3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pendekatan Masalah Penelitian dimulai dengan pengumpulan data melalui survei lapangan untuk mengetahui kondisi umum dan kondisi perikanan wilayah studi. Berdasarkan kondisi tersebut, model pengembangan perikanan dibangun dengan menggunakan pendekatan sistem. Dalam penelitian ini, sistem perikanan tangkap didefinisikan terdiri atas subsistem usaha penangkapan ikan, subsistem pelabuhan perikanan, dan subsistem kebijakan dan kelembagaan perikanan (lihat Bab 2.3 dan Bab 3.2). Model pengembangan tersebut selanjutnya dijelaskan dengan menggunakan hasil analisis SWOT (strength, weakness, opportunities, and threats), balanced scorecard dan interpretative structural modelling (ISM). Analisis SWOT menghasilkan rumusan strategi model pengembangan, sedangkan balanced scorecard menghasilkan tolok ukur operasional jangka pendek untuk mengukur keberhasilan strategi jangka panjang. Teknik ISM menghasilkan strategi implementasi model yang dibangun. Penjelasan dari setiap metodologi diberikan dalam sub-bab berikut.
3.2 Pendekatan Sistem Pendekatan sistem digunakan untuk keperluan pembangunan model pengembangan perikanan (tujuan penelitian ke 2). Pendekatan sistem merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang komplek, bersifat dinamis dan penuh ketidakpastian.
Pengkajian dengan
menggunakan metode pendekatan sistem mencakup empat tahap yaitu: 1) analisis sistem, 2) permodelan sistem, 3) implementasi sistem dan 4) operasi sistem (Wilson
1990; Eriyatno 2003; Jogiyanto 1989; Simatupang 1995).
Pada
penelitian ini, dilakukan tahap analisis sistem dan permodelan sistem.
3.2.1 Analisis sistem Analisis
sistem
digunakan
untuk
memahami
perilaku
sistem,
mengidentifikasi faktor-faktor penting yang terkait dengan keberhasilan sistem,
35
permasalahan yang dihadapi dan alternatif solusi yang dapat diajukan untuk mengatasi permasalahan. Tahap-tahap yang perlu dilakukan yaitu: 1) Analisis kebutuhan, merupakan permulaan pengkajian sistem. Analisis kebutuhan ditentukan berdasarkan kebutuhan pelaku sistem (stakeholder). Untuk keperluan analisis, terlebih dahulu dilakukan identifikasi pelaku secara selektif melalui pengamatan lapangan secara langsung, selanjutnya dilakukan identifikasi kebutuhan pelaku melalui wawancara semi terstruktur. 2) Formulasi masalah, merupakan permasalahan-permasalahan spesifik yang dihadapi sistem yang menyebabkan sistem tidak dapat bekerja secara optimal. Formulasi masalah dilakukan melalui pengamatan langsung di lapangan dan wawancara semi terstruktur terhadap pelaku sistem. 3) Identifikasi sistem, merupakan gambaran sistem yang memperlihatkan rantai hubungan antara kebutuhan-kebutuhan dan permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Identifikasi sistem digambarkan dalam bentuk diagram struktur sistem, diagram sebab-akibat (causal loop), dan diagram input-output. Berdasarkan pengamatan dan pendalaman awal terhadap perilaku Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah diperoleh analisis kebutuhan dari pelaku sistem, formulasi permasalahan yang dihadapi sistem dan identifikasi sistem, serta alternatif permodelan sistem. Deskripsi awal sistem seperti dijelaskan pada bagian berikut.
1) Analisis kebutuhan pelaku sistem Komponen pelaku yang terlibat dalam Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Potensi Daerah, diidentifikasi melalui pemahaman dan pendalaman terhadap kondisi di lapangan, yaitu di Wilayah Selatan Jawa. Pelaku dan kebutuhan masing-masing pelaku sistem, seperti terlihat pada Tabel 2.
2) Formulasi permasalahan yang ada dalam Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Potensi Daerah Permasalahan dalam pengembangan perikanan adalah, adanya konflik kepentingan diantara para pelaku untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Sistem dirancang untuk dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan para pelaku, baik yang bersifat memberikan sinergi positif maupun yang merugikan kepentingan
36
pelaku lain. Keberhasilan sistem sangat dipengaruhi oleh kemampuan para pelaku untuk mengeliminir kepentingan yang dapat merugikan kepentingan pelaku lain, dan bersinergi untuk mencapai tujuan pengembangan perikanan secara optimal. Tabel 2 Pelaku dan kebutuhan dari pelaku Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah No.
Pelaku
Kebutuhan
No.
Pelaku
Kebutuhan
1
Nelayan/ Kelompok nelayan
- Peningkatan produksi - Keberlanjutan kerja - Peningkatan pendapatan - Peningkatan kesejahteraan
7
PEMDA/ BAPPEDA/ Dinas Perikanan
2
Pemilik kapal/ pengusaha perikanan
- Keberlanjutan usaha - Kemudahan memperoleh input produksi - Peningkatan produksi - Peningkatan keuntungan
8
Departemen Kelautan dan Perikanan
- Pengelolaan perikanan secara berkelanjutan - Peningkatan aktivitas perikanan - Peningkatan lapangan kerja - Peningkatan pendapatan daerah (PAD) - Peningkatan perekonomian daerah - Pemberdayaan nelayan - Pemberian izin usaha - Perlindungan sumberdaya ikan - Penegakan hukum - Peningkatan konsumsi ikan - Peningkatan devisa - Kelayakan usaha untuk pemberian modal - Keterjaminan pengembalian modal
9 Pemberi - Keberlanjutan usaha modal - Ketersediaan ikan dengan kualitas yang baik - Kemudahan (aksesibilitas) pasar - Peningkatan keuntungan 4 Pengolah/ - Keberlanjutan usaha 10 Organisasi - Pemberdayaan perusahaan - Ketersediaan bahan Pemerintah/ nelayan pengolah baku Non - Peningkatan aktivitas ikan - Kemudahan memperoleh Pemerintah perikanan input pengolahan - Perlindungan - Kemudahan pasar sumberdaya ikan - Peningkatan keuntungan - Penegakan hukum 5 Pengelola - Terlaksananya 11 Buruh - Aktivitas pelabuhan TPI pelelangan ikan Pelabuhan perikanan tinggi - Terpenuhi target - Pendapatan kontribusi lelang meningkat 6 Pengelola - Fasilitas PP/PPI yang 12 Masyarakat - Terbuka lapangan PP/PPI terus meningkat sekitar kerja - Pemberian pelayanan pelabuhan - Ekonomi masyarakat dengan baik meningkat - Aktifitas pendaratan ikan terus meningkat Sumber: Hasil pendalaman terhadap sistem dan wawancara dengan responden (2005-2006) 3
Bakul/ pedagang/ eksportir
37
Pengembangan perikanan pada intinya adalah mengembangkan kegiatan usaha atau bisnis perikanan. Kelangsungan kegiatan usaha perikanan akan sangat dipengaruhi oleh keberadaan sumberdaya ikan.
Ciri utama dari keberadaan
sumberdaya ikan adalah keberadaannya tidak menetap disuatu kolom perairan, melainkan selalu bergerak bebas secara vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu, produksi tidak dapat diprediksikan dengan pasti, produksi akan sangat dipengaruhi oleh kondisi biologi sumberdaya ikan dan lingkungan perairan. Pemanfaatan sumberdaya ikan memerlukan teknologi yang tepat sesuai jenis sumberdaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan. Jenis sumberdaya ikan yang berbeda, memerlukan teknologi penangkapan ikan berbeda. Penggunaan teknologi penangkapan ikan memerlukan SDM dengan skill dan pengetahuan yang berbeda, serta penggunaan modal berbeda sesuai dengan tingkat teknologi yang digunakan. Produksi dari kegiatan perikanan, baru akan dapat memberikan manfaat bagi para pelaku usaha setelah produksi sampai ke tangan konsumen. Distribusi dan pemasaran menjadi faktor penting, untuk dapat memberikan nilai tambah pada produksi. Sifat produksi ikan yang sangat mudah busuk (highly perisable), memerlukan penanganan produksi yang tepat untuk dapat mengendalikan mutu produk. Pengendalian mutu produk menjadi sesuatu yang sangat penting, agar produk dapat sampai ke tangan konsumen dengan mutu yang baik. Memahami kondisi seperti tersebut di atas, maka kebutuhan para pelaku sistem dapat tidak terpenuhi, karena berbagai permasalahan yang melingkupi sistem. Permasalahan-permasalahan tersebut akan dicarikan solusi pemecahannya melalui perancangan sistem. Secara spesifik, permasalahan yang dihadapi sistem dapat diformulasikan sebagai berikut: (1)
Keberadaan stok sumberdaya ikan tidak dapat diprediksikan dengan tepat. Prediksi jumlah stok ikan sangat penting untuk dapat menentukan jumlah ikan yang dapat ditangkap dengan tetap memperhatikan kelangsungan sumberdaya.
