6 PEMBAHASAN 6.1
Potensi Kawasan Kapoposan
Potensi sumberdaya alam kelautan, perikanan dan jasa-jasa lingkungan keenam pulau kecil di Kawasan Kapoposan adalah sebaran terumbu karang (coral reefs) sebagai ekosistem khas pesisir dan pulau-pulau kecil di wilayah tropis yang menjadi daya dukung ekologis kawasan. Nilai keanekaragaman terumbu karang dari keenam pulau (Kapoposan, Papandangan, Gondongbali, Tambakulu, Pamanggangan, dan Suranti) berkisar antara 55%-70%, yang menunjukkan kondisi terumbu karang di kawasan ini dalam kondisi relatif baik, dengan ikan-ikan karang yang ditemukan adalah ikan betok (Pomacentridae), ikan ekor kuning (Caesionidae), Acanthuridae, Siganidae, dan Lutjanidae sebagai ikan konsumsi, dan ikan kepe-kepe (Chaetodontidae) sebagai ikan indikator. Berhimpon et al., (2007), menyebutkan bahwa sebaran terumbu karang beserta asosiasinya di perairan pulau-pulau kecil umumnya memiliki nilai keanekaragaman sekitar 50%-70%, yaitu suatu kondisi yang relatif masih baik dengan
indikasi
masih
banyaknya
dijumpai
ikan
indikator
dari
famili
Chaetodontidae, komunitas ikan karang yang berasosiasi dengan terumbu karang yakni, Pomacentridae, Scaridae, Caesionidae, Siganidae, dan Lutjanidae, serta ditemukannya Tridacnide (kima) dan seagrasses. Sebaran terumbu karang antar keenam pulau bervariasi, dan kondisinya relatif berbeda tergantung pada kedalaman tempat tumbuhnya terumbu. Pada, kedalaman 4-8 meter, kisaran presentase tutupan karang hidup berkisar 80%90%, sedangkan pada kedalaman 12-14 meter presentase tutupan karang hidup sekitar 60%. Hal ini dapat terjadi karena terumbu karang yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, Ordo Scleractinia yang hidup bersimbiose dengan alga bersel satu Zooxanthellae memiliki faktor pembatas bagi pertumbuhannya. Semakin dalam suatu perairan, maka daya tembus cahaya matahari (yang dibutuhkan Zooxanthellae untuk berfotosintesis) semakin terbatas, dan suhu perairan akan semakin dingin, yang pada akhirnya menyebabkan pertumbuhan terumbu karang menjadi lebih lambat dan
sedikit.
Nybakken
(1988),
menyebutkan
bahwa
faktor
pembatas
perkembangan terumbu karang adalah suhu (optimal pada 23-25ºC), kedalaman
108
(optimal kurang dari kedalaman 25 meter), cahaya matahari (optimal pada intensitas 15-20%), salinitas (32-35º/ oo ), dan sedimentasi. Kondisi terumbu karang yang banyak mengalami kerusakan pada umumnya dijumpai di ketiga pulau kosong (Pamanggangan, Suranti dan Tambakulu).
Hal ini terjadi karena ketiga pulau kosong dimaksud kurang
mendapatkan pengawasan masyarakat, dan seringkali digunakan sebagai tempat persinggahan oleh nelayan di luar Kawasan Kapoposan yang ditenggarai banyak melakukan aktivitas penangkapan dengan menggunakan bom dan racun. Kegiatan penangkapan dengan cara destruktif dimaksud sangat dihindari oleh masyarakat kawasan, karena masyarakat Kawasan Kapoposan masih terikat oleh kearifan lokal berupa aturan sosial budaya ‘digompoi’, yaitu hukuman sosial bagi anggota masyarakat (dan keluarganya) yang terbukti melakukan aktifitas penangkapan yang merusak lingkungan. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat yang ramah lingkungan merupakan adat istiadat atau tradisi yang sesuai aspirasi dan budaya lokal, serta masih dipegang dan dianut masyarakat berdasarkan aturan-aturan tidak tertulis yang ditransfer dari generasi tua ke generasi yang lebih muda dalam memanfaatkan sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya. Sesuai pengamatan dan wawancara, masyarakat Kawasan Kapoposan sangat mendukung diberlakukannya Surat Keputusan Bupati Pangkep No. 180/2009 yang menetapkan Kawasan Kapoposan menjadi bagian dari Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep. Masyarakat menyadari, bahwa dengan keberadaan kegiatan konservasi wilayah area penangkapan menjadi berkurang, yang dapat diartikan mengurangi pula pendapatan secara ekonomi, namun masyarakat telah bersepakat bahwa mencegah kerusakan lingkungan pulau-pulau kecil di mana mereka tinggal, lebih baik daripada memperbaiki, karena selain biaya mencegah jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya perbaikannya, kerusakan lingkungan yang terjadi akan sangat merugikan mereka yang mengandalkan hidup dari ketersediaan sumberdaya dan lingkungan yang lestari. Hal dimaksud menyebabkan masyarakat mengangap konservasi sebagai kegiatan yang penting, yang didukung oleh kearifan lokal ramah lingkungan yang secara sosial budaya telah tumbuh dari generasi ke generasi dalam masyarakat Kawasan Kapoposan. Rais et al., (2004), menyatakan bahwa konservasi yang berasal dari kata to conserve memiliki arti menyelamatkan, melindungi, melestarikan dan menyimpan, sehingga dalam konteks pengelolaan sumberdaya
109
alam konservasi berarti menghemat pemanfaatan sumberdaya alam sehingga ketersediaanya selalu terjaga. Salah satu upaya untuk mendukung berlangsungnya kegiatan wisata bahari di Kawasan Kapoposan adalah ketersediaan rencana zonasi kawasan, karena suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil bila didasarkan kepada empat aspek
yaitu:
kesejahteraan pengunjung,
mempertahankan
kelestarian
masyarakat
kawasan
dan
di
meningkatkan
lingkungannya, tersebut,
keterpaduan
dan
meningkatkan
menjamin unity
kepuasan
pembangunan
masyarakat di sekitar kawasan dan rencana zonasi pengembangannya. UU No. 27/2007 menyatakan bahwa definisi rencana zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Nilai sumberdaya empat zona inti Kawasan Kapoposan (Gambar 12) adalah sebagai berikut: 1) Selatan Pulau Kapoposan, dengan luas 152,792 ha meliputi luasan karang hidup 102,516 ha; karang mati 15,942 ha; padang lamun 0, 563 ha; pasir 0,017 ha dan pasir campur alga 0,563 ha. 2) Utara Pulau Suranti, dengan luas 515,085 ha meliputi luasan karang hidup 204,633 ha; karang mati 30,618 ha; dan padang lamun 63,536 ha. 3) Non pulau di Utara Pulau Suranti, dengan luas 412,183 ha meliputi luasan karang hidup 130,937 ha; karang mati 18,154 ha; dan vegetasi campuran 253,048 ha. 4) Non pulau di Selatan Pulau Tambakulu, dengan luas 374,564 ha meliputi luasan karang hidup 49,960 ha; karang mati 23,730 ha; dan padang lamun 0,977 ha. DKP (2009), menyatakan bahwa peraturan pengelolaan zona inti di Kawasan Kapoposan meliputi: (1) kegiatan yang diijinkan hanya kegiatan pendidikan dan penelitian terbatas, rehabilitasi, serta pemantauan oleh petugas pengelola taman wisata alam laut; (2) dilarang keras untuk mengambil, menggali atau mengganggu atau memindahkan setiap sumberdaya alam (hayati maupun non hayati); dan (3) ijin penelitian diberikan oleh petugas
pengelola taman
wisata alam laut, tergantung pada terpenuhinya semua persyaratan yang
110
ditetapkan, termasuk persetujuan atas usulan penelitian tersebut (tertulis) oleh kepala pengelola taman wisata alam laut atau pejabat yang ditunjuk. Sedangkan untuk nilai sumberdaya enam zona perikanan berkelanjutan di Kawasan Kapoposan (Gambar 13) adalah sebagai berikut: 1) Utara Pulau Kapoposan dengan luas 1.354,411 ha meliputi luasan karang hidup 313,728 ha; karang mati 45,63 ha; padang lamun 288,709 ha; vegetasi campuran 92,806 ha; pasir 83,840 ha dan pasir campur alga 113, 121 ha. 2) Non pulau di Selatan Pulau Kapoposan dengan luas 350,797 ha meliputi luasan karang hidup 75,565 ha; karang mati 24,793 ha; dan padang lamun 7,479 ha. 3) Utara dari zona inti di Pulau Suranti dengan luas 845,967 ha meliputi luasan karang hidup 141,122 ha; karang mati 18,869 ha; dan vegetasi campuran 34,131 ha. 4) Antara Pulau Suranti, Pulau Pamanggangan dan Pulau Tambakulu dengan luas 2.296,812 ha meliputi luasan karang hidup 596,029 ha; karang mati 150,804 ha; padang lamun 159,118 ha; vegetasi campuran 42,471 ha; dan pasir campur alga 70,659 ha. 5) Selatan Pulau Gondong Bali dengan luas 179,004 ha meliputi luasan karang hidup 58,767 ha; karang mati 13,690 ha; padang lamun 41,393 ha; vegetasi campuran 12,254 ha; dan pasir campur alga 2,065 ha. 6) Non pulau di Selatan Pulau Papandangan dengan luas 2.881,148 ha meliputi luasan karang hidup 807,57 ha; karang mati 328,697 ha; dan padang lamun 167,055. Peraturan
pengelolaan
zona
perikanan
berkelanjutan
di
Kawasan
Kapoposan meliputi: (1) kegiatan perikanan tangkap yang diperkenankan bersifat terbatas dan tradisional, dan penangkapan oleh nelayan dari luar kawasan harus seijin pengelola taman wisata alam laut; (2) peralatan penangkapan perikanan yang diperkenankan berupa pancing, dan dilarang keras menggunakan alat tangkap yang merusak, seperti: kompresor, bom ikan dan bius ikan; (3) dilarang keras mengambil atau mengganggu semua sumberdaya alam, termasuk penambangan karang mati, batu atau pasir; (4) dilarang melakukan marikultur atau budidaya atau pemeliharaan ikan hidup atau organisme hidup dalam kurungan; (5) penyelenggaraan atraksi wisata bahari, dikelola oleh operator wisata dengan melibatkan/memberdayakan masyarakat setempat;
(6) jumlah
dan ijin wisatawan yang berkunjung disesuaikan dengan daya dukung kawasan
111
yang dikelola oleh pengelola taman wisata alam laut; (7) penambatan kapal dilarang kecuali pada mooring buoy yang dipasang khusus atau diperairan dengan dasar 100 % pasir atau perairan yang lebih dalam dari 30 meter; (8) ijin khusus dapat diberikan untuk tujuan rehabilitasi, penelitian dan pengembangan; (9) penutupan musiman atau minimisasi tekanan wisata ditetapkan jika diperlukan untuk mencegah ganguan pembiakan atau proses pemijahan ikan; dan (10) ijin penelitian diberikan oleh pengelola taman wisata alam laut, tergantung pada terpenuhinya semua persyaratan yang ditetapkan, termasuk persetujuan atas usulan penelitian tersebut (tertulis) oleh kepala pengelola taman wisata alam laut atau pejabat yang ditunjuk. Jumlah kunjungan wisatawan bagi di wisata bahari (Tabel 9) menunjukkan suatu perbandingan jumlah kunjungan dan pemasukan yang diperoleh dari kegiatan wisata pegunungan, wisata budaya dan wisata bahari pada tahun 2007. Wisata pegunungan dan wisata budaya yang kegiatannya dihitung sejak bulan Januari sampai dengan bulan Desember, untuk wisata pegunungan memperoleh jumlah
kunjungan
wisatawan
69.910
orang
dengan
pemasukan
Rp.
464.880.000,00 (dengan rata-rata pemasukan selama 12 bulan adalah Rp. 6.650,00 per-orang). Untuk wisata budaya, jumlah kunjungan wisatawan 115.007 orang dengan pemasukan Rp. 445.165.000,00 (dengan rata-rata pemasukan selama 12 bulan adalah Rp. 3.871,00 per-orang). Sedangkan untuk kegiatan wisata bahari yang dihitung baru pada bulan Juni sampai dengan bulan Desember, jumlah kunjungan wisatawan adalah 117 orang dengan pemasukan Rp. 4.441.000,00 (dengan rata-rata pemasukan selama tujuh bulan adalah Rp. 37.957,00/per-orang). Kondisi dimaksud menunjukkan bahwa kegiatan wisata bahari di Kawasan Kapoposan cukup memiliki peluang yang menjanjikan di masa depan, baik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pulau melalui berkembangnya mata pencaharian alternatif, maupun bagi pemerintah daerah setempat melalui peningkatan pendapatan asli daerah atau PAD. Aktivitas wisata bahari berbasis konservasi di Kawasan Kapoposan merupakan pengelolaan yang selaras dengan pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, karena wisata bahari meskipun berupa suatu bisnis, namun dilakukan dengan menerapkan suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah yang sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia tidak rusak dan tetap terjaga. Kepmenbudpar (2004) menyatakan bahwa kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil berbasis
112
konservasi telah terbukti ditopang oleh perencanaan dan pengelolaan lingkungan yang komprehensif, pengelolaan sistem yang efisien, bersih dan aman, yang dilakukan demi menjaga eksistensi industri wisata bahari itu sendiri, seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat lokal atas pentingnya arti pelestarian lingkungan, karena wisata bahari berjalan dalam kerangka konservasi lingkungan sejak lahir hingga mati (from cradle to grave). Kawasan Kapoposan yang memiliki potensi keunikan alam berupa karakteristik ekosistem terumbu karang serta kekhasan sosial budaya berupa kearifan lokal yang ramah lingkungan merupakan faktor yang mendukung berlangsungnya kegiatan wisata bahari berbasis konservasi, yang dapat menjadi salah satu sumber mata pencaharian alternatif bagi masyarakat. Kawasan ini memiliki daya tarik tersendiri karena memiliki beberapa titik (spot) untuk kegiatan snorkling dan penyelaman (diving) yang telah dikenal para penyelam dan wisatawan manca negara (Gambar 28). Berdasarkan kondisi tersebut, maka pemanfaatan potensi wisata bahari di Kawasan Kapoposan harus dilakukan secara optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan harapan terjadinya efek ganda (multiplier effect) dari kegiatan wisata bahari berupa: (1) penyerapan tenaga kerja lokal guna menekan pengangguran; (2) memacu pertumbuhan ekonomi melalui industri perikanan rumah tangga (pengolahan dan pemasaran hasil perikanan), pembelian sembilan bahan pokok dan kerajinan tangan, penyediaan jasa pemandu wisata, penyewaan perahu dan alat selam, pemanfaatan home stay dan warung makan milik masyarakat setempat; (3) terbukanya jalur transportasi yang membuka keterisolasian kawasan; serta (4) pelestarian lingkungan perairan yang mendukung kelimpahan sumberdaya ikan bagi perikanan tangkap dan terjaganya kualitas perairan. DKP (2006) menyatakan bahwa wisata bahari (marine tourism) dapat menjadi program utama dalam memulihkan kerusakan sumberdaya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil, mengembalikan peranan masyarakat untuk ikut serta dalam menjaga kelestarian lingkungan, serta berperan dalam menyumbangkan devisa bagi negara dan bagi peningkatan pendapatan asli daerah.
113
Gambar 28 Beberapa titik (spot) selam-snorkling di Kawasan Kapoposan (Sumber: DKP, 2009).
114
6.2
Lembaga yang Terlibat dalam Pengelolaan Kawasan Kapoposan Pengelolaan Kawasan Kapoposan yang diasumsikan sebagai suatu sistem
terbuka, memiliki keunikan fungsi dari suatu sistem yang diperoleh dari hasil hubungan antar bagian-bagiannya, sesuai dengan general systems theory yang menyatakan bahwa untuk dapat memahami sesuatu dengan benar maka suatu persoalan tidak dapat dilihat secara berdiri sendiri atau terisolasi, namun harus dilihat sebagai bagian dari sesuatu yang utuh secara keseluruhan (Tunas, 2007). Oleh karena itu, pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan tidak dapat terlepas dari faktor-faktor yang berperan dan saling berinteraksi serta saling mempengaruhi satu dengan lainnya, khususnya faktor-faktor di level makro (nasional). Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan penulis, masyarakat sebagai faktor mikro dari pengelolaan Kawasan Kapoposan tidak berkeberatan untuk menerima berbagai kebijakan atau pun program, selama hal dimaksud dapat memenuhi harapan masyarakat lokal untuk dapat memperbaiki kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan mereka. Oleh karena itu bahasan dalam penelitian ini lebih menitikberatkan pada adanya saling keterkaitan yang lebih komplek pada faktor-faktor makro para pemangku kepentingan yang meliputi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dunia usaha serta institusi non birokrasi. 6.2.1 Pemerintah Pusat Pemerintah Pusat bertindak sebagai penyusun kebijakan nasional berupa suatu perencanaan pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi saat ini, dengan mendorong pertumbuhan dan berkembangnya kemampuan suatu
komunitas
Bratakusumah
masyarakat
dan
Riyadi
baik (2005),
secara
kualitatif
menyebutkan
maupun bahwa
kuantitatif.
kewenangan
pelaksanaan Pemerintah Pusat hanya kewenangan yang bertujuan untuk menjamin: 1) pertahanan serta pemeliharaan identitas dan integritas bangsa; 2) stabilitas ekonomi dalam rangka peningkatan kemakmuran rakyat; 3) kualitas
dan
efisiensi
pelayanan
umum
yang
setara
bagi
semua
warganegara; 4) keselamatan fisik dan non fisik secara setara bagi semua warganegara;
115
5) pengadaan teknologi dan sumberdaya manusia yang berkualitas; 6) menjamin supremasi hukum nasional. Pada kenyataannya, saat ini kondisi umum pulau-pulau kecil (termasuk Kawasan Kapoposan) masih dalam kondisi rendahnya kualitas sumberdaya manusia,
minimnya sarana dan prasarana yang ada, minimnya akses bagi
permodalan, serta informasi dan teknologi, yang pada akhirnya berujung kepada minimnya tingkat kesejahteraan masyarakat pulau kecil. Dahuri (2000) menyatakan bahwa masyarakat yang mendiami pulau-pulau dan pesisir umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan yang berada pada kondisi ekonomi memprihatinkan, dengan tingkat pendapatan yang sangat rendah dan dikategorikan sebagai yang termiskin dari yang miskin, padahal mereka sangat dekat dengan sumberdaya kelautan dan perikanan di lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil. Kondisi memprihatinkan ini selayaknya menjadi suatu pemikiran yang diikuti
segera
dengan
langkah-langkah
pemecahannya,
dengan
terus
mengingatkan pada para pimpinan nasional saat ini, untuk melakukan revitalisasi paradigma pembangunan dari land based oriented ke archipelagic state oriented. Hal ini menjadi sangat penting, mengingat kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil kembali terpulang kepada pandangan politik, visi dan misi pimpinan nasional dalam membawa arah pembangunan ke depan. Syafi’ie (2009), menyatakan bahwa peran pemimpin nasional yang secara politik memiliki kekuasaan penuh dalam memimpin dan membawa bangsa ini mencapai tujuan, tidak pelak menjadikannya sebagai tokoh sentral dalam pembangunan di berbagai bidang dan berdampak sangat signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, dibutuhkan pula adanya perluasan peran institusi yang paling berkompeten dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan atau DKP, yang mempunyai tugas khusus untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta standardisasi teknis di bidang kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil. DKP (2004), menyatakan bahwa secara khusus peran pemerintah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil meliputi: 1) Penyediaan sarana dan prasarana dasar dan sosial, seperti sarana, permukiman, kesehatan dan pendidikan; 2) Pengembangan prasarana perhubungan laut dan udara serta wilayah strategis;
116
3) Pengembangan
kawasan
pertumbuhan
melalui
perluasan
jaringan
komunikasi dan informasi serta kerjasama dengan negara tetangga; 4) Pengembangan rencana tata ruang pulau-pulau kecil secara nasional disertai pemetaan pulau-pulau kecil dengan skala sama dengan atau lebih besar dari 1 : 100.000; 5) Penyediaan pedoman pendataan dan penamaan serta informasi profil pulaupulau kecil; 6) Penetapan dan pengelolaan kawasan konservasi laut nasional; 7) Fasilitasi kerjasama investasi di pulau-pulau kecil. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.07/MEN/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan, menetapkan bahwa unit kerja yang bertugas untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta standardisasi teknis di bidang kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil adalah Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Ditjen KP3K), yang memiliki susunan organisasi sebagai berikut: 1) Sekretariat
Direktorat
Jenderal,
terdiri
dari
bagian:
(1)
Program;
(2) Kepegawaian, Keuangan dan Umum; (3) Hukum, Organisasi dan Hubungan Masyarakat; serta (4) Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan. 2) Direktorat Pemberdayaan Pulau-pulau Kecil, terdiri dari sub direktorat: (1) Identifikasi Pulau-pulau Kecil; (2) Sarana dan Prasarana Pulau-pulau Kecil; (3) Pengelolaan Ekosistem Pulau-pulau Kecil; dan (4) Akselerasi dan Akses Investasi Pulau-pulau Kecil. 3) Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, terdiri dari sub direktorat: (1) Tata Ruang Laut dan Pesisir; (2) Tata Ruang Pulau-pulau Kecil; (3) Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang Laut dan Pesisir; serta (4) Pemanfaatan dan Pengendalian Tata Ruang Pulau-pulau Kecil. 4) Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, terdiri dari sub direktorat: (1) Identifikasi dan Pemetaan Konservasi; (2) Konservasi Kawasan Perairan dan Taman Nasional Laut; (3) Rehabilitasi Kawasan Konservasi; serta (4) Konservasi Ikan dan Pemanfaatan Kawasan Konservasi. 5) Direktorat Pesisir dan Lautan, terdiri dari sub direktorat: (1) Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan; (2) Pengelolaan Pesisir dan Lautan Terpadu; (3) Rehabilitasi dan Pendayagunaan Pesisir dan Lautan; serta (4) Jasa Kelautan dan Kemaritiman.
117
6) Direktorat Pengelolaan Masyarakat Pesisir, terdiri dari sub direktorat: (1) Akses Permodalan; (2) Akses Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; (3) Peran Serta Masyarakat; serta (4) Usaha Mikro. Pemerintah Pusat dalam penelitian ini sudah tepat diwakili oleh DKP, dan peran DKP mendapat prioritas yang lebih penting dibandingkan ketiga aktor lainnya. Permasalahan berikutnya adalah bagaimana peran DKP dalam mengimplementasikan kebijakan pembangunan di kawasan pulau-pulau kecil, termasuk Kawasan Kapoposan, mengingat dengan adanya keterbatasan dana pemerintah yang ada. DKP selayaknya dapat lebih memfungsikan posisinya sebagai fasilitator dan promotor, khususnya dalam mengeluarkan peraturan pro investasi yang mendorong laju serta keberadaan investasi untuk membangun Kawasan Kapoposan. Basuki (2003), menyatakan bahwa untuk mendukung iklim investasi dibutuhkan suatu dorongan yang besar (big push) dari pemerintah berupa berbagai peraturan yang pro terhadap investasi, yang harus pula berjalan seiring
dengan
penegakan
hukum,
kemudahan
perbankan
dan
fiskal,
penyediaan infrastruktur dasar, pemberian jaminan keamanan, pelayanan keimigrasian dan bea cukai yang seluruhnya dapat mendorong masuknya investasi di pulau-pulau kecil (dalam hal ini di Kawasan Kapoposan). Tugas Pemerintah Pusat dalam mendukung pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposang yang telah didelegasikan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), antara lain adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan serta standardisasi teknis di bidang kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil dalam melaksanakan amanat dari UU No. 31/2004 tentang Perikanan, UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, serta perundang-undangan dan peraturan terkait lainnya. Sedangkan peran Pemerintah Pusat yang berkaitan dengan investasi di Kawasan Kapoposang adalah menyusun kebijakan nasional dalam mendorong laju investasi di pulau-pulau kecil yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER.20/MEN/2008, yang menyatakan bahwa, orang yang akan memanfaatkan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya mengajukan permohonan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan dengan melampirkan: (1) pernyataan kesanggupan menggunakan fasilitas penanaman modal asing (PMA) sekurang-kurangnya 20% (dua puluh per seratus) modalnya berasal dari dalam negeri terhitung sejak tahun pertama perusahaan didirikan; (2) rencana jenis usaha; (3) luasan penggunaan lahan dan
118
luasan perairan yang akan dimanfaatkan; (4) rekomendasi dari gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya; dan (5) persetujuan dari instansi yang terkait dengan bidang usaha yang akan dilakukan. Pemerintah Pusat bertugas pula untuk memperjuangkan masuknya sektor kelautan dan perikanan dalam Produk Domestik Bruto (PDB), dan tidak lagi menjadi sub sektor pertanian seperti sekarang ini. Santoso et al., (2008) menyatakan bahwa dengan mencantumkan lapangan usaha/sektor kelautan dan perikanan dalam perekonomian nasional, memiliki arti untuk menjadi penuntun (guiden) bagi pihak-pihak yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan, khususnya di daerah sebagai alat ukur sejauh mana keberhasilannya dapat dicapai, dan dapat meningkatkan pendapan nasional. Diagram model struktural pada Pemerintah Pusat sebagai salah satu elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program terdiri atas enam level (Gambar 19). Elemen kunci (key element) adalah sejarah, yang akan dapat mempengaruhi
atau
menggerakkan
sub
elemen
lainnya
pada
elemen
Pemerintah Pusat. Berawal dari sejarah Indonesia yang menyebutkan bahwa pulau-pulau disatukan oleh lautan menimbulkan konsep wawasan nusantara, sehingga muncul rasa kepemimpinan nasional dari para pemimpin nasional. Selanjutnya diaplikasikan pada perundang-undangan dan peraturan, sehingga akan terwujud pemerataan pembangunan dan pembangunan yang terpadu. Kondisi ini akan meningkatkan sektor ekonomi, iptek dan lingkungan.
Sub
elemen dari Pemerintah Pusat terdistribusi pada sektor II, III dan IV (Gambar 20). Sub elemen pemerataan pembangunan dan pembangunan terpadu termasuk peubah
linkages,
dimana
setiap
tindakan
pada
tujuan
tersebut
akan
menghasilkan keberhasilan dalam model pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil di suatu kawasan.
Sub elemen sejarah, wawasan nusantara, kepemimpinan
nasional dan peraturan perundang-undangan merupakan sub elemen yang memiliki ketergantungan yang rendah terhadap sistem, akan tetapi memiliki daya dorong yang besar dalam keberhasilan sistem. Pada sektor II terlihat bahwa sub elemen lingkungan, ekonomi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki ketergantungan besar dari sistem, namun memiliki daya dorong yang rendah. 1.
Sejarah Bangsa Indonesia memiliki sejarah yang panjang baik dalam sejarah
perkembangan wilayah maupun sejarah jatidiri bangsa yang sejatinya adalah
119
bangsa maritim. DKP (2006), menyebutkan bahwa sejarah perkembangan wilayah nasional sebagai bangsa maritim mengalami pasang surut yang terbagi atas era: (1) penjajahan belanda dan jepang, yang berdasarkan ordonansi laut teritorial dan lingkungan maritim No. 442 tahun 1939, lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis air terendah di pantai masing-masing pulau Indonesia; (2) pasca kemerdekaan yang berdasarkan aturan peralihan dari UUD 1945/ konstitusi RIS/ UUDS 1950, dinyatakan bahwa lebar laut wilayah 3 mil tetap berlaku; (3) Deklarasi Juanda (13 Desember 1957) yang menyatakan bahwa lebar laut wilayah (laut teritorial) Indonesia dijadikan 12 mil diukur dari garis
dasar yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau kecil terluar
Indonesia; (4) Deklarasi Landas Kontinen Indonesia (17 Februari 1969) yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No 1/1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, yang menyatakan bahwa segala sumber kekayaan alam yang terdapat dalam landas kontinen Indonesia menjadi milik ekslusif negara Republik Indonesia; dan (5) UNCLOS (21 Maret 1980) dimana Pemerintah Indonesia mengumumkan tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang kemudian dikukuhkan dengan UU No. 5/1983 tentang ZEE Indonesia, yang menyatakan bahwa ZEE Indonesia selebar 200 mil diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Sejarah pun mencatat, bahwa Indonesia pernah mengalami kejayaan di bidang maritim pada era Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Menurut Poesponegoro dan Notosusanto (2008), Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada abad VII Masehi (sekitar 650-1200 M), pada saat itu merupakan kerajaan yang menguasai lautan meliputi pulau-pulau di lautan timur, serta menguasai sepenuhnya Selat Malaka dan Selat Bangka sebagai lalu lintas perdagangan dan pelayaran dari negara-negara Asia Barat dan India ke Cina dan sebaliknya, sehingga Sriwijaya memperoleh keuntungan yang berlimpah-limpah dari hasil perdagangan dan penarikan upeti (sejenis bea cukai) dari perahu-perahu asing. Sedangkan Kerajaan Majapahit (1293-1478) dengan kebesaran dan kekuatan armada angkatan laut di bawah pimpinan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, berhasil menguasai dan memiliki pengaruh yang sangat luas (hampir seluas wilayah Indonesia saat ini) meliputi daerah-daerah di Sumatra di bagian barat sampai ke daerah-daerah Maluku dan Irian di bagian timur, bahkan sampai ke beberapa negara tetangga di wilayah Asia Tenggara (sekitar Vietnam dan Kamboja).
