3. METODE PENELITIAN 3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada kawasan perikanan keramba jaring apung
(KJA) di Waduk Ir. H. Juanda Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 4). Kegiatan penelitian berlangsung pada bulan Februari hingga Maret 2009 yang meliputi penentuan stasiun pengamatan, penelitian pendahuluan, pengambilan contoh air, dan analisis contoh air. Pengambilan contoh air di titik pengamatan dilakukan pada tanggal 21 Maret 2009 selanjutnya dilakukan analisis contoh air untuk beberapa parameter di Laboratorium Produktivitas Lingkungan dan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2.
Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Vandorn Water Sampler,
Secchi disk, DO-meter digital TOA model DO-20 A, botol BOD, botol untuk contoh air, pH-meter digital TOA model 700 series, ice box, termometer, alat titrasi, spektrofotometer, labu erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, penutup botol dari bahan karet, dan selang aerasi. Bahan-bahan yang digunakan adalah contoh air, penyaring whatman 0,45 µm, aquades, alumunium foil, dan bahan-bahan kimia sebagai bahan pereaksi. 3.3.
Metode Kerja
3.3.1. Penentuan stasiun pengamatan Lokasi pengambilan contoh air dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan hasil survei di sekitar kawasan keramba jaring apung (KJA) Pasir Jangkung (Zona 5) berada pada posisi 060 31’ 55,8” LS dan 1070 20’ 54,5” BT (Gambar 5). Lokasi pengamatan yang dipilih merupakan daerah KJA paling padat yang sedang beroperasi dan paling lama memelihara ikan terhitung sejak terjadinya peristiwa umbalan pada pertengahan Februari 2009. Contoh air yang diambil merupakan sumber data yang dikumpulkan selama pengamatan yang terdiri dari parameter fisika (suhu dan kecerahan) dan parameter kimia (DO, pH, NH3, H2S).
Gambar 4. Peta Waduk Ir. H. Juanda, Purwakarta, Jawa Barat
Gambar 5. Titik pengambilan sampel di lokasi KJA
3.3.2. Penentuan perlakuan, titik kedalaman, dan komposisi pencampuran Sebelum melaksanakan penelitian inti dilakukan penelitian pendahuluan. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pengukuran oksigen terlarut (DO) dengan interval 2 meter dengan tujuan untuk mendapatkan pola sebaran vertikal oksigen terlarut (Tabel 5). Dari sebaran vertikal oksigen terlarut tersebut diperoleh keterwakilan area dan titik–titik kedalaman pengambilan contoh air. Selanjutnya akan diperoleh beberapa perlakuan melalui pencampuran massa air dari keterwakilan area atau titik-titik kedalaman tersebut. Tabel 5.
Konsentrasi oksigen terlarut rata-rata pada penelitian pendahuluan di lokasi pengamatan
Kedalaman (meter)
DO (mg/l)
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 30 40 49 Keterangan :
7,60 6,80 6,20 3,80 3,05 1,80 1,70 1,15 0,90 0,70 0,70 0,60 0,60 0,60
: mewakili kedalaman 0 sd 4 meter : mewakili kedalaman 4 sd 8 meter : mewakili kedalaman 8 sd 14 meter : mewakili kedalaman 14 sd 49 meter
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian pendahuluan (Tabel 5) ditetapkan titik kedalaman 2 meter, 8 meter, 12 meter, dan 49 meter (dasar). Penentuan titik kedalaman didasarkan pada: 1. Keterwakilan konsentrasi oksigen terlarut di tiap kedalaman. Berdasarkan pendahuluan
nilai
konsentrasi
DO
yang
diperoleh
dari
penelitian
maka diperoleh kedalaman 2 meter (6,8 mg/l) yang dianggap
mewakili kedalaman 0 dan 4 meter; kedalaman 8 meter (3,05 mg/l) yang dianggap mewakili kedalaman 6 meter; kedalaman 12 meter (1,7 mg/l) yang dianggap