Prediksi jumlah stok dilakukan dengan suatu pendekatan
analisis, prediksi diperlukan sebagai basis pemanfaatan sumberdaya ikan. (2)
Pemerintahan provinsi dan kabupaten berlomba-lomba membangun prasarana dan sarana untuk pengembangan kegiatan perikanan, tanpa
38
mempertimbangkan nilai manfaat yang akan diperoleh dibandingkan besarnya investasi yang ditanamkan. (3)
Penguasaan teknologi oleh nelayan masih terbatas. Sebagian besar nelayan bermata pencaharian sebagai nelayan secara turun temurun. Pengetahuan penggunaan teknologi didasarkan pada pengalaman langsung dalam pekerjaan, tanpa dilandasi pengetahuan secara ilmiah. Kemampuan permodalan yang lemah, juga menyebabkan teknologi yang digunakan adalah teknologi yang sudah diwariskan secara turun temurun.
(4)
Mutu produk sangat rendah. Ikan memiliki karakteristik cepat mudah busuk (highly perisable). Pengendalian mutu ikan harus dilakukan sejak mulai ikan ditangkap, saat ikan didaratkan di pelabuhan dan selanjutnya pada saat pendistribusian serta pemasaran sampai ke tangan konsumen. Kesadaran pengendalian mutu ikan, utamanya di tingkat nelayan masih sangat rendah.
(5)
Aksesibilitas pemasaran terbatas. Aksesibilitas pemasaran terkait dengan jarak jangkau dan kemudahan mencapai daerah tujuan pemasaran, serta akses informasi pasar.
(6)
Iklim usaha di bidang perikanan belum tercipta dengan baik. Berbagai kebijakan pemerintah menimbulkan dampak yang kontra produktif bagi usaha perikanan, misalnya kenaikan BBM.
(7)
Prasarana dan sarana terbatas. Prasarana dan sarana untuk pengembangan kegiatan perikanan belum terdistribusikan secara merata.
(8)
Kebijakan pemerintah yang tidak mendukung. Pengembangan perikanan di suatu wilayah, sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang ada.
(9)
Kelembagaan perikanan. Peran dan fungsi dari kelembagaan perikanan yang ada masih belum memberikan dukungan yang nyata bagi pengembangan perikanan di suatu wilayah. Permasalahan-permasalahan yang ada seperti tersebut di atas, akan dicari
solusi pemecahan permasalahannya dengan perancangan suatu permodelan Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah. Model bertujuan untuk dapat mengembangkan perikanan di suatu wilayah, berdasarkan
pada
karakteristik
spesifik
potensi
yang
dimiliki
daerah.
Karakteristik spesifik potensi perikanan, tidak saja mencakup karakteristik
39
sumberdaya ikan, melainkan juga mencakup potensi sumberdaya manusia, penggunaan teknologi, penyediaan prasarana dan sarana kegiatan perikanan, aksesibilitas pasar, kemampuan permodalan, kebijakan serta kelembagaan. Model dirancang untuk dapat meminimalisasi konflik kepentingan diantara para pelaku, sehingga tercipta sinergi serta dapat memanfaatkan potensi-potensi keunggulan yang dimiliki daerah. Harapannya adalah pengembangan perikanan akan dapat memberikan manfaat yang besar bagi para pelaku yang terlibat, tanpa harus menanamkan investasi besar yang tidak berguna.
3) Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan rantai hubungan antara pernyataan-penyataan kebutuhan pelaku sistem dengan permasalahan yang telah diformulasikan dalam sistem.
Identifikasi sistem digambarkan dalam diagram sebab-akibat (causal
loop) dan diagram input output. Diagram lingkar sebab akibat menggambarkan keterkaitan antar komponen di dalam sistem, sehingga dapat terlihat mekanisme kinerja sistem dalam memenuhi kebutuhan para pelaku sistem (Gambar 3).
Gambar 3 Diagram sebab akibat (causal loop) Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah.
40
Pada diagram causal loop terlihat keterkaitan di dalam sistem, yaitu usaha perikanan memiliki unit teknologi untuk memanfaatkan sumberdaya ikan. Interaksi antara unit penangkapan dengan sumberdaya ikan diperoleh hasil tangkapan. Hasil tangkapan akan dijual ke daerah tujuan pasar dengan dukungan aksesibilitas dari lokasi PP/PPI yang tinggi. Unit penangkapan akan dapat beroperasi dengan baik, jika mendapatkan layanan input produksi dari PP/PPI. Pasar akan memberikan imbalan berupa pendapatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan. Kesejahteraan yang meningkat, akan dapat menarik tenaga kerja untuk berusaha di bidang perikanan. Pasar memberikan kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah sebagai fasilitator dan regulator berperan menyediakan prasarana dan sarana, membuat peraturan dan kebijakan untuk dapat mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Pemerintah diharapkan mampu menciptakan suasana yang kondusif dan iklim usaha yang menguntungkan, yang bermanfaat bagi pengembangan perikanan di Indonesia Diagram lingkar causal loop selanjutnya direpresentasikan dalam diagram input output, yang menggambarkan output yang harus dikeluarkan oleh sistem sesuai dengan tujuan sistem yang sudah dirancangkan (Gambar 4). Output sistem dapat dipenuhi dengan merekayasa input-input yang masuk ke dalam sistem. Input yang masuk ke dalam sistem berupa input terkendali dan input tak terkendali.
Gambar
4
Diagram input-output Sistem Pengembangan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah.
Perikanan
41
Sistem mendapat pengaruh dari lingkungan. Adanya input tak terkendali dan pengaruh faktor lingkungan, dapat menyebabkan sistem menghasilkan output tidak sesuai dengan yang diharapkan. Keberhasilan sistem memerlukan suatu mekanisme pengendalian, agar kinerja sistem sesuai dengan yang direncanakan. Mekanisme pengendalian mendapatkan input balik (feed back) dari output yang tidak dikehendaki yang dikembalikan ke dalam sistem. Berdasarkan hasil identifikasi sistem, konsep sistem yang diajukan dalam kajian ini mencakup tiga subsistem yaitu: (1) subsistem usaha perikanan (2) pelabuhan perikanan: fungsionalitas dan aksesibilitas pasar, serta (3) subsistem kebijakan dan kelembagaan perikanan. Keberhasilan pengembangan perikanan akan sangat tergantung pada berfungsinya ketiga subsistem tersebut (Gambar 5).
Gambar 5
Struktur Sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah.
3.2.2 Permodelan Sistem Permodelan sistem dimulai dengan melakukan analisis terhadap kinerja sistem saat ini, dan mencari faktor-faktor yang menjadi penyebab kenapa
42
permasalahan sistem timbul.
Hasil analisis dijadikan sebagai landasan untuk
mencari solusi yang tepat untuk mengatasi masalah. Secara umum kerangka pemikiran penelitian seperti terlihat pada Gambar 6. Teknik analisis, kebutuhan data, dan hasil yang diharapkan dari penelitian seperti tercantum pada Tabel 3.
Gambar 6 Diagram alir deskriptif kerangka analisis, permodelan sistem, perumusan kebijakan dan implementasi model Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah.
Tabel 3 Teknik analisis, kebutuhan data dan hasil yang diharapkan untuk memenuhi tujuan penelitian. No.
