3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2012 dan bertempat di beberapa laboratorium. Analisis kekuatan gel, derajat putih, protein larut garam dan Water Holding Capacity bertempat di Laboratorium Teknologi Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, analisis proksimat bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, analisis derajat keasaman (pH) bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, pembuatan gel dan bakso bertempat di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan serta uji organoleptik bertempat di Laboratorium Organoleptik Teknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan untuk membuat bakso meliputi ikan layaran (Istiophorus sp.) yang diperoleh dari TPI Pelabuhan ratu Sukabumi. Ikan dibawa menggunakan cool box yang diberi es dengan perbandingan es 2 : 1. Bahan lain yang digunakan adalah tepung tapioka, bawang merah goreng, bawang putih, garam, merica, minyak goreng, air dan es batu serta bahan-bahan yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia antara lain akuades, HCl 0,2 N, H2SO4, NaOH 40%, H3BO3 dan sebagainya. Alat yang digunakan dalam pembuatan surimi, gel dan bakso ikan antara lain pisau, talenan, baskom plastik, sendok, karet, tabung stainless, timbangan digital, meat grinder, food processor, alat pengepres surimi, kain belacu, panci perebusan dan kompor. Alat yang digunakan untuk analisis fisik dan kimia antara lain oven, desikator, kompor, tanur, tabung Kjeldahl, erlenmeyer, soxhlet, kondensor, labu lemak, waring blender, gelas kimia, termometer, pH meter dan kertas saring, Chromameter, carverpress dan Texture analyzer (TA-XT21).
18
3.3 Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu penentuan kesegaran ikan layaran dengan uji organoleptik, preparasi ikan, pembuatan surimi dengan proses pencucian dua kali, pembuatan gel ikan, pembuatan bakso serta analisis karakteristik fisik kimia gel dan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.). 3.3.1 Uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.) Penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel ikan layaran dari TPI Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. Ikan layaran ditransportasikan menuju bogor dengan menggunakan bus, ikan disimpan dalam cool box dan steyrofoam yang diberikan tambahan es untuk tetap menjaga kesegaran ikan. Setelah sampai di laboratorium, ikan disimpan dalam freezer, kemudian ikan diuji organoleptik untuk mengetahui kesegaran ikan oleh 30 panelis semi terlatih. Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 3.
Pembelian ikan layaran di TPI
Penyimpanan ikan layaran dalam cool box yang diberi es (2:1) Pentransportasian Penyimpanan sementara dalam freezer Uji organoleptik (mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau dan tekstur) Gambar 3 Diagram alir uji organoleptik ikan layaran (Istiophorus sp.)
3.3.2 Preparasi ikan layaran (Istiophorus sp.) Ikan layaran yang telah diuji organoleptik kemudian dipreparasi. Ikan layaran dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran yang menempel, kemudian di fillet untuk memisahkan daging dengan bagian lain (kepala, isi perut,
19
sirip dan tulang), dilakukan skinless untuk memisahkan daging ikan dengan kulit serta dilakukan pemisahan antara serat daging dengan daging untuk memudahkan ketika pelumatan daging ikan dengan meat grinder. Selanjutnya dilakukan pencampuran seluruh bagian daging ikan yang sudah dilumatkan. Hal ini dilakukan agar seluruh bagian daging ikan layaran dapat tercampur dengan rata. Dilakukan uji proksimat pada daging lumat yang dihasilkan. Diagram alir preparasi ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 4.
Ikan layaran
Pencucian Pem-fillet-an Pelepasan kulit Pemisahan serat daging dengan daging Pelumatan dengan meat grinder Pencampuran seluruh daging lumat
Daging lumat
Analisis : - Rendemen - Proksimat
Gambar 4 Diagram alir penyiapan daging lumat ikan layaran (Istiophorus sp.)
