KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA (ZEEI) SAMUDERA HINDIA SELATAN JAWA TIMUR
ANDI IRWAN NUR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Samudera Hindia Selatan Jawa Timur adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, 30 Desember 2011
Andi Irwan Nur NIM C261060151
ABSTRACT ANDI IRWAN NUR. Sustainability of Skipjack (Katsuwonus pelamis) Fisheries in Indonesian Exclusive Economic Zone (IEEZ) of Indian Ocean at Southern Coast of East Java. Under supervision of MENNOFATRIA BOER, DIETRIECH G.BENGEN, AWAL SUBANDAR. Indonesian exclusive economic zone of Indian Ocean at southern coast of East Java includes in WPP-RI 573 which has potential biological resources to be utilized for economic development. Specific oceanographic condition has caused the regions relatively more fertile than other regions. An abundance fishery resources in the region is skipjack which has a sufficiently high economic value. Utilization rate of the species is assumed of being moderate thus enabling further increasing in its utilization. One type of fleet used to exploit skipjack resources in WPPRI 573 is sekoci boat based in PPP Pondokdadap, Malang Regency. The fleet number has showed a significant increase during 2001-2010. Size of the vessel includes in medium category and still uses traditional fishing gears (hand-line). Sekoci boat has been reliably used to catch fish at a distance of 50-200 miles, with catching period 8 to 12 months every year in areas fitted with a fish aggregating device. Research objectives were to analyze the conditions of oceanographic factors, skipjack stock biomass, linkages between oceanographic aspects and stock biomass, fisheries sustainability status on ecological, economic, technological, social and institutional dimensions, as well as management strategy of the fisheries through priorities setting based on multidimensional sustainability status. Research results showed that wind monsoon affected vertical and horizontal distribution of sea surface temperature (SST) and chlorophyll-a concentration. Distribution of those parameters during eastern monsoon favored the abundance of skipjack population compared to that in western monsoon. CPUE fluctuations trailed monsoon patterns, with higher values in the eastern monsoon than in the western monsoon. Fishing season peak occurred in July to October annually. During the eastern monsoon SST decreased while concentration of chlorophyll-a and CPUE values tended to increase. Contrary, during the western monsoon SST increased and chlorophyll-a concentration as well as and CPUE tended to decrease. Furthermore, sustainability index for each dimension indicated that ecological dimension included in sustainable category, followed by technological dimension in moderate category. Sustainability index of institutional, economic, and social dimensions included in less sustainable category with the lowest index on social dimension. Multidimensional index indicated that overall status of skipjack sustainability in IEEZ at southern coast of East Java was moderate which required arrangement of various sensitive attributes. Smart analysis result showed policy priorities for social dimension followed by institutional and economic dimensions. The highest score attributes of the dimensions were consecutively business ownership, enforcement of rules, and environmental awareness. Application of policy priorities would result in increases in sustainability index with higher values after application of the policy. Keywords: Indian Ocean, Indonesian exclusive economic zone, skipjack, oceanographic aspects, biomass stock, sustainability status
RINGKASAN ANDI IRWAN NUR. Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Samudera Hindia Selatan Jawa Timur. Dibimbing oleh MENNOFATRIA BOER, DIETRIECH G.BENGEN, dan AWAL SUBANDAR. Perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia di Samudera Hindia selatan Jawa Timur termasuk dalam wilayah WPP-RI 573 yang memiliki potensi sumberdaya hayati yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi masyarakat di selatan Jawa Timur. Kondisi oseanografi yang spesifik menyebabkan perairan ini relatif lebih subur dibandingkan wilayah lain. Salah satu jenis sumberdaya perikanan yang melimpah adalah Cakalang dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi. Tingkat pemanfaatannya diduga masih sedang sehingga memungkinkan peningkatan tingkat eksploitasi. Jenis armada yang banyak digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya Cakalang di WPPRI 573 adalah kapal sekoci yang berpangkalan di PPP Pondokdadap Kabupaten Malang. Tujuan penelitian adalah menganalisis kondisi oseanografi perairan, kondisi biomas stok sumberdaya, keterkaitan kondisi oseanografi dengan biomas stok, status keberlanjutan perikanan pada dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan, serta menyusun strategi pengelolaan perikanan Cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur. Analisis sebaran temporal dan spasial terhadap arah dan kecepatan angin, suhu permukaan laut, dan konsentrasi klorofil-a dilakukan menggunakan Grapher 7.0 dan Ocean Data View, analisis CPUE serta hubungan panjang berat dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excell 2007. Keterkaitan parameter oseanografi dengan CPU dilakukan dengan analisis deret waktu dan korelasi silang metode Fast Fourier Transform dan Wavelet. Pendugaan status sumberdaya dianalisis dengan metode Clarke Yoshimoto Pooley, dan kelayakan invetasi dianalisis dengan net present value, internal rate of return, benefit cost ratio, dan payback period. Analisis atribut pada dimensi teknologi, sosial, dan kelembagaan dilakukan secara deskriptif. Indeks keberlanjutan dianalisis dengan Rapfish, status keberlanjutan multidimensi dengan program bobot dimensi, serta prioritas kebijakan dengan simple multi-attribute rating technique. Hasil penelitian menunjukkan suhu permukaan laut pada musim barat 23,42 0C–29,02 0C dan pada musim timur 25,840C-29,580C. Lapisan termoklin terdapat pada kedalaman 30-199 m. Konsentrasi klorofil-a pada musim barat 0,07 mg.l-1–2,61 mg.l-, dan pada musim timur 0,08 mg.l-1–6,90 mg.l-1. Konsentrasi tertinggi terjadi di bulan Agustus yaitu 0,15 mg.l-1–6,90 mg.l-1. Fluktuasi CPUE selama 96 bulan menunjukkan hasil tangkapan yang lebih banyak pada musim timur dibandingkan pada musim barat. Puncak penangkapan terjadi pada bulan Juli-Oktober. Nilai suhu yang menurun dan konsentrasi klorofil-a yang meningkat pada bulan Juli – Oktober diikuti dengan peningkatan hasil tangkapan per trip. Hasil analisis regresi berganda SPL dan konsentrasi klorofil-a terhadap CPUE mengindikasikan terdapat faktor oseanografi lain yang tidak diamati dalam penelitian ini yang berpengaruh langsung terhadap CPUE. Pada dimensi ekologi, rataan persentase jumlah tangkapan yang berukuran 1-2 kg dan >2-6 kg adalah 3,17% dan 96,83%, dengan pola pertumbuhan
allometrik positif. Pendugaan status sumberdaya mengindikasikan penangkapan masih jauh dari kondisi over fishing, dengan peluang peningkatan 70,25% dari produksi aktual, dan 83,58% dari trip aktual. Atribut sensitif pada dimensi ekologi adalah Rentang Migrasi. Hasil analisis BCR adalah 1,71 yang menunjukkan rasio antara pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan biaya. Biaya terbesar adalah untuk pembelian solar yaitu 78,0%, disusul pembelian es 11,6% dan sembako 10,4%. Total manfaat yang diterima pihak eksternal adalah 88,93% yang lebih tinggi dibandingkan manfaat yang diterima pihak internal dengan jumlah tenaga kerja terserap 2.135 orang. Atribut sensitif dimensi ekonomi adalah (1) Kepemilikan usaha; (2) Sumber pendapatan lain; dan (3); Harga jual. Kapal sekoci terbuat dari kayu dengan rataan panjang 16 m, lebar 3,3 m, tinggi 1,6 m , bobot 10 GT, bermesin dalam 30 PK berjumlah 303 buah. Jumlah rumpon yang dipasang nelayan sekoci adalah 80 buah, tersebar pada koordinat 113°00' - 115°00' BT dan 9°00' - 12° 00' LS dengan kedalaman perairan sekitar 3.000 m. Atribut yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap keberlanjutan dimensi teknologi adalah (1) Pengolahan pra jual; dan (2) Lama trip. Sebagian besar nelayan Sekoci merupakan nelayan andon dengan tingkat pendidikan rendah yaitu 53% hanya lulus Sekolah Dasar, dan persentase kesadaran lingkungan yang rendah (27%). Pola kerja nelayan adalah berkelompok dengan rataan persentase pertambahan jumlah pelaku usaha baru 19,2%. Konflik yang terjadi adalah konflik cara produksi atau alat tangkap, kelas, dan usaha. Pada dimensi sosial atribut sensitif adalah (1) Kesadaran lingkungan; (2) Pelaku usaha baru; (3) Sumber pendapatan; dan (4) Status konflik. Ketersediaan kebijakan internasional, nasional serta aturan pelaksanaan pada level di bawahnya telah memadai. Demikian pula dengan mandat hukum yang mengatur kewenangan berbagai instansi penegakan hokum, namun kinerja penegakan hukum masih dihambat kemampuan sumberdaya manusia dan alokasi anggaran. Pelabuhan perikanan yang ada cukup baik yang merupakan salah satu sentra pendaratan ikan pelagis besar di selatan Jawa Timur dilengkapi solar paket dealer nelayan yang dikelola KUD. Peran lembaga keuangan masih lemah sehingga usaha penangkapan umumnya dibiayai oleh pengamba’. Atribut sensitif pada dimensi kelembagaan adalah (1) Penegakan aturan; (2) KUD dan lembaga keuangan mikro; dan (3) Kelompok nelayan. Nilai stress kelima dimensi pada analisis Rapfish <0,20 dengan R2 >80%. Nilai indeks dimensi ekologi adalah 77,68, 44,90 untuk dimensi teknologi, dan kisaran indeks ketiga dimensi lainnya 24,70-38,83. Hasil analisis Smart menunjukkan prioritas pada kebijakan dimensi sosial dengan skor 0,735, dimensi kelembagaan 0,652, serta dimensi ekonomi 0,588. Atribut dengan skor tertinggi pada ketiga dimensi berturut-turut adalah kepemilikan usaha, penegakan aturan, dan kesadaran lingkungan. Penerapan strategi pengelolaan berbasis keberlanjutan multidimensi meningkatkan indeks keberlanjutan yaitu 51,86 pada dimensi sosial, 60,27 pada dimensi kelembagaan, dan 50,68 pada dimensi ekonomi, serta meningkatkan nilai indeks multidimensi dari 52,48 yang termasuk kategori sedang menjadi 60,74 yang termasuk kategori berkelanjutan. Kata Kunci: Samudera Hindia, zona ekonomi eksklusif, Cakalang, kondisi oseanografi, stok biomas, status keberlanjutan.
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA PERIKANAN CAKALANG (Katsuwonus pelamis) DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA (ZEEI) SAMUDERA HINDIA SELATAN JAWA TIMUR
ANDI IRWAN NUR
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup Tanggal 25 November 2011
Penguji pada Ujian Terbuka Tanggal 30 Desember 2011
: Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. : Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc.
: Prof. Dr.Ir. Daniel R. Monintja, MSc. : Prof. Dr. Ir. H.M. Natsir Nessa, MS.
Judul Disertasi
Nama NRP Program Studi
: Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Samudera Hindia Selatan Jawa Timur : Andi Irwan Nur : C261060151 : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Ketua
Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Anggota
Dr. Ir. Awal Subandar, M.Sc. Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA.
Tanggal Ujian: 30 Desember 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Lulus:
PRAKATA Sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat dalam kehidupan (QS.84:19). Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat mencapai tingkatan ini. Tema disertasi adalah keberlanjutan sumberdaya perikanan cakalang yang terdiri dari lima bab yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penelitian, hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dan saran. Selama menempuh pendidikan doktoral dan merampungkan disertasi penulis mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Prof.Dr.Ir. Mennofatria Boer, DEA sebagai ketua komisi pembimbing, serta pembimbing anggota Prof.Dr.Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan Dr.Ir. Awal Subandar, M.Sc atas masukan berharga, teladan kebajikan dan kebijakan yang telah diberikan. 2. Ir. Kiagus Abdul Azis, M.Sc, Prof.Dr.Ir. Daniel R.Monintja M.Sc, Prof.Dr.Ir. H.M.Natsir Nessa, MS, Prof.Dr.Ir. Ismudi Muchsin, Prof.Dr. Rokhmin Dahuri, MS, Prof.Dr.Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc, Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc, Dr.Ir. Achmad Fahrudin, M.Si, dan Dr.Ir. Sugeng Budiharsono, M.Si, yang telah membekali dengan ilmu berharga serta masukan bagi perbaikan disertasi. 3. Dekan dan staf pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, serta Dekan dan staf pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 4. Rektor Universitas Haluoleo beserta Dekan Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan dan yang telah memberi dorongan dan izin belajar kepada penulis. 5. Sahabat penulis Ir. David Hermawan, MP. yang telah berbagi berbagai hal sejak awal perkuliahan hingga penulisan disertasi, Dr.Ir.Hasni Yulianti Azis M.Si, Dr.Ir.Yon Vitner, M.Si, Muhammad Yusuf SPi.MSi, Syamsul Hidayat SPi, Andi Chadijah SPi.MSi, Sulaiman, SPi.M.Si, dan Rahmawani Dori, SPi.MSi atas segala bentuk bantuan termasuk pengolahan data. 6. Rekan angkatan 2006 pada program studi SPL-IPB, serta sahabat- sahabat dari Universitas Haluoleo khususnya Ir.Hj.Husna Faad, M.Si, Ir. Muhammad Ramli, M.Si, Drs. Amirullah, M.Si, dan M.Taswin Munier, SPi.MSi, atas segala bantuan, dorongan moril, kerjasama, dan kebersamaan yang berkesan. 7. Ucapan terima kasih tak terhingga kepada ayahanda (almarhum) dan ibunda yang telah melahirkan, mendidik dan membesarkan penulis, serta kepada saudara-saudari penulis dan keluarga besar yang telah memberi dukungan. 8. Secara khusus isteri dan anak-anak tercinta Intihanah Yahya SE,QIA,M.Si, Andi Aisyah Nurul Hidayah, Andi Azzahrah Fathanah Nur Putri, dan Andi Ahmad Afiq Nur Mubaraq, atas doa, dorongan, kasih sayang dan kesabarannya. Disadari sepenuhnya bahwa disertasi ini tidak terlepas dari keterbatasan, namun diharapkan semoga uraian yang ada di dalamnya dapat bermanfaat kepada pihak yang terkait pengelolaan perikanan cakalang di ZEEI Samudera Hindia. Bogor, 30 Desember 2011
Andi Irwan Nur
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bulukumba Sulawesi Selatan pada tanggal 28 Oktober 1969 sebagai anak kelima dari Sembilan bersaudara dari pasangan bapak H.Andi Muhammad Nur (almarhum) dan ibu Hj.Andi Hadanah. Pendidikan sarjana penulis tempuh di Program Studi Akuakultur Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1997 penulis mendapatkan beasiswa dari Collaborative Environmental Project in Indonesia (CEPI) untuk melanjutkan studi ke program master di Faculty of Environmental Studies York University Toronto dan tamat pada 2000. Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program doktor pada program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh tahun 2006 dengan bantuan beasiswa dari Islamic Development Bank. Penulis bekerja sebagai staf pengajar tetap pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo sejak tahun 1994. Selain melakukan berbagai kegiatan dan penelitian dalam bidang konservasi sumberdaya dan lingkungan perairan, artikel penulis berjudul Mariculture as an Alternative for Sustainable Aquaculture in Indonesia dimuat sebagai salah satu bab dalam buku Contemporary Issues in Marine Science and Fisheries (Ed.Mc.Lean et.al) Muscat Oman pada tahun 2002. Penulis juga terlibat dalam berbagai penyusunan dokumen nasional diantaranya Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) Bappenas RI-World Bank sebagai koordinator penulisan wilayah Sulawesi pada tahun 2003, serta penyusunan Ecoregional Conservation Assessment of Sulawesi (ECA) The Nature Conservancy Washington sebagai steering committee bidang sumberdaya pesisir pada tahun 2003-2005. Dua buah artikel berkaitan dengan disertasi ini sedang dalam proses penerbitan pada jurnal ilmiah Agrisains Universitas Tadulako dan jurnal ilmiah Mutiara Universitas Muslim Indonesia.
xix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………………….
xxiii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………
xxv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….
xxix
1 PENDAHULUAN ……….……………………………………………... 1.1 Latar Belakang …………………………………………………….. 1.2 Rumusan Masalah ….………………………………………………. 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………………………………... 1.3.1 Tujuan Penelitian ………………………………………........ 1.3.2 Kegunaan Penelitian ……………………………………....... 1.4 Kerangka Pikir ………………………………………………... …. 1.5 Kebaruan Penelitian ……………………………………………….
1 1 4 4 4 4 5 8
2 TINJAUAN PUSTAKA …..……………………………………………. 2.1 Kondisi Oseanografi ……………………………………………… 2.1.1 Arah dan Kecepatan Angin ..……………..…………………. 2.1.2 Suhu Permukaan Laut……………………………….………. 2.1.3 Klorofil-a ………………………………………………….... 2.2 Aspek Biologi Cakalang ………….......…………………………... 2.2.1 Tingkah Laku …………..………………..…………………. 2.2.2 Pendugaan Stok Cakalang....………………………..………. 2.3 Perikanan Cakalang Samudera Hindia …………………..……….. 2.4 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan ……..……….. 2.4.1 Aspek Ekologi…………..………………..…………………. 2.4.2 Aspek Ekonomi.…………………………………….………. 2.4.3 Aspek Teknologi………..………………..…………………. 2.4.4 Aspek Sosial ….…………………………………….………. 2.4.5 Aspek Kelembagaan ….…………………………….………. 2.5 Penentuan Status Keberlanjutan …............…………..…..………..
11 11 11 11 13 14 14 16 18 20 22 23 23 24 25 25
3 METODELOGI PENELITIAN …………………………………….…. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ………………………………….….. 3.2 Tahapan Penelitian ………………………………………………... 3.3 Rancangan Penelitian …………………………………………….. 3.3.1 Jenis dan Sumber Data ……………………………………... 3.3.2 Metode Pengumpulan Data ………………………………… 3.3.3 Prosedur Penelitian ….…..............………………………….. 3.4. Analisis Data …………………..………………………………… 3.4.1 Analisis Sebaran Temporal dan Spasial ...………………….. 3.4.2 Analisis Deret Waktu ……………………….……………....
27 27 27 30 30 31 32 33 33 33
xix
xx
3.4.2.1 Spektrum Densitas Energi…………………………... 43.4.2.2 Korelasi Silang...…………..………………………. 3.4.3 Pendugaan Status Sumberdaya ............................................... 3.4.3.1 Analisis CPUE .................…………………………... 3.4.3.2 Estimasi Paramater Biologi........................................ 3.4.3.3 Estimasi Keseimbangan Bioekonomi....……………. 3.4.4 Analisis Panjang Berat ............................................................ 3.4.5 Analisis Kelayakan Investasi…….………………....……….. 3.4.6 Analisis Status Keberlanjutan …………….....……………… 3.4.6.1 Penentuan Atribut Keberlanjutan….………………... 3.4.6.2 Ordinasi Atribut.......................................................... 3.4.6.3 Analisis Sensitivitas dan Monte Carlo........................ 3.4.6.4 Status Keberlanjutan Dimensi ................................... 3.4.6.5 Status Keberlanjutan Multidimensi......…….………. 3.4.6.6 Strategi Pengelolaan Berbasis Status Keberlanjutan Multidimensi........................................…….……….
34 35 36 36 37 38 39 39 41 42 49 49 51 51
4 HASIL DAN PEMBAHASAN …...……………………………………. 4.1 Kondisi Oseanografi ……………………………………………… 4.1.1 Arah dan Kecepatan Angin ..……………..…………………. 4.1.2 Sebaran Suhu Permukaan Laut………….………….………. 4.1.3 Sebaran Suhu Menegak……..…………………………….... 4.1.4 Sebaran Suhu Melintang……..…………………………….... 4.1.5 Sebaran Konsentrasi Klorofil-a …………………………….. 4.2 Analisis Tren Biomas..……..……………………………………... 4.3 Analisis Deret Waktu..……..……………………………………... 4.3.1 Spektrum Densitas Energi…………………………………... 4.3.2 Korelasi Silang ……………..………………………………. 4.3.2.1 CPUE dengan Suhu Permukaan Laut .……………... 4.3.2.2 CPUE dengan Sebaran Klorofil-a……..…………… 4.4 Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekologi ………………..……….. 4.4.1 Kondisi Atribut Ekologi…………..….…..…………………. 4.4.1.1 Komposisi Jenis dan Jumlah Tangkapan….………... 4.4.1.2 Komposisi Ukuran Panjang ……………..………… 4.4.1.3 Komposisi Ukuran Berat………………….………... 4.4.1.4 Pendugaan Status Sumberdaya ..………….………... 4.4.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Ekologi.......…… 4.5 Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ….…………..……….. 4.5.1 Kondisi Atribut Ekonomi….……..….…..…………………. 4.5.1.1 Analisis Kelayakan Investasi……………..………... 4.5.1.2 Pemasaran dan Harga Jual……………..…………… 4.5.1.3 Biaya dan Pendapatan…….……………….………... 4.5.1.4 Sumber Pendapatan dan Subsidi…………..………...
53 53 53 54 58 59 62 63 65 65 69 69 71 73 73 73 75 76 78 81 84 84 84 87 88 90
52
xxi
4.5.1.5 Kepemilikan Usaha ………………………...….…… 4.5.1.6 Kontribusi Terhadap PDRB……………….………... 4.5.1.7 Tenaga Kerja ……………………..……….………... 4.5.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Ekonomi…..…... 4.6 Analisis Keberlanjutan Dimensi Teknologi.….…………..……….. 4.6.1 Kondisi Atribut Teknologi….……..….…..…………………. 4.6.1.1 Armada Tangkap …………..……………..………... 4.6.1.2 Alat Tangkap …………………………..…………… 4.6.1.3 Rumpon…...........................……………….………... 4.6.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Teknologi……… 4.7 Analisis Keberlanjutan Dimensi Sosial…………………..……….. 4.7.1 Kondisi Atribut Sosial……..……..…..…..…………………. 4.7.1.1 Pertumbuhan Jumlah Nelayan……………..………... 4.7.1.2 Pendidikan dan Pengalaman Kerja …………………. 4.7.1.3 Pola Kerja Nelayan ……..…..……………..………... 4.7.1.4 Pertumbuhan Pelaku Usaha ……………….…..…… 4.7.1.5 Konflik Pemanfaatan………..……………..………... 4.7.1.6 Kesadaran Lingkungan ………………….………..… 4.7.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Sosial…...……... 4.8 Analisis Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan…………..……….. 4.8.1 Kondisi Atribut Kelembagaan…....…..…..…………………. 4.8.1.1 Ketersediaan Aturan ………..……………..………... 4.8.1.2 Lembaga Pelaksana …………………..……………. 4.8.1.3 Pelabuhan Perikanan…....…..……………..………... 4.8.1.4 KUD dan Lembaga Keuangan Mikro……….……… 4.8.1.5 Kelompok Nelayan dan Pelibatan Nelayan ………… 4.8.1.6 IUU Fishing dan Penegakan Aturan ……………..… 4.8.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Kelembagaan….. 4.9 Fitness, Tingkat Kepercayaan dan Stabilitas Atribut….…………. 4.10 Analisis Status Keberlanjutan Multidimensi …………..………... 4.11 Strategi Pengelolaan Berbasis Status Keberlanjutan Multidimensi 4.11.1 Dimensi dan Atribut Prioritas ……..……………..………... 4.11.2 Arahan Strategi Keberlanjutan...……………..…………….
90 91 92 92 96 96 96 98 99 100 103 103 103 104 105 106 106 107 107 111 111 111 112 113 114 115 115 116 120 121 122 123 124
5 KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ 5.1 Kesimpulan.................................................................................... 5.2 Saran..............................................................................................
131 131 132
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
133
LAMPIRAN..................................................................................................
143
xxii
xxiii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Prosedur penelitian .................................................................................
2
Atribut keberlanjutan dimensi ekologi beserta kriteria pemberian skor ........................................................................................
3
Atribut keberlanjutan dimensi ekonomi beserta kriteria pemberian skor ........................................................................................
4
Atribut keberlanjutan dimensi teknologi beserta kriteria pemberian skor ........................................................................................
5
Atribut keberlanjutan dimensi sosial beserta kriteria pemberian skor ........................................................................................
6
Atribut keberlanjutan dimensi kelembagaan serta kriteria pemberian skor ........................................................................................
7
Karakteristik setiap kelas pelabuhan perikanan ......................................
8
Kategori indeks keberlanjutan setiap dimensi sistem yang dikaji……...
9
Kisaran suhu permukaan laut pada musim barat periode Desember 2005-Mei 2009 ......................................................................
10 Kisaran suhu permukaan laut pada musim timur periode Juni 2005-November 2009....................................................................... 11 Nilai rataan CPUE bulanan cakalang tahun 2003-2010......................... 12 Periode fluktuasi setiap parameter tahun 2005-2009............................... 13 Rataan kondisi oseanografi dan CPUE tahun 2005-2009........................ 14 Nilai korelasi silang, periode fluktuasi, koherensi dan beda fase suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan CPUE ................ 15 Jumlah trip dan hasil tangkapan cakalang tahun 2003-2010 ................. 16 Perubahan upaya tangkap perikanan cakalang tahun 2003-2010...…… 17 Jumlah ikan tangkapan menurut ukuran berat (Kg) tahun 2003-2010...................................................................................... 18 Tingkat biomas, produksi, upaya optimal, dan rente ekonomi perikanan cakalang di ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur………. 19 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi ekologi ................................... 20 Nilai dan penyusutan investasi kapal sekoci tahun 2002-2010…………...................................................................... 21 Kriteria kelayakan usaha penangkapan cakalang dengan kapal sekoci…………………………………………………………………...
32 43 44 45 46 47 48 51 55 55 63 67 69 72 74 75 76 78 81 85 86
xxiv
22 Jenis pembiayaan nelayan sekoci per trip tahun 2003-2010 ................... 23 Biaya dan pendapatan kapal sekoci tahun 2003-2010 ............................ 24 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi ekonomi ................................. 25 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi teknologi ................................ 26 Perubahan jumlah kapal sekoci di PPP Pondokdadap 2001-2010........... 27 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi sosial ...................................... 28 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi kelembagaan........................... 29 Nilai stress dan kuadrat korelasi dari setiap dimensi .............................. 30 Nilai indeks keberlanjutan multidimensi perikanan cakalang nelayan sekoci Pondokdadap .................................................. 31 Urutan atribut prioritas untuk setiap dimensi prioritas............................ 32 Strategi keberlanjutan dimensi sosial………………….......................... 33 Strategi keberlanjutan dimensi kelembagaan……………...................... 34 Strategi keberlanjutan dimensi ekonomi...………………....................... 35 Strategi keberlanjutan dimensi ekologi dan teknologi...…...................... 36 Nilai indeks keberlanjutan setelah penerapan strategi ............................
88 89 93 100 106 108 117 120 122 124 124 125 126 127 129
xxv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
2
Kerangka pikir penelitian Keberlanjutan Perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) pada Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur ............................................................................................ Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus, 1758) Sumber: Collette dan Nauen (1983) ......................................................
3
Hubungan antar komponen dalam segitiga keberlanjutan …………….
4
Lokasi penelitian Keberlanjutan Perikanan cakalang di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur ………….........................
5
Tahapan penelitian Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur ...........................
6
Prosedur yang digunakan dalam aplikasi Rapfish (Sumber: Alder et al.2000) …................................................................ Arah dan kecepatan angin (m.dtk ) awal musim timur pada bulan Juni 2009 di perairan selatan Jawa Timur……………..........................
8
Arah dan kecepatan angin (m.dtk-1) awal musim barat pada bulan Desember 2009 di perairan selatan Jawa Timur ....................................
9
Rataan sebaran suhu permukaan laut bulanan (0C) pada musim barat periode Desember 2005-Mei 2009; (a) Desember, (b) Januari, (c) Februari, (d) Maret, (e) April, dan (f) Mei ....................
21 28 29 42 53 54
56
0
10
Rataan sebaran suhu permukaan laut bulanan ( C) pada musim timur periode Juni 2005-November 2009; (a) Juni, (b) Juli, (c) Agustus, (d) September, (e) Oktober, dan (f) November .................
11
Sebaran suhu menegak bulanan (0C) tahun 2009. Garis warna \merah mewakili musim barat dan warna biru mewakili musim timur ……….
12
Sebaran suhu melintang bulanan (0C) tahun 2009..................................
13
Rataan sebaran konsentrasi klorofil-a (mg.l-1) pada musim barat periode Desember 2005-Mei 2009; (a) Desember, (b) Januari, (c) Februari, (d) Maret, (e) April, dan (f) Mei ...................
15
15
-1
7
14
7
57 58 59
60
-1
Rataan sebaran konsentrasi klorofil-a (mg.l ) pada musim timur periode Juni 2005-November 2009; (a) Juni, (b) Juli, (c) Agustus, (d) September, (e) Oktober, dan (f) November ................. Variasi nilai bulanan CPUE untuk cakalang pada tahun 2003-2010 ............................................................................
16
Regresi total tangkapan cakalang terhadap total upaya tangkap per tahun dari 2003-2010..............................................................................
17
Spektrum densitas energi suhu permukaan laut periode tahun
61 64 65
xxvi
2005- 2009; (a) metode FFT, (b) metode Wavelet ................................ 18
Spektrum densitas energi klorofil-a tahun 2005-2009; (a) metode FFT, (b) metode Wavelet.....................................................
19
Spektrum densitas energi CPUE periode tahun 2005-2009; (a) metode FFT, (b) metode Wavelet.....................................................
20
Sebaran temporal suhu permukaan laut, klorofil-a dan CPUE tahun 2005-2009...................................................................
21
Hasil korelasi silang antara SPL dan CPUE periode 2005-2009………
22
Hasil korelasi silang antara suhu permukaan laut dan CPUE ................
23
Komposisi jenis hasil tangkapan nelayan sekoci tahun 2003-2010 .......
24
Komposisi cakalang tangkapan menurut ukuran panjang tahun 2010……......................................................................................
25
Komposisi jumlah tangkapan nelayan sekoci berdasarkan ukuran tahun 2003-2010 ........................................................................
26
Hubungan panjang berat cakalang pada tahun 2010.............................
27
Perbandingan tingkat effort aktual dengan tiga rezim pengelolaan ….......................................................................
28
Perbandingan tingkat produksi aktual dengan tiga rezim pengelolaan ..............................................................
29
Kurva produksi lestari cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia....................................................................................
30
Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan pada dimensi ekologi .............................................................................
31
Fluktuasi harga jual cakalang tahun 2003-2010 ...................................
32
Perbandingan biaya dan pendapatan per trip tahun 2003-2010..............
33
Proporsi manfaat yang diterima oleh berbagai pihak pada perikanan cakalang nelayan sekoci PPP Pondokdadap ........................
34
Hasil analisis sensitivitas atribut pada dimensi ekonomi ……………..
35
Perkembangan jenis dan jumlah armada tangkap yang berpangkalan di PPP Pondokdadap …………………….......................
36
Kapal sekoci dari PPP Pondokdadap .....................................................
37
Alat pancing nelayan sekoci dengan metode (a) tonda dan (b) coping..........................................................................
38 39
Rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap ..........................................
65
66 66 67 70 71 74 76 77 78 79 80 80 83 87 89 91 95 96 97 98
99 Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan pada dimensi teknologi........................................................................... 102
xxvii
40
Proporsi nelayan berdasarkan jenis perahu di PPP Pondokdadap tahun 2001-2010.......................................................
41
Pendidikan nelayan kapal sekoci di PPP Pondokdadap .......................
42
Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan pada dimensi sosial.................................................................................
43
Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan pada dimensi Kelembagaan....................................................................
44
Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi pada perikanan cakalang nelayan sekoci ..............................................
104 104 110 118 121
45
Hirarki dimensi prioritas keberlanjutan pengelolaan cakalang..............
46
Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi setelah penerapan kebijakan................................................................... 128
123
xxviii
xxix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Foto penelitian ………………………………………………..............
2
Ukuran, GT, PK, daya dan jenis mesin serta nama kapal sampel dalam penelitian……………………………………………….
3
Jenis fasilitas pada PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang…………………………………………………….
4
Hasil korelasi silang antara suhu permukaan laut CPUE; (a) Kospektrum densitas energi; (b) koherensi kuadrat; (c) beda fase …...
5
Hasil korelasi silang antara klorofil-a dan CPUE; (a) Kospektrum densitas energi; (b) koherensi kuadrat; (c) beda fase …………………
6
Tabel Pairwise Comparison ………………………………………….
7
Perhitungan panjang berat dan pendugaan status sumberdaya..............
8
Sebaran suhu menegak pada mixed layer, thermocline, dan depth layer di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur tahun 2009……………………………………………………………..
9
Jumlah trip, persentase jenis, jumlah tangkapan, harga, nilai jual, pendapatan dan CPUE per perahu sekoci tahun 2003-2010…………..
10
Waktu, nilai maksimum/minimum, rataan dan standar deviasi suhu permukaan laut Samudera Hindia selatan Jawa Timur 2005-2009 …..
11
Waktu, nilai maksimum dan minimum, rataan dan standar deviasi konsentrasi klorofil-a Samudera Hindia selatan Jawa tahun 2005-2009 ……………………………………………………...
12
Arah dan kecepatan angin (m.dtk-1) musim barat di atas perairan selatan Jawa periode November 2008–Oktober 2009: (a) Desember 2008; (b) Januari 2009; (c) Februari 2009; (d) Maret 2009; (e) April 2009; dan (f) Mei 2009 ………………..................................
13
Arah dan kecepatan angin (m.dtk-1) musim timur di atas perairan selatan Jawa periode November 2008 – Oktober 2009: (a) Juni 2008; (b) Juli 2009; (c) Agustus 2009; (d) September 2009; (e) Oktober 2009; dan (f) November 2009 ........
14
Perhitungan kriteria kelayakan usaha tangkap cakalang dengan perahu sekoci di PPP Pondokdadap tahun 2003-2010 …..……………
15
Perhitungan Analisis RapAnalysis ……………………………...…….
145 148 150 151 152 153 155
156 157 165
166
167
168 169 170
16
Grafik ordinasi setiap dimensi ………………………………..............
17
Grafik Monte Carlo scatter plot ………………………………………
176 177
xxx
18
WPP-RI 573 perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat (Sumber: DJPT 2011)…………………………………………... 178
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan perikanan pelagis besar di Samudera Hindia relatif masih baru dibandingkan dengan kegiatan serupa di samudera lain. Walaupun demikian, produksi dari perairan ini terus meningkat dengan kontribusi yang semakin bertambah kepada total produksi dunia. Dari beberapa spesies ikan pelagis besar yang tertangkap, salah satu jenis yang dominan adalah cakalang (Katsuwonus pelamis). Cakalang merupakan tuna berukuran paling kecil, tetapi saat ini arti pentingnya bagi perikanan tangkap semakin dirasakan. Volume produksinya yang besar menyebabkan nilai perdagangannya lebih tinggi dari nilai perdagangan jenis tuna lainnya. Cakalang merupakan spesies kosmopolit yang ditemukan di bagian tropis hingga sub tropis Samudera Hindia. Cakalang merupakan ikan pelagis besar yang melakukan
migrasi
dalam
jarak
yang
jauh,
dimana
kelimpahan
dan
penyebarannya banyak dipengaruhi oleh karakteristik oseanografi permukaan perairan. Ikan ini umumnya membentuk gerombolan besar dan berasosiasi dengan spesies tuna lain yang berukuran sama seperti juvenil Madidihang dan tuna Matabesar. Spesies ini memiliki fekunditas tinggi dan laju pertumbuhan cepat yang bisa mencapai ukuran dewasa dalam waktu kurang dari setahun. Laju reproduksi dan pertumbuhan yang tinggi menyebabkan cakalang tidak rentan terhadap peningkatan upaya tangkap. Perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) di Samudera Hindia selatan Jawa Timur termasuk dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
(WPP-RI) 573 dengan karakteristik oseanografi yang mendukung
keberadaan cakalang, sehingga menjadi perairan potensial untuk penangkapannya oleh nelayan yang berasal dari berbagai tempat. Salah satu jenis armada yang digunakan untuk penangkapan sumberdaya ini di WPP-RI 573 adalah kapal sekoci yang berpangkalan di pantai selatan Kabupaten Malang. Kapal ini berukuran 10 GT yang mampu menangkap ikan hingga batas terluar ZEEI. Hasil tangkapan cakalang dengan armada ini menempati proporsi yang cukup besar dibandingkan hasil tangkapan tuna jenis lain.
2
Menurut data DJPT (2011) komposisi armada penangkap ikan menurut ukuran pada tahun 2010 di WPP-RI 573 didominasi oleh motor tempel sejumlah 39.658 (57%), kemudian perahu tanpa motor sejumlah 16.132 buah (23%), dan paling sedikit adalah kapal motor yaitu 13.780 buah (20%). Persentase tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar armada berukuran kecil dan hanya dapat beroperasi hingga perairan teritorial. Sementara itu, penangkapan dengan menggunakan kapal sekoci di perairan ZEE berkembang cepat dalam sepuluh tahun terakhir. Produksi ikan terbanyak dari wilayah pengelolaan penangkapan ini adalah jenis pelagis besar yaitu sebanyak 190.000 ton per tahun dengan nilai yang cenderung stagnan dari tahun 2005-2010. Dari jumlah tersebut 42.000 ton diantaranya adalah cakalang yang sebaliknya menunjukkan kecenderungan peningkatan dalam periode tersebut. Cakalang merupakan jenis tangkapan dominan kedua setelah ikan Lemuru (DJPT 2011). Hasil analisis dari data tagging yang dilakukan pada tahun 2006-2007 di Samudera Hindia menunjukkan bahwa jumlah cakalang yang tertangkap jauh lebih besar dari jenis tuna lainnya dengan laju eksploitasi yang relatif masih rendah yaitu tidak melebihi 20% pada semua jenis ukuran tangkapan (IOTC 2010). Kondisi tersebut di atas merupakan peluang yang memerlukan upaya untuk terus mengembangkan pemanfaatan ikan pelagis besar khususnya cakalang di wilayah ZEEI. Pengembangan pemanfaatan memerlukan pemahaman tentang kompleksitas perikanan tangkap. Untuk itu diperlukan berbagai informasi faktual dari berbagai aspek pengelolaan. Informasi yang diperlukan meliputi kondisi ekologi sumberdaya dan lingkungan perairan, teknologi penangkapan dan pengolahan yang digunakan, kondisi sosial dan ekonomi nelayan dan masyarakat pesisir, serta kondisi kelembagaan yang ada di suatu lokasi pemanfaatan. Informasi yang memadai terkait hal di atas akan memudahkan dalam mengetahui masalah-masalah utama yang ada sehingga rencana pemanfaatan yang dibuat dapat mencapai tujuan dengan efektif dan efisien. Selain membutuhkan berbagai informasi, pengelolaan perikanan tangkap juga memerlukan pemahaman tentang tingginya dinamika dan ketidakpastian dalam perikanan tangkap. Sistem perikanan mencakup subsistem sumberdaya ikan
3
dan lingkungannya, subsistem sumberdaya manusia dengan kegiatannya, dan subsistem manajemen perikanan, dimana setiap subsistem memiliki berbagai komponen. Sistem
ini memiliki sifat yang dinamis dengan komponen yang
berubah sepanjang waktu sehingga memerlukan pendekatan pengelolaan secara terpadu dan berkelanjutan, yaitu pengelolaan yang memperhatikan kompleksitas dan keterkaitan aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial, serta kelembagaan. Sehubungan dengan hal di atas, pemanfaatan sumberdaya cakalang di Samudera Hindia harus dilakukan sesuai amanat dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) untuk menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan secara bertanggungjawab. Tujuan dari penerapan prinsip tersebut adalah untuk mempertahankan
keberlanjutan
sumberdaya
cakalang
dalam
mendukung
kesejahteraan umat manusia. Pola pemanfaatan sumberdaya yang tidak bertanggungjawab dapat menimbulkan ketidakstabilan pada salah satu aspek pengelolaan, yang secara berantai akan berdampak pada kondisi aspek lainnya. Keterkaitan
tersebut
pada
akhirnya
dapat
menyebabkan
terjadinya
ketidakberlanjutan pada sebuah sistem perikanan. Kegagalan dalam sebuah sistem perikanan akan diikuti oleh konsekuensi rusaknya ekosistem dengan dampak sosial dan ekonomi yang besar bagi seluruh stakeholder. Dengan demikian diperlukan analisis terhadap keberlanjutan setiap aspek pengelolaan melalui kajian yang menggunakan pendekatan kualitatif pada permasalahan yang terkait dengan aspek sosial, arah dan pola kebijakan dan teknologi, serta kajian yang sedapat mungkin menggunakan pendekatan kuantitatif pada permasalahan yang terkait pengkajian dan prediksi aspek ekologi, ekonomi, dan teknologi. Analisis tersebut diarahkan pada kondisi keberlanjutan sistem saat ini, sebagai langkah antisipatif terhadap kemungkinan terjadinya ketidakstabilan sistem yang dapat ditimbulkan oleh pengelolaan yang tidak sesuai. Hasil pengkajian akan menyediakan berbagai informasi yang diperlukan untuk merumuskan tujuan dan menemukan titik keserasian antara berbagai aspek pengelolaan. Keserasian dalam keseluruhan aspek merupakan kunci untuk mencapai tujuan utama pengelolaan, yaitu menjaga kapasitas fungsional ekosistem alami sehingga tetap memberi manfaat yang berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia.
4
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Keberadaan cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur dipengaruhi oleh karakteristik oseanografi perairan, sehingga diperlukan analisis kondisi oseanografi, kondisi biomas stok cakalang, serta keterkaitan antara keduanya. 2. Semakin meningkatnya laju pemanfaatan sumberdaya cakalang di ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur oleh nelayan sekoci memerlukan analisis terhadap berbagai atribut pada setiap dimensi keberlanjutan. 3. Kompleksitas permasalahan dalam perikanan cakalang nelayan sekoci di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur memerlukan strategi pengelolaan yang memadu-serasikan berbagai aspek pengelolaan. 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kondisi oseanografi perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur. 2. Menganalisis kondisi biomas stok sumberdaya cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur. 3. Menganalisis keterkaitan kondisi oseanografi dengan biomas stok cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur. 4. Menganalisis status keberlanjutan pada perikanan cakalang perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan. 5. Menganalisis arahan strategi pengelolaan perikanan cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur melalui penetapan skala prioritas yang berbasis pada status keberlanjutan multidimensi. 1.3.2 Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai referensi dalam pengembangan ilmu pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan
5
Jawa Timur khususnya mengenai keterkaitan kondisi oseanografi dengan hasil tangkapan cakalang, serta mengenai analisis status keberlanjutan multidimensi. 2. Sebagai bahan perbandingan bagi pemerintah dalam menyusun strategi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur dengan menggunakan pendekatan status keberlanjutan multidimensi. 3. Sebagai salah satu acuan bagi nelayan dan pihak terkait lainnya dalam penentuan lokasi dan waktu penangkapan cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur, sehingga dapat meningkatkan pemanfaatan dengan tetap menjaga keberkelanjutannya. 1.4 Kerangka Pikir Perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia di Samudera Hindia selatan Jawa Timur termasuk dalam wilayah WPP-RI 573 yang memiliki potensi sumberdaya hayati besar yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi masyarakat di selatan Jawa Timur. Kondisi oseanografi yang spesifik menyebabkan perairan ini relatif lebih subur dibandingkan wilayah lain di WPPRI 573. Salah satu jenis sumberdaya perikanan yang melimpah adalah cakalang yang merupakan jenis ikan pelagis besar dengan nilai ekonomi yang cukup tinggi. Tingkat pemanfaatan sumberdaya ini diduga belum tinggi, sehingga masih memungkinkan peningkatan dalam pemanfaatannya. Salah satu jenis armada yang digunakan untuk meningkatkan pemanfaatan cakalang di WPPRI 573 adalah kapal sekoci yang berpangkalan di PPP Pondokdadap Kabupaten Malang. Armada ini menunjukkan pertambahan jumlah yang signifikan dalam periode tahun 2001-2010. Walaupun ukuran kapal ini sedang dan alat tangkap yang digunakan tradisional, namun memiliki kehandalan untuk menangkap ikan hingga jarak 50-200 mil. Aktifitas penangkapan yang dilakukan antara 8 hingga 12 bulan dalam setahun di lokasi yang telah dipasangi alat bantu penangkapan berupa rumpon. Potensi cakalang yang besar yang disertai oleh keberadaan kapal yang mampu menjangkau wilayah ZEEI, merupakan modal dasar yang perlu disokong perkembangannya
agar
dapat
menjadi
penggerak
utama
perekonomian
6
masyarakat. Namun demikian, kegiatan perikanan cakalang di wilayah ini masih menghadapi berbagai permasalahan dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, kompleksitas dan dinamika permasalahan yang ada perlu dianalisis secara mendalam dan sedapat mungkin mencakup keseluruhan dimensi pengelolaan yaitu ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan. Kondisi stok cakalang merupakan dasar utama bagi keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya cakalang.
Pemanfaatan stok cakalang terkait erat
dengan kondisi dimensi ekonomi, teknologi, dan sosial dan kelembagaan nelayan. Interaksi antara aspek tersebut dengan stok sumberdaya yang ada akan mempengaruhi kondisi dimensi ekologi. Oleh karena itu, pemahaman dan informasi tentang kondisi dari setiap dimensi tersebut merupakan pra syarat dalam pengelolaan pemanfaatannya. Dalam konteks pengelolaan yang berkelanjutan, dimensi kelembagaan yang efektif dalam mengelola interaksi antar aspek merupakan kebutuhan utama bagi tercapainya keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya cakalang. Penilaian status keberlanjutan terhadap kegiatan pemanfaatan sumberdaya cakalang adalah bagian dari mekanisme umpan balik untuk menyediakan informasi yang diperlukan untuk membenahi permasalahan yang terdapat dalam kebijakan pengelolaan atau berfungsi sebagai pendukung dalam pengambilan keputusan (decision support tools). Prosedur penilaian meliputi analisis terhadap permasalahan-permasalahan yang mempengaruhi status keberlanjutan pada setiap dimensi pengelolaan, serta analisis terhadap status dimensi pengelolaan secara keseluruhan. Hasil penilaian akan menyediakan informasi aktual dan komprehensif tentang status keberlanjutan pemanfaatannya. Informasi tersebut selanjutnya dapat dijadikan sebagai landasan dalam menyusun kebijakan pengelolaan yang mampu menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya cakalang di perairan di ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur.
ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur
Kondisi Oseanografi
Perikanan Tangkap Nelayan Sekoci PPP Pondokdadap
Kondisi Biomas Stok Cakalang
Dimensi Ekologi
Dimensi Ekonomi
Dimensi Teknologi
Status Eksploitasi Rentang Migrasi Tingkatan Kolaps Jumlah Species Tangkapan Ukuran Ikan Tangkapan Perubahan Tingkat Tropik Konsentrasi Klorofil-a
Harga Jual Kelayakan Usaha Tingkat Pendapatan Sumber Pendapatan Lain Kontribusi Terhadap PDRB Tenaga Kerja Terserap Kepemilikan Usaha Pasar Utama Subsidi
Penanganan di Kapal Rumpon Tempat Pendaratan Ukuran Kapal Efek Samping Alat Perubahan Kapasitas Tangkap Lama Trip Pengolahan Pra-jual
Sumberdaya Perikanan Cakalang
Analisis Status Keberlanjutan Dimensi
Analisis Status Keberlanjutan Multidimensi
Dimensi Sosial Pola Kerja Rumah Tangga Nelayan Pelaku Usaha Baru Pengalaman Nelayan Status Konflik Kontribusi Pendapatan Kesadaran Lingkungan Partisipasi Keluarga
Dimensi Kelembagaan Ketersediaan Aturan Lembaga Pelaksana Penegakan Aturan Pelabuhan Perikanan Pelibatan Nelayan KUD dan LKM Kelompok Nelayan IUU Fishing
Strategi Pengelolaan Perikanan Cakalang Berbasis Status Keberlanjutan Multidimensi
7
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur.
8
1.5 Kebaruan Penelitian Penelitian tentang kondisi oseanografi di Samudera Hindia selatan Jawa Timur telah menjadi fokus penelitian selama bertahun-tahun, diantaranya kajian mengenai upwelling di selatan Jawa selama angin muson tenggara (Purba 1995; Susanto et al. 2001), kajian tentang fluktuasi semi-annual arus Kelvin (Sprintall et al. 2000), kajian variabilitas suhu permukaan laut di selatan Jawa-Sumbawa (Gordon 1998; Qu et al.2005; Farita et al. 2006), serta Tubalawony (2008) yang mengkaji sebaran konsentrasi klorofil-a dan nutrien di perairan barat Sumatera dan selatan Jawa-Sumbawa. Penelitian yang mengkaji hubungan antara kondisi oseanografi dengan sumberdaya perikanan dilakukan oleh Gaol (2003) yaitu untuk hasil tangkapan tuna matabesar (Thunnus obesus), serta Silvia (2009) yang menganalisis daerah penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) berdasarkan suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a. Penelitian tentang keberlanjutan perikanan dengan menggunakan teknik Rapfish telah banyak dilakukan. Teknik ini diperkenalkan oleh Pitcher dan Preikshot (2001) yang menjelaskan metode Rapfish beserta atribut yang digunakan, Hartono et al. (2005) yangmengembangkan teknik Rapfish untuk menentukan indikator kinerja perikanan tangkap yang berkelanjutan di Indonesia, Tesfamichael dan Pitcher (2006) mengkaji status keberlanjutan perikanan di Laut Merah dengan menggunakan 44 atribut keberlanjutan, Nababan et al. (2007) menganalisis status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Tegal Jawa Tengah, Abdullah (2011) yang meneliti keberlanjutan perikanan pelagis di Ternate dan menyusun strategi pengembangannya, serta Allahyari (2010) memfokuskan pengkajian keberlanjutan perikanan pada aspek sosial nelayan di Provinsi Guilan Iran. Penelitian Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur menggunakan perpaduan pendekatan dalam menganalisis sumberdaya cakalang, yaitu 1) analisis keterkaitan kondisi oseanografi perairan dengan biomas stok sumberdaya cakalang; dan 2) analisis status keberlanjutan perikanan cakalang oleh nelayan sekoci berdasarkan aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan, dan 3) analisis strategi dan arahan kebijakan berdasarkan status keberlanjutan
9
multidimensi . Dengan demikian penelitian ini tidak hanya dapat memberikan informasi mengenai kondisi stok sumberdaya cakalang berdasarkan kondisi oseanografi, tetapi lebih jauh dapat menyediakan perspektif komprehensif mengenai status keberlanjutan perikanan cakalang oleh nelayan sekoci di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur, serta menyediakan strategi dan arahan kebijakan yang diperlukan bagi peningkatan status keberlanjutannya. Selain itu, dalam penelitian ini pemilihan dan penilaian status keberlanjutan pada setiap dimensi dilakukan sesuai dengan kondisi aktual perikanan cakalang di ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur serta penambahan atribut pada dimensi kelembagaan yaitu pelabuhan perikanan. Ketersediaan fasilitas di suatu pelabuhan perikanan dianggap dapat menjembatani keterbatasan yang umumnya dimiliki oleh armada perikanan di Indonesia khususnya kapal sekoci, yaitu dalam ketersediaan prasarana pendukung kegiatan penangkapan serta penanganan hasil. Tingkat dukungan yang dapat disediakan di suatu pelabuhan bergantung kepada kelasnya sehingga perbedaan dalam kelas pelabuhan akan memberi pengaruh yang berbeda kepada status keberlanjutan perikanan cakalang nelayan sekoci.
10
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Oseanografi 2.1.1 Arah dan Kecepatan Angin Pada kondisi normal wilayah Asia Tenggara dipengaruhi oleh empat angin muson utama yaitu 1) Angin muson barat laut pada bulan Desember, Januari dan Februari; 2) Transisi dari angin muson barat laut ke angin muson tenggara pada bulan Maret, April dan Mei; 3) Angin muson tenggara pada bulan Juni, Juli dan Agustus, dan 4) Transisi dari angin muson tenggara ke angin muson barat laut pada bulan September, Oktober dan November (Wyrtki 1961). Wilayah perairan Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan Australia merupakan wilayah yang ideal untuk terjadinya angin muson. Pada musim barat di belahan bumi utara (daratan Asia) terjadi musim dingin sementara di belahan bumi selatan (daratan Australia) terjadi musim panas. Pada saat tersebut pusat tekanan tinggi berada di daratan Asia dan pusat tekanan rendah berada di daratan Australia yang menyebabkan angin bertiup dari daratan Asia menuju daratan Australia, serta hal yang sebaliknya terjadi pada musim timur. Pada bulan Maret-Mei dan September-November arah angin tidak menentu (Wyrtki 1961). Hasil observasi Susanto et al. (2005) menunjukkan bahwa waktu transisi atau musim peralihan lebih pendek. Angin muson barat laut bertiup dari November-Maret, sementara angin muson tenggara bertiup dari Mei-September. Musim transisi hanya terjadi pada bulan April dan Oktober. Perubahan arah dan kecepatan angin yang bertiup di atas perairan mengakibatkan terjadinya perubahan dinamika perairan. Menurut Susanto et al. (2001), terjadinya upwelling di sepanjang pantai Jawa-Sumatera merupakan respon terhadap bertiupnya angin muson tenggara. Upwelling di daerah ini berlangsung dari bulan Juni hingga pertengahan Oktober dan pusat upwelling dengan suhu permukaan laut yang rendah dimulai dari perairan selatan Jawa Timur dan kemudian berpindah ke arah barat. 2.1.2 Suhu Permukaan Laut Karena posisi geografisnya di antara benua Asia dan Australia dan Samudera Hindia dan Pasifik, suhu permukaan laut (SPL) perairan Indonesia
12
sangat dipengaruhi oleh topografi daratan dan atau fluks atmosfer-lautan (Aldrian & Susanto 2003). Variabilitas SPL sangat dipengaruhi oleh muson Asia-Australia dan interaksi kompleks antara atmosfer dan lautan, seperti ENSO di katulistiwa Pasifik Barat dan IODM di katulistiwa Samudera Hindia (Susanto et al. 2005), serta percampuran yang diakibatkan oleh pasut dan Arus Lintas Indonesia (Qu et al. 2005). Variabilitas suhu permukaan laut mempengaruhi karakteristik biologis di laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebaran SPL merupakan salah satu indikator terjadinya proses upwelling di suatu perairan (Farita et al. 2006). Fakta bahwa SPL rata-rata bulanan di daerah perbatasan antara selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan suhu terendah dibanding wilayah lain di Selatan Jawa-Sumbawa selama bulan Juli-September, mengindikasikan adanya penguatan upwelling di daerah tersebut (Farita et al. 2009). Menurut Bearman (2004) sebaran menegak suhu dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu: (1) lapisan permukaan tercampur (mixed surface layer), (2) lapisan termoklin permanen pada kedalaman 300 -1.000 m dimana terjadi penurunan suhu yang tajam, dan (3) lapisan di bawah 1.000 m sampai dasar laut dengan suhu yang dingin dan relatif konstan. Gradien suhu pada lapisan homogen (tercampur) tidak lebih dari 0,03 0C/m. Ketebalan lapisan ini sangat tergantung pada kecepatan dan lamanya angin bertiup (Wyrtki 1961). Purba (1995) menyatakan bahwa di perairan selatan Jawa ketebalan lapisan tercampur berkisar antara 40–75 m. Ketebalan lapisan termoklin ini dipengaruhi oleh pertukaran bahang, percampuran oleh gelombang, pergerakan massa air secara mendatar dan gelombang dalam. Gradien perubahan suhu pada lapisan termoklin sekitar 0,05 0C/m (Hela & Laevastu 1970). Ross (1995) menyatakan bahwa gradien perubahan suhu lapisan termoklin sekitar 0,1 0C/m. Di perairan selatan Jawa batas lapisan termoklin sebelah atas adalah 45-70 m dan batas bawahnya adalah 150-200 m (Purba 1995). Lapisan dalam terdapat di bawah lapisan termoklin, dimana penurunan suhu terhadap kedalaman pada lapisan ini sangat kecil (Nybakken 1992). Keberadaan
lapisan
termoklin
sangat
mendukung tingginya
laju
produktifitas primer di laut. Bagian bawah dari lapisan tercampur atau lapisan
13
atas lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi nutrien yang cukup tinggi sehingga dapat merangsang meningkatnya produktifitas primer. Lapisan termoklin yang dangkal dapat lebih berperan dalam menunjang produktifitas perairan daripada lapisan termoklin yang dalam. Ini disebabkan karena pada saat terjadi proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan termoklin yang dangkal lebih mudah mencapai lapisan permukaan daripada lapisan termoklin yang lebih dalam. Kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah pada batas atas lapisan termoklin (Tubalawony 2008). Hela dan Laevastu (1970) mengemukakan bahwa ikan pelagis akan bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi atau mencari daerah yang kondisi suhunya lebih rendah. Suhu juga menyebabkan perbedaan penyebaran ikan dewasa dan anak ikan karena mereka cenderung memilih suhu yang cocok bagi masing-masing umur. Perbedaan suhu perairan juga merupakan faktor penting yang mempengaruhi migrasi dan besarnya gerombolan ikan. Beberapa jenis ikan pelagis akan berenang lebih dalam apabila suhu perairan di permukaan lebih tinggi. Kedalaman gerombolan ikan sangat tergantung luasnya lapisan tercampur di permukaan pada malam hari. 2.1.3 Klorofil-a Salah satu parameter yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikan di suatu perairan adalah ada tidaknya sumber makanan yang dibutuhkan. Sumber makanan ikan terkonsentrasi di wilayah perairan yang subur. Daerah perairan yang subur memiliki kandungan nutrien yang tinggi, seperti ortoposfat, nitrat, nitrit dan unsur hara lainnya. Daerah ini biasanya diindikasikan dengan kelimpahan fitoplankton yang tinggi dan konsentrasi klorofil-a yang tinggi pula (Realino et al. 2007). Klorofil-a merupakan salah satu pigmen fotosintesis dominan yang terdapat dalam kloroplast alga dan jenis fitoplankton lainnya. Klorofil diperlukan dalam konversi energi radiasi sinar matahari menjadi energi kimia dalam proses fotosintesis. Kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada daerah upwelling dan zona divergensi. Di wilayah tropis, konsentrasi klorofil maksimum ditemukan pada kedalaman sekitar 20-100 m (Lalli & Parsons 2004). Nontji (1993) mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia sekitar
14
0,19 - 0,16 mg/m3/hari selama musim barat dan 0,21 mg/m3/hari selama musim timur. Karakteristik dan dinamika kolom air antara lapisan tercampur dan lapisan termoklin sangat mempengaruhi proses-proses biologis yang terjadi di dalamnya. Sebagian besar produktifitas primer dihasilkan pada lapisan tersebut. Dalam proses fotosintesis dibutuhkan kehadiran beberapa komponen, seperti cahaya, karbon dioksida, pigmen klorofil dan nutrien (Lalli & Parsons 2004). Pada wilayah tropis dari Samudera Hindia, air yang jernih memungkinkan sinar matahari dapat menembus hingga kedalaman perairan. Hal ini sejalan dengan Matsuura et al. (1997) yang menyatakan bahwa sebaran konsentrasi klorofil-a pada bagian atas lapisan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara drastik pada lapisan termoklin hingga tidak ditemukan pada lapisan di bawah termoklin. Upwelling adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan dimana air dingin dan kaya unsur hara dari lapisan yang lebih dalam, naik menuju ke permukaan perairan. Gerakan naik ini membawa serta air yang bersuhu dingin, salinitas yang tinggi dan unsur-unsur hara yang kaya fhosfat dan nitrat ke permukaan (Nontji 1993). Umumnya diketahui bahwa upwelling di perairan akan meningkatkan produktivitas primer yang memainkan peran penting dalam transpor materi organik ke perairan oligotrof di sekitarnya (Zalewsky et al. 2005). 2.2 Aspek Biologi Cakalang 2.2.1 Tingkah Laku Cakalang (Katsuwonus pelamis) atau skipjack merupakan salah satu jenis ikan tuna dalam famili Scombridae yang berbentuk fusiform, memanjang, agak bulat dan tidak bersisik. Punggung berwarna biru kehitaman. Sisi bawah perut keperakan dengan 4-6 buah garis hitam memanjang pada bagian samping badan (Collette & Nauen 1983). Jones dan Silas (1962) menyatakan cakalang hidup pada suhu antara 160C – 300C dengan suhu optimum 28 0C. Cakalang termasuk ikan kosmopolit yang epipelagik, yaitu ditemukan hampir di seluruh permukaan perairan laut tropis maupun sub tropis. Cakalang hidup pada perairan dengan suhu antara 14,7°
15
hingga 30°C, sedangkan larvanya ditemukan terbatas pada suhu minimal 25°C (Collette & Nauen 1983, Matsumoto et al.1984).
Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus 1758). (Sumber: Collette dan Nauen 1983) Cakalang memiliki tendensi untuk bergerombol di permukaan perairan yang biasanya berasosiasi dengan keberadaan burung, obyek terapung, hiu, paus atau spesies tuna lainnya. Ikan ini termasuk perenang cepat yang senang melawan arus, memiliki sifat makan yang rakus dan mencari makanan berdasarkan penglihatan. Cakalang bermigrasi di sekitar pulau maupun dalam jarak jauh. Pada siang hari ditemukan mulai dari permukaan perairan hingga kedalaman 260 m, dan terbatas dekat permukaan perairan pada malam hari (Matsumoto et al. 1984). Migrasi adalah setiap jenis pergerakan yang sistematik dari individuindividu yang termasuk dalam suatu stok (Sparre & Venema 1998). Cakalang termasuk spesies yang melakukan migrasi yang jauh (highly migratory species). Pergerakan lokal cakalang berukuran panjang kurang dari 45 cm pada malam hari berkisar 25 hingga 106 km dari posisi awal dan kembali ke tempat semula di pagi hari. Pergerakan dalam jarak yang besar dapat dilihat dari hasil tagging cakalang di Samudera Pasifik yang tertangkap kembali 30 hari setelah dilepaskan dan sebagian besar yaitu 95% tertangkap di perairan yang berjarak 1.350 mil dari posisi pelepasannya (Sibert & Hampton 2003). Selanjutnya IOTC (2008b) melaporkan hasil tangging cakalang di Samudera Hindia yang menunjukkan bahwa spesies ini memiliki mobilitas tinggi dengan rataan jarak migrasi yang sangat jauh yaitu 640 mil.
16
2.2.2 Pendugaan Stok Cakalang Charles (2001) menyatakan bahwa dalam dinamika populasi yang disebut biomas untuk tahun sekarang adalah kombinasi dari 1) jumlah ikan yang bertahan hidup dari tahun sebelumnya setelah dikalikan dengan laju pertumbuhan individu, beserta 2) jumlah ikan hasil rekruitmen pada tahun ini yang berasal dari proses reproduksi tahun sebelumnya setelah dikurangi laju kematian. Selanjutnya disebutkan bahwa untuk keperluan pengelolaan perikanan, stok adalah suatu sub kelompok dari satu spesies yang dapat diperlakukan sebagai suatu stok jika perbedaan-perbedaan dalam kelompok tersebut dan pencampuran dengan kelompok lain mungkin dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang salah (Gulland 1983 in Sparre & Venema 1998). Pengkajian stok harus dilakukan secara terpisah untuk setiap stok ikan kemudian hasilnya dapat digabung ke dalam suatu pengkajian perikanan multispesies (Sparre & Venema 1998). Hasil tagging cakalang di Samudera Hindia menunjukkan bukti pergerakan yang cepat dalam skala sangat luas yang mendukung dugaan terkini bahwa cakalang di samudera ini merupakan stok tunggal (IOTC 2009a; Huntington et al. 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa stok ikan yang bermigrasi dimanfaatkan oleh berbagai negara, sehingga pengkajian stoknya tidak boleh terikat oleh batas geografi yang dibuat manusia. Pengkajian stoknya akan lebih baik bila dilakukan melalui kerjasama antar negara (Sparre & Venema, 1998). Cakalang adalah spesies tuna terkecil yang dieksploitasi secara komersial, namun memiliki pertumbuhan paling cepat dan dapat mencapai umur dewasa dalam waktu kurang dari setahun. Estimasi panjang berdasarkan data tagging menunjukkan panjang total antara 45-85 cm untuk ikan berumur 1 tahun (Hampton 2000). Kisaran ukuran panjang cakalang maksimum adalah 80 cm dengan berat berat 8-10 kg hingga ukuran 108 cm dengan berat 34,5 kg (Collette & Nauen 1983). Fekunditas cakalang betina yang berukuran panjang total 41 cm hingga 87 cm berkisar antara 80.000 hingga 2 juta telur (Matsumoto et al. 1984). Estimasi mortalitas menunjukkan bahwa mortalitas alami pada cakalang berukuran 21–30 cm lebih tinggi dari cakalang berukuran 51–70 cm (Kirby et al. 2003).
17
Catch per unit effort (CPUE) adalah cara sederhana untuk memprediksi kondisi biomas ikan di perairan dengan cara melihat perbandingan antara hasil tangkapan dengan jumlah upaya yang dilakukan. Biomas stok ikan yang baik akan menunjukkan nilai CPUE yang terus meningkat dengan pertambahan upaya tangkap. IOTC (2008a) melaporkan bahwa tren CPUE perikanan cakalang dengan purse seine tahun 2008 di Samudera Hindia (Somalia dan Sisilia) menunjukkan data yang bervariasi tetapi menunjukkan hasil tangkapan yang cenderung meningkat setiap tahun. Beragamnya ukuran tangkapan pada data yang diperoleh selama bertahuntahun menunjukkan laju pertumbuhan cakalang yang bervariasi (IOTC 2009c). Dengan menggunakan pembacaan otolith didapatkan hasil bahwa cakalang di bagian timur Samudera Hindia bisa mencapai ukuran panjang total 45 cm dalam waktu satu tahun, dan panjang total 50 hingga 55 cm dalam waktu satu setengah tahun. Kematangan seksual cakalang dicapai pada umur satu tahun dan dapat hidup 8 - 12 tahun (Huntington et al. 2010), dengan rataan siklus hidup yang relatif pendek yaitu 4 tahun (Sibert & Hampton 2003). Dinamika stok cakalang sangat bergantung kepada rekruitmen (recruitment driven) yang disebabkan siklus hidupnya yang pendek serta kemampuannya untuk bereproduksi sepanjang tahun sehingga proses rekruitmen juga terjadi sepanjang tahun. Produktifitas yang tinggi serta siklus hidup yang relatif pendek
menyebabkan cakalang memiliki ketahanan terhadap overfishing (IOTC 2009a; IOTC 2011).
Hasil analisis terhadap data tagging tahun 2008 menunjukkan
rekruitmen cakalang
yang masih besar di Samudera Hindia sebelah barat
walaupun tingkat eksploitasinya tinggi (IOTC 2010). Mayoritas cakalang yang tertangkap di Samudera Hindia berasal dari ikan berukuran > 40 cm sehingga kemungkinannya telah melakukan pemijahan sebelum tertangkap (IOTC 2011). Prosedur pengkajian stok terdiri dari elemen input (data perikanan dan berbagai asumsi menyangkut data dan metodologi), proses (analisis data), dan output (perkiraaan parameter populasi atau sistem). Output yang dihasilkan berisi prediksi dan berbagai alternatif yang merupakan input bagi proses berikutnya. Pengulangan proses akan menghasilkan output akhir yang berisi strategi pengelolaan berupa optimalisasi hasil atau tujuan-tujuan lainnya (Saila & Galucci
18
1996 in Charles 2001). Salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam pengkajian stok adalah analisis statistik data deret waktu antara hasil dan upaya tangkap yang menghasilkan indeks hasil tangkap per upaya tangkap atau catch per unit effort (CPUE). Metode ini sangat berguna dalam memberikan indikator kelimpahan stok bila tidak tersedia data lengkap mengenai ukuran, berat dan umur ikan. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa kelimpahan stok berkorelasi positif dengan dengan laju penangkapan (Charles 2001). IOTC (2009c) melaporkan bahwa hasil pengkajian secara menyeluruh terhadap stok cakalang di Samudera Hindia belum tersedia hingga saat ini, namun diperkiran masih jauh dari maximum sustainable yield (MSY) atau belum mencapai over fishing, namun demikian dibutuhkan upaya monitoring yang cermat. Selanjutnya dikatakan bahwa beberapa indikator populasi yang tersedia belum menunjukkan tanda terjadinya masalah dalam populasi cakalang, seperti berikut: 1. Tren peningkatan kegiatan penangkapan
dalam
jumlah besar sejak
pertengahan era 80-an sebagai akibat dari ekspansi perikanan tangkap yang menggunakan fish aggregating devices di Samudera Hindia. 2. Tren catch per unit effort (CPUE) atau hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan untuk alat purse seine dari tiga wilayah utama penangkapan cakalang di Samudera Hindia, yaitu Somalia timur, barat daya Sesilia, dan terusan Mozambiq menunjukkan nilai yang bervariasi tetapi umumnya memperlihatkan jumlah tangkapan yang meningkat dengan pertambahan upaya tangkap. 3. Rataan ukuran tangkapan dengan berbagai alat tangkap menunjukkan kondisi populasi yang stabil. Purse seine serta pole and line terbanyak menangkap ikan yang berukuran 40-65 cm sementara gillnet terbanyak menangkap ikan yang berukuran 70-80 cm. 2.3 Perikanan Cakalang Samudera Hindia Menurut Matsumoto et al. (1984) daerah penangkapan cakalang biasanya tersebar di perairan sekitar benua atau pulau-pulau besar dimana seringkali terjadi upwelling atau fenomena oseanografi yang menyebabkan terjadinya konsentrasi ikan cakalang di bagian permukaan perairan. Penyebaran cakalang di Samudra
19
Hindia meliputi wilayah bagian barat yaitu Teluk Aden, Somalia, pantai timur dan selatan Afrika, serta wilayah bagian timur yaitu barat Australia, sebelah selatan Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah selatan Pulau Jawa, sebelah barat Sumatra, Laut Andaman, Bombay, dan Ceylon, (Jones & Silas 1962). Menurut Uktolseja et al. (1991) penyebaran cakalang di Samudra Hindia dalam wilayah Indonesia meliputi perairan barat Sumatra, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Perikanan tuna di Samudera Hindia didominasi oleh hasil tangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) (Miyake et al. 2010). Selanjutnya Lewis dan Williams (2001) menyatakan bahwa secara umum produksi tangkap cakalang Samudera Hindia menunjukkan nilai yang terus meningkat sejak tahun 1970, meningkat dua kali lipat pada era 80-an dan cenderung stabil mulai tahun 1990. Produksi cakalang di Samudera Hindia bagian barat mencapai hampir setengah dari tangkapan tuna dari wilayah ini. Spesies ini merupakan target dari perikanan pelagis yang menggunakan alat tangkap purse seine, gillnet dan pole and line. Perikanan tangkap cakalang di Samudera Hindia secara umum menunjukkan nilai yang terus meningkat sejak tahun 50-an dan mencapai produksi 50.000 ton pada akhir tahun 70-an mengggunakan alat tangkap pole and line. Selanjutnya terjadi peningkatan tajam pada awal era 80-an dengan diperkenalkannya alat tangkap purse seine. Saat tersebut cakalang menjadi kegiatan perikanan utama di samudera ini. Nilai produksinya terus meningkat di tahun 90-an dengan total produksi melebihi 400.000 ton, dan mencapai puncaknya pada tahun 2006 yaitu 622.600 ton. Nilai produksi ini menurun menjadi 440.600 ton pada tahun 2009 (IOTC 2011). Penangkapan cakalang di Samudera Hindia menunjukkan hasil yang terus meningkat walaupun upaya tangkap bertambah. Penurunan hasil tangkap tahun 2007-2009 diduga dipengaruhi oleh penurunan upaya di perairan Somalia akibat banyaknya perompak (IOTC 2009b). Hasil tangkapan cakalang dapat dibagi antara yang tertangkap sebagai gerombolan bebas, dan yang tertangkap di sekitar fish aggregating device. Data hasil penelitian penangkapan cakalang di Samudera Hindia menunjukkan nilai yang lebih besar tertangkap di sekitar rumpon yaitu sebesar 6.110 ton dan hanya 1.195 ton tertangkap dari gerombolan bebas (Duery & Oliver 2007).
20
Indonesia merupakan negara yang berperan penting dalam perikanan tuna di Samudera Hindia.
Namun demikian, apabila dibandingkan dengan negara
lainnya, secara umum kinerja perikanan cakalang Indonesia masih rendah apabila melihat luasnya perairan ZEEI yang dimiliki di Samudera Hindia yang memiliki potensi cakalang besar (Proctor et al. 2007). Pengertian umum berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia. Laut lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia. Pada tahun 2008 total produksi nelayan dari ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur yang di daratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap sekitar 4.163,227 ton dengan nilai Rp.47.840.711.085. Dari total produksi ikan tersebut sebagian besar di dominasi oleh cakalang dan tuna yaitu sebesar 3.690,634 ton (89%) dengan nilai Rp.44.689.781,465 dan sisanya ikan pelagis lainnya. Untuk jenis tuna besar komposisi yang dominan tertangkap berturut-turut adalah madidihang (Thunnus albacares) sekitar 92%, tuna matabesar (Thunnus obesus) sekitar 7 % dan albakora (Thunnus allalunga) sekitar 3%.
Total tangkapan tuna besar mencapai
47% (1.732,515 ton), sementara
cakalang (Katsuwonus pelamis) sebesar 39% (1.444,1 ton), dan sisanya dari jenis tongkol sebesar 14% (514,019 ton) (PPP Pondokdadap 2008). 2.4 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan Pengelolaan aspek ekologi lingkungan dan sumberdaya alam pada dasarnya adalah kegiatan pengelolaan perilaku manusia, sebagaimana perikanan tangkap yang merupakan sebuah kegiatan multidimensi yang berhubungan dengan alat tangkap, armada, pasar, aspek biologi dan ekonomi, pengelolaan dan alokasi sumberdaya, serta
perbaikan stok yang sudah mengalami kelebihan tangkap
(Pitcher (1999). Pengelolaan perikanan secara berkelanjutan adalah sebuah konsep
21
multidimensi yang mengintegrasikan dimensi ekonomi, sosial, dan ekologi (Murillas et al. 2008 in Allahyari 2010). Keberlanjutan perikanan secara keseluruhan merupakan pencapaian simultan dalam empat komponen keberlanjutan yaitu ekologi, sosio-ekonomi, komunitas, dan kelembagaan. Dengan demikian sebuah kegiatan perikanan tidak boleh menyebabkan dampak yang negatif terhadap komponen lainnya (Charles 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa hubungan berbagai komponen keberlanjutan dapat digambarkan dalam bentuk segitiga keberlanjutan yang meliputi keberlanjutan ekologi, sosio-ekonomi, dan komunitas sebagai komponen dasar, dan komponen kelembagaan yang berinteraksi dengan ketiganya serta menopang tingkat keberlanjutan ketiga komponen dasar tersebut. Keberlanjutan Ekologi
Keberlanjutan Kelembagaan
Keberlanjutan Sosio-Ekonomi
Keberlanjutan Komunitas
Gambar 3 Hubungan antar komponen dalam segitiga keberlanjutan. (Sumber: Charles 2001) Pembangunan perikanan secara berkelanjutan akan terwujud jika pengelolaan dilakukan secara terpadu (integrated). Pembangunan berkelanjutan di sektor perikanan memiliki empat dimensi yakni: ekologis, sosial ekonomi budaya, sosial politik serta hukum dan kelembagaan (Dahuri et al. 1996). Pendekatan dalam pengkajian keberlanjutan terdiri atas 4 (empat) tahapan, yaitu: 1) Penentuan komponen-komponen keberlanjutan yang relevan untuk sistem perikanan sehingga secara bersama dapat merefleksikan keberlanjutan sistem secara keseluruhan, 2) Menyusun seperangkat kriteria konkrit yang akan dievaluasi dalam pengkajian keberlanjutan setiap komponen, 3) Menentukan
22
indikator keberlanjutan yang sesuai dan dapat dikuantifikasi sehingga status dari setiap kriteria dapat terukur dan dapat dibandingkan, dan 4) Formulasi indeks keberlanjutan dari agregat status indikator pada setiap komponen keberlanjutan (Charles 2001). 2.4.1 Aspek Ekologi Keberlanjutan ekologis adalah suatu kondisi dimana kualitas dan kesehatan ekosistem perairan terpelihara dengan baik agar sumber daya ikan yang hidup di dalamnya dapat tumbuh dan berkembang biak secara optimal, dan tingkat penangkapan sumber daya ikan tidak melampaui kemampuan pulihnya (renewable capacity) sehingga hasil tangkapan secara keseluruhan pada berbagai tingkatan pemerintahan dan negara dapat berlangsung secara berkelanjutan (Dahuri 2007). Ketersediaan stok ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kelahiran, pertumbuhan, kematian, emigrasi dan imigrasi ikan. Pertumbuhan pada tingkat individu dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan populasi, diartikan sebagai pertambahan jumlah dalam populasi. Faktor dalam dan luar yang mempengaruhi pertumbuhan diantaranya ialah jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah individu yang menggunakan makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, faktor kualitas air, umur dan ukuran ikan serta kematangan gonad (Effendie 1979). Menurut Charles et al. (2002), atribut dalam dimensi ekologi merupakan perpaduan antara (a) jaminan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dalam arti mencegah terjadinya pengurasan stok, (b) perhatian yang lebih luas terhadap upaya memelihara basis sumberdaya, spesies non komersil dan biodiversitas secara keseluruhan sebagai pilihan masa depan, dan (c) tugas mendasar untuk memelihara resiliensi dan kesehatan ekosistem. Selanjutnya dikatakan bahwa upaya untuk mengukur kemajuan masyarakat dalam kegiatan perikanan tangkap harus secara jelas memasukkan atribut yang menjelaskan kondisi sumberdaya perikanan dan ekosistem perairannya, walaupun merupakan hal yang rumit mengingat lingkungan perairan laut merupakan salah satu lingkungan yang paling kompleks dan belum dipahami secara menyeluruh.
23
2.4.2 Aspek Ekonomi Sektor perikanan dan kelautan memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia.
Selain sebagai
sumber protein utama bagi kurang lebih 230 juta penduduk Indonesia, sektor perikanan dan kelautan juga merupakan sumber penghasilan dan lapangan pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat. Sektor perikanan dan kelautan juga berperan penting dalam penerimaan devisa melalui perdagangan internasional. Keberlanjutan sosial-ekonomi yaitu suatu kondisi dimana sistem usaha perikanan tangkap mampu memelihara atau meningkatkan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha, yaitu (nelayan dan mereka yang terlibat dalam kegiatan industri hulu serta industri hilir perikanan tangkap, secara adil dan berkelanjutan (Dahuri 2007). Atribut dalam dimensi ekonomi merupakan ukuran seberapa baik kesejahteraan ekonomi dipelihara dan ditingkatkan berdasarkan perpaduan indikator sosial dan ekonomi yang relevan, yang meliputi aspek keuntungan yang berkelanjutan, distribusi benefit yang rasional, dan memelihara viabilitas ekonomi di tingkat lokal dan global. Dalam dimensi ini setiap atribut biasanya diukur pada tingkat individu yang kemudian diagregatkan dalam sistem perikanan (Charles et al. 2002). 2.4.3 Aspek Teknologi Pengelolaan perikanan khususnya kegiatan produksi perikanan pada suatu wilayah perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain ketersediaan stok, tingkat upaya penangkapan, serta faktor lain termasuk mortalitas yang bersifat alamiah. Faktor-faktor produksi (tingkat upaya) yang telah ada merupakan faktor yang pengaruhnya paling besar (Monintja & Zulkarnain 1995). Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Pengembangan jenis teknologi penangkapan ikan perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan pembangunan
perikanan.
Adapun
syarat-syarat
pengembangan
teknologi
penangkapan ikan haruslah dapat menyediakan kesempatan kerja yang banyak, menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan,
24
menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein, mendapatkan jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa di ekspor serta tidak merusak kelestarian ikan (Dahuri 2007). Charles (2001) menjelaskan bahwa ada empat hal yang menentukan upaya penangkapan yaitu 1) jumlah armada penangkapan; 2) rataan daya tangkap sebuah armada berdasarkan ukuran, alat tangkap, dan tenaga kerja; 3) rataan intensitas operasi armada per unit waktu; dan 4) rataan waktu yang dihabiskan di laut untuk operasi. Operasi penangkapan ikan dapat berjalan dengan baik apabila teknologi penangkapan ikan yang digunakan ramah terhadap lingkungan. Monintja (2001) menjelaskan sembilan (9) kriteria teknologi penangkapan ikan, yaitu: 1) Selektifitas tinggi; 2) Tidak destruktif terhadap habitat; 3) Tidak membahayakan nelayan; 4) Produksinya berkualitas; 5) Produknya tidak membahayakan konsumen; 6) Bycatch dan discard minimum, 7) Tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah, (8) Dampak minimum terhadap keanekaragaman hayati, dan 9) Dapat diterima secara sosial. 2.4.4 Aspek Sosial Menurut Gordon (1954) in Fauzi (2004) sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open access. Tidak seperti sumberdaya alam lainnya, sumberdaya ikan relatif bersifat terbuka. Gordon selanjutnya menyatakan bahwa tangkap lebih secara ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada sistem yang tidak terkontrol seperti ini. Keberlanjutan sosial (masyarakat) adalah terpeliharanya atau semakin membaiknya kualitas kehidupan masyarakat pelaku usaha perikanan tangkap beserta segenap sistem nilai keutamaan individu (seperti budaya kerja keras, kreatif, budaya menabung, jujur, dan disiplin) serta sistem nilai keutaman kelompok seperti semangat toleransi, saling menghormati, kerja sama, dan pengorbanan untuk kepentingan bersama (Dahuri 2007). Atribut sosial menyangkut upaya untuk menjamin keberlanjutan komunitas, baik dalam kontribusinya terhadap keberlanjutan lingkungan perairan dan sumberdaya perikanan, serta dalam hak individu dan komunitasnya. Atribut ini berfokus kepada pemeliharaan atau peningkatan kesejahteraan ekonomi dan
25
sosial budaya dari masyarakat serta kohesi antara lingkungan laut dan masyarakat yang memanfaatkannya. Dimensi ini berhubungan dengan konsep resiliensi yaitu kemampuan sebuah komunitas untuk pulih kembali setelah adanya goncangan dan kemampuan menjaga integritasnya (Charles et al. 2002). 2.4.5 Aspek Kelembagaan Atribut kelembagan merupakan ukuran seberapa tepat kebutuhan finansial teralokasikan, serta seberapa baik kapasitas administrasi dan organisasi dalam jangka waktu yang panjang.
Kedua hal tersebut merupakan prasyarat bagi
terwujudnya keberlanjutan pada dimensi lainnya, dimana atribut ini diarahkan untuk mengukur kemampuan manajemen dan kemampuan penegakan aturan (Charles 2001). Keberlanjutan kelembagaan adalah suatu kondisi dimana semua pranata kelembagaan (institutional arrangements) yang terkait dengan sistem perikanan tangkap (seperti pelabuhan perikanan, pemasok sarana produksi, pengolah dan pemasar hasil tangkapan, dan lembaga keuangan) dapat berfungsi secara baik dan benar serta berkelanjutan. Pengambilan kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya, dengan prinsip keberpihakan terhadap masyarakat (nelayan) adalah hal yang utama. Pengaturan dan pengalokasian sumber daya secara efisien dan merata akan sangat menentukan keberhasilan program (Dahuri 2007). Upaya untuk meningkatkan status keberlanjutan secara keseluruhan tidak akan dicapai tanpa memberi perhatian pada pemeliharaan dan peningkatan kebutuhan finansial, serta kapasitas administrasi dan organisasi dalam jangka panjang. Namun demikian aspek ini seringkali diabaikan dan lebih berfokus pada aspek biologi, sosial dan ekonomi (Charles et al. 2002). 2.5 Penentuan Status Keberlanjutan Alder et al. (2000) menyatakan bahwa keberlanjutan telah menjadi kebijakan kunci yang dibutuhkan dalam seluruh kegiatan perikanan. Namun demikian evaluasi terhadap keberlanjutan yang membutuhkan integrasi aspek ekologi dengan aspek sosial dan ekonomi masih sulit dilakukan. Rapfish merupakan teknik multidisiplin untuk menentukan keberlanjutan secara cepat dalam rangka mengevaluasi keberlanjutan suatu kegiatan perikanan berdasarkan
26
sejumlah atribut yang mudah diberikan nilai skor. Ordinasi sejumlah atribut dilakukan dengan menggunakan multi-dimensional scaling (MDS) yang diikuti dengan scaling dan rotasi. Teknik Rapfish berguna untuk membandingkan status perikanan dan mengevaluasi potensi dampak dari kebijakan. Teknik ini melingkupi dan mensistematisasi cakupan evaluasi yang lebih luas dibandingkan dengan pengkajian stok secara konvensional. Teknik ini dapat merefleksikan pilihan kebijakan yang realistis beserta trade off yang harus dilakukan bagi tuntutan kondisi ekonomi, sosial, etika, dan ekologi yang ada. Konsekuensi dari adopsi kebijakan yang dapat menaikkan skor dibuat secara eksplisit. Keseluruhan proses pemberian skor dilakukan secara transparan dan bergantung pada asumsi yang sudah jelas tentang apa yang dianggap baik atau buruk, dimana asumsi tentang baik atau buruk dapat dimodifikasi bila dianggap tidak sesuai dengan kasus yang dikaji serta anomali pada skor dapat diperbaiki bila terdapat informasi baru yang lebih akurat (Pitcher & Preikshot 2001). Rapfish
adalah
sebuah teknik multidisiplin berdasarkan statistik
multivariat untuk menganalisis keberlanjutan perikanan (Alder et al. 2000). Status keberlanjutan merupakan alat untuk membantu manajer, ilmuwan, nelayan dan masyarakat memvisualisasikan kondisi lingkungan perairan dan perikanan saat ini serta membantu untuk mendiskusikan isu–isu pengelolaan yang berkembang (Charles et al. 2002).
Status ini memiliki peran penting dalam monitoring,
pengkajian serta pemahaman kondisi ekosistem, dampak kegiatan manusia, serta efektifitas kebijakan mencapai tujuan pengelolaan (Rice & Rochet 2005). Penyusunan indikator keberlanjutan saat ini lebih berfokus pada tingkatan makro (macro-indicator) yaitu nasional dan internasional sehingga diperlukan pengembangan yang intensif pada tingkatan mikro (micro-indicator) yaitu regional, lokal, komunitas dimana sebuah kegiatan berlangsung dengan ciri khas masing-masing. Hal ini mengimplikasikan perlunya perpaduan antara analisis kondisi lokal-spesifik dengan analisis kondisi yang berlaku umum dalam sistem perikanan (Charles 2001).
3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni hingga Agustus 2011, berlokasi di PPP Pondokdadap Sendang Biru Desa Tambakrejo Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur. 3.2 Tahapan Penelitian Penelitian Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Samudera Hindia Selatan Jawa Timur dirancang ke dalam 7 (tujuh) tahapan untuk memudahkan pencapaian tujuan, yaitu: 1. Identifikasi kondisi atribut pengelolaan yang terdapat pada dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, sosial, dan kelembagaan pada perikanan cakalang nelayan sekoci di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur 2. Analisis oseanografi yang terdiri atas sebaran temporal dan spasial arah dan kecepatan angin, suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur. 3. Analisis stok biomas cakalang (Katsuwonus pelamis) berdasarkan catch per unit effort (CPUE), hubungan panjang berat, dan pendugaan status eksploitasi cakalang oleh nelayan sekoci di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur 4. Analisis korelasi silang antara kondisi biofisik perairan dengan kondisi stok biomas cakalang di ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur 5. Analisis indikator kelayakan investasi perikanan cakalang nelayan sekoci di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur 6. Analisis indeks keberlanjutan dimensi pengelolaan ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan perikanan cakalang nelayan sekoci di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur 7. Analisis status keberlanjutan multidimensi dan analisis prioritas kebijakan pengelolaan perikanan cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur.
28
28
Program Studi Pengelolaan Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor
Gambar 4 Lokasi penelitian Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur.
29
Identifikasi Kondisi Atribut Dimensi Teknologi, Sosial, Ekologi, Ekonomi, dan Kelembagaan 1 (Survey, PRA)
2
Analisis Sebaran Temporal dan Spasial: Arah dan kecepatan angin SPL, Konsentrasi klorofil-a
Analisis Biomas Stok Cakalang: Catch per Unit Effort (CPUE), hubungan panjang berat, status eksploitasi 3
Analisis Korelasi Silang Kondisi Oseanografi dan Biomas Stok (Anilisis Deret waktu) 4
Analisis Status Keberlanjutan Dimensi Teknologi, Sosial, Ekologi, Ekonomi, dan Kelembagaan (RAPfish analysis) 6
5
Analisis Kelayakan Usaha Indikator Kelayakan NPV, BCR, PBP, IRR
Strategi Pengelolaan Berbasis Status Keberlanjutan Multidimensi Program Penentuan Bobot Dimensi, SMART 7
29
Gambar 5 Tahapan penelitian Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Cakalang di Perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur.
30
3.3 Rancangan Penelitian 3.3.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penilitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan meliputi: 1. Nelayan sekoci PPP Pondokdadap meliputi; jumlah kapal, jumlah nelayan, serta identitas nelayan meliputi umur, pendidkan, jumlah tanggungan, dan pengalaman/lama bekerja. 2. Upaya penangkapan meliputi; biaya investasi, biaya operasi penangkapan, jumlah trip penangkapan, dan waktu/musim penangkapan selama tahun 2003-2010. 3. Hasil tangkapan meliputi; jumlah tangkapan per trip, jenis tangkapan, ukuran panjang dan berat tangkapan, dan harga jual (Rp/kg), selama tahun 2003-2010. 4. Kondisi pengelolaan; kelembagaan formal dan non formal dan peran stakeholders terkait pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap cakalang (Katsuwonus pelamis). 5. Pendapat dan informasi nelayan mengenai berbagai atribut yang digunakan dalam penelitian khususnya atribut kesadaran lingkungan dan pelibatan dalam penyusunan kebijakan. Selanjutnya data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data yang berkaitan dengan kondisi oseanografi, kebijakan serta aturan pengelolaan perikanan tangkap, yaitu: 1. Data koordinat lokasi rumpon yang diperoleh dari GPS nelayan sekoci. 2. Data arah dan kecepatan angin dari Januari-Desember 2009 diperoleh dari World
Ocean
Atlas
melalui
situs
http://www.nodc.noaa.gov/cgi-
bin/OC5/SELECT/ woaselect.pl?parameter=1. 3. Data suhu permukaan laut dan klorofil-a diperoleh melalui citra Aqua Modis level 3 yang diperoleh dari situs http://oceancolor.gsfc.nasa.gov/cgi/ l3?per=DAY. Data sea surface temperature dan klorofil-a yang digunakan berupa data rataan bulanan dari Januari 2005-Desember 2010 dengan resolusi spasial 4 km x 4 km dan disajikan dalam format DHF dan diekstrak dengan program SEADAS.
