IDENTIFIKASI DAN ANALISA KOMPONEN AROMA PADA LEMAK KAKAO HASIL REFERMENTASI DENGAN METODE SPME-GC (SOLID PHASE MICROEXTRACTION-GAS CHROMATOGRAPHY)
Oleh : NOOR ARIEFANDIE FEBRIANTO F34104057
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
IDENTIFIKASI DAN ANALISA KOMPONEN AROMA PADA LEMAK KAKAO HASIL REFERMENTASI DENGAN METODE SPME-GC (SOLID PHASE MICROEXTRACTION-GAS CHROMATOGRAPHY)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : NOOR ARIEFANDIE FEBRIANTO F34104057
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
IDENTIFIKASI DAN ANALISA KOMPONEN AROMA PADA LEMAK KAKAO HASIL REFERMENTASI DENGAN METODE SPME-GC (SOLID PHASE MICROEXTRACTION-GAS CHROMATOGRAPHY)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor OLEH : NOOR ARIEFANDIE FEBRIANTO F34104057
Dilahirkan pada tanggal 24 Februari 1986 Di Banyuwangi Tanggal Lulus : Mei 2009 Menyetujui : Bogor,
Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA Dosen Pembimbing I
Mei 2009
Dr. Ir. Misnawi Dosen Pembimbing II
NOOR ARIEFANDIE FEBRIANTO. F34104057. Identifikasi dan Analisa Komponen Aroma Pada Lemak Kakao Hasil Refermentasi Dengan Metode SPME-GC (Solid Phase Microextraction – Gas Chromatography). Dibawah bimbingan Sapta Raharja dan Misnawi. 2009. RINGKASAN Indonesia menempati urutan ketiga di dunia sebagai penghasil kakao tebanyak setelah Pantai Gading (Ivory Coast) dan Ghana. Produk kakao Indonesia terutama yang berasal dari perkebunan rakyat dicirikan dengan mutu yang rendah, kadar kotoran yang tinggi, didominasi biji tidak terfermentasi, kontaminasi serangga dan jamur yang tinggi serta mempunyai citarasa yang lemah. Metode refermentasi merupakan metode peningkatan mutu pada kakao kering siap jual yang tidak terfermentasi atau terfermentasi sebagian sehingga mempunyai mutu yang setara dengan kakao well-fermented. Metode ini dikembangkan oleh Misnawi (2003) dan berhasil meningkatkan mutu citarasa kakao secara signifikan pada skala laboratorium yang dipresentasikan dengan konsentrasi komponen pirazin yang lebih tinggi pada produk refementasi dibandingkan dengan biji kakao tidak terfermentasi. Solid Phase Microextraction (SPME) merupakan metode analisis komponen volatil dan semi volatil tanpa pelarut yang diperkenalkan pada awal tahun 1990. SPME mampu mengekstrak dan mengkonsentrasi komponen aroma organik dari bahan cairan maupun padatan dalam tingkat yang sangat rendah atau kelumit (trace). Pengunaan SPME sebagai metode persiapan sampel sebelum analisis kromatografi gas lebih disukai karena lebih mudah, lebih cepat dan lebih murah. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode analisis komponen aroma pada lemak kakao dengan menggunakan peralatan SPME dan kromatografi gas serta mengidentifikasi dan menganalisis kandungan aroma pada lemak kakao hasil refermentasi. Penelitian dilakukan mengunakan perangkat SPME yang dilengkapi dengan fiber DVB/Carboxen/PDMS stableflex berukuran 1 cm. Sebanyak 5 gr lemak kakao yang didapatkan dari biji kakao roasted hasil refermentasi ditempatkan dalam vial berukuran 40 ml dan diekstraksi dengan SPME secara headspace sampling pada suhu 70oC selama 30 menit. Hasil ekstraksi kemudian dianalisis menggunakan kromatografi gas yang dilengkapi detektor ionisasi api (GC-FID) dan kromatografi gas-spektrometri massa (GCMS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen-komponen aroma pada lemak kakao terdeteksi dengan baik oleh GC-FID yang dilengkapi dengan kolom Rtx-1 dan inlet liner berukuran 0.75 mm. Analisa menggunakan GC-MS mampu mengidentifikasi 45 komponen aroma dari berbagai golongan antara lain pirazin, asam karboksilat, ester, aldehida, alkohol, amina, furan, eter, hidrokarbon, keton dan fenol. Secara umum perlakuan-perlakuan refermentasi yang dilakukan menghasilkan respon yang berbeda signifikan dari kontrol pada semua komponen aroma. Hasil analisa menunjukkan perlakuan refermentasi menghasilkan peningkatan yang signifikan terhadap komponen aroma golongan pirazin, asam
ii
karboksilat, ester dan aldehida. Hampir semua perlakuan refermentasi menunjukkan peningkatan respon komponen pirazin yang signifikan terhadap kontrol. Respon komponen pirazin tertinggi dihasilkan dari perlakuan A3B2 (F1 70% basah) pada unit fermentasi 4 hari dan perlakuan A3B3 (F2 70% basah) pada unit fermentasi 5 hari. Kata Kunci : Pirazin, SPME, Solid Phase Microextraction, Aroma, Refermentasi, GC-FID.
iii
NOOR ARIEFANDIE FEBRIANTO. F34104057. Identification and Analysis of Flavor Compounds in Refermented Cocoa Bean’s Butter Determined by Solid Phase Microextraction – Gas Chromatography. Supervised by Sapta Raharja and Misnawi. 2009. SUMMARY Indonesia is represented as world’s third biggest cocoa producer after Ivory Coast and Ghana. Indonesia’s cocoa mostly produced from smallholder which is identified with low quality cocoa, nonhigienic, dominated by underfermented bean, high bug contamination, mouldy and have no specific chocolate flavor. Refermentation is one of under-fermented cocoa’s quality enhancement method that can improve cocoa quality as equivalent as well-fermented cocoa bean. This method was developed by Misnawi (2003) and had succeeded improve under fermented cocoa bean’s flavor quality significantly at laboratory scale. The improvement was presented by higher pyrazines formation concentration compared from under-fermented cocoa bean. Solid Phase Microextraction is a solventless method for volatile and semi volatile compounds analysis introduced in early 1990. SPME extracts and concentrates organic compounds from liquid and solid matrices and can achieve low levels of detection of trace organic compunds. SPME as sample preparation method for GC analysis is preferred because it is easier, faster and cheaper. This study was aimed to develop cocoa’s flavor compounds analysis by using solid-phase microextraction and GC. The study was carried out by using 1 cm stableflex fiber coated with DVB/Carboxen/PDMS on SPME Holder used for manual sampling (Supelco, Bellefonte, PA, USA). 5 g of roasted refermented cocoa bean’s butter was placed into 40 ml vial and capped with a rubber septum, then heated at temperature of 70oC for 30 min for the headspace extraction. The further flavor analysis was determined by GC-FID and the identification was carried by GC-Mass Spectra. Result of the study showed that the flavor compunds at roasted cocoa bean butter were well detected by GC-FID equipped with Rtx-1 column with 0.75 mm inlet liner. Over fourty-five compounds consist of pyrazines, acids, esters, aldehydes, amines, furans, eter, hidrocarbon, ketone and phenol as the most representative volatile-semi volatile components of cocoa were well indentified by GC combined with Mass Spectra. Generally, the refermentation treatment result significantly different responses with control in all compound identified before. The results show that the treatment effectively improve the concentration of pyrazines, acids, esters and aldehydes. Almost the treatment result a significant improvement at pyrazines formation compared with control. The highest pyrazines compounds response was obtained from A3B2 (70% crude cocoa bean mixer and 1 day fermented cocoa bean) at 4 days refermentation and X3Y3 (70% crude cacao mixer and 2 days fermented cocoa bean) at 5 days refermentation. Keyword : Pyrazines, SPME, Solid Phase Microextraction, Flavor, Cocoa butter, Refermentation, GC-FID, Flavor Analysis.
iv
RIWAYAT HIDUP
Noor Ariefandie Febrianto, lahir di Banyuwangi, Jawa Timur pada tanggal 24 Februari 1986 dari pasangan Kastur Darmanto dan Leginem. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan dasar diselesaikan di SDN Kalibaru Wetan I Banyuwangi pada tahun 1998 dan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri I Kalibaru Banyuwangi pada tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN I Jember. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis pernah menjadi salah satu mahasiswa berprestasi tingkat TPB (Tingkat Persiapan Bersama) IPB. Penulis juga aktif dalam organisasi Himpunam Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) sebagai staf di bagian Departemen Kewirausahaan (2005-2006) dan sebagai Kepala Departemen Profesi (2006-2007). Penulis juga pernah mejadi asisten praktikum Biologi pada tahun 2006. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan seperti seminar dan workshop serta kegiatan kampus lainnya. Penulis melakukan kegiatan Praktek Lapang (PL) di PT. Centralpertiwi Bahari Lampung pada tahun 2007 dengan judul “Mempelajari Aspek Pengawasan Mutu Pada PT. Centralpertiwi Bahari Tulang Bawang, Lampung”. Penulis menyelesaikan penelitian tingkat sarjana bekerjasama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember pada tahun 2008-2009 dengan judul “Identifikasi dan Analisa Komponen Aroma Pada Lemak Kakao Hasil Refermentasi Dengan Menggunakan Metode SPME-GC (Solid Phase Microextraction – Gas Chromatography)”.
v
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Noor Ariefandie Febrianto
NRP
: F34104057
Departemen
: Teknologi Industri Pertanian
Fakultas
: Teknologi Pertanian
Universitas
: Institut Pertanian Bogor
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Skripsi dengan judul “Identifikasi dan Analisa Komponen Aroma Pada Lemak Kakao Hasil Refermentasi Dengan Menggunakan Metode SPME-GC (Solid Phase Microextraction – Gas Chromatography)” merupakan karya tulis saya pribadi dengan bimbingan dan arahan dari dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas disebutkan rujukannya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa tekanan dari siapapun.
Bogor, 20 Mei 2009 Penulis,
Noor Ariefandie Febrianto F34104057
vi
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan penelitian ini. Bidang penelitian yang menjadi kajian penulis dalam penelitian ini adalah teknologi analisis komponen dengan judul “Identifikasi dan Analisa Komponen Aroma Pada Lemak Kakao Hasil Refermentasi Dengan Menggunakan Metode SPME-GC (Solid Phase Microextraction – Gas Chromatography)” Penyusunan skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dan dorongan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA selaku dosen pembimbing utama yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan dan masukan kepada penulis selama perkuliahan hingga selesainya tugas akhir ini. 2. Dr. Ir. Misnawi selaku dosen pembimbin kedua, peneliti pada Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember yang telah banyak memberikan pengetahuan baru, bimbingan serta arahan selama penelitian ini berlangsung hingga selesai. 3. Prayoga Suryadarma, STP, MT selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saan yang membangun. 4. Kedua Orang tua Penulis : Bapak Kastur Darmanto dan Ibu Leginem, serta kakak Noor Koenthara Ardie dan keluarga di Jember dan Banyuwangi atas yang selalu memberikan doa, perhatian, kasih sayang dan kesabaran yang luar biasa kepada penulis. 5. Bapak Cahya Ismayadi, Pak Budi, Pak Agus, Mba Ninik, Mba Rina, Mba Sulis, Mas Joko, Mba Ari, Mba Fitratin, Pak Abu, Pak Karno, Pak Ndari di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. 6. Eka Nuryan Dewi, Bakhroini, Mas Imam dan Mas Tahmid sebagai teman senasib seperjuangan dan teman berbagi suka dan duka di Jember. 7. Sahabat-sahabat yang tidak ada bandingannya (Fajri , Bimo, Aang, Mulia, Mirsa, Restu, Mega, Rini, Galih dan Shinta) yang telah memberikan
vii
pengalaman yang tidak terlupakan di Bogor. Semoga persahabatan kita tetap langgeng sampai kapanpun. 8. Mba Rita dan Mba Zuni sebagai teman satu bimbingan yang senantiasa mengingatkan dan memberi dorongan. 9. Keluarga TINERS 41 atas pengalaman yang luar biasa, kebersamaan dan persaudaraan selama perkuliahan. Terima kasih. 10. Keluarga Mahasiswa Banyuwangi di Laladon yang selalu menemani dan memberikan semangat selama merantau. 11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak sempurna, oleh karena itu segala saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan terbuka. Akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Bogor, 20 Mei 2009
Penulis
viii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ........................................................................................................... i DAFTAR TABEL ................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii PENDAHULUAN.................................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2. Tujuan Penelitian ................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 3 2.1. Tanaman dan Buah Kakao ..................................................................... 3 2.2. Pengolahan Kakao ................................................................................ 6 2.3. Lemak Kakao ......................................................................................... 8 2.4. Komponen Aroma ................................................................................. 9 2.5. Pirazin (Pyrazines) .............................................................................. 13 2.6. SPME (Solid Phase Microextraction) ................................................. 17 2.7. Kromatografi Gas ................................................................................ 23 2.8. Spektrometri Massa ............................................................................. 30 BAHAN DAN METODE .................................................................................... 32 3.1 Alat dan Bahan .................................................................................... 32 3.2 Metode Penelitian ............................................................................... 33 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................... 40 A. Penentuan Kondisi Optimum Kromatografi Gas ................................... 40 B. Penentuan Suhu Ekstraksi Komponen Aroma ....................................... 45 C. Perbandingan Respon Kromatografi Gas Terhadap Penyuntikan Standar dengan Microliter Syringe dan SPME ................................................... 46 D. Identifikasi Komponen Aroma dengan Kromatografi GasSpektrometri Massa (GC-MS) ............................................................... 58 E. Analisis Kandungan Aroma pada Lemak Kakao dengan Kromatografi Gas-Detektor Ionisasi Api (GC-FID) .............................. 65 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 92 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 92 LAMPIRAN ......................................................................................................... 99
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jenis kakao dan perbedaan karakteristiknya ........................................... 4 Tabel 2. Komposisi kimia biji kakao (%) ............................................................. 5 Tabel 3. Komponen aroma kopi, kakao dan teh berdasarkan golongan kimia ... 10 Tabel 4. Karakteristik sensorik pirazin pada kakao sangrai ............................... 14 Tabel 5. Perbedaan fiber tipe penyerap dan penjerap ......................................... 21 Tabel 6. Desain percobaan analisa komponen aroma pada lemak kakao hasil refermentasi .......................................................................................... 37 Tabel 7. Perbandingan parameter analisis menurut Supelco dan Misnawi ........ 40 Tabel 8. Persamaan regresi kurva kalibrasi standarisasi microliter syringe ....... 48 Tabel 9. Persamaan regresi kurva kalibrasi standarisasi SPME ......................... 50 Tabel 10. Persamaan regresi standarisasi SPME komponen 2 MP, 2,3 DMP, 2,5 DMP dan 2,3,5 TrMP ........................................................................... 53 Tabel 11. Persamaan regresi standarisasi SPME komponen pyrazine.................. 54 Tabel 12. Persamaan regresi standarisasi SPME komponen acetyl pyrazine ....... 54 Tabel 13. Persamaan regresi standarisasi SPME komponen 2,3,5,6 TMP ........... 54 Tabel 13. Komponen-komponen hasil identifikasi GC-MS ................................. 62 Tabel 14. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GC-FID komponen golongan pirazin ................................................... 66 Tabel 15. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GC-FID komponen golongan asam karboksilat ................................... 71 Tabel 16. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GC-FID komponen golongan ester....................................................... 76 Tabel 17. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GC-FID komponen golongan alkohol .................................................. 80 Tabel 18. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GC-FID komponen golongan aldehida................................................. 83 Tabel 19. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GC-FID komponen golongan furan ...................................................... 85
x
Tabel 20. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GC-FID komponen golongan amina .................................................... 87 Tabel 21. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GC-FID komponen golongan eter, keton, hidrokarbon dan fenol ........ 89
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Penampang melintang buah kakao ...................................................... 4 Gambar 2. Struktur kimia pirazin ........................................................................ 13 Gambar 3. Grafik perubahan konsentrasi pirazin pada beberapa perlakuan waktu fermentasi .......................................................................................... 15 Gambar 4. Skema reaksi Maillard ....................................................................... 17 Gambar 5. Skema alat SPME .............................................................................. 18 Gambar 6. Mekanisme ekstraksi komponen melalui penyerapan (absorption) dan penjerapan (adsorption). ............................................................. 20 Gambar 7. Mekanisme ekstraksi dan desorbsi menggunakn SPME ..................... 22 Gambar 8. Hasil identifikasi komponen aroma pada lemak kacang tanah dengan SPME-GCMS .................................................................................... 22 Gambar 9. Bentuk-bentuk suhu terprogram .......................................................... 29 Gambar 10. Perangkat SPME (Solid Phase Microextraction) .............................. 32 Gambar 11. Hamilton microliter syringe .............................................................. 33 Gambar 12. Kromatografi gas tipe Shimadzu GC-2010 ....................................... 33 Gambar 14. Kromatogram campuran alkohol ....................................................... 44 Gambar 15. Perbandingan luas area komponen dalam beberapa konsentrasi (metode microliter syringe) ............................................................... 48 Gambar 16. Perbandingan respon luas area 2 MP antara microliter syringe dan SPME ................................................................................................. 51 Gambar 18. Kurva kalibrasi MTBE ...................................................................... 55 Gambar 19. Persentase penyerapan SPME pada berbagai konsentrasi 2 MP ....... 56 Gambar 20. Perbandingan luas area komponen dalam beberapa konsentrasi (metode SPME) ................................................................................. 56 Gambar 21. Perbandingan kromatogram m/z komponen teranalisis dengan library MS (Triadimefon) .................................................................. 59 Gambar 22. Perbandingan kromatogram m/z komponen teranalisis dengan library MS (acetic acid) .................................................................... 61
xii
Gambar 23. Struktur molekul komponen golongan asam karboksilat, aldehida, eter, alkohol, pyrazine, amine dan hidrokarbon ................................ 63 Gambar 24. Struktur molekul komponen golongan ester, furan, fenol dan keton .................................................................................................. 64
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Parameter kondisi GC-FID ............................................................. 99 Lampiran 2. Hasil analisa kromatografi gas penelitian IV-A-1 ........................ 100 Lampiran 3. Hasil analisa kromatografi gas penelitian IV-A-2 ........................ 101 Lampiran 4. Hasil analisa kromatografi gas penelitian IV-A-3 ........................ 102 Lampiran 5. Hasil analisa kromatografi gas penelitian IV-B-1 ........................ 103 Lampiran 6. Hasil analisa kromatografi gas penelitian IV-B-2 ........................ 104 Lampiran 7. Hasil analisa kromatografi gas penelitian IV-B-3 ........................ 105 Lampiran 8. Kurva kalibrasi 2 MP dan 2,3 DMP microliter syringe ............... 106 Lampiran 10. Kurva kalibrasi pyrazine dan acetyl pyrazine microliter syringe . 108 Lampiran 11. Kurva kalibrasi 2,3,5,6 TMP microliter syringe ........................... 109 Lampiran 13. Kurva kalibrasi 2,5 DMP dan 2,3,5 TrMP SPME ........................ 111 Lampiran 14. Kurva kalibrasi pyrazine dan acetyl pyrazine SPME ................... 112 Lampiran 15. Kurva kalibrasi 2,3,5,6 TMP SPME ............................................. 113 Lampiran 16. Kromatogram hasil analisa GC-MS ............................................. 114 Lampiran 17. Kromatogram hasil analisa GC-FID ............................................. 116 Lampiran 18. Data analisa komponen golongan pirazin fermentasi 4 hari......... 119 Lampiran 19. Data analisa komponen golongan pirazin fermentasi 5 hari......... 129
xiv
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia menempati urutan ketiga di dunia sebagai penghasil kakao tebanyak setelah Pantai Gading (Ivory Coast) dan Ghana. Sampai tahun 2008, produksi kakao Indonesia telah mencapai 480.000 ton atau memenuhi sekitar 13% kebutuhan kakao dunia. Pantai Gading dan Ghana mampu memproduksi kakao masing-masing sebanyak 1.365.000 ton (37%) dan 759.000 (20%) (ICCO, 2009). Produksi kakao Indonesia didominasi oleh produk perkebunan rakyat yang mencakup 87% dari luas total perkebunan kakao di Indonesia. Produk kakao Indonesia terutama yang berasal dari perkebunan rakyat dicirikan dengan mutu yang rendah, kadar kotoran yang tinggi, didominasi biji tidak terfermentasi, kontaminasi serangga dan jamur yang tinggi serta mempunyai citarasa yang lemah. Rendahnya mutu kakao rakyat secara umum disebabkan oleh proses fermentasi yang kurang baik. Proses fermentasi tidak dilakukan dengan baik karena kurangnya pengetahuan petani atau hanya dianggap memperlama waktu simpan kakao. Fermentasi diperlukan untuk memicu terjadinya perubahan biokimia dan peningkatan tipe dan konsentrasi faktor-faktor pembentuk aroma pada kakao (Puziah et al., 1998). Kurangnya proses fermentasi menyebabkan biji kakao memiliki citarasa yang lemah. Penelitian Misnawi et al. (2002a) menunjukkan pada biji kakao yang tidak difermentasi tidak
terbentuk
aroma
coklat
ketika
proses
penyangraian
bahkan
menghasilkan rasa kelat dan pahit. Metode refermentasi merupakan metode peningkatan mutu pada kakao kering siap jual yang tidak terfermentasi atau terfermentasi sebagian sehingga mempunyai mutu yang setara dengan kakao well-fermented. Metode ini dikembangkan oleh Misnawi (2003) dan berhasil meningkatkan mutu kakao secara signifikan pada skala laboratorium. Mutu citarasa kakao secara kualitatif dapat dinilai menggunakan pengujian organoleptik, sedangkan metode kuantitatif yang sering kali digunakan adalah analisa dengan kromatografi gas. Pada pengujian 1
kromatografi gas, metode ekstraksi aroma dari bahan merupakan proses yang sangat menentukan. Selama ini metode yang banyak digunakan adalah metode steam distillation, static and dynamic headspace, supercritical fluid extraction dan vacuum distillation (Curioni & Bosset, 2002). Solid Phase Microextraction (SPME) merupakan salah satu metode sampling tanpa menggunakan pelarut yang mulai diperkenalkan pada awal tahun 90an (Surugau (1998) dalam Self, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Holland dan Gardner (2001) menunjukkan bahwa penggunaan SPME sebagai metode ekstraksi mampu memberikan hasil yang serupa dengan metode direct injection dan lebih akurat apabila dibandingkan dengan metode ekstraksi konvensional seperti static headspace extraction pada sampel uji yang sama antara lain pada buah aprikot, parfum, minyak bunga mawar, lavender dan lili. Sebelum ini, SPME telah digunakan untuk analisis aroma pada bahan kopi, wine, buah-buahan, air minum, kacang tanah, dan berbagai bahan lain. Namun, identifikasi komponen aroma pada biji kakao terutama biji kakao hasil refermentasi belum pernah dilakukan. Dari hasil penelitian ini diharapkan mampu mendapatkan suatu metode analisis komponen aroma pada biji kakao yang cepat serta mampu mengidentifikasi komponenkomponen aroma yang ada pada biji kakao hasil refermentasi.
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan metode ekstraksi komponen aroma pada lemak kakao hasil refermentasi dengan metode SPME serta identifikasi dan analisa menggunakan kromatografi gas. Pada penelitian ini akan dilihat pengaruh suhu ekstraksi yang digunakan pada SPME dan variabel kondisi kromatografi gas (GC) terhadap respon analisis komponen aroma yang dihasilkan oleh analisa menggunakan GC-FID dan GC-MS. Selain itu dapat dipelajari pula pengaruh konsentrasi kakao basah yang digunakan untuk refermentasi, konsentrasi biji kakao kering yang digunakan serta lama waktu refermentasi terhadap kandungan komponen aroma produk.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman dan Buah Kakao Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) termasuk dalam famili Sterculiaceae. Tanaman ini merupakan tanaman asli hutan Amerika Selatan yang kemudian tanaman ini diusahakan penanamannya oleh orang-orang indian Aztec (Sunanto, 1992). Klasifikasi tanaman kakao berdasarkan binomial nomenclature (Siregar et al., 2005) adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi
: Spermatophyta
Klas
: Dicotyledon
Ordo
: Malvales
Famili
: Sterculiaceae
Genus
: Theobroma
Species
: Theobroma cacao
Genus Theobroma secara keseluruhan terdiri lebih dari 20 spesies, namun hanya spesies Theobroma cacao yang mempunyai nilai komersial (Minnifie, 1999). Tanaman ini diperkirakan
menyebar secara alami dari
Amerika selatan ke Guyana dan Meksiko kemudian menyebar sampai kepulauan Karibia. Menurut Morris dalam Minnifie (1999), terdapat 2 spesies Theobroma cacao yang terbentuk saat penyebaran tersebut yaitu spesies Criollo dan Forastero, kemudian spesies Forastero terbagi lagi dalam beberapa subspesies. Spesies Trinitario merupakan spesies hasil persilangan antara Criollo dan Forastero yang dengan sengaja dikembangkan (Minnifie, 1999). Buah kakao terdiri dari empat bagian, yaitu kulit, plasenta, pulp dan biji kakao. Kulit merupakan bagian terbesar yaitu sekitar 76% dari berat buah segar. Penampang melintang buah kakao dapat dilihat pada Gambar 1. Spesies jenis Criollo, Forastero dan Trinitario mepunyai perbedaan mendasar pada bentuk buah, warna buah dan warna biji. Perbedaan karakter dari ketiga jenis kakao tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
3
Gambar 1. Penampang melintang buah kakao (Wikipedia, 2008)
Tabel 1. Jenis kakao dan perbedaan karakteristiknya Karakter Bentuk buah
Criollo
Forastero
Trinitario
Permukaan berlekuk-
Permukaan rata
Gabungan Criollo dan
lekuk
dan licin
Forastero
Kulit • Tekstur
Lunak
Keras
• Warna
Kuning kemerahan
Hijau
• Jumlah biji
20 – 30
30 atau lebih
30 atau lebih
• Warna biji
Putih
Ungu
Dari ungu sampai putih
Sangat keras Beragam, dari kuning merah sampai hijau
Biji kakao
Kakao yang dibudidayakan di Indonesia sebagian besar adalah jenis kakao lindak (Trinitario jenis Upper Amazon Hybride / UAH) dan sedikit yang menghasilkan jenis kakao mulia (Trinitario jenis Hybrid Djati Runggo / DR) (Amin, 2005). Tanaman kakao mulai dapat dipanen buahnya pada umur 5 tahun dan mencapai produksi tertinggi pada umur 12 tahun. Tanaman kakao dapat dipanen terus-menerus sampai umur 50 tahun, dengan panen besar dua kali dalam setahun (Nasution et al., 1985). Biji kakao merupakan bagian buah kakao yang paling banyak dimanfaatkan. Keping biji pada biji kakao selanjutnya akan diolah menjadi makanan coklat dan diambil lemaknya. Komposisi kimia biji kakao menurut Fiencke (1965) dan Pearson (1981) dalam Minnifie (1999) serta Nasution et al. (1985), dapat dilihat pada Tabel 2.
