7
7.1
KEBERLANJUTAN PERIKANAN TANGKAP PADA DIMENSI SOSIAL
Pendahuluan Secara umum Indonesia memiliki keragaman kebudayaan yang berdampak
pada keragaman lingkungan sosial. Keragaman lingkungan sosial ini dapat terbentuk karena adanya dinamika masyarakat yang berbeda, kondisi geografis dan ragam ekosistem (Purba, 2002). Dengan demikian keragaman lingkungan sosial di Indonesia dapat dilihat berdasarkan lokalitas/geografis yang dibagi menjadi lingkungan sosial pesisir dan pedalaman atau perairan dan daratan. Berdasarkan bentuk mata pencaharian dapat dibagi menjadi lingkungan sosial berburu, meramu, berladang berotasi atau petani tidak menetap, petani menetap dan musiman, serta industri dan jasa. Sedangkan berdasarkan administratif, dapat dibagi menjadi lingkungan sosial pedesaan dan perkotaan. Khusus untuk lingkungan sosial pedesaan terdiri dari lingkungan sosial nelayan atau pesisir, peladang-pemburu-peramu, petani menetap. Dalam pendekatan geografi-budaya lingkungan sosial pesisir secara umum mencakup kesatuan-kesatuan hidup manusia yang berdiam dan mengembangkan kehidupan sosialnya di daerah yang relatif dekat dengan laut. Dengan kata lain yang termasuk ke dalam kategori lingkungan sosial pesisir adalah masyarakat yang berdiam di daratan dekat dengan laut dan masyarakat yang secara khas menghabiskan sebagian besar masa hidupnya diatas perairan laut. Dalam pengertian ini komunitas perairan seperti Orang Laut di Kepulauan Riau dan Orang Bajau di perairan sebelah timur Sulawesi, tergolong kedalam lingkungan sosial pesisir. Bagi komunitas ini ketergantungan hidup mereka kepada sumberdaya alam daratan juga sama besarnya dengan ketergantungan mereka kepada sumberdaya perairan. Dilihat dari tipologinya, masyarakat pesisir di Indonesia dikategorikan berdasarkan hubungan, adaptasi dan pemahaman terhadap daerah pesisir dengan segala kondisi geografisnya dapat di bagi menjadi tiga kategori yaitu masyarakat perairan, masyarakat nelayan, dan masyarakat pesisir tradisional. Masyarakat nelayan dianggap sebagai kelompok masyarakat pesisir yang paling banyak
185 memanfaatkan hasil laut dan potensi lingkungan perairan dan pesisir untuk kelangsungan hidupnya. Masyarakat nelayan pada umumnya telah bermukim secara tetap di daerah-daerah yang mudah mengalami kontak-kontak dengan masyarakat lain. Dengan demikian sistem ekonomi masyarakat nelayan pada umumnya tidak dapat lagi dikategorikan masih berada pada tingkat subsisten, tetapi sudah masuk ke sistem perdagangan, karena hasil laut yang mereka peroleh tidak dikonsumsi sendiri, tetapi didistribusikan dengan imbal ekonomis kepada pihak-pihak lain. Masyarakat nelayan dapat dikategorikan sebagai bagian dari satu suku bangsa yang besar misalnya masyarakat nelayan Bagan Siapiapi (bagian dari suku bangsa Cina), nelayan Marunda, Muara Karang dan Cilincing di Jakarta Utara (bagian suku bangsa Betawi), nelayan Pelabuhan Ratu (bagian suku bangsa Sunda), nelayan Cilacap dan Tegal (bagian suku bangsa Jawa) dan kelompok masyarakat nelayan daerah lainnya. Aspek sosial dalam kajian ini difokuskan pada kajian dimensi sosial yang terkait dengan keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil dilokasi yang telah ditentukan. Kajian keberlanjutan perikanan tangkap pada dimensi sosial dilakukan untuk menggambarkan kehidupan nelayan sebagai manusia yang harus beradaptasi dengan lingkungan sosial dan sumberdaya perikanan sebagai sumber kehidupannya. Aspek sosial yang selama ini terabaikan perlu mendapatkan perhatian serius dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan laut, sehingga upaya pencapaian distribusi, pemerataan pendapatan, dan penanganan konflik yang proporsional diantara berbagai kelompok pengguna sumberdaya perikanan dapat tercapai. Analisis Rapfish pada dimensi sosial dalam penelitian ini terdiri dari 9 atribut yaitu pengetahuan lingkungan perikanan,
partisipasi keluarga dalam
pemanfaatan sumberdaya perikanan dan sosialiasi pekerjaan (individual atau kelompok), jumlah RTP dibandingkan jumlah penduduk di wilayah masingmasing, tingkat pendidikan, status dan frekuensi konflik, frekuensi pertemuan antar warga berkaitan pengelolaan sumberdaya perikanan, frekuensi penyuluhan dan pelatihan, dan pertumbuhan pekerja / RTP pengeksploitasi SDI (5-10 tahun terakhir).
186 Atribut pengetahuan lingkungan perikanan dan partisipasi keluarga berguna untuk mengetahui sampai sejauh mana dapat dilihat tingkat kepedulian dan ketergantungan mereka terhadap sumberdaya perikanan. Atribut RTP dan pertumbuhan pekerja sumberdaya perikanan (5-10 tahun terakhir) untuk mengetahui bagaimana peningkatan penduduk yang bergantung terhadap sumberdaya perikanan yang semakin menurun. Atribut frekuensi pertemuan antar warga dan penyuluhan/pelatihan untuk mengetahui bagaimana peran serta para nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Atribut status dan frekuensi konflik untuk melihat bagaimana sumberdaya perikanan dan laut itu menjadi hal yang sangat penting untuk dikelolah secara benar akibat keberadaannya yang semakin sedikit. Atribut tingkat pendidikan untuk melihat pengetahuan mereka terhadap suatu masalah, penerimaan terhadap masukan-masukan mengenai pengelolaan sumberdaya perikanan dan lain sebagainya. 7.2
Metodologi Metode yang digunakan dalam penelitian Bab 7 ini sama seperti yang telah
dibahas pada bab sebelumnya yaitu gabungan antara penelitian deskriptif dan survei langsung (pengamatan dan wawancara). Data tentang pengetahuan lingkungan perikanan, tingkat pendidikan, status frekuensi dan konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, frekuensi pertemuan antar warga berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan, sosialisasi pekerjaan (individual atau kelompok) dan frekuensi penyuluhan dan pelatihan diperoleh berdasarkan wawancara langsung dengan nelayan dan pengamatan langsung di kedua lokasi penelitian. Sedangkan data jumlah RTP dibandingkan jumlah penduduk di wilayah kajian dan pertumbuhan pekerja/RTP pengeksploitasi SDI (dalam kurun waktu 510 tahun terakhir) diperoleh berdasarkan laporan dinas perikanan, badan pusat statistik dan dinas-dinas terkait yang berwenang mengeluarkan data-data tersebut. Pemilihan dan jumlah responden untuk wawancara langsung dilakukan sama seperti pada bab 5 : keberlanjutan perikanan tangkap pada dimensi ekologi. Selain proses pengumpulan data, bab ini juga membahas hal-hal yang berkaitan dengan dimensi sosial ditinjau dari perspektif keberlanjutannya.