120
Kejayaan dua kerajaan yaitu Srwijaya dan Majapahit tidak terlepas dari kenyataan bahwa para penguasa dan para pemimpin tertinggi atau raja-raja pada zaman itu memandang laut bukanlah sebagai pemisah, namun justru pemersatu.
Para penguasa Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit menyadari
sepenuhnya, bahwa siapa menguasai lautan, maka dia adalah penguasa politik dan ekonomi. Kerajaan Majapahit dengan armada lautnya telah terbukti berhasil mewujudkan Sumpah Amukti Palapa untuk mempersatukan nusantara, sehingga Indonesia dikenal sebagai bangsa maritim yang diabadikan dalam sebuah lagu ‘Nenek Moyangku Orang Pelaut’ (DKP, 2007). Namun sejarah pula yang mencatat, bahwa penjajahan Belanda (VOC) selama 350 tahun telah mengikis kejayaan maritim dan menguapnya paradigma kelautan dari masyarakat. Menurut Buwono (2009), pada tanggal 11 November 1743, VOC telah menodong tanda tangan Sri Paku Buwono II di pembaringan sakitnya.
Dari surat (yang mirip Supersemar itu), didapatlah hasil-hasil bagi
VOC, bahwa sepanjang Utara Jawa, dan wilayah sejauh enam km ke pedalaman dikuasai VOC. Inilah angka tahun (1743) ketika kerajaan Jawa secara definitif kehilangan kekuasaannya atas Laut Utara, yang berakibat lahirnya konsep bahari defensif Mataram.
Kondisi yang meminggirkan kejayaan maritim dan
paradigma kelautan bangsa ini semakin menjadi saat ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (1755) yang berisikan penyerahan perdagangan laut, hasil bumi dan rempah-rempah oleh Raja Surakarta dan Raja Yogyakarta kepada Belanda. Pasca kemerdekaan atau Orde Lama (1945-1967), energi dan perhatian pemerintah cenderung difokuskan untuk menangani berbagai konflik politik baik di dalam dan luar negeri, sehingga sektor kelautan sulit untuk berkembang. Namun sebagai pemimpin besar, Presiden Soekarno memahami benar kondisi obyektif bangsa ini sebagai negara kepulauan. Hal ini terbukti pada tahun 1950, salah satu menteri kabinet, yaitu dr. Abu Hanifah sebagai menteri pendidikan pada saat itu, menekankan kepada pengetahuan teknik sebagai prioritas utama karena dianggap dapat membawa kunci kemajuan.
Atas dasar dimaksud,
karena Indonesia merupakan negara kepulauan, di beberapa kota seperti Kota Surabaya, Makassar, Ambon, Manado, Padang dan Palembang didirikan Akademi Pelayaran, Akademi Oseanografi dan Akademi Research Laut, dengan tenaga-tenaga pengajar dari luar negeri, yaitu dari Inggris, Amerika dan Perancis (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008).
121
Lebih lanjut dinyatakan oleh Buwono (2009), bahwa Presiden Soekarno telah merealisasikan visinya dengan mengirimkan para pemuda ke luar negeri untuk belajar teknologi kedirgantaraan dan kelautan. Namun disayangkan, ketika mereka kembali ke tanah air untuk merealisasikan ilmunya, mereka kalah pengaruh dengan lulusan Barkeley yang merancang strategi pembangunan nasional. Kemandirian dalam merancang industri dasar dan pembuatan peralatan militer secara sistematis dilumpuhkan dan dibiarkan teronggok menjadi besi tua. Namun patut disayangkan bahwa proyek-proyek kedirgantaraan dan kemaritiman dianggap memboroskan anggaran dan merupakan citra yang ditanamkan dalam benak masyarakat. Kondisi dimaksud menuntut bangsa ini untuk mengembalikan sejarahnya sebagai bangsa bahari yang jaya dan kondisi obyektif bangsa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan kembali pada suatu acuan pembangunan bangsa yaitu Wawasan Nusantara. 2.
Wawasan Nusantara Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik yang
berwawasan nusantara adalah kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang lingkup dan kesatuan matra seluruh bangsa, serta menjadi modal dan milik bersama bangsa. Wawasan Nusantara merupakan pandangan geopolotik dan sekaligus landasan geostrategi Bangsa Indonesia dalam mengartikan tanah air Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan satu kesatuan pertahanan keamanan sebagai kekuatan yang selama ini belum diperhatikan (hidden power), yang harus dirajut kembali dalam upaya mencapai cita-cita dan tujuan nasional dalam kehidupan berbangsa, bernegara, serta budaya maritim. Menurut Djalal (2009), Wawasan Nusantara adalah cara pandang Bangsa Indonesia yang dijiwai nilai-nilai Pancasila dan berdasarkan UUD 1945, serta memperhatikan sejarah dan budaya tentang diri dan lingkungan keberadaannya secara terhubung dan menyatu dalam memanfaatkan kondisi dan konstelasi geografi. Wawasan Nusantara merupakan tanggung jawab, motivasi, dan rangsangan bagi seluruh Bangsa Indonesia
dalam mengutamakan persatuan dan kesatuan
bangsa,
wilayah
serta
kesatuan
dalam
penyelenggaraan
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
122
Buah kebijakan masa lalu yang harus dipetik saat ini sungguh semakin terasa pahit.
Kegiatan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan atau IPOLEKSOSBUDHANKAM, menunjukkan suatu disparitas tinggi dan sungguh terlihat nyata, antara main land dan pulau-pulau kecil, terlebih lagi bagi pulau-pulau kecil terluar. Disparitas yang jika dibiarkan terus berlangsung tanpa tindakan nyata ini, bukanlah hal yang tak mungkin akan mengguncang konsep Wawasan Nusantara, yang bahkan dapat menggiring pada disintegrasi bangsa. Kondisi dimaksud akan menjadi ironi, mengingat wawasan nusantara seharusnya menjadi perekat bangsa Indonesia yang secara obyektif adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki keunikan tersendiri.
Hal ini sesuai dengan pendapat Muladi (2009), yang mengatakan
bahwa sadar atau tidak, secara obyektif wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki keunikan tersendiri, meliputi: (1) berada pada jalan silang dunia, di antara Benua Asia dan Australia, dan menghubungkan Samudra Indonesia dengan Samudra Pasifik; (2) sebagai tempat pertemuan berbagai arus panas dan dingin yang memendam kekayaan fauna dan flora (biodiversity) katulistiwa yang tak tertandingi; (3) memiliki laut di dalam wilayah yurisdiksi dengan hubungan antara lebih dari 17.000 pulau menjadikan Indonesia memiliki life lines yang terpanjang di dunia; dan (4) memiliki tiga ALKI (alur laut kepulauan Indonesia/sea lane of communication dan empat jalur transportasi internasional, yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Ombai-Wetar. DKP (2006) menyatakan bahwa krisis multidimesional yang menimpa Indonesia selayaknya menyadarkan bangsa ini bahwa sektor kelautan dan perikanan (termasuk sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecilnya) menyimpan potensi dalam upaya pemulihan kembali perekonomian nasional karena merupakan salah satu keunggulan komparatif yang berpotensi menjadi keunggulan kompetitif untuk menggerakkan perekonomian nasional. Terobosan dengan merevitalisasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang ada dan menciptakan
sumber-sumber
pertumbuhan
ekonomi
baru
membutuhkan
kesungguhan dan dukungan politik, ekonomi dan sosial untuk menjadikan sektor kelautan dan perikanan sebagai prime mover pembangunan ekonomi nasional. Oleh karenanya, Wawasan Nusantara sebagai acuan dalam pembangunan bangsa, mewajibkan bangsa ini dan para pemimpin nasional untuk memfokuskan diri dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, dengan menempatkan sektor kelautan sebagai kekuatan politik, ekonomi dan sosial-budaya yang menjadi
123
media
pemersatu
bangsa,
perhubungan,
sumberdaya,
pertahanan
dan
keamanan, serta media membangun pengaruh di dunia internasional.
3.
Kepemimpinan Nasional Era Orde Baru (1968-1997) adalah era yang mengukuhkan paradigma
pembangunan land base oriented, yang pada akhirnya menjadi permasalahan dan hambatan paling krusial dalam upaya membangkitkan pembangunan sektor kelautan dan perikanan Indonesia karena semakin terabaikannya paradigma archipelagic base oriented. Presiden Soeharto sebagai pemimpin nasional pada waktu itu cenderung mengabaikan sektor kelautan dan perikanan, yang dibuktikan dengan kenyataan bahwa pada rentang waktu era kepemimpinannya yang begitu panjang (selama hampir 30 tahun atau tiga dekade), ternyata masa pemerintahan Orde Baru hanya melahirkan sebuah undang-undang yang berkaitan dengan kelautan dan perikanan, yaitu UU Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa Indonesia membutuhkan seorang sosok pemimpin nasional yang dengan visi dan misinya berani dengan etika tanggungjawab melakukan terobosan, improvisasi, kreasi dan inovasi yang tidak hanya disampaikan dengan kata-kata, tetapi dalam kebijakan yang berisikan semangat tidak melawan hukum (meskipun bergerak di luar kotak normatif) untuk mewujudkan visi dan misi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Bangsa ini patut bersyukur, bahwa pada akhirnya memiliki seorang pimpinan yang visioner dalam memandang kondisi obyektif bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yaitu Presiden RI Ke-4 K.H Abdurachman Wahid yang memberikan komitmen politik dengan membentuk Departemen Kelautan dan Perikanan (1999), seiring dengan terbentuknya Dewan Kelautan Indonesia. DKP (2007) menyatakan bahwa Departemen Kelautan dan Perikanan dan Dewan Kelautan Indonesia merupakan dua institusi pemerintah yang baru dengan tugas utama memperjuangkan eksistensi kondisi obyektif bangsa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sehinga sektor kelautan beserta sumberdayanya dapat menjadi prime mover pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Perjuangan untuk kembali menjadi bangsa bahari semakin mendapatkan titik terang saat Presiden RI Ke-5 Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan ‘Seruan Sunda Kelapa’ untuk membangun kekuatan di laut, dan menerbitkan Keppres No. 126/2001 yang menetapkan tanggal 13 Desember
124
sebagai Hari Nusantara, sebagai sebuah hari bagi bangsa ini untuk menoleh sejarah bahari Indonesia, cita-cita dan perjuangan dalam mewujudkan kejayaan maritim yang berwawasan nusantara. Pimpinan nasional memiliki tanggung jawab untuk mencapai tujuan pembangunan nasional bangsa ini, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, serta keadilan sosial. Oleh karena itu, pemimpin nasional yang meninggalkan paradigma pembangunan daratan (land base oriented) dan menggantinya dengan paradigma pembangunan sesuai kondisi obyektif bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelegic state) adalah suatu dambaan bagi terwujudnya suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi saat ini. Menurut Syakrani dan Syahriani (2009), sejarah memberi kesaksian bahwa tumbuhnya budaya unggul dalam masyarakat senantiasa bersumber dari keunggulan kepemimpinan dari seseorang dan/atau sekelompok pemimpin sebagai inspirator, pemberdaya, penyelaras, teladan, benchmark, dan buku besar bagi orang yang mengikuti atau dipimpinnya. Pemimpin yang hasilnya biasa-biasa saja, maka ia tidak menjalankan kepemimpinan, tetapi manajemen. Pemimpin harus berhasil mewujudkan sesuatu yang luar biasa sehingga seorang pemimpin harus memiliki kejujuran, ketulusan, trust atau amanah, kompetensi, berwawasan ke depan (visioner), dan mampu memberi inspirasi kepada pengikut atau yang dipimpinnya. 4.
Peraturan dan Perundang-undangan Peraturan dan perundang-undangan di bidang kelautan dan perikanan jika
ditinjau dari segi materi peraturan dan perundang-undangan relatif sudah memadai, namun masih mengalami kesulitan dalam implementasinya di lapangan, khususnya dalam memberikan peluang bagi pemberdayaan pulaupulau kecil yang berkelanjutan dan mengangkat kesejahteraan masyarakat lokal. Menurut Dahuri (2000), belum memadainya peraturan dan perundang-undangan terimplementasi di lapangan bukan karena ketidakmampuan aturan dan hukum tersebut mengakomodir seluruh prasyarat yang dibutuhkan dalam pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan. Namun yang menjadi masalah adalah penerapan hukum dan aturan tersebut yang relatif masih sangat lemah, bahkan
125
terindikasi pula bahwa kadang beberapa peraturan yang dibuat cenderung merugikan rakyat, bukan sebaliknya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa
peraturan
dan
perundang-undangan
yang
terkait
upaya
pemberdayaan pulau-pulau kecil antara lain adalah: (1) UU No. 31/2004 tentang Perikanan, (2) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, (3) UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, (4) UU No. 25/2007
tentang
Penanaman
Modal,
(5)
UU
No.
10/2009
tentang
Kepariwisataan, (6) Peraturan Pemerintah No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, (7) Peraturan Presiden No. 78/2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, (8) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER. 20/MEN/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya, (9) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP. 39/MEN/2004 tentang Pedoman Umum Investasi di Pulau-pulau Kecil, (10) Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KM.67/UM.001/MKP/2004 tentang Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata di Pulau-pulau Kecil, (11) Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil No. SK.72/KP3K/XII/2004 tentang Pedoman Pembentukan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat, (12) Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil No. SK.76/KP3K/XII/2004 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut, dan (13) Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil No. SK.77/KP3K/XII/2004 tentang Petunjuk Teknis Pengembangan Ekowisata di Kawasan Pulau-pulau Kecil. 5.
Pemerataan Pembangunan dan Pembangunan Terpadu Menurut DKP (2006), kekayaan wilayah nusantara baik potensial maupun
efektif adalah modal dan milik bersama bangsa dan bahwa keperluan hidup sehari-hari harus tersedia merata diseluruh wilayah tanah air. Tingkat perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah, tanpa meninggalkan ciri-ciri khas yang dimiliki oleh daerah dalam pengembangan kehidupan ekonominya. Berkaitan dengan keseimbangan, Retraubun (2008) menyatakan
bahwa
kesetimbangan
(equality)
antara
tuntutan/keinginan
Pemerintah dengan keinginan/harapan seperti misalnya masyarakat pulau-pulau kecil dan di wilayah perbatasan selayaknya terwujud, khususnya atas kepedulian dari Pemerintah. Saat ini di mata masyarakat, Pemerintah selalu ingin “take”
126
namun cenderung melupakan “give”, yang akhirnya menyuburkan timbulnya efek negatif terhadap keberadaan konsepsi wawasan nusantara. Integrasi suatu bangsa dapat dipertahankan jika tingkat kesejahteraan (welfare) masyarakat sebagai warga negara terjadi atas adanya pemerataan pembangunan. Pemerintahan yang dapat memberikan masyarakatnya kehidupan yang layak, perlakuan yang adil, kepastian hukum, serta peluang kesempatan kerja bagi pemenuhan kebutuhan dasar (basic need), akan menumbuhkan rasa toleransi bermasyarakat, rasa peduli akan pertahanan dan keamanan wilayahnya, serta cinta tanah air dalam menjaga keutuhan NKRI. Ketidakmerataan pembangunan menyebabkan Indonesia sebagai negara yang terkenal akan kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya (terutama sumberdaya kelautan), justru cenderung mengalami berbagai keterpurukan, khususnya keterpurukan di bidang ekonomi seiring terjadinya degradasi sumberdaya dan lingkungan, yang menurut Fauzi (2006), karena basis pembangunan selama ini masih bertumpu pada growth oriented policy dengan Growth Domestic Product (GDP) sebagai indikator utama kinerja (performance) pertumbuhan suatu negara, maka faktor depresiasi dari sumberdaya dan lingkungan tersebut terabaikan, khususnya di lokasi-lokasi yang cenderung belum tersentuh pembangunan (seperti misalnya di kawasan pulau-pulau kecil). Pemerataan
pembangunan
dalam
mengurangi
terjadinya
disparitas
ekonomi dan sosial antara kawasan pulau-pulau kecil dengan daratan induknya, selayaknya dilakukan pemerintah sebagai fasilitator terhadap kehadiran investasi (domestik dan asing) yang diharapkan dapat memacu laju investasi dengan prinsip pembangunan terpadu di kawasan pulau-pulau kecil, yang menurut Bengen
dan
Retraubun
(2006),
adalah
prinsip
pembangunan
yang
menggabungkan antara kepentingan kualitas lingkungan alam yang baik dengan kualitas pembangunan sosial budaya dan ekonomi, dengan mengutamakan peningkatan keterpaduan berbasis eko-sosio sistem ke dalam pembangunan kawasan pulau-pulau kecil itu sendiri. Retraubun (2003) menyatakan bahwa mekanisme pengelolaan terpadu mencakup empat aspek utama yaitu aspek: teknis dan ekologis, sosial ekonomibudaya, sosial politik, serta hukum dan kelembagaan. Sedangkan pengelolaan secara terpadu sendiri adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan dengan cara melakukan penilaian menyeluruh, menentukan
127
tujuan
dan
sasaran
pemanfaatan,
kemudian
merencanakan
kegiatan
pembangunan yang meliputi: 1) Keterpaduan wilayah/ekologis. Secara keruangan dan ekologis kawasan pulau-pulau kecil memiliki keterkaitan dengan kawasan pesisir dan laut yang lebih besar serta kawasan pulau-pulau di sekitarnya. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil
tidak
terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut.
Berbagai dampak kerusakan lingkungan yang mengganggu
keseimbangan dan keberadaan sumberdaya kawasan pulau-pulau kecil sebagian besar akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan laut serta pulau-pulau besar sekitarnya, seperti industri, pemukiman dan sebagainya disamping adanya kegiatan yang dilakukan di laut lepas itu sendiri, seperti kegiatan perhubungan laut. Oleh karena itu, pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil ini harus diintegrasikan dengan wilayah pesisir dan laut yang lebih luas dan pulau-pulau besar sekitarnya, menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan. hancur
Pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil yang baik akan
dalam
sekejap,
jika
tidak
diimbangi
dengan
perencanaan
pembangunan di kedua wilayah tersebut dengan baik pula. Keterkaitan antar ekosistem yang ada harus selalu diperhatikan. 2) Keterpaduan
sektor.
Sebagai
konsekuensi
dari
beragamnya
pelaku
pembangunan di kawasan pulau-pulau kecil adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya di kawasan itu.
Akibatnya, sering kali terjadi tumpang tindih
pemanfaatan sumberdaya yang ada antar satu sektor dengan sektor lainnya. Agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan tersebut dapat dilakukan secara
optimal
dan
berkesinambungan,
maka
dalam
perencanaan
pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektor. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan sektor lain. Keterpaduan sektoral ini, meliputi keterpaduan secara horisontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor). Oleh karena itu, penyusunan tata ruang dan panduan pembangunan dan pengelolaan di kawasan ini sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya.
128
3) Keterpaduan disiplin limu. Sumberdaya di kawasan pulau-pulau kecil memiliki sifat dan karakteristik yang unik, baik sifat dan karakteristik ekosistemnya maupun sifat dan karakteristik sosial budaya masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dengan sistem dinamika sumberdaya di pulau-pulau kecil yang khas, dibutuhkan disiplin ilmu khusus pula seperti hidrooseanografi, dinamika oseanografi dan sebagainya. Selain itu, kebutuhan akan disiplin ilmu lainnya juga sangat penting. Pembangunan dan pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil menuntut keahlian di atas keahlian yang perlu dimiliki para perencana dan pengelola, seperti: ilmu pertanian, antropologi, analisis kebijakan, ilmuilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan sosiologi. 4) Keterpaduan stakeholders. Segenap keterpaduan di atas, akan berhasil diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku pemanfaatan dan pengelola kawasan pulau-pulau kecil.
Seperti diketahui bahwa pelaku
pemanfaataan dan pengelola sumberdaya hayati di kawasan pulau-pulau kecil antara lain terdiri dari pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang masing-masing memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di kawasan itu.
Penyusunan perencanaan pengelolaan
pulau-pulau kecil secara terpadu harus mampu mengakomodir segenap kepentingan pelaku pembangunan yang ada. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan pembangunan harus menggunakan pendekatan dua arah, yaitu pendekatan top down dan pendekatan bottom up.
6.
Lingkungan, Ekonomi serta Ilmu dan Pengetahuan Teknologi. Sidang Khusus Majelis Umum PBB ke-22 tahun 1999 yang membahas
pelaksanaan Program Aksi Barbados mengenai Pembangunan Berkelanjutan di Negara-negara Berkembang Kepulauan Kecil (SIDS), telah menghasilkan State of Progress and initiatives for the Future Implementation of the Programme of Action for Sustainable Development of Small Island Developing States, dengan beberapa masalah prioritas yang membutuhkan perhatian khusus meliputi: (1) perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut; (2) bencana alam dan kerusakan lingkungan; (3) sumberdaya air bersih; (4) ekosistem pesisir dan terumbu karang; (5) sumberdaya energi terbarukan; dan (6) pariwisata untuk melindungi lingkungan dan budaya (DKP, 2004).
129
Menurut Retraubun (2003), kawasan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari lingkungan wilayah pesisir dan laut, sehingga apa yang terjadi di wilayah pesisir dan laut mau tidak mau berdampak pada keberadaan keanekaragaman hayati laut yang ada di pulau-pulau kecil. Sementara itu, wilayah pulau-pulau kecil
memiliki
fungsi
tidak hanya
sebagai penyedia
berbagai
sumber
penghidupan masyarakat, tetapi lebih jauh lagi memiliki fungsi-fungsi lain seperti fungsi lingkungan (ekologis) yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat terutama yang hidup di wilayah pulau-pulau kecil yang terpencil. Secara umum, terdapat tiga wilayah atau zona yang harus ada di kawasan pulau-pulau kecil, yaitu kawasan preservasi yang hanya diperuntukkan bagi kegiatan pendidikan dan penelitian, kawasan konservasi yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan secara terbatas, dan kawasan pembangunan secara intensif. Keterkaitan ketiga wilayah tersebut harus disusun dalam rencana tata ruang wilayah pulau-pulau kecil sebagai infrastruktur pendukung dalam kebijakan pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil. DKP (2003) menyatakan bahwa masalah pengelolaan pulau-pulau kecil mencakup isu-isu yang jauh lebih luas dari sekedar biologi, karena adanya keterkaitan yang erat antara aspek biologi dengan manusia (masyarakat lokal) yang memiliki kehidupan ekonomi, sosial dan budaya yang komplek, yang mensyaratkan masyarakat di pulau-pulau kecil sebagai pelaku dan sekaligus tujuan dari kebijakan pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil, sehingga harus mendapatkan manfaat terbesar dari kegiatan tersebut. Untuk itu pembangunan dan
pemanfaatan
sumberdaya
yang
berwawasan
lingkungan
perlu
disosialisasikan kepada masyarakat melalui praktek-praktek pembangunan, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya secara berkesinambungan, seiring dengan upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di kawasan pulau-pulau kecil.
Lebih lanjut dinyatakan pula oleh Dahuri (2003),
bahwa peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di kawasan pulau-pulau kecil melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan kelautan harus dilakukan secara optimal, efisien, dan berkelanjutan, yaitu dengan tingkat (laju) pembangunan (pemanfaatan sumberdaya) kelautan pulau-pulau kecil pada setiap kawasan pembangunan harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungan kawasan yang secara ekonomis menguntungkan. Berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), menurut Dahuri (2003), penerapan IPTEK ditujukan agar segenap produk dan jasa kelautan
130
pulau-pulau kecil di Indonesia mampu menghasilkan nilai tambah dan berdaya saing tinggi di era globalisasi, yang harus disesuaikan dengan tuntutan pembangunan serta perkembangan zaman yang diarahkan kepada: (1) optimasi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan jasa lingkungan; (2) teknologi penangkapan yang produktif, efisien serta ramah lingkungan; (3) penerapan bioteknologi untuk pengelolaan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil ; (4) peningkatan nilai tambah dan kualitas produk kelautan melalui teknologi saat prapanen maupun pascapanen; (5) teknik serta manajemen pemasaran produk yang lebih efisien, sehingga dapat meningkatkan posisi tawar di pasar dalam negeri dan luar negeri ; (6) teknologi pendayagunaan potensi sumberdaya energi non konvensional seperti OTEC, energi kinetik dari pasang surut dan gelombang laut yang berwawasan lingkungan; dan (7) teknologi pengelolaan limbah di kawasan pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan serta pengendaliannya. Pemerintah Pusat bertindak sebagai penyusun kebijakan nasional berupa suatu perencanaan pembangunan kelautan nasional dalam rangka mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi saat ini, dengan mendorong pertumbuhan dan berkembangnya kemampuan suatu komunitas masyarakat (pesisir dan pulau-pulau kecil) baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Sjahrir (2004), menyatakan bahwa suatu pemerintahan haruslah memproses kebijakan yang terdiri dari pembuatan rencana
kebijakan
(policy
planning),
mengumumkan
kebijakan
(policy
announcement), memutuskan kebijakan untuk dikerjakan (policy decision), serta mengimplementasikan kebijakan (policy implementation).
Pemerintah adalah
decision maker yang mempunyai tugas utama mengambil keputusan. Salah satu ciri pemerintahan yang memerintah adalah pengambilan keputusan yang dilaksanakan secara konsisten, karena keterbelangkaian pekerjaan yang menumpuk dari Pemerintah, akan berakibat dan dirasakan secara nyata dengan berlangsungnya proses pemerosotan ekonomi. 6.2.2 Pemerintah Daerah Undang-undang No. 32/2004 menyatakan bahwa Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945. Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah
131
laut meliputi: (1) eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut; (2) pengaturan administratif; (3) pengaturan tata ruang; (4) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; (5) ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan (6) ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Dahuri (2002), menyatakan bahwa otonomi daerah bagi sektor kelautan dan perikanan di daerah setidaknya membawa dua implikasi penting. Pertama, daerah dituntut kemampuannya untuk mengidentifikasi potensi dan nilai ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanannya. Adanya data tentang potensi dan nilai ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanan secara akurat akan mempermudah formulasi kebijakan pendayagunaan potensi sumberdaya tersebut.