4
Tabel 2. Komposisi kimia biji kakao (%) Fiencke (1965) Komponen
Pearson (1981)
Nasution et al (1985)
Nib
Shell
Nib
Shell
Max
Min
Max
Min
Kulit biji
9.63
-
-
-
-
-
-
Kecambah
0.77
-
-
-
-
-
-
Keping biji
89.60
-
-
-
-
-
-
Lemak
53.05
54.0
3.0
57
48
5.9
1.7
Air
3.65
5.0
11.0
3.2
2.3
6.6
3.7
Total abu
2.63
2.6
6.5
4.2
2.6
20.7
7.1
Nitrogen
5.78
Total N
2.28
2.1
2.6
2.5
2.2
3.2
1.7
Protein N
1.50
-
-
-
-
-
-
Amonia N
0.028
-
-
-
-
-
-
Amida N
0.188
-
-
-
-
-
-
Theobromin
1.71
1.2
0.8
1.3
0.8
0.9
0.2
Kafein
0.085
-
-
-
-
-
-
Karbohidrat
14.31
Glukosa
0.30
1.0
-
-
-
-
-
Pati
6.10
6.0
-
9
6.5
5.2
3.4
Pektin
2.25
-
-
-
-
-
-
Serat
2.09
2.6
16.5
3.2
2.2
19.2
12.8
Selulosa
1.92
9.0
-
-
-
-
-
Pentosan
1.17
1.5
6.0
-
-
-
-
Tanin
7.54
5.8
9.0
-
-
-
-
Asam-asam
0.304
2.5
-
-
-
-
-
Asetat
0.014
-
-
-
-
-
-
Oksalat
1.290
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sitrat
5
2.2. Pengolahan Kakao Pengolahan kakao dimulai dari pasca panen yang baik meliputi beberapa tahapan penting diantaranya pemanenan dan penyimpanan buah, pembelahan buah kakao, fermentasi, pencucian dan pengeringan. 1. Pemanenan dan penyimpanan buah Panen buah kakao dilakukan dengan memetik buah kakao yang tepat matang. Buah kakao yang tepat matang mempunyai ciri-ciri terjadi perubahan warna kulit (hijau ke kuning untuk kakao lindak) dan biji terlepas dari kulit bagian dalam buah kakao, sehingga bila buah diguncang akan terdengar bunyi. Pemanenan buah kakao diusahakan harus pada buah yang tepat matang, karena apabila terlalu matang atau kurang matang dapat menurunkan kualitas akhir produk. Pemanenan yang terlambat akan menghasilkan biji yang berkecambah, sedangkan bila terlalu cepat akan menghasilkan aroma yang lemah (Amin, 2005). Tujuan dari penyimpanan buah sebelum fermentasi adalah untuk mengurangi sebagian gula pulp agar pada saat fermentasi asam yang terbentuk tidak terlalu tinggi (Wood dan Lass, 1985). Penyimpanan lebih baik dilakukan pada tempat yang terlindung dari sinar matahari, terhindar dari genangan air dan dilakukan dengan tumpukan buah yang tipis. Menurut Amin (2005) hal tersebut dapat mempersingkat waktu penyimpanan sehingga dapat menghindari kebusukan buah. 2. Pembelahan buah Setelah proses penyimpanan selesai, buah dibelah untuk mengeluarkan biji kakao. Pembelahan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan pemukul yang terbuat dari kayu yang keras. Penggunaan parang atau benda tajam kurang disukai karena dapat mengakibatkan kerusakan pada biji kakao (Amin, 2005). Biji dan plasenta kemudian dilepaskan dari ujung buah dengan cara diaduk menggunakan tangan (Nasution et al., 1985). 3. Fermentasi Fermentasi merupakan disimilasi anaerobik senyawa-senyawa organik yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme atau ekstrak dari
6
sel-sel tersebut (Sa’id, 1987). Menurut Winarno (1992), fermentasi adalah suatu proses reaksi oksidasi-reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi dimana sebagai donor dan akseptor elektron digunakan bahan organik. Fermentasi dalam pengolahan biji kakao merupakan tahapan yang sangat penting. Fermentasi biji kakao terdiri dari dua proses, yaitu fermentasi eksternal dan fermentasi internal. Fermentasi
eksternal
bertujuan
untuk
menghilangkan
pulp
dan
meniadakan daya hidup pada biji kakao. Fermentasi internal bertujuan untuk membentuk warna, rasa dan aroma. Proses ini berlangsung dalam keping biji karena adanya aktivitas enzim (Amin, 2005). Menurut Puziah et al. (1998), fermentasi diperlukan untuk memicu terjadinya perubahan biokimia dan peningkatan tipe dan konsentrasi faktor-faktor pembentuk aroma pada kakao. Pada saat fermentasi, terjadi aktivitas enzim yang membentuk komponenkomponen pembentuk citarasa dan mendegradasi pigmen-pigmen yang ada pada biji kakao (Hansen et al., 1998). Enzim-enzim yang berperan dalam fermentasi biji kakao antara lain
endoprotease,
aminopeptidase,
carboxypeptidase,
invertase,
polyfenoloxidase, dan glikosidases (Hansen et al., 1997). Enzim-enzim tersebut merupakan enzim kunci yang berperan dalam pembentukan aroma dan degradasi pigmen pada biji kakao selama fermentasi. Menurut Puziah et al (1998), Asam amino bebas, peptida dan gula pereduksi merupakan senyawa-senyawa yang menjadi prekursor dari aroma dan citarasa biji kakao. Asam amino bebas dan peptida merupakan produk yang dihasilkan oleh reaksi enzimatis enzim-enzim seperti proteinase dan carboxypeptidase. Aktivitas enzim invertase selama fermentasi membentuk terjadinya gula-gula pereduksi seperti fruktosa dan glukosa. Gula-gula pereduksi tersebut dihasilkan dari reaksi hidrolisis sukrosa selama fermentasi. Lama fermentasi biji kakao yang dianjurkan adalah 5 hari dengan dilakukan satu kali pembalikan pada hari kedua. Fermentasi sebaiknya dilakukan pada kotak-kotak fermentasi yang mempunyai kebersihan dan
7
kemampuan aerasi yang baik (Amin, 2005). Fermentasi biji kakao yang optimum akan menghasilkan senyawa pembentuk aroma yang optimum pula (Amin, 2005). Menurut Misnawi et al. (2002), pada biji kakao yang tidak difermentasi tidak terbentuk aroma coklat ketika proses penyangraian bahkan menghasilkan rasa kelat dan pahit. Rasa kelat dan pahit disebabkan oleh masih tingginya kadar polifenol yang tidak teroksidasi dalam biji kakao. Fermentasi yang terlalu lama menyebabkan kulit biji rapuh, tipis, mudah pecah, berat biji berkurang, ditumbuhi jamur dan berkurangnya aroma dan rasa khas coklat. Proses fermentasi yang kurang optimum menghasilkan biji yang masih berpigmen ungu, sepat, pahit dan kurang beraroma (Wood dan Lass, 1985). Penelitian yang dilakukan Misnawi (2003) disimpulkan, bahwa dalam biji kakao kering-siap jual masih tersisa enzim-enzim pembentuk citarasa yang dapat diaktifkan kembali untuk memperbaiki mutu biji kakao. 4. Perendaman dan Pencucian Perendaman dan pencucian dilakukan untuk menghilangkan sisasisa pulp yang masih menempel pada biji. Proses ini umumnya dilakukan apabila diminta oleh konsumen (Amin, 2005). 5. Pengeringan Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air pada biji kakao setelah proses fermentasi maupun pencucian. Untuk menjaga agar komoditas kakao tidak cepat rusak dan dapat disimpan lama, kadar air kakao harus diturunkan menjadi 6-7%. Pengeringan dapat dilakukan dengan pengeringan alami (penjemuran), pengeringan buatan ataupun kombinasi keduanya (Amin, 2005).
2.3. Lemak Kakao Lemak kakao merupakan istilah yang diberikan pada produk yang dihasilkan dari pengepresan liquor kakao dengan menggunakan pengepres hidrolik (Francis, 1999). Secara umum lemak kakao adalah produk yang dihasilkan dengan pengepresan secara mekanik dari biji kakao sangrai yang
8
telah dihancurkan (Minnifie dalam Chichester dan Schwegert, 1988). Lemak kakao merupakan bahan pembawa dan pelarut partikel-partikel pada liquor kakao dan gula serta bahan-bahan lain pada pembuatan produk cokelat susu (Francis, 1999). Lemak kakao merupakan lemak yang bersifat unik karena mempunyai karakteristik leleh yang spesifik. Pada suhu ruangan (sekitar 200C), lemak ini bersifat padat dan mulai melembut pada suhu sekitar 300C. Lemak kakao meleleh seluruhnya pada suhu sedikit di bawah suhu tubuh. Karakteristik leleh yang unik tersebut membuat lemak kakao lebih disukai untuk pembuatan produk cokelat (Francis, 1999). Lemak kakao sebagian besar terdiri atas trigliserida (sekitar 94%) dengan sedikit digliserida (±4%) dan monogliserida (<0.5%). Selain itu pada lemak kakao juga terdapat asam lemak bebas (±1.3%). Menurut Francis (1999), komponen utama penyusun lemak kakao adalah trigliserida yang terbentuk oleh variasi senyawa asam lemak stearat, palmitat dan oleat. Jumlah dan posisi ketiga asam lemak tersebut dalam trigliserida mempengaruhi karakteristik leleh lemak. Rasio antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh pada lemak mempengaruhi konsentrasi lemak yang memadat pada setiap tingkatan suhu (Chichester dan Schwegert, 1988).
2.4. Komponen Aroma Aroma (flavor) merupakan sensasi kompleks yang disusun terutama oleh bau (odor) dan rasa (taste). Selain disusun oleh kedua faktor tersebut, aroma juga dipengaruhi oleh kepekaan indra perasa dan respon suhu (Reineccius, 1999). Menurut Reineccius (1999), karakteristik terpenting dalam aroma adalah bau. Pentingnya bau pada persepsi aroma personal semakin terlihat nyata pada seseorang yang menderita pilek yang hanya bisa merasakan karakteristik aroma dengan rasa, indra pegecap dan respon suhu. Menurut Reineccius (2006), mayoritas penelitian tentang aroma yang dilakukan sejak dahulu merupakan penelitian tentang unsur volatil pada makanan dan pencita rasa.
9
Pada kakao, terdapat beberapa golongan senyawa yang penting dalam pembentukan aroma. Menurut Maarse (1991), beberapa senyawa yang berperan dalam pembentukan aroma kakao antara lain senyawa-senyawa hidrokarbon, alkohol, aldehida, keton, asam karboksilat, ester, furan, fenol dan eter, furan, pirol (pyrroles), oxazoles, thiazoles, piridin (pyridine) dan quinolines, pirazin, amina, komponen-komponen bersenyawa nitrogen serta komponen bersenyawa belerang (Tabel 3).
Tabel 3. Komponen aroma kopi, kakao dan teh berdasarkan golongan kimia Jumlah yang ditemukan (dalam unit) Gugus Fungsi
Kopi
Kakao
Teh
Hidrokarbon
50
39
37
Alkohol
20
25
46
Aldehida
28
22
55
Keton
70
24
57
Asam Karboksilat
20
51
71
Ester
29
58
55
Furan
8
7
16
Fenol
42
6
19
Furan
99
19
9
Thiophene
26
-
1
Pyrroles
67
18
10
Oxazoles
27
15
2
Thiazoles
28
9
7
Piridin
13
12
23
Pirazin
79
94
22
Amina dan komponen bersenyawa-N
24
45
18
Sulfida dan produk bersenyawa-S
16
10
5
Komponen lain
9
8
14
655
462
467
Total (Sumber : Maarse, 1991)
Komponen benzenoid hidrokarbon ditemukan lebih banyak pada produk kakao dibandingkan dengan bahan pangan lain. Keberadaan hidrokarbon dalam bahan pangan dapat ditelusuri dari beberapa mekanisme. 10
Pada teh hijau, hidrokarbon merupakan produk dari metabolit primer. Pada kakao hidrokarbon terbentuk karena aktivitas enzim. Sedangkan pada kopi, hirokarbon terbentuk karena reaksi kimia terutama pada saat penyangraian (Maarse, 1991). Aldehida dan keton ditemukan hampir pada semua bahan pangan yang disangrai. Walaupun komponen tersebut tidak berperan penting dalam pembentukan aroma pada daging, aldehida dan keton memberikan konstribusi yang signifikan pada bahan pangan lain seperti kopi dan cokelat (Holscher & Steinhart; Eichner et al. di dalam Ashurst, 1999). Menurut Maarse (1991), Ester yang merupakan kompoen penyusun aroma pada buah yang paling umum juga mempunyai peran penting dalam penyusunan aroma pada kopi, kakao dan teh. Sedikitnya 58 senyawa ester teridentifikasi pada kakao antara lain methylphenyacetate, methyl 4-methoxy benzoate dan methyl antranilate. Identifikasi komponen aroma volatil terutama pada matriks pangan merupakan salah satu masalah paling berat yang dihadapi oleh para analis kimia saat ini (Reineccius, 2006). Salah satu hal yang menyulitkan dalam proses isolasi komponen aroma adalah kenyataan bahwa komponenkomponen kelumit (trace) aroma tersebut tersebar pada matriks bahan pangan tersebut. Isolasi komponen aroma yang sangat rendah konsentrasinya tersebut dari sistem pangan yang mengandung senyawa-senyawa gula, karbohidrat kompleks, lipid, protein dan air merupakan proses yang problematis. Isolasi komponen aroma berdasarkan kevolatilan bahan juga merupakan hal yang rumit, mengingat bahwa air merupakan komponen volatil yang paling melimpah dalam bahan pangan (Reineccius, 2006). Metode isolasi komponen aroma telah mengalami perkembangan yang pesat pada akhir tahun 1970 metode isolasi yang berkembang antara lain adalah distilasi vakum (vacuum distillation), distilasi uap (steam distillation), ekstraksi
dengan
pelarut
(solvent
extraction)
dan
pengkonsetrasian
(concentration) (Fenaroli, 1970). Menurut Reineccius (2006), metode isolasi yang dapat digunakan antara lain : static headspace, purge and trap, distilasi, ekstraksi dengan pelarut, sorptive extraction dan evaporative techniques.
11
Solid phase microextraction (SPME) merupakan salah satu metode sampling tanpa menggunakan pelarut yang mulai diperkenalkan pada awal tahun 1990an (Surugau (1998) dalam Self, 2005). Menurut Self (2005), SPME diperkenalkan sebagai metode untuk menyerap komponen volatil dan semivolatil dari rongga udara diatas sampel padatan dan cairan. SPME telah banyak digunakan untuk menganalisis kandungan aroma pada berbagai bahan, antara lain analisis komponen aroma pada bunga Maxillaria tenuifola yang dilaporkan oleh Perraudin et al. (2006). Analisis komponen sulfur organik
pada
wine
(Mestres
2000),
bahkan
analisis
kandungan
methylxanthines dari cairan tubuh manusia oleh Kumazawa et al. (1999) dan banyak aplikasi lainnya. Analisis komponen aroma dapat dilakukan dengan cara fraksinasi (fractination) dan karakterisasi (characterization). Fraksinasi dapat dilakukan secara fisik dan/atau kimia. Fraksinasi secara fisik dapat dilakukan dengan distilasi fraksional, kristalisasi fraksional, distilasi molekuler, sublimasi dan kromatografi. Sedangkan fraksinasi secara kimia dapat dilakukan dengan penambahan zat seperti phenylhydrazones, oximes, bisulfit dan lain-lain (Fenaroli, 1970). Karakterisasi komponen aroma dapat dilakukan dengan menggunakan spektrometri massa, IR, UV, NMR dan karakter lain seperti titik leleh, titik didih, refractive index dan optical rotation (Fenaroli, 1970). Menurut Reineccius (2006) perkembangan teknologi kromatografi gas merupakan kemajuan yang sangat berarti dalam karakterisasi komponen khususnya komponen aroma. Kromatografi gas menjadi sangat populer karena mempunyai kemampuan memisahkan yang sangat baik dan sensitifitas yang sangat tinggi. Saat ini penggunaan kromatografi gas semakin berkembang dengan adanya perangkat tambahan seperti spektometri massa dan olfactometry. Investigasi terhadap komponen aroma pada kakao yang dilakukan oleh Bonvehi (2005) berhasil mengidentifikasi 110 komponen aroma dengan menggunakan Gas Chromatography–Flame Ionization Detector. Beberapa komponen yang teridentifikasi merupakan komponen pirazin. Penelitian yang
12
dilakukan oleh Frauendorfer dan Schieberle (2006) menunjukkan setidaknya terdapat 31 komponen aroma yang paling menonjol dalam kakao.
2.5. Pirazin (Pyrazines) Pirazin merupakan komponen aroma yang kuat dalam makanan. Pirazin terbentuk melalui reaksi Maillard dan pirolisis dari beberapa asam amino. Umumnya, pirazin ditemukan dalam makanan yang mengalami perlakuan panas (Belitz & Grosch, 1999). Menurut Maarse (1991), sebanyak 100 pirazin monocyclic, 15 pirazin bicyclic dan 12 quinoxaline telah berhasil diidentifikasi. Sebanyak 94 komponen tersebut ditemukan dalam kakao. Komponen pirazin dalam makanan mempunyai karakteristik aroma nutty, roasted, green dan fruity. Pirazin merupakan komponen aroma yang penting dan mencakup hampir 40% dari fraksi komponen aroma kakao (Lindsay, 1996). Menurut Maarse H. (1991), Pada kakao telah diidentifikasi lebih dari 94 komponen Pyrazine, 79 komponen dalam kopi dan 22 macam komponen dalam teh hijau. Pada kakao, Kandungan komponen polifenol, alkaloid, asam amino, peptida dan pirazin pada kakao mempengaruhi timbulnya aroma dan rasa bitter dan astringency (getir). Keberadaan rasa bitter dan astringency ini merupakan aroma dan rasa yang diinginkan dalam produk kakao (Misnawi et al., 2002). Astringency merupakan fenomena rasa kering di dalam mulut yang timbul karena terjadi reaksi antara komponen aroma tersebut dengan saliva (Lindsay, 1996). Struktur kimia pirazin ditunjukkan pada Gambar 2. Sedangkan karakteristik sensorik beberapa jenis pirazin yang ditemukan dari kakao sangrai ditunjukkan pada Tabel 3. R3
N
R2
R4
N
R1
Gambar 2. Struktur kimia pirazin (sumber : Hoskin dan Dimmick, 1994)
13
Tabel 4. Karakteristik sensorik pirazin pada kakao sangrai Atribut Sensorik No
Maga dan Sizer
Komponen
Bonvehi dan Coll (2002), Bonvehi
dalam Fenaroli
(2005)
(1970)
1
Pirazin
-
Pungent, sweet
2
2 Metilpirazin
Musty, nutty
Nutty, cocoa,chocolate, roasted-nuts
3
2,3 dimetilpirazin
Roasted meat
Caramel, cocoa
4
2,5 dimetilpirazin
Nutty, roasted
Cocoa, roasted-nuts
5
2,6 dimetilpirazin
Richer vanilla
Nutty, coffee, green
6
2,3,5 trimetilpirazin
Coffee
Cocoa, roasted-nuts, peanut
7
2,3,5,6 tetrametilpirazin
Fuller vanilla
Chocolate, cocoa, coffee
(Sumber : Maga dan Sizer dalam Fenaroli (1970), Bonvehi dan Coll (2002), Bonvehi (2005))
Reaksi Maillard atau reaksi browning nonenzimatis merupakan istilah yang dipakai untuk menjelaskan pembentukan senyawa N-glycosides yang terbentuk dalam makanan ketika terdapat kandungan gula pereduksi dan senyawa protein, peptida, asam amino serta amina secara bersamaan. Senyawa N-glycosides akan semakin mudah terbentuk pada suhu yang lebih tinggi, water activity yang rendah dan waktu penyimpanan yang lama (Belitz & Grosch, 1999). Reaksi Maillard berperan sebagai pembentuk aroma yang menonjol dalam berbagai produk pangan seperti cokelat, kopi dan produk roti. Komponen-komponen aroma pada sebagian besar produk yang mengalami proses pembakaran,
penyangraian dan
pemanggangan
hampir pasti
mengandung produk reaksi Maillard (Fayle & Gerrard, 2002). Menurut Nursten (2005), reaksi Maillard muncul pada hampir semua jenis makanan pada
proses
tertentu,
umumnya
ketika
terjadi
peningkatan
suhu
(penyangraian, pemanggangan, extruding) atau ketika penyimpanan dalam waktu yang lama. Menurut
Hutchings
(1994),
polimerisasi
alehida-amino,
N-
heterocyclics seperti pirazin, pyrolles dan pyridines terbentuk melalui reaksi Maillard yang melibatkan kandungan gula pereduksi dan asam amino. Selama
14
fermentasi, asam amino bebas dan peptida terbentuk melalui reaksi proteolisis enzimatis oleh aspartic proteinase dan carboxypeptidase pada protein (Voigt (1993) dalam Puziah et al., 1998). Menurut Puziah et al. (1998), konsentrasi peptida-N dan total gula pereduksi meningkat masing-masing 55% dan 208% selama fermentasi. Penelitian Puziah et al. (1998) menunjukkan bahwa selama fermentasi,
beberapa
pirazin
seperti
alkilpirazin
(2
metilpirazin),
dimetilpirazin (2,5-dimetilpirazin, 2,6-dimetilpirazin, 2,3-dimetilpirazin), trimetilpirazin dan tetrametilpirazin terbentuk namun tidak terdapat sama sekali pada biji tidak terfermentasi. Puziah et al. (1998) juga menyimpulkan bahwa lama fermentasi sangat berpengaruh terhadap kandungan pirazin dalam biji kakao. Kandungan pirazin meningkat secara signifikan pada tingkat fermentasi 4 hari dan menurun pada tingkat fermentasi yang lebih lama (Gambar 3).
Gambar 3. Grafik perubahan konsentrasi pirazin pada beberapa perlakuan waktu fermentasi (Sumber : Puziah et al., 1998) Reaksi Maillard merupakan reaksi kompleks dan terbagi dalam tiga tingkatan yaitu, initial, intermediate dan final. Fase inisial reaksi Maillard merupakan sistem yang memproduksi komponen-komponen aditif yang akan bereaksi kemudian dan sebagian merupakan reaksi yang reversible. Hodge
15
dalam Nursten (2005) membagi Reaksi Maillard dalam beberapa tahapan, yaitu : I. Initial Stage : produk tidak mengalami perubahan warna. Reaksi A : Sugar-amine condensation Reaksi B : Amadori rearrangement II. Intermediate Stage : produk mengalami perubahan warna menjadi kekuningan. Reaksi C : Sugar dehydration Reaksi D : Sugar fragmentation Reaksi E : Amino acid degradation (Strecker Degradation) III. Final Stage : produk berubah warna. Reaksi F : Aldol condensation Reaksi G : Aldehyde-amine
condensation
dan
pembentukan
senyawa nitrogen heterosiklik Pembentukan warna dan aroma kakao merupakan reaksi yang terjadi pada saat fase intermediate reaksi Maillard, dimana komponen-komponen adisi yang terbentuk pada fase initial bereaksi membentuk senyawa-senyawa aroma dan warna, sedangkan pada fase final sejumlah besar komponen yang sangat besar terbentuk pada saat warna coklat tua akibat browning muncul (Hoskin, 1994). Hodge dalam Nursten (2005) menjelaskan kompleksitas reaksi Maillard pada Gambar 4.
16
Gambar 4. Skema reaksi Maillard (Sumber : Hodge dalam Nursten, 2005)
2.6. SPME (Solid Phase Microextraction) Solid Phase Microextraction (SPME) dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan akan preparasi analisis sampel yang cepat (Pawliszyn, 1997). SPME merupakan teknik yang cukup baru untuk eksraksi tanpa pelarut yang singkat zat-zat organik volatil dan semi volatil (Marsili, 1997). Menurut
17
Shirey dan Sidisky (1999), SPME merupakan teknik ekstraksi tanpa pelarut yang dapat dipakai untuk mengekstrak analyte dari matriks sampel cair maupun padat. Alat SPME tediri dari syringe yang telah dimodifikasi dan tersusun oleh plunger yang memungkinkan jarum syringe yang berisi fiber dapat diatur posisinya untuk keperluan ekstraksi dan desorbsi. Skema lengkap alat SPME terdapat pada Gambar 5.
Gambar 5. Skema alat SPME (Self, 2005)
SPME menggunakan sorbent dalam jumlah kecil yang terdispersi pada permukaan fiber, untuk mengisolasi dan mengkonsentrasikan analyte dari matriks sampel. Setelah kontak dengan matriks sampel, analyte akan terabsorbsi atau teradsorbsi oleh fiber (tergantung jenis fiber yang dipakai) sampai tercapai kesetimbangan dalam sistem tersebut (Pawliszyin, 2001). Menurut Mitra (2003), keuntungan penggunaan SPME adalah kemampuan mengkonsentrasi dan selektifitas yang tinggi. Metode lain seperti SPE (Solid Phase Extraction) mampu menangkap >90% analyte yang keluar dari sampel, namun hanya 1-2% dari analyte yang ditangkap tersebut yang dapat diinjeksikan pada instrumen analisis. Sedangkan SPME hanya mampu menangkap 2-20% analyte yang keluar dari sampel dan seluruh analyte tersebut dapat diinjeksikan pada instrumen.
18
Menurut Shirey (1999a), desain fiber dan holder harus mampu memenuhi beberapa aspek, yaitu integritas sampel yang terjaga, kemudahan penggunaan dan pemakaian fiber yang serbaguna. Yang terpenting desain tersebut harus cukup ketat untuk menghindari kehilangan sampel selama proses ekstraksi dan desorpsi. Selain itu holder harus dapat dengan mudah mengeluarkan dan menarik fiber dan mudah digunakan seperti halnya syringe pada umumnya. Menurut Kataoka di dalam Wilson et al. (1984), terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengoptimasi kinerja SPME-GC, antara lain pemilihan metode ekstraksi, pemilihan coating fiber SPME, optimasi kondisi ekstraksi dan optimasi kondisi desorbsi pada kromatografi gas. Terdapat 2 metode ekstraksi analyte yang dapat diaplikasikan SPME, yaitu direct sampling (DI-SPME) dan headspace sampling (HS-SPME) (Wilson, 1984). DI-SPME dianjurkan untuk ekstraksi komponen semi volatil atau komponen dengan konsentrasi yang sangat rendah pada bahan cair, sedangkan HSSPME cocok untuk ekstraksi komponen yang lebih volatil pada bahan gas, cair maupun padatan (Kataoka dalam Wilson et al., 1984). Pemilihan coating fiber SPME harus disesuaikan berdasarkan berat molekul, gugus fungsional (Supelco, 1999), bentuk dan polaritas molekul, batas deteksi minimum dan mekanisme ekstraksi fiber (Shirey & Mindrup, 1999). Selain itu, pemilihan fiber harus memperhatikan tipe polimer pelapis fiber (Shirey & Sidisky, 1999), tipe serapan fiber (Gorecki et al., 1999) dan ketebalan pelapis fiber (Stadelmann, 2001). Tipe polimer pelapis fiber mempengaruhi daya serap terhadap komponen berdasarkan tingkat polaritasnya (Shirey & Sidisky, 1999). Menurut Shirey dan Sidisky (1999) terdapat 3 tipe fiber yang sudah tersedia, yaitu tipe nonpolar, polar dan bipolar. Tipe nonpolar yang telah tersedia adalah tipe PDMS (Polydimethylsiloxane) coating. Pelapis fiber seperti polyacrylate (PA) (Shirey, 1999b) dan carbowax-divinylbenzene (CW-DVB) (Shirey & Sidisky, 1999) merupakan pelapis tipe polar. Pelapis fiber SPME tipe bipolar antara lain PDMS-DVB, PDMS-DVB Stableflex, CarboxenPDMS dan DVB-Carboxen-PDMS Stableflex (Shirey & Sidisky, 1999).
