3 METODE PENELITIAN
3.1. Paradigma Penelitian Paradigma penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Pemaknaan terhadap masalah dasar kehidupan manusia, dan rasionalitas rumahtangga nelayan Bajo Mola maupun Mantigola merupakan fakta sosial yang dikonstruksi dan dimaknai oleh anggota rumahtangga itu sendiri. Realitas sosial di dalam paradigma ini dianggap merupakan konstruksi mental individu, dan pengalaman yang sifatnya spesifik. Realitas sosial dari paradigma konstruktivis ini tidak dapat digeneralisasikan, karena realitas social dari penelitian ini dimaknai oleh “orang dalam”. Melalui paradigm konstruktivis ini realitas social yang dimaknai tineliti dapat ditafsirkan. Artinya konstruktivisme berpijak pada tafsir atas tafsir. Tafsir dan analisisnya mengenai pemaknaan dan orientasi nilai dibangun berdasarkan life history sang aktor kapitalis. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan informasi yang sifatnya subyektif. Menurut Denzin dan Lincoln (1998) penelitian kualitatif adalah suatu penelitian yang menjadikan multi metode sebagai fokusnya, melibatkan pendekatan intrepetatif dan naturalistik terhadap pokok persoalannya. Artinya bahwa peneliti kualitatif mengkaji suatu masalah dalam situasi alami, yang tujuannya memberikan pemaknaan yang diletakkan pada fenomena yang sedang dikaji. Strategi penelitian adalah studi kasus. Studi kasus sendiri merupakan suatu bentuk eksplorasi terhadap suatu sistem yang terbatas (a bounded system) yang berupa kasus atau berbagai kasus melalui pengumpulan data yang detail dan mendalam yang melibatkan berbagai sumber informasi yang kaya dalam arti konteks. Sistem terbatas dimaksudkan terbatas dalam ruang dan waktu, dan yang dimaksud kasus dapat berupa suatu program, peristiwa, kegiatan, atau individu (Creswell, 1998 dalam Salam 2005). Penelitian studi kasus terutama sangat berguna untuk informasi latar belakang guna perencanaan penelitian yang lebih besar dalam ilmu-ilmu sosial. Karena studi yang demikian itu intensif sifatnya, studi tersebut menerangi variabel-variabel yang penting, proses-proses, dan interaksi-interaksi, yang memerlukan perhatian lebih luas. Penelitian kasus
114
itu merintis dasar baru dan seringkali menjadi sumber hipotesis-hipotesis untuk penelitian lebih jauh (Suryabrata, 1997). Menurut Sitorus (1999) penelitian studi kasus menggunakan pendekatan kualitatif yang memungkinkan dialog peneliti dan tineliti, sehingga kebenaran adalah kesepahaman bersama atas sebuah masalah berupa intersubjektifitas yang lahir akibat interaksi antara peneliti dan tineliti. Mengingat studi mengenai kapitalisme lokal adalah gejala yang mengandung dimensi-dimensi struktural maupun historis, maka menurut Sitorus (1999) agar kedua gejala tersebut tertangkap maka pilihan studi kasus pada penelitian tersebut harus memadukan dua pendekatan sekaligus antara lain menggunakan metode kasus historis studi riwayat hidup tineliti yang khas, sehingga ditemukan jawaban mengenai mengapa dan bagaimana suatu peristiwa/gejala
sosial
terjadi.
Kemudian
kajian
sejarah
lokal,
yang
memungkinkan perolehan pengetahuan mengenai perubahan sosial pada masyarakat Bajo Mola. Penelitian ini kemudian akan membandingkan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat Bajo Mola dengan Mantigola, untuk memperoleh pemahaman secara mendalam mengenai kapitalisme lokal masyarakat Bajo, evolusi nafkah, rasionalitas, dan worldview masyarakat Bajo. Penelitian dilakukan menjadi tiga tahap, antara lain : Matriks 5. Tahap-tahap Pelaksanaan Penelitian No
Tahap Penelitian
Kegiatan
Waktu
1.
Analisis Dokumen
Melakukan pengumpulan dan kajian literatur yang berkaitan dengan topik penelitian.
April-Juli 2010
2.
Pra survey
Melakukan penelusuran awal tempat penelitian. Dari tahap ini dapat diperoleh gambaran umum wilayah penelitian, kondisi fisik demografi, kependudukan, dan kondisi sosial lainnya.
Agustus-September 2010
3.
Penelitian Lapang dan analisis
Memahami gambaran umum rumahtangga nelayan Bajo Mola dan Mantigola, memahami bagaimana proses perkembangan kapitalisme
Februari-Maret, 2011
115
dari sisi proses perkembangan rasionalitas, perubahan pemaknaan masalah dasar kehidupan manusia, livelihood evolution sebagai hasil adaptasi dengan lingkungannya, dan perubahan moda produksi dari pra kapitalis ke kapitalis. 4.
Analisis dan Penyusunan Hasil Penelitian
Menganalisis fakta/temuan di lapangan
April-Juli 2011
5.
Verifikasi Hasil Penelitian
Memverifikasi hasil penelitian oleh tineliti (subyek penelitian) sebelum dipublikasi.
Juli 2011
6.
Publikasi
Mempublikasi hasil penelitian sebagai sumbangan ilmiah dalam pengembangan studi strategi nafkah pedesaan.
Agustus 2011
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di desa Mola dan Mantigola, Kabupaten Wakatobi, Propinsi Sulawesi Tenggara. Dimulai dari bulan Februari-Maret 2011. Lokasi dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa : 1. Mola adalah kampung Bajo terluas di Indonesia, dengan keunikan fenomena sosial terbentuknya gejala kapitalisme lokal. Sementara Mantigola adalah kampung Bajo tertua, dan dari aspek kesejarahan, Mantigola adalah wilayah asal Bajo Mola. Mantigola merupakan gambaran Bajo tradisional, yang masih mempertahankan nilai-nilai budaya asli masyarakat Bajo. 2. Berdasarkan kajian literatur ditemukan fakta bahwa nelayan Bajo Mola memiliki diversifikasi nafkah selain menggantungkan nafkahnya di laut. Serta munculnya gejala kapitalisme lokal, sesuatu hal yang sangat jarang terjadi pada masyarakat nelayan Bajo. 3. Memungkinkan secara finansial karena lokasinya mudah dijangkau.
116
3.3.
Teknik Pengumpulan data Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kualitatif field
research dimulai dengan perumusan masalah yang tidak terlalu baku dengan strategi
penelitian
studi
kasus.
Untuk
memperoleh
data,
maka
teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, observasi berperan serta, dan analisis dokumen. Sebagai bentuk penyimpanan data dari ketiga teknik yang digunakan, maka peneliti membuat catatan harian yang berisi hasil wawancara mendalam tineliti, dan hasil pengamatan berperan serta. Wawancara mendalam dilakukan dengan subyek kasus sebagai informan kunci yang telah ditentukan sebelumnya dengan mempertimbangan keterwakilan dari nelayan Bajo berdasarkan struktur penguasaan kapital. Untuk memahami perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat nelayan Bajo Mola maka studi riwayat hidup (life history) informan kunci dilakukan. Para informan kunci, ditentukan
secara
teknik
snowball.
Teknik
snowball
merupakan
teknik
pengumpulan kasus yang akan dijadikan sebagai sumber informasi dengan cara mengambil kasus-kasus dari kasus sebelumnya. Guna memahami fenomena sosial mengenai kapitalisme lokal masyarakat Bajo, maka peneliti mewawancarai sejumlah tokoh kunci antara lain para aktor-aktor kapitalis lokal Bajo Mola maupun Mantigola. Antara lain ponggawa besar, ponggawa menengah, ponggawa kecil, dan para pedagang-pedagang besar di Mola, dan ponggawa kecil di Mantigola. 3.4.
Analisa Data Untuk menganalisis data yang telah terkumpul, dalam penelitian ini
digunakan metode analisis data kualitatif. Analisa dilakukan dengan melakukan reduksi data. Reduksi dalam proses pengumpulan data meliputi kegiatan : (1) meringkas data; (2) mengkode ; (3) menelusur tema ; (4) membuat gugus-gugus; (5) membuat partisi; (6) membuat memo. Kegiatan ini berlangsung semenjak pengumpulan data sampai dengan penyusunan laporan. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat memberikan kesimpulan akhir (Sitorus, 1998).
117
4 KONTEKS SEJARAH DAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1.
Gambaran Umum Kepulauan Wakatobi Kepulauan Wakatobi dapat dijangkau dengan kapal laut selama 9 jam,
dengan pesawat terbang selama 30 menit dari Kendari ke Pulau Wangi-Wangi ibukota Kabupaten Wakatobi. Selain itu dari Kota Bau-Bau kapal pelayaran rakyat setiap hari berlayar menuju tiap pulau dengan waktu tempuh tercepat 9 jam dan terlama 16 jam atau dengan pesawat terbang selama 15 menit. Dari timur, pintu masuk dari Kota Ambon dengan kapal PELNI selama 12 jam, dengan kapal pelayaran rakyat Wakatobi selama 24 jam. Dari utara melalui Ternate dengan kapal rakyat selama 30 jam, dari arah lewat Flores dengan kapal pelayaran rakyat selama 8 jam. Dari pulau Wangi-Wangi, pulau-pulau dalam kawasan dapat ditempuh setiap hari, waktu terdekat 30 menit yakni pulau Kapota, terjauh 10-12 jam untuk pulau Runduma (freqwensi tergantung cuaca dan muatan). Pulau-pulau dalam gugusan Kepulauan Wakatobi memiliki topografi datar sampai berbukit. Empat pulau utama, berpenghuni dan memiliki ukuran lebih besar memiliki variasi ketinggian : (1) Pulau Wangi-Wangi, topografi lebih rendah di sebelah selatan dibanding bagian utara. Puncak tertinggi ± 225 m dpl ; (2) Pulau Kaledupa, topografi lebih rendah di bagian utara dibanding bagian selatan, memiliki puncak tertinggi ± 200 m dpl ; (3) Pulau Tomia, topografi rendah dibagian barat, dan lebih tinggi di pantai timur, memiliki puncak tertinggi ± 250 m dpl. (3) Pulau Binongko, topografi lebih rendah dibagian timur, lebih tinggi pada bagian barat, memiliki puncak tertinggi ± 225 m dpl. Topografi laut umumnya datar di lepas pantai, dan di luar karang tepi dan daerah gosong merupakan tubir terjal. Dari hasil citra landsat dasar perairan laut merupakan gabungan jurang dan gunung-gunung bawah laut dengan variasi kedalaman 250 – 5000 meter, masuk perairan laut Banda (TNW 2008 dalam Hanan, 2010). 4.2.