3.3.3 Pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.) Daging ikan layaran yang sudah lumat ditimbang untuk mengetahui berat awal daging lumat, kemudian dicuci sebanyak dua kali dengan perbandingan air es dan daging lumat sebesar 3:1. Pada proses pencucian daging lumat dicuci dengan air es (5-8 oC) dan diaduk selama 10 menit dengan penambahan garam 0,3% (b/b) pada pencucian kedua. Setelah itu disaring menggunakan kain blacu dan diperas menggunakan alat pemeras surimi untuk menghilangkan
20
air dengan tingkat pemerasan yang sama, proses pencucian ini dilakukan sebanyak dua kali sebagai perlakuan. Daging lumat yang sudah menjadi surimi ditimbang untuk mengetahui berat akhirnya. Dilakukan pengujian kadar air surimi. Diagram alir pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 5.
Daging lumat
Penimbangan berat awal
Pencucian I (air es : ikan = 3:1) 10 menit Penyaringan Pemerasan Pencucian II (air es : daging lumat = 3:1) + garam 0,3% (b/b) 10 menit Penyaringan Pemerasan
Surimi
Analisis: - Rendemen - Kadar air
Gambar 5 Diagram alir pembuatan surimi ikan layaran (Istiophorus sp.)
3.3.4 Pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.) Surimi yang dihasilkan ditimbang dan dilakukan pencampuran dengan garam 2,5% (b/b) menggunakan food processor hingga adonan homogen dan dicetak dengan menggunakan tabung stainless. Dilakukan pemanasan dengan suhu 45-50 oC selama 20 menit dan dilanjutkan dengan suhu 80-90 oC selama 30 menit. Gel ikan yang dihasilkan dilakukan analisis untuk mengetahui
21
karakteristik fisik dan kimia yaitu terdiri dari uji sensori, uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, derajat putih, WHC, uji proksimat dan protein larut garam. Diagram alir pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.) dapat dilihat pada Gambar 6. Surimi
Penimbangan Pencampuran dengan garam 2,5% (b/b) Pengadonan hingga homogen
Pencetakan dalam tabung stainless (diameter 3,25 cm; tinggi 3 cm)
Pemanasan I suhu 45-50 OC (20 menit) dilanjutkan pemanasan II suhu 80-90 OC (30 menit)
Gel ikan
Analisis : warna, penampakan, aroma, tekstur, rasa, kekuatan gel, derajat putih, uji lipat,uji gigit, Water Holding Capacity, proksimat dan protein larut garam
Gambar 6 Diagram alir pembuatan gel ikan layaran (Istiophorus sp.)
3.3.5 Pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.) Bahan baku pembuatan bakso ikan menggunakan surimi dengan pencucian dua kali. Surimi ditimbang kemudian dimasukan ke dalam food processor dan ditambahkan garam 2,5%, tambahkan bumbu-bumbu yaitu bawang merah goreng 2,5%, bawang putih 4% dan lada 1% kemudian food processor dinyalakan kembali, tambahkan tepung tapioka 10% lalu diaduk, tahap terakhir pengadonan yaitu masukan minyak goreng 10% dan air es sedikit demi sedikit kemudian diaduk. Total pengadukan adonan yaitu selama 5 menit.
22
Adonan yang dihasilkan dicetak menyerupai bola kecil menggunakan tangan. Adonan yang telah dicetak kemudian direbus dengan 2 kali proses pemanasan, yaitu pemanasan 1 dengan suhu 45-50 oC selama ± 5 menit dan pemanasan 2 dengan suhu 80-90 oC selama ± 15 menit atau sampai bakso mengapung. Bakso hasil penelitian, bakso komersial merk X (diperoleh dari Palabuhan Ratu) dan bakso merk Y (diperoleh dari swalayan) dilakukan uji sensori, analisis karakteristik fisik dan kimia yaitu terdiri dari uji lipat, uji gigit, uji kekuatan gel, uji derajat putih, uji WHC, uji proksimat (uji kadar air, lemak, abu dan protein), uji protein larut garam (PLG) dan uji pH. Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran dapat dilihat pada Gambar 7.
