5 2. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Sifat Botani Bangun-bangun Bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dapat dijumpai dihampir semua
daerah di Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Di Jawa Tengah orang sering menyebutnya dengan nama daun jinten, orang Sunda menamakan daun ajeran atau acerang, di Madura disebut daun majha nereng atau daun kambing, sedangkan orang Bali menamai daun iwak. Sementara orang Batak menyebutnya bangun-bangun atau tarbangun (Damanik et al. 2001; Heyne 1987). Sepintas daun bangun-bangun mirip daun jinten namun lebih tipis dan berbulu, sedangkan daun jinten tampilan daun tebal dan berbulu halus sehingga sering disebut daun tebal. Tanaman bangun-bangun yang sering ditemukan dilapangan disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Bangun-bangun (LIPI 2011) Berdasarkan sistematika klasifikasi tanaman (Heyne 1987; USDA 2005), bangun–bangun termasuk dalam : kingdom
: Plantae
sub kingdom : Tracheobionta super divisi
: Spermatophyta
divisi
: Magnoliophyta
sub divisi
: Angiospermae
class
: Dicothyledonae (Magnoliopsida)
sub class
: Asteridae
order
: Solanales
6 family
: Labiatae (Lamiales)
sub family
: Lamiaceae
genus
: Coleus (Plectranthus)
spesies
: Coleus amboinicus Lour.
Tanaman ini memiliki beberapa sinonim nama seperti Coleus aromaticus Benth, Coleus carnosus Hassk, Coleus suborbiculata Zoll dan Mor dan Plectranthus aromaticus Roxb. (Heyne 1987), Coleus suganda Blanco (Depkes 2005) atau Plentranthus amboinicus (Menendez & Gonzales 1999). Di Indonesia dan berbagai negara lain, bangun–bangun dikenal dengan banyak variasi nama, seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Beberapa Variasi Nama Coleus amboinicus Lour Suku di Indonesia1 Batak Madura Sunda Flores Jawa
Nama Bangun-bangun, Torbangun Daun kambing
Negara Lain2 Australia India East Timor Philippines Malaysia
Bali
Acerang Majha nereng Daun jinten, daun hati-hati, daun kucing Iwak
Timor
Kumuetu
Vietnam
Melayu
Sukan
Negara lainnya
1 2
Portugal
Nama Five in one Ajma paan, karpooravalli patharchur, pashanbandha Soldar Suganda Daun bangun-bangun
Oregano, Cuban oregano, Puerto Rican oregano Can day la, Rau cang, Rau thom lun Mother of Herbs, Spanish Thyme, Indian Borage atau Broadleaf Thyme
Heyne (1987), BPPT (2002), Depkes (2005) Iyer (2004), Shipard (2005), Allen (2006)
Hasil penelitian Rumetor (2008) menunjukkan bahwa produksi segar per rumpun tanaman bangun-bangun berkisar 300-350 gram, sedangkan produksi per petak tanam (4 x 7 m) berkisar 20-23 kg. Tanaman bagun-bangun segar memiliki proporsi 27.78% batang dan 72.22% daun. Apabila dikonversikan kedalam produksi segar/ha, maka diperkirakan produksi tanaman bangun-bangun segar yang diperoleh adalah 7.500 kg segar/ha.
7 2.2.
Kandungan Nutrisi dan Senyawa Aktif Bangun-bangun Tanaman bangun-bangun memiliki ciri fisik: batang tidak berkayu, lunak
atau hanya mengandung jaringan kayu sedikit sekali, beruas-ruas dan berbentuk bulat dan diameter pangkal ± 15 mm, tengah 10 mm dan ujung ± 5 mm. Tanaman bangun-bangun jarang berbunga akan tetapi pengembangbiakannya mudah sekali dilakukan dengan stek dan cepat berakar didalam tanah. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik di dalam pot (Heyne 1987). Pada keadaan segar, helaian daun tebal, berwarna hijau muda dan kedua permukaan berbulu halus, sangat berdaging dan berair, tulang daun bercabang-cabang dan menonjol. Pada keadaan kering helaian daun tipis dan sangat berkerut, permukaan atas kasar, warna coklat, permukaan bawah berwarna lebih muda daripada permukaan atas dan tulang daun kurang menonjol (BPPT 2002). Tanaman bangun-bangun tumbuh ditempattempat yang tidak terlalu banyak terkena sinar matahari dan di daerah yang cukup air atau tidak terlalu kering (Anonymous 2008). Tanaman bangun-bangun tumbuh liar didaerah pegunungan dan tempat-tempat hingga ketinggian 1100 m diatas permukaan laut (BPPT 2002). Lawrence et al. (2005) melaporkan, bahwa secara umum dalam daun bangun–bangun ditemukan tiga komponen utama yaitu (1) senyawa–senyawa yang bersifat laktogogue (dapat menstimulir produksi kelenjar air susu pada induk laktasi), (2) zat gizi dan (3) senyawa-senyawa farmakoseutika, senyawa tersebut ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel 2 Komponen Utama dan Proporsinya dalam Daun Bangun–bangun (Coleus amboinicus Lour) Komponen Utama Senyawa laktogogue
Zat gizi
Jenis Komponen 3-ethyl-3hydroxy-5-alpa andostran-17-one, 3,4dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid, monomethyl succinate, phenylmalonic acid, cyclopentanol, 2-methyl acetate dan methylpyro glutamate, senyawa sterol, steroid, asam lemak, dan asam organik Protein, vitamin dan mineral
Senyawa Senyawa-senyawa yang bersifat buffer, Farmakoseutika antibakterial, antioksidan, pelumas, pelentur, pewarna dan penstabil Sumber Lawrence et al. (2005)
Proporsi (%) 10-15
5-25 10-30
8 Hasil análisis rendemen ekstrak kering adalah 6.5%, sedangkan hasil análisis kadar minyak atsiri daun bangun-bangun segar adalah 0.031% (Hutajulu 2008). Komponen atsiri terdiri atas bahan aktif thymol, forskholin dan carvacrol. Analisis Coleus amboinicus Lour menggunakan GC dan GC-MS di Laboratorium Department of Chemistry Gorakhpur University (2006), menunjukkan adanya senyawa penting yang berperan aktif dalam metabolisme sel dan merangsang produksi susu, senyawa yang dimaksud adalah thymol (94.3%), forskholin (1.5%) dan carvacrol (1.2%) dari 97% total kandungan asam lemak. Thymol merupakan antibiotik alternatif yang menjanjikan dan dapat digunakan untuk ternak tanpa memberikan efek negatif terhadap daging atau susu yang diproduksi (Acamovic & Brooker 2005). Namun penggunaan thymol pada dosis tinggi dapat mengurangi jumlah bakteri koliform dalam digesta ayam (Cross et al. 2007), mengurangi fermentasi oleh mikroorganisme dalam saluran pencernaan ayam dan mengurangi kecepatan deaminasi asam amino dan degradasi protein oleh mikroba (Castillejos et al. 2006). Senyawa penting lain yang memiliki khasiat farmakologi juga dilaporkan oleh Menendez dan Gonzales (1999), Burfield (2001), Depkes (2005) seperti tertera pada Tabel 3. Tabel 3 Beberapa Senyawa Penting dalam Daun Bangun–bangun (Coleus amboinicus Lour ) dan Efek Farmakologisnya
1)
Senyawa Aktif
Efek Farmakologis
Komposisi (%)
1,8-Cineole1
Efektif pada alergi, expectorat
8.72
p-Cyminene (a-pdimethyI styrene)2)
Analgesik, anti flu
45.7
P-Cymene2) a-Terpinene2) y-Terpinene2) Liminene2) Phytosterol3)
Analgesik, anti flu Antioksidan Antioksidan Anti bakterial, anti kanker Bersifat steroid
11.8 4.6 9.3 3.6 -
Menendez dan Gonzales (1999), 2)Burfield (2001), 3)Depkes (2005)
Senyawa carvacrol dikenal sebagai senyawa antiinfeksi dan antiinflamasi (Burfield 2001), tetapi dari penelitian Isley et al. (2004) terungkap, bahwa penggunaan carvacrol dalam suatu campuran ekstrak tanaman sebagai suplemen
9 dalam ransum babi laktasi menghasilkan litter size, bobot lahir, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik dan kecernaan protein lebih tinggi dibanding induk babi laktasi yang diberi ransum tanpa suplementasi. Sahelian (2006), melaporkan bahwa senyawa forskholin bersifat membakar lemak menjadi energi. Disamping senyawa diatas yang diketahui memiliki efek farmakolgi, terdapat juga beberapa zat gizi dari bangun-bangun yang telah banyak dilaporkan. Data selengkapnya tentang komposisi zat gizi tanaman bangun-bangun tercantum pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi Zat Gizi Bangun-bangun Komposisi Zat Gizi Energi (kkal/kg) Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Kalsium (%) K (mg/100g) Besi (mg/100g) Zn (ppm) Vitamin A (IU/100g) Vitamin C (mg/100g) Air (%)