Gambaran Umum Bajo Mola Desa Mola merupakan wilayah perkampungan Bajo terbesar di
Kepulauan Wakatobi. Luas wilayah Kampung Mola sebesar 8,3 Km2. Saat ini kampung Bajo Mola terpecah menjadi lima desa, antara lain (1) Desa Mola Selatan (3,70 Km2) ; (2) Desa Mola Utara (0,76 Km2) ; (3) Desa Mola Samaturu (0,74 Km2) ; (4) Desa Mola Nelayan Bakti (0,80 Km2) ; (5) Desa Mola Bahari
118
(2,30 Km2). Secara administrative, Kampung Bajo Mola, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Desa Mandati. Sebelah Selatan berbatasan dengan pulau Kapota, dan laut Numana dan sebelah Barat berbatasan dengan Laut Banda. Selain menjadi kampung Bajo terluas di Kepulauan Wakatobi, Mola juga menjadi Kampung Bajo terpadat di Wakatobi. Misalnya saja wilayah Mola Utara dengan kepadatan penduduk 1163 jiwa/Km2.. Selanjutnya Mola Bahari 1505 jiwa/Km2. (Tabel 1). Jumlah rumahtangga nelayan di Kampung Mola sebanyak 1212 rumahtangga dengan rata-rata jumlah penduduk per rumahtangga 5-6 orang. Tabel 1. Kepadatan Penduduk Menurut Desa Tahun 2007-2008 Luas
Penduduk
Kepadatan
(Km)
2008
2009
2008
2009
1 Mola Selatan
3,70
1890
2,160
511
584
2 Mola Utara
0,76
866
884
1139
1163
3 Mola Bahari
0,80
1092
1204
1365
1505
4 Mola Nelayan Bakti
2,30
1592
1681
692
731
5 Mola Samaturu
0,74
814
955
1100
1290
No
Desa
Sumber : BPS Kecamatan Wangi-wangi Selatan, 2010. Merujuk data BPS Kecamatan Wangi-wangi Selatan, 2010, mengenai distribusi penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin, menunjukkan bahwa komposisi penduduk Kampung Bajo Mola cenderung menunjukkan angka kelahiran yang tinggi. Angka rasio beban tanggungan cenderung tinggi. Karena jumlah penduduk usia non produktif jauh lebih besar dibandingkan penduduk usia produktif. Komposisi penduduk seperti ini memberikan indikasi bahwa daerah Mola mulai mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat sebagai akibat turunnya angka kematian bayi dan anak yang cukup berarti, sementara belum terjadi penurunan tingkat fertilitas. Rasio jenis kelamin yang dinyatakan sebagai perbandingan jumlah laki-laki per 100 perempuan (Rusli, 1995) pada Kampung Mola menunjukkan nilai sebesar 484. Artinya terdapat jumlah 484 penduduk laki-laki per 100 orang perempuan (Tabel 2 dan Gambar 2).
119
Gambar 2. Piramida Penduduk Kampung Bajo Mola, 2010.
120
Tabel 2. Penduduk Kampung Bajo Mola Berdasarkan Desa Menurut Umur dan Jenis Kelamin, 2010 Mola Nelayan Mola Selatan Kelomp
Mola Utara
Pere
Bakti
Mola Bahari
Pere
Mola Samaturu
Jumlah
Pere
Pere
ok
Laki-
mpua
laki-
mpua
Laki-
Perem
Laki-
mpu
Laki-
Perem
Laki-
mpu
Umur
laki
n
laki
n
laki
puan
laki
an
laki
puan
laki
an
0–4
121
94
48
39
68
52
88
77
51
43
376
305
5–9
141
129
56
55
79
71
103
106
59
59
438
420
10 – 14
136
119
54
50
77
66
100
99
58
55
425
389
15-19
109
128
43
53
61
71
79
106
46
59
338
417
20-24
74
75
29
32
41
41
53
62
31
34
228
244
25-29
65
94
26
39
37
52
48
77
28
43
204
305
30-34
71
79
29
33
40
43
52
65
30
37
222
257
35-39
81
69
32
29
45
38
58
57
34
32
250
225
40-44
75
63
30
27
42
35
54
52
31
29
232
206
45-49
63
51
25
21
36
28
46
42
27
23
197
165
50-54
47
41
18
17
26
22
34
33
21
19
146
132
55-59
21
23
9
10
13
13
16
19
10
10
69
75
60-64
26
29
11
12
15
16
19
24
11
13
82
94
65+
58
80
24
34
33
45
43
66
24
38
182
263
1088
1074
434
451
613
593
793
885
461
494
3389
3497
Jumlah
Sumber : BPS Kecamatan Wangi-wangi Selatan, 2010. Pada umumnya, mata pencaharian utama penduduk Kampung Mola adalah sebagai nelayan. Berdasarkan data BPS Kecamatan Wangi-wangi Selatan, 2010, jumlah nelayan tangkap di Kampung Bajo Mola berjumlah 1919 orang, dan jumlah nelayan budidaya ikan maupun rumput laut sebanyak 20 orang. Jenis alat tangkap serta jenis armada penangkapan ikan nelayan-nelayan Bajo di Kampung Bajo Mola, relative bervariasi, dimulai dari jenis yang tradisional hingga modern. Sebanyak 200 buah pukat, 343 jaring, 1389 buah pancing, 5 buah lamba, 5 buah gae, dimiliki oleh nelayan di Kampung Mola. Sementara jenis armada yang dipakai oleh nelayan di Mola, antara lain 15 buah kapal motor, 165 kapal motor tempel, dan 222 perahu tanpa motor bisa dalam bentuk koli-koli, atau perahu kecil dengan layar (Tabel 3).
121
Tabel 3. Jenis dan Jumlah Alat Penangkap Ikan, dan Jumlah Kendaraan Penangkap Ikan, Mola, 2010. Jenis Alat Tangkap dan
Jumlah Kendaraan Penangkap Ikan
Kendaraan
Jumlah Alat Penangkap Ikan
Perahu
Penangkapan
Kapal
Motor
Tanpa
Ikan
Motor
Tempel
Motor
Pukat
Jarring
Pancing
Perangkap
Lainnya
Mola Selatan
0
86
51
0
20
351
0
0
Mola Utara
1
0
0
0
6
2
0
0
Mola Samaturu
6
78
140
200
300
500
0
0
Mola Bahari
2
0
52
0
10
236
0
10
6
1
30
0
7
300
0
0
15
165
273
200
343
1389
0
10
Mola Nelayan Bakti Jumlah
Sumber : BPS Kecamatan Wangi-wangi, 2010. 4.3.
Gambaran Umum Bajo Mantigola Desa Mantigola terletak di Kepulauan Wakatobi berada pada jazirah
tenggara Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara umum Kepulauan Wakatobi memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : (1) Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda ; (2) Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda (3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores ; (4) Sebelah Barat berbatasan dengan perairan Kabupaten Buton. Desa Mantigola sendiri disebelah utara berbatasan dengan Desa Sombano, disebelah selatan dengan Laut Flores, disebelah timur dengan Desa Horuo dan disebalah barat dengan Karang Kaledupa. Luas Desa Mantigola sekitar 1.50 km2, dengan persentase dari Pulau kaledupa sebesar 3.30%. Bajo Mantigola tetap mempertahankan ciri khas pemukiman tradisional Bajo dengan ciri khas bertempat tinggal di suatu rumah yang terbuat dari kayu dan bambu. Mulai dari jalan raya terlihat jembatan-jembatan bambu yang menyebar ke seluruh rumah-rumah. Jembatan tersebut dipergunakan ketika air laut sedang surut, sebab ketika air laut sedang naik, nelayan Bajo Mantigola lebih senang menumpangi perahu dayung yang khusus dipergunakan untuk mengambil air minum di daratan.
122
Kepadatan penduduk desa mantigola juga tergolong rendah. Berdasarkan Data BPS Kecamatan Kaledupa, 2010 diinformasikan bahwa pada tahun 2008 kepadatan penduduk Mantigola sebesar 360 jiwa/Km2. Sementara pada tahun 2009 kepadatan penduduk Mantigola sebesar 357 jiwa/Km2. Laju pertumbuhan penduduk desa Mantigola sendiri cenderung rendah. Berdasarkan Data BPS Kecamatan Kaledupa, 2010 menunjukkan bahwa pada tahun 2008 sebesar 536 jiwa. Sementara pada tahun 2009 jumlah penduduk desa Mantigola hanya sebesar 793 jiwa. Populasi penduduk yang relative lebih rendah ditunjukkan dari proporsi penduduk pulau Kaledupa, dimana Mantigola menyumbang 5% penduduk dalam jumlah populasi penduduk Pulau Kaledupa. Gambaran penduduk Desa Mantigola menurut kelompok umur dan jenis kelamin (Tabel 4 dan Gambar 3) menunjukkan proporsi jumlah penduduk laki-laki dengan perempuan yang seimbang. Proporsi penduduk laki-laki sebesar 398 jiwa atau 50,2%, dan proporsi perempuan sebesar 394 jiwa atau 49,8%. Dari data juga diperoleh gambaran bahwa rasio beban tanggungan yang tinggi, karena jumlah penduduk yang non produktif lebih besar daripada jumlah penduduk produktif.
123
Tabel 4.
Penduduk Desa Mantigola Makmur Menurut Umur dan Jenis Kelamin, 2010 Jenis Kelamin
Kelompok
Laki-
Laki-laki +
Umur
laki
Perempuan
Perempuan
0–4
42
32
74
5–9
48
48
96
10 – 14
51
45
96
15-19
30
32
62
20-24
21
23
44
25-29
18
32
50
30-34
27
34
60
35-39
33
25
58
40-44
27
25
52
21
22
43
50-54
24
22
46
55-59
12
10
22
60-64
16
13
30
65+
28
31
59
Sumber : Data BPS Kecamatan Kaledupa, 2010
Sumber : Data BPS Kecamatan Wangi-wangi Selatan, 2010 diolah. Gambar 3. Piramida Penduduk Desa Mantigola Makmur, 2010.
124
Jumlah armada penangkapan ikan yang ada di Kabupaten Wakatobi telah mengalami penurunan dari 3129 unit pada tahun 2005 menjadi 1171 unit pada tahun 2009. Penurunan jumlah unit armada penangkapan pada dasarnya disebabkan armada penangkapan sudah banyak yang tidak beroperasi lagi dan belum dilakukan peremajaan unit armada penangkapan. Sedangkan apabila dilihat dari struktur armada yang ada, maka didominasi oleh jenis armada perahu tanpa motor dengan jumlah 698 unit pada tahun 2009, selanjutnya disusul oleh armada motor tempel dengan jumlah 413 unit dan kapal motor dengan jumlah 69 unit. Perkembangan armada selama 5 tahun terakhir dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini. Dominannya armada perahu tanpa motor ini mengindikasikan bahwa nelayan di wakatobi merupakan nelayan artisal yang jangkauan daerah beroperasinya berada di sekitar karang dekat pantai yang tidak jauh jaraknya dari pulau-pulau di perairan wakatobi. Di Desa Mantigola sendiri, Jumlah nelayan aktif sebanyak 140 orang. Jumlah alat penangkapan ikan menurut jenisnya (Tabel 5), nampak bahwa alat tangkap pancing dominan digunakan oleh nelayan Bajo Mantigola. Di Mantigola terdapat 13 buah pukat, 8 jaring, menggunakan perangkap 10, 3 buah rompong, dan 30 alat tangkap pancing. Sementara jumlah perahu, kapal penangkap ikan, hanya terdapat 1 buah kapal motor, dan 30 buah perahu tanpa motor. Tabel 5. Jumlah Nelayan, Jumlah Perahu, Kapal Penangkap Ikan, dan Jumlah Alat Penangkapan Ikan Menurut Jenisnya di Desa Mantigola 2010. Desa /
Jumlah
Kelurahan
Nelayan
Jumlah Alat Penangkapan Ikan
Jumlah Perahu, Kapal Penangkapan Ikan
tangkap
Puk
(Orang)
at
Jaring
Pancing
Perangka
Lain-
Kapal
Motor
Perahu
p
lain
Motor
Tempel
tanpa Motor
Mantigola
140
13
8
30
10
3
1
0
30
Sumber : BPS Kab. Wakatobi, 2010. 4.3.