Ikan layaran
Surimi Pengadonan Pencetakan bakso
Garam 2,5% Bawang merah goreng 2,5% Bawang putih 4% Lada 1% Tepung tapioka 10%
Minyak goreng 10% Air es
Pemanasan I suhu 45-50 oC selama ± 5 menit Pemanasan II suhu 80-90 oC selama ± 15 menit
Pendinginan suhu ruang
Bakso ikan layaran
Analisis : warna, penampakan, aroma, tekstur, rasa, kekuatan gel, derajat putih, uji lipat,uji gigit, Water Holding Capacity, proksimat, pH dan protein larut garam
Gambar 7 Diagram alir pembuatan bakso ikan layaran (Istiophorus sp.)
3.4 Prosedur Analisis Analisis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji organoleptik, analisis fisik dan kimia. Analisis organoleptik dilakukan dengan menggunakan
23
uji scoring (skor mutu). Analisis fisik yang dilakukan terdiri dari uji kekuatan gel, uji derajat putih, uji lipat, uji gigit dan uji WHC. Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, protein dan lemak), PLG dan pengukuran nilai pH.
3.4.1 Rendemen daging dan surimi Rendemen daging dihitung dengan membandingkan antara berat daging dengan berat ikan utuh. Ikan layaran utuh ditimbang sebagai berat awal (a). Kemudian dilakukan penyiangan dengan membuang kulit, tulang, isi perut, sirip dan kepala lalu ditimbang sebagai berat akhir (b). Selanjutnya rendemen daging dihitung dengan persamaan : Rendemen daging = b x 100 % a Rendemen surimi dihitung dengan membandingkan berat surimi dengan berat daging lumat. Daging lumat ditimbang sebagai berat awal (a). Kemudian dagingnya dilumatkan, dicuci dan diperas lalu ditimbang sebagai berat akhir (c). Selanjutnya rendemen surimi dihitung dengan persamaan : Rendemen surimi = c x 100 % a
3.4.2 Analisis organoleptik (Rahayu 2001) Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji kesukaan, panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatan disebut skala hedonik dan dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaannya. Penelitian ini menggunakan sembilan skala hedonik yang menunjukkan tingkat kesukaan. Pelaksanaan uji dilakukan dengan cara menyajikan bakso yang telah diberi kode (menggunakan bilangan acak) dan panelis diminta untuk memberikan penilaian pada score sheet yang telah disediakan. Panelis yang dibutuhkan sebanyak 30 panelis semi terlatih. Parameter uji meliputi rasa, warna, aroma, tekstur dan penampakan, termasuk uji lipat dan uji gigit. Parameter rasa
24
dinilai pada saat memakan bakso ikan. Parameter warna dan aroma dinilai dengan melihat dan mencium aroma bakso ikan yang disajikan. Parameter tekstur dinilai dengan perabaan oleh lidah pada saat bakso dimakan dan parameter kekenyalan dinilai berdasarkan kemudahan dalam melipat bakso ikan. 3.4.3 Analisis fisik Analisis fisik yang dilakukan terhadap gel dan bakso ikan adalah kekuatan gel, derajat putih, uji lipat, uji gigit dan Water Holding Capacity. (1) Uji kekuatan gel (White dan Englar diacu dalam Granada 2011) Pengukuran kekuatan gel dilakukan secara objektif dengan menggunakan Texture analyzer (TA-XT21). Tingkat kekerasan bakso ikan dinyatakan dalam gram force tiap cm2 (gf/cm2) yang berarti besarnya gaya tekan untuk memecah deformasi produk. Sampel diletakkan dibawah probe berbentuk silinder pada tempat penekanan, dengan sisi lebar ke atas, kemudian dilakukan penekanan terhadap sampel dengan probe silinder tersebut. Kecepatan alat ketika menekan sampel adalah 1 mm/s. Tekanan dilakukan sebanyak satu kali dan hasil pengukuran akan tercetak pada kertas grafik dan dapat dilihat tinggi saat sampel benar-benar pecah. Nilai tertinggi pada grafik menunjukkan nilai kekuatan gel pada suatu bahan.