Tujuan Penelitian
Teknik analisis
Kebutuhan data
1
Menentukan implikasi karakteristik aspek-aspek geotopografi, biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik terhadap perkembangan perikanan dari daerah penelitian
Deskriptif (grafik dan tabel)
-
2
Membangun model pengembangan perikanan berbasis karakteristik wilayah
1) Analisis sumberdaya ikan unggulan 2) Pendekatan sistem: (1) Analisis sistem - Usaha perikanan (analisis teknis dan finansial) - Pelabuhan perikanan (analisis keterkaitan dengan fishing ground, teknis pelabuhan, dan aksesibilitas pasar) - Kebijakan dan kelembagaan (analisis pendekatan kerangka hukum dan analisis pendekatan kerangka kelembagaan (2) Permodelan sistem - Submodel USAHA - Submodel PELABUHAN - Submodel LEMBAGA
- Data time series jenis ikan per kabupaten dan provinsi - Data dan informasi terkait dengan kondisi subsistem usaha perikanan - Data dan infotmasi terkait dengan kondisi subsistem pelabuhan perikanan, fungsionalitas dan aksesibilitas - Data dan informasi terkait dengan kondisi subsistem kebijakan dan kelembagaan perikanan - Pustaka pendukung
Jenis ikan unggulan sebagai basis penyusunan model
-
Kebijakan strategis pengembangan perikanan berbasis kewilayahan
3
Merumuskan kebijakan strategis 1) Perumusan kebijakan strategis: untuk pengembangan perikanan - Analisis SWOT berbasis kewilayahan - Balanced scorecard 2) Implementasi model pengembangan - Interpretative structural modelling (ISM)
Kondisi umum wilayah Kondisi umum perikanan Kondisi sistem perikanan Pustaka pendukung
Hasil analisis dan permodelan sistem Permodelan normatif Pendapat pakar Pendapat pengkaji sistem Pustaka pendukung
Hasil yang diharapkan Implikasi karakteristik geo-topografi, biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik terhadap perkembangan perikanan dari daerah penelitian
Model pengembangan berbasis pada karakteristik spesifik potensi daerah
43
44
3.3 Metode Penelitian Metode penelitian menggunakan teknik survei, dengan aspek yang dikaji meliputi 1) kegiatan usaha perikanan, 2) pelabuhan perikanan: fungsionalitas dan aksesibilitas, serta 3) kebijakan dan kelembagaan. Metode pengumpulan data meliputi tiga kegiatan, yaitu 1) menggali sumber-sumber sekunder, 2) pengamatan atau observasi langsung di lapangan, dan 3) wawancara semi terstruktur.
1) Menggali Sumber-Sumber Sekunder Sumber-sumber sekunder dikumpulkan dari instansi atau lembaga-lembaga pemerintah, non pemerintah maupun swasta yang ada di daerah maupun di pusat. Sumber sekunder meliputi juga buku pustaka dan sumber informasi lainnya. Berdasarkan sumber-sumber sekunder ini, dapat diperoleh data dan informasi yang relevan untuk dapat mengetahui kondisi saat ini (existing system) dari kegiatan perikanan di masing-masing lokasi penelitian. Sumber-sumber sekunder yang dikumpulkan meliputi: (1) Data statistik perikanan selama 5-15 tahun terakhir; (2) Laporan tahunan (5-15 tahun) perikanan kabupaten/kota atau provinsi; (3) Peta lokasi penelitian dan tata ruang wilayah; (4) Studi kelayakan pembangunan PP/PPI dan rencana pengembangan PP/PPI ke depan; (5) Rencana strategis pembangunan daerah (jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang); (6) Rencana strategis pembangunan perikanan (jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang); (7) Kebijakan perikanan, hukum/peraturan perikanan yang ada dan programprogram pembangunan perikanan yang sedang berjalan; (8) Rencana kebijakan dan program-program pembangunan perikanan ke depan; (9) Keberadaan lembaga-lembaga perikanan beserta fungsi dan perannya bagi pembangunan perikanan di masing-masing lokasi penelitian; (10) Sumber sekunder lainnya yang terkait dengan materi penelitian.
45
2) Pengamatan atau Observasi Langsung Pengamatan langsung dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami secara langsung kegiatan perikanan di masing-masing lokasi penelitian. Pengamatan langsung yang dilakukan meliputi: (1) Pengamatan langsung terhadap kondisi fisik lokasi penelitian - Pengamatan terhadap bangunan fisik PP/PPI, mencakup fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. - Pengamatan terhadap kemudahan aksesibilitas menuju lokasi PP/PPI, dilihat dari fasilitas infrastruktur berupa jalan dan sarana transportasi. - Pengamatan terhadap prasarana penunjang, berupa jaringan telekomunikasi, sumber air bersih dan listrik. (2) Pengamatan terhadap aktivitas kegiatan perikanan - Pengamatan kegiatan bongkar ikan dan penanganan hasil tangkapan. - Pengamatan proses pelelangan, distribusi dan pemasaran ikan. - Pengamatan muat bahan bakar, air tawar dan perbekalan lainnya. - Pengamatan kegiatan kapal dan nelayan selama istirahat di PP/PPI. (3) Pengamatan terhadap keberadaan dan aktivitas kelembagaan perikanan - Pengamatan terhadap keberadaan dan peran lembaga-lembaga perikanan yang ada, baik kelembagaan pemerintah, non pemerintah maupun swasta. - Pengamatan terhadap pelaksanaan kebijakan dan penegakan hukumnya.
4) Wawancara semi terstruktur Wawancara semi terstruktur dilakukan berdasarkan pada beberapa pertanyaan dan topik yang sudah ditentukan sebelumnya. Pertanyaan lebih detail berkembang dan diajukan pada saat wawancara berlangsung. Pertanyaan diajukan sesuai daftar kuesioner yang fleksibel, sebagai pedoman dan bukan merupakan angket formal.
Wawancara dilakukan dengan dua cara yaitu (1) wawancara
dengan responden kunci, dan (2) wawancara kelompok terfokus. (1) Wawancara dengan responden kunci Wawancara dengan responden kunci atau pihak-pihak yang terlibat (stakeholder) kegiatan perikanan, bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan khusus, yaitu pengetahuan terkait dengan berbagai aktivitas kegiatan perikanan.
46
Responden kunci meliputi nelayan, bakul/pedagang/eksportir, konsumen, Pengelola PP/PPI, pemilik kapal atau pengusaha penangkapan ikan, pengusaha industri pengolahan/pengolah ikan, Dinas Perikanan, BAPPEDA, PEMDA, Pengelola KUD, tokoh masyarakat formal/informal, LSM dan pihak lainnya. Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran kondisi saat ini kegiatan perikanan, harapan, hambatan-hambatan atau permasalahan-permasalahan yang dihadapi, serta usulan rekomendasi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan. (2) Wawancara kelompok terfokus Wawancara kelompok terfokus dimaksudkan untuk dapat menghasilkan rumusan kebijakan pengembangan berbasis kewilayahan yang tepat untuk direkomendasikan. Wawancara kelompok terfokus dilakukan terhadap pakar di bidang perikanan yang diperkirakan memiliki pengetahuan yang dalam untuk merumuskan kebijakan pengembangan perikanan ke depan.
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Wilayah Perairan Selatan Jawa (Lampiran1), meliputi Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Lokasi penelitian yaitu Palabuhanratu (Sukabumi, Jawa Barat), Cilacap (Jawa Tengah), dan Prigi (Trenggalek, Jawa Timur) mewakili wilayah yang telah berkembang dengan baik. Beberapa wilayah, dengan kegiatan perikanan yang belum berkembang yaitu Pameungpeuk (Garut) (Jawa Barat), Kebumen (Jawa Tengah), Gunung Kidul (DI Yogyakarta) serta Pacitan dan Malang (Jawa Timur). Setiap kabupaten diwakili oleh satu pelabuhan perikanan/pangkalan pendaratan ikan (PP/PPI), yang merupakan PP/PPI paling berkembang di lokasi penelitian. Penelitian lapang dilakukan mulai dari bulan Agustus 2005, yaitu di PPP Pondokdadap, Kabupaten Malang, PPN Prigi Kabupaten Trenggalek dan Perairan Kabupaten Pacitan. Penelitian lapang berikutnya dilakukan pada bulan November 2005, yaitu di Kabupaten Gunung Kidul Provinsi DI Yogyakarta, Kabupaten Kebumen dan Cilacap. Penelitian lapang diakhiri pada sekitar bulan September 2006 di Pameumpeuk Kabupaten Garut dan Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Secara keseluruhan penelitian dilaksanakan selama 27 bulan, yaitu dari bulan Mei 2005 sampai dengan bulan Juli 2007.
47
Penelitian lapang dilakukan dalam dua tahap.
Penelitian lapang tahap
pertama dimaksudkan untuk dapat mendalami lebih jauh sistem perikanan yang ada di masing-masing lokasi penelitian. Tahap pertama dari penelitian lapang ini digunakan untuk kepentingan: 1) analisis kegiatan usaha perikanan, 2) evaluasi fungsionalitas dan aksesibilitas dari pelabuhan perikanan, 3) analisis peraturan dan kelembagaan perikanan, serta 4) penyusunan permodelan sistem. Penelitian lapang tahap kedua dimaksudkan untuk dapat menggali lebih jauh persepsi stakeholders melalui wawancara terfokus terhadap perumusan kebijakan pengembangan ke depan perikanan. Perumusan kebijakan didasarkan pada arahan hasil analisis yang sudah diperoleh dari tahap pertama.