19
Menurut Stadelmann (2001), Polaritas fiber mempengaruhi selektifitas fiber berdasarkan prinsip kesamaan polaritas. Komponen polar lebih mudah diekstrak dengan menggunakan fiber bertipe polar. Namun, tidak semua zat non polar lebih mudah diekstrak dengan menggunakan fiber tipe non polar. Tipe serapan fiber dibedakan menjadi 2 yaitu tipe penjerap (adsorbent) dan penyerap (absorbent) (Shirey & Mindrup, 1999). Menurut Gorecky et al. (1999) pelapis fiber seperti PDMS dan PA merupakan pelapis yang mengekstrak komponen secara penyerapan (absorption), sedangkan pelapis yang terdiri dari campuran polimer seperti PDMS-DVB, CarbowaxDVB dan pelapis campuran lain mengekstrak komponen secara penjerapan (adsorption). Mekanisme ekstraksi antara penyerapan dan penjerapan ditunjukkan pada Gambar 6, sedangkan perbedaan secara umum ditunjukkan pada Tabel 4.
Gambar 6. Mekanisme ekstraksi komponen melalui penyerapan (absorption) dan penjerapan (adsorption) (Sumber : Gorecky et al. 1999, Pawliszyn & Lord, 2000) Gambar sebelah kiri menunjukkan fase awal ekstraksi dan gambar sebelah kanan menunjukkan fase kesetimbangan.
20
Tabel 5. Perbedaan fiber tipe penyerap dan penjerap Penyerap (Absorbent)
Penjerap (Adsorbent)
Mengekstrak komponen dengan cara
Menjerat secara fisik maupun bereaksi
menyekat (partitioning)
secara kimia dengan komponen yang
Fase cair
diekstrak
Mempertahankan komponen dengan
Bahan yang digunakan bersifat porous
ketebalan pelapis
(mudah menyerap) Area permukaan luas
Komponen yang diekstrak
Komponen tidak bersaing untuk
kemungkinan bersaing untuk
mendapatkan tempat
mendapatkan tempat Fiber mempunyai kapasitas yang
Fiber dapat mempunyai kapasitas yang
terbatas
besar
(Sumber : Shirey & Mindrup, 1999)
Ketebalan pelapis fiber mempengaruhi kecepatan dan kapasitas ekstraksi fiber. Semakin tebal pelapis fiber maka kapasitas fiber semakin meningkat namun kecepatan ekstraksinya berkurang (Stadelmann, 2001). Menurut Shirey dan Sidisky (1999), saat ini tedapat fiber SPME dengan variasi ukuran antara 7 µm sampai 100 µm. Metode ekstraksi komponen aroma dengan menggunakan SPME dapat dibagi menjadi 3 tahapan. Tahap pertama, jarum SPME dimasukkan dalam vial berisi bahan yang akan diekstrak. Selanjutnya, fiber SPME dikeluarkan sehingga terekspos. Fiber dapat dikeluarkan pada sampel secara langsung (untuk sampel cair-metode direct sampling) ataupun pada rongga udara diatas sampel (headspace sampling). Tahap terakhir, fiber ditarik kembali ke dalam jarum SPME untuk mengisolasi komponen yang telah terekstrak (Stadelmann, 2001). Proses desorbsi komponen yang telah diekstraksi ke dalam kromatografi gas dilakukan dengan memasukkan SPME pada injection port kromatografi gas. Proses desorbsi dilakukan dengan memvariasikan parameter dan temperatur yang mengatur daya desorbsi kromatografi gas
21
terhadap SPME (Robinson et al., 2005). Skema ekstraksi dan desorbsi SPME ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Mekanisme ekstraksi dan desorbsi menggunakn SPME (Sumber : Supelco, 2001b)
Analisis komponen aroma dengan menggunakan SPME telah banyak digunakan pada berbagai bahan makanan. Shirey dan Sidisky (1999) telah melaporkan penggunaan SPME pada bahan white wine, aroma cherry alami dan buatan, apel, susu, kentang, produk cokelat batang, lemak kacang tanah, kopi dan bahan lainnya. Identifikasi komponen aroma pada lemak kacang tanah dengan menggunakan kromatografi gas-spektrometri massa berhasil mengidentifikasi senyawa pirazin dan senyawa-senyawa aroma lain (Gambar 8).
Gambar 8. Hasil identifikasi komponen aroma pada lemak kacang tanah dengan SPME-GCMS (Sumber : Supelco, 1998a) 22
2.7. Kromatografi Gas Teknik kromatografi mulai dikenal sejak tahun 1834. Teknik tersebut dipekenalkan oleh Runge F.F. dengan menggunakan kertas tanpa glasur (lapisan kaca) dan/atau potongan kain untuk pengujian spot (titik warna) celupan dan ekstrak tanaman (Grob, 2004a). Kromatografi menurut Grob (2004a) adalah metode pemisahan komponen bahan secara fisika dimana komponen tersebut terdistribusi menjadi 2 fase, yaitu fase stasioner dan fase mobil. Fase stasioner dapat berupa padatan atau cairan pada matriks padat. Kromatografi gas pertama kali diperkenalkan oleh James dan Martin pada tahun 1952 (James & Martin di dalam Kitson et al., 2002). Menurut Kitson et al. (2002) prinsip kerja kromatografi gas secara umum mencakup pengubahan fase sampel menjadi fase gas dengan pemanasan pada tempat penyuntikan, pemisahan komponen campuran secara spesifik pada kolom yang telah dipersiapkan dan pendeteksian tiap komponen menggunakan detektor. Menurut Grob (2004c) terdapat beberapa keuntungan dari penggunaan kromatografi gas antara lain : 1. Resolusi : Sistem kromatografi gas mampu diaplikasikan untuk analisis komponen bahkan dengan titik didih yang hampir sama. Dengan pemilihan komponen yang tepat, komatografi gas mampu memisahkan komponen yang mirip secara fisika maupun kimia. 2. Sensitifitas : Kromatografi gas mampu mendeteksi komponen pada tingkat ppm maupun tingkat ppb. 3. Waktu analisis yang relatif singkat, dapat diatur dari hitungan detik sampai menit sesuai yang diinginkan. 4. Pengoperasian yang relatif mudah. 5. Biaya analisis yang cukup rendah. 6. Kemampuan pemisahan yang sangat baik. 7. Mudah diautomatisasi dan kemudahan dalam penyimpanan data. Menurut Kitson et al. (2002) beberapa fitur kunci yang harus dipahami dalam pengoperasian kromatograf gas secara efektif antara lain sistem pemanasan pada injector (sistem pemasukan sampel), detektor dan laju transfer serta pemrograman suhu pada kolom kromatograf. Pemasukan
23
sampel pada kromatograf gas memerlukan adanya gas pengemban (carrier gas) sebagai fase mobil kromatograf gas. Gas pengemban yang umum digunakan adalah helium, namun gas seperti hydrogen dan nitrogen bisa juga digunakan. Syarat utama gas pengemban adalah inert (tidak bereaksi dengan sampel). Terdapat beberapa teknik pemasukan sampel untuk analisis kromatografi gas meliputi gas sampling valves (katup penyuntikan sampel gas), split and splitless injection, on-column injection dan programmed temperature injections (Kitson et al., 2002). 2.7.1. Injector Sampel gas paling baik disuntikkan dengan pertolongan katup khusus yang didesain untuk itu (Fardiaz, 1989). Menurut Kitson et al. (2002), pengguanaan katup khusus penyuntikan sampel gas dapat digunakan untuk analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Katup tersebut dapat dioperasikan pada tekanan yang rendah untuk analisis cairan bertitik didih rendah yang akan menguap pada tekanan rendah. Sampel cair biasanya disuntikkan dengan suntikan mikro melalui septum yang dapat menutup kembali. Sampel dapat disuntikkan ke dalam penguap kilat atau langsung ke dalam kolom (Fardiaz, 1989). Menurut Kitson (2002), penyuntikan dalam liner pada kolom kapiler dapat dibagi menjadi 2 yaitu penyuntikan split dan splitless. Di dalam kromatograf gas dengan kolom kapiler, sampel yang disuntikkan hanya berkisar antara 0,001 µl sampai 0,5 µl. Oleh karena itu hal ini tidak bisa dilakukan dengan menggunakan penyuntik biasa, maka biasanya dalam sistem penyuntikannya, sampel yang sudah menguap dipisahkan arahnya, sebagian masuk ke kolom dan lainnya terbang. Kelemahan penyuntikan split ini adalah adanya kemungkinan pemisahan terjadi karena berat molekul komponen pada sampel sehingga tidak terbagi dalam rasio yang sama (Fardiaz, 1989). Pada penyuntikan splitless, katup pemisah pada inlet ditutup sehingga semua sampel masuk pada ujung kolom. Setelah beberapa waktu, katup pemisah dibuka untuk membuang pelarut dan komponen yang tidak terserap oleh kolom. Penyuntikan ini biasanya digunakan
24
untuk analisis kelumit (trace) (Kitson, 2002). Menurut Fardiaz (1989), resolusi dan efisiensi pemisahan komponen dengan sistem ini sangat tergantung pada suhu awal kolom, dan suhu kolom terprogam perlu dilakukan untuk menghasilkan kromatogram yang baik. Penyuntikan secara langsung pada kolom (on-column injection) lebih mudah diaplikasikan pada kromatograf gas yang menggunakan kolom berukuran lebih besar. Namun kromatograf gas modern memungkinkan pengaturan penyuntikan pada kolom secara langsung dengan lebih tepat, mencakup pengaturan pemanasan dan pedinginan suhu injector secara otomatis. Metode ini cocok digunakan untuk sampel dengan variasi tingkat titik didih yang luas dan sampel yang labil terhadap panas (Kitson, 2002). Kumazawa et al. (1998) menggunakan suhu 280oC selama 1 menit dengan mode splitless pada injector kromatografi gas untuk mengekstrak analyte dari fiber SPME jenis PDMS, PA, CW-DVB dan PDMS/DVB. Sedangkan Shirey dan Sidisky (1999) menggunakan suhu 270oC selama 5 menit pada mode split/splitles untuk fiber jenis DVBCarboxen/PDMS Stableflex. 2.7.2. Column Kolom kromatograf gas dapat dikatakan sebagai bagian paling penting dalam analisis kromatografi gas. Sejak tahun 1970, desain dan karakteistik kolom telah banyak berubah. Mulai dari
kolom yang
mengunakan penjerap padat atau cairan pada penunjang inert sampai penggunaan fase stasioner immobil dan berikatan silang dengan penggunaan kolom yang lebih panjang (Barry, 2004). Menurut Fardiaz (1989), terdapat dua jenis kolom yang digunakan dalam komatografi gas secara umum, yaitu kolom jejal (packed column) dan kolom tubuler terbuka (open tubular column). Kolom jejal masih digunakan secara luas pada analisis kromatografi gas. Kolom jejal terdiri atas tiga komponen utama, yaitu silinder dimana material pengisi kolom diletakkan, bahan penahan (seperti glass wool) yang dimasukkan pada bagian dasar silinder untuk
25
menahan material pengisi pada tempatnya. Yang ketiga adalah bahan pengisi kolom itu sendiri (Barry, 2004). Menurut Fardiaz (1989), kolom jejal merupakan kolom metal atau gelas terdiri dari penunjang padatan yang dilapisi fase cair yang tidak menguap atau adsorben. Kolom jejal mempunyai panjang berkisar 0,7 sampai 2 meter. Kolom kapiler merupakan salah satu jenis kolom tubuler terbuka (Barry, 2004). Menurut Grob (2004b), Kolom kapiler merupakan kolom tubuler terbuka yang mempunyai diameter kolom yang kecil, berkisar antara 0,25 mm – 1,0 mm dimana dinding bagian dalam kolom digunakan untuk mendukung fase stasioner kolom yang berupa padatan atau cairan. Kolom tubuler terbuka dapat mempunyai panjang dari 30 sampai 300 meter. Kolom yang panjang ini biasanya dibuat dalam bentuk koil melilit bergulung seperti spiral (Fardiaz, 1989). Menurut Fardiaz (1989), terdapat dua jenis kolom tubuler terbuka, yaitu WCOT (Wall Coated Open Tubular Column) dan SCOT (Support Coated Open Tubular Column). Pada WCOT fase stasioner merupakan lapisan pada dinding bagian dalam kolom yang jumlahnya terbatas.dalam SCOT lebih banyak fase stasioner yang dapat dilapiskan pada dinding bagian dalam kolom tanpa meningkatkan ketebalan lapisan film. Desain oven banyak mempengaruhi bentuk dan konfigurasi kolom yang digunakan untuk analisis. Umumnya oven didesain untuk dapat diisi dengan kolom berbentuk koil. Pada saat gas pengemban secara kontinyu mengalir sepanjang kolom, gaya gravitasi yang menarik turun isi kolom akan menyebabkan terbentuknya kanal-kanal yang mengakibatkan hilangnya selektifitas dan resolusinya. Konfigurasi koil yang berdiri vertikal merupakan konfigurasi yang lebih baik karena isi kolom hanya dapat membentuk kanal pada bagian atas atau bagian bawah dari koil. Sedangkan konfigurasi horizontal akan membentuk kanal sepanjang kolom (Fardiaz, 1989). Menurut Fardiaz (1989), pemilihan kolom yang tepat untuk analisis dapat ditinjau dari efisiensi kolom dan selektifitas kolom
26
tesebut. Efisiensi kolom dinyatakan dalam satuan n/L, yaitu lempeng per satuan panjang. Selain itu efisiensi juga dinyatakan sebagai HETP (Height Equivalent to one Theoretical Plate). Semakin tinggi HETP menunjukkan kolom semakin efisien. Sedangkan selektifitas kolom menentukan seberapa jauh dua puncak dipisahkan satu sama lain. Faktor yang berpengaruh antara lain adalah : (1) bahan padat pengisi kolom, (2) Fase stasioner/cairannya, (3) Perlakuan terhadap partikel padat tersebut, (4) konsentrasi fase stasionernya, (5) suhu kolom. 2.7.3. Oven Kolom Fungsi utama dari oven kolom adalah memberikan suhu yang diinginkan pada kolom dimana terjadi proses pemisahan (Fardiaz, 1989). Menurut Fardiaz (1989), untuk hasil optimum, oven harus memenuhi kebutuhan yang minimum yaitu : (1) mempunyai kisaran suhu operasi yang cukup luas sehingga mampu mengakomodasi berbagai analisis (2) suhu harus merata di seluruh bagian kolom dengan perbedaan temperatur yang minimal, (3) harus bebas dari pengaruh perbahan suhu kamar dan aliran listrik, dan (4) konfigurasi oven harus memudahkan pemasangan dan pembongkaran kolom. Secara teori, oven kolom mampu mengakomodasi kebutuhan perubahan temperatur kolom dalam kisaran yang cukup luas, yaitu antara 5oC sampai 400oC. Namun dalam prakteknya, temperatur maksimum yang dibutuhkan dalam analisis jarang sekali melebihi 250oC. Begitu pula dengan suhu kurang dari 50oC, suhu ini jarang digunakan sebagai suhu awal pemanasan oven pada kromatografi gas (Beesley & Scott, 1999). Pengaturan suhu kolom yang akurat merupakan hal yang sangat penting
dalam
analisa
kromatografi
gas
untuk
mendapatkan
kromatogram, waktu retensi dan efisiensi kolom yang reproducible (Braithwaite & Smith, 1996). Menurut Fardiaz (1989), suhu kolom mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap waktu retensi dan penampilan kolom. Waktu retensi (Retention Time) merupakan waktu yang dibutuhkan senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju detektor. Waktu retensi (Rt) diukur berdasarkan waktu dimana sampel
27
diinjeksikan sampai sampel menunjukkan ketinggian puncak yang maksimum dari senyawa itu (www.chem-is-try.org, 2008). Sebagai gambaran, umumnya waktu retensi menjadi dua kalinya untuk setiap penurunan suhu kolom 30oC. Menurut Barry dan Grob (2007), saat ini desain oven dan adanya komponen pengatur suhu elektronik mampu menahan perbedaan suhu kolom sampai hanya 0,1oC. Menurut Fardiaz (1989), secara umum terdapat dua tipe pengaturan suhu dalam oven, yaitu suhu tetap (isotermal) dan suhu terprogram. Menurut Barry dan Grob (2007), pengaturan suhu secara isotermal mempunyai beberapa kekurangan. Jika suhu terlalu rendah, puncak-puncak yang terelusi pertama kali akan terbentuk sangat rapat. Sedangkan
pengoperasian
pada
suhu
yang
tinggi
memang
memungkinkan untuk mendapatkan kemampuan deteksi yang lebih baik, namun akan terjadi lebih banyak koelusi komponen, puncak yang lebih rapat dan hilangnya resolusi pada awal kromatogram. Masalah-masalah yang terjadi pada pengaturan suhu secara isotermal dapat diatasi dengan pengaturan suhu kolom yang terprogram (Barry & Grob, 2007). Pengaturan suhu terprogram memungkinkan pemisahan komponen yang mempunyai titik didih dan/atau polaritas yang sangat beragam dalam waktu yang dapat diterima (Shugar et.al, 1996). Menurut Fardiaz (1989), keuntungan yang didapat dari penggunaan suhu terprogram antara lain adalah : (1) Waktu analisa dapat dikurangi, (2) Batas deteksi puncak
menjadi lebih baik, (3)
Kecepatan penyuntikan tidak dibutuhkan secepat penyuntikan pada kondisi isotermal, dan (4) Perubahan kimia dari komponen-komponen sampel yang tidak stabil dapat dikurangi. Perubahan suhu terprogram dalam analisis dapat mempunyai bentuk bermacam-macam, yaitu bentuk balistik, linier dan multilinier (Gambar 9). Jenis program yang umum dan lebih berguna adalah program bentuk linier dengan mempertahankan isotermal beberapa saat sebelum dan sesudah suhu terprogram berlangsung (Fardiaz, 1989).
28
Gambar 9. Bentuk-bentuk suhu terprogram (Fardiaz, 1989)
Identifikasi aroma kakao dengan metode GC-FID yang dilakukan oleh Misnawi (2006) mengunakan suhu terprogram linear dengan suhu awal 60oC selama 3 menit dan naik ke suhu 180oC (ditahan 5 menit) dengan laju kenaikan suhu 5oC per menit. Sedangkan Shirey dan Sidisky (1999) menggunakan suhu terprogram linear dengan suhu awal 40oC selama 5 menit dan naik ke suhu 230oC dengan laju kenaikan suhu 4oC per menit dalam analisis aroma pada lemak kacang tanah menggunakan metode SPME-GC-MS. 2.7.4. Flame Ionization Detector FID merupakan detektor yang paling populer digunakan dalam kromatografi gas. Prinsip yang digunakan dalam detektor ini adalah berdasarkan fenomena munculnya partikel-partikel bermuatan pada pembakar hidrogen apabila terdapat senyawa kelumit atau organik (Berezkin et.al., 1991). FID dikenal sebagai detektor universal karena mampu mendeteksi hampir semua komponen organik (Poppiti, 1994). FID mempunyai respon terbaik pada komponen yang mengandung ikatan karbon-hidrogen (Cazes, 2004). Komponen-komponen yang tidak dapat dideteksi oleh FID hanyalah komponen-komponen yang tidak dapat dibakar seperti gas-gas mulia, O2, N2, CO, CO2, H2O, NO, NO2, N2O, NH3, SO2, CS2, COS, SiCL4, SiHCL3 dan SiF4 (Miller, 2005).
29
Menurut Cazes (2004), gas hidrogen dan udara digunakan untuk menjaga api tetap menyala pada bagian ujung jet dimana komponen organik dibakar. Ion yang terbentuk dari pembakaran tersebut selanjutnya akan ditarik pada kolektor berupa elektrode bermuatan. Pengaruh ion tersebut akan menghasilkan fenomena yang dapat diukur dan dikonversi ke perubahan voltase pada elektrometer. Menurut Berezkin et al. (1991), kekuatan deteksi elektroda terhadap ion-ion tersebut berbanding lurus terhadap laju aliran komponen organik melewati pembakar hidrogen dalam detektor. Secara umum FID dapat dioperasikan pada laju gas hidrogen sebesar 30-40 ml/menit dan laju udara 300-400 ml/menit untuk mendapatkan hasil yang memuaskan (Miller, 2005). Menurut Poppiti (1994), FID dapat dioperasikan dengan laju gas hidrogen 30 ml/menit yang mana 10 kali lebih rendah daripada laju aliran udaranya. Untuk mayoritas komponen organik, FID mampu mendeteksi dengan sensitivitas hingga 0.1 – 1 ng (Casez, 2004). Namun, sensitivitas tersebut semakin berkurang pada setiap golongan dengan perbandingan sensitivitas hidrokarbon > ester > alkohol > asam (Berezkin et al.,1991). Pada taraf ini, menurut Poppiti (1994), sensitivitas FID hampir sama dengan sensitivitas spektrometer massa.
2.8. Spektrometri Massa Spektrometri massa merupakan metode analisa dimana atom atau molekul dari sampel diionisasi dan dipisahkan berdasarkan mass-to-charge (m/z) dan direkam dalam rekorder (Barker et al., 1999). Spektrometer massa umumnya terdiri dari 3 bagian yaitu sumber ion, piranti analisa massa dan detektor ion. (Gruber, 2000). Metode ionisasi tumbukan elektron (electron impact ionization) merupakan salah satu metode paling umum dalam spektrometri massa. Pada metode ini, sampel gas dibombardir dengan elektron bermuatan 70 eV yang dihasilkan oleh filament tungsten di dalam bilik sumber ion. Karena tekanan dipertahankan sangat rendah, reaksi antar ion dan molekul tidak terjadi.
30
Aplikasi metode ini terbatas pada sampel dengan massa molekul yang rendah dan stabil terhadap panas. Output pada spektrometer massa direpresentasikan dalam perbandingan intensitas relatif terhadap mass-to-charge (m/z) (Gruber, 2000). Spektrum massa digambarkan dalam diagram hubungan antara massa ion (m/z) terhadap kelimpahannya. Selama proses ionisasi dan fragmentasi, berbagai ion individual terbentuk dalam jumlah yang berbeda-beda kemudian diukur secara berkala oleh piranti analisa massa. Jumlah ion yang terbentuk menunjukkan kelimpahan ion tersebut. Spektrum massa menunjukkan m/z pada sumbu x dan kelimpahan ion pada sumbu y. Puncak yang menunjukkan kelimpahan ion terbesar disebut dengan base peak, yang mana menunjukkan molekul ion atau salah satu dari fragmen ion asalnya (Herbert & Johnstone, 2002).
31
III. BAHAN DAN METODE 3.1
Alat dan Bahan Bahan yang digunakan adalah biji kakao hasil refermentasi yang didapatkan dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Biji kakao tersebut merupakan hasil penelitian Misnawi pada tahun 2007. Biji kakao yang digunakan adalah biji kakao jenis lindak (bulk) basah, biji kering siap jual non-fermentasi, terfermentasi 1 hari dan terfermentasi 2 hari. Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah etanol absolut dan larutan standar kromatografi gas yaitu pyrazine 99+%(GC) (Aldrich), 2Methylpyrazine (MP) >99% (GC) (Fluka), 2,3,5,6-Tetramethylpyrazine (TMP) >98% (GC) (Fluka), Acetylpyrazine (Ace-Pyrazine) 97% (Aldrich), 2,5-dimethylpyrazine
(25DMP)
99%
(Acros),
2,3-dimethylpyrazine
(23DMP) 99% (Acros), 2,3,5-trimethylpyrazine (TrMP) 99% (Acros). Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah perangkat Solid Phase Microextraction (SPME) yang tediri dari Solid Phase Microextraction holder for manual sampling (Supelco, Bellefonte) dan Fiber Assembly 30/50µm PDMS/DVB/Carboxen on Stableflex (Supelco, Bellefonte) (Gambar 10), microliter syringe (Hamilton) (Gambar 11) Kromatografi Gas (Gas Chromatography) tipe Shimadzu GC-2010 yang dilengkapi dengan kolom Rtx-wax (Crossbond – Polyetylen Glikol) (Restek corp.), Rtx-1 (Crossbond – dimethyl polysiloxane) (Restek corp.), 4 mm inlet liner dengan deactivated fused silica (Shimadzu) dan 0.75 mm inlet liner (Supelco, Bellefonte) (Gambar 12), Spektometri massa (Electron Impact-Mass Spectrometry) tipe Shimadzu GCMS-2010, mikropipet, vial, penangas air, kempa hidrolik (hydraulic presser), blender dan oven.
Gambar 10. Perangkat SPME (Solid Phase Microextraction)
32
Gambar 11. Hamilton microliter syringe
Gambar 12. Kromatografi gas tipe Shimadzu GC-2010
3.2
Metode Penelitian Penelitian ini terbagi atas 2 tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan mencakup refermentasi biji kakao yang telah dilakukan oleh Misnawi pada 2007, penentuan kondisi optimum kromatografi gas dan penentuan suhu ekstraksi aroma optimum. Sedangkan penelitian utama mencakup analisis dan identifikasi komponen aroma pada biji kakao hasil refermentasi dengan metode SPME-GC. 3.2.1 Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan bahan analisis
serta
kondisi
persiapan
analisis
terbaik.
Penelitian
pendahuluan terbagi menjadi 3 tahap yaitu tahap 1 untuk mendapatkan sampel biji kakao hasil refermentasi, tahap ini telah dilakukan sebelumnya oleh Misnawi pada tahun 2006. Tahap 2 adalah penentuan kondisi optimum kromatografi gas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian instrumen kromatografi gas (GC) untuk
33
analisis pada penelitian utama yang meliputi variabel kondisi GC dan kesesuaian kolom dan instrumen lain. Penelitian pendahuluan tahap 3 meliputi penentuan suhu ekstraksi aroma menggunakan perangkat SPME untuk mendapatkan suhu ekstraksi yang optimum.
A. Refermentasi biji kakao Biji kakao kering siap jual (kadar air 17-18%) dengan tingkat fermentasi 0 hari, 1 hari dan 2 hari dicampur dengan biji kakao lindak basah dengan komposisi masing-masing sebesar 30%, 50% dan 70%. Masing-masing campuran selanjutnya difermentasi pada kotak fermentasi selama 4 dan 5 hari. Selanjutnya biji yang telah direfermentasi dikeringkan dan disimpan. Refermentasi kakao tersebut telah dilakukan sebelumnya pada penelitian Misnawi (2007). Kondisi biji kakao yang digunakan untuk analisis adalah biji kakao yang mempunyai kondisi baik dan utuh. B. Penentuan Kondisi Optimum Kromatografi Gas Penentuan kondisi optimum GC dilakukan dengan metode trial and error pada beberapa metode rujukan dan instrumen yang digunakan. Hasil analisa GC pada penyuntikan standar dengan syringe konvensional dan analisa sampel menggunakan SPME pada setiap metode dan instrumen selanjutnya dibandingkan. Hasil metode dan instrumen terbaik diperlihatkan dengan intensitas puncak yang dihasilkan dan daya pemisahan kolom terhadap standar dan sampel yang dianalisis. Metode yang dibandingkan antara lain metode rujukan SPME dari Supelco untuk analisis flavor dan off flavor (Shirey, 1999a) dan metode analisis pirazin oleh Misnawi (2003) dengan berbagai perubahan variabel pada injection port, kolom dan detektor. Sedangkan instrumen yang dibandingkan adalah inlet liner pada injection port dan kolom kromatografi yang digunakan yaitu kolom jenis Rtx-wax dan Rtx-1. C. Penentuan Suhu Ekstraksi Komponen Aroma Lemak kakao hasil ekstraksi sebanyak 5 g ditempatkan pada vial berkapasitas 40 ml. Selanjutnya vial ditempatkan pada penangas air yang telah diatur suhunya pada beberapa tingkatan yaitu 50oC, 60oC dan 70oC dan diekstraksi aromanya dengan perangkat SPME selama 30 menit. Hasil
34
ekstraksi selanjutnya dianalisis dengan kromatografi gas, kondisi optimum ditentukan dari respon puncak hasil kromatografi terhadap berbagai perlakuan tersebut.