31
4. Data peraturan dan rumusan kebijakan pegelolaan perikanan tangkap cakalang di Kabupaten Malang. 3.3.2 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan melalui survei (observasi dan wawancara) dan studi kepustakaan (desk study). Data primer serta informasi aktual lainnya dikumpulkan melalui survei yang merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menghimpun informasi secara langsung kepada responden baik lisan maupun tulisan. Dari observasi terkumpul data jumlah kapal sekoci yang beroperasi per tahun, harga kapal, rumpon, alat penangkapan, dan alat penunjang penangkapan. Berdasarkan observasi terhadap 303 kapal sekoci didapatkan kelengkapan catatan hanya pada 27 buah kapal sekoci untuk periode 2003-2009. Kapal yang memiliki catatan lengkap seluruhnya dijadikan contoh dan ditelusuri lokasi penangkapannya melalui data koordinat 18 buah rumpon yang dipasang tersebar pada koordinat 110°-115° BT dan 9°-10° LS. Dari contoh terpilih selanjutnya dilakukan observasi lebih lanjut mengenai waktu penangkapan, jumlah hasil tangkapan, asal pembeli, serta biaya dan harga jual dari setiap trip. Teknik wawancara dilakukan untuk mengumpulkan informasi untuk berbagai dimensi keberlanjutan terhadap responden nelayan sekoci. Data yang didapatkan dari teknik wawancara adalah jenis pekerjaan masyarakat, pendidikan, pengalaman kerja sebagai nelayan, tingkat pelibatan dalam penyusunan kebijakan, pola kerja nelayan, konflik yang pernah terjadi, kesadaran lingkungan, pendapat nelayan tentang kelembagan yang ada serta praktek pelanggaran aturan yang terjadi. Teknik pengumpulan data dengan desk study (kepustakaan) dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang umumnya merupakan data deret waktu (time series data). Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data ataupun informasi awal dan lanjutan yang berkaitan dengan studi, untuk memperkaya kerangka konsepsional dan desain metodologi serta referensi pada saat penyusunan laporan akhir studi. Teknik desk study merupakan salah satu upaya untuk mempelajari informasi, data dan laporan yang mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian. Penggalian data dan informasi dalam teknik ini terbagi atas
32
penelusuran melalui internet dan penelusuran langsung pada lembaga dan instansi terkait pengelolaan perikanan cakalang di Kabupaten Malang. 3.3.3 Prosedur Penelitian Prosedur penelitian meliputi tahapan penelitian, peubah yang digunakan, sumber data, metode analisis yang digunakan serta output yang diharapkan. Tabel 1 Prosedur penelitian No
Tahapan
Peubah
Analisis Data
1
Identifikasi kondisi atribut
Tabel, grafik, Deskriptif M. Eexcel 07 Diagram
2
Analisis sebaran temporal dan spasial
Atribut kelembagaan ekologi, ekonomi, teknologi, dan sosial Arah dan kecepatan angin, suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a
3
Analisis stok biomas
4
Analisis Deret Waktu
Catch per Unit Effort (CPUE) Hubungan panjang berat Pendugaan status pemanfaatan Spektrum densitas energi, korelasi silang
5
Analisis indikator Kelayakan investasi kelayakan usaha
6
Analisis indeks keberlanjutan
Dimensi teknologi, sosial, ekologi, ekonomi, dan kelembagaan
7
Analisis status keberlanjutan multidimensi
Status keberlanjutan multidimensi
Grafik CPUE, grafik hubungan panjang berat, kurva produksi lestari Metode FTT Grafik spektrum, Metode kospektrum, Wavelet. M. Excel 07 koherensi, beda fase Analisis BCR, Tingkat NPV, IRR, kelayakan PBP investasi Analisis Atribut sensitivitas sensitif Analisis Ordinasi dan status Monte Carlo Monte Carlo Kitediagram Program Kitebobot diagram dimensi, Prioritas SMART pengelolaan
ODV mp, M. Excel 07 Surfer v.8, ArcView 3.3, \Grapher 7,0 Analisis CPUE M. Excel 07 Metode CYP
Output
Peta arah dan kecepatan angin, SPL, suhu menegak dan mendatar, klorofil-a
33
3.4. Analisis Data 3.4.1 Analisis Sebaran Temporan dan Spasial Sebaran spasial dan temporal dari suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a untuk bulan Januari
2005 sampai bulan Desember 2010 dibuat
menggunakan perangkat lunak Grapher 7.0 dan Ocean Data View (ODV). Untuk sebaran menegak suhu dan sebaran suhu permukaan laut dibuat menggunakan bantuan Grapher 7.0 sementara untuk sebaran suhu melintang dibuat dengan perangkat lunak Ocean Data View. Data CPUE total cakalang dibuatkan sebaran temporalnya untuk tahun 2005–2009 menggunakan Microsoft Excell 2007. Sebelumnya, seluruh data dari parameter yang akan dianalisis disamakan interval waktunya dalam periode bulan. Untuk melihat keterkaitan antara parameter suhu permukaan laut, klorofil-a dan CPUE data deret waktu bulanan dari semua parameter tersebut ditampilkan dalam bentuk domain waktu (time domain). Analisis sebaran spasial dan temporal suhu permukaan laut, suhu menegak, dan konsentrasi klorofil-a juga diamati melalui sebaran nilai minimum, maksimum dan rataannya. Kondisi sebaran spasial dan temporal parameter tersebut kemdian dihubungkan dengan fenomena dan proses-proses yang terjadi pada kolom perairan, serta fluktuasi dari periode signifikan masing-masing paramater dalam kaitannya dengan hasil tangkapan per trip dan dinamika stok cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa Timur selama penelitian. 3.4.2 Analisis Deret Waktu Analisis spektral merupakan metode untuk mengeksplorasi pola-pola cyclic dari data deret waktu (time series). Tujuan analisis ini adalah untuk memisahkan time series yang terdiri dari komponen cyclic yang kompleks menjadi beberapa fungsi sinusoidal (sinus dan cosinus) dari beberapa panjang gelombang tertentu. Analisis deret waktu dilakukan terhadap data suhu permukaan laut, konsentrasi klorofil-a dan CPUE. Metode yang digunakan adalah Fast Fourier Transform (FFT) dan Wavelet.
34
3.4.2.1 Spektrum Densitas Energi Spektrum densitas energi digunakan untuk mengetahui periode fluktuasi dan nilai densitas energi. Spektrum densitas energi suhu permukaan laut, klorofila dan CPUE cakalang dicari menggunakan perangkat lunak Statistica for Windows 6.0. Data deret waktu suhu, klorofil-a dan CPUE terlebih dahulu diubah dari domain waktu menjadi domain frekuensi. Dengan metode FFT, komponen Fourier (
) dari deret waktu
yang dicatat pada selang waktu h (1 bulan
atau 1 hari) mengacu pada Bendat & Piersol (1971): ………………………………………… 3.1 Keterangan: = fungsi FFT pada frekuensi ke k(fk) N = jumlah pengamatan t = 0, 1, 2,...,N-1 = 0, 1, 2,...,N-1 h i = (bilangan imajiner) Dari data FFT tersebut dapat diperoleh nilai fungsi spektrumnya (Sx) dengan rumus: ……………………………………………………………. 3.2 Metode FFT dengan perangkat lunak Statistica for Windows 6.0 tidak dapat memberikan penjelasan untuk selang kepercayaan serta tidak dapat menjelaskan rentang waktu terjadinya fluktuasi periode dominan. Oleh karena itu, dilakukan analisis lanjutan menggunakan metode wavelet sehingga dari kedua metode tersebut dapat diperoleh periode fluktuasi, densitas energi dan waktu terjadinya fuktuasi periode yang dominan pada selang kepercayaan 95%. Metode wavelet merupakan pengembangan dari metode FFT. Analisis wavelet menurut Torence dan Compo (1998) merupakan upaya mendekomposisi deret waktu ke dalam ruang waktu-frekuensi secara simultan. Metode ini mengkalkulasi energi spektrum dari deret waktu. Kelebihan metode ini adalah dapat mendeteksi fluktuasi periodik yang bersifat transien serta dapat menggambarkan proses dinamik nonlinier kompleks oleh interaksi gangguan
35
dalam skala ruang dan waktu. Perangkat lunak yang digunakan adalah Matlab 7.70 (R2008b) dengan Continous Wavelet Transform (CWT) untuk menghitung periode fluktuasi dan densitas energi setiap parameter dan Cross Wavelet Transform (XWT) untuk menghitung kovarian dari kedua deret waktu. CWT menggunakan wavelet sebagai bandpass filter terhadap deret waktu. Wavelet dipanjangkan dalam waktu dengan membuat variasi skala (s), sehingga =s.t, dan selanjutnya menormalisasi sehingga mempunyai unit energi. CWT sebuah deret waktu (xn,n=1,...,N) dengan selang waktu
yang sama
t,
didefinisikan sebagai bilangan kompleks dari xn dengan skala dan wavelet yang telah dinormalisasi, dirumuskan sebagai berikut:
................................................................ 3.3
Oleh Torrence dan Compo (1998) XWT didefinisikan sebagai berikut: ............................................................... 3.4 dimana * menandakan complex conjugation Argumen kompleks arg(WXY) dapat diinterpretasikan sebagai fase relatif lokal antara Xn dan Yn dalam ruang frekuensi waktu (Grinsted et al. 2004). Hubungan fase relatif ditunjukkan dengan arah panah dimana panah ke kanan berarti sefase (inphase), panah ke arah kiri berarti antifase (anti-phase), panah 900 ke arah bawah berarti X mendahului Y dan panah ke atas berarti Y mendahului X. 3.4.2.2 Korelasi Silang Analisis korelasi silang dilakukan antara parameter suhu permukaan laut dengan catch per unit effort (CPUE), dan antara parameter konsentrasi klorofil-a dengan CPUE. Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antara fluktuasi kedua parameter. Dalam analisis ini, komponen suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a dianggap sebagai parameter yang mempengaruhi (x), sedangkan CPUE dianggap sebagai parameter yang dipengaruhi (y). Perhitungan nilai spektrum hanya dapat dilakukan pada beberapa pasang kelompok data yang memiliki selang waktu perekaman yang sama. Analisis korelasi silang terdiri dari kospektrum densitas energi, koherensi kuadrat dan beda
36
fase. Kospektrum densitas energi menggambarkan periode fluktuasi kedua parameter yang bersamaan. Hubungan yang erat antara fluktuasi kedua parameter digambarkan oleh nilai koherensi yang tinggi. Beda fase menunjukkan perbedaan waktu fluktuasi antara kedua periode. Beda fase positif menandakan fluktuasi SPL atau klorofil-a mendahului fluktuasi CPUE, sedangkan beda fase negatif menunjukkan fluktuasi CPUE mendahului fluktuasi SPL atau klorofil-a. Satuan beda fase pada program Statistica for Windows 6.0 adalah tan-1 sehingga perlu mengubah satuan beda fase dari tan-1 menjadi waktu (bulan), melaui pengubahan nilai beda fase terlebih dahulu ke dalam bentuk derajat (0), dan kemudian dibagi dengan 3600 lalu dikalikan periode (bulan) dari fluktuasi tersebut. Hasilnya adalah nilai beda fase dengan satuan bulan atau hari. 3.4.3 Pendugaan Status Sumberdaya 3.4.3.1 Analisis CPUE Analisis cacth per unit effort (CPUE) dihitung berdasarkan total hasil tangkapan per upaya tangkap, dengan jumlah total upaya tangkapan (effort) dalam satuan unit trip. Total jumlah trip yang diamati selama tahun 2003-2010 untuk 27 buah contoh kapal sekoci adalah 2.362 trip. CPUE dihitung dengan menggunakan persamaan berikut: …...................................................................................... 3.5 Keterangan: CPUEit = catch per unit Effort alat tangkap-i waktu ke-t Catchit = hasil tangkapan (catch) alat tangkap-i pada waktu-t Effortit = upaya Tangkapan (effort) alat tangkap-i pada waktu-t Hasil perhitungan CPUE per trip dari setiap kapal pada bulan yang sama terlebih dahulu digabungkan. CPUE per bulan setiap kapal kemudian digabungan lagi menjadi data rataan CPUE per bulan, sehingga didapatkan CPUE gabungan 94 bulan dari Maret 2003 hingga Desember 2010. Karena setiap kapal menangkap beberapa jenis ikan pelagis besar, maka dilakukan penyesuaian untuk jumlah trip penangkapan cakalang berdasarkan hasil perkalian antara jumlah trip aktual dengan persentase hasil tangkapan cakalang dari setiap trip.
37
3.4.3.2 Estimasi Parameter Biologi Estimasi parameter r, q dan K untuk kedua persamaan sebelumnya menggunakan teknik non-linear, sehingga dengan menggunakan teknik weighted least square (WLS) yaitu dengan membagi fungsi h(q, K, E) dengan E(Ut = ht / Et), maka kedua persamaan tersebut dapat ditransformasikan menjadi persamaan linear, sehingga metode regresi biasa (ordinary least square, OLS) dapat digunakan untuk mengestimasi parameter biologi dari fungsi tersebut di atas, yakni sebagai berikut.
h Bentuk Gompertz: t Et ln U t
0
1
qKe
Et , dimana U t
qE r
....................................................................,...3.6
ht ; Et
0
ln qK ;
1
q r
Pendekatan estimasi parameter biologi untuk produksi lestari dengan menggunakan fungsi Gompertz yang berbasis eksponensial dilakukan dengan menggunakan model estimasi parameter yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley (1992) in Fauzi (2004).
Ut 1 1 r Ut
r Ut qK
qEt ....................................................................................3.7
2r (2 r ) q ln( qK ) ln(U t ) ( Et (2 r ) (2 r ) (2 r )
ln(U t 1 )
Et 1 ) .............................. 3.8
Dari hasil regresi akan diperoleh nilai β1 yang akan menjustifikasi nilai parameter r. Selain itu juga diperoleh nilai β2 yang akan menjustifikasi nilai parameter q. Selanjutnya nilai parameter K dapat diperoleh dari kedua nilai tersebut (r dan q). Persamaan berikut, merupakan bentuk pendekatan model Clarke, Yoshimoto dan Pooley (CYP), untuk mengestimasi parameter biologi.
r
q K
2 2 1 .................................................................................................... 3.9 1 1 2
e
(2 r ) .................................................................................................... 3.10 o(2 r ) 2r
q
....................................................................................................... 3.11
38
3.4.3.3 Estimasi Keseimbangan Bioekonomi Nilai optimasi sumberdaya dengan menggunakan pendekatan statik untuk kondisi keseimbangan bioekonomi pada rejim maximum sustainable yield diperoleh melalui persamaan-persamaan berikut (Fauzi, 2004). x MSY K (1
qE ) ............................................................................................... 3.12 r
r (1
x ) K ................................................................................................. 3.13
E MSY
q
h MSY qKE (1
qE ) ........................................................................................... 3.14 r
Keseimbangan bioekonomi pada kondisi open access dinotasikan:
x OA
c ............................................................................................................ 3.15 pq
hOA
rc 1 pq
c .......................................................................................... 3.16 pqK
EOA
r 1 q
c ............................................................................................ 3.17 pqK
Untuk kondisi sole owner optimalisasi diperoleh berdasarkan persamaan: x SO
K 1 2
c ........................................................................................... 3.18 pqK
hSO
rK 1 4
c 1 pqK
E SO
r 1 2q
c .......................................................................................... 3.20 pqK
Selanjutnya
c ......................................................................... 3.19 pqK
dengan
menggunakan
pendekatan
dinamik,
optimasi
sumberdaya perikanan dapat diperoleh dengan formula berikut (Fauzi 2004): x*
1 x pqx c c
r 1
2x K
...................................................................... 3.21 2
h
*
1 4
xOA
K 1
r
xOA
K 1
r
8KxOA r
...................... 3.22
39
E*
h* .......................................................................................................... 3.23 qx *
3.4.4 Analisis Panjang Berat Berat ikan sebagai variabel respon dan panjang sebagai variable prediktor mempunyai hubungan fungsional (Sparre & Venema 1998) yaitu:
................................................................. ...,,,,,,....(3.24 W= berat ikan (gram), L= panjang total, a dan b= parameter Persamaan 3.24 merupakan persamaan kurva geometrik yang dapat ditransformasikan ke persamaan regresi linier dengan melogaritmakan menjadi: log W = log q + b log L ......................................................................................3.25 atau Y = a + bX ..................................................................................................3.26 Y= logW, X= log L, b= slope, a= intersep (logq) Nilai a dan b pada persamaan 3.26 dihitung dengan menggunakan metode kuadrat terkecil, nilai b yang diperoleh akan diuji terhadap nilai 3 dengan uji-t dari Sachs in Vakily et al. (1986) seperti berikut:
....................................................................3.27 Jika b = 3 maka pertumbuhannya isometris, yaitu pertumbuhan panjang, lebar dan tinggi adalah sama (Everhart & Youngs 1981) atau pertumbuhan ikan yang bentuk dan jenisnya tidak berubah selama proses pertumbuhannya. Jika tidak sama dengan 3, maka pertumbuhannya allometris yaitu allometris positif apabila b > 3 dan allometris negatif bila b < 3. 3.4.5 Analisis Kelayakan Investasi Menurut Kadariah (1986), untuk mengevaluasi kelayakan finansial bagi investasi dapat digunakan 3 (tiga) kriteria investasi yang penting, yaitu Net Present Value (NPV), Net Benefit - Cost Ratio dan Internal Rate of Return (IRR). Untuk mengetahui nilai saat ini dari keuntungan yang akan diperoleh pada masa yang akan datang dilakukan perhitungan NPV dengan menggunakan persamaan pada halaman berikut:
40
........................................................................................ 3.28 Keterangan: Bt = benefit kotor pada tahun ke t Ct = biaya kotor pada tahun ke t n = umur ekonomis proyek i = tingkat suku bunga berlaku Kriteria pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut: NPV > 0 = perikanan cakalang nelayan sekoci layak diusahakan NPV < 0 = perikanan cakalang nelayan sekoci tidak layak diusahakan Seberapa besar margin keuntungan atau pendapatan dari usaha perikanan yang dilakukan dihitung dengan analisis BCR yang merupakan perbandingan nilai sekarang dari keuntungan usaha dengan biaya investasi pada awal usaha. Untuk menghitung nilai BCR digunakan rumus:
...
........ .......
...........................................3.29
Keterangan: Bt = benefit bersih pada tahun ke t Ct = biaya bersih pada tahun ke t n = umur ekonomis proyek i = tingkat suku bunga berlaku Kriteria pengambilan keputusannya adalah : BCR > 1 = Perikanan cakalang nelayan sekoci layak diusahakan BCR : 1 = Perikanan cakalang nelayan sekoci impas (break even point) BCR < 1 = Perikanan cakalang nelayan sekoci tidak layak diusahakan Untuk mengetahui tingkat keuntungan bersih atas investasi yang dilakukan, dengan asumsi bahwa setiap manfaat yang diperoleh diinvestasikan kembali pada tahun berikutnya, dilakukan perhitungan IRR dengan menggunakan rumus: ........................................................... 3.30 Keterangan: i1 = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV positif i2 = tingkat suku bunga yang menghasilkan NPV negatif NPV1= NPV pada tingkat suku bunga i1 NPV2= NPV pada tingkat suku bunga i2 Kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut:
41
IRR>0 : Perikanan cakalang nelayan sekoci layak IRR<0 : Perikanan cakalang nelayan sekoci tidak layak Untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan pengembalian investasi dilakukan perhitungan PBP dengan persamaan: ..................................................................... 3.31 Keterangan: n = tahun terakhir dimana arus kas belum bisamenutupi investasi awal a = jumlah investasi awal b = jumlah kumulatif arus kas pada tahun ke n c = jumlah kumulatif arus kas pada tahun ke n+1 Kriteria pengambilan keputusan adalah sebagai berikut: PBP > umur ekonomis kapal sekoci : usaha tidak layak PBP < umur ekonomis kapal sekoci : usaha layak 3.4.6 Analisis Status Keberlanjutan Dalam pengkajian stok konvensional sebagian besar upaya diarahkan kepada penentuan titik referensi biologi seperti kematian ikan, pemijahan atau struktur umur sebagai alat untuk mendiagnosis serta memberikan peringatan awal akan terjadinya ketidakstabilan dalam populasi stok. Akan tetapi kompleksitas model pengakajian stok serta tingginya tingkat ketidakpastian yang terdapat dalam penelitian perikanan merupakan permasalahan yang belum terselesaikan hingga saat ini (Walters 1998 in Pitcher 1999). Pengkajian stok konvensional umumnya hanya bertumpu pada aspek ekologi dan ekonomi saja, sementara diketahui bahwa bahwa sebuah kegiatan perikanan dalam prakteknya akan terkait dengan upaya manusia dalam aspek yang multidisiplin meliputi aspek sosial, teknologi dan etika pengelolaan (McGoodwin 1990 in Pitcher 1999). Analisis status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya cakalang dilakukan dengan pendekatan Multidimensional Scaling (MDS) dengan teknik ordinasi Rapfish yang diperkenalkan oleh Fisheries Center, University of British Columbia yang merupakan teknik pendugaan keberlanjutan secara sederhana, dengan atribut yang mudah diberi penilaian berdasarkan pertimbangan waktu dan biaya, serta dapat diaplikasikan untuk berbagai aspek penilaian.
Rapfish merupakan teknik
multidisiplin yang dapat digunakan untuk mengkaji keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap dari skala makro seperti skala negara dan ekosistem, hingga
42
skala mikro seperti jenis alat tangkap, perikanan multispesies atau spesies target tertentu saja, atau kapal tangkap tunggal (Pitcher 1999).
Mulai
Review Atribut: untuk berbagai kategori dan konfirmasi kriteria skoring
Identifikasi dan penentuan kegiatan berdasarkan pada kriteria yang konsisten
Skor Atribut: Menyusun titik referensi untuk baik, buruk atau diantaranya Ordinasi MDS Scaling: Rotasi plot ordinasi baik & buruk secara horizontal
Simulasi Monte Carlo: Investigasi ketidakpastian analisis
Analisis Leverage: Identifikasi anomali atribut yang dianalisis
Pengkajian Keberlanjutan Gambar 6 Prosedur yang digunakan dalam aplikasi Rapfish. (Sumber: Alder et al. 2000). 3.4.6.1 Penentuan Atribut Keberlanjutan Charles (2001) menyatakan bahwa tantangan terbesar dalam praktek penilaian status keberlanjutan dari sebuah sistem yang akan dikaji adalah bagaimana menyiapkan indikator atau atribut keberlanjutan yang sesuai dengan kebutuhan. Kriteria umum penentuan atribut setiap dimensi adalah dari kemudahannya untuk diberi skor secara objektif, serta memiliki titik ekstrim keberlanjutan yang dapat dinyatakan secara sederhana sebagai baik atau buruk. Atribut yang dipilih dalam satu dimensi harus merefleksikan keberlanjutan dari dimensi tersebut serta dapat dimodifikasi dengan atribut lain jika informasinya
43
telah tersedia. Dengan demikian dibutuhkan informasi substansial, survei yang independen, serta model kompleks untuk estimasi titik referensi yang merepresentasikan pengelolaan yang obyektif untuk perikanan tangkap (Pitcher & Preikshot 2001). Paradigma pembangunan perikanan dalam perkembangannya telah mengalami evolusi dari paradigma konservasi yang menekankan aspek biologi ke paradigma rasionalisasi yang menenkankan aspek ekonomi, dan selanjutnya berubah ke paradigma yang memberi penekanan pada aspek sosial atau komunitas. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan pada sektor perikanan ketiga paradigma tersebut di atas tetap relevan untuk digunakan dengan cara mengakomodasikan berbagai aspek paradigma tersebut dalam pengelolaan yang diterapkan (Charles 1994). Tabel 2 Atribut keberlanjutan dimensi ekologi beserta kriteria pemberian skor No Atribut Keberlanjutan
Penjelasan
1
Status eksploitasi
2
Rentang migrasi
3
Tingkatan kolaps
4
Jumlah spesies tangkapan
5
Ukuran ikan tangkapan
6
Perubahan tingkat tropik
7
Konsentrasi klorofil-a
Status pemanfaatan sumberdaya berdasarkan MSY Jurisdiksi perairan dalam daur hidup Pengurangan lokasi area penangkapan cakalang Jumlah jenis ikan tertangkap tahun 2003-2010 Persentase ikan berukuran <40 cm yang tertangkap tahun 2003-2010 Perubahan jenis atau ukuran ikan tangkapan periode tahun 2003-2010 Konsentrasi klorofil-a dalam mg.l-1
Maks Min Kriteria Pemberian Skor
3
2 3
2
0 Over-exploited (0); Fully-exploited (1); Moderate to fully-exploited (2); Moderate (3) 0 4 (0); >3-4 (1) 1-2 (2) 0 Banyak dan cepat (0) Cukup banyak (1) Beberapa (2) Tidak ada (3) 0 90-160 (0 ); 50-90 (1) 1-10 (2)
2
0 >40% (0) >20% (1) >10% (2)
2
0 Tidak menurun (0) Menurun perlahan (1) Menurun cepat (2)
2
0 <0,3 mg.l-1 (0) 0,31-1,0 mg.l-1 (1) >1 mg.l-1 (2)
44
Atribut dimensi ekologi pada Tabel 2 disusun mengacu kepada Charles (2001), Pitcher dan Preikshot (2001), dan Rapfish Group (2006) dengan modifikasi kriteria pemberian skor untuk atribut status eksploitasi berdasarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan RI No.45, 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan. Selain itu, untuk indikator kesuburan perairan digunakan atribut pengganti yaitu konsentrasi klorofil-a dimana kriteria pemberian skor mengacu pada standar kategori kesuburan perairan yang disusun Nontji (1993). Atribut pada dimensi ekonomi disusun mengacu kepada Charles (2001), Pitcher dan Preikshot (2001), dan Rapfish Group (2006) dengan modifikasi kriteria pemberian skor untuk beberapa atribut status keberlanjutan ekonomi sesuai dengan kondisi lapangan. Tabel 3 Atribut keberlanjutan dimensi ekonomi beserta kriteria pemberian skor No Atribut Keberlanjutan
Penjelasan
1
Harga Jual
3
Tingkat Pendapatan
4
Sumber pendapatan lain
5
Kontribusi terhadap PDRB
6
Serapan tenaga kerja
7
Kepemilikan Usaha
8
Pasar utama
9
Subsidi
Harga ikan tangkapan per ton (US$) Perbandingan penghasilan nelayan dengan UMR Kab.Malang Proporsi relatif waktu beraktifitas sebagai nelayan Kontribusi perikanan ke PDRB Kab.Malang Persentase jumlah penduduk terserap di sektor perikanan Pihak yang lebih banyak menerima manfaat usaha Tujuan utama pemasaran hasil tangkapan Jenis subsidi yang diterima nelayan dari pemerintah
Maks Min Kriteria Pemberian Skor
4
3
3
2
0 <250 (0); 250-500 (1); 500-1,000 (2); 1,0001,500 (3); >1,500 (4) 0 >1 (0) = 1(1) >1 (2) >1,5 (3) 0 Penuh (0); Musiman (1); Paruh waktu (2); Pengisi waktu (3) 0 <2,5% (0); 2,5-10% (1) >10% (2)
2
0 >50% (0); 25-50% (1) < 25% (2)
2
0 50% internal (0) >25% internal (1) > 50% internal (2) 0 75% lokal (0) 50% regional (1) 50% ekspor (2) 0 Kapal (0) Alat tangkap dan rumpon (1); Subsidi tidak langsung (2), Tidak ada (3)
2
3
45
Atribut pada dimensi teknologi mengacu kepada Charles (2001), Pitcher dan Preikshot (2001), dan Rapfish Group (2006), dengan penambahan kriteria pemberian skor pada atribut selektivitas alat berdasarkan CCRF (FAO 2005), dan atribut efek samping alat tangkap berdasarkan Cochrane (2002). Kriteria pemberian skor atribut lainnya yaitu tempat pendaratan dan pengolahan pra-jual disesuaikan dengan kondisi lapangan. Tabel 4 Atribut keberlanjutan dimensi teknologi beserta kriteria pemberian skor No Atribut Penjelasan Maks Min Kriteria Pemberian Skor Keberlanjutan
1
Ukuran Kapal
2
Lama trip
3
Rumpon
4
Tempat Pendaratan
5
Penanganan di perahu
6
Pengolahan pra-jual
7
Perubahan kapasitas Tangkap
8
Efek samping Alat tangkap
Ukuran panjang kapal Jumlah hari yang diperlukan untuk satu trip Pola penangkapan ikan Lokasi pendaratan hasil tangkapan
2
0
4
0
1
0
2
0
Teknologi penanganan hasil tangkapan di atas kapal Standar pengolahan ikan sebelum dijual Pertambahan jumlah kapal sekoci dan jumlah trip 2003-2010 Indeks efek ekosistem alat tangkap
3
0
2
0
2
0
3
0
<8m (0); 8-17m (1) >17m (2) >10 (0); 8-10 (1) 5-7 (2); 2-4 (3) < 1 (4) Berburu (0); campuran (0,5); rumpon (1) Pelabuhan kabupaten lain (0); Pelabuhan kecamatan lain (1) PPP Pondokdadap (2) Tidak ada (0) Boks pendingin (1) Freezer (2) tangki penampungan (3) Ikan utuh (0); Bersih perut dan insang (1) produk setengah jadi (2) <10% (0) >10-30% (1) >30% (2) >4,5 (0); >5,5 (1) >6,5 (2); >7,5 (3)
Selanjutnya, atribut pada dimensi sosial disusun mengacu kepada Charles (2001), Pitcher dan Preikshot (2001), dan Rapfish Group (2006) dengan penambahan kriteria pemberian skor pada atribut status konflik berdasarkan Satria (2006).
46
Tabel 5 Atribut keberlanjutan dimensi sosial beserta kriteria pemberian skor No Atribut Keberlanjutan
Penjelasan
1
Pola kerja
2
Rumah tangga nelayan
3
Pengalaman nelayan
4
Pelaku usaha Baru
5
Status konflik
6
Kontribusi pendapatan
Pola kerja nelayan dalam kegiatan penangkapan Proporsi jumlah nelayan dalam total penduduk desa Lama waktu bekerja sebagai nelayan Persentase pertumbuhan pelaku usaha baru tahun 2001-2010 Jenis konflik yang terjadi (Konflik kelas, cara produksi/alat tangkap, dan usaha) Persentase kepada pendapatan keluarga Persentase responden yang sadar lingkungan Bentuk partisipasi Keluarga
7
Kesadaran lingkungan
8
Partisipasi keluarga
Maks Min Kriteria Pemberian Skor
2
0
Individu (0) Keluarga (1) Kelompok (2) >30% (0) 10-30% (1) <10% (2)
2
0
2
0
2
0
3
0
> 2 jenis (0) > 1 jenis (1) 1 jenis (2) 0 (3)
2
0
2
0
2
0
>80% (0) 50-80% (1) <50% (2) 10-20% (0) 20-40 (1) >40 (2) Persiapan melaut (0); Penjualan hasil (1) Pengolahan hasil (2)
<2 tahun (0) 2-5 tahun (1) >5 tahun (2) < 10% (0) 10-25-% (1) >25% (2)
Penentuan atribut yang terakhir adalah adalah atribut untuk dimensi kelembagaan yang disusun mengacu kepada Charles (2001), Soesilo (2003), Hartono et al. (2005), Rapfish Group (2006), Suyasa (2007), Nababan et al. (2007); dan Abdullah (2011), dengan penambahan atribut kelas pelabuhan. Kriteria pemberian skor mengacu kepada Permen Kelautan dan Perikanan RI No 16 2006 tentang Pelabuhan Perikanan.
47
Tabel 6 Atribut keberlanjutan dimensi kelembagaan serta kriteria pemberian skor No Atribut Keberlanjutan
Penjelasan
1
Ketersediaan aturan
3
2
Lembaga Pelaksana (formal/non formal )
Ketersediaan aturan pengelolaan pada berbagai tingkatan, formal maupun non formal Keberadaan lembaga pada setiap tingkatan pengelolaan
3
Penegakan aturan
2
4
Pelabuhan perikanan
Jenis tindakan terhadap pelanggaran Tingkat pelayanan pelabuhan perikanan
5
Pelibatan Nelayan
6
KUD dan Lembaga Keuangan Mikro Kelompok Jenis peran Nelayan kelompok yang berjalan baik
2
IUU fishing
2
7
8
Persentase nelayan yang pernah terlibat penyusunan aturan Jumlah fungsi yang berjalan dengan baik
Frekuensi responden menemui praktek IUU fishing
Maks Min Kriteria Pemberian Skor
3
3
2
2
0 Aturan internasional (0); Aturan nasional (1); Aturan perda provinsi dan kabupaten (2); Aturan Perdes (3) 0 Hanya di tingkat nasional (0); Ada hingga provinsi (1); Ada hingga kabupaten (2); Ada hingga tingkat lokal (3) 0 Tidak ada sanksi (0) peringatan (1) sanksi (2) 0 PPI (0); PPP (1) PPN (2); PPS (3) 0 >5% (0) 10% (1) <15% (2) 0 >2 fungsi (0) 3-4 fungsi (1) >5 fungsi (2) 0 Belum jelas (0); Perbekalan, pelelangan (1); Perbekalan, pelelangan, pengolahan (2) 0 Setiap bulan (0) Setiap 3 bulan (1) Setiap 6 bulan (2)
Setelah menyusun atribut pada semua dimensi, selanjutnya disusun kriteria penilaian. Kriteria yang biasa digunakan bersifat umum sehingga dianggap perlu modifikasi menjadi bentuk yang lebih terukur berdasarkan teori terkait dimensi yang dikaji, serta disesuaikan dengan kondisi lapangan. Modifikasi dimaksudkan untuk memudahkan pemberian skor dan mereduksi bias yang mungkin muncul dari kesalahan interpretasi kriteria penilaian. Kriteria pemberian skor untuk atribut KUD dan lembaga keuangan mikro berdasarkan Wiyono (2005) yaitu jumlah fungsi lembaga yang dijalankan, dimana fungsi lembaga tersebut adalah: 1) Pengadaan sarana perbekalan, kebutuhan
48
rumah tangga nelayan dan kios KUD; 2) Perkreditan untuk nelayan; 3) Pemasaran dan pengolahan ikan; 4) Pengelolaan tempat pelelangan ikan, dan 5) Pembinaan anggota. Kriteria pemberian skor ketujuh atribut lainnya disesuaikan kondisi lapangan. Penambahan atribut pelabuhan perikanan dalam dimensi kelembagaan dianggap perlu mengingat masih rendahnya tingkat teknologi yang digunakan oleh sebagian besar kapal sekoci, sementara kebutuhan akan kualitas hasil tangkapan yang lebih baik semakin menjadi tuntutan pasar. Oleh karena itu, upaya terstruktur dari pemerintah untuk menjembatani kesenjangan yang ada, melalui penyediaan sarana dan prasarana yang memungkinkan penerapan teknologi penanganan dan pengolahan hasil tangkapan, serta dapat digunakan secara bersama oleh para nelayan, akan sangat berpengaruh kepada status keberlanjutan kegiatan perikanan yang ada di sekitarnya. Tabel 7 Karakteristik setiap jenis pelabuhan perikanan No Kriteria Pelabuhan 1 Wilayah laut operasional kapal ikan yang dilayani
PPS PPN Teritorial, ZEEI dan ZEEI dan territorial internasional
2
>60 GT
3 4 5 6 7 8 9
Fasilitas tambat/ labuh kapal Panjang dermaga & kedalaman kolam Kapasitas menampung Kapal Rataan volume ikan didaratkan Ekspor ikan Luas lahan Fasilitas pembinaan mutu hasil perikanan Zonasi industri
30-60 GT
PPP Pedalaman, kepulauan, teritorial, ZEEI 10-30 GT
>300 m dan 150-300 m 100-150 m >3 m &>3m dan >2 m >6000 GT >2250 GT >300 GT
PPI Pedalaman dan kepulauan 3-10 GT 50-100 m dan >2 m >60 GT
≈100 kapal 60 GT
≈75 kapal 30 GT
≈ 30 kapal 10 GT
≈ 20 kapal 3 GT
60 ton per hari Ya >30 Ha Ada
30 ton per hari Ya 15-30 Ha Ada / Tidak Ada
-
-
Tidak 5-15 Ha Tidak
Tidak 2-5 Ha Tidak
Ada
Tidak
Ada
Keberadaan pelabuhan perikanan sangat menentukan pengembangan dan keberhasilan sektor perikanan di suatu wilayah. Berdasarkan Permen Kelautan dan Perikanan nomor PER.16/MEN/2006, pelabuhan perikanan di Indonesia dapat dibagi ke dalam 4 (empat) kelas. Pembagian pelabuhan perikanan tersebut dibuat berdasarkan kapasitas dan kemampuan dalam menangani aktifitas keluar masuk
49
kapal ikan, serta berdasarkan letak dan posisinya. Jenis pelabuhan tersebut adalah Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS), Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN), Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP), dan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Menurut Wiyono (2005), pelabuhan perikanan berguna sebagai sarana penunjang peningkatan produksi, dengan fungsi yang meliputi berbagai aspek, yaitu: 1) Sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan; 2) Tempat berlabuh armada perikanan; 3) Tempat pendaratan ikan hasil tangkapan dan masukan dari daerah lain; 4) Tempat untuk memperlancar kegiatan armada perikanan; 5) Pusat pemasaran dan ditribusi ikan hasil tangkapan; 6) Pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan; 7) Pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengambilan data. 3.4.6.2 Ordinasi Atribut Menurut Kavanagh (2001) teknik ordinasi Rapfish adalah aproksimasi konfigurasi sebuah titik dalam ruang n-dimensi (2 atau 3). Aproksimasi dilakukan menggunakan jarak Euclidian antara sebuah titik dalam ordinasi pada ruang ndimensi, dengan jarak dari titik asal. Perhitungan jarak Euclidian dengan Formula Pythagorian dalam n dimensi dilakukan dengan menggunakan persamaan: ......................... 3.32 Ordinasi suatu titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal, dengan persamaan: .......................................................................................3.33 .................................................................................................. 3.34 Dimana: dij= jarak Euclidian a = intersep b = sudut kemiringan e = error đ = disparitas 3.4.6.3 Analisis Sensitivitas dan Monte Carlo Untuk melihat atribut yang memberikan pengaruh terhadap indeks keberlanjutan dilakukan analisis sensitivitas (leverage analysis). Atribut paling sensitif akan memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan dalam bentuk
50
perubahan Root Mean Square (RMS) pada sumbu X (skala keberlanjutan). Semakin besar nilai perubahan RMS semakin besar peranan atribut tersebut atau semakin sensitif dalam pembentukan nilai keberlanjutan pada skala keberlanjutan. Nilai RMS atau akar kuadrat nilai tengah dihitung dengan persamaan:
................................................................ 3.35 Dimana: Xred = hasil ordinasi dengan reduksi atribut Xflip = hasil ordinasi tanpa reduksi atribut N = jumlah atribut Prosedur dalam ordinasi Rapfis yang terakhir adalah analisis Monte Carlo. Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004) tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui 1) Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut; b) Pengaruh variasi pemberian skor; 3) Stabilitas proses analisis MDS yang dilakukan berulang; dan d) Kesalahan pemasukan atau hilangnya data (missing data). Seberapa baik ordinasi titik merefleksikan titik asal merupakan gambaran goodness of fit atau stress yang diukur antara jarak euclidian dengan disparitas, dimana bila nilai stress tidak berkurang signifikan maka koordinat titik pada ordinasi digeser untuk mengurangi nilainya. Jarak euclidian yang baru dihitung lagi bersama dengan nilai regresi, nilai disparitas dan nilai stress pada saat titik tersebut bergeser. Dengan demikian kebanyakan
algoritma
mengevaluasi
ordinasi
secara
berulang
untuk
memaksimalkan goodness of fit atau meminimalkan nilai stress. Formula Kruskal dan Wish (1979) in Kavanagh et al. (2000) digunakan untuk mengukur stress dengan persamaan: ......................................................................... 3.36
Dalam MDS non-metrik ordinasi dievaluasi secara berulang untuk meminimalkan nilai stress dengan persamaan berikut: ...................................................................... 3.37 dimana f(δij) adalah fungsi nonmetrik monoton dari jarak titik asal.
51
Nilai stress yang rendah mengindikasikan good fit jika analisis dilakukan dalam dua dimensi, dimana nilai stress1 yang besar dari 0,1 menunjukkan fitness yang buruk. Biasanya nilai stress2 akan lebih besar dua kali lipat, sehingga nilai stress yang bisa diterima adalah apabila <20%. 3.4.6.4 Status Keberlanjutan Dimensi Penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengelolaan cakalang. Atribut masing-masing dimensi serta kriteria baik dan buruk mengacu kepada konsep yang digunakan Pitcher dan Preikshot (2001), Rapfish Group (2006), Allahyari (2010), serta pendapat dari pakar dan stakeholder yang terkait dengan sistem yang dikaji. Tabel 8 Kategori indeks keberlanjutan setiap dimensi sistem yang dikaji No Nilai Indeks 1 0 – 19 2 20 – 39 3 40 – 59 4 60 – 79 5 80 – 100 Sumber: Allahyari (2010)
Penilaian Buruk Cukup Sedang Baik Sangat Baik
Kategori Keberlanjutan Tidak Berkelanjutan Kurang Berkelanjutan Sedang Berkelanjutan Sangat Berkelanjutan
Setiap atribut diperkirakan skornya, yaitu skor maksimum 4 untuk kondisi baik (good) dan 0 untuk jelek (bad) dan di antaranya untuk keadaan di antara baik dan buruk. Skor definitifnya adalah nilai modus, yang dianalisis untuk menentukan titik-titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan sistem relatif terhadap titik baik dan buruk dengan teknik ordinasi MDS. Skor setiap dimensi dinyatakan dengan skala terburuk (bad) 0% sampai yang terbaik (good) 100%. 3.4.6.5 Status Keberlanjutan Multidimensi Status keberlanjutan setiap dimensi divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) yang menggambarkan keberlanjutan dari masingmasing dimensi. Pada ruang dua dimensi sumbu X mewakili derajat keberlanjutan dari buruk sampai baik, sedangkan dimensi lainnya yaitu sumbu Y mewakili faktor faktor lainnya. Agar status keberlanjutan secara keseluruhan dapat dinilai, dilakukan pembobotan terhadap masing-masing dimensi dengan menggunakan pendapat 3 pakar pengelolaan sumberdaya perikanan. Hasil pembobotan
52
kemudian dianalisis dengan menggunakan Program Penentuan Bobot Dimensi menggunakan Microsoft excel sesuai Budiharsono (2002), hasil dari analisis adalah nilai status keberlanjutan kegiatan secara keseluruhan (multidensi). 3.4.6.6 Strategi Pengelolaan Berbasis Status Keberlanjutan Multidimensi Penyusunan strategi pengelolaan berbasis status keberlanjutan multidimensi dilakukan berdasarkan hasil analisis sebelumnya dengan mempertimbangkan status keberlanjutan dimensi dan nilai sensitivitas atribut, serta hasil penyusunan prioritas berdasarkan analisis SMART (Simple Multiattribute Rating Technique) menggunakan perangkat lunak Criterium DecisionPlus versi 2,0. Kenneth dan Edward (1989) menyatakan bahwa dalam pengambilan keputusan dikenal teknik Simple Multiattribute Rating Technique (SMART) yang dikembangkan dari Multiattribute Utility Theory (MAUT). Permasalahan mulamula dibagi menjadi atribut, dimana setiap atribut yang dievaluasi dibuat berdasarkan nilai hasil pengukuran. Diagram pohon dari nilai tersebut disusun dalam rangka menilai setiap atribut dan melakukan agregasi model yang menghasilkan perbandingan antara berbagai alternatif. Pengambilan keputusan secara logis bagi permasalahan yang kompleks dengan berdasarkan informasi yang tersedia dan pemahaman tentang tentang permasalahan memerlukan tahapan: 1) Formulasi pernyataan yang jelas mengenai permasalahan,
2)
Identifikasi isu terkait permasalahan, 3) Membangun struktur pengambilan keputusan yang terdiri atas tujuan, kriteria, sub kriteria dan alternatif, 4) menimbang pentingnya kriteria berdasarkan data kuantitatif atau kualitatif, 5) evaluasi alternatif, 6) mengecek keterkaitan melalui sensitivity analysis, dan finalisasi keputusan.
53
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Oseanografi 4.1.1 Arah dan Kecepatan Angin Arah dan kecepatan angin di atas perairan Samudera Hindia selatan Jawa Timur sangat dipengaruhi oleh angin muson yang disebabkan adanya perbedaan tekanan udara antara benua Asia dan Australia. Angin terbentuk sebagai akibat dari pemanasan permukaan bumi yang tidak merata, sehingga wilayah tropis memiliki suhu yang lebih panas dibandingkan wilayah sub tropis. Semua arus permukaan yang terjadi di lautan disebabkan oleh adanya seretan (drag) angin pada permukaan perairan (Mann & Lazier 1996 in Charles 2001). Pada musim timur angin bertiup dari daratan Australia menuju ke Asia dan sebaliknya dari daratan Asia menuju Australia pada musim barat. Pada bulan Maret - Mei terjadi perbedaan tekanan antara kedua benua tidak menentu sehingga arah angin juga tidak menentu yang dikenal sebagai musim pancaroba. Pada saat ini angin tenggara mulai terbentuk dengan kecepatan rendah sekitar 0 - 3 meter/detik dan terus mengalami intensifikasi di bulan April dan Mei dengan kecepatan angin pada puncak intensifikasinya yang mencapai 8 - 9 m/dtk. Angin dominan bergerak ke timur pada bulan Juni-Juli yang menandai masuknya musim timur di daerah selatan Jawa Timur.
Gambar 7 Arah dan kecepatan angin (m.dtk-1) awal musim timur pada bulan Juni 2009 di perairan selatan Jawa Timur.
54
Selanjutnya pada bulan September - November kembali terjadi perbedaan tekanan yang tidak menentu antara benua Asia dan Australia. Memasuki bulan September kecepatan angin menurun dan arahnya mulai bergeser ke utara dan semakin menurun pada bulan November menjadi 0 - 4 m/dtk.
Pada bulan
Desember arah angin berubah ke barat yang menandai masuknya musim barat di selatan Jawa. Mula-mula angin cenderung bergerak ke arah timur laut pada bulan Desember kemudian sepenuhnya bergerak dengan kecepatan 8 - 9 m/dtk ke arah barat pada bulan Januari dan Februari.