Kedua,
daerah dituntut pula untuk mampu mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan secara tepat dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pemerintah Daerah sesuai UU No. 32/2004 merupakan pemegang amanat dalam pemanfaatan laut sejauh empat mil, sebagai tempat hidup ketiga sumberdaya alam ekosistem tropis khas pesisir dan pulau-pulau kecil, yaitu terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Kerusakan ketiga ekosistem dimaksud yang terjadi dewasa ini, tidak lepas dari terjadinya miss management pembangunan berbasis land based oriented yang dilakukan baik di pusat maupun daerah, yang telah menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan akibat eksploitasi dan destruktif fishing, konversi lahan bagi pemukiman dan industri (kerusakan terumbu karang dan mangrove), deplesi stok ikan, khususnya ikanikan bernilai ekonomis, yang pada akhirnya semakin memperlebar gap kemiskinan pada masyarakat pulau-pulau kecil. Menurut DKP (2006), upaya untuk mengurangi masalah-masalah sosial, ekonomi dan kemiskinan masyarakat pulau-pulau aksesibilitas
kecil
dapat
dilakukan
dengan
melakukan
masyarakat
terhadap
sumberdaya
alam,
pengembangan pengembangan
aksesibilitas masyarakat terhadap diversifikasi sumber penghasilan, peningkatan aksesibilitas
terhadap
informasi,
dan
peningkatan
serta
pengembangan
kelembagaan sosial. Kewenangan dan tanggungjawab Pemerintah Daerah dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposang, meliputi: (1) menyusun rencana pengelolaan (management plan), rencana aksi (action plan), rencana bisnis (business plan) dan penataan ruang kawasan; (2) melaksanakan pengawasan
132
dan pengendalian pembangunan; (3) meningkatkan kemampuan
masyarakat
dan penguatan kelembagaan melalui sosialisasi, pendidikan dan latihan; dan (4) melaksanakan kerjasama dengan pihak swasta baik nasional maupun asing sesuai ketentuan yang berlaku. Syahriani dan Syakrani (2009) menyatakan bahwa otonomi daerah membutuhkan seorang pemimpin daerah yang memiliki entrepreneurial spirit, yaitu sebuah semangat, etos juang, dan budaya unggul yang akan memunculkan inovasi, terobosan, best practice, dan kreativitas untuk mensejahterakan masyarakat lokal melalui pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan dengan fokus orientasi utama terwujudnya kesejahteraan rakyat dalam segala dimensinya. Desentralisasi sekurang-kurangnya memiliki dua dimensi yaitu dimensi politik dan administratif, sehingga membutuhkan suatu organisasi dengan kualitas tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance) dan praktik-praktik birokrasi yang baik (best practice) yang mengharuskan peningkatan kompetensi aparat pemerintah dalam menyediakan pelayanan publik kepada masyarakat dan dunia usaha. Kepemimpinan sekali lagi baik yang bersifat strategik maupun operasional adalah faktor terpenting terwujudnya organizational excellence. Kondisi dimaksud menunjukkan bahwa meskipun Pemerintah Daerah telah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan pembangunannya secara mandiri dan independen, tetapi tetap pembangunan dimaksud,
nasional,
daerah
sehingga
melakukan
merupakan
dalam
pemanfaatan
bagian
melaksanakan sumberdaya
integral dari pembangunan alam
secara
berkelanjutan dengan fokus orientasi utama terwujudnya kesejahteraan rakyat dalam segala dimensinya, termasuk pengelolaan pulau-pulau kecil yang berada di wilayahnya. Pemerintah Daerah adalah wadah bagi penjaringan aspirasi masyarakat dalam proses pengelolaan Kawasan Kapoposan secara bottom up, karena proses dimaksud jika dilaksanakan oleh pusat akan menyebabkan biaya yang mahal, tidak efisien, dan kurang efektif. Upaya Pemerintah Daerah dalam mendorong berkembangnya Kawasan Kapoposan selayaknya dilakukan dengan memegang prinsip-prinsip yang meliputi pengelolaan yang berkelanjutan, arah pengelolaan ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan dasar, mengutamakan partisipasi dan keterlibatan masyarakat lokal, memberikan apresiasi terhadap budaya, norma, dan kearifan lokal yang berlaku, serta meningkatkan apresiasi terhadap konservasi lingkungan. Retraubun (2003),
133
menyatakan bahwa pada masa pemerintahan orde baru, eksploitasi sumberdaya alam (termasuk sumberdaya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil) lebih banyak memberikan manfaat terhadap pusat dibandingkan daerah dan masyarakat setempat yang sesungguhnya merupakan pemilik sumberdaya. Berdasarkan dalih kepentingan nasional, sumberdaya alam yang ada di daerah dieksploitasi tanpa
mengindahkan
kelestarian
lingkungan,
dan
bahkan
menimbulkan
penderitaan dan kesengsaraan masyarakat yang ada di daerah bersangkutan. Pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya pulau-pulau kecil dalam batas-batas yang telah ditetapkan, akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat lokal. Terbukanya kesempatan menjalin kerjasama antar pemerintah daerah di Indonesia dan antar pemerintah daerah dalam lingkup antarnegara mewajibkan sebuah format kebijakan pembangunan daerah Kabupaten Pangkep yang harus peka terhadap perkembangan dan dinamika politik daerah lainnya, di samping berpartisipasi dalam implementasi kesepakatan perdagangan bebas baik pada tingkat regional maupun global, yang menuntut adanya peningkatan daya saing daerah. Syahriani dan Syakrani (2009) menyatakan bahwa upaya untuk meningkatkan potensi unggulan sebagai daya saing daerah tidak cukup diformulasikan dalam wacana ilmiah dan retorika politik penguasa, namun harus menjadi bagian integral peningkatan kapasitas (capacity building) pemerintah daerah dalam penyelenggaraan seluruh fungsinya, karena sesungguhnya daya saing daerah berbanding lurus dengan daya tarik daerah sebagai tujuan investasi. Berkaitan dengan kehadiran investasi di Kawasan Kapoposan, Pemerintah Daerah selayaknya memiliki landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan pulau-pulau kecil secara terpadu mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya pulau-pulau kecil dalam upaya mendorong investasi bagi pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Sebagai pemegang izin prinsip kerjasama dengan dunia usaha, Pemerintah Daerah harus dapat melakukan berbagai upaya seperti penyertaan modal daerah, menyusun prosedur atau mekanisme perizinan investasi yang transparan, tidak berbelit-belit dan akuntable, serta meningkatkan pelayanan publik berupa praktik birokrasi yang unggul (excellent practices) dalam memutuskan kebijakan investasi yang telah ditetapkan. Syakrani dan Syahriani
134
(2009) menyatakan bahwa, implementasi kebijakan dari Pemerintah Daerah membutuhkan clean and good governance, yaitu komitmen setiap pelaku birokrasi untuk berkerja dengan baik, jujur, bersih, tanggung jawab, dan profesional dengan mengedepankan tujuan bersama dan tujuan masyarakat, yang direfleksikan melalui kelembagaan pemerintah beserta unit-unitnya yang berfungsi secara efisien dan efektif. Tata
kelola pemerintahan
daerah
yang
sehat
(good
governance)
merupakan konsep yang menghubungkan pemerintah daerah dengan dunia usaha, sehingga ketika fungsi pelayanan publik berjalan dengan baik, maka sebenarnya yang mendapatkan manfaat bukan sekedar dunia usaha, namun masyarakat Kawasan Kapoposang dan pemerintah daerah Kabupaten Pangkep. Syakrani dan Syahriani (2009) menyatakan, keberfungsian pelayanan publik sesungguhnya menggambarkan bahwa pemerintah (baik pusat maupun daerah): (1) mampu menyediakan pelayanan publik sesuai dengan preferensi dan kebutuhan penduduk (the right things), yang melukiskan terjadinya pergeseran mindset, kultur kerja, dari berorientasi pada diri sendiri menjadi fokus kepada orang lain (sesuatu hal yang tidak mudah mengingat lingkungan birokrasi yang terbiasa dengan kultur minta dilayani), dan (2) mampu menyelenggarakan fungsi ini dengan mutu prima (do them right), yang menunjukkan terjadinya pergeseran dari kebiasaan do less dan spent more ke arah do more dan spent less, yang secara teoritik pergeseran dimaksud menandai telah tercapainya fase reinventing goverment pada diri birokrasi pemerintah. Pemerintah Daerah sebagai sang empu wilayah Kawasan Kapoposang, selain wajib memberikan kepastian hukum, berkewajiban pula untuk memberikan pelayanan prima dalam pengurusan perizinan investasi bagi dunia usaha secara efektif (melakukan sesuatu yang benar/doing the right thing) dan efisien (melakukan dengan cara yang benar/doing things right). Soetarto (2003) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah seyogyanya bersedia memberikan kemudahan (insentif) bagi para investor seperti misalnya kebijakan penangguhan pajak (tax holiday) dan perpanjangan waktu pengelolaan sesuai aturan yang berlaku. Pengembangan investasi di pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposang setidaknya harus didukung oleh kepastian hukum bagi investasi yang ditanamkan, terpeliharanya stabilitas sosial, politik dan keamanan di daerah, adanya sistem insentif yang menarik yang diberikan kepada para investor, pelayanan investasi prima yang cepat, murah, mudah dan transparan melalui
135
sistem pelayanan satu atap (one stop service), dan menghapus segala bentuk peraturan dan pungutan yang memberatkan dunia usaha (investor). Salah satu implikasi dari berlakunya UU No. 32/2004 adalah sumberdaya pulau-pulau kecil tidak lagi bersifat terbuka, melainkan terkontrol (controlled access). Pemerintah Daerah beserta masyarakat lokal diharapkan mampu bertanggung jawab mengendalikan pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil tersebut
sehingga
kelestarian
sumberdaya
terus
terjaga.
Desentralisasi
pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil merupakan langkah yang tepat sehingga patut dijadikan entry point bagi pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan
(sustainable
resources
development).
Retraubun
(2008),
menyebutkan otonomi daerah bagi sektor kelautan dan perikanan di daerah setidaknya
membawa
dua
implikasi
penting.
Pertama,
daerah
dituntut
kemampuannya untuk mengidentifikasi potensi dan nilai ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanannya. Adanya data tentang potensi dan nilai ekonomi sumberdaya
kelautan dan perikanan secara akurat akan mempermudah
formulasi kebijakan pendayagunaan potensi sumberdaya tersebut. Kedua, daerah dituntut pula untuk mampu mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan secara tepat dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Sesuai dinamika dan perkembangan di masa depan, Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep memiliki kewajiban untuk melindungi lingkungan pulaupulau kecil di Kawasan Kapoposang, dengan menetapkannya sebagai Marine Protected Area (MPA) atau Kawasan Konservasi Laut (KKL). Hal ini tentunya membutuhkan kerja ekstra keras Pemerintah Daerah, karena untuk menetapkan suatu kawasan dimaksud menjadi KKL/MPA dibutuhkan kolaboratif dan keterpaduan antar daerah setidaknya dengan melakukan nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah dengan Non Goverment Organizations (NGO’s), seperti misalnya yang dilakukan di Kepulauan Berau-Kalimantan Timur. Wiryawan (2008) menyatakan, bahwa dalam proses pembentukan Kepulauan Berau menjadi Kawasan Konservasi laut (KKL) diawali dengan penandatangan MoU selama lima tahun (2004-2009) antara Pemerintah Daerah setempat dengan NGO’s (The Nature Conservacy, WWF Indonesia, Mitra Pesisir dan Yayasan Kehati) pada tahun 2004. Proses selanjutnya merupakan tindak lanjut meliputi: (1) penyusunan rencana pengelolaan (2004-2005); (2) pendidikan dan penyebarluasan informasi (2004-2006); (3) pengembangan dan penguatan
136
kelembagaan kolaborasi (2005-2006); (4) pengembangan rencana tata ruang dan zonasi (2006-2007); (5) monitoring dan evaluasi (2007-2008), dan (6) pencarian serta penyediaan dana bagi keberlanjutan program (2008-2009). Diagram model struktural pada Pemerintah Daerah sebagai salah satu elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program terdiri atas enam level (Gambar 21). Elemen kunci (key element) adalah sumberdaya (sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan). Subelemen-subelemen tersebut dianggap dapat menggerakkan subelemen-subelemen lain pada elemen Pemerintah Daerah.
Dengan mengidentifikasi potensi unggulan dari masing-
masing sumberdaya tersebut dan dibarengi dengan kepemimpinan daerah akan menciptakan kesesuaian tataruang dan zonasi di pulau-pulau kecil. Selanjutnya adalah membuat dan melaksanakan mekanisme perizinan investasi di pulaupulau kecil sehingga akan tercipta pola investasi., dengan demikian akan terwujud peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sub elemen dari
Pemerintah Daerah terdistribusi pada sektor II, III dan IV (Gambar 22). Sub elemen potensi unggulan dan kepemimpinan daerah termasuk peubah linkages, dimana setiap tindakan pada tujuan tersebut akan menghasilkan keberhasilan dalam model pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil di suatu kawasan. Sub elemen sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan sumberdaya buatan merupakan sub elemen yang memiliki ketergantungan yang rendah terhadap sistem, namun memiliki daya dorong yang besar dalam keberhasilan sistem. Pada sektor II terlihat bahwa sub elemen kesesuaian tata ruang dan zonasi, mekanisme perizinan investasi, pola investasi dan peningkatan PAD memiliki ketergantungan besar dari sistem, namun memiliki daya dorong yang rendah. 1
Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia dan Sumberdaya Buatan Sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pulau-pulau kecil umumnya
berada di sekitar pesisir dan pantai dengan jarak kurang dari 4 mil laut, yang sesuai UU No. 32/2004 menjadi wilayah kewenangan Pemerintah Daerah dalam pengelolaannya. Menurut DKP (2003), pulau-pulau kecil di daerah tropis dan subtropis sangat berasosiasi dengan terumbu karang (coral reefs), sehingga memiliki komoditas spesifik pulau kecil berupa spesies-spesies ekonomis yang menggunakan karang sebagai habitatnya seperti ikan kerapu, napoleon, kima raksasa, teripang, molusca, ekinodermata, crustacea dan lain-lain. Selain itu struktur batuan dan geologi pulau-pulau kecil di Indonesia adalah struktur batuan
137
tua yang diperkirakan mengandung deposit bahan-bahan tambang/mineral penting seperti emas, mangan, nikel dan lainnya. Pulau-pulau kecil di daerah tropis dan sub tropis memiliki ekosistem khas yang tidak terdapat di negara-negara non tropis meliputi ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun yang ketiganya berinteraksi secara erat dengan fungsinya masing-masing. Bengen dan Retraubun (2006) menyebutkan bahwa luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 85.000 km2 yang tersebar dari kawasan barat sampai ke kawasan timur Indonesia. Wilayah Indonesia merupakan tempat bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang dunia dan merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman biota laut dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Manfaat terumbu karang diantaranya sebagai bahan baku bangunan dan industri, sebagai penghasil beragam sumberdaya ikan, pemanfaatan jasa lingkungan kegiatan wisata bahari, sebagai
penahan
abrasi
pantai,
peredam
gelombang,
dan
sumber
keanekaragaman hayati (ditenggarai pada perairan yang memiliki ekosistem terumbu karang pada kedalaman kurang dari 30 m, setiap 1 km2 luas perairan mengandung sumberdaya hayati sebanyak 15 ton). Bahkan dewasa ini berbagai jenis biota yang hidup di ekosistem terumbu karang didapati banyak mengandung senyawa bioaktif sebagai bahan obat-obatan, makanan, dan kosmetika sebagai daya tarik tersendiri yang dalam pemanfaatannya diharapkan dapat pula berkontribusi bagi peningkatan ekonomi masyarakat dan daerah. Ekosistem
lainnya
adalah
mangrove
yang
sangat
berperan
bagi
ketersediaan biota laut (seperti ikan, udang, kerang-kerangan dan kepiting), penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi berbagai macam biota, penahan abrasi, penyerap limbah, pencegah intrusi air laut, tempat penyedia kayu dan bahan baku obat-obatan. Jenis magrove yang banyak ditemukan di kawasan pulau-pulau kecil adalah genus Rhizophora (bakau), Avicennia (api-api) dan Sonneratia. Sedangkan padang lamun sebagai satu-satunya tumbuhan berbunga yang hidup terendam di dalam laut merupakan tempat berbagai jenis ikan dan udang untuk menetap, bermigrasi, berlindung, maupun mencari makan.
Ekosistem terumbu karang, magrove dan padang
lamun ketiganya merupakan tempat pembesaran (nursery ground), pemijahan (spawning ground), dan penyedia pakan alami (feeding ground) (Bengen dan Retraubun, 2006).
138
Sumberdaya manusia pulau-pulau kecil meskipun umumnya memiliki kearifan lokal, namun relatif tertinggal dibandingkan dengan pulau induk atau daratan, khususnya ketertinggalan dalam mendapatkan akses informasi, teknologi, dan pasar. Dahuri (2001) menyatakan bahwa umumnya pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, tingkat pendidikan yang rendah, memiliki keterbatasan prasarana umum dan sosial, serta memiliki keterbatasan dalam akses ke sumber modal, teknologi, dan pasar, yang berakhir pada tumpang tindih berbagai sektor di suatu kawasan, serta terjadinya degradasi lingkungan secara cepat. Upaya untuk mengurangi masalah-masalah sosial dan ekonomi masyarakat pulau-pulau kecil dapat dilakukan melalui pengembangan aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya alam, pengembangan aksesibilitas masyarakat terhadap diversifikasi sumber penghasilan, peningkatan aksesibilitas terhadap informasi, serta peningkatan dan pengembangan kelembagaan sosial. Numberi (2007), menyatakan bahwa untuk mengatasi permasalahan yang berkembang dalam masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dibutuhkan suatu upaya berupa program pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil sebagai mainstream upaya peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan. Pemberdayaan berarti apa yang telah dimiliki oleh masyarakat adalah sumberdaya pembangunan yang perlu dikembangkan sehingga makin nyata kegunaannya bagi masyarakat itu sendiri. Pendekatan dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil diantaranya adalah: (1) penciptaan lapangan kerja alternatif sebagai sumber pendapatan; (2) mendekatkan masyarakat dengan sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai diri sendiri (self financing mechanism); (3) mendekatkan masyarakat dengan sumber teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna; (4) mendekatkan masyarakat dengan pasar; serta (5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah masyarakat. Kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan yang dianut oleh masyarakat atau organisasi yang dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam mengadakan transaksi satu sama lainnya, sehingga kelembagan masyarakat pulau-pulau kecil merupakan wadah atau institusi lokal yang terbentuk dari aspirasi masyarakat dalam upaya pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil, dengan harapan dapat membantu kelancaran proses pengaturan alokasi sumberdaya baik dalam penerapan teknologi, modal, tenaga
139
kerja, serta pemecahan permasalahan-permasalahan lain yang kadang kala timbul dalam usaha pengembangan wilayah pulau-pulau kecil. Karakteristik utama dari wilayah pulau-pulau kecil dicirikan oleh adanya institusi tradisional yang lahir dari proses manajemen masyarakat nelayan berdasarkan perbedaan kondisi
sosio-ekologi,
yang
ditandai
oleh
adanya
sistem
produksi
terspesialisasikan didalam hubungan hierarkhi dan hegemoni sebagai hasil dari suatu pembagian stratifikasi sosial (Retraubun, 2003). Lebih lanjut dinyatakan oleh DKP (2003), bahwa sumberdaya pulau-pulau kecil yang tersedia untuk kehidupan masyarakat lokal telah mengalami penyusutan dan degradasi baik disebabkan oleh tindakan mereka sendiri maupun ulah para pengusaha perikanan dan kelautan yang mengeksplotai sumberdaya laut secara besar-besaran tanpa melakukan upaya pelestarian dan konservasi sumberdaya.
Salah satu solusi yang mungkin dapat diterapkan dan
diterima masyarakat lokal adalah dilaksanakannya pelimpahan wewenang pengelolaan (decentralization) sumberdaya pulau-pulau kecil kepada masyarakat (lembaga lokal) yang lebih mengetahui teknis dan mekanisme pemanfatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan yang merupakan warisan dari nenek moyangnya. Mengantisipasi perubahan keadaan iklim sosial dan politik yang menyebabkan terjadinya eksploitasi secara ilegal terhadap sumberdaya alam termasuk sumberdaya pulau-pulau kecil, maka peranan komunitaskomunitas masyarakat lokal menjadi penting, mengingat strategi pembangunan wilayah sebaiknya memperhatikan, memanfaatkan dan mendekatkan kepada peranan kelembagaan tradisional beserta tindakan kolektifnya. 2
Kepemimpinan Daerah dan Potensi Unggulan UU No. 32/2004 menyatakan bahwa sesuai dengan amanat UUD 1945,
pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut otonomi dan tugas pembantuan, yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan
masyarakat
melalui
peningkatan,
pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kewenangan dalam otonomi daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut adalah eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut, pengaturan administratif, pengaturan tata ruang,
140
penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah, ikut serta dalam pemeliharaan keamanan, dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara. Menurut Dahuri (2003), otonomi daerah bagi sektor kelautan dan perikanan di daerah setidaknya membawa dua implikasi penting. Pertama, daerah dituntut kemampuannya untuk mengidentifikasi potensi dan nilai ekonomi sumberdaya kelautan dan perikanannya, termasuk sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil berikut jasa lingkungannya sebagai potensi unggulan daerah. Keberadaan data tentang potensi dan nilai ekonomi sumberdaya kelautan dimaksud secara akurat akan mempermudah formulasi kebijakan pendayagunaan potensi sumberdaya tersebut.
Kedua, daerah dituntut pula untuk mampu mengelola sumberdaya
kelautan dan perikanan secara tepat dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil merupakan upaya untuk meningkatkan potensi unggulan sebagai daya saing daerah yang tidak cukup diformulasikan dalam wacana ilmiah dan retorika politik penguasa, namun harus menjadi bagian integral peningkatan kapasitas (capacity building) pemerintah daerah dalam penyelenggaraan seluruh fungsinya, karena sesungguhnya daya saing daerah berbanding lurus dengan daya tarik daerah sebagai tujuan investasi. Tantangan pemimpin daerah adalah meningkatkan kualitas tata kelola kepemerintahan yang sehat (good governance) dan praktik-praktik birokrasi yang unggul (excelent practices) dalam pelayanan publik kepada masyarakat dan dunia usaha baik dalam konteks domestik, maupun konteks global melalui daya saing bangsa. Untuk itu pemimpin daerah membutuhkan entrepreneurial spirit, yaitu sebuah semangat, etos juang, dan budaya unggul yang akan memunculkan inovasi, terobosan, best practice, dan kreativitas untuk mensejahterakan masyarakat lokal melalui pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan dengan fokus orientasi utama
terwujudnya
kesejahteraan
rakyat
dalam segala
dimensinya. Kepemimpinan daerah baik yang bersifat strategik maupun operasional adalah faktor terpenting terwujudnya organizational excellence. Terbukanya kesempatan menjalin kerjasama antar pemerintah daerah di Indonesia dan antar pemerintah daerah dalam lingkup antarnegara mewajibkan sebuah format kebijakan pembangunan daerah yang harus peka terhadap perkembangan dan dinamika politik daerah lainnya, di samping berpartisipasi
141
dalam implementasi kesepakatan perdagangan bebas baik pada tingkat regional maupun global, yang menuntut adanya peningkatan daya saing daerah (Syahriani dan Syakrani, 2009).
3
Kesesuaian Tata Ruang dan Zonasi UU No. 27/2007 menyatakan bahwa definisi rencana zonasi adalah
rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin. Tahapan dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri dari empat tahapan yang meliputi: 1)
Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP3K) adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk Kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional.
2)
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin.
3)
Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP3K) adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengkoordinasian pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumber daya/kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan.
4)
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAPWP3K) adalah tindak lanjut rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu
atau
beberapa
tahun
ke
depan
secara
terkoordinasi
untuk
melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi pemerintah, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai
142
hasil pengelolaan sumber daya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil di setiap kawasan perencanaan. UU No. 27/2007 menyatakan pula bahwa Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZ-WP3K) merupakan arahan pemanfaatan sumber daya
di
wilayah
pesisir
dan
pulau-pulau
kecil
pemerintah
provinsi/kabupaten/kota, yang diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi/kabupaten/kota, yang dalam penyusunannya mempertimbangkan: (1) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; (2) keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan (3) kewajiban
untuk
mengalokasikan
ruang
dan
akses
masyarakat
dalam
pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Muatan Rencana Zonasi WP3K menyangkut pengalokasian ruang WP3K dalam empat jenis kawasan dimana pada masing-masing kawasan dijabarkan menjadi zona/sub zona pemanfaatan yang meliputi: 1) Kawasan pemanfaatan umum, adalah bagian dari wilayah pesisir dan pulaupulau kecil yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan. Dalam penjelasan Pasal 10 UU No. 27 Tahun 2007 di sebutkan bahwa ‘kawasan pemanfaatan umum yang setara dengan kawasan budidaya dalam UU No. 26 Tahun 2007, merupakan kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya, seperti kegiatan perikanan, prasarana perhubungan
laut,
industri
maritim,
pariwisata,
pemukiman,
dan
pertambangan. 2) Kawasan konservasi, adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, dengan fungsi utama melindungi kelestarian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil yang setara dengan kawasan lindung. 3) Alur laut, merupakan perairan yang dimanfaatkan, antara lain, untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan migrasi biota laut. 4) Kawasan strategis nasional tertentu, adalah kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan
143
dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional. Kawasan strategis nasional tertentu memperhatikan beberapa kriteria, yaitu: batas-batas maritim kedaulatan negara, kawasan yang secara geopolitik, pertahanan dan keamanan negara, situs warisan dunia, serta pulau-pulau kecil terluar yang menjadi titik pangkal dan/atau habitat biota endemik dan langka. 4
Mekanisme Perizinan Investasi Sesuai
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.20/MEN/2008, mekanisme perizinan investasi di pulau-pulau kecil yang dapat diterapkan Pemerintah Daerah yang memiliki pulau-pulau kecil dan pulaupulau kecil terluar dapat dibagi atas mekanisme perizinan investasi di pulaupulau kecil (Gambar 29) dan pulau-pulau kecil terluar (Gambar 30), serta investasi yang melibatkan non-PMA atau PMA (Gambar 31).
MULAI
TIDAK
INVESTOR
DINAS/INSTANSI TERKAIT
PULAU KECIL TERLUAR YA
SETUJU ?
MENKOPOLHUKAM
SETUJU ?
YA
TIDAK
TIDAK
GUBERNUR atau BUPATI/WALIKOTA
YA MKP BKPM SETUJU ? TIDAK
SURAT IZIN USAHA
YA SURAT PENOLAKAN USAHA
Gambar 29 Mekanisme perizinan investasi di pulau-pulau kecil (Sumber DKP, 2009).
SELESAI
144 MULAI
INVESTOR
TIDAK
PULAU KECIL TERLUAR ? YA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
MENKOPOLHUKAM
DINAS/INSTANSI TERKAIT SETUJU?
TIDAK
GUBERNUR atau BUPATI/WALIKOTA
BKPMD
SURAT IZIN USAHA
YA
SETUJU?
SURAT PENOLAKAN USAHA
TIDAK
SELESAI
Gambar 30 Mekanisme perizinan investasi di pulau-pulau kecil terluar (Sumber DKP, 2009). MULAI
INVESTOR
TIDAK
INVESTOR NON PMA ATAU PMA YA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REKOMENDASI
SETUJU?
TIDAK
GUBERNUR atau BUPATI/WALIKOTA
SETUJU? TIDAK
DINAS/INSTANSI TERKAIT
BKPMD
SURAT IZIN USAHA
YA SURAT PENOLAKAN USAHA
SELESAI
Gambar 31 Mekanisme perizinan investasi non PMA dan PMA di pulau-pulau kecil (Sumber pengembangan dari DKP, 2009).
145
5
Pola Investasi Investasi di pulau-pulau kecil selayaknya melibatkan partisipasi aktif
masyarakat, seiring Pemerintah Daerah yang pro aktif dalam menawarkan suatu pola investasi pulau-pulau kecil yang tepat dengan kondisi sosial budaya masyarakat dan daerah yang bersangkutan demi kepentingan masyarakat lokal dan pelestarian lingkungan pulau-pulau kecil. Beberapa contoh pola investasi di pulau-pulau kecil seperti disampaikan berikut ini.
PMA
70 % (tujuh puluh persen) dari jumlah keseluruhan pungutan untuk disetor ke Kas Daerah
PMDN
PUNGUTAN HASIL PERIKANAN
Untuk kegiatan penangkapan Ikan
Bagi Perseorangan, Orang Pribadi berdasarkan rumusan 1 % (satu persen) dikalikan produktivitas kapal dikalikan Harga Patokan Ikan
BADAN USAHA
USAHA PERIKANAN
PRIBADI
30 % (tiga puluh persen) dari jumlah keseluruhan pungutan untuk biaya penyelenggaraan pungutan
Untuk kegiatan pembudidayaan ikan sebesar 1 % (satu persen) dikalikan harga jual seluruh ikan hasil pembudidayaan
Bagi usaha perikanan skala kecil berdasarkan rumusan 1,5% (satu koma lima persen) dikalikan produktivitas kapal dikalikan Harga Patokan Ikan
Bagi usaha skala besar berdasarkan rumusan 2,5 % (dua koma lima persen) dikalikan produktivitas kapal dikalikan Harga Patokan Ikan
Gambar 32 Pola investasi bidang perikanan di pulau-pulau Kecil (Sumber DKP, 2009)
146
INVESTOR
100 % Tenaga Lokal
100 % DANA
P. Saundarek
MASYARAKAT
Rp. 250.000/Tamu
PEMDA
- REGULASI - LOKASI
INCOME Rp. 250.000/Tamu
Pulau Saundarek
• Standar 65 Euro/Orang
• VIP 160
PEMDA
: Rp. 150.000
DESA
: Rp 50.000
PENGAWASAN/ KONSERVASI : Rp. 50.000
MANFAAT
LAPANGAN KERJA 100 % Masyarakat Lokal
• Administrasi • Juru Masak • Karyawan Hotel • Guide •Juru mudi kapal.
Gambar 33 Pola investasi bidang wisata bahari di pulau-pulau kecil (Sumber DKP, 2009)
147
6
Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengaturan mendasar yang termuat dalam UU No. 32/2004 adalah
mengenai otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mencakup kewenangan sampai dengan 12 mil laut dari garis pantai pasang surut terendah untuk perairan dangkal, dan 12 mil laut dari garis pangkal ke laut lepas untuk propinsi dan sepertiga dari batas propinsi untuk daerah (Kabupaten/Kota). Menurut Retraubun (2004), dampak positif dari berlakunya otonomi daerah terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil adalah adanya pemberian wewenang kepada daerah untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu, mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil dalam upaya menerapkan pembangunan secara berkelanjutan, demi mendapatkan manfaat terbesar dari sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang akan diperoleh Pemerintah Daerah melalui Pendapatan Asli Daerah atau PAD. Permasalahan yang dihadapi di era otonomi daerah adalah seberapa besar keinginan dan komitmen Pemerintah Daerah untuk mengelola sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan yang berada dalam wewenang/kekuasaannya,
tanpa
mengejar
pertumbuhan
PAD
semata.