Daun 359.95 6.2 0.87 81.83 0.226 292.17 3.28 2.14 11335.77 168.41 8.14
Batang 324.73 5.12 0.61 74.69 0.118 165.21 3.95 5.16 ttd ttd 13.46
Ranting 342.17 3.98 0.53 80.37 0.096 119.47 2.01 0.82 ttd ttd 8.04
Sumber: Hutajulu (2008)
Tanaman lain yang memiliki khasiat serupa dengan bangun-bangun sebagai pemacu produksi air susu adalah daun katuk (Sauropus androgynus (L) Merr). Daun bangun-bangun dapat dibandingkan dengan daun katuk karena mempunyai fungsi yang sama. Komposisi zat gizi daun bangun-bangun mengandung lebih banyak kalsium, besi dan karoten total dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgynus). Khususnya beta karoten dapat meningkatkan produksi protein uterus khusus untuk mendukung pertumbuhan fetus. Beta karoten juga mampu meningkatkan produksi progesteron selama pembentukan korpus luteum (Phuc & Ogle 2005). Santosa dan Hertiani (2005) menyatakan, bahwa dalam daun bangunbangun terkandung minyak atsiri (0.043% pada daun segar atau 0.2% pada daun kering udara). Diketahui bahwa dari 120 kg daun segar terdapat kurang lebih 25ml minyak atsiri yang mengandung fenol (isopropyl-o-tresol). Selain minyak
10 atsiri, Duke (2000) melaporkan, bahwa dalam daun ini terdapat juga kandungan vitamin C, B 1 , B 12 , betakaroten, niasin, carvacrol, kalsium, asam-asam lemak, asam oksalat, dan serat. Analisis flavanoid dari ekstrak daun bangun-bangun oleh Hutajulu (2008) adalah trihidroksi isoflavone (421.75 ppm), kaemferol glikosida (258.27 ppm) dan 2-hidroksi khalkon (140.80 ppm). 2.3.
Manfaat Bangun-bangun bagi Manusia dan Ternak Daun bangun–bangun telah diketahui khasiatnya oleh masyarakat suku
Batak, Damanik et al. (2006) menyatakan, bahwa daun bangun–bangun biasanya digunakan masyarakat suku Batak untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan tubuh, juga untuk meningkatkan jumlah air susu ibu (ASI). Penggunaannya adalah dengan cara dimasak seperti halnya memasak sayuran pada umumnya. Pendapat ini didukung Depkes (2005) yang menyatakan, bahwa daun bangun–bangun memiliki berbagai khasiat seperti mengatasi deman, influenza, batuk, sembelit, radang, kembung, sariawan, sakit kepala, luka/borok, alergi dan diare. Secara ilmiah, khasiat daun bangun–bangun telah dikemukakan oleh beberapa peneliti. Silitonga (1993) melaporkan, bahwa penggunaan daun bangun– bangun dapat meningkatkan produksi air susu induk tikus putih laktasi hingga 30%. Santosa (2001) mendapatkan, bahwa empat jam setelah pemberian daun bangun–bangun volume ASI meningkat sebesar 47.4%. Damanik et al. (2006) melaporkan, bahwa ibu–ibu yang mengkomsumsi daun bangun–bangun berada dalam keadaan segar, tidak merasa lelah dan lebih sehat. Pada ibu melahirkan, komsumsi daun bangun–bangun membantu mengontrol postpartum bleeding (pendarahan setelah beranak) dan berperan sebagai uterine cleansing agent (agen pembersih uterus). Pada ibu menyusui, mengkonsumsi daun bangun–bangun mampu meningkatkan produksi ASI 65% dan hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol maupun kelompok ibu menyusui yang mengkomsumsi fenugreek capsule (produk komersial) yang hanya meningkatkan 20% produksi ASI. Manfaat lain daun bangun–bangun bila penggunaannya dikombinasikan dengan hati ikan dan vitamin C adalah dapat meningkatkan ketersediaan Fe di tubuh yang direfleksikan dengan peningkatan kadar Hb dan ferritin darah
11 (Sihombing 2000). Subanu et al. (1982) menyatakan, bahwa bangun-bangun memiliki sifat oksitosin yang dapat meningkatkan tonus uterus, sehingga dapat menyebabkan abortus pada marmut. Hal ini diperkirakan dapat pula terjadi pada manusia dan ternak lainnya. Dosis penggunaan tepung tanaman bangun-bangun berkisar 0.25 sampai 10 g/kg bobot badan/hari, dan bervariasi menurut umur dan status fisiologis ibu atau induk ternak (Lawrence et al. 2005). Sampai saat ini belum diketahui benar apa yang menyebabkan abortus. Gleson et al. (1969) yang dikutip oleh Pujiastuti et al. (1986), bahwa batas minimum keamanan zat-zat dengan LD 50 15 g/kg BB oral pada tikus dikatakan “practically non toxic” (zat yang tidak berbahaya). Daun bangun-bangun tidak berbahaya sebab LD 50 sudah diatas 15 g/kg oral pada tikus. Silitonga (1993) melakukan uji LD 50 daun bangun-bangun pada mencit. Hasil yang diperoleh menunjukkan, bahwa LD 50 daun bangun-bangun pada mencit adalah 275.422 mg/kg BB, bila angka ini dikonversi pada tikus adalah 192 g/kg BB. Menurut Duke (2000), senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam daun bangun-bangun berpotensi terhadap bermacam-macam aktivasi biologi, misalnya antioksidan, diuretik analgesik, mencegah kanker, antitumor dan antihipotensif. Daun bangun-bangun dapat dimasak sebagai sayur atau untuk lalapan. Di China, jus daun bangun-bangun diberikan untuk obat batuk anak-anak dengan tambahan gula. Daun ini juga dapat digunakan sebagai obat asma dan bronkhitis (Jain & Lata 1996), penyembuh luka, dibuat sebagai jamu penurun panas, atau langsung dikunyah untuk obat sariawan (Heyne 1987). Daun bangun-bangun mengandung fenol (isopropyl-o-tresol) sehingga dinyatakan sebagai antisepticum yang bernilai tinggi. Minyak atsiri dari daun bangun-bangun selain berdaya antiseptika ternyata mempunyai aktivitas tinggi melawan infeksi cacing (Vasquez et al. 2000). Kandungan senyawa kimia dalam ekstrak air daun bangun-bangun asal Kaliurang mengandung senyawa polifenol, saponin, glikosida flavonol dan minyak atsiri (Santosa 2005). Kandungan zat aktif bangun-bangun antara lain barbatusin, barbatusol (pada daun), koleol, forskholin, dan phytosterol (Schoellhorn 2002). Senyawa forskholin bersifat merombak lemak menjadi energi (Sahelian 2006). Khasiat forskholin antara lain merangsang ereksi dan aktivator enzim adenilat-siklase, sementara phytosterol bersifat steroid
12 (Schoellhorn 2002). Forskholin juga berperan dalam meningkatkan produksi hormon tiroid. Pemberian daun bangun-bangun selama 60 hari berhasil meningkatkan 80% sifat fagositosis sel netrofil terhadap bakteri Sthaphylococcus aureus secara invitro. Peningkatan kemampuan fagositosis sel netrofil terhadap benda asing yang masuk kedalam tubuh akan membantu individu bertahan melawan agen asing bahkan mematikannya, sehingga individu bersangkutan tetap hidup (Santosa 2005). Menurut Damanik et al. (2006), daun bangun-bangun dapat memberikan manfaat kesehatan dan pertumbuhan bayi yang ibunya mengkonsumsi daun bangun-bangun karena daun ini dapat meningkatkan produksi air susu ibu. Peningkatan volume air susu pada induk tikus yang diberi ekstrak daun bangunbangun terjadi karena adanya peningkatan aktivitas kelenjar mammae yang ditandai dengan meningkatnya jumlah DNA kelenjar dan aktivitas RNA di sistem selular kelenjar mammae (Silitonga 1993). Peningkatan kadar DNA dan RNA kelenjar mammae induk tikus terjadi hingga pada pertengahan laktasi, namum penurunannya lebih lambat daripada yang tidak diberi ekstrak bangun-bangun. Dagasawa dan Yanai (1976) melaporkan bahwa RNA dapat dipakai sebagai ukuran kemampuan fungsional suatu jaringan. Dengan kata lain, bahwa aktivitas sintesis sekresi air susu berhubungan erat dengan kadar RNA dalam kelenjar mammae. Daun bangun-bangun mengandung kalium yang berfungsi sebagai pembersih darah, melawan infeksi, mengurangi rasa nyeri dan menimbulkan rasa tenang sehingga sekresi susu menjadi lancar. Menurut Mepham (1987), sapi yang mengalami stres akan membutuhkan tambahan 1% kalium (K) untuk mencegah penurunan sekresi air susu. Defisiensi K menyebabkan hilangnya nafsu makan, penurunan bobot badan dan penurunan PASI. 2.4.