3.2.2 Penelitian Utama Penelitian
utama
bertujuan
untuk
mengidentifikasi
dan
menganalisis kandungan komponen aroma pada lemak kakao hasil ekstraksi biji kakao refermentasi dengan metode SPME-GC. Penelitian utama terbagi menjadi 3 tahap yaitu perbandingan respon kromatografi gas terhadap penyuntikan standar dengan microliter syringe
dan
SPME,
Identifikasi
komponen
aroma
dengan
kromatografi gas-spektrometri massa (GC-MS, Gas ChromatographyMass Spectrometry), Analisis kandungan aroma pada lemak kakao dengan kromatografi gas-detektor ionisasi api (GC-FID, Gas Chromatography-Flame Ionization Detector). 1. Preparasi Sampel Biji kakao kering hasil refermentasi seperti yang dijelaskan pada bagian 3.2.1(a) sebanyak 500 g disangrai (roasting) pada suhu 150oC selama 45 menit sampai biji kering dan mudah dihancurkan. Kematangan biji diperiksa dengan menekan biji dengan jari, biji yang matang mudah hancur dan berbau seperti cokelat. Setelah disangrai, biji kakao didinginkan dan dimasukkan dalam kantong plastik agar terhindar dari kontaminasi. Bahan tersebut kemudian dikupas secara manual untuk memisahkan kotiledon dan kulitnya. Setelah
dikupas,
bahan
kemudian
dihancurkan
dengan
menggunakan blender. Bubuk kakao sebanyak 300 g selanjutnya dibungkus dengan kain saring dan dipanaskan dengan oven pada suhu 50oC selama 30 menit. Bahan yang telah dipanaskan kemudian diekstraksi lemaknya dengan kempa hidolik sampai lemak kakao keluar. Lemak kakao yang didapatkan ditempatkan pada wadah plastik atau gelas dan dibiarkan menjadi padat. Lemak
kakao
35
tersebut selanjutnya ditimbang sebanyak 5 g dan ditempatkan pada vial berkapasitas 40 ml. Vial berisi sampel ditutup dengan tutup karet yang sebelumnya telah dilubangi dengan jarum pada bagian pusatnya. Selanjutnya vial dipanaskan dengan menggunakan penangas air pada suhu 70oC sampai lemak mencair. Setelah lemak mencair, jarum SPME dimasukkan pada vial dan ditempatkan pada rongga udara antara lemak dan tutup vial sedemikian rupa (diseragamkan) sehingga apabila fiber SPME dikeluarkan tidak terjadi kontak antara fiber dan lemak. Setelah jarum SPME masuk, fiber SPME dikeluarkan dengan cara menekan plunger dan menahannya pada Z-slot. Ekstraksi tersebut dilakukan selama 30 menit dengan kondisi sampel tetap dipanaskan pada penangas air dengan suhu konstan 70oC (dengan toleransi suhu 65oC – 70oC). Fiber SPME dimasukkan kembali dengan cara melepas tahanan pada Z-slot dan mengembalikan posisi plunger seperti semula. Selanjutnya, jarum SPME dikeluarkan dari vial dan vial dikeluarkan dari penangas air. Fiber SPME yang telah digunakan untuk mengekstrak selanjutnya dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas.
2. Perlakuan Perlakuan yang diterapkan pada penelitian ini adalah perlakuan jenis biji kakao kering pencampur dengan tiga taraf yaitu biji kering fermentasi 0 hari (F0), fermentasi 1 hari (F1) dan fermentasi 2 hari (F2), perlakuan persentase biji kakao kering dengan tiga taraf yaitu 30%, 50% dan 70% dan waktu fermentasi yaitu 4 hari dan 5 hari. Daftar perlakuan percobaan yang dilakukan disajikan dalam Tabel 6.
3. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok lengkap faktorial (faktorial RAKL). Percobaan dibagi menjadi 2 unit
36
percobaan yaitu 4 hari dan 5 hari fermentasi. Masing-masing unit mempunyai 2 faktor yaitu jenis biji kakao kering pencampur dan persentase biji kakao kering, dimana setiap faktor memiliki 3 taraf. Parameter yang diuji adalah luas area puncak komponen aroma. Pengujian asumsi analisis ragam menggunakan software Minitab ver. 14 sedangkan uji lanjut menggunakan Software Statistical Analysis System (SAS) ver. 8.
Tabel 6. Desain percobaan analisa komponen aroma pada lemak kakao hasil refermentasi No Perlakuan Sampel 31 Kakao Fermentasi 0 hari Unit Percobaan 1 34 30 % basah + 70% kering F0 KA 17-18% hari ke 4 35 50 % basah + 50% kering F0 KA 17-18% hari ke 4 36 70 % basah + 30% kering F0 KA 17-18% hari ke 4 37 30 % basah + 70% kering F1 KA 17-18% hari ke 4 38 50 % basah + 50% kering F1 KA 17-18% hari ke 4 39 70 % basah + 30% kering F1 KA 17-18% hari ke 4 40 30 % basah + 70% kering F2 KA 17-18% hari ke 4 41 50 % basah + 50% kering F2 KA 17-18% hari ke 4 42 70 % basah + 30% kering F2 KA 17-18% hari ke 4 Unit Percobaan 2 43 30 % basah + 70% kering F0 KA 17-18% hari ke 5 44 50 % basah + 50% kering F0 KA 17-18% hari ke 5 45 70 % basah + 30% kering F0 KA 17-18% hari ke 5 46 30 % basah + 70% kering F1 KA 17-18% hari ke 5 47 50 % basah + 50% kering F1 KA 17-18% hari ke 5 48 70 % basah + 30% kering F1 KA 17-18% hari ke 5 49 30 % basah + 70% kering F2 KA 17-18% hari ke 5 50 50 % basah + 50% kering F2 KA 17-18% hari ke 5 51 70 % basah + 30% kering F2 KA 17-18% hari ke 5
Kode Perlakuan Kontrol A1B1 A2B1 A3B1 A1B2 A2B2 A3B2 A1B3 A2B3 A3B3 X1Y1 X2Y1 X3Y1 X1Y2 X2Y2 X3Y2 X1Y3 X2Y3 X3Y3
37
4. Perbandingan Respon Kromatografi Gas Terhadap Penyuntikan Standar dengan Microliter Syringe dan SPME Larutan standar diperoleh dengan melarutkan 1 µl 2MP, 1 µl 23DMP, 1 µl 25DMP, 1 µl TrMP, 322 µl Pyrazine 0,1 M, 322 µl TMP 0,1 M pada 1332 µl Ace-Pyrazine 0,0029 M. Larutan standar tersebut kemudian diencerkan masing-masing 0.5, 0.333, 0.25, 0.1 dan 0.01 dari konsentrasi awalnya. Setiap konsentrasi selanjutnya dianalisis dengan kromatografi gas. Jumlah yang disuntikkan dengan microliter syringe sebanyak 0.1 µl setiap konsentrasinya. Sedangkan jumlah zat yang diperlukan untuk ekstraksi dengan SPME adalah 1 µl setiap vial untuk setiap konsentrasi. Respon kromatografi gas untuk setiap komponen dipresentasikan oleh luas area pada puncak-puncak yang dihasilkan. Perbandingan luas area yang dihasilkan oleh microliter syrnge dan SPME diplotkan dalam kurva regresi menggunakan software Microsoft Office Excel 2007.
5. Identifikasi Komponen Aroma dengan Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (GC-MS, Gas Chromatography-Mass Spectrometry) Sampel lemak kakao diekstraksi dengan menggunakan perangkat SPME
seperti
pada
bagian
3.2.2(1).
Selanjutnya
dianalisis
dengan
menggunakan kromatografi gas yang dilengkapi dengan 0.75 mm liner dan kolom tipe Rtx-1 dan dirangkai dengan spektrometri massa tipe electron impact. Hasil analisis kromatografi gas tersebut selanjutnya ditelusuri dengan menggunakan library pada spektrometri massa. Hasil pendugaan komponen yang digunakan adalah hasil penelusuran dengan tingkat kepercayaan (SI) tertinggi.
6. Analisis Kandungan Aroma pada Lemak Kakao dengan Kromatografi Gas-Detektor
Ionisasi
Api
(GC-FID,
Gas
Chromatography-Flame
Ionization Detector) Sampel lemak kakao diekstraksi dengan menggunakan perangkat SPME seperti pada bagian 3.2.2(1). Selanjutnya sampel dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas yang dilengkapi dengan 0.75 mm liner dan
38
kolom tipe Rtx-1 dan menggunakan detektor jenis ionisasi api (FID). Metode yang digunakan adalah metode yang didapatkan pada penelitian pendahuluan bagian 3.2.1(b). Luas area yang didapatkan dari data hasil analisa kromatografi gas selanjutnya dianalisa secara statistik. Metode analisa dan parameter kromatografi gas-detektor ionisasi api secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1.
39
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Penentuan Kondisi Optimum Kromatografi Gas 1. Penentuan Parameter Kromatografi Penentuan kondisi optimum kromatografi gas dilakukan untuk mendapatkan kondisi yang mampu memberikan pemisahan komponen yang efisien dalam waktu analisis yang relatif cepat. Terdapat 2 metode analisis yang dijadikan acuan dalam penentuan kondisi optimum kromatografi gas ini yaitu yang didapatkan dari Supelco sebagai pemegang hak paten SPME dan Misnawi (2003). Perbandingan parameter analisis kedua acuan tersebut serta kondisi kromatografi gas yang tersedia pada Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Perbandingan parameter analisis menurut Supelco dan Misnawi (2003) Karakteristik
Supelco
Misnawi (2003)
PPKKI
Metode preparasi sampel dan
Headspace SPME –
Steam Distillation –
Headspace SPME –
penyuntikan
SPME
Syringe
SPME
0.75 mm
4 mm
4 mm
Parameter injector • Inlet Liner • Temperature
o
o
270 C (5 min)
200 C
*
Supelcowax 10
HP-20 M
Rtx-WAX
30 m x 0.25 mm ID x
50 m x 0.32 mm ID x
30 m x 0.25 mm ID x
0.25 µm
0.3 µm
0.25 µm
• Initial temperature
40oC
60oC
*
• Equilibrium time
5 min
3 min
*
Kolom Parameter oven
• Rate
o
o
4 C/min
5 C/min
*
o
o
• Final temperature
230 C
180 C
*
• Final temp hold
-
5 min
*
FID
FID
Ion trap mass spectroDetector
meter, selected ions used for quantification
Sumber : Supelco, Misnawi (2003)
(* = belum ditentukan)
40
Perbedaan utama komponen pada kromatograf yang dimiliki oleh PPKKI dengan metode referensi untuk analisis menggunakan SPME dari Supelco adalah komponen inlet liner. Komponen inlet liner yang dimiliki oleh PPKKI berukuran 4 mm sedangkan yang digunakan oleh Supelco berukuran 0,75 mm. Perbedaan ukuran inlet liner berpengaruh terhadap percepatan linier (linear velocity) gas pengemban dalam injector sehingga mempengaruhi kecepatan dan jumlah sampel yang masuk pada kolom (Supelco, 1997). Oleh karena itu, pada percobaan pertama digunakan parameter injector berdasarkan metode Misnawi (2003) kecuali parameter suhu injector karena menggunakan ukuran inlet liner yang sama. Suhu injector yang digunakan adalah suhu injector metode Supelco. Hal ini dikarenakan metode penyuntikan sampel yang akan digunakan adalah menggunakan SPME. Penggunaan suhu yang tinggi (di atas 200oC) dalam waktu yang cukup lama (3-5 menit) memungkinkan lepasnya analyte dari fiber sehingga dapat dianalisis (Supelco, 2001a). Hal ini turut ditunjang dari berbagai penelitian seperti yang dilakukan oleh Kumazawa et al. (1999) yang menggunakan suhu 280oC pada injector, Vilchez et al. (2001) menggunakan suhu 250oC, dan Perraudin et al. (2006) menggunakan suhu 250oC. Parameter yang digunakan pada oven dan detektor adalah metode modifikasi Misnawi (2003) dan Supelco karena berkaitan dengan penggunaan jenis dan dimensi kolom yang berbeda dan penggunaan detektor FID. Supelcowax 10, HP-20 M dan Rtx-WAX merupakan jenis kolom yang sama karena menggunakan pelapis kolom jenis Polyethylene Glikol (PEG) (Sigma Aldrich, 2007). Hasil analisa kromatografi gas pada salah satu sampel dengan menggunakan metode diatas secara lengkap ditampilkan dalam Lampiran 2. Kromatogram yang dihasilkan dengan metode tersebut menunjukkan pemisahan komponen yang tidak sempurna. Hal ini dapat terlihat pada retention time (Rt) menit ke 5 sampai menit ke 15 dimana terdapat puncak yang besar/lebar dan melingkupi area yang sangat luas. Selain itu, terdapat garis dasar (baseline) yang naik (drift) pada kromatogram setelah menit ke
41
30. Puncak yang lebar menurut Fardiaz (1989) normal terjadi pada analisis yang menggunakan pelarut pada analisis kelumit (trace), sehingga pelarut akan menghasilkan puncak yang sangat lebar. Namun, hal ini tidak berlaku karena metode SPME tidak menggunakan pelarut sama sekali. Sehingga dapat dipastikan bahwa yang memasuki kolom kromatografi hanya sampel tanpa pelarut. Puncak yang lebar dapat pula merupakan puncak-puncak sampel yang tidak terpisahkan satu sama lain sehingga membentuk satu puncak yang lebar. Hal ini bisa disebabkan oleh sampel yang terlalu banyak atau kolom telah terkontaminasi atau mengurai (Fardiaz, 1989). Menurut Shirey & Sidisky, 1999), fiber SPME jenis 50/30 µm PDMS/DVB-Carboxen merupakan fiber yang mempunyai kisaran kapasitas antara ppt yang rendah sampai ppb yang tinggi. Kisaran ini sangat kecil apabila dibandingkan dengan penyuntikan sampel dengan microliter syringe yang berkisar antara 0.01 – 0.1 µL, sehingga dapat disimpulkan puncak yang lebar tersebut bukan terjadi akibat sampel yang terlalu banyak. Sedangkan garis dasar yang naik dapat disebabkan oleh septum dan kolom yang bocor, kolom yang menguap atau terkontaminasi dan aliran gas yang tidak stabil selama analisa (Fardiaz, 1989). Untuk mengatasi hal tersebut maka septum pada injektor diganti dan aliran gas diperiksa untuk menghindari adanya kebocoran pada saluran gas. Permasalahan kolom yang telah terkontaminasi atau telah mengurai dapat diperiksa dengan membandingkan dengan kolom lain yang diketahui baik kondisinya. Dalam hal ini kolom Rtx-WAX akan dibandingkan dengan kolom Rtx-1 (dimethylpolisiloxane crossbone) dalam kondisi baru. Pemilihan kolom Rtx-1 sebagai pembanding didasarkan atas pertimbangan bahwa kolom Rtx-1 mempunyai ketahanan terhadap suhu tinggi yang lebih baik daripada Rtx-WAX. Kolom Rtx-1 mempunyai kisaran kerja sampai suhu maksimum 300oC, berbeda dengan Rtx-WAX yang terbatas pada suhu 250oC. Perbedaan suhu tersebut mempengaruhi kemudahan kolom dalam mengurai apabila dioperasikan dalam kondisi suhu analisis yang cukup tinggi.
42
Selain itu inlet liner yang digunakan diganti dengan inlet liner berdiameter 0.75 mm yang didesain khusus untuk SPME untuk memperoleh hasil yang lebih akurat. Selain itu suhu injektor diturunkan 10oC untuk mengurangi potensi kerusakan fiber karena menurut Supelco, fiber tersebut mempunyai suhu maksimum operasi 270oC. Hasil analisa kromatografi ini disajikan dalam Lampiran 3. Pada kromatogram tersebut dapat terlihat bahwa kolom tersebut mampu memisahkan komponen dengan cukup baik. Hal ini dapat dilihat dengan puncak-puncak yang cukup tajam dan tidak melebar serta mempunyai garis dasar yang hampir lurus (datar). Puncakpuncak yang lebar seperti pada kolom sebelumnya juga tidak ditemukan. Terdapatnya puncak-puncak kecil pada kromatogram tidak bisa dihindari karena pada analisis kelumit khususnya dengan menggunakan SPME, intensitas yang digunakan hanya berkisar -1000 µV sampai 50.000 µV sehingga komponen-komponen dalam konsentrasi sangat kecil ikut teranalisis dan muncul sebagai puncak-puncak yang cukup tinggi. Sebagai perbandingan, 0.1 µL etanol yang disuntikkan dengan microliter syringe pada metode yang sama menghasilkan puncak dengan intensitas 47.229.856 µV.
2. Selektifitas Kolom Pengujian selektifitas kolom, dalam hal ini kolom Rtx-1 dilakukan dengan menyuntikkan sampel yang telah diketahui jenisnya dalam jumlah tertentu. Sampel yang disuntikkan merupakan campuran standar pyrazine diantaranya 2 Methyl Pyrazine (MP), 2,3 Dimethyl Pyrazine (DMP), 2,5 Dimethyl Pyrazine (DMP) dan 2,3,5 Trimethyl Pyrazine (TrMP). Penggunaan zat tersebut dimaksudkan untuk melihat respon kolom terhadap senyawa dari golongan yang sama (pyrazine, yaitu golongan benzene bernitrogen) dan mempunyai karakter molekul yang hampir sama seperti pada komponen 2,3 DMP dan 2,5 DMP. Kromatogram hasil analisa dapat dilihat di Lampiran 4. Hasil kromatogram menunjukkan pemisahan yang cukup baik terhadap 4 komponen tersebut. Puncak nomor 2 merupakan komponen 2 MP yang mempunyai Rt 5.828, puncak nomor 3 adalah 2,5 DMP dengan Rt 8.073,
43
selanjutnya adalah 2,3 DMP dengan Rt 8.284 dan puncak nomor 5 pada Rt 10.913 adalah 2,3,5 TrMP. Tidak adanya puncak komponen yang tidak dapat terpisahkan menunjukkan bahwa kolom tersebut cukup selektif dalam memisahkan komponen-komponen yang berada pada golongan yang sama maupun mempunyai karakteristik molekul yang hampir sama. Hal ini juga ditunjang oleh penelitian Habriantono (2009), yang menggunakan kolom dan parameter yang sama untuk menganalisis campuran alkohol yang terdiri dari metanol, etanol, propanol dan butanol. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kolom Rtx-1 mampu memisahkan komponen-komponen tersebut dengan cukup baik (Gambar 14).
Keterangan : methanol (puncak 1), etanol (puncak 2), propanol (puncak 3), butanol (puncak 4)
Gambar 14. Kromatogram campuran alkohol (Sumber : Habriantono, 2009)
Dari pengujian-pengujian yang telah dilakukan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kolom sebelumnya yaitu Rtx-WAX memang tidak selektif. Hal ini dapat dikarenakan kolom telah mengalami kontaminasi ataupun telah terurai, karena dengan parameter yang sama namun menggunakan kolom yang berbeda menghasilkan kromatogram yang cukup baik. Parameter dan kolom Rtx-1 tersebut selanjutnya dipakai sebagai parameter analisis kromatografi gas untuk analisis berikutnya. Secara lengkap, parameter kromatografi gas disajikan dalam Lampiran 1.
44
B. Penentuan Suhu Ekstraksi Komponen Aroma Variasi suhu yang dilakukan yaitu pada suhu ekstraksi 50oC, 60oC dan 70oC dalam waktu ekstraksi 30 menit. Penentuan waktu selama 30 menit didasarkan pada referensi Supelco (1998a), Supelco (1999b), Shirey dan Sidisky (1999) yang menggunakan waktu ekstraksi selama 30 menit untuk mengekstrak aroma dari serum, air, lemak kacang dan kopi bubuk menggunakan SPME dan vial berukuran 40 ml. Variasi suhu dibatasi pada suhu 70oC untuk menghindari kerusakan lemak akibat pemakaian suhu yang berlebihan. Hal ini juga untuk menghindari adanya komponen turunan akibat pemanasan lemak yang berlebihan tertangkap oleh fiber SPME sehingga menimbulkan kerancuan. Karena menurut Supelco (1998a) maupun Shirey dan Sidisky (1999), pemakaian suhu lebih dari 100oC untuk ekstraksi aroma pada lemak kacang akan memungkinkan terbentuknya komponen baru hasil degradasi (byproduct) dan menurunkan akurasi analisis. B.1. Suhu Ekstraksi 50oC Proses ekstraksi aroma pada lemak kakao dilakukan pertama kali pada suhu 50oC dengan menggunakan penangas air. Pengunaan penangas air daripada hot plate didasarkan atas pertimbangan distribusi panas penangas yang lebih baik daripada hot plate. Suhu 50oC dipilih karena pada suhu ini lemak kakao telah mencair penuh dimana titik cair lemak kakao berkisar antara 31oC-35oC (Susanto, 1994). Pada analisa GC ini, sensitifitas kromatografi dibatasi pada intensitas area sebesar 10.000 µV. Hasil kromatogram metode ekstraksi ini disajikan dalam Lampiran 5. Pada kromatogram tersebut dapat dilihat bahwa jumlah komponen yang terdeteksi adalah sebanyak 27 komponen pada suhu ekstraksi 50oC selama 30 menit. B.2. Suhu Ekstraksi 60oC Penggunaan suhu ektraksi yang lebih tinggi dilakukan untuk memudahkan pelepasan kompoen-komponen volatil dari dalam lemak ke udara sehingga dapat ditangkap oleh fiber SPME. Dengan menggunakan metode ini, jumlah komponen yang terdeteksi oleh GC adalah sebanyak 33 komponen. Sehingga terdapat 6 komponen baru yang dapat terdeteksi oleh
45
GC dibandingkan dengan metode sebelumnya. Hasil analisa GC SPME hasil ekstraksi metode ini disajikan dalam Lampiran 6. B.3. Suhu Ekstraksi 70oC Penggunaan suhu ekstraksi 70oC didasarkan atas referensi Shirey dan Sidisky 1999 yang menggunakan suhu 65oC dengan menggunakan hot plate untuk mengekstraksi komponen aroma pada bubuk kopi dan lemak kacang tanah. Dimana, menurut Maarse (1991) terdapat persamaan antara komponen penyusun aroma antara kopi dan kakao, serta referensi Supelco (1998a) yang melaporkan hasil analisis kandungan pirazin pada lemak kacang tanah dengan menggunakan suhu ekstraksi 65oC menggunakan hot plate. Hasil analisa GC memperlihatkan bahwa dengan menggunakan metode ekstraksi ini sebanyak 34 komponen terdeteksi oleh GC. Satu komponen baru yang terdeteksi berada pada Rt = 19,191. Kromatogram hasil analisa GC selengkapnya disajikan pada Lampiran 7. Dari ketiga variasi suhu yang telah diuji tersebut, dapat disimpulkan bahwa suhu optimal untuk ekstraksi komponen aroma pada lemak kakao adalah pada suhu 70oC. Pada suhu ini, komponen yang terdeteksi pada analisis GC adalah sebanyak 34 komponen, lebih banyak 7 komponen daripada perlakuan suhu ekstraksi 50oC (27 komponen) dan 1 komponen lebih banyak dari perlakuan suhu 60oC. Suhu ini cukup optimal karena jauh dibawah suhu 100oC sehingga kerusakan minyak dan pembentukan komponen aroma turunan dapat dihindari.
C. Perbandingan Respon Kromatografi Gas Terhadap Penyuntikan Standar dengan Microliter Syringe dan SPME 1. Standarisasi Eksternal dengan Microliter Syringe Standarisasi eksternal dengan menggunakan microliter syringe dilakukan untuk mengetahui respon GC terhadap penyuntikan standar. Penyuntikan standar dilakukan dengan berbagai konsentrasi untuk melihat konsistensi GC dalam menganalisis komponen yang sama dalam konsentrasi yang berbeda. Hasil analisa selanjutnya diplotkan dalam kurva
46
kalibrasi untuk mengetahui kinerja GC. Menurut Fardiaz (1989), umumnya kurva kalibrasi standar adalah garis lurus dan memotong titik nol. Kedua kriteria tersebut sangat penting untuk mengetahui bahwa tidak terjadi overload pada kolom GC dan juga detektornya. Hasil standarisasi diplotkan dalam kurva hubungan antara jumlah komponen yang dianalisa (disuntikkan) dengan luas area yang terdeteksi pada kromatogram hasil analisa GC. Pemilihan luas area sebagai respon didasarkan atas Fardiaz (1989), yang menyatakan bahwa ukuran puncak kromatogram sebanding dengan jumlah komponen yang menyebabkan puncak itu terbentuk. Pengukuran puncak dapat dilakukan dengan pengukuran tinggi puncak dan pengukuran luas puncak. Hasil standarisasi eksternal pada komponen 2 Methylpyrazine (2MP) menunjukkan kurva kalibrasi yang linear (Lampiran 8). Hal yang sama juga terlihat pada kurva kalibrasi komponen Pyrazine 2,3 DMP, 2,5 DMP, 2,3,5 TrMP, Ace Pyr dan 2,3,5,6 TMP seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 8, Lampiran 9, Lampiran 10 dan Lampiran 11. Persamaan linear kurva kalibrasi setiap komponen standar disajikan dalam Tabel 8. Hal ini menunjukkan bahwa pada volume kalibrasi tersebut, kolom GC belum mengalami overload dan kinerja GC dapat dikatakan baik karena luas area yang terbentuk pada puncak komponen hasil analisa GC berbanding lurus dengan volume komponen yang disuntikkan. Karena dalam analisis GC tersebut, metode yang digunakan merupakan metode yang memungkinkan seluruh sampel yang masuk pada injector (splitless) memasuki kolom tanpa terjadi pemisahan (split). Sehingga respon luas area yang terdeteksi merupakan respon GC yang sebenarnya terhadap jumlah komponen yang disuntikkan. Jumlah masing-masing komponen dalam standar yang berbeda juga memberikan respon yang berbeda terhadap luas area pada kromatogram GC. Komponen 2 MP, 2,3 DMP, 2,5 DMP dan 2,3,5 TrMP yang masing-masing pada awal pembuatan standar ditambahkan pada volume yang sama, ternyata memberikan hasil luas area yang berbeda pada kromatogram hasil GC. Pada beberapa contoh konsentrasi, luas area
47
yang dihasilkan oleh masing-masing komponen analisa GC dibandingkan (Gambar 15). Komponen 2 MP merupakan komponen yang memberikan respon tertinggi diantara 4 komponen tersebut, selanjutnya 2,3 DMP, 2,5 DMP dan 2,3,5 TrMP memberikan respon luas area terendah.