Pertanyaan ini menjadi penting mengingat tidak seluruh daerah memiliki pemahaman yang sama akan arti pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, yang pada dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat yang diperoleh (peningkatan PAD dan kesejahteraan masyarakat lokal) dengan kelestarian sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil dapat saja dieksploitasi untuk peningkatan PAD dan kesejahteraan masyarakat lokal namun tidak menjadikan lingkungan termasuk sumberdaya itu sendiri menjadi rusak (DKP, 2004). Retraubun (2004) menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah yang tidak memiliki persepsi yang tepat terhadap pengelolaan wilayah kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, akan memperlakukan sumberdaya dimaksud
semata-mata
untuk
dieksploitasi
sebesarnya-besarnya
untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Eksploitasi berlebih dengan tidak mengindahkan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam pada akhirnya akan menimbulkan masalah lainnya di kemudian hari, sehingga pola pemanfaatan
148
sumberdaya yang dilakukan tidak ada bedanya dengan pola yang selama ini dilakukan.
Oleh karena itu Pemerintah Daerah selayaknya memiliki persepsi
yang tepat terhadap pemanfaatan sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, dengan memperoleh nilai tambah atas sumberdaya alam hayati dan non hayati, sumber energi kelautan disamping sumberdaya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil yang sangat memungkinkan untuk digali dan dioptimalkan, antara lain sumberdaya ikan, terumbu karang, rumput laut dan biota laut lainnya serta pariwisata dalam meningkatkan PAD dengan tanpa melupakan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan. 6.2.3 Dunia Usaha Pengelolaan kawasan Kepulauan Kapoposan membutuhkan volume investasi dan resiko finansial yang cukup besar, sehingga penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan investasi, terutama yang berkaitan dengan keamanan, stabilitas ekonomi, kepastian hukum, transparansi penyelenggaraan kepemerintahan, dan kepercayaan di antara pelaku dunia usaha, dapat berjalan secara harmonis, seimbang dan sejalan dengan sistem reward and punishment bagi para pelaku dunia usaha, baik dari dalam maupun luar negeri. Meskipun tidak mudah, kehadiran dan keterlibatan pihak dunia usaha sebagai pemodal (investor) sesungguhnya dapat menjadi salah satu mesin penghasil devisa negara dan pendapatan asli daerah (PAD). Kusumaatmadja (2003), menyatakan tidak mudah bagi Indonesia untuk menciptakan kerangka kebijakan publik yang menyangkut investasi pulau-pulau kecil, karena yang menjadi isu pokok bukanlah sekedar kepastian hukum dan hadirnya berbagai inisiatif investasi. Isu pokok adalah hadirnya paradigma kepulauan sebagai pengganti paradigma kontinental yang selama ini menjadi orientasi kebijakan publik, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah: (1) kebijakan investasi di pulau-pulau kecil perlu konsisten menguntungkan baik untuk jangka pendek, menengah maupun jangka panjang; (2) koreksi bahwa pembangunan dianggap sukses jika mampu merubah lingkungan alam menjadi lingkungan buatan, karena jika faham ini dipaksakan dalam investasi di pulau-pulau kecil, maka investasi itu akan menjadi kontra produktif; dan (3) diperlukan pendalaman tentang kegiatan ekonomi berbasis konservasi di pulau-pulau kecil. Suatu kebijakan publik investasi akan mengalami kesulitan untuk dapat menyesuaikan diri dengan dinamika perkembangan ekonomi yang berdampak
149
demografis. Sifat statis dapat menyebabkan suatu kebijakan publik investasi mengalami kegagalan dalam jangka panjang setelah mencapai sukses dalam jangka yang lebih pendek. Untuk menjamin bahwa kebijakan publik dapat fleksibel dan tetap menciptakan kepastian, maka kebiasaan merumuskan kebijakan publik berbasis informasi dan dengan pelibatan stakeholders perlu ditanamkan. Retraubun (2007), menyatakan berkaitan dengan kebijakan publik pulau-pulau kecil, pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil yang suistainable secara ekologis maupun ekonomi sangat terbatas. Penyediaan jasa umum yang relatif mahal serta kelangkaan sumberdaya manusia yang handal mengakibatkan pengembangan ekonomi hampir sulit dilakukan jika hanya mengandalkan kemampuan pulau untuk mengembangkan dirinya (self suffiency), tanpa sentuhan dan tanpa kepedulian dari berbagai pihak luar, khususnya Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Namun demikian, mengingat terbatasnya anggaran Pemerintah (baik pusat maupun daerah), maka masuknya dana investasi dari pelaku dunia usaha (dalam dan luar negeri) adalah sebuah keniscayaan. Investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan pulau-pulau kecil karena selain dapat menyerap tenaga kerja lokal, investasi khususnya di sektor wisata bahari dapat menumbuhkembangkan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pulau-pulau kecil. Kehadiran dunia usaha/swasta/investor/korporat untuk berinvestasi di pulau-pulau kecil, pada saat ini dan di masa mendatang merupakan penggerak laju ekonomi bagi pertumbuhan kawasan, daerah dan nasional, mengingat Pemerintah (pusat dan daerah) dengan anggaran yang terbatas, sesungguhnya lebih bersifat sebagai fasilitator dan promotor, sehingga kehadiran dan keterlibatan pihak dunia usaha/swasta/korporat sebagai pemodal (investor) diharapkan dapat menjadi salah satu mesin
penghasil devisa negara dan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). DKP (2004), menyatakan bahwa dalam usaha pemanfaatan pulau-pulau kecil oleh
pengusaha dari luar pulau (dunia
usaha/swasta/investor/korporat), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengembangkan instrumen kebijakan untuk mendukung sistem keselamatan ekologis berupa: (1) pemberlakuan dana jaminan yang diserahkan oleh calon pengelola pulau-pulau
kecil,
seperti berupa bonds,
colateral fee, dan
environmenttal insurance; (2) penegakan prosedur analisis mengenai dampak lingkungan dan sosial dari kegiatan investasi yang direncanakan secara terpadu dengan melibatkan para stakeholders; (3) menempatkan penegakan dan
150
penataan (enforcement and compliance) hukum dan kebijakan yang disesuaikan dengan hukum di tingkat internasional sebagai prioritas utama mengingat kendala-kendala alami wilayah pulau-pulau kecil; dan (4) dilakukannya pengembangan dan pemberlakuan sistem pemantauan dan pengawasan yang berbasis pada masyarakat sebagai suatu keharusan. Sesuai hasil wawancara kelompok terfokus, investasi dari dunia usaha bagi Kawasan Kapoposan yang dianggap paling sesuai adalah investasi di sektor wisata bahari yang mempertimbangkan: (1) pelibatan peran aktif masyarakat lokal; (2) pengaturan pembagian pendapatan bagi masyarakat dan pemasukan bagi daerah; (3) pemenuhan tanggung jawab dunia usaha dalam sektor sosial, lingkungan dan manajemen; serta (4) pola kemitraan di antara pelaku dunia usaha dengan Pemerintah Daerah serta masyarakat lokal sehingga efek ganda (multiplier effect) kehadiran para pelaku dunia usaha dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dan daerah kawasan. Barani (2002), menyebutkan bahwa kegiatan investasi wisata bahari di pulau-pulau kecil telah terbukti dapat menimbulkan multiplier effect, seperti: (1) terserapnya tenaga masyarakat lokal dan pulau-pulau kecil sekitarnya sebagai pemandu wisata (guide), nahkoda kapal, juru masak, cleaning service, petugas keamanan, jasa penyewaan perahu, penjualan cidera mata, jasa penyediaan bahan makanan, dan administrator kantor; (2) meningkatnya kesadaran masyarakat lokal menjaga lingkungan dan sumberdaya alam sebagai aset utama kegiatan wisata bahari, sehingga berbagai upaya pelestarian lingkungan dilakukan oleh masyarakat, serta terhindarkannya pemanfaatan sumberdaya melalui kegiatan yang destruktif (penggunaan racun dan bom); dan (3) sebagai sumber pemasukan devisa negara dan Pendapatan Asli Daerah atau PAD. Peran dunia usaha untuk berinvestasi di Kawasan Kapoposang tidak dapat terlepas dari share terhadap perkembangan ekonomi dan pendapatan, khususnya dalam menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja, sehingga Pemerintah (pusat dan daerah) berkewajiban melindungi dan memberikan jaminan atas kepastian hukum selama pihak dunia usaha dimaksud telah memenuhi segala persyaratan investasi di Kawasan Kapoposang yang telah ditetapkan sesuai peraturan yang berlaku. Satria et al., (2002), menyatakan Pemerintah Daerah di era desentralisasi dituntut untuk mampu meningkatkan kapasitasnya sebagai regulator dengan melakukan hal-hal yang memang tidak dapat dilakukan masyarakat secara partisipatif untuk menjamin efektivitas dan
151
efisiensi program, sehingga dibutuhkan peraturan-peraturan daerah yang pro bagi pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Sesuai dengan hasil wawancara dan wawancara kelompok terfokus, kegiatan investasi di pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposang harus dapat menunjang terciptanya jalinan hubungan kemitraan yang baik antara dunia usaha/investor/korporat, dengan komunitas (stakeholders) melalui Corporate Social Responsibility (CSR) yang menjadi tuntutan tak terelakkan seiring dengan bermunculannya
tuntutan
usaha/perusahaan/investor).
komunitas Rahman
terhadap
korporat
(2009), menyebutkan bahwa
(dunia suatu
kegiatan disebut CSR ketika dalam implementasinya di lapangan memiliki sejumlah
unsur
meliputi:
(1)
continuity
and
suistanability,
yaitu
berkesinambungan dan berkelanjutannya CSR sebagai suatu mekanisme kegiatan yang terencana, sistematis, dan dapat dievaluasi; (2)
community
empowerment, sebagai indikasi suksesnya CSR dalam terwujudnya kemandirian yang lebih pada komunitas, jika dibandingkan dengan sebelum CSR hadir; dan (3) two ways, yang berarti CSR memiliki dua arah sehingga korporat bukan lagi berperan sebagai komunikator semata, tetapi juga harus mampu mendengarkan aspirasi dari suatu komunitas. Menurut Wahyudi dan Azheri (2008), lima pilar CSR itu sendiri meliputi: (1) building human capital, berkaitan dengan internal perusahaan untuk menciptakan SDM yang andal, di sisi lain, perusahaan pun dituntut melakukan pemberdayaan masyarakat; (2) strengtening economies, yaitu tuntutan kepada perusahaan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya, agar terjadi pemerataan kesejahteraan; (3) assesing social chesion, sebagai upaya menjaga keharmonisan dan terhindarnya konflik dengan masyarakat sekitar; (4) encouraging good governance, perusahaan dalam menjalankan bisnisnya mengacu pada Good Corporate Governance (GCG); dan protecting the environment, yaitu tuntutan kepada perusahaan untuk menjaga lingkungan sekitarnya. Menurut pengamatan penulis dan hasil wawancara, khusus investasi kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposang, kegiatan CSR dapat dikembangkan dan ditambah dengan: (1) Company Managerial Responsibility (CMR) yaitu tanggung jawab korporat dalam melakukan transfer cara-cara pengelolaan (manajerial) kepada masyarakat, sehingga saat kontrak kerja telah selesai aktivitas wisata bahari masih tetap dapat dijalankan oleh masyarakat dan pemda setempat, meskipun keterlibatan investor sudah tidak
152
ada lagi, dan (2) Company Environmental Responsibility (CER), yaitu tanggung jawab korporat dalam upaya-upaya pelestarian ekosistem pulau-pulau kecil Kawasan Kapoposang, mengingat kerentanan kawasan terhadap adanya perubahan lingkungan. Diagram model struktural pada dunia usaha sebagai salah satu elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program terdiri atas empat level (Gambar 23). Elemen kunci (key element) adalah pelayanan publik yang efisien dan efektif, serta adanya insentif bagi pelaku dunia usaha (investor) dimana kedua
subelemen
tersebut
dapat
mempengaruhi
atau
menggerakkan
subelemen-subelemen lain pada elemen dunia usaha. Dengan adanya pelayanan publik yang efisien dan efektif serta tawaran insentif bagi para investor akan meningkatkan daya tarik investasi.
Aksessibilitas dan kepastian hukum
akan menambah daya tarik investasi, sehingga terwujud pertumbuhan ekonomi di pulau-pulau kecil. Sebagai tanggungjawab, investor harus melakukan CMR, CSR dan CER. Sub elemen dari dunia usaha terdistribusi pada sektor II, III dan IV (Gambar 24).
Sub elemen daya tarik investasi, kepastian hukum dan
aksessibilitas termasuk peubah linkages, dimana setiap tindakan pada tujuan tersebut akan menghasilkan keberhasilan dalam model pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil di suatu kawasan. Sub elemen pelayanan publik yang efektif dan efisien serta sub elemen insentif yang diberikan merupakan sub elemen yang memiliki ketergantungan yang rendah terhadap sistem, akan tetapi memiliki daya dorong yang besar dalam keberhasilan sistem.
Pada sektor II terlihat
bahwa sub elemen pertumbuhan ekonomi, Company Social Responsibility (CSR), Company Managerial Responsibility (CMR), dan Company Environmental Responsibility (CER) memiliki ketergantungan besar dari sistem, namun memiliki daya dorong yang rendah. 1
Pelayanan Publik yang Efisien dan Efektif serta Adanya Insentif Menurut Syahriani dan Syakrani (2009), Pemerintah Daerah sebagai sang
empu wilayah, selain wajib memberikan kepastian hukum, berkewajiban pula untuk memberikan pelayanan prima dalam pengurusan perizinan investasi secara efektif (melakukan sesuatu yang benar/doing the right thing) dan efissien (melakukan dengan cara yang benar/doing things right). Tidak kalah pentingnya adalah dalam menawarkan pola dan mekanisme investasi di kawasan pulaupulau kecil, Pemerintah Daerah seyogyanya bersedia memberikan kemudahan
153
(insentif) bagi para investor seperti misalnya kebijakan penangguhan pajak (tax holiday) dan perpanjangan waktu pengelolaan sesuai aturan yang berlaku. Daerah di era desentarlisasi dibutuhkan untuk mengeluarkan peraturanperaturan daerah yang pro investasi bagi pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Satria et al., (2002) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah dituntut untuk mampu meningkatkan kapasitasnya sebagai regulator dengan melakukan hal-hal yang memang tidak dapat dilakukan masyarakat secara partisipatif untuk menjamin efektivitas dan efisiensi program. 2
Daya Tarik Investasi, Kepastian Hukum dan Aksesibilitas Kehadiran investasi dari dunia usaha (swasta) di kawasan pulau-pulau kecil
pada sektor perikanan (tangkap, budidaya dan pengolahan) serta wisata bahari, saat ini dan di masa mendatang merupakan penggerak laju ekonomi bagi pertumbuhan kawasan pulau-pulau kecil, daerah dan nasional.
Dunia usaha
dalam hal ini para investor tidak dapat terlepas dari perekonomian suatu kawasan ataupun wilayah dan mempunyai share terhadap perkembangan ekonomi dan pendapatan, khususnya dalam menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja.
Oleh karena itu, Pemerintah (pusat dan daerah)
berkewajiban melindungi dan memberikan jaminan atas kepastian hukum selama investasi dimaksud telah memenuhi segala persyaratan investasi yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. DKP (2004), menyebutkan bahwa salah satu persyaratan penyediaan sarana dan prasarana kegiatan wisata bahari oleh investor di pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan beberapa ketentuan antara lain: (1) luas area untuk pembangunan sarana dan prasarana dasar tidak melebihi 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau; (2) garis sempadan bangunan dan sempadan pantai harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku, berdasarkan studi AMDAL; (3) untuk pembangunan bungalow atas air (water bungalow) dapat memenuhi ketentuan fondasi bungalow tidak merusak gugusan terumbu karang hidup, tinggi bungalow maksimum 1 (satu) lantai, dan jumlah kamar bungalow atas air harus didasarkan pada perhitungan daya dukung lingkungan; (4) bangunan akomodasi menghadap ke arah pantai, tidak dihalangi oleh bangunan lain, dengan ketinggian bangunan disesuaikan dengan luasan pulau dan karakteristik lingkungan pulau, serta mempertahankan gaya arsitektur dan bahan bangunan yang mencerminkan identitas lokal dan ramah lingkungan; (5) pembuatan sistem
154
sanitasi yang memenuhi standar kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan; dan (6) pembangunan pendaratan/tambat kapal (jetty) dan mooring buoy harus memenuhi ketentuan fondasi tidak dibangun di atas terumbu karang hidup. Kemudahan akses bagi pengembangan kawasan pulau-pulau kecil adalah hal utama yang harus dipikirkan dan disediakan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Pembangunan bandara, pengadaan sarana tambat kapal/jetty, jalan poros desa, penerangan, ketersediaan air bersih adalah bagian dari daya tarik investasi bagi suatu kawasan yang relatif remote seperti halnya kawasan pulaupulau
kecil.
Kemudahan
aksesibilitas
merupakan
pendorong
utama
berkembangnya investasi di kawasan pulau-pulau kecil, sehingga investasi dimaksud benar-benar dapat memberikan efek ganda (multiplier effect) terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan. Menurut Pratikto (2005), efek ganda (multiplier effect) yang dapat ditimbulkan dari kegiatan investasi yang berkembang di pulau-pulau kecil antara lain meliputi: (1) berkembangnya mata pencaharian alternatif yang menyerap tenaga kerja lokal; (2) peningkatan kualitas sumberdaya manusia lokal akibat adanya transfer informasi dan teknologi; (3) menanggulangi ketidak tersediaan kapal penumpang reguler dengan tersedianya transportasi (kapal) penjemput dan pengantar tamu antar pulau; dan (4) meningkatnya upaya pelestarian lingkungan pulau-pulau kecil baik oleh pengelola maupun masyarakat kawasan; yang pada akhirnya akan mendorong ketersediaan sumberdaya ikan (khususnya ikan-ikan karang bernilai ekonomis) sebagai target penangkapan masyarakat. 3
Pertumbuhan Ekonomi Bangsa Indonesia dilanda krisis multidimensi meliputi krisis ekonomi, krisis
kepercayaan dan krisis politik yang berkepanjangan sejak akhir tahun 1997. Kondisi dimaksud mengharuskan bangsa ini untuk melakukan suatu upaya demi lepas dari krisis tersebut, dengan melakukan reorientasi pembangunan ekonomi dan pembangunan nasional yang tidak bertitik tumpu pada pertumbuhan ekonomi semata, namun harus bertitik berat pada penekanan fondasi yang kuat bagi prioritas pengembangan sektor yang berbasis keunggulan komparatif sumberdaya domestik serta berakar pada ekonomi rakyat, yaitu pembangunan sektor kelautan dan
pengelolaan pulau-pulau
pertumbuhan ekonomi nasional.
kecil sebagai penggerak
155
Retraubun (2005), menyebutkan bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil merupakan pengelolaan yang sesuai dengan karakteristik tipologinya, keruangan lahan, keberadaan dan penyelenggaraan kegiatan komersial, serta pelayanan dan berbagai kegiatan ekonomi di dalamnya, dengan tidak melupakan keberadaan potensi sumberdaya alam pesisir, pulau-pulau kecil dan laut serta jasa-jasa lingkungan yang ada di dalamnya. Pengelolaan pulau-pulau kecil selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan keberadaan dan keterlibatan penduduk dalam kewenangan pengelolaan sumberdaya yang ada secara lestari tanpa mengejar pertumbuhan ekonomi semata. Pulau-pulau kecil meskipun memiliki sumberdaya alam daratan (teresterial) yang terbatas, namun memiliki potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang melimpah sebagai aset yang strategis dan komparatif yang dapat menjadi aset kompetitif dalam mengisi pertumbuhan ekonomi bagi pembangunan daerah dan nasional. Petumbuhan ekonomi di kawasan pulau-pulau kecil pada dasarnya membutuhkan pengelolaan yang bertitik tolak dari kekhususan yang menjadi ciri khas pulau kecil tersebut, yaitu kondisi sumberdaya alam (hayati dan nir hayati), sumberdaya manusia (kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal), sumberdaya buatan (ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum serta kelembagaan), serta jasa-jasa lingkungan. Investasi dari dunia usaha di kawasan pulau-pulau kecil diharapkan dapat menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru sehingga mendorong kawasan pulau-pulau kecil menjadi mandiri. Target pusat pertumbuhan ekonomi dimaksud adalah suatu kawasan yang memandang sumberdaya sebagai sesuatu yang memiliki nilai ekonomi, namun merupakan komponen dari ekosistem yang menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia sesuai dengan kaidah pembangunan berkelanjutan (suistanable development), tidak bertumpu kepada growth oriented policy. Fauzi (2006), menegaskan bahwa karena basis pembangunan masa lalu bertumpu pada growth oriented policy dengan growth domestic product sebagai indikator utama kinerja (performance) seringkali menyebabkan arahan kebijakan yang kurang tepat (misleading) dalam pengelolaan sumberdaya alam, sehingga terbukti gagal mengukur
kinerja
komprehensif.
sektor
ekonomi
berbasis
sumberdaya
alam
secara
156
4
Company Social Responsibility, Company Managerial Responsibility, dan Company Environmental Responsibility Budimanta, et al,. (2004) menyatakan bahwa dunia usaha (korporat) di
masa kini harus dapat menunjang terciptanya jalinan hubungan kemitraan yang baik dengan komunitas (stakeholders) melalui community relations, yaitu peningkatan partisipasi dan posisi korporat di dalam sebuah komunitas melalui berbagai upaya untuk kemashlahatan bersama bagi organisasi dan komunitas. Selain itu korporat pun dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian/adaptasi secara
sosial
budaya
melalui
community
development,
yaitu
kegiatan
pengembangan masyarakat yang diselenggarakan secara sistematis, terencana, dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas kehidupan yang lebih baik. Community relations maupun community development sesungguhnya merupakan implikasi dari tanggungjawab sosial korporat atau corporate social responsibility (CSR). Menurut Rahman (2009), keberadaan Corporate Social Responsibility (CSR) menindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran hubungan antar korporat dengan komunitas, dimana pada awalnya korporat memposisikan diri sebagai pemberi donasi melalui kegiatan charity, kini memposisikan komunitas sebagai mitra yang turut andil dalam kelangsungan eksistensi korporat.
Esensi CSR
sendiri adalah wujud dari giving back dari korporat kepada komunitas dengan cara melakukan dan menghasilkan bisnis berdasarkan pada niat tulus guna memberi kontribusi yang paling positif bagi komunitas. Mengingat rentannya lingkungan pulau-pulau kecil dan minimnya kualitas sumberdaya manusia lokal, maka adanya tanggungjawab dunia usaha/korporat melalui CSR menurut penulis perlu dilengkapi dengan Corporate Environment Responsibility (CER) dan Corporate Management Responsibility (CMR). CER dan CMR pada prinsipnya tidak berbeda dengan CSR, namun pada CER lingkungan (environment) pulau-pulau kecil khususnya terumbu karang dan mangrove mendapatkan porsi yang lebih khusus dalam menjaga dan eksistensinya kualitas sumberdaya dan lingkungan perairan. Sedangkan pada CMR,
titik
fokus
(management)
lebih
kepada
kepada
transfer ilmu
masyarakat
lokal
dan
sebagai
sistem pengelolaan suatu
upaya
untuk
mempertahankan eksistensi kegiatan usaha (investasi sektor perikanan tangkap, budidaya, pengolahan ataupun wisata bahari) yang ada. Hal ini mengingat adanya kekhawatiran bahwa dengan berakhirnya atau habisnya masa kontrak
157
dari suatu korporat (terutama investor asing) di kawasan pesisir atau pulau-pulau kecil maka berakhir pula kegiatan usaha yang dilakukan. Tidak dapat dipungkiri adanya suatu kegiatan usaha dapat berjalan baik saat para investor masih berada dalam masa kontrak. Namun pada saat masa kontrak ini habis, para investor (terutama investasi asing) meninggalkan negara ini, maka usaha dimaksud tidak dapat dijalankan lagi, karena masyarakat lokal dan aparat pemerintah daerah tidak dibekali oleh transfer ilmu dan cara-cara manajemen yang baik (management knowledge) oleh investor terdahulu.
6.2.4 Institusi Non Birokrasi Pengembangan
pulau-pulau
kecil
melibatkan
cukup
banyak
aktor
(pemanfaat) sumberdaya yang terkadang kehadirannya cenderung diabaikan, namun pada kenyataannya para pemanfaat dimaksud terlibat langsung di lapangan serta ikut serta memberikan pengaruh dalam penentuan kebijakan pemerintah (baik di pusat maupun di daerah). Institusi non birokrasi dalam penelitian ini adalah wadah yang menjadi tempat para aktor (pemanfaat) dimaksud yang meliputi lembaga pendidikan atau perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat atau non goverment institution, serta para tokoh masyarakat atau tokoh agama sebagai para tokoh lokal, yang keseluruhannya bukanlah aparat birokrasi pemerintahan. Lembaga pendidikan atau perguruan tinggi dengan Tri Dharma-nya, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian pada masyarakat, menduduki peran yang penting dan strategis, khususnya dalam perkembangan ilmu
pengetahuan,
teknologi
dan
penelitian-penelitian
yang
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penelitian-penelitian berkesinambungan meliputi potensi ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya alam yang lestari, teknologi penangkapan dan budidaya ramah lingkungan, serta penelitian atas perilaku sosial budaya masyarakat pulau-pulau kecil dalam menerima dan melaksanakan
program-program
pembangunan,
merupakan
kajian
yang
selayaknya diterapkan dalam mendukung pengelolaan Kawasan Kapoposan yang berkelanjutan. Lembaga pendidikan atau perguruan tinggi berfungsi pula sebagai wadah yang mempersiapkan kader pemimpin bangsa, mempersiapkan sumberdaya manusia yang berjiwa penuh pengabdian dan tanggung jawab bagi masa depan bangsa, sekaligus merupakan gudang dari para ilmuwan yang telah
158
menghasilkan begitu banyak karya ilmiah bagi kemajuan bangsa, sehingga sudah selayaknya keterlibatan pihak perguruan tinggi menjadi penting bagi upaya pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang menjadi tanggung
jawab
sosial para
ilmuwan
dimaksud.
