8
8.1
KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI TEKNOLOGI
Pendahuluan Sejak beberapa dekade terakhir telah terjadi perubahan dramatis dalam
ekploitasi sumber daya ikan sebagai akibat kemajuan di bidang teknologi. Pengembangan teknologi dibidang penangkapan pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas penangkapan untuk memenuhi permintaan konsumsi yang terus meningkat baik kebutuhan pasar lokal maupun internasional. Di sisi lain perbaikan dan pengembangan teknologi penangkapan juga terjadi dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing sesama nelayan karena semakin terbatasnya sumberdaya ikan. Pergeseran teknologi kearah yang semakin efektif ini pada akhirnya untuk beberapa lokasi tertentu akan berdampak terhadap menurunnya ketersediaan sumberdaya ikan. Pergeseran teknologi kearah yang semakin efektif ini seperti memperkecil ukuran mata jaring dan menambah kedalaman jaring. Persaingan dalam teknologi penangkapan biasanya ditandai dengan dioperasikannya alat penangkpan ikan yang makin produktif namun kurang ramah lingkungan bahkan bersifat destruktif, dan dampak lebih jauh biasanya menimbulkan konflik antar nelayan apabila hal ini dilakukan di wilayah penangkapan yang sama. Kondisi seperti ini sangat jelas terjadi di wilayah penelitian perairan pantai Tegal dengan masih dioperasikannya jaring arad dari wilayah lain dan di klaim oleh nelayan lokal telah menyebabkan berkurangnya pendapatan mereka karena alat ini merusak habitat di wilayahnya. Kajian dimensi teknologi ini sangat penting karena aplikasi teknologi dapat menggambarkan strata serapan teknologi oleh masyarakat penggunanya. Pada sektor perikanan tangkap, aplikasi teknologi dapat juga menggambarkan skala usaha atau klaster perikanan tangkap. Interaksi teknologi dengan ekonomi dan sosial dapat berdampak langsung dan jangka panjang terhadap kondisi dimensi ekologi. Dalam perikanan tangkap, aplikasi teknologi juga dapat mengindikasikan etika operator perikanan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan dan pada akhirnya, aplikasi teknologi yang tidak tepat dapat memicu terjadinya kerusakan lingkungan bahkan dapat menyebabkan
213 konflik sosial antar nelayan. Untuk tujuan keberlanjutan perikanan tangkap, ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan aplikasi teknologi dalam pemanfaatan sumberdaya
ikan
perikanan
telah
banyak
dijelaskan
dalam
kode
etik/penatalaksanaan perikanan yang bertanggungjawab (FAO-CCRF, 1995). Beberapa kriteria untuk teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan (TPIRL) telah dijelaskan oleh Monintja yang disunting dalam Bengen (2002) yaitu (1) selektivitas tinggi, tidak destruktif terhadap habitat, tidak membahayakan nelayan (operator), menghasilkan ikan bermutu baik, produk tidak membahayakan kesehatan konsumen, minimuim hasil tangkapan yang terbuang, dampak minimum terhadap keanekaragam sumberdaya hayati, tidak menangkap sesies yang dilindingungi atau terancam punah, dan diterima secara sosial. Oleh karena lebih lanjut dijelaskannya bahwa kriteria untuk kegiatan penangkapan ikan berkelanjutan harus menerapkan TPIRL dan pertimbangan lain yang dapat mendukung berbagai aspek keberlanjutan perikanan tangkap seperti pertimbangan JTB (TAC), keuntungan usaha, besaran investasi, penggunaan BBM serta ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan lainnya. 8.2
Metodologi Alat tangkap yang dianalisis di perairan Pantai Pasauran, Kabupaten
Serang adalah payang bugis dan jaring udang. Sedangkan alat tangkap yang dianalisis di perairan Pantai Kabupaten Tegal adalah bundes, jaring rampus dan payang gemplo. Atribut yang digunakan untuk menganalisis alat tangkap tersebut dalam penelitian ini ada 8 yaitu tempat pendaratan ikan, lama trip penangkapan, jenis/sifat alat tangkap, selektivitas alat tangkap, penggunaan alat bantu penangkapan (FADs), ukuran kapal penangkapan, penanganan pasca panen dan penggunaan alat bantu perikanan yang destruktif. Atribut tempat pendaratan ikan untuk menggambarkan informasi yang dapat diperoleh nelayan pada saat nelayan berkumpul untuk menjual ikan hasil tangkapannya. Informasi ini dapat berupa harga jual ikan, permintaan produk perikanan saat terjadi transaksi, biaya variabel (bahan-bakar, es, dll), lokasi fishing ground yang sedang banyak ikan dan informasi-informasi lainnya. Atribut penanganan pasca panen untuk melihat kemampuan nelayan memperoleh nilai
214 tambah (value added) dari perikanan. Atribut lama trip penangkapan menggambarkan jarak fishing ground keberadaan sumberdaya perikanan. Atribut jenis/sifat alat tangkap, selektivitas alat tangkap, penggunaan alat bantu penangkapan (FADs), ukuran kapal penangkapan, dan penggunaan alat bantu perikanan yang destruktif untuk melihat bagaimana peran alat tangkap perikanan yang digunakan pada kedua wilayah dalam perubahan (kerusakan) sumberdaya perikanan. Penentuan indeks status keberlanjutan teknologi perikanan tangkap dimulai dengan pembuatan skor setiap atribut pada dimensi teknologi berdasarkan kondisi realita data di lapangan baik dengan wawancara dan pengamatan (data primer) maupun dengan menggunakan data sekunder.
Penyusunan skor ini
berdasarkan acuan-acuan yang telah dibuat baik melalui literatur maupun judgment dari penulis dengan asumsi-asumsi dan dasar-dasar ilmiah. Skor yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam program microsoft excel dengan template teknologi yang telah dipersiapkan sebelumnya kemudian di-run sehingga diperoleh nilai multidimenstional scaling dari Rapfish yang lebih dikenal dengan indeks keberlanjutan. Nilai indeks keberlanjutan perikanan skala kecil ini pada metode Rapfish diketahui mempunyai reference dari bad (buruk) sampai good (baik) dalam selang 0-100. Untuk memudahkan dalam penentuan status keberlanjutan perikanan tangkap baik di perairan Pantai Kabupaten Serang maupun perairan Pantai Kabupaten Tegal maka selang dari bad (0) sampai good (100) tersebut di bagi menjadi beberapa bagian, yaitu dengan membagi empat selang 0-100 tersebut. Selang indeks keberlanjutan tersebut yaitu selang 0-25 dalam status buruk, selang 26-50 dalam status kurang, selang 51-75 dalam status cukup dan selang 76-100 dalam status baik.
Pembagian selang yang menggambarkan status indeks
keberlanjutan ekologi tersebut dapat dilihat pada Tabel 8.1.