Pengelolaan Ternak Babi
2.4.1. Konsumsi Ransum Konsumsi ransum adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi. Tingkat konsumsi adalah jumlah ransum yang terkonsumsi oleh hewan bila bahan ransum tersebut diberikan ad libitum
13 (Parakkasi 1990). Tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti keadaan ternak, bobot badan, ransum yang diberikan, serta beberapa faktor lain seperti temperatur lingkungan dan kesehatan ternak. Parakkasi (1990) juga menyatakan, bahwa semakin besar ukuran ternak menyebabkan konsumsi ternak akan meningkat. Biaya untuk memelihara induk merupakan 1/3 dari seluruh biaya untuk produksi daging babi, sedangkan ransum merupakan ¾ bagian. Ransum demikian penting untuk menentukan penampilan, daya hidup, jumlah anak yang lahir; demikian pula untuk menentukan kualitas anak-anak babi yang disapih. Pemberian ransum induk babi pada umumnya yang dikenal ada dua sistem yaitu self feeding dan hand feeding. Pada sistem self feeding tenaga buruh dapat dikurangi seminimum mungkin, tetapi jumlah konsumsi sulit dikontrol, tetapi sebaliknya dengan yang hand feeding (Parakkasi 1990). Kunci keberhasilan pemberian ransum babi induk dengan cakupan yang panjang yakni selama induk bunting dan selama anak menyusu. Kini telah ada kesepakatan yang umum, bahwa bagi babi induk selama bunting dengan kondisi lingkungan yang bebas dari infestasi parasit yang parah sudah cukup diberi ransum 1.8-2.3 kg/hari dan diberikan per individu. Pemberian ransum yang meningkat selama masa bunting, drastis meningkatkan bobot badan induk tetapi sangat kecil pengaruhnya terhadap bobot anak babi yang baru lahir (Sihombing 2006). Pemberian ransum yang tinggi tidak memperbaiki bobot anak maupun jumlah anak yang lahir, maka demi penghematan biaya ransum, pemberian ransum kepada induk selama bunting harus dibatasi. Tabel 5 menunjukkan pengaruh pemberian jumlah ransum yang berbeda terhadap beberapa peubah performans reproduksi induk babi. Tabel 5 Efek Pemberian Jumlah Ransum yang Berbeda terhadap Performans Reproduksi Induk Babi Peubah
Ransum (kg)
Anak lahir hidup (ekor) Bobot anak lahir (kg)
1.8 10.2 1.5
3.2 9.4 1.6
Banyak anak disapih (kg)
8.9
8.6
Rataan bobot anak sapih (kg)
7.0
7.1
Sumber: Sihombing (2006)
14 Hasil-hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan terbalik antara jumlah ransum yang diberikan selama bunting dengan yang diberikan selama laktasi (Tabel 6). Semakin banyak ransum yang diperoleh selama bunting, maka semakin menurun yang dikonsumsi selama laktasi, hal ini akan kecil artinya bila tidak ada hubungan yang langsung antara jumlah ransum yang diperoleh selama laktasi dengan banyak air susu yang dihasilkan. Tabel 6 Pengaruh Jumlah Komsumsi Ransum selama Bunting terhadap Jumlah Ransum yang Dikonsumsi selama Laktasi Konsumsi ransum selama bunting (kg) Tambahan bobot kebuntingan (kg) Konsumsi ransum laktasi (kg/hari) Perubahan bobot laktasi (kg)
0.9 5.9 4.3 6.1
1.4 3.3 4.3 0.9
1.9 51.2 4.4 -4.4
2.4 62.8 3.9 -7.6
3.0 74.4 3.4 -8.5
Sumber: Sihombing (2006)
Semakin meningkat ransum yang diperoleh, produksi air susu juga meningkat (Tabel 7). Produksi air susu yang tinggi dapat meningkatkan laju pertumbuhan anak menyusu. Memaksimalkan produksi air susu induk babi haruslah membatasi ransum induk selama masa bunting, atau bisa juga dengan cara menambahkan pakan tambahan yang akan meningkatkan kecernaan pakan. Pengaruh konsumsi ransum terhadap produksi air susu induk babi diperlihatkan pada Tabel 7. Tabel 7 Pengaruh Konsumsi Ransum terhadap Produksi Air Susu selama 21 Hari Masa Laktasi Produksi Air Susu (kg) Paritas 1 Paritas 2 Paritas 3
Komsumsi ransum (kg/e/h) 4.5 5.9 5.4 5.5
5.3 5.4 6.0 6.8
6.0 6.7 6.6 7.3
6.8 6.1 6.6 8.0
Sumber: Sihombing (2006)
Ternak yang kehilangan bobot badan selama bunting akan memasuki masa laktasi dengan simpanan lemak tubuh rendah dapat merugikan masa laktasi berikutnya dan interval antara penyapihan hingga birahi kembali dan keberhasilan pengawinan (Sihombing 2006). Menjaga jumlah ransum yang diberikan saat beranak harus diusahakan sama seperti selama bunting agar induk tidak
15 mengalami kelahiran lambat atau induk gelisah yang mengakibatkan mortalitas lahir anak babi yang tinggi. Kualitas ransum pada waktu induk bunting sangat mempengaruhi daya hidup anak-anak babi yang akan lahir. Semakin baik ransum yang diberikan pada waktu bunting semakin baik pula kondisi anak-anak yang akan lahir dan selanjutnya dapat diharapkan lebih banyak dari anak-anak yang lahir tersebut yang akan dapat disapih. Hal ini dapat disebabkan adanya pengaruh sisa atau “residual effect” dari ransum yang baik pada waktu bunting tersebut terhadap fase selanjutnya. Pengaruh sisa yang demikian ini tidak hanya berlaku pada waktu bunting dan menyusui saja, tapi berlaku pula pada fase-fase berikutnya secara berantai (Parakkasi 1990). Pemberian ransum yang berlebihan harus dihindari karena akan membuang-buang ransum (pemborosan ransum yang sia-sia) dan induk akan kegemukan sehingga menyulitkan saat beranak dan akan mengurangi litter size. Pemberian ransum yang kurang dari kebutuhan akan mengurangi kekuatan induk saat proses beranak dan saat anak lahir, mengurangi kemungkinan hidup anak dan induk babi, kapasitas produksi air susu induk akan menurun
sehingga
mempengaruhi daya tahan anak babi setelah dilahirkan (Parakkasi 1990). Kelompok induk babi yang diberi ekstrak tanaman bangun-bangun 1000 ppm menunjukkan kematian dan pengafkiran induk yang lebih rendah selama masa bunting dan laktasi bila dibandingkan dengan kelompok induk babi yang tidak diberi ekstrak tanaman bangun-bangun (Amrik & Bilkei 2004). 2.4.2. Pemberian Ransum Selama Masa Laktasi Bila pada waktu bunting peternak harus membatasi jumlah pemberian ransum, maka pada waktu laktasi program tersebut segera harus dirobah kearah yang lebih bebas. Nilai dari seekor induk antara lain ditentukan oleh banyaknya anak yang dapat disapih dari anak-anak yang dilahirkan dan berat badan anakanak babi selama menyusu sampai disapih. Kesehatan anak-anak babi tersebut banyak dipengaruhi oleh cara pemberian ransum pada induk dan anak-anak babi pada masa menyusu. Produksi air susu induk babi erat hubungannya dengan jumlah anak yang menyusu, maka program pemberian ransum hendaknya berdasarkan jumlah anak juga (Parakkasi 1990).