Suriasumantri
(2007),
menyatakan bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab sosial yang terpikul di bahunya, bukan saja karena dia adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat namun yang lebih penting adalah karena dia mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup yang bermanfaat bagi masyarakat. Tugas dan fungsi lembaga pendidikan/perguruan tinggi dalam mendukung pembangunan kelautan dan perikanan diantaranya adalah: (1) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) tepat guna melalui teknologi penangkapan yang produktif, efisien serta ramah lingkungan; (2) meningkatkan produk dan jasa kelautan Indonesia sehingga mampu menghasilkan nilai tambah dan berdaya saing tinggi di era globalisasi: (3) penerapan bioteknologi untuk pengelolaan lingkungan pesisir dan pulau-pulau kecil ; (4) melakukan penelitian mengenai peningkatan nilai tambah dan kualitas produk kelautan melalui teknologi saat prapanen maupun pascapanen; (5) mencari teknik serta manajemen pemasaran produk yang lebih efisien, sehingga dapat meningkatkan posisi tawar di pasar dalam negeri dan luar negeri ; (6) melakukan penelitian atas teknologi eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya alam tidak dapat pulih (pertambangan) yang berwawasan
lingkungan;
(7)
mencari
teknologi
pendayagunaan
potensi
sumberdaya energi non konvensional seperti OTEC, energi kinetik dari pasang surut dan gelombang laut yang berwawasan lingkungan; dan (8) mencari teknologi pengelolaan limbah di kawasan pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan serta pengendaliannya. Dahuri (2000), menyatakan lembaga pendidikan yang berfungsi pula sebagai lembaga penelitian dalam mendukung pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia dapat melakukan penelitian yang berkaitan dengan: (1) pemanfaatan sumberdaya alam pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan secara optimal dan lestari; (2) tata ruang, rancang-bangun dan konstruksi wilayah pesisir, pulaupulau kecil dan lautan; (3) pengendalian pencemaran perairan pesisir, pulau-pulau kecil dan lautan; (4) penentuan daya dukung lingkungan bagi kegiatan pembangunan: tambak udang, pariwisata, pemukiman, kawasan industri, kawasan budidaya pertanian, dan sebagainya; dan (5) penentuan komposisi dan laju
159
(tingkat) kegiatan pembangunan yang optimal secara ekologis dan sosial-ekonomis di suatu wilayah pesisir pulau-pulau kecil. Peran lembaga swadaya masyarakat dan tokoh masyarakat/tokoh agama dalam mendukung aktivitas wisata bahari di Kawasan Kapoposang diantaranya adalah mendampingi masyarakat kawasan untuk terlibat dalam kegiatan wisata bahari, sebagai salah satu upaya untuk mensejahterakan masyarakat pulau, yang diindikasikan dengan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, lapangan kerja, terhindarnya dari resiko-resiko kerusakan lingkungan,
dan tetap
lestarinya
aset pendukung
kehidupan,
sehingga
masyarakat pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposang akan menjadi masyarakat yang maju dan mandiri, tidak lagi dalam kondisi miskin dan termajinalkan. Dahuri (2001) menyatakan penyebab kemiskinan dan termajinalkannya masyarakat pulau-pulau kecil antara lain karena: (1) tidak tersedianya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar serta rendah partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah alasan-alasan kemiskinan; (2) adanya dampak kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil itu sendiri, yang ditambah dengan dampak pembangunan atau eksternalitas kegiatan di daerah daratan yang berhubungan langsung dengan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (3) faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan, dan berkembangnya kriminalitas; dan (4) kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil, lemahnya perencanaan spasial yang berakhir pada tumpang tindih berbagai sektor di suatu kawasan; serta (5) terjadinya degradasi lingkungan. Era demokrasi telah membuka pintu bagi kiprah peran serta lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai organisasi non pemerintah (non goverment organization) yang menjadi mitra pemerintah, khususnya dalam upaya pengelolaan sumberdaya dan pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil di daerah. Langkah-langkah pendampingan dari LSM dalam pengelolaan kawasan Kepulauan Kapoposan di lapangan, diharapkan dapat menjadi motivator bagi perubahan perilaku masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya pulaupulau kecil berbasis masyarakat atau community based management (CBM) dan cooperative management atau co-management. Nikijuluw (2002), menyatakan bahwa pengelolaan berbasis masyarakat atau community based management (CBM) merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam, yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai
160
dasar pengelolaannya. Selain itu, mereka juga memiliki akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung dalam kepercayaannya (religion). Dengan kemampuan transfer antar generasi yang baik, maka CBM dalam prakteknya tercakup dalam sebuah sistem tradisional, di mana akan sangat berbeda dengan pendekatan pengelolaan lain di luar daerahnya. Sedangkan co-management adalah rezim derivatif yang berasal dari rezim pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat dan rezim pengelolaan sumberdaya oleh pemerintah yang berada pada skenario ideal yaitu pemerintah dan masyarakat adalah mitra yang sejajar yang bekerjasama untuk melaksanakan semua tahapan dan tugas proses pengelolaan sumberdaya. Kawasan Kapoposan seperti juga kawasan pulau-pulau kecil pada umumnya, secara kultural memiliki tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh agama yang memiliki peran penting sebagai panutan atau yang diberi mandat oleh masyarakat
lokal
sebagai
wakil
masyarakat
hubungannya dengan pembangunan
pulau-pulau
masyarakat.
Para
kecil
dalam
tokoh dimaksud
(biasanya bersama-sama lembaga swadaya masyarakat) berperan dalam membantu
mengorganisir
masyarakat
dalam
pengembangan pendidikan dan pelatihan,
menerima
teknologi
baru,
pengembangan modal dan kredit
masyarakat, perbaikan lingkungan, penetapan kawasan konservasi, pelaksanaan pemantauan dan pengawasan, perencanaan dan pengelolaan, serta perumusan kebijakan yang tidak jarang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Peran para tokoh masyarakat/tokoh agama menjadi kian kuat, tatkala Kawasan Kapoposan diarahkan bagi pengembangan kegiatan wisata bahari, terutama dalam hal menghindari terjadinya konflik atau benturan antara budaya lokal dengan budaya asing akibat kehadiran para wisatawan. Retraubun (2000) menyebutkan bahwa peran para tokoh masyarakat di pulaupulau kecil menjadi penting keberadaannya sebagai masyarakat pulau dalam mengkampanyekan arti penting penggunaan peralatan yang ramah lingkungan, cara-cara yang arif dalam memanfaatkan sumberdaya, pelestarian lingkungan pulau kecil, dengan cara formal maupun informal. Secara formal dapat dilakukan dalam pertemuan diskusi di desa dan pertemuan adat, sedangkan secara informal dilakukan dalam forum-forum tidak resmi seperti diskusi keagamaan dan obrolan-obrolan sehari-hari masyarakat. Diagram model struktural pada institusi non birokrasi sebagai salah satu elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program terdiri atas tiga level
161
(Gambar 25).
Elemen kunci (key element) adalah pendidikan, penelitian,
pengabdian masyarakat, pendampingan dan jejaring. Subelemen-subelemen tersebut dapat mempengaruhi atau menggerakkan subelemen-subelemen lain pada elemen insitutusi non birokrasi. Dengan adanya penelitian, pendidikan, pengabdian masyarakat, pendampingan dan jejaring, maka kondisi sosial dan keagamaan, kultural dan perubahan perilaku masyarakat dapat terorganisir dan beradaptasi dengan adanya perubahan lingkungan akibat kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil, sehingga hak ulayat masyarakat di pulau-pulau kecil dapat terjaga. Sub elemen dari institusi non birokrasi terdistribusi pada sektor II dan III (Gambar 26). Sub elemen pendidikan, pengajaran, penelitian, pengabdian pada masyarakat, pendampingan dan jejaring yang umumnya dimiliki oleh institusi non birokrasi (dalam hal ini perguruan tinggi serta lembaga swadaya masyarakat) termasuk peubah linkages, dimana setiap tindakan pada tujuan tersebut akan menghasilkan keberhasilan dalam model pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil di suatu kawasan. Sub elemen pendidikan, pengajaran, penelitian, pengabdian pada masyarakat, pendampingan dan jejaring merupakan sub elemen yang memiliki ketergantungan yang rendah terhadap sistem, akan tetapi memiliki daya dorong yang besar dalam keberhasilan sistem. Pada sektor II terlihat bahwa sub elemen perubahan perilaku pada masyarakat, sosial dan keagamaan, kultural dan hak ulayat memiliki ketergantungan besar dari sistem, namun memiliki daya dorong yang rendah. 1
Pendidikan, Penelitian, Pengabdian Masyarakat, Pendampingan dan Jejaring Eksistensi
lembaga
penelitian/perguruan
tinggi,
lembaga
swadaya
masyarakat dan tokoh masyarakat/agama bagi masyarakat pulau-pulau kecil di tidak dapat terlepas dari keinginan bersama untuk merubah kondisi sosialekonomi masyarakat pulau-pulau kecil. Menurut DKP (2006), kondisi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil akibat pembangunan paradigma land base oriented masa lalu berada pada kondisi: 1) sebagai nelayan sub sisten yang memperoleh hasil tangkapan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena minimnya penguasaan teknologi penangkapan (perahu/kapal penangkapan atau alat tangkap) dan keterbatasan modal;
162
2) berada pada rantai tata niaga terbawah akibat posisi tawar (bargaining position) yang sangat rendah ketika menjual hasil tangkapan (produk), maupun pada saat membeli input produksi (seperti bahan bakar, jaring, es dan bahan serta peralatan lainnya); 3) penguasaan dan penerapan teknologi pasca panen (penanganan/handling dan pengolahan/processing) yang minim sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan produkyang memiliki nilai tambah (added value); 4) kesulitan
mendapatkan
akses
terhadap
informasi,
teknologi,
pasar,
permodalan (kapital), dan manajemen usaha; 5) memiliki budaya dan pola pikir (mindset) yang belum responsif dan kondusif dalam mengelola ekonomi keluarga; 6) ketidaktersediaan prasarana dan sarana dasar berupa pendidikan, air bersih, jalan, dermaga, listrik, komunikasi, sanitasi lingkungan dan lainnya. Menurut Retraubun (2002), kawasan pulau-pulau kecil meskipun memiliki kekayaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang masih melimpah, namun memiliki beberapa keterbatasan, seperti aksesibitas rendah, susah dijangkau, serta adanya musim yang menyebabkan daerah ini sulit berinteraksi dengan daerah lain, sehingga perlu dikembangkan kelembagaan dan teknologi yang dapat dijadikan sebagai pegangan masyarakat pulau kecil dalam membantu usahanya untuk memenuhi kehidupannya. Tri Dharma perguruan tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian pada masyarakat, merupakan jembatan bagi transfer ilmu pengetahuan dan teknologi melalui berbagai penelitian yang sifatnya ilmiah. Meskipun
menyangkut
anggaran
yang
besar,
Pemerintah
selayaknya
bertanggungjawab atas pendanaan penelitian yang berkesinambungan (tidak menurut proyek), pendanaan implementasi di lapangan, dan monitoring serta evaluasi, mengingat hasil-hasil penelitian dimaksud dapat menjadi bagian pertimbangan pengambilan kebijakan dalam mengelola kawasan pulau-pulau kecil menuju pulau kecil yang mandiri. Pihak perguruan tinggi adalah pihak yang paling berkompeten untuk mendampingi secara teknis di lapangan atas implementasi temuan-temuan atau pun teknologi baru, khususnya teknologi penangkapan ikan serta teknologi budidaya laut yang ramah lingkungan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil pada khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya.
163
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah Non Goverment Organization dengan jejaring yang luas (net working) baik di tingkat domestik maupun di luar negeri, selayaknya dijadikan mitra pemerintah dalam upaya pendampingan masyarakat (advokasi) dalam mendorong perubahan perilaku masyarakat, khususnya masyarakat pulau-pulau kecil. Pendekatan pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil berbasis masyarakat atau community based
management,
yaitu suatu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam dengan meletakkan pengetahuan dan kesadaran lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya, menurut penulis akan lebih tepat sasaran dan efektif dilakukan oleh
lembaga
swadaya
masyarakat
serta
tokoh
masyarakat/agama,
dibandingkan dengan jika dilakukan oleh Pemerintah. LSM beserta tokoh masyarakat/agama diharapkan dapat menjaga dan menyuburkan kearifan lokal, hukum adat dan kelembagaan lokal yang umumnya bersifat bottom up namun berperan lebih aktif, efisien dalam mengikat masyarakat. Jika dibandingkan dengan hukum positif (bersifat top down) yang seringkali
berbenturan
dengan
masyarakat
lokal,
bahkan
adakalanya
menimbulkan terjadinya konflik-konflik horizontal, kelembagaan lokal adalah aturan yang dianut oleh masyarakat yang dijadikan pegangan oleh seluruh anggota masyarakat dalam mengadakan transaksi satu sama lainnya, yang tumbuh dan berkembang dari dan dalam sebuah masyarakat di wilayah tertentu. Purwaka (2003), menegaskan bahwa kelembagaan lokal memiliki kapasitas potensial, kapasitas daya dukung, dan kapasitas daya tampung/daya lentur, dengan kinerja yang merupakan fungsi dari tata kelembagaan, mekanisme, dan kapasitas kelembagaan yang dimilikinya. 2
Perubahan Perilaku Masyarakat, Sosial Keagamaan, dan Kultural Tokoh masyarakat atau tokoh agama di kawasan pulau-pulau kecil pada
umumnya adalah para tokoh yang secara kultural dan turun temurun menjadi panutan oleh masyarakat kawasan pulau-pulau kecil dalam berperilaku sesuai aturan agama dan adat budaya setempat. Para tokoh dimaksud seharusnya difasilitasi oleh Pemerintah untuk bersama-sama LSM dan perguruan tinggi dalam mengorganisir masyarakat di kawasan pulau-pulau kecil untuk beradaptasi dan menerima teknologi yang baru, mengembangkan pendidikan dan pelatihan, melakukan berbagai upaya konservasi, pengawasan berbasis masyarakat, serta sosialisasi dampak ganda dari pembangunan pulau-pulau kecil bagi peningkatan
164
kesejahteraan masyarakat, seiring dengan terjaganya kelestarian lingkungan pulau-pulau kecil itu sendiri. Selain itu, peran para tokoh masyarakat atau tokoh agama memiliki andil dalam menghindari atau menekan terjadinya konflik atau benturan budaya antara masyarakat lokal dengan budaya asing para wisatawan yang memiliki adat dan budaya berlainan dengan adat dan budaya setempat. Tokoh masyarakat atau tokoh agama di kawasan pulau-pulau kecil dapat menjadi fasilitator dalam menjembatani adanya suatu wacana pelimpahan wewenang pengelolaan (decentralization) sumberdaya pulau-pulau kecil kepada masyarakat komunal pulau (lembaga lokal) sehingga diharapkan akan lebih dapat diterima masyarakat komunal yang lebih mengetahui teknis dan mekanisme pemanfatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan yang merupakan warisan dari nenek moyangnya. Retraubun (2003) menyatakan bahwa pelimpahan wewenang pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan cara: 1) pelimpahan hak-hak dalam memperoleh akses sumberdaya pulau-pulau kecil yang dapat menjamin kepentingan masyarakat nelayan; 2) menumbuhkembangkan
sikap
kemandirian
masyarakat
pulau
dalam
mengatasi berbagai persoalan terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya; 3) dikembangkannya
suatu
zona tangkapan
yang
ekslusif
yang
lazim
diistilahkan dengan hak ulayat atau hak pakai teritorial (territorial use right) untuk pengelolaan yang berkelanjutan, bila memungkinkan. Peningkatan kapasitas kelembagaan lokal dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya merupakan strategi untuk memposisikan masyarakat pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposang memiliki posisi tawar (bargaining position) serta melindungi masyarakat lokal dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas wisata bahari di Kawasan Kapoposang. Retraubun (2003) menyebutkan bahwa kelembagan masyarakat pulau-pulau kecil merupakan wadah atau institusi lokal yang terbentuk dari aspirasi masyarakat dalam upaya pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil, dengan harapan dapat membantu kelancaran proses pengaturan alokasi sumberdaya baik dalam penerapan teknologi, modal, tenaga kerja, serta pemecahan permasalahan-permasalahan lain yang kadang kala timbul dalam usaha pengembangan wilayah pulau-pulau kecil.
165
6.3
Persepsi Pemangku Kepentingan
6.3.1 Kriteria Pengaruh politik masa lalu dalam pembangunan pulau-pulau kecil dapat dikatakan membawa pengaruh yang signifikan atas kondisi pulau-pulau kecil, terutama jika ditinjau dari ketidakmerataan pembangunan selama ini yang cenderung tidak menyentuh pulau-pulau kecil, yang pada akhirnya mencapai puncaknya pada kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan menjadi milik Malaysia. Keputusan Makamah Internasional pada intinya berdasarkan logika sederhana, yaitu berdasarkan doktrin effectivites (prinsip penguasaan secara efektif dipandang merupakan wujud kepedulian dari negara pemilik terhadap hak milik wilayahnya), yang sayangnya tidak dapat dipenuhi oleh Indonesia. Retraubun (2003) menyebutkan bahwa Malaysia adalah pihak yang memiliki kedaulatan penuh atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan karena dapat memenuhi bukti atas 3 (tiga) aspek utama yaitu: keberadaan secara terus menerus (continuous presence) di pulau tersebut, penguasaan secara efektif (effective occupation) termasuk aspek administrasi, serta perlindungan dan pelestarian ekologis (maintenance and ecology preservation). Malaysia secara efektif telah memenuhi ketiga aspek utama di atas dengan melakukan upaya administrasi dan pengelolaan konservasi di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berupa penerbitan ordonasi perlindungan satwa burung dan pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu pada Tahun 1930, yang dilanjutkan dengan membangun dan mengoperasikan Mercu Suar pada tahun 1960. Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan secara logis berdampak pada berkurangnya wilayah kedaulatan Indonesia karena kedua pulau tersebut adalah pulau kecil di wilayah perbatasan yang memiliki based point atau titik dasar (TD). Abubakar (2004) menyatakan bahwa peristiwa Pulau Sipadan dan Ligitan telah menimbulkan permasalahan baru bagi Indonesia dengan hilangnya tiga TD, yaitu satu di Pulau Sipadan dan dua di Pulau Ligitan, yang akhirnya berdampak pada berkurangnya wilayah perairan Indonesia yang diperkirakan seluas Propinsi Jawa Barat termasuk di dalamnya potensi sumberdaya kelautan, perikanan, serta minyak dan gas. DKP (2004), menyatakan pula bahwa pemeliharaan 92 Titik Dasar (Base Point) di pulau-pulau kecil terluar yang terletak di perbatasan dengan negara lain, sesungguhnya memiliki arti bahwa pulau-pulau kecil tersebut memiliki arti penting sebagai garda depan dalam menjaga dan melindungi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
166
Faktor
politik
di
masa
lalu
yang
lebih
cenderung
mengarahkan
pembangunan ke arah daratan (main land) dampaknya terasa saat peneliti mengunjungi pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan. Keberangkatan dari Jakarta menuju Kota Makassar, yang dilanjutkan dengan perjalanan lewat darat menuju ibukota Kabupaten Pangkep sama sekali tidak mendapatkan kendala yang berarti. Namun pada saat akan menuju Kawasan Kapoposan, ternyata sarana transportasi (kapal laut) reguler tidak tersedia, sehingga untuk mencapai kawasan harus dilakukan dengan cara ikut kapal nelayan yang ‘kebetulan’ akan ke Kapoposan, atau menyewa kapal sendiri, yang relatif cukup mahal. Hal ini menjadi bukti bahwa infrastruktur dasar penunjang pertumbuhan ekonomi di kawasan pulau-pulau kecil memang masih sangat minim, terutama sarana transportasi antar pulau maupun dari ibukota kabupaten/kota menuju pulau. DKP (2004), menyatakan bahwa orientasi politik pembangunan pada masa lalu yang lebih difokuskan pada wilayah daratan (land based oriented) dan belum diarahkan ke wilayah laut dan pulau-pulau kecil merupakan suatu indikator masih rendahnya kesadaran, komitmen dan political will dari Pemerintah dalam mengelola pulau-pulau kecil, khususnya dalam penyediaan sarana dan prasarana dasar, yang pada akhirnya menjadi hambatan utama
dalam
pengelolaan
potensi
pulau-pulau
kecil
dalam
memacu
pertumbuhan ekonomi kawasan. Wilayah
pulau-pulau
kecil
memiliki
peluang
yang
besar
untuk
dikembangkan sebagai wilayah bisnis-bisnis potensial yang berbasis pada sumberdaya (resource based industry) seperti industri perikanan, pariwisata, jasa transportasi, industri olahan dan industri-industri lainnya yang ramah lingkungan, serta dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi wilayah. Retraubun (2003), menyatakan bahwa sumberdaya alam yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil terdiri atas sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan (environtmental services). Sumberdaya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, plankton, benthos, moluska, mamalia laut, rumput laut (seaweed), lamun (seagrass), mangrove, terumbu karang, krustasea atau udang, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi minyak bumi dan gas, mineral, bahan tambang/galian, seperti bijih besi, pasir, timah, bauksit serta bahan tambang
167
lainnya. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan adalah pariwisata dan perhubungan laut. Kawasan Kapoposan memiliki potensi perikanan tangkap ikan karang ekonomis dan cumi-cumi, serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan wisata bahari yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi kawasan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, penangkapan ikan kerapu
(sunu) dan cumi-cumi dilakukan masyarakat dengan menggunakan pancing, dengan teknik pemasaran langsung diambil pengepul atau pengusaha rumah makan di Kota Makassar, bahkan ada yang langsung diambil oleh pengusaha dari Hongkong. Harga ikan kerapu hidup sekitar Rp. 100.000,00-300.000,00 per ekor, sedangkan harga cumi-cumi sekitar Rp. 20.000,00-40.000,00 perkilogram. Potensi yang belum termanfaatkan secara optimal oleh masyarakat Kawasan Kapoposan
menurut
pengamatan
adalah
penangkapan
cumi-cumi
dan
pengembangan penangkapan ikan. Penangkapan cumi-cumi relatif baru diupayakan oleh masyarakat Kawasan Kapoposan karena adanya permintaan pasar dari Kota Makassar, sedangkan penangkapan ikan hias masih belum dikenal oleh masyarakat mengingat belum ditemukannya teknik dan jalur pemasarannya. Dinamika global dalam persaingan ekonomi membutuhkan ketahanan sosial budaya masyarakat pulau-pulau kecil, khususnya masyarakat di Kawasan Kapoposan yang pada umumnya berprofesi sebagai nelayan, yang mengalami disparitas perkembangan ekonomi, sosial, budaya akibat tidak meratanya persebaran
penduduk
antara
pulau-pulau
besar
yang
menjadi
pusat
pertumbuhan wilayah dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya akibat letak dan posisi geografis yang sedemikian rupa. Oleh karena itu kearifan lokal yang dimiliki masyarakat kawasan seperti adat ‘sipakalalo dan sipakatau’ serta ‘digompoi’, selayaknya didukung untuk dipertahankan dan dikembangkan sebagai salah satu kekayaan sosial budaya kawasan, yang selain berfungsi secara adat dalam pemanfaatan dan pelestarian lingkungan, juga dapat berfungsi sebagai atraksi wisata budaya seperti halnya budaya kegiatan penangkapan ikan “mane’e” yang telah melembaga di Kepulauan Talaud Sulawesi Utara. Retraubun (2003) menyatakan bahwa kelembagaan lokal yang sudah mengakar di Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud adalah kelembagaan Mane’e, yaitu cara penangkapan ikan secara adat atau tradisional secara ramah lingkungan yang masih terpelihara secara turun temurun di Desa Kakorotan yang
168
perlu
dipelihara
dan
ditingkatkan
untuk
mengendalikan
pemanfaatan
sumberdaya yang berlebihan yang pada akhirnya dapat merusak lingkungan. Pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan melalui industri wisata memungkinkan timbulnya konflik sosial budaya akibat kedatangan wisatawan (yang tentunya membawa budayanya) yang mungkin bertentangan dengan kondisi sosial budaya lokal. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi yang terus menerus kepada masyarakat akan arti penting berkembangnya wisata bahari, seiring dengan upaya-upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia Kawasan Kapoposan melalui pendekatan sosial budaya,mengingat masyarakat pulau-pulau kecil memiliki sosial budaya yang khas dan berbeda di bandingkan dengan daratan. Dahuri (2001) mengatakan strategi pendekatan sosial budaya dalam pemberdayaan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi: (1) investasi pada modal manusia (human capital) yaitu dalam bidang pendidikan dan kesehatan; (2) peningkatan kapasitas organisasi dan kelompok baik formal maupun informal
sebagai suatu cara untuk mensinergikan dan memadukan
kekuatan individu; (3) memperluas dan mengintegrasikan mandat organisasi dan kelompok sehingga efisiensi bisa dicapai, (4) memperbaiki budaya kerja, dan (5) menghilangkan sifat dan mental negatif yang memasung produktivitas dan menghambat pembangunan. Pengaruh
pembangunan
masa
lalu
yang
menitikberatkan
pada
pertumbuhan ekonomi semata telah berakibat terjadinya kerusakan lingkungan pulau-pulau kecil beserta perairannya. Kawasan Kapoposan yang terdiri dari enam pulau dimana tiga pulau diantaranya merupakan pulau kosong mengalami kerusakan lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan ketiga pulau lainnya yang memiliki penduduk, yang diakibatkan pemanfaatan sumberdaya secara destruktif dengan menggunakan bom atau racun yang terutama dilakukan oleh nelayan di luar kawasan. Hal ini selayaknya menjadi perhatian khusus karena lingkungan pulau-pulau kecil dengan ekosistem khasnya yang meliputi ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun sesungguhnya memiliki fungsi ekologis yang sangat penting dalam menjaga keberadaan pulau secara fisik, dan merupakan sumber penghidupan masyarakat pulau-pulau kecil Kawasan Kapoposan, sehingga pemanfaatan yang berlebihan akan menimbulkan dampak yang merugikan baik bagi masyarakat lokal. Kusumastanto (2003), menyatakan bahwa pemanfaatan yang berlebihan atas sumberdaya yang mengarah pada terjadinya kelangkaan dan timbulnya berbagai dampak lingkungan, telah
169
memberikan suatu tekanan terhadap lingkungan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya, sehingga di waktu mendatang, dalam pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya alam di pulau-pulau kecil perlu adanya kebijakan yang mencoba menginternalisasikan nilai kerusakan ini terhadap kegiatankegiatan ekonomi, karena selama ini, kerusakan dimaksud hanya merupakan biaya eksternalitas yang menjadi beban masyarakat. Oleh karena itu upaya pelestarian lingkungan dan teknologi ramah lingkungan tepat guna selayaknya dikembangkan di Kawasan Kapoposan, terutama dalam menghadapi isu-isu lingkungan yang terus menerus diangkat di era globalisasai, yaitu global warming dan sea level rise. DKP (2004) menyatakan bahwa kenaikan suhu permukaan bumi yang dikenal dengan fenomena pemanasan global (global warming) telah menyebabkan naiknya permukaan air laut karena ekspansi thermal permukaan air laut dan terjadinya pencairan es di kutub akibat berbagai aktivitas di daratan seperti industrialisasi, penebangan dan kebakaran hutan, pencemaran udara dan penggunaan gas/bahan-bahan kimia lainnya. Kecenderungan global naiknya permukaan air laut mencapai 13 cm per 10 tahun, sedangkan kenaikan suhu dunia mencapai 0,019 oC per tahun. Gejala kenaikan permukaan air laut (sea level rise) di Indonesia mencapai 1-3 cm per tahun dan kenaikan suhu mencapai 0,03 oC per tahun. Naiknya permukaan air laut dapat menyebabkan dampak yang serius terhadap keberadaan pulau-pulau kecil, karena sebagian besar pulau-pulau kecil di Indonesia berupa dataran rendah dan memiliki ketinggian hanya beberapa meter di atas permukaan laut (dpl). Dengan naiknya permukaan laut beberapa cm, akan berdampak pada berkurangnya luasan daratan pulau-pulau kecil secara signifikan. 6.3.2 Sub Kriteria Implementasi wawasan nusantara, pemberdayaan pulau-pulau kecil sebagai isu Nasional, kebijakan berbasis kelautan, dan kesenjangan pembangunan Pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan tidak dapat terlepas oleh pengaruh kebijakan makro tingkat nasional. Jika kebijakan makro dimaksud masih tetap mempertahankan arah pembangunan ke arah daratan, maka pembangunan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan (dan juga kawasan pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia) akan tetap mengalami kesulitan, bahkan
170
dimungkinkan jalan di tempat. Oleh karena itu secara mendasar, para pimpinan nasional selayaknya mengubah kebijakan politik yang ada saat ini dengan politik yang sesuai dengan kondisi obyektif bangsa sebagai negara kepulauan, dengan kembali
menengok
sejarah
bangsa
ini
sebagai
bangsa
bahari,
dan
mengimplementasikan konsep wawasan nusantara dalam kebijakan yang diambil, dimana laut menjadi penghubung antar pulau dan bukan pemisah. Djalal (2009) menyebutkan bahwa wawasan nusantara sesuai Deklarasi Djuanda tahun 1957 adalah cara pandang Bangsa Indonesia yang dijiwai nilai-nilai Pancasila dan berdasarkan UUD 1945, serta memperhatikan sejarah dan budaya tentang diri dan lingkungan keberadaannya yang sarwanusantara (kondisi terhubung, menyatu dan diapit) dalam memanfaatkan kondisi dan konstelasi geografi, yang menekankan bahwa bangsa Indonesia yang hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut berada dalam kesatuan kewilayahan berbentuk kepulauan (nusantara) yang merupakan satu kesatuan dari seluruh wilayah darat, laut antara darat, termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya, udara di atasnya, beserta seluruh
kekayaannya merupakan suatu kesatuan
kewilayahan yang harus dipergunakan bagi sebesar-besarnya untuk mencapai tujuan nasional, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, serta keadilan sosial. Kebijakan
politis
di
tingkat
nasional
untuk
berkomitmen
mengimplementasikan wawasan nusantara secara logis akan menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk melakukan hal yang sama dalam menyusun kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil yang berada di wilayahnya, mengingat pemberdayaan pulau-pulau kecil merupakan ‘isu baru’ bagi kebijakan berbasis kelautan baik di tingkat pusat maupun daerah, khususnya bagi Kabupaten Kepulauan Pangkajene yang memiliki sekitar 114 pulau dengan komposisi 90 pulau
diantaranya
berpenduduk
dan
24
pulau
lainnya
kosong
(tidak
2
berpenduduk), dengan luas perairan laut sekitar 17.100 km . Kebijakan berbasis kelautan yang dapat dilakukan oleh Pemda Kab. Pangkep diantaranya adalah dengan mendorong pemanfaatan potensi perikanan di kawasan perairan antar pulau (Tabel 3 dan 4), khususnya penangkapan bagi ikan-ikan bernilai ekonomis tinggi seperti ikan layang, kembung, cakalang, udang, kerapu/sunu, dan cumi-
171
cumi. Penangkapan ikan layang yang telurnya menjadi salah satu ikon Kabupaten
Pangkep
di
Kawasan
Kapoposan
dapat
lebih
ditingkatkan
produktivitasnya dengan melakukan pendampingan pada penanganan pasca panen (saat ikan layang akan diambil telurnya).