215 Tabel 8.1 Selang indeks dan status keberlanjutan teknologi perikanan tangkap skala kecil No
Selang Indeks Keberlanjutan
Status Keberlanjutan
1 2 3 4
0-25 26-50 51-75 76-100
Buruk Kurang Cukup Baik
Seperti dilakukan dalam menganalisis keberlanjutan pada dimensi ekonomi (Bab 6), dalam analisis terhadap dimensi teknologi penulis melakukan modifikasi model pendekatan Rapfish berupa penambahan atribut lama trip penangkapan berkaitan dengan ditemukannya trip penangkapan yang kurang dari 1 hari (one day fishing) bahkan kurang dari 5 jam. Untuk mengakomodir kondisi riil dilapangan kedalam pendekatan Rapfish, penulis membuat kisaran lama trip penangkapan 0-5 jam,
>5-10 jam dan >10 jam. Disamping itu penulis juga
menambahkan atribut ukuran kapal penangkapan dengan kisaran 2-5 m, > 5 – 10 m dan > 10 m. Kedua hal tersebut tidak terakomodir dalam pendekatan Rafish mengingat karakteristik perikanan skala kecil di Indonesia berbeda dengan karakteristik perikanan tangkap di negara asal Rapfish seperti Canada. 8.3
Hasil Penelitian
8.3.1
Teknologi perikanan tangkap
8.3.1.1 Perairan pantai Pasauran, Kabupaten Serang (1)
Alat tangkap payang bugis Payang bugis adalah sebutan popular untuk pukat kantong (seine net) atau
payang yang digunakan untuk menangkap gerombolan ikan pelagis di perairan Pantai Pasauran Selat Sunda. Payang adalah alat tangkap yang termasuk ke dalam kelompok pukat kantong (seine net). Jenis ikan yang biasa tertangkap dengan payang bugis di perairan Pasauran adalah selar hijau (Atule mate), layang bulat (Decapterus macrosoma), selar bentong (Selar crumenopthalmus), tongkol (Auxis thazard), kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) dan lemuru (Sardinella lemuru). Secara umum konstruksi payang bugis terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian sayap (kiri dan kanan) dan kantong (Lampiran 21). Kedua sayapnya
216 berguna untuk menakut-nakuti atau mengejutkan serta menggiring ikan supaya masuk ke dalam kantong. Bahan benang PE, panjang sekitar 50-60 m setiap sisi, lebar bagian ujung sekitar 3 m semakin lebar sampai sekitar 7,5 m di bagian pangkal, dan ukuran mata 50 persen bagian ujung disebut bagian sirang menggunakan ukuran mata sekitar 1-1,5 inci dan 50 persen bagian pangkal disebut waring menggunakan ukuran mata sekitar 0,5 inci. Kedua, kantong berfungsi sebagai penampung ikan; bahan dari jaring PE berukuran 0,5 inci, dengan panjang sekitar 5 m s/d 15 m. Untuk membuka mulut kantong secara vertikal menggunakan pelampung dan pemberat. Pelampung terdiri dari pelampung utama ditengah antara 2 kaki / sayap bagian atas dan pelampung kecil (HP3/Y3) sekitar 2.500 buah per-sisi, dipasang sepanjang ris atas bagian sayap. Pemberat berupa tampar terbuat dari ijuk diletakkan di sepanjang ris bawah bagian sayap. Sementara untuk perahu umumnya berukuran panjang 7,0 m, lebar 1,8 m, dan tinggi 0,6 m dengan motor penggerak yang banyak digunakan adalah Yamaha 25 PK, Tohatsu 18 PK atau Yanmar berkekuatan 16 s/d 20 PK. Proses penangkapan ikan dengan payang bugis adalah dengan melingkari gerombolan ikan dan kemudian pukat kantong tersebut ditarik ke arah kapal. Seperti halnya alat tangkap lainnya, intensitas penangkapan payang bugis sangat dipengaruhi oleh kondisi arus. Kestabilan arus sangat dibutuhkan untuk operasi payang bugis agar bentangan jaring bisa normal. Secara umum konsentrasi operasi payang bugis dilakukan pada musim kemarau sampai awal musim hujan. Puncak hasil penangkapan terjadi pada mangsa kawolu sekitar bulan Maret – Mei, Payang bugis dioperasikan pada siang hari di perairan pantai dan merupakan alat tangkap yang dioperasikan dengan lama trip satu hari setiap tripnya yaitu berangkat pagi hari sekitar pukul 05.00 WIB dan kembali ke TPI sekitar pukul 12.00-13.00 WIB pada hari yang sama. Alat ini menjadi pilihan nelayan Pasauran karena berbagai alasan diantaranya mudah dioperasikan dan relatif dapat dioperasikan sepanjang tahun karena menggunakan FAD. Selain harga kapal dan alat tangkap yang relatif murah serta trip penangkapan yang pendek yaitu satu hari (one day fishing). Payang bugis dioperasikan dengan menggunakan alat bantu rumpon (FAD). Rumpon ini digunakan untuk mengkonsentrasikan ikan pada satu kawasan sempit
217 sebelum dilakukan penangkapan. Dengan alat bantu rumpon ini berbagai jenis dan ukuran ikan akan terkumpul dan proses penangkapan menjadi lebih mudah sehingga secara ekonomi alat bantu FAD ini akan lebih menguntungkan dibandingkan dengan tidak menggunakan FAD. Secara ekologi, penggunaan rumpon ini dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan apabila ukuran mata jaring (mesh size) relatif kecil. Seperti yang diisukan secara internasional bahwa alat bantu FAD sebagai alat bantu dalam penangkapan ikan dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan di perairan. Isu ini berkembang sejak Konferensi Internasional tentang FAD di Martinique, Perancis pada tahun 1999. Isu ini berdasarkan pada Code of Conduct for Responsible Fisheries yang dikeluarkan oleh FAO pada tahun 1995. Isu ini muncul dikarenakan alat tangkap purse seine yang berkembang pesat di Samudera Pasifik bagian Timur yang dioperasikan pada drifting fish aggregating device, menangkap ikan-ikan tuna berukuran kecil yang belum matang gonad. Terdapat pro dan kontra tentang hal itu karena FAD merupakan alat bantu yang diyakini sangat efektif dalam menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap purse seine, payang dan pancing. Dengan demikian penggunaan alat bantu FAD tanpa dibatasi, dapat juga dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar etika perikanan yang bertanggungjawab walaupun secara sosial alat tangkap payang bugis dapat memberikan kontribusi penting terhadap penyerapan tenaga kerja mengingat dalam pengoperasiannya payang bugis menggunakan ABK 6 orang atau lebih. (2)
Alat tangkap jaring udang Jaring udang lobster adalah salah satu alat tangkap yang biasa digunakan
oleh nelayan
untuk menangkap udang lobster di pantai Pasauran.
Alat ini
menjadi objek kajian khusus karena komunitas nelayan ini tidak tercatat atau tidak dilaporkan secara resmi oleh instansi terkait seperti Kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang maupun Kantor Dinas Propinsi Banten. Oleh karena itu data yang digunakan dalam kajian ini digunakan data primer hasil pengamatan dan wawancara langsung di lokasi penelitian. Alat tangkap/jaring lobster yang digunakan adalah jaring klitik yang terbuat dari jaring monofilament nomor 70-90 dengan nama populer di Pasauran
218 sebagai jaring senar (Lampiran 22). Dalam nomenklatur alat panangkapan ikan dan udang laut di Indonesia (Subani dan Barus, 1988/1989), alat ini dapat diklasifikasikan kedalam jaring insang karang (Coral reef gillnet, spiny lobster nets). Secara umum alat tangkap ini memiliki dimensi panjang sekitar 5-15 tinting atau 250-750 m, dalam 1,5–2,5 m dan ukuran mata
3,5-4,5 inci.