Gambar 8 Arah dan kecepatan angin (m.dtk-1) awal musim barat pada bulan Desember 2009 di perairan selatan Jawa Timur. 4.1.2 Sebaran Suhu Permukaan Laut Suhu permukaan laut pada musim barat (Desember-Mei) berkisar antara 23,42 0C – 29,02 0C. Suhu permukaan laut mulai meningkat pada bulan Desember dan mencapai puncaknya pada bulan Maret. Pada bulan April hingga Mei suhu permukaan laut mulai menurun. Pada bulan Desember kisaran suhu permukaan laut yang dominan adalah 0
28 C – 28,5 0C. Pada bulan Januari kisaran suhu dominan adalah 28 0C – 28,5 0C yang hampir sama dengan kisaran suhu bulan Februari hingga Maret yaitu 28 0C – 28,75 0C. Pada bulan Mei suhu permukaan laut berkisar antara 26,80 0C – 29,34 0
C dengan suhu dominan 28 0C.
55
Tabel 9 Kisaran suhu permukaan laut pada musim barat Desember-Mei 2009 No 1 2 3 4 5 6
Bulan Desember Januari Februari Maret April Mei
Kisaran Suhu (0C) 25,84 – 29,32 27,07 – 28,72 27,44 – 29,16 26,76 – 29,20 27,52 – 29,58 26,80 – 29,34
Suhu Dominan (0C) 28 - 28,5 28 - 28,5 28 - 28,75 28,5 – 29 28,5 – 28,75 28
Berdasarkan orientasi meridional (utara-selatan) pada musim barat terdapat kecenderungan SPL makin rendah ke arah dekat pantai. Pada koordinat 10 0LS - 12 0LS, SPL di bagian timur Jawa Timur dan Bali cenderung lebih tinggi dibandingkan barat Jawa. Sedangkan di sekitar pantai sebaran SPL cenderung bervariasi berdasarkan orientasi zonal (timur-barat). SPL pada musim timur (JuniNovember) berkisar antara 25.84 0C - 29.58 0C. Mula-mula suhu menurun pada bulan Juni dan mencapai titik terendah pada bulan Agustus. Pada bulan Juni kisaran suhu dominan adalah 26,75 0C – 27,25 0C dan pada bulan Juli suhu dominan 25,75 0C – 26,5 0C. Pada bulan Agustus kisaran SPL dominan menurun hingga 25 0C – 25,75 0C, dan kemudian naik kembali pada bulan November dengan kisaran suhu dominan 27,5-28,25 0C. Tabel 10 Kisaran suhu permukaan laut pada musim timur Juni–November 2009 No 1 2 3 4 5 6
Bulan Juni Juli Agustus September Oktober November
Kisaran Suhu (0C) 25,61 - 28,70 24,05 – 27,90 23,42 – 27,66 23,65 – 27,76 24,24 – 28,33 26,18 – 29,02
Suhu Dominan (0C) 26,75 – 27,25 25,75 – 26,5 25 – 25,75 26 – 26,5 27 – 27,5 27,5-28,25
Berdasarkan orientasi meridional pada musim timur suhu permukaan laut cenderung makin rendah ke arah pantai, sementara berdasarkan orientasi zonal suhu di selatan Bali cenderung lebih tinggi dibandingkan selatan Jawa. Rendahnya suhu permukaan laut pada musim timur diduga terkait dengan proses upwelling di perairan selatan Jawa yang diantaranya dibangkitkan oleh pergerakan angin muson tenggara.
56
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 9 Rataan sebaran suhu permukaan laut bulanan (0C) pada musim barat periode Desember 2005-Mei 2009; (a) Desember, (b) Januari, (c) Februari, (d) Maret, (e) April, dan (f) Mei.
57
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 10 Rataan sebaran suhu permukaan laut bulanan (0C) pada musim timur periode Juni 2005-November 2009; (a) Juni, (b) Juli, (c) Agustus, (d) September, (e) Oktober, dan (f) November.
58
Dibandingkan dengan suhu permukaan laut pada wilayah lain di di WPPRI 573, suhu bulanan pada musim timur di perairan selatan Jawa Timur menunjukkan nilai yang terendah. Hal ini diduga merupakan penyebab sehingga wilayah perairan tersebut merupakan fishing ground ikan pelagis besar yang paling potensial di wilayah pengelolaan ini. Upwelling dicirikan oleh proses penaikan massa air dari lapisan bawah yang lebih dingin dan kaya nutrien ke lapisan atas perairan yang mengakibatkan pengkayaan lapisan permukaan perairan dan selanjutnya berpengaruh terhadap peningkatan konsentrasi klorofil-a. Indikasi terjadinya upwelling dapat dilihat dari penurunan suhu dan paras muka laut. 4.1.3 Sebaran Suhu Menegak Sebaran suhu
menegak perairan selatan Jawa Timur mengikuti pola
umum yaitu suhu berubah terhadap kedalaman dengan nilai yang semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman perairan dan bervariasi berdasarkan angin muson. Berdasarkan stratifikasi vertikal suhu, perairan selatan Jawa Timur terbagi atas lapisan tercampur (mixed layer) dari permukaan sampai kedalaman sekitar 49 m, lapisan termoklin pada kedalaman 30-199 m, dan lapisan dalam dari kedalaman 150-1600m.
Gambar 11 Sebaran suhu menegak bulanan (0C) tahun 2009. Garis warna merah mewakili musim barat dan warna biru mewakili musim timur.
59
Secara temporal, terdapat variasi akibat perbedaan musim dimana suhu lapisan tercampur lebih dingin pada musim timur daripada musim barat. Dinginnya suhu lapisan ini pada musim timur selain diduga terkait proses upwelling di perairan selatan Jawa Timur, juga disebabkan oleh masuknya massa air dingin dari barat laut Australia, sedangkan suhu yang lebih tinggi pada pada musim barat dipengaruhi oleh masuknya massa air hangat dan ringan dari ekuator. Kedalaman lapisan mixed layer pada musim barat umumnya 0-29 dan 0-49 m dan 50-199m pada musim timur dengan kisaran suhu 24,32-28,85 0C. Kedalaman lapisan thermocline pada musim barat umumnya 30-149 m dan 50-149 m pada musim timur dengan kisaran suhu 13,24-28,21 0C, sementara kedalaman depth layer pada musim barat dan timur hampir merata 200-1600 m dengan kisaran suhu 3,3413,98 0C. 4.1.4 Sebaran Suhu Melintang Sebaran melintang relatif homogen secara spasial dan tidak terdapat variasi diantara semua wilayah di Samudera Hindia Selatan Jawa. Gradien suhu yang tajam terdapat pada lapisan atas yaitu antara isoterm 12,5 0C hingga 25 0C yang menandakan posisi lapisan termoklin. 0
Kedalaman (m)
500
1000
1500 112oE
112,5oE
113oE
113,5oE
114oE
Gambar 12 Sebaran suhu melintang bulanan (0C) tahun 2009.
114,5oE
60
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 13 Rataan sebaran konsentrasi klorofil-a (mg.l-1) pada musim barat periode Desember 2005-Mei 2009; (a) Desember, (b) Januari,, (c) Februari, (d) Maret, (e) April, dan (f) Mei.
61
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 14 Rataan sebaran konsentrasi klorofil-a (mg.l-1) pada musim timur periode Juni 2005-November 2009; (a) Juni, (b) Juli, (c) Agustus, (d) September, (e) Oktober, dan (f) November.
62
4.1.5 Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Konsentrasi klorofil-a Samudera Hindia selatan Jawa Timur tahun 20052009 bervariasi sepanjang tahun dengan kisaran 0,11 mg.l-1-1,32 mg.l-1. Kisaran konsentrasi pada musim barat (Desember-Mei) antara 0,07 mg.l-1– 2,61 mg.l-1 dengan konsentrasi bulan Desember 0,07 mg.l-1- 2,31 mg.l-1 dan Januari 0,08 mg.l-1 – 2,32 mg.l-1. Konsentrasi kedua bulan ini lebih tinggi dibandingkan bulanbulan lain selama musim barat yang diduga disebabkan oleh masih adanya sisa dari kelimpahan klorofil-a pada musim timur sebelumnya. Konsentrasi klorofil-a terendah terjadi pada bulan Februari yaitu 0,07 mg.l-1-1,28 mg.l-1, dan sedikit lebih tinggi pada bulan Maret dan April yaitu 0,07 mg.l-1 – 1,41 mg.l-1 dan 0,08 mg.l-1 – 1,74 mg.l-1. Rendahnya konsentrasi klorofil-a diduga disebabkan lemahnya tiupan angin dan adanya proses downwelling sehingga tidak terjadi pergerakan massa air yang dapat menambah konsentrasinya. Pada bulan Mei kisaran klorofil-a mulai meningkat kembali menjadi 0,09 mg.l-1 – 2,61 mg.l-1. Konsentrasi klorofil-a di perairan selatan Jawa pada musim timur (JuniNovember) berkisar antara 0,08 mg.l-1 – 6,90 mg.l-1. Pada bulan Juni dan Juli konsentrasi mulai meningkat seiring dengan menguatnya angin muson tenggara yang menyebabkan upwelling di sepanjang pantai selatan Jawa. Kisaran konsentrasi klorofil-a bulan Juni dan Juli adalah 0,13 mg.l-1– 5,14 mg.l-1 dan 0,16 mg.l-1 – 5,94 mg.l-1. Konsentrasi tertinggi terjadi pada bulan Agustus dengan kisaran 0,15 mg.l-1 – 6,90 mg.l-1 dan mulai menurun menjadi 0,15 mg.l-1 – 6,06 mg.l-1 pada bulan September dan 0,11 mg.l-1 – 6,25 mg.l-1 pada bulan Oktober. Kisaran terendah pada musim timur adalah 0,08 mg.l-1 – 3,12 mg.l-1 yaitu pada bulan November. Konsentrasi klorofil-a pada musim timur lebih tinggi dibandingkan musim barat yang diduga disebabkan proses upwelling yang menaikkan massa air lapisan bawah yang kaya nutrien dengan konsentrasi tertinggi secara konsisten terjadi di daerah perairan selatan Jawa Timur. Pada bulan Agustus konsentrasi klorofil-a menyebar hingga batas terluar ZEEI yaitu pada koordinat 113°00' - 115°00' BT dan 9°00' - 12° 00' LS yang merupakan wilayah penangkapan kapal sekoci.
63
Secara meridional proses upwelling di laut lepas Selatan Jawa Timur diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor selain faktor angin muson tenggara. Menurut Tubalawony (2008) anomali tinggi permukaan air laut (ATPL) Samudera Hindia pada bulan Agustus umumnya lebih rendah dengan kisaran -7,5 hingga -15,6 cm yang mengindikasikan adanya pergerakan massa air menjauhi pantai, dimana Gaol (2003) menjelaskan bahwa ATPL cenderung lebih rendah pada musim timur dibandingkan pada musim barat. Lebih lanjut Tubalawony (2008) menjelaskan bahwa selama musim timur nilai gradien transpor Ekman komponen sejajar garis pantai menuju laut lepas meningkat dari bulan Juni hingga Agustus yang menggambarkan bahwa upwelling selama musim timur kemungkinan dipicu oleh lebih besarnya nilai gradien tersebut yang menyebabkan permukaan air di pantai lebih tinggi dengan tekanan air yang lebih besar dibandingkan permukaan dan tekanan di laut lepas sehingga memicu upwelling mulai dari pantai ke arah laut lepas hingga 100 LS. Hal ini sesuai dengan Purba (1995) yang menyatakan upwelling yang terjadi di selatan Jawa Timur berada pada radius sekitar 40 km dari garis pantai atau sekitar 25 km ke arah laut lepas. 4.2 Analisis Tren Biomas Kegiatan penangkapan cakalang dilakukan sepanjang tahun mulai Maret 2003 hingga Desember 2010, kecuali untuk bulan Januari 2008 dimana nelayan tidak melaut karena cuaca buruk sepanjang bulan serta harga solar yang tinggi. Tabel 11 Nilai rataan CPUE bulanan cakalang tahun 2003-2010 Rataan CPUE (Kg) Bulan 2003 2004 2005 2006 2007 2008 804 1.442 958 365 Januari 1.145 366 1.071 269 92 Februari 770 1.153 1.036 1.638 639 493 Maret 910 2.571 602 625 586 259 April 1.342 1.212 1.525 909 381 483 Mei 1.923 1.232 1.752 954 570 749 Juni 1.076 1.909 3.306 1.609 963 589 Juli 1.503 3.055 1.968 1.654 1.202 585 Agustus 1.292 3.239 2.198 1.119 1.397 851 September 2.302 503 1.375 750 1.750 968 Oktober 353 965 760 891 716 527 November 436 842 308 859 2.074 1.566 Desember
2009 181 305 471 689 819 258 774 .110 .244 1.682 1.464 1.174
2010 190 1.901 984 2.208 1.277 1.316 1.106 855 464 408 271 390
64
Fluktuasi CPUE selama 96 bulan menunjukkan hasil tangkapan cakalang yang bervariasi sepanjang tahun dengan pola yang mengikuti pergerakan angin muson.
Hasil tangkapan lebih banyak didapatkan pada musim timur (Juni-
November) dibandingkan hasil tangkapan pada musim barat (Desember-Mei). Puncak penangkapan terjadi pada bulan Agustus-Oktober setiap tahunnya. Secara umum, jumlah hasil tangkapan dari bulan pertama hingga bulan ke 31 lebih tinggi dibanding bulan-bulan selanjutnya. Hal yang sama terjadi pada hasil tangkapan total tuna dari Samudera Hindia pada periode yang sama, sebagaimana laporan IOTC (2009b), bahwa terjadi peningkatan hasil tangkapan tuna yang signifikan pada periode ini yang dikaitkan dengan kondisi oseanografi permukaan perairan yang sangat mendukung keberadaan cakalang. 3.500
Hasil Tangkapan (Kg)
3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 0 1
6 11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61 66 71 76 81 86 91 96 Bulan ke
Gambar 15 Variasi nilai bulanan CPUE untuk cakalang pada tahun 2003-2010. Selanjutnya, hasil regresi sederhana total trip terhadap total tangkapan per tahun menunjukkan bahwa produksi cakalang semakin bertambah dengan peningkatan upaya tangkap, dengan persamaan y=1400,1x-1540,8 serta nilai koefisien determinasi 0,84. Hal tersebut berarti bahwa nilai intercept adalah 1.400,1 dengan sudut kemiringan -1.540,8 dengan tingkat hubungan antara dependent variable dan independent variable 84%. Hasil regresi tersebut mengindikasikan bahwa penangkapan oleh nelayan sekoci belum mempengaruhi kestabilan stok cakalang.
65
Total Tangkapan per Tahun (Kg)
180.000 160.000 y = 1400,1x - 1540,8 R² = 0,84
140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0 0
20
40
60
80
100
120
Total Trip per tahun
Gambar 16 Regresi total tangkapan cakalang terhadap total upaya tangkap per tahun dari 2003-2010. 4.3 Analisis Deret Waktu 4.3.1 Spektrum Densitas Energi Secara umum periode fluktuasi suhu permukaan laut, klorofil-a dan CPUE menunjukkan periode 12 bulan dengan variabilitas tahunan yang serupa.
Spektrum Densitas Energi ( 0C2/siklus per bulan)
Spectral analysis: SST 30
30
25
25
20
20
15
15
10
10
5
5
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
0 65
Periode (Bulan)
(a) (b) Gambar 17 Spektrum densitas energi suhu permukaan laut periode tahun 20052009; (a) metode FFT, (b) metode Wavelet. Puncak spektrum densitas energi SPL di perairan selatan Jawa Timur adalah terjadi sekali dalam periode 12 bulan, yang menandakan fluktuasi suhu permukaan laut tahunan. Fluktuasi dipengaruhi oleh angin muson di perairan selatan Jawa Timur dengan periode signifikan Januari 2006 - Januari 2009.
66
Spektrum Densitas Energi ([mg/l] 2/siklus per bulan)
Spectral analysis: CHLO-A 0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0.0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
0.0 65
Periode (Bulan)
(a) (b) Gambar 18 Spektrum densitas energi klorofil-a tahun 2005-2009; (a) metode FFT, (b) metode Wavelet. Puncak spektrum densitas klorofil-a terjadi sekali pada periode 12 bulan yang menandakan fluktuasi tahunan. Fluktuasi tersebut selain dipengaruhi oleh pola angin muson juga dipengaruhi oleh adanya proses upwelling di pantai dan laut lepas selatan Jawa Timur. Periode signifikan fluktuasi klorofil-a dalam 12 bulan terjadi pada rentang Maret 2006 sampai Oktober 2009. Spectral analysis: CPUE
Spektrum Densitas Energi (CPUE 2/siklus per bulan)
3.5E5
3.5E5
3E5
3E5
2.5E5
2.5E5
2E5
2E5
1.5E5
1.5E5
1E5
1E5
50000
50000
0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
0 65
Periode (Bulan)
(a) (b) Gambar 19 Spektrum densitas energi CPUE periode tahun 2005-2009; (a) metode FFT, (b) metode Wavelet. Puncak spektrum densitas energi fluktuasi CPUE di perairan selatan Jawa Timur juga terjadi sekali dalam 12 bulan yang dipengaruhi oleh nilai suhu permukaan laut dan konsentrasi klorofil-a perairan. Analisis deret waktu diperlukan untuk menentukan periode fluktuasi dan nilai puncak densitas energi dari fluktuasi sebaran SPL, klorofil-a, dan CPUE. Hasil analisis menunjukkan
67
adanya periode fluktuasi yang serupa dari ketiga parameter yaitu ada satu kali puncak dalam setiap periode waktu 12 bulan (annual fluctuation).
Periode
signifikan ketiga parameter terjadi pada waktu yang hampir bersamaan yaitu Januari 2006 - Januari 2009 untuk suhu permukaan laut, Maret 2006 - Oktober 2009 untuk klorofil-a, dan Mei 2006 - Agustus 2009 untuk CPUE. Kesamaan periode fluktuasi dan kemiripan waktu periode signifikan menjadikan pola fluktuasi tersebut dapat diperbandingkan untuk mengetahui adanya korelasi. Tabel 12 Periode fluktuasi setiap parameter tahun 2005-2009 Periode Fluktuasi (bulan) 12 12 12
Parameter Suhu permukaan laut Klorofil-a CPUE
Keterangan Variabilitas Tahunan Variabilitas Tahunan Variabilitas Tahunan
Secara umum fluktuasi suhu permukaan, klorofil-a dan CPUE tahunan mengikuti pola angin muson, yaitu pada musim timur dimana suhu permukaan laut menurun dan konsentrasi klorofil-a meningkat, jumlah hasil tangkapan (CPUE) cakalang juga meningkat. Sebaliknya pada musim barat dimana suhu permukaan laut meningkat dan konsentrasi klorofil-a menurun, jumlah hasil tangkapan (CPUE) cakalang menurun.
SPL
30 27,5 25 1
7
13
19
25
31
37
43
49
55
1
7
13
19
25
31
37
43
49
55
1
7
13
19
25
31
37
43
49
55
Klorofil-a
1,5 1 0,5 0
CPUE
3000 1500 0
Bulan ke
Gambar 20 Sebaran temporal suhu permukaan laut, klorofil-a dan CPUE bulanan dari tahun 2005 hingga 2009.
68
Sebaran temporal suhu permukaan laut yang berfluktuasi berdasarkan musim merupakan akibat dari pola angin muson yang bertiup di atas perairan selatan Jawa Timur. Angin muson tenggara (Juni-Agustus) membawa udara kering dan dingin dari Benua Australia menyebabkan suhu permukaan laut di selatan Jawa Timur cenderung lebih dingin dibandingkan pada musim angin muson barat laut, serta terjadinya upwelling di selatan Jawa Timur yang membawa massa air lapisan bawah yang lebih dingin ke permukaan. Sebaliknya pada saat angin muson barat laut (Desember-Februari) udara hangat dan lembab dari Benua Asia menyebabkan suhu permukaan laut di selatan Jawa lebih hangat. Selain itu, massa air Arus Pantai Jawa (APJ) yang bergerak ke timur diduga membawa massa air hangat dari bagian tropis wilayah barat samudera Hindia. Sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan selatan Jawa Timur berkaitan dengan proses upwelling dan downwelling. Pada saat upwelling yang terjadi di musim timur konsentrasinya cenderung meningkat dan sebaliknya menurun pada saat downwelling yang terjadi di musim barat, sehingga dalam periode satu tahun akan meningkat pada pertengahan tahun dan selanjutnya menurun pada permulaan tahun. Sebaran temporal CPUE menunjukkan pola yang menyerupai pola konsentrasi klorofil-a di selatan Jawa dengan perbedaan intensitas. Hal tersebut diduga berkaitan dengan tingginya kelimpahan ikan kecil yang merupakan mangsa cakalang pada saat konsentrasi klorofil-a meningkat. Dengan kondisi oseanografi yang sesuai bagi pertumbuhan populasinya, stok cakalang di perairan WPP-573 diduga masih besar sehingga CPUE cenderung masih meningkat dengan pertambahan upaya. Berdasarkan dugaan tersebut maka upaya tangkap cakalang di ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur perlu ditingkatkan. Pergeseran kondisi oseanografi tahunan menyebabkan pergeseran musim penangkapan cakalang. Selama pengamatan, rataan suhu permukaan laut terendah dan konsentrasi klorofil-a tertinggi terjadi bersamaan pada musim timur yaitu bulan Juli hingga Oktober masing-masing dengan kisaran 25,54 oC-27,16 oC dan 0,43 mg.l-1 - 0,57 mg.l-1. Nilai suhu yang menurun dan konsentrasi klorofil-a yang meningkat pada bulan Juli-Oktober diikuti pula dengan peningkatan hasil tangkapan cakalang yaitu antara 1.416 kg hingga 1.491 kg per trip. Keempat bulan
69
tersebut merupakan musim puncak penangkapan, dengan nilai tertinggi pada bulan Agustus. Pada musim barat, yaitu Desember hingga Mei konsentrasi klorofil-a mencapai nilai terendah yaitu 0,13 mg.l-1 dengan suhu yang mulai meningkat kembali hingga mencapai suhu 28,55 oC pada bulan Mei. Kondisi ini diikuti penurunan tangkapan cakalang hingga 657 kg per trip pada bulan Januari. Tabel 13 Rataan kondisi oseanografi dan CPUE bulanan tahun 2005-2009 Bulan
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Rataan SPL (oC)
Rataan Klorofil-a (mg.l-1)
27,58 27,90 28,30 27,98 28,55 28,07 27,16 25,98 25,54 25,71 26,29 27,60
0,13 0,13 0,13 0,16 0,22 0,36 0,43 0,57 0,56 0,44 0,39 0,23
Rataan CPUE (Kg/trip) 657 736 898 1.056 994 1.094 1.416 1.491 1.476 1.217 743 956
Variasi kondisi oseanografi di atas sesuai dengan penelitian Realino et al (2007) yang menyimpulkan bahwa wilayah perairan di Laut Jawa memiliki kesuburan tertinggi pada bulan-bulan Juli, Agustus dan September (musim timur) dan terendah pada bulan-bulan Januari, Februari dan Maret (musim barat). Pada musim barat wilayah subur lebih terkonsentrasi di bagian barat laut Indonesia yaitu di sekitar Selat Malaka, Laut Natuna, dan Selat Karimata. Berdasarkan hal tersebut diduga musim puncak penangkapan cakalang pada musim barat juga bergeser ke wilayah bagian barat laut Indonesia. 4.3.2 Korelasi Silang 4.3.2.1 CPUE dengan Suhu Permukaan Laut Dengan menjadikan suhu permukaan laut sebagai variabel bebas (x) dan CPUE sebagai variabel tak bebas (y) didapatkan fluktuasi kedua parameter yang berkorelasi pada periode 12 bulan yaitu pada bulan Maret 2006 hingga bulan Oktober 2008.
70
Nilai koherensi pada periode 12 bulan adalah 0,71 dengan beda fase antara kedua fluktuasi adalah tan-1 -2,97. Nilai tersebut menunjukkan bahwa fluktuasi CPUE cakalang akan mendahului terjadinya fluktuasi suhu permukaan laut pada periode 12 bulan dengan beda fase sekitar 71 hari, atau bila suhu permukaan laut meningkat maka terdapat kecenderungan CPUE akan menurun dan kemudian akan kembali meningkat 71 hari sesudahnya. Hal ini menunjukkan bahwa populasi cakalang cenderung menghindari perairan yang bersuhu lebih tinggi sehingga akan berada di sekitar perairan tersebut sekitar 71 hari sebelum suhu permukaan laut mulai meningkat.
Gambar 21 Hasil korelasi silang antara SPL dan CPUE periode 2005-2009. Matsumoto et al. (1984) memaparkan bahwa cakalang sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan merupakan jenis organism homeothermal yaitu mempunyai kemampuan termoregulasi untuk memelihara agar suhu tubuh lebih tinggi dari suhu perairan. Kisaran suhu dimana cakalang dewasa sering ditemukan adalah 19 0C – 23 0C dan menggunakan perbedaan suhu vertikal sebagai dasar orientasi berenang. Berdasarkan penjelasan tersebut, lapisan termoklin dengan isoterm 12,5 0C dan 25 0C pada kedalaman di atas 30 m merupakan lingkungan yang sesuai bagi populasi cakalang, sehingga nelayan sekoci umumnya mendapatkan ikan berukuran >2 kg - 6 kg pada kedalaman 100 meter.
71
4.3.2.2 CPUE dengan Sebaran Klorofil-a Sebagaimana hasil korelasi silang antara suhu permukaan laut dengan CPUE, konsentrasi klorofil-a dengan CPUE juga menunjukkan periode fluktuasi tahunan (annual fluctuation) yaitu periode 12 bulanan. Dengan menjadikan sebaran klorofil-a sebagai variabel bebas (x) dan CPUE sebagai variabel tak bebas (y) didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa fluktuasi kedua parameter berkorelasi pada periode 12 bulan dari Maret 2006 sampai dengan Oktober 2008 dengan nilai koherensi 0,73.
Gambar 22 Hasil korelasi silang antara suhu permukaan laut dan CPUE periode 2005-2009. Arah dan kecepatan angin merupakan komponen oseanografi yang secara tidak langsung terkait dengan keberadaan stok cakalang di perairan selatan Jawa Timur melalui pengaruhnya terhadap berbagai faktor oseanografi diantaranya suhu permukaan laut dan kesuburan perairan.
Kondisi suhu permukaan laut
beserta variasi suhu secara menegak dan secara melintang menjadi salah satu penentu apakah cakalang mendapatkan kondisi lingkungan yang sesuai. Klorofil-a adalah pigmen fotosintesis yang dimiliki oleh hampir semua jenis fitoplankton. Produktifitas primer di perairan sangat bergantung kepada konsentrasi klorofil-a perairan, suhu, dan ketersediaan nutrien (Renk et al. 2000). Hasil penelitian Zalewski et al. (2005) di wilayah sekitar lokasi upwelling di laut Baltik menemukan bahwa kombinasi dari beberapa faktor akan mempengaruhi
72
produktifitas primer pada wilayah yang mendapatkan pengaruh langsung upwelling ataupun pada wilayah transisi, dengan tingkat pengaruh tertinggi diberikan oleh konsentrasi klorofil-a. Beda fase antara kedua fluktuasi adalah tan-1 0,09 yang menunjukkan bahwa terjadinya fluktuasi konsentrasi klorofil-a mendahului fluktuasi CPUE dengan beda fase 5 hari, atau terdapat kecenderungan bahwa bila nilai konsentrasi klorofil-a meningkat maka CPUE cakalang juga cenderung meningkat 5 hari setelah peningkatan konsentrasi klorofil-a. Hal ini mengindikasikan bahwa diperlukan waktu 5 hari setelah meningkatnya konsentrasi klorofil-a bagi terjadinya kelimpahan organisme pemakan plankton yang merupakan makanan utama cakalang. Tabel 14 Nilai korelasi silang, periode fluktuasi, koherensi dan beda fase suhu permukaan laut dan klorofil-a dengan CPUE Korelasi silang
Beda fase (tan-1) Hari
Periode Fluktuasi
Koherensi
Suhu permukan laut dan CPUE
12 bulan
0,71
-2,97
71
Klorofil-a dan CPUE
12 bulan
0,73
0,09
5
Arah dan kecepatan angin merupakan komponen oseanografi yang secara tidak langsung terkait dengan keberadaan populasi cakalang di perairan selatan Jawa Timur melalui pengaruhnya terhadap berbagai faktor oseanografi diantaranya suhu permukaan laut dan kesuburan perairan.
Kondisi suhu
permukaan laut beserta variasi suhu secara menegak dan secara melintang menjadi salah satu penentu apakah cakalang mendapatkan kondisi lingkungan yang sesuai. Meningkatnya konsentrasi klorofil-a merupakan indikator kelimpahan phytoplankton yang merupakan makanan dari zooplankton. Kelimpahan zooplankton selanjutnya akan menarik pemangsa seperti krustasea dan ikan-ikan kecil yang selanjutnya akan dimangsa oleh cakalang. Matsumoto et al. (1984) menjelaskan bahwa cakalang muda terutama memakan krustasea sementara gerombolan dewasa terutama memakan juvenil dan ikan berukuran kecil.
73
Hasil analisis regresi berganda SPL dan konsentrasi klorofil-a terhadap CPUE menunjukkan nilai R2 0,4032 yang berarti bahwa peubah bebas X1 dan X2 hanya mampu menjelaskan Y sebesar 40,32 % atau sebagian besar dijelaskan oleh faktor oseanografi lain yang tidak diamati dalam penelitian ini. Berdasarkan nilai tersebut maka model dugaan yang diperoleh tidak dapat diandalkan untuk menjelaskan Y.
Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat beberapa faktor
oseanografi lain yang berpengaruh langsung terhadap CPUE. Selain itu, pola hubungan yang telah dijelaskan antara SPL dan klorofil-a diduga merupakan pola hubungan tidak langsung. Kondisi suhu hampir merata sepanjang tahun di daerah tropis, sehingga perubahan suhu dalam kisaran yang kecil secara langsung akan menyebabkan perubahan arus, upwelling serta aspek oseanografi lain. Perubahan tersebut selanjutnya mempengaruhi keberadaan cakalang dalam suatu perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil tangkapan. Selain itu, keberadaan ikan mangsa akan menarik kehadiran cakalang dalam perairan, dimana dalam skala regional, distribusi cakalang berkaitan dengan distribusi ikan mangsa. Daerah upwelling disertai dengan produktivitas plankton (klorofil-a) tinggi yang menyebabkan kelimpahan ikan kecil yang merupakan makanan utama ikan pelagis besar, sehingga upwelling seringkali dikatakan berpengaruh terhadap keberadaan cakalang (Nontji 1993). 4.4 Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekologi 4.4.1 Kondisi Atribut Ekologi Atribut pada dimensi ekologi mencerminkan baik-buruknya kualitas lingkungan dan sumberdaya perikanan tangkap berikut proses-proses alami yang terkait di dalamnya, dalam rangka mendukung secara berkelanjutan setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam perikanan tangkap (Hartono et al. 2005). 4.4.1.1 Komposisi Jenis dan Jumlah Tangkapan Hasil penelitian Nurani (2010) menempatkan cakalang sebagai komoditas ikan unggulan kedua untuk Kabupaten Malang setelah jenis Tuna besar. Hal ini sesuai dengan praktek penangkapan nelayan sekoci dimana madidihang dan matabesar merupakan target utama tangkapan sementara cakalang hanya menjadi
74
target alternatif khususnya disaat terjadi paceklik ikan target. Walaupun demikian hasil tangkapan cakalang seringkali lebih banyak dibanding jenis lainnya. Rataan persentase hasil tangkapan total cakalang tahun 2003-2010 adalah 31,45%, tidak berbeda jauh dengan hasil tangkapan target utama yaitu madidihang sebesar 36,71% dan matabesar sebanyak 2,60%. Jenis ikan lain yang tertangkap adalah marlin sebanyak 19,57% dan tompek sebanyak 9,66%. Selain itu kadangkala tertangkap sejumlah kecil ikan hiu namun nelayan tidak melakukan pencatatan.
Cakalang 31,45%
Marlin 19,57% Tompek 9,66%
Madidihang 36,71%
Matabesar 2,60%
Gambar 23 Komposisi jenis hasil tangkapan nelayan sekoci tahun 2003-2010. Hasil
tangkapan
cakalang
pada
tahun
2003-2010
menunjukkan
kecenderungan yang terus meningkat. Peningkatan jumlah hasil tangkapan tersebut dipengaruhi oleh pertambahan jumlah upaya (trip) yaitu dari 25 trip pada tahun 2003 menjadi 108 trip pada tahun 2010, dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan dari tahun 2003 sebesar 34.231 kg dan kemudian menjadi 154.980 kg pada tahun 2010. Tabel 15 Jumlah trip dan hasil tangkapan cakalang tahun 2003-2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah
Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Trip 25 59 101 109 107 75 80 108 664
Hasil (Kg) 34.231 88.490 164.084 139.285 137.869 70.704 127.715 154.983 917.361
75
Total jumlah trip nelayan sekoci yang diamati dalam penelitian adalah 2.362 kali dengan jumlah trip khusus untuk penangkapan cakalang adalah 664 trip dengan total produksi sebesar 917.361 kg. Pada tahun 2008 terjadi penurunan produksi karena adanya pengurangan trip. Hal tersebut dipengaruhi oleh peningkatan harga solar dan cuaca buruk sehingga nelayan mengurangi waktu dari setiap trip untuk mengurangi konsumsi bahan bakar. Pengurangan tersebut menyebabkan pengurangan jarak jangkauan kapal. Pada tahun tersebut umumnya nelayan beroperasi pada wilayah laut teritorial bersama dengan berbagai jenis armada penangkapan nelayan lokal. Tabel 16 Perubahan upaya tangkap perikanan cakalang tahun 2003-2010 Tahun Upaya (Trip)
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 25
Perubahan (%)
59
101
57,6 41,6
109
107
7,3 -1,9
75 42,7
Rataan
80
108
91,29
6,3
25,9
13,5
Perubahan jumlah upaya tangkap (trip) dari tahun ke tahun juga menggambarkan adanya perubahan kapasitas tangkap cakalang oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap dengan rataan pertumbuhan sebesar 13,5% per tahun. 4.4.1.2 Komposisi Ukuran Panjang Hasil pengukuran yang dilakukan selama Januari hingga Maret 2010 terhadap 200 ekor cakalang didapatkan rataan panjang 59,6 cm dengan kisaran 38 cm hingga 72 cm, lingkar dada 39,6 cm dengan kisaran 27 cm hingga 52 cm, dan berat 4,2 kg dengan kisaran 1 kg hingga 7,5 kg.
Dari sampling tersebut 1,5%
ikan berukuran >40 cm, 24% berukuran >40-50cm, 22,5% berukuran >50-60 cm, dan 52% berukuran >60 cm. Ukuran dominan pada kelas >40 cm adalah 38 cm sebanyak 2 ekor, ukuran dominan pada kelas >40-50 cm adalah 48 cm sebanyak 14 ekor, ukuran dominan pada kelas >50-60 cm adalah 59 cm dan 60 cm masing-masing sebanyak 9 ekor, dan ukuran dominan pada kelas >60 cm adalah 69 cm sebanyak 26 ekor. Apabila diasumsikan bahwa cakalang pertama kali mencapai ukuran matang gonad pada ukuran 40 cm, maka hanya 4% dari sampling yang masih berada pada fase pertama kali matang gonad, sementara 96% telah melewati tahap
76
tersebut sehingga diasumsikan telah bereproduksi sebelum tertangkap. Hasil pengukuran tersebut juga menjelaskan bahwa kehadiran kelompok ikan muda atau ragam rekruitmen dalam hasil tangkapan nelayan sekoci sangat kecil. 30 n = 200
Jumlah Ikan (ekor)
25 20 15 10 5 0
6523 24 25 26 2769 1 38 2 3 4 5 6 7 48 8 9 10 11 12 13 1455 15 16 17 1860 19 20 21 22 28 29 30 3172 32 Panjang Ikan (cm)
Gambar 24 Komposisi cakalang tangkapan menurut ukuran panjang tahun 2010. 4.4.1.3 Komposisi Ukuran Berat Berdasarkan ukurannya, cakalang hasil tangkapan nelayan sekoci selama tahun 2003 - 2010 terbagi dalam 2 (dua) kelompok yaitu kelompok ukuran 1-2 kg dan kelompok ukuran >2-6 kg. Tabel 17 Jumlah ikan tangkapan menurut ukuran berat (kg) tahun 2003-2010 Ukuran Tertangkap (Kg) Komposisi (%) Tahun 1-2 kg >2-6 kg 1-2 kg 2-6 kg 2003 767 33.464 2,24 97,76 2004 1.724 86.766 1,95 98,05 2005 7.881 156.203 4,80 95,20 2006 15.154 139.995 9,77 90,23 2007 2.208 135.658 1,60 98,40 2008 1.634 69.067 2,31 97,69 2009 3.300 124.412 2,58 97,42 2010 167 154.813 0,11 99,89 Rataan 4.104 112.547 3,17 96,83 Rataan jumlah tangkapan cakalang yang berukuran 1-2 kg adalah 4.104 kg/tahun dan 112.547 kg/tahun untuk yang berukuran >2-6 kg dengan
77
perbandingan persentase 3,17% dan 96,83%. Persentase ini menunjukkan bahwa cakalang yang tertangkap oleh nelayan sekoci umumnya berukuran besar dan proporsi berukuran kecil sangat sedikit. Persentase ikan tangkapan ukuran 1-2 kg tahun 2003 adalah 2,24% meningkat menjadi 9,77% pada tahun 2006, dan kemudian menurun tajam menjadi 0,11% pada tahun 2010. Sebaliknya, proporsi ikan tangkapan ukuran >26 kg pada tahun 2003 adalah 97,76%, menurun menjadi 90,23% pada tahun 2006, kemudian meningkat cukup tajam menjadi 99,89% dari total tangkapan pada tahun 2010. Selama periode tahun 2003-2010 tidak ditemui perubahan jenis ikan tangkapan maupun perubahan ukuran ikan tangkapan nelayan sekoci. Hal tersebut dapat dijadikan indikator belum adanya gangguan stok ataupun perubahan pada tingkatan trofik pada ekosistem perairan ZEEI selatan Jawa Timur. 180.000 Jumlah Tangkapan (Kg)
160.000 140.000
Berat 1-2 Kg Berat 2-6 Kg
120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0 2003 1
2004 2
2005 3
20064
2007 5
2008 6 2009 7 2010 8
Tahun
Gambar 25 Komposisi jumlah tangkapan nelayan sekoci berdasarkan ukuran tahun 2003-2010. Analisis panjang berat dengan n=200 menghasilkan nilai a:-5,1433 dan b: 3,22, nilai R2 0,906, nilai t hitung 0,0654, dan nilai t tabel 1,97 pada selang kepercayaan 95% (t-hit > t-tabel). Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa pola pertumbuhan cakalang adalah allometrik positif. Pola pertumbuhan ini dengan nilai b yang besar dari tiga menunjukkan bahwa cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur memiliki laju pertumbuhan berat yang lebih cepat dari pertumbuhan panjang sehingga badannya lebih berbobot.
78
8 y = 7E-06x3,2211 R² = 0,91
7
Berat Ikan (kg)
6 5 4 3 2 1 0 30
40
50
60
70
80
Panjang Ikan (cm)
Gambar 26 Hubungan panjang berat cakalang pada tahun 2010. Merta (1995) menyatakan bahwa secara umum kondisi lingkungan dan perubahan pada kondisi ikan menyebabkan hubungan panjang berat seringkali menyimpang dari hukum kubik (b tidak sama dengan 3). Selanjutnya Ricker (1975) menyatakan bahwa perbedaan nilai b dapat terjadi antara populasi yang sama dengan waktu pada tempat yang berbeda yang seringkali diasosiasikan dengan ketersediaan nutrisi, serta berhubungan dengan berbagai faktor ekologis dan biologis. Hasil analisis hubungan panjang berat yang dilakukan memberi informasi yang sesuai dengan hasil analisis oseanografi yang kondisinya mendukung keberadaan dan pertumbuhan stok cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur. 4.4.1.4 Pendugaan Status Sumberdaya Hasil perhitungan tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya cakalang berdasarkan tiga jenis rezim pengelolaan disajikan seperti berikut: Tabel 18 Tingkat biomas, produksi, upaya optimal dan rente ekonomi perikanan cakalang di ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur Parameter x (Kg) h* (Kg) E* (Trip) π (Rp)
Sole Owner (MEY) 357.761,63 458.771,12 587 3.342.189.514
Open Access (OA) 191,84 492,02 1.174 0
MSY 341.973,41 472.421,31 632 3.036.783.837
79
Dari hasil pendugaan parameter biologi cakalang didapatkan nilai pertumbuhan intrinsik (r) 2,5654, koefisien tangkap (q) 0,0022, dan daya dukung perairan (K) 715.331 kg. Rataan hasil tangkapan tahunan cakalang adalah 114.670 kg, rataan trip 83 kali, rataan harga jual Rp.7.289/kg, rataan biaya produksi Rp.3.055/kg, serta asumsi tingkat suku bunga 12%. 472.421,31
458.771,12
500.000 450.000
Hasil Tangkap (Kg)
400.000 350.000 300.000 250.000 200.000 150.000
112.448
100.000
492,02
50.000 0
Aktual
MEY
OA
MSY
Rezim Pengelolaan
Gambar 27 Perbandingan tingkat effort aktual dengan tiga rezim pengelolaan. Pada rezim pengelolaan open access (OA) jumlah trip optimal adalah 1.174, yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah trip optimal pada rezim maximum economic yield (MEY) dan maximum sustainable yield (MSY) yaitu berturut-turut 587 dan 632. Nilai trip pada ketiga rezim pengelolaan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan jumlah trip aktual yang hanya berjumlah 83 trip atau baru sekitar 16,42% dari upaya tangkap (effort) rezim maximum sustainable yield. Pada rezim pengelolaan MEY didapatkan nilai biomas 357.761,63 kg, 191,84 kg pada rezim OA dan 341.973,41 kg pada rezim MSY. Selanjutnya rente ekonomi tertinggi tercapai pada rezim MEY yaitu Rp.3.342.189.514 melampaui nilai rezim MSY yaitu Rp. 3.036.783.837. Tingkat produksi aktual adalah 112.448 kg/tahun masih sangat jauh dari tingkat produksi optimal pada rezim MEY yang sebesar 458.771 kg/tahun. Hubungan jumlah trip dan jumlah produksi lestari ditunjukkan dengan grafik pada Gambar 28.
80
1.174 1200
Jumlah Trip
1000
800
632
587 600
400
83
200
0
Aktual
MEY OA Rezim Pengelolaan
MSY
Gambar 28 Perbandingan tingkat produksi aktual dengan tiga rezim pengelolaan. Hasil pendugaan jumlah trip dan produksi optimal, biomas, serta rente ekonomi di atas mengindikasikan bahwa penangkapan cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur masih jauh dari kondisi lebih tangkap (over -fishing). Dengan menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary approach) yaitu pembatasan upaya hingga maksimal 80% dari potensi lestari, maka peluang untuk meningkatkan produksi adalah sebesar 70,25% dari tingkat produksi aktual, dan peluang meningkatkan jumlah trip sebesar 83,58% dari trip aktual. 500.000 450.000
produksi aktual
400.000
produksi lestari
Produksi (Kg)
350.000 300.000 250.000 y = -1,128x2 + 1461,8x + 4584,3 R² = 0,99
200.000 150.000 100.000 50.000 0 -
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
Effort
Gambar 29 Kurva produksi lestari cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia.
81
4.4.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Penilaian status keberlanjutan dimensi ekologi dilakukan dengan menggunakan 7 atribut. Berdasarkan penilaian terhadap kondisi eksisting setiap atribut, kisaran hasil pembobotan adalah 0 – 3. Atribut pada dimensi ini berkaitan dengan kondisi biologi populasi cakalang beserta kondisi lingkungan perairan Samudera Hindia selatan Jawa Timur. Cakalang adalah jenis ikan yang memiliki fekunditas tinggi dan dapat memijah sepanjang tahun yang menyebabkan populasinya tidak rentan terhadap peningkatan laju aktifitas penangkapan. Namun demikian, karena data yang dibutuhkan untuk menduga status eksploitasi cakalang dari seluruh wilayah penangkapan Samudera Hindia hingga saat ini belum cukup tersedia, maka monitoring ketat terhadap tren stoknya perlu dilakukan (IOTC 2011). Tabel 19 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi ekologi No 1
Jenis Atribut Status eksploitasi
2 3 4
Rentang migrasi Tingkatan kolaps Jumlah species tangkapan
5
Ukuran ikan tangkapan
6 7
Perubahan tingkat tropik Klorofil-a
Penilaian Moderate, potensi lestari 472.421,31 Kg/tahun dan CPUE meningkat dengan persamaan y = 1400,1x - 1540,8 Migrasi ke jurisdiksi internasional Tidak ada area kolaps Cakalang 31,45%, madidihang 36,71% matabesar 2,60%, marlin 19,57%, tompek 9,66%, hiu (n.a) Tahun 2003 tangkapan ukuran 1-2 Kg (kecil) 2,24%, tahun 2010 tangkapan ukuran 1-2kg (kecil) 0,11% Jenis spesies dan ukuran tidak berubah Rataan klorofil-a 0,715 mg.l-1
Skor 3
0 3
2 2
2 1
Untuk mendukung kebijakan pengelolaan yang bertanggung jawab pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45 tahun 2011 tentang estimasi potensi sumber daya ikan. Dalam lampiran Surat Keputusan tersebut dicantumkan status eksploitasi cakalang WPP-RI 573 adalah moderate atau sedang, dengan potensi lestari sumberdaya ikan pelagis besar menurut KKP (2011) sebesar 201.400 ton per tahun sehingga pemanfaatannya masih memungkinkan untuk ditingkatkan. Estimasi tersebut sesuai dengan hasil pendugaan relatif yang dilakukan dengan peluang untuk
82
meningkatkan produksi aktual sebesar 70,25% dari kuota 80% nilai optimal rezim pengelolaaan maximum sustainable yield, serta meningkatkan jumlah trip sebesar 83,58% dari trip aktual. Hasil ini didukung oleh nilai Catch per unit effort (CPUE)
yang tetap meningkat dengan pertambahan jumlah upaya. Nilai skor untuk jumlah spesies tangkapan, ukuran ikan tangkapan, dan perubahan tingkat tropik semuanya berada pada kategori baik sehingga mendapat bobot skor maksimal. Jumlah spesies tangkapan nelayan umumnya tidak banyak yaitu cakalang, madidihang, matabesar, marlin, tompek, dan hiu.