Tabel 8. Persamaan regresi kurva kalibrasi standarisasi microliter syringe Komponen
Pyrazine
Kisaran jumlah komponen
1,29 – 129 ng
R2
Persamaan
y = 13,791,105.178x - 7,538.420
0.989
2 MP
5 x 10-4 – 5 x 10-2 µL
y = 42,426,215,592.634x - 1,359.973
0.997
2,3 DMP
5 x 10-4 – 5 x 10-2 µL
y = 42,734,977,912.426x - 4,338.736
0.998
2,5 DMP
5 x 10-4 – 5 x 10-2 µL
y = 40,924,279,258.574x - 10,728.632
0.997
2,3,5 TrMP
5 x 10-4 – 5 x 10-2 µL
y = 33,037,164,104.707x - 4,648.358
0.991
Ac Pyr
0.1 – 20 ng
y = 17,094,925.977x + 5,148.620
0.999
2,3,5,6 TMP
1 – 200 ng
y = 2,688,723.046x - 28,393.668
0.999
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 15. Perbandingan luas area komponen dalam beberapa konsentrasi (metode microliter syringe)
48
Besarnya luas area komponen 2 MP dalam kromatogram menunjukkan bahwa komponen tersebut tersedia lebih banyak daripada komponen lain dalam larutan standar. Dimana pada taraf konsentrasi 0.5, luas area 2MP merupakan yang tertinggi dengan 1.016.612 µV lalu 2,3 DMP sebesar 986.586 µV, 2,5 DMP sebesar 955.993 µV dan yang terendah adalah 2,3,5 TrMP sebesar 838.821 µV. Hal yang sama juga terjadi pada konsentrasi-konsentrasi lain yang lebih rendah, dimana luas area yang teranalisis mempunyai perbandingan luas area 2 MP > 2,3 DMP > 2,5 DMP > 2,3,5 TrMP. Hal tersebut dapat dipahami karena komponen tersebut mempunyai massa jenis yang lebih tinggi sehingga dengan volume yang sama maka jumlah komponen 2 MP yang tersedia akan lebih banyak daripada komponen lainnya. Komponen 2 MP mempunyai densitas 1.021 ± 0.06 g/cm3, sedangkan 2,3 DMP mempunyai massa jenis yang sama dengan 2,5 DMP yaitu 0.997 ± 0.06 g/cm3 dan massa jenis 2,3,5 TrMP sebesar 0.979 ± 0.06 g/cm3 (ACDLABS Ver.12).
2. Standarisasi Eksternal dengan SPME Standarisasi eksternal dengan menggunakan SPME dilakukan untuk mengetahui respon kromatogram terhadap penggunaan instrumen penyuntikan yang berbeda. Perbedaan utama antara microliter syringe dan SPME terletak pada mekanisme penangkapan komponen yang akan dianalisa. Secara kasar, penggunaan microliter syringe lebih mudah daripada SPME karena jumlah sampel yang akan disuntikkan mampu dikuantifikasi dengan mudah. Persiapan sampel pada analisa ini dilakukan dengan memasukkan 1 µL larutan standar yang sama dengan analisa sebelumnya ke dalam vial lalu diekstraksi dengan SPME. Hasil analisa GC pada standar dengan berbagai konsentrasi menghasilkan kurva kalibrasi yang linear pada volume tertentu dari masing-masing komponen yang diekstrak. Persamaan regresi kurva disajikan dalam Tabel 9.
49
Tabel 9. Persamaan regresi kurva kalibrasi standarisasi SPME Komponen
Pyrazine
Kisaran jumlah
Persamaan
komponen
12,9 – 644,5 ng
R2
y = 578,453,913.08x + 11,740.40
0.99
2 MP
5 x 10-3 – 0,25 µL
y = 1,005,202,762.44x + 49,150.44
0.99
2,3 DMP
5 x 10-3 – 0,25 µL
y = 1,161,619,901.20x + 66,717.13
0.99
2,5 DMP
5 x 10-3 – 0,25 µL
y = 976,944,351.25x + 33,835.34
0.96
2,3,5 TrMP
5 x 10-3 – 0,25 µL
y = 1,004,908,333.58x + 80,573.24
0.95
y = 348,025,114.17x + 1,870.97
0.95
y = 4,758,867,614.84x + 100,340.53
0.98
Ac Pyr 2,3,5,6 TMP
1 – 100 ng 10 – 1000 ng
Kurva kalibrasi standar dengan menggunakan SPME pada kisaran jumlah zat seperti dalam Tabel 8 menunjukkan regresi yang linear. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada standarisasi dengan menggunakan microliter syringe. Perbedaan yang muncul adalah respon luas area yang muncul dalam kromatogram. Luas area yang terdeteksi pada kromatogram SPME umumnya lebih kecil daripada luas area yang terdeteksi pada kromatogram yang dihasilkan dengan metode penyuntikan microliter syringe. Luas area yang dihasilkan dalam kromatogram hasil analisa serta kurva kalibrasi setiap standar dapat dilihat pada Lampiran 12, Lampiran 13, Lampiran 14 dan Lampiran 15. Perbedaan luas area yang terdeteksi antara kromatogram hasil standarisasi menggunakan microliter syringe dan SPME dipengaruhi oleh metode penangkapan sampel yang berbeda pada masing-masing alat. Penggunaan microliter syringe memungkinkan kita untuk mengukur jumlah sampel yang masuk pada injector GC. Sedangkan jumlah sampel yang ditangkap oleh SPME dipengaruhi oleh jenis fiber yang digunakan. Perbandingan jumlah sampel yang teranalisa pada jumlah komponen 2 MP yang sama diperlihatkan pada Gambar 16.
50
Gambar 16. Perbandingan respon luas area 2 MP antara microliter syringe dan SPME Pada gambar tersebut, luas area komponen 2 MP yang teranalisa oleh GC dengan menggunakan metode SPME pada konsentrasikonsentrasi tersebut hanya berkisar antara 2,83 % sampai 5,35% dari luas area yang didapatkan dengan menggunakan microliter syringe. Pada jumlah komponen 0.00025 uL, luas area yang terdeteksi adalah 10.605.193,93 µV (syringe) dan hanya sebesar 308.528,00 µV atau sebesar 2.91% dari luas area yang terdeteksi sebelumnya apabila menggunakan metode SPME. Begitu juga pada jumlah komponen 0.0001667 uL dan seterusnya, luas area yang terdeteksi apabila menggunakan SPME hanya sebesar 2,83%, 3,30% dan 5,35% dari area yang terdeteksi jika menggunakan metode syringe. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada konsentrasi tersebut hanya 2,83% - 5,35% dari jumlah sampel keseluruhan (yang dimasukkan dalam vial) yang mampu ditangkap oleh fiber SPME. Selain perbedaan luas area yang terespon dalam kromatogram hasil analisa GC, perbedaan lain muncul pada kurva kalibrasi SPME dalam kisaran jumlah zat yang lebih tinggi. Pada kisaran jumlah komponen seperti pada Tabel 7 sebelumnya, kurva kalibrasi menunjukkan kecenderungan regresi yang linear. Namun, pada konsentrasi yang lebih
51
tinggi kurva kalibrasi standar menunjukkan kecenderungan regresi yang tidak linear (Tabel 9, Tabel 10, Tabel 11 dan Tabel 12). Hal ini ditunjukkan dengan nilai R2 regresi linear yang lebih rendah daripada beberapa model regresi lainnya. Hasil yang hampir sama juga diperoleh Stadelmann (2001) pada pembuatan kurva kalibrasi standar MTBE (Methyl-tert-buthyl-ether) (Gambar 17). Hasil tersebut serupa dengan hasil yang didapatkan dalam standarisasi menggunakan SPME, dimana pada konsentrasi tertentu titiktitik kurva membentuk kurva yang linear namun pada konsentrasi lain kurva yang terbentuk tidak lagi linear. Ketidaklinearan tersebut terjadi karena pada konsentrasi yang lebih tinggi, luas area yang terdeteksi tidak jauh berbeda dengan hasil luas area konsentrasi sebelumnya yang lebih rendah. Sehingga kurva cenderung membentuk kurva yang stasioner.
52
Tabel 10. Persamaan regresi standarisasi SPME komponen 2 MP, 2,3 DMP, 2,5 DMP dan 2,3,5 TrMP Komponen
Trendline
Kisaran Jumlah Komponen = 5 x 10‐3 nL – 0.5 nL Persamaan
R2
2 MP
Linear Quadratic Cubic Logarithmic Power Exponential
y = 588,505,653.50x + 90,726.49 y = -1,455,299,293,235.59x2 + 1,342,220,243.27x + 39,900.83 y = -4,918,977,198,300,350.00x3 + 2,070,499,953,382.74x2 + 777,168,169.35x + 53,343.58 y = 63,826.96ln(x) + 790,725.83 y = 9,983,777.52x0.44 y = 88,733.20e3,401.72x
0.86 0.98 0.99 * 0.84 0.98 0.70
2,3 DMP
Linear Quadratic Cubic Logarithmic Power Exponential
y = 675,674,051.11x + 115,202.49 y = -1,782,442,232,252.57x2 + 1,598,819,360.19x + 52,951.51 y = -1,635,561,218,942,850.00x3 - 610,113,050,580.46x2 + 1,410,939,396.22x + 57,421.23 y = 75,402.72ln(x) + 938,578.95 y = 12,570,682.84x0.45 y = 108,841.87e3,325.78x
0.86 0.99 0.99 * 0.89 0.99 0.66
2,5 DMP
Linear Quadratic Cubic Logarithmic Power Exponential
y = 580,110,027.55x + 73,429.58 y = -1,332,247,626,493.83x2 + 1,270,094,883.54x + 26,901.44 y = -6,987,210,572,776,890.00x3 + 3,676,009,330,251.66x2 + 467,460,989.15x + 45,996.32 y = 61,876.89ln(x) + 753,794.09 y = 14,448,831.75x0.50 y = 71,768.69e3,788.30x
0.85 0.96 0.98 * 0.81 0.98 0.68
2,3,5 TrMP
Linear Quadratic Cubic Logarithmic Power Exponential
y = 568,325,109.01x + 124,133.44 y = -1,510,564,228,308.19x2 + 1,350,661,981.54x + 71,377.67 y = -5,248,081,322,216,550.00x3 + 2,251,128,584,266.01x2 + 747,805,103.84x + 85,719.80 y = 63,293.80ln(x) + 815,495.50 y = 5,620,749.23x0.36 y = 121,385.79e2,757.92x
0.82 0.95 0.96 * 0.85 0.97 0.69
53
Tabel 11. Persamaan regresi standarisasi SPME komponen pyrazine Komponen
Pyrazin
Trendline Linear Quadratic Cubic Logarithmic Power Exponential
Persamaan Regresi pada Kisaran Jumlah Komponen 12,9 –1290 ng y = 368,792,921.11x + 32,659.38 y = -718,103,764,321.92x2 + 740,706,304.60x + 7,579.93 y = -3,297,968,297,995,200.00x3 + 1,645,797,036,938.23x2 + 361,862,542.70x + 16,592.73 y = 38,101.07ln(x) + 453,715.75 y = 16,460,733.56x0.58 y = 33,066.71e4,458.33x
R2 0.91 0.98 1.00 * 0.81 0.98 0.69
Tabel 12. Persamaan regresi standarisasi SPME komponen acetyl pyrazine Komponen
Acetylpyrazine
Trendline Linear Quadratic Cubic Logarithmic Power Exponential
Persamaan Regresi pada Kisaran Jumlah Komponen 1 – 200 ng y = 213,460,553.86x + 15,297.18 y = -430,164,348,181.02x2 + 436,247,128.92x + 273.89 y = -3,533,520,965,825,450.00x3 + 2,102,574,686,169.87x2 + 30,344,993.27x + 9,930.41 y = 21,784.78ln(x) + 256,516.55 y = 13,919,114.83x0.64 y = 15,724.28e4,876.62x
R2 0.87 0.95 0.98 * 0.75 0.97 0.69
Tabel 13. Persamaan regresi standarisasi SPME komponen 2,3,5,6 TMP Komponen
2,3,5,6 TMP
Trendline Linear Quadratic Cubic Logarithmic Power Exponential
Persamaan Regresi pada Kisaran Jumlah Komponen 10 – 2000 ng y = 2,674,002,097.06x + 308,358.51 y = -7,110,137,424,211.89x2 + 6,356,415,973.56x + 60,040.21 y = -33,914,408,441,957,200.00x3 + 17,198,858,310,811.00x2 + 2,460,604,699.52x + 152,722.62 y = 290,303.60ln(x) + 3,491,667.14 y = 112,466,717.79x0.56 y = 282,923.21e4,182.92x
R2 0.83 0.97 0.99 * 0.82 0.98 0.65
Keterangan : Tanda * menunjukkan pada kurva regresi tersebut terbentuk puncak diantara konsentrasi tertentu.
54
Gambar 18. Kurva kalibrasi MTBE (Sumber : Stadelmann, 2001)
Menurut Supelco (1998a), Kondisi kesetimbangan SPME ditentukan oleh konsentrasi analyte dalam sampel, dalam headspace di atas sampel dan dalam polimer penyusun fiber SPME. Jumlah analyte yang terserap/terjerap tergantung pada ketebalan polimer pelapis dan distribusi konstan analyte. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kapasitas fiber dalam menangkap analyte sangat terbatas. Pada saat fiber telah mencapai kejenuhan (kesetimbangan) maka fiber tidak akan mampu menyerap/menjerap lebih banyak sampel walaupun sebenarnya jumlah analyte yang tersedia masih sangat tinggi. Kurva yang cenderung stasioner pada beberapa konsentrasi
menunjukkan bahwa pada
konsentrasi tersebut, fiber SPME mulai mencapai kesetimbangan. Hal tersebut juga ditunjukkan pada Gambar 19. Pada Gambar 19 dapat terlihat bahwa persentase jumlah sampel yang terserap/terjerap oleh fiber SPME semakin menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi sampel. Hal ini menunjukkan pula bahwa fiber SPME mempunyai ambang batas penyerapan sampel sehingga pada konsentrasi-konsentrasi tertentu dimana konsentrasi sampel melebihi ambang batas penyerapan fiber SPME, analisa GC akan menghasilkan hasil yang hampir sama. Hal ini terjadi karena hasil yang terukur merupakan jumlah sampel maksimal yang dapat diserap oleh fiber SPME tersebut. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian Stadelmann
55
(2001) yang menyimpulkan bahwa salah satu kekurangan metode SPME adalah tidak bisa digunakan pada konsentrasi sampel yang tinggi. Hal tersebut juga dikuatkan dengan data dari Supelco (1999) yang menyebutkan bahwa fiber jenis PDMS/DVB/Carboxen merupakan fiber jenis adsorbent (penjerap) yang mempunyai karakteristik kapasitas terbatas dan semakin menurun kapasitasnya seiring bertambahnya komponen yang terjerap pada fiber.
Gambar 19. Persentase penyerapan SPME pada berbagai konsentrasi 2 MP
Gambar 20. Perbandingan luas area komponen dalam beberapa konsentrasi (metode SPME)
56
Selain mempunyai kapasitas yang terbatas, mekanisme penjerapan pada fiber SPME juga menghasilkan respon penjerapan yang berbeda pada setiap komponen standar. Pada Gambar 15 sebelumnya, perbandingan luas area yang didapatkan adalah 2 MP > 2,3 DMP > 2,5 DMP > 2,3,5 TrMP. Namun, pada standarisasi SPME hasil yang didapatkan cukup berbeda. Perbandingan respon yang didapatkan diperlihatkan pada Gambar 20. Pada gambar tersebut terlihat bahwa luas area tertinggi justru dimiliki oleh komponen 2,3 DMP lalu 2,3,5 TrMP kemudian 2 MP dan yang terendah adalah komponen 2,5 DMP sehingga perbandingan respon yang didapatkan adalah 2,3 DMP > 2,3,5 TrMP > 2 MP > 2,5 DMP. Misal pada tingkat konsentrasi 0.5, komponen 2,3 DMP terdeteksi dengan luas area sebesar 402.629 µV, lalu 2,3,5 TrMP sebesar 368.298 µV, 2 MP sebesar 328.608 µV dan 2,5 DMP mempunyai luas area terendah dengan 315.800 µV. Hal yang sama juga terjadi pada tingkat-tingkat konsentrasi lain yang lebih rendah. Perbandingan respon yang berbeda pada standarisasi SPME dengan standarisasi menggunakan metode microliter syringe menunjukkan bahwa SPME juga mempunyai mekanisme yang unik dalam penjerapan sampel/analyte. Menurut Supelco (1998b), distribusi analyte dari sampel ke fiber SPME sangat dipengaruhi oleh kevolatilan analyte, kepolaran sampel dan jenis fiber yang dipakai. Kevolatilan analyte ditentukan oleh matriks tempat analyte tersebut tersedia serta sifat fisik analyte itu sendiri. Berdasarkan sifat fisiknya, kevolatilan bahan dapat dilihat dari tinggi rendahnya titik didih komponen tersebut. Berdasarkan data yang diperoleh dari thegoodscentcompany.com situs perusahaan penyedia larutan standar dan fragrances, komponen 2 MP mempunyai titik didih terendah di antara keempat komponen tersebut dengan 136oC pada tekanan 76 cmHg. Lalu komponen 2,3 DMP dan 2,5 DMP yang mempunyai titik didih sama yaitu 155oC dan tertinggi adalah komponen 2,3,5 TrMP sebesar 171oC pada tekanan yang sama. Sehingga urutan kevolatilan komponen-komponen tersebut adalah 2 MP > 2,3 DMP = 2,5 DMP > 2,3,5 TrMP. Berdasarkan data tersebut maka dapat ditarik
57
kesimpulan bahwa kevolatilan bahan bukanlah faktor yang berpengaruh terhadap respon komponen pada analisa GC standarisasi SPME. Jenis fiber yang dipakai diduga sebagai faktor yang berpengaruh dalam perbedaan respon komponen tersebut. Menurut Supelco (1999), fiber jenis PDMS/DVB/Carboxen merupakan fiber jenis bipolar yaitu terdiri atas polimer polar dan nonpolar dalam satu fiber. Polimer PDMS merupakan polimer nonpolar sedangkan DVB dan Carboxen merupakan polimer polar. Perbedaan respon yang terjadi pada masing-masing komponen dipengaruhi oleh interaksi dari komponen tersebut dengan fiber dimana penjerapan pada fiber sangat tergantung pada kesamaan polaritas komponen tersebut. Komponen yang mempunyai polaritas yang hampir sama akan lebih mudah terjerap pada fiber daripada komponen dengan tingkat polaritas yang berbeda. Dalam hal ini, komponen 2,3 DMP lebih mudah terjerap pada fiber SPME daripada komponen 2,3,5 TrMP, 2 MP dan 2,3 DMP.
D. Identifikasi Komponen Aroma dengan Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (GC-MS, Gas Chromatography-Mass Spectrometry) Identifikasi komponen aroma dengan spektrometri massa (MS) dilakukan untuk mengetahui komponen-komponen aroma lain yang tidak dapat diketahui sebelumnya karena keterbatasan FID sebagai detektor. Dalam identifikasi ini digunakan kolom dan instrumen pendukung serta metode yang sama seperti analisa GC menggunakan detektor FID. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kerancuan data hasil analisa GC-FID dengan analisa GC-MS. Kromatogram hasil analisa GC-MS diperlihatkan pada Lampiran 14. Sedangkan hasil analisa GC-FID pada sampel yang sama disajikan dalam Lampiran 15. Dari hasil analisa tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan kemampuan deteksi antara MS dengan detektor FID. Hasil analisa GC-MS menghasilkan kromatogram yang cukup berbeda dengan kromatogram hasil analisa GC-FID. Namun, urutan dan pola munculnya puncak menunjukkan hasil yang cukup serupa pada kedua kromatogram tersebut. Begitu pula
58
dengan jumlah komponen yang mampu dideteksi, penggunaan detektor FID mampu mendeteksi 136 komponen sedangkan menggunakan MS komponen yang terdeteksi hanya sebanyak 64 komponen. Perbedaan kemampuan deteksi tersebut dapat terjadi karena mekanisme deteksi dan sensitifitas yang berbeda antara FID dan MS serta dipengaruhi juga oleh kondisi instrumen yang digunakan. Perbedaan mekanisme detektor yang digunakan juga menghasilkan Rt tiap komponen yang berbeda. Rt komponen hasil analisa GC-MS umumnya mengalami pergeseran 0.4 - 0.5 menit lebih lama daripada Rt yang dihasilkan dari analisa GC-FID. Penelusuran library MS pada hasil analisa GC-MS mampu mengidentifikasi komponen-komponen aroma yang sebelumnya tidak diketahui. Hasil identifikasi komponen-komponen sampai Rt = 25 menit, disajikan dalam Tabel 13. Dari hasil penelusuran tersebut ternyata tidak semua komponen mampu diidentifikasi dengan baik (komponen yang bertanda *). Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai SI pada spektrum massa (grafik m/z hasil analisa GC-MS) yang cukup rendah, sedangkan nilai SI tersebut merupakan tingkat keserupaan antara zat yang teranalisis dengan standar yang sudah terekam dalam library. Salah satu contoh pada komponen No. 32 yang teridentifikasi sebagai Triadimefon (Gambar 21)
Gambar 21. Perbandingan kromatogram m/z komponen teranalisis dengan library MS (Triadimefon)
59
Pada gambar tersebut terlihat bahwa jika dibandingkan dengan target (komponen yang dianalisis) dengan standar yang ada di library, tingkat keserupaan/kesamaan yang diperoleh (dilambangkan dalam SI) hanya bernilai 44. Hal tersebut juga terlihat jelas dalam gambar tersebut dimana spektrum massa standar dari library sangat berbeda dengan spektrum massa komponen target hasil analisa GC-MS. Spektrum massa komponen target terlihat mempunyai banyak puncak tambahan selain base peak yang tidak terdapat pada spektrum massa dalam library. Menurut Kitson et al.(2002), munculnya puncak-puncak ekstra dalam spektrum massa dapat disebabkan oleh ketidakmurnian (impurities) atau terjadi pencampuran ion komponen yang teranalisa dengan ion sebelumnya sehingga membentuk spektrum massa gabungan yang tidak teridentifikasi. Impurities bisa terjadi karena kondisi kromatografi yang vakum dan kondisi sumber ion, transfer line, kolom GC dan instrumen lain yang tidak bersih. Ketidakserupaan spektrum massa yang dihasilkan dengan spektrum standar library juga dapat terjadi dalam analisis pada komponen dengan jumlah yang yang sangat kecil. Rendahnya jumlah massa komponen akan menyebabkan terjadinya puncak-puncak tambahan akibat pengaruh dengan udara, air dan gas pengemban (Kitson et al., 2002). Kondisi yang berbeda dapat dilihat pada komponen No. 1 yang mempunyai nilai SI spektrum massa sebesar 98 (Gambar 22) dan menunjukkan spektrum yang hampir serupa dengan standar dalam library serta tidak terdapat puncak-puncak tambahan. Selanjutnya untuk menghindari kesalahan identifikasi yang mungkin terjadi, komponen-komponen yang teridentifikasi dengan spektrum massa yang mempunyai nilai SI < 70 tidak diikutsertakan dalam pembahasan selanjutnya (komponen-komponen bertanda * pada Tabel 13).
60
Gambar 22. Perbandingan kromatogram m/z komponen teranalisis dengan library MS (acetic acid) Hasil analisa menggunakan GC-MS selanjutnya dibandingkan dengan database lain yang memuat informasi komponen-komponen yang teridentifikasi tersebut. Dalam hal ini, database yang digunakan adalah database yang dimiliki oleh NIST (National Institute of Standar and Technology) melalui situs http://nist.gov, dimana situs ini dikelola oleh U.S. Secretary of Commerce USA. Dari hasil penelusuran tersebut, diketahui bahwa dari 45 komponen yang teridentifikasi dengan SI spektrum massa > 70 oleh GC-MS terbagi atas 11 golongan komponen yang berbeda. Komponen yang teridentifikasi terdiri atas golongan asam karboksilat yang teridentifikasi sebanyak 11 komponen, golongan aldehida sebanyak 3 komponen, 1 komponen golongan eter, 4 komponen alkohol, 15 komponen ester, 4 komponen pirazin, 2 komponen amina, 2 komponen furan dan 1 komponen untuk masing-masing komponen hidrokarbon, keton dan fenol. Struktur molekul komponen-komponen tersebut disajikan pada Gambar 23 dan Gambar 24.
61
Tabel 13. Komponen-komponen hasil identifikasi GC-MS Rt GC-
No
Komponen
FID
No
Rt GC-
Komponen
FID
1
3.287
Acetic acid
28
13.519
Heptanoic acid
2
3.865
n-Pentanal
29
13.715
Tetramethyl pyrazine
3
4.859
Propanoic acid, 2-Methyl
30
14.402
Phenylethyl alcohol
4
4.984
Propane , 2-ethoxy
31
15.939
Acetic acid, 2-propenyl ester
5
5.154
2-3, butanediol
32
16.076
Triadimefon *
6
6.750
Butanoic acid, 3-methyl
33
16.204
7
7.003
Butanoic acid, 2-methyl
34
16.325
Acetic acid, phenylmethyl ester
8
7.302
1-Butanol, 3-Methyl, Acetate
35
16.590
Benzeneacetic acid, methyl ester
9
7.548
1,5-pentanedioic acid
36
16.860
Octanoic acid
10
8.038
2-heptanol
37
17.052
Azulene
11
8.539
2,5-dimethyl-pyrazine
38
17.348
Ethyl caprilate
12
8.733
2,3-dimethyl-pyrazine
39
17.528
Levulinyc acid, methyl ester
13
9.076
Diacetamide
40
17.947
Dimethipin *
14
9.417
Benzaldehide
41
18.455
4-Ethylphenyl acetate
15
9.998
Molinate *
42
18.621
Phenylmalonic acid
16
10.314
3-pentanone, 2,4-dimethyl
43
18.849
Acetic acid, 2-phenylethyl ester
17
10.595
Pentanoic acid
44
19.188
2-Decenal
18
10.918
Propamocarb *
45
19.409
Nonanoic acid
19
10.981
1,6-Octadien-3-ol, 3,7-dimethyl
46
19.646
Triadimenol *
20
11.088
Trimethyl pyrazine
47
19.988
2-Propen-1-amine, n,n-dipropyl
21
11.259
48
21.171
Simazine *
22
11.957
Adenosine *
49
21.821
23
12.420
4-Octanol, 7-methyl, acetate
50
22.194
Phenol, 2-methoxy-4-(2-propenyl)
24
12.661
2-Butanol, 3-Methyl, acetate
51
22.542
Silane *
25
12.797
Isoxathion Oxon *
52
22.724
Decanoic acid
26
13.017
Meso-2,3-butandiol diacetate
53
23.071
2(3H)-Furanone, 3-acetyldihydro
27
13.320
54
23.369
Iso amyl benzoate
55
23.515
Ethyl decanoate
Butanoic acid, 1-Methylethyl ester
Hexadecanoic acid, octadecyl ester *
Butanoic acid, 2-methyl-, 2methylbutyl ester
2(3H)-Furanone, dihydro-5pentyl
Keterangan = komponen bertanda * merupakan komponen yang memiliki SI < 70
62
n‐pentanal Benzaldehyde
Acetic Acid Propanoic acid, 2‐methyl
2,3‐dimethyl pyrazine
Butanoic acid, 2‐methyl
2,5‐dimethyl pyrazine
2‐Decenal
Aldehida Butanoic acid, 3‐methyl
1,5‐Pentanedioic acid
2,3,5,6‐tetramethyl pyrazine
2,3,5‐trimethyl pyrazine
Pirazin Pentanoic acid
Propane, 2‐ethoxy
Heptanoic acid
Eter Phenylmalonic acid
Octanoic acid
2‐Propen‐1‐amine, n,n‐dipropyl
Diacetamide 2,Heptanol
Amina
2,3‐Butanediol Nonanoic acid
1,6‐Octadien‐3‐ol, 3,7‐dimethyl
Dekanoic acid
Asam Karboksilat
Alkohol
Phenylethyl alcohol
Azulene
Hidrokarbon
Gambar 23. Struktur molekul komponen golongan asam karboksilat, aldehida, eter, alkohol, pyrazine, amine dan hidrokarbon
63
2(3H)‐Furanone, 3‐acetyldihydro‐ 1‐Butanol, 3‐Methyl, Acetate
Butanoic acid, 1‐Methylethyl ester
4‐Octanol, 7‐methyl, acetate
2(3H)‐Furanone, dihydro‐5‐pentyl
2‐Butanol, 3‐Methyl, acetate Meso‐2,3‐butandiol diacetate
Butanoic acid, 2‐methyl‐, 2‐methylbutyl ester
Furan
Acetic acid, phenylmethyl ester Benzeneacetic acid, methyl ester
Ethyl caprilate Phenol, 2‐methoxy‐4‐(2‐propenyl)
Fenol
Levulinyc acid 4‐Ethylphenyl acetate
Acetic acid, 2‐ phenylethyl ester
Acetic acid, 2‐ propenyl ester
Iso amyl benzoate Ethyl decanoate
3‐pentanone, 2,4‐dimethyl
Ester
Keton 64
Gambar 24. Struktur molekul komponen golongan ester, furan, fenol dan keton
E. Analisis Kandungan Aroma pada Lemak Kakao dengan Kromatografi Gas-Detektor
Ionisasi
Api
(GC-FID,
Gas
Chromatography-Flame
Ionization Detector) Analisa kandungan aroma pada lemak kakao dilakukan pada setiap golongan komponen aroma yang telah teridentifikasi sebelumnya dengan GCMS. Golongan yang dianalisa meliputi golongan asam karboksilat, ester, aldehida, alkohol, pirazin, amina, furan, keton, eter, fenol dan hidrokarbon.