(2) Uji derajat putih (Park 1994 dalam Chaijan et al. 2004) Derajat putih sampel dilakukan dengan Chromameter minolta, yaitu analisis warna secara objektif yang mengukur warna yang dipantulkan oleh permukaan sampel yang diukur. Skala warna yang digunakan untuk mengukur tingkatan dari lightness L* adalah hitam (0) sampai cerah/terang (100), a* adalah merah (60) sampai hijau (-60) dan b* adalah kuning (60) sampai biru (-60). Bila ΔL* bernilai positif, contoh lebih putih dibandingkan standar, sedangkan bila bernilai negatif artinya contoh lebih gelap dibandingkan standar. Bila Δa* positif, contoh lebih merah dibandingkan dengan standar, sedangkan bila bernilai negatif artinya contoh lebih hijau dibandingkan standar. Bila Δb* bernilai positif, contoh lebih kuning dibandingkan standar dan bila Δb* bernilai negatif artinya contoh
25
lebih biru dibandingkan standar. Nilai derajat putih atau whiteness dihitung dengan rumus: Derajat putih atau whiteness (%) = 100-[(100-L*)2 + a*2 + b*2]1/2
(3) Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) Uji pelipatan merupakan salah satu pengujian mutu gel yang dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ketebalan 3 mm. Potongan sampel tersebut diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati ada tidaknya keretakan pada produk. Tingkat kualitas uji lipat adalah sebagai berikut: 5 : Tidak retak bila dilipat dua kali 4 : Tidak retak bila dilipat satu kali 3 : Sedikit retak bila dilipat satu kali 2 : Retak bila dilipat satu kali 1 : Hancur bila ditekan jari (4) Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981) Uji gigit ini merupakan taksiran secara obyektif dari seorang panelis terhadap produk, panelis yang melakukan pengujian sebanyak 30 orang. Pengujian dilakukan dengan cara menggigit sampel antara gigi seri atas dan bawah. Sampel yang diuji memiliki ketebalan 5 mm. Tingkat kualitas uji gigit adalah sebagai berikut : 10 : Amat sangat kuat
5 : Agak lunak
9 : Sangat kuat
4 : Lunak
8 : Kuat
3 : Sangat lunak
7 : Agak kuat
2 : Amat sangat lunak
6 : Normal
1 : Hancur
(5) Water Holding Capacity (WHC) (Hamm 1972 diacu dalam Granada 2011) Daya ikat air dapat diukur dengan menggunakan alat carverpress. Sampel sebanyak 0,3 gram diletakkan pada kertas saring kemudian dijepit dengan carverpress, yaitu diantara dua plat jepitan berkekuatan 35 kg/cm2 selama 5 menit. Kertas saring yang digunakan yaitu Whatman no 40. Luas area basah
26
yaitu luas air yang diserap kertas saring akibat penjepitan, dengan kata lain selisih luas antara lingkaran luar dan dalam kertas saring. Bobot air bebas (jumlah air dalam gel dan bakso yang terlepas) dapat dihitung sebagai berikut : Berat air (mg) =
% air bebas = Berat air x 100 % 300 mg WHC dihitung dengan menggunakan rumus: WHC (%) =
3.4.4 Analisis kimia Analisis kimia yang dilakukan terhadap gel dan bakso ikan meliputi analisis proksimat (kadar air, abu, protein dan lemak) pH dan protein larut garam. (1) Kadar air (AOAC 1995) Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 30 menit dengan suhu 105 0C, lalu didinginkan di dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan kedalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven 105
0
C selama 6 jam. Cawan
didinginkan dalam desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang kembali. Perhitungan kadar air dapat dilihat pada rumus sebagai berikut: Kadar air (%) =
x 100%
Keterangan : B = berat sampel (g) B1 = berat cawan + sampel sebelum dikeringkan (g) B2 = Berat cawan + sampel setelah dikeringkan (g)
27
(2) Kadar abu (AOAC 1995) Prinsip penetapan kadar abu adalah dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu 600 oC. Cawan dibersihkan dan dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 105 0C, lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang.