Dalam
perikanan kapal sekoci tidak terdapat bycatch yang terbuang atau tidak termanfaatkan karena semua jenis ikan tangkapan bernilai ekonomi tinggi. Untuk memonitor kondisi kesehatan stok ikan, selain indikator status eksploitasi diperlukan pula pengamatan terhadap jenis dan ukuran ikan dimana penurunan keduanya bisa menjadi indikasi adanya tekanan terhadap populasi yang mengancam kelestariannya (Trippel 1995). Untuk jenis cakalang berukuran 2-6 kg yang merupakan ikan dewasa, proporsinya adalah 96,83% dari total tangkapan, dengan kata lain hanya 3,17% yang ikan muda yang tertangkap. Proporsi tangkapan berdasarkan ukuran juga tidak berubah yaitu 97,76% berukuran 2-6 kg berbanding 2,24% berukuran 1-2 kg pada tahun 2003. Pada tahun 2010 perbandingannya adalah 99,89% berukuran 2-6 kg berbanding 0,11 berukuran 1-2 kg pada tahun 2010. Data tersebut menunjukkan bahwa stok cakalang dalam kondisi stabil dengan jumlah kelompok ikan muda dalam tangkapan yang kecil, serta jenis atau ukuran ikan tangkapan yang tidak berubah selama tahun 20032010. Hal ini sesuai dengan IOTC (2008b) yang melaporkan bahwa rataan berat cakalang yang tertangkap dengan berbagai jenis alat tangkap di Samudera Hindia menunjukkan nilai yang relatif stabil sejak tahun 1991. Salah satu parameter yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikan di suatu perairan adalah ketersedian sumber makanan yang biasanya akan terkonsentrasi di wilayah perairan yang subur. Kesuburan perairan diindikasikan oleh konsentrasi kelimpahan organism fitoplankton yang tinggi yang biasanya terjadi bersamaan dengan tingginya konsentrasi klorofil-a. Kisaran konsentrasi klorofil-a di perairan selatan Jawa Timur tahun 2005-2009 adalah 0,11 mg.l-1 1,32 mg.l-1.
83
Menurut Realino et al. (2007) tingkat kesuburan tertinggi perairan di Samudera Hindia selatan Jawa Timur terjadi pada bulan-bulan Juli, Agustus dan September (Musim Timur). Sedangkan tingkat terendah terjadi pada bulan-bulan Januari, Februari dan Maret (Musim Barat).
Menurut Nontji (1993) nilai
kesuburan perairan berdasarkan konsentrasi klorofil-a dapat dibagi atas 3 kategori yaitu kesuburan rendah < 0,3 mg.l-1, kesuburan sedang 0,31-1 mg.l-1 dan kesuburan tinggi > 1 mg.l-1. Berdasarkan standar tersebut maka konsentrasi klorofil-a di selatan Jawa Timur masuk kategori sedang. Hasil ini berbeda dengan kebanyakan wilayah lepas pantai di samudera lain yang umumnya memiliki konsentrasi klorofil-a rendah.
Ukuran Ikan Tangkapan
3,11
Tingkatan Kolaps
4,71
Atribut
Perubahan Tingkat Trofik
4,42
Rentang Migrasi
14,08
Jumlah Species Tangkapan
5,75
Status Eksploitasi
4,89
Klorofil-a
6,55 0
5
10
15
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 30 Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan pada dimensi ekologi. Atribut sensitif pada dimensi ekologi yaitu Rentang Migrasi. Rentang migrasi cakalang yang melewati jurusdiksi perairan internasional menyebabkan pengelolaannya sangat kompleks karena melibatkan kepentingan stakeholder dari berbagai negara. Cakalang merupakan ikan perenang cepat dengan rentang migrasi yang besar. Hasil penelitian Acharige dan Sudath (2007) mengenai
84
struktur genetika cakalang dari Samudera Hindia di perairan Srilanka menemukan bukti adanya dua kelompok gen berbeda yang bukan merupakan hasil inbreeding di perairan Srilanka tetapi diperkirakan berasal dari wilayah perairan yang sangat jauh. Adam dan Sibert (2002) mengungkapkan bahwa tingkat produksi total cakalang dari Asia dan Afrika di Samudera Hindia mempengaruhi kondisi populasi cakalang di Maladewa. Selanjutnya Sibert dan Hampton (2003) mengungkapkan bahwa setelah 30 hari dilepaskan 95% dari cakalang yang di tagging di perairan Pasifik tertangkap kembali sejauh 1.350 mil dari posisi awalnya. Hasil tagging di Samudera Hindia menyimpulkan bahwa cakalang memiliki mobilitas yang sangat tinggi pada rentang jarak yang jauh dengan rataan 640 mil (IOTC 2008a). Hasil tersebut menunjukkan bahwa migrasi cakalang melintasi jurisdiksi perairan internasional. Nilai RMS rentang migrasi yang mencapai 14,08% dipengaruhi oleh rendahnya skor atribut ini dibandingkan atribut lainnya yang maksimum. Selanjutnya, skor atribut lain yang tinggi merupakan indikasi bahwa kondisi biologi stok cakalang dan faktor lingkungan perairan mendukung keberlanjutan ekologi perikanan cakalang di ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur. Nilai status keberlanjutan ekologi yang sebesar 77,68 atau kategori berkelanjutan menjelaskan bahwa dimensi ini perlu dipertahankan kondisinya, serta tidak menjadi prioritas bagi peningkatan status keberlanjutannya, khususnya terhadap atribut rentang migrasi yang merupakan kecenderungan alamiah cakalang sehingga tidak memungkinkan adanya interfensi kebijakan. 4.5 Analisis Keberlanjutan Dimensi Ekonomi 4.5.1 Kondisi Atribut Ekonomi Atribut pada dimensi ekonomi mencerminkan kemampuan dari suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap untuk memperoleh hasil yang secara ekonomis dapat berlangsung dalam jangka panjang dan berkelanjutan (Hartono et al. 2005). 4.5.1.1 Analisis Kelayakan Investasi Umur teknis dari sebuah kapal sekoci berkisar 5 tahun atau 60 bulan, sehingga dalam periode tahun 2003-2010 diasumsikan pemilik kapal melakukan
85
investasi pembelian sekoci baru sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada tahun 2002 dan 2008. Sekoci tersebut dilengkapi dengan 1 mesin utama dan 1 mesin cadangan, alat navigasi, boks pendingin, alat tangkap dan peralatan pendukung penangkapan. Nelayan juga melakukan invetasi untuk pembuatan rumpon sebesar Rp.10.000.000 pada tahun 2002 dan Rp.12.000.000 pada tahun 2008. Total investasi nelayan tersebut akan mengalami penyusutan nilai dengan rataan Rp.14.837.785 per tahun. Nilai investasi total untuk kapal, alat tangkap, alat bantu tangkap (rumpon), serta alat penunjang pada tahun 2002 adalah Rp. 84.050.000 dan meningkat menjadi Rp. 100.860.000 pada tahun 2008, sehingga total investasi nelayan pada periode 2003-2010 adalah Rp.184.910.000. Biaya operasional terdiri dari pembelian solar dan oli, es, sembako, upah kerja nakhoda dan awak kapal, pajak dan biaya manajemen yaitu retribusi PPP Pondokdadap 1,5%, restribusi desa 0,05%, bagian pengamba’ 5 %, serta biaya lain-lain 1%. Berdasarkan rataan pendapatan bruto sebesar Rp.148.100.625 dan rataan biaya operasional Rp.77.725.257 didapatkan rataan laba operasi untuk setiap kapal Rp.70.375.367 per tahun. Tabel 20 Nilai dan penyusutan investasi kapal sekoci tahun 2002-2010 No
Uraian
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kapal sekoci Mesin 30 PK Mesin 15 PK Box Pancing GPS Peralatan masak Kompas Jangkar Tali jangkar Ganco, Pisau Bohlam dan aki Rumpon Petromaks TOTAL
Nilai Investasi 2002 2007 40.000.000 17.500.000 6.500.000
3.000.000 1.000.000 3.000.000 1.500.000 350.000 250.000 500.000 500.000 750.000 10.000.000 200.000 84.050.000
48.000.000 21.000.000 7.800.000 4.630.500 1.719.900 793.800 720.301 793.800 396.900 92.610 66.150 132.300 132.300 198.450 100.860.000
Nilai Penyusutan 2003 2010 10.080.000 3.111.117 995.558 622.223 622.223 746.668 373.334 87.111 37.333 124.445 99.556 186.667 6.222.234 43.556 14.880.600
11.668.860 5.105.126 1.896.190 875.165 794.132 875.165 437.582 102.103 72.930 145.861 145.861 218.791 7.293.038 58.344 17.226.155
86
Dalam periode tahun 2003-2010 tidak terdapat fluktuasi yang berarti dalam perbandingan biaya, pendapatan dan laba total tahunan. Proporsi biaya total adalah 52% yang terdiri dari biaya untuk nakhoda, awak kapal, pengamba, pembelian solar, es, sembako dan retribusi, sementara laba yang tertinggal untuk pemilik kapal adalah 48% dari total pendapatan. Hasil perhitungan kriteria kelayakan ekonomi bagi pemilik sekoci mengindikasikan hasil yang cukup baik. Net present value menunjukkan hasil positif dengan nilai sekarang (present value) Rp.131.330.867, dan Benefit cost ratio (BCR) menunjukkan nilai yang besar dari 1 yaitu 1,71. Nilai NPV menunujukkan bahwa hasil bersih yang dapat diperoleh di masa depan jika dilihat dengan nilai saat ini adalah sebesar Rp. 131.330.867. Kedua parameter ini mengindikasikan usaha yang layak. Nilai Internal rate of return (IRR) adalah 69,49% yang menunjukkan bahwa investasi pada usaha ini menguntungkan dan akan menghasilkan tingkat pengembalian investasi sebesar 69,49% lebih tinggi dari tingkat biaya modal dengan menggunakan asumsi discount rate 12%. Tabel 21 Kriteria kelayakan usaha penangkapan cakalang dengan kapal sekoci No 1 2 3 3 4 5
Parameter Total present value arus kas Nilai investasi Net present value Benefit cost ratio Internal rate of return Pay back period
Nilai Rp.316.240.867 Rp.184.910.000 Rp.131.330.867 1,71 69,49 20,5
Nilai payback period adalah 20,5 yang menunjukkan bahwa investasi awal sebesar Rp.184.910.000 akan kembali kepada pemilik usaha dalam jangka waktu 20,5 bulan operasional setelah investasi.
Bila diasumsikan bulan operasional
kapal sekoci hanya 8 (delapan) bulan setiap tahun dengan umur ekonomis 5 tahun maka waktu pengembalian adalah sekitar 2,5 tahun atau setengah dari umur ekonomis sekoci. Berdasarkan nilai kriteria kelayakan usaha maka investasi kapal sekoci di PPP Pondokdadap untuk penangkapan tuna merupakan investasi yang feasible (layak) dan mampu memberi keuntungan bagi pelaku usaha. Investasi awal yang tidak sebesar investasi pada jenis armada penangkapan tuna pole and line, purse
87
seine, atau rawai tuna menyebabkan perikanan tuna dengan kapal sekoci memerlukan waktu yang tidak terlalu lama untuk pengembalian modal serta dapat menghasilkan keuntungan. Hasil analisis di atas juga dapat menjelaskan mengapa jumlah kapal sekoci di PPP Pondokdadap terus mengalami perkembangan setiap tahun. Hasil tersebut sesuai dengan kesimpulan penelitian Yulistyo (2006) tentang pengembangan armada tangkap perikanan di Ternate yang menyimpulkan bahwa armada ukuran 10 GT dapat dijadikan prioritas utama pengembangan armada penangkapan ikan karena tingkat kelayakan usahanya lebih menjanjikan dengan pengembalian investasi lebih cepat. 4.5.1.2 Pemasaran dan Harga Jual Sebagian besar cakalang hasil tangkapan nelayan sekoci dijual dalam bentuk segar ke pembeli dari sebuah perusahaan pengalengan ikan, yaitu PT. Aneka Tuna Indonesia (ATI) dari Kabupaten Pandeglang. Persentase jumlah yang tersalur ke perusahaan tersebut adalah sebesar 59% dari total tangkapan, selebihnya 27% dijual kepada pengusaha ikan pindang dan pedagang yang memasok pasar regional, dan sebanyak 14% dijual langsung ke pasar lokal di Kabupaten Malang. Penjualan hasil tangkapan nelayan dilakukan oleh pengamba’ melalui lelang yang dilaksanakan oleh koperasi unit desa (KUD) Mina Jaya dibawah koordinasi Badan Pengelola PPP Pondokdadap. 12.000
Harga (Rp/Kg)
10.000 8.000 6.000 4.000 2.000 0 1 2003
2 2004
3 2005
4 5 2006 2007 Tahun
20086
Gambar 31 Fluktuasi harga jual cakalang tahun 2003-2010.
20097
8 2010
88
Harga jual cakalang tahun 2003-2010 menunjukkan fluktuasi cukup besar dari tahun ke tahun dengan perbedaan antara harga tertinggi dengan terendah yang cukup besar. Harga mula-mula meningkat dari tahun 2003 hingga 2006 kemudian berfluktuasi hingga tahun 2010. Fluktuasi dan harga jual yang rendah dipengaruhi oleh kualitas cakalang yang rendah. Sekitar 20% hasil tangkapan cakalang biasanya rusak secara fisik walaupun memiliki tingkat kesegaran yang tinggi. Kisaran harga dalam kurun waktu 2003-2010 adalah Rp.5.079 - Rp.9.664 per kilogram dengan rataan harga Rp.7.289 per kilogram atau Rp.7.289.089 per ton. Dengan demikian, bila diasumsikan bahwa 1 US$ setara dengan Rp.8.500 maka harga cakalang per ton adalah US$ 857.54. 4.5.1.3 Biaya dan Pendapatan Pengeluaran untuk kegiatan perikanan cakalang nelayan sekoci secara garis besar terdiri dari biaya pembelian bahan bakar minyak berupa solar dan oli, es untuk pendingin hasil tangkapan, dan pembelian perbekalan berupa sembako. Biaya terbesar dikeluarkan nelayan untuk pembelian solar dan oli yaitu sebesar 78,0%, kemudian disusul pembelian es 11,6% dan sembako sebesar 10,4%. Kebutuhan es dan sembako dipasok oleh pedagang di sekitar pelabuhan yang didatangkan dari kota Malang, Kabupaten Blitar dan Tulung Agung, sementara solar dipasok dari Solar Paket Dealer Diesel Nelayan (SPDN) milik pemerintah yang berlokasi di PPP Pondokdadap. Tabel 22 Jenis pembiayaan nelayan sekoci per trip tahun 2003-2010 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rataan Persentase (%)
Jenis Biaya per Trip (Rp) BBM & Oli Es
Sembako
597.754 699.666 914.527 1.295.649 924.504 754.985 831.619 1.404.784
109.971 136.621 144.956 189.169 120.768 92.595 110.610 199.979
154.866 126.474 142.985 136.810 100.400 74.366 95.324 157.761
927.936 78,0
138.083 11,6
123.623 10,4
89
Perbandingan antara biaya dan pendapatan nelayan sekoci untuk setiap trip menunjukkan nilai yang surplus sepanjang tahun 2003-2010 walaupun selisih nilainya cenderung semakin mengecil. Tabel 23 Biaya dan pendapatan nelayan sekoci tahun 2003-2010 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rataan Jumlah
Biaya (Rp) Per Tahun Per Trip 50.030.290 2.001.212 129.972.602 2.202.925 286.187.468 2.833.539 570.812.823 5.236.815 446.812.063 4.175.814 383.529.756 5.113.730 435.772.236 5.447.153 622.170.974 5.760.842 365.661.027 4.096.504 2.925.288.212
Pendapatan (Rp) Per Kg Per Tahun Per Trip 1012,82 173.892.339 6.955.694 1067,41 503.544.041 8.534.645 1326,50 982.972.230 9.732.398 2939,55 1.455.104.439 13.349.582 2615,27 1.084.863.770 10.138.914 4442,28 683.279.700 9.110.396 2734,90 958.703.014 11.983.788 3199,69 1.105.446.616 10.235.617 2.417,30 868.475.769 10.005.129 6.947.806.149
Pada tahun 2007 dan 2008 selisih antara biaya dan pendapatan mengecil karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli solar dan kebutuhan operasional lainnya yang terus meningkat. Pada saat tersebut kegiatan penangkapan yang dilakukan hanya dapat menutupi biaya operasional dan sedikit laba untuk bertahan hidup. Kondisi ini berangsur membaik pada tahun 2009 setelah harga diturunkan kembali. 16.000.000 Biaya 14.000.000
Pendapatan
Rp/Trip
12.000.000 10.000.000 8.000.000 6.000.000 4.000.000 2.000.000 1 2003
20042
3 2005
20064
20075
20086
2009 7
2010 8
Tahun
Gambar 32 Perbandingan biaya dan pendapatan per trip tahun 2003-2010.
90
4.5.1.4 Sumber Pendapatan dan Subsidi Sebagian besar keluarga nelayan sekoci menggantungkan sumber pendapatan hanya dari kegiatan penangkapan. Pendapatan nelayan berasal dari pembagian hasil penjualan cakalang berdasarkan perjanjian antara pengamba’, pemilik kapal, nakhoda dan awak kapal. Umumnya pengamba’ sebagai penyedia biaya operasional mendapat bagian 5% dari harga bruto, sedangkan pemilik kapal, nakhoda dan awaknya mendapat bagian 50%, 17%, dan 33% dari harga netto. Awak kapal terdiri dari 4 (empat) orang sehingga setiap awak mendapatkan 8,3%. Berdasarkan model pembagian tersebut, rataan pendapatan nelayan sekoci Rp.1.701.943,28 per bulan yang lebih tinggi dibandingkan upah mimimum regional (UMR) Kabupaten Malang tahun 2010 .yaitu Rp.1.077.600 per bulan. Nelayan sekoci yang sebagian besar merupakan pendatang relatif kurang tersentuh oleh program bantuan langsung dari pemerintah sebagaimana nelayan lokal yang mendapatkan bantuan berupa kapal, alat tangkap, alat bantu penangkapan, serta modal kerja. Pemilik kapal sekoci umumnya mencari modal sendiri serta memiliki tenaga kerja yang menguasai teknik penangkapan cakalang dan kemudian bekerjasama dengan pengamba’ yang memodali biaya operasional penangkapan. Nelayan sekoci hanya menerima bantuan subsidi pemerintah dalam bentuk tidak langsung seperti BBM bersubsidi di SPDN Pondokdadap dan hak menggunakan fasilitas pemerintah di PPP Pondokdadap. 4.5.1.5 Kepemilikan Usaha Kepemilikan usaha akan menentukan seberapa besar manfaat dari kegiatan perikanan cakalang yang akan diterima oleh pihak internal dan pihak eksternal terkait. Dalam konteks penelitian ini, pihak internal adalah masyarakat lokal yang memiliki usaha penyediaan modal operasional kapal, pemasok sembako dan pancing (A dan B), dengan total manfaat diterima yang kecil yaitu 9,07%. Pihak eksternal adalah nelayan andon pemilik sekoci dan tenaga kerjanya (C, D dan E) yang menerima manfaat 50,88%, serta pengusaha pemasok kebutuhan solar dan es (F dan G) yang menerima manfaat 38,05%. Total manfaat yang diterima pihak eksternal adalah 88,93% jauh lebih tinggi dibandingkan manfaat yang diterima pihak internal. Pihak internal lainnya adalah pengelola PPP Pondokdadap dan pemerintah Desa Tambakrejo (H dan I) yang menarik retribusi sebesar 2%.
91
35 30 Proporsi Manfaat (%)
33,17
Keterangan Pihak Internal: A:Pengamba' B:Pemasok Sembako C:PPP Pondokdadap D:Kas Desa Pihak Eksternal: E:Pemilik Sekoci F:Nakhoda G:Awak Perahu H:Pemasok Solar I :Pemasok Es
25 20 15 10
5,00 5
25,44
16,79
8,65 4,88
4,07 1,50
0,50
0 A
B
C
D E F Pihak Penerima Manfaat
G
H
I
Gambar 33 Proporsi manfaat yang diterima oleh berbagai pihak pada perikanan cakalang nelayan sekoci PPP Pondokdadap. Walaupun terdapat perbedaan manfaat yang besar antara kedua belah pihak, nelayan lokal tetap membuka diri dan memberikan kesempatan kepada nelayan andon untuk masuk karena kedatangan mereka dianggap dapat meningkatkan perputaran roda ekonomi. Pemegang kewenangan pemberian izin dan pengaturan masuk nelayan andon adalah Dinas Perikanan dan Kelautan provinsi Jawa Timur. 4.5.1.6 Kontribusi terhadap PDRB Salah satu ukuran ekonomi yang sering digunakan mengukur kemajuan pembangunan suatu daerah adalah produk domestik regional bruto (PDRB) yang menggambarkan kinerja aktifitas perekonomian suatu kegiatan di suatu daerah pada tahun tertentu. Pemerintah Kabupaten Malang menempatkan perikanan sebagai salah satu sub sektor dalam sektor pertanian, dimana sektor ini berkontribusi sebesar 44% kepada PDRB. Dari persentase tersebut, sub sektor perikanan berperan sangat kecil yaitu hanya 1,2% pada tahun 2009. Sumbangan sub sektor lainnya adalah kehutanan 1,2%, tanaman bahan makanan 6,2 %, tanaman perkebunan 21,4%, dan peternakan 14%. Kecilnya kontribusi sub sektor perikanan dibanding sub sektor lainnya, dipengaruhi oleh rendahnya proporsi masyarakat yang bekerja sebagai nelayan dibandingkan yang bekerja sebagai sebagai petani dan peternak. Profesi nelayan hanya terbatas pada masyarakat yang berdomisili di wilayah selatan Kabupaten
92
Malang. Selain itu, hal ini juga diduga terkait dengan tingginya proporsi manfaat dari perikanan cakalang yang tertransfer keluar dari wilayah Kabupaten Malang dibandingkan manfaat yang diterima oleh masyarakat lokal. 4.5.1.7 Tenaga Kerja Jumlah tenaga kerja yang bekerja pada kegiatan perikanan cakalang di PPP Pondokdadap cukup besar, dimana sebuah kapal sekoci mempekerjakan nakhoda 1 orang beserta 4 sampai 5 orang awak kapal. Sementara di darat pengamba’ umumnya memperkerjakan pembersih kapal 2 orang, pengangkut ikan 4 orang, pengisi perbekalan 2 orang, dan tenaga pembantu 2 orang, sehingga jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung adalah 15 orang. Jumlah nakhoda dan awak sekoci yang dipekerjakan saat ini adalah 1.663 orang. Jumlah tenaga kerja total yang dapat diserap di darat berdasarkan rataan jumlah trip yang dihitung dari saat berangkat menuju wilayah penangkapan dan melakukan pendaratan sebanyak 3 (tiga) kali setiap bulan, maka total pendaratan dan pemberangkatan 303 kapal sekoci dalam sebulan adalah 1.818 kali. Jika diasumsikan bahwa 1 orang pekerja dapat melayani 1 buah kapal yang berangkat dan 1 buah kapal yang mendarat dalam sehari, maka akan dibutuhkan tenaga kerja sebanyak 455 orang per hari untuk melayani sekitar 30 kapal yang berangkat dan mendarat. Saat ini terdapat 17 orang pengamba’ yang mengelola seluruh kapal sekoci yang ada. Dengan demikian total tenaga kerja yang terkait langsung dalam kegiatan perikanan cakalang adalah 2.135 orang atau 44% dari jumlah penduduk desa Tambakrejo. Selain itu masih banyak tenaga kerja lain yang terserap secara langsung maupun tidak langsung tetapi datanya tidak tersedia, diantaranya pekerja yang terkait usaha pengadaan sembako, solar dan es, pedagang dan penjual ikan, pengusaha transporter, pengusaha pengolahan ikan pindang, tukang ojek, pedagang asongan, serta pekerja pada industri pengalengan. 4.5.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Ekonomi Penilaian status keberlanjutan dimensi ekonomi dilakukan menggunakan 9 atribut. Kisaran hasil pembobotan berdasarkan kondisi eksisting setiap atribut adalah 0 – 3, dengan nilai indeks keberlanjutan 38,83 atau kurang berkelanjutan.
93
Rataan harga Jual cakalang segar di PPP Pondokdadap adalah US$ 857.54 jauh lebih rendah dibandingkan harga cakalang beku di pasar internasional yang berkisar US$1,500 - US$2,000 per ton. Harga jual sangat ditentukan oleh kualitas ikan sehingga proses penanganan selama di kapal dan di pelabuhan akan sangat berpengaruh.
Nilai jual cakalang segar akan lebih tinggi apabila perut dan
insangnya telah dibersihkan terlebih dahulu. Rataan pendapatan nelayan sekoci Rp.1.701.943,28 lebih tinggi dari rataan pendapatan perikanan tuna di tempat lain seperti di Ternate yaitu nelayan pole and line sebesar Rp.1.199.000,00, purse seine sebesar Rp.1.125.000,00, dan pancing tonda sebesar Rp.886.000,00 (Abdullah 2011), yang menunjukkan bahwa kinerja sekoci di perairan selatan Jawa Timur lebih baik. Rataan pendapatan yang lebih tinggi tersebut diperkuat oleh hasil analisis indikator kelayakan usaha
yang
menunjukkan nilai NPV sebesar Rp.131.330.867, BCR 1,71, IRR 69,49 dan PBP 20,5 bulan yang seluruhnya menunjukkan kelayakan investasi yang baik. Tabel 24 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi ekonomi No
Jenis Atribut
Penilaian
1
Harga Jual
2 3 4 5
Kelayakan Usaha Tingkat pendapatan Sumber pendapatan lain Kontribusi terhadap PDRB Serapan tenaga kerja Kepemilikan usaha
US$ 857,54 per ton dan rataan margin per trip Rp.11.255.770 BCR : 1,71 Rp.1.701.943,28 > UMR Kab. Malang Bekerja penuh sebagai nelayan (full time) 1,2%
6 7 8 9
Pasar utama Subsidi
Persentase tenaga kerja terserap 44% 9,07% internal, 88,93% eksternal, 2% pemerintah 59% PT. ATI, 27% pasar regional, dan 14% local BBM bersubsidi dan penggunaan fasilitas di pelabuhan
Skor 2 2 2 0 0 1 0 1 2
Kegiatan perikanan cakalang menyerap tenaga kerja langsung sebesar 2.135 orang atau menyerap 44% dari total penduduk desa Tambakrejo. Serapan tenaga kerja yang seperti ini dalam konteks perikanan cakalang yang masih rendah status eksploitasinya menunjukkan bahwa kegiatan ini dapat menyediakan lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk desa. Namun demikian, persentase
94
daya serap harus dibatasi sebagaimana Allahyari (2010) menjelaskan bahwa bila 50% dari proporsi jumlah penduduk terserap di sektor perikanan merupakan kondisi
dengan
keberlanjutan
ekonomi
yang
buruk.
Proporsi
tersebut
menunjukkan kurangnya alternatif mendapatkan pekerjaan lain di wilayah tersebut dimana biasanya pekerjaan nelayan merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia. Lamson (1986) menambahkan bahwa diversifikasi dalam jenis pekerjaan akan menyebabkan masyarakat tidak rentan terhadap perubahan dan fluktuasi pasar dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mempunyai pilihan kegiatan. Kontribusi perikanan tangkap terhadap PDRB yang rendah yaitu 1,2% per tahun juga menjelaskan bahwa kegiatan perikanan yang di Kabupaten Malang yang masih merupakan sub sektor, merupakan kegiatan yang mendapat perhatian kecil atau bukan merupakan sektor pengembangan prioritas. Kondisi ini menyebabkan anggaran pemerintah yang dialokasikan ke kegiatan perikanan juga akan terbatas sehingga kesempatan nelayan untuk mendapatkan subsidi yang diperlukan bagi pengembangan usahanya seperti armada tangkap, alat tangkap, rumpon dan modal kerja sulit didapatkan. Atribut sensitivitas dimensi ekonomi adalah (1) Kepemilikan usaha; (2) Sumber pendapatan lain; dan (3); Harga jual. Distribusi pendapatan diantara nelayan merupakan indikator penting yang berkaitan dengan keadilan dan kesejahteraan nelayan, dimana keadilan meliputi akses terhadap sumberdaya, dan terhadap hasil tangkapan serta pendapatan dari kegiatan penangkapan (Charles et al. 2002). Sehubungan dengan itu kepemilikan usaha merupakan atribut lain yang perlu mendapatkan perhatian serius mengingat 88,93% manfaat dari kegiatan penangkapan cakalang dinikmati oleh pihak luar dan masyarakat lokal hanya menikmati porsi yang sangat kecil, yang dapat menjadi pemicu konflik di masa depan. Secara ekonomi, kondisi ini juga menyebabkan kegiatan perikanan tidak mampu berkontribusi secara optimal kepada perkembangan ekonomi wilayah Kabupaten Malang karena sebagian besar pendapatan akan tertransfer ke wilayah dari mana pemilik usaha berdomisili. Sebagaimana lazimnya nelayan di berbagai wilayah Indonesia, nelayan sekoci menggantungkan sumber pendapatan hanya dari hasil tangkapan. Atribut ini dianggap sensitif karena bila tidak ada sumber pendapatan lain maka nelayan
95
akan rentan secara ekonomi khususnya saat terjadi paceklik tangkapan saat cuaca buruk atau terjadi kerusakan sekoci yang menyebabkan mereka tidak bisa melaut sehingga sama sekali tidak memiliki penghasilan.
Tingkat Pendapatan Nelayan
1,44
Tujuan Pasar Utama
2,14
Serapan Tenaga Kerja
2,72
Atribut
Harga Jual
4,85
Kepemilikan Usaha
5,77
Sumber Pendapatan Lain
5,48
Subsidi
3,44
Kontribusi Terhadap PDRB
2,70
Kelayakan Usaha
0,99 0
2
4
6
8
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 34 Hasil analisis sensitivitas atribut pada dimensi ekonomi. Harga jual merupakan atribut yang penting bagi keberlanjutan ekonomi dalam pemanfaatan sumberdaya perairan. Dalam perikanan tangkap cakalang harga jual akan dipengaruhi secara langsung oleh kualitas dan tujuan pasar utama. Harga di pasar ekspor lebih tinggi dibandingkan pasaran domestik, sehingga kegiatan ekspor hasil tangkapan secara langsung akan meningkatkan pendapatan nelayan secara signifikan. Dalam prakteknya, kegiatan ekspor cakalang dilakukan oleh perusahaan pengalengan ikan yang membeli bahan baku dari PPP Pondokdadap sehingga margin keuntungan dari harga ekspor tidak dinikmati secara langsung oleh nelayan. Berdasarkan harga jual saat ini nelayan sekoci dapat menerima rataan margin per trip Rp.11.255.770.
96
Permasalahan kualitas hasil tangkapan dan akses langsung ke pasar ekspor merupakan kendala utama yang dihadapi nelayan. Hal ini terkait dengan ketatnya aturan sebagaimana diatur dalam perjanjian Sanitary dan Phytosanitary Measures (SPS) dan Agreement on Tecchnical Barriers to trade yang mengatur pengendalian mutu hasil perikanan, laboratorium, serta tempat pelelangan ikan yang menjadi kendala pengembangan industri pengolahan perikanan di Indonesia (Najik 2001 in Hermawan & Handayani 2001). 4.6 Analisis Keberlanjutan Dimensi Teknologi 4.6.1 Kondisi Atribut Teknologi Atribut pada dimensi teknologi mencerminkan derajat pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dengan menggunakan penangkapan tertentu. Teknologi yang baik adalah teknologi yang dapat mendukung berlangsungnya kegiatan produksi sektor perikanan tangkap dalam jangka panjang dan berkesinambungan (Hartono et al. 2005). 4.6.1.1 Armada Tangkap Komposisi armada tangkap ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap didominasi oleh kapal sekoci yang berukuran 10 GT. Pada tahun 2001 jumlah jumlah kapal sekoci hanya 77 unit dan terus bertambah hingga 303 buah pada tahun 2010 dengan nilai persentase paling dominan yaitu 61,1%. 450 Sekoci
400
Payangan
Jenis perahu (unit)
350
Sampan Pakisan 300
Jukung
250 200 150 100 50 0 2001 1
2002 2003 2 3
2004 4
2005 2006 5 6 Tahun
2007 7
2008 8
2009 9
2010 10
Gambar 35 Perkembangan jenis dan jumlah armada tangkap PPP Pondokdadap.
97
Armada tangkap sampan pakisan (motor tempel) yang pada tahun 2001 hingga 2008 jumlahnya paling banyak kemudian mengalami penurunan secara signifikan dan tersisa hanya 126 unit atau 25,8% pada tahun 2010. Sementara itu, jumlah armada payangan yang berukuran 10-30 GT dan jukung tanpa motor tidak mengalami perubahan yang berarti dengan jumlah pada tahun 2010 yaitu berturutturut 32 unit (6,5%) dan 33 unit (6,7%). Dari keempat jenis armada tersebut hanya sekoci yang memiliki target penangkapan ikan pelagis besar di ZEEI, sementara armada lainnya beroperasi di perairan pedalaman dan laut teritorial. Sekoci adalah kapal tangkap ikan terbuat dari kayu dengan rataan panjang 16 m, lebar 3,3 m, tinggi 1,6 m , bobot 10 GT, bermesin dalam 30 PK dilengkapi mesin cadangan 15-30 PK. Menurut klasifikasi IOTC (2009b) skala armada tangkap ikan dikatakan kecil bila ukurannya <12 m, sedang bila ukurannya 12-24 m, serta besar bila ukurannnya>24 m dan dilengkapi dengan alat pendingin. Berdasarkan klasifikasi ini maka kapal sekoci termasuk dalam armada tangkap skala sedang dengan wilayah penangkapan yang menjangkau batas terluar ZEEI, walaupun metode penangkapan yang digunakan masih tergolong tradisional.
Gambar 36 Kapal sekoci dari PPP Pondokdadap. Sekoci dilengkapi 3 (tiga) buah kotak fiber glass tempat es (palka) untuk pendingin ikan hasil tangkapan dengan ukuran panjang 2 m, lebar 1,5 m dan tinggi 1,7 m. Selain itu, sekoci juga memiliki alat navigasi berupa GPS untuk
98
pemandu ke lokasi penangkapan. Musim penangkapan berlangsung 8 hingga 12 bulan dalam setahun tergantung pada kondisi cuaca dengan jumlah rataan trip 2-3 kali per bulan, dimana untuk satu kali trip dibutuhkan waktu 7-10 hari. 4.6.1.2 Alat Tangkap Alat tangkap yang digunakan adalah pancing ulur dengan jumlah 10-20 buah per sekoci. Penggunaan pancing ulur untuk menangkap cakalang dilakukan dengan 2 (dua) metode yaitu tonda dan coping.
(a) (b) Gambar 37 Alat pancing nelayan sekoci dengan metode (a) tonda dan (b) coping. Kedua metode tersebut telah digunakan sejak awal oleh nelayan sekoci dan masih tetap dipertahankan hingga saat ini. Alat tradisional ini memiliki daya tangkap yang kecil tetapi bersifat selektif, yaitu hanya menangkap ikan berukuran tertentu tergantung ukuran mata pancing yang digunakan, sehingga dampaknya terhadap kondisi stok ikan dianggap kecil. Pemancingan dengan metode tonda dilakukan dengan menggunakan senar nomor 40 (0,65 mm) dengan mata pancing nomor 7 yang dipasangi umpan benang mas atau bulu kain, kemudian ditarik di bagian permukaan perairan oleh kapal sekoci. Cakalang yang tertangkap dengan metode ini berukuran 1-2 kg. Metode yang paling sering digunakan adalah metode coping untuk menangkap cakalang ukuran >2 kg, yang dioperasikan saat kapal tidak bergerak dengan cara menarik dan mengulur senar nomor 50 (0,75 mm), 60 (0,80 mm) atau 70 (0,90 mm), bermata pancing nomor 8 atau 9 dan dipasangi umpan dari sendok atau compact disc yang dibentuk seperti ikan kecil. Untuk membenamkan senar ke kedalaman >50 m, pancing diberi pemberat batu dan umpan ikan rucah (chopped).
99
4.6.1.3 Rumpon Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 02 tahun 2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan mencantumkan rumpon sebagai salah satu alat bantu penangkapan ikan. Rumpon digunakan sebagai alat bantu untuk mengumpul ikan atau Fish Aggregating Device (FAD) dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis atraktor dari benda padat. Jenis rumpon yang digunakan nelayan Sekoci adalah rumpon menetap dengan menggunakan jangkar atau pemberat lain yang ditempatkan pada perairan dalam sehingga ikan dapat berlindung, mencari makan, dan berkumpul di sekitarnya. Rumpon terbuat dari styrofoam dengan tali nylon diameter 2,5 cm dan rumbai-rumbai daun kelapa yang diikatkan pada tali pada kedalaman sekitar 100 m. Jumlah rumpon yang dipasang nelayan sekoci hingga tahun 2010 adalah 80 buah, tersebar pada WPP-RI 573 pada koordinat lokasi 113°00' - 115°00' BT dan 9°00' - 12° 00' LS dengan kedalaman perairan hingga 3.000 m.
Gambar 38 Rumpon nelayan sekoci PPP Pondokdadap. Alat bantu rumpon cukup efektif untuk mengurangi waktu trip dan biaya bahan bakar karena nelayan tidak perlu melakukan perburuan (hunting) tetapi cukup memanen ikan (harvesting) yang berkumpul di sekitar rumpon. Biaya pembuatan rumpon bervariasi antara Rp.50.000.000 - Rp.65.000.000 per unit yang umumnya dibuat bersama oleh 5 hingga10 pemilik kapal sekoci.
100
4.6.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Teknologi Penilaian status keberlanjutan dimensi teknologi dilakukan dengan menggunakan 8 atribut. Kisaran hasil pembobotan berdasarkan penilaian terhadap kondisi eksisting dari setiap atribut adalah 0–2. Nilai status keberlanjutan dimensi ini adalah 44,90 atau sedang sehingga masih memerlukan pembenahan pada beberapa atribut sensitif. Keberadaan kapal sekoci yang memiliki kemampuan menangkap ikan hingga ke batas terluar perairan ZEEI di Samudera Hindia selatan Jawa Timur, merupakan bukti bahwa kapal tangkap ikan yang dikembangkan dari akumulasi pengalaman nelayan tradisional, dapat menjadi pijakan yang kuat bagi pengembangan perikanan tangkap Indonesia. Selain membutuhkan investasi lebih rendah, ukuran kapal yang sedang dianggap memberi ancaman yang lebih kecil terhadap kondisi biologis sumberdaya ikan dibandingkan bila menggunakan kapal berukuran besar. Penggunaan alat bantu rumpon diatur dengan Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 02 tahun 2011. Penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan ikan merupakan alternatif yang ditempuh oleh nelayan sekoci untuk merubah pola penangkapan berburu yang membutuhkan biaya bahan bakar yang lebih besar termasuk untuk pengadaan umpan hidup yang menjadi salah satu masalah dalam perikanan tangkap tuna long line. Tabel 25 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi teknologi No 1 2 3 4 5 6 7 8
Skor Penilaian 1 Pengawetan dengan 3 buah boks pendingin 1 Rumpon 2 Terpusat di PPP Pondokdadap Panjang sekoci 16 m, lebar 3,3 m, tinggi 1,6 m, bobot 10 GT 1 2 Nilai Ecosystem effect index untuk handline: 7,3 Efek samping alat Perubahan kapasitas Pertambahan trip 18,7% dan jumlah sekoci tangkap 19,2% per tahun 1 Lama trip 7 hingga 10 hari 1 0 Pengolahan pra-jual Ikan segar tanpa pemrosesan Jenis Atribut Penanganan di kapal Rumpon (FAD) Tempat pendaratan Ukuran Kapal
Dalam praktek pengelolaan perikanan tangkap di ZEEI Samudera Hindia, kekhawatiran akan dampak negatif rumpon yang digunakan nelayan tradisional
101
sebagai lokasi untuk memancing ikan tidak bisa dibandingkan dengan penggunaan rumpon oleh nelayan yang menangkap dengan menggunakan trawl berkapasitas besar, sehingga penggunaan rumpon dalam kasus perikanan kapal sekoci di perairan selatan Jawa Timur dianggap baik, sebagaimana hasil penelitian Nahib (2008) yang menunjukkan bahwa penggunaan rumpon pada perikanan tuna di perairan Pelabuhanratu dapat mengurangi hari kerja 10,54% per trip. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing yang memiliki selektifitas terhadap ukuran dan jenis ikan yang sedang dan memiliki nilai ecosystem effect index 7,3 yang masuk kategori baik dengan bobot skor 1. Menurut Bjordal (2002) nilai ecosystem effect index pancing adalah cukup tinggi yaitu 7,3 pada skala 4,5 hingga 8,4. Penanganan hasil tangkapan di kapal sekoci dilakukan dengan menyusun ikan hasil tangkapan di dalam kotak 3-4 lapis dan setiap lapisan ditimbun dengan pecahan es sebagai pendingin. Kategori pengawetan hasil tangkapan yang sederhana seperti ini diberi bobot sedang. Tempat pendaratan hasil tangkapan yang menyebar di berbagai pelabuhan akan menyulitkan perhitungan jumlah hasil tangkapan dari suatu wilayah perairan, serta akan meningkatkan biaya operasional dan bahan bakar nelayan. Oleh karena itu pendaratan hasil tangkapan kapal sekoci yang terpusat di PPP Pondokdadap akan memudahkan proses pencatatan, pengumpulan data hasil tangkapan dan mengurangi biaya operasional. Berdasarkan hal tersebut maka kategori untuk pendaratan ikan yang terpusat di PPP Pondokdadap adalah baik. Perubahan kapasitas tangkap berupa pertumbuhan jumlah trip sebesar 18,7% dan jumlah sekoci sebesar 19,2% per tahun merupakan nilai persentase yang sedang. Status eksploitasi cakalang yang masih rendah memerlukan peningkatan kapasitas tangkap baik berupa penambahan armada maupun trip. Akan tetapi penambahan kapasitas tangkap perlu dilakukan secara cermat agar pemanfaatan stok cakalang yang dilakukan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Salah satu faktor yang seringkali disebut sebagai penyebab utama rendahnya kinerja perikanan tangkap Indonesia, adalah struktur armada penangkapan yang masih didominasi armada skala kecil atau tradisional serta pengetahuan dan teknologi yang rendah. Pada tahun 2007 hanya 1% kapal ikan di Indonesia yang berukuran di atas 30 GT dan tergolong modern, selebihnya 99%
102
berupa kapal motor di bawah 30 GT (Dahuri 2009). Selanjutnya Sutisna (2011) menyatakan bahwa kondisi armada tangkap yang didominasi armada kecil menyebabkan 1) Produksi dan produktivitas yang rendah, 2) Kerentanan terhadap perubahan kebijakan ekonomi, 3) Tergantung pada musim dan tengkulak, 4) Sulit memperoleh bantuan pendanaan dari lembaga keuangan, 5) Kapasitas muat dan kualitas hasil tangkapan terbatas, 6) Intensitas dan konflik perebutan fishing ground sangat tinggi, 7) Kemampuan belanja modal rendah, serta 8) Aksesibilitas terbatas. Upaya perubahan struktur armada tangkap tersebut di atas memerlukan biaya yang besar dan waktu yang lama. Menyikapi kondisi ini pengembangan dan modernisasi armada bertonase sedang dengan daya jelajah tinggi dapat dijadikan alternatif kebijakan jangka pendek di perairan selatan Jawa Timur.