Gambaran Potensi Sumber Daya Alam Beberapa spesies terlindungi dapat ditemukan pada kawasan ini, antara
lain penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), lumbalumba (Delphi nusdelphis, Stenella longiotris, Tursiops truncatus), ikan napoleon (Cheilinus undulatus) kima (Tridacna sp), Lola (Trochus sp), ketan kenari (Birgus latro). Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) dijumpai pada daerah karang yang
125
kondisinya relative baik. Kepiting kenari dijumpai pada lubang-lubang batu di Pulau Oroho (Kompona One), Simpora, Kapota, Hoga, Lentea Tomia, Runduma, Wangi-Wangi, Tomia, Binongko. Kondisi tekstur tanah didominasi batu-batu cadas merupakan habitat dari hewan ini dan memiliki sumber makanan yakni kelapa. Kepiting kenari melimpah pada musim penghujan dan bulan gelap (TNW 2008). Laporan Rapid Ecological Assesment (REA) 2003, ditemukan 396 spesies karang scleractinia hermatipic, terbagi dalam 68 genus dan 15 famili, dimana rataan setiap stasiun pengamatan berkeragaman 124 spesies. Sebanyak 10 spesies karang keras non scleractinia atau ahermatipic dan 28 genera karang lunak juga berhasil dicatat. Tingkat keragaman ini termasuk relatif tinggi bila dihubungkan dengan keragaman habitat yang disurvei yang cenderung rendah keragamannya dan ini merupakan sebuah indikasi dimana Wakatobi terletak di pusat keanekaragaman hayati terumbu karang (TNW 2008). Berdasarkan penelitian The Nature Conservancy (TNC), sebanyak 590 spesies ikan dari 52 famili ditemukan di perairan TNW. Famili-famili paling beragam
spesiesnya
antara
lain
jenis-jenis
wrase
(Labridae),
damsel
(Pomacentridae), kerapu (Serranidae), kepe-kepe (Chaetodontidae), surgeon (Acanthuridae), kakatua (Scaridae), cardinal (Apogonidae), kakap (Lutjanidae), squirrel (Holocentridae), dan angel (Pomacanthidae). Kesepuluh famili ini meliputi hampir 70% dari total hewan yang tercatat REA 2003. Hampir lebih dari 80% lokasi yang disurvei selama REA berada pada peringkat yang menunjukkan satu tingkat keragaman yang tinggi dari seluruh lokasi yang disurvei dan menempatkan wilayah ini pada posisi dua tertinggi dari 33 daerah yang telah lebih dulu disurvei untuk informasi yang sama (TNW 2008). REA 2003 mencatat sebanyak 31 spesies karang fungi (mushroom) dari 29 sampai 31 lokasi sampel. Walaupun Wakatobi adalah pusat dari keanekaragaman hayati, wilayah ini tidak cukup kaya akan karang fungi. Satu faktor pembatas keragaman karang fungi di Wakatobi adalah keragaman habitat yang relatif rendah; dibandingkan dengan daerah lain seperti Kepulauan Spermonde di Sulawesi Barat Daya, setidaknya dua tipe habitat yang berbeda yang secara umum kumpulan karang fungi berkumpul (terumbu berpasir di kedalaman dan terumbu yang dipengaruhi aliran air tawar dari sungai) tidak
126
terlalu banyak. Spesies fungi yang ditemui di Wakatobi mencakup sebagian besar yang biasanya ditemukan di lokasi lepas pantai di area dengan suatu landas kontinen seperti Spermonde. Sebagai perbandingan kumpulan fungi ini mirip dengan yang ada di Sulawesi Utara dan Kepulauan Togian dimana keduanya jarang terdapat habitat terumbu berpasir di kedalaman. Terkait dengan jenis karang scleractinia, secara umum walaupun agak beragam, tidak menunjukkan adanya sesuatu yang unik – bisa jadi karena rendahnya tingkat keragaman habitat yang ada. Meskipun begitu REA 2003 mencatat beberapa temuan yang cukup menarik, yaitu adanya suatu kumpulan karang di area hamparan padang lamun (seperti Catalaphyllia Jardineri, Fungia (Cycloseris) sinensis dan F. (C.) cyclolites- dimana pada umumnya ada di kedalaman). Ada juga, suatu perubahan warna yang tidak biasa pada Hydrocoral Distichopora Violacea (dimana cabang yang diamati mempunyai suatu pita putih di bawah ujung berwarna) ditemukan dan mungkin merupakan suatu subspesies endemik Sulawesi Tenggara (TNW 2008). Selama REA, 31 spesies dari foraminifera berhasil dikoleksi dimana 9 diantaranya belum dapat diidentifikasi atau memerlukan pengamatan lebih lanjut untuk menentukan jenis taksonomi yang tepat. Ini merupakan jumlah yang tinggi dibandingkan dengan keragaman di lain tempat di Indo-West Pacific yang pernah diamati (seperti Cebu, Kepulauan Spermonde di Sulawesi, dan Bali). Secara umum tiga kelompok foraminifera dapat diidentifikasi : hamparan terumbu (reef flat), dan bagian dalam laguna dan terumbu miring. Hamparan terumbu yang meluas di daerah ini, sebagian besar ditutupi padang lamun, merupakan habitat penting bagi foraminifera, seperti halnya di bagian dalam laguna atol – keduanya merupakan rumah bagi sejumlah spesies foraminifera yang unik. Keragaman yang tinggi, pembagian habitat yang tinggi dan densitas yang tinggi (dikombinasi dengan densitas yang rendah dari foraminifera yang non simbiose) menunjukkan bahwa kondisi pertumbuhan terumbu di wilayah ini sangat baik (TNW 2008). Terdapat 34 spesies dari 8 famili dan 16 genus yang telah diobservasi REA 2003. Dua spesies yang terkumpul belum dapat diidentifikasi, dari genus Gonodactylopsis dan genus Chrosquilla yang ditemukan pada kedalaman 20 meter pada dinding vertikal. Seperti yang diharapkan, spesies-spesies yang ditemukan di Wakatobi mencerminkan spesies-spesies yang dominan di perairan jernih tipikal dari terumbu yang menghadap ke laut dalam atau laut lepas.
127
Koleksi yang ada menambah jumlah spesies stomatopoda terumbu yang sudah diketahui, menempatkan Wakatobi sejajar dengan Kepulauan Raja Ampat yang memiliki jumlah tertinggi untuk spesies stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu. Jelas bahwa TNW merupakan tempat yang memiliki keanekaragaman memperkuat
stomatopoda
arti
penting
yang
kawasan
berasosiasi konservasi
dengan ini
terumbu
bagi
yang
pelestarian
keanekaragaman hayati (TNW 2008). Ditemukan sejumlah 647 ekor Serranidae dan 29 ekor Napoleon Wrasse Chelinus undulatus. Dari kerapu yang dicatat, hanya 100 ekor (kurang dari 1/6) merupakan spesies yang memiliki nilai tinggi dalam perdagangan ikan karang hidup (umumnya spesies Epinephelus dan Plectropomus). Bahkan bila kita secara konservatif menduga hanya 50% dari species target yang ada yang tercatat, total sejumlah 260 target spesies dalam waktu observasi selama 20 jam menunjukkan bahwa densitas yang relatif rendah dan ini menunjukkan telah terjadi tekanan dari usaha perikanan yang tinggi pada spesies ini (TNW 2008). Terdapat 9 jenis lamun ditemukan di perairan Wakatobi dari 12 jenis yang ada di Indonesia. Penelitian CRITC COREMAP-LIPI (2001) menyatakan bahwa secara
umum
padang
lamun
di
perairan
Wakatobi
didominasi
oleh
Thalassodendron ciliatum, dengan persentase tutupan 66%, kerapatan 738,2 tegakan/m2 dan total biomassa 236,21 gram berat kering/m2 (TNW 2008). Dari monitoring bersama BTNW dan joint program TNC-WWF sampai tahun 2006 tercatat 11 jenis cetacean ditemukan antara lain paus sperma (sperm whale), paus pemandu (pilot whale), paus bongkok (humpback whale), paus biru (blue whale), lumba-lumba hidung panjang (spinner dolphin) dan lumba-lumba hidung botol (bottle-nosed dolphin) (TNW 2008). Dua jenis penyu yakni penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas) ditemukan di perairan Wakatobi. Monitoring BTNW dan TNCWWF menemukan 5 lokasi dominan tempat peneluran penyu, yaitu Pulau Runduma, Anano, Kentiole, Tuwu-Tuwu (Cowo-Cowo) dan Moromaho (TNW 2008). Beberapa jenis mangrove yang ditemukan di TNW tercatat 22 jenis dari 13 famili mangrove sejati, antara lain : Rhizophora stylosa, Sonneratia alba, Osbornia octodonta, Ceriops tagal, Xylocarpus moluccensis, Scyphiphora
128
hydrophyllacea, Bruguiera gymnorrhiza, Avicennia marina, Pemphis acidula, dan Avicennia officinalis. Monitoring BTNW dan joint program TNC-WWF tahun 2006 menjelaskan kondisi mangrove sedang sampai baik. Pulau dengan mangrove terluas adalah Pulau Kaledupa, meliputi hampir seluruh garis keliling pulau. Tekanan manusia cukup tinggi atas mangrove di Pulau Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia. Sedangkan untuk Binongko kondisi mangrove relatif terjaga, karena status mangrove di Binongko kebanyakan adalah hutan adat (TNW 2008). 4.5.
Sejarah Kedatangan Suku Bajo di Kepulauan Wakatobi dan Kronologi Perubahan Sosial di Bajo Mola dan Mantigola Asal usul masyarakat Bajo sampai sekarang belum terindentifikasi
dengan
jelas.