1. Pirazin Kuantitas
komponen
pirazin
dalam produk kakao
kering
merupakan salah satu pembeda antara produk kakao yang terfermentasi dengan produk kakao non-fermentasi. Hal tersebut dijelaskan dalam penelitian Puziah et al. (1998) yang menunjukkan bahwa selama fermentasi, beberapa pirazin seperti alkilpirazin (2 metilpirazin), dimetilpirazin (2,5-dimetilpirazin, 2,6-dimetilpirazin, 2,3-dimetilpirazin), trimetilpirazin dan tetrametilpirazin terbentuk namun tidak terdapat sama sekali pada biji tidak terfermentasi. Komponen 2,3 DMP, 2,5 DMP, 2,3,5 TrMP dan 2,3,5,6 TMP telah banyak dilaporkan dan diidentifikasi sebagai komponen aroma yang penting dalam kakao (Frauendorfer dan Schieberle, 2006) (Puziah et al.,1998) (Misnawi, 2003) (Bonvehi, 2005). Komponen pirazin dalam makanan mempunyai karakteristik aroma nutty, roasted, green dan fruity. Pada kakao, Kandungan komponen polifenol, alkaloid, asam amino, peptida dan pirazin pada kakao mempengaruhi timbulnya aroma dan rasa bitter dan astringency (getir). Keberadaan rasa bitter dan astringency ini merupakan aroma dan rasa yang diinginkan dalam produk kakao (Misnawi et al., 2002).
65
Tabel 14. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GCFID komponen golongan pirazin Tingkat Fermentasi
% Basah
Kode Perlakuan
2,5 DMP
2,3 DMP
2,3,5 TrMP
2,3,5,6 TMP
Total Pirazin
Fermentasi 4 Hari F0
0
Kontrol
17881g
12076f
33433f
101469h
164869h
F0
30
A1B1
3872g
3312g
31067f
222416f
260666g
50
A2B1
55728ef
47378d
36678ef
569559e
709342e
70
A3B1
73098de
68771c
41514de
705713d
889095d
30
A1B2
7181g
1981g
15777g
153819g
178757h
50
A2B2
97937c
77625b
44932cd
732958d
953451cd
b
994047a
1398150a
bc
b
1009607c
F1
70 F2
A3B2
190592a f
161898a 19765
e
51613
30
A1B3
46507
50634
892701
50
A2B3
75867d
65035c
31002f
203811f
375714f
70
A3B3
154725b
166355a
90727a
816358c
1228165b
Fermentasi 5 Hari F0
0
Kontrol
17881d
12076c
33433ab
101469g
164859f
F0
30
X1Y1
11795e
8107e
21601defg
188438e
229940e
50
X2Y1
8943ef
2632f
38437a
433315b
483326c
70
X3Y1
28597c
12211d
32295abc
523749a
596851b
30
X1Y2
5818fg
1411f
18846fg
120615fg
146689fg
50
X2Y2
24512c
13950dc
16362g
74977h
129801g
70
X3Y2
39483b
23324b
27720bcd
392713c
483239c
30
X1Y3
4213g
7884e
206504efg
139685f
172435f
50
X2Y3
28165c
15981c
24773def
292686d
361604d
70
X3Y3
96514a
107183a
26163cde
400867c
630726a
F1
F2
Keterangan : - Nilai rata-rata dengan huruf penanda yang sama menunjukkan nilai tersebut tidak berbeda nyata (Berdasarkan Uji Wilayah Berganda Duncan). - Unit percobaan fermentasi 4 hari dan 5 hari merupakan unit percobaan yang terpisah, penanda huruf tidak menunjukkan hubungan antara kedua unit percobaan tersebut
66
Uji wilayah berganda Duncan pada respon perlakuan refermentasi (Tabel 14) memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada respon yang dihasilkan dibandingkan dengan respon kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan refermentasi yang dilakukan berhasil meningkatkan kandungan pirazin dalam biji kakao secara signifikan. Komponen 2,3,5,6 TMP merupakan komponen pirazin yang memberikan respon jauh lebih tinggi daripada komponen pirazin lainnya. Komponen
tersebut
merupakan
komponen
pirazin
yang
sangat
berpengaruh karena memberikan sensasi aroma cokelat yang diinginkan dalam biji kakao. Bahkan pada unit fermentasi 4 hari, hampir semua perlakuan memberikan respon yang jauh lebih tinggi daripada respon kontrol. Respon komponen pirazin tertinggi pada unit fermentasi 4 hari didapatkan pada tingkat fermentasi yang melibatkan faktor bahan pencampur 70% basah. Hasil pengujian tersebut juga memperlihatkan bahwa terdapat kecenderungan respon komponen pirazin semakin meningkat pada konsentrasi bahan pencampur basah yang semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa laju fermentasi merupakan faktor yang sangat berperan dalam pembentukan senyawa pirazin. Berbeda dengan komponen aroma lain seperti asam karboksilat, ester, aldehida, alkohol dan komponen lain yang merupakan produk langsung
enzimatis
akibat
proses
fermentasi,
komponen
pirazin
merupakan komponen aroma yang terbentuk akibat proses roasting pada bahan (Doyle et al.,2001) . Jumlah pirazin yang dihasilkan ditentukan oleh komposisi komponen-komponen prekursor yang terdapat pada bahan sebelum proses roasting. Komponen-komponen prekursor tersebut antara lain asam amino bebas, peptida dan gula pereduksi, dimana komponen tersebut terbentuk secara enzimatis pada proses fermentasi (Puziah et al. 1998). Kadar pencampur basah yang semakin tinggi menyebabkan refermentasi yang terjadi mendekati tingkat fermentasi normal yang menggunakan kakao basah seluruhnya.
67
Pada unit fermentasi 4 hari, perlakuan A3B2 dan A3B3 dapat dikatakan sebagai perlakuan terbaik karena respon komponen-komponen pirazin yang dihasilkan menunjukkan nilai yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Sedangkan perlakuan yang melibatkan faktor pencampur 30% basah menunjukkan respon yang rendah dan hampir pada semua perlakuan, nilai respon komponen-komponen pirazin yang terdeteksi (kecuali komponen 2,3,5,6 TMP pada perlakuan A1B3) tidak berbeda signifikan dengan respon komponen pirazin pada kontrol. Tidak jauh berbeda dengan unit fermentasi 4 hari, respon yang ditunjukkan komponen-komponen pirazin pada unit fermentasi 5 hari juga menunjukkan kecenderungan peningkatan pirazin seiring peningkatan konsentrasi kakao basah pencampur. Namun, pada unit fermentasi ini respon komponen pirazin yang dihasilkan tidak setinggi respon pada unit fermentasi 4 hari. Penurunan respon komponen pirazin pada unit fermentasi 5 hari terjadi pada hampir semua perlakuan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Puziah et al. (1998) yang menyimpulkan bahwa komponen pirazin seperti 2,5 DMP, 2,3,5 TrMP, 2,3,5,6 TMP serta konsentrasi total pirazin menurun pada tingkat fermentasi yang lebih lama. Penurunan konsentrasi komponen pirazin tersebut terjadi setelah fermentasi melewati hari ke 4. Hasil pengujian Duncan tersebut juga memperlihatkan bahwa hampir semua perlakuan yang melibatkan faktor F2 menghasilkan respon yang lebih besar daripada perlakuan yang melibatkan faktor F1 dan F0 dengan urutan F2>F1>F0. Kecenderungan tersebut terjadi karena pada perlakuan yang melibatkan faktor F2 dan F1, kakao kering yang direfermentasi merupakan kakao yang telah terfermentasi sebagian, sehingga secara tidak langsung komponen-komponen prekursor yang dibutuhkan untuk menghasilkan komponen pirazin ketika roasting telah tersedia dalam konsentrasi yang cukup tinggi. Perlakuan refermentasi selanjutnya akan membentuk komponen-komponen prekursor dari substrat yang masih tersisa pada biji kakao tersebut membentuk komponen-
68
komponen prekursor. Sehingga proses pembentukan komponen prekursor berjalan lebih cepat. Berbeda halnya dengan perlakuan yang melibatkan faktor F0 sebagai bahan baku refermentasi. Faktor F0 merupakan kakao kering yang tidak terfermentasi sama sekali sehingga hanya terdapat substrat tanpa adanya komponen-komponen prekursor yang dihasilkan sebelumnya seperti F2 dan F1. Kondisi kakao yang telah kering dan tidak memiliki media fermentasi yang mencukupi membuat perlakuan yang melibatkan faktor F0 ini bergantung sepenuhnya pada faktor pencampur basah yang ditambahkan. Semakin tinggi konsentrasi kakao basah yang ditambahkan maka semakin melimpah pula sumber nutrisi fermentasi (pulp kakao) sehingga fermentasi bisa berjalan. Hal tersebut juga menjelaskan sebab respon yang dihasilkan pada perlakuan dengan 30% pencampur mempunyai nilai yang jauh lebih kecil dari perlakuan lainnya.
2. Asam Karboksilat Keberadaan komponen-komponen asam karboksilat dalam kakao telah banyak dilaporkan pada penelitian-penelitian sebelumnya, seperti pada penelitian Frauendorfer dan Schieberle (2006). Dalam penelitian tersebut disimpulkan bahwa komponen golongan asam karboksilat memberikan dampak pembentukan aroma yang cukup besar pada kakao. Hal ini dibuktikan dengan teridentifikasinya komponen seperti acetic acid dan 3-Methylbutanoic acid, dimana komponen tersebut merupakan 2 komponen dari 35 komponen aroma teridentifikasi yang paling aktif pada kakao. Komponen-komponen seperti acetic acid, 2-methylpropanoic acid, 3-methylbutanoic acid, pentanoic acid, heptanoic acid, octanoic acid dan decanoic acid merupakan komponen yang umum ditemukan dalam produk-produk fermentasi seperti keju dan anggur. Seperti yang dilaporkan oleh Mahaja et al. (2004) yang berhasil mengidentifikasi komponen tersebut dari whey, dimana komponen acetic acid diketahui memberikan karateristik aroma cuka (vinegar like), 2-methylpropanoic
69
acid menghasilkan aroma buttery, 3-Methylbutanoic acid memberikan aroma sweaty, pentanoic acid berkarakteristik aroma purgent, heptanoic acid beraroma keju (cheesy), octanoic acid beraroma animal like dan decanoic acid berkontribusi memberikan aroma soapy. Hasil analisa statistik dengan uji wilayah berganda Duncan pada komponen-komponen tersebut (Tabel 15) menunjukkan bahwa hampir setiap kombinasi perlakuan yang dilakukan berpengaruh nyata terhadap kandungan masing-masing komponen tersebut. Hampir semua perlakuan yang dilakukan pada tingkat fermentasi 4 hari memberikan respon yang berbeda secara signifikan terhadap kontrol. Komponen-komponen asam karboksilat selain komponen octanoid acid menunjukkan peningkatan respon pada hampir setiap perlakuan yang dilakukan. Khusus pada komponen octanoid acid, respon yang ditunjukkan pada setiap perlakuan lebih kecil daripada respon kontrol. Perlakuan yang melibatkan F0 pada fermentasi 4 hari memberikan respon tertinggi pada komponen acetic acid (A3B1), heptanoic acid (A1B1) dan nonanoic acid (A1B1). Sedangkan perlakuan yang melibatkan F1 memberikan respon tertinggi pada komponen pentanedioic acid (A3B1), pentanoic acid (A3B2) dan octanoic acid (A2B2). Respon tertinggi komponen-komponen lain teridentifikasi pada perlakuan yang melibatkan faktor F2. Respon total asam karboksilat yang dihasilkan pada setiap perlakuan juga jauh lebih tinggi dibandingkan dengan respon kontrol Berbeda dengan unit percobaan fermentasi 4 hari, pada percobaan fermentasi 5 hari respon yang dihasilkan oleh berbagai perlakuan menunjukkan nilai yang bervariasi terhadap kontrol. Perlakuan kontrol memberikan respon yang lebih rendah daripada perlakuan lainnya pada komponen phenylmalonic acid, propanoic aci,2-methyl dan butanoic acid,2-methyl. Namun, pada komponen asam karboksilat lain respon yang dihasilkan kontrol lebih tinggi pada beberapa perlakuan namun bukan menunjukkan respon yang tertinggi dari semua perlakuan yang dilakukan.
70
Tabel 15. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GC-FID komponen golongan asam karboksilat Tingkat Fermentasi
% Basah
Kode Perlakuan
Acetic acid
Propanoic acid, 2-
Butanoic acid, 3-
Butanoic acid, 2-
Pentanedioic
methyl
methyl
methyl
acid
Pentanoic acid
Fermentasi 4 Hari F0
0
Kontrol
178162g
12206e
18832h
2124h
21506de
27708bcd
F0
30
A1B1
306600f
52171c
169804c
90758d
31462bc
25525cd
50
A2B1
1059214b
12206e
96434f
59089f
29079c
16035e
70
A3B1
1188778a
62977b
78137g
58936f
24159d
17083e
30
A1B2
216391g
35445d
78695g
42391g
13974ef
4300f
50
A2B2
778915c
15450e
252168b
121829b
34107abc
30647bc
70
A3B2
703556cd
45733c
81937g
66685e
38646a
42362a
30
A1B3
557581e
114035a
150975d
134621a
35883ab
33991b
a
111223
c
a
28747bcd
F1
F2
d
47892
c
50
A2B3
682745
70
A3B3
1031487b
31059d
113717e
47510g
18611ef
22532de
284653
37591
Fermentasi 5 Hari F0
0
Kontrol
178162de
13881e
18832g
2124f
21506b
27708bc
F0
30
X1Y1
215734d
12280e
14818gh
6773f
11509cd
5541e
50
X2Y1
59657g
16190e
3372h
1173e
7601d
5715e
70
X3Y1
413443c
153192b
129908f
205059a
30004a
22427cd
30
X1Y2
113771f
70409d
137066ef
112410c
14538c
58073a
50
X2Y2
405162c
173899a
304173c
159561b
25722ab
21873d
70
X3Y2
488902b
178133a
418370a
194631a
12665cd
27820bc
30
X1Y3
154545ef
61785d
168433d
98452d
12484cd
21453d
50
X2Y3
452276bc
101262c
346604b
162539b
13803c
32133b
70
X3Y3
1049538a
66327d
145957e
80577e
29750a
32269b
F1
F2
Keterangan : - Nilai rata-rata dengan huruf penanda yang sama menunjukkan nilai tersebut tidak berbeda nyata (Berdasarkan Uji Wilayah Berganda Duncan). - Unit percobaan fermentasi 4 hari dan 5 hari merupakan unit percobaan yang terpisah, penanda huruf tidak menunjukkan hubungan antara kedua unit percobaan tersebut
71
(Lanjutan Tabel 15) Tingkat Fermentasi
% Basah
Kode Perlakuan
Heptanoic acid
Octanoic acid
Phenylmalonic acid
Nonanoic acid
Decanoid acid
Total asam karboksilat
Fermentasi 4 Hari F0
0
Kontrol
11684bcd
24679a
2223.5h
2509.5f
3490bc
306798f
F0
30
A1B1
19969a
16553ab
9264f
8338.5a
3440.5c
733884d
50
A2B1
12685bc
4571cd
11442.5e
3455.5cd
4144ab
416401e
70
A3B1
8867cd
1763d
14773d
2547f
871.5g
1458890a
30
A1B2
8895cd
1327d
5810.5g
6128b
3045.5cd
1308354b
50
A2B2
15146b
18236ab
17866bc
3205de
2943cd
1290509b
70
A3B2
12196bcd
14646b
16162cd
3445.5cd
2100ef
1027467c
30
A1B3
11118cd
17008ab
18865.5b
3524.5c
4574a
1082174c
50
A2B3
19078a
11238bc
43935a
3151.5e
2604.5de
1272856b
70
A3B3
8540d
11780bc
12297e
2550.5f
1759.5f
1301841b
Kontrol
11684bc
24679a
2224e
2509.5cde
3490b
306798f
b
294875f
F1
F2
Fermentasi 5 Hari F0 F0
F1
F2
0
d
e
de
30
X1Y1
17118a
3577
50
X2Y1
8029de
3159d
1625e
3294abcd
2364bc
112178g
70
X3Y1
5517e
9762bcd
3883de
1361e
2979b
977132d
30
X1Y2
8868cd
25056a
3917de
3916.5ab
3185b
551207e
50
X2Y2
7541de
7460cd
12886c
2843bcd
6348a
1127467c
70
X3Y2
12673b
17338b
12632c
4103a
1444.5c
1368711b
30
X1Y3
4475e
13323bc
5378d
1427.5e
1355.5c
543110e
50
X2Y3
11946bc
14055bc
18203b
1627e
3142.5b
1157588c
70
X3Y3
110885bcd
15570b
24507a
3497abc
2520bc
1461595a
1939
2203
3386
Keterangan : - Nilai rata-rata dengan huruf penanda yang sama menunjukkan nilai tersebut tidak berbeda nyata (Berdasarkan Uji Wilayah Berganda Duncan). - Unit percobaan fermentasi 4 hari dan 5 hari merupakan unit percobaan yang terpisah, penanda huruf tidak menunjukkan hubungan antara kedua unit percobaan tersebut.
72
.Pada unit percobaan fermentasi 5 hari respon tertinggi total asam karboksilat serta komponen acetic acid dan penymalonic acid dihasilkan pada perlakuan yang melibatkan F2 (X3Y3). Sedangkan perlakuan yang melibatkan faktor F0 memberikan respon tertinggi pada komponen 2methylbutanoic acid, pentanedioic acid dan heptanoic acid. Perlakuan yang melibatkan F1 memberikan respon tertinggi pada komponen 2methylpropanoic acid, 3-methylbutanoic acid, octanoic, nonanoic, pentanoic dan decanoic acid. Komponen acetic acid merupakan komponen asam karboksilat yang memberikan respon jauh lebih tinggi daripada komponen asam karboksilat lainnya. Tingginya respon komponen tersebut menunjukkan bahwa tingkat fermentasi oleh bakteri asam asetat yang terjadi pada perlakuan tersebut lebih tinggi daripada perlakuan lainnya, mengingat bahwa acetic acid merupakan produk utama fermentasi bakteri asam asetat. Hal ini sesuai dengan penjelasan Doyle et al. (2001) yang menyebutkan bahwa bakteri asam asetat, bakteri asam laktat dan khamir merupakan mikroorganisme yang berperan dalam proses fermentasi kakao. Tingginya tingkat fermentasi pada pelakuan-perlakuan tersebut juga dipengaruhi oleh tingginya kadar pencampur basah yang digunakan. Perlakuan dengan respon acetic acid tertinggi hampir semuanya menggunakan konsentrasi pencampur 70% kakao basah. Tingginya kadar kakao basah memungkinkan terbentuknya kondisi fermentasi yang baik karena mempunyai kandungan nutrisi (yang diperoleh dari pulp kakao basah) dan media kakao basah yang mencukupi. Menurut Doyle et al. (2001), populasi bakteri asam asetat dapat mencapai 80 – 90% dari total populasi mikroflora pada hari ke 2 proses fermentasi kakao secara biasa. Respon komponen acetic acid yang menurun pada unit percobaan fermentasi 5 hari dibandingkan dengan unit fermentasi 4 hari hampir sesuai dengan laporan Lchrian dalam Doyle et al. (2001). Laporan tersebut menyimpulkan bahwa konsentrasi komponen acetic acid naik pada tingkat fermentasi 1-5 hari dan menurun setelah hari ke 5 dan menurun seiring tingginya tingkat pengeringan yang dilakukan. Perbedaan waktu
73
penurunan konsentrasi komponen tersebut dapat terjadi karena perbedaan komposisi fermentasi yang dilakukan. Pada percobaan Lchrian (Doyle et al., 2001) tersebut fermentasi dilakukan pada biji kakao segar, sedangkan pada percobaan refermentasi ini kakao yang digunakan adalah kakao yang telah mengalami proses pengeringan dan telah terfermentasi sebelumnya kecuali pada perlakuan yang melibatka faktor F0. Selain dipengaruhi oleh tingkat fermentasi yang terjadi, komponenkomponen asam karboksilat juga muncul akibat proses fermentasi yang berlangsung secara aerobik. Menurut Doyle et al. (2001), pada tingkat fermetasi yang lebih lama, bakteri spesies Bacillus merupakan bakteri dominan yang berperan dalam proses fermentasi. Spesies Bacillus mampu memproduksi komponen yang berkontribusi meningkatkan keasaman dan off flavors pada kakao fermentasi. Komponen-komponen asam berantai pendek merupakan produk yang dihasilkan pada tahap aerobik ini. Variasi
konsentrasi
kakao
kering
yang
digunakan
dalam
refermentasi memungkinkan terjadinya kondisi aerobik pada saat fermentasi. Hal ini dikarenakan kakao dengan kadar air yang sangat rendah (17-18%) memungkinkan terbentuknya rongga udara pada biji kakao sehingga bereaksi pada saat fermentasi berlangsung. Selain itu, kondisi aerobik juga terjadi ketika sebagian besar massa pulp kakao terkonversi menjadi produk oleh metabolisme bakteri asam laktat pada tingkat awal fermentasi (Doyle et al., 2001). Hal tersebut juga menjelaskan penyebab komponen-komponen asam karboksilat selain acetic acid memberikan respon yang lebih tinggi pada perlakuan fermentasi yang melibatkan kadar pencampur basah 30% dan 50% daripada kadar pencampur basah 70%.
3. Ester Komponen-komponen ester merupakan konstituen paling umum pembentuk aroma dalam buah. Namun, ester juga merupakan komponen yang berperan penting dalam pembentukan aroma pada kakao (Maarse 1991). Keberadaan komponen-komponen ester pada bahan pangan
74
umumnya memberikan karakteristik aroma yang fruity, sweet dan floral. Komponen ethylphenyl acetate pada kakao sebelumnya juga telah diidentifikasi pada penelitian Frauendorfer dan Schieberle (2006). Pada penelitian tersebut, ethylphenyl acetate merupakan salah satu komponen yang paling aktif pada kakao dimana komponen tersebut teridentifikasi memberikan sensasi aroma sweet, honey, fruity dan flowery. Karakteristik aroma yang sama juga dilaporkan oleh Curioni dan Bosset (2002) yang mengidentifikasi komponen tersebut mempunyai karakteristik floral (rose like). Berdasarkan hasil analisa dengan uji wilayah berganda Duncan (Tabel 16), respon komponen-komponen ester pada unit percobaan fermentasi 4 hari menunjukkan hasil yang bervariasi. Komponen (4), (5), (6), (7), (12) dan (13) memberikan respon hasil perlakuan lebih tinggi daripada respon kontrol. Namun, pada komponen-komponen lain respon kontrol justru lebih tinggi daripada respon mayoritas perlakuan yang dilakukan. Unit percobaan fermentasi 5 hari juga memberikan respon yang hampir sama seperti unit fermentasi 4 hari. Perbedaan yang terjadi adalah pada komponen (7) dan (12), dimana pada komponen ini, respon yang dihasilkan kontrol lebih tinggi daripada beberapa perlakuan yang dilakukan. Hampir setiap perlakuan yang dilakukan menghasilkan respon komponen-komponen ester yang berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan refermentasi yang dilakukan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap komposisi komponen ester pada produk. Komponen yang memiliki respon tertinggi dari semua perlakuan adalah komponen Acetic acid, 2-phenylethyl ester (13) dan yang terendah adalah komponen Ethyl decanoate (15).
75
Tabel 16. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GC-FID komponen golongan ester Tingkat Fermentasi
% Basah
Kode Perlakuan
1-butanol,3methyl, acetate (1)
Butanoicacid, 1methylethylester (2)
4-octanol, 7-methyl, acetate (3)
2-butanol,3methyl, acetate (4)
Meso-2,3butandiol diacetate (5)
Acetic acid, 2-propenyl ester (6)
Butanoic acid, 2-methyl-, 2methylbutyl ester (7)
Acetic acid, phenilmethyl ester (8)
Fermentasi 4 Hari F0
0
Kontrol
42914b
29784a
31751ab
4254g
1902g
3899e
3241ef
10880d
F0
30
A1B1
6850f
10178d
22414d
111009f
1603g
3452e
3126ef
5334e
50
A2B1
13193de
8909d
24528cd
14707e
11472ef
12615d
5939cde
9511d
70
A3B1
49984b
3409e
24682cd
21538d
13347e
12179d
5607cde
9104d
30
A1B2
1516f
1681e
4634e
10075f
13856e
378e
1050f
2362e
50
A2B2
13804de
20766b
33088ab
19538d
24708c
26799a
8400bc
19563a
70
A3B2
18076cd
14015c
26932bcd
91587a
65752a
23060b
7412bcd
14388cd
30
A1B3
8272ef
10296d
29333bc
29585c
7001f
18938c
9911b
12040cd
50
A2B3
24312c
21349b
30462bc
31495c
18777d
20947bc
18574a
16954ab
70
A3B3
71818a
10053d
37789a
82837b
44746b
20559bc
4623def
12264cd
F1
F2
Fermentasi 5 Hari F0
0
Kontrol
42914a
29784a
31751a
4254g
1901.5e
3899g
3240.5cd
10880bc
F0
30
X1Y1
3354c
3380d
33672a
9995f
2823.5cd
8097def
1644d
3944ef
50
X2Y1
1511
c
cd
a
g
70
X3Y1
19462b
8889b
16731b
19137c
5112.5b
10090cde
4933bc
8319cd
30
X1Y2
3915c
9049b
13479b
11031ef
3116.5c
7004efg
2956.5c
5359de
50
X2Y2
10600c
10195b
14176b
16717cd
2443cde
10471cd
2335d
9412c
70
X3Y2
7269c
9035b
14080db
13916de
6008.5a
18244a
7795a
13358ab
30
X1Y3
4419c
7913bc
12099b
31970b
2294de
6451fg
3329.5cd
5826de
50
X2Y3
3769c
8491b
13828b
9396f
4734b
12300bc
5659.5b
13406ab
70
X3Y3
35543a
100936a
14880b
51647a
6113.5a
20772a
5180.5b
14611a
F1
F2
4482
28558
3656
319.5
f
14292
b
3340.5
cd
1926f
Keterangan : - Nilai rata-rata dengan huruf penanda yang sama menunjukkan nilai tersebut tidak berbeda nyata (Berdasarkan Uji Wilayah Berganda Duncan). - Unit percobaan fermentasi 4 hari dan 5 hari merupakan unit percobaan yang terpisah, penanda huruf tidak menunjukkan hubungan antara kedua unit percobaan tersebut.