Rumpon (FAD)
0,53
Atribut
Penanganan di Perahu
0,29
Perubahan Kapasitas Tangkap
1,63
Ukuran Kapal
1,60
Lama Trip
2,61
Efek Samping Alat Tangkap
1,08
Pengolahan pra Jual
3,18
Tempat Pendaratan
0,83 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 39 Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan pada dimensi teknologi. Urutan atribut yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap keberlanjutan dimensi teknologi adalah (1) Pengolahan pra-jual; dan (2) Lama trip. Atribut
103
pengolahan pra-jual ini merupakan faktor yang paling sensitif dalam perikanan cakalang nelayan sekoci, karena sama sekali belum ada perlakuan yang diberikan pada hasil tangkapan. Proses pengolahan pra-jual membutuhkan adanya adopsi nelayan terhadap teknologi pengolahan hasil, dimana adopsi ini akan meningkatkan kualitas dan daya tahan ikan. Pengolahan merupakan proses peningkatan nilai tambah terhadap ikan hasil tangkapan yang akan meningkatkan harga jual. Terdapat beberapa teknik pengolahan sederhana yang bisa dilakukan nelayan seperti membersihkan isi perut dan insang sebelum penjualan. Teknik pengolahan yang lebih menjanjikan adalah pembuatan produk katsuobushi yang memiliki nilai jual tinggi. Jumlah hari per trip berhubungan dengan efisiensi waktu dan jumlah biaya operasional untuk pembelian solar, es, dan sembako yang akan semakin tinggi dengan bertambahnya jumlah hari per trip. Jumlah hari yang digunakan oleh nelayan sekoci untuk satu trip adalah 7-10 hari dengan rataan biaya yang dikeluarkan untuk setiap trip adalah 42% dari total pendapatan. Dengan demikian pengurangan hari per trip akan mempengaruhi biaya total secara signifikan. Penataan jarak rumpon dapat mengatasi permasalahan ini, akan tetapi pemasangan rumpon pada jarak <50 mil menghadapi kendala berupa persaingan penangkapan pada rumpon yang telah dipasang dengan nelayan dengan jenis armada lain. 4.7 Analisis Keberlanjutan Dimensi Sosial 4.7.1 Kondisi Atribut Sosial Atribut pada dimensi sosial mencerminkan bagaimana sistem sosial manusia (masyarakat perikanan) yang berada dalam kegiatan perikanan saling berinteraksi dan mendukung berlangsungnya pembangunan sub sektor perikanan tangkap dalam jangka panjang dan berkelanjutan (Hartono et al. 2005). 4.7.1.1 Pertumbuhan Jumlah Nelayan Penduduk Desa Tambakrejo pada tahun 2010 adalah 4.839 jiwa dengan proporsi penduduk yang berprofesi sebagai nelayan 48,50% atau sebanyak 2.347 jiwa. Dari proporsi tersebut, sebagian besar merupakan nelayan sekoci dengan pertumbuhan jumlah yang signifikan pada tahun 2001-2010, yaitu dari 385 jiwa menjadi 1.663 jiwa atau 34,4% dari jumlah total penduduk desa. Peningkatan
104
jumlah nelayan sekoci terkait dengan peningkatan jumlah kapal sekoci yang menjadikan PPP Pondokdadap sebagai pangkalan. Pada tahun 2010 persentase jumlah kapal ini telah mendominasi struktur armada tangkap dengan jumlah yang beroperasi 303 buah.
Nelayan
Sekoci 59%
Nelayan Payangan 29% Nelayan Sampan 10% Nelayan
Jukung 2%
Gambar 40 Proporsi nelayan berdasarkan jenis perahu di PPP Pondokdadap tahun 2001-2010. Sebagian besar (90%) nelayan Sekoci di PPP Pondokdadap merupakan nelayan pendatang (andon) yang berasal dari Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan yang dikenal memiliki kemampuan melaut yang tinggi serta keterampilan memancing ikan pelagis besar, sementara sisanya sebanyak 10% berasal dari pulau Madura dan kabupaten lain di provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah. 4.7.1.2 Pendidikan dan Pengalaman Kerja Hasil wawancara terhadap 165 orang nelayan sekoci yang berpangkalan di PPP Pondokdadap memberi gambaran tentang tingkat pendidikan nelayan yang rendah. Sebagian besar atau 53% dari nelayan hanya lulus Sekolah Dasar, 46% lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan hanya 1% yang lulus Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Lulus SD 53%
Lulus SLTP 46% Lulus SLTA 1%
Gambar 41 Pendidikan nelayan kapal sekoci di PPP Pondokdadap.
105
Teknologi penangkapan tradisional yang diterapkan, menyebabkan pendidikan bukan persyaratan untuk menjadi nelayan. Faktor utama yang menentukan kinerja perahu sekoci adalah pengalaman nakhoda dalam memandu serta pengalaman awak perahu buah kapal dalam memancing. Rataan pengalaman nakhoda perahu sekoci adalah 4-5 tahun dan awak perahu 2-5 tahun. 4.7.1.3 Pola kerja Nelayan Sekoci pertama kali masuk ke perairan selatan Jawa Timur secara tidak sengaja oleh nelayan andon dari Sulawesi Selatan yang hanyut dari perairan Nusa Tenggara Barat pada tahun 1998. Interaksi awal nelayan andon dengan masyarakat Desa Tambakrejo kemudian berkembang menjadi bentuk kerjasama saling menguntungkan dalam penangkapan cakalang di perairan lepas pantai selatan Jawa Timur. Pada mulanya, teknologi penangkapan disiapkan oleh nelayan andon sementara perbekalan operasi dan penjualan hasil tangkapan ditangani oleh pengambek dari masyarakat Desa Tambakrejo. Saat ini sudah ada nelayan lokal yang menguasai teknologi penangkapan dan memiliki perahu sekoci, sementara nelayan andonpun sudah banyak yang berbaur dengan masyarakat Sendang Biru dan menjadi pengamba’ untuk memasok perbekalan operasi dan menangani penjualan hasil tangkapan. Interaksi dengan nelayan andon merubah pola kerja penangkapan nelayan Desa Tambakrejo yang sebelumnya lebih banyak dilakukan dengan pola individu dan keluarga menjadi pola berkelompok. Perjalanan menuju fishing ground biasanya dilakukan bersama oleh 5 hingga 10 buah perahu sekoci, demikian halnya biaya dan pembuatan rumpon dilakukan secara berkelompok dimana satu buah rumpon dibuat secara berkongsi oleh beberapa pemilik perahu sekoci untuk kemudian dijadikan fishing ground bersama. Nelayan yang bekerja pada sebuah sekoci umumnya memiliki hubungan kekerabatan. Sayangnya praktek ini belum didukung oleh partisipasi keluarga nelayan yang hanya terlibat dalam persiapan pemberangkatan dan saat pendaratan hasil tangkapan. Keterlibatan keluarga dalam penjualan dan pengolahan terbatasi oleh perjanjian antara pemilik sekoci dan pengamba’ yang berhak sepenuhnya terhadap pengelolaan hasil tangkapan.
106
4.7.1.4 Pertumbuhan Pelaku Usaha Perubahan persentase jumlah perahu sekoci yang berpangkalan di PPP Pondokdadap dalam satu tahun merupakan gambaran dari dinamika keluar masuknya nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan cakalang pada suatu tahun tertentu. Tabel 26 Perubahan jumlah kapal sekoci di PPP Pondokdadap 2001-2010 Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Rataan Jumlah Sekoci (unit) 77 128 154 145 211 301 273 342 323 303 225,7 Perubahan (%) - 66,2 20,3 -5,8 45,5 42,7 -9,3 25,3 -5,6 -6,2 19,2 Nilai persentase menunjukkan perubahan jumlah pelaku usaha, dimana apabila nilainya negatif berarti ada pelaku usaha yang keluar dan sebaliknya bila nilainya positif berarti ada pelaku usaha baru yang masuk. Rataan persentase pertambahan jumlah perahu sekoci di PPP Pondokdadap tahun 2001-2010 adalah 19,2%, yang menunjukkan bahwa secara umum dalam setiap tahun terdapat penambahan pelaku usaha baru sebesar 19,2%. Persentase pertambahan pelaku usaha baru tersebut sekaligus menggambarkan adanya peningkatan rataan kapasitas tangkap nelayan sekoci, yaitu pertambahan jumlah kapal setiap tahun. Status eksploitasi cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia yang masih rendah membutuhkan penambahan pelaku usaha baru, sehingga tingkat pertumbuhan pelaku usaha yang tinggi merupakan kondisi yang diharapkan. 4.7.1.5 Konflik Pemanfaatan Nelayan sekoci PPP Pondokdadap selama ini telah menghadapi berbagai konflik, yang menurut jenisnya terbagi atas konflik cara produksi atau alat tangkap, konflik kelas, dan konflik usaha. Konflik cara produksi atau alat tangkap terjadi sejak awal interaksi nelayan andon dengan nelayan lokal dimana kapal sekoci dianggap memiliki kemampuan lebih tinggi untuk menangkap ikan dibandingkan dengan sampan pakisan dan payangan. Konflik tidak berkembang karena nelayan sekoci memilih memindahkan rumpon ke wilayah yang sulit dijangkau oleh kedua jenis perahu tersebut.
107
Konflik kelas terjadi antara nelayan sekoci dengan armada purse seine yang berasal dari Pekalongan, Benoa, dan Muara Angke Jakarta yang memiliki teknologi tangkap berbeda. Daya tangkap purse seine yang lebih tinggi menyebabkan armada tersebut dengan mudah melakukan penjarahan ikan dan merusak rumpon sehingga menimbulkan kerugian besar bagi nelayan sekoci. Upaya mediasi dari pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah belum dapat menghentikan praktek penjarahan ikan dan pengrusakan rumpon tersebut hingga saat ini. Selain itu terdapat pula konflik antara pemilik perahu dan nelayan sekoci dengan pengamba’ sebagai penyedia modal bagi operasi penangkapan ikan. Konflik biasanya dipicu oleh praktek kecurangan dalam penimbangan dan penghitungan saat pelelangan ikan. Konflik seperti ini dapat diselesaikan melalui musyawarah dengan menghadirkan pihak yang berkonflik, dipimpin oleh tokoh masyarakat Sendang Biru dan kelompok nelayan. 4.7.1.6 Kesadaran Lingkungan Nelayan sekoci memiliki kesadaran yang rendah tentang perlunya menerapkan teknologi penangkapan yang ramah lingkungan bagi keberlanjutan usaha penangkapan yang mereka lakukan. Dari 165 responden 27% menjawab tidak setuju apabila penangkapan cakalang dilakukan dengan menggunakan alat tangkap trawl atau purse seine yang dapat merusak rumpon. Selanjutnya 73% responden menyatakan akan menggunakan alat tangkap lain yang kapasitasnya lebih besar seperti trawl walaupun tidak menjamin kualitas dan kuantitas hasil tangkapan yang lebih baik sepanjang tahun. 4.7.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Sosial Penilaian
status
keberlanjutan
dimensi
sosial
dilakukan
dengan
menerapkan 8 atribut. kisaran hasil pembobotan berdasarkan penilaian terhadap kondisi eksisting setiap atribut adalah 0 – 2. Nilai status keberlanjutan dimensi sosial adalah 26,37 yang termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. Nilai status dimensi ini paling rendah dibandingkan dimensi lain sehingga atribut sensitifnya
sangat
keberlanjutannya.
memerlukan
perhatian
bagi
peningkatan
status
108
Tabel 27 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi sosial No 1 2
Jenis Atribut Pola kerja Rumah tangga nelayan
3 4 5 6
Pertambahan pelaku usaha baru Pengalaman nelayan Status konflik Sumber pendapatan
7 8
Kesadaran lingkungan Partisipasi keluarga
Penilaian Kerjasama kelompok 48,50% dari total penduduk desa Tambakrejo Rataan pertambahan nelayan sekoci 19,2% per tahun Nakhoda 4-5 tahun, awak kapal 2-5 tahun 3 jenis konflik: alat tangkap, kelas, usaha Pendapatan keluarga bergantung +100% dari usaha penangkapan 27% responden sadar lingkungan Terbatas pada bantuan tenaga saat persiapan melaut
Skor 2 0
1 1 0 0 1 0
Pola kerja berkelompok akan meningkatkan peluang untuk berbagi sumberdaya dalam menjalankan kegiatan penangkapan cakalang. Selain itu dengan berkelompok nelayan bisa berbagi pengalaman untuk meningkatkan kapasitas mereka. Dengan berkelompok nelayan akan lebih mudah menemukan konsensus terhadap permasalahan yang ada. Berkes (2003) menyatakan bahwa kemampuan untuk meningkatkan kondisi suatu kegiatan perikanan juga dipengaruhi oleh sejauh mana pihak terkait dapat mengadakan konsensus terhadap sebuah tujuan bersama. Charles (2001) menyatakan bahwa dalam rejim common resource pengelolaan sumberdaya yang dilakukan dengan menggunakan strategi yang mengkoordinasikan bersama tujuan-tujuan yang ingin dicapai, dapat mengurangi ancaman serius bagi keberlangsungan sumberdaya penting yang dieksploitasi. Proporsi komunitas nelayan di Desa Tambakrejo berdasarkan jumlah rumah tangga nelayan adalah 48,50% yang menunjukkan bahwa kegiatan masyarakat desa sangat didominasi oleh perikanan tangkap. Menurut Charles et al. (2002), diversitas pekerjaan masyarakat yang rendah akan menyebabkan tingginya kerentanan sosial dan ekonomi bila terjadi ketidakstabilan dalam kegiatan perikanan. Kegiatan perikanan sangat rentan terhadap perubahan ekonomi sehingga diversitas kegiatan ekonomi nelayan akan meningkatkan resiliensinya. Dengan demikian, pertumbuhan jumlah rumah tangga nelayan cakalang harus diimbangi dengan peningkatan pelaku usaha lain dalam komunitas
109
yang melakukan jenis kegiatan ekonomi pendukung perikanan tangkap cakalang, baik berupa penyediaan sarana prasarana penangkapan, pengolahan hasil, maupun perdagangan hasil tangkapan. Pengalaman nakhoda dan awak kapal merupakan faktor penting dalam perikanan cakalang nelayan sekoci. Hal ini terkait dengan tingkat pendidikan formal nelayan yang rendah, yaitu setengah diantaranya hanya lulus Sekolah Dasar. Dengan demikian, keberhasilan atau kinerja penangkapan nelayan sekoci yang masih menggunakan teknologi tradisional tersebut akan sangat bergantung kepada pengalaman nakhoda dan awak kapal sekoci. Hasil analisis Efani (2010) terhadap nelayan sekoci di PPP Pondokdadap menunjukkan bahwa pengalaman nakhoda
berkontribusi
sebesar
70,4%.terhadap
efisiensi
teknis
dalam
penangkapan ikan pelagis besar. Partisipasi keluarga dalam kegiatan perikanan cakalang di PPP Pondokdadap rendah yang terbatas kepada bantuan tenaga saat kapal mendarat atau berangkat. Keterbatasan ini terkait dengan kesepakatan dengan pengamba’ yang menguasai hak menjual hasil tangkapan. Keluarga nelayan yang mencoba untuk menjual atau mengolah hasil terlebih dahulu harus membeli ikan dari pengamba’ sehingga mengurangi tingkat partisipasi keluarga. Atribut yang sensitif terhadap status keberlanjutan pada dimensi sosial berdasarkan nilai root mean square adalah (1) Kesadaran lingkungan; (2) Pelaku usaha baru; (3) Sumber pendapatan; dan (4) Status konflik. Kesadaran lingkungan merupakan atribut yang sensitif terhadap status keberlanjutan dimensi sosial. Tingkat kesadaran yang rendah menjadikan nelayan tidak memperhatikan aspek ekologis dalam penangkapan. Mereka hanya berfokus pada kuantitas hasil tangkapan yang dalam jangka waktu panjang akan menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan perikanan cakalang di perairan selatan Jawa Timur. Rataan pertumbuhan pelaku usaha baru adalah 19,2% per tahun yang menunjukkan nilai yang sedang. Status eksploitasi cakalang yang masih rendah menyebabkan atribut ini perlu ditingkatkan agar sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal. Namun demikian pertumbuhannya harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan pertambahan kapasitas tangkap ke tingkat yang tak terkontrol yang akan menimbulkan ekstraksi sumberdaya secara
110
berlebihan. Selain itu, pertumbuhan pelaku usaha baru harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan kecemburuan ekonomi dan konflik sosial karena nelayan lokal akan merasa tergusur oleh kehadiran nelayan andon yang terus bertambah.
Pola Kerja
1,84
Rumah Tangga Nelayan
3,10
Atribut
Partisipasi Keluarga
4,44
Kontribusi Pendapatan
5,16
Status Konflik
4,75
Kesadaran Lingkungan
6,92
Pelaku Usaha Baru
5,31
Pengalaman Nelayan
3,09 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 42 Hasil analisis sensitivitas atribut keberlanjutan pada dimensi sosial. Atribut sensitif lainnya adalah sumber pendapatan bagi nelayan dan keluarganya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, keterlibatan keluarga terhadap kegiatan penangkapan nelayan sangat terbatas. Adanya pengamba’ yang menguasai hak penjualan hasil tangkapan menghalangi partisipasi keluarga dalam penjualan dan pengolahan. Hal ini mengurangi peluang keluarga untuk pendapatan dari kegiatan penangkapan, sehingga mereka menggantungkan sepenuhnya sumber pendapatan dari pembagian laba hasil tangkapan. Menurut kategori yang disusun Satria (2006) konflik dalam perikanan nelayan sekoci termasuk konflik kelas, cara produksi atau alat tangkap, dan usaha.
111
Konflik dalam berbagai bentuknya dapat menurunkan kinerja nelayan, sehingga conflict resolution diperlukan untuk mengurangi bentuk serta intensitasnya. Semakin banyak konflik yang terjadi maka semakin tinggi resiko sosial yang harus ditanggung dan selanjutnya menurunkan status keberlanjutan sosial. 4.8 Analisis Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan 4.8.1 Kondisi Atribut Kelembagaan Atribut pada dimensi kelembagaan merupakan cerminan dari derajat pengaturan kegiatan ekonomi manusia terhadap lingkungan perairan laut dan sumberdaya perikanan tangkap yang terkandung di dalamnya.
Semakin baik
derajat pengaturan yang dilakukan maka semakin dapat menjamin bahwa kegiatan yang dilakukan dapat berjalan dalam jangka panjang dan berkelanjutan. 4.8.1.1 Ketersediaan Aturan Pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar di wilayah ini dilakukan dengan mengacu pada berbagai kesepakatan internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia diantaranya United Nation Conventions on the Law of the Sea (UNCLOS) yang diratifikasi dengan Undang-undang No 17 tahun 1985. Selanjutnya Food and Agriculture Organization menetapkan standar acuan bagi pengelolaan perikanan secara bertanggungjawab pada tahun 1995 melalui penerapan Code of Conduct for Responsible Fisheries. Wilayah perairan Samudera Hindia selatan Jawa oleh Food and Agriculture Organization dimasukkan ke dalam wilayah pengelolaan perikanan subarea 57.2 (northern). Selain itu, Indonesia meratifikasi aturan dan menjadi anggota regional marine fisheries organization (RMFO) untuk pengelolaan tuna di Samudera Hindia yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) pada 9 juli tahun 2007. Pengelolaan sumberdaya hayati di zona ekonomi eksklusif Indonesia diatur dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1984, yang dilengkapi dengan berbagai aturan dalam rangka pengelolaan sektor perikanan diantaranya PP nomor 141 tahun 2000 tentang Usaha
Perikanan,
Kepmen
Perindustrian
dan
Perdagangan
nomor
213/MPP/Kep/7/2001 tentang Penetapan Harga Patokan Ikan untuk Pungutan
112
Hasil Perikanan, dan Kepmen Keuangan nomor 654/KMK.06/2001 tentang Tatacara Pengenaan dan Penyetoran Pungutan Perikanan. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia mengeluarkan Kepmen Kelautan dan Perikanan nomor 47 tahun 2001 tentang Format Perizinan Usaha Penangkapan Ikan, Permen nomor: PER.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan, Permen nomor PER.01/MEN/2009 tanggal 21 Januari 2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia yang menetapkan perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat sebagai WPP-RI 573, Permen Kelautan dan Perikanan nomor PER.02/MEN/2011 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan, dan Kepmen nomor KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan. Di tingkat provinsi, pemerintah Jawa Timur mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur nomor 188/14/SK/014/2000 tentang
Pembentukan Tim
Pembina Penyelenggaraan Pelelangan Ikan di Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Malang telah mencanangkan program untuk menjadikan kawasan pesisir Sendang Biru sebagai pusat pengembangan kawasan perikanan terpadu (Rubianto 2001). Selanjutnya Dinas Pemukiman, Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Malang pada tahun 2005 menyusun Rencana Tata Ruang Pesisir dan Kelautan Kabupaten Malang dengan Rencana Detail Tata Ruang Sendang Biru. Sementara itu di tingkat lokal terdapat kesepakatan kelompok nelayan sekoci yang berisi aturan bahwa (1) nelayan lokal diberi kesempatan belajar teknik memancing ke nelayan sekoci, (2) nelayan lokal boleh memanfaatkan rumpon nelayan sekoci selama belum memiliki rumpon sendiri, dan (3) nelayan sekoci menyetor 2% hasil penjualan kepada kelompok nelayan. 4.8.1.2 Lembaga Pelaksana Koordinasi pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah perairan selatan pulau Jawa, Bali dan Nusa Tengara dilakukan oleh Forum Koordinasi Pengelolaan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (FKPPS) wilayah IX yang beranggotakan Dinas Kelautan dan Perikanan provinsi. Forum ini bertugas mempercepat arus data dan informasi pemanfaatan sumberdaya ikan, mengidentifikasi dan merumuskan
113
pemecahan masalah, serta menyusun dan menyepakati kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan dan pengalokasiannya. Pengelolaan kegiatan perikanan dikelola langsung oleh Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang yang dibentuk berdasarkan Perda nomor 4 tahun 2004 dan Surat Keputusan Bupati Malang no 95 tahun 2004 dengan visi terwujudnya masyarakat yang sehat dan sejahtera melalui pembangunan peternakan, kelautan dan perikanan yang berkelanjutan, berdaya saing, berwawasan agribisnis dan berbasis sumberdaya lokal. Namun demikian keberadaan dari dinas ini belum terlalu dirasakan perannya dalam pengelolaan sumberdaya ikan pelagis besar oleh nelayan di PPP Pondokdadap. Peranan
POLRI/AIRUD untuk menindaki pelanggaran terkait kegiatan
penangkapan ikan di perairan selatan Jawa Timur juga belum dirasakan oleh nelayan. Pelanggaran yang terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan belum ditangani oleh pihak berkompeten sehingga timbul kesan adanya pembiaran. Pengelolaan kegiatan penangkapan oleh berbagai jenis armada tangkap secara langsung dilakukan oleh Badan Pengelola Pelabuhan Perikanan Pantai Pondokdadap dengan jumlah 11 orang yang umumnya memiliki kualifikasi pendidikan yang masih rendah, yaitu lulusan Sekolah Dasar hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, dan karyawan yang berkualifikasi sarjana hanya 1 orang. 4.8.1.3 Pelabuhan Perikanan Menurut UUD No. 31 Tahun 2004 Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh dan atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang kegiatan perikanan. Pelabuhan perikanan Pantai Pondokdadap merupakan fasilitas yang disediakan pemerintah yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dari sub sektor perikanan Kabupaten Malang khususnya untuk wilayah selatan kabupaten. Pelabuhan ini terletak di Dusun Sendang Biru Desa Tambakrejo yang terlindungi oleh Pulau Sempu sehingga aman dari hempasan gelombang sepanjang tahun. Keberadaan pulau Sempu membentuk selat sepanjang 4 km
114
dengan lebar 600-1.500 m dengan kedalaman perairan 18- 50 m sehingga menjadi tempat yang cukup ideal untuk mendaratkan hasil tangkapan. Daftar fasilitas di PPP Pondokdadap disajikan pada Lampiran 2. Lokasi PPP Pondokdadap cukup mudah diakses melalui jalan hotmix dari kota Malang dengan jarak 70 km, dan dari Surabaya dengan jarak 157 km. Pelabuhan berhadapan dengan Samudera Hindia yang memiliki potensi ikan pelagis besar yang tinggi, dan merupakan salah satu sentra pendaratan ikan pelagis besar dari jenis tuna dengan total tonase pendaratan kapal tangkap per hari yang melebihi 300 GT dan rataan produksi >30 ton/hari. Pelabuhan ini dilengkapi dengan sebuah solar paket dealer nelayan (SPDN) nomor 59.651.01 yang memasok kebutuhan solar nelayan dengan harga bersubsidi yang dikelola oleh Koperasi Unit Desa Mina Jaya. Jenis ikan pelagis besar yang didaratkan umumnya adalah cakalang, madidihang, dan mata besar yang merupakan komoditas ekspor bernilai tinggi. Namun demikian, minimnya fasilitas pembinaan mutu hasil perikanan menyebabkan pelayanan pelabuhan tidak memadai sehingga menurunkan kualitas ikan yang didaratkan. Harga jual cakalang akan bergantung kepada kualitasnya, dimana ikan dengan kualitas yang rendah harganya akan menurun secara signifikan. 4.8.1.4 KUD dan Lembaga Keuangan Mikro KUD Mina Jaya didirikan dengan Badan Hukum No. 5447/BH/II.1983, tanggal 25 April 1983 yang berkedudukan di Sendang Biru Desa Tambakrejo, dengan jumlah anggota 1.588 orang dari 11 desa dan satu pedukuhan di Kecamatan Sumbermanjing Wetan. Anggota KUD terdiri dari 382 anggota masyarakat yang memiliki usaha atau pekerjaan sebagai nelayan, 774 petani, 201 pengusaha, 174 pengurus PKK, 8 pegawai dan 15 pengrajin. KUD Mina Jaya dipimpin oleh tiga orang pengurus yang bertindak sebagai ketua, sekretaris dan bendahara serta dilengkapi dengan petugas kantor 3 orang, petugas pelelangan ikan 12 orang, petugas pengatur suplai air bersih 3 orang, dan 1 orang manajer yang berstatus tenaga kontrak. KUD Mina Jaya merupakan penyelenggara pelelangan ikan, penyedia perbekalan melaut, dan pengelola SPDN di PPP Pondokdadap. Selain KUD, terdapat pula Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPPM3) yang merupakan lembaga penyedia dana bergulir bagi nelayan melalui
115
kelompok nelayan. Kedua lembaga ini belum berfungsi dengan baik khususnya dalam penyediaan permodalan bagi anggotanya, sehingga usaha penangkapan sebagian besar dibiayai oleh pengamba’. Pengamba’ berperan menyediakan biaya operasional sekoci penangkapan sekaligus mengelola hasil tangkapan. Seorang pengamba’ dapat mengelola 5-25 kapal tergantung kepada permodalannya. 4.8.1.5 Kelompok Nelayan dan Pelibatan Nelayan Kelompok nelayan yang ada di Desa Tambakrejo adalah Kelompok Nelayan Rukun Jaya yang anggotanya terbagi atas sub kelompok sekoci, payang dan jukung. Khusus untuk sub kelompok sekoci terdaftar 340 buah kapal yang dibedakan atas kapal yang dioperasikan oleh nelayan yang berdomisili setempat 210 buah, dan kapal yang dioperasikan oleh nelayan bukan domisili setempat 130 buah. Jumlah anggota yang aktif pada tahun 2010 adalah 303 buah sekoci. Peran kelompok nelayan baru sebatas sebagai media untuk mengatur pembagian hasil tangkapan berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat antara pemilik sekoci dengan pengamba’. Selanjutnya, pelibatan nelayan dalam penyusunan kebijakan hampir tidak pernah dilakukan. Dari 165 responden hanya 2 (dua) orang atau 1,2% saja yang pernah diundang untuk mengikuti pertemuan di tingkat kabupaten dalam rangka penyusunan kebijakan perikanan Kabupaten Malang. 4.8.1.6 IUU fishing dan Penegakan Aturan Samudera Hindia Selatan Jawa Timur merupakan wilayah penangkapan ikan pelagis besar yang potensil sehingga menjadi sasaran praktek illegal, unreported, and unregulated (IUU) fishing oleh nelayan asing. Keterbatasan personil pengawas dan minimnya sarana dan prasarana merupakan kendala utama penegakan aturan dan hukum pengelolaan sumberdaya hayati di wilayah perairan Indonesia khususnya di ZEEI. Informasi dari nelayan sekoci mengungkapkan bahwa kapal ikan asing yang beroperasi di wilayah penangkapan mereka sering dijumpai dengan frekuensi kejadian tinggi yaitu hampir setiap bulan. Nelayan asing umumnya masuk beroperasi di wilayah ZEEI dengan menggunakan armada kecil dan kapal induk (penampung) yang ditempatkan di wilayah perairan internasional.
116
4.8.2 Penilaian dan Sensitivitas Atribut Dimensi Kelembagaan Penilaian status keberlanjutan dimensi kelembagaan dilakukan dengan menggunakan 8 (delapan) atribut. Kisaran hasil pembobotan berdasarkan hasil penilaian kondisi eksisting setiap atribut adalah 0 – 2. Ketersediaan struktur hukum atau aturan berupa konvensi dan kesepakatan internasional, perundang-undangan di tingkat nasional serta aturan pelaksanaan pada level di bawahnya pada dasarnya telah memadai. Demikian pula dengan mandat hukum yang mengatur secara jelas pembagian kewenangan, tugas, dan fungsi dari berbagai instansi terkait penegakan hukum dalam pengelolaan perikanan tangkap telah ada di semua tingkatan. Namun demikian kinerja dari berbagai lembaga pelaksana selaku pemegang mandat dalam penegakan hukum, masih dipengaruhi oleh berbagai hal terutama faktor kemampuan sumberdaya manusia dan alokasi anggaran yang tidak mencukupi. Menurut Charles et al. (2002) terdapat dua kunci bagi keberlanjutan kelembagaan yaitu adanya aturan yang rasional untuk ditegakkan dan keseimbangan antara tingkat pengaturan sumberdaya yang dibutuhkan oleh nelayan dengan tingkat kinerja yang diperlukan untuk menjalankan aturan secara efektif. Dalam pengelolaan perikanan di Indonesia, keberadaan pelabuhan perikanan akan menentukan keberhasilan kegiatan, karena kapasitas nelayan yang rendah memerlukan pelabuhan perikanan sebagai penunjang utama dalam penyediaan teknologi penangkapan, penanganan hasil tangkapan, pengolahan, pemasaran dan keselamatan. Tingkatan fasilitas teknologi yang dapat disediakan oleh sebuah pelabuhan perikanan akan tergantung dari kelas pelayanannya sebagaimana
diatur
pada
Permen
Kelautan
dan
Perikanan
nomor
PER.16/MEN/2006. Pelabuhan Perikanan Pantai Pondokdadap adalah pelabuhan yang melayani aktifitas bongkar muat kapal penangkap ikan dari selatan Jawa Timur dengan volume yang cukup bagi sekitar 20-50 kapal sekoci setiap hari. Namun demikian diperlukan peningkatan kualitas pelayanan dan pembenahan infrastruktur yang belum berfungsi baik. Pelabuhan ini sudah dilengkapi dengan fasilitas SPDN, namun tidak memiliki fasilitas mini cold storage atau pabrik es. Murdiyanto (2004) menyatakan bahwa sektor perikanan tangkap memerlukan
117
fasilitas pendaratan ikan atau pelabuhan khusus untuk melayani aktifitas sistem transfer ikan dari laut ke darat untuk kemudian dipasarkan kepada konsumen. Tabel 28 Jenis dan nilai skor atribut pada dimensi kelembagaan No 1
Jenis Atribut Ketersediaan aturan
2
Lembaga pelaksana
3
Penegakan aturan
4 5 6
Pelabuhan perikanan Pelibatan nelayan KUD dan Lembaga Keuangan Mikro
7
Kelompok Nelayan
8
IUU fishing Atribut
illegal,
Penilaian Konvensi internasional; UU, PP, Kepmen; Perda Provinsi Jatim, Rencana Tata Ruang Kabupaten FKPPS, Dinas Peternakan dan Perikanan Kab.Malang, BP-PPP Tidak ada personil pengawas dan sarana prasarana pengawasan Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) 1,6% KUD Mina Jaya, LEPPM3, pelelangan ikan, penyedia perbekalan melaut, dan pengelola SPDN Kelompok Nelayan Rukun Jaya dengan anggota 303 sekoci berfungsi membantu dalam perbekalan dan pelelangan Frekuensi kejadian hampir setiap bulan. unregulated
and
unreported
fishing
Skor 2
3 0 1 0 1
1 0
merupakan
permasalahan umum yang memerlukan respon cepat dari pihak pemerintah daerah dan nasional. Sanksi hukum yang lemah, serta adanya kesan pembiaran terhadap pelaku kegiatan IUU fishing menjadikan intensitasnya semakin tinggi. Kegiatan pengawasan yang dilakukan melalui kelompok pengawasan masyarakat belum terlihat di PPP Pondokdadap. Kelompok nelayan yang ada masih terfokus mengurusi permasalahan operasional anggotanya. Kehadiran nelayan Indonesia yang menggunakan kapal sekoci sedikit banyak telah membatasi maraknya praktek IUU fishing di ZEEI selatan Jawa Timur. Sehubungan dengan itu, atribut pelibatan nelayan dalam pengawasan memiliki nilai yang strategis sebagaimana dijelaskan oleh Makinen et al. (2008) bahwa dalam rangka menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya masyarakat harus memiliki akses dan kontrol yang lebih besar terhadap segala kebijakan dan pengawasan yang berkaitan dengan sumberdaya yang mereka kelola bekerjasama dengan pemerintah dan pelaku ekonomi.
118
Atribut sensitif pada dimensi kelembagaan adalah (1) Penegakan aturan; (2) KUD dan lembaga keuangan mikro; dan (3) Kelompok nelayan. Hasil analisis status keberlanjutan pada dimensi kelembagaan perikanan cakalang nelayan sekoci nilainya masih rendah yaitu 34,84 yang termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan.
Aturan Formal dan Non Formal
1,54
Pelibatan Nelayan
4,05
Atribut
Penegakan Aturan
6,06
Kelompok Nelayan
5,74
KUD dan Lembaga Keuangan Mikro
6,03
Kelas Pelabuhan
1,87
IUU Fishing
3,51
Lembaga Pelaksana
0,19 0
2
4
6
8
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability Scale 0 to 100)
Gambar 43 Hasil analisis sensitivitas atribut pada dimensi kelembagaan. Efektifitas lembaga untuk menjalankan fungsinya tergantung pada kapasitas sumberdaya manusia, sarana dan pra sarana yang dimiliki institusi dan sejauhmana penerimaan lembaga tersebut oleh stakeholder terkait (Charles et al. 2002). Efektifitas lembaga terkait dengan penegakan hukum dalam pengelolaan perikanan cakalang perairan ZEEI selatan Jawa Timur. Lemahnya kapasitas institusi dalam hal sumberdaya manusia, fasilitas monitoring dan pengawasan, serta sumberdaya keuangan menyebabkan struktur hukum yang cukup memadai dan mandat hukum yang jelas tidak dapat ditegakkan sebagaimana mestinya.
119
Lemahnya penegakan hukum menyebabkan atribut ini dianggap sebagai faktor paling sensitif terhadap keberlanjutan pada dimensi kelembagaan. Lemahnya penegakan hukum diperparah oleh tingkat pelibatan nelayan sekoci yang rendah dalam proses penyusunan dan pengambilan kebijakan, sehingga kepentingan dan permasalahan nelayan sekoci terkait kegiatan penangkapan cakalang di WPP-RI 573 tidak terartikulasi baik dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat. Berkes (2003) menyatakan bahwa formulasi kebijakan dan tujuan pengelolaan sumberdaya yang melibatkan isu terkait kondisi faktual nelayan dengan menggunakan pendekatan pengelolaan partisipatif merupakan strategi adaptif yang akan melibatkan pengetahuan, kapasitas, dan
kemandirian dari
pengguna sumberdaya, sehingga meningkatkan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dalam masyarakat. Kelompok nelayan sebagai lembaga non formal di PPP Pondokdadap hanya berperan sebatas pengaturan hak dan kewajiban setiap pihak terkait kesepakatan antara nelayan andon, nelayan lokal, pengamba; dan pemerintah desa. Kelompok nelayan belum mampu berperan lebih jauh dalam mengatur pengelolaan kegiatan perikanan tangkap dalam konteks yang lebih luas bagi kepentingan anggotanya, terutama dalam hal penanganan dan pengolahan hasil tangkapan. Kehadiran Koperasi Unit Desa Mina Jaya dan lembaga keuangan mikro LEPM3 yang diharapkan bertindak sebagai lembaga pendukung permodalan bagi nelayan sekoci tidak berfungsi sesuai yang diharapkan. Hal tersebut menyuburkan praktek tengkulak melalui pengamba’ sebagai satu-satunya solusi bagi penyiapan modal operasional dan pengelolaan hasil tangkapan nelayan. Pengamba’ mendapatkan bagian keuntungan 5% bruto dari total penjualan cakalang hasil tangkapan ditambah dengan margin keuntungan yang didapatkan dari kegiatan pengadaan es dan sembako. Peran pengamba’ dalam kegiatan perikanan cakalang saat ini sangat signifikan, namun demikian peran tersebut perlu ditata melalui integrasi peran pengamba dalam kelembagaan formal seperti koperasi nelayan atau perusahaan bersama agar pengelolaan dapat dilakukan secara lebih baik dan menguntungkan
120
semua pihak terkait, sebagaimanan hasil analisis mengenai status keberlanjutan perikanan di Iran yang menyimpulkan bahwa kegiatan perikanan yang dilakukan dalam bentuk koperasi selalu memiliki indeks keberlanjutan dan kondisi yang lebih optimal dibandingkan dengan tanpa koperasi. Namun hal tersebut akan sangat tergantung kepada seberapa jauh koperasi mampu berperan untuk membantu kebutuhan dan permasalahan anggotanya (Allahyari 2010). 4.9 Fitness, Tingkat Kepercayaan dan Stabilitas Atribut Nilai stress untuk kelima dimensi adalah kurang dari 0,20 yang menunjukkan hasil analisis yang baik. Nilai stress menggambarkan goodness of fitness dalam multi-dimensional scaling yaitu ukuran ketepatan suatu konfigurasi dapat mencerminkan data aslinya. Nilai stress yang rendah mencerminkan kategori goodness of fitness yang sempurna, dengan batas tertinggi menurut Kruskal dan Wish (1979) in Kavanagh et al. (2000) adalah maksimal sebesar 0,20. Tabel 29 Nilai stress dan kuadrat korelasi dari setiap dimensi Dimensi Keberlanjutan Ekologi Ekonomi Teknologi Sosial Kelembagaan
Stress 0,1371 0,1359 0,1389 0,1338 0,1336
Squared Correlation 0,9341 0,9512 0,9509 0,9508 0,9473
Keterangan <0,25 dan > 80% <0,25 dan > 80% <0,25 dan > 80% <0,25 dan > 80% <0,25 dan > 80%
Nilai kuadrat korelasi (R2) untuk semua dimensi diatas 94% yang menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan (koefisien determinasi) terhadap hasil analisis multidimensi untuk penilaian status keberlanjutan perikanan cakalang dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Hasil estimasi proporsi ragam data dapat terjelaskan oleh teknik analisis ini secara memadai, dimana nilai R2 yang diinginkan adalah > 80% (Kavanagh 2001). Analisis Monte Carlo dilakukan untuk melihat tingkat gangguan (perturbation) terhadap nilai ordinasi sehingga dapat diketahui seberapa jauh hasil analisis dapat dipercaya (Purnomo et al. 2002). Kestabilan dapat dilihat dari pencaran (scatter) plot, dimana semakin jauh pencaran plot setiap atribut dari nilai ordinasi maka tingkat gangguannya dianggap besar. Dengan menggunakan pengulangan (repeat) dihasilkan grafik Monte Carlo untuk semua dimensi yang
121
menunjukkan pencaran plot berjarak dekat satu sama lain serta terfokus (berhimpitan) pada nilai ordinasi setiap dimensi. Dengan demikian kestabilan data atribut dalam analisis yang dilakukan untuk menilai status keberlanjutan perikanan cakalang oleh nelayan sekoci PPP Pondokdadap masuk dalam kategori tinggi dengan tingkat gangguan yang kecil. Grafik hasil analisis ordinasi dan analisis Monte Carlo disajikan pada Lampiran 16 dan 17. 4.10 Analisis Status Keberlanjutan Multidimensi Kategori status keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah berkelanjutan dengan nilai indeks 77,68 dan kategori status keberlanjutan untuk dimensi teknologi adalah sedang dengan nilai indeks 44,90. Sementara kategori ketiga dimensi lainnya adalah kurang berkelanjutan dengan kisaran nilai indeks antara 24,70 hingga 38,83. Hal tersebut mengindikasikan bahwa potensi sumberdaya cakalang yang tinggi beserta ketersedian kapal sekoci yang memiliki daya jelajah hingga perairan ZEEI dapat menjadi prime mover pembangunan ekonomi masyarakat di selatan Jawa Timur. Namun demikian, kondisi tersebut belum didukung oleh kondisi sosial, kelembagaan dan ekonomi yang baik. 77,68
Ekologi 100 80 60 40
Kelembagaan
Ekonomi 38,83
20
34,84
0
Sosial 24,70
Teknologi 44,90
Gambar 44 Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi perikanan cakalang nelayan sekoci.
122
Indeks keberlanjutan setiap dimensi belum menggambarkan status keberlanjutan dari kegiatan secara keseluruhan. Untuk itu nilai indeks setiap dimensi perlu digabungkan untuk menentukan nilai status keberlanjutan multidimensi. Penggabungan dilakukan dengan mengalikan nilai indeks dari hasil perhitungan (existing condition) dengan hasil perhitungan bobot dari masingmasing dimensi berdasarkan penilaian tiga (3) orang ahli pengelolaan sumberdaya perairan (need assessment), dengan hasil seperti berikut: Tabel 30 Nilai indeks keberlanjutan multidimensi perikanan cakalang nelayan sekoci PPP Pondokdadap Dimensi Keberlanjutan Ekologi Ekonomi Teknologi Sosial Kelembagaan Jumlah
Bobot Bobot Nilai Indeks Gabungan Tertimbang Keberlanjutan 0,3484 0,3762 77,68 0,2995 0,3234 38,83 0,1238 0,1337 44,90 0,1016 0,1097 24,70 0,0529 0,0572 34,84 0,9262 1,0000 220,94
Jumlah Nilai 29,22 13,11 6,00 2,71 1,99 52,48
Hasil pembobotan menempatkan dimensi ekologi dan ekonomi pada urutan teratas diikuti oleh dimensi teknologi dan sosial, serta nilai terendah pada dimensi kelembagaan. Berdasarkan jumlah nilai tersebut maka didapatkan nilai indeks multidimensi 52,48 yang menunjukkan bahwa status keberlanjutan multidimensi perikanan cakalang nelayan sekoci berada dalam kategori sedang. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk meningkatkan status keberlanjutan kegiatan secara menyeluruh diperlukan penataan terhadap berbagai atribut yang sensitivitasnya tinggi khususnya pada dimensi kelembagaan, sosial, dan ekonomi. 4.11 Strategi Pengelolaan Berbasis Status Keberlanjutan Multidimensi Pengembangan perikanan cakalang nelayan sekoci di PPP Pondokdadap memerlukan strategi dan interfensi kebijakan terhadap berbagai permasalahan yang ada secara simultan dan terarah dengan mengacu kepada berbagai aturan dan arah kebijakan yang telah ditetapkan di berbagai tingkatan.
Selain itu perlu
dilakukan pemberian prioritas kepada aspek pengelolaan yang memiliki nilai indeks keberlanjutan yang berada pada kategori kurang berkelanjutan, yaitu dimensi sosial, kelembagaan dan ekonomi, sebagaimana Charles et al. (2002)
123
menyatakan bahwa pengelolaan akan banyak berhadapan dengan kompromi dalam membuat pilihan dan penetapan skala prioritas terhadap alternatif yang tersedia untuk menetapkan penggunaan alokasi sumberdaya yang terbatas. 4.11.1 Dimensi dan Atribut Prioritas Penentuan dimensi dan atribut prioritas dilakukan dengan analisis SMART berdasarkan hasil perhitungan nilai indeks dimensi, nilai root mean square (RMS) atribut, serta nilai bobot setiap atribut (need assessment).