Hal
tersebut
disebabkan
karena
banyaknya
versi
yang
berkembang mengenai sejarah asal usul suku bangsa tersebut. Seorang administrator Portugis yang bertempat tinggal di Malaka, Tome Pires orang Eropa pertama yang menulis tentang orang Bajo (distilahkan sama) pada tahun 1515, menyatakan bahwa orang Bajo yang tinggal di Makassar adalah bajak laut yang terbesar di dunia. Mereka berlayar dari Makassar menuju Pegu, Maluku, Banda dan pulau-pulau lain di sekitar Jawa (Spillet dalam Zada Ua, 1996 : 2530). Sementara menurut Soesangobeng dalam Suyuti, 2004. Orang Bajo berasal dari Wajo Sulawesi Selatan, dengan melihat persamaan nama antara “Bajo dengan Wajo”. Sementara menurut legenda, di daerah Bone tempat tinggal orang Bajo, burung-burung bertelur sangat banyak di pohon “Balingre”. Pohon itu roboh dan telur-telur itu pecah membanjiri daerah tersebut. Orang Bajo kemudian pergi meninggalkan rumah-rumah mereka dan membuat perahu-perahu sebagai tempat tinggal mereka (Zacot, 2002). Sementara menurut versi sebagian orang Bajo yang ada di Sulawesi Tenggara, orang Bajo berasal dari kampung Ussu, Cerekang, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Menurut peristilahan mereka kata Bajo berasal dari bahasa Bugis ta’bajo-bajo yang berarti terbayang-bayang, dimana pada saat itu orang Bugis di kampung Ussu melihat sekelompok orang-orang ditengah laut, sehingga nampak terbayang-bayang (Suyuti, 1995) Culture Contact and Language Convergence (1985) dalam Pallesen (1985)
melakukan studi komprehensif mengenai asal usul suku Bajo, studi
didasarkan pada fakta-fakta mengenai asal bahasa dari Suku Bajo. Studi ini menyimpulkan bahwa Suku Bajo di Indonesia khususnya Bajo Mola berasal dari
129
wilayah Filipina bagian Selatan. Pada awalnya suku Bajo bermukim di wilayah Basilan, di wilayah Zamboanga, Selatan pulau Mindanao, dan sepanjang pesisir pulau Basilan di bagian tenggara laut Sulu yang diperkirakan pada Abad ke sembilan. Pada Abad ke sebelas dimulailah migrasi masyarakat Bajo, sejumlah kelompok terbagi-bagi dan terpencar-pencar. Ada kelompok yang bergerak menuju Barat daya melalui Sulu, dan melewati sepanjang pesisir Timur Laut pulau Kalimantan. Kemudian ada beberapa kelompok (kelompok Kalimantan bagian Utara dan Jama Mapun) yang kemudian melanjutkan pengembaraan dan bergerak ke bawah sekitar wilayah Timur Kalimantan (melalui Tawau dan Tarakan) (Pallesen 1985:121). Sather (1993) dalam Stacey (1999) berpendapat bahwa pergerakan masyarakat Bajo menuju Selatan Sulu dan Kalimantan diakselerasi oleh ekspansi dari jalur maritim setelah menemukan pemerintahan kesultanan Sulu pada abad ke 15. dari wilayah pesisir Timur dari Kalimantan, atau langsung dari Selatan Sulu, masyarakat Bajo berpencar menuju ke selatan menuju ke selat Makassar kemudian tiba di sepanjang pesisir Sulawesi dan berpencar keluar menuju bagian lain di Indonesia, kadang-kadang juga masyarakat Bajo berpencar sampai ke wilayah Eropa. Berdasarkan mitos dan legenda masyarakat Bajo di pulau Sulawesi (dan Bajo lainnya di Sabah dan Sulu), kampung halaman mereka adalah dari Johor semenanjung Malaysia. Dari Johor kemudian masyarakat Bajo terpencar ke Sulawesi Selatan dan kemudian menjalin hubungan lebih lanjut dengan kerajaan Luwu, Gowa dan Bone (Pallesen, 1985:5). Masyarakat Bajo yang bermukim di Kepulauan Wakatobi rupanya juga memiliki versi yang sama mengenai asal usul mereka. Menurut cerita putri Bajo yang berasal dari Johor yang setelah terpisah dari keluarganya kemudian bermukim di Sulawesi Selatan selanjutnya menikah dengan raja Makassar, kemudian dianugrahi empat orang anak yang kemudian mereka terpencar dan menguasai kerajaan Gowa, Bone, Luwu dan Soppeng. Keempat anak dari wanita Bajo ini berhasil mengembangkan kekuasaannya karena didukung oleh Kerajaan Johor (sebagai kerajaan terbesar Malaysia). Sather (1997) dalam Stacey (1999) mengungkapkan bahwa mitos ini lebih berhubungan dengan ideologi politik dan subordinasi dari masyarakat maritim di dalam rangkaian jalur perdagangan maritim daripada hanya sekedar bermigrasi yang sesungguhnya.
130
Orang Bajo untuk pertama kali membayar pajak pada tahun 1916, pajak tersebut disebut dengan kasudia, yang merupakan sejumlah kecil uang yang tidak mau mereka bayarkan kepada pemerintah kolonial Belanda. Pajak ini dikumpulkan di kapita, yaitu semacam kantor perbendaharaan negara (ada satu di setiap daerah). Kemudian pajak tersebut diserahkan seluruhnya kepada Raja Bone (Sulawesi Selatan, daerah orang Bugis). Semua Orang Bajo di Sulawesi berbuat demikian (Zacot, 2008). Penyebaran dan kemudian menetapnya masyarakat Bajo di Sulawesi Selatan memberikan hubungan yang sangat erat dengan ekspansi ekonomi maupun politik kerajaan Bugis dan Makassar, serta pengembangan jalur perdagangan di seluruh Nusantara khususnya komoditas perikanan, khususnya teripang dan kulit penyu, sampai pada pesisir utara Australia (Fox dalam Stacey, 1999). Menurut Sopher (1977) dalam Stacey (1999) perdagangan teripang dan kulit penyu di wilayah Timur Indonesia secara historis didominasi oleh masyarakat Bajo, dan lokasi pencarian komoditas ini rupanya merupakan faktor penting di dalam penyebaran masyarakat Bajo di setiap wilayah Nusantara. Di Indonesia bagian Timur, masyarakat Bajo ditemukan telah tersebar secara luas dari Kalimantan Timur, dan Sulawesi melewati Maluku dan kurang lebih sepanjang Kepulauan Sumba bagian Selatan. Bajo yang tinggal di Sulawesi Selatan bermukim di pesisir Ujung Pandang (sekarang Makassar) dan di pulau Spermonde, kemudian sepanjang pesisir teluk Bone, dan lepas pantai pulau Sembilan (Pelras, 1972 dalam Stacey, 1999), kemudian di kepulauan di laut Flores (antara lain Selayar, Tanah Jampea, Bonerate, Karompa). Di Sulawesi Tenggara
pemukiman Bajo ada di Kabaena, Muna, Buton, dan Kepulauan
Tukang Besi5, Pulau Tiworo, Teluk Kendari, dan Pulau Wawonii, dan bagian Utara La Solo. Di Sulawesi Tengah pemukiman Bajo terdapat di pesisir Timur dan di pulau Salabanka, Banggai, dan Kepulauan Togian. Di Sulawesi Utara, masyarakat Bajo bermukim di Teluk Tomini, Gorontalo dan Menado (Zacot, 2002). Selanjutnya Masyarakat Bajo juga bermukim dekat kota Balikpapan di bagian Timur Kalimantan. Di Utara Maluku, Komunitas Bajo ada di kepulauan Sula (Taliabo, Senana, dan Sular), Kepulauan di bagian Selatan Halmahera, di Gala, Jo Ronga, Kubi, Katinawe, dan pulau Dowora, Kepulauan Bacam, Pulau 5
Saat ini telah menjadi Kabupaten Wakatobi, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Buton. Kabupaten Wakatobi terdiri dari empat kecamatan, antara lain Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia dan Binongko.
131
Obit dan Kepulauan Kayoa. Di Nusa Tenggara Timur dan di Nusa Tenggara Barat, komunitas Bajo dapat ditemukan di Lombok, Sumbawa, Flores, Adonara, Lomblem, Pantar, Timor, dan Kepulauan Roti, dan pulau-pulau kecil di lepas pantai yang berlokasi dekat dengan pulau-pulau besar ini (Verheijen, 1986 dalam Stacey, 1999). Memahami keberadaan Suku Bajo adalah hal yang penting, khususnya adat istiadat yang lahir dari dinamika social suku tersebut. Secara leksikal, Suku Bajo dalam bahasa Lamaholot yang artinya mendayung perahu. Pada beberapa tempat di Flores Timur kelompok ini disebut Wajo, yakni mendayung, alat mendayung perahu. Watan artinya Pantai, keseluruhannya hidup di pesisir pantai. Besidu artinya rumah panggung di atas air, kehidupan di atas air laut, bertengger di atas air laut (Saad, 2009).Di Kepulauan Wakatobi, suku Bajo dikenal dengan sebutan “Wa’du” yang artinya pendatang dari laut. Orang-orang Bajo sendiri, termasuk juga yang menetap di Kepulauan Wakatobi menyebut dirinya sebagai Sama. Sama diartikan sebagai setara, tidak ada yang berbedabeda, semua orang Bajo
sederajat.
Dari beberapa sumber penelitian
menyebutkan bahwa suku Bajau diartikan juga sebagai bajak laut. Menurut antropolog, hal tersebut berawal dari sejarah bahwa kalangan perompak di zaman dahulu diyakini berasal dari suku Bajo, yang artinya suku perompak. Banyak versi yang menyebutkan mengenai asal usul kedatangan suku Bajo di Sulawesi. Menurut Saad (2009) ada versi yang cukup melegenda, konon nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Kemudian sebuah penelitian sejarah lain yang mengacu pada naskah lontara tentang asal usul suku Bajo dan ditulis oleh orang Bajo bahwa suku Bajo merupakan keturunan nabi Adam yang pertama kali bermukim di Ussu Kerajaan Luwu Sulawesi Selatan. Bencana banjir di kerajaan tersebut mengakibatkan banyak orang Luwu mengungsi ke kerajaan Gowa, termasuk orang Bajo yang dipimpin oleh Ipapu (Anwar, 2006). Menurut Mbo’, seorang nenek yang telah berusia hampir 90 tahun lebih, Orang Bajo di Wakatobi berasal dari negeri Johor. Konon menurut Mbo’ seorang putri raja yang sangat rupawan dari negeri Johor hanyut dan terdampar di negeri Gowa, Raja Johor yang kehilangan putrinya segera memerintahkan seluruh rakyatnya untuk mencari Tuan Putri sampai dapat. Maka berlayarlah rakyat Johor secara berkelompok dengan dayung-dayungnya. Akan tetapi putri yang mereka
132
cari belum juga ditemukan, dan enggan kembali ke Johor, dan melanjutkan perburuannya. Pada akhirnya mereka tetap hidup di lautan atau menetap di pinggir pantai untuk beristirahat dan mencari air tawar. Biasanya orang-orang Bajo memilih tempat yang teduh artinya bebas dari terjangan ombak besar. Kelompok orang-orang Bajo yang hidup berpindahpindah dengan dayung-dayungnya atau soppe-soppe akhirnya berpencar ada yang ke Gorontalo, Bone, Menui, sementara kelompok lainnya yang saat ini mendiami kepulauan Wakatobi singgah di pulau-pulau di Pasar Wajo, Kabupaten Buton. Di Perairan Pasar Wajo tersebut kelompok soppe-soppe berkumpul. Keberadaan orang-orang Bajo di Pasar Wajo tentulah atas izin Sultan Buton6. Alkisah adalah Abdul Djaelani, lelaki Bajo dari Pasar Wajo yang diutus oleh Sultan Buton untuk membuka wilayah pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, 6
Banyak versi yang mengemukakan sejarah kedatangan suku Bajo dan menetapnya suku Bajo di Kepulauan Wakatobi. Menurut Stacey (1999) lokasi awal kedatangan dan menetapnya masyarakat Bajo di kepulauan Wakatobi adalah di Lembonga, yang lokasinya saat ini dekat dengan Bajo La Hoa tepat sebelah utara tenggara Pulau Kaledupa. Kemudian orang-orang Bajo pada akhirnya pindah ke sisi lain Pulau Kaledupa yang saat ini dikenal dengan Desa Mantigola untuk menangkap ikan saat musim Timur, dan kembali lagi ke tempat semula untuk menangkap ikan pada saat musim Barat. Dibangunnya Desa Mantigola sebagai pemukiman yang tetap masyarakat Bajo saat itu atas izin Sultan Buton sebagai pemimpin pemerintah yang diakui oleh masyarakat Bajo. Alasan masyarakat bajo memilih Mantigola sebagai lokasi pemukiman yang permanen adalah karena Mantigola sangat dekat dengan Karang Kaledupa dibandingkan jika tinggal di Lembonga. Nama Mantigola sesungguhnya berasal dari kata menanti gula. Cerita yang melatarbelakangi pemberian nama ini karena dahulu adanya hubungan perdagangan antara pulau-pulau di Wakatobi dengan masyarakat di pulau Roti. Biasanya pedagang di Binongko berlayar ke pulau Roti untuk membeli gula air (gula dari pohon lontar) kemudian dijual kembali ke Wakatobi dan sangat diminati oleh orang-orang Bajo. Kemudian menurut versi Kasmin (1993) dalam Stacey (1999) menyatakan bahwa sebelum orang-orang Bajo datang ke kepulauan Tukang Besi (saat ini Wakatobi), orangorang Bajo tinggal di Pasar Wajo (di Pesisir Pantai selatan pulau Buton). Pada tahun 1850-an, beberapa perahu bidu’ dan perahu soppe melakukan survey untuk melihat kondisi dari wilayah kepulauan Tukang Besi. Kemudian dari survey itu, mereka menemukan pulau-pulau yang sangat strategis untuk dijadikan pemukiman dan kaya akan hasil laut. Setelah itu mereka kembali ke Pasar wajo untuk meminta izin kepada Sultan Buton, dan gayung pun bersambut, Sang Sultan memberikan izinnya kepada orang-orang Bajo untuk pindah ke kepulauan Tukang Besi. Kepindahan orang-orang Bajo ke Kepulauan Tukang Besi dipimpin oleh dua punggawa, pertama adalah Puah Kandora, dan Puah Doba. Mereka berlayar secara berkelompok dalam beberapa perahu dengan beberapa kepala keluarga di tiap-tiap perahunya. Pemberhentian pertama di Lia di Pulau Wangi-wangi. Kemudian perjalanan di lanjutkan ke Lembonga sebelah utara tenggara Pulau Kaledupa, dan kemudian menetap sementara di perahu bidu atau soppe dan kemudian mencari kehidupan dengan berburu dan meramu hasil-hasil laut. Dan pada waktu itu, mereka tetap hidup dengan system berpindah-pindah namun dengan wilayah yang lebih sempit. Misalnya selama musim angin timur mereka berpindah ke bagian tenggara Kaledupa atau Mantigola, dan mereka kembali lagi ke Lembonga selama musim Barat. Menurut kasmin, kedatangan suku Bajo, dan dibangunnya pemukiman yang tetap di Mantigola atas izin pemerintah dan masyarakat local pada tahun 1850.