Sampel ditimbang sebanyak 5 gram dan
diletakkan dalam cawan. Sampel dipanaskan di atas kompor listrik sampai tidak berasap atau uap air hilang. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 0C selama 8 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit, setelah dingin cawan ditimbang. Persentase dari kadar abu dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar abu (%) =
x 100%
(3) Kadar protein (AOAC 1995) Penentuan kadar protein yaitu dengan mengukur kandungan nitrogen yang ada di dalam bahan makanan menggunakan metode Kjeldahl. Tiga tahapan yang dilakukan meliputi tahap destruksi, destilasi dan titrasi. 1) Destruksi Sampel ditimbang seberat 2 gram kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjeltec, lalu ditambahkan satu butir kjeltab dan 15 ml H2SO4 pekat ditambahkan secara perlahan ke dalam tabung kemudian dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 410 0C selama kurang lebih 2 jam atau sampai cairan berwarna hijau bening. 2) Destilasi Tahap ini dimulai dari memindahkan sampel dari tabung kjeltec ke alat destilasi kemudian mencuci tabung kjeltec dengan akuades lalu air tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman dan dilakukan destilasi. Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 125 ml yang berisi 25 ml asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 1 % dengan perbandingan 2:1.
28
3) Titrasi Hasil destilasi dititrasi dengan HCl 0,2 N sampai terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya. Pembacaan volume titran kemudian dilanjutkan dengan perhitungan kadar protein. Perhitungan kadar protein dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar N (%) = (ml HCL – ml blanko) x N HCL x 14,007x fp x 100% mg sampel Kadar protein (%) = % nitrogen x faktor konversi (6,25)
(4) Kadar lemak (AOAC 1995) Contoh diekstrak dengan pelarut heksana, kemudian pelarut yang digunakan diuapkan sehingga tersisa lemak dari contoh. Lemak tersebut kemudian ditimbang dan dihitung presentasenya. Penentuan kadar lemak dilakukan dengan metode ekstraksi soxhlet. Sebanyak 5 gram contoh yang telah dihaluskan ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring, selanjutnya dimasukkan ke dalam alat ekstraksi soxhlet, lalu dialiri dengan air pendingin melalui kondensor. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 105 0C selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Berat residu dalam labu lemak dinyatakan sebagai berat lemak. Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus: Kadar lemak (%) =
x 100%
Berat lemak = (berat labu + lemak) – berat labu
29
(5) Kadar karbohidrat (by difference) Pengukuran kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangan. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Kadar karbohidrat dapat dihitung dengan mengunakan rumus: Kadar karbohidrat (%) = 100% - (%air + %abu +%protein + %lemak) (6) Protein larut garam (PLG) (Shuffle dan Galbraeth 1964 diacu dalam Eryanto 2006) Sampel sebanyak 5 gram ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5% kemudian dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah. Setelah itu disentrifus pada 3400 x G selama 30 menit pada suhu 10 oC. Selanjutnya disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no.1. Filtrat ditampung dalam Erlenmeyer, disimpan pada suhu 4 oC. Sebanyak 1 ml dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semi-mikro Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah: Kadar PLG (%) =
x 100%
Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel B = ml titrasi HCl blangko W = berat sampel (g) FP = faktor pengenceran
(7) Nilai pH (Suzuki 1981) Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan alat pH meter yang dinyalakan terlebih dahulu selama 15-30 menit. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan tissue. Selanjutnya pH meter dikalibrasi dengan mencelupkan batang probe pada buffer pH 4 lalu dicelupkan kembali pada buffer pH 7 dibiarkan beberapa saat hingga stabil. Sampel sebanyak 5 g ditambahkan akuades 45 ml, kemudian dihomogenkan dengan stirrer selama 2 menit. Elektroda dicelupkan ke dalam sampel selama beberapa menit, nilai pH dibaca setelah menunjukkan angka stabil.