mewakili kedalaman 10 dan 14 meter; dan kedalaman 49 meter (0,6 mg/l) yang dianggap mewakili kedalaman 16 meter hingga dasar perairan. 2. Keterwakilan konsentrasi oksigen terlarut berdasarkan baku mutu PP no. 82 tahun 2001 untuk kegiatan perikanan. Kedalaman 2 meter (6,8 mg/l) dianggap baik untuk kegiatan perikanan; kedalaman 8 meter (3,05 mg/l) dianggap cukup untuk kegiatan perikanan; kedalaman 12 meter (1,7 mg/l) dianggap di bawah baku mutu bagi kegiatan perikanan; dan kedalaman 49 meter (0,6 mg/l) dianggap berbahaya bagi kegiatan perikanan. 3. Keterwakilan di beberapa kolom air Lapisan permukaan untuk kedalaman 2 meter, lapisan bagian tengah untuk kedalaman 8 dan 12 meter dan lapisan dasar untuk kedalaman 49 meter. Dari titik-titik kedalaman tersebut diperoleh tiga perlakuan yakni perlakuan 1 yang merupakan pencampuran air dari kedalaman 2 dan 8 meter; perlakuan 2 diperoleh melalui pencampuran massa air dari kedalaman 2, 8, dan 12 meter; dan perlakuan 3 yang merupakan pencampuran massa air dari kedalaman 2, 8, 12, dan dasar (49 meter). Perlakuan 1 dianggap sebagai pencampuran massa air sebagian (meromictic) yaitu pencampuran massa air dari permukaan hingga kedalaman 8 meter. Perlakuan 2 dianggap sebagai pencampuran massa air sebagian (meromictic) yaitu dari permukaan hingga kedalaman 14 meter, sedangkan perlakuan 3 dianggap sebagai pencampuran massa air sempurna (holomictic) hingga dasar perairan (pencampuran seluruh titik kedalaman). Komposisi contoh air yang akan dicampurkan sebagai perlakuan didasarkan pada ketebalan lapisan yang terwakili, kedalaman total, dan volume botol kemudian dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus :
Komposisi
jumlah kedalaman yang terwakili volume botol jumlah kedalaman total
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut (Lampiran 1), diperoleh komposisi air dari masing-masing kedalaman yang mewakili seperti yang tercantum pada Tabel 6.
Tabel 6. Komposisi air dari setiap kedalaman yang mewakili Perlakuan
DO dan Suhu (ml)
Amonia (ml)
pH (ml)
2
62,5
125
50
8
62,5
125
50
Kedalaman (meter)
1
total volume botol
125
250
100
2
35,7
71,4
28,6
8
35,7
71,4
28,6
2
12
53,6
107,1
42,9
total volume botol
125
250
100
2
10
20,4
8,2
8
10
20,4
8,2
12
15
30,6
12,2
49
89
178,6
71,4
total volume botol
125
250
100
3
3.3.3. Pengukuran data kualitas air 3.3.3.1. DO (oksigen terlarut) DO (oksigen terlarut) merupakan parameter utama dalam penelitian ini. Air contoh untuk analisis oksigen terlarut diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler. Pengukuran DO dilakukan secara vertikal pada setiap kedalaman 2 meter dan setiap perlakuan melalui metode modifikasi winkler (Lampiran 2) dengan menggunakan alat titrasi dan diukur secara in situ. 3.3.3.2. Kecerahan Kecerahan diukur pada titik pengambilan contoh air. Pengukuran kecerahan dilakukan secara in situ melalui metode pembiasan cahaya dengan menggunakan secchi disk. 3.3.3.3. Suhu Suhu diukur pada tiap kedalaman dan perlakuan, melalui metode pemuaian dengan menggunakan thermometer Hg dan dilakukan secara in situ. 3.3.3.4. pH Air contoh untuk analisis pH diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler.
Pengukuran pH diukur di setiap kedalaman dan setiap perlakuan,
melalui metode elektrometrik menggunakan pH meter dan dilakukan secara in situ.
3.3.3.5. Amonia Bebas (NH3) Air contoh untuk analisis amonia bebas diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler kemudian dimasukkan ke dalam botol sampel 250 ml lalu diawetkan pada suhu 4 0C. Amonia bebas hanya diukur pada tiap perlakuan melalui metode phenate dengan menggunakan spektrofotometer (Lampiran 2) dan dianalisis di laboratorium Produktivitas Lingkungan dan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.3.3.6. Hidrogen Sulfida (H2S) Air contoh untuk analisis hidrogen sulfida (H2S) diambil dengan menggunakan Vandorn Water Sampler.
Contoh air dari perlakuan dimasukkan
kedalam botol sampel 500 ml dan di beri Zn acetat serta NaOH untuk mengikat gas H2S agar tidak menguap, setelah itu baru didinginkan. Hidrogen sulfida hanya diukur di setiap perlakuan melalui metode iodometri dengan menggunakan alat titrasi dan dianalisis di laboratorium Produktivitas Lingkungan dan
Perairan,
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Beberapa parameter yang diukur dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Parameter dan metode analisis contoh air selama penelitian
No. Parameter 1. Kecerahan
Unit cm
2.
Suhu
0C
3. 4. 5. 6.
pH DO NH3 H2S
mg/l mg/l mg/l
3.4.