3.5 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini mencakup keseluruhan analisis yang digunakan untuk dapat menjawab tujuan penelitian, yaitu mencakup: 1) penentuan implikasi karakteristik geo-topografi, biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik terhadap kinerja perikanan di Wilayah Selatan Jawa, 2) penyusunan model pengembangan perikanan, dan 3) perumusan kebijakan strategis pengembangan perikanan. Teknik analisis, kebutuhan data dan hasil yang diharapkan untuk memenuhi tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 di atas.
3.5.1
Penentuan Implikasi Karakteristik Aspek Geo-topografi, Biologi, Teknologi, Sosial, Ekonomi dan Politik terhadap Kinerja Perikanan di Wilayah Selatan Jawa Penentuan implikasi karakteristik spesifik dari aspek-aspek geo-topografi,
biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik dari daerah lokasi penelitian, dilakukan dengan menggunakan analisis secara deskriptif terhadap: 1) keadaan umum daerah dan keadaan perikanan dari masing-masing daerah penelitian, serta 2) kondisi sistem perikanan, yang mencakup (1) subsistem usaha perikanan tangkap, (2) subsistem pelabuhan perikanan: fungsionalitas dan aksesibilitas, serta (3) subsistem kebijakan dan kelembagaan perikanan. Aspek geo-topografi, biologi, teknologi, sosial, ekonomi dan politik yang dikaji, mencakup berbagai hal dari keenam aspek tersebut, yang terkait dan berimplikasi terhadap perkembangan kegiatan perikanan.
48
3.5.2 Penyusunan Model Pengembangan Perikanan 1) Penentuan sumberdaya ikan unggulan Pengembangan perikanan di suatu wilayah perairan harus didasarkan pada keberadaan sumberdaya ikan. Sumberdaya ikan memiliki karakteristik biologi dan ekologis yang berbeda. Jenis ikan yang berbeda akan memerlukan faktorfaktor input yang berbeda untuk pemanfaatannya, serta akan menghasilkan tingkatan output yang berbeda pula. Prioritas diperlukan, agar upaya pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara optimal. Prioritas untuk mengembangkan perikanan berdasarkan pada sumberdaya ikan unggulan yang dimiliki daerah. Pemanfaatan sumberdaya ikan unggulan, diharapkan dapat memberikan nilai manfaat lebih tinggi bagi daerah tersebut, dibandingkan dengan memanfaatkan jenis ikan yang bukan komoditas unggulan. Penentuan jenis ikan unggulan dilakukan dengan teknik comparative performance index (CPI). Teknik CPI merupakan indeks gabungan (composite indeks) yang dapat digunakan untuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai alternatif (i) berdasarkan pada beberapa kriteria (j) (Marimin 2004). Diagram alir deskriptif untuk penentuan ikan unggulan seperti terlihat pada Gambar 7, sedangkan formula yang digunakan adalah sebagai berikut: Aij
= Xij (min) x 100 / Xij (min)
A(i + 1.j)
= (X(i + 1.j) / Xij (min) x 100
Iij
= Aij x Pj
Ii
=
(Iij)
Keterangan : Aij
: nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-j
Xij (min)
: nilai alternatif ke-i pada kriteria awal minimum ke-j
A(i + 1.j)
: nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria ke-j
(X(i + 1.j)
: nilai alternatif ke-i + 1 pada kriteria awal ke-j
Pj
: bobot kepentingan kriteria ke-j
Iij
: indeks alternatif ke-I
Ii
: indeks gabungan kriteria pada alternatif ke-I
i
: 1, 2, 3, ..., n
j
: 1, 2, 3, ..., n
49
Analisis sumberdaya ikan unggulan didasarkan pada 3 kriteria yaitu: (1)
Nilai location quotient (LQ) dari produksi ikan. LQ dianalisis dengan perbandingkan produksi dari satu jenis ikan terhadap total produksi ikan di suatu kabupaten, dibandingkan dengan perbandingan produksi jenis ikan tersebut terhadap produksi total dari provinsi yang bersangkutan.
(2)
Nilai location quotient (LQ) dari nilai produksi ikan. LQ dianalisis dengan perbandingkan nilai produksi satu jenis ikan terhadap total nilai produksi ikan di suatu kabupaten, dibandingkan dengan perbandingan nilai produksi jenis ikan tersebut terhadap nilai produksi total provinsi yang bersangkutan.
(3)
Jenis ikan yang potensial untuk diekspor. Penilaian dilakukan berdasarkan data ekspor. Penilaian dilakukan dengan menggunakan skor, yaitu skor 3 untuk jenis ikan yang potensial tinggi untuk diekspor (tuna dan udang), skor 2 untuk jenis ikan potensial sedang (cakalang, lobster, bawal putih, bawal, layur) dan skor 1 untuk jenis ikan yang potensial rendah untuk diekspor (jenis ikan selain yang telah disebutkan). Nilai LQ yang dianalisis dengan menggunakan CPI, hanya yang memiliki
nilai LQ lebih besar dari 1 dengan data time series lima tahun. Nilai LQ (location quotient) >1 untuk produksi dan nilai produksi menggambarkan, komoditas ikan tersebut dari sisi produksi dan nilai produksi lebih unggul dibandingkan dengan komoditas ikan lainnya. Formula untuk menentukan nilai LQ diadaptasi dari Budiharsono (2001). Menurut Budiharsono, metode location quotient (LQ) merupakan perbandingan pangsa relatif pendapatan sektor i pada tingkat wilayah terhadap pendapatan total wilayah dengan pangsa relatif pendapatan sektor i pada tingkat nasional terhadap pendapatan nasional. Pada penelitian ini penentuan LQ dengan kriteria pendapatan diganti dengan kriteria produksi dan nilai produksi ikan. Formula matematis penentuan nilai LQ adalah sebagai berikut:
vi LQi =
vi
vt vt
keterangan : vi
= Pendapatan (produksi/nilai produksi) sektor ke i (jenis ikan ke i) pada tingkat kabupaten.
50
vt
= Pendapatan (produksi/nilai produksi ikan) total kabupaten.
vi
= Pendapatan (produksi/nilai produksi) sektor ke i (jenis ikan ke i) pada tingkat provinsi.
vt
= Pendapatan (produksi/nilai produksi ikan) total provinsi.
Gambar 7 Diagram alir deskriptif penentuan sumberdaya ikan unggulan. 2) Permodelan sistem pengembangan perikanan Permodelan sistem dimulai dengan melakukan analisis terhadap kondisi sistem saat ini, selanjutnya dilakukan penyusunan model. Teknik analisis dan permodelan yang dikembangkan dalam penelitian, dijelaskan pada bagian berikut.
51
(1) Analisis Subsistem USAHA Analisis pada subsistem USAHA dimaksudkan untuk dapat membangun bisnis perikanan sesuai dengan jenis ikan unggulan. Untuk keperluan pembuatan model diperlukan analisis terhadap potensi sumberdaya, dilanjutkan dengan penjabaran faktor teknis dan kelayakan finansial usaha. Diagram alir deskriptif analisis dan permodelan pada subsistem USAHA seperti terlihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Diagram alir deskriptif analisis submodel USAHA.
52
(a) Analisis teknis usaha Keberhasilan usaha penangkapan ikan akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor teknis usaha. Kegiatan usaha penangkapan ikan meliputi kegiatan dari pra produksi, produksi, pasca produksi, distribusi dan pemasaran. Ketersediaan input-input produksi merupakan faktor penting agar kegiatan usaha dapat berjalan dengan lancar. Input-input produksi meliputi: - Ketersediaan unit penangkapan: kapal, alat tangkap, mesin kapal, serta perlengkapan operasi penangkapan ikan lainnya. - Ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang handal dan terampil. - Permodalan: modal investasi dan modal operasi. - Ketersediaan perbekalan operasi penangkapan ikan: BBM solar, minyak tanah, air tawar, es, umpan, dan perbekalan makanan. Proses produksi pada usaha perikanan adalah mengubah input produksi menjadi produksi atau hasil tangkapan. Efisiensi dan efektivitas produksi dapat diukur dari output yang dihasilkan dibandingkan dengan input yang digunakan. Kegiatan pasca produksi berkaitan dengan penanganan hasil tangkapan. Penanganan hasil tangkapan merupakan hal yang penting untuk menjaga kualitas hasil tangkapan, mengingat sifat ikan yang sangat mudah busuk. Penanganan ikan juga sangat penting untuk jenis ikan yang berkualitas ekspor, karena pasar ekspor mensyaratkan kualitas yang tinggi. Penanganan harus dilakukan mulai dari saat ikan ditangkap, yaitu penanganan di atas kapal, saat pembongkaran di pelabuhan perikanan dan pada saat pendistribusian ke pasar atau ke konsumen. Distribusi dan pemasaran merupakan rantai akhir dari suatu kegiatan usaha perikanan. Penanganan yang baik saat distribusi diperlukan untuk tetap menjaga kualitas ikan. Pemasaran yang tepat akan memberikan nilai penerimaan yang besar bagi kegiatan usaha perikanan. (b) Analisis finansial usaha perikanan Kelayakan usaha atau kelayakan bisnis dari suatu kegiatan industri akan memerlukan pertimbangan teknik dan ekonomi. Dengan kata lain apabila suatu kegiatan bisnis telah memenuhi kelayakan teknik, maka perlu juga dipertanyakan bagaimana kelayakan ekonominya. Pada dasarnya tujuan suatu kegiatan bisnis haruslah memperoleh keuntungan (profit).