Sementara untuk perahu kayu dengan bobot < 1 GT umumnya berukuran panjang 4,0 m, lebar 0,4-0,6 m, dan tinggi 0,6 m dengan tenaga penggerak yang banyak digunakan adalah dayung dan hanya beberapa (2-3 orang) yang menggunakan motor tempel bekas dengan kekuatan mesin 8-12 PK. Proses penangkapan udang lobster atau ikan dengan jaring lobster adalah dengan menghadang uadang lobster atau ikan yang beruaya di sekitar karang. Intensitas penangkapan udang dengan jaring lobster dapat dilakukan sepanjang masa kecuali pada musim ombak yang sangat besar. Secara umum konsentrasi operasi penangkapan jaring lobster yang paling diharapkan oleh para nelayan lokal terutama pada saat musim ombak sedang sampai ombak besar karena pada musim
itu
diperkirakan
persembunyiannya.
udang
lobster
keluar
dari
karang
tempat
Jaring lobster dioperasikan dengan cara memasang /
membentangkan jaring di sekitar karang untuk kemudian diangkat setiap pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB. Setelah udang lobster atau ikan yang tertangkap dipanen, jaring lobster tidak dibawa pulang tetapi di pasang lagi di tempat yang sama atau pindah ke tempat lain untuk diambil hasilnya pagi hari pada keesokan harinya. Trip penangkapan sangat pendek yaitu hanya 3 jam melaut karena nelayan sudah kembali ke darat pada pukul 09.00 WIB. Ditinjau dari sisi penyerapan tenaga kerja, pengoperasian alat tangkap ini hanya menyerap 1-2 orang tenaga kerja karena kapasitas perahu sangat terbatas dan pengoperasian alat yang sangat sederhana. Berbagai alasan penggunaan alat tangkap ini adalah teknis pengoperasian yang mudah, daerah penangkapan yang sangat dekat dengan pantai (< 1 mil) sehingga cukup dengan menggunakan dayung sebagai tenaga penggerak, harga perahu dan alat tangkap yang terjangkau, hasil tangkapan bernilai ekonomis tinggi dan mudah dipasarkan.
Sehingga
ditinjau dari investasi tetap yang diperlukan oleh seorang nelayan jaring lobster
219 antara lain berupa perahu kecil dan dayung atau mesin penggerak sederhana, alat tangkap berupa jaring dan alat bantu lainnya misalnya lampu senter. 8.3.1.2 Perairan pantai Kabupaten Tegal Sub bab ini akan menjelaskan alat tangkap dominan yang dioperasikan oleh nelayan kecil di perairan pantai Tegal seperti jaring rampus, bundes dan payang gemplo. (1)
Alat tangkap jaring rampus Jaring rampus merupakan alat tangkap yang dimodifikasi dari gillnet
dengan bahan utamanya jaring nylon monofilament (Lampiran 23).
Alat ini
digunakan untuk menangkap ikan kembung, kuro, tiga waja, selar hijau dan rajungan. Ukuran alat yang digunakan nelayan berbeda-beda sesuai dengan kemampuan nelayan itu sendiri. Pada umumnya nelayan di Surodadi atau Munjung Agung menggunakan jaring dengan ukuran
mata
1,75-2,0 inchi,
panjang 10 – 20 pcs atau setara dengan 400 – 800 m, dan kedalaman 1,5 m- 7 m. Perahu yang digunakan sedikit bervariasi, pada umumnya berukuran panjang 7 m, lebar 1 m, dalam 0.8 m dengan tenaga penggerak mesin tempel merek Honda G-400 dengan kekuatan 10-12 PK. Alat tangkap ini tersusun dari bagian-bagian seperti jaring monofilament, tali ris atas, tali ris bawah, pelampung, pemberat dan tali ujung.
Pengoperasian alat ini relatif mudah karena hanya
dengan membentangkan jaring di dalam air untuk menghadang arah berenang gerombolan ikan sasaran. Alat ini menjadi salah satu alat tangkap yang diminati oleh nelayan kecil karena di samping harga per unitnya relatif murah dengan perawatan yang mudah, alat ini juga relatif mudah dioperasikan dan tidak memerlukan tenaga mesin untuk pengoperasiannya. (2)
Alat tangkap bundes Bundes adalah alat tangkap yang dapat diklasifikasikan ke dalam pukat
pantai (Lampiran 24). Secara teknis pukat pantai merupakan alat tangkap yang khusus dipergunakan untuk menangkap jenis-jenis ikan pantai terutama yang hidup di dasar perairan (jenis ikan demersal) dan udang, sehingga daerah penangkapan pukat pantai sangat terbatas, yaitu pada perairan-perairan pantai
220 (Unar dan Subani, 1979). Menurut Subani dan Barus (1989), daerah penangkapan yang cocok untuk pengoperasian alat tangkap pukat pantai merupakan perairan pantai dengan dasar perairan pasir, pasir berlumpur dan keadaannya rata, tidak berbatu maupun berkarang sehingga dapat merusak alat tangkap pada saat operasi penangkapan dilakukan. Pada prinsipnya alat tangkap bundes terdiri dari bagian-bagian, seperti kantong, sayap/kaki, dan tali panjang (selambar, hauling line). Bagian kantong berbentuk kerucut. Pada mulut kantong di kanan dan kirinya dihubungkan dengan sayap/kaki, sedangkan pada bagian ujung belakang yang disebut dengan ekor diberi tali yang dapat dengan mudah diikat dan dibuka untuk mengeluarkan hasil tangkapan. Pada bagian ujung depan sayap/kaki dihubungkan dengan kayu cengkal (brail or preader). Pada tiap ujung sayap, yaitu tali ris atas dan bawah diikatkan tali sepanjang 3 meter yang setelah dilewatkan pada kayu cengkal, kemudian disambungkan dengan tali hela / selambar (hauling line) yang panjangnya 200 – 400 depa atau disesuaikan menurut kebutuhan. Pada tali ris atas dipasang pelampung dengan cara diikatkan dengan jarak tertentu, sedangkan pada tali ris bawah diikatkan dua macam pemberat, yaitu yang terbuat dari timah (panjang 3 cm dan berat ± 1 ons) dan pemberat dari rantai besi yang jarak antara satu dengan lainya dipasang agak berjauhan. Seperti dinyatakan oleh Monintja (1987) bahwa alat tangkap sejenis pukat pantai terdiri dari beberapa bagian utama, seperti : sayap (wing), badan (body), kantong (bag), pelampung (float), pemberat (sinker), tali pelampung (float line) dan tali pemberat (sinker line). Bahan dan alat tangkap yang dipergunakan dalam penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap bundes menurut Klust (1987) adalah sebagai berikut : 1) Sayap (Wing) Sayap terdiri dari dua bagian yang berbeda ukuran matanya (mesh size). Bagian-bagian tersebut meliputi sayap depan dan belakang yang masingmasing memiliki ukuran mata jaring sebesar 18 cm pada bagian ujung depan dan mengecil pada bagian pangkalnya yang berukuran 6,5 cm. Jumlah mata pada masing-masing sayap sebanyak 728 mata sampai 1.200 mata. Bahan
221 yang dipergunakan terbuat dari bahan sintetis, seperti kuralon dari bahan dasar PVA (Polyvinyl alcohol). 2) Badan (Body) Badan pukat pantai terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan dan belakang. Kedua bagian ini juga berbeda dalam jumlah mata, ukuran mata (mesh size) maupun panjangya. Bagian depan mempunyai ukuran mata 4,5 cm, jumlah 4.320 mata dengan panjang 15 meter, sedangkan bagian belakang memiliki ukuran mata 2 cm, jumlah 6.500 mata dengan panjang 15 meter. Bahan yang dipergunakan dalam pembuatan badan jaring pukat pantai terbuat dari bahan sintetis, yaitu nylon multifilament dari bahan dasar Polymide (PA). 3) Kantong (Bag) Kantong adalah bagian paling belakang dari konstruksi alat tangkap pukat pantai. Bagian ini terbuat dari bahan polypropylene (PP) atau dikenal dengan sebutan waring plastik. Bagian kantong disambung langsung dengan bagian badan (body) yang merupakan tempat berkumpulnya hasil tangkapan. Panjang kantong pada alat tangkap pukat pantai ± 5 meter. 4) Pelampung (float) dan pemberat (sinker) Pelampung yang digunakan dalam konstruksi pukat pantai terbuat dari bahan PVC (Polyvinyl chloride) berbentuk silinder dengan panjang 5,5 cm dan berdiameter 4 cm. Pemberat tersebut dari bakaran tanah liat ataupun tembaga berbentuk silinder dengan panjang 55 mm dan berdiameter 45 mm serta mempunyai berat per buah ± 150 gram. 5) Tali ris dan tali penarik (selambar) Tali ris yang dipergunakan dalam konstruksi alat tangkap pukat pantai terdiri dari 2 (dua), yaitu tali ris atas dan tali ris bawah. Tali ris atas yang terbuat dari bahan sintetis jenis polythylene (PE) dengan diameter 6 mm. Tali ris atas berfungsi sebagai tempat menggantungnya jaring penguat (selvedge) dan pelampung. Tali ris bawah terbuat dari bahan polythylene (PE) ataupun polyster (PES) berdiameter 6 – 10 mm. Tali ris bawah berfungsi sebagai tempat meletakkan selvedge bawah dan pemberat. Tali penarik (warp) yang dipergunakan dalam operasi penangkapan pukat pantai terbuat dari bahan