Gambar 45 Hirarki dimensi prioritas keberlanjutan pengelolaan cakalang. Hasil analisis Smart pada skala skor pengambilan keputusan 1,0 menunjukkan bahwa prioritas utama kebijakan adalah pada dimensi sosial dengan nilai skor 0,735 kemudian pada dimensi kelembagaan dengan nilai skor 0,652, serta pada dimensi ekonomi dengan nilai skor 0,588. Atribut dengan nilai skor tertinggi pada dimensi sosial, kelembagan dan ekonomi berturut-turut adalah
124
kepemilikan usaha dengan nilai 0,358, penegakan aturan dengan nilai 0.340, dan kesadaran lingkungan dengan nilai 0,322. Tabel 31 Urutan atribut prioritas untuk setiap dimensi prioritas Goal Level Keberlanjutan SDP cakalang ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur
Priority Level 2 0,298 Ekonomi
0,330
0,372
Priority Rating Set 0,358 Kepemilikan usaha(KU) 0,340 Sumber pendapatan lain (SPL) 0,301 Harga jual (HJ) Kelembagaan 0,340 Penegakan aturan (PA) 0,338 KUD dan lembaga keuangan mikro (KUD) 0,322 Kelompok nelayan (KN) 0,313 Sosial Kesadaran lingkungan (KL) 0,240 Pelaku usaha baru (PUB) 0,233 Kontribusi pendapatan (KTP) 0,215 Status konflik (SK)
4.11.2 Arahan Strategi Keberlanjutan Berdasarkan urutan prioritas dimensi dan atribut dalam dimensi yang dihasilkan dari analisis SMART maka arahan strategi keberlanjutan sumberdaya perikanan cakalang di ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur untuk masingmasing dimensi prioritas dapat disusun seperti berikut: Tabel 32 Arahan strategi keberlanjutan dimensi sosial Indikasi kebijakan Strategi Sosial: Penataan pranata sosial masyarakat dan nelayan sekoci di desa Sendang Biru a. Peningkatan kesadaran lingkungan nelayan dalam kaitannya dengan perikanan tangkap cakalang di ZEEI b. Peningkatan pelaku usaha baru dan penataan prosedur perizinan c. Diversifikasi kegiatan ekonomi bagi keluarga nelayan yang dapat berkontribusi kepada pendapatan keluarga d. Pengurangan jenis dan intensitas konflik dalam perikanan tangkap cakalang Untuk menaikkan status keberlanjutan sosial diperlukan peningkatan jumlah nelayan yang menyadari pentingnya menjaga kondisi ekologi dari kondisi saat ini yang hanya 27% menjadi 40%. Semakin banyak jumlah nelayan yang
125
memahami
pentingnya
menjaga
kondisi
ekologi
maka
semakin
besar
kemungkinan untuk mencapai pola pengelolaan berkelanjutan. Peningkatan jumlah nelayan yang sadar lingkungan akan meningkatkan 1 tingkat skor atribut tersebut. Rataan pertumbuhan pelaku usaha baru tahun 2001-2010 sebesar 19,2% per tahun yang perlu ditingkatkan hingga >25% per tahun agar sumberdaya cakalang dapat dimanfaatkan secara optimal. Insentif berupa kemudahan perizinan, pengurangan retribusi, serta penyediaan sarana dan prasarana pendukung harus diupayakan oleh pemerintah kabupaten Malang. Selanjutnya, tingkat ketergantungan yang tinggi dari keluarga nelayan kepada hasil tangkapan cakalang harus dikurangi dengan mendorong terbukanya lapangan kerja alternatif bagi anggota keluarga nelayan khususnya wanita melalui pelatihan dan penyediaan modal kerja, sehingga pada akhirnya dapat berkontribusi terhadap pendapatan keluarga. Konflik dalam pemanfaatan sumberdaya cakalang dengan jenis dan intensitas tinggi merupakan permasalahan yang sangat mempengaruhi status keberlanjutan dimensi sosial karena bila terjadi konflik maka kegiatan pemanfaatan akan terhenti yang menyebabkan kerugian material bagi semua pihak terkait. Tabel 33 Arahan strategi keberlanjutan dimensi kelembagaan Indikasi kebijakan Strategi Kelembagaan: Penegakan hukum, peningkatan peran lembaga non formal dan kelompok nelayan a. Penegakan aturan melalui pemberian sanksi tegas bagi pelanggar b. Peningkatan fungsi finansial KUD dan lembaga keuangan mikro c. Peningkatan fungsi kelompok nelayan dalam penjualan dan pengolahan hasil tangkapan Lemahnya penegakan hukum merupakan salah satu sebab rendahnya status keberlanjutan pada dimensi kelembagaan, sehingga diperlukan upaya untuk menegakkan aturan yang telah dibuat secara tegas melalui peningkatan ketersediaan personil pengawas dan sarana prasarana pengawasan. Penegakan
126
aturan harus dilakukan secara adil tanpa adanya perbedaan terhadap seluruh komponen yang terkait dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Peran KUD dan lembaga keuangan mikro yang masih sangat kecil khususnya dalam menyediakan kebutuhan permodalan bagi nelayan sekoci juga menjadi penyebab rendahnya status keberlanjutan dimensi kelembagaan. Minimnya peran lembaga-lembaga tersebut menyebabkan maraknya praktek tengkulak melalui praktek pengamba’ yang menarik keuntungan cukup besar dari nelayan sehingga mengurangi pendapatan nelayan. Peningkatan peran KUD dan lembaga keuangan mikro dalam penyediaan kebutuhan finansial
akan
meningkatkan secara signifikan status keberlanjutan dimensi ini. Fungsi kelompok nelayan perlu ditingkatkan dengan melibatkan dalam proses penyusunan dan pengambilan keputusan, sehingga kepentingan dan permasalahan mereka teraktualisasi dalam kebijakan. Peran kelompok perlu ditingkatkan untuk mengatur pengelolaan kegiatan dalam cakupan yang lebih luas bagi kepentingan anggota, terutama dalam penanganan dan pengolahan hasil. Tabel 34 Arahan strategi keberlanjutan dimensi ekonomi Indikasi kebijakan Strategi Ekonomi: Penataan struktur usaha, sumber pendapatan lain, dan harga Jual a. Peningkatan kepemilikan usaha penangkapan bagi nelayan lokal b. Pengembangan mata pencaharian alternatif bagi nelayan pada musim paceklik c. Peningkatan harga jual hasil tangkapan Kepemilikan usaha merupakan atribut sensitif yang perlu dibenahi mengingat 88,93% manfaat dari kegiatan penangkapan cakalang dinikmati oleh pihak luar sementara nelayan lokal hanya menikmati porsi sangat kecil. Upaya peningkatan kepemilikan usaha bagi nelayan lokal harus dilakukan hingga prosentase manfaat bagi nelayan lokal bisa meningkat hingga sekitar 50%. Untuk itu peran pemerintah daerah untuk memfasilitasi permodalan bagi nelayan lokal sangat diperlukan. Selain permasalahan kepemilikan, ketergantungan nelayan yang sangat tinggi kepada kegiatan penangkapan perlu direduksi dengan cara mendorong
127
munculnya kegiatan ekonomi alternatif bagi nelayan terutama pada saat paceklik sehingga dapat memperoleh penghasilan dari sumber lain selama periode tersebut. Peningkatan harga jual hasil tangkapan merupakan atribut penting bagi peningkatan status keberlanjutan ekonomi. Peningkatan harga sangat tergantung kepada beberapa hal diantaranya tujuan pasar dimana pasar ekspor menawarkan harga yang lebih tinggi, kualitas hasil tangkapan dimana ikan dengan kualitas yang baik memiliki nilai jual yang jauh berbeda dengan ikan berkualitas rendah, serta pengolahan pra jual yang akan memberikan nilai tambah. Peningkatan harga jual secara langsung akan meningkatkan kesejahteraan nelayan sehingga dapat menaikkan status keberlanjutan dimensi ekonomi. Upaya peningkatan yang dilakukan pada ketiga dimensi prioritas dapat disertai dengan upaya untuk meningkatkan kondisi atribut pada dimensi ekologi dan teknologi yang sedapat mungkin tidak menyebabkan menurunnya nilai keberlanjutan kedua dimensi tersebut. Peningkatan kondisi kedua dimensi tersebut disusun berdasarkan hasil pendugaan status eksploitasi yang telah dilakukan. Tabel 35 Arahan strategi keberlanjutan dimensi ekologi dan teknologi Indikasi kebijakan Strategi Ekologi dan Teknologi: Optimasi produksi dan kapasitas tangkap sumberdaya cakalang a. Peningkatan laju pemanfaatan sumberdaya cakalang hingga tingkat yang optimal b. Peningkatan kapasitas tangkap sumberdaya cakalang hingga tingkat yang optimal Peningkatan laju pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang oleh nelayan sekoci dapat dilakukan hingga 472.421,31 kg/tahun dari tingkat pemanfaatan saat ini yang hanya sebesar 112.448 kg/tahun. Apabila diterapkan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach) maka peluang peningkatan laju pemanfaatan hingga 80% dari hasil pendugaan nilai maximum sustainable yield (MSY) adalah 70,25%. Peningkatan kapasitas tangkap dapat dilakukan dengan penambahan armada sekoci atau peningkatan jumlah trip dari armada yang telah ada saat ini. Persentase peningkatan kapasitas tangkap yang dimungkinkan berdasarkan pendekatan kehati-hatian adalah maksimum 506 trip
128
per tahun atau peningkatan sebesar 83,58%. Kedua bentuk optimasi tersebut tidak akan menyebabkan perubahan pada atribut tingkat eksploitasi yaitu tetap berada pada tingkat moderate sehingga tidak menurunkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi dan teknologi. Peningkatan atribut pada dimensi prioritas sebagaimana tersebut di atas akan menyebabkan perubahan status pada ketiga dimensi tersebut. Penerapan strategi akan meningkatkan nilai agregat status keberlanjutan multidimensi. Penerapan arahan kebijakan pada dimensi prioritas yaitu sosial, ekonomi dan kelembagan dengan tetap mempertahankan nilai indeks dimensi teknologi dan ekologi selanjutnya akan menghasilkan peningkatan indeks keberlanjutan multidimensi. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi dan kelembagaan dipertahankan pada kondisi eksisting yaitu 77,68 dan 44,90, sementara nilai indeks dimensi lain setelah penerapan kebijakan menjadi 51,86 untuk dimensi sosial, 60,27 untuk dimensi kelembagaan, dan 50,68 untuk dimensi ekonomi, sebagaimana disajikan pada gambar berikut: 77,68
Ekologi 100 80 60 40
Kelembagaan
Ekonomi
60,27
50,68
20 0
Sosial
Teknologi 44,90
51,68
Gambar 46 Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi setelah penerapan strategi. Nilai indeks keberlanjutan multidimesi sebelum penerapan stategi adalah 52,48 yang lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai indeks setelah penerapan kebijakan
yang
sebesar
60,74.
Penerapan
strategi
pengelolaaan
akan
129
meningkatkan nilai indeks dimensi dan akan merubah status keberlanjutan multidimensi dari kategori sedang menjadi kategori berkelanjutan. Tabel 36 Nilai indeks keberlanjutan setelah penerapan strategi Aspek Keberlanjutan Teknologi Sosial Ekologi Ekonomi Kelembagaan Jumlah Strategi
Bobot Gabungan 0,3484 0,2995 0,1238 0,1016 0,0529 0,9262 pengelolaan
Bobot Tertimbang 0,3762 0,3234 0,1337 0,1097 0,0572 1,0000
berbasis
status
Nilai Dimensi Keberlanjutan 77,68 50,68 44,90 51,86 60,27 285,38 keberlanjutan
Jumlah Nilai 29,22 16,39 6,00 5,69 3,45 60,74
multidimensi
merupakan sebuah pendekatan sederhana yang cukup komprehensif untuk menganalisis permasalahan keberlanjutan perikanan tangkap pada berbagai dimensi pengelolaan. Pendekatan ini menekankan perlunya peningkatan terhadap dimensi beserta atribut prioritasnya dalam rangka meningkatkan status keberlanjutan multidimensi dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan cakalang oleh nelayan sekoci di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur.
130
131
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan 1. Angin muson di atas perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur sangat mempengaruhi sebaran suhu permukaan laut, suhu menegak, suhu mendatar, dan konsentrasi klorofil-a. Sebaran parameter oseanografi pada musim timur lebih mendukung keberadaan stok cakalang dibandingkan sebaran parameter pada musim barat. 2. Fluktuasi CPUE mengikuti pola angin muson, dengan nilai yang lebih tinggi pada musim timur dibanding musim barat. Musim puncak penangkapan adalah pada bulan Agustus hingga bulan Oktober, dengan kecenderungan peningkatan CPUE dengan adanya pertambahan upaya tangkap. Peluang bagi peningkatan upaya penangkapan sebesar 70,25% dari tingkat produksi aktual, dan peluang peningkatkan trip sebesar 83,58% dari jumlah trip aktual. 3. Pada musim timur dimana suhu permukaan laut menurun dan konsentrasi klorofil-a meningkat, nilai CPUE cenderung meningkat. Sebaliknya pada musim barat saat suhu permukaan laut meningkat dan konsentrasi klorofil-a menurun, nilai CPUE juga cenderung menurun. 4. Hasil analisis indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi menunjukkan bahwa dimensi ekologi berada pada kategori berkelanjutan. Status keberlanjutan dimensi teknologi berada pada kategori sedang, sementara dimensi sosial, kelembagaan, dan ekonomi berada pada kategori kurang berkelanjutan dengan nilai indeks yang terendah pada dimensi sosial. 5. Nilai indeks keberlanjutan multidimensi menunjukkan status keberlanjutan perikanan cakalang di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur berada pada kategori sedang. Berdasarkan urutan prioritas dimensi maka strategi
keberlanjutan
ditekankan
pada
peningkatan
kondisi
sosial,
kelembagaan dan ekonomi yang dilakukan secara simultan dan terarah dengan ditunjang oleh ketersediaan armada penangkapan kapal sekoci serta potensi sumberdaya perikanan cakalang dan kondisi parameter oseanografi lingkungan perairan yang masih baik. Selanjutnya, penerapan strategi pengelolaan berbasis status keberlanjutan depat meningkatkan nilai indeks multidimensi dari kategori sedang menjadi berkelanjutan.
132
5.2 Saran 1. Keterkaitan antara pola oseanografi secara spasial dan temporal dengan kecenderungan hasil tangkapan cakalang dapat digunakan sebagai acuan dalam memutuskan lokasi dan kedalaman penangkapan, serta dalam pengaturan tingkat upaya penangkapan cakalang per musim tangkap. 2. Untuk mengintegrasikan kondisi oseanografi perairan ZEEI Samudera Hindia dan keberadaan populasi cakalang dengan kondisi wilayah pesisir Sendang Biru, analisis dimensi ekologi perlu ditambahkan dengan kajian mengenai status ekosistem pesisir di selatan Jawa Timur. 3. Kondisi atribut pada dimensi sosial, kelembagaan dan ekonomi perlu ditingkatkan dalam rangka meningkatkan status keberlanjutan multidimensi perikanan cakalang perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur. 4. Status eksploitasi cakalang yang masih rendah memerlukan kajian lebih lanjut mengenai model pengembangan perikanan dan peningkatan teknologi kapal sekoci dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya cakalang secara berkelanjutan di perairan ZEEI Samudera Hindia Selatan Jawa.
133
DAFTAR PUSTAKA Abdullah RM. 2011. Keberlanjutan perikanan pelagis Ternate dan strategi pengembangannya [disertasi]. Program Studi Ilmu Kelautan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Acharige D, Terrence S. 2007. Genetic stock structure and inferred migratory patterns of skipjack tuna (Katsuwonus pelamis) and yellowfin tuna (Thunnus albacares) in Sri Lankan waters [PhD thesis]. Queensland University of Technology. Queensland. Adam MS, Sibert JR. 2002. Population dynamics and movements of skipjack tuna (katsuwonus pelamis) in the maldivian fishery: analysis of tagging data from an advection-diffusion-reaction model. J. Aquat. Living Resour 15:13–23. Adrianto L. 2005. Strategi makro revitalisasi perikanan. PKSPL Institut Pertanian Bogor. Bogor.d Alder J, TJ Pitcher, Preikshot D, Kaschner K, Ferriss B. 2000. How good is good?: a rapid appraisal technique for evaluation of the sustainability status of fisheries of the north atlantic. Sea Around Us Methodology Review: 136-182. Kenneth HM, Edward AW. 1989. The Analytical Hierarchy Process, Applications and Studies,” Springer-Verlag. Allahyari MS. 2010. Social sustainability assessment of fisheries cooperative in guilan province, Iran. J. of Fisheries and Aquatic Science 5(3):216-222. Anna S. 2003. Model embedded dinamik ekonomi interaksi perikananpencemaran: kasus di Teluk Jakarta, DKI Jakarta [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bearman G. 2004. Seawater: its composition, properties and behavior. The Open University. Singapore. Bengen DG. 1999. Analisis statistik multivariabel/multidimensi. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Bengen DG. 2002. Sionopsis: ekosistem dan sumberdaya alam pesisir dan laut serta prinsip pengelolaannya. PKSPL Institut Pertanian Bogor. Bogor. Berkes F. 2003. Alternatives to conventional management: lessons from smallscale fisheries J. Environments 31(1):1-19. Bertignac M, Campbell HF, Hampton J, Hand AJ. (2001). Maximising resource rent from the western and central pacific tuna fisheries. J. Mar Res Econ. 15:151–177. Bjordal A. 2002. The use of technical measures in responsible fisheries: regulation of fishing gear. Di dalam: Cochrane KL, editor. A fishery manager’s guidebook. management measures and their application. Fisheries Technical Paper. No. 424. FAO. Rome. Boer M, Aziz KA. 2007. Rancangan pengambilan contoh upaya tangkap dan hasil tangkap untuk pengkajian stok ikan. J. Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 14(1):67-71.
134
Boer M, Aziz KA. 2007. Gejala tangkap lebih perikanan pelagis kecil di perairan Selat Sunda. J. Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia 14(2):167172. [BPS] Biro Pusat Statistik Kabupaten Malang. 2006. Kabupaten Malang dalam angka. Malang. [BPS] Biro Pusat Statistik Kabupaten Malang. 2010. Kabupaten Malang dalam angka. Malang. Brown K, Tompkins E, Adger WN. 2001. Trade-off analysis for participatory coastal zone decision making. Overseas Development Group. University of East Anglia. Norwich U.K. Budiharsono S. 2002. Manual penentuan status dan faktor pengungkit PEL. Direktorat Perekonomian Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia. Jakarta Buckles D. 1999. Cultivating peace conflict and collaboration in natural resources management. IDRC. Ottawa. Charles AT. 2001. Sustainable fishery systems. Blackwell Sciences. London. UK. Charles AT., Boyd H, Lavers A, Benjamin C. 2002. Measuring sustainable development application of the genuine progress index to nova scotia. Management Science/Environmental Studies. Saint Mary’s University. Halifax. Cochrane KL. 2002. A fishery manager’s guidebook. management measures and their application. FAO Fisheries Technical Paper. No. 424. Rome FAO. Collette BB, Nauen CE. 1983. Scombrids of the world. An annotated and illustrated catalogue of tunas, mackerels, bonitos and related species known to date. Fish. Synopsis 125(2). FAO. Csirke J. 1988. Small shoaling pelagic fish stock. pp. 271-302 dalam J.A. Gulland (ed.) Fish population dynamics: the implications for management. Chichester. John Wiley & Sons Inc. New York. Dahuri R. 2006. Perencanaan pembangunan wilayah pesisir: mengharmoniskan pertumbuhan ekonomi pemerataan kesejahteraan dan kelestarian lingkungan. Makalah. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan IPB. Bogor. Dahuri R, Ginting SP. 2004. Pengelolaan sumerdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut: aset pembangunan berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Dahuri R. 2003. Paradigma baru pembangunan Indonesia berbasis kelautan [orasi ilmiah]. Institut Pertanian Bogor. Bogor Dahuri R. 2002. Membangun kembali perekonomian Indonesia melalui sektor perikanan dan kelautan. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia. LISPI. Jakarta. Dahuri R. 2001. Kebijakan nasional pengelolaan wilayah pesisir. Makalah. Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Oktober 2001. PKSPL-DKP.RI.
135
[DJPT] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2011. Keragaan perikanan tangkap di setiap wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia (WPP-RI). Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang. 2006. Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Malang. [DPKK] Dinas Pemukiman, Kebersihan dan Pertamanan. 2005. rencana tata ruang pesisir dan kelautan kabupaten malang dengan kedalaman rencana detail tata ruang Sendang Biru. Pemerintah Kabupaten Malang. Dueri S, Olivier M. 2001. Application of the APECOSM-E Model to the Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) Fisheries of the Indian Ocean. Institut de Recherche pour le Développement. Sète Cedex, France. Efani A. 2010. Fungsi produksi stochastic frontier dan efisiensi teknis usaha penangkapan tuna [disertasi]. Program Ilmu Pertanian Minat Lingkungan Pesisir dan Kelautan. Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Effendie I. 1979. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Everhart WH, Youngs, WD. 1981. Principles of fishery science. Comstock Publishing Associates. Cornell University Press. Ithaca and London. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2009. Living marine resources and their sustainable development. Fisheries Technical Paper. Rome. [FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nation. 2007. Models for fish stock assessment. Training Center on the Methods for Fish Stock Assessment. Brest, France. Farita Y, Purba M., dan Atmadipoera A. 2006. Variabilitas suhu laut di selatan Jawa Barat. Bullletin PSP 15(3):139-157. Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan sumber daya perikanan dan kelautan. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi A, Anna S. 2002. Evaluasi status keberlanjutan pembangunan perikanan: aplikasi pendekatan Rapfish (studi kasus perairan pesisir DKI Jakarta). Pesisir & Lautan 4(3):43-55. Fauzi A. 2004. Ekonomi sumber daya alam dan lingkungan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Fauzi A. 2001. Prinsip-prinsip penelitian sosial ekonomi. Jurusan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gaol JL. 2003. Kajian karakteristik oseanografi Samudera Hindia bagian timur dengan menggunakan multi sensor citra satelit dan hubungannya dengan hasil tangkapan tuna mata besar (Thunnus obesus) [disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gilman EL. 2011. Bycatch governance and best practice mitigation technology in global tuna fisheries. J. Marine Policy 35:590–609. Grinsted A, Moore JC, Jevrejeva S. 2004. Application of the Cross Wavelet Transform and Wavelet Coherence to Geophysical Time Series. J. Geophys. 11:561-566. Gordon AL, McClean JL. 1998. Thermohaline stratification of the Indonesian seas: model and observations. J. of Physical Oceanography 29:198-216.
136
Harris JW, Goodwin H. 2001. A Survey of sustainable development: social and economic dimensions. The Global Development and Environmental. Institute Tufts University. Island Press. London. Hartono TT, Kodiran T, Iqbal MA, Koeshendrajana S. 2005. Pengembangan teknik rapid appraisal for fisheries (RAPFISH) untuk penentuan indikator kinerja perikanan tangkap berkelanjutan di Indonesia. Buletin Ekonomi Perikanan 6(1):65-76. Hela I, Laevastu T. 1970. Fisheries Oceanography. Fishing New Books Limited. London. Hermawan D, Handajani W. 2001. Analisis potensi perikanan di perairan kabupaten Malang. Balitbangda Kabupaten Malang. Holsti OR. 1969. Content analysis for the social sciences and humanities. reading. Mass. USA. Huntington T, Anderson C, Macfadyen G, Powers J. 2010. MSC assessment report for pole and line skipjack fishery in the maldives client: Maldives Seafood Processors and Exporters Association (MSPEA). Moody International Ltd. [IOTC] Indian Ocean Tuna Commission. 2008a. Report of the fifth session of the scientific committee Victoria, Seychelles, 1-5 December 2008. IOTC2008-SC-R[E]. Victoria, Seychelles. [IOTC] Indian Ocean Tuna Commission. 2008b. Report of the tenth session of the IOTC working party on tropical tunas. Bangkok, Thailand 23-31 October, 2008. IOTC-2008-WPTT-R[E]. [IOTC] Indian Ocean Tuna Commission 2009a. Report of the eleventh session of the IOTC working party on tropical tunas. Mombasa, Kenya 15-23 October, 2009 IOTC-2009-WPTT-R[E]. [IOTC] Indian Ocean Tuna Commission. 2009b. Report of the seventh session of the IOTC working party on ecosystems and bycatch. Mombasa, Kenya 12 - 14 October 2009 IOTC-2009-WPEB-R[E]. [IOTC] Indian Ocean Tuna Commission 2009c. Estimation of tuna fishing capacity from stock assessment-related information. Workshop to Further Develop, Test and Apply a Method for the Estimation of Tuna Fishing Capacity from Stock Assessment-Related Information. La Jolla California, United States of America. FAO-UN. [IOTC] Indian Ocean Tuna Commission 2010. Report of the fourteenth session of the indian ocean tuna commission. Busan, Korea, 1-5 March 2010. IOTC-2010-S14-R[E]. [IOTC] Indian Ocean Tuna Commission 2011. Report of the thirteenth session of the scientific committee. Victoria, Seychelles, 6 - 10 December, 2010.IOTC-2010-SC-R[E]. Jones S and Silas EG. 1963. Synopsis of biological data on skipjack Katsuwonus pelamis (Linnaeus) 1758 (Indian Ocean). FAO Fisheries Biology Synopsis No. 64 Species Synopsis 21:663-694. Kadariah 1986. Evaluasi proyek: analisa ekonomis. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
137
Kavanagh P, Pitcher TJ. 2004. Implementing microsoft excel software for rapfish: A technique for the rapid appraisal of fisheries status. . University of British Columbia Fisheries Centre Research Report 12 (22004). Kavanagh P. 2001. RAPFISH software description (for Microsoft Excel). Rapid apraisal for fisheries project. Fisheries Centre UBC. Vancouver. Kirby DS, Geir H, Patrick L, Paul J, Hart B. 2003, An individual-based model for the spatial population dynamics of pacific skipjack tuna Katsuwonus pelamis: model structure. Symposium on Fish Behaviour in Exploited Ecosystems. 23–26 June 2003. ICES Bergen, Norway. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2003. Laporan Statistik Perikanan Nasional. Jakarta. Lamson C. 1986. Planning for resilient coastal communities: lessons from ecological systems theory. J. Coastal Zone Management 13:265-280. Lewis AD, Williams PG. 2001. Overview of the western and central pacific ocean tuna fisheries. Working Paper GEN–1. 15th meeting of the Standing Committee on Tuna and Billfish. 22–27 July 2002, Honolulu. MacDonals RB. 2005. Managing marine misbehavior. good science, good policy, bad human. J. of International Affairs 49:81–94. Makinen T, Salmi P, Salmi J, Kettunen J. 2008. Institutional Sustainability of aquaculture and fishing. a case of the archipelago sea region Finland. American Fisheries Society Symposium. Matsumoto WM, Skillman RA, Dizon AE. 1984. Synopsis of biological data on skipjack tuna Katsuwonus pelamis. Fisheries Synopsis No.136. NOAA Technical Report NMFS Circular 451. FAO-UN. Matsuura MT, Sigimoto T, Nakai M, Tsuji S. 1997. Oceanographic conditions near the spawning ground of southern bluefin tuna: northeastern Indian Ocean. J. Oceanog. 53:421-433. Merta IGS. 1982. Studi pendahuluan tingkat kematangan gonad ikan cakalang (Katsuwonus pelamis Linn. 1758) dari perairan sebelah selatan Bali dan sebelah barat Sumatera. J. Pen.Per.Laut 26:69-74 Michael J, Behrenfeld MJ, Falkowski PG. 1997. Photosynthetic rates derived from satellite-based chlorophyll concentration. J. Lmnnl. Oceanogr 42(l):3-20. Miyake MP, Patrice G, Chin-Hwa S, Gakushi II. 2010. Recent developments in the tuna industry stocks, fisheries, management, processing, trade and markets. Fisheries and Aquaculture Technical Paper. FAO-UN. Monintja DR. 2001. Pelatihan untuk pelatih pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Prosiding Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Monintja DR, Zulkarnain. 1995. Analisis dampak pengoperasian rumpon tipe philippine di perairan ZEE terhadap perikanan cakalang di perairan teritorial selatan Jawa dan utara Sulawesi. Laporan penelitian. FPIK. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Munasinghe M. 1993. Environmental economics and sustainable development. World Bank Environment. Paper No.3. The World Bank. Washington.
138
Murdiyanto B. 2004. Pelabuhan perikanan. Fakultas Perikanan & Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nababan BO, Sari YD, Hermawan M. 2007. Analisis keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di kabupaten Tegal Jawa Tengah. J. Bijak dan Riset Sosek 2(2):137-157. Nahib I. 2008. Analisis bioekonomi dampak keberadaan rumpon terhadap kelestarian sumberdaya perikanan tuna kecil (studi kasus di perairan teluk Pelabuhanratu kabupaten Sukabumi [tesis]. Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. [NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. 2010. Development of social indicators for fishing communities of the southeast: measures of dependence, vulnerability, resilience, and gentrification. Department of Commerce. USA. Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. Nurani TW. 2010. Model pengelolaan perikanan: suatu kajian pendekatan sistem. Intramedia. Bogor. Nybakken JW. 1992: Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh. Eidman HM, Koesoebiono, Bengen DG, M. Hutomo, Sukardjo S. PT.Gramedia. Jakarta.
Pauly D, Murphy GI. 1982. Theory and management of tropical fisheries. Proceedings of the ICLARM/CSIRO workshop on the Theory and Management of Tropical multispecies stocks. 12-21 January 1981. Cronulla, Australia. Pitcher TJ. 1999. Rapfish, A rapid appraisal technique for fisheries, and its application to the code of conduct for responsible fisheries. FAO Fisheries Circular No. 947 FIRM/C947. Pitcher TJ, Preikshot D. 2001. Rapfish, a rapid appraisal technique for fisheries, and its application to the code of conduct for responsible fisheries. J. Fisheries Research 49:255-270. PPP Pondokdadap. 2008. Statistik penangkapan ikan tahun 2008. Badan pengelola PPP Pondokdadap Kabupaten Malang. PPP Pondokdadap. 2010. Statistik penangkapan ikan tahun 2010. Badan pengelola PPP Pondokdadap Kabupaten Malang. Priyono B, Yunanto A, Arief T. 2007. Karakteristik oseanografi dalam kaitannya dengan kesuburan perairan di selat Bali. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Bali Potemra JT, Hautala SL, Sprintall J, Pandoe W. 2002. Interaction between the Indonesian Seas and the Indian Ocean in observations and numerical models, J. Phys. Oceanogr 32: 1838–1854. Proctor CH et al. 2007. A review of Indonesia's Indian ocean tuna fisheries. ACIAR Project CSIRO. Marine Research. Australia Purba M. 1995. Evidence of upwelling and its generation stage off southern west Java During Southern Monsoon. J. Bul.Maritek 5: 21 – 39.
139
RAPFISH Group. 2006. Standard attributes for rapfish analyses evaluation fields for ecological, technological, economic, social and ethical status. Fisheries Centre, UBC. Vancouver. Realino B, Wibawa TA, Zahrudin DA, Napitu AM. 2007. Pola spasial dan temporal kesuburan perairan permukaan laut di Indonesia. Balai Riset dan Observasi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Bali. Renk H, Ochocki S, Kurzyk S, 2000. In situ and simulated in situ primary production in the gulf of Gdańsk, J. Oceanologia 42(2):263-282. Rice JC, Rochet MJ. 2005. A framework for selecting a suite of indicators for fisheries management. ICES J. of Mar Sc 62:516-527. Ricker WE. 1975. Computation and interpretation of biological statistics of fish population. Fish Res.Bd.Can, Bull:191-382. Ross DA. 1995. Introduction to oceanography. Harper Collins College Publishers. New York. Rubianto I. 2001. Rencana strategis pembangunan kabupaten malang. Makalah. Pemerintah Kabupaten Malang. Qu T, Du Y, Strachan J, Meters G, Slingo J. 2005. Sea surface temperature and its variability in the Indonesia region. J. Oceanography 18(4):50-61. Satria A. 2006. Konflik nelayan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. makalah. FKPPS-DKP-RI. Manado 7-9 Desember 2006. Sibert J, Hampton J. 2003. Mobility of tropical tunas and the implications for fisheries management. 2010. J. Mar. Pol. 27: p87-95. Silvia A. 2009. Analisis daerah penangkapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) berdasarkan suhu permukaan laut dan sebaran klorofil-a di perairan Mentawai, Sumatera Barat. [tesis]. Program Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Soesilo SB. 2003. Keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil: studi kasus kelurahan pulau Panggang dan pulau Pari, kepulauan Seribu, DKI Jakarta [disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sparre P, Venema SC. 1998. Introduction to tropical tuna assessment Part I. Manual Fish.Tech.Paper. Food and Agriculltural Organization (FAO). Sprintall J, Liu WT. 2005. Ekman Mass And Heat Transport In The Indonesian Seas. J. Oceanography 18(4):88-97. Sprintall J, Gordon AL, Murtugudde R, Susanto RD. 2000. Semiannual Indian Ocean forced Kelvin wave observed in the Indonesian seas in May 1997. J. Geophys. Res. 105: p17217– 17230. Susanto RD, Gordon AL, Zheng Q. 2001. Upwelling along the coasts of Java and Sumatra and its relation to ENSO. J. Geophys. Res. Lett., 28(8): 15991602. Susanto RD, Marra J. 2005. Effect of the 1997/1998 El nino on chloropyhl-a variability along the southern coasts of Java and Sumatra. J. Oceanography 18(4):124-127. Sutisna DH. 2011. Ekonomi maritime berbasis sumberdaya ikan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Membangun Negara Maritim dalam
140
Perspektif Ekonomi, Sosial Budaya, Politik dan Pertahanan. Jakarta, 7 Oktober 2010. Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Suyasa IN. 2007. Keberlanjutan dan produktivitas perikanan pelagis kecil yang berbasis di pantai utara Jawa [disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Tesfamichael D, Pitcher TJ . 2006 Multidisciplinary evaluation of the sustainability of red sea fisheries using Rapfish. J Fisheries Research 78(3):227-235 Timohina OI, Romanov EV. 1994. Characteristics of ovogenesis and some data on maturation and spawning of skipjack tuna, Katsuwonus pelamis (Linnaeus, 1758), from the western part of the equatorial zone of the Indian Ocean. Southern Scientific Research Institute of Marine Fishery and Oceanography. (Yugniro). Crimea. Ukraine. Tol RSJ, Klein RJT, Jansen HMA, Verbruggen H. 1996. Some economic considerations on the importance of proactive integrated coastal zone management. J. Ocean and Coastal Management 32:39-55. Torrence C, Compo GP. 1998. A Practical Guide to Wavelet Analysis. Bull. of the American Meteor Soc. 79(1):51-78 Trippel EA. 1995. Age at maturity as a stress indicator in fisheries. J. BioScience 45(11):759-771. Tubalawony S. 2008. Dinamika massa air lapisan ekman perairan selatan JawaSumbawa selama muson tenggara. J. Torani 18(2):148-159. Uktolseja JCB, Purwasasmita R. 1991. Preliminary study of the fecundity of skipjack tuna from the waters adjacent to pelabuhan Ratu dalam: IPTP Coll. Vol. Work. Doc: Vol.4, pp. 22-33, TWS/90/25. Wade, C. B., 1950. Observation on the Spawning of Philippine Tuna. Fish. Bull 51(55):409423 Vakily JM, Palomares ML, Pauly D.1986. Computer programs for fish stock assessment application for the HP 41 CV calculator. ICLARM. FAO Fish.Tech.Pap. Rome. Wild A, Hampton J. 1994. A review of the biology and fisheries for skipjack tuna, Katsuwonus pelamis, in the Pacific ocean. In Shomura RS, Majkowski J, Langi S (eds) Proceedings of the FAO Expert Consultation on Interactions of Pacific Tuna Fisheries, 3–11 December 1991. New Caledonia. Wiyono W. 2005. Peran dan strategi koperasi perikanan dalam menghadapi tantangan pengembangan PP dan PPI di Indonesia terutama di pulau Jawa. Makalah. Semiloka Internasional Revitalisasi Dinamis Pelabuhan Perikanan dan Perikanan Tangkap di Pulau Jawa dalam Pembangunan Perikanan Indonesia. Bogor 6-7 Juni 2005. [WCPFC] Western and Central Pacific Fisheries Commission. 2008. Report on the second eastern indonesia tuna fishery data collection workshop (eitfdc-2), 29 May 2008. Jakarta. Wyrtki K. 1961. Physical oceanography of the southeast asian waters, NAGA Report vol. 2. University. of California. San Diego.
141
Young CD. 2005. Review of the state of world marine capture fisheries management: Indian Ocean. Fisheries and Aquaculture Department Fishery Policy and Planning Division FAO, Rome. Yulistyo. 2006. Analisis Kebijakan Pengembangan Armada penangkapan ikan berbasis ketentuan perikanan yang bertanggung jawab di Ternate, Maluku Utara [disertasi]. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zalewski M, Anetta A, Maria S. 2005. Primary production and chlorophyll-a concentration during upwelling events along the hel peninsula (the Baltic Sea). J. Oceanological and Hydrobiological Studies. 34:97-112. Sumber lain: United Nation Convention on the Law of the Sea, 1982) UU RI No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan UU RI No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan Kepmen Kelautan dan Perikanan RI No.45, 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan Permen Kelautan dan Perikanan RI No 16 2006 tentang Pelabuhan Perikanan
142
143
LAMPIRAN
144
145
Lampiran 1 Foto kegiatan dalam penelitian
a
b
c
d e Keterangan: (a)Peta zonasi; (b)suasana pelabuhan; (c, d) foto dan diskusi bersama staf pengelola PPP Pondokdadap; (e) pengukuran berat dan panjang hasil tangkapan.
146
Lampiran 1 (Lanjutan)
a
b
c
d
e
f
g h Keterangan: (a, b, c) Kapal sekoci dengan boks pendingin dan perjalanan menuju lokasi penangkapan; (d) alat pancing; (e, f, g, h) persiapan material dan pemasangan rumpon di wilayah ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa.
147
Lampiran 1 (Lanjutan)
a
c
e
b
d
f
g h Keterangan: (a, b, c, d) Pemancingan cakalang dan proses penanganan hasil tangkapan di atas kapal; (e, f) hasil tangkapan; pencatatan dan (g. h) penanganaan di pelabuhan.
148
Lampiran 2 Ukuran, GT, PK, daya dan jenis mesin serta nama kapal sampel dalam penelitian No 1
P (m) 16
L (m) 3.3
2
16
3.3
3
16
3.2
4
16
3.2
5
16
3.3
6
16
3.3
7
15.5
3.3
8
16
3.3
9
16
3.3
10
16
3.3
11
16
3.5
12
16
3.2
13
16
3.4
14
16
3.3
15
16
3.3
16
16
3.3
17
16
3.3
18
16
3.3
19 20
16 16
3.3 3.3
21
16
3.3
Ukuran / Jenis Mesin D GT PK Mesin 1.6 9.5 30 JD 300 15 JD 240 1.6 10 30 Kubota 300 24 JD 240 1.6 10 70 PS 120 23 JD 300 1.5 10 70 PS 120 23 JD 300 1.6 10 30 JD 300 24 Mitsubishi 24 1.6 10 30 JD 300 15 JD 300 1.6 10 30 JD 300 15 JD 300 1.5 10 30 JD 300 15 JD 300 1.5 10 30 JD 300 15 JD 300 1.5 10 30 JD 300 15 JD 300 1.5 10 30 JD 300 15 JD 300 1.5 10 30 JD 300 30 JD 300 1.6 14.5 70 Yanmar TF 300 30 JD 300 1.6 10 30 Yanmar TF 300 24 JD 300 1.6 10 25 Kubota 25 23 Yanmar 23 1.5 10 30 JD 300 15 JD 300 1.5 10 30 JD 300 15 JD 300 1.5 10 30 JD 300 15 JD 300 1.5 10 30 JD 300 1.5 10 15 JD 300 30 JD 300 1.5 10 30 JD 300 15 JD 300
Nama S. Alam 2 S.Rejeki 1 S.Rejeki 2 S. Alam 1 S.Alam 3 S. Alam 5 S.Laut 4 SR 3 USMAN BM 2 BM 3 SR5 SB2 Teluk Bone 3 BM1 BM4 Cahaya Rizky1 Cahaya Rizky 2 MR 2 Mading SB 4
149
Lampiran 2 (Lanjutan) No 22
P (m) L (m) 16 3.3
23
16
3.3
24
15.5
3.3
25
16
3.3
26
16
3.3
27
16
3.3
Ukuran / Jenis Mesin D GT PK 1.5 10 30 15 1.5 10 30 15 1.5 10 30 15 1.5 10 30 15 1.5 10 30 15 1.5 10 30 30
Sumber: PPI Pondokdadap (2010)
Mesin JD 300 JD 300 JD 300 JD 300 JD 300 JD 300 JD 300 JD 300 JD 300 JD 300 JD 300 JD 300
Nama SR 6 S. Raya 3 Sulawesi Raya AN BM 7 MR3
150
Lampiran 3 Jenis fasilitas pada PPP Pondokdadap Sendang Biru Kabupaten Malang No Uraian Ukuran Satuan 1 Total luas area 5 Ha 2 Alur dan kolam pelabuhan Tlk. Sempu 3 Turap penahan tanah 1.900 m 4 Jalan kompleks 300 M 5 Dermaga 2 Buah 6 Gedung tempat pelelangan ikan 720 m2 7 Area parker 2.000 m2 8 Tangki air 16 m3 9 Gudang garam 60 m2 10 Gedung genset 60 m2 11 Genset 2 x 65 KVA Unit 12 Bengkel 60 m2 13 Balai pertemuan nelayan 130 m2 14 Gedung kotak ikan (Styrofoam) 182 m2 15 Penyimpanan es 200 m2 16 MCK 60 m2 17 Pagar 600 M 18 Radio SSB 1 Unit 19 Gedung pemindangan 3 Unit 2 20 Los ikan segar 2 x 84m Unit 21 Tangki solar dan dispenser 1 Unit 2 2 2 22 Rumah tamu (150 m , 10 m , dan 70 m 3 Unit 23 Pos keamanan 2 Unit 24 Mess nelayan 8 Unit Sumber: PPP Pondokdadap (2010)
151
Lampiran 4 Hasil korelasi silang antara suhu permukaan laut dengan CPUE; (a) Kospektrum densitas energi; (b) koherensi kuadrat; (c) beda fase
Kospsktrum Densitas Energi
Cospectral Density X:SST Y:CPUE 1000
1000
500
500
0
0
-500
-500
-1000
-1000
-1500
-1500
-2000
-2000
-2500 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
-2500 65
60
Periode (Bulan)
(a)
Koherensi Kuadrat
Squared Coherency X:SST Y:CPUE 1.0
1.0
0.8
0.8
0.6
0.6
0.4
0.4
0.2
0.2
0.0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
0.0 65
Periode (Bulan)
(b)
Beda Fase
Phase Spectrum X:SST Y:CPUE 4
4
3
3
2
2
1
1
0
0
-1
-1
-2
-2
-3
-3
-4 0
5
10
15
20
25
30
35
Periode (Bulan)
(c)
40
45
50
55
60
-4 65
152
Lampiran 5 Hasil korelasi silang antara klorofil-a dan CPUE; (a) Kospektrum densitas energi; (b) koherensi kuadrat; (c) beda fase
Kospektrum Densitas Energi
Cospectral Density X:CHLO-A Y:CPUE 500
500
400
400
300
300
200
200
100
100
0
0
-100
-100
-200 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
-200 65
60
Periode (Bulan)
(a)
Koherensi Kuadrat
Squared Coherency X:CHLO-A Y:CPUE 0.8
0.8
0.7
0.7
0.6
0.6
0.5
0.5
0.4
0.4
0.3
0.3
0.2
0.2
0.1
0.1
0.0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
55
60
0.0 65
Period
(b)
Beda Fase
Phase Spectrum X:CHLO-A Y:CPUE 4
4
3
3
2
2
1
1
0
0
-1
-1
-2
-2
-3
-3
-4 0
5
10
15
20
25
30
35
Periode (Bulan)
(c)
40
45
50
55
60
-4 65
153
Lampiran 6 Tabel Pairwise Comparison 1. Prof.Dr.Ir. Daniel R.Monintja, MSc. PENGISIAN MATRIKS BERDASARKAN KUESIONER Dimensi
Ekologi
Ekonomi
Ekologi
1,0000
3,0000
Sosial 5,0000
Teknologi 7,0000
Kelembagaan 7,0000
Ekonomi
0,3333
1,0000
3,0000
5,0000
5,0000
Sosial
0,2000
0,3333
1,0000
5,0000
5,0000
Teknologi
0,1429
0,2000
0,2000
1,0000
1,0000
Kelembagaan
0,1429
0,2000
0,2000
1,0000
1,0000
JUMLAH
1,8190
4,7333
9,4000
19,0000
19,0000
PENORMALAN MATRIKS Dimensi
Ekologi
Ekonomi
Sosial
Teknologi
Kelembagaan
BOBOT
Ekologi
0,5497
0,6338
0,5319
0,3684
0,3684
0,4905
Ekonomi
0,1832
0,2113
0,3191
0,2632
0,2632
0,2480
Sosial
0,1099
0,0704
0,1064
0,2632
0,2632
0,1626
Teknologi
0,0785
0,0423
0,0213
0,0526
0,0526
0,0495
Kelembagaan
0,0785
0,0423
0,0213
0,0526
0,0526
0,0495
PENENTUAN NILAI KONSISTENSI Dimensi
Ekologi
Ekonomi
Sosial
Teknologi
Ekologi
0,4905
0,7440
0,8131
0,3463
0,3463
2,7400
Ekonomi
0,1635
0,2480
0,4878
0,2473
0,2473
1,3940
Sosial
0,0981
0,0827
0,1626
0,2473
0,2473
0,8380
Teknologi
0,0701
0,0496
0,0325
0,0495
0,0495
0,2511
Kelembagaan Jumlah Λmaks CI CR
0,0701
0,0496 26,5144 5,3029 0,0757 0,0611
0,0325
0,0495
0,0495
0,2511
KEPUTUSAN
Kelembagaan Jml Baris
ONSISTEN
2. Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS PENGISIAN MATRIKS BERDASARKAN KUESIONER Dimensi
Ekologi
Ekonomi
Teknolog i
Sosial Kelembagaan
Ekologi
1,0000
1,0000
3,0000
5,000
7,0000
Ekonomi
1,0000
1,0000
1,0000
1,000
5,0000
Teknologi
0,3333
1,0000
1,0000
1,000
5,0000
Sosial
0,2000
1,0000
1,0000
1,000
1,0000
Kelembagaan
0,1429
0,2000
0,2000
1,000
1,0000
JUMLAH
2,6762
4,2000
6,2000
9,000
19,0000
PENORMALAN MATRIKS Dimensi
Ekologi
Ekonomi
Teknologi
Sosial
Kelembagaan
Ekologi
0,3737
0,2381
0,4839
0,5556
0,3684
Ekonomi
0,3737
0,2381
0,1613
0,1111
0,2632
Teknologi
0,1246
0,2381
0,1613
0,1111
0,2632
154
Lampiran 6 (Lanjutan) Sosial
0,0747
0,2381
0,1613
0,1111
0,0526
Kelembagaan
0,0534
0,0476
0,0323
0,1111
0,0526
PENENTUAN NILAI KONSISTENSI Dimensi
Ekologi
Ekonomi
Teknologi
Ekologi
0,4039
0,2295
0,5389
0,6379
0,4158
2,2260
Ekonomi
0,4039
0,2295
0,1796
0,1276
0,2970
1,2376
Teknologi
0,1346
0,2295
0,1796
0,1276
0,2970
0,9683
Sosial
0,0808
0,2295
0,1796
0,1276
0,0594
0,6769
Kelembagaan Jumlah Λmaks CI CR
0,0577
0,0459
0,0359
0,1276
0,0594 27,0969 5,4194 0,1048 0,0846
0,3265
KEPUTUSAN
Sosial
Kelembagaan Jml Baris
KONSISTEN
3. Ir. Kiagus Abdul Azis, MSc. PENGISIAN MATRIKS BERDASARKAN KUESIONER Dimensi
Ekonomi
Ekologi
Teknologi
Sosial
Kelembagaan
Ekonomi
1,0000
3,0000
3,0000
7,0000
7,0000
Ekologi
0,3333
1,0000
1,0000
5,0000
5,0000
Teknologi
0,3333
1,0000
1,0000
5,0000
5,0000
Sosial
0,1429
0,2000
0,2000
1,0000
1,0000
Kelembagaan
0,1429
0,2000
0,2000
1,0000
1,0000
JUMLAH
1,9524
5,4000
5,4000
19,0000
19,0000
PENORMALAN MATRIKS Dimensi
Ekonomi
Teknologi
Ekologi
Ekologi 0,5122
0,5556
0,5556
Sosial 0,3684
Kelembagaan 0,3684
Ekonomi
0,1707
0,1852
0,1852
0,2632
0,2632
Teknologi
0,1707
0,1852
0,1852
0,2632
0,2632
Sosial
0,0732
0,0370
0,0370
0,0526
0,0526
Kelembagaan
0,0732
0,0370
0,0370
0,0526
0,0526
PENENTUAN NILAI KONSISTENSI Dimensi Keberlanjutan
Ekologi
Ekonomi
Teknologi
Ekologi
0,4720
0,6405
0,6405
0,3535
0,3535
2,4600
Ekonomi
0,1573
0,2135
0,2135
0,2525
0,2525
1,0893
Teknologi
0,1573
0,2135
0,2135
0,2525
0,2525
1,0893
Sosial
0,0674
0,0427
0,0427
0,0505
0,0505
0,2538
Kelembagaan Jumlah Λmaks CI CR
0,0674
0,0427 25,4690 5,0938 0,0235 0,0189
0,0427
0,0505
0,0505
0,2538
KEPUTUSAN
Sosial
Kelembagaan Jml Baris
KONSISTEN
Apabila nilai CR > 0,1, maka pengisian matriks/kuesioner tidak konsisten, harus diulangi lagi Apabila nilai CR ≤ 0,1, maka pengisian matriks/kuesioner konsisten, nilai bobot dpt digunakan
155
Lampiran 7 Perhitungan Hubungan Panjang Berat dan Pendugaan Status Sumberdaya a. Hubungan Panjang Berat (n=200) No.