187 Perspektif keberlanjutan dari dimensi sosial antara lain dengan melakukan analisis keadaan sosial serta atribut-atribut yang mempengaruhi keberlanjutan perikanan tangkap dari sisi sosial. Metode dalam penentuan indeks keberlanjutan sosial perikanan tangkap dengan teknik Rapfish dilakukan melalui sistimatika yang telah ditentukan seperti telah diuraikan pada Bab 3 (Metode Umum Penelitian). Indeks status keberlanjutan sosial perikanan tangkap dimulai dengan pembuatan skor setiap atribut pada dimensi sosial berdasarkan kondisi realita data di lapangan baik dengan wawancara dan pengamatan (data primer) maupun dengan menggunakan data sekunder. Penyusunan skor ini berdasarkan acuan-acuan yang telah dibuat baik melalui literatur maupun judgment dari penulis dengan asumsi-asumsi dan dasar-dasar ilmiah. Skor yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam program microsoft excel dengan template sosial yang telah dipersiapkan sebelumnya kemudian di-run sehingga diperoleh nilai multidimenstional scaling dari Rapfish yang lebih dikenal dengan indeks keberlanjutan. Nilai indeks keberlanjutan perikanan skala kecil ini pada metode Rapfish diketahui mempunyai reference dari bad (buruk) sampai good (baik) dalam selang 0-100. Untuk memudahkan dalam penentuan status keberlanjutan usaha perikanan baik di Kabupaten Serang maupun Kabupaten Tegal maka selang dari bad (0) sampai good (100) tersebut di bagi menjadi beberapa bagian, yaitu dengan membagi empat selang 0-100 tersebut. Selang indeks keberlanjutan tersebut yaitu selang 0-25 dalam status buruk, selang 26-50 dalam status kurang, selang 51-75 dalam status cukup dan selang 76-100 dalam status baik. Pembagian selang yang menggambarkan status indeks keberlanjutan sosial dapat dilihat pada Tabel 7.1. Tabel 7.1 No 1 2 3 4
Selang indeks dan status keberlanjutan sosial perikanan tangkap skala kecil Selang Indeks Keberlanjutan 0-25 26-50 51-75 76-100
Status Keberlanjutan Buruk Kurang Cukup Baik
188 7.3
Hasil Penelitian
7.3.1
Kondisi sosial kegiatan perikanan tangkap
7.3.1.1 Pantai Pasauran Kabupaten Serang Kegiatan perikanan tangkap yang saat ini dilakukan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan / menjadi sumber nafkah utama. Walaupun secara mayoritas berpendidikan sangat rendah yaitu Sekolah Dasar (SD) atau tidak tamat SD dan hanya sebagian kecil yang tamat pendidikan SLTP, secara umum komunitas nelayan di Pasauran Kecamatan Cinangka Kabupaten Serang mencirikan kondisi sosial yang sudah membaur dengan masyarakat lain pada umumnya atau tidak terisolasi seperti yang diungkapkan oleh Kesteven (1973) dengan ciri subsisten. Walaupun skala usahanya tergolong usaha skala kecil, pada umumnya mereka sudah biasa bertransaksi langsung dalam melakukan usahanya sekalipun hanya dilakukan di TPI setempat. Dalam melakukan penjualan hasil tangkapannya tidak tercermin sebagai nelayan subsisten yang hanya berorientasi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tetapi sudah melakukan transaksi jual beli walaupun dengan volume usaha yang terbatas sehingga hasil tangkapan hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Ditinjau dari perkembangan jumlah nelayan atau rumah tangga yang memanfaatkan sumberdaya perikanan di Pasauran, telah terjadi peningkatan. Pada tahun 1990-an nelayan jaring udang lobster hanya berjumlah 6 RTP dan sekarang tahun 2005 sudah mencapai 40 RTP. Penambahan tersebut tidak untuk menambah ABK persatuan unit usaha, tetapi justru menambah jumlah unit usaha perikanan jaring udang lobster di Pasauran. Perkembangan ini disebabkan pada mulanya penangkapan udang lobster di kawasan tersebut sangat menguntungkan. Berbeda dengan unit penangkapan lobster yang meningkat, perkembangan unit usaha penangkapan dengan payang bugis relatif stabil, tidak menunjukkan lonjakan yang tinggi. Ditinjau dari unit penangkapannya, usaha perikanan tangkap yang digelutinya pada umumnya menggunakan tenaga sendiri atau keluarga dekat terutama unit usaha perikanan jaring udang lobster. Dari sisi penggunaan waktu, nelayan jaring udang lobster di Pasauran merupakan kegiatan paruh waktu dengan jumlah jam usaha tidak lebih dari 4 jam perhari dan 6-7 jam untuk payang bugis
189 dengan sifat pekerjaan menggunakan tangan. Ditinjau dari pengaturan hasil tangkapannya, jenis usaha jaring udang lobster dan payang bugis kedua-duanya mencirikan perikanan artisanal yang melakukan penjualan untuk pasar lokal tidak terorganisir dan sebagian langsung ditampung oleh bakul. Dengan skala usaha dan investasi yang relatif kecil tersebut, secara umum keberadaan ekonomi komunitas nelayan jaring udang lobster dan payang bugis bercirikan golongan masyarakat dengan tingkat pendapatan rendah. Secara psikologis nelayan di Pasauran memerlukan perhatian dan pembinaan dari aparat terkait. Dalam kurun waktu 10 tahun tercatat ada satu kali penyuluhan dari HNSI tentang alat dan cara penangkapan dengan pancing. Dalam memecahkan persoalan dilingkungan usahanya, para nelayan melakukan diskusi sesama mereka dalam pertemuan yang diinisiasi oleh ketua kelompok nelayan setempat, walaupun pertemuan tersebut hanya dilakukan sekitar 3 kali dalam setahun. Dalam rangka menjaga lingkungan usahanya, para nelayan setempat sudah bersepakat untuk tidak menangkap udang lobster dengan menggunakan bom, bius, ataupun penyelaman. Apabila ada nelayan luar yang mendekati kawasan ”karang dalam” pantai Pasauran, mereka bersepakat untuk mengusirnya terutama ketika melihat nelayan menggunakan alat tangkap yang berbeda dengan jaring udang lobster misalnya alat penyelaman atau jaring gardan. Hal lain yang menonjol dari aspek sosial diperoleh informasi bahwa telah terjadi konflik perebutan sumberdaya perikanan di wilayah pantai, yaitu dengan masuknya nelayan andon dari Indramayu, Cirebon, Berebes dan Tegal yang menggunakan alat tangkap jaring purse seine besar (jaring bolga : nama populer di Pasauran) yang dilengkapi dengan alat bantu penangkapan (FADs) berupa lampu galaxy dengan kekuatan ribuan watt (>10.000 watt) sehingga dianggap menjadi penyebab menurunnya hasil tangkapan nelayan payang bugis di Pasauran, karena ikan terakumulasi pada lampu rumpon tersebut. 7.3.1.2 Pantai Kabupaten Tegal Kondisi sosial perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Tegal tidak berbeda jauh dengan kominitas nelayan di Pasauran Serang. Strata pendidikan
190 mayoritas nelayan adalah tidak tamat SD, lulus SD dan sedikit sekali yang berpendidikan sampai dengan SLTP dan SLTA. Kesejahteraan nelayan yang dirasakan saat ini lebih disebabkan oleh karena anak-anaknya yang bekerja diluar negeri sebagai ABK kapal ikan di Korea, Jepang, atau di Afrika yang setiap bulannya atau kurun waktu tertentu mengirimkan sebagian gajinya kepada orang tuanya di Suradadi dan sekitarnya. Untuk bekerja di luar negeri pada umumnya mereka tamat pendidikan di SUPM/SMK Kelautan atau sederajat. Dalam perkembangan usaha perikanan tangkap, nelayan di Suradadi dan Munjung Agung merasakan kondisi sosial erat kaitannya dengan peranan kelembagaan formal dan penegakkan hukum dalam dunia perikanan. Konflik sosial antar nelayan menjadi hal yang sangat menghawatirkan mereka dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Beroperasinya jaring arad dari Brebes dan Muarareja dianggap menjadi pemicu rusaknya sumberdaya perikanan dan menurunnya tingkat pendapatan persatuan usaha. Degradasi lingkungan dirasakan oleh karena tidak jelasnya peranan penegak hukum dan lembaga resmi dalam pranata sosial di lingkungan nelayan. Nelayan setempat berpendapat bahwa untuk jadi nelayan tidak perlu berpendidikan tinggi asalkan sumberdaya ikannya tersedia secara berkelanjutan. Mereka mempunyai keyakinan dengan ketersediaan sumberdaya ikan yang cukup kehidupan sosialnya akan lebih baik. Dalam hal ini peranan pemerintah diharapkan dapat lebih ditingkatkan terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan yang ada di wilayahnya. 7.3.2 Kondisi sosial dalam atribut Rapfish Penyusunan skor status keberlanjutan pada dimensi sosial perikanan tangkap skala kecil berdasarkan keadaan lapang daerah penelitian dan berdasarkan acuan dari kriteria yang telah dibuat. Hasil wawancara dan pengamatan lapang yang dilakukan pada dua wilayah yaitu Kabupaten Serang (Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka) dan Perairan Kabupaten Tegal menghasilkan variabel atau atribut dimensi sosial yang dapat dilihat pada Tabel 7.8 dan Lampiran 19. Untuk pendefinisian kriteria data dari variabel atau atribut tersebut maka dilakukan analisis data sebagai fakta atau realita data dalam atribut Rapfish.