222 Polythylene (PE) berdiameter 20 mm dengan panjang berkisar antara 2001000 meter. Perahu yang digunakan pada umumnya berukuran panjang 7,0 – 8 m, lebar 3.5 m, dan tinggi 1.5 m. Sedangkan motor penggerak yang banyak digunakan adalah merk Dompheng, Yanmar dan Kubota (umumnya kubota) dengan ukuran kekuatan mesin 16 s/d 20 PK. Penangkapan ikan dengan alat tangkap bundes umumnya dilakukan dekat pantai dengan kedalaman antara 4 – 15 meter. Pada saat operasi penangkapan pada salah satu ujung sayap jaring berada pada kedalaman 1,25 – 1,5 meter. Penangkapan dilakukan dengan menduga-duga ditempat yang diperkirakan banyak terdapat ikan maupun udang. Secara umum konsentrasi operasi bundes dilakukan pada musim kemarau sampai awal musim hujan yaitu bulan April sampai Oktober dengan puncak musim biasanya pada bulan April – Mei, berumur sekitar 45 hari. Pada bulan Desember sampai Maret merupakan bulan yang sulit bagi nelayan bundes karena datang musim barat dan gelombang besar, namun demikian nelayan tetap melakukan penangkapan tetapi mengurangi hari penangkapan dan biasanya hanya sekitar pantai. Hasil tangkapan alat tangkap bundes di perairan Tegal terdiri dari rebon (Meretrix spp), teri (Stolephorus spp), tiga waja (Otolithes sp.), petek (Leognathus spp), kembung (Rastrelliger sp.), tanjan (Sardinella sp.). Jenis ikan lain yang beberapa tahun silam masih ditangkap dan pada 2-3 tahun terakhir sudah hilang atau sulit didapat dan diantaranya adalah bulu ayam (Setipinna spp), beloso (Saurida spp.), manyung (Arius spp.), sembilang (Plotosus spp.), kerapu (Epinephelus spp.), kerong-kerong (Therapon spp), gerot-gerot (Pristipoma spp.), biji nangka (Parupeneus spp.), kapas-kapas (Gerres spp.), ikan lidah dan ikan sebelah (Psettodidae), udang krosok (Metapenaeus monoceros), udang windu (Penaeus monodon), dan udang pacet (Penaeus semisulcatus). Dengan konstruksi dan cara pengoperasiannya seperti tersebut di atas maka hampir dapat dipastikan bahwa semua biota laut yang hidup di perairan pantai akan tertangkap oleh operasi bundes, mulai dari ikan, krustasea dan moluska. Dengan demikian secara ekologi, alat tangkap ini dapat dikategorikan
223 dapat mengganggu kelestarian sumberdaya ikan karena dengan kerapatan mata jaring khususnya bagian kantong (waring), ikan berbagai ukuran termasuk ikan berukuran kecil dapat tertangkap sehingga tidak sempat tumbuh besar dan bereproduksi. Ditinjau dari aspek sosial, seperti halnya pukat pantai dan payang gemplo, pengoperasian bundes menyerap relatif banyak tenaga kerja, sekitar 10 orang atau lebih, terdiri dari juru mudi, pembantu juru mudi, motoris, ramben/pengurus tebar dan angkat jaring, oyor/pengatur posisi jaring di laut, icir/pembantu ramben, juru masak, juru arus dan pendega biasa (tergantung total jumlah tenaga kerja yang ikut penangkapan). Dalam jangka pendek ketika sumberdaya ikan masih subur, alat tangkap ini akan sangat menguntungkan, tetapi tidak untuk jangka panjang apalagi unit usaha dalam jumlah banyak karena akan menguras sumberdaya ikan dengan cepat. Hasil pengamatan alat ini tidak pernah dibahas di instansi lokal sebagai alat yang dapat merusak sumberdaya seperti halnya jaring arad, namun secara faktual di lapangan alat ini dapat merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya ikan khususnya habitat pantai. (3)
Alat tangkap payang gemplo Payang gemplo merupakan salah satu alat tangkap ikan pelagis kecil
khususnya teri yang digunakan oleh sebagian besar nelayan kecil di perairan pantai Tegal. Payang gemplo memiliki prototype sama dengan pukat pantai dengan ukuran relatif lebih besar (Lampiran 25). Secara umum konstruksi Payang gemplo terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian sayap dan kondom (kantong). Pertama, sayap berfungsi sebagai penggiring ikan agar masuk ke dalam kondom. Bahan benang PE, panjang sekitar 60 m sampai dengan sekitar 100 m setiap sisi, lebar bagian ujung sekitar 3 m terus semakin lebar sampai sekitar 7,5 m di bagian pangkal, dan ukuran mata 50 persen bagian ujung disebut bagian sirang menggunakan ukuran mata sekitar 1-1,5 inci dan 50 persen bagian pangkal disebut waring menggunakan ukuran mata sekitar 0,5 inci. Kedua, Kondom berfungsi sebagai kantong untuk menampung ikan; bahan dari waring bermata halus dilapis dengan jaring PE berukuran 0,5 inci, dengan panjang sekitar 5 m s/d 15 m. Untuk membuka mulut kondom secara vertikal menggunakan pelampung
224 dan pemberat. Pelampung terdiri dari pelampung utama ditengah antara 2 kaki/sayap bagian atas dan pelampung kecil (HP3/Y3) sekitar 2500 buah per-sisi, dipasang sepanjang ris atas bagian sayap. Pemberat berupa tampar terbuat dari ijuk diletakkan di sepanjang ris bawah bagian sayap. Sementara untuk perahu umumnya berukuran panjang 7 m, lebar 2,5 m, dan tinggi 1.5 m. Motor penggerak yang banyak digunakan adalah merk Dompheng, Yanmar dan Kubota (umumnya Kubota) dengan ukuran kekuatan mesin 16 sampai dengan 20 PK. Intensitas
penangkapan
payang
gemplo
sangat
dipengaruhi
oleh
keberadaan ikan sasaran (teri) dan secara teknis pengoperasiannya dipengaruhi kondisi arus. Kestabilan arus sangat dibutuhkan untuk operasi payang gemplo agar bentangan jaring bisa normal. Secara umum konsentrasi operasi payang gemplo dilakukan pada musim kemarau sampai awal musim hujan. Puncak hasil penangkapan terjadi pada mangsa kawolu sekitar bulan Maret – Mei, berumur sekitar 45 hari. Hampir bisa dipastikan hampir semua biota laut yang hidup di perairan pantai akan tertangkap oleh operasi payang gemplo, mulai dari ikan, krustasea dan moluska. Pada musim puncak hasil tangkapan utama adalah teri nasi (50%), teri jawa (30%) dan selebihnya ikan campuran. Seperti halnya pukat pantai, operasional payang gemplo menyerap relatif banyak tenaga kerja, sekitar 10 orang atau lebih, terdiri dari juru mudi, motoris, ramben/pengurus tebar dan angkat jaring, pengatur posisi jaring di laut, icir/pembantu ramben, juru masak, juru arus dan pendega biasa (jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan penangkapan). Dengan memperhatikan jumlah tenaga kerja yang terlibat, secara sosial pengoperasian alat ini memberikan kontribusi positif. Demikian juga secara ekologi alat ini tidak terlalu mengganggu kelestarian sumberdaya ikan karena tujuan penangkapannya adalah teri nasi. Namun apabila digunakan untuk menangkap ikan apa saja selain gerombolan teri nasi, alat ini juga dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan. Berbeda dengan bundes, alat tangkap payang gemplo di operasikan di perairan agak ketengah biasanya di perairan sebelah utara Karang Jeruk, karena gerombolan teri biasanya berada disekitar itu dengan jarak dari pantai sekitar 2-3 mil dengan kisaran kedalaman laut 10-18 m.