133
dan Binongko sebelum ditempati oleh orang-orang Buton. Sultan mendengar kesaktian seorang Abdul Djaelani, karena wilayah kepulauan Wakatobi adalah wilayah baru maka tidak bisa sembarang orang yang membuka wilayah tersebut sebelum ditinggali. Sesampainya di pulau Kaledupa, rupanya Abdul Djaelani tidak mampu membuka wilayah Kaledupa. Menurut Mbo’, dahulu pulau Kaledupa adalah pulau keramat. Pulau Kaledupa bermedan sangat berat, terdiri dari hutan tropis yang lebat, dan dihuni oleh jin-jin penunggu yang sangat ditakuti oleh orang-orang Buton. Karena gagal menjalankan titah Sultan Buton, maka Abdul Djaelani memerintahkan adiknya yang bernama La Ode Santo untuk melanjutkan tugas dari sultan membuka jalan masuk di Pulau Kaledupa. Sesampainya di pantai La Ode Santo menyampaikan kepada anak buahnya : “jika kabali (golok) ini kutancapkan pada pohon dihutan nanti, dan kabali itu tertancap dibatangnya, maka jin-jin itu mengizinkanku untuk membuka pulau ini, jika tidak maka gagal lah usahaku membuka pulau ini”. Dan ketika La Ode Santo mencoba menancapkan kabalinya ke batang pohon yang besar, seketika kabali tertancap. Maka berhasil lah usaha La Ode Santo membuka jalan dan perkampungan untuk orang-orang Buton saat itu. Dikemudian hari kampung yang dibuka oleh La Ode santo dikenal dengan nama kampung Buranga dan Ambeua. La ode Santo juga membuka jalan dari wilayah La Donda hingga ke Tewali. Menurut Mbo’, di wilayah ujung pulau Kaledupa yaitu Tewali terdapat Batu bermodel senjata. Menurut Mbo’, jika akan ada wabah penyakit yang akan menyerang orang-orang di Pulau Kaledupa, maka batu yang ada di Tewali berbunyi seperti tembakan. Bunyi itu diartikan sebagai tanda agar rakyat waspada terhadap serangan penyakit musiman yang akan menyerang. Setelah berhasil membuka jalan dan kampung di pulau Kaledupa, La Ode Santo kemudian melaporkan keberhasilannya kepada Sultan Buton. Maka, pertama datanglah orang-orang Buton ke Pulau Kaledupa dan terbentuk lah Barata Kaledupa. Sebagai hadiah kepada La Ode Santo dan orang-orang Bajo maka Orang-orang Bajo dipersilahkan untuk tinggal di Pulau Kaledupa. Karena orang
Bajo
datang
paling
akhir
di
Pulau
Kaledupa,
maka
sebagai
konsekuensinya orang-orang Bajo tidak memiliki tanah di daratan Kaledupa. Tanah-tanah di Kaledupa telah dimiliki oleh orang-orang Buton yang pertama kali datang dan tinggal di pulau Kaledupa.
134
Akhir riwayat hidup la Ode santo sangat tragis, karena setelah berhasil membuka jalan bagi kedatangan orang-orang Buton dan Bajo di Pulau Kaledupa, ia terbunuh. Beberapa informasi menyebutkan bahwa La Ode santo terbunuh oleh orang-orang yang telah menetap di Kaledupa. Penyebabnya karena ia dicurigai telah mengambil dengan sengaja tanah-tanah milik orang-orang Buranga. Jasadnya kemudian dikuburkan di tanah milik orang-orang buranga. Kuburannya dikeramatkan oleh Bajo Mantigola, La Hoa, maupun sampela, kuburannya dikenal dengan Bungkanu Wa’du. Sampai saat ini orang-orang Bajo di Wakatobi mengkeramatkan Bungkanu Wa’du, dan menjadikannya sebagai bukti eksistensi masyarakat Bajo di Kepulauan Wakatobi. Menurut versi yang lainnya, Barata7 Kaledupa sendiri adalah kerajaan kecil yang menjadi negara bagian dari Kesultanan Buton.Orang-orang Bajo bagi orang-orang Kaledupa adalah orang-orang pendatang. Pada tahun 1950 dan 1960 adalah masa dimana terjadi pemberontakan gerombolan Kahar Muzaka DI/TII. Menurut Mbo’, gerombolan Kahar Muzakar berasal dari Bugis. Pemberontak dari Bugis itu disebut oleh orang-orang Bajo dan orang Kaledupa dengan sebutan gerombolan. Menurut Ibu MM’ gerombolan lah yang harus bertanggung jawab atas tersingkirnya masyarakat Bajo dari Mantigola dan menyebabkan terpencarnya masyarakat Bajo ke Wilayah Timur Indonesia. Menurut Mbo’ pada masa itu ada beberapa orang asing masuk ke kampong Bajo. Kemudian beberapa orang asing tinggal di rumah salah satu orang Bajo di Mantigola. Tingkah lakunya mencurigakan karena makin lama pendatang asing tersebut datang semakin banyak. Diakui Mbo’ bahwa orang Bajo Ereke ikut bersama orang asing tersebut masuk ke Mantigola. Sehingga kuat dugaan Mbo’ bahwa orang Bajo dari Ereke tersebut memang mendukung gerombolan. Seiring dengan makin bertambahnya orang asing di kampong Bajo 7
Barata adalah kerajaan bagian atau district besar, sementara kadie adalah kampong atau distrik kecil yang dibawahi langsung pemerintahan pusat kerajaan yaitu kesultanan Buton (Wolio). Di dalam Kesultanan Buton, terdapat 72 Kadie dan 4 Barata. Empat Barata tersebut antara lain : (1) Barata Kaedupa ; (2) Barata Kulisusu ; (3) Barata Wuna ; (4) Barata Tiworo. Dalam wilayah Barata terdapat juga Kadie yang disebut sebagai limbo (kampong) yang bertanggung jawab pada lakina (pemimpin) Barata. Barata Kaedupa memiliki lima wilayah otonom yakni Pulau Kaledupa, Hoga, Lente’a, dan Darawa meliputi daratan Pulau dan Laut. Menurut Hanan (2010) Sara Kadie dan Sara Barata diberikan kewenangan oleh pemerintah Kerajaan untuk mengatur pengelolaan wilayahnya masingmasing yang tidak bertentangan dengan Sara Kesultanan (Sara Wolio). Untuk menjaga keseimbangan pemerintahan pusat kerajaan dan Kadie, sara Kesultanan menempatkan bobato dan bonto sebagai pemimpin dalam kadie sekaligus anggota sara wolio. Fungsinya adalah mengepalai pemerintahan kadie dan perwakilan sara Kesultanan.
135
Mantigola saat itu, rupanya juga meningkatkan jumlah penculikkan para gadis dan ibu-ibu muda di Kaledupa. Menurut Mbo : “Itu gerombolan suka culik perempuan di Kaledupa. Kalo itu perempuan gadis cantik maka akan dijadikan istri dengan cara kawin lari. Tapi kalau perempuan itu jelek dipake saja sama gerombolan”.(Wawancara, 24-26 Maret, 2011). Menurut Mbo, orang Bajo Mantigola yang menyembunyikan gerombolan adalah kaki tangan gerombolan. Pada suatu saat orang Kaledupa dari Buranga berkunjung ke Mantigola dan melihat beberapa orang asing, dan curiga kalau itu adalah gerombolan. Sepulangnya dari Mantigola, orang Buranga tersebut melaporkan ke pemerintah di Kaledupa. Akibat laporan tersebut, maka dilakukan pengintaian oleh TNI. Ketika terbukti, kampung Bajo Mantigola diserang oleh TNI dan dibantu oleh masyarakat Kaledupa. Gerombolan berhasil dipukul mundur, dan menyingkir dari Kaledupa. Sementara orang Bajo yang dicurigai telah membantu menyembunyikan gerombolan, ditangkap dan dihukum pancung. Hukum pancung dilaksanakan di depan mesjid Bente, di Buranga. Merasa terdesak, dan ketakutan orang-orang Bajo Mantigola kemudian langsung meninggalkan tembok, rumah beserta isinya. Menurut pengakuan ibu MM’ : “Karena kita takut mau dipotong sama orang Kaledupa, kita lari mi semua, kita tinggalkan rumah, yang bisa kita bawa saja. Kita lari mi dengan soppe-soppe kita untuk menyelamatkan diri kita”. (Wawancara, 24-26 Maret 2011). Kemudian, dalam pelarian itu, kita saling berpencar mi, beberapa kelompok soppe-soppe terapung di perairan Wanci. Merasa kasihan dengan nasib orang Bajo, maka sara Mandati kemudian memanggil punggawa Bajo, dan mengajak untuk bergabung dengan masyarakat Wanci Mandati yang memang tinggal di wilayah pesisir Wanci8.