16 Seekor induk babi saat laktasi dapat menghasilkan sekitar 7.0 kg air susu sehari yang menunjukkan, bahwa kebutuhan zat-zat makanan dalam
ransum
induk laktasi jelas lebih tinggi daripada kebutuhan induk babi bunting. Kebutuhan ransum selama laktasi tergantung dari banyaknya anak yang disusui, sebab semakin banyak anak akan semakin besar perangsang produksi air susu induk. Cara sederhana untuk menghitung kebutuhan ransum babi menyusu adalah 2 kg ransum untuk induk dan 0.5 kg bagi setiap anak. Ransum penguat yang cukup harus diberikan kepada induk bila peternak menghendaki produksi air susu yang cukup untuk menyapih anak babi yang sehat (Sihombing 2006). Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam mempertimbangkan jumlah dan kualitas ransum pada beberapa hari setelah beranak. Faktor-faktor tersebut antara lain jumlah dan kondisi anak babi pada waktu itu, bila produksi air susu cukup banyak sedangkan jumlah anak yang lebih sedikit, maka pemberian ransumnya hendaknya dihemat. Penyumbatan ambing dan masalah laktasi lainnya dapat ditekan dengan mengurangi jumlah ransum yang diberikan pada waktu beranak yang kemudian ditingkatkan sedikit
demi sedikit (Parakkasi 1990). Tabel 8
menunjukkan perkiraan kebutuhan ransum induk babi berdasarkan bobot induk dan jumlah anak babi. Tabel 8 Perkiraan Kebutuhan Ransum Induk Babi Laktasi Jumlah anak (ekor) 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Ransum (kg) yang menyuplai kebutuhan energi (ED) sesuai dengan bobot induk (kg) 135 180 225 3.6 4.0 4.5 3.9 4.3 4.8 4.2 4.6 5.1 4.6 5.0 5.5 5.0 5.4 5.9 5.2 5.6 6.1 5.5 5.9 6.4 5.6 6.0 6.5 5.6 6.0 6.5 5.7 6.1 6.6
Sumber: Alberta Agriculture (1983)
Program pemberian ransum pada saat beranak yang tepat untuk semua kondisi belum diperoleh, sehingga peternak selalu harus berusaha untuk mengadaptasi program pemberian ransumnya dengan kondisi kelahiran yang
17 dihadapi
oleh
ternaknya
(Sihombing
2006).
Kemampuan
ternak
babi
mengkonversi makanan kedalam bentuk pertambahan bobot badan disebut dengan efisiensi penggunaan makanan. Efisiensi penggunaan makanan tergantung pada kebutuhan ternak akan energi dan protein untuk hidup pokok, pertumbuhan, atau fungsi tubuh lainnya, kemampuan ternak untuk mencerna zat makanan, jumlah zat yang hilang melalui proses metabolisme dan tipe makanan yang dikonsumsi. Menurut Devendra dan Fuller (1979), faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi penggunaan makanan adalah nutrisi, bangsa ternak, lingkungan dan kesehatan ternak. 2.4.3. Litter Size Lahir Menurut Eusebio (1980), litter size lahir adalah jumlah anak yang lahir per induk per kelahiran. Seekor induk babi dapat menghasilkan 8-12 ekor anak babi setelah periode kebuntingan selama 112-120 hari. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi litter size lahir, diantaranya jumlah sel telur yang dilontarkan indung telur (ovulasi), laju hidup embrio selama berkembang (Sihombing 2006), paritas (Hughes & Varley 2004), umur (Singh & Moore 1982), kemampuan kapasitas uterus dan bangsa (Leymaster & Jhonson 1984). Menurut Milagres et al. (1983), bangsa babi Landrace dapat menghasilkan litter size lahir sekitar 10.94 ekor sedangkan bangsa babi Yorkshire adalah 9.57 (Park & Kim 1983). Berdasarkan penelitian Tummaruk et al. (2000), rataan litter size lahir hidup Landrace lebih banyak daripada Yorkshire yaitu masing-masing 10.94 dan 10.68 ekor. Secara umum litter size lahir dan sapih terus meningkat dari paritas pertama hingga keempat, kemudian menurun pada paritas selanjutnya. Induk pada paritas ketiga dan keempat memiliki penampilan terbaik, sedangkan paritas ketujuh memiliki penampilan terburuk. Perbedaan litter size lahir hidup antara partitas pertama dan ketiga dan keempat sebanyak 0.7 ekor, sedangkan litter size sapih sekitar 0.2 ekor (Rodriguez-Zas et al. 2003). Tabel 9 menunjukkan, bahwa penyebab kematian terbesar pada anak babi adalah kelaparan dan diikuti oleh penyebab yang lain.
18 Tabel 9 Waktu dan Penyebab Kematian Anak Babi yang Baru Lahir Umur (hari) 1 2 3 4-7 8-14 15-28 29-56
Kematian (%) 47 12 12 10 6 6 7
Penyebab Kelaparan Tertindih Lemah lahir Genetis Penyakit Aneka ragam Aneka ragam
Sumber: Sihombing (2006)
Data dari berbagai penelitian menunjukkan sekitar 20-25% dari anak babi yang lahir mengalami kematian sebelum disapih. Penyebab kematian anak babi yang menonjol adalah 1) mati lahir, 2) akibat kelemahan dan kelaparan, 3) tertindih atau terjepit oleh induk dan 4) penyakit. Saat yang paling berbahaya bagi anak babi yang baru lahir adalah selama tiga hari pertama setelah lahir. Kebanyakan anak babi yang kecil tidak dapat memperoleh cukup air susu setelah lahir, disebabkan oleh ketidaksanggupan mencapai ambing induk, sedangkan persediaan energi dalam tubuhnya yang terbatas sudah dihabiskan. Anak babi yang kecil kurang sanggup bersaing dengan anak babi yang mempunyai bobot lebih tinggi untuk merebut puting ataupun tempat yang lebih hangat dalam kandang. Bila anak-anak babi memperoleh air susu induk cukup dan dijaga agar hidup sampai umur tiga hari yang pertama, maka anak-anak babi yang kecil tadi akan menjadi bonus dan keuntungan bagi si peternak (Parakkasi 1990). 2.4.4. Pertambahan Bobot Badan Anak Babi Pertumbuhan mempunyai tahap yang cepat dan tahap yang lambat. Tahap pertumbuhan ini membentuk gambaran sigmoid pada grafik pertumbuhan. Pengukuran pertumbuhan ternak didasarkan pada kenaikan berat tubuh per satuan waktu tertentu yang dinyatakan sebagai rataan kadar laju pertumbuhan (Tillman et al. 1991). Pertambahan berat badan anak-anak babi selama beberapa minggu pertama banyak tergantung kepada produksi air susu induk. Produksi air susu tertinggi yang dapat dicapai oleh seekor induk ialah pada umur 2-3 tahun, sedangkan pada setiap periode laktasi yang lamanya delapan minggu puncak produksi didapatkan pada minggu ketiga (Williams 2003). Secara umum dapat
19 dikatakan bahwa produksi air susu meningkat bila jumlah anak yang menyusu meningkat, akan tetapi jumlah air susu yang tersedia untuk setiap anak berkurang. Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan produksi kelenjar-kelenjar air susu (ambing). Bahan ransum yang paling disukai oleh anak-anak babi adalah air susu. Kebutuhan zat-zat makanan dari ransum bagi anak-anak yang sedang menyusu akan meningkat terus sesuai dengan bertambahnya umur dan berat badannya. Pada saat anak babi tumbuh produksi air susu induk akan menurun, maka untuk melengkapi kekurangan tersebut harus ditambahkan ransum padat (bukan susu) mulai pada umur satu atau dua minggu (Parakkasi 1990). 2.4.5. Penyapihan Menurut Asih (2003), penyapihan dapat dilakukan pada umur 3-5 minggu. Babi sapihan perlu mendapat perhatian khusus dalam hal tersedianya air minum, makanan, kebersihan dan kenyamanan agar diperoleh pertumbuhan, konversi pakan dan ketahanan hidup yang baik. Apabila umur penyapihan dipersingkat maka beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah bangunan kandang, kontrol lingkungan, higieny, nutrisi dan manajemen. Penyapihan pada umur delapan minggu dapat dilakukan supaya induk dapat beranak dua kali dalam setahun. (Devendra & Fuller 1979). Hal yang sama dikemukakan oleh Suharno dan Nazzaruddin (1994) dan Goodwin (1974), akan tetapi cara ini memerlukan pengelolaan yang lebih teliti terutama dalam hal pemberian ransum. Menurut Sihombing (2006), kebanyakan peternak menyapih anak babinya pada umur 4-6 minggu. Menyapih anak terlalu dini dapat menyebabkan kebuntingan dan litter size lahir yang rendah sehingga berpengaruh negatif terhadap banyak anak yang akan disapih. Disamping itu, anak babi yang disapih kurang dari empat minggu sangat mudah terkena stress dan penyakit. Sebaliknya bila menyapih anak babi lebih daripada enam minggu maka semakin berkurang bobot badan induk akan memperpanjang waktu untuk birahi kembali dan anak yang dihasilkan berkurang per induk pertahun. Rataan pertumbuhan bobot badan dan efisiensi penggunaan makanan anak babi dari bobot 18-90 kg dengan bobot sapih yang berbeda selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 10.