191 7.3.2.1 Jumlah RTP (Rumah Tangga Perikanan) pengeksploitasi perikanan dalam suatu wilayah Jumlah kepala keluarga (KK) di Kabupaten Serang tahun 2002 tercatat sebesar 349.911 KK sedangkan pada tahun 2003 tercatat 359.556 KK yang berarti telah terjadi peningkatan jumlah KK sebesar 2,76 % (Tabel 7.2). RTP terdiri dari RTPP (Rumah Tangga Pemilik Perikanan) dan RTBP (Rumah Tangga Buruh Perikanan). Jumlah RTP Kabupaten Serang tahun 2003 sebanyak 783 RTP dan RTBP Kabupaten Serang tahun 2003 sebanyak 4.704 RTBP. Total RTP/RTBP di Kabupaten Serang berjumlah 5.487 RTP.
Dengan demikian jumlah RTP di
Kabupaten Serang sebesar 1,53 % jika dibandingkan dengan jumlah KK (Kepala Keluarga) di kabupaten ini (0). Tabel 7.2 Jumlah KK dan jumlah RTP tahun 2003 di perairan Pantai Pasauran Kabupaten Serang dan perairan Kabupaten Tegal Wilayah Jumlah KK Jumlah RTP Kabupaten Serang 359.556 5.487 Kabupaten Tegal 331.768 2.921 Sumber : BPS Kab. Serang dan BPS Kab. Tegal (2004)
% (RTP / KK) 1,53 0,88
Jumlah KK di Kabupaten Tegal pada tahun 2003 tercatat sebesar 331.768 KK. Jumlah RTP di Kabupaten Tegal tercatat 422 RTP dan jumlah RTBP-nya tercatat 2.499 RTBP (Tabel 7.2). Total RTP/RTBP di Kabupaten Tegal berjumlah 2.921 RTP. Hal ini berarti jumlah RTP di Kabupaten Tegal sebesar 0,88 % jika dibandingkan dengan jumlah KK di Kabupaten Tegal (0). 7.3.2.2 Pengetahuan lingkungan sekitar baik pemukiman, perairan maupun perikanan Hasil penelitian melalui wawancara dan pengamatan diperoleh mengenai pengetahuan para nelayan di Kabupaten Serang tentang lingkungan perairan dan isu perikanan yang terjadi.
Hasil wawancara dan pengamatan mengenai
pengetahuan nelayan tentang lingkungan di Kabupaten Serang dapat dilihat pada Tabel 7.3. Pengetahuan mereka antara lain mengenai limbah pencemaran dari pabrik-pabrik yang beroperasi dan membuang limbahnya ke perairan Serang. Hal ini mereka ketahui dari air laut yang terkadang berwarna hijau dan kadang-kadang
192 menyebabkan gatal-gatal.
Nelayan-nelayan ini juga mengetahui tentang
tumpahan minyak dari kapal-kapal yang melintas di perairan Serang yang akan membunuh biota-biota laut.
Para nelayan di Kabupaten Serang ini juga
memahami isu perikanan mengenai dilarangnya penggunaan trawl atau pukat harimau di perairan Serang. Karena pemahaman para nelayan Kabupaten Serang mengenai alat tangkap yang merusak maka para nelayan ini berusaha menjaga perairan tangkap perikanan baik dengan mengadakan pertemuan-pertemuan kelompok nelayan maupun mengadukan masalah pelanggaran perikanan kepada pihak yang berwenang. Pada satu kasus di Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang ini pernah ada beberapa anggota nelayan mereka menggunakan alat tangkap baru yang merusak maka kelompok nelayan mereka sendiri yang menegurnya, bahkan meminta nelayan pemilik alat tangkap yang merusak tersebut membakarnya.
Selain itu beberapa nelayan yang sudah berumur
mengatakan ada 1-2 jenis ikan yang hilang dalam kurun waktu 10-20 tahun belakangan ini. Peneliti juga mengamati bahwa penduduk di wilayah ini (Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang) juga terlihat lebih bersih baik tempat tinggal, lingkungan maupun pola hidupnya seperti membuang sampah ke tempat sampah. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pengetahuan nelayan baik yang mengoperasikan payang bugis maupun jaring udang dengan menggali isu-isu mengenai pengetahuan terhadap lingkungan terutama isu mengenai perikanan di Kabupaten Serang baik sebenarnya sangat luas (2), yang tidak hanya memahami tentang pengetahuan terhadap lingkungan namun sudah menerapkannya. Tabel 7.3 Hasil wawancara dan pengamatan terhadap pengetahuan nelayan mengenai lingkungan sekitar baik perairan maupun perikanan No
Wilayah
1
Kabupaten Serang Kabupaten Tegal
2
Pengetahuan Lingkungan
Penerapan / Pelaksanaan
Pelanggaran dari Pengetahuan Lingkungan
Ada
Ada
Tidak Ada
Ada
Tidak Ada
Banyak
Skor Sangat Luas (2) Sangat Minim (0)
193 Walaupun nelayan Tegal memiliki pengetahuan tentang lingkungan, namun pelanggaran terhadap norma lingkungan tetap terjadi.
Hal ini dapat
diketahui dari kasus masalah sampah yang bertebaran di pemukiman nelayan, bahkan disekitar pantai perairan mereka dimana mereka cenderung membuangnya ke perairan laut sekitar mereka tinggal. Selain itu mereka juga mencoba alat tangkap baru walaupun merusak, karena bagi para nelayan di Kabupaten Tegal asalkan biaya operasional tertutup bahkan menguntungkan mereka akan menggunakan atau mengoperasikannya.
Hal ini menggambarkan bahwa
masyarakat nelayan di Kabupaten Tegal mengerti tentang pengetahuan masalah lingkungan akan tetapi tidak melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dan cenderung untuk melakukan pelanggaran. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pengetahuan mereka akan lingkungan baik lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan perairan dan perikanan sangat minim (0). 7.3.2.3 Tingkat pendidikan Pencapaian pendidikan merupakan salah satu ukuran untuk menilai kemajuan suatu masyarakat. Masyarakat yang berpendidikan akan lebih mudah menyerap informasi-informasi kemajuan peradaban, sehingga dapat meningkatkan kualitas penduduk daerah yang bersangkutan.