53
Oleh karena itu perhitungan analisis finansial usaha, perlu dilakukan untuk mengetahui kelayakan bisnis dari suatu kegiatan industri perikanan (Gaspersz 1992; Gray et al. 1992). Perhitungan kelayakan usaha dilakukan dengan kriteria: - Keuntungan usaha, merupakan selisih antara penerimaan usaha dengan biaya total per tahun.
- Net present value (NPV), digunakan untuk menghitung pendapatan bersih usaha selama umur proyek dengan memperhitungkan diskon faktor (discount factor).
- Net B/C, digunakan untuk mengetahui rasio antara pendapatan (benefit) dengan biaya (cost) selama umur proyek dengan memperhitungkan diskon faktor (discount factor).
-
Internal rate of return (IRR), digunakan untuk mengetahui pada tingkat suku bunga (discount rate) berapa usaha tidak untung dan tidak rugi. Dalam perhitungan kelayakan usaha ada dua item pokok yang harus dihitung
yaitu penerimaan dan pembiayaan. Penerimaan dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh selama satu tahun dikalikan dengan harga. Pembiayaan dihitung berdasarkan pada biaya-biaya yang harus dikeluarkan selama satu tahun. Biaya digolongkan menjadi tiga yaitu biaya investasi, biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan untuk memulai usaha, yaitu untuk pembelian kapal, alat tangkap, mesin dan investasi lainnya, termasuk modal kerja. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang tetap harus dikeluarkan, walaupun tidak melakukan operasi penangkapan. Biaya tetap diantaranya meliputi biaya perawatan kapal, alat tangkap, mesin dan perawatan alat tangkap lainnya, gaji ABK (jika ABK diberi upah dengan sistem gaji), penyusutan, operasional kantor, pajak dan bunga bank. Biaya tidak tetap (variable cost) adalah biaya yang baru akan dikeluarkan jika melakukan operasi penangkapan ikan. Biaya variabel mencakup biaya bekal operasi penangkapan seperti biaya pembelian solar, olie, minyak tanah, air tawar, es, perbekalan makanan, izin operasi, retribusi dan bagi hasil (jika menggunakan sistem bagi hasil untuk pendapatan ABK).
(2) Analisis Subsistem PELABUHAN Analisis subsistem PELABUHAN dimaksudkan untuk melakukan evaluasi terhadap PP/PPI yang ada, terhadap perannya untuk dapat mendukung kegiatan
54
usaha perikanan. Analisis meliputi: (a) keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages), (b) aspek teknis pembangunan pelabuhan perikanan, dan (c) keterkaitan (aksesibilitas) pasar (backward linkages) (adaptasi dari Vigarié (1979) diacu dalam Lubis (1989); Lubis 2006; Ismail 2005) (lihat Bab 2.5.2). (a) Analisis keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) Keterkaitan pelabuhan perikanan dengan fishing ground (forward linkages) berkaitan dengan tingkat efisiensi penggunaan input produksi, seperti penggunaan bahan bakar dan perbekalan operasi. Ketertarikan pengguna pelabuhan untuk mendaratkan ikannya di suatu pelabuhan (tarikan pergerakan), selain faktor kedekatannya dengan fishing ground dipengaruhi juga oleh beberapa hal diantaranya yaitu kemudahan memasuki alur masuk kolam pelabuhan, kemudahan mendapatkan pelayanan bongkar ikan, muat perbekalan, dan fasilitas lain yang diperlukan, serta daya tarik pasar atau harga jual ikan. Analisis keterkaitan dengan fishing ground (forward linkages) dilakukan melalui penilaian atau membandingkan beberapa PP/PPI yang ada di suatu wilayah perairan, berkaitan dengan daya tariknya bagi kapal-kapal perikanan untuk mendaratkan hasil tangkapan di PP/PPI tersebut. Analisis
mencakup:
kemudahan memasuki alur masuk kolam pelabuhan, kebutuhan fasilitas pelabuhan sesuai dengan unit yang akan melakukan pendaratan, dan potensi pasar. Diagram alir deskriptif analisis seperti terlihat pada Gambar 9. (b) Analisis teknis pelabuhan Penetapan lokasi untuk dibangun suatu pelabuhan perikanan harus mempertimbangkan kelayakan teknis, dari aspek perairan dan aspek daratan. Diagram alir deskriptip analisis disajikan pada Gambar 10. Pembangunan pelabuhan memiliki kriteria teknis, diantaranya yaitu: Aspek perairan - Bentuk pantai: pantai yang merupakan wilayah terbuka akan membutuhkan biaya besar untuk pembangunan breakwater, pantai yang baik untuk dibangun pelabuhan adalah pantai yang terlindung. - Alur masuk pelabuhan: alur masuk pelabuhan memiliki standar ukuran minimal sesuai ukuran kapal yang diharapkan dapat memasuki area pelabuhan (formula yang digunakan dapat dilihat pada permodelan sistem hal: 64-66)
55
- Kolam pelabuhan: kolam pelabuhan memiliki standar ukuran minimal sesuai dengan ukuran kapal yang diharapkan dapat memasuki area pelabuhan, - Darmaga: darmaga memiliki standar ukuran minimal sesuai dengan ukuran kapal yang diharapkan dapat memasuki area pelabuhan.
Gambar 9 Diagram alir deskriptif analisis keterkaitan dengan fishing ground. Aspek daratan - Luas lahan: luas lahan yang diperlukan oleh suatu pelabuhan berkaitan dengan kebutuhan penempatan fasilitas darat, utamanya untuk fasilitas bongkar ikan dan muat perbekalan, serta kebutuhan untuk lahan industri dan pengembangan. - Fasilitas penyediaan kebutuhan kapal: penyediaan kebutuhan kapal baik berupa BBM, air tawar, es, umpan, dan kebutuhan perbekalan lainnya. - Fasilitas penanganan ikan: keberadaan fasilitas penanganan ikan sangat penting, khususnya untuk produk-produk ekspor.
56
Gambar 10 Diagram alir deskriptif analisis teknis pelabuhan. (c) Analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) Aksesibilitas adalah konsep yang menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara geografi dengan jaringan transportasi yang menghubungkannya. Aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan atau kemudahan mengenai cara lokasi tata guna lahan berinteraksi satu sama lain dan mudah atau susahnya lokasi dicapai melalui jaringan transportasi (Black 1981 diacu dalam Tamin 2000). Tingkat aksesibilitas PP/PPI dianalisis dengan menggunakan konsep yang dikembangkan Tamin (2000) (kriteria penilaian disesuaikan dengan kebutuhan). Sistem tata guna lahan dan transportasi mempunyai tiga komponen utama yaitu, tata guna lahan, prasarana transportasi dan lalu lintas. Hubungan antara ketiga komponen terlihat dalam 6 konsep analitis, yaitu aksesibilitas, bangkitan
57
pergerakan, sebaran pergerakan, pemilihan moda, pemilihan rute dan arus lalu lintas pada jaringan jalan. Formulasi yang digunakan pada analisis dalam penelitian ini terbatas pada formula bangkitan pergerakan. Bangkitan pergerakan adalah fungsi dari tata guna lahan. Jumlah bangkitan pergerakan yang dihasilkan oleh suatu zona berbanding lurus dengan tipe dan intensitas tata guna lahan di zona tersebut: PA = f (LA)
………………………………………………… (1)
Hal yang sama berlaku pada tarikan pergerakan : AB = f (LB)
…………………………………………………. (2)
Berdasarkan pada pemahaman konsep di atas. Kajian untuk menganalisis aksesibilitas lokasi PP/PPI didasarkan pada kriteria sebagai berikut: (a) Jarak, jarak berkaitan dengan jarak satu lokasi ke lokasi lain. Kedekatan jarak antara dua tempat menunjukkan aksesibilitas tinggi, sedangkan jarak yang berjauhan menunjukkan aksesibilitasnya rendah. Aksesibilitas satu lokasi PP/PPI yang utama adalah keterkaitannya dengan daerah tujuan pemasaran. (b) Waktu tempuh, satu lokasi yang dapat ditempuh dari lokasi lain dengan waktu pendek dikatakan memiliki aksesibilitas yang tinggi,
sedangkan jika perlu
waktu yang lama menunjukkan aksesibilitasnya rendah. (c) Biaya, biaya berkaitan dengan kemampuan membayar seseorang untuk menjangkau suatu daerah, dalam hal ini berdampak pada mobilitas atau tingkat pergerakan. Biaya yang rendah menunjukkan aksesibilitas tinggi, sedangkan biaya yang mahal berdampak pada aksesibilitas rendah. (d) Kualitas prasarana transportasi, kondisi prasarana akan berpengaruh pada tingkat kemudahan suatu lokasi dijangkau. Kondisi prasarana yang jelek menyebabkan suatu lokasi sulit dijangkau, dapat diartikan bahwa tingkat aksesibilitasnya rendah.