Alat dan Metode Secchi Disk/Pembiasan cahaya Thermometer Hg/Pemuaian pH meter/Elektrometrik Titrasi/Modifikasi Winkler Spektrofotometer/Phenate Titrasi/Iodometri
Keterangan In situ In situ In situ In situ Laboratorium Laboratorium
Analisis Data
3.4.1. Analisis Deskriptif Data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik, serta dibandingkan dengan nilai baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 kelas III (Lampiran 3).
3.4.2. Kedalaman eufotik Kedalaman eufotik ditunjukkan oleh lapisan kolom air yang berada di sebelah atas dari kedalaman kompensasi (kolom perairan). Menurut Boyd (1981), pada umumnya kedalaman zona eufotik pada perairan di daerah tropis sekitar dua sampai tiga kali kecerahan secchi disk. 3.4.3. Rancangan Acak Lengkap Data hasil pencampuran massa air yang diperoleh dianalisis dengan model klasifikasi satu arah atau model Rancangan Acak Lengkap (RAL) (Lampiran 4). Pada rancangan ini, Jumlah Kuadrat (JK) dikelompokkan kedalam JK Total (JKT, yang mencerminkan keragaman total seluruh pengamatan terhadap rataan umumnya), JK Perlakuan (JKP, keragaman antar perlakuan terhadap rataan umum), dan JK Sisa (JKS, keragaman pengamatan di dalam perlakuan atau disebut juga keragaman akibat faktor lain selain perlakuan). Adapun JKT, JKP, dan JKS masing-masing digunakan untuk menentukan kuadrat tengah sumber-sumber keragaman total yang terdiri dari keragaman antar perlakuan (KTP), dan sisa/galat (KTS). Sumber keragaman sisa atau galat sering juga disebut galat percobaan (experimental error). Sumber-sumber keragaman ini diperlukan dalam penyidikan ragam yang hasilnya diringkaskan dalam Tabel Sidik Ragam (TSR) pada Tabel 8 (Boer 2001). Tabel 8. TSR untuk Rancangan Acak Lengkap
Sumber Keragaman Perlakuan Sisa Total
db p-1 p(n-1) pn-1
Jumlah kuadrat JKP JKS JKT
Kuadrat Tengah KTP KTS
Hipotesis yang diuji dinyatakan sebagai berikut: H0 H1
: P 1 = P 2 = … = Pp = 0 : sedikitnya ada satu P1 ≠ 0 ; i = 1, 2, … p
Hipotesis tersebut diuji dengan harapan dapat mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan yang dicobakan.
H0 menunjukkan bahwa ke-p
perlakuan yang dicobakan tidak ada yang berbeda secara statistika atau dengan kata lain tidak diperoleh informasi yang cukup untuk menyimpulkan adanya
perbedaan antar perlakuan. Adapun H1 merupakan hipotesis alternatif yang ingin dibuktikan kebenarannya yaitu bahwa sedikitnya terdapat satu pasang perlakuan yang berbeda nyata dengan yang lain.
Untuk mengetahui perlakuan yang
memberikan hasil berbeda perlu dilakukan uji lanjut melalui uji Beda Nyata Terkecil (Lampiran 5) (Boer 2001). 3.4.4. Analisis tipe distribusi vertikal oksigen terlarut Analisis tipe distribusi vertikal oksigen terlarut dilakukan berdasarkan data oksigen terlarut yang didapat pada setiap kedalaman kemudian dibandingkan dengan tipe distribusi vertikal oksigen terlarut menurut Goldman dan Horne (1983) seperti yang tertera pada Gambar 2. 3.4.5. Analisis saturasi oksigen terlarut Konsentrasi oksigen jenuh (saturasi) akan tercapai jika konsentrasi oksigen yang terlarut di perairan sama dengan konsentrasi oksigen terlarut secara teoritis. Konsentrasi oksigen tidak jenuh terjadi jika konsentrasi oksigen yang terlarut lebih kecil daripada konsentrasi oksigen secara teoritis.
Selanjutnya kondisi super
saturasi terjadi bila konsentrasi oksigen terlarut lebih besar daripada konsentrasi oksigen secara teoritis. Tingkat kejenuhan oksigen di perairan dinyatakan dalam persen saturasi (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003). % Saturasi Oksigen Terlarut =
DO x100% DOt
Keterangan: DO : Konsentrasi oksigen terlarut di air (mg/l)s DOt : Konsentrasi oksigen terlarut jenuh secara teoritis pada suhu tertentu dengan tekanan 760 mmHg (mg/l)