8
Menurut Stacey (1999) selama tahun 1956 dan 1957 adalah tahun dimana terjadi pergerakan besar-besaran oleh gerombolan. Beberapa orang Bajo mendukung gerombolan dan menjadi bagian dari anggota gerombolan tersebut, dan hal ini berlawanan keras dengan orang-orang Kaledupa yang sangat membenci gerombolan. Akibatnya orang-orang Bajo Mantigola terusir dari kampungnya, namun berhenti dulu ke Sampela. Karena orang Kaledupa kecewa dengan sikap orang-orang Bajo tersebut, maka orang-orang Kaledupa mengawasi dengan ketat setiap pergerakan orang-orang Bajo di Sampela. Sayangnya, orang-orang Bajo yang mengungsi di sampela diam-diam tetap memberikan dukungannya terhadap gerombolan. Merasa dikhianati, orang-orang Kaledupa langsung mengusir orang-orang Bajo. Dan pada akhirnya orang-orang Bajo pergi dengan tujuan masing-masing. Misalnya saja beberapa kelompok soppe-soppe pindah ke Langara di Pulau Wawonii, dan menetap disana sampai saat ini. Kemudian, beberapa kelompok lari ke Matanga di Pulau Banggai
136
Menurut Ibu MM’, cukup lama juga masyarakat Mantigola hidup di Mola. Masyarakat Bajo diterima oleh masyarakat Mandati. Kemudian, Ibu Mummu menambahkan bahwa orang-orang Mandati terkenal jago berdagang, dan masyarakat Bajo merupakan konsumen yang potensial. Pola hidup masyarakat Bajo yang boros jika menyangkut “perut”, merupakan peluang bisnis bagi masyarakat Mandati. Menurut Ibu MM’ : “Dulu orang-orang Mandati suka jualan segala macam barang. Saya ingat pedagang Mandati, subuh-subuh ina-ina (ibu-ibu) mendayung sampan dengan menaruh gelas lilin di atas kepalanya untuk menerangi jualannya sambil teriak sanggara! (pisang Goreng). Kalo sudah begitu, langsung kita beli sanggaranya” (Wawancara, 25-26 Maret 2011) Pada tahun 1965, adalah puncak penderitaan yang dialami oleh orangorang Mantigola yang berada di Mola. Pada saat itu terjadi inflasi besar-besaran. Menurut Ibu MM, saat itu dia masih kecil, seingatnya pada tahun itu dia mengenalnya sebagai saat mati uang. Seperti yang diungkapkan ibu MM’ : “Waktu zamannya mati uang, kami menderita. Meskipun kami punya uang tapi kami tidak bisa membeli apa-apa. Orang tua saya yang akan berangkat naik haji, tidak jadi melaksanakan ibadah haji. Ini sertifikatnya, disini tertulis tahun 1965 ini lah masa mati uang terjadi”(Wawancara, 24-26 Maret 2011). Sebagian masyarakat Bajo Mantigola yang tinggal di Mola rupanya tidak kuat menghadapi masa mati uang ini. Ditambah dengan kondisi karang Kapota yang tidak memberikan hasil laut yang melimpah seperti di Karang Kaledupa. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Mantigola. Saat itu juga pemberontakan Kahar Muzakar telah ditumpas, maka tidak ada lagi yang perlu ditakutkan oleh masyarakat Mantigola untuk kembali ke kampung halamannya. Pada akhirnya menurut ibu MM kembalillah orang-orang Mantigola ke kampungnya yang ditinggalkan dan menetap sampai saat ini. Dan bermukimnya
dan Limbo di Sulawesi Tengah. Burningham (1993) dalam Stacey (1999) mengungkapkan bahwa rombongan Bajo Mantigola juga sampai ke Wuring, Maumere, NTT. Selain itu juga rombongan Mantigola juga sampai dan menetap di Pepela Pulau Roti NTT. Karena orang-orang Wanci Mandati mendukung gerombolan, akhirnya orangorang Bajo yang terusir dari Kaledupa diterima dan diijinkan untuk tinggal di Mola. Pada awalnya mereka masih tinggal di soppe-soppe, beberapa saat kemudian mereka mulai membangun rumah panggung kecil di wilayah Mola Selatan. Ditambahkan oleh Stacey (1999) bahwa dahulu perkampungan Bajo di bagi menjadi dua wilayah. Pertama adalah Bajo Mola Utara, dan kedua Bajo Mola Selatan. Pada saat orang-orang Mantigola datang ke Wanci, orang-orang Bajo yang tinggal dari awal di Mandati sejumlah 30 rumah mendiami Mola Utara. Sementara pengungsi dari Mantigola tinggal di Mola Selatan.
137
kembali orang-orang Bajo di Mantigola ini juga atas izin
dari orang-orang
Kaledupa. Perubahan dan kesejarahan orang-orang Bajo tidak berhenti disitu saja. Karena dengan keputusan mereka hidup menetap, lambat-laun perubahan social “mendera” setiap relung-relung kehidupan orang-orang Bajo, baik Bajo Mantigola maupun Bajo Mola. Pada tahun 1950-an, nelayan Bajo di Wakatobi merupakan nelayan yang sangat tradisional. Mereka melakukan kegiatan penangkapan ikan secara tradisional,seperti jaring dengan bahan baku yang terbuat dari jerami, yang disimpul dan dikaitkan satu sama lain sehingga membentuk jaring perangkap ikan, pancing yang talinya diikat sendiri, perangkap ikan bubu dari bamboo, sero dari batu dan bamboo, potas dari akar-akar pohon serta menggunakan obor pada saat menyuluh (nelayan menangkap ikan-ikan di karang pada malam hari saat air laut surut) dengan membakar daun kelapa kering, dengan menggunakan sampan kecil atau disebut dengan koli-koli. Alat tangkap panah dan tombak masih mendominasi pada pertengahan tahun 1950an. Pada saat itu tombak terbuat dari akar kayu sebagai pengikat besi ujung tombak. Namun diakhir tahun 1960-an nelayan Bajo mulai mengenal nylon sebagai bahan pembuat jaring, dan mengganti obor untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan dan teripang di karang dengan menggunakan petromax, di awal 1990an, nelayan Bajo yang kemudian mengganti lampu petromax dengan senter untuk mencari teripang, dan kemudian memodifikasi senter agar bisa dipakai dikedalaman tertentu untuk menangkap lobster di karang dengan cara menyelam. Penggunaan alat peledak untuk mencari ikan sesungguhnya telah dikenal oleh orang-orang Bajo sejak lama. Beberapa informan menyebutkan, bahwa nelayan Bajo menggunakan bom diperkenalkan oleh tentara Jepang, yang saat itu menduduki Indonesia. Pak Jun, seorang pengusaha hasil-hasil laut di Sampela mengungkapkan bahwa Kemampuan orang-orang Bajo menggunakan bom dalam kegiatan penangkapan didasari oleh pengalaman dalam berperang dengan suku Tobelo, atau bagi orang-orang Kaledupa dikenal dengan suku Sanggila, suku yang gemar menculik. Perang tobelo terjadi puluhhan tahun yang lalu, Pak Jun, tidak tahu pasti kapan terjadinya. Perang terjadi di selat Tobelo,
138
selat antara pulau raha, Buton, dan Wilayah Kendari. Bahan-bahan perang seperti meriam beserta alat peledaknya dipakai untuk menangkap ikan. Sejak saat itu suku Bajo di Sulawesi Tenggara, mampu merangkai bom untuk kegiatan penangkapan ikan. “Orang Bajo itu pandai pakai bom, beberapa kapal lawan orang-orang Tobelo kami habisi dengan meriam kami, setelah itu kami coba-coba untuk tangkap ikan, dan ternyata berhasil, banyak hasilnya, lalu kita lanjutkan”. Pada akhir tahun 1960an hingga awal 1970 –an adalah fase permulaan dan kejayaan orang-orang Bajo baik Mola dan Mantigola melakukan kegiatan dengan wilayah penangkapan yang lebih luas, melampaui batas provinsi dan negara. Pada tahun 1969 adalah saat dimulainya penangkapan ikan hiu oleh nelayan Bajo sekaligus sebagai masa keemasan baik bagi orang-orang Bajo Mola maupun Bajo Mantigola. Wilayah penangkapan antara lain di laut Timor dan laut Arafura, dan di perairan pulau Adele (Pulau Haria) daerah Utara Tenggara Australia, dengan menggunakan lambo yang masih menggunakan layar, dan angin sebagai tenaga penggerak, alat tangkap yang digunakan adalah dengan menggunakan pancing (handlines) atau dalam bahasa Bajo disebut dengan koelangan tansi (Stacey, 1999). Saat itu pendapatan terbesar memang dari menjual sirip ikan hiu. Para toke-toke yang khusus membeli hasil-hasil laut kemudian berkumpul di Pepela, yang tadinya menunggu di Ujung Pandang (saat ini Makassar). Harga sirip ikan hiu, pada tahun 1994 saja untuk potong biasa perkilogramnya seharga Rp. 40.000, sementara untuk potong full dihargai sebesar Rp. 150.000. Saat ini menurut TJW, seorang pengumpul sirip ikan hiu di Mola mengatakan bahwa saat ini harga untuk sirip ikan hiu potong full dihargai sebesar Rp. 500.000 perkilogramnya. Pada tahun 1971 hingga 1975, nelayan Bajo baik Mola maupun Mantigola mulai melakukan kegiatan penangkapan penyu di Selat Yampi, Selat King, pulau Adele, dan Cape Laveque di perairan Australia. Keuntungan yang diperoleh luar biasa besarnya. Menurut Ibu MM, seorang wanita paruh baya yang tinggal di Mantigola, mengungkapkan bahwa masa keemasan orang-orang Bajo Mantigola adalah saat maraknya perdagangan penyu. Penyu yang diperoleh sebagian besar dijual ke Bali. Di Bali penyu-penyu tersebut dijadikan “simbol” ritual agama hindu, selain penyu dilepas di lautan, daging penyu juga dikonsumsi sebagai bahan lauk pauk. Seekor penyu dibeli pengumpul dari nelayan berkisar Rp.