225 8.3.2
Kondisi teknologi dalam atribut Rapfish Penyusunan skor status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil
berdasarkan keadaan lapang daerah penelitian dan berdasarkan acuan dari kriteria yang telah dibuat. Hasil wawancara dan pengamatan lapang yang dilakukan pada dua wilayah yaitu Kabupaten Serang (Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka) dan Perairan Kabupaten Tegal menghasilkan variabel atau atribut pada dimensi teknologi yang dapat dilihat pada Tabel 8.3 dan Lampiran 20.
Untuk
pendefinisian kriteria data dari variabel atau atribut pada Tabel 8.3 tersebut maka dilakukan analisis data sebagai fakta atau realita data dalam atribut Rapfish. 8.3.2.1 Tempat pendaratan ikan (TPI) Kabupaten Serang terdapat banyak TPI tersebar di wilayah pantai utara Serang dan perairan Selat Sunda termasuk TPI Pasauran yang terletak di Kecamatan Cinangka.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan
Pasauran dan hasil pengamatan, aktifitasnya TPI Pasauran dapat dikategorikan terpusat (2), karena nelayan Pasauran selalu mendaratkan ikan hasil tangkapannya di TPI Pasauran walaupun di sekitar wilayah Pasauran terdapat TPI Cilurah yang jaraknya relatif dekat. Kabupaten Tegal terdapat 3 TPI yang digunakan oleh nelayan untuk mendaratkan ikan hasil tangkapannya yaitu TPI Larangan di desa Munjung Agung dan TPI Surodadi I dan Surodadi 2 yang terletak di desa Surodadi.
Secara
geografis ketiga TPI tersebut dapat diklasifikasikan tersebar pada jarak yang cukup untuk jangkauan perahu motor tempel. Nelayan yang berpangkalan pada masing-masing TPI tersebut selalu mendaratkan ikan hasil tangkapannya di TPI tempat asal dan hampir tidak ada yang berpindah mendaratkan ikan ke tempat lain. Para nelayan ini terpaksa pindah mendaratkan ikannya ke tempat lain jika nelayan harus melakukan kegiatan penangkapan di luar wilayahnya karena di wilayah penangkapan asal sudah tidak ada lagi ikan yang memberikan harapan. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dikategorikan tempat pendaratan ikan agak terpusat (1).
226 8.3.2.2 Lama trip penangkapan Semua alat tangkap yang diamati baik di perairan Tegal maupun perairan Pantai Pasauran, Kabupaten Serang dioperasikan dengan lama trip penangkapan 1 hari, karena semua jenis alat tangkap yang menjadi obyek kajian ini merupakan perikanan tangkap skala kecil. Lama jam bekerja per trip untuk usaha perikanan dengan alat tangkap payang bugis rata-rata 7-8 jam (1), jaring udang 3-4 jam (0) sedangkan untuk kegiatan perikanan yang beroperasi di perairan Kabupaten Tegal untuk alat tangkap jaring rampus, bundes dan payang gemplo rata-rata 8-10 jam per trip (1). Jam keberangkatan setiap alat tangkap rata-rata sama sekitar jam 04.00 – 05.00 pagi kecuali untuk jaring udang yang memulai aktifitasnya sekitar jam 05.30-06.00 pagi. Selengkapnya untuk jam keberangkatan, lama trip dan jumlah trip per bulan dapat dilihat pada Tabel 8.2. Tabel 8.2 Lama trip penangkapan, jam keberangkatan dan skoring perikanan tangkap perairan Pantai Pasauran Kabupaten Serang dan perairan Pantai Kabupaten Tegal No 1 2 3 4 5
Keterangan Payang bugis Jaring Udang Jaring Rampus Bundes Payang Gemplo
Jam Keberangkatan 04.00–05.00 05.30-06.00 04.00–05.00 04.00–05.00 04.00–05.00
Lama Trip (Jam) 7-8 3-4 8-10 8-10 8-10
Skor 1 0 1 1 1
8.3.2.3 Jenis / sifat alat tangkap Perikanan tangkap di perairan Pantai Pasauran, Kabupaten Serang menggunakan alat tangkap payang bugis jika ditinjau dari pengoperasiannya dapat dikategorikan aktif karena memang dioperasikan secara aktif terutama pada saat menghadang dan melingkar (mengurung) gerombolan ikan yang terdapat di sekitar rumpon (2). Untuk perikanan tangkap yang menggunakan alat tangkap jaring udang (lobster) dioperasikan dengan cara menempatkan jaring tersebut di perairan karang-karang yang dianggap terdapat lobster.
Awalnya jaring ini
dipasang pada sore hari atau malam hari lalu ditinggalkan di dasar perairan berkarang untuk kemudian diangkat keesokan harinya (sekitar pukul 05.30 atau
227 pukul 06.00 pagi) untuk mengambil hasil tangkapan yaitu udang lobster atau ikanikan karang yang terperangkap (tersangkut) di badan jaring tersebut. Oleh karena itu dapat dikatakan usaha perikanan dengan alat tangkap jaring udang ini dapat dikatakan pasif (0). Perikanan tangkap di Kabupaten Tegal dengan alat tangkap jaring rampus dapat digunakan untuk menangkap berbagai ikan pelagis seperti kembung dan selar. Pada hakikatnya alat ini dapat dikategorikan pasif namun beberapa nelayan mengoperasikannya secara aktif oleh karena itu dapat dikatakan alat tangkap jaring rampus ini seimbang (1). Alat tangkap bundes termasuk klasifikasi beach seine yang digunakan untuk menangkap ikan yang bergerombol di sekitar pantai. Alat ini dioperasikan dengan dilingkarkan oleh kapal dan kemudian ujung jaring (sayap) ditarik untuk mempersempit lingkaran.