20 Tabel 10 Rataan Pertumbuhan Bobot Badan dan Efisiensi Penggunaan Makanan Anak Babi dari Bobot 18-90 kg dengan Bobot Sapih yang Berbeda Berat sapih (kg) Diatas 18.1 13.6 – 18.1 Dibawah 13.6
Rataan PBB harian (kg/hari) 0.72 0.71 0.69
Efisiensi penggunaan makanan 2.83 2.63 2.52
Sihombing (2006)
Bobot sapih anak babi merupakan indikator produksi air susu dari induk dan kemampuan bertumbuh anak babi. Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot sapih anak babi adalah kesehatan anak babi, produksi susu induk dan cara pemberian makan (Sihombing 2006). Pada umur penyapihan tertentu anak babi yang memiliki bobot badan yang tinggi saat disapih akan bertumbuh lebih cepat mencapai bobot pasar daripada anak babi yang bobot badannya lebih ringan (Siagian 1999). Semakin berat anak babi waktu disapih efisiensi penggunaan makanan lebih baik dan rataan laju pertumbuhan lebih cepat daripada anak babi yang ringan (Tabel 10). Pada umumnya kisaran bobot badan anak babi yang disapih adalah 13.6-18.1 kg. Bobot sapih adalah bobot badan anak babi saat dipisahkan dari induknya atau setelah disapih. Bobot sapih dipengaruhi oleh jenis kelamin, bobot badan dan umur induk, keadaan saat lahir, kemampuan induk untuk menyusui anak dan kuantitas serta kualitas ransum yang diberikan serta suhu lingkungan (Hafez 1980). Menurut Williamson dan Payne (1993), penyapihan dini mempunyai banyak keuntungan seperti memberi kesempatan kepada induk untuk beranak lima kali dalam dua tahun. Penyapihan yang segera dilaksanakan akan menyebabkan birahi dan ovulasi pada babi betina dalam beberapa hari tanpa penurunan fertilitas apabila dikawinkan pada saat yang tepat (Toelihere 1993). Penyapihan yang dilakukan kapan saja selama laktasi akan menimbulkan birahi. Birahi akan terlihat sesudah penghentian produksi susu. Toelihere (1993) juga menyatakan, bahwa produksi air susu memperpanjang interval antara partus dengan birahi dan ovulasi pertama. Sihombing (2006) menjelaskan bahwa rangsangan oleh tindakan anak menghisap puting susu mencegah keluarnya hormon Folicle Stimulating Hormone (FSH) pada induk babi sehingga mencegah pemasakan dan pelepasan ovum.
21 2.4.6. Fase Siklus Birahi Walaupun setiap spesies mempunyai ciri-ciri khas dari pola siklus birahinya, namun pada dasarnya adalah sama. Siklus birahi umumnya dibagi atas empat fase atau periode yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Beberapa penulis memilih pembagian siklus birahi atas dua fase, fase folikular atau estrogenik yang meliputi proestrus dan estrus, dan fase luteal atau progestational yang terdiri atas metestrus dan diestrus. Pada babi rataan lama waktu periode proestrus, estrus, metestrus dan diestrus masing-masing adalah 3, 3, 4 dan 11 hari (Toelihere 1979). Siklus birahi pada babi selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Siklus Birahi pada Babi (Kirkwood 1999) Proestrus adalah fase sebelum estrus yaitu periode pada saat folikel de Graaf bertumbuh dibawah pengaruh FSH dan menghasilkan sejumlah estradiol yang makin bertambah (Toelihere 1979). Sistem reproduksi memulai persiapanpersiapan untuk pelepasan ovum dari ovarium. Setiap folikel bertumbuh dengan cepat selama dua sampai tiga hari sebelum estrus. Pada periode ini, sekresi estrogen ke dalam urine meningkat dan mulai terjadi penurunan konsentrasi progesteron di dalam darah.
22 Estrus adalah periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh hewan betina. Folikel de Graaf membesar dan menjadi matang (Toelihere 1979). Ovum mengalami perubahan kearah pematangan. Selama periode ini umumnya hewan betina mencari dan menerima pejantan untuk berkopulasi. Penerimaan terhadap pejantan selama estrus disebabkan oleh pengaruh estradiol pada sistem syaraf pusat, yang menghasilkan pola penerimaan pejantan oleh betina. Pada kebanyakan ternak ovulasi terjadi menjelang akhir periode estrus. Konsentrasi hormon-hormon reproduksi seperti progesteron, estradiol, LH dan FSH selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Perubahan Hormon Reproduksi selama Siklus Estrus (Richard 1999). (keterangan: LH = luteinizing hormone; FSH = follicle-stimulating hormone; PGF = prostaglandin F-2 alpha; GnRH = gonadotropinreleasing hormone) Metestrus atau postestrus adalah periode segera sesudah estrus yaitu korpus luteum bertumbuh cepat dari sel-sel granulosa folikel yang telah pecah dibawah pengaruh LH dari adenohypofisa (Toelihere 1979). Metestrus sebagian besar berada dibawah pengaruh hormon progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum. Progesteron menghambat sekresi FSH oleh adenohyphophisa sehingga menghambat pembentukan folikel de Graaf yang lain dan mencegah terjadinya
23 estrus. Selama metestrus uterus mengadakan persiapan-persiapan seperlunya untuk menerima dan memberi makan embrio. Diestrus adalah periode terakhir dan terlama siklus birahi pada ternakternak mammalia (Toelihere 1979). Korpus luteum menjadi matang dan pengaruh progesteron terhadap saluran reproduksi menjadi nyata. Pada akhir periode ini, korpus luteum memperlihatkan perubahan-perubahan retrogresif dan vakuolisasi secara gradual. Endometrium dan kelenjar-kelenjar beregresi ke ukuran semula. Mulai terjadi perkembangan folikel primer dan sekunder dan akhirnya kembali ke proestrus. Pada spesies yang bukan polyestrus, dapat terjadi anestrus. Anestrus yang fisiologik umumnya ditandai oleh ovarium dan saluran kelamin yang tenang dan tidak berfungsi. 2.4.7. Interval Waktu antara Penyapihan hingga Birahi Kembali Interval waktu antara penyapihan hingga birahi kembali dapat diartikan juga sebagai waktu kosong atau masa tidak produktif. Pada masa tersebut induk tidak mengalami kebuntingan maupun laktasi. Masa tidak produktif ternak babi dalam satu tahun dapat diminimalkan dengan mempersingkat setiap jarak waktu tersebut. Umur penyapihan yang relatif singkat biasanya diikuti oleh masa tidak produktif yang panjang dan periode birahi yang singkat (Lucia et al. 1999). Masa tidak produktif berpengaruh terhadap frekuensi induk beranak per tahun (Peet 2000). Birahi sesudah penyapihan biasanya terjadi 3-8 hari kemudian apabila anak babi disapih pada umur 6-8 minggu. Interval ke birahi sesudah penyapihan dini (2-3 minggu) adalah lebih lama dan bervariasi (Toelihere 1993). Babi betina yang habis beranak baru bisa dikawinkan kembali setelah 5-7 hari menyapih anaknya. Pengawinan kembali dapat dilakukan apabila kondisi babi dalam keadaan sehat, sebab induk menyusui yang pemeliharaan dan pemberian pakannya kurang baik akan cepat menjadi kurus, apalagi bila jumlah anaknya cukup banyak (Asih 2003). Babi dapat dikawinkan 3-10 hari setelah penyapihan bila diberikan makanan yang baik. Pemberian pakan ini ditujukan agar jumlah sel telur yang dihasilkan lebih banyak (Suharno & Nazaruddin 1994). Induk babi hendaknya dikawinkan lagi pada birahi pertama setelah anaknya disapih, bila kondisi babi baik. Bila kondisinya kurang baik maka