Pendidikan juga mempunyai
korelasi yang kuat dengan berbagai aspek sosial ekonomi. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang kuat dengan kualitas hidup dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Karena itu
pembangunan pendidikan sangat penting untuk mencetak generasi yang memiliki kemampuan dan kualitas yang unggul bagi kemajuan suatu bangsa. Proporsi penduduk yang bekerja menurut lapangan pekerjaan bisa dipakai sebagai salah satu ukuran untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja. Tabel 7.4 memperlihatkan bahwa sektor pertanian adalah sektor yang menyerap tenaga kerja paling besar. Pertanian merupakan sektor informal menyerap tenaga kerja paling besar. Ini artinya jika tidak ada perluasan kesempatan kerja pada sektor formal, para pengangguran atau setengah penganggur akan kembali ke sektor pertanian maupun sektor tradisional /informal
194 lainnya yang bersifat padat karya, yaitu sektor dengan produktifitas dan pendapatan yang rendah. Tabel 7.4 Proporsi pekerja menurut lapangan usaha Kabupaten Serang Tahun 2002 – 2003 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Indikator Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, gas dan air bersih Konstruksi Perdagangan, hotel dan restoran Angkutan dan Komunikasi Bank dan lembaga keuangan lainnya Jasa-jasa Jumlah Sumber : BPS Kabupaten Serang, 2003
Tahun 2002 35,96 0,45 15,39 0,29 4,06 21,55 12,31 0,85 9,14 100,00
Tahun 2003 36,07 0,50 14,99 0,26 4,11 21,31 12,37 0,84 9,55 100,00
Proporsi pekerja yang bekerja di sektor pertanian yaitu 35,96 % pada tahun 2002 dan 36,07 % pada tahun 2003, dimana subsektor perikanan masuk ke dalam sektor ini (Tabel 7.4). Jumlah penduduk 10 tahun ke atas yang menjadi tenaga kerja menurut IPM Kabupaten Serang (2003) pada tahun 2002 sebesar 1.342.745 jiwa dan pada tahun 2003 sebesar 1.347.207 jiwa. Rata-rata penduduk 10 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2002 sebesar 482.852 jiwa dan pada tahun 2003 sebesar 485.938 jiwa. Tabel 7.5 Persentase pendidikan tertinggi yang ditamatkan bagi penduduk usia 10 tahun ke atas dalam indikator pendidikan kabupaten serang tahun 2002 – 2003
No 1 2 3 4 5 6
Indikator Tidak/Belum Tamat SD SD / MI SLTP / MTs SLTA / MA D1 / D2 / D3 S1 / S2 / S3 Jumlah
Sumber
:
% 33,96 37,69 14,92 11,59 0,83 1,01 100,00
2002 Penduduk di Sektor Pertanian 163.976 181.987 72.041 55.962 4.008 4.877 482.851
BPS Kabupaten Serang, 2003
2003 Penduduk % di Sektor Pertanian 33,64 163.469 37,44 181.935 14,86 72.210 12,02 58.410 0,95 4.616 1,09 5.297 100,00 485.938
195 Tingkat pendidikan pada tahun 2003 di sektor pertanian yaitu 71,08 % didominasi oleh tamatan SD ke bawah (Tabel 7.5). Persentase 71,08 % ini adalah penduduk tamat SD/MI sebesar 37,44 % (181.935 jiwa) dan tidak/belum tamat SD sebesar 33,64 % (163.469 jiwa). Oleh karena itu, lebih dari 70 % penduduk di atas 10 tahun yang bekerja di sektor pertanian (termasuk subsektor perikanan) Kabupaten Serang mempunyai pendidikan rendah (0). Jumlah penduduk Kabupaten Tegal berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan sebanyak 1.171.667 orang (Tabel 7.6). Jumlah penduduk terbesar berdasarkan pendidikan yang ditamatkan adalah SD sebesar 883.691 orang atau 75,42 % dari jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan tertinggi. Selain itu SLTP sebesar 174.772 orang (14,92 %) dan SLTA sebesar 113.204 orang (9,66 %). Tabel 7.6
Jumlah penduduk Kabupaten Tegal berdasarkan tingkat pendidikan yang sudah ditamatkan pada tahun 2003
No Pendidikan Tertinggi Jumlah 1 SD 883.691 2 SLTP 174.772 3 SLTA + Universitas 113.204 Jumlah 1.171.667 Sumber : BPS Provinsi Jawa Tengah, 2004
Persentase 75,42 14,92 9,66 100,00
Berdasarkan Renstrada Kabupaten Tegal (2004), jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian sebesar 25,85 %. Hal ini berarti sektor pertanian termasuk di dalamnya subsektor perikanan Kabupaten Tegal mempunyai tingkat pendidikan yang rendah (0). 7.3.2.4 Status dan frekuensi konflik Konflik yang sering terjadi pada usaha perikanan di Kabupaten Serang adalah konflik pemanfaatan perairan yang hangat dan masih sering dibicarakan oleh para nelayan. Status dan Frekuensi Konflik di Kabupaten Serang ini dapat dilihat pada Tabel 7.7. Konflik yang terjadi dimulai pada tahun 2002 dimana kapal-kapal jaring bolga (sebutan untuk purse seiner) dari luar wilayah Serang menangkap ikan di perairan kabupaten ini bahkan di daerah fishing ground tempat
196 para nelayan payang bugis menempatkan rumpon-rumponnya. Menurut para nelayan di Desa Pasauran, selain menghabiskan ikan-ikan tangkapan nelayan payang bugis mereka sering merusak rumpon-rumpon nelayan akibat terkait/ tersangkut jaring bolga (purse seine). Bahkan pada saat ikan tidak ada mereka mengejar ikan ke daerah rumpon nelayan payang bugis dan mereka juga sering mencuri ikan di rumpon-rumpon yang pada nelayan tebar tebar.
Selain itu
menurut nelayan, jaring bolga ini juga merusak dasar perairan karena selain mengangkut rumpon-rumpon nelayan jaring bolga ini juga mengangkat karangkarang tempat ikan-ikan bertelur.
Hal ini yang menimbulkan konflik yang
berkepanjangan karena sudah seringkali memberikan teguran namun tidak pernah diindahkan.
Karena telah mencapai puncaknya, akhirnya para nelayan di
Kabupaten Serang melakukan aksi pembakaran terhadap kapal-kapal bolga yang beroperasi di perairan Kabupaten Serang. Pada kasus ini terlihat bahwa status konflik yang dibiarkan terus menerus tanpa penanganan yang benar dari aparat keamanan akan menyulut konflik menjadi aksi. Aksi pembakaran yang timbul ini menunjukkan bahwa status konflik pemanfaatan perairan untuk usaha perikanan di Kabupaten Serang tergolong berat (2). Pemanfaatan perairan dan perikanan di Kabupaten Tegal, konflik yang ditimbulkan bukan dengan nelayan di luar wilayah mereka lagi. Konflik yang ditimbulkan di wilayah ini justru antar para nelayan mereka sendiri yang berbeda alat tangkap. Konflik yang muncul ini hampir terjadi setiap minggu bahkan setiap hari jika pada saat ikan tidak ada, seperti contoh armada perikanan yang menggunakan alat tangkap A beroperasi di wilayah si B. Kasus ini terjadi karena sedikitnya hasil produksi perikanan yang mereka peroleh. Jika konflik sudah terjadi bukan saja aksi pembakaran di laut tetapi sudah sampai perang antar desa nelayan bahkan ribut-ribut dengan tetangga mereka sendiri karena perbedaan alat tangkap walaupun masih sama-sama satu desa sehingga gesekan-gesekan konflik ini sangat mudah terjadi. Oleh karena itu, status dan frekuensi konflik yang timbul di Kabupaten Tegal ini sudah sangat berat (3). Tabel 7.7 menunjukkan wilayah konflik dan status serta frekunsi konflik yang terjadi di Kabupaten Tegal.