Dengan cara pengoperasian
demikian, maka alat tangkap bundes dapat dikategorikan aktif (2). Alat tangkap payang gemplo digunakan untuk menangkap teri nasi dengan cara dilingkarkan untuk mengurung gerombolan ikan sasaran penangkapan (ikan target), dengan demikian alat ini dapat dikategorikan aktif (2). 8.3.2.4 Selektivitas alat tangkap Kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Serang dengan alat tangkap payang bugis jika ditinjau dari ikan yang menjadi sasarannya dapat dikategorikan agak selektif (1). Alat tangkap payang bugis ini dapat menangkap beberapa jenis ikan pelagis yang bergerombol di sekitar rumpon namun dengan ukuran yang relatif selektif, karena ukuran mata jaring (mesh size) yang tidak terlalu halus (rapat). Kegiatan perikanan dengan alat tangkap jaring udang mempunyai tujuan untuk menangkap udang lobster walaupun pada kenyataanya jenis-jenis ikan karang lainnya dapat juga tersangkut pada jaring ini. Mata jaring alat tangkap ini relatif besar sehingga hanya ikan-ikan ukuran tertentu yang dapat tertangkap dengan jaring udang ini, sedangkan ukuran udang lobster yang tertangkap sangat bervariasi karena bentuk tubuh udang lobster. Oleh karena itu kegiatan perikanan dengan alat tangkap jaring udang ini dapat dikatakan agak selektif (1). Kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Tegal dengan alat tangkap jaring rampus dapat menangkap beberapa jenis ikan (lebih dari 3 jenis ikan),
228 namun ukuran maupun umur panen ikan-ikan yang tertangkap relatif sama. Dengan demikian kegiatan perikanan dengan alat tangkap jaring rampus ini dapat dikategorikan agak seletif (1). Alat tangkap bundes digunakan untuk menangkap ikan yang hidup di kawasan pantai. Ukuran mata jaring yang relatif halus (rapat), maka dapat dipastikan hampir semua jenis ikan habitat pantai baik yang hidup di dasar maupun di permukaan dapat tertangkap dengan alat tangkap bundes. Dengan kemampuan tangkap yang demikian maka alat tangkap bundes dapat dikategorikan alat tangkap yang kurang selektif (0). Kegiatan perikanan dengan alat tangkap payang gemplo, jika ditinjau dari jenis dan ukuran ikan sasaran tangkapannya dapat menangkap ukuran ikan apa saja karena kantongnya yang halus digunakan untuk menangkap ikan teri. Dalam praktiknya ikan-ikan lain yang masih sangat kecil sangat mungkin tertangkap dengan alat ini. Dengan demikian kegiatan perikanan dengan alat tangkap payang gemplo ini kurang selektif (0). 8.3.2.5 Penggunaan alat bantu penangkapan (FADs atau FAL) Kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Serang dengan alat tangkap payang bugis dioperasikan dengan menggunakan alat bantu berupa rumpon (FADs). Rumpon tersebut digunakan untuk mengumpulkan gerombolan ikan pada satu kawasan yang relatif kecil sehingga ikan mudah ditangkap.
Dengan
demikian, alat tangkap payang bugis dapat dikategorikan menggunakan alat bantu (2). Kegiatan perikanan dengan alat tangkap jaring udang di Kabupaten Serang maupun kegiatan perikanan di Kabupaten Tegal baik jaring rampus, bundes dan payang gemplo tidak satupun yang menggunakan alat bantu penangkapan baik FADs maupun FAL (0). 8.3.2.6 Ukuran kapal penangkapan Kegiatan perikanan di Kabupaten Serang yang mengoperasikan alat tangkap payang bugis menggunakan kapal berukuran 7-8 meter (1), sedangkan kegiatan perikanan dengan alat tangkap jaring udang cukup menggunakan sampan yang berukuran 2-3 meter (0). Kegiatan perikanan di Kabupaten Tegal baik yang
229 mengoperasikan alat tangkap jaring rampus, bundes maupun payang gempo menggunakan kapal dengan ukuran 7-8 meter (1). 8.3.2.7 Penanganan pasca panen Nelayan di kedua wilayah penelitian berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan menjual hasil tangkapannya sesaat kemudian setelah tiba di TPI. Ikan yang didaratkan dan dilelang adalah ikan segar tanpa melalui perlakuan apapun kecuali mencucinya dari kotoran yang menempel ketika berada di atas kapal atau ketika pembongkaran di TPI. Dengan demikian ikan hasil tangkapan para nelayan tersebut dikategorikan tidak ada penanganan pasca panen (0). 8.3.2.8 Penggunaan alat bantu yang destruktif Alat bantu perikanan yang destruktif dapat dideskripsikan sebagai alat yang dapat menimbulkan kerusakan sumberdaya perikanan misalnya penangkapan ikan dengan bom, racun, bius atau tenaga listrik (setrum). Dengan alat bantu yang destruktif ini ikan akan lebih mudah tertangkap tetapi dapat berdampak negatif yaitu merusak seluruh mata rantai kehidupan yang ada di sekitar wilayah penangkapan tersebut. Hasil wawancara dan pengamatan, cara-cara tersebut tidak terjadi pada kegiatan perikanan pada setiap alat tangkap yang menjadi obyek kajian di kedua wilayah penelitian baik di perairan Pantai Pasauran Kabupaten Serang maupun di perairan Pantai Kabupaten Tegal (0). 8.3.3
Skor atribut dan indeks keberlanjutan perikanan tangkap pada dimensi teknologi Data hasil studi lapangan berupa skor-skor berdasarkan kondisi lapangan
masing-masing atribut pada dimensi teknologi ditunjukkan pada Tabel 8.3.
230 Tabel 8.3
No 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7. 8.
Realitas data di lapangan dan nilai skor setiap atribut pada dimensi teknologi
Atribut Tempat pendaratan ikan Lama trip penangkapan Jenis / sifat alat tangkap Selektivitas alat tangkap Penggunaan alat bantu penangkapan (FADs) Ukuran kapal penangkapan Penanganan pasca panen Penggunaan alat bantu perikanan yang destruktif
Baik
Buruk
Payang bugis
Jaring Udang
Jaring Rampus
Bundes
Payang Gemplo
0
2
2
2
1
1
1
0
2
1
0
1
1
1
0
2
2
0
1
2
2
2
0
1
1
1
0
0
0
2
2
0
0
0
0
0
2
1
0
1
1
1
2
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
Analisis Rapfish pada dimensi teknologi ini berjumlah 8 atribut. Setiap atribut dari dimensi teknologi yaitu tempat pendaratan ikan, lama trip penangkapan, jenis/sifat alat tangkap, selektivitas alat tangkap, penggunaan alat bantu penangkapan (FADs atau FAL), ukuran kapal penangkapan, penanganan pasca panen dan penggunaan alat bantu perikanan yang destruktif dianalisis berdasarkan per alat tangkap. Nilai skor pada dimensi teknologi seperti yang tercantum pada Tabel 5-63 di atas kemudian di analisis dengan metode Rapfish. Hasil yang diperoleh dengan metode Rapfish pada dimensi teknologi menunjukkan nilai indeks keberlanjutan kegiatan perikanan secara teknologi. Indeks keberlanjutan kegiatan perikanan pada dimensi teknologi dapat dilihat pada Tabel 8.4.
231 Tabel 8.4
No.
Nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap (IKP) pada dimensi teknologi perairan pantai pasauran, Kabupaten Serang dan perairan Pantai Kabupaten Tegal
Kegiatan Perikanan
Serang 1. Payang bugis 2. Jaring Udang Indeks rata-rata Kab. Serang Tegal 1. Jaring Rampus 2. Bundes 3. Payang Gemplo Indeks rata-rata Kab. Tegal
IKP pada Atribut Teknologi
Status Keberlanjutan
32,44 78,20 55,32
Kurang Cukup Cukup Berkelanjutan
53,33 39,93 39,93 44,40
Cukup Kurang Kurang Kurang Berkelanjutan
Indeks keberlanjutan perikanan tangkap pada dimensi teknologi di perairan Pantai Pasauran, Kabupaten Serang dan perairan Pantai Kabupaten Tegal ditunjukkan dengan jelas pada Tabel 8.4 diatas. Indeks keberlanjutan pada perikanan tangkap di perairan Pantai Pasauran, Kabupaten Serang dengan jaring udang sebesar 78,20 dan payang bugis sebesar 32,44. Indeks keberlanjutan untuk perikanan tangkap di perairan Pantai Kabupaten Tegal yang menggunakan alat tangkap jaring rampus sebesar 53,33 sedangkan bundes dan payang gemplo masing-masing sebesar 39,93. Indeks keberlanjutan perikanan tangkap tersebut posisinya dalam ordinasi Rapfish digambarkan pada Gambar 8.1.
232
60
Serang Payang bugis 53
Serang Jaring udang
Sumbu Y Setelah Rotasi
40
Tegal Kejer Tegal Bundes Tegal Gemplo
20
Anchor 0
53,33
0 0
25
39,93
50
39,93 32,44
-20
100 75
Reference
100
78,20
-40 48 -60
Sumbu X Setelah Rotasi : Skala sustainabilitas
Gambar 8.1
Posisi status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Serang dan Tegal pada dimensi teknologi
Nilai stress yang diperoleh dari dimensi teknologi ini sebesar 14,40 % atau masih < 25 %. Hal ini menurut prosedur multidimensional scaling (MDS) diacu dalam Fauzi dan Anna (2004) adalah jika nilai stress atau yang dilambangkan dengan S semakin rendah menunjukkan good fit, sementara nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya.
