfaatan sumberdaya perikanan terkonsentrasi pada pemodal kuat.
Oleh karena itu diperlukan
keterlibatan nelayan dalam penentuan arah kebijakan agar nelayan-nelayan skala kecil bukan lagi hanya menjadi obyek tetapi menjadi subyek yang berhak menentukan masa depannya yang lebih baik. Selain itu juga perlu ditingkatkan peran dari keberadaan tokoh masyarakat lokal agar ada pengaturan dalam komunitas mereka sehingga keterlibatan nelayan ini dapat menjadi terarah.
265 9.5
Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari keberlanjutan perikanan tangkap pada
dimensi hukum/kelembagaan adalah : (1) Keberadaan peraturan, hukum dan perundang-undangan baik formal maupun informal mengenai sumberdaya dan kegiatan perikanan tangkap sebenarnya cukup banyak dan lengkap, namun inti permasalahan adalah kepatuhan dan ketaatan terhadap peraturan yang telah ada tersebut. (2) Wilayah studi di Kabupaten Serang mempunyai status cukup berkelanjutan sedangkan Kabupaten Tegal mempunyai indeks keberlanjutan yang kurang berkelanjutan dari sisi hukum/kelembagaan. (3) Indeks keberlanjutan untuk alat tangkap perikanan skala kecil pada dimensi hukum/kelembagaan di Kabupaten Serang untuk jaring udang dan payang bugis sebesar 52,62. (4) Indeks keberlanjutan untuk alat tangkap perikanan skala kecil pada dimensi hukum/kelembagaan di Kabupaten Tegal untuk jaring rampus, bundes dan payang gemplo sebesar 40,87. (5) Atribut yang paling berpengaruh terhadap penentuan indeks keberlanjutan dari segi hukum dan kelembagaan adalah demokrasi dalam penentuan kebijakan dan peran dari keberadaan tokoh masyarakat lokal. (6) Kebijakan untuk dapat menjaga keberlanjutan usaha perikanan dari dimensi hukum dan kelembagaan diarahkan pada keterlibatan para nelayan dalam penentuan kebijakan dan meningkatkan peran dari keberadaan tokoh masyarakat lokal . (7) Peran masyarakat nelayan dalam penentuan kebijakan dan tokoh-tokoh nelayan menjadi penting dan perlu diandalkan karena nelayan bukan lagi menjadi obyek pelaku tapi menjadi subyek dari kehidupan mereka karena para nelayan ini sangat menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di wilayahnya. (8) Pembangunan perikanan tangkap skala kecil adalah merupakan tantangan otonomi daerah karena kewenangan pengelolaannya menjadi otoritas wilayah Kabupaten/Kota.