76
(Lanjutan Tabel 16) Tingkat Fermentasi
% Basah
Kode Perlakuan
Benzeneacetic acid,methyl-ester (9)
Ethyl caprilate (10)
Levulinyc acid (11)
4-ethylphenyl acetate (12)
Acetic acid, 2phenylethyl ester (13)
Iso amyl benzoate (14)
Ethyl decanoate (15)
Total ester
Fermentasi 4 Hari F0
0
Kontrol
15830d
17894a
4183.5ab
4923f
39491h
4326ab
4156a
219426f
F0
30
A1B1
12152e
8937cd
2430c
5967ef
20598i
2836.5bc
1510de
118394g
50
A2B1
14705de
6469de
1736cd
7368e
138927f
3402.5bc
2291cd
275769e
70
A3B1
12725e
11765bc
1232d
14608.5c
162787e
5775a
411f
349152d
30
A1B2
3878f
2292e
299e
1018.5g
13918j
1858c
441f
59253h
50
A2B2
23532b
18303a
4975a
11773d
289951c
3258.5bc
2221cde
520678b
70
A3B2
19449c
19039a
3676.5b
23586.5b
338869a
1861.5c
1353.5e
669054a
30
A1B3
21359bc
15113ab
3910b
6987.5e
91037g
5625.5a
3415ab
272820e
50
A2B3
30969a
15510ab
4518ab
24882.5b
175028d
2175bc
2624bc
438573c
70
A3B3
15912d
14543ab
1735.5cd
29365a
321657b
1932.5c
1913cde
671746a
F1
F2
Fermentasi 5 Hari F0
0
Kontrol
15380b
17894a
4183.5a
4923d
394913
4326bc
4156a
219426c
F0
30
X1Y1
2856c
4460c
982e
3311.5ef
24677f
1772c
1302e
106267ef
50
X2Y1
1595c
2655c
1059.5e
1404g
6647g
3848bc
1077.5e
76369f
70
X3Y1
1408
c
b
d
fg
bc
bc
204034cd
30
X1Y2
13956b
9510b
4331.5a
2892.5f
17626f
5586b
4791.5a
114603e
50
X2Y2
14890b
1509c
813.5e
6426c
72616d
3717bc
3219.5b
179539d
70
X3Y2
22508a
8697b
2449c
9657b
128582b
14152a
1730.5de
277480b
30
X1Y3
12826b
12294b
2449.5c
4450de
17833f
3588bc
2929.5bc
129919e
50
X2Y3
20561a
9575b
3361b
9176b
72667d
3736bc
2267cd
192924cd
70
X3Y3
21850a
11764b
3076bc
24205.5a
251355a
2130c
1360e
475423a
F1
F2
9118
1744.5
2023
89977
c
4163
2929.5
Keterangan : - Nilai rata-rata dengan huruf penanda yang sama menunjukkan nilai tersebut tidak berbeda nyata (Berdasarkan Uji Wilayah Berganda Duncan). - Unit percobaan fermentasi 4 hari dan 5 hari merupakan unit percobaan yang terpisah, penanda huruf tidak menunjukkan hubungan antara kedua unit percobaan tersebut
77
Pada unit fermentasi 4 hari, respon komponen-komponen ester menunjukkan nilai yang tinggi mayoritas pada perlakuan yang melibatkan faktor konsentrasi pencampur 50% dan 70% kecuali komponen (14) dan (15). Perlakuan-perlakuan yang melibatkan faktor pencampur 70% (A3B3, A3B2 dan A3B1) juga menghasilkan respon total ester yang jauh lebih tinggi daripada perlakuan yang melibatkan faktor pencampur 30% dan 50%. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi bahan pencampur basah yang digunakan sangat berpengaruh terhadap jumlah total komponen ester pada produk hasil refermentasi. Berbeda dengan unit percobaan fermentasi 4 hari, respon komponen-komponen ester yang tertinggi mayoritas didapatkan pada perlakuan yang melibatkan faktor pencampur 70% dan beberapa komponen (3), (11) dan (15) menunjukkan respon tertinggi pada perlakuan yang melibatkan faktor pencampur 30%. Namun, respon terhadap total ester menunjukkan hasil yang hampir sama dengan unit fermentasi 4 hari, dimana respon tertinggi didapatkan pada perlakuan yang melibatkan faktor bahan pencampur 70%. Perlakuan yang memiliki respon total ester tertinggi pada unit fermentasi 4 hari adalah perlakuan A3B3 dan perlakuan X3Y3 pada unit fermentasi
5
hari.
Perlakuan
X3Y3
merupakan
perlakuan
yang
menghasilkan respon yang tinggi pada hampir semua komponen ester kecuali
komponen
(14)
dan
(15).
Sedangkan
perlakuan
A3B3
menghasilkan respon yang cukup tinggi pada setiap perlakuan dan respon total ester yang ditunjukkan tidak berbeda secara nyata dengan perlakuan A3B2. Respon yang dihasilkan pada komponen (10) menunjukkan kecenderungan yang cukup berbeda dengan respon komponen lainnya. Respon yang dihasilkan antar perlakuan menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan tidak terlalu berpengaruh nyata terhadap respon yang dihasilkan. Hal ini dapat dicermati pada Tabel 14, dimana respon yang dihasilkan oleh perlakuan refermentasi hanya menghasilkan 2 tingkat nilai tengah yang berbeda (b dan c).
78
4. Alkohol Komponen aroma berbasis alkohol tidak banyak ditemukan dalam kakao, namun banyak ditemukan dalam teh. Komponen-komponen alkohol jenis monoterpene dan sesquiterpene merupakan komponen aroma yang sangat dominan dalam produk minyak atsiri (Maarse, 1991). Komponen-komponen alkohol umumnya menghasilkan aroma sweet, fruity, alcoholic, balsamic
dan green tergantung susunan molekulnya
(Curioni & Bosset, 2002). Menurut Curioni dan Bosset (2002) komponen Octadien-3-Ol merupakan jenis alkohol tak jenuh yang menghasilkan aroma earthy, sedangkan komponen Phenylethyl alcohol merupakan jenis alkohol aromatic yang memberikan kesan aroma floral, rose dan madu. Analisis pengaruh perlakuan yang dilakukan terhadap komposisi alkohol dalam produk dengan menggunakan uji wilayah berganda Duncan (Tabel 17) menunjukkan respon yang cukup bervariasi pada setiap perlakuan. Walaupun hasil yang didapatkan antar perlakuan cukup bervariasi, namun respon kontrol terhadap perlakuan menunjukkan hasil yang serupa baik pada unit fermentasi 4 hari maupun unit fermentasi 5 hari. Respon komponen 23 BTD, 2H dan PhA pada kontrol merupakan respon tertinggi apabila dibandingkan dengan respon yang didapatkan dari perlakuan-perlakuan yang dilakukan. Namun, berbeda dengan komponenkomponen tersebut, respon komponen 16 OD pada kontrol menunjukkan nilai yang paling rendah dibandingkan dengan respon perlakuan-perlakuan lain yang dilakukan. Perlakuan A2B2 enunjukkan respon total alkohol yang tertinggi pada unit fermentasi 4 hari dan perlakuan X3Y1 merupakan perlakuan dengan respon total alkohol tertinggi pada unit fermentasi 5 hari. Pada perlakuan-perlakuan unit fermentasi 4 hari, respon komponen alkohol tertinggi didapatkan pada perlakuan fermentasi yang melibatkan kadar pencampur 30% dan F0 untuk komponen 2H dan 16 OD, 50% dan F1 untuk PhA dan 70% F2 pada 23 BTD. Sedangkan pada unit fermentasi 5 hari, respon tertinggi didapatkan dari perlakuan yang melibatkan fakor F2.
79
Tabel 17. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GCFID komponen golongan alkohol Tingkat Fermentasi
% Basah
Kode Perlakuan
23 BTD
2H
16 OD
PhA
Total alkohol
Fermentasi 4 Hari F0
0
Kontrol
104766ab
23574a
1604i
315269a
445213a
F0
30
A1B1
65328cde
21407ab
39353a
234686b
360773b
50
A2B1
55015de
6410cd
15399.5fg
117331e
194155e
70
A3B1
77433bcd
10132c
14332.5g
199309c
301206c
30
A1B2
16469f
3388d
4262h
82614f
106733f
50
A2B2
78911bcd
16953b
26342c
318608a
440813a
70
A3B2
abc
b
18107.5
b
373514b
30
A1B3
45530e
20482ab
21979d
170695d
258685cd
50
A2B3
46812e
18717ab
35063b
107435ef
208026de
70
A3B3
116336a
8158cd
16955ef
218299bc
359748b
F1
F2
91870
17574
e
245963
Fermentasi 5 Hari F0
0
Kontrol
104766a
23574a
1604e
315269a
445213a
F0
30
X1Y1
9355b
21407ab
21498b
112495f
164754de
50
X2Y1
4818b
6410cd
28551a
46408g
86186f
70
X3Y1
8971b
10132c
11353d
203753b
234208b
30
X1Y2
10233b
3388d
15877cd
152037de
181535cde
50
X2Y2
5591b
16953b
13500d
143453e
179496cde
70
X3Y2
9140b
17574b
13484d
169240cd
209436bcd
30
X1Y3
7062b
20482ab
13512d
176453c
217509bc
50
X2Y3
2870b
18717ab
15065cd
104523f
141174e
70
X3Y3
4765b
8158cd
19010bc
142777e
174709cde
F1
F2
Keterangan : - Nilai rata-rata dengan huruf penanda yang sama menunjukkan nilai tersebut tidak berbeda nyata (Berdasarkan Uji Wilayah Berganda Duncan). - Unit percobaan fermentasi 4 hari dan 5 hari merupakan unit percobaan yang terpisah, penanda huruf tidak menunjukkan hubungan antara kedua unit percobaan tersebut -
23BTD : 2,3-butanediol
-
2H : 2-heptanol
-
16OD : 1,6-octadien-3-ol,3,7-dimethyl
-
PhA : Phenylethyl alcohol
80
Uji wilayah berganda Duncan pada komponen 23 BTD unit fermentasi 5 hari menunjukkan respon antar perlakuan yang tidak berbeda nyata. Hal ini dikarenakan respon yang dihasilkan jauh lebih kecil dari respon kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa setiap perlakuan refermentasi mengakibatkan penurunan konsentrasi 23 BTD yang sangat signifikan pada produk. Berbeda halnya dengan komponen 16 OD yang menunjukkan
bahwa
setiap
perlakuan
refermentasi
memberikan
peningkatan konsentrasi 16 OD yang signifikan. Pengujian wilayah berganda Duncan juga memperlihatkan bahwa komponen PhA merupakan komponen aroma berbasis alkohol yang mempunyai kelimpahan terbesar diantara komponen-komponen aroma alkohol. Tingginya konsentrasi komponen PhA juga pernah dilaporkan oleh Frauendorfer dan Schieberle (2006) yang mengidentifikasi komponen PhA sebagai salah satu komponen aroma paling aktif dalam kakao.
5. Aldehida Komponen aroma berbasis aldehida tidak banyak ditemukan dalam produk kakao. Maarse (1991) menyebutkan bahwa hanya 22 komponen aldehida yang teridentifikasi dan memberikan pengaruh yang kuat pada kakao. Berbeda dengan jumlah yang diidentifikasi pada teh yang mencapai 55 komponen aldehida. Komponen aldehida berantai jenuh seperti npentanal mempunyai karakteristik aroma Strong, acrid, pungent odor; chocolate & nut-like dengan ambang batas minimal penerimaan sebesar 10 ppm. Komponen aldehida tidak jenuh umumnya mempunyai ambang batas minimal penerimaan yang jauh lebih rendah daripada ikatan jenuhnya. Komponen-komponen ini mempunyai karakteristik aroma yang lebih kuat dan lebih dapat diterima (nyaman) serta beraroma daripada aldehida rantai jenuh. Komponen aldehida aromatik kadangkala merupakan komponen aroma utama dalam beberapa jenis buah. Komponen benzaldehyde misalnya, merupakan komponen aroma utama pada almond. Komponen ini juga pernah teridentifikasi pada komoditas buah persik, aprikot, cerri
81
dan plum (Doyle et al., 2001). Komponen tersebut mempunyai karakteristik bitter dan almond-like (Belitz et al.,2004). Komponen aldehida aromatik secara umum muncul akibat aktivitas enzim βglucosidase (Doyle et al., 2001). Berdasarkan hasil uji wilayah berganda Duncan (Tabel 18), perlakuan refermentasi yang dilakukan pada biji kakao memberikan respon yang berbeda secara signifikan dengan kontrol maupun antar perlakuan. Mayoritas pada produk hasil perlakuan menghasilkan respon yang lebih tinggi pada komponen benzaldehyde baik pada unit fermentasi 4 hari maupun 5 hari. Komponen tersebut merupakan komponen aldehida yang menghasilkan respon tertinggi di antara komponen lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa komponen tersebut tersedia lebih melimpah daripada komponen lainnya. Sedangkan pada komponen lain, respon yang dihasilkan produk perlakuan bervariasi terhadap kontrol. Dari uji lanjut Duncan tersebut dapat dilihat bahwa komponen aldehida menunjukkan respon yang tinggi pada perlakuan yang melibatkan faktor F1 dan kadar pencampur basah 50%, yaitu perlakuan A2B2 pada unit fermentasi 4 hari dan X2Y2 pada unit fermentasi 5 hari. Perlakuan tersebut juga menghasilkan respon total aldehida yang tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Respon aldehida terendah ditunjukkan pada mayoritas perlakuan yang melibatkan faktor pencampur 30% pada unit fermentasi 4 hari dan perlakuan yang melibatkan faktor F0 dengan kadar pencampur 30% dan 50% (X1Y1 dan X2Y1) pada unit fermentasi 5 hari. Berdasarkan uji lanjut Duncan tersebut, diketahui kecenderungan respon yang dihasilkan oleh perlakuan-perlakuan refermetasi. Pada unit refermentasi 4 hari, penambahan pencampur basah sampai konsentrasi 50% menyebabkan kenaikan respon aldehida secara signifikan, namun pada konsentrasi kadar pencampur yang lebih tinggi (70%) respon aldehida yang dihasilkan justru menurun secara signifikan. Sedangkan pada unit fermentasi 5 hari, respon aldehida yang dihasilkan bervariasi antar perlakuan yang dilakukan.
82
Tabel 18. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GCFID komponen golongan aldehida Tingkat Fermentasi
% Basah
Kode Perlakuan
n-pentanal
benzaldehyde
2-decenal
Total aldehida
Fermentasi 4 Hari F0
0
Kontrol
35811d
52458g
14235c
102504g
F0
30
A1B1
12730g
107305f
15913c
135947f
50
A2B1
33046d
199063b
26189b
258297b
70
A3B1
20019f
179475cd
18301c
217795c
30
A1B2
37376cd
168588de
9529d
215492cd
50
A2B2
52462a
238286a
32985a
323733a
70
A3B2
28627
e
c
ab
244402b
30
A1B3
40557c
111422f
17871c
169849e
50
A2B3
44943b
165653de
33005a
243601b
70
A3B3
11740g
172684de
15502c
199925d
F1
F2
187288
28488
Fermentasi 5 Hari F0
0
Kontrol
35811cd
52458e
14235e
102504f
F0
30
X1Y1
4078g
25502f
4853f
34432g
50
X2Y1
7970g
11059f
2449f
21478g
70
X3Y1
36967bc
233922a
20871c
291759b
30
X1Y2
20461f
150859c
19944cd
191303d
50
X2Y2
45572a
226558a
37764a
309894a
70
X3Y2
41805ab
204118b
35561ab
281483b
30
X1Y3
31256de
143349c
17078de
191683d
50
X2Y3
16335f
98842d
17718cd
132894e
70
X3Y3
27736e
159854c
32570b
220159c
F1
F2
Keterangan : - Nilai rata-rata dengan huruf penanda yang sama menunjukkan nilai tersebut tidak berbeda nyata (Berdasarkan Uji Wilayah Berganda Duncan). - Unit percobaan fermentasi 4 hari dan 5 hari merupakan unit percobaan yang terpisah, penanda huruf tidak menunjukkan hubungan antara kedua unit percobaan tersebut
83
6. Furan Komponen furan merupakan komponen aroma yang sangat penting secara kuantitas dan kualitas pada komoditas kopi. Namun, kontribusi komponen ini dalam pembentukan aroma pada kakao dan teh sangat kecil sekali (Maarse, 1991). Komponen penyusun cincin furan dapat merupakan molekul alkohol, aldehida, keton, asam karboksilat dan ester, namun kombinasi yang berbeda antara alkil dan alkenil tersebut tidak terlalu berpengaruh secara signifikan dalam karakteristik aroma yang dihasilkan. Komponen furan yang berkontribusi secara signifikan pada pembentukan aroma adalah komponen furan keton dan diketon (Maarse, 1991). Kecilnya nilai respon yang dihasilkan oleh kontrol dan perlakuan (Tabel 19) menunjukkan bahwa komponen tersebut tidak tersedia dalam jumlah yang berlimpah dalam produk (kelumit). Keberadaan komponen furan dalam kakao telah dilaporkan sebelumnya
oleh
Frauendorfer
dan
Schieberle
(2006)
yang
mengidentifikasi komponen 4-hidroxy-2,5-dimethyl-3(2H)-furanone yang mempunyai karakteristik aroma caramel-like, 3-hidroxy-4,5-dimethyl2(5H)-furanone yang berkontribusi pada aroma spicy dan 2-methyl-3(methyldithio) furan yang berkarakteristik aroma cooked-meat-like. Hasil uji wilayah berganda Duncan menunjukkan bahwa mayoritas respon yang dihasilkan setiap perlakuan berbeda secara signifikan. Pada komponen (1) respon yang dihasilkan oleh perlakuan refermentasi lebih rendah daripada respon kontrol namun sebaliknya pada komponen (2) sebagian besar perlakuan memberikan respon yang lebih tinggi daripada kontrol. Respon total furan pada unit fermentasi 4 hari dihasilkan oleh perlakuan A1B3 dan perlakuan X2Y2 pada unit fermentasi 5 hari. Sedangkan respon perlakuan tertinggi untuk komponen (1) dan (2) adalah A2B2-A1B2 pada fermentasi 4 hari dan X1Y1-X2Y2 pada fermentasi 5 hari.
84
Tabel 19. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GCFID komponen golongan furan Tingkat Fermentasi
% Basah
Kode Perlakuan
2(3H)-furanone, dihydro-5-pentyl (1)
2(3H)-furanone, 3-acetyldihydro (2)
Total Furan
Fermentasi 4 Hari F0
0
Kontrol
8365.5a
3966.5d
12332b
F0
30
A1B1
4433.5c
7284b
11717.5bc
50
A2B1
2741.5de
3851.5d
6593h
70
A3B1
2634.5e
4314d
6948.5h
30
A1B2
301f
7241b
7542gh
50
A2B2
6421b
4255.5d
10676.5cd
70
A3B2
3574.5d
5559c
9133.5ef
30
A1B3
5999b
8921.5a
14920.5a
F1
F2
de
b
10358.5de
50
A2B3
3153.5
70
A3B3
2347.5e
6168c
8515.5fg
7205
Fermentasi 5 Hari F0
0
Kontrol
8365.5a
3966.5cde
12332b
F0
30
X1Y1
6843b
6350c
13193b
50
X2Y1
3394de
5015cd
8409c
70
X3Y1
1901.5f
11083b
12985b
30
X1Y2
5557c
4673cd
10230bc
50
X2Y2
2712ef
14611a
17323a
70
X3Y2
2584ef
5976c
8560dc
30
X1Y3
3885d
4701cd
8586dc
50
X2Y3
2653.5ef
2181de
4835d
70
X3Y3
2874def
1353e
4227d
F1
F2
Keterangan : - Nilai rata-rata dengan huruf penanda yang sama menunjukkan nilai tersebut tidak berbeda nyata (Berdasarkan Uji Wilayah Berganda Duncan). - Unit percobaan fermentasi 4 hari dan 5 hari merupakan unit percobaan yang terpisah, penanda huruf tidak menunjukkan hubungan antara kedua unit percobaan tersebut
85
7. Amina Komponen aroma berbasis amina merupakan kompnen yang umum ditemukan pada produk perikanan dan keju. Pada beberapa produk, komponen aroma bebasis amina merupakan komponen yang tidak diinginkan. Namun, pada produk wine, buah-buahan, sayuran dan sereal komponen-komponen amina memberikan kontribusi yang positif (Maarse, 1991). Identifikasi komponen amina pernah dilaporkan oleh Bonvehi (2005) yang berhasil mengidentifikasi komponen N-(2-Phenethyl) acetamide dan 2-phenylacetamide yang memberikan karakteristik aroma essencies dan phenolic. Komponen-komponen tersebut disebutkan bukan merupakan komponen yang berpengaruh karena konsentrasi yang terdeteksi sangat kecil sekali (kelumit). Terdapat beberapa dugaan tentang proses pembentukan komponen aroma berbasis amina, diantaranya adalah proses aminasi dari aldehida dan dekomposisi termal pada komponen fosfolipid dan asam-asam amino dalam bahan. Analisis dengan menggunakan uji wilayah berganda Duncan (Tabel 20) memperlihatkan bahwa komponen-komponen amina tersebut mempunyai nilai respon yang sangat kecil apabila dibandingkan dengan komponen-komponen aroma yang telah teridentifikasi sebelumnya. Respon yang dihasilkan dari beberapa produk hasil perlakuan unit fermentasi 4 hari menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kontrol pada komponen (1), dimana respon yang dihasilkan kontrol merupakan salah satu respon terendah yang dihasilkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan refermentasi yang dilakukan yaitu perlakuan A2B2, A3B2, A1B3 dan A2B3 mampu meningkatkan konsentrasi komponen (1) pada produk. Namu, berbeda dengan respon komponen (2) dimana hanya ada satu perlakuan refermentasi yang memberikan peningkatan konsentrasi secara signifikan yaitu perlakuan A1B3. Respon total amina tertinggi dihasilkan oleh perlakuan A3B2 dan terendah pada perlakuan A1B2.
86
Tabel 20. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GCFID komponen golongan amina Tingkat Fermentasi
% Basah
Kode Perlakuan
Diacetamide (1)
2-propen-1amine,n,n-dipropyl (2)
Total amina
Fermentasi 4 Hari F0
0
Kontrol
1883e
2278bcd
4161e
F0
30
A1B1
3390e
1414d
4803.5e
50
A2B1
1048e
2812bc
3860e
70
A3B1
1607e
2406bcd
4013e
30
A1B2
857e
1786cd
2643e
50
A2B2
65455b
2705.5bc
68160.5b
70
A3B2
68373a
3050b
71422.5a
30
A1B3
20190d
7233a
27423d
50
A2B3
51280
c
70
A3B3
2829e
2092.5bcd
4921.5e
F1
F2
2063
bcd
53342.5c
Fermentasi 5 Hari F0
0
Kontrol
1883def
2278cd
4161ef
F0
30
X1Y1
2274def
749.5ef
3023.5fg
50
X2Y1
1020.5f
663f
1683.5g
70
X3Y1
1590ef
3094bc
4684e
30
X1Y2
3221d
3753.5b
6974.5d
50
X2Y2
9234c
3925b
13159c
70
X3Y2
16995a
5021.5a
22016.5a
30
X1Y3
2866de
1573de
4439e
50
X2Y3
14714.5b
1109ef
15823.5b
70
X3Y3
18317a
2775.5c
21092.5a
F1
F2
Keterangan : - Nilai rata-rata dengan huruf penanda yang sama menunjukkan nilai tersebut tidak berbeda nyata (Berdasarkan Uji Wilayah Berganda Duncan). - Unit percobaan fermentasi 4 hari dan 5 hari merupakan unit percobaan yang terpisah, penanda huruf tidak menunjukkan hubungan antara kedua unit percobaan tersebut
87
Pada unit perlakuan fermentasi 5 hari respon komponen (1) tertinggi dihasilkan dari perlakuan X3Y3 dan perlakuan X3Y2 pada komponen (2). Sedangkan respon total amina tertinggi dihasilkan pada perlakuan X3Y2. Pada unit fermentasi ini respon komponen (1) yang tinggi dihasilkan dari perlakuan yang melibatkan faktor bahan pencampur 30% dan 50%, sedangkan respon komponen (2) menghasilkan nilai yang tinggi pada perlakuan yang melibatkan faktor F1.
8. Komponen Lain Komponen eter, keton, hidrokarbon dan fenol dalam kakao juga berhasil teridentifikasi pada ekstraksi dengan menggunakan SPME. Walaupun dalam jumlah yang kecil, komponen-komponen tersebut terutama eter memberikan respon yang cukup tinggi. Komponenkomponen aroma berbasis eter merupakan komponen yang jarang ditemukan dalam kakao. Komponen eter pernah teridentifikasi pada komoditas kopi dan teh yaitu komponen 1,1-dimethoxy ethane (Maarse, 1991). Berdasarkan hasil analisa menggunakan uji wilayah berganda Duncan (Tabel 21), respon komponen eter yang dihasilkan umumnya lebih rendah dari respon kontrol baik pada unit fermentasi 4 hari maupun 5 hari kecuali perlakuan A2B2. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan refermentasi yang dilakukan mampu mengurangi konsentrasi komponen eter pada biji kakao secara signifikan. Respon komponen eter terendah dihasilkan oleh perlakuan A1B1 dan X3Y3. Berbeda dengan komponen eter, komponen keton, hidrokarbon dan fenol yang teridentifikasi menunjukkan respon yang cukup kecil dan menandakan bahwa komponen tersebut tidak tersedia melimpah dalam bahan (kelumit). Komponen keton merupakan kompponen aroma yang banyak dijumpai pada komoditas kopi (mencapai 69 komponen), sedangkan dalam kakao hanya ditemukan sebanyak 24 komponen (Maarse, 1991).