139
20.000-Rp. 22.000. Kemudian pengumpul menjual ke Bali sebesar Rp. 1 juta per ekornya. Sementara untuk penyu coret (tidak masuk dalam ukuran standart, karena oversize) dihargai hampir senilai Rp. 2 juta perekornya. Namun, semenjak MoU BOX 1974 disepakati oleh pemerintah Indonesia maupun pemerintah Australia, perlahan-lahan terjadi penurunan jumlah nelayan Bajo Mantigola maupun Bajo Mola yang berangkat untuk mencari hasil laut di perairan Australia, khususnya di Pulau Datuk dan Pulau Ashmore. Berkali-kali nelayan Bajo Mantigola ditangkap karena kedapatan melakukan kegiatan penangkapan tepat di wilayah perairan Australia. Tidak hanya dipenjara, lambo yang dimiliki nelayan digiring ke pesisir wilayah Australia, dan kemudian dimusnahkan dengan cara dibakar. Beberapa juga mendapatkan pemukulan dari angkatan laut Australia. Seperti yang diungkapkan oleh H. DJM, seorang nelayan yang pernah berkali-kali ditangkap, dan dimusnahkan lambonya oleh pemerintah Australia : “Saya memang tidak punya nasib untuk merantau ke Pepela, karena pertama saya merantau saya kerja sebagai sawi untuk mencari di Pulau Datuk dengan naik lambo, tapi nasib kami tidak beruntung, karena Australia langsung tangkap kita, karena saat itu arusnya kuat, maka kapal lambo kami terbawa ke tengah-tengah melewati perbatasan. Mereka orang Australia bilang kamu sudah melewati batas Negara kami. Padahal kapal lambo kami hanya pake layar. langsung saya ditangkap oleh Australia, kapal lambo kami disita. Sebulan kemudian kami dipulangkan setelah dipenjara. Beberapa bulan kemudian saya datang lagi ke Pepela, tapi saya bawa body mesin kira-kira harganya Rp. 30.000.000. Seingat saya saya berangkat bulan September waktu itu mau bulan puasa. Saat itu saya bukan jadi sawi lagi tapi saya jadi Punggawa. Kata sepupu saya, mari kita melaut di perbatasan, kalo kita pakai bodymu kita bisa cepat lari kalo ada Australia. Pas kami tiba kira-kira di perbatasan, mulai kami pasang rawe, setelah itu kami pasang jaring dan beri umpan ikan goro-goro. Beberapa jam kemudian, datang helikopter Australia, sesaat kemudian muncul kapal perang Australia. Tadinya kami mau lari, tapi katany sepupuku jangan lari, kalo kita lari orang Australia akan marah. Orang Australia bilang, kamu sudah melewati batas Negara kami, kalian kami tangkap. Langsung saya bilang kami tidak tahu kalo ini sudah Australia. Maka setelah itu kami di tonda, kapal kami diikat. Selama sebulan kami dipenjara dan kami dikasih kerja di Australia lalu dipulangkan ke Indonesia melalui Bali. Tapi kapalku disita dan tidak dikembalikan lagi”. Setali tiga uang, penurunan jumlah produksi lambo pun terjadi, karena rendahnya permintaan lambo dari Pepela.
Tabel 6 berikut menunjukkan
perubahan yang sangat drastis dari jumlah kepemilikan lambo di Mantigola,
140
akibat pelarangan bagi nelayan-nelayan tradisional Indonesia di perairan Australia. Penurunan jumlah permintaan ini, sangat menohok pengusahapengusaha yang menawarkan jasa pertukangan dan pembuatan kapal lambo. Tidak hanya pengusaha perkapalan saja yang terpukul, nelayan-nelayan yang rajin bermigrasi ke Pepela, harus rela berputar haluan dengan kembali ke kampong halaman dan hanya mencari di karang Kaledupa, satu-satunya sumber nafkah yang paling memungkinkan bagi mereka. Tabel 6. Jumlah dari Kepemilikan Lambo oleh Masyarakat Bajo Mola Utara, Mola Selatan dan Mantigola selama tahun 1994 dan 2011. Desa tempat pemilik
Jumlah Lambo Tahun
Jumlah lambo Tahun
Lambo
1994*
2011**
Mola Selatan
24
0
Mola Utara
3
0
Mantigola
7
2
Jumlah
34
2
Keterangan : * data bersumber dari Stacey, 1999 ; ** data bersumber dari data primer, 2011. Modernisasi perikanan berupa alih teknologi armada penangkapan ikan dan alat-alat tangkap mulai dikenal oleh orang Bajo Mola khususnya pada tahun 1985-1988. Pada periode waktu tersebut nelayan Mola yang kaya telah menggunakan kapal lambo bermesin dan alat tangkap mini purse seine. Tidak bisa dipungkiri, bahwa dengan munculnya modernisasi perikanan, maka eksplotasi yang tinggi terhadap sumberdaya perikanan mulai dilakukan. Ini merupakan suatu tanda juga, bahwa terjadi perluasan skala usaha perikanan. Berkembangnya pasar sentral Mola, rupanya juga memberikan peluang bagi meluasnya perdagangan ikan oleh orang-orang Bajo Mola. Fase selanjutnya bagi kehidupan orang-orang Bajo, adalah fase terbentuknya taman nasional Wakatobi. Suatu titik nasib orang-orang Bajo dalam memperoleh penghidupan. Pada awal terbentuknya Taman Nasional Konservasi Wakatobi (TNKW) pada tahun 1994, perubahan tidak begitu nampak dalam kehidupan orang-orang Bajo, ini dikarenakan kantor taman nasional berada di kota Bau-bau, karena saat itu Wakatobi merupakan wilayah kekuasaan kabupaten Wakatobi. Menurut pengakuan beberapa pengusaha Bajo di Mantigola, pada saat itu, meskipun TNKW telah terbentuk, namun tidak secara
141
signifikan mengganggu pola usaha para pengusaha Bajo dan nelayan-nelayan produsen. Ini karena, pola pengkontrolan wilayah atau zonasi TNKW tidak begitu ketat. Pihak jagawana sebagai aparat dari TNKW tidak sangat intensif menjaga wilayah perairan. Sehingga beberapa pengusaha kaya yang hidup dari ikan napoleon, dan penyu, masih bebas-bebas saja memperdagangkannya. Pada tahun 1993, potassium sianida mulai mengintervensi cara tangkap nelayan-nelayan Bajo. Target dari penggunaan potassium sianida ada;ah penangkapan ikan hias, yang sangat melimpah di beberapa gugusan karang di perairan Kabupaten Wakatobi. Namun, pada fase berikutnya, yakni fase otonomi Kepulauan Wakatobi sebagai kabupaten otonomi, berpisah dengan Kabupaten Buton, rupanya menjadi dua sisi mata uang bagi orang-orang Bajo. Bagi orang Bajo yang tidak progresif dan gagal beradaptasi, maka otonomi daerah ini malah semakin memiskinkan mereka, ini terjadi kepada orang-orang Bajo Mantigola. Orang Bajo Mantigola merasa bahwa
sejak berdirinya kabupaten Wakatobi, maka ruang
gerak mereka dalam mencari nafkah semakin sempit. Mereka juga tidak melakukan kegiatan penangkapan di wilayah perairan yang lebih luas, karena tidak didukung oleh kelayakan alat operasional untuk melaut yakni perahu. Namun, bagi orang-orang Bajo seperti orang Mola, yang mampu beradaptasi dengan perubahan ini, mereka mampu memanfaatkan segala bentuk peluang, karena dengan menjadi kabupaten, maka akses terbuka selebar-lebarnya terhadap segala bentuk perdagangan. Meskipun, kita menyadari bahwa Wanci telah menjadi jalur perdagangan sejak dahulu, tidak dimulai saat menjadi kabupaten. Sejak tahun 2004, yakni terbentuknya Kabupaten Wakatobi, jalur perdagangan semakin intensif. Gaung TNKW sebagai wilayah wisata konservasi dengan “menjual” keindahan terumbu karang, sesungguhnya juga memberikan informasi akan kekayaan potensi hasil-hasil laut yang bisa diperdagangkan oleh para eksportir luar. Melalui fase ini, para eksportir mulai “menjemput bola” ke Wakatobi, tidak lagi menunggu seperti pada era tahun 1980an. Internasionalisasi masyarakat Bajo Mola dapat ditelusuri oleh komoditi tuna yang berkembang tahun 2000, dan komoditi ikan kerapu hidup. Komoditi ikan tuna hanya bisa diakses oleh orang-orang Bajo Mola. Karena segala bentuk industry pendukung, maupun sarana dan prasarana pendukung hanya ada di Wanci. Bentuk-bentuk
142
industry pendukung seperti cold storage hanya ada di Wanci, karena tuna juga rentan akan kerusakan maka, diperlukan produksi es yang terus-menerus dari pengumpul tuna, dan pasokan listrik 24 jam hanya ada di Wanci, sementara di Mantigola komoditas tuna tidak ditangkap karena listrik hanya tersedia selama 12 jam, dari jam 18.00 sampai 05.30 pagi. Pada tahun 2008, sejak adanya regulasi global mengenai sertifikasi produk tuna bebas bakteri salmonella khususnya di Eropa sebagai tujuan ekspor utama tuna, maka teknologi loing mulai diperkenalkan dan dilakukan oleh pengusaha tuna di Mola untuk menjamin keberlanjutan usaha tuna mereka. Kegiatan
loing9
dan
pengepakan
tuna,
para
pengumpul
tuna
mempekerjakan anggota keluarga, biasanya yang masih bersekolah, system pengupahan, dan jumlah upah tidak teratur, karena mengikuti banyak sedikitnya gelondongan tuna yang disetorkan oleh nelayan. Saat ini, menurut H. BA, banyak perusahaan tuna di Makassar yang gulung tikar. Misalnya eksportir tuna di Makassar, PT. Prima Bahari bangkrut karena berturut-turut 3 kontainer yang berisi daging tuna ke Eropa dikembalikan, karena terkontaminasi bakteri salmonella. Satu container saja, sudah berisi 20 ton tuna. Satu kontainer harganya bisa Rp. 2 Milyar, itu belum termasuk biaya operasional untuk 1 kilogram tuna sebesar Rp. 100 ribu per kilogramnya. Oleh sebab itu, saat ini perusahaan mengharuskan setiap pengusaha tuna yang sudah tidak mengirim dalam bentuk gelondongan, harus melakukan loing tuna sesuai SOP. Misalnya saja, ruangan harus steril, bercat putih bersih, dan lantainya harus sudah bertegel putih. Pegawai yang meloing harus memakai celemek plastik bersih, dan memakai kaus tangan karet yang steril, begitu juga dengan alat potongnya. Anak-anak kecil tidak boleh bermain-main di ruang loing. Bakteri salmonella bisa masuk ke dalam daging tuna jika pengangan tuna salah. Perkembangan selajutnya yang mengiringi perkembangan perdagangan tuna adalah masuknya teknologi perahu kecil bermesin “katinting” (tuna boats). Dengan alat tangkap pancing “tonda”10 dan pancing layang-layang. Kemudian
9
Loing adalah merupakan proses pengolahan ikan tuna, sebelum di kemas. Loing dilakukan dengan memisahkan badan tuna dengan kepala tuna. Kemudian buang ekor, isi perut, tulang dan sirip. Kemudian daging ikan tuna dipotong memanjang menjadi empat bagian. 10 Pancing tonda adalah pancing yang cara operasinya ditarik oleh perahu, dimana ikanikan buas yang melihat ada umpan bergerak terus menyambarnya. Kata ini ditaruh dalam tanda petik, sebenarnya alat tangkap yang dimaksud adalah masih sejenis alat tangkap
143
saat ini nelayan tuna mengembangkan suatu metode tangkap baru, dan mulai meninggalkan metode lajang untuk meningkatkan jumlah tuna yang akan ditangkap, upaya “trial and error” atau kah meniru dari orang lain membuahkan hasil, karena dengan metode baru ini, jumlah tangkapan tuna semakin besar. Sehingga orientasi nilai orang Bajo yang dahulu memandang alam sebagai sesuatu yang dahsyat dan manusia harus selaras dengan alam, jika manusia melanggar maka kemurkaan alam akan memporak-porandakan kehidupan orang-orang Bajo. Saat ini, orang Bajo Mola cenderung memanipulasi alam untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dari alam. Seperti apa yang diungkapkan oleh MN : “Hasil tuna semakin banyak setelah metode lama menangkap ikan dengan menggunakan lajang, atau layang-layang sudah mulai tidak digunakan lagi oleh nelayan. Metode nelayan yang lama, kurang efektif, karena harus menunggu ikan tuna muncul dipermukaan, baru bisa memasang umpan dengan menggunakan layang-layang. Layang-layang berfungsi untuk menggerakkan umpan ikan agar nampak hidup dan melompat-lompat. Saat ini nelayan tuna di Mola mengembangkan teknik pancing dengan menggunakan umpan cumi sesungguhnya, agar nampak hidup, nelayan mengikat cumi-cumi tali tasi/tali pancing, kemudian tali pancing diikatkan dengan batu sebagai pemberat tali umpan. Ketika umpan dimakan oleh ikan tuna, batu akan terlepas, dan ikan langsung ditarik ke permukaan oleh nelayan. Dengan cara baru ini, hasil tangkapan nelayan semakin berlimpah. Karena dengan cara baru ini kedalaman pancing bisa lebih dalam lagi, sekitar duapuluh depa bisa dijangkau oleh cara ini, sehingga ikan lebih mudah tertangkap. Namun, untuk memperoleh umpan cumicumi asli, pagi sekitar jam 4 subuh, nelayan sudah harus melaut untuk mencari umpan. MN sendiri tidak mengetahui dengan pasti apakah metode ini memang hasil ciptaan nelayan Mola sendiri, atau kah meniru dari nelayan lain”. Ikan kerapu hidup sendiri mulai diperkenalkan oleh seorang eksportir dari Tanjung Pinang bernama Pak Abu pada tahun 2008. Dahulu orang-orang Bajo menangkap ikan dengan metode panah, tombak, dan pancing. Kondisi ikan kerapu yang dijual dalam kondisi telah mati, olahan kerapu diproses oleh perempuan Bajo dalam bentuk ikan yang diasinkan. Namun, setelah datangnya perdagangan ikan kerapu hidup, nelayan-nelayan di Wakatobi, khususnya Bajo mulai
memanipulasi
teknologi
tradisionalnya
untuk
melakukan
kegiatan
jenis pancing ulur (hand and line), yang dioperasikan dengan kapal katinting . Menurut DKP (2004) dalam Susilo (2010) pancing tonda (trolling) adalah alat tangkap yang proses menangkapnya/memancing ikan di permukaan atau subpermukaan dengan menarik pancing yang diberi umpan, pada kecepatan 2-10 knot menggunakan kapal trolling biasanya untuk menangkap ikan tuna dan sejenisnya.