Nilai Stress (S) yang diperoleh dalam
dimensi teknologi ini sebesar 14,40 % (S < 25 %) maka analisis Rapfish sudah memenuhi kondisi fit (goodness of fit). Beberapa nilai statistik yang diperoleh dalam Rapfish pada dimensi teknologi dapat diihat pada Tabel 8.5. Nilai dari koefisien determinasi (selang kepercayaan) atau R2 sebesar 93,20 % (Tabel 8.5). Walaupun nilai R2 tersebut sudah mendekati 100 % namun titik-titik acuan (anchors) masih kurang banyak. Oleh karena itu, untuk menambah jumlah titik-titik acuan tersebut diperlukan tambahan atribut.
233 Tabel 8.5 Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish pada dimensi teknologi No Atribut Statistik 1 Stress 2 R2 3 Jumlah Iterasi
Nilai Statistik 0,1440 0,9320 3
Prosentase 14,40 93,20
Seperti tersaji pada Tabel 8.5, jumlah iterasi pada dimensi teknologi ini atau pengulangan perhitungan dilakukan sebanyak 3 kali. Iterasi atau pengulangan perhitungan pada dimensi teknologi ini untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut maupun kesalahan prosedur. Jumlah iterasi ini dapat juga dikatakan untuk mengetahui tingkat kepercayaan dari indeks keberlanjutan perikanan tangkap yang telah diperoleh dari sisi teknologi.
RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot 60
Y setelah rotasi OtherSumbu Distingishing Features
40
20
0 0
20
40
60
80
100
-20
-40
-60 Fisheries Sustainability Sumbu X setelah rotasi : scatter plot skala sustainabilitas
Gambar 8.2 Kestabilan nilai ordinasi hasil Rapfish dengan Monte Carlo pada dimensi teknologi Hasil analisis sensitifitas atau analisis leverage menggambarkan kondisi atribut-atribut teknologi yang digunakan perlu dianalisis atribut mana yang paling
234 sensitif mempengaruhi tingkat keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap skala kecil menurut dimensi teknologi. Atribut sensitif dan perlu mendapat perhatian adalah penggunaan alat bantu penangkapan (FADs) dan selektivitas alat tangkap yang digunakan, serta jenis/sifat alat tangkap (Gambar 8.3).
Penggunaan alat bantu perikanan yang destruktif
1,91
Penanganan pasca panen
3,01
Ukuran kapal penangkapan
4,20
Penggunaan alat bantu penangkapan (FADS)
6,77
Selektifitas alat tangkap
6,72
Jenis / sifat alat tangkap
4,85
Lama trip penangkapan
2,32
Tempat pendaratan ikan
1,89 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Gambar 8.3 Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi teknologi 8.4
Pembahasan Seperti telah dilakukan pada bab sebelumnya, berbagai tahapan dan
analisis untuk menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil pada dimensi teknologi di dua lokasi penelitian telah dilakukan diantaranya: (1) analisis terhadap alat tangkap dominan yang operasikan di kedua lokasi penelitian seprti payang bugis (Serang), jaring udang (Serang), jaring rampus (Tegal), bundes (Tegal), dan payang gemplo (Tegal) ; (2) penentuan skor dan indek keberlanjutan, (3) penggambaran ordinasi Rapfish dimensi teknologi atas dasar alat tangkap dan lokasi penelitian, (4) uji goodness of fit dengan prosedur multidimensional scaling (MDS), (5) penentuan nilai koefisien determinasi (R2), (6) uji kestabilan ordinasi dengan teknik analisis Monte Carlo, (7) uji sensitifitas dengan metode analisis leverage, dan (8) penggambaran artribut sensitif pada
235 dimensi teknologi serta (9) penentuan respons (alternatif imlpikasi kebijakan) yang harus dilakukan terhadap atribut sensitif. Indeks keberlanjutan pada Tabel 8.4 dan Gambar 29 ini menunjukkan bahwa pada dimensi teknologi kegiatan perikanan tangkap di perairan Pantai Pasauran, Kabupaten Serang yang menggunakan alat tangkap jaring udang termasuk dalam selang 76-100 atau status berkelanjutan yang baik (78,20) sedangkan payang bugis dalam selang 26-50 termasuk dalam status kurang berkelanjutan. Pada kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Tegal pada alat tangkap jaring rampus dalam selang 51-76 atau status cukup berkelanjutan sedangkan bundes dan payang gemplo masing-masing dalam selang sebesar 26-50 atau kurang berkelanjutan. Posisi status keberlanjutan perikanan tangkap di perairan Pantai Pasauran, Kabupaten Serang dan perairan Pantai Kabupaten Tegal pada sisi teknologi disajikan pada gambar 29. Pada Gambar 29 terlihat hanya kegiatan perikanan dengan alat tangkap jaring udang di Kabupaten Serang yang berkelanjutan dalam dimensi teknologi. Pada kegiatan perikanan yang menggunakan alat tangkap jaring rampus di Kabupaten Tegal terlihat berada di antara selang 51-75 yang cukup berkelanjutan namun lebih mendekati 50. Pada kegiatan perikanan dengan alat tangkap payang bugis (Kabupaten Serang), bundes dan payang gemplo (Kabupaten Tegal) yang mempunyai status kurang berkelanjutan dalam dimensi teknologi. Seperti halnya yang dilakukan pada dimensi ekologi, untuk dimensi teknologi juga dilakukan iterasi.
Jumlah iterasi ini menyatakan pengulangan
perhitungan sebanyak 3 kali pada metode Rapfish (Tabel 8.5).
Iterasi atau
pengulangan perhitungan pada dimensi teknologi ini juga untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut maupun kesalahan prosedur. Jumlah iterasi ini dapat juga dikatakan untuk mengetahui tingkat kepercayaan dari indeks keberlanjutan perikanan tangkap yang telah diperoleh dari sisi teknologi. Di samping jumlah ulangan (iterasi) untuk memperkuat tingkat kepercayaan analisis dengan teknik Rapfish ini, digunakan juga teknis analisis Monte Carlo yang merupakan metode simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak (random error). Hasil analisis Monte Carlo dari dimensi teknologi
236 pada Gambar 30, menunjukkan bahwa kegiatan perikanan di kedua Kabupaten pada setiap jenis alat telah banyak mengalami gangguan (perturbation) yang ditunjukkan oleh plot yang menyebar. Hasil Rapfish yang diperoleh menggambarkan kondisi secara umum berdasarkan penilaian atas atribut-atribut teknologi yang digunakan.