88
Tabel 21. Pengaruh perlakuan refermentasi terhadap luas area kromatogram GCFID komponen golongan eter, keton, hidrokarbon dan fenol Tingkat Fermentasi
% Basah
Kode Perlakuan
Eter
Keton
Hidrokarbon
Fenol
Fermentasi 4 Hari F0
0
Kontrol
122984b
7502.5c
9590a
12187.5a
F0
30
A1B1
24126e
17308.5a
4535c
2080.5de
50
A2B1
51648d
6418c
4522c
1869de
70
A3B1
95628c
3683.5de
1889d
2730d
30
A1B2
23285e
4222.5de
8564a
561.5e
50
A2B2
203386a
4873d
5154bc
6318.5b
70
A3B2
139538
b
30
A1B3
62762d
50
A2B3
70
F1
F2
d
3284cd
10423b
7152b
6029b
43739d
4068de
5057bc
5453.5b
A3B3
126632b
3338de
1820d
4842.5bc
3087.5
e
1236
Fermentasi 5 Hari F0
0
Kontrol
122984a
7502.5c
9590a
12187.5a
F0
30
X1Y1
44035bc
11713b
1441e
5198cd
50
X2Y1
13666e
5732cd
1919e
1503.5e
70
X3Y1
53088b
3121ef
2340de
3099de
30
X1Y2
33532.5cd
14232a
7366ab
7489b
50
X2Y2
39090bc
4315def
8890a
5978.5bc
70
X3Y2
47062bc
4813de
5193bc
4537cd
30
X1Y3
40906bc
4150def
3725cde
4630.5cd
50
X2Y3
22674de
12873ab
4440dc
4126.5cd
70
X3Y3
9888e
2237f
3509cde
5369bcd
F1
F2
Keterangan : - Nilai rata-rata dengan huruf penanda yang sama menunjukkan nilai tersebut tidak berbeda nyata (Berdasarkan Uji Wilayah Berganda Duncan). - Unit percobaan fermentasi 4 hari dan 5 hari merupakan unit percobaan yang terpisah, penanda huruf tidak menunjukkan hubungan antara kedua unit percobaan tersebut -
Eter
(Propane,2-ethoxy),
Keton
(3-pentanone,2,4-dimethyl),
Hidrokarbon
(Azulene), Fenol (Phenol,2-methoxy-4-2-propenhyl)
89
Komponen-komponen keton jenuh secara umum menghasilkan persepsi aroma fruity, cheesy dan fatty, sedangkan komponen diketon berkontribusi penting dalam pembentukan citarasa kopi sangrai. Komponen-komponen diketon umumnya memberikan persepsi aroma sweet, buttery, caramel dan berpengaruh besar terhadap kualitas kopi. Hasil analisis Duncan pada unit fermentasi 4 hari menghasilkan respon keton tertinggi dan berbeda secara signifikan dari kontrol pada perlakuan A1B1 dan A1B3. Selain perlakuan tersebut, respon komponen keton yang didapatkan tidak berbeda secara signifikan dengan kontrol. Pada unit fermentasi 5 hari, respon komponen keton tertinggi dan berbeda secara nyata dengan kontrol dihasilkan dari perlakuan X1Y1, X1Y2 dan X2Y3. Sedangkan pada perlakuan lain respon yang dihasilkan lebih rendah daripada kontrol. Karakter organoleptik komponen hidrokarbon mendapat perhatian yang cukup kecil dari para peneliti. Walaupun demikian, terdapat laporan penelitian yang menyebutkan bahwa komponen hidrokarbon tidak jenuh merupakan komponen aroma yang penting dan berperan besar dalam pembentukan
aroma
bahan
pangan
(Maarse,
1991).
Komponen
hidrokarbon jenis sesquiterpen banyak diidentifikasi pada komoditas teh sedangkan pada kakao, komponen hidrokarbon yang banyak ditemukan adalah
komponen
hidrokarbon
benzenoid.
Komponen
tersebut
memberikan kontribusi aroma green dan rose-like flavor. Berdasarkan uji wilayah berganda Duncan, respon komponen hidrokarbon yang didapatkan dari berbagai perlakuan lebih kecil daripada respon kontrol baik pada unit fermentasi 4 hari dan 5 hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan refermentasi mampu menurunkan konsentrasi komponen secara signifikan. Komponen fenol merupakan komponen aroma yang penting pada produk kopi dan telah teridentifikasi sebanyak 42 komponen. Sedangakan dalam kakao, komponen fenol yang telah teridentifikasi hanya sebanyak 6 komponen saja (Maarse, 1991). Komponen Phenol,2-methoxy-4-2propenhyl (Eugenol) merupakan komponen fenol yang telah berhasil diidentifikasi pada produk kakao. Komponen tersebut memberikan
90
karakteristik aroma seperti carnation (bunga anyelir). Hasil analisis Duncan menunjukkan bahwa respon yang dihasilkan dari berbagai perlakuan memiliki nilai yang lebih rendah daripada kontrol. Hal tersebut memperlihatkan bahwa perlakuan refermentasi tersebut berpengaruh signifikan dalam menurunkan kandungan komponen fenol. Penurunan kandungan fenol selama refermentasi salah satunya disebabkan oleh adanya aktivitas enzim polyphenol oxidase pada saat fermentasi berlangsung (Hansen et al.,1998).
91
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Metode ekstraksi komponen aroma menggunakan perangkat SPME merupakan metode preparasi sampel yang dapat digunakan dalam analisis aroma menggunakan kromatografi gas. Kondisi ekstraksi komponen aroma dari lemak kakao menggunakan metode headspace SPME dapat dilakukan pada kondisi suhu 70oC dan waktu ektraksi selama 30 menit. Analisis GC-MS mampu mengidentifikasi 45 komponen aroma yang berhasil diekstraksi dari lemak kakao menggunakan perangkat SPME, yang terdiri atas 11 komponen asam karboksilat, 3 komponen aldehida, 1 komponen eter, 4 komponen alkohol, 15 komponen ester, 4 komponen pirazin, 2 komponen amina, 2 komponen furan dan 1 komponen untuk masing-masing komponen hidrokarbon, keton dan fenol. Perlakuanperlakuan refermentasi yang dilakukan menghasilkan respon yang berbeda signifikan dari kontrol pada semua komponen aroma yang teridentifikasi.
B. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan standarisasi internal pada metode SPME untuk mendapatkan kuantifikasi komponen yan lebih tepat serta analisis komponen aroma pada bubuk kakao menggunakan SPME.
DAFTAR PUSTAKA
92
Amin S. 2005. Teknologi Pasca Panen Kakao untuk Masyarakat Perkakaoan Indonesia. Jakarta : BPPT Press. Ashurst PR. 1999. Food Flavorings. Springer. Barker J, Ando DJ, Davis R, Frearson M. 1999. Mass Spectrometry 2nd Edition. John Wiley and Sons. Barry EF. 2004. Colums : Packed and Capillary; Column Selection on Gas Chromatography. Di dalam : Grob RL dan Barry EF, editor. Modern Practice of Gas Chromatography. Wiley-IEEE. Hlm 65-192 Barry EF, Grob RL. 2007. Column for Gas Chromatography : Performance and Selection Illustrated Edition. Wiley Interscience. Beesley TE, Scott RPW. 1999. Chiral Chromatography. Jhon Wiley and Sons. Hlm 88-89 Belitz HD, Grosch W. 1999. Food Chemistry 2nd Edition. Springer. Belitz HD, Grosch W, Schieberle. 2004. Food Chemistry. Birkhauser. Berezkin VG, Drugov YS, Drugov IS. 1991. Gas Chromatography in Air Pollution Analysis. Elsevier. Hlm 28. Bonvehi JS, Coll FV. 2002. Factor affecting the formation of alkylpyrazines during roasting treatment in natural and alkalized cocoa powder. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 50, 3743–3750. Bonvehi JS. 2005. Investigation of Aromatic Compounds in roasted cocoa powder. Eur Food Res Technol (2005) 221:19–29. Braihwaite A, Smith FJ. 1996. Chromatographic Method 5th Edition Revised. Springer. Hlm 174-175 Cazes J. 2004. Encyclopedia of Chromatography Illustrated Edition. CRC Press. Chichester CO, Schweigert BS. 1988. Advances in Food Research. Academic Press. Curioni PMG, Bosset JO. 2002. Key Odorant in Various Cheese Types as Determined by Gas Chromatography –Oflactometry. International Dairy Journal 12. 959-984. Elsevier Doyle MP, Beuchat LR, Montville TJ. 2001. Food Microbiology : Fundamentals and Frontiers 2nd Edition. Washington DC : ASM Press.
93
Fardiaz D. 1989. Kromatografi Gas Dalam Analisis Pangan : Pentunjuk Praktikum. Bogor : Pusat Antar Universitas IPB Fayle SE, Gerrard JA. 2002. The Maillard Reaction. Great Britain : Royal Society of Chemistry Fenaroli G. 1970. Fenaroli’s Handbook of Flavor Ingredients Volume 1 2nd Edition. Furia TE, Bellanca N, penerjemah, editor. USA : CRC Press. Terjemahan dari : Sostanze Aromatiche, Vols. I, II, III & Aromatizzazione. Francis F.J. 1999. Wiley Encyclopedia of Food Science and Technology. John Wiley and Sons. Frauendorfer F, Schieberle P. 2006. Identification of the Key Aroma Compounds in Cocoa Powder Based on Molecular Sensory Correlations. Journal of Agricultural and Food Chemistry. 2006, 54, 5521-5529. Gorecky T, Xiaomei Y, Pawliszyn J. 1999. Theory of analyte extraction by selected porous polymer SPME fibres. The Analyst 1999, 124, 643-649. Grob RL. 2004a. History and Development of Chromatography. Di dalam : Grob RL dan Barry EF, editor. Modern Practice of Gas Chromatography. Wiley-IEEE. Hlm 2-3. Grob RL. 2004b. Definitions and Nomenclatures of Chromatography. Di dalam : Grob RL dan Barry EF, editor. Modern Practice of Gas Chromatography. Wiley-IEEE. Hlm 5. Grob RL. 2004c. Theory of Gas Chromatography. Di dalam : Grob RL dan Barry EF, editor. Modern Practice of Gas Chromatography. Wiley-IEEE. Hlm 25-64 Gruber L. 2000. Introduction to Mass Spectrometry. Franhoufer Institute Habriantono B. Produksi Bioetanol Dari Kulit Buah Beberapa Klon Kakao dan Pada Berbagai Tingkat Serangan Hama PBK. Thesis. Pascasarjana Universitas Jember : Jember. Hansen CE, del Olmo M dan Burri C. 1998. Enzyme Activities in Cocoa Beans During Fermentation. Journal of the Science of Food and Agriculture 1998, 77 : 273 – 281.
Herbert CG, Johnstone RAW. 2002. Mass Spectrometry Basics. CRC Press.
Holland JF, Gardner BD. 2001. The Andvantage of GC-TOFMS for Flavor and Fragrace Analysis. Di dalam Marsili. Flavor Fragrance and Odor Analysis. Marcel Dekker. Halaman 139-156. 94
Hoskin JC, Dimick PS. 1994. Chemistry of flavour development in chocolate. Di dalam Beckett, S.T., Industrial Chocolate Manufacture and Use, 2nd edition. New York: Van Nostrand Reinhold. halaman 102–115 Hoskin JC. 1994. Sensory Properties of Chocolate and Their Development. American Journal of Clinical Nutrition 1994:60(suppl) 1068S – 70S. Hutchings JB. 1994. Food Colour and Appearance. Blackie Academic & Professional. London-Glasgow-New York-Tokyo-Melbourne-Madras Judoamidjojo RM, Sa’id EG dan Hartoto L. 1989. Biokonversi. Bogor : Pusat Antar Universitas Kitson FG, Larsen BS, McEwen CN. 2002. Gas Chromatography and Mass Spectometry : A Practical Guide. USA : Academic Press. Kumazawa T, Seno H, Lee XP, Ishii A,Suzuki KW, Sato K, Suzuki O. 1999. Extraction of Methylxanthines From Human Body Fluids by solid phase microextraction. Analytica Chimica Acta 387 (1999) : 53-60 Lindsay RC. 1996. Food Chemistry 3rd Edition. New York : Marcel Dekker Inc. Maarse H. 1991. Volatile Compounds in Foods and Beverages. Marcel Dekker inc. New York-Basel-Hongkong Mahajan SS, Goddik L, Qian MC. 2004. Aroma Compounds in Sweet Whey Powder. J. Dairy Sci. 87:4057-4063. American Dairy Science Association. Maga JA, Sizer CE. Pyrazines In Foods. Di dalam: Fenaroli G. 1970. Fenaroli’s Handbook of Flavor Ingredients Volume 1 2nd Edition. Furia TE, Bellanca N, penerjemah, editor. USA : CRC Press. Terjemahan dari : Sostanze Aromatiche, Vols. I, II, III & Aromatizzazione Marsili R. 1997. Techniques for Analyzing Food Aroma. CRC Press Mestres M, Busto O, Guasch J. 2000. Analysis of Organic Sulfur Compound in Wine Aroma. Journal of Chromatography A 881(2000) : 569-581. Miller JM. 2005. Chromatography : Concepts and Contrast 2nd Edition. John Wiley and Sons. Minnifie BW. 1999. Chocolate, Cocoa, and Confectionery : Science and Technology Third Edition. New York : Van Nostrand Reinhold. Misnawi, Jinap S, Bakar J dan Saari N. 2002. Oxidation of Polyphenols in Unfermented and Partly Fermented Cocoa Beans by Cocoa Polyphenol
95
Oxidase and Tyrosinase. Journal of the Science of Food and Agriculture 1998, 82 : 559 – 566. Misnawi. 2003. Influences Of Cocoa Polyphenols and Enzyme Reactivation On The Flavor Development Of Fermented and Under Fermented Cocoa Beans. Thesis. Universiti Putra Malaysia. Mitra S. 2003. Sample Preparation Techniques in Analytical Chemistry. WileyIEEE Nasution MZ, Tjiptadi W dan Laksmi BS. 1985. Pengolahan Cokelat. Bogor : Agroindustri Press. Nomenclature Comitte of the International Union of Biochemistry. 1984. Enzyme Nomenclature. Orlando Florida. Nursten HE. 2005. The Maillard Reaction: Chemistry, Biochemistry, and Implications. Great Britain : Royal Society of Chemistry. Pawliszyn J. 1997. Solid Phase Microextraction: Theory and Practice. WileyVCH Pawliszyn J. 2001. Solid Phase Microextraction. Adv Exp Med Biol. 2001 ; 488:73-87. Pawliszyn J, Lord H. 2000. Evolution of Solid Phase Microextraction Technology. Journal of Chromatography A 885(2000):153-193. Perraudin F, Popovici J, Bertrand C. 2006. Analysis of headspace-solid microextracts from flowers of Maxillaria tenuifolia Lindl. by GC-MS. Electronic Journal of Natural Substances 1(2006):1-5 Poppiti JA. 1994. Practical Techniques for Laboratory Analysis Illustrated Edition. CRC Press. Puziah H, J Selamat, Muhammad SKS dan Ali A. 1998. Changes in Free Amino Acid, Peptide-N, Sugar and Pyrazine Concentration during Cocoa Fermentation. Journal of the Science of Food and Agriculture 1998, 78 : 535 – 542. Reineccius G, Henry BH. 1999. Source Book of Flavors. Springer Reineccius G, Henry BH. 2006. Flavor Chemistry and Technology. CRC Press Robinson JW, Frame EMS, Frame II GM. 2005. Undergraduate Instrumental Analysis Sixth Edition. CRC Press.
96
Sa’id EG. 1987. Bioindustri Penerapan Teknologi Fermentasi. Jakarta : Mediyatama Sarana Perkasa. Self R. 2005. Extraction of Organic Analytes From Foods. Great Britain : Royal Society of Chemistry Shirey RE, Mindrup RF. 1999. A Systematic Approach for Selecting the Appropriate SPME Fiber. USA : Supelco. Shirey RE, Sidisky LM. 1999. Analysis of Flavors and Off-Flavors in Foods and Beverages Using SPME. USA : Supelco. Shirey RE. 1999a. SPME Fibers and Selection for Specific Applications. Di dalam : Wercinski SAS, editor. 1999. Solid Phase Microextraction : A Practical Guide. CRC Press. Shirey RE. 1999b. Polyacrylate Film Fiber for Solid Phase MicroExtraction of Polar Semivolatiles from Water. The Reporter 1999 Shugar GJ, Ballinger JT, Dawkins LM. 1996. Chemical Technician’s Ready Reference Handbook 4th Edition. McGraw-Hill Professional. Sigma Aldrich. 2007. GC Column Selection Guide : Achieve Optimal Method Performance. Supelco Analytical. Siregar HS, Riyadi S, Nuraeni L. 2005. Cokelat : Pembudidayaan, Pengolahan, Pemasaran. PT. Penebar Swadaya Stadelmann, I. 2001. Extraction of Alchohols From Gasoline Using Solid Phase Microextraction (SPME). Thesis. Virginia : Virginia Polytechnic Institute ad state University. Sunanto H. 1992. Cokelat, Budidaya, Pengolahan Hasil, dan Aspek Ekonominya. Jakarta : Kanisius. Supelco. 1997. Reduce Inlet Liner ID for Sharper Peaks by SPME/GC. SPME Application Note 136. Supelco. 1998a. SPME for Food and Beverages. SPME Newsletter Winter 1998. Supelco. 1998b. Solid Phase Microextraction of Volatile Compounds Supelco. 1999a. How to Choose the Proper SPME Fiber. SPME Newsletter Winter 1999/2000. Supelco. 1999b. New Pharmaceutical and Food & Beverage Application for SPME/HPLC. The Reporter Vol 15, No 6.
97
Supelco. 2001a. Solid Phase Microextraction Troubleshooting Guide. SPME Buletin 928. Supelco. 2001b. SPME - A Fast and Inexpensive Approach to Trace Organic Analysis. The Reporter Vol 19.1 2001. Susanto FX. 1994. Tanaman Kakao, Budidaya dan Pengolahan Hasil. Kanisius. Vilchez JL, Prieto A, Araujo L, Navalon A. 2001. Determination of Fipronil by Solid Phase Microextraction dan Gas Chromatography-Mass Spectrometry. Journal of Chromatography A. Elvesier. Wikipedia.com. 2008. Cacao. Tanggal akses : 25 Februari 2008. Wilson CL et al. 1984. Comprehensive Analytical Chemistry : New Approaches for Trace Element Analysis. Elsevier Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia. Wood GAR, R. A. Lass. 1985. Cocoa 4th Edition. London : Longman
98
LAMPIRAN
Lampiran 1. Parameter kondisi GC-FID
99
A. Injector Injection Mode
: Splitless
Temperature
: 260oC
Carrier gas
: Helium
Pressure
: 72 kPa
Total Flow
: 37.5 mL/min
Column Flow
: 0.78 mL/min
B. Column Type
: Capillary column
Model
: Rtx-1 (Dimethylpolysiloxane crossbone) 30m x 0.25 mm ID x 0.25 µm film thickness
Max temperature
: 300oC
C. Oven Initial Temperature
: 60oC
Equilibrium time
: 3.00 minutes
Temperature Program Rate
: 5.00oC/min
Final Temperature
: 180oC
Final temp hold
: 3.00 min
Total program time
: 30 min
D. Detector Type
: FID (Flame Ionization Detector)
Temperature
: 200oC
Makeup Gas
: Helium
Makeup Flow
: 30.0 ml/min
H2 Flow
: 40.0 ml/min
Air Flow
: 450.0 ml/min
Lampiran 2. Hasil analisa kromatografi gas penelitian IV-A-1
100
Kromatogram
Metode : Injektor
: 4 mm inlet liner ID / Splitless / 270oC
Kolom
: Rtx-WAX
Oven Initial temp.
: 40oC (5 min)
Final temp.
: 230oC (3 min)
Rate
: 4oC/min
Detektor
: FID / 200oC
Lampiran 3. Hasil analisa kromatografi gas penelitian IV-A-2
101
Kromatogram
Metode : Injektor
: 0.75 mm inlet liner ID / Splitless / 260oC
Kolom
: Rtx-1
Oven Initial temp.
: 60oC (3 min)
Final temp.
: 180oC (3 min)
Rate
: 5oC/min
Detektor
: FID / 200oC
Lampiran 4. Hasil analisa kromatografi gas penelitian IV-A-3
102
Kromatogram
Metode : Injektor
: 0.75 mm inlet liner ID / Splitless / 260oC
Kolom
: Rtx-1
Oven Initial temp.
: 60oC (3 min)
Final temp.
: 130oC (3 min)
Rate
: 5oC/min
Detektor
: FID / 200oC
Lampiran 5. Hasil analisa kromatografi gas penelitian IV-B-1
103
Kromatogram
Metode : Ekstraksi
: Headspace 50oC waterbath, 30 min
Injektor
: 0.75 mm inlet liner ID / Splitless / 260oC
Kolom
: Rtx-1
Oven Initial temp.
: 60oC (3 min)
Final temp.
: 130oC (3 min)
Rate
: 5oC/min
Detektor
: FID / 200oC
Lampiran 6. Hasil analisa kromatografi gas penelitian IV-B-2
104
Kromatogram
Metode : Ekstraksi
: Headspace 60oC waterbath, 30 min
Injektor
: 0.75 mm inlet liner ID / Splitless / 260oC
Kolom
: Rtx-1
Oven Initial temp.
: 60oC (3 min)
Final temp.
: 130oC (3 min)
Rate
: 5oC/min
Detektor
: FID / 200oC
Lampiran 7. Hasil analisa kromatografi gas penelitian IV-B-3
105
Kromatogram
Metode : Ekstraksi
: Headspace 70oC waterbath, 30 min
Injektor
: 0.75 mm inlet liner ID / Splitless / 260oC
Kolom
: Rtx-1
Oven Initial temp.
: 60oC (3 min)
Final temp.
: 130oC (3 min)
Rate
: 5oC/min
Detektor
: FID / 200oC
Lampiran 8. Kurva kalibrasi 2 MP dan 2,3 DMP microliter syringe
106
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.1. Kurva kalibrasi 2 MP microliter syringe
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.2. Kurva kalibrasi 2,3 DMP microliter syringe
Lampiran 9. Kurva kalibrasi 2,5 DMP dan 2,3,5 TrMP microliter syringe
107
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.2. Kurva kalibrasi 2,5 DMP microliter syringe
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.2. Kurva kalibrasi 2,3,5 DMP microliter syringe
Lampiran 10. Kurva kalibrasi pyrazine dan acetyl pyrazine microliter syringe
108
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.2. Kurva kalibrasi pyrazine microliter syringe
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.2. Kurva kalibrasi acetyl-pyrazine microliter syringe
Lampiran 11. Kurva kalibrasi 2,3,5,6 TMP microliter syringe
109
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.2. Kurva kalibrasi 2,3,5,6 TMP microliter syringe
Lampiran 12. Kurva kalibrasi 2 MP dan 2,3 DMP SPME
110
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.2. Kurva kalibrasi 2 MP SPME
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.2. Kurva kalibrasi 2,3 DMP SPME
Lampiran 13. Kurva kalibrasi 2,5 DMP dan 2,3,5 TrMP SPME
111
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.2. Kurva kalibrasi 2,5 DMP SPME
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.2. Kurva kalibrasi 2,3,5 TrMP SPME
Lampiran 14. Kurva kalibrasi pyrazine dan acetyl pyrazine SPME
112
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.2. Kurva kalibrasi pyrazine SPME
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.2. Kurva kalibrasi acetyl pyrazine SPME
Lampiran 15. Kurva kalibrasi 2,3,5,6 TMP SPME
113
Keterangan = Hasil merupakan rata-rata dari 3 pengulangan, n = 15
Gambar 8.2. Kurva kalibrasi 2,3,5,6 TMP SPME
Lampiran 16. Kromatogram hasil analisa GC-MS
114
Kromatogram
Tabel Komponen
115
Lampiran 17. Kromatogram hasil analisa GC-FID
116
Kromatogram
Tabel Komponen
117
118
Lampiran 18. Data analisa komponen golongan pirazin fermentasi 4 hari
119
18.1. 2,5 Dimethyl pyrazine fermentasi 4 Hari Uji-uji asumsi
Galat menyebar normal, nilai-p > 5%
Ragam galat homogen, nilai-p uji Barlett > 5%
Kebebasan galat terpenuhi, nilai-p > 5%
120
Terjadi interaksi antar faktor perlakuan karena nilai P TkFerm * % Basah < 5%
Uji wilayah berganda Duncan
121
18.2. 2,3 Dimethyl pyrazine fermentasi 4 Hari Uji-uji asumsi
Galat menyebar normal, nilai-p > 5%
Ragam galat homogen, nilai-p uji Barlett > 5%
Kebebasan galat terpenuhi, nilai-p > 5%
122
Terjadi interaksi antar faktor perlakuan karena nilai P TkFerm * % Basah < 5%
Uji wilayah berganda Duncan
123
18.3. 2,3,5 Trimethyl pirazine fermentasi 4 Hari Uji-uji asumsi
Galat menyebar normal, nilai-p > 5%
Ragam galat homogen, nilai-p uji Barlett > 5%
Kebebasan galat terpenuhi, nilai-p > 5%
124
Terjadi interaksi antar faktor perlakuan karena nilai P TkFerm * % Basah < 5%
Uji Wilayah Berganda Duncan
125
18.4. 2,3,5,6 Tetramethyl pirazine fermentasi 4 hari Uji-uji asumsi
Galat menyebar normal, nilai-p > 5%
Ragam galat homogen, nilai-p uji Barlett > 5%
Kebebasan galat terpenuhi, nilai-p > 5%
126
Terjadi interaksi antar faktor perlakuan karena nilai P TkFerm * % Basah < 5%
Uji Wilayah Berganda Duncan
127
18.5. Total pirazin fermentasi 4 hari
Terjadi interaksi antar faktor perlakuan karena nilai P TkFerm * % Basah < 5%
Uji Wilayah Berganda Duncan
128
Lampiran 19. Data analisa komponen golongan pirazin fermentasi 5 hari
19.1. 2,5 Dimethyl pyrazine fermentasi 5 hari Uji-uji asumsi
Galat menyebar normal, nilai-p > 5%
Ragam galat homogen, nilai-p uji Barlett > 5%
Kebebasan galat terpenuhi, nilai-p > 5%
129
Terjadi interaksi antar faktor perlakuan karena nilai P TkFerm * % Basah < 5%
Uji wilayah berganda Duncan
130
19.2. 2,3 Dimethyl pyrazine fermentasi 5 hari Uji-uji asumsi
Galat menyebar normal, nilai-p > 5%
Ragam galat homogen, nilai-p uji Barlett > 5%
Kebebasan galat terpenuhi, nilai-p > 5%
131
Terjadi interaksi antar faktor perlakuan karena nilai P TkFerm * % Basah < 5%
Uji wilayah berganda Duncan
132
19.3. 2,3,5 Trimethyl pirazine fermentasi 5 hari Uji-uji asumsi
Galat menyebar normal, nilai-p > 5%
Ragam galat homogen, nilai-p uji Barlett > 5%
Kebebasan galat terpenuhi, nilai-p > 5%
133
Terjadi interaksi antar faktor perlakuan karena nilai P TkFerm * % Basah < 5%
Uji wilayah berganda Duncan
134
19.4. 2,3,5,6 Tetramethyl pyrazine fermentasi 5 hari Uji-uji asumsi
Galat menyebar normal, nilai-p > 5%
Ragam galat homogen, nilai-p uji Barlett > 5%
Kebebasan galat terpenuhi, nilai-p > 5%
135
Terjadi interaksi antar faktor perlakuan karena nilai P TkFerm * % Basah < 5%
Uji wilayah berganda Duncan
136
18.5. Total pirazin fermentasi 5 hari
Terjadi interaksi antar faktor perlakuan karena nilai P TkFerm * % Basah < 5%
Uji wilayah berganda Duncan
137