197 Tabel 7.7 Wilayah konflik, status dan frekuensi konflik di Kabupaten Serang dan Kabupaten Tegal No
Wilayah
1
Kabupaten Serang
2
Kabupaten Tegal
Wilayah Konflik Beda wilayah Satu Kabupaten, satu wilayah, bahkan dengan satu desa
Frekuensi Dalam kurun waktu 2-3 tahun Setiap minggu, bahkan pada saat ikan tidak ada bisa setiap hari
Status
Skor
Aksi pembakaran
Berat (2)
Aksi pembakaran, ribut antar desa, ribut antar tetangga yang berbeda alat tangkap
Sangat Berat (3)
7.3.2.5 Partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan Partisipasi keluarga dalam mendukung usaha perikanan memang sangat dibutuhkan untuk menopang pendapatan kepala keluarga. Partisipasi keluarga dalam usaha perikanan ini dapat berupa peran istri dalam menjual hasil perikanan, pengasinan dan penjemuran ikan-ikan non ekonomis atau peran anak-anak nelayan membantu ibunya melakukan usaha perikanan selain penangkapan ikan. Hasil wawancara dengan para nelayan di Kabupaten Serang ini diperoleh bahwa keterlibatan atau peran serta istri maupun anak dalam usaha perikanan sudah tidak ada. Begitu juga melalui pengamatan tidak ditemukan penjemuran atau pengasinan ikan.
Oleh karena itu, partisipasi keluarga nelayan dalam
mendukung usaha perikanan di Kabupaten Serang pada alat tangkap payang bugis maupun jaring udang dapat dikatakan tidak ada (0). Kondisi partisipasi keluarga di Kabupaten Tegal berbeda dengan Kabupaten Serang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan di
Kabupaten Tegal ini diperoleh bahwa keterlibatan atau peran serta istri maupun anak dalam usaha perikanan cukup banyak. Selain terlibat dalam penjemuran atau pengasinan ikan-ikan non ekonomis, istri-istri nelayan ini biasanya juga berdagang ikan. Anak-anak nelayan ini pun sudah mulai mencoba terjun bekerja membantu orangtuanya selain menangkap ikan. Begitu juga melalui pengamatan banyak ditemukan penjemuran atau pengasinan ikan. Oleh karena itu, partisipasi keluarga nelayan dalam mendukung usaha perikanan di Kabupaten Tegal yang
198 menggunakan jaring rampus, bundes dan payang gemplo dikatakan cukup banyak atau ada (1). 7.3.2.6 Frekuensi pertemuan sumberdaya perikanan
antar
warga
berkaitan
pengelolaan
Pertemuan antar warga nelayan sangat penting dilakukan mengingat sangat kompleksnya penanganan dan pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Pertemuan antar warga biasanya sering dilakukan jika sudah menyangkut masalah konflik pemanfaatan sumberdaya laut. Hal ini cukup baik dilakukan mengingat sebelum terjadi konflik yang berat dan aksi-aksi yang merugikan semua pihak seperti pembakaran, perang antar desa nelayan dan ribut antar tetangga satu desa maka diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk keputusan bersama. Berdasarkan wawancara para warga nelayan di Kabupaten Serang diperoleh pendapat bahwa pertemuan antar warga nelayan bersama dengan ketua kelompok dilakukan karena adanya konflik dengan nelayan-nelayan bolga (nelayan dari luar Kabupaten Serang) yang beroperasi di perairan pemanfaatan perikanan mereka. Hasil pertemuan antar warga nelayan di Kabupaten Serang ini adalah menegur nelayan-nelayan bolga ini agar beroperasi tidak di daerah fsihing ground mereka.
Namun karena tidak digubris maka mereka mengadakan
pertemuan kembali dengan hasil kedua yaitu melaporkan masalah ini ke aparat keamanan dan mengusir mereka dari perairan Kabupaten Serang. Keputusan kedua ini pun tidak diindahkan oleh nelayan-nelayan bolga dan aparat keamanan pun cenderung diam menanggapi konflik ini, akhirnya mereka mengadakan pertemuan ketiga dengan hasil keputusan melakukan aksi yaitu aksi pembakaran untuk melakukan pengusiran kapal-kapal nelayan bolga. Pada kasus ini terlihat bahwa mereka cenderung melakukan tahap-tahap pertemuan antar warga nelayan dengan sistematis.
Hasil tahap-tahap pertemuan mereka antara lain dengan
menegur, mengusir dan melaporkan ke aparat kemananan dan terakhir melakukan aksi walaupun sebenarnya hal tersebut tidak diijinkan dan diperbolehkan. Dari kasus di Kabupaten Serang ini frekuensi pertemuan antar warga nelayan di Kabupaten Serang sudah dilakukan sebanyak tiga kali dalam setahun yang dapat dikatakan sering (2).
199 Pada subab 7.3.2.4 di atas menyatakan bahwa status dan frekuensi konflik di Kabupaten Tegal sudah sangat berat.
Oleh karena sudah sangat beratnya
konflik yang ditimbulkan maka frekuensi pertemuan antar warga nelayan pun bukan berdasarkan tahapan-tahapan untuk proses menangani masalah tapi cenderung untuk menengahi masalah / konflik yang sudah terjadi.
Karena
banyaknya konflik yang terjadi maka kelompok nelayan antar kepentingan di Kabupaten Tegal ini juga cukup banyak. Walaupun sering terjadinya pertemuanpertemuan antar warga nelayan di Kabupaten Tegal hanya untuk menengahi masalah atau konflik yang telah terjadi, hal ini dapat dinilai cukup baik karena para nelayan maupun kelompok nelayan di Kabupaten Tegal masih mencoba menengahi masalah dengan pembicaraan dan keputusan bersama-sama.
Dari
kasus di Kabupaten Tegal ini frekuensi pertemuan antar warga nelayan di Kabupaten Tegal sudah dilakukan lebih dari tiga kali dalam setahun yang dapat dikatakan sering (2). 7.3.2.7 Sosialisi pekerjaan Sosialisasi pekerjaan usaha perikanan pada setiap alat tangkap berbedabeda, ada yang dilakukan secara individu, kerjasama hanya dalam satu keluarga atau kerjasama antar kelompok antar masyarakat nelayan pemanfaat sumberdaya perikanan.