24 dikawinkan kembali pada birahi yang kedua. Biasanya induk akan birahi 2-5 hari setelah berhenti laktasi (Wiliamson & Payne 1993, Devendra & Fuller 1979). Induk yang gagal kembali birahi dalam 10 hari setelah anaknya disapih dapat dirangsang dengan memberikan bahan pemancing birahi yang mengandung pregnant serum gonadotropin (PMSG) dan human chorionic gonadotropin (HCG). Birahi akan muncul dalam 3-7 hari setelah penyuntikan. Peningkatan umur penyapihan 10-30 hari dapat mempersingkat interval waktu antara penyapihan hingga birahi, kawin dan bunting kembali. Pengaruh positif tersebut disebabkan oleh involusi uterus (Martin et al. 2004). Induk yang baru mengalami paritas pertama memiliki jarak waktu antara penyapihan hingga bunting kembali yang lebih panjang daripada paritas kedua dan ketiga (Mabry et al. 1996 dan Tood 2005). Estrus adalah periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh ternak betina. Tanda-tanda estrus dapat dilihat pada babi betina adalah perubahan tingkah laku (gelisah, menaiki babi betina lain, diam apabila dilakukan penekanan pada bagian punggung), perubahan pada vulva (membengkak, warna merah muda dan kadang kadang adanya sekresi dari vagina) (Anderson 1980). Menurut Siagian (1999), babi betina birahi apabila menunjukkan beberapa tanda sebagai berikut : 1) alat kelamin berwarna kemerahan dan agak basah, 2) keluar cairan kental dari lobang alat kelamin, 3) gelisah dan sering bergerak, 4) kalau ada pejantan sering mengeluarkan air kencing, 5) diam atau posisi siap dikawinkan apabila dilakukan uji penekanan pada punggung, 6) daun telinga tegak, kaki menjadi kaku dan gemetar pada otot paha atau pinggang, 7) menaiki ternak babi yang lain dan diam jika dinaiki dan 8) babi betina sulit dipindahkan atau disatukan dengan cara biasa. Menurut Toelihere (1979), perubahan tingkah laku pada babi yang menunjukkan gejala estrus adalah berdiam diri, tegak dan kaku bila punggunggnya ditekan oleh dagu pejantan atau tangan pekerja. Gejala estrus pada babi betina sangat intensif. Babi akan mengeluarkan suara-suara rendah dan singkat serta akan mengambil posisi siap kawin apabila mendengar suara-suara babi jantan baik secara langsung maupun melalui pita perekam. Menurut Walker (1972) dan Foote (1980), dengan menggunakan pejantan yang divasektomi
25 ataupun yang tidak divasektomi dan ditempatkan pada kandang yang berdekatan dengan babi betina, akan sangat membantu dalam menentukan birahi. Babi betina yang estrus akan cenderung mencari pejantan atau mau menerima kehadiran pejantan tersebut. Cara yang efektif untuk mendeteksi estrus yaitu uji penekanan pada punggung babi betina dan menggunakan pejantan. Persentase keberhasilan deteksi birahi dengan menggunakan uji penekanan pada punggung babi pejantan yaitu 100%. Persentase babi betina yang dideteksi birahi selama lebih dari satu hari dengan menggunakan uji penekanan pada punggung adalah 94% dan dengan menggunakan babi jantan adalah 83% (Gardner et al. 1990). Lama estrus pada babi betina berkisar antara satu sampai empat hari (Day 1972), 50 jam atau berkisar 24-72 jam (Alexander et al. 1980), 47 jam pada babi dara dan 56 jam pada babi induk (Anderson et al. 1966). Menurut Toelihere (1993), estrus pada babi betina berlangsung dua sampai tiga hari dengan variasi antara satu sampai empat hari. Bangsa, varietas dan gangguan hormonal dapat mempengaruhi lamanya estrus. Babi dara sering tidak memperlihatkan estrus lebih dari satu hari, sedangkan babi induk pada umumnya menunjukkan birahi selama dua hari atau lebih dan rataan periode birahi adalah 12 sampai 18 jam lebih lama daripada babi dara. Estrus biasanya terjadi tiga sampai delapan hari sesudah penyapihan apabila anak-anak babi dipisahkan enam sampai delapan minggu sesudah partus. Menurut Sihombing (2006) dan Belstra (2003), periode estrus pada babi dara lebih singkat dibandingkan babi induk. Menurut Goodwin (1974), periode estrus pada babi dara selama 12-36 jam. Selama waktu tersebut babi dara akan menerima pejantan dan sekitar 18-20 sel telur fertil diproduksi dalam ovarium.
2.5.
Fisiologi Reproduksi dan Laktasi
2.5.1. Hormon yang Berperan dalam Reproduksi Hormon adalah suatu zat atau bahan yang dihasilkan oleh kelenjar tertentu yang tidak mempunyai saluran, disebut kelenjar endokrin dan disebarkan melalui peredaran darah untuk memberikan efek tertentu pada sel-sel jaringan tubuh Hafez (1980). Hormon dapat dikelompokkan menurut tempat asalnya yaitu dari hipotalamus, pituitary, gonad (testis dan ovary), dan beberapa lainnya seperti
26 prostaglandin dari uterus, bermacam-macam hormon dari plasenta atau yang dihasilkan oleh unit plasenta-fetus selama kebuntingan. Pengelompokan ini dibuat untuk menyederhanakan, karena reproduksi adalah suatu sistem yang kompleks yang didalamnya sistem saraf-endokrin berinteraksi diantara komponenkomponen gonad, dan bagian-bagian lain sistem reproduksi. Mekanisme kerja hormon reproduksi pada ternak domestikasi selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Mekanisme Kerja Hormon Reproduksi (Richard 1999) Hormon-hormon hipotalamus diketahui sebagai hormon pelepas atau penghambat,
yang
langsung
berhubungan
dengan
reproduksi
adalah
Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) yang menyebabkan dilepaskannya folicle Stimulating Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) (Toelihere 1979). Perlu dicatat bahwa ada satu hormon pelepas untuk FSH dan LH. Folicle Stimulating Hormone pada babi adalah suatu glikoprotein dengan berat molekul 67 000. hormon tersebut larut dalam air dan stabil pada pH 4-11, dan mempunyai titik isoelektrik pada pH 4.5 dengan mengandung hexosamin, hexose, nitrogen dan sulfur. Fungsi utama dari FSH adalah stimulasi pertumbuhan dan pematangan folikel de Graaf di dalam ovarium dan spermatogenesis di dalam tubulus seminiferi testis. Luteinizing hormone pada babi berat molekulnya adalah 100000. Luteinizing hormone bekerjasama dengan FSH untuk menstimulir pematangan folikel dan pelepasan estrogen (Hafez 1980). Sesudah pematangan folikel, LH
27 menyebabkan ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding sel dan pelepasan ovum. Beberapa peneliti menyatakan LH adalah bersifat luteotropik. Hormon dari pituitary anterior yang berhubungan dengan reproduksi diketahui merupakan gonadotropin (gonad-loving) Hafez (1980) yaitu FSH dan LH. Semua hormon pituitary anterior adalah glikoprotein dan mempunyai struktur yang rumit. Hormon tersebut belum dapat disintesis secara buatan. Prolaktin (PRL atau Luteotropic Hormone atau LTH) suatu hormon protein dengan berat molekul 22 000-35 000, di-inaktifkan oleh pepsin, trypsin dan zat-zat lain yang bereaksi dengan kelompok-kelompok asam amino bebas. Prolaktin merangsang laktasi pada mammalia, memelihara aktifitas fungsional korpus luteum, menstimulir pelepasan progesteron dan menstimulir tingkah laku keibuan (Toelihere 1979). Pituitary posterior menyimpan dan mengeluarkan dua jenis hormon yang dihasilkan oleh neuron tertentu dalam hipotalamus, yang aksonnya menjalar dari hipotalamus sampai ke pituitary (Hafez 1980). Oksitoksin merupakan salah satu yang berhubungan dengan reproduksi. Oksitoksin adalah okta peptida yang mengandung 8 asam amino