Hal ini karena berdasarkan
pengamatan dan wawancara, ikan layang merupakan potensi perikanan primadona di sekitar Kawasan Kapoposan, yang cara penangkapannya telah dipahami benar oleh masyarakat kawasan, mengingat selain memiliki harga jual yang ekonomis, ikan ini dapat ditangkap dengan berbagai alat tangkap yang sederhana dengan tingkat eksploitasi yang relatif tinggi. Irham et al., (2008), menyebutkan bahwa ikan layang adalah jenis ikan pelagis kecil yang mudah ditangkap dengan menggunakan beragam jenis alat tangkap, umumnya daerah penangkapan berada pada daerah operasi penangkapan in shore/artisanal fishery, tingginya minat konsumsi masyarakat terhadap jenis ikan ini, dan memiliki permintaan pasar yang relatif tinggi. Sedangkan pengembangan perikanan tangkap lainnya yang dapat dilakukan di Kawasan Kapoposan adalah upaya peningkatan produktivitas penangkapan cumi-cumi, dengan memperkenalkan alat tangkap tepat guna yang ramah lingkungan. Berdasarkan pengamatan di lapangan dan wawancara, penangkapan cumi-cumi merupakan komoditas yang relatif baru diupayakan masyarakat kawasan karena adanya permintaan yang cukup tinggi dari pasar di Kota Makassar. Penangkapan cumi-cumi masih dilakukan secara sporadis dan masih merupakan target penangkapan sampingan dari ikan target, yaitu ikan sunu. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pengenalan terhadap alat seperti halnya atraktor cumi-cumi, yang selain dapat berfungsi sebagai sarana pengumpul cumi juga dapat berfungsi sebagai terumbu karang buatan. Baskoro et al,. (2008), atraktor cumi-cumi dikembangkan dengan tujuan utama untuk memperkaya sumberdaya cumi-cumi di suatu kawasan perairan, dengan manfaat meliputi: (1) dapat berperan sebagai terumbu buatan, sehingga dapat membentuk suatu ekosistem baru; (2) dapat menciptakan suatu pemandangan bawah laut yang unik berupa pemandangan hamparan telur cumi-cumi; (3) sebagai daerah asuhan dan pembesaran yang dapat mendorong kawasan perairan menjadi daerah penangkapan yang potensial; (4) dapat menjadi atraksi wisata bahari berupa penyelaman dan sport fishing; serta (5) merupakan alih tekhnologi yang aplikatif dan ramah lingkungan. Untuk pengembangan potensi budidaya seperti ikan bandeng, udang windu dan udang putih (Tabel 6), yang telah dilakukan di
172
kawasan
pesisir
Kabupaten
Pangkep
selayaknya
pemerintah
daerah
menyiapkan pendampingan dan pelatihan yang intensif dalam proses pemberian makan (feeding rate) dan waktu makan (feeding frequency), cara-cara pengecekan kualitas air dan kesehatan komoditas, serta penanganan pasca panen untuk menjaga kondisi kualitas komoditas yang dipanen tetap terjaga sehingga tidak menyebabkan jatuhnya harga. Berkaitan dengan isu nasional yang baru, yaitu isu pemberdayaan pulaupulau kecil, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep diharapkan dapat melihatnya sebagai peluang dalam membangun pulau-pulau kecil di wilayahnya, termasuk Kawasan Kapoposan, dengan harapan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat kawasan, pendapatan asli daerah (PAD), menekan pengaruh negatif dari terjadinya kesenjangan pembangunan antara pulau kecil dan daratan (main land), bahkan dapat pula menyumbang bagi devisa negara melalui pemanfaatan jasa-jasa kelautan melalui pengembangan pariwisata bahari. Retraubun (2007) menyatakan bahwa pemberdayaan pulaupulau kecil merupakan arah kebijakan baru di bidang kelautan karena kawasan ini menyediakan sumberdaya alam yang produktif, baik sebagai sumber pangan dari kekayaan ekosistemnya (mangrove, lamun dan terumbu karang beserta biota yang hidup di dalamnya), media komunikasi, kawasan rekreasi, pariwisata, serta konservasi, sehingga kawasan pulau-pulau kecil menjadi tumpuan Bangsa Indonesia di masa mendatang. Sebagai arah kebijakan baru, maka ada tiga alasan utama untuk menjawab pentingnya pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil, yaitu: (1) pulau-pulau kecil umumnya belum atau kurang disentuh program dan kegiatan pembangunan; (2) pengembangan sosial ekonomi masyarakat masih sangat terbatas; dan (3) meningkatnya degradasi ekosistem pulau-pulau kecil karena perilaku yang tidak ramah lingkungan. Oleh
karena
itu,
pemanfaatan
sumberdaya
Kawasan
Kapoposan
selayaknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pulau-pulau kecil di sekitar kawasan dan mendukung pertumbuhan ekonomi kawasan sehingga dapat mengurangi pengaruh negatif akibat kesenjangan pembangunan antara pulau kecil dan daratan (main land) yang terjadi akibat adanya miss management pembangunan masa lalu. Retraubun (2001), menyatakan bahwa penerapan konsep pembangunan kontinental di seluruh wilayah Indonesia secara seragam pada masa lalu jika dibandingkan dengan pembangunan model pulau-pulau kecil sesungguhnya merupakan dua pendekatan yang ekstrim berbeda. Kebijakan
173
pembangunan masa lalu yang lebih berorientasi daratan (land based oriented), telah menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan yang sangat besar antara
pulau-pulau
pembangunan
kecil
dengan
kontinental
pulau
dengan
induk
paradigma
atau
kontinen.
pertumbuhannya
Konsep selain
menimbulkan kesenjangan pembangunan, juga telah mengasingkan sumberdaya pulau-pulau kecil dari pengelolaan yang bijak, serta membawa konsekuensi logis bagi keberadaan kawasan pulau-pulau kecil dalam kondisi: (1) miskinnya masyarakat pada kawasan ini; (2) kemampuan sumberdaya manusia yang rendah sebagai akibat kurangnya sentuhan pendidikan formal walaupun kaya dengan pengetahuan tradisional; (3) sumberdaya alam hayati maupun nirhayatinya tidak dimanfaatkan secara efisien dan efektif; dan (4) lingkungan laut maupun daratnya mengalami kerusakan serius. Infrastruktur dasar, proporsi anggaran pembangunan kelautan, ketersediaan lapangan kerja, dan minat investasi di pulau-pulau kecil Pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan harus didukung oleh penyediaan dan perbaikan infrastruktur dasar dalam upaya menunjang pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat kawasan yang lebih baik. Berdasarkan pengamatan di lapangan, infrastruktur dasar yang mendesak untuk disediakan adalah tranportasi reguler kapal laut dari daratan Kabupaten Pangkep ke Kawasan Kapoposan dan sebaliknya. Sedangkan baik di Pulau Kapoposan, Gondongbali dan Papandangan, yang sangat dibutuhkan secara cepat adalah penyediaan sarana penerangan berupa listrik tenaga surya, karena generator yang mensuplai kebutuhan listrik sudah tidak mampu lagi beroperasi (rusak), dan adanya perbaikan sarana pendidikan bangunan sekolah dasar. Oleh karena itu, pemerintah (baik pusat maupun daerah) harus menyediakan anggaran yang proporsional bagi penyediaan dan perbaikan infrastruktur dasar di Kawasan Kapoposan, sehingga
keterbatasan
infrastruktur dasar tidak merupakan
penghalang atau kendala bagi masyarakat untuk melaksanan kegiatan-kegiatan produktifnya. DKP (2003) menyebutkan bahwa kegiatan pembangunan di pulau-pulau kecil
meskipun
ada,
pada
umumnya
dicirikan
oleh
kegiatan-kegiatan
pembangunan yang bersifat merusak lingkungan pulau itu sendiri atau memarjinalkan penduduk lokal. Maraknya kegiatan pembangunan pulau-pulau kecil di sekitar Batam, Tanjung Pinang, dan Bintan, serta kepulauan Seribu
174
merupakan potret pembangunan pulau-pulau kecil di masa lalu yang sarat dengan kerusakan lingkungan yang tidak mendatangkan manfaat bagi masyarakat lokal. Pembangunan infrastruktur dasar di Kawasan Kapoposan dapat mendatangkan berbagai manfaat meliputi: memacu pertumbuhan ekonomi kawasan, menyediakan lapangan pekerjaan guna menekan pengangguran, sebagai tambahan penghasilan bagi masyarakat lokal yang umumnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan, serta dapat menjadi pendukung dalam menarik minat investasi di Kawasan Kapoposan. Kualitas sumberdaya manusia, globalisasi, pengaruh negatif budaya asing, dan kearifan lokal masyarakat Sumberdaya manusia di Kawasan Kapoposan memiliki tingkat pendidikan yang minim (Lampiran 12 dan 13), yaitu umumnya hanya tamat sekolah dasar, bahkan lebih banyak lagi yang tidak tamat sekolah dasar, sehingga dibutuhkan suatu upaya peningkatan
kualitas sumberdaya
manusia
yang
memiliki
produktivitas tinggi dan dapat diharapkan berperan penting dalam melestarikan pembangunan ekonomi kawasan dan daerah, dengan langkah-langkah yang dikhususkan kepada peningkatan etos dan budaya kerja yang rendah, yang selama ini seolah-olah menjadi ‘stempel’ masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil pada umumnya. Dahuri (2001), menyatakan bahwa pengembangan kualitas sumberdaya manusia masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai subyek dan obyek dari pembangunan sangat lemah, karena adanya sejumlah faktor pembatas meliputi: (1) kurangnya pendekatan terpadu dan interdisipliner dalam pendidikan dan latihan ilmu kelautan dan perikanan; (2) tidak adanya program yang khusus tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; (3) kurangnya koordinasi di antara lembaga-lembaga yang menawarkan program; (4) secara tradisional pendidikan, pelatihan dan kursus-kursus diarahkan untuk pembangunan yang berbasis di darat; dan (5) kurangnya kemitraan baik dari segi pembinaan keterampilan maupun pendanaan dari kalangan investor terhadap
masyarakat
lokal
sehingga
seringkali
mengakibatkan
pemindahan/pengungsian masyarakat lokal dari lokasi-lokasi strategis. Pemerintah
Daerah
selayaknya
mengantisipasi
masalah
kualitas
sumberdaya manusia di Kawasan kapoposan secara bijak, mengingat hal dimaksud pada dasarnya dapat pula menjadi salah satu upaya penanggulangan kemiskinan kultural di kalangan masyarakat sekitar kawasan. Dahuri (2003) menyebutkan bahwa penanggulangan kemiskinan kultural masyarakat pulau-
175
pulau kecil dapat dilakukan melalui pemberdayaan dan pembinaan masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya kelautan, khususnya dalam mengelola
dan
memanfaatkan
sumberdaya
alam
kelautan
meliputi:
(1) menghidupkan kembali hak ulayat dan hak masyarakat lokal; (2) menerapkan teknologi ramah lingkungan dan mendorong pengembangan teknologi asli (indogenous knowledge and technology); dan (3) membangun kesadaran akan pentingnya nilai strategis sumberdaya alam kelautan yang dimiliki bagi generasi mendatang.
Sedangkan langkah peningkatan kualitas sumberdaya manusia
pulau-pulau kecil dapat dilakukan meliputi: (1) investasi pada modal manusia (human capital) yaitu dalam bidang pendidikan dan kesehatan; (2) peningkatan kapasitas organisasi dan kelompok baik formal maupun informal sebagai suatu cara untuk mensinergikan dan memadukan kekuatan individu; (3) memperluas dan mengintegrasikan mandat organisasi dan kelompok sehingga efisiensi bisa dicapai; (4) memperbaiki budaya kerja; dan (5) menghilangkan sifat dan mental negatif yang memasung produktivitas dan menghambat pembangunan. Berdasarkan wawancara kelompok terfokus, Kabupaten Pangkep pada umumnya dan Kawasan Kapoposan pada khususnya diharapkan dapat mempersiapkan diri menghadapi era globalisasi yang memiliki implikasi sangat luas terhadap pembangunan kelautan, sehingga untuk mengantisipasi dampak globalisasi, arah dan strategi pembangunan gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan harus dilakukan secara berbeda dengan apa yang telah dilakukan di masa lalu, dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya kelautan gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan merupakan keunggulan komparatif yang memiliki peluang yang besar untuk dimanfaatkan baik melalui pemanfaatan sumberdaya hayati, nir hayati, maupun pemanfaatan jasa-jasa lingkungan kelautan, sehingga dapat menjadi keunggulan kompetitif. Dahuri (2002), menyatakan bahwa dalam era globalisasi yang ditandai berlakukannya liberalisasi perdagangan internasional, maka potensi keunggulan komparatif Indonesia yang dimiliki oleh sumberdaya kelautan harus dapat diwujudkan menjadi keunggulan kompetitif, sehingga upaya menciptakan nilai tambah (value added) merupakan hal yang penting dalam proses pembangunan kelautan di masa depan. Liberalisasi perdagangan merupakan pedang bermata dua (double-edged swords), dimana di satu sisi liberalisasi menyodorkan peluang (opportunities), melalui penurunan hambatan-hambatan tarif dan non tarif dan meningkatkan akses produk-produk domestik ke pasar internasional, namun di
176
sisi lainnya liberalisasi perdagangan juga sekaligus menjadi ancaman (threat), karena perdagangan bebas menuntut penghapusan subsidi dan proteksi sehingga proses liberalisasi sekaligus meningkatkan akses produk-produk asing di pasar dalam negeri. Selain itu perkembangan budaya global seperti budaya instan, budaya hedonistik, kapitalistik, dan budaya anarkisme sebagai efek liberalisme tetap harus diantisipasi, mengingat masyarakat Kawasan Kapoposan umumnya merupakan masyarakat yang relegius (seluruhnya adalah pemeluk agama Islam). Retraubun (2008), menyatakan bahwa perkembangan budaya global yang memunculkan pengaruh negatif seperti budaya instan, budaya hedonistik, kapitalistik, liberalistik, dan budaya anarkisme merupakan salah satu budaya yang diciptakan oleh kaum liberalis untuk menyebarluaskan gaya hidup hurahura kepada masyarakat dunia termasuk di Indonesia yang menimbulkan efek negatif terhadap kehidupan bangsa Indonesia yang memegang budaya ketimuran yang berpegang teguh pada norma dan aturan yang berlaku dimasyarakat. Dampak dari budaya ini sudah menyebar dimasyarakat Indonesia terutama dikalangan generasi muda, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan, yang tidak mustahil telah menyebar pula pada masyarakat pulaupulau kecil, yang meniru kebiasaan kaum liberalis yang senang berhura-hura dengan menghabiskan uang secara percuma. Oleh karena itu, penguatan kelembagaan dalam mempertahankan kearifan lokal masyarakat Kawasan Kapoposan seperti ‘sipakalalo dan sipakatau’ serta digompoi, merupakan penangkal masuknya budaya-budaya luar yang negatif yang dapat mengikis budaya dan adat masyarakat lokal kawasan. Retraubun (2003) menyatakan bahwa masyarakat pulau-pulau kecil memiliki kebudayaan yang potensial bagi pembangunan, yaitu kearifan lokal (local wisdom) berupa sistem pengetahuan sendiri (indogenous knowledge) yang sangat berharga bagi kegiatan usaha penangkapan ikan dan sangat berharga bagi upaya konservasi sumberdaya alam. Namun demikian, potensi tersebut selama ini tidak mendapat perhatian sehingga mengakibatkan tidak termanfaatkannya potensi ekonomi serta pudarnya berbagai institusi sosial dan nilai-nilai lokal yang kemudian berujung pada makin rusaknya sumberdaya pesisir dan lautan di wilayah pulaupulau kecil dan berakhir pada kondisi yang membuat masyarakat pulau-pulau kecil relatif tertinggal.
177
Konservasi, pulau-pulau kecil rentan terhadap perubahan lingkungan, tata ruang dan zonasi, serta sumberdaya jasa kelautan Pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan sesuai dengan wawancara dengan key person maupun wawancara kelompok terfokus mengingat salah satu karakteristik yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil adalah kerentanannya terhadap perubahan lingkungan. DKP (2001), menyatakan kerentanan pulau kecil terhadap perubahan lingkungan adalah karena: (1) terbuka dari pukulan ombak dari semua sisi; (2) memiliki massa daratan yang relatif lebih kecil; (3) memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kekeringan karena kemampuan menahan air yang sangat minim sehingga sering kekurangan air tawar; serta (4) memiliki daya dukung yang sangat terbatas. Mengingat rentannya ekosistem pulau-pulau kecil dan gugus pulau kecil, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang sudah terbukti menimbulkan dampak negatif yang luas, baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengijinkan pengelolaan pulau-pulau kecil untuk konservasi, budidaya laut (mariculture), ekowisata, serta usaha penangkapan ikan dan industri perikanan yang lestari. Berkaca dari miss management masa lalu, maka pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil Kawasan Kapoposan selayaknya tidak diperuntukkan hanya bagi pertumbuhan ekonomi semata, namun diarahkan kepada pertumbuhan ekonomi yang sustainable yang menyeimbangkan antara hubungan masyarakat kawasan dan lingkungan, yang diwujudkan dalam upaya pencegahan kerusakan lingkungan.
Bengen
dan
Retraubun
(2006)
menyatakan
bahwa
opsi
pembangunan pulau-pulau kecil yang tersedia terbatas, dan pada umumnya hanya ada tiga jenis opsi pembangunan yang tersedia yaitu: (1) aktivitas pembangunan yang tidak berdampak negatif samasekali pada lingkungan misalnya dengan menentukan suatu pulau kecil dengan perairannya sebagai kawasan wildlife sunctuary; (2) aktivitas yang hanya sedikit dampak negatifnya misalnya pengembangan ekonomi subsisten untuk pemenuhan kebutuhan lokal melalui penggunaan sumberdaya alam lokal secara lestari; dan (3) aktivitas yang berakibat perubahan radikal dalam lingkungan seperti pertambangan skala besar, kegiatan militer dan pengujian nuklir dan pengembangan tourisme yang intensif.
Berdasarkan ketiga opsi dimaksud, maka
pencegahan terhadap
kerusakan ekosistem pulau-pulau kecil merupakan alternatif terbaik walaupun modifikasi lingkungan untuk meningkatkan penyediaan barang dan jasa berharga
178
bagi manusia tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, manajemen lingkungan merupakan syarat pencapaian pertumbuhan ekonomi yang sustainable dan manajamen
pertumbuhan
ekonomi
merupakan
bagian
dari
manajemen
lingkungan. Manajemen lingkungan umumnya meliputi pemantauan, dan modifikasi sumberdaya alam sebagaimana dibutuhkan untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai tambah. Walaupun demikian, sumberdaya manusia merupakan komponen penentu pemanfaatan sumberdaya alam sehingga manajemen lingkungan dapat disebut sebagai manajemen hubungan antara manusia dan lingkungan (man-environment management). Pengelolaan Kawasan Kapoposan yang berbasis konservasi tidak hanya mendatangkan manfaat bagi lingkungan, namun juga bagi masyarakat kawasan dan daerah. DKP (2003), menyebutkan beberapa manfaat kawasan konservasi laut antara lain adalah: (1) manfaat biologi, ekonomi dan sosial; (2) keaneka ragaman hayati; (3) perlindungan terhadap spesies endemik; (4) pengurangan mortalitas akibat penangkapan; (5) perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam pertumbuhan; (6) peningkatan produksi dan perlindungan pemijahan; (7) manfaat penelitian; (8) ekoturisme; (9) pembatasan hasil samping ikan juvenil (juvenile by catch); serta (10) peningkatan produktivitas perairan (productivity enchancement). Berdasarkan kondisi ini, maka alokasi tata ruang dan zonasi Kawasan kapoposan harus didasarkan pada daya dukung ekologis, keberadaan jaringan sosial budaya antara masyarakat, serta integrasi kegiatan sosial ekonomi yang sudah berlangsung selama ini, yang pada akhirnya akan memberikan pilihan investasi yang tepat dalam
menjaga keamanan dan
keselamatan sosial budaya dan ekologis dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan, khususnya dalam pemanfaatan jasa-jasa lingkungan melalui kegiatan wisata bahari. Pengembangan sumberdaya kelautan jasa-jasa lingkungan di Kawasan Kapoposan merupakan sumberdaya yang memiliki keunggulan kompetitif untuk mendukung
pertumbuhan
ekonomi
daerah
dan
nasional
dengan
tetap
mendukung pada kecenderungan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang dapat pulih, dibandingkan dengan pemanfaatan sumberdaya kelautan yang tidak dapat pulih seperti pertambangan. DKP (2005), menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya dapat pulih menjadi pilihan didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: (1) sumberdaya kelautan dapat pulih memerlukan persyaratan kualitas lingkungan yang baik untuk pengembangannya, sedangkan sumberdaya
179
kelautan tidak dapat pulih relatif tidak memerlukan persyaratan kualitas lingkungan yang baik; (2) sumberdaya kelautan dapat pulih memiliki nilai ekonomi yang bersifat long term, sedangkan sumberdaya kelautan tidak dapat pulih memiliki nilai ekonomi yang bersifat short term; (3) sumberdaya kelautan dapat pulih memiliki peran dalam daya dukung kualitas dan kelestarian lingkungan, walaupun nilai ekonomi kontribusi tangible nya kurang signifikan dibandingkan dengan sumberdaya tidak pulih, namun nilai ekonomi kontribusi sumberdaya dapat pulih memiliki intangible dan indirect yang tinggi dan kontinyu, sehingga perlu dikelola secara hati-hati; dan (4) dalam proses pemanfaatan sumberdaya kelautan dapat pulih, relatif tidak menimbulkan dampak negatif terhadap proses pemanfaatan sumberdaya kelautan tidak dapat pulih, sebaliknya pemanfaatan sumberdaya kelautan tidak dapat pulih akan memberikan dampak negatif terhadap kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelautan dapat pulih. 6.3.3 Alternatif Pengelolaan Kawasan Kapoposan
Beberapa kegiatan budidaya laut yang dikembangkan di pulau-pulau kecil diantaranya budidaya rumput laut (umumnya dengan sistem rakit atau tali), budidaya ikan kerapu, beronang, dan lainnya (umumnya berupa karamba jaring apung), dan budidaya mutiara. Budidaya rumput laut dengan sistem rakit atau karamba jaring apung tentunya membutuhkan keberadaan bangunan fisik yang nampak di atas permukaan air, yang bagi sebagian wisatawan (khususnya wisatawan asing) dapat dirasakan mengganggu keindahan dan estetika yang ingin dinikmati wisatawan. Berdasarkan pengamatan penulis dan hasil wawancara, pengembangan wisata bahari bersama kegiatan budidaya laut cenderung cukup sulit diimplementasikan di gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan, mengingat baik kegiatan wisata bahari maupun budidaya laut membutuhkan kriteria perairan yang sama. Retraubun (2003) menyatakan, bahwa kegiatan budidaya laut membutuhkan dan memanfaatakan perairan laut pulau-pulau kecil yang relatif dangkal, tenang, aman dari hantaman ombak dan gelombang serta memiliki kualitas perairan yang baik seperti perairan yang dibutuhkan oleh kegiatan wisata bahari, namun dengan cara pemanfaatan yang berbeda. Meskipun budidaya bandeng dan udang berhasil diterapkan di kawasan pesisir Kabupaten Pangkep melalui sistem tambak, namun belum tentu berhasil
180
jika diterapkan di pulau-pulau kecil Kawasan Kapoposan karena budidaya laut dengan sistem tambak sangat sulit dilakukan disebabkan keterbatasan lahan daratan pulau kecil yang ada. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Wiryawan (2008), yang menyatakan bahwa budidaya udang dan bandeng telah dilaksanakan Desa Batukumba Kabupaten Berau, namun saat diterapkan di area kawasan perairan pulau-pulau kecil Kepulauan Berau ternyata memiliki produktivitas yang relatif lebih rendah (100 kg/ha). Kegiatan wisata bahari yang dilakukan bersama kegiatan perikanan tangkap relatif lebih dapat diterima, mengingat secara sosial dan budaya, perikanan tangkap tentunya lebih dikenal dalam masyarakat gugusan pulaupulau kecil di Kawasan Kapoposan yang umumnya memiliki mata pencaharian sebagai nelayan pada kegiatan perikanan tangkap artisanal. Perikanan tangkap dimaksud adalah aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan (khususnya ikan-ikan karang bernilai ekonomis) dengan penggunaan alat tangkap ramah lingkungan, misalnya dengan alat tangkap pancing. DKP (2001) menyatakan bahwa pengembangan perikanan selanjutnya dapat dilakukan bertahap sesuai dengan perkembangan wisata bahari itu sendiri, mengingat dalam meningkatkan perikanan
artisanal
di
kawasan
pulau-pulau
kecil
setidaknya
harus
mengakomodir isu-isu sebagai berikut: (1) adanya insentif bagi kaum generasi muda pulau kecil untuk mau jadi nelayan, (2) tingkat teknologi, sarana dan prasarana penangkapan yang minim dihadapkan pada kondisi wilayah kerja (di laut)
yang
cukup
sulit,
(3)
kondisi
alam
berupa
fluktuasi
musiman,
(4) ketidaksempurnaan pasar, (5) kurangnya fasilitas pelabuhan, serta (6) kurangnya fasilitas pengolahan. Pencanangan kegiatan wisata bahari di Kawasan Kapoposan tetap harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, mengingat wisata bahari merupakan wisata yang memiliki ciri khas tersendiri, yang dapat menjadikan aktivitas yang positif maupun negatif bagi lingkungan perairan kawasan.
Barani (2002),
menyatakan wisata bahari terdiri dari dua sistem yang komplek, yaitu sistem pariwisata yang erat kaitannya dengan sosial masyarakat, dan sistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang terkait dengan sistem lingkungan. Interaksi di antara kedua sistem ini dapat menjadi peluang pengembangan kawasan wisata apabila berjalan sinergis. Tetapi apabila kedua sistem itu sudah tidak dapat berjalan sinergis, maka dapat menghancurkan kawasan wisata bahari itu sendiri.
181
Mengingat keterbatasan daya dukung lahan dan ketersediaan air tawar yang ada di pulau-pulau kecil Kawasan Kapoposan, maka kegiatan wisata bahari yang dikembangkan adalah wisata bahari dengan pasar tertentu (minat khusus) yang memang diperuntukkan bagi wisatawan pencinta lingkungan atau ekowisata. Kembudpar (2004), menyatakan bahwa wisata bahari minat khusus adalah suatu bentuk perjalanan wisata yang berkaitan dengan kelautan, baik di atas permukaan laut (marine) maupun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan laut (sub marine), karena wisatawan memiliki minat atau tujuan khusus mengenai sesuatu jenis obyek atau kegiatan yang dapat ditemui atau dilakukan di lokasi atau daerah tujuan wisata tersebut. Sedangkan ekowisata bahari adalah penyelenggaraan kegiatan wisata bahari berbasis konservasi yang bertanggung jawab di daerah lingkungan laut yang masih alami dan/atau daerahdaerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan kebudayaan), bermuatan pendidikan dan pengajaran, serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Kegiatan wisata bahari di Kawasan Kapoposan dapat menjadi mata pencaharian alternatif bagi masyarakat, yang dampaknya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan, dan meningkatkan pendapatan asli daerah serta devisa bagi negara. Retraubun (2006) menyatakan bahwa sektor wisata bahari relatif sangat signifikan dalam memberikan kontribusi terhadap penerimaan devisa negara, meskipun kondisi ini belum menghitung berapa besar multiflier effect yang dihasilkan oleh sektor wisata bahari tersebut. Sektor ini memang mempunyai keunikan
tersendiri
dibanding dengan sektor-sektor lainnya, karena secara sederhana, sektor pariwisata dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan ekspor, dalam artian bahwa income atau devisa yang diperoleh adalah melalui resources yang dimiliki oleh masyarakat dari negara lain (wisatawan asing), atau masyarakat dari daerah lain (wisatawan nusantara). Uniknya, kegiatan ekspor dimaksud, tidak menimbulkan biaya ataupun fee yang dikeluarkan oleh negara (lazimnya seperti kegiatan perdagangan komoditas dan barang), dan hampir sebagian besar biaya yang timbul akan diterima oleh negara yang merupakan tempat tujuan wisata tersebut. Bila dilihat dari segi perilaku (behaviour), kegiatan wisata bahari adalah kegiatan yang bersifat konsumtif, dalam artian bahwa seseorang ataupun lembaga memang sengaja mengumpulkan uang untuk kemudian menghabiskannya dengan tujuan menikmati objek-objek wisata. Oleh karena itu, tranksaksi dan
182
multiflier effect yang terjadi dalam sektor wisata bahari adalah merupakan transaksi dengan omset yang relatif sangat besar mencapai triliunan rupiah. Pitana dan Gayatri (2005) menyatakan, bahwa sebuah contoh kasus yang nyata dan menjadi cerminan dalam pengembangan wisata bahari di kawasan pulau-pulau kecil adalah Kepulauan Karibia, dimana bagi negara-negara di Kepulauan Karibia kegiatan wisata bahari merupakan penyumbang terbesar dalam penciptaan pendapatan masyarakat dan negara. Kegiatan wisata bahari telah menciptakan 2,5 juta kesempatan kerja atau sekitar 25% dari total kesempatan kerja pada tahun 2001, serta menyumbang sekitar US$ 9,2 milyar atau sekitar 5,8% dari total GDP Kepulauan Karibia. Sedangkan bagi negara Fiji (sebuah negara pulau di Samudra Pasific), pada tahun yang sama, kegiatan wisata bahari bahkan menjadi penghasil devisa kedua, yaitu sekitar 35% dari total nilai eksport negara ini, dan hanya sedikit di bawah hasil utamanya yaitu gula dan hasil pertanian lainnya. Tingkat kestabilan strategi pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang berkelanjutan perlu diketahui dengan melakukan pemeriksaan sensitifitas berbagai intervensi dari stakeholder yang berperan. Tabel 14 menunjukkan bahwa strategi pengelolaan dengan kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan dikembangkan berbasis konservasi sangat stabil terhadap intervensi apapun yang dilakukan para stakeholder (Lampiran 6). Kondisi tersebut di atas sesuai dengan hasil FGD dimana semua stakeholders berpendapat bahwa pengelolaan yang paling sesuai di Kawasan Kapoposan adalah kegiatan wisata bahari yang dikembangkan berbasis konservasi.