Pada kasus di Kabupaten Serang untuk usaha perikanan yang
menggunakan alat tangkap payang bugis dilakukan secara kelompok dengan melibatkan kelompok masyarakat pengeksploitasi sumberdaya perikanan (2), sedangkan untuk usaha perikanan dengan alat tangkap jaring udang hanya dilakukan oleh 1-2 orang karena keterbatasan kapasitas perahu yang sangat kecil. Hal ini tidak berarti bahwa mereka bersifat tertutup, karena sesungguhnya mereka merupakan kelompok yang secara bersama-sama memanfaatkan dan mengawasi sumberdaya perikanan (fishing ground) di wilayahnya dengan kompak. Kebersamaan dan ikatan sosial sangat nampak ketika ada pengguna sumberdaya ikan yang dicurigai menggunakan cara-cara yang merusak (2). Kegiatan usaha penangkapan ikan di Kabupaten Tegal baik yang menggunakan jaring rampus, bundes, maupun payang gemplo dilakukan secara berkelompok dengan masyarakat nelayan pengeksploitasi perikanan dengan ikatan sosial yang begitu
200 erat terutama diantara sesama pengguna alat tangkap yang sama atau dari wilayah yang sama. Kelompok nelayan di perairan pantai Tegal sangat peduli terhadap wilayah perairan tempat mereka melakukan penangkapannya dan sangat tidak suka apabila ada nelayan pendatang dengan menggunakan alat tangkap yang dianggapnya merusak (2). 7.3.2.8 Frekuensi penyuluhan dan pelatihan Berdasarkan
hasil
wawancara
penyuluhan
dan
pelatihan
kepada
masyarakat di Kabupaten Serang pernah dilakukan 3 kali dalam setahun seperti penyuluhan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Serang mengenai caracara penangkapan ikan yang benar dan ramah lingkungan, Departemen Kelautan dan Perikanan mengenai daerah fishing ground di perairan Kabupaten Serang, dan Lembaga Swadaya Masyarakat mengenai pengolahan hasil perikanan (2). Kegiatan penyuluhan dan pelatihan masalah perikanan di Kabupaten Tegal sebenarnya sudah sering dilakukan bahkan lebih dari 5 kali dalam setahun (3). Lembaga yang telah memberikan penyuluhan dan pelatihan tersebut antara lain Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Tegal, Departemen Kelautan dan Perikanan dan LSM-LSM atau organisasi kemasyarakatan yang berhubungan dengan perikanan di Kabupaten Tegal. Organisasi atau LSM di Kabupaten Tegal inilah yang lebih sering memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada para nelayan. 7.3.2.9 Pertumbuhan pekerja / RTP pengeksploitasi SDI (kurun waktu 5-10 tahun terakhir) Pertumbuhan pekerja atau RTP pengeksploitasi perikanan di Kabupaten Serang pada tahun 1996 terdiri dari RTP berjumlah 1.603 KK dan RTBP berjumlah 4.979 KK. Total dari RTP pengeksploitasi sumberdaya perikanan di Kabupaten Serang tahun 1996 adalah 6.582 KK. Pada tahun 2003 jumlah RTP sebanyak 783 KK dan RTBP sebanyak 4.704 KK. Total RTP pengeksploitasi sumberdaya perikanan di Kabupaten Serang pada tahun 2003 adalah 5.487 KK. Jika dilihat dari perkembangan pekerja atau RTP pengeksploitasi sumberdaya perikanan di Kabupaten Serang dari tahun 1996 sampai tahun 2003 mengalami perubahan (penurunan) sebesar -16,64 % (0).
201 Pada Kabupaten Tegal perubahan pekerja atau RTP pengeksploitasi perikanan pada tahun 1994 terdiri dari RTP berjumlah 328 KK dan RTBP berjumlah 1.942 KK.
Total RTP pengeksploitasi sumberdaya perikanan di
Kabupaten Tegal pada tahun 1994 sebesar 2.270 KK. Pada tahun 2003 jumlah RTP sebanyak 422 KK dan RTBP sebanyak 2.499 KK, sehingga total RTP pengeksploitasi sumberdaya perikanan pada tahun 2003 adalah 2.921 KK. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah RTP di Kabupaten Tegal dari tahun 1994 sampai tahun 2003 sebesar 28,66 % (3). 7.3.3
Skor atribut dan indeks keberlanjutan pada dimensi sosial Analisis Rapfish pada dimensi sosial ini berjumlah 9 atribut.
pengetahuan lingkungan perikanan,
Untuk
partisipasi keluarga dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan dan sosialiasi pekerjaan (individual atau kelompok) diperoleh dan dianalisis berdasarkan per alat tangkap. Jumlah RTP dibandingkan jumlah penduduk di wilayah masing-masing,
tingkat pendidikan, status dan
frekuensi konflik, frekuensi pertemuan antar warga berkaitan pengelolaan sumberdaya perikanan, frekuensi penyuluhan dan pelatihan, dan pertumbuhan pekerja /RTP pengeksploitasi SDI (5-10 tahun terakhir) dianalisis secara agregat dari daerah atau wilayah dari masing-masing usaha perikanan. Realitas data berupa skor-skor berdasarkan kondisi lapangan masing-masing atribut pada dimensi sosial disajikan pada Tabel 7.8. Nilai skor pada dimensi sosial seperti yang tercantum pada Tabel 7.8 kemudian di analisis dengan metode Rapfish.
Hasil yang diperoleh dengan
metode Rapfish pada dimensi sosial menunjukkan nilai indeks keberlanjutan usaha perikanan secara sosial (Tabel 7.9). Nilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap ditinjau dari dimensi sosial ini menunjukkan skor dan indeks yang sama untuk masing-masing wilayah. Hal ini terjadi karena dimensi ini lebih banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan berlaku umum, disamping itu, komunitas nelayan yang relatif homogen dalam berbagai aspek.
202
Tabel 7.8 Realitas data di lapangan dan nilai skor setiap atribut pada dimensi sosial No
Atribut
1.
Jumlah RTP dibandingkan jumlah penduduk di wilayah masing-masing Pengetahuan lingkungan perikanan Tingkat pendidikan Status dan frekuensi konflik Partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan Frekuensi pertemuan antar warga berkaitan pengelolaan sumberdaya perikanan Sosialiasi Pekerjaan (Individual atau kelompok) Frekuensi Penyuluhan dan Pelatihan Pertumbuhan pekerja / RTP pengeksploitasi SDI (5-10 tahun terakhir)
2. 3. 4. 5. 6.
7. 8. 9.
Baik
Buruk
Payang bugis
Jaring Udang
Jaring Rampus
Bundes
Payang Gemplo
0
2
0
0
0
0
0
2
0
2
2
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
3
2
2
3
3
3
1
0
0
0
1
1
1
2
0
2
2
2
2
2
2
0
2
2
2
2
2
3
0
2
2
3
3
3
0
3
0
0
3
3
3
Tabel 7.9 Nilai indeks keberlanjutan perikanan (IKP) pada dimensi sosial No.
Usaha Perikanan
Serang 1. Serang Payang bugis 2. Serang Jaring Udang Rata-rata indeks Kab. Serang Tegal 3. Tegal Jaring Rampus 4. Tegal Bundes 5. Tegal Payang Gemplo Rata-rata indeks Kab. Tegal
IKP pada Atribut Hukum/Kelembagaan
Status Keberlanjutan
58,02 58,02 58,02
Cukup Cukup Cukup Berkelanjutan
60,87 60,87 60,87 60,87
Cukup Cukup Cukup Cukup Berkelanjutan
Hasil ordinasi Rapfish pada dimensi sosial untuk seluruh alat tangkap yang dianalisis yaitu payang bugis (Serang), jaring udang (Serang), jaring rampus (Tegal), bundes (Tegal), dan payang gemplo (Tegal) dapat dilihat pada gambar
203 7.1. Gambar tersebut sangat jelas digambarkan posisi status perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Serang dan Kabupaten Tegal dilihat dari dimensi sosial.
60
Serang Payang bugis 56
Serang Jaring udang
Sumbu Y Setelah Rotasi
40
Tegal Rampus Tegal Bundes Tegal Gemplo
20
Anchor 0
100
0 0
25
50
75
Reference
100
58.02 58.02
-20
60.87
60.87 60.87
-40 40 -60
Sumbu X Setelah Rotasi : Skala sustainabilitas
Gambar 7.1 Posisi status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di Serang dan Tegal pada dimensi sosial. Nilai stress yang diperoleh dari dimensi teknologi ini sebesar 16,54 % atau masih < 25 %. Hal ini menurut prosedur multidimensional scaling (MDS) diacu dalam Fauzi dan Anna (2004) adalah jika nilai stress atau yang dilambangkan dengan S semakin rendah menunjukkan good fit, sementara nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya.
Nilai Stress (S) yang diperoleh dalam
dimensi teknologi ini sebesar 16,54 % (S < 25 %) maka analisis Rapfish sudah memenuhi kondisi fit (goodness of fit). Beberapa nilai statistik yang diperoleh dalam Rapfish pada dimensi sosial dapat diihat pada Tabel 7.10.