dengan berat molekul 1 000 dan relatif bersifat basa dengan titik isoelektrik pada pH basa. Hormon tersebut merupakan peptida dengan sembilan macam asam amino dan dapat disintesa secara buatan. Fungsi utama dari hormon oksitoksin adalah membantu kontraksi uterus untuk memperlancar kelahiran dan menstimulir keluarnya air susu. Secara klinis oksitosin telah lama digunakan untuk membantu induksi partus dengan menstimulir kontraksi uterus. Efek let down susu disebabkan oleh kerja oksitosin terhadap sel-sel mioepitel kelenjar mammae. Sel-sel tersebut mengandung elemen-elemen kontraktil dan berkontraksi bila dirangsang oleh oksitosin dengan akibat peningkatan tekanan air susu dalam kelenjar mammae (Toelihere 1979). Estrogen adalah hormon yang menimbulkan estrus atau birahi pada hewan betina (Hafez 1980). Estrogen adalah salah satu dari tiga kelompok hormon yang dihasilkan oleh ovarium. Kedua hormon lainnya adalah progesteron dan relaksin. Estrogen dan progesteron umumnya disebut hormon-hormon kelamin betina dan tergolong hormon steroid. Hormon estrogen mungkin disekresikan oleh theka interna dari folikel de Graaf. Jaringan ini kaya akan estrogen dan memperlihatkan aktivitas yang maksimum selama fase estrogenik dari siklus birahi (Toelihere
28 1979). Estrogen tidak disimpan dalam tubuh, tetapi disingkirkan melalui inaktivasi dan dikeluarkan melalui urine dan feses. Progesteron disekresikan oleh sel-sel lutein korpus luteum (Hafez 1980). Disamping hormon ini dihasilkan juga oleh plasenta. Progesteron juga tidak disimpan di dalam tubuh, tetapi dipakai secara cepat atau disekresikan dan hanya terdapat dalam konsentrasi rendah di dalam jaringan tubuh. Sesudah ovulasi yang disebabkan oleh LH terbentuklah korpus hemorhagikum di dalam ovarium yang kemudian berkembang menjadi korpus luteum. Korpus luteum dibentuk dan dipertahankan oleh LTH atau prolaktin. Dibawah pengaruh prolaktin, sel-sel lutein menghasilkan progesteron. Korpus luteum adalah esensial sepanjang masa kebuntingan pada babi (Toelihere 1979). Fungsi progesteron sulit dipisahkan dari hormon-hormon lain seperti estrogen. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa estrogen
terutama
menyebabkan
proses-proses
pertumbuhan,
sedangkan
progesteron menstimulir diferensiasi jaringan kelenjar mammae. Relaxin adalah hormon yang berfungsi mengendorkan symphysis pelvis. Relaxin adalah suatu polipeptida yang larut dalam air yang dengan berat molekul kira-kira 10.000 (Toelihere 1979). Hormon ini dapat diisolasi dalam bentuk murni sehingga sifat-sifat fisiko kimianya belum sempurna diketahui. Relaxin dihasilkan oleh korpus luteum selama masa kebuntingan. Disamping plasenta, uterus juga mungkin mensekresikan relaxin pada beberapa jenis hewan. Konsentrasi relaxin dalam ovarium babi sangat meningkat pada permulaan kebuntingan dan mencapai suatu ketinggian kira-kira 10.000 GPU per gram berat basah ovarium yang dipertahankan sampai partus. Hormon relaxin bekerjasama dengan sangat erat dengan hormon estrogen pada saat induk babi partus (Hafez 1980). Prostaglandin (PGF2α) merupakan sekelompok lemak yang larut dalam asam yang banyak ditemui hampir di seluruh bagian dari tubuh (Toelihere 1979). Prostaglandin diproduksi oleh uterus dan ditransportasikan oleh suatu mekanisme arus balik ke ovarium dan PGE 2α juga dihasilkan oleh folikel-folikel sebelum ovulasi. Prostaglandin berbeda dengan hormon biasa dalam hal fungsinya sebagai hormon lokal yang sangat kuat, efektif pada atau dekat lokasi pembentukannya. Konsentrasinya dalam darah sangat rendah karena cepat dipecah di paru-paru dan hati (Hafez 1980).
29 2.5.2. Persiapan Laktasi Susu adalah cairan yang dihasilkan oleh kelenjar susu dari spesies mamalia selama masa laktasi (Sandholm & Saarela 2003), yaitu saat kelenjar susu mensekresikan air susu.
Kelenjar susu adalah suatu kompleks organ
yang
tersusun atas membran basal, kapiler darah, lumen, sel mioepitel dan sel sekretoris. Sel sekretoris tergabung dalam lobula alveoli yang merespon dan bekerja harmonis selama masa laktasi. Pertumbuhan dan pembelahan kelenjar susu dimulai selama masa fetus dan selesai pada waktu melahirkan pertama. Pada spesies ternak peliharaan, estrogen, hormon pertumbuhan dan kortisol diperlukan untuk pertumbuhan duktus, sedangkan progesteron dan prolaktin atau senyawa seperti prolaktin diperlukan untuk perkembangan alveoli (Delaval 2008). Struktur ambing selengkapnya diperlihatkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Ambing (Delaval 2008)
30 Pengendalian pertumbuhan kelenjar susu merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan faktor-faktor intrinsik yang berpengaruh terhadap kelenjar susu atau terhadap seluruh hewan, maupun pengaruh eksternal seperti lingkungan, iklim dan makanan. Pada tingkat perkembangan yang paling pesat yakni pada saat laktasi penuh, sebagian besar kelenjar susu ini akan mengalami spesialisasi bersama-sama dengan jaringan ikat dan lemak, sehingga sekresi susu yag dihasilkan per hari bisa melebihi berat kelenjar susu itu sendiri. Beberapa peneliti melaporkan, bahwa pertumbuhan seluruh kelenjar susu terjadi pada saat kehamilan. Jumlah sel sekretori meningkat sangat drastis selama masa kehamilan, akan tetapi pada beberapa spesies tertentu perkembangan ini tidak berhenti sampai disini saja. Beberapa peneliti melaporkan bahwa proliferasi sel terjadi dua atau tiga hari setelah tikus melahirkan. Knight dan Parker (1982) menunjukkan, bahwa pada tikus populasi sel sekretori pada hari kelima setelah beranak akan meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan pada hari terakhir kehamilan. Jumlah DNA masih meningkat dalam bentuk logaritmik, paling tidak selama lima hari masa laktasi pada tikus. Dilaporkan juga, bahwa produksi air susu meningkat secara bertahap selama tujuh hari pertama laktasi. 2.5.3. Produksi Air Susu Induk Babi Mekanisme produksi susu melibatkan banyak faktor seperti fisiologi, endokrinologi dan biokimia. Faktor fisiologis meliputi frekuensi dan lamanya anak babi menyusu. Faktor endokrinologi meliputi hormon-hormon yang terlibat selama proses laktasi diantaranya oksitoksin dan prolaktin, sedangkan faktor biokimia meliputi proses metabolisme nutrisi selama laktasi. Selain tiga hal diatas, faktor psikologis dan nutrisi juga mempengaruhi produksi susu yaitu kondisi stress saat induk menyusu dan asupan nutrisi untuk induk selama menyusu (Delaval 2008). Proses sintesis dan sekresi susu sangat tergantung dari suplai prekursor ke sel susu, untuk dikonversi menjadi air susu dan dikeluarkan dari kelenjar. Susu dibentuk dari material yang datang secara langsung dari darah, yang kemudian menghasilkan susu dengan perubahan konsentrasi material. Perubahan ini membuktikan bahwa ada suatu proses yang unik yang terjadi dalam kelenjar susu,