Sebaliknya, kondisi prasarana yang baik akan
memudahkan suatu lokasi dijangkau, atau tingkat aksesibilitasnya tinggi. (e) Sarana transportasi, seperti halnya dengan prasarana transportasi, sarana transportasi berpengaruh pada tingkat kemudahan suatu lokasi dijangkau. Kondisi sarana yang jelek menyebabkan suatu lokasi sulit dijangkau, berarti bahwa tingkat aksesibilitasnya rendah. Kondisi sebaliknya, jika sarana transportasi baik akan memudahkan suatu lokasi dijangkau, atau dengan kata
58
lain aksesibilitasnya tinggi. Kondisi sarana transportasi berkaitan dengan kuantitas (kapasitas dan ketersediaan) dan kualitas (frekuensi dan pelayanan). (f) Hambatan perjalanan, mengukur tingkat kemudahan suatu lokasi dicapai. Hambatan perjalanan yang tinggi menjadikan aksesibilitas suatu lokasi rendah, sedangkan hambatan perjalanan yang rendah menjadikan tingkat aksesibilitas lokasi tinggi. Hambatan perjalanan, misalnya berupa kemacetan jalan, jalan yang melewati daerah perbukitan atau pegunungan dengan tebing yang terjal, jalan sempit, atau sarana jalan yang rusak. Aksesibilitas lokasi dari PP/PPI di wilayah kajian, akan dapat meningkat dengan peningkatan prasarana dan sarana transportasi. Peningkatan prasarana dan sarana transportasi akan efektif dilakukan, jika peningkatan prasarana dan sarana tersebut akan berdampak pada peningkatan mobilitas pergerakan dari lokasi PP/PPI menuju daerah tujuan pasar atau sebaliknya. Untuk melihat apakah pembangunan prasarana dan sarana transportasi akan berdampak baik pada mobilitas, dianalisis dengan menggunakan model bangkitan pergerakan. Tujuan dasar model bangkitan pergerakan adalah, menghasilkan model hubungan yang mengkaitkan parameter tata guna lahan dengan jumlah pergerakan yang menuju ke suatu zona, atau jumlah pergerakan yang meninggalkan suatu zona. Zona asal dan zona tujuan biasanya juga menggunakan istilah trip end. Model bangkitan pergerakan akan meramalkan besarnya tingkat bangkitan pergerakan di masa datang, dengan mempelajari beberapa variasi hubungan antara ciri pergerakan dengan tata guna lahan. Analisis menggunakan data berbasis zona, misalnya tata guna lahan, kepemilikan kendaraan, populasi, jumlah pekerja, kepadatan penduduk dan juga moda transportasi (Tamin 2000). Analisis bangkitan pergerakan lokasi PP/PPI dimasa datang dilakukan melalui kriteria berikut: (a) Tata guna lahan, tata guna lahan berkaitan dengan peruntukan suatu lahan. Peruntukan suatu lahan yang banyak misalnya untuk kegiatan perikanan, pariwisata, industri akan membangkitkan pergerakan yang lebih besar dibandingkan jika hanya diperuntukkan untuk kegiatan perikanan saja. (b) Jumlah penduduk, jumlah penduduk yang banyak memiliki peluang untuk melakukan pergerakan lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang kecil.
59
(c) Keberadaan dan perkembangan sektor perikanan, industri, perdagangan, dan pariwisata. Keberadaan dan perkembangan dari keempat sektor di suatu zona, memberikan peluang peningkatan pergerakan dari dan menuju zona tersebut. (d) Keberadaan pusat pemerintahan kabupaten atau kecamatan di suatu zona, memberikan peluang peningkatan pergerakan dari dan menuju zona tersebut. Diagram alir deskriptif analisis tingkat aksesibilitas dan peluang peningkatan bangkitan pergerakan dari lokasi PP/PPI disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Diagram alir deskriptif analisis keterkaitan dengan pasar (backward linkages) (analisis aksesibilitas dan peluang bangkitan pergerakan).
60
(3) Analisis Subsistem LEMBAGA Kebijakan dan kelembagaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kegiatan perikanan di suatu wilayah.
Kebijakan dan kelembagaan berkaitan
dengan dukungan dan komitmen dari institusi atau lembaga yang berwenang dan terlibat dalam kegiatan perikanan. Analisis kebijakan dan kelembagaan perikanan dimaksudkan untuk dapat menentukan kebutuhan kebijakan dan kelembagaan yang tepat, untuk mendukung pengembangan perikanan. Analisis kebijakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kerangka hukum. Pendekatan kerangka hukum (legal framework) dilakukan untuk melihat hukum/peraturan perundang-undangan dari sisi struktur (legal structure), mandat (legal mandate) dan penegakan hukum (legal enforcement) (lihat Bab 2.5.3).
Gambar 12 Diagram alir deskriptif analisis kebijakan perikanan. Analisis kebijakan dilakukan melalui evaluasi kebijakan yang ada, baik berupa kebijakan tertulis maupun kebijakan tidak tertulis.
Kebijakan tertulis
berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang dibuat oleh
61
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kebijakan tidak tertulis berupa peraturan tidak tertulis, seperti kearifan-kearifan lokal yang telah lama dianut oleh masyarakat setempat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya. Diagram alir deskriptif analisis kebijakan seperti terlihat pada Gambar 12. Analisis kelembagaan dilakukan berdasarkan pada pendekatan kerangka kelembagaan (institutional framework). Kinerja kelembagaan merupakan fungsi dari tata kelembagaan (institutional arrangement), mekanisme kelembagaan (institutional framework), dan kapasitas kelembagaan. Kinerja dari suatu kelembagaan dapat dilihat melalui beberapa indikator, yaitu berdasarkan pendekatan aspek politik, sosial budaya, ekonomi, hukum dan teknologi (Purwaka 2003) (lihat Bab 2.5.3). Analisis kelembagaan dilakukan melalui evaluasi kelembagaan yang ada, baik berupa kelembagaan formal maupun non formal. Diagram alir deskriptif analisis kelembagaan seperti terlihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Diagram alir deskriptif analisis kelembagaan.
62
2) Permodelan Sistem Permodelan sistem terdiri atas beberapa tahap yaitu: (1) seleksi konsep, (2) rekayasa model, (3) implementasi komputer, (4) validasi model, (5) analisis sensitivitas, (6) analisis stabilitas dan (7) aplikasi model (Eriyatno 2003). Permodelan sistem Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah, dirancang untuk mengembangkan sistem dari kondisi yang sudah ada saat ini, dan bukan membuat suatu sistem yang baru. Penyusunan model dilakukan dengan mengintegrasikan tiga submodel yaitu (1) submodel USAHA, (2) submodel PELABUHAN, dan (3)submodel LEMBAGA.
(1) Submodel USAHA Berdasarkan hasil pada analisis sistem, submodel USAHA dimaksudkan untuk dapat membangun usaha perikanan yang menguntungkan, efektif dan efisien sesuai dengan potensi sumberdaya ikan unggulan. Keterkaitan antara hasil analisis potensi sumberdaya, analisis teknis usaha dan analisis finansial usaha perikanan digambarkan dalam suatu model sistem dinamis. Model sistem dinamis digunakan untuk melakukan simulasi pengembangan perikanan. Hasil simulasi dari model sistem dinamis berupa hubungan antara penambahan jumlah effort (unit usaha) sesuai dengan rencana pengembangan dengan kebutuhan input produksi ( tenaga kerja, solar, air tawar, umpan dan es, serta kebutuhan input produksi lainnya), serta output dari kegiatan usaha perikanan berupa keuntungan usaha dan retribusi bagi daerah. Model sistem dinamis yang telah dirancang, seperti terlihat pada Gambar 14. Model menggunakan perangkat lunak (software) Powersim Versi 2.5. Hasil simulasi dari model sistem dinamis pada submodel USAHA, dapat digunakan oleh submodel PELABUHAN untuk perencanaan penyediaan kebutuhan input produksi usaha perikanan dan pengembangan fasilitas yang dibutuhkan. Bagi submodel LEMBAGA, hasil simulasi dapat digunakan untuk menentukan kebijakan dan kelembagaan yang tepat untuk dapat mendukung kegiatan usaha perikanan.