204 Tabel 7.10 Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish pada dimensi sosial No Atribut Statistik 1 Stress 2 R2 3 Jumlah Iterasi
Nilai Statistik 0,1654 0,8570 3
Prosentase 16,54 85,70
Selanjutnya untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak (random error) dilakukan metode simulasi Monte Carlo terhadap seluruh dimensi. Kavanagh (2001) dalam Fauzi dan Anna (2004) menyatakan ada tiga tipe untuk melakukan simulasi algoritma Monte Carlo. Dalam studi ini hanya dilakukan analisis Monte Carlo dengan metode “scatter plot” yang menunjukkan ordinasi dari setiap dimensi. Analisis dalam melihat tingkat kestabilan hasil ordinansi tersebut untuk melihat tingkat gangguan (perturbation) terhadap nilai ordinasi (Spence and Young, 1978), yang dilakukan iterasi sebanyak 25 kali. Hasil analisis Monte Carlo dari dimensi sosial dapat dilihat pada Gambar 7.2. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa usaha perikanan di kedua Kabupaten pada setiap jenis alat telah banyak mengalami gangguan (perturbation) yang ditunjukkan oleh plot yang menyebar.
Other Distingishing Sumbu Y setelahFeatures rotasi
60
40
20
0 0
20
40
60
80
100
-20
-40
-60
Sumbu X setelahFisheries rotasi : scatter plot skala sustainabilitas Sustainability
Gambar 7.2 Kestabilan nilai ordinasi hasil Rapfish dengan Monte Carlo pada dimensi sosial
205 Oleh karena hasil Rapfish masih bersifat umum, selanjutnya atribut-atribut sosial yang digunakan tersebut perlu dianalisis atribut mana yang paling sensitif mempengaruhi tingkat keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil menurut dimensi sosial.
Oleh karena itu diperlukan analisis sensitivitas atau analisis
leverage. Analisis leverage ini pada dasarnya sama seperti yang diterapkan pada dimensi lainnya yaitu untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap skor keberlanjutan sosial apabila satu atribut dikeluarkan dari analisis sehingga bisa dilihat tingkat sensitivitas skor keberlanjutan sosial akibat dikeluarkannya satu atribut. Menurut Picther et al (2002), analisis sensitivitas atau analisis leverage dilakukan terhadap atribut-atribut masing-masing dimensi. Perhitungan dilakukan dengan metode stepwise yaitu dengan membuang setiap atribut secara berurutan satu persatu kemudian menghitung berapa nilai error atau Root Mean Square (RMS) tersebut dibandingkan dengan RMS yang dihasilkan pada saat seluruh atribut dimasukkan. Dalam statistik metode ini dikenal dengan metode JackKnife (Kavanagh, 2001). Pada dimensi sosial mengindikasikan bahwa atribut status dan frekuensi konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan SDI dan tingkat pendidikan, merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap nilai atau status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil. Nilai root mean square change ketiga atribut ini jauh lebih tinggi dibandingkan atribut lainnya terutama atribut jumlah RTP dan pertumbuhan jumlah RTP pengeksploitasi sumberdaya (hanya satu per empat). Secara keseluruhan leverage atribut sosial dapat dilihat pada Gambar 7.3.
206
Pertumbuhan pekerja / RTP pengeksploitasi SDI (5-10 tahun terakhir)
2.40 4.76
Frekuensi Penyuluhan dan Pelatihan
7.75
Sosialiasi Pekerjaan (Individual atau kelompok)
9.24
Frekuensi Pertemuan Warga Berkaitan Pengelolaan Perikanan
11.27
Partisipasi Keluarga dalam Pemanfaatan SDI
13.03
Status dan Frekuensi Konflik 11.72
Tingkat Pendidikan 8.36
Pengetahuan Lingkungan 2.36
Jumlah RTP pengeksploitasi perikanan 0
2
4
6
8
10
12
14
Gambar 7.3 Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi sosial
7.4
Pembahasan Seperti pada dimensi ekologi, teknologi, dan ekonomi pada Bab 5, 6 dan 7
sebelumnya, berbagai tahapan dan analisis untuk menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil dari dimensi sosial di dua lokasi penelitian telah dilakukan diantaranya: (1) analisis sosial kegiatan perikanan tangkap di kedua lokasi penelitian, (2) penentuan skor dan indek keberlanjutan pada dimensi sosial, (3) penggambaran ordinasi Rapfish dimensi sosial atas dasar alat tangkap dan lokasi penelitian, (4) uji goodness of fit dengan prosedur Multidimensional Scaling (MDS), (5) penentuan nilai koefisien determinasi (R2), (6) uji kestabilan ordinasi dengan teknik analisis Monte Carlo, (7) uji sensitivitas dengan metode analisis leverage, dan (8) penggambaran artribut sensitif pada dimensi sosial serta (9) penentuan respons (alternatif imlpikasi kebijakan) yang harus dilakukan terhadap atribut sensitif. Indeks keberlanjutan perikanan tangkap pada dimensi sosial di kedua lokasi penelitian menunjukkan perbedaan yang cukup jelas (Tabel 7.9). Indeks keberlanjutan pada kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Serang dengan jaring udang dan payang bugis sebesar 58,02. Indeks keberlanjutan untuk kegiatan perikanan di Kabupaten Tegal yang menggunakan alat tangkap jaring rampus, bundes dan payang gemplo masing-masing sebesar 60,87. Indeks ini
207 menunjukkan bahwa pada dimensi sosial kegiatan perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Serang yang menggunakan alat tangkap jaring udang dan payang bugis pada selang keberlanjutan 51-75 termasuk dalam status cukup berkelanjutan. Demikian juga untuk kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Tegal dengan alat tangkap jaring rampus, bundes maupun payang gemplo walaupun sedikit lebih tinggi dari kegiatan perikanan tangkap skala kecil di perairan Pasauran, namun secara umum masing-masing dalam status cukup berkelanjutan. Secara umum pada dimensi sosial, usaha perikanan tangkap di Kabupaten Tegal dari ketiga alat tangkap mempunyai indeks keberlanjutan yang lebih tinggi dibandingkan Kabupaten Serang. Untuk mengecek tingkat kepercayaan, pada Tabel 7.10 ditunjukkan nilai dari koefisien determinasi (selang kepercayaan) atau R2 sebesar 85,70 %. Informasi lain yang diperoleh pada Tabel 7.10 adalah jumlah iterasi. Jumlah iterasi ini menyatakan pengulangan perhitungan sebanyak 3 kali pada metode Rapfish. Iterasi atau pengulangan perhitungan pada dimensi sosial ini untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut maupun kesalahan prosedur. Jumlah iterasi ini dapat juga dikatakan untuk mengetahui tingkat kepercayaan dari indeks keberlanjutan perikanan tangkap yang telah diperoleh dari sisi sosial. Oleh karena itu iterasi dianggap cukup apabila nilai stress sudah lebih kecil dari 25%. Hasil analisis sensitivitas atribut, ternyata atribut status dan frekuensi konflik, tingkat pendidikan dan partisipasi keluarga dalam pemanfaatan SDI, merupakan 3 atribut yang secara berurutan sangat berpengaruh terhadap nilai atau status keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap skala kecil. Analisis leverage pada dimensi sosial atribut status dan frekuensi konflik merupakan atribut yang paling sensitif. Penyebab status dan frekuensi konflik ini adalah turunnya jumlah tangkapan dan berakibat langsung turunnya pendapatan sehingga para nelayan cenderung untuk memperluas wilayah penangkapan dan melakukan pelanggaran. Status dan frekuensi konflik pada dimensi sosial ini menjadi paling sensitif karena dengan adanya konflik yang bekepanjangan dapat mrngakibatkan turunnya jumlah tangkapandan berakibat langsung pada turunnya pendapatan sehingga para nelayan cenderung untuk memperluas wilayah penangkapan dan melakukan
208 pelanggaran lain untuk mengkompensasi penurunan pendapatan akibat konflik (Kusnadi, 2002). Di sisi lain sebenarnya konflik juga kemungkinan berimplikasi positif terhadap pemulihan sumberdaya ikan apabila konflik mengakibatkan pengurangan effort. Situasi ekstrim adalah terhentinya kegiatan penangkapan, namun hal ini biasanya terjadi tidak terlalu lama sehingga dampak positifnya tidak begitu signifikan. Dalam situasi seperti ini dibutuhkan resolusi konflik yang efektif, yang diharapkan akan berdampak positif, yaitu resolusi yang mampu mempererat masyarakat yang pada akhirnya akan menciptakan kesepakatan alokasi sumberdaya yang lebih adil (Budiono, 2005). Fakta di lapangan, konflik merupakan gangguan sosial karena nelayan merasa tidak aman dalam melakukan kegiatan usahanya. Berdasarkan informasi dari nelayan, konflik antar nelayan juga terjadi akibat ketidakjelasan kebijakan yang telah dibuat oleh instansi terkait. Status dan frekuensi konflik secara tidak langsung menyebabkan kegiatan perikanan mengalami kemunduran karena para nelayan akan mengalami kerugian materi dan psikis. Oleh karena itu, status dan frekuensi konflik perlu ditangani baik implementasi hukum maupun ketegasan aparan terhadap pelanggaran yang terjadi dengan melibatkan pertisipasi masyarakat lokal.