Intervensi stakeholders memiliki porsi masing-masing terhadap
pengeloaan berdasar pengembangan kegiatan wisata bahari yang berbasis konservasi meliputi: Pemerintah Pusat adalah pembangunan sarana dan prasarana; Pemerintah Daerah adalah perijinan investasi; dunia usaha/investor dalam mengaplikasikan tanggungjawab korporat terhadap komunitas (Company Social Responsibility/CSR, Company Managerial Responsibility/CMR, dan Company Environmental Responsibility/CER); dan institusi non birokasi dalam hal pendampingan, penelitian dan jejaring (net working).
183
6.4
Strategi Pengelolaan Kawasan Kapoposan Strategi 1: Pengembangan wisata bahari berbasis konservasi
Upaya pengelolaan gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang paling efektif dan efisien adalah dengan pengembangan wisata bahari berbasis konservasi karena mempertimbangkan: (1) wisata bahari dirasa efektif dan efisien karena mutlak membutuhkan dukungan dari masyarakat penghuni pulau tersebut; (2) wisata bahari diyakini dapat menimbulkan multiplier effect yang dapat membawa ekses positif dalam pemberdayaan masyarakat lokal terutama dalam meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, pengetahuan dan informasi; (3) pembangunan wisata bahari di pulau-pulau kecil berbasiskan laut (marine base) yang sangat berbeda dengan pembangunan pariwisata di darat pada umumnya (land base). Pembangunan wisata bahari di pulau-pulau kecil terkait erat dengan berbagai keterbatasan di pulau kecil yang sangat memperhatikan konservasi (kelestarian lingkungan), ketersediaan air bersih, carrying capacity, luas area, sosial budaya masyarakat, kelembagaan lokal, serta keberadaan sumberdaya pulau kecil sebagai aset terpenting bagi kelangsungan usaha wisata bahari. Sumberdaya alam adalah dynamic assets sehingga membutuhkan kehatihatian
dan
upaya
pelestarian
dalam
pemanfaatannya.
Cara
pandang
konvensional yang memandang sumberdaya sebagai faktor produksi semata (fixed assets) harus disingkirkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep, karena cara pandang ini merupakan masalah besar dalam pemanfaatan sumberdaya, yang cenderung melakukan eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran, terutama jika dikaitkan dengan target demi peningkatan pendapatan asli daerah atau PAD. Fauzi (2007) menyatakan, bahwa sumberdaya alam selayaknya dipandang sebagai faktor yang dinamis (dynamic assets) di mana modal alam tidak lagi hanya dianggap sebagai aset yang tetap (fixed assets), namun memperlakukan modal alam (natural capital) bersama modal lainnya yaitu man made capital, human capital dan social capital sebagai empat pilar yang utuh dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kekayaan sumber daya alam laut pulau-pulau kecil Kawasan kapoposan dengan kualitas keindahan dan keasliannya berpotensi menjadi tujuan wisata bahari atau marine eco tourism.
Kembudpar (2004), menyatakan bahwa
ekowisata bahari adalah penyelenggaraan kegiatan wisata bahari berbasis
184
konservasi yang bertanggung jawab di daerah lingkungan laut yang masih alami dan/atau daerah-daerah yang dibuat berdasarkan kaidah alam, yang mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan kebudayaan), bermuatan pendidikan
dan
pengajaran,
serta
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat setempat. DKP (2004), menyatakan bahwa kawasan pulau-pulau kecil sebagai target marine eco tourism, umumnya memiliki potensi wisata meliputi: (1) wisata bahari yang sangat besar yang didukung oleh potensi geologis dan karaktersistik yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan terumbu karang (coral reef), khususnya hard corals. Kondisi pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni, secara logika akan memberikan kualitas keindahan dan keaslian dari bio-diversity yang dimilikinya; (2) wisata terrestrial, yaitu wisata yang merupakan satu kesatuan dengan potensi wisata perairan laut yang memanfaatkan lahan daratan pulaupulau kecil sebagai daya tarik tersendiri bagi penikmat pariwisata; dan (3) wisata kultural, dimana masyarakat lokal sudah lama sekali berinteraksi dengan ekosistem pulau-pulau kecil, sehingga secara realitas di lapangan, masyarakat pulau-pulau kecil mempunyai budaya dan kearifan tradisional (local wisdom) tersendiri yang merupakan nilai komoditas wisata kultural yang tinggi. Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sebagai bagian dari pengembangan industri wisata bahari, harus menganggap lingkungan laut sebagai bagian dari ekosistem global. Kriteria keberhasilan pengembangan industri wisata bahari, harus meliputi efisiensi ekonomi, pemerataan hasil pembangunan sumberdaya.
secara
adil,
Salah satu cara
terpeliharanya
kelestarian
lingkungan
dan
untuk menjaga kelestarian lingkungan dan
sumberdaya pesisir yang berkelanjutan adalah dengan menghitung besarnya daya dukung lingkungan terhadap aktivitas wisata bahari. Pratikto (2005), menyatakan bahwa kegiatan wisata bahari di pulau-pulau kecil merupakan sumber pertumbuhan ekonomi di era perdagangan bebas, dengan tetap mempertimbangkan pelestarian lingkungan (konservasi) dalam berbagai aktivitas di dalamnya. Pendekatan dalam pengembangan wisata bahari berbasis konservasi setidaknya mengacu pada tiga prinsip utama meliputi: (1) prinsip coownership, yaitu kawasan yang akan dikembangkan untuk wisata bahari adalah milik bersama, dengan pemanfaatan dan perlindungan yang dilakukan secara bersama berdasarkan nilai kearifan dan budaya lokal; (2) prinsip cooperation, yaitu dalam pengelolaan kawasan untuk wisata bahari dilakukan dengan prinsip
185
mengatur peranan masing-masing yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan seluruh stakeholders; dan (3) prinsip co-responsibility, yaitu dalam pengelolaan kawasan untuk wisata bahari, kegiatan perlindungan dan pembinaan kawasan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, pengusaha dan seluruh stakeholders.
Strategi 2: Penyediaan infrastruktur dasar oleh Pemerintah
Salah satu upaya untuk mendorong laju investasi serta guna mendukung berkembangnya wisata
bahari di Kawasan Kapoposan adalah dengan
meningkatkan daya saing berupa penyediaan infrastruktur dasar yang memadai sebagai tanggung jawab Pemerintah (Pusat dan Daerah).
DKP (2004)
menyatakan bahwa infrastruktur dasar pendukung berkembangnya wisata bahari di pulau-pulau kecil adalah semua kegiatan pengadaan dan pembangunan fisik yang terkait dengan dukungan terhadap kegiatan wisata bahari antara lain transportasi (darat, laut dan udara), komunikasi, dermaga, air strip, akomodasi (hotel, resort, home stay), energi, peralatan olah raga laut, air bersih, fasilitas kesehatan, tempat ibadah, serta pendukung lainnya seperti souvenir centre dan dive centre. Aksesibilitas dari Kota Makassar untuk mencapai Kabupaten Pangkep relatif mudah, mengingat telah tersedianya infrastruktur dasar berupa jalan kabupaten yang memadai, sehingga waktu tempuh Kota Makassar-Kabupaten Pangkep melalui jalan darat hanya membutuhkan sekitar 90 menit (1,5 jam). Namun kendala umum yang dijumpai dalam pengelolaan pulau-pulau kecil ditemukan saat ingin mencapai Kawasan Kapoposan, yaitu tidak tersedianya sarana dan prasarana transportasi kapal reguler yang berdampak pada terisolasinya Kawasan Kapoposan, dan pada akhirnya menghambat akses informasi, teknologi, komunikasi, serta pertumbuhan ekonomi kawasan. Ketersediaan
infrastruktur
dasar,
khususnya
segala
sesuatu
yang
berhubungan dengan aksesibilitas (seperti ketersediaan bandara, transportasi laut reguler dan dermaga/jety) adalah salah satu yang menjadi pertimbangan para investor wisata bahari untuk menanamkan investasinya di suatu kawasan. DKP (2008), menyatakan bahwa ketersediaan infrastruktur dasar berupa bandara di dua kabupaten yang terdiri dari pulau-pulau kecil seperti Kabupaten Raja Ampat-Papua Barat dan Kabupaten Wakatobi-Sulawesi Tenggara, ternyata
186
memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan jumlah kedatangan wisatawan mancanegara, seiring semakin tingginya minat dunia usaha untuk berinvestasi
di
kedua
kabupaten
tersebut.
Sektor
perhubungan
dan
telekomunikasi merupakan pendukung bagi sektor riil dalam pelayanan jasa transportasi dan telekomunikasi. Penyediaan sistem perhubungan perintis dalam mendukung stabilitas, pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pembangunan yang berkelanjutan di kawasan pulau-pulau kecil sangat penting. Pengembangan perhubungan dan telekomunikasi di pulau-pulau kecil diharapkan akan meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa pelayanan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, dan ekonomi, yang pada gilirannya akan merangsang minat para investor untuk berinvestasi di pulau-pulau kecil. Strategi 3: Kepastian hukum, mekanisme perizinan investasi dan pelayanan publik Pemerintah (pusat dan daerah) memiliki anggaran yang terbatas, sehingga diharapkan dapat menjadi fasilitator dan promotor bagi kehadiran dan keterlibatan pihak dunia usaha sebagai pemodal (investor). Pengelolaan wisata bahari berbasis konservasi di Kawasan Kapoposan membutuhkan volume investasi dan resiko finansial yang cukup besar, sehingga penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan investasi, terutama yang berkaitan dengan kepastian hukum yang melindungi investasi yang ditanamkan, keberadaan mekanisme perizinan yang efektif dan efisien, serta pelayanan publik Pemerintah Daerah dalam transparansi penyelenggaraan kepemerintahan akan dapat menumbuhkan dan meningkatkan kepercayaan di antara pelaku dunia usaha baik dari dalam maupun luar negeri. Retraubun (2002) menyatakan bahwa, peraturan bagi investasi di pulaupulau kecil melalui pendekatan hak, setidaknya memiliki tiga tujuan yang ingin dicapai, meliputi (1) adanya pengakuan dan perlidungan hukum atas hak-hak masyarakat atas tanah dan wilayah perairan pulau-pulau kecil; (2) terjalinnya kerjasama usaha yang setara antara masyarakat dengan pengusaha/investor dalam pemanfaatan ekosistem pulau-pulau kecil dalam kejelasan hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam kontrak kerjasama yang pelaksanaan hak dan kewajibannya diawasi dan ditegakkan oleh pemerintah; dan (3) kepastian
187
berusaha bagi pengusaha/investor yang sudah mendapatkan hak pakai atas tanah dan wilayah perairan pulau-pulau kecil yang dikuasai oleh negara. Salah satu upaya guna menghindari terjadinya ketimpangan dan konflik kepentingan dalam pengelolaan investasi di pulau-pulau kecil (dalam hal ini investasi di sektor wisata bahari), diperlukan adanya koordinasi dan sinkronisasi kebijakan dan peraturan perundangan di pusat dan daerah, serta memperhatikan hukum adat dan hak ulayat di daerah. Keberadaan perangkat hukum, dukungan dan komitmen institusi-institusi negara seperti TNI, POLRI, kejaksaan dan pengadilan sebagai lembaga penegak hukum dan peraturan mutlak diperlukan. Penegakan hukum harus dilakukan secara holistik, menghindari tumpang tindih kebijakan dan kepentingan, serta seminimal mungkin menghindari konflik horisontal dan vertikal. Keberadaan perangkat hukum yang memadai dan penegakan hukum yang tegas, akan membawa dampak yang positif secara ekonomi, politik, sosial, budaya serta pertahanan dan keamanan (DKP, 2004). Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Pangkep
telah
membentuk
Kantor
Perizinan Satu Atap sebagai institusi yang bertanggung jawab dalam menyediakan informasi dan memberikan pelayanan kepada calon investor mengenai mekanisme perizinan investasi bagi yang berminat menanamkan investasinya di pulau-pulau kecil wilayah Kabupaten Pangkep. Mekanisme perizinan investasi yang sederhana, efisien dari segi waktu, serta transparan adalah hal yang dibutuhkan oleh para calon investor. Soetarto (2003), menyatakan bahwa pengembangan investasi di pulau-pulau kecil setidaknya harus didukung oleh: (1) kepastian hukum bagi investasi yang ditanamkan; (2) terpeliharanya stabilitas sosial, politik dan keamanan di daerah; (3) adanya sistem insentif yang menarik yang diberikan kepada para investor; (4) pelayanan investasi prima yang cepat, murah, mudah dan transparan melalui sistem pelayanan satu atap (one stop service); dan (5) menghapus segala bentuk peraturan dan pungutan yang memberatkan dunia usaha (investor). Menurut Retraubun (2003), pengembangan investasi di pulau-pulau kecil diharapkan mampu memberikan terobosan dalam meningkatkan kontribusi sektor kelautan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Perspektif ekonomi makro, menyiratkan bahwa peranan investasi ditentukan oleh kebijakan yang mengatur tingkat investasi dan pengembalian sosial serta penyerapan tenaga kerja. Kondisi dimaksud sesungguhnya
menunjukkan bahwa pembangunan pulau-pulau
merupakan
upaya membangun
ekonomi
lokal,
kecil
sehingga
188
komoditas yang akan dikembangkan harus berbasis pada permintaan pasar lokal, nasional dan regional. Hal ini perlu didukung dengan pemberian kemudahan dalam berinvestasi, penyediaan sarana dan prasarana, kemudahan administrasi, adanya kejelasan peraturan dan kepastian hukum, sampai pada tersedianya jaminan kelayakan investasi. Sedangkan dalam kerangka otonomi daerah, adanya pedoman dan peraturan investasi mutlak diperlukan untuk menjaga kesalahan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Otonomi daerah membuka kesempatan Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep
untuk
langsung
melakukan
transaksi
dengan
para
investor.
Tersedianya mekanisme perizinan investasi dan pola pengelolaan investasi dalam pengembangan wisata bahari di pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan merupakan hal yang sangat membantu untuk mendukung kelancaran dunia usaha yang berminat berinvestasi. Salah satu daya dorong investasi di era otonomi daerah adalah adanya pelayanan publik yang prima bagi para pelaku dunia usaha. Syakrani dan Syahriani (2009), menyebutkan bahwa salah satu motivasi meningkatkan
mutu pelayanan
publik
adalah
keinginan
untuk
meningkatkan daya tarik daerah sebagai tujuan utama investasi domestik dan asing. Namun indeks daya saing bangsa yang disusun oleh Forum Ekonomi Dunia untuk pengembangan manajemen menunjukkan bahwa daya saing negara Indonesia masih rendah, yang salah satunya diakibatkan oleh birokrasi pemerintah dalam pelayanan publik (melayani penduduk termasuk investor) yang tidak efisien, sehingga menyebabkan biaya tinggi dalam berinvestasi. Menyikapi hal tersebut, dalam mendukung masuknya investasi di Kawasan Kapoposan Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep harus mendorong aparat birokrasi terkait untuk semakin meningkatkan pelayanan publik bagi para calon investor, dengan merubah kultur minta dilayani dengan melayani. Syakrani dan Syahriani (2009) menyatakan bahwa kemampuan menyediakan pelayanan publik sesuai dengan preferensi dan kebutuhan setidaknya melukiskan dua hal meliputi: (1) terjadinya pergeseran mind set, kultur kerja, dari berorientasi pada diri sendiri menjadi fokus kepada orang lain, dan (2) terjadinya peningkatan kompetensi baik dalam melakukan need assessment, perencanaan dan targeting maupun dalam penyediaan pelayanan publik.
189
Strategi 4: Peningkatan kapasitas kelembagaan lokal dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya Tujuan utama pengelolaan pulau-pulau kecil adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat penghuninya, sehingga keterlibatan aktif masyarakat akan membangun rasa memiliki terhadap sumberdaya yang ada. DKP (2004) menyatakan bahwa pembinaan wilayah dan kualitas sumberdaya manusia secara optimal dilakukan terhadap berbagai aspek kehidupan yang dinamis melalui pembinaan dan pendidikan formal dan non formal, seperti penyuluhan, pelatihan dan pendampingan masyarakat oleh aparat keamanan, guru sekolah, pemuka agama dan aparat pemerintahan daerah secara bersama-sama. Kelembagaan Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta/dunia usaha secara umum masih perlu ditingkatkan baik kualitas maupun peran sertanya dalam proses pembangunan. Peningkatan kelembagaan pemerintah di daerah diarahkan dalam rangka kerjasama yang harmonis antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah kabupaten/kota, serta peningkatan kemampuan daerah dalam rangka pengelolaan pulau-pulau kecil secara mandiri. Keberhasilan pengembangan industri wisata bahari di pulau-pulau kecil berkaitan pula dengan kondisi sosial budaya para pelaku di dalamnya, baik subyek maupun obyek. Retraubun (2007) menyatakan bahwa untuk mencapai keberhasilan
dari
aktivitas
wisata
bahari,
maka
setidaknya
diperlukan
pemenuhan atas lima kriteria yang meliputi: (1) meningkatkan kegiatan yang berkelanjutan yang didasarkan pada kemampuan lokal; (2) memperkuat partisipasi masyarakat dalam kerangka pengembangan industri wisata bahari yang berbasis pada masyarakat; (3) mengembangkan potensi untuk gerakan keswadayaan; (4) memperluas proses pengembangan yang diorientasikan pada pendekatan berbagai kemitraan; dan (5) kemungkinan adanya replikasi dari kondisi lokal sebagai fokus daya tarik wisata bahari. Peran Pemerintah Daerah untuk memberikan pendampingan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia adalah keharusan. Pembinaan dan sosialisasi harus dilakukan secara kontinyu kepada masyarakat lokal akan arti penting keberadaan aktivitas wisata bahari di Kawasan Kapoposan, terutama dalam meningkatkan peran keberadaan kelembagaan lokal yang memiliki fungsi sosial, ekonomi dan budaya yang lebih mengetahui teknis dan mekanisme pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil secara berkelanjutan sebagai warisan dari nenek moyang masyarakat lokal. Retraubun
190
(2007) menyebutkan bahwa kelembagaan masyarakat pulau-pulau kecil bertitik berat pada tiga aspek meliputi: (1) batas yuridiksi, yaitu batas kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu lembaga dalam mengatur sumberdaya pulau-pulau kecil yang relatif lebih sukar dibandingkan dengan sumberdaya yang ada di daratan, dikarenakan
sulitnya untuk melakukan pembatasan wilayah
perairan tempat masyarakat beraktivitas; (2) hak kepemilikan, yaitu konsep yang mengandung makna sosial mencakup hak (rights) dan kewajiban (obligations) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya; dan (3) aturan representasi (rules of representation) yang mengatur permasalahan siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap kinerja (performance) akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. DKP (2007), menyatakan bahwa berbagai inisiatif pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilihat dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan kepentingan pembangunan ekonomi serta geopolitik nasional secara lebih luas yang memenuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip-prinsip pengelolaan
pulau-pulau
kecil
yang
harus
dilakukan
oleh
Pemerintah,
Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan dunia usaha/swasta, yaitu eksistensi pulau kecil harus dipertahankan sesuai dengan karakteristik dan fungsi yang dimilikinya, efisien dan optimal secara ekonomi (economically sound), berkeadilan dan dapat diterima secara sosial-budaya (socio-culturally just and accepted), dan secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan (environmentally friendly). Strategi 5: Wisata bahari sebagai mata pencaharian alternatif masyarakat pulau-pulau kecil Gugusan pulau-pulau Kecil di Kawasan Kapoposan terdiri dari enam pulau kecil, yang tiga diantaranya merupakan pulau kecil berpenduduk, yaitu Pulau Kapoposan, Pulau Papandangan, dan Pulau Gondongbali.
Sedangkan tiga
pulau kecil lainnya, yaitu Pulau Pamanggangan, Pulau Tambakulu, dan Pulau Suranti merupakan pulau yang tidak berpenduduk.
Berdasarkan pembagian
zona di atas dan pengamatan di lapangan, Pulau Kapoposan memiliki pendukung yang lebih memadai dibandingkan dengan kelima pulau lainnya
191
sehingga layak dijadikan pusat (centre) dalam kegiatan wisata bahari berbasis konservasi. Pendukung dimaksud antara lain ketersediaan empat pondok wisata yang lahannya memiliki batas pagar dengan perumahan penduduk, ketersediaan air tawar yang cukup (ditemukan adanya sekitar sembilan sumur yang digunakan untuk air minum dan mencuci), penduduk yang memiliki kearifan lokal, serta memiliki jarak tempuh yang relatif tidak terlalu lama (sekitar 15-30 menit) untuk menjangkau kelima pulau lainnya. Pengembangan industri wisata bahari merupakan kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam non ekstraktif, yang dapat membuka penyerapan tenaga kerja masyarakat pulau-pulau kecil melalui mata pencaharian alternatif seperti penyediaan cidera mata, makanan, jasa angkutan, pemandu wisata, bagi para wisatawan. Depbudpar (2009), menyatakan bahwa wisata bahari memiliki dua tolok ukur yaitu peningkatan mass traveler (jumlah wisatawan) dan yield spending (pengeluaran melakukan perjalanan). Untuk mencapai peningkatan jumlah mass traveler dan yield spending, maka wisata bahari di pulau-pulau kecil memiliki karakter jenis produk, market spesifik dan nilai jual tinggi sehingga diprioritaskan bagi pencapain yield spending yang tinggi, daripada jumlah mass traveler. Kondisi dimaksud menjadi relevan bagi pertumbuhan ekonomi kawasan dan penyerapan tenaga kerja, karena semakin lama waktu yang digunakan para wisatawan, akan semakin banyak pula kebutuhan jasa yang diperlukan seperti jasa penyewaan perahu, jasa penyewaan alat selam, penyediaan makanan, pemandu wisata, yang keseluruhannya itu merupakan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan. DKP (2004), menyatakan bahwa dalam mendukung upaya pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil melalui kegiatan wisata bahari, pembentukan kelompok-kelompok usaha sejenis yang menjadi mata pencaharian alternatif masyarakat lokal menjadi penting, karena akan mempermudah dalam melakukan pengarahan, pembinaan dan pelatihan yang akan diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat lokal. Kelompok-kelompok tersebut dapat dibagi berdasarkan jenis usaha yang dijalankan misalnya pedagang kecil (makanan-minuman, kios/toko cindera mata), pedagang/pengrajin souvenir, pemilik rumah makan/hotel/resort, pemandu wisata/guide lokal, perusahaan transportasi, dive centre, dan sebagainya, yang dapat dikoordinasikan di bawah suatu lembaga/badan usaha berupa koperasi bahari dengan anggota-anggota yang sekaligus pemilik saham/modal, yang dikelola secara profesional dengan
192
manajemen modern. Ruang lingkup usaha pengembangan mata pencaharian alternatif yang dikelola koperasi bahari tersebut dapat meliputi: (1) penyediaan peralatan dan bahan-bahan yang dibutuhkan oleh hotel dan restoran; (2) pengelolaan dive centre (penyewaan peralatan selam); (3) distributor makananminuman untuk pedagang kecil; dan (4) penyediaan media informasi dan promosi pariwisata. Mempertimbangkan peran ekonomi, sosial budaya dan ekologi, maka pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan dengan strategi pengembangan wisata bahari berbasis konservasi diyakini merupakan kegiatan yang memberikan efek ganda dalam pelestarian sumberdaya, yang berjalan seiring dengan pemberdayaan masyarakat lokal yang pada akhirnya secara sadar dan sukarela melakukan berbagai upaya pelestarian lingkungan setempat dalam mendukung usaha wisata bahari itu sendiri. Strategi 6: Kebijakan pimpinan nasional dan daerah berbasis negara kepulauan Pimpinan nasional maupun daerah yang memiliki kebijakan atau good political will berbasis negara kepulauan sesuai kondisi obyektif yang ada, merupakan kebijakan pendorong utama pembangunan di pulau-pulau kecil baik secara umum, maupun secara khusus dalam pengembangan wisata bahari di Kawasan Kapoposan. Mengingat pengelolaan wisata bahari di Kawasan Kapoposan tidak dapat terlepas dari berbagai minat dan kepentingan para pemanfaat sumberdaya alam, maka pengelolaannya selayaknya dilakukan dengan
pendekatan
menyebutkan
bahwa
pembangunan pengelolaan
secara secara
terpadu. terpadu
Retraubun adalah
(2002),
pengelolaan
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan dengan cara melakukan penilaian menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, kemudian merencanakan kegiatan pembangunan, yang meliputi: 1) Keterpaduan wilayah/ekologis.
Secara keruangan dan ekologis kawasan
pulau-pulau kecil memiliki keterkaitan dengan kawasan pesisir dan laut yang lebih besar serta kawasan pulau-pulau di sekitarnya, sehingga pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua kawasan tersebut. Berbagai dampak kerusakan lingkungan yang mengganggu keseimbangan dan keberadaan sumberdaya kawasan pulau-pulau kecil sebagian besar akibat dari dampak yang
193
ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan laut serta pulau-pulau besar sekitarnya, seperti industri, pemukiman dan sebagainya disamping adanya kegiatan yang dilakukan di laut lepas itu sendiri, seperti kegiatan perhubungan laut. Oleh karena itu, pengelolaan kawasan pulaupulau kecil harus diintegrasikan dengan wilayah pesisir dan laut yang lebih luas dan pulau-pulau besar sekitarnya, menjadi satu kesatuan dan keterpaduan pengelolaan. Pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil yang baik akan hancur dalam sekejap, jika tidak diimbangi dengan perencanaan pembangunan di kedua wilayah tersebut dengan baik pula. Keterkaitan antar ekosistem yang ada harus selalu diperhatikan. 2) Keterpaduan sektoral. Sebagai konsekuensi dari beragamnya pelaku pembangunan di kawasan pulau-pulau kecil adalah banyaknya instansi atau sektor-sektor pelaku pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya di kawasan itu.