63
kebutuhan_tenaga_kerja kebutuhan_solar kebutuhan_umpan konstanta_peningkatan_effort
effort
kebutuhan_es
laju_peningkatan_effort
target_produksi fraksi_penangkapan
kebutuhan_air_tawar produksi_tuna
hasil_tangkapan_tertunda tangkapan_tuna
produksi_lokal produksi_ekspor retribusi keuntungan_per_unit keuntungan
harga_ekspor
harga_lokal
laju_peningkatan_harga_ekspo
laju_peningkatan_harga_lokal
biaya_total laju_peningkatan_biaya
inflasi
Gambar 14 Model sistem dinamis untuk melakukan simulasi pengembangan pada Submodel USAHA.
64
(2) Submodel PELABUHAN Submodel PELABUHAN dikembangkan sesuai dengan hasil analisis sistem terhadap kondisi pelabuhan saat ini, dan kebutuhan pelabuhan perikanan yang dapat mendukung usaha perikanan sesuai dengan hasil analisis pada submodel USAHA. Hasil simulasi submodel USAHA menghasilkan pertambahan kebutuhan input produksi, sesuai dengan penambahan jumlah effort (unit usaha). Submodel PELABUHAN menggunakan besaran input produksi ini untuk menentukan pengembangan fasilitas yang akan dilakukan, guna dapat memenuhi kebutuhan input produksi bagi pengembangan usaha perikanan. Untuk keperluan pengembangan fasilitas pelabuhan diperlukan perhitungan ukuran fasilitas. Beberapa formula untuk menentukan pembangunan fasilitas pelabuhan perlu digunakan, diantaranya yaitu sebagai berikut (Lubis 2005): (a) Alur pelayaran Lebar alur pelayaran diusahakan untuk kapal dapat mudah bernavigasi memasuki kolam pelabuhan, lebar bersih alur pelabuhan di luar kemiringan dasar dan tanggul adalah sebagai berikut : - ukuran kapal < 50 GT, berkisar antara 8~10 kali lebar kapal terbesar; - ukuran kapal 50-200 GT, berkisar antara 6~8 kali lebar kapal terbesar; - ukuran kapal > 200 GT, lebar bersih lebih dari 6 kali lebar kapal terbesar. Jika pintu gerbang terletak pada tikungan, lebar alur masuk ke kolam pelabuhan harus ditambah sesuai dengan radius tikungan. (b) Luas kolam pelabuhan Penentuan luas kolam pelabuhan adalah tidak kurang dari:
L = Lt + (3 x n x l x b) Keterangan: Lt = luas untuk memutar kapal (m2) n = jumlah kapal maksimum yang berlabuh l
= panjang kapal (m)
b = lebar kapal (m) Lt adalah luas untuk memutar kapal, radius pemutarannya minimum satu kali panjang kapal terbesar.
65
Lt
=
π x r2
=
π x l2
Keterangan: Lt = luas untuk memutar kapal (m2) π = 3,14 l
= panjang kapal terbesar (m)
(c) Kedalaman kolam pelabuhan Kedalaman perairan di wilayah kolam pelabuhan pada saat muka air terendah (lower level water survace/LLWS) ditentukan dengan menggunakan rumus:
D=d+ ½H+S+C Keterangan: D = kedalaman perairan (cm) d = draft kapal terbesar (cm) H = tinggi gelombang maksimum (H maks = 50 cm) C = jarak aman dari lunas kapal ke dasar perairan (25-100 cm) (d) Panjang darmaga Panjang dermaga yang dibutuhkan menggunakan rumus sebagai berikut:
L =
(l + s ) xnxaxh uxd
Keterangan: L = panjang dermaga (m) l
= panjang kapal (m)
s
= jarak antara kapal (m)
n = jumlah kapal yang memakai dermaga a
= berat kapal (ton)
h = lama kapal di dermaga u = produksi per hari (ton) d = lama fishing trip (jam) atau dengan perhitungan sederhana: L= M/P x (l atau b) x 1.2
66
Keterangan: M
= jumlah kapal rata-rata sehari yang akan berlabuh
P
= periode penggunaan dermaga dengan cara merapat, jam kerja efektif dianggap 6 jam.
l dan b = panjang dan lebar kapal yang rata-rata berlabuh (tergantung dari cara kapal merapat; memanjang, tegak lurus atau miring)
(3) Submodel LEMBAGA
Submodel LEMBAGA dimaksudkan untuk menentukan kebijakan dan kelembagaan yang dapat mendukung usaha perikanan. Penentuan kebijakan yang tepat dilakukan perdasarkan pada hasil evaluasi terhadap kebijakan-kebijakan yang ada, yang sebelumnya telah dilakukan melalui analisis kebijakan (Bab. 3.4.1). Begitu pula dengan penentuan kelembagaan yang tepat, juga didasarkan pada hasil evaluasi terhadap kelembagaan yang ada, yang sebelumnya telah dilakukan melalui analisis kelembagaan (Bab. 3.4.1). Selain itu submodel LEMBAGA juga akan menghasilkan kelembagaan usaha dalam bentuk sentra industri.
Menurut Kuncoro (2000) diacu dalam
Sahubawa (2006), sentra industri merupakan kelompok produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya terspesialisasi pada satu atau dua industri utama saja.
Markusen (1996) dan Scorsone (2002) diacu dalam
Sahubawa (2006) mengajukan tiga pola sentra industri yaitu sentra Marshalian, Hub and Spoke, dan Satellite Flat Form. Submodel LEMBAGA akan menghasilkan pola sentra industri yang tepat untuk masing-masing kabupaten. Pola sentra ini akan ditentukan berdasarkan (a) skala ekonomi dari usaha perikanan yang akan dikembangkan, (b) kerjasama yang terjadi antar para pelaku usaha, dan (c) hubungan dengan pihak eksternal.
3.5.3 Perumusan Kebijakan Strategis Pengembangan Perikanan
Perumusan kebijakan strategis pengembangan perikanan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Pengukuran kinerja kebijakan strategis dengan analisis balanced scorecard. Implementasi model pengembangan perikanan menggunakan teknik interpretative structural modeling (ISM).
67
Analisis SWOT didahului dengan pembuatan matriks internal strategic factor analysis summary (IFAS) dan external strategic factor analysis summary (EFAS). Penyusunan matriks IFAS dan EFAS didasarkan pada hasil analisis terhadap sistem, yaitu dengan melihat faktor-faktor yang merupakan kekuatan dan kelemahan internal, serta peluang dan ancaman eksternal (David 2002). Penyusunan matriks IFAS adalah seperti berikut: 1) Melakukan identifikasi faktor-faktor yang merupakan kekuatan dan kelemahan sistem. 2) Pembobotan terhadap masing-masing faktor, mulai dari 1,00 (sangat penting) sampai dengan 0,00 (tidak penting). Skor jumlah bobot untuk keseluruhan faktor adalah 1,00. 3) Penentuan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruhnya terhadap permasalahan. dengan 1 (poor).
Nilai rating mulai dari 4 (outstanding) sampai
Pemberian nilai rating untuk kekuatan bersifat positif
(semakin besar kekuatan semakin besar pula nilai rating yang diberikan), sedangkan untuk kelemahan dilakukan sebaliknya. 4)
Selanjutnya dilakukan perkalian bobot dengan rating, untuk menentukan skor terbobot untuk masing-masing faktor.
5) Jumlah dari skor terbobot menentukan kondisi internal sistem. Jika nilai total skor terbobot ≥2,5 berarti kondisi internal sistem memiliki kekuatan untuk mengatasi situasi. Penyusunan matriks EFAS adalah seperti berikut: 1) Melakukan identifikasi faktor-faktor yang merupakan peluang dan ancaman. 2) Pembobotan terhadap masing-masing faktor berkaitan dengan pengaruhnya terhadap faktor strategis, mulai dari 1,00 (sangat penting) sampai dengan 0,00 (tidak penting). Skor jumlah bobot untuk keseluruhan faktor adalah 1,00. 3) Penentuan rating untuk masing-masing faktor berdasarkan pengaruhnya terhadap kondisi sistem. dengan 1 (poor).