Hal ini sesuai dengan paradigma pengelolaan sumberdaya
perikanan berkelanjutan yaitu konservasi, rasional dan komunitas nelayan (Charles, 2001). Atribut sensitif lain pada dimensi sosial adalah tingkat pendidikan nelayan. Tingkat pendidikan menjadi isu dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia, karena tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pemanfaataan dan pengelolaan sumberdaya perikanan. Pencapaian pendidikan merupakan salah satu ukuran untuk menilai kemajuan suatu masyarakat.
Masyarakat yang
berpendidikan akan lebih mudah menyerap informasi-informasi kemajuan peradaban, sehingga dapat meningkatkan kualitas penduduk daerah yang bersangkutan. Pendidikan juga mempunyai korelasi yang kuat dengan berbagai aspek sosial ekonomi.
Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa tingkat
pendidikan mempunyai hubungan yang kuat dengan kualitas hidup dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat (BPS Kabupaten Serang, 2003). Oleh karena itu pembangunan pendidikan sangat penting untuk mencetak generasi yang
209 memiliki kemampuan dan kualitas yang unggul bagi kemajuan suatu bangsa. Pendidikan bagi nelayan harus didekati secara partisipatif sesuai kebutuhan dan dirancang bersama sehingga dapat mencapai sasaran. Pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat nelayan adalah pendidikan yang dapat meningkatkan adaptasi nelayan terhadap berbagai perubahan.
Hal tersebut dapat dilakukan melalui
upaya-upaya peningkatan kecakapan hidup (life skill) seperti diversifikasi keahlian sehingga dapat mengembangkan usaha alternatif. Menurut Kusnadi (2002) bahwa rendahnya kemampuan seorang nelayan melakukan diversifikasi usaha perikanan merupakan salah satu akar kemiskinan. Misalnya, seorang nelayan sampan pancingan, tidak akan mudah beralih menjadi nelayan udang ketika musim ikan tongkol, cakalang atau layang sedang tidak musim, karena metode penangkapan dan fasilitas yang digunakan tidak sama. Demikian juga untuk beralih pada alternatif usaha lainnya diluar penangkapan ikan diperlukan diversifikasi keahlian. Dari contoh kasus diatas, terlihat bahwa pendidikan untuk meningkatkan dan mengembangkan keahlian serta kecakapan memiliki peran sangat penting. Krisnamurthi (2002) mengatakan bahwa salah satu dari delapan aspek kunci pengembangan ekonomi rakyat adalah peningkatan kemampuan sumberdaya manusia. Pembangunan ekonomi rakyat menempatkan modal manusia sebagai unsur paling utamaa dalam pengembangannya. Oleh karena itu pengembangan kemampuan manusia baik secara individu, kelompok, maupun masyarakat, merupakan usaha untuk memperkuat basis kegiatan ekonomi. Pengembagan aspek kecerdasan, luasnya wawasan, toleransi, keberanian terhadap risiko, dan kerjasama merupakan beberapa aspek yang yang perlu dikedepankan dalam pengembangan kemampuan sumberdaya manusia dalam mencapai kesejahteraannya. Partisipasi keluarga perlu ditingkatkan agar para nelayan tidak hanya mengandalkan sumber pendapatan keluarga dari tangkapan ikan namun dari bentuk lainnya, misalnya nilai tambah dari produk perikanan. Kebijakan untuk dapat menjaga keberlanjutan usaha perikanan dari dimensi sosial diarahkan pada penurunan status dan frekuensi konflik dengan implementasi hukum yang jelas dan tegas (kajian khusus dan detail mengenai peranan hukum dan kelembagaan akan dibahas pada Bab 9), peningkatan pendidikan para nelayan agar dapat
210 dengan cepat mengadopsi/menyerap informasi demi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka serta peningkatan partisipasi keluarga agar para nelayan tidak hanya meningkatkan pendapatan dari peningkatan jumlah tangkapan dan tingkat ekploitasi tapi dapat meningkatkannya dari nilai tambah produk perikanan. Dengan demikian peningkatan kualitas pendidikan para nelayan akan sangat mendukung partisipasi nelayan dan keluarganya dalam meningkatkan wawasan dan kesadaran akan pentingnya menjaga keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap melalui berbagai langkah yang lebih rasional. 7.5
Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari keberlanjutan perikanan tangkap pada
dimensi sosial antara lain : (1) Indeks keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil dengan menggunakan alat tangkap jaring udang dan payang bugis pada dimensi sosial di Kabupaten Serang sebesar 58,02. (2) Indeks keberlanjutan untuk wilayah Kabupaten Serang pada dimensi sosial sebesar 58,02 dalam status cukup berkelanjutan (selang 51-75). (3) Indeks keberlanjutan untuk alat tangkap perikanan skala kecil pada dimensi sosial di Kabupaten Tegal untuk jaring rampus, bundes dan payang gemplo sebesar 60,87. (4) Indeks keberlanjutan untuk wilayah Kabupaten Tegal pada dimensi sosial sebesar 60,87 dalam status cukup berkelanjutan (selang 51-75). (5) Atribut status dan frekuensi konflik, tingkat pendidikan dan partisipasi keluarga dalam pemanfaatan SDI merupakan atribut yang sangat berpengaruh terhadap nilai atau status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil. (6) Kebijakan untuk dapat menjaga keberlanjutan usaha perikanan dari dimensi sosial diarahkan pada penurunan status dan frekuensi konflik dengan implementasi hukum yang jelas dan tegas. (7) Peningkatan
pendidikan
para
nelayan
agar
dapat
dengan
cepat
mengadopsi/menyerap informasi demi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka adalah sesuatu yang harus dikedepankan.
211 (8) Peningkatan partisipasi keluarga agar para nelayan tidak hanya meningkatkan pendapatan dari peningkatan jumlah tangkapan dan tingkat ekploitasi tapi dapat meningkatkannya dari nilai tambah produk perikanan, juga merupakan prioritas agar perikanan tangkap dapat berkelanjutan secara sosial.