144
penangkapan ikan kerapu dalam keadaan hidup. Antara lain panah dan tombak tidak digunakan lagi untuk kegiatan menangkap ikan, karena membuat ikan kerapu yang tertangkap dalam keadaan mati.
Teknik pancing pun mulai
berkembang, karena teknik yang dikembangkan diupayakan untuk tidak membuat insang ikan kerapu terluka. Demikian juga dengan sampan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan kerapu juga dimodifikasi dengan memberikan ruang khusus untuk kolam kecil di dalam sampan tempat ikan kerapu hidup setelah ditangkap. Menurut seorang pengusaha di Mantigola, semenjak diperkenalkannya ikan kerapu hidup kepada pengusaha dan nelayan Bajo Mola, masa kegemilangan kemudian direngkuh oleh orang-orang Mola, khususnya pengusaha Bajo di Mola, setelah masa paceklik yang menerpa orangorang Mola ketika penyu telah dilarang untuk diperdagangkan. Menurut para pengusaha di Mantigola, pengusaha di Mola khususnya pengumpul ikan hidup berkembang pesat karena para pengusaha Mola mendapatkan modal dari perusahaan eksportir dari Bali, Jepang, dan Hongkong. Dengan modal tersebutlah para pengusaha Mola menggeliat usahanya. Pengusaha-pengusaha Mola diberikan bantuan modal dengan tujuan agar keramba apung di Karang milik perusahaan untuk ikan-ikan hidup di urus oleh pengusaha-pengusaha Mola.Menurut Hj. Rh : “Keramba yang katanya milik pengusaha ikan di Mola itu, sebenarnya milik perusahaan besar eksportir. Pengusaha-pengusaha Mola itu hanya dijadikan tenaga upahan untuk mengurus keramba perusahaan. Misalnya saja Hj. Ni, Hj. Ei, H. KM, dan SO. SO itu hanya dapat bonus-bonusnya saja, kalo untungnya tidak ada, karena diambil sama perusahaan semua. Kalo ikan akan diangkut, SO ke Karang, setelah ikan diangkut, perusahaan meminta nota pembayaran. Setelah ikan tiba di Bali misalnya, uang langsung ditransfer ke nomor rekening SO, disisipkan dengan nota pembayaran itu. Saya ini kan bosnya SO dulu, saya yang uruskan ikan hidup di kerambanya itu perusahaan, jadi saya tahu persis cara kerja mereka. Tidak gampang memiliki karamba di karang, selain harga kerambanya yang relative mahal, yang paling menguras uang adalah masalah urus-urus izin pembangunannya. Biaya pengurusan ke pemerintah bisa sampai milyaran rupiah. Karena kalo tidak ada izin berarti illegal, dan pasti akan sering diperiksa sama aparat. Ada kalanya dalam sebulan ikan dijemput dua kali sampai tiga kali, ada kalanya ikan diambil 100 kg sampai satu ton lebih, semua tergantung banyaknya hasil tangkapan nelayan, yang punya perusahaan lah yang mengambil di karang, pengumpul di Mola mengecek berapa timbangan ikan di keramba
145
yang akan diangkut ke kapal, lalu membuat nota”. Tanggal 19 Maret 2011).
(Wawancara,
Gambaran perbedaan kronologi kesejarahan orang-orang Mola maupun orang-orang Mantigola akan diperlihatkan pada matriks berikut ini : Matriks 6. Perbandingan Kronologi Perkembangan Masyarakat Bajo Mola dan Mantigola, 2011. No
1
Suku Bajo
Bajo Mola • Teknologi penangkapa n ikan
• Luasnya jaringan perdaganga n
• Jalinan hubungan dengan eksportir • Berjejaring
Fase Hidup Berpindahpindah (nomaden)
Menetap di Mola dan Mantigola (1960an1970an)
Fase Hidup Menetap Menangkap di Otonomi perairan Kabupaten Arafura, Timor, Wakatobi dan Australia (1996(pertengahan sekarang) 1970-1990an)
Masih menggunakan teknologi tradisional
Masih menggunakan teknologi tradisional
Mulai menggunakan teknologi tertentu, namun mempertahankan beberapa bentuk teknologi tradisional.
Cenderung sempit, karena transaksi dalam bentuk pertukaran barang (barter) kepada siapa pun pihak yang ditemuinya. Belum dilakukan
Cenderung sempit, karena transaksi hanya dalam bentuk pertukaran barang dengan orang Mandati
Mulai terbuka jaringan perdagangan ke luar dengan membangun aliansi bisnis dengan toke
Belum dilakukan
Belum dilakukan
Belum
Belum
Belum dilakukan
Mulai terjadi modernisasi perikanan, melalui peningkatan teknologi armada penangkapan. Kemudian inovasi-inovasi dalam kegiatan penangkapan, budidaya dan inovasi pengolahan hasil tangkapan tuna, khususnya teknologi loing. Cenderung lebih luas, eksportir jemput Bola
Telah dilakukan, dan eksportir mulai jemput bola Telah
146
dengan Bank • Bentuk Penggunaan tenaga kerja 2
Bajo Mantigola • Teknologi Penangkapa n Ikan
• Luasnya jaringan perdaganga n
dilakukan
dilakukan
dilakukan.
Belum dilakukan
Tenaga kerja adalah anggota rumahtangga
Tenaga kerja adalah anggota kerabat dalam bentuk nelayan sawi
Tenaga kerja upahan dengan sifat yang kontraktual
Masih menggunakan teknologi tradisional
Masih menggunakan teknologi tradisional
Mulai menggunakan teknologi modern, misalnya menggunakan mesin untuk armada penangkapan, namun beberapa juga masih mempertahankan lambo dengan bantuan layar.
Cenderung sempit, karena transaksi dalam bentuk pertukaran barang (barter)
Cenderung sempit, karena transaksi hanya dalam bentuk pertukaran dengan orang Kaledupa
Cenderung lebih terbuka karena berhubungan dengan toke-toke di Pepela
Beberapa orang nelayan yang mampu mulai menggunakan mesin untuk menggerakkan perahunya, dengan bobot yang terbatas, namun sebagian besar menggunakan teknik dan teknologi penangkapan yang masih tradisional, seperti panah, pancing, dan tombak. Pada beberapa komoditas seperti rumput laut dan lobster, jaringan cenderung lebih luas, namun tidak berhubungan dengan eksportir hanya pada tangan kedua. Cenderung sempit,pada beberapa komoditas yang beresiko tinggi karena transaksi hanya dilakukan dengan orang Bajo yang terkait
147
• Jalinan hubungan dengan Ekspor • Berjejaring dengan Bank • Penggunaan tenaga kerja upahan
hubungan daparanakan Belum dilakukan
Belum dilakukan
Belum dilakukan
Belum dilakukan
Belum dilakukan
Belum dilakukan
Belum dilakukan
Belum dilakukan
Belum dilakukan
Masih menggunakan anggota rumahtangga sebagai tenaga kerja
Masih menggunakan anggota rumahtangga sebagai tenaga kerja
Masih menggunakan anggota rumahtangga sebagai tenaga kerja
Sumber : Data Primer Diolah, 2011.
Berdasarkan data tersebut di atas, dapat terlihat kecenderungankecenderungan perubahan sosial yang terjadi antara suku Bajo Mola dan suku Bajo Mantigola dalam hal percepatan transformasi ekonomi yang berbeda ; masyarakat Mantigola cenderung lambat perputaran ekonominya, sementara Bajo Mola bergerak dengan perputaran ekonomi yang cenderung lebih cepat. Dari beberapa tahap, mulai dari tahap hidup berpindah-pindah, hingga hidup menetap, Mantigola tetap mempertahankan pola usaha yang dikelola secara tradisional. Meskipun jalur informasi dan perdagangan relative lebih terbuka sebagai konsekuensi dari otonomi daerah kepulauan Wakatobi, namun itu tidak disambut positif oleh masyarakat Bajo Mantigola. Malah bagi mereka semua perubahan yang terjadi tidak mensejahterakan mereka, namun semakin memiskinkan mereka. Sementara orang Bajo Mola menganggap beragam perubahan sebagai suatu peluang emas, karena otonomi daerah membuka segala bentuk informasi dan inovasi serta, jalur perdagangan yang semakin lancar. Pada bab berikutnya akan dibahas dengan lebih terperinci bagaimana sesungguhnya wajah kapitalisme suku Bajo Mola dan Mantigola, dari sisi konteks agama dan religinya, rasionalitasnya, dan pemaknaannya sehingga perbedaan wajah kapitalisme antara Mola dan Mantigola dapat dipahami secara lebih mendalam.
148