L (cm)
W (kg)
Jumlah STDEV A B Sb Thit t(0.05;215)
log L
log W
383,8314
0,0717 -5,1433 3,2211 3,3812 0,0654 1,9711
log L x log W
120,2386
216,2572
log^2L
log^2W
680,0349
79,3446
0,2427
B>3
ALLOMETRIK
b. Pendugaan Status Sumberdaya Tahun
Produksi (Kg)
Effort (Trip)
2003
34.231,00
25
1.369,24000
1.499,83051
2004
88.490,00
59
1.499,83051
1.624,59406
2005
164.084,00
101
1.624,59406
1.277,84404
2006
139.285,00
109
1.277,84404
1.288,49533
2007
137.869,00
107
1.288,49533
942,72000
2008
70.704,00
75
942,72000
1.596,43750
2009
127.715,00
80
1.596,43750
1.435,02778
2010
154.983,00
108
1.435,02778
CPUE
CPUEt+1
Parameter Statik a= b= c= r = 2(1-b)/(1+b) q = -c*(2+r) K = (EXP((a*(2+r))/(2*r)))/q Effort Opt (Emsy) = r/2q Biomass MSY (xopt) = K/2 hMSY (h opt) = rK/4 Rata2 Produksi Aktual = Rata2 Effort Aktual = Price = Cost =
8,2649607 -0,1238374 0,0004785 2,56536276988 0,00218471561 715.331,42 587,12 357.665,71 458.771,15 114.670,13 83,00 7.289 3.055 i= δ=ln(1+r) φ1=Cost/Price*q*K φ2=δ/r ß=φ1+1-φ2
x (Kg) h* (Kg) E* (trip) π (Rp)
Sole Owner (MEY) 357.761,63 458.771,12 587 3.342.189.514
Open Access (OAY) 191,84 492,02 1.174 0,00
0,12 0,04210 0,0003 0,0164 0,9839
MSY
341.973,41 472.421,31 632 3.036.783.837,15
156
Lampiran 8 Sebaran suhu menegak bulanan pada mixed layer, thermocline, dan depth layer di perairan ZEEI Samudera Hindia selatan Jawa Timur tahun 2009 Bulan Range Suhu (0C) Range Ke-dalaman (m) Mixed Layer Desember 0-29 27.78-28.85 Januari 0-29 28.20-28.68 Februari 0-49 27.55-28.77 Maret 0-49 27.52-28.81 April 0-29 28.23-28.72 Mei 0-49 27.53-28.51 Juni 0-49 26.38-27.58 Juli 0-49 25.12-26.45 Agustus 0-49 24.32-26.20 September 0-49 24.73-26.55 Oktober 0-29 26.36-27.31 November 0-29 27.63-28.39 Thermocline Desember 30-199 14.12-27.72 Januari 30-149 13.24-28.17 Februari 50-149 13.67-27.51 Maret 50-199 13.51-27.48 April 30-199 13.68-28.21 Mei 50-199 13.93-27.49 Juni 50-199 13.94-26.35 Juli 50-199 14.05-25.09 Agustus 50-199 13.27-24.27 September 50-199 13.26-24.68 Oktober 30-199 13.40-26.32 November 30-199 14.21-27.59 Depth Layer Desember 200-1600 3.47-14.05 Januari 150-1600 3.42-13.19 Februari 150-1600 3.45-13.58 Maret 200-1600 3.42-13.44 April 200-1600 3.46-13.57 Mei 200-1600 3.49-13.86 Juni 200-1600 3.47-13.88 Juli 200-1600 3.46-13.98 Agustus 200-1600 3.41-13.22 September 200-1600 3.42-13.20 Oktober 200-1600 3.34-13.33 November 200-1600 3.47-14.15
157
Lampiran 9 Jumlah trip, persentase jenis, jumlah tangkapan, harga, nilai jual, pendapatan dan CPUE per perahu sekoci tahun 2003-2010 Perahu
1 Tahun 2003 1 2 3 Sub Total Rataan Tahun 2004 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sub Total Rataan Tahun 2005 1
Trip Total
2
Persen Trip Jumlah (Kg) Jenis Cakalang 1-2 Kg 2-4 Kg
3
20 19 19 58 19
0.35 0.53 0.38
24 16 23 11 16 11 8 18 8 135 15
0.58 0.66 0.37 0.35 0.39 0.36 0.35 0.60 0.68
14
0.59
4 7 10 7 24
14 11 9 4 6 4 3 11 5 65
13
5 0 477 290 767
1196 147 56 79 0 246 0 0 0 1724
1207
6 12314 9443 11707 33464
19162 13012 8607 3442 7683 3275 2112 21361 8112 86766
16756
Total 7 12314 9920 11997 34231 11,41
Harga Per Kg (Rp)
8
Harga Total (Rp)
9 5804 4733 4623
71474730 46950799 55466810 173,892,339
5,054
20358 13159 8663 3521 7683 3521 2112 21361 8112 88490 9832
5564 5788 5473 5759 5740 5759 5692 5805 5671
17963
6138
5695
Biaya (Rp)
CPUE
10
11
12
19749017 13312259 16969014 50,030,290 16,676,763
51725713 33638540 38497796 123,862,049 41,287,350
1759,14 992,00 1713,86 4465,00 1488,33
113278161 21155909 76169790 12984070 47412400 34277397 20277680 6344672 44098820 10941844 20277680 5463463 12022380 5318703 124002250 22967749 46004880 10518796 503,544,041 129,972,602 14,441,400 110255620
Pendapatan (Rp)
33855946
92122252 1454,14 63185720 1196,27 13135003 962,56 13933008 880,25 33156976 1280,50 14814217 880,25 6703677 704,00 101034501 1941,91 35486084 1622,40 373,571,439 10922,28 41,507,938 1213,59 76399674
1383,90
157
158
Lampiran 9 (Lanjutan)
158
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Sub Total Rataan Tahun 2006 1 2 3 4 5 6 7 8
2 22 19 14 21 15 20 20 20 11 14 15 18 15 238
3 0.66 0.48 0.51 0.35 0.51 0.40 0.54 0.38 0.71 0.59 0.55 0.57 0.45
4 9 9 7 7 8 8 11 8 8 8 8 10 7 121
5 822 1209 1209 418 83 236 0 0 503 1019 1019 71 85 7881
6 12961 9818 9818 9316 11242 8087 15206 7685 11035 10362 10395 15042 8480 156203
0.52 14 16 7 19 20 19 18 21
0.42 0.42 0.25 0.39 0.42 0.42 0.24 0.45
9 6 7 2 7 8 8 4
1424 1140 0 430 1470 485 0 0
4872 5405 2072 8915 8161 9423 3310 8754
7 13783 11027 11027 9734 11325 8323 15206 7685 11538 11381 11414 15113 8565 164084 11720 6296 6545 2072 9345 9631 9908 3310 8754
8 5969 5942 5942 6067 5994 6038 5813 6209 5884 5881 6127 6000 5918 5994 83920 6094 5740 5545 5896 5648 5920 5816
9 10 82272790 12719988 65517710 34531123 65517710 14504802 59052420 14517502 67881500 14302865 50255570 16483795 88390750 23981485 47717280 17134083 67891740 16502261 66928630 13955385 69928840 29823415 90670500 21539090 50691170 22335730 982,972,230 286,187,468 20,441,962 528362785 39888137 11893926 51821002 56787839 55961322 19595100 50916173
13364374 20270769 3399765 17646238 23184794 18499710 8743444 31903202
11 12 69552802 1491,67 30986587 1209,10 51012908 1544,40 44534918 1324,35 53578635 1480,39 33771775 1040,38 64409265 1407,96 30583197 1011,18 51389479 1477,34 52973245 1377,85 40105425 1383,52 69131410 1473,00 28355440 1268,89 696,784,762 18873,92 49,770,340 1348,14 514998411 19617368 8494161 34174764 33603045 37461613 10851656 19012971
712,22 1113,10 308,33 5340,00 1299,73 1179,52 414,79 2026,39
159
Lampiran 9 (Lanjutan) 1 18 14 13 18 16 19 14 13 15 11 15 19 11 7 15 352
3 0.47 0.45 0.41 0.35 0.46 0.41 0.29 0.40 0.52 0.69 0.49 0.42 0.51 0.41 0.50
4 9 8 6 6 7 8 4 5 8 8 7 8 6 3 8 153
5 0 0 0 1241 1072 1095 101 0 2409 793 59 1605 282 230 1318 15154
6 6782 4914 4936 3432 8403 6224 3501 4926 8899 5287 9092 8055 4875 1507 8250 139995
0.43 10 17 15 15 18 14
0.43 0.33 0.43 0.37 0.35 0.37
9 6 7 2 7 8
60 0 0 388 0 388
3183 3087 7869 5657 6219 5657
7 6782 4914 4936 4673 9475 7319 3602 4926 11308 6080 9151 9660 5157 1737 9568 155149 6746 3243 3087 7869 6045 6219 6045
8 6381 6485 5703 6085 10038 5877 6762 5304 6200 5988 5971 6108 5905 5653 6178 9531 6937 7256 6965 9271 7966 7654
9 10 43275559 21305617 31869297 18087376 28150458 16184732 28434448 21021460 95110164 20828654 43013945 34515963 24355913 9629778 26127069 14440472 70106501 42766233 36404844 31477905 54643691 21490166 59006913 21310701 30451284 18656005 9818816 1524233 59109253 140561231 1,455,104,439 570,812,823 24,817,949 22495620 22400530 54808970 56045910 49541480 46270690
10948118 15188753 18605214 15785514 16479463 13593864
11 12 21969942 717,67 13781921 580,85 11965726 783,49 7412988 741,75 74281510 1287,36 8497981 939,54 14726135 887,19 11686597 947,31 27340268 1449,74 4926939 801,05 33153525 1245,03 37696212 1210,53 11795280 919,25 8294584 605,23 -81451978 1275,73 884,291,616 26785,81 38,447,462 1164,60 11547502 7211777 36203756 40260396 33062017 32676826
366,86 525,00 1170,98 3454,29 839,27 719,64
159
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Sub Total Rataan Tahun 2007 1 2 3 4 5 6
2
160
160
Lampiran 9 (Lanjutan) 1 2 3 7 15 0.40 8 8 15 0.41 4 9 15 0.34 9 10 11 0.40 8 11 11 0.27 3 12 16 0.48 8 13 11 0.41 5 14 11 0.47 5 15 14 0.35 5 16 14 0.31 4 17 22 0.54 12 18 14 0.44 6 19 24 0.32 8 20 19 0.56 11 21 9 0.30 3 22 14 0.42 6 23 16 0.39 6 24 7 0.58 4 25 18 0.54 10 26 9 0.55 5 27 16 0.43 7 Sub Total 390 176 Rataan 0.42
4
5 212 0 0 94 0 0 205 0 0 0 513 0 0 348 0 0 0 0 0 0 0 2208
6 3319 5681 2766 2616 2212 5538 3325 3064 5403 2662 9697 6460 6073 11399 1390 6292 4868 3790 5881 4943 6607 135658
7 3531 5681 2766 2710 2212 5538 3530 3064 5403 2662 10210 6460 6073 11747 1390 6292 4868 3790 5881 4943 6607 137866 5106
8 9710 7668 6859 7320 7524 11345 7086 7438 7100 5812 8342 7808 7681 7868 5976 7511 7630 7386 7655 8821 7798 7718
9 10 34285210 17796712 43564320 15507113 18972100 10668883 19837050 9609657 16642210 6167456 62830480 26533365 25011910 4912695 22789750 10576016 38361700 11219833 15470440 14322248 85176070 41849100 50442400 19974907 46647980 15945563 92427260 31424325 8306770 4886074 47259100 17588554 37142730 20246941 27992590 11558288 45017840 30164154 43600490 17431986 51522170 17827267 1,084,863,770 446,812,063 16,548,595
11 12 16488498 442,48 28057207 1315,05 8303217 292,70 10227393 320,33 10474754 744,78 36297115 721,09 20099215 782,71 12213734 592,65 27141867 1102,65 1148192 613,36 43326970 859,43 30467493 1048,70 30702417 790,76 61002935 1104,04 3420696 514,81 29670546 1070,07 16895789 780,13 16434302 933,50 14853686 605,04 26168504 998,59 33694903 960,32 638,051,707 23669,22 23,631,545 876,64
161
4 1 1 6 6 5 6 1 1 8 2 1 5 1 4 9 5 6 5 0 5 1 0 7
5 109 267 0 155 0 0 0 0 95 0 0 0 0 0 0 587 0 100 177 0 0 0 0
6
7
858 675 2349 5060 4770 4600 724 976 4961 835 746 2471 761 3274 7230 1810 3677 4023 37 4368 976 426 4042
967 942 2349 5215 4770 4600 724 976 5056 835 746 2471 761 3274 7230 2397 3677 4123 214 4368 976 426 4042
8 8971 8897 10360 9606 9580 10206 11329 9724 10308 9140 9005 9801 11118 9658 8421 9115 8878 9295 7634 10023 9724 9021 10078
9 8674890 8381440 24335100 50093670 45698370 46947760 8202240 9490920 52115520 7631700 6718100 24217400 8461060 31620520 60883000 21848310 32644020 38322020 1633600 43781060 9490920 3843000 40735030
10 3493788 5069691 17667376 27927033 24663481 21798026 4900462 3455562 22698725 5866184 4862429 28569486 2214743 15569107 39611624 14455541 20367358 21118718 714344 18652290 4198925 1394744 31606665
11 5181102 3311749 6667724 22166637 21034889 25149734 3301778 6035358 29416795 1765516 1855671 -4352086 6246317 16051413 21271376 7392769 12276662 17203302 919256 25128770 5291995 2448256 9128365
12 976,77 747,62 386,35 827,78 931,64 798,61 603,33 929,52 648,21 542,21 819,78 547,89 792,71 845,99 816,95 484,24 586,44 866,18 563,16 827,27 929,52 1014,29 614,29
161
Lampiran 9 (Lanjutan) 1 2 3 Tahun 2008 1 11 0.09 2 21 0.06 3 16 0.38 4 18 0.35 5 16 0.32 6 18 0.32 7 15 0.08 8 15 0.07 9 26 0.30 10 11 0.14 11 13 0.07 12 11 0.41 13 16 0.06 14 9 0.43 15 15 0.59 16 15 0.33 17 19 0.33 18 14 0.34 19 19 0.02 20 16 0.33 21 15 0.07 22 14 0.03 23 14 0.47
162
162
Lampiran 9 (Lanjutan) 1 2 3 24 9 0.42 25 18 0.24 26 18 0.06 27 14 0.09 Sub Total 416 Rataan 0,24 Tahun 2009 1 22 0.41 2 12 0.26 3 12 0.18 4 15 0.32 5 15 0.28 6 12 0.23 7 14 0.17 8 14 0.35 9 13 0.16 10 19 0.43 11 13 0.23 12 12 0.34 13 16 0.23 14 21 0.38 15 13 0.30 16 13 0.27 17 17 0.31
4 4 4 1 1 96
9 3 2 5 4 3 2 5 2 8 3 4 4 8 4 4 5
5 0 144 0 0 1634
0 0 0 95 0 0 0 0 0 0 0 0 77 2090 0 0 819
6 3287 3918 856 1357 69067
10683 2975 2916 4322 4684 2422 2061 3958 1884 6454 3040 2728 4780 6763 3652 2905 3745
7 3287 4062 856 1357 70701 2619
8 10389 10064 9991 10264
10683 2975 2916 4417 4684 2422 2061 3958 1884 6454 3040 2728 4857 8853 3652 2905 4564
7153 7743 7956 11711 12285 6474 8365 7662 7987 9972 7855 7937 8948 7853 6608 7274 7415
9652
9 10 34148390 23745448 40880960 7849584 8552500 3582298 13928200 7476123 683,279,700 383,529,756 14,204,806 76414750 23035770 23200610 51728878 57545110 15679016 17239460 30325060 15047300 64361530 23879420 21653210 43462050 69526730 24132810 21131650 33840040
28687608 10964695 7918401 10853040 24669325 8223165 7264923 19524160 5898810 25945939 15092246 20379421 11205286 15285964 10151836 14179618 23949836
11 12 10402942 869,58 33031376 940,28 4970202 792,59 6452077 1076,98 299,749,944 20780,18 11,101,850 769,64 47727142 12071075 15282209 40875838 32875785 7455851 9974537 10800900 9148490 38415591 8787174 1273789 32256764 54240766 13980974 6952032 9890204
1184,37 953,53 1350,00 920,21 1115,24 877,54 865,97 807,76 905,77 789,96 1016,72 668,63 1319,84 1109,40 936,41 827,64 866,03
163
4 8 3 2 6 5 5 4 7 3 10 129
5 6 3 6 7 7 4 5 3 7 5
5 148 0 0 0 0 0 0 0 0 71 3300
0 0 0 0 0 0 167 0 0 0 0
6 8365 2386 2214 5411 4234 4846 3652 6316 2841 14175 124412
5402 2545 8298 6480 6357 2846 4434 2937 7248 3436 4237
7 8513 2386 2214 5411 4234 4846 3652 6316 2841 14246 127712 4730 5402 2545 8298 6480 6357 2846 4601 2937 7248 3436 4237
8 7145 9904 8640 8115 8056 7506 6608 8123 8011 2129 7979 7376 8191 6959 6874 8769 5907 6283 7398 7272 7628 7051
9 10 60826160 31580114 23631880 10149891 19128900 6382440 43908010 27876980 34107310 13110842 36375840 22234357 24132810 10171478 51304440 25896369 22759210 9635043 30325060 18540451 958,703,014 435,772,236 16,139,712 39847750 20845960 57746870 44544150 55745910 16810830 28907290 21726728 52706680 26210890 29873100
20836266 11680084 30208288 20939183 31220683 12581484 12751832 12269187 26419332 25300341 27961992
11 12 29246046 1088,62 13481989 852,14 12746460 896,36 16031030 838,91 20996468 871,19 14141483 931,92 13961332 936,41 25408071 915,36 13124167 947,00 11784609 1363,25 522,930,778 26156,17 19,367,807 968,75 19011484 9165876 27538582 23604967 24525227 4229346 16155458 9457541 26287348 910549 1911108
1125,42 428,45 2881,25 1157,14 929,39 424,14 1278,06 582,74 2440,40 480,56 861,18
163
Lampiran 9 (Lanjutan) 1 2 3 18 23 0.34 19 14 0.20 20 13 0.19 21 15 0.43 22 27 0.18 23 10 0.52 24 13 0.30 25 23 0.30 26 10 0.30 27 19 0.55 Sub Total 420 Rataan 0.30 Tahun 2010 1 18 0.33 2 9 0.32 3 10 0.56 4 12 0.57 5 11 0.61 6 9 0.40 7 12 0.42 8 11 0.27 9 13 0.55 10 12 0.41 11 10 0.53
164
164
Lampiran 9 (Lanjutan) 1 2 3 12 17 0.49 13 12 0.30 14 16 0.48 15 12 0.62 16 13 0.45 17 10 0.62 18 11 0.48 19 13 0.53 20 12 0.55 21 13 0.57 22 21 0.42 23 23 0.50 24 12 0.61 25 13 0.58 26 12 0.53 27 16 0.37 Sub Total 353 Rataan 0.48
4 5 8 4 8 7 6 6 5 7 7 9 12 7 8 6 6 168
5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 167
6 5704 3685 6628 7408 3938 6266 4534 5068 6567 5966 7052 11121 7321 7651 5189 6495 154813
7 5704 3685 6628 7408 3938 6266 4534 5068 6567 5966 7052 11121 7321 7651 5189 6495 154980 5740
8 7732 6816 6438 7595 4980 5864 6635 7150 7482 7756 6889 7459 7584 7555 6590 6957 7081
9 10 44104230 18512999 25115760 9509317 42673540 11873167 56264270 31779793 19611450 16003666 36745220 26287549 30081850 18161767 36234240 22163696 49136590 24813561 46272330 28173074 48579750 27632185 82954830 46361783 55524770 29175397 57800870 40511873 34197448 21337111 45183310 17705364 1,105,446,616 622,170,974 23,043,369
11 12 25591231 1076,23 15606443 442,38 30800373 1841,11 24484477 964,58 3607784 529,30 10457671 1071,11 11920083 731,29 14070544 959,85 24323029 995,00 18099256 805,13 20947565 799,55 36593047 967,04 26349373 1000,14 17288997 1014,72 12860337 815,88 27477946 1097,13 483,275,642 27699,16 17,899,098 1025,89
165
Lampiran 10 Waktu, nilai maksimum/minimum, rataan dan standar deviasi suhu permukaan laut Samudera Hindia selatan Jawa Timur 2005-2009 Waktu Max Min Rataan SD Waktu Max Min Rataan SD Waktu Max Min Rataan SD Waktu Max Min Rataan SD Waktu Max Min Rataan SD
Jan-05 29.92 26.47 28.73 0.33 Jan-06 28.9 25.2 27.5 0.5 Jan-07 29.81 24.24 28.24 0.52 Jan-08 29.22 26.36 28.01 0.33 Jan-09 29.39 25.57 28.09 0.45
Feb-05 29.98 26.44 29.01 0.34 Feb-06 29.7 25.2 28.5 0.3 Feb-07 30.44 27.13 29.25 0.27 Feb-08 29.93 25.26 27.67 0.66 Feb-09 29.38 26.06 28.10 0.47
Mar-05 30.23 20.63 29.28 0.50 Mar-06 29.7 21.7 28.3 0.4 Mar-07 29.63 20.20 28.50 0.40 Mar-08 29.39 25.77 28.18 0.46 Mar-09 29.73 26.90 29.14 0.27
Apr-05 29.97 27.34 29.12 0.26 Apr-06 29.5 26.0 28.3 0.3 Apr-07 29.62 25.95 28.52 0.31 Apr-08 29.48 25.17 28.38 0.49 Apr-09 30.78 26.77 28.93 0.40
May-05 29.60 26.32 28.39 0.41 May-06 29.8 26.8 28.2 0.3 May-07 29.64 26.29 28.38 0.29 May-08 29.19 24.98 27.84 0.53 May-09 29.91 26.49 28.41 0.32
Jun-05 29.23 26.14 27.72 0.38 Jun-06 29.1 23.4 26.5 0.7 Jun-07 28.93 24.33 27.06 0.59 Jun-08 28.60 23.53 26.43 0.82 Jun-09 29.45 26.42 27.91 0.30
Jul-05 28.74 25.32 27.25 0.31 Jul-06 27.8 22.6 25.3 0.7 Jul-07 28.13 22.92 26.12 0.61 Jul-08 27.70 22.01 25.50 0.92 Jul-09 28.63 23.23 26.84 0.60
Aug-05 28.05 23.74 26.05 0.46 Aug-06 27.6 21.5 25.1 0.7 Aug-07 27.52 22.63 25.37 0.62 Aug-08 27.59 22.11 25.12 0.75 Aug-09 28.22 22.87 25.95 0.82
Sep-05 28.00 23.89 26.23 0.45 Sep-06 27.5 21.1 25.2 0.8 Sep-07 27.70 22.16 25.56 0.74 Sep-08 28.17 23.69 26.11 0.55 Sep-09 28.16 24.04 26.36 0.58
Oct-05 28.69 24.68 26.97 0.39 Oct-06 28.3 22.5 26.5 0.9 Oct-07 28.19 22.75 26.52 0.61 Oct-08 28.99 23.91 27.13 0.69 Oct-09 29.08 24.92 27.12 0.44
Nov-05 29.41 15.24 27.77 0.41 Nov-06 29.4 24.2 27.6 0.8 Nov-07 29.17 24.24 27.52 0.52 Nov-08 29.94 25.02 27.49 0.57 Nov-09 29.58 25.78 28.09 0.51
Dec-05 29.08 25.09 27.78 0.55 Dec-06 30.1 12.5 28.5 0.8 Dec-07 30.74 25.30 28.60 0.64 Dec-08 29.94 25.46 27.96 0.40 Dec-09 30.16 26.47 28.61 0.37
165
166
Lampiran 11 Waktu, nilai maksimum dan minimum, rataan dan standar deviasi konsentrasi klorofil-a Samudera Hindia selatan Jawa tahun 2005-2009
166
Waktu Max Min Rataan SD Waktu Max Min Rataan SD Waktu Max Min Rataan SD Waktu Max Min Rataan SD Waktu Max Min Rataan SD
Jan-05 2.09 0.03 0.11 0.09 Jan-06 1.36 0.03 0.12 0.10 Jan-07 9.37 0.05 0.18 0.18 Jan-08 2.44 0.05 0.13 0.11 Jan-09 3.18 0.03 0.12 0.09
Feb-05 2.66 0.03 0.12 0.08 Feb-06 1.46 0.04 0.11 0.08 Feb-07 1.57 0.05 0.12 0.08 Feb-08 1.10 0.05 0.13 0.06 Feb-09 4.05 0.04 0.16 0.12
Mar-05 1.19 0.02 0.14 0.09 Mar-06 2.00 0.03 0.12 0.07 Mar-07 2.47 0.03 0.15 0.11 Mar-08 3.31 0.05 0.13 0.10 Mar-09 3.36 0.06 0.13 0.08
Apr-05 2.88 0.06 0.15 0.10 Apr-06 3.05 0.05 0.12 0.12 Apr-07 6.37 0.05 0.15 0.13 Apr-08 7.48 0.04 0.13 0.13 Apr-09 3.62 0.07 0.22 0.14
May-05 7.59 0.09 0.23 0.26 May-06 1.80 0.08 0.17 0.13 May-07 3.76 0.06 0.21 0.22 May-08 9.28 0.07 0.29 0.41 May-09 3.11 0.04 0.17 0.11
Jun-05 5.47 0.07 0.23 0.17 Jun-06 9.71 0.09 0.52 0.70 Jun-07 9.55 0.09 0.41 0.63 Jun-08 9.77 0.11 0.43 0.40 Jun-09 6.63 0.10 0.21 0.20
Jul-05 7.59 0.07 0.27 0.23 Jul-06 9.71 0.13 0.55 0.44 Jul-07 9.48 0.12 0.43 0.44 Jul-08 9.96 0.11 0.54 0.53 Jul-09 9.87 0.09 0.39 0.47
Aug-05 9.66 0.14 0.43 0.53 Aug-06 9.71 0.11 0.80 1.05 Aug-07 9.45 0.09 0.46 0.46 Aug-08 8.92 0.11 0.61 0.50 Aug-09 9.83 0.09 0.57 0.70
Sep-05 8.41 0.10 0.39 0.32 Sep-06 9.71 0.10 0.86 1.09 Sep-07 9.98 0.09 0.67 1.33 Sep-08 9.61 0.08 0.42 0.70 Sep-09 9.34 0.08 0.43 0.57
Oct-05 4.52 0.06 0.25 0.27 Oct-06 9.71 0.06 0.79 1.34 Oct-07 9.96 0.08 0.44 0.89 Oct-08 9.99 0.08 0.44 0.79 Oct-09 9.79 0.08 0.30 0.38
Nov-05 1.66 0.05 0.13 0.06 Nov-06 9.71 0.05 1.31 1.98 Nov-07 6.94 0.04 0.13 0.14 Nov-08 1.19 0.07 0.14 0.07 Nov-09 3.79 0.04 0.22 0.22
Dec-05 3.63 0.05 0.23 0.26 Dec-06 9.71 0.06 0.51 1.00 Dec-07 1.07 0.03 0.15 0.10 Dec-08 3.17 0.05 0.11 0.07 Dec-09 8.18 0.04 0.13 0.24
167
Lampiran 12 Arah dan kecepatan angin (m.dtk-1) musim barat di atas perairan selatan Jawa periode November 2008–Oktober 2009: (a) Desember 2008; (b) Januari 2009; (c) Februari 2009; (d) Maret 2009; (e) April 2009; dan (f) Mei 2009
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
167
(a)
168
Lampiran 13 Arah dan kecepatan angin (m.dtk-1) musim timur di atas perairan selatan Jawa periode November 2008 – Oktober 2009: (a) Juni 2008; (b) Juli 2009; (c) Agustus 2009; (d) September 2009; (e) Oktober 2009; dan (f) November 2009
(a)
168
(d)
(b)
(c)
(e)
(f)
169
Lampiran 14 Perhitungan kriteria kelayakan usaha tangkap cakalang dengan perahu sekoci di PPP Pondokdadap tahun 2003-2010 No 1 1 1 2 3 4
5 6 7 8
9 10 1 2 3 4 5 6 7 8
Uraian 2 A. PENDAPATAN: Total Pendapatan Sekoci B. BIAYA: BBM dan oli mesin Es Sembako Upah kerja : 4.1. Nakhoda 4.2. ABK Biaya tak terduga (6%) Pancing Penyusutan Pajak dan Manajemen : 8.1. Retribusi PPP 1,5% 8.2. Restribusi Desa0,5% 8.3. Pengambek 5 % Total Biaya Laba Operasi C. PROYEKSI ARUS KAS Laba operasi (a) Penyusutan (b) Arus kas operasi (a + b) Arus kas non operasi (sisa) Total arus kas Investasi rumpon Arus kas bersih Discount rate (15%)
2003 3
2004 4
Tahun 2006
2005 5
6
2007 7
2008 8
2009 9
2010 10
136.955.773
119.989.790
167.632.305
131.025.847
145.627.088
153.435.426
192.312.867
27,691,550 5,141,667 6,920,900
22,889,940 4,588,889 4,081,500
37,180,140 5,820,100 5,650,290
48,488,009 6,972,139 5,090,828
48,218,770 6,367,205 5,251,352
63,464,352 7,868,155 6,438,774
69,158,460 9,187,630 7,942,585
60,251,801 8,646,630 6,899,822
14,602,459 29,204,917 8.217.346 1.000.000
17,874,586 35,749,171 10.057.938 1.000.000
20.116.484
10,934,720 21,869,440 9.206.126 1.000.000 12.000.000 14.880.600
15,427,048 30,854,097 11.538.772 1.000.000
11.473.744
10,485,123 20,970,246 7.861.551 1.000.000 10.000.000 12.047.431
12,599,311 25,198,621 8.737.625 1.000.000
10.165.000
13,338,363 26,676,725 7.199.387 1.000.000 10.000.000 10.927.375
15.624.630
8,729,973 17,459,945 8.269.554 1.000.000 12.000.000 16.405.862
2.054.337 684.779 6.847.789 84.839.193
1.799.847 599.949 5.999.490 86.211.525
2.514.485 838.162 8.381.615 99.360.090
1.965.388 655.129 6.551.292 83.599.127
2.184.406 728.135 7.281.354 89.464.494
2.301.531 767.177 7.671.771 94.938.294
2.884.693 961.564 9.615.643 105.036.663
2.067.389 689.130 6.891.295 89.059.598
58,964,368 10,165,000 69,129,368
49,777,755 10,927,375 60,705,130
76,653,830 11,473,744 88,127,574
63,978,012 12,047,431 76,025,443
70,910,629 12,649,802 83,560,432
78,168,903 14,880,600 93,049,503
96,891,847 15,624,630 112,516,477
69,129,368
60,705,130 10,000,000 50,705,130 0,7831 27.179.607
88,127,574
76,025,443 10,000,000 66,025,443 0,6133 30.343.423
83,560,432
93,049,503 112,516,477 14,400,000 81,049,503 112,516,477 0,4803 0,4251 29.480.862 43.739.095
67,657,598 16,405,862 84,063,460 36,450,000 120,513,460 14,400,000 108,513,460 0,3762 33.712.261
69,129,368 0,8850 55.116.442
88,127,574 0,6931 55.267.949
83,560,432 0,5428 41.401.227
37.825.901
169
170
Lampiran 15 Perhitungan Analisis RapAnalysis 2D MDS Results 0,7982729 0,161253 1,144065 0,826828 -1,302316 -0,8272 0,9749329 -1,04382 -1,065277 1,012367 1,3763595 0,17371 1,3141928 -0,47437 0,4756067 -1,33831 -0,146837 -1,43706 -0,767131 -1,26293 -1,504479 -0,21201 -1,40642 0,43232 -0,601595 1,334057 0,048024 1,42441 0,6626011 1,23077 Stress = 0,1370725 Squared Correlation (RSQ) = 0,934054 Number of iterations = 2 Memory needed (words) = 3902 Return value (error if > 0) 0 Rotation angle (degrees) = 34,063152 RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS # fisheries = 1 # reference fisheries = 4 # anchor fisheries = 10 Row# of 1st fishery = 2 Row# of GOOD fishery = 5 Row# of BAD fishery = 6 Row# of UP fishery = 7 Row# of DOWN fishery = 8 Column letter with fisheries names = A
170
1. EKOLOGI GOOD BAD UP DOWN ANCHORS:
Rotated & Flipped & Scaled 0,751625 0,313532 77,67561 12,56782 1,410879 -0,04416 100 0 -1,54219 -0,04416 0 -1,12045 0,223005 1,410787 59,77491 50 -0,31546 -1,43533 41,54065 -50 1,237501 0,627002 94,12889 22,46131 0,823005 1,129068 80,09279 40,10164 -0,35559 1,375076 40,18172 48,74527 -0,92655 1,108249 20,84733 39,37017 -1,34288 0,616563 6,749053 22,0945 -1,36509 -0,66703 5,997006 -23,0053 -0,92296 -1,14589 20,96887 -39,8302 0,248841 -1,44212 60,64978 -50,2383 0,837605 -1,15311 80,58717 -40,084 1,238274 -0,64847 94,15509 -22,353 Iteration Stress Delta 1 0,226782 9E+20 2 0,226252 0,00053
171
Lampiran 15 (Lanjutan) Row# of 1st anchor fishery = # attributes = Column letter of 1st attribute =
9 7 D Rotated -0,31164 1,487087 -1,45325 0,226172 -0,19273 1,384977 1,118657 0,71645 -0,26374 -0,71889 -1,10558 -1,34246 -1,3404 -1,08036 -0,68449 0,287577 0,752743 1,132629 1,387258
& Flipped & Scaled -0,07757 38,82596 -2,23669 -0,01259 100 0 -0,01259 0 -0,39785 1,451547 57,11668 50 -1,4536 42,86983 -50 0,498099 96,52729 17,18077 0,946424 87,46983 32,61283 1,275304 73,79089 43,93341 1,425875 40,45478 49,11633 1,245382 24,9753 42,90346 0,919082 11,82413 31,67169 0,492957 3,768149 17,00375 -0,48188 3,837964 -16,5519 -0,92442 12,68179 -31,7847 -1,24943 26,14543 -42,9721 -1,41151 59,20506 -48,5512 -1,24421 75,02519 -42,7922 -0,90575 87,94499 -31,142 -0,48112 96,60485 -16,5256 Iteration Stress Delta 1 0,219729 9E+20 2 0,220051 -0,00032
171
2D MDS Results 0,1899253 0,258964 -1,151106 -0,94156 1,1089969 0,939268 0,754656 -1,26041 -0,781673 1,240602 -0,745952 -1,26879 -0,254466 -1,44304 0,2650643 -1,43856 1,1148101 -0,9273 1,3492074 -0,49742 1,4377147 0,000746 1,3472105 0,479808 0,722061 1,227811 0,2391056 1,401631 -0,273084 1,398224 -1,123943 0,901012 -1,374474 0,474861 -1,449976 -0,0283 -1,374078 -0,51756 Stress = 0,136643 Squared Correlation (RSQ) = 0,9514936 Number of iterations = 2 Memory needed (words) = 4494 Return value (error if > 0) 0 Rotation angle (degrees) = 219,76683 RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS # fisheries = 1 2. EKONOMI GOOD BAD UP DOWN ANCHORS:
172
Lampiran 15 (Lanjutan) # reference fisheries = # anchor fisheries = Row# of 1st fishery = Row# of GOOD fishery = Row# of BAD fishery = Row# of UP fishery = Row# of DOWN fishery = Column letter with fisheries names = Row# of 1st anchor fishery = # attributes = Column letter of 1st attribute =
172
3. TEKNOLOGI GOOD BAD UP DOWN ANCHORS:
Stress = Squared Correlation (RSQ) =
4 14 2 5 6 7 8 A 9 9 D 2D MDS Results -0,123003 0,145911 1,4688884 -0,23754 -1,454585 0,252521 -0,25602 -1,44603 0,2679279 1,444143 1,2697001 -0,76391 0,862721 -1,1855 0,3296881 -1,42442 -0,77481 -1,22806 -1,19276 -0,82975 -1,407241 -0,32379 -1,237745 0,730546 -0,848077 1,155216 -0,320281 1,394021 0,7843397 1,207062 1,1985704 0,805747 1,4326856 0,30382 0,1389021 0,9508685
Rotated & Flipped & Scaled -0,14543 -0,12357 44,89763 -3,9154 1,487946 -0,00857 100 0 -1,47632 -0,00857 0 -0,28999 -0,01344 1,468457 49,35052 50 0,025492 -1,46857 50,66383 -50 1,37852 0,54349 96,30848 18,50665 1,046838 1,026558 85,11914 34,95417 0,560639 1,350315 68,71712 45,9775 -0,56112 1,339251 30,87421 45,60079 -1,03917 1,01552 14,74718 34,57837 -1,33435 0,551981 4,789352 18,79577 -1,34149 -0,51587 4,548445 -17,5624 -1,02739 -0,99911 15,14464 -34,0161 -0,54634 -1,32189 31,37308 -45,006 0,573993 -1,32012 69,16761 -44,9457 1,04887 -0,99281 85,18768 -33,8014 1,362743 -0,53649 95,77626 -18,2647 Iteration Stress Delta 1 0,223858 9E+20
173
Lampiran 15 (Lanjutan) Number of iterations = 2 Memory needed (words) = 4182 Return value (error if > 0) 0 Rotation angle (degrees) = -9,51594 RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS # fisheries = 1 # reference fisheries = 4 # anchor fisheries = 12 Row# of 1st fishery = 2 Row# of GOOD fishery = 5 Row# of BAD fishery = 6 Row# of UP fishery = 7 Row# of DOWN fishery = 8 Column letter with fisheries names = A Row# of 1st anchor fishery = 9 # attributes = 8 Column letter of 1st attribute = D
4. SOSIAL GOOD BAD UP DOWN ANCHORS:
Rotated -0,53084 0,10335 1,782856 -0,01705 -1,28995 -0,01705 0,173803 1,42256 0,099397 -1,46076 1,62115 0,514754 1,234462 1,000556 0,727622 1,312952 -0,33049 1,323228 -0,79181 1,041842 -1,12661 0,585186 -1,16229 -0,52306 -0,86251 -0,98992
0,224185
-0,00033
& Flipped & Scaled 24,70427 4,175812 100 0 0 0,071016 47,63572 50 45,21429 -50 94,73753 18,51526 82,15332 35,36397 65,65894 46,19857 31,22423 46,55494 16,21135 36,79585 5,315763 20,958 4,15439 -17,4783 13,91034 -33,6704
173
2D MDS Results 0,526581 -0,12321 -1,780958 0,08398 1,2896806 -0,03139 -0,227093 -1,41503 -0,044481 1,463462 -1,639334 -0,45352 -1,271159 -0,9535 -0,776405 -1,28471 0,2805744 -1,3347 0,7521309 -1,07084 1,1038409 -0,62707 1,181113 0,479047 0,8990722 0,956843
2
174
Lampiran 15 (Lanjutan) 1,286287 1,381471 1,100204 0,636355 -0,04684 -0,04684 Stress = 0,133791 Squared Correlation (RSQ) = 0,950787 Number of iterations = 2 Memory needed (words) = 4494 Return value (error if > 0) 0 Rotation angle (degrees) = 177,84824 RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS # fisheries = 1 # reference fisheries = 4 # anchor fisheries = 14 Row# of 1st fishery = 2 Row# of GOOD fishery = 5 Row# of BAD fishery = 6 Row# of UP fishery = 7 Row# of DOWN fishery = 8 Column letter with fisheries names = A Row# of 1st anchor fishery = 9 # attributes = 8 Column letter of 1st attribute = D
174
0,467307 -0,603206 -1,121826 -1,527836 1,2459984 1,245999
5. KELEMBAGAAN GOOD BAD UP DOWN
2D MDS Results 0,4158669 0,113466 -1,490024 -0,15552 1,4479318 0,116158 -0,169163 1,435001 0,127109 -1,4719
-0,41868 0,65465 1,162344 1,550651 -1,24688 -1,24688
-1,30293 28,35415 -44,5259 -1,35785 63,28418 -46,4308 -1,05731 79,80635 -36,0073 -0,57854 92,44325 -19,4027 2E-05 1,401704 0,663132 2,09E-05 1,401684 0,663163 Iteration Stress Delta 1 0,217208 9E+20 2 0,216473 0,000735
Rotated -0,42455 0,074691 1,498014 -0,01766 -1,45248 -0,01766 0,03631 1,444481 0,008963 -1,47735
& Flipped & Scaled 34,83923 3,160716 100 0 0 -0,04187 50,45894 50 49,53208 -50
175
Lampiran 15 (Lanjutan) ANCHORS:
-1,449769 -1,164123 -0,723204 0,3964964 0,9067551 1,2534109 1,3647478 1,1106806 0,6842957 -0,441922 -0,950009 -1,319081
0,402414 0,900722 1,251592 1,375637 1,10151 0,669727 -0,40572 -0,90182 -1,26899 -1,37403 -1,10341 -0,68484 Stress = 0,133578 Squared Correlation (RSQ) = 0,9473443 Number of iterations = 2 Memory needed (words) = 4182 Return value (error if > 0) 0 Rotation angle (degrees) = 185,28325 RAPFISH PARAMETERS USED FOR THIS ANALYSIS # fisheries = 1 # reference fisheries = 4 # anchor fisheries = 12 Row# of 1st fishery = 2 Row# of GOOD fishery = 5 Row# of BAD fishery = 6 Row# of UP fishery = 7 Row# of DOWN fishery = 8 Column letter with fisheries names = A Row# of 1st anchor fishery = 9 # attributes = 8 Column letter of 1st attribute = D
1,406555 1,076239 0,604886 -0,52148 -1,00433 -1,30975 -1,32159 -1,02292 -0,56454 0,566564 1,047574 1,376537
0,534198 96,90022 18,84553 1,004088 85,70493 34,92752 1,312867 69,72952 45,49553 1,333284 31,55395 46,19427 1,013337 15,18889 35,24407 0,551468 4,837227 19,43659 -0,52966 4,436023 -17,565 -1,00026 14,5587 -33,6713 -1,32661 30,09451 -44,8408 -1,3275 68,43068 -44,8711 -1,01124 84,73338 -34,0473 -0,56047 95,88283 -18,6197 Iteration Stress Delta 1 0,220602 9E+20 2 0,22087 -0,00027
175
176
Lampiran 16 Grafik ordinasi setiap dimensi Ekologi
Ekonomi
40 20 0
GOOD
BAD 0
50
100
150
-20 -40 DOWN -60
60 UP
40 20 0
50
100
-40 DOWN
0
GOOD
BAD 0
50
40 20 0
BAD 0
GOOD
-40 DOWN Fisheries Sustainability
50
100
-20 -40 DOWN Fisheries Sustainability
150
UP 40 20 34,84 0
GOOD
BAD 0
50
100
-20 -40 DOWN -60
100
-20
60 UP
Other Distingishing Features
Other Distingishing Features
20
Kelembagaan
60
176
UP 40
-60
Fisheries Sustainability
Sosial
-60
150
-20
-60
Fisheries Sustainability
GOOD
BAD 0
Other Distingishing Features
60 UP
Other Distingishing Features
Other Distingishing Features
60
Teknologi
Fisheries Sustainability
150
150
177
Lampiran 17 Grafik Monte Carlo scatter plot
0 50
100
150
-20 -40
20 0 0
100
-40
40 20 0 0
50
100
150
-20 -40
-60
Fisheries Sustainability
Sosial
Fisheries Sustainability
Kelembagaan
60
60
40 20 0 0
50
100
-20 -40 -60
150
-20
-60
Fisheries Sustainability
50
Fisheries Sustainability
150
Other Distingishing Features
0
40
Other Distingishing Features
20
Other Distingishing Features
40
Other Distingishing Features
Other Distingishing Features
60
60
60
-60
Teknologi
Ekonomi
Ekologi
40 20 0 0
50
100
150
-20 -40 -60
Fisheries Sustainability
177
178
178
Lampiran 18 WPP-RI 573 perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat (Sumber: DJPT 2011).