Akibatnya, sering kali terjadi tumpang tindih
pemanfaatan sumberdaya yang ada antar satu sektor dengan sektor lainnya. Agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pulau-pulau kecil dapat dilakukan secara optimal dan berkesinambungan, maka dalam perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektor. Kegiatan suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan sektor lain. Keterpaduan sektoral ini, meliputi keterpaduan secara horisontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu sektor). Oleh karena itu, penyusunan tata ruang dan panduan pembangunan dan pengelolaan di kawasan pulau-pulau kecil sangat perlu dilakukan untuk menghindari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya. 3) Keterpaduan disiplin limu. Sumberdaya di kawasan pulau-pulau kecil memiliki sifat dan karakteristik yang unik, baik sifat dan karakteristik ekosistemnya maupun sifat dan karakteristik sosial budaya masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dengan sistem dinamika sumberdaya di pulau-pulau kecil yang khas, pembangunan dan pengelolaan kawasan pulau-pulau kecil menuntut keahlian yang perlu dimiliki para perencana dan pengelola dengan melibatkan pihak perguruan tinggi, seperti ilmu pertanian, antropologi, analisis kebijakan, ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan sosiologi. 4) Keterpaduan stakeholders. Segenap keterpaduan di atas, akan berhasil diterapkan apabila ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku pemanfaatan dan
194
pengelola kawasan pulau-pulau kecil. Seperti diketahui bahwa pelaku pemanfaataan dan pengelola sumberdaya hayati di kawasan pulau-pulau kecil antara lain terdiri dari pemerintah (Pusat dan Daerah), masyarakat dan tokoh masyarakat pulau-pulau kecil, dunia usaha/swasta/investor, dan juga lembaga
swadaya
masyarakat
(LSM)
yang
masing-masing
memiliki
kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Kebijakan pemimpin nasional dan daerah yang berbasis kelautan diharapkan mampu mengakomodir segenap kepentingan pelaku pembangunan yang ada, khususnya dalam kebijakan ekonomi pemanfaatan sumberdaya yang mendukung masuknya investasi di pulau-pulau kecil. Kusumastanto (2003) menyatakan,
bahwa
kebijakan
ekonomi
sumberdaya
dalam
investasi
pengembangan pulau-pulau kecil seharusnya didasarkan pada nilai net incremental benefit yang positif, sehingga pemanfaatan kawasan pulau-pulau kecil dapat memberikan dua keuntungan secara simultan, yaitu dari sisi pembangunan lingkungan (konservasi) dan ekonomi, yang diharapkan dapat berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah yang secara langsung maupun tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Berbagai kegiatan pembangunan di pulau-pulau kecil akan berfungsi sebagai sabuk ekonomi (economic belt) dan sabuk pengaman (security belt) terhadap ancaman keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, para pimpinan nasional dan daerah selayaknya memandang pulau-pulau kecil sebagai milik rakyat yang harus dikelola secara comanagement
(kemitraan
masyarakat
dan
pemerintah)
dalam
praktek
pengelolaan industri wisata bahari, yang meliputi kombinasi bottom up dan top down approaches, desentralisasi pengelolaan aspek-aspek tertentu, dan menghidupkan kembali pengelolaan berbasis masyarakat (community-based management), sehingga kebijakan yang dikeluarkan bagi pengembangan potensi ekonomi pulau-pulau kecil diarahkan pada pengembangan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dimiliki oleh pulau kecil tersebut. Peran Departemen Kelautan dan Perikanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep sebagai instansi teknis yang bertanggungjawab atas pengelolaan pulau-pulau kecil harus terus diupayakan secara optimal, seiring dengan kebijakan atas proporsi anggaran pembangunan yang berimbang bagi sektor kelautan.
195
6.5
Pola Exclusive Tourism
Pulau-pulau kecil tanpa kehadiran atau campur tangan manusia, akan tetap menjadi kawasan yang perawan (virgin) di mana komponen-komponen ekosistem di dalamnya saling berinteraksi secara alamiah (by nature). Namun seiring kehadiran atau campur tangan manusia di kawasan ini, maka di saat yang sama lahirlah istilah yang disebut pengelolaan, dimana pengelolaan dimaksud sangat tergantung kepada ciri khas spesifik yang dimiliki oleh masing-masing pulau-pulau kecil tersebut yang mungkin saja berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lainnya. Ciri khas spesifik yang dimiliki pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan diantaranya adalah: (1) keenam pulau kecil yang ada, tiga diantaranya berpenduduk dan tiga lainnya tidak berpenduduk, namun berada dalam suatu gugusan pulau kecil yang berinterkasi satu sama lain; (2) Kawasan Kapoposan termasuk dalam zona inti dan zona perikanan berkelanjutan, yang arah pengembangannya adalah kegiatan wisata bahari berbasis konservasi; dan (3) secara sosial budaya, masyarakat Kawasan Kapoposan memiliki kearifan lokal sebagai aturan tidak tertulis dalam pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil yang ramah lingkungan. Kawasan Kapoposan dalam penelitian ini diasumsikan sebagai suatu sistem yang terbuka, yang terdiri dari bagian-bagian peranan yang saling berkaitan (saling memiliki keterhubungan), berfungsi bersama-sama, dan bergantung kepada lingkungannya untuk mencapai tujuan bersama yang bersifat keseluruhan. Kegiatan wisata bahari berbasis konservasi di gugusan pulau-pulau kecil Kawasan Kapoposan sebagai hasil analisis AHP, serta strategi pengelolaan kawasan sebagai hasil analisis SWOT, dalam implementasi pengelolaannya sangat bergantung kepada siapa yang melakukan (subyek), dengan cara apa dilakukan (metoda), dan apa yang menjadi target (obyek). Berdasarkan kondisi dimaksud, untuk mendapatkan pola pengelolaan wisata bahari di Kawasan Kapoposan yang berkelanjutan dilakukan melalui pendekatan sistem (systems approacch) pola SMO (Subyek-Metoda-Obyek). Tunas (2007), menyatakan bahwa pendekatan sistem (systems approacch) pola SMO adalah suatu upaya pemecahan masalah yang didasarkan pertimbangan bahwa masalah yang dihadapi tersebut diasumsikan sebagai suatu sistem terbuka, sehingga dengan memahami struktur, proses, umpan balik dan karakteristik dari sistem yang
196
dihadapi akan dapat dipecahkan secara lebih sistematis, sistemik, efisien dan efektif. Pendekatan sistem (systems approacch) pola SMO (Subyek-MetodaObyek) dalam penelitian ini sesuai Gambar 14 meliputi: (1) input, yaitu potensi sumberdaya eksisting dari Pulau Kapoposan, Papandangan, Gondongbali, Pamanggangan, Suranti, dan Tambakulu di Kawasan Kapoposan, beserta kendala yang ditemukan; (2) output, yaitu pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang berkelanjutan; (3) proses yang terdiri dari subyek (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dunia usaha dan institusi non birokrasi), metode (enam strategi pengelolaan), serta obyek (sumberdaya kelautan, perikanan, dan jasa-jasa kelautan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan); (4) instrumental input, yaitu beberapa kebijakan dan peraturan terkait yang harus diperhatikan dalam menggunkan metode; dan (5) environmental input, yaitu faktor luar (baik positif maupun negatif) yang dapat mempengaruhi sistem. Sumberdaya pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan sebagai input, meskipun memiliki potensi untuk dimanfaatkan dan dikembangkan melalui pengembangan wisata bahari berbasis konservasi, namun bukan berarti tanpa kendala
dalam
pelaksanaanya,
karena
berdasarkan
pengamatan
dan
wawancara di sisi lain terdapat beberapa masalah peninggalan masa lalu yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Kerusakan lingkungan perairan, khususnya ekosistem terumbu karang terutama di kawasan tiga pulau yang kosong (Pulau Pamanggangan, Tambakulu dan Suranti), minimnya ketersediaan sarana dan prasarana, serta minimnya kualitas sumberdaya manusia kawasan akibat sulitnya mendapatkan akses informasi serta ilmu dan teknologi, pada akhirnya berakibat belum optimalnya pemanfaatan jasa-jasa lingkungan yang ada. Retraubun (2005), menyatakan bahwa kendala pengembangan pulau-pulau kecil antara lain adalah: (1) ukuran yang kecil dan terisolasi menyebabkan sangat mahalnya sarana dan prasarana; (2) minimnya sumberdaya manusia yang handal
dalam
ketidakmampuan
ilmu
pengetahuan
untuk
mencapai
dan
teknologi;
skala
ekonomi
(3) yang
kesulitan
atau
optimal
dan
menguntungkan (dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi); (4) ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang ada pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau-pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia dan kegiatan pengembangannya; (5) keterkaitan aktivitas satu sama lain secara erat, karena usaha pertanian, perkebunan atau
197
kehutanan di lahan darat yang melupakan prinsip-prinsip ekologis, dapat mengakibatkan
kematian/kerusakan
pada
industri perikanan
pantai
dan
pariwisata bahari di pulau-pulau kecil; dan (6) budaya lokal yang kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan (terutama pariwisata), karena budaya wisatawan (asing) yang tidak sesuai dengan adat atau agama setempat. Strategi pengembangan wisata bahari berbasis konservasi di pulau-pulau kecil Kawasan Kapoposan adalah kegiatan yang sangat mengandalkan potensi jasa-jasa kelautan berupa keindahan dan kelestarian ekosistem khas pulaupulau kecil, khususnya ekosistem terumbu karang (coral reefs). Asriningrum (2009), menyatakan bahwa kehidupan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi: (1) faktor endogenik berupa gempa bumi, letusan gunung berapi, dan aktivitas tektonik; (2) faktor eksogenik meliputi kejernihan air, suhu, salinitas, cahaya matahari, arus dan gelombang, sedimentasi, dan erosi; dan
(3) faktor
antropogenik
meliputi
pengerukan
pasir
di
pelabuhan,
penggundulan hutan, reklamasi pantai, pengambilan batu koral, penangkapan ikan dengan
menggunakan sianida dan bahan peledak, aktivitas pelayaran,
pencemaran, dan polusi. Upaya perbaikan dan pelestarian ekosistem terumbu karang selayaknya menjadi perhatian utama Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep dalam menetapkan dan mengimplementasikan SK Bupati No. 180/2009 yang menetapkan Kawasan Kapoposan sebagai kawasan konservasi, demi menjaga kelangsungan dan eksistensi kegiatan wisata bahari itu sendiri. Yusuf (2008) menyatakan,
mengingat
pentingnya
kelestarian
terumbu
karang
bagi
kelangsungan hidup organisme yang berasosiasi langsung atau tidak langsung dalam
menyokong
kehidupan
manusia,
maka
upaya
daerah
dengan
memasukkan suatu kawasan perairan pulau-pulau kecil menjadi Kawasan Konservasi Laut Daerah merupakan tindakan yang sangat mendukung bagi upaya konservasi terumbu karang serta jenis ikan dan biota yang berasosiasi di dalamnya untuk menengahi persoalan kerusakan ekosistem terumbu karang dan kebutuhan hidup masyarakat pulau kecil dalam kawasan menjadi lebih baik. Pengembangan
wisata
bahari
di
Kawasan
Kapoposan
karena
membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit, membutuhkan kehadiran dunia usaha/korporat/investor/swasta.
Strategi
adanya
kepastian
hukum,
serta
mekanisme perizinan yang transparan, tidak berbelit-belit, efisisen dan efektif sebagai bentuk pelayanan publik yang prima dari pemerintah daerah Kabupaten
198
Pangkep (sebagai pemegang izin prinsip) kepada dunia usaha, merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi kehadiran dunia usaha untuk menanamkan investasinya. Syahriani dan Syakrani (2009) menyatakan, bahwa berkaitan dengan hal investasi, maka Pemerintah Daerah ditantang untuk meningkatkan kualitas tata kelola kepemerintahan yang sehat (good governance) dan praktikpraktik birokrasi yang unggul (excelent practices) dalam pelayanan publik kepada masyarakat dan dunia usaha, baik dalam konteks domestik, maupun konteks global melalui daya saing bangsa. Strategi penyediaan infrastruktur dasar oleh pemerintah, khususnya yang mempermudah aksesibilitas menjangkau lokasi Kawasan Kapoposan adalah daya tarik lain yang menjadi pertimbangan pihak dunia usaha untuk berinvestasi. Penyediaan sarana transportasi laut yang sifatnya reguler, ketersediaan sarana tambat kapal/jetty, jalan poros desa, penerangan, serta ketersediaan air bersih adalah bagian dari daya tarik investasi bagi suatu kawasan yang relatif remote seperti halnya pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan. DKP (2004), menyatakan bahwa infrastruktur dasar pendukung berkembangnya wisata bahari di pulau-pulau kecil adalah semua kegiatan pengadaan dan pembangunan fisik yang terkait dengan dukungan terhadap kegiatan wisata bahari antara lain transportasi (darat, laut dan udara), komunikasi, dermaga, air strip, akomodasi (hotel, resort, home stay), energi, peralatan olah raga laut, air bersih, fasilitas kesehatan, tempat ibadah, serta pendukung lainnya seperti souvenir centre dan dive centre. Kegiatan wisata bahari sebagai mata pencaharian alternatif masyarakat pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan merupakan strategi yang dapat mengoptimalkan efek ganda (multiplier effect) dari keberadaan wisata bahari bagi masyarakat kawasan. Pitana dan Gayatri (2005), menyatakan bahwa wisata bahari termasuk kategori clean industry karena memiliki kecenderungan: (1) tidak merusak lingkungan, (2) memiliki manfaat rekreatif dan edukatif bagi para wisatawan, (3) melibatkan secara aktif masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan, (4) mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang relatif cepat dalam penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan standar hidup, serta (5) tidak mengambil alih kegiatan industri lainnya, namun justru cenderung untuk memberi peluang, mendorong, melengkapi, dan mempercepat tumbuh kembangnya usaha-usaha yang terkait dalam kegiatan wisata bahari itu sendiri.
199
Tidak kalah pentingnya, kegiatan wisata bahari dapat memberikan perhatian terhadap peningkatan peran serta dan pemberdayaan perempuan di pulau-pulau kecil, dengan memberikan berbagai macam pelatihan dan keterampilan sehingga dapat terlibat aktif dalam aktivitas wisata bahari dalam turut serta mendukung perekonomian keluarga. Oedjoe (2009) menyatakan bahwa pendidikan keluarga berwawasan gender seperti keterampilan teknik pengolahan
ikan menjadi ragam olahan sebagai diversifikasi produk dan
pembuatan barang kerajinan (souvenir) yang dijual kepada wisatawan dapat membuka wawasan (mind set) kaum ibu untuk bahu-membahu meningkatkan pendapatan rumah tangga. Kebijakan pimpinan nasional dan daerah berbasis negara kepulauan mungkin merupakan strategi yang memang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Namun berdasarkan wawancara baik dengan key person maupun dalam wawancara kelompok terfokus, strategi ini tetap perlu mendapat perhatian karena terwujudnya pembangunan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan melalui pengembangan wisata bahari berbasis konservasi, sangat dipengaruhi oleh pimpinan nasional maupun pimpinan daerah yang secara sadar dan sukarela menetapkan kebijakan-kebijakan berbasis negara kepulauan yang sama dan seleras untuk menggeser paradigma pembangunan berorientasi daratan yang terjadi selama ini. DKP (2004), menyatakan bahwa dalam mempersiapkan suatu kawasan pulau-pulau kecil menjadi target pengembangan kegiatan wisata bahari, dibutuhkan kerjasama antara pimpinan di tingkat pusat dan di tingkat daerah daerah dalam memperhatikan keamanan dan keselamatan (safety and security), meningkatkan kesejahteraan (welfare) masyarakat sebagai warga negara untuk hidup layak, pemerataan pembangunan demi terciptanya keadilan dalam peluang untuk mendapatkan akses yang sama bagi pemenuhan kebutuhan dasar (basic need), serta kerjasama regional (regional cooperation). Beberapa kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan metode (enam strategi pengelolaan) dalam upaya mencapai output yang diharapkan yaitu pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang berkelanjutan diantaranya adalah: (1) terbatasnya anggaran dana pemerintah untuk melakukan rehabilitasi ekosistem serta membangun infrastruktur dasar yang mendukung pengembangan wisata bahari di Kawasan Kapoposan; (2) lemahnya kepastian dan penegakan hukum yang melindungi para investor; (3) perizinan investasi yang tidak transparan, berbelit-belit, tidak efisien, dan biaya tinggi; (4) rendahnya
200
mutu pelayanan publik kepada dunia usaha; (5) minimnya pengakuan pemerintah terhadap kelembagaan masyarakat lokal; (6) berlanjutnya paradigma pembangunan berbasis daratan baik di tingkat pusat maupun daerah. Instrumental
input
berupa
kebijakan
dan
peraturan
terkait
dalam
mendukung pengembangan kegiatan wisata bahari berbasis konservasi di gugusan pulau-pulau kecil Kawasan Kapoposan telah tersedia. Kebijakan dan peraturan terkait dimaksud antara lain adalah: (1) UU No. 31/2004 tentang Perikanan, (2) UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, (3) UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, (4) UU No. 25/2007
tentang
Penanaman
Modal,
(5)
UU
No.
10/2009
tentang
Kepariwisataan, (6) Peraturan Pemerintah No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, (7) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER. 20/MEN/2008 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya, (8) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP. 39/MEN/2004 tentang Pedoman Umum Investasi di Pulau-pulau Kecil, (9) Keputusan
Menteri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
Nomor
KM.67/UM.001/MKP/2004 tentang Pedoman Umum Pengembangan Pariwisata di Pulau-pulau Kecil, (10) Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Nomor SK.72/KP3K/XII/2004 tentang Pedoman Pembentukan Daerah Perlindungan Laut Berbasis Masyarakat, (11) Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Nomor SK.76/KP3K/XII/2004 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Laut, dan (12) Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Nomor SK.77/KP3K/XII/2004 tentang Petunjuk Teknis Pengembangan Ekowisata di Kawasan Pulau-pulau Kecil. Pembangunan pulau-pulau kecil dapat berhasil jika dilakukan melalui pendekatan wilayah. Namun masih tumpang tindihnya pelaksana atau eksekutor di lapangan serta belum terpadunya para stakeholders terkait baik di tingkat pusat maupun daerah, mengakibatkan berbagai perturan dan kebijakan terkait pembangunan pulau-pulau kecil mengalami kesulitan dalam implementasinya di lapangan. Nurani (2008), menyatakan bahwa dalam pendekatan pembangunan kewilayahan perencanaan didasarkan pada kondisi, potensi dan kebutuhan kewilayahan secara keseluruhan dan memerlukan koordinasi lintas sektoral, sehingga pembangunan akan berjalan terpadu, efisien dan berkelanjutan.
201
Partisipasi aktif masyarakat diperlukan melalui keterlibatannya dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pemanfaatan hasil pembangunan. Retraubun (2001), menyatakan bahwa kurangnya koordinasi antara pelaku pengelolaan (baik di pusat maupun daerah), akan mengakibatkan munculnya sifat keegoan setiap pelaku pengelolaan dan terjadinya potensi benturan kepentingan antara pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil dengan kegiatan konservasi lingkungan, atau antara pemanfaatan sumberdaya secara optimal dan
lestari
dengan
pemanfaatan
sumberdaya
secara
maksimal
untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Environmental input merupakan lingkungan luar (eksternal) baik yang positif maupun negatif, yang mempengaruhi para pemangku kepentingan (subyek) dalam mengimplementasikan enam strategi pengelolaan (metoda) untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya Kawasan Kapoposan secara optimal (obyek) dalam memperoleh output yang diharapakan, yaitu pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang berkelanjutan. Environmental input dimaksud meliputi: politik, sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta globalisasi. Pengembangan kegiatan wisata bahari di Kawasan Kapoposan selayaknya didorong oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep dalam menciptakan suatu suasana politik yang stabil, demi keamanan dan kenyamanan para investor. Basuki (2003), menyatakan bahwa untuk mendukung iklim investasi dibutuhkan suatu dorongan yang besar (big push) dari daerah setempat untuk menciptakan iklim politik yang pro terhadap investasi, yang sejalan dengan penegakan hukum demi memberikan jaminan keamanan bagi para investor di kawasan pulau-pulau kecil. Kegiatan wisata bahari tidak dapat terlepas dari adanya interaksi dengan orang asing (khususnya wisatawan mancanegara), yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Adalah tugas
Pemerintah Daerah dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat dalam memberikan sosialisasi yang terus menerus dalam meminimalisasi timbulnya konflik sosial budaya yang mungkin bertentangan dengan kondisi sosial budaya lokal, ataupun konflik akibat terbatasnya atau tidak adanya akses bagi masyarakat pulau-pulau kecil yang telah dikelola oleh investor. Letak pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang relatif terisolir, menyebabkan masyarakat
lokal sulit untuk mengakses informasi serta
mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tepat guna. Oleh karena itu,
202
penelitian dan penerapan teknologi tepat guna dalam memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan sebagai keunggulan komparatif yang kompetitif harus diarahkan bagi peningkatan kualitas sumberdaya manusia Kawasan Kapoposan. Dahuri (2002) menyatakan bahwa dalam era globalisasi potensi keunggulan komparatif Indonesia yang dimiliki oleh sumberdaya kelautan dan pulau-pulau kecil harus dapat diwujudkan menjadi keunggulan kompetitif demi menciptakan nilai tambah (value added) sehingga dapat bersaing di masa depan. Mempertimbangkan enam strategi pengelolaan dan kondisi eksisting keenam pulau-pulau kecil dengan segala karakteristik dan daya dukung yang ada, maka pola pengelolaan wisata bahari di Kawasan Kapoposan selayaknya tidak diarahkan ke pola mass tourism (wisata masal/umum), namun lebih diarahkan ke pola exclusive tourism (wisata spesifik). Pola exclusive tourism lebih ditekankan melalui pendekatan konsep yield spending, sehingga meskipun jumlah wisatawan yang menjadi target lebih sedikit, namun jumlah hari menetap para wisatawan dapat lebih lama, sehingga pengeluaran yang dikeluarkan oleh para wisatawan menjadi dapat lebih besar. Pola exclusive tourism merupakan wisata yang diminati secara khusus oleh wisatawan tertentu yang memiliki kecenderungan memiliki pemahaman kesadaran akan arti kelestarian lingkungan yang tinggi. DKP (2007) menyatakan bahwa tolok ukur keberhasilan suatu bisnis pariwisata diukur berdasarkan mass traveller (jumlah wistawan) dan yield spending
(besarnya nilai pengeluaran wisatawan dalam satu kali wisatawan
tersebut melakukan perjalanan). Untuk market spesifik yang mempunyai nilai jual tinggi, akan lebih menguntungkan apabila yield spending yang dijadikan sebagai target daripada menitik beratkan kepada banyaknya wisatawan (mass traveller). Pola exclusive tourism di Kawasan Kapoposan seperti pada cakram hubungan interdepedensi pengelolaan atau CHIP (Gambar 17), menunjukkan bahwa kondisi eksisting gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan (output) memiliki potensi sumberdaya kelautan dan jasa-jasa lingkungan (obyek) yang dapat dimanfaatkan dan dikelola bagi kesejahteraan masyarakat lokal kawasan (obyek) dan daerah (dalam hal ini Kabupaten Pangkep). Namun pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kawasan dimaksud, harus dilakukan dengan alternatif pengelolaan yang paling sesuai dengan kondisi kawasan, yaitu pengembangan wisata bahari di pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.
203
Pengembangan wisata bahari yang berkelanjutan dapat dicapai dengan menjalankan enam strategi pengelolaan (metoda) yang meliputi pengembangan wisata bahari berbasis konservasi, kepastian hukum, mekanisme perizinan investasi dan pelayanan publik, penyediaan infrastruktur dasar oleh pemerintah daerah dan pusat, wisata bahari sebagai mata pencaharian alternatif masyarakat pulau-pulau kecil, peningkatan kapasitas kelembagaan lokal dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya, dan kebijakan pimpinan nasional dan daerah berbasis negara kepulauan. Keenam strategi dimaksud membutuhkan adanya big push dan keterpaduan dari para pemangku kepentingan (subyek) yang terlibat langsung dalam pengembangan wisata bahari di pulau-pulau kecil, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dunia usaha/investor, serta institusi non birokrasi (dalam hal ini adalah lembaga penelitian/perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat/LSM, dan tokoh masyarakat atau tokoh agama di Kawasan Kapoposan). Keterpaduan serta good political will dari para pemangku kepentingan ini dapat mempengaruhi dikeluarkannya kebijakan-kebijakan (instrumental input) yang pro pembangunan kelautan dan pulau-pulau kecil, serta kebijakan pro investasi yang akan meningkatkan daya saing di era globalisasi (environmental input) untuk dapat menarik para calon investor yang spesifik, yaitu para investor (baik dari dalam maupun luar negeri) yang tidak hanya mengejar profit semata, namun juga memiliki kepedulian terhadap alam dan lingkungan, sehingga pengembangan wisata bahari yang berkelanjutan di gugusan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan dengan pola pengelolaan wisata bahari exclusive tourism atau wisata spesifik (out put) dapat tercapai. Pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang berkelanjutan melalui pola exlusive tourism (wisata spesifik) merupakan suatu sistem yang terbuka, yang terdiri dari bagian-bagian peranan yang saling berkaitan (saling memiliki keterhubungan), berfungsi bersama-sama, dan interindependen yang bergantung kepada lingkungannya untuk mencapai tujuan bersama yang bersifat keseluruhan. Peranan dan keterhubungan dalam suatu sistem tetap tidak dapat berjalan dengan baik, karena sangat bergantung kepada pelaksananya, yaitu faktor manusia sebagai subyek (baik sebagai individu maupun sebagai institusi berikut segala kompleksitasnya) sebagai pengambil keputusan. Tunas (2007) menyebutkan bahwa sifat manusia modern berpusat kepada individu sebagai makhluk yang matang dan sangat kompleks yang masing-masing berbeda satu
204
sama lain, dengan karakteristik: (1) manusia tidak hanya kompleks tetapi juga mudah berubah; (2) manusia mempunyai berbagai macam motif dalam berbagai interaksi kehidupannya; dan (3) manusia
akan merespon secara berbeda
terhadap situasi yang berbeda, tergantung kepada motif, kemampuan, dan tugasnya. Mengingat pentingnya peran para pemangku kepentingan/aktor/subyek dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang berkelanjutan, maka dibutuhkan suatu pendekatan yang dapat menunjukkan adanya peranan dan keterhubungan dari para pemangku kepentingan/aktor/subyek yang saling mempengaruhi
satu
sama
lain,
serta
keterpaduan
pengelolaan
dalam
pengambilan keputusan, strategi pengelolaan serta langkah-langkah yang konkrit sehingga dapat menghindari kesalahan arahan kebijakan yang kurang tepat (misleading) dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan yang tidak
sesuai
dengan
kaidah
pembangunan
berkelanjutan
(suistanable
development). Baskoro et al., (2008) menyatakan bahwa penerapan konsep pembangunan berkelanjutan (suistanable development) dalam pengelolaan berkelanjutan sumberdaya perikanan dan kelautan, secara teknis dapat didefinisikan bahwa pembangunan kelautan berkelanjutan (sustainable marine development) adalah suatu upaya pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalam kawasan pesisir dan lautan (termasuk pulaupulau kecil) untuk kesejahteraan manusia, sehingga laju (tingkat) pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melebihi daya dukung (carrying capacity) yang mampu disediakan oleh kawasan pesisir dan laut tersebut. Pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan pada hakekatnya, merupakan proses politik yang mempunyai pengertian, bahwa kebijakan tersebut tersusun dan terimplementasikan melalui proses negosisasi antar berbagai stakeholders (pelaku pengelolaan), sehingga keberhasilan segenap kaidah pembangunan berkelanjutan sangat tergantung pada kemauan dan komitmen segenap stakeholders tersebut untuk melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing, namun dalam bingkai keterpaduan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Bengen dan Retraubun (2006), menyebutkan bahwa prinsip pembangunan terpadu di kawasan pulau-pulau kecil adalah dengan menggabungkan antara kepentingan kualitas lingkungan alam yang baik dengan kualitas pembangunan sosial budaya dan ekonomi, yang mengutamakan peningkatan keterpaduan berbasis eko-sosio sistem ke dalam pembangunan
205
kawasan pulau-pulau kecil itu sendiri dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan dengan cara melakukan penilaian menyeluruh, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, kemudian merencanakan kegiatan
pembangunan
yang
meliputi
keterpaduan
wilayah/ekologis,
keterpaduan sektor, keterpaduan disiplin limu dan keterpaduan stakeholders Pengelolaan pulau-pulau kecil di Kawasan Kapoposan melalui wisata bahari berbais konservasi dengan pola exclusive tourism selayaknya ditekankan pada pemberdayaan masyarakat kawasan dengan sasaran terwujudnya pertumbuhan ekonomi kawasan yang berbasis pada kegiatan ekonomi di pulaupulau kecil Kawasan Kapoposan sebagai wujud peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. Numberi (2007), menyatakan bahwa sasaran pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil antara lain adalah: (1) tersedianya dan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan; (2) tersedianya prasarana dan sarana produksi secara lokal yang memungkinkan masyarakat dapat memperolehnya dengan harga murah namun berkualitas baik; (3) meningkatnya peran kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif (collective action) untuk mencapai tujuan-tujuan individu; (4) terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal (resourcebased),
memiliki
pasar
yang
jelas
(market-based),
dilakukan
secara
berkelanjutan dengan memperhatikan kapasitas sumberdaya (environmentalbased), dan dilaksanakan serta berdampak bagi masyarakat lokal (local societybased); (5) penggunaan teknologi maju tepat guna yang berasal dari proses pengkajian
dan
penelitian
(scientific-based);
(6)
terciptanya
hubungan
transportasi dan komunikasi; dan (7) terwujudnya struktur ekonomi indonesia yang berbasis pada kegiatan ekonomi di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil dan laut sebagai wujud pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya kelautan.
alam