Atribut-
atribut teknologi yang digunakan tersebut perlu dianalisis atribut mana yang paling sensitif mempengaruhi tingkat keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap skala kecil menurut dimensi teknologi. Oleh karena analisis sensitifitas atau analisis leverage itu sangat diperlukan untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap skor keberlanjutan teknologi apabila satu atribut dikeluarkan dari analisis sehingga bisa dilihat tingkat sensitifitas skor keberlanjutan teknologi akibat dikeluarkannya satu atribut. Menurut Picther et al. (2002), analisis sensitifitas atau analisis leverage dilakukan terhadap atribut-atribut masing-masing dimensi. Perhitungan dilakukan dengan metode stepwise yaitu dengan membuang setiap atribut secara berurutan satu persatu kemudian menghitung berapa nilai error atau Root Mean Square (RMS) tersebut dibandingkan dengan RMS yang dihasilkan pada saat seluruh atribut dimasukkan. Dalam statistik metode ini dikenal dengan metode JackKnife (Kavanagh, 2001). Analisis leverage pada dimensi teknologi memperlihatkan bahwa atribut penggunaan alat bantu penangkapan (FADs) dan selektivitas alat tangkap merupakan atribut yang paling dominan berpengaruh terhadap nilai atau status keberlanjutan kegiatan perikanan skala kecil dari dimensi teknologi. Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai root mean square change kedua atribut ini lebih tinggi dibandingkan atribut lainnya. Nilai root mean square change dimensi teknologi dapat dilihat pada Gambar 8.3. Pada sisi teknologi, diperoleh alat tangkap jaring udang memiliki indeks keberlanjutan paling tinggi dibandingkan alat tangkap yang lainnya, sedangkan yang paling rendah adalah alat tangkap payang bugis. Secara umum pada dimensi teknologi perairan Pantai Pasauran, Kabupaten Serang mempunyai indeks status yang cukup berkelanjutan, hal ini berbanding terbalik dengan perairan Pantai Kabupaten Tegal yang mempunyai indeks status kurang keberlanjutan.
237 Analisis leverage pada dimensi teknologi memperlihatkan bahwa atribut penggunaan alat bantu penangkapan (FADs) dan selektivitas alat tangkap merupakan atribut yang paling dominan berpengaruh terhadap nilai atau status keberlanjutan kegiatan perikanan skala kecil dari dimensi teknologi. Pada kasus kegiatan perikanan yang beroperasi dengan alat bantu penangkapan ikan dengan rumpon seperti operasi penangkapan payang bugis dengan rumpon, indeks keberlanjutannya langsung drop menjadi kurang berkelanjutan. Hal ini dapat terjadi karena penggunaan alat bantu penangkapan (FADs) menjadi isu internasional yang dianggap dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan di perairan yang berkembang sejak konferensi internasional tentang FADs di Martinique, Prancis pada tahun 1999. Hal ini mengemuka dikarenakan alat tangkap purse seine yang berkembang dengan pesat di Samudera Pasifik bagian Timur yang beroperasi di sekitar drifting fish aggregating device menangkap ikan-ikan tuna berukuran kecil yang belum matang gonad (Yusfiandayani, 2004). Terdapat pro dan kontra hingga saat ini, karena FADs merupakan alat bantu yang diyakini sangat efektif dalam menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap purse seine, payang dan pancing. Oleh karena itu, kebijakan untuk dapat menjaga keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap dari dimensi teknologi diarahkan pada pembatasan penggunaan alat bantu penangkapan berupa rumpon (FADs) agar penurunan sumberdaya yang sangat drastis dapat dihindari mengingat FADs merupakan alat bantu yang diyakini sangat efektif dalam penangkapan ikan terutama dengan menggunakan purse seine, payang, bagan atau pancing. Selain itu peningkatan selektivitas alat, karena dengan menggunakan alat tangkap yang selektif akan diperoleh ukuran ikan sesuai dengan kebutuhan pasar dan mengurangi resiko ikan tidak laku di pasar. Hal ini sesuai dengan kaidah yang dipaparkan pada dimensi ekologi (Bab 5) dan dimensi ekonomi (Bab 6). Ditinjau dari kebutuhan aspek teknologi, kegiatan penangkapan ikan di laut merupakan kegiatan yang memerlukan investasi modal yang tidak sedikit. Seperti yang diungkapkan oleh Nikijuluw et a.l (2000), besarnya investasi awal satu unit alat tangkap termasuk kapal berkisar antara Rp.9,23 juta (untuk kapal dan alat tangkap gillnet) sampai dengan Rp.243,10 juta (untuk kapal dan alat tangkap mini purse seine). Dari jumlah tersebut tidak semua nelayan mampu
238 memilikinya dan bagi nelayan yang telah memiliki alat tangkap, terkadang dihadapkan pada masalah renovasi modal. Mengingat investasi pada kegiatan perikanan tangkap di laut senantiasa dihadapkan pada masalah depresiasi modal dan alat tangkap di samping resiko lainnya. Hasil penelitian Nikijuluw et al. (2000) terhadap beberapa usaha penangkapan ikan laut dari beberapa alat tangkap yang diamati di Jawa Tengah menunjukkan bahwa sebagian dari alat tangkap masih menghasilkan tingkat rentabilitas dan pendapatan sosial yang cukup tinggi (misalnya gillnet dan payang), sementara alat tangkap yang lain seperti mini purse seine, trammel net, arad, bagan dan rawai, dihadapkan pada resiko yang kurang menguntungkan, artinya besarnya tingkat rentabilitas maupun pendapatan sosial yang diterima oleh pemilik kapal relatif kecil. Hal ini disebabkan disamping oleh tingginya biaya operasional penangkapan juga kendala hasil tangkapan yang kurang menentu. Kondisi ini mencerminkan bahwa upaya penangkapan ikan memerlukan perhatian serius. Sehingga kalau ada pengembangan penangkapan, perlu diarahkan pada areal-areal fishing ground yang masih belum padat tingkat penangkapannya atau diperlukan adanya diversifikasi alat tangkap yang ramah sumberdaya
ikan
atau
pengembangan
usaha
alternatif
diluar
kegiatan
penangkapan. Hasil wawancara mengindikasikan bahwa perubahan jumlah alat tangkap yang digunakan tidak disebabkan oleh karena dinamika lingkungan usahanya tetapi lebih karena ketersediaan modal. Dengan kata lain, keputusan nelayan untuk mengurangi dan menambah alat tidak begitu ditentukan oleh pendapatan dan harga alternatif pada saat itu. Beberapa alasan yang mendasari keputusan nelayan ini adalah sifat kekakuan (rigiditas) dari aset perikanan, sumberdaya yang bersifat akses terbuka, informasi yang kurang diterima nelayan, serta latar belakang nelayan seperti pendidikan dan pengetahuan yang rendah, yang membuat mereka tidak berespons terhadap dinamika lingkungan. Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa secara teknis pengembangan usaha perikanan tangkap di perairan Tegal semakin berat tantangannya. Salah satu faktornya adalah keterbatasan modal, di sisi lain ada kecenderungan volume produksi dan pendapatan para nelayan yang cenderung menurun.
239 8.5
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diperoleh dari keberlanjutan perikanan tangkap
skala kecil untuk dimensi teknologi adalah : (1)
Pada dimensi teknologi kegiatan perikanan tangkap di perairan Pantai Pasauran, Kabupaten Serang dengan menggunakan alat tangkap jaring udang termasuk dalam selang 76-100 atau status berkelanjutan yaitu 78,20 sedangkan alat tangkap payang bugis berada pada selang 26-50 termasuk dalam status kurang berkelanjutan yaitu 32,44.
(2)
Indeks keberlanjutan pada dimensi teknologi untuk perikanan tangkap di perairan Pantai Kabupaten Tegal yang menggunakan alat tangkap jaring rampus sebesar 53,33 sedangkan bundes dan payang gemplo masingmasing sebesar 39,93.
(3)
Perikanan tangkap di Kabupaten Tegal dengan alat tangkap jaring rampus dalam selang 51-76 atau status cukup berkelanjutan sedangkan bundes dan payang gemplo masing-masing dalam selang sebesar 26-50 atau kurang berkelanjutan.
(4)
Nilai stress yang diperoleh dari dimensi teknologi ini sebesar 14,40 % atau masih < 25 %, hal ini menunjukkan good fit dengan koefisien determinasi (selang kepercayaan) atau R2 sebesar 93,20 %.
(5)
Analisis
leverage
menunjukkan
bahwa
penggunaan
alat
bantu
penangkapan (FADs) dan selektivitas alat tangkap merupakan atribut yang paling berpengaruh terhadap nilai atau status keberlanjutan perikanan skala kecil dari dimensi teknologi.