31 sehingga prekursor yang sebelumnya tidak terdapat dalam darah, dapat ditemukan dalam susu atau sebaliknya (Larson 1985). Pembentukan susu dan kebutuhan nutrisi untuk metabolisme keseluruhan dari sel sekresi, didapat dari makanan yang dikonsumsi dan diekstrak kedalam darah (Walstra 1999). Substrat utama yang diekstraksi dari darah oleh kelenjar susu ternak laktasi adalah glukosa, asam amino, asam lemak dan mineral. Air susu induk babi jauh lebih superior daripada semua makanan lain dalam hal ketersediaan dan kecernaan nutrisi yang dikandungnya. Semua kebutuhan nutrisi bagi anak babi yang baru lahir diperoleh dari air susu induk, kecuali zat besi. Umumnya PASI babi yang maksimum dicapai selama minggu ketiga dari masa laktasi, dan setelah itu berangsur turun.Sebagai akibat menurunnya PASI, induk babi tidak sanggup lagi menyediakan semua kebutuhan nutrisi bagi anak-anaknya yang terus meningkat (Sihombing 2006). Peningkatan kebutuhan nutrisi anak babi tidak diiringi oleh PASI babi oleh karena itu anak babi diberi ransum khusus. Menurut Silitonga (1993), jumlah total alveoli keseluruhan pada mencit yang diberi daun bangun-bangun paling banyak dibanding kontrol, yaitu 33.80%. Alveoli berfungsi sebagai tempat penghasil susu. Semakin banyak tempat penghasil susu maka akan semakin banyak produksi susu yang akan didapat. Pemberian daun bangun-bangun juga mengakibatkan tikus mencapai puncak laktasinya lebih awal, tetapi mengalami penurunan yang lebih lambat. 2.5.4. Mekanisme Bangun-bangun dalam Meningkatkan Produksi Air Susu Banyak penelitian menyimpulkan, bahwa daun bangun-bangun mampu meningkatkan produksi air susu pada ternak. Silitonga (1993) melaporkan, bahwa penggunaan daun bangun–bangun dapat meningkatkan produksi susu induk tikus putih laktasi hingga 30%. Penelitian lain yang dilakukan Santosa (2001) menemukan bahwa empat jam setelah ibu mengonsumsi daun bangun–bangun, volume air susu ibu meningkat sebesar 47.4%. Hasil pengamatan pada anak tikus yang sedang menyusu dengan pemberian pada taraf 5% tepung daun bangunbangun dalam ransum induknya akan dapat meningkatkan bobot sapih (Hutajulu 2008) dan Wening (2007) juga menyatakan, bahwa pemberian 5% tepung daun bangun-bangun dalam ransum induk yang pemberiannya dimulai pada hari ke-14
32 umur kebuntingan mencit (Mus musculus) dapat meningkatkan produksi air susu induk mencit. Mekanisme bangun-bangun untuk meningkatkan produksi air susu sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun karena adanya kemiripan senyawa aktif, memungkinkan mekanismenya hampir serupa, walaupun masih bersifat pendugaan. Bila dilihat dari mekanisme daun katuk, maka mekanisme peningkatan PASI dapat terjadi secara langsung ataupun tidak (Suprayogi 2000). Salah satu senyawa aktif yang ada pada katuk (Sauropus Androgynus (L) Merr) dan juga ada pada bangun-bangun adalah 3-ethyl-3- hydroxy-5-alpha andostran17-one. Senyawa aktif ini terlibat secara langsung sebagai perintis atau intermediate step di dalam biosintesis steroid hormon pada ternak betina, seperti progesterone, estradiol dan glukokortikoid (Despopoulos & Silbernagl 1991). Hormon steroid mempunyai peranan penting dalam pengaturan proses reproduksi, laktasi, pertumbuhan dan proses fisiologi lainnya. Senyawa aktif yang terkandung di dalam bangun-bangun secara langsung ataupun tidak langsung mengatur laktogenesis dan laktasi, hormon prolaktin (PRL), growth hormone (GH), glucocorticoids, thyroid hormone, prostaglandin dan oksitosin. Aksi langsung akan terjadi mulai dari aksi prostaglandin dan steroid hormone (glucocorticoids, progesteron, dan estradiol) yang masingmasing diperoleh dari biosintesis eicosanoids dan hormon steroid. Hormon ini secara langsung merangsang sintesis DNA dan RNA di dalam sel sekretori kelenjar mammae. Aksi secara tidak langsung terjadi karena konsentrasi hormon ini tinggi di dalam aliran darah sehingga secara tidak langsung merangsang sel kelenjar pituitary anterior dan posterior untuk melepaskan PRL, GH dan oksitosin yang bekerja secara langsung pada kelenjar mammae (Suprayogi 2000). 2.5.5. Proses Induk Babi Beranak Hafez (1980) mengemukakan bahwa lama bunting ternak diukur dari saat terjadinya konsepsi (pembuahan) sampai terjadinya kelahiran. Kebuntingan terjadi apabila adanya fertilisasi yaitu bila satu sperma bersatu dengan sel telur untuk membentuk zigot dan didalam uterus terdapat pembentukan embrio dan fetus. Menurut Toelihere (1993), lama kebuntingan ternak babi berkisar antara 111-117 hari atau rata-rata 114 hari. Meskipun perkembangan sejak pembuahan hingga
33 kelahiran merupakan suatu proses berkesinambungan, kebuntingan dianggap terdiri dari tiga fase yaitu fase preimplantasi, embrio dan fetus (Sihombing 2006). Hormon yang memprakarsai kelahiran (proses kelahiran) atau partus adalah prostaglandin yang dihasilkan oleh uterus. Hormon ini menyebabkan regresi korpus luteum dan mengakibatkan keluarnya hormon-hormon relaxin dan oksitoksin dari kelenjar pituitary. Kedua hormon tersebut menimbulkan relaksasi serviks sehingga terbuka corong jalan anak lahir dan ositoksin menyebabkan kelenjar susu mengeluarkan air susu (Sihombing 2006). Ciri-ciri induk babi yang akan beranak adalah memperlihatkan tanda-tanda gelisah dan aktivitas membuat sarang. Laju pernafasan meningkat selama 12 jam terakhir dan temperatur rektum meningkat lima jam sebelum beranak. Kelahiran paling sering terjadi pada malam hari. Induk beranak dengan merebahkan tubuhnya pada salah satu sisi kandang. Sekitar 70% anak babi lahir dengan kaki depan lebih dulu keluar. Kebanyakan dari anak yang mati lahir oleh proses kelahiran yang lama berlangsung disebabkan oleh kurang bernafas selama dalam saluran kelahiran (Sihombing 2006). Waktu kelahiran yang kelamaan melemahkan anak babi saat lahir dan anak tersebut kurang kuat bersaing dengan rekannya sekelahiran untuk memperoleh air susu. Penyebab utama kejadian anak babi mati lahir adalah lemas karena kekurangan oksigen. Dalam hal ini plasenta terlalu dini terlepas dan tali pusar putus sebelum anak babi lahir, sehingga anak babi kekurangan oksigen. Tabel 11 menunjukkan, bahwa semakin lama proses babi beranak maka kejadian mati lahir semakin tinggi. Tabel 11 Hubungan antara Lama Proses Kelahiran dengan Kejadian Mati Lahir Lama proses beranak (jam) Kurang dari 1 1-2 2-3 3-4 Lebih dari 6
Anak mati lahir (%) 3.8 3.7 5.6 9.7 30.4
Kejadian mati lahir (%) 25.0 32.7 59.4 30.4 75.0
Sumber: Sihombing (2006)
Gelisah merupakan tanda-tanda luar seekor ternak yang akan beranak. Proses kelahiran biasanya dibagi
dalam tiga fase: 1) pelebaran serviks, 2)
pengeluaran fetus, dan 3) pengeluaran plasenta. Kontraksi perut ditambah dengan
34 kontraksi uterus akan mendorong fetus keluar. Pada babi, kontraksi dimulai tepat diatas anak babi yang berada dekat serviks, sementara dibelakangnya uterus tetap diam. Kontraksi uterus menyebabkan kuku anak babi ditusukkan ke plasenta sehingga keluar cairan amnion yang berfungsi sebagai pelicin (Tomaszewska et al. 1991). Karena induk babi melahirkan banyak anak, fetus relatif kecil dan jarang terjadi kesulitan beranak. Pada babi, yang mungkin pertama keluar adalah kepala atau kaki. Posisi posterior menyebabkan tingginya tingkat kematian. Posisi kelahiran normal adalah kaki depan keluar pertama dengan kepala terletak diantara kedua kaki (Tomaszewska et al. 1991).