Nilai rating mulai dari 4 (outstanding) sampai
Pemberian nilai rating untuk peluang bersifat positif
(semakin besar peluang semakin besar pula nilai rating yang diberikan), sedangkan untuk ancaman dilakukan sebaliknya (semakin besar ancaman semakin kecil nilai rating yang diberikan).
68
4) Selanjutnya dilakukan perkalian bobot dengan rating, untuk menentukan skor terbobot untuk masing-masing faktor. 5) Jumlah skor terbobot menentukan kondisi eksternal sistem. Jika total skor terbobot ≥ 2,5 berarti sistem mampu merespon kondisi eksternal yang ada. Matriks SWOT dibuat untuk menyusun alternatif strategi. Alternatif strategi disusun berdasarkan pada logika untuk dapat memanfaatkan peluang dan kekuatan yang ada, serta mengeliminir kelemahan dan ancaman sistem. Analisis balanced scorecard didahului dengan analisis untuk menentukan strategi pengembangan sistem. Berdasarkan strategi yang telah disusun, dibuat tolok ukur jangka pendek untuk dapat mengendalikan kinerja sistem. Tahap dalam penyusunan balanced scorecard yaitu: 1) Merinci visi berdasarkan masing-masing perspektif dan merumuskan strategi. 2) Identifikasi faktor-faktor penting keberhasilan kinerja sistem. 3) Mengembangkan tolok ukur, identifikasi sebab akibat dan menyusun keseimbangan sistem. 4) Merinci scorecard dan tolok ukur unit sistem. 5) Merumuskan tujuan-tujuan. 6) Implementasi. Permodelan sistem yang telah dihasilkan diharapkan dapat diterapkan pada sistem nyata. Strategi implementasi perlu dilakukan agar model pengembangan perikanan dapat berhasil dengan baik. Strategi implementasi dilakukan dengan menggunakan teknik interpretative structural modelling (ISM). Langkah-langkah dalam penggunaan ISM adalah sebagai berikut (Eriyatno 1999; Marimin 2004): 1) Identifikasi elemen sistem. 2) Membangun sebuah hubungan kontekstual antar elemen yang disesuaikan dengan tujuan model. 3) Pembuatan matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction matrix/SSIM). Matriks dibuat berdasarkan persepsi responden yang dimintakan melalui wawancara kelompok terfokus. Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang ada antara dua elemen dari sistem yang dipertimbangkan adalah: V:
hubungan dari elemen Ei terhadap Ej, tidak sebaliknya.
69
A:
hubungan dari elemen Ej terhadap Ei, tidak sebaliknya.
X:
hubungan interrelasi antara Ei dan Ej (dapat sebaliknya).
O:
menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitan.
4) Pembuatan matriks ”interaksi yang terjadi” (reachability matrix/RM): sebuah RM yang dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. Aturan-aturan konversi berikut menerapkan: •
Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM, maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam RM;
•
Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan Eji = 1 dalam RM;
•
Jika hubungan Ei terhadap Ej = O dalam SSIM, maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM;
RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1, maka Eik = 1. 5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem : reachability set (Ri), adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei, dan antecedent set (Ai), adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri ∩ Ai, adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama. Selanjutnya, seluruh elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang berbeda. 6) Pembuatan matriks canonical: Pengelompokan elemen-lemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph. 7) Pembuatan Digraph: adalah konsep yang berasal dari directional graph sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan langsung, dan level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical.
70
digraph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir. 8) Pembangkitan Interpretative structural modelling: ISM dibangkitkan dengan memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu, ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya. Penentuan strategi implementasi model pengembangan perikanan dengan menggunakan teknik ISM, memerlukan identifikasi elemen penting yang akan dimasukkan kedalam model atau program. Menurut Saxena (1992) diacu dalam Eriyatno (2003) program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu: 1) Sektor masyarakat yang terpengaruh. 2) Kebutuhan dari program. 3) Kendala utama program. 4) Perubahan yang dimungkinkan dari program. 5) Tujuan dari program. 6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan. 7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan. 8) Ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas. 9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Pada penelitian ini ditetapkan tujuh elemen sistem, yang terdiri atas beberapa subelemen sistem.
Selanjutnya elemen dan subelemen sistem ini,
digunakan sebagai input yang dianalisis dengan teknik ISM (Tabel 4). Untuk keperluan pembuatan matriks interaksi tunggal terstruktur (structural self interaction matrix/SSIM), diperlukan persepsi responden. Pada penelitian ini, responden yang dimintakan pendapatnya melalui pengisian kuesioner adalah pakar di bidang perikanan tangkap. Output teknik ISM berupa ranking dari setiap subelemen dan plot masingmasing subelemen ke dalam empat sektor beserta koordinatnya. Berdasarkan ranking masing-masing sub-elemen , maka dapat dibuat hierarki setiap subelemen secara manual dimana subelemen dengan ranking yang lebih tinggi akan berada pada hierarki yang lebih rendah. Diagram alir deskriptif teknik analisis ISM seperti terlihat pada Gambar 15.
71
Tabel 4 Elemen dan subelemen strategi implementasi Model Pengembangan Perikanan Berbasis Karakteristik Spesifik Potensi Daerah No.
Elemen Sistem
Subelemen
1
Sektor masyarakat yang terpengaruh dari pengembangan perikanan
nelayan, pemilik kapal/pengusaha perikanan, industri pembuat kapal, industri pembuat alat tangkap, industri pembuat mesin kapal, industri pengolah ikan, pedagang/pengumpul, eksportir, nelayan penyedia umpan, penyedia perbekalan, pengusaha jasa transportasi, pekerja atau buruh angkut di PP/PPI, masyarakat sekitar PP/PPI
2
Kebutuhan untuk terlaksananya program pengembangan perikanan
keberpihakan pemerintah pusat, keberpihakan pemerintah provinsi, keberpihakan pemerintah kabupaten, partisipasi masyarakat, peran serta tokoh masyarakat, kerjasama antar wilayah, koordinasi antar sektor, ketersediaan anggaran pengembangan, dukungan kebijakan, dukungan kelembagaan, ketersediaan SDI, ketersediaan SDM, teknologi, data dan informasi, penegakan hukum
3
Kendala utama pengembangan perikanan
kualitas SDM yang masih rendah, teknologi penangkapan ikan yang masih terbatas, harga BBM yang tinggi, pemahaman mutu ikan masih rendah, akses dan informasi pasar masih terbatas, kemampuan permodalan nelayan rendah, kualitas dan kuantitas pengelola perikanan masih terbatas, konflik kepentingan antar pemerintah daerah, konflik kepentingan antar sektor, prioritas dana pembangunan untuk kegiatan perikanan masih rendah
4
Perubahan yang dimungkinkan atau tujuan dari pengembangan perikanan
optimalisasi pemanfaatan SDI, peningkatan keuntungan usaha perikanan, peningkatan fungsionalitas PP/PPI, peningkatan aksesibilitas PP/PPI, peningkatan peran dan fungsi kelembagaan perikanan, peningkatan kualitas dan kuantitas kebijakan yang mendukung kegiatan perikanan, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan, peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor perikanan, peningkatan PAD/devisa, peningkatan perekonomian daerah
5.
Tolok ukur keberhasilan pengembangan perikanan
terbentuknya kelembagaan pengelolaan bersama, terlaksananya program pengembangan, pemanfaatan sumberdaya optimal, efisiensi pembiayaan program, nilai manfaat yang seimbang antar daerah, pendapatan usaha perikanan meningkat, penyerapan tenaga kerja meningkat, PAD/devisa meningkat, perekonomian daerah meningkat
6
Aktivitas yang diperlukan dalam pengembangan perikanan
koordinasi antar sektor yang terlibat dalam pengembangan, pembentukan kelembagaan bersama untuk pengelolaan sumberdaya, pembuatan rencana kerja untuk pengelolaan sumberdaya, pembuatan peraturan-peraturan pengelolaan sumberdaya, pendidikan dan pelatihan SDM, pengembangan teknologi, penyediaan sarana prasarana, penciptaan kondisi kondusif untuk berusaha di bidang perikanan, pengembangan akses pasar, peningkatan akses informasi
7
Lembaga yang terlibat dalam pengembangan perikanan
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten, Dinas Perhubungan Laut, Dinas Imigrasi, Dinas Perdagangan, Pengelola PP/PPI, Kelompok Nelayan, Asosiasi Pengusaha, Lembaga Pemberi Modal, LSM, Akademisi/Peneliti, Kelompok Pengawas Masyarakat (POKWASMAS), Koperasi, HNSI dan Penegak Hukum
72
Gambar 15 Diagram alir deskriptif teknik interpretative structural modelling (ISM) (Saxena 1992 diacu dalam Marimin 2004).